Istana Hantu Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 25
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“JAHANAM, Khi-bal-sin-kang...!" See-ong terpekik, berjungkir balik melayang turun. Dan ketika dia pucat memandang lawannya itu maka kakek ini menggigil, menuding. "Kau... kau memiliki Khi-bal-sin-kang? Kau bocah keparat memiliki ilmu ini?"

"Ha-ha!" Togur tertawa bergelak. "Jangan main-main denganku, See-ong. Benar, itulah Khi-bal-sin-kang. Sekarang kau tahu kenapa aku tidak takut kepadamu!"

"Keparat!" kakek ini menggeram. "Dari mana kau dapatkan itu? Kau bocah kemarin sore berani kurang ajar kepadaku?"

"Ha, jangan sombong," Togur, yang girang dan bangga dapat mengejutkan kakek itu tertawa mengejek. "Aku sekarang bukan bocah kemarin sore lagi, See-ong. Melainkan kaulah kakek bangkotan yang tidak tahu kemajuan anak muda saja. Aku di sini pemimpin suku bangsaku, kalau kau ingin menjadi tamu yang baik harap bersikap sopan!"

"Keparat!" kakek itu menggigil, memandang nenek Naga. "Begini cara murid kalian menyambut aku, nenek busuk? Dan kau diam saja?"

Nenek Naga gentar. Sebenarnya, terhadap See-ong dia takut bukan main, juga gelisah. Kakek ini amat lihai dan kalau marah dia bisa celaka. Tapi karena Togur ada di situ dan muridnya itu dirasa mampu melindunginya maka nenek ini surut undur dan membiarkan muridnya bicara. Dan Togur tahu itu.

"See-ong, tak usah bicara kepada guruku. Mereka tunduk kepadaku. Kalau ingin bicara silahkan kepadaku, jangan kepada yang lain."

"Bagus, kalau begitu..." kakek ini tiba-tiba berkelebat. "Aku ingin membunuhnya dulu, Togur. Kutarik lidahnya agar dapat bicara!" dan si kakek yang lenyap menghantam nenek itu tiba-tiba membuat nenek Naga terpekik dan melempar tubuh bergulingan, masih keserempet juga dan nenek itu berteriak pada muridnya agar maju membantu. See-ong kembali berkelebat dan pukulan kakek itu dahsyat sekali menghantam dirinya. Keserempet saja dia sudah terguling-guling, apalagi kalau terpukul! Dan Togur yang membentak melihat itu tiba-tiba brgerak dan menyambar punggung kakek ini.

"Berhenti!"

See-ong menggeram. Lawan sudah berkelebat dan punggungnya mendapat pukulan angin kuat. Kalau dia meneruskan serangannya tentu dia sendiri juga bakal terpukul, mungkin terbanting dan terguling-guling dihajar pemuda itu, Togur si bocah ingusan. Dan ketika kakek ini membalik dan apa boleh buat menangkis pukulan Togur maka nenek Naga selamat dan dua pukulan dahysat bertemu menggetarkan jantung.

"Dess!" See-ong marah terlempar tinggi. Kakek ini terpental dan seperti mudah diduga tertolak oleh Khi-bal-sin-kang yang istimewa itu. Dia memaki-maki dan Togur tertawa terhuyung setindak. Betapa pun See-ong memang kakek yang amat lihai. Dan ketika kakek itu menggereng dan menyerang lagi, maklum bahwa pemuda ini akan selalu membela dan melindungi gurunya maka pemuda itulah yang menjadi sasaran kemarahan See-ong dan kakek ini sudah melengking mengeluarkan Sin-re-ciangnya, silat Tangan Karet dimana kedua lengannya sudah maju mundur dengan cepat dan luar biasa sekali, mulur mengkeret dengan istimewa sekali dan sepuluh kuku jari itu menyambar-nyambar lawannya.

Togur dibuat sibuk karena mata telinga dan hidungnya menjadi sasaran serangan cepat, begitu cepat hingga tahu-tahu colokan itu sudah menyentuh bulu hidungnya. Kalau tidak cepat ia melempar kepala ke belakang tentu hidungnya tertusuk tembus! See-ong mengeluarkan tenaga amis yang membuat dia hampir muntah pula. Bukan main! Dan ketika kakek itu berkelebatan dan Togur mengelak sana-sini mempergunakan Jing-sian-engnya maka kakek itu melotot mengenal ilmu meringkan tubuh yang luar biasa ini.

"Jahanam! Bedebah! Kaupun rupanya menguasai Jing-sian-eng!"

"Ha-ha, tak salah!" Togur tertawa bergelak. "Dua ilmu ini kukuasai baik, See-ong. Dan mari kita lihat siapa yang lebih cepat... wut-wut!"

Togur tiba-tiba mengerahkan tenaganya, menambah kecepatan dan kakek itu terkejut. Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa tiba-tiba didemonstrasikan dengan bagus, tubuh pemuda itu lenyap dan kini berseliweran malah sekarang terkurung! Dan ketika kakek itu terkejut dan berseru tertahan maka tamparan-tamparan panas mulai dikeluarkan pemuda itu mengenai tubuh kakek ini.

"Ha-ha, lihat, See-ong. Lihat... des-dess!"

See-ong terpukul pulang balik, mendapat dua kali pukulan dan kakek itu terhuyung. Togur berkelebatan lebih cepat lagi dan kakek itu mendapat serangan lagi, kali ini di tengkuk. Dan ketika kakek itu tergetar namun tidak roboh, bukti betapa kuatnya kakek ini memiliki sinkangnya maka Togur mulai tertawa-tawa namun diam-diam kagum juga, terus mempercepat serangan dan See-ong terdesak. Kakek itu mendelik hampir tak percaya.

Dan nenek Naga tiba-tiba terkekeh. Bersama tiga temannya yang lain nenek ini mulai mempercayai Togur. Muridnya itu mampu menguasai lawan dan See-ong terus terdesak hebat, memaki dan menggeram dan silat Tangan Karet yang dipergunakan kakek itu tiba-tiba tak berdaya. Kakek ini kalah cepat oleh ilmu meringankan tubuh Jing-sian-eng. Dan ketika semuanya itu masih ditambah dengan pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang dimana pukulan atau tamparan pemuda ini lama-lama membuat See-ong tergetar dan terhuyung-huyung maka kakek itu melotot gusar dan lawan pun terbahak-bahak.

"Ha-ha, sekarang kau menjadi pembantuku, See-ong. Dan aku tak akan membunuhmu!"

Ketika kakek itu mendelik dan memaki gusar pemuda ini berkata lagi, "Atau kau menyerah baik-baik, dan kita bersahabat!"

"Keparat!" See-ong memekik. "Aku belum roboh, bocah. Dan aku masih belum mengeluarkan semua kepandaianku. Lihatlah, apakah kau dapat menyerangku kalau sudah begini.... wut!" dan si kakek yang menghilang dengan Hek-kwi-sutnya tiba-tiba membuat Togur terkejut karena lawan tak dapat diserang, tak diketahui dimana dan inilah yang memang dikhawatiri pemuda itu.

Togur tahu kalau See-ong memiliki Hek-kwi-sut, tahu bahwa kakek itu memang belum mengeluarkan semua kepandaiannya karena Hek-kwi-sut belum dipergunakan, itulah sebabnya dia menawarkan sebuah persahabatan kalau kakek itu mau baik-baik dengannya. Maka ketika kini si kakek memekik gusar dan lenyap mempergunakan Hek-kwi-sutnya tentu saja dia kehilangan sasaran dan Khi-bal-sin-kang ataupun pukulan lain menghantam tempat kosong.

"Dess!" Togur terpental. Dia terkejut ketika tiba-tiba lawan memukulnya di balik ilmu hitam itu, terlempar dan mencelat dan terdengarlah See-ong terbahak-bahak di balik Hek-kwi-sutnya. Togur berseru tertahan dan sekarang kakek itulah yang ganti menyerangnya, bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu pemuda tinggi besar ini kembali menerima sebuah pukulan. See-ong tertawa bergelak dan kini pemuda itu mulai mendapat hujan pukulan yang keras dan berat. Dan ketika Togur terguling-guling dan meloncat bangun sambil memaki maka sebuah tamparan kembali mengenainya.

"Dess!" Pemuda ini mengeluh. Sekarang nenek Naga menjadi pucat dan sadar akan itu, sadar bahwa See-ong memang bukan iblis sembarangan dan Hek-kwi-sutnya amat ditakuti. Sekarang muridnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan Togur kembali terguling-guling ketika mendapat tiga empat pukulan lagi. Tapi ketika nenek ini berseru tertahan dan Togur teringat Khi-bal-sin-kangnya untuk bertahan tiba-tiba pemuda itu tak terpental lagi kecuali hanya terhuyung dan tergetar mundur.

Tadi lupa mempergunakan itu karena dengan sinkang atau tenaga sakti biasa saja tak mungkin dia dapat bertahan dari serangan-serangan si kakek, kini pemuda itu mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya dan benar saja pukulan-pukulan lawan dapat ditahan. See-ong tergetar dan ganti tertolak balik ketika semua pukulannya mengenai tubuh pemuda itu. Kakek ini mengumpat-umpat. Dan ketika nenek Naga berseri-seri karena hal itu berarti menyelamatkan muridnya maka pertandingan menjadi tak ada yang kalah atau menang karena imbang, seri!

"Ha-ha, lihatlah, See-ong. Kaupun boleh pukul aku sesukamu. Lihat apakah pukulan-pukulanmu dapat merobohkan aku!"

"Bedebah! Terkutuk!" kakek ini memaki-maki. "Kaupun boleh serang aku kalau bisa, Togur. Perlihatkan kelebihanmu bahwa kaupun dapat merobohkan aku!"

"Kau bersembunyi di balik Hek-kwi-sutmu, licik!"

"Dan kaupun berlindung di balik Khi-bal-sin-kang curianmu, pengecut!" dan ketika keduanya saling maki namun akhirnya sama-sama mengagumi lawan maka See-ong mulai bersinar-sinar dan diam-diam kagum kepada murid enam Iblis Dunia ini, teringat akan kejadian-kejadian di Sam-liong-to dan tiba-tiba saja dia mendusin bahwa kiranya lawan yang dulu dihadapinya dan bertopeng adalah pemuda ini. Terkutuk, baru sekarang dia sadar. Dan ketika kakek itu bertanya dan Togur menjawabnya tergelak-gelak maka pemuda itu tak dapat menahan gelinya.

"Benar, itulah aku, See-ong. Dan sekarang agaknya baru kau tahu kenapa kelima guruku ini ikut denganku!"

"Jahanam!" kakek itu mengutuk. "Kiranya kau pemuda siluman, Togur. Kau mengecoh orang tua habis-habisan namun kuakui kehebatan dirimu ini. Ah, kau pantas menggantikan iblis-iblis tua macam guru-gurumu itu. Terkutuk!"

Togur tertawa-tawa. Sekarang pertandingan berjalan imbang karena baik dia maupun See-ong tak dapat mengalahkan yang lain. Kakek itu boleh hebat dengan Hek-kwi-sutnya tapi dia hebat dengan Khi-bal-sin-kangnya. Pukulan-pukulan kakek itu akan selalu mental dan tertolak Khi-bal-sin-kang. Dan karena diapun tak dapat menyerang kakek itu karena See-ong berlindung di balik Hek-kwi-sutnya maka masing-masing hanya membuang tenaga cuma-cuma kalau pertandingan ini tetap dilanjutkan.

"He...!" Togur berseru. "Kau dan aku tak dapat saling mengalahkan, See-ong. Seharusnya kau tahu dan jangan nekat. Kita imbang, dan sebaiknya kita bersahabat!"

"Aku tak mau menjadi pembantumu!" See-ong membentak, mengira pemuda itu akan menghinanya dengan menjadikan dia sebagai pembantu, seperti guru-guru pemuda itu sendiri. "Aku boleh kehabisan tenaga, bocah. Tapi kaupun tak akan bertahan lama dan kita sama-sama mampus!"

"Jangan bodoh!" Togur tertawa. "Kenapa mengira aku akan menjadikan dirimu sebagai pembantu? Kita sama kuat, See-ong. Dan kitapun mempunyai musuh yang sama. Berhentilah, dan kita bersahabat. Aku tak mungkin menaklukkan dirimu untuk menjadi pembantuku karena kita imbang. Berhenti, dan jangan menyerang!"

See-ong ragu-ragu. Sebenarnya dia juga melihat kenyataan itu dan diam-diam dia menaruh kagum yang besar kepada pemuda ini. Inilah type pemuda yang pantas menjadi tokoh sesat. Sayang muridnya tak seperti itu. Padahal, dia menginginkan agar Siang Le pun dapat bersikap seperti pemuda ini, culas dan licik serta tak segan-segan mempergunakan segala tipu muslihat untuk memperoleh kepandaian.

Sekarang dia tahu apa kiranya yang telah terjadi. Pemuda ini mencuri Khi-bal-sin-kang melalui Hu-taihiap. Dan teringat bahwa pemuda itulah yang dulu membawa Hu-taihiap ke Pulau Tiga Naga akhirnya See-ong menjadi kagum tapi juga gemas kepada lawannya ini, pemuda yang cerdik dan berwatak keji!

"Hei...!" Togur berseru kembali padanya. "Bagaimana jawabmu, See-ong? Kau masih tak dapat melihat kenyataan?"

"Hm!" kakek ini menggeram, gemas dan kagum. "Aku sudah melihat kenyataan, bocah. Tapi aku belum melihat jelas apa maumu!"

"Bodoh! Kita bersahabat, itulah mauku. Bukankah sudah kukatakan?"

"Ya, itu benar. Tapi apakah persahabatan itu hanya sebegini saja. Artinya apakah aku hanya sebagai tamu dan kau tetap raja disini?"

"Maksudmu?"

"Ha-ha! Kalau kau mengakui bahwa kita imbang maka apa yang ada disini juga harus dibagi adil, bocah. Kau pemimpin dan akupun juga pemimpin. Kalau begitu baru aku terima tawaranmu!"

"Ah, kau ingin memperoleh pasukan?"

"Cerdas, kau pintar! Begitulah maksudku, ha-ha!" dan See-ong yang terbahak menyatakan maksudnya diam-diam kembali kagum karena sekali bicara pemuda itu sudah dapat menangkap. Memang dia tak mau dibawah pemuda itu dan tentu saja apa yang ada disitu harus dibagi rata.

Kelima Iblis Dunia yang ada disitu adalah pembantu-pembantunya. Hanya karena adanya pemuda itu maka nenek Naga dan lain-lain membangkang. Kini, membentak dan sudah menyatakan keinginannya See-ong tak ragu-ragu menuntut apa yang dia maui. Dihitung-hitung, kalau pemuda ini tak selihai sekarang, Togur adalah juga anak buahnya. Pemuda itu murid dari kelima pembantunya dan kalau saja pemuda itu tak memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng tentu lawannya ini tak akan sepongah itu.

Tapi karena Togur telah memiliki kemajuan pesat dan kecerdikan serta keberhasilannya ini mau tak mau memang harus diakui juga maka See-ong ingin agar kekuasaan yang dimiliki pemuda itu juga harus dibagi dengannya. Dia adalah raja iblis dan See-ong tentu saja tak mau di bawah pemuda ini. Dia tetap pemimpin dan kelak akan dicarinya akal agar pemuda itu dapat disingkirkan. Betapapun See-ong melihat ancaman bahaya dari murid enam Iblis Dunia ini, yang sekarang tinggal lima orang. Dan ketika Togur memikir-mikir dan tampaknya ragu atau bimbang maka sebuah pukulan menghantam tengkuknya.

"Dess!" Pemuda itu tergetar. Sama seperti tadi dia hanyalah terdorong dan terhuyung saja, tidak terpelanting. Khi-bal-sin-kang telah melindunginya sedemikian rupa dan See-ong mengumpat. Kakek ini melakukan lagi serangan-serangannya namun pemuda itu hebat benar. Khi-bal-sin-kang melindunginya dan kemanapun dia menyerang disitu pula ilmu Bola Sakti itu menyelamatkan pemuda ini. See-ong sudah melakukan totokan-totokan pula tapi pemuda ini lihai dan cerdik.

Tidak seperti Soat Eng dimana gadis itu dulu roboh oleh totokannya adalah Togur menggelincirkan jalan darahnya hingga totokan selalu meleset. Pemuda ini rupanya menggabung semua ilmu-ilmu yang dipunyai gurunya untuk akhirnya berhasil menguasai ilmu menggelincirkan jalan darah itu, semacam I-kiong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah). Dan karena pemuda ini memang lebih cerdik dan banyak akal dibanding Soat Eng yang polos dan kurang pengalaman maka totokan-totokan yang dilancarkan selalu gagal di tengah jalan.

Akibatnya kakek ini merah mukanya dan Togur tertawa terbahak-bahak. Pemuda itu dalam posisi bertahan tapi lawan juga sia-sia menyerangnya. See-ong mengutuk dan menggeram tak habis-habisnya. Dan ketika pemuda itu mengatakan sebaiknya mereka berbaik dan tak usah bermusuhan maka kakek itu membentak menanyakan tawarannya tadi.

"Aku berhenti kalau kau menyetujui permintaanku tadi. Atau aku terus menyerangmu dan lama-lama kau roboh kehabisan tenaga!"

"Baiklah," Togur tertawa. "Untuk masalah kecil begini kenapa aku tak dapat memenuhi permintaanmu, See-ong? Kita berbagi kekuasaan, kau dengan separoh pasukan yang ada di sini sedang aku separoh yang lainnya!"

"Kau tak berbohong?"

"Ha-ha, tentu tidak, See-ong. Aku bersumpah!"

"Dan kami ikut denganmu!" nenek Naga tiba-tiba berteriak. "Katakan bahwa kami tetap pembantu-pembantumu, Togur. Biarlah kami semua bersamamu dan tidak dengan kakek itu!"

'Benar!" Toa-ci tiba-tiba juga berseru, menyambung. "Kami pembantu-pembantumu, Togur. Biarlah kami tetap denganmu dan tidak dengan See-ong!"

Togur tertawa. Dia segera maklum dan teringat bahwa guru-gurunya ini akan ketakutan sekali kalau harus diserahkan pada See-ong. Kakek ini tentu mencari mereka dan maksud kedatangannya kesitupun juga karena ingin menghajar kelima gurunya. Maka mengangguk dan sadar akan itu pemuda ini berkata, "Benar, mereka tetap guruku, See-ong. Mereka adalah pembantuku. Kau memiliki setengah pasukan disini tapi kelima guruku tetap menjadi milikku!"

"Hah, licik!" See-ong menggeram. "Kalau kau tidak membelanya tentu aku tetap meminta mereka, Togur. Tapi karena kau sudah bicara baiklah, aku setuju!"

"Dan hentikan serangan!" Togur membentak. "Kita sahabat, See-ong. Berhenti dan jangan menyerang lagi.... plak-plak!" Togur menangkis dua buah pukulan, melihat bayangan hitam berkelebat dan benturan pukulan itu mengeluarkan ledakan kuat yang membuat orang-orang seperti nenek Naga dan Toa-ci terjengkang, bukan main. Dan ketika See-ong muncul di balik Hek-kwi-sutnya dan tertawa bergelak maka Togur tertawa menahan kekagetan hatinya.

"Kau luar biasa, kau hebat!"

"Ha-ha, tak usah memuji. Kaupun hebat, Togur. Kalau tidak melihat sendiri tentu aku tak percaya. Sudahlah, mana muridku dan hentikan ribut-ribut diluar!"

Togur memberi tanda. Keempat gurunya yang ada disitu sudah berkelebat dan berteriak menyuruh pertempuran diluar berhenti. Siang Le yang dikeroyok ratusan orang tertahan oleh majunya satu di antara guru-guru Togur. Dia bertahan tapi terdesak. Dan ketika dia pucat mengelak sana-sini sementara hujan senjata atau panah mengacaunya dari segala jurusan maka saat itulah nenek Naga berkelebat dan menyuruh yang bertanding berhenti.

"Jangan menyerang. Kita semua kawan!"

Siauw-jin, yang ada disini terkejut. Dia tadi menahan lajunya murid See-ong ini dan diam-diam kebat-kebit karena takut raja iblis itu muncul. Kalau See-ong datang dan keempat temannya yang lain tak dapat menghadang kakek itu dan muridnya yang lihai juga terdesak tentu keadaan berbahaya bagi mereka. Kakek ini cemas karena pertandingannya dengan Thai Liong masih membekas kuat.

Kekalahan muridnya di tangan putera Pendekar Rambut Emas itu masih berlalu dalam beberapa hari saja. Sesuatu yang mengguncangkan cepat menjadikan orang mudah kaget dan was-was, takut. Namun ketika nenek Naga berseru bahwa semua adalah kawan maka kakek ini berhenti juga dan berturut-turut muncul bayangan Togur dan lain-lain.

"Siang Le adalah sahabat. Togur telah mengikat persahabatan dengan See-ong dan kita tak boleh saling menyerang!"

"Mengikat persahabatan? Maksudmu...."

"Benar, See-ong tak lagi marah kepada kita, Siauw-jin. Murid kita telah memberikan separuh pasukannya kepada kakek itu. Kita semua kawan!"

Siauw-jin terbengong-bengong. Dia kaget tapi juga heran mendengar semuanya itu. Tapi ketika Toa-ci berbisik bahwa Togur telah menukar jiwa mereka dengan separuh pasukan dan kini kakek itu memimpin bersama Togur maka Siauw-jin terkejut tapi juga gembira.

"Jangan ribut-ribut. Kita semua telah bebas dari cengkeraman kakek itu. Kita tetap bersama Togur. Kau tak perlu takut lagi dan kita semua tak perlu cemas. Togur dan See-ong seimbang!"

"Ah, ha-ha!" Siauw-jin tertawa bergelak, girang. "Begitukah kiranya, Toa-ci? Kita bebas dari kejaran See-ong?"

"Ya!" sebuah suara tiba-tiba mengejutkan kakek ini. "Kalian bebas, Siauw-jin. Kalau saja bukan berkat kepandaian murid kalian tentu tak semudah ini kalian bebas dariku.... dess!"

Siauw-jin mencelat, tahu-tahu disambar sebuah bayangan hitam dan See-ong muncul disitu. Tadi kakak ini bersembunyi di balik Hek-kwi-sutnya dan muncul seperti iblis. See-ong memang iblis! Dan ketika kakek itu berteriak tapi tidak apa-apa, bergulingan meloncat bangun maka See-ong sudah berkelebat ke arah muridnya dan menyambar muridnya itu.

"Jangan menyerang, kita kawan. Togur telah memberikan separuh pasukannya untuk kita!"

Siang Le bermandi keringat. Menghadapi Siauw-jin yang lihai dia cukup kerepotan juga. Kakek itu dibantu ratusan orang yang mengacau dengan hujan panah atau tombak, dia tak takut dan terus melawan. Tapi begitu gurunya muncul dan memberi tahu bahwa mereka kawan, hal yang mengherankan dan mengejutkan pemuda ini maka Siang Le terbelalak memandang gurunya, seolah tak percaya.

"Apa? Suhu tak membekuk iblis-iblis itu? Suhu membiarkan saja Siauw-jin dan kawan-kawannya itu?"

"Sudahlah," sang guru mengibas. "Bocah itu menjadi batu sandunganku, Siang Le. Togur benar-benar lihai dan amat hebat sekali. Kami bertanding dan tak ada yang kalah atau menang!"

Siang Le mendelong. Memang dia sudah mendengar akan kehebatan pemuda tinggi besar itu, yang katanya dapat mengalahkan guru-gurunya sendiri hingga semua gurunya tunduk, bahkan kini menjadi pembantu pemuda itu dan diperkuda seolah pelayan dan majikannya. Tapi ketika pemuda ini bengong maka Togur berkelebat dan pemuda itu sudah tertawa di depannya.

"Siang Le, tak usah heran. Aku dan gurumu setanding. Ha-ha, kami sahabat. Kelima guruku telah kutukar dengan separuh pasukan ini!"

Lalu, ketika Siang Le melotot tapi tak dihiraukan lawannya itu Togur sudah menghadapi pasukannya, berseru dengan suara lantang bahwa mulai hari itu mereka dipecah menjadi dua, memiliki dua pemimpin. Satu oleh dirinya sendiri sedang yang lain oleh kakek tinggi besar ini, meskipun mereka masih tetap dalam satu panji dan wadah yang sama. Dan ketika pemuda itu menutup sambil menuding See-ong maka Togur berseru,

"Lihat, inilah See-ong, kakek gagah perkasa itu. Siapa membangkang padanya sama halnya membangkang kepadaku. Kalian harus tunduk dan taat kepadanya!"

See-ong tersenyum-senyum. Togur langsung membagi pasukannya menjadi dua. Horok dan Ramba mengikuti kakek itu, berikut Cucigawa. Dan ketika ribuan orang menjadi tertegun karena secepat itu nasib mereka dirubah maka See-ong tertawa bergelak menerima penghormatan pasukannya, atas perintah Togur.

"Hei, nanti dulu. Yang menjadi pemimpin disini bukanlah aku, tetapi muridku. Lihatlah padanya dan beri hormat padanya!"

Siang Le terkejut. Lima ribu orang yang tercengang tapi juga terkejut segera dibentak kakek itu agar memberikan hormat padanya. See-ong sendiri menolak karena dia tak bermaksud menjadi pemimpin disitu. Togur juga tercengang dan terkejut. Tapi ketika kakek itu berkata bahwa tua bangka macam dirinya tak patut menjadi pemimpin maka Togur tersenyum mengangguk-angguk mengerti.

"Aku sudah tua, tak berambisi menjadi penguasa. Kalau kekuasaan itu diberikan padaku biarlah sekarang juga kulimpahkan pada muridku. Nah, ketahuilah dan harap kalian mengerti!"

Siang Le gugup dan merah mukanya. Dia segera menerima penghormatan separuh pasukan yang besar jumlahnya. Hal inipun tak disangkanya tapi tak dapat ia menolak. Gurunya sudah berkata seperti itu dan dia seakan disudutkan. Dan ketika Togur tertawa bergelak dan ikut memberi hormat padanya maka Siang Le tersipu dan buru-buru mengangkat tangannya, melirik dan diam-diam mendongkol pada gurunya.

"Sudahlah, aku tak menyangka semuanya ini. Guruku memang aneh dan terlalu. Terima kasih!"

Semua orang diliputi kebengongan. Sikap Siang Le yang dingin dan acuh saja membuat mereka melengak. Menjadi pemimpin pasukan demikian besar tidaklah gampang. Pemuda itu seolah menerima berkah dari langit tapi dingin-dingin saja, bukan main. Hal yang mengherankan semua orang. Tapi ketika hari itu keributan sudah berakhir dan pasukan girang karena memiliki dua pemimpin yang sama-sama hebat, pemimpin yang diharap dapat menghadapi orang-orang lihai seperti Thai Liong atau Pendekar Rambut Emas maka semuanya mundur dan kembali ke tempat masing-masing setelah dibubarkan Togura.

Hari itu tanpa dinyana Siang Le malah memimpin setengah dari pasukan liar. Gurunya tertawa-tawa dan tidak perduli akan sikap muridnya yang dingin. Dan ketika pasukan dipecah meskipun tetap dalam satu panji atau bendera yang sama maka malam harinya Siang Le duduk cemberut di depan gurunya.

* * * * * * * *

"Suhu terlalu, sungguh terlalu!" demikian pemuda itu menegur gurunya dalam satu omelan pendek. "Kenapa malah bergabung dan membantu Togura itu? Bagaimana suhu tiba-tiba berubah begini?"

"Wah!" sang guru melotot. "Kau bodoh Siang Le, kau tak tahu artinya siasat! Kau seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa!"

"Hm, apa maksud suhu? Bukankah kedatangan suhu kemari adalah hendak menangkap bekas pembantu-pembantu suhu itu? Kenapa malah membebaskannya dan tidak membekuk lawan yang sudah di depan hidung?"

"Ha-ha, inilah anak yang tidak tahu tingginya langit dalamnya bumi. Weh! Bocah bernama Togur itu hebat sekali, Siang Le, dan aku tak dapat mengalahkannya. Dia memiliki Khi-bal-sin-kang, juga Jing-sian-eng. Bocah keparat itu mendapatkan ilmunya dari mencuri dari mendiang Hu-taihiap. Dia lihai dan berbahaya, dan aku mendapat saingan berat dari bocah ini.... hm-hmm!"

See-ong mengurut-urut jenggotnya, seminggu ini tidak mencukur dan matanya yang bersinar-sinar itu tampak jengkel dan geram. Ada sorot kebencian tapi juga kagum di mata ini, sorot seorang tokoh tua terhadap seorang tokoh muda, yang agaknya sedang 'naik daun' dan memang pantas dikagumi. Dan ketika Siang Le mengerutkan kening dan mengeluarkan suara mengejek dari hidung maka gurunya melotot dan berseru,

"Jangan bersikap sok. Aku lihat inilah pilihan paling baik dimana aku dapat mengangkat tinggi-tinggi derajatmu!"

"Apa maksud suhu?"

"Dengarkan. Bocah itu amat lihai, Siang Le. Aku tak dapat merobohkannya meskipun dia juga tak dapat merobohkan aku. Kami seri, berimbang. Dan karena dia menawarkan sebuah persahabatan dimana separuh dari pasukan ini diserahkan kepadaku maka timbul niatku untuk mengangkat tinggi-tinggi derajatmu sebagai orang yang hebat. Aku ingin mengangkatmu sebagai kaisar!"

"Suhu gila?" Siang Le terkejut, melonjak dari kursinya. "Suhu mau...."

"Dengar!" sang guru menyambar pundak sang murid, menekan agar Siang Le duduk kembali. "Aku tak mau kalah dengan pemuda itu, Siang Le. Dan aku terus terang kecewa padamu! Kenapa kau tidak sehebat dan seambisi Togura itu? Kenapa kau demikian lemah dan melempem seperti layaknya pemuda tak bersemangat? Lihat, sebagai murid enam Iblis Dunia bocah itu menunjukkan jati dirinya, Siang Le. Dia sungguh pantas sebagai murid orang-orang sesat dan kelak menggantikan kita-kita ini yang harus masuk liang kubur! Kau tak pantas bersikap dingin begini karena kau adalah murid See-ong, si Raja Iblis! Kau harus menunjukkan watak dan semangat seperti pemuda itu, bukan melempem dan tidak bersemangat begini!"

"Aku tak butuh nama besar, aku tak ingin menjadi raja!"

"Goblok! Itulah satu di antara sekian watakmu yang mengecewakan aku, Siang Le. Sebagai murid dari seorang tokoh macam aku seharusnya kau menunjukkan keberingasan dan kekejaman sebagaimana layaknya murid seorang sesat. Tapi kau lain, kau seperti perempuan dan bukannya laki-laki! Hah, kau tak boleh menolak rencananku dan niat ini timbul setelah aku melihat kehebatan si Togura itu!"

"Suhu mau apa?"

"Sudah kubilang ingin menjadikan dirimu sebagai kaisar. Aku ingin mempergunakan kesempatan dan ambisi serta serbuan pemuda itu untuk mengangkat naik dirimu, merebut dan menyerang kota raja, melempar kaisarnya!"

"Dan suhu mau memberontak? Ikut-ikutan menjadi pengkhianat dan melawan pemerintah?"

"Bodoh! Aku selamanya tak ada hubungan dengan pemerintah, Siang Le. Aku adalah orang bebas dan tokoh yang hidup sendiri. Aku tak terikat!"

"Tapi suhu hidup di negeri ini, suhu makan minum di negeri ini. Dan suhu orang Han!"

"Hm, aku tergelitik setelah melihat sepak terjang pemuda itu, Siang Le. Dan sudah kubilang bahwa semuanya ini kulakukan untukmu, bukan untukku!"

"Benar, tapi... ah!" Siang Le bangkit berdiri. "Aku tak setuju semuanya ini, suhu. Kita selamanya tak pernah bermusuhan dengan kaisar pula. Aku tak ingin menjadi kaisar, aku tak ingin merebut kekuasaan!"

"Inilah yang menggemaskan aku!" See-ong mulai gusar. "Kau selamanya tak sejalan dengan gurumu, Siang Le. Kau selalu menentang dan tak pernah sependapat dengan aku. Mana itu ciri-ciri dirimu sebagai murid seorang tokoh sesat? Mana itu kekejaman dan kelicikan yang seharusnya dipunyai seorang murid tokoh sesat? Kau menjengkelkan, Siang Le. Kau selamanya ingin membuat aku marah. Sungguh aku kecewa melihat dirimu ini yang berbeda jauh dengan si Togura itu. Kau tak mengangkat nama gurumu melainkan malah sebaliknya membuat malu gurumu!"

See-ong menghantam pecah ujung permukaan meja, melotot dan merah padam memandang muridnya itu dan Siang Le tertegun sejenak. Pemuda ini melihat sinar mata gurunya yang berapi-api dan mendadak dia menarik napas. Dan ketika dia menunduk dan memegang tangan suhunya itu maka pemuda ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu, aku tahu kau kecewa sekali kepadaku. Tapi inilah watakku, pembawaanku. Sudah kubilang berkali-kali bahwa aku tak dapat melakukan sepak terjang yang jahat. Aku tak dapat melakukan seperti apa yang biasa kau lakukan. Bahkan, berkali-kali aku menentangmu. Maaf, aku memang mengecewakan, suhu. Kalau kau tak suka padaku lebih baik bunuhlah aku daripada membuat marah saja. Aku sadar budi kebaikanmu yang besar, dan aku tak ingin mengecewakanmu. Aku siap mati di tanganmu!"

See-ong tergetar. Setelah muridnya bicara dan berlutut seperti itu mendadak saja dia sadar. Memang muridnya ini tak pernah sejalan dengannya. Artinya, apa yang dia lakukan dan jalani sehari-hari tak pernah ditiru muridnya ini. Keganasan dan kekejamannya tak pernah dicontoh muridnya. Siang Le baik dan selalu menentang apa yang dirasa tak cocok di hati. Pemuda ini lebih pantas menjadi murid seorang pendekar daripada dirinya yang tokoh sesat! Dan ketika See-ong tertegun dan menjublak memandang muridnya itu tiba-tiba dilihatnya mata Siang Le yang berlinang, membuat dia terkejut dan tiba-tiba terharu, menyambar dan mencengkeram muridnya itu mengangkat bangun.

"Cengeng, jangan menangis! Bersikaplah keras dan tegas sebagaimana layaknya laki-laki!"

Namun See-ong diam-diam mengusap dua titik air matanya. Lucu! Kakek ini membentak muridnya agar tidak menangis namun dia sendiri ternyata juga menitikkan air mata oleh keharuan. See-ong si kakek iblis tak tahan juga oleh keharuan hatinya ini. Dan ketika kakek itu membentak sementara Siang Le diangkat bangun maka pemuda ini duduk dengan lesu di muka gurunya.

"Aku tak dapat menyenangkan hatimu, aku selalu mengecewakan..."

"Sudahlah," gurunya memotong. "Kau selamanya begitu, Siang Le. Tapi kali ini kau tentu akan berusaha menyenangkan hati gurumu, bukan?"

"Aku enggan membantu Togur...."

"Bukan membantu Togur, melainkan membantu gurumu! Aku ingin mengangkat namamu dalam serbuan besar-besaran ini, dan kuminta kau tidak menolak! Lihat, bangka macam gurumu ini tak mungkin hidup lebih lama di dunia, Siang Le. Kau puaskanlah hati gurumu dengan menurut apa yang kurencanakan. Aku ingin menunggangi maksud dan ambisi si Togur itu untuk kepentingan kita. Aku ingin melaksanakan serbuan besar-besaran untuk mengenyahkan kaisar. Dan kalau kita sudah berhasil maka aku ingin melihat kau menduduki kursi singgasana itu dan menjadi manusia agung!"

"Aku tak bernafsu, suhu..."

"Ah, kau selamanya begitu. Tapi sekali ini tidak! Kau harus mengikuti gurumu atau aku bakal mati tak meram kalau kau selalu mengecewakan hatiku! Heh, mana itu balas budimu kepada gurumu, Siang Le? Bukankah kau ingin membalas semua kebaikanku kepadamu? Nah, jangan membantah lagi, kau turutlah kata-kataku dan besok kita menyerbu selatan!"

Siang Le mengerutkan kening.

"Kau tak setuju?"

"Hm....!" pemuda ini yang menarik napas dalam. "Banyak hal-hal yang tak kusetuju kalau menyangkut sepak terjangmu, suhu. Tapi karena kau sudah membawa-bawa tentang balas budi baiklah, aku akhirnya setuju."

"Ha-ha, begitu bagus! Kau selamanya akan mengalah kalau sudah kusebut-sebut tentang balas budi itu. Dan sekarang satu lagi permintaanku. Kau harus mempelajari Hek-kwi-sut!"

"Tidak!" Siang Le tiba-tiba terlonjak, kaget meloncat bangun. "Aku tak suka mempelajari ilmumu itu, suhu. Hek-kwi-sut terlampau keji bagiku karena harus bertapa di atas sepuluh mayat! Aku tak suka, aku tak mau mewarisi ilmumu itu!"

"Hm, jangan bodoh. Lihat kepandaianmu sekarang ini, Siang Le. Betapa kau tak mungkin menang dengan si Togura itu. Menghadapi Siauw-jin atau kawan-kawannya saja kau tentu susah, lebih baik latihlah ini untuk keselamatan dirimu juga!"

"Tapi aku tak suka, suhu. Ilmu itu terlampau keji!"

"Siapa bilang? Keji atau tidak hanya pandangan orang lain, Siang Le. Masih ada hal-hal yang lebih keji dan jahat lagi daripada melatih ilmu ini. Kau akan tahu kelak!"

"Tapi aku tetap tidak suka...."

"Kau harus suka! Kau tak boleh memalukan aku kalau tak ingin pecundang oleh Togura itu!"

"Hm, memaksakan ilmu kepada orang yang tidak mau tak akan membawa hasil baik, suhu. Kau tahu itu dan tak usah bersikeras. Aku tidak cocok dan justeru muak dengan Hek-kwi-sutmu itu!"

"Keparat! Kau demikian sombong dan sok suci? Kau tak ingat budi gurumu ini yang telah membesarkan dan mendidikmu?"

"Suhu," Siang Le tiba-tiba bersikap keras. "Kalau berkali-kali kau menyinggung-nyinggung tentang balas budi maka kukatakan di sini tak ada yang lebih berharga lagi untuk membalas budimu itu selain nyawaku. Nah, ambillah itu dan bunuhlah aku, agar hutang budiku impas!"

"Kau...?" See-ong terkejut. "Berani seperti itu? Kau bilang begitu kepada gurumu? Keparat, kalau saja aku memiliki murid yang lain tentu kau benar-benar kubunuh, Siang Le. Tapi karena muridku hanya kau seorang biarlah kau berbangga hati dengan menentang gurumu....plak-plak!"

See-ong melompat, gusar menampar muridnya dua kali dan terpelantinglah pemuda itu oleh kemarahan gurunya. See-ong berkelebat dan menyumpah-nyumpah meninggalkan muridnya itu. Dan ketika Siang Le bangun terhuyung dan mengusap bekas tamparan gurunya maka di sana See-ong gemas dan marah tercampur dongkol. Kalau saja Siang Le tak disayangnya begitu rupa barangkali dia benar-benar akan membunuh muridnya itu.

Tapi, ah.... Siang Le adalah murid yang amat dicinta. Ada sesuatu yang mengagumkan hatinya dari muridnya itu. Ada sesuatu yang lain daripada yang lain yang dimiliki muridnya itu. Siang Le muridnya yang patuh dan setia pada kebenaran, menentang dan selalu akan menolak pada ketidakbenaran. Aneh, dia seorang tokoh sesat bisa memiliki murid macam itu, padahal biasanya seorang murid akan mencontoh dan mengikuti sepak terjang gurunya. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan dia selalu kalah?

Sudah bukan sekali dua ini dia selalu mengalah pada muridnya. Kalau dia sudah bersikeras dan bersikap memaksa maka muridnya itu selalu minta dibunuh, siap menyerahkan nyawa. Berkata bahwa itulah satu-satunya 'benda' berharga yang pantas dipakai untuk penukar budi kebaikan gurunya. Keparat, Siang Le selalu mempergunakan itu sebagai senjata, dan dia selalu tak berkutik. Mati kutu! Murid macam apa ini namanya? Bukankah murid yang kurang ajar dan patut dibunuh?

Tapi tidak. Dia justeru akan selalu tertegun dan mengalah kalau sudah begitu. Ada semacam kekaguman dan rasa hangat di hati. Muridnya ini pemuda baik-baik yang tak seperti dirinya. Tak mau melakukan kejahatan atau kesesatan layaknya murid seorang datuk. Muridnya itu memang istimewa! Dan ketika See-ong mengumpat caci namun diam-diam kagum dan juga bingung maka di tempat lain Togur bersidang dengan guru-gurunya.

"Kau gegabah, terlampau tergesa-gesa. Kenapa menyerahkan separuh pasukan kita kepada See-ong, Togur? Apakah tidak berakibat buruk di kelak kemudian hari?" Cam-kong, gurunya yang tinggi kurus menegur. Cam-kong memang lega terlepas dari tangan See-ong namun dia tak puas melihat muridnya membagi pasukan. Separuh dari pasukan yang ada tak kurang dari lima ribu jumlahnya. Kalau itu dipecah maka kekuatan mereka berkurang, ini tak baik bagi sebuah pasukan besar, yang kini mempunyai dua orang pimpinan.

Tapi ketika Togur tertawa dan menoleh pada gurunya itu maka pemuda ini menggeleng. "Suhu, kau penakut. Memangnya apa yang dapat diperbuat See-ong meskipun dia memiliki separuh dari pasukan kita? Apa yang dapat dia lakukan? Cucigawa dan para pembantunya yang kutaruh di sana tak mungkin sepenuhnya membantu kakek itu, suhu. Kalau See-ong hendak menyerang dan menguasai kita umpamanya maka Cucigawa dan para pembantunya itu tak mungkin patuh. Mereka orang-orang kita, dan kita tetap dapat memakainya meskipun di kubu See-ong!"

"Aku tak mengerti..."

"Kau selamanya tak mengerti. Ha-ha, tanya saja pada suhu Hek-bong Siauw-jin!"

Cam-kong melengak. Dia tak mengerti kata-kata muridnya ini tapi cepat menoleh pada Siauw-jin, rekannya yang cebol itu. Dan ketika si cebol tertawa dan terkekeh keras maka kakek pendek ini berseru,

"Cam-kong, masa kau tak mengerti? Kalau begitu lihatlah ini.... wut!" sebutir pil hitam dilempar kepada si tinggi kurus itu, diterima dan Cam-kong tertegun.

Tapi ketika kakek ini mengerti dan menyeringai lebar tiba-tiba dia berkata, "Ah, inikah kiranya? Cucigawa dan para pembantunya ini menelan pil Maut?"

"Ha-ha, sekarang kau mengerti? Bebal amat, tak cepat tanggap!"

"Weh, ini tentu kerjaanmu, Siauw-jin. Kalau dari tadi kulihat pil ini tentu aku mengerti. Ah, sungguh murid kita bocah yang pintar!"

"Dan kita tak usah takut. Kakek iblis itu sudah mendapat lawan setanding dengan murid kita!"

"Ya, tapi betapapun kita harus berhati-hati. Kalau kita sendirian dan tidak selalu dekat dengan murid kita ini tentu kita celaka!"

"Tak usah ketakutan," Togur tertawa. "See-ong tak berani melakukan itu, suhu. Kalau dia melanggar tentu akupun dapat menangkap muridnya. Sudahlah, kalian percaya padaku dan tak perlu takut!"

Semua menyeringai. Tiba-tiba mereka merasa bahwa keselamatan dan nyawa mereka betul-betul di tangan muridnya ini. Tanpa Togur tentu mereka sudah dihajar See-ong, mungkin dibunuh. Dan karena murid mereka betul-betul lihai dan terbukti dapat mengimbangi See-ong maka mereka bertanya apa yang selanjutnya hendak dilakukan pemuda itu.

"Kita menyerbu ke selatan, membalas kegagalan. Dan karena See-ong ada di sini maka tak perlu kita takut lagi kalau Pendekar Rambut Emas muncul!"

"Tapi Thai Liong..." Toa-ci tiba-tiba merasa ngeri. "Bocah itu selihai bapaknya, Togur. Dan kau tahu bahwa diapun bukan lawanmu!"

"Aku akan membagi tugas," pemuda ini berkerut kening. "See-ong dan muridnya dapat kugunakan, subo. Dan kalian juga jangan tinggal diam. Tapi kuharap ayah dan anak itu tak muncul bersama-sama."

"Kalau muncul juga?"

"Hm, memang repot. Tapi See-ong akan kusuruh menghadapi Pendekar Rambut Emas sementara Thai Liong akan kuhadapi bersama Siang Le, juga kalian berlima!"

"Tapi See-ong tak mungkin mau!" nenek Ji-moi kini tiba-tiba berseru. "Daripada menyuruh muridnya membantu orang lain tentu lebih baik muridnya disuruh membantu dirinya sendiri, Togur. Ingat ini dan jangan lupa!"

"Benar," nenek Naga kini mengangguk-angguk, menyambung. "Apa yang dikata Ji-moi betul, Togur. Jangan ambil gampangnya saja dan melupakan itu."

"Ah, kalian tak usah khawatir. Aku akan membuat jebakan kalau Thai Liong dan ayahnya muncul. Kita buat sumur yang dalam dan pancing mereka agar terjeblos di situ!"

"Kalau begitu di Palung Maut!" Siauw-jin tiba-tiba berseru. "Heh-heh, di sini paling tepat, Togur. Kalau kau ingin mengubur hidup-hidup dua ayah dan anak itu maka Palung Mautlah yang paling tepat. Semua gurumu pasti membantu!"

"Hm, Palung Maut? Di mana itu?"

"Tak jauh dari Sam-liong-to. Dan kami telah mengubur dua murid Hu Beng Kui yang sial. Ha-ha, tanya nenek Naga!"

Nenek Naga tersenyum. Akhirnya dia mengangguk dan berseri menceritakan itu, tentang Hauw Kam dan suhengnya yang dikubur dan dilempar ke Palung Maut, sebuah palung atau sumur yang amat dalam dimana tak mungkin ada manusia dapat menyelamatkan diri. Mereka terpaksa membuang dua orang itu karena Hauw Kam dan suhengnya dirasa tak membawa keuntungan lagi. Membawa-bawa mereka hanya menambah beban saja. Dan ketika Togur tersenyum dan bersinar-sinar mendengarkan itu maka dia setuju dan mengangguk.

"Hm, Kim-mou-eng memang merupakan duri bagiku. Selama dia masih hidup maka aku memang tak dapat tenang. Baiklah, Palung Maut kita siapkan dan kalian tunjukkan padaku nanti dimana tempat itu."

"Juga Thai Liong, kita masukkan sekalian!"

"Ha-ha, bukan hanya Thai Liong saja, suhu. Melainkan semua musuhku, yang berbahaya!"

"Dan See-ong!" nenek Naga tiba-tiba berseru. "Kakek itu juga berbahaya untukmu kelak, Togur. Memecah kekuatan disini saja sudah mengurangi kewibawaanmu sebagian. Kakek iblis itu juga harus dimasukkan daftar!"

Togur terkejut. Seperti diingatkan sesuatu mendadak dia menoleh dan berdehem, memandang subonya itu tapi kemudian tersenyum. Dan ketika dia mengangguk dan berkata perlahan maka dia menjawab, "Subo benar. See-ong juga berbahaya dan patut masuk daftar. Tapi sudahlah, tak perlu kalian ribut-ribut, subo. Siapa pun yang menjadi musuhku pasti sudah kuperhitungkan! Sekarang kalian tenang saja dan tiga hari lagi persiapkan diri kalian untuk melakukan serbuan lagi ke selatan. Kedudukan kita sekarang bertambah kuat karena See-ong ada di sini!"

"Dan kau tak khawatir kakek ini membuat sesuatu di tengah jalan? Dengan muridnya misalnya?"

"Hm, suhu maksudkan apa?"

"Aku takut See-ong dan muridnya bersimpang jalan, Togur. Karena kita sama tahu siapa pemuda itu!"

"Benar," Cam-kong kini bicara. "Bocah bernama Siang Le itu tak pantas menjadi murid gurunya, Togur. Pemuda ini terlalu lemah dan banci seperti perempuan. Belum pernah selama ini kulihat dia berbuat jahat!"

"Hm, kalian tak perlu khawatirkan itu. Aku dapat meraba keadaan. Sudahlah, sekarang kalian istirahat dan tiga hari lagi siapkan diri kalian untuk menyerbu selatan. Panggil para penari dan penghibur itu, suruh mereka bermain di sini!"

Siauw-jin terkekeh. Tiba-tiba mendahului temannya dia sudah berkelebat dan melaksanakan perintah itu, memanggil para penari dan penghibur yang dimaksud muridnya. Di tengah-tengah mereka memang terkumpul belasan para penari dan pemain musik, semuanya wanita, cantik-cantik. Terdiri dari campuran suku bermacam-macam karena Togur merampasnya dari mana-mana. Ada yang milik Cucigawa dan ada pula dari selir-selir raja liar, ketika Togur dan gurunya menaklukkan suku-suku bangsa di luar pedalaman. Dan ketika tak lama kemudian Siauw-jin sudah datang lagi dengan dua belas penari cantik dan penghibur yang berpakaian gemerlapan maka nenek Naga dan Toa-ci serta Ji-moi melengos, berkelebat pergi.

"Aku tak mau melihat pertunjukan ini. Biarlah Togur menikmati senang-senangnya!"

"Ha-ha!" iblis cebol itu terbahak. "Tak usah sakit hati melihat kaummu menjadi permainan Togur, nenek siluman. Kaupun di masa mudamu sering juga menghibur laki-laki!"

"Cuh!" nenek Naga meludah. "Siapa bilang? Jaga mulutmu, atau kutampar nanti!"

Dan ketika nenek itu pergi sementara Siauw-jin terkekeh-kekeh maka seorang di antaranya, yang tercantik dan berbaju merah sudah dilempar ke arah pemuda itu, ditangkap dan diterima.

"Ha-ha, apa kabar, Wi Ni? Kau tak rindu padaku? Hayo, menyanyilah, hibur aku dengan sebuah lagu indah! Dan kalian.... he!" Togur menuding yang lain. "Bermain musiklah yang merdu dan biarkan kedua guruku ikut bersenang-senang!"

Para wanita itu, yang sudah dilempar dan terhuyung di tengah ruangan lalu tersenyum dan terkekeh manis, tentu saja buatan karena mengeluh atau meratap di situ hanya akan menambah sengsara saja. Siauw-jin si kakek cebol meremas-remas mereka tadi dan tak ada di antara mereka yang berani menolak.

Berminggu-minggu atau berbulan-bulan mengikuti pasukan besar ini dan harus melayani Togur serta dua gurunya adalah hal yang dianggap biasa adanya, kalau mereka tak ingin mati. Dan ketika Wi Ni, si cantik berpakaian merah sudah dicium dan diremas tubuhnya maka musikpun ditabuh dan Wi Ni menyanyi, tersenyum dan melenggak-lenggokkan tubuhnya dan Togur tertawa gembira. Dalam keadaan seperti itu tak ada jalan lain untuk mengendorkan ketegangan selain mencari dan mendapatkan hiburan, mendengarkan lagu-lagu indah serta suara merdu Wi Ni. Gadis atau wanita baju merah ini sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan ketika Siauw-jin terkekeh-kekeh dan meminta arak pada wanita yang lain maka Cam-kong menyeringai dan bangkit nafsunya.

"Hayo, bersenang-senang, Cam-kong. Atau kau pergi dan mendengkur di kamarmu, sendirian!"

"Heh-heh, siapa mau? Jelek-jelek kau sudah mengajari aku, Siauw-jin. Kalau Togur sudah memperkenankan kita tak baik menolek rejeki. Marilah, berikan seorang dan biarkan aku bersenang-senang!"

Siauw-jin terbahak. Kalau sudah begitu maka dia akan melempar seorang penari yang sudah dilirik temannya ini. Cam-kong menerima seorang wanita baju hijau dan menjeritlah wanita itu ketika dilempar ke arah kakek ini. Cam-kong adalah kakek tinggi kurus yang tentu saja tak menyenangkan mukanya. Kakek ini bermuka pucat dan penampilannya pun dingin. Tapi ketika dia disambar dan dipeluk kakek itu maka Cam-kong dapat juga tertawa, berbisik,

"A-cheng, kau sudah pernah melayaniku, bukan? Nah, marilah. Kita berjoget sebentar dan setelah itu masuk kamar!"

"Ih!" si cantik ngeri. "Jangan terlampau keras mencengkeram tubuhku, locianpwe. Aduh, kendorkan sedikit!"

"Ha-ha, kalau begitu boleh. Tapi aku sudah tak tahan melihat kulit tubuhmu yang halus...bret!" dan Cam-kong yang merenggut serta merobek baju pundak lawannya lalu terkekeh dan menyambar gadis ini kembali, menciumi dan mendengus-dengus dan A-cheng, gadis itu, terpaksa menyambut.

Menolak dan bahkan bersikap jijik terhadap kakek iblis ini amatlah berbahaya. Dia dulu pernah dibanting dan dihajar pingsan. Maka ketika Cam-kong meremas dan mencium mulutnya tiba-tiba gadis ini membiarkan dan pura-pura menyambut, menahan napas dan muntahnya karena hampir saja dia tak kuat menahan bau busuk yang keluar dari mulut kakek itu. Cam-kong agaknya iblis yang tak pernah membersihkan mulut, juga jarang sekali mandi!

Dan ketika gadis itu ah-uh-ah-uh menggeliat dan mengerang menahan takut maka temannya yang lain sudah disambar Siauw-jin pula, ditubruk dan diremas dan bau arak segera menguar di ruangan itu. Togur sendiri tertawa-tawa melihat tingkat dua gurunya. Masing-masing kakek yang rupanya ingin menjadi muda kembali dan penuh semangat, mulai menari dan mengikuti irama musik. Dan ketika musik ditabuh semakin panas dan dua gurunya itupun agaknya semakin bergairah maka Siauw-jin sudah membelejeti pakaian penarinya hingga telanjang.

"Hayo, ha-ha! Hayo menari dan tanggalkan pakaian kalian. Tunjukkan kepada kami tarian Puteri Ular!"

Cam-kong tertawa aneh. Dia sendiri juga sudah merenggut semua baju A-cheng hingga gadis itu telanjang bulat. Tubuh yang mulus putih sungguh menggetarkan setiap lelaki yang melihatnya. Gadis itu menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terpenting tapi Cam-kong malah tertawa-tawa menyibaknya. Ruangan menjadi hingar-bingar karena wanita-wanita itu menjerit oleh tingkah Siauw-jin yang melompat-lompat kegirangan. Sebentar kakek ini colek sana-sini dan menyuruh yang lain membuka pakaian.

Lampu yang semula terang-benderang tiba-tiba dimatikan sebelah, suasana menjadi remang-remang namun itulah kesukaan mereka bila sudah mulai berpesta gila. Seperti inilah biasanya nafsu mereka bangkit kalau sudah dirangsang seperti itu. Tapi ketika Siauw-jin terbahak-bahak sementara Cam-kong terkekeh melempar-lempar A-cheng ke atas mendadak Togur berkelebat dan berseru pada kakek cebol itu,

"Suhu, tahan sebentar nafsumu. Panggil See-ong atau muridnya kemari!"

Siauw-jin terkejut. Dua belas wanita itu sudah tak berpakaian lagi karena mereka menari sambil memainkan alat musik tiada ubahnya bayi-bayi polos yang baru lahir ke dunia. Nafsunya sudah menggelegak dan sebentar-sebentar kakek ini menenggak arak seraya menyambar tubuh-tubuh penari itu dengan tawanya yang serak parau. Tapi begitu muridnya datang mengganggu dan memerintahkan dia untuk memanggil See-ong atau Siang Le tiba-tiba kakek ini melempar seorang penari yang baru saja dicubit ketiaknya, bukan cubit sembarang cubit melainkan sebuah cubitan yang mengarah pada siksaan, sebagai pelampias dongkol atau marah akibat perintah itu.

"Aduhh...!"

Siauw-jin terbahak-bahak. Penari yang dicubit itu menjerit dan tentu saja berteriak kesakitan. Kakek ini tak berani membalas Togur dan wanita itulah yang menjadi gantinya. Dan ketika wanita itu ditendang mencelat sementara suara musik juga mulai kacau karena kakek ini kelihatan beringas maka Siauw-jin berkelebat keluar sambil membetulkan celananya yang kedodoran, tak lama kemudian sudah datang lagi dengan membawa Siang Le. See-ong tak ditemukan dan kakek itu berkata pada Siang Le bahwa Togur mengundangnya. Ribut-ribut di ruangan itu memang menarik perhatian pemuda ini. Tapi begitu Siang Le melihat wanita-wanita yang telanjang bulat tiba-tiba saja dia terkejut dan marah sekali.

"Keparat, untuk apa kau membawaku kemari, Siauw-jin? Kau menghinaku?"

"Ha-ha, sabar. Yang memanggilmu adalah Togur, bocah, bukan aku. Kau akan diajaknya bersenang-senang dan marilah masuk ke dalam!"

"Bedebah, terkutuk. Aku tak mau!" namun Siang Le yang melompat dan mau pergi dari tempat itu tiba-tiba mendengar jerit tertahan dari seorang penari, melihat dilemparnya sesosok tubuh ke arahnya dan itulah perbuatan Togur.

Pemuda ini berseru agar Siang Le berhenti dulu sebentar, wanita itu dilempar dan akan terbanting kalau Siang Le tidak menangkapnya. Paling tidak wanita itu akan pingsan, salah-salah luka parah! Dan ketika Siang Le terkejut dan tentu saja menangkap tubuh itu untuk menyelamatkan wanita ini maka tubuh-tubuh yang lain mendadak beterbangan ke arahnya.

"Ha-ha, jangan pergi, Siang Le. Aku mengundangmu baik-baik untuk menikmati pertunjukan ini. Marilah, masuk dan bawa mereka kembali ke dalam!"

Siang Le merah padam. Tubuh-tubuh telanjang yang dilemparkan kepadanya tak kurang dari tujuh orang itu tentu saja membuat pemuda ini panas dingin. Siang Le belum pernah melihat wanita telanjang sebanyak itu, tujuh diluar dan masih lima di dalam. Rata-rata memiliki tubuh-tubuh yang menggairahkan dan kencang serta berisi. Tak tahan dia! Dan karena Siang Le segera maklum bahwa dia hendak dijebak ke dalam sebuah perbuatan kotor tiba-tiba pemuda ini membentak dan melempar wanita terakhir pada Togur. Lalu begitu Togur menangkap dan menerimanya mendadak pemuda ini sudah berkelebat dan menyerang pemuda itu!

"Togur, aku bukan pemuda hidung belang. Kalau kau menghinaku dan hendak memaksa agar aku mempermainkan wanita-wanita ini kau salah besar. Mampuslah!"

Togur mengelak. Dia terkejut tapi segera tertawa ketika serangan-serangan lain susul-menyusul. Tentu saja dengan mudah dia menghindari serangan lawannya itu. Dan ketika satu serangan kilat tak dapat dielak kecuali ditangkis maka Togur sudah mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan tertawa berkata, mengejek, "Sudahlah, kalau kau tak suka silahkan pergi. Kita bukan musuh.... duk!"

Dan Siang Le yang terpental serta berjungkir balik ke belakang lalu dihadang Siauw-jin dan Cam-kong. Dua iblis itu cepat melindungi Togur karena itu tugas mereka. Dan ketika Siang Le marah-marah dan Cam-kong membujuk agar pemuda itu keluar baik-baik maka Siang Le justeru membentak dan menyerang kakek ini.

"Kau pun keparat! Kalian semua iblis, Cam-kong. Bedebah!"

Cam-kong menangkis. Suasana menjadi ribut karena Siang Le mengamuk. Pemuda itu gusar dan menyerang kakek ini. Tapi ketika Cam-kong menangkis serangan-serangannya dan Siauw-jin maju sambil tertawa lebar maka Siang Le terdesak dan tentu saja bukan tandingan dua kakek ini, yang maju berbareng dan masing-masing mengerahkan kepandaiannya. Siang Le terdesak dan terus terdesak, akhirnya menerima satu pukulan keras dan pemuda itu mengeluh. Dan ketika dia terlempar dan Cam-kong membujuk agar dia keluar baik-baik, disertai maaf dan sikap hormat mereka berdua maka Siang Le terhuyung melotot pada mereka, tahu diri.

"Baiklah, aku mau keluar. Tapi kalian harus mencium kakiku sebagai tanda maaf!"

Siauw-jin terkejut. Kakek ini terbelalak dan merah mukanya. Tapi karena Togur tertawa dan menyuruh mereka melakukan itu, tak mau ribut-ribut karena See-ong ada di belakang pemuda ini maka Siauw-jin berlutut dan apa boleh buat mencium kaki Siang Le, begitu juga Cam-kong!

"Nah, lain kali jangan main-main denganku. Atau aku akan bersikap lebih kejam kepada kalian!"

Dua kakek itu melotot. Mereka menahan gusar tapi tak berani macam-macam lagi ketika Siang Le melompat pergi. Togur tertawa merasa geli kepada dua gurunya ini yang marah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia suka sekali tak merasa kasihan, bahkan mentertawakan dua gurunya itu. Dan ketika pesta dilanjutkan lagi dan dua kakek ini melepas geram kepada penari-penari cantik yang tadi sejenak tertegun dan membelalakkan mata maka Siang Le berkelebat dan sudah keluar dari ruangan itu.

Pemuda ini merah padam dan berkerot gigi. Dia tadi didatangi Siauw-jin dan diajak ke tempat itu, katanya dipanggil Togura untuk suatu keperluan penting. Tentu saja dia tak menduga bahwa dia bakal disuguhi belasan penari telanjang bulat dan ingin diajak serta untuk melakukan kecabulan disitu. Togur memang sudah didengarnya sebagai pemuda bejat yang suka mempermainkan wanita. Dia marah dan tentu saja menolak.

Dan ketika pemuda ini berkelebat dan mengutuk serta mengepal tinju tiba-tiba didengarnya rintihan dan kekeh aneh di balik gerumbul sebelah kiri. Apa yang terjadi? Siang Le ingin tahu. Dia menahan langkahnya untuk berbelok ke tempat itu. Tapi begitu dia melihat apa yang terjadi tiba-tiba Siang Le mengutuk dan mengumpat caci.

Apa yang dilihat? Bergumulnya nenek Naga dengan seorang perajurit muda yang sedang birahi! Nenek itu terkekeh-kekeh dan bermain cinta dengan seorang perajurit muda yang disuruhnya melayani, tentu saja mempergunakan kepandaiannya dan nenek itu mencekoki pula obat perangsang. Tanpa begini tak mungkin perajurit muda itu bangkit nafsunya. Nenek ini sudah kempong peyot, mukanya penuh keriput. Siapa mau melayani kalau tidak dipaksa dengan obat atau kepandaiannya?

Dan ketika Siang Le tahu itu dan tentu saja meninggalkan tempat menjijikkan itu sambil memaki si nenek maka di tempat-tempat yang lain dia melihat pula Toa-ci dan Ji-moi melakukan hal yang sama. Rupanya, melampiaskan kegeraman dan benci mereka melihat Siauw-jin dan Cam-kong mempermainkan penari-penari cantik maka tiga orang nenek ini ganti mempermainkan tiga laki-laki muda sebagai balas dendam.

Hal itulah yang dilihat Siang Le dan tentu saja pemuda ini semakin muak. Apa yang dilihat sungguh tokoh-tokoh yang amat jahat. Baik Togur maupun guru-gurunya sama-sama orang yang tidak kenal malu. Dan ketika pemuda itu meninggalkan tempat itu sambil memaki habis-habisan maka disana Togur dan guru-gurunya berpesta dalam suasana pesta gila!

* * * * * * * *

"Berhenti, aku capai. Kakek itu iblis dan sungguh-sungguh siluman!" Hauw Kam, yang gemetar dan melempar tubuh di mulut hutan setelah berlarian tiga hari tiga malam oleh rasa takutnya yang hebat kepada See-ong sudah meminta suhengnya berhenti dan megap-megap disitu. Laki-laki ini pucat dan tiga hari tiga malam berlarian tanpa henti sungguh membuat dia kelelahan.

Gwan Beng sebenarnya juga begitu namun si cambang bermuka gagah ini menguat-nguatkan tubuhnya. Dia lelah lahir batin dan juga ketakutan hebat. See-ong yang mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan mampu menghilang seraya melepas pukulan-pukulan di balik ilmu hitamnya sungguh membuat dia gentar bukan main. Maka begitu sutenya mengeluh dan roboh melempar tubuh disana, di mulut hutan kecil maka Gwan Beng pun terhuyung dan jatuh terduduk.

"Iblis! Kakek itu siluman. Kita bukan ketemu manusia lagi!"

"Benar, dan ilmu setannya itu hebat benar, suheng. Dua kali kita kalah oleh orang-orang yang kepandaiannya di atas kita!"

"Hm, siapa maksudmu?"

"Eh, bukankah Kim-mou-eng dan kakek itu? Dan kita keok, sungguh kepandaian kita dangkal!"

Gwan Beng menutupi muka. Laki-laki gagah yang sayang terganggu jiwanya ini tiba-tiba menangis. Entah kenapa tiba-tiba dia tersedu dan mengguguk. Dan ketika sutenya terbelalak dan menyeringai aneh mendadak Hauw Kam menutupi mukanya pula dan menangis, tersedu-sedu, mengguguk seperti suhengnya pula!

"Benar, hu-hukk... kita tak berdaya menghadapi orang-orang lihai seperti Kim-mou-eng dan kakek iblis itu, sute. Kita sungguh dangkal dan bodoh sekali!"

"Dan kita hampir saja dibunuh! Ah, tak mampukah kita membalas dendam, suheng? Apakah kita selamanya menjadi permainan orang-orang lihai?"

"Tapi Kim-mou-eng lebih baik. Pendekar Rambut Emas itu tak bermaksud membunuh kita. Dan isterinya, he...!" Gwan Beng tiba-tiba berseru, membuka telapaknya. "Apakah kau tak merasa kenal dengannya, sute? Dan dia menyebut kita suheng. Ha-ha, sandiwara gila apakah yang dilakukan Kim-hujin (nyonya Kim) itu?"

Hauw Kam membuka pula telapak tangannya. Melihat suhengnya tertawa setengah menangis tiba-tiba iapun tersenyum lebar dan tertawa. Dan ketika dia terpingkal dan suhengnya menggaruk kepala maka Hauw Kam melompat bangun, berseru, "Benar, Kim-hujin itu rupanya gila, suheng. Tapi diingat-ingat agaknya aku serasa mengenal dirinya. Ha-ha, kita orang-orang gila ketemu orang-orang tidak waras!"

"Hm, agaknya begitu. Tapi, ssst... ada orang datang!" Gwan Beng menoleh ke kiri, cepat menyuruh sutenya berhenti ketawa tapi dua bayangan yang berkelebat itu sudah menyambar tiba. Mereka terkejut dan tersentak karena satu dari dua bayangan itu adalah seorang pemuda berambut keemasan. Dan begitu pemuda ini tiba di depan mereka maka Gwan Beng dan sutenya mencelat ke belakang.

"Kim-mou-eng...!"

Pemuda itu, yang sudah datang bersama temannya ikut terkejut. Dia adalah Thai Liong dan tadi dua pemuda yang dalam perjalanan ini mendengar percakapan di hutan. Thai Liong berhenti karena mendengar disebut-sebutnya nama ayahnya, juga ibunya.

Dan karena dia ingin tahu dan tentu saja berkelebat ke arah dua orang itu maka dia tertegun melihat dua laki-laki setengah gembel yang langsung menyebut dirinya sebagai Kim-mou-eng, ayahnya. Dan begitu dua orang itu terkejut melihat kedatangannya mendadak mereka memutar tubuh dan mengambil langkah seribu, lari lintang-pukang...!

Istana Hantu Jilid 25

ISTANA HANTU
JILID 25
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“JAHANAM, Khi-bal-sin-kang...!" See-ong terpekik, berjungkir balik melayang turun. Dan ketika dia pucat memandang lawannya itu maka kakek ini menggigil, menuding. "Kau... kau memiliki Khi-bal-sin-kang? Kau bocah keparat memiliki ilmu ini?"

"Ha-ha!" Togur tertawa bergelak. "Jangan main-main denganku, See-ong. Benar, itulah Khi-bal-sin-kang. Sekarang kau tahu kenapa aku tidak takut kepadamu!"

"Keparat!" kakek ini menggeram. "Dari mana kau dapatkan itu? Kau bocah kemarin sore berani kurang ajar kepadaku?"

"Ha, jangan sombong," Togur, yang girang dan bangga dapat mengejutkan kakek itu tertawa mengejek. "Aku sekarang bukan bocah kemarin sore lagi, See-ong. Melainkan kaulah kakek bangkotan yang tidak tahu kemajuan anak muda saja. Aku di sini pemimpin suku bangsaku, kalau kau ingin menjadi tamu yang baik harap bersikap sopan!"

"Keparat!" kakek itu menggigil, memandang nenek Naga. "Begini cara murid kalian menyambut aku, nenek busuk? Dan kau diam saja?"

Nenek Naga gentar. Sebenarnya, terhadap See-ong dia takut bukan main, juga gelisah. Kakek ini amat lihai dan kalau marah dia bisa celaka. Tapi karena Togur ada di situ dan muridnya itu dirasa mampu melindunginya maka nenek ini surut undur dan membiarkan muridnya bicara. Dan Togur tahu itu.

"See-ong, tak usah bicara kepada guruku. Mereka tunduk kepadaku. Kalau ingin bicara silahkan kepadaku, jangan kepada yang lain."

"Bagus, kalau begitu..." kakek ini tiba-tiba berkelebat. "Aku ingin membunuhnya dulu, Togur. Kutarik lidahnya agar dapat bicara!" dan si kakek yang lenyap menghantam nenek itu tiba-tiba membuat nenek Naga terpekik dan melempar tubuh bergulingan, masih keserempet juga dan nenek itu berteriak pada muridnya agar maju membantu. See-ong kembali berkelebat dan pukulan kakek itu dahsyat sekali menghantam dirinya. Keserempet saja dia sudah terguling-guling, apalagi kalau terpukul! Dan Togur yang membentak melihat itu tiba-tiba brgerak dan menyambar punggung kakek ini.

"Berhenti!"

See-ong menggeram. Lawan sudah berkelebat dan punggungnya mendapat pukulan angin kuat. Kalau dia meneruskan serangannya tentu dia sendiri juga bakal terpukul, mungkin terbanting dan terguling-guling dihajar pemuda itu, Togur si bocah ingusan. Dan ketika kakek ini membalik dan apa boleh buat menangkis pukulan Togur maka nenek Naga selamat dan dua pukulan dahysat bertemu menggetarkan jantung.

"Dess!" See-ong marah terlempar tinggi. Kakek ini terpental dan seperti mudah diduga tertolak oleh Khi-bal-sin-kang yang istimewa itu. Dia memaki-maki dan Togur tertawa terhuyung setindak. Betapa pun See-ong memang kakek yang amat lihai. Dan ketika kakek itu menggereng dan menyerang lagi, maklum bahwa pemuda ini akan selalu membela dan melindungi gurunya maka pemuda itulah yang menjadi sasaran kemarahan See-ong dan kakek ini sudah melengking mengeluarkan Sin-re-ciangnya, silat Tangan Karet dimana kedua lengannya sudah maju mundur dengan cepat dan luar biasa sekali, mulur mengkeret dengan istimewa sekali dan sepuluh kuku jari itu menyambar-nyambar lawannya.

Togur dibuat sibuk karena mata telinga dan hidungnya menjadi sasaran serangan cepat, begitu cepat hingga tahu-tahu colokan itu sudah menyentuh bulu hidungnya. Kalau tidak cepat ia melempar kepala ke belakang tentu hidungnya tertusuk tembus! See-ong mengeluarkan tenaga amis yang membuat dia hampir muntah pula. Bukan main! Dan ketika kakek itu berkelebatan dan Togur mengelak sana-sini mempergunakan Jing-sian-engnya maka kakek itu melotot mengenal ilmu meringkan tubuh yang luar biasa ini.

"Jahanam! Bedebah! Kaupun rupanya menguasai Jing-sian-eng!"

"Ha-ha, tak salah!" Togur tertawa bergelak. "Dua ilmu ini kukuasai baik, See-ong. Dan mari kita lihat siapa yang lebih cepat... wut-wut!"

Togur tiba-tiba mengerahkan tenaganya, menambah kecepatan dan kakek itu terkejut. Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa tiba-tiba didemonstrasikan dengan bagus, tubuh pemuda itu lenyap dan kini berseliweran malah sekarang terkurung! Dan ketika kakek itu terkejut dan berseru tertahan maka tamparan-tamparan panas mulai dikeluarkan pemuda itu mengenai tubuh kakek ini.

"Ha-ha, lihat, See-ong. Lihat... des-dess!"

See-ong terpukul pulang balik, mendapat dua kali pukulan dan kakek itu terhuyung. Togur berkelebatan lebih cepat lagi dan kakek itu mendapat serangan lagi, kali ini di tengkuk. Dan ketika kakek itu tergetar namun tidak roboh, bukti betapa kuatnya kakek ini memiliki sinkangnya maka Togur mulai tertawa-tawa namun diam-diam kagum juga, terus mempercepat serangan dan See-ong terdesak. Kakek itu mendelik hampir tak percaya.

Dan nenek Naga tiba-tiba terkekeh. Bersama tiga temannya yang lain nenek ini mulai mempercayai Togur. Muridnya itu mampu menguasai lawan dan See-ong terus terdesak hebat, memaki dan menggeram dan silat Tangan Karet yang dipergunakan kakek itu tiba-tiba tak berdaya. Kakek ini kalah cepat oleh ilmu meringankan tubuh Jing-sian-eng. Dan ketika semuanya itu masih ditambah dengan pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang dimana pukulan atau tamparan pemuda ini lama-lama membuat See-ong tergetar dan terhuyung-huyung maka kakek itu melotot gusar dan lawan pun terbahak-bahak.

"Ha-ha, sekarang kau menjadi pembantuku, See-ong. Dan aku tak akan membunuhmu!"

Ketika kakek itu mendelik dan memaki gusar pemuda ini berkata lagi, "Atau kau menyerah baik-baik, dan kita bersahabat!"

"Keparat!" See-ong memekik. "Aku belum roboh, bocah. Dan aku masih belum mengeluarkan semua kepandaianku. Lihatlah, apakah kau dapat menyerangku kalau sudah begini.... wut!" dan si kakek yang menghilang dengan Hek-kwi-sutnya tiba-tiba membuat Togur terkejut karena lawan tak dapat diserang, tak diketahui dimana dan inilah yang memang dikhawatiri pemuda itu.

Togur tahu kalau See-ong memiliki Hek-kwi-sut, tahu bahwa kakek itu memang belum mengeluarkan semua kepandaiannya karena Hek-kwi-sut belum dipergunakan, itulah sebabnya dia menawarkan sebuah persahabatan kalau kakek itu mau baik-baik dengannya. Maka ketika kini si kakek memekik gusar dan lenyap mempergunakan Hek-kwi-sutnya tentu saja dia kehilangan sasaran dan Khi-bal-sin-kang ataupun pukulan lain menghantam tempat kosong.

"Dess!" Togur terpental. Dia terkejut ketika tiba-tiba lawan memukulnya di balik ilmu hitam itu, terlempar dan mencelat dan terdengarlah See-ong terbahak-bahak di balik Hek-kwi-sutnya. Togur berseru tertahan dan sekarang kakek itulah yang ganti menyerangnya, bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu pemuda tinggi besar ini kembali menerima sebuah pukulan. See-ong tertawa bergelak dan kini pemuda itu mulai mendapat hujan pukulan yang keras dan berat. Dan ketika Togur terguling-guling dan meloncat bangun sambil memaki maka sebuah tamparan kembali mengenainya.

"Dess!" Pemuda ini mengeluh. Sekarang nenek Naga menjadi pucat dan sadar akan itu, sadar bahwa See-ong memang bukan iblis sembarangan dan Hek-kwi-sutnya amat ditakuti. Sekarang muridnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan Togur kembali terguling-guling ketika mendapat tiga empat pukulan lagi. Tapi ketika nenek ini berseru tertahan dan Togur teringat Khi-bal-sin-kangnya untuk bertahan tiba-tiba pemuda itu tak terpental lagi kecuali hanya terhuyung dan tergetar mundur.

Tadi lupa mempergunakan itu karena dengan sinkang atau tenaga sakti biasa saja tak mungkin dia dapat bertahan dari serangan-serangan si kakek, kini pemuda itu mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya dan benar saja pukulan-pukulan lawan dapat ditahan. See-ong tergetar dan ganti tertolak balik ketika semua pukulannya mengenai tubuh pemuda itu. Kakek ini mengumpat-umpat. Dan ketika nenek Naga berseri-seri karena hal itu berarti menyelamatkan muridnya maka pertandingan menjadi tak ada yang kalah atau menang karena imbang, seri!

"Ha-ha, lihatlah, See-ong. Kaupun boleh pukul aku sesukamu. Lihat apakah pukulan-pukulanmu dapat merobohkan aku!"

"Bedebah! Terkutuk!" kakek ini memaki-maki. "Kaupun boleh serang aku kalau bisa, Togur. Perlihatkan kelebihanmu bahwa kaupun dapat merobohkan aku!"

"Kau bersembunyi di balik Hek-kwi-sutmu, licik!"

"Dan kaupun berlindung di balik Khi-bal-sin-kang curianmu, pengecut!" dan ketika keduanya saling maki namun akhirnya sama-sama mengagumi lawan maka See-ong mulai bersinar-sinar dan diam-diam kagum kepada murid enam Iblis Dunia ini, teringat akan kejadian-kejadian di Sam-liong-to dan tiba-tiba saja dia mendusin bahwa kiranya lawan yang dulu dihadapinya dan bertopeng adalah pemuda ini. Terkutuk, baru sekarang dia sadar. Dan ketika kakek itu bertanya dan Togur menjawabnya tergelak-gelak maka pemuda itu tak dapat menahan gelinya.

"Benar, itulah aku, See-ong. Dan sekarang agaknya baru kau tahu kenapa kelima guruku ini ikut denganku!"

"Jahanam!" kakek itu mengutuk. "Kiranya kau pemuda siluman, Togur. Kau mengecoh orang tua habis-habisan namun kuakui kehebatan dirimu ini. Ah, kau pantas menggantikan iblis-iblis tua macam guru-gurumu itu. Terkutuk!"

Togur tertawa-tawa. Sekarang pertandingan berjalan imbang karena baik dia maupun See-ong tak dapat mengalahkan yang lain. Kakek itu boleh hebat dengan Hek-kwi-sutnya tapi dia hebat dengan Khi-bal-sin-kangnya. Pukulan-pukulan kakek itu akan selalu mental dan tertolak Khi-bal-sin-kang. Dan karena diapun tak dapat menyerang kakek itu karena See-ong berlindung di balik Hek-kwi-sutnya maka masing-masing hanya membuang tenaga cuma-cuma kalau pertandingan ini tetap dilanjutkan.

"He...!" Togur berseru. "Kau dan aku tak dapat saling mengalahkan, See-ong. Seharusnya kau tahu dan jangan nekat. Kita imbang, dan sebaiknya kita bersahabat!"

"Aku tak mau menjadi pembantumu!" See-ong membentak, mengira pemuda itu akan menghinanya dengan menjadikan dia sebagai pembantu, seperti guru-guru pemuda itu sendiri. "Aku boleh kehabisan tenaga, bocah. Tapi kaupun tak akan bertahan lama dan kita sama-sama mampus!"

"Jangan bodoh!" Togur tertawa. "Kenapa mengira aku akan menjadikan dirimu sebagai pembantu? Kita sama kuat, See-ong. Dan kitapun mempunyai musuh yang sama. Berhentilah, dan kita bersahabat. Aku tak mungkin menaklukkan dirimu untuk menjadi pembantuku karena kita imbang. Berhenti, dan jangan menyerang!"

See-ong ragu-ragu. Sebenarnya dia juga melihat kenyataan itu dan diam-diam dia menaruh kagum yang besar kepada pemuda ini. Inilah type pemuda yang pantas menjadi tokoh sesat. Sayang muridnya tak seperti itu. Padahal, dia menginginkan agar Siang Le pun dapat bersikap seperti pemuda ini, culas dan licik serta tak segan-segan mempergunakan segala tipu muslihat untuk memperoleh kepandaian.

Sekarang dia tahu apa kiranya yang telah terjadi. Pemuda ini mencuri Khi-bal-sin-kang melalui Hu-taihiap. Dan teringat bahwa pemuda itulah yang dulu membawa Hu-taihiap ke Pulau Tiga Naga akhirnya See-ong menjadi kagum tapi juga gemas kepada lawannya ini, pemuda yang cerdik dan berwatak keji!

"Hei...!" Togur berseru kembali padanya. "Bagaimana jawabmu, See-ong? Kau masih tak dapat melihat kenyataan?"

"Hm!" kakek ini menggeram, gemas dan kagum. "Aku sudah melihat kenyataan, bocah. Tapi aku belum melihat jelas apa maumu!"

"Bodoh! Kita bersahabat, itulah mauku. Bukankah sudah kukatakan?"

"Ya, itu benar. Tapi apakah persahabatan itu hanya sebegini saja. Artinya apakah aku hanya sebagai tamu dan kau tetap raja disini?"

"Maksudmu?"

"Ha-ha! Kalau kau mengakui bahwa kita imbang maka apa yang ada disini juga harus dibagi adil, bocah. Kau pemimpin dan akupun juga pemimpin. Kalau begitu baru aku terima tawaranmu!"

"Ah, kau ingin memperoleh pasukan?"

"Cerdas, kau pintar! Begitulah maksudku, ha-ha!" dan See-ong yang terbahak menyatakan maksudnya diam-diam kembali kagum karena sekali bicara pemuda itu sudah dapat menangkap. Memang dia tak mau dibawah pemuda itu dan tentu saja apa yang ada disitu harus dibagi rata.

Kelima Iblis Dunia yang ada disitu adalah pembantu-pembantunya. Hanya karena adanya pemuda itu maka nenek Naga dan lain-lain membangkang. Kini, membentak dan sudah menyatakan keinginannya See-ong tak ragu-ragu menuntut apa yang dia maui. Dihitung-hitung, kalau pemuda ini tak selihai sekarang, Togur adalah juga anak buahnya. Pemuda itu murid dari kelima pembantunya dan kalau saja pemuda itu tak memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng tentu lawannya ini tak akan sepongah itu.

Tapi karena Togur telah memiliki kemajuan pesat dan kecerdikan serta keberhasilannya ini mau tak mau memang harus diakui juga maka See-ong ingin agar kekuasaan yang dimiliki pemuda itu juga harus dibagi dengannya. Dia adalah raja iblis dan See-ong tentu saja tak mau di bawah pemuda ini. Dia tetap pemimpin dan kelak akan dicarinya akal agar pemuda itu dapat disingkirkan. Betapapun See-ong melihat ancaman bahaya dari murid enam Iblis Dunia ini, yang sekarang tinggal lima orang. Dan ketika Togur memikir-mikir dan tampaknya ragu atau bimbang maka sebuah pukulan menghantam tengkuknya.

"Dess!" Pemuda itu tergetar. Sama seperti tadi dia hanyalah terdorong dan terhuyung saja, tidak terpelanting. Khi-bal-sin-kang telah melindunginya sedemikian rupa dan See-ong mengumpat. Kakek ini melakukan lagi serangan-serangannya namun pemuda itu hebat benar. Khi-bal-sin-kang melindunginya dan kemanapun dia menyerang disitu pula ilmu Bola Sakti itu menyelamatkan pemuda ini. See-ong sudah melakukan totokan-totokan pula tapi pemuda ini lihai dan cerdik.

Tidak seperti Soat Eng dimana gadis itu dulu roboh oleh totokannya adalah Togur menggelincirkan jalan darahnya hingga totokan selalu meleset. Pemuda ini rupanya menggabung semua ilmu-ilmu yang dipunyai gurunya untuk akhirnya berhasil menguasai ilmu menggelincirkan jalan darah itu, semacam I-kiong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah). Dan karena pemuda ini memang lebih cerdik dan banyak akal dibanding Soat Eng yang polos dan kurang pengalaman maka totokan-totokan yang dilancarkan selalu gagal di tengah jalan.

Akibatnya kakek ini merah mukanya dan Togur tertawa terbahak-bahak. Pemuda itu dalam posisi bertahan tapi lawan juga sia-sia menyerangnya. See-ong mengutuk dan menggeram tak habis-habisnya. Dan ketika pemuda itu mengatakan sebaiknya mereka berbaik dan tak usah bermusuhan maka kakek itu membentak menanyakan tawarannya tadi.

"Aku berhenti kalau kau menyetujui permintaanku tadi. Atau aku terus menyerangmu dan lama-lama kau roboh kehabisan tenaga!"

"Baiklah," Togur tertawa. "Untuk masalah kecil begini kenapa aku tak dapat memenuhi permintaanmu, See-ong? Kita berbagi kekuasaan, kau dengan separoh pasukan yang ada di sini sedang aku separoh yang lainnya!"

"Kau tak berbohong?"

"Ha-ha, tentu tidak, See-ong. Aku bersumpah!"

"Dan kami ikut denganmu!" nenek Naga tiba-tiba berteriak. "Katakan bahwa kami tetap pembantu-pembantumu, Togur. Biarlah kami semua bersamamu dan tidak dengan kakek itu!"

'Benar!" Toa-ci tiba-tiba juga berseru, menyambung. "Kami pembantu-pembantumu, Togur. Biarlah kami tetap denganmu dan tidak dengan See-ong!"

Togur tertawa. Dia segera maklum dan teringat bahwa guru-gurunya ini akan ketakutan sekali kalau harus diserahkan pada See-ong. Kakek ini tentu mencari mereka dan maksud kedatangannya kesitupun juga karena ingin menghajar kelima gurunya. Maka mengangguk dan sadar akan itu pemuda ini berkata, "Benar, mereka tetap guruku, See-ong. Mereka adalah pembantuku. Kau memiliki setengah pasukan disini tapi kelima guruku tetap menjadi milikku!"

"Hah, licik!" See-ong menggeram. "Kalau kau tidak membelanya tentu aku tetap meminta mereka, Togur. Tapi karena kau sudah bicara baiklah, aku setuju!"

"Dan hentikan serangan!" Togur membentak. "Kita sahabat, See-ong. Berhenti dan jangan menyerang lagi.... plak-plak!" Togur menangkis dua buah pukulan, melihat bayangan hitam berkelebat dan benturan pukulan itu mengeluarkan ledakan kuat yang membuat orang-orang seperti nenek Naga dan Toa-ci terjengkang, bukan main. Dan ketika See-ong muncul di balik Hek-kwi-sutnya dan tertawa bergelak maka Togur tertawa menahan kekagetan hatinya.

"Kau luar biasa, kau hebat!"

"Ha-ha, tak usah memuji. Kaupun hebat, Togur. Kalau tidak melihat sendiri tentu aku tak percaya. Sudahlah, mana muridku dan hentikan ribut-ribut diluar!"

Togur memberi tanda. Keempat gurunya yang ada disitu sudah berkelebat dan berteriak menyuruh pertempuran diluar berhenti. Siang Le yang dikeroyok ratusan orang tertahan oleh majunya satu di antara guru-guru Togur. Dia bertahan tapi terdesak. Dan ketika dia pucat mengelak sana-sini sementara hujan senjata atau panah mengacaunya dari segala jurusan maka saat itulah nenek Naga berkelebat dan menyuruh yang bertanding berhenti.

"Jangan menyerang. Kita semua kawan!"

Siauw-jin, yang ada disini terkejut. Dia tadi menahan lajunya murid See-ong ini dan diam-diam kebat-kebit karena takut raja iblis itu muncul. Kalau See-ong datang dan keempat temannya yang lain tak dapat menghadang kakek itu dan muridnya yang lihai juga terdesak tentu keadaan berbahaya bagi mereka. Kakek ini cemas karena pertandingannya dengan Thai Liong masih membekas kuat.

Kekalahan muridnya di tangan putera Pendekar Rambut Emas itu masih berlalu dalam beberapa hari saja. Sesuatu yang mengguncangkan cepat menjadikan orang mudah kaget dan was-was, takut. Namun ketika nenek Naga berseru bahwa semua adalah kawan maka kakek ini berhenti juga dan berturut-turut muncul bayangan Togur dan lain-lain.

"Siang Le adalah sahabat. Togur telah mengikat persahabatan dengan See-ong dan kita tak boleh saling menyerang!"

"Mengikat persahabatan? Maksudmu...."

"Benar, See-ong tak lagi marah kepada kita, Siauw-jin. Murid kita telah memberikan separuh pasukannya kepada kakek itu. Kita semua kawan!"

Siauw-jin terbengong-bengong. Dia kaget tapi juga heran mendengar semuanya itu. Tapi ketika Toa-ci berbisik bahwa Togur telah menukar jiwa mereka dengan separuh pasukan dan kini kakek itu memimpin bersama Togur maka Siauw-jin terkejut tapi juga gembira.

"Jangan ribut-ribut. Kita semua telah bebas dari cengkeraman kakek itu. Kita tetap bersama Togur. Kau tak perlu takut lagi dan kita semua tak perlu cemas. Togur dan See-ong seimbang!"

"Ah, ha-ha!" Siauw-jin tertawa bergelak, girang. "Begitukah kiranya, Toa-ci? Kita bebas dari kejaran See-ong?"

"Ya!" sebuah suara tiba-tiba mengejutkan kakek ini. "Kalian bebas, Siauw-jin. Kalau saja bukan berkat kepandaian murid kalian tentu tak semudah ini kalian bebas dariku.... dess!"

Siauw-jin mencelat, tahu-tahu disambar sebuah bayangan hitam dan See-ong muncul disitu. Tadi kakak ini bersembunyi di balik Hek-kwi-sutnya dan muncul seperti iblis. See-ong memang iblis! Dan ketika kakek itu berteriak tapi tidak apa-apa, bergulingan meloncat bangun maka See-ong sudah berkelebat ke arah muridnya dan menyambar muridnya itu.

"Jangan menyerang, kita kawan. Togur telah memberikan separuh pasukannya untuk kita!"

Siang Le bermandi keringat. Menghadapi Siauw-jin yang lihai dia cukup kerepotan juga. Kakek itu dibantu ratusan orang yang mengacau dengan hujan panah atau tombak, dia tak takut dan terus melawan. Tapi begitu gurunya muncul dan memberi tahu bahwa mereka kawan, hal yang mengherankan dan mengejutkan pemuda ini maka Siang Le terbelalak memandang gurunya, seolah tak percaya.

"Apa? Suhu tak membekuk iblis-iblis itu? Suhu membiarkan saja Siauw-jin dan kawan-kawannya itu?"

"Sudahlah," sang guru mengibas. "Bocah itu menjadi batu sandunganku, Siang Le. Togur benar-benar lihai dan amat hebat sekali. Kami bertanding dan tak ada yang kalah atau menang!"

Siang Le mendelong. Memang dia sudah mendengar akan kehebatan pemuda tinggi besar itu, yang katanya dapat mengalahkan guru-gurunya sendiri hingga semua gurunya tunduk, bahkan kini menjadi pembantu pemuda itu dan diperkuda seolah pelayan dan majikannya. Tapi ketika pemuda ini bengong maka Togur berkelebat dan pemuda itu sudah tertawa di depannya.

"Siang Le, tak usah heran. Aku dan gurumu setanding. Ha-ha, kami sahabat. Kelima guruku telah kutukar dengan separuh pasukan ini!"

Lalu, ketika Siang Le melotot tapi tak dihiraukan lawannya itu Togur sudah menghadapi pasukannya, berseru dengan suara lantang bahwa mulai hari itu mereka dipecah menjadi dua, memiliki dua pemimpin. Satu oleh dirinya sendiri sedang yang lain oleh kakek tinggi besar ini, meskipun mereka masih tetap dalam satu panji dan wadah yang sama. Dan ketika pemuda itu menutup sambil menuding See-ong maka Togur berseru,

"Lihat, inilah See-ong, kakek gagah perkasa itu. Siapa membangkang padanya sama halnya membangkang kepadaku. Kalian harus tunduk dan taat kepadanya!"

See-ong tersenyum-senyum. Togur langsung membagi pasukannya menjadi dua. Horok dan Ramba mengikuti kakek itu, berikut Cucigawa. Dan ketika ribuan orang menjadi tertegun karena secepat itu nasib mereka dirubah maka See-ong tertawa bergelak menerima penghormatan pasukannya, atas perintah Togur.

"Hei, nanti dulu. Yang menjadi pemimpin disini bukanlah aku, tetapi muridku. Lihatlah padanya dan beri hormat padanya!"

Siang Le terkejut. Lima ribu orang yang tercengang tapi juga terkejut segera dibentak kakek itu agar memberikan hormat padanya. See-ong sendiri menolak karena dia tak bermaksud menjadi pemimpin disitu. Togur juga tercengang dan terkejut. Tapi ketika kakek itu berkata bahwa tua bangka macam dirinya tak patut menjadi pemimpin maka Togur tersenyum mengangguk-angguk mengerti.

"Aku sudah tua, tak berambisi menjadi penguasa. Kalau kekuasaan itu diberikan padaku biarlah sekarang juga kulimpahkan pada muridku. Nah, ketahuilah dan harap kalian mengerti!"

Siang Le gugup dan merah mukanya. Dia segera menerima penghormatan separuh pasukan yang besar jumlahnya. Hal inipun tak disangkanya tapi tak dapat ia menolak. Gurunya sudah berkata seperti itu dan dia seakan disudutkan. Dan ketika Togur tertawa bergelak dan ikut memberi hormat padanya maka Siang Le tersipu dan buru-buru mengangkat tangannya, melirik dan diam-diam mendongkol pada gurunya.

"Sudahlah, aku tak menyangka semuanya ini. Guruku memang aneh dan terlalu. Terima kasih!"

Semua orang diliputi kebengongan. Sikap Siang Le yang dingin dan acuh saja membuat mereka melengak. Menjadi pemimpin pasukan demikian besar tidaklah gampang. Pemuda itu seolah menerima berkah dari langit tapi dingin-dingin saja, bukan main. Hal yang mengherankan semua orang. Tapi ketika hari itu keributan sudah berakhir dan pasukan girang karena memiliki dua pemimpin yang sama-sama hebat, pemimpin yang diharap dapat menghadapi orang-orang lihai seperti Thai Liong atau Pendekar Rambut Emas maka semuanya mundur dan kembali ke tempat masing-masing setelah dibubarkan Togura.

Hari itu tanpa dinyana Siang Le malah memimpin setengah dari pasukan liar. Gurunya tertawa-tawa dan tidak perduli akan sikap muridnya yang dingin. Dan ketika pasukan dipecah meskipun tetap dalam satu panji atau bendera yang sama maka malam harinya Siang Le duduk cemberut di depan gurunya.

* * * * * * * *

"Suhu terlalu, sungguh terlalu!" demikian pemuda itu menegur gurunya dalam satu omelan pendek. "Kenapa malah bergabung dan membantu Togura itu? Bagaimana suhu tiba-tiba berubah begini?"

"Wah!" sang guru melotot. "Kau bodoh Siang Le, kau tak tahu artinya siasat! Kau seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa!"

"Hm, apa maksud suhu? Bukankah kedatangan suhu kemari adalah hendak menangkap bekas pembantu-pembantu suhu itu? Kenapa malah membebaskannya dan tidak membekuk lawan yang sudah di depan hidung?"

"Ha-ha, inilah anak yang tidak tahu tingginya langit dalamnya bumi. Weh! Bocah bernama Togur itu hebat sekali, Siang Le, dan aku tak dapat mengalahkannya. Dia memiliki Khi-bal-sin-kang, juga Jing-sian-eng. Bocah keparat itu mendapatkan ilmunya dari mencuri dari mendiang Hu-taihiap. Dia lihai dan berbahaya, dan aku mendapat saingan berat dari bocah ini.... hm-hmm!"

See-ong mengurut-urut jenggotnya, seminggu ini tidak mencukur dan matanya yang bersinar-sinar itu tampak jengkel dan geram. Ada sorot kebencian tapi juga kagum di mata ini, sorot seorang tokoh tua terhadap seorang tokoh muda, yang agaknya sedang 'naik daun' dan memang pantas dikagumi. Dan ketika Siang Le mengerutkan kening dan mengeluarkan suara mengejek dari hidung maka gurunya melotot dan berseru,

"Jangan bersikap sok. Aku lihat inilah pilihan paling baik dimana aku dapat mengangkat tinggi-tinggi derajatmu!"

"Apa maksud suhu?"

"Dengarkan. Bocah itu amat lihai, Siang Le. Aku tak dapat merobohkannya meskipun dia juga tak dapat merobohkan aku. Kami seri, berimbang. Dan karena dia menawarkan sebuah persahabatan dimana separuh dari pasukan ini diserahkan kepadaku maka timbul niatku untuk mengangkat tinggi-tinggi derajatmu sebagai orang yang hebat. Aku ingin mengangkatmu sebagai kaisar!"

"Suhu gila?" Siang Le terkejut, melonjak dari kursinya. "Suhu mau...."

"Dengar!" sang guru menyambar pundak sang murid, menekan agar Siang Le duduk kembali. "Aku tak mau kalah dengan pemuda itu, Siang Le. Dan aku terus terang kecewa padamu! Kenapa kau tidak sehebat dan seambisi Togura itu? Kenapa kau demikian lemah dan melempem seperti layaknya pemuda tak bersemangat? Lihat, sebagai murid enam Iblis Dunia bocah itu menunjukkan jati dirinya, Siang Le. Dia sungguh pantas sebagai murid orang-orang sesat dan kelak menggantikan kita-kita ini yang harus masuk liang kubur! Kau tak pantas bersikap dingin begini karena kau adalah murid See-ong, si Raja Iblis! Kau harus menunjukkan watak dan semangat seperti pemuda itu, bukan melempem dan tidak bersemangat begini!"

"Aku tak butuh nama besar, aku tak ingin menjadi raja!"

"Goblok! Itulah satu di antara sekian watakmu yang mengecewakan aku, Siang Le. Sebagai murid dari seorang tokoh macam aku seharusnya kau menunjukkan keberingasan dan kekejaman sebagaimana layaknya murid seorang sesat. Tapi kau lain, kau seperti perempuan dan bukannya laki-laki! Hah, kau tak boleh menolak rencananku dan niat ini timbul setelah aku melihat kehebatan si Togura itu!"

"Suhu mau apa?"

"Sudah kubilang ingin menjadikan dirimu sebagai kaisar. Aku ingin mempergunakan kesempatan dan ambisi serta serbuan pemuda itu untuk mengangkat naik dirimu, merebut dan menyerang kota raja, melempar kaisarnya!"

"Dan suhu mau memberontak? Ikut-ikutan menjadi pengkhianat dan melawan pemerintah?"

"Bodoh! Aku selamanya tak ada hubungan dengan pemerintah, Siang Le. Aku adalah orang bebas dan tokoh yang hidup sendiri. Aku tak terikat!"

"Tapi suhu hidup di negeri ini, suhu makan minum di negeri ini. Dan suhu orang Han!"

"Hm, aku tergelitik setelah melihat sepak terjang pemuda itu, Siang Le. Dan sudah kubilang bahwa semuanya ini kulakukan untukmu, bukan untukku!"

"Benar, tapi... ah!" Siang Le bangkit berdiri. "Aku tak setuju semuanya ini, suhu. Kita selamanya tak pernah bermusuhan dengan kaisar pula. Aku tak ingin menjadi kaisar, aku tak ingin merebut kekuasaan!"

"Inilah yang menggemaskan aku!" See-ong mulai gusar. "Kau selamanya tak sejalan dengan gurumu, Siang Le. Kau selalu menentang dan tak pernah sependapat dengan aku. Mana itu ciri-ciri dirimu sebagai murid seorang tokoh sesat? Mana itu kekejaman dan kelicikan yang seharusnya dipunyai seorang murid tokoh sesat? Kau menjengkelkan, Siang Le. Kau selamanya ingin membuat aku marah. Sungguh aku kecewa melihat dirimu ini yang berbeda jauh dengan si Togura itu. Kau tak mengangkat nama gurumu melainkan malah sebaliknya membuat malu gurumu!"

See-ong menghantam pecah ujung permukaan meja, melotot dan merah padam memandang muridnya itu dan Siang Le tertegun sejenak. Pemuda ini melihat sinar mata gurunya yang berapi-api dan mendadak dia menarik napas. Dan ketika dia menunduk dan memegang tangan suhunya itu maka pemuda ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu, aku tahu kau kecewa sekali kepadaku. Tapi inilah watakku, pembawaanku. Sudah kubilang berkali-kali bahwa aku tak dapat melakukan sepak terjang yang jahat. Aku tak dapat melakukan seperti apa yang biasa kau lakukan. Bahkan, berkali-kali aku menentangmu. Maaf, aku memang mengecewakan, suhu. Kalau kau tak suka padaku lebih baik bunuhlah aku daripada membuat marah saja. Aku sadar budi kebaikanmu yang besar, dan aku tak ingin mengecewakanmu. Aku siap mati di tanganmu!"

See-ong tergetar. Setelah muridnya bicara dan berlutut seperti itu mendadak saja dia sadar. Memang muridnya ini tak pernah sejalan dengannya. Artinya, apa yang dia lakukan dan jalani sehari-hari tak pernah ditiru muridnya ini. Keganasan dan kekejamannya tak pernah dicontoh muridnya. Siang Le baik dan selalu menentang apa yang dirasa tak cocok di hati. Pemuda ini lebih pantas menjadi murid seorang pendekar daripada dirinya yang tokoh sesat! Dan ketika See-ong tertegun dan menjublak memandang muridnya itu tiba-tiba dilihatnya mata Siang Le yang berlinang, membuat dia terkejut dan tiba-tiba terharu, menyambar dan mencengkeram muridnya itu mengangkat bangun.

"Cengeng, jangan menangis! Bersikaplah keras dan tegas sebagaimana layaknya laki-laki!"

Namun See-ong diam-diam mengusap dua titik air matanya. Lucu! Kakek ini membentak muridnya agar tidak menangis namun dia sendiri ternyata juga menitikkan air mata oleh keharuan. See-ong si kakek iblis tak tahan juga oleh keharuan hatinya ini. Dan ketika kakek itu membentak sementara Siang Le diangkat bangun maka pemuda ini duduk dengan lesu di muka gurunya.

"Aku tak dapat menyenangkan hatimu, aku selalu mengecewakan..."

"Sudahlah," gurunya memotong. "Kau selamanya begitu, Siang Le. Tapi kali ini kau tentu akan berusaha menyenangkan hati gurumu, bukan?"

"Aku enggan membantu Togur...."

"Bukan membantu Togur, melainkan membantu gurumu! Aku ingin mengangkat namamu dalam serbuan besar-besaran ini, dan kuminta kau tidak menolak! Lihat, bangka macam gurumu ini tak mungkin hidup lebih lama di dunia, Siang Le. Kau puaskanlah hati gurumu dengan menurut apa yang kurencanakan. Aku ingin menunggangi maksud dan ambisi si Togur itu untuk kepentingan kita. Aku ingin melaksanakan serbuan besar-besaran untuk mengenyahkan kaisar. Dan kalau kita sudah berhasil maka aku ingin melihat kau menduduki kursi singgasana itu dan menjadi manusia agung!"

"Aku tak bernafsu, suhu..."

"Ah, kau selamanya begitu. Tapi sekali ini tidak! Kau harus mengikuti gurumu atau aku bakal mati tak meram kalau kau selalu mengecewakan hatiku! Heh, mana itu balas budimu kepada gurumu, Siang Le? Bukankah kau ingin membalas semua kebaikanku kepadamu? Nah, jangan membantah lagi, kau turutlah kata-kataku dan besok kita menyerbu selatan!"

Siang Le mengerutkan kening.

"Kau tak setuju?"

"Hm....!" pemuda ini yang menarik napas dalam. "Banyak hal-hal yang tak kusetuju kalau menyangkut sepak terjangmu, suhu. Tapi karena kau sudah membawa-bawa tentang balas budi baiklah, aku akhirnya setuju."

"Ha-ha, begitu bagus! Kau selamanya akan mengalah kalau sudah kusebut-sebut tentang balas budi itu. Dan sekarang satu lagi permintaanku. Kau harus mempelajari Hek-kwi-sut!"

"Tidak!" Siang Le tiba-tiba terlonjak, kaget meloncat bangun. "Aku tak suka mempelajari ilmumu itu, suhu. Hek-kwi-sut terlampau keji bagiku karena harus bertapa di atas sepuluh mayat! Aku tak suka, aku tak mau mewarisi ilmumu itu!"

"Hm, jangan bodoh. Lihat kepandaianmu sekarang ini, Siang Le. Betapa kau tak mungkin menang dengan si Togura itu. Menghadapi Siauw-jin atau kawan-kawannya saja kau tentu susah, lebih baik latihlah ini untuk keselamatan dirimu juga!"

"Tapi aku tak suka, suhu. Ilmu itu terlampau keji!"

"Siapa bilang? Keji atau tidak hanya pandangan orang lain, Siang Le. Masih ada hal-hal yang lebih keji dan jahat lagi daripada melatih ilmu ini. Kau akan tahu kelak!"

"Tapi aku tetap tidak suka...."

"Kau harus suka! Kau tak boleh memalukan aku kalau tak ingin pecundang oleh Togura itu!"

"Hm, memaksakan ilmu kepada orang yang tidak mau tak akan membawa hasil baik, suhu. Kau tahu itu dan tak usah bersikeras. Aku tidak cocok dan justeru muak dengan Hek-kwi-sutmu itu!"

"Keparat! Kau demikian sombong dan sok suci? Kau tak ingat budi gurumu ini yang telah membesarkan dan mendidikmu?"

"Suhu," Siang Le tiba-tiba bersikap keras. "Kalau berkali-kali kau menyinggung-nyinggung tentang balas budi maka kukatakan di sini tak ada yang lebih berharga lagi untuk membalas budimu itu selain nyawaku. Nah, ambillah itu dan bunuhlah aku, agar hutang budiku impas!"

"Kau...?" See-ong terkejut. "Berani seperti itu? Kau bilang begitu kepada gurumu? Keparat, kalau saja aku memiliki murid yang lain tentu kau benar-benar kubunuh, Siang Le. Tapi karena muridku hanya kau seorang biarlah kau berbangga hati dengan menentang gurumu....plak-plak!"

See-ong melompat, gusar menampar muridnya dua kali dan terpelantinglah pemuda itu oleh kemarahan gurunya. See-ong berkelebat dan menyumpah-nyumpah meninggalkan muridnya itu. Dan ketika Siang Le bangun terhuyung dan mengusap bekas tamparan gurunya maka di sana See-ong gemas dan marah tercampur dongkol. Kalau saja Siang Le tak disayangnya begitu rupa barangkali dia benar-benar akan membunuh muridnya itu.

Tapi, ah.... Siang Le adalah murid yang amat dicinta. Ada sesuatu yang mengagumkan hatinya dari muridnya itu. Ada sesuatu yang lain daripada yang lain yang dimiliki muridnya itu. Siang Le muridnya yang patuh dan setia pada kebenaran, menentang dan selalu akan menolak pada ketidakbenaran. Aneh, dia seorang tokoh sesat bisa memiliki murid macam itu, padahal biasanya seorang murid akan mencontoh dan mengikuti sepak terjang gurunya. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan dia selalu kalah?

Sudah bukan sekali dua ini dia selalu mengalah pada muridnya. Kalau dia sudah bersikeras dan bersikap memaksa maka muridnya itu selalu minta dibunuh, siap menyerahkan nyawa. Berkata bahwa itulah satu-satunya 'benda' berharga yang pantas dipakai untuk penukar budi kebaikan gurunya. Keparat, Siang Le selalu mempergunakan itu sebagai senjata, dan dia selalu tak berkutik. Mati kutu! Murid macam apa ini namanya? Bukankah murid yang kurang ajar dan patut dibunuh?

Tapi tidak. Dia justeru akan selalu tertegun dan mengalah kalau sudah begitu. Ada semacam kekaguman dan rasa hangat di hati. Muridnya ini pemuda baik-baik yang tak seperti dirinya. Tak mau melakukan kejahatan atau kesesatan layaknya murid seorang datuk. Muridnya itu memang istimewa! Dan ketika See-ong mengumpat caci namun diam-diam kagum dan juga bingung maka di tempat lain Togur bersidang dengan guru-gurunya.

"Kau gegabah, terlampau tergesa-gesa. Kenapa menyerahkan separuh pasukan kita kepada See-ong, Togur? Apakah tidak berakibat buruk di kelak kemudian hari?" Cam-kong, gurunya yang tinggi kurus menegur. Cam-kong memang lega terlepas dari tangan See-ong namun dia tak puas melihat muridnya membagi pasukan. Separuh dari pasukan yang ada tak kurang dari lima ribu jumlahnya. Kalau itu dipecah maka kekuatan mereka berkurang, ini tak baik bagi sebuah pasukan besar, yang kini mempunyai dua orang pimpinan.

Tapi ketika Togur tertawa dan menoleh pada gurunya itu maka pemuda ini menggeleng. "Suhu, kau penakut. Memangnya apa yang dapat diperbuat See-ong meskipun dia memiliki separuh dari pasukan kita? Apa yang dapat dia lakukan? Cucigawa dan para pembantunya yang kutaruh di sana tak mungkin sepenuhnya membantu kakek itu, suhu. Kalau See-ong hendak menyerang dan menguasai kita umpamanya maka Cucigawa dan para pembantunya itu tak mungkin patuh. Mereka orang-orang kita, dan kita tetap dapat memakainya meskipun di kubu See-ong!"

"Aku tak mengerti..."

"Kau selamanya tak mengerti. Ha-ha, tanya saja pada suhu Hek-bong Siauw-jin!"

Cam-kong melengak. Dia tak mengerti kata-kata muridnya ini tapi cepat menoleh pada Siauw-jin, rekannya yang cebol itu. Dan ketika si cebol tertawa dan terkekeh keras maka kakek pendek ini berseru,

"Cam-kong, masa kau tak mengerti? Kalau begitu lihatlah ini.... wut!" sebutir pil hitam dilempar kepada si tinggi kurus itu, diterima dan Cam-kong tertegun.

Tapi ketika kakek ini mengerti dan menyeringai lebar tiba-tiba dia berkata, "Ah, inikah kiranya? Cucigawa dan para pembantunya ini menelan pil Maut?"

"Ha-ha, sekarang kau mengerti? Bebal amat, tak cepat tanggap!"

"Weh, ini tentu kerjaanmu, Siauw-jin. Kalau dari tadi kulihat pil ini tentu aku mengerti. Ah, sungguh murid kita bocah yang pintar!"

"Dan kita tak usah takut. Kakek iblis itu sudah mendapat lawan setanding dengan murid kita!"

"Ya, tapi betapapun kita harus berhati-hati. Kalau kita sendirian dan tidak selalu dekat dengan murid kita ini tentu kita celaka!"

"Tak usah ketakutan," Togur tertawa. "See-ong tak berani melakukan itu, suhu. Kalau dia melanggar tentu akupun dapat menangkap muridnya. Sudahlah, kalian percaya padaku dan tak perlu takut!"

Semua menyeringai. Tiba-tiba mereka merasa bahwa keselamatan dan nyawa mereka betul-betul di tangan muridnya ini. Tanpa Togur tentu mereka sudah dihajar See-ong, mungkin dibunuh. Dan karena murid mereka betul-betul lihai dan terbukti dapat mengimbangi See-ong maka mereka bertanya apa yang selanjutnya hendak dilakukan pemuda itu.

"Kita menyerbu ke selatan, membalas kegagalan. Dan karena See-ong ada di sini maka tak perlu kita takut lagi kalau Pendekar Rambut Emas muncul!"

"Tapi Thai Liong..." Toa-ci tiba-tiba merasa ngeri. "Bocah itu selihai bapaknya, Togur. Dan kau tahu bahwa diapun bukan lawanmu!"

"Aku akan membagi tugas," pemuda ini berkerut kening. "See-ong dan muridnya dapat kugunakan, subo. Dan kalian juga jangan tinggal diam. Tapi kuharap ayah dan anak itu tak muncul bersama-sama."

"Kalau muncul juga?"

"Hm, memang repot. Tapi See-ong akan kusuruh menghadapi Pendekar Rambut Emas sementara Thai Liong akan kuhadapi bersama Siang Le, juga kalian berlima!"

"Tapi See-ong tak mungkin mau!" nenek Ji-moi kini tiba-tiba berseru. "Daripada menyuruh muridnya membantu orang lain tentu lebih baik muridnya disuruh membantu dirinya sendiri, Togur. Ingat ini dan jangan lupa!"

"Benar," nenek Naga kini mengangguk-angguk, menyambung. "Apa yang dikata Ji-moi betul, Togur. Jangan ambil gampangnya saja dan melupakan itu."

"Ah, kalian tak usah khawatir. Aku akan membuat jebakan kalau Thai Liong dan ayahnya muncul. Kita buat sumur yang dalam dan pancing mereka agar terjeblos di situ!"

"Kalau begitu di Palung Maut!" Siauw-jin tiba-tiba berseru. "Heh-heh, di sini paling tepat, Togur. Kalau kau ingin mengubur hidup-hidup dua ayah dan anak itu maka Palung Mautlah yang paling tepat. Semua gurumu pasti membantu!"

"Hm, Palung Maut? Di mana itu?"

"Tak jauh dari Sam-liong-to. Dan kami telah mengubur dua murid Hu Beng Kui yang sial. Ha-ha, tanya nenek Naga!"

Nenek Naga tersenyum. Akhirnya dia mengangguk dan berseri menceritakan itu, tentang Hauw Kam dan suhengnya yang dikubur dan dilempar ke Palung Maut, sebuah palung atau sumur yang amat dalam dimana tak mungkin ada manusia dapat menyelamatkan diri. Mereka terpaksa membuang dua orang itu karena Hauw Kam dan suhengnya dirasa tak membawa keuntungan lagi. Membawa-bawa mereka hanya menambah beban saja. Dan ketika Togur tersenyum dan bersinar-sinar mendengarkan itu maka dia setuju dan mengangguk.

"Hm, Kim-mou-eng memang merupakan duri bagiku. Selama dia masih hidup maka aku memang tak dapat tenang. Baiklah, Palung Maut kita siapkan dan kalian tunjukkan padaku nanti dimana tempat itu."

"Juga Thai Liong, kita masukkan sekalian!"

"Ha-ha, bukan hanya Thai Liong saja, suhu. Melainkan semua musuhku, yang berbahaya!"

"Dan See-ong!" nenek Naga tiba-tiba berseru. "Kakek itu juga berbahaya untukmu kelak, Togur. Memecah kekuatan disini saja sudah mengurangi kewibawaanmu sebagian. Kakek iblis itu juga harus dimasukkan daftar!"

Togur terkejut. Seperti diingatkan sesuatu mendadak dia menoleh dan berdehem, memandang subonya itu tapi kemudian tersenyum. Dan ketika dia mengangguk dan berkata perlahan maka dia menjawab, "Subo benar. See-ong juga berbahaya dan patut masuk daftar. Tapi sudahlah, tak perlu kalian ribut-ribut, subo. Siapa pun yang menjadi musuhku pasti sudah kuperhitungkan! Sekarang kalian tenang saja dan tiga hari lagi persiapkan diri kalian untuk melakukan serbuan lagi ke selatan. Kedudukan kita sekarang bertambah kuat karena See-ong ada di sini!"

"Dan kau tak khawatir kakek ini membuat sesuatu di tengah jalan? Dengan muridnya misalnya?"

"Hm, suhu maksudkan apa?"

"Aku takut See-ong dan muridnya bersimpang jalan, Togur. Karena kita sama tahu siapa pemuda itu!"

"Benar," Cam-kong kini bicara. "Bocah bernama Siang Le itu tak pantas menjadi murid gurunya, Togur. Pemuda ini terlalu lemah dan banci seperti perempuan. Belum pernah selama ini kulihat dia berbuat jahat!"

"Hm, kalian tak perlu khawatirkan itu. Aku dapat meraba keadaan. Sudahlah, sekarang kalian istirahat dan tiga hari lagi siapkan diri kalian untuk menyerbu selatan. Panggil para penari dan penghibur itu, suruh mereka bermain di sini!"

Siauw-jin terkekeh. Tiba-tiba mendahului temannya dia sudah berkelebat dan melaksanakan perintah itu, memanggil para penari dan penghibur yang dimaksud muridnya. Di tengah-tengah mereka memang terkumpul belasan para penari dan pemain musik, semuanya wanita, cantik-cantik. Terdiri dari campuran suku bermacam-macam karena Togur merampasnya dari mana-mana. Ada yang milik Cucigawa dan ada pula dari selir-selir raja liar, ketika Togur dan gurunya menaklukkan suku-suku bangsa di luar pedalaman. Dan ketika tak lama kemudian Siauw-jin sudah datang lagi dengan dua belas penari cantik dan penghibur yang berpakaian gemerlapan maka nenek Naga dan Toa-ci serta Ji-moi melengos, berkelebat pergi.

"Aku tak mau melihat pertunjukan ini. Biarlah Togur menikmati senang-senangnya!"

"Ha-ha!" iblis cebol itu terbahak. "Tak usah sakit hati melihat kaummu menjadi permainan Togur, nenek siluman. Kaupun di masa mudamu sering juga menghibur laki-laki!"

"Cuh!" nenek Naga meludah. "Siapa bilang? Jaga mulutmu, atau kutampar nanti!"

Dan ketika nenek itu pergi sementara Siauw-jin terkekeh-kekeh maka seorang di antaranya, yang tercantik dan berbaju merah sudah dilempar ke arah pemuda itu, ditangkap dan diterima.

"Ha-ha, apa kabar, Wi Ni? Kau tak rindu padaku? Hayo, menyanyilah, hibur aku dengan sebuah lagu indah! Dan kalian.... he!" Togur menuding yang lain. "Bermain musiklah yang merdu dan biarkan kedua guruku ikut bersenang-senang!"

Para wanita itu, yang sudah dilempar dan terhuyung di tengah ruangan lalu tersenyum dan terkekeh manis, tentu saja buatan karena mengeluh atau meratap di situ hanya akan menambah sengsara saja. Siauw-jin si kakek cebol meremas-remas mereka tadi dan tak ada di antara mereka yang berani menolak.

Berminggu-minggu atau berbulan-bulan mengikuti pasukan besar ini dan harus melayani Togur serta dua gurunya adalah hal yang dianggap biasa adanya, kalau mereka tak ingin mati. Dan ketika Wi Ni, si cantik berpakaian merah sudah dicium dan diremas tubuhnya maka musikpun ditabuh dan Wi Ni menyanyi, tersenyum dan melenggak-lenggokkan tubuhnya dan Togur tertawa gembira. Dalam keadaan seperti itu tak ada jalan lain untuk mengendorkan ketegangan selain mencari dan mendapatkan hiburan, mendengarkan lagu-lagu indah serta suara merdu Wi Ni. Gadis atau wanita baju merah ini sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan ketika Siauw-jin terkekeh-kekeh dan meminta arak pada wanita yang lain maka Cam-kong menyeringai dan bangkit nafsunya.

"Hayo, bersenang-senang, Cam-kong. Atau kau pergi dan mendengkur di kamarmu, sendirian!"

"Heh-heh, siapa mau? Jelek-jelek kau sudah mengajari aku, Siauw-jin. Kalau Togur sudah memperkenankan kita tak baik menolek rejeki. Marilah, berikan seorang dan biarkan aku bersenang-senang!"

Siauw-jin terbahak. Kalau sudah begitu maka dia akan melempar seorang penari yang sudah dilirik temannya ini. Cam-kong menerima seorang wanita baju hijau dan menjeritlah wanita itu ketika dilempar ke arah kakek ini. Cam-kong adalah kakek tinggi kurus yang tentu saja tak menyenangkan mukanya. Kakek ini bermuka pucat dan penampilannya pun dingin. Tapi ketika dia disambar dan dipeluk kakek itu maka Cam-kong dapat juga tertawa, berbisik,

"A-cheng, kau sudah pernah melayaniku, bukan? Nah, marilah. Kita berjoget sebentar dan setelah itu masuk kamar!"

"Ih!" si cantik ngeri. "Jangan terlampau keras mencengkeram tubuhku, locianpwe. Aduh, kendorkan sedikit!"

"Ha-ha, kalau begitu boleh. Tapi aku sudah tak tahan melihat kulit tubuhmu yang halus...bret!" dan Cam-kong yang merenggut serta merobek baju pundak lawannya lalu terkekeh dan menyambar gadis ini kembali, menciumi dan mendengus-dengus dan A-cheng, gadis itu, terpaksa menyambut.

Menolak dan bahkan bersikap jijik terhadap kakek iblis ini amatlah berbahaya. Dia dulu pernah dibanting dan dihajar pingsan. Maka ketika Cam-kong meremas dan mencium mulutnya tiba-tiba gadis ini membiarkan dan pura-pura menyambut, menahan napas dan muntahnya karena hampir saja dia tak kuat menahan bau busuk yang keluar dari mulut kakek itu. Cam-kong agaknya iblis yang tak pernah membersihkan mulut, juga jarang sekali mandi!

Dan ketika gadis itu ah-uh-ah-uh menggeliat dan mengerang menahan takut maka temannya yang lain sudah disambar Siauw-jin pula, ditubruk dan diremas dan bau arak segera menguar di ruangan itu. Togur sendiri tertawa-tawa melihat tingkat dua gurunya. Masing-masing kakek yang rupanya ingin menjadi muda kembali dan penuh semangat, mulai menari dan mengikuti irama musik. Dan ketika musik ditabuh semakin panas dan dua gurunya itupun agaknya semakin bergairah maka Siauw-jin sudah membelejeti pakaian penarinya hingga telanjang.

"Hayo, ha-ha! Hayo menari dan tanggalkan pakaian kalian. Tunjukkan kepada kami tarian Puteri Ular!"

Cam-kong tertawa aneh. Dia sendiri juga sudah merenggut semua baju A-cheng hingga gadis itu telanjang bulat. Tubuh yang mulus putih sungguh menggetarkan setiap lelaki yang melihatnya. Gadis itu menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terpenting tapi Cam-kong malah tertawa-tawa menyibaknya. Ruangan menjadi hingar-bingar karena wanita-wanita itu menjerit oleh tingkah Siauw-jin yang melompat-lompat kegirangan. Sebentar kakek ini colek sana-sini dan menyuruh yang lain membuka pakaian.

Lampu yang semula terang-benderang tiba-tiba dimatikan sebelah, suasana menjadi remang-remang namun itulah kesukaan mereka bila sudah mulai berpesta gila. Seperti inilah biasanya nafsu mereka bangkit kalau sudah dirangsang seperti itu. Tapi ketika Siauw-jin terbahak-bahak sementara Cam-kong terkekeh melempar-lempar A-cheng ke atas mendadak Togur berkelebat dan berseru pada kakek cebol itu,

"Suhu, tahan sebentar nafsumu. Panggil See-ong atau muridnya kemari!"

Siauw-jin terkejut. Dua belas wanita itu sudah tak berpakaian lagi karena mereka menari sambil memainkan alat musik tiada ubahnya bayi-bayi polos yang baru lahir ke dunia. Nafsunya sudah menggelegak dan sebentar-sebentar kakek ini menenggak arak seraya menyambar tubuh-tubuh penari itu dengan tawanya yang serak parau. Tapi begitu muridnya datang mengganggu dan memerintahkan dia untuk memanggil See-ong atau Siang Le tiba-tiba kakek ini melempar seorang penari yang baru saja dicubit ketiaknya, bukan cubit sembarang cubit melainkan sebuah cubitan yang mengarah pada siksaan, sebagai pelampias dongkol atau marah akibat perintah itu.

"Aduhh...!"

Siauw-jin terbahak-bahak. Penari yang dicubit itu menjerit dan tentu saja berteriak kesakitan. Kakek ini tak berani membalas Togur dan wanita itulah yang menjadi gantinya. Dan ketika wanita itu ditendang mencelat sementara suara musik juga mulai kacau karena kakek ini kelihatan beringas maka Siauw-jin berkelebat keluar sambil membetulkan celananya yang kedodoran, tak lama kemudian sudah datang lagi dengan membawa Siang Le. See-ong tak ditemukan dan kakek itu berkata pada Siang Le bahwa Togur mengundangnya. Ribut-ribut di ruangan itu memang menarik perhatian pemuda ini. Tapi begitu Siang Le melihat wanita-wanita yang telanjang bulat tiba-tiba saja dia terkejut dan marah sekali.

"Keparat, untuk apa kau membawaku kemari, Siauw-jin? Kau menghinaku?"

"Ha-ha, sabar. Yang memanggilmu adalah Togur, bocah, bukan aku. Kau akan diajaknya bersenang-senang dan marilah masuk ke dalam!"

"Bedebah, terkutuk. Aku tak mau!" namun Siang Le yang melompat dan mau pergi dari tempat itu tiba-tiba mendengar jerit tertahan dari seorang penari, melihat dilemparnya sesosok tubuh ke arahnya dan itulah perbuatan Togur.

Pemuda ini berseru agar Siang Le berhenti dulu sebentar, wanita itu dilempar dan akan terbanting kalau Siang Le tidak menangkapnya. Paling tidak wanita itu akan pingsan, salah-salah luka parah! Dan ketika Siang Le terkejut dan tentu saja menangkap tubuh itu untuk menyelamatkan wanita ini maka tubuh-tubuh yang lain mendadak beterbangan ke arahnya.

"Ha-ha, jangan pergi, Siang Le. Aku mengundangmu baik-baik untuk menikmati pertunjukan ini. Marilah, masuk dan bawa mereka kembali ke dalam!"

Siang Le merah padam. Tubuh-tubuh telanjang yang dilemparkan kepadanya tak kurang dari tujuh orang itu tentu saja membuat pemuda ini panas dingin. Siang Le belum pernah melihat wanita telanjang sebanyak itu, tujuh diluar dan masih lima di dalam. Rata-rata memiliki tubuh-tubuh yang menggairahkan dan kencang serta berisi. Tak tahan dia! Dan karena Siang Le segera maklum bahwa dia hendak dijebak ke dalam sebuah perbuatan kotor tiba-tiba pemuda ini membentak dan melempar wanita terakhir pada Togur. Lalu begitu Togur menangkap dan menerimanya mendadak pemuda ini sudah berkelebat dan menyerang pemuda itu!

"Togur, aku bukan pemuda hidung belang. Kalau kau menghinaku dan hendak memaksa agar aku mempermainkan wanita-wanita ini kau salah besar. Mampuslah!"

Togur mengelak. Dia terkejut tapi segera tertawa ketika serangan-serangan lain susul-menyusul. Tentu saja dengan mudah dia menghindari serangan lawannya itu. Dan ketika satu serangan kilat tak dapat dielak kecuali ditangkis maka Togur sudah mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan tertawa berkata, mengejek, "Sudahlah, kalau kau tak suka silahkan pergi. Kita bukan musuh.... duk!"

Dan Siang Le yang terpental serta berjungkir balik ke belakang lalu dihadang Siauw-jin dan Cam-kong. Dua iblis itu cepat melindungi Togur karena itu tugas mereka. Dan ketika Siang Le marah-marah dan Cam-kong membujuk agar pemuda itu keluar baik-baik maka Siang Le justeru membentak dan menyerang kakek ini.

"Kau pun keparat! Kalian semua iblis, Cam-kong. Bedebah!"

Cam-kong menangkis. Suasana menjadi ribut karena Siang Le mengamuk. Pemuda itu gusar dan menyerang kakek ini. Tapi ketika Cam-kong menangkis serangan-serangannya dan Siauw-jin maju sambil tertawa lebar maka Siang Le terdesak dan tentu saja bukan tandingan dua kakek ini, yang maju berbareng dan masing-masing mengerahkan kepandaiannya. Siang Le terdesak dan terus terdesak, akhirnya menerima satu pukulan keras dan pemuda itu mengeluh. Dan ketika dia terlempar dan Cam-kong membujuk agar dia keluar baik-baik, disertai maaf dan sikap hormat mereka berdua maka Siang Le terhuyung melotot pada mereka, tahu diri.

"Baiklah, aku mau keluar. Tapi kalian harus mencium kakiku sebagai tanda maaf!"

Siauw-jin terkejut. Kakek ini terbelalak dan merah mukanya. Tapi karena Togur tertawa dan menyuruh mereka melakukan itu, tak mau ribut-ribut karena See-ong ada di belakang pemuda ini maka Siauw-jin berlutut dan apa boleh buat mencium kaki Siang Le, begitu juga Cam-kong!

"Nah, lain kali jangan main-main denganku. Atau aku akan bersikap lebih kejam kepada kalian!"

Dua kakek itu melotot. Mereka menahan gusar tapi tak berani macam-macam lagi ketika Siang Le melompat pergi. Togur tertawa merasa geli kepada dua gurunya ini yang marah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia suka sekali tak merasa kasihan, bahkan mentertawakan dua gurunya itu. Dan ketika pesta dilanjutkan lagi dan dua kakek ini melepas geram kepada penari-penari cantik yang tadi sejenak tertegun dan membelalakkan mata maka Siang Le berkelebat dan sudah keluar dari ruangan itu.

Pemuda ini merah padam dan berkerot gigi. Dia tadi didatangi Siauw-jin dan diajak ke tempat itu, katanya dipanggil Togura untuk suatu keperluan penting. Tentu saja dia tak menduga bahwa dia bakal disuguhi belasan penari telanjang bulat dan ingin diajak serta untuk melakukan kecabulan disitu. Togur memang sudah didengarnya sebagai pemuda bejat yang suka mempermainkan wanita. Dia marah dan tentu saja menolak.

Dan ketika pemuda ini berkelebat dan mengutuk serta mengepal tinju tiba-tiba didengarnya rintihan dan kekeh aneh di balik gerumbul sebelah kiri. Apa yang terjadi? Siang Le ingin tahu. Dia menahan langkahnya untuk berbelok ke tempat itu. Tapi begitu dia melihat apa yang terjadi tiba-tiba Siang Le mengutuk dan mengumpat caci.

Apa yang dilihat? Bergumulnya nenek Naga dengan seorang perajurit muda yang sedang birahi! Nenek itu terkekeh-kekeh dan bermain cinta dengan seorang perajurit muda yang disuruhnya melayani, tentu saja mempergunakan kepandaiannya dan nenek itu mencekoki pula obat perangsang. Tanpa begini tak mungkin perajurit muda itu bangkit nafsunya. Nenek ini sudah kempong peyot, mukanya penuh keriput. Siapa mau melayani kalau tidak dipaksa dengan obat atau kepandaiannya?

Dan ketika Siang Le tahu itu dan tentu saja meninggalkan tempat menjijikkan itu sambil memaki si nenek maka di tempat-tempat yang lain dia melihat pula Toa-ci dan Ji-moi melakukan hal yang sama. Rupanya, melampiaskan kegeraman dan benci mereka melihat Siauw-jin dan Cam-kong mempermainkan penari-penari cantik maka tiga orang nenek ini ganti mempermainkan tiga laki-laki muda sebagai balas dendam.

Hal itulah yang dilihat Siang Le dan tentu saja pemuda ini semakin muak. Apa yang dilihat sungguh tokoh-tokoh yang amat jahat. Baik Togur maupun guru-gurunya sama-sama orang yang tidak kenal malu. Dan ketika pemuda itu meninggalkan tempat itu sambil memaki habis-habisan maka disana Togur dan guru-gurunya berpesta dalam suasana pesta gila!

* * * * * * * *

"Berhenti, aku capai. Kakek itu iblis dan sungguh-sungguh siluman!" Hauw Kam, yang gemetar dan melempar tubuh di mulut hutan setelah berlarian tiga hari tiga malam oleh rasa takutnya yang hebat kepada See-ong sudah meminta suhengnya berhenti dan megap-megap disitu. Laki-laki ini pucat dan tiga hari tiga malam berlarian tanpa henti sungguh membuat dia kelelahan.

Gwan Beng sebenarnya juga begitu namun si cambang bermuka gagah ini menguat-nguatkan tubuhnya. Dia lelah lahir batin dan juga ketakutan hebat. See-ong yang mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan mampu menghilang seraya melepas pukulan-pukulan di balik ilmu hitamnya sungguh membuat dia gentar bukan main. Maka begitu sutenya mengeluh dan roboh melempar tubuh disana, di mulut hutan kecil maka Gwan Beng pun terhuyung dan jatuh terduduk.

"Iblis! Kakek itu siluman. Kita bukan ketemu manusia lagi!"

"Benar, dan ilmu setannya itu hebat benar, suheng. Dua kali kita kalah oleh orang-orang yang kepandaiannya di atas kita!"

"Hm, siapa maksudmu?"

"Eh, bukankah Kim-mou-eng dan kakek itu? Dan kita keok, sungguh kepandaian kita dangkal!"

Gwan Beng menutupi muka. Laki-laki gagah yang sayang terganggu jiwanya ini tiba-tiba menangis. Entah kenapa tiba-tiba dia tersedu dan mengguguk. Dan ketika sutenya terbelalak dan menyeringai aneh mendadak Hauw Kam menutupi mukanya pula dan menangis, tersedu-sedu, mengguguk seperti suhengnya pula!

"Benar, hu-hukk... kita tak berdaya menghadapi orang-orang lihai seperti Kim-mou-eng dan kakek iblis itu, sute. Kita sungguh dangkal dan bodoh sekali!"

"Dan kita hampir saja dibunuh! Ah, tak mampukah kita membalas dendam, suheng? Apakah kita selamanya menjadi permainan orang-orang lihai?"

"Tapi Kim-mou-eng lebih baik. Pendekar Rambut Emas itu tak bermaksud membunuh kita. Dan isterinya, he...!" Gwan Beng tiba-tiba berseru, membuka telapaknya. "Apakah kau tak merasa kenal dengannya, sute? Dan dia menyebut kita suheng. Ha-ha, sandiwara gila apakah yang dilakukan Kim-hujin (nyonya Kim) itu?"

Hauw Kam membuka pula telapak tangannya. Melihat suhengnya tertawa setengah menangis tiba-tiba iapun tersenyum lebar dan tertawa. Dan ketika dia terpingkal dan suhengnya menggaruk kepala maka Hauw Kam melompat bangun, berseru, "Benar, Kim-hujin itu rupanya gila, suheng. Tapi diingat-ingat agaknya aku serasa mengenal dirinya. Ha-ha, kita orang-orang gila ketemu orang-orang tidak waras!"

"Hm, agaknya begitu. Tapi, ssst... ada orang datang!" Gwan Beng menoleh ke kiri, cepat menyuruh sutenya berhenti ketawa tapi dua bayangan yang berkelebat itu sudah menyambar tiba. Mereka terkejut dan tersentak karena satu dari dua bayangan itu adalah seorang pemuda berambut keemasan. Dan begitu pemuda ini tiba di depan mereka maka Gwan Beng dan sutenya mencelat ke belakang.

"Kim-mou-eng...!"

Pemuda itu, yang sudah datang bersama temannya ikut terkejut. Dia adalah Thai Liong dan tadi dua pemuda yang dalam perjalanan ini mendengar percakapan di hutan. Thai Liong berhenti karena mendengar disebut-sebutnya nama ayahnya, juga ibunya.

Dan karena dia ingin tahu dan tentu saja berkelebat ke arah dua orang itu maka dia tertegun melihat dua laki-laki setengah gembel yang langsung menyebut dirinya sebagai Kim-mou-eng, ayahnya. Dan begitu dua orang itu terkejut melihat kedatangannya mendadak mereka memutar tubuh dan mengambil langkah seribu, lari lintang-pukang...!