Sepasang Cermin Naga Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 17
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SEMUA pengawal dan orang-orang yang ada di situ tertegun. Mereka terpaku oleh gerakan yang serba cepat ini, masuk dan menyerbunya kawan-kawan A-Hauw itu. Dan ketika tendangan atau pukulan disusul berkelebatnya senjata tajam yang bertubi-tubi mendarat di tubuh Kwee Han maka lolong dan jerit Kwee Han mirip srigala yang dikeroyok ribuan tikus buas.

"Aduh, tolong.... aduh....!"

Kwee Han tak dapat melarikan diri. Massa telah mengepungnya, penduduk atau nelayan-nelayan Ming-ciang itu telah begitu histeris menikam atau membacok. Suara dan teriakan mereka menutupi suara atau teriakan Kwee Han. Dan ketika Bu-ciangkun membentak namun orang-orang itu bahkan semakin buas dan semakin merarajalela maka berkelebatlah bayangan kuning emas yang mengeluarkan suara bagai guntur menggetarkan bumi.

"Berhenti...!"

Ratusan orang itu terpelanting. Mereka roboh oleh bentakan Pendekar Rambut Emas yang mengerahkan khikangnya, terbelalak melihat Kwee Han berlumuran darah dan sudah tidak bergerak lagi, tewas dengan usus cerai-berai. Dan ketika pendekar itu tertegun dan bayangan ramping berkelebat disampingnya maka Swat Lian bergidik dan memegang tangan kekasihnya ini.

"Cukup kalian menghukum orang!" Kim-mou-eng membentak, marah. "Semua perbuatan Kwee Han telah ditebus dengan nyawanya, saudara-saudara. Kalian tak boleh mengganggu mayatnya setelah dia mati"

Nelayan-nelayan itu terpaku. Bu-ciangkun kini berkelebat dan menegur mereka pula, marah karena bentakannya tadi tak dihiraukan. Dan ketika semua didamprat dan A-hauw serta teman-temannya menunduk maka Han-taijin bangkit berdiri menyuruh orang-orang itu berkumpul disudut. Mereka kini dituduh mengacau di istana di tempat kaisar, tempat yang seharusnya bersih dan tak boleh ada keributan. Dan ketika Kim-mou-eng menarik napas dan marah memandang orang-orang itu mendadak Pwee-lopek, lelaki tua menjatuhkan diri berlutut.

"Taihiap ampunkan kami semua. Kami bersalah, tapi kesalahan kami didorong emosional semua perbuatan Kwee Han yang semena-mena Kepada kami. Kami adalah rakyat miskin, orang yang hanya memiliki tenaga dan menjual tenaga untuk sesuap nasi bagi anak isteri di rumah. Dapatkah taihiap membantu kami membebaskan diri dari tuduhan istana?"

"Hm,” Pendekar Rambut Emas tergetar, terharu memandang kakek ini. "Kau yang paling tua disini, lopek. Dan kau yang seharusnya paling bijaksana. Urusan ini sebenarnya urusan istana, tak seharusnya aku ikut campur. Tapi karena aku telah mengetahui kejadian ini dan dapat memahami emosi kalian yang meluap-luap biarlah kumintakan ampun pada Han-taijin!" dan memandang menteri tua itu Pendekar Rambut Emas bicara, "Taijin, bolehkah mereka di ampuni? Pandanglah mukaku, taijin. Dan beri mereka kelegaan batin!”

"Hm, biarlah kulaporkan sri baginda dulu, taihiap. Tapi agaknya tak semudah ini. Mereka harus diberi pelajaran!"

"Kami mengaku salah," Pwee-lopek kini berlutut di depan menteri itu. "Tapi sudilah memberikan hukuman seringan-ringannya, taijin. Kami orang-orang kasar memang tak tahu sopan santun istana."

"Baiklah, dapat kuurus, Pwee-lopek. Betapa pun aku juga memahami emosi kalian."

"Dan Khek-taijin," tiba-tiba A-hauw melompat, menghadapi Kim-mou-eng. "Sudilah kau membantu kami menuntaskan masalah ini, taijin. Kami terus terang khawatir diganggunya oleh juragan-juragan perahu itu!"

"Hm," Kim-mou-ong teringat. "Bagaimana dengan menteri Khek itu, taijin? Apakah dia dibiarkan bercokol di sana dengan sekutu-sekutunya?"

"Maaf, akan kami bicarakan dengan sri baginda, taihiap. Tunggulah!" namun baru menteri itu membalik tiba-tiba kaisar muncul. "Ah, hormat kepada sri baginda!" Han-tajin berlutut, diikuti yang lain-lain. "Kebetulan paduka datang, sri baginda. Urusan telah selesai kecuali nelayan-nelayan Ming-ciang ini, dan juga Khek-taijin!"

Kaisar mengangguk. Dia telah mendengar laporan di ruang sidang itu, mengetahui tewasnya Kwee Han dan kejadian lain-lain, juga kehadiran Kim-mou-eng yang tentu saja diseganinya. Pendekar Rambut Emas itu telah banyak berjasa semenjak ayahnya masih hidup, mendiang kaisar lama. Dan ketika Pendekar Rambut Emas memberi hormat dan kaisar muda tersenyum memandang Kim-mou-eng maka urusan hari itu segera diselesaikan.

Bahwa Khek-taijin dimutasikan jauh ke barat, tak lagi boleh berhubungan dengan hartawan-hartawan di Ming-ciang. Jadi tak dapat menerima upeti lagi dan otomatis runtuhlah "backing" yang diberikan menteri itu kepada Cu-wangwe dan lain-lain, hal yang menggirangkan hati kaum nelayan itu, sebuah jaminan yang akan merobah nasib mereka. Tapi ketika kaisar bicara tentang mereka dan keonaran yang mereka lakukan di istana harus dihukum maka kaisar menjatuhkan hukuman tiga hari.

"Kalian harus tahu aturan. Kalian telah melanggar tata tertib. Tapi karena Kim-mou-eng ada di sini biarlah menghormat mukanya kalian ku beri hukuman seringan-ringannya. Tiga hari kalian harus dikurung dan baru setelah itu boleh bebas kembali ke tempat masing-masing."

"Terima kasih....!" Pwee-lopek dan teman-temannya berseru serentak. "Hamba taat dan patuh, sri baginda. Sungguh bijaksana dan mulia hati paduka!"

Orang-orang itu girang. Hukuman yang diberikan kaisar memang ringan, bahkan amat ringan. Dan ketika mereka berlutut menyatakan kegirangan dan nelayan-nelayan Ming-ciang ini berseru mengucapkan terima kasih maka persoalan selesai dan akhirnya pulanglah mereka setelah tiga hari menjalani hukuman kurungan. Tak ada lagi peristiwa dan benar saja terjadi perobahan besar-besaran setelah kaisar turun tangan, memindahkan Khek-taijin dan Cu-wangwe serta teman-temannya ikut menyingkir.

Maklumlah, tak mungkin mereka tinggal lagi di Ming-ciang setelah tindak-tanduk mereka dimusuhi nelayan-nelayan itu, yang menjadi berani dan keras setelah kaisar turun tangan. Apa lagi Kim-mou-eng sendiri menemui juragan-juragan perahu itu dan dengan keras serta tegas Pendekar Rambut Emas ini mengecam mereka, siap menghajar mereka kalau meneruskan sepak terjangnya yang merugikan rakyat. Dan ketika satu persatu para pemeras itu pergi dan nelayan Ming-ciang hidup mandiri maka Pwee-lopek menjatuhkan diri berlutut di depan Pendekar Rambut emas itu, sekali lagi mengucap terima kasih.

"Kami tak dapat membalas apa-apa, semoga budi kebaikan taihiap diingat dan dicatat Thian Yang Maha Kuasa!"

Kim-mou-eng tersenyum. Dia menepuk pundak kakek itu dan berkelebat pergi. Dan ketika kakek itu menarik napas dan tak habis merasa kagum maka Kim-mou-eng sudah lenyap dan bersama kekasihnya serta enam tokoh ketua partai Pendekar Rambut Emas itu telah menghadap Bu-beng Sian-su.

* * * * * * * *

"Nah, apa yang kalian lihat?" Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu duduk di dalam hutan. Waktu itu Hu-taihiap duduk di sampingnya dan kakek ini tersenyum-senyum.

Hu-taihiap sendiri merah mukanya dan menunduk, tak banyak bicara dan sekali-kali dia mengerling. Kegarangan dan keberingasannya tak tampak lagi, tanda bahwa Bu-beng Sian-su agaknya telah "menjinakkan" si jago pedang ini, dengan nasihat atau wejangan-wejangannya. Dan ketika semua orang balik memandang dan tak ada yang menjawab maka kakek dewa itu memandang Bi Kong Hwesio.

"Kau," katanya, "apa yang kau lihat, Bi Kong lo-suhu? Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Hm," hwesio ini berdebar, mengebutkan lengan. "Pinceng (aku) tak melihat apa-apa, Sian-su. Tak mengerti dan justeru ingin mendapat keterangan!"

"Siancai!" Yang Te Cinjin berseru, menyambung. "Pinto juga tak mengerti akan semuanya ini, Si Sian-su. Pinto merasa bingung dan juga ingin mendapat keterangan!"

"Benar," yang lain-lain berseru. "Kami semua tak mengerti akan perintah-perintahmu, Sian-su, Kenapa harus menyaksikan semuanya ini dan apa hubungan bocah she Kwee itu dengan Hu-taihiap!"

"Kalian tak mengerti apa-apa?"

"Tidak!"

"Kalau begitu mari kita mulai," dan Bu-beng Sian-su yang tertawa mengulapkan lengannya tiba-tiba berseru. "Cuwi pangcu, dan kau Kim-mou-eng, dengar dan lihatlah apa yang hendak kutunjukkan ini. Pokok pembicaraan adalah masalah keadilan, ketidakadilan...."

"Nanti dulu," ketua Kong-thong tiba-tiba berseru. "Kami hendak membicarakan Cermin Naga, Sian-su. Bicara seperti apa yang kau janjikan dulu!”

"Benar," yang lain teringat. "Hu-taihiap tak percaya bahwa kami mendapat ijinmu untuk melihat benda itu, Sian-su. Kalau pembicaraan tak ada hubungannya dengan ini lebih baik pembicaraan itu ditunda!"

"Ah, kalian keliru," Bu-beng Sian-su tertawa "Kalian tak sabar, Yang Te Cinjin. Apa yang ku bicarakan selalu kait-mengait. Keadilan atau ketidakadilan itu justeru terletak pada pembicaraan Cermin Naga ini."

"Jadi cermin itu ada hubungannya?"

"Benar."

"Kalau begitu lanjutkanlah, maaf kami telah memotong!" dan Yang Te Cinjin yang mundur dengan muka tersipu lalu meminta maaf karena sebagai orang kang-ouw tentu saja dirinya lebih tertarik membicarakan Cermin Naga daripada Kwee Han, pemuda yang disangka tak ada hubungannya itu, pemuda menyebalkan yang telah dibunuh teman-temannya sendiri, karena dia dan teman-temannya telah mengikuti jalannya peristiwa di istana. Dan ketika kakek itu tersenyum dan mengebutkan lengannya maka Bu-beng Sian-su berkata, sabar namun mulai bersungguh-sungguh.

"Cuwi pangcu, apa yang kalian lihat dan dengar sesungguhnya saling terkait. Urusan bocah she Kwee itu erat hubungannya dengan Cermin Naga. Dan karena hal ini kait-mengait biarlah Hu-taihiap memperlihatkan sejenak benda itu kepada kalian."

"Hm," Hu-taihiap menghela napas. "Maaf bahwa cermin ini baru sekarang kuperlihatkan, Yang Te Cinjin. Tapi harap kalian ketahui saja, bahwa benda ini adalah milikku!" jago pedang itu mengeluarkan sepasang benda berkilau, meletakkannya di pangkuan Bu-beng Sian-su dan kakek dewa itu tersenyum. Dan ketika semua terbelalak! dan kagum ingin mengetahui tiba-tiba Bu-beng Sian-su mengangkat benda itu di atas kepala.

"Siapa ingin melihat?"

"Aku...!"

"Aku...!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Baiklah urut dari kiri ke kanan, Yang Te Cinjin, Bi Kong lo-suhu mendapat kehormatan pertama!" kakek itu melemparkan sepasang Cermin Naga, memberikannya pada Bi Kong Hwesio dan segera ketua Siu-lim itu menerima.

Dengan cepat dan penuh keinginan tahu yang besar hwesio itu mengamati, kagum dan membolak-balik dan segera terlihatlah olehnya sepasang gambar aneh di sepasang cermin itu. Pertama adalah gambar atau lukisan menyeramkan mirip setan atau siluman sedang gambar atau lukisan kedua adalah sepasang dewa-dewi yang cantik dan gagah menunggang naga, hal yang membuat kening hwesio itu berkerut. Dan ketika dia membalik dan melihat tiga bait syair di belakang cermin maka Bi Kong Hwesio tertegun.

"Apa ini, Sian-su?"

"Rahasia cermin itu, yang dulu kuberitahukan kalian."

"Dapatkah Sian-su menjelaskannya?"

"Ha-ha, biar yang lain melihat dulu, lo-suhu. Berikan pada Yang Te Cinjin dan lain-lain agar mereka semua tahu."

"Tapi pinceng belum puas!"

"Kalau begitu amati dulu, puaskan dulu. Kalau kau dapat menangkap dan mengerti rahasianya maka kau adalah seorang cerdas!"

Bi Kong Hwesio penasaran. Dia membalik dan mengamat-amati lagi benda ini, teringat bahwa dari benda inilah Hu-taihiap dapat memiliki kepandaian begitu tinggi, ilmu silat yang hebat dan justeru karena ilmu silat itulah dia dan kawan-kawannya mengincar. Tapi ketika tak dilihatnya tanda-tanda lain kecuali gambar dan syair itu maka Bi Kong Hwesio menyerahkannya pada yang lain dan berturut-turut Yang Te Cinjin atau pun Ciu Sek Tosu mengamati, memperhatikan dan mencari-cari rahasia cermin itu, pelajaran ilmu silatnya. Tapi ketika tak ditemukannya apa yang dicari dan Hu Beng Kui diam-diam tersenyum dengan mata yang aneh akhirnya enam tokoh persilatan itu hanya melihat dan mengetahui syair di belakang cermin, selain dua gambar atau lukisan aneh itu.

"Kami tak melihat apa-apa. Cermin ini hanya berisi lukisan dan syair!"

"Benar, kami tak dapat menemukan rahasianya, Sian-su. Cermin Naga hanya berisi syair dan lukisan!"

"Kalian tak mengetahui apa-apa?" Bu-beng Sian-su bertanya. "Kalian tak dapat menemukan sesuatu yang kira-kira berharga?"

"Tidak, kami bodoh. Sian-su. Pinceng tak melihat apa-apa selain lukisan atau syair itu. Sungguh aneh kalau kau menyatakan ada hubungannya dengan Kwee Han dan Hu-taihiap!"

"Hm, bukan hanya Kwee Han dan Hu-taihiap. Bi Kong lo-suhu, melainkan kita semua. Hampir sebagian besar dari kita semua. Kalian sebaiknya memusatkan diri pada tiga bait syair itu!"

"Sian-su dapat menerangkannya?"

"Tentu, dan kita akan ke sana, lo-suhu. Dan sebaiknya mari kita mulai. Lihat!" Bu-beng SianSu membalik Cermin Naga. "Apa yang tertulis di sini, lo-suhu? Kalian dapat membaca tiga bait syair ini?"

"Ya."

"Nah, coba kutulis. Biar kalian membaca!" dan Bu-beng Sian-su yang mengguratkan jarinya di atas pohon tiba-tiba mengulang dan memperbesar kalimat-kalimat di balik cermin itu, cepat dan kuat dan akhirnya terdapatlah duabelas baris kalimat indah di kulit pohon yaag tebal. Dan ketika semua mengamati dan mata tertuju ke situ, maka Bu-beng Sian-su telah mendemonstrasikan kesaktiannya menulis dari udara, tanpa menyentuh atau merusak kulit pohon!

Angkat kepala, busungkan dada
Acungkan tinju pekikkan kata
Tuntut sesuatu demi sesama
Itulah pahlawan harapan kita!

Air beriak di tengah telaga
Berguncang lembut membuai sukma
Jebak-menjebak membodohi kita
Pudarlah pahlawan harapan jaya!

Adil tak adil permainan belaka
Jujur seiring itulah surga
Terpeleset jua si manusia loba
Rusaklah sudah hancur semua!


"Kalian mengerti?" kakek dewa itu bersungguh-sungguh, membalik. "Adakah di antara kalian yang dapat mengulas syair ini?"

"Tidak," Ciu Sek kini menggeleng. "Pinto tak paham apa yang kau maksud, Sian-su. Sebaiknya dijelaskan saja dan biar kami mendengar."

"Baik, kita menuju Kwee Han," kakek itu mengangguk. "Tentu kalian sudah mengetahui cerita pemuda ini, bukan?"

"Ya."

"Apa yang kalian ketahui?"

"Sepak terjang pemuda itu, kekejamannya!"

"Bagus, apalagi, totiang?"

"Hm, apalagi. Sian-su?" Ciu Sek tertegun. "Bukankah itu saja yang terlihat?"

"Benar, secara sepintas, totiang. Kalau kita mau memperhatikan lebih jauh lagi maka banyak yang akan dapat kita tangkap. Kau tak boleh menemukan itu saja!"

"Pinceng tak mengerti," Bi Kong tiba-tiba memotong, mendahului. "Apalagi yang kita lihat dari pemuda itu, Sian-su? Bukankah hanya kekejaman dan kejahatannya saja? Pinceng dan kawan-kawan hanya melihat bahwa pemuda itu kejam dan keji. Dia patut menerima hukumannya dengan kematian!"

"Hukuman adalah akibat dari suatu sebab saja, seperti juga keberhasilan dari suatu sebab tertentu. Aku tidak membicarakan yang terlihat secara lahiriah, lo-suhu. Melainkan ingin mengajak kalian melihat yang lebih dalam, secara batiniah. Aku ingin mengajak kalian menemukan apa yang sebenarnya telah terjadi, inti dari semua kejadian itu, ketidak adilan!"

"Hm, ketidak adilan?"

“Ya, kalian tahu dari mana pemuda ini berangkat?"

"Maksud Sian-su?"

"Lihat dan amati dari mana pemuda itu berangkat, lo-suhu. Barangkali dapat kutuntun kalian bahwa pemuda itu berangkat dari ketidakadilan yang terjadi di tempatnya, Ming-ciang. Bahwa karena tindakan para hartawan curang yang merugikan teman-temannya maka pemuda itu berangkat dan akhirnya mencari keadilan di kota raja, seperti yang sudah terjadi. Tahukah kalian sampai di sini?"

Bi Kong Hwesio dan teman-temannya tertegun, ragu.

"Lihat," kakek itu melanjutkan lagi. "Berawal dari perbuatan Cu-wangwe dan kawan-kawannya pemuda itu lalu pergi ke kota Raja, lo-suhu, bertemu dan akhirnya menjadi sahabat Khek-taijin. Kalian mengerti?"

"Ya."

"Nah, sekarang kita lihat lebih jauh. Kwee Han, berbekal semangat dan rasa keadilannya lalu menuntut perbaikan nasib teman-temannya. tinggal dan akhirnya terbujuk Khek-taijin. Adakah yang salah di sini?"

Yang Te Cinjin menggeleng. "Mula-mula tidak, Sian-su. Tapi setelah itu Kwee Han melakukan kesalahan besar!"

"Bagus, kesalahan apa?"

"Terbujuk oleh Khek-taijin itu, lemah imannya dan melupakan teman-temannya!"

"Hm," kakek itu mengangguk-angguk. "Hanya itu saja, totiang? Kau tak melihat yang lebih penting lagi?"

"Tentang apa? Kepentingan apa?"

"Cari dulu. Jangan bertanya, totiang. Sebaiknya cari dulu dan coba temukan itu. Ada sesuatu yang jauh lebih penting dari sekedar jawaban itu. Kita jangan terburu menuduh seseorang lemah imannya karena pada dasarnya kita adalah juga manusia-manusia yang lemah!"

Yang Te Cinjin jadi kecut, tak lagi menjawab.

"Siapa tahu?" kakek itu memandang sekeliling. "Adakah yang dapat membacanya lewat syair yang kubuat?"

Semua menganguk.

“Lihat," kakek itu menunjuk. "Bait pertama adalah seperti Kwee Han ini, Bi Konglo-suhu. Bahwa dengan langkah dan derap yang gagah pemuda itu menuntut keadilan demi teman temannya. Bahwa dengan tinju teracung dan dada dibusungkan pemuda itu meneriakkan keadilan untuk merobah nasib teman-temannya...."

“Apakah itu salah?" Bi Kong Hwesio memotong.

"Nanti dulu, aku tidak menyatakan salah atau benar, lo-suhu. Tapi sampai di sini pemuda itu telah melakukan sesuatu yang mengagumkan dan berani!"

"Lalu?"

"Lalu sesuatu terjadi, lo-suhu. Kwee Han memasuki sebuah telaga yang beriak perlahan. Pemuda itu memasuki sesuatu yang lembut namun berbahaya, riak yang membuai sukma!"

"Hm, pinto bingung." Swan Cong, ketua Kun-lun menyatakan isi hatinya. "Pinto belum tahu ke mana kau membawa kami, Sian-su. Dapat kah tidak berputar-putar dan terus terang saja menjelaskan maksudmu?" "Ha-ha, kau tak sabar?"

"Benar, pinto penasaran, Sian-su. Dan terus terang saja tak sabar lagi ingin mengetahinya!"

"Kita sedang menuju ke sana," kakek itu tersenyum. "Menerangkan sesuatu tanpa mengurainya terlebih dulu mungkin akan membingungkan bagi yang kurang cerdas, totiang. Sebaiknya sabar dan perhatikan baik-baik. Dengar, tadi aku mengatakan bahwa Kwee Han, pemuda itu, sedang menggebu-gebu menuntut keadilan. Dan kita lihat bahwa sampai di sini pemuda itu sudah berjalan di atas rel kebenaran. Tapi sayang, begitu memasuki telaga yang beriak perlahan namun lembut membuat sukma itu pemuda ini lupa diri...."

"Coba kau lanjutkan," Kwi Hiang Hosiang, ketua Go-boog-pai mulai tertarik. "Piceng melihat sesuatu yang mulai menggetarkan, Sian-su, Agaknya terjadi sesuatu yang menarik di sini."

"Benar, dapatkah kau merabanya?"

"Sedikit saja, tapi pinceng belum berani menyatakan!"

"Hm, sebaiknya tak usah takut, lo-suhu. Ayo kita kupas ini bersama. Lihat, apa yang mendorong pemuda itu meninggalkan Ming-ciang?"

"Karena ketidakpuasan hatinya, ketidakadilan itu."

"Benar, ketidak-adilan yang bagaimana?"

Kwi Hiang Hosiang tertegun.

"Ayo, bicaralah, lo-suhu. Teruskan saja karena teman-temanmu yang lain menunggu!"

"Pinceng takut...."

"Ah, tak perlu takut, lo-suhu. Semua orang bisa salah tapi dari kesalahan itu justeru kita tahu mana yarg benar!"

"Hm, pinceng kira..."

"Ya, kenapa berhenti?"

"Pinceng kira pemuda itu ingin menjadi pahlawan, Sian su. Dia ingin menolong teman-teman nya dan menonjolkan diri!"

“Ah, melenceng!" Bu-beng Sian-su tertawa. "Bukan itu yang menjadi inti sarinya, To-suhu, melainkan sesuatu yang lain. Coba kuterangkan sedikit. Misalnya begini, kalian adalah Kwee Han, nelayan-nelayan Ming-ciang itu, ditindas dan selalu dirugikan hartawan-hartawan pemeras itu. Apa yang mendorong kalian untuk berontak? Apa yang menjadi sebab hingga kalian melawan?"

"Ketamakan hartawan-hartawan itu, Sian-su. Kekejamannya yang tidak mengenal batas!"

"Ya, itu sudah terlihat. Yang lain, lo-suhu, yang belum muncul ke permukaan!"

Kwi Hiang Hosiang bingung.

"Siapa yang tahu?"

"Coba kujawab," Kim-mou-eng, yang mulai mengenal tindak-tanduk suhunya tampil bicara. "Barangkali yang ingin kau maksud adalah perbuatan hartawan-hartawan Ming-ciang yang merugikan rakyat, suhu. Bahwa dari sinilah kau ingin menyatakan pendapatmu tentang Kwee Han."

"Benar, itu yang ingin ku munculkan ke permukaan, Kim-mou-eng. Bahwa ketidak-adilan yang MERUGIKAN inilah yang kutuju. Kaum nelayan itu, termasuk Kwee Han, berontak menuntut keadilan karena mereka merasa dirugikan oleh ketidak-adilan yang dibuat hartawan-hartawan di Ming-ciang!"

"Salahkah itu?" Yang Te Cinjin, yang ingin mendebat dan penasaran tiba-tiba berseru. "Bukankah setiap ketidak-adilan adalah merugikan, Sian-su? Bukankah wajar bila ketidak-adilan yang merugikan ini dilawan?"

"Nanti dulu, jangan menggebu!” Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu tertawa. "Hati-hati dengan setiap ucapanmu. Yang Te Cinjin. Aku khawatir ada kata-kata yang bakal menjadi bumerang bagi dirimu sendiri."

Lalu, ketika semua orang terbelalak dan Yang Te Cinjin tampak terkejut maka kakek dewa ini melanjutkan. "Aku tidak menyatakan ini salah atau benar, Cinjin. Aku masih belum selesai. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan pada kalian, yang mengejutkan!" dan ketika semua orang kembali tertegun dan memandangnya kakek itu bicara lagi, "Lihat, bukankah sekarang kita mengetahui bahwa kedatangan Kwee Han di kota raja adalah karena perasaan dirugikan ini? Bukankah pemuda itu menuntut keadilan karena dia langsung atau tidak langsung, merasa dirugikan? Nah, karena dirugikan itulah dia menuntut keadilan, Cinjin. Karena dirugikan itulah dia dan kawan-kawannya datang ke kota raja!"

Yang Te Cinjin dan lain-lain merasa aneh. "Sian-su,“ tosu itu bicara. "Bukankah wajar bila hal ini dilakukan pemuda itu? Bukankah wajar bila Kwee Han dan kawan-kawannya menuntut keadilan karena merasa dirugikan?"

"Ya, itu wajar, Cinjin. Tapi ada yang tidak wajar!"

"Apa yang tidak wajar? Apa yang tidak benar?"

"Eh, tidakkah kalian lihat? Perhatikan, karena merasa dirugikan maka pemuda itu dan kawan-kawannya menuntut, Cinjin. Karena merasa dirugikan maka Kwee Han dan kawan-kawannya datang ke kota raja!"

"Kami sudah tahu," Bi Kong Hwesio memotong. "Tapi kami tak melihat adanya yang luar biasa, Sian-su. Kami kira wajar dan semestinya kalau orang-orang yang merasa dirugikan ini menuntut keadilan."

"Benar, dan aku juga menyatakan begitu, Bi Kong lo-suhu. Tapi ada sesuatu yang tidak benar, yang tidak semestinya!"

"Apa itu?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Bi Kong lo-suhu," serunya. "Di dunia ini ada dua unsur kekuatan Im dan Yang. Tidakkah kau tahu apa yang ku maksudkan itu? Tidakkah kau mengamati apa yang seharusnya kau amati? Semua orang sebagian besar memang begitu, lo-suho. Kita semua dan siapa saja sebagian besar seperti Kwee Han. Kalau kau bertanya apakah itu maka, coba kalian pikir apakah unsur satunya dari kekuatan Im dan Yang itu. Jangan tergesa bertanya!"

Semua orang memeras otak. Setelan Bu-beng Sian-su menggiring mereka pada persoalan adil dan tidak adil tiba-tiba semuanya tertuju ke sini. Mereka mulai berpikir-pikir apa yang dilakukan Kwee Han, yang tidak wajar itu, yang tidak semestinya, sebuah kupasan yarg harus diulas secara hati-hati, bersifat non-lahiriah. Dan ketika semua orang tertegun dan memandang kakek dewa itu maka Bu-beng Sian-su bertanya,

"Sudah didapatkan? Ada yang tahu?"

Semua menggeleng.

"Ha-ha, bodoh!" Hu Beng Kui tiba-tiba melompat bangun. "Kalian semua tolol seperti aku, Bi Kong lo-suhu. Kalau begitu aku tidak sendirian. Lihat...!" jago pedang itu tiba-tiba berkelebat, lenyap disebelah kiri. "Aku ingin membantu Sian-su agar kalian semua melek, Bi Kong lo-suhu. Dan lihat apa yang kubawa ini.... bluk-bluk bluk!"

Beberapa tubuh tiba-tiba dilempar jago pedang itu, jatuh terbanting di depan semua orang dan Bi Kong Hwesio serta yang lain-lain terkejut. Mereka tak tahu siapakah orang-orang yang dibawa Hu Beng Kui ini, kecuali dapat diduga sebagai nelayan-nelayan sederhana yang pakaiannya amis. Dan ketika jago pedang itu berkelebat kembali dan duduk sambil tertawa maka dia mencengkeram seorang di antaranya sambil berseru,

"Heii, kau siapa namamu?"

Orang itu mengeluh, ketakutan.

"Heh, jawab pertanyaanku, manusia pengecut. Atau kau tak akan ku bebaskan dan menyusul Kwee Han!"

"Tidak... jangan!" orang itu pucat. "Aku A-fuk, taihiap... A-fuk!"

"Nah, kau!" Hu Beng Kui melepas orang ini, menyambar yang lain. "Kau siapa?"

"Aku... aku A-lok!"

"Dan kau!" Hu Beng Kui menyambar yang lain, berturut-turut bertanya. Dan ketika orang orang itu menyebut namanya satu per satu dan mereka dilempar bergulingan maka jago pedang itu berseru, "Nah, lihat. Mereka itu A-fuk dan A-lok, Bi Kong lo l-suhu, juga A-fat dan entah siapa lagi. Mereka ini adalah bekas nelayan-nelayan Ming-ciang pula, begundal Kwee Han. Mereka dulu juga berteriak-teriak tentang ketidakadilan yang merugikan itu tapi sekarang diam tidak bercuap-cuap!"

"Apa maksudmu?"

"Ha-ha, jelas, lo-suhu. Kalau tadi Sian-su sudah mengisyaratkan adanya unsur Im dan Yang maka kebalikan dari merugikan itu adalah menguntungkan. Jelasnya, mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah bercuap-cuap kalau menerima KETIDAKADILAN YANG MENGUNTUNGKAN!"

"Apa?"

"Ya, itu kenyataannya, Lo-suhu. Kita, dan Kwee Han, adalah orang-orang yang suka berteriak-teriak tentang ketidak-adilan yang merugikan. Sedang untuk yang menguntungkan, ha-ha.... KITA MENERIMANYA juga, lo-suhu. Untuk ketidak-adilan yang menguntungkan begini kita tak pernah bercuap-cuap. Lihat Kwee Han itu, dan lihat juga teman-temannya ini. Adakah mereka berteriak-teriak lagi tentang ketidak-adilan di Ming-ciang itu? Ha-ha, tak pernah lo-suhu. Mereka sudah tutup mata dan pura-pura tak tahu akan nasib yang lain-lain di Ming-ciang. Dan orang-orang di Ming-ciang itu juga akan sama saja kalau menerima kejadian seperti Kwee Han. Mereka itu, orang-orang egois itu hanya berteriak-teriak tentang yang merugikan namun tak pernah berkaok-kaok tentang yang menguntungkan. Mereka dan kita di sini sama saja!"

"Ah!" Bi Kong Hwesio melompat kaget, terkesiap. "Kau ekstrim, Hu-taihiap. Kau terlalu!”

"He-he, apanya yang terlalu?" jago pedang itu tertawa bergelak. "Tak usah menutup mata akan kenyataan ini, lo-suhu. Kita harus berani dan jujur melihat semuanya itu! Kita adalah orang-orang yang berteriak tentang ketidak-adilan namun sesungguhnya kita sendiri tak dapat adil terhadap diri sendiri. Dan kalau terhadap diri sendiri kita tak dapat bersikap adil maka jangan harap kita dapat bersikap adil terhadap orang lain. Ha-ha!"

Bi Kong Hwesio pucat. Tiba-tiba bersama temannya hwesio itu menggigil. Apa yang diceploskan Hu-taihiap ini adalah sesuatu yang mengejutkan sekali. Mula-mula dia mau menolak tapi terbentur kenyataan, introspeksi ke dalam diri sendiri dan akhirnya dia melihat apa yang diucapkan itu. Memang, hampir sebagian besar manusia, dengan sebagian kecil saja yang tidak adalah orang-orang dengan type si Kwee Han itu.

Hu Beng Kui akhirnya blak-blakan menceritakan "keberuntungan" Kwee Han, mendengar itu dari A-fak dan lain-lain dan dibukalah oleh jago pedang itu akan ketidakadilan menguntungkan yang dinikmati Kwee Han. Betapa setelah menikmati kesenangan dan kedudukan yang disodorkan Khek-taijin tiba-tiba saja pemuda Ming-ciang itu "lupa" pada teman-temannya. Dan ketika semua dibuka panjang lebar dan Bi Kong Hwesio serta lain-lain juga sudah mengetahui itu dari kejadian di istana maka jago pedang itu menutup,

"Nah, inilah yang hendak dimaksud Sian-su. lo-suhu. Bahwa kalau kita mau berteriak-teriak dan menuntut keadilan maka kita harus jujur dan bertanggung jawab. Kita harus jujur dan bertanggung jawab tentang apa yang kita teriakkan. Kita harus jujur dan bertanggung jawab tentang apa yang kita pekikkan. Sebab kalau kita berteriak-teriak tentang ketidak-adilan yang merugikan namun kita tak pernah berkaok-kaok tentang ke tidakadilan yang menguntungkan maka kita mau enaknya sendiri dan tidak bertanggung jawab. Dan kita cenderung untuk melakukan itu, kita mudah terpeleset oleh riak telaga kehidupan yang menina-bobok, yang menyenangkan!"

Bi Kong Hwesio dan yang lain-lain bengong. Sekejap tiba-tiba pembicaraan sudah diambil alih oleh si jago pedang ini. Hu Beng Kui meluap-luap dan bersemangat. Tapi ketika jago pedang itu tampak berapi-api dan semua orang tertegun maka Bu-beng Sian-su tertawa lembut mengebutkan lengannya.

"Duduklah, jangan terlampau bersemangat, Hu-taihiap. Kau pun melakukan seperti apa yang dilakukan Kwee Han, meskipun agak sedikit berbeda."

"Benar," jago pedang itu mengakui "Aku sekarang melihatnya, Sian-su. Aku sekarang mengerti!"

Bi Kong Hwesio tertarik. "Apanya yang berbeda, Sian-su? Di mana letak perbedaannya?"

"Dengarlah," kakek dewa itu tersenyum. "Aku hendak menjelaskannya secara panjang lebar, lo-suhu, Perhatikan dan dengarkan baik-baik." lalu membetulkan kakinya bersila dengan mata berseri-seri kakek ini berkata, "Lihat, kalian telah mendengar bahwa kita, sebagian besar dari kita adalah manusia model Kwee Han. Kita berteriak-teriak tentang ketidak-adilan, yang merugikan. Sedang untuk yang menguntungkan, meskipun itu juga ketidakadilan, kita menerimanya dan diam-diam saja. Adakah keadilan akan datang kalau begini caranya? Adakah keadilan akan kita peroleh? Kalau pun datang maka itu adalah keadilan yang semu, cuwi pangcu. Ketidakadilan akan datang lagi dengan cara atau macamnya yang berbeda. Menghendaki sebuah keadilan haruslah dimulai dari diri sendiri. Kalau kita tidak mau keadilan yang merugikan maka kita harus juga menolak ketidakadilan yang menguntungkan itu. Jangan seperti Kwee Han, menolak ketidakadilan yang merugikan namun mau menerima ketidakadilan yang menguntungkan. Mana bisa keadilan yang benar datang memperlihatkan diri? Kita cenderung untuk yang senang-senang saja, cuwi pangcu. Untuk yang tidak menyenangkan, yang merugikan, biasanya kita bersikap keras dan penuh perlawanan. Memang aku tidak menyatakan bahwa ketidakadilan yang merugikan harus didiamkan saja. Tidak, aku tidak berkata begitu. Tapi bagaimana kalau ketidakadilan yang menguntungkan datang kepada kita? Bagaimana sikap kita menghadapi dan menerimanya? Menerima ketidakadilan yang menguntungkan sama jahatnya dengan ketidakadilan itu sendiri, cuwi pangcu. Karena itu kita harus mawas diri dan benar-benar adil kalau ingin menuntut keadilan!"

Semua mengangguk-angguk, mulai mengerti.

"Lihat," kakek itu melanjutkan. "Dulu dengan kemarahan dan kebencian Kwee Han menuntut keadilan di kota raja, cuwi pangcu. Pemuda itu marah-marah karena dia merasa dirugikan oleh sepak terjang hartawan-hartawan di Ming-ciang. Dengan gagah dan penuh keberanian pemuda itu datang, bertemu dengan Khek-taijin. Tapi bagaimana ketika dia dibujuk dan mulai mendapatkan kesenangan-kesenangannya? Lihat, mula-mula wanita disodorkan kepadanya, cuwi pangcu. Siong-hi dan lain-lain wanita cantik yang sengaja diberikan Khek-taijin kepadanya. Lalu harta dan kedudukan, disusupi kesenangan-kesenangan lain yang tidak diperoleh Kwee Han di tempatnya. Dan karena pemuda itu menerima dan tidak menyadari bahayanya riak telaga kehidupan yang membuainya ini maka perlahan-lahan pemuda itu terjebak dan semakin dalam hingga akhirnya tergelincir. Kwee Han, yang semula pahlawan tiba-tiba pudar citranya. Dia terpeleset dan menghancurkan diri sendiri. Dan karena pemuda itu telah bersikap tidak adil terhadap diri sendiri maka semua dosa dan kesalahannya terhukum oleh perbuatannya sendiri! Jelas?"

Bi Kong Hwesio dan lainnya mengangguk-angguk.

"Sudah selesaikah cerita ini?" kakek itu bertanya sendiri. "Belum," jawabnya pula. "Masih ada yang harus diketahui, cuwi pangcu, yakni perbedaan antara Hu-taihiap dan pemuda itu."

"Hm," Ciu Sek Tosu tertarik. "Perbedaan yang bagaimanakah, Sian-su? Bolehkah kami tahu?"

"Tentu, Hu-taihiap telah menyadari kesalahannya, totiang, barangkali tak apa kalau aku bicara di depan yang bersangkutan. Begitukah. Hu taihiap?"

Jago pedang itu mengangguk.

"Nah, ada perbedaan di antara Kwee Han dan Hu-tahiap ini, cuwi enghiong, yakni datangnya ketidak-adilan yang menguntungkan itu. Kwee Han, sebagai anak muda barangkali akan kita bela karena dia belum banyak pengalaman, masih muda dan masih hijau, begitu barangkali. Tapi bagaimana dengan Hu-taihiap? Bagaimana dengan jago pedang ini? Sahabat kita ini lebih lagi, cuwi engbiong. Hu-taihiap sengaja menciptakan ketidak-adilan demi dirinya sendiri!"

“Eh?' Cu Sek terkejut. "Bagaimana itu, Sian-su? Kesengajaan bagaimana?"

"Ya, lihat, totiang. Antara Kwee Han dan Hu-taihiap ada perbedaan, meskipun masing-masing masih dalam lingkaran yang sama. Kwee Han, pemuda Ming-ciang itu menerima ketidak-adilan yang menguntungkan di luar kesadarannya. Artinya pemuda itu hanya didatangi oleh ketidak-adilan yang menguntungkan di luar rencananya. Sama sekali Kwee Han tak mengira atau menduga adanya perobahan kehidupan itu. Dia sama sekali tidak merencanakan untuk menikmati ketidak-adilan yang menguntungkan itu sejak berangkat dari Ming-ciang. Pemuda ini hanya diberi dan mendapat KESEMPATAN untuk menikmati ketidak-adilan itu, yang menguntungkannya. Dan karena kita sebagian besar memang lemah terhadap hal-hal yang menyenangkan begini maka pemuda itu menerima dan hanyut dalam jebakan Khek-taijin itu!"

“Sedang Hu-taihiap?" Swan Cong, ketua Kun-lun kini maju bertanya. "Bagaimana dengan Hu-taihiap, Sian-su. Apakah dia tidak diberi tahu mendapat kesempatan itu?"

"Tidak, Hu-taihiap justeru MENCIPTAKAN ketidak-adilan ini, Swan Cong totiang. Dia dengan sengaja dan sadar menciptakan ketidak-adilan itu. Hu-taihiap sama dengan Cu-Wangwe dan kawan-kawannya itu!"

"Ha-ha!" Hu-taihiap tertawa bergelak. "Inilah hal yang memalukan diriku, Swan Cong Tojin. Sebagai pendekar dan orang yang sudah disebut orang baik-baik aku masih juga melakukan itu. Aku memang sama dengan Cu-wangwe dan kawan-kawannya itu. Aku barangkali juga sama dengan Khek-taijin!"

"Pinto belum mengerti," Swan Cong agak ragu, mengerutkan kening. "Ketidak-adilan bagaimana yang kau maksudkan Sian-su? Dapatkah kau memberi penjelasan?"

"Ah, tidakkah jelas, totiang? Hu-taihiap mencuri Cui-sian Gin-kang dan Lu-ciang-hoat yang dimiliki Kim-mou-eng, dalam nafsunya yang tidak mau kalah. Tapi begitu Kim-mou-eng mendapatkan Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng nya tiba-tiba jago pedang ini marah dan tidak mau menerima. Bukankah jelas dia mau menangnya sendiri, totiang? Bukankah Hu-taihiap tahu bahwa dengan memiliki gabungan ilmu silat yang dimiliki Kim-mou-eng dia bakal tak dapat dikalahkan lawannya? Karena itulah dia berani sesumbar untuk mengalahkan muridku dalam duapuluh jurus, totiang. Tapi begitu dia kebentur batunya tiba-tiba Hu-taihiap marah-marah dan tak dapat mengendalikan diri!"

"Ooh....! Swan Cong Tojin tiba-tiba mengerti, mengangguk-angguk. "Itukah kiranya, Sian-su? Itulah yang kau maksud?"

"Ya, dan kita lihat, totiang. Dalam ketidak-adilan begini siapa saja dapat dipengaruhi. Tua atau muda dapat terkecoh, yang masih hijau atau yang sudah berpengalaman tetap saja dapat tergelincir dalam masalah ini. Karena itu menyadari semuanya ini dan berhati-hati adalah merupakan tindakan baik yang amat terpuji!"

"Hmm.... hm....!" semua mengangguk-angguk, kaget tapi juga kagum. "Kini kami mengerti, Sian-su. Tapi agaknya masih ada lagi wejanganmu."

"Dengarlah," kakek itu berseri-seri. "Orang seperti Kwee Han tak sejahat orang seperti Cu-wangwe, totiang. Orang seperti Kwee Han adalah korban dari kejadian yang diciptakan oleh orang seperti Cu-wangwe. Tapi karena orang seperti Kwee Han akhirnya terjerumus dan mabok dalam kesenangannya sendiri maka orang macam begini tak akan terlepas dari buah yang ditanamnya. Karena itu orang seperti Kwee Han akhirnya juga sama-sama buruk seperti Cu-wangwe karena mereka itu bisa menjadi penindas dan pemeras!"

"Jadi hukuman itu setimpal untuknya, Sian-su?"

"Setimpal atau tidak urusan Tuhan, totiang. Kita manusia acap kali menghukum lawan dengan nafsu berlebihan. Yang perlu kita sadari adalah pelajaran dari semuanya ini, hikmah dari semua kejadian itu. Apakah kalian dapat mengerti"?!

"Dapat," ketua Kun-lun itu mengangguk angguk, "Pinto sekarang mengerti, Sian-su. Dan sungguh benar apa katamu!"

"Nanti dulu, tidak adakah yang dapat mengorek satu hal lagi? Tidak adakah di antara kalian yang dapat menemukan sebongkah mutiara yang masih terpendam?"

Orang-orang itu tertegun.

"Lihat," Bu-beng Sian-su kembali berkata, "Masih ada yang ketinggalan, cuwi enghiong. Masih ada satu hal penting lagi yang harus kalian ketahui...!"

"Tentang apa?"

"Tentang ketidak-adilan ini, peristiwa ini!"

"Ah, kami tak tahu apa-apa," Kwi Hiang Hosiang mengeluh. “Kami merasa diri kami bodoh dan tak tahu apa-apa, Sian-su. Sebaiknya kau jelaskan saja dan biar kami sebagai pendengar."

"Benar," Yang Te Cinjin mengangguk mengiyakan. "Kau jelaskan saja, Sian-su. Biar kami sebagai pendengar!"

"Baik," kakek itu tetap berseri-seri. "Aku hendak menunjukkan kepada kalian bahwa yang dituntut orang-orang Ming-ciang itu bukan Keadilan, totiang, melainkan yang lain. Tahukah kalian apa yang dituntut itu?"

"Tidak."

"Ha-ha, yang dituntut adalah kesenangan, totiang. Bukan keadilan. Mereka itu menuntut KESENANGAN!"

"Eh!" Ciu Sek melengak. "Apakah benar, Sian-su? Bukankah keadilan itu akhirnya juga berupa kesenangan?"

“Inilah yang salah kaprah," kakek dewa itu tertawa. "Mereka tak tahu apa yang dituntut, totiang. Mereka mengira kesenangan adalah keadilan. Dan karena mereka tak tahu ini maka orang-orang macam A-fuk dan A-lok itu sudah tidak bercuap-cuap lagi begitu disumpal kesenangan."

Ciu Sek tertegun, mulai berkeringat. "Apakah Sian-su dapat memberikan bukti?"

"Tentu, dengarlah, totiang. Aku memang hendak menjelaskan hal ini. Keadilan adalah sesuatu yang mengandung banyak unsur. Kesenangan adalah satu di antara unsur-unsur tadi. Dan karena keadilan jauh lebih besar dan lengkap di banding kesenangan maka keadilan bukan kesenangan. Kesenangan adalah bagian dari keadilan, seperti halnya lengan adalah bagian dari tubuh. Tubuh sendiri bukanlah lengan. Tubuh adalah kesatuan dari apa yang kita namakan kaki, lengan. kepala dan sebagainya. Dan karena tubuh bukanlah lengan maka keadilan bukanlah kesenangan. Kesenangan itu hanyalah bagian dari tubuh saja, tubuh keadilan, salah satu unsur atau elemennya, seperti halnya lengan atau kaki kita yang merupakan bagian dari tubuh, badan. Dan karena kita mulai tahu ini maka harap kalian waspada bahwa keadilan bukan kesenangan!"

"Kami masih bingung." Bi Kong Hwesio kini maju bicara, "Coba jelaskan sekali lagi, Sian-su. Dan sedikit lambat agar piceng dapat mengunyahnya."

"Baiklah, dengarkan," kakek itu mengangguk. "Kesenangan adalah BAGIAN dari keadilan, lo-suhu. Mendapatkan keadilan berarti otomatis akan mendapatkan kesenangan juga. Dan karena kesenangan bukan keadilan maka mendapatkan kesenangan belum berarti mendapatkan keadilan. Kesenangan itu seperti lengan, misalnya. Dia ini terbatas, hanya itu-itu saja. Dan karena lengan hanyalah lengan maka lengan bukanlah kaki atau kepala misalnya. Lain dengan tubuh, keadilan. Di situ telah tercakup lengan, kaki dan sebagainya. Pahamkah kalian?"

"Ooh....." hwesio itu mengangguk-angguk. "Pinceng mulai paham. Sian-su. Dan coba teruskan dengan orang-orang Ming-ciang itu."

"Baik, sekarang kembali ke orang-orang itu," kakek ini menarik napas, tetap berseri-seri. "Kenapa mereka kukatakan bukan menuntut keadilan melainkan kesenangan, lo-suhu? Kenapa aku bicara seperti itu? Gamblang sekali jawabannya, lo-suhu, kita melihat jelas akan perbedaan dua hal itu. Lihat, Kwee Han dan A-fuk serta A-lok menunjukkan kepada kita akan kenyataan ini. Mereka membuktikan kepada kita bahwa bukan keadilan yang dituntut melainkan kesenangan. Buktinya, begitu kesenangan sudah diperoleh maka mereka berhenti dan tidak perduli lagi kepada teman-temannya!"

"Nanti dulu," Yang Te Cinjin meloncat masuk. "Perlahan-lahan dulu, Sian-su. Pinto ingin mengunyahnya secara lambat dan hati-hati."

"Boleh, dengarkan lebih lanjut, Cinjin. Kesenangan, seperti yang kukatakan tadi berhubungan dengan aku, ego. Dan karena kesenangan berhubungan dengan 'aku' atau ego maka kesenangan bersifat dangkal. Menuntut kesenangan pada dasarnya memenuhi keinginan si aku ini, ego, jauh bila dibanding dengan menuntut keadilan. karena kalau kesenangan bersumber pada si aku atau ego maka keadilan bersumber pada CINTA KASIH. Nah, lihat perbedaan besar di antara keduanya ini, Cinjin. Lihat apa yang terjadi kalau kedua-duanya bergerak!"

Yang Te Cinjin terbelalak.

"Aku hendak melanjutkan sedikit lagi tentang ini," kakek itu berseri-seri. "Sekarang kalian buktikan dengan apa yang diperbuat Kwee Han, juga A-lok atau A-fuk itu. Mereka, orang-orang ini, pada dasarnya menuntut kesenangan, bukan keadilan. Karena itu begitu kesenangan itu mereka peroleh dan si aku atau si ego terpenuhi maka mereka tak ingat lagi pada kawan-kawannya di Ming-ciang itu. Kwee Han dan kawan-kawannya ini terkecoh diri sendiri. Mereka bukan mencari keadilan tetapi kesenangan. Karena itu begitu kesenangan datang dan mereka tenggelam maka mereka pun lupa diri. Inilah juga yang dialami sebagian besar manusia, nelayan-nelayan Ming-ciang yang lain itu dan barangkali juga kita di sini!"

Yang Te Cinjin terkejut.

"Dan kalian tahu bagaimana kira-kira contoh keadilan yang bersumber pada cinta kasih itu?"

Yang Te Cinjin dan kawan-kawannya menggeleng.

"Ha-ha, Pwee-lopek itulah contoh yang gamblang di sini, Cinjin. Kakek yang tidak pernah memikirkan diri sendiri itulah contohnya! Lihat berapa uang yang dia dapatkan dari Kwee Han, lihat berapa kali dia sungguh-sungguh menuntut keadilan. Adakah uang yang dia sembunyikan untuk dirinya pribadi? Adakah kakek itu menyembunyikan sebagian uang yang diterimanya dari Kwee Han? Tidak, kakek itu tak pernah menyisihkan uang yang diterimanya untuk dirinya sendiri, Cinjin. Semua yang didapat diberikannya kepada teman-temannya. Kakek itu tak memikirkan diri sendiri karena dia memang tak berniat untuk menyenangkan diri sendiri. Kakek itu ingin membantu teman-temannya, menolong teman-temannya. Keinginan atau niat yang timbul dari cinta kasih, cinta terhadap sesama dan kasih terhadap sesamanya pula. Sayang, karena kakek ini terlalu sederhana dan lugu maka niat atau maksud hatinya itu digantungkannya kepada Kwee Han, pemuda yang dianggapnya jauh lebih mampu daripada dirinya yang sudah tua! Kalian mengerti?"

Tiba-tiba semua orang tertegun. Kini dibukalah secara panjang lebar contoh-contoh yang bagus sekali oleh kakek dewa itu. Bu-beng Sian-su telah mengupasnya dan satu demi satu kakek itu menerangkannya kepada mereka. Mulai dari ketidak-adilan yang menguntungkan sampai pada masalah "aku" dan cinta kasih. Jelas dan gamblang, karena kakek itu mengurainya secara panjang lebar, satu sama lain saling terkait dan kagumlah semua orang akan kenyataan yang disodorkan ini. Dan ketika mereka mengangguk-angguk dan semua mendecak maka kakek itu bangkit berdiri.

"Nah, sekarang jelaslah kalimat-kalimat dalam syair ini. Bait pertama adalah mula gerakan Kwee Han dalam menuntut keadilan. Bait kedua menerangkan pemuda itu mulai memasuki telaga yang beriak perlahan. Dan karena sekarang kita tahu bahwa Kwee Han dan orang-orang Ming-ciang itu bukan menuntut keadilan melainkan menuntut kesenangan maka akhirnya kata adil hanya permainan mulut belaka. Akibatnya yang mereka dapatkan pun hanya sebuah keadilan semu!"

"Nanti dulu," Swan Cong Tojin berseru. "Apakah nelayan-nelayan itu sekarang masih mendapatkan keadilan yang semu. Sian-su? Bukankah Khek-taijin sudah dipindahkan dan Cu-wangwe serta kawan-kawannya juga menyingkir?"

"Ha-ha, menjawab ini mudah saja, totiang. Orang akan mendapatkan yang semu kalau mulai dengan yang semu juga. Dan akan mendapatkan yang sejati kalau mulai dengan yang benar. Sebaiknya kau lihat saja karena kebodohan biasanya menuntun kepada kesengsaraan!"

"Pinto tak puas...."

"Wut!" Bu-beng Sian-su lenyap. "Mendengarkan saja tanpa menghayati tak ada gunanya, totiang. Sebaiknya kau belajar pula mengamati jalannya roda kehidupan!" dan kakek itu yang tertawa entah di mana tiba-tiba meminta maaf dan sudah pergi jauh, menghilang dan tak ada siapa pun yang dapat mengikuti karena kesaktian kakek itu memang luar biasa.

Kalau manusia dewa itu tak menghendaki jangan harap mereka dapat bertemu. Dan ketika kakek itu lenyap dan orang tertegun kagum maka Hu Beng Kui tertawa bergelak dan berkelebat pula, lenyap menyusul Bu-beng Sian-su dan jago pedang itu menyuruh puterinya dan Kim-mou-eng datang ke Ce-bu. Inilah hal yang tak diduga Pendekar Rambut Emas dan kekasihnya tiba-tiba berseri-seri. Perintah itu sama halnya persetujuan ayahnya merestui perjodohan. Swat Lian tiba-tiba tersenyum dan melirik kekasihnya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas tertegun namun tentu saja gembira bukan main maka pemuda ini bergerak dan menyambar lengan kekasihnya pula, lenyap tertawa girang dan minta diri pada Bi Kong Hwesio dan lain-lainnya itu.

Tinggallah enam orang ketua ini yang merenungi wejangan Bu-beng Sian-su. Mereka manggut-manggut dan berseri-seri. Kegembiraan dan kesenangan mereka lain dengan yang dialami Kim-mou-eng. Mereka mendapat makanan rohani dari Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang hebat itu. Dan ketika masing-masing saling pandang dan bangkit berdiri mendadak Bi Hong Hwesio berkelebat pulang ke Siu-lim, pamit pada teman-temannya tapi yang lain-lain mendadak menyusul, pulang dan berseri-seri ke rumahnya sendiri. Dan ketika tinggal Swan Cong Tojin yang masih termangu dan akhirnya menghela napas maka tosu itu duduk bersila dan malah bersamadhi.

Wejangan Bu-beng Sian-su, yang demikian banyak dan termasuk "berat" memang harus dikunyah dan dimamah secara perlahan-lahan. Tosu itu mengangguk-angguk dan terngianglah dia akan segala kata-kata kakek itu. Mulai dari ketidakadilan sampai cinta kasih. Mulai dari yang merugikan sampai yang menguntungkan. Ah, begitukah kiranya? Demikian pelik dan berbelit-belit?

Hm, ketidak-adilan ada dua, dipandang dari dua sisi yang berbeda. Yang satu merugikan sedang yang lain menguntungkan. Untuk yang merugikan, jelas manusia berteriak-teriak, tak ada yang tidak. Tapi bagaimana dengan yang menguntungkan? Adakah yang berteriak-teriak? Lucu, selama ini dia belum pernah dengar.

Untuk ketidak-adilan yang menguntungkan biasanya manusia diam, tak pernah berkaok-kaok, pura-pura bodoh dan seakan tidak tahu-menahu. Tak ada suara keras menyambar dan sungguh bertolak belakang dengan yang merugikan itu. Untuk yang pertama manusia sanggup mati, kalau perlu berjibaku. Tapi untuk yang kedua, eh-eh.... nanti dulu. Aku masih ingin berumur panjang dan menikmati hidup kok! Dan ketika tosu itu tersenyum-senyum dan geli serta gemas maka wejangan lain dikunyahnya lembut dan perlahan-lahan.

Bu-beng Sian-su mengatakan bahwa ketidak-adilan, yang menguntungkan itu, bisa "datang" dan "didatangkan". Contoh pertama adalah Kwee Han, pemuda Ming-ciang itu. Pemuda ini didatangi dan mendapat kesempatan untuk menikmati ketidak-adilan, yang menguntungkan. Sedang yang kedua adalah seperti Cu-wangwe dan teman-temannya itu, juga hu-taihiap. Mereka ini mendatangkan dan sengaja mencipta ketidak-adilan, untuk keuntungan diri sendiri.

Dan tertegun bahwa orang seperti Hu taihiap bisa kejeblos dan melakukan tindakan tercela itu maka Swan Cong Tojin tepekur dan terkejut. Benar kakek dewa itu, hal ini bisa menimpa siapa saja, yang muda atau yang tua, yang belum pengalaman maupun yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Dan karena hal itu merupakan pelajaran bagi dirinya sendiri maka tosu itu tergetar dan mengangguk-angguk. Kemudian lagi, masalah tuntutan itu. Benarkah mereka menuntut keadilan? Tidakkah orang-orang itu menuntut kesenangan? Keadilan berasal dari cinta kasih, sedang kesenangan tidak!

Kesenangan berasal dari tuntutan atau keinginan si-aku, ego. Sifatnya dangkal dan memang bertalian erat dengan diri sendiri. Karena itu begitu Kwee Han memperoleh kesenangannya dan tenggelam dalam kesenangannya ini lupalah pemuda itu pada "misi" semula. Tak ada cinta kasih di situ, tak ada keadilan. Yang ada hanyalah tuntutan kesenangan. Ah! Tosu ini mengangguk-angguk.

Apalagi? Tosu itu merenung. Bu-beng Sian-su menyatakan bahwa kesenangan hanyalah bagian dari keadilan, dalam konteks pembicaraan ini. Jadi kalau orang mendapatkan kesenangan maka belum tentu mendapatkan keadilan. Keadilan itu adalah sesuatu yang utuh, yang mencakup banyak unsur. Jadi kalau orang mengejar-ngejar satu dari sekian unsur ini maka yang utuh, keadilan, tak didapat. Orang hanya mendapatkan kulitnya bukan isinya.

Nelayan-nelayan Ming-ciang itu contohnya. Itu barangkali yang membuat mereka jatuh bangun menentang Cu-wangwe dan kawan-kawannya. Reda sejenak lalu timbul lagi. Tenang seminggu tapi geger lagi sebulan. Apakah hal itu tak akan terulang dalam masa-masa mendatang? Hanya Pwee-lopek yang agaknya bersungguh-sungguh menjalankan tuntutannya. Di istana pun kakek itu tampak membela teman-temannya.

Teringatlah Swan Cong Tojin akan kakek ini, kakek sederhana yang meminta pada Kim-mou-eng agar teman-temannya dibebaskan. Ah, kakek itu selalu memperhatikan yang lain. Kakek itu jarang memperhatikan diri sendiri karena orang lainlah yang menjadi tujuannya. Apakah karena kakek itu tak bersanak tak berkadang? Ah, agaknya bukan ini. Ada faktor lain yang menjadi sebab utama, dan faktor itu adalah cinta kasih!

Swan Cong Tojin menarik napas dalam-dalam. Dibanding dengan ratusan orang Ming-ciang atau ribuan manusia lainnya maka figur Pwee-lopek ini adalah satu-satunya tokoh tunggal. Sedemikian sedikitkah orang macam Pwee-lopek itu? Segelintir dua saja hingga dapat dihitung dengan jari? Ini kenyataan memprihatinkan. Tosu itu menarik napas dalam-dalam lagi dan akhirnya samadhinya bercampur introspeksi terhadap diri sendiri.

Bu-beng Sian-su telah menyatakan bahwa sebagian besar manusia, yang ada di muka bumi ini, seperti Kwee Han adanya. Mau menerima ketidak-adilan yang menguntungkan, namun tidak terhadap ketidakadilan yang merugikan, hal yang tidak adil. Dan karena manusia, banyak yang seperti itu maka ketidakadilan merajalela dan tetap tumbuh subur di manapun di bagian bumi ini.

Apa yang harus dilakukan? Tentunya harus jujur dan adil terhadap diri sendiri. Kalau manusia sudah jujur dan adil terhadap diri sendiri maka manusia dapat diharapkan untuk bersikap jujur dan adil terhadap manusia lainnya. Masalahnya, adakah manusia-manusia seperti itu? Kalau ada, banyak atau sedikit? Sebab, kalau yang begini hanya berjumlah sedikit maka manusia-manusia macam ini juga tak dapat berbuat banyak untuk dunia. Sayang!

* * * * * * * *

Pembaca yang budiman, kiranya cukup tulisan ini sebagai bahan perenung. Penulis tak banyak memberi komentar. Apa yang dipaparkan Bu-beng Sian-su telah lebih dari cukup. Swan Cong Tojin telah semakin tenggelam dalam lamunannya sendiri, hanyut dan akhirnya tertidur. Dan karena syair itu telah dikupas maka penulis hendak mohon diri untuk jumpa di kisah berikutnya.

Bagaimana dengan Kim-mou-eng? Berakhir dengan baik-baik. Swat Lian, puteri Hu Beng Kui akhirnya dinikahinya. Hu Beng Kui telah mengakui kesalahannya dan pendekar Pedang itu menerima Kim-mou-eng sebagai menantunya. Dan ketika pernikahan disiapkan dan semuanya berjalan baik maka undangan juga dikirim kepada semua orang, termasuk enam ketua partai yang dulu duduk bercakap-cakap dengan Bu-beng Sian-su.

Kim-mou-eng, sesuai janjinya, tidak mau menjadi bengcu. Kedudukan bengcu tetap diserahkan kepada mertuanya dan Hu Beng Kui tertawa bergelak. Jago pedang itu ngakak saja dan puterinya tersenyum. Gadis ini tak lagi marah kepada ayahnya karena perkawinannya dengan Kim-mou-eng direstui. Itulah baginya yang lebih penting. Namun ketika semua orang bergembira dan bersuka ria ternyata Hu Beng Kui dan Bi Kong Hwesio serta kawan-kawannya berkerut kening. Apa yang tidak memuaskan mereka? Bukan lain tak adanya Bu-beng Sian-su di situ.

Semua orang sebenarnya mengharap kehadiran kakek dewa itu lagi. Mereka ingin mendengar lagi wejangan-wejangan kakek itu tentang kehidupan yang lain, apa saja. Mereka terlanjur tertarik dan "jatuh cinta" terhadap kakek luar biasa itu, menyangka kakek itu akan datang karena Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas adalah muridnya.

Tapi ketika kakek dewa itu tak ada di pesta keramaian dan Hu Beng Kui serta yang lain-lain mendesah kecewa maka Kim-mou-eng berkata bahwa gurunya memang begitu. Tanpa kehendaknya sendiri tak mungkin mereka bisa jumpa. Kakek itu lenyap sejak meninggalkan wejangannya yang terakhir di hutan. Dan ketika semua orang mengangguk dan dapat mengerti itu maka kegembiraan dan pesta dapat dilanjutkan.

Ke manakah Bu-beng Sian-su? Kakek ini tak muncul lagi. Kim-mou-eng dan lain-lain tak menemukan kakek itu lagi selama dua puluh tahun, waktu yang cukup lama. Karena sejak memberikan wejangannya tentang keadilan kakek itu sudah menghilang dan lenyap tak berada di wilayah itu karena sedang berada di wilayah lain. Di manakah kakek itu?

Bagi pembaca yang ingin mengikuti perjalanan kakek dewa ini penulis persilahkan untuk membaca Golok Maut, sebuah cerita baru yang tidak ada hubungannya dengan Kim-mou-eng. Sedang Kim-mou-eng dan keturunannya akan penulis ceritakan dalam kisah Istana Hantu.

Di mana Anda akan bertemu dengan Pendekar Rambut Emas itu kembali dan isterinya, juga anak perempuannya, Soat Eng, buah cinta Pendekar Rambut Emas itu dengan Hu Swat Lian, di samping tentu saja, anda akan berjumpa dengan Dailiong atau Thai Liong, putera atau keturunan pertama Pendekar Rambut Emas itu dengan mendiang sumoinya, Salima. Dan karena cerita ini sudah selesai maka penulis hendak mohon diri dan salam bahagia untuk Anda. Mudah-mudahan buku kecil ini bermanfaat. Semoga!

ΤΑΜΑΤ

Sepasang Cermin Naga Jilid 17

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 17
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SEMUA pengawal dan orang-orang yang ada di situ tertegun. Mereka terpaku oleh gerakan yang serba cepat ini, masuk dan menyerbunya kawan-kawan A-Hauw itu. Dan ketika tendangan atau pukulan disusul berkelebatnya senjata tajam yang bertubi-tubi mendarat di tubuh Kwee Han maka lolong dan jerit Kwee Han mirip srigala yang dikeroyok ribuan tikus buas.

"Aduh, tolong.... aduh....!"

Kwee Han tak dapat melarikan diri. Massa telah mengepungnya, penduduk atau nelayan-nelayan Ming-ciang itu telah begitu histeris menikam atau membacok. Suara dan teriakan mereka menutupi suara atau teriakan Kwee Han. Dan ketika Bu-ciangkun membentak namun orang-orang itu bahkan semakin buas dan semakin merarajalela maka berkelebatlah bayangan kuning emas yang mengeluarkan suara bagai guntur menggetarkan bumi.

"Berhenti...!"

Ratusan orang itu terpelanting. Mereka roboh oleh bentakan Pendekar Rambut Emas yang mengerahkan khikangnya, terbelalak melihat Kwee Han berlumuran darah dan sudah tidak bergerak lagi, tewas dengan usus cerai-berai. Dan ketika pendekar itu tertegun dan bayangan ramping berkelebat disampingnya maka Swat Lian bergidik dan memegang tangan kekasihnya ini.

"Cukup kalian menghukum orang!" Kim-mou-eng membentak, marah. "Semua perbuatan Kwee Han telah ditebus dengan nyawanya, saudara-saudara. Kalian tak boleh mengganggu mayatnya setelah dia mati"

Nelayan-nelayan itu terpaku. Bu-ciangkun kini berkelebat dan menegur mereka pula, marah karena bentakannya tadi tak dihiraukan. Dan ketika semua didamprat dan A-hauw serta teman-temannya menunduk maka Han-taijin bangkit berdiri menyuruh orang-orang itu berkumpul disudut. Mereka kini dituduh mengacau di istana di tempat kaisar, tempat yang seharusnya bersih dan tak boleh ada keributan. Dan ketika Kim-mou-eng menarik napas dan marah memandang orang-orang itu mendadak Pwee-lopek, lelaki tua menjatuhkan diri berlutut.

"Taihiap ampunkan kami semua. Kami bersalah, tapi kesalahan kami didorong emosional semua perbuatan Kwee Han yang semena-mena Kepada kami. Kami adalah rakyat miskin, orang yang hanya memiliki tenaga dan menjual tenaga untuk sesuap nasi bagi anak isteri di rumah. Dapatkah taihiap membantu kami membebaskan diri dari tuduhan istana?"

"Hm,” Pendekar Rambut Emas tergetar, terharu memandang kakek ini. "Kau yang paling tua disini, lopek. Dan kau yang seharusnya paling bijaksana. Urusan ini sebenarnya urusan istana, tak seharusnya aku ikut campur. Tapi karena aku telah mengetahui kejadian ini dan dapat memahami emosi kalian yang meluap-luap biarlah kumintakan ampun pada Han-taijin!" dan memandang menteri tua itu Pendekar Rambut Emas bicara, "Taijin, bolehkah mereka di ampuni? Pandanglah mukaku, taijin. Dan beri mereka kelegaan batin!”

"Hm, biarlah kulaporkan sri baginda dulu, taihiap. Tapi agaknya tak semudah ini. Mereka harus diberi pelajaran!"

"Kami mengaku salah," Pwee-lopek kini berlutut di depan menteri itu. "Tapi sudilah memberikan hukuman seringan-ringannya, taijin. Kami orang-orang kasar memang tak tahu sopan santun istana."

"Baiklah, dapat kuurus, Pwee-lopek. Betapa pun aku juga memahami emosi kalian."

"Dan Khek-taijin," tiba-tiba A-hauw melompat, menghadapi Kim-mou-eng. "Sudilah kau membantu kami menuntaskan masalah ini, taijin. Kami terus terang khawatir diganggunya oleh juragan-juragan perahu itu!"

"Hm," Kim-mou-ong teringat. "Bagaimana dengan menteri Khek itu, taijin? Apakah dia dibiarkan bercokol di sana dengan sekutu-sekutunya?"

"Maaf, akan kami bicarakan dengan sri baginda, taihiap. Tunggulah!" namun baru menteri itu membalik tiba-tiba kaisar muncul. "Ah, hormat kepada sri baginda!" Han-tajin berlutut, diikuti yang lain-lain. "Kebetulan paduka datang, sri baginda. Urusan telah selesai kecuali nelayan-nelayan Ming-ciang ini, dan juga Khek-taijin!"

Kaisar mengangguk. Dia telah mendengar laporan di ruang sidang itu, mengetahui tewasnya Kwee Han dan kejadian lain-lain, juga kehadiran Kim-mou-eng yang tentu saja diseganinya. Pendekar Rambut Emas itu telah banyak berjasa semenjak ayahnya masih hidup, mendiang kaisar lama. Dan ketika Pendekar Rambut Emas memberi hormat dan kaisar muda tersenyum memandang Kim-mou-eng maka urusan hari itu segera diselesaikan.

Bahwa Khek-taijin dimutasikan jauh ke barat, tak lagi boleh berhubungan dengan hartawan-hartawan di Ming-ciang. Jadi tak dapat menerima upeti lagi dan otomatis runtuhlah "backing" yang diberikan menteri itu kepada Cu-wangwe dan lain-lain, hal yang menggirangkan hati kaum nelayan itu, sebuah jaminan yang akan merobah nasib mereka. Tapi ketika kaisar bicara tentang mereka dan keonaran yang mereka lakukan di istana harus dihukum maka kaisar menjatuhkan hukuman tiga hari.

"Kalian harus tahu aturan. Kalian telah melanggar tata tertib. Tapi karena Kim-mou-eng ada di sini biarlah menghormat mukanya kalian ku beri hukuman seringan-ringannya. Tiga hari kalian harus dikurung dan baru setelah itu boleh bebas kembali ke tempat masing-masing."

"Terima kasih....!" Pwee-lopek dan teman-temannya berseru serentak. "Hamba taat dan patuh, sri baginda. Sungguh bijaksana dan mulia hati paduka!"

Orang-orang itu girang. Hukuman yang diberikan kaisar memang ringan, bahkan amat ringan. Dan ketika mereka berlutut menyatakan kegirangan dan nelayan-nelayan Ming-ciang ini berseru mengucapkan terima kasih maka persoalan selesai dan akhirnya pulanglah mereka setelah tiga hari menjalani hukuman kurungan. Tak ada lagi peristiwa dan benar saja terjadi perobahan besar-besaran setelah kaisar turun tangan, memindahkan Khek-taijin dan Cu-wangwe serta teman-temannya ikut menyingkir.

Maklumlah, tak mungkin mereka tinggal lagi di Ming-ciang setelah tindak-tanduk mereka dimusuhi nelayan-nelayan itu, yang menjadi berani dan keras setelah kaisar turun tangan. Apa lagi Kim-mou-eng sendiri menemui juragan-juragan perahu itu dan dengan keras serta tegas Pendekar Rambut Emas ini mengecam mereka, siap menghajar mereka kalau meneruskan sepak terjangnya yang merugikan rakyat. Dan ketika satu persatu para pemeras itu pergi dan nelayan Ming-ciang hidup mandiri maka Pwee-lopek menjatuhkan diri berlutut di depan Pendekar Rambut emas itu, sekali lagi mengucap terima kasih.

"Kami tak dapat membalas apa-apa, semoga budi kebaikan taihiap diingat dan dicatat Thian Yang Maha Kuasa!"

Kim-mou-eng tersenyum. Dia menepuk pundak kakek itu dan berkelebat pergi. Dan ketika kakek itu menarik napas dan tak habis merasa kagum maka Kim-mou-eng sudah lenyap dan bersama kekasihnya serta enam tokoh ketua partai Pendekar Rambut Emas itu telah menghadap Bu-beng Sian-su.

* * * * * * * *

"Nah, apa yang kalian lihat?" Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu duduk di dalam hutan. Waktu itu Hu-taihiap duduk di sampingnya dan kakek ini tersenyum-senyum.

Hu-taihiap sendiri merah mukanya dan menunduk, tak banyak bicara dan sekali-kali dia mengerling. Kegarangan dan keberingasannya tak tampak lagi, tanda bahwa Bu-beng Sian-su agaknya telah "menjinakkan" si jago pedang ini, dengan nasihat atau wejangan-wejangannya. Dan ketika semua orang balik memandang dan tak ada yang menjawab maka kakek dewa itu memandang Bi Kong Hwesio.

"Kau," katanya, "apa yang kau lihat, Bi Kong lo-suhu? Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Hm," hwesio ini berdebar, mengebutkan lengan. "Pinceng (aku) tak melihat apa-apa, Sian-su. Tak mengerti dan justeru ingin mendapat keterangan!"

"Siancai!" Yang Te Cinjin berseru, menyambung. "Pinto juga tak mengerti akan semuanya ini, Si Sian-su. Pinto merasa bingung dan juga ingin mendapat keterangan!"

"Benar," yang lain-lain berseru. "Kami semua tak mengerti akan perintah-perintahmu, Sian-su, Kenapa harus menyaksikan semuanya ini dan apa hubungan bocah she Kwee itu dengan Hu-taihiap!"

"Kalian tak mengerti apa-apa?"

"Tidak!"

"Kalau begitu mari kita mulai," dan Bu-beng Sian-su yang tertawa mengulapkan lengannya tiba-tiba berseru. "Cuwi pangcu, dan kau Kim-mou-eng, dengar dan lihatlah apa yang hendak kutunjukkan ini. Pokok pembicaraan adalah masalah keadilan, ketidakadilan...."

"Nanti dulu," ketua Kong-thong tiba-tiba berseru. "Kami hendak membicarakan Cermin Naga, Sian-su. Bicara seperti apa yang kau janjikan dulu!”

"Benar," yang lain teringat. "Hu-taihiap tak percaya bahwa kami mendapat ijinmu untuk melihat benda itu, Sian-su. Kalau pembicaraan tak ada hubungannya dengan ini lebih baik pembicaraan itu ditunda!"

"Ah, kalian keliru," Bu-beng Sian-su tertawa "Kalian tak sabar, Yang Te Cinjin. Apa yang ku bicarakan selalu kait-mengait. Keadilan atau ketidakadilan itu justeru terletak pada pembicaraan Cermin Naga ini."

"Jadi cermin itu ada hubungannya?"

"Benar."

"Kalau begitu lanjutkanlah, maaf kami telah memotong!" dan Yang Te Cinjin yang mundur dengan muka tersipu lalu meminta maaf karena sebagai orang kang-ouw tentu saja dirinya lebih tertarik membicarakan Cermin Naga daripada Kwee Han, pemuda yang disangka tak ada hubungannya itu, pemuda menyebalkan yang telah dibunuh teman-temannya sendiri, karena dia dan teman-temannya telah mengikuti jalannya peristiwa di istana. Dan ketika kakek itu tersenyum dan mengebutkan lengannya maka Bu-beng Sian-su berkata, sabar namun mulai bersungguh-sungguh.

"Cuwi pangcu, apa yang kalian lihat dan dengar sesungguhnya saling terkait. Urusan bocah she Kwee itu erat hubungannya dengan Cermin Naga. Dan karena hal ini kait-mengait biarlah Hu-taihiap memperlihatkan sejenak benda itu kepada kalian."

"Hm," Hu-taihiap menghela napas. "Maaf bahwa cermin ini baru sekarang kuperlihatkan, Yang Te Cinjin. Tapi harap kalian ketahui saja, bahwa benda ini adalah milikku!" jago pedang itu mengeluarkan sepasang benda berkilau, meletakkannya di pangkuan Bu-beng Sian-su dan kakek dewa itu tersenyum. Dan ketika semua terbelalak! dan kagum ingin mengetahui tiba-tiba Bu-beng Sian-su mengangkat benda itu di atas kepala.

"Siapa ingin melihat?"

"Aku...!"

"Aku...!"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Baiklah urut dari kiri ke kanan, Yang Te Cinjin, Bi Kong lo-suhu mendapat kehormatan pertama!" kakek itu melemparkan sepasang Cermin Naga, memberikannya pada Bi Kong Hwesio dan segera ketua Siu-lim itu menerima.

Dengan cepat dan penuh keinginan tahu yang besar hwesio itu mengamati, kagum dan membolak-balik dan segera terlihatlah olehnya sepasang gambar aneh di sepasang cermin itu. Pertama adalah gambar atau lukisan menyeramkan mirip setan atau siluman sedang gambar atau lukisan kedua adalah sepasang dewa-dewi yang cantik dan gagah menunggang naga, hal yang membuat kening hwesio itu berkerut. Dan ketika dia membalik dan melihat tiga bait syair di belakang cermin maka Bi Kong Hwesio tertegun.

"Apa ini, Sian-su?"

"Rahasia cermin itu, yang dulu kuberitahukan kalian."

"Dapatkah Sian-su menjelaskannya?"

"Ha-ha, biar yang lain melihat dulu, lo-suhu. Berikan pada Yang Te Cinjin dan lain-lain agar mereka semua tahu."

"Tapi pinceng belum puas!"

"Kalau begitu amati dulu, puaskan dulu. Kalau kau dapat menangkap dan mengerti rahasianya maka kau adalah seorang cerdas!"

Bi Kong Hwesio penasaran. Dia membalik dan mengamat-amati lagi benda ini, teringat bahwa dari benda inilah Hu-taihiap dapat memiliki kepandaian begitu tinggi, ilmu silat yang hebat dan justeru karena ilmu silat itulah dia dan kawan-kawannya mengincar. Tapi ketika tak dilihatnya tanda-tanda lain kecuali gambar dan syair itu maka Bi Kong Hwesio menyerahkannya pada yang lain dan berturut-turut Yang Te Cinjin atau pun Ciu Sek Tosu mengamati, memperhatikan dan mencari-cari rahasia cermin itu, pelajaran ilmu silatnya. Tapi ketika tak ditemukannya apa yang dicari dan Hu Beng Kui diam-diam tersenyum dengan mata yang aneh akhirnya enam tokoh persilatan itu hanya melihat dan mengetahui syair di belakang cermin, selain dua gambar atau lukisan aneh itu.

"Kami tak melihat apa-apa. Cermin ini hanya berisi lukisan dan syair!"

"Benar, kami tak dapat menemukan rahasianya, Sian-su. Cermin Naga hanya berisi syair dan lukisan!"

"Kalian tak mengetahui apa-apa?" Bu-beng Sian-su bertanya. "Kalian tak dapat menemukan sesuatu yang kira-kira berharga?"

"Tidak, kami bodoh. Sian-su. Pinceng tak melihat apa-apa selain lukisan atau syair itu. Sungguh aneh kalau kau menyatakan ada hubungannya dengan Kwee Han dan Hu-taihiap!"

"Hm, bukan hanya Kwee Han dan Hu-taihiap. Bi Kong lo-suhu, melainkan kita semua. Hampir sebagian besar dari kita semua. Kalian sebaiknya memusatkan diri pada tiga bait syair itu!"

"Sian-su dapat menerangkannya?"

"Tentu, dan kita akan ke sana, lo-suhu. Dan sebaiknya mari kita mulai. Lihat!" Bu-beng SianSu membalik Cermin Naga. "Apa yang tertulis di sini, lo-suhu? Kalian dapat membaca tiga bait syair ini?"

"Ya."

"Nah, coba kutulis. Biar kalian membaca!" dan Bu-beng Sian-su yang mengguratkan jarinya di atas pohon tiba-tiba mengulang dan memperbesar kalimat-kalimat di balik cermin itu, cepat dan kuat dan akhirnya terdapatlah duabelas baris kalimat indah di kulit pohon yaag tebal. Dan ketika semua mengamati dan mata tertuju ke situ, maka Bu-beng Sian-su telah mendemonstrasikan kesaktiannya menulis dari udara, tanpa menyentuh atau merusak kulit pohon!

Angkat kepala, busungkan dada
Acungkan tinju pekikkan kata
Tuntut sesuatu demi sesama
Itulah pahlawan harapan kita!

Air beriak di tengah telaga
Berguncang lembut membuai sukma
Jebak-menjebak membodohi kita
Pudarlah pahlawan harapan jaya!

Adil tak adil permainan belaka
Jujur seiring itulah surga
Terpeleset jua si manusia loba
Rusaklah sudah hancur semua!


"Kalian mengerti?" kakek dewa itu bersungguh-sungguh, membalik. "Adakah di antara kalian yang dapat mengulas syair ini?"

"Tidak," Ciu Sek kini menggeleng. "Pinto tak paham apa yang kau maksud, Sian-su. Sebaiknya dijelaskan saja dan biar kami mendengar."

"Baik, kita menuju Kwee Han," kakek itu mengangguk. "Tentu kalian sudah mengetahui cerita pemuda ini, bukan?"

"Ya."

"Apa yang kalian ketahui?"

"Sepak terjang pemuda itu, kekejamannya!"

"Bagus, apalagi, totiang?"

"Hm, apalagi. Sian-su?" Ciu Sek tertegun. "Bukankah itu saja yang terlihat?"

"Benar, secara sepintas, totiang. Kalau kita mau memperhatikan lebih jauh lagi maka banyak yang akan dapat kita tangkap. Kau tak boleh menemukan itu saja!"

"Pinceng tak mengerti," Bi Kong tiba-tiba memotong, mendahului. "Apalagi yang kita lihat dari pemuda itu, Sian-su? Bukankah hanya kekejaman dan kejahatannya saja? Pinceng dan kawan-kawan hanya melihat bahwa pemuda itu kejam dan keji. Dia patut menerima hukumannya dengan kematian!"

"Hukuman adalah akibat dari suatu sebab saja, seperti juga keberhasilan dari suatu sebab tertentu. Aku tidak membicarakan yang terlihat secara lahiriah, lo-suhu. Melainkan ingin mengajak kalian melihat yang lebih dalam, secara batiniah. Aku ingin mengajak kalian menemukan apa yang sebenarnya telah terjadi, inti dari semua kejadian itu, ketidak adilan!"

"Hm, ketidak adilan?"

“Ya, kalian tahu dari mana pemuda ini berangkat?"

"Maksud Sian-su?"

"Lihat dan amati dari mana pemuda itu berangkat, lo-suhu. Barangkali dapat kutuntun kalian bahwa pemuda itu berangkat dari ketidakadilan yang terjadi di tempatnya, Ming-ciang. Bahwa karena tindakan para hartawan curang yang merugikan teman-temannya maka pemuda itu berangkat dan akhirnya mencari keadilan di kota raja, seperti yang sudah terjadi. Tahukah kalian sampai di sini?"

Bi Kong Hwesio dan teman-temannya tertegun, ragu.

"Lihat," kakek itu melanjutkan lagi. "Berawal dari perbuatan Cu-wangwe dan kawan-kawannya pemuda itu lalu pergi ke kota Raja, lo-suhu, bertemu dan akhirnya menjadi sahabat Khek-taijin. Kalian mengerti?"

"Ya."

"Nah, sekarang kita lihat lebih jauh. Kwee Han, berbekal semangat dan rasa keadilannya lalu menuntut perbaikan nasib teman-temannya. tinggal dan akhirnya terbujuk Khek-taijin. Adakah yang salah di sini?"

Yang Te Cinjin menggeleng. "Mula-mula tidak, Sian-su. Tapi setelah itu Kwee Han melakukan kesalahan besar!"

"Bagus, kesalahan apa?"

"Terbujuk oleh Khek-taijin itu, lemah imannya dan melupakan teman-temannya!"

"Hm," kakek itu mengangguk-angguk. "Hanya itu saja, totiang? Kau tak melihat yang lebih penting lagi?"

"Tentang apa? Kepentingan apa?"

"Cari dulu. Jangan bertanya, totiang. Sebaiknya cari dulu dan coba temukan itu. Ada sesuatu yang jauh lebih penting dari sekedar jawaban itu. Kita jangan terburu menuduh seseorang lemah imannya karena pada dasarnya kita adalah juga manusia-manusia yang lemah!"

Yang Te Cinjin jadi kecut, tak lagi menjawab.

"Siapa tahu?" kakek itu memandang sekeliling. "Adakah yang dapat membacanya lewat syair yang kubuat?"

Semua menganguk.

“Lihat," kakek itu menunjuk. "Bait pertama adalah seperti Kwee Han ini, Bi Konglo-suhu. Bahwa dengan langkah dan derap yang gagah pemuda itu menuntut keadilan demi teman temannya. Bahwa dengan tinju teracung dan dada dibusungkan pemuda itu meneriakkan keadilan untuk merobah nasib teman-temannya...."

“Apakah itu salah?" Bi Kong Hwesio memotong.

"Nanti dulu, aku tidak menyatakan salah atau benar, lo-suhu. Tapi sampai di sini pemuda itu telah melakukan sesuatu yang mengagumkan dan berani!"

"Lalu?"

"Lalu sesuatu terjadi, lo-suhu. Kwee Han memasuki sebuah telaga yang beriak perlahan. Pemuda itu memasuki sesuatu yang lembut namun berbahaya, riak yang membuai sukma!"

"Hm, pinto bingung." Swan Cong, ketua Kun-lun menyatakan isi hatinya. "Pinto belum tahu ke mana kau membawa kami, Sian-su. Dapat kah tidak berputar-putar dan terus terang saja menjelaskan maksudmu?" "Ha-ha, kau tak sabar?"

"Benar, pinto penasaran, Sian-su. Dan terus terang saja tak sabar lagi ingin mengetahinya!"

"Kita sedang menuju ke sana," kakek itu tersenyum. "Menerangkan sesuatu tanpa mengurainya terlebih dulu mungkin akan membingungkan bagi yang kurang cerdas, totiang. Sebaiknya sabar dan perhatikan baik-baik. Dengar, tadi aku mengatakan bahwa Kwee Han, pemuda itu, sedang menggebu-gebu menuntut keadilan. Dan kita lihat bahwa sampai di sini pemuda itu sudah berjalan di atas rel kebenaran. Tapi sayang, begitu memasuki telaga yang beriak perlahan namun lembut membuat sukma itu pemuda ini lupa diri...."

"Coba kau lanjutkan," Kwi Hiang Hosiang, ketua Go-boog-pai mulai tertarik. "Piceng melihat sesuatu yang mulai menggetarkan, Sian-su, Agaknya terjadi sesuatu yang menarik di sini."

"Benar, dapatkah kau merabanya?"

"Sedikit saja, tapi pinceng belum berani menyatakan!"

"Hm, sebaiknya tak usah takut, lo-suhu. Ayo kita kupas ini bersama. Lihat, apa yang mendorong pemuda itu meninggalkan Ming-ciang?"

"Karena ketidakpuasan hatinya, ketidakadilan itu."

"Benar, ketidak-adilan yang bagaimana?"

Kwi Hiang Hosiang tertegun.

"Ayo, bicaralah, lo-suhu. Teruskan saja karena teman-temanmu yang lain menunggu!"

"Pinceng takut...."

"Ah, tak perlu takut, lo-suhu. Semua orang bisa salah tapi dari kesalahan itu justeru kita tahu mana yarg benar!"

"Hm, pinceng kira..."

"Ya, kenapa berhenti?"

"Pinceng kira pemuda itu ingin menjadi pahlawan, Sian su. Dia ingin menolong teman-teman nya dan menonjolkan diri!"

“Ah, melenceng!" Bu-beng Sian-su tertawa. "Bukan itu yang menjadi inti sarinya, To-suhu, melainkan sesuatu yang lain. Coba kuterangkan sedikit. Misalnya begini, kalian adalah Kwee Han, nelayan-nelayan Ming-ciang itu, ditindas dan selalu dirugikan hartawan-hartawan pemeras itu. Apa yang mendorong kalian untuk berontak? Apa yang menjadi sebab hingga kalian melawan?"

"Ketamakan hartawan-hartawan itu, Sian-su. Kekejamannya yang tidak mengenal batas!"

"Ya, itu sudah terlihat. Yang lain, lo-suhu, yang belum muncul ke permukaan!"

Kwi Hiang Hosiang bingung.

"Siapa yang tahu?"

"Coba kujawab," Kim-mou-eng, yang mulai mengenal tindak-tanduk suhunya tampil bicara. "Barangkali yang ingin kau maksud adalah perbuatan hartawan-hartawan Ming-ciang yang merugikan rakyat, suhu. Bahwa dari sinilah kau ingin menyatakan pendapatmu tentang Kwee Han."

"Benar, itu yang ingin ku munculkan ke permukaan, Kim-mou-eng. Bahwa ketidak-adilan yang MERUGIKAN inilah yang kutuju. Kaum nelayan itu, termasuk Kwee Han, berontak menuntut keadilan karena mereka merasa dirugikan oleh ketidak-adilan yang dibuat hartawan-hartawan di Ming-ciang!"

"Salahkah itu?" Yang Te Cinjin, yang ingin mendebat dan penasaran tiba-tiba berseru. "Bukankah setiap ketidak-adilan adalah merugikan, Sian-su? Bukankah wajar bila ketidak-adilan yang merugikan ini dilawan?"

"Nanti dulu, jangan menggebu!” Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu tertawa. "Hati-hati dengan setiap ucapanmu. Yang Te Cinjin. Aku khawatir ada kata-kata yang bakal menjadi bumerang bagi dirimu sendiri."

Lalu, ketika semua orang terbelalak dan Yang Te Cinjin tampak terkejut maka kakek dewa ini melanjutkan. "Aku tidak menyatakan ini salah atau benar, Cinjin. Aku masih belum selesai. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan pada kalian, yang mengejutkan!" dan ketika semua orang kembali tertegun dan memandangnya kakek itu bicara lagi, "Lihat, bukankah sekarang kita mengetahui bahwa kedatangan Kwee Han di kota raja adalah karena perasaan dirugikan ini? Bukankah pemuda itu menuntut keadilan karena dia langsung atau tidak langsung, merasa dirugikan? Nah, karena dirugikan itulah dia menuntut keadilan, Cinjin. Karena dirugikan itulah dia dan kawan-kawannya datang ke kota raja!"

Yang Te Cinjin dan lain-lain merasa aneh. "Sian-su,“ tosu itu bicara. "Bukankah wajar bila hal ini dilakukan pemuda itu? Bukankah wajar bila Kwee Han dan kawan-kawannya menuntut keadilan karena merasa dirugikan?"

"Ya, itu wajar, Cinjin. Tapi ada yang tidak wajar!"

"Apa yang tidak wajar? Apa yang tidak benar?"

"Eh, tidakkah kalian lihat? Perhatikan, karena merasa dirugikan maka pemuda itu dan kawan-kawannya menuntut, Cinjin. Karena merasa dirugikan maka Kwee Han dan kawan-kawannya datang ke kota raja!"

"Kami sudah tahu," Bi Kong Hwesio memotong. "Tapi kami tak melihat adanya yang luar biasa, Sian-su. Kami kira wajar dan semestinya kalau orang-orang yang merasa dirugikan ini menuntut keadilan."

"Benar, dan aku juga menyatakan begitu, Bi Kong lo-suhu. Tapi ada sesuatu yang tidak benar, yang tidak semestinya!"

"Apa itu?"

Bu-beng Sian-su tertawa. "Bi Kong lo-suhu," serunya. "Di dunia ini ada dua unsur kekuatan Im dan Yang. Tidakkah kau tahu apa yang ku maksudkan itu? Tidakkah kau mengamati apa yang seharusnya kau amati? Semua orang sebagian besar memang begitu, lo-suho. Kita semua dan siapa saja sebagian besar seperti Kwee Han. Kalau kau bertanya apakah itu maka, coba kalian pikir apakah unsur satunya dari kekuatan Im dan Yang itu. Jangan tergesa bertanya!"

Semua orang memeras otak. Setelan Bu-beng Sian-su menggiring mereka pada persoalan adil dan tidak adil tiba-tiba semuanya tertuju ke sini. Mereka mulai berpikir-pikir apa yang dilakukan Kwee Han, yang tidak wajar itu, yang tidak semestinya, sebuah kupasan yarg harus diulas secara hati-hati, bersifat non-lahiriah. Dan ketika semua orang tertegun dan memandang kakek dewa itu maka Bu-beng Sian-su bertanya,

"Sudah didapatkan? Ada yang tahu?"

Semua menggeleng.

"Ha-ha, bodoh!" Hu Beng Kui tiba-tiba melompat bangun. "Kalian semua tolol seperti aku, Bi Kong lo-suhu. Kalau begitu aku tidak sendirian. Lihat...!" jago pedang itu tiba-tiba berkelebat, lenyap disebelah kiri. "Aku ingin membantu Sian-su agar kalian semua melek, Bi Kong lo-suhu. Dan lihat apa yang kubawa ini.... bluk-bluk bluk!"

Beberapa tubuh tiba-tiba dilempar jago pedang itu, jatuh terbanting di depan semua orang dan Bi Kong Hwesio serta yang lain-lain terkejut. Mereka tak tahu siapakah orang-orang yang dibawa Hu Beng Kui ini, kecuali dapat diduga sebagai nelayan-nelayan sederhana yang pakaiannya amis. Dan ketika jago pedang itu berkelebat kembali dan duduk sambil tertawa maka dia mencengkeram seorang di antaranya sambil berseru,

"Heii, kau siapa namamu?"

Orang itu mengeluh, ketakutan.

"Heh, jawab pertanyaanku, manusia pengecut. Atau kau tak akan ku bebaskan dan menyusul Kwee Han!"

"Tidak... jangan!" orang itu pucat. "Aku A-fuk, taihiap... A-fuk!"

"Nah, kau!" Hu Beng Kui melepas orang ini, menyambar yang lain. "Kau siapa?"

"Aku... aku A-lok!"

"Dan kau!" Hu Beng Kui menyambar yang lain, berturut-turut bertanya. Dan ketika orang orang itu menyebut namanya satu per satu dan mereka dilempar bergulingan maka jago pedang itu berseru, "Nah, lihat. Mereka itu A-fuk dan A-lok, Bi Kong lo l-suhu, juga A-fat dan entah siapa lagi. Mereka ini adalah bekas nelayan-nelayan Ming-ciang pula, begundal Kwee Han. Mereka dulu juga berteriak-teriak tentang ketidakadilan yang merugikan itu tapi sekarang diam tidak bercuap-cuap!"

"Apa maksudmu?"

"Ha-ha, jelas, lo-suhu. Kalau tadi Sian-su sudah mengisyaratkan adanya unsur Im dan Yang maka kebalikan dari merugikan itu adalah menguntungkan. Jelasnya, mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah bercuap-cuap kalau menerima KETIDAKADILAN YANG MENGUNTUNGKAN!"

"Apa?"

"Ya, itu kenyataannya, Lo-suhu. Kita, dan Kwee Han, adalah orang-orang yang suka berteriak-teriak tentang ketidak-adilan yang merugikan. Sedang untuk yang menguntungkan, ha-ha.... KITA MENERIMANYA juga, lo-suhu. Untuk ketidak-adilan yang menguntungkan begini kita tak pernah bercuap-cuap. Lihat Kwee Han itu, dan lihat juga teman-temannya ini. Adakah mereka berteriak-teriak lagi tentang ketidak-adilan di Ming-ciang itu? Ha-ha, tak pernah lo-suhu. Mereka sudah tutup mata dan pura-pura tak tahu akan nasib yang lain-lain di Ming-ciang. Dan orang-orang di Ming-ciang itu juga akan sama saja kalau menerima kejadian seperti Kwee Han. Mereka itu, orang-orang egois itu hanya berteriak-teriak tentang yang merugikan namun tak pernah berkaok-kaok tentang yang menguntungkan. Mereka dan kita di sini sama saja!"

"Ah!" Bi Kong Hwesio melompat kaget, terkesiap. "Kau ekstrim, Hu-taihiap. Kau terlalu!”

"He-he, apanya yang terlalu?" jago pedang itu tertawa bergelak. "Tak usah menutup mata akan kenyataan ini, lo-suhu. Kita harus berani dan jujur melihat semuanya itu! Kita adalah orang-orang yang berteriak tentang ketidak-adilan namun sesungguhnya kita sendiri tak dapat adil terhadap diri sendiri. Dan kalau terhadap diri sendiri kita tak dapat bersikap adil maka jangan harap kita dapat bersikap adil terhadap orang lain. Ha-ha!"

Bi Kong Hwesio pucat. Tiba-tiba bersama temannya hwesio itu menggigil. Apa yang diceploskan Hu-taihiap ini adalah sesuatu yang mengejutkan sekali. Mula-mula dia mau menolak tapi terbentur kenyataan, introspeksi ke dalam diri sendiri dan akhirnya dia melihat apa yang diucapkan itu. Memang, hampir sebagian besar manusia, dengan sebagian kecil saja yang tidak adalah orang-orang dengan type si Kwee Han itu.

Hu Beng Kui akhirnya blak-blakan menceritakan "keberuntungan" Kwee Han, mendengar itu dari A-fak dan lain-lain dan dibukalah oleh jago pedang itu akan ketidakadilan menguntungkan yang dinikmati Kwee Han. Betapa setelah menikmati kesenangan dan kedudukan yang disodorkan Khek-taijin tiba-tiba saja pemuda Ming-ciang itu "lupa" pada teman-temannya. Dan ketika semua dibuka panjang lebar dan Bi Kong Hwesio serta lain-lain juga sudah mengetahui itu dari kejadian di istana maka jago pedang itu menutup,

"Nah, inilah yang hendak dimaksud Sian-su. lo-suhu. Bahwa kalau kita mau berteriak-teriak dan menuntut keadilan maka kita harus jujur dan bertanggung jawab. Kita harus jujur dan bertanggung jawab tentang apa yang kita teriakkan. Kita harus jujur dan bertanggung jawab tentang apa yang kita pekikkan. Sebab kalau kita berteriak-teriak tentang ketidak-adilan yang merugikan namun kita tak pernah berkaok-kaok tentang ke tidakadilan yang menguntungkan maka kita mau enaknya sendiri dan tidak bertanggung jawab. Dan kita cenderung untuk melakukan itu, kita mudah terpeleset oleh riak telaga kehidupan yang menina-bobok, yang menyenangkan!"

Bi Kong Hwesio dan yang lain-lain bengong. Sekejap tiba-tiba pembicaraan sudah diambil alih oleh si jago pedang ini. Hu Beng Kui meluap-luap dan bersemangat. Tapi ketika jago pedang itu tampak berapi-api dan semua orang tertegun maka Bu-beng Sian-su tertawa lembut mengebutkan lengannya.

"Duduklah, jangan terlampau bersemangat, Hu-taihiap. Kau pun melakukan seperti apa yang dilakukan Kwee Han, meskipun agak sedikit berbeda."

"Benar," jago pedang itu mengakui "Aku sekarang melihatnya, Sian-su. Aku sekarang mengerti!"

Bi Kong Hwesio tertarik. "Apanya yang berbeda, Sian-su? Di mana letak perbedaannya?"

"Dengarlah," kakek dewa itu tersenyum. "Aku hendak menjelaskannya secara panjang lebar, lo-suhu, Perhatikan dan dengarkan baik-baik." lalu membetulkan kakinya bersila dengan mata berseri-seri kakek ini berkata, "Lihat, kalian telah mendengar bahwa kita, sebagian besar dari kita adalah manusia model Kwee Han. Kita berteriak-teriak tentang ketidak-adilan, yang merugikan. Sedang untuk yang menguntungkan, meskipun itu juga ketidakadilan, kita menerimanya dan diam-diam saja. Adakah keadilan akan datang kalau begini caranya? Adakah keadilan akan kita peroleh? Kalau pun datang maka itu adalah keadilan yang semu, cuwi pangcu. Ketidakadilan akan datang lagi dengan cara atau macamnya yang berbeda. Menghendaki sebuah keadilan haruslah dimulai dari diri sendiri. Kalau kita tidak mau keadilan yang merugikan maka kita harus juga menolak ketidakadilan yang menguntungkan itu. Jangan seperti Kwee Han, menolak ketidakadilan yang merugikan namun mau menerima ketidakadilan yang menguntungkan. Mana bisa keadilan yang benar datang memperlihatkan diri? Kita cenderung untuk yang senang-senang saja, cuwi pangcu. Untuk yang tidak menyenangkan, yang merugikan, biasanya kita bersikap keras dan penuh perlawanan. Memang aku tidak menyatakan bahwa ketidakadilan yang merugikan harus didiamkan saja. Tidak, aku tidak berkata begitu. Tapi bagaimana kalau ketidakadilan yang menguntungkan datang kepada kita? Bagaimana sikap kita menghadapi dan menerimanya? Menerima ketidakadilan yang menguntungkan sama jahatnya dengan ketidakadilan itu sendiri, cuwi pangcu. Karena itu kita harus mawas diri dan benar-benar adil kalau ingin menuntut keadilan!"

Semua mengangguk-angguk, mulai mengerti.

"Lihat," kakek itu melanjutkan. "Dulu dengan kemarahan dan kebencian Kwee Han menuntut keadilan di kota raja, cuwi pangcu. Pemuda itu marah-marah karena dia merasa dirugikan oleh sepak terjang hartawan-hartawan di Ming-ciang. Dengan gagah dan penuh keberanian pemuda itu datang, bertemu dengan Khek-taijin. Tapi bagaimana ketika dia dibujuk dan mulai mendapatkan kesenangan-kesenangannya? Lihat, mula-mula wanita disodorkan kepadanya, cuwi pangcu. Siong-hi dan lain-lain wanita cantik yang sengaja diberikan Khek-taijin kepadanya. Lalu harta dan kedudukan, disusupi kesenangan-kesenangan lain yang tidak diperoleh Kwee Han di tempatnya. Dan karena pemuda itu menerima dan tidak menyadari bahayanya riak telaga kehidupan yang membuainya ini maka perlahan-lahan pemuda itu terjebak dan semakin dalam hingga akhirnya tergelincir. Kwee Han, yang semula pahlawan tiba-tiba pudar citranya. Dia terpeleset dan menghancurkan diri sendiri. Dan karena pemuda itu telah bersikap tidak adil terhadap diri sendiri maka semua dosa dan kesalahannya terhukum oleh perbuatannya sendiri! Jelas?"

Bi Kong Hwesio dan lainnya mengangguk-angguk.

"Sudah selesaikah cerita ini?" kakek itu bertanya sendiri. "Belum," jawabnya pula. "Masih ada yang harus diketahui, cuwi pangcu, yakni perbedaan antara Hu-taihiap dan pemuda itu."

"Hm," Ciu Sek Tosu tertarik. "Perbedaan yang bagaimanakah, Sian-su? Bolehkah kami tahu?"

"Tentu, Hu-taihiap telah menyadari kesalahannya, totiang, barangkali tak apa kalau aku bicara di depan yang bersangkutan. Begitukah. Hu taihiap?"

Jago pedang itu mengangguk.

"Nah, ada perbedaan di antara Kwee Han dan Hu-tahiap ini, cuwi enghiong, yakni datangnya ketidak-adilan yang menguntungkan itu. Kwee Han, sebagai anak muda barangkali akan kita bela karena dia belum banyak pengalaman, masih muda dan masih hijau, begitu barangkali. Tapi bagaimana dengan Hu-taihiap? Bagaimana dengan jago pedang ini? Sahabat kita ini lebih lagi, cuwi engbiong. Hu-taihiap sengaja menciptakan ketidak-adilan demi dirinya sendiri!"

“Eh?' Cu Sek terkejut. "Bagaimana itu, Sian-su? Kesengajaan bagaimana?"

"Ya, lihat, totiang. Antara Kwee Han dan Hu-taihiap ada perbedaan, meskipun masing-masing masih dalam lingkaran yang sama. Kwee Han, pemuda Ming-ciang itu menerima ketidak-adilan yang menguntungkan di luar kesadarannya. Artinya pemuda itu hanya didatangi oleh ketidak-adilan yang menguntungkan di luar rencananya. Sama sekali Kwee Han tak mengira atau menduga adanya perobahan kehidupan itu. Dia sama sekali tidak merencanakan untuk menikmati ketidak-adilan yang menguntungkan itu sejak berangkat dari Ming-ciang. Pemuda ini hanya diberi dan mendapat KESEMPATAN untuk menikmati ketidak-adilan itu, yang menguntungkannya. Dan karena kita sebagian besar memang lemah terhadap hal-hal yang menyenangkan begini maka pemuda itu menerima dan hanyut dalam jebakan Khek-taijin itu!"

“Sedang Hu-taihiap?" Swan Cong, ketua Kun-lun kini maju bertanya. "Bagaimana dengan Hu-taihiap, Sian-su. Apakah dia tidak diberi tahu mendapat kesempatan itu?"

"Tidak, Hu-taihiap justeru MENCIPTAKAN ketidak-adilan ini, Swan Cong totiang. Dia dengan sengaja dan sadar menciptakan ketidak-adilan itu. Hu-taihiap sama dengan Cu-Wangwe dan kawan-kawannya itu!"

"Ha-ha!" Hu-taihiap tertawa bergelak. "Inilah hal yang memalukan diriku, Swan Cong Tojin. Sebagai pendekar dan orang yang sudah disebut orang baik-baik aku masih juga melakukan itu. Aku memang sama dengan Cu-wangwe dan kawan-kawannya itu. Aku barangkali juga sama dengan Khek-taijin!"

"Pinto belum mengerti," Swan Cong agak ragu, mengerutkan kening. "Ketidak-adilan bagaimana yang kau maksudkan Sian-su? Dapatkah kau memberi penjelasan?"

"Ah, tidakkah jelas, totiang? Hu-taihiap mencuri Cui-sian Gin-kang dan Lu-ciang-hoat yang dimiliki Kim-mou-eng, dalam nafsunya yang tidak mau kalah. Tapi begitu Kim-mou-eng mendapatkan Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng nya tiba-tiba jago pedang ini marah dan tidak mau menerima. Bukankah jelas dia mau menangnya sendiri, totiang? Bukankah Hu-taihiap tahu bahwa dengan memiliki gabungan ilmu silat yang dimiliki Kim-mou-eng dia bakal tak dapat dikalahkan lawannya? Karena itulah dia berani sesumbar untuk mengalahkan muridku dalam duapuluh jurus, totiang. Tapi begitu dia kebentur batunya tiba-tiba Hu-taihiap marah-marah dan tak dapat mengendalikan diri!"

"Ooh....! Swan Cong Tojin tiba-tiba mengerti, mengangguk-angguk. "Itukah kiranya, Sian-su? Itulah yang kau maksud?"

"Ya, dan kita lihat, totiang. Dalam ketidak-adilan begini siapa saja dapat dipengaruhi. Tua atau muda dapat terkecoh, yang masih hijau atau yang sudah berpengalaman tetap saja dapat tergelincir dalam masalah ini. Karena itu menyadari semuanya ini dan berhati-hati adalah merupakan tindakan baik yang amat terpuji!"

"Hmm.... hm....!" semua mengangguk-angguk, kaget tapi juga kagum. "Kini kami mengerti, Sian-su. Tapi agaknya masih ada lagi wejanganmu."

"Dengarlah," kakek itu berseri-seri. "Orang seperti Kwee Han tak sejahat orang seperti Cu-wangwe, totiang. Orang seperti Kwee Han adalah korban dari kejadian yang diciptakan oleh orang seperti Cu-wangwe. Tapi karena orang seperti Kwee Han akhirnya terjerumus dan mabok dalam kesenangannya sendiri maka orang macam begini tak akan terlepas dari buah yang ditanamnya. Karena itu orang seperti Kwee Han akhirnya juga sama-sama buruk seperti Cu-wangwe karena mereka itu bisa menjadi penindas dan pemeras!"

"Jadi hukuman itu setimpal untuknya, Sian-su?"

"Setimpal atau tidak urusan Tuhan, totiang. Kita manusia acap kali menghukum lawan dengan nafsu berlebihan. Yang perlu kita sadari adalah pelajaran dari semuanya ini, hikmah dari semua kejadian itu. Apakah kalian dapat mengerti"?!

"Dapat," ketua Kun-lun itu mengangguk angguk, "Pinto sekarang mengerti, Sian-su. Dan sungguh benar apa katamu!"

"Nanti dulu, tidak adakah yang dapat mengorek satu hal lagi? Tidak adakah di antara kalian yang dapat menemukan sebongkah mutiara yang masih terpendam?"

Orang-orang itu tertegun.

"Lihat," Bu-beng Sian-su kembali berkata, "Masih ada yang ketinggalan, cuwi enghiong. Masih ada satu hal penting lagi yang harus kalian ketahui...!"

"Tentang apa?"

"Tentang ketidak-adilan ini, peristiwa ini!"

"Ah, kami tak tahu apa-apa," Kwi Hiang Hosiang mengeluh. “Kami merasa diri kami bodoh dan tak tahu apa-apa, Sian-su. Sebaiknya kau jelaskan saja dan biar kami sebagai pendengar."

"Benar," Yang Te Cinjin mengangguk mengiyakan. "Kau jelaskan saja, Sian-su. Biar kami sebagai pendengar!"

"Baik," kakek itu tetap berseri-seri. "Aku hendak menunjukkan kepada kalian bahwa yang dituntut orang-orang Ming-ciang itu bukan Keadilan, totiang, melainkan yang lain. Tahukah kalian apa yang dituntut itu?"

"Tidak."

"Ha-ha, yang dituntut adalah kesenangan, totiang. Bukan keadilan. Mereka itu menuntut KESENANGAN!"

"Eh!" Ciu Sek melengak. "Apakah benar, Sian-su? Bukankah keadilan itu akhirnya juga berupa kesenangan?"

“Inilah yang salah kaprah," kakek dewa itu tertawa. "Mereka tak tahu apa yang dituntut, totiang. Mereka mengira kesenangan adalah keadilan. Dan karena mereka tak tahu ini maka orang-orang macam A-fuk dan A-lok itu sudah tidak bercuap-cuap lagi begitu disumpal kesenangan."

Ciu Sek tertegun, mulai berkeringat. "Apakah Sian-su dapat memberikan bukti?"

"Tentu, dengarlah, totiang. Aku memang hendak menjelaskan hal ini. Keadilan adalah sesuatu yang mengandung banyak unsur. Kesenangan adalah satu di antara unsur-unsur tadi. Dan karena keadilan jauh lebih besar dan lengkap di banding kesenangan maka keadilan bukan kesenangan. Kesenangan adalah bagian dari keadilan, seperti halnya lengan adalah bagian dari tubuh. Tubuh sendiri bukanlah lengan. Tubuh adalah kesatuan dari apa yang kita namakan kaki, lengan. kepala dan sebagainya. Dan karena tubuh bukanlah lengan maka keadilan bukanlah kesenangan. Kesenangan itu hanyalah bagian dari tubuh saja, tubuh keadilan, salah satu unsur atau elemennya, seperti halnya lengan atau kaki kita yang merupakan bagian dari tubuh, badan. Dan karena kita mulai tahu ini maka harap kalian waspada bahwa keadilan bukan kesenangan!"

"Kami masih bingung." Bi Kong Hwesio kini maju bicara, "Coba jelaskan sekali lagi, Sian-su. Dan sedikit lambat agar piceng dapat mengunyahnya."

"Baiklah, dengarkan," kakek itu mengangguk. "Kesenangan adalah BAGIAN dari keadilan, lo-suhu. Mendapatkan keadilan berarti otomatis akan mendapatkan kesenangan juga. Dan karena kesenangan bukan keadilan maka mendapatkan kesenangan belum berarti mendapatkan keadilan. Kesenangan itu seperti lengan, misalnya. Dia ini terbatas, hanya itu-itu saja. Dan karena lengan hanyalah lengan maka lengan bukanlah kaki atau kepala misalnya. Lain dengan tubuh, keadilan. Di situ telah tercakup lengan, kaki dan sebagainya. Pahamkah kalian?"

"Ooh....." hwesio itu mengangguk-angguk. "Pinceng mulai paham. Sian-su. Dan coba teruskan dengan orang-orang Ming-ciang itu."

"Baik, sekarang kembali ke orang-orang itu," kakek ini menarik napas, tetap berseri-seri. "Kenapa mereka kukatakan bukan menuntut keadilan melainkan kesenangan, lo-suhu? Kenapa aku bicara seperti itu? Gamblang sekali jawabannya, lo-suhu, kita melihat jelas akan perbedaan dua hal itu. Lihat, Kwee Han dan A-fuk serta A-lok menunjukkan kepada kita akan kenyataan ini. Mereka membuktikan kepada kita bahwa bukan keadilan yang dituntut melainkan kesenangan. Buktinya, begitu kesenangan sudah diperoleh maka mereka berhenti dan tidak perduli lagi kepada teman-temannya!"

"Nanti dulu," Yang Te Cinjin meloncat masuk. "Perlahan-lahan dulu, Sian-su. Pinto ingin mengunyahnya secara lambat dan hati-hati."

"Boleh, dengarkan lebih lanjut, Cinjin. Kesenangan, seperti yang kukatakan tadi berhubungan dengan aku, ego. Dan karena kesenangan berhubungan dengan 'aku' atau ego maka kesenangan bersifat dangkal. Menuntut kesenangan pada dasarnya memenuhi keinginan si aku ini, ego, jauh bila dibanding dengan menuntut keadilan. karena kalau kesenangan bersumber pada si aku atau ego maka keadilan bersumber pada CINTA KASIH. Nah, lihat perbedaan besar di antara keduanya ini, Cinjin. Lihat apa yang terjadi kalau kedua-duanya bergerak!"

Yang Te Cinjin terbelalak.

"Aku hendak melanjutkan sedikit lagi tentang ini," kakek itu berseri-seri. "Sekarang kalian buktikan dengan apa yang diperbuat Kwee Han, juga A-lok atau A-fuk itu. Mereka, orang-orang ini, pada dasarnya menuntut kesenangan, bukan keadilan. Karena itu begitu kesenangan itu mereka peroleh dan si aku atau si ego terpenuhi maka mereka tak ingat lagi pada kawan-kawannya di Ming-ciang itu. Kwee Han dan kawan-kawannya ini terkecoh diri sendiri. Mereka bukan mencari keadilan tetapi kesenangan. Karena itu begitu kesenangan datang dan mereka tenggelam maka mereka pun lupa diri. Inilah juga yang dialami sebagian besar manusia, nelayan-nelayan Ming-ciang yang lain itu dan barangkali juga kita di sini!"

Yang Te Cinjin terkejut.

"Dan kalian tahu bagaimana kira-kira contoh keadilan yang bersumber pada cinta kasih itu?"

Yang Te Cinjin dan kawan-kawannya menggeleng.

"Ha-ha, Pwee-lopek itulah contoh yang gamblang di sini, Cinjin. Kakek yang tidak pernah memikirkan diri sendiri itulah contohnya! Lihat berapa uang yang dia dapatkan dari Kwee Han, lihat berapa kali dia sungguh-sungguh menuntut keadilan. Adakah uang yang dia sembunyikan untuk dirinya pribadi? Adakah kakek itu menyembunyikan sebagian uang yang diterimanya dari Kwee Han? Tidak, kakek itu tak pernah menyisihkan uang yang diterimanya untuk dirinya sendiri, Cinjin. Semua yang didapat diberikannya kepada teman-temannya. Kakek itu tak memikirkan diri sendiri karena dia memang tak berniat untuk menyenangkan diri sendiri. Kakek itu ingin membantu teman-temannya, menolong teman-temannya. Keinginan atau niat yang timbul dari cinta kasih, cinta terhadap sesama dan kasih terhadap sesamanya pula. Sayang, karena kakek ini terlalu sederhana dan lugu maka niat atau maksud hatinya itu digantungkannya kepada Kwee Han, pemuda yang dianggapnya jauh lebih mampu daripada dirinya yang sudah tua! Kalian mengerti?"

Tiba-tiba semua orang tertegun. Kini dibukalah secara panjang lebar contoh-contoh yang bagus sekali oleh kakek dewa itu. Bu-beng Sian-su telah mengupasnya dan satu demi satu kakek itu menerangkannya kepada mereka. Mulai dari ketidak-adilan yang menguntungkan sampai pada masalah "aku" dan cinta kasih. Jelas dan gamblang, karena kakek itu mengurainya secara panjang lebar, satu sama lain saling terkait dan kagumlah semua orang akan kenyataan yang disodorkan ini. Dan ketika mereka mengangguk-angguk dan semua mendecak maka kakek itu bangkit berdiri.

"Nah, sekarang jelaslah kalimat-kalimat dalam syair ini. Bait pertama adalah mula gerakan Kwee Han dalam menuntut keadilan. Bait kedua menerangkan pemuda itu mulai memasuki telaga yang beriak perlahan. Dan karena sekarang kita tahu bahwa Kwee Han dan orang-orang Ming-ciang itu bukan menuntut keadilan melainkan menuntut kesenangan maka akhirnya kata adil hanya permainan mulut belaka. Akibatnya yang mereka dapatkan pun hanya sebuah keadilan semu!"

"Nanti dulu," Swan Cong Tojin berseru. "Apakah nelayan-nelayan itu sekarang masih mendapatkan keadilan yang semu. Sian-su? Bukankah Khek-taijin sudah dipindahkan dan Cu-wangwe serta kawan-kawannya juga menyingkir?"

"Ha-ha, menjawab ini mudah saja, totiang. Orang akan mendapatkan yang semu kalau mulai dengan yang semu juga. Dan akan mendapatkan yang sejati kalau mulai dengan yang benar. Sebaiknya kau lihat saja karena kebodohan biasanya menuntun kepada kesengsaraan!"

"Pinto tak puas...."

"Wut!" Bu-beng Sian-su lenyap. "Mendengarkan saja tanpa menghayati tak ada gunanya, totiang. Sebaiknya kau belajar pula mengamati jalannya roda kehidupan!" dan kakek itu yang tertawa entah di mana tiba-tiba meminta maaf dan sudah pergi jauh, menghilang dan tak ada siapa pun yang dapat mengikuti karena kesaktian kakek itu memang luar biasa.

Kalau manusia dewa itu tak menghendaki jangan harap mereka dapat bertemu. Dan ketika kakek itu lenyap dan orang tertegun kagum maka Hu Beng Kui tertawa bergelak dan berkelebat pula, lenyap menyusul Bu-beng Sian-su dan jago pedang itu menyuruh puterinya dan Kim-mou-eng datang ke Ce-bu. Inilah hal yang tak diduga Pendekar Rambut Emas dan kekasihnya tiba-tiba berseri-seri. Perintah itu sama halnya persetujuan ayahnya merestui perjodohan. Swat Lian tiba-tiba tersenyum dan melirik kekasihnya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas tertegun namun tentu saja gembira bukan main maka pemuda ini bergerak dan menyambar lengan kekasihnya pula, lenyap tertawa girang dan minta diri pada Bi Kong Hwesio dan lain-lainnya itu.

Tinggallah enam orang ketua ini yang merenungi wejangan Bu-beng Sian-su. Mereka manggut-manggut dan berseri-seri. Kegembiraan dan kesenangan mereka lain dengan yang dialami Kim-mou-eng. Mereka mendapat makanan rohani dari Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang hebat itu. Dan ketika masing-masing saling pandang dan bangkit berdiri mendadak Bi Hong Hwesio berkelebat pulang ke Siu-lim, pamit pada teman-temannya tapi yang lain-lain mendadak menyusul, pulang dan berseri-seri ke rumahnya sendiri. Dan ketika tinggal Swan Cong Tojin yang masih termangu dan akhirnya menghela napas maka tosu itu duduk bersila dan malah bersamadhi.

Wejangan Bu-beng Sian-su, yang demikian banyak dan termasuk "berat" memang harus dikunyah dan dimamah secara perlahan-lahan. Tosu itu mengangguk-angguk dan terngianglah dia akan segala kata-kata kakek itu. Mulai dari ketidakadilan sampai cinta kasih. Mulai dari yang merugikan sampai yang menguntungkan. Ah, begitukah kiranya? Demikian pelik dan berbelit-belit?

Hm, ketidak-adilan ada dua, dipandang dari dua sisi yang berbeda. Yang satu merugikan sedang yang lain menguntungkan. Untuk yang merugikan, jelas manusia berteriak-teriak, tak ada yang tidak. Tapi bagaimana dengan yang menguntungkan? Adakah yang berteriak-teriak? Lucu, selama ini dia belum pernah dengar.

Untuk ketidak-adilan yang menguntungkan biasanya manusia diam, tak pernah berkaok-kaok, pura-pura bodoh dan seakan tidak tahu-menahu. Tak ada suara keras menyambar dan sungguh bertolak belakang dengan yang merugikan itu. Untuk yang pertama manusia sanggup mati, kalau perlu berjibaku. Tapi untuk yang kedua, eh-eh.... nanti dulu. Aku masih ingin berumur panjang dan menikmati hidup kok! Dan ketika tosu itu tersenyum-senyum dan geli serta gemas maka wejangan lain dikunyahnya lembut dan perlahan-lahan.

Bu-beng Sian-su mengatakan bahwa ketidak-adilan, yang menguntungkan itu, bisa "datang" dan "didatangkan". Contoh pertama adalah Kwee Han, pemuda Ming-ciang itu. Pemuda ini didatangi dan mendapat kesempatan untuk menikmati ketidak-adilan, yang menguntungkan. Sedang yang kedua adalah seperti Cu-wangwe dan teman-temannya itu, juga hu-taihiap. Mereka ini mendatangkan dan sengaja mencipta ketidak-adilan, untuk keuntungan diri sendiri.

Dan tertegun bahwa orang seperti Hu taihiap bisa kejeblos dan melakukan tindakan tercela itu maka Swan Cong Tojin tepekur dan terkejut. Benar kakek dewa itu, hal ini bisa menimpa siapa saja, yang muda atau yang tua, yang belum pengalaman maupun yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Dan karena hal itu merupakan pelajaran bagi dirinya sendiri maka tosu itu tergetar dan mengangguk-angguk. Kemudian lagi, masalah tuntutan itu. Benarkah mereka menuntut keadilan? Tidakkah orang-orang itu menuntut kesenangan? Keadilan berasal dari cinta kasih, sedang kesenangan tidak!

Kesenangan berasal dari tuntutan atau keinginan si-aku, ego. Sifatnya dangkal dan memang bertalian erat dengan diri sendiri. Karena itu begitu Kwee Han memperoleh kesenangannya dan tenggelam dalam kesenangannya ini lupalah pemuda itu pada "misi" semula. Tak ada cinta kasih di situ, tak ada keadilan. Yang ada hanyalah tuntutan kesenangan. Ah! Tosu ini mengangguk-angguk.

Apalagi? Tosu itu merenung. Bu-beng Sian-su menyatakan bahwa kesenangan hanyalah bagian dari keadilan, dalam konteks pembicaraan ini. Jadi kalau orang mendapatkan kesenangan maka belum tentu mendapatkan keadilan. Keadilan itu adalah sesuatu yang utuh, yang mencakup banyak unsur. Jadi kalau orang mengejar-ngejar satu dari sekian unsur ini maka yang utuh, keadilan, tak didapat. Orang hanya mendapatkan kulitnya bukan isinya.

Nelayan-nelayan Ming-ciang itu contohnya. Itu barangkali yang membuat mereka jatuh bangun menentang Cu-wangwe dan kawan-kawannya. Reda sejenak lalu timbul lagi. Tenang seminggu tapi geger lagi sebulan. Apakah hal itu tak akan terulang dalam masa-masa mendatang? Hanya Pwee-lopek yang agaknya bersungguh-sungguh menjalankan tuntutannya. Di istana pun kakek itu tampak membela teman-temannya.

Teringatlah Swan Cong Tojin akan kakek ini, kakek sederhana yang meminta pada Kim-mou-eng agar teman-temannya dibebaskan. Ah, kakek itu selalu memperhatikan yang lain. Kakek itu jarang memperhatikan diri sendiri karena orang lainlah yang menjadi tujuannya. Apakah karena kakek itu tak bersanak tak berkadang? Ah, agaknya bukan ini. Ada faktor lain yang menjadi sebab utama, dan faktor itu adalah cinta kasih!

Swan Cong Tojin menarik napas dalam-dalam. Dibanding dengan ratusan orang Ming-ciang atau ribuan manusia lainnya maka figur Pwee-lopek ini adalah satu-satunya tokoh tunggal. Sedemikian sedikitkah orang macam Pwee-lopek itu? Segelintir dua saja hingga dapat dihitung dengan jari? Ini kenyataan memprihatinkan. Tosu itu menarik napas dalam-dalam lagi dan akhirnya samadhinya bercampur introspeksi terhadap diri sendiri.

Bu-beng Sian-su telah menyatakan bahwa sebagian besar manusia, yang ada di muka bumi ini, seperti Kwee Han adanya. Mau menerima ketidak-adilan yang menguntungkan, namun tidak terhadap ketidakadilan yang merugikan, hal yang tidak adil. Dan karena manusia, banyak yang seperti itu maka ketidakadilan merajalela dan tetap tumbuh subur di manapun di bagian bumi ini.

Apa yang harus dilakukan? Tentunya harus jujur dan adil terhadap diri sendiri. Kalau manusia sudah jujur dan adil terhadap diri sendiri maka manusia dapat diharapkan untuk bersikap jujur dan adil terhadap manusia lainnya. Masalahnya, adakah manusia-manusia seperti itu? Kalau ada, banyak atau sedikit? Sebab, kalau yang begini hanya berjumlah sedikit maka manusia-manusia macam ini juga tak dapat berbuat banyak untuk dunia. Sayang!

* * * * * * * *

Pembaca yang budiman, kiranya cukup tulisan ini sebagai bahan perenung. Penulis tak banyak memberi komentar. Apa yang dipaparkan Bu-beng Sian-su telah lebih dari cukup. Swan Cong Tojin telah semakin tenggelam dalam lamunannya sendiri, hanyut dan akhirnya tertidur. Dan karena syair itu telah dikupas maka penulis hendak mohon diri untuk jumpa di kisah berikutnya.

Bagaimana dengan Kim-mou-eng? Berakhir dengan baik-baik. Swat Lian, puteri Hu Beng Kui akhirnya dinikahinya. Hu Beng Kui telah mengakui kesalahannya dan pendekar Pedang itu menerima Kim-mou-eng sebagai menantunya. Dan ketika pernikahan disiapkan dan semuanya berjalan baik maka undangan juga dikirim kepada semua orang, termasuk enam ketua partai yang dulu duduk bercakap-cakap dengan Bu-beng Sian-su.

Kim-mou-eng, sesuai janjinya, tidak mau menjadi bengcu. Kedudukan bengcu tetap diserahkan kepada mertuanya dan Hu Beng Kui tertawa bergelak. Jago pedang itu ngakak saja dan puterinya tersenyum. Gadis ini tak lagi marah kepada ayahnya karena perkawinannya dengan Kim-mou-eng direstui. Itulah baginya yang lebih penting. Namun ketika semua orang bergembira dan bersuka ria ternyata Hu Beng Kui dan Bi Kong Hwesio serta kawan-kawannya berkerut kening. Apa yang tidak memuaskan mereka? Bukan lain tak adanya Bu-beng Sian-su di situ.

Semua orang sebenarnya mengharap kehadiran kakek dewa itu lagi. Mereka ingin mendengar lagi wejangan-wejangan kakek itu tentang kehidupan yang lain, apa saja. Mereka terlanjur tertarik dan "jatuh cinta" terhadap kakek luar biasa itu, menyangka kakek itu akan datang karena Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas adalah muridnya.

Tapi ketika kakek dewa itu tak ada di pesta keramaian dan Hu Beng Kui serta yang lain-lain mendesah kecewa maka Kim-mou-eng berkata bahwa gurunya memang begitu. Tanpa kehendaknya sendiri tak mungkin mereka bisa jumpa. Kakek itu lenyap sejak meninggalkan wejangannya yang terakhir di hutan. Dan ketika semua orang mengangguk dan dapat mengerti itu maka kegembiraan dan pesta dapat dilanjutkan.

Ke manakah Bu-beng Sian-su? Kakek ini tak muncul lagi. Kim-mou-eng dan lain-lain tak menemukan kakek itu lagi selama dua puluh tahun, waktu yang cukup lama. Karena sejak memberikan wejangannya tentang keadilan kakek itu sudah menghilang dan lenyap tak berada di wilayah itu karena sedang berada di wilayah lain. Di manakah kakek itu?

Bagi pembaca yang ingin mengikuti perjalanan kakek dewa ini penulis persilahkan untuk membaca Golok Maut, sebuah cerita baru yang tidak ada hubungannya dengan Kim-mou-eng. Sedang Kim-mou-eng dan keturunannya akan penulis ceritakan dalam kisah Istana Hantu.

Di mana Anda akan bertemu dengan Pendekar Rambut Emas itu kembali dan isterinya, juga anak perempuannya, Soat Eng, buah cinta Pendekar Rambut Emas itu dengan Hu Swat Lian, di samping tentu saja, anda akan berjumpa dengan Dailiong atau Thai Liong, putera atau keturunan pertama Pendekar Rambut Emas itu dengan mendiang sumoinya, Salima. Dan karena cerita ini sudah selesai maka penulis hendak mohon diri dan salam bahagia untuk Anda. Mudah-mudahan buku kecil ini bermanfaat. Semoga!

ΤΑΜΑΤ