Sepasang Cermin Naga Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Sepasang Cermin Naga Jilid 12 Karya Batara
Sonny Ogawa

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 12
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"KALAU begitu kau pun penindas!" Kwee Han membentak. Kau kiranya yang menyebabkan Cu-wangwe harus menekan buruhnya, taijin, Kau biang keladi semuanya ini!"

"Hm!" Khek-taijin tertawa mengejek, sikapnya tenang namun mata pun berkilat berbahaya. "Kau jangan kurang ajar kepadaku, Kwee Han. Apalagi setelah kaisar tua wafat. Apa yang kau andalkan untuk membentak-bentak aku? Cincin di jari mu itu? Ha-ha, kau sendiri telah sama dengan aku, Kwee Han. Pendekar Rambut Emas tentu tak bakal mengampunimu lagi kalau tahu keadaanmu sekarang!"

"Apa maksudmu?" Kwee Han terbelalak.

“Masih tidak mengerti juga?" sang menteri mengejek, "Baik, kuberi tahu padamu, Kwee Han. Sebagai menteri muda kau pun telah menghisap rakyat dan menyedot darahnya. Kau kira apa sumbangan yang kaü terima dari hartawan-hartawan di kota raja? Kau anggap apa pemberian mereka itu kepadamu? Cuma-cuma saja? Ha-ha, tak ada orang di dunia ini yang mau bekerja cuma-cuma, Kwee Han. Tak ada seorang pun yang mau kerja bakti kecuali orang gila! Kau telah menerima pajak dan sutera-sutera gelap, kau telah menikmati uang negara yang seharusnya masuk kas istana!"

"Apa?"

"Benar. Orang-orang yang telah berhubungan denganmu itu adalah penyelundup-penyelundup kakap, Kwee Han. Kau telah merubah tarif yang seharusnya masuk kas negara sebagai keuntunganmu pribadi. Kau telah main api di sini dan bisa tertangkap kalau sri baginda tahu!"

"Tapi kau yang menyuruhku begitu, kau yang memberi petunjuk!"

"Ha-ha, tapi kau yang memberi tanda tangan atas semua barang dan pajak itu, Kwee Han. Jadi kaulah yang bertanggung jawab penuh kalau ada apa-apa!"

"Terkutuk!" Kwee Han pucat. "Kau menjebak aku, Khek-taijin. Kau menipu dan menjerumuskan aku!"

Khek-taijin tertawa bergelak. Setelah Kwee Han tahu sepak terjangnya sendiri tiba-tiba menteri itu gembira bukan main. Memang benar, Kwee Han selama ini telah memanipulasi pajak, juga barang-barang lain yang seharusnya masuk istana. Barang-barang atau pajak yang seharusnya menjadi milik kaisar, untuk negara. Dan ketika Kwee Han merah padam dan tampak menggigil maka menteri ini berkata lagi,

"Nah, tinggal kau, Kwee Han. Mau berbalik haluan dan menyerahkan semuanya itu pada istana dan berarti kau ditangkap atau diam saja dan teruskan gaya hidupmu sehari-hari dan jangan mengganggu aku lagi. Kita sama sama menikmati uang haram. Kau dengan penghasilanmu melalui pajak atau barang-barang selundupan sementara aku dengan hasilku di Ming-ciang itu dan beberapa yang lain lagi. Kedudukanku lebih kuat, kalau ada apa-apa paling paling aku dimutasi, dipindah. Tapi kau... ha-ha, kau bisa dipecat dan dihukum, Kwee Han. Kau orang biasa yang tidak memiliki backing seperti aku. Aku dapat mengandalkan pangeran Yu Fu dan lain-lain, sahabatku di istana. Sedang kau paling-paling Kim-mou-eng kalau Pendekar Rambut Emas itu mau membantu. Ha-ha!"

Kwee Han pucat. Sekarang dia melihat betapa berbahaya dan liciknya menteri ini, mau menerjang tapi beberapa pengawal siap di belakang menteri itu. Kwee Han sadar bahwa dia telah terjerumus ke jalan yang salah. Kalau dia mau merobah perbuatan maka hari itu juga seharusnya dia memutar kemudi. Namun karena memutar kemudi ini resikonya besar karena segala kedudukan dan kekayaanaya bisa amblas dalam sekejap maka Kwee Han tak dapat berbuat apa,apa dan menyerah dalam genggaman menteri itu.

Sadar bahwa dia telah terjebak dan Khek-taijin rupanya bermaksud agar dia tidak menganggu lagi dengan masalah Ming-ciang, itu yang diminta menteri ini dan sebagai imbalannya dia menikmati perlindungan dan jasa baik menteri itu. Dia ternyata sudah di bawah kekuasaan Khek-tanjin. Dan karena melepas segala kesenangan dan kedudukan di tempat empuk itu memang berat dan tak mungkin dilakukan pemuda ini maka Kwee Han menyerah dan hanyut dalam pelukan selirnya tercinta.

Hari itu Kwee Han tak perduli lagi pada keadilan. Dia tak perduli lagi pada nasib teman temannya di Ming-ciang. Tak ingat lagi akan "misi" perjuangannya dulu, akan maksud kedatanganya di kota raja dan betapa dia menuntut keadilan demi teman-temannya yang menderita. Dan ketika hari itu Kwee Han merasa di "K.O." dan menteri Khek memang benar akhirnya seperti yang kita lihat, bekas nelayan yang sudah menjadi "orang penting" ini tak menghiraukan lagi teman-temannya.

Dia tak mau diganggu dan sengaja menghindar, sikapnya mulai berobah dan Pwee-lopek melihat itu, menasihati Lu San namun sayang nelayan ini tak mau dengar. Akibatnya kematian merenggut nyawa nelayan muda itu. Dan ketika semuanya berlangsung kian menyedihkan dan kaum hartawan kini menggencet buruhnya dengan tidak memberi uang selain makan seadanya maka Dewa Keadilan seolah ditutup matanya dan diikat tak berdaya.

Apa yang terjadi di Ming-ciang seterusnya tak mau didengar atau dilihat Kwee Han lagi. Dia sudah membutakan diri terhadap nasib teman-temannya itu. Kwee Han telah mempunyai prinsip; persetan orang lain asal dia selamat. Dan karena pemuda itu telah membutakan matanya terhadap sesama dan nasib kaum nelayan di Ming-ciang tak dihiraukan lagi maka Kwee Han tak mendengar jerit tangis atau rintih kelaparan di mulut bekas teman-temannya yang menderita. Menyedihkan!

* * * * * * * *

Ce-bu. Kota ini tiba-tiba menjadi berita penting. Hu Beng Kui si jago pedang, yang berjuluk Si Pedang Maut dan kini menjadi bengcu tiba-tiba berubah pula cara hidupnya tidak seperti dulu-dulu. Jago pedang ini mulai pongah dan tinggi hati. Kedudukannya sebagai pemimpin dunia persilatan tiba-tiba mengantar jago pedang itu pada sebuah kehormatan yang tinggi, yang membuat dia agak besar kepala dan sombong.

Aneh, jago pedang yang dulu rendah hati itu mendadak sekarang menjadi tinggi hati. Tidak sembarang orang dapat menemuinya. Dan ketika sebulan yang lalu dia dinobatkan secara resmi sebagai bengcu (pemimpin dunia kang-ouw) dan semua ketua-ketua partai datang dan memberi hormat maka sikap jumawa tiba-tiba ditunjukkan jago pedang ini.

"Ha-ha, sekarang aku nomor satu. Kim-mou-eng bagiku bukan apa-apa dan kecil. Siapa dapat menandingiku di dunia?"

Swat Lian, puterinya, mengerutkan kening. "Dan aku tak takuti lagi siapa pun, Lian-ji. Aku bengcu dan jago tak tertandingi, ha-ha...!"

"Hm," sang puteri tak senang. "Jangan sombong, ayah. Di atas gunung masih ada awan, dan di atas awan masih ada langit. Kenapa pongah?"

“Siapa pongah? Tidak, aku tidak pongah, Lian-ji. Aku hanya menyesuaikan diri. Aku bengcu, aku pemimpin dunia persilatan. Aku harus menjaga kedudukan dan harkat kepemimpinanku ini. Tidak pongah!"

"Baik, dan apa yang ayah mau lakukan?"

"Hm...!" jago pedang ini memelintir kumisnya. "Aku harus menjaga keamanan dunia kangouw, Lian-ji. Membersihkan sisa-sisa kejahatan yang masih ada. Aku ingin menegakkan keadilan!"

"Apa yang mau ayah lakukan?"

"Banyak, satu yang terpenting adalah menenteramkan dunia kangouw. Memerintahkan ketua-ketua partai atau pendekar yang lain membela si lemah membasmi si angkara."

"Tapi itu sudah umum, ayah. Ada yang khusus yang harus kau perhatikan, nasib Hauw Kam suheng dan Gwan Beng-suheng. Kau belum menemukan dan merampas mereka!"

Jago pedang ini berkerut kening. Mendadak dia geram, mata berkilat dan kemarahanpun muncul disitu. Memang benar, dua muridnya itu, murid-murid utama, belum berhasil dirampasrya dari tangan Hek-beng Siauwjin dan nenek Naga Bumi. Pertandingan dahsyat yang dia lakukan dulu tak sampai menyelamatkan murid-murid utamanya ini. Hek bong Siauwjin dan nenek Naga Bumi menyembunyikan dua pemuda itu, melarikan diri dan akhirnya entah ke mana sejak enam Iblis Dunia ia kalahkan, satu pertandingan luar biasa yang menguras tenaga dan konsentrasinya. Maka begitu sang puteri mengingatkan ini dan Hu Beng Kui merasa kurang sempurna maka jago pedang ini menggeram.

"Benar, tugasku belum selesai, Lian-ji. Dua suhengmu harus kurampas kembali. Tapi Hek-bong Siauwjin dan nenek Naga Bumi adalah siluman-siluman yang licik, mereka melarikan diri dan hingga kini tak kuketahui jejaknya. Bagaimana mencari mereka?"

"Ayah tak sanggup?"

Mata itu mendelik.

"Nanti dulu, jangan marah," sang anak menggoyang lengan. "Aku tidak bermaksud merendahkanmu, ayah. Tapi kalau sekarang kau sibuk dengan tugasmu sebagai bengcu lebih baik serahkan hal ini padaku dan kucari Hauw Kam-suheng atau Gwan Beng-suheng."

"Dengan kepandaianmu yang seperti ini?" Hu Beng Kui tersenyum, tiba-tiba ketawa lebar. "Tak mungkin. Lian-ji. Kau tak akan berhasil dan sia-sia saja!"

"Kalau begitu ayah turunkan dua ilmu silat hebat itu, Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng!"

“Hm!" sang pendekar mengurut jenggot. "Semestinya memang begitu, Swat Lian. Tapi, hm... aku ragu."

"Kenapa?" puterinya penasaran. "Aku keturunanmu satu satunya, ayah. Aku yang masih hidup setelah Beng An-ko tiada!"

"Justeru itulah. Aku menyesal kau bukan lelaki, Swat Lian. Kalau kakakmu masih hidup dan kuwarisi ilmu ini tentu keluarga Hu sudah tanpa tandingan lagi.”

“Hm, laki-perempuan sama, ayah. Kenapa kau membeda-bedakan?"

"Sama apa?" sang ayah menolak. "Perempuan tak sekuat laki laki, bocah. Dalam hal-hal tertentu perempuan harus mengalah pada lelaki!"

"Apa misalnya?" sang anak menuntut. "Kau terlalu meremehkan perempuan, yah. Kau bertindak tak adil kalau membuat diskriminasi begini!"

"Bukan begitu," sang ayah agak kalem. "Tapi contoh dapat kuberikan, Lian-ji. Lihat misalnya kalau wanita sudah menikah. Rumah tangga dipegang sang suami dan isteri biasanya di belakang atau mendampingi. Tak pernah memimpin karena kodrat wanita memang begitu. Lihat, adakah bengcu yang dipimpin wanita? Adakah negara yang dipimpin wanita? Kalau pun ada maka hal itu jarang, Lian-ji. Barangkali seratus dibanding satu, tetap menang lelaki!"

"Ayah mengagul-agulkan lelaki,“ Swat Lian tak puas. "Kalau tak mau mengajarkan ilmu itu biar aku tak menuntut, yah. Tapi kalau ada apa-apa jangan salahkan aku!"

"Wah, sewot?" ayahaya tertawa. "Tidak, tentu kuajarkan ilmu ini, Lian-ji. Tapi berjanjilah tak boleh orang lain mempelajari itu."

"Memangnya aku tak dapat dipercaya? Terlalu, tanpa berjanji pun seharusnya kau percaya, ayah. Aku anak perempuanmu dan satu-satunya di sini!"

"Baiklah, ha-ha, tentu saja aku percaya!" dan Hu Beng Kui yang lalu mengajak puterinya ke belakang dan mulai mengajarkan Khi-bal-sin-kang lalu menyuruh puterinya berlatih dan dengan sabar tapi cepat sudah menurunkan ilmu silat yang dahsyat itu.

Sebulan kemudian sudah di pahami dan Swat Lian mengerti baik ilmu pukulan ini, kagum dan bersinar-sinar karena khi-bal sin-kang memang ilmu yang amat ampuh. Ilmu itu pada intinya adalah membangkitkan "bola sakti" di dalam tubuh, dibarengi teknik pernapasan yang tepat hingga didapatlah getaran hawa sakti yang bergerak dari pusar. Gadis ini tinggal mengatur dan membiasakan diri. Dan karena dia sudah memiliki ilmu ilmu silat tinggi dimana gadis ini sudah setingkat dengan tokoh-tokoh terkenal seperti para ketua partai atau pendekar-pendekar kelas satu maka dengan cepat dan mudah gadis itu menangkap pelajaran yang diberikan ayahnya.

Bulan kedua sudah hapal betul dan Hu Beng Kui memuji. Anak perempuannya ini dengan cepat sudah menguasai delapan persepuluh bagian dari ilmu yang diwariskan, berarti, sedikit lagi sudah akan menyamainya. Dan ketika bulan ketiga Swat Lian sudah mencapai titik paling atas dan hanya pengalaman atau pertempuran berkali-kali akan membuatnya terlatih dan biasa maka Khi-bal-sin-kang sudah bisa dibilang dikuasai penuh gadis ini.

"Ha-ha, hebat. Kau hampir seperti aku. Khi-bal-sin-kang telah kau kuasai secara penuh, Lian-ji. Tapi kalau bertempur menghadapi keroyokan nenek Naga Bumi atau Hek-bong Siauwjin kau masih kalah. Kau baru mendapat setengah dari ilmuku!"

"Hm, maksud ayah masih harus memiliki Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa) itu?"

"Benar, tanpa ini kau tak dapat mengikuti gerakan Hek-bong Siauwjin atau kawan-kawannya, Lian-ji. Betapapun mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang hebat luar biasa."

"Kalau begitu ayah ajarkan itu, jangan tanggung-tanggung!"

"Ha-ha, tentu, anakku. Mari kita mulai dan menginjak pelajaran baru!"

Swat Lian girang. Digembleng dan dididik langsung oleh ayahnya sendiri tentu saja membuat gadis ini seolah harimau tumbuh sayap. Separuh dari ilmu ayahnya yang hebat telah diwarisi, Khi-bal-sin-kang telah berada di tangan. Dan ketika dua bulan kemudian gadis ini mewaris pula Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa itu yang merupakan ilmu ginkang paling tinggi maka enam bulan kemudian, sejak Hu Beng Kui menjadi bengcu maka gadis ini hampir menyamai ayahnya dalam segala hal.

Malam terakhir itu Hu Beng Kui sengaja menguji püterinya. Sehari penuh dia telah menggembleng puterinya hingga lelah, Swat Lian tertidur dan beristirahat di kamarnya. Dan ketika dengan gerakan enteng jago pedang itu melayang di atas genteng kamar puterinya dan berindap tanpa suara maka Swat Lian yang telah memiliki kepekaan syaraf seorang ahli silat tinggi bangun dari tidurnya dan langsung mencelat, mendorong jendela dan keluar.

"Siapa di situ?"

Cukup bagi si jago pedang. Ini menunjukkan dalam kelelahan luar biasa pun puterinya tetap waspada, kepekaan syarafnya telah begitu luar biasa hingga sedikit langkah ringan pun membangkitkan tidurnya. Jarang bagi orang biasa dapat mengetahui kehadirannya. Tapi karena dia masih ingin mencoba dan gerakan puterinya yang berjungkir balik keluar jendela juga menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang hebat maka jago pedang ini, yang menutupi mukanya dengan saputangan dan tertawa aneh tiba-tiba menyambitkan sebutir kerikil hitam ke muka anak perempuannya itu, lalu melarikan diri.

"Plak!" Swat Lian menyampok runtuh. Dengan kibasan lengan bajunya gadis ini memukul batu hitam itu, hancur dan membentak dan tentu saja ia tak membiarkan lawan melarikan diri. Swat Lian mengejar dan berseru menyuruh lawan berhenti. Namun ketika lawan mempercepat larinya dan meloncat tinggi ke atas genteng mendadak lawannya itu sudah terbang dan berkelebatan dari rumah ke rumah.

"Berhenti...!" Swat Lian terkejut, menambah kecepatannya tapi lawan pun tak mau kalah. Gadis itu tersentak karena lawan di depan menambah pula kecepatannya, dia tak menduga itulah ayahnya dan tentu saja menjadi marah dan gusar. Dan ketika dia berseru nyaring dan berkelebat sambil mengayun tubuh maka pukulan jarak jauh dilontarkan dan angin dingin menyambar punggung.

"Dess!" Swat Lian tertegun. Lawan menggerakkan tangan ke belakang dan dia pun tergetar, lawan tertawa mengejek. Dan ketika bayangan itu meneruskan larinya dan dia mengejar lagi maka dua pukulan kembali meluncur dan gadis ini menambah kekuatannya.

"Des-dess!"

Swat Lian terbelalak. Lawan terpelanting tapi meneruskan larinya, dia sendiri terhuyung dan hampir terjungkal. Bukan main kagetnya gadis ini. Dan ketika Swat Lian melengking tinggi dan penasaran mencabut pedang, senjata yang akhir-akhir ini jarang digunakan maka gadis itu sudah membentak dan mengejar lagi, mempercepat larinya dan lawan di depan pun juga begitu. Kedua-duanya kini mengadu kecepatan dan Swat Lian terkejut, dia tak berhasil memperpendek jarak tapi lawan pun tak berhasil menjauhkan diri. Berarti mereka tetap sama dan jarak tak berkurang atau bertambah, gadis ini gusar dan kaget serta marah. Dan ketika lawan tertawa aneh dan entah kenapa bayangan di depan itu tiba tiba berhenti mendadak bayangan ini membalik dan menghantam.

"Jangan ikuti diriku...!"

Swat Lian terkejut, serangkum pukulan kuat menyambar dirinya dan tentu saja dia menangkis. Tangan kiri bergerak dan dua dentuman pun terdengar, bumi tergetar dan gadis itu terlempar. Bukan main kagetnya gadis ini. Tapi ketika lawan juga terpental dan berjungkir balik di udara maka Swat Lian sudah membalik dan menerjang marah, melepas pukulan-pukulan dengan tangan kiri sementara pedang di tangan kanan pun bergerak. Cepat dan bertubi-tubi gadis ini menyerang lawannya.

Hu Beng Kui mengelak dan berseru berulang-ulang. Jago pedang itu menyembunyikan diri dan suaranya tak gampang dikenal, agak sengau karena tertutup saputangan. Dan ketika gadis itu menerjangnya kian cepat dan pedang bergulung-gulung naik turun akhirnya apa boleh buat jago pedang ini mengerahkan Jing-sian-engnya. Hanya dengan Jing-sian-eng dia dapat mengikuti bayangan pedang, yang sudah lenyap dan berubah bentuknya.

Dan ketika Swat Lian terkejut karena dia mengenal Jing-sian-eng maka pukulan-pukulan tangan kirinya juga terpaksa ditangkis dengan ilmu sakti Khi-bal Sin-kang oleh jago Ce-bu itu, yang tentu saja membuat Swat Lian kian terbelalak, akhirnya memandang sebelah tangan ayahnya yang kosong alias buntung.

"Ayah...!"

Hu Beng Kai tertawa bergelak. Sekarang dia sudah dikenal, merenggut kedoknya dan terbukalah wajah pendekar itu. Swat Lian sudah menghentikan serangannya dan mematung memandang ayahnya itu, pertempuran terhenti. Dan ketika gadis itu mendelong dan bengong memandang ayahnya maka Hu Beng Kui berkata mencengkeram pundak puterinya itu.

"Ha-ha, sekarang puas hatiku, Lian-ji. Cukup ujian ini dan kupercaya dirimu!"

"Jadi ayah...."

"Benar, aku ingin tahu refleks tubuhmu, Swat Lian. Dan ternyata dalam tidur pun kau dapat mendengar langkah kakiku. Ha-ha, hebat. Sekarang Jing-sian-eng yang kau miliki pun sudah kau kuasai, tak perlu khawatir meskipun dikeroyok Hek-bong Siauwjin atau nenek Naga Bumi!"

"Hm, ayah semula kurang percaya?" gadis ini mengusap keringatnya. "Dan bagaimana sekarang?"

"Dikeroyok dua atau tiga kau sanggup, Lian-ji. Tapi kalau berbareng menghadapi enam sekaligus kau masih kuragukan. Betapapun kau perlu pertandingan berkali-kali hingga mendapat kematangan dan pengalaman!"

"Dan aku boleh mencari Hauw Kam-suheng atau Gwan Beng-suheng?"

"Betul, tapi...ha-ha, ini masih malam, Lian-ji. Kau pulang dan tidur lagi!"

"Mana bisa?" sang anak merengut. "Kau membangunkan aku, yah. Kau mengganggu tidurku dan tak mungkin bisa tidur lagi!"

"Maaf, terpaksa kulakukan, anak baik. Ayahmu semata ingin mengetahui gerak reflekmu sampai di mana kemajuannya. Sudahlah, kau dapat bersamadhi dan kita pulang. Besok boleh berangkat dan tak perlu memarahi ayahmu!"

Hu Beng Kui membujuk, memang tak mungkin puterinya dapat tidur lagi setelah diganggu. Seorang ahli silat yang baik tak akan mudah tidur lagi kalau sudah terbangun, getaran syaraf masih bekerja dan dia menepuk pundak puterinya. Dan ketika Swat Lian tersenyum dan memandang ayahnya maka sang ayah tertawa dan menyambar lengannya, diajak kembali.

"Hayo...!”

Swat Lian tak membantah. Diam-diam dia girang dan senang bahwa ayahnya telah menyatakan kemajuannya. Dia kini dapat menghadapi setengah dari Enam Iblis Dunia, bukan main. Hal yang hanya dilakukan dalam waktu enam bulan saja. Jadi, kepandaiannya jelas maju pesat dan dia tentu saja girang. Dan ketika malam itu ayah dan anak kembali ke rumah mereka dan Swat Lian beristirahat dengan cara bersamadhi maka Hu Beng Kui pun kembali ke kamarnya sendiri dan duduk bersila.

Tapi menjelang pagi gadis itu sudah merat. Swat Lian tak sabar menunggu terangnya tanah, meninggalkan sepucuk surat untuk ayahnya dan pagi itu juga dia pergi. Sekarang ayahnya tak usah khawatir lagi melepas dia, kemanapun dia pergi di situ dia dapat menjaga diri. Tentu saja ayahnya terbelalak dan memaki-maki. Swat Lian tak berpamit secara lisan. Tapi karena jago pedang itu sudah mempercayai puterinya dan Swat Lian berjanji tiga enam bulan lagi kembali ke Ce-bu maka akhirnya jago pedang ini ketawa lebar.

"Sialan, setelah pandai kau terbang seperti burung. Baiklah, hati-hati, anakku. Cari dan rampas kembali suhengmu!"

Ternyata Hu Beng Kui sudah tak mengkhawatiri anak perempuannya lagi. Ini berarti jago pedang itu telah memiliki kepercayaan kuat tentang kepandaian puterinya, berani membiarkan puterinya itu mencari nenek Naga Bumi, atau juga Hek-bong Siauwjin. Dan ketika jago pedang itu sibuk dengan urusannya sebagai bengcu dan Swat Lian sendiri sudah jauh meninggalkan Ce-bu maka gadis itu berlari cepat menuju ke utara.

Ke mana gadis ini pergi? Mula-mula belum mendapatkan arah yang jelas. Nenek Naga Bumi atau Hek-bong Siauwjin adalah tokoh tokoh luar biasa yang bersembunyi setelah dikalahkan ayahnya. Ini tentu pencarian sukar. Maka berpikir sambil berlari cepat mendadak Swat Lian menuju ke utara, ingin mencari teman dan entah mengapa tiba-tiba ia ingin menemui Kim-mou.eng. Hatinya berdebar dan tiba-tiba timbul keinginannya untuk menunjukkan kepandaiannya sekarang, pamer.

Bukan untuk bersombong-sombong melainkan semata ingin menunjukkan kegembiraan hatinya bahwa dia sekarang tak usah takut menghadapi Hek-bong Siauwjin itu, juga membantu Pendekar Rambut Emas mencari anaknya, Dailiong keturunan pendekar itu bersama mendiang Salima. Dan ketika gadis ini bersinar-sinar dan bangga ingin menunjukkan kepandaiannya maka dua hari dia melakukan perjalanan tanpa henti keluar tembok besar.

* * * * * * * *

Kim-mou-eng, sebagaimana kita ketahui adalah tinggal di suku bangsanya ini. Swat Lian ke situ dan dia tak tahu bahwa beberapa bulan ini pendekar itu tak pernah menengok bangsanya. Maka ketika dia tiba disana dan mendapat kenyataan Pendekar Rambut Emas tak ada maka gadis ini tertegun dan kecewa.

"Kim-taihiap tak pernah pulang. Sudah lama kami dibiarkan merana."

Gadis ini merasa kehilangan. "Apakah tak ada yang tahu ke mana dia pergi? Atau tak adakah sahabatnya yang datang berkunjung?"

"Hm, ada. Tapi sahabat atau bukan kami tak tahu, nona. Yang jelas beberapa waktu yang lalu datang seorang gadis cantik!"

"Siapa?” Swat Lian tiba-tiba cemburu panas. "Apa maksudnya mencari Kim-twako?"

"Kami tak tahu, nona. Tapi katanya mau menitipkan anak, seorang anak laki-laki!"

"Menitipkan anak? Siapa dia?"

"Kalau tidak salah, hm... namanya Wan Hoa, nona. Tapi dia membuat onar dan seorang di antara kami tewas!"

Swat Lian tertegun. Nama ini baru baginya, dia tak begitu mengenal Wan Hoa dan yang diajak bicara juga kebetulan orang yang kurang mengerti. Swat Lian terbelalak dan tak puas, juga heran. Tapi karena ketika dia bertanya lagi orang itu juga tak dapat memberi petunjuk atau menjawab akhirnya gadis ini mengangguk.

"Baiklah, aku pergi. Kalau begitu biar kucari Kim-mou-eng di lain tempat!"

"Nanti dulu!”

Swat Lian berhenti.

"Nona siapa?"

Swat Lian tiba-tiba tertawa. "Tak usah kau tahu, penjaga. Percuma bagimu mengenal aku, tahu-tahu...wut!" Swat Lian tiba-tiba menghilang, bergerak tiba-tiba menghilang begitu cepat dan gadis ini telah mengerahkan Jing-sian-engnya. Ilmu meringankan tubuh itu begitu luar biasa hingga tahu-tahu ia lenyap, si penjaga melongo dan tersentak. Tapi begitu sadar dan dapat membuka mulutnya tiba-tiba penjaga ini lari dan berteriak.

"Setan... kuntilanak....!"

Swat Lian geli. Dia tak menghiraukan teriakan itu dan kembali ke selatan, dia kecewa namun kini ada semacam ganjalan di hatinya, pertanyaan tentang Wan Hoa itu. Kenapa wanita ini mencari Kim-mou-eng dan mengapa pula mengantar seorang anak laki-laki. Eh! Swat Lian tiba-tiba berhenti, jantung berdetak. Apakah Kim-mou-eng main gila? Apakah Pendekar Rambut emas itu telah memiliki kekasih gelap dan kini dimintai tanggung jawabnya? Hm... Kalau begitu.... Swat Lian mengepal tinju.

Dia tidak usah mencari Kim-mou-eng! Biar saja Pendekar Rambut Emas itu dengan urusannya dan dia sendiri dengan urusan pribadinya pula. Kenapa pusing? Tapi ketika dia berlari lagi dan membuang dugaan yang jelek ini mendadak seseorang dirasa mengikutinya. Gadis itu menoleh tapi tak ada apa-apa di belakang, melanjutkan larinya lagi namun bayangan yang dirasa mengikutinya itu mendadak mengganggu lagi. Indra keenamnya bekerja dan tak mungkin dia salah. Tapi ketika dia menoleh dan tetap tak ada apa-apa maka gadis ini tertegun dan kembali berhenti.

"Apakah setan?" dia balik bertanya, menggeleng kepala kuat-kuat dan tiba-tiba kemendongkolan mengganggu hatinya. Dengan ilmu yang di punyainya sekarang tak mungkin dia salah. Seseorang jelas mengikutinya tapi setiap ditengok tentu tak ada apa-apa di belakang. Tempat itu kosong dan Swat Lian akhirnya menjadi marah sendiri. Dan ketika dia mengumpat dan kembali berlari mendadak bayangan itu dirasa mengikutinya lagi dan kini sebuah kesiur angin dingin jelas berada di dekat punggungnya.

"Jahanam... brak!" Swat Lian menggerakkan tangan ke belakang, tidak membalik melainkan menghantam langsung ke belakang. Kalau benar ada orang pasti orang itu kena, tak mungkin luput. Tapi ketika tak ada apa-apa dan dia tertegun mendadak terdengar tawa lembut di atas kepalanya, di atas pohon.

"Keparat!" Swat Lian kini melihat bayangan itu, mencelat dan melayang naik melepas pukulan penuh kemarahan. Tiba-tiba seperti iblis saja dia melihat orang itu nongkrong di pohon. Dan begitu dia membentak dan melepas pukulan maka bayangan itu pun melejit dan berteriak.

"Hayaa...!" pohon berderak roboh, tumbang dan Swat Lian memaki-maki.

Orang di atas pohon telah itu turut mengebutkan bajunya, mukanya coreng-moreng tak keruan dan memakai ikat kepala, gusar gadis ini. Dan karena terkejut dua kali pukulannya tak mengenai sasaran dan mungkin dia kurang cepat tiba-tiba Swat Lian mengerahkan Jing-sian-engnya dan berjungkir balik menyambar bayangan ini.

"Mampus kau..." bayangan itu tak dapat berkelit, terpaksa menangkis dan Swat Lian gemas mengerahkan tenaga. Tidak tanggung-tanggung, langsung Khi-bal Sin-kang! Dan ketika gadis itu membentak dan mengerahkan tenaganya enam per sepuluh bagian maka lawan terkejut dan terpekik keras.

"Bress!"

Dua-duanya terpental. Swat Lian berjungkir balik memaki kalang-kabut, kaget dan gusar tapi juga tertegun. Lawan dapat menahan Khi-bal sin-kangnya, hal yang aneh! Dan ketika dia melayang turun dan lawan juga meloncat bangun maka dia membentak dan sudah menyerang bertubi-tubi, tak memberi kesempatan dan lawan mengelak sana-sini. Pukulan gadis itu kian lama kian cepat, juga kuat dan sanggup merobohkan sebatang pohon lagi. Tapi ketika lawan bergerak sama cepat dan selalu mengimbangi pukulannya maka Swat Lian terkejut dan kaget bukan main.

"Siluman, keparat terkutuk!"

Lawan tertawa lepas. Swat Lian yang mendelik melihat muka coreng-moreng itu mendesis, bentuk tubuhnya seakan dikenal tapi muka orang sama sekali baru. Swat Lian melotot dan mempercepat serangannya lagi. Kini Jing-sian-eng dikerahkan setengah bagian, lalu tiga perempat bagian dan akhirnya sepenuh tenaga. Kini gadis itu berkelebatan seperti walet menyambar-nyambar, gerak tubuhnya tak dapat lagi diikuti dan lawan pun berseru nyaring.

Aneh, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya ke kiri kanan dan dia pun tiba-tiba beterbangan seperti burung. Jing-sian-eng yang hebat dan luar biasa itu sekonyong konyong mendapat tandingan. Swat Lian yang sudah diuji ayahnya hampir tak percaya, kecepatannya mampu diimbangi lawannya itu, bahkan lawan sudah bergerak dan mengikuti bayangannya pula, ke mana dia menyambar ke situ lawan mengikuti.

Gadis ini terbelalak karena lawan seolah menunggang di atas bayangannya, Jing-sian-eng ditempel ketat dan Swat Lian terkejut serta membuka matanya lebar-lebar. Dan ketika semua pukulannya tak ada yang mengenai sasaran karena tubuh lawan kini seringan kapas dan kemanapun dia memukul ke situ pula tubuh lawan tertiup maka Swat Lian akhirnya memaki-maki dan gusar serta melotot.

"Jahanam, kau iblis terkutuk. Hayo coba pedangku dan sekarang lihat dapatkah kau bersombong!"

Swat Lian tiba-tiba mencabut pedang, dengan senjata yang membuat tangan lebih panjang ini tiba-tiba dia menang angin. Lawan terkejut dan berbalik berteriak kaget. Dan karena gadis itu dibantu pedangnya sementara Jing-sian-eng juga membuat kecepatan gadis ini bertambah seolah harimau tumbuh sayap maka satu tikaman pedang akhirnya mengenai pundak laki-laki itu.

“Bret!" Baju pundak ini sobek. Swat Lian berseru girang melihat keberhasilan pertamanya, menusuk dan membacok lagi dan lawan mencelat. Pedang yang berdesing begitu cepat hampir saja membabat daun telinganya, bayangan itu berteriak keras dan berjungkir balik. Namun ketika Swat Lian mendesak dan pedang bergerak merupakan guntingan dari kiri ke kanan tiba-tiba pinggang bayangan itu terkena dan kembali suara memberebet terdengar disusul pekikan.

“Bret-ih.....!"

Swat Lian mendapat hati. Setelah lawan kewalahan menghadapi pedangnya dan mundur-mundur menerima tusukan atau bacokan gencar maka terlihatlah kegugupan lawannya ini. Swat Lian mengejek dan mengerahkan kecepatannya, gerak pedang kian bertambah dan pukulan Khi-bal-sin-kang pun menyambar dari tangan kanannya, terpaksa membagi tenaga namun baik pedang di tangan kiri maupun pukulan di tangan kanan sama sama hebat.

Lawan mundur-mundur dan tak terasa mendekati sebuah mata air, di sini lawan tertawa dan Swat Lian heran juga, sudah terdesak namun bisa tertawa. Dan ketika dia mencecar dan tubuh berkelebatan secepat walet terbang akhirnya tusukan pedang di tangan kiri tak dapat dihindarkan lagi dan pukulan tangan kapan pun menyambar leher laki-laki itu.

"Plak-dess!"

Swat Lian terpekik. Sebuah cahaya kebiruan tiba-tiba menyambar dari lengan lawannya itu, menangkis pedang sekaligus menyambut pukulan Khi-bal-sin-kang. Swat Lian mengerahkan delapan bagian dari seluruh tenaganya, berpikir bahwa dia akan menyudahi pertandingan. Lawan siap dirobohkan dan dia akan mengetahu siapa laki-laki itu. Tapi ketika pedang bertemu sinar kebiruan itu dan Khi-bal sin-kang tertahan tangkisan lawan mendadak pedangnya mencelat dan terlepas dari tangannya, disusul terpelantingnya gadis itu namun lawan juga terlempar ke mata air di belakangnya.

"Byurr!" Lawan berseru tertahan. Swat Lian sudah berjungkir balik melayang turun, mukanya merah, siap membentak dan menyambar pedangnya, yang terlepas. Tapi ketika dia memandang ke depan dan lawan basah kuyup mendadak dia tertegun karena muka yang coreng-moreng itu sudah bersih oleh air dan pemuda tampan berambut keemasan berdiri di situ, tertawa menyeringai, sebatas dada.

"Kim-twako...!" Swat Lian terkejut. Kiranya itu adalah Pendekar Rambut Emas, tutup kepalanya hilang dan muka yang coreng-moreng itu pun sudah bersih.

Tadi Kim-mou-eng terlempar ke air dan "lukisan" yang dibuat di wajahnya pun hilang, tak dapat dia menyembunyikan diri lagi dan pendekar itu tertawa. Dan ketika Kim-mou-eng melompat keluar dan girang bertemu gadis itu maka pendekar ini berseru menangkap lengan gadis itu.

"Wah, hebat. Kau agaknya telah mewarisi Jing-sian-eng dan Khi-bal-sin-kang dari ayahmu, Lian-moi. Kalau aku tak memiliki Cui-sian Gin-kang (Ginkang Pengejar Dewa) dan Lu-ciang-hoat (Telapak Tangan Biru) barangkali aku sudah terjungkal!"

Swat Lian tertegun. "Itu tadi Cui-sian Gin-kang?"

"Ya, dan Lu-ciang-hoat, Lian-moi. Tanpa itu tak mungkin aku bertahan. Kau telah mewarisi Khi-bal Sin-kang dan Jing-sian-eng!"

"Hm...!" gadis ini masih tertegun juga. "Dan kau sekarang, eh... hebat sekali kepandaian mu, twako. Bukankah dulu kau roboh dengan Jing-sian-eng dan Khi-bal Sin-kang ini? Bagaimana kini dapat menahan semuanya itu? Dapat dari langitkah kepandaianmu itu?"

"Ha-ha, bukan hanya kau. Aku pun heran dan kaget melihat kemajuanmu sekarang, Lian-moi. Kau bukan Swat Lian beberapa bulan yang lalu!"

"Dan kau pun bukan Kim-mou-eng beberapa waktu yang lalu! Apakah semuanya ini sihir?"

Pendekar Rambut Emas tertawa lebar. Tiba-tiba dia melepaskan tangan gadis itu, mundur dan bersinar-sinar memandang temannya. Dan ketika Swat Lian tertegun dan mengerutkan kening maka Pendekar Rambut Emas berkata, "Aku baru ditatar. Guruku baru saja memberikan dua ilmu barunya kepadaku!"

"Hm, untuk menandingi Jing-sian-eng dan Khi-bal Sin-kang?"

"Tentunya bukan, kenapa marah?" Kim-mou-eng tertawa kembali. "Aku menghilang karena di panggil guruku, Lian-moi. Dan kebetulan keluar lalu bertemu dirimu. Kulihat kau dari utara, Apakah dari suku bangsaku?"

"Betul," Swat Lian tiba-tiba teringat, mata pun bercahaya. "Dan kau katanya tak pernah menjenguk suku bangsamu, twako. Kau dicari-cari seorang gadis bernama Wan Hoa!"

Kim-mou-eng tertegun. "Wan Hoa?"

"Ya, kau kenal, bukan? Dan dia membawa seorang anak laki-laki, katanya mau diberikan kepadamu!” Swat Lian memandang tajam, mata pun menyelidik dan dengan marah dia memandang temannya itu. Dugaan bahwa Pendekar Rambut Emas ada main dengan seorang wanita cantik dan kini mempunyai seorang anak laki-laki mendadak membuat puteri Hu Beng Kui ini terbakar, panas. Dia merasa geram dan tentu saja kemarahan dan panasnya hati itu dilihat Kim-mou-eng.

Pendekar Rambut Emas tampak tertegun dan terbelalak. Tapi begitu sadar dan cepat menenangkan hatinya tiba-tiba pendekar ini berseru, "Ah, tentu saja. Dan siapa bocah yang dibawa itu, Lian-moi? Masihkah dia disana sekarang? Wan Hoa memang sahabatku, dia teman baik Cao Cun, isteri raja Hu! Kau ketemu dengannya?"

Swat Lian bingung. Jawaban dan sikap spontan yang ditunjukkan Pendekar Rambut Emas ini tak menunjukkan gejala-gejala mencurigakan. Temannya itu bicara apa adanya dan tak tampak terkejut atau berobah, bahkan menanya siapa anak laki-laki yang dibawa itu. Dan karena dia tak tahu dan tentu saja tak dapat menjawab maka aneh, perasaan lega menghuni hatinya dan dia tersenyum. "Tidak, aku tak bertemu dengan wanita bernama Wan Hoa itu, twako, dan tentu saja aku juga tak tahu siapa anak laki-laki itu. Kukira dia anakmu!"

"Dailiong?"

"Bukan. Maksudku, hm.... anakmu bersama wanita itu!"

Pendekar Rambut Emas terbelalak. Tiba-tiba dia sadar dan mengerti setelah melihat muka Swat Lian, pandangan curiga dan sikap menyelidik yang dibawanya tadi, tak tahan dan tiba-tiba tertawa bergelak. Dan ketika dia maklum apa yang sebenarnya dimaksud gadis itu tiba-tiba Kim-mou-eng berseru, terbahak-bahak, "Gila! Kau kira aku berhubungan gelap dengan seseorang yang bukan isteriku, Lian-moi? Kau menganggap aku laki-laki hidung belang yang kini dituntut tanggung jawabnya oleh wanita itu? Ha-ha, lucu, Lian-moi. Kau salah sangka dan curiga. Aku tidak melakukan itu. Wan Hoa adalah sahabat Cao Cun, isteri mendiang raja Hu!"

Kim-mou-eng lalu menceritakan itu, menghapus segala kecurigaan Swat Lian dan puteri Hu Beng Kui ini kian tersenyum lebar. Meskipun merah namun kelegaan tak dapat disembunyikan gadis itu. Dan ketika Kim-mou-eng selesai bercerita dan dia pura-pura acuh maka Swat Lian menjawab,

"Aku tidak curiga, hanya bertanya-tanya saja di dalam hati apakah wanita itu ada hubungan apanya denganmu."

"Memang betul, hubungan memang ada, Lian-moi. Tapi murni hubungan sebagai sahabat, tidak lebih. Wan Hoa bukan kekasih atau isteri gelapku!"

"Hi hi... aku tak perduli. Isteri gelapmu atau bukan aku tak mau ambil pusing. Bukankah itu urusanmu pribadi?"

"Benar, tapi kau tampak marah, Lian-moi. Kau kelihatan tidak senang!"

"Tentu saja aku tidak senang kalau kau betul-betul melakukan itu. Bukankah sebagai pendekar kau harus berjalan ditempat yang baik? Sudahlah, aku tak mau bicara ini, Kim-twako. Aku tidak curiga atau menuduhmu. Itu urusan mu!"

Swat Lian menangkis, pura-pura acuh tapi tentu saja hatinya lega bukan main. Pria ini adalah pria yang masih dicintanya, sukar gadis itu melupakan Kim-mou-eng, meskipun pendekar itu akhirnya telah membangun rumah tangga bersama sumoinya, mendiang Salima. Dan ketika Salima tewas dan kini pria ini menjadi duda maka tentu saja timbul harapan di hati gadis itu untuk meneruskan cintanya, diam-diam cemburu dan tadi memang panas kalau Wan Hoa betul kekasih Kim-mou-eng.

Maka ketika Kim-mou-eng menceritakan siapa sebenarnya wanita itu dan perkara menjadi jelas maka untuk menutupi malu gadis ini pura-pura tak mau membicarakan Wan Hoa lagi, Kim-mou-eng tersenyum dan dia geli melihat sikap gadis ini. Dia bukannya tidak tahu akan perasaan di hati puteri Hu Beng Küi itu. Tapi karena istrinya baru meninggal dan anak laki-lakinya juga diculik belum ditemukan maka untuk urusan itu pendekar ini coba menekannya dulu.

"Baiklah, terima kasih, Lian-moi. Kau sudah mengerti. Kini apa maksudmu mendatangi suku bangsaku? Kau tentu mencari aku, bukan? Atau atas perintah ayahmu?"

"Tidak, aku datang atas kemauanku sendiri. Aku, hm.... sebenarnya ingin membantu mu mencari Dailiong di samping mencari dua suhengku yang dibawa nenek Naga Bumi dan Hek-bong Siauwjin!"

Kim-mou-eng tertegun. "Belum didapat ayahmu juga? Bukankah kabarnya ayahmu mengalahkan Enam Iblis Dunia dan menjadi bengcu?"

"Nenek iblis itu dan Hek-bong Siauwjin licik, twako. Mereka melarikan diri dan entah ke mana. Ayah sudah mencari tetapi gagal, kini aku mencobanya dan mudah-mudahan berhasil."

"Oh, mengerti aku," Kim-mou-eng mengangguk-angguk, tersenyum. "Kiranya ayahmu telah menurunkan Jing-sian-eng dan Khi-bal Sin-kang itu agar kau mencari dua iblis itu, Lian-moi. Dan dengan kepandaianmu sekarang memang aku percaya. Kau pasti dapat menghadapi nenek itu atau Hek-bong Siauwjin!"

"Dan kukira aku tak perlu membantumu sekarang. Kepandaianmu sudah sedemikian hebat hingga Jing-sian-eng dan Khi-bal Sin-kangku tak berdaya!"

"Ah, siapa bilang? Justeru aku berterima kasih melihat maksud baikmu, Lian-moi. Kalau kau mau membantuku mencari Dailiong maka aku pun akan membantumu mencari dua suhengmu. Kita dapat bersama-sama!"

Kegembiraan besar disembunyikan gadis itu, "Kau tak keberatan?" tanyanya pura-pura sungkan. "Aku tak mengganggumu kalau bersama-sama?"

“Hm," Kim-mou-eng mencengkeram lengannya. "Aku justeru gembira kalau kau bersamaku, Lian-moi. Dengan begini tentu pekerjaan lebih cepat selesai. Aku tak keberatan, justeru senang!"

Swat Lian melengos, merah mukanya.

"Kau mau, bukan?"

Kini pertanyaan itu disambut anggukan halus. Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum dan melepas tangannya maka pendekar itu berkata, menyambung, "Kalau begitu kita dapat berangkat Lian-moi. Sekarang juga kita memulai pencarian kita!"

"Nanti dulu," gadis itu tiba-tiba berseru. "Kau disini sebenarnya sedang berbuat apakah, twako? Dan kenapa kau menguntit di belakangku?"

"Aku sebenarnya bermaksud ke suku bangsaku, melihatmu dan kaget serta heran. Kuikuti karena aku tak percaya kepandaianmu itu. Ginkangmu hebat sekali, kiranya Jing-sian-eng!"

"Hu, dan sekarang kau tak ke suku bangsa mu itu?"

"Nanti saja. Aku ingin ke tempat Wan Hoa, Lian-moi. Kalau jauh-jauh dia datang mencari aku tentu ada sesuatu keperluan penting. Juga ingin kulihat apakah anak laki-laki yang dibawa itu siapa!"

Swat Lian tertegun.

"Kau keberatan?"

"Tidak," gadis ini menggeleng. "Kalau jejak mungkin bisa didapatkan di sana mari kita kesana, twako. Toh aku juga tak memiliki pencarian yang pasti di mana pula dua suhengku itu."

"Baiklah, kalau begitu mari, Lian-moi. Kita ke tempat raja Hu dan tanya Wan Hoa!"

Kim-mou-eng berkelebat, lari mendahului dan Swat Lian mengangguk. Dan begitu gadis ini menggerakkan kaki dan melesat ke depan maka dua orang muda itu sudah sama-sama mengerahkan kepandaian dan berlari cepat seolah berlomba. Kim-mou-eng mengerahkan ilmu lari cepatnya dan temannya itu dapat mengikuti, menambah lagi namun Swat Lian selalu di sampingnya, tak pernah gadis itu tertinggal jauh. Dan ketika dia kagum dan berseru memuji maka Swat Liàn cemberut menjawab gemas,

"Tak perlu memuji. Aku masih belum dapat mendahuluimu, twako. Sudah kukerahkan segenap kekuatanku namun tak pernah juga aku di depan."

"Ha-ha, tapi Jing-sian-eng mu sudah hebat, Lian-moi. Hanya dalam beberapa bulan saja kau sudah berobah. Betapa pun ini adalah kemajuan luar biasa bagimu!"

Dua orang itu berendeng lagi. Memang benar, Swat Lian tak dapat mendahului. Kim-mou-eng agak mengerem kepandaiannya agar gadis itu tak tertinggal, sekaligus juga tak tersinggung. Dan ketika Swat Lian teringat betapa dia mau pamer kepada Pendekar Rambut Emas itu namun secara tak diduga lawannya justeru memiliki kemajuan pesat setelah mendapat dua ilmu baru Cui-sian Gin-kang dan pukulan Lu-ciang-hoat tiba tiba gadis ini malu hati dan agak jengah.

Maksudnya mau berbangga tak tahunya Kim-mou-eng juga mendapat kemajuan luar biasa. Bu-beng Sian-su telah menambah kepandaian Pendekar Rambut Emas ini hingga kalau mau pendekar itu dapat meninggalkannya, meskipun dia akan mati-matian mengejar. Dan ketika sambil berlari gadis ini juga melamun maka diam-diam ia merasa kagum dan kini membandingkan temannya itu dengan ayahnya.

Ayahnya tentu terkejut kalau melihat kepandaian Pendekar Rambut Emas sekarang. Tak mungkin merendahkan lagi dan entah apa maksud kakek dewa itu memberi peningkatan ilmu kepada dua orang ini. Satu ayahnya sedang yang lain adalah pria yang diam-diam dicintanya, kagum Swat Lian. Dan ketika dia berdebar membayangkan bahwa ayahnya sekarang mungkin tak dapat mengalahkan pendekar ini karena terbukti Jing-sian-eng nya selalu "dikejar" Cui-sian Gin-kang yang dimiliki Kim-mou-eng. Mendadak sebuah tepukan membuatnya terkejut,

"Hei, kau melamunkan apa? Kutanya tiga kali, Lian-moi. Kau masih mendelong dan tidak menjawab!"

"Eh, kau bertanya apa?" gadis ini agak geragapan. "Apa yang kau tanyakan?"

"Aku bertanya apakah kau pernah ke tempat raja Hu itu, sudah atau belum!"

"Belum, kenapakah?"

"Kalau begitu kita harus memotong jalan, kau melenceng ke kanan!"

"Oh!" dan Swat Lian yang membelok dan mengikuti temannya akhirnya membuat Kim-mou-eng geli dan mengajak bercakap cakap temannya, itu. Apa yang selama ini dilakukan dan bagaimana dengan ayahnya itu, juga Ce-bu yang tentunya semakin ramai dan Swat Lian mengangguk. Memang Ce-bu semakin ramai setelah pusat pimpinan dunia persilatan dipegang ayahnya, banyak pendekar dan ketua-ketua partai berkunjung ke tempat ayahnya. Dan ketika perjalanan dilakukan cepat sambil bercakap-cakap maka akhirnya tak mereka rasakan tahu-tahu tempat suku bangsa liar yang dipimpin mendiang raja Hu sudah kelihatan.

"Nah, itu kemahnya. Kita langsung ke tengah!" Dua orang itu berkelebat. Kim-mou-eng yang pernah ke tempat ini tentu saja hapal dimana tempat tinggal Cao Cun dan Wan Hoa, mencari Wan Hoa sama dengan mencari Cao Cun, begitu sebaliknya. Dan ketika mereka melayang dan masuk memasuki kemah berwarna hijau tiba-tiba Cao Cua memergoki mereka berdua dan kebetulan memetik kembang.

"Kim-twako....!"

Swat Lian tertegun. Seruan lirih namun mengandung rasa rindu yang hebat itu tiba-tiba membuat gadis ini berdesir. Untuk kedua kali dia merasa cemburu. Cao Cun, yang masih cantik dan jelita tiba-tiba menubruk Kim-mou - eng, begitu gembira namun tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dan ketika gadis itu tertegun dan Kim-mou eng juga terkejut maka dua anak perempuan berlari lari kecil menubruk Cao Cun.

"Ibu... ibu...!"

Cao Cun jadi kalah suara. Panggilannya terhadap Kim-mou-eng tersendat, wanita ini mengguguk namun cepat melepaskan diri. Hadirnya Swat Lian tiba-tiba membuat ia sadar, keadaan mereka tak seperti dulu. Dan ketika dua anak perempuan itu disambarnya dan dipeluk kiri kanan maka Cao Cun sudah menahan tangisnya dan menggigit bibir kuat kuat.

"Siapa nona ini?"

"Oh, dia Swat Lian, puteri Hu-taihiap!" Kim-mou-eng cepat-cepat memperkenalkan temannya, memberi isyarat dan gadis itu maju mendekat.

Cao Cun memberi hormat dan Swat Lian membalas, tampak keraguan masih membayang di wajah gadis ini, hal yang lagi-lagi membuat Pendekar Rambut Emas tersenyum kecut. Dan ketika Cao Cun mengangguk dan menenangkan dua anak perempuannya maka wanita cantik ini memanggil dayang, cepat menyerahkan anak-anaknya itu dan mempersilahkan tamunya duduk. Lalu begitu mereka bertiga dan Kim-mou eng bertanya di mana Wan Hoa tiba tiba Cao Cun meledak tangisnya, dan tak dapat menahan diri lagi.

"Wan Hoa telah meninggal. Ia kejam membiarkan aku sendiri...."

"Apa?"

"Benar, Wan Hoa tiada, twako. Aku sekarang sendiri bersama anak-anakku!"

"Hm! Swat Lian tiba-tiba mencibir. Ini janda ketemu duda, tiba-tiba la melirik Kim-mou-eng namun temannya tak tahu. Pendekar Rambut Emas pucat mendengar berita itu. Wan Hoa telah meninggal! Dan ketika dia bertanya bagaimana gadis itu wafat maka Cao Cun tersendat-sendat menceritakan,

“Dia sakit... jatuh sakit. Suaminya dibunuh orang dan Wan Hoa merana, tak tahan dan akhirnya meninggal dunia. Aku... aku sendiri...."

"Hm...." Kim-mou-ong kian terbelalak, terkejut. "Wan Hoa sudah menikah? Dia sudah punya suami"

"Dia menikah secara diam-diam, twako. Di kelenteng kecil dan sunyi. Mereka berjanji sehidup-semati sebagai suami isteri dan benar saja. Janji mereka itu ditepati."

"Siapa suaminya ? Kenapa dibunuh orang?"

"Aku tak tahu, tapi suaminya adalah Hek-eng Thaihiap!"

"Hek-eng Taibiap?" pendekar ini mencelat. "Dia Suami Wan Hoa itu?"

"Benar. kenapakah, twako? Bukankah ia sahabatmu?" Cao Cun tertegun, kaget juga melihat kekagetan pendekar itu dan Kim-mou-eng sadar.

Pendekar ini sudah turun lagi di kursinya, menggigil. Dan ketika ia memejamkan mata dan Cao Cun menangis tiba-tiba pendekar ini sadar dan menarik nafas dalam-dalam. "Tuhan Yang Maha Agung, kiranya Wan Hoa bertemu dengan Hek-eng Taihiap. Hm....!" dan Pendekar Rambut Emas yang sudah menguasai diri lagi lalu bertanya bagaimana kematian Hek-eng Taihiap itu.

"Aku tak tahu. Wan Hoa juga tak tahu. Tahu-tahu Hek,eng Taihiap telah dilempar mayatnya ke mari dan kami tertegun..."

Kim-mou-eng menjublak.

"Dan bagaimana Ituchi? Mana anakku? Bukankah kau telah menerimanya?"

Kim-mou-eng bingung.

"Wan Hoa membawanya ke tempatmu, twako. Dan katanya anak itu telah kau ambil murid. Kalau dia selamat jangan bawa ke sini, raja yang baru mengincar nyawanya. Hanya aku ingin melepas rindu dan melihat anakku itu!"

Cao Cun tiba-tiba menangis lagi, tersedu dan cepat pikiran Kim-mou-eng bekerja. Sedikit kata-kata ini segera dapat dihubungkannya dengan cepat. Kini tanggaplah dia akan apa yang telah terjadi, separuh dari peristiwa itu telah dimengertinya dengan cepat. Wan Hoa kiranya membawa Ituchi, anak laki-laki Cao Cun ini. Dan karena dia tahu hubungan apa yang ada di antara Wan Hoa dan Cao Cun maka Kim-mou-eng tiba-tiba tertegun dan saling pandang dengan temannya.

Swat Lian mengangguk dan kini mengertilah juga gadis itu siapa kiranya anak laki-laki yang dibawa Wan Hoa. Bukan "hubungan gelap" pendekar ini dengan wanita itu melainkan benar anak Cao Cun, semakin percaya dan yakinlah dia akan sepak terjang Pendekar Rambut Emas, diam-diam malu dan jengah sendiri karena pikirannya telah menduga yang bukan-bukan. Kim-mou-eng bersih dan memang tetap bersih, pendekar itu betul-betul lelaki sejati dan dapat dipercaya, ketenangan semakin merasuk di hatinya dan Swat Lian mengerling. Dan ketika dia mendapat isyarat dan mengerti apa yang dimaui Pendekar Rambut Emas tiba-tiba gadis ini mengambil alih percakapan untuk mengetahui lebih lanjut.

"Enci Cao Cun, apa sebenarnya yang terjadi di sini? Ada apa dengan raja baru?"

"Apakah Kim-twako belum menceritakannya?"

"Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri, enci. Siapa tahu aku dapat membantumu dan menghadapi raja ini!"

"Dia mengincar anakku laki-laki. Ituchi di khawatirkan merebut kedudukannya dan kelak menuntut haknya sebagai keturunan raja Hu. Dan karena puteraku laki-laki dan raja yang sekarang khawatir maka dia ingin melenyapkan puteraku itu dan Wan Hoa cepat-cepat membawanya ke Kim-twako!"

"Ah, kalau begitu benar," Swat Lian pura-pura mengangguk, saling lirik dengan Kim-mou-eng. "Kalau begitu raja perlu dibunuh, enci. Aku dapat membunuhnya agar hidupmu tenang!"

"Tidak, jangan...!" Cao Cun menggeleng, pucat. "Aku di sini mengendalikan bangsa ini, nona. Jangan lakukan hal itu atau semuanya bakal berantakan!"

Swat Lian terheran. Namun Kim-mou-eng, yang menyentuh lengannya dan maklum akan tugas Cao Cun menjawil. "Benar, jangan lakukan itu, Lian-moi. Biar saja Ituchi tetap bersamaku dan kelak anak itu menentukannya sendiri."

Swat Lian tertegun. Dia mendapat kedipan, mengangguk dan mengerti. Dan ketika Cao Cun terisak dan bertanya bagaimana dengan anaknya itu maka Kim-mou-eng yang mulai mengerti dan bersikap seperti benar-benar tahu mengangguk. "Anakmu baik-baik saja. Muridku itu memang ku tinggalkan di luar."

"Dapatkah aku menemuinya sebentar?"

"Hm," Kim-mou-eng bingung. "Kau tahu sendiri kedudukan anak itu, Cun-moi. Kalau ada orang melihat tentu repot. Biarlah pendam dulu rindumu itu dan lain kali saja kau bertemu."

Cao Cun kecewa. Tapi Swat Lian yang mengerti dan mulai mengenal lika-liku cerita itu menyambung, menghibur, "Apa yang dikata Kim-twako benar, enci. Tahanlah dulu keinginanmu itu. Kami akan menjaga anakmu."

Dengan kata-kata ini secara tidak langsung Swat Lian telah mengambil keputusan untuk mengetahui nasib anak itu, di mana dan bagaimana mereka mencari. Tentu saja akan membicarakannya dengan Kim-mou-eng, temannya. Dan ketika pembicaraan dirasa cukup dan Pendekar Rambut Emas minta diri mendadak Cao Cun bangkit pula menahan lengannya.

"Twako, kau tentu menjaga baik-baik anakku, bukan? Ituchi satu-satunya keturunanku lelaki, twako. Hidup tanpa seorang putera tentu sulit bagiku yang sudah menjanda."

"Tentu," Kim-mou-eng terharu. "Aku akan menjaga anakmu baik-baik, Cun-moi. Sekarang perkenankan kami pergi dan hati-hatilah di sini."

Cao Cun terisak. Dia menindas keinginannya yang lebih besar untuk bercakap lebih lama dengan pendekar ini. Di situ ada Swat Lian, sungkan wanita ini. Dan ketika mereka berdua mohon diri dan Cao Cun melepas tangan pendekar itu tiba-tiba wanita ini berbisik, perlahan tapi tentu saja Swat Lian yang tajam pendengarannya mendengar, "Dia calon pengganti Salima?"

Kim-mou-eng semburat. "Hm, mungkin begitu, Cun-moi. Sudahlah, dia melihat kita!"

Swat Lian melengos. Mukanya juga merah ketika Cao Cun meliriknya, jantung berdebar dan Cao Cun pun tersenyum. Aneh, wanita ini tak cemburu hatinya. Dan ketika dia mengangguk dan ganti menyambar lengan Swat Lian maka wanita itu berbisik,

"Adik Lian, perhatikan dia baik-baik. Kim-twako sudah cukup menderita!" dan begitu Swat Lian memerah dan semakin semburat saja tiba-tiba Kim-mou-eng telah menyendal lengannya, dan berkelebat pergi.

"Cao Cun, hati-hati...!"

Dua orang itu berkelebat lenyap. Pendekar Rambut Emas dan temannya telah pergi meninggalkan wanita itu, Cao Cun sendirian tapi segera dia menarik napas panjang. Dan ketika tamunya pergi dan tidak kelihatan lagi maka wanita ini pun masuk ke kamarnya dan memanggil dua anak perempuannya.

* * * * * * * *

"Apa yang dia katakan?" Kim-mou-eng pura-pura bertanya ketika mereka sudah jauh meninggalkan tempat itu. "Pesan apa?"

"Hm," Swat Lian jengah. "Tak apa-apa, twako. Tentang anaknya itu."

"Sungguh?"

"Eh!" gadis ini tiba-tiba berhenti. "Kau kira aku bohong?"

Tapi begitu dua mata beradu, Kim-mou-eng pun berhenti tiba-tiba Swat Lian membuang muka dan melihat pendekar itu tersenyum. Tentu saja Kim-mou-eng tahu apa yang dibisikkan tadi tapi sengaja dia pura-pura tidak tahu, menggoda dan Swat Lian tiba-tiba mencubit lengannya, keras sekali dan pendekar ini mengaduh. Dan ketika Swat Lian sadar bahwa temannya pura-pura tak tahu maka dia malu dan akhirnya membanting kaki.

“Twako, jangan main-main. Sekarang kita menghadapi persoalan baru!"

"Hm, benar," Kim-mou-eng sadar, tak mau menggoda lagi. "Mari sekarang kita duduk, Lian-moi. Kita bicarakan dan cari kesimpulan apa sebenarnya yang telah terjadi."

Dua orang itu duduk, berdekatan dan Kim-mou-eng agak berdebar juga. Bukan sekali ini ia duduk dengan puteri Hu Beng Kui itu, dulu sering mereka berdampingan dan bahkan bersentuhan lengan, ketika Swat Lian mengajarinya silat dan dia pura-pura bodoh (baca Pedang Tiga Dimensi). Dan ketika Swat Lian juga rupanya merasakan hal yang sama tiba-tiba, aneh, keduanya mendadak merasa menjadi canggung.

"Eh, kau mau bicara atau tidak?" Swat Lian tiba-tiba menegur, mendahului dan Kim-mou-eng pun tiba-tiba tertawa. Suara si gadis yang membuyarkan kecanggungan tiba-tiba membuat perdekar ini telah berhasil memulihkan diri, mengangguk dan memusatkan perhatian pada persoalan Ituchi, bukan kepada bibir yang bergerak-gerak indah itu. Dan ketika dia batuk-batuk dan menekan perasaannya yang mengacau Pendekar Rambut Emas berkata,

"Benar, aku harus mulai bicara, Lian-moi. Dan persoalan tentu saja kita pusatkan pada anak laki-laki itu. Bagaimana kesimpulanmu setelah mendengar semuanya ini?"

"Eh, kok malah bertanya? Aku justeru ingin mendengar kesimpulanmu, twako. Kau yang lebih banyak tahu tentang Wan Hoa atau Cao Cun!"

"Tapi pendapatmu perlu kudengar juga, Lian-moi. Betapapun kau telah mendengar jalan ceritanya."

"Aku merasa ada sesuatu yang tak beres. Ituchi pasti dibawa si pembunuh itu!"

"Cocok, aku pun juga berpikir begitu. Hanya apakah anak itu masih selamat dan siapa pembunuh Hek-éng Taihiap ini?"

"Kita harus melacak, twako. Kalau perlu ke suku bangsamu!"

"Hal itu akan kulakukan. Sekarang, apa yang kira-kira terjadi hingga Wan Hoa bertemu Hek-eng Taihiap?"

"Coba kau simpulkan dulu, barangkali cocok dengan pikiranku."

"Aku menduga wanita ini bertemu Hek-eng Taihiap di tengah jalan...."

"Bagus, lalu....?"

"Hu, kenapa aku lagi? Coba kau, Lian-moi. Sambung dan rangkai cerita ini hingga menjadi suatu peristiwa yang utuh."

"Gampang saja. Wan Hoa adalah wanita lemah, tak bisa silat. Tentu dalam perjalanannya muncul banyak gangguan dan Hek-eng Taihiap menolongnya, berkenalan dan setelah itu menikah. Bukankah begini jalan pikiranmu, twako?"

“Benar."

"Dan bagaimana dengan anak itu sendiri? Bagaimana dengan Ituchi?"

"Tentu anak itu mengikuti keduanya, Lian-moi. Tak mungkin Wan Hoa meninggalkannya."

"Bukan itu. Maksudku, bagaimana Cao Cun menganggap anaknya kau bawa? Bukankah jelas Wan Hoa membohonginya?"

“Hm," pendekar ini terkejut. "Itulah yang membuat aku merasa ganjil, Lian-moi. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan di sini. Aku pikir Wan Hoa sengaja berbohong!"

"Eh....!"

"Benar, aku mengenal baik Wan Hoa dan Cao Cua itu, Lian-moi. Masing-masing rela berkorban demi yang lain. Aku mengenal betul watak Wan Hoa itu, tak biasanya berbohong kalau tidak terpaksa!"

"Coba ceritakan ini, aku jadi ingin tahu...." Swat Lian tertarik, tak terasa mendekatkan duduknya.

Dan Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam. Dia harus membuang pikirannya yang tidak-tidak setelah gadis itu kian mendekat, mencium bau harum rambut yang hitam dan tubuh yang halus serta bersih. Begitu dekat dan merangsang. Namun ketika dia berhasil menindas perasaannya itu dan mata yang indah bening itu terbelalak kepadanya maka Pendekar Rambut Emas yang mengenal betul dua sahabat ini lalu merangkai rangkai ceritanya sendiri.

"Kukira kematian Wan Hoa karena dua hal. Satu karena kematian Hek-eng Taihiap itu dan yang lain karena Ituchi...."

"Hm, teruskan."

"Kupikir Wan Hoa sengaja berbohong. Dia tak berterus terang pada Cao Cun bahwa dia gagal mencari aku..."

"Nanti dulu! Yakinkah kau akan hal itu, twako?" Swat Lian memotong.

"Aku yakin," Kim-mou-eng mengangguk. Kau dengar sendiri bahwa Wan Hoa membawa Ituchi ke tempatku, Lian-moi. Dan kau sendiri bilang bahwa gadis itu ada di sana bersama seorang anak lelaki. Dan karena dia tak berhasil menemui aku dan bertemu dengan Hek-eng Taihiap ini maka mungkin saja Wan Hoa lalu meneruskan pencariannya bersama Pendekar Garuda Hitam itu."

"Dan ternyata gagal juga!"

"Ya, karena selama itu aku digembleng guruku."

"Lalu bagaimana?"

"Tentunya mereka ke sana ke mari, Lian-moi. Dan akhirnya mereka jatuh cinta!"

"Hm, ini aku tahu. Kalau tak saling jatuh cinta tak mungkin menjadi suami isteri!" Swat Lian merengut, merah mukanya dan Kim-mou-eng tersenyum.

Entah kenapa tiba-tiba ia ingin menggoda puteri Hu Beng Kui itu, melihat merahnya pipi dan cemberutnya mulut. Dalam saat-saat begini tiba-tiba kekosongannya ditinggal mendiang isteri seolah didapatkan dari gadis itu. Namun menyadari bahwa bukan saatnya bergurau maka Pendekar Rambut Emas batuk-batuk dan pura-pura mengangguk.

"Maaf, memang benar, Lian-moi. Tapi setelah itu Ituchi tentunya ikut Hek-eng Taihiap ini. Setelah tak berhasil mencari aku dan menemukan Pendekar Garuda Hitam itu tentunya Wan Hoa merasa aman meninggalkan anak itu kepada suaminya. Bukankah Ituchi tak boleh kembali ke ibunya karena ancaman raja baru? Nah, kupikir Wan Hoa menyerahkan anak ini kepada Hek,eng Taihiap, Lian-moi. Tapi karena raja baru selalu mengincar anak itu dan mencari jejak maka kukira raja inilah yang membunuh Hek-eng Taihiap lewat orang lain!"

"Hm, aku juga berpikir begitu. Tentu raja itulah biang keladinya dan kita harus menyelidiki. Bagaimana pendapatmu sekarang, twako?"

"Ternyata kita sama, aku juga berpikir begitu!" Kim-mou-eng bersinar-sinar. "Kita ke sana, Lian-moi. Dan kita tangkap raja itu. Tapi hati-hati, kita tak boleh memperkenalkan diri!"

“Memakai kedok?"

"Begitulah."

"Dan kita tak jadi ke tempat suku bangsa mu dulu?"

"Hm, bagaimana, ya?" pendekar ini bingung. "Ke sana juga penting, Lian-moi. Tapi di sini kita lebih dekat!"

"Kalau begitu kita kembali lagi, bekuk dan tangkap raja itu!"

Kim-mou-eng mengangguk. Setelah berpikir sejenak dan menimbang serta menetapkan hati tiba-tiba pendekar ini berdiri, memang lebih dekat ke tempat raja itu daripada harus kembali dulu ke suku bangsanya. Barangkali di situ dia dapat mengorek keterangan lebih banyak. Maka begitu mengangguk dan bangkit dari duduknya pendekar ini sudah menyambar temannya dan berkelebat, tak menunggu waktu lagi dan Pendekar Rambut Emas tak tahu bahwa dugaannya yang terakhir keliru. Tentu saja dia tak menduga bahwa Cam-kong Ho Hong Siu campur tangan. Pembunuh Petir itulah yang menangkap Ituchi dan membunuh Hek-eng Taihiap, hal yang memang tak diketahui orang lain.

Dan ketika dua orang itu berkelebat dan kembali ke perkemahan bangsa liar itu maka Kim-mou-eng mendapat kekecewaan karena raja ternyata sedang pergi, sedang menghadap kaisar dan terpaksa pendekar ini menangkap tangan kanan raja, mencari-cari keterangan namun gagal. Meskipun orang itu sudah dikompres dan dipaksa mengaku tetap saja tak ada keterangan tentang Ituchi. Anak ini seolah lenyap dan hilang begitu saja, seolah ditelan bumi. Dan ketika usahanya di situ sia-sia dan Kim-mou-eng berkelebat ke suku bangsanya maka di sana kembali dia dibuat kecewa, meskipun sepotong keterangan semakin memperkuat keyakinannya bahwa Ituchi memang betul bersama Hek-eng Taihiap.

"Ada beberapa penggembala yang kebetulan melihat anak itu berdua dengan seorang laki-laki berpakaian hitam. Dan laki-laki itulah yang dulu membuat Daikim tewas!"

"Ya, dan wanita itu membunuh Daikim, taihiap. Perbuatannya demikian kejam dan ganas, Kwa-ko melihatnya!"

Kim-mou-eng memanggil Kwa-ko, teman Daikim dulu. Dan ketika dia bertanya dan mengorek keterangan maka Kwa-ko hanya menjawab pendek-pendek tentang kejadian dulu, hanya melihat Wan Hoa menusukkan golok dan Hek-eng, Taihiap muncul, pergi dan menghilang membawa wanita itu, juga anak lelakinya. Dan ketika Kim'mou-eng bingung dan heran bagaimana Wan Hoa bisa membunuh Daikim maka seorang wanita muncul dengan muka dingin.

“Kematian Daikim untuk apa dipersoalkan, taihiap? Biar saja dia mampus, Daikim mata keranjang dan aku pun pernah diganggunya!"

"Oh, kau Rimbi? Apa yang kau ketahui tentang Daikim?"

"Dia pemuda hidung belang, suka mengganggu dan merusak wanita. Biar saja taihiap tak usah membela kematiannya karena itu sudah setimpal."

Cukuplah ini bagi Pendekar Rambut Emas. Keheranannya bahwa Wan Hoa membunuh Daikim sekarang terjawab. Kiranya Daikim pemuda mata keranjang, tentu mengganggu Wan Hoa dan Hek-eng Taihiap menolong. Dan melihat wanita sampai membunuh Daikim tentu perbuatan itu Daikim melewati batas, Kim-mou-eng bisa membayangkan itu dan segera dia mengajak temannya pergi. Anak buahnya melongo ketika pendekar itu melesat seperti siluman, tahu-tahu hilang dan lenyap.

Tapi ketika mereka berteriak dan coba bertanya maka dari jauh pendekar ini menjawab, bahwa urusannya masih banyak dan biarlah di hari yang lain dia datang lagi. Bangsa Tar-tar kecewa juga kenapa Pendekar Rambut Emas itu pergi. Namun karena di situ telah ada wakil pendekar ini dan datang perginya Pendekar Rambut Emas memang tak ada yang dapat mengikuti maka orang-orang itu pun tertegun sementara Pendekar Rambut Emas sendiri telah terbang ke selatan.

“Sekarang kita tak tahu kemana mencari jejak. Bagaimana pendapatmu, Lian-moi?"

"Hm, semakin sulit dan membingungkan, twako. Tapi bagiku siapa saja boleh. Siapa yang lebih dulu ditemukan dia itulah yang kita tolong!"

"Bagus, kalau begitu mari kita ke selatan, Kita temukan siapa yang lebih dulu bisa kita temukan!"

Dua orang itu bergerak dengan tetap berandeng. Sekarang masing-masing menemui jalan buntu, sama-sama mengerahkan kepandaian mereka dan Swat Lian tancap gas sepenuhnya untuk dapat mengimbangi temannya itu. Jing-sian-eng di kerahkan tapi tetap gadis itu tak dapat mendahului, Kim-mou-eng hampir kelupaan karena tebangnya pikiran, untung sadar dan tidak mengeluarkan kepandaian sepenuhnya.

Dan setelah sekarang ada tiga orang yang dicari atau empat karena Hauw Kam bersama suhengnya termasuk satu kelompok maka Pendekar Rambut Emas hampir tak bercakap cakap lagi sepanjang jalan, memeras otak dan mencari ke mana kira-kira Ituchi atau yang lain berada, berhari-hari melakukan perjalanan dan akhirnya kaki mereka membawa ke Laut Timur. Tujuh hari ini perjalanan dilakukan cepat tanpa istirahat berarti, tentu saja mereka lelah. Dan ketika siang itu. Swat Lian mengajak berhenti dan duduk terengah-engah maka gadis ini minta istirahat sejenak sambil memandangi debur ombak di laut yang ganas.

"Aku ingin mengendorkan kakiku. Aduh, capek sekali...!"

"Maaf," Kim-mou-eng sadar. "Aku lupa, Lian-moi. Mari cari tempat yang enak dan kita berteduh. Di situ ada pohon nyiur, kita ke sana...!" Kim-mou-eng berkelebat.

Swat Lian setengah ditariknya menuju tempat itu, sebatang pohon nyiur di dekat sebuah batu karang besar. Tempat yang teduh dan sepi. Dan ketika gadis itu duduk membanting pantat dan bersandar pada batu karang, maka Kim-mou-eng bersila di bawah pohon nyiur itu, melihat puteri Hu Beng Kui ini mengusap keringatnya dan tiba-tiba Kim-mou-eng menjadi terharu. Tanpa terasa dia melempar pandangan lembut, Swat Lian melengos dan memerah pipinya. Dan ketika gadis itu tertegun dan tampaknya terpesona memandang ombak laut yang buas tiba,tiba Pendekar Rambut Emas sudah memegang lengannya.

"Lian-moi, kau benar-benar capai?"

Gads ini terkejut, tak melepaskan tangannya.

"Maaf, berhari-hari ini pikiranku tegang, Lian-moi. Aku melupakanmu dan sampai tidak memperhatikan kelelahanmu. Aku terlalu diburu perasaanku sendiri."

"Tak apa," gadis itu melepaskan tangannya dengan gemetar. "Aku tahu, twako. Dan aku menyadari." Swat Lian menunduk, tak sanggup menatap pandangan lembut Pendekar Rambut Emas dan tiba-tiba ia terisak. Dan ketika Kim-mou-eng mengerutkan kening dan terkejut maka gadis ini tiba-tiba membalik. "Twako, aku ingin istirahat. Jangan ganggu dulu."

Kim-mou-erg menarik napas. Dia mundur dan kembali duduk di tempatnya tadi, tepekur dan tertarik mendengar debur ombak yang bertalu-talu. Debur ombak itu seakan debur hatinya sendiri, tadi dia hendak mencium tangan yang lembut itu namun si gadis telah melepaskan diri. Agaknya Swat Lian belum biasa oleh ciuman pertama, mendapat firasat tentang itu dan gadis ini gugup, kikuk. Dan karena mereka kelelahan dan penting bagi gadis itu melepaskan lelahnya.

Maka Pendekar Rambut Emas menahan keharuannya dan membiarkan gadis itu memejamkan mata, bersandar di batu karang dan perasaan romantis tiba-tiba mengganggu pendekar ini. Antara ombak dan bulu mata yang hitam itu sama-sama menarik. Ombak berdebur menghantan batu karang sementara bulu mata itu bergetar di antara dua pelupuk mata yang coba dipejamkan. Tampak sesuatu sedang mengaduk pula di hati puteri Hu-taihiap itu. Dan ketika sejam kemudian napas itu tidak terengah lagi dan Swat Lian tampak segar mendadak gadis ini menguap dan malah mengantuk.

"Idih, angin merayu tubuhku, twako. Aku ingin tidur!"

"Tidurlah, di sini sepi, Lian-moi. Aku akan menjagamu."

Swat Lian menggeliat, menguap lagi dan tersenyum. Dan ketika dia tertawa dan Kim-mou-eng melempar mantelnya maka gadis ini menerima dan sudah membaringkan tubuh di situ. "Terima kasih....!"

Kim-mou-eng tersenyum. Nada manja tak dapat disembunyikan gadis itu, memang berkali-kali ini Kim-mou-eng memberikan mantelnya setiap puteri Hu-taihiap itu akan tidur, mengalah dan dia sendiri tidur beralas rumput. Sebenarnya Swat Lian juga bisa tidur dengan cara yang sama tapi sebagai lelaki tentu saja Kim-mou-eng tak tega. Dan ketika napas panjang kemudian terdengar dari hidung yang mancung itu dan Swat Lian tidur tanpa merasa malu maka Pendekar Rambut Emas mengamati dan segera pikirannya menerawang ke mana-mana.

Pertama diingatnya mendiang sumoinya dulu. Salima dan puteri Hu Beng Kui ini sama-sama memiliki daya tarik tersendiri. Sumoinya angkuh namun menawan, hitam manis dan galak. Tak ada kesan lembut. Satu pembawaan yang membuat lelaki tak berani sembarangan karena sumoinya itu hidup dan dibesarkan di tengah-tengah lingkungan yang keras. Sedang puteri Hu Beng Kui ini, hm.... meskipun tidak galak namun juga belum berarti ramah kepada setiap orang.

Gadis itu cantik dan menarik, kulitnya halus dan bersih, rambutnya sama-sama panjang dengan mendiang sumoinya dan sama-sama gemuk. Soal rambut tak ada yang kalah, kecuali kulit. Puteri Hu Beng Kui ini memiliki kulit yang halus putih, tentu saja memikat. Tapi karena hitam belum berarti jelek maka sesungguhnya tak mudah orang untuk mengatakan mana yang lebih menarik antara mendiang sumoinya itu dengan puteri Hu Beng Kui ini, perbandingan yang sukar ditentukan karena masing-masing memiliki kelebihannya sendiri.

Salima dengan keangkuhannya mirip seorang ratu sedang gadis ini dengan kelembutannya yang mirip seorang ibu. Ya, gadis ini memiliki type keibuan, Kim-mou-eng tiba tiba tergetar ingat wajah seorang wanita lembut yang dulu menemaninya ketika ia masih kecil, wanita yang bukan lain ibunya sendiri dan tiba-tiba kerinduan akan seorang ibu muncul. Dan ketika perlahan tetapi semakin menghanyutkan pendekar ini tenggelam dalam bayangan ibunya sendiri tiba-tiba tanpa ia sadari ia telah menggeser duduknya mendekati gadis itu.

Dan tanpa terasa pendekar ini mengusap dahi dan pipi itu. Bayangan wanita tiga puluhan tahun mendadak seakan menjelma dalam senyum Swat Lian yang tidur pulas, tak terganggu usapannya tadi dan tiba-tiba Kim-mou eng terbaru. Dan ketika ia tak sadar dan mengeluh memanggil ibunya tiba tiba pendekar ini telah menunduk dan.... mencium dahi yang sedikit berkeringat itu, dengan anak rambut yang melingkar manis.

"Cup!"

"Ih!" Swat Lian meloncat kaget, gerak refleksnya langsung membuat gadis itu menggerakkan tangan, menampar pipi Kim-mou-eng dan terpelantinglah pendekar itu oleh gerakan ini, tamparan yang membuat pipinya berbunyi nyaring! Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan sadar dari lamunannya tiba-tiba gadis itu telah melompat bangun dengan pipi kemerah-merahan.

"Twako, apa yang kau lakukan?”

Pendekar Rambut Emas tertegun. Tiba-tiba dia berdiri tak dapat menjawab, gugup dan kaget oleh perbuatannya sendiri. Namun menyesal dan cepat menenangkan guncangan batinnya pendekar ini buru-buru menyatakan maaf. "Maaf, aku tadi teringat bayangan ibuku, Lian-moi. Melihat senyummu yang begitu lembut dan penuh keibuan. Aku tak sadar, mengamati mu dalam tidur dan... dan mencium dahimu...!"

"Ahh!" Swat Lian menenangkan guncangan hatinya pula. "Kau mengejutkan aku, twako. Kau.... kau mengganggu orang tidur!"

"Maaf, aku tak sengaja, Lian-moi. Aku orang kurang ajar. Kau tamparlah sekali lagi kalau kurang!"

"Ihh, siapa mau melakukan itu? Kalau aku tak percaya padamu tentu tak mau aku tidur di sini, twako. Sudahlah, aku mau tidur dan melanjutkan mimpiku tadi!”

Swat Lian percaya kata-kata temannya, mencoba tidur lagi namun tentu saja gagal. Mana bisa tidur setelah Kim-mou-eng menciumnya tadi? Meskipun di dahi namun kelambatan dan kemesraan ciuman itu cukup menggetarkan hatinya. Swat Lian berdebar dan mukanyapun merah. Sebenarnya dia malu dan jengah dengan kejadian tadi, kalau bukan Kim-mou-eng tentu sudah dihajar dan diserangnya habis-habisan. Dia bukan gadis murahan.

Tapi karena Kim-mou-eng yang melakukan dan tak dapat disangkal sebenarnya dia senang dengan kejadian tadi mendadak gadis ini malah menyesal kenapa bukan bibirnya yang dicium, kenapa dahinya dan kenapa, eh... kenapa dia melantur? Cih, tak tahu malu. Swat Lian memaki diri sendiri dan muka pun tiba-tiba seperti kepiting direbus. Angan-angan dan bayangan yang semakin melantur ini membuat gadis itu malu sendiri. Dan ketika ia mengeluh dan tanpa sadar menampar pipi sendiri tiba-tiba Kim-mou-eng terkejut mendengar bunyi suara nyaring, bunyi tamparan yang dilakukan gadis itu kepada pipinya sendiri.

"Eh, ada apa, Lian-moi? Kau marah?”

"Tidak," Swat Lian terkejut. "Aku... aku memukul nyamuk, twako. Jengkel!"

"Nyamuk?" Kim-mou-eng tertegun. "Siang bolong begini...?"

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.