Istana Hantu Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 23
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“LEPASKAN pemuda itu. Atau aku akan membunuh kalian!"

Hauw Kam dan suhengnya terkejut. Soat Eng mengerahkan Jing-sian-engnya dan sama seperti ibunya tiba-tiba gadis ini sudah berkelebat di samping mereka, kebetulan di sisi Gwan Beng dan gadis itu membentak, melepas Khi-bal-sin-kang. Namun ketika Gwan Beng menangkis dan Jaring Naganya bergerak maka Soat Eng berteriak kaget karena tubuhnya terguling dan terjerat bagai lalat di sarang yang lekat.

"Des-dess!"

Gwang Beng terhuyung. Jelek-jelek gadis itu adalah puteri Pendekar Rambut Emas, tentu saja hebat. Tapi ketika Soat Eng terguling-guling melepaskan diri dari jaring yang mengerikan itu maka Gwan Beng mengajak sutenya lari lagi, melihat bayangan Pendekar Rambut Emas suami isteri bergerak. "Jangan hiraukan gadis itu. Pergi!"

Soat Eng memaki-maki. Dia bingung dan gugup karena sementara dia melepaskan diri dari jaring yang seperti benang laba-laba itu ternyata lawan melarikan diri lagi, tak mau melepas Siang Le. Dan ketika dia memaki-maki dan menangis tak keruan maka ayah ibunya berkelebat dan menolongnya mengangkat bangun.

"Supek-supekmu tak dapat dibujuk. Jangan kejar, dia tak akan mau!"

"Tapi..." Soat Eng menggigil, pucat. "Siang Le dibawa mereka, ayah. Pemuda itu dalam bahaya!"

"Eh," ayahnya bertanya. "Ada apa dengan pemuda itu? Kenapa kau pusing-pusing memikirkannya? Dia murid See-ong, Eng-ji. Dan gurunya telah membunuh kakekmu. Selama ini kau tak pernah memperhatikan dan mengacuhkan dia!"

"Benar," ibunya juga berkata. "Tak biasanya kau bersikap seperti ini, Eng-ji. Biarkan saja pemuda itu mampus dan kau bersama kami!"

Soat Eng tertegun. Pandang mata ayahnya yang tajam namun lembut disusul pandang mata ibunya yang keras namun penuh kebencian tiba-tiba membuat gadis ini tak dapat bicara. Entah kenapa bentrok dengan pandang mata ayahnya yang lembut dan penuh senyum itu tiba-tiba membuat dia lebih malu dan likat dibanding beradu pandang dengan ibunya. Soat Eng mengeluh dan pucat. Dan ketika ibunya memegang lengannya dan bertanya apakah dia akan mengejar dan menyelamatkan pemuda itu maka gadis ini tak dapat menjawab dan bingung!

"Kau tak perlu menghiraukannya, kecuali ada apa-apa antara dirimu dengan pemuda itu!"

"Dan kusangka kau tak ada apa-apa dengannya," sang ayah ikut menyambung. "Biarkan saja dia bersama supekmu, Eng-ji. Dibunuhpun agaknya patut. Kakekmu dibunuh gurunya!"

"Tapi..." gadis ini gemetar. "Siang Le berkali-kali menolongku, ayah. Dia banyak berkorban. Dan lagi bukan dia yang membunuh kong-kong melainkan See-ong, gurunya!"

"Benar, tapi See-ong maupun muridnya sama saja, Eng-ji. Tak ada murid yang jauh dengan gurunya. Kalau See-ong jahat pasti pemuda itu juga tak berbeda. Dia banyak menolongmu atau baik hanyalah pura-pura saja untuk menarik perhatianmu!"

"Hm, sekarang biarkan Eng-ji saja," ayahnya menengahi. "Kalau ingin mengejar silahkan, kalau tidak ya terserah. Hanya kami tentu dapat menilai bagaimana bila kau bersikeras ingin menyelamatkan pemuda itu!"

Dan Soat Eng yang tersudut dan tentu saja merah padam tiba-tiba membalik dan mengeluh meninggalkan ayah ibunya, kembali ke lembah dan saat itu muncullah adiknya, Beng An. Dan ketika anak laki-laki itu berteriak memanggil encinya maka Soat Eng menyambar dan langsung mengajak adiknya ini pulang.

"Musuh sudah pergi, ayo kita kembali!" dan menahan isak yang hampir berubah sedu-sedan tiba-tiba gadis ini terbang dan kembali ke lembah, bingung dan tak tahu harus berbuat apa namun gadis itu gelisah bukan main. Siksaan-siksaan yang dialami Siang Le ketika dibawa dan dikuasai supeknya tak dapat dia hilangkan begitu saja. Siang Le yang rela diseret-seret agar dia dipondong dan dibawa secara baik-baik adalah sikap mengharukan yang membuat gadis ini tergetar juga.

Namun karena perasaannya juga harus dikekang kalau tak ingin malu dilihat ayah ibunya maka hari itu Soat Eng menangis tak keruan, melempar tubuh di atas pembaringannya dan semalam dia tak mau diganggu. Ayah ibunya memanggil namun gadis ini diam saja. Dan ketika disana ayah ibunya saling pandang dan mengamati dari jauh maka Pendekar Rambut Emas berseri-seri sementara isterinya cemberut!

"Hm, Eng-ji jatuh cinta! Dia bingung, isteriku. Dan jangan kita menyudutkannya sedemikian rupa!"

"Dengan bocah she Siang itu? Hm, tidak! Tak boleh, suamiku. Aku tak setuju dan akan menentang!" "Jangan keras-keras," sang suami berbisik. "Aku tahu isi hatimu, niocu. Tapi, ah... sudahlah. Aku akan melihat saja dan sekarang kita bicarakan bagaimana dengan dua suhengmu itu!"

Sang nyonya tiba-tiba terisak. "Hauw Kam-suheng dan Gwan Beng-suheng ternyata masih hidup..." nyonya ini menahan diremasnya hati. "Dan aku ingin menyusul mereka, suamiku. Mereka sakit, tak waras! Bagaimana pendapatmu? Maukah kau pergi mencari mereka?"

"Hm, sekarang sudah waktunya bagi kita untuk meninggalkan lembah. Eng-ji sudah kembali, tapi Liong-ji belum. Dan sekarang ditambah lagi dengan munculnya dua suhengmu yang gila! Hm, kita memang harus pergi, niocu. Dan kita cari semuanya!"

"Dan Beng An kita bawa!"

"Tentu saja. Masa harus ditinggal sendiri? Dan Eng-ji pun sebaiknya mengikuti kita. Besok kita berangkat!" dan ketika sang isteri mengangguk dan menyatakan setuju maka malam itu mereka meninggalkan pesan-pesan untuk pembantu-pembantu mereka.

Maklumlah, suku bangsa Tar-tar yang dipimpin Pendekar Rambut Emas ini tak mungkin ditinggalkan begitu saja. Mereka di bawah pimpinan tunggal dan rencana kepergian Kim-mou-eng tentu saja mengejutkan mereka, apalagi ketika sang nyonya turut, beserta anak laki-lakinya yang gagah, Beng An. Namun karena mereka juga bukan orang-orang yang picik dan kepergian pemimpin mereka justeru untuk menyelesaikan masalah-masalah penting maka pembantu-pembantu Pendekar Rambut Emas ini dapat menerima, menarik napas dalam.

"Kalau taihiap hendak mencari Liong-kongcu dan beberapa orang lagi tentu saja kami siap menjaga disini. Mudah-mudahan taihiap cepat pulang dan selamat beserta hujin."

Kim-mou-eng mengangguk. Malam itu dia merasa lega dan beberapa pembantunya sudah disuruh mundur. Malam telah larut dan sang isteri pun sudah mulai tidur. Mereka akan berangkat pagi-pagi namun ketika pendekar ini hendak bergerak ke atas pembaringannya mendadak sebuah suara didengar di luar. Suara itu halus dan nyaris tak tertangkap. Tapi begitu pendekar ini mengerti dan berkelebat keluar maka sesosok bayangan tampak melesat dan keluar dari kamar puterinya.

"Berhenti!" Pendekar Rambut Emas membentak perlahan. "Mau kemana kau, Eng-ji. Jangan bergerak dan katakan kemana kau mau pergi!"

Bayangan itu, Soat Eng, sudah dicengkeram. Dengan kepandaiannya yang tinggi dan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa ternyata pendekar ini telah mengetahui siapa kiranya bayangan itu, yang bukan lain puterinya sendiri. Dan ketika dia berseru dan menangkap puterinya itu, yang tersedu dan tiba-tiba menutupi mukanya maka gadis ini menubruk sang ayah, tak menjawab.

"Kau mau kemana?" sang ayah tertegun. "Malam-malam begini tak pantas keluyuran, Eng-ji. Kalau ibumu tahu tentu kau mendapat marah!"

"Aku... aku..." gadis ini mengguguk. "Aku mau keluar lembah, ayah. Pergi..."

"Hm, kemana?"

Gadis itu tak menjawab. Soat Eng tersedu dan menubruk ayahnya itu, mengguguk. Dan ketika sang ayah memeluk dan mengusap-usap rambutnya maka Pendekar Rambut Emas kembali bertanya, kini dengan lebih lembut,

"Eng-ji, agaknya aku dapat menduga kemana kau akan pergi. Tentu mengejar dan menyelamatkan Siang Le, bukan? Kau mau melakukan itu?"

"Beb... benar..." gadis itu mengguguk. "Aku... aku tak dapat melupakan Siang Le, ayah. Aku gelisah dan khawatir akan keadaannya. Supek Hauw Kam dan Gwan Beng tak waras!"

"Hm, aku tahu gejolak hatimu. Tapi tak usah khawatir. Eh, ada sesuatu yang agaknya kau sembunyikan, Eng-ji. Masalah perasaan hatimu kepadanya! Apakah kau suka? Apakah kau, hmm... menerima cinta pemuda itu?"

Soat Eng pucat. Ditodong dan ditanya demikian langsung dan tanpa tedeng aling-aling lagi mendadak membuat gadis ini gemetar. Pandang mata ayahnya yang tajam namun tidak menusuk, lain dengan pandang mata ibunya yang beringas dan penuh kebencian tiba-tiba membuat gadis ini serasa dihunjam sesuatu yang keras namun lembut.

Entahlah, meskipun pertanyaan ayahnya itu mengejutkan namun terasa tidak menyakitkan. Pandang mata ayahnya yang lembut dan sejuk meskipun tajam tidaklah sama dengan pandang mata ibunya itu. Namun karena dia adalah seorang gadis dan tentu saja sukar menjawab secara terang-terangan pula maka gadis ini menangis dan menyusupkan kepalanya di dada sang ayah, menyatakan tak tahu.

"Aku... aku bingung. Hanya aku tak ingin membiarkan Siang Le celaka. Entahlah, betapapun pemuda itu telah menolongku berkali-kali, ayah. Terakhir dengan pencuri Cermin Naga itu!"

"Ya, dan kulihat pula bahwa pemuda itu sungguh-sungguh. Hm, repot. Sayang dia murid See-ong, Eng-ji. Kalau tidak, hmm...!" sang pendekar menarik napas panjang. "Sudahlah," katanya melanjutkan. "Betapapun tak boleh kau malam-malam begini keluar lembah, Eng-ji. Tak baik dan tak pantas untukmu. Ibumu bakal marah, dan tak baik menyakiti hati ibumu yang sudah berbulan-bulan menunggu kedatanganmu. Besok kita semua akan berangkat, kau bersama kami dan tak boleh sendiri lagi. Nah, masuklah ke kamarmu dan bersabar bersama kami. Kau tentu tak akan memalukan ayah ibumu, bukan? Atau kau mau menjadi gadis berandal dan tak patuh pada orang tua?"

"Tidak!" Soat Eng tersedu. "Tapi aku bingung, ayah. Siang Le..."

"Pemuda itu tak akan diapa-apakan supekmu!" sang pendekar meyakinkan hati puterinya. "Meskipun gila tapi kedua supekmu bukanlah orang kejam. Tidak, aku percaya pemuda itu tak akan apa-apa, Eng-ji. Kalaupun menderita tentu hanya sekedar pukulan fisik. Dia laki-laki, tak akan apa-apa. Kau tak perlu khawatir dan kembalilah ke kamarmu untuk besok bersama-sama kami pergi meninggalkan lembah!"

"Ayah yakin?"

"Aku yakin! Nah, pergi ke kamarmu dan tidurlah!"

Soat Eng terisak. Akhirnya dia mendapat kecupan lembut di kening, ayahnya membelai dan menyuruhnya masuk. Malam sudah semakin larut karena kentongan terdengar dua kali. Namun karena dia percaya kata-kata ayahnya ini dan agaknya sang ayah jauh lebih maklum akan perasaan hatinya maka Soat Eng terhibur dan agak lega juga.

"Aku tak menghalangi dengan siapa pun kau menjatuhkan cinta. Tapi jaga perasaan ibumu, jangan dilukai!"

"Aku mengerti. Baik, ayah. Terima kasih!" dan Soat Eng yang bahagia meninggalkan ayahnya lalu berkelebat dan kembali memasuki kamarnya. Tadi memang hendak minggat untuk mencari Siang Le. Dia terlalu khawatir dan entah kenapa begitu gelisah melihat pemuda itu dibawa supeknya. Atau, lebih tepat, gelisah karena dia ditinggal pemuda itu! Dan ketika dia memasuki kamarnya dan lega menarik selimut di pembaringan maka malam itu tak terjadi apa-apa hingga Pendekar Rambut Emas lega.

Betapapun diam-diam mengawasi segala gerak-gerik puterinya itu dan tentu saja dia dapat merasakan kegelisahan anak perempuannya itu. Sebagai orang tua bijak pendekar ini tahu apa yang terjadi, meskipun dia juga harus berhati-hati karena tampaknya dalam hal ini dia akan berbeda pendapat dengan isterinya sendiri. Namun karena hal itu masih berupa perkiraan dan semuanya belum kongkrit maka malam itu pendekar ini memasuki kamarnya pula dan duduk bersamadhi, memperhatikan isterinya yang telah tidur pulas dan dia menarik napas lega.

Kalau dia tak mencegah kepergian puterinya tadi entah apa yang akan terjadi dengan isterinya ini. Tentu isterinya itu akan marah-marah dan mengutuk Soat Eng habis-habisan, yang tak tahu bahwa beberapa bulan ini ibunya gelisah memikirkan sang anak gadis. Tapi begitu semuanya tenang dan sang anak rupanya juga dapat dinasihati baik-baik maka keesokan harinya, pagi-pagi ketika ayam jantan mulai berkokok pendekar ini sudah menyiapkan segalanya. Dan begitu sang isteri melompat bangun dan tertegun melihat suaminya menyiapkan kereta dengan empat ekor kuda maka nyonya ini terbelalak mengucek matanya.

"Kau menyiapkan itu untuk apa?"

"Ah," sang suami tertawa. "Tentu saja untuk perjalanan jauh kita, niocu. Untuk apa lagi?"

"Tapi kita dapat berlari cepat, bahkan terbang melebihi kuda!"

"Benar, tapi apakah Beng An juga dapat melakukan seperti apa yang kita lakukan? Tidak, aku ingin membuat perjalanan ini tak begitu melelahkan, isteriku. Terutama untuk anak-anak kita. Ingat, Eng-ji juga baru saja kembali dan tentu dia lelah kalau diminta berlari cepat. Sebaiknya dengan kereta ini saja dan setiap kali dapat melakukan pergantian kuda."

"Tapi makan waktu lama!"

"Ah, siapa bilang? Di tempat-tempat tertentu kita dapat menitipkan kereta kita, niocu, melakukan perjalanan dengan ilmu lari cepat. Tapi di tempat-tempat tertentu pula kita memerlukan kereta ini untuk tidak menarik perhatian. Sudahlah, kau bangunkan Eng-ji dan Beng An dan kita berangkat!"

Sang isteri membelalakkan mata. Nyonya ini mau tak setuju tapi akhirnya dia mengangguk juga, mendesis dan berkelebat membangunkan dua anaknya itu, Beng An dan Soat Eng. Dan ketika Soat Eng juga tertegun melihat ayahnya menyiapkan kuda maka Beng An justeru bersorak.

"Horee, kita dapat bersantai!"

"Hush!" ibunya menegur. "Bukan bersantai, Beng An, melainkan agar perjalanan jauh ini tidak melelahkan dirimu. Hayo, naik ke kereta dan ikuti ayahmu!"

Beng An meleletkan lidah. Dibentak dan didorong ibunya tiba-tiba anak ini melompat naik, sudah duduk di dalam. Tapi bergerak dan pindah keluar ternyata ia ingin duduk di depan, di samping ayahnya yang menjadi sais. "Aku ingin di sini. Biar Ibu dan enci Eng di dalam!"

Pendekar Rambut Emas tersenyum. Anak laki-lakinya yang bungsu ini memang nakal tapi pemberani, suka kepada petualangan-petualangan dan tentu saja dia senang. Begitulah seharusnya anak laki-laki, gagah dan pemberani!

Dan ketika semua sudah siap dan kereta bergerak tiba-tiba secara diam-diam dan hanya diketahui beberapa orang pembantunya saja pendekar ini meninggalkan lembah. Dan begitu kereta berderap keluar lembah maka Pendekar Rambut Emas sudah melarikan keretanya dengan kencang!

* * * * * * * *

"Kita berhenti di sini,"

Dua anak muda itu melempar buntalan mereka. Wajah yang murung dan kesal jelas menyelimuti keduanya, yang tampak sudah melakukan perjalanan jauh namun tak berhasil menemukan apa yang dicari. Dan ketika keduanya duduk dan melempar pantat di rumput yang tebal maka pemuda yang bicara, yang tinggi besar dan berkulit kehitaman sudah membuang rusa yang dipanggulnya kepada seorang gadis yang berkelebat datang.

"Hoa-moi, buatlah panggang rusa. Sebentar kami istirahat dan setelah itu aku akan memasuki perkampungan itu!"

"Hm," pemuda satunya, yang duduk berkerut-kerut kening bertanya. "Kau mau kemana, Ituchi? Mau melakukan apa?" "Aku mau mencari adikku, juga ibuku!"

"Tidak!" pemuda itu berkata. "Untuk ini serahkan padaku, Ituchi. Sudah kubilang bahwa kita harus berhati-hati memasuki daerah yang belum kita kenal. Adikmu katanya ada di sana, tapi aku belum yakin. Sebaiknya serahkan hal ini padaku dan kau bersama Mei Hoa."

"Hm, masa harus selalu begitu, Thai Liong? Aku lama-lama jadi malu kepadamu. Tidak, aku yang pergi dan biar kau menjaga kekasihku di sini!"

"Jangan,"

Dua pemuda ini, yang ternyata Thai Liong dan Ituchi, menggeleng kepala, bersitegang.

"Aku mendengar satu di antara lima Iblis Dunia berada di sini, Ituchi. Dan kalau kau bertemu dengannya tentu celaka. Tidak, kau yang di sini dan biar kau yang menjaga kekasihmu!" dan bangkit tak menunggu temannya membantah tiba-tiba Thai Liong berkelebat dan meluncur ke perkampungan di depan.

"Heii...!" Ituchi berteriak. "Tunggu dulu, Thai Liong. Kita semua lapar dan tunggu matangnya daging rusa!"

"Biarlah, nanti saja," Thai Liong tersenyum, menjawab dari jauh. "Kalian berdua makanlah dulu, Ituchi. Dan biarkan aku mencari adikmu!" dan Ituchi yang tertegun tapi mengepal-ngepal tinju akhirnya membanting kaki dan cemas namun juga bingung, di samping marah.

"Terlalu Thai Liong ini. Apa-apa dikerjakan sendiri! Ah, aku jadi banyak berhutang budi padanya, Mei Hoa. Kalau begitu cepat kita bakar daging rusa ini dan setelah itu kita susul!"

"Ini semua gara-gara aku," Mei Hoa terisak. "Kalau saja aku berkepandaian tinggi dan tak perlu dijaga tentu kau dapat menyusul temanmu, Ituchi. Ah, betapa tidak enaknya menjadi orang bodoh!"

"Sudahlah," Ituchi terkejut. "Kau tak perlu menyesali diri, Hoa-moi. Akupun juga laki-laki yang kurang berkepandaian kalau dibanding sahabatku itu. Ah, sebaiknya kutemui guruku itu dan lain kali akan kuminta tambah ilmunya!"

Mei Hoa, gadis ini, dipeluk dan dicium. Selama ini sebagaimana diketahui tiga orang ini selalu bersama. Sejak Thai Liong dan Ituchi menolong Mei Hoa dan Mei Ling dari keganasan Togura maka Mei Hoa akhirnya menjadi kekasih Ituchi. Mei Ling, adik Mei Hoa, ternyata tewas tak kuat menahan derita. Mei Hoa tinggal sendiri namun untunglah Ituchi ada di situ, jatuh cinta dan segera menghibur.

Kedukaan Mei Hoa memang beralasan. Orang tuanya terbunuh dan kini adiknya pun ikut tiada, gara-gara kebiadaban Togura, murid enam Iblis Dunia itu yang kini bagai harimau tumbuh sayap karena mewarisi pula Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, ilmu yang dimiliki mendiang si jago pedang Hu Beng Kui yang tewas di Sam-liong-to, juga gara-gara kecurangan pemuda itu, putera mendiang Gurba yang dahsyat dan kini mewarisi watak ayahnya, yang ambisius dan ingin menguasai dunia! Dan ketika Mei Hoa menangis dipeluk kekasihnya ini maka Ituchi teringat daging panggang yang harus dibalik.

"Hei, hampir hangus. Awas, kubalik dulu!" dan Mei Hoa yang didorong dan melepaskan dirinya akhirnya menghapus air mata dan membantu kekasihnya itu, diam-diam menahan penyesalan di hati kenapa dia demikian bodoh dan lemah. Dibanding Ituchi apalagi Thai Liong maka ilmu silat yang dimilikinya sungguh hampir tak berarti sekali. Ah, mengeluh dia. Namun ketika Ituchi menghibur dan berkali-kali menyuruhnya menerima semuanya ini maka pemuda itu menutup bahwa mereka harus cepat menyelesaikan pekerjaan ini untuk segera menyusul Thai Liong.

"Salini dan Nangi adalah adik-adikku. Seharusnya aku yang menemukan mereka dan bukan Thai Liong. Ah, sudahlah. Putera Pendekar Rambut Emas itu memang ringan hati dan ringan tangan, Mei Hoa. Marilah kita selesaikan ini dan setelah itu menyusulnya!"

Mei Hoa mengangguk. Bagaimana pun akhirnya ia dapat menerima semua ini, menarik napas dan bekerjalah mereka menyelesaikan daging panggang itu. Dan sementara mereka bekerja sambil menunggu kedatangan Thai Liong, yang memasuki perkampungan di depan maka Thai Liong sendiri sudah tiba di sana dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, berkelebat dan sudah berada di dalam.

Namun aneh, Thai Liong disambut kesunyian yang mencekam. Rumah-rumah yang tertutup dan beberapa gulungan asap yang tampak keluar dari cerobong-cerobong rumah ternyata tampaknya tak berpenghuni. Atau, mungkin baru saja berpenghuni namun sekarang penghuninya sudah meninggalkan kampung itu, hal yang mencurigakan. Dan ketika Thai Liong celingukan dan berhenti memandang kesana kemari tiba-tiba telinganya mendengar rintihan sayup-sayup sampai, rintihan wanita.

"Wut!" pemuda ini berkelebat, lenyap menuju ke rumah sebelah kiri. Bagai siluman atau bayangan iblis tahu-tahu pemuda ini sudah sampai di tempat rintihan itu, menendang dan melihat dua orang gadis tampak saling terikat dan menangis, mulutnya disumbat dan mereka mau berteriak-teriak namun tak dapat, jadilah terganti rintih dan suara-suara memilukan itu. Dan ketika Thai Liong melihat siapa mereka tiba-tiba pemuda ini terkejut namun girang bukan main.

"Salini.... Nangi....!"

Dua gadis itu, yang terikat dan ah-uh-ah-uh tampak gembira bukan main. Mereka membelalakkan mata dan tentu saja segera mengenal Thai Liong. Inilah pemuda yang dulu menyelamatkan mereka dari kemarahan raja Cucigawa, ketika raja diserang dan diamuk kakaknya, Ituchi. Dan ketika Thai Liong berkelebat dan langsung menggerakkan tangan melepas ikatan dan sumbatan tiba-tiba saja tanah di depan dua orang gadis itu bergerak dan sebuah lubang menerima tubuh pemuda ini, yang terjeblos ke bawah.

"Awas...!"

Thai Liong terkejut. Tak menyangka namun membentak berseru keras tiba-tiba pemuda ini menjejakkan kaki berjungkir balik. Bagi pemuda selihai Thai Liong bukanlah masalah kalau hanya sebuah lubang jebakan saja. Tapi ketika pemuda itu berhasil melayang keluar dan berjungkir balik menghindari lubang tahu-tahu enam pisau belati beterbangan dari kiri kanan disusul puluhan anak panah yang menjepret dari dinding-dinding sebelah.

"Ha-ha, mampus kau !"

Thai Liong kaget. Dari sebelah kirinya tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak itu, tak kelihatan orangnya namun Thai Liong cepat menampar dan menggerakkan kaki tangannya. Puluhan anak panah dan enam pisau belati ditangkis mencelat, sebagian patah-patah. Dan ketika pemuda itu turun kembali dan menjadi marah maka Nangi dan Salini yang tadi ada di depannya mendadak terseret ke belakang dan... lenyap menerobos dinding.

"Kim-kongcu!"

Thai Liong terkejut. Dua gadis di depannya itu mendadak hilang karena disedot keluar. Kiranya sebuah tali telah menghubungkan dua gadis ini dan Thai Liong tentu saja marah bukan main. Dan ketika dia membentak dan melepas pukulan menghantam dinding maka dinding itu roboh dan rumah beserta tiang atau gentengnya ambruk.

"Bress!" Thai Liong keluar bagai harimau yang baru terperangkap. Pemuda ini berkelebat dan mendengar tawa yang dikenal. Dan ketika dia keluar dan melempar sisa-sisa bangunan yang menimpanya maka tertegunlah pemuda itu melihat Siauw-jin mencengkeram dua kakak beradik Salini dan Nangi. Dan sementara dia terkejut menggeram marah maka puluhan tanah di situ bergerak dan muncullah orang-orang yang merupakan pasukan pendam, satu di antaranya meloncat berjungkir balik dan Ui Kiok, wanita cabul yang dulu hampir mencekoki Thai Liong dengan obat perangsang muncul di situ, terkekeh di samping Siauw-jin, si iblis cebol!

"Hi-hik, selamat bertemu lagi, Kim-kongcu. Dan kau tentu tak lupa padaku!"

"Ha-ha!" Siauw-jin, si iblis cebol tertawa ngakak, menyambung ucapan Ui Kiok. "Bocah ini tak mungkin melupakanmu, Ui Kiok. Apalagi kalau dia sudah kau beri kenang-kenangan yang tak bakalan dilupakannya seumur hidup. Aih, aku ingin melihatmu bergulingan dengan pemuda ini dalam cinta yang panas. Ha-ha, sayang dulu gagal tapi sekarang tak mungkin lagi!" dan si cebol yang meraih serta menciumi wanita ini lalu meremas buah dadanya dengan gemas. "Hiih, semontok ini tak dapat merobohkan pemuda itu adalah keterlaluan, Ui Kiok. Marilah kubantu dan perlihatkan padaku nanti bagaimana kau merobohkan pemuda ini!"

Thai Liong merah padam. Mendengar kata-kata cabul dan sikap cabul dari si iblis ini dia hampir tak kuat menahan lagi. Ui Kiok sendiri terkekeh-kekeh diremas buah dadanya dan tak malu-malu dipandangi puluhan laki-laki yang mengilar melihat kepadanya, mata-mata nyalang yang begitu bernafsu ketika Siauw-jin meremas buah dada wanita itu, yang memang montok dan besar serta menggairahkan! Namun Thai Liong yang justeru muak dan marah tiba-tiba membentak,

"Siauw-jin, tak perlu banyak tingkah. Lepaskan dua gadis itu dan kuampuni kau!"

"Ha-ha, apa kau bilang? Mengampuni aku? Melepaskan gadis ini? Weh, kau terlalu bocah, bocah. Mereka adalah calon kekasihku dan tak mungkin kulepaskan begitu saja. Ha, kau menyerahlah dan baik-baiklah bersama kami!"

"Hm, kalau begitu aku akan menghajarmu!" dan Thai Liong yang tidak banyak cakap langsung menghantam iblis ini tiba-tiba berkelebat dan lenyap meninggalkan tempatnya semula, begitu cepat, begitu luar biasa.

"Dess!" Siauw-jin menangkis, tapi terjengkang! Dan ketika iblis itu berteriak kaget karena Thai Liong mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya maka pemuda itu sudah berkelebatan menghajar si cebol yang tak tahu malu ini.

"Des-dess!" Siauw-jin kelabakan. Berteriak-teriak dan menyuruh semua orang maju tiba-tiba kakek itu bergulingan melempar tubuh, empat kali menerima pukulan dan empat kali itu pula matang biru! Kakek ini berkaok-kaok dan tentu saja kesakitan, dikejar dan sudah mengerahkan kekebalannya namun tetap saja pukulan pemuda itu menerobos dan menembus kekebalannya, tak ayal kakek ini melempar tubuh untuk menghindari pukulan-pukulan atau tamparan berikut. Dan ketika dia memaki-maki dan Ui Kiok serta puluhan laki-laki di situ dibentak dan diperintah kakek ini untuk menyerang maka Thai Liong menghadapi puluhan lawan yang bergerak dan mengepungnya, menusuk dengan tombak atau pedang dan golok yang berseliweran menyambar-nyambar.

"Berhenti, mampus kau!"

Thai Liong mendengus. Membalik dan menerima serta menggerakkan kedua tangannya ke muka belakang tiba-tiba pemuda itu mengibas. Hujan golok dan tombak yang menyerang tubuhnya dari segala penjuru tentu saja tak perlu ditakuti. Dan ketika semua golok atau tombak patah-patah bertemu tubuhnya maka Thai Liong mengangkat kakinya dan puluhan orang itu terlempar bagai layang-layang putus.

"Enyahlah.... des-dess!"

Thai Liong memberi pelajaran. Puluhan laki-laki itu yang tadi mengeroyok dan mengepung tiba-tiba mencelat semua, mereka mengaduh-aduh dan Thai Liong gemas kepada si iblis cebol itu. terang si cebol tahu bahwa puluhan pembantunya itu adalah kerbau-kerbau dungu semua, sengaja dikorbankan padanya untuk menyelamatkan diri. Dan ketika benar saja Siauw-jin bergulingan dan meloncat bangun di sana, terkekeh dan menyeringai tiba-tiba setan cebol yang tahu bukan tandingan pemuda ini sudah melompat pergi dan menghilang meninggalkan pertempuran.

"Heii...! Thai Liong berseru. "Lepaskan dua gadis itu, Siauw-jin. Atau kau roboh!" Thai Liong menangkap seorang di antara pengeroyok, menimpuk dan melempar orang ini bagai sebatang pisang yang besar. Orang itu berteriak dan kaget sekali karena tahu-tahu tanpa dapat dicegah lagi dia sudah meluncur ke setan cebol itu, siap menumbuk belakang punggung. Tapi Siauw-jin yang tentu saja juga kaget dan melotot tiba-tiba menggerakkan tangan ke belakang dan pecahlah jeritan ngeri yang mendirikan bulu kuduk karena dengan telak dan dahsyat pukulan si cebol ini menghantam dada lawan.

"Krakk!" Tubuh bagai batang pisang itu ambruk. Dada orang ini pecah dan tulang serta isi dalamnya hancur, nyaris orang ini tak berujud manusia lagi karena tubuhnya sudah terlipat dua, roboh dan muncratlah darah membanjiri tempat itu. Dan ketika Salini mengeluh pingsan dan terbang lagi dibawa kakek ini maka Thai Liong pucat melihat kekejian kakek itu.

"Wut!" sebuah serangan di belakang tiba-tiba menyadarkan pemuda ini. Ui Kiok, yang diam-diam berkelebat dan selama ini menunggu kesempatan, menyuruh anak buahnya maju tiba-tiba bergerak dan menyerang tanpa suara. Sebuah jarum dilepas dan wanita itupun masih menyusuli dengan pukulan tangan kiri dan kanan, yang hampir tak terdengar suaranya kecuali setelah dekat, karena saat itu Thai Liong sedang tertegun ke depan, memandang kekejian si setan cebol itu. Tapi karena Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas dan tentu saja segala syaraf baik sadar maupun tidak telah mendarah daging di tubuh pemuda ini maka secara otomatis dan cepat pemuda ini bergerak menangkis dan seketika memutar tubuhnya.

"Des-bluk!" Ui Kiok menjerit. Wanita ini terlempar dan kaget serta gentar karena hanya dalam sekali gebrakan saja Thai Liong membuatnya mencelat. Dia terlempar dan jarumnya pun membalik, mengenai pipinya dan mengaduhlah wanita itu oleh rasa sakit yang sangat, karena jarumnya juga mengandung racun dan tentu saja pipinya seketika menggembung, bengkak kebiruan! Tapi ketika wanita ini bergulingan menjauhkan diri dan Thai Liong tidak begitu memperdulikannya karena yang dikehendaki adalah tawanan di tangan si kakek cebol tiba-tiba pemuda ini bergerak dan terbang mengejar kakek iblis itu.

"Siauw-jin, serahkan mereka. Atau kau kubunuh!"

Kakek ini terkejut. Thai Liong tahu-tahu telah berada di belakangnya dan cepat seperti iblis pemuda itu sudah meluncur dekat sekali, kakek ini ngeri dan pucat. Maklumlah, dia sudah tahu bahwa pemuda ini bukanlah tandingannya. Dan ketika Thai Liong sudah tinggal dua meter saja di belakangnya dan pemuda itu membentak serta mengayunkan lengan maka kakek ini gentar menggerakkan lengan menangkis.

"Dess!" Siauw-jin mencelat. Thai Liong memukulnya dengan Khi-bal-sin-kang, tangkisan si kakek membalik dan mengenai dirinya sendiri, tentu saja iblis cebol itu berteriak dan bergulingan menjauh. Dan ketika dia meloncat bangun dan memaki-maki maka Thai Liong membentak dan menyuruh dia menyerahkan tawanannya.

"Serahkan, atau kau kubunuh!"

"Keparat!" kakek ini mencabut sabitnya, senjata andalan. "Berani membunuhku berarti membunuh dua orang gadis ini, bocah. Hayo kau bunuh aku dan aku akan membunuh mereka dulu!"

Thai Liong terkejut. Si kakek sudah memutar sabitnya dengan cepat sekali, gerakan-gerakannya menyerempet-nyerempet dua kakak beradik itu dan satu bacokan akhirnya mengenai leher baju Nangi, yang pucat dan sejak tadi menangis tak henti-hentinya. Dan ketika suara 'bret' itu seakan membuat nyawa gadis ini terbang dari tubuhnya maka Siauw-jin terbahak-bahak melihat Thai Liong yang pucat mukanya.

"Ha-ha, membunuh aku berarti membunuh dua gadis cantik ini dulu, bocah. Hayo kau buktikan ancamanmu dan aku juga akan membuktikan ancamanku.... bret!" kali ini sabit dibelokkan arahnya ke dada Salini yang pingsan. Dan ketika baju gadis itu terkuak lebar dan Thai Liong terkejut maka pemuda ini berseru marah membentak lawannya.

"Siauw-jin, sekali kau membunuh mereka maka aku tak akan mengampunimu lagi. Serahkan baik-baik, dan kau dapat pergi dengan aman!"

"Ha-ha!" kakek ini merasa di atas angin. "Mana mungkin itu, bocah? Togur menyuruh aku mendapatkan mereka, dan aku tentu harus menyerahkannya kepada muridku!"

"Kalau begitu aku akan menghajarmu!" dan Thai Liong yang marah berkelebat maju tiba-tiba menerima sambaran sabit yang menuju kepalanya, dielak sedikit dan sabit pun lewat sejengkal di atas kepalanya. Lalu ketika si kakek terkejut dan menarik serangannya tiba-tiba Thai Liong sudah mengetuk siku kakek itu.

"Aduh!" Siauw-jin menjerit. Kalah cepat dengan gerakan pemuda ini tahu-tahu siku si cebol tertotok. Thai Liong melakukan itu dan Salini yang ada di tangan kanan kakek ini pun terlepas. Dan ketika Siauw-jin bergulingan melempar tubuh dan kaget melihat seorang tawanannya terlepas maka kakek ini memaki-maki dan meloncat bangun serta menyambitkan lagi sabit-sabit kecilnya.

"Wut-wut!" Thai Liong waspada. Dengan mudah dia menampar runtuh tiga buah sabit yang menyambar ke arahnya, bergerak dan sudah menyambar Salini yang terlepas dari tangan kakek itu. Tapi ketika dia memeluk dan menangkap gadis ini sekonyong-konyong tujuh buah sabit bercuitan menyambar tubuh Salini.

"Keparat!" Thai Liong marah. "Kau benar-benar keji, Siauw-jin. Tak berperasaan dan tak berperikemanusiaan sama sekali. Rasakanlah, dan jangan main-main lagi.... plak!" dan tujuh sabit yang ditangkap serta diraup Thai Liong tiba-tiba diretour dan dilempar balik ke kakek itu, kecepatannya dua kali lipat karena Thai Liong gemas mempergunakan sinkang sepenuh bagian, marah dan ingin menghajar kakek itu. Dan ketika Siauw-jin menjerit karena tujuh sabitnya tak dapat dielak dan menancap di sekujur tubuhnya, menembus kekebalan sinkangnya maka kakek ini roboh namun hebatnya dapat bergulingan meloncat bangun dan lari lagi.

"Thai Liong, kau bocah keparat. Jahanam, terkutuk kau...!"

Thai Liong kagum. Ditancapi tujuh sabit kecil yang tak sempat dicabut karena terburu-buru melarikan diri kakek iblis itu jatuh bangun meninggalkan pertempuran. Thai Liong merasa kasihan dan geli juga. Tapi melihat Nangi masih dibawa kakek itu dan Siauw-jin lintang-pukang tak mau melepaskan tawanan maka pemuda ini bergerak dan mengejar lagi. Siauw-jin dibentak dan diminta menyerahkan gadis itu, tak mau dan terus melarikan diri. Dan ketika kakek itu mulai masuk keluar memasuki rumah-rumah penduduk maka Thai Liong kebingungan mencari dimana kakek ini.

"Kau serahkan gadis itu, dan kau dapat pergi baik-baik!"

"Keparat!" kakek itu bersembunyi di rumah yang besar. "Aku tak mau menyerahkannya kepadamu, bocah. Lebih baik mampus di tanganmu daripada mampus di tangan muridku. Majulah, dan kau akan melihat gadis ini mampus sebelum aku terbunuh!"

Thai Liong bingung. Sudah dua kali ia hampir menangkap kakek ini namun si kakek selalu mempergunakan Nangi untuk membuatnya mundur. Kakek itu mengancam dan Thai Liong percaya ancaman kakek ini. Iblis macam Siauw-jin tak akan segan-segan membunuh korbannya kalau dia kepepet. Dan ketika kakek itu lolos lagi sementara Nangi menangis dan berteriak-teriak di pondongan kakek ini maka gadis itu berseru agar Thai Liong menyelamatkan kakaknya dulu.

"Biarkan aku... biarkan aku. Kau pergilah bersama kakakku dan lain kali saja kau cari!"

"Ha-ha!" si cebol tertawa bergelak, melihat kebingungan pemuda itu. "Kau dengar, bocah. Gadis ini lebih suka kepadaku daripada kepadamu. Kau pergilah, dan lain kali memang dapat kau cari lagi!"

"Hm!" Thai Liong melotot. "Kau licik, Siauw-jin, juga curang. Awas kau, aku akan membekukmu dan biarlah sementara ini kau boleh kucing-kucingan lagi denganku!" Thai Liong mengejar, memburu namun lawan lari lagi dan kucing-kucinganlah kakek ini dikejar si pemuda. Nangi sudah tak terdengar suaranya lagi karena setiap jeritan atau teriakannya berarti memberitahukan keberadaan kakek itu, Siauw-jin rupanya membungkamnya dengan sebuah totokan. Dan ketika suara gadis itu tak terdengar lagi dan Thai Liong bingung maka bayangan Ituchi dan Mei Hoa akhirnya muncul.

"Heii...!" pemuda tinggi besar itu berteriak. "Dimana kau, Thai Liong? Sudah kau dapatkah adikku?"

"Eh!" suara Mei Hoa terdengar menjerit lirih. "Ada mayat di sini, pecah dadanya. Aih, Kim-kongcu rupanya bertempur sengit, Ituchi. Mari kita bantu dan cari dia!"

Thai Liong melihat bayangan dua sahabatnya itu. Ituchi dan Mei Hoa sudah bergerak memasuki perkampungan, berteriak dan memanggil-manggil namanya. Dan karena kehadiran dua orang itu terutama Mei Hoa bakal memberinya beban untuk melindunginya dari keganasan Siauw-jin akhirnya apa boleh buat pemuda ini muncul dan berkelebat keluar.

"Adikmu kutemukan, tapi hanya seorang!"

"Ah!" Ituchi girang, melompat mencengkeram sahabatnya. "Siapa ini, Thai Liong? Ah, Salini...!" dan Ituchi yang girang tapi terkejut melihat adiknya yang pingsan segera sudah mendapatkan adiknya itu, menotok dan memeriksa sana-sini dan Thai Liong mengusap keringatnya. Mengejar dan mencari si iblis cebol yang kucing-kucingan dengan mengancam keselamatan Nangi sudah membuat dia gemas. Pencariannya gagal dan hanya Salini itulah yang berhasil diselamatkan. Tapi ketika Ituchi girang dan sudah menolong adiknya itu maka gadis ini sadar dan terkejut tapi girang serta menangis mengguguk menubruk Ituchi.

"Kakak...!"

Ituchi terharu. Dia merangkul dan meremas adiknya ini, bertanya dimana Nangi, adik satunya. Tapi ketika Salini terkejut dan menoleh pada Thai Liong, karena pemuda itulah yang menyelamatkannya maka Thai Liong menarik napas dalam membuang kekecewaan.

"Nangi dibawa Siauw-jin. Iblis cebol itu memaksa aku mundur dengan mengancam keselamatan adikmu. Maaf, aku gagal, Ituchi. Dan baru adikmu inilah yang berhasil kuselamatkan!"

"Ah," Ituchi tertegun, tapi cepat membuang kekecewaannya. "Terima kasih, Thai Liong. Ini sudah cukup. Kalau aku sendiri belum tentu berhasil menyelamatkan adikku ini! Ah, cukup. Kau sudah memberi budi terlalu banyak!" dan pemuda ini yang cepat merangkul dan mendorong adiknya lalu menoleh pada Mei Hoa. "Dapatkah kau menjaga adikku?"

"Kau mau kemana?"

"Mengejar iblis cebol itu, membantu Thai Liong!"

"Hm!" Thai Liong mengerutkan kening. "Memberikan Salini pada Mei Hoa tak mengurangi bahaya, Ituchi. Lebih baik kau jaga mereka dan aku melanjutkan pencarianku!"

"Tidak, jangan! Ituchi menggoyang lengan, mencekal tangan Thai Liong. "Cukup kau membantu kami, Thai Liong. Sekarang bagianku dan biarkan aku yang bekerja!"

"Tapi iblis cebol itu bukan tandinganmu," Thai Liong mengerutkan kening. "Tidak, jangan, Ituchi. Biarlah kau di sini dan aku melanjutkan pengejaranku!"

"Kau terlalu banyak memberikan budi!" pemuda ini mencengkeram lengan Thai Liong. "Jangan tambah lagi budi itu, Thai Liong. Atau aku tak akan mempunyai muka lagi dan bisa mati karena malu! Kau bersamaku atau tidak sama sekali!"

Thai Liong tertegun. Dan ketika dia tergetar menarik tangannya maka Mei Hoa terisak dan berkata, "Ituchi benar, Kim-kongcu. Jangan menambah lagi kebaikan-kebaikanmu atau kami sama sekali tak akan mempunyai muka lagi menemuimu. Biarkan Ituchi bersamamu dan masalah aku dan Salini ini dapatlah kupikirkan. Bukankah masih ada ibunya yang harus dicari pula? Bukankah kami dapat bergabung kalau Salini memberi tahu dimana ibunya?"

"Benar!" Ituchi tiba-tiba menepuk kepalanya, girang. "Kau benar, Mei Hoa. Ah, kutanya dulu adikku ini dimana ibu!" dan membalik menghadapi adiknya pemuda ini bertanya, "Salini, dimana ibu? Kau tahu?"

Salini terisak. "Aku tak tahu, tapi... tapi kudengar kabar ibu ke tempat kakek...."

"Apa? Memasuki Tionggoan?"

"Benar, tapi benar atau tidak aku tak tahu, kak. Aku hanya mendengar kabar angin yang lewat."

"Ah!" dan Ituchi yang tertegun melepas adiknya lalu bingung memandang Mei Hoa. "Bagaimana ini? Kita sudah terlanjur di sini, diluar tembok besar. Kalau kita kembali maka tempat itu jauh bukan main!"

"Begini saja," Mei Hoa memberi jalan. "Biarkan aku mengawal adikmu, Ituchi. Dengan menyamar dan membuang pakaian kami seperti petani barangkali tak akan ada orang mengganggu. Lihatlah, aku mendapatkan pakaian ini di rumah itu!" Mei Hoa menyambar sepasang pakaian petani, mengenakannya di tubuh dan cepat serta tidak ragu-ragu ia pun menggosok mukanya dengan debu. Dan ketika tak lama kemudian gadis cantik ini sudah berubah sebagai gadis dusun yang amat bersahaja maka Ituchi tertegun tapi Thai Liong tersenyum.

"Bagus," pemuda ini berkata. "Begitu juga boleh, Mei Hoa. Kalau begini kalian boleh pergi!"

"Apa?" Ituchi terkejut. "Membiarkan Mei Hoa mengantar adikku?"

"Ya, kau tak mau membiarkan aku sendirian mencari adikmu, Ituchi. Dan kalau kita bertambah beban dengan Salini di sini tentu perhatian kita banyak terpecah. Lebih baik begini dan Mei Hoa dapat melakukan perjalanan dengan aman!"

"Tapi..." Ituchi bingung. "Di jalan banyak penjahat, Thai Liong. Aku khawatir!"

"Hm, menghadapi penjahat bangsa rampok atau begal tentu Mei Hoa mampu menjaga diri. Tidak, mereka tak akan apa-apa, Ituchi. Dan setelah kita berhasil maka kita menyusul mereka. Atau, kau bersama mereka dan biarkan aku sendiri!"

Ituchi menjublak. Sekarang dia di persimpangan jalan antara membiarkan kekasihnya ini atau membiarkan Thai Liong. Menurut patut seharusnya kekasihnya yang dikawal. Thai Liong laki-laki, tak perlu dikhawatirkan. Tapi karena kepergian Thai Liong adalah untuk menolong adiknya yang lain dan tak mungkin terus-terusan dia membiarkan sahabatnya itu berbuat kebaikan maka apa boleh buat pemuda ini mengangguk, menarik napas berat.

"Baiklah, aku melepas mereka, Thai Liong. Betapapun kau pergi juga untuk menolong adikku!"

"Nah," Thai Liong tersenyum. "Sekarang bawa Salini, Mei Hoa. Antarkan ke kakeknya dan nanti kami menyusul."

"Kalian tak akan lama?"

"Tergantung keadaan. Kalau cepat tentu saja tak akan lama-lama. Tapi kalau lambat, yach... mau dikata apalagi? Sudahlah, Ituchi sudah siap melepasmu pergi dan jaga baik-baik Salini!"

Mei Hoa terisak. "Ituchi, selamat berpisah. Jaga baik-baik dirimu dan hati-hati!"

"Hm, sepatutnya aku yang harus berkata seperti itu!" Ituchi meloncat, memegang lengan kekasihnya. "Jaga baik-baik dirimu, Mei Hoa. Dan hati-hati di jalan!"

Mei Hoa terisak, dicium keningnya dan Salini tertegun melihat itu. Barulah dia tahu bahwa kiranya gadis yang dicium kakaknya ini adalah calon so-so atau kakak ipar baginya, kekasih kakaknya. Maka ketika dia terbelalak dan Thai Liong melengos maka keduanya sudah saling dekap dan peluk.

"Ituchi, aku aku menantimu!"

"Sudahlah," pemuda ini tak dapat menahan haru. "Akupun akan menyusulmu, Mei Hoa. Berangkatlah dan jaga adikku itu baik-baik!"

"Aku akan menjaganya melebihi diriku. Percayalah!" dan ketika Mei Hoa melepaskan diri dan didorong mundur maka Salini sudah disambar gadis cantik ini. "Kita berangkat!" dan begitu Mei Hoa berkelebat dan menyambar gadis ini maka Salini pun terisak melambaikan lengannya.

"Kakak, hati-hati...!"

Ituchi memejamkan mata. Perpisahan yang tentu saja berat baginya ini haruslah ditekan dan dikendalikan. Dia baru saja bertemu adiknya tapi sudah harus sama-sama pergi. Dan bahwa kekasihnya juga terpaksa mengantar adiknya itu berpisah dengannya maka Ituchi menggigit bibir menahan perasaan hati yang berguncang, tak berani memandang kepergian mereka tapi akhirnya Thai Liong menepuk pundaknya. Dan ketika pemuda ini sadar dan membuka matanya maka dua titik air mata yang bergenang di pelupuk dikejapnya hilang.

"Thai Liong, terima kasih. Kau benar-benar sahabat yang setia!"

"Ah," pemuda ini tertawa. "Kau terlalu berlebih-lebihan, Ituchi. Adalah wajar jika aku menolongmu. Kau pemuda yang baik, gagah dan jujur. Lagi pula kau pangeran yang dimusuhi Cucigawa dan antek-anteknya. Hm, jangan berterima kasih, Ituchi. Apa yang kulakukan adalah demi kebenaran dan tak perlu kau mengucapkan itu!"

Ituchi mencengkeram sahabatnya. Mendengar kata-kata itu dan melihat serta menyaksikan sepak terjang Thai Liong sungguh dia merasa terharu dan kagum. Putera Pendekar Rambut Emas ini benar-benar seorang pemuda mengagumkan dan amat berbudi. Dia merasa tak habis-habisnya ditolong dan Ituchi tentu saja merasa terharu. Dan ketika dia tak bisa bicara apa-apa kecuali mencengkeram dan meremas tangan sahabatnya itu maka Thai Liong tertawa berkelebat mengajaknya pergi.

"Ayo, kita berangkat!"

Ituchi sadar. Akhirnya dia mengangguk dan mengikuti sahabatnya itu. Dan ketika mereka sudah sama-sama mengerahkan ginkang dan Ituchi coba melupakan adik serta kekasihnya maka dua pemuda ini kembali mencari Hek-bong Siauw-jin, yang masih menawan Nangi. Dan begitu keduanya bergerak dan keluar dari perkampungan itu maka keduanya segera tertegun melihat banyaknya perkampungan-perkampungan lain yang sunyi dan beberapa di antaranya terbakar!

"Ssst, hati-hati..." Thai Liong memberi isyarat, berhenti, menarik tangan temannya. "Kita berada di daerah terbuka, Ituchi. Rundukkan kepalamu dan lihatlah apa yang ada di depan itu!"

Ituchi tertegun. Di depan mereka, di seberang padang rumput itu tampak ribuan kemah besar kecil berserakan memenuhi daerah yang luas. Tepian sana berupa hutan tropis yang sedang kering. Musim hujan sudah lewat dan beberapa pucuk tanaman tampak meranggas daunnya. Itulah Padang Iblis karena di padang itulah biasanya suku-suku bangsa liar bertempur dan berperang, memperebutkan wilayah atau ternak. Dan ketika Ituchi tertegun melihat ribuan kemah besar kecil yang belum diketahui siapa pemiliknya maka dua bayangan berkelebat bagai siluman mendekati perkemahan itu.

"Nenek Naga!" Thai Liong, yang lebih awas dan tajam matanya berseru mendahului. Dia melihat nenek itu yang berkelebat di samping seorang pemuda, rambutnya riap-riapan dan pemuda yang berendeng dengan nenek itu tak jelas mukanya karena sedang menghadap ke kiri. Hanya tubuhnya saja yang tinggi besar dan berkulit kehitaman menjadikan Thai Liong berdetak karena teringat Togur, murid enam Iblis Dunia, yang kini tinggal lima orang itu. Dan ketika benar saja dua bayangan itu bercakap sayup-sayup dan pemuda di sebelah nenek itu menoleh ke kanan maka Thai Liong terkejut karena dugaannya benar.

"Togura, muridnya!"

Ituchi tiba-tiba menggeram. Sekarang pemuda ini mengenal setelah beberapa detik dia menajamkan pandangannya. Putera raja Hu inipun mengangguk dan mengepalkan tinju. Namun ketika dua orang itu berkelebat dan lenyap di dalam perkemahan maka jelaslah sudah bagi mereka milik siapa kiranya ribuan kemah besar kecil itu.

"Kita menemukan musuh kita, inilah biang kerok yang kita cari-cari!"

"Ssst, jangan kehilangan kontrol diri," Thai Liong mencengkeram, menahan temannya itu. "Kita sudah mendekati musuh yang kita cari-cari, Ituchi. Tapi berhati-hatilah dan jangan kehilangan kewaspadaan!"

"Aku tahu," pemuda itu mengangguk. "Tapi aku rasanya tak tahan, Thai Liong. Aku ingin menerkam dan menyikat musuhku itu!"

"Sabar, kita memasuki daerah berbahaya, Ituchi. Betapapun kita harus hati-hati dan tak boleh gegabah!" dan bangkit mencekal temannya itu Thai Liong mengamati sekeliling. "Hm, tak kurang dari sepuluh ribu orang ada di sini. Dan, he... itu Hek-bong Siauw-jin!"

Ituchi terkejut. Menoleh dan mengikuti pandangan Thai Liong tiba-tiba saja dia melihat si kakek cebol. Tertawa-tawa dan terkekeh-kekeh kakek itu tampak memanggul adiknya, Nangi. Dan ketika si iblis menyeberang padang rumput sementara Nangi tampak meronta-ronta dan menangis sepanjang jalan tiba-tiba Ituchi tak kuat lagi dan sudah berkelebat meluncur menghadang kakek iblis itu!

"Siauw-jin, serahkan adikku!"

Thai Liong terkejut. Baru saja dia bilang untuk berhati-hati dan tidak kehilangan kontrol diri tahu-tahu, eh... temannya itu sudah ngamuk. Ituchi hilang kesadarannya dan lupa! Dan ketika pemuda itu terbang dan meluncur menghadang Hek-bong Siauw-jin maka si iblis cebol juga terkejut dan tiba-tiba menoleh. Lalu, melihat Ituchi yang terbang dan menggeram padanya tiba-tiba kakek ini berkelebat dan hilang di balik gerumbul alang-alang yang tinggi. Maklumlah, dia cebol!

"Heii...!" Ituchi kehilangan lawannya. "Jangan pengecut, Siauw-jin. Lepaskan adikku dan keluarlah!" Ituchi menerjang, sudah sampai di tempat dimana kakek itu tadi berdiri dan cepat menghantam ke depan. Tapi ketika alang-alang bergoyang dan angin yang menderu dahysat tak mengenai siapa-siapa maka Siauw-jin tiba-tiba muncul di sebelah yang lain dan terkekeh.

"Heii...!" kakek itu membalas. "Aku di sini, anak muda. Kejarlah!"

Ituchi mendelik. Melambai dan menggapaikan lengannya tiba-tiba si kakek yang menantang membuat Ituchi lupa segala-galanya. Dia lupa bahwa di seberang padang rumput itu adalah sarang pasukan musuh. Ituchi lupa ini atau agaknya juga tak memperdulikan. Maklumlah, dia marah sekali melihat adiknya meronta-ronta dan ditawan kakek itu. Dan ketika Ituchi bergerak dan sudah terbang ke kakek ini tiba-tiba pukulannya menghantam namun lagi-lagi si kakek cebol lenyap seperti siluman.

"Dess!" Pukulan Ituchi menghantam tanah. Batu dan pasir muncrat berhamburan namun si kakek iblis tahu-tahu muncul di tempat lainnya lagi, menggapai dan tertawa-tawa menyuruh pemuda itu mengejar. Dan ketika Ituchi bergerak dan kembali mengejar, tak sadar semakin mendekati perkemahan musuh maka Thai Liong berteriak memperingatkan temannya.

"Ituchi, kembali...!"

Namun pemuda tinggi besar ini terbakar. Dia tak dapat mengendalikan dirinya lagi karena berkali-kali si kakek cebol mengelak, jelas mempermainkannya dan Ituchi tak mau menyadari bahwa dia dipancing semakin mendekati kemah. Thai Liong sendiri sudah bergerak dan membentak temannya itu, menangkap namun Ituchi mengelak, terbang dan mengejar lagi si kakek cebol. Dan karena bentakan Thai Liong tak digubris dan Ituchi semakin mendekati sarang musuh tiba-tiba saja dia sadar dan terlambat ketika mendadak Hek-bong Siauw-jin muncul di sebelah kanannya dan kali ini balik menghantam.

"Ha-ha, sekarang kau mampus, bocah. Terima seranganku dan robohlah!"

Ituchi terkejut. Dia menangkis tapi berteriak terlempar, Hek-bong Siauw-jin memang bukan tandingannya dan dia terbanting. Tapi karena Ituchi adalah pemuda gagah dimana musuh sekuat apapun tak akan membuatnya gentar maka pemuda ini bergulingan meloncat bangun namun Thai Liong menyambarnya sambil melepas pukulan ke arah si kakek cebol.

"Jangan nekat, dan lihat kekuatan sendiri....dess!" si cebol ganti berteriak keras, terlempar dan terguling-guling namun keributan di padang rumput itu telah dilihat dan didengar musuh. Genderang dan teriakan saling bersahut-sahutan, tanda celaka bagi dua pemuda ini. Dan ketika Thai Liong menarik temannya dan Siauw-jin bergulingan meloncat bangun di sana maka empat bayangan berkelebat dan muncullah nenek Naga dan teman-temannya, dipimpin Togura!

"Ha-ha, selamat datang, Thai Liong. Kiranya kau!"

Hek-bong Siauw-jin mengusap keringat. Pasukan sudah mendatangi ke situ dan cepat sekali dua pemuda ini dikepung. Thai Liong tak mau melarikan diri karena Ituchi masih di situ, hal yang sebenarnya disesali namun diapun juga bukan pengecut. Dan ketika nenek Naga dan lain-lain sudah berkelebatan datang dan Togura menolong si iblis cebol maka Siauw-jin menyerahkan Nangi kepada pemuda itu, terkekeh, menyeringai gentar.

"Aku hampir gagal. Bocah she Kim itu menghalangiku. Tapi terimalah, inilah bocah perempuan yang kau minta, Togur. Dan sekarang hadapi mereka itu biar gurumu beristirahat, ha-ha!"

Togur tersenyum. Berseri-seri dan bersinar-sinar memandang Nangi yang tertotok dia terbahak meraba gadis cantik ini. Tangannya menggerayang dan secara kurang ajar dia meremas buah dada gadis itu, hal yang tentu saja membuat Nangi mengeluh sementara Ituchi tak kuat menahan diri, membentak dan sudah maju menghantam. Tapi ketika nenek Naga bergerak dan menangkis pukulan ini maka Ituchi terpental dan Togura tertawa bergelak-gelak.

"Ha-ha, selamat datang, Ituchi. Kau pangeran yang pecundang. Tapi, ah... tidak. Kau sekarang calon kakak iparku karena adikmu ini akan menjadi permaisuri!"

"Terkutuk!" Ituchi menggeram. "Lepaskan adikku, Togur. Dan hadapi aku secara jantan!"

"Ha-ha, kau marah? Eh, di sini ada banyak pembantuku, Ituchi. Tak baik marah-marah begitu dan kau tenanglah sedikit. Aku ingin bicara baik-baik dan kebetulan kau berdua ke sini," dan tertawa melempar Nangi pada Cam-kong gurunya pemuda ini membalik dan sudah menghadapi dua pemuda itu, waspada terhadap Thai Liong.

"Hm, kalian kemari mau apa?" tanyanya pura-pura. "Ingin bergabung dan membantu aku?"

""Terkutuk!" Ituchi membentak. "Aku datang untuk mengambil adikku, Togur. Dan juga suku bangsaku yang kau rampas!"

"Ha-ha, dan kau?" pemuda ini memandang Thai Liong. "Juga mengincar si cantik adik Ituchi ini dan ingin membantu Ituchi, Thai Liong? Atau mau mengambil alih pimpinan dan memimpin pasukan besar ini?"

"Hm!" Thai Liong marah, sama sekali tak gentar. "Aku datang memang untuk membantu Ituchi, Togur. Tapi juga sekalian menangkap dan membekukmu. Aku ingin kau mengembalikan Cermin Naga yang kiranya kau dapat secara curang dari mendiang kong-kongku!"

"Ha-ha!" pemuda tinggi besar itu tertawa bergelak. "Mencari Cermin Naga? Menangkap dan merobohkan aku? Ha-ha, tak usah sombong, Thai Liong. Kau belum dapat menangkap atau merobohkan aku. Kepandaianmu belum cukup, meskipun lihai. Kau tak dapat menangkap atau merobohkan aku biarpun ayahmu sendiri membantu. Kita sama-sama memiliki Khi-bal-sin-kang dan kemenanganmu dulu belumlah berarti kau mampu membekuk aku!"

"Hm, benar," Thai Liong berapi-api. "Tapi kalau kau tidak melarikan diri tentu waktu itu aku sudah membekukmu, Togur. Kau licik dan pengecut, curang! Kau tak tahu malu dan sungguh tak pantas mewarisi Khi-bal-sin-kang maupun Jing-sian-eng!"

"Ha-ha, kalau begitu mau apa? Dulu aku meninggalkanmu karena terpaksa, Thai Liong. Tapi sekarang tidak! Aku memiliki gadis itu dan dengan dia di tanganku kau tak dapat menghinaku lagi seperti dulu. Ha-ha, sekarang aku memberikan penawaran, menyerahlah dan baik-baiklah bersama kami atau Nangi kubunuh!"

"Keparat!" Ituchi tiba-tiba berteriak. "Pengecut kau, Togur. Jahanam tak tahu malu!" dan pemuda ini yang marah melengking tinggi tiba-tiba tak tahan dan untuk kedua kalinya menyerang lawannya itu, menghantam dan berkelebat menerjang tapi nenek Toa-ci, satu di antara guru Togur mendengus berkelebat menghadang, maunya menangkis tapi Togur tertawa pendek, mendorong gurunya dan sudah menerima pukulan atau hantaman Ituchi itu. Dan ketika pemuda ini mengerahkan Khi-bal-sin-kang dan Ituchi tentu saja menjerit maka pemuda itu terbanting dan terlempar roboh.

"Dess!" Ituchi mengeluh terguling-guling. Tadi yang menangkis dan menerima pukulannya adalah Siauw-jin, kini Togura sendiri dan yang dikeluarkan juga Khi-bal-sin-kang, ilmu yang akan menolak setiap pukulan atau serangan lawan. Maka begitu dikeluarkan dan Ituchi tentu saja tak kuat maka pemuda itu terbanting dan bergulingan serasa remuk tulang-tulangnya.

"Togur, kau licik dan pengecut!" Thai Liong marah berkelebat menolong temannya, tentu saja kaget karena tadi Ituchi tak mau mendengar kata-katanya. Temannya ini main hantam kromo saja dan akibatnya dirinyalah yang menderita. Dan ketika dia menolong sahabatnya itu dan Ituchi menggigil memandang lawan, melotot dan mendelik gusar maka Thai Liong cepat memberikan sebutir obat untuk segera ditelan, meredam bekas pukulan Khi-bal-sin-kang.

"Kau telan ini, dan cepat mundur!"

Ituchi menggeram. Kalau bukan Thai Liong yang menyuruhnya belum tentu pemuda ini mau. Ituchi mendengar sorakan dan tawa mengejek, ketika dia terbanting tadi. Namun ketika pemuda ini mendelik dan melotot pada yang bersorak maka semuanya diam dan Thai Liong sendiri sudah berhadapan dengan lawannya itu, lawan yang tangguh dan berbahaya tapi juga licik.

"Togur, urusan ini tak seharusnya melibatkan wanita. Kau bertandinglah secara jantan. Dimana watak kegagahan mendiang ayahmu? Bukankah supek Gurba dikenal sebagai laki-laki kosen yang lihai dan jujur dalam bertanding? Tengoklah, dan contohlah mendiang ayahmu itu. Kalau kau tak ingin malu menghadapnya di neraka sana sebaiknya kau hadapi aku secara ksatria! Dan kau...!" pemuda itu menuding Siauw-jin, si kakek cebol. "Kau melarikan diri terbirit-birit, Siauw-jin. Tak pantas lagi kau berada di sini kecuali untuk berbuat curang. Ajaklah teman-temanmu yang lain itu dan majulah bersama Togur. Aku ingin menghajar kalian lagi seperti dulu dan jangan melibatkan siapa pun. kalau aku kalah biarlah aku menjadi pembantu kalian. Tapi kalau kalian kalah, hmm...serahkan gadis itu dan menyerahlah kutangkap!"

"Ha-ha!" Siauw-jin, si kakek cebol tertawa bergelak. "Aku selamanya pandai melihat keadaan, bocah. Kalau kau lebih unggul maka aku lari bukan karena takut, melainkan semata menyelamatkan diri saja, menyusun dan mengatur strategi untuk mengalahkanmu sampai bisa. Sedang kalau kau kalah, ha-ha... boleh saja tiru sikapku ini dan melarikan diri!"

"Kau akan kuhajar!" Thai Liong menggigit bibir. "Kau dan muridmu sama-sama licik, Siauw-jin. Kalau kali ini kau kembali mengeroyok maka aku tak akan memberi ampun!"

"Hi-hik!" nenek Toa-ci tiba-tiba terkekeh. "Untuk apa banyak bicara lagi, Siauw-jin. Serang, dan bunuh bocah ini!"

"Benar," Thai Liong menantang. "Serang dan majulah kalian, Toa-ci. Dan jangan minta Togur membantu kalau ingin mampus!"

"Keparat, si mulut lancang!" dan nenek itu yang mengibas dan melepas tujuh sendok kecil tiba-tiba menyerang Thai Liong dengan sengit.

"Plak-plak-plak!" Thai Liong menangkis runtuh, dua di antaranya dipukul balik dan menyerang nenek itu serta Siauw-jin, yang tentu saja memaki dan melempar tubuh ke kiri. Dan ketika Toa-ci juga melakukan hal yang sama dan dua senjata rahasia itu mendesing dan menancap di tanah maka apipun berpijar karena sendok-sendok kecil itu ternyata menghunjam batu.

"Des-klap!"

Orang pun meleletkan lidah. Mereka ngeri dan pucat melihat perbuatan Thai Liong ini. Sendok-sendok itu amblas dan hilang di bawah. Tapi ketika Togur tertawa menyeringai dan berseru perlahan tiba-tiba pemuda itu bergerak dan menghantam Thai Liong.

"Awas!"

Thai Liong tahu. Dia tahu pukulan itu dan seruan Ituchi tentu saja tak membuatnya terkejut. Toa-ci dan Siauw-jin sudah mulai dihajarnya dan kini pemuda itu sudah mulai bergerak, menyerang dan dengan curang melepas pukulan dari samping. Tapi karena Thai Liong bukanlah pemuda sembarangan dan sejak tadi dia waspada maka pukulan itu ditangkisnya dan pemuda ini mengerahkan sinkangnya.

"Dess!" Dua-duanya terpental. Baik Togura maupun Thai Liong ternyata sama-sama mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya. Dua pemuda itu sama kuat tapi ketika Togura berjungkir balik di udara tiba-tiba dia melepas serangan lagi. Hebat pemuda ini. Masih di udara ia mampu mempergunakan tenaga benturan itu untuk menghantam lagi. Tapi karena Thai Liong sendiri sedang berjungkir balik dan terang tak dapat dibokong maka Ituchi-lah yang mendapat serangan itu!

"Awas!"

Ituchi ganti berbalik terkejut. Dia sedang terbelalak dan kagum melihat dua pemuda itu terpental tinggi di udara, melihat Thai Liong melayang turun dan saat itulah perhatiannya tak melihat Togura. Maka begitu Thai Liong berteriak padanya dan kesiur angin pukulan menghantamnya dari arah Togura tak pelak pemuda ini menjadi kaget dan terkesiap, kontan membalik dan menerima serangan itu.

“Dess!!” Pemuda ini mengeluh. Ituchi mencelat dan tak kuat menahan pukulan lawan, Khi-bal-sin-kang memang hebat dan tentu saja pemuda itu terlempar, untuk kedua kali merasa sesak dan terguling-guling...

Istana Hantu Jilid 23

ISTANA HANTU
JILID 23
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“LEPASKAN pemuda itu. Atau aku akan membunuh kalian!"

Hauw Kam dan suhengnya terkejut. Soat Eng mengerahkan Jing-sian-engnya dan sama seperti ibunya tiba-tiba gadis ini sudah berkelebat di samping mereka, kebetulan di sisi Gwan Beng dan gadis itu membentak, melepas Khi-bal-sin-kang. Namun ketika Gwan Beng menangkis dan Jaring Naganya bergerak maka Soat Eng berteriak kaget karena tubuhnya terguling dan terjerat bagai lalat di sarang yang lekat.

"Des-dess!"

Gwang Beng terhuyung. Jelek-jelek gadis itu adalah puteri Pendekar Rambut Emas, tentu saja hebat. Tapi ketika Soat Eng terguling-guling melepaskan diri dari jaring yang mengerikan itu maka Gwan Beng mengajak sutenya lari lagi, melihat bayangan Pendekar Rambut Emas suami isteri bergerak. "Jangan hiraukan gadis itu. Pergi!"

Soat Eng memaki-maki. Dia bingung dan gugup karena sementara dia melepaskan diri dari jaring yang seperti benang laba-laba itu ternyata lawan melarikan diri lagi, tak mau melepas Siang Le. Dan ketika dia memaki-maki dan menangis tak keruan maka ayah ibunya berkelebat dan menolongnya mengangkat bangun.

"Supek-supekmu tak dapat dibujuk. Jangan kejar, dia tak akan mau!"

"Tapi..." Soat Eng menggigil, pucat. "Siang Le dibawa mereka, ayah. Pemuda itu dalam bahaya!"

"Eh," ayahnya bertanya. "Ada apa dengan pemuda itu? Kenapa kau pusing-pusing memikirkannya? Dia murid See-ong, Eng-ji. Dan gurunya telah membunuh kakekmu. Selama ini kau tak pernah memperhatikan dan mengacuhkan dia!"

"Benar," ibunya juga berkata. "Tak biasanya kau bersikap seperti ini, Eng-ji. Biarkan saja pemuda itu mampus dan kau bersama kami!"

Soat Eng tertegun. Pandang mata ayahnya yang tajam namun lembut disusul pandang mata ibunya yang keras namun penuh kebencian tiba-tiba membuat gadis ini tak dapat bicara. Entah kenapa bentrok dengan pandang mata ayahnya yang lembut dan penuh senyum itu tiba-tiba membuat dia lebih malu dan likat dibanding beradu pandang dengan ibunya. Soat Eng mengeluh dan pucat. Dan ketika ibunya memegang lengannya dan bertanya apakah dia akan mengejar dan menyelamatkan pemuda itu maka gadis ini tak dapat menjawab dan bingung!

"Kau tak perlu menghiraukannya, kecuali ada apa-apa antara dirimu dengan pemuda itu!"

"Dan kusangka kau tak ada apa-apa dengannya," sang ayah ikut menyambung. "Biarkan saja dia bersama supekmu, Eng-ji. Dibunuhpun agaknya patut. Kakekmu dibunuh gurunya!"

"Tapi..." gadis ini gemetar. "Siang Le berkali-kali menolongku, ayah. Dia banyak berkorban. Dan lagi bukan dia yang membunuh kong-kong melainkan See-ong, gurunya!"

"Benar, tapi See-ong maupun muridnya sama saja, Eng-ji. Tak ada murid yang jauh dengan gurunya. Kalau See-ong jahat pasti pemuda itu juga tak berbeda. Dia banyak menolongmu atau baik hanyalah pura-pura saja untuk menarik perhatianmu!"

"Hm, sekarang biarkan Eng-ji saja," ayahnya menengahi. "Kalau ingin mengejar silahkan, kalau tidak ya terserah. Hanya kami tentu dapat menilai bagaimana bila kau bersikeras ingin menyelamatkan pemuda itu!"

Dan Soat Eng yang tersudut dan tentu saja merah padam tiba-tiba membalik dan mengeluh meninggalkan ayah ibunya, kembali ke lembah dan saat itu muncullah adiknya, Beng An. Dan ketika anak laki-laki itu berteriak memanggil encinya maka Soat Eng menyambar dan langsung mengajak adiknya ini pulang.

"Musuh sudah pergi, ayo kita kembali!" dan menahan isak yang hampir berubah sedu-sedan tiba-tiba gadis ini terbang dan kembali ke lembah, bingung dan tak tahu harus berbuat apa namun gadis itu gelisah bukan main. Siksaan-siksaan yang dialami Siang Le ketika dibawa dan dikuasai supeknya tak dapat dia hilangkan begitu saja. Siang Le yang rela diseret-seret agar dia dipondong dan dibawa secara baik-baik adalah sikap mengharukan yang membuat gadis ini tergetar juga.

Namun karena perasaannya juga harus dikekang kalau tak ingin malu dilihat ayah ibunya maka hari itu Soat Eng menangis tak keruan, melempar tubuh di atas pembaringannya dan semalam dia tak mau diganggu. Ayah ibunya memanggil namun gadis ini diam saja. Dan ketika disana ayah ibunya saling pandang dan mengamati dari jauh maka Pendekar Rambut Emas berseri-seri sementara isterinya cemberut!

"Hm, Eng-ji jatuh cinta! Dia bingung, isteriku. Dan jangan kita menyudutkannya sedemikian rupa!"

"Dengan bocah she Siang itu? Hm, tidak! Tak boleh, suamiku. Aku tak setuju dan akan menentang!" "Jangan keras-keras," sang suami berbisik. "Aku tahu isi hatimu, niocu. Tapi, ah... sudahlah. Aku akan melihat saja dan sekarang kita bicarakan bagaimana dengan dua suhengmu itu!"

Sang nyonya tiba-tiba terisak. "Hauw Kam-suheng dan Gwan Beng-suheng ternyata masih hidup..." nyonya ini menahan diremasnya hati. "Dan aku ingin menyusul mereka, suamiku. Mereka sakit, tak waras! Bagaimana pendapatmu? Maukah kau pergi mencari mereka?"

"Hm, sekarang sudah waktunya bagi kita untuk meninggalkan lembah. Eng-ji sudah kembali, tapi Liong-ji belum. Dan sekarang ditambah lagi dengan munculnya dua suhengmu yang gila! Hm, kita memang harus pergi, niocu. Dan kita cari semuanya!"

"Dan Beng An kita bawa!"

"Tentu saja. Masa harus ditinggal sendiri? Dan Eng-ji pun sebaiknya mengikuti kita. Besok kita berangkat!" dan ketika sang isteri mengangguk dan menyatakan setuju maka malam itu mereka meninggalkan pesan-pesan untuk pembantu-pembantu mereka.

Maklumlah, suku bangsa Tar-tar yang dipimpin Pendekar Rambut Emas ini tak mungkin ditinggalkan begitu saja. Mereka di bawah pimpinan tunggal dan rencana kepergian Kim-mou-eng tentu saja mengejutkan mereka, apalagi ketika sang nyonya turut, beserta anak laki-lakinya yang gagah, Beng An. Namun karena mereka juga bukan orang-orang yang picik dan kepergian pemimpin mereka justeru untuk menyelesaikan masalah-masalah penting maka pembantu-pembantu Pendekar Rambut Emas ini dapat menerima, menarik napas dalam.

"Kalau taihiap hendak mencari Liong-kongcu dan beberapa orang lagi tentu saja kami siap menjaga disini. Mudah-mudahan taihiap cepat pulang dan selamat beserta hujin."

Kim-mou-eng mengangguk. Malam itu dia merasa lega dan beberapa pembantunya sudah disuruh mundur. Malam telah larut dan sang isteri pun sudah mulai tidur. Mereka akan berangkat pagi-pagi namun ketika pendekar ini hendak bergerak ke atas pembaringannya mendadak sebuah suara didengar di luar. Suara itu halus dan nyaris tak tertangkap. Tapi begitu pendekar ini mengerti dan berkelebat keluar maka sesosok bayangan tampak melesat dan keluar dari kamar puterinya.

"Berhenti!" Pendekar Rambut Emas membentak perlahan. "Mau kemana kau, Eng-ji. Jangan bergerak dan katakan kemana kau mau pergi!"

Bayangan itu, Soat Eng, sudah dicengkeram. Dengan kepandaiannya yang tinggi dan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa ternyata pendekar ini telah mengetahui siapa kiranya bayangan itu, yang bukan lain puterinya sendiri. Dan ketika dia berseru dan menangkap puterinya itu, yang tersedu dan tiba-tiba menutupi mukanya maka gadis ini menubruk sang ayah, tak menjawab.

"Kau mau kemana?" sang ayah tertegun. "Malam-malam begini tak pantas keluyuran, Eng-ji. Kalau ibumu tahu tentu kau mendapat marah!"

"Aku... aku..." gadis ini mengguguk. "Aku mau keluar lembah, ayah. Pergi..."

"Hm, kemana?"

Gadis itu tak menjawab. Soat Eng tersedu dan menubruk ayahnya itu, mengguguk. Dan ketika sang ayah memeluk dan mengusap-usap rambutnya maka Pendekar Rambut Emas kembali bertanya, kini dengan lebih lembut,

"Eng-ji, agaknya aku dapat menduga kemana kau akan pergi. Tentu mengejar dan menyelamatkan Siang Le, bukan? Kau mau melakukan itu?"

"Beb... benar..." gadis itu mengguguk. "Aku... aku tak dapat melupakan Siang Le, ayah. Aku gelisah dan khawatir akan keadaannya. Supek Hauw Kam dan Gwan Beng tak waras!"

"Hm, aku tahu gejolak hatimu. Tapi tak usah khawatir. Eh, ada sesuatu yang agaknya kau sembunyikan, Eng-ji. Masalah perasaan hatimu kepadanya! Apakah kau suka? Apakah kau, hmm... menerima cinta pemuda itu?"

Soat Eng pucat. Ditodong dan ditanya demikian langsung dan tanpa tedeng aling-aling lagi mendadak membuat gadis ini gemetar. Pandang mata ayahnya yang tajam namun tidak menusuk, lain dengan pandang mata ibunya yang beringas dan penuh kebencian tiba-tiba membuat gadis ini serasa dihunjam sesuatu yang keras namun lembut.

Entahlah, meskipun pertanyaan ayahnya itu mengejutkan namun terasa tidak menyakitkan. Pandang mata ayahnya yang lembut dan sejuk meskipun tajam tidaklah sama dengan pandang mata ibunya itu. Namun karena dia adalah seorang gadis dan tentu saja sukar menjawab secara terang-terangan pula maka gadis ini menangis dan menyusupkan kepalanya di dada sang ayah, menyatakan tak tahu.

"Aku... aku bingung. Hanya aku tak ingin membiarkan Siang Le celaka. Entahlah, betapapun pemuda itu telah menolongku berkali-kali, ayah. Terakhir dengan pencuri Cermin Naga itu!"

"Ya, dan kulihat pula bahwa pemuda itu sungguh-sungguh. Hm, repot. Sayang dia murid See-ong, Eng-ji. Kalau tidak, hmm...!" sang pendekar menarik napas panjang. "Sudahlah," katanya melanjutkan. "Betapapun tak boleh kau malam-malam begini keluar lembah, Eng-ji. Tak baik dan tak pantas untukmu. Ibumu bakal marah, dan tak baik menyakiti hati ibumu yang sudah berbulan-bulan menunggu kedatanganmu. Besok kita semua akan berangkat, kau bersama kami dan tak boleh sendiri lagi. Nah, masuklah ke kamarmu dan bersabar bersama kami. Kau tentu tak akan memalukan ayah ibumu, bukan? Atau kau mau menjadi gadis berandal dan tak patuh pada orang tua?"

"Tidak!" Soat Eng tersedu. "Tapi aku bingung, ayah. Siang Le..."

"Pemuda itu tak akan diapa-apakan supekmu!" sang pendekar meyakinkan hati puterinya. "Meskipun gila tapi kedua supekmu bukanlah orang kejam. Tidak, aku percaya pemuda itu tak akan apa-apa, Eng-ji. Kalaupun menderita tentu hanya sekedar pukulan fisik. Dia laki-laki, tak akan apa-apa. Kau tak perlu khawatir dan kembalilah ke kamarmu untuk besok bersama-sama kami pergi meninggalkan lembah!"

"Ayah yakin?"

"Aku yakin! Nah, pergi ke kamarmu dan tidurlah!"

Soat Eng terisak. Akhirnya dia mendapat kecupan lembut di kening, ayahnya membelai dan menyuruhnya masuk. Malam sudah semakin larut karena kentongan terdengar dua kali. Namun karena dia percaya kata-kata ayahnya ini dan agaknya sang ayah jauh lebih maklum akan perasaan hatinya maka Soat Eng terhibur dan agak lega juga.

"Aku tak menghalangi dengan siapa pun kau menjatuhkan cinta. Tapi jaga perasaan ibumu, jangan dilukai!"

"Aku mengerti. Baik, ayah. Terima kasih!" dan Soat Eng yang bahagia meninggalkan ayahnya lalu berkelebat dan kembali memasuki kamarnya. Tadi memang hendak minggat untuk mencari Siang Le. Dia terlalu khawatir dan entah kenapa begitu gelisah melihat pemuda itu dibawa supeknya. Atau, lebih tepat, gelisah karena dia ditinggal pemuda itu! Dan ketika dia memasuki kamarnya dan lega menarik selimut di pembaringan maka malam itu tak terjadi apa-apa hingga Pendekar Rambut Emas lega.

Betapapun diam-diam mengawasi segala gerak-gerik puterinya itu dan tentu saja dia dapat merasakan kegelisahan anak perempuannya itu. Sebagai orang tua bijak pendekar ini tahu apa yang terjadi, meskipun dia juga harus berhati-hati karena tampaknya dalam hal ini dia akan berbeda pendapat dengan isterinya sendiri. Namun karena hal itu masih berupa perkiraan dan semuanya belum kongkrit maka malam itu pendekar ini memasuki kamarnya pula dan duduk bersamadhi, memperhatikan isterinya yang telah tidur pulas dan dia menarik napas lega.

Kalau dia tak mencegah kepergian puterinya tadi entah apa yang akan terjadi dengan isterinya ini. Tentu isterinya itu akan marah-marah dan mengutuk Soat Eng habis-habisan, yang tak tahu bahwa beberapa bulan ini ibunya gelisah memikirkan sang anak gadis. Tapi begitu semuanya tenang dan sang anak rupanya juga dapat dinasihati baik-baik maka keesokan harinya, pagi-pagi ketika ayam jantan mulai berkokok pendekar ini sudah menyiapkan segalanya. Dan begitu sang isteri melompat bangun dan tertegun melihat suaminya menyiapkan kereta dengan empat ekor kuda maka nyonya ini terbelalak mengucek matanya.

"Kau menyiapkan itu untuk apa?"

"Ah," sang suami tertawa. "Tentu saja untuk perjalanan jauh kita, niocu. Untuk apa lagi?"

"Tapi kita dapat berlari cepat, bahkan terbang melebihi kuda!"

"Benar, tapi apakah Beng An juga dapat melakukan seperti apa yang kita lakukan? Tidak, aku ingin membuat perjalanan ini tak begitu melelahkan, isteriku. Terutama untuk anak-anak kita. Ingat, Eng-ji juga baru saja kembali dan tentu dia lelah kalau diminta berlari cepat. Sebaiknya dengan kereta ini saja dan setiap kali dapat melakukan pergantian kuda."

"Tapi makan waktu lama!"

"Ah, siapa bilang? Di tempat-tempat tertentu kita dapat menitipkan kereta kita, niocu, melakukan perjalanan dengan ilmu lari cepat. Tapi di tempat-tempat tertentu pula kita memerlukan kereta ini untuk tidak menarik perhatian. Sudahlah, kau bangunkan Eng-ji dan Beng An dan kita berangkat!"

Sang isteri membelalakkan mata. Nyonya ini mau tak setuju tapi akhirnya dia mengangguk juga, mendesis dan berkelebat membangunkan dua anaknya itu, Beng An dan Soat Eng. Dan ketika Soat Eng juga tertegun melihat ayahnya menyiapkan kuda maka Beng An justeru bersorak.

"Horee, kita dapat bersantai!"

"Hush!" ibunya menegur. "Bukan bersantai, Beng An, melainkan agar perjalanan jauh ini tidak melelahkan dirimu. Hayo, naik ke kereta dan ikuti ayahmu!"

Beng An meleletkan lidah. Dibentak dan didorong ibunya tiba-tiba anak ini melompat naik, sudah duduk di dalam. Tapi bergerak dan pindah keluar ternyata ia ingin duduk di depan, di samping ayahnya yang menjadi sais. "Aku ingin di sini. Biar Ibu dan enci Eng di dalam!"

Pendekar Rambut Emas tersenyum. Anak laki-lakinya yang bungsu ini memang nakal tapi pemberani, suka kepada petualangan-petualangan dan tentu saja dia senang. Begitulah seharusnya anak laki-laki, gagah dan pemberani!

Dan ketika semua sudah siap dan kereta bergerak tiba-tiba secara diam-diam dan hanya diketahui beberapa orang pembantunya saja pendekar ini meninggalkan lembah. Dan begitu kereta berderap keluar lembah maka Pendekar Rambut Emas sudah melarikan keretanya dengan kencang!

* * * * * * * *

"Kita berhenti di sini,"

Dua anak muda itu melempar buntalan mereka. Wajah yang murung dan kesal jelas menyelimuti keduanya, yang tampak sudah melakukan perjalanan jauh namun tak berhasil menemukan apa yang dicari. Dan ketika keduanya duduk dan melempar pantat di rumput yang tebal maka pemuda yang bicara, yang tinggi besar dan berkulit kehitaman sudah membuang rusa yang dipanggulnya kepada seorang gadis yang berkelebat datang.

"Hoa-moi, buatlah panggang rusa. Sebentar kami istirahat dan setelah itu aku akan memasuki perkampungan itu!"

"Hm," pemuda satunya, yang duduk berkerut-kerut kening bertanya. "Kau mau kemana, Ituchi? Mau melakukan apa?" "Aku mau mencari adikku, juga ibuku!"

"Tidak!" pemuda itu berkata. "Untuk ini serahkan padaku, Ituchi. Sudah kubilang bahwa kita harus berhati-hati memasuki daerah yang belum kita kenal. Adikmu katanya ada di sana, tapi aku belum yakin. Sebaiknya serahkan hal ini padaku dan kau bersama Mei Hoa."

"Hm, masa harus selalu begitu, Thai Liong? Aku lama-lama jadi malu kepadamu. Tidak, aku yang pergi dan biar kau menjaga kekasihku di sini!"

"Jangan,"

Dua pemuda ini, yang ternyata Thai Liong dan Ituchi, menggeleng kepala, bersitegang.

"Aku mendengar satu di antara lima Iblis Dunia berada di sini, Ituchi. Dan kalau kau bertemu dengannya tentu celaka. Tidak, kau yang di sini dan biar kau yang menjaga kekasihmu!" dan bangkit tak menunggu temannya membantah tiba-tiba Thai Liong berkelebat dan meluncur ke perkampungan di depan.

"Heii...!" Ituchi berteriak. "Tunggu dulu, Thai Liong. Kita semua lapar dan tunggu matangnya daging rusa!"

"Biarlah, nanti saja," Thai Liong tersenyum, menjawab dari jauh. "Kalian berdua makanlah dulu, Ituchi. Dan biarkan aku mencari adikmu!" dan Ituchi yang tertegun tapi mengepal-ngepal tinju akhirnya membanting kaki dan cemas namun juga bingung, di samping marah.

"Terlalu Thai Liong ini. Apa-apa dikerjakan sendiri! Ah, aku jadi banyak berhutang budi padanya, Mei Hoa. Kalau begitu cepat kita bakar daging rusa ini dan setelah itu kita susul!"

"Ini semua gara-gara aku," Mei Hoa terisak. "Kalau saja aku berkepandaian tinggi dan tak perlu dijaga tentu kau dapat menyusul temanmu, Ituchi. Ah, betapa tidak enaknya menjadi orang bodoh!"

"Sudahlah," Ituchi terkejut. "Kau tak perlu menyesali diri, Hoa-moi. Akupun juga laki-laki yang kurang berkepandaian kalau dibanding sahabatku itu. Ah, sebaiknya kutemui guruku itu dan lain kali akan kuminta tambah ilmunya!"

Mei Hoa, gadis ini, dipeluk dan dicium. Selama ini sebagaimana diketahui tiga orang ini selalu bersama. Sejak Thai Liong dan Ituchi menolong Mei Hoa dan Mei Ling dari keganasan Togura maka Mei Hoa akhirnya menjadi kekasih Ituchi. Mei Ling, adik Mei Hoa, ternyata tewas tak kuat menahan derita. Mei Hoa tinggal sendiri namun untunglah Ituchi ada di situ, jatuh cinta dan segera menghibur.

Kedukaan Mei Hoa memang beralasan. Orang tuanya terbunuh dan kini adiknya pun ikut tiada, gara-gara kebiadaban Togura, murid enam Iblis Dunia itu yang kini bagai harimau tumbuh sayap karena mewarisi pula Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, ilmu yang dimiliki mendiang si jago pedang Hu Beng Kui yang tewas di Sam-liong-to, juga gara-gara kecurangan pemuda itu, putera mendiang Gurba yang dahsyat dan kini mewarisi watak ayahnya, yang ambisius dan ingin menguasai dunia! Dan ketika Mei Hoa menangis dipeluk kekasihnya ini maka Ituchi teringat daging panggang yang harus dibalik.

"Hei, hampir hangus. Awas, kubalik dulu!" dan Mei Hoa yang didorong dan melepaskan dirinya akhirnya menghapus air mata dan membantu kekasihnya itu, diam-diam menahan penyesalan di hati kenapa dia demikian bodoh dan lemah. Dibanding Ituchi apalagi Thai Liong maka ilmu silat yang dimilikinya sungguh hampir tak berarti sekali. Ah, mengeluh dia. Namun ketika Ituchi menghibur dan berkali-kali menyuruhnya menerima semuanya ini maka pemuda itu menutup bahwa mereka harus cepat menyelesaikan pekerjaan ini untuk segera menyusul Thai Liong.

"Salini dan Nangi adalah adik-adikku. Seharusnya aku yang menemukan mereka dan bukan Thai Liong. Ah, sudahlah. Putera Pendekar Rambut Emas itu memang ringan hati dan ringan tangan, Mei Hoa. Marilah kita selesaikan ini dan setelah itu menyusulnya!"

Mei Hoa mengangguk. Bagaimana pun akhirnya ia dapat menerima semua ini, menarik napas dan bekerjalah mereka menyelesaikan daging panggang itu. Dan sementara mereka bekerja sambil menunggu kedatangan Thai Liong, yang memasuki perkampungan di depan maka Thai Liong sendiri sudah tiba di sana dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, berkelebat dan sudah berada di dalam.

Namun aneh, Thai Liong disambut kesunyian yang mencekam. Rumah-rumah yang tertutup dan beberapa gulungan asap yang tampak keluar dari cerobong-cerobong rumah ternyata tampaknya tak berpenghuni. Atau, mungkin baru saja berpenghuni namun sekarang penghuninya sudah meninggalkan kampung itu, hal yang mencurigakan. Dan ketika Thai Liong celingukan dan berhenti memandang kesana kemari tiba-tiba telinganya mendengar rintihan sayup-sayup sampai, rintihan wanita.

"Wut!" pemuda ini berkelebat, lenyap menuju ke rumah sebelah kiri. Bagai siluman atau bayangan iblis tahu-tahu pemuda ini sudah sampai di tempat rintihan itu, menendang dan melihat dua orang gadis tampak saling terikat dan menangis, mulutnya disumbat dan mereka mau berteriak-teriak namun tak dapat, jadilah terganti rintih dan suara-suara memilukan itu. Dan ketika Thai Liong melihat siapa mereka tiba-tiba pemuda ini terkejut namun girang bukan main.

"Salini.... Nangi....!"

Dua gadis itu, yang terikat dan ah-uh-ah-uh tampak gembira bukan main. Mereka membelalakkan mata dan tentu saja segera mengenal Thai Liong. Inilah pemuda yang dulu menyelamatkan mereka dari kemarahan raja Cucigawa, ketika raja diserang dan diamuk kakaknya, Ituchi. Dan ketika Thai Liong berkelebat dan langsung menggerakkan tangan melepas ikatan dan sumbatan tiba-tiba saja tanah di depan dua orang gadis itu bergerak dan sebuah lubang menerima tubuh pemuda ini, yang terjeblos ke bawah.

"Awas...!"

Thai Liong terkejut. Tak menyangka namun membentak berseru keras tiba-tiba pemuda ini menjejakkan kaki berjungkir balik. Bagi pemuda selihai Thai Liong bukanlah masalah kalau hanya sebuah lubang jebakan saja. Tapi ketika pemuda itu berhasil melayang keluar dan berjungkir balik menghindari lubang tahu-tahu enam pisau belati beterbangan dari kiri kanan disusul puluhan anak panah yang menjepret dari dinding-dinding sebelah.

"Ha-ha, mampus kau !"

Thai Liong kaget. Dari sebelah kirinya tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak itu, tak kelihatan orangnya namun Thai Liong cepat menampar dan menggerakkan kaki tangannya. Puluhan anak panah dan enam pisau belati ditangkis mencelat, sebagian patah-patah. Dan ketika pemuda itu turun kembali dan menjadi marah maka Nangi dan Salini yang tadi ada di depannya mendadak terseret ke belakang dan... lenyap menerobos dinding.

"Kim-kongcu!"

Thai Liong terkejut. Dua gadis di depannya itu mendadak hilang karena disedot keluar. Kiranya sebuah tali telah menghubungkan dua gadis ini dan Thai Liong tentu saja marah bukan main. Dan ketika dia membentak dan melepas pukulan menghantam dinding maka dinding itu roboh dan rumah beserta tiang atau gentengnya ambruk.

"Bress!" Thai Liong keluar bagai harimau yang baru terperangkap. Pemuda ini berkelebat dan mendengar tawa yang dikenal. Dan ketika dia keluar dan melempar sisa-sisa bangunan yang menimpanya maka tertegunlah pemuda itu melihat Siauw-jin mencengkeram dua kakak beradik Salini dan Nangi. Dan sementara dia terkejut menggeram marah maka puluhan tanah di situ bergerak dan muncullah orang-orang yang merupakan pasukan pendam, satu di antaranya meloncat berjungkir balik dan Ui Kiok, wanita cabul yang dulu hampir mencekoki Thai Liong dengan obat perangsang muncul di situ, terkekeh di samping Siauw-jin, si iblis cebol!

"Hi-hik, selamat bertemu lagi, Kim-kongcu. Dan kau tentu tak lupa padaku!"

"Ha-ha!" Siauw-jin, si iblis cebol tertawa ngakak, menyambung ucapan Ui Kiok. "Bocah ini tak mungkin melupakanmu, Ui Kiok. Apalagi kalau dia sudah kau beri kenang-kenangan yang tak bakalan dilupakannya seumur hidup. Aih, aku ingin melihatmu bergulingan dengan pemuda ini dalam cinta yang panas. Ha-ha, sayang dulu gagal tapi sekarang tak mungkin lagi!" dan si cebol yang meraih serta menciumi wanita ini lalu meremas buah dadanya dengan gemas. "Hiih, semontok ini tak dapat merobohkan pemuda itu adalah keterlaluan, Ui Kiok. Marilah kubantu dan perlihatkan padaku nanti bagaimana kau merobohkan pemuda ini!"

Thai Liong merah padam. Mendengar kata-kata cabul dan sikap cabul dari si iblis ini dia hampir tak kuat menahan lagi. Ui Kiok sendiri terkekeh-kekeh diremas buah dadanya dan tak malu-malu dipandangi puluhan laki-laki yang mengilar melihat kepadanya, mata-mata nyalang yang begitu bernafsu ketika Siauw-jin meremas buah dada wanita itu, yang memang montok dan besar serta menggairahkan! Namun Thai Liong yang justeru muak dan marah tiba-tiba membentak,

"Siauw-jin, tak perlu banyak tingkah. Lepaskan dua gadis itu dan kuampuni kau!"

"Ha-ha, apa kau bilang? Mengampuni aku? Melepaskan gadis ini? Weh, kau terlalu bocah, bocah. Mereka adalah calon kekasihku dan tak mungkin kulepaskan begitu saja. Ha, kau menyerahlah dan baik-baiklah bersama kami!"

"Hm, kalau begitu aku akan menghajarmu!" dan Thai Liong yang tidak banyak cakap langsung menghantam iblis ini tiba-tiba berkelebat dan lenyap meninggalkan tempatnya semula, begitu cepat, begitu luar biasa.

"Dess!" Siauw-jin menangkis, tapi terjengkang! Dan ketika iblis itu berteriak kaget karena Thai Liong mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya maka pemuda itu sudah berkelebatan menghajar si cebol yang tak tahu malu ini.

"Des-dess!" Siauw-jin kelabakan. Berteriak-teriak dan menyuruh semua orang maju tiba-tiba kakek itu bergulingan melempar tubuh, empat kali menerima pukulan dan empat kali itu pula matang biru! Kakek ini berkaok-kaok dan tentu saja kesakitan, dikejar dan sudah mengerahkan kekebalannya namun tetap saja pukulan pemuda itu menerobos dan menembus kekebalannya, tak ayal kakek ini melempar tubuh untuk menghindari pukulan-pukulan atau tamparan berikut. Dan ketika dia memaki-maki dan Ui Kiok serta puluhan laki-laki di situ dibentak dan diperintah kakek ini untuk menyerang maka Thai Liong menghadapi puluhan lawan yang bergerak dan mengepungnya, menusuk dengan tombak atau pedang dan golok yang berseliweran menyambar-nyambar.

"Berhenti, mampus kau!"

Thai Liong mendengus. Membalik dan menerima serta menggerakkan kedua tangannya ke muka belakang tiba-tiba pemuda itu mengibas. Hujan golok dan tombak yang menyerang tubuhnya dari segala penjuru tentu saja tak perlu ditakuti. Dan ketika semua golok atau tombak patah-patah bertemu tubuhnya maka Thai Liong mengangkat kakinya dan puluhan orang itu terlempar bagai layang-layang putus.

"Enyahlah.... des-dess!"

Thai Liong memberi pelajaran. Puluhan laki-laki itu yang tadi mengeroyok dan mengepung tiba-tiba mencelat semua, mereka mengaduh-aduh dan Thai Liong gemas kepada si iblis cebol itu. terang si cebol tahu bahwa puluhan pembantunya itu adalah kerbau-kerbau dungu semua, sengaja dikorbankan padanya untuk menyelamatkan diri. Dan ketika benar saja Siauw-jin bergulingan dan meloncat bangun di sana, terkekeh dan menyeringai tiba-tiba setan cebol yang tahu bukan tandingan pemuda ini sudah melompat pergi dan menghilang meninggalkan pertempuran.

"Heii...! Thai Liong berseru. "Lepaskan dua gadis itu, Siauw-jin. Atau kau roboh!" Thai Liong menangkap seorang di antara pengeroyok, menimpuk dan melempar orang ini bagai sebatang pisang yang besar. Orang itu berteriak dan kaget sekali karena tahu-tahu tanpa dapat dicegah lagi dia sudah meluncur ke setan cebol itu, siap menumbuk belakang punggung. Tapi Siauw-jin yang tentu saja juga kaget dan melotot tiba-tiba menggerakkan tangan ke belakang dan pecahlah jeritan ngeri yang mendirikan bulu kuduk karena dengan telak dan dahsyat pukulan si cebol ini menghantam dada lawan.

"Krakk!" Tubuh bagai batang pisang itu ambruk. Dada orang ini pecah dan tulang serta isi dalamnya hancur, nyaris orang ini tak berujud manusia lagi karena tubuhnya sudah terlipat dua, roboh dan muncratlah darah membanjiri tempat itu. Dan ketika Salini mengeluh pingsan dan terbang lagi dibawa kakek ini maka Thai Liong pucat melihat kekejian kakek itu.

"Wut!" sebuah serangan di belakang tiba-tiba menyadarkan pemuda ini. Ui Kiok, yang diam-diam berkelebat dan selama ini menunggu kesempatan, menyuruh anak buahnya maju tiba-tiba bergerak dan menyerang tanpa suara. Sebuah jarum dilepas dan wanita itupun masih menyusuli dengan pukulan tangan kiri dan kanan, yang hampir tak terdengar suaranya kecuali setelah dekat, karena saat itu Thai Liong sedang tertegun ke depan, memandang kekejian si setan cebol itu. Tapi karena Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas dan tentu saja segala syaraf baik sadar maupun tidak telah mendarah daging di tubuh pemuda ini maka secara otomatis dan cepat pemuda ini bergerak menangkis dan seketika memutar tubuhnya.

"Des-bluk!" Ui Kiok menjerit. Wanita ini terlempar dan kaget serta gentar karena hanya dalam sekali gebrakan saja Thai Liong membuatnya mencelat. Dia terlempar dan jarumnya pun membalik, mengenai pipinya dan mengaduhlah wanita itu oleh rasa sakit yang sangat, karena jarumnya juga mengandung racun dan tentu saja pipinya seketika menggembung, bengkak kebiruan! Tapi ketika wanita ini bergulingan menjauhkan diri dan Thai Liong tidak begitu memperdulikannya karena yang dikehendaki adalah tawanan di tangan si kakek cebol tiba-tiba pemuda ini bergerak dan terbang mengejar kakek iblis itu.

"Siauw-jin, serahkan mereka. Atau kau kubunuh!"

Kakek ini terkejut. Thai Liong tahu-tahu telah berada di belakangnya dan cepat seperti iblis pemuda itu sudah meluncur dekat sekali, kakek ini ngeri dan pucat. Maklumlah, dia sudah tahu bahwa pemuda ini bukanlah tandingannya. Dan ketika Thai Liong sudah tinggal dua meter saja di belakangnya dan pemuda itu membentak serta mengayunkan lengan maka kakek ini gentar menggerakkan lengan menangkis.

"Dess!" Siauw-jin mencelat. Thai Liong memukulnya dengan Khi-bal-sin-kang, tangkisan si kakek membalik dan mengenai dirinya sendiri, tentu saja iblis cebol itu berteriak dan bergulingan menjauh. Dan ketika dia meloncat bangun dan memaki-maki maka Thai Liong membentak dan menyuruh dia menyerahkan tawanannya.

"Serahkan, atau kau kubunuh!"

"Keparat!" kakek ini mencabut sabitnya, senjata andalan. "Berani membunuhku berarti membunuh dua orang gadis ini, bocah. Hayo kau bunuh aku dan aku akan membunuh mereka dulu!"

Thai Liong terkejut. Si kakek sudah memutar sabitnya dengan cepat sekali, gerakan-gerakannya menyerempet-nyerempet dua kakak beradik itu dan satu bacokan akhirnya mengenai leher baju Nangi, yang pucat dan sejak tadi menangis tak henti-hentinya. Dan ketika suara 'bret' itu seakan membuat nyawa gadis ini terbang dari tubuhnya maka Siauw-jin terbahak-bahak melihat Thai Liong yang pucat mukanya.

"Ha-ha, membunuh aku berarti membunuh dua gadis cantik ini dulu, bocah. Hayo kau buktikan ancamanmu dan aku juga akan membuktikan ancamanku.... bret!" kali ini sabit dibelokkan arahnya ke dada Salini yang pingsan. Dan ketika baju gadis itu terkuak lebar dan Thai Liong terkejut maka pemuda ini berseru marah membentak lawannya.

"Siauw-jin, sekali kau membunuh mereka maka aku tak akan mengampunimu lagi. Serahkan baik-baik, dan kau dapat pergi dengan aman!"

"Ha-ha!" kakek ini merasa di atas angin. "Mana mungkin itu, bocah? Togur menyuruh aku mendapatkan mereka, dan aku tentu harus menyerahkannya kepada muridku!"

"Kalau begitu aku akan menghajarmu!" dan Thai Liong yang marah berkelebat maju tiba-tiba menerima sambaran sabit yang menuju kepalanya, dielak sedikit dan sabit pun lewat sejengkal di atas kepalanya. Lalu ketika si kakek terkejut dan menarik serangannya tiba-tiba Thai Liong sudah mengetuk siku kakek itu.

"Aduh!" Siauw-jin menjerit. Kalah cepat dengan gerakan pemuda ini tahu-tahu siku si cebol tertotok. Thai Liong melakukan itu dan Salini yang ada di tangan kanan kakek ini pun terlepas. Dan ketika Siauw-jin bergulingan melempar tubuh dan kaget melihat seorang tawanannya terlepas maka kakek ini memaki-maki dan meloncat bangun serta menyambitkan lagi sabit-sabit kecilnya.

"Wut-wut!" Thai Liong waspada. Dengan mudah dia menampar runtuh tiga buah sabit yang menyambar ke arahnya, bergerak dan sudah menyambar Salini yang terlepas dari tangan kakek itu. Tapi ketika dia memeluk dan menangkap gadis ini sekonyong-konyong tujuh buah sabit bercuitan menyambar tubuh Salini.

"Keparat!" Thai Liong marah. "Kau benar-benar keji, Siauw-jin. Tak berperasaan dan tak berperikemanusiaan sama sekali. Rasakanlah, dan jangan main-main lagi.... plak!" dan tujuh sabit yang ditangkap serta diraup Thai Liong tiba-tiba diretour dan dilempar balik ke kakek itu, kecepatannya dua kali lipat karena Thai Liong gemas mempergunakan sinkang sepenuh bagian, marah dan ingin menghajar kakek itu. Dan ketika Siauw-jin menjerit karena tujuh sabitnya tak dapat dielak dan menancap di sekujur tubuhnya, menembus kekebalan sinkangnya maka kakek ini roboh namun hebatnya dapat bergulingan meloncat bangun dan lari lagi.

"Thai Liong, kau bocah keparat. Jahanam, terkutuk kau...!"

Thai Liong kagum. Ditancapi tujuh sabit kecil yang tak sempat dicabut karena terburu-buru melarikan diri kakek iblis itu jatuh bangun meninggalkan pertempuran. Thai Liong merasa kasihan dan geli juga. Tapi melihat Nangi masih dibawa kakek itu dan Siauw-jin lintang-pukang tak mau melepaskan tawanan maka pemuda ini bergerak dan mengejar lagi. Siauw-jin dibentak dan diminta menyerahkan gadis itu, tak mau dan terus melarikan diri. Dan ketika kakek itu mulai masuk keluar memasuki rumah-rumah penduduk maka Thai Liong kebingungan mencari dimana kakek ini.

"Kau serahkan gadis itu, dan kau dapat pergi baik-baik!"

"Keparat!" kakek itu bersembunyi di rumah yang besar. "Aku tak mau menyerahkannya kepadamu, bocah. Lebih baik mampus di tanganmu daripada mampus di tangan muridku. Majulah, dan kau akan melihat gadis ini mampus sebelum aku terbunuh!"

Thai Liong bingung. Sudah dua kali ia hampir menangkap kakek ini namun si kakek selalu mempergunakan Nangi untuk membuatnya mundur. Kakek itu mengancam dan Thai Liong percaya ancaman kakek ini. Iblis macam Siauw-jin tak akan segan-segan membunuh korbannya kalau dia kepepet. Dan ketika kakek itu lolos lagi sementara Nangi menangis dan berteriak-teriak di pondongan kakek ini maka gadis itu berseru agar Thai Liong menyelamatkan kakaknya dulu.

"Biarkan aku... biarkan aku. Kau pergilah bersama kakakku dan lain kali saja kau cari!"

"Ha-ha!" si cebol tertawa bergelak, melihat kebingungan pemuda itu. "Kau dengar, bocah. Gadis ini lebih suka kepadaku daripada kepadamu. Kau pergilah, dan lain kali memang dapat kau cari lagi!"

"Hm!" Thai Liong melotot. "Kau licik, Siauw-jin, juga curang. Awas kau, aku akan membekukmu dan biarlah sementara ini kau boleh kucing-kucingan lagi denganku!" Thai Liong mengejar, memburu namun lawan lari lagi dan kucing-kucinganlah kakek ini dikejar si pemuda. Nangi sudah tak terdengar suaranya lagi karena setiap jeritan atau teriakannya berarti memberitahukan keberadaan kakek itu, Siauw-jin rupanya membungkamnya dengan sebuah totokan. Dan ketika suara gadis itu tak terdengar lagi dan Thai Liong bingung maka bayangan Ituchi dan Mei Hoa akhirnya muncul.

"Heii...!" pemuda tinggi besar itu berteriak. "Dimana kau, Thai Liong? Sudah kau dapatkah adikku?"

"Eh!" suara Mei Hoa terdengar menjerit lirih. "Ada mayat di sini, pecah dadanya. Aih, Kim-kongcu rupanya bertempur sengit, Ituchi. Mari kita bantu dan cari dia!"

Thai Liong melihat bayangan dua sahabatnya itu. Ituchi dan Mei Hoa sudah bergerak memasuki perkampungan, berteriak dan memanggil-manggil namanya. Dan karena kehadiran dua orang itu terutama Mei Hoa bakal memberinya beban untuk melindunginya dari keganasan Siauw-jin akhirnya apa boleh buat pemuda ini muncul dan berkelebat keluar.

"Adikmu kutemukan, tapi hanya seorang!"

"Ah!" Ituchi girang, melompat mencengkeram sahabatnya. "Siapa ini, Thai Liong? Ah, Salini...!" dan Ituchi yang girang tapi terkejut melihat adiknya yang pingsan segera sudah mendapatkan adiknya itu, menotok dan memeriksa sana-sini dan Thai Liong mengusap keringatnya. Mengejar dan mencari si iblis cebol yang kucing-kucingan dengan mengancam keselamatan Nangi sudah membuat dia gemas. Pencariannya gagal dan hanya Salini itulah yang berhasil diselamatkan. Tapi ketika Ituchi girang dan sudah menolong adiknya itu maka gadis ini sadar dan terkejut tapi girang serta menangis mengguguk menubruk Ituchi.

"Kakak...!"

Ituchi terharu. Dia merangkul dan meremas adiknya ini, bertanya dimana Nangi, adik satunya. Tapi ketika Salini terkejut dan menoleh pada Thai Liong, karena pemuda itulah yang menyelamatkannya maka Thai Liong menarik napas dalam membuang kekecewaan.

"Nangi dibawa Siauw-jin. Iblis cebol itu memaksa aku mundur dengan mengancam keselamatan adikmu. Maaf, aku gagal, Ituchi. Dan baru adikmu inilah yang berhasil kuselamatkan!"

"Ah," Ituchi tertegun, tapi cepat membuang kekecewaannya. "Terima kasih, Thai Liong. Ini sudah cukup. Kalau aku sendiri belum tentu berhasil menyelamatkan adikku ini! Ah, cukup. Kau sudah memberi budi terlalu banyak!" dan pemuda ini yang cepat merangkul dan mendorong adiknya lalu menoleh pada Mei Hoa. "Dapatkah kau menjaga adikku?"

"Kau mau kemana?"

"Mengejar iblis cebol itu, membantu Thai Liong!"

"Hm!" Thai Liong mengerutkan kening. "Memberikan Salini pada Mei Hoa tak mengurangi bahaya, Ituchi. Lebih baik kau jaga mereka dan aku melanjutkan pencarianku!"

"Tidak, jangan! Ituchi menggoyang lengan, mencekal tangan Thai Liong. "Cukup kau membantu kami, Thai Liong. Sekarang bagianku dan biarkan aku yang bekerja!"

"Tapi iblis cebol itu bukan tandinganmu," Thai Liong mengerutkan kening. "Tidak, jangan, Ituchi. Biarlah kau di sini dan aku melanjutkan pengejaranku!"

"Kau terlalu banyak memberikan budi!" pemuda ini mencengkeram lengan Thai Liong. "Jangan tambah lagi budi itu, Thai Liong. Atau aku tak akan mempunyai muka lagi dan bisa mati karena malu! Kau bersamaku atau tidak sama sekali!"

Thai Liong tertegun. Dan ketika dia tergetar menarik tangannya maka Mei Hoa terisak dan berkata, "Ituchi benar, Kim-kongcu. Jangan menambah lagi kebaikan-kebaikanmu atau kami sama sekali tak akan mempunyai muka lagi menemuimu. Biarkan Ituchi bersamamu dan masalah aku dan Salini ini dapatlah kupikirkan. Bukankah masih ada ibunya yang harus dicari pula? Bukankah kami dapat bergabung kalau Salini memberi tahu dimana ibunya?"

"Benar!" Ituchi tiba-tiba menepuk kepalanya, girang. "Kau benar, Mei Hoa. Ah, kutanya dulu adikku ini dimana ibu!" dan membalik menghadapi adiknya pemuda ini bertanya, "Salini, dimana ibu? Kau tahu?"

Salini terisak. "Aku tak tahu, tapi... tapi kudengar kabar ibu ke tempat kakek...."

"Apa? Memasuki Tionggoan?"

"Benar, tapi benar atau tidak aku tak tahu, kak. Aku hanya mendengar kabar angin yang lewat."

"Ah!" dan Ituchi yang tertegun melepas adiknya lalu bingung memandang Mei Hoa. "Bagaimana ini? Kita sudah terlanjur di sini, diluar tembok besar. Kalau kita kembali maka tempat itu jauh bukan main!"

"Begini saja," Mei Hoa memberi jalan. "Biarkan aku mengawal adikmu, Ituchi. Dengan menyamar dan membuang pakaian kami seperti petani barangkali tak akan ada orang mengganggu. Lihatlah, aku mendapatkan pakaian ini di rumah itu!" Mei Hoa menyambar sepasang pakaian petani, mengenakannya di tubuh dan cepat serta tidak ragu-ragu ia pun menggosok mukanya dengan debu. Dan ketika tak lama kemudian gadis cantik ini sudah berubah sebagai gadis dusun yang amat bersahaja maka Ituchi tertegun tapi Thai Liong tersenyum.

"Bagus," pemuda ini berkata. "Begitu juga boleh, Mei Hoa. Kalau begini kalian boleh pergi!"

"Apa?" Ituchi terkejut. "Membiarkan Mei Hoa mengantar adikku?"

"Ya, kau tak mau membiarkan aku sendirian mencari adikmu, Ituchi. Dan kalau kita bertambah beban dengan Salini di sini tentu perhatian kita banyak terpecah. Lebih baik begini dan Mei Hoa dapat melakukan perjalanan dengan aman!"

"Tapi..." Ituchi bingung. "Di jalan banyak penjahat, Thai Liong. Aku khawatir!"

"Hm, menghadapi penjahat bangsa rampok atau begal tentu Mei Hoa mampu menjaga diri. Tidak, mereka tak akan apa-apa, Ituchi. Dan setelah kita berhasil maka kita menyusul mereka. Atau, kau bersama mereka dan biarkan aku sendiri!"

Ituchi menjublak. Sekarang dia di persimpangan jalan antara membiarkan kekasihnya ini atau membiarkan Thai Liong. Menurut patut seharusnya kekasihnya yang dikawal. Thai Liong laki-laki, tak perlu dikhawatirkan. Tapi karena kepergian Thai Liong adalah untuk menolong adiknya yang lain dan tak mungkin terus-terusan dia membiarkan sahabatnya itu berbuat kebaikan maka apa boleh buat pemuda ini mengangguk, menarik napas berat.

"Baiklah, aku melepas mereka, Thai Liong. Betapapun kau pergi juga untuk menolong adikku!"

"Nah," Thai Liong tersenyum. "Sekarang bawa Salini, Mei Hoa. Antarkan ke kakeknya dan nanti kami menyusul."

"Kalian tak akan lama?"

"Tergantung keadaan. Kalau cepat tentu saja tak akan lama-lama. Tapi kalau lambat, yach... mau dikata apalagi? Sudahlah, Ituchi sudah siap melepasmu pergi dan jaga baik-baik Salini!"

Mei Hoa terisak. "Ituchi, selamat berpisah. Jaga baik-baik dirimu dan hati-hati!"

"Hm, sepatutnya aku yang harus berkata seperti itu!" Ituchi meloncat, memegang lengan kekasihnya. "Jaga baik-baik dirimu, Mei Hoa. Dan hati-hati di jalan!"

Mei Hoa terisak, dicium keningnya dan Salini tertegun melihat itu. Barulah dia tahu bahwa kiranya gadis yang dicium kakaknya ini adalah calon so-so atau kakak ipar baginya, kekasih kakaknya. Maka ketika dia terbelalak dan Thai Liong melengos maka keduanya sudah saling dekap dan peluk.

"Ituchi, aku aku menantimu!"

"Sudahlah," pemuda ini tak dapat menahan haru. "Akupun akan menyusulmu, Mei Hoa. Berangkatlah dan jaga adikku itu baik-baik!"

"Aku akan menjaganya melebihi diriku. Percayalah!" dan ketika Mei Hoa melepaskan diri dan didorong mundur maka Salini sudah disambar gadis cantik ini. "Kita berangkat!" dan begitu Mei Hoa berkelebat dan menyambar gadis ini maka Salini pun terisak melambaikan lengannya.

"Kakak, hati-hati...!"

Ituchi memejamkan mata. Perpisahan yang tentu saja berat baginya ini haruslah ditekan dan dikendalikan. Dia baru saja bertemu adiknya tapi sudah harus sama-sama pergi. Dan bahwa kekasihnya juga terpaksa mengantar adiknya itu berpisah dengannya maka Ituchi menggigit bibir menahan perasaan hati yang berguncang, tak berani memandang kepergian mereka tapi akhirnya Thai Liong menepuk pundaknya. Dan ketika pemuda ini sadar dan membuka matanya maka dua titik air mata yang bergenang di pelupuk dikejapnya hilang.

"Thai Liong, terima kasih. Kau benar-benar sahabat yang setia!"

"Ah," pemuda ini tertawa. "Kau terlalu berlebih-lebihan, Ituchi. Adalah wajar jika aku menolongmu. Kau pemuda yang baik, gagah dan jujur. Lagi pula kau pangeran yang dimusuhi Cucigawa dan antek-anteknya. Hm, jangan berterima kasih, Ituchi. Apa yang kulakukan adalah demi kebenaran dan tak perlu kau mengucapkan itu!"

Ituchi mencengkeram sahabatnya. Mendengar kata-kata itu dan melihat serta menyaksikan sepak terjang Thai Liong sungguh dia merasa terharu dan kagum. Putera Pendekar Rambut Emas ini benar-benar seorang pemuda mengagumkan dan amat berbudi. Dia merasa tak habis-habisnya ditolong dan Ituchi tentu saja merasa terharu. Dan ketika dia tak bisa bicara apa-apa kecuali mencengkeram dan meremas tangan sahabatnya itu maka Thai Liong tertawa berkelebat mengajaknya pergi.

"Ayo, kita berangkat!"

Ituchi sadar. Akhirnya dia mengangguk dan mengikuti sahabatnya itu. Dan ketika mereka sudah sama-sama mengerahkan ginkang dan Ituchi coba melupakan adik serta kekasihnya maka dua pemuda ini kembali mencari Hek-bong Siauw-jin, yang masih menawan Nangi. Dan begitu keduanya bergerak dan keluar dari perkampungan itu maka keduanya segera tertegun melihat banyaknya perkampungan-perkampungan lain yang sunyi dan beberapa di antaranya terbakar!

"Ssst, hati-hati..." Thai Liong memberi isyarat, berhenti, menarik tangan temannya. "Kita berada di daerah terbuka, Ituchi. Rundukkan kepalamu dan lihatlah apa yang ada di depan itu!"

Ituchi tertegun. Di depan mereka, di seberang padang rumput itu tampak ribuan kemah besar kecil berserakan memenuhi daerah yang luas. Tepian sana berupa hutan tropis yang sedang kering. Musim hujan sudah lewat dan beberapa pucuk tanaman tampak meranggas daunnya. Itulah Padang Iblis karena di padang itulah biasanya suku-suku bangsa liar bertempur dan berperang, memperebutkan wilayah atau ternak. Dan ketika Ituchi tertegun melihat ribuan kemah besar kecil yang belum diketahui siapa pemiliknya maka dua bayangan berkelebat bagai siluman mendekati perkemahan itu.

"Nenek Naga!" Thai Liong, yang lebih awas dan tajam matanya berseru mendahului. Dia melihat nenek itu yang berkelebat di samping seorang pemuda, rambutnya riap-riapan dan pemuda yang berendeng dengan nenek itu tak jelas mukanya karena sedang menghadap ke kiri. Hanya tubuhnya saja yang tinggi besar dan berkulit kehitaman menjadikan Thai Liong berdetak karena teringat Togur, murid enam Iblis Dunia, yang kini tinggal lima orang itu. Dan ketika benar saja dua bayangan itu bercakap sayup-sayup dan pemuda di sebelah nenek itu menoleh ke kanan maka Thai Liong terkejut karena dugaannya benar.

"Togura, muridnya!"

Ituchi tiba-tiba menggeram. Sekarang pemuda ini mengenal setelah beberapa detik dia menajamkan pandangannya. Putera raja Hu inipun mengangguk dan mengepalkan tinju. Namun ketika dua orang itu berkelebat dan lenyap di dalam perkemahan maka jelaslah sudah bagi mereka milik siapa kiranya ribuan kemah besar kecil itu.

"Kita menemukan musuh kita, inilah biang kerok yang kita cari-cari!"

"Ssst, jangan kehilangan kontrol diri," Thai Liong mencengkeram, menahan temannya itu. "Kita sudah mendekati musuh yang kita cari-cari, Ituchi. Tapi berhati-hatilah dan jangan kehilangan kewaspadaan!"

"Aku tahu," pemuda itu mengangguk. "Tapi aku rasanya tak tahan, Thai Liong. Aku ingin menerkam dan menyikat musuhku itu!"

"Sabar, kita memasuki daerah berbahaya, Ituchi. Betapapun kita harus hati-hati dan tak boleh gegabah!" dan bangkit mencekal temannya itu Thai Liong mengamati sekeliling. "Hm, tak kurang dari sepuluh ribu orang ada di sini. Dan, he... itu Hek-bong Siauw-jin!"

Ituchi terkejut. Menoleh dan mengikuti pandangan Thai Liong tiba-tiba saja dia melihat si kakek cebol. Tertawa-tawa dan terkekeh-kekeh kakek itu tampak memanggul adiknya, Nangi. Dan ketika si iblis menyeberang padang rumput sementara Nangi tampak meronta-ronta dan menangis sepanjang jalan tiba-tiba Ituchi tak kuat lagi dan sudah berkelebat meluncur menghadang kakek iblis itu!

"Siauw-jin, serahkan adikku!"

Thai Liong terkejut. Baru saja dia bilang untuk berhati-hati dan tidak kehilangan kontrol diri tahu-tahu, eh... temannya itu sudah ngamuk. Ituchi hilang kesadarannya dan lupa! Dan ketika pemuda itu terbang dan meluncur menghadang Hek-bong Siauw-jin maka si iblis cebol juga terkejut dan tiba-tiba menoleh. Lalu, melihat Ituchi yang terbang dan menggeram padanya tiba-tiba kakek ini berkelebat dan hilang di balik gerumbul alang-alang yang tinggi. Maklumlah, dia cebol!

"Heii...!" Ituchi kehilangan lawannya. "Jangan pengecut, Siauw-jin. Lepaskan adikku dan keluarlah!" Ituchi menerjang, sudah sampai di tempat dimana kakek itu tadi berdiri dan cepat menghantam ke depan. Tapi ketika alang-alang bergoyang dan angin yang menderu dahysat tak mengenai siapa-siapa maka Siauw-jin tiba-tiba muncul di sebelah yang lain dan terkekeh.

"Heii...!" kakek itu membalas. "Aku di sini, anak muda. Kejarlah!"

Ituchi mendelik. Melambai dan menggapaikan lengannya tiba-tiba si kakek yang menantang membuat Ituchi lupa segala-galanya. Dia lupa bahwa di seberang padang rumput itu adalah sarang pasukan musuh. Ituchi lupa ini atau agaknya juga tak memperdulikan. Maklumlah, dia marah sekali melihat adiknya meronta-ronta dan ditawan kakek itu. Dan ketika Ituchi bergerak dan sudah terbang ke kakek ini tiba-tiba pukulannya menghantam namun lagi-lagi si kakek cebol lenyap seperti siluman.

"Dess!" Pukulan Ituchi menghantam tanah. Batu dan pasir muncrat berhamburan namun si kakek iblis tahu-tahu muncul di tempat lainnya lagi, menggapai dan tertawa-tawa menyuruh pemuda itu mengejar. Dan ketika Ituchi bergerak dan kembali mengejar, tak sadar semakin mendekati perkemahan musuh maka Thai Liong berteriak memperingatkan temannya.

"Ituchi, kembali...!"

Namun pemuda tinggi besar ini terbakar. Dia tak dapat mengendalikan dirinya lagi karena berkali-kali si kakek cebol mengelak, jelas mempermainkannya dan Ituchi tak mau menyadari bahwa dia dipancing semakin mendekati kemah. Thai Liong sendiri sudah bergerak dan membentak temannya itu, menangkap namun Ituchi mengelak, terbang dan mengejar lagi si kakek cebol. Dan karena bentakan Thai Liong tak digubris dan Ituchi semakin mendekati sarang musuh tiba-tiba saja dia sadar dan terlambat ketika mendadak Hek-bong Siauw-jin muncul di sebelah kanannya dan kali ini balik menghantam.

"Ha-ha, sekarang kau mampus, bocah. Terima seranganku dan robohlah!"

Ituchi terkejut. Dia menangkis tapi berteriak terlempar, Hek-bong Siauw-jin memang bukan tandingannya dan dia terbanting. Tapi karena Ituchi adalah pemuda gagah dimana musuh sekuat apapun tak akan membuatnya gentar maka pemuda ini bergulingan meloncat bangun namun Thai Liong menyambarnya sambil melepas pukulan ke arah si kakek cebol.

"Jangan nekat, dan lihat kekuatan sendiri....dess!" si cebol ganti berteriak keras, terlempar dan terguling-guling namun keributan di padang rumput itu telah dilihat dan didengar musuh. Genderang dan teriakan saling bersahut-sahutan, tanda celaka bagi dua pemuda ini. Dan ketika Thai Liong menarik temannya dan Siauw-jin bergulingan meloncat bangun di sana maka empat bayangan berkelebat dan muncullah nenek Naga dan teman-temannya, dipimpin Togura!

"Ha-ha, selamat datang, Thai Liong. Kiranya kau!"

Hek-bong Siauw-jin mengusap keringat. Pasukan sudah mendatangi ke situ dan cepat sekali dua pemuda ini dikepung. Thai Liong tak mau melarikan diri karena Ituchi masih di situ, hal yang sebenarnya disesali namun diapun juga bukan pengecut. Dan ketika nenek Naga dan lain-lain sudah berkelebatan datang dan Togura menolong si iblis cebol maka Siauw-jin menyerahkan Nangi kepada pemuda itu, terkekeh, menyeringai gentar.

"Aku hampir gagal. Bocah she Kim itu menghalangiku. Tapi terimalah, inilah bocah perempuan yang kau minta, Togur. Dan sekarang hadapi mereka itu biar gurumu beristirahat, ha-ha!"

Togur tersenyum. Berseri-seri dan bersinar-sinar memandang Nangi yang tertotok dia terbahak meraba gadis cantik ini. Tangannya menggerayang dan secara kurang ajar dia meremas buah dada gadis itu, hal yang tentu saja membuat Nangi mengeluh sementara Ituchi tak kuat menahan diri, membentak dan sudah maju menghantam. Tapi ketika nenek Naga bergerak dan menangkis pukulan ini maka Ituchi terpental dan Togura tertawa bergelak-gelak.

"Ha-ha, selamat datang, Ituchi. Kau pangeran yang pecundang. Tapi, ah... tidak. Kau sekarang calon kakak iparku karena adikmu ini akan menjadi permaisuri!"

"Terkutuk!" Ituchi menggeram. "Lepaskan adikku, Togur. Dan hadapi aku secara jantan!"

"Ha-ha, kau marah? Eh, di sini ada banyak pembantuku, Ituchi. Tak baik marah-marah begitu dan kau tenanglah sedikit. Aku ingin bicara baik-baik dan kebetulan kau berdua ke sini," dan tertawa melempar Nangi pada Cam-kong gurunya pemuda ini membalik dan sudah menghadapi dua pemuda itu, waspada terhadap Thai Liong.

"Hm, kalian kemari mau apa?" tanyanya pura-pura. "Ingin bergabung dan membantu aku?"

""Terkutuk!" Ituchi membentak. "Aku datang untuk mengambil adikku, Togur. Dan juga suku bangsaku yang kau rampas!"

"Ha-ha, dan kau?" pemuda ini memandang Thai Liong. "Juga mengincar si cantik adik Ituchi ini dan ingin membantu Ituchi, Thai Liong? Atau mau mengambil alih pimpinan dan memimpin pasukan besar ini?"

"Hm!" Thai Liong marah, sama sekali tak gentar. "Aku datang memang untuk membantu Ituchi, Togur. Tapi juga sekalian menangkap dan membekukmu. Aku ingin kau mengembalikan Cermin Naga yang kiranya kau dapat secara curang dari mendiang kong-kongku!"

"Ha-ha!" pemuda tinggi besar itu tertawa bergelak. "Mencari Cermin Naga? Menangkap dan merobohkan aku? Ha-ha, tak usah sombong, Thai Liong. Kau belum dapat menangkap atau merobohkan aku. Kepandaianmu belum cukup, meskipun lihai. Kau tak dapat menangkap atau merobohkan aku biarpun ayahmu sendiri membantu. Kita sama-sama memiliki Khi-bal-sin-kang dan kemenanganmu dulu belumlah berarti kau mampu membekuk aku!"

"Hm, benar," Thai Liong berapi-api. "Tapi kalau kau tidak melarikan diri tentu waktu itu aku sudah membekukmu, Togur. Kau licik dan pengecut, curang! Kau tak tahu malu dan sungguh tak pantas mewarisi Khi-bal-sin-kang maupun Jing-sian-eng!"

"Ha-ha, kalau begitu mau apa? Dulu aku meninggalkanmu karena terpaksa, Thai Liong. Tapi sekarang tidak! Aku memiliki gadis itu dan dengan dia di tanganku kau tak dapat menghinaku lagi seperti dulu. Ha-ha, sekarang aku memberikan penawaran, menyerahlah dan baik-baiklah bersama kami atau Nangi kubunuh!"

"Keparat!" Ituchi tiba-tiba berteriak. "Pengecut kau, Togur. Jahanam tak tahu malu!" dan pemuda ini yang marah melengking tinggi tiba-tiba tak tahan dan untuk kedua kalinya menyerang lawannya itu, menghantam dan berkelebat menerjang tapi nenek Toa-ci, satu di antara guru Togur mendengus berkelebat menghadang, maunya menangkis tapi Togur tertawa pendek, mendorong gurunya dan sudah menerima pukulan atau hantaman Ituchi itu. Dan ketika pemuda ini mengerahkan Khi-bal-sin-kang dan Ituchi tentu saja menjerit maka pemuda itu terbanting dan terlempar roboh.

"Dess!" Ituchi mengeluh terguling-guling. Tadi yang menangkis dan menerima pukulannya adalah Siauw-jin, kini Togura sendiri dan yang dikeluarkan juga Khi-bal-sin-kang, ilmu yang akan menolak setiap pukulan atau serangan lawan. Maka begitu dikeluarkan dan Ituchi tentu saja tak kuat maka pemuda itu terbanting dan bergulingan serasa remuk tulang-tulangnya.

"Togur, kau licik dan pengecut!" Thai Liong marah berkelebat menolong temannya, tentu saja kaget karena tadi Ituchi tak mau mendengar kata-katanya. Temannya ini main hantam kromo saja dan akibatnya dirinyalah yang menderita. Dan ketika dia menolong sahabatnya itu dan Ituchi menggigil memandang lawan, melotot dan mendelik gusar maka Thai Liong cepat memberikan sebutir obat untuk segera ditelan, meredam bekas pukulan Khi-bal-sin-kang.

"Kau telan ini, dan cepat mundur!"

Ituchi menggeram. Kalau bukan Thai Liong yang menyuruhnya belum tentu pemuda ini mau. Ituchi mendengar sorakan dan tawa mengejek, ketika dia terbanting tadi. Namun ketika pemuda ini mendelik dan melotot pada yang bersorak maka semuanya diam dan Thai Liong sendiri sudah berhadapan dengan lawannya itu, lawan yang tangguh dan berbahaya tapi juga licik.

"Togur, urusan ini tak seharusnya melibatkan wanita. Kau bertandinglah secara jantan. Dimana watak kegagahan mendiang ayahmu? Bukankah supek Gurba dikenal sebagai laki-laki kosen yang lihai dan jujur dalam bertanding? Tengoklah, dan contohlah mendiang ayahmu itu. Kalau kau tak ingin malu menghadapnya di neraka sana sebaiknya kau hadapi aku secara ksatria! Dan kau...!" pemuda itu menuding Siauw-jin, si kakek cebol. "Kau melarikan diri terbirit-birit, Siauw-jin. Tak pantas lagi kau berada di sini kecuali untuk berbuat curang. Ajaklah teman-temanmu yang lain itu dan majulah bersama Togur. Aku ingin menghajar kalian lagi seperti dulu dan jangan melibatkan siapa pun. kalau aku kalah biarlah aku menjadi pembantu kalian. Tapi kalau kalian kalah, hmm...serahkan gadis itu dan menyerahlah kutangkap!"

"Ha-ha!" Siauw-jin, si kakek cebol tertawa bergelak. "Aku selamanya pandai melihat keadaan, bocah. Kalau kau lebih unggul maka aku lari bukan karena takut, melainkan semata menyelamatkan diri saja, menyusun dan mengatur strategi untuk mengalahkanmu sampai bisa. Sedang kalau kau kalah, ha-ha... boleh saja tiru sikapku ini dan melarikan diri!"

"Kau akan kuhajar!" Thai Liong menggigit bibir. "Kau dan muridmu sama-sama licik, Siauw-jin. Kalau kali ini kau kembali mengeroyok maka aku tak akan memberi ampun!"

"Hi-hik!" nenek Toa-ci tiba-tiba terkekeh. "Untuk apa banyak bicara lagi, Siauw-jin. Serang, dan bunuh bocah ini!"

"Benar," Thai Liong menantang. "Serang dan majulah kalian, Toa-ci. Dan jangan minta Togur membantu kalau ingin mampus!"

"Keparat, si mulut lancang!" dan nenek itu yang mengibas dan melepas tujuh sendok kecil tiba-tiba menyerang Thai Liong dengan sengit.

"Plak-plak-plak!" Thai Liong menangkis runtuh, dua di antaranya dipukul balik dan menyerang nenek itu serta Siauw-jin, yang tentu saja memaki dan melempar tubuh ke kiri. Dan ketika Toa-ci juga melakukan hal yang sama dan dua senjata rahasia itu mendesing dan menancap di tanah maka apipun berpijar karena sendok-sendok kecil itu ternyata menghunjam batu.

"Des-klap!"

Orang pun meleletkan lidah. Mereka ngeri dan pucat melihat perbuatan Thai Liong ini. Sendok-sendok itu amblas dan hilang di bawah. Tapi ketika Togur tertawa menyeringai dan berseru perlahan tiba-tiba pemuda itu bergerak dan menghantam Thai Liong.

"Awas!"

Thai Liong tahu. Dia tahu pukulan itu dan seruan Ituchi tentu saja tak membuatnya terkejut. Toa-ci dan Siauw-jin sudah mulai dihajarnya dan kini pemuda itu sudah mulai bergerak, menyerang dan dengan curang melepas pukulan dari samping. Tapi karena Thai Liong bukanlah pemuda sembarangan dan sejak tadi dia waspada maka pukulan itu ditangkisnya dan pemuda ini mengerahkan sinkangnya.

"Dess!" Dua-duanya terpental. Baik Togura maupun Thai Liong ternyata sama-sama mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya. Dua pemuda itu sama kuat tapi ketika Togura berjungkir balik di udara tiba-tiba dia melepas serangan lagi. Hebat pemuda ini. Masih di udara ia mampu mempergunakan tenaga benturan itu untuk menghantam lagi. Tapi karena Thai Liong sendiri sedang berjungkir balik dan terang tak dapat dibokong maka Ituchi-lah yang mendapat serangan itu!

"Awas!"

Ituchi ganti berbalik terkejut. Dia sedang terbelalak dan kagum melihat dua pemuda itu terpental tinggi di udara, melihat Thai Liong melayang turun dan saat itulah perhatiannya tak melihat Togura. Maka begitu Thai Liong berteriak padanya dan kesiur angin pukulan menghantamnya dari arah Togura tak pelak pemuda ini menjadi kaget dan terkesiap, kontan membalik dan menerima serangan itu.

“Dess!!” Pemuda ini mengeluh. Ituchi mencelat dan tak kuat menahan pukulan lawan, Khi-bal-sin-kang memang hebat dan tentu saja pemuda itu terlempar, untuk kedua kali merasa sesak dan terguling-guling...