ISTANA HANTU
JILID 20
KARYA BATARA
SIN-TUNG LO-KAI mencelat. Kakek pengemis ini berteriak keras ketika tubuhnya terlempar, tongkatnya patah dan melayanglah kakek itu bagai layang-layang putus. Dan ketika dia berdebuk dan terbanting di sana, mengeluh tak keruan maka si gagah yang bercambang itu tertawa mengejek.
"Nah, kau tahu rasa, pengemis busuk. Sekarang jangan bicara macam-macam lagi kalau tak ingin kubunuh!" lalu, berkelebat dan memandang sutenya si gagah itu berseru, "Sute, kita pergi!" dan begitu tubuhnya lenyap membawa Soat Eng si gagah ini telah meninggalkan rumah hartawan she Lauw dan tidak perduli kiri kanan lagi, diteriaki hartawan itu tapi tak menggubris.
Lauw-wangwe terkejut dan membelalakkan mata disana. Tapi ketika terdengar erangan dan gebukan tongkat tiba-tiba saja kakek pengemis itu dilihatnya bangkit berdiri sementara puteranya di sana menjerit dan terlempar roboh, kena serangan Kiat Ma dengan suhengnya.
"Aduh... bluk-dess!"
Hartawan ini pucat. Kalau puteranya di sana terpekik dan keadaan sungguh tidak menguntungkan maka satu-satunya jalan adalah segera angkat kaki dari situ. Sin-tung Lo-kai tampak memandangnya bersinar-sinar sementara kakek pengemis itu kelihatan akan menyerangnya lagi. Tongkat andalannya tak ada, dia sendiri. Dan ketika terdengar lagi teriakan serta jeritan puteranya maka hartawan ini membentak dan berkelebat ke depan.
"Manusia busuk, lepaskan puteraku!"
Kiat Ma dan suhengnya terpental. Mereka terkejut ketika hartawan itu menyerang mereka, melakukan satu pukulan keras dan mereka terpelanting. Memang dua orang ini masih bukan tandingan si hartawan she Lauw dan mereka terpekik. Tapi ketika dua orang itu bergulingan meloncat bangun dan Sin-tung Lo-kai bersiap untuk membantu muridnya, menggeram, ternyata Lauw-wangwe tak mengejar dan justeru menyambar puteranya untuk dibawa pergi.
"Sun-ji, kita pergi. Tak guna di sini!" dan hartawan itu yang sudah membawa puteranya tak mau berlama-lama tiba-tiba melepas beberapa senjata gelap untuk menghalau Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya, berkelebat dan lenyap di belakang gedung dan kakek pengemis itu berteriak kecewa.
Sin-tung Lo-kai mengambil tongkat barunya dan mengejar, setelah menangkis runtuh semua jarum dan paku-paku yang disambitkan Lauw-wangwe. Dan ketika Kiat Ma dan suhengnya juga memburu namun si hartawan sudah menghilang maka tiga orang ini marah-marah dan mengobrak-abrik tempat itu, tetap tak mendapatkan lawan mereka dan gegerlah keramaian di situ.
Pengantin puteri lari tak keruan dan para tamu pun panik. Mereka sudah kacau sejak Sin-tung Lo-kai dan Soat Eng muncul di situ, bertanding dan melempar-lemparkan pembantu si hartawan yang tentu saja bukan tandingan dua orang ini. Dan ketika semua melarikan diri dan Sin-tung Lo-kai teringat puteri Pendekar Rambut Emas itu tiba-tiba kakek ini berkata bahwa mereka harus menemukan Soat Eng, mencarinya.
"Kita tak menemukan hartawan itu, tak apalah. Tapi kita harus mencari dan menemukan gadis ini. Hayo, kita pergi, Kiat Ma. Tak usah lagi mengobrak-abrik tempat ini karena Lauw-wangwe sudah melarikan diri!"
"Tunggu!" sang murid berkata. "Kau betul, suhu. Tapi aku ingin menyelesaikan ini!"
"Apa?"
"Ini!" dan Kiat Ma yang menepuk-nepuk punggung suhengnya memberi tahu tentang pundi-pundi uang yang demikian penuh, berkata bahwa mereka ingin membagi-bagikan itu kepada fakir miskin. Memang dua copet ini bekerja untuk rakyat jelata, hasil pekerjaan mereka sebagian besar diberikan kepada orang-orang miskin, cara kerja yang aneh. Dan karena Sin-tung Lo-kai sudah mengetahui itu dan kakek ini mengangguk maka berkelebatlah kakek itu meninggalkan muridnya.
"Baiklah, kau boleh lakukan itu, Kiat Ma. Tapi cepat susul aku begitu selesai!"
"Terima kasih!" dan Kiat Ma serta suhengnya yang berseri mendengar itu lalu mengangguk dan tertawa membalikkan tubuh, sudah meloncat ke arah timur dan berpisahlah guru dan murid ini. Mereka sementara akan membagi pekerjaan masing-masing. Gurunya mencari Soat Eng dan mereka menyusul. Dan karena semua sudah diatur dan dua copet itu meninggalkan gedung hartawan she Lauw maka di sana Soat Eng sudah dibawa kabur dua orang aneh ini. Siapa mereka? Bagaimana dapat menurunkan ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut kepada Lauw Sun dan ayahnya? Mari kita ikuti.
Dulu, belasan tahun yang lewat si jago pedang Hu Beng Kui mempunyai beberapa orang murid. Yang terlihai tentu saja putera dan puterinya, Beng An dan Swat Lian. Tapi karena Beng An telah tewas dan Swat Lian akhirnya menjadi isteri Pendekar Rambut Emas, ibu dari Soat Eng itu maka yang mewarisi ilmu kepandaian si jago pedang itu tinggal puterinya ini dan dua orang murid utama, karena yang lain-lain akhirnya tewas dan terbunuh (baca: Pendekar Rambut Emas dan Sepasang Cermin Naga).
Jago pedang itu, yang kini tewas oleh See-ong, memang betul-betul seorang yang lihai. Dia disegani dan ditakuti baik oleh kawan maupun lawan. Ilmu pedangnya yang hebat, Giam-lo Kiam-sut, amatlah luar biasanya. Ditunjang oleh kematangannya dan kemahirannya bermain pedang memang jago tua ini merupakan lawan teramat berbahaya. Apalagi setelah Hu Beng Kui atau Hu-taihiap (pendekar besar Hu) itu mendapat tambahan ilmu-ilmu dari Cermin Naga, Jing-sian-eng dan Khi-bal-sin-kang itu.
Dan karena sebelumnya jago pedang ini sudah merupakan tokoh yang dimalui dan ilmu pedangnya Giam-lo Kiam-sut itu amat hebat dan berbahaya sekali maka tambahan ilmu-ilmu dari warisan Cermin Naga menjadikan pendekar ini semakin dahsyat dan lihai, Kim-mou-eng sendiri hampir bukan menjadi tandingannya kalau saja Pendekar Rambut Emas itu tidak mewarisi Lu-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang, dua ilmu luar biasa yang didapatnya dari Bu-beng Sian-su, kakek dewa maha sakti itu.
Dan karena Hu Beng Kui akhirnya tunduk dan kalah setingkat oleh menantunya ini maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas itu akhirnya berhasil memperoleh puterinya yang kini menjadi isterinya itu, Swat Lian atau Hu Swat Lian yang menjadi ibu dari Soat Eng.
Adakah jago pedang itu puas oleh kekalahannya dari menantunya itu? Sebenarnya tidak. Jago tua ini dikenal sebagai orang yang keras hati dan keras kemauan. Diam-diam dia penasaran oleh kekalahannya dari Pendekar Rambut Emas itu. Tapi karena anak perempuannya sudah menjadi isteri Pendekar Rambut Emas itu dan tak mungkin dia harus bermusuhan dengan menantunya sendiri maka penasaran atau ketidakpuasan jago pedang ini dipendam.
Memang aneh. Hu Beng Kui dikenal sebagai jago tua yang tak kenal menyerah. Lihat saja nasibnya sewaktu dia mendarat di Sam-liong-to. Bukankah dia sudah tahu bahwa di sana dia akan menghadapi lawan-lawan berbahaya? Bukankah dia sudah tahu bahwa dalam keadaan luka dan tidak sehat begitu dia tak akan selamat? Tapi jago tua ini tetap menerjang juga.
Memang dia seorang tokoh yang keras hati namun gagah. Kegagahannya tak perlu disangsikan lagi dan orang memang mau tak mau menjadi kagum. Jago tua ini hebat, kepandaiannya tinggi dan ilmu silatnya pun luar biasa. Ketegaran hatinya tak perlu disangsikan lagi. Tapi karena kekerasan hatinya terlampau luar biasa dan watak ini memberi kesan kaku maka nasib malang akhirnya tak dapat dicegah lagi menimpa jago tua itu.
Dan sekarang, kembali pada cerita muridnya itu adakah yang masih hidup? Adakah di antara mereka yang kelihatan? Sebenarnya ada. Di kisah yang lalu, dalam 'Sepasang Cermin Naga' kita tahu bahwa dua murid Hu Beng Kui masih hidup. Mereka itu adalah Gwan Beng dan Hauw Kam, dua orang suheng atau kakak seperguruan dari nyonya Pendekar Rambut Emas, Hu Swat Lian itu. Namun karena mereka diculik dan belasan tahun ini tak pernah ditemukan maka dua orang itu nyaris hilang.
Di Sepasang Cermin Naga telah diceritakan betapa dua orang murid si jago pedang itu diculik oleh nenek iblis Naga Bumi dan temannya, si setan cebol Hek-bong Siauw-jin, yakni ketika perebutan Cermin Naga di puncak bukit di mana waktu itu hampir semua orang kang-ouw datang berduyun-duyun. Dua murid Hu Beng Kui ini, Gwan Beng dan Hauw Kam juga datang dan ikut menyaksikan jalannya perebutan. Bersama Swat Lian atau sumoi (adik seperguruan perempuan) yang waktu itu masih gadis dua orang pemuda ini ikut dan menyaksikan jalannya perebutan.
Tapi karena di tengah jalan mereka menemui kesialan, bertemu dua di antara enam Iblis Dunia maka Hauw Kam akhirnya diculik nenek Naga Bumi sementara Gwan Beng, suhengnya, disambar dan dibawa si iblis cebol Hek-bong Siauw-jin. Dua orang itu mengalami penderitaan besar di tangan dua kakek dan nenek iblis ini. Mereka disiksa dan dipermainkan, terakhir menelan obat pelupa ingatan dan jadilah dua orang pemuda itu sebagai manusia-manusia yang lupa akan dirinya sendiri.
Dan ketika dua kakek dan nenek iblis itu memaksa mereka menjadi murid, Hauw Kam di bawah kekuasaan Naga Bumi sementara suhengnya dikendalikan Hek-bong Siauw-jin maka dua orang murid Hu Beng Kui ini menjadi tawanan dua nenek dan kakek iblis itu. Mereka dibawa ke mana saja tapi akhirnya dijebloskan ke palung maut, jauh di dasar bumi di mana mereka tak berdaya apa-apa.
Nenek Naga Bumi sedang dibuat marah oleh kegagalannya merebut Cermin Naga, begitu pula Siauw-jin. Dan karena persoalan demi persoalan mengganggu mereka dan dua nenek dan kakek iblis itu akhirnya tak mau direpotkan dua pemuda ini maka mereka dilempar dan dijebloskan ke palung maut, sebuah sumur dalam yang tak mungkin dipanjat naik kalau tak dibantu seorang pandai. Dan nasib sial menghabiskan harapan murid-murid Hu Beng Kui ini.
Tapi apakah betul begitu? Teoritis memang benar, tapi sesuatu yang tak diduga terjadi di dalam palung maut itu. Karena Hauw Kam dan suhengnya yang sudah terlempar dan terkubur hidup-hidup ternyata tiba-tiba menemukan jalan keluar yang tak dinyana dan sungguh tak diduga nenek dan kakek-kakek iblis itu. Hauw Kam dan suhengnya ketika terlempar ke bawah ternyata malah terbanting di air. Tempat ini demikian tinggi hingga riak atau kecipak air tak terdengar. Mereka itu pingsan tapi akhirnya sadar, ketika tubuh disundul-sundul sesuatu dan mereka merintih.
Dan ketika Hauw Kam dan suhengnya tertegun karena lima ekor lumba-lumba mempermainkan moncong mereka di tubuh, menyundul dan mengeluarkan suara-suara aneh maka suheng dan sute ini terbelalak karena mereka ternyata berada di laut, atau lebih tepat lagi, berada di sebuah terowongan laut di mana palung di atas itu merupakan sumur bumi yang bawahnya berhubungan dengan samudera, sebuah palung aneh hingga mereka masih hidup!
Dan ketika dua pemuda itu tertegun dan sadar, rupanya sudah terhanyut dan berada di sekelompok ikan lumba-lumba yang menolong dan menyadarkan mereka tiba-tiba saja seekor di antaranya menyelam dan mengangkat tubuh Hauw Kam untuk digendong di atas punggungnya.
"Slup!" Hauw Kam tergelincir. Pemuda ini terkejut tapi tidak mengerti apa yang diinginkan sang ikan, berteriak tapi lumba-lumba itu sudah menyelam dan muncul lagi, memasang punggung untuk menerima atau 'menggendong' tubuh pemuda itu. Dan ketika dua tiga kali gagal namun untuk yang keempat kalinya tidak maka Hauw Kam sudah dibawa meluncur dan ikan lumba-lumba ini berenang cepat ke laut bebas.
"Slup-slup!"
Hauw Kam terbelalak. Akhirnya dia mengerti dan.mengeluh kegirangan, perutnya di punggung ikan dan menelungkuplah pemuda itu di atas tubuh lumba-lumba. Tapi ketika Hauw Kam sadar bahwa dia tidak sendiri dan berteriak memanggil suhengnya tiba-tiba saja suhengnya itu sudah berada di sampingnya diatas punggung lumba-lumba pula, menelungkup persis dia!
"Suheng...!"
"Sute...!"
Dua pemuda ini terkejut. Sama seperti dirinya ternyata Gwan Beng, suhengnya itu, dibawa dan digendong lumba-lumba pula, lumba-lumba yang lain. Dan ketika mereka berteriak dan saling melambaikan tangan maka tiga lumba-lumba pengiring berenang di belakang mereka seperti pengawal!
"Ha-ha!" Hauw Kam tiba-tiba tertawa bergelak. "Kita menjadi raja di lautan bebas, suheng. Dan kita selamat!"
"Benar, dan kita tak perlu bertemu dua orang guru kita lagi, sute. Mereka mau membunuh kita!"
"Dan aku ngeri. Ih, palung itu dalam luar biasa, suheng. Kalau tidak terjatuh ke air tentu kita tewas. Kejam, suhu dan subo kejam!" Hauw Kam mengangguk kegirangan, merasa lolos dari maut dan kini meluncurlah mereka di atas punggung lumba-lumba. Lima ikan besar itu menyelamatkan mereka dan dua di antaranya sudah menjadi 'perahu', membawa dan menggendong mereka untuk berenang di laut bebas. Dan ketika ikan-ikan itu berenang kian cepat dan pengalaman tak terlupakan ini membuat Hauw Kam melonjak kegirangan tiba-tiba pemuda itu bangkit duduk dan mencengkeram punggung ikan sambil terbahak-bahak.
"Suheng, kita mempunyai tunggangan istimewa. Ha-ha, mereka ini lumba-lumba luar biasa yang menjadi perahu!"
"Benar, tapi hati-hati, sute. Awas jatuh!"
"Tidak, eh... byurr!" dan Hauw Kam yang benar saja tergelincir dan jatuh dari punggung ikan tiba-tiba berteriak karena tak mengikuti nasihat suhengnya, terlempar dan jatuh ke dalam air namun lumba-lumba tunggangannya mendadak berhenti. Tiga yang lain juga berhenti dan seekor di antaranya tiba-tiba menyelam, muncul dan sudah membawa Hauw Kam dipunggungnya. Jadi, seolah menggantikan temannya itu. Dan ketika Hauw Kam terkejut dan membelalakkan matanya maka lumba-lumba ini sudah berenang dan meluncur lagi.
"Ha-ha, ajaib, suheng. Aku ditolong lagi!"
"Hm!" suhengnya terkejut, juga membelalakkan mata. "Kau jangan ceroboh lagi, sute. Atau kau bakal terlempar dan tidak tertolong lagi!"
"Ah, tentu. Aku sekarang hati-hati!" dan Hauw Kam yang terbahak di punggung ikan lalu menelungkup dan membelai serta berbisik di atas kepala ikan itu, menyatakan terima kasihnya dan kini berenanglah lagi lima ekor lumba-lumba itu di laut bebas. Mereka "slap-slup-slap-slup" di atas laut dan Gwan Beng yang pendiam berkali-kali harus mencengkeram leher tunggangannya kalau tak ingin lepas, karena tubuh ikan itu demikian licin dan nyaris saja dia terlempar.
Dan ketika dua hari dua malam dua pemuda itu dibawa entah ke mana maka di waktu mereka kelelahan, juga masih sakit-sakit oleh bantingan di dasar palung tiba-tiba saja mereka sudah berada di sebuah pulau ketika tertidur! Waktu itu Hauw Kam dan suhengnya sama-sama letih. Lima ekor lumba-lumba ini membawa mereka berenang jauh sekali, mungkin ribuan li. Dan ketika mereka kelelahan dan mengantuk, tertidur di atas punggung ikan tahu-tahu mereka sudah berada di sebuah pulau ketika terbangun, pagi harinya.
"Hei, mana mereka, suheng? Di mana kita kini?"
Gwan Beng juga tertegun. Murid pertama Hu Beng Kui yang paling pendiam ini terkejut, melihat di depannya laut bebas tapi tak ada lagi lima ekor lumba-lumba itu. Mereka sudah berada di pantai pesisir dengan pasirnya yang lunak lembut, jauh dari mahluk hidup dan hanya deburan ombak yang terhampar didepan mata. Selebihnya kosong dan tak ada siapa pun. Pulau itu kecil dan hanya tanaman perdu dan satu dua pohon besar berdiri di sekeliling mereka. Lainnya hening dan sepi. Dan ketika pemuda ini tertegun dan membelalakkan matanya, terkejut tapi juga menyesal maka sutenya berkelebat tapi terguling roboh.
"Heii...!" Hauw Kam terpekik. "Aku lemah, suheng. Aku kehilangan banyak tenaga!"
"Hm!" Gwan Beng akhirnya sadar, tubuh sendiri juga tiba-tiba terhuyung, roboh. "Kita kelaparan, sute. Dua hari ini tak makan kecuali minum air laut!"
"Benar, dan aku, ah... aku tak tahu ke mana lumba-lumba penolong kita itu, suheng. Aku menyesal tak menemukan mereka kembali!" Hauw Kam bangkit terhuyung, tertatih menghampiri suhengnya dan dua pemuda ini saling pandang.
Mereka benar-benar menyesal dan 'getun' kenapa mereka tertidur sampai lelap, tak mengetahui perbuatan lumba-lumba itu yang melempar tubuh mereka ke atas daratan, jatuh dan masih saja pulas karena mereka memang kelelahan, habis tenaganya. Namun ketika suhengnya berkata bahwa mereka tak usah menyesal lagi karena lumba-lumba itu rupanya penolong mereka tanpa pamrih maka Hauw Kam mengangguk dan berkata,
"Betul, kita sudah diselamatkan. Mereka bekerja tanpa pamrih. Aih, jauh benar bedanya mereka dengan dua orang guru kita, suheng. Rupanya kita harus tinggal di sini dan tak usah keluar!"
"Hm, dan mencari makan. Perutku lapar, kita kehabisan tenaga. Apa yang kira-kira kita dapat di sini, sute? Kau masih bisa berjalan?"
"Aku... aku dapat. Tapi, ah... kakiku berat sekali. Asal perlahan-lahan aku dapat menyertaimu, suheng. Kita memang harus mencari makan kalau tak mau mati di sini!"
"Hm, tak usah bicara tentang kematian. Dewa maut rupnya belum menyukai jiwa kita. Mari, kita berpegangan, sute. Hati-hati dan mari kutapak!" Gwan Beng memegang sutenya, berjalan terhuyung dan akhirnya dua pemuda ini mengitari pulau.
Dengan kaki berat dan sering terjatuh suheng dan sute ini mencari makan. Mereka bermaksud mencari kelinci atau binatang kecil, ular atau apa saja. Tapi ketika mereka tak menemukan itu dan isi pulau ternyata hanya dedaunan melulu, pohon-pohon besar dan tanaman perdu akhirnya Hauw Kam mengeluh, jatuh terduduk.
"Celaka, kita rupanya harus mati, suheng. Tak ada makanan apa pun di sini!"
"Hm, tidak," suhengnya menggeleng, bersinar-sinar memandang sejenis tanaman yang daunnya hijau segar. "Tak ada daging kita bisa makan sayur, sute. Tak perlu putus asa karena ini pun makanan!" Gwan Beng meraup dedaunan hijau segar itu, mengamatinya sejenak lalu mengunyah. Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu tampak lahap dan segenggam daun segar habis dimamah, memasuki mulutnya maka Hauw Kam terbelalak melihat suhengnya itu mengambil lagi, tampak demikian enak!
"Sute, dedaunan ini pun makanan. Ayolah, ambil segenggam dan nikmati rasanya. Manis dan segar!"
Hauw Kam tiba-tiba meneteskan air liur. Pemuda itu melihat betapa dengan enak dan lahap sekali suhengnya sudah menikmati dedaunan ini, mengunyah dan memamahnya seperti kambing! Dan ketika pemuda itu ragu namun rasa lapar menyerangnya hebat tiba-tiba dia pun mengikuti dan sudah mengambil dedaunan itu, menggigitnya sepotong dan aneh serta mengejutkan ternyata dedaunan itu mengandung aroma yang khas dan tidak pahit, manis dan segar dan segera saja pemuda ini melahapnya segenggam! Dan ketika cepat kemudian dedaunan mentah itu dilalap habis maka Hauw Kam dan suhengnya seolah berebutan mengisi perutnya, mirip kambing atau hewan ternak yang kelaparan!
"Ha-ha, betul katamu, suheng. Dedaunan ini manis dan segar sekali. Ah, luar biasa. Tenagaku pulih dengan cepat!"
Memang benar. Gwan Beng juga merasakan itu dan pemuda ini mengangguk. Daun mentah yang mereka makan ternyata sayuran bergizi yang cepat sekali memulihkan kekuatan mereka. Dan ketika Gwan Beng tersenyum-senyum sementara sutenya terbahak-bahak tiba-tiba Hauw Kam berteriak ketika kepalanya tiba-tiba pusing.
"Hei, aku tak dapat berdiri tegak lagi, suheng. Bumi rasanya berputar!"
"Dan aku juga," Gwan Beng terkejut, merasakan hal yang sama. "Aku melihat langit terbalik-balik, sute. Dan, ah... jangan-jangan daun ini beracun...bluk!"
Gwan Beng dan sutenya jatuh berbareng, kaget berteriak tertahan dan dua pemuda ini semakin terkejut ketika perut mereka melilit-lilit. Usus seakan diremas dan bergulinganlah Hauw Kam mendahului suhengnya. Pemuda ini berteriak-teriak dan akhirnya kesakitan, demikian hebat rasa sakit itu disertai rasa mual. Dan ketika semuanya itu diiringi rasa tak enak di mana Hauw Kam tiba-tiba ingin membuang kentut maka bunyi yang nyaring seakan meledak seperti knalpot mobil.
"Prootttt....!" Gwan Beng mengalami hal yang sama. Pemuda ini pun membuang kentut nyaring yang amat keras, demikian kerasnya hingga pohon di sekitar mereka berderak, mau tumbang! Dan ketika Hauw Kam di sana mengaduh-aduh sementara Gwan Beng yang lebih tahan dan menggigit bibirnya juga harus berjuang mati-matian tiba-tiba Hauw Kam sudah berteriak dan mencebur ke laut.
"Suheng, aku ingin membuang hajat. Wadaoh, aku ingin membuang hajat..... prot-proottt!" kentut panjang mendahului teriakan pemuda itu, susul-menyusul dan pemuda ini sudah melempar tubuhnya ke laut. Tanpa banyak pikir lagi Hauw Kam sudah melepas celananya, yang hampir tak tertahan karena saat itu juga isi perutnya sudah memberobot tanpa ampun. Dan ketika pemuda ini ah-uh-ah-uh berendam di air laut maka muka yang tegang namun lucu tampak di wajah pemuda ini.
Gwan Beng di sana juga akhirnya melakukan hal yang sama. Pemuda ini terhuyung jatuh bangun mencebur ke laut, melepas celananya. Dan ketika dua pemuda itu sama 'ndodhok' dan membuang hajat aneh namun nyata Hauw Kam terbahak-bahak menyaksikan suhengnya berkerut-kerut, saat itu rasa sakit tiba-tiba hilang.
"Suheng, aku lega. Isi perutku terkuras!"
"Hm, aku juga. Namun aneh tubuhku sekarang terasa ringan, sute. Rasanya seringan kapas dan ingin terbang!"
"Ah, aku juga. Apakah mimpi? Eh, aku merasa ringan!" Hauw Kam terkejut, sudah selesai membuang hajat namun kepala terasa enteng dan ringan. Sewaktu dia melangkah tiba-tiba saja seakan melayang dan mau jatuh.
Dan ketika Gwan Beng di sana juga selesai dan terhuyung menjauhi pantai mendadak pemuda itu mengeluh dan roboh tersungkur jatuh. Hauw Kam ternyata lebih dulu dan sudah mengerang tak keruan, bukan kesakitan melainkan ketakutan. Pemuda ini seakan tak menginjak bumi karena tubuh serasa melayang-layang di tempat yang ringan, serasa berada di ruang hampa udara dan tentu saja pemuda itu terkejut.
Mereka berdua sama-sama tak tahu bahwa itulah hasil makanan 'sayur bergizi', dedaunan hijau segar yang mengandung semacam gas atau zat pelambung semangat. Perut yang tak tahan akan segera bereaksi mulas-mulas, seperti Hauw Kam dan suhengnya tadi. Dan setelah isi perut terkuras dan dua pemuda itu terbiasa maka reaksi berikutnya adalah perasaan semacam ingin melayang, tak mampu berdiri tegak dan jadilah dua pemuda itu terhuyung-huyung.
Gwan Beng yang lebih tenang dapat menekan perasaannya yang tidak keruan namun lama-lama pemuda itu cemas juga. Gwan Beng berpikir bahwa mereka keracunan, hal yang sebenarnya tidak. Dan ketika gas atau zat pelambung semangat itu bekerja tinggi dan mereka berdua tak dapat berjalan tiba-tiba keduanya ambruk dan Hauw Kam mengeluh panjang pendek.
Pemuda ini merasa tak menginjak bumi lagi karena seakan berada di dunia yang lain, semacam awang-awang atau apa, dunia yang ringan dan benar-benar merampas kesadaran. Dan ketika Gwan Beng di sana juga 'teler' dan setengah sadar setengah tidak maka Hauw Kam dan suhengnya seperti orang mabok, mengeluh panjang pendek dan dua pemuda itu berada dalam keadaannya yang tidak pasti selama sehari semalam. Mereka roboh tak bergerak-gerak dan masing-masing selalu menyebut yang lain.
Hauw Kam memanggil-manggil suhengnya sementara sang suheng pun memanggil-manggil dirinya, mirip orang linglung. Namun ketika semalam lewat dengan cepat dan reaksi gas sudah biasa di tubuh mereka maka keesokannya dua pemuda ini pulih dan sadar seperti biasa.
"Aduh, aku bertemu dewa-dewi yang cantik dan gagah-gagah. Sialan, mimpi apakah aku semalam, suheng?"
"Hm, aku juga. Aku bertemu empat dewi cantik jelita, sute. Mereka mencumbu dan coba merayu aku."
"Ah, aku juga. Aku juga dirayu dan dicumbu! Ha-ha, kalau begitu mana mereka, suheng? Dan mana pula kekasih-kekasihmu itu?"
"Aku mimpi, aku hanya mimpi... ah, sayang sekali!" dan Hauw Kam yang tertegun namun kecewa juga sadar bahwa dia pun kiranya sedang bermimpi, mimpi indah namun kosong. Ah, betapa sayangnya. Dan ketika dua pemuda itu saling pandang dan Gwan Beng teringat tiba-tiba pemuda itu menunjuk dedaunan yang mereka makan.
:Kita rupanya korban dedaunan ini. Makanan ini beracun!"
"Hm, kukira tidak. Kalau beracun tentunya kita mampus, suheng. Tapi nyatanya hidup. Kita masih hidup! Makanan ini tidak beracun!"
"Tapi membuat perut kita mulas, juga pusing-pusing!"
"Benar, tapi setelah itu mimpi indah, suheng. Ha-ha, mimpi yang indah sekali. Aku ingin memakannya lagi biar mabok!"
"Jangan...!" dan sang suheng yang mencegah serta menyambar tangan sutenya lalu minta agar Hauw Kam tidak menjamah itu, kini perut berkeruyuk lagi dan mereka lapar.
Sehari semalam dalam keadaan teler dan tidak makan atau minum memang akhirnya membuat lapar lagi, Gwan Beng minta agar mereka mencari yang lain, jangan menjamah dedaunan itu. Dan ketika sang adik tertegun namun menurut, dengan sedikit tidak puas maka Gwan Beng sudah berkelebat dan mengajak sutenya mencari makanan yang lain, tak tahunya sebagian besar di pulau itu hanya terisi oleh jenis tanaman ini, daun segar hijau yang dapat dimakan. Dan karena mencoba yang lain ternyata pahit dan tidak enak, Hauw Kam mengomel maka Gwan Beng akhirnya mengalah ketika adiknya minta agar daun-daun itulah yang dimakan.
"Aku lapar, tak tahan lagi. Kalau suheng takut biarlah aku mencoba dan kau melihat."
"Hm, bagaimana kalau mulas lagi?"
"Tak apa, suheng. Tinggal buang hajat dan selesai!"
Gwan Beng menarik napas. Setelah sutenya bicara seperti itu dan apa boleh buat dia harus mengikuti maka pemuda ini mendahului menyambar dan melalap daun-daun itu lagi, memamah dan memakannya. Tapi ketika tak ada rasa mual seperti tadi maka pemuda ini menjadi heran, melihat sutenya tertawa.
"Bagaimana, suheng? Sudah tahan, bukan?"
"Hm, rupanya begitu. Bagaimana perasaanmu, sute? Kau juga tak apa-apa?"
"Aku malah merasa enteng. Tubuhku rasanya lebih ringan!"
"Dan tidak ingin melayang-layang?"
"Kali ini tidak, suheng. Tapi justeru aku ingin menikmati perasaan seperti itu!"
"Hush, kau ingin mimpi dan bertemu dewa-dewi mu itu? Kau mau kencan?"
"Ha-ha, benar, suheng. Aku ingin teler dan mabok lagi. Aku ingin bertemu mereka!" dan ketika suhengnya tersenyum namun kali ini mereka tak diganggu perasaan itu lagi, maka Hauw Kam berani memakan lebih banyak meskipun agak kecewa juga, kecewa karena perasaan seperti 'fly' itu tak ada. Dia tak dapat bermimpi dan menikmati mimpinya yang indah. Ah, dia tak dapat bertemu dengan dewa-dewinya itu.
Namun ketika tenaga terasa pulih dan semangat rasanya bertambah maka sehari-hari akhirnya dua pemuda ini menyantap dedaunan itu, tak ada lain karena di pulau itu benar-benar tak ada binatang atau mahluk hidup. Semuanya tanaman melulu dan heranlah mereka akan keganjilan ini, tak tahu bahwa mereka berada di Pulau Hijau, sebuah pulau yang terletak di antara gugusan pulau-pulau Naga Sakti yang jauh terpencil di selatan, jauh dari keramaian dan dunia.
Dan karena tempat itu merupakan tempat persembunyian yang baik karena Hauw Kam maupun suhengnya takut bertemu nenek Naga dan Hek-bong Siauw-jin maka dua murid utama Hu Beng Kui ini bertahun-tahun hidup di pulau itu. Makanannya hanya daun-daunan itu dan mereka pun tak tahu bahwa daun yang mereka makan adalah daun Cheng-sian-bi-ceng, daun Dewa Hijau yang khasiatnya luar biasa karena dapat memberikan tenaga yang ringan bagi yang bersangkutan, membuat secara alami seseorang memiliki ginkang tingkat atas. Memberikan perasaan lebih segar dan semangat lebih besar.
Kalau saja Hauw Kam dan suhengnya ini tidak linglung justeru dengan penemuannya itu mereka dapat meningkatkan mutu ilmu meringankan tubuh mereka, yang sebelumnya sudah cukup tinggi dan termasuk golongan kelas satu. Tapi karena mereka dicekoki obat pembius dan ilmu-ilmu silat yang mereka punyai adalah akibat gerak kebiasaan sehari-hari di mana kepandaian atau ilmu ini memang selalu lekat pada tuannya maka tak ada peningkatan mutu atau silat pada diri dua orang pemuda ini.
Mereka sehari-hari hanya bermain-main dan keluyuran di sekitar pulau, kadang-kadang berlatih pernapasan untuk melawan hawa dingin, satu sikap atau reaksi untuk menghangatkan tubuh, bila musim hujan atau dingin tiba. Dan karena semuanya ini mereka lakukan berdasarkan kebiasaan sehari-hari, di bawah kekuasaan bawah-sadar maka dua pemuda itu akhirnya bertahun-tahun menyembunyikan diri dengan baik.
Sampai suatu hari, ketika Hauw Kam sedang berjalan-jalan dan kaget disambar ular laut tiba-tiba pemuda ini menjerit karena dari kiri dan kanan mendadak muncul belasan ular laut ini yang tidak disangka-sangka, maklumlah, hampir tujuh tahun ini mereka tak menemukan sejenis ular atau binatang hidup lainnya.
"Ser-ser!"
Pemuda itu mengelak. Otomatis dengan gerakan seorang ahli silat pemuda ini menghindari tubrukan ular di sebelah kiri, tak tahunya yang lain-lain muncul dan menyerang dari kanan dan belakang, juga depan. Dan ketika Hauw Kam harus berlompatan dan tujuh ular laut itu luput semua maka pemuda ini terkejut ketika seekor di antaranya yang ada dibawah, tak kelihatan, tahu-tahu menggigit dan melibat kakinya.
"Augh!" Teriakan Hauw Kam ini menggetarkan isi pulau. Pemuda itu kaget dan marah dan tiba-tiba dengan gusar dia membungkuk, mencengkeram ular di bawah itu. Dan ketika ular ini tertangkap dan langsung dicekik, tidak menghiraukan ular-ular yang lain tiba-tiba Hauw Kam menggigit putus leher ular itu dan mengkeremus kepalanya.
"Kres-kres!" Hauw Kam marah sekali. Kepala ular seketika remuk dan sudah dikunyah pemuda ini, Hauw Kam tak perduli dan marah menghisap darah ular, yang tiba-tiba membanjir dan memenuhi mulutnya. Dan ketika Hauw Kam melotot menghadapi serangan ular-ular yang lain namun mendadak tubuhnya limbung ke kiri kanan tiba-tiba suhengnya muncul dan berkelebat datang.
"Sute, ada apa?"
"Keparat, ular-ular ini menyerangku, suheng. Jahanam dan sungguh mengejutkan bahwa mereka tiba-tiba datang!"
"Ah!" dan Gwan Beng yang terkejut melihat ular-ular itu segera terbelalak melihat sutenya diserang ular-ular ini, satu di antaranya mati dikerumus dan dikunyah sutenya. Mengerikan. Sutenya itu menikmati daging mentah seperti orang gila saja. Tapi ketika sutenya limbung dan terhuyung ke kiri kanan tiba-tiba kembali seekor di antaranya menggigit dan menancap di lengan kiri sutenya, bergelantungan.
"Augh!"
Teriakan ini membuat sang suheng tak membuang-buang waktu lagi. Gwan Beng berkelebat dan langsung menampar ular itu, yang seketika pecah kepalanya dan mati. Tapi ketika sutenya juga roboh dan ular-ular yang lain menyerang dirinya maka Gwan Beng terkejut mendengar sutenya mengeluh panjang pendek.
"Suheng, bunuh mereka semua. Bunuh mereka itu!"
"Tentu, dan ini makanan baru bagi kita, sute. Sudah lama kita tidak menikmati makanan berdaging!"
"Ah, dan aku pusing. Keparat, darah ular agaknya mengandung racun, suheng. Mati aku!"
Gwan Beng terkejut. Dia melihat sutenya mengerang dan mendekap perut, lengah dan empat ular di kiri kanannya tiba-tiba terbang menggigit. Ular-ular laut itu memang dapat terbang! Dan ketika Gwan Beng tersentak namun terlambat tak dapat mengelak lagi maka empat ekor ular itu sudah bergelantungan dan menancap di punggung dan kedua lengannya, juga kaki. Persis belatung!
"Keparat!" Gwan Beng marah, terkejut bukan main. "Jahanam kalian, ular-ular busuk. Enyahlah!" pemuda ini merenggut, bermaksud menarik dan membetot ular-ular itu namun celaka sekali ular-ular ini tak dapat lepas. Mereka lekat seperti lintah. Dan ketika Gwan Beng berteriak dan mencabut dengan paksa maka taring ular menancap di lengannya meskipun ular itu sendiri sudah berhasil dilepas dan dibantingnya remuk!
"Plak-dess!"
Gwan Beng ngeri. Dia merasa tubuhnya tiba-tiba panas dan tak enak, marah kepada dua yang lain yang ada di punggungnya. Ular-ular yang ada di sini agak repot diraih. Gwan Beng membalik dan menyambar ekor mereka yang kebetulan bergoyang-goyang, gontai ke kiri kanan. Dan ketika dia membentak dan mengerahkan sinkangnya, hal yang terlambat dan baru diingat saat itu maka ular ini terlepas karena tubuh sang pemuda tiba-tiba keras seperti besi.
"Krak-pletak!"
Gwan Beng melakukan seperti apa yang dilakukan sutenya. Dalam marah dan sakitnya tiba-tiba seekor dari dua ekor ular ini disambar kepalanya, dibawa ke dekat mulut dan digigitlah lehernya sampai putus. Dan ketika yang lain mati dibanting sementara yang seekor ini sudah dikerumus dan 'dikletak' kepalanya maka robohlah Gwan Beng dengan kepala ular hancur memasuki mulutnya.
"Augh, keparat. Pusing!" Gwan Beng ambruk. Hauw Kam di sana sudah lebih dulu roboh dan pingsan. Gwan Beng menyusul dan akhirnya dua pemuda ini tak sadarkan diri. Mereka diserang ular-ular berbisa yang ahli ular menyebutnya Cheng-hai-coa (Ular Laut Hijau). Dan ketika mereka ambruk dan tak sadarkan diri, terserang panas dan dingin berulang-ulang maka dua hari dua malam dua pemuda ini mengalami siksaan hebat.
Mereka seakan memasuki terowongan gelap yang amat panas, terowongan maut, pintu menuju akherat. Tapi ketika mereka tertarik mundur dan tak jadi memasuki terowongan itu maka di sebelah sini di dunia yang mereka kenal mereka diserang hawa dingin yang membuat mereka seakan mati kaku. Hauw Kam dan suhengnya mengalami keadaan kritis yang benar-benar mengkhawatirkan. Gigitan ular-ular Cheng-hai-coa seharusnya membuat mereka binasa.
Ular-ular itu adalah ular-ular ganas yang bisanya amatlah berbahaya. Cukup sekali gigit biasanya manusia akan tewas tak lebih dari lima menit. Namun karena di tubuh mereka sudah terdapat semacam daya penolak racun karena sesungguhnya dedaunan Cheng-sian-bi-ceng yang mereka makan bertahun-tahun adalah tumbuhan yang berkhasiat menangkal bisa ular, hal yang kebetulan, maka dua suheng dan sute itu selamat. Mereka tak tahu semuanya ini karena semuanya itu memang berjalan secara tak diperhitungkan.
Mereka juga tak tahu bahwa ular-ular Cheng-hai-coa itu datang untuk 'membunuh' dedaunan Cheng-sian-bi-ceng itu, musuh mereka, menyemprot atau menyembur tanaman itu dengan uap racun mereka, karena Cheng-sian-bi-ceng memang akan layu dan mati kalau disembur uap ular-ular Cheng-hai-coa ini. Jadi ular-ular itu datang untuk membinasakan musuh mereka, tanaman Cheng-sian-bi-ceng itu. Tapi karena Hauw Kam dan suhengnya sudah bertahun-tahun melalap dedaunan itu dan di tubuh mereka telah terdapat zat penolak racun khusus untuk menghadapi gigitan ular-ular Cheng-hai-coa.
Maka tadi ular-ular itu marah karena mereka dapat merasakan adanya perlawanan di tubuh dua pemuda ini, racun mereka yang tertolak namun tetap dipaksa masuk. Akibatnya membuat Hauw Kam pusing dan roboh, terjadi pertarungan seru antara zat yang dimiliki dedaunan Cheng-sian-bi-ceng melawan racun yang ada di tubuh ular-ular Cheng-hai-coa, satu pertarungan sengit di mana tentu saja yang menjadi korban adalah Hauw Kam dan suhengnya ini.
Mereka tersiksa dan dua hari dua malam tak sadarkan diri, sebentar rasanya hendak memasuki terowongan neraka namun sebentar kemudian tertarik lagi ke bumi. Mereka jatuh bangun dan nyaris binasa. Maklumlah, mereka bukan hanya sekali tergigit dan Gwan Beng malah mendapat 'hadiah' lima gigitan ular, jadi lebih banyak dari sutenya sendiri dan tentu saja juga lebih tersiksa!
Tapi karena dedaunan Cheng-sian-bi-ceng telah bertahun-tahun mereka makan dan zat atau penolak racun dari tetumbuhan itu lebih banyak dari racun yang menyerang tubuh mereka maka akhirnya Cheng-sian-bi-ceng menang dan racun dari gigitan ular-ular Cheng-hai-coa kalah! Racun ini hancur dan luluh di bawah kekuasaan Cheng-sian-bi-ceng, akhirnya tawar dan tak bekerja lagi. Dan ketika dua hari dua malam itu Hauw Kam dan suhengnya terbebas dari siksaan yang hebat maka dua pemuda itu sadar namun aneh dan mengerikan di tubuh mereka mendadak muncul semacam benang atau lendir-lendir halus mirip benang laba-laba!
"Ih, apa ini?"
"Hei, apa itu?"
Hauw Kam dan suhengnya sadar hampir berbareng. Mereka saling tuding dan menunjuk tubuh sendiri, terbelalak dan bangkit duduk. Dan ketika mereka teringat bahwa mereka diserang ular-ular yang ganas maka Hauw Kam melompat bangun sementara suhengnya tertegun melihat tujuh ular Cheng-hai-coa bergeletakan di situ dengan tubuh yang rata-rata tanpa kepala!
"Kita habis bertempur. Kita melawan ular-ular berbisa!"
Hauw Kam teringat, berteriak dan suhengnya mengangguk. Hauw Kam sendiri sudah melihat tujuh ular yang bergeletakan itu, terbelalak dan dia marah. Dan ketika Hauw Kam menyambar dan bangkai ular ditekuknya maka pemuda ini menggeram membanting hancur.
"Suheng, kita mengalami hal yang aneh-aneh. Aku mimpi bertemu pintu neraka dan keluar masuk di situ!"
"Benar, dan aku juga," Gwan Beng pucat, tergetar menggigil. "Aku juga mimpi yang seram-seram, sute. Tapi aneh bahwa kita selamat!"
"Ya, dan iblis rupanya tak menghendaki jiwa kita. Keparat, kita panggang ular-ular ini, suheng. Kita santap dagingnya!"
"Kau tak takut?"
"Takut apa?"
"Daging atau tulangnya mungkin beracun bagi kita, sute. Kita harus berhati-hati kalau tak ingin mati konyol!"
"Tapi sekarang kita hidup, selamat! Aku yakin bahwa racun ular-ular ini sudah tak mempan lagi!" dan Hauw Kam yang marah melompat ke kiri tiba-tiba sudah mengambil ranting dan daun-daun kering, membakar dan segera api unggun terdapat di situ.
Cepat dan gemas Hauw Kam menusuk-nusuk bangkai ular itu seperti sate, lalu memanggang dan sudah mengumpat caci pemuda ini membolak-balik daging ular, yang sebentar saja sudah matang dan dirobeklah kulitnya dengan kasar. Hauw Kam marah dan tidak menguliti daging ular itu lebih dulu, langsung memanggangnya dan melempar di api unggun. Dan ketika bau keras mulai keruar dan seekor di antaranya sudah matang pemuda ini langsung menggeragoti dagingnya dengan gigi berkeriuk-keriuk.
"Suheng, jangan beri ampun. Ganyang daging ular-ular ini sampai ludas!"
"Hm!" sang suheng terbelalak, mulut tiba-tiba berkecap. "Enak, sute? Tidak apa-apa?"
"Ah, ada apa-apa pun aku tak perlu takut, suheng. Rasanya aku sudah berkali-kali masuk keluar terowongan neraka! Ayolah, coba yang ini dan sikat sampai habis!" Hauw Kam melempar sepotong sate ularnya, langsung ditangkap dan diterima sang suheng.
Dan ketika Gwan Beng mencicipi dan daging ular ternyata gurih maka pemuda ini tersenyum dan langsung menyikatnya. "Hm, kau benar. Enak rasanya, sute. Dan tak perlu takut. Aku juga berkali-kali mimpi masuk keluar neraka. Biarlah, kita sikat mereka dan habiskan sampai tak bersisa lagi!"
"Ha-ha, dan aku baru puas. Wah, enak sekali, suheng. Ayo tambah lagi dan sikat sekuat perutmu!"
Gwan Beng mengangguk-angguk. Akhirnya dia menerima lagi sepotong dua potong, tak sabar dan langsung menyambar seekor yang utuh. Dia tak merasa apa-apa selain rasa enak dan gurih. Tanpa bumbu atau garam ternyata daging-daging ular ini sudah luar biasa lezatnya. Dan ketika tujuh bangkai ular itu habis dan mereka kekenyangan maka benang-benang tipis yang keluar dari pori-pori mereka itu kian banyak saja, padahal sudah berkali-kali diusap dan dihapus hilang.
"Keparat, apa artinya ini? Bagaimana semakin banyak dan tebal saja?"
"Dan aku juga begitu. Eh, coba sedot pernapasanmu, sute. Benang-benang ini dapat dihisap!" Gwan Beng tiba-tiba berseru, menarik dan mengeluarkan napasnya dan tanpa sadar pemuda itu mengerahkan sinkang. Aneh dan ajaib tiba-tiba benang-benang itu "tertarik" ke dalam, memasuki pori-pori kulit.
Dan ketika Hauw Kam mencoba dan benar saja benang mirip jaringan laba-laba itu dapat disedot dan lenyap ke dalam tubuhnya tiba-tiba Hauw Kam tertawa bergelak melihat seekor kelinci muncul, meloncat dari balik semak-semak.
"Ha-ha, ini makanan lain lagi, suheng. Ah, kita mulai kedatangan tamu... jrrttt!" Hauw Kam menggerakkan tangannya, melempar ke kiri dan tiba-tiba benang itu muncul lagi, menyambar dan sudah menjirat kelinci yang kaget itu.
Binatang ini tahu-tahu muncul dan membuat Gwan Beng di sana tertegun. Maklumlah, pulau itu belum kedatangan binatang hidup selain tujuh ular yang menyerang mereka itu. Kehadiran kelinci yang amat tiba-tiba ini sungguh mengejutkan, di samping mengherankan. Tapi begitu sutenya menggerakkan tangan dan benang laba-laba itu sudah menyambar dan menjerat si kelinci gemuk tiba-tiba binatang itu menguik dan meronta-ronta di jaring sutenya.
"Ha-ha, kemarilah!" Hauw Kam menyendal, langsung menarik dan kelinci itu pun tersentak. Hauw Kam mengetuk keningnya dan kelinci itu pun berteriak. Tapi ketika Hauw Kam hendak membunuh dan Gwan Beng berkelebat tiba-tiba pemuda ini berseru mencegah lengan sutenya.
"Tahan, jangan bunuh!" dan Gwan Beng yang bergerak ke kanan dan lenyap sekejap tiba-tiba sudah menjaring kelinci yang lain dan Hauw Kam pun ganti tertegun, melihat suhengnya tertawa dan sudah melakukan seperti apa yang dia lakukan. Suhengnya itu mengeluarkan benang laba-labanya dan terjeratlah kelinci itu di bawah kekuasaan suhengnya. Dan ketika suhengnya bergerak dan sudah berdiri di sampingnya maka pemuda ini tertawa berkata padanya,
"Lihat, jangan gampang main bunuh, sute. Kelinci ini ada sepasang terdiri dari jantan dan betina. Kita dapat mengembang-biakkan mereka!"
"Ah, maksudmu...?" "Benar," sang suheng memotong. "Kita ternakkan mereka ini, sute. Kita kembang-biakkan mereka untuk konsumsi makanan kita!"
"Ha-ha, kau benar. Aku bodoh!" dan Hauw Kam yang melepas kelinci itu tapi menotoknya roboh lalu segera mengerti maksud suhengnya, bahwa kelinci itu tak boleh dibunuh karena ada sepasang. Jantan dan betinanya ada di situ, lengkap. Jadi mereka tinggal mengembang-biakkannya hingga anak-beranak. Itu konsumsi makanan mereka, makanan berdaging, makanan berprotein tinggi!
Maka begitu mengerti maksud suhengnya dan Hauw Kam terbahak maka pemuda ini berseru kegirangan dan sudah cepat menguasai binatang gemuk-gemuk itu, membuatkan kerangkeng dan untuk satu bulan, dua pemuda ini menunggu perkembangbiakan kelinci jantan dan betina itu. Dan ketika beberapa bulan kemudian sepasang kelinci itu benar saja beranak-pinak maka Hauw Kam dan suhengnya mendapat konsumsi makanan baru, daging kelinci yang gemuk dan lezat pengganti dedaunan Cheng-sian-bi-ceng yang lama-lama membuat mereka jemu.
Makanan yang itu-itu saja memang mudah membuat mereka bosan, ingin pengganti. Dan ketika tak lama kemudian suheng dan sute ini tak kehabisan masalah makan namun mereka 'risi' oleh benang laba-laba yang sering keluar dengan sendirinya maka Gwan Beng mengajak sutenya melatih dan menguasai benang-benang aneh ini, menciptakan sebuah kepandaian langka di mana mereka akhirnya menamakan itu sebagai Jaring Naga.
Akhirnya setelah pandai menguasai benang-benang aneh ini suheng dan sute itu pergi melaut, menangkap dan menjaring ikan dengan kepandaian mereka yang aneh itu. Dan ketika lima tahun kemudian keduanya sudah berhasil menciptakan ilmu silat Jaring Naga di mana kepandaian ini merupakan kepandaian khas mereka yang tak ada duanya di dunia maka Hauw Kam akhirnya mengajak suhengnya keluar, meninggalkan pulau.
"Lihat, hiu sebesar ini dapat kutangkap demikian mudah, suheng. Kita sudah dapat menangkap atau menjala apa saja dengan Jaring Naga! Kita keluar, kita main-main lebih jauh dan jangan di sini saja!"
"Hm," sang suheng mengerutkan kening, selamanya amat hati-hati. "Aku takut bertemu suhu atau subo, sute. Aku khawatir bertemu mereka."
"Takut apa? Untuk apa? Mereka dulu hendak membunuh kita, suheng. Sekarang pun ketemu aku tidak takut. Bahkan hendak kubalas kekejaman mereka itu!"
"Hush, jangan begitu. Tak boleh!" Gwan Beng membentak, terkejut. "Jelek-jelek mereka adalah guru, sute. Tak patut murid melawan guru!"
"Tapi mereka kejam, kita hendak dibunuh!"
"Hm, mungkin ada dasarnya, sute. Barangkali kita memang salah dan telah melanggar aturannya!"
"Ah, kau selalu menyalah diri sendiri," Hauw Kam mengomel, tak puas. "Kau selalu membela begitu, suheng. Padahal sepatutnya mereka itulah yang tidak bisa dibenarkan. Guru yang baik tak seharusnya melakukan itu, membunuh murid sendiri!"
"Sudahlah," sang suheng menggeleng kepala. "Murid melawan guru adalah tak benar, sute. Kalau kau ingin jalan-jalan dan keluar sedikit jauh dari tempat ini boleh saja, sendiri. Aku tak ikut dan kau puaskan hatimu."
"Mana bisa? Aku di sini selalu berdua denganmu, suheng. Kalau kau tak mau maka akupun tak sudi berangkat!"
Gwan Beng terkejut. Sang sute tak senang dan sudah berkelebat pergi, mukanya gelap dan tahulah Gwan Beng akan kekecewaan sutenya ini. Dan ketika berhari-hari sutenya tak tampak gembira dan sedikit bicara, hal yang membuat Gwan Beng tak enak hati maka pemuda ini menyetujui keinginan sutenya dengan menepuk perlahan pundak sutenya itu.
"Baiklah, kita pergi. Aku jadi tak tahan kalau melihat kau cemberut begini. Mari, kita berangkat, sute. Kita tinggalkan pulau!"
Hauw Kam terkejut. "Kau sungguh-sungguh?"
"Hm, pernahkah aku main-main?"
"Tapi... tapi aku tak bermaksud main-main lalu kembali ke sini, suheng. Aku bermaksud meninggalkan pulau ini untuk mencari kesenangan di luar!"
"Aku tahu, marilah!" dan sang suheng yang tersenyum berkelebat ke depan tiba-tiba sudah menyambar sebuah perahu dan meminta sutenya naik, membuat sutenya tertegun tapi Hauw Kam girang bukan main. Pemuda ini berteriak dan kontan melesat ke atas perahu, berjungkir balik. Dan ketika Hauw Kam terbahak-bahak sementara suhengnya sudah menggerakkan dayung, kuat dan bertenaga maka pemuda itu menciumi muka suhengnya dengan perasaan girang luar biasa.
"Suheng, kau baik. Ah, kau manusia yang memang baik!" dan Gwan Beng yang tertawa mendorong sutenya ini lalu memberikan dayung yang lain menyuruh sutenya membantu, tak lama kemudian perahu pun mencelat bagai didorong tangan raksasa. Hauw Kam sudah tertawa bergelak mengayun dayungnya. Dan ketika perahu melesat dan meluncur di tengah-tengah ombak samudera maka sebulan dua bulan kakak beradik seperguruan ini segera menjadi perhatian orang lain, naik turun daratan menyambar makanan-makanan enak, bak-pao atau apa saja yang dijajakan orang di pinggir jalan.
Hauw Kam yang merasa paling lapar sudah rakus sekali menyambar ini-itu, diteriaki para penjual karena mereka menyambar makanan itu begitu saja, tanpa bayar. Tentu saja geger dan ributlah orang melihat sepak terjang kakak beradik ini, karena Gwan Beng pun akhirnya tertarik dan ikut-ikutan menyambar ini-itu, tertawa dan menganggap itu miliknya sendiri. Dan ketika mereka membuat keributan kecil namun selalu menjaga keributan-keributan besar akhirnya mereka dikejar-kejar namun tak ada satu pun yang dapat menangkap suheng dan sute ini. Hauw Kam dan suhengnya memang bertahun-tahun hidup terlampau sederhana di Pulau Hijau, tak aneh menjadi lahap dan berkesan rakus melihat makanan-makanan enak.
Dan ketika mereka bertemu Lauw-wangwe di mana hartawan itu akhirnya melihat bahwa dua orang lihai sedang berada di depannya maka cepat-cepat hartawan ini mengambil hati, menyuruh puteranya maju berlutut dan menyebut 'suhu', kontan membuat Hauw Kam dan suhengnya terbelalak. Hauw Kam merasa geli dan tiba-tiba terkekeh, karena panggilan itu serasa menggelitik telinganya. Tapi ketika Lauw-wangwe sendiri cepat-cepat berlutut dan puluhan penampan berisi makanan enak disodorkan dan diberikan dua orang ini, terutama Hauw Kam maka hartawan itu melaksanakan aksinya.
"Ji-wi taihiap (dua pendekar besar) boleh tinggal di gedung kami. Boleh makan dan ambil apa saja sepuas hati. Tapi tolong, berikan sedikit kepandaian kepada puteraku yang bodoh ini dan syukur kalau aku juga mendapat pelajaran."
"Ha-ha, kau bicara apa? Eh, aku melihat bahwa kau dan puteramu ini sudah memiliki dasar-dasar silat yang cukup, wangwe. Tak usah menyuruh kami tinggal di sini atau apa!"
"Tidak.... tidak! Kami tahu kesukaan ji-wi yang aneh, makanan-makanan yang enak dan luar biasa. Bukankah ji-wi belum menikmati sup naga atau hati burung hong goreng? Bukankah ji-wi juga belum menikmati empedu singa masak kecap? Nah, tinggallah di sini bersama kami, ji-wi taihiap. Dan kami jamin kesenangan ji-wi di tempat ini. Marilah, inilah empedu singa dan hati burung hong goreng. Coba ji-wi cicipi, di istana pun tak mungkin ada!"
Lauw-wangwe buru-buru membujuk, tadi dua pembantunya lari melapor bahwa toko makanannya diserbu dua orang gila, mengambil ini-itu dan penjaga atau satpam tak dapat mencegah. Mereka itu didorong dan mencelat semua. Dan karena Lauw-wangwe adalah hartawan kaya di mana toko serta usaha dagangnya yang lain ada di mana-mana maka hartawan ini merasa marah dan cepat keluar untuk melihat siapa dua orang gila itu, membentak dan menyuruh pembantunya menyerang namun semua pembantunya itu mencelat.
Akhirnya hartawan ini maju sendiri dan bersama puteranya yang juga belajar ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai ayah dan anak mengeroyok Gwan Beng dan sutenya ini. Tapi ketika mereka mencelat dan terpelanting tak keruan, Lauw Sun malah merintih di sudut sana maka Lauw-wangwe sadar bahwa yang dihadapinya kali ini adalah orang-orang luar biasa, tokoh-tokoh aneh yang sepak terjangnya seperti orang gila, gimbal-gimbal dan penuh cambang karena Hauw Kam dan suhengnya itu memang tidak pernah merawat tubuh mereka lagi.
Dan ketika semua terlempar dan Lauw-wangwe tertegun maka timbullah satu akal licin di otak hartawan ini, yakni ingin menjadikan dua orang itu sebagai ―pembantunya‖, menarik mereka sebagai guru dari puteranya namun tentu saja akal hartawan ini tak begitu saja berhasil. Hauw Kam tak berniat untuk menerima tawaran itu. Tapi ketika sang hartawan mengeluarkan masakan-masakannya yang luar biasa dan nama-nama seperti empedu singa dan hati burung hong membuat Hauw Kam terbelalak maka pemuda yang kini sudah menginjak usia empat puluhan tahun itu bangkit seleranya.
"Ha-ha, mana empedu singa? Yang mana hati burung hong goreng?"
"Ini, dan itu, taihiap. Mari silahkan cicipi dan rasakan apakah ji-wi pernah menikmati masakan seperti ini!" Lauw-wangwe girang, sudah melihat angin baik dan cepat dia sendiri melayani Hauw Kam dan suhengnya itu. Dengan cekatan dan pandai hartawan ini memberikan masakan-masakan yang dimaksud, disambar dan dicicipi Hauw Kam dan pemuda itu tertawa bergelak. Apa yang disodorkan sungguh luar biasa, istana sendiri agaknya tak pernah membuat masakan seperti ini. Dan ketika Hauw Kam tertawa bergelak dan suhengnya diminta mencicipi pula maka Lauw-wangwe berlutut dan puteranya pun dikedipi agar cepat-cepat memanggil "suhu".
"Maaf, boleh ambil semuanya, taihiap. Dan masih banyak lagi masakan-masakan kami yang istimewa. Ada jantung beruang masak kuah, ada kaki gajah saos tomat. Ji-wi (anda berdua) tentu belum menikmati masakan-masakan ini, bukan? Nah, tinggallah bersama kami, taihiap. Dan kami akan menyajikan semua itu tanpa bayar!"
"Benar, dan aku akan menurut segala perintahmu, suhu. Apapun yang kalian berikan pasti kuterima!" Lauw Sun membenturkan dahi, sudah melihat isyarat ayahnya dan Hauw Kam terbelalak. Gatal telinganya mendengar sebutan itu: suhu! Dan ketika dia tertawa bergelak dan menyambar Lauw Sun, diangkat dan dibanting ke lantai maka Lauw-wangwe berteriak kaget karena mengira puteranya mau dibunuh!
"Ha-ha, pintar bicara kau bocah, manis benar mulutmu. Aih, ayahmu pandai membujuk. Kalau begitu kulihat dulu seberapa kuatkah tulangmu... brukk!"
Lauw Sun mengeluh, kaget berteriak tertahan tapi pemuda ini segera teringat bahwa orang-orang aneh macam begitu biasanya harus dilayani dengan cara yang aneh pula. Kalau tubuh sakit-sakit sebaiknya tertawa, kalau hati ingin tertawa sebaiknya menangis! Maka ketika Lauw Sun terbahak-bahak sementara tubuh yang sakit tak dirasakan sama sekali maka Hauw Kam membelalakkan matanya melihat keadaan yang ganjil ini.
"Eh, kau tertawa? Tidak meringis?"
"Ha-ha, bantinganmu tidak sakit, suhu. Boleh banting lagi kalau kurang!"
"Betul?"
"Tentu!"
Dan Hauw Kam yang sudah menyambar serta mengangkat pemuda ini lagi lalu membanting dan terheran-heran, penasaran dan empat lima kali putera Lauw-wangwe itu diangkat dan dibenturkan ke lantai. Tapi ketika Lauw Sun semakin terbahak-bahak sementara rasa sakit ditahan sekuat tenaga maka Hauw Kam kagum dan terkekeh memandang suhengnya, yang diam-diam juga terkejut dan heran.
"Suheng, bocah ini luar biasa. Tulangnya kuat bukan main!"
"Ya, dan dia tahan sakit, sute. Sungguh mengagumkan!"
"Ha-ha, suhu masih mau mencoba lagi? Ayo, banting lagi, suhu. Sampai mampus!" Lauw Sun menantang, diam-diam marah karena sesungguhnya dia gusar. Kalau saja dua orang ini bukan dicalonkan untuk menjadi gurunya tentu dia sudah memaki-maki. Bantingan demi bantingan yang diterimanya tadi bukannya tidak apa-apa. Lauw Sun merasa remuk tubuhnya dan dia geregetan. Maka ketika dia menantang sementara tantangannya itu lebih bersifat pelampiasan rasa marah karena dia memang marah maka Hauw Kam yang terbahak-bahak melilhat ini tiba-tiba menyambar pemuda itu.
"Cukup, ha-ha, cukup! Tak perlu dicoba lagi, bocah. Kami sudah cukup puas dan kau boleh menjadi murid kami berdua!"
"Dan ayah!"
"Eh!?"
"Benar, sedikit-sedikit ayah juga kalian perkenankan mendapat satu dua ilmu silat kalian, suhu. Agar kami berdua tak usah takut menghadapi lawan-lawan tangguh, kalau kebetulan suhu berdua sedang tak berada di rumah!"
"Hm, begitu?"
"Ah!" Lauw-wangwe buru-buru membungkuk. "Omongan anakku ada benarnya, taihiap. Tapi kalau ji-wi tak setuju tentu saja aku tak memaksa!"
"Ha-ha, jangan sebut kami taihiap. Eh. Boleh saja, Lauw-wangwe. Tapi lihat apakah kalian mampu atau tidak!" dan Hauw Kam yang terbahak membawa pemuda itu tiba-tiba berkelebat dan menghilang di luar, berkata bahwa hari itu juga Lauw Sun menjadi muridnya. Makan minum yang enak harus disediakan hartawan itu kalau ingin mereka berdua kerasan di situ, permintaan yang tentu saja disanggupi hartawan ini.
Dan ketika dengan girang Lauw-wangwe memenuhi permintaan itu dan mulai hari itu Hauw Kam tinggal di gedung hartawan she Lauw maka hari demi hari dilewatkan dua orang murid Hu Beng Kui ini dengan senang. Mereka dapat melakukan apa saja di situ dan segala keinginan mereka dipenuhi. Lauw-wangwe tak tanggung-tanggung untuk melayani sendiri permintaan tamunya ini. Dan karena sepak terjang dua orang itu memang aneh dan mereka tak mau dipanggil taihiap maka sebulan kemudian Lauw-wangwe merobah sebutannya dengan Koai-jin, orang aneh, atau bisa juga disebut atau diartikan Orang Gila.
Sebutan yang justeru membuat Hauw Kam terpingkal-pingkal dan senang bukan main. Maklumlah, Hauw Kam dan suhengnya ini memang kadang-kadang 'angot' alias kumat kalau ketidakwarasan mereka datang, karena bagaimanapun obat yang diberikan nenek Naga maupun Hek-bong Siauw-jin masih bekerja, merampas dan menanggalkan segala ingatan dua laki-laki ini, yang kini sudah berusia empat puluhan tahun dan cambang serta rambut mereka semakin panjang dan tak terurus.
Dan ketika semuanya itu berjalan secara rutin dan Lauw-wangwe akhirnya mengadakan pesta pernikahan anaknya tapi diganggu atau dibuat ribut oleh datangnya Sepasang Copet Jari Seribu maka kekacauan itu timbul dan muncullah Soat Eng, yang akhirnya mengobrak-abrik gedung hartawan itu tapi akhirnya dirobohkan atau dikalahkan Hauw Kam dan suhengnya mengandalkan Jaring Naga, silat aneh yang tentu saja baru kali itu dilihat gadis ini di mana akhirnya gadis itu dibawa lari atau diculik sepasang suheng dan sute ini, yang sebenarnya masih paman gurunya, seperti yang sudah kita ketahui di depan. Dan bagaimana nasib Soat Eng selanjutnya? Mari kita lihat.
"Brukk!" Soat Eng dilempar di sudut guha ketika dengan tersengal-sengal Hauw Kam mengomel panjang pendek. Pria ini merasa tubuh gadis itu kian berat saja, terkejut dan memberikan pada suhengnya tapi Gwan Beng juga merasakan hal yang sama. Di sepanjang jalan gadis itu memaki-maki dan Hauw Kam berang, dua kali mau menampar tapi sang suheng mencegah. Gwan Beng teringat wajah seseorang dan berkali-kali dia memeras otak.
Wajah Soat Eng serasa dikenalnya, begitu dikenalnya namun sayang dia tak ingat lagi kapan dan di mana, karena sesungguhnya yang dikenal atau diingat laki-laki itu adalah wajah sumoinya, Swat Lian, ibu gadis ini. Maka ketika mereka sudah jauh meninggalkan rumah hartawan she Lauw dan Gwan Beng maupun sutenya tertarik oleh kepandaian Soat Eng maka Gwan Beng akhirnya minta berhenti di sebuah guha untuk mulai mencari data.
"Gadis ini menarik, dia pandai mainkan ilmu silat pedang kita. Dan dia tahu namanya pula. Eh, kita berhenti di sini, sute. Kita korek keterangan darinya dari mana dia tahu semua itu!"
"Hm!" Hauw Kam bersungut-sungut. "Dan dia menyebut ilmu pedang kita Giam-lo Kiam-sut. Gila! Apakah kita yang tak tahu namanya atau gadis ini menyebutnya secara sembarangan saja, suheng? Baik, kita istirahat dan kompres mulutnya. Kalau dia tidak mau mengaku maka kita siksa!"
"Heii!" Soat Eng berteriak-teriak. "Kalian boleh siksa atau bunuh aku, manusia-manusia siluman. Aku tidak takut! Kalian pencuri, kalian pendusta. Itu adalah Giam-lo Kiam-sut dan warisan kakekku yang gagah pemberani Hu Beng Kui. Kalian siluman dari mana entah bagaimana mencuri ilmu pedang kakekku itu!"
"Hm, berkali-kali dia menyebut Hu Beng Kui. Siapa orang ini, suheng? Di mana dia?"
"Aku tak tahu. Sebaiknya kita tanya dia," dan Gwan Beng yang berkerut-kerut menghadapi gadis itu lalu memandang bersinar-sinar dan bertanya, suaranya halus, lain dengan Hauw Kam yang suka membentak-bentak, "Anak baik, siapa itu Hu Beng Kui? Di mana dia? Dan bisakah kau menemukan kami dengan orang yang kau sebut-sebut sebagai kongkongmu (kakek) itu?"
"Bangsat keparat! Lepaskan aku dulu, cambang tengik. Bebaskan aku dan baru kita bicara!"
"Hm, kau liar. Dan amat lihai. Sementara ini tak dapat kami bebaskan dan kau bicaralah terus terang..."
"Terus terang apa lagi? Aku cucu Hu Beng Kui. Dan awas kalian kalau bertemu dengan ayahku. Pendekar Rambut Emas!"
"Hm, nama ayahmu pun menarik. Kami juga sering mendengar nama ayahmu ini disebut-sebut sepanjang jalan, Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas! Eh, di mana kalau begitu ayahmu itu, anak baik? Kau dapat menemukan kami dengan ayahmu itu?"
"Kau segera akan diantarnya ke akherat. Ayah dan ibuku tinggal di luar tembok besar. Hayo kalian ke sana kalau berani...!"
"Nah, kau tahu rasa, pengemis busuk. Sekarang jangan bicara macam-macam lagi kalau tak ingin kubunuh!" lalu, berkelebat dan memandang sutenya si gagah itu berseru, "Sute, kita pergi!" dan begitu tubuhnya lenyap membawa Soat Eng si gagah ini telah meninggalkan rumah hartawan she Lauw dan tidak perduli kiri kanan lagi, diteriaki hartawan itu tapi tak menggubris.
Lauw-wangwe terkejut dan membelalakkan mata disana. Tapi ketika terdengar erangan dan gebukan tongkat tiba-tiba saja kakek pengemis itu dilihatnya bangkit berdiri sementara puteranya di sana menjerit dan terlempar roboh, kena serangan Kiat Ma dengan suhengnya.
"Aduh... bluk-dess!"
Hartawan ini pucat. Kalau puteranya di sana terpekik dan keadaan sungguh tidak menguntungkan maka satu-satunya jalan adalah segera angkat kaki dari situ. Sin-tung Lo-kai tampak memandangnya bersinar-sinar sementara kakek pengemis itu kelihatan akan menyerangnya lagi. Tongkat andalannya tak ada, dia sendiri. Dan ketika terdengar lagi teriakan serta jeritan puteranya maka hartawan ini membentak dan berkelebat ke depan.
"Manusia busuk, lepaskan puteraku!"
Kiat Ma dan suhengnya terpental. Mereka terkejut ketika hartawan itu menyerang mereka, melakukan satu pukulan keras dan mereka terpelanting. Memang dua orang ini masih bukan tandingan si hartawan she Lauw dan mereka terpekik. Tapi ketika dua orang itu bergulingan meloncat bangun dan Sin-tung Lo-kai bersiap untuk membantu muridnya, menggeram, ternyata Lauw-wangwe tak mengejar dan justeru menyambar puteranya untuk dibawa pergi.
"Sun-ji, kita pergi. Tak guna di sini!" dan hartawan itu yang sudah membawa puteranya tak mau berlama-lama tiba-tiba melepas beberapa senjata gelap untuk menghalau Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya, berkelebat dan lenyap di belakang gedung dan kakek pengemis itu berteriak kecewa.
Sin-tung Lo-kai mengambil tongkat barunya dan mengejar, setelah menangkis runtuh semua jarum dan paku-paku yang disambitkan Lauw-wangwe. Dan ketika Kiat Ma dan suhengnya juga memburu namun si hartawan sudah menghilang maka tiga orang ini marah-marah dan mengobrak-abrik tempat itu, tetap tak mendapatkan lawan mereka dan gegerlah keramaian di situ.
Pengantin puteri lari tak keruan dan para tamu pun panik. Mereka sudah kacau sejak Sin-tung Lo-kai dan Soat Eng muncul di situ, bertanding dan melempar-lemparkan pembantu si hartawan yang tentu saja bukan tandingan dua orang ini. Dan ketika semua melarikan diri dan Sin-tung Lo-kai teringat puteri Pendekar Rambut Emas itu tiba-tiba kakek ini berkata bahwa mereka harus menemukan Soat Eng, mencarinya.
"Kita tak menemukan hartawan itu, tak apalah. Tapi kita harus mencari dan menemukan gadis ini. Hayo, kita pergi, Kiat Ma. Tak usah lagi mengobrak-abrik tempat ini karena Lauw-wangwe sudah melarikan diri!"
"Tunggu!" sang murid berkata. "Kau betul, suhu. Tapi aku ingin menyelesaikan ini!"
"Apa?"
"Ini!" dan Kiat Ma yang menepuk-nepuk punggung suhengnya memberi tahu tentang pundi-pundi uang yang demikian penuh, berkata bahwa mereka ingin membagi-bagikan itu kepada fakir miskin. Memang dua copet ini bekerja untuk rakyat jelata, hasil pekerjaan mereka sebagian besar diberikan kepada orang-orang miskin, cara kerja yang aneh. Dan karena Sin-tung Lo-kai sudah mengetahui itu dan kakek ini mengangguk maka berkelebatlah kakek itu meninggalkan muridnya.
"Baiklah, kau boleh lakukan itu, Kiat Ma. Tapi cepat susul aku begitu selesai!"
"Terima kasih!" dan Kiat Ma serta suhengnya yang berseri mendengar itu lalu mengangguk dan tertawa membalikkan tubuh, sudah meloncat ke arah timur dan berpisahlah guru dan murid ini. Mereka sementara akan membagi pekerjaan masing-masing. Gurunya mencari Soat Eng dan mereka menyusul. Dan karena semua sudah diatur dan dua copet itu meninggalkan gedung hartawan she Lauw maka di sana Soat Eng sudah dibawa kabur dua orang aneh ini. Siapa mereka? Bagaimana dapat menurunkan ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut kepada Lauw Sun dan ayahnya? Mari kita ikuti.
* * * * * * * *
Dulu, belasan tahun yang lewat si jago pedang Hu Beng Kui mempunyai beberapa orang murid. Yang terlihai tentu saja putera dan puterinya, Beng An dan Swat Lian. Tapi karena Beng An telah tewas dan Swat Lian akhirnya menjadi isteri Pendekar Rambut Emas, ibu dari Soat Eng itu maka yang mewarisi ilmu kepandaian si jago pedang itu tinggal puterinya ini dan dua orang murid utama, karena yang lain-lain akhirnya tewas dan terbunuh (baca: Pendekar Rambut Emas dan Sepasang Cermin Naga).
Jago pedang itu, yang kini tewas oleh See-ong, memang betul-betul seorang yang lihai. Dia disegani dan ditakuti baik oleh kawan maupun lawan. Ilmu pedangnya yang hebat, Giam-lo Kiam-sut, amatlah luar biasanya. Ditunjang oleh kematangannya dan kemahirannya bermain pedang memang jago tua ini merupakan lawan teramat berbahaya. Apalagi setelah Hu Beng Kui atau Hu-taihiap (pendekar besar Hu) itu mendapat tambahan ilmu-ilmu dari Cermin Naga, Jing-sian-eng dan Khi-bal-sin-kang itu.
Dan karena sebelumnya jago pedang ini sudah merupakan tokoh yang dimalui dan ilmu pedangnya Giam-lo Kiam-sut itu amat hebat dan berbahaya sekali maka tambahan ilmu-ilmu dari warisan Cermin Naga menjadikan pendekar ini semakin dahsyat dan lihai, Kim-mou-eng sendiri hampir bukan menjadi tandingannya kalau saja Pendekar Rambut Emas itu tidak mewarisi Lu-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang, dua ilmu luar biasa yang didapatnya dari Bu-beng Sian-su, kakek dewa maha sakti itu.
Dan karena Hu Beng Kui akhirnya tunduk dan kalah setingkat oleh menantunya ini maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas itu akhirnya berhasil memperoleh puterinya yang kini menjadi isterinya itu, Swat Lian atau Hu Swat Lian yang menjadi ibu dari Soat Eng.
Adakah jago pedang itu puas oleh kekalahannya dari menantunya itu? Sebenarnya tidak. Jago tua ini dikenal sebagai orang yang keras hati dan keras kemauan. Diam-diam dia penasaran oleh kekalahannya dari Pendekar Rambut Emas itu. Tapi karena anak perempuannya sudah menjadi isteri Pendekar Rambut Emas itu dan tak mungkin dia harus bermusuhan dengan menantunya sendiri maka penasaran atau ketidakpuasan jago pedang ini dipendam.
Memang aneh. Hu Beng Kui dikenal sebagai jago tua yang tak kenal menyerah. Lihat saja nasibnya sewaktu dia mendarat di Sam-liong-to. Bukankah dia sudah tahu bahwa di sana dia akan menghadapi lawan-lawan berbahaya? Bukankah dia sudah tahu bahwa dalam keadaan luka dan tidak sehat begitu dia tak akan selamat? Tapi jago tua ini tetap menerjang juga.
Memang dia seorang tokoh yang keras hati namun gagah. Kegagahannya tak perlu disangsikan lagi dan orang memang mau tak mau menjadi kagum. Jago tua ini hebat, kepandaiannya tinggi dan ilmu silatnya pun luar biasa. Ketegaran hatinya tak perlu disangsikan lagi. Tapi karena kekerasan hatinya terlampau luar biasa dan watak ini memberi kesan kaku maka nasib malang akhirnya tak dapat dicegah lagi menimpa jago tua itu.
Dan sekarang, kembali pada cerita muridnya itu adakah yang masih hidup? Adakah di antara mereka yang kelihatan? Sebenarnya ada. Di kisah yang lalu, dalam 'Sepasang Cermin Naga' kita tahu bahwa dua murid Hu Beng Kui masih hidup. Mereka itu adalah Gwan Beng dan Hauw Kam, dua orang suheng atau kakak seperguruan dari nyonya Pendekar Rambut Emas, Hu Swat Lian itu. Namun karena mereka diculik dan belasan tahun ini tak pernah ditemukan maka dua orang itu nyaris hilang.
Di Sepasang Cermin Naga telah diceritakan betapa dua orang murid si jago pedang itu diculik oleh nenek iblis Naga Bumi dan temannya, si setan cebol Hek-bong Siauw-jin, yakni ketika perebutan Cermin Naga di puncak bukit di mana waktu itu hampir semua orang kang-ouw datang berduyun-duyun. Dua murid Hu Beng Kui ini, Gwan Beng dan Hauw Kam juga datang dan ikut menyaksikan jalannya perebutan. Bersama Swat Lian atau sumoi (adik seperguruan perempuan) yang waktu itu masih gadis dua orang pemuda ini ikut dan menyaksikan jalannya perebutan.
Tapi karena di tengah jalan mereka menemui kesialan, bertemu dua di antara enam Iblis Dunia maka Hauw Kam akhirnya diculik nenek Naga Bumi sementara Gwan Beng, suhengnya, disambar dan dibawa si iblis cebol Hek-bong Siauw-jin. Dua orang itu mengalami penderitaan besar di tangan dua kakek dan nenek iblis ini. Mereka disiksa dan dipermainkan, terakhir menelan obat pelupa ingatan dan jadilah dua orang pemuda itu sebagai manusia-manusia yang lupa akan dirinya sendiri.
Dan ketika dua kakek dan nenek iblis itu memaksa mereka menjadi murid, Hauw Kam di bawah kekuasaan Naga Bumi sementara suhengnya dikendalikan Hek-bong Siauw-jin maka dua orang murid Hu Beng Kui ini menjadi tawanan dua nenek dan kakek iblis itu. Mereka dibawa ke mana saja tapi akhirnya dijebloskan ke palung maut, jauh di dasar bumi di mana mereka tak berdaya apa-apa.
Nenek Naga Bumi sedang dibuat marah oleh kegagalannya merebut Cermin Naga, begitu pula Siauw-jin. Dan karena persoalan demi persoalan mengganggu mereka dan dua nenek dan kakek iblis itu akhirnya tak mau direpotkan dua pemuda ini maka mereka dilempar dan dijebloskan ke palung maut, sebuah sumur dalam yang tak mungkin dipanjat naik kalau tak dibantu seorang pandai. Dan nasib sial menghabiskan harapan murid-murid Hu Beng Kui ini.
Tapi apakah betul begitu? Teoritis memang benar, tapi sesuatu yang tak diduga terjadi di dalam palung maut itu. Karena Hauw Kam dan suhengnya yang sudah terlempar dan terkubur hidup-hidup ternyata tiba-tiba menemukan jalan keluar yang tak dinyana dan sungguh tak diduga nenek dan kakek-kakek iblis itu. Hauw Kam dan suhengnya ketika terlempar ke bawah ternyata malah terbanting di air. Tempat ini demikian tinggi hingga riak atau kecipak air tak terdengar. Mereka itu pingsan tapi akhirnya sadar, ketika tubuh disundul-sundul sesuatu dan mereka merintih.
Dan ketika Hauw Kam dan suhengnya tertegun karena lima ekor lumba-lumba mempermainkan moncong mereka di tubuh, menyundul dan mengeluarkan suara-suara aneh maka suheng dan sute ini terbelalak karena mereka ternyata berada di laut, atau lebih tepat lagi, berada di sebuah terowongan laut di mana palung di atas itu merupakan sumur bumi yang bawahnya berhubungan dengan samudera, sebuah palung aneh hingga mereka masih hidup!
Dan ketika dua pemuda itu tertegun dan sadar, rupanya sudah terhanyut dan berada di sekelompok ikan lumba-lumba yang menolong dan menyadarkan mereka tiba-tiba saja seekor di antaranya menyelam dan mengangkat tubuh Hauw Kam untuk digendong di atas punggungnya.
"Slup!" Hauw Kam tergelincir. Pemuda ini terkejut tapi tidak mengerti apa yang diinginkan sang ikan, berteriak tapi lumba-lumba itu sudah menyelam dan muncul lagi, memasang punggung untuk menerima atau 'menggendong' tubuh pemuda itu. Dan ketika dua tiga kali gagal namun untuk yang keempat kalinya tidak maka Hauw Kam sudah dibawa meluncur dan ikan lumba-lumba ini berenang cepat ke laut bebas.
"Slup-slup!"
Hauw Kam terbelalak. Akhirnya dia mengerti dan.mengeluh kegirangan, perutnya di punggung ikan dan menelungkuplah pemuda itu di atas tubuh lumba-lumba. Tapi ketika Hauw Kam sadar bahwa dia tidak sendiri dan berteriak memanggil suhengnya tiba-tiba saja suhengnya itu sudah berada di sampingnya diatas punggung lumba-lumba pula, menelungkup persis dia!
"Suheng...!"
"Sute...!"
Dua pemuda ini terkejut. Sama seperti dirinya ternyata Gwan Beng, suhengnya itu, dibawa dan digendong lumba-lumba pula, lumba-lumba yang lain. Dan ketika mereka berteriak dan saling melambaikan tangan maka tiga lumba-lumba pengiring berenang di belakang mereka seperti pengawal!
"Ha-ha!" Hauw Kam tiba-tiba tertawa bergelak. "Kita menjadi raja di lautan bebas, suheng. Dan kita selamat!"
"Benar, dan kita tak perlu bertemu dua orang guru kita lagi, sute. Mereka mau membunuh kita!"
"Dan aku ngeri. Ih, palung itu dalam luar biasa, suheng. Kalau tidak terjatuh ke air tentu kita tewas. Kejam, suhu dan subo kejam!" Hauw Kam mengangguk kegirangan, merasa lolos dari maut dan kini meluncurlah mereka di atas punggung lumba-lumba. Lima ikan besar itu menyelamatkan mereka dan dua di antaranya sudah menjadi 'perahu', membawa dan menggendong mereka untuk berenang di laut bebas. Dan ketika ikan-ikan itu berenang kian cepat dan pengalaman tak terlupakan ini membuat Hauw Kam melonjak kegirangan tiba-tiba pemuda itu bangkit duduk dan mencengkeram punggung ikan sambil terbahak-bahak.
"Suheng, kita mempunyai tunggangan istimewa. Ha-ha, mereka ini lumba-lumba luar biasa yang menjadi perahu!"
"Benar, tapi hati-hati, sute. Awas jatuh!"
"Tidak, eh... byurr!" dan Hauw Kam yang benar saja tergelincir dan jatuh dari punggung ikan tiba-tiba berteriak karena tak mengikuti nasihat suhengnya, terlempar dan jatuh ke dalam air namun lumba-lumba tunggangannya mendadak berhenti. Tiga yang lain juga berhenti dan seekor di antaranya tiba-tiba menyelam, muncul dan sudah membawa Hauw Kam dipunggungnya. Jadi, seolah menggantikan temannya itu. Dan ketika Hauw Kam terkejut dan membelalakkan matanya maka lumba-lumba ini sudah berenang dan meluncur lagi.
"Ha-ha, ajaib, suheng. Aku ditolong lagi!"
"Hm!" suhengnya terkejut, juga membelalakkan mata. "Kau jangan ceroboh lagi, sute. Atau kau bakal terlempar dan tidak tertolong lagi!"
"Ah, tentu. Aku sekarang hati-hati!" dan Hauw Kam yang terbahak di punggung ikan lalu menelungkup dan membelai serta berbisik di atas kepala ikan itu, menyatakan terima kasihnya dan kini berenanglah lagi lima ekor lumba-lumba itu di laut bebas. Mereka "slap-slup-slap-slup" di atas laut dan Gwan Beng yang pendiam berkali-kali harus mencengkeram leher tunggangannya kalau tak ingin lepas, karena tubuh ikan itu demikian licin dan nyaris saja dia terlempar.
Dan ketika dua hari dua malam dua pemuda itu dibawa entah ke mana maka di waktu mereka kelelahan, juga masih sakit-sakit oleh bantingan di dasar palung tiba-tiba saja mereka sudah berada di sebuah pulau ketika tertidur! Waktu itu Hauw Kam dan suhengnya sama-sama letih. Lima ekor lumba-lumba ini membawa mereka berenang jauh sekali, mungkin ribuan li. Dan ketika mereka kelelahan dan mengantuk, tertidur di atas punggung ikan tahu-tahu mereka sudah berada di sebuah pulau ketika terbangun, pagi harinya.
"Hei, mana mereka, suheng? Di mana kita kini?"
Gwan Beng juga tertegun. Murid pertama Hu Beng Kui yang paling pendiam ini terkejut, melihat di depannya laut bebas tapi tak ada lagi lima ekor lumba-lumba itu. Mereka sudah berada di pantai pesisir dengan pasirnya yang lunak lembut, jauh dari mahluk hidup dan hanya deburan ombak yang terhampar didepan mata. Selebihnya kosong dan tak ada siapa pun. Pulau itu kecil dan hanya tanaman perdu dan satu dua pohon besar berdiri di sekeliling mereka. Lainnya hening dan sepi. Dan ketika pemuda ini tertegun dan membelalakkan matanya, terkejut tapi juga menyesal maka sutenya berkelebat tapi terguling roboh.
"Heii...!" Hauw Kam terpekik. "Aku lemah, suheng. Aku kehilangan banyak tenaga!"
"Hm!" Gwan Beng akhirnya sadar, tubuh sendiri juga tiba-tiba terhuyung, roboh. "Kita kelaparan, sute. Dua hari ini tak makan kecuali minum air laut!"
"Benar, dan aku, ah... aku tak tahu ke mana lumba-lumba penolong kita itu, suheng. Aku menyesal tak menemukan mereka kembali!" Hauw Kam bangkit terhuyung, tertatih menghampiri suhengnya dan dua pemuda ini saling pandang.
Mereka benar-benar menyesal dan 'getun' kenapa mereka tertidur sampai lelap, tak mengetahui perbuatan lumba-lumba itu yang melempar tubuh mereka ke atas daratan, jatuh dan masih saja pulas karena mereka memang kelelahan, habis tenaganya. Namun ketika suhengnya berkata bahwa mereka tak usah menyesal lagi karena lumba-lumba itu rupanya penolong mereka tanpa pamrih maka Hauw Kam mengangguk dan berkata,
"Betul, kita sudah diselamatkan. Mereka bekerja tanpa pamrih. Aih, jauh benar bedanya mereka dengan dua orang guru kita, suheng. Rupanya kita harus tinggal di sini dan tak usah keluar!"
"Hm, dan mencari makan. Perutku lapar, kita kehabisan tenaga. Apa yang kira-kira kita dapat di sini, sute? Kau masih bisa berjalan?"
"Aku... aku dapat. Tapi, ah... kakiku berat sekali. Asal perlahan-lahan aku dapat menyertaimu, suheng. Kita memang harus mencari makan kalau tak mau mati di sini!"
"Hm, tak usah bicara tentang kematian. Dewa maut rupnya belum menyukai jiwa kita. Mari, kita berpegangan, sute. Hati-hati dan mari kutapak!" Gwan Beng memegang sutenya, berjalan terhuyung dan akhirnya dua pemuda ini mengitari pulau.
Dengan kaki berat dan sering terjatuh suheng dan sute ini mencari makan. Mereka bermaksud mencari kelinci atau binatang kecil, ular atau apa saja. Tapi ketika mereka tak menemukan itu dan isi pulau ternyata hanya dedaunan melulu, pohon-pohon besar dan tanaman perdu akhirnya Hauw Kam mengeluh, jatuh terduduk.
"Celaka, kita rupanya harus mati, suheng. Tak ada makanan apa pun di sini!"
"Hm, tidak," suhengnya menggeleng, bersinar-sinar memandang sejenis tanaman yang daunnya hijau segar. "Tak ada daging kita bisa makan sayur, sute. Tak perlu putus asa karena ini pun makanan!" Gwan Beng meraup dedaunan hijau segar itu, mengamatinya sejenak lalu mengunyah. Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu tampak lahap dan segenggam daun segar habis dimamah, memasuki mulutnya maka Hauw Kam terbelalak melihat suhengnya itu mengambil lagi, tampak demikian enak!
"Sute, dedaunan ini pun makanan. Ayolah, ambil segenggam dan nikmati rasanya. Manis dan segar!"
Hauw Kam tiba-tiba meneteskan air liur. Pemuda itu melihat betapa dengan enak dan lahap sekali suhengnya sudah menikmati dedaunan ini, mengunyah dan memamahnya seperti kambing! Dan ketika pemuda itu ragu namun rasa lapar menyerangnya hebat tiba-tiba dia pun mengikuti dan sudah mengambil dedaunan itu, menggigitnya sepotong dan aneh serta mengejutkan ternyata dedaunan itu mengandung aroma yang khas dan tidak pahit, manis dan segar dan segera saja pemuda ini melahapnya segenggam! Dan ketika cepat kemudian dedaunan mentah itu dilalap habis maka Hauw Kam dan suhengnya seolah berebutan mengisi perutnya, mirip kambing atau hewan ternak yang kelaparan!
"Ha-ha, betul katamu, suheng. Dedaunan ini manis dan segar sekali. Ah, luar biasa. Tenagaku pulih dengan cepat!"
Memang benar. Gwan Beng juga merasakan itu dan pemuda ini mengangguk. Daun mentah yang mereka makan ternyata sayuran bergizi yang cepat sekali memulihkan kekuatan mereka. Dan ketika Gwan Beng tersenyum-senyum sementara sutenya terbahak-bahak tiba-tiba Hauw Kam berteriak ketika kepalanya tiba-tiba pusing.
"Hei, aku tak dapat berdiri tegak lagi, suheng. Bumi rasanya berputar!"
"Dan aku juga," Gwan Beng terkejut, merasakan hal yang sama. "Aku melihat langit terbalik-balik, sute. Dan, ah... jangan-jangan daun ini beracun...bluk!"
Gwan Beng dan sutenya jatuh berbareng, kaget berteriak tertahan dan dua pemuda ini semakin terkejut ketika perut mereka melilit-lilit. Usus seakan diremas dan bergulinganlah Hauw Kam mendahului suhengnya. Pemuda ini berteriak-teriak dan akhirnya kesakitan, demikian hebat rasa sakit itu disertai rasa mual. Dan ketika semuanya itu diiringi rasa tak enak di mana Hauw Kam tiba-tiba ingin membuang kentut maka bunyi yang nyaring seakan meledak seperti knalpot mobil.
"Prootttt....!" Gwan Beng mengalami hal yang sama. Pemuda ini pun membuang kentut nyaring yang amat keras, demikian kerasnya hingga pohon di sekitar mereka berderak, mau tumbang! Dan ketika Hauw Kam di sana mengaduh-aduh sementara Gwan Beng yang lebih tahan dan menggigit bibirnya juga harus berjuang mati-matian tiba-tiba Hauw Kam sudah berteriak dan mencebur ke laut.
"Suheng, aku ingin membuang hajat. Wadaoh, aku ingin membuang hajat..... prot-proottt!" kentut panjang mendahului teriakan pemuda itu, susul-menyusul dan pemuda ini sudah melempar tubuhnya ke laut. Tanpa banyak pikir lagi Hauw Kam sudah melepas celananya, yang hampir tak tertahan karena saat itu juga isi perutnya sudah memberobot tanpa ampun. Dan ketika pemuda ini ah-uh-ah-uh berendam di air laut maka muka yang tegang namun lucu tampak di wajah pemuda ini.
Gwan Beng di sana juga akhirnya melakukan hal yang sama. Pemuda ini terhuyung jatuh bangun mencebur ke laut, melepas celananya. Dan ketika dua pemuda itu sama 'ndodhok' dan membuang hajat aneh namun nyata Hauw Kam terbahak-bahak menyaksikan suhengnya berkerut-kerut, saat itu rasa sakit tiba-tiba hilang.
"Suheng, aku lega. Isi perutku terkuras!"
"Hm, aku juga. Namun aneh tubuhku sekarang terasa ringan, sute. Rasanya seringan kapas dan ingin terbang!"
"Ah, aku juga. Apakah mimpi? Eh, aku merasa ringan!" Hauw Kam terkejut, sudah selesai membuang hajat namun kepala terasa enteng dan ringan. Sewaktu dia melangkah tiba-tiba saja seakan melayang dan mau jatuh.
Dan ketika Gwan Beng di sana juga selesai dan terhuyung menjauhi pantai mendadak pemuda itu mengeluh dan roboh tersungkur jatuh. Hauw Kam ternyata lebih dulu dan sudah mengerang tak keruan, bukan kesakitan melainkan ketakutan. Pemuda ini seakan tak menginjak bumi karena tubuh serasa melayang-layang di tempat yang ringan, serasa berada di ruang hampa udara dan tentu saja pemuda itu terkejut.
Mereka berdua sama-sama tak tahu bahwa itulah hasil makanan 'sayur bergizi', dedaunan hijau segar yang mengandung semacam gas atau zat pelambung semangat. Perut yang tak tahan akan segera bereaksi mulas-mulas, seperti Hauw Kam dan suhengnya tadi. Dan setelah isi perut terkuras dan dua pemuda itu terbiasa maka reaksi berikutnya adalah perasaan semacam ingin melayang, tak mampu berdiri tegak dan jadilah dua pemuda itu terhuyung-huyung.
Gwan Beng yang lebih tenang dapat menekan perasaannya yang tidak keruan namun lama-lama pemuda itu cemas juga. Gwan Beng berpikir bahwa mereka keracunan, hal yang sebenarnya tidak. Dan ketika gas atau zat pelambung semangat itu bekerja tinggi dan mereka berdua tak dapat berjalan tiba-tiba keduanya ambruk dan Hauw Kam mengeluh panjang pendek.
Pemuda ini merasa tak menginjak bumi lagi karena seakan berada di dunia yang lain, semacam awang-awang atau apa, dunia yang ringan dan benar-benar merampas kesadaran. Dan ketika Gwan Beng di sana juga 'teler' dan setengah sadar setengah tidak maka Hauw Kam dan suhengnya seperti orang mabok, mengeluh panjang pendek dan dua pemuda itu berada dalam keadaannya yang tidak pasti selama sehari semalam. Mereka roboh tak bergerak-gerak dan masing-masing selalu menyebut yang lain.
Hauw Kam memanggil-manggil suhengnya sementara sang suheng pun memanggil-manggil dirinya, mirip orang linglung. Namun ketika semalam lewat dengan cepat dan reaksi gas sudah biasa di tubuh mereka maka keesokannya dua pemuda ini pulih dan sadar seperti biasa.
"Aduh, aku bertemu dewa-dewi yang cantik dan gagah-gagah. Sialan, mimpi apakah aku semalam, suheng?"
"Hm, aku juga. Aku bertemu empat dewi cantik jelita, sute. Mereka mencumbu dan coba merayu aku."
"Ah, aku juga. Aku juga dirayu dan dicumbu! Ha-ha, kalau begitu mana mereka, suheng? Dan mana pula kekasih-kekasihmu itu?"
"Aku mimpi, aku hanya mimpi... ah, sayang sekali!" dan Hauw Kam yang tertegun namun kecewa juga sadar bahwa dia pun kiranya sedang bermimpi, mimpi indah namun kosong. Ah, betapa sayangnya. Dan ketika dua pemuda itu saling pandang dan Gwan Beng teringat tiba-tiba pemuda itu menunjuk dedaunan yang mereka makan.
:Kita rupanya korban dedaunan ini. Makanan ini beracun!"
"Hm, kukira tidak. Kalau beracun tentunya kita mampus, suheng. Tapi nyatanya hidup. Kita masih hidup! Makanan ini tidak beracun!"
"Tapi membuat perut kita mulas, juga pusing-pusing!"
"Benar, tapi setelah itu mimpi indah, suheng. Ha-ha, mimpi yang indah sekali. Aku ingin memakannya lagi biar mabok!"
"Jangan...!" dan sang suheng yang mencegah serta menyambar tangan sutenya lalu minta agar Hauw Kam tidak menjamah itu, kini perut berkeruyuk lagi dan mereka lapar.
Sehari semalam dalam keadaan teler dan tidak makan atau minum memang akhirnya membuat lapar lagi, Gwan Beng minta agar mereka mencari yang lain, jangan menjamah dedaunan itu. Dan ketika sang adik tertegun namun menurut, dengan sedikit tidak puas maka Gwan Beng sudah berkelebat dan mengajak sutenya mencari makanan yang lain, tak tahunya sebagian besar di pulau itu hanya terisi oleh jenis tanaman ini, daun segar hijau yang dapat dimakan. Dan karena mencoba yang lain ternyata pahit dan tidak enak, Hauw Kam mengomel maka Gwan Beng akhirnya mengalah ketika adiknya minta agar daun-daun itulah yang dimakan.
"Aku lapar, tak tahan lagi. Kalau suheng takut biarlah aku mencoba dan kau melihat."
"Hm, bagaimana kalau mulas lagi?"
"Tak apa, suheng. Tinggal buang hajat dan selesai!"
Gwan Beng menarik napas. Setelah sutenya bicara seperti itu dan apa boleh buat dia harus mengikuti maka pemuda ini mendahului menyambar dan melalap daun-daun itu lagi, memamah dan memakannya. Tapi ketika tak ada rasa mual seperti tadi maka pemuda ini menjadi heran, melihat sutenya tertawa.
"Bagaimana, suheng? Sudah tahan, bukan?"
"Hm, rupanya begitu. Bagaimana perasaanmu, sute? Kau juga tak apa-apa?"
"Aku malah merasa enteng. Tubuhku rasanya lebih ringan!"
"Dan tidak ingin melayang-layang?"
"Kali ini tidak, suheng. Tapi justeru aku ingin menikmati perasaan seperti itu!"
"Hush, kau ingin mimpi dan bertemu dewa-dewi mu itu? Kau mau kencan?"
"Ha-ha, benar, suheng. Aku ingin teler dan mabok lagi. Aku ingin bertemu mereka!" dan ketika suhengnya tersenyum namun kali ini mereka tak diganggu perasaan itu lagi, maka Hauw Kam berani memakan lebih banyak meskipun agak kecewa juga, kecewa karena perasaan seperti 'fly' itu tak ada. Dia tak dapat bermimpi dan menikmati mimpinya yang indah. Ah, dia tak dapat bertemu dengan dewa-dewinya itu.
Namun ketika tenaga terasa pulih dan semangat rasanya bertambah maka sehari-hari akhirnya dua pemuda ini menyantap dedaunan itu, tak ada lain karena di pulau itu benar-benar tak ada binatang atau mahluk hidup. Semuanya tanaman melulu dan heranlah mereka akan keganjilan ini, tak tahu bahwa mereka berada di Pulau Hijau, sebuah pulau yang terletak di antara gugusan pulau-pulau Naga Sakti yang jauh terpencil di selatan, jauh dari keramaian dan dunia.
Dan karena tempat itu merupakan tempat persembunyian yang baik karena Hauw Kam maupun suhengnya takut bertemu nenek Naga dan Hek-bong Siauw-jin maka dua murid utama Hu Beng Kui ini bertahun-tahun hidup di pulau itu. Makanannya hanya daun-daunan itu dan mereka pun tak tahu bahwa daun yang mereka makan adalah daun Cheng-sian-bi-ceng, daun Dewa Hijau yang khasiatnya luar biasa karena dapat memberikan tenaga yang ringan bagi yang bersangkutan, membuat secara alami seseorang memiliki ginkang tingkat atas. Memberikan perasaan lebih segar dan semangat lebih besar.
Kalau saja Hauw Kam dan suhengnya ini tidak linglung justeru dengan penemuannya itu mereka dapat meningkatkan mutu ilmu meringankan tubuh mereka, yang sebelumnya sudah cukup tinggi dan termasuk golongan kelas satu. Tapi karena mereka dicekoki obat pembius dan ilmu-ilmu silat yang mereka punyai adalah akibat gerak kebiasaan sehari-hari di mana kepandaian atau ilmu ini memang selalu lekat pada tuannya maka tak ada peningkatan mutu atau silat pada diri dua orang pemuda ini.
Mereka sehari-hari hanya bermain-main dan keluyuran di sekitar pulau, kadang-kadang berlatih pernapasan untuk melawan hawa dingin, satu sikap atau reaksi untuk menghangatkan tubuh, bila musim hujan atau dingin tiba. Dan karena semuanya ini mereka lakukan berdasarkan kebiasaan sehari-hari, di bawah kekuasaan bawah-sadar maka dua pemuda itu akhirnya bertahun-tahun menyembunyikan diri dengan baik.
Sampai suatu hari, ketika Hauw Kam sedang berjalan-jalan dan kaget disambar ular laut tiba-tiba pemuda ini menjerit karena dari kiri dan kanan mendadak muncul belasan ular laut ini yang tidak disangka-sangka, maklumlah, hampir tujuh tahun ini mereka tak menemukan sejenis ular atau binatang hidup lainnya.
"Ser-ser!"
Pemuda itu mengelak. Otomatis dengan gerakan seorang ahli silat pemuda ini menghindari tubrukan ular di sebelah kiri, tak tahunya yang lain-lain muncul dan menyerang dari kanan dan belakang, juga depan. Dan ketika Hauw Kam harus berlompatan dan tujuh ular laut itu luput semua maka pemuda ini terkejut ketika seekor di antaranya yang ada dibawah, tak kelihatan, tahu-tahu menggigit dan melibat kakinya.
"Augh!" Teriakan Hauw Kam ini menggetarkan isi pulau. Pemuda itu kaget dan marah dan tiba-tiba dengan gusar dia membungkuk, mencengkeram ular di bawah itu. Dan ketika ular ini tertangkap dan langsung dicekik, tidak menghiraukan ular-ular yang lain tiba-tiba Hauw Kam menggigit putus leher ular itu dan mengkeremus kepalanya.
"Kres-kres!" Hauw Kam marah sekali. Kepala ular seketika remuk dan sudah dikunyah pemuda ini, Hauw Kam tak perduli dan marah menghisap darah ular, yang tiba-tiba membanjir dan memenuhi mulutnya. Dan ketika Hauw Kam melotot menghadapi serangan ular-ular yang lain namun mendadak tubuhnya limbung ke kiri kanan tiba-tiba suhengnya muncul dan berkelebat datang.
"Sute, ada apa?"
"Keparat, ular-ular ini menyerangku, suheng. Jahanam dan sungguh mengejutkan bahwa mereka tiba-tiba datang!"
"Ah!" dan Gwan Beng yang terkejut melihat ular-ular itu segera terbelalak melihat sutenya diserang ular-ular ini, satu di antaranya mati dikerumus dan dikunyah sutenya. Mengerikan. Sutenya itu menikmati daging mentah seperti orang gila saja. Tapi ketika sutenya limbung dan terhuyung ke kiri kanan tiba-tiba kembali seekor di antaranya menggigit dan menancap di lengan kiri sutenya, bergelantungan.
"Augh!"
Teriakan ini membuat sang suheng tak membuang-buang waktu lagi. Gwan Beng berkelebat dan langsung menampar ular itu, yang seketika pecah kepalanya dan mati. Tapi ketika sutenya juga roboh dan ular-ular yang lain menyerang dirinya maka Gwan Beng terkejut mendengar sutenya mengeluh panjang pendek.
"Suheng, bunuh mereka semua. Bunuh mereka itu!"
"Tentu, dan ini makanan baru bagi kita, sute. Sudah lama kita tidak menikmati makanan berdaging!"
"Ah, dan aku pusing. Keparat, darah ular agaknya mengandung racun, suheng. Mati aku!"
Gwan Beng terkejut. Dia melihat sutenya mengerang dan mendekap perut, lengah dan empat ular di kiri kanannya tiba-tiba terbang menggigit. Ular-ular laut itu memang dapat terbang! Dan ketika Gwan Beng tersentak namun terlambat tak dapat mengelak lagi maka empat ekor ular itu sudah bergelantungan dan menancap di punggung dan kedua lengannya, juga kaki. Persis belatung!
"Keparat!" Gwan Beng marah, terkejut bukan main. "Jahanam kalian, ular-ular busuk. Enyahlah!" pemuda ini merenggut, bermaksud menarik dan membetot ular-ular itu namun celaka sekali ular-ular ini tak dapat lepas. Mereka lekat seperti lintah. Dan ketika Gwan Beng berteriak dan mencabut dengan paksa maka taring ular menancap di lengannya meskipun ular itu sendiri sudah berhasil dilepas dan dibantingnya remuk!
"Plak-dess!"
Gwan Beng ngeri. Dia merasa tubuhnya tiba-tiba panas dan tak enak, marah kepada dua yang lain yang ada di punggungnya. Ular-ular yang ada di sini agak repot diraih. Gwan Beng membalik dan menyambar ekor mereka yang kebetulan bergoyang-goyang, gontai ke kiri kanan. Dan ketika dia membentak dan mengerahkan sinkangnya, hal yang terlambat dan baru diingat saat itu maka ular ini terlepas karena tubuh sang pemuda tiba-tiba keras seperti besi.
"Krak-pletak!"
Gwan Beng melakukan seperti apa yang dilakukan sutenya. Dalam marah dan sakitnya tiba-tiba seekor dari dua ekor ular ini disambar kepalanya, dibawa ke dekat mulut dan digigitlah lehernya sampai putus. Dan ketika yang lain mati dibanting sementara yang seekor ini sudah dikerumus dan 'dikletak' kepalanya maka robohlah Gwan Beng dengan kepala ular hancur memasuki mulutnya.
"Augh, keparat. Pusing!" Gwan Beng ambruk. Hauw Kam di sana sudah lebih dulu roboh dan pingsan. Gwan Beng menyusul dan akhirnya dua pemuda ini tak sadarkan diri. Mereka diserang ular-ular berbisa yang ahli ular menyebutnya Cheng-hai-coa (Ular Laut Hijau). Dan ketika mereka ambruk dan tak sadarkan diri, terserang panas dan dingin berulang-ulang maka dua hari dua malam dua pemuda ini mengalami siksaan hebat.
Mereka seakan memasuki terowongan gelap yang amat panas, terowongan maut, pintu menuju akherat. Tapi ketika mereka tertarik mundur dan tak jadi memasuki terowongan itu maka di sebelah sini di dunia yang mereka kenal mereka diserang hawa dingin yang membuat mereka seakan mati kaku. Hauw Kam dan suhengnya mengalami keadaan kritis yang benar-benar mengkhawatirkan. Gigitan ular-ular Cheng-hai-coa seharusnya membuat mereka binasa.
Ular-ular itu adalah ular-ular ganas yang bisanya amatlah berbahaya. Cukup sekali gigit biasanya manusia akan tewas tak lebih dari lima menit. Namun karena di tubuh mereka sudah terdapat semacam daya penolak racun karena sesungguhnya dedaunan Cheng-sian-bi-ceng yang mereka makan bertahun-tahun adalah tumbuhan yang berkhasiat menangkal bisa ular, hal yang kebetulan, maka dua suheng dan sute itu selamat. Mereka tak tahu semuanya ini karena semuanya itu memang berjalan secara tak diperhitungkan.
Mereka juga tak tahu bahwa ular-ular Cheng-hai-coa itu datang untuk 'membunuh' dedaunan Cheng-sian-bi-ceng itu, musuh mereka, menyemprot atau menyembur tanaman itu dengan uap racun mereka, karena Cheng-sian-bi-ceng memang akan layu dan mati kalau disembur uap ular-ular Cheng-hai-coa ini. Jadi ular-ular itu datang untuk membinasakan musuh mereka, tanaman Cheng-sian-bi-ceng itu. Tapi karena Hauw Kam dan suhengnya sudah bertahun-tahun melalap dedaunan itu dan di tubuh mereka telah terdapat zat penolak racun khusus untuk menghadapi gigitan ular-ular Cheng-hai-coa.
Maka tadi ular-ular itu marah karena mereka dapat merasakan adanya perlawanan di tubuh dua pemuda ini, racun mereka yang tertolak namun tetap dipaksa masuk. Akibatnya membuat Hauw Kam pusing dan roboh, terjadi pertarungan seru antara zat yang dimiliki dedaunan Cheng-sian-bi-ceng melawan racun yang ada di tubuh ular-ular Cheng-hai-coa, satu pertarungan sengit di mana tentu saja yang menjadi korban adalah Hauw Kam dan suhengnya ini.
Mereka tersiksa dan dua hari dua malam tak sadarkan diri, sebentar rasanya hendak memasuki terowongan neraka namun sebentar kemudian tertarik lagi ke bumi. Mereka jatuh bangun dan nyaris binasa. Maklumlah, mereka bukan hanya sekali tergigit dan Gwan Beng malah mendapat 'hadiah' lima gigitan ular, jadi lebih banyak dari sutenya sendiri dan tentu saja juga lebih tersiksa!
Tapi karena dedaunan Cheng-sian-bi-ceng telah bertahun-tahun mereka makan dan zat atau penolak racun dari tetumbuhan itu lebih banyak dari racun yang menyerang tubuh mereka maka akhirnya Cheng-sian-bi-ceng menang dan racun dari gigitan ular-ular Cheng-hai-coa kalah! Racun ini hancur dan luluh di bawah kekuasaan Cheng-sian-bi-ceng, akhirnya tawar dan tak bekerja lagi. Dan ketika dua hari dua malam itu Hauw Kam dan suhengnya terbebas dari siksaan yang hebat maka dua pemuda itu sadar namun aneh dan mengerikan di tubuh mereka mendadak muncul semacam benang atau lendir-lendir halus mirip benang laba-laba!
"Ih, apa ini?"
"Hei, apa itu?"
Hauw Kam dan suhengnya sadar hampir berbareng. Mereka saling tuding dan menunjuk tubuh sendiri, terbelalak dan bangkit duduk. Dan ketika mereka teringat bahwa mereka diserang ular-ular yang ganas maka Hauw Kam melompat bangun sementara suhengnya tertegun melihat tujuh ular Cheng-hai-coa bergeletakan di situ dengan tubuh yang rata-rata tanpa kepala!
"Kita habis bertempur. Kita melawan ular-ular berbisa!"
Hauw Kam teringat, berteriak dan suhengnya mengangguk. Hauw Kam sendiri sudah melihat tujuh ular yang bergeletakan itu, terbelalak dan dia marah. Dan ketika Hauw Kam menyambar dan bangkai ular ditekuknya maka pemuda ini menggeram membanting hancur.
"Suheng, kita mengalami hal yang aneh-aneh. Aku mimpi bertemu pintu neraka dan keluar masuk di situ!"
"Benar, dan aku juga," Gwan Beng pucat, tergetar menggigil. "Aku juga mimpi yang seram-seram, sute. Tapi aneh bahwa kita selamat!"
"Ya, dan iblis rupanya tak menghendaki jiwa kita. Keparat, kita panggang ular-ular ini, suheng. Kita santap dagingnya!"
"Kau tak takut?"
"Takut apa?"
"Daging atau tulangnya mungkin beracun bagi kita, sute. Kita harus berhati-hati kalau tak ingin mati konyol!"
"Tapi sekarang kita hidup, selamat! Aku yakin bahwa racun ular-ular ini sudah tak mempan lagi!" dan Hauw Kam yang marah melompat ke kiri tiba-tiba sudah mengambil ranting dan daun-daun kering, membakar dan segera api unggun terdapat di situ.
Cepat dan gemas Hauw Kam menusuk-nusuk bangkai ular itu seperti sate, lalu memanggang dan sudah mengumpat caci pemuda ini membolak-balik daging ular, yang sebentar saja sudah matang dan dirobeklah kulitnya dengan kasar. Hauw Kam marah dan tidak menguliti daging ular itu lebih dulu, langsung memanggangnya dan melempar di api unggun. Dan ketika bau keras mulai keruar dan seekor di antaranya sudah matang pemuda ini langsung menggeragoti dagingnya dengan gigi berkeriuk-keriuk.
"Suheng, jangan beri ampun. Ganyang daging ular-ular ini sampai ludas!"
"Hm!" sang suheng terbelalak, mulut tiba-tiba berkecap. "Enak, sute? Tidak apa-apa?"
"Ah, ada apa-apa pun aku tak perlu takut, suheng. Rasanya aku sudah berkali-kali masuk keluar terowongan neraka! Ayolah, coba yang ini dan sikat sampai habis!" Hauw Kam melempar sepotong sate ularnya, langsung ditangkap dan diterima sang suheng.
Dan ketika Gwan Beng mencicipi dan daging ular ternyata gurih maka pemuda ini tersenyum dan langsung menyikatnya. "Hm, kau benar. Enak rasanya, sute. Dan tak perlu takut. Aku juga berkali-kali mimpi masuk keluar neraka. Biarlah, kita sikat mereka dan habiskan sampai tak bersisa lagi!"
"Ha-ha, dan aku baru puas. Wah, enak sekali, suheng. Ayo tambah lagi dan sikat sekuat perutmu!"
Gwan Beng mengangguk-angguk. Akhirnya dia menerima lagi sepotong dua potong, tak sabar dan langsung menyambar seekor yang utuh. Dia tak merasa apa-apa selain rasa enak dan gurih. Tanpa bumbu atau garam ternyata daging-daging ular ini sudah luar biasa lezatnya. Dan ketika tujuh bangkai ular itu habis dan mereka kekenyangan maka benang-benang tipis yang keluar dari pori-pori mereka itu kian banyak saja, padahal sudah berkali-kali diusap dan dihapus hilang.
"Keparat, apa artinya ini? Bagaimana semakin banyak dan tebal saja?"
"Dan aku juga begitu. Eh, coba sedot pernapasanmu, sute. Benang-benang ini dapat dihisap!" Gwan Beng tiba-tiba berseru, menarik dan mengeluarkan napasnya dan tanpa sadar pemuda itu mengerahkan sinkang. Aneh dan ajaib tiba-tiba benang-benang itu "tertarik" ke dalam, memasuki pori-pori kulit.
Dan ketika Hauw Kam mencoba dan benar saja benang mirip jaringan laba-laba itu dapat disedot dan lenyap ke dalam tubuhnya tiba-tiba Hauw Kam tertawa bergelak melihat seekor kelinci muncul, meloncat dari balik semak-semak.
"Ha-ha, ini makanan lain lagi, suheng. Ah, kita mulai kedatangan tamu... jrrttt!" Hauw Kam menggerakkan tangannya, melempar ke kiri dan tiba-tiba benang itu muncul lagi, menyambar dan sudah menjirat kelinci yang kaget itu.
Binatang ini tahu-tahu muncul dan membuat Gwan Beng di sana tertegun. Maklumlah, pulau itu belum kedatangan binatang hidup selain tujuh ular yang menyerang mereka itu. Kehadiran kelinci yang amat tiba-tiba ini sungguh mengejutkan, di samping mengherankan. Tapi begitu sutenya menggerakkan tangan dan benang laba-laba itu sudah menyambar dan menjerat si kelinci gemuk tiba-tiba binatang itu menguik dan meronta-ronta di jaring sutenya.
"Ha-ha, kemarilah!" Hauw Kam menyendal, langsung menarik dan kelinci itu pun tersentak. Hauw Kam mengetuk keningnya dan kelinci itu pun berteriak. Tapi ketika Hauw Kam hendak membunuh dan Gwan Beng berkelebat tiba-tiba pemuda ini berseru mencegah lengan sutenya.
"Tahan, jangan bunuh!" dan Gwan Beng yang bergerak ke kanan dan lenyap sekejap tiba-tiba sudah menjaring kelinci yang lain dan Hauw Kam pun ganti tertegun, melihat suhengnya tertawa dan sudah melakukan seperti apa yang dia lakukan. Suhengnya itu mengeluarkan benang laba-labanya dan terjeratlah kelinci itu di bawah kekuasaan suhengnya. Dan ketika suhengnya bergerak dan sudah berdiri di sampingnya maka pemuda ini tertawa berkata padanya,
"Lihat, jangan gampang main bunuh, sute. Kelinci ini ada sepasang terdiri dari jantan dan betina. Kita dapat mengembang-biakkan mereka!"
"Ah, maksudmu...?" "Benar," sang suheng memotong. "Kita ternakkan mereka ini, sute. Kita kembang-biakkan mereka untuk konsumsi makanan kita!"
"Ha-ha, kau benar. Aku bodoh!" dan Hauw Kam yang melepas kelinci itu tapi menotoknya roboh lalu segera mengerti maksud suhengnya, bahwa kelinci itu tak boleh dibunuh karena ada sepasang. Jantan dan betinanya ada di situ, lengkap. Jadi mereka tinggal mengembang-biakkannya hingga anak-beranak. Itu konsumsi makanan mereka, makanan berdaging, makanan berprotein tinggi!
Maka begitu mengerti maksud suhengnya dan Hauw Kam terbahak maka pemuda ini berseru kegirangan dan sudah cepat menguasai binatang gemuk-gemuk itu, membuatkan kerangkeng dan untuk satu bulan, dua pemuda ini menunggu perkembangbiakan kelinci jantan dan betina itu. Dan ketika beberapa bulan kemudian sepasang kelinci itu benar saja beranak-pinak maka Hauw Kam dan suhengnya mendapat konsumsi makanan baru, daging kelinci yang gemuk dan lezat pengganti dedaunan Cheng-sian-bi-ceng yang lama-lama membuat mereka jemu.
Makanan yang itu-itu saja memang mudah membuat mereka bosan, ingin pengganti. Dan ketika tak lama kemudian suheng dan sute ini tak kehabisan masalah makan namun mereka 'risi' oleh benang laba-laba yang sering keluar dengan sendirinya maka Gwan Beng mengajak sutenya melatih dan menguasai benang-benang aneh ini, menciptakan sebuah kepandaian langka di mana mereka akhirnya menamakan itu sebagai Jaring Naga.
Akhirnya setelah pandai menguasai benang-benang aneh ini suheng dan sute itu pergi melaut, menangkap dan menjaring ikan dengan kepandaian mereka yang aneh itu. Dan ketika lima tahun kemudian keduanya sudah berhasil menciptakan ilmu silat Jaring Naga di mana kepandaian ini merupakan kepandaian khas mereka yang tak ada duanya di dunia maka Hauw Kam akhirnya mengajak suhengnya keluar, meninggalkan pulau.
"Lihat, hiu sebesar ini dapat kutangkap demikian mudah, suheng. Kita sudah dapat menangkap atau menjala apa saja dengan Jaring Naga! Kita keluar, kita main-main lebih jauh dan jangan di sini saja!"
"Hm," sang suheng mengerutkan kening, selamanya amat hati-hati. "Aku takut bertemu suhu atau subo, sute. Aku khawatir bertemu mereka."
"Takut apa? Untuk apa? Mereka dulu hendak membunuh kita, suheng. Sekarang pun ketemu aku tidak takut. Bahkan hendak kubalas kekejaman mereka itu!"
"Hush, jangan begitu. Tak boleh!" Gwan Beng membentak, terkejut. "Jelek-jelek mereka adalah guru, sute. Tak patut murid melawan guru!"
"Tapi mereka kejam, kita hendak dibunuh!"
"Hm, mungkin ada dasarnya, sute. Barangkali kita memang salah dan telah melanggar aturannya!"
"Ah, kau selalu menyalah diri sendiri," Hauw Kam mengomel, tak puas. "Kau selalu membela begitu, suheng. Padahal sepatutnya mereka itulah yang tidak bisa dibenarkan. Guru yang baik tak seharusnya melakukan itu, membunuh murid sendiri!"
"Sudahlah," sang suheng menggeleng kepala. "Murid melawan guru adalah tak benar, sute. Kalau kau ingin jalan-jalan dan keluar sedikit jauh dari tempat ini boleh saja, sendiri. Aku tak ikut dan kau puaskan hatimu."
"Mana bisa? Aku di sini selalu berdua denganmu, suheng. Kalau kau tak mau maka akupun tak sudi berangkat!"
Gwan Beng terkejut. Sang sute tak senang dan sudah berkelebat pergi, mukanya gelap dan tahulah Gwan Beng akan kekecewaan sutenya ini. Dan ketika berhari-hari sutenya tak tampak gembira dan sedikit bicara, hal yang membuat Gwan Beng tak enak hati maka pemuda ini menyetujui keinginan sutenya dengan menepuk perlahan pundak sutenya itu.
"Baiklah, kita pergi. Aku jadi tak tahan kalau melihat kau cemberut begini. Mari, kita berangkat, sute. Kita tinggalkan pulau!"
Hauw Kam terkejut. "Kau sungguh-sungguh?"
"Hm, pernahkah aku main-main?"
"Tapi... tapi aku tak bermaksud main-main lalu kembali ke sini, suheng. Aku bermaksud meninggalkan pulau ini untuk mencari kesenangan di luar!"
"Aku tahu, marilah!" dan sang suheng yang tersenyum berkelebat ke depan tiba-tiba sudah menyambar sebuah perahu dan meminta sutenya naik, membuat sutenya tertegun tapi Hauw Kam girang bukan main. Pemuda ini berteriak dan kontan melesat ke atas perahu, berjungkir balik. Dan ketika Hauw Kam terbahak-bahak sementara suhengnya sudah menggerakkan dayung, kuat dan bertenaga maka pemuda itu menciumi muka suhengnya dengan perasaan girang luar biasa.
"Suheng, kau baik. Ah, kau manusia yang memang baik!" dan Gwan Beng yang tertawa mendorong sutenya ini lalu memberikan dayung yang lain menyuruh sutenya membantu, tak lama kemudian perahu pun mencelat bagai didorong tangan raksasa. Hauw Kam sudah tertawa bergelak mengayun dayungnya. Dan ketika perahu melesat dan meluncur di tengah-tengah ombak samudera maka sebulan dua bulan kakak beradik seperguruan ini segera menjadi perhatian orang lain, naik turun daratan menyambar makanan-makanan enak, bak-pao atau apa saja yang dijajakan orang di pinggir jalan.
Hauw Kam yang merasa paling lapar sudah rakus sekali menyambar ini-itu, diteriaki para penjual karena mereka menyambar makanan itu begitu saja, tanpa bayar. Tentu saja geger dan ributlah orang melihat sepak terjang kakak beradik ini, karena Gwan Beng pun akhirnya tertarik dan ikut-ikutan menyambar ini-itu, tertawa dan menganggap itu miliknya sendiri. Dan ketika mereka membuat keributan kecil namun selalu menjaga keributan-keributan besar akhirnya mereka dikejar-kejar namun tak ada satu pun yang dapat menangkap suheng dan sute ini. Hauw Kam dan suhengnya memang bertahun-tahun hidup terlampau sederhana di Pulau Hijau, tak aneh menjadi lahap dan berkesan rakus melihat makanan-makanan enak.
Dan ketika mereka bertemu Lauw-wangwe di mana hartawan itu akhirnya melihat bahwa dua orang lihai sedang berada di depannya maka cepat-cepat hartawan ini mengambil hati, menyuruh puteranya maju berlutut dan menyebut 'suhu', kontan membuat Hauw Kam dan suhengnya terbelalak. Hauw Kam merasa geli dan tiba-tiba terkekeh, karena panggilan itu serasa menggelitik telinganya. Tapi ketika Lauw-wangwe sendiri cepat-cepat berlutut dan puluhan penampan berisi makanan enak disodorkan dan diberikan dua orang ini, terutama Hauw Kam maka hartawan itu melaksanakan aksinya.
"Ji-wi taihiap (dua pendekar besar) boleh tinggal di gedung kami. Boleh makan dan ambil apa saja sepuas hati. Tapi tolong, berikan sedikit kepandaian kepada puteraku yang bodoh ini dan syukur kalau aku juga mendapat pelajaran."
"Ha-ha, kau bicara apa? Eh, aku melihat bahwa kau dan puteramu ini sudah memiliki dasar-dasar silat yang cukup, wangwe. Tak usah menyuruh kami tinggal di sini atau apa!"
"Tidak.... tidak! Kami tahu kesukaan ji-wi yang aneh, makanan-makanan yang enak dan luar biasa. Bukankah ji-wi belum menikmati sup naga atau hati burung hong goreng? Bukankah ji-wi juga belum menikmati empedu singa masak kecap? Nah, tinggallah di sini bersama kami, ji-wi taihiap. Dan kami jamin kesenangan ji-wi di tempat ini. Marilah, inilah empedu singa dan hati burung hong goreng. Coba ji-wi cicipi, di istana pun tak mungkin ada!"
Lauw-wangwe buru-buru membujuk, tadi dua pembantunya lari melapor bahwa toko makanannya diserbu dua orang gila, mengambil ini-itu dan penjaga atau satpam tak dapat mencegah. Mereka itu didorong dan mencelat semua. Dan karena Lauw-wangwe adalah hartawan kaya di mana toko serta usaha dagangnya yang lain ada di mana-mana maka hartawan ini merasa marah dan cepat keluar untuk melihat siapa dua orang gila itu, membentak dan menyuruh pembantunya menyerang namun semua pembantunya itu mencelat.
Akhirnya hartawan ini maju sendiri dan bersama puteranya yang juga belajar ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai ayah dan anak mengeroyok Gwan Beng dan sutenya ini. Tapi ketika mereka mencelat dan terpelanting tak keruan, Lauw Sun malah merintih di sudut sana maka Lauw-wangwe sadar bahwa yang dihadapinya kali ini adalah orang-orang luar biasa, tokoh-tokoh aneh yang sepak terjangnya seperti orang gila, gimbal-gimbal dan penuh cambang karena Hauw Kam dan suhengnya itu memang tidak pernah merawat tubuh mereka lagi.
Dan ketika semua terlempar dan Lauw-wangwe tertegun maka timbullah satu akal licin di otak hartawan ini, yakni ingin menjadikan dua orang itu sebagai ―pembantunya‖, menarik mereka sebagai guru dari puteranya namun tentu saja akal hartawan ini tak begitu saja berhasil. Hauw Kam tak berniat untuk menerima tawaran itu. Tapi ketika sang hartawan mengeluarkan masakan-masakannya yang luar biasa dan nama-nama seperti empedu singa dan hati burung hong membuat Hauw Kam terbelalak maka pemuda yang kini sudah menginjak usia empat puluhan tahun itu bangkit seleranya.
"Ha-ha, mana empedu singa? Yang mana hati burung hong goreng?"
"Ini, dan itu, taihiap. Mari silahkan cicipi dan rasakan apakah ji-wi pernah menikmati masakan seperti ini!" Lauw-wangwe girang, sudah melihat angin baik dan cepat dia sendiri melayani Hauw Kam dan suhengnya itu. Dengan cekatan dan pandai hartawan ini memberikan masakan-masakan yang dimaksud, disambar dan dicicipi Hauw Kam dan pemuda itu tertawa bergelak. Apa yang disodorkan sungguh luar biasa, istana sendiri agaknya tak pernah membuat masakan seperti ini. Dan ketika Hauw Kam tertawa bergelak dan suhengnya diminta mencicipi pula maka Lauw-wangwe berlutut dan puteranya pun dikedipi agar cepat-cepat memanggil "suhu".
"Maaf, boleh ambil semuanya, taihiap. Dan masih banyak lagi masakan-masakan kami yang istimewa. Ada jantung beruang masak kuah, ada kaki gajah saos tomat. Ji-wi (anda berdua) tentu belum menikmati masakan-masakan ini, bukan? Nah, tinggallah bersama kami, taihiap. Dan kami akan menyajikan semua itu tanpa bayar!"
"Benar, dan aku akan menurut segala perintahmu, suhu. Apapun yang kalian berikan pasti kuterima!" Lauw Sun membenturkan dahi, sudah melihat isyarat ayahnya dan Hauw Kam terbelalak. Gatal telinganya mendengar sebutan itu: suhu! Dan ketika dia tertawa bergelak dan menyambar Lauw Sun, diangkat dan dibanting ke lantai maka Lauw-wangwe berteriak kaget karena mengira puteranya mau dibunuh!
"Ha-ha, pintar bicara kau bocah, manis benar mulutmu. Aih, ayahmu pandai membujuk. Kalau begitu kulihat dulu seberapa kuatkah tulangmu... brukk!"
Lauw Sun mengeluh, kaget berteriak tertahan tapi pemuda ini segera teringat bahwa orang-orang aneh macam begitu biasanya harus dilayani dengan cara yang aneh pula. Kalau tubuh sakit-sakit sebaiknya tertawa, kalau hati ingin tertawa sebaiknya menangis! Maka ketika Lauw Sun terbahak-bahak sementara tubuh yang sakit tak dirasakan sama sekali maka Hauw Kam membelalakkan matanya melihat keadaan yang ganjil ini.
"Eh, kau tertawa? Tidak meringis?"
"Ha-ha, bantinganmu tidak sakit, suhu. Boleh banting lagi kalau kurang!"
"Betul?"
"Tentu!"
Dan Hauw Kam yang sudah menyambar serta mengangkat pemuda ini lagi lalu membanting dan terheran-heran, penasaran dan empat lima kali putera Lauw-wangwe itu diangkat dan dibenturkan ke lantai. Tapi ketika Lauw Sun semakin terbahak-bahak sementara rasa sakit ditahan sekuat tenaga maka Hauw Kam kagum dan terkekeh memandang suhengnya, yang diam-diam juga terkejut dan heran.
"Suheng, bocah ini luar biasa. Tulangnya kuat bukan main!"
"Ya, dan dia tahan sakit, sute. Sungguh mengagumkan!"
"Ha-ha, suhu masih mau mencoba lagi? Ayo, banting lagi, suhu. Sampai mampus!" Lauw Sun menantang, diam-diam marah karena sesungguhnya dia gusar. Kalau saja dua orang ini bukan dicalonkan untuk menjadi gurunya tentu dia sudah memaki-maki. Bantingan demi bantingan yang diterimanya tadi bukannya tidak apa-apa. Lauw Sun merasa remuk tubuhnya dan dia geregetan. Maka ketika dia menantang sementara tantangannya itu lebih bersifat pelampiasan rasa marah karena dia memang marah maka Hauw Kam yang terbahak-bahak melilhat ini tiba-tiba menyambar pemuda itu.
"Cukup, ha-ha, cukup! Tak perlu dicoba lagi, bocah. Kami sudah cukup puas dan kau boleh menjadi murid kami berdua!"
"Dan ayah!"
"Eh!?"
"Benar, sedikit-sedikit ayah juga kalian perkenankan mendapat satu dua ilmu silat kalian, suhu. Agar kami berdua tak usah takut menghadapi lawan-lawan tangguh, kalau kebetulan suhu berdua sedang tak berada di rumah!"
"Hm, begitu?"
"Ah!" Lauw-wangwe buru-buru membungkuk. "Omongan anakku ada benarnya, taihiap. Tapi kalau ji-wi tak setuju tentu saja aku tak memaksa!"
"Ha-ha, jangan sebut kami taihiap. Eh. Boleh saja, Lauw-wangwe. Tapi lihat apakah kalian mampu atau tidak!" dan Hauw Kam yang terbahak membawa pemuda itu tiba-tiba berkelebat dan menghilang di luar, berkata bahwa hari itu juga Lauw Sun menjadi muridnya. Makan minum yang enak harus disediakan hartawan itu kalau ingin mereka berdua kerasan di situ, permintaan yang tentu saja disanggupi hartawan ini.
Dan ketika dengan girang Lauw-wangwe memenuhi permintaan itu dan mulai hari itu Hauw Kam tinggal di gedung hartawan she Lauw maka hari demi hari dilewatkan dua orang murid Hu Beng Kui ini dengan senang. Mereka dapat melakukan apa saja di situ dan segala keinginan mereka dipenuhi. Lauw-wangwe tak tanggung-tanggung untuk melayani sendiri permintaan tamunya ini. Dan karena sepak terjang dua orang itu memang aneh dan mereka tak mau dipanggil taihiap maka sebulan kemudian Lauw-wangwe merobah sebutannya dengan Koai-jin, orang aneh, atau bisa juga disebut atau diartikan Orang Gila.
Sebutan yang justeru membuat Hauw Kam terpingkal-pingkal dan senang bukan main. Maklumlah, Hauw Kam dan suhengnya ini memang kadang-kadang 'angot' alias kumat kalau ketidakwarasan mereka datang, karena bagaimanapun obat yang diberikan nenek Naga maupun Hek-bong Siauw-jin masih bekerja, merampas dan menanggalkan segala ingatan dua laki-laki ini, yang kini sudah berusia empat puluhan tahun dan cambang serta rambut mereka semakin panjang dan tak terurus.
Dan ketika semuanya itu berjalan secara rutin dan Lauw-wangwe akhirnya mengadakan pesta pernikahan anaknya tapi diganggu atau dibuat ribut oleh datangnya Sepasang Copet Jari Seribu maka kekacauan itu timbul dan muncullah Soat Eng, yang akhirnya mengobrak-abrik gedung hartawan itu tapi akhirnya dirobohkan atau dikalahkan Hauw Kam dan suhengnya mengandalkan Jaring Naga, silat aneh yang tentu saja baru kali itu dilihat gadis ini di mana akhirnya gadis itu dibawa lari atau diculik sepasang suheng dan sute ini, yang sebenarnya masih paman gurunya, seperti yang sudah kita ketahui di depan. Dan bagaimana nasib Soat Eng selanjutnya? Mari kita lihat.
* * * * * * * *
"Brukk!" Soat Eng dilempar di sudut guha ketika dengan tersengal-sengal Hauw Kam mengomel panjang pendek. Pria ini merasa tubuh gadis itu kian berat saja, terkejut dan memberikan pada suhengnya tapi Gwan Beng juga merasakan hal yang sama. Di sepanjang jalan gadis itu memaki-maki dan Hauw Kam berang, dua kali mau menampar tapi sang suheng mencegah. Gwan Beng teringat wajah seseorang dan berkali-kali dia memeras otak.
Wajah Soat Eng serasa dikenalnya, begitu dikenalnya namun sayang dia tak ingat lagi kapan dan di mana, karena sesungguhnya yang dikenal atau diingat laki-laki itu adalah wajah sumoinya, Swat Lian, ibu gadis ini. Maka ketika mereka sudah jauh meninggalkan rumah hartawan she Lauw dan Gwan Beng maupun sutenya tertarik oleh kepandaian Soat Eng maka Gwan Beng akhirnya minta berhenti di sebuah guha untuk mulai mencari data.
"Gadis ini menarik, dia pandai mainkan ilmu silat pedang kita. Dan dia tahu namanya pula. Eh, kita berhenti di sini, sute. Kita korek keterangan darinya dari mana dia tahu semua itu!"
"Hm!" Hauw Kam bersungut-sungut. "Dan dia menyebut ilmu pedang kita Giam-lo Kiam-sut. Gila! Apakah kita yang tak tahu namanya atau gadis ini menyebutnya secara sembarangan saja, suheng? Baik, kita istirahat dan kompres mulutnya. Kalau dia tidak mau mengaku maka kita siksa!"
"Heii!" Soat Eng berteriak-teriak. "Kalian boleh siksa atau bunuh aku, manusia-manusia siluman. Aku tidak takut! Kalian pencuri, kalian pendusta. Itu adalah Giam-lo Kiam-sut dan warisan kakekku yang gagah pemberani Hu Beng Kui. Kalian siluman dari mana entah bagaimana mencuri ilmu pedang kakekku itu!"
"Hm, berkali-kali dia menyebut Hu Beng Kui. Siapa orang ini, suheng? Di mana dia?"
"Aku tak tahu. Sebaiknya kita tanya dia," dan Gwan Beng yang berkerut-kerut menghadapi gadis itu lalu memandang bersinar-sinar dan bertanya, suaranya halus, lain dengan Hauw Kam yang suka membentak-bentak, "Anak baik, siapa itu Hu Beng Kui? Di mana dia? Dan bisakah kau menemukan kami dengan orang yang kau sebut-sebut sebagai kongkongmu (kakek) itu?"
"Bangsat keparat! Lepaskan aku dulu, cambang tengik. Bebaskan aku dan baru kita bicara!"
"Hm, kau liar. Dan amat lihai. Sementara ini tak dapat kami bebaskan dan kau bicaralah terus terang..."
"Terus terang apa lagi? Aku cucu Hu Beng Kui. Dan awas kalian kalau bertemu dengan ayahku. Pendekar Rambut Emas!"
"Hm, nama ayahmu pun menarik. Kami juga sering mendengar nama ayahmu ini disebut-sebut sepanjang jalan, Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas! Eh, di mana kalau begitu ayahmu itu, anak baik? Kau dapat menemukan kami dengan ayahmu itu?"
"Kau segera akan diantarnya ke akherat. Ayah dan ibuku tinggal di luar tembok besar. Hayo kalian ke sana kalau berani...!"