ISTANA HANTU
JILID 21
KARYA BATARA
“TENTU BERANI!” Hauw Kam tiba-tiba mencelat, bangun dengan muka berang. "Kami tak takuti siapapun, anak liar. Biarpun ayahmu itu lihai namun kami tidak takut!"
"Bagus, kalau begitu antar aku ke sana. Kalian akan tahu rasa!" Soat Eng menantang, diam-diam girang dan memancing kemarahan orang.
Tapi ketika Gwan Beng, si cambang itu mengulapkan lengan dan menyuruh sutenya diam, hal yang membuat gadis ini kecewa maka laki-laki itu berkata, "Sute, tak perlu terbakar. Gadis ini pandai mulutnya. Kau tenanglah di situ dan biar aku yang bertanya jawab."
"Hm, dia memang pandai membakar orang, tapi aku tak terbakar!" si gimbal itu menjawab, mata melotot tapi Soat Eng geli karena laki-laki ini jelas marah, terbakar. Namun ketika si cambang mengulapkan lengannya sekali lagi dan minta agar sutenya itu tak membantah maka laki-laki ini sudah kembali menghadapi Soat Eng.
"Kau pintar, dan jelas lihai. Hm, bolehkah aku tahu lebih banyak tentang ayah ibumu itu, anak baik? Apakah kau tak keberatan untuk kita bicara secara baik-baik?"
"Aku mau bicara baik-baik, tapi bebaskan aku dulu!" Soat Eng berkata, mulai lunak sikapnya karena si cambang yang gagah ini memang lembut kepadanya. Dan ketika laki-laki itu tampang bimbang dan mengerutkan kening maka buru-buru gadis ini berkata, "Kalian di sini ada berdua, aku sendiri. Rasanya tak perlu khawatir kalau aku melarikan diri!"
"Hm, bukan masalah khawatir. Tapi kami tak mau kau melakukan tindak kekerasan!"
"Bukankah sama saja? Kalian berdua dan aku sendiri, lo-koai (orang aneh). Tak perlu takut apalagi menghadapi aku yang hanya seorang anak kecil!"
Si cambang tersenyum. Akhirnya apa boleh buat dia membebaskan totokan gadis itu, bersiap dan waspada kalau Soat Eng menyerang. Tapi ketika Soat Eng melompat bangun dan mengosok-gosok tangannya, yang terasa pedas dan sedikit sakit maka si cambang ini memperingatkan, "Awas, jangan membuat onar. Kau berjanji untuk bicara baik-baik setelah kubebaskan. Nah, bicaralah, anak baik. Aku mendengar dan kau bercerita!"
"Apa yang harus kuceritakan?" Soat Eng mendongkol. "Kalian telah mendengar nama ayahku dan bilang tidak takut!"
"Hm, bukan takut atau tidak. Melainkan berceritalah siapa ayah ibumu itu."
"Ibuku puteri Hu-taihiap, dan ayahku adalah murid Bu-beng Sian-su!"
"Bu-beng Sian-su?" gertakan Soat Eng gagal. "Aku tak pernah mendengar semuanya ini, bocah. Rasanya semuanya itu asing bagi kami!"
"Sungguh buta!" gadis itu membanting kaki. "Bu-beng Sian-su adalah kakek dewa maha sakti, lo-koai. Kalau kau tak mendengar namanya padahal semua orang di kolong jagad mengetahui belaka maka kalian bagai katak dalam tempurung. Rupanya kalian ini tak pernah melongok keluar dan selalu menyembunyikan diri bagai seorang pengecut!"
"Hm, kami memang menyembunyikan diri, tapi bukan pengecut!" Gwan Beng berkata, mata bersinar tajam. "Tak dapat kami sangkal bahwa belasan tahun kami tak menengok dunia kang-ouw, nona. Tapi kami sama sekali bukan pengecut. Kami sungguh tak tahu apa-apa dan justeru muncul untuk tahu apa-apa!"
Soat Eng tertegun. "Kalian berdua ini siapakah? Apakah nama sendiri juga tak diingat-ingat?"
"Aku Hauw Kam!" Hauw Kam tiba-tiba meloncat maju, seakan hendak menerkam mangsanya. "Dan itu suhengku...."
"Stop!" Gwan Beng mencegah sutenya. "Tak perlu memperkenalkan nama, sute. Kalau gadis ini berbahaya untuk kita sebaiknya tak usah menyebut nama kita. Siapa tahu ayah ibunya adalah musuh!"
"Hm!" Hauw Kam teringat, bayangan nenek Naga dan Hek-bong Siauw-jin segera ditangkap. "Maaf, suheng. Aku hampir terlanjur."
"Sudahlah, kau mundur, dan biarkan aku bicara dengan bocah ini."
Hauw Kam mundur, mengangguk dan mengerti maksud suhengnya. Memang mereka tak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan, dalam kaitannya dengan nenek Naga atau Hek-bong Siauw-jin itu, suhu dan subo yang mereka takuti, yang bayangannya masih membekas dalam dan Hauw Kam maklum. Dan ketika Soat Eng tertegun dan membelalakkan mata, tak mengerti maka si cambang itu sudah menghadapinya kembali dan berkata tersenyum, ramah.
"Maaf, siapa kami sebaiknya ditunda dulu. Kami tak tahu siapa kau dan ayah ibumu itu. Kami masih gelap, tak tahu apakah kau lawan atau bukan."
"Hm, bukankah kau sudah kuberi tahu bahwa ayah ibuku adalah Kim-mou-eng? Bukankah sudah kuberi tahu pula bahwa kakekku adalah Hu-taihiap atau Hu Beng Kui yang gagah perkasa?"
"Benar, tapi kami belum pernah bertemu atau berkenalan dengan orang-orang yang kau sebut itu, nona. Kami hanya mendengar di luaran saja dan tak tahu apakah mereka itu orang baik atau bukan!"
"Apa? Kau menganggap ayahku orang jahat dan ibu atau kakekku orang-orang golongan sesat? Keparat, hati-hati, cambang. Aku bisa marah dan menyerangmu nanti!"
"Hm, sabar. Tahan dulu!" si cambang menggoyang lengan. "Benar atau tidak barulah yakin kalau sudah kami buktikan, anak baik. Seperti halnya kau melihat kami berdua ini..."
"Aku menganggap kalian jahat, jelas berbeda dengan ayah ibuku, juga kakekku!"
"Terserah, tapi kami tak mengganggu atau membunuhmu. Bukankah kau bebas juga berkat kebaikan kami? Bukankah kau bisa bicara adalah berkat kemurahan kami pula? Tak perlu berdebat, ceritakan lagi tentang ayah ibumu itu, anak baik. Karena aku serasa mengenal wajahmu, dirimu!"
Soat Eng mangar-mangar. Kalau dia tak tahu bahwa dua orang ini amat lihai dan Jaring Naga benar-benar membuat dia tak berkutik, dan karena itu dia roboh, barangkali dia sudah menyerang dan lompat menerjang musuh-musuhnya ini. Tapi karena dia maklum bahwa dua orang itu memang lihai dan tak perlu marah-marah kalau betul-betul tak terpaksa akhirnya gadis ini mengepal tinju dan duduk membanting tubuh di sudut.
"Sudah kuberi tahu tadi, tak usah cerita lagi!"
Si cambang tertegun. Sikap Soat Eng dan keberaniannya yang mengagumkan sungguh membuat dia memuji. Gadis ini pemberani dan gagah, ilmu kepandaiannya juga tinggi dan kalau tidak berkat Jaring Naga terus terang barangkali dia tak dapat merobohkan. Maka melihat Soat Eng marah dan muka yang ditekuk itu tampak cemberut dan gelap, tapi tidak mengurangi kecantikannya tiba-tiba si cambang ini tersenyum dan tertawa.
"Baiklah," dia tak marah. "Maaf kalau kami membuatmu tak senang, nona. Tapi harap jangan coba-coba lari kalau ingin beristirahat."
"Siapa mau lari?" Soat Eng melotot. "Asal kalian tidak menggangguku aku tak akan lari, cambang. Tapi sekali kalian kurang ajar maka jangan harap aku akan menepati janjiku lagi!"
"Hm, aku tahu," dan Gwan Beng atau si cambang yang tersenyum dan menarik napas di sebelah adiknya lalu berkata agar gadis itu diperhatikan baik-baik. "Dia ingin beristirahat tanpa diganggu. Biarlah dia sendirian dan setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita lagi."
"Kemana?"
"Ke tempat ayah ibunya itu, sute. Ke tempat Kim-mou-eng!"
"Mau menyerahkan bocah siluman itu?"
"Tidak, melainkan untuk menunjukkan pada gadis ini bahwa kita tak takut, biar terhadap ayah atau ibunya itu. Dan sekalian mencari tahu siapa ibu atau ayah gadis ini, karena aku serasa sudah mengenalnya!"
Hauw Kam, sang sute, terbelalak. "Kalau kita mau ke sana sebaiknya gadis ini disembunyikan, suheng. Jangan dibawa serta!"
"Kenapa?"
"Dia... dia dapat membantu ayah ibunya nanti, merepotkan kita!"
"Hm, kalau dia kita totok dan kita kuasai tak mungkin hal itu terjadi, sute. Aku tak khawatir."
"Tapi Pendekar Rambut Emas kudengar amat lihai, dan isterinya juga tak kalah hebat!"
"Kau takut?"
"Bukan takut, suheng. Melainkan semata berhati-hati!"
"Sudahlah, kita hanya takut dan perlu berhati-hati kalau bertemu dengan suhu atau subo. Kalau gadis ini dirasa membahayakan boleh saja kita sembunyikan dia sebelum bertemu ayah ibunya. Tapi, hmm.... kau tidak merasa pernah melihat gadis ini, sute. Kau tidak merasa pernah mengenal wajah itu?"
"Aku, hmm... aku serasa mengenalnya. Tapi aku tak tahu di mana dan kapan!"
"Cocok, aku juga begitu. Karena itu jangan bertindak gegabah sebelum kita tahu benar siapa sebenarnya gadis ini!"
Soat Eng mendongkol. Akhirnya percakapan yang dilakukan setengah bisik-bisik itu tak terdengar lagi. Dia merasa girang tapi juga mendongkol bahwa dua orang laki-laki itu akan tetap menguasainya, hal yang sebenarnya membuat dia marah tapi tak berdaya. Tapi karena mereka akan ke tempat ayah ibunya dan hal ini dianggapnya sebagai ular mencari gebuk maka Soat Eng gembira dan mengharap dua laki-laki itu tak berbohong, tak takut menghadapi ayah ibunya dan diam-diam timbul semangat yang berkobar di hatinya.
Kalau dua musuhnya itu sudah bertemu ayah ibunya dan menerima hajaran tentu mereka tahu rasa. Tapi membayangkan bahwa dia akan disembunyikan dulu sebelum bertemu ayah ibunya tiba-tiba perasaan gadis ini terbakar dan dia mengancam akan berbuat sesuatu, kalau mereka sudah tiba di tembok besar. Dan ketika malam itu dia tetap dijaga dan percuma agaknya melarikan diri maka Soat Eng mendengus dan tidur nyenyak!
"Ssst, jangan berisik," Sin-tung Lo-kai memberi isyarat dua muridnya. "Aku mencium bau manusia, Lu Sam. Kalian hati-hati dan lihat guha di depan itu!"
Lu Sam, bersama sutenya Kiat Ma melihat arah yang dituding gurunya. Mereka akhirnya berkumpul lagi setelah melakukan tugasnya masing-masing. Sepasang Copet ini telah membagi-bagikan hasil kerjaannya kepada fakir miskin. Mereka telah membagi pundi-pundi uang milik Lauw-wangwe seperti membagi-bagi uang miliknya sendiri saja. Sepasang copet ini memang penolong kaum lemah dan perbuatan mereka direstui gurunya, kakek pengemis yang lihai ini.
Dan ketika mereka menyusul dan mencari jejak Hauw Kam dan suhengnya, dua orang gila itu maka malam itu mereka tiba di guha itu dan melihat api unggun yang menerangi luar guha, sayup-sayup tapi sudah cukup membuat tiga orang ini mengerti bahwa di dalam ada orang. Dan ketika kakek pengemis itu menyuruh muridnya berhenti dan hati-hati, sikap yang tiba-tiba membuat Lu Sam dan sutenya tegang maka si kakek berkelebat dan sudah mendahului melihat keadaan.
"Kalian di sini saja, lohu (aku) akan melihat ke dalam guha itu!"
Kiat Ma dan suhengnya mengangguk. Mereka melihat guru mereka itu sudah berkelebat cepat ke guha itu, ringan namun hati-hati. Dan ketika mereka tak bersuara karena takut mengganggu gurunya maka Sin-tung Lo-kai sudah melongok dan berhati-hati melihat ke dalam guha. Dan kakek pengemis ini girang. Dia melihat Soat Eng di situ, meringkuk. Dan tak melihat siapa pun lagi di tempat itu, selain si gadis, tiba-tiba kakek ini menggapai dan berkelebat masuk.
"Kalian ke sini, Kim-siocia ada di dalam!"
Kiat Ma dan suhengnya girang. Akhirnya mereka juga merasa gembira dan berkelebat keluar, berlomba memasuki guha dan benar saja melihat Soat Eng meringkuk di situ, tidur. Tak melihat dua orang lihai itu dan kakak beradik seperguruan ini langsungsaja berteriak memanggil Soat Eng. Dan ketika Soat Eng terkejut dan terbangun dengan membelalakkan mata, tak dapat bergerak karena dirinya ternyata sudah ditotok maka gadis ini girang tapi mengeluh melihat Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya ini.
"Kim-siocia, kami datang. Aih, selamat dan syukur tak ada apa-apa!"
"Dan di mana si gila yang lihai itu? Ha-ha, kau agaknya dapat melepaskan diri, siocia. Kami sudah khawatir setengah mati melihat kau dibawa si gila itu!"
Soat Eng berkejap-kejap. Kiat Ma dan suhengnya sudah berkelebat datang dan tertawa-tawa. Sin-tung Lo-kai memandangnya tersenyum tapi kakek ini tertegun melihat Soat Eng tak bangkit duduk, hal yang membuat kakek ini curiga. Dan ketika dua muridnya tertawa girang dan menubruk si nona, sementara Soat Eng membelalakkan mata dan memandang lurus ke belakang maka bagai diperintah saja kakek itu menoleh dan terkejut melihat dua orang gila itu ada di mulut guha, menutup jalan lari mereka!
"Kiat Ma, si gila ada di sini. Cabut senjata kalian!"
Kiat Ma dan suhengnya terperanjat. Mereka juga curiga dan baru tertegun setelah melihat Soat Eng tak dapat bangkit duduk, tanda bahwa gadis itu tertotok dan mereka tentu saja terkejut. Dan ketika guru mereka berteriak dan mereka menoleh serta melihat dua orang itu maka Lu Sam dan sutenya ini bagai disengat aliran listrik bertegangan tinggi.
"Koai-jin ada di sini, ahh...!" dan Kiat Ma serta suhengnya yang mencabut tongkat serta berseru keras tiba-tiba sudah didahului gurunya karena Sin-tung Lo-kai sudah menghantam, berkelebat dan melepas serangan dan Gwan Beng di sebelah kiri mengelak. Dia memberi kesempatan pada sutenya dan Hauw Kam tertawa mengejek, tidak menangkis melainkan menyambut pukulan tongkat itu. Dan ketika tongkat diterima dan Sin-tung Lo-kai berteriak sekuat tenaga maka tongkat meledak namun hancur di tangan Hauw Kam yang lihai ini.
"Kraakk!"
Sin-tung Lo-kai kaget sekali. Memang dia tahu bahwa lawan yang dihadapi ini amat lihai. Tapi bahwa dalam sekali gebrakan saja tongkatnya tahu-tahu hancur dan tak dapat dipergunakan maka kakek ini tentu saja kaget bukan main di samping marah, marah karena dia menghadapi lawan yang lihai, yang sudah diketahui kelihaiannya dan jelas dia bukan tandingannya. Tapi karena kakek itu bukanlah seorang penakut dan biarpun jelek dia adalah seorang gagah maka kakek itu membentak dan mencabut tongkat yang lain, menghantam dan menyerang lagi dan kali ini lawan mengelak ke sana-sini.
Hauw Kam tertawa mengejek lawannya itu, merendahkan. Dan ketika Kiat Ma dan suhengnya ikut membantu dan menerjang dua orang itu maka Gwan Beng mendengus dan berkelebat lenyap entah ke mana.
"Sute, robohkan tiga orang ini. Tangkap mereka!"
Hauw Kam tertawa bergelak. Tongkat yang menyambar naik turun sudah diketuk atau disentil, Sin-tung Lo-kai terkejut karena ketukan atau sentilan itu selalu menggetarkan tangannya. Kian lama kian hebat hingga telapaknya pedas, perih dan luka, terbeset! Tapi ketika kakek itu menggeram dan nekat memegang tongkat seerat-eratnya maka di sana Kiat Ma dan suhengnya juga membentak dan merasakan yang lebih dari gurunya. Mereka bertiga terus menyerang namun lawan benar-benar bukan tandingan.
Hauw Kam memuji kagum karena lawan benar-benar keras hati, padahal telapak mereka sudah pecah-pecah berdarah. Dan ketika pertandingan dirasa cukup dan dia gemas melihat kenekatan tiga orang ini maka Hauw Kam membentak dan satu tendangan keras membuat tongkat mencelat dan Sin-tung Lo-kai bersama dua muridnya terlempar.
"Haihh, sekarang kalian roboh... des-des-plakk!" Kiat Ma dan suhengnya mengeluh, jauh terbanting di sudut guha dan terkaparlah mereka mendesis-desis. Sin-tung Lo-kai sendiri mencelat dan akhirnya pingsan, kakek itu mendapat pukulan amat keras di mana tongkatnya tiba-tiba membalik, menghantam dada sendiri. Dan ketika kakek itu terjengkang dan semua roboh tak berdaya maka Gwan Beng muncul dan sudah menyuruh sutenya mengikat tiga orang itu.
"Tak perlu dibunuh. Ikat saja menjadi satu dan lempar mereka di sana!"
Hauw Kam tertawa-tawa. Dia telah melakukan apa yang telah diperintah suhengnya dan Kiat Ma serta gurunya kebetulan paling dekat dengan Soat Eng. Tapi karena kakek pengemis itu pingsan dan Kiat Ma meringis menahan sakit maka Lu Sam memaki-maki namun tak dihiraukan dua orang itu.
"Kalian bodoh," Soat Eng bersinar-sinar, kagum namun kecewa. "Kenapa datang dan kurang hati-hati? Sekarang kita berempat menjadi tawanan, Kiat Ma. Dan aku menyesal bahwa kalian tak dapat kutolong."
"Tak apa." Kiat Ma meringis. "Kami datang memang siap menanggung resiko, Kim-siocia. Kalau gagal itulah nasib kami."
"Tapi dua orang ini cukup baik-baik. Mereka tak suka membunuh."
"Siapa takut dibunuh? Kalau pun mati aku tak takut, siocia. Mati membelamu adalah sebuah kehormatan bagiku!"
"Hm!" Soat Eng merah mukanya. "Kenapa kau bicara begitu?"
"Kenapa tidak?" si copet bersemangat. "Kau adalah puteri Pendekar Rambut Emas, nona. Dan kau cucu Hu-taihiap yang gagah perkasa pula. Mati membela orang baik-baik macam dirimu ini adalah satu keberuntungan besar!"
"Hm, sudahlah," Soat Eng tiba-tiba muram. "Kakekku tiada lagi, Kiat Ma. Tapi kalau dua orang ini bertemu ayah atau ibuku tentu mereka tahu rasa. Kalian diam saja, suruh suhengmu tak memaki-maki karena gatal rasanya telingaku!"
Kiat Ma tertegun. Memang suhengnya memaki-maki namun dua orang itu tak ada di tempat. Tadi kedatangan mereka sebenarnya diketahui dan orang lihai macam Hauw Kam atau suhengnya ini tentu saja tertawa melihat Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya ini. Mereka membiarkan dua orang itu masuk lalu berkelebat menampakkan diri, setelah menotok Soat Eng karena dikhawatirkan gadis itu membuat repot, kalau membantu si pengemis dan dua muridnya ini.
Maka begitu mereka muncul dan Soat Eng terbelalak melihat kedatangan teman-temannya maka gadis itu mengeluh karena Sin-tung Lo-kai tak mungkin dapat menolongnya, benar saja dirobohkan dan kini tiga orang itu tergeletak di dekatnya, bangga sekaligus kecewa karena orang-orang macam guru dan murid ini tak mungkin mampu menghadapi Hauw Kam dan suhengnya. Dan ketika mereka meringkuk dan malam itu semuanya menjadi tawanan maka keesokannya mereka diseret sementara dia dipanggul si cambang, Gwan Beng.
"Kalian harus dihukum, berani coba-coba menolong tawanan. Nah, rasakan sepanjang jalan dan siapa tak kuat sakit boleh berteriak-teriak, ha-ha!"
Kiat Ma dan suhengnya mendelik. Mereka diseret dan diejek untuk berteriak-teriak, kalau sakit. Namun karena guru mereka tak berteriak meskipun sakit dan mereka diminta untuk menggigit bibir menahan sakit maka Kiat Ma dan suhengnya tak berteriak-teriak. Yang mereka lakukan adalah memaki-maki penawannya ini namun Hauw Kam terkekeh-kekeh.
Gwan Beng tersenyum-senyum sementara sebentar saja pakaian guru dan murid itu sudah robek-robek. Kulit mereka pecah berdarah dan hanya Sin-tung Lo-kai ini yang dapat bertahan. Kakek itu dapat mengerahkan sinkangnya hingga batu-batu tajam atau kerikil tak dapat 'menggigit' tubuhnya, lain dengan Kiat Ma maupun suhengnya yang tentu saja tak sekuat guru mereka.
Dan ketika Soat Eng tak tahan karena siksaan itu dirasa kejam, tak ingat diri sendiri yang pernah melakukan hal yang sama terhadap Ituchi maka gadis itu berteriak dan minta berhenti. "Bebaskan mereka, biar aku saja yang kalian bawa!"
"Hm, apa maksudmu?"
"Maksudku jelas, cambang. Mereka tak bersalah dan akulah yang kalian inginkan. Hayo bebaskan mereka dan berhenti!"
Gwan Beng berhenti. Tapi sutenya yang terus menyeret dan tertawa-tawa tiba-tiba dibentak Soat Eng.
"Gimbal, dengar kata-kataku. Berhenti atau aku mampus menggigit telinga suhengmu!"
Hauw Kam terkejut. Suhengnya di sana berseru tertahan karena Soat Eng tiba-tiba telah menggigit telinga Gwan Beng hingga suhengnya tersentak. Dan ketika dia berhenti dan tertegun melihat itu maka Soat Eng mengancam.
"Nah, kau turuti kata-kataku dan bebaskan mereka atau aku akan menggigit putus telinga suhengmu ini dan dia menghantam mampus aku!"
Hauw Kam tertegun. "Bagaimana, suheng?"
"Kau berhenti, dan lepaskan mereka!"
"Kau takut akan ancamannya?"
"Tidak."
"Kalau begitu pukul mampus dia, atau aku..."
"Tidak!" Gwan Beng tiba-tiba membentak. "Aku tak tahan melihat gadis ini menangis, sute. Bebaskan mereka dan biarkan mereka pergi!"
Hauw Kam melongo. Suhengnya tiba-tiba menangis ketika melihat Soat Eng menangis. Memang gadis itu menangis karena tak tahan melihat penderitaan Kiat Ma dan suhengnya, karena gurunya sendiri dapat bertahan dan Sin-tung Lo-kai tak apa-apa, meskipun tentu saja kakek itu juga tersiksa dan diam-diam mengeluh. Dan ketika Hauw Kam tertegun melihat suhengnya menangis sementara dia dibentak untuk membebaskan tiga orang itu tiba-tiba Hauw Kam tertawa bergelak menendang guru dan murid ini, berseru,
"Heh, kalian beruntung, orang-orang sial. Kalau tak heran melihat suhengku menangis gara-gara seorang perempuan menangis pula tentu kalian sudah kuseret dan kusiksa sepanjang jalan lagi. Baiklah, kalian bebas dan cepat pergi dari sini.... des-des-dess!"
Hauw Kam menendang guru dan murid-muridnya itu, mencelat dan mereka bakal terbanting kalau saja sesosok bayangan tidak berkelebat dan menerima Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya ini, membentak dan menyambarlah seorang pemuda di situ yang sudah menurunkan guru dan murid ini. Dan ketika Hauw Kam terkejut sementara Sin-tung Lo-kai sendiri melongo dan membelalakkan mata lebar-lebar maka jeritan atau teriakan tertahan terdengar dari mulut Soat Eng, yang melihat dan segera mengenal pemuda itu.
"Siang Le...!"
Gwan Beng ikut terkejut dan tertegun. Di depan mereka berdiri seorang pemuda gagah yang matanya bersinar-sinar, tadi menerima dan menangkap kakek pengemis itu beserta muridnya, menurunkan dan kini sudah tegak dengan mata bersinar marah. Dan ketika Hauw Kam maupun suhengnya terkejut dan membelalakkan mata maka Siang Le menoleh dan mengangguk pada Soat Eng, tersenyum.
"Ya, aku, Kim-siocia. Kau tak apa-apa? Kau baik-baik saja?"
"Ah, cepat serang dua orang ini, Siang Le. Tapi hati-hati karena mereka tangguh dan berbahaya!"
"Hm, aku memang akan melakukan itu. Aku tak takut!" dan Siang Le yang sudah membalik dan menghadapi dua lawannya ini lalu berkata dengan suara geram, "Iblis-iblis busuk, kalian melakukan apa terhadap Kim-siocia? Kalian melakukan apa pula terhadap kakek pengemis dan murid-muridnya itu? Kalian suka menyiksa orang? Kalian tidak berperikemanusiaan?"
"Hm, siapa kau?" Hauw Kam membentak, sudah hilang kagetnya. "Kau teman bocah perempuan ini? Kau kekasihnya?"
"Bukan," Siang Le merah mukanya. "Tapi aku teman baiknya di mana aku tak akan membiarkan kalian berbuat sesuka hati."
"Ha-ha, kalau begitu kau bohong!" dan Hauw Kam yang berkelebat dengan tawanya yang besar tiba-tiba menjulurkan lengan dan sudah mencengkeram pemuda ini, cepat dan kuat dan Sin-tung Lo-kai kaget karena gerakan itu amatlah cepatnya. Siang Le sendiri terkejut dan tak sempat mengelak. Namun karena pemuda ini adalah murid See-ong dan dia bukanlah pemuda sembarangan maka Siang Le menggerakkan lengan dan tentu saja menangkis.
"Dukk!" Siang Le mencelat! Hauw Kam sendiri tergetar dan terdorong setindak, berseru tertahan karena sesungguhnya dia memang ingin mencoba, melilhat gerakan ringan dan kepandaian Siang Le ketika menerima dan menangkap Sin-tung Lo-kai dan murid- muridnya tadi. Dan ketika cengkeramannya ditangkis dan Hauw Kam merasa betapa kuat dan hebat sinkang pemuda ini maka dia tergetar dan berseru kagum memuji lawan, yang mencelat dan jatuh berdiri dengan tubuh tidak bergoyang-goyang, seperti arca besi!
"Wah, hebat, suheng. Pemuda ini juga calon lawan yang berat!"
Gwan Beng terkejut. Dia melihat mencelatnya pemuda itu namun tak melihat si pemuda terpelanting atau terjengkang, apalagi terguling-guling. Dan ketika Siang Le tegak berdiri bagai arca besi dan pemuda itu seolah patung yang dipindah atau diangkat tanpa bergeming maka Gwan Beng melihat Jing-kin-kang atau Tenaga Pemberat Seribu Kati yang telah diperlihatkan pemuda ini, sama seperti ketika Soat Eng juga melakukan itu, ketika digendong.
"Hm, memang hebat!" Gwan Beng memuji kagum. "Dan kau menghadapi calon lawan yang tangguh, sute. Beranikah kau meneruskan main-mainmu?"
"Ha-ha, kenapa tidak? Meskipun hebat tapi aku belum mengetahui semua kepandaiannya, suheng. Biarlah kucoba-coba dan lihat apakah dia tidak roboh... slap!" dan Hauw Kam yang lenyap mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya tiba-tiba bergerak dan sudah menyerang. Dua jarinya menusuk dan kecepatan Hauw Kam dua kali lipat dibanding tadi.
Sin-tung Lo-kai sekarang tak dapat mengikuti gerakannya karena tahu-tahu si gimbal itu sudah berada di depan hidung. Siang Le sendiri tersentak dan berseru keras. Tapi karena dia sudah waspada dan sejak tadi tak lengah barang sekejap maka pemuda itu bergerak dan tusukan dua jari lawan cepat ditamparnya dengan pengerahan sinkang.
"Plak!"
Kali ini si pemuda terdorong dua tindak. Siang Le tak mencelat lagi karena sudah menambah tenaganya, tadi terkejut dan kaget karena dia tak menyangka kehebatan lawannya. Maka begitu kali ini ia mengerahkan sinkangnya dan tenaga ditambah maka Hauw Kam tergetar dan marah memandang pemuda itu, ditangkis dan untuk kedua kalinya dia melihat kehebatan lawannya ini. Dia melotot dan membentak lagi.
Dan ketika dengan cepat dia berkelebat dan menyerang lagi maka Siang Le sudah menghadapi puluhan bayangan yang bergerak-gerak di sekitar tubuhnya, mencengkeram dan melepas pukulan atau tamparan dan Siang Le mengelak maju mundur. Tapi ketika lawan mempercepat gerakannya dan Sin-tung Lo-kai berteriak tertahan karena ledakan nyaring terdengar bertubi-tubi maka Siang Le memekik dan cepat melejit dan mainkan ilmu silat Sin-re-ciangnya.
"Plak-des-dess!"
Gwan Beng terkejut. Dia melihat sutenya menjerit ketika lengan si pemuda tiba-tiba mulur seperti karet, maju mundur dan ganti pemuda itu yang menusuk atau mencolook. Dan karena gerakan ini sungguh tak diduga dan Hauw Kam lambat berkelit maka tusukan atau colokan Siang Le mengenai pinggir matanya.
"Crat!" Hauw Kam melengking. Tiba-tiba Siang Le sudah membalasnya dan pemuda itu pun berkelebatan cepat. Dan karena Siang Le adalah murid See-ong dan sebagai murid datuk dari barat itu pemuda ini adalah pemuda yang lihai maka cepat dan bertubi-tubi pula Siang Le melepas pukulan-pukulan berbahaya. Sin-re-ciang dimainkan sepenuhnya dan terbelalaklah Hauw Kam melihat lengan yang mulur mengkeret seperti karet.
Pemuda itu sering mengejutkannya dengan serangan-serangan tak diduga. Kedua lengannya yang tiba-tiba memanjang tanpa diduga sungguh mirip lengan lutung yang panjang dan menjangkau, sekali mulur tahu-tahu sudah di depan hidung. Dan ketika Hauw Kam tentu saja marah dan pria ini menjerit tiba-tiba saja gilanya amot (kambuh).
"Weh, her-herr...!" Hauw Kam mencak-mencak. Bergerak dan berkelebatan seperti monyet menari-nari mendadak Hauw Kam yang gimbal-gimbal ini marah besar. Dia terpental ketika menangkis, tenaga lawan dirasa kian kuat saja setiap beradu. Maklumlah, Siang Le sekarang memang mengerahkan segenap kepandaiannya setelah tadi terkejut oleh adu pukulan pertama. Dan ketika pemuda ini membalas dan membuat kedua lengannya mulur mengkeret maka setiap perubahan atau maju mundurnya tangan Sin-re-ciang memang sering mengejutkan Hauw Kam.
"Plak-des-dess!"
Mereka kembali sama-sama tergetar. Hauw Kam memekik dan menjerit seperti kera marah. Sekarang gerak-geriknya tak keruan namun justeru di balik semua kekacau-balauannya ini Hauw Kam mainkan Sin-kauw-kun (Silat Kera Sakti), satu pelajaran baru ketika dia berada di hutan, bersama suhengnya. Namun ketika Sin-kauw-kun masih juga terpental oleh mulur mengkeretnya Sin-re-ciang maka Hauw Kam melengking dan mencabut pedangnya.
"Jangan membunuh!" Gwan Beng tiba-tiba berseru. "Ganti pedangmu, sute. Jangan membunuh!"
Aneh, Hauw Kam mengangguk. Siang Le melihat lawan tiba-tiba membentak dan melengking. Pedang yang tajam tiba-tiba lenyap lagi di belakang punggung. Dan ketika sinar lain berkelebat dan sebatang pedang kayu sudah berada di tangan lawannya ini maka si gimbal Hauw Kam terkekeh-kekeh.
"Ha-ha, roboh kau, bocah. Sekarang aku akan mainkan ilmu silatku ini... sing-wut!" pedang bergerak, maju membacok namun ternyata berubah di tengah jalan, tidak jadi membacok melainkan menusuk. Dan ketika Siang Le menangkis namun pedang berputar arah maka ujung pedang mencukil dan bahu Siang Le robek terkuak.
"Bret!" Siang Le terkejut. Tiba-tiba lawan tertawa gembira dan sudah melakukan jurus-jurus aneh, pedang bergulung-gulung dan terkejutlah Siang Le ketika dia terdesak. Dan ketika satu tikaman miring kembali menuju lehernya namun ketika dikelit ternyata tiba-tiba berubah menusuk dada maka Siang Le kaget bukan main karena ujung pedang tahu-tahu sudah menyentuh dadanya itu.
"Cret!" Siang Le kelabakan. Kalau pedang itu pedang sungguhan dan dia tidak melindungi diri dengan sinkang mungkin dadanya sudah berlubang oleh tusukan lawan yang amat lihai. Lawan tertawa terkekeh-kekeh dan pucatlah Siang Le ketika pedang kembali berkelebatan menari-nari. Dia benar-benar terdesak dan menangkis tapi pedang selalu menyelinap atau melejit secara tak diduga, selalu mengenai tubuhnya dan rasa sakit atau pedas-pedas mulai mengganggu pemuda ini.
Maklumlah, setiap tusukan atau tikaman pedang meskipun hanya pedang kayu namun singkang yang dimiliki lawan cukup tinggi. Pedang itu sebenarnya tak kalah ampuh dengan pedang sungguhan, hanya tajamnya saja yang berbeda. Dan ketika pedang menyambar-nyambar dan perlahan tetapi pasti Siang Le semakin terdesak pucat maka Soat Eng yang melihat di sana tiba-tiba gelisah.
"Lompat ke kiri, jaga lambungmu...!" Soat Eng mulai berbisik-bisik, mengerahkan ilmunya mengirim suara dari jauh. "Jangan tangkis atau pukul pedang itu, Siang Le. Banting tubuh ke kanan dan setelah itu tendang si gimbal secara bergulingan!"
Siang Le terkejut. Suara Soat Eng tiba-tiba menyusup di telinganya, mula-mula mendengung namun akhirnya jelas. Dia melirik dan melihat mulut si nona berkemak-kemik, giranglah Siang Le dan cepat dia menuruti semua kata-kata ini. Dan karena Soat Eng mengenal ilmu pedang Hauw Kam dan tentu saja tahu jurus-jurus yang dipergunakan paman gurunya itu maka Siang Le yang mengikuti semua kata-kata soat Eng tiba-tiba mulai dapat meloloskan diri!
"Benar, dan sekarang ketuk pergelangan lawanmu itu. Awas pedangnya akan memutar ke perut!"
Siang Le membuta. Selama hidup pemuda ini belum berhadapan dengan Giam-lo Kiam-sut, jadi tak aneh kalau dia terdesak dan bingung oleh gerakan-gerakan pedang yang luar biasa itu. Maka begitu dia mengikuti dan kata-kata Soat Eng selalu menyelamatkannya dari sambaran-sambaran pedang yang lihai dan Hauw Kam tertegun karena pemuda itu tiba-tiba sudah mengetahui ke mana dia akan menyerang maka Siang Le terlepas dan kini mulai melakukan serangan-serangannya dengan Sin-re-ciang itu.
"Des-plak!"
Hauw Kam terpelanting. Ilmu Silat Karet atau Sin-re-ciang itu tiba-tiba hidup kembali, pedangnya mengenai tempat kosong dan lengan lawan yang mulur tahu-tahu sudah berada di depan mukanya. Hauw Kam mengelak namun kalah cepat. Dan ketika pundaknya terpukul dan laki-laki itu bergulingan maka untuk selanjutnya Siang Le sudah mendesak dan selalu menutup serangan-serangan pedang, menjadikan Giam-lo Kiam-sut mati kutu!
"Keparat!" Hauw Kam melotot, gusar. "Bagaimana sekarang kau tahu gerakan-gerakan pedangku, bocah? Kau dapat membaca pikiran orang?"
"Ha-ha!" Siang Le terbahak, gembira karena petunjuk Soat Eng benar. "Aku memang dapat membaca gerakan-gerakan pedangmu, orang aneh. Dan sekarang kau tak dapat merobohkan aku!"
"Tak mungkin!" dan Hauw Kam yang memekik sambil menusuk ke kiri tiba-tiba berkelebat dan melakukan jurus yang disebut Pedang Maut Mencari Matahari, melakukan gerak berputar dan Siang Le terkejut. Seperti biasa dia tak tahu kemana pedang itu selanjutnya akan menyerang, karena dia selalu mengandalkan petunjuk Soat Eng. Dan ketika petunjuk itu datang dan Soat Eng memerintahkan agar dia menyambut dan mencengkeram pedang, satu perbuatan berbahaya, maka Siang Le sudah melakukan itu dan lawan terkejut karena dengan berani pemuda ini menyambut dan mencengkeram.
"Haiii...!" Seruan itu menandakan marahnya Hauw Kam. Sebenarnya Hauw Kam hendak melanjutkan lagi jurus mautnya tadi dengan satu bacokan ke bahu. Tapi karena lawan tak mengelak dan justeru menyambut pedangnya, menangkap dan siap mencengkeram maka otomatis gerak selanjutnya menjadi gagal, melengking dan mengayun pedangnya dengan ganas.
"Plakkk!"
Siang Le mengerahkan Ilmu Karetnya itu. Pedang adalah pedang kayu, tak perlu dia takut akan ketajamannya. Dan karena Tangan Karet ini mempunyai gerakan lentur dan otomatis tak bakal terluka maka pedang yang tiba-tiba disambut dan dicengkeram pemuda ini seketika tertangkap.
"Jangan diadu...!" Gwan Beng menjadi terkejut, kaget melihat sutenya marah dan kehilangan kontrol diri. Apa yang seharusnya tak boleh dilakukan ternyata malah dilakukan sutenya itu. Seharusnya sutenya menarik pedang dan melakukan serangan yang lain saja, jangan melampiaskan hawa marah dengan membiarkan pedang disambut lawan. Dan ketika benar saja pedang tercengkeram dan lengket di tangan karet Siang Le tiba-tiba pedang tak dapat ditarik dan terlambat bagi sutenya itu untuk menyelamatkan diri, karena saat itu Siang Le sudah melakukan tendangan bawah pusar atas perintah Soat Eng.
"Dess!" Hauw Kam mencelat. Kelihaian Siang Le dan kepandaiannya yang sudah mengetahui kemana pedangnya selanjutnya bergerak membuat laki-laki ini mengeluh. Hauw Kam penasaran namun berkali-kali serangannya gagal. Dan ketika pedangnya tercengkeram dan tak dapat ditarik, karena Siang Le membetot dan mengerahkan ilmu Karetnya maka tendangan si pemuda tepat sekali mengenai bawah pusarnya, roboh terpelanting dan Hauw Kam terguling-guling. Siang Le ragu untuk mengerahkan semua tenaganya, karena tendangan itu dapat membunuh lawan.
Tapi ketika Hauw Kam melompat bangun dan terhuyung dengan mata mendelik, tanda bahwa lawan benar-benar orang yang amat kosen maka Gwan Beng berkelebat dan membentak menyerang pemuda itu, mengeluarkan Jaring Naga.
"Sute, tangkap pemuda ini dengan Jaring Naga. Kita bekuk dia!"
Siang Le terkejut. Lawan tiba-tiba menggerakkan kedua tangan menghantam, ditangkis tapi tiba-tiba dari kedua lengan itu muncul benang laba-laba yang menggubat dan segera merekat di tangannya. Dan ketika Siang Le berteriak kaget karena tangan tak dapat digerakkan, terbungkus dan sebentar saja dililit benang laba-laba itu maka Hauw Kam tertawa bergelak dan berkelebat menendang perutnya.
"Dess!" Siang Le ganti mencelat. Pemuda ini mengeluh dan Soat Eng terkejut. Sekarang Siang Le bukan menghadapi permainan pedang lain melainkan silat Jaring Naga, ilmu silat yang mengeluarkan benang laba-laba itu. Dan karena Soat Eng sendiri justeru tertangkap dan roboh oleh ilmu silat ini maka gadis itu tak dapat memberi tahu lagi apa yang harus dilakukan Siang Le.
"Bret-plak!" Siang Le berseru keras. Dia sedang bergulingan ketika dikejar dan menerima pukulan itu, berteriak karena Hauw Kam tiba-tiba juga mengeluarkan Jaring Naganya. Si gimbal ini sudah menyimpan pedang dan tertawa-tawalah lawannya itu oleh kekagetan Siang Le. Dan ketika Siang Le bingung dan gugup dan Gwan Beng berkelebat menyerang lagi maka ratusan atau ribuan benang laba-laba sudah mengurung pemuda ini dari segala penjuru.
"Kim-siocia, tolong. Bantu aku!"
Soat Eng pucat. Dia tak dapat menolong kalau Gwan Beng dan sutenya sudah mengeluarkan ilmu silat yang aneh itu. Dari sepasang lengan dua orang ini menyambar-nyambar benang-benang aneh yang daya rekatnya kuat. Dan ketika Siang Le sibuk namun benang laba-laba itu terus mengejar dan mendesaknya akhirnya kaki dan tangan pemuda ini tergubat!
"Ah, keparat!" Siang Le memaki. "Ini ilmu setan, manusia-manusia busuk. Kalian siluman dan benar-benar iblis!"
"Ha-ha!" Hauw Kam tertawa bergelak. "Boleh kau memaki-maki kami, bocah. Tapi sebentar lagi kau mampus!"
"Jangan bunuh!" Gwan Beng berseru, memperingatkan sutenya. "Tangkap hidup-hidup anak ini, sute. Aku jadi curiga dan ingin tahu bagaimana dia tahu ilmu pedang kita!"
"Benar," Hauw Kam teringat, mengangguk berseri. "Kau benar, suheng. Aku juga jadi penasaran dan ingin tahu bagaimana tiba-tiba dia dapat mengetahui lebih awal semua ilmu silat pedangku tadi!" dan terkekeh serta mempergencar serangan-serangannya.
Akhirnya Siang Le menjadi sibuk dan kewalahan, tak mampu berkelit lagi ketika benang laba-laba yang keluar dari Hauw Kam maupun suhengnya itu semakin tebal, mengurung dan sudah menggubat bahu dan lehernya. Dan ketika Siang Le tak dapat bergerak karena sudah digubat demikian banyak benang laba-laba akhirnya pemuda itu jatuh berdebuk ketika sebuah totokan dilepas Gwan Beng.
"Bluk!" Siang Le mengeluh. Sekarang pemuda ini tak berdaya dan memaki-makilah dia kepada dua orang lawannya itu. Tapi ketika Hauw Kam tertawa dan menggaplok mukanya maka pemuda ini mendesis dan melotot.
"Bocah, jangan macam-macam. Sekarang aku tak tahan mendengar semua makianmu. Nah, ikut baik-baik semua perintah kami!" lalu menghadapi suhengnya bertanya apa yang harus dilakukan si gimbal Hauw Kam ini berseru, "Diapakan bocah ini, suheng? Dipanggang atau diasapi seperti babi disembelih?"
"Hm, itu nanti. Sekarang bagaimana dengan tiga tikus busuk itu!"
"Oh, pengemis ini? Ha-ha, lempar mereka ke sungai, suheng. Atau suruh pemuda ini menyeret ketiganya!"
"Tidak!" Soat Eng tiba-tiba melengking. "Kalian telah berjanji untuk melepaskan mereka itu, Koai-jin. Bebaskan mereka atau aku akan mengamuk!"
"Hm, gadis yang binal," Hauw Kam mengomel, geregetan. "Gara-gara siluman betina ini kita jadi repot, suheng. Sebaiknya bocah ini diseret pula!"
"Tidak," suhengnya menggeleng. "Kita memang telah berjanji, sute. Sebaiknya mereka dibebaskan dan biar dua anak muda ini saja menjadi tawanan!"
"Kalau begitu biar kutendang mereka!" dan Hauw Kam yang sekali lagi menendang Sin-tung Lo-kai dengan marah membentak, "Kalian pergi, pengemis busuk. Dan jangan perlihatkan tampang kalian lagi di depanku. Enyah!"
Sin-tung Lo-kai mengeluh. Kakek pengemis ini mencelat dan segera dua muridnya menyusul. Kiat Ma dan suhengnya mengaduh ditendang si gimbal. Tapi ketika mereka dapat berdiri dan terhuyung bangun maka guru mereka tampak ragu-ragu memandang Soat Eng, yang segera berseru,
"Kalian jangan di sini. Tak usah khawatir, mereka akan membawaku menghadap ayah ibu!"
"Apa benar?" kakek ini tak percaya. "Hanya orang gila yang berani menemui ayah ibumu, siocia. Dan lohu tak gampang percaya!"
"Cerewet!" Hauw Kam berkelebat. "Kau masih juga pentang mulut? Eh, pergi, pengemis busuk. Atau aku tak dapat menahan sabar dan kau kubunuh... des-dess!"
Sin-tung Lo-kai menjerit, langsung terbanting empat tombak dan Kiat Ma serta suhengnya pucat. Mereka melihat guru mereka itu merintih dan tulang pundaknya retak, tak ayal melompat kaget dan menolong guru mereka itu. Dan ketika Soat Eng kembali berseru dan berkata supaya mereka cepat pergi maka Kiat Ma menangis dan memanggul gurunya ini.
"Baiklah, kami pergi, siocia. Dan maaf bahwa kepandaian kami yang rendah sama sekali tak berguna!"
"Ha-ha, memang tak berguna!" Hauw Kam tertawa bergelak. "Kalian cepat enyah, tikus-tikus busuk. Atau kalian kupatahkan kakimu dan menyesal tak dapat pergi lagi!"
Lu Sam mengumpat. Suheng Kiat Ma ini cepat membantu sutenya dan dipondonglah guru mereka itu. Dan ketika mereka pergi dan tersaruk-saruk melangkah maka Soat Eng lega melihat mereka akhirnya lenyap.
"Nah, kau," Hauw Kam membalik, menghadapi tawanannya berdua. "Ceritakan bagaimana kau tahu jurus-jurus ilmu pedangku, bocah. Dan bagaimana kau dapat berkelit sebelum seranganku berikut tiba!"
"Aku yang memberi tahu!" Soat Eng tiba-tiba berseru, takut si pemuda disiksa. "Pemuda ini tak tahu apa-apa, Koai-jin. Jangan marah kepadanya dan marah-marahlah kepadaku!"
"Apa?" Hauw Kam terbelalak. "Kau?"
"Ya, aku. Nah, kau boleh marah kepadaku dan bebaskan pemuda ini. Dia tak tahu apa-apa!"
"Ha-ha!" Hauw Kam tiba-tiba tertawa bergelak, memandang suhengnya. "Bagaimana pendapatmu, suheng? Apakah bocah ini yang gila atau aku yang tak mengetahui perasaan muda-mudi?"
"Hm, mereka jelas telah saling mengenal dengan baik. Dan Tangan Karet pemuda itu, hmm... kau pernah mendengar murid siapa kiranya pemuda ini, sute? Apakah ada hubungan dengan Kim-mou-eng?"
"Aku tak ada hubungannya dengan Kim-mou-eng!" Siang Le tiba-tiba berseru. "Aku dan puterinya adalah sahabat, Koai-jin. Kami bukan kerabat melainkan sahabat!"
"Hm, sahabat yang istimewa," Hauw Kam tiba-tiba tertawa mengejek. "Dan kau ikut-ikutan memanggil Koai-jin! Eh, siapa gurumu, anak muda? Berani kau mengatakan siapa gurumu itu agar kami dapat membawa kepalamu ke sana?"
"Dia murid See-ong!" Soat Eng mendahului, coba menggertak. "Kalian berani mati menanam permusuhan dengan kami berdua, Koai-jin. Lepaskan dia dan jangan ganggu lagi!"
"See-ong?" kali ini Gwan Beng mengerutkan kening. "Siapa ini? Di mana tinggalnya?"
"Suhu tinggal di Istana Hantu. Dan kuminta kalian bebaskan Kim-siocia ini kalau ingin bertemu guruku!"
"Hm, Istana Hantu? Eh, tempat apa itu, anak muda? Di mana?"
"Di Sam-liong-to. Kalian dapat bertemu guruku kalau minta kuantar. Tapi bebaskan dulu nona ini dan kubawa ke sana!"
"Tidak," Soat Eng tiba-tiba berseru marah. "Mereka akan membawaku ke ayah ibuku, Siang Le. Jangan dibujuk ke sana dan biar kau saja yang dibebaskan!"
"Tapi aku ingin menolongmu..."
"Aku tak butuh pertolonganmu!" Soat Eng tiba-tiba membentak, memotong. "Aku tak ingin hutang budi padamu, Siang Le. Kau lancang dan kini merepotkan aku!"
"Lho, merepotkan?" pemuda ini tertegun, tak mengerti. "Bagaimana bisa begitu?"
"Bagaimana tidak?" Soat Eng marah-marah. "Gara-gara kau datang ke sini untuk menolongku maka kau tertangkap, Siang Le. Kalau kau tidak datang ke mari dan kita tidak bertemu tentu aku tak harus merasa bersalah kalau bertemu gurumu!"
"Ah, suhu tak tahu apa-apa. Aku datang karena kebetulan melihat dua orang ini menawanmu!"
"Itulah! Siapa suruh kau datang? Kalau kau tak ke sini dan tak tertangkap tentu aku tak harus merasa berhutang budi, Siang Le. Tapi karena gara-gara kau ingin menolongku dan kini tertangkap maka aku merasa berhutang budi!"
"Aku tak bermaksud menghutangkan budi," Siang Le tertegun. "Aku menolongmu dengan ikhlas, nona. Tak usah dipikirkan masalah budi atau tidak."
"Siapa harus begitu? Memangnya aku orang sesat yang tak harus menghitung kebaikan orang? Keparat, dua kali kau menolongku, Siang Le. Dan dua kali aku jadi gemas padamu!" Soat Eng tiba-tiba menangis, memaki-maki dan mengepalkan tinjunya dan terbelalaklah pemuda itu. Siang Le bengong dan Hauw Kam serta suhengnya juga tertegun.
Tapi ketika Hauw Kam tertawa dan terkekeh-kekeh tiba-tiba si gimbal ini melompat. "Ha-ha, cinta! Ini gara-gara cinta, suheng. Kalau bocah laki-laki ini tak mencintai si perempuan tentu dia tak senekat ini. Eh, kau jangan marah-marah kepadanya, siluman cilik. Kau harus berterima kasih kalau dua kali dia sudah menolongmu. Ha-ha, aku jadi ingin melihat kelakuan pemuda ini kalau dia membelamu!" dan Soat Eng yang seketika menghentikan tangisnya karena mendelik dengan muka merah tiba-tiba terkejut karena Hauw Kam si gimbal itu mencengkeramnya.
"Kau kuseret, dan pemuda ini akan kugendong!" dan Hauw Kam yang sudah terkekeh menyeret Soat Eng tiba-tiba menyambar dan berkelebat memanggul Siang Le. "Suheng, ayo pergi. Kita lanjutkan perjalanan!"
Dan Soat Eng yang tentu saja terkejut tapi tidak berdaya tiba-tiba memaki-maki karena bajunya robek-robek, sepanjang jalan diseret saja sementara Siang Le juga terkejut. Pemuda ini dipanggul sementara Soat Eng diseret, hal yang membuat pemuda ini marah dan tiba-tiba membentak agar si gimbal itu berhenti. Namun ketika Hauw Kam mempercepat larinya dan Soat Eng terpental-pental di tanah berbatu maka Siang Le tiba-tiba menggigit dan menancapkan giginya di punggung si gimbal ini.
"Iblis kejam, lepaskan gadis itu..."
"Augh!" dan Hauw Kam yang berteriak serta melepas Soat Eng tiba-tiba menampar dan melepas pemuda itu, menendang dan membantingnya dan mengeluhlah Siang Le ketika tubuhnya serasa remuk. Dan ketika Hauw Kam terbelalak dan melotot marah maka si gimbal ini menyambar Soat Eng dan ganti menyeret Siang Le. "Sekarang kau kuhajar. Berani benar menggigit!"
Dan Siang Le yang tersentak menahan sakit tiba-tiba sudah ganti diseret sepanjang jalan kasar di tanah berbatu dan mendesislah pemuda ini menahan sakit. Soat Eng sudah dipanggul dan Siang Le ganti terpental-pental di tanah yang keras. Baju di bagian punggung pemuda itu seketika hancur dan Soat Eng ngeri. Dan ketika si gimbal tertawa-tawa sementara kulit dan tubuh pemuda itu lecet-lecet maka Soat Eng terbelalak tapi bingung di samping marah.
"Ha-ha, sekarang kulihat reaksi gadis ini, bocah. Kalau dia tak berteriak-teriak dan menyuruh aku berhenti maka sampai di luar tembok besar kau akan kusiksa!"
"Siksalah!" Siang Le menahan sakit, menggigit bibir sampai pecah berdarah. "Kau boleh siksa dan bunuh aku, Koai-jin. Asal tidak membunuh atau menyiksa gadis itu!"
"Ha-ha, kau mencintainya?"
Siang Le tak menjawab, melotot. Dan ketika lawan mengulang pertanyaannya dan berlari semakin kencang maka Soat Eng membentak dan memaki-maki lawannya ini.
"Tua bangka, kau gila dan benar-benar tidak waras. Tak perlu menanyakan itu kalau tak ingin membuat malu dia!"
"Ha-ha, malu apanya? Eh, aku bertanya karena aku ingin tahu, bocah perempuan. Dan aneh bahwa kau tidak ganti berteriak-teriak menyuruh aku berhenti!"
"Aku... aku tidak sudi. Tapi jangan siksa atau perlakukan dia seperti itu di depan mataku!"
"Ha-ha, kau tak mencintainya?"
"Keparat, kau orang tua bermulut busuk!"
"Ha-ha, kalau begitu kuteruskan siksaanku. Dan baru kulepas kalau dia atau kau yang minta ampun!"
Dan Siang Le yang mengeluh diseret cepat akhirnya merintih dan kesakitan, tak dapat mengerahkan sinkang karena tubuhnya dalam keadaan tertotok. Soat Eng akhirnya menutup mata ketika pemuda itu sudah berlumuran darah. Dan ketika perbuatan Hauw Kam semakin kejam dan dia atau Siang Le diminta untuk minta ampun namun mereka sama sekali tak mau menjawab akhirnya si gimbal Hauw Kam ini gusar.
"Kalian sama-sama keras kepala? Tak mau minta ampun agar pemuda ini kulepaskan? Baik, aku akan terbang semakin cepat, bocah. Dan biar tubuhnya hancur di tanah berbatu!"
Dan Soat Eng yang menjerit melihat bukti kata-kata itu akhirnya berteriak menyuruh Siang Le minta ampun, memaki-maki Siang Le karena pemuda itu bodoh dan tak tahu diri. Musuh akan melepas dirinya kalau dia mau bicara. Tapi ketika Siang Le tersenyum dan menggeleng kepalanya maka ddg gagah namun kesakitan pemuda ini berkata,
"Biarlah, biar aku mati, Kim-siocia. Aku tak dapat dipaksa dan jangan harap minta ampun. Kalau kau yang mau mintakan ampun terserah, tapi bukan aku!"
Soat Eng melotot merah padam. Dia bingung dan tentu saja tahu apa yang dimaksud pemuda ini. Hauw Kam telah memaksa mereka minta ampun. Siang Le ditantang kegagahannya sedangkan Soat Eng ditantang pernyataan cintanya. Kalau gadis itu mencinta pemuda ini Hauw Kam menghendaki Soat Eng bicara, karena tentu dia akan segera membebaskan. Tapi karena Soat Eng marah dan bingung dan tentu saja paksaan si gimbal itu membuat mukanya merah padam akhirnya dia mencoba untuk menutup mulut rapat-rapat, akhirnya memaki Siang Le yang dikata tak tahu diri dan ingin mampus. Dan ketika Siang Le menanggapi semua makiannya itu dengan senyum tenang dan tabah akhirnya Soat Eng mulai tak tahan ketika pemuda itu pingsan untuk pertama kalinya.
"Biarlah, aku boleh mampus, nona. Asal jangan kau yang diseret!"
"Tapi kau akan mampus, tubuh dan tulangmu akan hancur!"
"Tak apa, aku siap berkorban, nona. Kalau ini untukmu biarlah kutahan.......augh!" dan Siang Le yang berlumuran darah mengeluh perlahan tiba-tiba tak dapat melanjutkan bicaranya lagi, pingsan dan Hauw Kam menyeretnya terus tertawa-tawa, tak perduli. Soat Eng menggigit bibir dan akhirnya menangis. Dan ketika Siang Le sadar tapi pingsan sampai tiga empat kali akhirnya gadis ini berteriak,
"Berhenti, lepaskan dia. Jangan seret lagi! Aku... aku mencintainya...!" dan Hauw Kam yang tertawa bergelak menghentikan larinya tiba-tiba melepas Siang Le yang segera terguling roboh, mengeluh namun pemuda itu berseri-seri memandang Soat Eng. Gadis itu di sana tersedu-sedu dan si gimbal ini berjingkrak girang, merasa kemenangannya dan tak perduli ketika sejak tadi suhengnya menegur dan membentak, dikejar tapi dia justeru berlari semakin kencang. Dan ketika Soat Eng mengakui cintanya dan berhasil dipaksa mintakan ampun akhirnya si gimbal Hauw Kam ini menari-nari.
"Ha-ha, benar.... benar, suheng. Dua sejoli ini sebenarnya saling mencinta. Lihat, gadis ini akhirnya tak tahan dan mengaku juga. Bukankah tebakanku tepat? Ha-ha, kalau tadi-tadi siluman betina ini mengaku tentu si pemuda tak perlu kusiksa. Ah, perempuan memang aneh dan minta dipaksa dulu!" Hauw Kam yang tertawa-tawa merasa berhasil lalu berkelebat dan menolong Siang Le. "Kau dengar kata-katanya?" serunya terkekeh. "Bocah perempuan itu akhirnya jatuh ke tanganku, anak muda. Dia kalah, mengaku. Dan sekarang aku harus mengobatimu!"
Dan Siang Le yang diurut serta dibalur lalu diberi obat tapi pemuda itu sendiri tak menghiraukan semua pekerjaan si gimbal ini, berseri-seri dan bahagia sekali memandang Soat Eng. Gadis itu menangis tapi melotot padanya. Dan ketika Siang Le tersenyum dan mengangguk terima kasih tiba-tiba Soat Eng mendamprat, mempergunakan ilmunya Coan-im-jip-bit,
"Siang Le, jangan girang oleh pernyataanku ini. Aku hanya berpura-pura. Aku hanya ingin membalas budimu. Setelah bebas tentu aku akan berhitungan lagi denganmu!"
"Hm...!" pemuda ini mendesah, mata tiba-tiba muram. "Kau tetap memusuhiku, Kim-siocia? Kau... kau hanya dusta belaka?"
"Memangnya aku sungguh-sungguh? Cih, manusia sesat macam dirimu tak mungkin kucinta, Siang Le. Tengok dirimu itu dan jangan merasa besar kepala!"
Siang Le tertegun. Dia telah selesai diobati dan Hauw Kam kini memanggulnya, menepuk-nepuk pinggulnya. Dan ketika laki-laki itu tertawa dan berkata bahwa mulai sekarang dia tak akan diseret lagi maka Hauw Kam menendang Soat Eng pada suhengnya.
"Pemuda ini harus kurawat, aku akan menebus dosa. Ha-ha, terima bocah perempuan ini, suheng. Dan sekarang kita masing-masing mendapat seorang!"
Gwan Beng menggeleng-geleng kepala. Untuk kedua kali dia menerima gadis itu, memanggulnya. Dan ketika sutenya berkelebat dan minta agar mereka pergi lagi maka dia mengangguk dan berseru, "Baik, tapi jangan siksa lagi dua anak muda ini, sute. Aku tak suka kau membuat gadis ini menangis. Kalau kau melanggar dan tidak mendengar kata-kataku maaf saja bahwa kau akan kuhajar!"
"Ha-ha, boleh. Kali ini aku menurut!" dan Hauw Kam yang berkelebat membawa Siang Le akhirnya tertawa dan tidak melihat pertengkaran tadi, tak melihat muka Soat Eng yang merah dan Siang Le yang murung.
Murid See-ong ini terpukul bahwa dia dinyatakan orang sesat, tak layak mencinta gadis seperti Soat Eng karena puteri Pendekar Rambut Emas itu adalah gadis baik-baik, bukan seperti dia yang murid seorang kakek iblis, bahkan gurunya telah membunuh kakek gadis itu, Hu Beng Kui atau Hu-taihiap si jago pedang. Dan ketika Siang Le menggigit bibir dan menunduk di gendongan lawannya ini maka Gwan Beng di sana juga berkelebat dan menyusul sutenya, terbang dan menuju tempat Pendekar Rambut Emas!
Di luar tembok besar, di sebuah lembah yang sunyi. Dua orang duduk bersila dan masing-masing tampak memusatkan perhatian pada samadhi, duduk tak bergeming tapi yang di sebelah kiri, seorang wanita cantik berusia empat puluhan tampak gelisah, tak tenang duduknya. Dan ketika dua jam mereka bersila namun wanita ini tak dapat memusatkan diri akhirnya wanita itu terisak dan gemetar, memanggil laki-laki yang duduk di sebelah kanannya itu.
"Suamiku, aku tak berhasil. Bangunlah, aku gagal....!"
Laki-laki itu membuka mata. Dia terkejut dan mengerutkan kening ketika melihat si wanita menangis, mengguguk dan akhirnya menubruk dirinya, tersedu-sedu. Dan ketika laki-laki itu terguncang namun cepat dapat menguasai dirinya maka laki-laki ini, yang bukan lain Pendekar Rambut Emas adanya mengusap rambut isterinya itu, yang bukan lain adalah Swat Lian.
"Hm, ada apa lagi, niocu? Kau gagal bersamadhi?"
"Benar, aku... aku tak tenang. Aku teringat anak-anak!"
"Hm, sudah berkali-kali kau nyatakan ini. Dan sudah kubilang pula bahwa kita tak perlu khawatir. Kenapa kau tak dapat mengendalikan dirimu, niocu? Kenapa kau berlebih-lebihan begini? Tenanglah, aku akan mengikuti apa kehendakmu bila kau ingin aku mencari mereka!"
"Aku... aku tak dapat terlalu lama tak bertemu anak-anakku. Aku cemas akan nasib mereka. ah, kita harus mencari mereka, suamiku. Dan Thai Liong sudah setahun ini tak pulang!"
"Ya, dan Soat Eng juga. Tapi aku tak khawatir. Aku tak merasakan apa-apa..."
"Ah, kau lelaki tak merasakan dukanya ibu, suamiku. Kau tak tahu perasaan perempuan. Kau selalu menghiburku tapi aku tak merasa tenteram. Aku ingin meninggalkan tempat ini, apalagi setelah kau bicara tentang Togura itu!"
"Hm, tenang," sang suami, Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bangkit berdiri. "Aku merasa getaran sesuatu mendekatiku, niocu. Ada orang akan datang menemui kita!"
"See-ong?" sang isteri meloncat bangun, tiba-tiba beringas, cuping telinganya bergerak naik turun. "Aku juga merasakan itu, suamiku. Dan, ah... agaknya membawa Eng-ji (anak Eng)!"
Sang suami menoleh ke kiri. Dari sana getaran itu dia tangkap, sang isteri menyusul dan tertegunlah Pendekar Rambut Emas melihat dua bayangan mendekati mereka. Dua bayangan itu masih jauh dan jaraknya barangkali masih ratusan li, satu atau dua jam kalau melakukan perjalanan dengan berlari cepat, itu pun sudah mempergunakan ilmu meringankan tubuh seperti Jing-sian-eng atau Cui-sian Gin-kang. Dan ketika isterinya juga tertegun dan terbelalak ke depan, melihat bayangan samar-samar itu maka mereka menoleh dan saling pandang.
"Aku melihat dua orang laki-laki, seorang di antaranya membawa Eng-ji. Hm, dan bagaimana yang satu itu, niocu?"
"Yang satu memanggul seorang pemuda. Aku juga melihatnya. Tapi mereka masih jauh!"
"Hm, benar. Dan mereka bukan See-ong! Apa yang kau lihat lagi, isteriku? Kau dapat melihat siapa pemuda yang dipanggul itu?"
"Dia... dia Siang Le, murid kakek iblis itu! Ah, siapa dua laki-laki ini, suamiku? Kau mengenalnya?"
"Hm, masih terlalu jauh. Dan mereka mendatangi tempat kita, sengaja! Ah, ini getaran yang kutangkap itu, niocu. Kita kedatangan tamu tapi mereka tak kukenal!"
"Hm, benar. dan aku harus mencari An-ji (anak An)!" dan Swat Lian yang bersuit melengking nyaring tiba-tiba memanggil seorang anak laki-laki yang tiba-tiba berkelebat datang.
Anak ini masih berusia dua tiga tahun namun gerak-geriknya gesit. Dialah Beng An, putera terkecil Pendekar Rambut Emas ini bersama isterinya. Dan ketika anak itu muncul dan di bahunya terpanggul seekor kijang besar maka Swat Lian berseri dan berkelebat menyambar anak laki-lakinya itu, bocah yang mengagumkan karena sekecil itu sudah dapat berburu dan mendapatkan seekor rusa besar!
"An-ji, kau tak apa-apa? Kau mendapatkan buruanmu?"
"Ah," anak ini mengomel, cemberut. "Aku belum puas, ibu. Kau menggangguku. Suitanmu membuat seekor harimau belang lari dari incaranku!"
"Tapi kau sudah mendapatkan rusa besar ini..."
"Tidak, yang kuincar adalah si raja hutan itu, ibu. Aku meletakkan rusa ini dan hampir saja disambar si harimau loreng. Tapi kau membuatnya terkejut, dan aku gagal mendapatkan buruanku yang lebih besar lagi!"
"Hm, maaf," si ibu bersinar-sinar, mencium pipi anaknya ini. "Harimau itu dapat kau cari lagi, An-ji. Ibu memanggil karena ada bahaya datang mengancam. Ibu tak ingin kau jauh dari sini!"
"Siapa yang datang mengganggu? See-ong? Hm, aku tak takut, ibu. Kalau dia datang biarlah dia kuhadapi dan ingin kubalas kejahatannya dulu ketika berani menggangguku!"
"Tidak," sang ibu tertawa, kagum. "Bukan See-ong, Beng An. Tapi orang lain yang belum ibu kenal. Mereka sebentar lagi datang dan kau dekat-dekat ayah ibumu di sini!"
"Hm," Pendekar Rambut Emas bicara, menyambung. "Apa yang dikata ibumu benar, An-ji. Dua orang akan menemui kita dan mereka membawa encimu. Kau berjaga-jagalah dan dekat-dekat di sini!"
"Enci Eng Eng?" Beng An terbelalak, tiba-tiba marah. "Mereka menawan enci dan datang ke sini, ayah? Keparat, di mana mereka itu dan biar kulabrak!"
"Hm, kau jangan terlampau sembrono. Kalau encimu dapat ditangkap orang dan kini dibawa ke sini tentu orang itu lihai. Jangan terlalu pemberani, An-ji. Aku tidak melarangmu tapi sikap hati-hati harus selalu kau tanamkan!"
"Dan ibu tak ingin kau ikut campur. Kau anak kecil diam saja di sini dan lihat saja apa yang akan ayah ibumu lakukan. Jangan membantah!" Swat Lian merangkul pundak anaknya ini, kagum dan jelas gembira karena anaknya itu begitu pemberani.
Beng An setelah mulai besar memang menunjukkan watak-watak yang berani. Ditunjang oleh ayah ibunya yang hebat anak laki-laki ini memang berkembang amat pesat. Latihan-latihan ilmu silat yang diberikan padanya dipelajarinya dengan cepat. Anak ini sudah dapat berburu dan merobohkan harimau-harimau dewasa, bahkan orang pun dia tak takut dan lawan sebangsa pengawal tentu dengan mudah dia robohkan. Hasil didikan atau gemblengan ayah ibunya yang memang hebat dan amat lihai. Dan ketika hari itu ayah ibunya duduk bersamadhi dan dia berburu maka sebentar saja ssekor rusa sudah didapat tapi sayang ayah ibunya akhirnya memanggil...
"Bagus, kalau begitu antar aku ke sana. Kalian akan tahu rasa!" Soat Eng menantang, diam-diam girang dan memancing kemarahan orang.
Tapi ketika Gwan Beng, si cambang itu mengulapkan lengan dan menyuruh sutenya diam, hal yang membuat gadis ini kecewa maka laki-laki itu berkata, "Sute, tak perlu terbakar. Gadis ini pandai mulutnya. Kau tenanglah di situ dan biar aku yang bertanya jawab."
"Hm, dia memang pandai membakar orang, tapi aku tak terbakar!" si gimbal itu menjawab, mata melotot tapi Soat Eng geli karena laki-laki ini jelas marah, terbakar. Namun ketika si cambang mengulapkan lengannya sekali lagi dan minta agar sutenya itu tak membantah maka laki-laki ini sudah kembali menghadapi Soat Eng.
"Kau pintar, dan jelas lihai. Hm, bolehkah aku tahu lebih banyak tentang ayah ibumu itu, anak baik? Apakah kau tak keberatan untuk kita bicara secara baik-baik?"
"Aku mau bicara baik-baik, tapi bebaskan aku dulu!" Soat Eng berkata, mulai lunak sikapnya karena si cambang yang gagah ini memang lembut kepadanya. Dan ketika laki-laki itu tampang bimbang dan mengerutkan kening maka buru-buru gadis ini berkata, "Kalian di sini ada berdua, aku sendiri. Rasanya tak perlu khawatir kalau aku melarikan diri!"
"Hm, bukan masalah khawatir. Tapi kami tak mau kau melakukan tindak kekerasan!"
"Bukankah sama saja? Kalian berdua dan aku sendiri, lo-koai (orang aneh). Tak perlu takut apalagi menghadapi aku yang hanya seorang anak kecil!"
Si cambang tersenyum. Akhirnya apa boleh buat dia membebaskan totokan gadis itu, bersiap dan waspada kalau Soat Eng menyerang. Tapi ketika Soat Eng melompat bangun dan mengosok-gosok tangannya, yang terasa pedas dan sedikit sakit maka si cambang ini memperingatkan, "Awas, jangan membuat onar. Kau berjanji untuk bicara baik-baik setelah kubebaskan. Nah, bicaralah, anak baik. Aku mendengar dan kau bercerita!"
"Apa yang harus kuceritakan?" Soat Eng mendongkol. "Kalian telah mendengar nama ayahku dan bilang tidak takut!"
"Hm, bukan takut atau tidak. Melainkan berceritalah siapa ayah ibumu itu."
"Ibuku puteri Hu-taihiap, dan ayahku adalah murid Bu-beng Sian-su!"
"Bu-beng Sian-su?" gertakan Soat Eng gagal. "Aku tak pernah mendengar semuanya ini, bocah. Rasanya semuanya itu asing bagi kami!"
"Sungguh buta!" gadis itu membanting kaki. "Bu-beng Sian-su adalah kakek dewa maha sakti, lo-koai. Kalau kau tak mendengar namanya padahal semua orang di kolong jagad mengetahui belaka maka kalian bagai katak dalam tempurung. Rupanya kalian ini tak pernah melongok keluar dan selalu menyembunyikan diri bagai seorang pengecut!"
"Hm, kami memang menyembunyikan diri, tapi bukan pengecut!" Gwan Beng berkata, mata bersinar tajam. "Tak dapat kami sangkal bahwa belasan tahun kami tak menengok dunia kang-ouw, nona. Tapi kami sama sekali bukan pengecut. Kami sungguh tak tahu apa-apa dan justeru muncul untuk tahu apa-apa!"
Soat Eng tertegun. "Kalian berdua ini siapakah? Apakah nama sendiri juga tak diingat-ingat?"
"Aku Hauw Kam!" Hauw Kam tiba-tiba meloncat maju, seakan hendak menerkam mangsanya. "Dan itu suhengku...."
"Stop!" Gwan Beng mencegah sutenya. "Tak perlu memperkenalkan nama, sute. Kalau gadis ini berbahaya untuk kita sebaiknya tak usah menyebut nama kita. Siapa tahu ayah ibunya adalah musuh!"
"Hm!" Hauw Kam teringat, bayangan nenek Naga dan Hek-bong Siauw-jin segera ditangkap. "Maaf, suheng. Aku hampir terlanjur."
"Sudahlah, kau mundur, dan biarkan aku bicara dengan bocah ini."
Hauw Kam mundur, mengangguk dan mengerti maksud suhengnya. Memang mereka tak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan, dalam kaitannya dengan nenek Naga atau Hek-bong Siauw-jin itu, suhu dan subo yang mereka takuti, yang bayangannya masih membekas dalam dan Hauw Kam maklum. Dan ketika Soat Eng tertegun dan membelalakkan mata, tak mengerti maka si cambang itu sudah menghadapinya kembali dan berkata tersenyum, ramah.
"Maaf, siapa kami sebaiknya ditunda dulu. Kami tak tahu siapa kau dan ayah ibumu itu. Kami masih gelap, tak tahu apakah kau lawan atau bukan."
"Hm, bukankah kau sudah kuberi tahu bahwa ayah ibuku adalah Kim-mou-eng? Bukankah sudah kuberi tahu pula bahwa kakekku adalah Hu-taihiap atau Hu Beng Kui yang gagah perkasa?"
"Benar, tapi kami belum pernah bertemu atau berkenalan dengan orang-orang yang kau sebut itu, nona. Kami hanya mendengar di luaran saja dan tak tahu apakah mereka itu orang baik atau bukan!"
"Apa? Kau menganggap ayahku orang jahat dan ibu atau kakekku orang-orang golongan sesat? Keparat, hati-hati, cambang. Aku bisa marah dan menyerangmu nanti!"
"Hm, sabar. Tahan dulu!" si cambang menggoyang lengan. "Benar atau tidak barulah yakin kalau sudah kami buktikan, anak baik. Seperti halnya kau melihat kami berdua ini..."
"Aku menganggap kalian jahat, jelas berbeda dengan ayah ibuku, juga kakekku!"
"Terserah, tapi kami tak mengganggu atau membunuhmu. Bukankah kau bebas juga berkat kebaikan kami? Bukankah kau bisa bicara adalah berkat kemurahan kami pula? Tak perlu berdebat, ceritakan lagi tentang ayah ibumu itu, anak baik. Karena aku serasa mengenal wajahmu, dirimu!"
Soat Eng mangar-mangar. Kalau dia tak tahu bahwa dua orang ini amat lihai dan Jaring Naga benar-benar membuat dia tak berkutik, dan karena itu dia roboh, barangkali dia sudah menyerang dan lompat menerjang musuh-musuhnya ini. Tapi karena dia maklum bahwa dua orang itu memang lihai dan tak perlu marah-marah kalau betul-betul tak terpaksa akhirnya gadis ini mengepal tinju dan duduk membanting tubuh di sudut.
"Sudah kuberi tahu tadi, tak usah cerita lagi!"
Si cambang tertegun. Sikap Soat Eng dan keberaniannya yang mengagumkan sungguh membuat dia memuji. Gadis ini pemberani dan gagah, ilmu kepandaiannya juga tinggi dan kalau tidak berkat Jaring Naga terus terang barangkali dia tak dapat merobohkan. Maka melihat Soat Eng marah dan muka yang ditekuk itu tampak cemberut dan gelap, tapi tidak mengurangi kecantikannya tiba-tiba si cambang ini tersenyum dan tertawa.
"Baiklah," dia tak marah. "Maaf kalau kami membuatmu tak senang, nona. Tapi harap jangan coba-coba lari kalau ingin beristirahat."
"Siapa mau lari?" Soat Eng melotot. "Asal kalian tidak menggangguku aku tak akan lari, cambang. Tapi sekali kalian kurang ajar maka jangan harap aku akan menepati janjiku lagi!"
"Hm, aku tahu," dan Gwan Beng atau si cambang yang tersenyum dan menarik napas di sebelah adiknya lalu berkata agar gadis itu diperhatikan baik-baik. "Dia ingin beristirahat tanpa diganggu. Biarlah dia sendirian dan setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita lagi."
"Kemana?"
"Ke tempat ayah ibunya itu, sute. Ke tempat Kim-mou-eng!"
"Mau menyerahkan bocah siluman itu?"
"Tidak, melainkan untuk menunjukkan pada gadis ini bahwa kita tak takut, biar terhadap ayah atau ibunya itu. Dan sekalian mencari tahu siapa ibu atau ayah gadis ini, karena aku serasa sudah mengenalnya!"
Hauw Kam, sang sute, terbelalak. "Kalau kita mau ke sana sebaiknya gadis ini disembunyikan, suheng. Jangan dibawa serta!"
"Kenapa?"
"Dia... dia dapat membantu ayah ibunya nanti, merepotkan kita!"
"Hm, kalau dia kita totok dan kita kuasai tak mungkin hal itu terjadi, sute. Aku tak khawatir."
"Tapi Pendekar Rambut Emas kudengar amat lihai, dan isterinya juga tak kalah hebat!"
"Kau takut?"
"Bukan takut, suheng. Melainkan semata berhati-hati!"
"Sudahlah, kita hanya takut dan perlu berhati-hati kalau bertemu dengan suhu atau subo. Kalau gadis ini dirasa membahayakan boleh saja kita sembunyikan dia sebelum bertemu ayah ibunya. Tapi, hmm.... kau tidak merasa pernah melihat gadis ini, sute. Kau tidak merasa pernah mengenal wajah itu?"
"Aku, hmm... aku serasa mengenalnya. Tapi aku tak tahu di mana dan kapan!"
"Cocok, aku juga begitu. Karena itu jangan bertindak gegabah sebelum kita tahu benar siapa sebenarnya gadis ini!"
Soat Eng mendongkol. Akhirnya percakapan yang dilakukan setengah bisik-bisik itu tak terdengar lagi. Dia merasa girang tapi juga mendongkol bahwa dua orang laki-laki itu akan tetap menguasainya, hal yang sebenarnya membuat dia marah tapi tak berdaya. Tapi karena mereka akan ke tempat ayah ibunya dan hal ini dianggapnya sebagai ular mencari gebuk maka Soat Eng gembira dan mengharap dua laki-laki itu tak berbohong, tak takut menghadapi ayah ibunya dan diam-diam timbul semangat yang berkobar di hatinya.
Kalau dua musuhnya itu sudah bertemu ayah ibunya dan menerima hajaran tentu mereka tahu rasa. Tapi membayangkan bahwa dia akan disembunyikan dulu sebelum bertemu ayah ibunya tiba-tiba perasaan gadis ini terbakar dan dia mengancam akan berbuat sesuatu, kalau mereka sudah tiba di tembok besar. Dan ketika malam itu dia tetap dijaga dan percuma agaknya melarikan diri maka Soat Eng mendengus dan tidur nyenyak!
* * * * * * * *
"Ssst, jangan berisik," Sin-tung Lo-kai memberi isyarat dua muridnya. "Aku mencium bau manusia, Lu Sam. Kalian hati-hati dan lihat guha di depan itu!"
Lu Sam, bersama sutenya Kiat Ma melihat arah yang dituding gurunya. Mereka akhirnya berkumpul lagi setelah melakukan tugasnya masing-masing. Sepasang Copet ini telah membagi-bagikan hasil kerjaannya kepada fakir miskin. Mereka telah membagi pundi-pundi uang milik Lauw-wangwe seperti membagi-bagi uang miliknya sendiri saja. Sepasang copet ini memang penolong kaum lemah dan perbuatan mereka direstui gurunya, kakek pengemis yang lihai ini.
Dan ketika mereka menyusul dan mencari jejak Hauw Kam dan suhengnya, dua orang gila itu maka malam itu mereka tiba di guha itu dan melihat api unggun yang menerangi luar guha, sayup-sayup tapi sudah cukup membuat tiga orang ini mengerti bahwa di dalam ada orang. Dan ketika kakek pengemis itu menyuruh muridnya berhenti dan hati-hati, sikap yang tiba-tiba membuat Lu Sam dan sutenya tegang maka si kakek berkelebat dan sudah mendahului melihat keadaan.
"Kalian di sini saja, lohu (aku) akan melihat ke dalam guha itu!"
Kiat Ma dan suhengnya mengangguk. Mereka melihat guru mereka itu sudah berkelebat cepat ke guha itu, ringan namun hati-hati. Dan ketika mereka tak bersuara karena takut mengganggu gurunya maka Sin-tung Lo-kai sudah melongok dan berhati-hati melihat ke dalam guha. Dan kakek pengemis ini girang. Dia melihat Soat Eng di situ, meringkuk. Dan tak melihat siapa pun lagi di tempat itu, selain si gadis, tiba-tiba kakek ini menggapai dan berkelebat masuk.
"Kalian ke sini, Kim-siocia ada di dalam!"
Kiat Ma dan suhengnya girang. Akhirnya mereka juga merasa gembira dan berkelebat keluar, berlomba memasuki guha dan benar saja melihat Soat Eng meringkuk di situ, tidur. Tak melihat dua orang lihai itu dan kakak beradik seperguruan ini langsungsaja berteriak memanggil Soat Eng. Dan ketika Soat Eng terkejut dan terbangun dengan membelalakkan mata, tak dapat bergerak karena dirinya ternyata sudah ditotok maka gadis ini girang tapi mengeluh melihat Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya ini.
"Kim-siocia, kami datang. Aih, selamat dan syukur tak ada apa-apa!"
"Dan di mana si gila yang lihai itu? Ha-ha, kau agaknya dapat melepaskan diri, siocia. Kami sudah khawatir setengah mati melihat kau dibawa si gila itu!"
Soat Eng berkejap-kejap. Kiat Ma dan suhengnya sudah berkelebat datang dan tertawa-tawa. Sin-tung Lo-kai memandangnya tersenyum tapi kakek ini tertegun melihat Soat Eng tak bangkit duduk, hal yang membuat kakek ini curiga. Dan ketika dua muridnya tertawa girang dan menubruk si nona, sementara Soat Eng membelalakkan mata dan memandang lurus ke belakang maka bagai diperintah saja kakek itu menoleh dan terkejut melihat dua orang gila itu ada di mulut guha, menutup jalan lari mereka!
"Kiat Ma, si gila ada di sini. Cabut senjata kalian!"
Kiat Ma dan suhengnya terperanjat. Mereka juga curiga dan baru tertegun setelah melihat Soat Eng tak dapat bangkit duduk, tanda bahwa gadis itu tertotok dan mereka tentu saja terkejut. Dan ketika guru mereka berteriak dan mereka menoleh serta melihat dua orang itu maka Lu Sam dan sutenya ini bagai disengat aliran listrik bertegangan tinggi.
"Koai-jin ada di sini, ahh...!" dan Kiat Ma serta suhengnya yang mencabut tongkat serta berseru keras tiba-tiba sudah didahului gurunya karena Sin-tung Lo-kai sudah menghantam, berkelebat dan melepas serangan dan Gwan Beng di sebelah kiri mengelak. Dia memberi kesempatan pada sutenya dan Hauw Kam tertawa mengejek, tidak menangkis melainkan menyambut pukulan tongkat itu. Dan ketika tongkat diterima dan Sin-tung Lo-kai berteriak sekuat tenaga maka tongkat meledak namun hancur di tangan Hauw Kam yang lihai ini.
"Kraakk!"
Sin-tung Lo-kai kaget sekali. Memang dia tahu bahwa lawan yang dihadapi ini amat lihai. Tapi bahwa dalam sekali gebrakan saja tongkatnya tahu-tahu hancur dan tak dapat dipergunakan maka kakek ini tentu saja kaget bukan main di samping marah, marah karena dia menghadapi lawan yang lihai, yang sudah diketahui kelihaiannya dan jelas dia bukan tandingannya. Tapi karena kakek itu bukanlah seorang penakut dan biarpun jelek dia adalah seorang gagah maka kakek itu membentak dan mencabut tongkat yang lain, menghantam dan menyerang lagi dan kali ini lawan mengelak ke sana-sini.
Hauw Kam tertawa mengejek lawannya itu, merendahkan. Dan ketika Kiat Ma dan suhengnya ikut membantu dan menerjang dua orang itu maka Gwan Beng mendengus dan berkelebat lenyap entah ke mana.
"Sute, robohkan tiga orang ini. Tangkap mereka!"
Hauw Kam tertawa bergelak. Tongkat yang menyambar naik turun sudah diketuk atau disentil, Sin-tung Lo-kai terkejut karena ketukan atau sentilan itu selalu menggetarkan tangannya. Kian lama kian hebat hingga telapaknya pedas, perih dan luka, terbeset! Tapi ketika kakek itu menggeram dan nekat memegang tongkat seerat-eratnya maka di sana Kiat Ma dan suhengnya juga membentak dan merasakan yang lebih dari gurunya. Mereka bertiga terus menyerang namun lawan benar-benar bukan tandingan.
Hauw Kam memuji kagum karena lawan benar-benar keras hati, padahal telapak mereka sudah pecah-pecah berdarah. Dan ketika pertandingan dirasa cukup dan dia gemas melihat kenekatan tiga orang ini maka Hauw Kam membentak dan satu tendangan keras membuat tongkat mencelat dan Sin-tung Lo-kai bersama dua muridnya terlempar.
"Haihh, sekarang kalian roboh... des-des-plakk!" Kiat Ma dan suhengnya mengeluh, jauh terbanting di sudut guha dan terkaparlah mereka mendesis-desis. Sin-tung Lo-kai sendiri mencelat dan akhirnya pingsan, kakek itu mendapat pukulan amat keras di mana tongkatnya tiba-tiba membalik, menghantam dada sendiri. Dan ketika kakek itu terjengkang dan semua roboh tak berdaya maka Gwan Beng muncul dan sudah menyuruh sutenya mengikat tiga orang itu.
"Tak perlu dibunuh. Ikat saja menjadi satu dan lempar mereka di sana!"
Hauw Kam tertawa-tawa. Dia telah melakukan apa yang telah diperintah suhengnya dan Kiat Ma serta gurunya kebetulan paling dekat dengan Soat Eng. Tapi karena kakek pengemis itu pingsan dan Kiat Ma meringis menahan sakit maka Lu Sam memaki-maki namun tak dihiraukan dua orang itu.
"Kalian bodoh," Soat Eng bersinar-sinar, kagum namun kecewa. "Kenapa datang dan kurang hati-hati? Sekarang kita berempat menjadi tawanan, Kiat Ma. Dan aku menyesal bahwa kalian tak dapat kutolong."
"Tak apa." Kiat Ma meringis. "Kami datang memang siap menanggung resiko, Kim-siocia. Kalau gagal itulah nasib kami."
"Tapi dua orang ini cukup baik-baik. Mereka tak suka membunuh."
"Siapa takut dibunuh? Kalau pun mati aku tak takut, siocia. Mati membelamu adalah sebuah kehormatan bagiku!"
"Hm!" Soat Eng merah mukanya. "Kenapa kau bicara begitu?"
"Kenapa tidak?" si copet bersemangat. "Kau adalah puteri Pendekar Rambut Emas, nona. Dan kau cucu Hu-taihiap yang gagah perkasa pula. Mati membela orang baik-baik macam dirimu ini adalah satu keberuntungan besar!"
"Hm, sudahlah," Soat Eng tiba-tiba muram. "Kakekku tiada lagi, Kiat Ma. Tapi kalau dua orang ini bertemu ayah atau ibuku tentu mereka tahu rasa. Kalian diam saja, suruh suhengmu tak memaki-maki karena gatal rasanya telingaku!"
Kiat Ma tertegun. Memang suhengnya memaki-maki namun dua orang itu tak ada di tempat. Tadi kedatangan mereka sebenarnya diketahui dan orang lihai macam Hauw Kam atau suhengnya ini tentu saja tertawa melihat Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya ini. Mereka membiarkan dua orang itu masuk lalu berkelebat menampakkan diri, setelah menotok Soat Eng karena dikhawatirkan gadis itu membuat repot, kalau membantu si pengemis dan dua muridnya ini.
Maka begitu mereka muncul dan Soat Eng terbelalak melihat kedatangan teman-temannya maka gadis itu mengeluh karena Sin-tung Lo-kai tak mungkin dapat menolongnya, benar saja dirobohkan dan kini tiga orang itu tergeletak di dekatnya, bangga sekaligus kecewa karena orang-orang macam guru dan murid ini tak mungkin mampu menghadapi Hauw Kam dan suhengnya. Dan ketika mereka meringkuk dan malam itu semuanya menjadi tawanan maka keesokannya mereka diseret sementara dia dipanggul si cambang, Gwan Beng.
"Kalian harus dihukum, berani coba-coba menolong tawanan. Nah, rasakan sepanjang jalan dan siapa tak kuat sakit boleh berteriak-teriak, ha-ha!"
Kiat Ma dan suhengnya mendelik. Mereka diseret dan diejek untuk berteriak-teriak, kalau sakit. Namun karena guru mereka tak berteriak meskipun sakit dan mereka diminta untuk menggigit bibir menahan sakit maka Kiat Ma dan suhengnya tak berteriak-teriak. Yang mereka lakukan adalah memaki-maki penawannya ini namun Hauw Kam terkekeh-kekeh.
Gwan Beng tersenyum-senyum sementara sebentar saja pakaian guru dan murid itu sudah robek-robek. Kulit mereka pecah berdarah dan hanya Sin-tung Lo-kai ini yang dapat bertahan. Kakek itu dapat mengerahkan sinkangnya hingga batu-batu tajam atau kerikil tak dapat 'menggigit' tubuhnya, lain dengan Kiat Ma maupun suhengnya yang tentu saja tak sekuat guru mereka.
Dan ketika Soat Eng tak tahan karena siksaan itu dirasa kejam, tak ingat diri sendiri yang pernah melakukan hal yang sama terhadap Ituchi maka gadis itu berteriak dan minta berhenti. "Bebaskan mereka, biar aku saja yang kalian bawa!"
"Hm, apa maksudmu?"
"Maksudku jelas, cambang. Mereka tak bersalah dan akulah yang kalian inginkan. Hayo bebaskan mereka dan berhenti!"
Gwan Beng berhenti. Tapi sutenya yang terus menyeret dan tertawa-tawa tiba-tiba dibentak Soat Eng.
"Gimbal, dengar kata-kataku. Berhenti atau aku mampus menggigit telinga suhengmu!"
Hauw Kam terkejut. Suhengnya di sana berseru tertahan karena Soat Eng tiba-tiba telah menggigit telinga Gwan Beng hingga suhengnya tersentak. Dan ketika dia berhenti dan tertegun melihat itu maka Soat Eng mengancam.
"Nah, kau turuti kata-kataku dan bebaskan mereka atau aku akan menggigit putus telinga suhengmu ini dan dia menghantam mampus aku!"
Hauw Kam tertegun. "Bagaimana, suheng?"
"Kau berhenti, dan lepaskan mereka!"
"Kau takut akan ancamannya?"
"Tidak."
"Kalau begitu pukul mampus dia, atau aku..."
"Tidak!" Gwan Beng tiba-tiba membentak. "Aku tak tahan melihat gadis ini menangis, sute. Bebaskan mereka dan biarkan mereka pergi!"
Hauw Kam melongo. Suhengnya tiba-tiba menangis ketika melihat Soat Eng menangis. Memang gadis itu menangis karena tak tahan melihat penderitaan Kiat Ma dan suhengnya, karena gurunya sendiri dapat bertahan dan Sin-tung Lo-kai tak apa-apa, meskipun tentu saja kakek itu juga tersiksa dan diam-diam mengeluh. Dan ketika Hauw Kam tertegun melihat suhengnya menangis sementara dia dibentak untuk membebaskan tiga orang itu tiba-tiba Hauw Kam tertawa bergelak menendang guru dan murid ini, berseru,
"Heh, kalian beruntung, orang-orang sial. Kalau tak heran melihat suhengku menangis gara-gara seorang perempuan menangis pula tentu kalian sudah kuseret dan kusiksa sepanjang jalan lagi. Baiklah, kalian bebas dan cepat pergi dari sini.... des-des-dess!"
Hauw Kam menendang guru dan murid-muridnya itu, mencelat dan mereka bakal terbanting kalau saja sesosok bayangan tidak berkelebat dan menerima Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya ini, membentak dan menyambarlah seorang pemuda di situ yang sudah menurunkan guru dan murid ini. Dan ketika Hauw Kam terkejut sementara Sin-tung Lo-kai sendiri melongo dan membelalakkan mata lebar-lebar maka jeritan atau teriakan tertahan terdengar dari mulut Soat Eng, yang melihat dan segera mengenal pemuda itu.
"Siang Le...!"
Gwan Beng ikut terkejut dan tertegun. Di depan mereka berdiri seorang pemuda gagah yang matanya bersinar-sinar, tadi menerima dan menangkap kakek pengemis itu beserta muridnya, menurunkan dan kini sudah tegak dengan mata bersinar marah. Dan ketika Hauw Kam maupun suhengnya terkejut dan membelalakkan mata maka Siang Le menoleh dan mengangguk pada Soat Eng, tersenyum.
"Ya, aku, Kim-siocia. Kau tak apa-apa? Kau baik-baik saja?"
"Ah, cepat serang dua orang ini, Siang Le. Tapi hati-hati karena mereka tangguh dan berbahaya!"
"Hm, aku memang akan melakukan itu. Aku tak takut!" dan Siang Le yang sudah membalik dan menghadapi dua lawannya ini lalu berkata dengan suara geram, "Iblis-iblis busuk, kalian melakukan apa terhadap Kim-siocia? Kalian melakukan apa pula terhadap kakek pengemis dan murid-muridnya itu? Kalian suka menyiksa orang? Kalian tidak berperikemanusiaan?"
"Hm, siapa kau?" Hauw Kam membentak, sudah hilang kagetnya. "Kau teman bocah perempuan ini? Kau kekasihnya?"
"Bukan," Siang Le merah mukanya. "Tapi aku teman baiknya di mana aku tak akan membiarkan kalian berbuat sesuka hati."
"Ha-ha, kalau begitu kau bohong!" dan Hauw Kam yang berkelebat dengan tawanya yang besar tiba-tiba menjulurkan lengan dan sudah mencengkeram pemuda ini, cepat dan kuat dan Sin-tung Lo-kai kaget karena gerakan itu amatlah cepatnya. Siang Le sendiri terkejut dan tak sempat mengelak. Namun karena pemuda ini adalah murid See-ong dan dia bukanlah pemuda sembarangan maka Siang Le menggerakkan lengan dan tentu saja menangkis.
"Dukk!" Siang Le mencelat! Hauw Kam sendiri tergetar dan terdorong setindak, berseru tertahan karena sesungguhnya dia memang ingin mencoba, melilhat gerakan ringan dan kepandaian Siang Le ketika menerima dan menangkap Sin-tung Lo-kai dan murid- muridnya tadi. Dan ketika cengkeramannya ditangkis dan Hauw Kam merasa betapa kuat dan hebat sinkang pemuda ini maka dia tergetar dan berseru kagum memuji lawan, yang mencelat dan jatuh berdiri dengan tubuh tidak bergoyang-goyang, seperti arca besi!
"Wah, hebat, suheng. Pemuda ini juga calon lawan yang berat!"
Gwan Beng terkejut. Dia melihat mencelatnya pemuda itu namun tak melihat si pemuda terpelanting atau terjengkang, apalagi terguling-guling. Dan ketika Siang Le tegak berdiri bagai arca besi dan pemuda itu seolah patung yang dipindah atau diangkat tanpa bergeming maka Gwan Beng melihat Jing-kin-kang atau Tenaga Pemberat Seribu Kati yang telah diperlihatkan pemuda ini, sama seperti ketika Soat Eng juga melakukan itu, ketika digendong.
"Hm, memang hebat!" Gwan Beng memuji kagum. "Dan kau menghadapi calon lawan yang tangguh, sute. Beranikah kau meneruskan main-mainmu?"
"Ha-ha, kenapa tidak? Meskipun hebat tapi aku belum mengetahui semua kepandaiannya, suheng. Biarlah kucoba-coba dan lihat apakah dia tidak roboh... slap!" dan Hauw Kam yang lenyap mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya tiba-tiba bergerak dan sudah menyerang. Dua jarinya menusuk dan kecepatan Hauw Kam dua kali lipat dibanding tadi.
Sin-tung Lo-kai sekarang tak dapat mengikuti gerakannya karena tahu-tahu si gimbal itu sudah berada di depan hidung. Siang Le sendiri tersentak dan berseru keras. Tapi karena dia sudah waspada dan sejak tadi tak lengah barang sekejap maka pemuda itu bergerak dan tusukan dua jari lawan cepat ditamparnya dengan pengerahan sinkang.
"Plak!"
Kali ini si pemuda terdorong dua tindak. Siang Le tak mencelat lagi karena sudah menambah tenaganya, tadi terkejut dan kaget karena dia tak menyangka kehebatan lawannya. Maka begitu kali ini ia mengerahkan sinkangnya dan tenaga ditambah maka Hauw Kam tergetar dan marah memandang pemuda itu, ditangkis dan untuk kedua kalinya dia melihat kehebatan lawannya ini. Dia melotot dan membentak lagi.
Dan ketika dengan cepat dia berkelebat dan menyerang lagi maka Siang Le sudah menghadapi puluhan bayangan yang bergerak-gerak di sekitar tubuhnya, mencengkeram dan melepas pukulan atau tamparan dan Siang Le mengelak maju mundur. Tapi ketika lawan mempercepat gerakannya dan Sin-tung Lo-kai berteriak tertahan karena ledakan nyaring terdengar bertubi-tubi maka Siang Le memekik dan cepat melejit dan mainkan ilmu silat Sin-re-ciangnya.
"Plak-des-dess!"
Gwan Beng terkejut. Dia melihat sutenya menjerit ketika lengan si pemuda tiba-tiba mulur seperti karet, maju mundur dan ganti pemuda itu yang menusuk atau mencolook. Dan karena gerakan ini sungguh tak diduga dan Hauw Kam lambat berkelit maka tusukan atau colokan Siang Le mengenai pinggir matanya.
"Crat!" Hauw Kam melengking. Tiba-tiba Siang Le sudah membalasnya dan pemuda itu pun berkelebatan cepat. Dan karena Siang Le adalah murid See-ong dan sebagai murid datuk dari barat itu pemuda ini adalah pemuda yang lihai maka cepat dan bertubi-tubi pula Siang Le melepas pukulan-pukulan berbahaya. Sin-re-ciang dimainkan sepenuhnya dan terbelalaklah Hauw Kam melihat lengan yang mulur mengkeret seperti karet.
Pemuda itu sering mengejutkannya dengan serangan-serangan tak diduga. Kedua lengannya yang tiba-tiba memanjang tanpa diduga sungguh mirip lengan lutung yang panjang dan menjangkau, sekali mulur tahu-tahu sudah di depan hidung. Dan ketika Hauw Kam tentu saja marah dan pria ini menjerit tiba-tiba saja gilanya amot (kambuh).
"Weh, her-herr...!" Hauw Kam mencak-mencak. Bergerak dan berkelebatan seperti monyet menari-nari mendadak Hauw Kam yang gimbal-gimbal ini marah besar. Dia terpental ketika menangkis, tenaga lawan dirasa kian kuat saja setiap beradu. Maklumlah, Siang Le sekarang memang mengerahkan segenap kepandaiannya setelah tadi terkejut oleh adu pukulan pertama. Dan ketika pemuda ini membalas dan membuat kedua lengannya mulur mengkeret maka setiap perubahan atau maju mundurnya tangan Sin-re-ciang memang sering mengejutkan Hauw Kam.
"Plak-des-dess!"
Mereka kembali sama-sama tergetar. Hauw Kam memekik dan menjerit seperti kera marah. Sekarang gerak-geriknya tak keruan namun justeru di balik semua kekacau-balauannya ini Hauw Kam mainkan Sin-kauw-kun (Silat Kera Sakti), satu pelajaran baru ketika dia berada di hutan, bersama suhengnya. Namun ketika Sin-kauw-kun masih juga terpental oleh mulur mengkeretnya Sin-re-ciang maka Hauw Kam melengking dan mencabut pedangnya.
"Jangan membunuh!" Gwan Beng tiba-tiba berseru. "Ganti pedangmu, sute. Jangan membunuh!"
Aneh, Hauw Kam mengangguk. Siang Le melihat lawan tiba-tiba membentak dan melengking. Pedang yang tajam tiba-tiba lenyap lagi di belakang punggung. Dan ketika sinar lain berkelebat dan sebatang pedang kayu sudah berada di tangan lawannya ini maka si gimbal Hauw Kam terkekeh-kekeh.
"Ha-ha, roboh kau, bocah. Sekarang aku akan mainkan ilmu silatku ini... sing-wut!" pedang bergerak, maju membacok namun ternyata berubah di tengah jalan, tidak jadi membacok melainkan menusuk. Dan ketika Siang Le menangkis namun pedang berputar arah maka ujung pedang mencukil dan bahu Siang Le robek terkuak.
"Bret!" Siang Le terkejut. Tiba-tiba lawan tertawa gembira dan sudah melakukan jurus-jurus aneh, pedang bergulung-gulung dan terkejutlah Siang Le ketika dia terdesak. Dan ketika satu tikaman miring kembali menuju lehernya namun ketika dikelit ternyata tiba-tiba berubah menusuk dada maka Siang Le kaget bukan main karena ujung pedang tahu-tahu sudah menyentuh dadanya itu.
"Cret!" Siang Le kelabakan. Kalau pedang itu pedang sungguhan dan dia tidak melindungi diri dengan sinkang mungkin dadanya sudah berlubang oleh tusukan lawan yang amat lihai. Lawan tertawa terkekeh-kekeh dan pucatlah Siang Le ketika pedang kembali berkelebatan menari-nari. Dia benar-benar terdesak dan menangkis tapi pedang selalu menyelinap atau melejit secara tak diduga, selalu mengenai tubuhnya dan rasa sakit atau pedas-pedas mulai mengganggu pemuda ini.
Maklumlah, setiap tusukan atau tikaman pedang meskipun hanya pedang kayu namun singkang yang dimiliki lawan cukup tinggi. Pedang itu sebenarnya tak kalah ampuh dengan pedang sungguhan, hanya tajamnya saja yang berbeda. Dan ketika pedang menyambar-nyambar dan perlahan tetapi pasti Siang Le semakin terdesak pucat maka Soat Eng yang melihat di sana tiba-tiba gelisah.
"Lompat ke kiri, jaga lambungmu...!" Soat Eng mulai berbisik-bisik, mengerahkan ilmunya mengirim suara dari jauh. "Jangan tangkis atau pukul pedang itu, Siang Le. Banting tubuh ke kanan dan setelah itu tendang si gimbal secara bergulingan!"
Siang Le terkejut. Suara Soat Eng tiba-tiba menyusup di telinganya, mula-mula mendengung namun akhirnya jelas. Dia melirik dan melihat mulut si nona berkemak-kemik, giranglah Siang Le dan cepat dia menuruti semua kata-kata ini. Dan karena Soat Eng mengenal ilmu pedang Hauw Kam dan tentu saja tahu jurus-jurus yang dipergunakan paman gurunya itu maka Siang Le yang mengikuti semua kata-kata soat Eng tiba-tiba mulai dapat meloloskan diri!
"Benar, dan sekarang ketuk pergelangan lawanmu itu. Awas pedangnya akan memutar ke perut!"
Siang Le membuta. Selama hidup pemuda ini belum berhadapan dengan Giam-lo Kiam-sut, jadi tak aneh kalau dia terdesak dan bingung oleh gerakan-gerakan pedang yang luar biasa itu. Maka begitu dia mengikuti dan kata-kata Soat Eng selalu menyelamatkannya dari sambaran-sambaran pedang yang lihai dan Hauw Kam tertegun karena pemuda itu tiba-tiba sudah mengetahui ke mana dia akan menyerang maka Siang Le terlepas dan kini mulai melakukan serangan-serangannya dengan Sin-re-ciang itu.
"Des-plak!"
Hauw Kam terpelanting. Ilmu Silat Karet atau Sin-re-ciang itu tiba-tiba hidup kembali, pedangnya mengenai tempat kosong dan lengan lawan yang mulur tahu-tahu sudah berada di depan mukanya. Hauw Kam mengelak namun kalah cepat. Dan ketika pundaknya terpukul dan laki-laki itu bergulingan maka untuk selanjutnya Siang Le sudah mendesak dan selalu menutup serangan-serangan pedang, menjadikan Giam-lo Kiam-sut mati kutu!
"Keparat!" Hauw Kam melotot, gusar. "Bagaimana sekarang kau tahu gerakan-gerakan pedangku, bocah? Kau dapat membaca pikiran orang?"
"Ha-ha!" Siang Le terbahak, gembira karena petunjuk Soat Eng benar. "Aku memang dapat membaca gerakan-gerakan pedangmu, orang aneh. Dan sekarang kau tak dapat merobohkan aku!"
"Tak mungkin!" dan Hauw Kam yang memekik sambil menusuk ke kiri tiba-tiba berkelebat dan melakukan jurus yang disebut Pedang Maut Mencari Matahari, melakukan gerak berputar dan Siang Le terkejut. Seperti biasa dia tak tahu kemana pedang itu selanjutnya akan menyerang, karena dia selalu mengandalkan petunjuk Soat Eng. Dan ketika petunjuk itu datang dan Soat Eng memerintahkan agar dia menyambut dan mencengkeram pedang, satu perbuatan berbahaya, maka Siang Le sudah melakukan itu dan lawan terkejut karena dengan berani pemuda ini menyambut dan mencengkeram.
"Haiii...!" Seruan itu menandakan marahnya Hauw Kam. Sebenarnya Hauw Kam hendak melanjutkan lagi jurus mautnya tadi dengan satu bacokan ke bahu. Tapi karena lawan tak mengelak dan justeru menyambut pedangnya, menangkap dan siap mencengkeram maka otomatis gerak selanjutnya menjadi gagal, melengking dan mengayun pedangnya dengan ganas.
"Plakkk!"
Siang Le mengerahkan Ilmu Karetnya itu. Pedang adalah pedang kayu, tak perlu dia takut akan ketajamannya. Dan karena Tangan Karet ini mempunyai gerakan lentur dan otomatis tak bakal terluka maka pedang yang tiba-tiba disambut dan dicengkeram pemuda ini seketika tertangkap.
"Jangan diadu...!" Gwan Beng menjadi terkejut, kaget melihat sutenya marah dan kehilangan kontrol diri. Apa yang seharusnya tak boleh dilakukan ternyata malah dilakukan sutenya itu. Seharusnya sutenya menarik pedang dan melakukan serangan yang lain saja, jangan melampiaskan hawa marah dengan membiarkan pedang disambut lawan. Dan ketika benar saja pedang tercengkeram dan lengket di tangan karet Siang Le tiba-tiba pedang tak dapat ditarik dan terlambat bagi sutenya itu untuk menyelamatkan diri, karena saat itu Siang Le sudah melakukan tendangan bawah pusar atas perintah Soat Eng.
"Dess!" Hauw Kam mencelat. Kelihaian Siang Le dan kepandaiannya yang sudah mengetahui kemana pedangnya selanjutnya bergerak membuat laki-laki ini mengeluh. Hauw Kam penasaran namun berkali-kali serangannya gagal. Dan ketika pedangnya tercengkeram dan tak dapat ditarik, karena Siang Le membetot dan mengerahkan ilmu Karetnya maka tendangan si pemuda tepat sekali mengenai bawah pusarnya, roboh terpelanting dan Hauw Kam terguling-guling. Siang Le ragu untuk mengerahkan semua tenaganya, karena tendangan itu dapat membunuh lawan.
Tapi ketika Hauw Kam melompat bangun dan terhuyung dengan mata mendelik, tanda bahwa lawan benar-benar orang yang amat kosen maka Gwan Beng berkelebat dan membentak menyerang pemuda itu, mengeluarkan Jaring Naga.
"Sute, tangkap pemuda ini dengan Jaring Naga. Kita bekuk dia!"
Siang Le terkejut. Lawan tiba-tiba menggerakkan kedua tangan menghantam, ditangkis tapi tiba-tiba dari kedua lengan itu muncul benang laba-laba yang menggubat dan segera merekat di tangannya. Dan ketika Siang Le berteriak kaget karena tangan tak dapat digerakkan, terbungkus dan sebentar saja dililit benang laba-laba itu maka Hauw Kam tertawa bergelak dan berkelebat menendang perutnya.
"Dess!" Siang Le ganti mencelat. Pemuda ini mengeluh dan Soat Eng terkejut. Sekarang Siang Le bukan menghadapi permainan pedang lain melainkan silat Jaring Naga, ilmu silat yang mengeluarkan benang laba-laba itu. Dan karena Soat Eng sendiri justeru tertangkap dan roboh oleh ilmu silat ini maka gadis itu tak dapat memberi tahu lagi apa yang harus dilakukan Siang Le.
"Bret-plak!" Siang Le berseru keras. Dia sedang bergulingan ketika dikejar dan menerima pukulan itu, berteriak karena Hauw Kam tiba-tiba juga mengeluarkan Jaring Naganya. Si gimbal ini sudah menyimpan pedang dan tertawa-tawalah lawannya itu oleh kekagetan Siang Le. Dan ketika Siang Le bingung dan gugup dan Gwan Beng berkelebat menyerang lagi maka ratusan atau ribuan benang laba-laba sudah mengurung pemuda ini dari segala penjuru.
"Kim-siocia, tolong. Bantu aku!"
Soat Eng pucat. Dia tak dapat menolong kalau Gwan Beng dan sutenya sudah mengeluarkan ilmu silat yang aneh itu. Dari sepasang lengan dua orang ini menyambar-nyambar benang-benang aneh yang daya rekatnya kuat. Dan ketika Siang Le sibuk namun benang laba-laba itu terus mengejar dan mendesaknya akhirnya kaki dan tangan pemuda ini tergubat!
"Ah, keparat!" Siang Le memaki. "Ini ilmu setan, manusia-manusia busuk. Kalian siluman dan benar-benar iblis!"
"Ha-ha!" Hauw Kam tertawa bergelak. "Boleh kau memaki-maki kami, bocah. Tapi sebentar lagi kau mampus!"
"Jangan bunuh!" Gwan Beng berseru, memperingatkan sutenya. "Tangkap hidup-hidup anak ini, sute. Aku jadi curiga dan ingin tahu bagaimana dia tahu ilmu pedang kita!"
"Benar," Hauw Kam teringat, mengangguk berseri. "Kau benar, suheng. Aku juga jadi penasaran dan ingin tahu bagaimana tiba-tiba dia dapat mengetahui lebih awal semua ilmu silat pedangku tadi!" dan terkekeh serta mempergencar serangan-serangannya.
Akhirnya Siang Le menjadi sibuk dan kewalahan, tak mampu berkelit lagi ketika benang laba-laba yang keluar dari Hauw Kam maupun suhengnya itu semakin tebal, mengurung dan sudah menggubat bahu dan lehernya. Dan ketika Siang Le tak dapat bergerak karena sudah digubat demikian banyak benang laba-laba akhirnya pemuda itu jatuh berdebuk ketika sebuah totokan dilepas Gwan Beng.
"Bluk!" Siang Le mengeluh. Sekarang pemuda ini tak berdaya dan memaki-makilah dia kepada dua orang lawannya itu. Tapi ketika Hauw Kam tertawa dan menggaplok mukanya maka pemuda ini mendesis dan melotot.
"Bocah, jangan macam-macam. Sekarang aku tak tahan mendengar semua makianmu. Nah, ikut baik-baik semua perintah kami!" lalu menghadapi suhengnya bertanya apa yang harus dilakukan si gimbal Hauw Kam ini berseru, "Diapakan bocah ini, suheng? Dipanggang atau diasapi seperti babi disembelih?"
"Hm, itu nanti. Sekarang bagaimana dengan tiga tikus busuk itu!"
"Oh, pengemis ini? Ha-ha, lempar mereka ke sungai, suheng. Atau suruh pemuda ini menyeret ketiganya!"
"Tidak!" Soat Eng tiba-tiba melengking. "Kalian telah berjanji untuk melepaskan mereka itu, Koai-jin. Bebaskan mereka atau aku akan mengamuk!"
"Hm, gadis yang binal," Hauw Kam mengomel, geregetan. "Gara-gara siluman betina ini kita jadi repot, suheng. Sebaiknya bocah ini diseret pula!"
"Tidak," suhengnya menggeleng. "Kita memang telah berjanji, sute. Sebaiknya mereka dibebaskan dan biar dua anak muda ini saja menjadi tawanan!"
"Kalau begitu biar kutendang mereka!" dan Hauw Kam yang sekali lagi menendang Sin-tung Lo-kai dengan marah membentak, "Kalian pergi, pengemis busuk. Dan jangan perlihatkan tampang kalian lagi di depanku. Enyah!"
Sin-tung Lo-kai mengeluh. Kakek pengemis ini mencelat dan segera dua muridnya menyusul. Kiat Ma dan suhengnya mengaduh ditendang si gimbal. Tapi ketika mereka dapat berdiri dan terhuyung bangun maka guru mereka tampak ragu-ragu memandang Soat Eng, yang segera berseru,
"Kalian jangan di sini. Tak usah khawatir, mereka akan membawaku menghadap ayah ibu!"
"Apa benar?" kakek ini tak percaya. "Hanya orang gila yang berani menemui ayah ibumu, siocia. Dan lohu tak gampang percaya!"
"Cerewet!" Hauw Kam berkelebat. "Kau masih juga pentang mulut? Eh, pergi, pengemis busuk. Atau aku tak dapat menahan sabar dan kau kubunuh... des-dess!"
Sin-tung Lo-kai menjerit, langsung terbanting empat tombak dan Kiat Ma serta suhengnya pucat. Mereka melihat guru mereka itu merintih dan tulang pundaknya retak, tak ayal melompat kaget dan menolong guru mereka itu. Dan ketika Soat Eng kembali berseru dan berkata supaya mereka cepat pergi maka Kiat Ma menangis dan memanggul gurunya ini.
"Baiklah, kami pergi, siocia. Dan maaf bahwa kepandaian kami yang rendah sama sekali tak berguna!"
"Ha-ha, memang tak berguna!" Hauw Kam tertawa bergelak. "Kalian cepat enyah, tikus-tikus busuk. Atau kalian kupatahkan kakimu dan menyesal tak dapat pergi lagi!"
Lu Sam mengumpat. Suheng Kiat Ma ini cepat membantu sutenya dan dipondonglah guru mereka itu. Dan ketika mereka pergi dan tersaruk-saruk melangkah maka Soat Eng lega melihat mereka akhirnya lenyap.
"Nah, kau," Hauw Kam membalik, menghadapi tawanannya berdua. "Ceritakan bagaimana kau tahu jurus-jurus ilmu pedangku, bocah. Dan bagaimana kau dapat berkelit sebelum seranganku berikut tiba!"
"Aku yang memberi tahu!" Soat Eng tiba-tiba berseru, takut si pemuda disiksa. "Pemuda ini tak tahu apa-apa, Koai-jin. Jangan marah kepadanya dan marah-marahlah kepadaku!"
"Apa?" Hauw Kam terbelalak. "Kau?"
"Ya, aku. Nah, kau boleh marah kepadaku dan bebaskan pemuda ini. Dia tak tahu apa-apa!"
"Ha-ha!" Hauw Kam tiba-tiba tertawa bergelak, memandang suhengnya. "Bagaimana pendapatmu, suheng? Apakah bocah ini yang gila atau aku yang tak mengetahui perasaan muda-mudi?"
"Hm, mereka jelas telah saling mengenal dengan baik. Dan Tangan Karet pemuda itu, hmm... kau pernah mendengar murid siapa kiranya pemuda ini, sute? Apakah ada hubungan dengan Kim-mou-eng?"
"Aku tak ada hubungannya dengan Kim-mou-eng!" Siang Le tiba-tiba berseru. "Aku dan puterinya adalah sahabat, Koai-jin. Kami bukan kerabat melainkan sahabat!"
"Hm, sahabat yang istimewa," Hauw Kam tiba-tiba tertawa mengejek. "Dan kau ikut-ikutan memanggil Koai-jin! Eh, siapa gurumu, anak muda? Berani kau mengatakan siapa gurumu itu agar kami dapat membawa kepalamu ke sana?"
"Dia murid See-ong!" Soat Eng mendahului, coba menggertak. "Kalian berani mati menanam permusuhan dengan kami berdua, Koai-jin. Lepaskan dia dan jangan ganggu lagi!"
"See-ong?" kali ini Gwan Beng mengerutkan kening. "Siapa ini? Di mana tinggalnya?"
"Suhu tinggal di Istana Hantu. Dan kuminta kalian bebaskan Kim-siocia ini kalau ingin bertemu guruku!"
"Hm, Istana Hantu? Eh, tempat apa itu, anak muda? Di mana?"
"Di Sam-liong-to. Kalian dapat bertemu guruku kalau minta kuantar. Tapi bebaskan dulu nona ini dan kubawa ke sana!"
"Tidak," Soat Eng tiba-tiba berseru marah. "Mereka akan membawaku ke ayah ibuku, Siang Le. Jangan dibujuk ke sana dan biar kau saja yang dibebaskan!"
"Tapi aku ingin menolongmu..."
"Aku tak butuh pertolonganmu!" Soat Eng tiba-tiba membentak, memotong. "Aku tak ingin hutang budi padamu, Siang Le. Kau lancang dan kini merepotkan aku!"
"Lho, merepotkan?" pemuda ini tertegun, tak mengerti. "Bagaimana bisa begitu?"
"Bagaimana tidak?" Soat Eng marah-marah. "Gara-gara kau datang ke sini untuk menolongku maka kau tertangkap, Siang Le. Kalau kau tidak datang ke mari dan kita tidak bertemu tentu aku tak harus merasa bersalah kalau bertemu gurumu!"
"Ah, suhu tak tahu apa-apa. Aku datang karena kebetulan melihat dua orang ini menawanmu!"
"Itulah! Siapa suruh kau datang? Kalau kau tak ke sini dan tak tertangkap tentu aku tak harus merasa berhutang budi, Siang Le. Tapi karena gara-gara kau ingin menolongku dan kini tertangkap maka aku merasa berhutang budi!"
"Aku tak bermaksud menghutangkan budi," Siang Le tertegun. "Aku menolongmu dengan ikhlas, nona. Tak usah dipikirkan masalah budi atau tidak."
"Siapa harus begitu? Memangnya aku orang sesat yang tak harus menghitung kebaikan orang? Keparat, dua kali kau menolongku, Siang Le. Dan dua kali aku jadi gemas padamu!" Soat Eng tiba-tiba menangis, memaki-maki dan mengepalkan tinjunya dan terbelalaklah pemuda itu. Siang Le bengong dan Hauw Kam serta suhengnya juga tertegun.
Tapi ketika Hauw Kam tertawa dan terkekeh-kekeh tiba-tiba si gimbal ini melompat. "Ha-ha, cinta! Ini gara-gara cinta, suheng. Kalau bocah laki-laki ini tak mencintai si perempuan tentu dia tak senekat ini. Eh, kau jangan marah-marah kepadanya, siluman cilik. Kau harus berterima kasih kalau dua kali dia sudah menolongmu. Ha-ha, aku jadi ingin melihat kelakuan pemuda ini kalau dia membelamu!" dan Soat Eng yang seketika menghentikan tangisnya karena mendelik dengan muka merah tiba-tiba terkejut karena Hauw Kam si gimbal itu mencengkeramnya.
"Kau kuseret, dan pemuda ini akan kugendong!" dan Hauw Kam yang sudah terkekeh menyeret Soat Eng tiba-tiba menyambar dan berkelebat memanggul Siang Le. "Suheng, ayo pergi. Kita lanjutkan perjalanan!"
Dan Soat Eng yang tentu saja terkejut tapi tidak berdaya tiba-tiba memaki-maki karena bajunya robek-robek, sepanjang jalan diseret saja sementara Siang Le juga terkejut. Pemuda ini dipanggul sementara Soat Eng diseret, hal yang membuat pemuda ini marah dan tiba-tiba membentak agar si gimbal itu berhenti. Namun ketika Hauw Kam mempercepat larinya dan Soat Eng terpental-pental di tanah berbatu maka Siang Le tiba-tiba menggigit dan menancapkan giginya di punggung si gimbal ini.
"Iblis kejam, lepaskan gadis itu..."
"Augh!" dan Hauw Kam yang berteriak serta melepas Soat Eng tiba-tiba menampar dan melepas pemuda itu, menendang dan membantingnya dan mengeluhlah Siang Le ketika tubuhnya serasa remuk. Dan ketika Hauw Kam terbelalak dan melotot marah maka si gimbal ini menyambar Soat Eng dan ganti menyeret Siang Le. "Sekarang kau kuhajar. Berani benar menggigit!"
Dan Siang Le yang tersentak menahan sakit tiba-tiba sudah ganti diseret sepanjang jalan kasar di tanah berbatu dan mendesislah pemuda ini menahan sakit. Soat Eng sudah dipanggul dan Siang Le ganti terpental-pental di tanah yang keras. Baju di bagian punggung pemuda itu seketika hancur dan Soat Eng ngeri. Dan ketika si gimbal tertawa-tawa sementara kulit dan tubuh pemuda itu lecet-lecet maka Soat Eng terbelalak tapi bingung di samping marah.
"Ha-ha, sekarang kulihat reaksi gadis ini, bocah. Kalau dia tak berteriak-teriak dan menyuruh aku berhenti maka sampai di luar tembok besar kau akan kusiksa!"
"Siksalah!" Siang Le menahan sakit, menggigit bibir sampai pecah berdarah. "Kau boleh siksa dan bunuh aku, Koai-jin. Asal tidak membunuh atau menyiksa gadis itu!"
"Ha-ha, kau mencintainya?"
Siang Le tak menjawab, melotot. Dan ketika lawan mengulang pertanyaannya dan berlari semakin kencang maka Soat Eng membentak dan memaki-maki lawannya ini.
"Tua bangka, kau gila dan benar-benar tidak waras. Tak perlu menanyakan itu kalau tak ingin membuat malu dia!"
"Ha-ha, malu apanya? Eh, aku bertanya karena aku ingin tahu, bocah perempuan. Dan aneh bahwa kau tidak ganti berteriak-teriak menyuruh aku berhenti!"
"Aku... aku tidak sudi. Tapi jangan siksa atau perlakukan dia seperti itu di depan mataku!"
"Ha-ha, kau tak mencintainya?"
"Keparat, kau orang tua bermulut busuk!"
"Ha-ha, kalau begitu kuteruskan siksaanku. Dan baru kulepas kalau dia atau kau yang minta ampun!"
Dan Siang Le yang mengeluh diseret cepat akhirnya merintih dan kesakitan, tak dapat mengerahkan sinkang karena tubuhnya dalam keadaan tertotok. Soat Eng akhirnya menutup mata ketika pemuda itu sudah berlumuran darah. Dan ketika perbuatan Hauw Kam semakin kejam dan dia atau Siang Le diminta untuk minta ampun namun mereka sama sekali tak mau menjawab akhirnya si gimbal Hauw Kam ini gusar.
"Kalian sama-sama keras kepala? Tak mau minta ampun agar pemuda ini kulepaskan? Baik, aku akan terbang semakin cepat, bocah. Dan biar tubuhnya hancur di tanah berbatu!"
Dan Soat Eng yang menjerit melihat bukti kata-kata itu akhirnya berteriak menyuruh Siang Le minta ampun, memaki-maki Siang Le karena pemuda itu bodoh dan tak tahu diri. Musuh akan melepas dirinya kalau dia mau bicara. Tapi ketika Siang Le tersenyum dan menggeleng kepalanya maka ddg gagah namun kesakitan pemuda ini berkata,
"Biarlah, biar aku mati, Kim-siocia. Aku tak dapat dipaksa dan jangan harap minta ampun. Kalau kau yang mau mintakan ampun terserah, tapi bukan aku!"
Soat Eng melotot merah padam. Dia bingung dan tentu saja tahu apa yang dimaksud pemuda ini. Hauw Kam telah memaksa mereka minta ampun. Siang Le ditantang kegagahannya sedangkan Soat Eng ditantang pernyataan cintanya. Kalau gadis itu mencinta pemuda ini Hauw Kam menghendaki Soat Eng bicara, karena tentu dia akan segera membebaskan. Tapi karena Soat Eng marah dan bingung dan tentu saja paksaan si gimbal itu membuat mukanya merah padam akhirnya dia mencoba untuk menutup mulut rapat-rapat, akhirnya memaki Siang Le yang dikata tak tahu diri dan ingin mampus. Dan ketika Siang Le menanggapi semua makiannya itu dengan senyum tenang dan tabah akhirnya Soat Eng mulai tak tahan ketika pemuda itu pingsan untuk pertama kalinya.
"Biarlah, aku boleh mampus, nona. Asal jangan kau yang diseret!"
"Tapi kau akan mampus, tubuh dan tulangmu akan hancur!"
"Tak apa, aku siap berkorban, nona. Kalau ini untukmu biarlah kutahan.......augh!" dan Siang Le yang berlumuran darah mengeluh perlahan tiba-tiba tak dapat melanjutkan bicaranya lagi, pingsan dan Hauw Kam menyeretnya terus tertawa-tawa, tak perduli. Soat Eng menggigit bibir dan akhirnya menangis. Dan ketika Siang Le sadar tapi pingsan sampai tiga empat kali akhirnya gadis ini berteriak,
"Berhenti, lepaskan dia. Jangan seret lagi! Aku... aku mencintainya...!" dan Hauw Kam yang tertawa bergelak menghentikan larinya tiba-tiba melepas Siang Le yang segera terguling roboh, mengeluh namun pemuda itu berseri-seri memandang Soat Eng. Gadis itu di sana tersedu-sedu dan si gimbal ini berjingkrak girang, merasa kemenangannya dan tak perduli ketika sejak tadi suhengnya menegur dan membentak, dikejar tapi dia justeru berlari semakin kencang. Dan ketika Soat Eng mengakui cintanya dan berhasil dipaksa mintakan ampun akhirnya si gimbal Hauw Kam ini menari-nari.
"Ha-ha, benar.... benar, suheng. Dua sejoli ini sebenarnya saling mencinta. Lihat, gadis ini akhirnya tak tahan dan mengaku juga. Bukankah tebakanku tepat? Ha-ha, kalau tadi-tadi siluman betina ini mengaku tentu si pemuda tak perlu kusiksa. Ah, perempuan memang aneh dan minta dipaksa dulu!" Hauw Kam yang tertawa-tawa merasa berhasil lalu berkelebat dan menolong Siang Le. "Kau dengar kata-katanya?" serunya terkekeh. "Bocah perempuan itu akhirnya jatuh ke tanganku, anak muda. Dia kalah, mengaku. Dan sekarang aku harus mengobatimu!"
Dan Siang Le yang diurut serta dibalur lalu diberi obat tapi pemuda itu sendiri tak menghiraukan semua pekerjaan si gimbal ini, berseri-seri dan bahagia sekali memandang Soat Eng. Gadis itu menangis tapi melotot padanya. Dan ketika Siang Le tersenyum dan mengangguk terima kasih tiba-tiba Soat Eng mendamprat, mempergunakan ilmunya Coan-im-jip-bit,
"Siang Le, jangan girang oleh pernyataanku ini. Aku hanya berpura-pura. Aku hanya ingin membalas budimu. Setelah bebas tentu aku akan berhitungan lagi denganmu!"
"Hm...!" pemuda ini mendesah, mata tiba-tiba muram. "Kau tetap memusuhiku, Kim-siocia? Kau... kau hanya dusta belaka?"
"Memangnya aku sungguh-sungguh? Cih, manusia sesat macam dirimu tak mungkin kucinta, Siang Le. Tengok dirimu itu dan jangan merasa besar kepala!"
Siang Le tertegun. Dia telah selesai diobati dan Hauw Kam kini memanggulnya, menepuk-nepuk pinggulnya. Dan ketika laki-laki itu tertawa dan berkata bahwa mulai sekarang dia tak akan diseret lagi maka Hauw Kam menendang Soat Eng pada suhengnya.
"Pemuda ini harus kurawat, aku akan menebus dosa. Ha-ha, terima bocah perempuan ini, suheng. Dan sekarang kita masing-masing mendapat seorang!"
Gwan Beng menggeleng-geleng kepala. Untuk kedua kali dia menerima gadis itu, memanggulnya. Dan ketika sutenya berkelebat dan minta agar mereka pergi lagi maka dia mengangguk dan berseru, "Baik, tapi jangan siksa lagi dua anak muda ini, sute. Aku tak suka kau membuat gadis ini menangis. Kalau kau melanggar dan tidak mendengar kata-kataku maaf saja bahwa kau akan kuhajar!"
"Ha-ha, boleh. Kali ini aku menurut!" dan Hauw Kam yang berkelebat membawa Siang Le akhirnya tertawa dan tidak melihat pertengkaran tadi, tak melihat muka Soat Eng yang merah dan Siang Le yang murung.
Murid See-ong ini terpukul bahwa dia dinyatakan orang sesat, tak layak mencinta gadis seperti Soat Eng karena puteri Pendekar Rambut Emas itu adalah gadis baik-baik, bukan seperti dia yang murid seorang kakek iblis, bahkan gurunya telah membunuh kakek gadis itu, Hu Beng Kui atau Hu-taihiap si jago pedang. Dan ketika Siang Le menggigit bibir dan menunduk di gendongan lawannya ini maka Gwan Beng di sana juga berkelebat dan menyusul sutenya, terbang dan menuju tempat Pendekar Rambut Emas!
* * * * * * * *
Di luar tembok besar, di sebuah lembah yang sunyi. Dua orang duduk bersila dan masing-masing tampak memusatkan perhatian pada samadhi, duduk tak bergeming tapi yang di sebelah kiri, seorang wanita cantik berusia empat puluhan tampak gelisah, tak tenang duduknya. Dan ketika dua jam mereka bersila namun wanita ini tak dapat memusatkan diri akhirnya wanita itu terisak dan gemetar, memanggil laki-laki yang duduk di sebelah kanannya itu.
"Suamiku, aku tak berhasil. Bangunlah, aku gagal....!"
Laki-laki itu membuka mata. Dia terkejut dan mengerutkan kening ketika melihat si wanita menangis, mengguguk dan akhirnya menubruk dirinya, tersedu-sedu. Dan ketika laki-laki itu terguncang namun cepat dapat menguasai dirinya maka laki-laki ini, yang bukan lain Pendekar Rambut Emas adanya mengusap rambut isterinya itu, yang bukan lain adalah Swat Lian.
"Hm, ada apa lagi, niocu? Kau gagal bersamadhi?"
"Benar, aku... aku tak tenang. Aku teringat anak-anak!"
"Hm, sudah berkali-kali kau nyatakan ini. Dan sudah kubilang pula bahwa kita tak perlu khawatir. Kenapa kau tak dapat mengendalikan dirimu, niocu? Kenapa kau berlebih-lebihan begini? Tenanglah, aku akan mengikuti apa kehendakmu bila kau ingin aku mencari mereka!"
"Aku... aku tak dapat terlalu lama tak bertemu anak-anakku. Aku cemas akan nasib mereka. ah, kita harus mencari mereka, suamiku. Dan Thai Liong sudah setahun ini tak pulang!"
"Ya, dan Soat Eng juga. Tapi aku tak khawatir. Aku tak merasakan apa-apa..."
"Ah, kau lelaki tak merasakan dukanya ibu, suamiku. Kau tak tahu perasaan perempuan. Kau selalu menghiburku tapi aku tak merasa tenteram. Aku ingin meninggalkan tempat ini, apalagi setelah kau bicara tentang Togura itu!"
"Hm, tenang," sang suami, Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bangkit berdiri. "Aku merasa getaran sesuatu mendekatiku, niocu. Ada orang akan datang menemui kita!"
"See-ong?" sang isteri meloncat bangun, tiba-tiba beringas, cuping telinganya bergerak naik turun. "Aku juga merasakan itu, suamiku. Dan, ah... agaknya membawa Eng-ji (anak Eng)!"
Sang suami menoleh ke kiri. Dari sana getaran itu dia tangkap, sang isteri menyusul dan tertegunlah Pendekar Rambut Emas melihat dua bayangan mendekati mereka. Dua bayangan itu masih jauh dan jaraknya barangkali masih ratusan li, satu atau dua jam kalau melakukan perjalanan dengan berlari cepat, itu pun sudah mempergunakan ilmu meringankan tubuh seperti Jing-sian-eng atau Cui-sian Gin-kang. Dan ketika isterinya juga tertegun dan terbelalak ke depan, melihat bayangan samar-samar itu maka mereka menoleh dan saling pandang.
"Aku melihat dua orang laki-laki, seorang di antaranya membawa Eng-ji. Hm, dan bagaimana yang satu itu, niocu?"
"Yang satu memanggul seorang pemuda. Aku juga melihatnya. Tapi mereka masih jauh!"
"Hm, benar. Dan mereka bukan See-ong! Apa yang kau lihat lagi, isteriku? Kau dapat melihat siapa pemuda yang dipanggul itu?"
"Dia... dia Siang Le, murid kakek iblis itu! Ah, siapa dua laki-laki ini, suamiku? Kau mengenalnya?"
"Hm, masih terlalu jauh. Dan mereka mendatangi tempat kita, sengaja! Ah, ini getaran yang kutangkap itu, niocu. Kita kedatangan tamu tapi mereka tak kukenal!"
"Hm, benar. dan aku harus mencari An-ji (anak An)!" dan Swat Lian yang bersuit melengking nyaring tiba-tiba memanggil seorang anak laki-laki yang tiba-tiba berkelebat datang.
Anak ini masih berusia dua tiga tahun namun gerak-geriknya gesit. Dialah Beng An, putera terkecil Pendekar Rambut Emas ini bersama isterinya. Dan ketika anak itu muncul dan di bahunya terpanggul seekor kijang besar maka Swat Lian berseri dan berkelebat menyambar anak laki-lakinya itu, bocah yang mengagumkan karena sekecil itu sudah dapat berburu dan mendapatkan seekor rusa besar!
"An-ji, kau tak apa-apa? Kau mendapatkan buruanmu?"
"Ah," anak ini mengomel, cemberut. "Aku belum puas, ibu. Kau menggangguku. Suitanmu membuat seekor harimau belang lari dari incaranku!"
"Tapi kau sudah mendapatkan rusa besar ini..."
"Tidak, yang kuincar adalah si raja hutan itu, ibu. Aku meletakkan rusa ini dan hampir saja disambar si harimau loreng. Tapi kau membuatnya terkejut, dan aku gagal mendapatkan buruanku yang lebih besar lagi!"
"Hm, maaf," si ibu bersinar-sinar, mencium pipi anaknya ini. "Harimau itu dapat kau cari lagi, An-ji. Ibu memanggil karena ada bahaya datang mengancam. Ibu tak ingin kau jauh dari sini!"
"Siapa yang datang mengganggu? See-ong? Hm, aku tak takut, ibu. Kalau dia datang biarlah dia kuhadapi dan ingin kubalas kejahatannya dulu ketika berani menggangguku!"
"Tidak," sang ibu tertawa, kagum. "Bukan See-ong, Beng An. Tapi orang lain yang belum ibu kenal. Mereka sebentar lagi datang dan kau dekat-dekat ayah ibumu di sini!"
"Hm," Pendekar Rambut Emas bicara, menyambung. "Apa yang dikata ibumu benar, An-ji. Dua orang akan menemui kita dan mereka membawa encimu. Kau berjaga-jagalah dan dekat-dekat di sini!"
"Enci Eng Eng?" Beng An terbelalak, tiba-tiba marah. "Mereka menawan enci dan datang ke sini, ayah? Keparat, di mana mereka itu dan biar kulabrak!"
"Hm, kau jangan terlampau sembrono. Kalau encimu dapat ditangkap orang dan kini dibawa ke sini tentu orang itu lihai. Jangan terlalu pemberani, An-ji. Aku tidak melarangmu tapi sikap hati-hati harus selalu kau tanamkan!"
"Dan ibu tak ingin kau ikut campur. Kau anak kecil diam saja di sini dan lihat saja apa yang akan ayah ibumu lakukan. Jangan membantah!" Swat Lian merangkul pundak anaknya ini, kagum dan jelas gembira karena anaknya itu begitu pemberani.
Beng An setelah mulai besar memang menunjukkan watak-watak yang berani. Ditunjang oleh ayah ibunya yang hebat anak laki-laki ini memang berkembang amat pesat. Latihan-latihan ilmu silat yang diberikan padanya dipelajarinya dengan cepat. Anak ini sudah dapat berburu dan merobohkan harimau-harimau dewasa, bahkan orang pun dia tak takut dan lawan sebangsa pengawal tentu dengan mudah dia robohkan. Hasil didikan atau gemblengan ayah ibunya yang memang hebat dan amat lihai. Dan ketika hari itu ayah ibunya duduk bersamadhi dan dia berburu maka sebentar saja ssekor rusa sudah didapat tapi sayang ayah ibunya akhirnya memanggil...