Istana Hantu Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 15
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“OH, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat!" dan si kakek yang menjatuhkan diri berlutut di depan Thai Liong tiba-tiba berseru minta ampun.

"Sudahlah," Thai Liong berkata, "Bangunlah, lopek. Kau tak bersikap kurang hormat karena sesungguhnya siapapun sama saja bagiku. Kau ceritakanlah apa yang kau ketahui dan lanjutkanlah."

Kakek itu gemetar, lega. "Kongcu tidak marah?"

"Tidak, kau tenanglah dan ceritakan kembali apa yang terjadi."

"Pemuda itu membuat onar, mengacau!"

"Ya, kau sudah mengatakannya. Sekarang katakan ke mana pemuda itu pergi, lopek. Apalagi yang kau ketahui dan kemana pula kelima gurunya itu."

"Mereka ke selatan, membawa pasukan besar!"

"Dan Liima Iblis Dunia itu?"

"Kakek dan nenek-nenek itu juga mengikuti muridnya, kongcu. Mereka semua ke selatan!"

"Dan benar-benar menyerbu kota raja...."

"Benar, memang begitu, kongcu. Dan anakku telah menjadi korban! Ah, puteraku telah tewas, aku hidup sebatangkara!" kakek itu menangis lagi, teringat nasibnya dan terkepallah tinju yang kurus itu. Dan ketika dia memaki-maki namun Thai Liong menghibur dan memberi isyarat pada temannya maka Ituchi memberi segenggam uang pada kakek itu.

"Lopek, tenanglah. Kau memang patut berduka, tapi kami akan membalas semua sakit hatimu ini, juga hati bangsa kita yang sudah dikuasai dan dipermainkan pemuda itu. Kau pergilah yang jauh. Bawa uang ini dan mulailah hidup baru di suatu tempat."

"Pangeran.... pangeran mau ke mana?"

"Mencari musuh kita itu, lopek. Membebaskan dan menolong bangsa kita!"

"Tapi pemuda itu lihai, dia hebat dan sakti!"

"Ada temanku di sini, Kim-siauwhiap. Sudahlah tak usah kau khawatir dan sekarang kau pergilah!

Ituchi mendorong kakek renta itu, menyuruhnya pergi tapi kakek ini bengong saja. Dia membelalakkan mata dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, kali ini di depan Ituchi. Dan ketika dia menggigil dan terbata di depan pemuda itu maka kakek ini berkata,

"Pangeran, ibunda... ibunda juga menghilang. Aku tak tahu di mana dia dan dua adikmu juga tiada. Mereka barangkali saja selamat, tapi barangkali juga dibunuh pemuda iblis itu!"

"Ibu tak ada?" Ituchi tergetar. "Dia dibawa juga dalam peperangan?"

"Aku tak tahu, pangeran. Tapi mungkin juga. Aku, ah... aku khawatir. Sebaiknya paduka memang cepat menyusul pemuda itu namun berhatil-hatilah. Aku telah melihat kepandaiannya yang luar biasa!" lalu mengguguk dan meratap memeluk kaki pemuda itu kakek ini seakan berat dan tak mau meninggalkan Ituchi, menangis dan tersedu-sedu di situ.

Dan Ituchi tertegun. Dia teringat ibunya ini dan seolah baru diingatkan. Tadi pikirannya tertuju pada keselamatan suku bangsanya itu dan lupa pada yang lain-lain. Apalagi setelah nama Togura disebut-sebut, nama pemuda yang selalu membuat setiap orang bakal berdebar. Maklumlah, Togura adalah murid Enam Iblis Dunia, dan lebih-lebih lagi dia adalah keturunan mendiang Gurba, tokoh paling dahsyat di suku bangsa Tar-tar, suheng Kim-mou-eng yang sudah tewas itu. Namun ketika kakek itu berguncang-guncang di kakinya dan Thai Liong batuk-batuk tiba-tiba pemuda ini sadar dan berseru,

"Can-lopek, kalau begitu kami yang pergi. Hati-hatilah, dan doakan kami selamat!‖ dan begitu melepaskan diri dari pelukan si kakek tiba-tiba pemuda tinggi besar ini telah berkelebat, memberi tanda pada Thai Liong dan uang yang dipegang si kakek berkerincing jatuh. Kakek itu tertegun dan melongo. Tapi begitu dua bayangan pemuda itu lenyap dan bagai iblis saja mereka berdua itu sudah tak ada di depannya lagi tiba-tiba kakek ini menjerit dan bangkit berdiri,

"Pangeran, hati-hati. Awas kau celaka....!"

"Terima kasih," Ituchi ternyata masih dapat menjawab dari jauh, entah di mana. "Aku selalu ingat pesanmu, lopek. Tapi kaupun sebaiknya cepat pergi dari situ!" dan ketika si kakek mendelong dan sedih tapi bersinar-sinar maka Ituchi di sana sudah mengerahkan ilmu lari cepanya bersama Thai Liong.

"Bangsaku dalam bahaya. Ah, kita harus menyusul Togura, Thai Liong. Menghentikan sepak terjangnya dan menghadapi pemuda itu!"

"Ya, tapi jangan terburu-buru, Ituchi. Lawan yang kita hadapi bukanlah sembarangan, di sana ada kelima gurunya pula!"

"Aku tak takut!"

"Aku juga, namun kita tak boleh gegabah!" dan ketika Thai Liong memperingatkan temannya agar mengendalikan emosinya maka Ituchi mengangguk meskipun terbakar, memang tak dapat menahan marahnya setelah tadi mengetahui bahwa Togur menguasai dan mengajak suku bangsanya berperang, bukan suku bangsa pemuda itu sendiri melainkan suku bangsanya orang lain. Betapa licik dan culasnya! Dan ketika dia mengerahkan ilmu lari cepatnya dan terbang ke selatan maka Thai Liong sendiri diam-diam menekan debaran jantungnya.

Bukan main Togura itu, dan amat berani! Tapi karena dia sudah mengenal siapa pemuda itu dan bapaknya juga merupakan laki-laki pemberani dan gagah perkasa, sayang sesat, maka pemuda berambut keemasan inipun menarik napas panjang dan menekan ketidakenakan hatinya, melirik pada Ituchci dan melihat wajah temannya yang merah padam. Thai Liong tahu bahwa Ituchi marah sekali, marah karena Togura mempergunakan bangsa orang lain guna mencapai cita-citanya. Kalau ada korban tentu bukan pemuda itu yang rugi tapi kalau ada untung jelas Togur dan kelima gurunya itu yang menikmati!

Maka begitu maklum dan mengerti akan kemarahan temannya ini Thai Liong lalu berdiam diri dan berlari mengimbangi sahabatnya, terus ke selatan dan mereka berdua akhirnya sudah jauh meninggalkan Can-lopek, laki-laki tua itu. Dan ketika mereka sudah memasuki tembok besar dan sekali mengerahkan ginkang mereka berdua sudah melewati tembok yang tinggi dan melayang turun ke dalam maka Ituchi dan Thai Liong sudah siap memburu Togura!

* * * * * * * *

Dua gadis cantik melenggang di jalanan berbatu itu. Mereka bercakap-cakap dan terdengar sesekali suara tawa atau kekeh mereka itu, merdu dan renyah dan orang akan mengetahui bahwa dua gadis ini adalah orang-orang yang periang, mudah gembira dan agaknya gampang diajak bercakap-cakap, atau mungkin gampang pula diajak bersahabat.

Dan ketika hal itu diketahui oleh serombongan laki-laki yang sejak tadi saling pandang dan menyeringai di balik batu-batu besar, daerah yang akan dilewati dua gadis ini maka seorang di antaranya, yang merupakan seorang pemuda bertubuh kuat yang gagah namun matanya berminyak memberi aba-aba pada temannya, sembilan belas orang laki-laki lain untuk muncul ketika dua orang gadis itu lewat di depan mereka.

"Aih, nona-nona yang cantik! Ke mana kalian hendak pergi? Bagaimana berjalan berdua saja di tempat sesepi ini? Eih, berhenti, nona. Kalian memasuki daerah berbahaya di depan!" begitu pemuda gagah ini muncul memperlihatkan dirinya, berseru nyaring dan sembilan belas temannya yang lain berlompatan satu per satu.

Mereka tertawa-tawa dan membenarkan kata-kata pemuda itu, berkata bahwa daerah di depan berbahaya dan serentak mereka itu mengurung dan mengelilingi dua gadis ini, ada yang coba-coba memegang dan tentu saja dua gadis itu menghentikan percakapan mereka, terbelalak dan mundur mengipatkan lengan ketika tubuh mereka hendak dipegang-pegang. Seorang di antaranya membentak dan yang coba memegang terpelanting, mengaduh dan berdirilah dua orang gadis itu dengan mata bersinar-sinar, marah.

Tadi yang menggerakkan tangannya ini menampar seorang laki-laki yang coba mengusap pinggulnya, dikepret dan laki-laki itu berteriak karena tangannya bengkak, bertemu tamparan atau kelima jari si nona, gadis baju hitam yang ada di sebelah kiri. Dan ketika semua tawa atau godaan itu sirap oleh bentaksan dan suara mengaduh ini maka gadis baju hitam itu, yang berdiri di sebelah kiri temannya berseru marah, sikap ramahnya hilang terganti sikap yang galak dan dingin,

"Hentikan semua gaduh ini. Siapa kalian dan mau apa mengganggu kami!"

Eh, Li-kok terluka. Kulit tangannya terkelupas!" begitu jawaban ini menjawab bentakan atau seruan gadis itu.

Li-kok, laki-laki yang ditampar ternyata memang terluka, tangannya tidak hanya bengkak melainkan juga terkelupas kulitnya. Kepretan kelima jari tadi kiranya seperti gosokan seterika listrik, menyengat dan mengelupas kulit lengannya, mulai dari pergelangan sampai ke siku. Tentu saja laki-laki itu menjadi kesakitan, mengaduh-aduh. Namun ketika temannya yang lain menolong dan sudah membebat luka ini maka si pemuda gagah yang rupanya memimpin rombongan itu tertegun menghadapi dua orang gadis ini, terkejut tapi juga marah, di samping kagum.

"Kalian hebat, kalian kiranya bukan gadis-gadis lemah! Eh, kami baik-baik mau memberi tahu kalian agar tidak melanjutkan perjalanan, nona. Di depan sana berbahaya karena bangsa liar sedang menyerang. Kalian berhenti dan jangan ke sana!"

"Hm, kau siapa? Dan ada hak apa mencegah atau menyuruh orang lain berhenti? Kami tak perduli di depan ada setan, orang usil. Kami mau pergi ke mana saja kami suka. Kami tak takut pada bahaya atau bangsa liar!"

"Eh, kau sombong. Kalau begitu tak dapat diberi tahu baik-baik, tak tahu terima kasih!"

"Hm, kami tak perlu berterima kasih. Kalian tak memberikan apa-apa!"

"Eh, bukankah pemberitahuan kami ini adalah pemberian bagi kalian? Di depan ada bahaya, nona. Di sana bangsa liar sedang menyerang dan membunuh siapa saja. Kami hendak menyelamatkan kalian!"

"Benar, dan kalian harus berterima kasih, nona. Atau kalian akan ditangkap dan dipermainkan bangsa liar itu!"

"Dan daripada dipermainkan mereka lebih baik kalian bersama kami. Kami dapat melindungi dan menjaga kalian!"

"Dan kalian pasti senang. Kami orang-orang yang pandai menjaga wanita, nona. Termasuk kalian yang cantik-cantik ini. Ayo, berhenti saja dan ikut bersama kami, ha-ha...!"

Suara-suara atau tawa yang mulai kurang ajar kembali terdengar. Pembicaraan yang sambung-menyambung dan silih berganti itu tak pernah putus, dua gadis ini merah mukanya namun mereka masih menahan sabar, karena gadis baju hijau yang mau bergerak dan rupanya marah tiba-tiba ditahan temannya, dicekal. Dan ketika suara-suara itu berhenti akhirnya karena gadis baju hitam ini melotot pada mereka maka gadis ini berkata, suaranya ditekan,

"Kalian sebaiknya tak usah kurang ajar. Kami dapat menjaga diri, dan terima kasih kalau kalian benar-benar bermaksud baik. Nah, sekarang kami ingin melanjutkan perjalanan, kalian minggirlah dan beri kami jalan!"

"Kau masih nekat?"

"Kau mau apa?" gadis baju hitam ini memandang si pemuda di depannya, balas mengeluarkan kata-kata dingin. "Apakah kami tak boleh jalan?"

"Eh, aku Hui Liong bicara baik-baik, nona. Di depan ada bahaya dan sebaiknya kalian tunda perjalanan. Kalian pulang atau bersama saja dengan kami di sini!"

"Hm, apa maksudmu?"

"Ha-ha, maksudnya mengajak kalian bergembira, nona. Bersenang-senang, bercinta..."

"Plak!" orang itu tiba-tiba roboh, tersungkur dan menjerit ketika si gadis baju hijau berkelebat, cepat luar biasa dan yang lain pun terkejut. Mereka tadi melihat bayangan hijau menyambar dan tahu-tahu teman mereka itu menjerit, pecah mulutnya dan mengeluarkan darah. Gigi depannya rontok tiga buah. Bukan main! Dan ketika bayangan hijau itu sudah kembali di tempatnya sementara teman mereka mengaduh-aduh melingkar di tanah maka orang pun gempar dan tahu bahwa gadis-gadis ini kiranya merupakan gadis-gadis yang lihai!

"Dia melukai Bu-sing, merontokkan giginya!"

"Dan mulutnya pun ditampar pecah! Aih, kita tak boleh lagi bersabar, Hui Liong. Mereka ini gadis-gadis yang harus ditangkap!"

"Benar, dan kita telanjangi dia, Hui Liong. Ayo tangkap dan balas teman kita ini!"

Hui Liong, pemuda gagah bermata minyak itu terkejut. Dia tadi tersentak ketika si gadis baju hijau berkelebat, lewat di depannya dan tersungkurlah Bu-sing, laki-laki yang mengeluarkan kata-kata kotor itu. Dan ketika teriakan teman-temannya menuntut dan semuanya menghendaki gadis ini ditangkap maka Hui Liong, pemuda itu melangkah maju dan mukanya pun sudah merah membayangkan marah, di samping kagum dan heran.

"Nona, kau dengar permintaan teman-temanku. Kalian berdua sudah melukai dua orang di antara kami, sebaiknya kalian menyerah dan minta ampun!"

"Huh, minta ampun pada tikus-tikus busuk macam kalian? Heh, sebaiknya kalian yang harus minta maaf kepada kami, orang she Hui. Atau semua teman-temanmu ini kuhajar dan mereka pulang tinggal nama!"

"Sombong...!"

"Keparat!" dan orang-orang itu yang tentu saja marah dan gusar tiba-tiba menubruk dan yang ada di belakang gadis baju hijau ini mendadak menyerang, lengan mereka terulur dan mereka hendak menangkap pinggang langsing itu. Hui Liong berteriak agar teman-temannya tidak ceroboh. Namun karena dua orang itu sudah bergerak dan mereka tak dapat dicegah maka kejadian yang sudah diduga pemuda ini terjadi.

Si gadis baju hijau menjengek dan bergeraklah tangannya ke belakang, tanpa menoleh angin pun berkesiur dan dua orang itu berteriak kaget. Mereka tahu-tahu terbanting dan terlempar, lengan mereka patah-patah dan tentu saja yang lain-lain pun semakin gempar, kaget dan marah. Dan ketika dua orang itu merintih-rintih dan mengerang tak keruan maka belasan yang lain sudah mencabut senjatanya, bergerak tanpa dapat dicegah lagi dan Hui Liong pemuda di depan itu juga membentak.

Pemuda ini melihat sebentar saja empat orang anak buahnya sudah terkapar tak berdaya. Mereka tak dapat lagi menyerang dan gadis baju hijau diserbu, dibentak dan hujan senjata berkelebatan ke arah gadis ini. Tapi ketika gadis itu berseru keras dan menggerakkan tubuhnya tahu-tahu ia lenyap namun bayangan hijau sudah naik turun menyambar-nyambar belasan orang itu, termasuk Hui Liong.

"Awas... des-des-dess!"

Pekik dan jerit kesakitan terdengar susul-menyusul. Belasan orang itu terlempar dan Hui Liong sendiri mengaduh, mencelat dan bersama yang lain-lain pemuda ini mendapat tendangan. Gerakan bayangan hijau yang luar biasa cepat dan tak dapat diikuti mata itu ternyata telah mendahului mereka, pukulan dan tendangan mendarat tak kenal ampun. Belasan orang itu terpekik dansemua berpelantingan, kaki atau bagian tubuh yang terkena tendangan itu serasa dihantam palu godam, tujuh di antaranya tertekuk dan tak dapat bangkit lagi. Punggung mereka retak!

Dan ketika senjata juga terlempar ke sana ke mari dan tentu saja belasan orang itu terkejut dan gentar, gentar karena tak menyangka kelihaian si gadis baju hijau yang demikian luar biasa maka gadis itu sudah berhenti berkelebatan dan menginjak dada Hui Liong, si pemuda bermata minyak.

"Hayo kau suruh teman-temanmu mundur. Atau aku akan membunuhmu dan membunuh yang lain-lain ini.... ngek!"

Pemuda itu mengeluh. Diinjak dan ditekan seperti ini dia merasa tak dapat bernapas, lawan berapi-api memandangnya dan pemuda itu pun jerih. Tapi ketika dia belum menjawab dan seorang pembantunya terdekat melihat kesempatan dan meraih sebuah golok, yang kebetulan juga berada di dekat gadis baju hijau itu tiba-tiba orang ini sudah menggerakkan goloknya membabat kaki gadis itu.

"Plak-augh!"

Kejadian ini mendirikan bulu roma. Si gadis baju hijau yang diserang secara curang ternyata tahu, mendengus dan menggerakkan kakinya ke belakang. Dan ketika tanpa menoleh ia menendang golok itu yang kontan membalik ke arah tuannya maka golok mencelat dan menghunjam dada laki-laki itu, tembus dan berteriaklah penyerang curang ini dengan jeritan tinggi.

Dia tak menyangka dan darah pun menyembur, ancaman si gadis baju hijau telah menjadi kenyataan dan laki-laki itu roboh, telungkup dan akhirnya tewas. Dan ketika semua terbelalak dan pucat melihat kejadian itu, kelihaian gadis ini maka golok di dada laki-laki itu telah diungkit dan berpindah tangan ke tangan gadis baju hijau ini.

"Nah," gadis itu berkata dingin. "Siapa yang coba-coba main gila boleh lakukan kecurangan lagi, tikus-tikus busuk. Aku tak akan segan-segan menghabisi kalian kalau kalian menghendaki!‖ golok itu menodong leher pemuda she Hui ini, dicurigai sebagai orang yang memerintahkan kecurangan itu dan tentu saja pemuda ini pucat. Dia gemetar menyangkal dan berkata tidak, yang lain-lain juga ngeri dan terbelalak. Namun ketika gadis itu menekan ujung golok sehingga leher lawannya tergurat maka gadis baju hitam, yang sejak tadi menonton dan diam saja tiba-tiba berkelebat maju, menahan lengan temannya ini.

"Ling-moi, tahan. Jangan menumpahkan darah lagi!"

"Hm, aku tak akan menumpahkan darah," gadis baju hijau berkata. "Tapi aku tak dapat bersabar kalau ada di antara mereka ini yang coba-coba berbuat curang, enci. Siapapun yang coba melakukan itu tentu kukirim ke akherat!"

"Sudahlah," si gadis baju hitam berkata, ternyata sang enci. "Mereka semua tak mungkin berani melakukan itu lagi, Ling-moi. Buang golokmu dan kita pergi!"

"Tidak, aku minta agar kunyuk-kunyuk ini minta ampun dahulu, atau aku akan membabat telinga mereka satu per satu!"

"Ampun....!" suara itu tiba-tiba terdengar serentak. "Kami minta ampun, nona. Kami tak tahu dengan siapa kami berhadapan dan kami mengaku bersalah!"

"Hm, hanya begitu saja?" gadis ini menjengek. "Begitu enak? Tidak, kalian harus mencium sepatu kami, tikus-tikus busuk. Dan baru setelah itu boleh diampuni. Dan kau yang harus mulai dulu!" gadis baju hijau menendang Hui Liong, pemuda bermata minyak itu yang seketika merintih dan mengeluh, berdebuk di atas tanah tapi pemuda itu mengangguk-angguk.

Dan ketika temannya yang lain juga mengangguk-angguk dan serentak terseok maju, yang patah-patah lengannya menyeret tubuh mereka maka satu per satu orang-orang itu telah minta ampun sambil mencium sepatu si gadis baju hijau ini, bahkan ada yang menjilatinya dan gadis itu mendupak mereka agar melakukan hal yang sama pada encinya, si gadis baju hitam. Dan ketika semua orang melakukan itu dan gadis ini tersenyum mengejek maka dia berseru,

"Nah, sekarang kalian telah mendapat pelajaran, kunyuk-kunyuk busuk. Kalau lain kali kalian bertemu kami lagi dan tidak tahu sopan tentu kalian akan kubunuh. Jangan kurang ajar kepada wanita!" dan begitu menggerakkan kakinya ke kiri tiba-tiba gadis ini telah lenyap, berkelebat entah ke mana dan belasan orang itu pun bengong karena si gadis baju hitam ternyata lebih dulu tak ada di situ.

Gadis baju hijau ini kiranya menyusul dan akhirnya tampak bayangan di kejauhan sana, hijau dan hitam. Namun ketika bayangan itu lenyap dan orang-orang ini mengeluh dan terguling dengan lemas maka Hui Liong, pemuda yang menjadi pemimpin itu telah pingsan karena tadi telah ditampar kepalanya!

"Nah, sekarang aku lega," gadis baju hijau berkata disana, jauh dan sudah bergandengan tangan dengan si gadis baju hitam, encinya. "Tikus-tikus busuk itu kalau tidak dihajar tak kenal sopan, enci. Sebenarnya aku masih ingin membuntungi telinga mereka untuk pelajaran seumur hidup. Sayang, kau mencegah dan aku harus menahan diri. Kalau tidak, hmm.... tentu mereka menjadi kelinci cacad yang putus sebelah telinganya!"

"Sudahlah," sang enci tampak tak senang. "Mereka itu pengganggu-pengganggu murahan, Ling-moi. Tugas kita sebenarnya bukan menghajar orang-orang macam begitu melainkan jahanam-jahanam bangsa liar itu, didepan!"

"Dan kita memang ke sana," gadis baju hijau ini menggeget. "Kita pasti menghajar mereka itu pula, enci. Dan aku ingin tahu seberapa lihai pemuda bernama Togura itu!"

"Hm, hati-hati. Jangan kau gegabah. Dia murid enam Iblis Dunia, Ling-moi. Nama ini sudah cukup menyuruh kita untuk tidak ceroboh atau tugas kita sia-sia. Ayah tak bisa mati meram!"

"Aku tahu," dan mereka yang akhirnya terbang dan bergerak mengerahkan ilmu lari cepat tiba-tiba meluncur dan berendeng ke barat, membelok ke utara dan akhirnya dua gadis itu menghilang di balik bukit. Dan ketika jauh di belakang orang-orang yang dihajar gadis baju hijau merintih dan mengerang tak keruan maka dua gadis yang ternyata enci adik itu sudah mendatangi atau justeru memapak pasukan bangsa liar yang dipimpin Togura.

Dari pembicaraan sejenak tadi dapat disimpulkan bahwa justeru mereka ini sengaja mendatangi pasukan besar itu, hanya berdua, tanpa kawan atau teman. Dan karena ini jelas menunjukkan betapa berani dan gagahnya dua gadis itu maka orang tentu ingin tahu siapa mereka itu sebenarnya!

* * * * * * * *

"Nah, berhenti," gadis baju hitam akhirnya menahan lengan adiknya. "Pasukan itu sudah kelihatan, Ling-moi. Kita berhenti dulu di sini melihat keadaan!"

"Tapi aku ingin masuk," gadis baju hijau bersinar-sinar. "Kita dapat segera menyerang dan menghajar mereka, enci. Aku sudah tak sabar!"

"Jangan, nanti dulu!" dan sang kakak yang menahan serta mencekal lengan adiknya lalu memberi tanda agar adiknya berhati-hati. "Kita akan memasuki sarang harimau. Kita tak tahu bagaimana keadaan di dalam sana. Sebaiknya kita tunggu malam tiba, Ling-moi. Baru setelah itu masuk!"

"Menunggu malam?" sang adik terbelalak. "Ah, terlalu lama, enci. Aku tak tahan. Kematian ayah selalu membayang di pelupuk mataku!"

"Tidak, jangan gegabah, Ling-moi. Kau harus turut kata-kataku atau aku akan marah padamu!"

"Hm, baiklah... baiklah...!" dan gadis baju hijau yang membanting tubuhnya di atas rumput lalu mendengar kakaknya menahan isak begitu dia menyebut-nyebut nama ayahnya, berapi-api memandang ke depan tapi akhirnya duduk mengambil buntalan, membukanya dan menarik napas dua kali sebelum mengeluarkan isi buntalan itu, roti kering dan air jernih, yang ditaruh dalam sebuah botol besar.

Dan ketika gadis baju hitam itu duduk menatap jauh dan kegembiraan suasana yang semula ada tiba-tiba buyar dan hancur oleh pengalaman pahit di belakang maka gadis ini menangis dan akhirnya menggigit bibirnya. "Ling-moi, kita harus membalas kematian ayah. Kita dapatkan pemuda siluman itu dan kelima gurunya!"

"Ya, dan aku tak mau sudah kalau belum merobohkan pemuda itu, enci. Aku siap mati dan siap membela ayah!"

"Tapi kita harus berhati-hati. Ah, sudahlah, kau tahu itu dan mari kita isi perut dulu," gadis baju hitam menjumput rotinya, membaginya dua untuk sang adik dan gadis baju hijau itu menerima.

Dan ketika air juga dituangkan dalam gelas kecil dan dua enci adik ini sudah menangsel perut mereka dengan roti sederhana dan air pembasah kerongkongan maka mereka pun akhirnya memandang ke depan ke tempat pasukan besar itu, musuh yang sudah bulat akan mereka serbu dan tinggal menunggu waktu saja. Agaknya mereka tak akan bergerak di siang hari itu, cukup berhati-hati juga dan menyadari kekuatan lawan. Dan ketika kegembiraan mereka lenyap terganti oleh pandangan berapi dan mata yang menyala-nyala penuh dendam maka dua enci adik itu menghabiskan waktu di semak gerumbul.

Siapakah mereka? Dari mana berasal? Bukan lain adalah puteri-puteri Bu-ciangkun, panglima tinggi besar yang gagah dari kota raja itu, yang tewas dan akhirnya bertemu Kim-mou-eng sebelum ajal. Inilah dua puterinya di mana yang tertua bernama Bu Mei Hoa, si gadis berbaju hitam itu. Dan karena Bu-ciangkun ini mempunyai dua anak perempuan di mana si gadis baju hijau itu adalah adik Mei Hoa maka gadis yang telah menghajar belasan laki-laki di tengah jalan tadi adalah Mei Ling.

Kakak beradik ini akhirnya mendengar tewasnya ayah mereka, ketika menjalankan tugas. Dan ketika tentu saja kematian ayah mereka itu amat memukul perasaan dan mereka menjadi marah maka Mei Hoa dan Mei Ling meninggalkan kota raja, tak menghiraukan nasihat sahabat-sahabat ayah mereka yang berniat mencegah kemauan enci adik ini, berkata agar mereka menunda dulu maksud itu karena kota raja juga akan menyambut serbuan bangsa liar ini, diajak bersama-sama menghadapi musuh-musuh mereka namun Mei Ling dan kakaknya tak mau.

Mereka ingin melampiaskan marah dan dendam sendirian, berdua tanpa teman, maksud yang tentu saja harus ditunjang oleh sebuah keberanian besar. Dan ketika tiga hari lalu mereka meninggalkan kota raja untuk mencari musuh besar mereka, orang yang telah membunuh ayah mereka maka di tengah perjalanan mereka mencoba mengusir kedukaan dengan bercakap-cakap, melihat bunga warna-warni dan pemandangan indah di sepanjang jalan, hal yang sejenak melupakan kedukaan mereka, sedikit terhibur dan berguraulah mereka sejenak melupakan kematian sang ayah, karena sesungguhnya Mei Hoa dan Mei Ling ini adalah gadis-gadis yang periang.

Namun begitu gangguan pertama datang berupa laki-laki kurang ajar yang mengganggu mereka tadi mendadak saja kegembiraan mereka lenyap. Mei Ling menghajar mereka dan sebagai puteri Bu-ciangkun tentu saja dia dapat merobohkan lawan-lawannya itu. Dengan mudah gadis ini melepas kenangan yang seumur hidup tak bakalan orang-orang itu lupa lagi, apalagi setelah yang seorang dibunuh akibat kecurangannya sendiri, menendang golok yang menyambar di belakang di mana seketika senjata itu mencelat dan mengenai pemiliknya, roboh dan tersungkur mandi darah, tewas.

Dan ketika kegembiraan itu lenyap dan kini mereka sudah berada di depan musuh yang dicari-cari maka Mei Ling dan kakaknya tak dapat bergurau lagi, duduk tepekur dan Mei Hoa segera menerangkan pada adiknya apa yang akan mereka lakukan malam nanti, setelah matahari terbenam. Dan ketika Mei Ling mengangguk-angguk dan percakapan menjadi serius karena malam nanti mereka akan melepas dendam maka Mei Hoa berulang-ulang memperingatkan adiknya agar tidak gegabah.

"Kau tahu," sang kakak berkata. "Pemuda itu dikabarkan lihai, Ling-moi. Katanya bahkan lebih lihai daripada kelima gurunya sendiri. Kita harus berhati-hati, kalau bisa malam nanti mencari musuh kita ini dan menyerangnya di tempat sepi!"

"Aku tahu," sang adik menjawab. "Dan aku selalu ingat nasihatmu, enci. Dan kalau dia bersama guru-gurunya pun aku tak takut menghadapi!"

"Bukan takut atau tidak," sang kakak memberi tahu. "Melainkan semata agar maksud kita tidak gagal, Ling-moi. Kita sendiri tak perlu takut namun kabar tentang kelihaian pemuda itu harus kita perhitungkan baik-baik!"

"Dan aku siap mati kalau gagal!" Mei Ling berkata gagah. "Aku siap dibunuh atau membunuh, enci. Malam nanti kita harus mengerahkan segenap kemaampuan kita dan bertarung mati-matian!"

"Ya, tapi sebelumnya timbulkan dulu kekacauan di sana," Mei Hoa mengangguk. "Kita cari perbekalan makanan mereka, Ling-moi. Dan timbulkan kebakaran besar di mana-mana. Kalau kita gagal membunuh pemuda itu setidak-tidaknya kita telah mengacau ransum pasukannya agar mereka kelaparan!"

"Dan pasukan Ting-ciangkun mungkin bisa berlega sedikit. Ah, aku sependapat. Memang kita kacau dulu perbekalan pasukan itu sebelum kita mencari Togura dan gurunya!"

"Benar, tapi sekali lagi berhati-hatilah, Ling-moi. Kita dengar pemuda ini kejam dan suka menyiksa lawannya, terutama wanita. Kalau kita tertangkap dan kau diganggunya jangan lupa pesanku itu."

"Hm, aku selalu membawa Pil Iblis ini, enci. Kalau dia berani mengganggu atau memperkosaku maka sebelumnya aku sudah menjadi mayat. Pemuda itu tak dapat menggagahiku!" Mei Ling mengeluarkan sebutir pil hitam, sebesar kelereng dan encinya mengangguk-angguk.

Pil itu adalah pil maut dan sang kakak pun juga mengeluarkan benda yang sama, pil hitam yang akan mengantar nyawa mereka ke akherat, kalau tugas mereka gagal. Dan ketika mereka saling pandang dan sang kakak akhirnya terisak kecil tiba-tiba Mei Hoa memeluk dan mencium kening adiknya.

"Ling-moi, kita sehidup semati. Demi membalas kematian ayah kita tak perlu kita ragu. Tapi, ah... aku sebenarnya tak ingin kau mati muda!"

"Kenapa, enci?"

"Hm, aku ingin kau mendapatkan jodoh yang baik, Ling-moi, meneruskan generasi kita dan hidup bahagia bersama suamimu. Aku tak ingin keluarga Bu sama sekali musnah!"

"Ah, tak usah kau bicara seperti itu, enci. Aku tak ingin berumah tangga kalau kau tak ada!"

"Tapi Ting Han...."

"Hm, kenapa bicara ini lagi?" Mei Ling tiba-tiba merah mukanya, memotong. "Aku tak suka membicarakan pemuda itu, enci. Kita sekarang sedang bertugas membalaskan kematian ayah, aku tak ingin bicara tentang yang lain!"

"Tapi dia amat mencintaimu!" sang kakak memprotes. "Dan kaupun tampaknya menaruh perhatian, Ling-moi. Kalau saja tak ada urusan ini kau tentu dapat berpacaran!"

"Ah!" dan sang adik yang tersipu merah tiba-tiba melengos dan tidak mau menjawab kakaknya ini, bangkit berdiri dan Mei Ling berkelebat ke sebuah hutan kecil, kembali dan sudah menenteng seekor kelinci gemuk yang tadi disambitnya dari jauh, kena dan gadis itu sudah duduk lagi menguliti binatang ini, yang sudah dibunuhnya. Dan ketika Mei Ling membuat api unggun dan minta agar kakaknya memanggang kelinci itu maka Mei Hoa tersenyum dan bangkit memeluk adiknya ini, dari belakang.

"Ling-moi, kau tak marah akan kata-kataku ini, bukan? Kau tak menyimpannya di hati?"

"Sudahlah, aku tak apa-apa, enci. Hanya untuk saat ini aku tak suka membicarakan Ting Han. Aku ingin membalas kematian ayah, dan aku tak suka bicara yang lain selain itu!"

"Baiklah, aku tahu, Ling-moi. Dan mari kupanggang kelinci itu," sang kakak sudah mengambil alih bagiannya, memanggang kelinci buruan dan akhirnya mereka pun bercakap-cakap yang lain.

Mei Hoa diam-diam menarik napas karena dia tahu bahwa adiknya ini sebenarnya menyambut cinta Ting Han, putera Ting-ciangkun. Namun karena mereka ada masalah pribadi dan kematian ayah mereka mungkin saja dibayar dengan jiwa sendiri kalau mereka gagal maka Mei Hoa tahu bahwa adiknya ini sebenarnya tak berani mengecewakan Ting Han, pemuda yang gagah dan sudah diketahui jatuh hati pada adiknya ini. Tak mau kalau kelak Ting Han gigit jari bila Mei Ling terpaksa tewas, dalam menuntut balas kematian ayahnya ini.

Dan ketika mereka duduk kembali dan sudah menikmati kelinci panggang itu maka percakapan kembali pada Togura, apa yang harus dilakukan nanti malam karena matahari pun kian condong ke barat. Beberapa jam lagi mereka akan memulai pekerjaan mereka dan itu pun tak perlu lama ditunggu. Dan ketika saat yang dinanti tiba dan malam pun mulai menyelimuti bumi maka Mei Hoa dan adiknya bergegas bangkit berdiri, tiba-tiba mencabut pedang dan membuang sisa-sisa makanan.

"Awas, sekali lagi berhati-hati, Ling-moi. Ingat pesanku dan jangan bertindak gegabah!"

"Aku tahu. Dan mari berangkat, enci. Aku sudah tak sabar dan ingin memenggal kepala pemuda itu!"

"Hm!" dan sang enci yang mengangguk dan sudah berkelebat menyambar tangan adiknya lalu melesat dan menuju ke benteng musuh di depan, melihat lampu-lampu yang mulai berkelap-kelip di sana dan enci adik ini sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka mendekati sarang musuh. Empat jam mengatur rencana dan duduk bercakap-cakap telah membuat masing-masing tahu apa yang harus dilakukan nanti. Maka begitu tembok kota sudah semakin dekat di depan mata dan mereka berjungkir balik maka puteri-puteri Bu-ciangkun ini m,elayang dan terus meluncur ke dalam tembok.

"Hei!"

Seruan atau bentakan itu cepat terbungkam. Mei Hoa dengan cepat telah menyambitkan sebatang jarum, menancap dan tepat sekali menghentikan teriakan ini, si penjaga yang kiranya melihat gerakan mereka. Dan begitu penjaga roboh dan mereka sudah melayang turun di dalam, dengan ringan dan enteng maka Mei Hoa memberi isyarat pada adiknya agar semakin berhati-hati.

"Kita berpencar, kau ke kiri aku ke kanan. Tapi jangan jauh-jauh, kita menuju bangunan merah itu!"

"Tapi di sana ada dua penjaga lagi, enci. Sebaiknya kita menangkap mereka dan mencari tahu di mana lumbung makanan atau para pemimpin mereka!"

"Baik, awas...!" dan sang enci yang sudah melihat penjaga yang dimaksud dan bergerak menyambitkan jarumnya tiba-tiba hampir sama cepat dengan sang adik sudah merobohkan pengawal atau penjaga ini, yang rupanya mendengar teriakan tertahan temannya yang roboh, celingukan namun mereka pun juga roboh. Dan ketika dua gadis itu berkelebat dan masing-masing sudah menangkap seorang penjaga dan menotok urat gagu mereka maka Mei Ling mengancam dengan bisikannya yang dingin,

"Di mana Togura. Apa yang dilakukan pemuda setan itu dan di mana pula kelima gurunya?"

"Dan kau!" Mei Hoa juga membentak, perlahan. "Di mana lumbung perbekalan, penjaga. Cepat beri tahu atau pedangku menabas putus kepalamu!"

Dua penjaga itu menggigil. "Si... siapa kalian?"

"Tak perlu tahu. Pokoknya jawab pertanyaan kami dan cepat sebelum kami membunuh kalian berdua!"

"Pemimpin... pemimpin ada di tengah-tengah, bersama gurunya...!"

"Dan ransum makanan di bangunan merah itu. Aduh, lepaskan aku, nona. Ampun....!" penjaga satunya juga segera menjawab, dibebaskan totokannya sejenak tapi bawah lehernya dijepit kuat. Dia hampir tak dapat bicara kalau gadis-gadis itu tak melonggarkan sedikit jari-jari tangannya. Dan ketika jawaban itu sudah didapat namun tentu saja dua kakak beradik ini tak gampang percaya maka Mei Hoa menampar kepala tawanannya sementara Mei Ling menendang dan membanting pengawal satunya, yang roboh terbanting dan pingsan.

"Kita telah mendapat tahu. Tapi hati-hati, siapa tahu mereka bohong!"

"Ya, dan aku ke tengah-tengah, enci. Kau ke bangunan merah itu tapi kita tetap tidak terlalu jauh!"

"Baik!" dan Mei Hoa yang berkelebat serta lenyap ke kanan lalu disusul adiknya yang berkelebat dan lenyap pula ke kiri, menuju pada sasaran masing-masing dan untuk sejenak mereka berpisah. Hal itu memang telah diatur agar masing-masing dapat bekerja. Dan ketika Mei Ling menghilang ke tengah-tengah sementara Mei Hoa sudah ke bangunan merah yang dicurigai maka tak lama kemudian timbul kebakaran besar di bangunan merah itu, yang ternyata gudang makanan adanya, benar.

"Kebakaran kebakaran!"

Penjaga dan pengawal berteriak kaget. Perbuatan Mei Hoa ini telah memancing keributan dan orang pun gaduh. Dari mana-mana muncul para pengawal yang terbelalak marah, ransum itu adalah makanan mereka di mana kalau habis terbakar mereka bisa mati kelaparan. Maka begitu semua berlarian dan berteriak menyambar air maka berkelebatlah sesosok bayangan tinggi kurus yang tertegun sejenak.

"Heh, dari mana api berasal? Siapa yang melakukan ini?"

"Tak tahu. Kami baru saja melihat kebakaran ini, locianpwe. Dan api tahu-tahu sudah menyala di tengah gudang!"

"Kalau begitu kalian minggir. Biar kupadamkan!" dan bayangan tinggi kurus ini yang bergerak melepas bajunya tiba-tiba menghilang dan sudah mengebut bajunya itu, lenyap di tengah-tengah api dan heran serta ajaib api padam bertemu hembusan angin kuat. Begitu kuatnya hingga para pengawal atau orang-orang yang ada di luar terpelanting, kaget dan berteriak terlempar oleh hembusan angin itu. Dan ketika api padam sebelum diguyur air seember pun maka bayangan tinggi kurus ini, yang bukan lain Cam-kong adanya, sudah berkelebat keluar dan memakai bajunya kembali, membuat penonton atau pengawal bengong!

"Heh, yang menjaga gudang harap ke markas. Terima hukuman untuk kebodohan ini!"

"Tapi.... tapi....."

"Kebakaran! Hei, itu lagi...!" dan seruan ini yang melenyapkan kegembiraan dan kekaguman semua orang tiba-tiba sudah disusul oleh berkobarnya api di tempat lain, mula-mula di kanan tapi akhirnya di kiri dan muka belakang. Di empat penjuru tiba-tiba api berkobar dengan cepat.

Cam-kong tertegun dan segera matanya bersinar-sinar. Kalau begitu ini perbuatan orang, musuh! Dan karena hal ini biasa maka Cam-kong melengking dan lenyaplah iblis itu memberi tahu teman-temannya yang lain, Siauw-jin dan nenek Naga atau Ji-moi serta Toa-ci itu.

"Wut-wut!"

Beberapa bayangan berkelebatan cepat. Seperti siluman di tengah-tengah paniknya kebakaran dan keributan banyak orang tiba-tiba saja empat bayangan cebol dan nenek-nenek iblis berkesiur di empat penjuru. Kentongan tanda bahaya dipukul dan ramailah teriakan orang akan kebakaran. Tapi ketika bentakan-bentakan terdengar di sana-sini dan kebutan atau tiupan mulut menghembus ke arah kebakaran yang berkobar tiba-tiba saja api padam dan orang pun bengong, takjub.

"Wush-wushh!"

Siauw-jin dan teman-temannya melakukan seperti apa yang dilakukan Cam-kong. Mereka memadamkan kobaran api dengan cara masing-masing, semua mempergunakan kesaktian mereka dan Siauwjin si cebol yang hebat itu bergelindingan di tanah, memadamkan api dengan tubuhnya yang bulat dan aneh serta luar biasa api atau kobaran api yang dilewati tubuh si cebol ini langsung padam. Dan ketika iblis itu meloncat bangun dan berjungkir balik tertawa-tawa maka di sana nenek Naga maupun Toa-ci atau Ji-moi mengebutkan lengannya sementara Ji-moi mengebutkan lengannya sementara Ji-moi meniupkan mulut menghembus padam semua api di empat penjuru, hanya sekejap mata!

"Keparat! Jahanam busuk!" nenek Naga mengumpat caci. "Perbuatan siapa ini gerangan? Siluman dari mana berani membuat kebakaran?"

"Ha-ha, tak perlu marah. Ini tentu perbuatan musuh, nenek bau. Hayo tanya Cam-kong karena dialah yang lebih dulu keluar!" Siauw-jin tertawa, mulut berseru namun iblis ini sudah melesat ke kiri, ke tempat di mana Cam-kong berdiri. Dan ketika iblis itu berjungkir balik dan sudah turun di depan rekannya ini maka Cam-kong menggeleng dan meliarkan matanya ke sekeliling tempat itu.

"Aku tak tahu," iblis tinggi kurus ini berkata. "Aku di depan setelah api membakar gudang makanan, Siauw-jin. Siapa yang berbuat aku tak tahu tapi jangan-jangan Kim-mou-eng!"

"Weh, tak mungkin!" iblis cebol tampak gentar. "Pendekar Rambut Emas tak pernah muncul lagi, Cam-kong. Ini tentu perbuatan orang lain karena Kim-mou-eng tak perlu melakukan ini kalau ingin mencari kita!"

"Benar!" nenek Naga berkelebat menimpali. "Kalau Kim-mou-eng tak perlu melakukan semuanya ini, Cam-kong. Pendekar Rambut Emas dapat langsung mencari kita dan berhadapan. Aku menduga ini perbuatan bocah-bocah ingusan!"

"Dan Togur tak keluar!" Toa-ci berkelebat di samping nenek Naga. "Ada apa bocah itu tak menampakkan diri? Memangnya dia tak tahu?"

"Ha-ha!" suara tawa bergelak terdengar di dalam gedung. "Aku di sini menghadapi dua nona yang cantik-cantik, subo. Merekalah yang melakukan kebakaran itu dan kini menemui aku! Hayo, kalian ke sini... duk-plak!"

Dan jeritan serta teriakan kaget yang disusul terbanting dan terlemparnya tubuh sudah membuat lima iblis itu tertegun, mendengar tawa muridnya dan para pengawal atau penjaga segera melihat dua bayangan berkelebatan cepat di dalam, menyerang tapi terpelanting ketika bertemu lengan Togura, pemuda yang menjadi Raja Muda di situ. Dan ketika semua orang berlarian menuju ke sini tapi lima iblis itu mendengus dan sudah lenyap mendahului semua orang maka terlihatlah dua gadis cantik menerjang dan marah sekali menyerang pemuda tinggi besar itu.

"Togur, kau jahanam keparat. Kami datang memang untuk membunuhmu!"

"Benar, atau kau membunuh kami, pemuda siluman. Kami datang untuk mengadu jiwa...duk-plak!" dan dua pedang yang ditangkis pemuda itu dan terpental ke atas akhirnya membuat Siauw-jin dan teman-temannya tertawa, melihat bahwa kepandaian dua gadis itu ternyata tak seberapa dibanding mereka.

Tentu saja sekali lihat segera mengetahui bahwa dua gadis itu tak selihai atau sehebat Kim Soat Eng umpamanya, atau Thai Liong, putera-puteri Pendekar Rambut Emas yang gagah dan memang hebat. Maka begitu mereka mengetahui bahwa pengacau liar ini kiranya dua orang gadis yang tak seberapa kepandaiannya tapi harus diakui memiliki keberanian yang amat besar maka Siauw-jin terkekeh-kekeh melepas kekagumannya.

"Heh-heh, kukira siapa, tak tahunya dua kupu betina yang berani namun tolol! Heh, serahkan pasa pasukanmu saja, Togur, jangan layani sendiri dan bekuk mereka berdua itu. Atau kau mundur dan biar kutangkap mereka!"

"Tidak," Togur tertawa. "Mereka datang sengaja mencari aku, suhu. Mereka ternyata puteri-puteri Bu-ciangkun. Aih, teringat aku sekarang. Memang Bu-ciangkun itu pemberani dan keberaniannya itu menurun pada puteri-puterinya ini. Ha-ha, kau mundurlah dan biar kupermainkan mereka.... plak-plak!"

Togur menangkis pedang yang membacok dari kiri, diayun oleh Mei Ling dan tentu saja dengan gampang dia mementalkan pedang itu ke atas. Pemiliknya menjerit dan pedang hampir saja terlepas. Dan ketika Mei Hoa berteriak marah dan berseru keras menusuk tenggorokan pemuda itu maka Togur membiarkan tenggorokannya ditusuk dan pemuda itu mengerahkan kekebalannya.

"Takk!" pedang melengkung bengkok! Mei Hoa terpekik dan gadis itu terhuyung, melihat para pengawal dan pasukan yang berdatangan memasuki gedung, berteriak-teriak dan bersorak mengejek mereka, yang dipermainkan Togura. Dan ketika pedang kembali dluruskan dan adiknya sudah menyerang lagi di sana maka Togura membentak menyuruh pasukannya mundur.

"Hei, kalian manusia-manusia tolol. Jangan masuk dan tetap berjaga di luar. Siapa tahu gadis-gadis ini membawa temannya!"

Siauw-jin terkejut. "Benar," iblis cebol itu teringat. "Kalian berjaga seperti biasa, tikus-tikus busuk. Tak perlu di sini dan tetap di luar sana!"

"Dan kau meronda sekilas," Togura berseru pada nenek Toa-ci. "Lihat apakah ada pengacau lain selain dua gadis ini, subo. Beri tanda bila ada sesuatu yang mencurigakan!"

"Hm!" nenek itu berkelebat, mengomel. "Siauw-jin dan Cam-kong perlu juga kau perintah, Togur. Jangan aku saja!"

"Baik!" Togur tertawa. "Kau juga, suhu. Maaf kalian pergi sebentar dan setelah itu kembali ke sini kalau benar-benar aman!"

"Huh!" si cebol menggerutu. "Kau nenek sialan, Toa-ci. Selalu tak mau sendirian kalau diperintah!" tapi berkelebat dan menuruti perintah muridnya kakek ini lenyap dan sudah keluar gedung, disusul Cam-kong yang tidak mengomel namun mulutnya meludah.

Empat orang pengawal roboh menjerit ketika ludah kakek tinggi kurus itu mengenai muka mereka, bolong dan tentu saja mereka bergulingan menjerit-jerit. Itulah tanda pelampiasan marah kakek ini, yang sebenarnya sama saja dengan Siauw-jin. Dan ketika tiga orang itu keluar melihat keadaan sementara nenek Naga dan Ji-moi menjaga di situ, hal yang memang disengaja Togur kalau-kalau ada musuh lihai seperti Kim-mou-eng maka Mei Ling dan kakaknya mengeluh terhuyung-huyung menghadapi lawannya ini, akhirnya menusuk dan membacok namun tiba-tiba Togur berseru keras. Pemuda itu menangkap dan terjepitlah pedang di antara dua jari telunjuk dan tengahnya. Dan ketika pemuda itu tertawa dan menarik tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi dua gadis ini terjelungup ke depan dan roboh ke pelukan Togura.

"Ngok-ngok!"

Togura terbahak memberikan ciumannya. Pemuda itu sudah menerima keduanya dan tentu saja Mei Ling maupun kakaknya kaget, mereka berteriak namun tiba-tiba lawan menggerakkan jarinya. Dan ketika sebuah totokan lihai mendahului mereka dan pundak mereka tertotok maka dua enci adik ini roboh dan langsung diciumi Togura.

"Ha-ha, manis, subo. Manis sekali. Aih mereka boleh menjadi kekasih-kekasihku!" pemuda itu memeluk keduanya, mencium sana dan tertawa mempermainkan sini dan Mei Hoa maupun adiknya pucat. Mereka tak menyangka bahwa lawan sedemikian lihainya, demikian hebat hingga mereka roboh dengan begitu mudah, padahal kelima guru pemuda itu tak bergerak dan pasukan di luar gedung juga digebah pergi!

Dan ketika dua kakak beradik itu mengeluh di pelukan Togura dan pemuda ini menciumi tapi akhirnya melepaskan tangkapannya maka pemuda itu berseru melempar dua enci adik ini, pada gurunya, "Subo, bawa mereka ke kamarku. Aku merasa ada sesuatu yang kurang beres di luar!" lalu berkelebat dan lenyap meninggalkan dua gadis itu pemuda ini sudah menghilang di luar, menangkap sesuatu yang tidak wajar dan nenek Naga yang menerima kakak beradik ini mengerutkan keningnya. Dia juga merasa sesuatu yang tidak beres dan mencengkeram Mei Ling serta kakaknya. Lalu membawa dua kakak beradik itu ke kamar Togura nenek ini berkata pada rekannya,

"Ji-moi, sebaiknya kita pun melihat keluar. Aku juga menangkap sesuatu yang mencurigakan!"

"Baik, aku juga merasakan begitu!" dan nenek Ji-moi yang berkelebat dan lenyap meninggalkan ruangan lalu menghilang dan menyumpah dalam hati, merasakan ada sesuatu yang tidak beres pula dan nenek ini mencari teman-temannya. Dan ketika nenek Naga akhirnya berkelebat pula setelah meletakkan enci adik itu di kamar muridnya maka Mei Ling dan kakaknya menangis.

"Jahanam, kita gagal, enci. Dan kita tak dapat menelan Pil Maut!"

"Benar, dan kita sungguh ceroboh, Ling-moi. Togura sungguh lihai dan kita bukan apa-apa baginya!"

"Dan apa yang kita lakukan?"

"Apa lagi?" kakaknya mengeluh. "Kita tak dapat berbuat apa-apa, Ling-moi. Kita telah berada di bahwa kekuasaan pemuda itu!"

"Hm, dan dia menaruh kita di kamarnya!" Mei Ling pucat. "Apa yang akan dia lakukan, enci? Apakah kita...."

"Tentu! Pemuda itu akan mempermainkan dan menghina kita, Ling-moi. Kita.... kita.... ah, kita benar-benar malang!" dan Mei Hoa yang menangis serta merasa tidak berdaya tiba-tiba mengguguk dan ngeri akan apa yang bakal dilakukan Togura, takut membayangkan ini dan gelisahlah gadis cantik itu. Tapi ketika dia menangis dan merasa putus harapan mendadak terdengar suara disusul bisikan lembut,

"Ssst, jangan khawatir, Mei Hoa. Aku datang menolong!"

Mei Hoa tertegun. Dari balik lemari tiba-tiba muncul seorang pemuda, merangkak dari bawah. Dan ketika Mei Ling juga tertegun dan memandang pemuda itu maka hampir berbareng dua enci adik ini berseru,

Ting Han!"

"Sst," pemuda itu menaruh jari telunjuknya di bibir. "Jangan berteriak, Mei Hoa. Nanti kita ketahuan. Tenanglah, aku akan membebaskan kalian dan pasti selamat!" lalu meloncat dan keluar dari balik lemari pemuda yang cakap dan gagah namun bertubuh agak kurus ini sudah menghampiri Mei Hoa, membebaskan totokan gadis itu namun gagal. Dan ketika dia mencoba pada Mei Ling dan juga tidak berhasil maka pemuda ini pucat. "Celaka, kepandaianku terlalu rendah. Ah, aku tak dapat membuka totokan kalian, Mei Hoa. Aku gagal!"

"Tak apa," Mei Hoa masih bersikap tenang, meskipun dada berdebaran cepat. "Kau bawa saja kami dari sini, Ting Han. Keluarkan kami dan bawa kami berdua!"

"Dengan cara apa?"

"Pondong!"

"Hah?"

"Ya, pondong kami di atas pundakmu, Ting Han. Tak usah bertanya lagi dan jangan sungkan-sungkan. Ini keadaan darurat, atau kami tetap di sini dan kau pun salah-salah tertangkap!"

"Ah, baik!" dan Ting Han yang terkejut tapi sudah menyambar dua orang gadis itu lalu berseru dan meminta maaf, berkelebat keluar dan mulailah pemuda ini menyelamatkan puteri-puteri Bu-ciangkun itu. Ting Han harus berkali-kali menyelinap atau menyembunyikan diri kalau bertemu pengawal, dag-dig-dug dan Mei Hoa serta adiknya pun tak kalah tegang.

Sebenarnya mereka ingin bertanya bagaimana pemuda itu tahu-tahu ada di balik lemari, di kamar Togura. Tapi karena keadaan tak memungkinkan dan bisa selamat dari tempat itu saja sudah merupakan berkah maka Mei Hoa dan adiknya berkali-kali berseru perlahan agar Ting Han tidak merobohkan atau menghadapi pengawal, karena itu berarti mengundang penjaga-penjaga yang lain dan mereka bisa ketahuan.

"Tenang, jangan khawatir," pemuda itu berkata dengan suara tegang. "Aku akan selalu menghindari siapa pun, Mei Hoa. Tak usah kalian cemas dan tenang saja."

Langkah pemuda itu dilanjutkan. Sebenarnya Ting Han sendiri tidak tenang dan berdebar, suaranya yang agak gemetar dan khawatir jelas menandakan itu. Jadi lucu kiranya kalau pemuda ini menyuruh tenang temannya sementara dia sendiri tidak tenang! Tapi ketika penjagaan demi penjagaan dapat dilewati selamat dan mereka akhirnya tiba di tembok kota maka Mei Ling dan kakaknya girang.

"Aih, selamat, Ting Han. Kita rupanya berhasil!"

"Benar, tapi kali ini salah seorang di antara kalian harus mengalah, Mei Ling. Aku tak dapat melompati tembok yang tinggi itu sekaligus dengan dua beban!"

"Aku mengerti," Mei Hoa tiba-tiba mendahului. "Kau bawa dulu adikku keluar, Ting Han. Letakkan aku di sni dan kau melompatlah!"

"Tidak!" Mei Ling tiba-tiba berseru. "Kau yang keluar dulu, enci. Aku belakangan!"

"Tidak, aku belakangan, Mei Ling. Kau yang dulu karena kau lebih kecil!"

"Tidak, kau dulu!"

Namun ketika dua enci adik itu bertengkar sementara Ting Han bingung tiba-tiba terdengar suara-suara penjaga yang menyatakan bahwa tawanan hilang, disusul oleh lampu-lampu besar yang disorotkan ke tempat-tempat gelap. Mei Hoa dan adiknya terkejut dan otomatis pertengkaran berhenti. Dan ketika Ting Han juga tertegun dan terkejut melihat itu maka Mei Hoa sudah berseru padanya,

"Ting Han, tak ada waktu lagi. Kau bawa adikku atau kita semua tertangkap!"

Terpaksa, karena Ting Han lebih memberatkan Mei Ling karena inilah gadis yang dicintanya maka pemuda itu bergerak dan sudah berjungkir balik melompati tembok yang tinggi, sudah meletakkan Mei Hoa di sana dan pemuda ini bermaksud kembali setelah menyelamatkan Mei Ling di luar. Tapi begitu pemuda itu berjungkir balik di atas tembok namun celaka sekali lampu sorot kebetulan diarahkan kepadanya maka pemuda ini kelihatan dan penjaga pun berteriak kaget, melihat pemuda itu tertimpa lampu sorot.

"Hei, dia di situ. Di sana!"

"Dan dia seorang laki-laki! Hei, awas, teman-teman. Ada pengacau lain yang membawa kabur tawanan...!"

Gegerlah tempat itu. Ting Han panik dan Mei Ling mengeluh. Pemuda itu berjungkir balik namun terbanting di luar, terguling-guling. Dan ketika penjaga atau pengawal berteriak-teriak mengejar maka tanpa pikir panjang lagi pemuda ini kabur dan meninggalkan Mei Hoa, yang masih di dalam!

"Hei, kembali, Ting Han. Enciku masih di sana!"

"Maaf," pemuda ini menjawab. "Sementara ini kubiarkan dulu, Mei Ling. Aku harus menyelamatkanmu karena penjaga tahu!"

"Tapi enci bisa tertangkap!"

"Aku tak bisa berbuat apa-apa. Maaf yang paling penting saat ini adalah menyelamatkanmu!" dan Ting Han yang kabur dan mengerahkan segenap kekuatannya lalu lari sipat-kuping, tak menghiraukan lagi teriakan Mei Ling dan pemuda ini menulikan telinga. Mei Ling berteriak-teriak dan marah besar kepada pemuda itu, yang dimaki dan diumpatnya habis-habisan. Dan ketika Ting Han tetap tidak mendengarkan dan terus lari serta lari saja maka Mei Ling menunduk dan... menggigit telinga pemuda itu.

"Jahanam, lepaskan aku kalau begitu, Ting Han. Atau putus telingamu nanti!"

"Aduh...!" Ting Han menjerit, berteriak kesakitan. "Kau gila, Mei Ling. Kau tidak waras!" dan pemuda ini yang terpaksa melempar kekasihnya berhenti berlari lalu mengaduh-aduh dan mendesis tak keruan. Telinga rasanya putus dan saat itu berkelebatlah sebuah bayangan tinggi kurus. Dan ketika Mei Ling terlempar di sana sementara Ting Han mendekap-dekap telinganya yang berdarah maka bayangan itu sudah berdiri di depan mereka dan tegak dengan mata yang bersinar-sinar menyeramkan, dingin dan bengis!

"Heh, siapa kau, anak muda? Rangkap berapa nyawamu hingga berani melarikan tawanan?"

Ting Han terkejut. Dia tidak tahu bahwa yang dihadapi ini adalah Cam-kong, kakek iblis yang amat lihai. Maka begitu terkejut melihat seseorang berdiri di depannya dan kini menegur berapa rangkap nyawanya tiba-tiba pemuda ini membentak dan menerjang maju. "Kau mampuslah!"

Namun Cam-kong tertawa aneh. Iblis ini tentu saja tahu kepandaian Ting Han, tidak mengelak dan menerima pukulan itu. Dan ketika dia mengerahkan sinkangnya dan pukulan Ting Han menghantam perut yang keras tiba-tiba pemuda ini menjerit dan roboh terpelanting, bergulingan berteriak-teriak mendekap tangannya yang bengkak!

"Aduh! Keparat jahanam, aduh....!"

Cam-kong mendengus. Melihat pemuda itu bergulingan menjerit-jerit sambil memaki-makinya tiba-tiba kakek ini menggerakkan tangannya. Dari jarak empat meter tiba-tiba tangannya itu terulur. Dan ketika pemuda itu tak tahu apa yang terjadi tahu-tahu lehernya terangkat dan tubuhnya pun sudah terhisap ke arah kakek itu. "Kau kesini, dan terima gamparanku ini....plak-plak!"

Ting Han mengeluh, mendapat tamparan dua kali dan pemuda itu meronta, mau membalas namun si kakek sudah melemparnya tinggi. Dan ketika pemuda itu berdebuk dan jatuh meringis maka pengawal atau pasukan di dalam benteng sudah tiba disitu, memanjat dan turun melalui tembok yang tinggi.

"Bunuh pemuda itu, tebas lehernya!"

"Tidak!" Mei Ling tiba-tiba berteriak, kaget menjerit. "Jangan bunuh pemuda itu, Cam-kong. Jangan bunuh dia dan biarkan dia hidup!"

Namun Cam-kong yang tertawa dingin dan menyambar tubuhnya tiba-tiba berkelebat dan membawa dia kembali ke dalam benteng. "Tutup mulutmu, anak busuk. Kalau bukan muridku yang menghendaki dirimu hidup-hidup tentu kau sudah kubunuh!"

"Oh, tidak.... tidak....!" namun Mei Ling yang sudah dikempit dan dibawa si kakek melayang melewati tembok yang tinggi akhirnya tak dapat berteriak-teriak lagi, membungkam mulutnya dan sebuah totokan jengkel dilakukan Cam-kong untuk membuat gadis ini tak dapat bersuara lagi. Namun ketika kakek itu menghilang ke dalam dan menyerahkan Ting Han untuk dibunuh para pengawal tiba-tiba terdengar jeritan dan pekik kaget di tempat pemuda itu.

"Aduh....!"

"Hei.... plak-des-dess!"

Cam-kong terkejut. Otomatis kakek ini menghentikan langkah, menoleh. Dan ketika dia melihat betapa belasan orangnya terlempar dan menjerit tak keruan maka di tempat Mei Hoa, di dalam benteng juga terdengar teriakan dan pekik kaget pasukan penjaga.

"Pergi kalian semua!"

Kakek itu menoleh melebarkan matanya. Di sana enam orang pasukannya terpelanting oleh sebuah dorongan jarak jauh, rata-rata berteriak dan tidak dapat bangun lagi. Dan ketika kakek itu terkejut karena samar-samar sesosok bayangan kuning emas berdiri di sana maka kakek ini terkesiap dan tiba-tiba mencelat kabur.

"Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)....!"

Orang pun terperanjat. Seruan kakek itu disusul perginya yang seperti setan kesiangan tiba-tiba membuat pengawal gempar. Mereka juga melihat sosok bayangan itu, laki-laki berambut keemasan yang menolong Mei Hoa. Dan karena nama ini sudah cukup membuat nyali terbang dan orang selihai kakek iblis itupun lintang-pukang maka penjaga atau pasukan Togura berteriak melempar senjata dan ikut-ikutan lari!

"Kim-mou-eng... Kim-mou-eng... Pendekar Rambut Emas datang...!"

Suasana tiba-tiba gaduh. Bayangan yang disangka Kim-mou-eng itu tersenyum, sudah membangunkan dan membebaskan totokan Mei Hoa. Namun ketika gadis itu bangkit berdiri dan menangis melihat adiknya dibawa Cam-kong tiba-tiba Mei Hoa yang juga mengira bertemu Pendekar Rambut Emas sudah menjatuhkan dirinya meratap,

"Paman, tolong rampas kembali adikku. Kami Mei Hoa dan Mei Ling puteri-puteri Bu-ciangkun!"

Bangunlah," pria berambut emas itu, yang disangka Kim-mou-eng menarik bangun gadis ini. "Aku sudah tahu siapa kalian, Mei Hoa. Tapi lihat baik-baik bahwa aku bukan Kim-mou-eng!"

"Benar!" bayangan di sana, yang menolong dan menyelamatkan Ting Han juga berseru, berkelebat datang. "Kami berdua sudah tahu siapa kalian, nona. Dan sahabatku ini adalah Thai Liong, putera Kim-mou-eng, bukan Pendekar Rambut Emas!"

Mei Hoa terkejut. Di malam gelap di mana bulan kebetulan tidak menampakkan dirinya maka bayangan samar-samar dari pemuda berambut keemasan ini memang pasti akan disangka sebagai Kim-mou-eng, tak mungkin tidak. Tapi begitu lawan menjelaskan siapa dirinya dan Mei Hoa bengong maka gadis itu tertegun bahwa orang yang dipanggilnya 'paman' itu ternyata masihlah muda, bukan Kim-mou-eng!

"Oh... ah...!" gadis ini tersentak, mundur dengan muka berubah. "Aku... aku, eh... aku tak tahu, siauw-hiap (pendekar muda). Aku... aku mengira kau Kim-taihiap!"

"Tak apa," Thai Liong menarik maju gadis ini. "Aku puteranya juga, Mei Hoa, sama saja. Sekarang kau tak usah gugup karena aku akan menolong adikmu juga!"

"Dan kalian sebaiknya keluar dari sini," pemuda disebelah Thai Liong, yang bukan lain Ituchi adanya berkata. "Kami akan menghadapi musuh-musuh yang berat, nona. Kau pergi bersama Ting Han dan biarkan kami menyelamatkan adikmu!"

"In-kong (tuan penolong) siapa?"

"Hush, namaku Ituchi, jangan panggil in-kong!" Ituchi merah mukanya. "Aku sahabat Kim-siauwhiap, nona. Dan aku sudah mengenal ayahmu yang gagah perkasa. Sudahlah, kau pergi bersama pemuda ini karena pengawal berdatangan kembali!"

Mei Hoa tertegun. Dia sekarang melihat jelas dua pemuda yang gagah-gagah ini. Ituchi tinggi besar dan tampak menyeramkan sementara Thai Liong atau 'Kim-mou-eng' muda itu kelihatan halus namun tentu saja tak perlu disangsikan kepandaiannya. Dua pemuda itu sudah menolong mereka dan Ting Han mengucap terima kasih berulang-ulang pada Ituchi, yang tadi menolongnya ketika golok pengawal siap menebas lehernya. Kalau pemuda itu tidak datang dan lehernya bertemu golok tentu kepalanya sudah menggelinding di tanah. Ngeri pemuda ini. Namun ketika dia melihat bahwa pengawal berlarian balik dan kini empat bayangan berkelebatan menuju mereka maka Ting Han sadar dan menjadi gelisah.

"Mei Hoa, kita memang harus pergi. Ayolah, serahkan segalanya pada ji-wi siauwhiap (dua pendekar gagah) ini!"

"Benar, dan tak perlu kalian menampakkan diri, nona. Kami akan menghadapi mereka dan kau pergilah!" Ituchi tiba-tiba mendorong, Mei Hoa terangkat naik dan terlemparlah gadis itu melewati tembok kota yang tinggi. Dan ketika Thai Liong juga mengangguk dan sudah mengibaskan lengannya maka Ting Han juga terlempar dan jatuh terguling-guling di luar sana.

"Hei... bluk-bluk!" Ting Han dan Mei Hoa hampir berbareng mengeluarkan seruan kaget. Mereka sudah diangkat dan terbanting di luar, yang anehnya tak merasa sakit sama sekali. Dan ketika dua muda-mudi itu mengeluh girang karena mereka selamat tanpa cidera maka Thai Liong dan Ituchi sudah mendengar bentakan-bentakan dan makian musuhnya, yang segera mengenal bahwa dia bukan Kim-mou-eng....

Istana Hantu Jilid 15

ISTANA HANTU
JILID 15
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“OH, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat!" dan si kakek yang menjatuhkan diri berlutut di depan Thai Liong tiba-tiba berseru minta ampun.

"Sudahlah," Thai Liong berkata, "Bangunlah, lopek. Kau tak bersikap kurang hormat karena sesungguhnya siapapun sama saja bagiku. Kau ceritakanlah apa yang kau ketahui dan lanjutkanlah."

Kakek itu gemetar, lega. "Kongcu tidak marah?"

"Tidak, kau tenanglah dan ceritakan kembali apa yang terjadi."

"Pemuda itu membuat onar, mengacau!"

"Ya, kau sudah mengatakannya. Sekarang katakan ke mana pemuda itu pergi, lopek. Apalagi yang kau ketahui dan kemana pula kelima gurunya itu."

"Mereka ke selatan, membawa pasukan besar!"

"Dan Liima Iblis Dunia itu?"

"Kakek dan nenek-nenek itu juga mengikuti muridnya, kongcu. Mereka semua ke selatan!"

"Dan benar-benar menyerbu kota raja...."

"Benar, memang begitu, kongcu. Dan anakku telah menjadi korban! Ah, puteraku telah tewas, aku hidup sebatangkara!" kakek itu menangis lagi, teringat nasibnya dan terkepallah tinju yang kurus itu. Dan ketika dia memaki-maki namun Thai Liong menghibur dan memberi isyarat pada temannya maka Ituchi memberi segenggam uang pada kakek itu.

"Lopek, tenanglah. Kau memang patut berduka, tapi kami akan membalas semua sakit hatimu ini, juga hati bangsa kita yang sudah dikuasai dan dipermainkan pemuda itu. Kau pergilah yang jauh. Bawa uang ini dan mulailah hidup baru di suatu tempat."

"Pangeran.... pangeran mau ke mana?"

"Mencari musuh kita itu, lopek. Membebaskan dan menolong bangsa kita!"

"Tapi pemuda itu lihai, dia hebat dan sakti!"

"Ada temanku di sini, Kim-siauwhiap. Sudahlah tak usah kau khawatir dan sekarang kau pergilah!

Ituchi mendorong kakek renta itu, menyuruhnya pergi tapi kakek ini bengong saja. Dia membelalakkan mata dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, kali ini di depan Ituchi. Dan ketika dia menggigil dan terbata di depan pemuda itu maka kakek ini berkata,

"Pangeran, ibunda... ibunda juga menghilang. Aku tak tahu di mana dia dan dua adikmu juga tiada. Mereka barangkali saja selamat, tapi barangkali juga dibunuh pemuda iblis itu!"

"Ibu tak ada?" Ituchi tergetar. "Dia dibawa juga dalam peperangan?"

"Aku tak tahu, pangeran. Tapi mungkin juga. Aku, ah... aku khawatir. Sebaiknya paduka memang cepat menyusul pemuda itu namun berhatil-hatilah. Aku telah melihat kepandaiannya yang luar biasa!" lalu mengguguk dan meratap memeluk kaki pemuda itu kakek ini seakan berat dan tak mau meninggalkan Ituchi, menangis dan tersedu-sedu di situ.

Dan Ituchi tertegun. Dia teringat ibunya ini dan seolah baru diingatkan. Tadi pikirannya tertuju pada keselamatan suku bangsanya itu dan lupa pada yang lain-lain. Apalagi setelah nama Togura disebut-sebut, nama pemuda yang selalu membuat setiap orang bakal berdebar. Maklumlah, Togura adalah murid Enam Iblis Dunia, dan lebih-lebih lagi dia adalah keturunan mendiang Gurba, tokoh paling dahsyat di suku bangsa Tar-tar, suheng Kim-mou-eng yang sudah tewas itu. Namun ketika kakek itu berguncang-guncang di kakinya dan Thai Liong batuk-batuk tiba-tiba pemuda ini sadar dan berseru,

"Can-lopek, kalau begitu kami yang pergi. Hati-hatilah, dan doakan kami selamat!‖ dan begitu melepaskan diri dari pelukan si kakek tiba-tiba pemuda tinggi besar ini telah berkelebat, memberi tanda pada Thai Liong dan uang yang dipegang si kakek berkerincing jatuh. Kakek itu tertegun dan melongo. Tapi begitu dua bayangan pemuda itu lenyap dan bagai iblis saja mereka berdua itu sudah tak ada di depannya lagi tiba-tiba kakek ini menjerit dan bangkit berdiri,

"Pangeran, hati-hati. Awas kau celaka....!"

"Terima kasih," Ituchi ternyata masih dapat menjawab dari jauh, entah di mana. "Aku selalu ingat pesanmu, lopek. Tapi kaupun sebaiknya cepat pergi dari situ!" dan ketika si kakek mendelong dan sedih tapi bersinar-sinar maka Ituchi di sana sudah mengerahkan ilmu lari cepanya bersama Thai Liong.

"Bangsaku dalam bahaya. Ah, kita harus menyusul Togura, Thai Liong. Menghentikan sepak terjangnya dan menghadapi pemuda itu!"

"Ya, tapi jangan terburu-buru, Ituchi. Lawan yang kita hadapi bukanlah sembarangan, di sana ada kelima gurunya pula!"

"Aku tak takut!"

"Aku juga, namun kita tak boleh gegabah!" dan ketika Thai Liong memperingatkan temannya agar mengendalikan emosinya maka Ituchi mengangguk meskipun terbakar, memang tak dapat menahan marahnya setelah tadi mengetahui bahwa Togur menguasai dan mengajak suku bangsanya berperang, bukan suku bangsa pemuda itu sendiri melainkan suku bangsanya orang lain. Betapa licik dan culasnya! Dan ketika dia mengerahkan ilmu lari cepatnya dan terbang ke selatan maka Thai Liong sendiri diam-diam menekan debaran jantungnya.

Bukan main Togura itu, dan amat berani! Tapi karena dia sudah mengenal siapa pemuda itu dan bapaknya juga merupakan laki-laki pemberani dan gagah perkasa, sayang sesat, maka pemuda berambut keemasan inipun menarik napas panjang dan menekan ketidakenakan hatinya, melirik pada Ituchci dan melihat wajah temannya yang merah padam. Thai Liong tahu bahwa Ituchi marah sekali, marah karena Togura mempergunakan bangsa orang lain guna mencapai cita-citanya. Kalau ada korban tentu bukan pemuda itu yang rugi tapi kalau ada untung jelas Togur dan kelima gurunya itu yang menikmati!

Maka begitu maklum dan mengerti akan kemarahan temannya ini Thai Liong lalu berdiam diri dan berlari mengimbangi sahabatnya, terus ke selatan dan mereka berdua akhirnya sudah jauh meninggalkan Can-lopek, laki-laki tua itu. Dan ketika mereka sudah memasuki tembok besar dan sekali mengerahkan ginkang mereka berdua sudah melewati tembok yang tinggi dan melayang turun ke dalam maka Ituchi dan Thai Liong sudah siap memburu Togura!

* * * * * * * *

Dua gadis cantik melenggang di jalanan berbatu itu. Mereka bercakap-cakap dan terdengar sesekali suara tawa atau kekeh mereka itu, merdu dan renyah dan orang akan mengetahui bahwa dua gadis ini adalah orang-orang yang periang, mudah gembira dan agaknya gampang diajak bercakap-cakap, atau mungkin gampang pula diajak bersahabat.

Dan ketika hal itu diketahui oleh serombongan laki-laki yang sejak tadi saling pandang dan menyeringai di balik batu-batu besar, daerah yang akan dilewati dua gadis ini maka seorang di antaranya, yang merupakan seorang pemuda bertubuh kuat yang gagah namun matanya berminyak memberi aba-aba pada temannya, sembilan belas orang laki-laki lain untuk muncul ketika dua orang gadis itu lewat di depan mereka.

"Aih, nona-nona yang cantik! Ke mana kalian hendak pergi? Bagaimana berjalan berdua saja di tempat sesepi ini? Eih, berhenti, nona. Kalian memasuki daerah berbahaya di depan!" begitu pemuda gagah ini muncul memperlihatkan dirinya, berseru nyaring dan sembilan belas temannya yang lain berlompatan satu per satu.

Mereka tertawa-tawa dan membenarkan kata-kata pemuda itu, berkata bahwa daerah di depan berbahaya dan serentak mereka itu mengurung dan mengelilingi dua gadis ini, ada yang coba-coba memegang dan tentu saja dua gadis itu menghentikan percakapan mereka, terbelalak dan mundur mengipatkan lengan ketika tubuh mereka hendak dipegang-pegang. Seorang di antaranya membentak dan yang coba memegang terpelanting, mengaduh dan berdirilah dua orang gadis itu dengan mata bersinar-sinar, marah.

Tadi yang menggerakkan tangannya ini menampar seorang laki-laki yang coba mengusap pinggulnya, dikepret dan laki-laki itu berteriak karena tangannya bengkak, bertemu tamparan atau kelima jari si nona, gadis baju hitam yang ada di sebelah kiri. Dan ketika semua tawa atau godaan itu sirap oleh bentaksan dan suara mengaduh ini maka gadis baju hitam itu, yang berdiri di sebelah kiri temannya berseru marah, sikap ramahnya hilang terganti sikap yang galak dan dingin,

"Hentikan semua gaduh ini. Siapa kalian dan mau apa mengganggu kami!"

Eh, Li-kok terluka. Kulit tangannya terkelupas!" begitu jawaban ini menjawab bentakan atau seruan gadis itu.

Li-kok, laki-laki yang ditampar ternyata memang terluka, tangannya tidak hanya bengkak melainkan juga terkelupas kulitnya. Kepretan kelima jari tadi kiranya seperti gosokan seterika listrik, menyengat dan mengelupas kulit lengannya, mulai dari pergelangan sampai ke siku. Tentu saja laki-laki itu menjadi kesakitan, mengaduh-aduh. Namun ketika temannya yang lain menolong dan sudah membebat luka ini maka si pemuda gagah yang rupanya memimpin rombongan itu tertegun menghadapi dua orang gadis ini, terkejut tapi juga marah, di samping kagum.

"Kalian hebat, kalian kiranya bukan gadis-gadis lemah! Eh, kami baik-baik mau memberi tahu kalian agar tidak melanjutkan perjalanan, nona. Di depan sana berbahaya karena bangsa liar sedang menyerang. Kalian berhenti dan jangan ke sana!"

"Hm, kau siapa? Dan ada hak apa mencegah atau menyuruh orang lain berhenti? Kami tak perduli di depan ada setan, orang usil. Kami mau pergi ke mana saja kami suka. Kami tak takut pada bahaya atau bangsa liar!"

"Eh, kau sombong. Kalau begitu tak dapat diberi tahu baik-baik, tak tahu terima kasih!"

"Hm, kami tak perlu berterima kasih. Kalian tak memberikan apa-apa!"

"Eh, bukankah pemberitahuan kami ini adalah pemberian bagi kalian? Di depan ada bahaya, nona. Di sana bangsa liar sedang menyerang dan membunuh siapa saja. Kami hendak menyelamatkan kalian!"

"Benar, dan kalian harus berterima kasih, nona. Atau kalian akan ditangkap dan dipermainkan bangsa liar itu!"

"Dan daripada dipermainkan mereka lebih baik kalian bersama kami. Kami dapat melindungi dan menjaga kalian!"

"Dan kalian pasti senang. Kami orang-orang yang pandai menjaga wanita, nona. Termasuk kalian yang cantik-cantik ini. Ayo, berhenti saja dan ikut bersama kami, ha-ha...!"

Suara-suara atau tawa yang mulai kurang ajar kembali terdengar. Pembicaraan yang sambung-menyambung dan silih berganti itu tak pernah putus, dua gadis ini merah mukanya namun mereka masih menahan sabar, karena gadis baju hijau yang mau bergerak dan rupanya marah tiba-tiba ditahan temannya, dicekal. Dan ketika suara-suara itu berhenti akhirnya karena gadis baju hitam ini melotot pada mereka maka gadis ini berkata, suaranya ditekan,

"Kalian sebaiknya tak usah kurang ajar. Kami dapat menjaga diri, dan terima kasih kalau kalian benar-benar bermaksud baik. Nah, sekarang kami ingin melanjutkan perjalanan, kalian minggirlah dan beri kami jalan!"

"Kau masih nekat?"

"Kau mau apa?" gadis baju hitam ini memandang si pemuda di depannya, balas mengeluarkan kata-kata dingin. "Apakah kami tak boleh jalan?"

"Eh, aku Hui Liong bicara baik-baik, nona. Di depan ada bahaya dan sebaiknya kalian tunda perjalanan. Kalian pulang atau bersama saja dengan kami di sini!"

"Hm, apa maksudmu?"

"Ha-ha, maksudnya mengajak kalian bergembira, nona. Bersenang-senang, bercinta..."

"Plak!" orang itu tiba-tiba roboh, tersungkur dan menjerit ketika si gadis baju hijau berkelebat, cepat luar biasa dan yang lain pun terkejut. Mereka tadi melihat bayangan hijau menyambar dan tahu-tahu teman mereka itu menjerit, pecah mulutnya dan mengeluarkan darah. Gigi depannya rontok tiga buah. Bukan main! Dan ketika bayangan hijau itu sudah kembali di tempatnya sementara teman mereka mengaduh-aduh melingkar di tanah maka orang pun gempar dan tahu bahwa gadis-gadis ini kiranya merupakan gadis-gadis yang lihai!

"Dia melukai Bu-sing, merontokkan giginya!"

"Dan mulutnya pun ditampar pecah! Aih, kita tak boleh lagi bersabar, Hui Liong. Mereka ini gadis-gadis yang harus ditangkap!"

"Benar, dan kita telanjangi dia, Hui Liong. Ayo tangkap dan balas teman kita ini!"

Hui Liong, pemuda gagah bermata minyak itu terkejut. Dia tadi tersentak ketika si gadis baju hijau berkelebat, lewat di depannya dan tersungkurlah Bu-sing, laki-laki yang mengeluarkan kata-kata kotor itu. Dan ketika teriakan teman-temannya menuntut dan semuanya menghendaki gadis ini ditangkap maka Hui Liong, pemuda itu melangkah maju dan mukanya pun sudah merah membayangkan marah, di samping kagum dan heran.

"Nona, kau dengar permintaan teman-temanku. Kalian berdua sudah melukai dua orang di antara kami, sebaiknya kalian menyerah dan minta ampun!"

"Huh, minta ampun pada tikus-tikus busuk macam kalian? Heh, sebaiknya kalian yang harus minta maaf kepada kami, orang she Hui. Atau semua teman-temanmu ini kuhajar dan mereka pulang tinggal nama!"

"Sombong...!"

"Keparat!" dan orang-orang itu yang tentu saja marah dan gusar tiba-tiba menubruk dan yang ada di belakang gadis baju hijau ini mendadak menyerang, lengan mereka terulur dan mereka hendak menangkap pinggang langsing itu. Hui Liong berteriak agar teman-temannya tidak ceroboh. Namun karena dua orang itu sudah bergerak dan mereka tak dapat dicegah maka kejadian yang sudah diduga pemuda ini terjadi.

Si gadis baju hijau menjengek dan bergeraklah tangannya ke belakang, tanpa menoleh angin pun berkesiur dan dua orang itu berteriak kaget. Mereka tahu-tahu terbanting dan terlempar, lengan mereka patah-patah dan tentu saja yang lain-lain pun semakin gempar, kaget dan marah. Dan ketika dua orang itu merintih-rintih dan mengerang tak keruan maka belasan yang lain sudah mencabut senjatanya, bergerak tanpa dapat dicegah lagi dan Hui Liong pemuda di depan itu juga membentak.

Pemuda ini melihat sebentar saja empat orang anak buahnya sudah terkapar tak berdaya. Mereka tak dapat lagi menyerang dan gadis baju hijau diserbu, dibentak dan hujan senjata berkelebatan ke arah gadis ini. Tapi ketika gadis itu berseru keras dan menggerakkan tubuhnya tahu-tahu ia lenyap namun bayangan hijau sudah naik turun menyambar-nyambar belasan orang itu, termasuk Hui Liong.

"Awas... des-des-dess!"

Pekik dan jerit kesakitan terdengar susul-menyusul. Belasan orang itu terlempar dan Hui Liong sendiri mengaduh, mencelat dan bersama yang lain-lain pemuda ini mendapat tendangan. Gerakan bayangan hijau yang luar biasa cepat dan tak dapat diikuti mata itu ternyata telah mendahului mereka, pukulan dan tendangan mendarat tak kenal ampun. Belasan orang itu terpekik dansemua berpelantingan, kaki atau bagian tubuh yang terkena tendangan itu serasa dihantam palu godam, tujuh di antaranya tertekuk dan tak dapat bangkit lagi. Punggung mereka retak!

Dan ketika senjata juga terlempar ke sana ke mari dan tentu saja belasan orang itu terkejut dan gentar, gentar karena tak menyangka kelihaian si gadis baju hijau yang demikian luar biasa maka gadis itu sudah berhenti berkelebatan dan menginjak dada Hui Liong, si pemuda bermata minyak.

"Hayo kau suruh teman-temanmu mundur. Atau aku akan membunuhmu dan membunuh yang lain-lain ini.... ngek!"

Pemuda itu mengeluh. Diinjak dan ditekan seperti ini dia merasa tak dapat bernapas, lawan berapi-api memandangnya dan pemuda itu pun jerih. Tapi ketika dia belum menjawab dan seorang pembantunya terdekat melihat kesempatan dan meraih sebuah golok, yang kebetulan juga berada di dekat gadis baju hijau itu tiba-tiba orang ini sudah menggerakkan goloknya membabat kaki gadis itu.

"Plak-augh!"

Kejadian ini mendirikan bulu roma. Si gadis baju hijau yang diserang secara curang ternyata tahu, mendengus dan menggerakkan kakinya ke belakang. Dan ketika tanpa menoleh ia menendang golok itu yang kontan membalik ke arah tuannya maka golok mencelat dan menghunjam dada laki-laki itu, tembus dan berteriaklah penyerang curang ini dengan jeritan tinggi.

Dia tak menyangka dan darah pun menyembur, ancaman si gadis baju hijau telah menjadi kenyataan dan laki-laki itu roboh, telungkup dan akhirnya tewas. Dan ketika semua terbelalak dan pucat melihat kejadian itu, kelihaian gadis ini maka golok di dada laki-laki itu telah diungkit dan berpindah tangan ke tangan gadis baju hijau ini.

"Nah," gadis itu berkata dingin. "Siapa yang coba-coba main gila boleh lakukan kecurangan lagi, tikus-tikus busuk. Aku tak akan segan-segan menghabisi kalian kalau kalian menghendaki!‖ golok itu menodong leher pemuda she Hui ini, dicurigai sebagai orang yang memerintahkan kecurangan itu dan tentu saja pemuda ini pucat. Dia gemetar menyangkal dan berkata tidak, yang lain-lain juga ngeri dan terbelalak. Namun ketika gadis itu menekan ujung golok sehingga leher lawannya tergurat maka gadis baju hitam, yang sejak tadi menonton dan diam saja tiba-tiba berkelebat maju, menahan lengan temannya ini.

"Ling-moi, tahan. Jangan menumpahkan darah lagi!"

"Hm, aku tak akan menumpahkan darah," gadis baju hijau berkata. "Tapi aku tak dapat bersabar kalau ada di antara mereka ini yang coba-coba berbuat curang, enci. Siapapun yang coba melakukan itu tentu kukirim ke akherat!"

"Sudahlah," si gadis baju hitam berkata, ternyata sang enci. "Mereka semua tak mungkin berani melakukan itu lagi, Ling-moi. Buang golokmu dan kita pergi!"

"Tidak, aku minta agar kunyuk-kunyuk ini minta ampun dahulu, atau aku akan membabat telinga mereka satu per satu!"

"Ampun....!" suara itu tiba-tiba terdengar serentak. "Kami minta ampun, nona. Kami tak tahu dengan siapa kami berhadapan dan kami mengaku bersalah!"

"Hm, hanya begitu saja?" gadis ini menjengek. "Begitu enak? Tidak, kalian harus mencium sepatu kami, tikus-tikus busuk. Dan baru setelah itu boleh diampuni. Dan kau yang harus mulai dulu!" gadis baju hijau menendang Hui Liong, pemuda bermata minyak itu yang seketika merintih dan mengeluh, berdebuk di atas tanah tapi pemuda itu mengangguk-angguk.

Dan ketika temannya yang lain juga mengangguk-angguk dan serentak terseok maju, yang patah-patah lengannya menyeret tubuh mereka maka satu per satu orang-orang itu telah minta ampun sambil mencium sepatu si gadis baju hijau ini, bahkan ada yang menjilatinya dan gadis itu mendupak mereka agar melakukan hal yang sama pada encinya, si gadis baju hitam. Dan ketika semua orang melakukan itu dan gadis ini tersenyum mengejek maka dia berseru,

"Nah, sekarang kalian telah mendapat pelajaran, kunyuk-kunyuk busuk. Kalau lain kali kalian bertemu kami lagi dan tidak tahu sopan tentu kalian akan kubunuh. Jangan kurang ajar kepada wanita!" dan begitu menggerakkan kakinya ke kiri tiba-tiba gadis ini telah lenyap, berkelebat entah ke mana dan belasan orang itu pun bengong karena si gadis baju hitam ternyata lebih dulu tak ada di situ.

Gadis baju hijau ini kiranya menyusul dan akhirnya tampak bayangan di kejauhan sana, hijau dan hitam. Namun ketika bayangan itu lenyap dan orang-orang ini mengeluh dan terguling dengan lemas maka Hui Liong, pemuda yang menjadi pemimpin itu telah pingsan karena tadi telah ditampar kepalanya!

"Nah, sekarang aku lega," gadis baju hijau berkata disana, jauh dan sudah bergandengan tangan dengan si gadis baju hitam, encinya. "Tikus-tikus busuk itu kalau tidak dihajar tak kenal sopan, enci. Sebenarnya aku masih ingin membuntungi telinga mereka untuk pelajaran seumur hidup. Sayang, kau mencegah dan aku harus menahan diri. Kalau tidak, hmm.... tentu mereka menjadi kelinci cacad yang putus sebelah telinganya!"

"Sudahlah," sang enci tampak tak senang. "Mereka itu pengganggu-pengganggu murahan, Ling-moi. Tugas kita sebenarnya bukan menghajar orang-orang macam begitu melainkan jahanam-jahanam bangsa liar itu, didepan!"

"Dan kita memang ke sana," gadis baju hijau ini menggeget. "Kita pasti menghajar mereka itu pula, enci. Dan aku ingin tahu seberapa lihai pemuda bernama Togura itu!"

"Hm, hati-hati. Jangan kau gegabah. Dia murid enam Iblis Dunia, Ling-moi. Nama ini sudah cukup menyuruh kita untuk tidak ceroboh atau tugas kita sia-sia. Ayah tak bisa mati meram!"

"Aku tahu," dan mereka yang akhirnya terbang dan bergerak mengerahkan ilmu lari cepat tiba-tiba meluncur dan berendeng ke barat, membelok ke utara dan akhirnya dua gadis itu menghilang di balik bukit. Dan ketika jauh di belakang orang-orang yang dihajar gadis baju hijau merintih dan mengerang tak keruan maka dua gadis yang ternyata enci adik itu sudah mendatangi atau justeru memapak pasukan bangsa liar yang dipimpin Togura.

Dari pembicaraan sejenak tadi dapat disimpulkan bahwa justeru mereka ini sengaja mendatangi pasukan besar itu, hanya berdua, tanpa kawan atau teman. Dan karena ini jelas menunjukkan betapa berani dan gagahnya dua gadis itu maka orang tentu ingin tahu siapa mereka itu sebenarnya!

* * * * * * * *

"Nah, berhenti," gadis baju hitam akhirnya menahan lengan adiknya. "Pasukan itu sudah kelihatan, Ling-moi. Kita berhenti dulu di sini melihat keadaan!"

"Tapi aku ingin masuk," gadis baju hijau bersinar-sinar. "Kita dapat segera menyerang dan menghajar mereka, enci. Aku sudah tak sabar!"

"Jangan, nanti dulu!" dan sang kakak yang menahan serta mencekal lengan adiknya lalu memberi tanda agar adiknya berhati-hati. "Kita akan memasuki sarang harimau. Kita tak tahu bagaimana keadaan di dalam sana. Sebaiknya kita tunggu malam tiba, Ling-moi. Baru setelah itu masuk!"

"Menunggu malam?" sang adik terbelalak. "Ah, terlalu lama, enci. Aku tak tahan. Kematian ayah selalu membayang di pelupuk mataku!"

"Tidak, jangan gegabah, Ling-moi. Kau harus turut kata-kataku atau aku akan marah padamu!"

"Hm, baiklah... baiklah...!" dan gadis baju hijau yang membanting tubuhnya di atas rumput lalu mendengar kakaknya menahan isak begitu dia menyebut-nyebut nama ayahnya, berapi-api memandang ke depan tapi akhirnya duduk mengambil buntalan, membukanya dan menarik napas dua kali sebelum mengeluarkan isi buntalan itu, roti kering dan air jernih, yang ditaruh dalam sebuah botol besar.

Dan ketika gadis baju hitam itu duduk menatap jauh dan kegembiraan suasana yang semula ada tiba-tiba buyar dan hancur oleh pengalaman pahit di belakang maka gadis ini menangis dan akhirnya menggigit bibirnya. "Ling-moi, kita harus membalas kematian ayah. Kita dapatkan pemuda siluman itu dan kelima gurunya!"

"Ya, dan aku tak mau sudah kalau belum merobohkan pemuda itu, enci. Aku siap mati dan siap membela ayah!"

"Tapi kita harus berhati-hati. Ah, sudahlah, kau tahu itu dan mari kita isi perut dulu," gadis baju hitam menjumput rotinya, membaginya dua untuk sang adik dan gadis baju hijau itu menerima.

Dan ketika air juga dituangkan dalam gelas kecil dan dua enci adik ini sudah menangsel perut mereka dengan roti sederhana dan air pembasah kerongkongan maka mereka pun akhirnya memandang ke depan ke tempat pasukan besar itu, musuh yang sudah bulat akan mereka serbu dan tinggal menunggu waktu saja. Agaknya mereka tak akan bergerak di siang hari itu, cukup berhati-hati juga dan menyadari kekuatan lawan. Dan ketika kegembiraan mereka lenyap terganti oleh pandangan berapi dan mata yang menyala-nyala penuh dendam maka dua enci adik itu menghabiskan waktu di semak gerumbul.

Siapakah mereka? Dari mana berasal? Bukan lain adalah puteri-puteri Bu-ciangkun, panglima tinggi besar yang gagah dari kota raja itu, yang tewas dan akhirnya bertemu Kim-mou-eng sebelum ajal. Inilah dua puterinya di mana yang tertua bernama Bu Mei Hoa, si gadis berbaju hitam itu. Dan karena Bu-ciangkun ini mempunyai dua anak perempuan di mana si gadis baju hijau itu adalah adik Mei Hoa maka gadis yang telah menghajar belasan laki-laki di tengah jalan tadi adalah Mei Ling.

Kakak beradik ini akhirnya mendengar tewasnya ayah mereka, ketika menjalankan tugas. Dan ketika tentu saja kematian ayah mereka itu amat memukul perasaan dan mereka menjadi marah maka Mei Hoa dan Mei Ling meninggalkan kota raja, tak menghiraukan nasihat sahabat-sahabat ayah mereka yang berniat mencegah kemauan enci adik ini, berkata agar mereka menunda dulu maksud itu karena kota raja juga akan menyambut serbuan bangsa liar ini, diajak bersama-sama menghadapi musuh-musuh mereka namun Mei Ling dan kakaknya tak mau.

Mereka ingin melampiaskan marah dan dendam sendirian, berdua tanpa teman, maksud yang tentu saja harus ditunjang oleh sebuah keberanian besar. Dan ketika tiga hari lalu mereka meninggalkan kota raja untuk mencari musuh besar mereka, orang yang telah membunuh ayah mereka maka di tengah perjalanan mereka mencoba mengusir kedukaan dengan bercakap-cakap, melihat bunga warna-warni dan pemandangan indah di sepanjang jalan, hal yang sejenak melupakan kedukaan mereka, sedikit terhibur dan berguraulah mereka sejenak melupakan kematian sang ayah, karena sesungguhnya Mei Hoa dan Mei Ling ini adalah gadis-gadis yang periang.

Namun begitu gangguan pertama datang berupa laki-laki kurang ajar yang mengganggu mereka tadi mendadak saja kegembiraan mereka lenyap. Mei Ling menghajar mereka dan sebagai puteri Bu-ciangkun tentu saja dia dapat merobohkan lawan-lawannya itu. Dengan mudah gadis ini melepas kenangan yang seumur hidup tak bakalan orang-orang itu lupa lagi, apalagi setelah yang seorang dibunuh akibat kecurangannya sendiri, menendang golok yang menyambar di belakang di mana seketika senjata itu mencelat dan mengenai pemiliknya, roboh dan tersungkur mandi darah, tewas.

Dan ketika kegembiraan itu lenyap dan kini mereka sudah berada di depan musuh yang dicari-cari maka Mei Ling dan kakaknya tak dapat bergurau lagi, duduk tepekur dan Mei Hoa segera menerangkan pada adiknya apa yang akan mereka lakukan malam nanti, setelah matahari terbenam. Dan ketika Mei Ling mengangguk-angguk dan percakapan menjadi serius karena malam nanti mereka akan melepas dendam maka Mei Hoa berulang-ulang memperingatkan adiknya agar tidak gegabah.

"Kau tahu," sang kakak berkata. "Pemuda itu dikabarkan lihai, Ling-moi. Katanya bahkan lebih lihai daripada kelima gurunya sendiri. Kita harus berhati-hati, kalau bisa malam nanti mencari musuh kita ini dan menyerangnya di tempat sepi!"

"Aku tahu," sang adik menjawab. "Dan aku selalu ingat nasihatmu, enci. Dan kalau dia bersama guru-gurunya pun aku tak takut menghadapi!"

"Bukan takut atau tidak," sang kakak memberi tahu. "Melainkan semata agar maksud kita tidak gagal, Ling-moi. Kita sendiri tak perlu takut namun kabar tentang kelihaian pemuda itu harus kita perhitungkan baik-baik!"

"Dan aku siap mati kalau gagal!" Mei Ling berkata gagah. "Aku siap dibunuh atau membunuh, enci. Malam nanti kita harus mengerahkan segenap kemaampuan kita dan bertarung mati-matian!"

"Ya, tapi sebelumnya timbulkan dulu kekacauan di sana," Mei Hoa mengangguk. "Kita cari perbekalan makanan mereka, Ling-moi. Dan timbulkan kebakaran besar di mana-mana. Kalau kita gagal membunuh pemuda itu setidak-tidaknya kita telah mengacau ransum pasukannya agar mereka kelaparan!"

"Dan pasukan Ting-ciangkun mungkin bisa berlega sedikit. Ah, aku sependapat. Memang kita kacau dulu perbekalan pasukan itu sebelum kita mencari Togura dan gurunya!"

"Benar, tapi sekali lagi berhati-hatilah, Ling-moi. Kita dengar pemuda ini kejam dan suka menyiksa lawannya, terutama wanita. Kalau kita tertangkap dan kau diganggunya jangan lupa pesanku itu."

"Hm, aku selalu membawa Pil Iblis ini, enci. Kalau dia berani mengganggu atau memperkosaku maka sebelumnya aku sudah menjadi mayat. Pemuda itu tak dapat menggagahiku!" Mei Ling mengeluarkan sebutir pil hitam, sebesar kelereng dan encinya mengangguk-angguk.

Pil itu adalah pil maut dan sang kakak pun juga mengeluarkan benda yang sama, pil hitam yang akan mengantar nyawa mereka ke akherat, kalau tugas mereka gagal. Dan ketika mereka saling pandang dan sang kakak akhirnya terisak kecil tiba-tiba Mei Hoa memeluk dan mencium kening adiknya.

"Ling-moi, kita sehidup semati. Demi membalas kematian ayah kita tak perlu kita ragu. Tapi, ah... aku sebenarnya tak ingin kau mati muda!"

"Kenapa, enci?"

"Hm, aku ingin kau mendapatkan jodoh yang baik, Ling-moi, meneruskan generasi kita dan hidup bahagia bersama suamimu. Aku tak ingin keluarga Bu sama sekali musnah!"

"Ah, tak usah kau bicara seperti itu, enci. Aku tak ingin berumah tangga kalau kau tak ada!"

"Tapi Ting Han...."

"Hm, kenapa bicara ini lagi?" Mei Ling tiba-tiba merah mukanya, memotong. "Aku tak suka membicarakan pemuda itu, enci. Kita sekarang sedang bertugas membalaskan kematian ayah, aku tak ingin bicara tentang yang lain!"

"Tapi dia amat mencintaimu!" sang kakak memprotes. "Dan kaupun tampaknya menaruh perhatian, Ling-moi. Kalau saja tak ada urusan ini kau tentu dapat berpacaran!"

"Ah!" dan sang adik yang tersipu merah tiba-tiba melengos dan tidak mau menjawab kakaknya ini, bangkit berdiri dan Mei Ling berkelebat ke sebuah hutan kecil, kembali dan sudah menenteng seekor kelinci gemuk yang tadi disambitnya dari jauh, kena dan gadis itu sudah duduk lagi menguliti binatang ini, yang sudah dibunuhnya. Dan ketika Mei Ling membuat api unggun dan minta agar kakaknya memanggang kelinci itu maka Mei Hoa tersenyum dan bangkit memeluk adiknya ini, dari belakang.

"Ling-moi, kau tak marah akan kata-kataku ini, bukan? Kau tak menyimpannya di hati?"

"Sudahlah, aku tak apa-apa, enci. Hanya untuk saat ini aku tak suka membicarakan Ting Han. Aku ingin membalas kematian ayah, dan aku tak suka bicara yang lain selain itu!"

"Baiklah, aku tahu, Ling-moi. Dan mari kupanggang kelinci itu," sang kakak sudah mengambil alih bagiannya, memanggang kelinci buruan dan akhirnya mereka pun bercakap-cakap yang lain.

Mei Hoa diam-diam menarik napas karena dia tahu bahwa adiknya ini sebenarnya menyambut cinta Ting Han, putera Ting-ciangkun. Namun karena mereka ada masalah pribadi dan kematian ayah mereka mungkin saja dibayar dengan jiwa sendiri kalau mereka gagal maka Mei Hoa tahu bahwa adiknya ini sebenarnya tak berani mengecewakan Ting Han, pemuda yang gagah dan sudah diketahui jatuh hati pada adiknya ini. Tak mau kalau kelak Ting Han gigit jari bila Mei Ling terpaksa tewas, dalam menuntut balas kematian ayahnya ini.

Dan ketika mereka duduk kembali dan sudah menikmati kelinci panggang itu maka percakapan kembali pada Togura, apa yang harus dilakukan nanti malam karena matahari pun kian condong ke barat. Beberapa jam lagi mereka akan memulai pekerjaan mereka dan itu pun tak perlu lama ditunggu. Dan ketika saat yang dinanti tiba dan malam pun mulai menyelimuti bumi maka Mei Hoa dan adiknya bergegas bangkit berdiri, tiba-tiba mencabut pedang dan membuang sisa-sisa makanan.

"Awas, sekali lagi berhati-hati, Ling-moi. Ingat pesanku dan jangan bertindak gegabah!"

"Aku tahu. Dan mari berangkat, enci. Aku sudah tak sabar dan ingin memenggal kepala pemuda itu!"

"Hm!" dan sang enci yang mengangguk dan sudah berkelebat menyambar tangan adiknya lalu melesat dan menuju ke benteng musuh di depan, melihat lampu-lampu yang mulai berkelap-kelip di sana dan enci adik ini sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka mendekati sarang musuh. Empat jam mengatur rencana dan duduk bercakap-cakap telah membuat masing-masing tahu apa yang harus dilakukan nanti. Maka begitu tembok kota sudah semakin dekat di depan mata dan mereka berjungkir balik maka puteri-puteri Bu-ciangkun ini m,elayang dan terus meluncur ke dalam tembok.

"Hei!"

Seruan atau bentakan itu cepat terbungkam. Mei Hoa dengan cepat telah menyambitkan sebatang jarum, menancap dan tepat sekali menghentikan teriakan ini, si penjaga yang kiranya melihat gerakan mereka. Dan begitu penjaga roboh dan mereka sudah melayang turun di dalam, dengan ringan dan enteng maka Mei Hoa memberi isyarat pada adiknya agar semakin berhati-hati.

"Kita berpencar, kau ke kiri aku ke kanan. Tapi jangan jauh-jauh, kita menuju bangunan merah itu!"

"Tapi di sana ada dua penjaga lagi, enci. Sebaiknya kita menangkap mereka dan mencari tahu di mana lumbung makanan atau para pemimpin mereka!"

"Baik, awas...!" dan sang enci yang sudah melihat penjaga yang dimaksud dan bergerak menyambitkan jarumnya tiba-tiba hampir sama cepat dengan sang adik sudah merobohkan pengawal atau penjaga ini, yang rupanya mendengar teriakan tertahan temannya yang roboh, celingukan namun mereka pun juga roboh. Dan ketika dua gadis itu berkelebat dan masing-masing sudah menangkap seorang penjaga dan menotok urat gagu mereka maka Mei Ling mengancam dengan bisikannya yang dingin,

"Di mana Togura. Apa yang dilakukan pemuda setan itu dan di mana pula kelima gurunya?"

"Dan kau!" Mei Hoa juga membentak, perlahan. "Di mana lumbung perbekalan, penjaga. Cepat beri tahu atau pedangku menabas putus kepalamu!"

Dua penjaga itu menggigil. "Si... siapa kalian?"

"Tak perlu tahu. Pokoknya jawab pertanyaan kami dan cepat sebelum kami membunuh kalian berdua!"

"Pemimpin... pemimpin ada di tengah-tengah, bersama gurunya...!"

"Dan ransum makanan di bangunan merah itu. Aduh, lepaskan aku, nona. Ampun....!" penjaga satunya juga segera menjawab, dibebaskan totokannya sejenak tapi bawah lehernya dijepit kuat. Dia hampir tak dapat bicara kalau gadis-gadis itu tak melonggarkan sedikit jari-jari tangannya. Dan ketika jawaban itu sudah didapat namun tentu saja dua kakak beradik ini tak gampang percaya maka Mei Hoa menampar kepala tawanannya sementara Mei Ling menendang dan membanting pengawal satunya, yang roboh terbanting dan pingsan.

"Kita telah mendapat tahu. Tapi hati-hati, siapa tahu mereka bohong!"

"Ya, dan aku ke tengah-tengah, enci. Kau ke bangunan merah itu tapi kita tetap tidak terlalu jauh!"

"Baik!" dan Mei Hoa yang berkelebat serta lenyap ke kanan lalu disusul adiknya yang berkelebat dan lenyap pula ke kiri, menuju pada sasaran masing-masing dan untuk sejenak mereka berpisah. Hal itu memang telah diatur agar masing-masing dapat bekerja. Dan ketika Mei Ling menghilang ke tengah-tengah sementara Mei Hoa sudah ke bangunan merah yang dicurigai maka tak lama kemudian timbul kebakaran besar di bangunan merah itu, yang ternyata gudang makanan adanya, benar.

"Kebakaran kebakaran!"

Penjaga dan pengawal berteriak kaget. Perbuatan Mei Hoa ini telah memancing keributan dan orang pun gaduh. Dari mana-mana muncul para pengawal yang terbelalak marah, ransum itu adalah makanan mereka di mana kalau habis terbakar mereka bisa mati kelaparan. Maka begitu semua berlarian dan berteriak menyambar air maka berkelebatlah sesosok bayangan tinggi kurus yang tertegun sejenak.

"Heh, dari mana api berasal? Siapa yang melakukan ini?"

"Tak tahu. Kami baru saja melihat kebakaran ini, locianpwe. Dan api tahu-tahu sudah menyala di tengah gudang!"

"Kalau begitu kalian minggir. Biar kupadamkan!" dan bayangan tinggi kurus ini yang bergerak melepas bajunya tiba-tiba menghilang dan sudah mengebut bajunya itu, lenyap di tengah-tengah api dan heran serta ajaib api padam bertemu hembusan angin kuat. Begitu kuatnya hingga para pengawal atau orang-orang yang ada di luar terpelanting, kaget dan berteriak terlempar oleh hembusan angin itu. Dan ketika api padam sebelum diguyur air seember pun maka bayangan tinggi kurus ini, yang bukan lain Cam-kong adanya, sudah berkelebat keluar dan memakai bajunya kembali, membuat penonton atau pengawal bengong!

"Heh, yang menjaga gudang harap ke markas. Terima hukuman untuk kebodohan ini!"

"Tapi.... tapi....."

"Kebakaran! Hei, itu lagi...!" dan seruan ini yang melenyapkan kegembiraan dan kekaguman semua orang tiba-tiba sudah disusul oleh berkobarnya api di tempat lain, mula-mula di kanan tapi akhirnya di kiri dan muka belakang. Di empat penjuru tiba-tiba api berkobar dengan cepat.

Cam-kong tertegun dan segera matanya bersinar-sinar. Kalau begitu ini perbuatan orang, musuh! Dan karena hal ini biasa maka Cam-kong melengking dan lenyaplah iblis itu memberi tahu teman-temannya yang lain, Siauw-jin dan nenek Naga atau Ji-moi serta Toa-ci itu.

"Wut-wut!"

Beberapa bayangan berkelebatan cepat. Seperti siluman di tengah-tengah paniknya kebakaran dan keributan banyak orang tiba-tiba saja empat bayangan cebol dan nenek-nenek iblis berkesiur di empat penjuru. Kentongan tanda bahaya dipukul dan ramailah teriakan orang akan kebakaran. Tapi ketika bentakan-bentakan terdengar di sana-sini dan kebutan atau tiupan mulut menghembus ke arah kebakaran yang berkobar tiba-tiba saja api padam dan orang pun bengong, takjub.

"Wush-wushh!"

Siauw-jin dan teman-temannya melakukan seperti apa yang dilakukan Cam-kong. Mereka memadamkan kobaran api dengan cara masing-masing, semua mempergunakan kesaktian mereka dan Siauwjin si cebol yang hebat itu bergelindingan di tanah, memadamkan api dengan tubuhnya yang bulat dan aneh serta luar biasa api atau kobaran api yang dilewati tubuh si cebol ini langsung padam. Dan ketika iblis itu meloncat bangun dan berjungkir balik tertawa-tawa maka di sana nenek Naga maupun Toa-ci atau Ji-moi mengebutkan lengannya sementara Ji-moi mengebutkan lengannya sementara Ji-moi meniupkan mulut menghembus padam semua api di empat penjuru, hanya sekejap mata!

"Keparat! Jahanam busuk!" nenek Naga mengumpat caci. "Perbuatan siapa ini gerangan? Siluman dari mana berani membuat kebakaran?"

"Ha-ha, tak perlu marah. Ini tentu perbuatan musuh, nenek bau. Hayo tanya Cam-kong karena dialah yang lebih dulu keluar!" Siauw-jin tertawa, mulut berseru namun iblis ini sudah melesat ke kiri, ke tempat di mana Cam-kong berdiri. Dan ketika iblis itu berjungkir balik dan sudah turun di depan rekannya ini maka Cam-kong menggeleng dan meliarkan matanya ke sekeliling tempat itu.

"Aku tak tahu," iblis tinggi kurus ini berkata. "Aku di depan setelah api membakar gudang makanan, Siauw-jin. Siapa yang berbuat aku tak tahu tapi jangan-jangan Kim-mou-eng!"

"Weh, tak mungkin!" iblis cebol tampak gentar. "Pendekar Rambut Emas tak pernah muncul lagi, Cam-kong. Ini tentu perbuatan orang lain karena Kim-mou-eng tak perlu melakukan ini kalau ingin mencari kita!"

"Benar!" nenek Naga berkelebat menimpali. "Kalau Kim-mou-eng tak perlu melakukan semuanya ini, Cam-kong. Pendekar Rambut Emas dapat langsung mencari kita dan berhadapan. Aku menduga ini perbuatan bocah-bocah ingusan!"

"Dan Togur tak keluar!" Toa-ci berkelebat di samping nenek Naga. "Ada apa bocah itu tak menampakkan diri? Memangnya dia tak tahu?"

"Ha-ha!" suara tawa bergelak terdengar di dalam gedung. "Aku di sini menghadapi dua nona yang cantik-cantik, subo. Merekalah yang melakukan kebakaran itu dan kini menemui aku! Hayo, kalian ke sini... duk-plak!"

Dan jeritan serta teriakan kaget yang disusul terbanting dan terlemparnya tubuh sudah membuat lima iblis itu tertegun, mendengar tawa muridnya dan para pengawal atau penjaga segera melihat dua bayangan berkelebatan cepat di dalam, menyerang tapi terpelanting ketika bertemu lengan Togura, pemuda yang menjadi Raja Muda di situ. Dan ketika semua orang berlarian menuju ke sini tapi lima iblis itu mendengus dan sudah lenyap mendahului semua orang maka terlihatlah dua gadis cantik menerjang dan marah sekali menyerang pemuda tinggi besar itu.

"Togur, kau jahanam keparat. Kami datang memang untuk membunuhmu!"

"Benar, atau kau membunuh kami, pemuda siluman. Kami datang untuk mengadu jiwa...duk-plak!" dan dua pedang yang ditangkis pemuda itu dan terpental ke atas akhirnya membuat Siauw-jin dan teman-temannya tertawa, melihat bahwa kepandaian dua gadis itu ternyata tak seberapa dibanding mereka.

Tentu saja sekali lihat segera mengetahui bahwa dua gadis itu tak selihai atau sehebat Kim Soat Eng umpamanya, atau Thai Liong, putera-puteri Pendekar Rambut Emas yang gagah dan memang hebat. Maka begitu mereka mengetahui bahwa pengacau liar ini kiranya dua orang gadis yang tak seberapa kepandaiannya tapi harus diakui memiliki keberanian yang amat besar maka Siauw-jin terkekeh-kekeh melepas kekagumannya.

"Heh-heh, kukira siapa, tak tahunya dua kupu betina yang berani namun tolol! Heh, serahkan pasa pasukanmu saja, Togur, jangan layani sendiri dan bekuk mereka berdua itu. Atau kau mundur dan biar kutangkap mereka!"

"Tidak," Togur tertawa. "Mereka datang sengaja mencari aku, suhu. Mereka ternyata puteri-puteri Bu-ciangkun. Aih, teringat aku sekarang. Memang Bu-ciangkun itu pemberani dan keberaniannya itu menurun pada puteri-puterinya ini. Ha-ha, kau mundurlah dan biar kupermainkan mereka.... plak-plak!"

Togur menangkis pedang yang membacok dari kiri, diayun oleh Mei Ling dan tentu saja dengan gampang dia mementalkan pedang itu ke atas. Pemiliknya menjerit dan pedang hampir saja terlepas. Dan ketika Mei Hoa berteriak marah dan berseru keras menusuk tenggorokan pemuda itu maka Togur membiarkan tenggorokannya ditusuk dan pemuda itu mengerahkan kekebalannya.

"Takk!" pedang melengkung bengkok! Mei Hoa terpekik dan gadis itu terhuyung, melihat para pengawal dan pasukan yang berdatangan memasuki gedung, berteriak-teriak dan bersorak mengejek mereka, yang dipermainkan Togura. Dan ketika pedang kembali dluruskan dan adiknya sudah menyerang lagi di sana maka Togura membentak menyuruh pasukannya mundur.

"Hei, kalian manusia-manusia tolol. Jangan masuk dan tetap berjaga di luar. Siapa tahu gadis-gadis ini membawa temannya!"

Siauw-jin terkejut. "Benar," iblis cebol itu teringat. "Kalian berjaga seperti biasa, tikus-tikus busuk. Tak perlu di sini dan tetap di luar sana!"

"Dan kau meronda sekilas," Togura berseru pada nenek Toa-ci. "Lihat apakah ada pengacau lain selain dua gadis ini, subo. Beri tanda bila ada sesuatu yang mencurigakan!"

"Hm!" nenek itu berkelebat, mengomel. "Siauw-jin dan Cam-kong perlu juga kau perintah, Togur. Jangan aku saja!"

"Baik!" Togur tertawa. "Kau juga, suhu. Maaf kalian pergi sebentar dan setelah itu kembali ke sini kalau benar-benar aman!"

"Huh!" si cebol menggerutu. "Kau nenek sialan, Toa-ci. Selalu tak mau sendirian kalau diperintah!" tapi berkelebat dan menuruti perintah muridnya kakek ini lenyap dan sudah keluar gedung, disusul Cam-kong yang tidak mengomel namun mulutnya meludah.

Empat orang pengawal roboh menjerit ketika ludah kakek tinggi kurus itu mengenai muka mereka, bolong dan tentu saja mereka bergulingan menjerit-jerit. Itulah tanda pelampiasan marah kakek ini, yang sebenarnya sama saja dengan Siauw-jin. Dan ketika tiga orang itu keluar melihat keadaan sementara nenek Naga dan Ji-moi menjaga di situ, hal yang memang disengaja Togur kalau-kalau ada musuh lihai seperti Kim-mou-eng maka Mei Ling dan kakaknya mengeluh terhuyung-huyung menghadapi lawannya ini, akhirnya menusuk dan membacok namun tiba-tiba Togur berseru keras. Pemuda itu menangkap dan terjepitlah pedang di antara dua jari telunjuk dan tengahnya. Dan ketika pemuda itu tertawa dan menarik tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi dua gadis ini terjelungup ke depan dan roboh ke pelukan Togura.

"Ngok-ngok!"

Togura terbahak memberikan ciumannya. Pemuda itu sudah menerima keduanya dan tentu saja Mei Ling maupun kakaknya kaget, mereka berteriak namun tiba-tiba lawan menggerakkan jarinya. Dan ketika sebuah totokan lihai mendahului mereka dan pundak mereka tertotok maka dua enci adik ini roboh dan langsung diciumi Togura.

"Ha-ha, manis, subo. Manis sekali. Aih mereka boleh menjadi kekasih-kekasihku!" pemuda itu memeluk keduanya, mencium sana dan tertawa mempermainkan sini dan Mei Hoa maupun adiknya pucat. Mereka tak menyangka bahwa lawan sedemikian lihainya, demikian hebat hingga mereka roboh dengan begitu mudah, padahal kelima guru pemuda itu tak bergerak dan pasukan di luar gedung juga digebah pergi!

Dan ketika dua kakak beradik itu mengeluh di pelukan Togura dan pemuda ini menciumi tapi akhirnya melepaskan tangkapannya maka pemuda itu berseru melempar dua enci adik ini, pada gurunya, "Subo, bawa mereka ke kamarku. Aku merasa ada sesuatu yang kurang beres di luar!" lalu berkelebat dan lenyap meninggalkan dua gadis itu pemuda ini sudah menghilang di luar, menangkap sesuatu yang tidak wajar dan nenek Naga yang menerima kakak beradik ini mengerutkan keningnya. Dia juga merasa sesuatu yang tidak beres dan mencengkeram Mei Ling serta kakaknya. Lalu membawa dua kakak beradik itu ke kamar Togura nenek ini berkata pada rekannya,

"Ji-moi, sebaiknya kita pun melihat keluar. Aku juga menangkap sesuatu yang mencurigakan!"

"Baik, aku juga merasakan begitu!" dan nenek Ji-moi yang berkelebat dan lenyap meninggalkan ruangan lalu menghilang dan menyumpah dalam hati, merasakan ada sesuatu yang tidak beres pula dan nenek ini mencari teman-temannya. Dan ketika nenek Naga akhirnya berkelebat pula setelah meletakkan enci adik itu di kamar muridnya maka Mei Ling dan kakaknya menangis.

"Jahanam, kita gagal, enci. Dan kita tak dapat menelan Pil Maut!"

"Benar, dan kita sungguh ceroboh, Ling-moi. Togura sungguh lihai dan kita bukan apa-apa baginya!"

"Dan apa yang kita lakukan?"

"Apa lagi?" kakaknya mengeluh. "Kita tak dapat berbuat apa-apa, Ling-moi. Kita telah berada di bahwa kekuasaan pemuda itu!"

"Hm, dan dia menaruh kita di kamarnya!" Mei Ling pucat. "Apa yang akan dia lakukan, enci? Apakah kita...."

"Tentu! Pemuda itu akan mempermainkan dan menghina kita, Ling-moi. Kita.... kita.... ah, kita benar-benar malang!" dan Mei Hoa yang menangis serta merasa tidak berdaya tiba-tiba mengguguk dan ngeri akan apa yang bakal dilakukan Togura, takut membayangkan ini dan gelisahlah gadis cantik itu. Tapi ketika dia menangis dan merasa putus harapan mendadak terdengar suara disusul bisikan lembut,

"Ssst, jangan khawatir, Mei Hoa. Aku datang menolong!"

Mei Hoa tertegun. Dari balik lemari tiba-tiba muncul seorang pemuda, merangkak dari bawah. Dan ketika Mei Ling juga tertegun dan memandang pemuda itu maka hampir berbareng dua enci adik ini berseru,

Ting Han!"

"Sst," pemuda itu menaruh jari telunjuknya di bibir. "Jangan berteriak, Mei Hoa. Nanti kita ketahuan. Tenanglah, aku akan membebaskan kalian dan pasti selamat!" lalu meloncat dan keluar dari balik lemari pemuda yang cakap dan gagah namun bertubuh agak kurus ini sudah menghampiri Mei Hoa, membebaskan totokan gadis itu namun gagal. Dan ketika dia mencoba pada Mei Ling dan juga tidak berhasil maka pemuda ini pucat. "Celaka, kepandaianku terlalu rendah. Ah, aku tak dapat membuka totokan kalian, Mei Hoa. Aku gagal!"

"Tak apa," Mei Hoa masih bersikap tenang, meskipun dada berdebaran cepat. "Kau bawa saja kami dari sini, Ting Han. Keluarkan kami dan bawa kami berdua!"

"Dengan cara apa?"

"Pondong!"

"Hah?"

"Ya, pondong kami di atas pundakmu, Ting Han. Tak usah bertanya lagi dan jangan sungkan-sungkan. Ini keadaan darurat, atau kami tetap di sini dan kau pun salah-salah tertangkap!"

"Ah, baik!" dan Ting Han yang terkejut tapi sudah menyambar dua orang gadis itu lalu berseru dan meminta maaf, berkelebat keluar dan mulailah pemuda ini menyelamatkan puteri-puteri Bu-ciangkun itu. Ting Han harus berkali-kali menyelinap atau menyembunyikan diri kalau bertemu pengawal, dag-dig-dug dan Mei Hoa serta adiknya pun tak kalah tegang.

Sebenarnya mereka ingin bertanya bagaimana pemuda itu tahu-tahu ada di balik lemari, di kamar Togura. Tapi karena keadaan tak memungkinkan dan bisa selamat dari tempat itu saja sudah merupakan berkah maka Mei Hoa dan adiknya berkali-kali berseru perlahan agar Ting Han tidak merobohkan atau menghadapi pengawal, karena itu berarti mengundang penjaga-penjaga yang lain dan mereka bisa ketahuan.

"Tenang, jangan khawatir," pemuda itu berkata dengan suara tegang. "Aku akan selalu menghindari siapa pun, Mei Hoa. Tak usah kalian cemas dan tenang saja."

Langkah pemuda itu dilanjutkan. Sebenarnya Ting Han sendiri tidak tenang dan berdebar, suaranya yang agak gemetar dan khawatir jelas menandakan itu. Jadi lucu kiranya kalau pemuda ini menyuruh tenang temannya sementara dia sendiri tidak tenang! Tapi ketika penjagaan demi penjagaan dapat dilewati selamat dan mereka akhirnya tiba di tembok kota maka Mei Ling dan kakaknya girang.

"Aih, selamat, Ting Han. Kita rupanya berhasil!"

"Benar, tapi kali ini salah seorang di antara kalian harus mengalah, Mei Ling. Aku tak dapat melompati tembok yang tinggi itu sekaligus dengan dua beban!"

"Aku mengerti," Mei Hoa tiba-tiba mendahului. "Kau bawa dulu adikku keluar, Ting Han. Letakkan aku di sni dan kau melompatlah!"

"Tidak!" Mei Ling tiba-tiba berseru. "Kau yang keluar dulu, enci. Aku belakangan!"

"Tidak, aku belakangan, Mei Ling. Kau yang dulu karena kau lebih kecil!"

"Tidak, kau dulu!"

Namun ketika dua enci adik itu bertengkar sementara Ting Han bingung tiba-tiba terdengar suara-suara penjaga yang menyatakan bahwa tawanan hilang, disusul oleh lampu-lampu besar yang disorotkan ke tempat-tempat gelap. Mei Hoa dan adiknya terkejut dan otomatis pertengkaran berhenti. Dan ketika Ting Han juga tertegun dan terkejut melihat itu maka Mei Hoa sudah berseru padanya,

"Ting Han, tak ada waktu lagi. Kau bawa adikku atau kita semua tertangkap!"

Terpaksa, karena Ting Han lebih memberatkan Mei Ling karena inilah gadis yang dicintanya maka pemuda itu bergerak dan sudah berjungkir balik melompati tembok yang tinggi, sudah meletakkan Mei Hoa di sana dan pemuda ini bermaksud kembali setelah menyelamatkan Mei Ling di luar. Tapi begitu pemuda itu berjungkir balik di atas tembok namun celaka sekali lampu sorot kebetulan diarahkan kepadanya maka pemuda ini kelihatan dan penjaga pun berteriak kaget, melihat pemuda itu tertimpa lampu sorot.

"Hei, dia di situ. Di sana!"

"Dan dia seorang laki-laki! Hei, awas, teman-teman. Ada pengacau lain yang membawa kabur tawanan...!"

Gegerlah tempat itu. Ting Han panik dan Mei Ling mengeluh. Pemuda itu berjungkir balik namun terbanting di luar, terguling-guling. Dan ketika penjaga atau pengawal berteriak-teriak mengejar maka tanpa pikir panjang lagi pemuda ini kabur dan meninggalkan Mei Hoa, yang masih di dalam!

"Hei, kembali, Ting Han. Enciku masih di sana!"

"Maaf," pemuda ini menjawab. "Sementara ini kubiarkan dulu, Mei Ling. Aku harus menyelamatkanmu karena penjaga tahu!"

"Tapi enci bisa tertangkap!"

"Aku tak bisa berbuat apa-apa. Maaf yang paling penting saat ini adalah menyelamatkanmu!" dan Ting Han yang kabur dan mengerahkan segenap kekuatannya lalu lari sipat-kuping, tak menghiraukan lagi teriakan Mei Ling dan pemuda ini menulikan telinga. Mei Ling berteriak-teriak dan marah besar kepada pemuda itu, yang dimaki dan diumpatnya habis-habisan. Dan ketika Ting Han tetap tidak mendengarkan dan terus lari serta lari saja maka Mei Ling menunduk dan... menggigit telinga pemuda itu.

"Jahanam, lepaskan aku kalau begitu, Ting Han. Atau putus telingamu nanti!"

"Aduh...!" Ting Han menjerit, berteriak kesakitan. "Kau gila, Mei Ling. Kau tidak waras!" dan pemuda ini yang terpaksa melempar kekasihnya berhenti berlari lalu mengaduh-aduh dan mendesis tak keruan. Telinga rasanya putus dan saat itu berkelebatlah sebuah bayangan tinggi kurus. Dan ketika Mei Ling terlempar di sana sementara Ting Han mendekap-dekap telinganya yang berdarah maka bayangan itu sudah berdiri di depan mereka dan tegak dengan mata yang bersinar-sinar menyeramkan, dingin dan bengis!

"Heh, siapa kau, anak muda? Rangkap berapa nyawamu hingga berani melarikan tawanan?"

Ting Han terkejut. Dia tidak tahu bahwa yang dihadapi ini adalah Cam-kong, kakek iblis yang amat lihai. Maka begitu terkejut melihat seseorang berdiri di depannya dan kini menegur berapa rangkap nyawanya tiba-tiba pemuda ini membentak dan menerjang maju. "Kau mampuslah!"

Namun Cam-kong tertawa aneh. Iblis ini tentu saja tahu kepandaian Ting Han, tidak mengelak dan menerima pukulan itu. Dan ketika dia mengerahkan sinkangnya dan pukulan Ting Han menghantam perut yang keras tiba-tiba pemuda ini menjerit dan roboh terpelanting, bergulingan berteriak-teriak mendekap tangannya yang bengkak!

"Aduh! Keparat jahanam, aduh....!"

Cam-kong mendengus. Melihat pemuda itu bergulingan menjerit-jerit sambil memaki-makinya tiba-tiba kakek ini menggerakkan tangannya. Dari jarak empat meter tiba-tiba tangannya itu terulur. Dan ketika pemuda itu tak tahu apa yang terjadi tahu-tahu lehernya terangkat dan tubuhnya pun sudah terhisap ke arah kakek itu. "Kau kesini, dan terima gamparanku ini....plak-plak!"

Ting Han mengeluh, mendapat tamparan dua kali dan pemuda itu meronta, mau membalas namun si kakek sudah melemparnya tinggi. Dan ketika pemuda itu berdebuk dan jatuh meringis maka pengawal atau pasukan di dalam benteng sudah tiba disitu, memanjat dan turun melalui tembok yang tinggi.

"Bunuh pemuda itu, tebas lehernya!"

"Tidak!" Mei Ling tiba-tiba berteriak, kaget menjerit. "Jangan bunuh pemuda itu, Cam-kong. Jangan bunuh dia dan biarkan dia hidup!"

Namun Cam-kong yang tertawa dingin dan menyambar tubuhnya tiba-tiba berkelebat dan membawa dia kembali ke dalam benteng. "Tutup mulutmu, anak busuk. Kalau bukan muridku yang menghendaki dirimu hidup-hidup tentu kau sudah kubunuh!"

"Oh, tidak.... tidak....!" namun Mei Ling yang sudah dikempit dan dibawa si kakek melayang melewati tembok yang tinggi akhirnya tak dapat berteriak-teriak lagi, membungkam mulutnya dan sebuah totokan jengkel dilakukan Cam-kong untuk membuat gadis ini tak dapat bersuara lagi. Namun ketika kakek itu menghilang ke dalam dan menyerahkan Ting Han untuk dibunuh para pengawal tiba-tiba terdengar jeritan dan pekik kaget di tempat pemuda itu.

"Aduh....!"

"Hei.... plak-des-dess!"

Cam-kong terkejut. Otomatis kakek ini menghentikan langkah, menoleh. Dan ketika dia melihat betapa belasan orangnya terlempar dan menjerit tak keruan maka di tempat Mei Hoa, di dalam benteng juga terdengar teriakan dan pekik kaget pasukan penjaga.

"Pergi kalian semua!"

Kakek itu menoleh melebarkan matanya. Di sana enam orang pasukannya terpelanting oleh sebuah dorongan jarak jauh, rata-rata berteriak dan tidak dapat bangun lagi. Dan ketika kakek itu terkejut karena samar-samar sesosok bayangan kuning emas berdiri di sana maka kakek ini terkesiap dan tiba-tiba mencelat kabur.

"Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)....!"

Orang pun terperanjat. Seruan kakek itu disusul perginya yang seperti setan kesiangan tiba-tiba membuat pengawal gempar. Mereka juga melihat sosok bayangan itu, laki-laki berambut keemasan yang menolong Mei Hoa. Dan karena nama ini sudah cukup membuat nyali terbang dan orang selihai kakek iblis itupun lintang-pukang maka penjaga atau pasukan Togura berteriak melempar senjata dan ikut-ikutan lari!

"Kim-mou-eng... Kim-mou-eng... Pendekar Rambut Emas datang...!"

Suasana tiba-tiba gaduh. Bayangan yang disangka Kim-mou-eng itu tersenyum, sudah membangunkan dan membebaskan totokan Mei Hoa. Namun ketika gadis itu bangkit berdiri dan menangis melihat adiknya dibawa Cam-kong tiba-tiba Mei Hoa yang juga mengira bertemu Pendekar Rambut Emas sudah menjatuhkan dirinya meratap,

"Paman, tolong rampas kembali adikku. Kami Mei Hoa dan Mei Ling puteri-puteri Bu-ciangkun!"

Bangunlah," pria berambut emas itu, yang disangka Kim-mou-eng menarik bangun gadis ini. "Aku sudah tahu siapa kalian, Mei Hoa. Tapi lihat baik-baik bahwa aku bukan Kim-mou-eng!"

"Benar!" bayangan di sana, yang menolong dan menyelamatkan Ting Han juga berseru, berkelebat datang. "Kami berdua sudah tahu siapa kalian, nona. Dan sahabatku ini adalah Thai Liong, putera Kim-mou-eng, bukan Pendekar Rambut Emas!"

Mei Hoa terkejut. Di malam gelap di mana bulan kebetulan tidak menampakkan dirinya maka bayangan samar-samar dari pemuda berambut keemasan ini memang pasti akan disangka sebagai Kim-mou-eng, tak mungkin tidak. Tapi begitu lawan menjelaskan siapa dirinya dan Mei Hoa bengong maka gadis itu tertegun bahwa orang yang dipanggilnya 'paman' itu ternyata masihlah muda, bukan Kim-mou-eng!

"Oh... ah...!" gadis ini tersentak, mundur dengan muka berubah. "Aku... aku, eh... aku tak tahu, siauw-hiap (pendekar muda). Aku... aku mengira kau Kim-taihiap!"

"Tak apa," Thai Liong menarik maju gadis ini. "Aku puteranya juga, Mei Hoa, sama saja. Sekarang kau tak usah gugup karena aku akan menolong adikmu juga!"

"Dan kalian sebaiknya keluar dari sini," pemuda disebelah Thai Liong, yang bukan lain Ituchi adanya berkata. "Kami akan menghadapi musuh-musuh yang berat, nona. Kau pergi bersama Ting Han dan biarkan kami menyelamatkan adikmu!"

"In-kong (tuan penolong) siapa?"

"Hush, namaku Ituchi, jangan panggil in-kong!" Ituchi merah mukanya. "Aku sahabat Kim-siauwhiap, nona. Dan aku sudah mengenal ayahmu yang gagah perkasa. Sudahlah, kau pergi bersama pemuda ini karena pengawal berdatangan kembali!"

Mei Hoa tertegun. Dia sekarang melihat jelas dua pemuda yang gagah-gagah ini. Ituchi tinggi besar dan tampak menyeramkan sementara Thai Liong atau 'Kim-mou-eng' muda itu kelihatan halus namun tentu saja tak perlu disangsikan kepandaiannya. Dua pemuda itu sudah menolong mereka dan Ting Han mengucap terima kasih berulang-ulang pada Ituchi, yang tadi menolongnya ketika golok pengawal siap menebas lehernya. Kalau pemuda itu tidak datang dan lehernya bertemu golok tentu kepalanya sudah menggelinding di tanah. Ngeri pemuda ini. Namun ketika dia melihat bahwa pengawal berlarian balik dan kini empat bayangan berkelebatan menuju mereka maka Ting Han sadar dan menjadi gelisah.

"Mei Hoa, kita memang harus pergi. Ayolah, serahkan segalanya pada ji-wi siauwhiap (dua pendekar gagah) ini!"

"Benar, dan tak perlu kalian menampakkan diri, nona. Kami akan menghadapi mereka dan kau pergilah!" Ituchi tiba-tiba mendorong, Mei Hoa terangkat naik dan terlemparlah gadis itu melewati tembok kota yang tinggi. Dan ketika Thai Liong juga mengangguk dan sudah mengibaskan lengannya maka Ting Han juga terlempar dan jatuh terguling-guling di luar sana.

"Hei... bluk-bluk!" Ting Han dan Mei Hoa hampir berbareng mengeluarkan seruan kaget. Mereka sudah diangkat dan terbanting di luar, yang anehnya tak merasa sakit sama sekali. Dan ketika dua muda-mudi itu mengeluh girang karena mereka selamat tanpa cidera maka Thai Liong dan Ituchi sudah mendengar bentakan-bentakan dan makian musuhnya, yang segera mengenal bahwa dia bukan Kim-mou-eng....