Istana Hantu Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 12
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SWAT LIAN tersedu-sedu. Tiba-tiba wanita ini menangis tak dapat menahan diri, mengguguk dan menubruk suaminya itu, memeluk, berguncang-guncang. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menarik napas panjang dan mengelus rambut isterinya ini maka dia berkata, tenang namun berpengaruh,

"Isteriku, kau harus ingat pada putera kita yang kecil ini. Beng An tentu tak dapat dibawa-bawa sesuka hati. Dia butuh tempat yang aman, perlindungan dari ibunya. Kalau kau gelisah memikirkan puterimu itu bagaimana kalau aku saja yang pergi? Aku dapat mencari Soat Eng, tapi tentu puterimu tak puas. Sebenarnya dia harus diberi sedikit kebebasan juga, menimba pengalaman. Kalau kau setuju aku dapat berangkat sekarang."

Kepala yang melekat di dada itu tiba-tiba terangkat, terkejut. "Kau mau meninggalkan aku pula?"

"Hm, tidak. Hanya sekedar mencari puteri kita, isteriku, menenteramkan hatimu agar kau tidak gelisah."

"Ah, aku tak mau. Kalau begitu biar Eng-ji pergi asal tidak terlampau lama!" dan sang isteri yang mendekap dan memeluk suaminya lagi ternyata emoh ditinggal kedua-duanya, pertama puterinya dan sekarang ini suaminya juga mau pergi. Tentu saja dia tidak mau! Dan ketika Pendekar Rambut Emas tersenyum dan membelai pundak isterinya maka sebuah ciuman sayang mendarat di pipi sang isteri.

"Nah, begitu. Seharusnya kau tidak membuat Eng-ji harus selalu berkumpul dengan ayah ibunya. Bukankah kelak dia juga akan menikah dan meninggalkan kita?"

"Hm...!" bibir yang tersenyum itu tiba-tiba berkerut tak senang, begitu mendengar masalah jodoh. "Aku tentu tak akan melarang puteriku menikah, suamiku. Tapi kalau dengan Siang Le... hm!" mata itu ketus menjawab. "Tak usah!"

"Kau aneh." Suaminya tertawa. "Siapa menyebut-nyebut nama bocah itu? Aku hanya mengatakan puteriku menikah, niocu. Tapi kau sudah marah-marah seperti kambing kebakaran jenggot dengan menautkan hal ini dengan murid See-ong!"

"Aku memang tak setuju, dan ada baiknya juga kalau Eng-ji pergi!"

"Ha-ha, sekarang berubah. Kau setuju kalau Eng-ji pergi. Eh, bagaimana sebenarnya jalan pikiranmu ini, isteriku? Kenapa kau demikian benci kepada murid See-ong?"

"Aku membenci pemuda itu karena gurunya adalah seorang jahat, pembunuh!"

"Hm, yang jahat adalah See-ong, bukan pemuda ini..."

"Aku tak perduli!" sang isteri sengit. "See-ong atau muridnya sama saja bagiku, suamiku. Dia atau gurunya setali tiga uang!"

"Tapi kenyataan menunjukkan lain," sang suami hati-hati bicara. "Kita lihat murid See-ong ini tak seperti gurunya, niocu. Dan aku jadi teringat tulisan Sian-su!"

"Hm, apa maksudmu?"

"Tidakkah kau tangkap sesuatu?"

"Tidak, aku tak mengerti."

Kim-mou-eng tiba-tiba merogoh saku bajunya. Sekali cabut keluarlah sepotong kertas yang terlipat baik, tidak kumuh dan tetap bersih. Dan ketika sang isteri memandang dan tampak tertegun melihat kertas ini, sepotong surat, maka berkatalah suaminya membeber kertas itu, "Lihat, Sian-su menyuruh kita mencari jawaban syair ini, niocu. Dan kau tahu bahwa apa yang diberikan Sian-su selamanya berharga. Tidakkah sesuatu yang dapat mulai kau tangkap dari kalimat ini?"

"Hm, aku sudah membacanya berulang-ulang, tapi tetap tak dapat menemukan jawabnya. Coba kau terangkan, barangkali kau sudah tahu!"

"Ah, jawabnya belum kuketahui pasti, tapi aku yakin ada hubungannya dengan Siang Le!"

"Apa?"

"Ssst, jangan berteriak-teriak. Aku hanya baru menduga, isteriku. Tapi aku yakin bahwa jawaban syair ini ada hubungannya dengan Siang Le!"

"Coba kau amati lagi, kita baca!"

Swat Lian terkejut, terbelalak memandang suaminya itu dan Pendekar Rambut Emas mengangguk. Nyonya ini agak terkesiap dan kaget karena suaminya adalah orang yang cukup dekat dengan Sian-su, kakek dewa maha sakti itu, berulang-ulang menerima pelajaran hidup dan agaknya sedikit tetapi pasti suaminya itu mulai mengenal gaya dari gurunya, karena Pendekar Rambut Emas ini memang murid dari si kakek dewa, yang lenyap bertahun-tahun dan baru beberapa bulan yang lalu muncul, memperlihatkan diri pada mereka dan menyuruh mereka mencari sesuatu di Sam-liong-to.

Kakek itu berkata bahwa sebuah pelajaran hidup akan mereka temukan, pelajaran berharga dan berguna bagi mereka. Dan ketika suaminya ganti memerintahkan putera-puterinya untuk mencari yang berharga itu maka mereka menunggu di rumah dan kini suaminya itu membuka lipatan kertas itu, syair yang didapat dari Bu-beng Sian-su, sama-sama membaca:

Mencari mutiara di dasar samudera
Terdapat sebutir yang memukau sukma
Menemukan ini mendapatkan surga
Bahagialah sudah sang arif bijaksana!


"Nah," Kim-mou-eng menoleh memandang isterinya. "Belum adakah sesuatu yang kau tangkap?"

"Belum," sang isteri menggeleng, berkerut kening. "Aku belum mengenal jelas gaya atau syair dari Sian-su, suamiku. Lain denganmu yang sudah pernah berkumpul bertahun-tahun dengan gurumu!"

"Hm, jangan begitu. Sian-su ini orangnya luar biasa, isteriku. Meskipun aku muridnya namun hanya sedikit yang dapat kutangkap dari gerak-geriknya!"

"Jadi kau tak tahu?"

"Bukan tak tahu, tapi hanya meraba-raba saja."

"Kalau begitu coba katakan rabaanmu itu, aku ingin tahu!"

"Ada hubungannya dengan Siang Le..." Pendekar Rambut Emas bersungguh-sungguh. "Aku merasa pemuda itu ada kaitannya, isteriku. Dan mungkin dia merupakan pokok pembicaraan di sini!"

"Hm, lagi-lagi Siang Le!" Isterinya mendengus, tak senang. "Kenapa berkali-kali menyebut pemuda ini, suamiku. Kalau benar ada hubungannya maka apakah hubungan itu?"

"Inilah yang belum kutangkap," sang suami agak tak enak. "Aku hanya merasa bahwa Sian-su hendak menjadikan pemuda ini sebagai obyek percakapan, isteriku. Tapi apa inti sarinya terus terang aku tidak tahu!"

"Hm, kalau begitu kau mengada-ada!"

"Tidak, aku tak mengada-ada!" sang suami terkejut. "Eh, kenapa harus mengada-ada? Aku serius, isteriku. Aku bicara sungguh-sungguh!"

"Tapi kau tak menjelaskan selanjutnya. Kau hanya menyebut-nyebut nama pemuda itu!"

"Benar, karena ini yang baru kutangkap!" Lalu mendengar sang isteri mengeluarkan tawa mengejek pendekar ini buru-buru menyambung, "Isteriku, jangan mengejek dulu. Aku lebih mengenal gerak-gerik guruku daripada kau. Coba lihat kata-kata itu, bukankah ada sesuatu yang mirip dengan Siang Le?"

"Apanya yang mirip?"

"Kata-kata memukau itu. Bukankah pemuda ini lain daripada yang lain? Bukankah dia lain dengan gurunya? Hm, aku menduga syair ini erat hubungannya dengan Siang Le, isteriku. Dan ini diperkuat dengan kata-kata 'samudera‘. Bukankah bocah itu terdapat di Sam-liong-to? Dan Sian-su telah menyuruh kita pergi menyelidiki ini, ke Sam-liong-to. Dan karena pemuda itu tampak lain dari yang lain maka aku menduga bahwa Siang Le ini hendak dijadikan obyek percakapan, aku yakin!"

Sang isteri tertegun. Tak dapat disangkal bahwa suaminya itu adalah orang yang amat dekat dengan Bu-beng Sian-su, mengenal gerak-geriknya dan gaya dari kakek maha sakti itu, karena suaminya ini adalah murid. Tapi karena suaminya tak dapat menerangkan lebih jauh dan syair itu seolah ketemu bagian kepala namun kehilangan ekornya maka nyonya ini tak puas dan tentu saja ingin tahu.

"Baiklah, berkali-kali aku menangkap kesan kagum darimu untuk bocah she Siang itu. Lalu apalagi yang kira-kira dapat menopang penemuanmu ini, suamiku? Apakah hanya itu saja?"

"Ini yang menggemaskan. Sian-su terlalu aneh, isteriku, aku gagal untuk menangkap berikutnya. Tapi aku yakin bahwa bocah ini yang hendak dijadikan bahan percakapan!"

"Tentang apa? Maksudku, kejelekannya ataukah kebaikannya?"

"Hm, aku tak tahu. Tapi kalau disebut-sebut kata 'mutiara‘ itu barangkali adalah kebaikannya."

"Phuih, kebaikan apa yang didapat dari murid seorang datuk sesat? Bocah itu tetap tak kusukai, suamiku, apalagi setelah sinar matanya menunjukkan cinta kepada Eng-ji!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening. Kalau sang isteri sudah menjawab ketus dan dingin seperti itu maka dia tak mau berdebat. Ini sudah menginjak masalah suka dan tidak suka, masalah perasaan. Tapi tersenyum dan balas memandang isterinya dia bertanya, "Baiklah, kalau begitu bagaimana denganmu, isteriku? Dapatkah sesuatu kau tangkap di sini?"

"Aku bodoh, aku tak sepandai dirimu..."

"Ha-ha, omongan apa ini? Eh, kalau kau bodoh tak mungkin kau dapat menjadi isteri Kim-mou-eng, isteriku. Kau berpura-pura dan mengejek aku!"

"Tidak," sang isteri tersenyum. "Kau memang lebih pandai dariku, suamiku. Lihat bahwa selama ini kepandaianku masih selisih sedikit denganmu."

"Ah, itu jangan dijadikan tolak ukur. Kau wanita, sedang aku pria. Hei, kenapa melantur yang tidak-tidak? Ha-ha, kalau kita tak menemukan jawaban syair ini biarlah lain kali kita tanya pada Sian-su, isteriku. Sekarang kita simpan dan dengar Beng An menangis!"

Benar saja, Beng An, putera mereka terkecil terdengar menangis nyaring, di kamar sebelah. Swat Lian sudah berkelebat dan melihat anaknya itu, menyambar, ternyata minta minum dan sang nyonya pun sudah memberikan minumannya. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebat dan menyusul isterinya maka Beng An tiba-tiba diam melihat ayahnya ini, setelah tertegun sejenak memandang sang ibu.

"Ha-ha, kau kangen ayah, Beng An? Kau haus? Aih, ibumu teledor. Sudah waktunya minum tidak diberi minum.... heii!" Pendekar Rambut Emas berseru tertahan, Beng An tiba-tiba tertawa dan 'ngocor' di pelukan ayahnya, pipis. Dan ketika anak itu dilempar berjungkir balik namun ditangkap sang ibu maka Swat Lian terkekeh geli melihat baju suaminya basah kuyup.

"Hi-hik, itu kalau menyalahkan wanita. Nah, biar ayahmu tahu rasa, Beng An, aku jadi penasaran kalau disebut teledor!"

Pendekar Rambut Emas tertawa. Isteri dan anaknya terkekeh-kekeh di sana, Beng An rupanya geli juga dan Pendekar Rambut Emas mencubit paha anaknya ini, gemas. Dan ketika sang isteri memberikan baju pengganti agar suaminya salin tiba-tiba terdengar suara ribut di luar dan teriakan-teriakan kaget.

"Taihiap, celaka. Seorang kakek tinggi besar mengamuk!"

Kim-mou-eng berkelebat. Dia sudah berada di luar ketika Kokthai, pembantunya berteriak-teriak ketakutan. Laki-laki ini melaporkan bahwa seorang kakek tinggi besar mengamuk, menghajar dan meroboh-robohkan orang-orang di situ dan Kim-mou-eng sudah mendengar geraman di kejauhan. Sang isteri berkelebat dan keluar pula melihat. Dan ketika nyonya ini mendengar bahwa seorang kakek datang mengamuk dan melempar-lempar anak buahnya maka nyonya ini mendahului dan berkelebat membentak marah.

"Biar kulihat dia... haitt!" Sang nyonya lenyap. Swat Lian marah karena bangsa Tar-tar diganggu, katanya kakek itu lihai benar dan memaki-maki mereka. Tapi ketika dia berkelebat dan siap menghajar mendadak suaminya melesat dan menyambar lengannya, yang masih membawa Beng An.

"Isteriku, jangan terburu nafsu. Jagalah Beng An, biar aku saja yang melihat!" dan Pendekar Rambut Emas yang berjungkir balik dan lenyap mendahului isterinya tiba-tiba sudah menuju ke asal suara, jauh di sebelah kanan namun cepat sekali pendekar ini telah tiba di tempat itu. Dari jauh dia sudah mendengar bentakan dan makian, juga geraman dan tubuh-tubuh yang berdebuk menjerit kesakitan.

Seorang kakek tampak di sana dan melempar-lempar suku bangsanya, memaki-maki dan cepat pendekar ini mengerahkan Jing-sian-engnya, berkelebat dan sudah menangkis pukulan kakek itu ke arah seorang pembantunya. Dan ketika kakek itu berteriak kaget dan Kim-mou-eng tergetar terhuyung mundur maka tampaklah siapa kiranya kakek tinggi besar ini.

"See-ong!"

"Hah, benar aku!" See-ong, kakek raksasa itu menjawab dengan suaranya yang dahsyat. "Kebetulan kau di sini, Kim-mou-eng. Kudengar kau menangkap muridku dan menahannya di sini. Bebaskan dia, serahkan padaku!"

Kim-mou-eng tertegun. Tiba-tiba dia terkejut memandang kakek ini, heran dan merasa aneh bagaimana jauh-jauh dari Sam-liong-to kakek itu datang ke suku bangsanya, padahal dia belum merasa melepas undangan. Tapi karena lawan sudah datang di situ dan puluhan pembantunya merintih dan terkapar di tanah maka Pendekar Rambut Emas melangkah maju dengan mata bersinar-sinar, tahu bahwa kakek ini memang hebat, memiliki Hek-kwi-sut! Tapi sebelum dia menjawab atau apa mendadak isterinya berkelebat datang dan sudah menyusul di situ.

"Heh, siapa pembuat onar ini, suamiku? Orang gila dari mana? Ohh.... See-ong!?" dan sang nyonya yang kaget dan tertegun di tempat, tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan mendelik memandang kakek tinggi besar itu, berapi-api dan nafsu membunuh tiba-tiba memancar teringat pembunuhan yang dilakukan See-ong terhadap ayahnya, Hu-taihiap. Maka begitu tertegun tapi tiba-tiba melengking mendadak nyonya ini berkelebat dan menghantam See-ong.

"See-ong, kau pembunuh jahanam!"

See-ong terkejut. Dia cepat mengelak namun si nyonya mengejar, membalik dengan tamparan bertubi-tubi. Dan karena tak mungkin mengelak tanpa harus menangkis maka kakek tinggi besar itu sudah melakukannya.

"Dess!" Dua-duanya terpental. See-ong menggeram sementara si nyonya melengking-lengking, berjungkir balik dan sudah menyerang lagi. Dan ketika pukulan Khi-bal-sin-kang menyambar dan ilmu meringankan tubuh Jing-sian-eng juga diperlihatkan maka kakek itu terpelanting dan dua kali menerima pukulan dahsyat.

"Des-dess!" See-ong tak apa-apa. Kakek ini memang hebat dan akhirnya menggereng, berkelebat mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan terpekiklah sang nyonya ketika lawan tiba-tiba menghilang, lenyap dari depannya. Dan ketika Beng An tahu-tahu ditarik dan dibetot dari tangannya maka sang nyonya menjerit dan menghantam ke kiri.

"Des-wirr...!"

See-ong tak ada. Kakek itu tertawa bergelak di balik bayangan Hek-kwi-sutnya, menyambar lagi ke kanan dan menarik anak laki-laki itu dari pelukan si nyonya. Swat Lian memang membawa anaknya ini ke situ, tak menuruti nasihat suaminya, agar dia tak usah melihat siapa pengacau ini dan biar suaminya saja yang menghadapi. Maka begitu See-ong menghilang di balik ilmu hitamnya dan kini secara berganti-ganti kakek itu menarik atau membetot Beng An dari kanan kiri ibunya.

Maka Swat Lian terkejut dan melengking-lengking, marah dan gusar karena dia tak dapat melihat kakek itu. Yang dirasa hanya angin sambaran See-ong di kiri kanan tubuhnya, berusaha merampas Beng An. Tapi ketika nyonya itu sibuk dan memaki-maki See-ong maka Pendekar Rambut Emas bergerak bergerak menolong isterinya, berkelebat menghantam bayangan See-ong yang ada di belakang isterinya, terlihat setelah dia mengerahkan tenaga batinnya.

"See-ong, minggir... dess!"

See-ong berteriak. Kakek tinggi besar itu rupanya terkena dan jungkir balik, membentak dan menyerang lagi namun Pendekar Rambut Emas menangkis, terpental dan memaki-makilah kakek itu ketika setiap pukulannya ditolak. Lawan benar-benar melihatnya dan tampaklah sinar mencorong di mata Pendekar Rambut Emas itu, bercahaya bagai mata seekor naga yang berkilat-kilat penuh getaran. Dan ketika kakek itu merasa gagal dan Pendekar Rambut Emas sudah melindungi anak isterinya maka See-ong tampak lagi setelah sebuah ledakan terdengar menggetarkan tempat itu.

"Dar!" See-ong muncul. Kini kakek itu tampak beringas dan mendelik, merah padam namun tidak apa-apa. Berkali-kali tangkisan Kim-mou-eng tak membuat kakek ini terluka. Jangankan terluka, lecet sedikitpun tidak. Dan ketika Kim-mou-eng kagum dan mau tak mau memuji kakek ini maka See-ong mengeram membentak marah.

"Kim-mou-eng, serahkan muridku. Atau aku akan mengamuk di sini!"

"Hm, kau hebat. Kau boleh mengamuk kalau ingin mengamuk, See-ong. Kebetulan kau datang dan kami dapat menuntut perbuatanmu membunuh mertuaku. Muridmu memang ada di sini, kutangkap. Sekarang coba kau ambil muridmu kalau bisa!" Pendekar Rambut Emas bersiap, tentu saja tak akan membiarkan See-ong dan kakek tinggi besar itu melotot. Matanya menjadi sebesar jengkol dan tampak mengerikan sekali, merah kehitaman. Seolah dari mata itu akan menyembur bola api, dahsyat dan menyala-nyala. Tapi ketika kakek itu menggereng dan siap menerjang Kim-mou-eng tiba-tiba Swat Lian yang penasaran dan belum merasa kalah sudah bergerak ke depan menyerahkan Beng An pada suaminya.

"See-ong, aku ingin membunuhmu. Biar kau hadapi aku dulu dan kita bertanding!"

Kim-mou-eng terkejut. Sebenarnya dia ingin menyuruh isterinya beristirahat, lawan cukup lihai dan biarlah dia yang menghadapi kakek tinggi besar ini. Namun karena isterinya sudah maju menghadapi See-ong dan aneh sekali Beng An tak menangis atau ketakutan melihat semuanya itu maka pendekar ini menggendong anaknya dan cepat menggeser tubuh, sedikit menjauh, melindungi Beng An.

"Isteriku, hati-hati. Sebaiknya kau saja yang menjaga Beng An dan aku menghadapi kakek itu!"

"Tidak, aku ingin membunuh kakek ini, suamiku. Dia telah membunuh ayah dan aku ingin menuntut balas!"

"Ha-ha, boleh!" See-ong tertawa bergelak. "Kau tak dapat membunuh aku, hujin. Jangan sombong dan bermulut besar!"

"Aku tentu akan membunuhmu!" dan sang nyonya yang sudah mendengar seruan suaminya agar berhati-hati tiba-tiba berkelebat melepas pukulan, kini mempergunakan Lu-ciang-hoat dan See-ong mengelak. Sinar putih berkeredep disertai ledakan panas, menyambar kakek ini. Namun ketika See-ong mengelak dan sang nyonya mengejar maka pukulan kedua menyambar lagi dan See-ong mengumpat.

"Dukk!" See-ong tergetar. Swat Lian terpental tapi sambil berjungkir balik wanita ini sudah menyerang lagi, membentak dan melengking-lengking. Dan ketika nyonya itu melepas pukulan bertubi-tubi dan See-ong mengelak sambil menangkis maka kakek ini ganti terpental ketika Khi-bal-sin-kang ataupun Lu-ciang-hoat menghantam dirinya.

"Dess-plak!" Kakek ini memaki-maki. Akhirnya dia melengking dan berkelebatan mengimbangi sang nyonya, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan See-ong coba mempertahankan diri, tidak mengeluarkan Hek-kwi-sut. Tapi ketika dia terpelanting dan selalu terpental oleh pukulan Bola Sakti maka kakek ini memaki dan apa boleh buat dia mengeluarkan ilmu hitamnya itu.

"Keparat, kau lihai, hujin. Tapi coba serang aku kalau bisa... wut!" See-ong menghilang, berlindung di balik ilmu hitamnya dan tertawa-tawalah kakek itu ketika sang nyonya memekik, kaget kehilangan lawan dan pukulan-pukulannya menghantam angin kosong. See-ong sudah berubah menjadi bayangan dan Hek-kwi-sut membuat kakek itu tak tampak.

Hanya Pendekar Rambut Emas yang dapat melihat kakek itu karena tenaga batinnya lebih tinggi daripada sang isteri, Swat Lian hanya melihat bayangan yang samar-samar dan tak jelas, tentu saja memaki-maki dan marah bukan main. Dan ketika bayangan itu selalu berpindah-pindah dan semakin cepat dia menyerang semakin cepat pula bayangan itu bergerak dari satu tempat ke tempat lain maka Khi-bal-sin-kang maupun Lu-ciang-hoat gagal menghantam kakek ini.

"Ha-ha, sekarang aku membalas, hujin. Coba dan rasakan... dess!" See-ong mulai membalas, melepas pukulannya dari balik bayangan Hek-kwi-sutnya dan sang nyonya terpekik.

Swat Lian terhuyung tapi tidak terjatuh, See-ong melepas pukulannya lagi dan sang nyonya tergetar, dua tiga kali menerima serangan lagi namun Swat Lian sudah melindungi diri. Khi-bal-sin-kang cukup ampuh untuk menolak pukulan-pukulan See-ong, membuat kakek itu terpental di sana dan kakek inipun tentu saja marah. Dia yang menyerang tapi dia yang terpental! Dan ketika kakek itu menggeram-geram dan Swat Lian terhuyung-huyung menerima pukulan kakek ini maka See-ong sendiri juga terpental berseru kaget seperti serangannya bertemu Khi-bal-sin-kang yang melindungi tubuh si nyonya.

"Hargh, kau hebat, hujin. Tapi coba balas aku!"

"Keparat jahanam! Kau berlindung di balik Hek-kwi-sutmu, See-ong. Kau pengecut dan tidak jantan!"

"Ha-ha, inilah ilmu andalanku, seperti kaupun mengandalkan Khi-bal-sin-kang yang kau punyai. Heh, tak usah banyak cakap, hujin. Mari kita lihat siapa yang lama-lama roboh!" See-ong gemas, akhirnya membentak di balik suaranya yang dahsyat dan kakek ini mengeluarkan Sin-re-ciang, Tangan Karet. Kakek ini mencoba 'meredam' pukulan Bola Sakti yang melindungi nyonya itu, yang setiap kali mementalkan pukulannya karena Bola Sakti memang bersifat kenyal, empuk seperti karet namun daya tolaknya demikian besar. Sekuat apapun lawan menyerang akan sekuat itu pula lawan terpental. See-ong dua kali bahkan hampir terjengkang!

Maka ketika kakek itu coba mengeluarkan Sin-re-ciangnya namun Tangan Karet ini juga terpental bertemu Khi-bal-sin-kang maka kakek itu menggeram dan melotot. Tangan Karet adalah ilmu yang sebenarnya khusus memanjangkan lengan, yang dapat mulur dan mengkeret seperti karet, tenaganya tetap tenaga sakti biasa dan tenaga inilah yang selalu tertolak Khi-bal-sin-kang, bukan main gemasnya kakek itu. Namun ketika See-ong menggeram-geram dan marah memaki nyonya itu adalah Swat Lian sendiri juga mencak-mencak memaki See-ong.

"Bedebah! Perlihatkan dirimu, See-ong. Ayo bertempur secara ksatria!"

"Ha-ha, tak usah berkaok-kaok. Aku pun sukar merobohkanmu, hujin. Kalau kau mampu coba robohkan aku!"

"Haiittt...!" dan sang nyonya yang melengking panjang membentak marah tiba-tiba melihat bayangan kakek itu di sebelah kirinya, samar namun cepat dia melepas pukulan. Kali ini Khi-bal-sin-kang digabung dengan Lu-ciang-hoat, hebatnya bukan kepalang dan See-ong terkejut, mau menghindar namun tak keburu. Dan ketika apa boleh buat kakek itu membentak memperkuat Hek-kwi-sutnya maka Swat Lian menghantam bayangan yang tiba-tiba berbentuk seperti asap.

"Dess!" Pukulan itu hampa menyerang angin kosong. See-ong menangkis namun cepat menghilang dengan bentakannya, kakek itu terpental namun Swat Lian tak melihat. See-ong marah dan memekik, tiba-tiba berjungkir balik dan sudah melewati kepala si nyonya, yang hanya mendengar kesiur angin menyambar di atasnya. Dan ketika kakek itu menampar dan sebuah pukulan ganti menghantam tengkuk nyonya itu, yang tak sempat membalik, maka pukulan See-ong tepat mengenai belakang kepala nyonya ini.

"Plak!" Swat Lian terjungkal. Nyonya cantik ini mengeluh dan melempar tubuh bergulingan, memekik dan memaki kakek tinggi besar itu. Dan ketika See-ong sendiri harus melempar tubuh berjungkir balik untuk membuang daya tolak Khi-bal-sin-kang maka kakek itu juga menggeram dan memaki-maki.

"Keparat, jahanam Khi-bal-sin-kangmu itu, hujin. Bedebah dan laknat terkutuk!"

"Kaulah yang laknat terkutuk!" Swat Lian melengking-lengking. "Kau pengecut tak tahu malu, See-ong. Bisanya menyerang di balik ilmu hitam!"

"Hm, tak usah bercuap-cuap. Kau atau aku yang bakal kehabisan tenaga!" dan See-ong yang kembali bersembunyi dan menyerang di balik Hek-kwi-sutnya lalu mendesak si nyonya, membuat lawan melotot gusar namun See-ong diam-diam juga mengutuk. Nyonya ini akan terpelanting namun selalu meloncat bangun, tak apa-apa. See-ong mengerutkan kening namun kagum. Tapi karena si nyonya menjadi pihak bertahan sementara dia yang terus menyerang maka dihitung-hitung kakek ini tetap berada di pihak yang lebih beruntung, melihat lawan mulai terengah-engah.

"Ha-ha, menyerahlah, hujin. Kau sebentar lagi roboh!"

"Roboh hidungmu!" Swat Lian membentak. "Aku tak mungkin roboh, See-ong. Kaupun tampak lelah dan mulai memburu napasmu!"

See-ong mengumpat. Memang benar, kalau si nyonya terengah-engah dihantam pukulan adalah dia sendiri juga mulai memburu napasnya. Tenaga yang dilepas berkali-kali selamanya mengurangi kekuatan, betapapun hebatnya seseorang. Dan ketika kakek itu menghentikan makian karena mulai berkeringat tiba-tiba Pendekar Rambut Emas berkelebat menyambar tengkuk See-ong.

"Cukup, kau sekarang roboh, See-ong. Coba hadapi pukulanku ini dan terimalah... dess!"

See-ong terkejut, terpekik berseru tertahan karena Kim-mou-eng tiba-tiba membantu isterinya, menyerang dari samping dan kakek tinggi besar ini terkejut. Dan ketika jari-jari Pendekar Rambut Emas menyentuh tengkuknya namun secepat kilat kakek ini memutar pinggang tiba-tiba dia menangkis sekaligus menghantam muka lawan.

"Dess!" See-ong menjerit. Pendekar Rambut Emas tahu-tahu menekuk pergelangan tangannya, menerima dan menangkap pukulan kakek itu. Dan ketika See-ong berteriak karena tangan lawan sudah menangkap dan kini mencengkeram pergelangan tangannya maka kakek itu sudah diangkat dan dibanting kuat-kuat.

"Bress!" See-ong mengeluh. Apa boleh buat kakek ini menggulingkan tubuh menjauhkan diri, tak tahunya lawan mengejar dan kembali jari Pendekar Rambut Emas menangkap lehernya, diangkat dan dibanting lagi. Untuk kedua kali kakek tinggi besar itu menerima hajaran Kim-mou-eng. Tapi ketika Kim-mou-eng hendak menotok dan merobohkan kakek itu, yang terlihat lebih jelas dibanding isterinya sendiri tiba-tiba See-ong membentak melempar sesuatu.

"Bushh!"

Kim-mou-eng terkejut. Semacam bubuk ungu tiba-tiba berhamburan di mukanya, mendesis dan meledak seperti petasan. Kim-mou-eng berjungkir balik dan tak berani menangkis, dia belum tahu bubuk apa itu. Namun ketika dia melayang turun dan See-ong memperkuat ilmu hitamnya tiba-tiba kakek ini menghilang dan berkelebat entah ke mana.

"Heii...!" Kim-mou-eng kehilangan lawan, terkejut. "Awas, Lian-moi. Ke sini!"

Benar saja. Swat Lian terpekik ketika semacam bubuk ungu tiba-tiba menyambar mukanya, seperti yang dialami sang suami. Dan ketika dia melempar tubuh berjungkir balik dan memaki See-ong maka kakek itu terdengar terbahak di sebelah kanan.

"Ha-ha, bagus. Sekarang kalian mengeroyok aku, Kim-mou-eng. Sungguh tak jantan dan perwira!"

Kim-mou-eng berdebar. Dia melihat kakek itu terpaksa dibantu bubuk ungunya, yang kini diketahui dan tercium sebagai bubuk beracun, dapat membius orang dan mencekik pernapasan, cepat mengerahkan sinkang menahan racun ini, meniup dan membuyarkan baunya. Dan ketika sang isteri berjungkir balik di dekatnya dan selamat tak kurang suatu apa maka bubuk itu menipis dan Kim-mou-eng melihat See-ong berkelebat memasuki perkampungan bangsa Tar-tar, mendengar teriakan atau seruan Siang Le, yang rupanya mengetahui kedatangan gurunya.

"Suhu, aku di sini...!"

Swat Lian berkelebat. Tiba-tiba nyonya itu melihat pula bayangan See-ong, yang melarikan diri dan memasuki perkampungan. Rupanya kakek itu gentar setelah Kim-mou-eng maju membantu, meskipun tak mudah pula bagi Pendekar Rambut Emas ini untuk mengalahkan See-ong, kakek yang hebat itu. Maka begitu sang isteri membentak dan sudah melihat bayangan kakek itu, yang sebenarnya lebih dulu dilihat pendekar ini maka Swat Lian melengking melihat kakek itu menuju ke arah muridnya, yang dikurung di belakang rumah mereka.

"Heii..!" nyonya itu berteriak."Pertandingan kita belum selesai, See-ong. Kau masih mempunyai sebuah hutang jiwa untuk arwah ayahku!"

"Ha-ha, aku sudah menemukan muridku!" kakek itu tertawa bergelak. "Lain kali biar kita main-main lagi, hujin. Aku sudah tak bernafsu setelah melihat kelicikan suamimu!"

"Keparat, suamiku tidak licik. Dia menantangmu bertanding dan hayo layani dia atau aku!" sang nyonya tak mau melepaskan See-ong, tentu saja marah karena hutang kakek itu belum dibayar.

See-ong sudah berkelebat ke arah muridnya dan cepat sekali kakek ini sudah membuka kerangkeng. Siang Le memang dikerangkeng oleh keluarga pendekar itu sebagai hukumannya, tak tahunya sang guru sudah datang dan sekali renggut gembok besi itupun putus, hancur di tangan See-ong. Dan ketika kakek itu terbahak menyeramkan dan muridnya sudah disambar maka See-ong membalikkan tubuh ketika pukulan si nyonya tiba.

"Dess!" See-ong mencelat bersama muridnya. Kakek ini berteriak tapi sudah berjungkir balik, menggerakkan tangan dan tiba-tiba lenyaplah dia ketika Hek-kwi-sut meledak, melindungi kakek itu dan Swat Lian kehilangan lawan. Nyonya ini mencak-mencak namun See-ong menghilang, tak mau berlama-lama di situ karena dilihatnya Pendekar Rambut Emas berkelebat di belakang isterinya, siap membantu dan menyerang kakek ini, kalau See-ong melepas pukulan lagi. Tapi ketika kakek itu terbahak di kejauhan sana dan benar-benar tak mau bertempur lagi, setelah mendapatkan muridnya maka Swat Lian membanting kaki berteriak gusar,

"See-ong, kau pengecut tak tahu malu. Hayo hadapi aku dan jangan lari!"

"Sudahlah," suaminya, Pendekar Rambut Emas berkata, menekan pundak sang isteri. "See-ong datang hanya untuk mengambil muridnya, isteriku. Dan Siang Le telah diambilnya. Kita tak usah mengejar."

"Ah, tak mengejar bagaimana? Dia berhutang satu jiwa, suamiku. Kita harus mengejar dan membunuhnya!"

"Tapi Beng An menangis, lihat!" Pendekar Rambut Emas mencubit puteranya, menangis dan tentu saja sang isteri tertegun.

Beng An yang sejak tadi tak menangis dan tak berkedip tiba-tiba saja kini menangis keras, Swat Lian menyambar dan tak tahu perbuatan suaminya, mendiamkan dan cepat memeluk anaknya itu. Dia tak tahu bahwa suaminya tak menghendaki pengejaran, ada banyak sebab yang membuat Pendekar Rambut Emas ini membiarkan See-ong lari, satu di antaranya ialah dengan lepasnya Siang Le, pemuda yang tak disuka dan dibenci isterinya. Maka begitu dia berhasil mencegah isterinya dan dengan mencubit Beng An tiba-tiba saja puteranya ini menangis keras maka diam-diam pendekar ini lega dan mengangguk dalam hati, tersenyum tapi isterinya mendamprat.

Swat Lian marah-marah karena kenapa suaminya membiarkan See-ong lolos, padahal suaminya itu pasti lebih tahu di mana See-ong berada daripada dirinya, karena suaminya itu memiliki tenaga batin yang lebih tinggi. Tapi ketika dengan tenang pendekar ini menjawab bahwa tak mungkin dia mengejar kalau Beng An bersamanya maka dengan tepat dan jitu sang suami telah memadamkan kemarahan isteri.

"Lihat, Beng An bersamaku. Bagaimana mungkin mengejar kakek itu, isteriku? Aku tak berani mengorbankan Beng An, kakek itu terlampau berbahaya dan lihai!'

Swat Lian diam. Akhirnya sang nyonya dapat melihat ini, mengakui. Kembali tak tahu bahwa suaminya berbohong, demi keselamatan semua. Dan ketika dengan uring-uringan wanita cantik ini kembali ke tempatnya dan di sana seluruh bangsa Tar-tar berdebar melihat semuanya itu maka Kokthai datang lagi dan terbata-bata melapor,

"Taihiap, maaf.... hujin, ampunkan aku. Di luar ada seorang wanita mau menghadap!"

"Siapa lagi? Wanita dari mana?" sang nyonya tiba-tiba melampiaskan kemarahannya yang sudah reda kepada laki-laki ini. "Suruh dia masuk, biar kudamprat!"

"Aku..." suara lirih dan hampir tidak terdengar ini tiba-tiba diiring isak tertahan. "Maaf, Kim-hujin (nyonya Kim), agaknya aku datang tidak tepat pada waktunya..."

"Cao Cun...!" Swat Lian dan Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berseru hampir berbareng. Mereka menoleh dan cepat memandang ke arah suara itu, melihat seorang wanita cantik tiba-tiba menutupi mukanya dengan menangis, ditahan-tahan tapi akhirnya tangis itu meledak juga. dan ketika di belakang wanita cantik ini berdiri menggigil dua gadis remaja yang berhidung mancung tiba-tiba mereka berlutut dan menjatuhkan diri di depan Kim-mou-eng dan isterinya.

"Taihiap, hujin... kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kami dan ibu... ah, kami dan ibu datang mengganggu...!"

Kim-mou-eng berkelebat. Tiba-tiba dia tersentak melihat kedatangan tiga orang ini, yang ternyata diiring dengan beberapa pengawal dan dayang. Mereka itu adalah bangsa U-min yang mengawal Cao Cun, semuanya tampak pucat dan gemetar memandang Swat Lian. Nyonya cantik ini sedang marah-marah dan mereka gentar, menggigil. Tapi ketika Kim-mou-eng membangunkan Cao Cun dan cepat dua gadis remaja itu juga diangkat pendekar ini maka Swat Lian bergerak dan sudah menangkap Cao Cun, memeluknya.

"Maaf, aku... aku tak tahu kalau kau yang datang, Cao Cun. Aku sedang marah-marah karena See-ong menggangguku!"

"Aku tahu," Cao Cun berbias air mata, tersedu-sedu. "Dan aku yang salah, hujin. Ah, orang malang seperti diriku ini memang selalu mendatangkan sial kepada orang lain. Maaf, kalau begitu... kalau begitu biarkan aku pergi!" dan Cao Cun yang mengguguk dan melepaskan diri dari pelukan nyonya rumah tiba-tiba memutar tubuhnya dan menangis berguncang-guncang, terpukul dan juga terkejut oleh kemarahan Swat Lian tadi. Wanita ini berlari namun tiba-tiba jatuh, tersandung tali kemah.

Dan ketika Swat Lian menyambar dan mencengkeram wanita itu maka nyonya cantik ini ikut menangis, menyesal. "Cao Cun, maafkan aku. Aku tak sengaja, aku tak memaki-makimu. Ada apa dan kenapa kau datang begini tiba-tiba? Siapa dua gadis ini yang bersamamu? Apakah Nangi dan Salini?"

"Ooh, kau tahu?" mata itu tertegun, tangis pun berhenti. "Mereka benar Salini dan Nangi, Kim-hujin, mereka anak-anakku!"

"Hm, mari duduk. Aku dan suamiku benar-benar terkejut melihat kedatanganmu ini. Mari... mari... jangan dengarkan kata-kataku tadi atau aku akan berlutut di depanmu minta maaf!"

"Ah, jangan!" Cao Cun menahan pundak wanita ini. "Kau tak bersalah, hujin. Akulah yang datang tidak tepat pada waktunya..."

"Tidak, setiap waktupun kau boleh datang ke mari, Cao Cun. Tapi omong-omong beritahukan pada kami bagaimana kau datang begini tiba-tiba, mengejutkan!"

"Maaf," Cao Cun tak menghiraukan. "Aku ingin tahu bagaimana kau bisa mengenal nama puteri-puteriku ini, hujin. Dari mana kau tahu dan apakah pernah bertemu mereka?"

"Tidak, aku... hm, aku mendengarnya dari Ituchi..!"

"Apa?"

"Benar, Ituchi telah datang ke sini, Cao Cun. Dan aku telah mendengar apa yang terjadi di antara kalian ibu dan anak. Barangkali kau datang untuk ini?"

"Ooh...!" dan Cao Cun yang mengguguk dan terhuyung menutupi mukanya tiba-tiba kembali menangis dan roboh, diangkat nyonya rumah tapi wanita itu tak mau. Cao Cun tersedu-sedu dan akhirnya dua anak perempuannya itu menangis pula, menubruk ibu mereka. Dan ketika ibu dan anak menangis menggeletar-geletar maka Pendekar Rambut Emas saling pandang dengan isterinya dan mendapat isyarat, disuruh maju.

"Cao Cun, agaknya tak ada masalah di dunia ini yang hanya bisa diselesaikan dengan tangis. Maaf, bangkitlah dan ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi. Aku dan isteriku pasti membantu. Bangkitlah, jangan membuat kami bingung!"

Cao Cun mengguguk. Kalau saja mereka masih sama-sama muda dan belum pernah berkeluarga pasti ditubruknya Pendekar Rambut Emas ini, laki-laki yang selalu menolongnya dan pernah membuat dia tergila-gila, jatuh cinta demikian hebat tapi kini semuanya itu tak mungkin dilakukan. Pendekar ini telah beristeri dan diapun membawa anak-anaknya, Salini dan Nangi itu. Maka begitu Pendekar Rambut Emas membujuk dan menarik pundaknya secara perlahan-lahan maulah wanita ini bangun berdiri, bertatap sejenak tapi tiba-tiba dia menubruk Swat Lian, menangis di situ. Dan ketika Swat Lian memeluknya dan Beng An sudah diserahkan pada seorang pembantu maka Cao Cun tersendat-sendat menceritakan maksud kedatangannya.

"Aku... aku bukan datang untuk masalah puteraku itu. Tetapi datang untuk urusan negara!"

"Ah, urusan apa?"

"Rencana penyerbuan, hujin, peperangan besar yang bakal menyengsarakan rakyat!"

Swat Lian tertegun. "Peperangan?"

"Benar, hujin. Perang antara bangsa U-min dengan Tiongkok, antara bangsa itu dengan bangsa-bangsa lain, termasuk bangsamu, Tar-tar!"

Swat Lian terkejut. Tapi belum dia bertanya tiba-tiba suaminya sudah mencekal lengan wanita ini. "Cao Cun, apa katamu? Bangsa U-min mau melakukan perang besar? Mereka gila dan tidak sehat? Bukankah Cucigawa sudah tunduk dan di bawah kekuasaan kaisar?"

Cao Cun tersedu. "Ada sesuatu yang terjadi, Kim-twako, perobahan besar-besaran. Dan perobahan inilah yang membuat segalanya itu bakal terjadi!"

"Sampai kau melarikan diri ke sini?"

"Benar."

"Ah, coba ceritakan itu!" dan Pendekar Rambut Emas yang melepaskan cekalannya ketika Cao Cun menarik secara halus lalu mendengar satu kalimat yang mengejutkannya bagai mendengar petir di siang bolong,

"Bangsa U-min kini dikuasai seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Togura, putera mendiang suhengmu Gurba!"

"Apa?"

"Benar, pemuda itu datang bersama kelima gurunya, Kim-twako. Dan bangsa-bangsa Uighur maupun Khitan sudah ditaklukkan, digabung dengan bangsa U-min ini. Mereka hendak melakukan serbuan besar-besaran, menghantam dan menyerbu Tiongkok!"

Pendekar Rambut Emas tertegun. Pendekar ini terbelalak dengan muka kaget, berita itu seperti petir di siang bolong baginya. Tapi ketika dia berhasil menenangkan diri dan mengeluarkan seruan tertahan maka Cao Cun menangis mengepal-ngepal tinjunya.

"Twako, bocah ini amat lihai. Aku takut karena tugasku akan gagal. Kau tolonglah aku dan cegah keponakanmu ini!"

"Hm!" Kim-mou-eng tertegun, kagum. "Kau selalu memikirkan tugas jauh di atas urusan pribadimu sendiri, Cao Cun. Seharusnya kau lebih berduka untuk permusuhanmu dengan Ituchi!"

"Aku... aku dapat menahan itu. Aku memang salah..."

"Tidak!" Swat Lian tiba-tiba menyambar lengannya, ganti merasa kagum. "Kau tak bersalah, Cao Cun. Ituchi tak tahu apa yang terjadi atas dirimu. Kami telah menjelaskannya, dan pemuda itu kembali lagi bersama Thai Liong!"

"Apa? Dia mencari aku?"

"Benar, dia ingin minta maaf, Cao Cun. Kami menasihatinya banyak-banyak hingga puteramu sadar. Kau tenanglah, puteramu tidak membencimu!"

"Ooh!" Cao Cun yang gembira dan bahagia mendengar ini tiba-tiba menubruk wanita cantik itu, menangis girang. "Terima kasih, hujin... ooh, terima kasih...!"

"Sudahlah," Swat Lian terharu, mencium wanita yang pernah mencinta suaminya ini. "Puteramu adalah seorang yang gagah, Cao Cun. Dia persis ayahnya, Raja Hu. Aku yakin tak akan ada apa-apa di antara kalian ibu dan anak!"

Cao Cun terisak-isak. Akhirnya dia mengangguk dan hanya mengangguk-angguk saja, kerongkongannya tersekat oleh kebahagiaan itu. Ah, Ituchi puteranya ternyata tak membencinya. Anak laki-lakinya yang hanya satu-satunya itu sudah mau mengerti keadaannya, kesukarannya dan ini semua adalah berkat jasa Pendekar Rambut Emas suami isteri. Maka begitu Swat Lian memeluknya dan Cao Cun balas mencium maka wanita ini gemetar menyatakan terima kasih yang berulang-ulang, membuat Swat Lian semakin terharu.

"Sudahlah," Swat Lian akhirnya teringat persoalan semula. "Sekarang bagaimana menghadapi persoalanmu, Cao Cun. Bagaimana dengan Togura itu dan apa yang harus kami lakukan?"

"Aku menyerahkannya pada suamimu..." Cao Cun menghela napas memandang Pendekar Rambut Emas. "Aku tak berdaya apa-apa..."

"Hm...!" Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar matanya. "Jadi putera suhengku itu sudah menguasai bangsa U-min, Cao Cun?"

"Bukan hanya bangsa U-min, twako, melainkan bangsa-bangsa lain termasuk Khitan dan Uighur!"

"Baiklah, aku akan melihat anak itu!" Pendekar Rambut Emas gemas. "Bagaimana pendapatmu, isteriku? Adakah sesuatu saran atau pendapat?"

"Aku terserah kau," sang isteri menjawab. "Apakah kau akan ke sana, suamiku? Membekuk dan menangkap putera mendiang suhengmu itu?"

"Hm, tentu. Ini berbahaya. Dapat pecah perang besar antara Tiongkok dengan bangsa-bangsa yang sudah dikumpulkan Togur!"

"Kalau begitu lihatlah, aku di sini bersama Cao Cun!" Swat Lian setuju, melegakan hati sang suami sementara Cao Cun terharu.

Wanita ini terisak dan mencengkeram lengan Swat Lian, tiba-tiba teringat kematian Hu-taihiap dan menyatakan menyesal atas itu, tak dapat memberikan apa-apa selain rasa duka cita yang mendalam. Dan ketika Swat Lian menahan runtuhnya air mata teringat kematian ayahnya ini maka hari itu rombongan Cao Cun diterima, menjadi tamu bagi bangsa Tar-tar dan Cao Cun berterima kasih sekali. Untuk kesekian kalinya lagi dia menerima kebaikan keluarga Kim-mou-eng, bukan main.

Berkali-kali dia harus merepotkan pendekar ini selama perjalanan hidupnya. Dan ketika Kim-mou-eng hendak berangkat dan Swat Lian tak khawatir akan keberangkatan suaminya ini, karena Togur dan guru-gurunya dianggap enteng karena memang dulu suaminya itu dapat menundukkan Siauw-jin dan teman-temannya maka Cao Cun berlutut di kaki Pendekar Rambut Emas ini, mengejutkan yang bersangkutan.

"Kim-twako, atas nama bangsa U-min dan diriku pribadi aku hendak menyatakan terima kasih dan syukur yang sebesar-besarnya. Kau sungguh mulia, semoga selamat dan pulang secepatnya, anak isterimu menunggu!"

"Ah," Kim-mou-eng terkejut. "Jangan begini, Cao Cun. Bangunlah!" lalu menepuk pundak wanita itu dan menampar perlahan pendekar ini menegur. "Kau dan aku sudah seperti saudara. Jangan membuat malu aku dengan penghormatanmu yang berlebihan itu!"

"Tidak," wanita ini terisak. "Aku bicara atas nama bangsa U-min, twako. Mereka pantas berlutut di depan kakimu. Semoga berhasil, doaku bersamamu!"

Kim-mou-eng tertawa. Dia mendorong dan mengejap pada isterinya, agar berhati-hati melindungi wanita ini, juga rombongannya. Namun ketika dia hendak berkelebat dan mau berangkat tiba-tiba Cao Cun teringat kelihaian Togura dan berpesan,

"Twako, hati-hati terhadap keponakanmu itu. Dia mampu mengalahkan guru-gurunya!"

Kim-mou-eng tersenyum. Untuk ini ia hanya mengangguk dan tidak menyimpannya dalam hati. Cao Cun adalah seorang wanita lemah yang tidak tahu tinggi rendahnya ilmu silat, tak perlu digubris dan tentu saja pesannya itu dianggap pesan kehati-hatian belaka. Maka begitu dia mengucap tak usah khawatir karena dia dapat menjaga diri maka berkelebat dan lenyaplah pendekar ini berseru pada isterinya,

"Niocu, jaga Beng An. Aku pergi!" dan begitu Pendekar Rambut Emas lenyap meninggalkan semuanya maka mengangguk dan berdebarlah Cao Cun, yang diam-diam agak was-was karena Togura sekarang memang lihai!

* * * * * * * *

Siapa yang akan kita ikuti? Pendekar Rambut Emas ini ataukah Thai Liong dan Ituchi, yang juga berniat dan menuju ke bangsa U-min itu? Tapi mengingat dua orang pemuda ini lama tak muncul dan agaknya membelokkan perjalanan biarlah kita ikuti perjalanan Pendekar Rambut Emas ini, di mana dengan sedikit mendongkol dan gemas dia hendak membekuk pemuda itu, pemuda yang pemberani dan termasuk tak kenal takut, penuh dengan semangat menyala-nyala.

Dan Kim-mou-eng melihat duplikat suhengnya di situ, mendiang Gurba yang gagah perkasa namun sayang sesat, menjadi hitam perjalanan hidupnya karena nafsu dan ambisi, yang akhirnya membawanya ke jurang kehancuran dan menarik napaslah pendekar ini teringat semuanya itu. Dan ketika dengan ilmunya yang luar biasa pendekar ini terbang ke bangsa U-min maka Kim-mou-eng dibuat tertegun karena di suku bangsa itu yang tinggal hanyalah perempuan dan anan-anak, juga orang tua.

"Semua yang muda-muda dan kuat pergi berperang. Raja yang baru membawa mereka."

Begitu Kim-mou-eng mendapat keterangan setelah menemui seorang kakek tinggi kurus, pucat dan gemetar dan Kim-mou-eng bertanya bagaimana tanggapan kakek itu tentang Togura, yang telah mengangkat diri sebagai raja dan orang tua itu mengerutkan kening. Dia memandang ragu ke arah pendekar ini yang berambut keemasan, curiga dan was-was karena dia tak tahu siapa yang diajak bicara. Tapi ketika Kim-mou-eng menenangkan orang tua itu dengan kepandaiannya yang luar biasa di mana dia dapat menghilang dan muncul lagi di depan kakek itu maka kakek ini akhirnya menganggap Kim-mou-eng sebagai dewa!

"Ah, kiranya aku berhadapan dengan Sin-sian (Dewa Sakti). Ampun, hamba tak tahu, Sin-sian... hamba tak tahu...!"

"Bangkitlah, tak apa," Kim-mou-eng tersenyum, mengetahui bahwa suku-suku di luar tembok besar memang masih kuat takhyulnya, kepercayaan pada dewa-dewa. "Katakan padaku bagaimana kesanmu dengan raja yang baru, orang tua. Baik atau tidak?"

"Sama saja," sang kakek berseru. "Raja Cucigawa maupun raja yang baru ini sama-sama mempergunakan kepentingannya melalui rakyat, Sin-sian. Mereka sama-sama jahat dan aku tak suka!"

"Hm, apa yang dilakukannya?"

"Pemerasan dan pemaksaan. Semua anak muda di sini harus menjadi prajurit dan diajak berperang. Raja yang baru bahkan haus darah!"

Kim-mou-eng mengangguk-angguk. Dia lalu mendengarkan cerita kakek itu, betapa Togura mempergunakan kelebihannya untuk memaksa bangsa U-min, mengajak pemudanya untuk maju sebagai prajurit, ingin menyerbu Tiongkok dan menundukkan bangsa Han, menyapu bersih bangsa-bangsa lain yang tidak mau tunduk kepadanya, bersikap tangan besi dan haus perang. Ingin menjadi yang terbesar di antara yang besar. Dan ketika kakek itu mulai menangis ketika menceritakan bahwa pemuda ini juga suka mempermainkan wanita-wanita cantik tidak perduli gadis atau isteri orang maka kakek itu tersedu.

"Mantuku menjadi korban. Dan anak laki-lakiku, ah... raja yang baru ini jahat sekali, Dewa. Kau tolonglah aku dan bangsa U-min...!"

"Apa yang dia lakukan?"

"Mantuku perempuan diambil, dipermainkan. Lalu ketika anakku laki-laki menuntut dan marah-marah ternyata anakku itu malah dibunuh!"

"Hm, dan mantu perempuanmu?"

"Akhirnya... akhirnya bunuh diri, Dewa. Dia katanya diberikan pada dua kakek iblis yang memperkosanya hingga pingsan!"

"Siapa kakek iblis itu?"

"Guru dari Raja Muda, yang satu cebol yang lain tinggi kurus!"

Cukuplah bagi Kim-mou-eng. Itu tentu Hek-bong Siauw-jin dan Cam-kong, guru Togura. Kakek-kakek yang bisa melakukan hal-hal yang lebih keji lagi, yang sudah membuat muka Pendekar Rambut Emas ini merah padam. Dan ketika si kakek menceritakan lagi betapa sebagian besar wanita-wanita cantik di situ sudah dinodai Togura, raja yang masih muda namun hebat itu maka kakek ini menuding ke sana ke mari.

"Lihat mereka itu... tanyakan semuanya. Tak ada yang tidak dipermainkan Raja Muda, Dewa. Gadis-gadis di sini dilalap hampir setiap malam. Dan yang lebih keji, raja dan dua kakek iblis itu mulai mengganggu anak-anak kecil untuk diperkosa, laki-laki ataupun perempuan!"

Kim-mou-eng hampir tak kuat lagi. Kalau Togura dan dua gurunya laki-laki sudah mengganggu anak-anak kecil untuk diperkosa dan dipermainkan maka pemuda itu sudah menderita kelainan jiwa. Kim-mou-eng bergidik dan ngeri, tentu saja marah, juga geram, di samping muak. Dan ketika si kakek berlutut di bawah kakinya agar dia menyelamatkan bangsa itu maka Kim-mou-eng berkelebat lenyap setelah menanya ke mana Togura membawa pasukannya, yang berjumlah tak kurang dari sepuluh ribu orang.

"Mereka ke selatan, mendobrak tembok besar. Tolong Dewa membunuh pemuda itu..."

"Baik!" dan Kim-mou-eng yang lenyap sebelum omongan si kakek habis tiba-tiba membuat kakek itu bengong dan kaget, menjublak sekian lamanya karena dilihatnya bayangan kuning keemasan 'terbang' ke selatan, begitu cepat dan akhirnya lenyap seperti kilat menyambar.

Tapi ketika dia sadar dan melonjak girang tiba-tiba kakek ini berteriak memberi tahu semua wanita dan anak-anak yang ada di situ, juga lelaki tua yang lain-lain di mana dia mengabarkan bahwa seorang dewa telah datang memperhatikan mereka, siap menolong dan menghadapi Raja Muda, sebutan yang mulai dipergunakan untuk Togur, yang telah menguasai dan menundukkan mereka semua. Dan ketika yang lain juga bengong dan sempat melihat kilasan kuning emas itu maka kakek itu sudah mengajak semuanya menjatuhkan diri berlutut, menengadahkan lengan ke atas.

"Dewa telah menolong kita. Kita harus mengucapkan terima kasih...!"

Semua beramai-ramai berlutut. Kilatan emas yang lenyap dengan amat cepatnya itu dianggap sebagai bukti omongan kakek ini. Mereka percaya dan tentu saja gemetaran ke arah 'dewa', berkali-kali membenturkan dahi dan menggumamkan kata-kata cepat menyampaikan isi hati mereka, kegembiraan dan harapan.

Namun sementara orang-orang itu berlutut ke arah bayangannya sementara Pendekar Rambut Emas sendiri sudah berkelebat dan meluncur ke selatan maka pendekar ini mengerahkan semua kecepatannya untuk mengejar, kaget dan gelisah karena Togura telah melakukan penyerbuannya. Bangsa U-min dan bangsa-bangsa lain dibawa, betapa liciknya pemuda itu, juga berbahaya karena yang akan menjadi korban tentulah orang-orang kecil itu, para prajurit rendahan yang hanya menjalankan perintah atasannya.

Dan ketika tembok besar sudah didekati dan bagai terbang saja pendekar ini melakukan pengejaran ternyata Togura sudah menjebol perbatasan dan masuk bersama pasukannya, melihat mayat di mana-mana dan Kim-mou-eng marah. Serbuan besar-besaran yang kiranya tidak diduga oleh bangsa Tiongkok itu membuat penjaga di perbatasan kacau, dibabat dan tak ada yang sempat melapor. Togura menggilas dan menyerbu bersama pasukannya, masuk dan terus menyerang ke selatan. Dan ketika satu demi satu kota-kota di dekat perbatasan jatuh dan diduduki pasukan pemuda tinggi besar ini maka Kim-mou-eng bengong di kota Ci-nien, melihat kota itu sudah hancur dan rata dengan tanah!

"Keparat! Kau jahanam bedebah, Togur. Kau menggelimangi bumi Tiongkok dengan darah!"

Kim-mou-eng geram. Pendekar ini akhirnya berkelebat lagi, lenyap dan menuju kota-kota lain. Tapi ketika satu demi satu kota-kota I-yang dan I-peh juga sudah dibumi hanguskan dan tampaknya dengan cepat pemuda ini menggerakkan pasukannya maka di sebuah perkampungan yang apinya masih menyala pendekar ini mendengar rintihan seseorang.

"Taihiap, tolong...!"

Kim-mou-eng berkelebat. Cepat dan luar biasa ia telah mendekati asal suara itu, tak melihat orangnya tapi segera pendekar ini tertegun karena seorang laki-laki terjepit di bawah balok kayu, juga masih menyala dan hampir seluruh tubuh laki-laki itu terbakar. Heran bahwa dia masih hidup, menunjukkan betapa kuatnya laki-laki ini! Dan ketika Kim-mou-eng mendorong dan melempar balok kayu yang menjepit laki-laki itu maka Kim-mou-eng semakin tertegun setelah mengenal wajah orang yang hitam penuh arang kayu, nyaris tak dikenal.

"Bu-ciangkun (panglima Bu)...!" pendekar itu bergerak, menotok dan cepat meringankan penderitaan orang dengan pengerahan sinkang di dada, membersihkan mukanya dan tampaklah wajah yang gagah namun menahan sakit itu, menangis dan panglima ini tiba-tiba mengguguk. Dan ketika Kim-mou-eng melihat bahwa sebatang kayu merah menyala menancap di pantat panglima ini, yang tentu amat menyakitkan dan pedih panglima itu sudah tersedu-sedu, malu dan marah.

"Kim-taihiap, murid Enam Iblis Dunia itu membuatku begini. Dia kejam dan telengas. Dia... dia menancapi pantatku dengan kayu yang menyala!"

"Hm!" Pendekar Rambut Emas merah mukanya. "Dia yang melakukan ini, ciangkun? Kau disiksanya?"

"Benar, dan dia... ah, dia putera mendiang Gurba, taihiap, keponakanmu.... augh!" panglima ini menjerit, Kim-mou-eng mencabut kayu yang menyala itu dan bokong atau pantat Bu-ciangkun ini terbakar, merah dan melepuh dan pedihlah hati Pendekar Rambut Emas melihat itu. Namun ketika dia memborehkan obat dan sang panglima mengeluh ternyata panglima ini tak dapat menggerakkan tubuhnya barang sedikit pun.

"Aduh, tobat, taihiap... sakit! Aku tak mungkin hidup...!" "Tenanglah," Pendekar Rambut Emas menotok sana-sini, diam-diam khawatir, "Sekujur tubuhmu luka bakar, ciangkun. Aku akan menolongmu."

"Percuma," panglima tinggi besar ini merintih. "Aku menderita pukulan dalam, taihiap. Sembuh luka bakarku itu tak mungkin sembuh dari luka pukulan ini!"

"Hm, siapa yang memukulmu?"

"Bocah itu, juga gurunya!"

Kim-mou-eng lalu menyuruh diam sahabatnya ini. Luka dalam ternyata memang diderita panglima itu, Bu-ciangkun melontakkan darah segar ketika batuk, hitam dan kental. Dan ketika Kim-mou-eng kembali menempelkan tangan di dada namun panglima itu batuk-batuk dan merintih maka dengan terkejut Pendekar Rambut Emas mendapat kenyataan bahwa isi dada panglima ini banyak yang pecah, di antaranya paru-paru!

"Ah, keadaanmu berbahaya, ciangkun. Kita harus mencari rumah kosong di sini!"

"Tak akan menolong," panglima itu menggigit bibir. "Aku tahu bahwa lukaku parah, taihiap. Setelah menerima pukulan berat dadaku masih diambruki balok kayu ini. Augh, keparat... bocah itu benar-benar jahanam keparat...!" panglima ini merintih, batuk-batuk lagi dan Kim-mou-eng putus harapan. Dia coba memberi pil penolong namun tak tertelan, terlontak dan meloncat dari mulut panglima ini. Dan ketika beberapa kali gagal dan panglima itu sesak napasnya maka dengan gemetar panglima ini menggoyang lengan, berkata,

"Taihiap, aku tahu nyawaku tak akan tertolong. Masih dapat hidup sekian lama saja sudah untung. Ah, agaknya Tuhan menunda kematianku agar bertemu denganmu. Sudahlah, aku tak mengharap hidup, taihiap... tapi satu permintaanku cegahlah pemuda itu menyerbu istana. Dia... dia akan menyerang kota raja...!"

"Hm, aku tahu," Kim-mou-eng mengerutkan kening. "Dan kedatanganku memang hendak membekuk pemuda itu, ciangkun. Cao Cun telah memberi tahu aku dan aku akan menangkap keponakanku itu!"

"Bersama gurunya..." panglima ini mendelik, mengepal tinju. "Mereka... mereka orang-orang berbahaya, taihiap. Tapi murid keponakanmu itu, ahh... dia lihai benar!"

"Hm," Kim-mou-eng mengerutkan kening. "Memang dia murid Enam Iblis Dunia, ciangkun, tentu lihai dan terlalu berbahaya bagimu!"

"Tidak... tidak, bukan begitu...!" sang panglima menggeleng, batuk dan muntah darah lagi. "Dia... dia memiliki ilmu luar biasa, taihiap. Seperti pukulan yang diarahkan padanya pasti membalik dan mengenai diri penyerangnya sendiri! Aku... aku baru pertama itu melihatnya...!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. "Begitu?"

"Ya, begitu, taihiap. Dan... dan, ah... aku tak kuat. Aku... aku, ooh...!" panglima itu tiba-tiba terguling, berkelojotan. "Tolong ke kota raja, taihiap... beritahukan kaisar...!"

Pendekar ini cemas. Bu-ciangkun disambar tapi sang panglima tak sanggup duduk, setiap dibangunkan tentu roboh lagi. Dan ketika Pendekar Rambut Emas coba menolong namun selalu gagal tiba-tiba panglima ini mengerang dan kejang-kejang.

"Taihiap, biarkan aku... ohh, kau tolonglah sri baginda... cepat ke kota raja dan biarkan aku...!"

"Kau masih hidup," Pendekar Rambut Emas membelalakkan matanya. "Aku tak mungkin meninggalkanmu, ciangkun. Aku akan menolongmu sebisaku!"

"Terlambat..." panglima itu menggigil kian hebat. "Aku akan mati, taihiap... tak mungkin kau tolong. Pergilah... pergilah lindungi kaisar...!" lalu, melihat Pendekar Rambut Emas ragu dan tentu saja tak mau pergi mendadak panglima ini menahan napasnya. Muka membengkak dan tiba-tiba saja dia mengatupkan mulut, hal yang semula tak dimengerti pendekar itu tapi Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berseru kaget. Inilah peristiwa mempercepat kematian dengan bunuh diri, menahan napas sekuat-kuatnya dan tentu saja muka panglima itu kian bengkak, seakan pecah. Dan ketika panglima itu mendelik dan dari dalam mulutnya seakan terdengar letupan kecil mendadak panglima ini roboh dan terguling, urat-urat mukanya pecah!

"Ciangkun...!"

Panglima itu terbang nyawanya. Kim-mou-eng sadar setelah terlambat, bengong melihat panglima itu ambruk dan terkulai, mukanya kebiruan, mengerikan sekali. Tapi ketika Kim-mou-eng tertegun dan menjadi pedih maka dia membungkuk dan memejamkan mata yang masih melotot itu, berbisik agar arwah Bu-ciangkun pergi dengan tenang. Dia akan mengejar Togura dan pemuda itu akan dihadang. Mata yang melotot tiba-tiba menutup, aneh.

Dan ketika Kim-mou-eng menarik napas dan menyesal atas kematian sahabatnya ini, panglima yang gagah perkasa dari kota raja maka jenasah Bu-ciangkun dimakamkan, tertunda perjalanannya namun Kim-mou-eng sudah memburu waktu, bersicepat dan siang itu juga dia bergerak melanjutkan perjalanannya.

Di mana-mana melihat sepak terjang Togura bersama kelima gurunya, mayat-mayat yang bergelimpangan dan kota-kota yang dibumihanguskan, rata dengan tanah. Dan ketika dia memasuki wilayah propinsi Liao-ning di mana dari utara pasukan Togura akan bergerak menyusur barat daya untuk menuju kota raja maka Kim-mou-eng akhirnya melihat ribuan pasukan pemuda itu yang sudah menduduki Shen-yang!

"Keparat, benar-benar gerakan super cepat!‖ Kim-mou-eng tertegun, malam menjelang tiba dan pandangannya terhalang. Ribuan lampu-lampu teng yang dipasang di dalam kota tampak indah gemerlapan. Kim-mou-eng berkelebat dan marah memasuki kota ini, yang ternyata dijaga amat ketat dengan setiap jengkal dijaga tak kurang dari sepuluh orang, jadi hampir sekeliling tembok tinggi tak ada yang kosong dan pasukan itu tetap siaga dengan amat gagahnya.

Di tengah kota terdengar ramai-ramai tanda pesta, genderang atau nyanyian kemenangan di mana yang bertugas jaga tetaplah berdisiplin jaga, yang mau tak mau membuat Pendekar Rambut Emas kagum, tak dapat masuk begitu saja tanpa merobohkan beberapa pengawal. Dan ketika hal ini sudah dilakukan pendekar itu dan Kim-mou-eng lenyap berkelebat masuk maka pendekar ini sudah mencium bau arak di mana-mana.

"Hidup Raja Muda! Hidup pemimpin kita yang perkasa!"

"Ha-ha, benar, kawan. Hidup Raja Muda dan hidup pemimpin kita yang perkasa...!"

Istana Hantu Jilid 12

ISTANA HANTU
JILID 12
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SWAT LIAN tersedu-sedu. Tiba-tiba wanita ini menangis tak dapat menahan diri, mengguguk dan menubruk suaminya itu, memeluk, berguncang-guncang. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menarik napas panjang dan mengelus rambut isterinya ini maka dia berkata, tenang namun berpengaruh,

"Isteriku, kau harus ingat pada putera kita yang kecil ini. Beng An tentu tak dapat dibawa-bawa sesuka hati. Dia butuh tempat yang aman, perlindungan dari ibunya. Kalau kau gelisah memikirkan puterimu itu bagaimana kalau aku saja yang pergi? Aku dapat mencari Soat Eng, tapi tentu puterimu tak puas. Sebenarnya dia harus diberi sedikit kebebasan juga, menimba pengalaman. Kalau kau setuju aku dapat berangkat sekarang."

Kepala yang melekat di dada itu tiba-tiba terangkat, terkejut. "Kau mau meninggalkan aku pula?"

"Hm, tidak. Hanya sekedar mencari puteri kita, isteriku, menenteramkan hatimu agar kau tidak gelisah."

"Ah, aku tak mau. Kalau begitu biar Eng-ji pergi asal tidak terlampau lama!" dan sang isteri yang mendekap dan memeluk suaminya lagi ternyata emoh ditinggal kedua-duanya, pertama puterinya dan sekarang ini suaminya juga mau pergi. Tentu saja dia tidak mau! Dan ketika Pendekar Rambut Emas tersenyum dan membelai pundak isterinya maka sebuah ciuman sayang mendarat di pipi sang isteri.

"Nah, begitu. Seharusnya kau tidak membuat Eng-ji harus selalu berkumpul dengan ayah ibunya. Bukankah kelak dia juga akan menikah dan meninggalkan kita?"

"Hm...!" bibir yang tersenyum itu tiba-tiba berkerut tak senang, begitu mendengar masalah jodoh. "Aku tentu tak akan melarang puteriku menikah, suamiku. Tapi kalau dengan Siang Le... hm!" mata itu ketus menjawab. "Tak usah!"

"Kau aneh." Suaminya tertawa. "Siapa menyebut-nyebut nama bocah itu? Aku hanya mengatakan puteriku menikah, niocu. Tapi kau sudah marah-marah seperti kambing kebakaran jenggot dengan menautkan hal ini dengan murid See-ong!"

"Aku memang tak setuju, dan ada baiknya juga kalau Eng-ji pergi!"

"Ha-ha, sekarang berubah. Kau setuju kalau Eng-ji pergi. Eh, bagaimana sebenarnya jalan pikiranmu ini, isteriku? Kenapa kau demikian benci kepada murid See-ong?"

"Aku membenci pemuda itu karena gurunya adalah seorang jahat, pembunuh!"

"Hm, yang jahat adalah See-ong, bukan pemuda ini..."

"Aku tak perduli!" sang isteri sengit. "See-ong atau muridnya sama saja bagiku, suamiku. Dia atau gurunya setali tiga uang!"

"Tapi kenyataan menunjukkan lain," sang suami hati-hati bicara. "Kita lihat murid See-ong ini tak seperti gurunya, niocu. Dan aku jadi teringat tulisan Sian-su!"

"Hm, apa maksudmu?"

"Tidakkah kau tangkap sesuatu?"

"Tidak, aku tak mengerti."

Kim-mou-eng tiba-tiba merogoh saku bajunya. Sekali cabut keluarlah sepotong kertas yang terlipat baik, tidak kumuh dan tetap bersih. Dan ketika sang isteri memandang dan tampak tertegun melihat kertas ini, sepotong surat, maka berkatalah suaminya membeber kertas itu, "Lihat, Sian-su menyuruh kita mencari jawaban syair ini, niocu. Dan kau tahu bahwa apa yang diberikan Sian-su selamanya berharga. Tidakkah sesuatu yang dapat mulai kau tangkap dari kalimat ini?"

"Hm, aku sudah membacanya berulang-ulang, tapi tetap tak dapat menemukan jawabnya. Coba kau terangkan, barangkali kau sudah tahu!"

"Ah, jawabnya belum kuketahui pasti, tapi aku yakin ada hubungannya dengan Siang Le!"

"Apa?"

"Ssst, jangan berteriak-teriak. Aku hanya baru menduga, isteriku. Tapi aku yakin bahwa jawaban syair ini ada hubungannya dengan Siang Le!"

"Coba kau amati lagi, kita baca!"

Swat Lian terkejut, terbelalak memandang suaminya itu dan Pendekar Rambut Emas mengangguk. Nyonya ini agak terkesiap dan kaget karena suaminya adalah orang yang cukup dekat dengan Sian-su, kakek dewa maha sakti itu, berulang-ulang menerima pelajaran hidup dan agaknya sedikit tetapi pasti suaminya itu mulai mengenal gaya dari gurunya, karena Pendekar Rambut Emas ini memang murid dari si kakek dewa, yang lenyap bertahun-tahun dan baru beberapa bulan yang lalu muncul, memperlihatkan diri pada mereka dan menyuruh mereka mencari sesuatu di Sam-liong-to.

Kakek itu berkata bahwa sebuah pelajaran hidup akan mereka temukan, pelajaran berharga dan berguna bagi mereka. Dan ketika suaminya ganti memerintahkan putera-puterinya untuk mencari yang berharga itu maka mereka menunggu di rumah dan kini suaminya itu membuka lipatan kertas itu, syair yang didapat dari Bu-beng Sian-su, sama-sama membaca:

Mencari mutiara di dasar samudera
Terdapat sebutir yang memukau sukma
Menemukan ini mendapatkan surga
Bahagialah sudah sang arif bijaksana!


"Nah," Kim-mou-eng menoleh memandang isterinya. "Belum adakah sesuatu yang kau tangkap?"

"Belum," sang isteri menggeleng, berkerut kening. "Aku belum mengenal jelas gaya atau syair dari Sian-su, suamiku. Lain denganmu yang sudah pernah berkumpul bertahun-tahun dengan gurumu!"

"Hm, jangan begitu. Sian-su ini orangnya luar biasa, isteriku. Meskipun aku muridnya namun hanya sedikit yang dapat kutangkap dari gerak-geriknya!"

"Jadi kau tak tahu?"

"Bukan tak tahu, tapi hanya meraba-raba saja."

"Kalau begitu coba katakan rabaanmu itu, aku ingin tahu!"

"Ada hubungannya dengan Siang Le..." Pendekar Rambut Emas bersungguh-sungguh. "Aku merasa pemuda itu ada kaitannya, isteriku. Dan mungkin dia merupakan pokok pembicaraan di sini!"

"Hm, lagi-lagi Siang Le!" Isterinya mendengus, tak senang. "Kenapa berkali-kali menyebut pemuda ini, suamiku. Kalau benar ada hubungannya maka apakah hubungan itu?"

"Inilah yang belum kutangkap," sang suami agak tak enak. "Aku hanya merasa bahwa Sian-su hendak menjadikan pemuda ini sebagai obyek percakapan, isteriku. Tapi apa inti sarinya terus terang aku tidak tahu!"

"Hm, kalau begitu kau mengada-ada!"

"Tidak, aku tak mengada-ada!" sang suami terkejut. "Eh, kenapa harus mengada-ada? Aku serius, isteriku. Aku bicara sungguh-sungguh!"

"Tapi kau tak menjelaskan selanjutnya. Kau hanya menyebut-nyebut nama pemuda itu!"

"Benar, karena ini yang baru kutangkap!" Lalu mendengar sang isteri mengeluarkan tawa mengejek pendekar ini buru-buru menyambung, "Isteriku, jangan mengejek dulu. Aku lebih mengenal gerak-gerik guruku daripada kau. Coba lihat kata-kata itu, bukankah ada sesuatu yang mirip dengan Siang Le?"

"Apanya yang mirip?"

"Kata-kata memukau itu. Bukankah pemuda ini lain daripada yang lain? Bukankah dia lain dengan gurunya? Hm, aku menduga syair ini erat hubungannya dengan Siang Le, isteriku. Dan ini diperkuat dengan kata-kata 'samudera‘. Bukankah bocah itu terdapat di Sam-liong-to? Dan Sian-su telah menyuruh kita pergi menyelidiki ini, ke Sam-liong-to. Dan karena pemuda itu tampak lain dari yang lain maka aku menduga bahwa Siang Le ini hendak dijadikan obyek percakapan, aku yakin!"

Sang isteri tertegun. Tak dapat disangkal bahwa suaminya itu adalah orang yang amat dekat dengan Bu-beng Sian-su, mengenal gerak-geriknya dan gaya dari kakek maha sakti itu, karena suaminya ini adalah murid. Tapi karena suaminya tak dapat menerangkan lebih jauh dan syair itu seolah ketemu bagian kepala namun kehilangan ekornya maka nyonya ini tak puas dan tentu saja ingin tahu.

"Baiklah, berkali-kali aku menangkap kesan kagum darimu untuk bocah she Siang itu. Lalu apalagi yang kira-kira dapat menopang penemuanmu ini, suamiku? Apakah hanya itu saja?"

"Ini yang menggemaskan. Sian-su terlalu aneh, isteriku, aku gagal untuk menangkap berikutnya. Tapi aku yakin bahwa bocah ini yang hendak dijadikan bahan percakapan!"

"Tentang apa? Maksudku, kejelekannya ataukah kebaikannya?"

"Hm, aku tak tahu. Tapi kalau disebut-sebut kata 'mutiara‘ itu barangkali adalah kebaikannya."

"Phuih, kebaikan apa yang didapat dari murid seorang datuk sesat? Bocah itu tetap tak kusukai, suamiku, apalagi setelah sinar matanya menunjukkan cinta kepada Eng-ji!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening. Kalau sang isteri sudah menjawab ketus dan dingin seperti itu maka dia tak mau berdebat. Ini sudah menginjak masalah suka dan tidak suka, masalah perasaan. Tapi tersenyum dan balas memandang isterinya dia bertanya, "Baiklah, kalau begitu bagaimana denganmu, isteriku? Dapatkah sesuatu kau tangkap di sini?"

"Aku bodoh, aku tak sepandai dirimu..."

"Ha-ha, omongan apa ini? Eh, kalau kau bodoh tak mungkin kau dapat menjadi isteri Kim-mou-eng, isteriku. Kau berpura-pura dan mengejek aku!"

"Tidak," sang isteri tersenyum. "Kau memang lebih pandai dariku, suamiku. Lihat bahwa selama ini kepandaianku masih selisih sedikit denganmu."

"Ah, itu jangan dijadikan tolak ukur. Kau wanita, sedang aku pria. Hei, kenapa melantur yang tidak-tidak? Ha-ha, kalau kita tak menemukan jawaban syair ini biarlah lain kali kita tanya pada Sian-su, isteriku. Sekarang kita simpan dan dengar Beng An menangis!"

Benar saja, Beng An, putera mereka terkecil terdengar menangis nyaring, di kamar sebelah. Swat Lian sudah berkelebat dan melihat anaknya itu, menyambar, ternyata minta minum dan sang nyonya pun sudah memberikan minumannya. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebat dan menyusul isterinya maka Beng An tiba-tiba diam melihat ayahnya ini, setelah tertegun sejenak memandang sang ibu.

"Ha-ha, kau kangen ayah, Beng An? Kau haus? Aih, ibumu teledor. Sudah waktunya minum tidak diberi minum.... heii!" Pendekar Rambut Emas berseru tertahan, Beng An tiba-tiba tertawa dan 'ngocor' di pelukan ayahnya, pipis. Dan ketika anak itu dilempar berjungkir balik namun ditangkap sang ibu maka Swat Lian terkekeh geli melihat baju suaminya basah kuyup.

"Hi-hik, itu kalau menyalahkan wanita. Nah, biar ayahmu tahu rasa, Beng An, aku jadi penasaran kalau disebut teledor!"

Pendekar Rambut Emas tertawa. Isteri dan anaknya terkekeh-kekeh di sana, Beng An rupanya geli juga dan Pendekar Rambut Emas mencubit paha anaknya ini, gemas. Dan ketika sang isteri memberikan baju pengganti agar suaminya salin tiba-tiba terdengar suara ribut di luar dan teriakan-teriakan kaget.

"Taihiap, celaka. Seorang kakek tinggi besar mengamuk!"

Kim-mou-eng berkelebat. Dia sudah berada di luar ketika Kokthai, pembantunya berteriak-teriak ketakutan. Laki-laki ini melaporkan bahwa seorang kakek tinggi besar mengamuk, menghajar dan meroboh-robohkan orang-orang di situ dan Kim-mou-eng sudah mendengar geraman di kejauhan. Sang isteri berkelebat dan keluar pula melihat. Dan ketika nyonya ini mendengar bahwa seorang kakek datang mengamuk dan melempar-lempar anak buahnya maka nyonya ini mendahului dan berkelebat membentak marah.

"Biar kulihat dia... haitt!" Sang nyonya lenyap. Swat Lian marah karena bangsa Tar-tar diganggu, katanya kakek itu lihai benar dan memaki-maki mereka. Tapi ketika dia berkelebat dan siap menghajar mendadak suaminya melesat dan menyambar lengannya, yang masih membawa Beng An.

"Isteriku, jangan terburu nafsu. Jagalah Beng An, biar aku saja yang melihat!" dan Pendekar Rambut Emas yang berjungkir balik dan lenyap mendahului isterinya tiba-tiba sudah menuju ke asal suara, jauh di sebelah kanan namun cepat sekali pendekar ini telah tiba di tempat itu. Dari jauh dia sudah mendengar bentakan dan makian, juga geraman dan tubuh-tubuh yang berdebuk menjerit kesakitan.

Seorang kakek tampak di sana dan melempar-lempar suku bangsanya, memaki-maki dan cepat pendekar ini mengerahkan Jing-sian-engnya, berkelebat dan sudah menangkis pukulan kakek itu ke arah seorang pembantunya. Dan ketika kakek itu berteriak kaget dan Kim-mou-eng tergetar terhuyung mundur maka tampaklah siapa kiranya kakek tinggi besar ini.

"See-ong!"

"Hah, benar aku!" See-ong, kakek raksasa itu menjawab dengan suaranya yang dahsyat. "Kebetulan kau di sini, Kim-mou-eng. Kudengar kau menangkap muridku dan menahannya di sini. Bebaskan dia, serahkan padaku!"

Kim-mou-eng tertegun. Tiba-tiba dia terkejut memandang kakek ini, heran dan merasa aneh bagaimana jauh-jauh dari Sam-liong-to kakek itu datang ke suku bangsanya, padahal dia belum merasa melepas undangan. Tapi karena lawan sudah datang di situ dan puluhan pembantunya merintih dan terkapar di tanah maka Pendekar Rambut Emas melangkah maju dengan mata bersinar-sinar, tahu bahwa kakek ini memang hebat, memiliki Hek-kwi-sut! Tapi sebelum dia menjawab atau apa mendadak isterinya berkelebat datang dan sudah menyusul di situ.

"Heh, siapa pembuat onar ini, suamiku? Orang gila dari mana? Ohh.... See-ong!?" dan sang nyonya yang kaget dan tertegun di tempat, tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan mendelik memandang kakek tinggi besar itu, berapi-api dan nafsu membunuh tiba-tiba memancar teringat pembunuhan yang dilakukan See-ong terhadap ayahnya, Hu-taihiap. Maka begitu tertegun tapi tiba-tiba melengking mendadak nyonya ini berkelebat dan menghantam See-ong.

"See-ong, kau pembunuh jahanam!"

See-ong terkejut. Dia cepat mengelak namun si nyonya mengejar, membalik dengan tamparan bertubi-tubi. Dan karena tak mungkin mengelak tanpa harus menangkis maka kakek tinggi besar itu sudah melakukannya.

"Dess!" Dua-duanya terpental. See-ong menggeram sementara si nyonya melengking-lengking, berjungkir balik dan sudah menyerang lagi. Dan ketika pukulan Khi-bal-sin-kang menyambar dan ilmu meringankan tubuh Jing-sian-eng juga diperlihatkan maka kakek itu terpelanting dan dua kali menerima pukulan dahsyat.

"Des-dess!" See-ong tak apa-apa. Kakek ini memang hebat dan akhirnya menggereng, berkelebat mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan terpekiklah sang nyonya ketika lawan tiba-tiba menghilang, lenyap dari depannya. Dan ketika Beng An tahu-tahu ditarik dan dibetot dari tangannya maka sang nyonya menjerit dan menghantam ke kiri.

"Des-wirr...!"

See-ong tak ada. Kakek itu tertawa bergelak di balik bayangan Hek-kwi-sutnya, menyambar lagi ke kanan dan menarik anak laki-laki itu dari pelukan si nyonya. Swat Lian memang membawa anaknya ini ke situ, tak menuruti nasihat suaminya, agar dia tak usah melihat siapa pengacau ini dan biar suaminya saja yang menghadapi. Maka begitu See-ong menghilang di balik ilmu hitamnya dan kini secara berganti-ganti kakek itu menarik atau membetot Beng An dari kanan kiri ibunya.

Maka Swat Lian terkejut dan melengking-lengking, marah dan gusar karena dia tak dapat melihat kakek itu. Yang dirasa hanya angin sambaran See-ong di kiri kanan tubuhnya, berusaha merampas Beng An. Tapi ketika nyonya itu sibuk dan memaki-maki See-ong maka Pendekar Rambut Emas bergerak bergerak menolong isterinya, berkelebat menghantam bayangan See-ong yang ada di belakang isterinya, terlihat setelah dia mengerahkan tenaga batinnya.

"See-ong, minggir... dess!"

See-ong berteriak. Kakek tinggi besar itu rupanya terkena dan jungkir balik, membentak dan menyerang lagi namun Pendekar Rambut Emas menangkis, terpental dan memaki-makilah kakek itu ketika setiap pukulannya ditolak. Lawan benar-benar melihatnya dan tampaklah sinar mencorong di mata Pendekar Rambut Emas itu, bercahaya bagai mata seekor naga yang berkilat-kilat penuh getaran. Dan ketika kakek itu merasa gagal dan Pendekar Rambut Emas sudah melindungi anak isterinya maka See-ong tampak lagi setelah sebuah ledakan terdengar menggetarkan tempat itu.

"Dar!" See-ong muncul. Kini kakek itu tampak beringas dan mendelik, merah padam namun tidak apa-apa. Berkali-kali tangkisan Kim-mou-eng tak membuat kakek ini terluka. Jangankan terluka, lecet sedikitpun tidak. Dan ketika Kim-mou-eng kagum dan mau tak mau memuji kakek ini maka See-ong mengeram membentak marah.

"Kim-mou-eng, serahkan muridku. Atau aku akan mengamuk di sini!"

"Hm, kau hebat. Kau boleh mengamuk kalau ingin mengamuk, See-ong. Kebetulan kau datang dan kami dapat menuntut perbuatanmu membunuh mertuaku. Muridmu memang ada di sini, kutangkap. Sekarang coba kau ambil muridmu kalau bisa!" Pendekar Rambut Emas bersiap, tentu saja tak akan membiarkan See-ong dan kakek tinggi besar itu melotot. Matanya menjadi sebesar jengkol dan tampak mengerikan sekali, merah kehitaman. Seolah dari mata itu akan menyembur bola api, dahsyat dan menyala-nyala. Tapi ketika kakek itu menggereng dan siap menerjang Kim-mou-eng tiba-tiba Swat Lian yang penasaran dan belum merasa kalah sudah bergerak ke depan menyerahkan Beng An pada suaminya.

"See-ong, aku ingin membunuhmu. Biar kau hadapi aku dulu dan kita bertanding!"

Kim-mou-eng terkejut. Sebenarnya dia ingin menyuruh isterinya beristirahat, lawan cukup lihai dan biarlah dia yang menghadapi kakek tinggi besar ini. Namun karena isterinya sudah maju menghadapi See-ong dan aneh sekali Beng An tak menangis atau ketakutan melihat semuanya itu maka pendekar ini menggendong anaknya dan cepat menggeser tubuh, sedikit menjauh, melindungi Beng An.

"Isteriku, hati-hati. Sebaiknya kau saja yang menjaga Beng An dan aku menghadapi kakek itu!"

"Tidak, aku ingin membunuh kakek ini, suamiku. Dia telah membunuh ayah dan aku ingin menuntut balas!"

"Ha-ha, boleh!" See-ong tertawa bergelak. "Kau tak dapat membunuh aku, hujin. Jangan sombong dan bermulut besar!"

"Aku tentu akan membunuhmu!" dan sang nyonya yang sudah mendengar seruan suaminya agar berhati-hati tiba-tiba berkelebat melepas pukulan, kini mempergunakan Lu-ciang-hoat dan See-ong mengelak. Sinar putih berkeredep disertai ledakan panas, menyambar kakek ini. Namun ketika See-ong mengelak dan sang nyonya mengejar maka pukulan kedua menyambar lagi dan See-ong mengumpat.

"Dukk!" See-ong tergetar. Swat Lian terpental tapi sambil berjungkir balik wanita ini sudah menyerang lagi, membentak dan melengking-lengking. Dan ketika nyonya itu melepas pukulan bertubi-tubi dan See-ong mengelak sambil menangkis maka kakek ini ganti terpental ketika Khi-bal-sin-kang ataupun Lu-ciang-hoat menghantam dirinya.

"Dess-plak!" Kakek ini memaki-maki. Akhirnya dia melengking dan berkelebatan mengimbangi sang nyonya, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan See-ong coba mempertahankan diri, tidak mengeluarkan Hek-kwi-sut. Tapi ketika dia terpelanting dan selalu terpental oleh pukulan Bola Sakti maka kakek ini memaki dan apa boleh buat dia mengeluarkan ilmu hitamnya itu.

"Keparat, kau lihai, hujin. Tapi coba serang aku kalau bisa... wut!" See-ong menghilang, berlindung di balik ilmu hitamnya dan tertawa-tawalah kakek itu ketika sang nyonya memekik, kaget kehilangan lawan dan pukulan-pukulannya menghantam angin kosong. See-ong sudah berubah menjadi bayangan dan Hek-kwi-sut membuat kakek itu tak tampak.

Hanya Pendekar Rambut Emas yang dapat melihat kakek itu karena tenaga batinnya lebih tinggi daripada sang isteri, Swat Lian hanya melihat bayangan yang samar-samar dan tak jelas, tentu saja memaki-maki dan marah bukan main. Dan ketika bayangan itu selalu berpindah-pindah dan semakin cepat dia menyerang semakin cepat pula bayangan itu bergerak dari satu tempat ke tempat lain maka Khi-bal-sin-kang maupun Lu-ciang-hoat gagal menghantam kakek ini.

"Ha-ha, sekarang aku membalas, hujin. Coba dan rasakan... dess!" See-ong mulai membalas, melepas pukulannya dari balik bayangan Hek-kwi-sutnya dan sang nyonya terpekik.

Swat Lian terhuyung tapi tidak terjatuh, See-ong melepas pukulannya lagi dan sang nyonya tergetar, dua tiga kali menerima serangan lagi namun Swat Lian sudah melindungi diri. Khi-bal-sin-kang cukup ampuh untuk menolak pukulan-pukulan See-ong, membuat kakek itu terpental di sana dan kakek inipun tentu saja marah. Dia yang menyerang tapi dia yang terpental! Dan ketika kakek itu menggeram-geram dan Swat Lian terhuyung-huyung menerima pukulan kakek ini maka See-ong sendiri juga terpental berseru kaget seperti serangannya bertemu Khi-bal-sin-kang yang melindungi tubuh si nyonya.

"Hargh, kau hebat, hujin. Tapi coba balas aku!"

"Keparat jahanam! Kau berlindung di balik Hek-kwi-sutmu, See-ong. Kau pengecut dan tidak jantan!"

"Ha-ha, inilah ilmu andalanku, seperti kaupun mengandalkan Khi-bal-sin-kang yang kau punyai. Heh, tak usah banyak cakap, hujin. Mari kita lihat siapa yang lama-lama roboh!" See-ong gemas, akhirnya membentak di balik suaranya yang dahsyat dan kakek ini mengeluarkan Sin-re-ciang, Tangan Karet. Kakek ini mencoba 'meredam' pukulan Bola Sakti yang melindungi nyonya itu, yang setiap kali mementalkan pukulannya karena Bola Sakti memang bersifat kenyal, empuk seperti karet namun daya tolaknya demikian besar. Sekuat apapun lawan menyerang akan sekuat itu pula lawan terpental. See-ong dua kali bahkan hampir terjengkang!

Maka ketika kakek itu coba mengeluarkan Sin-re-ciangnya namun Tangan Karet ini juga terpental bertemu Khi-bal-sin-kang maka kakek itu menggeram dan melotot. Tangan Karet adalah ilmu yang sebenarnya khusus memanjangkan lengan, yang dapat mulur dan mengkeret seperti karet, tenaganya tetap tenaga sakti biasa dan tenaga inilah yang selalu tertolak Khi-bal-sin-kang, bukan main gemasnya kakek itu. Namun ketika See-ong menggeram-geram dan marah memaki nyonya itu adalah Swat Lian sendiri juga mencak-mencak memaki See-ong.

"Bedebah! Perlihatkan dirimu, See-ong. Ayo bertempur secara ksatria!"

"Ha-ha, tak usah berkaok-kaok. Aku pun sukar merobohkanmu, hujin. Kalau kau mampu coba robohkan aku!"

"Haiittt...!" dan sang nyonya yang melengking panjang membentak marah tiba-tiba melihat bayangan kakek itu di sebelah kirinya, samar namun cepat dia melepas pukulan. Kali ini Khi-bal-sin-kang digabung dengan Lu-ciang-hoat, hebatnya bukan kepalang dan See-ong terkejut, mau menghindar namun tak keburu. Dan ketika apa boleh buat kakek itu membentak memperkuat Hek-kwi-sutnya maka Swat Lian menghantam bayangan yang tiba-tiba berbentuk seperti asap.

"Dess!" Pukulan itu hampa menyerang angin kosong. See-ong menangkis namun cepat menghilang dengan bentakannya, kakek itu terpental namun Swat Lian tak melihat. See-ong marah dan memekik, tiba-tiba berjungkir balik dan sudah melewati kepala si nyonya, yang hanya mendengar kesiur angin menyambar di atasnya. Dan ketika kakek itu menampar dan sebuah pukulan ganti menghantam tengkuk nyonya itu, yang tak sempat membalik, maka pukulan See-ong tepat mengenai belakang kepala nyonya ini.

"Plak!" Swat Lian terjungkal. Nyonya cantik ini mengeluh dan melempar tubuh bergulingan, memekik dan memaki kakek tinggi besar itu. Dan ketika See-ong sendiri harus melempar tubuh berjungkir balik untuk membuang daya tolak Khi-bal-sin-kang maka kakek itu juga menggeram dan memaki-maki.

"Keparat, jahanam Khi-bal-sin-kangmu itu, hujin. Bedebah dan laknat terkutuk!"

"Kaulah yang laknat terkutuk!" Swat Lian melengking-lengking. "Kau pengecut tak tahu malu, See-ong. Bisanya menyerang di balik ilmu hitam!"

"Hm, tak usah bercuap-cuap. Kau atau aku yang bakal kehabisan tenaga!" dan See-ong yang kembali bersembunyi dan menyerang di balik Hek-kwi-sutnya lalu mendesak si nyonya, membuat lawan melotot gusar namun See-ong diam-diam juga mengutuk. Nyonya ini akan terpelanting namun selalu meloncat bangun, tak apa-apa. See-ong mengerutkan kening namun kagum. Tapi karena si nyonya menjadi pihak bertahan sementara dia yang terus menyerang maka dihitung-hitung kakek ini tetap berada di pihak yang lebih beruntung, melihat lawan mulai terengah-engah.

"Ha-ha, menyerahlah, hujin. Kau sebentar lagi roboh!"

"Roboh hidungmu!" Swat Lian membentak. "Aku tak mungkin roboh, See-ong. Kaupun tampak lelah dan mulai memburu napasmu!"

See-ong mengumpat. Memang benar, kalau si nyonya terengah-engah dihantam pukulan adalah dia sendiri juga mulai memburu napasnya. Tenaga yang dilepas berkali-kali selamanya mengurangi kekuatan, betapapun hebatnya seseorang. Dan ketika kakek itu menghentikan makian karena mulai berkeringat tiba-tiba Pendekar Rambut Emas berkelebat menyambar tengkuk See-ong.

"Cukup, kau sekarang roboh, See-ong. Coba hadapi pukulanku ini dan terimalah... dess!"

See-ong terkejut, terpekik berseru tertahan karena Kim-mou-eng tiba-tiba membantu isterinya, menyerang dari samping dan kakek tinggi besar ini terkejut. Dan ketika jari-jari Pendekar Rambut Emas menyentuh tengkuknya namun secepat kilat kakek ini memutar pinggang tiba-tiba dia menangkis sekaligus menghantam muka lawan.

"Dess!" See-ong menjerit. Pendekar Rambut Emas tahu-tahu menekuk pergelangan tangannya, menerima dan menangkap pukulan kakek itu. Dan ketika See-ong berteriak karena tangan lawan sudah menangkap dan kini mencengkeram pergelangan tangannya maka kakek itu sudah diangkat dan dibanting kuat-kuat.

"Bress!" See-ong mengeluh. Apa boleh buat kakek ini menggulingkan tubuh menjauhkan diri, tak tahunya lawan mengejar dan kembali jari Pendekar Rambut Emas menangkap lehernya, diangkat dan dibanting lagi. Untuk kedua kali kakek tinggi besar itu menerima hajaran Kim-mou-eng. Tapi ketika Kim-mou-eng hendak menotok dan merobohkan kakek itu, yang terlihat lebih jelas dibanding isterinya sendiri tiba-tiba See-ong membentak melempar sesuatu.

"Bushh!"

Kim-mou-eng terkejut. Semacam bubuk ungu tiba-tiba berhamburan di mukanya, mendesis dan meledak seperti petasan. Kim-mou-eng berjungkir balik dan tak berani menangkis, dia belum tahu bubuk apa itu. Namun ketika dia melayang turun dan See-ong memperkuat ilmu hitamnya tiba-tiba kakek ini menghilang dan berkelebat entah ke mana.

"Heii...!" Kim-mou-eng kehilangan lawan, terkejut. "Awas, Lian-moi. Ke sini!"

Benar saja. Swat Lian terpekik ketika semacam bubuk ungu tiba-tiba menyambar mukanya, seperti yang dialami sang suami. Dan ketika dia melempar tubuh berjungkir balik dan memaki See-ong maka kakek itu terdengar terbahak di sebelah kanan.

"Ha-ha, bagus. Sekarang kalian mengeroyok aku, Kim-mou-eng. Sungguh tak jantan dan perwira!"

Kim-mou-eng berdebar. Dia melihat kakek itu terpaksa dibantu bubuk ungunya, yang kini diketahui dan tercium sebagai bubuk beracun, dapat membius orang dan mencekik pernapasan, cepat mengerahkan sinkang menahan racun ini, meniup dan membuyarkan baunya. Dan ketika sang isteri berjungkir balik di dekatnya dan selamat tak kurang suatu apa maka bubuk itu menipis dan Kim-mou-eng melihat See-ong berkelebat memasuki perkampungan bangsa Tar-tar, mendengar teriakan atau seruan Siang Le, yang rupanya mengetahui kedatangan gurunya.

"Suhu, aku di sini...!"

Swat Lian berkelebat. Tiba-tiba nyonya itu melihat pula bayangan See-ong, yang melarikan diri dan memasuki perkampungan. Rupanya kakek itu gentar setelah Kim-mou-eng maju membantu, meskipun tak mudah pula bagi Pendekar Rambut Emas ini untuk mengalahkan See-ong, kakek yang hebat itu. Maka begitu sang isteri membentak dan sudah melihat bayangan kakek itu, yang sebenarnya lebih dulu dilihat pendekar ini maka Swat Lian melengking melihat kakek itu menuju ke arah muridnya, yang dikurung di belakang rumah mereka.

"Heii..!" nyonya itu berteriak."Pertandingan kita belum selesai, See-ong. Kau masih mempunyai sebuah hutang jiwa untuk arwah ayahku!"

"Ha-ha, aku sudah menemukan muridku!" kakek itu tertawa bergelak. "Lain kali biar kita main-main lagi, hujin. Aku sudah tak bernafsu setelah melihat kelicikan suamimu!"

"Keparat, suamiku tidak licik. Dia menantangmu bertanding dan hayo layani dia atau aku!" sang nyonya tak mau melepaskan See-ong, tentu saja marah karena hutang kakek itu belum dibayar.

See-ong sudah berkelebat ke arah muridnya dan cepat sekali kakek ini sudah membuka kerangkeng. Siang Le memang dikerangkeng oleh keluarga pendekar itu sebagai hukumannya, tak tahunya sang guru sudah datang dan sekali renggut gembok besi itupun putus, hancur di tangan See-ong. Dan ketika kakek itu terbahak menyeramkan dan muridnya sudah disambar maka See-ong membalikkan tubuh ketika pukulan si nyonya tiba.

"Dess!" See-ong mencelat bersama muridnya. Kakek ini berteriak tapi sudah berjungkir balik, menggerakkan tangan dan tiba-tiba lenyaplah dia ketika Hek-kwi-sut meledak, melindungi kakek itu dan Swat Lian kehilangan lawan. Nyonya ini mencak-mencak namun See-ong menghilang, tak mau berlama-lama di situ karena dilihatnya Pendekar Rambut Emas berkelebat di belakang isterinya, siap membantu dan menyerang kakek ini, kalau See-ong melepas pukulan lagi. Tapi ketika kakek itu terbahak di kejauhan sana dan benar-benar tak mau bertempur lagi, setelah mendapatkan muridnya maka Swat Lian membanting kaki berteriak gusar,

"See-ong, kau pengecut tak tahu malu. Hayo hadapi aku dan jangan lari!"

"Sudahlah," suaminya, Pendekar Rambut Emas berkata, menekan pundak sang isteri. "See-ong datang hanya untuk mengambil muridnya, isteriku. Dan Siang Le telah diambilnya. Kita tak usah mengejar."

"Ah, tak mengejar bagaimana? Dia berhutang satu jiwa, suamiku. Kita harus mengejar dan membunuhnya!"

"Tapi Beng An menangis, lihat!" Pendekar Rambut Emas mencubit puteranya, menangis dan tentu saja sang isteri tertegun.

Beng An yang sejak tadi tak menangis dan tak berkedip tiba-tiba saja kini menangis keras, Swat Lian menyambar dan tak tahu perbuatan suaminya, mendiamkan dan cepat memeluk anaknya itu. Dia tak tahu bahwa suaminya tak menghendaki pengejaran, ada banyak sebab yang membuat Pendekar Rambut Emas ini membiarkan See-ong lari, satu di antaranya ialah dengan lepasnya Siang Le, pemuda yang tak disuka dan dibenci isterinya. Maka begitu dia berhasil mencegah isterinya dan dengan mencubit Beng An tiba-tiba saja puteranya ini menangis keras maka diam-diam pendekar ini lega dan mengangguk dalam hati, tersenyum tapi isterinya mendamprat.

Swat Lian marah-marah karena kenapa suaminya membiarkan See-ong lolos, padahal suaminya itu pasti lebih tahu di mana See-ong berada daripada dirinya, karena suaminya itu memiliki tenaga batin yang lebih tinggi. Tapi ketika dengan tenang pendekar ini menjawab bahwa tak mungkin dia mengejar kalau Beng An bersamanya maka dengan tepat dan jitu sang suami telah memadamkan kemarahan isteri.

"Lihat, Beng An bersamaku. Bagaimana mungkin mengejar kakek itu, isteriku? Aku tak berani mengorbankan Beng An, kakek itu terlampau berbahaya dan lihai!'

Swat Lian diam. Akhirnya sang nyonya dapat melihat ini, mengakui. Kembali tak tahu bahwa suaminya berbohong, demi keselamatan semua. Dan ketika dengan uring-uringan wanita cantik ini kembali ke tempatnya dan di sana seluruh bangsa Tar-tar berdebar melihat semuanya itu maka Kokthai datang lagi dan terbata-bata melapor,

"Taihiap, maaf.... hujin, ampunkan aku. Di luar ada seorang wanita mau menghadap!"

"Siapa lagi? Wanita dari mana?" sang nyonya tiba-tiba melampiaskan kemarahannya yang sudah reda kepada laki-laki ini. "Suruh dia masuk, biar kudamprat!"

"Aku..." suara lirih dan hampir tidak terdengar ini tiba-tiba diiring isak tertahan. "Maaf, Kim-hujin (nyonya Kim), agaknya aku datang tidak tepat pada waktunya..."

"Cao Cun...!" Swat Lian dan Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berseru hampir berbareng. Mereka menoleh dan cepat memandang ke arah suara itu, melihat seorang wanita cantik tiba-tiba menutupi mukanya dengan menangis, ditahan-tahan tapi akhirnya tangis itu meledak juga. dan ketika di belakang wanita cantik ini berdiri menggigil dua gadis remaja yang berhidung mancung tiba-tiba mereka berlutut dan menjatuhkan diri di depan Kim-mou-eng dan isterinya.

"Taihiap, hujin... kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kami dan ibu... ah, kami dan ibu datang mengganggu...!"

Kim-mou-eng berkelebat. Tiba-tiba dia tersentak melihat kedatangan tiga orang ini, yang ternyata diiring dengan beberapa pengawal dan dayang. Mereka itu adalah bangsa U-min yang mengawal Cao Cun, semuanya tampak pucat dan gemetar memandang Swat Lian. Nyonya cantik ini sedang marah-marah dan mereka gentar, menggigil. Tapi ketika Kim-mou-eng membangunkan Cao Cun dan cepat dua gadis remaja itu juga diangkat pendekar ini maka Swat Lian bergerak dan sudah menangkap Cao Cun, memeluknya.

"Maaf, aku... aku tak tahu kalau kau yang datang, Cao Cun. Aku sedang marah-marah karena See-ong menggangguku!"

"Aku tahu," Cao Cun berbias air mata, tersedu-sedu. "Dan aku yang salah, hujin. Ah, orang malang seperti diriku ini memang selalu mendatangkan sial kepada orang lain. Maaf, kalau begitu... kalau begitu biarkan aku pergi!" dan Cao Cun yang mengguguk dan melepaskan diri dari pelukan nyonya rumah tiba-tiba memutar tubuhnya dan menangis berguncang-guncang, terpukul dan juga terkejut oleh kemarahan Swat Lian tadi. Wanita ini berlari namun tiba-tiba jatuh, tersandung tali kemah.

Dan ketika Swat Lian menyambar dan mencengkeram wanita itu maka nyonya cantik ini ikut menangis, menyesal. "Cao Cun, maafkan aku. Aku tak sengaja, aku tak memaki-makimu. Ada apa dan kenapa kau datang begini tiba-tiba? Siapa dua gadis ini yang bersamamu? Apakah Nangi dan Salini?"

"Ooh, kau tahu?" mata itu tertegun, tangis pun berhenti. "Mereka benar Salini dan Nangi, Kim-hujin, mereka anak-anakku!"

"Hm, mari duduk. Aku dan suamiku benar-benar terkejut melihat kedatanganmu ini. Mari... mari... jangan dengarkan kata-kataku tadi atau aku akan berlutut di depanmu minta maaf!"

"Ah, jangan!" Cao Cun menahan pundak wanita ini. "Kau tak bersalah, hujin. Akulah yang datang tidak tepat pada waktunya..."

"Tidak, setiap waktupun kau boleh datang ke mari, Cao Cun. Tapi omong-omong beritahukan pada kami bagaimana kau datang begini tiba-tiba, mengejutkan!"

"Maaf," Cao Cun tak menghiraukan. "Aku ingin tahu bagaimana kau bisa mengenal nama puteri-puteriku ini, hujin. Dari mana kau tahu dan apakah pernah bertemu mereka?"

"Tidak, aku... hm, aku mendengarnya dari Ituchi..!"

"Apa?"

"Benar, Ituchi telah datang ke sini, Cao Cun. Dan aku telah mendengar apa yang terjadi di antara kalian ibu dan anak. Barangkali kau datang untuk ini?"

"Ooh...!" dan Cao Cun yang mengguguk dan terhuyung menutupi mukanya tiba-tiba kembali menangis dan roboh, diangkat nyonya rumah tapi wanita itu tak mau. Cao Cun tersedu-sedu dan akhirnya dua anak perempuannya itu menangis pula, menubruk ibu mereka. Dan ketika ibu dan anak menangis menggeletar-geletar maka Pendekar Rambut Emas saling pandang dengan isterinya dan mendapat isyarat, disuruh maju.

"Cao Cun, agaknya tak ada masalah di dunia ini yang hanya bisa diselesaikan dengan tangis. Maaf, bangkitlah dan ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi. Aku dan isteriku pasti membantu. Bangkitlah, jangan membuat kami bingung!"

Cao Cun mengguguk. Kalau saja mereka masih sama-sama muda dan belum pernah berkeluarga pasti ditubruknya Pendekar Rambut Emas ini, laki-laki yang selalu menolongnya dan pernah membuat dia tergila-gila, jatuh cinta demikian hebat tapi kini semuanya itu tak mungkin dilakukan. Pendekar ini telah beristeri dan diapun membawa anak-anaknya, Salini dan Nangi itu. Maka begitu Pendekar Rambut Emas membujuk dan menarik pundaknya secara perlahan-lahan maulah wanita ini bangun berdiri, bertatap sejenak tapi tiba-tiba dia menubruk Swat Lian, menangis di situ. Dan ketika Swat Lian memeluknya dan Beng An sudah diserahkan pada seorang pembantu maka Cao Cun tersendat-sendat menceritakan maksud kedatangannya.

"Aku... aku bukan datang untuk masalah puteraku itu. Tetapi datang untuk urusan negara!"

"Ah, urusan apa?"

"Rencana penyerbuan, hujin, peperangan besar yang bakal menyengsarakan rakyat!"

Swat Lian tertegun. "Peperangan?"

"Benar, hujin. Perang antara bangsa U-min dengan Tiongkok, antara bangsa itu dengan bangsa-bangsa lain, termasuk bangsamu, Tar-tar!"

Swat Lian terkejut. Tapi belum dia bertanya tiba-tiba suaminya sudah mencekal lengan wanita ini. "Cao Cun, apa katamu? Bangsa U-min mau melakukan perang besar? Mereka gila dan tidak sehat? Bukankah Cucigawa sudah tunduk dan di bawah kekuasaan kaisar?"

Cao Cun tersedu. "Ada sesuatu yang terjadi, Kim-twako, perobahan besar-besaran. Dan perobahan inilah yang membuat segalanya itu bakal terjadi!"

"Sampai kau melarikan diri ke sini?"

"Benar."

"Ah, coba ceritakan itu!" dan Pendekar Rambut Emas yang melepaskan cekalannya ketika Cao Cun menarik secara halus lalu mendengar satu kalimat yang mengejutkannya bagai mendengar petir di siang bolong,

"Bangsa U-min kini dikuasai seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Togura, putera mendiang suhengmu Gurba!"

"Apa?"

"Benar, pemuda itu datang bersama kelima gurunya, Kim-twako. Dan bangsa-bangsa Uighur maupun Khitan sudah ditaklukkan, digabung dengan bangsa U-min ini. Mereka hendak melakukan serbuan besar-besaran, menghantam dan menyerbu Tiongkok!"

Pendekar Rambut Emas tertegun. Pendekar ini terbelalak dengan muka kaget, berita itu seperti petir di siang bolong baginya. Tapi ketika dia berhasil menenangkan diri dan mengeluarkan seruan tertahan maka Cao Cun menangis mengepal-ngepal tinjunya.

"Twako, bocah ini amat lihai. Aku takut karena tugasku akan gagal. Kau tolonglah aku dan cegah keponakanmu ini!"

"Hm!" Kim-mou-eng tertegun, kagum. "Kau selalu memikirkan tugas jauh di atas urusan pribadimu sendiri, Cao Cun. Seharusnya kau lebih berduka untuk permusuhanmu dengan Ituchi!"

"Aku... aku dapat menahan itu. Aku memang salah..."

"Tidak!" Swat Lian tiba-tiba menyambar lengannya, ganti merasa kagum. "Kau tak bersalah, Cao Cun. Ituchi tak tahu apa yang terjadi atas dirimu. Kami telah menjelaskannya, dan pemuda itu kembali lagi bersama Thai Liong!"

"Apa? Dia mencari aku?"

"Benar, dia ingin minta maaf, Cao Cun. Kami menasihatinya banyak-banyak hingga puteramu sadar. Kau tenanglah, puteramu tidak membencimu!"

"Ooh!" Cao Cun yang gembira dan bahagia mendengar ini tiba-tiba menubruk wanita cantik itu, menangis girang. "Terima kasih, hujin... ooh, terima kasih...!"

"Sudahlah," Swat Lian terharu, mencium wanita yang pernah mencinta suaminya ini. "Puteramu adalah seorang yang gagah, Cao Cun. Dia persis ayahnya, Raja Hu. Aku yakin tak akan ada apa-apa di antara kalian ibu dan anak!"

Cao Cun terisak-isak. Akhirnya dia mengangguk dan hanya mengangguk-angguk saja, kerongkongannya tersekat oleh kebahagiaan itu. Ah, Ituchi puteranya ternyata tak membencinya. Anak laki-lakinya yang hanya satu-satunya itu sudah mau mengerti keadaannya, kesukarannya dan ini semua adalah berkat jasa Pendekar Rambut Emas suami isteri. Maka begitu Swat Lian memeluknya dan Cao Cun balas mencium maka wanita ini gemetar menyatakan terima kasih yang berulang-ulang, membuat Swat Lian semakin terharu.

"Sudahlah," Swat Lian akhirnya teringat persoalan semula. "Sekarang bagaimana menghadapi persoalanmu, Cao Cun. Bagaimana dengan Togura itu dan apa yang harus kami lakukan?"

"Aku menyerahkannya pada suamimu..." Cao Cun menghela napas memandang Pendekar Rambut Emas. "Aku tak berdaya apa-apa..."

"Hm...!" Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar matanya. "Jadi putera suhengku itu sudah menguasai bangsa U-min, Cao Cun?"

"Bukan hanya bangsa U-min, twako, melainkan bangsa-bangsa lain termasuk Khitan dan Uighur!"

"Baiklah, aku akan melihat anak itu!" Pendekar Rambut Emas gemas. "Bagaimana pendapatmu, isteriku? Adakah sesuatu saran atau pendapat?"

"Aku terserah kau," sang isteri menjawab. "Apakah kau akan ke sana, suamiku? Membekuk dan menangkap putera mendiang suhengmu itu?"

"Hm, tentu. Ini berbahaya. Dapat pecah perang besar antara Tiongkok dengan bangsa-bangsa yang sudah dikumpulkan Togur!"

"Kalau begitu lihatlah, aku di sini bersama Cao Cun!" Swat Lian setuju, melegakan hati sang suami sementara Cao Cun terharu.

Wanita ini terisak dan mencengkeram lengan Swat Lian, tiba-tiba teringat kematian Hu-taihiap dan menyatakan menyesal atas itu, tak dapat memberikan apa-apa selain rasa duka cita yang mendalam. Dan ketika Swat Lian menahan runtuhnya air mata teringat kematian ayahnya ini maka hari itu rombongan Cao Cun diterima, menjadi tamu bagi bangsa Tar-tar dan Cao Cun berterima kasih sekali. Untuk kesekian kalinya lagi dia menerima kebaikan keluarga Kim-mou-eng, bukan main.

Berkali-kali dia harus merepotkan pendekar ini selama perjalanan hidupnya. Dan ketika Kim-mou-eng hendak berangkat dan Swat Lian tak khawatir akan keberangkatan suaminya ini, karena Togur dan guru-gurunya dianggap enteng karena memang dulu suaminya itu dapat menundukkan Siauw-jin dan teman-temannya maka Cao Cun berlutut di kaki Pendekar Rambut Emas ini, mengejutkan yang bersangkutan.

"Kim-twako, atas nama bangsa U-min dan diriku pribadi aku hendak menyatakan terima kasih dan syukur yang sebesar-besarnya. Kau sungguh mulia, semoga selamat dan pulang secepatnya, anak isterimu menunggu!"

"Ah," Kim-mou-eng terkejut. "Jangan begini, Cao Cun. Bangunlah!" lalu menepuk pundak wanita itu dan menampar perlahan pendekar ini menegur. "Kau dan aku sudah seperti saudara. Jangan membuat malu aku dengan penghormatanmu yang berlebihan itu!"

"Tidak," wanita ini terisak. "Aku bicara atas nama bangsa U-min, twako. Mereka pantas berlutut di depan kakimu. Semoga berhasil, doaku bersamamu!"

Kim-mou-eng tertawa. Dia mendorong dan mengejap pada isterinya, agar berhati-hati melindungi wanita ini, juga rombongannya. Namun ketika dia hendak berkelebat dan mau berangkat tiba-tiba Cao Cun teringat kelihaian Togura dan berpesan,

"Twako, hati-hati terhadap keponakanmu itu. Dia mampu mengalahkan guru-gurunya!"

Kim-mou-eng tersenyum. Untuk ini ia hanya mengangguk dan tidak menyimpannya dalam hati. Cao Cun adalah seorang wanita lemah yang tidak tahu tinggi rendahnya ilmu silat, tak perlu digubris dan tentu saja pesannya itu dianggap pesan kehati-hatian belaka. Maka begitu dia mengucap tak usah khawatir karena dia dapat menjaga diri maka berkelebat dan lenyaplah pendekar ini berseru pada isterinya,

"Niocu, jaga Beng An. Aku pergi!" dan begitu Pendekar Rambut Emas lenyap meninggalkan semuanya maka mengangguk dan berdebarlah Cao Cun, yang diam-diam agak was-was karena Togura sekarang memang lihai!

* * * * * * * *

Siapa yang akan kita ikuti? Pendekar Rambut Emas ini ataukah Thai Liong dan Ituchi, yang juga berniat dan menuju ke bangsa U-min itu? Tapi mengingat dua orang pemuda ini lama tak muncul dan agaknya membelokkan perjalanan biarlah kita ikuti perjalanan Pendekar Rambut Emas ini, di mana dengan sedikit mendongkol dan gemas dia hendak membekuk pemuda itu, pemuda yang pemberani dan termasuk tak kenal takut, penuh dengan semangat menyala-nyala.

Dan Kim-mou-eng melihat duplikat suhengnya di situ, mendiang Gurba yang gagah perkasa namun sayang sesat, menjadi hitam perjalanan hidupnya karena nafsu dan ambisi, yang akhirnya membawanya ke jurang kehancuran dan menarik napaslah pendekar ini teringat semuanya itu. Dan ketika dengan ilmunya yang luar biasa pendekar ini terbang ke bangsa U-min maka Kim-mou-eng dibuat tertegun karena di suku bangsa itu yang tinggal hanyalah perempuan dan anan-anak, juga orang tua.

"Semua yang muda-muda dan kuat pergi berperang. Raja yang baru membawa mereka."

Begitu Kim-mou-eng mendapat keterangan setelah menemui seorang kakek tinggi kurus, pucat dan gemetar dan Kim-mou-eng bertanya bagaimana tanggapan kakek itu tentang Togura, yang telah mengangkat diri sebagai raja dan orang tua itu mengerutkan kening. Dia memandang ragu ke arah pendekar ini yang berambut keemasan, curiga dan was-was karena dia tak tahu siapa yang diajak bicara. Tapi ketika Kim-mou-eng menenangkan orang tua itu dengan kepandaiannya yang luar biasa di mana dia dapat menghilang dan muncul lagi di depan kakek itu maka kakek ini akhirnya menganggap Kim-mou-eng sebagai dewa!

"Ah, kiranya aku berhadapan dengan Sin-sian (Dewa Sakti). Ampun, hamba tak tahu, Sin-sian... hamba tak tahu...!"

"Bangkitlah, tak apa," Kim-mou-eng tersenyum, mengetahui bahwa suku-suku di luar tembok besar memang masih kuat takhyulnya, kepercayaan pada dewa-dewa. "Katakan padaku bagaimana kesanmu dengan raja yang baru, orang tua. Baik atau tidak?"

"Sama saja," sang kakek berseru. "Raja Cucigawa maupun raja yang baru ini sama-sama mempergunakan kepentingannya melalui rakyat, Sin-sian. Mereka sama-sama jahat dan aku tak suka!"

"Hm, apa yang dilakukannya?"

"Pemerasan dan pemaksaan. Semua anak muda di sini harus menjadi prajurit dan diajak berperang. Raja yang baru bahkan haus darah!"

Kim-mou-eng mengangguk-angguk. Dia lalu mendengarkan cerita kakek itu, betapa Togura mempergunakan kelebihannya untuk memaksa bangsa U-min, mengajak pemudanya untuk maju sebagai prajurit, ingin menyerbu Tiongkok dan menundukkan bangsa Han, menyapu bersih bangsa-bangsa lain yang tidak mau tunduk kepadanya, bersikap tangan besi dan haus perang. Ingin menjadi yang terbesar di antara yang besar. Dan ketika kakek itu mulai menangis ketika menceritakan bahwa pemuda ini juga suka mempermainkan wanita-wanita cantik tidak perduli gadis atau isteri orang maka kakek itu tersedu.

"Mantuku menjadi korban. Dan anak laki-lakiku, ah... raja yang baru ini jahat sekali, Dewa. Kau tolonglah aku dan bangsa U-min...!"

"Apa yang dia lakukan?"

"Mantuku perempuan diambil, dipermainkan. Lalu ketika anakku laki-laki menuntut dan marah-marah ternyata anakku itu malah dibunuh!"

"Hm, dan mantu perempuanmu?"

"Akhirnya... akhirnya bunuh diri, Dewa. Dia katanya diberikan pada dua kakek iblis yang memperkosanya hingga pingsan!"

"Siapa kakek iblis itu?"

"Guru dari Raja Muda, yang satu cebol yang lain tinggi kurus!"

Cukuplah bagi Kim-mou-eng. Itu tentu Hek-bong Siauw-jin dan Cam-kong, guru Togura. Kakek-kakek yang bisa melakukan hal-hal yang lebih keji lagi, yang sudah membuat muka Pendekar Rambut Emas ini merah padam. Dan ketika si kakek menceritakan lagi betapa sebagian besar wanita-wanita cantik di situ sudah dinodai Togura, raja yang masih muda namun hebat itu maka kakek ini menuding ke sana ke mari.

"Lihat mereka itu... tanyakan semuanya. Tak ada yang tidak dipermainkan Raja Muda, Dewa. Gadis-gadis di sini dilalap hampir setiap malam. Dan yang lebih keji, raja dan dua kakek iblis itu mulai mengganggu anak-anak kecil untuk diperkosa, laki-laki ataupun perempuan!"

Kim-mou-eng hampir tak kuat lagi. Kalau Togura dan dua gurunya laki-laki sudah mengganggu anak-anak kecil untuk diperkosa dan dipermainkan maka pemuda itu sudah menderita kelainan jiwa. Kim-mou-eng bergidik dan ngeri, tentu saja marah, juga geram, di samping muak. Dan ketika si kakek berlutut di bawah kakinya agar dia menyelamatkan bangsa itu maka Kim-mou-eng berkelebat lenyap setelah menanya ke mana Togura membawa pasukannya, yang berjumlah tak kurang dari sepuluh ribu orang.

"Mereka ke selatan, mendobrak tembok besar. Tolong Dewa membunuh pemuda itu..."

"Baik!" dan Kim-mou-eng yang lenyap sebelum omongan si kakek habis tiba-tiba membuat kakek itu bengong dan kaget, menjublak sekian lamanya karena dilihatnya bayangan kuning keemasan 'terbang' ke selatan, begitu cepat dan akhirnya lenyap seperti kilat menyambar.

Tapi ketika dia sadar dan melonjak girang tiba-tiba kakek ini berteriak memberi tahu semua wanita dan anak-anak yang ada di situ, juga lelaki tua yang lain-lain di mana dia mengabarkan bahwa seorang dewa telah datang memperhatikan mereka, siap menolong dan menghadapi Raja Muda, sebutan yang mulai dipergunakan untuk Togur, yang telah menguasai dan menundukkan mereka semua. Dan ketika yang lain juga bengong dan sempat melihat kilasan kuning emas itu maka kakek itu sudah mengajak semuanya menjatuhkan diri berlutut, menengadahkan lengan ke atas.

"Dewa telah menolong kita. Kita harus mengucapkan terima kasih...!"

Semua beramai-ramai berlutut. Kilatan emas yang lenyap dengan amat cepatnya itu dianggap sebagai bukti omongan kakek ini. Mereka percaya dan tentu saja gemetaran ke arah 'dewa', berkali-kali membenturkan dahi dan menggumamkan kata-kata cepat menyampaikan isi hati mereka, kegembiraan dan harapan.

Namun sementara orang-orang itu berlutut ke arah bayangannya sementara Pendekar Rambut Emas sendiri sudah berkelebat dan meluncur ke selatan maka pendekar ini mengerahkan semua kecepatannya untuk mengejar, kaget dan gelisah karena Togura telah melakukan penyerbuannya. Bangsa U-min dan bangsa-bangsa lain dibawa, betapa liciknya pemuda itu, juga berbahaya karena yang akan menjadi korban tentulah orang-orang kecil itu, para prajurit rendahan yang hanya menjalankan perintah atasannya.

Dan ketika tembok besar sudah didekati dan bagai terbang saja pendekar ini melakukan pengejaran ternyata Togura sudah menjebol perbatasan dan masuk bersama pasukannya, melihat mayat di mana-mana dan Kim-mou-eng marah. Serbuan besar-besaran yang kiranya tidak diduga oleh bangsa Tiongkok itu membuat penjaga di perbatasan kacau, dibabat dan tak ada yang sempat melapor. Togura menggilas dan menyerbu bersama pasukannya, masuk dan terus menyerang ke selatan. Dan ketika satu demi satu kota-kota di dekat perbatasan jatuh dan diduduki pasukan pemuda tinggi besar ini maka Kim-mou-eng bengong di kota Ci-nien, melihat kota itu sudah hancur dan rata dengan tanah!

"Keparat! Kau jahanam bedebah, Togur. Kau menggelimangi bumi Tiongkok dengan darah!"

Kim-mou-eng geram. Pendekar ini akhirnya berkelebat lagi, lenyap dan menuju kota-kota lain. Tapi ketika satu demi satu kota-kota I-yang dan I-peh juga sudah dibumi hanguskan dan tampaknya dengan cepat pemuda ini menggerakkan pasukannya maka di sebuah perkampungan yang apinya masih menyala pendekar ini mendengar rintihan seseorang.

"Taihiap, tolong...!"

Kim-mou-eng berkelebat. Cepat dan luar biasa ia telah mendekati asal suara itu, tak melihat orangnya tapi segera pendekar ini tertegun karena seorang laki-laki terjepit di bawah balok kayu, juga masih menyala dan hampir seluruh tubuh laki-laki itu terbakar. Heran bahwa dia masih hidup, menunjukkan betapa kuatnya laki-laki ini! Dan ketika Kim-mou-eng mendorong dan melempar balok kayu yang menjepit laki-laki itu maka Kim-mou-eng semakin tertegun setelah mengenal wajah orang yang hitam penuh arang kayu, nyaris tak dikenal.

"Bu-ciangkun (panglima Bu)...!" pendekar itu bergerak, menotok dan cepat meringankan penderitaan orang dengan pengerahan sinkang di dada, membersihkan mukanya dan tampaklah wajah yang gagah namun menahan sakit itu, menangis dan panglima ini tiba-tiba mengguguk. Dan ketika Kim-mou-eng melihat bahwa sebatang kayu merah menyala menancap di pantat panglima ini, yang tentu amat menyakitkan dan pedih panglima itu sudah tersedu-sedu, malu dan marah.

"Kim-taihiap, murid Enam Iblis Dunia itu membuatku begini. Dia kejam dan telengas. Dia... dia menancapi pantatku dengan kayu yang menyala!"

"Hm!" Pendekar Rambut Emas merah mukanya. "Dia yang melakukan ini, ciangkun? Kau disiksanya?"

"Benar, dan dia... ah, dia putera mendiang Gurba, taihiap, keponakanmu.... augh!" panglima ini menjerit, Kim-mou-eng mencabut kayu yang menyala itu dan bokong atau pantat Bu-ciangkun ini terbakar, merah dan melepuh dan pedihlah hati Pendekar Rambut Emas melihat itu. Namun ketika dia memborehkan obat dan sang panglima mengeluh ternyata panglima ini tak dapat menggerakkan tubuhnya barang sedikit pun.

"Aduh, tobat, taihiap... sakit! Aku tak mungkin hidup...!" "Tenanglah," Pendekar Rambut Emas menotok sana-sini, diam-diam khawatir, "Sekujur tubuhmu luka bakar, ciangkun. Aku akan menolongmu."

"Percuma," panglima tinggi besar ini merintih. "Aku menderita pukulan dalam, taihiap. Sembuh luka bakarku itu tak mungkin sembuh dari luka pukulan ini!"

"Hm, siapa yang memukulmu?"

"Bocah itu, juga gurunya!"

Kim-mou-eng lalu menyuruh diam sahabatnya ini. Luka dalam ternyata memang diderita panglima itu, Bu-ciangkun melontakkan darah segar ketika batuk, hitam dan kental. Dan ketika Kim-mou-eng kembali menempelkan tangan di dada namun panglima itu batuk-batuk dan merintih maka dengan terkejut Pendekar Rambut Emas mendapat kenyataan bahwa isi dada panglima ini banyak yang pecah, di antaranya paru-paru!

"Ah, keadaanmu berbahaya, ciangkun. Kita harus mencari rumah kosong di sini!"

"Tak akan menolong," panglima itu menggigit bibir. "Aku tahu bahwa lukaku parah, taihiap. Setelah menerima pukulan berat dadaku masih diambruki balok kayu ini. Augh, keparat... bocah itu benar-benar jahanam keparat...!" panglima ini merintih, batuk-batuk lagi dan Kim-mou-eng putus harapan. Dia coba memberi pil penolong namun tak tertelan, terlontak dan meloncat dari mulut panglima ini. Dan ketika beberapa kali gagal dan panglima itu sesak napasnya maka dengan gemetar panglima ini menggoyang lengan, berkata,

"Taihiap, aku tahu nyawaku tak akan tertolong. Masih dapat hidup sekian lama saja sudah untung. Ah, agaknya Tuhan menunda kematianku agar bertemu denganmu. Sudahlah, aku tak mengharap hidup, taihiap... tapi satu permintaanku cegahlah pemuda itu menyerbu istana. Dia... dia akan menyerang kota raja...!"

"Hm, aku tahu," Kim-mou-eng mengerutkan kening. "Dan kedatanganku memang hendak membekuk pemuda itu, ciangkun. Cao Cun telah memberi tahu aku dan aku akan menangkap keponakanku itu!"

"Bersama gurunya..." panglima ini mendelik, mengepal tinju. "Mereka... mereka orang-orang berbahaya, taihiap. Tapi murid keponakanmu itu, ahh... dia lihai benar!"

"Hm," Kim-mou-eng mengerutkan kening. "Memang dia murid Enam Iblis Dunia, ciangkun, tentu lihai dan terlalu berbahaya bagimu!"

"Tidak... tidak, bukan begitu...!" sang panglima menggeleng, batuk dan muntah darah lagi. "Dia... dia memiliki ilmu luar biasa, taihiap. Seperti pukulan yang diarahkan padanya pasti membalik dan mengenai diri penyerangnya sendiri! Aku... aku baru pertama itu melihatnya...!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. "Begitu?"

"Ya, begitu, taihiap. Dan... dan, ah... aku tak kuat. Aku... aku, ooh...!" panglima itu tiba-tiba terguling, berkelojotan. "Tolong ke kota raja, taihiap... beritahukan kaisar...!"

Pendekar ini cemas. Bu-ciangkun disambar tapi sang panglima tak sanggup duduk, setiap dibangunkan tentu roboh lagi. Dan ketika Pendekar Rambut Emas coba menolong namun selalu gagal tiba-tiba panglima ini mengerang dan kejang-kejang.

"Taihiap, biarkan aku... ohh, kau tolonglah sri baginda... cepat ke kota raja dan biarkan aku...!"

"Kau masih hidup," Pendekar Rambut Emas membelalakkan matanya. "Aku tak mungkin meninggalkanmu, ciangkun. Aku akan menolongmu sebisaku!"

"Terlambat..." panglima itu menggigil kian hebat. "Aku akan mati, taihiap... tak mungkin kau tolong. Pergilah... pergilah lindungi kaisar...!" lalu, melihat Pendekar Rambut Emas ragu dan tentu saja tak mau pergi mendadak panglima ini menahan napasnya. Muka membengkak dan tiba-tiba saja dia mengatupkan mulut, hal yang semula tak dimengerti pendekar itu tapi Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berseru kaget. Inilah peristiwa mempercepat kematian dengan bunuh diri, menahan napas sekuat-kuatnya dan tentu saja muka panglima itu kian bengkak, seakan pecah. Dan ketika panglima itu mendelik dan dari dalam mulutnya seakan terdengar letupan kecil mendadak panglima ini roboh dan terguling, urat-urat mukanya pecah!

"Ciangkun...!"

Panglima itu terbang nyawanya. Kim-mou-eng sadar setelah terlambat, bengong melihat panglima itu ambruk dan terkulai, mukanya kebiruan, mengerikan sekali. Tapi ketika Kim-mou-eng tertegun dan menjadi pedih maka dia membungkuk dan memejamkan mata yang masih melotot itu, berbisik agar arwah Bu-ciangkun pergi dengan tenang. Dia akan mengejar Togura dan pemuda itu akan dihadang. Mata yang melotot tiba-tiba menutup, aneh.

Dan ketika Kim-mou-eng menarik napas dan menyesal atas kematian sahabatnya ini, panglima yang gagah perkasa dari kota raja maka jenasah Bu-ciangkun dimakamkan, tertunda perjalanannya namun Kim-mou-eng sudah memburu waktu, bersicepat dan siang itu juga dia bergerak melanjutkan perjalanannya.

Di mana-mana melihat sepak terjang Togura bersama kelima gurunya, mayat-mayat yang bergelimpangan dan kota-kota yang dibumihanguskan, rata dengan tanah. Dan ketika dia memasuki wilayah propinsi Liao-ning di mana dari utara pasukan Togura akan bergerak menyusur barat daya untuk menuju kota raja maka Kim-mou-eng akhirnya melihat ribuan pasukan pemuda itu yang sudah menduduki Shen-yang!

"Keparat, benar-benar gerakan super cepat!‖ Kim-mou-eng tertegun, malam menjelang tiba dan pandangannya terhalang. Ribuan lampu-lampu teng yang dipasang di dalam kota tampak indah gemerlapan. Kim-mou-eng berkelebat dan marah memasuki kota ini, yang ternyata dijaga amat ketat dengan setiap jengkal dijaga tak kurang dari sepuluh orang, jadi hampir sekeliling tembok tinggi tak ada yang kosong dan pasukan itu tetap siaga dengan amat gagahnya.

Di tengah kota terdengar ramai-ramai tanda pesta, genderang atau nyanyian kemenangan di mana yang bertugas jaga tetaplah berdisiplin jaga, yang mau tak mau membuat Pendekar Rambut Emas kagum, tak dapat masuk begitu saja tanpa merobohkan beberapa pengawal. Dan ketika hal ini sudah dilakukan pendekar itu dan Kim-mou-eng lenyap berkelebat masuk maka pendekar ini sudah mencium bau arak di mana-mana.

"Hidup Raja Muda! Hidup pemimpin kita yang perkasa!"

"Ha-ha, benar, kawan. Hidup Raja Muda dan hidup pemimpin kita yang perkasa...!"