Istana Hantu Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 10
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BENAR, tapi bukan See-ong, suhu. Aku masih tak puas!"

"Tapi kau sudah lihai, di atas kami!"

"Hm, betapapun aku belum puas, suhu. Aku masih ingin yang lebih tinggi lagi!"

"Kalau begitu apa yang mau kau perbuat?"

"Aku ingin keluar, mencari atau mencoba menangkap puteri Pendekar Rambut Emas!"

"He, maksudmu?"

"Sudahlah, kau lihat saja, suhu. Aku akan membuat kejutan dan kau pasti girang!"

"Hm, hati-hati," sang kakek tak tertawa. "Putera-puteri Pendekar Rambut Emas hebat semua, Togur. Dan kau bisa ketahuan bahwa kaulah pencuri Cermin Naga!"

"Goblok! Kenapa tak berotak? Kau bodoh, suhu, tolol melebihi kerbau! Lihat, kalau begini bagaimana?" Togur tiba-tiba mengambil topeng, menutupi mukanya itu dengan topeng dan sang suhu pun terbelalak.

Kalau Togura tidak sedemikian lihai dan sudah mewarisi kepandaian dari Cermin Naga barangkali pemuda itu akan dihantam dan dibunuh si kakek cebol. Bayangkan, dia dimaki goblok dan tolol, melebihi kerbau! Tapi karena pemuda itu sekarang bukan lawannya dan makian ini ditelan seperti orang menelan pil pahit maka Hek-bong Siauw-jin tertawa dan berkata, bahkan memuji,

"Setan, kau benar-benar cerdik, Togur. Rupanya semua ini sudah kau rencanakan dan diperhitungkan!"

"Tentu, kalau tidak masa aku berani melakukan semuanya ini, suhu? Kalau aku tak dapat mengalahkan gadis itu minimal kami seri!"

"Hm-hmm... kenapa kau memilih gadis itu? Kau suka padanya?"

"Ha-ha, sebagai laki-laki tentu saja aku menyukai gadis itu, suhu. Dia cantik dan gagah, lagi pula puteri Pendekar Rambut Emas. Kalau aku dapat menangkap dan mengawininya tentu aku sudah menjadi menantu Kim-mou-eng!"

"Tak mungkin," sang suhu menggeleng. "Mereka orang-orang golongan bersih, Togur. Kita orang-orang sesat yang selalu dimusuhi Kim-mou-eng!"

"Kenapa begitu bodoh? Kalauaku... ha-ha, kalau aku dapat menggauli gadis itu dan memaksanya sebagai kekasihku tak mungkin ayahnya menolak, suhu. Aku harus menjadi mantu Kim-mou-eng dan memaksa gadis itu!"

"Hm, kau mau memperkosanya?" sang guru terbelalak. "Kau tak takut kemarahan gadis itu? Ingat, puteri Pendekar Rambut Emas itu galak dan ganas, Togur. Dia melebihi ibunya dan seperti harimau betina yang tak pernah makan!"

"Ha-ha, aku akan menundukkannya. Aku yang akan memberikannya makan. Kalau dia sudah jatuh di tanganku dan aku berhasil memilikinya tentu dia tak akan berdaya lagi!"

"Baiklah, kau pemberani, Togur. Pantas menjadi murid Enam Iblis Dunia!" Hek-bong Siauw-jin tertawa, mengangguk-angguk dan puas dan tampaknya dia kagum akan tekad atau rencana muridnya ini.

Kalau puteri Pendekar Rambut Emas itu sudah berhasil digagahi muridnya dan tak mungkin ada pemuda atau laki-laki lain yang sudi menikahi gadis itu maka rencana muridnya ini agaknya berhasil, dapat menjadi menantu Pendekar Rambut Emas dan dunia akan tertawa. Kim-mou-eng, pendekar pembela kebenaran itu akan jatuh mukanya berbesan dengan Enam Iblis Dunia, mau tak mau pasti menerima dan kakek itu geli. Dan ketika ia terbahak dan memuji muridnya maka sebuah bayangan berkelebat dan nenek Naga, satu dari enam guru Togur yang tinggal lima mendadak muncul.

"Ada apa ini? Kenapa tertawa-tawa?"

"Ha-ha, aku geli mendengar rencana murid kita, nenek bau. Togur hendak mencari dan menangkap puteri Pendekar Rambut Emas!"

"Huh, dengan kepandaiannya yang seperti ini?" nenek itu mendengus. "Jangan mimpi, Togur. Hayo kau membantu kami menjaga pulau!" si nenek mengebut, maksudnya mau menangkap dan melempar muridnya itu. Togur dan Hek-bong Siauw-jin dicarinya di mana-mana, mereka harus gantian berjaga tak tahunya dua orang ini kongkauw-kongkauw (bercakap-cakap) seenaknya sendiri, kini mendengar rencana muridnya dan nenek itu mengejek, tentu saja mengejek karena dia sendiri tak menang menghadapi gadis yang lihai itu. Tapi ketika Togur berkelit dan cengkeraman atau sambarannya luput tiba-tiba nenek ini terbelalak, kaget.

"Eh, jangan main-main, Togur. Kau harus menjaga pulau dan pergilah ke selatan!" si nenek marah, bergerak dan berkelebat lebih cepat lagi namun sang murid tiba-tiba menghilang. Jauh lebih cepat dan sebat lagi muridnya itu lenyap, mendahului gerakannya. Dan ketika si nenek tertegun dan mendengar tawa di sebelah kiri tahu-tahu Togur menjewer telinganya dan berseru,

"Subo, jangan macam-macam. Sebaiknya kau yang pergi dan jangan ganggu aku!"

"Aduh!" si nenek menjerit. "Bangsat keparat kau, Togur. Berani benar terhadap guru!" dan si nenek yang tentu saja naik pitam dan marah bukan kepalang tiba-tiba membentak dan menghantam muridnya itu, satu pukulan melayang keras namun si pemuda tiba-tiba melejit lenyap. Togura tertawa dan kembali menghilang, kali ini memperdengarkan suara tawanya di sebelah kanan. Dan ketika sang subo membalik dan menghantam ke situ maka pemuda ini lenyap lagi dan sebuah batu karang dihajar hancur.

"Blarr!" si nenek terkejut dan memaki-maki. Togura mempermainkannya dan nenek itu masih belum sadar akan kepandaian muridnya, yang hebat luar biasa itu. Dan ketika di sana Hek-bong Siauw-jin didengarnya terbahak-bahak dan nenek ini membentak dan berkelebatan cepat tiba-tiba pemuda itu sudah dikejarnya dan diberi pukulan bertubi-tubi, cepat dan kuat namun anehnya semua pukulannya luput. Serangan-serangannya itu selalu mengenai angin kosong dan muridnya sudah lebih cepat menghilang. Dan ketika nenek itu terkejut dan mulai sadar bahwa sesuatu yang lain mulai terjadi maka nenek ini terkejut ketika tamparan tangan kirinya kini ditangkis sang murid.

"Subo, berhentilah. Lihat apa ini.... dess!"

Sang nenek menjerit, terlempar berjungkir balik namun dia masih penasaran. Tubuh yang ada di udara tiba-tiba memutar melayang turun, nenek itu melengking dan melepas satu pukulan jarak jauh, tidak tanggung-tanggung, yang dilepas adalah Tee-sin-kang atau Pukulan Bumi. Dan ketika muridnya tertawa dan berani menangkis pukulannya itu maka nenek ini mencelat dan berseru tertahan, terguling-guling.

"Khi-bal-sin-kang...!" nenek itu terkesiap, melotot matanya dan kini terhuyung meloncat bangun. Apa yang dilihat kali ini tak diragukannya lagi dan terpekiklah nenek itu menyebut ilmu itu, ilmu yang tentu saja dikenalnya baik karena ilmu itu adalah ilmu yang selama ini tak dapat dilawannya. Khi-bal-sin-kang...

..... ADA PARAGRAF YANG HILANG.....

....batuk, sesak napas dan kalau dia tidak cepat membuang pukulan itu tentu dia melontakkan darah segar! Dan ketika si nenek pucat memandang muridnya sementara sang murid tertawa bergelak maka Togura berseru gembira,

"Betul, kau tidak salah, subo. Yang kumiliki tadi adalah Khi-bal-sin-kang!"

"Dan ginkangmu (ilmu meringankan tubuh) tadi, ah... bukankah Jing-sian-eng? Keparat, aku tadinya tak percaya, bocah. Tapi kini sekarang aku yakin bahwa kau memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng! Jahanam, bagaimana kau dapat memiliki dua ilmu itu? Bukankah itu adalah milik Hu-taihiap dan anak serta mantunya?"

"Ha-ha, aku mendapat keberuntungan, subo. Kebetulan saja mendapatkan ilmu-ilmu itu..."

"Dia mendapatkan Cermin Naga!" Siauw-jin, si kakek cebol berseru, menyambung kata-kata muridnya. "Togur telah mampu mengalahkan kita, nenek bau. Dia sudah selihai dan sehebat Hu Beng Kui!"

"Apa?"

"Benar, nenek bau. Murid kita ini telah mendapatkan Cermin Naga dan dia sudah sama dengan mendiang Hu-taihiap. Kita tak dapat menandinginya, murid kita ini jauh lebih hebat daripada kita sendiri, ha-ha!"

Si nenek terkejut, terbelalak memandang muridnya dan bengong. Cerita yang disampaikan Siauw-jin ini serasa petir di siang bolong. Tapi ketika dia menjublak dan bengong memandang si murid tiba-tiba saja berkelebat tiga bayangan lain dan dengus marah,

"Siapa mendapatkan Cermin Naga? Bocah ingusan ini? Bohong, biar kucoba dia, Siauw-jin, dan lihat apakah benar dia selihai Hu-taihiap!" dan Cam-kong yang tiba-tiba muncul bersama Toa-ci dan Ji-moi tiba-tiba melepas Cam-kong-ciangnya (Pukulan Pembunuh Petir).

Siauw-jin dan nenek Naga terkejut karena pukulan itu adalah pukulan membunuh, Togur bisa terlempar oleh serangan atau pukulan yang amat hebat ini. Tapi ketika pemuda itu melompat ke kiri dan tertawa mengejek tiba-tiba dia mengangkat tangan kirinya dan pukulan dahysat dari gurunya diterima dengan sebelah lengan.

"Dess!" Cam-kong mencelat terguling-guling. Kakek tinggi kurus ini terkejut karena pukulannya membalik, dia terlempar dan tergetar serta terguncanglah seluruh tubuh. Namun ketika kakek itu membentak dan menyerang lagi tiba-tiba Cam-kiong lenyap berkelebat mengelilingi muridnya, melepas pukulan-pukulan atau tamparan yang bertubi-tubi. Togura berlompatan mengelit sana-sini, kian lama kian cepat melebihi kecepatan gurunya sendiri, maklum bahwa sang guru hendak melihat Jing-sian-engnya dan tentu saja pemuda itu gembira, tertawa.

Dan ketika sang guru terbelalak dan kaget mengeluarkan seruan berulang-ulang maka pemuda ini menangkis dan sekali lagi gurunya mencelat terlempar, jauh terguling-guling dan kesombongan Togura muncul. Dia menyuruh kakek itu maju lagi disertai yang lain, Hek-bong Siauw-jin dan ketiga nenek yang lain disuruh mengeroyok, dia akan menunjukkan pada semuanya bahwa dia sekarang bukanlah Togura yang dulu.

Dan ketika Toa-ci dan Ji-moi membentak berbareng dan kaget melihat kelihaian pemuda ini tiba-tiba mereka sudah berkelebat dan mengeroyok seperti kata-kata pemuda itu, melepas Mo-seng-ciang (Pukulan Bintang Iblis) dan segera nenek Naga serta Siauw-jin juga berseru keras. Mereka gembira mendengar permintaan itu, sang murid berkata sendiri dan minta diuji, mereka bergerak dan sudah berkelebat lenyap.

Dan ketika Cam-kong di sana juga menubruk dan menyerang muridnya maka Togura sudah dikeroyok dan dikerubut lima orang gurunya, mendapat pukulan-pukulan dahsyat atau tendangan dan tamparan, semuanya tidak main-main lagi karena kelihaian pemuda ini segera membuat kelima gurunya penasaran. Dan ketika Togura mengeluarkan Jing-sian-engnya dan segera berkelebatan mendahului gurunya.

Maka pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang juga dilepaskan dan menjerit serta berteriak kagetlah tiga orang gurunya wanita, mendapat kenyataan bahwa murid mereka benar-benar mewarisi dua ilmu luar biasa itu, mereka terpental dan bayangan sang murid akhirnya balik mengelilingi mereka, jadi bukan pemuda itu yang dikelilingi! Dan ketika Togura tertawa-tawa dan mulai membagi tamparan atau tendangan maka lima gurunya kalang-kabut dihajar pemuda itu.

"Ha-ha, lihat. Ini bukti kepandaianku, suhu. Dan ini untuk kalian... des-dess!"

Sang guru tunggang-langgang, semua pukulan membalik dan baik Mo-seng-ciang maupun Cam-kong-ciang tak ada yang mempan. Togura benar-benar mempermainkan kelima gurunya dan akhirnya Siauw-jin berteriak keras apakah boleh mengeluarkan senjata, bertanya pada muridnya itu penuh penasaran. Dan ketika pemuda itu mengangguk, maka sang guru menyerang pemuda itu.

Toa-ci dan Ji-moi pun tidak ketinggalan pula mengeluarkan senjata masing-masing. Dua senjata khas yang aneh maka nenek Naga Bumi juga mengeluarkan jarum dan benangnya, menusuk dan mencolok dan segera semuanya ramai bertanding seru. Togura dikeroyok guru-gurunya namun pemuda ini enak saja ganda ketawa, menangkis atau juga membiarkan senjata-senjata itu mendarat di tubuhnya. Dan ketika sabit atau garpu maupun sendok dan jarum mental semua bertemu kekebalan pemuda itu maka Siauw-jin terbahak-bahak sementara Cam-kong mengumpat kaget, juga kagum.

"Keparat, kau hebat, Togur. Hebat dan luar biasa sekali!"

"Ha-ha, apa kubilang!" si kakek cebol Hek-bong Siauw-jin terbahak-bahak. "Dia seperti Hu-taihiap sendiri, Cam-kong. Dan murid kita ini dapat menjunjung nama kita!"

"Benar, Togur hebat sekali, Siauw-jin. Sungguh tak kukira kalau ia dapat memperoleh Cermin Naga!" Toa-ci, yang kini mulai percaya dan hilang penasarannya akhirnya berseru memuji, memang tidak main-main muridnya itu dan semua serangan mereka tertolak.

Dan ketika pemuda itu berkata bahwa dia sekarang akan membalas dan merobohkan kelima gurunya maka Siauw-jin dan lain-lain terkesiap ketika senjata mereka diterima berbareng, menusuk dan membacok tubuh pemuda itu namun tiba-tiba semua senjata patah. Rupanya kali ini Togura mengerahkan sebagian besar sinkangnya, menahan sekaligus mendemonstrasikan kehebatannya pada sang guru.

Dan ketika kelima gurunya kaget karena sabit maupun jarum patah menjadi beberapa potong maka di saat itulah Togura berseru keras, mendorongkan kedua lengannya ke kiri kanan dan pukulan Bola Sakti menyambar, tentu saja kelima gurunya terpekik karena mereka pasti terlempar. Dan ketika benar saja mereka terbanting dan bergulingan dengan muka pucat maka Togura berkelebat lima kali dan masing-masing totokan telah melumpuhkan kelima gurunya itu, yang mengeluh tertahan.

"Aih... tuk-tuk-tuk!"

Lima orang itu roboh bergelimpangan. Mereka, tokoh-tokoh sesat ternyata benar-benar harus terguling-guling dan roboh di tangan murid sendiri, Togura telah mengalahkan mereka sesuai janjinya. Dan ketika lima orang itu terbeliak dan kaget serta gentar maka Togura tertawa membebaskan guru-gurunya kembali.

"Bagaimana, kalian masih tidak percaya, suhu? Atau subo barangkali ingin mencoba lagi?"

"Tidak," nenek Ji-moi berseru melompat bangun, pucat namun berseri-seri. "Aku sudah percaya, togur. Kau sungguh hebat dan bukan tandingan kami lagi!"

"Benar," nenek Toa-ci juga menyambung. "Kau sehebat dan selihai Hu-taihiap, Togur. Kami semua mengaku kalah!"

"Hm," pemuda itu menggeleng. "Aku belum sehebat Hu-taihiap, subo. Aku masih tak memiliki ilmu pedangnya Giam-lo Kiam-sut (Ilmu Pedang Maut)!"

"Ah, tak perlu. Giam-lo Kiam-sut tak akan menandingi Khi-bal-sin-kang atau Jing-sian-eng, Togur. Kau sudah hebat dan jauh di atas kami!"

"Betapapun aku tak puas," pemuda itu menarik napas, menggeleng. "Aku belum dapat mengalahkan See-ong atau Kim-mou-eng, subo. Kalau aku sudah dapat mengalahkan mereka atau minimal seri dengan mereka barulah aku puas!"

"Jadi kau mau apa?"

"Aku mau keluar dari Sam-liong-to, subo, mencari dan menangkap puteri Pendekar Rambut Emas!"

"Hendak kau apakan?"

"Ha-ha, kusuruh menyerahkan Lu-cian-hoat dan Cui-sian Gin-kang, agar aku setingkat dengan Kim-mou-eng. Dan juga sekaligus menjadikan gadis itu sebagai kekasihku!"

"Kau gila?" sang nenek terkejut. "Kau akan berhadapan dengan ayahnya, Togur. Kim-mou-eng dan isterinya tentu akan melindungi gadis itu!"

"Hm, kau bodoh," pemuda ini tak takut-takut memaki gurunya. "Kau berotak kerbau seperti Siauw-jin, subo. Kalau mau menangkap anak gadisnya kenapa harus berhadapan dengan ayahnya? Tidak, aku akan memancing gadis itu keluar, subo, memanaskan hatinya dan kuajak menjauhi orang tuanya. Di sana dia akan kurobohkan dengan segala macam akal!"

"Tapi dia lihai!"

"Aku tak perduli. Aku akan menjebaknya karena meskipun lihai tapi gadis itu belum banyak pengalaman. Eh, kenapa kau cerewet sekali, subo? Bukankah banyak tipu-tipu busuk yang kau ajarkan kepadaku? Nah, akal atau tipu-tipu itu dapat kucari, subo. Kau jangan bertanya lagi karena kau semakin bodoh saja!"

Nenek Toa-ci merah padam. Kalau bukan pemuda ini yang bicara tentu dia sudah melengking dan menghajar, sekali bergerak tentu dia akan membunuh pemuda itu. Tapi karena Togur benar-benar lihai dan sekarang pemuda ini hebat bukan main maka si nenek menahan malu dan tidak berani bercuit, betapa bedanya ketika pertama kali dia datang dengan galak! Sang murid sering ditampar atau diperlakukan semena-mena. Kini pemuda itu membalas dan nenek ini tak bercuap. Dan ketika Siauw-jin tertawa bergelak sementara Cam-kong tak berkedip dengan sikap dingin maka pemuda itu berkata bahwa dia akan pergi.

"Jangan kalian beritahukan See-ong, diam-diam saja. Kalau ada di antara kalian yang membocorkan penemuanku ini maka dia akan kubunuh!"

"Ha-ha, pergilah!" Siauw-jin terbahak-bahak. "Tak mungkin di antara kami ada yang membocorkan Cermin Naga itu, Togur. Tapi lama-lama mereka tentu tahu sendiri kalau sudah melihat kepandaianmu!"

"Ya, tapi tak perlu kalian lapor. Diam saja dan biarkan semuanya itu terjadi!" lalu berkata bahwa dia akan berangkat dan tak usah gurunya menahan tiba-tiba Togura berkelebat menghilang meninggalkan Sam-liong-to, tak dicegah dan tentu saja tak dihalangi.

Kelima gurunya itu hanya memandang dan tiga di antaranya berseri-seri. Mereka girang karena murid mereka tiba-tiba demikian lihai, memiliki Jing-sian-eng dan Khi-bal-sing-kang. Dan ketika mereka mengangguk-angguk dan girang serta berseri, kecuali Toa-ci dan nenek Ji-moi, maka di sana pemuda itu sudah lenyap dan meninggalkan pulau, hendak mencari Soat Eng!

* * * * * * * *

Beberapa bulan setelah Pendekar Rambut Emas ditinggalkan puteranya. Hari itu kebahagiaan melanda pendekar ini. Swat Lian, isterinya, akhirnya melahirkan bayinya. Seorang bayi laki-laki yang sehat dan montok, tangisnya nyaring hingga mengejutkan semua orang. Tapi ketika bangsa Tar-tar tahu dan tentu saja bersorak gembira maka Kim-mou-eng memperkenankan ketika seorang pembantunya usul agar hadirnya bayi laki-laki itu, yang diberi nama Beng An, Kim Beng An, dimeriahkan dengan pesta adat seminggu penuh.

"Kami ingin menyambut pemimpin muda. Harap taihiap tidak menolak kalau kami memeriahkannya dengan pesta adat!"

"Baiklah, boleh, Kokthai. Tapi jangan mengurangi kewaspadaan dan sebagian tetap berjaga!"

"Ah, wilayah kita aman, lagi pula taihiap dan hujin serta siocia (nona) ada di sini. Siapa berani mengganggu, taihiap? Kami akan berpesta sepuas mungkin, mohon diperkenankan menyambung hang-siauw-hiap (pemimpin muda kecil)!"

"Baiklah, baiklah.., kalian boleh bersenang-senang dan silahkan bergembira!" Kim-mou-eng tertawa, tentu saja ikut gembira dan percaya bahwa tak akan ada suku bangsa lain yang berani mengganggu bangsanya. Dirinya ada di situ dan Soat Eng pun juga bersama ibunya, tak usah khawatir.

Dan ketika bangsa Tar-tar menyambut kelahiran Beng An dan pesta adat mulai berjalan ramai maka di dalam, di tempat kamar sang ibu Soat Eng tampak tertawa-tawa membopong si kecil, yang menangis dan berteriak-teriak, digoda.

"Ih, lengking tangisnya melebihi anak-anak kebanyakan, ibu. Suaranya keras dan nyaring sekali!"

"Tentu," sang ibu tersenyum, tertawa bahagia. "Tangismu pun dulu juga seperti ini, Eng-ji, mengejutkan dan nyaring. Sudahlah, bawa ke sini dan jangan digoda lagi. Adikmu minta emik, haus!"

Soat Eng tertawa-tawa. Mendapat seorang adik laki-laki persis seperti yang selama ini didambakannya sungguh membuat gadis itu girang. Soat Eng gembira dan menemani ibunya, ikut momong. Dan ketika dia menyerahkan si kecil dan sang ibu cepat menyusui bayinya maka Soat Eng kagum dan agak tersipu melihat buah dadanya ibunya, masih montok dan segar!

"Apa yang kau lihat?"

"Ah," gadis ini terkejut, semburat. "Aku... eh, aku kagum pada adikku ini, ibu. Minumnya lahap dan kuat benar!"

"Hi-hik, kaupun dulu juga begitu, Eng-ji. Kuat dan minum tak habis-habisnya. Kau dan Beng An minum tak habis-habisnya. Kau dan Beng An sama-sama membuat ibumu cepat lapar!"

Soat Eng tersenyum, kemerah-merahan dan bersinar. "Ibu, kenapa kau namakan adikku ini Beng An? Bukankah nama itu adalah nama mendiang uwa-ku?"

"Benar, justeru inilah maksudnya, Eng-ji. Aku ingin mengenang dan mematri nama uwamu dalam adikmu. Lagi pula aku bermimpi ketemu mendiang kakekmu agar memberikan nama itu pada adikmu!"

"Ih, kong-kong (kakek) menemui ibu dalam mimpi?"

"Hm, begitulah. Dan aku mengikuti nasihatnya itu, Eng-ji. Orang yang sudah meninggal bukan berarti tidak ada hubungan lagi dengan kita. Setidak-tidaknya bekas kenangan atau pesan-pesannya masih selalu menyertai!"

Soat Eng terisak. Bicara tentang kakeknya ini tiba-tiba membuat dia teringat peristiwa di Sam-liong-to. Kakaknya belum kembali sementara beberapa bulan ini ia menemani ibunya. Dan ketika ibunya menarik napas dan tersedak ketika tenggorokannya gatal maka ayahnya masuk dan Pendekar Rambut Emas tampak berseri-seri.

"Bagaimana, isteriku? Beng An tidak menangis lagi? Eh, kenapa Eng-ji menangis? Ada apa lagi?"

"Tak apa-apa," sang isteri menghela napas. "Kami baru membicarakan Beng An, suamiku, dan juga mendiang ayah..."

"He?"

"Eng-ji bertanya kenapa anak ini bernama Beng An, kujelaskan dan kuceritakan tentang mimpi itu."

"Ah," Pendekar Rambut Emas mengerutkan keningnya, memeluk pundak sang puteri. "Tak usah kau berduka tentang hal itu, Eng-ji. Sudahlah keluar sebentar ayahmu mau bercakap-cakap dengan ibumu."

Soat Eng mengangguk. Memang dia akan keluar setelah ayahnya masuk, sungkan kalau melihat ayahnya berdua dengan ibu. Dan ketika dia keluar dan meninggalkan ayah ibunya maka Soat Eng berkelebat dan melihat-lihat keramaian. Ada tambur dan tarian, suling dan segala macam lainnya lagi di mana suku bangsanya bergembira. Soat Eng tersenyum dan mulai dapat melupakan kenangannya akan si kakek. Tapi ketika dia berkeliling dan berputar-putar mendadak telinganya mendengar jerit tertahan dan seseorang berkelebat di kejauhan sana.

"Augh... uph!"

Suara itu cukup. Bagi Soat Eng yang bertelinga tajam dan awas pandangan sedikit suara dan berkelebatnya bayangan itu sudah dilihatnya, tentu saja terkejut dan berkelebat menuju ke tempat itu, bergerak mengerahkan ginkangnya tapi bayangan yang dilihat tiba-tiba keluar perbatasan, menenteng seorang laki-laki yang segera dikenal sebagai Kokthai oleh Soat Eng, pembantu ayahnya dan yang usul tentang keramaian pesta. Dan ketika Soat Eng membentak dan marah mempercepat larinya tiba-tiba Kokthai yang melihatnya berseru pucat, girang tapi menggigil,

"Siocia, tolong. Aku... aku dibawa orang gila...!"

Soat Eng gusar. Melihat seorang pembantu ayahnya diculik dan dibawa kabur tentu saja dia marah. Jing-sian-eng dikerahkan dan tubuh gadis ini tiba-tiba melesat melebihi larinya sebatang panah, menurut kebiasaan dia segera akan menangkap lawannya itu, berjungkir balik dan menghadang di depan. Tapi ketika bayangan itu tertawa aneh dan menggerakkan tangan terkembang seperti dirinya tiba-tiba Soat Eng tersentak karena lawan juga terbang dan melesat melebihi sebatang anak panah, persis dirinya.

"Jing-sian-eng..!" Soat Eng terpekik, segera mengenal gaya ilmu lari cepat itu dan gadis ini tentu saja kaget bukan main, tidak percaya dan mengerahkan lagi ilmu lari cepatnya itu namun lawan juga melakukan hal yang sama. Tangan yang terkembang seperti burung hendak terbang jelas adalah permulaan dari gerakan Jing-sian-eng. Dan ketika Soat Eng membentak dan terkesiap kaget maka lawan meluncur dan terbang mendahului dirinya.

"Keparat, berhenti, siluman busuk. Berhenti dan serahkan pembantu ayahku!"

"Ha-ha!" bayangan itu tertawa, suaranya bergetar. "Coba kau tangkap aku, gadis siluman. Ayo kita berlomba dan lihat apakah kau bisa menangkapku!"

Soat Eng marah. Melihat lawan menenteng pembantunya dan Kokthai berteriak-teriak maka Soat Eng gusar. Tentu saja dia terus mengejar dan dibentaklah bayangan itu. Dan ketika mereka berkelebatan seperti iblis dan bukit atau padang-padang rumput dilalui dengan cepat maka Kokthai yang ada di genggaman bayangan ini merintih, akhirnya pingsan, membuat Soat Eng semakin marah lagi dan bayangan itu dikejar dengan sepenuh tenaga.

Sekarang Soat Eng tancap gas dan mereka sudah empat kali mengitari gunung, bayangan mereka berkelebatan seperti siluman yang bukan main cepatnya, berkelebat di sini dan lenyap di sana. Tapi ketika Soat Eng mengeluarkan Cui-sian Gin-kangnya dan menggabung itu dengan Jing-sian-eng maka lawan berseru tertahan ketika tubuh gadis itu sudah berjungkir balik dan berada di depannya, melewati atas kepala.

"Jahanam, tak tahu malu, berhentilah!" Soat Eng melepas pukulan, menghantam bayangan itu dan tentu saja bayangan ini berhenti. Dia terkejut dan menangkis. Dan ketika Soat Eng terpental dan sebuah tenaga karet menolaknya terlempar maka gadis ini lagi-lagi terpekik dan berseru tertahan, berjungkir balik melayang turun,

"Khi-bal-sin-kang...!" gadis itu pucat, tertegun di atas tanah dan kakinya menggigil tak dapat tegak. Soat Eng melihat bahwa ilmu yang dipakai bayangan ini adalah pukulan Bola Sakti, Khi-bal-sin-kang. Dan ketika dia tertegun dan pucat memandang bayangan itu maka bayangan ini, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang mengenakan topeng tertawa kepadanya.

"Ha-ha, benar, gadis siluman. Rupanya kau mengenal pukulanku dan ilmu lari cepatku pula."

"Tentu saja. Keparat, kau... ah!" Soat Eng teringat cerita uwak Lu, tiba-tiba mendelik dan sadarlah dia bahwa inilah kiranya pencuri cermin itu. Tanpa dicari tanpa susah payah tiba-tiba pencuri ini datang! Tentu saja Soat Eng girang bukan main. Tapi melihat bahwa lawan ternyata amat lihai dan dapat mempergunakan Jing-sian-eng maupun Khi-bal-sin-kang tiba-tiba kegembiraan Soat Eng lenyap terganti kemarahan yang berkobar. "Jahanam busuk!" bentakan itu sudah tak memerlukan jawaban lagi. "Kiranya kau yang datang ke Ce-bu, siluman keparat. Kau pencuri Cermin Naga dan si maling hina itu!"

Soat Eng sudah menerjang, langsung melepas pukulan-pukulan dan tamparannya dan segera lawan tertawa. Dengan suaranya yang aneh dan sengau bayangan itu mengaku bahwa dialah pencurinya, suaranya aneh karena tertutup topeng. Dan ketika dia mengelak namun Soat Eng mengejar dan berkelebatan melancarkan serangannya maka bertubi-tubi bayangan ini sudah didesak dan dimaki-maki, dibentak dan diserang Soat Eng dengan penuh kemarahan. Soat Eng benar-benar meledak dan karena yang dicari-cari ternyata datang, kini mengganggunya dan rupanya sengaja menangkap Kokthai, agar dia mengejar dan keluar dari wilayahnya, hal yang tak membuat gadis itu takut atau gentar.

Dan ketika lawan didesak dan terus diserang bertubi-tubi maka keluarlah ilmu-ilmu yang dipunyai keluarga Kim-mou-eng, Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng itu dan tentu saja Soat Eng berteriak memaki-maki. Orang ini berani benar mengajaknya bertanding, jadi memang menguji dan menantang. Tapi ketika pukulan-pukulannya bertemu Khi-bal-sin-kang dan tentu saja tertolak balik sementara ilmu meringankan tubuhnya juga menghadapi Jing-sian-eng yang luar biasa maka Soat Eng menjadi gusar dan merah mukanya.

"Keparat jahanam! Keluarkan ilmumu sendiri, bedebah keparat! Jangan ilmu curian yang kau peroleh!"

"Ha-ha, inilah yang kupunyai," bayangan itu, yang tentu saja Togura adanya berseru. "Aku hanya mempunyai ilmu-ilmu ini, anak manis. Coba kau kalahkan aku dan lihat siapa yang roboh!"

"Bedebah!" dan Soat Eng yang tidak banyak bicara lagi menyerang lawannya lalu mengeluarkan Lu-ciang-hoat, menggabung itu dengan Khi-bal-sin-kang dan lawan tampak terkejut. Lalu ketika dia juga mengeluarkan Cui-sian Gin-kang untuk digabung dengan Jing-sian-eng maka bayangan itu benar-benar tersentak dan berubah mukanya, terdesak!

"Keparat, kau lihai, bocah she Kim. Tapi jangan keburu girang. Aku juga mempunyai simpanan ilmu-ilmu yang lain!"

Soat Eng mengerutkan kening. Lawan tiba-tiba menggerakkan tangan kiri dengan pukulan-pukulan lain, Khi-bal-sin-kang tetap dipergunakan tapi kini dari tangan kiri lawannya itu keluar semacam bau amis. Dan ketika tangan kiri itu juga meledak mengeluarkan kilatan cahaya biru maka Soat Eng terkejut ketika melihat lawan bertahan.

"Ha-ha, bagaimana, Kim-siocia? Benar tidak kata-kataku tadi?"

Soat Eng membentak. Meskipun lawan dapat bertahan tapi lawan tak dapat membalas, bagaimanapun ilmu curian itu belum sematang dan selama seperti yang dimilikinya. Tapi karena dia wanita sedang lawan adalah laki-laki maka jelas lawan bertenaga lebih besar dan untuk ini Soat Eng harus mengakui, tak dapat mendesak karena lawan dapat bertahan. Kalau kakaknya ada di situ tentu lain, kakaknya lebih lihai dan pencuri ini dapat dibekuk. Dan ketika pertandingan menjadi imbang karena Soat Eng tak dapat mendesak sementara lawan juga tak dapat membalas maka lawan tertawa-tawa dan Soat Eng geram memandang wajah di balik topeng itu.

"Pengecut, siapa dirimu dan buka topengmu itu. Jangan bersikap licik!"

"Ha-ha, kalau kau dapat merobohkan aku tentu kau akan tahu siapa aku, adik manis. Sekarang tak usah bertanya dan lihat saja aku akan merobohkanmu!"

"Kentut busuk! Membalas saja tak dapat bagaimana kau mampu merobohkan aku? Phuih, kau manusia sombong yang tak tahu diri, maling hina. Sudah mencuri Cermin Naga masih juga bicara sombong!"

"Ha-ha, memangnya tidak boleh? Eh, lihat sebentar lagi aku akan membuktikan omonganku, bocah she Kim. Dan hati-hati kalau kau tak ingin roboh!" lawan tiba-tiba mengeluarkan seruan keras, menangkis satu tamparan Soat Eng dan kembali mereka sama-sama terpelanting.

Maklumlah, Khi-bal-sin-kang sama-sama bertemu dan Soat Eng marah sekali. Kejadian ini sudah berulang-ulang hingga dia gusar. Namun ketika lawan terpelanting ke kanan sementara dia berjungkir balik mematahkan pukulan tiba-tiba Soat Eng membentak melepas satu tamparan miring, dari ilmu pukulan Lu-ciang-hoat.

"Dess!" Lawan mengeluh. Lu-ciang-hoat memang tidak dikenal lawan dan karena itu pukulan Soat Eng berhasil. Namun karena lawan memiliki Khi-bal-sin-kang dan betapapun Bola Sakti itu melindungi si pemuda maka lawannya terlempar tapi dapat bangun berdiri lagi, dikejar dan menerima satu pukulan lagi namun lawan dapat berdiri terhuyung. Lima enam pukulan membuat pemuda itu terbanting namun selalu dapat bangun, hal yang membuat Soat Eng gemas. Namun ketika dia membentak lagi dan lawan mengeluh merasakan pukulan-pukulannya mendadak lawan melarikan diri dan memutar tubuhnya, rupanya kesakitan.

"Keparat, kau hebat, bocah. Baiklah lain kali saja kita bertemu lagi dan cukup main-main ini!"

"Bedebah, kau mau lari? He, tunggu dulu, siluman keparat. Serahkan Cermin Naga dan kau menyerahlah!" Soat Eng tentu saja tidak membiarkan lawan kabur, girang karena lawan rupanya mulai menerima kekalahan, dia dapat mendesak dan lupa bahwa sebenarnya mereka seimbang, terbukti bahwa berkali-kali tadi pemuda itu dapat bertahan sementara dia tak dapat mendesak, jadi aneh kalau sekarang pemuda ini tiba-tiba kelihatan terdesak, hal yang tak dicurigai Soat Eng. Dan ketika dia mengejar sementara lawan tampak terhuyung jatuh bangun akhirnya sebuah pukulan Soat Eng mendarat lagi di tengkuk laki-laki itu.

"Kau robohlah... dess!" lawan terlempar, kaget mengeluh terbanting dan Soat Eng siap menangkap, tubuh berkelebat tapi lawan tiba-tiba dapat bergulingan menjauh, melompat bangun dan lari lagi, tak apa-apa! Dan ketika Soat Eng memaki dan tentu saja marah tapi juga kagum maka dia melengking dan membentak lawannya itu, mengancam, "Siluman keparat, menyerahlah. Atau kau benar-benar akan kubunuh!"

"He-he, tak mungkin kau berani. Cermin Naga kusembunyikan, bocah she Kim. Berani membunuhku berarti kau kehilangan cermin itu!"

"Keparat, kau busuk!" dan Soat Eng yang tertegun dan marah serta bingung akhirnya tak berani melepas pukulan-pukulan mematikan, takut lawan benar-benar mati dan dia kehilangan cermin itu. Lawan tinggal menangkap dan barangkali dia menunggu lelahnya lawannya ini, tentu akan roboh sendiri karena lawan sudah terhuyung-huyung.

Soat Eng tak tahu bahwa semuanya itu adalah tipuan belaka dan lawan sedang mengatur sesuatu, mendekati sebuah lubang jebakan di mana tiba-tiba lawan terguling ketika sebuah akar yang panjang menjerat kakinya, disangka Soat Eng lawan roboh karena sudah kehabisan tenaga. Maka begitu dia berseru girang dan berteriak ke depan tiba-tiba akar yang menjerat pemuda ini ditendang ke samping dan terbukalah sebuah tutup lubang jebakan yang menjepret ke arah Soat Eng.

"Heii...!" Soat Eng terkejut. Saat itu dia sedang menubruk dan menerkam ke depan, lawan hendak ditotok karena toboh terguling. Tapi begitu sebuah lubang jebakan menganga di depannya dan pemuda itu tertawa mencabut sesuatu tiba-tiba tiga sinar hitam berkelebat dan menyambarlah tiga pisau terbang ke arah gadis ini, tepat ketika Soat Eng terkesiap oleh lubang jebakan itu.

"Siut-bret-bret!"

Soat Eng menjerit. Dua pisau terbang itu menuju matanya, terpaksa ditangkis, dan dia kehilangan konsentrasi. Dan ketika pisau mental dan lawan terbahak maka tubuhnya meluncur ke bawah lubang dan sebuah lasso menyambar lehernya dari atas.

"Rrtt!" Kejadian ini cepat sekali. Soat Eng terkejut ketika tubuhhya harus meluncur ke bawah lubang, tiba-tiba disambar lasso dan lehernya terjirat, tentu saja tercekik! Dan ketika dia meronta namun tawa di atas itu disertai tarikan kuat tiba-tiba dia tersentak dan leher menghentikan semua jalan pernapasannya.

"Ngekk!" Suara itu membuat Soat Eng hampir pingsan. Cekikan yang terlalu kuat dan kebingungan serta kegugupan yang menjadi satu membuat gadis ini hampir kehilangan segala-galanya. Dia sungguh tak menyangka bahwa di situ ada lubang jebakan, maklumlah, dia tak tahu kelicikan lawannya ini. Tapi ketika Soat Eng tertarik ke atas dan keluar dari lubang jebakan dalam keadaan setengah pingsan tiba-tiba terdengar bentakan seseorang yang langsung menyerang bayangan itu.

"Manusia hina, lepaskan Kim-siocia!"

Bayangan itu terkejut. Saat itu dia sedang menarik dan siap melakukan totokan tunggal, siap merobohkan puteri Pendekar Rambut Emas ini dan bayangan kegembiraan merona di wajahnya. Tapi begitu sebuah bentakan terdengar di belakangnya dan pukulan yang amat dahsyat juga menyambar kepalanya maka bayangan ini kaget dan tentu saja terkesiap.

"Dess!" Dia tak dapat mengelak lagi. Pukulan itu mengenai kepalanya dan laki-laki ini terbanting, mengeluh dan terlempar bergulingan.

Soat Eng otomatis terlepas dan gadis itu berdebuk di atas tanah, terlempar dan terbanting pula karena lawan melepaskan lassonya. Gadis ini pening dan mengeluh, sejenak tak dapat menguasai kesadaran karena saat itu bumi rasanya berputar. Soat Eng hampir pingsan oleh cekikan lasso tadi, yang begitu kuatnya. Tapi ketika di sana terdengar seruan tertahan dan penolongnya terlempar terguling-guling maka Soat Eng menggoyang kepalanya dan tampaklah seorang pemuda gagah dan tampan terpelanting oleh pukulannya yang membalik, maklumlah, bayangan itu dilindungi oleh Khi-bal-sin-kangnya.

"Siang Le...!" Soat Eng tertegun. Bayangan yang terlempar juga tampak terkejut, dia sudah melompat bangun dan melihat penyerangnya itu. Dan ketika dia terbelalak dan seruan itu membuat dia menggeram tiba-tiba bayangan ini memaki dan mengumpat, berkelebat melarikan diri, gagal merobohkan Soat Eng.

"Hei!" Siang Le, pemuda itu berteriak. "Tunggu dulu, manusia licik. Kau berhutang sebuah kecurangan kepada Kim-siocia. Berhenti...!" dan pemuda ini yang mengejar dan sudah meloncat bangun ternyata tak mau membiarkan lawan melarikan diri, tentu saja membuat Togura atau bayangan itu marah.

Kalau Siang Le ada di situ dan menolong Soat Eng tentu lama-lama rahasianya bisa ketahuan. Pemuda itu dapat mengenal suaranya dan juga bentuk tubuhnya. Itulah sebabnya Togura tiba-tiba melarikan diri, bukan takut melainkan semata menjaga kedoknya, agar tidak terbongkar. Maka ketika Siang Le mengejar dan melepas satu pukulan tiba-tiba pemuda ini membalik dan menangkis.

"Dess!" Siang Le mencelat. Khi-bal-sin-kang lagi-lagi melemparnya dan membuat dia berteriak kaget, lawan melarikan diri lagi dan mendengus. Siang Le tertegun tapi membentak lagi, bangun dan sudah menyerang lawannya. Tapi ketika lawan menangkis dan lagi-lagi ia mencelat maka Soat Eng berkelebat dan membentak,

"Biarkan ia berhadapan dengan aku, minggirlah... dess!" Soat Eng menerima pukulan itu, mendorong Siang Le dan mengerahkan tenaganya dan Togura atau bayangan itu tentu saja kaget, terlempar dan bersama-sama Soat Eng ia bergulingan. Kalau gadis ini sudah bangun dan menyerangnya lagi tentu ia repot. Maka begitu berteriak dan melengking tinggi tiba-tiba Togura atau bayangan ini melempar granat tangan.

"Bocah she Kim, lain kali kita bertemu. Biarlah kutunda kemenanganku dan selamat tinggal... dar-dar!" dua granat tangan meledak di depan Soat Eng dan Siang Le, tentu saja membuat dua orang muda itu berjungkir balik dan Soat Eng memaki-maki, asap tebal menghalangi pandangan dan dia marah sekali. Dan ketika asap sudah menipis dan dia mau mengejar namun lawan sudah menghilang maka Siang Le berkelebat dan tahu-tahu berada di sampingnya.

"Kim-siocia, lawan telah pergi. Syukur kau selamat!"

"Hm!" Soat Eng membalik, menghadapi pemuda ini. "Kau bagaimana bisa datang ke sini? Mau apa?"

"Eh," pemuda itu terkejut. "Aku datang secara kebetulan saja, nona, tak sengaja dan kebetulan melihat dirimu dicurangi lawanmu itu!"

"Hm, tak sengaja? Kebetulan saja?" gadis itu tak percaya. "Kau bohong, Siang Le. Kau dusta. Kau pasti membawa maksud apa-apa dan jangan-jangan dia itu temanmu!"

"Eh!" pemuda ini terkejut, tersentak. "Aku berani sumpah bahwa aku tak kenal-mengenal dengan si topeng buruk itu, nona. Aku tak perlu berpura-pura atau berbohong padamu!"

"Aku tak percaya, kau tentu ada maksud!" dan Soat Eng yang menerjang serta menyerang pemuda ini tiba-tiba membentak dan melakukan tamparannya, langsung mengerahkan Khi-bal-sin-kang dan Siang Le terpekik.

Pemuda itu bukannya mendapat terima kasih malahan dituduh sebagai teman atau komplot si bayangan bertopeng, tentu saja dia terkejut. Dan ketika dia mengelak namun Soat Eng mengejar tiba-tiba tamparan itu mengenai pundaknya juga.

"Dess!" Siang Le terlempar. Sama seperti dulu ketika di Sam-liong-to pemuda ini tak melakukan balasan, dia sudah bergulingan meloncat bangun dan mengelak sana-sini ketika lawan berkelebat, mengejar dan melakukan tamparan-tamparan atau tendangan.

Soat Eng curiga jangan-jangan pemuda ini adalah teman si bayangan tadi, pura-pura menolong dan kini berbaik-baik dengannya, sebuah muslihat yang sering didengar dan dipergunakan orang-orang golongan sesat. Dan karena guru pemuda itu adalah orang sesat dan ini membuat Soat Eng tak percaya maka diserangnya pemuda itu, gencar dan bertubi-tubi dan Siang Le pun akhirnya jatuh bangun. Pemuda ini tak membalas dan berulang kali menyuruh si gadis berhenti, berani bersumpah dan segala macam kata-kata lagi untuk meyakinkan lawan. Tapi karena Soat Eng tak percaya dan semua itu bahkan menambah kemarahannya akhirnya sebuah pukulan keras mendarat di tengkuk pemuda itu.

"Dess!" Siang Le berteriak. Dia sudah mengerahkan sinkang menahan, tak tahunya tetap terlempar dan terbanting juga. Rupanya Soat Eng mengerahkan hampir semua tenaganya dan tentu saja pemuda itu mengeluh, kepalanya berputar dan tengkuk rasanya patah. Dan ketika gadis itu berkelebat dan semua teriakannya rupanya sia-sia tiba-tiba Siang Le mengendorkan semua tenaganya ketika gadis itu menotoknya.

"Tuk!" Robohlah murid See-ong ini. Siang Le merintih dan pucat, dia menahan sakit karena lagi-lagi totokan itu dilakukan dengan keras, jari yang lentik itu berubah seolah baja dan tergulinglah dia sambil mengeluh. Dan ketika Soat Eng tertegun karena merasa totokannya tak ditolak atau ditahan maka Siang Le berkata bahwa dia boleh dibunuh.

"Nah, puaskan hatimu. Boleh kau bunuh aku, nona. Hantam kepalaku dan pecahkanlah!"

Soat Eng terkejut, tiba-tiba marah. "Siapa mau membunuhmu? Tidak, aku menangkapmu, Siang Le. Kau akan kubawa pada ayah ibuku untuk diperiksa. Kau harus mengaku bahwa si topeng buruk itu adalah kawanmu!"

"Ah, terserah. Aku sudah berkata sebenarnya, nona. Kalau kau tidak percaya dan tidak membunuhku maka aku juga akan mengatakan yang sebenarnya pada ayah ibumu!" namun, sebelum gadis itu membawa pemuda ini tiba-tiba berkesiur angin dingin dan Pendekar Rambut Emas atau Kim-mou-eng muncul, seperti iblis!

"Eng-ji, apa yang terjadi? Kau bertempur dengan siapa?"

"Aih, kebetulan!" gadis itu bersorak. "Pencuri Cermin Naga sudah tertangkap jejaknya, ayah. Pemuda ini komplotan pencuri itu! Dia kutangkap, tak mau mengaku. Barangkali kau yang memeriksanya agar dia tahu rasa!"

"Hm," Kim-mou-eng terkejut. "Bukankah ini murid See-ong?"

"Benar, kau sudah mengenalnya, yah? Kalau begitu bagus, bisa lebih cepat selesai!"

Namun sang ayah yang mengerutkan kening dan menggeleng kepala tiba-tiba menyambar dan mengamati pemuda itu. "Kau... hm, kau Siang Le?"

"Benar, Kim-taihiap!" Siang Le menjawab girang, wajahnya berseri-seri. "Kau rupanya masih mengenal aku!"

"Hm, benar. Aku tak lupa wajahmu," pendekar ini teringat segala kejadian di Sam-liong-to. "Kau pemuda aneh dan rasanya tak pantas menjadi murid See-ong! Eh, ceritakan apa yang terjadi, Eng-ji. Apa yang kau maksud dengan Cermin Naga tadi dan apa hubungannya dengan pemuda ini!"

"Aku tadi bertemu pencuri hina itu, pandai mainkan Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng!"

"Apa?"

"Benar, ayah. Aku juga terkejut. Pencuri itu datang dan menculik Kokthai. Dia..."

"Aku di sini," Kokthai tiba-tiba muncul, tersaruk-saruk. "Ayahmu menolongku, siocia. Hampir mati aku dicekik siluman jahat itu!"

Soat Eng tertegun, tadi melupakan pembantu ayahnya ini. "Maaf, kau tak apa-apa, paman? Kau tidak luka?"

"Tidak, tapi leherku sakit, siocia. Penjahat itu mencekikku serasa mampus. Bedebah, ke mana dia sekarang dan apakah Kim-taihiap sudah menangkapnya? Aku tadi melapor, mungkin kurang jelas... eh, apakah ini penjahatnya?" laki-laki itu terbelalak memandang Siang Le, melihat wajah yang gagah dan tampan dan rupanya dia terkejut bahwa wajah yang begitu gagah ternyata seorang penjahat! Tapi ketika Soat Eng menggeleng dan berkata bahwa penjahat sebenarnya kabur maka ayahnya menyela menyuruh Kokthai pulang.

"Sekarang kau selamat, pulanglah dan perintahkan teman-temanmu berjaga lebih ketat!"

Laki-laki itu mengangguk. Setelah mengganggu sejenak dan lega melihat nona majikannya tak apa-apa maka Kokthai kembali ke tempatnya. Suku bangsanya masih bersenang-senang dan tak tahu sama sekali kejadian itu, betapa dia diculik dan hampir dibunuh! Dan ketika laki-laki itu kembali dan Pendekar Rambut Emas kembali bersama puterinya maka pendekar ini minta agar puterinya bercerita sekali lagi.

"Aku mengejar pencuri itu, dijebak dan hampir celaka. Dan ketika maling hina itu mau mencelakai aku dan mencekik leherku dengan lasso panjang tiba-tiba pemuda ini muncul."

"Hm, begitukah?"

"Ya, begitu, ayah. Dan aku yakin bahwa pemuda ini berkomplot. Tentu dia pencuri cermin itu, sama seperti temannya pula!"

"Aku tak tahu apa-apa," Siang Le menyanggah, mendahului Pendekar Rambut Emas yang memandangnya tajam. "Aku berani sumpah, taihiap, dan juga berani dibunuh!"

"Sumpah orang sesat macam kau tak dapat dipercaya!" Soat Eng membentak. "Aku tak percaya semua omonganmu, Siang Le. Lebih baik mengaku dan katakan terus terang bahwa kau teman si pencuri hina itu!"

"Hm, bagaimana harus mengaku? Kenal pun tidak, nona. Sungguh mati aku tak tahu siapa dia dan baru kali ini kudengar urusan cermin itu!"

Soat Eng berapi-api. Dia tetap tidak percaya, mau memaki dan menyambar ke depan, menghajar dan menyerang pemuda ini. Tapi ketika ayahnya batuk-batuk dan mengangkat lengan tiba-tiba ayahnya berseru,

"Nanti dulu, jangan tergesa-gesa, Eng-ji. Jangan sampai kejadian Ituchi terulang lagi!"

Soat Eng terkejut.

"Kau tidak mau ceroboh, bukan?"

"Apa maksud ayah?"

"Ingat, pemuda ini sudah berkata sebenarnya, Eng-ji. Kurasa aku percaya pada omongannya. Dia tidak bohong, mimik mukanya sungguh-sungguh. Hanya aku heran kenapa dia jauh-jauh ada di sini. Jangan-jangan gurunya berada di sekitar!"

"Tidak!" Siang Le menjawab, lantang. "Aku datang sendiri, taihiap. Aku tak bersama siapa-siapa!"

"Lalu apa maksudmu ke mari?"

"Aku... aku..." pemuda itu tiba-tiba gugup, melirik Soat Eng. "Aku hanya ingin tahu apakah puterimu selamat."

"He?"

"Benar, taihiap. Dulu puteramu dan puterimu ini lari dari Sam-liong-to. Aku khawatir karena mereka dicari-cari suhu. Dan karena kupikir mereka pasti kembali ke sini dan ingin kubuktikan maka aku di sini dan sekarang kebetulan bertemu dengannya, malah bersama penjahat itu!"

"Hm!" Kim-mou-eng melihat sesuatu yang aneh. "Kau mencurigakan, Siang Le. Betapapun ada hal yang tidak kau katakan sebenarnya. Untuk ini aku curiga, kau terpaksa kutangkap."

"Boleh!" pemuda itu tiba-tiba gembira, berseru dengan suara nyaring. "Aku memang bersalah, taihiap. Dan aku menyadari bahwa diriku telah menimbulkan kecurigaan. Kau tangkaplah, aku tidak menyesal!"

Kim-mou-eng melengak. Kalau pemuda ini bicara seperti itu dan bahkan tampak gembira bukan main maka dia heran sekali, mengerutkan kening dan tentu saja menganggap murid See-ong ini luar biasa. Bayangkan, ditangkap musuh bahkan menyatakan kegembiraannya! Dan melengak tapi tentu saja curiga akhirnya Pendekar Rambut Emas batuk-batuk dan mengerling puterinya, berhati-hati. "Eng-ji, agaknya ada sesuatu yang disembunyikan pemuda ini. Kau bawalah dia, kita kurung di belakang rumah!"

"Baik, kuseret dia, ayah!" dan Soat Eng yang tidak banyak bicara dan sudah melompat ke depan lalu menyambar tali dan mengikat pemuda ini, menyentak dan akhirnya berkelebat mendahului. Ayahnya mengawasi dan aneh sekali pemuda ini tersenyum-senyum. Matanya sering menatap lembut wajah yang cantik itu, yang sering menunduk kalau mengencangkan tali simpul. Dan ketika semuanya itu tak luput dari pandangan Pendekar Rambut Emas dan sang pendekar mengangguk-angguk maka pendekar ini berdehem dan sudah melihat puterinya berkelebat, menyeret pemuda itu.

"Ayah, mari pulang!"

Kim-mou-eng mengangguk. Dia juga bergerak ketika puterinya meluncur terbang, menyeret dan tidak memperdulikan tawanan. Siang Le sudah dibawa gadis ini dan untuk kedua kalinya Soat Eng menangkap pemuda. Dulu Ituchi sekarang murid See-ong ini. Dan ketika Siang Le juga tidak mengeluh atau kesakitan diseret di tanah yang berbatu maka Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar.

"Hm, itukah kiranya?" pendekar ini menduga-duga. "Murid See-ong jatuh cinta kepada puterinya?" namun tidak melanjutkan dugaannya dan mengikuti sang puteri akhirnya mereka tiba juga di perkemahan bangsa Tar-tar, cepat disambut dan orang pun gempar melihat ditawannya Siang Le ini.

Kokthai sudah bercerita pada mereka bahwa seseorang menculik dirinya, bertempur dan bertanding sengit dengan Soat Eng. Dan ketika pemuda itu diseret dan sepanjang jalan tentu saja menjadi tontonan maka aneh sekali Siang Le bahkan tertawa-tawa.

"Hai!" pemuda itu memberi salam. "Selamat berpesta, maaf aku mengganggu kalian!"

Bangsa Tar-tar heran. Tidak adanya rasa takut atau cemas di wajah tawanan itu justeru membuat mereka kagum. Mereka adalah orang-orang yang memang menghargai keberanian. Meskipun musuh tapi kalau gagah dan berani tentu akan mendapatkan pujian, simpatik dan rasa kagum dari suku bangsa ini. Maka ketika Siang Le memberi salam dan mengangkat lengannya maka beberapa di antara mereka juga membalas dan memuji,

"Hebat, kau gagah dan berani!"

Soat Eng yang mendongkol. Akhirnya dia melepas pemuda itu dan menendangnya di belakang rumah, menotok dan robohlah Siang Le oleh perbuatan ini. Dan ketika sehari dua hari dia menjadi bahan pembicaraan di situ maka Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas telah mendengarkan cerita suaminya.

"Pemuda itu menolong Eng-ji, seharusnya kita berterima kasih. Tapi karena keberadaannya mencurigakan dan sinar matanya aneh maka dia kutangkap!"

"Apanya yang aneh? Murid See-ong kenapa aneh?"

"Itulah, kau akan melihat sesuatu yang lain pada sinar mata pemuda ini, isteriku, pandangannya yang aneh dan luar biasa terhadap Soat Eng!"

"Hm, maksudmu?"

"Kau lihat sendiri saja, barangkali kau akan lebih tahu!"

Swat Lian mengerutkan kening. Sebenarnya mendengar ditangkapnya Siang Le dia sudah tidak setuju kalau dibiarkan saja. Pemuda itu murid tokoh sesat dan ayahnya tewas di tangan guru pemuda itu. Jadi, pemuda ini pun harus dihukum, dibunuh! Tapi ketika suaminya tak setuju karena See-ong tetaplah See-ong dan muridnya tak tahu apa-apa maka nyonya ini menjadi penasaran dan marah.

"Aku ingin melihat apa yang aneh itu. Coba kubuktikan dan kuingin tahu!"

"Sst, jangan terang-terangan. Kau harus melihatnya secara sembunyi-sembunyi, isteriku. Kalau tidak justeru tak akan tahu."

"Maksudmu?"

"Suruh Eng-ji mengantar makanan, lihat sinar mata pemuda itu!"

Sang isteri tertegun. "Maksudmu dia..."

"Sudahlah, kau lihat dulu, isteriku. Siapa tahu dugaanku keliru dan kau lebih awas!"

Sang nyonya mendongkol. Suaminya ini seakan berteka-teki, yang dibuat teka-teki adalah murid See-ong, musuh besarnya! Tapi mengangguk dan menyuruh puterinya melaksanakan perintah maka secara diam-diam nyonya ini mengintai, jauh di tempat tersembunyi dan tampaklah olehnya kegembiraan pemuda itu ketika didekati Soat Eng. Puterinya memberi makan dan piring atau gelas setengah dilempar, sikap Soat Eng memang setengah kasar. Tapi ketika mata itu tetap lembut dan berseri-seri maka Kim-mou-eng berbisik dan bertanya,

"Apa yang kau lihat? Betulkah dugaanku?"

"Keparat, tidak salah, suamiku. Pemuda itu jatuh cinta terhadap Eng-ji!"

"Nah, ini yang agaknya membuat dia datang ke mari. Betul kata-katamu, pemuda itu mencintai puteri kita!"

"Dan kau mau membiarkan hal ini terjadi?"

"Nanti dulu. Jangan marah, niocu, aku tidak bilang bahwa Eng-ji harus membalas cinta pemuda itu. Tapi aku terus terang merasa suka dengannya!"

"Suka? Kau...?"

"Ssst, jangan keras-keras, niocu. Suka bukan lalu hendak memberikan segala-galanya. Hanya aku tertarik karena pemuda ini lain dengan gurunya!"

"Aku tak perduli. Sebaiknya pemuda itu dibunuh, suamiku. See-ong dan muridnya adalah orang-orang terkutuk!"

"Ah, kenapa begini? Kulihat muridnya tak ikut campur masalah gak-hu (ayah mertua), niocu. Aku cenderung memiliki kesan baik terhadap pemuda ini."

"Aku tak perduli. Aku benci!" dan Swat Lian yang mau keluar menyambar pemuda itu tiba-tiba dicekal dan dicegah suaminya.

"Niocu, tahan kemarahanmu. Kalau pemuda itu kau bunuh maka See-ong tak akan datang!"

Muka yang merah dan jari yang menggigil itu tiba-tiba berhenti. Nyonya ini tertegun dan tampak berubah, bibirnya digigit dan tinjupun terkepal. Dan ketika suaminya berbisik bahwa dengan ditangkapnya pemuda itu berarti See-ong akan datang berkunjung maka Pendekar Rambut Emas menenangkan isterinya, membujuk,

"Kau bersabarlah, kekang sedikit kemarahanmu. Biarlah pemuda itu di sini dan kita ganti balas mengundang See-ong!"

"Hm!" bibir yang dingin itu dirapatkan. "Baiklah, suamiku. Tapi kau harus berjanji bahwa pemuda ini harus dibunuh kalau gurunya sudah kita beres!"

"Itu masalah nanti. See-ong memang musuh kita, niocu, tapi pemuda ini bukan. Kalau dia hendak membalas sakit hati atau dendam barulah kita bertindak!"

Hari itu sang nyonya cantik berhasil diredam. Kemarahan Swat Lian memang tidak dikehendaki oleh Pendekar Rambut Emas. Pendekar itu hanya hendak menunjukkan bahwa Soat Eng rupanya dicintai murid datuk sesat See-ong itu, hal yang menarik bagi Pendekar Rambut Emas karena murid See-ong ini dilihatnya lain dari yang lain. Masih diingatnya dengan baik sikap pemuda itu yang bertolak belakang dengan gurunya, yakni ketika ia tiba di Sam-liong-to dan berhadapan dengan See-ong, juga Enam Iblis Dunia yang tinggal lima. Tok-ong tewas terbunuh oleh mertuanya.

Dan ketika gerak-gerik atau sikap pemuda itu sama sekali tak menunjukkan sebagai pemuda jahat maka sebenarnya Kim-mou-eng tertarik dan heran juga, merasa aneh bahwa murid seorang tokoh sesat kok tidak seperti gurunya. Siang Le sepantasnya menjadi murid seorang tokoh baik-baik, kaum pendekar umpamanya. Maka ketika hari itu dia menangkap dan dapat mengurung pemuda ini maka ada beberapa hal yang hendak diselidiki pendekar itu.

Pertama tentang sikap atau watak pemuda itu, setelah tidak di Sam-liong-to. Kedua tentang bagaimanakah atau kenapakah pemuda itu tiba-tiba dapat muncul di situ, padahal Sam-liong-to dengan tempat tinggalnya berjarak ribuan li. Kalau tidak ada sesuatu yang istimewa tak mungkin pemuda itu datang, jauh-jauh dari Sam-liong-to. Dan ketika hal kedua itu segera diketahuinya dari sinar mata atau pandangan lembut pemuda itu terhadap puterinya maka maklumlah Pendekar Rambut Emas bahwa kiranya pemuda ini datang karena kasmaran, rindu akan cinta!

Tapi, karena pemuda itu adalah murid See-ong dan tentu saja dia tahu kebencian isterinya terhadap See-ong maka Pendekar Rambut Emas tidak bertindak lanjut kecuali ingin mengetahui apa yang tersembunyi di balik maksud pemuda itu, sebenarnya dia secara pribadi tak membenci pemuda ini. Bahkan Siang Le dianggapnya sebagai pemuda yang baik karena dulu di Sam-liong-to pemuda itu berkali-kali mencegah gurunya, bersikap hormat dan ramah. Tapi karena pemuda itu tak disukai isterinya dan perasaan isterinya harus dijaga maka pendekar ini menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.

"Hm, biarlah," katanya dalam hati. "Biar dia lihat apa yang akan terjadi nanti. Isterinya betul, perasaan isterinya harus dijaga. Kalau dia keliru menyimpulkan pemuda ini dan ternyata pemuda itu berpura-pura maka dia bisa malu terhadap isterinya nanti. Biarlah, biar dia lihat sepak terjang pemuda ini lebih lanjut dan biarlah dia tak usah tergesa-gesa menilai. Dan begitu pendekar ini mengangguk dan menarik napas maka dia pun berkelebat dan sudah memasuki kamarnya.

* * * * * * * *

"Bagaimana, Togur, berhasil? Mana puteri Pendekar Rambut Emas itu?"

"Keparat, Siang Le menggagalkan niatku, suhu. Hampir saja aku berhasil tapi terpaksa gagal!" begitu Togura menjawab pertanyaan gurunya ketika dengan murung dia kembali ke Sam-liong-to. Pakaiannya kusut, wajahnya muram dan berkali-kali pemuda ini meremas batu, yang seketika hancur dan luluh menjadi tepung. Dan ketika gurunya, Hek-bong Siauw-jin menyambut paling awal maka pemuda ini menumpahkan kemarahannya.

"Apa yang terjadi? Kenapa dengan murid See-ong itu?"

"Hm, dia tiba-tiba muncul di sana, suhu, membantu dan menyelamatkan gadis itu!"

"Pemuda itu di tempat suku bangsa Tar-tar?"

"Benar."

"Ah, kalau begitu kita laporkan gurunya, muridku. See-ong beberapa hari ini marah-marah karena muridnya tak ada!"

"Jangan, nanti dulu," Togura mencegah, menggelengkan kepala. "Aku tak mau See-ong tahu muridnya di sana, suhu. Nanti rahasiaku terbongkar."

"Maksudmu?"

"Aku telah menghajarnya, mempergunakan Khi-bal-sin-kangku. Kalau kita melapor dan Siang Le tahu tentu dia segera tahu bahwa yang bertempur dengannya adalah aku!"

"Hm, jadi bagaimana? Kalau begitu apa yang harus atau akan kau lakukan?"

"Aku penasaran, suhu, dan aku ingin mengulang. Kau sebaiknya ikut!"

"Jangan!" sesosok bayangan berkelebat, tiba-tiba muncul. "See-ong hari ini marah besar, Togur. Semua dari kita harus menemuinya, dipanggil!" nenek Naga, yang kaget tapi girang bertemu muridnya berseru. Dia muncul di situ mau memberi tahu Siauw-jin, eh, muridnya tiba-tiba datang dan mau mengajak iblis cebol itu pergi, tentu saja harus dicegah. Dan ketika nenek itu berkelebat dan sudah berdiri di situ maka Togura mengerutkan kening memandang subonya (ibu guru) ini.

"Ada apa, subo? Apa yang mau dilakukan tua bangka itu?"

"Ssst, jangan keras-keras, Togur. Nanti makianmu didengar dan kita semua bisa celaka!"

"Aku tak takut, aku justeru ingin membebaskan kalian dari cengkeramannya!"

Apa?"

"Benar, kalian mau, bukan?" lalu melihat dua orang gurunya terbelalak antara girang tapi juga takut maka pemuda ini berkata, "Subo, aku ingin mengadu kepandaian dengan kakek itu. Kalau aku menang akan kubunuh dia, kalian kubebaskan. Tapi kalau aku kalah, hmm.... sebaiknya kalian membantu aku!"

Dua orang itu terkejut.

Togur," Siauw-jin tiba-tiba berkata. "Sebaiknya jangan terlampau bernafsu dulu menghadapi kakek itu. See-ong dan Pendekar Rambut Emas imbang. Kalau kau belum dapat mengalahkan Pendekar Rambut Emas dan kalah oleh kakek ini maka See-ong tentu membunuhmu. Sebaiknya coba dulu Pendekar Rambut Emas itu baru See-ong."

"Kenapa begini?"

"Pendekar Rambut Emas orangnya murah hati dan lemah, Togur, lain dengan See-ong ini. Kakek itu kejam, telengas. Kalau kau kalah olehnya tentu tak ada ampun, lain kalau kau kalah oleh Kim-mou-eng misalnya, apalagi jelek-jelek kau masih murid keponakannya!"

"Ah, benar!" nenek Naga berseru, tiba-tiba menimpali. "Apa yang dikata Siauw-jin tidak salah, Togur. Sebaiknya kau berhadapan dulu dengan Pendekar Rambut Emas daripada kakek iblis See-ong ini!"

"Tidak!" pemuda itu berkata berani. "Kim-mou-eng atau See-ong bagiku sama saja, subo. Aku tidak takut. Daripada jauh-jauh kembali ke sana lebih baik di sini aku menguji kepandaianku dengan si tua bangka itu. Aku tidak takut, aku punya akal!"

Dua gurunya terkejut. Kalau pemuda ini sedemikian nekat dan berani menghadapi See-ong maka murid mereka itu sungguh mengagumkan. Togura menyatakan tidak takut, dan juga katanya mempunyai akal. Maka ingin tahu akal apa yang dipunyai pemuda itu tiba-tiba Siauw-jin bertanya....

Istana Hantu Jilid 10

ISTANA HANTU
JILID 10
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BENAR, tapi bukan See-ong, suhu. Aku masih tak puas!"

"Tapi kau sudah lihai, di atas kami!"

"Hm, betapapun aku belum puas, suhu. Aku masih ingin yang lebih tinggi lagi!"

"Kalau begitu apa yang mau kau perbuat?"

"Aku ingin keluar, mencari atau mencoba menangkap puteri Pendekar Rambut Emas!"

"He, maksudmu?"

"Sudahlah, kau lihat saja, suhu. Aku akan membuat kejutan dan kau pasti girang!"

"Hm, hati-hati," sang kakek tak tertawa. "Putera-puteri Pendekar Rambut Emas hebat semua, Togur. Dan kau bisa ketahuan bahwa kaulah pencuri Cermin Naga!"

"Goblok! Kenapa tak berotak? Kau bodoh, suhu, tolol melebihi kerbau! Lihat, kalau begini bagaimana?" Togur tiba-tiba mengambil topeng, menutupi mukanya itu dengan topeng dan sang suhu pun terbelalak.

Kalau Togura tidak sedemikian lihai dan sudah mewarisi kepandaian dari Cermin Naga barangkali pemuda itu akan dihantam dan dibunuh si kakek cebol. Bayangkan, dia dimaki goblok dan tolol, melebihi kerbau! Tapi karena pemuda itu sekarang bukan lawannya dan makian ini ditelan seperti orang menelan pil pahit maka Hek-bong Siauw-jin tertawa dan berkata, bahkan memuji,

"Setan, kau benar-benar cerdik, Togur. Rupanya semua ini sudah kau rencanakan dan diperhitungkan!"

"Tentu, kalau tidak masa aku berani melakukan semuanya ini, suhu? Kalau aku tak dapat mengalahkan gadis itu minimal kami seri!"

"Hm-hmm... kenapa kau memilih gadis itu? Kau suka padanya?"

"Ha-ha, sebagai laki-laki tentu saja aku menyukai gadis itu, suhu. Dia cantik dan gagah, lagi pula puteri Pendekar Rambut Emas. Kalau aku dapat menangkap dan mengawininya tentu aku sudah menjadi menantu Kim-mou-eng!"

"Tak mungkin," sang suhu menggeleng. "Mereka orang-orang golongan bersih, Togur. Kita orang-orang sesat yang selalu dimusuhi Kim-mou-eng!"

"Kenapa begitu bodoh? Kalauaku... ha-ha, kalau aku dapat menggauli gadis itu dan memaksanya sebagai kekasihku tak mungkin ayahnya menolak, suhu. Aku harus menjadi mantu Kim-mou-eng dan memaksa gadis itu!"

"Hm, kau mau memperkosanya?" sang guru terbelalak. "Kau tak takut kemarahan gadis itu? Ingat, puteri Pendekar Rambut Emas itu galak dan ganas, Togur. Dia melebihi ibunya dan seperti harimau betina yang tak pernah makan!"

"Ha-ha, aku akan menundukkannya. Aku yang akan memberikannya makan. Kalau dia sudah jatuh di tanganku dan aku berhasil memilikinya tentu dia tak akan berdaya lagi!"

"Baiklah, kau pemberani, Togur. Pantas menjadi murid Enam Iblis Dunia!" Hek-bong Siauw-jin tertawa, mengangguk-angguk dan puas dan tampaknya dia kagum akan tekad atau rencana muridnya ini.

Kalau puteri Pendekar Rambut Emas itu sudah berhasil digagahi muridnya dan tak mungkin ada pemuda atau laki-laki lain yang sudi menikahi gadis itu maka rencana muridnya ini agaknya berhasil, dapat menjadi menantu Pendekar Rambut Emas dan dunia akan tertawa. Kim-mou-eng, pendekar pembela kebenaran itu akan jatuh mukanya berbesan dengan Enam Iblis Dunia, mau tak mau pasti menerima dan kakek itu geli. Dan ketika ia terbahak dan memuji muridnya maka sebuah bayangan berkelebat dan nenek Naga, satu dari enam guru Togur yang tinggal lima mendadak muncul.

"Ada apa ini? Kenapa tertawa-tawa?"

"Ha-ha, aku geli mendengar rencana murid kita, nenek bau. Togur hendak mencari dan menangkap puteri Pendekar Rambut Emas!"

"Huh, dengan kepandaiannya yang seperti ini?" nenek itu mendengus. "Jangan mimpi, Togur. Hayo kau membantu kami menjaga pulau!" si nenek mengebut, maksudnya mau menangkap dan melempar muridnya itu. Togur dan Hek-bong Siauw-jin dicarinya di mana-mana, mereka harus gantian berjaga tak tahunya dua orang ini kongkauw-kongkauw (bercakap-cakap) seenaknya sendiri, kini mendengar rencana muridnya dan nenek itu mengejek, tentu saja mengejek karena dia sendiri tak menang menghadapi gadis yang lihai itu. Tapi ketika Togur berkelit dan cengkeraman atau sambarannya luput tiba-tiba nenek ini terbelalak, kaget.

"Eh, jangan main-main, Togur. Kau harus menjaga pulau dan pergilah ke selatan!" si nenek marah, bergerak dan berkelebat lebih cepat lagi namun sang murid tiba-tiba menghilang. Jauh lebih cepat dan sebat lagi muridnya itu lenyap, mendahului gerakannya. Dan ketika si nenek tertegun dan mendengar tawa di sebelah kiri tahu-tahu Togur menjewer telinganya dan berseru,

"Subo, jangan macam-macam. Sebaiknya kau yang pergi dan jangan ganggu aku!"

"Aduh!" si nenek menjerit. "Bangsat keparat kau, Togur. Berani benar terhadap guru!" dan si nenek yang tentu saja naik pitam dan marah bukan kepalang tiba-tiba membentak dan menghantam muridnya itu, satu pukulan melayang keras namun si pemuda tiba-tiba melejit lenyap. Togura tertawa dan kembali menghilang, kali ini memperdengarkan suara tawanya di sebelah kanan. Dan ketika sang subo membalik dan menghantam ke situ maka pemuda ini lenyap lagi dan sebuah batu karang dihajar hancur.

"Blarr!" si nenek terkejut dan memaki-maki. Togura mempermainkannya dan nenek itu masih belum sadar akan kepandaian muridnya, yang hebat luar biasa itu. Dan ketika di sana Hek-bong Siauw-jin didengarnya terbahak-bahak dan nenek ini membentak dan berkelebatan cepat tiba-tiba pemuda itu sudah dikejarnya dan diberi pukulan bertubi-tubi, cepat dan kuat namun anehnya semua pukulannya luput. Serangan-serangannya itu selalu mengenai angin kosong dan muridnya sudah lebih cepat menghilang. Dan ketika nenek itu terkejut dan mulai sadar bahwa sesuatu yang lain mulai terjadi maka nenek ini terkejut ketika tamparan tangan kirinya kini ditangkis sang murid.

"Subo, berhentilah. Lihat apa ini.... dess!"

Sang nenek menjerit, terlempar berjungkir balik namun dia masih penasaran. Tubuh yang ada di udara tiba-tiba memutar melayang turun, nenek itu melengking dan melepas satu pukulan jarak jauh, tidak tanggung-tanggung, yang dilepas adalah Tee-sin-kang atau Pukulan Bumi. Dan ketika muridnya tertawa dan berani menangkis pukulannya itu maka nenek ini mencelat dan berseru tertahan, terguling-guling.

"Khi-bal-sin-kang...!" nenek itu terkesiap, melotot matanya dan kini terhuyung meloncat bangun. Apa yang dilihat kali ini tak diragukannya lagi dan terpekiklah nenek itu menyebut ilmu itu, ilmu yang tentu saja dikenalnya baik karena ilmu itu adalah ilmu yang selama ini tak dapat dilawannya. Khi-bal-sin-kang...

..... ADA PARAGRAF YANG HILANG.....

....batuk, sesak napas dan kalau dia tidak cepat membuang pukulan itu tentu dia melontakkan darah segar! Dan ketika si nenek pucat memandang muridnya sementara sang murid tertawa bergelak maka Togura berseru gembira,

"Betul, kau tidak salah, subo. Yang kumiliki tadi adalah Khi-bal-sin-kang!"

"Dan ginkangmu (ilmu meringankan tubuh) tadi, ah... bukankah Jing-sian-eng? Keparat, aku tadinya tak percaya, bocah. Tapi kini sekarang aku yakin bahwa kau memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng! Jahanam, bagaimana kau dapat memiliki dua ilmu itu? Bukankah itu adalah milik Hu-taihiap dan anak serta mantunya?"

"Ha-ha, aku mendapat keberuntungan, subo. Kebetulan saja mendapatkan ilmu-ilmu itu..."

"Dia mendapatkan Cermin Naga!" Siauw-jin, si kakek cebol berseru, menyambung kata-kata muridnya. "Togur telah mampu mengalahkan kita, nenek bau. Dia sudah selihai dan sehebat Hu Beng Kui!"

"Apa?"

"Benar, nenek bau. Murid kita ini telah mendapatkan Cermin Naga dan dia sudah sama dengan mendiang Hu-taihiap. Kita tak dapat menandinginya, murid kita ini jauh lebih hebat daripada kita sendiri, ha-ha!"

Si nenek terkejut, terbelalak memandang muridnya dan bengong. Cerita yang disampaikan Siauw-jin ini serasa petir di siang bolong. Tapi ketika dia menjublak dan bengong memandang si murid tiba-tiba saja berkelebat tiga bayangan lain dan dengus marah,

"Siapa mendapatkan Cermin Naga? Bocah ingusan ini? Bohong, biar kucoba dia, Siauw-jin, dan lihat apakah benar dia selihai Hu-taihiap!" dan Cam-kong yang tiba-tiba muncul bersama Toa-ci dan Ji-moi tiba-tiba melepas Cam-kong-ciangnya (Pukulan Pembunuh Petir).

Siauw-jin dan nenek Naga terkejut karena pukulan itu adalah pukulan membunuh, Togur bisa terlempar oleh serangan atau pukulan yang amat hebat ini. Tapi ketika pemuda itu melompat ke kiri dan tertawa mengejek tiba-tiba dia mengangkat tangan kirinya dan pukulan dahysat dari gurunya diterima dengan sebelah lengan.

"Dess!" Cam-kong mencelat terguling-guling. Kakek tinggi kurus ini terkejut karena pukulannya membalik, dia terlempar dan tergetar serta terguncanglah seluruh tubuh. Namun ketika kakek itu membentak dan menyerang lagi tiba-tiba Cam-kiong lenyap berkelebat mengelilingi muridnya, melepas pukulan-pukulan atau tamparan yang bertubi-tubi. Togura berlompatan mengelit sana-sini, kian lama kian cepat melebihi kecepatan gurunya sendiri, maklum bahwa sang guru hendak melihat Jing-sian-engnya dan tentu saja pemuda itu gembira, tertawa.

Dan ketika sang guru terbelalak dan kaget mengeluarkan seruan berulang-ulang maka pemuda ini menangkis dan sekali lagi gurunya mencelat terlempar, jauh terguling-guling dan kesombongan Togura muncul. Dia menyuruh kakek itu maju lagi disertai yang lain, Hek-bong Siauw-jin dan ketiga nenek yang lain disuruh mengeroyok, dia akan menunjukkan pada semuanya bahwa dia sekarang bukanlah Togura yang dulu.

Dan ketika Toa-ci dan Ji-moi membentak berbareng dan kaget melihat kelihaian pemuda ini tiba-tiba mereka sudah berkelebat dan mengeroyok seperti kata-kata pemuda itu, melepas Mo-seng-ciang (Pukulan Bintang Iblis) dan segera nenek Naga serta Siauw-jin juga berseru keras. Mereka gembira mendengar permintaan itu, sang murid berkata sendiri dan minta diuji, mereka bergerak dan sudah berkelebat lenyap.

Dan ketika Cam-kong di sana juga menubruk dan menyerang muridnya maka Togura sudah dikeroyok dan dikerubut lima orang gurunya, mendapat pukulan-pukulan dahsyat atau tendangan dan tamparan, semuanya tidak main-main lagi karena kelihaian pemuda ini segera membuat kelima gurunya penasaran. Dan ketika Togura mengeluarkan Jing-sian-engnya dan segera berkelebatan mendahului gurunya.

Maka pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang juga dilepaskan dan menjerit serta berteriak kagetlah tiga orang gurunya wanita, mendapat kenyataan bahwa murid mereka benar-benar mewarisi dua ilmu luar biasa itu, mereka terpental dan bayangan sang murid akhirnya balik mengelilingi mereka, jadi bukan pemuda itu yang dikelilingi! Dan ketika Togura tertawa-tawa dan mulai membagi tamparan atau tendangan maka lima gurunya kalang-kabut dihajar pemuda itu.

"Ha-ha, lihat. Ini bukti kepandaianku, suhu. Dan ini untuk kalian... des-dess!"

Sang guru tunggang-langgang, semua pukulan membalik dan baik Mo-seng-ciang maupun Cam-kong-ciang tak ada yang mempan. Togura benar-benar mempermainkan kelima gurunya dan akhirnya Siauw-jin berteriak keras apakah boleh mengeluarkan senjata, bertanya pada muridnya itu penuh penasaran. Dan ketika pemuda itu mengangguk, maka sang guru menyerang pemuda itu.

Toa-ci dan Ji-moi pun tidak ketinggalan pula mengeluarkan senjata masing-masing. Dua senjata khas yang aneh maka nenek Naga Bumi juga mengeluarkan jarum dan benangnya, menusuk dan mencolok dan segera semuanya ramai bertanding seru. Togura dikeroyok guru-gurunya namun pemuda ini enak saja ganda ketawa, menangkis atau juga membiarkan senjata-senjata itu mendarat di tubuhnya. Dan ketika sabit atau garpu maupun sendok dan jarum mental semua bertemu kekebalan pemuda itu maka Siauw-jin terbahak-bahak sementara Cam-kong mengumpat kaget, juga kagum.

"Keparat, kau hebat, Togur. Hebat dan luar biasa sekali!"

"Ha-ha, apa kubilang!" si kakek cebol Hek-bong Siauw-jin terbahak-bahak. "Dia seperti Hu-taihiap sendiri, Cam-kong. Dan murid kita ini dapat menjunjung nama kita!"

"Benar, Togur hebat sekali, Siauw-jin. Sungguh tak kukira kalau ia dapat memperoleh Cermin Naga!" Toa-ci, yang kini mulai percaya dan hilang penasarannya akhirnya berseru memuji, memang tidak main-main muridnya itu dan semua serangan mereka tertolak.

Dan ketika pemuda itu berkata bahwa dia sekarang akan membalas dan merobohkan kelima gurunya maka Siauw-jin dan lain-lain terkesiap ketika senjata mereka diterima berbareng, menusuk dan membacok tubuh pemuda itu namun tiba-tiba semua senjata patah. Rupanya kali ini Togura mengerahkan sebagian besar sinkangnya, menahan sekaligus mendemonstrasikan kehebatannya pada sang guru.

Dan ketika kelima gurunya kaget karena sabit maupun jarum patah menjadi beberapa potong maka di saat itulah Togura berseru keras, mendorongkan kedua lengannya ke kiri kanan dan pukulan Bola Sakti menyambar, tentu saja kelima gurunya terpekik karena mereka pasti terlempar. Dan ketika benar saja mereka terbanting dan bergulingan dengan muka pucat maka Togura berkelebat lima kali dan masing-masing totokan telah melumpuhkan kelima gurunya itu, yang mengeluh tertahan.

"Aih... tuk-tuk-tuk!"

Lima orang itu roboh bergelimpangan. Mereka, tokoh-tokoh sesat ternyata benar-benar harus terguling-guling dan roboh di tangan murid sendiri, Togura telah mengalahkan mereka sesuai janjinya. Dan ketika lima orang itu terbeliak dan kaget serta gentar maka Togura tertawa membebaskan guru-gurunya kembali.

"Bagaimana, kalian masih tidak percaya, suhu? Atau subo barangkali ingin mencoba lagi?"

"Tidak," nenek Ji-moi berseru melompat bangun, pucat namun berseri-seri. "Aku sudah percaya, togur. Kau sungguh hebat dan bukan tandingan kami lagi!"

"Benar," nenek Toa-ci juga menyambung. "Kau sehebat dan selihai Hu-taihiap, Togur. Kami semua mengaku kalah!"

"Hm," pemuda itu menggeleng. "Aku belum sehebat Hu-taihiap, subo. Aku masih tak memiliki ilmu pedangnya Giam-lo Kiam-sut (Ilmu Pedang Maut)!"

"Ah, tak perlu. Giam-lo Kiam-sut tak akan menandingi Khi-bal-sin-kang atau Jing-sian-eng, Togur. Kau sudah hebat dan jauh di atas kami!"

"Betapapun aku tak puas," pemuda itu menarik napas, menggeleng. "Aku belum dapat mengalahkan See-ong atau Kim-mou-eng, subo. Kalau aku sudah dapat mengalahkan mereka atau minimal seri dengan mereka barulah aku puas!"

"Jadi kau mau apa?"

"Aku mau keluar dari Sam-liong-to, subo, mencari dan menangkap puteri Pendekar Rambut Emas!"

"Hendak kau apakan?"

"Ha-ha, kusuruh menyerahkan Lu-cian-hoat dan Cui-sian Gin-kang, agar aku setingkat dengan Kim-mou-eng. Dan juga sekaligus menjadikan gadis itu sebagai kekasihku!"

"Kau gila?" sang nenek terkejut. "Kau akan berhadapan dengan ayahnya, Togur. Kim-mou-eng dan isterinya tentu akan melindungi gadis itu!"

"Hm, kau bodoh," pemuda ini tak takut-takut memaki gurunya. "Kau berotak kerbau seperti Siauw-jin, subo. Kalau mau menangkap anak gadisnya kenapa harus berhadapan dengan ayahnya? Tidak, aku akan memancing gadis itu keluar, subo, memanaskan hatinya dan kuajak menjauhi orang tuanya. Di sana dia akan kurobohkan dengan segala macam akal!"

"Tapi dia lihai!"

"Aku tak perduli. Aku akan menjebaknya karena meskipun lihai tapi gadis itu belum banyak pengalaman. Eh, kenapa kau cerewet sekali, subo? Bukankah banyak tipu-tipu busuk yang kau ajarkan kepadaku? Nah, akal atau tipu-tipu itu dapat kucari, subo. Kau jangan bertanya lagi karena kau semakin bodoh saja!"

Nenek Toa-ci merah padam. Kalau bukan pemuda ini yang bicara tentu dia sudah melengking dan menghajar, sekali bergerak tentu dia akan membunuh pemuda itu. Tapi karena Togur benar-benar lihai dan sekarang pemuda ini hebat bukan main maka si nenek menahan malu dan tidak berani bercuit, betapa bedanya ketika pertama kali dia datang dengan galak! Sang murid sering ditampar atau diperlakukan semena-mena. Kini pemuda itu membalas dan nenek ini tak bercuap. Dan ketika Siauw-jin tertawa bergelak sementara Cam-kong tak berkedip dengan sikap dingin maka pemuda itu berkata bahwa dia akan pergi.

"Jangan kalian beritahukan See-ong, diam-diam saja. Kalau ada di antara kalian yang membocorkan penemuanku ini maka dia akan kubunuh!"

"Ha-ha, pergilah!" Siauw-jin terbahak-bahak. "Tak mungkin di antara kami ada yang membocorkan Cermin Naga itu, Togur. Tapi lama-lama mereka tentu tahu sendiri kalau sudah melihat kepandaianmu!"

"Ya, tapi tak perlu kalian lapor. Diam saja dan biarkan semuanya itu terjadi!" lalu berkata bahwa dia akan berangkat dan tak usah gurunya menahan tiba-tiba Togura berkelebat menghilang meninggalkan Sam-liong-to, tak dicegah dan tentu saja tak dihalangi.

Kelima gurunya itu hanya memandang dan tiga di antaranya berseri-seri. Mereka girang karena murid mereka tiba-tiba demikian lihai, memiliki Jing-sian-eng dan Khi-bal-sing-kang. Dan ketika mereka mengangguk-angguk dan girang serta berseri, kecuali Toa-ci dan nenek Ji-moi, maka di sana pemuda itu sudah lenyap dan meninggalkan pulau, hendak mencari Soat Eng!

* * * * * * * *

Beberapa bulan setelah Pendekar Rambut Emas ditinggalkan puteranya. Hari itu kebahagiaan melanda pendekar ini. Swat Lian, isterinya, akhirnya melahirkan bayinya. Seorang bayi laki-laki yang sehat dan montok, tangisnya nyaring hingga mengejutkan semua orang. Tapi ketika bangsa Tar-tar tahu dan tentu saja bersorak gembira maka Kim-mou-eng memperkenankan ketika seorang pembantunya usul agar hadirnya bayi laki-laki itu, yang diberi nama Beng An, Kim Beng An, dimeriahkan dengan pesta adat seminggu penuh.

"Kami ingin menyambut pemimpin muda. Harap taihiap tidak menolak kalau kami memeriahkannya dengan pesta adat!"

"Baiklah, boleh, Kokthai. Tapi jangan mengurangi kewaspadaan dan sebagian tetap berjaga!"

"Ah, wilayah kita aman, lagi pula taihiap dan hujin serta siocia (nona) ada di sini. Siapa berani mengganggu, taihiap? Kami akan berpesta sepuas mungkin, mohon diperkenankan menyambung hang-siauw-hiap (pemimpin muda kecil)!"

"Baiklah, baiklah.., kalian boleh bersenang-senang dan silahkan bergembira!" Kim-mou-eng tertawa, tentu saja ikut gembira dan percaya bahwa tak akan ada suku bangsa lain yang berani mengganggu bangsanya. Dirinya ada di situ dan Soat Eng pun juga bersama ibunya, tak usah khawatir.

Dan ketika bangsa Tar-tar menyambut kelahiran Beng An dan pesta adat mulai berjalan ramai maka di dalam, di tempat kamar sang ibu Soat Eng tampak tertawa-tawa membopong si kecil, yang menangis dan berteriak-teriak, digoda.

"Ih, lengking tangisnya melebihi anak-anak kebanyakan, ibu. Suaranya keras dan nyaring sekali!"

"Tentu," sang ibu tersenyum, tertawa bahagia. "Tangismu pun dulu juga seperti ini, Eng-ji, mengejutkan dan nyaring. Sudahlah, bawa ke sini dan jangan digoda lagi. Adikmu minta emik, haus!"

Soat Eng tertawa-tawa. Mendapat seorang adik laki-laki persis seperti yang selama ini didambakannya sungguh membuat gadis itu girang. Soat Eng gembira dan menemani ibunya, ikut momong. Dan ketika dia menyerahkan si kecil dan sang ibu cepat menyusui bayinya maka Soat Eng kagum dan agak tersipu melihat buah dadanya ibunya, masih montok dan segar!

"Apa yang kau lihat?"

"Ah," gadis ini terkejut, semburat. "Aku... eh, aku kagum pada adikku ini, ibu. Minumnya lahap dan kuat benar!"

"Hi-hik, kaupun dulu juga begitu, Eng-ji. Kuat dan minum tak habis-habisnya. Kau dan Beng An minum tak habis-habisnya. Kau dan Beng An sama-sama membuat ibumu cepat lapar!"

Soat Eng tersenyum, kemerah-merahan dan bersinar. "Ibu, kenapa kau namakan adikku ini Beng An? Bukankah nama itu adalah nama mendiang uwa-ku?"

"Benar, justeru inilah maksudnya, Eng-ji. Aku ingin mengenang dan mematri nama uwamu dalam adikmu. Lagi pula aku bermimpi ketemu mendiang kakekmu agar memberikan nama itu pada adikmu!"

"Ih, kong-kong (kakek) menemui ibu dalam mimpi?"

"Hm, begitulah. Dan aku mengikuti nasihatnya itu, Eng-ji. Orang yang sudah meninggal bukan berarti tidak ada hubungan lagi dengan kita. Setidak-tidaknya bekas kenangan atau pesan-pesannya masih selalu menyertai!"

Soat Eng terisak. Bicara tentang kakeknya ini tiba-tiba membuat dia teringat peristiwa di Sam-liong-to. Kakaknya belum kembali sementara beberapa bulan ini ia menemani ibunya. Dan ketika ibunya menarik napas dan tersedak ketika tenggorokannya gatal maka ayahnya masuk dan Pendekar Rambut Emas tampak berseri-seri.

"Bagaimana, isteriku? Beng An tidak menangis lagi? Eh, kenapa Eng-ji menangis? Ada apa lagi?"

"Tak apa-apa," sang isteri menghela napas. "Kami baru membicarakan Beng An, suamiku, dan juga mendiang ayah..."

"He?"

"Eng-ji bertanya kenapa anak ini bernama Beng An, kujelaskan dan kuceritakan tentang mimpi itu."

"Ah," Pendekar Rambut Emas mengerutkan keningnya, memeluk pundak sang puteri. "Tak usah kau berduka tentang hal itu, Eng-ji. Sudahlah keluar sebentar ayahmu mau bercakap-cakap dengan ibumu."

Soat Eng mengangguk. Memang dia akan keluar setelah ayahnya masuk, sungkan kalau melihat ayahnya berdua dengan ibu. Dan ketika dia keluar dan meninggalkan ayah ibunya maka Soat Eng berkelebat dan melihat-lihat keramaian. Ada tambur dan tarian, suling dan segala macam lainnya lagi di mana suku bangsanya bergembira. Soat Eng tersenyum dan mulai dapat melupakan kenangannya akan si kakek. Tapi ketika dia berkeliling dan berputar-putar mendadak telinganya mendengar jerit tertahan dan seseorang berkelebat di kejauhan sana.

"Augh... uph!"

Suara itu cukup. Bagi Soat Eng yang bertelinga tajam dan awas pandangan sedikit suara dan berkelebatnya bayangan itu sudah dilihatnya, tentu saja terkejut dan berkelebat menuju ke tempat itu, bergerak mengerahkan ginkangnya tapi bayangan yang dilihat tiba-tiba keluar perbatasan, menenteng seorang laki-laki yang segera dikenal sebagai Kokthai oleh Soat Eng, pembantu ayahnya dan yang usul tentang keramaian pesta. Dan ketika Soat Eng membentak dan marah mempercepat larinya tiba-tiba Kokthai yang melihatnya berseru pucat, girang tapi menggigil,

"Siocia, tolong. Aku... aku dibawa orang gila...!"

Soat Eng gusar. Melihat seorang pembantu ayahnya diculik dan dibawa kabur tentu saja dia marah. Jing-sian-eng dikerahkan dan tubuh gadis ini tiba-tiba melesat melebihi larinya sebatang panah, menurut kebiasaan dia segera akan menangkap lawannya itu, berjungkir balik dan menghadang di depan. Tapi ketika bayangan itu tertawa aneh dan menggerakkan tangan terkembang seperti dirinya tiba-tiba Soat Eng tersentak karena lawan juga terbang dan melesat melebihi sebatang anak panah, persis dirinya.

"Jing-sian-eng..!" Soat Eng terpekik, segera mengenal gaya ilmu lari cepat itu dan gadis ini tentu saja kaget bukan main, tidak percaya dan mengerahkan lagi ilmu lari cepatnya itu namun lawan juga melakukan hal yang sama. Tangan yang terkembang seperti burung hendak terbang jelas adalah permulaan dari gerakan Jing-sian-eng. Dan ketika Soat Eng membentak dan terkesiap kaget maka lawan meluncur dan terbang mendahului dirinya.

"Keparat, berhenti, siluman busuk. Berhenti dan serahkan pembantu ayahku!"

"Ha-ha!" bayangan itu tertawa, suaranya bergetar. "Coba kau tangkap aku, gadis siluman. Ayo kita berlomba dan lihat apakah kau bisa menangkapku!"

Soat Eng marah. Melihat lawan menenteng pembantunya dan Kokthai berteriak-teriak maka Soat Eng gusar. Tentu saja dia terus mengejar dan dibentaklah bayangan itu. Dan ketika mereka berkelebatan seperti iblis dan bukit atau padang-padang rumput dilalui dengan cepat maka Kokthai yang ada di genggaman bayangan ini merintih, akhirnya pingsan, membuat Soat Eng semakin marah lagi dan bayangan itu dikejar dengan sepenuh tenaga.

Sekarang Soat Eng tancap gas dan mereka sudah empat kali mengitari gunung, bayangan mereka berkelebatan seperti siluman yang bukan main cepatnya, berkelebat di sini dan lenyap di sana. Tapi ketika Soat Eng mengeluarkan Cui-sian Gin-kangnya dan menggabung itu dengan Jing-sian-eng maka lawan berseru tertahan ketika tubuh gadis itu sudah berjungkir balik dan berada di depannya, melewati atas kepala.

"Jahanam, tak tahu malu, berhentilah!" Soat Eng melepas pukulan, menghantam bayangan itu dan tentu saja bayangan ini berhenti. Dia terkejut dan menangkis. Dan ketika Soat Eng terpental dan sebuah tenaga karet menolaknya terlempar maka gadis ini lagi-lagi terpekik dan berseru tertahan, berjungkir balik melayang turun,

"Khi-bal-sin-kang...!" gadis itu pucat, tertegun di atas tanah dan kakinya menggigil tak dapat tegak. Soat Eng melihat bahwa ilmu yang dipakai bayangan ini adalah pukulan Bola Sakti, Khi-bal-sin-kang. Dan ketika dia tertegun dan pucat memandang bayangan itu maka bayangan ini, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang mengenakan topeng tertawa kepadanya.

"Ha-ha, benar, gadis siluman. Rupanya kau mengenal pukulanku dan ilmu lari cepatku pula."

"Tentu saja. Keparat, kau... ah!" Soat Eng teringat cerita uwak Lu, tiba-tiba mendelik dan sadarlah dia bahwa inilah kiranya pencuri cermin itu. Tanpa dicari tanpa susah payah tiba-tiba pencuri ini datang! Tentu saja Soat Eng girang bukan main. Tapi melihat bahwa lawan ternyata amat lihai dan dapat mempergunakan Jing-sian-eng maupun Khi-bal-sin-kang tiba-tiba kegembiraan Soat Eng lenyap terganti kemarahan yang berkobar. "Jahanam busuk!" bentakan itu sudah tak memerlukan jawaban lagi. "Kiranya kau yang datang ke Ce-bu, siluman keparat. Kau pencuri Cermin Naga dan si maling hina itu!"

Soat Eng sudah menerjang, langsung melepas pukulan-pukulan dan tamparannya dan segera lawan tertawa. Dengan suaranya yang aneh dan sengau bayangan itu mengaku bahwa dialah pencurinya, suaranya aneh karena tertutup topeng. Dan ketika dia mengelak namun Soat Eng mengejar dan berkelebatan melancarkan serangannya maka bertubi-tubi bayangan ini sudah didesak dan dimaki-maki, dibentak dan diserang Soat Eng dengan penuh kemarahan. Soat Eng benar-benar meledak dan karena yang dicari-cari ternyata datang, kini mengganggunya dan rupanya sengaja menangkap Kokthai, agar dia mengejar dan keluar dari wilayahnya, hal yang tak membuat gadis itu takut atau gentar.

Dan ketika lawan didesak dan terus diserang bertubi-tubi maka keluarlah ilmu-ilmu yang dipunyai keluarga Kim-mou-eng, Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng itu dan tentu saja Soat Eng berteriak memaki-maki. Orang ini berani benar mengajaknya bertanding, jadi memang menguji dan menantang. Tapi ketika pukulan-pukulannya bertemu Khi-bal-sin-kang dan tentu saja tertolak balik sementara ilmu meringankan tubuhnya juga menghadapi Jing-sian-eng yang luar biasa maka Soat Eng menjadi gusar dan merah mukanya.

"Keparat jahanam! Keluarkan ilmumu sendiri, bedebah keparat! Jangan ilmu curian yang kau peroleh!"

"Ha-ha, inilah yang kupunyai," bayangan itu, yang tentu saja Togura adanya berseru. "Aku hanya mempunyai ilmu-ilmu ini, anak manis. Coba kau kalahkan aku dan lihat siapa yang roboh!"

"Bedebah!" dan Soat Eng yang tidak banyak bicara lagi menyerang lawannya lalu mengeluarkan Lu-ciang-hoat, menggabung itu dengan Khi-bal-sin-kang dan lawan tampak terkejut. Lalu ketika dia juga mengeluarkan Cui-sian Gin-kang untuk digabung dengan Jing-sian-eng maka bayangan itu benar-benar tersentak dan berubah mukanya, terdesak!

"Keparat, kau lihai, bocah she Kim. Tapi jangan keburu girang. Aku juga mempunyai simpanan ilmu-ilmu yang lain!"

Soat Eng mengerutkan kening. Lawan tiba-tiba menggerakkan tangan kiri dengan pukulan-pukulan lain, Khi-bal-sin-kang tetap dipergunakan tapi kini dari tangan kiri lawannya itu keluar semacam bau amis. Dan ketika tangan kiri itu juga meledak mengeluarkan kilatan cahaya biru maka Soat Eng terkejut ketika melihat lawan bertahan.

"Ha-ha, bagaimana, Kim-siocia? Benar tidak kata-kataku tadi?"

Soat Eng membentak. Meskipun lawan dapat bertahan tapi lawan tak dapat membalas, bagaimanapun ilmu curian itu belum sematang dan selama seperti yang dimilikinya. Tapi karena dia wanita sedang lawan adalah laki-laki maka jelas lawan bertenaga lebih besar dan untuk ini Soat Eng harus mengakui, tak dapat mendesak karena lawan dapat bertahan. Kalau kakaknya ada di situ tentu lain, kakaknya lebih lihai dan pencuri ini dapat dibekuk. Dan ketika pertandingan menjadi imbang karena Soat Eng tak dapat mendesak sementara lawan juga tak dapat membalas maka lawan tertawa-tawa dan Soat Eng geram memandang wajah di balik topeng itu.

"Pengecut, siapa dirimu dan buka topengmu itu. Jangan bersikap licik!"

"Ha-ha, kalau kau dapat merobohkan aku tentu kau akan tahu siapa aku, adik manis. Sekarang tak usah bertanya dan lihat saja aku akan merobohkanmu!"

"Kentut busuk! Membalas saja tak dapat bagaimana kau mampu merobohkan aku? Phuih, kau manusia sombong yang tak tahu diri, maling hina. Sudah mencuri Cermin Naga masih juga bicara sombong!"

"Ha-ha, memangnya tidak boleh? Eh, lihat sebentar lagi aku akan membuktikan omonganku, bocah she Kim. Dan hati-hati kalau kau tak ingin roboh!" lawan tiba-tiba mengeluarkan seruan keras, menangkis satu tamparan Soat Eng dan kembali mereka sama-sama terpelanting.

Maklumlah, Khi-bal-sin-kang sama-sama bertemu dan Soat Eng marah sekali. Kejadian ini sudah berulang-ulang hingga dia gusar. Namun ketika lawan terpelanting ke kanan sementara dia berjungkir balik mematahkan pukulan tiba-tiba Soat Eng membentak melepas satu tamparan miring, dari ilmu pukulan Lu-ciang-hoat.

"Dess!" Lawan mengeluh. Lu-ciang-hoat memang tidak dikenal lawan dan karena itu pukulan Soat Eng berhasil. Namun karena lawan memiliki Khi-bal-sin-kang dan betapapun Bola Sakti itu melindungi si pemuda maka lawannya terlempar tapi dapat bangun berdiri lagi, dikejar dan menerima satu pukulan lagi namun lawan dapat berdiri terhuyung. Lima enam pukulan membuat pemuda itu terbanting namun selalu dapat bangun, hal yang membuat Soat Eng gemas. Namun ketika dia membentak lagi dan lawan mengeluh merasakan pukulan-pukulannya mendadak lawan melarikan diri dan memutar tubuhnya, rupanya kesakitan.

"Keparat, kau hebat, bocah. Baiklah lain kali saja kita bertemu lagi dan cukup main-main ini!"

"Bedebah, kau mau lari? He, tunggu dulu, siluman keparat. Serahkan Cermin Naga dan kau menyerahlah!" Soat Eng tentu saja tidak membiarkan lawan kabur, girang karena lawan rupanya mulai menerima kekalahan, dia dapat mendesak dan lupa bahwa sebenarnya mereka seimbang, terbukti bahwa berkali-kali tadi pemuda itu dapat bertahan sementara dia tak dapat mendesak, jadi aneh kalau sekarang pemuda ini tiba-tiba kelihatan terdesak, hal yang tak dicurigai Soat Eng. Dan ketika dia mengejar sementara lawan tampak terhuyung jatuh bangun akhirnya sebuah pukulan Soat Eng mendarat lagi di tengkuk laki-laki itu.

"Kau robohlah... dess!" lawan terlempar, kaget mengeluh terbanting dan Soat Eng siap menangkap, tubuh berkelebat tapi lawan tiba-tiba dapat bergulingan menjauh, melompat bangun dan lari lagi, tak apa-apa! Dan ketika Soat Eng memaki dan tentu saja marah tapi juga kagum maka dia melengking dan membentak lawannya itu, mengancam, "Siluman keparat, menyerahlah. Atau kau benar-benar akan kubunuh!"

"He-he, tak mungkin kau berani. Cermin Naga kusembunyikan, bocah she Kim. Berani membunuhku berarti kau kehilangan cermin itu!"

"Keparat, kau busuk!" dan Soat Eng yang tertegun dan marah serta bingung akhirnya tak berani melepas pukulan-pukulan mematikan, takut lawan benar-benar mati dan dia kehilangan cermin itu. Lawan tinggal menangkap dan barangkali dia menunggu lelahnya lawannya ini, tentu akan roboh sendiri karena lawan sudah terhuyung-huyung.

Soat Eng tak tahu bahwa semuanya itu adalah tipuan belaka dan lawan sedang mengatur sesuatu, mendekati sebuah lubang jebakan di mana tiba-tiba lawan terguling ketika sebuah akar yang panjang menjerat kakinya, disangka Soat Eng lawan roboh karena sudah kehabisan tenaga. Maka begitu dia berseru girang dan berteriak ke depan tiba-tiba akar yang menjerat pemuda ini ditendang ke samping dan terbukalah sebuah tutup lubang jebakan yang menjepret ke arah Soat Eng.

"Heii...!" Soat Eng terkejut. Saat itu dia sedang menubruk dan menerkam ke depan, lawan hendak ditotok karena toboh terguling. Tapi begitu sebuah lubang jebakan menganga di depannya dan pemuda itu tertawa mencabut sesuatu tiba-tiba tiga sinar hitam berkelebat dan menyambarlah tiga pisau terbang ke arah gadis ini, tepat ketika Soat Eng terkesiap oleh lubang jebakan itu.

"Siut-bret-bret!"

Soat Eng menjerit. Dua pisau terbang itu menuju matanya, terpaksa ditangkis, dan dia kehilangan konsentrasi. Dan ketika pisau mental dan lawan terbahak maka tubuhnya meluncur ke bawah lubang dan sebuah lasso menyambar lehernya dari atas.

"Rrtt!" Kejadian ini cepat sekali. Soat Eng terkejut ketika tubuhhya harus meluncur ke bawah lubang, tiba-tiba disambar lasso dan lehernya terjirat, tentu saja tercekik! Dan ketika dia meronta namun tawa di atas itu disertai tarikan kuat tiba-tiba dia tersentak dan leher menghentikan semua jalan pernapasannya.

"Ngekk!" Suara itu membuat Soat Eng hampir pingsan. Cekikan yang terlalu kuat dan kebingungan serta kegugupan yang menjadi satu membuat gadis ini hampir kehilangan segala-galanya. Dia sungguh tak menyangka bahwa di situ ada lubang jebakan, maklumlah, dia tak tahu kelicikan lawannya ini. Tapi ketika Soat Eng tertarik ke atas dan keluar dari lubang jebakan dalam keadaan setengah pingsan tiba-tiba terdengar bentakan seseorang yang langsung menyerang bayangan itu.

"Manusia hina, lepaskan Kim-siocia!"

Bayangan itu terkejut. Saat itu dia sedang menarik dan siap melakukan totokan tunggal, siap merobohkan puteri Pendekar Rambut Emas ini dan bayangan kegembiraan merona di wajahnya. Tapi begitu sebuah bentakan terdengar di belakangnya dan pukulan yang amat dahsyat juga menyambar kepalanya maka bayangan ini kaget dan tentu saja terkesiap.

"Dess!" Dia tak dapat mengelak lagi. Pukulan itu mengenai kepalanya dan laki-laki ini terbanting, mengeluh dan terlempar bergulingan.

Soat Eng otomatis terlepas dan gadis itu berdebuk di atas tanah, terlempar dan terbanting pula karena lawan melepaskan lassonya. Gadis ini pening dan mengeluh, sejenak tak dapat menguasai kesadaran karena saat itu bumi rasanya berputar. Soat Eng hampir pingsan oleh cekikan lasso tadi, yang begitu kuatnya. Tapi ketika di sana terdengar seruan tertahan dan penolongnya terlempar terguling-guling maka Soat Eng menggoyang kepalanya dan tampaklah seorang pemuda gagah dan tampan terpelanting oleh pukulannya yang membalik, maklumlah, bayangan itu dilindungi oleh Khi-bal-sin-kangnya.

"Siang Le...!" Soat Eng tertegun. Bayangan yang terlempar juga tampak terkejut, dia sudah melompat bangun dan melihat penyerangnya itu. Dan ketika dia terbelalak dan seruan itu membuat dia menggeram tiba-tiba bayangan ini memaki dan mengumpat, berkelebat melarikan diri, gagal merobohkan Soat Eng.

"Hei!" Siang Le, pemuda itu berteriak. "Tunggu dulu, manusia licik. Kau berhutang sebuah kecurangan kepada Kim-siocia. Berhenti...!" dan pemuda ini yang mengejar dan sudah meloncat bangun ternyata tak mau membiarkan lawan melarikan diri, tentu saja membuat Togura atau bayangan itu marah.

Kalau Siang Le ada di situ dan menolong Soat Eng tentu lama-lama rahasianya bisa ketahuan. Pemuda itu dapat mengenal suaranya dan juga bentuk tubuhnya. Itulah sebabnya Togura tiba-tiba melarikan diri, bukan takut melainkan semata menjaga kedoknya, agar tidak terbongkar. Maka ketika Siang Le mengejar dan melepas satu pukulan tiba-tiba pemuda ini membalik dan menangkis.

"Dess!" Siang Le mencelat. Khi-bal-sin-kang lagi-lagi melemparnya dan membuat dia berteriak kaget, lawan melarikan diri lagi dan mendengus. Siang Le tertegun tapi membentak lagi, bangun dan sudah menyerang lawannya. Tapi ketika lawan menangkis dan lagi-lagi ia mencelat maka Soat Eng berkelebat dan membentak,

"Biarkan ia berhadapan dengan aku, minggirlah... dess!" Soat Eng menerima pukulan itu, mendorong Siang Le dan mengerahkan tenaganya dan Togura atau bayangan itu tentu saja kaget, terlempar dan bersama-sama Soat Eng ia bergulingan. Kalau gadis ini sudah bangun dan menyerangnya lagi tentu ia repot. Maka begitu berteriak dan melengking tinggi tiba-tiba Togura atau bayangan ini melempar granat tangan.

"Bocah she Kim, lain kali kita bertemu. Biarlah kutunda kemenanganku dan selamat tinggal... dar-dar!" dua granat tangan meledak di depan Soat Eng dan Siang Le, tentu saja membuat dua orang muda itu berjungkir balik dan Soat Eng memaki-maki, asap tebal menghalangi pandangan dan dia marah sekali. Dan ketika asap sudah menipis dan dia mau mengejar namun lawan sudah menghilang maka Siang Le berkelebat dan tahu-tahu berada di sampingnya.

"Kim-siocia, lawan telah pergi. Syukur kau selamat!"

"Hm!" Soat Eng membalik, menghadapi pemuda ini. "Kau bagaimana bisa datang ke sini? Mau apa?"

"Eh," pemuda itu terkejut. "Aku datang secara kebetulan saja, nona, tak sengaja dan kebetulan melihat dirimu dicurangi lawanmu itu!"

"Hm, tak sengaja? Kebetulan saja?" gadis itu tak percaya. "Kau bohong, Siang Le. Kau dusta. Kau pasti membawa maksud apa-apa dan jangan-jangan dia itu temanmu!"

"Eh!" pemuda ini terkejut, tersentak. "Aku berani sumpah bahwa aku tak kenal-mengenal dengan si topeng buruk itu, nona. Aku tak perlu berpura-pura atau berbohong padamu!"

"Aku tak percaya, kau tentu ada maksud!" dan Soat Eng yang menerjang serta menyerang pemuda ini tiba-tiba membentak dan melakukan tamparannya, langsung mengerahkan Khi-bal-sin-kang dan Siang Le terpekik.

Pemuda itu bukannya mendapat terima kasih malahan dituduh sebagai teman atau komplot si bayangan bertopeng, tentu saja dia terkejut. Dan ketika dia mengelak namun Soat Eng mengejar tiba-tiba tamparan itu mengenai pundaknya juga.

"Dess!" Siang Le terlempar. Sama seperti dulu ketika di Sam-liong-to pemuda ini tak melakukan balasan, dia sudah bergulingan meloncat bangun dan mengelak sana-sini ketika lawan berkelebat, mengejar dan melakukan tamparan-tamparan atau tendangan.

Soat Eng curiga jangan-jangan pemuda ini adalah teman si bayangan tadi, pura-pura menolong dan kini berbaik-baik dengannya, sebuah muslihat yang sering didengar dan dipergunakan orang-orang golongan sesat. Dan karena guru pemuda itu adalah orang sesat dan ini membuat Soat Eng tak percaya maka diserangnya pemuda itu, gencar dan bertubi-tubi dan Siang Le pun akhirnya jatuh bangun. Pemuda ini tak membalas dan berulang kali menyuruh si gadis berhenti, berani bersumpah dan segala macam kata-kata lagi untuk meyakinkan lawan. Tapi karena Soat Eng tak percaya dan semua itu bahkan menambah kemarahannya akhirnya sebuah pukulan keras mendarat di tengkuk pemuda itu.

"Dess!" Siang Le berteriak. Dia sudah mengerahkan sinkang menahan, tak tahunya tetap terlempar dan terbanting juga. Rupanya Soat Eng mengerahkan hampir semua tenaganya dan tentu saja pemuda itu mengeluh, kepalanya berputar dan tengkuk rasanya patah. Dan ketika gadis itu berkelebat dan semua teriakannya rupanya sia-sia tiba-tiba Siang Le mengendorkan semua tenaganya ketika gadis itu menotoknya.

"Tuk!" Robohlah murid See-ong ini. Siang Le merintih dan pucat, dia menahan sakit karena lagi-lagi totokan itu dilakukan dengan keras, jari yang lentik itu berubah seolah baja dan tergulinglah dia sambil mengeluh. Dan ketika Soat Eng tertegun karena merasa totokannya tak ditolak atau ditahan maka Siang Le berkata bahwa dia boleh dibunuh.

"Nah, puaskan hatimu. Boleh kau bunuh aku, nona. Hantam kepalaku dan pecahkanlah!"

Soat Eng terkejut, tiba-tiba marah. "Siapa mau membunuhmu? Tidak, aku menangkapmu, Siang Le. Kau akan kubawa pada ayah ibuku untuk diperiksa. Kau harus mengaku bahwa si topeng buruk itu adalah kawanmu!"

"Ah, terserah. Aku sudah berkata sebenarnya, nona. Kalau kau tidak percaya dan tidak membunuhku maka aku juga akan mengatakan yang sebenarnya pada ayah ibumu!" namun, sebelum gadis itu membawa pemuda ini tiba-tiba berkesiur angin dingin dan Pendekar Rambut Emas atau Kim-mou-eng muncul, seperti iblis!

"Eng-ji, apa yang terjadi? Kau bertempur dengan siapa?"

"Aih, kebetulan!" gadis itu bersorak. "Pencuri Cermin Naga sudah tertangkap jejaknya, ayah. Pemuda ini komplotan pencuri itu! Dia kutangkap, tak mau mengaku. Barangkali kau yang memeriksanya agar dia tahu rasa!"

"Hm," Kim-mou-eng terkejut. "Bukankah ini murid See-ong?"

"Benar, kau sudah mengenalnya, yah? Kalau begitu bagus, bisa lebih cepat selesai!"

Namun sang ayah yang mengerutkan kening dan menggeleng kepala tiba-tiba menyambar dan mengamati pemuda itu. "Kau... hm, kau Siang Le?"

"Benar, Kim-taihiap!" Siang Le menjawab girang, wajahnya berseri-seri. "Kau rupanya masih mengenal aku!"

"Hm, benar. Aku tak lupa wajahmu," pendekar ini teringat segala kejadian di Sam-liong-to. "Kau pemuda aneh dan rasanya tak pantas menjadi murid See-ong! Eh, ceritakan apa yang terjadi, Eng-ji. Apa yang kau maksud dengan Cermin Naga tadi dan apa hubungannya dengan pemuda ini!"

"Aku tadi bertemu pencuri hina itu, pandai mainkan Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng!"

"Apa?"

"Benar, ayah. Aku juga terkejut. Pencuri itu datang dan menculik Kokthai. Dia..."

"Aku di sini," Kokthai tiba-tiba muncul, tersaruk-saruk. "Ayahmu menolongku, siocia. Hampir mati aku dicekik siluman jahat itu!"

Soat Eng tertegun, tadi melupakan pembantu ayahnya ini. "Maaf, kau tak apa-apa, paman? Kau tidak luka?"

"Tidak, tapi leherku sakit, siocia. Penjahat itu mencekikku serasa mampus. Bedebah, ke mana dia sekarang dan apakah Kim-taihiap sudah menangkapnya? Aku tadi melapor, mungkin kurang jelas... eh, apakah ini penjahatnya?" laki-laki itu terbelalak memandang Siang Le, melihat wajah yang gagah dan tampan dan rupanya dia terkejut bahwa wajah yang begitu gagah ternyata seorang penjahat! Tapi ketika Soat Eng menggeleng dan berkata bahwa penjahat sebenarnya kabur maka ayahnya menyela menyuruh Kokthai pulang.

"Sekarang kau selamat, pulanglah dan perintahkan teman-temanmu berjaga lebih ketat!"

Laki-laki itu mengangguk. Setelah mengganggu sejenak dan lega melihat nona majikannya tak apa-apa maka Kokthai kembali ke tempatnya. Suku bangsanya masih bersenang-senang dan tak tahu sama sekali kejadian itu, betapa dia diculik dan hampir dibunuh! Dan ketika laki-laki itu kembali dan Pendekar Rambut Emas kembali bersama puterinya maka pendekar ini minta agar puterinya bercerita sekali lagi.

"Aku mengejar pencuri itu, dijebak dan hampir celaka. Dan ketika maling hina itu mau mencelakai aku dan mencekik leherku dengan lasso panjang tiba-tiba pemuda ini muncul."

"Hm, begitukah?"

"Ya, begitu, ayah. Dan aku yakin bahwa pemuda ini berkomplot. Tentu dia pencuri cermin itu, sama seperti temannya pula!"

"Aku tak tahu apa-apa," Siang Le menyanggah, mendahului Pendekar Rambut Emas yang memandangnya tajam. "Aku berani sumpah, taihiap, dan juga berani dibunuh!"

"Sumpah orang sesat macam kau tak dapat dipercaya!" Soat Eng membentak. "Aku tak percaya semua omonganmu, Siang Le. Lebih baik mengaku dan katakan terus terang bahwa kau teman si pencuri hina itu!"

"Hm, bagaimana harus mengaku? Kenal pun tidak, nona. Sungguh mati aku tak tahu siapa dia dan baru kali ini kudengar urusan cermin itu!"

Soat Eng berapi-api. Dia tetap tidak percaya, mau memaki dan menyambar ke depan, menghajar dan menyerang pemuda ini. Tapi ketika ayahnya batuk-batuk dan mengangkat lengan tiba-tiba ayahnya berseru,

"Nanti dulu, jangan tergesa-gesa, Eng-ji. Jangan sampai kejadian Ituchi terulang lagi!"

Soat Eng terkejut.

"Kau tidak mau ceroboh, bukan?"

"Apa maksud ayah?"

"Ingat, pemuda ini sudah berkata sebenarnya, Eng-ji. Kurasa aku percaya pada omongannya. Dia tidak bohong, mimik mukanya sungguh-sungguh. Hanya aku heran kenapa dia jauh-jauh ada di sini. Jangan-jangan gurunya berada di sekitar!"

"Tidak!" Siang Le menjawab, lantang. "Aku datang sendiri, taihiap. Aku tak bersama siapa-siapa!"

"Lalu apa maksudmu ke mari?"

"Aku... aku..." pemuda itu tiba-tiba gugup, melirik Soat Eng. "Aku hanya ingin tahu apakah puterimu selamat."

"He?"

"Benar, taihiap. Dulu puteramu dan puterimu ini lari dari Sam-liong-to. Aku khawatir karena mereka dicari-cari suhu. Dan karena kupikir mereka pasti kembali ke sini dan ingin kubuktikan maka aku di sini dan sekarang kebetulan bertemu dengannya, malah bersama penjahat itu!"

"Hm!" Kim-mou-eng melihat sesuatu yang aneh. "Kau mencurigakan, Siang Le. Betapapun ada hal yang tidak kau katakan sebenarnya. Untuk ini aku curiga, kau terpaksa kutangkap."

"Boleh!" pemuda itu tiba-tiba gembira, berseru dengan suara nyaring. "Aku memang bersalah, taihiap. Dan aku menyadari bahwa diriku telah menimbulkan kecurigaan. Kau tangkaplah, aku tidak menyesal!"

Kim-mou-eng melengak. Kalau pemuda ini bicara seperti itu dan bahkan tampak gembira bukan main maka dia heran sekali, mengerutkan kening dan tentu saja menganggap murid See-ong ini luar biasa. Bayangkan, ditangkap musuh bahkan menyatakan kegembiraannya! Dan melengak tapi tentu saja curiga akhirnya Pendekar Rambut Emas batuk-batuk dan mengerling puterinya, berhati-hati. "Eng-ji, agaknya ada sesuatu yang disembunyikan pemuda ini. Kau bawalah dia, kita kurung di belakang rumah!"

"Baik, kuseret dia, ayah!" dan Soat Eng yang tidak banyak bicara dan sudah melompat ke depan lalu menyambar tali dan mengikat pemuda ini, menyentak dan akhirnya berkelebat mendahului. Ayahnya mengawasi dan aneh sekali pemuda ini tersenyum-senyum. Matanya sering menatap lembut wajah yang cantik itu, yang sering menunduk kalau mengencangkan tali simpul. Dan ketika semuanya itu tak luput dari pandangan Pendekar Rambut Emas dan sang pendekar mengangguk-angguk maka pendekar ini berdehem dan sudah melihat puterinya berkelebat, menyeret pemuda itu.

"Ayah, mari pulang!"

Kim-mou-eng mengangguk. Dia juga bergerak ketika puterinya meluncur terbang, menyeret dan tidak memperdulikan tawanan. Siang Le sudah dibawa gadis ini dan untuk kedua kalinya Soat Eng menangkap pemuda. Dulu Ituchi sekarang murid See-ong ini. Dan ketika Siang Le juga tidak mengeluh atau kesakitan diseret di tanah yang berbatu maka Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar.

"Hm, itukah kiranya?" pendekar ini menduga-duga. "Murid See-ong jatuh cinta kepada puterinya?" namun tidak melanjutkan dugaannya dan mengikuti sang puteri akhirnya mereka tiba juga di perkemahan bangsa Tar-tar, cepat disambut dan orang pun gempar melihat ditawannya Siang Le ini.

Kokthai sudah bercerita pada mereka bahwa seseorang menculik dirinya, bertempur dan bertanding sengit dengan Soat Eng. Dan ketika pemuda itu diseret dan sepanjang jalan tentu saja menjadi tontonan maka aneh sekali Siang Le bahkan tertawa-tawa.

"Hai!" pemuda itu memberi salam. "Selamat berpesta, maaf aku mengganggu kalian!"

Bangsa Tar-tar heran. Tidak adanya rasa takut atau cemas di wajah tawanan itu justeru membuat mereka kagum. Mereka adalah orang-orang yang memang menghargai keberanian. Meskipun musuh tapi kalau gagah dan berani tentu akan mendapatkan pujian, simpatik dan rasa kagum dari suku bangsa ini. Maka ketika Siang Le memberi salam dan mengangkat lengannya maka beberapa di antara mereka juga membalas dan memuji,

"Hebat, kau gagah dan berani!"

Soat Eng yang mendongkol. Akhirnya dia melepas pemuda itu dan menendangnya di belakang rumah, menotok dan robohlah Siang Le oleh perbuatan ini. Dan ketika sehari dua hari dia menjadi bahan pembicaraan di situ maka Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas telah mendengarkan cerita suaminya.

"Pemuda itu menolong Eng-ji, seharusnya kita berterima kasih. Tapi karena keberadaannya mencurigakan dan sinar matanya aneh maka dia kutangkap!"

"Apanya yang aneh? Murid See-ong kenapa aneh?"

"Itulah, kau akan melihat sesuatu yang lain pada sinar mata pemuda ini, isteriku, pandangannya yang aneh dan luar biasa terhadap Soat Eng!"

"Hm, maksudmu?"

"Kau lihat sendiri saja, barangkali kau akan lebih tahu!"

Swat Lian mengerutkan kening. Sebenarnya mendengar ditangkapnya Siang Le dia sudah tidak setuju kalau dibiarkan saja. Pemuda itu murid tokoh sesat dan ayahnya tewas di tangan guru pemuda itu. Jadi, pemuda ini pun harus dihukum, dibunuh! Tapi ketika suaminya tak setuju karena See-ong tetaplah See-ong dan muridnya tak tahu apa-apa maka nyonya ini menjadi penasaran dan marah.

"Aku ingin melihat apa yang aneh itu. Coba kubuktikan dan kuingin tahu!"

"Sst, jangan terang-terangan. Kau harus melihatnya secara sembunyi-sembunyi, isteriku. Kalau tidak justeru tak akan tahu."

"Maksudmu?"

"Suruh Eng-ji mengantar makanan, lihat sinar mata pemuda itu!"

Sang isteri tertegun. "Maksudmu dia..."

"Sudahlah, kau lihat dulu, isteriku. Siapa tahu dugaanku keliru dan kau lebih awas!"

Sang nyonya mendongkol. Suaminya ini seakan berteka-teki, yang dibuat teka-teki adalah murid See-ong, musuh besarnya! Tapi mengangguk dan menyuruh puterinya melaksanakan perintah maka secara diam-diam nyonya ini mengintai, jauh di tempat tersembunyi dan tampaklah olehnya kegembiraan pemuda itu ketika didekati Soat Eng. Puterinya memberi makan dan piring atau gelas setengah dilempar, sikap Soat Eng memang setengah kasar. Tapi ketika mata itu tetap lembut dan berseri-seri maka Kim-mou-eng berbisik dan bertanya,

"Apa yang kau lihat? Betulkah dugaanku?"

"Keparat, tidak salah, suamiku. Pemuda itu jatuh cinta terhadap Eng-ji!"

"Nah, ini yang agaknya membuat dia datang ke mari. Betul kata-katamu, pemuda itu mencintai puteri kita!"

"Dan kau mau membiarkan hal ini terjadi?"

"Nanti dulu. Jangan marah, niocu, aku tidak bilang bahwa Eng-ji harus membalas cinta pemuda itu. Tapi aku terus terang merasa suka dengannya!"

"Suka? Kau...?"

"Ssst, jangan keras-keras, niocu. Suka bukan lalu hendak memberikan segala-galanya. Hanya aku tertarik karena pemuda ini lain dengan gurunya!"

"Aku tak perduli. Sebaiknya pemuda itu dibunuh, suamiku. See-ong dan muridnya adalah orang-orang terkutuk!"

"Ah, kenapa begini? Kulihat muridnya tak ikut campur masalah gak-hu (ayah mertua), niocu. Aku cenderung memiliki kesan baik terhadap pemuda ini."

"Aku tak perduli. Aku benci!" dan Swat Lian yang mau keluar menyambar pemuda itu tiba-tiba dicekal dan dicegah suaminya.

"Niocu, tahan kemarahanmu. Kalau pemuda itu kau bunuh maka See-ong tak akan datang!"

Muka yang merah dan jari yang menggigil itu tiba-tiba berhenti. Nyonya ini tertegun dan tampak berubah, bibirnya digigit dan tinjupun terkepal. Dan ketika suaminya berbisik bahwa dengan ditangkapnya pemuda itu berarti See-ong akan datang berkunjung maka Pendekar Rambut Emas menenangkan isterinya, membujuk,

"Kau bersabarlah, kekang sedikit kemarahanmu. Biarlah pemuda itu di sini dan kita ganti balas mengundang See-ong!"

"Hm!" bibir yang dingin itu dirapatkan. "Baiklah, suamiku. Tapi kau harus berjanji bahwa pemuda ini harus dibunuh kalau gurunya sudah kita beres!"

"Itu masalah nanti. See-ong memang musuh kita, niocu, tapi pemuda ini bukan. Kalau dia hendak membalas sakit hati atau dendam barulah kita bertindak!"

Hari itu sang nyonya cantik berhasil diredam. Kemarahan Swat Lian memang tidak dikehendaki oleh Pendekar Rambut Emas. Pendekar itu hanya hendak menunjukkan bahwa Soat Eng rupanya dicintai murid datuk sesat See-ong itu, hal yang menarik bagi Pendekar Rambut Emas karena murid See-ong ini dilihatnya lain dari yang lain. Masih diingatnya dengan baik sikap pemuda itu yang bertolak belakang dengan gurunya, yakni ketika ia tiba di Sam-liong-to dan berhadapan dengan See-ong, juga Enam Iblis Dunia yang tinggal lima. Tok-ong tewas terbunuh oleh mertuanya.

Dan ketika gerak-gerik atau sikap pemuda itu sama sekali tak menunjukkan sebagai pemuda jahat maka sebenarnya Kim-mou-eng tertarik dan heran juga, merasa aneh bahwa murid seorang tokoh sesat kok tidak seperti gurunya. Siang Le sepantasnya menjadi murid seorang tokoh baik-baik, kaum pendekar umpamanya. Maka ketika hari itu dia menangkap dan dapat mengurung pemuda ini maka ada beberapa hal yang hendak diselidiki pendekar itu.

Pertama tentang sikap atau watak pemuda itu, setelah tidak di Sam-liong-to. Kedua tentang bagaimanakah atau kenapakah pemuda itu tiba-tiba dapat muncul di situ, padahal Sam-liong-to dengan tempat tinggalnya berjarak ribuan li. Kalau tidak ada sesuatu yang istimewa tak mungkin pemuda itu datang, jauh-jauh dari Sam-liong-to. Dan ketika hal kedua itu segera diketahuinya dari sinar mata atau pandangan lembut pemuda itu terhadap puterinya maka maklumlah Pendekar Rambut Emas bahwa kiranya pemuda ini datang karena kasmaran, rindu akan cinta!

Tapi, karena pemuda itu adalah murid See-ong dan tentu saja dia tahu kebencian isterinya terhadap See-ong maka Pendekar Rambut Emas tidak bertindak lanjut kecuali ingin mengetahui apa yang tersembunyi di balik maksud pemuda itu, sebenarnya dia secara pribadi tak membenci pemuda ini. Bahkan Siang Le dianggapnya sebagai pemuda yang baik karena dulu di Sam-liong-to pemuda itu berkali-kali mencegah gurunya, bersikap hormat dan ramah. Tapi karena pemuda itu tak disukai isterinya dan perasaan isterinya harus dijaga maka pendekar ini menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.

"Hm, biarlah," katanya dalam hati. "Biar dia lihat apa yang akan terjadi nanti. Isterinya betul, perasaan isterinya harus dijaga. Kalau dia keliru menyimpulkan pemuda ini dan ternyata pemuda itu berpura-pura maka dia bisa malu terhadap isterinya nanti. Biarlah, biar dia lihat sepak terjang pemuda ini lebih lanjut dan biarlah dia tak usah tergesa-gesa menilai. Dan begitu pendekar ini mengangguk dan menarik napas maka dia pun berkelebat dan sudah memasuki kamarnya.

* * * * * * * *

"Bagaimana, Togur, berhasil? Mana puteri Pendekar Rambut Emas itu?"

"Keparat, Siang Le menggagalkan niatku, suhu. Hampir saja aku berhasil tapi terpaksa gagal!" begitu Togura menjawab pertanyaan gurunya ketika dengan murung dia kembali ke Sam-liong-to. Pakaiannya kusut, wajahnya muram dan berkali-kali pemuda ini meremas batu, yang seketika hancur dan luluh menjadi tepung. Dan ketika gurunya, Hek-bong Siauw-jin menyambut paling awal maka pemuda ini menumpahkan kemarahannya.

"Apa yang terjadi? Kenapa dengan murid See-ong itu?"

"Hm, dia tiba-tiba muncul di sana, suhu, membantu dan menyelamatkan gadis itu!"

"Pemuda itu di tempat suku bangsa Tar-tar?"

"Benar."

"Ah, kalau begitu kita laporkan gurunya, muridku. See-ong beberapa hari ini marah-marah karena muridnya tak ada!"

"Jangan, nanti dulu," Togura mencegah, menggelengkan kepala. "Aku tak mau See-ong tahu muridnya di sana, suhu. Nanti rahasiaku terbongkar."

"Maksudmu?"

"Aku telah menghajarnya, mempergunakan Khi-bal-sin-kangku. Kalau kita melapor dan Siang Le tahu tentu dia segera tahu bahwa yang bertempur dengannya adalah aku!"

"Hm, jadi bagaimana? Kalau begitu apa yang harus atau akan kau lakukan?"

"Aku penasaran, suhu, dan aku ingin mengulang. Kau sebaiknya ikut!"

"Jangan!" sesosok bayangan berkelebat, tiba-tiba muncul. "See-ong hari ini marah besar, Togur. Semua dari kita harus menemuinya, dipanggil!" nenek Naga, yang kaget tapi girang bertemu muridnya berseru. Dia muncul di situ mau memberi tahu Siauw-jin, eh, muridnya tiba-tiba datang dan mau mengajak iblis cebol itu pergi, tentu saja harus dicegah. Dan ketika nenek itu berkelebat dan sudah berdiri di situ maka Togura mengerutkan kening memandang subonya (ibu guru) ini.

"Ada apa, subo? Apa yang mau dilakukan tua bangka itu?"

"Ssst, jangan keras-keras, Togur. Nanti makianmu didengar dan kita semua bisa celaka!"

"Aku tak takut, aku justeru ingin membebaskan kalian dari cengkeramannya!"

Apa?"

"Benar, kalian mau, bukan?" lalu melihat dua orang gurunya terbelalak antara girang tapi juga takut maka pemuda ini berkata, "Subo, aku ingin mengadu kepandaian dengan kakek itu. Kalau aku menang akan kubunuh dia, kalian kubebaskan. Tapi kalau aku kalah, hmm.... sebaiknya kalian membantu aku!"

Dua orang itu terkejut.

Togur," Siauw-jin tiba-tiba berkata. "Sebaiknya jangan terlampau bernafsu dulu menghadapi kakek itu. See-ong dan Pendekar Rambut Emas imbang. Kalau kau belum dapat mengalahkan Pendekar Rambut Emas dan kalah oleh kakek ini maka See-ong tentu membunuhmu. Sebaiknya coba dulu Pendekar Rambut Emas itu baru See-ong."

"Kenapa begini?"

"Pendekar Rambut Emas orangnya murah hati dan lemah, Togur, lain dengan See-ong ini. Kakek itu kejam, telengas. Kalau kau kalah olehnya tentu tak ada ampun, lain kalau kau kalah oleh Kim-mou-eng misalnya, apalagi jelek-jelek kau masih murid keponakannya!"

"Ah, benar!" nenek Naga berseru, tiba-tiba menimpali. "Apa yang dikata Siauw-jin tidak salah, Togur. Sebaiknya kau berhadapan dulu dengan Pendekar Rambut Emas daripada kakek iblis See-ong ini!"

"Tidak!" pemuda itu berkata berani. "Kim-mou-eng atau See-ong bagiku sama saja, subo. Aku tidak takut. Daripada jauh-jauh kembali ke sana lebih baik di sini aku menguji kepandaianku dengan si tua bangka itu. Aku tidak takut, aku punya akal!"

Dua gurunya terkejut. Kalau pemuda ini sedemikian nekat dan berani menghadapi See-ong maka murid mereka itu sungguh mengagumkan. Togura menyatakan tidak takut, dan juga katanya mempunyai akal. Maka ingin tahu akal apa yang dipunyai pemuda itu tiba-tiba Siauw-jin bertanya....