Istana Hantu Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"HU-TAIHIAP, selamat bertemu. Agaknya kau sakit!"

"Hm, siapa kau?" pendekar ini menegur. "Bagaimana muncul di sini dan tahu-tahu datang seperti siluman?"

"Ah, aku Bigur, taihiap, perantau muda yang kebetulan melihat bayanganmu tadi. Kukejar tapi kalah cepat dan baru sekarang aku dapat menyusulmu."

"Hm, Bigur? Kau seperti pemuda peranakan, bukan Han asli! Di mana tempat tinggalmu?"

"Ah, tajam pandanganmu, taihiap. Aku memang campuran Tar-tar dan Han. Ibuku orang Tiongkok sedang ayahku Tar-tar!"

"Dan tinggalmu?"

"Di bawah langit di atas bumi, taihiap. Aku perantau. Eh, sebaiknya kau jangan banyak bicara karena tubuhmu menggigil!" Bigur, pemuda tampan itu bergerak.

Hu Beng Kui terhuyung dan merasa diserang demam, menggigil dan memang berketrukan ketika dilihat pemuda itu. Tapi ketika pemuda itu mau menolong dan menyentuh pundaknya tiba-tiba jago pedang ini menolak. "Biarkan aku sendiri," katanya. "Aku dapat mengobati diriku, anak muda. Kau menyingkirlah!"

Pemuda itu tertegun. Hu Beng Kui sudah bersila dan mengatur napasnya, naik turun dan segera kedua mata itu pun terpejam. Tapi ketika demam tak juga mereda dan pendekar ini membuka mata tiba-tiba pemuda itu menyodorkan sebutir pil hijau, mendahuluinya. "Telanlah, penawar demam, taihiap. Kau agaknya terserang malaria!"

"Hm, siapa kau berani menolongku seperti ini? Menyingkirlah, anak muda. Aku tak butuh pertolonganmu!" dan Hu Beng Kui yang lagi-lagi menolak dan mengambil obat sendiri lalu mengeluarkan kantong obatnya namun terkejut, melihat isi kantungnya kosong dan tertegunlah pendekar itu dengan muka berobah. Agaknya di tengah jalan tadi tanpa disadarinya obatnya jatuh, entah di mana dan Bigur tersenyum.

Pemuda itu tak tersinggung dan kembali memberikan obatnya. Dan ketika jago pedang itu melotot dan mau membentak tiba-tiba pemuda ini berkata halus, "Hu-taihiap, tak usah mempersoalkan budi. Aku tak melepas pertolongan dan anggap ini obatmu yang hilang di jalan. Kau agaknya terburu-buru dan biarlah aku pergi!" pemuda itu meletakkan obat di depan si jago pedang, membungkuk dan mernbalik dan segera dia memutar tubuhnya, pergi.

Tapi baru dua langkah tiba-tiba Hu-taihiap tertawa, berseru, "Hei, tunggu, anak muda. Aku mau menerima obatmu!"

Pemuda itu tersenyum. Dia memutar tubuhnya lagi dan melihat Hu Beng Kui menelan obatnya, tanpa ragu dan penuh kepercayaan kepadahya. Maklumlah, sikap pemuda ini telah menarik simpati jago pedang itu dan Hu Beng Kui tertawa. Dan ketika obat lenyap memasuki mulut dan tak berapa lama kemudian Hu Beng Kui merasa hangat maka jago pedang itu bangkit berdiri dan tertawa menepuk pundak pemuda ini.

"Ha-ha, obatmu manjur. Agaknya kau seorang tabib muda yang menyediakan banyak obat-obatan. Terima kasih, anak muda. Kau mengingatkan diriku pada menantuku!"

"Pendekar Rambut Emas?"

"Eh, kau tahu?"

"Ah, namamu dan nama menantumu tak ada orang yang tidak mengenalnya, taihiap. Siapa tidak mengenal Kim-mou-eng dan Hu-taihiap? Kau dan menantumu adalah keluarga yang hebat, dan aku bangga karena kebetulan Kim-mou-eng dan aku satu suku!"

"Ha-ha, benar!" Hu-taihiap teringat. "Betul, anak muda. Kalau begitu kau..... eh!" Jago pedang itu berjengit. "Kenapa perutku sakit? Augh, obat apa yang kau berikan padaku tadi, anak muda?"

Aneh, pemuda ini tiba-tiba tertawa. Hu Beng Kui terlihat menggeliat dan jago pedang itu menahan sakit, mukanya tiba-tiba berkeringat dan kagetlah orang tua itu ketika rasa sakit semakin menghebat, perut bergemuruh dan rasa panas yang membakar sekonyong-konyong datang lebih hebat daripada tadi. Kalau demam hanya terasa panas dan meriang adalah sekarang ini bercampur sakit dan nyeri. Hu Beng Kui terkejut dan memandang pemuda itu. Dan ketika dia terbelalak dan kaget serta curiga mendadak pemuda itu berkelebat dan menghantam mukanya.

"Ha-ha, kau akan mampus, Hu-taihiap. Obat itu adalah penghancur usus yang akan membunuhmu dalam waktu tiga hari.... dess!"

Jago pedang ini terlempar, menangkis tapi kalah kuat dan dia terpekik. Hu Beng Kui segera sadar bahwa pemuda tampan yang tampaknya halus itu kiranya musuh, entah siapa. Dan ketika dia terguling-guling dan kaget serta marah maka lawan mengejar lagi dan melepas pukulan, amis menyambar dan dia kaget karena mengenali pukulan itu sebagai Tee-sin-kang, pukulan yang dimiliki nenek Naga.

Dan ketika dia menangkis namun terlempar lagi maka pemuda itu menyerangnya lagi dengan ilmu pukulan lain, Mo-seng-ciang dan sebentar kemudian berobah dengan Hek-tok-ciang, lalu Cam-kong-ciang dan lain-lain pukulan yang semua dikenal sebagai ilmu-ilmu pukulan yang dimiliki Enam Iblis Dunia, yakni Siauw-jin dan kawan-kawannya itu. Dan ketika Hu-taihiap mengeluh den melompat bergulingan maka dia menerima sebuah serangan lagi yang tepat mengenai tengkuknya.

"Ha-ha, selamat berjumpa sekaligus berpisah, Hu-taihiap. Kau akan kuantar ke neraka dan menebus hutang-hutangmu... dess!"

Hu Beng Kui terlempar, memekik dan marah tapi cepat dia mengerahkan Khi-bal-sin-kang. Pukulan itu diterimanya dengan sepenuh kemarahan, membalik dan menghantam pemuda itu sendiri. Dan ketika pemuda itu berteriak dan terlempar oleh pukulannya sendiri maka Hu-taihiap bangkit terhuyung dan gusar dengan muka merah padam.

"Keparat, siapa kau, anak muda? Apa hubunganmu dengan Enam Iblis Dunia?"

Pemuda ini pucat. Melihat Hu-taihiap tak juga roboh dan kini bahkan membentaknya dengan marah pemuda itu merasa kecut. Obat penghancur usus yang ditelan jago pedang itu rupanya dapat ditahan jago pedang ini, tak bekerja dan sejenak diam di perut hebat jago pedang itu. Tapi tertawa dan melompat mundur pemuda ini sudah menjauhi Hu Beng Kui, setelah tadi meloncat bangun.

"Ha-ha, aku murid Enam Iblis Dunia, Hu Beng Kui. Dan kalau kau ingin tahu siapa aku maka aku adalah Togura, putera ayahku yang gagah perkasa Gurba!"

"Hah?" Hu Beng Kui terbelalak. "Gurba suheng dari Kim-mou-eng? Jadi kau...."

"Benar," pemuda itu memotong. "Aku putera Gurba dengan mendiang Bi Nio, Hu-bengcu. Dan Kim-mou-eng yang menjadi menantumu itu adalah musuh besarku!"

"Keparat, dan kau sekarang meracuni aku, bocah? Atas, suruhan Enam Iblis Dunia atau kehendakmu pribadi?"

"Ha-ha, yang menyuruhku adalah See-ong, Hu-taihiap. Dan aku ke sini atas suruhan Datuk dari Barat itu. Bukankah kau mau ke Sam-liong-to?"

"Benar," jago pedang ini menggigil. "Dan sekarang tahulah aku, anak muda. Kiranya kau bocah yang dulu dibawa Sepasang Nenek Naga. Ah, kau seperti mendiang ayahmu yang curang dan jahat. Kau setan cilik yang tidak tahu malu... wut!" dan Hu Beng Kui yang menyambar berkelebat ke depan tiba-tiba menghantam dan menyerang pemuda itu, dikelit tapi jago pedang ini mengejar.

Bigur alias Togura itu terkesiap juga melihat kegesitan lawan. Obat penghancur usus seakan tak mempengaruhi jago tua itu, pemuda ini mengelak dan segera berlompatan menghindar. Tapi ketika Hu Beng Kui terus mengejar dan jalan buntu ditemui pemuda ini maka Togura terpaksa menangkis dan mencelat terlempar.

"Dess!" Pemuda itu terbanting bergulingan. Togura terkejut karena pukulan lawan masih hebat, pundaknya seakan remuk namun dia meloncat bangun lagi. Dan ketika Hu-taihiap menyerang dan terhuyung sambil memaki-maki maka Togura didesak dan pemuda ini selalu terlempar bila beradu tenaga dengan jago tua itu, kagum namun juga gentar dan mulailah pemuda ini main kucing-kucingan.

Hu-taihiap dipaksa mengejar dan sesekali pemuda itu berlindung di balik pohon, melepas pukulan dari belakang namun dia tertolak oleh gaya pental Khi-bal-sin-kang. Ilmu Bola Sakti yang dipunyai jago pedang itu memang akan selalu menolak secara otomatis setiap pukulan lawan, semakin kuat semakin hebat pula daya tolaknya.

Dan karena hal ini membuat Togura gentar dan Hu Beng Kui menggeram sambi! mengejar dan mendekap perutnya akhirnya pemuda itu melompat jauh dan melarikan diri, berteriak menuju ke timur dan jago tua itu marah. Dia memang mengerahkan sinkangnya menahan bekerjanya obat, mengamuk dan mengejar pemuda itu.

Dan ketika lawan melarikan diri dan Togura melakukan pertempuran dengan cara hit and run alias pukul dan lari maka Hu Beng Kui mencak-mencak memaki lawannya itu, mengejar dan terus mengejar namun berkali-kali jago pedang itu harus menahan sakit. Racun di perutnya seolah meremas usus, obat itu menyerikan perutnya dan berkali-kali dia harus mengerahkan sinkang. Dan ketika Togura menuju ke timur dan mereka akhirnya tiba di Tung-hai (Samudera Timur) maka pemuda ini sudah menyambar perahu dan mendayung cepat, menuju ke tengah."

"Suhu, tolong! Subo, bantu aku....!"

Hu Beng Kui merah matanya. Sehari ini dia mengejar dan penyakit demamnya bercampur aduk. Racun di perut bekerja lagi namun ditekan, berhenti dan bekerja lagi setiap dia mengejar pemuda itu. Seharusnya dalam keadaan begitu jago pedang ini berhenti, istirahat dan melawan racun itu dulu. Tapi karena jago pedang ini diamuk kemarahannya dan pemuda itu selalu tak jauh di depannya maka Hu Beng Kui lupa diri, menggeram dan memaki-maki pemuda itu. Lawan sudah puluhan kali dihajar jatuh bangun namun hebat pemuda itu, selalu bangkit dan lari lagi.

Dan karena pukulan jago pedang ini tak sekuat biasanya karena diamuk racun maka Togura selalu dapat melarikan diri kalau dihajar, jatuh bangun namun dia selalu selamat. Hal ini disebabkan gangguan yang dialami jago pedang itu. Kalau saja jago pedang ini sedang sehat dan tidak diserang racun atau penyakit lainnya barangkali pemuda itu tak akan selamat.

Ini satu keuntungan bagi Togura dan murid Enam Iblis Dunia itu mulai menjauhi Hu Beng Kui mengarungi laut namun jago pedang itu juga menyambar sebuah perahu. Dan ketika Hu Beng Kui bergerak dan perahu tidak didayung melainkan didorong dengan angin pukulannya yang dahsyat maka hebat dan luar biasa perahu si jago pedang ini melejit mengejar lawan.

"Hayoh, ke mana kau mau lari, bocah? Kau mau meminta pertolongan guru-gurumu? Hah, kubunuh kau, anak siluman. Kupatahkan lehermu nanti!"

Togura gentar. Kalau tidak melihat betapa pukulannya membalik dan selalu tertolak sendiri barangkali pemuda ini akan berhenti, main kucing-kucingan lagi dan mencoba melawan. Tapi karena Hu Beng Kui betul-betul kakek luar biasa dan dari jauh pun angin pukulan jago pedang itu membuat perahunya miring ke kiri kanan maka pemuda itu pucat memanggil-manggil lagi keenam gurunya. "Suhu, tolong...! Subo, tolong...!"

"Ha-ha!" jago pedang itu tertawa bergelak. "Mampus kau sekarang, bocah. Di tengah laut ini tak ada siapa pun yang dapat menolongmu.... bress!" perahu pemuda itu dihantam mencelat terlempar namun Togura dapat berjungkir balik, hinggap di perahunya lagi dan jago pedang itu terbelalak.

Lawan mendayung lagi dan Togura beradu cepat, mengerahkan segenap tenaga namun Hu-taihiap tetap mengejar. Dan ketika sehari itu pemuda ini mandi keringat sementara lawan di belakang mengumpat-caci maka malam tiba dan Togura kebingungan, terus melarikan diri dan Hu-taihiap tak mau melepas lawan. Setiap gerakan dayung ditangkap telinga pendekar itu dan pemuda ini kewalahan. Ke manapun dia lari ke situ pula Hu-taihiap mengejar. Dan ketika malam terganti pagi dan Togura pucat pasi maka Hu-taihiap menempel di belakang tak jauh dari perahunya.

"Ha-ha!" jago pedang itu tertawa menyeramkan. "Ke mana kau lari bocah? Tidak memanggil-manggil gurumu lagi?"

"Keparat!" pemuda itu memaki. "Kau hebat, Hu Beng Kui. Tapi racun di perutmu tak mungkin kau tahan terus-menerus. Ini hari ketiga di mana kau akan muntah berak!"

Benar saja, Hu-taihiap mengeluarkan suara kesakitan. Jago pedang itu mendesis dan terdengarlah suara nyaring dari belakang tubuhnya. Untuk pertama kalinya terdengar kentut yang panjang seperti sirine ditiup. Dan ketika suara itu disusul lagi dengan bunyi memberobot mirip terompet rusak maka Hu Beng Kui muntah darah untuk pertama kalinya.

"Ha-ha!" pemuda itu ganti tertawa. "Racun kembali bekerja, Hu-taihiap. Kau tak akan tahan dalam beberapa jam lagi!"

"Jahanam keparat!" Hu Beng Kui murka bukan main. "Kau siluman busuk persis gurumu, bocah. Kalau bukan dari Tok-ong tentu dari Siauw-jin!"

"Benar, aku banyak belajar dari mereka, Hu-taihiap. Dan Siauw-jin adalah guruku yang paling pandai mencari akal busuk!"

"Kuhajar kau, keparat...!" dan Hu Beng Kui yang melepas pukulan jarak jauh tiba-tiba memaki karena bersamaan dengan itu kentutnya berbunyi nyaring lagi, tidak sekedar nyaring tapi juga bau! Dan ketika pemuda itu mengelak dan perahu melejit ke kiri maka Togura tertawa karena melihat jago pedang itu terhuyung.

"Ha-ha, simpan tenagamu, Hu-taihiap. Atau nanti kau mampus di Sam-liong-to!"

"Bedebah!" Hu Beng Kui merah padam. "Tiba di darat akan kuhajar kau, setan busuk. Kalau tak dapat menangkapmu biar aku mati!"

Togura tertawa. Saat itu tiga pulau terlihat di depan mata, kian jelas setelah perahunya mendekat. Dan ketika Hu Beng Kui juga tertegun melihat pulau itu maka lawan memberi tahu, "Nah, ini wilayah kami. Itulah Sam-liong-to!"

Jago pedang ini menggeram. Dalam dua kali pukulannya terakhir dia muntah lagi, terpaksa mengerahkan sinkang dan menahan marah. Perutnya melilit-lilit dan sakit bukan main, ususnya seakan dipelintir dan diremas-remas dari dalam. Kentut yang berulang-ulang adalah akibat pengerahan sinkangnya yang menahan sakit. Maklumłah, dia sekarang tersiksa luar dalam.

Tapi karena Hu Beng Kui adalah tokoh yang hebat dan jago pedang itu dapat menyembunyikan keadaan fisiknya maka jago pedang ini menggigit bibir dan tidak menyerang lagi, mengejar dengan perahunya dan akhirnya dekatlah mereka dengan pantai.

Beberapa tombak lagi pemuda itu akan mendarat, Hu Beng Kui menggeram dan sebuah pukulan siap dilepaskan. Betapapun dia tak akan membiarkan pemuda itu selamat dan jangan harap pemuda itu dapat meloloskan diri. Tapi baru dia membentak dan menambah dorongannya untuk melesatkan perahu mendadak Togura terjun ke laut dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, silahkan menyelam, Hu-taihiap. Aku sudah di tempat sendiri... byurr!" dan Togura yang lenyap di bawah air tiba-tiba menyelam dan entah ke mana, membuat Hu Beng Kui tertegun dan jago pedang itu mengumpat.

Tubuh yang gemetar dan kemarahan yang sangat membuat jago pedang ini tak waspada, tak mengira bahwa lawannya itu mendekati perahunya dari bawah. Perbuatan yang berani! Dan ketika dia tertegun dan terbelalak ke depan, mengira pemuda itu berenang ke pantai, mendadak perahunya terguncang dan pemuda itu muncul di bawahnya!

"Ha-ha terjunlah, Hu-taihiap. Terjunlah....!"

Jago pedang ini kaget. Secepat kilat dia membalik dan menghantam ke bawah, pemuda itu lenyap dan pukulannya membuat air laut muncrat tinggi. Dan ketika perahu terguncang dan pemuda itu muncul lagi di tempat yang lain mendadak lawan terbahak dan mengangkat naik perahunya itu.

"Hayo, terjun keair, Hu-taihiap. Melompatlah.... ha-ha!"

Hu Beng Kui pucat. Dalam perahu yang sudah terangkat tinggi dan miring ke kanan tiba-tiba dia tak dapat menguasai diri lagi, terlempar namun jago pedang ini berseru keras. Lawan di sebelah kiri dihantam dan perahu pun hancur. Togura menjerit dan rupanya terkena pukulan, menyelam dan lenyap lagi di bawah air. Dan ketika jago pedang itu berjungkir balik dan meluncur turun maka papan perahu yang hancur terkena pukulannya pecah di kiri kanan, hinggap di sini dan meraunglah jago pedang itu.

Dia benar-benar merasa dipermainkan dan Hu Beng Kui marah bukan kepalang. Tubuh sampai bergetar hebat dan bergeraklah dia mencari pemuda itu, papan dipergunakan dan meluncurlah kakek gagah ini di permukaan air laut, memaki dan membentak-bentak dan Togura panik. Di bawah air tak mungkin pemuda itu menahan napas selama-lamanya, bisa mati dia. Maka begitu muncul dan kebetulan Hu Beng Kui melihatnya maka jago pedang itu melepas pukulan dan pemuda ini menjerit.

"Dess!"

Air laut muncrat tinggi. Hu-taihiap sudah bergerak dan terbang mendekatinya. Di atas laut atau pun daratan sama saja, jago pedang ini sama hebat dan ngerilah murid Toa-ci itu. Dan ketika kemanapun dia timbul di situ pula Hu Beng Kui menghadang dan melepas pukulannya maka Togura panik dan berteriak-teriak, menyelam di bawah air dan kini menuju ke pantai. Hu Beng Kui mengamati gerak geriknya di atas dan menggeram-geram. Empat pukulan sudah mengenai lawannya namun Togura cukup kuat, mampu bertahan dan kucing-kucingan di bawah laut, menghindar dan kakek gagah itu terengah-engah.

Kalau perutnya tak melilit dan usus rasanya diremas-remas tak mungkin lawannya itu dapat lari lagi. Murid Tok-ong ini pasti mampus dan Togura sendiri gelisah. Pemuda itu cemas dan menyelam lebih ke bawah, akhirnya tak dapat ditembus pandangan Hu Beng Kui karena dengan lihainya pemuda ini merapat di bawah laut, bergerak dan berenang di situ sambil menahan sakitnya. Pundak dan punggungnya terkena pukulan. Kalau Hu Beng Kui dalam keadaan sehat tentu dia tadi sudah tak bernapas. Dan ketika lawan mencari-cari di atas dan Hu Beng Kui menggeram sambil mengamati segala penjuru mendadak lawannya sudah muncul di pantai, megap-megap.

"Suhu, tolong....!"

Jago pedang itu bergerak. Sekali meloncat tahu-tahu papan di bawah kakinya ikut naik, terbang dan menyambar pemuda itu. Dan karena papan ini dipergunakan sebagai senjata yang mendahului tubuh Hu Beng Kui maka Togura tak dapat mengelak ketika telinganya tersambar benda keras ini.

"Aduh....!" Pemuda itu terjungkal.

Hu Beng Kui berkelebat namun Togura bergulingan menjauh, hantaman papan serasa menghancurkan telinganya dan kepala terasa berputar. Murid Liok-kwi-ong ini menjerit dan pucat mukanya, menjauh tapi Hu Beng Kui menggerakkan tangannya. Dan ketika sebuah pukulan mendarat di pundaknya dan pemuda itu mengeluh maka Togura terbanting lagi namun Hu Beng Kui juga mengeluh, berdiri terhuyung dan mendekap perutnya. Sebuah pukulan sinkang berarti melepas tenaga, obat bekerja kembali dan jago pedang itu terduduk. Dan ketika Togura meloncat bangun dan terhuyung melarikan diri maka kentut yang nyaring keluar dari belakang tubuh jago pedang ini.

"Keparat, kau tak boleh lari, bocah. Berhenti dan mampuslah dulu!" Hu Beng Kui bangkit, terhuyung dan maju mengejar dan larilah pemuda itu.

Togura jatuh bangun dan terseok-seok melangkah, sama seperti Hu Beng Kui dan pemuda itu pucat pasi. Lawan menggeram mengejarnya dan setombak lagi jago pedang itu akan menerkamnya. Togura ngeri membayangkan apa yang akan terjadi, mungkin dia akan "dikeremus" dan dikunyah jago pedang ini. Bayangan itu menakutkannya dan tiba-tiba dia menerima sebuah pukulan lagi, tidak terlalu keras namun pemuda itu terpelanting roboh. Dan ketika Hu Beng Kui lagi-lagi menggeram karena menahan sakit di perutnya maka Togura menjerit memanggil gurunya.

"Subo, tolong.....!"

Hu Beng Kui melotot. Pemuda ini sudah di depannya tinggal mencengkeram, sekali disambar tentu dia dapat menangkap punggungnya, dibanting dan akan dihajar. Tapi persis dia membentak dan terhuyung mengejar lawan mendadak muncul sesosok bayangan yang menyelamatkan pemuda itu, Tok-ong, si Raja Racun.

"Hu Beng Kui, lepaskan muridku.... plak!"

Hu Beng Kui terdorong, jatuh terduduk dan Togura berteriak menyambut Raja Racun ini, girang karena pertolongan muncul. Dan ketika Tok-ong berkelebat di situ dan Siauw-jin serta nenek Naga muncuł pula sambil terkekeh maka tiga dari Enam Iblis Dunia menghadang jago pedang itu.

"Ha-ha, selamat datang, Hu-taihiap. Kau memenuhi undangan kami!"

Jago pedang ini menggeram. Terhuyung dan nanar memandang tiga orang itu, jago pedang ini serasa terbakar. Di sana Togura berlindung dan pemuda itu tampak berseri, tubuhnya letih namun pemuda ini girang. Tiga orang gurunya sekaligus datang dan tenanglah dia. Dan ketika jago pedang itu mendelik dan mendekap perutnya maka pemuda ini berkata,

"Suhu, Hu-taihiap telah menelan obat penghancur usus. Dia begitu bodoh menerima obatku dan kini marah-marah!"

"Heh-heh!" Siauw-jin tertawa. "Begitukah, Togur? Dan jago pedang ini menerima baik jasa baikmu?"

"Benar, dia terlihat sakit, suhu, terserang demam dan kutolong. Tapi karena dia begitu bodoh dan menerima begitu saja pertolonganku maka dia muntah-muntah dan sekarang mengejar-ngejar aku!"

"Tak usah khawatir," kakek cebol itu berkata. "Ada kami di sini Togur. Kalau dia mengejar-ngejarmu tentu kami akan menghalangi. Sudahlah, kau beristirahatlah di situ dan lihat kami akan membereskan jago buntung ini!" dan Siauw-jin yang terkekeh menghadapi Hu Beng Kui lalu mengejek, "Eh, kau sudah muntah berak, Hu-taihiap? Mau bertemu See-ong atau mencoba kami dulu?"

"Jahanam!" kakek itu menggeram. "Berenam pun aku tak takut, Siauw-jin. Justeru aku akan membunuh kalian bertiga agar tidak mengganggu dunia lagi!"

"Eh, dalam keadaan begini? Ha-ha, kau tak mungkin dapat melakukannya, Hu-taihiap. Kalau dapat pun tentu di neraka. Lebih baik kubereskan kau dan menghadaplah Giam-lo-ong (Raja Akherat)!" Siauw-jin berkelebat, tiba-tiba menyerang namun Hu Beng Kui menangkis. Jago pedang itu mengerahkan Khi-bal sin-kang dan iblis cebol ini menjerit ketika tubuhnya terlempar tinggi jatuh terbanting dan terguling-guling di sana. Dan ketika iblis itu melompat bangun dan pucat memandang lawan maka muridnya berteriak agar dia berhati-hati.

"Suhu, jangan memandang ringan padanya. Kakek itu masih berbahaya!"

"Heh-heh," Siauw-jin tertawa. "Aku kira macan ini sudah ompong, Togur. Kalau dia masih garang biarlah dua gurumu yang lain membantu!" setan cebol itu mengedip, memberi tanda pada Tok-ong dan nenek Naga Bumi dan dua orang itu mengangguk. Melilhat kehebatan Hu Beng Kui mereka jadi marah juga. Namun karena jago pedang itu sudah menelan obat penghancur usus dan kini Togura memberi tahu bahwa jago pedang itu sudah menginjak hari ketiga maka Tok-ong berkelebat dan Naga Bumi pun mencelat melepas pukulannya.

"Baik, mari bereskan kakek ini, Siauw-jin. Kalian di depan dan biar aku di belakang!" nenek Naga cerdik, mendahului lawannya dan dia bergerak di belakang. Tee-sin-kang menyambar dan Hu Beng Kui menggeram. Dan ketika Tok-ong serta Siauw-jin melejit dan menghantam dari kiri kanan maka tiga orang itu sudah susul-menyusul memberi pukulan.

"Plak-des-dess!"

Hu Beng Kui tergetar. Jago pedang itu mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan lawan terpekik. Mereka terlempar oleh pukulan yang membalik. Namun karena Hu Beng Kui berkurang tenaganya dan racun yang mengamuk di perut bekerja lagi maka tiga orang itu tak terluka dan mereka menyerang lagi, berkelebatan dan terhuyunglah jago Ce-bu itu menghadapi lawannya. Ganti-berganti mereka melepas pukulan, Hu Beng Kui marah dan menolak. Tapi ketika lagi-lagi lawan hanya terpental tapi tidak terluka maka Siauw-jin terkekeh sementara nenek Naga juga tertawa nyaring.

"Hi-hik, macan ini ompong giginya, Siauw-jin. Galak di luar tapi lemah di dalam!"

"Benar, tapi tetap waspada, nenek siluman. Jelek-jelek dia memiliki Khi-bal-sin-kang!"

"Dan Jing-sian-eng!" Tok-ong berseru. "Awas kalau dia mengerahkan ilmunya itu, nenek Naga. Hati-hati dan jangan lengah!"

Tiga orang itu mengeroyok lagi. Tertawa dan mengejek lawannya Hek bong Siauw-jin mau pun nenek Naga berkelebatan cepat, kini nenek itu mengeluarkan jarum emasnya dan Siauw-jin mengeluarkan sabitnya. Tok-ong mempergunakan sepasang pukulannya dan Hek-tok-ciang menyambar-nyambar. Hu-taihiap membentak dan melayani lawannya itu.

Dan ketika mereka selalu menyerang setiap terpental tiba-tiba jago pedang ini meledakkan lengannya dan keluarlah ilmu Bayangan Dewanya itu, berkelebatan dan lenyap mendahului lawan dan Khi-bal-sin-kang dikeluarkan segenap tenaga. Lawannya terkejut karena jago pedang itu tiba-tiba seolah tak terpengaruh oleh bekerjanya racun, mendahului dan sudah membagi-bagi pukulan ke arah mereka. Dan ketika Tok-ong menjerit dan terlempar oleh pukulan Bola Sakti tiba-tiba kakek iblis itu roboh bergulingan dan merintih-rintih.

"Aduh, tolong, Siauw-jin. Bunuh jago buntung ini!"

Siauw-jin terkejut. Melihat keberingasan dan kehebatan Hu Beng Kui tiba-tiba dia menjadi gentar, nenek Naga terkesiap dan juga kaget, sebuah pukulan menghantam dan nenek itu pun menjerit. Dan ketika nenek Naga terlempar dan Siauw-jin pucat maka kakinya tertangkap dan Hu Beng Kui membantingnya.

"Bress!" Setan cebol itu berteriak mengaduh-aduh. Kalau bukan dia yang dibanting barangkali sudah remuk punggungnya. Siauw-jin seakan dicengkeram kuku rajawali dan tak sempat menghindar, roboh dan dibanting dengan punggung lebih dulu, tanah meledak dan amblong setengah meter lebih. Tapi ketika iblis cebol itu bergulingan menjauh dan untung tenaga jago pedang itu tidak sedahsyat biasanya maka Siauw-jin meloncat bangun dan berjungkir balik menjauhi lawan, dikejar namun Hu Beng Kui terhuyung.

Sebenarnya dalam menghajar lawan-lawannya tadi dia memaksa diri, racun bekerja dan mendesislah jago pedang itu oleh rasa sakit yang amat sangat. Tapi karena dia keras hati dan Siauw-jin serta dua temannya dibuat terkejut maka Hu-taihiap membentak dan mengejar Tok-ong, dikelit dan ganti menubruk nenek Naga, yang juga menghindar dan mau tak mau Siauw-jin kembali berseru keras ketika melihat pukulan Bola Sakti menghantam mukanya. Dan ketika iblis itu mengelak dan tunggang langgang melarikan diri maka Hu-taihiap menggeram-geram dengan mata sebuas harimau kelaparan.

"Hayoh, antar aku ke Giam-lo-ong, Siauw-jin. Atau kau yang kuantar ke sana dan mendahului aku!"

Siauw-jin gentar. Sekarang dia diburu dan menghadapi kemarahan lawannya ini, berjungkir balik dan bersembunyi di belakang Naga Bumi. Dan ketika nenek itu diserang dan memaki Siauw-jin maka nenek ini ganti berjungkir balik dan bersembunyi di belakang Tok-ong, mengumpankan kawannya itu dan Tok-ong terkejut. Kalau saja Hu Beng Kui masih tak sehebat ini tentu dia akan menyambut, menghantam dan melepas pukulannya. Tapi karena jago pedang itu masih hebat dan Tok-ong mengelak maka kakek tinggi besar itu memaki nenek Naga dan ganti bersembunyi di belakang Siauw-jin, kucing-kucingan.

"Keparat, jangan lari kalian, iblis-iblis busuk. Hayo maju dan hadapi aku!"

Tiga iblis itu pucat. Mereka main sembunyi di belakang punggung yang lain, mengumpankan kawannya dan tentu saja nenek Naga maupun Tok-ong marah. Mereka mendongkol pada Siauw-jin yang licik, yang memulai itu dan mereka ikut-ikutan. Tapi ketika pukulan Hu Beng Kui menyambar dan kebetulan Siauw-jin kembali yang dikejar mendadak iblis ini menarik baju Tok-ong untuk menyelamatkan dirinya.

"Hei!" Tok-ong terkejut. "Lepaskan bajuku, Siauw-jin. Pergi kau!"

"Aih, tidak. Lindungi aku, Tok-ong. Atau kita lari dan panggil See-ong!"

"Keparat, kau licik. Kau.... dess!" dan Tok-ong yang mencelat oleh hantaman lawan tiba-tiba memekik dan kaget menghentikan makiannya, diumpan Siauw-jin dan dia menjadi korban. Hu Beng Kui memukulnya dan telak sekali mengenai leher. Dan ketika Tok-ong mengeluh pendek dan muntah darah tiba-tiba jago pedang itu memburunya, berkelebat dan melepas satu pukulan lagi. Tok-ong berteriak agar dua temannya membantu, celaka sekali Siauw-jin dan nenek Naga malah melarikan diri. Dan ketika Hu Beng Kui mendengus dan kakek itu bergulingan namun tak dapat mengelak maka sebuah pukulan mengenai dadanya.

"Dess!" Tok-ong menjadi korban. Di sana Siauw-jin sudah memutar tubuh menarik Togura, pemuda ini pucat melihat kejadian itu. Namun ketika setan cebol itu menyendal lengannya dan melarikan diri maka terdengar lagi dua pukulan menghantam Tok-ong, menjerit dan kakek iblis itu terlempar. Dalam kemarahannya yang sangat Hu Beng Kui sekarang menimpakan geramnya pada iblis tinggi besar ini, Tok-ong coba berkelit namun gagal. Dan ketika sebuah pukulan lagi menyambar kepala kakek itu dan Tok-ong berteriak tiba-tiba satu di antara Enam Iblis Dunia ini roboh, pecah kepalanya.

"Prakk!"

Togura ngeri. Dalam keadaan seperti itu masih saja jago Ce-bu itu dapat membunuh lawan. Siauw-jin terbelalak dan kabur dengan cepat, terbang ke tengah pulau. Dan ketika nenek Naga juga melengking ngeri dan kaget oleh tewasnya Tok-ong maka Hu Beng Kui menggeram mengejar mereka, mendekap perutnya.

"Heh, ke mana kalian lari, iblis-iblis busuk? Mau menyelamatkan diri? Tak bsa, aku akan mengantar kalian ke neraka dan berhentilah!"

Siauw-jin pucat. Geram dan suara Hu Beng Kui yang dekat di belakangnya membuat setan cebol ini gentar. Jago pedang itu hebat bukan main dan mereka ternyata tak boleh merendahkan. Meskipun keracunan tetap saja jago pedang itu lihai. Dan ketika Hu Beng Kui mengejar dan nenek Naga melengking ketakutan maka dua orang itu sama-sama terbang ke tengah pulau, memanggil See-ong.

"See-ong, tolong. Bantu kami!"

Nenek Naga dan Siauw-jin berlomba. Mereka berkelebat saling mendahului untuk menghindari lawannya itu, Hu-taihiap menggeram-geram dan melepas pukulan, sayang kurang bertenaga dan tak sampai. Padahal biasanya dalam jarak sepuluh tombak saja dia akan sanggup merobohkan lawan. Dan ketıka dua orang itu berteriak-teriak dan tiga bayangan berkelebat dari kiri kanan mendadak Toa-ci dan Ji-moi serta Cam-kong muncul.

"Ada apa? Kenapa?"

"Ah, Hu Beng Kui datang, Cam-kong. Bantu dan lindungi kami!"

"Mana dia?"

"Di belakang, lihat...!" dan Cam-kong yang mendengar geraman menggetarkan tiba-tiba melihat jago pedang itu.

"Hei!" serunya. "Mana Tok-ong?"

"Mampus!" Siauw-jin berteriak. "Tok-ong tewas dibunuh olehnya, Cam-kong. Lekas panggil See-ong atau kau bantu kami!"

Cam-kong tertegun. Berita ini jelas mengejutkan iblis tinggi kurus itu, Cam-kong terbelalak dan tentu saja marah. Dan ketika Hu Beng Kui tiba dan menggeram padanya mendadak iblis ini lenyap berkelebat mempergunakan ilmu hitamnya. "Hu-taihiap, kau manusia jahanam!"

Namun jago pedang itu mendengus. Melihat Cam-kong lenyap mempergunakan ilmu hitam mendadak dia membentak, tangan bergerak ke kiri dan bertemulah lengannya dengan segulung asap hitam. Dan ketika bunyi menggelegar terdengar di situ dan asap hitam ini terpental tinggi maka Cam-kong berteriak karena dia terbanting, kembali ujudnya seperti biasa dan Hu Beng Kui mengejar. Kakek ini menghantam dan ganti Cam-kong menangkis. Namun karena pukulan itu adalah pukulan Bola Sakti dan tangkisannya membalik mengenai diri sendiri maka iblis ini menjerit ketika terlempar lagi.

"Dess!" Hu Beng Kui nyalang matanya. Cam-kong sudah dibuat jatuh bangun namun Toa-ci dan Ji-moi menyambar. Dua nenek kakak beradik itu berteriak pada Siauw-jin agar mereka kembali, mengeroyok jago pedang ini. Dan ketika Toa-ci serta Ji-moi melepas pukulan dari kiri kanan maka Hu Beng Kui tergetar namun dua nenek itu mencelat.

"Heh, kubasmi kalian, manusia-manusia iblis. Tak akan kuampuni kalian dan semua akan kuantar ke akherat!"

"Keparat!" nenek Toa-ci berjungkir balik. "Bantu kami, Siauw-jin. Panggil See-ong kalau kita berlima tak dapat mengalahkannya!"

'Benar!" Cam-kong berseru, juga menambahi. "Jangan lari dulu, Siauw-jin. Bantu kami dan keroyok si buntung ini!" dan karena hal itu dapat diterima dan Siauw-jin berhenti maka iblis cebol itu tertegun dan nenek Naga juga mengangguk, merasa sependapat dan betapapun jago pedang itu sudah terluka. Obat penghancur usus pasti bekerja dan akan mengganggu dari dalam, terbukti berkali-kali jago Ce-bu itu meringis, tanda menahan sakit dan tentu konsentrasinya buyar.

Mereka sekarang berlima dan tak usah takut. Maka membentak dan menyuruh temannya maju tiba-tiba nenek ini berkelebat menghantam lawan, disusul oleh yang lain-lain dan Siauw-jin mengikuti. Kakek cebol ini bangkit keberaniannya dan menyerang lagi. Dan ketika lima orang itu bergerak silih berganti dan serangan demi serangan dilancarkan ke tubuh lawannya maka Hu Beng Kui menerima beberapa pukulan atau pun hantaman.

"Plak-buk-bukk!"

Namun semua mental. Berkat Khi-bal-sin-kang dan tubuhnya yang kuat ternyata Hu Beng Kui tak apa-apa, jago pedang itu hanya tergetar dan pukulan lawan justeru membalik, terpental oleh Khi-bal-sin-kang yang dimiliki jago pedang ini. Dan ketika lima orang itu berteriak karena semakin kuat mereka menyerang semakin kuat pula daya tolak yang menghantam tubuh sendiri maka jago pedang itu bergerak dan keluarlah ilmunya Bayangan Seribu Dewa itu.

"Awas, semua menjauh....!"

Cam-kong dan teman-temannya mengerti. Mereka hapal dan tahu kedahsyatan ilmu luar biasa ini. Jing-sian-eng bekerja dan Hu Beng Kui lenyap membagi-bagi pukulan. Cam-kong berteriak dan empat temannya mengeluh. Untung, tenaga Hu Beng Kui tak sedahsyat biasanya karena terganggu oleh rasa sakit di perut. Tapi ketika mereka tunggang-langgang dan jago pedang itu tetap menguasai keadaan maka Siauw-jin memutar tubuhnya dan lagi-lagi meninggalkan kawan-kawannya.

"Mundur, kita lari saja. Panggil See-ong!"

Cam-kong pucat. Kalau Hu Beng Kui masih sehebat ini memang tak ada jalan lain kecuali meminta bantuan See-ong. Siauw-jin lari sipat-kuping dan mendahului teman-lemannya, apa boleh buat dia pun memutar tubuhnya dan berkelebat menjauhi pendekar pedang itu. Dan ketika Toa-ci serta yang lain juga berseru keras dan memutar tubuhnya maka Hu Beng Kui membentak mengejar mereka.

"Keparat, berhenti, manusia-manusia busuk. Berhenti kalian!"

Siauw-jin dan lain-lain panik. Hu-taihiap menggeram dan mengejar mereka, melepas pukulan namun mereka mengelak, semua berteriak-teriak dan larilah mereka ke tengah pulau. Dan ketika jago pedang itu menggeram-geram dan mereka berlima memanggil See-ong maka Siang Le berkelebat dan muncul di situ.

"Siapa ini? Ada apa?"

"Minggir!" Siauw-jin berseru. "Dia Hu-taihiap, Siang Le. Panggil dan datangkan gurumu!"

"Ah, Hu-taihiap?"

"Benar, dan jangan banyak cakap lagi!" dan Siauw-jin yang membentak menyuruh pemuda itu minggir tiba-tiba mendorong dan menyelinap di samping pemuda ini, meneruskan larinya dan berturut-turut empat yang lain berkelebat pula.

Siang Le tertegun namun dia tidak pergi, bahkan menunggu dan terbelalaklah dia melihat jago pedang yang kesohor ini, bengcu yang kini melotot matanya dan merah seperti saga. Dan ketika Hu-taihiap juga tertegun tapi tidak mengenal pemuda itu tiba-tiba dia membentak dan mengayun lengannya, teringat Togura.

"Enyah kau.... dess!"

Siang Le terbanting. Pemuda ini berseru keras dan melempar tubuh bergulingan, pukulan Hu-taihiap mengenai pundaknya namun Siang Le dapat bertahan, mengerahkan sinkang dan sesungguhnya pukulan Hu Beng Kui sudah lemah. Dan ketika pemuda itu bangun namun Hu-taihiap mengejar kelima lawannya mendadak pemuda ini membentak dan mencegat jago pedang itu, melepas pukulan namun Hu Beng Kui mengibas, Siang Le selamanya belum pernah berhadapan dengan jago tua ini, tak mengenal Khi-bal-sin-kangnya dan otomatis berteriak ketika pukulannya membalik.

Dan ketika pendekar pedang itu menggeram padanya dan terpaksa berhenti maka pemuda ini dikejar dan menjadi sasaran, bak-bik-buk mendapat pukulan dan Siang Le berteriak mengaduh. Dalam beberapa gebrakan saja dia tunggang-langgang, mengerahkan Sin-re-ciangnya namun lawan mendengus. Dan ketika jari-jarinya yang mulur bahkan ditangkap dan dicengkeram tiba-tiba pemuda itu menjerit serasa dijepit baja panas.

"Aduh.....!"

Hu-taihiap membanting pemuda itu. Dalam kemarahan dan kekalapannya jago pedang ini membentak, mengerahkan tenaga dan pemuda itu diangkat lalu dihantamkan ke tanah. Tapi, ketika Siang Le dapat berdiri dan terhuyung meloncat bangun maka jago pedang ini terbelalak juga melihat ada pemuda sehebat itu, setelah Togura.

"Siapa kau?" bentaknya. "Mana cucuku Thai Liong dan Soat Eng?"

"Aduh...." Siang Le masih kesakitan. "Kau hebat, Hu-taihiap. Tapi kau tak dapat menolong kedua cucumu..."

"Keparat! Kenapa? Kau tahu di mana mereka?"

"Aih, sabar, Hu-taihiap. Jangan menyerang dan dengarkan, kataku!" namun Hu-taihiap yang menggeram, melepas pukulannya lagi tiba-tiba mencengkeram dan melempar pemuda itu, berkelebat dan mengejar lagi Siauw-jin dan keempat kawannya.

Terhadap Siang Le jago tua ini tak seberapa perduli, dia melihat pemuda itu meskipun hebat namun sorot matanya lebih baik daripada Togura atau kelima Iblis Dunia itu, jadi dia mengejar lagi Siauw-jin dan kawan-kawannya itu, juga Togura pemuda yang telah meracuni perutnya! Namun ketika Siang Le menghadang dan berkelebat di depannya mendadak pemuda itu mengganggu lagi dengan pukulan di belakang pundaknya.

"Hu-taihiap, tunggu. Jangan ke tengah pulau....bress!"

Hu Beng Kui membalik, menampar pemuda itu dan Siang Le terbanting, menjerit dan berteriak dan terbang lagilah jago pedang itu mengejar lawan-lawannya. Tapi ketika dia tiba di tengah pulau dan terengah serta memburu napasnya mendadak berkelebat sesosok bayangan tinggi besar dan tergetarlah pulau oleh tawa yang bergelak.

"Ha-ha, selamat datang, Hu-taihiap. Tahan pukulan-pukulanmu dan berhenti.... dess!"

Hu-taihiap terguncang, mencelat ke belakang tapi lawan juga terpental. Tadi sepasang lengan yang kokoh menahan pukulannya dan jago pedang itu mendelik, mengerahkan Khi-bal-sin-kang tapi lawan tiba-tiba lenyap, entah ke mana. Dan ketika dia terhuyung dan berdiri dengan tegak tahu-tahu lawannya itu muncul lagi di sebelah kanan, seperti siluman.

"Hebat, kau luar biasa, Hu-taihiap. Selamat datang di Sam-liong-to!"

"Kau siapa?" Hu Beng Kui membentak, "See-ong?"

"Benar, aku See-ong, Hu-taihiap. Dan kau gagah sekali, ah!" dan See-ong yang kagum memandang lawannya tiba-tiba tertawa. "Hu-taihiap, bagus sekali kau memenuhi undanganku. Tapi kau tampaknya tak sehat. Sakit?"

"Keparat, tak usah berbasa-basi, See-ong. Aku datang untuk mengambil cucuku. Hayoh, mana Thai Liong dan Soat Eng!"

"Tunggu!" See-ong berseru. "Aku mengundangmu memang untuk bertempur, orang she Hu. Tapi mana mantumu dan isterinya? Apakah kalian tidak datang bersama?"

"Kau mengundang mantuku pula?"

"Benar. Toa-ci dan Ji-moi kusuruh memberi tahu, Hu-taihiap. Dan aku mengharap kalian datang bertiga. Aku ingin merobohkan kalian!"

"Keparat, merobohkan aku saja belum tentu kau bisa, See-ong. Tak usah banyak cakap dan serahkan cucuku!" dan Hu-taihiap yang berkelebat membentak ke depan tiba-tiba menghantam dan menyerang See-ong, menggerakkan lengannya dan pukulan Khi-bal-sin-kang dilepas. Angin yang dahsyat menderu menyambar kakek ini. Tapi begitu See-ong menangkis dan mengerahkan tenaganya maka jago pedang itu terpental.

"Blarr!"

Si jago pedang terkejut. See-ong tiba-tiba lenyap dan berobah ujudnya, membentuk asap putih dan asap ini melayang-layang di udara. Dan ketika dia terbelalak dan lawan terbahak tiba-tiba See-ong muncul lagi dan berseru,

"Heh, hebat kau, Hu-taihiap. Tentu itu Khi-bal-sin-kang. Tapi kenapa tenagamu hilang di tengah jalan? Kenapa kau mendekap perutmu?"

"Dia keracunan!" Siauw-jin terkekeh, maju berkelebat. "Hu Beng Kui ini menelan pil pahit, See-ong. Dia menelan obat penghancur usus!"

"Apa?" See-ong berkerut kening. "Obat penghancur usus? Bukankah itu milik kalian?"

"Benar, dan muridku inilah yang melakukannya, See-ong. Orang she Hu itu terlalu bodoh dan akan mati tanpa diserang!"

"Keparat!" See-ong tiba-tiba marah, "Kau yang melakukannya, anak muda?"

Togura terkejut. Dia mengangguk tapi See-ong tiba-tiba berkelebat, menyambar dan mencengkeram tengkuknya. Dan ketika dia menjerit dan mengaduh kesakitan maka See-ong membantingnya dan pemuda itu berteriak, terguling-guling.

Siauw-jin dan empat temannya terkejut. "Kenapa, See-ong? Kenapa kau menghajar muridku?"

"Terkutuk!" See-ong memaki. "Ini merendahkan diriku, Siauw-jin. Kemenanganku tak sepenuh hati karena kecurangan ini. Siapa suruh muridmu itu meracuni Hu-taihiap? Siapa suruh aku memperoleh kemenangan dengan cara begini?"

Siauw-jin tertegun. Yang lain juga terkejut dan Hu Beng Kui sendiri tertegun, jago pedang itu memandang Togura dan dilahapnya pemuda itu dengan pandangan beringas. Mata berapi-api dan mau rasanya pemuda itu ditelannya, bulat dan tidak dikunyah lagi. Tapi mendengar See-ong bicara tentang kemenangan dan agaknya tanpa diracuni pun dia akan kalah maka Hu Beng Kui menggeram dan melotot maju.

"See-ong!" bentaknya. "Jangan sombong dan bicara takabur. Biar pun aku terluka kau tak dapat mengalahkan aku. Heh, majulah, setan busuk. Dan boleh mereka mengeroyokku!"

"Tidak," See-ong menggeleng. "Kau harus minum obat dulu, Hu Beng Kui. Biarlah pulihkan kekuatanmu dan terima obat ini!" See-ong melempar sebotol obat, sungguh-sungguh namun si jago pedang justeru terhina.

Hu Beng Kui terang tak percaya pemberian tulus itu, membentak dan langsung menampar hancur botol obat yang dilempar ke arahnya. Dan ketika See-ong tertegun dan merah mukanya maka Hu Beng Kui menggigil berkata, "See-ong, tak perlu menipu aku si tua bangka. Belum pernah selamanya iblis-iblis macam kalian melepas budi kepada orang lain. Nah, lebih baik kau maju dan mari bertempur!"

"Nanti dulu!" See-ong meloncat, mundur menjauhkan diri. "Aku menantangmu bukan dalam keadaan begini, Hu-taihiap. Aku ingin kau sehat dan kalah secara sempurna. Kau sebaiknya pulang dulu dan obati lukamu!"

"Apa, pulang? Kau menghina aku? Keparat, pantang pulang bagiku sebelum membasmi kalian, See-ong. Dan biar aku mati kalau sudah dikehendaki... wut!" dan Hu Beng Kui yang marah bukan main tiba-tiba menyambar dan berkelebat menghantam lawannya ini, tak perduli pada racun di perut dan sebisanya dia menahan. See-ong terkejut mengerutkan kening. Tapi melihat datangnya pukulan tiba-tiba kakek ini mengejek dan menangkis.

"Dukk!" Hu Beng Kui terpental. See-ong sendiri terpental namun sudah menghilang, secepat kilat kakek iblis itu mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan lenyaplah dia dari hadapan lawan. Dan ketika Hu-taihiap terguncang dan kaget oleh kesaktian lawan tiba-tiba See-ong muncul lagi dan berkata,

"Orang she Hu, tak perlu bersikeras. Kau tak dapat menang dan sebaiknya kembali. Pulihkan kesehatanmu atau kau mati di sini."

"Wut!" Hu Beng Kui menerjang lagi. "Lebih baik mati di sini daripada pulang, iblis busuk. Kubunuh kau dan jangan banyak bicara lagi!" dan si jago pedang yang marah menyerang lawan lalu bertubi-tubi menampar dan memukul, melepas Khi-bal-sin-kang dan See-ong mengelak.

Kakek tinggi besar ini berlompatan namun si jago pedang beringas, mendesak dan mempercepat gerakannya hingga terpaksa ia menangkis. Dan ketika dua pukulan beradu dan Hu Beng Kui terpental sementara lawan terdorong dan lenyap entah ke mana maka jago pedang itu terbelalak karena ilmu aneh yang ditunjukkan See-ong ini lain daripada yang lain, tak mengenal Hek-kwi-sut dan See-ong tertawa mengejek.

Hu Beng Kui mengerahkan Jing-sian-eng dan tiba-tiba lenyap pulalah jago pedang itu, See-ong terkejut berseru tertahan. Dan ketika dia mempergunakan Hek-kwi-sut namun lawan beterbangan mengelilingi tubuhnya maka kakek tinggi besar itu berseru keras memuji kagum.

"Hebat! Aih, luar biasa. Ini tentu Jing-sian-eng!"

Hu Beng Kui malah terkejut. Lawan yang dapat berobah menjadi roh halus dan mampu mengelak atau mengimbangi Jing-sian-engnya baru kali ini dilihat. Dia mempercepat gerakannya namun See-ong tertiup sebelum disentuh. Pukulan atau tamparannya bahkan mendorong kakek itu semakin jauh, tentu saja tak dapat dipukul! Dan ketika Hu Beng Kui terbelalak dan terkejut bukan main maka See-ong terbahak-bahak di balik ilmunya yang sakti itu.

"Ha-ha, kuperkenalkan padamu, Hu-taihiap. Inilah Hek-kwi-sut!"

"Hek-kwi-sut (Lebur Bersama Iblis)? Keparat, kau benar-benar iblis, See-ong. Pantas kalau begitu!" dan Hu Beng Kui yang menggeram menyerang lawan akhirnya melengking dan berkelebatan semakin cepat, sudah tak dapat diikuti lagi.

Dan Siauw-jin serta kawan-kawannya kabur. Terhadap Jing-sian-eng mereka memang harus mengakui kalah. Bayangan Seribu Dewa itu akan melenyapkan tubuh si jago pedang, ginkang atau ilmu meringankan tubuh apapun tak ada yang dapat menandingi di dunia ini. Tapi begitu See-ong mampu mengimbangi dan Hek-kwi-sut yang dipakai kakek tinggi besar itu sama cepat dengan Jing-sian-eng maka Siauw-jin mendecak dan kawan-kawannya yang lain juga terkagum-kagum.

"Hebat, ini pertandingan dua jago yang sama lihai. See-ong mengagumkan namun Hu-taihiap juga luar biasa!"

"Ya, dan jago pedang itu kuat benar, Siauw-jin. Seharusnya racun itu bekerja dan sudah membunuhnya!"

"Mungkin dia menahannya. Tapi Hu Beng Kui tak akan lama, Toa-ci. Kecepatan geraknya pasti berkurang!"

"Benar, lihat itu!"

Dan ketika benar saja gerakan Hu Beng Kui mengendor dan jago pedang itu menyeringai mendekap perut maka Jing-sian-eng surut dan jago tua ini terhuyung-huyung, lemah gerakannya dan See-ong muncul kembali. Kakek tinggi besar itu tertawa bergelak dan menyuruh lawannya mundur, menyerah atau pulang dulu. Tapi ketika Hu Beng Kui menggeram dan membentak maju tiba-tiba pukulannya menyambar dan Khi-bal-sin-kang dilepas.

"Dess!" Hu Beng Kui jatuh terbanting. Pukulan Bola Sakti yang biasanya mementalkan lawan mendadak berobah, See-ong menerimanya dengan tenaga lemas dan jago pedang itu terkejut, hilang pukulannya dan otomatis dia tertarik. Dan ketika See-ong mendorong dan balas memukul pundaknya tiba-tiba jago pedang ini mengeluh dan terlempar.

"Ha-ha, lihat, Hu Beng Kui. Kau kehilangan tenaga dan lemah. Sebaiknya kembali atau kau menyerah!"

"Keparat! Menyerah padamu, See-ong? Lebih baik aku mampus dan mati di sini.... wut!" dan si jago pedang yang bangkit berdiri dan menyerang lagi tiba-tiba membentak namun mendesis kesakitan, perut didekap dan saat itu racun bekerja kembali. Hu Beng Kui merasa usus kecilnya rantas, mengeluh namun nekat menyerang.

Dan ketika See-ong mengelak dan dia terhuyung maka See-ong marah menghantam tengkuknya, roboh namun jago pedang ini bangkit kembaili, menyerang. Gagah jago pedang itu, lawan memuji dan terpaksa berkelit. Dan ketika Khi-bal-sin-kang kembali menyambar namun pukulan sudah habis seperti pelita kehabisan minyak maka kakek tinggi besar itu berkata,

"Baiklah, kau minta mati, Hu Beng Kui. Jangan salahkan aku di neraka...dess!" dan See-ong yang mendaratkan pukulan di dada jago pedang itu tiba-tiba mengerahkan tenaganya dan terjengkanglah jago Ce-bu itu roboh ke tanah, melontakkan darah segar dan Hu Beng Kui tidak bergerak-gerak lagi, tersungkur, tewas karena saat itu juga usus di dalam perutnya hancur, rantas dan putus akibat racun yang diberikan Togura. Dan begitu jago pedang itu roboh dan tidak bergerak- gerak lagi maka Siauw-jin bersorak sementara empat temannya yang lain juga terkekeh senang.

"Baiklah, kau minta mati, Hu Beng Kui. Jangan salahkan aku di neraka.... dess!"

"Hi-hik, kau menang, See-ong. Mampus si sombong ini!"

"Benar, dan terbalaskan sakit hati ini, See-ong. Bagus!"

Namun See-ong yang berkerut kening dan tiba-tiba membalik mendadak membentak lima orang itu. "Diam!" katanya. "Aku tak puas dengan kemenangan ini, Toa-ci. Kalian memalukan dan merendahkan aku. Muridmu itu jahanam terkutuk!"

"Maaf," Siauw-jin menyeringai. "Muridku salah, See-ong. Tapi betapapun kemenangan telah kau peroleh...."

"Dengan cara begini curang?" kakek itu membentak. "Bedebah kau, Siauw-jin. Kau selalu membela muridmu dan memalukan aku... dess!"

Dan Siauw-jin yang ditendang mencelat akhirnya terpekik dan kaget berjungkir balik, mau bicara tapi tak jadi diserukan. See-ong betul-betul marah dan kini kakek itu uring-uringan pada yang lain. Dan ketika Toa-ci dan tiga temannya juga didupak dan disuruh pergi maka Togura mendapat tamparan dan langsung pingsan.

"Pergi kalian. Semua pergi! Jaga pulau ini dan tunggu Kim-mou-eng!" dan marah serta memandang muridnya kakek itu berkata, "Siang Le, bawa mayat ini dan kubur di dalam Istana Hantu. Tunjukkan pada dua bocah itu bahwa aku telah mengalahkan Hu-taihiap!"

Siang Le tertegun.

"Kau tidak segera pergi?"

"Maaf." Siang Le terkejut. "Mayat ini memang akan kukubur, suhu. Tapi sebaiknya tak usah memteri tahu dua orang muda itu. Mereka hanya akan membenci kita saja."

"Eh, kau membantah? Kalau begitu kau pun pergilah, biar mayat ini kubuang ke laut...dess!" dan See-ong yang menggerakkan kaki menendang mayat jago pedang itu tiba-tiba membentak muridnya agar pergi. Mayat Hu Beng Kui tercebur di laut dan langsung diterima ombak. Dan ketika mayat itu timbul tenggelam dan Siang Le terkejut maka pemuda ini pucat berkelebat pergi.

"Suhu, kau terlalu. Biarlah dosa dan semua perbuatanmu kau tanggung sendiri!

See-ong mendelik. Dia mau menampar tapi muridnya lenyap di tengah pulau, uring-uringan karena sebenarnya dia tak puas dengan kemenangannya itu. Hu Beng Kui kalah karena sebelumnya sudah terluka. Maka begitu menggeram dan memaki muridnya kakek iblis ini pun berkelebat dan lenyap pula meninggalkan tempat itu.

* * * * * * * *

"Bagaimana, isteriku? Seriuskah undangan itu?"

"Hm, kurasa serius, suamiku, dan kita harus ke Sam-liong-to! Tapi kita selidiki dulu kebenaran dua nenek itu. Bisa jadi mereka membohongi kita dan Thai Liong serta Soat Eng tak ada di sana!"

Dua suami isteri, yang duduk-duduk di sebuah taman luas tampak bercakap-cakap. Mereka adalah seorang laki-laki gagah dengan seorang wanita cantik, usianya sekitar empat puluhan tahun dan baik yang pria maupun yang wanita tampak memiliki mata yang sama-sama tajam. Yang lelaki rambutnya keemasan sedang yang perempuan masih hitam disanggul tinggi, gagah dan cantik dan mudah diduga keduanya bukanlah orang-orang sembarangan. Dan ketika yang wanita tampak menggeleng dan menutup pembicaraan tiba-tiba yang pria, yang bukan lain Pendekar Rambut Emas adanya, bangkit berdiri.

"Hm, apa maksudmu, isteriku? Apa yang kau artikan dengan Soat Eng dan Thai Liong tak ada di Sam-liong-to?"

"Jelas, mereka bisa saja ke tempat lain, suamiku. Misalnya saja ke Ce-bu ke tempat kakeknya. Bukankah sudah lama kita tak bertemu ayah? Dan semalam aku bermimpi, dan aku takut dengan mimpiku itu!"

"Eh, mimpi apa?"

"Ayah hanyut di sungai, tenggelam!"

Si pria, Pendekar Rambut Emas tertegun. Mimpi macam begitu biasanya diartikan sebagai sebuah bencana. Kematian! Namun tersenyum dan tertawa kecil tiba-tiba pendekar ini merangkul bahu isterinya. "Ah, kau seperti anak kemarin sore saja. Mimpi begitu bisa saja menjadi kembang tidur, isteriku. Tak perlu takut kalau bukan firasat murni."

"Tidak! Di samping itu aku masih kejatuhan cecak, suamiku. Tadi sewaktu mandi seekor cecak menimpa kepalaku. Aku takut! Aku khawatir...."

"Ha-ha, puteri si jago pedang Hu Beng Kui takut kepada segala macam mimpi dan tanda-tanda kosong? Eh, mana keberanianmu, isteriku? Bangkit dan pandanglah, lihat segala sesuatu tanpa pengaruh mimpi atau khayal pribadi. Ikut aku dan kita ke dalam!" Pendekar Rambut Emas menarik isterinya, terkejut karena si isteri menolak, tak mau ditarik dan tiba-tiba wajah yang cantik itu memerah. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan bertanya kenapa isterinya seperti itu tiba-tiba isterinya ini menangis.

"Suamiku, aku betul-betul takut, khawatir. Semalam rasanya ayah menemui aku dan minta sesuatu yang aneh...!"

"Apa yang diminta?"

"Perutku, kandunganku...."

"Heh?" Pendekar Rambut Emas terkejut. "Perutmu. Kandunganmu? Apa maksudmu, isteriku? Bagaimana kau buat aku bingung begini?"

"Entahlah, aku juga tak mengerti suamiku. Tapi seminggu ini aku.... aku terlambat..."

"Terlambat apa? Apa maksudmu?"

Swat Lian, wanita cantik ini tiba-tiba merah mukanya. Ditanya dan ditatap suaminya seperti itu mendadak wanita ini semburat. Perasaan malu dan jengah tiba-tiba timbul, sang suami tak dibalas dan tiba-tiba dia menubruk, terisak dan menangis di situ. Dan ketika suaminya tertegun dan mengusap-usap rambutnya maka wanita ini terbata bicara, kepala disembunyikan di dada sang suami, "Aku... aku rasa hamil lagi, Kim-ko. Kita akan punya anak!"

"Apa?"

"Benar! Aku.... aku hamil muda, suamiku. Dan seminggu ini aku tak seperti biasanya!"

"Ha-ha!" Kim-mou-eng tiba-tiba malah tertawa bergelak. "Kalau begitu kebetulan, isteriku. Tambah anak tambah rejeki!"

"Hush!" sang isteri menarik tubuhnya. "Kau tak malu, suamiku? Kau tak mencela kejadian ini?"

"Eh, kenapa mencela? Untuk apa malu?"

"Ah, aku hampir empat puluh tahun, suamiku. Dan anak kita Soat Eng sudah besar. Apa kata anak-anak kalau aku hamil lagi?"

"Ha-ha, itu urusan kita, isteriku. Soat Eng maupun Thai Liong tak akan menyalahkan kita. Malah kebetulan, Soat Eng ingin punya adik!"

"Apa?"

"Benar, puteri kita itu merindukan seorang adik, isteriku. Dia menginginkan adik laki-laki. Dan kebetulan sekali kau hamil!" dan Pendekar Rambut Emas yang memeluk serta menciumi isterinya tiba-tiba terbahak dan tampak gembira bukan main, tidak mencela malah memuji.

Swat Lian tertegun namun mengeluh, akhirnya membiarkan suami menciumi dan wanita itu pun bahagia. Tapi teringat mimpinya tadi dan betapa ayahnya minta sesuatu yang aneh mendadak dia mendorong suaminya berkata perlahan, "Nanti dulu, tunggu!" dan merah memandang suaminya itu wanita cantik ini mengingatkan, "Ingat, aku masih terpengaruh mimpiku, suamiku. Aku agak terganggu oleh bayangan ayah!"

"Hm...!" Kim-mou-eng menarik napas, mencium kening isterinya. "Kalau begitu apa yang kau maui, isteriku? Apakah perlu kita ke Ce-bu?"

"Benar, aku ingin menengok ayah, suamiku. Dua tahun ini kita tak berkunjung!"

"Baiklah, aku setuju. Tapi berita ini ingin kurayakan!"

"Kau mau apa?"

"Ha-ha, memanggang kelinci utuh, isteriku. Memasaknya di depanmu seperti dulu kita berbulan madu!"

"Ih....!" dan sang isteri yang melirik genit tiba-tiba disambar dan dipeluk suaminya, terbahak dan untuk sejenak masalah mimpi itu dapat dilupakan. Swat Lian terlena dan mabok dalam pelukan suaminya. Begitulah mereka selama ini, saling mencinta dan masih tetap mencinta.

Dan ketika Kim-mou-eng membawa isterinya ke kamar dan di situ pendekar ini menumpahkan segala rindu dan cintanya maka sang isteri terlena dan bahagia dalam pelukan suami, telah mendapatkan janji bahwa besok mereka ke Ce-bu. Hari itu suaminya ingin bersenang-senang dulu menyambut berita kehamilan ini, memanggang kelinci utuh dan kegembiraan mereka bangkit lagi seperti dua puluhan tahun yang lalu, yakni ketika mereka berbulan madu dan menikmati kelinci panggang di hutan, asyik dan berdua dan tak ada orang yang mengganggu. Dan ketika sehari itu Pendekar Rambut Emas memanja isterinya dan Swat Lian ternina bobok maka malamnya mereka bercumbu dan bercinta lagi.

"Ih, seperti anak muda saja," sang isteri mengomel, tertawa. "Bukankah siang tadi cukup, suamiku? Masa minta tambah?"

"Ah, aku lagi bahagia mendengar kehamilanmu, isteriku. Entahlah kenapa aku begini bergairah!" Kim-mou-eng tertawa, merangkul isterinya itu dan untuk kedua kali mengajak bercinta. Kiranya pendekar ini lagi in dan sedang hangat-hangatnya, didorong kegembiraan dan kebahagiaannya mendengar berita isterinya itu. Dan ketika semalam mereka memuaskan diri dan keesokannya mandi dengan segar maka suami isteri itu berangkat ke selatan, ke Ce-bu.

"Kami hendak ke selatan, jaga baik-baik tempat ini."

Pendekar Rambut Emas itu meninggalkan pesan. Bangsa Tar tar memaug sudah biasa ditinggalkan pemimpinnya itu, yang diwakili mengangguk dan berkelebatlah suami isteri itu meninggalkan padang rumput. Dan ketika mereka bergerak dan melakukan perjalanan panjang maka Swat Lian teringat masa-masa manis mereka, sering berhenti di satu dua tempat dan sang suami mengikuti. Urusan Thai Liong maupun Soat Eng tak begitu mengkhawatirkan mereka, anak-anak itu sudah dapat menjaga diri sendiri dan kepandaian mereka lebih dari cukup.

Dan ketika hari ketiga mereka baru tiba di Ce-bu mendadak mereka dibuat terkejut oleh lolong uwak Lu, yang datang-datang langsung menjerit. "Aduh, celaka, Kim-taihiap... celaka! Aku ditipu....!"

"Eh, ada apa?"

"Celaka, aku.. ah, aku tertipu, hujin (nyonya). Seseorang datang ke sini dan menipu aku. Ayahmu tentu marah-marah!" dan uwak Lu yang tersedu menjatuhkan diri berlutut lalu mengguguk dan meratap di bawah kaki Swat Lian, tadi melolong kepada Pendekar Rambut Emas tapi sekarang menangis di depan Swat Lian.

Tentu saja suami isteri itu heran dan tertegun. Swat Lian tak melihat bayangan ayahnya di situ dan wanita ini berdebar, memberi isyarat pada suaminya dan Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berkelebat, masuk dan menyelidiki isi rumah. Tapi ketika pendekar itu tak melihat Hu Beng Kui dan mertuanya entah ke mana maka dia menggeleng dan kembali lagi ke situ.

"Gak-hu (ayah mertua) tak ada. Rumah ini sepi!"

Swat Lian memandang uwak Lu, membangunkannya. "Ke mana ayah? Tak ada di rumah?"

"Tidak, dan... ah, celaka, hujin. Justeru karena ayahmu tak ada maka seorang pemuda menipu aku!"

"Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa tertipu?"

"Aku... aku..."

"Kita masuk ke dalam," Kim-mou-eng tiba-tiba berkata, menarik lengan uwak itu. "Kau ceritakan kepada kami di dalam saja, uwak Lu. Jangan menangis di sini menarik perhatian orang!" dan menyambar uwak itu masuk ke dalam segera Swat Lian mengikuti, berkelebat dan suami isteri gagah itu telah memasuki tempat tinggal Hu Beng Kui. Swat Lian melihat rumah ini masih bersih dan terawat, tanda uwak itu menjaga tempat tinggal ayahnya dengan baik. Dan ketika mereka duduk dan suaminya menyuruh uwak itu bercerita maka uwak ini memukul-mukul kepalanya sendiri.

"Aku bodoh... aku menyesal! Ah, aku takut kemarahan ayahmu, hujin. Aku takut dibunuh!"

"Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis melulu? Sudahlah, tahan kesedihanmu, uwak Lu. Ceritakan yang baik dan hapus air matamu!"

"Tidak, aku... ah!" dan uwak ini yang menangis lagi tiba-tiba menggerung dan memukul-mukuli kepalanya, pucat dan gemetar dan akhirnya Pendekar Rambut Emas menenangkan wanita tua ini.

Dengan tepukan halus di punggung Pendekar Rambut Emas itu menghibur uwak Lu, berkata bahwa dia dapat menolong dari kemarahan ayah mertuanya. Dan ketika wanita itu bersinar-sinar dan menggigil memandang Pendekar Rambut Emas maka dengan penuh harap dia gemetar bertanya,

"Taihiap betul-betul dapat menolongku? Taihiap dapat melindungi aku dari kemarahan loya (majikan tua)?"

"Tentu, dan ada isteriku di sini, uwak. Tak perlu kau khawatir karena kesalahanmu tentu tidak disengaja."

"Benar! Memang tak kusengaja, taihiap. Dan pemuda itu, ah.... dia lihai namun jahat!"

"Siapa dia?" Swat Lian bertanya. "Kenapa kau selalu menyebut-nyebut pemuda ini? Lekaslah bercerita, uwak Lu. Dan katakan ke mana ayah pergi!"

"Hu-taihiap ke Sam-liong-to..."

"Apa?"

"Benar, loya ke Sam-liong-to, hujin. Entah ada apa dan aku sudah menasihatinya untuk ke tempat kalian dulu. Apakah tidak ke sana?"

"Tidak, kalau ke sana tentu kami tak akan ke sini!"

"Hm, apa yang terjadi?" Kim-mou-eng mengambil alih percakapan. "Kenapa belum kau ceritakan kepada kami kejadian di sini, uwak Lu? Apa yang menyebabkan kau menangis dan tampat ketakutan?"

Uwak itu tiba-tiba menangis lagi. "Cermin Naga, taihiap... masalah Cermin Naga....!"

"Cermin Naga?" Pendekar Rambut Emas terkejut. "Ada apa dengan cermin itu?"

"Hilang, dicuri pemuda jahat itu!"

"Apa? Hilang dicuri orang?"

"Benar, hilang dibawa pemuda itu, taihiap. Dan aku tertipu!" dan uwak Lu yang lagi-lagi menangis sampai mengguguk akhirnya membuat Pendekar Rambut Emas tertegun dan isterinya bangkit berdiri, kaget oleh berita ini dan Swat Lian menggigil. Berita itu hebat. Hilangnya Cermin Naga berarti bahaya!

Dan ketika wanita itu mendorong dan mengangkat bangun wanita ini segera Swat Lian bertanya, menggigil, "Uwak Lu, bagaimana terjadinya? Kapan dan siapa pemuda itu?"

"Inilah celakanya," wanita itu tersedu-sedu. "Aku tak tahu dan tak mengenal pemuda itu, hujin. Dia bangsat keparat yang menipu aku. Jahanam pemuda itu, terkutuk dia!"

Dan wanita ini yang menangis tak dapat menahan marahnya tiba-tiba menubruk dan memeluk kaki Swat Lian, minta agar wanita itu melindunginya dari kemarahan Hu-taihiap. Kelengahannya tak dapat menjaga rumah dianggapnya dosa tak berampun, apalagi menyangkut Cermin Naga, benda yang dulu menghebohkan dunia itu. Dan ketika Swat Lian tertegun dan pucat memandang wanita ini maka Pendekar Rambut Emas menarik napas dan mengangkat bangun wanita itu.

"Uwak Lu, kau tak perlu menyesali diri berlebih-lebihan. Kau ceritakanlah siapa pemuda itu dan biar kami cari. Asal kau dapat memberikan ciri-cirinya tentu kami akan dapat menangkapnya. Bangunlah, dan jangan takut!"

"Taihiap mau menangkap pemuda itu?"

"Kalau kau memberikan data selengkapnya, uwak Lu. Bangun dan ceritakanlah kepada kami."

"Dia pemuda tinggi besar, kulitnya kehitaman!" uwak ini mengingat-ingat, bangkit berdiri dengan tinju terkepal. "Dan dia menipuku habis-habisan, taihiap. Ah, terkutuk pemuda itu!"

"Hm, tak perlu memaki. Kami dapat mencarinya asal kau memberi keterangan, uwak Lu. Coba ceritakan dan tahan emosimu."

Uwak Lu lalu menceritakan. Dia bercerita bahwa tiga hari yang lalu datang seorang pemuda, gagah dan tampan dan sikapnya simpatik. Pemuda ini katanya diutus Hu-taihiap untuk mengambil sesuatu, minta agar uwak itu mengambilkannya. Dan karena Hu-taihiap adalah bengcu dan sering kali murid-murid ketua partai datang dan diutus menemui jago pedang ini maka uwak Lu tak curiga.

Apalagi pemuda itu datang dengan maksud baik-baık, sikapnya ramah, dan wajahnya meskipun kehitaman namun gagah. Uwak ini tak curiga dan bertanya barang apa yang diminta pemuda itu. Dan ketika pemuda itu berkata bahwa yang diminta Hu-taihiap adałah sebungkus bungkusan yang ditaruh di kamar maka uwak ini agak terkejut meskipun heran.

"Bungkusan apa?"

"Entahlah aku diminta menemuimu, uwak Lu. Dan ini surat pengantar Hu-taihiap!" pemuda itu menunjukkan surat pengantar yang dibawa, terdapat tulisan Hu-taihiap dan dibawah terdapat pula cap dari seorang bengcu. Jadi uwak itu percaya dan mengantar pemuda ini ke kamar si jago pedang. Dia mempersilahkan pemuda itu memasuki kamar, bersamanya, tentu saja berhati-hati dan agak berdebar. Maklumlah, tak biasa dia memasuki kamar jago pedang itu dengan seorang asing. Dan ketika uwak itu mencari-cari bungkusan namun tak menemukannya maka pemuda itu memandang ke atas, ke langit-langit kamar.

"Barangkali di situ, uwak Lu. Dapatkah kau memeriksanya?"

"Ah tempat itu tinggi, anak muda. Aku orang tua jelas tak mungkin dapat memanjatnya!"

"Kalau begitu biarkan aku memeriksa," dan si pemuda yang sudah meloncat dan melayang naik tiba-tiba memeriksa langit-langit ruangan, benar saja menemukan sesuatu dan pemuda itu berseru girang. Dia berjungkir balik dan meloncat turun. Dan ketika di tangannya terdapat sebuah bungkusan di mana cepat dia membuka maka uwak Lu terkejut melihat sepasang benda berkilau di tangan pemuda itu.

"Ha-ha, Cermin Naga!" pemuda itu berseru. "Terima kasih, aku berhasil, nenek bodoh. Dan sekarang kau boleh pergi.... dess!"

Uwak Lu ditendang, mencelat dan terlempar dan uwak itu kaget. Dia terpekik mendengar bahwa benda di tangan pemuda itu adalah Cermin Naga, benda yang amat dikeramatkan majikannya! Dan ketika dia mencelat dan terguling-guling ditendang pemuda itu maka pemuda ini berkelebat dan keluar dengan tawa yang aneh, luar biasa girang.

"Ha-ha, aku akan menjadi jagoan, suhu. Aku akan sejajar dengan Pendekar Rambut Emas atau See-ong!"

Uwak Lu memaki-maki. Wanita ini bangkit dan berlari tergesa-gesa, mengejar pemuda itu. Tapi ketika dia tiba di luar dan pemuda itu berkelebat tiba-tiba pemuda ini lenyap dan tertawa-tawa di kejauhan sana, entah di mana. "Begitulah, aku menangis berhari-hari, taihiap. Dan aku takut kemarahan loya!"

"Hm, memang benar," Pendekar Rambut Emas mengangguk. "Tapi kesalahanmu tak mutlak, uwak Lu. Dan aku tentu akan membantumu. Sekarang, ke manakah pemuda itu pergi?"

"Aku tak tahu, taihiap. Tapi dia ke timur!"

"Hm, Sam-liong-to?" sang pendekar menoleh, memandang isterinya. "Bagaimana pendapatmu, isteriku?"

"Mungkin," Swat Lian menggigil, merah padam. "Barangkali pemuda jahat itu ke sana, suamiku. Tapi kenapa dia harus ke sana? Apakah dia tahu akan Sam-liong-to?"

"Entahlah, aku hanya meraba-raba. Tapi betapapun kita harus mencari pemuda itu."

"Benar, dan aku akan membekuknya. Kita hajar pemuda itu dan harus dikembalikannya Cermin Naga!"

"Hujin mau pergi?" uwak Lu tiba-tiba meratap. "Bagaimana kalau aku ikut?"

"Apa?" Swat Lian mengerutkan kening, "Ikut? Untuk apa?"

"Aku... aku takut, hujin. Takut ayahmu marah kalau kau tak ada di sini. Tentu Hu-taihiap akan menghajarku dan membunuhku!"

"Tidak," wanita ini berkata. "Ayah tak akan membunuhmu, uwak Lu. Aku akan memberi sepucuk surat sebagai pelindung!"

"Benar," Kim-mou-eng tiba-tiba teringat. "Dan tunjukkan padaku surat dari pemuda itu, uwak Lu. Barangkali kami akan bisa mendapat petunjuk dari sini!"

Uwak itu tertegun. Sekejap dia membelalakkan mata namun mengangguk, cepat merogoh dan mengambil sepucuk surat dari si pemuda. Dan begitu menyerahkannya dan dibaca Pendekar Rambut Emas tiba-tiba pendekar ini bersinar-sinar dan ganti menyerahkannya kepada isterinya. "Mirip, tapi palsu! Bagaimana keteranganmu, Lian-moi?"

"Hm," Swat Lian membaca, mengamati. "Surat ini bukan tulisan ayah, suamiku. Dan pemuda itu ketahuan belangnya. Huruf 'S'-nya tak seperti ayah. Terlalu kokoh dan kaku!"

"Benar, tapi selintas kemiripannya tak ada beda, isteriku. Dan cap itu pun asli!"

"Ya, cap ini asli. Apa yang terjadi?" Swat Lian bersinar-sinar, mengepal tinju karena cap di surat itu asli. Dia jadi bingung dan khawatir, tak biasa ayahnya itu memberikan cap pada sembarang orang. Dan ketika pertanyaan itu tak dapat dijawab karena mereka memang tak tahu apa yang terjadi maka Pendekar Rambut Emas mengajak isterinya berangkat.

"Nanti dulu!" uwak Lu tergesa-gesa. "Kau belum memberikan suratmu, hujin. Bisa celaka aku nanti!"

Swat Lian teringat. Cepat dia menyambar kertas dan suaminya pun sudah menyodorkan pena, sebatang pit hitam dan wanita itu pun sudah mencorat coret di atas kertas ini. Dan ketika selesai dan menyodorkannya kepada wanita tua ini Swat Lian berkata, "Nah, ini dapat melindungimu dari kemarahan ayah, uwak Lu. Simpan dan jaga baik-baik."

"Dan ji-wi (kalian berdua) tetap berangkat?"

"Tentu, kami akan mencari ayah, uwak Lu. Juga pemuda siluman itu!"

"Ah, hati-hati di jalan, hujin. Semalam aku mimpi tak baik. Kalian... ah, kalian dan loya..."

"Ada apa dengan loya?"

"Banjir! Semalam aku mimpi banjir, hujin. Loya hanyut dan tenggelam!"

"Slap!" Swat Lian terkesiap. Tiba-tiba dia menoleh dan memandang suaminya, muka berubah dan Kim-mou-eng pun tertegun. Mimpi yang dialami uwak Lu hampir mirip dengan mimpi isterinya, yang selama ini sudah membuat gundah. Dan ketika isterinya menjublak dan muka yang cantik itu merah mau menangis tiba-tiba Pendekar Rambut Emas merangkul pundak isterinya.

"Sudahlah, mimpi hanya kembang tidur. Kita berangkat dan jangan hiraukan uwak Lu!" dan berkelebat meninggalkan uwak itu Pendekar Rambut Emas mengajak isterinya pergi, lenyap dan terbang meninggalkan Ce-bu dan wanita tua itu melongo. Untak kesekian kalinya dia dibuat kagum oleh suami isteri yang hebat ini, tadi datang seperti siluman dan sekarang pun seperti siluman.

Tapi begitu sadar dan menjerit tertahan tiba-tiba uwak ini mengejar. "Taihiap, hujin... hati-hati. Awas diperjalanan!"

Kim-mou-eng tersenyum. Dari jauh dia mengucap terima kasih dan menyuruh uwak itu menjaga rumah baik-baik. Dia hendak pergi dan biarlah uwak itu menunggu majikannya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas terbang dan meninggalkan rumah mertuanya maka di sepanjang jalan isterinya menangis. "Eh," Pendekar Rambut Emas menegur. "Ada apa kau ini, isteriku? Kenapa menangis dan mengeluarkan air mata melulu?"

"Aku... aku khawatir akan ayah, suamiku. Aku takut oleh mimpi uwak Lu dan mimpiku sendiri!"

"Ah, mimpi tak dapat dipercaya, isteriku. Kadang-kadang cocok tapi kebanyakan tidak. Seharusnya kau tak terpengaruh mimpi dan bersikap wajar...."

Istana Hantu Jilid 05

ISTANA HANTU
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"HU-TAIHIAP, selamat bertemu. Agaknya kau sakit!"

"Hm, siapa kau?" pendekar ini menegur. "Bagaimana muncul di sini dan tahu-tahu datang seperti siluman?"

"Ah, aku Bigur, taihiap, perantau muda yang kebetulan melihat bayanganmu tadi. Kukejar tapi kalah cepat dan baru sekarang aku dapat menyusulmu."

"Hm, Bigur? Kau seperti pemuda peranakan, bukan Han asli! Di mana tempat tinggalmu?"

"Ah, tajam pandanganmu, taihiap. Aku memang campuran Tar-tar dan Han. Ibuku orang Tiongkok sedang ayahku Tar-tar!"

"Dan tinggalmu?"

"Di bawah langit di atas bumi, taihiap. Aku perantau. Eh, sebaiknya kau jangan banyak bicara karena tubuhmu menggigil!" Bigur, pemuda tampan itu bergerak.

Hu Beng Kui terhuyung dan merasa diserang demam, menggigil dan memang berketrukan ketika dilihat pemuda itu. Tapi ketika pemuda itu mau menolong dan menyentuh pundaknya tiba-tiba jago pedang ini menolak. "Biarkan aku sendiri," katanya. "Aku dapat mengobati diriku, anak muda. Kau menyingkirlah!"

Pemuda itu tertegun. Hu Beng Kui sudah bersila dan mengatur napasnya, naik turun dan segera kedua mata itu pun terpejam. Tapi ketika demam tak juga mereda dan pendekar ini membuka mata tiba-tiba pemuda itu menyodorkan sebutir pil hijau, mendahuluinya. "Telanlah, penawar demam, taihiap. Kau agaknya terserang malaria!"

"Hm, siapa kau berani menolongku seperti ini? Menyingkirlah, anak muda. Aku tak butuh pertolonganmu!" dan Hu Beng Kui yang lagi-lagi menolak dan mengambil obat sendiri lalu mengeluarkan kantong obatnya namun terkejut, melihat isi kantungnya kosong dan tertegunlah pendekar itu dengan muka berobah. Agaknya di tengah jalan tadi tanpa disadarinya obatnya jatuh, entah di mana dan Bigur tersenyum.

Pemuda itu tak tersinggung dan kembali memberikan obatnya. Dan ketika jago pedang itu melotot dan mau membentak tiba-tiba pemuda ini berkata halus, "Hu-taihiap, tak usah mempersoalkan budi. Aku tak melepas pertolongan dan anggap ini obatmu yang hilang di jalan. Kau agaknya terburu-buru dan biarlah aku pergi!" pemuda itu meletakkan obat di depan si jago pedang, membungkuk dan mernbalik dan segera dia memutar tubuhnya, pergi.

Tapi baru dua langkah tiba-tiba Hu-taihiap tertawa, berseru, "Hei, tunggu, anak muda. Aku mau menerima obatmu!"

Pemuda itu tersenyum. Dia memutar tubuhnya lagi dan melihat Hu Beng Kui menelan obatnya, tanpa ragu dan penuh kepercayaan kepadahya. Maklumlah, sikap pemuda ini telah menarik simpati jago pedang itu dan Hu Beng Kui tertawa. Dan ketika obat lenyap memasuki mulut dan tak berapa lama kemudian Hu Beng Kui merasa hangat maka jago pedang itu bangkit berdiri dan tertawa menepuk pundak pemuda ini.

"Ha-ha, obatmu manjur. Agaknya kau seorang tabib muda yang menyediakan banyak obat-obatan. Terima kasih, anak muda. Kau mengingatkan diriku pada menantuku!"

"Pendekar Rambut Emas?"

"Eh, kau tahu?"

"Ah, namamu dan nama menantumu tak ada orang yang tidak mengenalnya, taihiap. Siapa tidak mengenal Kim-mou-eng dan Hu-taihiap? Kau dan menantumu adalah keluarga yang hebat, dan aku bangga karena kebetulan Kim-mou-eng dan aku satu suku!"

"Ha-ha, benar!" Hu-taihiap teringat. "Betul, anak muda. Kalau begitu kau..... eh!" Jago pedang itu berjengit. "Kenapa perutku sakit? Augh, obat apa yang kau berikan padaku tadi, anak muda?"

Aneh, pemuda ini tiba-tiba tertawa. Hu Beng Kui terlihat menggeliat dan jago pedang itu menahan sakit, mukanya tiba-tiba berkeringat dan kagetlah orang tua itu ketika rasa sakit semakin menghebat, perut bergemuruh dan rasa panas yang membakar sekonyong-konyong datang lebih hebat daripada tadi. Kalau demam hanya terasa panas dan meriang adalah sekarang ini bercampur sakit dan nyeri. Hu Beng Kui terkejut dan memandang pemuda itu. Dan ketika dia terbelalak dan kaget serta curiga mendadak pemuda itu berkelebat dan menghantam mukanya.

"Ha-ha, kau akan mampus, Hu-taihiap. Obat itu adalah penghancur usus yang akan membunuhmu dalam waktu tiga hari.... dess!"

Jago pedang ini terlempar, menangkis tapi kalah kuat dan dia terpekik. Hu Beng Kui segera sadar bahwa pemuda tampan yang tampaknya halus itu kiranya musuh, entah siapa. Dan ketika dia terguling-guling dan kaget serta marah maka lawan mengejar lagi dan melepas pukulan, amis menyambar dan dia kaget karena mengenali pukulan itu sebagai Tee-sin-kang, pukulan yang dimiliki nenek Naga.

Dan ketika dia menangkis namun terlempar lagi maka pemuda itu menyerangnya lagi dengan ilmu pukulan lain, Mo-seng-ciang dan sebentar kemudian berobah dengan Hek-tok-ciang, lalu Cam-kong-ciang dan lain-lain pukulan yang semua dikenal sebagai ilmu-ilmu pukulan yang dimiliki Enam Iblis Dunia, yakni Siauw-jin dan kawan-kawannya itu. Dan ketika Hu-taihiap mengeluh den melompat bergulingan maka dia menerima sebuah serangan lagi yang tepat mengenai tengkuknya.

"Ha-ha, selamat berjumpa sekaligus berpisah, Hu-taihiap. Kau akan kuantar ke neraka dan menebus hutang-hutangmu... dess!"

Hu Beng Kui terlempar, memekik dan marah tapi cepat dia mengerahkan Khi-bal-sin-kang. Pukulan itu diterimanya dengan sepenuh kemarahan, membalik dan menghantam pemuda itu sendiri. Dan ketika pemuda itu berteriak dan terlempar oleh pukulannya sendiri maka Hu-taihiap bangkit terhuyung dan gusar dengan muka merah padam.

"Keparat, siapa kau, anak muda? Apa hubunganmu dengan Enam Iblis Dunia?"

Pemuda ini pucat. Melihat Hu-taihiap tak juga roboh dan kini bahkan membentaknya dengan marah pemuda itu merasa kecut. Obat penghancur usus yang ditelan jago pedang itu rupanya dapat ditahan jago pedang ini, tak bekerja dan sejenak diam di perut hebat jago pedang itu. Tapi tertawa dan melompat mundur pemuda ini sudah menjauhi Hu Beng Kui, setelah tadi meloncat bangun.

"Ha-ha, aku murid Enam Iblis Dunia, Hu Beng Kui. Dan kalau kau ingin tahu siapa aku maka aku adalah Togura, putera ayahku yang gagah perkasa Gurba!"

"Hah?" Hu Beng Kui terbelalak. "Gurba suheng dari Kim-mou-eng? Jadi kau...."

"Benar," pemuda itu memotong. "Aku putera Gurba dengan mendiang Bi Nio, Hu-bengcu. Dan Kim-mou-eng yang menjadi menantumu itu adalah musuh besarku!"

"Keparat, dan kau sekarang meracuni aku, bocah? Atas, suruhan Enam Iblis Dunia atau kehendakmu pribadi?"

"Ha-ha, yang menyuruhku adalah See-ong, Hu-taihiap. Dan aku ke sini atas suruhan Datuk dari Barat itu. Bukankah kau mau ke Sam-liong-to?"

"Benar," jago pedang ini menggigil. "Dan sekarang tahulah aku, anak muda. Kiranya kau bocah yang dulu dibawa Sepasang Nenek Naga. Ah, kau seperti mendiang ayahmu yang curang dan jahat. Kau setan cilik yang tidak tahu malu... wut!" dan Hu Beng Kui yang menyambar berkelebat ke depan tiba-tiba menghantam dan menyerang pemuda itu, dikelit tapi jago pedang ini mengejar.

Bigur alias Togura itu terkesiap juga melihat kegesitan lawan. Obat penghancur usus seakan tak mempengaruhi jago tua itu, pemuda ini mengelak dan segera berlompatan menghindar. Tapi ketika Hu Beng Kui terus mengejar dan jalan buntu ditemui pemuda ini maka Togura terpaksa menangkis dan mencelat terlempar.

"Dess!" Pemuda itu terbanting bergulingan. Togura terkejut karena pukulan lawan masih hebat, pundaknya seakan remuk namun dia meloncat bangun lagi. Dan ketika Hu-taihiap menyerang dan terhuyung sambil memaki-maki maka Togura didesak dan pemuda ini selalu terlempar bila beradu tenaga dengan jago tua itu, kagum namun juga gentar dan mulailah pemuda ini main kucing-kucingan.

Hu-taihiap dipaksa mengejar dan sesekali pemuda itu berlindung di balik pohon, melepas pukulan dari belakang namun dia tertolak oleh gaya pental Khi-bal-sin-kang. Ilmu Bola Sakti yang dipunyai jago pedang itu memang akan selalu menolak secara otomatis setiap pukulan lawan, semakin kuat semakin hebat pula daya tolaknya.

Dan karena hal ini membuat Togura gentar dan Hu Beng Kui menggeram sambi! mengejar dan mendekap perutnya akhirnya pemuda itu melompat jauh dan melarikan diri, berteriak menuju ke timur dan jago tua itu marah. Dia memang mengerahkan sinkangnya menahan bekerjanya obat, mengamuk dan mengejar pemuda itu.

Dan ketika lawan melarikan diri dan Togura melakukan pertempuran dengan cara hit and run alias pukul dan lari maka Hu Beng Kui mencak-mencak memaki lawannya itu, mengejar dan terus mengejar namun berkali-kali jago pedang itu harus menahan sakit. Racun di perutnya seolah meremas usus, obat itu menyerikan perutnya dan berkali-kali dia harus mengerahkan sinkang. Dan ketika Togura menuju ke timur dan mereka akhirnya tiba di Tung-hai (Samudera Timur) maka pemuda ini sudah menyambar perahu dan mendayung cepat, menuju ke tengah."

"Suhu, tolong! Subo, bantu aku....!"

Hu Beng Kui merah matanya. Sehari ini dia mengejar dan penyakit demamnya bercampur aduk. Racun di perut bekerja lagi namun ditekan, berhenti dan bekerja lagi setiap dia mengejar pemuda itu. Seharusnya dalam keadaan begitu jago pedang ini berhenti, istirahat dan melawan racun itu dulu. Tapi karena jago pedang ini diamuk kemarahannya dan pemuda itu selalu tak jauh di depannya maka Hu Beng Kui lupa diri, menggeram dan memaki-maki pemuda itu. Lawan sudah puluhan kali dihajar jatuh bangun namun hebat pemuda itu, selalu bangkit dan lari lagi.

Dan karena pukulan jago pedang ini tak sekuat biasanya karena diamuk racun maka Togura selalu dapat melarikan diri kalau dihajar, jatuh bangun namun dia selalu selamat. Hal ini disebabkan gangguan yang dialami jago pedang itu. Kalau saja jago pedang ini sedang sehat dan tidak diserang racun atau penyakit lainnya barangkali pemuda itu tak akan selamat.

Ini satu keuntungan bagi Togura dan murid Enam Iblis Dunia itu mulai menjauhi Hu Beng Kui mengarungi laut namun jago pedang itu juga menyambar sebuah perahu. Dan ketika Hu Beng Kui bergerak dan perahu tidak didayung melainkan didorong dengan angin pukulannya yang dahsyat maka hebat dan luar biasa perahu si jago pedang ini melejit mengejar lawan.

"Hayoh, ke mana kau mau lari, bocah? Kau mau meminta pertolongan guru-gurumu? Hah, kubunuh kau, anak siluman. Kupatahkan lehermu nanti!"

Togura gentar. Kalau tidak melihat betapa pukulannya membalik dan selalu tertolak sendiri barangkali pemuda ini akan berhenti, main kucing-kucingan lagi dan mencoba melawan. Tapi karena Hu Beng Kui betul-betul kakek luar biasa dan dari jauh pun angin pukulan jago pedang itu membuat perahunya miring ke kiri kanan maka pemuda itu pucat memanggil-manggil lagi keenam gurunya. "Suhu, tolong...! Subo, tolong...!"

"Ha-ha!" jago pedang itu tertawa bergelak. "Mampus kau sekarang, bocah. Di tengah laut ini tak ada siapa pun yang dapat menolongmu.... bress!" perahu pemuda itu dihantam mencelat terlempar namun Togura dapat berjungkir balik, hinggap di perahunya lagi dan jago pedang itu terbelalak.

Lawan mendayung lagi dan Togura beradu cepat, mengerahkan segenap tenaga namun Hu-taihiap tetap mengejar. Dan ketika sehari itu pemuda ini mandi keringat sementara lawan di belakang mengumpat-caci maka malam tiba dan Togura kebingungan, terus melarikan diri dan Hu-taihiap tak mau melepas lawan. Setiap gerakan dayung ditangkap telinga pendekar itu dan pemuda ini kewalahan. Ke manapun dia lari ke situ pula Hu-taihiap mengejar. Dan ketika malam terganti pagi dan Togura pucat pasi maka Hu-taihiap menempel di belakang tak jauh dari perahunya.

"Ha-ha!" jago pedang itu tertawa menyeramkan. "Ke mana kau lari bocah? Tidak memanggil-manggil gurumu lagi?"

"Keparat!" pemuda itu memaki. "Kau hebat, Hu Beng Kui. Tapi racun di perutmu tak mungkin kau tahan terus-menerus. Ini hari ketiga di mana kau akan muntah berak!"

Benar saja, Hu-taihiap mengeluarkan suara kesakitan. Jago pedang itu mendesis dan terdengarlah suara nyaring dari belakang tubuhnya. Untuk pertama kalinya terdengar kentut yang panjang seperti sirine ditiup. Dan ketika suara itu disusul lagi dengan bunyi memberobot mirip terompet rusak maka Hu Beng Kui muntah darah untuk pertama kalinya.

"Ha-ha!" pemuda itu ganti tertawa. "Racun kembali bekerja, Hu-taihiap. Kau tak akan tahan dalam beberapa jam lagi!"

"Jahanam keparat!" Hu Beng Kui murka bukan main. "Kau siluman busuk persis gurumu, bocah. Kalau bukan dari Tok-ong tentu dari Siauw-jin!"

"Benar, aku banyak belajar dari mereka, Hu-taihiap. Dan Siauw-jin adalah guruku yang paling pandai mencari akal busuk!"

"Kuhajar kau, keparat...!" dan Hu Beng Kui yang melepas pukulan jarak jauh tiba-tiba memaki karena bersamaan dengan itu kentutnya berbunyi nyaring lagi, tidak sekedar nyaring tapi juga bau! Dan ketika pemuda itu mengelak dan perahu melejit ke kiri maka Togura tertawa karena melihat jago pedang itu terhuyung.

"Ha-ha, simpan tenagamu, Hu-taihiap. Atau nanti kau mampus di Sam-liong-to!"

"Bedebah!" Hu Beng Kui merah padam. "Tiba di darat akan kuhajar kau, setan busuk. Kalau tak dapat menangkapmu biar aku mati!"

Togura tertawa. Saat itu tiga pulau terlihat di depan mata, kian jelas setelah perahunya mendekat. Dan ketika Hu Beng Kui juga tertegun melihat pulau itu maka lawan memberi tahu, "Nah, ini wilayah kami. Itulah Sam-liong-to!"

Jago pedang ini menggeram. Dalam dua kali pukulannya terakhir dia muntah lagi, terpaksa mengerahkan sinkang dan menahan marah. Perutnya melilit-lilit dan sakit bukan main, ususnya seakan dipelintir dan diremas-remas dari dalam. Kentut yang berulang-ulang adalah akibat pengerahan sinkangnya yang menahan sakit. Maklumłah, dia sekarang tersiksa luar dalam.

Tapi karena Hu Beng Kui adalah tokoh yang hebat dan jago pedang itu dapat menyembunyikan keadaan fisiknya maka jago pedang ini menggigit bibir dan tidak menyerang lagi, mengejar dengan perahunya dan akhirnya dekatlah mereka dengan pantai.

Beberapa tombak lagi pemuda itu akan mendarat, Hu Beng Kui menggeram dan sebuah pukulan siap dilepaskan. Betapapun dia tak akan membiarkan pemuda itu selamat dan jangan harap pemuda itu dapat meloloskan diri. Tapi baru dia membentak dan menambah dorongannya untuk melesatkan perahu mendadak Togura terjun ke laut dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, silahkan menyelam, Hu-taihiap. Aku sudah di tempat sendiri... byurr!" dan Togura yang lenyap di bawah air tiba-tiba menyelam dan entah ke mana, membuat Hu Beng Kui tertegun dan jago pedang itu mengumpat.

Tubuh yang gemetar dan kemarahan yang sangat membuat jago pedang ini tak waspada, tak mengira bahwa lawannya itu mendekati perahunya dari bawah. Perbuatan yang berani! Dan ketika dia tertegun dan terbelalak ke depan, mengira pemuda itu berenang ke pantai, mendadak perahunya terguncang dan pemuda itu muncul di bawahnya!

"Ha-ha terjunlah, Hu-taihiap. Terjunlah....!"

Jago pedang ini kaget. Secepat kilat dia membalik dan menghantam ke bawah, pemuda itu lenyap dan pukulannya membuat air laut muncrat tinggi. Dan ketika perahu terguncang dan pemuda itu muncul lagi di tempat yang lain mendadak lawan terbahak dan mengangkat naik perahunya itu.

"Hayo, terjun keair, Hu-taihiap. Melompatlah.... ha-ha!"

Hu Beng Kui pucat. Dalam perahu yang sudah terangkat tinggi dan miring ke kanan tiba-tiba dia tak dapat menguasai diri lagi, terlempar namun jago pedang ini berseru keras. Lawan di sebelah kiri dihantam dan perahu pun hancur. Togura menjerit dan rupanya terkena pukulan, menyelam dan lenyap lagi di bawah air. Dan ketika jago pedang itu berjungkir balik dan meluncur turun maka papan perahu yang hancur terkena pukulannya pecah di kiri kanan, hinggap di sini dan meraunglah jago pedang itu.

Dia benar-benar merasa dipermainkan dan Hu Beng Kui marah bukan kepalang. Tubuh sampai bergetar hebat dan bergeraklah dia mencari pemuda itu, papan dipergunakan dan meluncurlah kakek gagah ini di permukaan air laut, memaki dan membentak-bentak dan Togura panik. Di bawah air tak mungkin pemuda itu menahan napas selama-lamanya, bisa mati dia. Maka begitu muncul dan kebetulan Hu Beng Kui melihatnya maka jago pedang itu melepas pukulan dan pemuda ini menjerit.

"Dess!"

Air laut muncrat tinggi. Hu-taihiap sudah bergerak dan terbang mendekatinya. Di atas laut atau pun daratan sama saja, jago pedang ini sama hebat dan ngerilah murid Toa-ci itu. Dan ketika kemanapun dia timbul di situ pula Hu Beng Kui menghadang dan melepas pukulannya maka Togura panik dan berteriak-teriak, menyelam di bawah air dan kini menuju ke pantai. Hu Beng Kui mengamati gerak geriknya di atas dan menggeram-geram. Empat pukulan sudah mengenai lawannya namun Togura cukup kuat, mampu bertahan dan kucing-kucingan di bawah laut, menghindar dan kakek gagah itu terengah-engah.

Kalau perutnya tak melilit dan usus rasanya diremas-remas tak mungkin lawannya itu dapat lari lagi. Murid Tok-ong ini pasti mampus dan Togura sendiri gelisah. Pemuda itu cemas dan menyelam lebih ke bawah, akhirnya tak dapat ditembus pandangan Hu Beng Kui karena dengan lihainya pemuda ini merapat di bawah laut, bergerak dan berenang di situ sambil menahan sakitnya. Pundak dan punggungnya terkena pukulan. Kalau Hu Beng Kui dalam keadaan sehat tentu dia tadi sudah tak bernapas. Dan ketika lawan mencari-cari di atas dan Hu Beng Kui menggeram sambil mengamati segala penjuru mendadak lawannya sudah muncul di pantai, megap-megap.

"Suhu, tolong....!"

Jago pedang itu bergerak. Sekali meloncat tahu-tahu papan di bawah kakinya ikut naik, terbang dan menyambar pemuda itu. Dan karena papan ini dipergunakan sebagai senjata yang mendahului tubuh Hu Beng Kui maka Togura tak dapat mengelak ketika telinganya tersambar benda keras ini.

"Aduh....!" Pemuda itu terjungkal.

Hu Beng Kui berkelebat namun Togura bergulingan menjauh, hantaman papan serasa menghancurkan telinganya dan kepala terasa berputar. Murid Liok-kwi-ong ini menjerit dan pucat mukanya, menjauh tapi Hu Beng Kui menggerakkan tangannya. Dan ketika sebuah pukulan mendarat di pundaknya dan pemuda itu mengeluh maka Togura terbanting lagi namun Hu Beng Kui juga mengeluh, berdiri terhuyung dan mendekap perutnya. Sebuah pukulan sinkang berarti melepas tenaga, obat bekerja kembali dan jago pedang itu terduduk. Dan ketika Togura meloncat bangun dan terhuyung melarikan diri maka kentut yang nyaring keluar dari belakang tubuh jago pedang ini.

"Keparat, kau tak boleh lari, bocah. Berhenti dan mampuslah dulu!" Hu Beng Kui bangkit, terhuyung dan maju mengejar dan larilah pemuda itu.

Togura jatuh bangun dan terseok-seok melangkah, sama seperti Hu Beng Kui dan pemuda itu pucat pasi. Lawan menggeram mengejarnya dan setombak lagi jago pedang itu akan menerkamnya. Togura ngeri membayangkan apa yang akan terjadi, mungkin dia akan "dikeremus" dan dikunyah jago pedang ini. Bayangan itu menakutkannya dan tiba-tiba dia menerima sebuah pukulan lagi, tidak terlalu keras namun pemuda itu terpelanting roboh. Dan ketika Hu Beng Kui lagi-lagi menggeram karena menahan sakit di perutnya maka Togura menjerit memanggil gurunya.

"Subo, tolong.....!"

Hu Beng Kui melotot. Pemuda ini sudah di depannya tinggal mencengkeram, sekali disambar tentu dia dapat menangkap punggungnya, dibanting dan akan dihajar. Tapi persis dia membentak dan terhuyung mengejar lawan mendadak muncul sesosok bayangan yang menyelamatkan pemuda itu, Tok-ong, si Raja Racun.

"Hu Beng Kui, lepaskan muridku.... plak!"

Hu Beng Kui terdorong, jatuh terduduk dan Togura berteriak menyambut Raja Racun ini, girang karena pertolongan muncul. Dan ketika Tok-ong berkelebat di situ dan Siauw-jin serta nenek Naga muncuł pula sambil terkekeh maka tiga dari Enam Iblis Dunia menghadang jago pedang itu.

"Ha-ha, selamat datang, Hu-taihiap. Kau memenuhi undangan kami!"

Jago pedang ini menggeram. Terhuyung dan nanar memandang tiga orang itu, jago pedang ini serasa terbakar. Di sana Togura berlindung dan pemuda itu tampak berseri, tubuhnya letih namun pemuda ini girang. Tiga orang gurunya sekaligus datang dan tenanglah dia. Dan ketika jago pedang itu mendelik dan mendekap perutnya maka pemuda ini berkata,

"Suhu, Hu-taihiap telah menelan obat penghancur usus. Dia begitu bodoh menerima obatku dan kini marah-marah!"

"Heh-heh!" Siauw-jin tertawa. "Begitukah, Togur? Dan jago pedang ini menerima baik jasa baikmu?"

"Benar, dia terlihat sakit, suhu, terserang demam dan kutolong. Tapi karena dia begitu bodoh dan menerima begitu saja pertolonganku maka dia muntah-muntah dan sekarang mengejar-ngejar aku!"

"Tak usah khawatir," kakek cebol itu berkata. "Ada kami di sini Togur. Kalau dia mengejar-ngejarmu tentu kami akan menghalangi. Sudahlah, kau beristirahatlah di situ dan lihat kami akan membereskan jago buntung ini!" dan Siauw-jin yang terkekeh menghadapi Hu Beng Kui lalu mengejek, "Eh, kau sudah muntah berak, Hu-taihiap? Mau bertemu See-ong atau mencoba kami dulu?"

"Jahanam!" kakek itu menggeram. "Berenam pun aku tak takut, Siauw-jin. Justeru aku akan membunuh kalian bertiga agar tidak mengganggu dunia lagi!"

"Eh, dalam keadaan begini? Ha-ha, kau tak mungkin dapat melakukannya, Hu-taihiap. Kalau dapat pun tentu di neraka. Lebih baik kubereskan kau dan menghadaplah Giam-lo-ong (Raja Akherat)!" Siauw-jin berkelebat, tiba-tiba menyerang namun Hu Beng Kui menangkis. Jago pedang itu mengerahkan Khi-bal sin-kang dan iblis cebol ini menjerit ketika tubuhnya terlempar tinggi jatuh terbanting dan terguling-guling di sana. Dan ketika iblis itu melompat bangun dan pucat memandang lawan maka muridnya berteriak agar dia berhati-hati.

"Suhu, jangan memandang ringan padanya. Kakek itu masih berbahaya!"

"Heh-heh," Siauw-jin tertawa. "Aku kira macan ini sudah ompong, Togur. Kalau dia masih garang biarlah dua gurumu yang lain membantu!" setan cebol itu mengedip, memberi tanda pada Tok-ong dan nenek Naga Bumi dan dua orang itu mengangguk. Melilhat kehebatan Hu Beng Kui mereka jadi marah juga. Namun karena jago pedang itu sudah menelan obat penghancur usus dan kini Togura memberi tahu bahwa jago pedang itu sudah menginjak hari ketiga maka Tok-ong berkelebat dan Naga Bumi pun mencelat melepas pukulannya.

"Baik, mari bereskan kakek ini, Siauw-jin. Kalian di depan dan biar aku di belakang!" nenek Naga cerdik, mendahului lawannya dan dia bergerak di belakang. Tee-sin-kang menyambar dan Hu Beng Kui menggeram. Dan ketika Tok-ong serta Siauw-jin melejit dan menghantam dari kiri kanan maka tiga orang itu sudah susul-menyusul memberi pukulan.

"Plak-des-dess!"

Hu Beng Kui tergetar. Jago pedang itu mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan lawan terpekik. Mereka terlempar oleh pukulan yang membalik. Namun karena Hu Beng Kui berkurang tenaganya dan racun yang mengamuk di perut bekerja lagi maka tiga orang itu tak terluka dan mereka menyerang lagi, berkelebatan dan terhuyunglah jago Ce-bu itu menghadapi lawannya. Ganti-berganti mereka melepas pukulan, Hu Beng Kui marah dan menolak. Tapi ketika lagi-lagi lawan hanya terpental tapi tidak terluka maka Siauw-jin terkekeh sementara nenek Naga juga tertawa nyaring.

"Hi-hik, macan ini ompong giginya, Siauw-jin. Galak di luar tapi lemah di dalam!"

"Benar, tapi tetap waspada, nenek siluman. Jelek-jelek dia memiliki Khi-bal-sin-kang!"

"Dan Jing-sian-eng!" Tok-ong berseru. "Awas kalau dia mengerahkan ilmunya itu, nenek Naga. Hati-hati dan jangan lengah!"

Tiga orang itu mengeroyok lagi. Tertawa dan mengejek lawannya Hek bong Siauw-jin mau pun nenek Naga berkelebatan cepat, kini nenek itu mengeluarkan jarum emasnya dan Siauw-jin mengeluarkan sabitnya. Tok-ong mempergunakan sepasang pukulannya dan Hek-tok-ciang menyambar-nyambar. Hu-taihiap membentak dan melayani lawannya itu.

Dan ketika mereka selalu menyerang setiap terpental tiba-tiba jago pedang ini meledakkan lengannya dan keluarlah ilmu Bayangan Dewanya itu, berkelebatan dan lenyap mendahului lawan dan Khi-bal-sin-kang dikeluarkan segenap tenaga. Lawannya terkejut karena jago pedang itu tiba-tiba seolah tak terpengaruh oleh bekerjanya racun, mendahului dan sudah membagi-bagi pukulan ke arah mereka. Dan ketika Tok-ong menjerit dan terlempar oleh pukulan Bola Sakti tiba-tiba kakek iblis itu roboh bergulingan dan merintih-rintih.

"Aduh, tolong, Siauw-jin. Bunuh jago buntung ini!"

Siauw-jin terkejut. Melihat keberingasan dan kehebatan Hu Beng Kui tiba-tiba dia menjadi gentar, nenek Naga terkesiap dan juga kaget, sebuah pukulan menghantam dan nenek itu pun menjerit. Dan ketika nenek Naga terlempar dan Siauw-jin pucat maka kakinya tertangkap dan Hu Beng Kui membantingnya.

"Bress!" Setan cebol itu berteriak mengaduh-aduh. Kalau bukan dia yang dibanting barangkali sudah remuk punggungnya. Siauw-jin seakan dicengkeram kuku rajawali dan tak sempat menghindar, roboh dan dibanting dengan punggung lebih dulu, tanah meledak dan amblong setengah meter lebih. Tapi ketika iblis cebol itu bergulingan menjauh dan untung tenaga jago pedang itu tidak sedahsyat biasanya maka Siauw-jin meloncat bangun dan berjungkir balik menjauhi lawan, dikejar namun Hu Beng Kui terhuyung.

Sebenarnya dalam menghajar lawan-lawannya tadi dia memaksa diri, racun bekerja dan mendesislah jago pedang itu oleh rasa sakit yang amat sangat. Tapi karena dia keras hati dan Siauw-jin serta dua temannya dibuat terkejut maka Hu-taihiap membentak dan mengejar Tok-ong, dikelit dan ganti menubruk nenek Naga, yang juga menghindar dan mau tak mau Siauw-jin kembali berseru keras ketika melihat pukulan Bola Sakti menghantam mukanya. Dan ketika iblis itu mengelak dan tunggang langgang melarikan diri maka Hu-taihiap menggeram-geram dengan mata sebuas harimau kelaparan.

"Hayoh, antar aku ke Giam-lo-ong, Siauw-jin. Atau kau yang kuantar ke sana dan mendahului aku!"

Siauw-jin gentar. Sekarang dia diburu dan menghadapi kemarahan lawannya ini, berjungkir balik dan bersembunyi di belakang Naga Bumi. Dan ketika nenek itu diserang dan memaki Siauw-jin maka nenek ini ganti berjungkir balik dan bersembunyi di belakang Tok-ong, mengumpankan kawannya itu dan Tok-ong terkejut. Kalau saja Hu Beng Kui masih tak sehebat ini tentu dia akan menyambut, menghantam dan melepas pukulannya. Tapi karena jago pedang itu masih hebat dan Tok-ong mengelak maka kakek tinggi besar itu memaki nenek Naga dan ganti bersembunyi di belakang Siauw-jin, kucing-kucingan.

"Keparat, jangan lari kalian, iblis-iblis busuk. Hayo maju dan hadapi aku!"

Tiga iblis itu pucat. Mereka main sembunyi di belakang punggung yang lain, mengumpankan kawannya dan tentu saja nenek Naga maupun Tok-ong marah. Mereka mendongkol pada Siauw-jin yang licik, yang memulai itu dan mereka ikut-ikutan. Tapi ketika pukulan Hu Beng Kui menyambar dan kebetulan Siauw-jin kembali yang dikejar mendadak iblis ini menarik baju Tok-ong untuk menyelamatkan dirinya.

"Hei!" Tok-ong terkejut. "Lepaskan bajuku, Siauw-jin. Pergi kau!"

"Aih, tidak. Lindungi aku, Tok-ong. Atau kita lari dan panggil See-ong!"

"Keparat, kau licik. Kau.... dess!" dan Tok-ong yang mencelat oleh hantaman lawan tiba-tiba memekik dan kaget menghentikan makiannya, diumpan Siauw-jin dan dia menjadi korban. Hu Beng Kui memukulnya dan telak sekali mengenai leher. Dan ketika Tok-ong mengeluh pendek dan muntah darah tiba-tiba jago pedang itu memburunya, berkelebat dan melepas satu pukulan lagi. Tok-ong berteriak agar dua temannya membantu, celaka sekali Siauw-jin dan nenek Naga malah melarikan diri. Dan ketika Hu Beng Kui mendengus dan kakek itu bergulingan namun tak dapat mengelak maka sebuah pukulan mengenai dadanya.

"Dess!" Tok-ong menjadi korban. Di sana Siauw-jin sudah memutar tubuh menarik Togura, pemuda ini pucat melihat kejadian itu. Namun ketika setan cebol itu menyendal lengannya dan melarikan diri maka terdengar lagi dua pukulan menghantam Tok-ong, menjerit dan kakek iblis itu terlempar. Dalam kemarahannya yang sangat Hu Beng Kui sekarang menimpakan geramnya pada iblis tinggi besar ini, Tok-ong coba berkelit namun gagal. Dan ketika sebuah pukulan lagi menyambar kepala kakek itu dan Tok-ong berteriak tiba-tiba satu di antara Enam Iblis Dunia ini roboh, pecah kepalanya.

"Prakk!"

Togura ngeri. Dalam keadaan seperti itu masih saja jago Ce-bu itu dapat membunuh lawan. Siauw-jin terbelalak dan kabur dengan cepat, terbang ke tengah pulau. Dan ketika nenek Naga juga melengking ngeri dan kaget oleh tewasnya Tok-ong maka Hu Beng Kui menggeram mengejar mereka, mendekap perutnya.

"Heh, ke mana kalian lari, iblis-iblis busuk? Mau menyelamatkan diri? Tak bsa, aku akan mengantar kalian ke neraka dan berhentilah!"

Siauw-jin pucat. Geram dan suara Hu Beng Kui yang dekat di belakangnya membuat setan cebol ini gentar. Jago pedang itu hebat bukan main dan mereka ternyata tak boleh merendahkan. Meskipun keracunan tetap saja jago pedang itu lihai. Dan ketika Hu Beng Kui mengejar dan nenek Naga melengking ketakutan maka dua orang itu sama-sama terbang ke tengah pulau, memanggil See-ong.

"See-ong, tolong. Bantu kami!"

Nenek Naga dan Siauw-jin berlomba. Mereka berkelebat saling mendahului untuk menghindari lawannya itu, Hu-taihiap menggeram-geram dan melepas pukulan, sayang kurang bertenaga dan tak sampai. Padahal biasanya dalam jarak sepuluh tombak saja dia akan sanggup merobohkan lawan. Dan ketıka dua orang itu berteriak-teriak dan tiga bayangan berkelebat dari kiri kanan mendadak Toa-ci dan Ji-moi serta Cam-kong muncul.

"Ada apa? Kenapa?"

"Ah, Hu Beng Kui datang, Cam-kong. Bantu dan lindungi kami!"

"Mana dia?"

"Di belakang, lihat...!" dan Cam-kong yang mendengar geraman menggetarkan tiba-tiba melihat jago pedang itu.

"Hei!" serunya. "Mana Tok-ong?"

"Mampus!" Siauw-jin berteriak. "Tok-ong tewas dibunuh olehnya, Cam-kong. Lekas panggil See-ong atau kau bantu kami!"

Cam-kong tertegun. Berita ini jelas mengejutkan iblis tinggi kurus itu, Cam-kong terbelalak dan tentu saja marah. Dan ketika Hu Beng Kui tiba dan menggeram padanya mendadak iblis ini lenyap berkelebat mempergunakan ilmu hitamnya. "Hu-taihiap, kau manusia jahanam!"

Namun jago pedang itu mendengus. Melihat Cam-kong lenyap mempergunakan ilmu hitam mendadak dia membentak, tangan bergerak ke kiri dan bertemulah lengannya dengan segulung asap hitam. Dan ketika bunyi menggelegar terdengar di situ dan asap hitam ini terpental tinggi maka Cam-kong berteriak karena dia terbanting, kembali ujudnya seperti biasa dan Hu Beng Kui mengejar. Kakek ini menghantam dan ganti Cam-kong menangkis. Namun karena pukulan itu adalah pukulan Bola Sakti dan tangkisannya membalik mengenai diri sendiri maka iblis ini menjerit ketika terlempar lagi.

"Dess!" Hu Beng Kui nyalang matanya. Cam-kong sudah dibuat jatuh bangun namun Toa-ci dan Ji-moi menyambar. Dua nenek kakak beradik itu berteriak pada Siauw-jin agar mereka kembali, mengeroyok jago pedang ini. Dan ketika Toa-ci serta Ji-moi melepas pukulan dari kiri kanan maka Hu Beng Kui tergetar namun dua nenek itu mencelat.

"Heh, kubasmi kalian, manusia-manusia iblis. Tak akan kuampuni kalian dan semua akan kuantar ke akherat!"

"Keparat!" nenek Toa-ci berjungkir balik. "Bantu kami, Siauw-jin. Panggil See-ong kalau kita berlima tak dapat mengalahkannya!"

'Benar!" Cam-kong berseru, juga menambahi. "Jangan lari dulu, Siauw-jin. Bantu kami dan keroyok si buntung ini!" dan karena hal itu dapat diterima dan Siauw-jin berhenti maka iblis cebol itu tertegun dan nenek Naga juga mengangguk, merasa sependapat dan betapapun jago pedang itu sudah terluka. Obat penghancur usus pasti bekerja dan akan mengganggu dari dalam, terbukti berkali-kali jago Ce-bu itu meringis, tanda menahan sakit dan tentu konsentrasinya buyar.

Mereka sekarang berlima dan tak usah takut. Maka membentak dan menyuruh temannya maju tiba-tiba nenek ini berkelebat menghantam lawan, disusul oleh yang lain-lain dan Siauw-jin mengikuti. Kakek cebol ini bangkit keberaniannya dan menyerang lagi. Dan ketika lima orang itu bergerak silih berganti dan serangan demi serangan dilancarkan ke tubuh lawannya maka Hu Beng Kui menerima beberapa pukulan atau pun hantaman.

"Plak-buk-bukk!"

Namun semua mental. Berkat Khi-bal-sin-kang dan tubuhnya yang kuat ternyata Hu Beng Kui tak apa-apa, jago pedang itu hanya tergetar dan pukulan lawan justeru membalik, terpental oleh Khi-bal-sin-kang yang dimiliki jago pedang ini. Dan ketika lima orang itu berteriak karena semakin kuat mereka menyerang semakin kuat pula daya tolak yang menghantam tubuh sendiri maka jago pedang itu bergerak dan keluarlah ilmunya Bayangan Seribu Dewa itu.

"Awas, semua menjauh....!"

Cam-kong dan teman-temannya mengerti. Mereka hapal dan tahu kedahsyatan ilmu luar biasa ini. Jing-sian-eng bekerja dan Hu Beng Kui lenyap membagi-bagi pukulan. Cam-kong berteriak dan empat temannya mengeluh. Untung, tenaga Hu Beng Kui tak sedahsyat biasanya karena terganggu oleh rasa sakit di perut. Tapi ketika mereka tunggang-langgang dan jago pedang itu tetap menguasai keadaan maka Siauw-jin memutar tubuhnya dan lagi-lagi meninggalkan kawan-kawannya.

"Mundur, kita lari saja. Panggil See-ong!"

Cam-kong pucat. Kalau Hu Beng Kui masih sehebat ini memang tak ada jalan lain kecuali meminta bantuan See-ong. Siauw-jin lari sipat-kuping dan mendahului teman-lemannya, apa boleh buat dia pun memutar tubuhnya dan berkelebat menjauhi pendekar pedang itu. Dan ketika Toa-ci serta yang lain juga berseru keras dan memutar tubuhnya maka Hu Beng Kui membentak mengejar mereka.

"Keparat, berhenti, manusia-manusia busuk. Berhenti kalian!"

Siauw-jin dan lain-lain panik. Hu-taihiap menggeram dan mengejar mereka, melepas pukulan namun mereka mengelak, semua berteriak-teriak dan larilah mereka ke tengah pulau. Dan ketika jago pedang itu menggeram-geram dan mereka berlima memanggil See-ong maka Siang Le berkelebat dan muncul di situ.

"Siapa ini? Ada apa?"

"Minggir!" Siauw-jin berseru. "Dia Hu-taihiap, Siang Le. Panggil dan datangkan gurumu!"

"Ah, Hu-taihiap?"

"Benar, dan jangan banyak cakap lagi!" dan Siauw-jin yang membentak menyuruh pemuda itu minggir tiba-tiba mendorong dan menyelinap di samping pemuda ini, meneruskan larinya dan berturut-turut empat yang lain berkelebat pula.

Siang Le tertegun namun dia tidak pergi, bahkan menunggu dan terbelalaklah dia melihat jago pedang yang kesohor ini, bengcu yang kini melotot matanya dan merah seperti saga. Dan ketika Hu-taihiap juga tertegun tapi tidak mengenal pemuda itu tiba-tiba dia membentak dan mengayun lengannya, teringat Togura.

"Enyah kau.... dess!"

Siang Le terbanting. Pemuda ini berseru keras dan melempar tubuh bergulingan, pukulan Hu-taihiap mengenai pundaknya namun Siang Le dapat bertahan, mengerahkan sinkang dan sesungguhnya pukulan Hu Beng Kui sudah lemah. Dan ketika pemuda itu bangun namun Hu-taihiap mengejar kelima lawannya mendadak pemuda ini membentak dan mencegat jago pedang itu, melepas pukulan namun Hu Beng Kui mengibas, Siang Le selamanya belum pernah berhadapan dengan jago tua ini, tak mengenal Khi-bal-sin-kangnya dan otomatis berteriak ketika pukulannya membalik.

Dan ketika pendekar pedang itu menggeram padanya dan terpaksa berhenti maka pemuda ini dikejar dan menjadi sasaran, bak-bik-buk mendapat pukulan dan Siang Le berteriak mengaduh. Dalam beberapa gebrakan saja dia tunggang-langgang, mengerahkan Sin-re-ciangnya namun lawan mendengus. Dan ketika jari-jarinya yang mulur bahkan ditangkap dan dicengkeram tiba-tiba pemuda itu menjerit serasa dijepit baja panas.

"Aduh.....!"

Hu-taihiap membanting pemuda itu. Dalam kemarahan dan kekalapannya jago pedang ini membentak, mengerahkan tenaga dan pemuda itu diangkat lalu dihantamkan ke tanah. Tapi, ketika Siang Le dapat berdiri dan terhuyung meloncat bangun maka jago pedang ini terbelalak juga melihat ada pemuda sehebat itu, setelah Togura.

"Siapa kau?" bentaknya. "Mana cucuku Thai Liong dan Soat Eng?"

"Aduh...." Siang Le masih kesakitan. "Kau hebat, Hu-taihiap. Tapi kau tak dapat menolong kedua cucumu..."

"Keparat! Kenapa? Kau tahu di mana mereka?"

"Aih, sabar, Hu-taihiap. Jangan menyerang dan dengarkan, kataku!" namun Hu-taihiap yang menggeram, melepas pukulannya lagi tiba-tiba mencengkeram dan melempar pemuda itu, berkelebat dan mengejar lagi Siauw-jin dan keempat kawannya.

Terhadap Siang Le jago tua ini tak seberapa perduli, dia melihat pemuda itu meskipun hebat namun sorot matanya lebih baik daripada Togura atau kelima Iblis Dunia itu, jadi dia mengejar lagi Siauw-jin dan kawan-kawannya itu, juga Togura pemuda yang telah meracuni perutnya! Namun ketika Siang Le menghadang dan berkelebat di depannya mendadak pemuda itu mengganggu lagi dengan pukulan di belakang pundaknya.

"Hu-taihiap, tunggu. Jangan ke tengah pulau....bress!"

Hu Beng Kui membalik, menampar pemuda itu dan Siang Le terbanting, menjerit dan berteriak dan terbang lagilah jago pedang itu mengejar lawan-lawannya. Tapi ketika dia tiba di tengah pulau dan terengah serta memburu napasnya mendadak berkelebat sesosok bayangan tinggi besar dan tergetarlah pulau oleh tawa yang bergelak.

"Ha-ha, selamat datang, Hu-taihiap. Tahan pukulan-pukulanmu dan berhenti.... dess!"

Hu-taihiap terguncang, mencelat ke belakang tapi lawan juga terpental. Tadi sepasang lengan yang kokoh menahan pukulannya dan jago pedang itu mendelik, mengerahkan Khi-bal-sin-kang tapi lawan tiba-tiba lenyap, entah ke mana. Dan ketika dia terhuyung dan berdiri dengan tegak tahu-tahu lawannya itu muncul lagi di sebelah kanan, seperti siluman.

"Hebat, kau luar biasa, Hu-taihiap. Selamat datang di Sam-liong-to!"

"Kau siapa?" Hu Beng Kui membentak, "See-ong?"

"Benar, aku See-ong, Hu-taihiap. Dan kau gagah sekali, ah!" dan See-ong yang kagum memandang lawannya tiba-tiba tertawa. "Hu-taihiap, bagus sekali kau memenuhi undanganku. Tapi kau tampaknya tak sehat. Sakit?"

"Keparat, tak usah berbasa-basi, See-ong. Aku datang untuk mengambil cucuku. Hayoh, mana Thai Liong dan Soat Eng!"

"Tunggu!" See-ong berseru. "Aku mengundangmu memang untuk bertempur, orang she Hu. Tapi mana mantumu dan isterinya? Apakah kalian tidak datang bersama?"

"Kau mengundang mantuku pula?"

"Benar. Toa-ci dan Ji-moi kusuruh memberi tahu, Hu-taihiap. Dan aku mengharap kalian datang bertiga. Aku ingin merobohkan kalian!"

"Keparat, merobohkan aku saja belum tentu kau bisa, See-ong. Tak usah banyak cakap dan serahkan cucuku!" dan Hu-taihiap yang berkelebat membentak ke depan tiba-tiba menghantam dan menyerang See-ong, menggerakkan lengannya dan pukulan Khi-bal-sin-kang dilepas. Angin yang dahsyat menderu menyambar kakek ini. Tapi begitu See-ong menangkis dan mengerahkan tenaganya maka jago pedang itu terpental.

"Blarr!"

Si jago pedang terkejut. See-ong tiba-tiba lenyap dan berobah ujudnya, membentuk asap putih dan asap ini melayang-layang di udara. Dan ketika dia terbelalak dan lawan terbahak tiba-tiba See-ong muncul lagi dan berseru,

"Heh, hebat kau, Hu-taihiap. Tentu itu Khi-bal-sin-kang. Tapi kenapa tenagamu hilang di tengah jalan? Kenapa kau mendekap perutmu?"

"Dia keracunan!" Siauw-jin terkekeh, maju berkelebat. "Hu Beng Kui ini menelan pil pahit, See-ong. Dia menelan obat penghancur usus!"

"Apa?" See-ong berkerut kening. "Obat penghancur usus? Bukankah itu milik kalian?"

"Benar, dan muridku inilah yang melakukannya, See-ong. Orang she Hu itu terlalu bodoh dan akan mati tanpa diserang!"

"Keparat!" See-ong tiba-tiba marah, "Kau yang melakukannya, anak muda?"

Togura terkejut. Dia mengangguk tapi See-ong tiba-tiba berkelebat, menyambar dan mencengkeram tengkuknya. Dan ketika dia menjerit dan mengaduh kesakitan maka See-ong membantingnya dan pemuda itu berteriak, terguling-guling.

Siauw-jin dan empat temannya terkejut. "Kenapa, See-ong? Kenapa kau menghajar muridku?"

"Terkutuk!" See-ong memaki. "Ini merendahkan diriku, Siauw-jin. Kemenanganku tak sepenuh hati karena kecurangan ini. Siapa suruh muridmu itu meracuni Hu-taihiap? Siapa suruh aku memperoleh kemenangan dengan cara begini?"

Siauw-jin tertegun. Yang lain juga terkejut dan Hu Beng Kui sendiri tertegun, jago pedang itu memandang Togura dan dilahapnya pemuda itu dengan pandangan beringas. Mata berapi-api dan mau rasanya pemuda itu ditelannya, bulat dan tidak dikunyah lagi. Tapi mendengar See-ong bicara tentang kemenangan dan agaknya tanpa diracuni pun dia akan kalah maka Hu Beng Kui menggeram dan melotot maju.

"See-ong!" bentaknya. "Jangan sombong dan bicara takabur. Biar pun aku terluka kau tak dapat mengalahkan aku. Heh, majulah, setan busuk. Dan boleh mereka mengeroyokku!"

"Tidak," See-ong menggeleng. "Kau harus minum obat dulu, Hu Beng Kui. Biarlah pulihkan kekuatanmu dan terima obat ini!" See-ong melempar sebotol obat, sungguh-sungguh namun si jago pedang justeru terhina.

Hu Beng Kui terang tak percaya pemberian tulus itu, membentak dan langsung menampar hancur botol obat yang dilempar ke arahnya. Dan ketika See-ong tertegun dan merah mukanya maka Hu Beng Kui menggigil berkata, "See-ong, tak perlu menipu aku si tua bangka. Belum pernah selamanya iblis-iblis macam kalian melepas budi kepada orang lain. Nah, lebih baik kau maju dan mari bertempur!"

"Nanti dulu!" See-ong meloncat, mundur menjauhkan diri. "Aku menantangmu bukan dalam keadaan begini, Hu-taihiap. Aku ingin kau sehat dan kalah secara sempurna. Kau sebaiknya pulang dulu dan obati lukamu!"

"Apa, pulang? Kau menghina aku? Keparat, pantang pulang bagiku sebelum membasmi kalian, See-ong. Dan biar aku mati kalau sudah dikehendaki... wut!" dan Hu Beng Kui yang marah bukan main tiba-tiba menyambar dan berkelebat menghantam lawannya ini, tak perduli pada racun di perut dan sebisanya dia menahan. See-ong terkejut mengerutkan kening. Tapi melihat datangnya pukulan tiba-tiba kakek ini mengejek dan menangkis.

"Dukk!" Hu Beng Kui terpental. See-ong sendiri terpental namun sudah menghilang, secepat kilat kakek iblis itu mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan lenyaplah dia dari hadapan lawan. Dan ketika Hu-taihiap terguncang dan kaget oleh kesaktian lawan tiba-tiba See-ong muncul lagi dan berkata,

"Orang she Hu, tak perlu bersikeras. Kau tak dapat menang dan sebaiknya kembali. Pulihkan kesehatanmu atau kau mati di sini."

"Wut!" Hu Beng Kui menerjang lagi. "Lebih baik mati di sini daripada pulang, iblis busuk. Kubunuh kau dan jangan banyak bicara lagi!" dan si jago pedang yang marah menyerang lawan lalu bertubi-tubi menampar dan memukul, melepas Khi-bal-sin-kang dan See-ong mengelak.

Kakek tinggi besar ini berlompatan namun si jago pedang beringas, mendesak dan mempercepat gerakannya hingga terpaksa ia menangkis. Dan ketika dua pukulan beradu dan Hu Beng Kui terpental sementara lawan terdorong dan lenyap entah ke mana maka jago pedang itu terbelalak karena ilmu aneh yang ditunjukkan See-ong ini lain daripada yang lain, tak mengenal Hek-kwi-sut dan See-ong tertawa mengejek.

Hu Beng Kui mengerahkan Jing-sian-eng dan tiba-tiba lenyap pulalah jago pedang itu, See-ong terkejut berseru tertahan. Dan ketika dia mempergunakan Hek-kwi-sut namun lawan beterbangan mengelilingi tubuhnya maka kakek tinggi besar itu berseru keras memuji kagum.

"Hebat! Aih, luar biasa. Ini tentu Jing-sian-eng!"

Hu Beng Kui malah terkejut. Lawan yang dapat berobah menjadi roh halus dan mampu mengelak atau mengimbangi Jing-sian-engnya baru kali ini dilihat. Dia mempercepat gerakannya namun See-ong tertiup sebelum disentuh. Pukulan atau tamparannya bahkan mendorong kakek itu semakin jauh, tentu saja tak dapat dipukul! Dan ketika Hu Beng Kui terbelalak dan terkejut bukan main maka See-ong terbahak-bahak di balik ilmunya yang sakti itu.

"Ha-ha, kuperkenalkan padamu, Hu-taihiap. Inilah Hek-kwi-sut!"

"Hek-kwi-sut (Lebur Bersama Iblis)? Keparat, kau benar-benar iblis, See-ong. Pantas kalau begitu!" dan Hu Beng Kui yang menggeram menyerang lawan akhirnya melengking dan berkelebatan semakin cepat, sudah tak dapat diikuti lagi.

Dan Siauw-jin serta kawan-kawannya kabur. Terhadap Jing-sian-eng mereka memang harus mengakui kalah. Bayangan Seribu Dewa itu akan melenyapkan tubuh si jago pedang, ginkang atau ilmu meringankan tubuh apapun tak ada yang dapat menandingi di dunia ini. Tapi begitu See-ong mampu mengimbangi dan Hek-kwi-sut yang dipakai kakek tinggi besar itu sama cepat dengan Jing-sian-eng maka Siauw-jin mendecak dan kawan-kawannya yang lain juga terkagum-kagum.

"Hebat, ini pertandingan dua jago yang sama lihai. See-ong mengagumkan namun Hu-taihiap juga luar biasa!"

"Ya, dan jago pedang itu kuat benar, Siauw-jin. Seharusnya racun itu bekerja dan sudah membunuhnya!"

"Mungkin dia menahannya. Tapi Hu Beng Kui tak akan lama, Toa-ci. Kecepatan geraknya pasti berkurang!"

"Benar, lihat itu!"

Dan ketika benar saja gerakan Hu Beng Kui mengendor dan jago pedang itu menyeringai mendekap perut maka Jing-sian-eng surut dan jago tua ini terhuyung-huyung, lemah gerakannya dan See-ong muncul kembali. Kakek tinggi besar itu tertawa bergelak dan menyuruh lawannya mundur, menyerah atau pulang dulu. Tapi ketika Hu Beng Kui menggeram dan membentak maju tiba-tiba pukulannya menyambar dan Khi-bal-sin-kang dilepas.

"Dess!" Hu Beng Kui jatuh terbanting. Pukulan Bola Sakti yang biasanya mementalkan lawan mendadak berobah, See-ong menerimanya dengan tenaga lemas dan jago pedang itu terkejut, hilang pukulannya dan otomatis dia tertarik. Dan ketika See-ong mendorong dan balas memukul pundaknya tiba-tiba jago pedang ini mengeluh dan terlempar.

"Ha-ha, lihat, Hu Beng Kui. Kau kehilangan tenaga dan lemah. Sebaiknya kembali atau kau menyerah!"

"Keparat! Menyerah padamu, See-ong? Lebih baik aku mampus dan mati di sini.... wut!" dan si jago pedang yang bangkit berdiri dan menyerang lagi tiba-tiba membentak namun mendesis kesakitan, perut didekap dan saat itu racun bekerja kembali. Hu Beng Kui merasa usus kecilnya rantas, mengeluh namun nekat menyerang.

Dan ketika See-ong mengelak dan dia terhuyung maka See-ong marah menghantam tengkuknya, roboh namun jago pedang ini bangkit kembaili, menyerang. Gagah jago pedang itu, lawan memuji dan terpaksa berkelit. Dan ketika Khi-bal-sin-kang kembali menyambar namun pukulan sudah habis seperti pelita kehabisan minyak maka kakek tinggi besar itu berkata,

"Baiklah, kau minta mati, Hu Beng Kui. Jangan salahkan aku di neraka...dess!" dan See-ong yang mendaratkan pukulan di dada jago pedang itu tiba-tiba mengerahkan tenaganya dan terjengkanglah jago Ce-bu itu roboh ke tanah, melontakkan darah segar dan Hu Beng Kui tidak bergerak-gerak lagi, tersungkur, tewas karena saat itu juga usus di dalam perutnya hancur, rantas dan putus akibat racun yang diberikan Togura. Dan begitu jago pedang itu roboh dan tidak bergerak- gerak lagi maka Siauw-jin bersorak sementara empat temannya yang lain juga terkekeh senang.

"Baiklah, kau minta mati, Hu Beng Kui. Jangan salahkan aku di neraka.... dess!"

"Hi-hik, kau menang, See-ong. Mampus si sombong ini!"

"Benar, dan terbalaskan sakit hati ini, See-ong. Bagus!"

Namun See-ong yang berkerut kening dan tiba-tiba membalik mendadak membentak lima orang itu. "Diam!" katanya. "Aku tak puas dengan kemenangan ini, Toa-ci. Kalian memalukan dan merendahkan aku. Muridmu itu jahanam terkutuk!"

"Maaf," Siauw-jin menyeringai. "Muridku salah, See-ong. Tapi betapapun kemenangan telah kau peroleh...."

"Dengan cara begini curang?" kakek itu membentak. "Bedebah kau, Siauw-jin. Kau selalu membela muridmu dan memalukan aku... dess!"

Dan Siauw-jin yang ditendang mencelat akhirnya terpekik dan kaget berjungkir balik, mau bicara tapi tak jadi diserukan. See-ong betul-betul marah dan kini kakek itu uring-uringan pada yang lain. Dan ketika Toa-ci dan tiga temannya juga didupak dan disuruh pergi maka Togura mendapat tamparan dan langsung pingsan.

"Pergi kalian. Semua pergi! Jaga pulau ini dan tunggu Kim-mou-eng!" dan marah serta memandang muridnya kakek itu berkata, "Siang Le, bawa mayat ini dan kubur di dalam Istana Hantu. Tunjukkan pada dua bocah itu bahwa aku telah mengalahkan Hu-taihiap!"

Siang Le tertegun.

"Kau tidak segera pergi?"

"Maaf." Siang Le terkejut. "Mayat ini memang akan kukubur, suhu. Tapi sebaiknya tak usah memteri tahu dua orang muda itu. Mereka hanya akan membenci kita saja."

"Eh, kau membantah? Kalau begitu kau pun pergilah, biar mayat ini kubuang ke laut...dess!" dan See-ong yang menggerakkan kaki menendang mayat jago pedang itu tiba-tiba membentak muridnya agar pergi. Mayat Hu Beng Kui tercebur di laut dan langsung diterima ombak. Dan ketika mayat itu timbul tenggelam dan Siang Le terkejut maka pemuda ini pucat berkelebat pergi.

"Suhu, kau terlalu. Biarlah dosa dan semua perbuatanmu kau tanggung sendiri!

See-ong mendelik. Dia mau menampar tapi muridnya lenyap di tengah pulau, uring-uringan karena sebenarnya dia tak puas dengan kemenangannya itu. Hu Beng Kui kalah karena sebelumnya sudah terluka. Maka begitu menggeram dan memaki muridnya kakek iblis ini pun berkelebat dan lenyap pula meninggalkan tempat itu.

* * * * * * * *

"Bagaimana, isteriku? Seriuskah undangan itu?"

"Hm, kurasa serius, suamiku, dan kita harus ke Sam-liong-to! Tapi kita selidiki dulu kebenaran dua nenek itu. Bisa jadi mereka membohongi kita dan Thai Liong serta Soat Eng tak ada di sana!"

Dua suami isteri, yang duduk-duduk di sebuah taman luas tampak bercakap-cakap. Mereka adalah seorang laki-laki gagah dengan seorang wanita cantik, usianya sekitar empat puluhan tahun dan baik yang pria maupun yang wanita tampak memiliki mata yang sama-sama tajam. Yang lelaki rambutnya keemasan sedang yang perempuan masih hitam disanggul tinggi, gagah dan cantik dan mudah diduga keduanya bukanlah orang-orang sembarangan. Dan ketika yang wanita tampak menggeleng dan menutup pembicaraan tiba-tiba yang pria, yang bukan lain Pendekar Rambut Emas adanya, bangkit berdiri.

"Hm, apa maksudmu, isteriku? Apa yang kau artikan dengan Soat Eng dan Thai Liong tak ada di Sam-liong-to?"

"Jelas, mereka bisa saja ke tempat lain, suamiku. Misalnya saja ke Ce-bu ke tempat kakeknya. Bukankah sudah lama kita tak bertemu ayah? Dan semalam aku bermimpi, dan aku takut dengan mimpiku itu!"

"Eh, mimpi apa?"

"Ayah hanyut di sungai, tenggelam!"

Si pria, Pendekar Rambut Emas tertegun. Mimpi macam begitu biasanya diartikan sebagai sebuah bencana. Kematian! Namun tersenyum dan tertawa kecil tiba-tiba pendekar ini merangkul bahu isterinya. "Ah, kau seperti anak kemarin sore saja. Mimpi begitu bisa saja menjadi kembang tidur, isteriku. Tak perlu takut kalau bukan firasat murni."

"Tidak! Di samping itu aku masih kejatuhan cecak, suamiku. Tadi sewaktu mandi seekor cecak menimpa kepalaku. Aku takut! Aku khawatir...."

"Ha-ha, puteri si jago pedang Hu Beng Kui takut kepada segala macam mimpi dan tanda-tanda kosong? Eh, mana keberanianmu, isteriku? Bangkit dan pandanglah, lihat segala sesuatu tanpa pengaruh mimpi atau khayal pribadi. Ikut aku dan kita ke dalam!" Pendekar Rambut Emas menarik isterinya, terkejut karena si isteri menolak, tak mau ditarik dan tiba-tiba wajah yang cantik itu memerah. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan bertanya kenapa isterinya seperti itu tiba-tiba isterinya ini menangis.

"Suamiku, aku betul-betul takut, khawatir. Semalam rasanya ayah menemui aku dan minta sesuatu yang aneh...!"

"Apa yang diminta?"

"Perutku, kandunganku...."

"Heh?" Pendekar Rambut Emas terkejut. "Perutmu. Kandunganmu? Apa maksudmu, isteriku? Bagaimana kau buat aku bingung begini?"

"Entahlah, aku juga tak mengerti suamiku. Tapi seminggu ini aku.... aku terlambat..."

"Terlambat apa? Apa maksudmu?"

Swat Lian, wanita cantik ini tiba-tiba merah mukanya. Ditanya dan ditatap suaminya seperti itu mendadak wanita ini semburat. Perasaan malu dan jengah tiba-tiba timbul, sang suami tak dibalas dan tiba-tiba dia menubruk, terisak dan menangis di situ. Dan ketika suaminya tertegun dan mengusap-usap rambutnya maka wanita ini terbata bicara, kepala disembunyikan di dada sang suami, "Aku... aku rasa hamil lagi, Kim-ko. Kita akan punya anak!"

"Apa?"

"Benar! Aku.... aku hamil muda, suamiku. Dan seminggu ini aku tak seperti biasanya!"

"Ha-ha!" Kim-mou-eng tiba-tiba malah tertawa bergelak. "Kalau begitu kebetulan, isteriku. Tambah anak tambah rejeki!"

"Hush!" sang isteri menarik tubuhnya. "Kau tak malu, suamiku? Kau tak mencela kejadian ini?"

"Eh, kenapa mencela? Untuk apa malu?"

"Ah, aku hampir empat puluh tahun, suamiku. Dan anak kita Soat Eng sudah besar. Apa kata anak-anak kalau aku hamil lagi?"

"Ha-ha, itu urusan kita, isteriku. Soat Eng maupun Thai Liong tak akan menyalahkan kita. Malah kebetulan, Soat Eng ingin punya adik!"

"Apa?"

"Benar, puteri kita itu merindukan seorang adik, isteriku. Dia menginginkan adik laki-laki. Dan kebetulan sekali kau hamil!" dan Pendekar Rambut Emas yang memeluk serta menciumi isterinya tiba-tiba terbahak dan tampak gembira bukan main, tidak mencela malah memuji.

Swat Lian tertegun namun mengeluh, akhirnya membiarkan suami menciumi dan wanita itu pun bahagia. Tapi teringat mimpinya tadi dan betapa ayahnya minta sesuatu yang aneh mendadak dia mendorong suaminya berkata perlahan, "Nanti dulu, tunggu!" dan merah memandang suaminya itu wanita cantik ini mengingatkan, "Ingat, aku masih terpengaruh mimpiku, suamiku. Aku agak terganggu oleh bayangan ayah!"

"Hm...!" Kim-mou-eng menarik napas, mencium kening isterinya. "Kalau begitu apa yang kau maui, isteriku? Apakah perlu kita ke Ce-bu?"

"Benar, aku ingin menengok ayah, suamiku. Dua tahun ini kita tak berkunjung!"

"Baiklah, aku setuju. Tapi berita ini ingin kurayakan!"

"Kau mau apa?"

"Ha-ha, memanggang kelinci utuh, isteriku. Memasaknya di depanmu seperti dulu kita berbulan madu!"

"Ih....!" dan sang isteri yang melirik genit tiba-tiba disambar dan dipeluk suaminya, terbahak dan untuk sejenak masalah mimpi itu dapat dilupakan. Swat Lian terlena dan mabok dalam pelukan suaminya. Begitulah mereka selama ini, saling mencinta dan masih tetap mencinta.

Dan ketika Kim-mou-eng membawa isterinya ke kamar dan di situ pendekar ini menumpahkan segala rindu dan cintanya maka sang isteri terlena dan bahagia dalam pelukan suami, telah mendapatkan janji bahwa besok mereka ke Ce-bu. Hari itu suaminya ingin bersenang-senang dulu menyambut berita kehamilan ini, memanggang kelinci utuh dan kegembiraan mereka bangkit lagi seperti dua puluhan tahun yang lalu, yakni ketika mereka berbulan madu dan menikmati kelinci panggang di hutan, asyik dan berdua dan tak ada orang yang mengganggu. Dan ketika sehari itu Pendekar Rambut Emas memanja isterinya dan Swat Lian ternina bobok maka malamnya mereka bercumbu dan bercinta lagi.

"Ih, seperti anak muda saja," sang isteri mengomel, tertawa. "Bukankah siang tadi cukup, suamiku? Masa minta tambah?"

"Ah, aku lagi bahagia mendengar kehamilanmu, isteriku. Entahlah kenapa aku begini bergairah!" Kim-mou-eng tertawa, merangkul isterinya itu dan untuk kedua kali mengajak bercinta. Kiranya pendekar ini lagi in dan sedang hangat-hangatnya, didorong kegembiraan dan kebahagiaannya mendengar berita isterinya itu. Dan ketika semalam mereka memuaskan diri dan keesokannya mandi dengan segar maka suami isteri itu berangkat ke selatan, ke Ce-bu.

"Kami hendak ke selatan, jaga baik-baik tempat ini."

Pendekar Rambut Emas itu meninggalkan pesan. Bangsa Tar tar memaug sudah biasa ditinggalkan pemimpinnya itu, yang diwakili mengangguk dan berkelebatlah suami isteri itu meninggalkan padang rumput. Dan ketika mereka bergerak dan melakukan perjalanan panjang maka Swat Lian teringat masa-masa manis mereka, sering berhenti di satu dua tempat dan sang suami mengikuti. Urusan Thai Liong maupun Soat Eng tak begitu mengkhawatirkan mereka, anak-anak itu sudah dapat menjaga diri sendiri dan kepandaian mereka lebih dari cukup.

Dan ketika hari ketiga mereka baru tiba di Ce-bu mendadak mereka dibuat terkejut oleh lolong uwak Lu, yang datang-datang langsung menjerit. "Aduh, celaka, Kim-taihiap... celaka! Aku ditipu....!"

"Eh, ada apa?"

"Celaka, aku.. ah, aku tertipu, hujin (nyonya). Seseorang datang ke sini dan menipu aku. Ayahmu tentu marah-marah!" dan uwak Lu yang tersedu menjatuhkan diri berlutut lalu mengguguk dan meratap di bawah kaki Swat Lian, tadi melolong kepada Pendekar Rambut Emas tapi sekarang menangis di depan Swat Lian.

Tentu saja suami isteri itu heran dan tertegun. Swat Lian tak melihat bayangan ayahnya di situ dan wanita ini berdebar, memberi isyarat pada suaminya dan Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berkelebat, masuk dan menyelidiki isi rumah. Tapi ketika pendekar itu tak melihat Hu Beng Kui dan mertuanya entah ke mana maka dia menggeleng dan kembali lagi ke situ.

"Gak-hu (ayah mertua) tak ada. Rumah ini sepi!"

Swat Lian memandang uwak Lu, membangunkannya. "Ke mana ayah? Tak ada di rumah?"

"Tidak, dan... ah, celaka, hujin. Justeru karena ayahmu tak ada maka seorang pemuda menipu aku!"

"Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa tertipu?"

"Aku... aku..."

"Kita masuk ke dalam," Kim-mou-eng tiba-tiba berkata, menarik lengan uwak itu. "Kau ceritakan kepada kami di dalam saja, uwak Lu. Jangan menangis di sini menarik perhatian orang!" dan menyambar uwak itu masuk ke dalam segera Swat Lian mengikuti, berkelebat dan suami isteri gagah itu telah memasuki tempat tinggal Hu Beng Kui. Swat Lian melihat rumah ini masih bersih dan terawat, tanda uwak itu menjaga tempat tinggal ayahnya dengan baik. Dan ketika mereka duduk dan suaminya menyuruh uwak itu bercerita maka uwak ini memukul-mukul kepalanya sendiri.

"Aku bodoh... aku menyesal! Ah, aku takut kemarahan ayahmu, hujin. Aku takut dibunuh!"

"Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis melulu? Sudahlah, tahan kesedihanmu, uwak Lu. Ceritakan yang baik dan hapus air matamu!"

"Tidak, aku... ah!" dan uwak ini yang menangis lagi tiba-tiba menggerung dan memukul-mukuli kepalanya, pucat dan gemetar dan akhirnya Pendekar Rambut Emas menenangkan wanita tua ini.

Dengan tepukan halus di punggung Pendekar Rambut Emas itu menghibur uwak Lu, berkata bahwa dia dapat menolong dari kemarahan ayah mertuanya. Dan ketika wanita itu bersinar-sinar dan menggigil memandang Pendekar Rambut Emas maka dengan penuh harap dia gemetar bertanya,

"Taihiap betul-betul dapat menolongku? Taihiap dapat melindungi aku dari kemarahan loya (majikan tua)?"

"Tentu, dan ada isteriku di sini, uwak. Tak perlu kau khawatir karena kesalahanmu tentu tidak disengaja."

"Benar! Memang tak kusengaja, taihiap. Dan pemuda itu, ah.... dia lihai namun jahat!"

"Siapa dia?" Swat Lian bertanya. "Kenapa kau selalu menyebut-nyebut pemuda ini? Lekaslah bercerita, uwak Lu. Dan katakan ke mana ayah pergi!"

"Hu-taihiap ke Sam-liong-to..."

"Apa?"

"Benar, loya ke Sam-liong-to, hujin. Entah ada apa dan aku sudah menasihatinya untuk ke tempat kalian dulu. Apakah tidak ke sana?"

"Tidak, kalau ke sana tentu kami tak akan ke sini!"

"Hm, apa yang terjadi?" Kim-mou-eng mengambil alih percakapan. "Kenapa belum kau ceritakan kepada kami kejadian di sini, uwak Lu? Apa yang menyebabkan kau menangis dan tampat ketakutan?"

Uwak itu tiba-tiba menangis lagi. "Cermin Naga, taihiap... masalah Cermin Naga....!"

"Cermin Naga?" Pendekar Rambut Emas terkejut. "Ada apa dengan cermin itu?"

"Hilang, dicuri pemuda jahat itu!"

"Apa? Hilang dicuri orang?"

"Benar, hilang dibawa pemuda itu, taihiap. Dan aku tertipu!" dan uwak Lu yang lagi-lagi menangis sampai mengguguk akhirnya membuat Pendekar Rambut Emas tertegun dan isterinya bangkit berdiri, kaget oleh berita ini dan Swat Lian menggigil. Berita itu hebat. Hilangnya Cermin Naga berarti bahaya!

Dan ketika wanita itu mendorong dan mengangkat bangun wanita ini segera Swat Lian bertanya, menggigil, "Uwak Lu, bagaimana terjadinya? Kapan dan siapa pemuda itu?"

"Inilah celakanya," wanita itu tersedu-sedu. "Aku tak tahu dan tak mengenal pemuda itu, hujin. Dia bangsat keparat yang menipu aku. Jahanam pemuda itu, terkutuk dia!"

Dan wanita ini yang menangis tak dapat menahan marahnya tiba-tiba menubruk dan memeluk kaki Swat Lian, minta agar wanita itu melindunginya dari kemarahan Hu-taihiap. Kelengahannya tak dapat menjaga rumah dianggapnya dosa tak berampun, apalagi menyangkut Cermin Naga, benda yang dulu menghebohkan dunia itu. Dan ketika Swat Lian tertegun dan pucat memandang wanita ini maka Pendekar Rambut Emas menarik napas dan mengangkat bangun wanita itu.

"Uwak Lu, kau tak perlu menyesali diri berlebih-lebihan. Kau ceritakanlah siapa pemuda itu dan biar kami cari. Asal kau dapat memberikan ciri-cirinya tentu kami akan dapat menangkapnya. Bangunlah, dan jangan takut!"

"Taihiap mau menangkap pemuda itu?"

"Kalau kau memberikan data selengkapnya, uwak Lu. Bangun dan ceritakanlah kepada kami."

"Dia pemuda tinggi besar, kulitnya kehitaman!" uwak ini mengingat-ingat, bangkit berdiri dengan tinju terkepal. "Dan dia menipuku habis-habisan, taihiap. Ah, terkutuk pemuda itu!"

"Hm, tak perlu memaki. Kami dapat mencarinya asal kau memberi keterangan, uwak Lu. Coba ceritakan dan tahan emosimu."

Uwak Lu lalu menceritakan. Dia bercerita bahwa tiga hari yang lalu datang seorang pemuda, gagah dan tampan dan sikapnya simpatik. Pemuda ini katanya diutus Hu-taihiap untuk mengambil sesuatu, minta agar uwak itu mengambilkannya. Dan karena Hu-taihiap adalah bengcu dan sering kali murid-murid ketua partai datang dan diutus menemui jago pedang ini maka uwak Lu tak curiga.

Apalagi pemuda itu datang dengan maksud baik-baık, sikapnya ramah, dan wajahnya meskipun kehitaman namun gagah. Uwak ini tak curiga dan bertanya barang apa yang diminta pemuda itu. Dan ketika pemuda itu berkata bahwa yang diminta Hu-taihiap adałah sebungkus bungkusan yang ditaruh di kamar maka uwak ini agak terkejut meskipun heran.

"Bungkusan apa?"

"Entahlah aku diminta menemuimu, uwak Lu. Dan ini surat pengantar Hu-taihiap!" pemuda itu menunjukkan surat pengantar yang dibawa, terdapat tulisan Hu-taihiap dan dibawah terdapat pula cap dari seorang bengcu. Jadi uwak itu percaya dan mengantar pemuda ini ke kamar si jago pedang. Dia mempersilahkan pemuda itu memasuki kamar, bersamanya, tentu saja berhati-hati dan agak berdebar. Maklumlah, tak biasa dia memasuki kamar jago pedang itu dengan seorang asing. Dan ketika uwak itu mencari-cari bungkusan namun tak menemukannya maka pemuda itu memandang ke atas, ke langit-langit kamar.

"Barangkali di situ, uwak Lu. Dapatkah kau memeriksanya?"

"Ah tempat itu tinggi, anak muda. Aku orang tua jelas tak mungkin dapat memanjatnya!"

"Kalau begitu biarkan aku memeriksa," dan si pemuda yang sudah meloncat dan melayang naik tiba-tiba memeriksa langit-langit ruangan, benar saja menemukan sesuatu dan pemuda itu berseru girang. Dia berjungkir balik dan meloncat turun. Dan ketika di tangannya terdapat sebuah bungkusan di mana cepat dia membuka maka uwak Lu terkejut melihat sepasang benda berkilau di tangan pemuda itu.

"Ha-ha, Cermin Naga!" pemuda itu berseru. "Terima kasih, aku berhasil, nenek bodoh. Dan sekarang kau boleh pergi.... dess!"

Uwak Lu ditendang, mencelat dan terlempar dan uwak itu kaget. Dia terpekik mendengar bahwa benda di tangan pemuda itu adalah Cermin Naga, benda yang amat dikeramatkan majikannya! Dan ketika dia mencelat dan terguling-guling ditendang pemuda itu maka pemuda ini berkelebat dan keluar dengan tawa yang aneh, luar biasa girang.

"Ha-ha, aku akan menjadi jagoan, suhu. Aku akan sejajar dengan Pendekar Rambut Emas atau See-ong!"

Uwak Lu memaki-maki. Wanita ini bangkit dan berlari tergesa-gesa, mengejar pemuda itu. Tapi ketika dia tiba di luar dan pemuda itu berkelebat tiba-tiba pemuda ini lenyap dan tertawa-tawa di kejauhan sana, entah di mana. "Begitulah, aku menangis berhari-hari, taihiap. Dan aku takut kemarahan loya!"

"Hm, memang benar," Pendekar Rambut Emas mengangguk. "Tapi kesalahanmu tak mutlak, uwak Lu. Dan aku tentu akan membantumu. Sekarang, ke manakah pemuda itu pergi?"

"Aku tak tahu, taihiap. Tapi dia ke timur!"

"Hm, Sam-liong-to?" sang pendekar menoleh, memandang isterinya. "Bagaimana pendapatmu, isteriku?"

"Mungkin," Swat Lian menggigil, merah padam. "Barangkali pemuda jahat itu ke sana, suamiku. Tapi kenapa dia harus ke sana? Apakah dia tahu akan Sam-liong-to?"

"Entahlah, aku hanya meraba-raba. Tapi betapapun kita harus mencari pemuda itu."

"Benar, dan aku akan membekuknya. Kita hajar pemuda itu dan harus dikembalikannya Cermin Naga!"

"Hujin mau pergi?" uwak Lu tiba-tiba meratap. "Bagaimana kalau aku ikut?"

"Apa?" Swat Lian mengerutkan kening, "Ikut? Untuk apa?"

"Aku... aku takut, hujin. Takut ayahmu marah kalau kau tak ada di sini. Tentu Hu-taihiap akan menghajarku dan membunuhku!"

"Tidak," wanita ini berkata. "Ayah tak akan membunuhmu, uwak Lu. Aku akan memberi sepucuk surat sebagai pelindung!"

"Benar," Kim-mou-eng tiba-tiba teringat. "Dan tunjukkan padaku surat dari pemuda itu, uwak Lu. Barangkali kami akan bisa mendapat petunjuk dari sini!"

Uwak itu tertegun. Sekejap dia membelalakkan mata namun mengangguk, cepat merogoh dan mengambil sepucuk surat dari si pemuda. Dan begitu menyerahkannya dan dibaca Pendekar Rambut Emas tiba-tiba pendekar ini bersinar-sinar dan ganti menyerahkannya kepada isterinya. "Mirip, tapi palsu! Bagaimana keteranganmu, Lian-moi?"

"Hm," Swat Lian membaca, mengamati. "Surat ini bukan tulisan ayah, suamiku. Dan pemuda itu ketahuan belangnya. Huruf 'S'-nya tak seperti ayah. Terlalu kokoh dan kaku!"

"Benar, tapi selintas kemiripannya tak ada beda, isteriku. Dan cap itu pun asli!"

"Ya, cap ini asli. Apa yang terjadi?" Swat Lian bersinar-sinar, mengepal tinju karena cap di surat itu asli. Dia jadi bingung dan khawatir, tak biasa ayahnya itu memberikan cap pada sembarang orang. Dan ketika pertanyaan itu tak dapat dijawab karena mereka memang tak tahu apa yang terjadi maka Pendekar Rambut Emas mengajak isterinya berangkat.

"Nanti dulu!" uwak Lu tergesa-gesa. "Kau belum memberikan suratmu, hujin. Bisa celaka aku nanti!"

Swat Lian teringat. Cepat dia menyambar kertas dan suaminya pun sudah menyodorkan pena, sebatang pit hitam dan wanita itu pun sudah mencorat coret di atas kertas ini. Dan ketika selesai dan menyodorkannya kepada wanita tua ini Swat Lian berkata, "Nah, ini dapat melindungimu dari kemarahan ayah, uwak Lu. Simpan dan jaga baik-baik."

"Dan ji-wi (kalian berdua) tetap berangkat?"

"Tentu, kami akan mencari ayah, uwak Lu. Juga pemuda siluman itu!"

"Ah, hati-hati di jalan, hujin. Semalam aku mimpi tak baik. Kalian... ah, kalian dan loya..."

"Ada apa dengan loya?"

"Banjir! Semalam aku mimpi banjir, hujin. Loya hanyut dan tenggelam!"

"Slap!" Swat Lian terkesiap. Tiba-tiba dia menoleh dan memandang suaminya, muka berubah dan Kim-mou-eng pun tertegun. Mimpi yang dialami uwak Lu hampir mirip dengan mimpi isterinya, yang selama ini sudah membuat gundah. Dan ketika isterinya menjublak dan muka yang cantik itu merah mau menangis tiba-tiba Pendekar Rambut Emas merangkul pundak isterinya.

"Sudahlah, mimpi hanya kembang tidur. Kita berangkat dan jangan hiraukan uwak Lu!" dan berkelebat meninggalkan uwak itu Pendekar Rambut Emas mengajak isterinya pergi, lenyap dan terbang meninggalkan Ce-bu dan wanita tua itu melongo. Untak kesekian kalinya dia dibuat kagum oleh suami isteri yang hebat ini, tadi datang seperti siluman dan sekarang pun seperti siluman.

Tapi begitu sadar dan menjerit tertahan tiba-tiba uwak ini mengejar. "Taihiap, hujin... hati-hati. Awas diperjalanan!"

Kim-mou-eng tersenyum. Dari jauh dia mengucap terima kasih dan menyuruh uwak itu menjaga rumah baik-baik. Dia hendak pergi dan biarlah uwak itu menunggu majikannya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas terbang dan meninggalkan rumah mertuanya maka di sepanjang jalan isterinya menangis. "Eh," Pendekar Rambut Emas menegur. "Ada apa kau ini, isteriku? Kenapa menangis dan mengeluarkan air mata melulu?"

"Aku... aku khawatir akan ayah, suamiku. Aku takut oleh mimpi uwak Lu dan mimpiku sendiri!"

"Ah, mimpi tak dapat dipercaya, isteriku. Kadang-kadang cocok tapi kebanyakan tidak. Seharusnya kau tak terpengaruh mimpi dan bersikap wajar...."