Istana Hantu Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 04
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"HEH-HEH, ini Sam-liong-to, Ji-moi? Hei, kalian melawan siapa?"

Lalu, ketika manusia cebol itu berkelebat dan lenyap seperti siłuman tahu-tahu di tempat itu muncul kakek kate ini, tertawa-tawa dan Siang Le tertegun, See-Ong sendiri juga tertegun karena dia teringat satu dari Enam Iblis Dunia yang lain, yakni kakek cebol itu, Hek-bong Siauwjin (Manusia Busuk Dari Kubur). Dan ketika kakek cebol itu tertawa dan berhenti disitu maka matanya berputaran memandang pertandingan antara See-ong dan nenek Naga serta Toa-ci.

"Weh! Siapa ini, Toa-ci? Tua bangka dari mana yang hebat begini? Ha-ha kalian kalah? Hai, lempar tubuhmu ke kiri, Toa-ci. Awas pukulan!" Siauw-jin, setan cebol itu berseru, melihat munculnya See-ong dan seperti jin sakti saja tahu-tahu kakek tinggi besar itu menghantam lawannya. Dan ketika Toa-ci terpelanting karena kalah cepat maka kakek cebol itu tertegun, dimaki temannya.

"Tutup mulut!" Toa-ci membentak. "Ini See-ong, Siauwjin. Hayo maju dan bantu kami!"

"Apa?" kakek cebol itu berkedip-kedıp. "Aku membantu kalian? Kalian terang-terangan meminta bantuan?"

"Keparat, serang kakek siluman ini, Siauwjin. Jangan pentang bacot atau kau kubunuh...wutt!" nenek Naga membentak, gemas dan benar-benar melakukan serangan ke kakek cebol itu. Dalam kemarahan dan geramnya nenek ini mendorongkan kedua lengannya melepas Tee-sin-kang (Pukulan Bumi), bersiut dan menyambar kakek cebol itu. Dan ketika Siauwjin tertawa berjungkir balik maka pukulan itu meledak di bawah dan tanah tempatnya berpijak hancur dihantam pukulan ini.

"Dess!" Siauw-jin terbahak-bahak. Melayang turun dengan jungkir balik yang indah kakek itu telah berdiri lagi di tempat yang lain, dikejar dan terpaksa dia menangkis. Dan ketika Toa-ci melengking karena dua temannya saling serang sendiri maka nenek itu terbanting ketika See-ong muncul dan menghantam punggungnya.

"Keparat!" nenek itu bergulingan. "Jangan menyerang teman sendiri, nenek Naga. Serang dan robohkan kakek ini!" dan membentak pada setan cebol itu Toa-ci melengking, "Siauwjin, jangan layani nenek siluman itu. Terjun dan bantulah kami!"

See-ong tertawa bergelak. "Boleh!" serunya. "Maju kalian bertiga, Siauw-jin. Biarlah kurobohkan kalian semua dan lihat kehebatan See-ong!"

"Ha-ha," Siauw-jin terkekeh menggelengkan kepalanya. "Nenek siluman itu telah menyerangku, See-ong. Aku harus membalas dan biar kubantu kau!" Siauwjin berkelebat, membuat See-ong melengak karena kakek cebol itu membantu dirinya. Tapi ketika Siauwjin berada di dekatnya dan berkata mau menyerang nenek Naga sekonyong-konyong kakek itu menggerakkan lengannya ke kiri dan See-ong dihantam.

"Dess!" See-ong kaget terguling-guling. Seumur hidup memang See-ong belum mengenal kebusukan lawan, bahwa apa yang dikata Siauwjin bisa kebalikannya dan iblis cebol itu memang licik sekali. Kecurangannya membuat dia dijuluki Si Busuk, apa yang dikata belum tentu dilakukan. Maka begitu Siauwjin menghantamnya dan nenek Naga terkekeh-kekeh barulah See-ong sadar bahwa si cebol itu menipunya.

"Keparat!" See-ong meloncat bangun. "Bedebah kau, Siauw-jin. Benar-benar busuk dan licik!"

"Hi-hik!" nenek Naga terkekeh-kekeh. "Kau yang bodoh, See-ong. Mana mungkin kami Enam Iblis Dunia saling bunuh sendiri? Otakmu yang bebal, satu kosong untuk kemenangan Siauwjin!" dan nenek itu yang tertawa demikian geli tiba-tiba berseru agar Siauwjin mengulang kecurangannya, menghantam kakek tinggi besar itu lagi tapi See-ong lenyap mengerahkan Hek-kwi-sutnya. Kakek ini marah karena Siauwjin menipunya, die terkecoh mentah-mentah. Dan ketika dia lenyap dan Siauwjin menyeringai mengerutkan kening tahu-tahu See-ong berkelebat dalam bentuk badan halus dan ganti dihantamnya setan cebol itu.

"Awas!" Seruan Toa-ci terlambat.

Siauwjin melempar tubuh namun terkena juga, pukulan See-ong menghantamnya dan kakek itu terbanting. Dan ketika See-ong tertawa bergelak dan Siauwjin maki-maki maka kakek tinggi besar itu mengejeknya,

"Nah, itu kebodohanmu, Siauw-jin. Gampang dipukul dan untung kau tidak mampus!"

"Keparat!" kakek cebol itu melotot. "Kau lihai, See-ong. Tapi aku akan berhati-hati sekarang.... haitt!" dan Siauw-jin yang mencelat mengambil senjatanya tiba-tiba membabat ketika asap See-ong menyambar, luput dan See-ong terbahak-bahak. Siauw-jin menyerang lagi namun roh halus kakek tinggi besar itu lenyap lagi, benar-benar seperti siluman.

Dan ketika Siauwjin kebingungan namun Toa-ci dan nenek Naga melengking tinggi tiba-tiba mereka sudah maju membantu dan tampaklah kini asap putih dari roh See-ong yang dikejar-kejar tiga orang itu, dihantam dan dipukul tapi Sse-ong selalu menghindar. Gerak atau kecepatan roh kakek itu jauh lebih cepat dibanding gerak atau kecepatan lawan, padahal Toa-ci dan dua temannya adalah orang-orang yang sudah terkenal di dunia kang-ouw. Dan ketika See-ong tertawa-tawa dan pertandingan menjadi aneh karena tiga orang lawan menyerang atau mengeroyok sebuah badan halus maka di sana Siang Le justeru jatuh banguo dihajar nenek Ji-moi.

"Keparat!" nenek itu juga marah-marah. "Kau kuat dan hebat sekali, anak muda. Kekebalanmu luar biasa dan mengagumkan!"

"Hm," Siang Le bermandi keringat. "Kau yang hebat, nenek siluman. Tapi kau tak dapat mengalahkan aku!"

Soat Eng kagum. Sejak melihat pertandingan itu gadis ini mendecak dan menggeleng berkali-kali. Apa yang dilihat memang mengagumkan hatinya dan mau tak mau dia mendesis. Setelah sekarang Siang Le mengeluarkan segenap kepandaiannya dan dapat melayani nenek Ji-moi meskipun jatuh bangun namun gadis itu memuji juga. Siang Le memiliki tubuh dan tulang yang kuat. Berapa kali pun dia dibanting tetap saja pemuda itu dapat bangkit terhuyung dan melawan lagi, tak apa-apa dan itu semua berkat Sin-re-ciangnya. Ilmu Karet itu telah membuat tulang dan tubuh pemuda itu lemas, selemas karet, betapapun dibanting tetap juga mental dan tak apa-apa.

Satu-satunya jalan barangkali harus mempergunakan senjata tajam, nenek Ji-mo mulai berpikir ke situ dan melotot. Maka ketika untuk kesekian kalinya lagi pemuda itu tak apa-apa menerima tamparannya maka keluarlah senjatanya yang aneh garpu ukuran besar yang pantasnya dipakai seorang raksasa. Lalu, begitu membentak dan lenyap lagi dalam ilmu hitamnya tiba-tiba nenek itu telah berkelebat dan menghunjamkan garpunya ke tenggorokan pemuda ini.

"Awas....!"

Siang Le terkejut. Dia bukan terkejut oleh serangan itu, yang dilihatnya, melainkan terkejut oleh teriakan Soat Eng. Gadis itulah yang berteriak dan teriakannya mengandung kekhawatiran. Siang Le tertegun tapi tiba-tiba bangga, girang! Maka ketika garpu menyambar dan tenggorokannya ditusuk tiba-tiba pemuda itu menangkis dan tenaga Karet dirobah menjadi tenaga Besi (Tiat-kang).

"Plak!" garpu itu terpental. Ji-moi tersentak karena lawan merobah tenaganya, dari lemas menjadi keras. Dan ketika ia gagal dan Siang Le tertawa maka pemuda itu menoleh pada Soat Eng dan berseru,

"Terima kasih, nona. Perhatianmu membesarkan semangatku!"

Soat Eng merah padam. Sebenarnya tak ada maksud di hatinya untuk "membesarkan" semangat pemuda itu. Siang Le adalah musuhnya dan pemuda itu murid See-ong. Tapi karena teriakannya terlanjur diserukan dan pemuda itu menangkap maka gadis ini melengos dan akhirnya diam saja, marah karena Siang Le berterima kasih. Aneh! Dan ketika gadis itu melengos dan Ji-moi menyambar lagi namun gagal maka nenek itu melotot memandang gadis yang roboh tertotok itu.

"Siapa dia?"

"Kim-siocia!" Siang Le menjawab, bangga. "Kau sekarang tak dapat merobohkan aku, nenek siluman. Gadis itu mendorong semangatku!"

"Hm," nenek itu mendengus. "Aku tak tanya dorongan semangatmu, bocah. Melainkan siapa gadis yang kurang ajar itu, yang rupanya ada perhatian kepadamu!"

"Dia Kim-Siocia, puteri Kim-taihiap!" Siang Le menjawab, meskipun mandi keringat. "Ada apa kau menanyainya, nenek siluman? Apakah takut?"

"Keparat, siapa takut? Siapa Kim-taihiap yang kau maksud?"

"Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas!" dan begitu Siang Le menerangkan sambil tertawa tiba-tiba nenek Ji-moi terkejut.

"Apa? Pendekar Rambut Emas? Dia itu puterinya?"

"Betul, dia puterinya, nenek siluman. Dan kebetulan suhu menangkapnya. Ada sedikit kesalahpahaman di antara kami.... wut!"

Siang Le menghentikan kata-katanya, mengelak dan kaget karena tiba-tiba nenek itu melepas garpunya. Senjata itu meluncur dan hampir saja mengenai matanya. Dan ketika Siang Le membanting tubuh dan kaget serta berteriak keras tiba-tiba Ji-moi berkelebat dan tertawa menyambar gadis itu.

"Hi-hik, bagus kalau begitu, bocah. Gadis ini menjadi bagianku dan kau pergilah!" Ji-moi menyambar Soat Eng, meraih gadis itu namun Siang Le membentak dari belakang.

Garpu yang hampir mengenai mukanya diraup, dilontar dan tiba-tiba senjata itu menyambar punggung Ji-moi. Siang Le masih menyusulnya lagi dengan lompatan panjang, mengulurkan lengannya dan keluarlah ilmu karet itu, Sin-re-ciang. Dan ketika nenek Ji-moi terkejut karena jari-jari pemuda itu mulur dan mencengkeram lehernya tiba-tiba nenek ini membalik dan terpaksa menyambut, berseru keras.

"Dess!" Dua orang itu terpental Ji-moi membiarkan garpu runtuh menyambar punggungnya, sudah melindungi diri. Dan ketika Siang Le terguling-guling namun dapat mencegah lawannya merampas Soat Eng maka pemuda itu berteriak dan melihat lagi dua bayangan di pantai, terkejut karena dari jauh terdengar geraman menggetarkan. Sesosok kakek tinggi besar muncul seperti gorila, pakaiannya hitam-hitam dan di sebelah kakek itu meluncur seorang kakek tinggi kurus yang lain, mukanya pucat dan seperti hantu. Dan ketika bayangan itu berkelebat dan memanggil nama Ji-moi tahu-tahu dua bayangan itu sudah berada di situ dan kakek tinggi besar ini menggerak-gerakkan lengannya.

"Heh, siapa ini, Ji-moi? Dan siapa tua bangka yang dikeroyok itu?"

"Keparat, itu See-ong, Tok-ong (Raja Racun). Dan yang ini muridnya. Bantu kami!" Ji-moi berseru melotot, tadi marah karena Soat Eng gagal dirampas. Murid See-ong itu menyerangnya dan terpaksa dia melepaskan korbannya, mendelik dan kakek tinggi besar yang baru datang itu tertegun. Tapi ketika terdengar tawa aneh di mulutnya dan mata yang besar itu berkejap-kejap liar tiba-tiba kakek ini menerkam Siang Le.

"Heh, kau robohlah!"

Siang Le terkejut. Kakek seperti gorila itu menubruk, kedua tangannya tahu-tahu sudah dekat dengan pundaknya dan Siang Le marah. Dan karena dia tak mengenal siapa kakek ini namun dapat menduga tentu seorang di antara Enam Iblis Dunia maka Siang Le membentak dan menangkis, membalik.

"Plak!"

Kakek itu tergetar. Siang Le terhuyung namun tidak apa-apa, lawan menggereng dan tampak kaget. Dan ketika kakek itu tertegun dan Ji-moi terkekeh tiba-tiba nenek itu berseru, "Tok-ong, hati-hati. Murid See-ong itu cukup lihai!"

"Hah, kau mengejekku? Keparat, aku akan membekuknya, Ji-moi. Dan kau lihat... wut!" kakek itu menubruk lagi, tangan mencengkeram dan Siang Le menangkis. Dan ketika kakek itu tergetar dan kembali terdorong maka Tok-ong, kakek ini terbelalak, maju dan membentak lagi dan keluarlah pukulan-pukulan yang amat dahsyat, kian lama kian dahsyat.

Dan Siang Le kewalahan. Dia baru dihajar nenek Ji-moi dan mandi keringat, kini muncul lawan baru yang tidak kalah tangguh. Dan ketika dia menangkis tapi roboh terlempar maka kakek itu tertawa dan mengejar lagi, menggeram dan pukulan berbau busuk menghantam, Siang Le berkelit dan pukulan itu pun meledak di sisi kepalanya. Dan ketika tanah menjadi amblong dan dia sudah diburu dengan pukulan dan cengkeraman tiba-tiba nenek Ji-moi terkekeh dan menubruk Soat Eng!

"Hi-hik, bagus, Tok-ong. Robohkan pemuda itu dan biar kutangkap si setan betina ini!"

Siang Le kaget. Dia terkejut melihat berkelebatnya Ji-moi ke tempat Soat Eng apa boleh buat menggulingkan tubuh ke sana dan Sin-re-ciang menyambar. Dan ketika nenek itu kaget karena di saat sulit masih saja pemuda itu bisa menyerangnya maka nenek ini menendang dan lengan karet pemuda itu terpental. Ji-moi mengumpat karena untuk kedua kalinya dia gagal menangkap Soat Eng. Dan ketika Siang Le meloncat bangun dan jari tangannya bergerak tiba-tiba pemuda itu membebaskan totokan Soat Eng dari jauh.

"Kim-siocia, bangun. Aku tak dapat melindungimu!"

Soat Eng menggerakkan kakinya. Tiba-tiba ia bebas dan dapat bergerak, meloncat bangun dan berjungkir balik. Dan ketika Siang Le diserang Tok-ong lagi dan repot menghindarkan diri maka nenek Ji-moi tertegun memandangnya, melengking dan tiba-tiba berkelebat dan sebuah pukulan menyambar gadis ini. Soat Eng menangkis namun masih kaku, terbanting dan bergulingan menjauh. Dan ketika dia selamat dan dapat meloncat bangun lagi maka Siang Le tertawa melihat gerakan gadis itu.

"Bagus, dan bebaskan totokan kakakmu, nona. Hadapi musuh-musuhmu tapi hati-hatilah!"

Ji-moi marah. Setelah Soat Eng bebas dan dapat bergerak kembali tentu saja dia gusar. Nenek ini jadi tak mengerti sikap Siang Le, kenapa pemuda itu membebaskan musuh yang sudah dirobohkan gurunya. Tapi melihat Soat Eng mau membebaskan totokan kakaknya dan gadis itu berkelebat tiba-tiba nenek ini membentak dan mendorong dari belakang, menghantam dan Soat Eng terpaksa menangkis, membalik. Dan ketika gadi itu tak terlempar lagi karena tenaganya sudah pulih maka gadis ini melengking menyerang nenek itu, dikelit dan dikejar dan ganti nenek Ji-moi diserang. Dan ketika dua tiga kali nenek itu mengelak dan berhasil menyelamatkan diri maka pukulan Soat Eng yang terakhir akhirnya ditangkisnya.

"Plak!" Tamparan nenek itu membuat keduanya tergetar. Nenek Ji-moi kaget karena lagi-lagi seorang gadis muda mampu menahan pukulannya, tadi Siang Le sekarang Soat Eng. Maka melengking dan membentak marah tiba-tiba nenek itu membalas dan menerjang Soat Eng, mendelik dan memandang penuh kebencian karena inilah puteri Kim-mou-eng, musuh besarnya, orang yang telah mengalahkan dirinya dan lima temannya yang lain, cucu Hu-taihiap, jago pedang yang sombong itu!

Dan begitu nenek ini membentak dan menerjang marah tiba-tiba pukulan dan tamparannya meledak bertubi-tubi, diiring bentakan dan makian dan Soat Eng melompat sana-sini, mengelak dan membalas dan segera dua orang itu bertanding seru. Soat Eng juga marah karena nenek ini mau menangkapnya. Tadi kalau Siang Le tak membebaskan dirinya tentu dia sudah di cengkeraman nenek ini. Maka begitu membentak dan melengking maju gadis ini pun membalas lawannya dan bertempurlah dua orang itu, desak-mendesak dan Ji-moi kaget. Gadis ini dapat menahan pukulannya dan nenek itu marah. Dan ketika di sana Siang Le juga bertempur dan bertanding sengit maka See-ong terbahak bahak menghadapi tiga lawannya.

"Ha-ha, selamat datang, Enam Iblis Dunia. Sekarang kalian lengkap datang ke mari. Hayo, lawanlah aku dan keroyok sesuka hati!"

Toa-ci menyumpah. Nenek tetua dari Sepasang Dewi Naga ini membentak, tangan bergerak dan muncullah senjatanya yang aneh, sendok. Dan ketika Naga Bumi juga melengking dan mencabut senjatanya maka nenek itu sudah memegang sebatang jarum yang panjang dan berkilauan.

"Keparat, jangan sombong, See-ong. Kau masih belum merobohkan kami bertiga!"

"Ha-ha, tak jadi soal. Merobohkan kalian tinggal menghitung waktu saja, nenek siluman. Sekali tiup tentu kalian terjungkal!"

"Keparat, mana buktinya? Hayo, tiup kami bertiga, See-ong. Coba kulihat mana buktinya!" nenek Naga meluap, sejak tadi tak dapat mendesak lawan bahkan didesak. Enam kali dia mendapat pukulan See-ong dan enam kali itu pula dia terbanting. Kalau bukan nenek ini tentu sudah mampus atau kelengar, nenek itu terkejut dan diam-diam gentar. See-ong ternyata lihai dan benar-benar hebat. Dan ketika nenek itu melengking dan membentak marah maka Siauw-jin justeru terkekeh-kekeh namun kedua matanya berputar keji.

"Sudahlah," katanya. "Tak usah meladeni raksasa ini, Naga Bumi. Kalau dia lelah tentu akan roboh tanpa kita dorong. Lebih baik terus serang dan kita berputaran!" setan cebol itu licik, selalu menyerang di belakang dan See-ong dikerubut. Yang mereka serang hanyalah sebentuk asap yang putih memanjang, itulah asap atau bentuk halus dari jasad See-ong.

Kakek ini mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan kakek tinggi pucat, yang berdıri di situ dan bukan lain Cam-kong Ho Hong Siu adanya tertegun, memandang pertempuran dan tokoh amat lihai dari Enam lblis Dunia ini tak berkejap. Sejak tadi dia mengamati jalannya pertandingan dan kaget serta kagum melihat cara See-ong menghadapi teman-temannya. Dan ketika asap putih itu berkelebatan dan lincah mengelak sana-sini maka kakek ini tiba tiba berkemak-kemik, mengerahkan ilmu suaranya dari jauh,

"Siauw-jin, sebaiknya kalian mempergunakan ilmu hitam pula. Coba hadapi kakek itu dengan cara seperti kita dulu menghadapi Kim-mou-eng!"

"Tak bisa," si setan cebol menjawab, juga dengan ilmunya mengirim suara dari jauh. "See-ong ini memiliki Hek-kwi-sut yang jauh lebih tinggi daripada ilmu hitam biasa, Cam-ong. Kalau kau mau maju dan membantu kami barangkali lebih baik."

"Hm, coba dulu, Siauw-jin. Kalau tak berhasil tentu aku maju!"

"Baiklah," dan Siuwjin yang tiba-tiba membentak mengajak teman-temannya menghilang dalam ilmu hitam tiba-tiba merobah bentuknya, lenyap dalam segulung asap hitam dan kini asap hitam itu menyerang asap putih.

Roh atau jasad halus dari See-ong diserang asap hitam dari tubuh Siauw-jin, dikejar namun See-ong terbahak, menumbuk dan menghajar asap hitam dari setan cebol ini. Dan ketika Siauw jin terpental dan berteriak terlempar maka berturut-turut nenek Naga dan Toa-ci juga membentak hilang, lenyap dalam ilmu hitamnya dan kini tiga asap bergulung naik turun menyerang asap putih. Tiga orang itu bertanding dengan cara mereka yang tidak lumrah manusia biasa, berkelebat dan terpental setiap ditumbuk asap putih dari roh halus See-ong. Dan ketika semuanya itu diamati Cam-kong dan kakek tinggi pucat itu terbelalak tiba-tiba See-ong berseru padanya agar maju sekalian.

"Hayo, majulah sekalian, Cam-kong. Biar kulihat Ilmu Pembunuh Petirmu!"

Cam-kong, iblis muka pucat ini bergetar. Dia marah oleh teriakan See-ong, menggeram dan masih menonton. Tapi ketika See-ong berkelebat ke arahnya dan dia ditumbuk tiba-tiba kakek ini membentak dan menghilang pula, langsung bersembunyi di balik ilmu hitamnya.

"Dukk!" Cam-kong terpental. Iblis muka pucat itu terkejut dan See-ong tertawa bergelak. Lihai kakek tinggi besar ini, dia terbahak-bahak mentertawakan lawannya. Dan ketika Cam-kong melengking dan bersiut maju tiba-tiba dia bergerak dan membalas lawannya itu.

"Dukk!" Cam-kong lagi-lagi terpental. Untuk kedua kalinya terlihatlah bahwa See-ong memang hebat, kakek tinggi besar itu tertawa-tawa mengejek lawan. Dan ketika Cam-kong terkejut dan berseru keras maka Siauw-jin dan lain-lain maju membentak, menumbuk dan menyerang bayangan See-ong namun kakek tinggi besar itu hebat. Dikeroyok bertiga masih saja kakek ini melayani dengan baik, selalu mementalkan lawan-lawannya dan Siauw-jin berteriak agar Cam-kong mengeluarkan Cam-kong-ciangnya (Pembunuh Petir).

Dan ketika kakek itu mengangguk dan berkelebat mengeluarkan pukulannya maka terdengarlah suara menggelegar ketika pukulan itu menghantam See-ong, mendorong kakek itu namun See-ong tak apa apa. Kakek ini tertawa bergelak menerima sebuah pukulan lagi, tergetar dan terhuyung namun tidak apa-apa.

Dan ketika empat lima kali Cam-kong terkejut mengeluarkan pukulannya maka See-ong membalas dan terlemparlah kakek ini, menerima Sin-re-ciang dan bergulingan menjauh, dikejar namun tiga lawannya yang lain membantu, mengeroyok dan melepas pukulan-pukulan mereka. Dan ketika jarum atau sendok membantu pula di tangan kiri maka See-ong dikerubut dan kakek itu timbul tenggelam dalam serangan lawan yang demikian cepatnya.

"Ha-ha, maju semua, Liok-kwi-ong (Enam Iblis Dunia). Hayo kalian maju dan keroyok aku!"

Cam-kong dan tiga temannya terkejut. Mereka terbelalak melihat betapa hebatnya kakek tinggi besar ini, See-ong dapat melayani mereka dengan baik dan semua pukulan-pukulan mereka tertolak. Kalau pun ada yang mengenai tubuh kakek itu maka See-ong paling-paling hanya tergetar sejenak, maju dan membalas mereka. Dan karena setiap pukulan atau balasan kakek itu selalu membuat mereka terlempar atau terbanting maka nenek Naga Bumi mengumpat tak habis-habisnya melihat kehebatan lawannya ini.

"Keparat, kau hebat, See-ong. Namun belum dapat merobohkan kami!"

"Ha-ha, merobohkan tinggal merobohkan, nenek Naga. Aku ingin agar kalian berenam mengeroyok aku. Tok-ong dan Ji-moi masih ada di sana, suruh mereka maju dan hadapi aku!"

"Keparat, siapa mau menuruti perintahmu? Kau robohkan kami dulu, See-ong. Baru kau bicara congkak!"

"Ha-ha, begitukah? Baik, awas pukulanku, nenek siluman. Inilah Cap-mo-liap-liong-sut (Silat Sepuluh Iblis Mengejar Naga).... dess!"

Dan nenek Naga yang berteriak menerima pukulan lawan tiba-tiba mencelat terguling-guling ketika See-ong melepas sebuah pukulan aneh, asap putihnya bergerak menjadi sepuluh bayangan dan Cam-kong serta yang lain-lain tersentak. Mereka tiba-tiba berbalik menghadapi roh See-ong yang pecah menjadi sepuluh orang, berseliweran dan naik turun menyambar mereka.

Dan karena sebelumnya kecepatan mereka selalu kalah dibanding kecepatan kakek ini maka berturut-turut robohlah Cam-kong dan Siauw-jin, mencelat den terlempar bergulingan karena mereka menghadapi dua See-ong sekaligus, nenek Toa-ci bahkan tiga dan nenek itu menjerit ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram, dibanting dan bergulingan dengan kaget karena tak mampu mengelak, menjauh namun See-ong mengejar.

Dan ketika kakek itu terbahak karena bayangannya sudah menjadi sepuluh iblis dan setiap lawan menghadapi dua atau lebih dari ilmunya yang aneh ini maka Toa-ci mengeluh ketika dicengkeram dan dibanting lagi, disusul kawan-kawannya yang lain dan kaget serta gentarlah mereka. Cam-kong mengeluh dan terhuyung bangun, ditumbuk dan juga dicengkeram serta dibanting kakek itu. Dan ketika berturut-turut empat dari Enam Iblis Dunia ini dihajar jatuh bangun oleh See-ong dalam ilmunya Cap-mo-liap-liong-sut yang berlindung dalam ilmu hitamnya Hek-kwi-sut maka berteriak dan jatuh bangunlah empat orang itu.

Nenek Naga bahkan menangis dan nenek Toa-ci juga menjerit-jerit menyatakan tobat, dihajar dan masih saja dikejar-kejar bayangan See-ong yang berubah menjadi sepuluh orang itu, sepuluh roh halus dan tentu saja dua nenek iblis itu pucat. Mereka gentar dan ketakutan bukan main. Tapi ketika keempatnya bergulingan meminta ampun dan See-ong masih saja menghajar dan menjatuhbangunkan mereka mendadak terdengar teriakan Tok-ong yang berhasil menangkap Siang Le.

"Berhenti!" bentakan itu menggetarkan tempat itu. "Hentikan seranganmu, See-ong. Atau muridmu ini kubunuh!"

See-ong tertegun. Kiranya Siang Le, muridnya itu telah ditangkap Raja Racun (Tok-ong) ini. Siang Le ditangkap karera kehabisan tenaga, maklum, pemuda itu sebelumnya sudah jatuh bangun menghadapi Ji-moi, yang kini bertanding melawan Soat Eng. Dan karena pemuda itu lemas karena sudah dikuras nenek Ji-moi maka Tok-ong akhirnya berhasil menamparnya roboh dan pemuda itu ditotok, jatuh di bawah cengkeraman kakek ini. Dan ketika Tok-ong membentak dan mengancam See-ong maka See-ong tertegun dan berhenti menghajar lawan-lawannya.

"Nah," See-ong mendengar seruan Tok-ong. "Berhenti dan menyerahlah, See-ong. Atau muridmu kubunuh!"

"Ha-ha!" See-ong tiba-tiba tertawa. "Kau merendahkan aku, Tok-ong. Kalau kau mengira dapat menundukkan aku maka kau salah. Lihat, muridku telah ada di tangnaku...wut!" See-ong menghilang lagi, lenyap dalam Hek-kwi-sutnya dan tahu-tahu segumpal asap putih menyambar Tok-ong.

Si Raja Racun membentak dan menggeram, tangannya bergerak tapi asap putih itu melejit, cepat dan luar biasa tahu-tahu telah menuju ke tenggorokannya. Dan ketika Tok-ong membentak karena gusar dan marah tiba-tiba asap itu ditangkisnya tapi pecah menjadi sepuluh, berhamburan dan menyambarnya dari segala penjuru.

Dan karena Tok-ong belum mengenal adanya Cap-mo-liap-liong-sut yang amat hebat ini maka dia menjerit ketika sebuah roh dari See-ong menamparnya, disusul lagi dengan sebuah tendangan dari roh See-ong yang lain dan mencelatlah kakek itu sambil mengaduh-aduh. Siang Le otomatis terlepas dan kakek tinggi besar itu tertawa bergelak. Dan ketika di sana Tok-ong bergulingan meloncat bangun maka Siang Le sudah dirampas gurunya dan See-ong terbahak-bahak.

"Nah," kakek itu menirukan. "Lihat dan buktikan ancamanmu, Tok ong. Kau tak berhasil dan justeru muridku kembali ke tanganku!" See-ong membebaskan totokan muridnya, menggosok dan menepuk dan bebaslah Siang Le dari pengaruh totokan Raja Racun.

Tok-ong terbelalak dan tak dapat bicara. Dia kaget dan benar-benar terkejut. Dan ketika kakek tinggi besar itu menggeram den saling pandang dengan teman-temannya tiba-tiba Siauw-jin berbisik agar maju menyerang lagi, sekarang berlima.

"Sst, tak usah mendongkol. Kakek itu memang hebat, Tok-ong. Sebaiknya kau bantu kami dan menyerang lagi!"

"Benar," nenek Naga juga masih penasaran. "Kau bantu kami, Tok-ong. Bunuh dan balas sakit hati kita!"

"Ha-ha!" See-ong tiba-tiba kembali tertawa. "Kalian masih penasaran, nenek siluman? Ingin maju dan mengeroyok aku lagi? Baik, tapi jangan berlima melainkan sebaiknya berenam. Nah, biar Ji-moi kupanggil dan kalian semua menghadapi aku!" dan See-ong yang lenyap dalam Hek-kwi-sutnya tiba-tiba membentak Ji-moi, yang sedang bertanding melawan Soat Eng. Nenek itu dibentak agar melepas pertandingannya dengan Soat Eng, puteri Pendekar Rambut Emas itu.

Tapi ketika Ji-moi tak mau mengikuti perintah ini dan masih bertanding dengan lawannya tiba-tiba kakek itu menyelinap, menghantam dan menampar nenek itu dan Ji-moi menjerit. Di tengah pertandingannya yang sengit mendadak saja See-ong menyeruak, memukul dan menyerangnya. Dan karena saat itu Soat Eng sedang melepas pukulannya dan nenek itu kaget maka dia menangkis tapi See-ong menggerakkan pula tangannya yang lain mendorong Soat Eng.

"Plak-dess!"

Soat Eng dan Ji-moi sama-sama terlempar. Mereka terpelanting dan bergulingan mencaci-maki. Soat Eng membentak sementara nenek Ji-moi sendiri melengking marah. Namun ketika mereka meloncat bangun dan terhuyung oleh serangan See-ong maka Siang Le berkelebat mendekati Soat Eng sementara kakek itu sendiri tertawa bergelak mengejek Ji-moi.

"Nah, berhenti kataku, Ji-moi. Bergabunglah dengan lima temanmu dan hadapi aku. Gadis ini tinggalkan sejenak dan mari kita bertanding!"

"Keparat!" nenek itu memaki. "Kau sombong minta dikeroyok, See-ong? Kau minta diantar ke akherat?"

"Ha-ha, bukan aku, nenek siluman, melainkan kau. Kalau aku menghendaki tentu kau yang ke akherat!"

"Keparat! Kau...." namun Toa-ci yang berkelebat menahan adiknya tiba-tiba berseru,

"Ji-moi, tahan. Biarkan kakek itu bicara dan kau bergabung dengan kami. Bocah perempuan itu biarkan di sana dan kita hadapi See-ong. Kami berlima belum dapat mengalahkannya dan kau bersama kami!" dan menyambar adiknya menghadapi See-ong nenek itu sudah melengking marah, melihat empat temannya yang lain sudah maju mengepung, "See-ong, kau memang hebat. Tapi sekarang kami akan maju berenam. Nah, bersiaplah dan kau sendiri yang minta... wut!"

Dan Toa-ci yang bergerak memberi aba-aba mendadak sudah menggerakkan sendoknya menghantam kakek itu, yang cepat menghilang dalam Hek-kwi-sutnya dan empat temannya yang lain sudah membentak pula, maju menerjang dan Tok-ong menggereng. Kakek berpakaian hitam itu baru pertama kali dipentalkan See-ong, penasaran dan marah dan kini dia menyerang dengan Hek-tok-ciang-nya, amis menyambar namun See-ong keburu menghilang. Dan ketika See-ong tertawa bergelak dan Enam lblis Dunia maju semuanya maka asap putih kembali berkelebatan sementara nenek Ji-moi dan lain-lain memaki.

"Keparat, perlihatkan dirimu, See-ong. Jangan bersikap seperti pengecut!"

"Ha-ha, kau yang bodoh, Ji-moi, Kenapa tak dapat melihat aku? Aku di sini, lihat...!" dan See-ong yang muncul dibelakang Ji-moi tiba-tiba menampar nenek itu dan menghilang lagi ketika ditangkis, pindah ke nenek Toa-ci dan nenek ini membentak See-ong mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan lenyap serta muncul lagi menyerang lawan-lawannya, dibalas namun kakek itu licin seperti belut. Dan ketika enam lawannya terpaksa mempergunakan ilmu hitam hingga lenyap pula seperti See-ong maka pertandingan menjadi lebih hebat karena See-ong kini dikeroyok Enam Iblis Dunia, lengkap.

"Ha-ha, kerahkan semua kepandaian kalian, Tok-ong. Ayo maju dan robohkan aku!"

Enam Iblis itu mengumpat caci. Pertandingan sudah berjalan cepat dan tak ada orang biasa yang akan dapat mengikuti jalannya pertandingan ini. Mata biasa tak dapat melihat mana See-ong mana lawan-lawannya karena mereka berputaran cepat, demikian cepat hingga asap hitam dan putih berbaur menjadi satu. Dan ketika Soat Eng sendiri menjadi tertegun dan membelalakkan matanya maka gadis itu tiba-tiba sudah didekati Siang Le.

"Kim-siocia, sebaiknya kau menyingkir dari sini. Cepat pergilah dan jangan menonton!"

"Hm, Soat Eng terkejut, sadar menoleh memandang pemuda itu. "Kau kira siapa dirimu hingga memerintah aku?"

"Maaf," Siang Le balik terkejut. "Aku tidak memerintahmu, nona, melainkan meminta kalau kau setuju. Guruku terlampau lihai dan kau tak mungkin menang." "Sombong! Kau kira gurumu bisa mengalahkan aku, Siang Le? Kalau dia tidak licik dengan ilmu hitamnya tak mungkin dia dapat merobohkan aku!"

"Hm, tak perlu berdebat," Siang Le menarik napas. "Tempat ini berbahaya, nona. Sebaiknya kau pergi mumpung guruku menghadapi Enam Iblis Dunia itu."

"Kalau aku tak suka?"

"Kau mencari penyakit!"

"Keparat, jangan sombong, orang she Siang. Aku tak takut padamu dan siap bertempur lagi!"

"Tidak." Siang Le cepat menggoyang lengan. "Kakakmu masih pingsan, nona. Kalau kau dapat menahan marahmu tentu kau dapat berpikir jernih. Lihatlah, kakakmu perlu bantuanmu atau mungkin dia bertambah parah."

Soat Eng terkejut. Tiba-tiba ia sadar bahwa kakaknya masih pingsan di situ, cepat menoleh dan berkelebat menghampiri. Dan ketika ia berlutut dan menolong kakaknya ini ternyata kakaknya bergerak dan mengedip dengan sebelah mata.

"Sst, jangan khawatir, Eng-moi. Aku telah membebaskan diriku dari pengaruh pukulan See-ong dan tak apa-apa. Kau diam saja aku pura-pura pingsan!"

Soat Eng tertegun.

"Bagaimana?" Siang Le berkelebat menghampiri. "Kakakmu tak apa-apa, nona?"

"Tidak!" Soat Eng lega, bangkit berdiri. "Aku tak mengkhawatirkan kakakku, orang she Siang, melainkan justeru mengkhawatirkan dirimu. Kau kutangkap, menyerahlah!" dan Soat Eng yang bergerak dan tiba-tiba menyerang lawannya tiba-tiba membuat Siang Le terkejut berseru keras, mengelak dan menghindar namun Soat Eng mengejar.

Entah kenapa mendadak gadis itu menjadi sengit karena gara-gara pemuda inilah dia dan kakaknya dirobohkan See-ong. Maka begitu membentak dan mengejar lagi tiba-tiba Soat Eng sudah menyerang dan menerjang lawannya ini, dikelit dan ditangkis dan segera Siang Le berteriak-teriak kebingungan, mencegah tapi tak dihiraukan. Dan ketika Soat Eng terus menyerang dan sebentar kemudian pemuda itu sudah terdesak maka Siang Le menangkis dan akhirnya berseru marah.

"Dukk!" Dua orang itu terpental. Soat Eng mengejar lagi dan Siang Le melotot, apa boleh buat terpaksa melayani lawannya ini dan bertandinglah mereka. Dan ketika mereka bergebrak namun lagi-lagi Siang Le kelihatan ragu dan tak sepenuh hati melawan maka sebuah tamparan akhirnya meledak di sisi telinganya, terbanting dan pemuda ini berteriak. Soat Eng mengejar dan lawan kembali menangkis. Namun karena Siang Le setengah hati sementara Soat Eng bersungguh-sungguh maka untuk kedua kali pemuda itu menerima sebuah tendangan.

"Dess!" Siang Le mengeluh. Dia terlempar bergulingan dan memaki gadis itu, tak dihiraukan dan berkelebatlah Soat Eng melepas pukulan-pukulannya. Dan ketika Siang Le marah namun juga kebingungan maka sebentar kemudian pemuda ini terdesak dan beberapa pukulan atau tamparan mengenai tubuhnya, jatuh bangun namun lagi-lagi murid See-ong itu memperlihatkan kekuatannya.

Sama seperti dihajar nenek Ji-moi tadi pemuda ini selalu bangkit terhuyung setiap terlempar, kuat dan tak apa-apa dan Soat Eng tentu saja kagum, di samping marah. Dan ketika dia memperhebat serangannya sementara lawan berkali-kali berseru agar tidak menyerangnya lagi maka di sana See-ong terkejut melihat kejadian ini.

"Keparat, lawan dia sepenuh hati, Siang Le. Jangan bimbang atau mengalah!"

"Ah, tak bisa," Siang Le mengeluh. "Aku tak sanggup menghadapi gadis ini suhu. Lebih baik kau pusatkan perhatianmu menghadapi lawan-lawanmu itu!"

"Terkutuk! Kau lemah melebihi perempuan, Siang Le. Kau diserang demam cinta! Heh, lawan dia, muridku, keluarkan Sin-re-ciang atau Cap-mo-liap-liong-sut!"

"Aku tak berdaya...." pemuda itu terhuyung-huyung. "Menghadapi gadis ini lebih baik aku mengalah, suhu. Aku tak dapat melawannya..... dess!" dan Siang Le yang lagi-lagi terlempar oleh sebuah tendangan akhirnya membuat muka Soat Eng merah, mendengar semua kata-kata itu dan gadis ini memaki.

Dia merasa direndahkan sekaligus dipermalukan pemuda ini, itulah pernyataan cinta yang terselubung, yang membuat dia merasa jengah tapi juga marah. Dan ketika lawan terlempar dan bergulingan ditendang maka Soat Eng memaki, dan mengejar lawannya, dua tiga kali kembali mendaratkan pukulan dan Siang Le mengeluh.

Murid yang gagah dari See-ong itu ternyata tak mau melayani lawannya lagi, mengelak dan menghindar dan ini tentu saja membuat dia terdesak hebat. Dan ketika sebuah pukulan lagi diterimanya dengan setengah hati dan Soat Eng berkelebat akhirnya pemuda itu terguling menerima sebuah totokan, roboh dan memejamkan mata.

"Nah," pemuda itu bersuara lirih. "Kau boleh bunuh aku, Kim-siocia. Cepat bunuhlah dan setelah itu harap kau pergi!"

Soat Eng jadi tertegun. Beberapa gebrakan yang akhirnya berkesudahan dengan kemenangannya yang mudah ini justeru membuat ia tak puas. Siang Le jelas mengalah dan tidak melawan, tentu saja gadis itu mendongkol. Tapi ketika kata-kata itu diucapkan setulusnya dan sudah roboh pun Siang Le masih ingin melindunginya dengan menyuruhnya pergi maka Soat Eng termangu dan merah padam ketika pemuda itu membuka matanya, memandangnya lembut dan mesra.

"Kenapa kau tak segera membunuhku?" pertanyaan itu serasa menikam. "Cepat bunuh dan pergilah, Kim-siocia. Aku tak akan mendendam!"

"Hm," Soat Eng jengah dan marah. "Kau pengecut, orang she Siang. Aku jadi muak dan sebal terhadapmu!" dan Soat Eng yang berkelebat menendang pemuda itu akhirnya membuat Siang Le tertegun karena Soat Eng tak membunuhnya. Gadis itu marah-marah tapi juga tak mau pergi. Dan ketika Siang Le tertegun karena Soat Eng mendekati kakaknya dan memanggul kakaknya maka gadis itu berdiri angkuh dan menonton pertandingan.

"Hei!" Siang Le gelisah. "Kau pergilah, Kim-siocia. Pergi dan jauhi tempat ini!"

"Keparat!" Soat Eng marah. "Untuk apa kau mengurusi aku, orang she Siang? Kalau tak ingat bahwa kau pernah menolongku tentu aku sudah membunuhmu!"

"Bunuhlah, aku tak marah!" Siang Le berseru. "Tapi segera tinggalkan tempat ini, nona. Atau kau akan tertangkap dan guruku tak akan mengampunimu."

"Plak!" Soat Eng menampar, menghentikan kata-kata pemuda itu. "Jangan membuka mulut lagi, orang menyebalkan. Kau di sini dan biar bersama aku!" dan Soat Eng yang menonton dan kini mencengkeram tengkuk pemuda itu lalu membuat Siang Le bungkam karena urat gagunya ditotok, tak dapat bersuara dan kini gadis itu melepaskan kakaknya pula.

Thai Liong berbisik agar adiknya melepaskan dirinya, pemuda itu sudah sadar dan sebenarnya sudah sembuh kembali. Apa yang dikehendaki kakaknya sebenarnya Soat Eng tak mengerti. Tapi melepas kakaknya dan bersinar-sinar memandang pertempuran maka di sana See-ong tertawa bergelak memuji gadis itu.

"Bagus, cinta muridku tak bertepuk sebelah tangan, bocah. Kalau begitu biar kau di situ dulu dan lihat aku merobohkan musuh-musuhku ini!"

Soat Eng memaki. Berkali-kali diejek dan mendengar kata-kata See-ong dia marah, mau menerjang tapi Enam Iblis Dunia telah mengeroyok kakek tinggi besar itu. Pertempuran menjadi seru karena Tok-ong dan kawan-kawannya marah. Dikeroyok berenam tetap saja See-ong mampu menghadapi derngan baik, hal yang membuat Tok-ong dan kawan-kawannya mendelik. Dan ketika semuanya berteriak dan mempercepat gerakan tiba-tiba See-ong kembali mengeluarkan Cap-mo-liap-liong-sutnya.

"Awas!" Toa-ci berteriak. "Hati-hati Tok-ong. Ini ilmu silumannya Cap-mo-liap-liong-sut!"

"Grr!" kakek itu menggeram. "Aku tak takut ilmu silumannya, Toa-ci. Tetap kepung dia dan jangan kendorkan serangan!"

"Ha-ha!" See-ong tertawa bergelak. "Kau boleh tak takut, Tok-ong. Tapi kalau aku telah menghajarmu tentu kau takut!" kakek tinggi besar itu berkelebat, bayangan rohnya berobah menjadi sepuluh orang dan menyambarlah kakek itu ke sana ke mari.

Enam Iblis Dunia kini seolah menghadapi sepuluh See-ong dan mereka tentu saja terkejut, mengelak dan memaki namun pukulan-pukulan See-ong mulai menyambar. Ke mana pun mereka lari ke situ pula kakek itu mengejar. Dan ketika mereka menangkis namun mereka terpelanting maka kaget dan terkejutlah Tok-ong, si kakek berpakaian hitam-hitam itu.

"Ha-ha, bagaimana, Tok-ong? Kau masih belum takut?"

"Bangsat, aku belum kalah, See-ong. Kalau kau belum dapat merobohkan aku maka selamanya aku tak kenal takut!"

"Bagus, kalau begitu aku akan merobohkanmu lebih dulu... dess!" dan See-ong yang menyambar melepas pukulannya tiba-tiba mengenai kakek itu dan ditangkis, mengerahkan tenaganya dan Tok-ong menjerit.

Kakek berpakaian hitam-hitam itu terlempar dan jatuh bergulingan, dikejar dan menangkis lagi namun untuk kedua kalinya dia terbanting. Dan ketika yang lain membantu namun dihalau See-ong maka pukulan ketiga tak dapat dielak kakek berpakaian hitam-hitam itu lagi, berteriak dan mengaduh dan Tok-ong menggeliat. Kakek itu mencoba bangkit namun See-ong tertawa, berkelebat dan menotok rahangnya. Dan ketika Tok-ong terbelalak dan tak dapat menangkis lagi maka akhirnya dia roboh dan rahangnya seperti disentuh bara api.

"Aduh, tobat, See-ong. Tobat....!"

"Ha-ha, sekarang mengenal tobat? Bagus, kau tidurlah dulu, Tok-ong. Yang lain-lain ini akan kurobohkan pula.... plak-dess!"

Dan See-ong yang membagi-bagi pukulan sambil tertawa-tawa ke Enam Iblis Dunia yang lain akhinya disusul keluhan dan terbantingnya Toa-ci dan kawan-kawannya itu, satu per satu menjerit dan robohlah mereka sambil merintih-rintih. Apa yang dialami Tok-ong telah mereka alami pula. Dan ketika See-ong mengebutkan lengan bajunya dan kakek itu muncul lagi dalam bentuknya yang asli maka Tok-ong dan kelima temannya telah roboh bergelimpangan di bawah kaki kakek ini.

"Ha-ha, bagaimana?" kakek itu tertawa. "Sekarang kalian kalah, Tok-ong. Kalau aku mau membunuh maka hal itu dapat kulakukan dengan mudah!"

"Ampun.....!" Siauw-jin meratap dengan muka meng-ibakan. "Kau ampuni aku, See-ong. Kau betul-betul hebat dan di atas kami!"

"Ya, tapi bukan si setan cebol itu saja, See-ong. Aku dan yang lain-lain perlu juga diampuni!"

"Ha-ha, mudah. Asal kalian mengakui aku sebagai pemimpin tentu kalian kuampuni, nenek Naga. Katakan sekarang bahwa kalian tunduk kepadaku!"

"Kami tunduk!" serentak enam orang itu bicara. "Ampuni dan bebaskan kami, See-ong. Kau benar-benar hebat dan kami menyerah kalah!"

"Nah, kalau begitu kalian bebas!" See-ong menggerakkan tangannya, menampar dari jauh dan berturut-turut bangkitlah Tok-ong dan kawan-kawannya, pucat dan tahu-tahu See-ong minta agar mereka berlutut didepannya!

Tok-ong tampak ragu dan yang lain juga saling pandang. Maklum, mereka adalah Enam Iblis Dunia yang paling ditakuti di dunia kang-ouw. Hanya Bu-beng Sian-su dan Kim-mou-eng serta isteri dan mertuanya saja yang mereka takuti, karena mereka itu pernah mengalahkan mereka. Tapi begitu See-ong memandang tajam dan enam orang itu keder tiba-tiba mereka mengangguk dan menjatuhkan diri berlutut di depan tokoh baru itu.

"Ha-ha," See-ong tertawa gembira. "Kalian tak perlu malu atau sakit hati berlutut di depan kakiku, Tok-ong. Aku adalah raja-diraja dari semua golongan hitam. Kalian sudah kalah, dan kalian harus menyerah. Sekarang nyatakan kesetiaan kalian bahwa kalian harus tunduk dan di bawah perintahku!"

Tok-ong dan kelima temannya menggumam. Mereka mengangguk dan menyatakan kesetiaan. See-ong terbahak dan keenam iblis itu merah mukanya. Kalau bukan See-ong tentu sudah mereka gempur. Itu hinaan yang amat luar biasa bagi mereka. Tapi ketika mereka selesai dan See-ong kini membalik maka kakek tinggi besar itu memerintah Ji-moi.

"Kau," katanya. "Tundukkan gadis itu dan bawa ke mari muridku, Ji-moi. Lanjutkan pertandinganmu dan robohkan sebelum lima puluh jurus. Sanggup?"

Ji-moi meloncat bangun. Diperintah seperti itu tiba-tıba dia beringas, Soat Eng memandang kekalahannya tadi dengan bibir mencibir. Gadis itu mengejek Enam lblis Dunia yang berlutut di depan See-ong, menerima kekalahan sekaligus hinaan. Maka begitu See-ong memintanya agar merobohkan gadis ini tiba-tiba Ji-moi melengking dan sudah menyambar ke depan, tak perlu diperintah dua kali karena kemarahannya sudah menggelegak.

Pertama oleh kekalahannya melawan See-ong dan kedua karena gadis itu menonton kekalahannya, jadi nenek ini geram dan keluarlah pukulannya yang ganas, Mo-seng-ciang. Tapi begitu Soat Eng berkelit dan pukulannya luput maka gadis itu tertawa dan mengejek dengan kata-kata menghina,

"Cih, kalah terhadap See-ong tak usah melampiaskan kemarahan kepada orang lain, Ji-moi. Kalau kau ingin menangkap aku marilah kita main-main lagi. Aku pun masih gatal karena pertandingan kita belum selesai!" dan Soat Eng yang mengelak serta lincah berkelit menghindari lawan tiba-tiba dikejar dan dibentak, melompat dua-tiga kali tapi akhirnya dia menangkis. Dan ketika pukulan nenek itu bertemu dengan lengannya yang halus maka Ji-moi terpental sementara Soat Eng sendiri terhuyung.

"Keparat," nenek itu gusar. "Aku tidak hanya menangkapmu, bocah, melainkan membunuhmu. Kau adalah puteri musuh besarku!"

"Boleh dan cobalah, nenek siluman. Kalau kau mampu tentu kau hebat.... plak-dess!" dan Soat Eng yang menangkis pukulan nenek itu akhirnya bertanding dan mengerahkan ginkangnya, berkelebatan dan naik turun menghadapi musuh yang lihai.

Ji-moi adalah nenek sakti yang dulu ayahnya sendiri pun tak sanggup menghadapi, sebelum menerima Cui-sian Ginkang atau Lu-ciang-hoat dari Bu-beng Sian-su (baca Sepasang Cermin Naga). Dan ketika nenek itu membentak dan melengking lagi maka bertubi-tubilah pukulan atau tamparan menghujani gadis ini, dikelit atau ditangkis dan dua orang itu segera bertanding hebat.

Soat Eng mengeluarkan Tiat-lui-kangnya atau Pek-sian-ciang, pukulan yang dulu ampuhnya menggila namun lawan mendengus. Nenek Ji-moi tentu saja tahu dua ilmu ini dan dengan mudah dia menghalau atau mengibas, lawan terpental dan Soat Eng mengerutkan kening, gagal dan merobah gerakannya dengan ilmu-ilmu silat lain. Dan ketika nenek itu mendesak dan Mo-seng-ciang menyambar-nyambar dari segala penjuru akhirnya dia merasa dikelilingi bayangan nenek itu yang bergerak kian cepat.

"Plak-dukk!"

Soat Eng terpental. Dia membentak menambah semangatnya, marah karena dua ilmu pertama tak berhasil. Dan ketika nenek itu semakin cepat bergerak dan dia didesak serta dihujani pukulan bertubi-tubi akhirnya Soat Eng berseru keras mengeluarkan Cui-sian Gin-kang (Ginkang Pengejar Dewa).

"Slap!" gadis itu lenyap, melengking tinggi dan ganti nenek Ji-moi dikelilingi bayangannya. Nenek itu terkejut karena inilah ilmu luar biasa dari Pendekar Rambut Emas. Cui-sian Gin-kang adalah ilmu yang setingkat dengan Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa), ilmu meringankan tubuh yang dipunyai Hu Beng Kui, kakek gadis itu, ayah mertua Pendekar Rambut Emas. Dan ketika Soat Eng tertawa berkelebatan mengelilingi tubuhnya tiba-tiba saja pukulan dan tamparan ganti menghujani nenek itu.

"Hi-hik, sekarang balasanku, nenek siluman. Terimalah...plak-dess!" dua kali tamparan Soat Eng mengena, membuat nenek itu terhuyung dan Ji-moi memaki gusar. Nenek ini marah karena dia seakan ditampar cucunya sendiri, cucu yang kurang ajar! Dan ketika Soat Eng tertawa dan berkelebatan lagi maka Toa-ci, encinya melotot di luar pertandingan.

"Ji-moi, keluarkan ilmu hitammu. Kurung dan robohkan gadis itu!"

Ji-moi mengangguk. Menghadapi Cui-sian Gin-kang tiba-tiba dia kalah cepat, ilmu meringankan tubuh itu memang hebat dan selama ini Pendekar Rambut Emas selalu unggul. Mereka berenam tak dapat mengalahkan pendekar itu dan kini anaknya mengulang kejadian lama, mempergunakan Cui-sian Gin-kang dan tentu saja nenek itu marah.

Maka begitu encinya berseru dan yang lain juga mengangguk maka nenek itu melengking dan membentaklah dia dengan kedua lengan terkembang. Ji-moi mengeluarkan suara aneh seperti suara kucing, kaki menghentak dan tiba-tiba lenyaplah dia dengan bentakan ilmu hitamnya. Dan ketika nenek itu tak ada di depannya dan Soat Eng terkejut maka menyambarlah dari mana-mana pukulan atau tamparan nenek itu, yang lenyap dalam ilmu hitamnya.

"Nah," nenek itu berseru. "Mampus kau sekarang, setan betina. Coba hadapi ilmu hitamku dan lihat di mana aku berada!"

Soat Eng kebingungan. Menghadapi ilmu hitam begini memang dia tak biasa, namun melengking dan menggerakkan tangan kirinya tiba-tiba dia menampar asap hitam di sebelah kiri, bayangan atau bentuk dari nenek Ji-moi yang bersembunyi dalam ilmu hitamnya. Dan karena dia mengeluarkan Lu-ciang-hoat dan ilmu ini adalah pasangan dari Cui-sian Gin-kang yang hebatnya bukan kepalang maka nenek Ji-moi menjerit ketika Mo-seng-ciangnya membalik.

"Dess!" Nenek itu terlempar. Ji-moi memekik kaget karena Lu-ciang-hoat ternyata juga dipunyai gadis ini, ilmu yang dulu membuatnya tunggang-langgang dihajar Kim-mou-eng. Dan ketika dia berseru keras dan menghilang lagi dalam ilmu hitamnya maka Soat Eng tertegun karena kehilangan lawan, menghentikan serangan dan nenek itu tiba-tiba muncul lagi di belakang. Ji-moi hendak mempergunakan kelebihannya membokong gadis itu. Tapi ketika Soat Eng membalik dan tentu saja mendengar kesiur angin di belakang maka kontan saja Lu-ciang-hoat kembali menangkis.

"Dess!" nenek itu lagi-lagi menjerit. Soat Eng kini mulai biasa dan mata pun dapat melihat asap hitam yang menjauh, mengerahkan tenaga batin dan teringatlah dia akan nasihat ayahnya dalam menghadapi ilmu hitam, yakni agar ia diam di tempat dan menunggu lawan dengan mata terpejam. Baru menghantam kalau lawan mendekat. Dan karena pertempuran macam begini baru kali ini dihadapi gadis itu dan Soat Eng masih mencoba untuk membiasakan diri maka nenek Ji-moi memaki-maki dan kebingungan sendiri, muncul di kiri tapi disambut Lu-ciang-hoat, muncul di kanan tapi juga disambut pukulan itu.

Dan karenu Lu-ciang-hoat adalah pukulan ampuh di mana pukulannya sendiri selalu tertolak dan membalik menghantam diri sendiri maka nenek itu bingung tapi juga marah, akhirnya lima puluh jurus lewat dan See-ong bersinar-sinar. Tokoh luar biasa yang kini menundukkan Enam Iblis Dunia itu kelihatan kagum, apa yang diperlihatkan Soat Eng memang mengagumkan. Dan ketika pertempuran kembali berjalan limapuluh jurus dan Ji-moi belum dapat merobohkan lawan akhirnya kakek itu tertawa memerintah Toa-ci.

"Kau bantu adikmu, tangkap gadis itu!"

Toa-ci bergerak. Sekali berkelebat nenek ini pun menghilang dalam ilmu hitamnya, menyerang dan mengeroyok Soat Eng. Tapi ketika Lu-ciang-hoat menyambut dan memang terhadap ilmu ini nenek itu amat berhati-hati maka dia pun terdorong dan marah serta mengeroyok lagi, maju dan dikerubutlah gadis itu dari kiri dan kanan.

Tapi karena Soat Eng mulai biasa dan lama-lama mengenal di mana lawan berada maka gadis itu mengimbangi dan Lu-ciang-hoat selalu menjadi andalannya, membuat dua nenek itu gusar dan See-ong tertawa bergelak. Untuk ketiga kalinya kakek itu menyuruh nenek Naga, yang sudah berkelebat dan mengeroyok Soat Eng. Dan begitu tiga lawan satu maka Soat Eng mulai terdesak karena memang dia masih muda untuk menghadapi tiga nenek tangguh yang luar biasa itu.

"Ha-ha, jangan bunuh, nenek Naga. Tangkap dan robohkan saja!"

"Ah, gadis ini berbahaya, See- ong. Sukar menangkap tanpa membunuhnya!"

"Kau tak usah membantah, apakah kalian berenam harus maju semua? Ingat, tiga sudah cukup, Naga Bumi. Dan perintahku harus kalian jalankan!"

Terpaksa, karena Soat Eng memang lihai dan menangkap gadis itu amat sukar kalau tidak membunuh maka Naga Bumi berseliweran naik turun mengajak teman-temannya menghabiskan tenaga gadis itu, menguras dan Soat Eng melengking. Dia marah karena tiga nenek tak tahu malu mengeroyoknya, padahal mereka adalah tokoh-tokoh dunia yang namanya sudah terkenal. Dan karena mereka bergerak silih berganti dan ilmu mereka yang macam-macam juga dikeluarkan sambil berlindung di balik ilmu hitam maka Soat Eng kewalahan dan akhirnya terdesak, memaki-maki dan See-ong di sana tertawa-tawa.

Kakek tinggi besar itu memuji Soat Eng dengan seruan berulang-ulang, pujian yang sebenarnya membuat tiga nenek itu terhina dan terpukul. Maka ketika lima puluh jurus lagi Soat Eng terhuyung dan mulai menerima satu dua pukulan yang berubah-ubah maka satu tamparan akhirnya membuat gadis itu terpelanting, menangkis dengan Lu-ciang-hoat namun nenek Naga mengelak. Nenek itu memberi kesempatan pada temannya untuk memasuki kesempatan itu, menyambar dari kiri.

Dan ketika Toa-ci juga berkelebat dari belakang dan susul-menyusul mereka menyerang tapi juga mengelak maka dua tiga pukulan membuat Soat Eng jatuh bangun, mencoba bertahan tapi sayang Lu-ciang-hoatnya mengenai angin kosong. Tiga nenek itu cerdik untuk selalu menghindar, pukulan yang luput selamanya akan membuang tenaga yang besar. Dan karena taktik ini tepat sekali untuk merobohkan Soat Eng yang sudah kecapaian maka sebuah ketukan akhirnya menimpa belakang kepala gadis itu, ditahan tapi totokan jari menyusul di pundak.

Soat Eng terhuyung dan memaki, dua serangan itu membuat matanya gelap tapi gadis ini masih hebat. Dia membentak dan melepas Lu-ciang-hoat ke kiri. Tapi ketika lawan lenyap di muka dan belakang dan tiga nenek itu membentak berbareng maka sebuah tendangan mengenai paha gadis itu dan tamparan di pelipis akhirnya membuat Soat Eng roboh.

"Bluk-dess!"

Soat Eng kalah pengalaman. Dia berteriak memanggil kakaknya, ambruk dan pingsan. Dan persis dia roboh tiba-tiba tiga nenek itu berkelebat hendak menghabisi nyawanya, melepas pukulan terakhir namun See-ong membentak. Kakek tinggi besar ini meniup dan terdoronglah tiga nenek itu. Dan ketika kakek itu berkelebat dan kedua lengannya mengibas maka Ji-moi dan dua temannya roboh terbanting.

"Berhenti, jangan bunuh kataku!" See-ong marah. "Kalian tak boleh melanggar, nenek Naga. Atau kalian akan kubunuh di sini!"

Tiga nenek itu gentar. Mereka teringat dan segera sadar, bangun berdiri dan menunduk. Dan ketika See-ong melotot dan mereka diam saja maka kakek itu menyambar Soat Eng dan membebaskan totokan muridnya.

"Nah," katanya kepada Siang Le. "Kau bawa gadis ini, Siang Le. Dan bawa pula kakaknya jebloskan ke ruang bawah tanah!"

"Eh," Siang Le terkejut. "Maksudmu Istana Hantu, suhu?"

"Ya, kenapa?"

"Kalau begitu kita tidak jadi pulang? Tidak meninggalkan Sam-liong-to?"

"Ha-ha, pikiranku berubah, Siang Le. Sekarang aku berniat tinggal di pulau ini. Sam-liong-to di bawah kekuasaanku, dan mereka berenam adalah penjaga!"

Toa-ci dan lain-lain terkejut.

"Kalian tidak suka?"

"Tidak, bukan begitu," Siauw-jin terkejut, menyeringai. "Tapi apakah kami tidak mendapat kebebasan, See-ong? Apakah kami hendak kau hukum dengan dikurung di sini?"

"Ha-ha, tidak!" kakek itu menjawab. "Tapi sekarang kalian harus menemani aku dulu di sini, Siauw-jin, kecuali tiga nenek ini!"

"Ada apa dengan mereka?"

"Mereka kusuruh keluar, menantang Pendekar Rambut Emas atau isterinya!"

Siauw-jin tiba-tiba berseri. "See-ong, kalau begitu biarkan aku saja. Aku juga memberi tahu Hu-taihiap!"

"Hm, jago buntung yang lihai itu?"

"Benar, musuh kita bukan hanya Kim-mou-eng dan isterinya, See-ong, melainkan juga Hu Beng Kui itu. Dia tak kalah sombong dengan menantunya!"

"Boleh, kalau begitu begini saja. Kau dan Naga Bumi menemui Hu Beng Kui dan Ji-moi serta Toa-ci menemui Pendekar Rambut Emas!"

"Dan kami?" Tok-ong, yang tak boleh keluar kecewa. "Apakah kami tinggal di sini, See-ong? Apakah tidak bertiga-tiga saja membagi pekerjaan bersama mereka?"

"Tidak, kau dan Cam-kong di sini, Tok-ong. Dan karena aku suka tinggal di pulau ini maka kalian menjadi pengawal Istana Hantu!"

Tok-ong dan Cam-kong melirik ke kiri. Mereka melihat senyum gembira Siauw-jin, yang menyeringai dan mau terkekeh tapi buru-buru ditahan. Ketawanya bisa membuat See-ong marah dan setan cebol itu menahan. Dan karena See-ong sudah menguasai mereka dan Cam-kong serta teman-temannya tak dapat membantah maka mereka mengangguk dan hari itu juga menjalankan tugas. Soat Eng, yang sudah dibawa Siang Le dijebloskan ke ruang bawah tanah.

Pemuda itu tampak mau membantah tapi tidak berani. Gurunya hendak menantang Hu Beng Kui dan Pendekar Rambut Emas, dengan menyandera Soat Eng dan Thai Liong, putera puteri Pendekar Rambut Emas atau cucu dari Hu-taihiap, jago pedang yang hebat itu. Dan ketika Ji-moi mendapat tugas dan mereka berkelebat pergi maka Siauw-jin juga tertawa meninggalkan Sam-liong-to, melaksanakan perintah dan baru untuk pertama kali ini Enam Iblis Dunia yang kesohor di bawah pengaruh orang.

See-ong telah menunjukkan mereka dan mereka tak dapat berkutik, hal yang luar biasa dan tentu akan menggegerkan dunia kang-ouw. Dan ketika empat orang itu pergi meninggalkan pulau dan Soat Eng serta kakaknya ditawan di ruang bawah tanah maka Cam-kong dan Tok-ong menjadi penjaga Sam-liong-to!

"Keparat!" kakek itu menyumpah. "Kalau bukan See-ong tentu lebih baik aku mampus, Cam-kong. Sungguh memalukan bahwa kita Enam Iblis Dunia di bawah kekuasaan orang lain!"

"Sudahlah," Cam-kong, si Pembunuh Petir menghibur. "See-ong memang hebat, Tok-ong. Dan dia segolongan. Kalau Pendekar Rambut Emas yang menguasai kita tentu aku sendiri juga lebih baik mati!"

"Dan kau puas sebagai penjaga pulau?"

"Ah, kita orang yang biasa bebas merdeka, Tok-ong. Tentu saja aku juga tak puas. Tapi apa mau dikata lagi? Bukankah See-ong memang luar biasa dan kita semua kalah?"

"Itulah, aku kagum tapi juga penasaran, Cam-kong. Entah bagaimana See-ong mempelajari Cap-mo-liap-liong-sutnya itu, juga Hek-kwi-sutnya yang luar biasa. Bedebah, kalau tidak merasakan sendiri tentu aku tak percaya!"

"Sudahlah, kita di bawah kekuasaan orang lain, Tok-ong. Lebih baik kita menjalankan tugas dan kau menjaga di belakang, aku di depan."

"Baik!" dan Tok-ong yang pergi dengan uring-uringan lalu berkelebat dan menjaga bagian belakang pulau, berpisah dengan temannya dan Cam-kong menjaga di depan. Kini Sam-liong-to dijaga dua dari Enam Iblis Dunia. Pulau itu sudah berada di bawah kekuasaan See-ong dan kakek tinggi besar itu meng-"klaim" pulau ini, meguasainya. Dan ketika dua orang itu menjaga di tempatnya masing-masing maka Soat Eng dan Thai Liong menjadi tawanan datuk atau Raja Dari Barat ini, tak berdaya.

* * * * * * * *

Ce-bu. Lama kita tak menjumpai tokoh yang tinggal di kota ini. Siapa lagi kalau bukan si jago pedang Hu Beng Kui? Jago buntung yang hebat itu tinggal di kota ini. Karena dialah Ce-bu menjadi terkenal, sejak jamannya Pedang Tiga Dimensi sampai ke perebutan Sepasang Cermin Naga. Siapa tidak kenal Hu-taihiap si jago pedang yang gagah perkasa itu? Siapa tidak mendengar namanya yang kesohor di seluruh jagad?

Dulu Hu Beng Kui atau Hu-taihiap ini adalah seorang laki-laki yang keras dan tak kenal menyerah, pantang mundur dan jago pedang itu memang hebat. Dan ketika peristiwa demi peristiwa dialaminya hingga jago pedang itu banyak dimusuhi orang maka puteranya Hu Beng An, tewas dalam pertempuran sengit melawan datuk-datuk sesat yang menyatroni jago pedang itu (baca kisah Sepasang Cermin Naga).

Kini, masihkah jago pedang itu memperlihatkan 'gigi' nya? Ditinjau dari umur, jago pedang ini sudah tidak seperti dulu. Hu-taihiap sekarang sudah merupakan seorang kakek yang mulai sakit-sakitan, sering diam di rumah tapi dia tetap memimpin dunia kang-ouw. Dua puluh tahun yang lalu orang-orang persilatan telah mengangkatnya sebagai bengcu (pemimpin persilatan). Dan karena dia memang hebat dan tinggi kepandaiannya maka kedudukan itu pantas dijabatnya.

Tak ada seorang pun yang tidak mendengar nama si jago pedang ini, yang kini jarang mempergunakan pedangnya karena dia memiliki dua ilmu luar biasa yang disebut Khi-bal sin-kang (Pukulan Bola Sakti) dan Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa). Dengan dua ilmunya itu Hu Beng Kui dapat mengalahkan Enam Iblis Dunia, Cam-kong dan kawan-kawannya dulu menyerah dihajar jago buntung ini. Dan karena jago pedang itu memang hebat dan kepandaiannya meningkat pesat berkat penemuannya mendapat sepasang Cermin Naga maka Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas) sendiri hampir tak dapat mengalahkan jago ini.

Dulu, dua puluhan tahun yang lalu dunia kang-ouw geger. Cermin Naga, yang dilempar Bu-beng Sian-su jatuh di langit selatan dan utara. Yang selatan didapatkan Hu Beng Kui sedang yang meluncur ke utara akhirnya jatuh di kota raja, ditemukan Kwee Han yang kini telah tewas akibat perbuatannya sendiri, bekas menteri muda yang melonjak pamornya karena merupakan sahabat Kim-mou-eng. Sayang, karena bekas nelayan yang menjadi menteri itu mabok dalam kesenangannya yang tak terbatas maka pemuda ini tewas dengan cara menyedihkan, dihajar dan dibacok teman-temannya sendiri, akibat ketidakadilan. Itu semua telah diceritakan dalam kisah yang lain.

Bagaimana sekarang dengan Hu-taihiap? Masihkah ambisius dengan ingin menguasai dunia? Tidak, kakek itu telah tua. Wejangan-wejangan dan nasihat Bu-beng Sian-su telah menyadarkan jago pedang ini. Hu-taihiap cukup puas dengan keadaannya sekarang dan tinggal tenang di Ce-bu, kota yang sejak lama ditinggalinya. Namun karena usia semakin uzur dan betapapun yang namanya penyakit selalu menghinggapi manusia maka jago tua itu sering tinggal di rumah untuk menjaga kesehatannya.

Dan hari itu pun jago tua ini terserang tak enak badan. Sudah dua hari, dia meriang, hidung tersumbat dan tenggorokan gatal. Ah, barangkali flu. Orang segagah Hu-taihiap tentu saja menganggap ringan penyakit begini. Tapi ketika panas tubuhnya tak mau mereda dan Hu-taihiap jengkel maka jago tua ini malah melompat keluar dan menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya, berlatih silat.

"Eh, jangan keluar rumah, taihiap. Harap masuk dan jaga kesehatanmu!" uwak Lu, pelayan di situ menegur, kebetulan melihat dan kaget, menyiapkan minuman panas namun Hu Beng Kui tertawa.

Jago tua ini tetap menggerak-gerakkan kaki dan tangannya. Dan ketika pelayannya menegur kembali dan tampak khawatir maka kakek ini berkata, "Sudahlah, kau masuk ke dalam, uwak Lu, Letakkan minumanku di situ dan kau pergilah!"

"Tapi...."

"Eh, kau tak cerewet, bukan? Atau ingin kutendang?"

"Baiklah," dan uwak Lu yang meletakkan minuman di meja kecil akhirnya pergi dan tersenyum kecut oleh seruan Hu-taihiap, yang tertawa geli, meneruskan latihannya dan jago pedang ini segera berkeringat. Dua jam bermandi matahari akhirnya kakek itu merasa sehat, panasnya menurun dan berhentilah dia berlatih. Dan ketika dia mengusap keringatnya dan duduk menikmati minuman panas mendadak berkesiur angin dingin di belakangnya.

"Hu-taihiap, kami datang!"

Jago pedang itu terkejut. Tanpa disangka tahu-tahu berkelebat dua bayangan di belakangnya, melepas pukulan dan jago pedang ini terkejut. Tapi karena dia adalah seorang jago dan seruan atau bentakan itu membuat dia cepat membalik maka secara otomatis dia menggerakkan lengan menangkis, berseru keras.

"Duk-dukk!"

Dua orang itu terpental. Hu Beng Kui bangkit berdiri dan terbelalak, melihat seorang di antaranya terkekeh sedang yang lain memaki. Dan ketika dia mengusap keringatnya dan duduk menikmati minuman panas mendadak berkesiur angin dingin di belakangnya.

"Hu-taihiap, kami datang!”

Dan ketika dia tertegun dan mengenal dua orang itu maka jago pedang ini menggeram. "Siauw-jin, kau kiranya?"

"Ha-ha!" Siauw-jin si setan cebol tertawa. Tadi bersama Naga Bumi dia menyerang jago pedang ini, ingin menjajal dan melihat bahwa jago tua itu masih hebat, meskipun tenaganya agak berkurang. Dan ketika lawan memandang marah dan Hu Beng Kui merah mukanya maka setan cebol itu buru-buru menjura. "Maaf," katanya. "Kami berdua datang untuk menyampaikan undangan, Hu-taihiap. Kau diminta datang ke Sam-liong-to kalau berani!"

"Heh!" jago pedang itu membentak. "Undangan apa, Siauw-jin? Kenapa harus tidak berani?"

"Ha-ha, tak perlu marah. Undangan ini resmi sifatnya, taihiap, dari pemimpin kami yang hebat luar biasa. Kau diundang See-ong untuk menjemput cucu-cucumu!"

"Apa maksudmu?" Hu Beng Kui mengerutkan kening.

"Hi-hik," nenek Naga kini bicara. "Maksud kami jelas, Hu-taihiap. Kami diutus See-ong untuk mengundangmu datang ke Sam-liong-to. Dua cucumu, Thai Liong dan Soat Eng ada di sana, di bawah kekuasaan See-ong. Kalau kau berani datang dan mengambilnya tentu saja See-ong akan gembira!"

"Siapa itu See-ong?" Hu Beng Kui tertegun. "Kenapa aku tidak mengenal nama ini?"

"Ha-ha," Siauw-jin kini tampil lagi ke depan. "See-ong adalah pemimpin kami, Hu-taihiap. Dengan tak malu-malu lagi kami menyatakan kalah kepadanya. Kau diminta datang untuk berkenalan dengan See-ong!"

"Keparat!" jago pedang itu berkilat. "Kau membual omongan busuk, Siauw-jin. Aku tak percaya dan sebaiknya kalian duduk di sini...wut!" jago pedang itu menyambar, angin pukulannya menghantam dan Siauw-jin menjerit.

Setan cebol ini melempar tubuh berjungkir balik ketika diserang, maklum bahwa pukulan Hu Beng Kui bukanlah pukulan biasa. Dan ketika dia lolos namun si jago pedang mengejar tiba-tiba pukulan kedua menyambar di saat dia melayang turun. "Hei!" si cebol itu berteriak. "Bantu aku, nenek siluman. Serang dia!"

Nenek Naga bergerak. Melihat temannya diancam tiba-tiba nenek ini membentak, berkelebat dan melepas pukulan ke punggung Hu Beng Kui. Dan karena pukulan ini mengganggu niatnya dan Hu Beng kui membalik maka dengan marah jago pedang itu malah menghantam nenek ini.

"Dess!" nenek Naga menjerit keras. Dia terlempar ke atas dan berjungkir balik seperti Siauw-jin, berteriak dan marah namun juga gentar. Dan ketika Hu Beng Kui hendak mengejar namun Siauw-jin mencabut senjatanya maka dua buah sabit menyambar ke arahnya, ditangkis dan dikebut dan Siauw jin terdorong hampir terjatuh, berteriak agar Hu Beng Kui menghentikan serangannya. Dan ketika jago pedang itu terbelalak dan marah memandang mereka maka Siauw-jin berseru,

"Hu-taihiap, jangan mengganggu utusan. Kami hanya diperintah! Kalau kau tidak percaya harap lihatlah ini!"

Siauw-jin mengeluarkan bendera putih, mengebutkannya di depan Hu Beng Kui dan jago pedang itu tertegun, melihat bahwa Siauw-jin benar-benar seorang utusan, terbukti karena bendera itu segera diacungkan di atas kepala si setan cebol ini, hal yang tidak main-main. Dan karena Hu Beng Kui tertegun dan mau tak mau menjadi percaya maka jago pedang itu terheran-heran, di samping tercengang.

"Kau benar-benar utusan? Kalian berdua di bawah kekuasaan See-ong?"

"Ya, kami bersungguh-sungguh, Hu-taihiap. Kami tidak berbohong. Karena itu jangan ganggu kami, kami hanya utusan!" dan Siauw-jin yang mengusap keringat karena gentar segera menceritakan maksud kedatangannya, bahwa dia benar-benar diperintah See-ong untuk mengundang jago pedang itu.

Hu Beng Kui diminta ke Sam-liong-to dan berkenalan dengan pemimpin mereka yang hebat, See-ong. Dan karena semuanya itu terlihat sungguh-sungguh dan tak mungkin orang macam Siauw-jin mau merendah untuk urusan begini maka Hu-taihiap mendengus dan berkilat matanya.

"Baiklah, kupercaya kau, Siauw-jin. Dan aku akan datang ke Sam-liong-to!"

"Nah," iblis itu gembira. "See-ong tak sabar menunggumu, Hu-taihiap. Sebaiknya cepat kau berangkat dan kami pergi!"

"He!" jago pedang itu membentak. "Nanti dulu, Siauw-jin. Di mana teman-temanmu yang lain?"

"Hm," setan cebol ini menyeringai. "Mereka juga di Sam-liong-to, Hu-taihiap. Kalau kau takut sebaiknya tak usah datang...."

"Plak!" Hu Beng Kui menampar, membuat iblis cebol itu berteriak. "Jangan macam-macam kepadaku, Siauw-jin. Dikeroyok berenam pun aku tak takut!"

"Aduh, aku percaya...!" Siauw-jin mengeluh. "Tapi jangan semena-mena di sini, Hu-taihiap. Kami utusan dan kau tak boleh mengganggu!"

"Baiklah, kalian boleh pergi dan akan kuhadapi si See-ong itu... des-dess!" Hu-taihiap menendang, membuat dua orang itu mencelat dan nenek Naga memaki.

Kalau tidak mengingat bahwa jago pedang ini seorang yang hebat luar biasa barangkali dia akan menerjang dan membalas tendangan itu, betapapun dia adalah seorang di antara Enam Iblis Dunia. Tapi karena Hu Beng Kui mengusir dan mereka diperbolehkan pergi maka nenek ini berkelebat sementara Siauw-jin sendiri mengaduh-aduh mencaci si jago pedang itu, mengumpat tak keruan dan mendahului nenek Naga. Setan cebol ini dimaki dan dikejar temannya. Dan ketika mereka lenyap dan Hu Beng Kui bersinar-sinar maka jago pedang itu mengerotkan giginya.

"Aneh," gumamnya sendiri. "Siapa itu See-ong dan seberapa hebatkah dia? Betulkah Siauw-jin dan lima temannya roboh? Hm, aku akan mendatangimu, See-ong. Dan siapa pun kau pasti akan kuhajar!" jago pedang ini berkilat, marah karena teringat bahwa Thai Liong dan Soat Eng katanya di sana.

Dan karena dia percaya bahwa Siauw-jin mengundangnya atas suruhan See-ong maka kakek ini berkelebat memanggil uwak Lu, berkata bahwa dia akan pergi dan dimintanya pelayannya itu menjaga rumah baik-baik. Uwak ini tampak tertegun dan terkejut. Dan ketika hilang bengongnya dan kaget memandang jago pedang itu maka uwak ini bertanya,

"Taihiap tak main-main? Mau pergi dan bahkan meninggalkan rumah?"

"Ya, aku ada keperluan, uwak Lu. Aku mau ke Sam-liong-to!"

"Sam-liong-to? Di mana itu?"

"Aku tak tahu, uwak Lu, tapi aku dapat bertanya-tanya di jalan. Sudahlah, kau jaga rumah ini dan aku mau pergi!"

"Nanti dulu!" uwak itu berteriak. "Sedemikian pentingkah urusanmu, taihiap? Tidakkah perlu memberi tahu anak dan mantumu?"

"Hm, Kim-mou-eng?"

"Ya, beri tahu dulu pada Kim-mou-eng, taihiap. Dan kalau perlu bersama dia agar kau selamat di jalan!"

"Ha-ha, seperti anak kecil!" Hu Beng Kui tertawa bergelak. "Kau tak perlu mengkhawatirkan diriku sedemikian rupa, uwak Lu. Aku dapat menjaga diri dan pasti kembali!"

"Tapi kau sakit, tak enak badan!"

"Ah, demam sedikit memangnya kenapa? Aku merasa cukup kuat, uwak Lu, tak perlu kau cemas dan tinggallah di rumah. Aku pergi!" dan Hu Beng Kui yang lenyap berkelebat meninggalkan perempuan itu tiba-tiba tak mau bicara lagi dan membiarkan pelayannya bengong, takut dan gelisah namun sang majikan telah menghilang di luar. Dan ketika uwak ini mengeluh dan menyusul keluar maka bayangan Hu Beng Kui tampak jauh di sana.

"Taihiap, hati-hati....!"

Jago pedang itu tertawa. Dari jauh ia mengucap terima kasih, menyuruh uwak itu masuk lagi dan perempuan ini pun menangis. Dan ketika Hu-taihiap lenyap dan sudah terbang meninggalkan Ce-bu maka pelayan ini membalik memasuki rumah, menutup pintu rumah dan tersedu-sedulah dia di dalam. Entah kenapa firasatnya menunjukkan lain, majikannya itu seolah tak akan kembali lagi dan menjeritlah uwak itu di dalam kamarnya. Dan ketika kekhawatiran serta kecemasannya menghebat tiba-tiba uwak ini menyalakan hio dan sembahyang, berdoa untuk keselamatan majikannya.

"Thian Yang Agung, selamatkan dan lindungilah majikanku. Biarkan ia pulang dengan selamat tak kurang suatu apa!"

Hu Beng Kui tak tahu tentang ini. Doa pelayannya agar dia selamat dan pulang ke rumah tak diketahuinya. Saat itu yang bergolak di hatinya adalah kemarahan serta gemasnya. Thai Liong terutama Soat Eng, ditangkap musuh dan menjadi tawanan See-ong, tentu saja dia marah dan mendongkol. Maka begitu mengerahkan kepandaiannya dan ilmu lari cepatnya Jing-sian-eng dipergunakan tiba-tiba tubuh jago pedang itu berkelebatan, terbang dan meninggalkan Ce-bu dengan amat cepatnya.

Bayangan jago pedang ini sudah berobah seperti asap dan bergeraklah dia meluncur di atas tanah. Orang akan mengira melihat hantu kalau bertemu si jago pedang itu, maklumlah, Hu Beng Kui tak menginjak tanah lagi karena mengerahkan kepandaiannya itu.

Tapi ketika dua hari kemudian dia memaksa diri dan menuju ke timur mendadak sakitnya kambuh, panas dingin dan terpaksa pendekar ini berhenti. Dia menduga Sam-liong-to tentu di timur, karena hanya di timurlah banyak terdapat pulau-pulau. Maka ketika dia berhenti dan mengobati sakitnya maka pendekar ini menunda sejenak maksud perjalanannya dengan mendongkol.

"Eh, bukankah ini Hu-bengcu (pemimpin persilatan Hu)?"

Hu Beng Kui tertegun. Seorang pemuda tampan langsung menegurnya dan muncul, tersenyum-senyum. Hu Beng Kui terkejut karena langkah pemuda itu tak didengarnya, tahu-tahu muncul disitu dan jago pedang ini mengerutkan kening. Tapi ketika pemuda itu mendekat dan menjura dengan sikap manis maka pemuda ini melihat tubuh yang gemetar dari si jago pedang itu....

Istana Hantu Jilid 04

ISTANA HANTU
JILID 04
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"HEH-HEH, ini Sam-liong-to, Ji-moi? Hei, kalian melawan siapa?"

Lalu, ketika manusia cebol itu berkelebat dan lenyap seperti siłuman tahu-tahu di tempat itu muncul kakek kate ini, tertawa-tawa dan Siang Le tertegun, See-Ong sendiri juga tertegun karena dia teringat satu dari Enam Iblis Dunia yang lain, yakni kakek cebol itu, Hek-bong Siauwjin (Manusia Busuk Dari Kubur). Dan ketika kakek cebol itu tertawa dan berhenti disitu maka matanya berputaran memandang pertandingan antara See-ong dan nenek Naga serta Toa-ci.

"Weh! Siapa ini, Toa-ci? Tua bangka dari mana yang hebat begini? Ha-ha kalian kalah? Hai, lempar tubuhmu ke kiri, Toa-ci. Awas pukulan!" Siauw-jin, setan cebol itu berseru, melihat munculnya See-ong dan seperti jin sakti saja tahu-tahu kakek tinggi besar itu menghantam lawannya. Dan ketika Toa-ci terpelanting karena kalah cepat maka kakek cebol itu tertegun, dimaki temannya.

"Tutup mulut!" Toa-ci membentak. "Ini See-ong, Siauwjin. Hayo maju dan bantu kami!"

"Apa?" kakek cebol itu berkedip-kedıp. "Aku membantu kalian? Kalian terang-terangan meminta bantuan?"

"Keparat, serang kakek siluman ini, Siauwjin. Jangan pentang bacot atau kau kubunuh...wutt!" nenek Naga membentak, gemas dan benar-benar melakukan serangan ke kakek cebol itu. Dalam kemarahan dan geramnya nenek ini mendorongkan kedua lengannya melepas Tee-sin-kang (Pukulan Bumi), bersiut dan menyambar kakek cebol itu. Dan ketika Siauwjin tertawa berjungkir balik maka pukulan itu meledak di bawah dan tanah tempatnya berpijak hancur dihantam pukulan ini.

"Dess!" Siauw-jin terbahak-bahak. Melayang turun dengan jungkir balik yang indah kakek itu telah berdiri lagi di tempat yang lain, dikejar dan terpaksa dia menangkis. Dan ketika Toa-ci melengking karena dua temannya saling serang sendiri maka nenek itu terbanting ketika See-ong muncul dan menghantam punggungnya.

"Keparat!" nenek itu bergulingan. "Jangan menyerang teman sendiri, nenek Naga. Serang dan robohkan kakek ini!" dan membentak pada setan cebol itu Toa-ci melengking, "Siauwjin, jangan layani nenek siluman itu. Terjun dan bantulah kami!"

See-ong tertawa bergelak. "Boleh!" serunya. "Maju kalian bertiga, Siauw-jin. Biarlah kurobohkan kalian semua dan lihat kehebatan See-ong!"

"Ha-ha," Siauw-jin terkekeh menggelengkan kepalanya. "Nenek siluman itu telah menyerangku, See-ong. Aku harus membalas dan biar kubantu kau!" Siauwjin berkelebat, membuat See-ong melengak karena kakek cebol itu membantu dirinya. Tapi ketika Siauwjin berada di dekatnya dan berkata mau menyerang nenek Naga sekonyong-konyong kakek itu menggerakkan lengannya ke kiri dan See-ong dihantam.

"Dess!" See-ong kaget terguling-guling. Seumur hidup memang See-ong belum mengenal kebusukan lawan, bahwa apa yang dikata Siauwjin bisa kebalikannya dan iblis cebol itu memang licik sekali. Kecurangannya membuat dia dijuluki Si Busuk, apa yang dikata belum tentu dilakukan. Maka begitu Siauwjin menghantamnya dan nenek Naga terkekeh-kekeh barulah See-ong sadar bahwa si cebol itu menipunya.

"Keparat!" See-ong meloncat bangun. "Bedebah kau, Siauw-jin. Benar-benar busuk dan licik!"

"Hi-hik!" nenek Naga terkekeh-kekeh. "Kau yang bodoh, See-ong. Mana mungkin kami Enam Iblis Dunia saling bunuh sendiri? Otakmu yang bebal, satu kosong untuk kemenangan Siauwjin!" dan nenek itu yang tertawa demikian geli tiba-tiba berseru agar Siauwjin mengulang kecurangannya, menghantam kakek tinggi besar itu lagi tapi See-ong lenyap mengerahkan Hek-kwi-sutnya. Kakek ini marah karena Siauwjin menipunya, die terkecoh mentah-mentah. Dan ketika dia lenyap dan Siauwjin menyeringai mengerutkan kening tahu-tahu See-ong berkelebat dalam bentuk badan halus dan ganti dihantamnya setan cebol itu.

"Awas!" Seruan Toa-ci terlambat.

Siauwjin melempar tubuh namun terkena juga, pukulan See-ong menghantamnya dan kakek itu terbanting. Dan ketika See-ong tertawa bergelak dan Siauwjin maki-maki maka kakek tinggi besar itu mengejeknya,

"Nah, itu kebodohanmu, Siauw-jin. Gampang dipukul dan untung kau tidak mampus!"

"Keparat!" kakek cebol itu melotot. "Kau lihai, See-ong. Tapi aku akan berhati-hati sekarang.... haitt!" dan Siauw-jin yang mencelat mengambil senjatanya tiba-tiba membabat ketika asap See-ong menyambar, luput dan See-ong terbahak-bahak. Siauw-jin menyerang lagi namun roh halus kakek tinggi besar itu lenyap lagi, benar-benar seperti siluman.

Dan ketika Siauwjin kebingungan namun Toa-ci dan nenek Naga melengking tinggi tiba-tiba mereka sudah maju membantu dan tampaklah kini asap putih dari roh See-ong yang dikejar-kejar tiga orang itu, dihantam dan dipukul tapi Sse-ong selalu menghindar. Gerak atau kecepatan roh kakek itu jauh lebih cepat dibanding gerak atau kecepatan lawan, padahal Toa-ci dan dua temannya adalah orang-orang yang sudah terkenal di dunia kang-ouw. Dan ketika See-ong tertawa-tawa dan pertandingan menjadi aneh karena tiga orang lawan menyerang atau mengeroyok sebuah badan halus maka di sana Siang Le justeru jatuh banguo dihajar nenek Ji-moi.

"Keparat!" nenek itu juga marah-marah. "Kau kuat dan hebat sekali, anak muda. Kekebalanmu luar biasa dan mengagumkan!"

"Hm," Siang Le bermandi keringat. "Kau yang hebat, nenek siluman. Tapi kau tak dapat mengalahkan aku!"

Soat Eng kagum. Sejak melihat pertandingan itu gadis ini mendecak dan menggeleng berkali-kali. Apa yang dilihat memang mengagumkan hatinya dan mau tak mau dia mendesis. Setelah sekarang Siang Le mengeluarkan segenap kepandaiannya dan dapat melayani nenek Ji-moi meskipun jatuh bangun namun gadis itu memuji juga. Siang Le memiliki tubuh dan tulang yang kuat. Berapa kali pun dia dibanting tetap saja pemuda itu dapat bangkit terhuyung dan melawan lagi, tak apa-apa dan itu semua berkat Sin-re-ciangnya. Ilmu Karet itu telah membuat tulang dan tubuh pemuda itu lemas, selemas karet, betapapun dibanting tetap juga mental dan tak apa-apa.

Satu-satunya jalan barangkali harus mempergunakan senjata tajam, nenek Ji-mo mulai berpikir ke situ dan melotot. Maka ketika untuk kesekian kalinya lagi pemuda itu tak apa-apa menerima tamparannya maka keluarlah senjatanya yang aneh garpu ukuran besar yang pantasnya dipakai seorang raksasa. Lalu, begitu membentak dan lenyap lagi dalam ilmu hitamnya tiba-tiba nenek itu telah berkelebat dan menghunjamkan garpunya ke tenggorokan pemuda ini.

"Awas....!"

Siang Le terkejut. Dia bukan terkejut oleh serangan itu, yang dilihatnya, melainkan terkejut oleh teriakan Soat Eng. Gadis itulah yang berteriak dan teriakannya mengandung kekhawatiran. Siang Le tertegun tapi tiba-tiba bangga, girang! Maka ketika garpu menyambar dan tenggorokannya ditusuk tiba-tiba pemuda itu menangkis dan tenaga Karet dirobah menjadi tenaga Besi (Tiat-kang).

"Plak!" garpu itu terpental. Ji-moi tersentak karena lawan merobah tenaganya, dari lemas menjadi keras. Dan ketika ia gagal dan Siang Le tertawa maka pemuda itu menoleh pada Soat Eng dan berseru,

"Terima kasih, nona. Perhatianmu membesarkan semangatku!"

Soat Eng merah padam. Sebenarnya tak ada maksud di hatinya untuk "membesarkan" semangat pemuda itu. Siang Le adalah musuhnya dan pemuda itu murid See-ong. Tapi karena teriakannya terlanjur diserukan dan pemuda itu menangkap maka gadis ini melengos dan akhirnya diam saja, marah karena Siang Le berterima kasih. Aneh! Dan ketika gadis itu melengos dan Ji-moi menyambar lagi namun gagal maka nenek itu melotot memandang gadis yang roboh tertotok itu.

"Siapa dia?"

"Kim-siocia!" Siang Le menjawab, bangga. "Kau sekarang tak dapat merobohkan aku, nenek siluman. Gadis itu mendorong semangatku!"

"Hm," nenek itu mendengus. "Aku tak tanya dorongan semangatmu, bocah. Melainkan siapa gadis yang kurang ajar itu, yang rupanya ada perhatian kepadamu!"

"Dia Kim-Siocia, puteri Kim-taihiap!" Siang Le menjawab, meskipun mandi keringat. "Ada apa kau menanyainya, nenek siluman? Apakah takut?"

"Keparat, siapa takut? Siapa Kim-taihiap yang kau maksud?"

"Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas!" dan begitu Siang Le menerangkan sambil tertawa tiba-tiba nenek Ji-moi terkejut.

"Apa? Pendekar Rambut Emas? Dia itu puterinya?"

"Betul, dia puterinya, nenek siluman. Dan kebetulan suhu menangkapnya. Ada sedikit kesalahpahaman di antara kami.... wut!"

Siang Le menghentikan kata-katanya, mengelak dan kaget karena tiba-tiba nenek itu melepas garpunya. Senjata itu meluncur dan hampir saja mengenai matanya. Dan ketika Siang Le membanting tubuh dan kaget serta berteriak keras tiba-tiba Ji-moi berkelebat dan tertawa menyambar gadis itu.

"Hi-hik, bagus kalau begitu, bocah. Gadis ini menjadi bagianku dan kau pergilah!" Ji-moi menyambar Soat Eng, meraih gadis itu namun Siang Le membentak dari belakang.

Garpu yang hampir mengenai mukanya diraup, dilontar dan tiba-tiba senjata itu menyambar punggung Ji-moi. Siang Le masih menyusulnya lagi dengan lompatan panjang, mengulurkan lengannya dan keluarlah ilmu karet itu, Sin-re-ciang. Dan ketika nenek Ji-moi terkejut karena jari-jari pemuda itu mulur dan mencengkeram lehernya tiba-tiba nenek ini membalik dan terpaksa menyambut, berseru keras.

"Dess!" Dua orang itu terpental Ji-moi membiarkan garpu runtuh menyambar punggungnya, sudah melindungi diri. Dan ketika Siang Le terguling-guling namun dapat mencegah lawannya merampas Soat Eng maka pemuda itu berteriak dan melihat lagi dua bayangan di pantai, terkejut karena dari jauh terdengar geraman menggetarkan. Sesosok kakek tinggi besar muncul seperti gorila, pakaiannya hitam-hitam dan di sebelah kakek itu meluncur seorang kakek tinggi kurus yang lain, mukanya pucat dan seperti hantu. Dan ketika bayangan itu berkelebat dan memanggil nama Ji-moi tahu-tahu dua bayangan itu sudah berada di situ dan kakek tinggi besar ini menggerak-gerakkan lengannya.

"Heh, siapa ini, Ji-moi? Dan siapa tua bangka yang dikeroyok itu?"

"Keparat, itu See-ong, Tok-ong (Raja Racun). Dan yang ini muridnya. Bantu kami!" Ji-moi berseru melotot, tadi marah karena Soat Eng gagal dirampas. Murid See-ong itu menyerangnya dan terpaksa dia melepaskan korbannya, mendelik dan kakek tinggi besar yang baru datang itu tertegun. Tapi ketika terdengar tawa aneh di mulutnya dan mata yang besar itu berkejap-kejap liar tiba-tiba kakek ini menerkam Siang Le.

"Heh, kau robohlah!"

Siang Le terkejut. Kakek seperti gorila itu menubruk, kedua tangannya tahu-tahu sudah dekat dengan pundaknya dan Siang Le marah. Dan karena dia tak mengenal siapa kakek ini namun dapat menduga tentu seorang di antara Enam Iblis Dunia maka Siang Le membentak dan menangkis, membalik.

"Plak!"

Kakek itu tergetar. Siang Le terhuyung namun tidak apa-apa, lawan menggereng dan tampak kaget. Dan ketika kakek itu tertegun dan Ji-moi terkekeh tiba-tiba nenek itu berseru, "Tok-ong, hati-hati. Murid See-ong itu cukup lihai!"

"Hah, kau mengejekku? Keparat, aku akan membekuknya, Ji-moi. Dan kau lihat... wut!" kakek itu menubruk lagi, tangan mencengkeram dan Siang Le menangkis. Dan ketika kakek itu tergetar dan kembali terdorong maka Tok-ong, kakek ini terbelalak, maju dan membentak lagi dan keluarlah pukulan-pukulan yang amat dahsyat, kian lama kian dahsyat.

Dan Siang Le kewalahan. Dia baru dihajar nenek Ji-moi dan mandi keringat, kini muncul lawan baru yang tidak kalah tangguh. Dan ketika dia menangkis tapi roboh terlempar maka kakek itu tertawa dan mengejar lagi, menggeram dan pukulan berbau busuk menghantam, Siang Le berkelit dan pukulan itu pun meledak di sisi kepalanya. Dan ketika tanah menjadi amblong dan dia sudah diburu dengan pukulan dan cengkeraman tiba-tiba nenek Ji-moi terkekeh dan menubruk Soat Eng!

"Hi-hik, bagus, Tok-ong. Robohkan pemuda itu dan biar kutangkap si setan betina ini!"

Siang Le kaget. Dia terkejut melihat berkelebatnya Ji-moi ke tempat Soat Eng apa boleh buat menggulingkan tubuh ke sana dan Sin-re-ciang menyambar. Dan ketika nenek itu kaget karena di saat sulit masih saja pemuda itu bisa menyerangnya maka nenek ini menendang dan lengan karet pemuda itu terpental. Ji-moi mengumpat karena untuk kedua kalinya dia gagal menangkap Soat Eng. Dan ketika Siang Le meloncat bangun dan jari tangannya bergerak tiba-tiba pemuda itu membebaskan totokan Soat Eng dari jauh.

"Kim-siocia, bangun. Aku tak dapat melindungimu!"

Soat Eng menggerakkan kakinya. Tiba-tiba ia bebas dan dapat bergerak, meloncat bangun dan berjungkir balik. Dan ketika Siang Le diserang Tok-ong lagi dan repot menghindarkan diri maka nenek Ji-moi tertegun memandangnya, melengking dan tiba-tiba berkelebat dan sebuah pukulan menyambar gadis ini. Soat Eng menangkis namun masih kaku, terbanting dan bergulingan menjauh. Dan ketika dia selamat dan dapat meloncat bangun lagi maka Siang Le tertawa melihat gerakan gadis itu.

"Bagus, dan bebaskan totokan kakakmu, nona. Hadapi musuh-musuhmu tapi hati-hatilah!"

Ji-moi marah. Setelah Soat Eng bebas dan dapat bergerak kembali tentu saja dia gusar. Nenek ini jadi tak mengerti sikap Siang Le, kenapa pemuda itu membebaskan musuh yang sudah dirobohkan gurunya. Tapi melihat Soat Eng mau membebaskan totokan kakaknya dan gadis itu berkelebat tiba-tiba nenek ini membentak dan mendorong dari belakang, menghantam dan Soat Eng terpaksa menangkis, membalik. Dan ketika gadi itu tak terlempar lagi karena tenaganya sudah pulih maka gadis ini melengking menyerang nenek itu, dikelit dan dikejar dan ganti nenek Ji-moi diserang. Dan ketika dua tiga kali nenek itu mengelak dan berhasil menyelamatkan diri maka pukulan Soat Eng yang terakhir akhirnya ditangkisnya.

"Plak!" Tamparan nenek itu membuat keduanya tergetar. Nenek Ji-moi kaget karena lagi-lagi seorang gadis muda mampu menahan pukulannya, tadi Siang Le sekarang Soat Eng. Maka melengking dan membentak marah tiba-tiba nenek itu membalas dan menerjang Soat Eng, mendelik dan memandang penuh kebencian karena inilah puteri Kim-mou-eng, musuh besarnya, orang yang telah mengalahkan dirinya dan lima temannya yang lain, cucu Hu-taihiap, jago pedang yang sombong itu!

Dan begitu nenek ini membentak dan menerjang marah tiba-tiba pukulan dan tamparannya meledak bertubi-tubi, diiring bentakan dan makian dan Soat Eng melompat sana-sini, mengelak dan membalas dan segera dua orang itu bertanding seru. Soat Eng juga marah karena nenek ini mau menangkapnya. Tadi kalau Siang Le tak membebaskan dirinya tentu dia sudah di cengkeraman nenek ini. Maka begitu membentak dan melengking maju gadis ini pun membalas lawannya dan bertempurlah dua orang itu, desak-mendesak dan Ji-moi kaget. Gadis ini dapat menahan pukulannya dan nenek itu marah. Dan ketika di sana Siang Le juga bertempur dan bertanding sengit maka See-ong terbahak bahak menghadapi tiga lawannya.

"Ha-ha, selamat datang, Enam Iblis Dunia. Sekarang kalian lengkap datang ke mari. Hayo, lawanlah aku dan keroyok sesuka hati!"

Toa-ci menyumpah. Nenek tetua dari Sepasang Dewi Naga ini membentak, tangan bergerak dan muncullah senjatanya yang aneh, sendok. Dan ketika Naga Bumi juga melengking dan mencabut senjatanya maka nenek itu sudah memegang sebatang jarum yang panjang dan berkilauan.

"Keparat, jangan sombong, See-ong. Kau masih belum merobohkan kami bertiga!"

"Ha-ha, tak jadi soal. Merobohkan kalian tinggal menghitung waktu saja, nenek siluman. Sekali tiup tentu kalian terjungkal!"

"Keparat, mana buktinya? Hayo, tiup kami bertiga, See-ong. Coba kulihat mana buktinya!" nenek Naga meluap, sejak tadi tak dapat mendesak lawan bahkan didesak. Enam kali dia mendapat pukulan See-ong dan enam kali itu pula dia terbanting. Kalau bukan nenek ini tentu sudah mampus atau kelengar, nenek itu terkejut dan diam-diam gentar. See-ong ternyata lihai dan benar-benar hebat. Dan ketika nenek itu melengking dan membentak marah maka Siauw-jin justeru terkekeh-kekeh namun kedua matanya berputar keji.

"Sudahlah," katanya. "Tak usah meladeni raksasa ini, Naga Bumi. Kalau dia lelah tentu akan roboh tanpa kita dorong. Lebih baik terus serang dan kita berputaran!" setan cebol itu licik, selalu menyerang di belakang dan See-ong dikerubut. Yang mereka serang hanyalah sebentuk asap yang putih memanjang, itulah asap atau bentuk halus dari jasad See-ong.

Kakek ini mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan kakek tinggi pucat, yang berdıri di situ dan bukan lain Cam-kong Ho Hong Siu adanya tertegun, memandang pertempuran dan tokoh amat lihai dari Enam lblis Dunia ini tak berkejap. Sejak tadi dia mengamati jalannya pertandingan dan kaget serta kagum melihat cara See-ong menghadapi teman-temannya. Dan ketika asap putih itu berkelebatan dan lincah mengelak sana-sini maka kakek ini tiba tiba berkemak-kemik, mengerahkan ilmu suaranya dari jauh,

"Siauw-jin, sebaiknya kalian mempergunakan ilmu hitam pula. Coba hadapi kakek itu dengan cara seperti kita dulu menghadapi Kim-mou-eng!"

"Tak bisa," si setan cebol menjawab, juga dengan ilmunya mengirim suara dari jauh. "See-ong ini memiliki Hek-kwi-sut yang jauh lebih tinggi daripada ilmu hitam biasa, Cam-ong. Kalau kau mau maju dan membantu kami barangkali lebih baik."

"Hm, coba dulu, Siauw-jin. Kalau tak berhasil tentu aku maju!"

"Baiklah," dan Siuwjin yang tiba-tiba membentak mengajak teman-temannya menghilang dalam ilmu hitam tiba-tiba merobah bentuknya, lenyap dalam segulung asap hitam dan kini asap hitam itu menyerang asap putih.

Roh atau jasad halus dari See-ong diserang asap hitam dari tubuh Siauw-jin, dikejar namun See-ong terbahak, menumbuk dan menghajar asap hitam dari setan cebol ini. Dan ketika Siauw jin terpental dan berteriak terlempar maka berturut-turut nenek Naga dan Toa-ci juga membentak hilang, lenyap dalam ilmu hitamnya dan kini tiga asap bergulung naik turun menyerang asap putih. Tiga orang itu bertanding dengan cara mereka yang tidak lumrah manusia biasa, berkelebat dan terpental setiap ditumbuk asap putih dari roh halus See-ong. Dan ketika semuanya itu diamati Cam-kong dan kakek tinggi pucat itu terbelalak tiba-tiba See-ong berseru padanya agar maju sekalian.

"Hayo, majulah sekalian, Cam-kong. Biar kulihat Ilmu Pembunuh Petirmu!"

Cam-kong, iblis muka pucat ini bergetar. Dia marah oleh teriakan See-ong, menggeram dan masih menonton. Tapi ketika See-ong berkelebat ke arahnya dan dia ditumbuk tiba-tiba kakek ini membentak dan menghilang pula, langsung bersembunyi di balik ilmu hitamnya.

"Dukk!" Cam-kong terpental. Iblis muka pucat itu terkejut dan See-ong tertawa bergelak. Lihai kakek tinggi besar ini, dia terbahak-bahak mentertawakan lawannya. Dan ketika Cam-kong melengking dan bersiut maju tiba-tiba dia bergerak dan membalas lawannya itu.

"Dukk!" Cam-kong lagi-lagi terpental. Untuk kedua kalinya terlihatlah bahwa See-ong memang hebat, kakek tinggi besar itu tertawa-tawa mengejek lawan. Dan ketika Cam-kong terkejut dan berseru keras maka Siauw-jin dan lain-lain maju membentak, menumbuk dan menyerang bayangan See-ong namun kakek tinggi besar itu hebat. Dikeroyok bertiga masih saja kakek ini melayani dengan baik, selalu mementalkan lawan-lawannya dan Siauw-jin berteriak agar Cam-kong mengeluarkan Cam-kong-ciangnya (Pembunuh Petir).

Dan ketika kakek itu mengangguk dan berkelebat mengeluarkan pukulannya maka terdengarlah suara menggelegar ketika pukulan itu menghantam See-ong, mendorong kakek itu namun See-ong tak apa apa. Kakek ini tertawa bergelak menerima sebuah pukulan lagi, tergetar dan terhuyung namun tidak apa-apa.

Dan ketika empat lima kali Cam-kong terkejut mengeluarkan pukulannya maka See-ong membalas dan terlemparlah kakek ini, menerima Sin-re-ciang dan bergulingan menjauh, dikejar namun tiga lawannya yang lain membantu, mengeroyok dan melepas pukulan-pukulan mereka. Dan ketika jarum atau sendok membantu pula di tangan kiri maka See-ong dikerubut dan kakek itu timbul tenggelam dalam serangan lawan yang demikian cepatnya.

"Ha-ha, maju semua, Liok-kwi-ong (Enam Iblis Dunia). Hayo kalian maju dan keroyok aku!"

Cam-kong dan tiga temannya terkejut. Mereka terbelalak melihat betapa hebatnya kakek tinggi besar ini, See-ong dapat melayani mereka dengan baik dan semua pukulan-pukulan mereka tertolak. Kalau pun ada yang mengenai tubuh kakek itu maka See-ong paling-paling hanya tergetar sejenak, maju dan membalas mereka. Dan karena setiap pukulan atau balasan kakek itu selalu membuat mereka terlempar atau terbanting maka nenek Naga Bumi mengumpat tak habis-habisnya melihat kehebatan lawannya ini.

"Keparat, kau hebat, See-ong. Namun belum dapat merobohkan kami!"

"Ha-ha, merobohkan tinggal merobohkan, nenek Naga. Aku ingin agar kalian berenam mengeroyok aku. Tok-ong dan Ji-moi masih ada di sana, suruh mereka maju dan hadapi aku!"

"Keparat, siapa mau menuruti perintahmu? Kau robohkan kami dulu, See-ong. Baru kau bicara congkak!"

"Ha-ha, begitukah? Baik, awas pukulanku, nenek siluman. Inilah Cap-mo-liap-liong-sut (Silat Sepuluh Iblis Mengejar Naga).... dess!"

Dan nenek Naga yang berteriak menerima pukulan lawan tiba-tiba mencelat terguling-guling ketika See-ong melepas sebuah pukulan aneh, asap putihnya bergerak menjadi sepuluh bayangan dan Cam-kong serta yang lain-lain tersentak. Mereka tiba-tiba berbalik menghadapi roh See-ong yang pecah menjadi sepuluh orang, berseliweran dan naik turun menyambar mereka.

Dan karena sebelumnya kecepatan mereka selalu kalah dibanding kecepatan kakek ini maka berturut-turut robohlah Cam-kong dan Siauw-jin, mencelat den terlempar bergulingan karena mereka menghadapi dua See-ong sekaligus, nenek Toa-ci bahkan tiga dan nenek itu menjerit ketika tahu-tahu pundaknya dicengkeram, dibanting dan bergulingan dengan kaget karena tak mampu mengelak, menjauh namun See-ong mengejar.

Dan ketika kakek itu terbahak karena bayangannya sudah menjadi sepuluh iblis dan setiap lawan menghadapi dua atau lebih dari ilmunya yang aneh ini maka Toa-ci mengeluh ketika dicengkeram dan dibanting lagi, disusul kawan-kawannya yang lain dan kaget serta gentarlah mereka. Cam-kong mengeluh dan terhuyung bangun, ditumbuk dan juga dicengkeram serta dibanting kakek itu. Dan ketika berturut-turut empat dari Enam Iblis Dunia ini dihajar jatuh bangun oleh See-ong dalam ilmunya Cap-mo-liap-liong-sut yang berlindung dalam ilmu hitamnya Hek-kwi-sut maka berteriak dan jatuh bangunlah empat orang itu.

Nenek Naga bahkan menangis dan nenek Toa-ci juga menjerit-jerit menyatakan tobat, dihajar dan masih saja dikejar-kejar bayangan See-ong yang berubah menjadi sepuluh orang itu, sepuluh roh halus dan tentu saja dua nenek iblis itu pucat. Mereka gentar dan ketakutan bukan main. Tapi ketika keempatnya bergulingan meminta ampun dan See-ong masih saja menghajar dan menjatuhbangunkan mereka mendadak terdengar teriakan Tok-ong yang berhasil menangkap Siang Le.

"Berhenti!" bentakan itu menggetarkan tempat itu. "Hentikan seranganmu, See-ong. Atau muridmu ini kubunuh!"

See-ong tertegun. Kiranya Siang Le, muridnya itu telah ditangkap Raja Racun (Tok-ong) ini. Siang Le ditangkap karera kehabisan tenaga, maklum, pemuda itu sebelumnya sudah jatuh bangun menghadapi Ji-moi, yang kini bertanding melawan Soat Eng. Dan karena pemuda itu lemas karena sudah dikuras nenek Ji-moi maka Tok-ong akhirnya berhasil menamparnya roboh dan pemuda itu ditotok, jatuh di bawah cengkeraman kakek ini. Dan ketika Tok-ong membentak dan mengancam See-ong maka See-ong tertegun dan berhenti menghajar lawan-lawannya.

"Nah," See-ong mendengar seruan Tok-ong. "Berhenti dan menyerahlah, See-ong. Atau muridmu kubunuh!"

"Ha-ha!" See-ong tiba-tiba tertawa. "Kau merendahkan aku, Tok-ong. Kalau kau mengira dapat menundukkan aku maka kau salah. Lihat, muridku telah ada di tangnaku...wut!" See-ong menghilang lagi, lenyap dalam Hek-kwi-sutnya dan tahu-tahu segumpal asap putih menyambar Tok-ong.

Si Raja Racun membentak dan menggeram, tangannya bergerak tapi asap putih itu melejit, cepat dan luar biasa tahu-tahu telah menuju ke tenggorokannya. Dan ketika Tok-ong membentak karena gusar dan marah tiba-tiba asap itu ditangkisnya tapi pecah menjadi sepuluh, berhamburan dan menyambarnya dari segala penjuru.

Dan karena Tok-ong belum mengenal adanya Cap-mo-liap-liong-sut yang amat hebat ini maka dia menjerit ketika sebuah roh dari See-ong menamparnya, disusul lagi dengan sebuah tendangan dari roh See-ong yang lain dan mencelatlah kakek itu sambil mengaduh-aduh. Siang Le otomatis terlepas dan kakek tinggi besar itu tertawa bergelak. Dan ketika di sana Tok-ong bergulingan meloncat bangun maka Siang Le sudah dirampas gurunya dan See-ong terbahak-bahak.

"Nah," kakek itu menirukan. "Lihat dan buktikan ancamanmu, Tok ong. Kau tak berhasil dan justeru muridku kembali ke tanganku!" See-ong membebaskan totokan muridnya, menggosok dan menepuk dan bebaslah Siang Le dari pengaruh totokan Raja Racun.

Tok-ong terbelalak dan tak dapat bicara. Dia kaget dan benar-benar terkejut. Dan ketika kakek tinggi besar itu menggeram den saling pandang dengan teman-temannya tiba-tiba Siauw-jin berbisik agar maju menyerang lagi, sekarang berlima.

"Sst, tak usah mendongkol. Kakek itu memang hebat, Tok-ong. Sebaiknya kau bantu kami dan menyerang lagi!"

"Benar," nenek Naga juga masih penasaran. "Kau bantu kami, Tok-ong. Bunuh dan balas sakit hati kita!"

"Ha-ha!" See-ong tiba-tiba kembali tertawa. "Kalian masih penasaran, nenek siluman? Ingin maju dan mengeroyok aku lagi? Baik, tapi jangan berlima melainkan sebaiknya berenam. Nah, biar Ji-moi kupanggil dan kalian semua menghadapi aku!" dan See-ong yang lenyap dalam Hek-kwi-sutnya tiba-tiba membentak Ji-moi, yang sedang bertanding melawan Soat Eng. Nenek itu dibentak agar melepas pertandingannya dengan Soat Eng, puteri Pendekar Rambut Emas itu.

Tapi ketika Ji-moi tak mau mengikuti perintah ini dan masih bertanding dengan lawannya tiba-tiba kakek itu menyelinap, menghantam dan menampar nenek itu dan Ji-moi menjerit. Di tengah pertandingannya yang sengit mendadak saja See-ong menyeruak, memukul dan menyerangnya. Dan karena saat itu Soat Eng sedang melepas pukulannya dan nenek itu kaget maka dia menangkis tapi See-ong menggerakkan pula tangannya yang lain mendorong Soat Eng.

"Plak-dess!"

Soat Eng dan Ji-moi sama-sama terlempar. Mereka terpelanting dan bergulingan mencaci-maki. Soat Eng membentak sementara nenek Ji-moi sendiri melengking marah. Namun ketika mereka meloncat bangun dan terhuyung oleh serangan See-ong maka Siang Le berkelebat mendekati Soat Eng sementara kakek itu sendiri tertawa bergelak mengejek Ji-moi.

"Nah, berhenti kataku, Ji-moi. Bergabunglah dengan lima temanmu dan hadapi aku. Gadis ini tinggalkan sejenak dan mari kita bertanding!"

"Keparat!" nenek itu memaki. "Kau sombong minta dikeroyok, See-ong? Kau minta diantar ke akherat?"

"Ha-ha, bukan aku, nenek siluman, melainkan kau. Kalau aku menghendaki tentu kau yang ke akherat!"

"Keparat! Kau...." namun Toa-ci yang berkelebat menahan adiknya tiba-tiba berseru,

"Ji-moi, tahan. Biarkan kakek itu bicara dan kau bergabung dengan kami. Bocah perempuan itu biarkan di sana dan kita hadapi See-ong. Kami berlima belum dapat mengalahkannya dan kau bersama kami!" dan menyambar adiknya menghadapi See-ong nenek itu sudah melengking marah, melihat empat temannya yang lain sudah maju mengepung, "See-ong, kau memang hebat. Tapi sekarang kami akan maju berenam. Nah, bersiaplah dan kau sendiri yang minta... wut!"

Dan Toa-ci yang bergerak memberi aba-aba mendadak sudah menggerakkan sendoknya menghantam kakek itu, yang cepat menghilang dalam Hek-kwi-sutnya dan empat temannya yang lain sudah membentak pula, maju menerjang dan Tok-ong menggereng. Kakek berpakaian hitam itu baru pertama kali dipentalkan See-ong, penasaran dan marah dan kini dia menyerang dengan Hek-tok-ciang-nya, amis menyambar namun See-ong keburu menghilang. Dan ketika See-ong tertawa bergelak dan Enam lblis Dunia maju semuanya maka asap putih kembali berkelebatan sementara nenek Ji-moi dan lain-lain memaki.

"Keparat, perlihatkan dirimu, See-ong. Jangan bersikap seperti pengecut!"

"Ha-ha, kau yang bodoh, Ji-moi, Kenapa tak dapat melihat aku? Aku di sini, lihat...!" dan See-ong yang muncul dibelakang Ji-moi tiba-tiba menampar nenek itu dan menghilang lagi ketika ditangkis, pindah ke nenek Toa-ci dan nenek ini membentak See-ong mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan lenyap serta muncul lagi menyerang lawan-lawannya, dibalas namun kakek itu licin seperti belut. Dan ketika enam lawannya terpaksa mempergunakan ilmu hitam hingga lenyap pula seperti See-ong maka pertandingan menjadi lebih hebat karena See-ong kini dikeroyok Enam Iblis Dunia, lengkap.

"Ha-ha, kerahkan semua kepandaian kalian, Tok-ong. Ayo maju dan robohkan aku!"

Enam Iblis itu mengumpat caci. Pertandingan sudah berjalan cepat dan tak ada orang biasa yang akan dapat mengikuti jalannya pertandingan ini. Mata biasa tak dapat melihat mana See-ong mana lawan-lawannya karena mereka berputaran cepat, demikian cepat hingga asap hitam dan putih berbaur menjadi satu. Dan ketika Soat Eng sendiri menjadi tertegun dan membelalakkan matanya maka gadis itu tiba-tiba sudah didekati Siang Le.

"Kim-siocia, sebaiknya kau menyingkir dari sini. Cepat pergilah dan jangan menonton!"

"Hm, Soat Eng terkejut, sadar menoleh memandang pemuda itu. "Kau kira siapa dirimu hingga memerintah aku?"

"Maaf," Siang Le balik terkejut. "Aku tidak memerintahmu, nona, melainkan meminta kalau kau setuju. Guruku terlampau lihai dan kau tak mungkin menang." "Sombong! Kau kira gurumu bisa mengalahkan aku, Siang Le? Kalau dia tidak licik dengan ilmu hitamnya tak mungkin dia dapat merobohkan aku!"

"Hm, tak perlu berdebat," Siang Le menarik napas. "Tempat ini berbahaya, nona. Sebaiknya kau pergi mumpung guruku menghadapi Enam Iblis Dunia itu."

"Kalau aku tak suka?"

"Kau mencari penyakit!"

"Keparat, jangan sombong, orang she Siang. Aku tak takut padamu dan siap bertempur lagi!"

"Tidak." Siang Le cepat menggoyang lengan. "Kakakmu masih pingsan, nona. Kalau kau dapat menahan marahmu tentu kau dapat berpikir jernih. Lihatlah, kakakmu perlu bantuanmu atau mungkin dia bertambah parah."

Soat Eng terkejut. Tiba-tiba ia sadar bahwa kakaknya masih pingsan di situ, cepat menoleh dan berkelebat menghampiri. Dan ketika ia berlutut dan menolong kakaknya ini ternyata kakaknya bergerak dan mengedip dengan sebelah mata.

"Sst, jangan khawatir, Eng-moi. Aku telah membebaskan diriku dari pengaruh pukulan See-ong dan tak apa-apa. Kau diam saja aku pura-pura pingsan!"

Soat Eng tertegun.

"Bagaimana?" Siang Le berkelebat menghampiri. "Kakakmu tak apa-apa, nona?"

"Tidak!" Soat Eng lega, bangkit berdiri. "Aku tak mengkhawatirkan kakakku, orang she Siang, melainkan justeru mengkhawatirkan dirimu. Kau kutangkap, menyerahlah!" dan Soat Eng yang bergerak dan tiba-tiba menyerang lawannya tiba-tiba membuat Siang Le terkejut berseru keras, mengelak dan menghindar namun Soat Eng mengejar.

Entah kenapa mendadak gadis itu menjadi sengit karena gara-gara pemuda inilah dia dan kakaknya dirobohkan See-ong. Maka begitu membentak dan mengejar lagi tiba-tiba Soat Eng sudah menyerang dan menerjang lawannya ini, dikelit dan ditangkis dan segera Siang Le berteriak-teriak kebingungan, mencegah tapi tak dihiraukan. Dan ketika Soat Eng terus menyerang dan sebentar kemudian pemuda itu sudah terdesak maka Siang Le menangkis dan akhirnya berseru marah.

"Dukk!" Dua orang itu terpental. Soat Eng mengejar lagi dan Siang Le melotot, apa boleh buat terpaksa melayani lawannya ini dan bertandinglah mereka. Dan ketika mereka bergebrak namun lagi-lagi Siang Le kelihatan ragu dan tak sepenuh hati melawan maka sebuah tamparan akhirnya meledak di sisi telinganya, terbanting dan pemuda ini berteriak. Soat Eng mengejar dan lawan kembali menangkis. Namun karena Siang Le setengah hati sementara Soat Eng bersungguh-sungguh maka untuk kedua kali pemuda itu menerima sebuah tendangan.

"Dess!" Siang Le mengeluh. Dia terlempar bergulingan dan memaki gadis itu, tak dihiraukan dan berkelebatlah Soat Eng melepas pukulan-pukulannya. Dan ketika Siang Le marah namun juga kebingungan maka sebentar kemudian pemuda ini terdesak dan beberapa pukulan atau tamparan mengenai tubuhnya, jatuh bangun namun lagi-lagi murid See-ong itu memperlihatkan kekuatannya.

Sama seperti dihajar nenek Ji-moi tadi pemuda ini selalu bangkit terhuyung setiap terlempar, kuat dan tak apa-apa dan Soat Eng tentu saja kagum, di samping marah. Dan ketika dia memperhebat serangannya sementara lawan berkali-kali berseru agar tidak menyerangnya lagi maka di sana See-ong terkejut melihat kejadian ini.

"Keparat, lawan dia sepenuh hati, Siang Le. Jangan bimbang atau mengalah!"

"Ah, tak bisa," Siang Le mengeluh. "Aku tak sanggup menghadapi gadis ini suhu. Lebih baik kau pusatkan perhatianmu menghadapi lawan-lawanmu itu!"

"Terkutuk! Kau lemah melebihi perempuan, Siang Le. Kau diserang demam cinta! Heh, lawan dia, muridku, keluarkan Sin-re-ciang atau Cap-mo-liap-liong-sut!"

"Aku tak berdaya...." pemuda itu terhuyung-huyung. "Menghadapi gadis ini lebih baik aku mengalah, suhu. Aku tak dapat melawannya..... dess!" dan Siang Le yang lagi-lagi terlempar oleh sebuah tendangan akhirnya membuat muka Soat Eng merah, mendengar semua kata-kata itu dan gadis ini memaki.

Dia merasa direndahkan sekaligus dipermalukan pemuda ini, itulah pernyataan cinta yang terselubung, yang membuat dia merasa jengah tapi juga marah. Dan ketika lawan terlempar dan bergulingan ditendang maka Soat Eng memaki, dan mengejar lawannya, dua tiga kali kembali mendaratkan pukulan dan Siang Le mengeluh.

Murid yang gagah dari See-ong itu ternyata tak mau melayani lawannya lagi, mengelak dan menghindar dan ini tentu saja membuat dia terdesak hebat. Dan ketika sebuah pukulan lagi diterimanya dengan setengah hati dan Soat Eng berkelebat akhirnya pemuda itu terguling menerima sebuah totokan, roboh dan memejamkan mata.

"Nah," pemuda itu bersuara lirih. "Kau boleh bunuh aku, Kim-siocia. Cepat bunuhlah dan setelah itu harap kau pergi!"

Soat Eng jadi tertegun. Beberapa gebrakan yang akhirnya berkesudahan dengan kemenangannya yang mudah ini justeru membuat ia tak puas. Siang Le jelas mengalah dan tidak melawan, tentu saja gadis itu mendongkol. Tapi ketika kata-kata itu diucapkan setulusnya dan sudah roboh pun Siang Le masih ingin melindunginya dengan menyuruhnya pergi maka Soat Eng termangu dan merah padam ketika pemuda itu membuka matanya, memandangnya lembut dan mesra.

"Kenapa kau tak segera membunuhku?" pertanyaan itu serasa menikam. "Cepat bunuh dan pergilah, Kim-siocia. Aku tak akan mendendam!"

"Hm," Soat Eng jengah dan marah. "Kau pengecut, orang she Siang. Aku jadi muak dan sebal terhadapmu!" dan Soat Eng yang berkelebat menendang pemuda itu akhirnya membuat Siang Le tertegun karena Soat Eng tak membunuhnya. Gadis itu marah-marah tapi juga tak mau pergi. Dan ketika Siang Le tertegun karena Soat Eng mendekati kakaknya dan memanggul kakaknya maka gadis itu berdiri angkuh dan menonton pertandingan.

"Hei!" Siang Le gelisah. "Kau pergilah, Kim-siocia. Pergi dan jauhi tempat ini!"

"Keparat!" Soat Eng marah. "Untuk apa kau mengurusi aku, orang she Siang? Kalau tak ingat bahwa kau pernah menolongku tentu aku sudah membunuhmu!"

"Bunuhlah, aku tak marah!" Siang Le berseru. "Tapi segera tinggalkan tempat ini, nona. Atau kau akan tertangkap dan guruku tak akan mengampunimu."

"Plak!" Soat Eng menampar, menghentikan kata-kata pemuda itu. "Jangan membuka mulut lagi, orang menyebalkan. Kau di sini dan biar bersama aku!" dan Soat Eng yang menonton dan kini mencengkeram tengkuk pemuda itu lalu membuat Siang Le bungkam karena urat gagunya ditotok, tak dapat bersuara dan kini gadis itu melepaskan kakaknya pula.

Thai Liong berbisik agar adiknya melepaskan dirinya, pemuda itu sudah sadar dan sebenarnya sudah sembuh kembali. Apa yang dikehendaki kakaknya sebenarnya Soat Eng tak mengerti. Tapi melepas kakaknya dan bersinar-sinar memandang pertempuran maka di sana See-ong tertawa bergelak memuji gadis itu.

"Bagus, cinta muridku tak bertepuk sebelah tangan, bocah. Kalau begitu biar kau di situ dulu dan lihat aku merobohkan musuh-musuhku ini!"

Soat Eng memaki. Berkali-kali diejek dan mendengar kata-kata See-ong dia marah, mau menerjang tapi Enam Iblis Dunia telah mengeroyok kakek tinggi besar itu. Pertempuran menjadi seru karena Tok-ong dan kawan-kawannya marah. Dikeroyok berenam tetap saja See-ong mampu menghadapi derngan baik, hal yang membuat Tok-ong dan kawan-kawannya mendelik. Dan ketika semuanya berteriak dan mempercepat gerakan tiba-tiba See-ong kembali mengeluarkan Cap-mo-liap-liong-sutnya.

"Awas!" Toa-ci berteriak. "Hati-hati Tok-ong. Ini ilmu silumannya Cap-mo-liap-liong-sut!"

"Grr!" kakek itu menggeram. "Aku tak takut ilmu silumannya, Toa-ci. Tetap kepung dia dan jangan kendorkan serangan!"

"Ha-ha!" See-ong tertawa bergelak. "Kau boleh tak takut, Tok-ong. Tapi kalau aku telah menghajarmu tentu kau takut!" kakek tinggi besar itu berkelebat, bayangan rohnya berobah menjadi sepuluh orang dan menyambarlah kakek itu ke sana ke mari.

Enam Iblis Dunia kini seolah menghadapi sepuluh See-ong dan mereka tentu saja terkejut, mengelak dan memaki namun pukulan-pukulan See-ong mulai menyambar. Ke mana pun mereka lari ke situ pula kakek itu mengejar. Dan ketika mereka menangkis namun mereka terpelanting maka kaget dan terkejutlah Tok-ong, si kakek berpakaian hitam-hitam itu.

"Ha-ha, bagaimana, Tok-ong? Kau masih belum takut?"

"Bangsat, aku belum kalah, See-ong. Kalau kau belum dapat merobohkan aku maka selamanya aku tak kenal takut!"

"Bagus, kalau begitu aku akan merobohkanmu lebih dulu... dess!" dan See-ong yang menyambar melepas pukulannya tiba-tiba mengenai kakek itu dan ditangkis, mengerahkan tenaganya dan Tok-ong menjerit.

Kakek berpakaian hitam-hitam itu terlempar dan jatuh bergulingan, dikejar dan menangkis lagi namun untuk kedua kalinya dia terbanting. Dan ketika yang lain membantu namun dihalau See-ong maka pukulan ketiga tak dapat dielak kakek berpakaian hitam-hitam itu lagi, berteriak dan mengaduh dan Tok-ong menggeliat. Kakek itu mencoba bangkit namun See-ong tertawa, berkelebat dan menotok rahangnya. Dan ketika Tok-ong terbelalak dan tak dapat menangkis lagi maka akhirnya dia roboh dan rahangnya seperti disentuh bara api.

"Aduh, tobat, See-ong. Tobat....!"

"Ha-ha, sekarang mengenal tobat? Bagus, kau tidurlah dulu, Tok-ong. Yang lain-lain ini akan kurobohkan pula.... plak-dess!"

Dan See-ong yang membagi-bagi pukulan sambil tertawa-tawa ke Enam Iblis Dunia yang lain akhinya disusul keluhan dan terbantingnya Toa-ci dan kawan-kawannya itu, satu per satu menjerit dan robohlah mereka sambil merintih-rintih. Apa yang dialami Tok-ong telah mereka alami pula. Dan ketika See-ong mengebutkan lengan bajunya dan kakek itu muncul lagi dalam bentuknya yang asli maka Tok-ong dan kelima temannya telah roboh bergelimpangan di bawah kaki kakek ini.

"Ha-ha, bagaimana?" kakek itu tertawa. "Sekarang kalian kalah, Tok-ong. Kalau aku mau membunuh maka hal itu dapat kulakukan dengan mudah!"

"Ampun.....!" Siauw-jin meratap dengan muka meng-ibakan. "Kau ampuni aku, See-ong. Kau betul-betul hebat dan di atas kami!"

"Ya, tapi bukan si setan cebol itu saja, See-ong. Aku dan yang lain-lain perlu juga diampuni!"

"Ha-ha, mudah. Asal kalian mengakui aku sebagai pemimpin tentu kalian kuampuni, nenek Naga. Katakan sekarang bahwa kalian tunduk kepadaku!"

"Kami tunduk!" serentak enam orang itu bicara. "Ampuni dan bebaskan kami, See-ong. Kau benar-benar hebat dan kami menyerah kalah!"

"Nah, kalau begitu kalian bebas!" See-ong menggerakkan tangannya, menampar dari jauh dan berturut-turut bangkitlah Tok-ong dan kawan-kawannya, pucat dan tahu-tahu See-ong minta agar mereka berlutut didepannya!

Tok-ong tampak ragu dan yang lain juga saling pandang. Maklum, mereka adalah Enam Iblis Dunia yang paling ditakuti di dunia kang-ouw. Hanya Bu-beng Sian-su dan Kim-mou-eng serta isteri dan mertuanya saja yang mereka takuti, karena mereka itu pernah mengalahkan mereka. Tapi begitu See-ong memandang tajam dan enam orang itu keder tiba-tiba mereka mengangguk dan menjatuhkan diri berlutut di depan tokoh baru itu.

"Ha-ha," See-ong tertawa gembira. "Kalian tak perlu malu atau sakit hati berlutut di depan kakiku, Tok-ong. Aku adalah raja-diraja dari semua golongan hitam. Kalian sudah kalah, dan kalian harus menyerah. Sekarang nyatakan kesetiaan kalian bahwa kalian harus tunduk dan di bawah perintahku!"

Tok-ong dan kelima temannya menggumam. Mereka mengangguk dan menyatakan kesetiaan. See-ong terbahak dan keenam iblis itu merah mukanya. Kalau bukan See-ong tentu sudah mereka gempur. Itu hinaan yang amat luar biasa bagi mereka. Tapi ketika mereka selesai dan See-ong kini membalik maka kakek tinggi besar itu memerintah Ji-moi.

"Kau," katanya. "Tundukkan gadis itu dan bawa ke mari muridku, Ji-moi. Lanjutkan pertandinganmu dan robohkan sebelum lima puluh jurus. Sanggup?"

Ji-moi meloncat bangun. Diperintah seperti itu tiba-tıba dia beringas, Soat Eng memandang kekalahannya tadi dengan bibir mencibir. Gadis itu mengejek Enam lblis Dunia yang berlutut di depan See-ong, menerima kekalahan sekaligus hinaan. Maka begitu See-ong memintanya agar merobohkan gadis ini tiba-tiba Ji-moi melengking dan sudah menyambar ke depan, tak perlu diperintah dua kali karena kemarahannya sudah menggelegak.

Pertama oleh kekalahannya melawan See-ong dan kedua karena gadis itu menonton kekalahannya, jadi nenek ini geram dan keluarlah pukulannya yang ganas, Mo-seng-ciang. Tapi begitu Soat Eng berkelit dan pukulannya luput maka gadis itu tertawa dan mengejek dengan kata-kata menghina,

"Cih, kalah terhadap See-ong tak usah melampiaskan kemarahan kepada orang lain, Ji-moi. Kalau kau ingin menangkap aku marilah kita main-main lagi. Aku pun masih gatal karena pertandingan kita belum selesai!" dan Soat Eng yang mengelak serta lincah berkelit menghindari lawan tiba-tiba dikejar dan dibentak, melompat dua-tiga kali tapi akhirnya dia menangkis. Dan ketika pukulan nenek itu bertemu dengan lengannya yang halus maka Ji-moi terpental sementara Soat Eng sendiri terhuyung.

"Keparat," nenek itu gusar. "Aku tidak hanya menangkapmu, bocah, melainkan membunuhmu. Kau adalah puteri musuh besarku!"

"Boleh dan cobalah, nenek siluman. Kalau kau mampu tentu kau hebat.... plak-dess!" dan Soat Eng yang menangkis pukulan nenek itu akhirnya bertanding dan mengerahkan ginkangnya, berkelebatan dan naik turun menghadapi musuh yang lihai.

Ji-moi adalah nenek sakti yang dulu ayahnya sendiri pun tak sanggup menghadapi, sebelum menerima Cui-sian Ginkang atau Lu-ciang-hoat dari Bu-beng Sian-su (baca Sepasang Cermin Naga). Dan ketika nenek itu membentak dan melengking lagi maka bertubi-tubilah pukulan atau tamparan menghujani gadis ini, dikelit atau ditangkis dan dua orang itu segera bertanding hebat.

Soat Eng mengeluarkan Tiat-lui-kangnya atau Pek-sian-ciang, pukulan yang dulu ampuhnya menggila namun lawan mendengus. Nenek Ji-moi tentu saja tahu dua ilmu ini dan dengan mudah dia menghalau atau mengibas, lawan terpental dan Soat Eng mengerutkan kening, gagal dan merobah gerakannya dengan ilmu-ilmu silat lain. Dan ketika nenek itu mendesak dan Mo-seng-ciang menyambar-nyambar dari segala penjuru akhirnya dia merasa dikelilingi bayangan nenek itu yang bergerak kian cepat.

"Plak-dukk!"

Soat Eng terpental. Dia membentak menambah semangatnya, marah karena dua ilmu pertama tak berhasil. Dan ketika nenek itu semakin cepat bergerak dan dia didesak serta dihujani pukulan bertubi-tubi akhirnya Soat Eng berseru keras mengeluarkan Cui-sian Gin-kang (Ginkang Pengejar Dewa).

"Slap!" gadis itu lenyap, melengking tinggi dan ganti nenek Ji-moi dikelilingi bayangannya. Nenek itu terkejut karena inilah ilmu luar biasa dari Pendekar Rambut Emas. Cui-sian Gin-kang adalah ilmu yang setingkat dengan Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa), ilmu meringankan tubuh yang dipunyai Hu Beng Kui, kakek gadis itu, ayah mertua Pendekar Rambut Emas. Dan ketika Soat Eng tertawa berkelebatan mengelilingi tubuhnya tiba-tiba saja pukulan dan tamparan ganti menghujani nenek itu.

"Hi-hik, sekarang balasanku, nenek siluman. Terimalah...plak-dess!" dua kali tamparan Soat Eng mengena, membuat nenek itu terhuyung dan Ji-moi memaki gusar. Nenek ini marah karena dia seakan ditampar cucunya sendiri, cucu yang kurang ajar! Dan ketika Soat Eng tertawa dan berkelebatan lagi maka Toa-ci, encinya melotot di luar pertandingan.

"Ji-moi, keluarkan ilmu hitammu. Kurung dan robohkan gadis itu!"

Ji-moi mengangguk. Menghadapi Cui-sian Gin-kang tiba-tiba dia kalah cepat, ilmu meringankan tubuh itu memang hebat dan selama ini Pendekar Rambut Emas selalu unggul. Mereka berenam tak dapat mengalahkan pendekar itu dan kini anaknya mengulang kejadian lama, mempergunakan Cui-sian Gin-kang dan tentu saja nenek itu marah.

Maka begitu encinya berseru dan yang lain juga mengangguk maka nenek itu melengking dan membentaklah dia dengan kedua lengan terkembang. Ji-moi mengeluarkan suara aneh seperti suara kucing, kaki menghentak dan tiba-tiba lenyaplah dia dengan bentakan ilmu hitamnya. Dan ketika nenek itu tak ada di depannya dan Soat Eng terkejut maka menyambarlah dari mana-mana pukulan atau tamparan nenek itu, yang lenyap dalam ilmu hitamnya.

"Nah," nenek itu berseru. "Mampus kau sekarang, setan betina. Coba hadapi ilmu hitamku dan lihat di mana aku berada!"

Soat Eng kebingungan. Menghadapi ilmu hitam begini memang dia tak biasa, namun melengking dan menggerakkan tangan kirinya tiba-tiba dia menampar asap hitam di sebelah kiri, bayangan atau bentuk dari nenek Ji-moi yang bersembunyi dalam ilmu hitamnya. Dan karena dia mengeluarkan Lu-ciang-hoat dan ilmu ini adalah pasangan dari Cui-sian Gin-kang yang hebatnya bukan kepalang maka nenek Ji-moi menjerit ketika Mo-seng-ciangnya membalik.

"Dess!" Nenek itu terlempar. Ji-moi memekik kaget karena Lu-ciang-hoat ternyata juga dipunyai gadis ini, ilmu yang dulu membuatnya tunggang-langgang dihajar Kim-mou-eng. Dan ketika dia berseru keras dan menghilang lagi dalam ilmu hitamnya maka Soat Eng tertegun karena kehilangan lawan, menghentikan serangan dan nenek itu tiba-tiba muncul lagi di belakang. Ji-moi hendak mempergunakan kelebihannya membokong gadis itu. Tapi ketika Soat Eng membalik dan tentu saja mendengar kesiur angin di belakang maka kontan saja Lu-ciang-hoat kembali menangkis.

"Dess!" nenek itu lagi-lagi menjerit. Soat Eng kini mulai biasa dan mata pun dapat melihat asap hitam yang menjauh, mengerahkan tenaga batin dan teringatlah dia akan nasihat ayahnya dalam menghadapi ilmu hitam, yakni agar ia diam di tempat dan menunggu lawan dengan mata terpejam. Baru menghantam kalau lawan mendekat. Dan karena pertempuran macam begini baru kali ini dihadapi gadis itu dan Soat Eng masih mencoba untuk membiasakan diri maka nenek Ji-moi memaki-maki dan kebingungan sendiri, muncul di kiri tapi disambut Lu-ciang-hoat, muncul di kanan tapi juga disambut pukulan itu.

Dan karenu Lu-ciang-hoat adalah pukulan ampuh di mana pukulannya sendiri selalu tertolak dan membalik menghantam diri sendiri maka nenek itu bingung tapi juga marah, akhirnya lima puluh jurus lewat dan See-ong bersinar-sinar. Tokoh luar biasa yang kini menundukkan Enam Iblis Dunia itu kelihatan kagum, apa yang diperlihatkan Soat Eng memang mengagumkan. Dan ketika pertempuran kembali berjalan limapuluh jurus dan Ji-moi belum dapat merobohkan lawan akhirnya kakek itu tertawa memerintah Toa-ci.

"Kau bantu adikmu, tangkap gadis itu!"

Toa-ci bergerak. Sekali berkelebat nenek ini pun menghilang dalam ilmu hitamnya, menyerang dan mengeroyok Soat Eng. Tapi ketika Lu-ciang-hoat menyambut dan memang terhadap ilmu ini nenek itu amat berhati-hati maka dia pun terdorong dan marah serta mengeroyok lagi, maju dan dikerubutlah gadis itu dari kiri dan kanan.

Tapi karena Soat Eng mulai biasa dan lama-lama mengenal di mana lawan berada maka gadis itu mengimbangi dan Lu-ciang-hoat selalu menjadi andalannya, membuat dua nenek itu gusar dan See-ong tertawa bergelak. Untuk ketiga kalinya kakek itu menyuruh nenek Naga, yang sudah berkelebat dan mengeroyok Soat Eng. Dan begitu tiga lawan satu maka Soat Eng mulai terdesak karena memang dia masih muda untuk menghadapi tiga nenek tangguh yang luar biasa itu.

"Ha-ha, jangan bunuh, nenek Naga. Tangkap dan robohkan saja!"

"Ah, gadis ini berbahaya, See- ong. Sukar menangkap tanpa membunuhnya!"

"Kau tak usah membantah, apakah kalian berenam harus maju semua? Ingat, tiga sudah cukup, Naga Bumi. Dan perintahku harus kalian jalankan!"

Terpaksa, karena Soat Eng memang lihai dan menangkap gadis itu amat sukar kalau tidak membunuh maka Naga Bumi berseliweran naik turun mengajak teman-temannya menghabiskan tenaga gadis itu, menguras dan Soat Eng melengking. Dia marah karena tiga nenek tak tahu malu mengeroyoknya, padahal mereka adalah tokoh-tokoh dunia yang namanya sudah terkenal. Dan karena mereka bergerak silih berganti dan ilmu mereka yang macam-macam juga dikeluarkan sambil berlindung di balik ilmu hitam maka Soat Eng kewalahan dan akhirnya terdesak, memaki-maki dan See-ong di sana tertawa-tawa.

Kakek tinggi besar itu memuji Soat Eng dengan seruan berulang-ulang, pujian yang sebenarnya membuat tiga nenek itu terhina dan terpukul. Maka ketika lima puluh jurus lagi Soat Eng terhuyung dan mulai menerima satu dua pukulan yang berubah-ubah maka satu tamparan akhirnya membuat gadis itu terpelanting, menangkis dengan Lu-ciang-hoat namun nenek Naga mengelak. Nenek itu memberi kesempatan pada temannya untuk memasuki kesempatan itu, menyambar dari kiri.

Dan ketika Toa-ci juga berkelebat dari belakang dan susul-menyusul mereka menyerang tapi juga mengelak maka dua tiga pukulan membuat Soat Eng jatuh bangun, mencoba bertahan tapi sayang Lu-ciang-hoatnya mengenai angin kosong. Tiga nenek itu cerdik untuk selalu menghindar, pukulan yang luput selamanya akan membuang tenaga yang besar. Dan karena taktik ini tepat sekali untuk merobohkan Soat Eng yang sudah kecapaian maka sebuah ketukan akhirnya menimpa belakang kepala gadis itu, ditahan tapi totokan jari menyusul di pundak.

Soat Eng terhuyung dan memaki, dua serangan itu membuat matanya gelap tapi gadis ini masih hebat. Dia membentak dan melepas Lu-ciang-hoat ke kiri. Tapi ketika lawan lenyap di muka dan belakang dan tiga nenek itu membentak berbareng maka sebuah tendangan mengenai paha gadis itu dan tamparan di pelipis akhirnya membuat Soat Eng roboh.

"Bluk-dess!"

Soat Eng kalah pengalaman. Dia berteriak memanggil kakaknya, ambruk dan pingsan. Dan persis dia roboh tiba-tiba tiga nenek itu berkelebat hendak menghabisi nyawanya, melepas pukulan terakhir namun See-ong membentak. Kakek tinggi besar ini meniup dan terdoronglah tiga nenek itu. Dan ketika kakek itu berkelebat dan kedua lengannya mengibas maka Ji-moi dan dua temannya roboh terbanting.

"Berhenti, jangan bunuh kataku!" See-ong marah. "Kalian tak boleh melanggar, nenek Naga. Atau kalian akan kubunuh di sini!"

Tiga nenek itu gentar. Mereka teringat dan segera sadar, bangun berdiri dan menunduk. Dan ketika See-ong melotot dan mereka diam saja maka kakek itu menyambar Soat Eng dan membebaskan totokan muridnya.

"Nah," katanya kepada Siang Le. "Kau bawa gadis ini, Siang Le. Dan bawa pula kakaknya jebloskan ke ruang bawah tanah!"

"Eh," Siang Le terkejut. "Maksudmu Istana Hantu, suhu?"

"Ya, kenapa?"

"Kalau begitu kita tidak jadi pulang? Tidak meninggalkan Sam-liong-to?"

"Ha-ha, pikiranku berubah, Siang Le. Sekarang aku berniat tinggal di pulau ini. Sam-liong-to di bawah kekuasaanku, dan mereka berenam adalah penjaga!"

Toa-ci dan lain-lain terkejut.

"Kalian tidak suka?"

"Tidak, bukan begitu," Siauw-jin terkejut, menyeringai. "Tapi apakah kami tidak mendapat kebebasan, See-ong? Apakah kami hendak kau hukum dengan dikurung di sini?"

"Ha-ha, tidak!" kakek itu menjawab. "Tapi sekarang kalian harus menemani aku dulu di sini, Siauw-jin, kecuali tiga nenek ini!"

"Ada apa dengan mereka?"

"Mereka kusuruh keluar, menantang Pendekar Rambut Emas atau isterinya!"

Siauw-jin tiba-tiba berseri. "See-ong, kalau begitu biarkan aku saja. Aku juga memberi tahu Hu-taihiap!"

"Hm, jago buntung yang lihai itu?"

"Benar, musuh kita bukan hanya Kim-mou-eng dan isterinya, See-ong, melainkan juga Hu Beng Kui itu. Dia tak kalah sombong dengan menantunya!"

"Boleh, kalau begitu begini saja. Kau dan Naga Bumi menemui Hu Beng Kui dan Ji-moi serta Toa-ci menemui Pendekar Rambut Emas!"

"Dan kami?" Tok-ong, yang tak boleh keluar kecewa. "Apakah kami tinggal di sini, See-ong? Apakah tidak bertiga-tiga saja membagi pekerjaan bersama mereka?"

"Tidak, kau dan Cam-kong di sini, Tok-ong. Dan karena aku suka tinggal di pulau ini maka kalian menjadi pengawal Istana Hantu!"

Tok-ong dan Cam-kong melirik ke kiri. Mereka melihat senyum gembira Siauw-jin, yang menyeringai dan mau terkekeh tapi buru-buru ditahan. Ketawanya bisa membuat See-ong marah dan setan cebol itu menahan. Dan karena See-ong sudah menguasai mereka dan Cam-kong serta teman-temannya tak dapat membantah maka mereka mengangguk dan hari itu juga menjalankan tugas. Soat Eng, yang sudah dibawa Siang Le dijebloskan ke ruang bawah tanah.

Pemuda itu tampak mau membantah tapi tidak berani. Gurunya hendak menantang Hu Beng Kui dan Pendekar Rambut Emas, dengan menyandera Soat Eng dan Thai Liong, putera puteri Pendekar Rambut Emas atau cucu dari Hu-taihiap, jago pedang yang hebat itu. Dan ketika Ji-moi mendapat tugas dan mereka berkelebat pergi maka Siauw-jin juga tertawa meninggalkan Sam-liong-to, melaksanakan perintah dan baru untuk pertama kali ini Enam Iblis Dunia yang kesohor di bawah pengaruh orang.

See-ong telah menunjukkan mereka dan mereka tak dapat berkutik, hal yang luar biasa dan tentu akan menggegerkan dunia kang-ouw. Dan ketika empat orang itu pergi meninggalkan pulau dan Soat Eng serta kakaknya ditawan di ruang bawah tanah maka Cam-kong dan Tok-ong menjadi penjaga Sam-liong-to!

"Keparat!" kakek itu menyumpah. "Kalau bukan See-ong tentu lebih baik aku mampus, Cam-kong. Sungguh memalukan bahwa kita Enam Iblis Dunia di bawah kekuasaan orang lain!"

"Sudahlah," Cam-kong, si Pembunuh Petir menghibur. "See-ong memang hebat, Tok-ong. Dan dia segolongan. Kalau Pendekar Rambut Emas yang menguasai kita tentu aku sendiri juga lebih baik mati!"

"Dan kau puas sebagai penjaga pulau?"

"Ah, kita orang yang biasa bebas merdeka, Tok-ong. Tentu saja aku juga tak puas. Tapi apa mau dikata lagi? Bukankah See-ong memang luar biasa dan kita semua kalah?"

"Itulah, aku kagum tapi juga penasaran, Cam-kong. Entah bagaimana See-ong mempelajari Cap-mo-liap-liong-sutnya itu, juga Hek-kwi-sutnya yang luar biasa. Bedebah, kalau tidak merasakan sendiri tentu aku tak percaya!"

"Sudahlah, kita di bawah kekuasaan orang lain, Tok-ong. Lebih baik kita menjalankan tugas dan kau menjaga di belakang, aku di depan."

"Baik!" dan Tok-ong yang pergi dengan uring-uringan lalu berkelebat dan menjaga bagian belakang pulau, berpisah dengan temannya dan Cam-kong menjaga di depan. Kini Sam-liong-to dijaga dua dari Enam Iblis Dunia. Pulau itu sudah berada di bawah kekuasaan See-ong dan kakek tinggi besar itu meng-"klaim" pulau ini, meguasainya. Dan ketika dua orang itu menjaga di tempatnya masing-masing maka Soat Eng dan Thai Liong menjadi tawanan datuk atau Raja Dari Barat ini, tak berdaya.

* * * * * * * *

Ce-bu. Lama kita tak menjumpai tokoh yang tinggal di kota ini. Siapa lagi kalau bukan si jago pedang Hu Beng Kui? Jago buntung yang hebat itu tinggal di kota ini. Karena dialah Ce-bu menjadi terkenal, sejak jamannya Pedang Tiga Dimensi sampai ke perebutan Sepasang Cermin Naga. Siapa tidak kenal Hu-taihiap si jago pedang yang gagah perkasa itu? Siapa tidak mendengar namanya yang kesohor di seluruh jagad?

Dulu Hu Beng Kui atau Hu-taihiap ini adalah seorang laki-laki yang keras dan tak kenal menyerah, pantang mundur dan jago pedang itu memang hebat. Dan ketika peristiwa demi peristiwa dialaminya hingga jago pedang itu banyak dimusuhi orang maka puteranya Hu Beng An, tewas dalam pertempuran sengit melawan datuk-datuk sesat yang menyatroni jago pedang itu (baca kisah Sepasang Cermin Naga).

Kini, masihkah jago pedang itu memperlihatkan 'gigi' nya? Ditinjau dari umur, jago pedang ini sudah tidak seperti dulu. Hu-taihiap sekarang sudah merupakan seorang kakek yang mulai sakit-sakitan, sering diam di rumah tapi dia tetap memimpin dunia kang-ouw. Dua puluh tahun yang lalu orang-orang persilatan telah mengangkatnya sebagai bengcu (pemimpin persilatan). Dan karena dia memang hebat dan tinggi kepandaiannya maka kedudukan itu pantas dijabatnya.

Tak ada seorang pun yang tidak mendengar nama si jago pedang ini, yang kini jarang mempergunakan pedangnya karena dia memiliki dua ilmu luar biasa yang disebut Khi-bal sin-kang (Pukulan Bola Sakti) dan Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa). Dengan dua ilmunya itu Hu Beng Kui dapat mengalahkan Enam Iblis Dunia, Cam-kong dan kawan-kawannya dulu menyerah dihajar jago buntung ini. Dan karena jago pedang itu memang hebat dan kepandaiannya meningkat pesat berkat penemuannya mendapat sepasang Cermin Naga maka Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas) sendiri hampir tak dapat mengalahkan jago ini.

Dulu, dua puluhan tahun yang lalu dunia kang-ouw geger. Cermin Naga, yang dilempar Bu-beng Sian-su jatuh di langit selatan dan utara. Yang selatan didapatkan Hu Beng Kui sedang yang meluncur ke utara akhirnya jatuh di kota raja, ditemukan Kwee Han yang kini telah tewas akibat perbuatannya sendiri, bekas menteri muda yang melonjak pamornya karena merupakan sahabat Kim-mou-eng. Sayang, karena bekas nelayan yang menjadi menteri itu mabok dalam kesenangannya yang tak terbatas maka pemuda ini tewas dengan cara menyedihkan, dihajar dan dibacok teman-temannya sendiri, akibat ketidakadilan. Itu semua telah diceritakan dalam kisah yang lain.

Bagaimana sekarang dengan Hu-taihiap? Masihkah ambisius dengan ingin menguasai dunia? Tidak, kakek itu telah tua. Wejangan-wejangan dan nasihat Bu-beng Sian-su telah menyadarkan jago pedang ini. Hu-taihiap cukup puas dengan keadaannya sekarang dan tinggal tenang di Ce-bu, kota yang sejak lama ditinggalinya. Namun karena usia semakin uzur dan betapapun yang namanya penyakit selalu menghinggapi manusia maka jago tua itu sering tinggal di rumah untuk menjaga kesehatannya.

Dan hari itu pun jago tua ini terserang tak enak badan. Sudah dua hari, dia meriang, hidung tersumbat dan tenggorokan gatal. Ah, barangkali flu. Orang segagah Hu-taihiap tentu saja menganggap ringan penyakit begini. Tapi ketika panas tubuhnya tak mau mereda dan Hu-taihiap jengkel maka jago tua ini malah melompat keluar dan menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya, berlatih silat.

"Eh, jangan keluar rumah, taihiap. Harap masuk dan jaga kesehatanmu!" uwak Lu, pelayan di situ menegur, kebetulan melihat dan kaget, menyiapkan minuman panas namun Hu Beng Kui tertawa.

Jago tua ini tetap menggerak-gerakkan kaki dan tangannya. Dan ketika pelayannya menegur kembali dan tampak khawatir maka kakek ini berkata, "Sudahlah, kau masuk ke dalam, uwak Lu, Letakkan minumanku di situ dan kau pergilah!"

"Tapi...."

"Eh, kau tak cerewet, bukan? Atau ingin kutendang?"

"Baiklah," dan uwak Lu yang meletakkan minuman di meja kecil akhirnya pergi dan tersenyum kecut oleh seruan Hu-taihiap, yang tertawa geli, meneruskan latihannya dan jago pedang ini segera berkeringat. Dua jam bermandi matahari akhirnya kakek itu merasa sehat, panasnya menurun dan berhentilah dia berlatih. Dan ketika dia mengusap keringatnya dan duduk menikmati minuman panas mendadak berkesiur angin dingin di belakangnya.

"Hu-taihiap, kami datang!"

Jago pedang itu terkejut. Tanpa disangka tahu-tahu berkelebat dua bayangan di belakangnya, melepas pukulan dan jago pedang ini terkejut. Tapi karena dia adalah seorang jago dan seruan atau bentakan itu membuat dia cepat membalik maka secara otomatis dia menggerakkan lengan menangkis, berseru keras.

"Duk-dukk!"

Dua orang itu terpental. Hu Beng Kui bangkit berdiri dan terbelalak, melihat seorang di antaranya terkekeh sedang yang lain memaki. Dan ketika dia mengusap keringatnya dan duduk menikmati minuman panas mendadak berkesiur angin dingin di belakangnya.

"Hu-taihiap, kami datang!”

Dan ketika dia tertegun dan mengenal dua orang itu maka jago pedang ini menggeram. "Siauw-jin, kau kiranya?"

"Ha-ha!" Siauw-jin si setan cebol tertawa. Tadi bersama Naga Bumi dia menyerang jago pedang ini, ingin menjajal dan melihat bahwa jago tua itu masih hebat, meskipun tenaganya agak berkurang. Dan ketika lawan memandang marah dan Hu Beng Kui merah mukanya maka setan cebol itu buru-buru menjura. "Maaf," katanya. "Kami berdua datang untuk menyampaikan undangan, Hu-taihiap. Kau diminta datang ke Sam-liong-to kalau berani!"

"Heh!" jago pedang itu membentak. "Undangan apa, Siauw-jin? Kenapa harus tidak berani?"

"Ha-ha, tak perlu marah. Undangan ini resmi sifatnya, taihiap, dari pemimpin kami yang hebat luar biasa. Kau diundang See-ong untuk menjemput cucu-cucumu!"

"Apa maksudmu?" Hu Beng Kui mengerutkan kening.

"Hi-hik," nenek Naga kini bicara. "Maksud kami jelas, Hu-taihiap. Kami diutus See-ong untuk mengundangmu datang ke Sam-liong-to. Dua cucumu, Thai Liong dan Soat Eng ada di sana, di bawah kekuasaan See-ong. Kalau kau berani datang dan mengambilnya tentu saja See-ong akan gembira!"

"Siapa itu See-ong?" Hu Beng Kui tertegun. "Kenapa aku tidak mengenal nama ini?"

"Ha-ha," Siauw-jin kini tampil lagi ke depan. "See-ong adalah pemimpin kami, Hu-taihiap. Dengan tak malu-malu lagi kami menyatakan kalah kepadanya. Kau diminta datang untuk berkenalan dengan See-ong!"

"Keparat!" jago pedang itu berkilat. "Kau membual omongan busuk, Siauw-jin. Aku tak percaya dan sebaiknya kalian duduk di sini...wut!" jago pedang itu menyambar, angin pukulannya menghantam dan Siauw-jin menjerit.

Setan cebol ini melempar tubuh berjungkir balik ketika diserang, maklum bahwa pukulan Hu Beng Kui bukanlah pukulan biasa. Dan ketika dia lolos namun si jago pedang mengejar tiba-tiba pukulan kedua menyambar di saat dia melayang turun. "Hei!" si cebol itu berteriak. "Bantu aku, nenek siluman. Serang dia!"

Nenek Naga bergerak. Melihat temannya diancam tiba-tiba nenek ini membentak, berkelebat dan melepas pukulan ke punggung Hu Beng Kui. Dan karena pukulan ini mengganggu niatnya dan Hu Beng kui membalik maka dengan marah jago pedang itu malah menghantam nenek ini.

"Dess!" nenek Naga menjerit keras. Dia terlempar ke atas dan berjungkir balik seperti Siauw-jin, berteriak dan marah namun juga gentar. Dan ketika Hu Beng Kui hendak mengejar namun Siauw-jin mencabut senjatanya maka dua buah sabit menyambar ke arahnya, ditangkis dan dikebut dan Siauw jin terdorong hampir terjatuh, berteriak agar Hu Beng Kui menghentikan serangannya. Dan ketika jago pedang itu terbelalak dan marah memandang mereka maka Siauw-jin berseru,

"Hu-taihiap, jangan mengganggu utusan. Kami hanya diperintah! Kalau kau tidak percaya harap lihatlah ini!"

Siauw-jin mengeluarkan bendera putih, mengebutkannya di depan Hu Beng Kui dan jago pedang itu tertegun, melihat bahwa Siauw-jin benar-benar seorang utusan, terbukti karena bendera itu segera diacungkan di atas kepala si setan cebol ini, hal yang tidak main-main. Dan karena Hu Beng Kui tertegun dan mau tak mau menjadi percaya maka jago pedang itu terheran-heran, di samping tercengang.

"Kau benar-benar utusan? Kalian berdua di bawah kekuasaan See-ong?"

"Ya, kami bersungguh-sungguh, Hu-taihiap. Kami tidak berbohong. Karena itu jangan ganggu kami, kami hanya utusan!" dan Siauw-jin yang mengusap keringat karena gentar segera menceritakan maksud kedatangannya, bahwa dia benar-benar diperintah See-ong untuk mengundang jago pedang itu.

Hu Beng Kui diminta ke Sam-liong-to dan berkenalan dengan pemimpin mereka yang hebat, See-ong. Dan karena semuanya itu terlihat sungguh-sungguh dan tak mungkin orang macam Siauw-jin mau merendah untuk urusan begini maka Hu-taihiap mendengus dan berkilat matanya.

"Baiklah, kupercaya kau, Siauw-jin. Dan aku akan datang ke Sam-liong-to!"

"Nah," iblis itu gembira. "See-ong tak sabar menunggumu, Hu-taihiap. Sebaiknya cepat kau berangkat dan kami pergi!"

"He!" jago pedang itu membentak. "Nanti dulu, Siauw-jin. Di mana teman-temanmu yang lain?"

"Hm," setan cebol ini menyeringai. "Mereka juga di Sam-liong-to, Hu-taihiap. Kalau kau takut sebaiknya tak usah datang...."

"Plak!" Hu Beng Kui menampar, membuat iblis cebol itu berteriak. "Jangan macam-macam kepadaku, Siauw-jin. Dikeroyok berenam pun aku tak takut!"

"Aduh, aku percaya...!" Siauw-jin mengeluh. "Tapi jangan semena-mena di sini, Hu-taihiap. Kami utusan dan kau tak boleh mengganggu!"

"Baiklah, kalian boleh pergi dan akan kuhadapi si See-ong itu... des-dess!" Hu-taihiap menendang, membuat dua orang itu mencelat dan nenek Naga memaki.

Kalau tidak mengingat bahwa jago pedang ini seorang yang hebat luar biasa barangkali dia akan menerjang dan membalas tendangan itu, betapapun dia adalah seorang di antara Enam Iblis Dunia. Tapi karena Hu Beng Kui mengusir dan mereka diperbolehkan pergi maka nenek ini berkelebat sementara Siauw-jin sendiri mengaduh-aduh mencaci si jago pedang itu, mengumpat tak keruan dan mendahului nenek Naga. Setan cebol ini dimaki dan dikejar temannya. Dan ketika mereka lenyap dan Hu Beng Kui bersinar-sinar maka jago pedang itu mengerotkan giginya.

"Aneh," gumamnya sendiri. "Siapa itu See-ong dan seberapa hebatkah dia? Betulkah Siauw-jin dan lima temannya roboh? Hm, aku akan mendatangimu, See-ong. Dan siapa pun kau pasti akan kuhajar!" jago pedang ini berkilat, marah karena teringat bahwa Thai Liong dan Soat Eng katanya di sana.

Dan karena dia percaya bahwa Siauw-jin mengundangnya atas suruhan See-ong maka kakek ini berkelebat memanggil uwak Lu, berkata bahwa dia akan pergi dan dimintanya pelayannya itu menjaga rumah baik-baik. Uwak ini tampak tertegun dan terkejut. Dan ketika hilang bengongnya dan kaget memandang jago pedang itu maka uwak ini bertanya,

"Taihiap tak main-main? Mau pergi dan bahkan meninggalkan rumah?"

"Ya, aku ada keperluan, uwak Lu. Aku mau ke Sam-liong-to!"

"Sam-liong-to? Di mana itu?"

"Aku tak tahu, uwak Lu, tapi aku dapat bertanya-tanya di jalan. Sudahlah, kau jaga rumah ini dan aku mau pergi!"

"Nanti dulu!" uwak itu berteriak. "Sedemikian pentingkah urusanmu, taihiap? Tidakkah perlu memberi tahu anak dan mantumu?"

"Hm, Kim-mou-eng?"

"Ya, beri tahu dulu pada Kim-mou-eng, taihiap. Dan kalau perlu bersama dia agar kau selamat di jalan!"

"Ha-ha, seperti anak kecil!" Hu Beng Kui tertawa bergelak. "Kau tak perlu mengkhawatirkan diriku sedemikian rupa, uwak Lu. Aku dapat menjaga diri dan pasti kembali!"

"Tapi kau sakit, tak enak badan!"

"Ah, demam sedikit memangnya kenapa? Aku merasa cukup kuat, uwak Lu, tak perlu kau cemas dan tinggallah di rumah. Aku pergi!" dan Hu Beng Kui yang lenyap berkelebat meninggalkan perempuan itu tiba-tiba tak mau bicara lagi dan membiarkan pelayannya bengong, takut dan gelisah namun sang majikan telah menghilang di luar. Dan ketika uwak ini mengeluh dan menyusul keluar maka bayangan Hu Beng Kui tampak jauh di sana.

"Taihiap, hati-hati....!"

Jago pedang itu tertawa. Dari jauh ia mengucap terima kasih, menyuruh uwak itu masuk lagi dan perempuan ini pun menangis. Dan ketika Hu-taihiap lenyap dan sudah terbang meninggalkan Ce-bu maka pelayan ini membalik memasuki rumah, menutup pintu rumah dan tersedu-sedulah dia di dalam. Entah kenapa firasatnya menunjukkan lain, majikannya itu seolah tak akan kembali lagi dan menjeritlah uwak itu di dalam kamarnya. Dan ketika kekhawatiran serta kecemasannya menghebat tiba-tiba uwak ini menyalakan hio dan sembahyang, berdoa untuk keselamatan majikannya.

"Thian Yang Agung, selamatkan dan lindungilah majikanku. Biarkan ia pulang dengan selamat tak kurang suatu apa!"

Hu Beng Kui tak tahu tentang ini. Doa pelayannya agar dia selamat dan pulang ke rumah tak diketahuinya. Saat itu yang bergolak di hatinya adalah kemarahan serta gemasnya. Thai Liong terutama Soat Eng, ditangkap musuh dan menjadi tawanan See-ong, tentu saja dia marah dan mendongkol. Maka begitu mengerahkan kepandaiannya dan ilmu lari cepatnya Jing-sian-eng dipergunakan tiba-tiba tubuh jago pedang itu berkelebatan, terbang dan meninggalkan Ce-bu dengan amat cepatnya.

Bayangan jago pedang ini sudah berobah seperti asap dan bergeraklah dia meluncur di atas tanah. Orang akan mengira melihat hantu kalau bertemu si jago pedang itu, maklumlah, Hu Beng Kui tak menginjak tanah lagi karena mengerahkan kepandaiannya itu.

Tapi ketika dua hari kemudian dia memaksa diri dan menuju ke timur mendadak sakitnya kambuh, panas dingin dan terpaksa pendekar ini berhenti. Dia menduga Sam-liong-to tentu di timur, karena hanya di timurlah banyak terdapat pulau-pulau. Maka ketika dia berhenti dan mengobati sakitnya maka pendekar ini menunda sejenak maksud perjalanannya dengan mendongkol.

"Eh, bukankah ini Hu-bengcu (pemimpin persilatan Hu)?"

Hu Beng Kui tertegun. Seorang pemuda tampan langsung menegurnya dan muncul, tersenyum-senyum. Hu Beng Kui terkejut karena langkah pemuda itu tak didengarnya, tahu-tahu muncul disitu dan jago pedang ini mengerutkan kening. Tapi ketika pemuda itu mendekat dan menjura dengan sikap manis maka pemuda ini melihat tubuh yang gemetar dari si jago pedang itu....