Istana Hantu Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Istana Hantu Jilid 03 karya Batara
Sonny Ogawa

ISTANA HANTU
JILID 03
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

THAI LIONG melihat sesuatu yang mengagumkan. Siang Le, murid See-ong yang tak mungkin mengelak ini sudah kejatuhan batu. Pemuda itu tiba di lantai namun tak sempat menghindarkan diri lagi, bergulingan menjauh umpamanya. Dan pemuda itu yang cepat berseru keras dan membungkuk memasang punggungnya tiba-tiba menerima batu itu yang berdebum menggetarkan bumi, kontan menimpanya dan Soat Eng hampir menjerit.

Pemuda itu tertimpa dan terbungkuk semakin ke bawah, punggungnya menerima batu sebesar gajah, segi empat. Tapi begitu pemuda itu membentak dan mengangkat bangun tubuhnya tiba-tiba batu itu roboh di sebelahnya dan pemuda ini tak apa-apa, selamat!

"Siang Le, kau tak apa-apa?

Soat Eng kagum. Gadis ini bengong karena apa yang ditunjukkan pemuda itu adalah luar biasa sekali. Orang lain tentu sudah mampus tergencet. Pemuda ini sudah membersihkan bajunya dan tertawa mendengar seruan gurunya dari luar. Dan ketika Soat Eng kagum dan Thai Liong juga memuji kelihaian pemuda ini maka Siang Le, pemuda yang gagah dan tampan itu menjawab tenang dan halus,

"Tak apa-apa. Aku selamat di sini, suhu. Tak usah khawatir."

"Apa yang menimpamu tadi? Suara apa yang berdebum dahsyat itu?"

"Batu, aku tertimpa batu, suhu. Tapi tak apa-apa dan selamat."

"Ah, bagus!" dan suara tawa bergelak di luar lubang tiba-tiba disusul seruan, "Aku masuk, bocah. Minggir...!"

Dan See-ong yang berkelebat memasuki lubang tiba-tiba meluncur di situ dan sudah berdiri di dekat muridnya, membuat Soat Eng dan kakaknya tertegun karena mereka melihat seorang kakek tinggi besar yang gagah namun menyeramkan, tingginya hampir dua meter dan mata kakek itu berkilat-kilat seperti naga, menyambar dan akan membakar siapa saja yang berani beradu pandang dengannya. Dan ketika Soat Eng dan kakaknya terkejut karena itulah tanda lweekang yang hebat maka kakek ini tertawa dan memandang sekeliling, berseru ke atas, "Heh, kalian menjaga di luar, Thian Cong. Amati dan jaga di atas dan jangan ke sini!"

"Baik," Thian Cong tampaknya kecewa. "Kami di sini, See-ong. Dan silahkan di situ bersama muridmu."

"Ha-ha, bagus!" dan kakek itu yang memandang sekeliling tiba-tiba berkelebat menyambar muridnya. "Hayo, kita temukan harta karunnya, Siang Le. Tapi hati-hati kalau ada musuh di dalam... wut!" kakek itu menghilang begitu cepat, tahu-tahu sudah di undak-undakan batu di dekat Thai Liong.

Dan Thai Liong tentu saja menarik kepalanya. Pemuda ini menahan napas dan menjaga diri baik-baik, berdebar karena dia maklum bahwa seorang lawan tangguh ada di depan mata. Dia memberi isyarat pada adiknya agar adiknya tidak mengeluarkan suara, mereka sama-sama menahan napas karena maklum orang seperti See-ong ini dapat mendengar setiap gerakan mencurigakan.

Iweekang yang terlihat di mata kakek itu cukup membuat dua muda-mudi ini waspada, melihat kakek itu berkelebat ke bawah dan Soat Eng semakin jelas memandang murid kakek tinggi besar ini, pemuda bernama siang Le yang gagah dan tampan itu, yang tadi telah mengagumkannya dengan menerima runtuhan batu besar, hanya dengan punggungnya.

Dan ketika Soat Eng berdebar dan entah kenapa dia tertarik dengan pemuda ini maka See-ong sudah membawa muridnya menuruni istana itu, turun naik melalui tangga-tangga batu dan mulailah Thai Liong maupun adiknya melihat bekerjanya alat-alat rahasia.

Kakek itu agaknya sombong dan mengandalkan kepandaian, satu saat menginjak alat rahasia dan belasan panah beracun menyambarnya, bercuit namun dengan kebutan ujung bajunya rontoklah semua senjata-senjata rahasia itu. Dan ketika dia menyentuh lagi alat rahasia di dinding ruangan dan dari sini meluncur tombak atau benda-benda lain maka kakek itu menamparnya dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, kau tak dapat mencelakai aku, Raja Beng. Permainanmu ini hanya dapat mencelakai anak kecil!"

Soat Eng dan Thai Liong kagum. Kakek itu dengan mudah meruntuhkan semua senjata-senjata rahasia, terus maju sementara muridnya juga menggerakkan lengan ke kiri kanan. Pemuda ini pun juga menerima serangan tapi dengan mudah mematahkan semua serangan-serangan itu, sama seperti gurunya, menyampok atau mengebut. Dan ketika mereka terus semakin ke bawah dan Soat Eng maupun kakaknya harus mengikuti dengan hati-hati mendadak kakek ini terjeblos ke sebuah lubang di mana lantainya tiba-tiba menganga, terinjak alat rahasianya.

"Awas...!" Siang Le berseru memperingatkan gurunya namun kakek itu mencaci-maki. Terjeblos ke sumur ini bukannya kakek itu kaget atau apa melainkan justeru marah-marah, memaki Raja Beng dan tampak kakek itu berjungkir balik. Pintu mau menutup namun dia menghantamkan lengannya. Dan ketika terdengar suara keras karena kakek itu menghantam lantai maka kakek ini sudah keluar dan melayang türun berjungkir balik di dekat muridnya.

"Bedebah, keparat!" kakek itu memaki-maki. "Sudah kubilang kau tak dapat mencelakai aku, Raja Beng. Dan jangan harap kau dapat mencelakai aku. Hayo, tunjukkan lagi alat-alat rahasiamu dan seranglah aku!"

Thai Liong kagum. Kakek ini mendelik dan menyumpah serapah, selamat dan muridnya tersenyum. Soat Eng berdetak melihat senyum itu, manis dan tenang. Ah, agaknya pemuda ini orang baik-baik dan mulailah dia tertarik. Perasaannya berdegup dan dia mulai memperhatikan pemuda itu lebih dari yang lain. Dan ketika See-ong maju lagi dan jebakan atau alat-alat rahasia menyerangnya namun selalu dapat dipatahkan akhirnya kakek itu tiba di bawah, terpaksa memasang obor, tepat di depan kuburan yang banyak hantunya itu.

"Sial, gelap, Siang Le. Mata tuaku tak dapat melihat jauh lagi dan buatkan obor!"

Siang Le mengangguk. Pemuda ini sudah membuatkan obor, satu untuk gurunya dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Kini ruangan menjadi terang dan kakek itu tertegun melihat tulisan di atas pintu, bahwa dia berada di makam para hukuman yang berdosa. Dan ketika muridnya mengerutkan kening dan bertanya apakah mereka perlu memasuki tempat itu maka See-ong tertawa bertanya balik,

"Kau sendiri, bagaimana pendapatmu, Siang Le? Perlukah kita masuk atau tidak?"

"Hm, aku pribadi tinggal mengikutimu, suhu. Ke neraka pun aku ikut!"

"Ha-ha, kau belum mendengar tentang keseraman tempat ini?"

"Seram bagaimana?"

"Di dalam kuburan ini katanya banyak hantu, Siang Le. Aku mendengar bahwa roh-roh yang penasaran masih bergentayangan di situ. Ada suara-suara tanpa rupa dan tangis atau tawa. Aku pribadi belum membuktikannya tapi kalau kau berani biarlah kita coba!"

"Hm, aku tak percaya tentang hantu, suhu. Kalau kau ingin mencoba silahkan!"

"Eh, bukan aku, bocah, melainkan kau! Aku ingin kau masuk ke situ dan coba buktikan keberanianmu!"

"Suhu mau menguji?" pemuda ini tertegun. "Baik, aku tak takut, suhu. Biarlah aku masuk dan kau di sini!" Siang Le berkelebat, obor di tangannya tapi tiba-tiba dia terkejut. Tawa dan suara-suara seperti yang disebutkan gurunya mendadak terdengar, angin bertiup dan obor pun padam. Dan ketika pemuda itu keluar untuk meminta api maka gurunya tertawa bergelak melihat kejadian itu.

"Ha-ha, setiap dipasang obormu akan mati, Siang Le. Seribu kali kau hidupkan seribu kali itu pula akan padam!"

"Aku tak percaya!" dan Siang Le yang meloncat ke dalam dan memasuki lagi makam itu tiba-tiba berseru tertahan, obornya padam lagi dan pemuda itu geregetan. Untuk ketiga kali menyulut lagi namun tetap saja obornya padam. Entah bagaimana obornya itu seolah ditiup seseorang, bahkan Siang Le mendengar kekeh seorang wanita, halus di telinganya dan bersamaan itu pula obornya padam. Dan ketika gurunya tertawa bergelak sementara pemuda itu mulai marah tiba-tiba pemuda ini membanting obornya dan masuk ke tempat yang gelap-gulita itu!

"Ha-ha, ujian bagimu, Siang Le. Kau akan menghadapi hantu-hantu yang mengamuk!"

Soat Eng ngeri. Siang Le yang diuji gurunya tiba-tiba lenyap ke ruangan gelap itu. See-ong sendiri terbahak di luar dan tampaknya kakek tinggi besar itu bangga. Pemuda ini sudah menghilang dan terdengarlah kini sambutan-sambutan yang menyeramkan. Soat Eng dan Thai Liong mendengar kekeh-kekeh yang aneh, bentakan dan juga tangis yang memilukan. Entahlah apa yang terjadi di dalam namun terdengar suara gedobrakan di sana.

Siang Le sedang diserang hantu karena bayangan-bayangan aneh muncul dan hilang di mukanya, cepat dan mengejutkan hingga pemuda itu berkeringat. Dan ketika angin dingin juga menerpa tubuh pemuda itu hingga bulu roma pemuda ini bangun maka keluhan dan suara aneh susul-menyusul. Apa yang terjadi tak ada orang luar tahu. Tapi ketika terdengar suara bantingan dan pemuda itu terlempar maka terlihatlah pemuda ini pucat pasi dengan keringat sebesar jagung.

"Iblis! Aku menghadapi suara tanpa rupa, suhu. Mereka menyerangku tapi aku tak dapat membalas!"

"Ha-ha, tentu saja tidak. Dunia hantu lain dengan dunia kita, Siang Le. Mereka tak dapat diserang karena mereka bertubuh halus. Kalau kau mau mempelajari Hek-kwi-sut maka kau dapat mengusir mereka!"

"Tidak, aku tak suka ilmu itu, suhu. Kalau kau mau membalaskan perbuatan mereka coba seranglah mereka!"

"Kau tak ingin melakukannya sendiri?"

"Aku enggan memasuki dunia setan, suhu. Aku tak suka Hek-kwi-sut dan biar kau sajalah yang membalas perbuatan mereka!"

"Baik, lihatlah, muridku. Inilah Hek-kwi-sut (Melebur Bersama Setan)!" dan begitu kakek ini membentak sambil meniup ke depan mendadak See-ong lenyap, tubuhnya terganti seperti asap yang mengecil dibelakang, melesat dan sudah memasuki ruangan hantu itu. Dan ketika di sana terdengar jerit atau semacam pekik kaget maka See-ong yang sudah berobah ujud menghajar hantu-hantu didalam, ditendang dan dipukuli dan terdengarlah teriakan-teriakan atau tangis didalam.

Soat Eng meremang melihat semuanya itu. Ini baru pertama kali dilihat, seorang manusia dapat merobah ujudnya menjadi mahluk halus, dengan perantaraan ilmu hitam. Dan ketika suara gedobrakan atau entah apa lagi tiba-tiba menjauh dan akhirnya lenyap maka berkelebatlah asap atau bentuk halus dari tubuh See-ong itu.

"Ha-ha, selesai!" kakek ini muncul lagi, seperti iblis. "Sekarang tak ada lagi hantu di situ, Siang Le. Kau dapat menghidupkan obor tanpa padam!"

Muridnya terbelalak. "Suhu apakan mereka?"

"Kuhajar dan kupukuli!" "Mereka benar-benar pergi?"

"Cobalah, selama aku masih di sini mereka tak berani kembali, Siang Le. Tempat itu telah bersih dan mereka kuusir!"

"Siapa pemimpinnya?"

"Orang she Lay. Eh, jangan bertanya saja, anak bawel. Hayo masuk dan nyalakan obormu!"

Siang Le mengangguk. Tiba-tiba dia menyalakan obor, yang tadi selalu padam ketika memasuki ruangan itu. Dan ketika dia melompat dan obor tak tertiup apa pun maka benar saja bahwa semua hantu atau roh-roh, halus di situ sudah diusir gurunya, tertegun dan pemuda itupun bengong. See-ong sendiri tertawa bergelak dan meminta agar muridnya masuk lebih ke dalam, diturut dan benar saja tak ada suara-suara apa pun. Angin juga tidak berkesiur dingin dan Siang Le tersenyum. Dan ketika ruangan itu terlihat jelas dan di sana-sini berserakan tengkorak-tengkorak yang ratusan jumlahnya maka pemuda itu tertawa dan meloncat keluar.

"Hebat, kau benar, suhu. Semua hantu di dalam sudah lenyap!"

"Dan kau masih tak mau mempelajari Hek-kwi-sut?"

"Ah, aku tak suka...."

"Bodoh!" dan gurunya yang memaki namun terbahak menyambar muridnya tiba-tiba mengajak pemuda itu mencari penyimpanan harta, berkelebat.

Soat Eng serta kakaknya merinding. Mereka melihat ilmu aneh namun mengerikan yang dipunyai kakek ini, See-ong ternyata hebat ilmu hitamnya pula. Dan ketika dua orang itu lenyap dan turun ke bawah maka Soat Eng memandang kakaknya dengan muka agak berobah.

"Iblis, kakek itu iblis. Dia memiliki Hek-kwi-sut segala!"

"Hm, mengerikan. See-ong ternyata sesat, Eng-moi. Dan kita harus hati-hati menghadapinya."

"Bagaimana sekarang?"

"Tetap kita ikuti mereka, Eng-moi. Namun peringan langkah kakimu agar tidak terdengar olehnya!"

Soat Eng mengangguk. Thai Liong berkelebat dan mengikuti lagi, mengerahkan ginkangnya dan bersama adiknya mereka berdua membuntuti dua orang itu. See-ong kini memasuki taman di mana patung-patung telanjang itu berada, muridnya berseru tertahan namun kakek itu justeru tertawa bergelak. Dan ketika Siang Le tertegun dan cepat melengos ke tempat lain maka kakek itu malah mengusap-usap buah dada sebuah patung dengan mata bersinar-sinar, meremas dan berkata pada muridnya,

"Lihat, ini hasil peninggalan Raja Beng, Siang Le. Seluruh penghuni istana ini adalah orang yang benar-benar memanfaatkan hidup!"

"Memanfaatkan bagaimana?" muridnya mengerutkan kening. "Apa maksudmu, suhu?"

"Bodoh! Yang kumaksud adalah kesenangan yang mereka peroleh, Siang Le. Raja Beng dan putera-puteranya adalah orang-orang yang pintar. Mereka pandai merayu wanita dan seluruh penghuni mabok dalam cinta. Lihat, ini juga perwujudan cinta, muridku. Kau harus meniru raja itu yang bergelimang dalam berahi. Banyak bermain perempuan membuat lelaki awet muda, ha–ha!" kakek itu kembali meremas buah dada patung, terbahak dan muridnya mengerutkan kening.

Tampaknya Siang Le tak setuju, karena tiba-tiba pemuda itu menggeleng. Dan ketika gurunya terbelalak dan menghentikan tawanya pemuda ini berkata, Tidak, aku tak setuju, suhu. Cinta yang kau katakan itu bukan cinta. Berahi bukanlah cinta, berahi hanyalah nafsu!"

"Heh, kemintar dari mana kau ini? Cinta dan berahi tak ada bedanya, anak bodoh. Cinta adalah sekaligus berahi. Tanpa berahi tak ada cinta. Kau ngawur!"

"Tidak, kau yang ngawur, suhu, pandanganmu yang keliru. Berahi tak ada hubungannya dengan cinta. Berahi adalah nafsu. Dan mengumbar nafsu tak akan membuat orang awet muda!"

"Ha-ha, kau selalu mendebat. Kau bocah ingusan, Siang Le. Masalah ini tak mungkin kau menang diadu dengan gurumu. Sudahlah, kita ke kanan dan cari ruangan harta!" kakek itu tak marah, menepuk muridnya dan berkelebat ke kanan. Di situ ada jalan menikung yang entah kemana.

Soat Eng belum ke tempat itu karena istana ini memang luas. Sehari berjalan-jalan di situ barangkali belum semuanya dijamah. Dan ketika kakek itu lenyap dan Siang Le mengikuti maka Soat Eng kagum memuji pemuda ini. "Aneh, See-ong tampaknya manusia sesat. Tapi muridnya itu orang baik-baik! Eh, bagaimana pendapatmu, Liong-ko? Apakah berbeda?"

"Hm, pemuda ini menarik, Eng-moi, tampaknya memang begitu. Kau tertarik?"

"Hm," Soat Eng merah mukanya, semburat. "Apa maksudmu, Liong-ko? Tertarik bagaimana?"

"Eh, jangan salah paham. Maksudku hanya bahwa pemuda ini rupanya dapat dijadikan sahabat. Dia rupanya pemuda baik-baik, terbukti beberapa kali kata-katanya selalu bijak dan mengandung kebenaran. Bagaimana perhatianmu, Eng-moi?"

"Aku merasa simpatik, tapi sayang dia murid See-ong!"

"Dan kelihaiannya itu, hm..... apakah kau tidak ingin nencobanya, Eng-moi? Bagaimana kalau kita serang mereka?"

"Terserah kau, aku hanya menurut, Liong-ko. Apa yang menurutmu baik akan kulakukan juga. Tapi menyerang tanpa alasan agaknya kurang enak!"

"Benar, kalau begitu kita ikuti mereka lagi, Eng-moi. Ayo ke sana dan lihat apa yang ditemukan kakek itu!" Thai Liong berkelebat, menyambar adiknya lagi dan berdua kembali mereka mengikuti guru dan murid itu.

Selama ini See-ong tak menyadari kehadiran mereka karena mereka amat hati-hati sekali, menjaga jarak dan selalu menahan napas kalau terlalu dekat. Orang seperti See-ong dikhawatirkan dapat mendengar gerakan mereka kalau tidak hati-hati, bahkan napas mereka sekali pun. Dan ketika keduanya bergerak dan kembali mengikuti kakek itu ternyata See-ong sudah berada di ruangan indah yang bertaburkan permata.

"Ha-ha, ini ruang harta, Siang Le. Lihat, pintu dan dinding-dinding itu pun penuh hiasan semata."

Siang Le tertegun. Thai Liong juga tertegun karena mereka melihat kakek itu sudah berdiri di depan pintu indah, penuh ukiran dan di atas pintu itu tertulislah pemberitahuan bahwa ruangan di dalam adalah ruangan atau tempat penyimpanan harta. Semua dinding dan lantainya penuh emas yang bertaburan, agaknya demikian royal dan banyaknya harta di situ hingga kosen pintu pun dilapisi lantakan emas, bukan main. Dan ketika kakek itu tertawa bergelak dan membuka pintu mendadak terdengar suara bergemuruh dan dari atas serta depan menyambar puluhan panah-panah kecil disusul batu besar yang menimpa kepala kakek itu.

"Awas, suhu!"

Namun See-ong tertawa bergelak. Kakek ini sudah berkali-kali menerima serangan senjata rahasia, bahkan tadi juga terjeblos ke sumur dalam, mampu menyelamatkan diri dan semuanya itu tak membuat kakek ini gentar, bahkan semakin sombong dan berkali-kali mengejek Raja Beng, pemilik atau penguasa istana ini. Maka begitu panah-panah kecil menyambar dari depan dan batu besar itu menimpanya dari atas mendadak kakek ini membentak, dan kedua tangannya bergerak ke atas.

"Dess!" batu itu disangga. Thai Liong terbelalak karena batu segi empat yang amat besar diterima kakek ini, dua kali lebih besar daripada yang menimpa Siang Le di luar. Dan ketika kakek itu terbahak sementara puluhan panah-panah kecil runtuh bertemu tubuhnya tiba-tiba dari atas bergemuruh lagi sebuah batu hitam, sama besar dengan batu yang sudah disangga kakek itu.

"Awas, suhu!"

Namun See-ong lagi-lagi tertawa bergelak. Kakek itu telah mengerahkan sinkangnya untuk menerima panah-panah dari depan, yang runtuh bertemu tubuhnya karena kakek itu telah kebal, telah menjaga diri dan kini dia mau pamer dengan menolak batu besar itu, yang diterimanya. Tapi begitu batu kedua meluncur dan menimpa batu pertama maka kakek ini berseru tertahan karena bebannya menjadi begitu berat, tak menyangka karena batu kedua sama besar dengan batu pertama. Itulah ujian berat baginya namun kakek ini ternyata luar biasa. See-ong benar-benar hebat karena dua buah batu masih dapat disangganya. Tapi ketika dia hendak melontar dan membuang batu-batu itu mendadak muncul batu ketiga yang seketika berdebum dan bergemuruh menimpa dua buah batu pertama.

"Aihhh...!" kakek itu menjadi terkejut. Gemuruh dan jatuhnya batu ketiga memang tak disangka. Kakek ini mengira hanya sebuah saja dan karena itu dia berani main-main, menerima dan bermaksud menolak tapi batu kedua meluncur. Dan ketika dia belum juga membuang dua batu segi empat itu tahu-tahu batu ketiga bergemuruh dan tepat sekali menimpa dua buah batu yang sudah disangga maka tak ayal kakek ini tertekuk lututnya dan Siang Le tersentak.

"Bress!"

Kakek itu seolah Hercules yang sedang memamerkan otot. Seluruh syaraf dan urat-urat kakek itu menonjol, See-ong berseru keras membuang batu namun tak berhasil, gagal dan berobahlah mukanya. Maklum, tiga buah batu yang bertumpuk-tumpuk di atas kepalanya itu tak kurang dari sepuluh ton, angka yang luar biasa bagi seorang manusia, betapapun kuatnya. Dan ketika kakek itu berkutat dan batu bergerak sedikit sekonyong-konyong tanpa diduga pula lantai di bawahnya amblong dan terjebloslah kakek itu memasuki lubang yang dalam.

"Suhu....!

Siang Le terpekik. Thai Liong dan Soat Eng sendiri terbelalak, mereka maju mundur untuk bertindak, mau menolong tapi ragu. Maklum, See-ong seorang sesat dan mereka bingung. Tapi begitu kakek itu terjeblos dan tiga buah batu menggencet kepalanya tiba-tiba Siang Le membentak dan berkelebat ke depan, dua kakinya bergerak dan dua batu raksasa itu ditendang. Hebat sekali pemuda ini. Dua buah batu yang ikut masuk ternyata berhasil didepak, terguling dan bergemuruh menimpa dinding.

Dan ketika batu ketiga meluncur ke bawah dan tinggal sebuah batu itu saja yang menimpa See-ong tiba-tiba dari dalam lubang terdengar seruan menggetarkan dan batu yang sudah masuk itu mendadak keluar, terlontar dari bawah dan berjungkir baliklah See-ong, yang selamat dan keluar dari lubang jebakan sambil memaki-maki. Dan ketika kakek itu meluncur turun dan sumur yang amat dalam menganga di depan mereka maka batu yang dilontar hancur berantakan bertemu batu yang lain dan dinding yang bergetar.

"Bress!

Kejadian itu memukau Thai Liong dan adiknya. See-ong, si kakek luar biasa telah selamat dari dalam lubang. Siang Le telah menolongnya dan kakek itu mengumpat caci, menggerakkan tangan dan meledaklah batu terakhir yang tertimpa kemarahannya. Maklum, kakek itu benar-benar terkejut dan kalau tak ada muridnya disitu benar-benar dia akan tewas di lubang.

Lantai yang amblong dan batu yang menggencet tak mungkin siapapun dapat melawan. Dan ketika kakek itu memaki-maki sementara muridnya lega melihat keselamatannya maka pemuda itu membersihkan baju gurunya samhil berkata,

"Sudahlah, semuanya selesai, suhu. Kau selamat dan tak ada apa-apa lagi di sini. Lihatlah, harta karun yang kau cari ada di dalam!

Kakek itu membanting kaki. Kalau muridnya tak membujuk tentu dia mengumpat-caci lagi, tertegun dan menghentikan makian karena terlihatlah segala emas permata di ruangan itu, yang tadi pintunya dibuka. Dan ketika kakek itu terbelalak dan menghentikan makian maka tertawalah dia meloncat masuk.

Ha-ha, kau luar biasa, Raja Beng. Tanpa kepandaian yang tinggi dan nasib yang baik agaknya tak mudah orang mendapatkan harta peninggalanmu ini. Aku beruntung, kau sekarang kalah dan semua kekayaanmu menjadi milikku!"

Thai Liong dan Soat Eng tertegun. Di dalam ruangan itu mereka melihat bertumpuknya peti harta karun, emas dan permata berceceran di lantai sementara di dinding juga penuh dengan segala macam hiasan wanita. Mulai dari subang sampai kalung, dari yang kecil sampai yang besar.

Dan ketika semua benda itu gemerlapan dan memantulkan kilauan cahaya warna-warni maka ruangan itu benar-benar pantas disebut ruangan harta karena begitu banyaknya yang terdapat. Yang tercecer di lantai saja rupaya cukup untuk menghidupi seratus keluarga selama tujuh turunan, belum yang di dalam peti atau dinding.

Semuanya begitu mentakjubkan dan Soat Eng tertegun. Di banding dengan harta pemberian kaisar kepada ayahnya apa yang dilihat itu barangkali sepuluh lipat lebih banyak, bukan main, gadis ini membelalakkan matanya lebar-lebar sementara Thai Liong sendiri juga kagum. Apa yang dilihat memang luar biasa. Kekayaan Raja Beng jauh lebih banyak dibanding kekayaan kaisar sekarang, harta itu tak habis-habisnya dimakan untuk ribuan orang.

Dan ketika See-ong tertawa bergelak dan kakek itu menyambar ini itu untuk diciumi maka muridnya, Siang Le, tampak biasa-biasa saja dan hanya tersenyum simpul, seolah tak tertarik atau tergerak melihat kekayaan sebesar itu yang dapat membuat orang ngilar.

"Sudahlah, cukup, suhu. Sekarang katakan mau diapakan dengan semua peninggalan Istana Hantu ini?"

"Ha-ha, apalagi? Kita bawa, Siang Le. Dan kita hidup seperti Raja Beng!

"Suhu mau membawa semua harta ini?

"Benar. Aku ingin tidur di atasnya, Siang Le. Ingin kubuat seperti kasur dan aku meram-melek disitu, ha-ha!"

"Tak mungkin," muridnya menggeleng. "Kita tak sanggup membawanya, suhu. Lagi pula kapal kita hancur."

"Ah, dua orang tolol itu ada di sana, Siang Le. Suruh mereka membuat kapal baru dan harta ini dibawa!"

"Hm, menurutku tak usah semua. Kau tak dapat menghabiskannya dalam tujuh turunan, suhu. Lagi pula terlampau berat membawanya. Pikirku diambil secukupnya saja dan yang lain ditinggal."

"Heh, sekantung?" kakek itu menggeleng. "Tidak. Semuanya, Siang Le. Aku ingin semua harta peninggalan ini kubawa. Ingat, aku hampir mampus digencet raja yang curang itu. Kalau tak ada kau di sini barangkali Raja Beng tertawa bergelak menyambut arwahku di neraka!"

"Suhu,...!" Siang Le mengerutkan kening. "Membawa semuanya ini berarti muatan kapal menjadị sarat, lagi pula mengundang bahaya. Apakah suhu tak ingat kalau orang kang-ouw mendengar kau yang mendapatkan lalu berbondong-bondong merampasnya? Tidak, sekantung saja cukup, suhu. Yang lain kita tinggal di sini dan aku juga sekantung."

"Ha-ha, kau mau bersenang-senang?"

"Hm, bukan untukku pribadi, suhu, melainkan fakir miskin."

"Keparat, fakir miskin bukan urusan kita, Siang Le. Tak usah beramal karena ini adalah milik kita, jerih payah kita!"

"Tidak, fakir miskin perlu kubagi, suhu. Betapapun harta ini adalah harta temuan. Seandainya milikku sekali pun kalau berlebihan seperti ini harus dibagikan sebagian, tak boleh tamak!"

"Eh, sejak kapan kau berpikiran tidak waras begini? Kita hidup tak usah memperdulikan orang lain, Siang Le. Mereka pun hidup tak memperdulikan kita. Jangan sok!"

"Bukan sok," pemuda itu membantah. "Ini kewajiban kita, suhu. Bukan kita sendiri yang hidup di dunia ini. Banyak yang lain dan mereka itu menderita!"

"Hm!" See-ong meloncat, melotot memandang muridnya itu. "Apa-apaan kau ini, Siang Le? Kau mau membantah gurumu dan selalu melawan? Aku tak mau membawa sebagian, aku ingin mengambilnya semua dan persetan orang lain!"

"Kalau begitu silahkan suhu ambil, aku tak mau membantu!" dan Siang Le yang berkelebat keluar ruangan tiba-tiba diteriaki gurunya.

"He, nanti dulu, bocah. Tunggu!" See-ong yang marah berjungkir balik tiba-tiba menghadang dan meluncur turun di depan muridnya. "Siang Le, kau selamanya kurang ajar. Apakah ini pembangkanganmu yang terakhir?"

Pemuda itu bersinar-sinar, berhenti dan menghadapi gurunya, gagah dan tak takut. "Suhu, dalam hal ini aku berbeda prinsip. Aku tak melawanmu kecuali berkata bahwa aku tak mau membawa harta itu, kecuali sekantung. Siapa melawan dan mau kurang ajar? Kau tetap guruku suhu, juga orang tuaku. Kau seperti ayah dan barangkali melebihi ayah kandung! Aku hanya tak mau membawa harta itu banyak-banyak karena aku tak suka. Aku tak ingin mengundang permusuhan dan kalau kau ngotot dengan kemauanmu maka silahkan ambil tapi aku tak mau ikut campur!"

"Itu sama halnya melawan, anak setan. Membantah keinginanku sama halnya melawan! Aku ingin kau membantuku dan bawa semua harta ini keluar!"

"Tidak, dengan sekantung saja kau sudah dapat hidup mewah, suhu. Aku tak suka kau tamak harta. Kalau kau memaksa dan hendak merangketku silahkan, kau bunuh pun aku tetap pada pendirianku!"

"Keparat!" dan kakek ini yang mendelik serta kalah gertak tiba-tiba tertawa, menampar muridnya itu dan Siang Le terpelanting. See-ong geram namun tak berdaya, Siang Le adalah pemuda teguh pendirian yang akan mempertahankan pendiriannya sampai mati, biar dibunuh sekali pun. Maka tahu watak muridnya itu dan apa boleh buat dia harus mengalah maka See-ong menendang dan muridnya pun terbanting, tidak terluka dan Siang Le tersenyum. Pemuda itu tahu bahwa gurunya mengalah.

Soat Eng dan Thai Liong yang bersembunyi merasa simpatik dan dua orang muda itu siap bergerak kalau See-ong menghajar muridnya. Tapi ketika kakek itu tertawa dan Siang Le bangkit dengan roman muka geli maka dua kakak beradik itu tertegun dan murid si kakek iblis ini semakin menarik perhatian mereka.

"Haram jadah!" kakek itu memaki. "Kau selalu memenangkan perdebatan, Siang Le. Kalau bukan muridku tentu benar-benar kubunuh! Baiklah, aku mengambil sekantung dan kau sekantung!"

Thai Liong lega. See-ong tertawa setelah memaki muridnya, Siang Le masuk lagi ke ruangan itu dan mengambil buntalannya. Dan kalau See-ong tampak meraup harta peninggalan itu dengan mata bersinar-sinar tamak maka pemuda itu tenang-tenang saja mengambil apa yang disuka, tidak banyak memilih karena apa yang diambil pemuda itu sebenarnya bukan untuk dirinya pribadi.

Soat Eng dan kakaknya telah mendengar bahwa pemuda itu akan membagi-bagi sekantung harta itu pada fakir miskin, pernyataan yang membuat dua kakak beradik itu kagum. Dan ketika semuanya selesai dan See-ong menutup buntalannya maka kakek itu berkelebat dan berkata pada muridnya,

"Tutup pintu. Lain kali kita datang lagi, Siang Le. Hayo keluar dan bawa buntalanmu!"

Pemuda itu bergerak. Mengikuti gurunya pemuda ini sudah membawa sekantung harta Istana Hantu, tidak banyak bicara dan keluar menutup pintunya. Kini ruangan itu tak berbahaya lagi karena panah-panah beracun sudah berhamburan, tiga batu besar di atasnya juga sudah hancur, semua dan sewaktu-waktu mereka dapat mendatangi lagi tempat itu dengan mudah. Tapi ketika See-ong berkelebat ke atas dan kakek itu naik untuk menuju ke jalan keluar tiba-tiba kakek itu berhenti dan mendengus-dengus.

"Siluman! Kau mencium sesuatu, Siang Le?"

Pemuda itu tertegun.

"Eh, kau mencium sesuatu atau tidak?"

"Hm, ya...." pemuda itu terkejut. "Wangi-wangian, suhu... bau wangi-wangian....!"

"Apakah ada hantu yang belum pergi? Atau ada orang di sekitar sini?"

Thai Liong dan adiknya terkejut. Ternyata bau tubuh Soat Eng tercium, gadis itu memang memakai wangi-wangian, tidak banyak, hanya sedikit saja tapi See- ong ternyata mencium. Hal itu dapat terjadi karena bau tubuh gadis ini tertinggal di belakang, hal yang dilupakan Soat Eng dan kakak beradik itu tercekat, sadar bahwa mereka kelupaan sesuatu. Dan ketika mereka melihat See-ong membelalakkan matanya dan kakek tinggi besar itu berhenti maka sepasang mata kakek itu berputar dan Thai Liong serta adiknya menarik kepala.

"Siang Le, selidiki tempat ini!"

Pemuda itu bergerak. See-ong sendiri berkelebat dan sudah menuju ruangan samping, muridnya ke kanan dan secepat kilat Thai Liong membawa adiknya ke atas. Di sana ada belandar tebal yang dapat menyembunyikan tubuh mereka berdua. Dan ketika dua orang itu berkelebatan dan tak lama kemadian tempat mereka dijenguk Siang Le maka pemuda itu tertegun dan berhenti di sini.

"Suhu, bau wangi-wangian itu berasal dari sini. Lihat!"

See-ong berkelebat. Kakek ini muncul seperti ıblis, muridnya menunjuk dan hidung kakek itu mengendus. Dan ketika seperti anjing mencium tahi, hidung kakek ini berkembang-kempis maka kakek itu menggeram dan melotot ke kiri kanan. "Keparat! Kalau begitu ada seseorang yang masuk di sini, Siang Le. Selidiki dan tangkap orang itu!"

"Nanti dulu," muridnya teringat. "Di luar menjaga dua pembantu kita, suhu. Mana mungkin ada yang masuk? Kalau pun ada maka kita tentu mendengarnya. Di luar sana tak ada ribut-ribut, sebaiknya suhu memeriksa ruangan hantu itu dan lihat apakah ada hantu betina yang keluyuran!"

Soat Eng mendongkol. Tanpa sengaja dia sudah dimaki sebagai hantu betina, mukanya merah dan mata pun berapi, hampir meloncat namun kakaknya mencekal. Memang gadis ini mudah marah. Dan ketika kakaknya berbisik agar ia bersabar maka See-ong tampak tertegun mendengar kata-kata muridnya.

"Begitukah?" kening kakek ini berkerut. "Baiklah, coba kuselidiki tempat itu, Siang Le. Dan kau tetap di sini!" See-ong lenyap, berkelebat meninggalkan muridnya dan pemuda itu sendirian berjaga.

Soat Eng dan kakaknya yang baru saja meninggalkan tempat itu malah mempertebal kecurigaan guru dan murid ini. Di tempat itu bau tubuh Soat Eng tertinggal paling jelas, maklum, mereka baru saja pergi. Dan ketika tak lama kemudian See-ong muncul lagi dengan sikap uring-uringan maka kakek ini berseru, "Tak ada. Ruangan itu bersih dari hantu. Mereka masih tak berani kembali kalau aku ada di sini!"

"Hm, kalau begitu siapa, suhu? Memangnya siluman?"

"Tak mungkin. Ini pasti manusia, Siang Le, seorang wanita!"

"Tapi di luar tak ada ribut-ribut!"

"Sebaiknya kau periksa ke sana!" dan See-ong yang marah menyuruh muridnya lalu berganti menjaga di situ, menoleh ke kiri kanan dan Siang Le berkelebat.

Kini pemuda itu keluar dan gurunya di dalam. Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu muncul lagi sambil menggeleng maka Siang Le berseru, "Tidak, di luar tak ada apa-apa, suhu. Thian Po dan Thian Cong berada di atas!"

"Kalau begitu dugaanku benar, di sini ada orang ketiga! Heh, kita putari seluruh istana ini, Siang Le. Kau ke kiri dan aku ke kanan!"

"Ah, nanti dulu!" muridnya tertegun. "Istana ini luas, suhu. Orang itu dapat bersembunyi dan bermain petak-umpet. Sebaiknya kita tunggu di luar dan berjaga di sana. Betapapun tak mungkin dia mengurung diri dan terus-terusan tinggal di sini!"

"Hm, berapa lama?" gurunya tak setuju. "Aku yang tak sabar, Siang Le. Sebaiknya kumaki dia dan biar keluar mendengar maki-makian kotor!" dan See-ong yang mulai berteriak mengeluarkan makian kotor akhirnya berkelebat dan mengutuk serta menyumpah Soat Eng, memaki gadis itu sebagai kuntilanak hina yang busuk, atau iblis betina yang tak tahu malu. Dan ketika makian tiba pada pernyataan bahwa gadis itu pengecut dan penakut maka Soat Eng tak tahan dan tiba-tiba membentak turun, mengejutkan kakaknya.

"Heh, tutup mulutmu, See-ong. Aku ada di sini!" Soat Eng berjungkir balik, meluncur turun dengan gerakan indah dan tertegunlah dua orang guru dan murid itu. Siang Le bengong karena yang muncul adalah seorang gadis cantik, usianya tak lebıh dari sembilan belas tahun dan sejenak ia ternganga. Tapi ketika gurunya tertawa bergelak dan pemuda itu sadar maka See-ong berseru dengan mata bersinar-sinar,

"Ha-ha, kau siapa, kuntilanak cilik? Bagaimana ada di tempat ini dan bersembunyi seperti maling?"

"Tutup mulutmu! Aku bukan pengecut atau maling, See-ong. Aku tiba di sini lebih dulu daripada kalian. Aku Soat Eng, Kim Soat Eng!"

See-ong tertegun. "Lebih dulu? Jadi kau ada di sini sebelum kami?"

"Benar, dan aku tak takut padamu See-ong. Meskipun kau memiliki Hek-kwi-sut tapi aku tak gentar!"

"Ha-ha, bocah yang gagah!" kakek itu tertawa bergelak. "Jadi kau telah melihat semua perbuatan kami, bocah? Kau melihat Hek-kwi-sut ku yang luar biasa?"

"Cih, luar biasa apanya, kakek siluman. Itu ilmu iblis dan aku jijik. Hek-kwi-sut mu hanya hebat bagi siluman atau hantu di istana ini!"

"Ha-ha, lihai. Mulutnya pandai bicara dan keberanianmu ku acungi jempol. Eh, apa maksudmu berada di sini, bocah? Dan siapa namamu tadi?"

"Aku Soat Eng, Kim Soat Eng. Dan maksud kedatanganku tak usah kau tahu!"

"Hm, bocah yang pemberani, tapi kurang ajar!" kakek itu mendongkol. "Eh, kau tangkap anak ini, Siang Le. Bekuk dan lipat mukanya agar dia mengaku!"

Tapi Siang Le yang tertegun dan tidak segera melaksanakan perintah gurunya ternyata bengong saja memandang puteri Pendekar Rambut Emas itu. Entah mengapa melihat keberadaan gadis ini di Istana Hantu tiba-tiba Siang Le kagum. Dia takjub dan kagum akan keberanian gadis ini, juga kecantikannya yang mempesona. Apalagi setelah bibir yang manis itu bergerak-gerak, memaki dan mendebat gurunya. Dan ketika dia bengong dan perintah gurunya seolah tak didengar tiba-tiba gurunya membentak dan dia terkejut.

"Hei, tangkap dia, Siang Le. Bekuk dan lipat mukanya!"

"Hm!" Soat Eng mendengus, tak kelihatan gentar sama sekali. "Aku yang akan membekuk dan melipat kalan, See-ong. Jangan suruh muridmu maju karena sebaiknya kalian maju berdua!" namun sebelum kakek itu memaki atau membentak gusar tiba-tiba Thai Liong, yang tak mungkin membiarkan adiknya sendiri tiba-tiba berkelebat dan berjungkir balik meluncur turun.

"See-ong, masih ada aku di sini!"

Dua orang itu terbelalak. Tiba-tiba munculnya Thai Liong membuat mereka curiga, jangan-jangan ada orang ketiga atau keempat di situ. Kakek ini marah. Dan ketika Thai Liong berjungkir balik dan melayang turun di depan kakek itu maka See-ong membentak namun juga tertegun melihat rambut Thai Liong yang keemasan,

"Heh, kau siapa lagi, anak muda? Berapa orang kalian bersembunyi di sini?"

"Aku Thai Liong," Thai Liong menjawab, mengebutkan bajunya. "Kami hanya berdua, See-ong. Dia adikku dan aku kakaknya."

"Hm!" mata kakek itu sekarang menatap tajam. "Rambutmu..." katanya. "Apa hubunganmu dengan...."

"Benar," Thai Liong sudah mendahului, memotong pertanyaan lawan. "Aku puteranya, See-ong. Kami berdua adalah putera-puteri Pendekar Rambut Emas!"

"Ooh!" dan Siang Le yeng kini mundur dengan mata terkejut tiba-tıba kagum dan memuji pemuda itu, mendahului gurunya, "Kau kiranya putera Pendekar Rambut Emas, sobat? Ah, sudah lama aku mengagumi ayahmu, tak tahunya aku sudah berhadapan dengan puteranya!"

"Benar," Thai Liong tersenyum, merasa suka dengan pemuda ini. "Dan kau bernama Siang Le, bukan? Dan aku kagum akan watakmu, sobat. Kau agaknya tak sama dengan gurumu ini."

"Keparat!" See-ong membentak. "Pendekar Rambut Emas adalah musuh kita, Siang Le. Tak usah memuji atau memberi hati!"

"Kami tak usah dipuji!" Soat Eng membentak. "Kami bukan orang yang gila pujian, See-ong. Kalau kau mau menangkapku cobalah, hayo maju!"

Siang Le tertegun. "Nanti dulu!" katanya. "Tunggu, suhu. Jangan menyerang dan biarkan aku bicara!" dan menghadapi gadıs itu dengan gugup pemuda ini bertanya, "Kim-siocia (nona Kim), apakah maksud kedatanganmu ke sini? Apakah masalah harta karun?"

"Cih!" Soat Eng melempar tangannya. "Tanpa harta karun di sini orang tua kami tak pernah kelaparan, Siang Le. Kalau kau mengira itu maka kau menghina kami!"

"Tidak, bukan menghina. Maksudku, eh....!" Siang Le gugup, tak tahan beradu pandang dengan mata yang bening indah itu, yang marah-marah kepadanya. "Maksudku, eh... begini, Kim-siocia. Kalau benar itu biarlah harta karun kita bagi dua. Kau dan kakakmu sebagian sedang aku dan guruku sebagian...."

"Wut!" gurunya berkelebat, memotong pembiaraan itu. "Daripada banyak omong lebih baik tangkap gadis ini, Siang Le. Hayo bekuk satunya dan jangan cerewet lagi!"

Namun Soat Eng yang mengelak mundur dan membentak kakek itu tiba-tiba diserang lagi, ditampar dan jari-jari See-ong memanjang seperti karet saja kelima jari kakek ini mulur, membuat Soat Eng terkejut namun Thai Liong meloncat maju. Dan ketika adiknya mengelak dan kakek itu masih menyambar dengan pukulannya maka Thai Liong menggerakkan lengan menangkis.

"Dukk!" Dua-duanya terpental. See-ong berseru keras dipentalkan lawannya, Thai Liong terhuyung mundur dan kakek itu melotot. Dan ketika See-ong membentak dan Thai Liong menggantikan adiknya maka kakek ini melengking dan menerjanglah pukulannya yang dahsyat, anginnya berkesiur dan Thai Liong menghindar. Namun ketika tangan kakek itu tetap mengejar dan tak dapat dijauhi lagi maka Thai Liong menggerakkan kedua lengannya dan bertemulah empat tangan di udara.

"Duk-dukk!"

See-ong terbeliak. Dua pukulannya tergetar dan tubuhnya pun terhuyung, sama seperti tadi. Maka memekik dan membentak lawannya tiba-tiba kakek itu berkelebat dan keluarlah pukulan-pukulan sinkangnya, menderu dan bersiut dan Thai Liong dipaksa berloncatan. Gerakan kakek itu kian cepat dan terpaksa Thai Liong mempercepat pula gerakannya. Dan ketika pukulan demi pukulan menyambar dari segala penjuru dan See-ong tampaknya semakin beringas maka Thai Liong membalas dan sambar-menyambarlah dua orang itu, sama-sama tak mau mengalah dan Siang Le kagum.

Sekarang dia melihat seorang pemuda menghadapi gurunya, tangguh dan mampu menahan pukulan-pukulan berat dan lantai ruangan itu pun tergetar. Hebat getarannya karena mereka pun mulai terhuyung, berkali-kali Siang Le berseru kaget karena getaran pukulan dua orang itu kian keras saja. Dan ketika gurunya menyerang terus sementara dia terbelalak menonton maka gurunya itu memakinya sambil bertanding.

"Iblis! Kau jangan menonton saja, Siang Le. Tangkap dan bekuk siluman betina itu!"

"Hm," Siang Le terkejut. "Maaf, suhu. Apakah aku..."

"Aku... aku apa? Kau mau banyak cecowetan seperti monyet? Tangkap dan robohkan gadis itu, Siang Le. Atau aku akan menghantammu dan menendangmu dari sini!"

Terpaksa, karena gurunya marah-marah dan dia dibentak berulang-ulang maka Siang Le menghadapi Soat Eng, ragu namun gadis itu mencibir. Lawan mengejek padanya agar maju, gadis itu menantang dan pemuda ini panas telinganya. Dan ketika Soat Eng bersiap dan menyuruh dia maju maka apa boleh buat pemuda ini menyerang, perlahan dan agak bimbang karena mata gadis itu membetotnya. Siang Le tergetar oleh wajah dan kecantikan lawan. Tapi ketika Soat Eng mengelak dan sebuah tendangan mengenai pinggangnya maka pemuda itu terlempar dan terkejut.

"Nah," lawan mengejeknya tertawa. "Tak perlu ragu, orang she Siang. Setiap pukulanmu pun aku dapat menahan. Hayo, seranglah!"

Pemuda itu merah. Setelah sebuah tendangan diterimanya maka dia pun tak ragu lagi, maklum bahwa sebagai puteri Pendekar Rambut Emas yang terkenal tentu gadis itu lihai, seperti kakaknya. Maka menbentak dan berkelebat maju akhirnya Siang Le menampar namun lawan menerima, tidak lagi berkelit dan untuk pertama kalinya lengan mereka beradu. Dan begitu dia terpental dan kaget berseru keras maka belum apa-apa pemuda ini sudah terpelanting!

"Keparat, kerahkan segenap kepandaianmu, Siang Le. Puteri Pendekar Rambut Emas itu tak perlu disungkani!"

"Hi hik." Soat Eng tertawa, mengejek See-ong. "Tak perlu berteriak-teriak memarahi muridmu, See-ong. Kalau dia memang punya kepandaian biarlah dia maju!"

"Tentu!" kakek itu membentak, "Muridku akan merobohkanmu, siluman betina. Dan kau akan dibekuk dan dilipatnya!" lalu, membentak muridnya agar bersungguh-sungguh kakek itu sudah bertanding lagi melawan Thai Liong, tadi melihat muridnya terpelanting dan tentu saja kakek itu marah.

Siang Le masih tergetar oleh wajah cantik lawannya dan kakek ini mendelik. Dan ketika Siang Le mengangguk dan "mendusin" bahwa lawan benar-benar bukan sembarangan maka membentaklah pemuda itu menyerang lebih sungguh-sungguh, tenaga ditambah dan Soat Eng mengelak. Namun ketika kelima jari pemuda itu mulur dan memanjang maka ke mana pun dia menghindar ke situ pula lawan memburu.

"Dukk!" Pertama kali mereka sama tergetar. Soat Eng terdorong dua tindak sementara lawan juga dua langkah, Siang Le telahmengerahkan enam bagian tenaganya, tidak terpelanting lagi dan terbelalaklah lawannya. Dan ketika Siang Le juga kagum karena lawan dapat menggetarkan tubuhnya maka Soat Eng justeru membentak menyerang dirinya, berkelebat dan menampar dan terjadilah pertandingan cepat di situ.

Gadis ini mengeluarkan Lui-kong-ciang (Pukulan Petir) namun lawan dapat menahan, dua kali pukulannya hanya membuat lawan tergetar sementara lengan karet pemuda itu menyelinap dan hampir mencengkeram pundaknya. Dan ketika Soat Eng melengking marah sementara lawan juga berseru keras maka mereka sudah sambar-menyambar seperti See-ong dan Thai Liong.

"Duk-dukk!"

Siang Le kagum. Setelah sekarang Soat Eng berkelebatan dan melakukan tamparan-tamparan cepat maka meluncurlah sinar merah dari lengan gadis itu, kian lama kian cepat dan juga panas. Dan ketika Soat Eng melengking marah sementara lawan juga berseru keras maka mereka sudah sambar-menyambar seperti See-ong dan Thai Liong.

Hawa panas ini terasa membakar kulit dan pemuda itu mengerahkan sinkangnya, melindungi tubuh dan Soat Eng penasaran Lui-kong-ciang meledak-ledak sementara di sana kakaknya juga bertanding hebat dengan See-ong, kakek tinggi besar itu. Dan ketika mereka berdua sambar-menyambar seperti garuda bertarung dan Istana Hantu digetarkan pukulan mereka tiba-tiba See-ong berteriak keras melancarkan sebuah pukulan dahsyat.

Kakek ini, seperti muridnya, juga menghadapi Lui-kong-ciang. Tamparan atau hawa panas mulai membakar ruangan itu. Thai Liong mengerahkan kepandaiannya karena See-ong benar-benar lihai, kakek itu dapat menahan Lui-kong-ciang atau Tiat-lui-kangnya dengan baik, mengimbangi dengan pukulan-pukulan dingin hingga hawa panas teredam. Tapi ketika dia menambah kekuatannya dan pukulan dingin digencet dan ditindih maka lawan terkejut karena ruangan itu serasa terbakar, semakin panas lagi karena Soat Eng di sana juga mengeluarkan ilmu pukulan yang sama, kakek ini mendelik dan penasaran.

Dan ketika pemuda itu mencoba mendesaknya dengan Tiat-lui-kang sementara dia geram dengan sambaran pukulan-pukulan dinginnya maka See-ong mengeluarkan teriakan aneh dan dari kedua tangannya tiba-tiba menyambar sepuluh sinar hitam yang mencuat bagai kuku rajawali.

"Bret!"

Thai Liong terkejut. See-ong yang membentak dengan pukulannya yang aneh tiba-tiba menggeliat. Kakek itu menghantam ke depan sementara sinar hitam yang mencuat dari ke sepuluh jari tangannya mengagetkan pemuda ini, mencium bau busuk dan Thai Liong terkejut karena rupanya sebuah pukulan beracun menyambarnya. Dan ketika dia berkelit namun kedua lengan kakek itu memanjang seperti karet maka sepuluh kuku jari kakek itu mencengkeram pundaknya dan bajunya hancur.

"Tok-ku-ciang! (Ilmu Kuku Siluman)!"

"Ha-ha!" kakek itu tertawa bergelak. "Kau mengenal ilmuku, bocah? Benar, tapi bukan Tok-ku-ciang melainkan Tok-liong-ku-ciang (Cakar Sepuluh Naga Beracun)!"

Thai Liong terbelalak. See-ong sudah menyerangnya dengan ilmu aneh ini, menggeliat dan menyambar dan tahu-tahu cakaran atau guratan kuku sudah mengancam seluruh tubuhnya. Mulai dari kepala sampai kaki, bercuitan dan sekarang bau amis itu makin menghebat. Thai Liong pusing dan menahan napasnya, terlambat karena See-ong mengeluarkan Hek-kwi-sut, membentak dan lenyaplah kakek itu sebagai asap. Thai Liong kurang pengalaman dan terhuyung. Dan ketika pemuda itu tersentak karena lawan menghilang sebagai roh halus maka sebuah totokan mengenai pundaknya.

"Plak!" Thai Liong terbanting. Untuk pertama kali pemuda itu mengeluh, roboh namun dapat menahan totokan, mengerahkan sinkangnya dan jari kakek itu mental. Tapi ketika See-ong mengejar dan membentak lagi tiba-tiba dua totokan beruntun menghajar pemuda itu.

"Plak-plak!" Thai Liong terbelalak. Sekarang dia terbanting dan tak dapat bergerak, See-ong menotoknya secara lihai dan saat itu pun Thai Liong merasa bumi berputar. Hawa beracun dari Tok-liong-ku-ciang keburu melumpuhkan pemuda ini, Thai Liong mengeluh dan terlempar. Dan ketika pemuda itu tak bergerak lagi karena totokan dan hawa beracun sekaligus menyerangnya maka Soat Eng di sana kaget sekali.

"Liong-ko...!"

See-ong tertawa bergelak. Sekarang kakek ini mengebut-ngebutkan lengan bajunya dengan sombong. Sikapnya jumawa dan pongah sekali. Soat Eng kaget karena kakaknya dilumpuhkan tentu saja perhatiannya pecah dan Siang Le mendaratkan sebuah tamparan ke pundaknya. Dan ketika Soat Eng terpelanting dan kacau serta gelisah maka See-ong berseru pada muridnya agar segera merobohkan gadis itu.

"Ha-ha, robohkan lawanmu, Siang Le. Tundukkan dan bekuk seperti kataku!"

"Keparat!" Soat Eng melengking. "Kau jahanam busuk, See-ong. Kubunuh kau!"

"Ha-ha, hadapi dulu muridku, siluman betina. Baru kau dapat berhadapan dengan aku kalau dapat merobohkan muridku!"

Gadis itu berteriak. Setelah kakaknya roboh dan tak bergerak di sana Soat Eng menjadi kacau. Perhatiannya terpecah karena dia tak tahu apakah kakaknya pingsan atau tewas, kakaknya itu tak bergerak-gerak karena Thai Liong telah pingsan menghirup hawa beracun dari Tok-liong-ku-ciang, terlambat menahan napas dan See-ong pun tadi mengeluarkan ilmunya yang aneh itu, yang mampu merobah ujudnya menjadi roh halus, tentu saja tak dapat dihadapi pemuda macam Thai Liong yang kurang pengalaman, meskipun berbekal ilmu tinggi.

Dan ketika pemuda itu tak bergerak lagi dan Soat Eng marah serta gelisah maka Siang Le mampu mengelak semua serangan-serangannya sementara pemuda itu sendiri terus mendesak dengan pukulan atau tamparannya, kedua lengan yang mulur mengkeret karena itulah Sin-re-ciang (Silat Lengan Karet), menyambar dan membingungkan lawan karena dapat bergerak secara tak terduga. Di samping menyerang juga tiba-tiba dapat ditarik sependek mungkin, demikian pendeknya hingga tangan dan bahu hampir menyatu! Dan ketika Soat Eng gelisah dan konsentrasinya pecah tak keruan maka sebuah pukulan akhirnya mendarat lagi di bahunya.

"Plak!" Soat Eng terbanting bergulingan. Gadis itu berteriak marah menjauhkan diri, meloncat dan membentak. Dan ketika lawan mengejar dan Siang Le melancarkan lagi sebuah pukulan karet maka Soat Eng mengeluarkan Pek-sian-ciang dan dengan Pukulan Dewa ini dia menangkis.

"Dess!" Siang Le ganti terlempar. Pemuda itu bergulingan berseru kaget, mendapat perlawanan dan kini Soat Eng melepas pukulan-pukulan itu. Tiat-lui-kang tak dipergunakan karena diganti dengan Pek-sian-ciang ini, menyambar dan meledak di tubuh lawannya. Tapi ketika Siang Le dapat mengelak dan pemuda itu berobah mukanya maka Siang Le pun mengeluarkan Tok-liong-ku-ciang dan pemuda itu berseru agar si nona berhati-hati, menahan napasnya.

"Jahanam!" Soat Eng membentak. "Aku tak takut Tok-liong-ku-ciang mu, orang she Siang. Aku akan membunuhmu dan kau mampuslah!"

Gadis ini menerjang. Soat Eng menjadi kalap dan Siang Le tertegun, mengelak namun keserempet angin pukulan, terhuyung dan pemuda itu ragu. Agaknya terjadi perang batin di hati pemuda ini, antara menghadapi lawan atau mengalah. Maklum, pemuda ini tiba-tiba tergetar ketika melihat kemarahan gadis itu, sinar matanya yang berapi-api dan juga isaknya yang mulai terdengar. Soat Eng marah dan cemas sekali melihat keadaan kakaknya yang tak diketahui hidup atau mati. Dan ketika Pek-sian-ciang kembali menyambar dan Siang Le tampak mengendor maka pemuda itu terlempar ketika pukulan itu mengenainya.

"Hei....!" gurunya berteriak. "Jangan meleng, Siang Le. Pusatkan perhatianmu dan jangan melenggong!"

Siang Le bingung. Sekarang air mata lawannya membuat dia semakin kusut. Sebenarnya sejak pertama kali beradu pandang pemuda ini sudah tergetar, wajah cantik itu serasa membetot sukmanya dan pemuda ini mengeluh. Bentakan atau teriakan gurunya justeru membuat ia gugup. Dan ketika Pek-sian-ciang kembali menyambar dan pemuda itu meleng maka pundaknya meledak dan bajunya seketika itu juga hancur.

"Dess!" See-ong berteriak marah. Kakek tinggi besar ini melihat gerak muridnya yang ayal-ayalan, lengah dan kehilangan semangat. Muridnya terpelanting dan untung tubuhnya dapat menahan pukulan itu, yang batu karang pun sebenarnya bisa hancur.

Dan ketika Siang Le kaget dan bergulingan menjauh maka lawan berkelebat dan tamparan serta tendangan mengejarnya bertubi-tubi, dielak tapi kurang cepat dan tiba-tiba saja murid See-ong ini terdesak. Kakek itu melotot karena ini dinilai tidak wajar, muridnya tak mau membalas dan hanya menangkis atau mengelak saja, lagi sebuah pukulan mendarat di punggungnya dan Siang Le terlempar. Dan ketika pemuda itu menjadi bulan-bulanan lawannya dan Soat Eng beringas hendak membunuh pemuda ini maka See-ong berkelebat dan menendang muridnya itu.

"Pergi kau!" Siang Le mencelat, didupak gurunya. Dan ketika Soat Eng menerjang dan pukulannya disambut kakek itu maka bertemulah pukulan gadis ini dengan tangkisan si kakek tinggi besar.

"Dess!" Soat Eng terlempar berjungkir bailik. Gadis ini menjerit karena tangkisan See-ong jauh lebih dahsyat daripada muridnya, kakek ini bersungguh-sungguh dan kontan puteri Pendekar Rambut Emas itu terpental. Dan ketika Soat Eng melayang turun dan kakek itu menggeram maka See-ong membentak melancarkan Tok-liong-ku-ciangnya, menghantam dan Soat Eng menangkis, terpental dan terlempar lagi tinggi ke udara.

Dan ketika kakek itu terbahak dan mengerahkan Hek-kwi-sutnya tiba-tiba kakek itu lenyap dan tampak segulung asap mengejar di udara, menotok Soat Eng namun gadis itu menangkis. Tapi ketika asap bergerak dan berputaran mengelilingi gadis itu mendadak dua totokan mengenai jalan darah di pinggang dan Soat Eng pun roboh terbanting.

"Brukk!"

"Ha-ha," See-ong tertawa bergelak. "Roboh kau, siluman betina. Sekarang pergilah ke neraka!" See-ong muncul lagi, berobah ujud sebagai manusia biasa dan kakek itu menggerakkan tangan kirinya ke kepala. Sebuah tamparan akan menghabisi gadis itu dan mengantarnya ke alam baka. Tapi ketika Siang Le berteriak dan berkelebat mencegah gurunya maka pemuda itu menangkis dan tamparan See-ong mengenai pemuda ini.

"Dess!" Siang Le terguling-guling, meloncat bangun, berteriak. Dan ketika gurunya tertegun dan menjublak gusar maka pemuda ini buru-buru menggoyang lengan, terhuyung-huyung, "Jangan.... tidak, suhu. Jangan bunuh!"

"Hm, kenapa?" See-ong melotot.

"Pokoknya jangan dibunuh, suhu. Aku, eh.... gadis itu tidak bersalah!"

"Keparat!" kakek itu memaki. "Tidak bersalah bagaimana, Siang Le? Bukankah jelas dia mehgacau dan melawan kita?"

"Tidak... tidak!" pemuda itu gugup. "Mereka tak ada permusuhan langsung dengan kita, suhu. Lagi pula Pendekar Rambut Emas adalah ayah gadis ini!"

"Eh, kenapa dengan Pendekar Rambut Emas? Memangnya kau takut?"

"Tidak, bukan begitu, suhu. Melainkan, ah... aku... aku tak suka kau membunuh gadis ini. Pokoknya kakak beradik itu tak boleh dibunuh!" dan gugup tapi berhasil mengeraskan dan menetapkan hatinya pemuda ini sudah gagah melindungi Soat Eng, juga Thai Liong dan gurunya pun tertegun.

Dua pasang mata tampak beradu pandang dan betapa keinginan pemuda itu tak dapat diganggu-gugat, See-ong terbelalak tapi tiba-tiba tertawa bergelak. Dan ketika kakek tinggi besar itu terbahak-bahak dan meloncat mundur maka kakek ini berseru,

"Baiklah, boleh, anak setan. Tahulah aku apa sebabnya sekarang. Kiranya kau ingin menjadi mantu Pendekar Rambut Emas. Ha-ha, boleh, Siang Le. Boleh! Tapi jawab dengan jujur apakah kau jatuh cinta kepada gadis siluman ini?"

Siang Le semburat merah. "Aku tak tahu. Tapi alasan utama adalah karena mereka orang baik-baik...."

"Heh, itu bukan jawaban, anak bodoh. Aku ingin yang benar!"

"Ini.... itu...." Siang Le gugup. "Aku tak tahu, suhu. Pokoknya kau tak boleh membunuh dan jangan menbunuh."

"Hm, kau tak memuaskan gurumu. Kalau begitu bawa mereka keluar!" See-ong melotot, mendongkol pada muridnya.

Dan Soat Eng merah padam. Dia tidak pingsan dan tentu saja mendengar semua pembicaraan itu, melotot namun Siang Le tak berani memandangnya. Pemuda itu membelakangi dan mau rasanya gadis ini memaki-maki. Tapi ketika See-ong berkelebat dan menyuruh muridnya membawa mereka berdua maka Siang Le kelihatan girang dan menyambar kakaknya, dipanggul di bahu kiri dan kini pemuda itu berkelebat ke arahnya, menyambar dan memanggulnya di bahu kanan. Dan ketika mereka beradu pandang dan pemuda itu gugup maka Soat Eng mendesis, di pinggir telinga pemuda ini,

"Orang she Siang, kau jahanam keparat. Kalau kau macam-macam kepadaku tentu kau kubunuh!"

Siang Le diam saja. Pemuda ini menghela napas dan tampaknya menekan perasaan tak enak, cara memanggulnya tidak kurang ajar dan Soat Eng lega, meskipun marah. Dan ketika pemuda itu berkelebat keluar Istana Hantu maka hanya sebuah ucapan maaf yang dimintanya, halus dan sopan,

"Maaf, Kim-siocia, aku tak ada maksud macam-macam terhadapmu. Percayalah, kalau keadaan mengijinkan tentu kau dan kakakmu kubebaskan!" dan bergerak menjejakkan kakinya pemuda itu menyusul gurunya dan lenyap meninggalkan ruangan itu.

"Hi-hik, selamat bertemu, See-ong. Berikan peninggalan Istana Hantu kepadaku!"

See-ong terkejut. Dia baru keluar ketika terdengar kekeh itu, tak ada orangnya dan dua pembantunya, Thian Cong dan Thian Po menggeletak tak berdaya. Dua orang itu ah-uh-ah-uh dan kakek ini tertegun. Dan ketika muridnya berkelebat keluar dan tegak di sampingnya maka suara tanpa rupa itu muncul kembali.

"See-ong, kau harus menyerahkan semua penemuanmu di istana ini kepadaku. Atau kau kubunuh!"

"Hm!" kakek itu membalik, mengerahkan Hek-kwi-sutnya, lenyap dan tiba-tiba berobah sebagai asap, berkelebat ke sebelah kanan. "Kau siapa, nenek siluman! Bagaimana dapat datang, ke sini?"

"Hi-heh!" Soat Eng ngeri. "Aku Dewi Naga Bumi, See-ong. Satu dari Enam Iblis Dunia!"

"Ah," See-ong menjengek, tak kelihatan orangnya. "Kaukah ini, Naga Bumi? Mana kawan-kawanmu?"

"Ha-ha, mereka di belakang, See-ong, kalah cepat dan kebetulan aku duluan ke sini. Serahkan harta di tanganmu itu kepadaku...wutt!"

Soat Eng mendengar sebuah gerakan, seperti tubrukan dan See-ong dalam ujud roh halusnya mengelak. Kakek itu telah kehilangan badan kasarnya dan Soat Eng melihat adanya asap hitam. Bentuk atau ujud halus kakek tinggi besar itu diserang asap hitam ini. Dan ketika See-ong mengelak namun lawan mengejar dengan kekehnya yang menyeramkan maka kakek itu menangkis.

"Dukk!" Dua asap itu terpental. Kekeh itu berobah menjadi jerit kemarahan dan suara See-ong berganti geram yang ditahan. Soat Eng terbelalak dan tak tahu apa yang terjadi. Tapi ketika dua asap itu terpental dan hilang berganti ujud sebagaimana mestinya maka tampaklah di situ seorang nenek yang rambutnya riap-riapan, matanya seperti harimau betina yang tidak makan seminggu.

"Heh, kau hebat, See-ong. Kalau begitu pantas kau berhadapan dengan aku!"

"Hm," See-ong yang kini tampak lagi sebaaaimana biasa mendengus. ―Kau jangan macam-macam, Naga Bumi. Kita sebenarnya segolongan dan sudah lama aku mendengar namamu!"

"Kalau begitu kau harus tunduk, aku menang tua!"

"Jangan sombong," kakek itu membentak. "Tua belum menunjukkan kelebihannya, nenek siluman. Aku tak takut kepadamu dan tak perlu takut. Lebih baik kau pergi dan jangan coba-coba mengganggu aku!"

"Hi-hik, kau mengusir? Eh, aku ke sini mendahului teman-temanku, See-ong. Daripada kau celaka lebih baik serahkan barang di tanganmu dan kau pergi baik-baik. Aku akan melindungimu!"

See-ong tertawa mengejek. "Nenek siluman," katanya dingin. "Kelima temanmu pun datang aku tak takut. Justeru aku ingin menghadapi kalian berenam dan menundukkan kalian. Aku ingin menjadi yang nomor satu dan memimpin kalian!" lalu tak memperdulikan nenek itu mendelik kakek itu tiba-tiba melempar sekantung harta pada muridnya, ditangkap dan sudah menghadapi nenek ini lagi.

Dan ketika nenek itu semakin marah karena sikap See-ong dianggap merendahkan maka See-ong berkata lagi, "Aku telah mendengar kekalahanmu dari Pendekar Rambut Emas, juga teman-temanmu itu. Sekarang lebih baik kau tunduk kepadaku dan kekalahan kalian kubalaskan. Kau mau menjadi pembantuku, Naga Bumi?"

"Tar!" nenek itu meledakkan rambut. "Kau lancang dan bermulut sombong, See-Ong. Kalau begitu tak ada ampun lagi bagimu dan terimalah... wutt!" nenek itu berkelebat, menghantamkan sepasang lengannya dan dari jarak dua meter meluncur sebuah pukulan dahsyat. Baju See-ong berkibar tapi kakek itu tertawa bergelak. Dan ketika dia bergerak dan menyambut pukulan itu dengan sepasang lengannya pula maka See-ong menangkis dan dua orang itu sama-sama mengerahkan sinkang.

"Dess!" Nenek Naga Bumi mencelat. Nenek itu menjerit dan terlontar berjungkir balik. See-ong terhuyung namun kakek tinggi besar itu tersenyum. Dan ketika lawan membentak marah dan turun dengan kaki merentang tiba-tiba nenek itu menendang dan See-ong berkelit, tiba di tanah dan nenek itu pun melengking. Suaranya tinggi menyakitkan dan dia sudah menerjang lawan. Dan ketika See-ong menghindar namun bertubi-tubi nenek itu melepas pukulannya maka See-ong menangkis dan kembali mengerahkan tenaga.

"Plak!" Dua orang itu tergetar. Sekarang See-ong terbelalak sementara lawannya berteriak, maju dan menyerang lagi dan lenyaplah nenek itu berkelebatan mengelilingi lawan. Dan ketika Soat Eng di sana terbelalak dan Siang Le memandang pertempuran dengan kening berkerut tiba-tiba dari pantai berkelebat dua bayangan nenek lain yang terkekeh-kekeh.

"Hi-hik, kau sudah di sini, Naga Bumi? Kau mendahului kami?"

"Heh, itu siapa, Naga Bumi? Dan kenapa pulau ini sudah penuh orang?"

Soat Eng terkejut. Dua bayangan nenek itu tahu-tahu berkelebat dan meluncur seperti iblis, suaranya sudah mendahului dan Siang Le tampak tergetar. Pemuda ini menurunkan Soat Eng dan kakaknya. Dan ketika dua bayangan itu berkelebat di situ dan cepat sekali mereka sudah di depan Siang Le maka dua nenek itu tampak tertegun memandang murid See-ong yang gagah ini.

"Anak muda, kau siapa?"

"Hm,..." Siang Le melompat maju, mengalingi Soat Eng dan kakaknya. "Justeru aku yang harus bertanya siapa kalian, nenek asing. Apakah kalian kelompok Enam Iblis Dunia?"

"Heh, lancang!" nenek di sebelah kiri mengebut. "Kami Sepasang Dewi Naga, anak muda. Aku Ji-moi dan ini kakakku Toa-ci!"

"Tak usah memperkenalkan diri!" nenek di sebelah kanan membentak. "Serang dan robohkan pemuda ini, Ji-moi. Dan kita lihat Naga Bumi!" nenek itu berkelebat, menuju ke tempat pertempuran dan adiknya terkekeh. Kebutannya menyambar dan tahu-tahu serangkum angin pukulan dahsyat menghantam Siang Le, tentu saja tak diterima dan pemuda itu menangkis. Dan ketika suara benturan membuat nenek itu tertegun karena lawan hanya tergetar saja maka nenek ini berseru marah membelalakkan matanya.

"Eh, bocah ini lumayan!" saudaranya menoleh. "Murid siapa gerangan?"

"Eitt...!" nenek Naga di sana melengking. Dia murid See-ong, Ji-moi. Dan inilah kakek iblis itu!"

"Ah," Ji-moi tertegun. "Begitukah, anak muda? Jadi gurumu itu adalah See-ong? Bagus, kalau begitu robohlah, coba lagi yang ini... wut!" dan Ji-moi yang berkelebat menggerakkan tangannya tiba-tiba menampar dan siang Le lagi-lagi menangkis.

"Dukk!" Nenek itu terbelalak. Siang Le, pemuda yang diserang ternyata lagi-lagi hanya tergetar, sama sekali tak terdorong apalagi roboh! Dan ketika nenek itu terbelałak dan tentu saja marah tiba-tiba Ji-moi melengking dan menyerang lagi, ditangkis dan tergetar dan nenek itu terkejut. Siang Le menambah tenaganya hingga dia serasa ditantang. Dan ketika Toa-ci di sana tertegun karena murid See-ong itu dapat menghadapi adiknya maka Siang Le membalas dan keluarlah pukulan-pukulan Sin-re-ciangnya, dibentak dan mengeluarkan lagi Tok-liong-ku-ciang, Siang Le juga marah karena nenek itu mau membunuhnya. Dan ketika pemuda itu dapat melayani dan ke manapun nenek itu menyerang selalu dapat ditangkis maka Ji-moi berteriak dan diseranglah pemuda itu dengan cepatnya.

"Des-dess!"

Siang Le terguncang sedikit. Pemuda ini marah dan berseru keras, cepat berkelebat dan disambutlah semua serangan-serangan lawan. Dan ketika dia juga membalas dan mengerahkan ginkangnya maka See-ong tertawa bergelak menyuruh muridnya meladeni lawan.

"Ha-ha, pertahankan posisimu, Siang Le. Tunjukkan kehebatanmu kepada mereka!"

Nenek Ji-moi menjadi gusar. Perlawanan dan balasan Siang Le dianggap menghinanya, tiba-tiba membentak dan keluarlah pukulan Mo-seng-ciangnya (Pukulan Bintang Iblis), berkeredep dan menghantam pemuda itu namun Siang Le lincah berkelit, mengelak dan membalas dan bertandinglah dua orang itu dengan cepatnya. Dan ketika Soat Eng terbelalak karena apa yang diperlihatkan pemuda itu jauh bedanya ketika sedang menghadapinya maka See-ong terbahak-bahak dan nenek Toa-ci tertegun, maju mundur memandang dua pertempuran itu karena di sana See-ong juga tampak mendesak temannya, nenek Naga Bumi.

Kini dengan Hek-kwi-sut kakek tinggi besar itu berubah-ubah ujud, sebentar menghilang dan sebentar muncul lagi, sering mengejutkan nenek Naga Bumi karena di saat muncul tiba-tiba kakek itu telah berada dibelakangnya, menghantam dan ditangkis tapi lenyap lagi, muncul dan menyerang lagi di tempat lain, cepat dan timbul tenggelam dan Naga Bumi kewalahan. Dia pun mengerahkan ilmu hitamnya namun nenek itu tak dapat merobah ujud sebagai mahluk halus, ilmu hitam yang dipunyainya kalah setingkat dan jadilah nenek itu terdesak. Dan ketika berkali-kali Toa-ci mendengar temannya berteriak karena mendapat pukulan atau hantaman maka nenek itu bingung untuk membantu yang mana, melihat pertempuran Siang Le melawan adiknya masih seimbang.

"Keparat, terkutuk kau, See-ong. Jahanam Setan jadah!"

"Ha-ha, inilah yang kubilang. Kau tak dapat mengalahkan aku nenek siluman. Biar Toa-ci membantumu dan kalian maju berdua!"

"Keparat!" nenek Naga Bumi melengking. "Jangan sombong, kakek busuk. Aku belum kalah karena belum roboh!"

"Ha-ha begitukah? Minta kurobohkan? Baik, lihat ini, nenek siluman. Dan jaga kepalamu.... wut!" See-ong lenyap, berobah sebagai mahluk halus dan nenek Naga Bumi kebingungan. Kalau See-ong sudah mengerahkan Hek-kwi-sutnya memang dia selalu was-was, gentar.

Lenyapnya kakek ini tidak sama dengan lenyapnya kalau mempergunakan ilmu hitam biasa. Ilmu hitam biasa hanya bersifat sementara, lawan yang memiliki mata batin yang tinggi dapat melihat ke mana lawan menghilang. Tidak seperti Hek-kwi-sut yang dipunyai kakek ini, yang dapat menyatu dan benar-benar berobah ujudnya seperti roh halus, tak dapat diserang tapi dapat menyerang, itulah kelebihan Hek-kwi-sut. Dan karena ilmu hitamnya kalah tinggi dengan yang dipunyai kakek ini maka sebuah tamparan akhirnya benar-benar mengenai kepala nenek itu.

"Dess!" Nenek Naga terbanting. Nenek itu menjerit dan bangun lagi mengerahkan Tee-sin-kangnya namun lawan lagi-lagi menghilang. Geraknya łuar biasa cepat dan nenek itu marah. Dan ketika dia membalik namun lawan sudah berada di belakangnya maka sebuah pukulan lagi-lagi mengenai tengkuknya.

"Dess!" Nenek Naga memaki-maki. Kalau begini terus-terusan payah baginya, See-ong dapat menyerang ke mana dia suka sementara dia sendiri tak dapat menyerang. Gusarlah nenek itu dan dimakinya See-ong habis-habisan. Dan ketika kakek itu tertawa bergelak dan Toa-ci terbelalak maka kakek itu sesumbar.

"Heh, kau majulah, Toa-ci. Keroyok dan bantulah temanmu ini!"

Toa-ci mendengus. Kalau See-ong sudah menantang dua kali tak dapat dia menahan lagi, berkelebat dan muncullah pukulan Mo-seng-ciang-nya. Namun ketika See-ong menangkis dan memperlihatkan diri ternyata dengan sombong kakek itu menangkis pukulannya, tergetar dan dia terpental dan kakek itu pun tertawa bergelak. Tawa See-ong sungguh menyakitkan sekali dan marahlah nenek itu.

Dan ketika nenek Naga membentak girang karena mendapat bantuan maka dua orang itu sudah menyerang See-ong namun kakek tinggi besar ini menghilang, mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan kalau dibelakang tiba-tiba dia muncul lagi, mencengkeram atau menampar dan sibuklah dua orang itu menghadapi lawan. Toa-ci mengerahkan ilmu hitam dan lenyap mengikuti lawan, coba mengimbangi namun badan kasarnya tak dapat dirobah menjadi badan halus, menerima pukulan dan terhuyunglah dia oleh serangan lawannya ini. Dan ketika nenek Naga berseru agar menyerang dari muka dan belakang maka Toa-ci mengangguk dan membentak,

"Baik, kau di belakang, Naga Bumi. Aku di depan... wut-plak!" dua orang itu berpindah tempat, menyerang dari muka dan belakang.

Tapi See-ong tertawa-tawa gembira. Mengandalkan Hek-kwi-sutnya yang lihai dan luar biasa tetap saja kakek ini dapat lolos dari pukulan-pukulan lawan, pukulannya sendiri selalu mengejutkan dan muncul tiba-tiba, cepat dan tak diduga dan dua orang nenek itu mengumpat caci. Dan ketika See-ong melayani keroyokan lawannya namun kakek ini masih tetap saja di atas angin maka pertandingan di antara Siang Le melawan Ji-moi terjadi sedikit perobahan.

Ji-moi, yang kita kenal sebagai satu di antara Enam Iblis Dunia adalah seorang nenek yang penuh pengalaman. Hanya terhadap Hu-taihiap dan Pendekar Rambut Emas saja nenek itu kalah, juga Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas, ibu dari Soat Eng itu. Maka ketika Siang Le dapat menghadapi pukulan-pukulannya dan Tok-liong-ku-ciang berhasil menghalau Mo-seng-ciangnya maka diam-diam nenek ini kaget dan kagum. Siang Le, yang pantas menjadi cucunya ternyata dapat melayaninya dengan baik.

Mulailah nenek itu membentak dan mencari kelemahan lawan, melirik ke tempat toa-cinya dan Ji-moi terkejut melihat Hek-kwi-sut yang dikeluarkan See-ong. Kalau pemuda ini juga memiliki Hek-kwi-sut dan menghilang atau muncul lagi seperti siluman tentu dia payah. Ji-moi sudah waswas dan menunggu pemuda itu mengeluarkan ilmu seperti gurunya. Tapi ketika ilmu itu tak pernah keluar karena memang untuk Hek-kwi-sut ini Siang Le tak mau mempelajari maka nenek itu terkekeh dan dapat menduga.

"Hi-hik, kau tak memiliki Hek-kwi-sut, bocah? Kau tak sepandai gurumu?"

"Hm, tanpa Hek-kwi-sut pun aku dapat melayanimu, Ji-moi. Tak perlu Hek-kwi-sut aku akan merobohkanmu."

"Sombong! Kau pongah, anak muda. Kalau begitu cobalah ini... slap!" Ji-moi menghilang, mengeluarkan bentakannya dan lenyaplah nenek itu dengan ilmu hitam.

Siang Le terkejut karena terhadap ilmu hitam dia paling tidak suka, tertegun dan tiba-tiba berkesiur angin pukulan dingin di belakang. Dan ketika dia membalik namun kalah cepat maka pemuda itu terbanting menerima pukulan lawan.

"Hi-hik, ayo, anak muda. Bangun dan terima lagi pukulanku!" Ji-moi tertawa mengejek, girang dan puas karena pemuda itu tak dapat melihat keberadaannya. Mata batin Siang Le masih kurang tajam dan pemuda itu kebingungan, bangun tapi lawan menghantam lagi, kena dan terpelanting untuk kedua kalinya. Dan ketika Ji-moi terkekeh-kekeh dan Siang Le terkejut namun dapat bangun lagi maka nenek itu kagum tapi juga mendongkol.

"Heh, robohlah, anak muda. Robohlah....dess!"

Siang Le terjungkal menerima sebuah pukulan lagi namun hebatnya pemuda itu tak apa-apa. Siang Le telah melindungi dirinya dengan sinkang dan tujuh kali dipukul tujuh kali pula dia dapat bangun berdiri, meskipun tak dapat membalas. Hal yang membuat lawan terbelalak dan marah tapi juga kagum. Dan ketika pemuda itu kewalahan karena menghadapi ilmu hitam selamanya ia kebingungan maka gurunya di sana berteriak melihat muridnya menjadi bulan-bulanan pukulan.

"Keparat, lihat lawanmu ada di sebelah kiri, Siang Le. Putar tubuhmu dan tangkis!" atau, ketika Ji-moi ada di sebelah kanan kakek itu berseru. "Hei, dia ada di sebelah kananmu. Awas!"

Namun Siang Le tetap saja terlempar. Setelah Ji-moi mengeluarkan ilmu hitamnya maka nenek itu dapat mempermainkan lawan, Siang Le jatuh bạngun namun hebatnya sedikit pun pemuda itu tak terluka, tanda betapa lihai dan kuat sebenarnya murid Datuk Dari Barat ini. Dan ketika See-ong memaki-maki dan menggoblokkan muridnya maka di pantai muncul lagi sesosok bayangan lain, seorang manusia cebol...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.