Istana Hantu Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AH, kongcu berkepandaian tinggi, juga siocia! Masa bicara seperti itu? Tidak, aku mendoakan dari sini, kongcu. Kau pasti selamat dan dapat keluar baik-baik!"

"Hi-hik, memangnya kau pendeta? Sudahlah, kami mau berangkat, orang she Ji. Kau di sini dan lihat badai sudah reda!"

Benar saja, hujan dan badai sudah tak terdengar suaranya lagi. Gemuruh angin juga lenyap dan suasana di luar guha tampak tenang, hanya air bergemericik di sela-sela guha yang tiris, sisa-sisa hujan. Dan ketika Soat Eng meloncat bangun dan mengajak kakaknya keluar maka mereka melihat laut yang sudah tidak berbuih lagi.

"Hm, aneh. Tadi laut tampak demikian buas dan kejam, bagaimana sekarang tiba-tiba seperti gadis yang begini lembut?"

"Ih, kau mau berpantun? Hayo, kita ke pulau di tengah, Liong-ko. Dan kita menyeberang seperti tadi.... ser!" Soat Eng menyambar 'sepatu air'-nya, dua potong papan yang masih tergeletak dan cepat serta indah dia berjungkir balik di atas permukaan air. Lalu begitu dia menggerak-gerakkan sepatunya dan papan di bawah kakinya itu naik turun mirip selancar maka Thai Liong tersenyum dan menyambar potongan papannya pula, berjungkir balik dan hinggap di atas air laut yang tidak bergelombang.

"Ji-twako, baik-baiklah di situ. Kami mau pergi!"

Laki-laki ini tertegun. Soat Eng sudah terkekeh dan meluncur menggerak-gerakkan kedua kakinya, terbang dan cepat sekali gadis itu sudah melesat ke depan. Dan ketika Thai Liong menggerakkan kakinya pula dan tangan terkembang di kiri kanan tubuhnya tiba-tiba pemuda itu pun sudah meluncur dan bermain-main di atas permukaan air laut, tak mempergunakan perahu karena mereka sudah cukup dengan sepasang papan itu, mengerahkan kepandaiannya dan naik turunlah dua kakak beradik itu di tengah laut.

Dan ketika Thai Liong melambai dan berseru agar dia berhati-hati, maka dua putera-puteri Pendekar Rambut Emas yang luar biasa itu telah menyeberang dan mendatangi pulau di tengah, hanya dengan sepasang papan yang ringan dan bekas pecahan perahu!

"Kim-kongcu, hati-hati. Kim-siocia, harap kalian kembali lagi ke tempat ini!"

Thai Liong mengangguk dari jauh. Pemuda itu sendiri sudah mengejar adiknya yang meluncur di depan, dua kakak beradik itu sudah bermain di tengah laut yang dalam. Mereka itu seakan orang yang berjalan di atas air saja. Dari jauh, mereka seakan sepasang dewa-dewi yang lagi turun ke bumi!

Dan ketika dua kakak beradik itu lenyap dan Thai Liong serta adiknya menyeberangi pulau dengan cara yang aneh maka Ji Pin masih termangu-mangu di situ, tak berkejap dan berulang-ulang lelaki itu menghela napas tanda kagum. Apa yang dilihat sungguh tak mungkin ditirukan. Dua kakak beradik itu mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah di atas tokoh-tokoh kelas satu. Dan ketika dia mendecak dan kagum sampai terlongong-longong akhirnya bayangan kakak beradik itu benar-benar lenyap karena mereka sudah mendekati bagian pulau Sam-liong-to yang ada di tengah.

* * * * * * * *

"Hei, jangan buang papan selancarmu, Eng-moi. Taruh dan letakkan di atas batu karang itu!" Thai Liong mendarat di pantai, menyusul adiknya yang sudah mendahului dan berseru agar Soat Eng tidak membuang begitu saja papan yang amat berguna itu.

Mereka sudah melepas papan yang mereka pakai dan Thai Liong meletakkannya baik-baik di atas sebuah batu karang, menyuruh adiknya melakukan hal yang sama dan Soat Eng tertawa, menyambar papannya kembali dan melempar benda itu di atas batu karang dimana kakaknya lebih dulu meletakkan papan selancarnya. Dan ketika mereka mendarat aman dan Thai Liong melihat kiri kanan maka pemuda itu menangkap sesuatu yang menggetarkan, firasatnya bicara.

"Hati-hati, aku merasa sepasang mata mengintai kita."

"Benar, aku juga merasa begitu, Liong-ko. Barangkali gorila itu. Hi-hik, memangnya kenapa? Biar dia keluar, nanti kuhajar!"

"Hm, jangan sembrono, Eng-moi. Tempat ini belum kita kenal baik...."

"Benar, tapi peta di tanganmu itu menjadi penuntun yang baik, Liong-ko. Tak usah khawatir dan mari kita ke hutan itu!" Soat Eng berkelebat, tidak perduli dan tidak takut dan gadis itu tertawa. Halangan di depan dianggapnya main-main, atau mungkin dia malah terangsang untuk menerima bahaya, menerimanya dengan enteng dan kakaknya mengikuti.

Dan ketika dua orang muda itu tiba di mulut hutan maka perasaan Thai Liong semakin tajam, merasa diintai gerak-geriknya dan dia melirik sebuah batu besar. Firasatnya menunjukkan di situlah adanya bahaya. Dan ketika adiknya berhenti dan mengerling memberi tanda tiba-tiba adiknya berkelebat dan berjungkir baiik menuju ke batu besar itu, langsung membentak.

"Grr!..."

Benar saja. Soat Eng, seperti kakaknya telah mencium adanya bahaya itu. Gadis ini tak menunggu diserang melainkan mendahului, mengetahui ada yang mengintai dan cepat gadis itu berpoksai (berjungkir balik) di batu hitam itu. Dan ketika benar saja dia melihat seekor gorila mendekam di situ dan kaget menggeram padanya tiba-tiba dia tertawa dan menghantam tengkuk binatang ini, yang segera diduga sebagai binatang yang diceritakan Ji Pin.

"Liong-ko, binatang ini ada di sini. Lihat...bukk!" pukulan gadis itu mendarat telak, mengenai tengkuk dan binatang itu terpelanting. Hebat pukulan itu, tapi masih lebih hebat lagi binatang tinggi besar ini. Karena begitu dia terpelanting dan memekik kesakitan tiba-tiba dia menggelinding jauh dan sudah berdiri lagi dengan tubuh bergoyang, taringnya diperlihatkan.

"Aih, binatang ini seperti pernah dilatih silat, Liong-ko. Dia mampu menggelindingkan tubuh!"

"Benar, dan hati-hati, Eng-moi. Dia menyerang!"

Soat Eng mengelak. Binatang itu sekarang menubruk dan memperlihatkan giginya yang besar dan kuat, menggeram dan segeralah binatang itu memekik. Dan ketika Soat Eng mengelak dan tubrukannya luput maka binatang itu mengejar danSoat Eng berloncatan, tertawa-tawa dan dia menggerakkan tangannya dua tiga kali. Binatang itu dipukul tapi semua pukulan Soat Eng mental. Gadis ini terkejut dan mengerutkan kening. Dan ketika satu tubrukan kembali dikelit dan binatang itu terhuyung maka Soat Eng menggerakkan kakinya dan sebuah tendangan mengenai pinggang gorila itu.

"Dess!" Binatang ini terlempar. Sekarang gorila itu terguling-guling, memekik dan rupanya kesa kitan. Betapapun tendangan tadi adalah tendangan yang penuh tenaga dan Soat Eog mengerahkan setengah bagian tenaganya, lawan mencelat dan meraunglah binatang itu. Dan ketika Soat Eng mengejar dan satu demi satu tendangan atau pun tamparan tangannya mulai mendarat di tubuh binatang ini maka binatang itu berteriak-teriak dan jatuh bangun, terlempar dan dihajar lagi dan tiba-tiba binatang ini marah.

Binatang itu sekarang menubruk dan memperlihatkan giginya yang besar dan kuat. Dan ketika satu tamparan mendarat di pundaknya dan dia menggeram sekonyong-konyong sebuah gerakan silat ditunjukkan karena secepat kilat hewan itu membungkuk dan lengan Soat Eng disambar.

"Bret!" Soat Eng terkejut. Kakaknya berseru keras memperingatkan dirinya, hampir kalah cepat dan baju Soat Eng robek. Dan ketika gorila itu menyeringai dan baju yang sobek berada di tangannya maka gorila itu menubruk dan ganti menyerang gadis ini, dikelit dan segera tampaklah gerakan-gerakannya yang kaku namun kuat, mencengkeram dan menggereng dan Soat Eng terbelalak. Hewan ini kebal dan semua pukulannya sia-sia, gorila itu memperlihatkan jurus-jurus sederhana namun berbahaya. Dan karena Soat Eng gemas karena berkali-kali pukulannya mental bertemu kulit yang keras akhirnya gadis ini menampar dengan satu Pukulan Petir, Tiat-lui-kang.

"Dess!" Binatang itu menjerit. Untuk pertama kalinya dia terbanting dan tak dapat bangun, Thai Liong terkejut karena menyangka binatang itu sekarat. Tapi ketika binatang itu merintih-rintih dan bangun dengan susah mendadak dia menguik dan terbirit-birit melarikan diri.

"Hi-hik, jangan pergi, binatang siluman. Kau harus menerima lagi sebuah pukulan Tiat-lui-kang ku... dess!" binatang itu terbanting, lagi-lagi tak dapat bangun namun menggeliat susah payah.

Thai Liong memperingatkan adiknya agar tidak membunuh gorila itu, betapapun binatang ini menarik perhatiannya. Dan ketika binatang itu menguik dan bangun dengan berat maka dia lari lagi dengan langkahnya yang kaku, dihajar dan jatuh lagi dan kini Soat Eng mempermainkannya. Ternyata setelah mendapat Tiat-lui-kang gorila itu tak tahan, binatang ini merasa seakan dihantam petir, sebagian bulunya terbakar dan tentu saja dia ketakutan. Dan ketika enam tujuh kali Soat Eng berkelebat dan menghajarnya tiba-tiba binatang itu menguik dan jatuh mendeprok di depan gadis itu, seperti orang berlutut.

"...uik...uik....!"

Soat Eng terkekeh. Tak dapat dikata betapa girangnya dia dapat menundukkan binatang ini, meloncat dan sudah duduk di atas punggungnya. Dan ketika gorila itu diam saja dan dia ingin menggoda maka dia membentak menyuruh binatang itu mencium sepatunya. "Hayo cium sepatuku, kalau kau benar-benar tunduk!"

"Uik...." binatang ini takut-takut, memandang sepatu Soat Eng yang disodorkan kepadanya dan tampaknya dia ragu-ragu.

Soat Eng membentaknya lagi dan kakaknya was-was. Sekali gadis itu digigit barangkali adiknya bisa terluka. Tapi ketika gorila itu mendengus dan mencium sepatu Soat Eng tiba-tiba sepatu itu lepas dan Soat Eng melompat mundur, tertawa, tadi sengaja memberikan sepatunya untuk memancing gerak-gerik gorila itu, menyerangnya atau tidak. Kalau menyerang tentu saja dia akan menghantam tengkuk binatang itu, biar kelengar. Tapi ketika binatang itu tak menyerangnya dan sepatunya benar-benar dicium akhirnya gadis ini berseru agar sepatu itu dipasangkan ke kakinya.

"Nah, sekarang berikan sepatu itu kepadaku, Gosar. Pasangkan di kakiku!"

Aneh, binatang itu rupanya mengerti. Melihat Soat Eng menyodorkan kakinya yang telanjang sambil menunjuk sepatu yang dipegangnya tiba-tiba gorila ini berdiri, maju dan terbungkuk-bungkuk memasangkan sepatu itu di kaki Soat Eng, pas sekali. Dan ketika dia mundur dan menguik perlahan maka Soat Eng percaya bahwa gorila ini sudah dikuasainya.

"Hi-hik, sekarang aku dapat menundukkannya, Liong-ko. Kusuruh apa saja barangkali dia menurut!" Soat Eng meminta sobekan bajunya, diberikan dan segera memerintah ini-itu, tentu saja sambil menuding. Dan ketika gorila itu ngak-nguk ngak-nguk dan benar-benar tunduk luar dalam akhirnya gadis ini menepuk pundak gorila itu dan tertawa berdiri di sampingnya.

"Gosar, sekarang aku majikanmu. Itu Liong-ko, kau harus tunduk kepadanya. Kau mengerti?"

Binatang itu mengangguk-angguk.

"Hm, apa itu Gosar?" Thai Liong bertanya.

"Hi-hik, Gorila Besar, Liong-ko. Kusingkat Gosar. Bukankah kita tak tahu namanya?" dan ketika Soat Eng terkekeh dan geli oleh pemberian namanya ini maka Gosar, gorila itu diam mengangguk-angguk pandang matanya tak buas lagi dan betapa binatang itu amat takut sekali kepada Soat Eng. Namun ketika Thai Liong tersenyum dan geli oleh kenakalan adiknya ini mendadak dari dalam hutan muncul seekor gorila betina yang menggeram-geram.

"Eh, itu yang satu!" Thai Liong menoleh, tertegun oleh larinya gorila betina ini. Lebih kecil namun tetap tergolong besar juga, langkahnya berat namun cepat. Dan ketika Gosar melihat temannya dan bangkit menggerak-gerakkan pundak maka binatang ini mengeluarkan suara aneh dan temannya itu menerjang Thai Liong.

"Awas!"

Thai Liong mengelak. Seruan adiknya tak perlu diulang karena Thai Liong melihat betapa marahnya gorila betina itu. Entah kenapa Gosar, gorila jantan itu mengeluarkan suara berulang-ulang pada temannya. Thai Liong tak mengerti, apa yang dimaksud Gosar pada temannya. Tapi ketika gorila betina membalik dan menyerang lagi maka Thai Liong tertarik untuk menundukkan binatang ini, mengelak dan meloncat ke kiri kanan tapi Soat Eng tiba-tiba membentak, berseru agar gorila jantan menyerang gorila betina. Gosar terkejut dan menguik-nguik, rupanya bingung tapi pandang mata Soat Eng membuat dia gentar. Dan ketika gadis itu mendelik dan menyuruh Gosar menghadapi temannya maka binatang itu melompat dan Soat Eng menyuruh kakaknya minggir.

"Minggir, Liong-ko. Biar Gosar yang menundukkan temannya!"

Thai Liong tertegun. Tadinya dia berlompatan menghindari serangan gorila betina itu, tentu saja mudah baginya dan tak perlu dia takut. Semula dia akan mempermainkan dulu gorila itu baru menundukkannya belakangan, seperti yang tadi dilakukan adiknya. Tapi ketika gorila jantan menyerang temannya dan kini gorila betina itu memekik dan menyambut tiba-tiba Gosar sudah bertarung dan "ngak-nguk-ngik" menghadapi betinanya.

"Bagus, robohkan temanmu, Gosar. Suruh dia menyerah!" Soat Eng terkekeh, girang mempermainkan dua gorila itu dan Gosar tampaknya kebingungan.

Berkali-kali gorila ini memberi tanda pada pasangannya agar menyerah. Thai Liong, terutama Soat Eng bukan tandingan mereka. Gadis itu telah mengalahkannya dan tadi dia dibuat bertekuk lutut. Tapi karena gorila betina rupanya marah dan gusar terhadap temannya maka dua ekor gorila itu akhirnya bertanding dan pukul-memukul, cengkeram-mencengkeram dan Soat Eng terkekeh-kekeh. Thai Liong mengerutkan kening melihat gaya perkelahian dua ekor binatang itu, memperhatikan karena gerak kaki atau tangan mereka berdasarkan ilmu silat, meskipun sederhana. Dan ketika satu saat Gosar berhasil mengangkat temannya dan membanting roboh maka gorila betina memekik dan berdebuk.

"Buk!"

Soat Eng terkekeh-kekeh. Gadis itu menyuruh Gosar menangkap lagi, membanting dan merobohkan lawannya itu. Dan ketika Gosar mengikuti namun pasangannya melawan tiba-tiba Gosar yang diangkat dan ganti dibanting.

"Buk!" Gorila jantan itu menguik. Tadi, entah kenapa tiba-tiba perasaannya melemah. Teman hidupnya ingin membalas dan dia memberikan. Dan ketika Gosar ganti terbanting dan gorila betina menubruk maka Gosar dicekik dan gorila itu bertahan, digigit dan Gosar merintih. Tiba-tiba gorila ini tak membalas dan Soat Eng kaget. Dan ketika satu gigitan melukai pinggir mata Gosar dan gorila jantan ini mengeluh tiba-tiba Soat Eng membentak dan menghantam gorila betina itu, yang ganas dan tidak mengenal ampun.

"Pergi kau... dess!" gorila betina mencelat, terpekik dan kaget dan Gosar bangkit terhuyung. Soat Eng berkelebatan lagi dan menghujani pukulan ke tubuh gorila betina, bertubi-tubi dan menendangnya pula dan gorila itu terkejut, jatuh dan terlempar namun bangun lagi, sama seperti si jantan tadi. Tapi ketika Soat Eng hendak melepas Tiat-lui-kang dan Thai Liong berkelebat tiba-tiba pemuda itu menarik adiknya dan berseru,

"Jangan, biarkan aku yang menundukkan Eng-moi. Coba kugunakan Pek-sian-ciang (Pukulan Dewa Putih)....!" dan Thai Liong yang berjungkir balik dan sudah tiba di depan gorila betina tiba-tiba menangkap tengkuk binatang itu, meremasnya dan gorila betina menjerit. Jari-jari Thai Liong seakan tanggem baja baginya, baru kali itu gorila ini kesakitan. Dan ketika Thai Liong membanting dan menamparnya tiba-tiba gorila itu mengeluh dan terlempar terguling-guling, tak dapat bangun berdiri dan dengan susah payah binatang itu mencoba bangkit, jatuh dan terguling lagi. Dan ketika Thai Liong berkelebat dan menggerakkan dua jarinya tiba-tiba gorila itu tertotok dan roboh tak bergerak.

"Bluk!"

Tersenyumlah pemuda ini. Gorila itu memandangnya marah, menguik lalu menggeram. Matanya bersinar-sinar dan rupanya dia tak puas, barangkali hendak mengatakan bahwa Thai Liong curang. Dan Thai Liong yang tertawa dan membebaskan totokan itu lagi tiba-tiba berkata,

"Kau ingin menyerangku? Boleh, coba kalahkan aku, Gotin. Boleh pukul atau gigit sesukamu!" dan Thai Liong yang tertawa memberikan lengannya tiba-tiba disambar dan digigit binatang itu, mengerahkan sinkangnya dan gorila betina itu seakan menggigit batangan besi, terkejut dan menggeram serta mencakar pemuda itu namun Thai Liong bersiap. Pemuda ini telah melindungi seluruh tubuhnya dengan sinkang, kebal dan dibacok pun pemuda itu tak akan apa-apa. Dan ketika gorila betina itu terkejut dan semakin kaget saja karena cakaran atau gigitannya sia-sia mendadak dia menerkam pemuda itu dan mau membanting.

"Nguk!"

Thai Liong tertawa. Lawan yang menangkap dan mau membantingnya tiba-tiba dbuat terkejut lagi, tubuhnya tak bergeming dan Thai Liong seakan arca batu yang beratnya ribuan kati. Susah payah binatang itu mengangkat namun tak berhasil. Dan ketika dia kebingungan dan firasat kebinatangannya memberi tahu bahwa pemuda yang dihadapi betul-betul tak dapat dikalahkan maka Thai Liong melakukan tamparan Tiat-lui-kang dan gorila itu pun terbanting, kelengar.

"Brukk!" Sekarang gorila ini menguik-nguik. Rintihannya yang mirip rintihan gorila jantan jelas menunjukkan kekagetan binatang itu, di samping ketakutannya. Dan ketika Thai Liong tertawa dan menepuk pundaknya maka binatang itu mengeluh dan roboh terbungkuk, jatuh atau menjatuhkan diri berlutut.

"Ha-ha, kau sudah menyerah, Gotin? Kau sudah mengakui kelihaianku?"

"Nguk... nguk...." gorila itu mengangguk, mengerti. Dan ketika Thai Liong memberikan lengannya lagi namun binatang itu tak berani menggigit maka Soat Eng melompat maju bertanya,

"Eh, apa itu Gotin, Liong-ko? Nama aneh apa ini?"

"Ha-ha, Gotin adalah Gorila Betina, Eng-moi. Kusingkat seperti tadi kau menamakan gorila jantan itu. Bukankah bagus?" dan ketika adiknya melengak dan tertawa pemuda ini berkata lagi. "Sekarang kita sama-sama memberikan nama pada pasangan gorila ini. Kau memanggilnya Gosar sedang aku Gotin, atau Tin Tin. Yang laki Gosar sedang yang betina Tin Tin. Ha-ha, lucu. Bukankah bagus, Eng-moi? Sekarang kita memiliki binatang peliharaan. Hayo bangun!"

Dan Thai Liong yang menyuruh Tin Tin bangun tiba-tiba diturut dan gorila itu bangkit, berkedip dan takut-takut dan gorila jantan mengeluarkan suara senang. Si jantan ini rupanya lega bahwa betinanya tak menyerang lagi, mereka memiliki dua orang majikan dan Soat Eng terkekeh. Dan ketika gadis itu ingin mencoba dan menepuk gorila betina maka gadis ini berseru,

"Hei, kau kenal aku, Tin Tin? Aku adik Liong-ko, kau harus tunduk pula padaku!"

"Nguk-nguk..." gorila ini menjawab, mengerti dan mengangguk dan Soat Eng pun geli. Tentu saja senang menjadi majikan dua ekor gorila penghuni Sam-liong-to, yang jelas bukan gorila sembarangan karena mereka rupanya dulu pernah dipelihara seseorang, entah siapa. Dan ketika gadis itu tertawa dan memuji serta main-main dengan gorila betina maka Thai Liong berkata bahwa Istana Hantu harus ditemukan.

"Sekarang Tin Tin dan Gosar menjadi pembantu kita. Barangkali mereka dapat menjadi penunjuk jalan."

"Eh, nanti dulu. Bagaimana kalau Ji Pin tahu, Liong-ko? Bukankah gorila-gorila ini membunuh temannya?" gadis itu teringat.

"Hm, keganasan mereka adalah keganasan wajar seekor binatang, Eng-moi. Rupanya bertahun-tahun binatang ini tak bertemu manusia, dan mereka juga tampaknya kelaparan. Tidakkah kau lihat nafsu membunuh mereka yang besar?"

"Benar, dan orang seperti Ji Pin memang tak mungkin menundukkannya, Liong-ko. Tapi susah juga kalau orang itu tahu Gosar dan Tin Tin sudah menjadi pembantu kita!"

"Sebaiknya kita jelaskan nanti, urusan itu mudah!" dan Thai Liong yang tersenyum menepuk gorila betina tiba-tiba mengajak keduanya memasuki hutan, berjalan dan mulailah Thai Liong melihat kera-kera yang bercecowetan, bergelantungan dan lari dari satu pohon ke pohon lain, semuanya seakan menjauh begitu melihat dua gorila yang menggeram dan memandang mereka penuh ancaman.

Dan ketika dua gorila itu masih mengikuti Thai Liong dan Thai Liong mulai membuka peta mencari di mana istana itu maka Soat Eng juga menjumpai ular-ular besar kecil di atas pohon, juga beberapa harimau atau hewan lain yang tıba-tiba menyingkir, melarikan diri. Mereka tampaknya takut tapi juga heran melihat dua gorila ini bersahabat dengan manusia, Thai Liong dan adiknya itu. Dan ketika mereka masuk semakin dalam dan hutan juga mulai gelap maka Tin Tin dan gorila jantan mulai menguik, berhenti.

"Ada apa?" Thai Liong mengerutkan kening. "Kalian mau apa?"

Dua gorila itu menggeram lirih, memandang satu tempat dan Soat Eng meloncat maju. Kakaknya telah membawa mereka di tempat yang penuh batu dan agaknya dua gorila ini mau memberitahukan sesuatu, tak dapat dan jadilah komunikasi sepihak. Dan ketika dua gorila itu ngak-nguk-ngak-nguk gelisah maka Soat Eag sudah di samping kakaknya.

"Percuma mengajak bicara, mereka tak bakalan mampu menjelaskan. Sebaiknya kau ceritakan di mana kita sekarang ini, Liong-ko. Dan masih berapa jauh lagi Istana Hantu itu!"

"Hm, kita di mana aku juga tak jelas, Eng-moi. Hanya peta ini memberi tahu kita bahwa kita harus mencari sebuah guha bawah tanah...."

"Guha bawah tanah? Istana itu di sana?"

"Mungkin. Lihat sekeliling kita pohon melulu, Eng-moi. Dan baru di tempat ini ada bebatuan. Kalau tidak salah kita sudah di sebelah kanan matahari."

"Bagaimana kau tahu?"

"Bayangan kita, bukankah miring ke kanan?"

"Hm, benar. Jadi kalau begitu kita di utara pulau, Liong-ko. Dan kita sudah cukup jauh maju!"

"Ya, dan kita mencari guha ini, mendapatkan tanda-tandanya. Tentu guha itu sudah tertutup semak belukar dan barangkali kita harus mengorek-ngorek...." Thai Liong menghentikan kata-katanya, telinga bergerak karena tiba-tiba mereka mendengar suara berkeresek. Seekor kelinci melompat dan Soat Eng tertegun, mengira bahaya tapi tak tahunya kelinci hutan. Maka begitu tertawa dan menendang batu tiba-tiba gadis itu menghajar kelinci ini yang menguik dan tewas seketika dengan kepala pecah.

"Ah, kenapa kau bunuh?" kakaknya menegur.

"Hi-hik, aku jadi lapar, Liong-ko. Dan kelinci itu juga telah mengagetkan kita!" Soat Eng berkelebat, menyambar kelinci ini dan segera dia tertawa-tawa. Kelinci yang dibunuh membuat Thai Liong mengerutkan kening tapi gadis itu tak perduli, malah menyambar ranting kering dan siap membuat api anggun. Dan ketika Thai Liong terbelalak dan adiknya tertawa-tawa maka Soat Eng membuat api dan minta berhenti dulu di situ.

"Aku lapar," katanya. "Tidakkah kau ingat berapa lama kita melakukan perjalanan?"

"Hm...!" Thai Liong tersenyum kecut. "Kau membuyarkan konsentrasiku, Eng-moi. Sungguh-sungguh aku memperhatikan peta tiba-tiba kau mengajak makan!"

"Habis, aku lapar, Liong-ko. Dan kebetulan juga lama tidak menikmati daging kelinci. Eh, kau mau, bukan? Atau membiarkan aku makan sendiri?"

Thai Liong tertawa, meloncat di dekat adiknya dan segera dia membantu adiknya itu. Adiknya sudah membuat api dan dia diminta menguliti kelinci itu, baru sebagian dan seekor kelinci lain tiba-tiba melompat, kaget dan Soat Eng sudah merobohkan kelinci ini pula. Dan ketika Tin Tin dan pasangannya ngak-nguk-ngak-nguk tak berani mendekat maka Soat Eng melempar kelinci kedua itu pada kakaknya, untuk dikuliti, menyuruh dua ekor gorila itu menyingkir dulu.

"Kalian beristirahatlah, jangan jauh-jauh."

Aneh, sepasang gorila ini mengerti. Mereka menjauh dan Soat Eng sudah duduk di dekat kakaknya, memanggang kelinci yang sudah dikuliti. Dan ketika gadis itu tertawa dan kakaknya tersenyum maka dua muda-mudi ini menikmati santapannya sambil bicara ngalor-ngidul. Soat Eng pada makanannya, sedangkan Thai Liong pada istana yang belum ditemukan. Nyatalah, pemuda itu masih terpusat perhatiannya pada Istana Hantu daripada makanan, hal yang membuat adiknya geli. Maklum, mereka jadi bertolak belakang. Dan ketika kelinci hampir habis dan Soat Eng membuang tulang-tulangnya mendadak gadis ini bangkit berdiri, berkata tertawa,

"Eh, kau ini luar biasa, Liong-ko. Di saat makan pun kau tak dapat melupakan Istana Hantu. Memangnya istana itu tak dapat kita temukan? Kita sudah di sini, Liong-ko. Sam-liong-to sudah ketemu dan peta juga sudah ada di tangan!"

"Benar, tapi sebelum menemukan istana itu sendiri aku tak akan sudah membicarakannya, Eng-moi. Aku tertarik dan sungguh-sungguh penasaran ingin mencarinya."

"Bukan kau saja!" adiknya mencela. Aku juga kepingin melihatnya, Liong-ko. Dan aku tak akan pulang kalau belum menemukan istana itu!"

"Hm, kita harus hati-hati, Eng-moi. Dan aku merasa sesuatu yang dingin. Eh, kau merasakan perobahan ini?" Thai Liong tiba-tiba bangkit berdiri merasa angin berkesiur tajam dan dua gorila yang tadi menghilang mendadak muncul lagi. Mereka ngak-nguk dengan muka gelisah, lari dan tersuruk-suruk menuju dua kakak beradik itu. Dan ketika Soat Eng juga merasakan angin yang bertiup tajam tiba-tiba tanah yang mereka injak bergetar.

"Apa ini, Liong-ko?" Soat Eng terkejut.

"Entahlah, hanya aku merasa sesuatu yang lain, Eng-moi. Perubahan suhu terjadi di sini. Eh, pohon itu bergoyang-goyang!" Thai Liong terbelalak, melihat pohon di sekitar mereka bergerak dan bumi pun bergetar dua tiga kali.

Tin Tin dan pasangannya mengeluarkan suara menguik dan kini dua ekor gorila itu berputar-putar. Aneh, mereka tiba-tiba ketakutan. Dan ketika bumi kembali bergetar dan Thai Liong kaget tiba-tiba pemuda ini berseru,

"Gempa!"

Soat Eng terkesiap. Angin yang berkesiur dingin sekonyong-konyong menerpa kencang, dan bersamaan dengan itu mendadak dua gorila di samping mereka terguling. Gempa, yang menggetarkan mereka tiba-tiba datang. Soat Eng baru sadar setelah kakaknya tadi berseru. Dan ketika angin bertiup kencang dan tanah yang mereka injak bergoyang-goyang maka semua pohon di situ berderak-derak dan gadis ini kaget, tergelincir dan hampir dia jatuh dan kakaknya menyambar dirinya, mencari tempat berlindung namun kebingungan.

Gosar dan pasangannya menguik-nguik dan panik, gempa semakin kuat dan terdengarlah, kini suara gemuruh di sekeliling mereka, kian lama kian kuat dan dua gorila itu sudah jatuh terbanting, berpelukan dan mereka mengeluh panjang pendek meminta tolong. Semua hewan di hutan tiba-tiba keluar, kera-kera bercecowetan sementara harimau mengaum-ngaum.

Dan ketika pohon-pohon mulai roboh dan satu dua berdebum di tempat itu maka Thai Liong pucat menghadapi kekuatan alam ini, melihat dua ekor gorila itu berlarian dan mereka pun keluar hutan. Kegaduhan dan kebisingan tiba-tiba melanda tempat itu. Thai Liong memanggil pasangan gorila itu namun Gosar dan temannya sudah terbirit-birit. Dan ketika pemuda itu kebingungan dan berteriak melawan gemuruhnya angin tiba-tiba sebatang pohon roboh di dekatnya.

"Bumm.....!"

Thai Liong meloncat ke kiri. Pemuda ini pucat melihat tanah yang tiba-tiba merekah, begitu saja di depannya. Dan ketika dia berteriak dan menyuruh adiknya berpegang erat-erat, tiba-tiba bumi kembali bergetar dan mereka pun jatuh, terpeleset dan Thai Liong panik mencari tempat aman. Dia berjungkir balik ke atas pohon namun pohon itu pun bergoyang-goyang, Soat Eng khawatir kalau pohon itu roboh. Dan ketika benar saja pohon itu roboh disusul gemuruhnya suara yang menyeramkan maka gadis ini berseru agar mereka keluar hutan.

"Keluar.... kita keluar! Jangan tinggal di sini lagi!"

"Tak bisa!" kakaknya berteriak. "Aku tak tahu jalan keluar, Eng-moi. Gosar dan Tin Tin telah meninggalkan kita. Kita terjebak!"

"Keparat, mana dua binatang jahanam itu? Kenapa kau tadi tak mencegahnya?"

"Sudahlah, tak perlu marah-marah, Eng-moi. Kita selamatkan diri saja dan hindari pohon-pohon tumbang...bum!" Thai Liong menghentikan kata-katanya, berjungkir balik karena sebatang pohon hampir menimpanya. Pemuda ini pucat menyelamatkan diri, lari dan mengajak adiknya ke sana-sini. Tapi karena gempa terus bergerak dan tanah selalu bergoyang-goyang maka Thai Liong gugup sementara tanpa terasa laut di sekeliling pulau membuih, bergelombang, terdengar suara-suara bergemuruh dari perut bumi dan Thai Liong terpelanting dua kali ketika terpeleset.

Soat Eng juga dua kali dan gadis itu pun pucat. Sekarang terasa seluruh pulau bergetar dan ke mana pun mereka lari tetap saja gempa mengikuti. Mereka tak tahu bahwa pulau ini sedang diserang letusan-letusan kecil. Secara aneh dan mentakjubkan pulau itu naik ke atas, sebuah gunung berapi akan naik ke permukaan dan ini semua dimulai dengan gempa.

Dan ketika dua orang itu panik dan hewan serta isi hutan menjerit tak keruan maka Thai Liong dan Soat Eng terjebak di dalam hutan, tak ingat lagi pada peta dan bayangan Istana Hantu juga dilupakan. Saat itu mereka jatuh bangun diguncang gempa. Sam-liong-to sedang bergerak dan pulau itu sebenarnya gunung berapi. Dan ketika letusan kecil berubah menjadi letusan besar dan tiba-tiba pulau bagian tengah meninggi dan membentuk kerucut tiba-tiba saja suara menggelegar membuat dua muda-mudi ini terlempar.

"Blarr!" Tampaklah kilatan api di udara. Thai Liong dan Soat Eng yang terpekik melihat itu mendadak menyadari bahwa mereka berada di sebuah gunung berapi, mendengar lagi suara menggelegar disusul muncratnya debu dan bebatuan. Sam-liong-to "batuk" dan baru sadarlah mereka bahwa pulau itu bukan sembarang pulau, melainkan gunung berapi yang tercipta di dasar lautan.

Dan ketika pasir dan batu dimuntahkan ke atas untuk akhirnya jatuh lagi ke bumi maka dua kakak beradik ini gentar dan ngeri melihat kedahsyatan alam, berteriak dan Soat Eng jatuh bangun menyambar kakaknya. Sekarang terlihatlah rasa ngeri dan takut di hati gadis ini, Thai Liong mengajaknya berlindung di mana saja, di pohon atau batu-batu besar, setiap kali harus menyingkir kalau batu atau pohon itu roboh, berderak atau berdebum di samping mereka.

Maklum, tanah sedang bergerak dan berkali-kali mereka melihat bumi yang merekah yang siap menelan mereka. Sekali terpelanting dan jatuh ke situ tentu lenyaplah mereka. Rekahan bumi seakan tanah kuburan yang siap memangsa mereka. Dan ketika suara letusan atau gelegaran itu disusul oleh bunyi aneh dari lautan yang kembali buas maka Soat Eng gemetar memegang lengan kakaknya.

"Celaka, kita akan mati di sini, Liong-ko. Kita bisa terkubur hidup-hidup!"

"Tenanglah, kalau gempa atau letusan ini terus-menerus memang kita akan tewas, Eng-moi. Tapi kukira ini kejadian alam yang sebentar saja."

"Bagaimana kau tahu?"

"Kira-kira saja, Eng-moi. Biasanya gunung berapi yang baru tercipta tak akan lama amukannya."

"Tapi aku takut....!"

"Ada aku di sini, Eng-moi. Tenanglah!" dan Thai Liong yang terus menghibur adiknya sambil mendengarkan suara gemuruh akhirnya mendengar suara bercuitan pula di laut, melihat gelombang yang tinggi dan tiba-tiba pemuda itu tertegun. Pulau yang terus bergerak naik akhirnya membuat mereka berdua berada di tempat yang lebih tinggi, kebetulan melihat gelombang pasang yang dahsyat sekali, debur atau buih ombak yang jauh lebih ganas daripada yang mereka alami.

Mengertilah Thai Liong bahwa kiranya badai atau topan yang mereka alami pertama adalah tanda akan munculnya gempa dan kegaduhan semua ini, bekerjanya gunung di dasar laut dan naiknya pulau Sam-liong-to. Berharap mudah-mudahan semuanya itu tidak berlangsung lama. Betapapun lebih dari tiga jam saja mereka bisa tewas, guguran dan jatuhan batu-batu yang dilemparkan gunung berapi itu cukup banyak, belum debunya yang berhamburan ke segala penjuru.

Dan ketika langit menjadi gelap dan Sam-liong-to terus bergerak dengan guncangan gempanya yang bertubi-tubi maka dua kakak beradik ini jatuh bangun dipermainkan kedahsyatan alam, melihat semburan api dan kilatan cahaya di angkasa. Indah namun menyeramkan! Dan ketika sejam kemudian semua suara-suara itu mereda dan kakak beradik Ini seakan lumpuh dicekam kejadian itu maka tiga puluh menit kemudian suara-suara ini lenyap namun mereka melihat sesuatu yang mentakjubkan disana, di sebelah kiri mereka di mana tiba-tiba muncul sebuah atap bangunan.

Mula-mula Thai Liong terbelalak, mengira mimpi. Matahari yang bergeser ke barat akhirnya menembus gumpalan debu yang membentuk semacam awan hitam, lorongnya keemas-emasan dan tepat sekali jatuh di atas bangunan ini, yang juga menjadi keemas-emasan dan sinarnya berkilauan memantul ke segenap penjuru. Thai Liong terpusat perhatiannya karena itulah yang pertama kali dilihat, tidak seperti adiknya yang sedang memandang ke kanan, melihat bergelimpangannya binatang-binatang yang tewas dan harimau serta kera terjepit di antara tumpukan batu-batu besar.

Soat Eng melihat semuanya itu dan tertegun, memberi tahu kakaknya tapi jadi bengong ketika menoleh, mengamati puncak bangunan yang keemasan itu, indah tertimpa sinar matahari yang membentuk lorong kekuningan. Dan ketika dua kakak beradik itu jadi terpusat perhatiannya ke sini dan Soat Eng bengong memandang itu tiba-tiba gadis ini meloncat dan berseru,

"Istana Hantu!"

Thai Liong terkesiap. Tanpa terasa ia mengangguk dan mengiyakan, sudah menduga tapi adiknya lebih dulu berseru. Dan ketika adiknya melonjak dan terdengar suara menguik di belakang mereka maka Gosar dan Tin Tin muncul, basah kuyup bermandi keringat, tak diperdulikan gadis ini karena tiba-tiba Soat Eng berteriak girang, berkelebat dan menuju ke atap bangunan itu. Dan begitu gadis itu berseru mendahului kakaknya tiba-tiba Soat Eng melupakan puluhan hewan-hewan yang tak bernyawa untuk terbang menuju ke tempat ini, yang tak jauh dari mereka.

"Liong-ko, kita menemukan Istana Hantu. Istana itu di bawah tanah, hayo kita lihat....!"

Thai Liong menggerakkan kaki. Melihat adiknya berteriak menghambur ke tempat itu tiba-tiba pemuda ini berkelebat dan menyusul. Adiknya sudah mendahului dan lupa pada sekitar. Bongkahan bumi yang merekah dilompati begitu saja seakan terbang, sekali terjeblos adiknya bisa celaka. Maka berteriak memperingatkan adiknya pemuda ini menyusul dan berseru, "Eng-moi, hati-hati. Kita belum mengenal bangunan itu!"

"Ah, itu Istana Hantu, Liong-ko. Ini istana yang kita cari-cari....!"

"Benar, tapi jangan masuk dulu, Eng-moi. Tunggu aku!" dan Thai Liong yang berkelebat menyambar adiknya akhirnya tak memperbolehkan adiknya bersikap sembrono, terbang berendengan kakak beradik itu akhirnya tiba di tempat ini.

Atap bangunan yang muncul sekarang terlihat lebih jelas lagi, muncul dari permukaan tanah dan tanpa sengaja mereka bisa mendapatkannya lebih mudah. Dulu Ji Pin dan temannya tak berhasil mencari karena istana ini ternyata terpendam, harus dicari dan mungkin mereka harus menemukan jalan yang lain, memasuki guha bawah tanah seperti yang dicari-cari Thai Liong, putera Pendekar Rambut Emas ini.

Dan karena gempa serta tanda-tanda munculnya gunung berapi telah mengangkat naik permukaan pulau Sam-liong-to tak kurang dari tiga meter maka istana yang berada di dalam tanah itu muncul, mencuat dan atap bangunannya terlihat putera-puteri Pendekar Rambut Emas itu. Thai Liong dan adiknya sudah tiba di tempat ini, berhenti dan berada di wuwungan bangunan itu, yang dapat diduga sebagai atap atau puncak Istana Hantu. Dan begitu mereka berhenti dan Soat Eng terkekeh gembira tiba-tiba gadis itu melihat sebuah lubang di atap bangunan, yang sedikit retak akibat gempa.

"Kita masuk...!"

"Nanti dulu!" sang kakak menyambar. "Jangan sembrono, Eng-moi. Hati-hati!" dan suara ngak-nguk di belakang yang segera disusul dengan munculnya sepasang gorila itu akhirnya membuat Thai Liong menoleh dan melihat gorila jantan serta betina terengah-engah, memberi tanda dengan menggerak-gerakkan jari seakan mencegah mereka masuk.

Thai Liong maupun Soat Eng tak mengerti tapi begitu kakaknya lengah tiba-tiba gadis ini menarik tangannya, lepas dan mamberosot memasuki lubang atau celah di puncak bangunan itu. Tapi baru sebagian kakinya masuk dan terdengar suara gemeratak dari dalam tiba-tiba menyambar tiga panah kecil ke tubuh gadis itu.

"Hayaa.....!" Soat Eng berjungkir balik. Gadis ini berteriak kaget dan keluar kembali, panah menyambar Thai Liong dan pemuda itu membentak, menggerakkan tangan menyampok. Dan ketika suara di dalam lenyap dan tiga panah itu runtuh ke tanah maka Soat Eng sudah melayang turun sementara kakaknya mengusap keringat, menegur.

"Lihat, hampir kau membawa celaka, Eng-moi. Kau terburu-buru dan gegabah!"

"Maaf," gadis itu merah mukanya. "Aku tak menyangka, Liong-ko. Dan sekarang biarlah aku menurut padamu!"

"Hm,..." Thai Liong yang tidak menegur adiknya lagi lalu memungut tiga panah kecil itu, mengamatinya dan melihat bahwa panah-panah ini beracun, ujungnya mengkilap kebiruan dan hal itu ditunjukkannya kepada adiknya. Dan ketika Soat Eng mengangguk dan meminta maaf maka Tin Tin dan gorila jantan menggaruk-garukkan kaki, ngak-nguk.

"Mereka ini memberi isyarat, menuding-nuding. Apakah minta agar kita tidak memasuki istana ini?"

"Ah, tak perlu digubris. Kalau sembrono seperti aku mungkin begitu, Liong-ko. Tapi kau mempunyai peta. Sebaiknya lihat peta itu dan kita masuk melalui jalan yang benar!"

Thai Liong tertegun. Sekarang dia teringat bahwa peta memang ada di tangannya, cepat merogoh dan mengeluarkan benda itu. Dan ketika dia membuka dan memperhatikan garis-garis di peta maka gorila betina mendengus-dengus di belakangnya, mengganggu dan gorila jantan juga menguik-nguik. Aneh dua binatang itu. Mereka gelisah dan berkali-kali menoleh ke belakang. Dan ketika Thai Liong mengerutkan kening dan Soat Eng jengkel maka gadis itu membentak agar dua gorila ini menjauh.

"Pergi kalian, jangan mengganggu!"

Dua binatang itu mundur. Thai Liong tak tahu bahwa dengan firasatnya yang tajam luar biasa binatang itu hendak memberi tahu mereka bahwa seseorang mendatangi pulau, masih jauh di lautan. Bahwa di tengah lautan sedang terombang-ambing sebuah kapal besar, diamuk gempa dan badai dan mereka itu akan terdampar di Sam-liong-to, atau mungkin sengaja akan datang di pulau itu, mencari-cari Sam-liong-to seperti halnya Ji Pin dan temannya.

Dan ketika dua binatang itu menjauh dibentak Soat Eng maka gadis ini mengamati bersama kakaknya, melihat peta dan segera ditemukan jalan masuk, berliku dan berlorong dan semuanya itu dimulai dari bawah laut, yakni dipesisir di mana mereka harus mencari teluk kecil. Thai Liong telah melihat teluk ini namun tadi tak memperhatikan, yakni teluk yang melekuk ke dalam di sebelah selatan pulau. Dan begitu Thai Liong tertegun dan melipat peta maka adiknya berseru menahan gemas,

"Wah, kita harus menyelam. Memasuki Istana Hantu berarti dimulai dengan pakaian basah kuyup di bawah laut!"

"Benar, dan ada guha di bawah teluk itu, Eng-moi. Kita harus ke sana untuk akhirnya tiba di sini lagi."

"Dan berenang seperti ikan?"

"Eh, kau mau, bukan? Ini jalan paling aman, Eng-moi. Pantas Istana Hantu tak terlihat dari atas karena istana itu terpendam!"

"Ya, dan kita akan mulai dari bawah, menyusur dan menyelam. Eh, aku mau, Liong-ko. Dan kau akan menjadi penunjuk jalan, bukan? Ayo, kita ke sana. Aku tak sabar!" dan Soat Eng yang berkelebat menuju teluk tiba-tiba menyambar kakaknya dan meninggalkan puncak bangunan itu, tak mau sembrono dan kakaknya mengangguk.

Menurut peta mereka harus menyelam dan mencari guha bawah laut, di situlah mereka akan naik dan memasuki Istana Hantu. Dan karena mereka sudah mengetahui teluk yang dimaksud dan tanda-tanda atau rahasia peta harus dipecahkan sendiri maka Thai Liong berkelebat dan bersama adiknya menuju ke teluk itu, tiba di sini dan mereka mencari sebuah batu besar. Di bawah batu itulah katanya terdapat guha bawah laut, jadi batu itu sendiri mungkin bagian atasnya dan Soat Eng girang, meloncat dan sudah bersiap di atasnya. Tapi sebelum dia terjun dan mendahului kakaknya tiba-tiba Thai Liong berkata bahwa dia akan menyelidiki dulu.

"Sebaiknya kau di sini, menunggu. Biar aku yang menyelam dan melihat apakah benar guha itu ada atau tidak."

Lalu tidak menunggu adiknya membantah Thai Liong mencebur dan terjun kelaut, menyelam berenang dan adiknya menjaga. Soat Eng memang tak dapat mendahului lagi karena kakaknyu sudah meloncat lebih dulu, mereka berdua dapat berenang dan tidak takut di air. Dan ketika Soat Eng menunggu kakaknya sementara Thai Liong sendiri menyelam dan sudah mencari guha bawah laut maka pemuda itu berenang dan menahan napas sambil mengamati, tak lama kemudian menemukan guha itu dan semacam terowongan atau guha bawah laut terlihat, didekati dan pemuda ini sudah masuk ke dalamnya. Tapi baru setombak dia masuk tiba-tiba berkelebat bayangan seekor hiu yang langsung menyerangnya.

"Plak!" Thai Liong menampar. Hiu dibuat terpental dan binatang itu terdorong jauh, lari namun dua ekor binatang lain muncul, hiu yang lebih besar. Tapi begitu Thai Liong mendorong dan menggerakkan tangannya lagi maka dua ekor binatang buas itu dapat diusir dan pemuda ini masuk ke dalam, mendapat kenyataan bahwa guha bawah laut itu dalam, kian jauh kian ke atas. Dan ketika dia hampir tiba di tempat di mana air setinggi lutut mendadak sebuah belalai panjang melibatnya dari samping.

"Gurita!" Thai Liong terkejut. Seekor gurita besar menjaga di mulut guha yang mulai dangkal, cepat sekali belalai yang lain bergerak dan melingkari tubuhnya. Thai Liong terkejut namun tidak panik, tangannya bergerak dan sekali remas dia menghancurkan sepasang belalai yang menggubat lengannya. Dan ketika gurita itu kesakitan dan Thai Liong menggerakkan tangan yang lain akhirnya belalai gurita itu putus semua namun gurita itu mengeluarkan cairan hitam dari bawah tubuhnya.

"Push!" suara ini seperti kentut. Cairan hitam yang keluar dari bagian tubuh bawah gurita diiringi bunyi menggelutuk di dalam air. Gurita itu lari dengan kesakitan, belalai-belalainya yang putus diremas Thai Liong membuat binatang itu takut.

Tapi ketika Thai Liong tersenyum dan lengah terhadap cairan hitam ini mendadak kepalanya pening dan Thai Liong seakan tercekik tenggorokannya oleh sesuatu yang berat, tersentak dan sadarlah pemuda itu bahwa racun yang aneh menyerangnya; kulit menjadi gatal-gatal dan saat itu juga dia seakan mendengar bunyi mendengung. Telinganya sakit dan cepat Thai Liong berenang ke atas, menuju tempat dangkal di mana air laut tak membasahi tempat itu. Dan begitu dia tiba di sini dan gugup serta pucat tiba-tiba Thai Liong terjatuh.

"Ah, tinta beracun!" Thai Liong teringat, pernah mendengar hal semacam itu pada seekor cumi-cumi. Tak ayal pemuda ini mengambil obat dan menelan sebutir, obat penawar racun. Dan ketika peningnya hilang dan rasa gatal juga lenyap maka Thai Liong bergidik namun lega, duduk terengah dan cepat bersila. Betapapun dia harus mengerahkan sinkangnya melindungi diri, sisa-sisa racun harus dikeluarkan dan beberapa menit kemudian barulah dia benar-benar merasa sehat.

Dan ketika Thai Liong bangkit berdiri dan mengamati guha lebih jauh ternyata ada tangga berbatu yang terus naik ke atas, samar-samar dan suram dan Thai Liong merasa cukup. Tugasnya hanya menyelidiki apakah guha bawah laut benar-benar ada di situ, selebihnya akan dikerjakannya bersama adiknya. Dan karena ruangan itu gelap dan harus menyiapkan obor maka Thai Liong kembali lagi dan muncul di tempat di mana adiknya menunggu, basah semua, dengan muka yang berseri-seri.

"Ada!" seruan ini menggirangkan adiknya. "Guha itu ada di sana, Eng-moi. Tapi kita siapkan kayu bakar dan api!"

Soat Eng terbelalak. "Apa saja yang kau lihat?"

"Ah, seekor gurita, Eng-moi, juga hiu. Tapi mereka sudah kuusir pergi dan aman!" pemuda ini meloncat naik, menceritakan pada adiknya dan Soat Eng berseri-seri.

Apa yang diceritakan kakaknya tidak membuatnya takut. Maka begitu kakaknya selesai bercerita dan keinginannya tak dapat ditunda tiba-tiba gadis ini ingin terjun dan menyelam ke bawah laut.

"Tunggu, nanti dulu, Eng-moi. Kita harus menyiapkan kayu bakar untuk obor!"

"Eh, tempat itu gelap?"

"Benar, dan dingin!"

"Ah, gampang, Liong-ko. Ini ada obor untuk itu. Tapi bagaimana supaya tidak basah?"

"Serahkan padaku... slup!" dan Thai Liong yang membuka mulutnya menyembunyikan ujung bambu tiba-tiba tertawa dan mengajak adiknya terjun, kini meloncat dan Soat Eng pun terkekeh.

Obor sudah ada di tangan dan tinggal menghidupkannya saja, nanti kalau didalam guha. Dan begitu kakaknya terjun dan menyelam segera gadis ini mengikuti, tak tahu bahwa sebuah kapal sudah merapat dan Sam-liong-to kedatangan tamu, menyelam dan berenang mengikuti kakaknya itu. Dan begitu kakak beradik ini menghilang dan lenyap di bawah laut maka Thai Liong sudah menuntun adiknya ke guha terowongan, bebas dari segala pengganggu karena pemuda itu telah mengusir penghalang di depan. Tiga ekor hiu dan seekor gurita telah dibuatnya ketakutan. Dan ketika sekejap kemudian pemuda ini telah memasuki terowongan itu dan terus menyusur untuk akhirnya sampai di tempat menanjak di mana guha sudah tak dibasahi air laut lagi maka pemuda itu tertawa menarik obor yang dihisap di mulut.

"Nah, kita sampai. Inilah guha atau terowongan menuju istana itu!"

Soat Eng tertegun. Tempat itu gelap, dia agak kedinginan namun cepat mengerahkan sinkang, menghangatkan diri sendiri dan kakaknya sudah di tangga batu itu. Soat Eng melihat betapa sebuah undak-undakan akan membawa mereka ke dalam, suram dan samar-samar namun mata mereka yang tajam dapat menembus semua kegelapan itu, maklumlah, mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Dan ketika kakaknya menyalakan obor dan tempat itu jelas tiba-tiba Soat Eng berteriak karena di atas kepala kakaknya terdapat sebuah tengkorak yang mati menggantung.

"Heii.....!"

Thai Liong menoleh. Pandangan adiknya yang ngeri dan kaget membuat dia juga ikut kaget. Tangan bergetar dan siap menampar, mengira ular atau benda berbahaya, yang akan menyerangnya. Tapi begitu tertegun melihat tengkorak ini maka dia pun ganti terkejut melihat di atas kepala adiknya juga terdapat sebuah tengkorak lain.

"Itu juga!"

Soat Eng meloncat. Gadis ini terkesiap dan berseru tertahan, membalik dan melihat tengkorak itu. Tapi ketika kakaknya tertawa dan menuding sana-sini ternyata di mana-mana hampir terdapat tengkorak manusia.

"lh!" gadis itu merasa seram. "Tempat ini seakan tempat hantu, Liong-ko. Menyeramkan sekali!"

"Jangan takut. Kita memang memasuki Istana Hantu, Eng-moi. Bukankah wajar dan masuk akal juga? Sudahlah, kau tak takut, bukan?"

"Tidak, aku tidak takut. Hanya merasa seram!"

"Hm, aku juga. Tempat ini dingin menyeramkan, tapi kita tak usah gentar. Ayo naik!" dan Thai Liong yang mengajak adiknya masuk dan menaiki tangga batu mulai berjalan dan hati-hati mengamati sekeliling, perlahan tetapi pasti mulai berjalan dengan obor di tangan.

Meskipun mereka memiliki mata yang tajam namun sebaiknya ada penerangan juga di situ. Mata hanya dapat dipergunakan secara terbatas, jarak jangkauannya tak akan lebih panjang dibanding dengan api penerangan. Dan ketika setapak mereka mulai maju dan tangga berbatu mulai diinjak maka, suara berkerasak terdengar di bawah kaki di mana tangga tiba-tiba seakan bergetar, ruangan itu memantulkan balik suara mereka sendiri, bunyi mencicit tiba-tiba terdengar di sana-sini dan Soat Eng pucat. Dan ketika satu saat kaki kirinya serasa diterjang seekor tikus besar di mana tikus itu juga menggigitnya maka gadis ini berteriak dan kakaknya terkejut.

"Ada apa?"

"Tikus! Kakiku digigit tikus, Liong-ko. Jahanam keparat!"

"Ah," kakaknya tertawa. "Jangan marah-marah di tempat seperti ini. Eng-moi. Kendalikan rasa ngerimu dan jangan bikin aku kaget."

"Hm, mana bisa binatang menjijkkan itu tak membuatku ngeri? Kakinya merayap dingin, Liong-ko. Dan tubuhnya basah serta licin!"

"Sudahlah, kau berpegangan tanganku," dan Thai Liong yang tersenyum menyabarkan adiknya lalu mengajak adiknya menyusuri lorong itu, mulai memasuki lagi sebuah ruangan dan di sana-sini tampak bayangan gelap dari dinding atau ruangan yang setengah terbuka, dapat menimbulkan pikiran macam-macam karena bayangan itu seolah hantu atau siluman yang siap mencekik mereka dari belakang, mengerikan sekali. Dan ketika perlahan tetapi pasti Thai Liong mulai memasuki istana itu maka beberapa benda berkilau mulai kelihatan dan memantul dari dinding batu.

"Apa itu?"

"Tampaknya, manik-manik atau mutiara yang menghiasi dinding."

"Bukan mata siluman, Liong-ko?"

"Ah, bukan, Eng-moi. Coba kita dekati dan mari lihat."

"Aku merinding!"

"Sudahlah, berpegangan tanganku dan kita dekati," Thai Liong tertawa, mengagumkan adiknya karena pemuda itu tampaknya tak takut sedikit pun, membesarkan hati gadis ini dan Soat Eng malu sendiri.

Ih, kenapa dia begini penakut? Masa sebagai puteri Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas) dia harus jerih dan takut menghadapi semuanya itu? Ah, jawab hati nuraninya. Aku tidak takut, hanya seram. Bukankah sebagai wanita adalah wajar jika gampang berdiri bulu romanya memasuki Istana Hantu? Dan istana itu tadi telah menyambut mereka dengan belasan tengkorak yang bergelantungan. Kalau bukan dia mungkin sudah roboh pingsan! Maka mengeraskan hati menggigit bibir Soat Eng lalu mengusir jauh-jauh perasaannya yang seram, terpengaruh atau terbawa oleh ketenangan sikap kakaknya yang gagah.

Thai Liong telah mendekati benda-benda berkilauan itu dan ternyata memang benar sejenis manik-manik atau mutiara sintetis, gemerlapan disana-sini namun terpasang dalam jarak yang berjauhan. Berkilau atau mengeluarkan sinar karena pantulan cahaya obor mereka, itulah sebabnya tiba-tiba manik-manik itu menjadi hidup dan seakan mata siluman, atau harimau yang kadang berkelap-kelip seakan hantu mengedip. Ah, semuanya ini memang menyeramkan. Dan ketika Thai Liong tertawa dan merenggut sebuah manik-manik maka pemuda itu menunjukkannya kepada adiknya,

"Nah, lihat. Bukan mata hantu, Eng-moi. Melainkan manik-manik atau sejenis mutiara sintetis. Kau tak perlu takut atau ngeri. Di mana keberanianmu yang biasa kau perlihatkan sehari-hari?"

"Ah, aku bukannya takut, Liong-ko. Melainkan semata merasa seram. He, mata apa itu?" Soat Eng tiba-tiba menuding, melihat dua bola berkejap dan kemudian menghilang. Seruannya itu mengejutkan Thai Liong dan cepat pemuda itu menengok, melihat sekilas "mata hantu" yang dituding itu, lenyap dan entah apa. Dan ketika mereka mulai mendengar angin berkesiur dan tempat itu terasa lebih dingin tiba-tiba terdengar suara berkelotak disusul semacam bunyi piring pecah.

"Apa itu?"

"Entahlah. Kita lihat, Eng-moi. Mari!" dan Thai Liong yang mengangkat obornya tinggi-tinggi mendadak berkelebat sambil menarik tangan adiknya ini, menuju ke asal suara namun tiba-tiba dari segala penjuru terdengar bunyi-bunyian aneh. Mula-mula seperti suara berkelinting dan Soat Eng lagi-lagi terkejut, disusul suara-suara lain seperti orang berjalan-jalan tapi tak ada orangnya.

Dan ketika di tempat itu terdengar kekeh-kekeh lembut namun tak tampak bayangannya maka Thai Liong tertegun dan berdiri bulu romanya, mencari namun tak ada siapa pun. Tawa dan derak sepatu itu masih jelas terdengar, kadang di kiri dạn kadang di kanan. Thai Liong membentak namun suaranya tiba-tiba menggetarkan ruangan.

Bunyi kelepak mengejutkan pemuda ini dan tiba-tiba ratusan kelelawar turun, berkelebatan dan mereka mencicit seakan orang kaget. Bentakan Thai Liong tadi merontokkan binatang-binatang malam itu yang menempel di langit-langit istana, tentu saja juga mengejutkan Soat Eng. Dan ketika empat kelelawar terbang di mukanya dan kelepak sayap mereka hampir mengenai muka gadis ini maka Soat Eng menjerit sementara obor di tangan kakaknya juga padam.

"Blub!"

Thai Liong tersentak. Obornya seakan ditiup setan, dinyalakan tapi padam lagi. Dan ketika bunyi mencicit disusul lagi oleh bunyi-bunyian aneh seakan detak sepatu atau tawa yang menyeramkan tiba-tiba Soat Eag menginjak sesuatu dan bunyi menjepret menyambar gadis ini.

"Aihhh....!" Soat Eng berjungkir balik, kaget dan terkesiap dan tentu saja meloncat tinggi. Dia berputar di udara tiga kali untuk menyelamatkan diri. Dan ketika dia melayang turun dan melihat bahwa yang menjepret itu adalah sesosok tengkorak yang digerakkan dengan per dari bawah maka gadis ini mengutuk dan mencaci maki.

"Keparat! Jahanam...!" gadis itu melotot. Kiranya tanpa sengaja ia tadi menginjak alat rahasia di lantai itu, yang kontan menggerakkan sesosok tengkorak yang masih utuh, berkelotak dan rontok setelah hampir mengenai tubuhnya tadi. Dan ketika kakaknya terkejut karena ruangan menjadi gelap-gulita maka Soat Eng menyambar lengan kakaknya mengandalkan pendengaran, menggigil.

"Tempat ini sarang siluman.Bagaimana sekarang, Liong-ko? Kenapa obormu selalu padam?"

"Entahlah...!" pemuda itu berkeringat. "Aku rasa ruangan ini menyeramkan, Eng-moi. Seolah banyak berkeliaran hantu-hantu penasaran!"

"Kau percaya adanya hantu?"

"Percaya atau tidak tapi nyatanya tempat ini begini, Eng-moi. Kita harus keluar dan lihat ruangan apa ini!" Thai Liong berkelebat, hapal pintu keluar dan adiknya mendesis dengan keringat sedingin kakaknya. Betapapun suara-suara tanpa rupa itu menyeramkan mereka. Dan ketika mereka sudah di luar dan obor dapat dinyalakan kembali ternyata ruangan itu adalah ruangan jasad, seperti apa yang terpampang di pintu masuknya.

"Makam para hukuman!"

Soat Eng dan kakaknya tertegun. Sekarang mereka melihat tulisan itu, bahwa tempat yang mereka masuki tadi adalah kuburan, mungkin kuburan massal bagi para hukuman yang mati, tewas atau mungkin dibunuh. Dan ketika Soat Eng menjublak maka kakaknya mundur dan cepat mencabut peta.

"Kita salah masuk, sebaiknya melihat peta dan mengikuti petunjuk-petunjuknya."

Soat Eng menggigil. Tempat begini menyeramkan membuat gadis itu seakan memasuki dunia asing, suatu dunia lain di mana roh-roh yang penasaran bergentayangan di situ, ada yang tertawa dan ada pula yang berjalan-jalan. Padahal semuanya itu tadi tak ada orangnya. Bahkan tadi ada pula seperti yang menangis. Dan ketika Soat Eng pucat dan kata-kata kakaknya hampir tak didengar maka Thai Liong sudah mengambil petanya dan mengamati di bawah obor penerangan, yang kini tak padam lagi ditiup setan!

"Ini kuburan massal, tempat para hukuman yang berdosa. Dan itu ruangan dalam serta tempat tinggal penghuni istana. Nah, di sini kita harus berjalan, Eng-moi. Kita harus ke kiri dan belok ke kanan."

Namun Soat Eng tak menjawab.

"Eh, kenapa kau ini?"

"Aku masih merasa ngeri!" gadis itu menggigil, tersendat. "Baru kali ini aku membuktikan adanya dunia hantu, Liong-ko. Kukira dongeng tapi kiranya sungguh-sungguh!"

"Sudahlah," kakaknya menenteramkan. ―Aku juga ngeri, Eng-moi. Tapi hantu tak dapat mencelakai manusia. Dunia hantu adalah dunia roh halus, mereka tak dapat ke dunia kasar ke tempat kita."

"Benarkah? Tapi kenapa suara tawa dan orang berjalan-jalan itu terdengar? Dan tadi ada yang menangis, Liong-ko. Aku merasa seram karena tempat ini benar-benar tempat hantu!"

"Tak perlu takut. Tadi kita salah masuk, Eng-moi. Sekarang tak perlu ke situ lagi. Kita cari tempat yang lain dan ayo masuki ruangan permaisuri atau raja. Aku telah menemukan petunjuknya!"

Soat Eng lemah. Meskipun gagah dan pemberani namun sebagai manusia biasa gadis ini tak tahan menghadapi dunia hantu. Suara-suara menyeramkan itu seumur hidup pasti akan diingatnya, tak mungkin lupa. Dan ketika kakaknya menyambar lengannya dan naik ke tangga batu sebelah kiri akhirnya dia diajak ke tempat yang lebih baik, membelok ke kanan dan mulailah Thai Liong mengikuti petunjuk peta.

Lorong-lorong berdebu mereka masuki namun kini suasananya lebih menenteramkan, meskipun masih tetap dingin. Dan ketika ruangan besar dan luas mulai mereka lihat dan tempatnya juga lebih terang dan jelas akhirnya cahaya matahari mulai masuk dan di sini obor mereka padamkan, tanda mereka telah berada di tempat yang tinggi dan tadi berkali-kali terus naik menanjak.

"Nah, ini taman permaisuri. Itu tentu bekas kaputren!"

Soat Eng bersinar-sinar. Setelah kakaknya mengajak naik dan tempat di bawah mereka tinggalkan maka gadis ini mulai tenang dan lega. Kakaknya benar-benar mengagumkan karena tampaknya hanya sedikit saja terpengaruh oleh kejadian di bawah, di tempat kuburan tadi. Dan begitu kakaknya menuding dan bekas taman masih terlihat jelas maka gadis itu menarik tangannya meloncat ke kiri.

"Benar, ini taman, Liong-ko. Dan indah sekali patung batu ini!" Soat Eng berseru, memuji sebuah patung yang berada di tengah taman, Patung itu patung seorang laki-laki menunggang kuda, tidak begitu besar namun tampak hidup, halus dan tinggi nilai seninya. Tapi begitu patung disentuh dan ditepuk kepalanya mendadak terdengar bunyi mencuit dan tiga sinar hitam menyambar gadis ini.

"Awas!"

Soat Eng terkejut. Seruan kakaknya yang membuat dia tersentak sudah tak mungkin menghindari tiga sinar hitam ini. Sinar itu melesat dari mata patung, jarak terlampau dekat dan Soat Eng mengibas, mengerahkan sinkangnya dan cepat dia menampar atau menyampok. Kalau sudah begini maka pedang pun bisa disampoknya patah. Dan ketika benar saja tiga sinar hitam itu terpukul dan runtuh ke tanah maka Soat Eng melihat bahwa itu adalah tiga panah kecil yang berbisa.

"Kau tak apa-apa?"

Soat Eng menggeleng, agak berubah mukanya. "Tidak, maaf, Liong-ko. Aku sembrono...."

"Hm, ini seperti panah di luar tadi, Eng-moi. Panah beracun! Kau tak terluka?"

"Tidak...!"

"Lain kali hati-hati, sebaiknya semua benda di sini jangan dipegang dulu!" dan ketika adiknya mengangguk dan tergetar oleh kejadian ini maka Thai Liong mengamati dan melihat sekeliling, mulai takjub akan bentuk atau ruangan di tempat itu, memuji dan membawa adiknya masuk ke dalam.

Dan ketika kamar-kamar atau ruangan indah mereka masuki dan satu demi satu kakak beradik ini mendapatkan bahwa di setiap kamar pasti ada patung atau benda-benda lain seperti pot bunga atau jambangan akhirnya mereka tiba di sebuah tempat di mana ada bunyi gemericik dari air yang mengalir, meloncat dan tertegun.

Karena begitu mereka tiba di tempat ini dan melihat apa yang ada tiba-tiba Soat Eng melengos karena tempat itu penuh dengan patung-patung telanjang, laki perempuan dan satu di antaranya mengeluarkan suara gemericik itu, patung seorang laki-laki di mana dari alat rahasianya mengucur air jernih itu. Jadi patung ini seolah sedang kencing. Meskipun patung tapi semuanya ditonjolkan begitu jelas. Tentu saja Soat Eng malu! Dan ketika gadis itu mencaci dan meloncat ke tempat lain maka kakaknya tertegun dan Thai Liong sendiri juga semburat.

"Aih, patung seni bernilai tinggi!" Thai Liong berseru, mengagumi keindahan patung dari kacamata seorang seniman. Bentuknya begitu halus dan pahatannya luar biasa, benar-benar seperti manusia hidup. Jantan dan perkasa! Tapi adiknya yang mendengus dan mengomel panjang pendek justeru menyemprot.

"Huh, seni apanya, Liong-ko. Patung itu cabul dan kurang ajar. Aku benci!‖ dan Soat Eng yang marah memandang tempat lain tiba-tiba melihat juga patung-patung yang mirip, kini patung wanita dan gadis itu jengah sekali. Air mancurnya ada yang dari telinga atau hidung, mulut atau tempat lain. Dan ketika Soat Eng terbelalak karena ada patung yang dianggap kurang ajar tiba-tiba dia menggerakkan kaki dan ditendanglah patung wanita itu, yang sedang pipis.

"Dess!"

Thai Liong terkejut. Patung yang ini belum dilihatnya. Tapi begitu adiknya menendang dan patung itu hancur mendadak terdengar suara menggelegar dan bergetarlah bumi yang mereka injak, disusul meluncurnya sebongkah batu besar dari atas dan batu itu tepat sekali jatuh di kepala adiknya. Thai Liong berkelebat dan menampar, berteriak agar adiknya minggir, menjauh. Dan ketika Soat Eng melempar tubuh bergulingan dan batu itu jatuh ke lantai maka suaranya yang berdebum sungguh membuat semangat seakan terbang.

"Bumm!" Suara ini sanggup merontokkan nyali seorang penakut. Ruangan bergetar hebat dan batu itu pecah, pertama oleh pukulan Thai Liang tadi dan kedua akibat benturannya yang keras ke lantai, Soat Eng pucat meloncat bangun sementara kakaknya menegur dengan keringat di dahi. Dan ketika Soat Eng tertegun dan kakaknya marah maka gadis itu membela diri dengan suara uring-uringan.

"Aku menendang patung itu karena keterlaluan. Kalau tidak cabul dan keterlaluan tak mungkin aku menendangnya, Liong-ko. Pembuat patung ini orang tak tahu malu dan cabul!"

"Hm, jangan menyalahkan pembuat patung, Eng-moi. Pembuat pasti membuat atas perintah seseorang. Memang patung ini rata-rata kurang ajar tapi mereka tetaplah patung!"

"Benar, tapi kalau begini keterlaluan, Liong-ko, saru!"

"Kalau begitu kita ke tempat lain, tak usah di sini lagi!" dan Thai Liong yang berkelebat menyambar adiknya lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke ruangan lain, tergetar dan dag-dig-dug karena adiknya tadi hampir celaka.

Tapi adiknya bengong di tempat, hampir saja tertimpa batu sebesar gajah! Dan ketika dia berputaran dan mengelilingi istana maka Thai Liong menemukan tempat tidur para pangeran, terbukti dari nama-nama yang terpampang di pintu masuk, besar dan kokoh tapi di sini pun ada patung seperti tadi, meskipun hanya setengah telanjang, sebagian besar patung wanita dan Soat Eng mengomel panjang pendek. Rata-rata patung di situ adalah patung yang memperlihatkan buah dada, bagian ke bawah ditutup tapi bagian atas diperlihatkan jelas-jelas.

Lagi-lagi Soat Eng mengomel karena pembuat patung adalah seorang cabul, pikirannya pada yang buruk-buruk dan Thai Liong merah mukanya. Kalau tadi lelaki telanjang adalah sekarang patung wanita yang setengah telanjang. Memang harus diakui bahwa semua patung-patung itu indah dan memiliki seni yang tinggi, karena rata-rata tampak hidup dan bersinar. Tapi karena model patung rata-rata begitu dan Thai Liong melengos maka dia mengajak adiknya ke ruangan atas, naik ke tempat yang menurut pikiran mereka hampir di puncak bangunan, yang atasnya menonjol di permukaan tanah itu.

"Kita ke atas, cari tempat harta dan ruangan yang menyimpan kitab!"

"Untuk apa dengan harta? Ruang perpustakaan boleh kita cari, Liong-ko. Tapi ruang harta sebaiknya tak perlu!"

"Eh," kakaknya memperingatkan. "Ji Pin menunggu kita, Eng-moi. Dan kita telah berjanji untuk memberikan harta peninggalan padanya!"

"Hm," Soat Eng teringat. "Kalau begitu boleh, Liong-ko. Terserah padamu!" dan Soat Eng yang tidak membantah serta mengikuti kakaknya lagi lalu mencari dan membuka peta, semakin ke atas semakin terang dan cahaya matahari kini tampak di celah-celah ruangan. Thai Liong teringat bahwa gempa telah meretakkan beberapa bagian istana ini, cahaya matahari masuk dan mereka pun lebih jelas. Namun ketika ruang yang dicari belum ketemu dan istana itu juga terlalu luas untuk dikelilingi mendadak mereka mendengar suara-suara aneh di atas.

"Ada orang," Thai Liong tertegun. "Tidakkah salah pendengaran kita?"

"Hm," adiknya kebat-kebit, teringat suara-suara hantu di ruang bawah. kuburan masal. "Apakah tidak salah, Liong-ko? Aku khawatir jangan-jangan hantu di bawah itu kini mengganggu kita dengan suaranya di atas!"

"Entahlah, coba dengar," dan Thai Liong yang mempertajam telinganya mendengarkan itu tiba-tiba mendengar pula suara Tin Tin dan Gosar. "Kau tahu itu?" tanyanya pada adiknya. "Suara apa yang kau tangkap?"

"Gosar dan Tin Tin!" adiknya tertegun. "Apakah mereka bertemu hantu, Liong-ko?"

"Sst, tak mungkin. Dua binatang itu seakan di bawah pengaruh seseorang, Eng-moi. Gorila-gorila itu tampaknya kesakitan!"

"Benar, mereka menguik!" dan Soat Eng yang terkejut mengenal suara gorila-gorila itu segera mendengar geraman atau semacam suara kesakitan, perlahan namun jelas dan terdengarlah suara orang bercakap-cakap. Di atas tampaknya ada tiga atau empat orang, lebih jelas lagi karena orang-orang itu kini berhenti di puncak bangunan.

Teringatlah Soat Eng bahwa di atas sana memang atap atau puncak istana ini telah menonjol, mencuat dari permukaan tanah. Dan ketika gadis itu mendengarkan dan kakaknya mengerutkan kening maka suara yang berat diimbangi suara yang terang dan halus, suara dari dua orang yang bercakap-cakap antara seorang tua dengan seorang anak muda.

"Heh, bagaimana pendapatmu, Siang Le? Bukankah ini yang kita cari cari? Lihat, ini Istana Hantu, puncak bangunannya mencuat!"

"Benar, dan kurasa tidak salah, suhu. Tapi kenapa di bawah tanah?"

"Heh, Istana Hantu memang terpendam, Siang Le. Sekarang muncul ke permukaan setelah pulau Sam-liong-to naik! Kita menemukan apa yang kita cari, ha-ha...!"

Soat Eng terkejut. Suara di atas sana tiba-tiba menggetarkan tempat mereka, ruang bawah tanah itu bergetar oleh tawa orang ini. Soat Eng saling pandang dengan kakaknya dan Thai Liong pun terkejut. Itu tanda khikang yang hebat sekali, sanggup merobohkan sebuah batu karang di tengah laut. Dan ketika mereka tertegun dan mendengarkan lagi maka orang ke tiga bicara tentang gorila itu.

"Hewan ini menguik-nguik, mengganggu saja. Bagaimana kalau dilepaskan, See-ong?"

"Hah, tanya Siang Le, Thian Cong. Dialah yang menundukkan binatang-binatang itu!"

"Bagaimana, Siang Le. Apakah telingamu tidak terganggu oleh binatang ini?"

"Hm," pemuda itu, yang bersuara tenang dan halus menjawab. "Aku khawatir binatang ini menyerang kalian, Thian Cong. Kalau dilepas dia mau pergi tentu saja boleh dilepaskan. Cobalah."

Orang itu mengangguk. Soat Eng dan kakaknya mendengar sebuah tendangan, Gosar dan pasangannya berdebuk. Dan ketika dua binatang itu ngak-nguk dan lari pergi tiba-tiba Thian Cong, laki-laki ketiga tertawa.

"Ha-ha, tak berani menyerang lagi, Siang Le. Mereka ketakutan padamu!"

"Tapi bagaimana kalau hilang? Aku tertarik memelihara mereka, Thian Cong. Sebaiknya adikmu mengawasi."

"Hm," suara berat itu, gurunya, menggeleng. "Pulau ini kecil, Siang Le. Mencarinya mudah dan tak perlu menyuruh Thian Po pergi. Nanti ditangkap lagi dan kau pusatkan perhatianmu ke sini. Istana Hantu telah di depan kita dan sebaiknya kita masuk!"

"Baik," dan Thai Liong yang mendengar ledakan ujung baju di atas sana tiba-tiba mendengar mereka menuding celah di puncak bangunan, yakni bagian yang mau dimasuki adiknya tapi disambar tiga panah beracun, tempat yang berbahaya karena istana ini ternyata penuh jebakan-jebakan. Di mana-mana ada alat rahasia dan pemuda yang dipanggil Siang Le rupanya melihat itu lebih dulu, gurunya tertawa dan kakek yang rupanya tinggi besar itu mengebut. Tapi begitu ujung baju meledak dan celah ini mau dimasuki tiba-tiba kakek itu berseru kaget karena tujuh panah kecil bercuitan menyambarnya.

"Hei.... plak-plak-plak!"

Soat Eng dan kakaknya sudah menduga. Kakek yang rupanya mau memasuki celah itu lagi-lagi diserang panah yang terpasang di bawah tanah, atap bangunan itu akan menggerakkan senjata-senjata rahasia setiap disentuh tangan yang lancang, seperti halnya Soat Eng dan kakek itu. Dan ketika kakek itu menyumpah-nyumpah namun tujuh panah beracun berhasil disampok patah maka muridnya berkata agar gurunya berhati-hati.

"Jangan gegabah. Istana Hantu masih menyimpan misteri, suhu. Tubuhmu terlalu besar untuk memasuki celah itu. Sebaiknya biarkan aku saja dan kau mundur!"

Soat Eng berdebar. Sekarang pemuda yang bersuara halus dan tenang ini mau masuk, gurunya masih mengumpat caci dan marah-marah di luar. Memang, tadi kakek itu tak dapat masuk karena tubuhnya terlalu besar, kini muridnya mengajukan diri dan dua yang lain setuju. Dan ketika lubang di atas tertutup bayangan pemuda itu dan Soat Eng mendengar gerakan perlahan maka pemuda di atas mencoba masuk dan kedua kakinya dilonjorkan ke bawah, hati-hati.

"Bagaimana, Liong-ko?" Soat Eng berdebar, bertanya kepada kakaknya. "Apakah kita membiarkan orang-orang ini masuk?"

"Hm," Thai Liong bingung. "Semestinya kita mencegah mereka, Eng-moi. Tapi biarlah dulu. Aku ingin melihat siapa mereka."

"Mereka See-ong (Raja Dari Barat), dan muridnya bernama Siang Le."

"Benar, tapi kita belum melihat muka mereka, Eng-moi. Dan aku juga belum pernah mendengar nama See-ong ini. Sebaiknya diam dan kita lihat, sesuatu.....!" kakaknya menuding, melihat sepasang kaki mulai masuk namun tiba-tiba terdengar bunyi menjepret. Siang Le rupanya menginjak alat rahasia dan menyambarlah beberapa sinar hitam ke tubuhnya itu, cepat dan luar biasa. Tapi ketika pemuda ini menggerakkan kakinya dan sinar-sinar hitam itu runtuh ditendang maka Soat Eng kagum memuji perlahan.

"Hebat, rupanya Siang Le ini cukup lihai!"

"Diamlah..." kakaknya berbisik. "Aku merasa kedatangan orang-orang berbahaya Eng-moi. Suara See-ong yang dahsyat dan kelihaian muridnya ini rupanya mengharuskan kita memasang kewaspadaan ekstra."

"Dan kita tak tahu mereka orang jahat atau bukan!"

"Sudahlah, kau diam dan kita lihat saja!" Thai Liong menghentikan adiknya, memberi isyarat dan See-ong berseru dari luar.

Tadi kakek itu mendengar suara sambaran senjata-senjata rahasia ini, mengkhawatirkan muridnya namun Siang Le menjawab tenang, menyatakan kakinya telah menendang senjata-senjata rahasia itu. Dan ketika See-ong tertawa bergelak sementara perlahan-lahan dan amat hati-hati pemuda itu memasuki celah mendadak tanpa sengaja tangannya tergelincir dari pinggiran lubang yang longsor. Dan begitu pemuda itu terjeblos ke bawah tiba-tiba atap bangunan bergetar dan runtuhlah sebuah batu menimpa kepala pemuda itu.

"Heii.....!"

Thai Liong mendekap mulut adiknya dengan cepat. Di luar terdengar teriakan kaget dan pemuda itu sendiri juga berteriak. Dia terjeblos dan gurunya serta dua temannya yang lain berseru keras. Yang di luar tak mengetahui apa yang terjadi di dalam, hanya Soat Eng dan kakaknya itulah yang melihat jelas. Dan ketika Soat Eng terkejut dan tadi tanpa sengaja mengeluarkan jeritan kaget maka pemuda itu meluncur lurus sementara batu di atas kepalanya menghantam dan menimpa dengan deras...

Istana Hantu Jilid 02

ISTANA HANTU
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AH, kongcu berkepandaian tinggi, juga siocia! Masa bicara seperti itu? Tidak, aku mendoakan dari sini, kongcu. Kau pasti selamat dan dapat keluar baik-baik!"

"Hi-hik, memangnya kau pendeta? Sudahlah, kami mau berangkat, orang she Ji. Kau di sini dan lihat badai sudah reda!"

Benar saja, hujan dan badai sudah tak terdengar suaranya lagi. Gemuruh angin juga lenyap dan suasana di luar guha tampak tenang, hanya air bergemericik di sela-sela guha yang tiris, sisa-sisa hujan. Dan ketika Soat Eng meloncat bangun dan mengajak kakaknya keluar maka mereka melihat laut yang sudah tidak berbuih lagi.

"Hm, aneh. Tadi laut tampak demikian buas dan kejam, bagaimana sekarang tiba-tiba seperti gadis yang begini lembut?"

"Ih, kau mau berpantun? Hayo, kita ke pulau di tengah, Liong-ko. Dan kita menyeberang seperti tadi.... ser!" Soat Eng menyambar 'sepatu air'-nya, dua potong papan yang masih tergeletak dan cepat serta indah dia berjungkir balik di atas permukaan air. Lalu begitu dia menggerak-gerakkan sepatunya dan papan di bawah kakinya itu naik turun mirip selancar maka Thai Liong tersenyum dan menyambar potongan papannya pula, berjungkir balik dan hinggap di atas air laut yang tidak bergelombang.

"Ji-twako, baik-baiklah di situ. Kami mau pergi!"

Laki-laki ini tertegun. Soat Eng sudah terkekeh dan meluncur menggerak-gerakkan kedua kakinya, terbang dan cepat sekali gadis itu sudah melesat ke depan. Dan ketika Thai Liong menggerakkan kakinya pula dan tangan terkembang di kiri kanan tubuhnya tiba-tiba pemuda itu pun sudah meluncur dan bermain-main di atas permukaan air laut, tak mempergunakan perahu karena mereka sudah cukup dengan sepasang papan itu, mengerahkan kepandaiannya dan naik turunlah dua kakak beradik itu di tengah laut.

Dan ketika Thai Liong melambai dan berseru agar dia berhati-hati, maka dua putera-puteri Pendekar Rambut Emas yang luar biasa itu telah menyeberang dan mendatangi pulau di tengah, hanya dengan sepasang papan yang ringan dan bekas pecahan perahu!

"Kim-kongcu, hati-hati. Kim-siocia, harap kalian kembali lagi ke tempat ini!"

Thai Liong mengangguk dari jauh. Pemuda itu sendiri sudah mengejar adiknya yang meluncur di depan, dua kakak beradik itu sudah bermain di tengah laut yang dalam. Mereka itu seakan orang yang berjalan di atas air saja. Dari jauh, mereka seakan sepasang dewa-dewi yang lagi turun ke bumi!

Dan ketika dua kakak beradik itu lenyap dan Thai Liong serta adiknya menyeberangi pulau dengan cara yang aneh maka Ji Pin masih termangu-mangu di situ, tak berkejap dan berulang-ulang lelaki itu menghela napas tanda kagum. Apa yang dilihat sungguh tak mungkin ditirukan. Dua kakak beradik itu mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah di atas tokoh-tokoh kelas satu. Dan ketika dia mendecak dan kagum sampai terlongong-longong akhirnya bayangan kakak beradik itu benar-benar lenyap karena mereka sudah mendekati bagian pulau Sam-liong-to yang ada di tengah.

* * * * * * * *

"Hei, jangan buang papan selancarmu, Eng-moi. Taruh dan letakkan di atas batu karang itu!" Thai Liong mendarat di pantai, menyusul adiknya yang sudah mendahului dan berseru agar Soat Eng tidak membuang begitu saja papan yang amat berguna itu.

Mereka sudah melepas papan yang mereka pakai dan Thai Liong meletakkannya baik-baik di atas sebuah batu karang, menyuruh adiknya melakukan hal yang sama dan Soat Eng tertawa, menyambar papannya kembali dan melempar benda itu di atas batu karang dimana kakaknya lebih dulu meletakkan papan selancarnya. Dan ketika mereka mendarat aman dan Thai Liong melihat kiri kanan maka pemuda itu menangkap sesuatu yang menggetarkan, firasatnya bicara.

"Hati-hati, aku merasa sepasang mata mengintai kita."

"Benar, aku juga merasa begitu, Liong-ko. Barangkali gorila itu. Hi-hik, memangnya kenapa? Biar dia keluar, nanti kuhajar!"

"Hm, jangan sembrono, Eng-moi. Tempat ini belum kita kenal baik...."

"Benar, tapi peta di tanganmu itu menjadi penuntun yang baik, Liong-ko. Tak usah khawatir dan mari kita ke hutan itu!" Soat Eng berkelebat, tidak perduli dan tidak takut dan gadis itu tertawa. Halangan di depan dianggapnya main-main, atau mungkin dia malah terangsang untuk menerima bahaya, menerimanya dengan enteng dan kakaknya mengikuti.

Dan ketika dua orang muda itu tiba di mulut hutan maka perasaan Thai Liong semakin tajam, merasa diintai gerak-geriknya dan dia melirik sebuah batu besar. Firasatnya menunjukkan di situlah adanya bahaya. Dan ketika adiknya berhenti dan mengerling memberi tanda tiba-tiba adiknya berkelebat dan berjungkir baiik menuju ke batu besar itu, langsung membentak.

"Grr!..."

Benar saja. Soat Eng, seperti kakaknya telah mencium adanya bahaya itu. Gadis ini tak menunggu diserang melainkan mendahului, mengetahui ada yang mengintai dan cepat gadis itu berpoksai (berjungkir balik) di batu hitam itu. Dan ketika benar saja dia melihat seekor gorila mendekam di situ dan kaget menggeram padanya tiba-tiba dia tertawa dan menghantam tengkuk binatang ini, yang segera diduga sebagai binatang yang diceritakan Ji Pin.

"Liong-ko, binatang ini ada di sini. Lihat...bukk!" pukulan gadis itu mendarat telak, mengenai tengkuk dan binatang itu terpelanting. Hebat pukulan itu, tapi masih lebih hebat lagi binatang tinggi besar ini. Karena begitu dia terpelanting dan memekik kesakitan tiba-tiba dia menggelinding jauh dan sudah berdiri lagi dengan tubuh bergoyang, taringnya diperlihatkan.

"Aih, binatang ini seperti pernah dilatih silat, Liong-ko. Dia mampu menggelindingkan tubuh!"

"Benar, dan hati-hati, Eng-moi. Dia menyerang!"

Soat Eng mengelak. Binatang itu sekarang menubruk dan memperlihatkan giginya yang besar dan kuat, menggeram dan segeralah binatang itu memekik. Dan ketika Soat Eng mengelak dan tubrukannya luput maka binatang itu mengejar danSoat Eng berloncatan, tertawa-tawa dan dia menggerakkan tangannya dua tiga kali. Binatang itu dipukul tapi semua pukulan Soat Eng mental. Gadis ini terkejut dan mengerutkan kening. Dan ketika satu tubrukan kembali dikelit dan binatang itu terhuyung maka Soat Eng menggerakkan kakinya dan sebuah tendangan mengenai pinggang gorila itu.

"Dess!" Binatang ini terlempar. Sekarang gorila itu terguling-guling, memekik dan rupanya kesa kitan. Betapapun tendangan tadi adalah tendangan yang penuh tenaga dan Soat Eog mengerahkan setengah bagian tenaganya, lawan mencelat dan meraunglah binatang itu. Dan ketika Soat Eng mengejar dan satu demi satu tendangan atau pun tamparan tangannya mulai mendarat di tubuh binatang ini maka binatang itu berteriak-teriak dan jatuh bangun, terlempar dan dihajar lagi dan tiba-tiba binatang ini marah.

Binatang itu sekarang menubruk dan memperlihatkan giginya yang besar dan kuat. Dan ketika satu tamparan mendarat di pundaknya dan dia menggeram sekonyong-konyong sebuah gerakan silat ditunjukkan karena secepat kilat hewan itu membungkuk dan lengan Soat Eng disambar.

"Bret!" Soat Eng terkejut. Kakaknya berseru keras memperingatkan dirinya, hampir kalah cepat dan baju Soat Eng robek. Dan ketika gorila itu menyeringai dan baju yang sobek berada di tangannya maka gorila itu menubruk dan ganti menyerang gadis ini, dikelit dan segera tampaklah gerakan-gerakannya yang kaku namun kuat, mencengkeram dan menggereng dan Soat Eng terbelalak. Hewan ini kebal dan semua pukulannya sia-sia, gorila itu memperlihatkan jurus-jurus sederhana namun berbahaya. Dan karena Soat Eng gemas karena berkali-kali pukulannya mental bertemu kulit yang keras akhirnya gadis ini menampar dengan satu Pukulan Petir, Tiat-lui-kang.

"Dess!" Binatang itu menjerit. Untuk pertama kalinya dia terbanting dan tak dapat bangun, Thai Liong terkejut karena menyangka binatang itu sekarat. Tapi ketika binatang itu merintih-rintih dan bangun dengan susah mendadak dia menguik dan terbirit-birit melarikan diri.

"Hi-hik, jangan pergi, binatang siluman. Kau harus menerima lagi sebuah pukulan Tiat-lui-kang ku... dess!" binatang itu terbanting, lagi-lagi tak dapat bangun namun menggeliat susah payah.

Thai Liong memperingatkan adiknya agar tidak membunuh gorila itu, betapapun binatang ini menarik perhatiannya. Dan ketika binatang itu menguik dan bangun dengan berat maka dia lari lagi dengan langkahnya yang kaku, dihajar dan jatuh lagi dan kini Soat Eng mempermainkannya. Ternyata setelah mendapat Tiat-lui-kang gorila itu tak tahan, binatang ini merasa seakan dihantam petir, sebagian bulunya terbakar dan tentu saja dia ketakutan. Dan ketika enam tujuh kali Soat Eng berkelebat dan menghajarnya tiba-tiba binatang itu menguik dan jatuh mendeprok di depan gadis itu, seperti orang berlutut.

"...uik...uik....!"

Soat Eng terkekeh. Tak dapat dikata betapa girangnya dia dapat menundukkan binatang ini, meloncat dan sudah duduk di atas punggungnya. Dan ketika gorila itu diam saja dan dia ingin menggoda maka dia membentak menyuruh binatang itu mencium sepatunya. "Hayo cium sepatuku, kalau kau benar-benar tunduk!"

"Uik...." binatang ini takut-takut, memandang sepatu Soat Eng yang disodorkan kepadanya dan tampaknya dia ragu-ragu.

Soat Eng membentaknya lagi dan kakaknya was-was. Sekali gadis itu digigit barangkali adiknya bisa terluka. Tapi ketika gorila itu mendengus dan mencium sepatu Soat Eng tiba-tiba sepatu itu lepas dan Soat Eng melompat mundur, tertawa, tadi sengaja memberikan sepatunya untuk memancing gerak-gerik gorila itu, menyerangnya atau tidak. Kalau menyerang tentu saja dia akan menghantam tengkuk binatang itu, biar kelengar. Tapi ketika binatang itu tak menyerangnya dan sepatunya benar-benar dicium akhirnya gadis ini berseru agar sepatu itu dipasangkan ke kakinya.

"Nah, sekarang berikan sepatu itu kepadaku, Gosar. Pasangkan di kakiku!"

Aneh, binatang itu rupanya mengerti. Melihat Soat Eng menyodorkan kakinya yang telanjang sambil menunjuk sepatu yang dipegangnya tiba-tiba gorila ini berdiri, maju dan terbungkuk-bungkuk memasangkan sepatu itu di kaki Soat Eng, pas sekali. Dan ketika dia mundur dan menguik perlahan maka Soat Eng percaya bahwa gorila ini sudah dikuasainya.

"Hi-hik, sekarang aku dapat menundukkannya, Liong-ko. Kusuruh apa saja barangkali dia menurut!" Soat Eng meminta sobekan bajunya, diberikan dan segera memerintah ini-itu, tentu saja sambil menuding. Dan ketika gorila itu ngak-nguk ngak-nguk dan benar-benar tunduk luar dalam akhirnya gadis ini menepuk pundak gorila itu dan tertawa berdiri di sampingnya.

"Gosar, sekarang aku majikanmu. Itu Liong-ko, kau harus tunduk kepadanya. Kau mengerti?"

Binatang itu mengangguk-angguk.

"Hm, apa itu Gosar?" Thai Liong bertanya.

"Hi-hik, Gorila Besar, Liong-ko. Kusingkat Gosar. Bukankah kita tak tahu namanya?" dan ketika Soat Eng terkekeh dan geli oleh pemberian namanya ini maka Gosar, gorila itu diam mengangguk-angguk pandang matanya tak buas lagi dan betapa binatang itu amat takut sekali kepada Soat Eng. Namun ketika Thai Liong tersenyum dan geli oleh kenakalan adiknya ini mendadak dari dalam hutan muncul seekor gorila betina yang menggeram-geram.

"Eh, itu yang satu!" Thai Liong menoleh, tertegun oleh larinya gorila betina ini. Lebih kecil namun tetap tergolong besar juga, langkahnya berat namun cepat. Dan ketika Gosar melihat temannya dan bangkit menggerak-gerakkan pundak maka binatang ini mengeluarkan suara aneh dan temannya itu menerjang Thai Liong.

"Awas!"

Thai Liong mengelak. Seruan adiknya tak perlu diulang karena Thai Liong melihat betapa marahnya gorila betina itu. Entah kenapa Gosar, gorila jantan itu mengeluarkan suara berulang-ulang pada temannya. Thai Liong tak mengerti, apa yang dimaksud Gosar pada temannya. Tapi ketika gorila betina membalik dan menyerang lagi maka Thai Liong tertarik untuk menundukkan binatang ini, mengelak dan meloncat ke kiri kanan tapi Soat Eng tiba-tiba membentak, berseru agar gorila jantan menyerang gorila betina. Gosar terkejut dan menguik-nguik, rupanya bingung tapi pandang mata Soat Eng membuat dia gentar. Dan ketika gadis itu mendelik dan menyuruh Gosar menghadapi temannya maka binatang itu melompat dan Soat Eng menyuruh kakaknya minggir.

"Minggir, Liong-ko. Biar Gosar yang menundukkan temannya!"

Thai Liong tertegun. Tadinya dia berlompatan menghindari serangan gorila betina itu, tentu saja mudah baginya dan tak perlu dia takut. Semula dia akan mempermainkan dulu gorila itu baru menundukkannya belakangan, seperti yang tadi dilakukan adiknya. Tapi ketika gorila jantan menyerang temannya dan kini gorila betina itu memekik dan menyambut tiba-tiba Gosar sudah bertarung dan "ngak-nguk-ngik" menghadapi betinanya.

"Bagus, robohkan temanmu, Gosar. Suruh dia menyerah!" Soat Eng terkekeh, girang mempermainkan dua gorila itu dan Gosar tampaknya kebingungan.

Berkali-kali gorila ini memberi tanda pada pasangannya agar menyerah. Thai Liong, terutama Soat Eng bukan tandingan mereka. Gadis itu telah mengalahkannya dan tadi dia dibuat bertekuk lutut. Tapi karena gorila betina rupanya marah dan gusar terhadap temannya maka dua ekor gorila itu akhirnya bertanding dan pukul-memukul, cengkeram-mencengkeram dan Soat Eng terkekeh-kekeh. Thai Liong mengerutkan kening melihat gaya perkelahian dua ekor binatang itu, memperhatikan karena gerak kaki atau tangan mereka berdasarkan ilmu silat, meskipun sederhana. Dan ketika satu saat Gosar berhasil mengangkat temannya dan membanting roboh maka gorila betina memekik dan berdebuk.

"Buk!"

Soat Eng terkekeh-kekeh. Gadis itu menyuruh Gosar menangkap lagi, membanting dan merobohkan lawannya itu. Dan ketika Gosar mengikuti namun pasangannya melawan tiba-tiba Gosar yang diangkat dan ganti dibanting.

"Buk!" Gorila jantan itu menguik. Tadi, entah kenapa tiba-tiba perasaannya melemah. Teman hidupnya ingin membalas dan dia memberikan. Dan ketika Gosar ganti terbanting dan gorila betina menubruk maka Gosar dicekik dan gorila itu bertahan, digigit dan Gosar merintih. Tiba-tiba gorila ini tak membalas dan Soat Eng kaget. Dan ketika satu gigitan melukai pinggir mata Gosar dan gorila jantan ini mengeluh tiba-tiba Soat Eng membentak dan menghantam gorila betina itu, yang ganas dan tidak mengenal ampun.

"Pergi kau... dess!" gorila betina mencelat, terpekik dan kaget dan Gosar bangkit terhuyung. Soat Eng berkelebatan lagi dan menghujani pukulan ke tubuh gorila betina, bertubi-tubi dan menendangnya pula dan gorila itu terkejut, jatuh dan terlempar namun bangun lagi, sama seperti si jantan tadi. Tapi ketika Soat Eng hendak melepas Tiat-lui-kang dan Thai Liong berkelebat tiba-tiba pemuda itu menarik adiknya dan berseru,

"Jangan, biarkan aku yang menundukkan Eng-moi. Coba kugunakan Pek-sian-ciang (Pukulan Dewa Putih)....!" dan Thai Liong yang berjungkir balik dan sudah tiba di depan gorila betina tiba-tiba menangkap tengkuk binatang itu, meremasnya dan gorila betina menjerit. Jari-jari Thai Liong seakan tanggem baja baginya, baru kali itu gorila ini kesakitan. Dan ketika Thai Liong membanting dan menamparnya tiba-tiba gorila itu mengeluh dan terlempar terguling-guling, tak dapat bangun berdiri dan dengan susah payah binatang itu mencoba bangkit, jatuh dan terguling lagi. Dan ketika Thai Liong berkelebat dan menggerakkan dua jarinya tiba-tiba gorila itu tertotok dan roboh tak bergerak.

"Bluk!"

Tersenyumlah pemuda ini. Gorila itu memandangnya marah, menguik lalu menggeram. Matanya bersinar-sinar dan rupanya dia tak puas, barangkali hendak mengatakan bahwa Thai Liong curang. Dan Thai Liong yang tertawa dan membebaskan totokan itu lagi tiba-tiba berkata,

"Kau ingin menyerangku? Boleh, coba kalahkan aku, Gotin. Boleh pukul atau gigit sesukamu!" dan Thai Liong yang tertawa memberikan lengannya tiba-tiba disambar dan digigit binatang itu, mengerahkan sinkangnya dan gorila betina itu seakan menggigit batangan besi, terkejut dan menggeram serta mencakar pemuda itu namun Thai Liong bersiap. Pemuda ini telah melindungi seluruh tubuhnya dengan sinkang, kebal dan dibacok pun pemuda itu tak akan apa-apa. Dan ketika gorila betina itu terkejut dan semakin kaget saja karena cakaran atau gigitannya sia-sia mendadak dia menerkam pemuda itu dan mau membanting.

"Nguk!"

Thai Liong tertawa. Lawan yang menangkap dan mau membantingnya tiba-tiba dbuat terkejut lagi, tubuhnya tak bergeming dan Thai Liong seakan arca batu yang beratnya ribuan kati. Susah payah binatang itu mengangkat namun tak berhasil. Dan ketika dia kebingungan dan firasat kebinatangannya memberi tahu bahwa pemuda yang dihadapi betul-betul tak dapat dikalahkan maka Thai Liong melakukan tamparan Tiat-lui-kang dan gorila itu pun terbanting, kelengar.

"Brukk!" Sekarang gorila ini menguik-nguik. Rintihannya yang mirip rintihan gorila jantan jelas menunjukkan kekagetan binatang itu, di samping ketakutannya. Dan ketika Thai Liong tertawa dan menepuk pundaknya maka binatang itu mengeluh dan roboh terbungkuk, jatuh atau menjatuhkan diri berlutut.

"Ha-ha, kau sudah menyerah, Gotin? Kau sudah mengakui kelihaianku?"

"Nguk... nguk...." gorila itu mengangguk, mengerti. Dan ketika Thai Liong memberikan lengannya lagi namun binatang itu tak berani menggigit maka Soat Eng melompat maju bertanya,

"Eh, apa itu Gotin, Liong-ko? Nama aneh apa ini?"

"Ha-ha, Gotin adalah Gorila Betina, Eng-moi. Kusingkat seperti tadi kau menamakan gorila jantan itu. Bukankah bagus?" dan ketika adiknya melengak dan tertawa pemuda ini berkata lagi. "Sekarang kita sama-sama memberikan nama pada pasangan gorila ini. Kau memanggilnya Gosar sedang aku Gotin, atau Tin Tin. Yang laki Gosar sedang yang betina Tin Tin. Ha-ha, lucu. Bukankah bagus, Eng-moi? Sekarang kita memiliki binatang peliharaan. Hayo bangun!"

Dan Thai Liong yang menyuruh Tin Tin bangun tiba-tiba diturut dan gorila itu bangkit, berkedip dan takut-takut dan gorila jantan mengeluarkan suara senang. Si jantan ini rupanya lega bahwa betinanya tak menyerang lagi, mereka memiliki dua orang majikan dan Soat Eng terkekeh. Dan ketika gadis itu ingin mencoba dan menepuk gorila betina maka gadis ini berseru,

"Hei, kau kenal aku, Tin Tin? Aku adik Liong-ko, kau harus tunduk pula padaku!"

"Nguk-nguk..." gorila ini menjawab, mengerti dan mengangguk dan Soat Eng pun geli. Tentu saja senang menjadi majikan dua ekor gorila penghuni Sam-liong-to, yang jelas bukan gorila sembarangan karena mereka rupanya dulu pernah dipelihara seseorang, entah siapa. Dan ketika gadis itu tertawa dan memuji serta main-main dengan gorila betina maka Thai Liong berkata bahwa Istana Hantu harus ditemukan.

"Sekarang Tin Tin dan Gosar menjadi pembantu kita. Barangkali mereka dapat menjadi penunjuk jalan."

"Eh, nanti dulu. Bagaimana kalau Ji Pin tahu, Liong-ko? Bukankah gorila-gorila ini membunuh temannya?" gadis itu teringat.

"Hm, keganasan mereka adalah keganasan wajar seekor binatang, Eng-moi. Rupanya bertahun-tahun binatang ini tak bertemu manusia, dan mereka juga tampaknya kelaparan. Tidakkah kau lihat nafsu membunuh mereka yang besar?"

"Benar, dan orang seperti Ji Pin memang tak mungkin menundukkannya, Liong-ko. Tapi susah juga kalau orang itu tahu Gosar dan Tin Tin sudah menjadi pembantu kita!"

"Sebaiknya kita jelaskan nanti, urusan itu mudah!" dan Thai Liong yang tersenyum menepuk gorila betina tiba-tiba mengajak keduanya memasuki hutan, berjalan dan mulailah Thai Liong melihat kera-kera yang bercecowetan, bergelantungan dan lari dari satu pohon ke pohon lain, semuanya seakan menjauh begitu melihat dua gorila yang menggeram dan memandang mereka penuh ancaman.

Dan ketika dua gorila itu masih mengikuti Thai Liong dan Thai Liong mulai membuka peta mencari di mana istana itu maka Soat Eng juga menjumpai ular-ular besar kecil di atas pohon, juga beberapa harimau atau hewan lain yang tıba-tiba menyingkir, melarikan diri. Mereka tampaknya takut tapi juga heran melihat dua gorila ini bersahabat dengan manusia, Thai Liong dan adiknya itu. Dan ketika mereka masuk semakin dalam dan hutan juga mulai gelap maka Tin Tin dan gorila jantan mulai menguik, berhenti.

"Ada apa?" Thai Liong mengerutkan kening. "Kalian mau apa?"

Dua gorila itu menggeram lirih, memandang satu tempat dan Soat Eng meloncat maju. Kakaknya telah membawa mereka di tempat yang penuh batu dan agaknya dua gorila ini mau memberitahukan sesuatu, tak dapat dan jadilah komunikasi sepihak. Dan ketika dua gorila itu ngak-nguk-ngak-nguk gelisah maka Soat Eag sudah di samping kakaknya.

"Percuma mengajak bicara, mereka tak bakalan mampu menjelaskan. Sebaiknya kau ceritakan di mana kita sekarang ini, Liong-ko. Dan masih berapa jauh lagi Istana Hantu itu!"

"Hm, kita di mana aku juga tak jelas, Eng-moi. Hanya peta ini memberi tahu kita bahwa kita harus mencari sebuah guha bawah tanah...."

"Guha bawah tanah? Istana itu di sana?"

"Mungkin. Lihat sekeliling kita pohon melulu, Eng-moi. Dan baru di tempat ini ada bebatuan. Kalau tidak salah kita sudah di sebelah kanan matahari."

"Bagaimana kau tahu?"

"Bayangan kita, bukankah miring ke kanan?"

"Hm, benar. Jadi kalau begitu kita di utara pulau, Liong-ko. Dan kita sudah cukup jauh maju!"

"Ya, dan kita mencari guha ini, mendapatkan tanda-tandanya. Tentu guha itu sudah tertutup semak belukar dan barangkali kita harus mengorek-ngorek...." Thai Liong menghentikan kata-katanya, telinga bergerak karena tiba-tiba mereka mendengar suara berkeresek. Seekor kelinci melompat dan Soat Eng tertegun, mengira bahaya tapi tak tahunya kelinci hutan. Maka begitu tertawa dan menendang batu tiba-tiba gadis itu menghajar kelinci ini yang menguik dan tewas seketika dengan kepala pecah.

"Ah, kenapa kau bunuh?" kakaknya menegur.

"Hi-hik, aku jadi lapar, Liong-ko. Dan kelinci itu juga telah mengagetkan kita!" Soat Eng berkelebat, menyambar kelinci ini dan segera dia tertawa-tawa. Kelinci yang dibunuh membuat Thai Liong mengerutkan kening tapi gadis itu tak perduli, malah menyambar ranting kering dan siap membuat api anggun. Dan ketika Thai Liong terbelalak dan adiknya tertawa-tawa maka Soat Eng membuat api dan minta berhenti dulu di situ.

"Aku lapar," katanya. "Tidakkah kau ingat berapa lama kita melakukan perjalanan?"

"Hm...!" Thai Liong tersenyum kecut. "Kau membuyarkan konsentrasiku, Eng-moi. Sungguh-sungguh aku memperhatikan peta tiba-tiba kau mengajak makan!"

"Habis, aku lapar, Liong-ko. Dan kebetulan juga lama tidak menikmati daging kelinci. Eh, kau mau, bukan? Atau membiarkan aku makan sendiri?"

Thai Liong tertawa, meloncat di dekat adiknya dan segera dia membantu adiknya itu. Adiknya sudah membuat api dan dia diminta menguliti kelinci itu, baru sebagian dan seekor kelinci lain tiba-tiba melompat, kaget dan Soat Eng sudah merobohkan kelinci ini pula. Dan ketika Tin Tin dan pasangannya ngak-nguk-ngak-nguk tak berani mendekat maka Soat Eng melempar kelinci kedua itu pada kakaknya, untuk dikuliti, menyuruh dua ekor gorila itu menyingkir dulu.

"Kalian beristirahatlah, jangan jauh-jauh."

Aneh, sepasang gorila ini mengerti. Mereka menjauh dan Soat Eng sudah duduk di dekat kakaknya, memanggang kelinci yang sudah dikuliti. Dan ketika gadis itu tertawa dan kakaknya tersenyum maka dua muda-mudi ini menikmati santapannya sambil bicara ngalor-ngidul. Soat Eng pada makanannya, sedangkan Thai Liong pada istana yang belum ditemukan. Nyatalah, pemuda itu masih terpusat perhatiannya pada Istana Hantu daripada makanan, hal yang membuat adiknya geli. Maklum, mereka jadi bertolak belakang. Dan ketika kelinci hampir habis dan Soat Eng membuang tulang-tulangnya mendadak gadis ini bangkit berdiri, berkata tertawa,

"Eh, kau ini luar biasa, Liong-ko. Di saat makan pun kau tak dapat melupakan Istana Hantu. Memangnya istana itu tak dapat kita temukan? Kita sudah di sini, Liong-ko. Sam-liong-to sudah ketemu dan peta juga sudah ada di tangan!"

"Benar, tapi sebelum menemukan istana itu sendiri aku tak akan sudah membicarakannya, Eng-moi. Aku tertarik dan sungguh-sungguh penasaran ingin mencarinya."

"Bukan kau saja!" adiknya mencela. Aku juga kepingin melihatnya, Liong-ko. Dan aku tak akan pulang kalau belum menemukan istana itu!"

"Hm, kita harus hati-hati, Eng-moi. Dan aku merasa sesuatu yang dingin. Eh, kau merasakan perobahan ini?" Thai Liong tiba-tiba bangkit berdiri merasa angin berkesiur tajam dan dua gorila yang tadi menghilang mendadak muncul lagi. Mereka ngak-nguk dengan muka gelisah, lari dan tersuruk-suruk menuju dua kakak beradik itu. Dan ketika Soat Eng juga merasakan angin yang bertiup tajam tiba-tiba tanah yang mereka injak bergetar.

"Apa ini, Liong-ko?" Soat Eng terkejut.

"Entahlah, hanya aku merasa sesuatu yang lain, Eng-moi. Perubahan suhu terjadi di sini. Eh, pohon itu bergoyang-goyang!" Thai Liong terbelalak, melihat pohon di sekitar mereka bergerak dan bumi pun bergetar dua tiga kali.

Tin Tin dan pasangannya mengeluarkan suara menguik dan kini dua ekor gorila itu berputar-putar. Aneh, mereka tiba-tiba ketakutan. Dan ketika bumi kembali bergetar dan Thai Liong kaget tiba-tiba pemuda ini berseru,

"Gempa!"

Soat Eng terkesiap. Angin yang berkesiur dingin sekonyong-konyong menerpa kencang, dan bersamaan dengan itu mendadak dua gorila di samping mereka terguling. Gempa, yang menggetarkan mereka tiba-tiba datang. Soat Eng baru sadar setelah kakaknya tadi berseru. Dan ketika angin bertiup kencang dan tanah yang mereka injak bergoyang-goyang maka semua pohon di situ berderak-derak dan gadis ini kaget, tergelincir dan hampir dia jatuh dan kakaknya menyambar dirinya, mencari tempat berlindung namun kebingungan.

Gosar dan pasangannya menguik-nguik dan panik, gempa semakin kuat dan terdengarlah, kini suara gemuruh di sekeliling mereka, kian lama kian kuat dan dua gorila itu sudah jatuh terbanting, berpelukan dan mereka mengeluh panjang pendek meminta tolong. Semua hewan di hutan tiba-tiba keluar, kera-kera bercecowetan sementara harimau mengaum-ngaum.

Dan ketika pohon-pohon mulai roboh dan satu dua berdebum di tempat itu maka Thai Liong pucat menghadapi kekuatan alam ini, melihat dua ekor gorila itu berlarian dan mereka pun keluar hutan. Kegaduhan dan kebisingan tiba-tiba melanda tempat itu. Thai Liong memanggil pasangan gorila itu namun Gosar dan temannya sudah terbirit-birit. Dan ketika pemuda itu kebingungan dan berteriak melawan gemuruhnya angin tiba-tiba sebatang pohon roboh di dekatnya.

"Bumm.....!"

Thai Liong meloncat ke kiri. Pemuda ini pucat melihat tanah yang tiba-tiba merekah, begitu saja di depannya. Dan ketika dia berteriak dan menyuruh adiknya berpegang erat-erat, tiba-tiba bumi kembali bergetar dan mereka pun jatuh, terpeleset dan Thai Liong panik mencari tempat aman. Dia berjungkir balik ke atas pohon namun pohon itu pun bergoyang-goyang, Soat Eng khawatir kalau pohon itu roboh. Dan ketika benar saja pohon itu roboh disusul gemuruhnya suara yang menyeramkan maka gadis ini berseru agar mereka keluar hutan.

"Keluar.... kita keluar! Jangan tinggal di sini lagi!"

"Tak bisa!" kakaknya berteriak. "Aku tak tahu jalan keluar, Eng-moi. Gosar dan Tin Tin telah meninggalkan kita. Kita terjebak!"

"Keparat, mana dua binatang jahanam itu? Kenapa kau tadi tak mencegahnya?"

"Sudahlah, tak perlu marah-marah, Eng-moi. Kita selamatkan diri saja dan hindari pohon-pohon tumbang...bum!" Thai Liong menghentikan kata-katanya, berjungkir balik karena sebatang pohon hampir menimpanya. Pemuda ini pucat menyelamatkan diri, lari dan mengajak adiknya ke sana-sini. Tapi karena gempa terus bergerak dan tanah selalu bergoyang-goyang maka Thai Liong gugup sementara tanpa terasa laut di sekeliling pulau membuih, bergelombang, terdengar suara-suara bergemuruh dari perut bumi dan Thai Liong terpelanting dua kali ketika terpeleset.

Soat Eng juga dua kali dan gadis itu pun pucat. Sekarang terasa seluruh pulau bergetar dan ke mana pun mereka lari tetap saja gempa mengikuti. Mereka tak tahu bahwa pulau ini sedang diserang letusan-letusan kecil. Secara aneh dan mentakjubkan pulau itu naik ke atas, sebuah gunung berapi akan naik ke permukaan dan ini semua dimulai dengan gempa.

Dan ketika dua orang itu panik dan hewan serta isi hutan menjerit tak keruan maka Thai Liong dan Soat Eng terjebak di dalam hutan, tak ingat lagi pada peta dan bayangan Istana Hantu juga dilupakan. Saat itu mereka jatuh bangun diguncang gempa. Sam-liong-to sedang bergerak dan pulau itu sebenarnya gunung berapi. Dan ketika letusan kecil berubah menjadi letusan besar dan tiba-tiba pulau bagian tengah meninggi dan membentuk kerucut tiba-tiba saja suara menggelegar membuat dua muda-mudi ini terlempar.

"Blarr!" Tampaklah kilatan api di udara. Thai Liong dan Soat Eng yang terpekik melihat itu mendadak menyadari bahwa mereka berada di sebuah gunung berapi, mendengar lagi suara menggelegar disusul muncratnya debu dan bebatuan. Sam-liong-to "batuk" dan baru sadarlah mereka bahwa pulau itu bukan sembarang pulau, melainkan gunung berapi yang tercipta di dasar lautan.

Dan ketika pasir dan batu dimuntahkan ke atas untuk akhirnya jatuh lagi ke bumi maka dua kakak beradik ini gentar dan ngeri melihat kedahsyatan alam, berteriak dan Soat Eng jatuh bangun menyambar kakaknya. Sekarang terlihatlah rasa ngeri dan takut di hati gadis ini, Thai Liong mengajaknya berlindung di mana saja, di pohon atau batu-batu besar, setiap kali harus menyingkir kalau batu atau pohon itu roboh, berderak atau berdebum di samping mereka.

Maklum, tanah sedang bergerak dan berkali-kali mereka melihat bumi yang merekah yang siap menelan mereka. Sekali terpelanting dan jatuh ke situ tentu lenyaplah mereka. Rekahan bumi seakan tanah kuburan yang siap memangsa mereka. Dan ketika suara letusan atau gelegaran itu disusul oleh bunyi aneh dari lautan yang kembali buas maka Soat Eng gemetar memegang lengan kakaknya.

"Celaka, kita akan mati di sini, Liong-ko. Kita bisa terkubur hidup-hidup!"

"Tenanglah, kalau gempa atau letusan ini terus-menerus memang kita akan tewas, Eng-moi. Tapi kukira ini kejadian alam yang sebentar saja."

"Bagaimana kau tahu?"

"Kira-kira saja, Eng-moi. Biasanya gunung berapi yang baru tercipta tak akan lama amukannya."

"Tapi aku takut....!"

"Ada aku di sini, Eng-moi. Tenanglah!" dan Thai Liong yang terus menghibur adiknya sambil mendengarkan suara gemuruh akhirnya mendengar suara bercuitan pula di laut, melihat gelombang yang tinggi dan tiba-tiba pemuda itu tertegun. Pulau yang terus bergerak naik akhirnya membuat mereka berdua berada di tempat yang lebih tinggi, kebetulan melihat gelombang pasang yang dahsyat sekali, debur atau buih ombak yang jauh lebih ganas daripada yang mereka alami.

Mengertilah Thai Liong bahwa kiranya badai atau topan yang mereka alami pertama adalah tanda akan munculnya gempa dan kegaduhan semua ini, bekerjanya gunung di dasar laut dan naiknya pulau Sam-liong-to. Berharap mudah-mudahan semuanya itu tidak berlangsung lama. Betapapun lebih dari tiga jam saja mereka bisa tewas, guguran dan jatuhan batu-batu yang dilemparkan gunung berapi itu cukup banyak, belum debunya yang berhamburan ke segala penjuru.

Dan ketika langit menjadi gelap dan Sam-liong-to terus bergerak dengan guncangan gempanya yang bertubi-tubi maka dua kakak beradik ini jatuh bangun dipermainkan kedahsyatan alam, melihat semburan api dan kilatan cahaya di angkasa. Indah namun menyeramkan! Dan ketika sejam kemudian semua suara-suara itu mereda dan kakak beradik Ini seakan lumpuh dicekam kejadian itu maka tiga puluh menit kemudian suara-suara ini lenyap namun mereka melihat sesuatu yang mentakjubkan disana, di sebelah kiri mereka di mana tiba-tiba muncul sebuah atap bangunan.

Mula-mula Thai Liong terbelalak, mengira mimpi. Matahari yang bergeser ke barat akhirnya menembus gumpalan debu yang membentuk semacam awan hitam, lorongnya keemas-emasan dan tepat sekali jatuh di atas bangunan ini, yang juga menjadi keemas-emasan dan sinarnya berkilauan memantul ke segenap penjuru. Thai Liong terpusat perhatiannya karena itulah yang pertama kali dilihat, tidak seperti adiknya yang sedang memandang ke kanan, melihat bergelimpangannya binatang-binatang yang tewas dan harimau serta kera terjepit di antara tumpukan batu-batu besar.

Soat Eng melihat semuanya itu dan tertegun, memberi tahu kakaknya tapi jadi bengong ketika menoleh, mengamati puncak bangunan yang keemasan itu, indah tertimpa sinar matahari yang membentuk lorong kekuningan. Dan ketika dua kakak beradik itu jadi terpusat perhatiannya ke sini dan Soat Eng bengong memandang itu tiba-tiba gadis ini meloncat dan berseru,

"Istana Hantu!"

Thai Liong terkesiap. Tanpa terasa ia mengangguk dan mengiyakan, sudah menduga tapi adiknya lebih dulu berseru. Dan ketika adiknya melonjak dan terdengar suara menguik di belakang mereka maka Gosar dan Tin Tin muncul, basah kuyup bermandi keringat, tak diperdulikan gadis ini karena tiba-tiba Soat Eng berteriak girang, berkelebat dan menuju ke atap bangunan itu. Dan begitu gadis itu berseru mendahului kakaknya tiba-tiba Soat Eng melupakan puluhan hewan-hewan yang tak bernyawa untuk terbang menuju ke tempat ini, yang tak jauh dari mereka.

"Liong-ko, kita menemukan Istana Hantu. Istana itu di bawah tanah, hayo kita lihat....!"

Thai Liong menggerakkan kaki. Melihat adiknya berteriak menghambur ke tempat itu tiba-tiba pemuda ini berkelebat dan menyusul. Adiknya sudah mendahului dan lupa pada sekitar. Bongkahan bumi yang merekah dilompati begitu saja seakan terbang, sekali terjeblos adiknya bisa celaka. Maka berteriak memperingatkan adiknya pemuda ini menyusul dan berseru, "Eng-moi, hati-hati. Kita belum mengenal bangunan itu!"

"Ah, itu Istana Hantu, Liong-ko. Ini istana yang kita cari-cari....!"

"Benar, tapi jangan masuk dulu, Eng-moi. Tunggu aku!" dan Thai Liong yang berkelebat menyambar adiknya akhirnya tak memperbolehkan adiknya bersikap sembrono, terbang berendengan kakak beradik itu akhirnya tiba di tempat ini.

Atap bangunan yang muncul sekarang terlihat lebih jelas lagi, muncul dari permukaan tanah dan tanpa sengaja mereka bisa mendapatkannya lebih mudah. Dulu Ji Pin dan temannya tak berhasil mencari karena istana ini ternyata terpendam, harus dicari dan mungkin mereka harus menemukan jalan yang lain, memasuki guha bawah tanah seperti yang dicari-cari Thai Liong, putera Pendekar Rambut Emas ini.

Dan karena gempa serta tanda-tanda munculnya gunung berapi telah mengangkat naik permukaan pulau Sam-liong-to tak kurang dari tiga meter maka istana yang berada di dalam tanah itu muncul, mencuat dan atap bangunannya terlihat putera-puteri Pendekar Rambut Emas itu. Thai Liong dan adiknya sudah tiba di tempat ini, berhenti dan berada di wuwungan bangunan itu, yang dapat diduga sebagai atap atau puncak Istana Hantu. Dan begitu mereka berhenti dan Soat Eng terkekeh gembira tiba-tiba gadis itu melihat sebuah lubang di atap bangunan, yang sedikit retak akibat gempa.

"Kita masuk...!"

"Nanti dulu!" sang kakak menyambar. "Jangan sembrono, Eng-moi. Hati-hati!" dan suara ngak-nguk di belakang yang segera disusul dengan munculnya sepasang gorila itu akhirnya membuat Thai Liong menoleh dan melihat gorila jantan serta betina terengah-engah, memberi tanda dengan menggerak-gerakkan jari seakan mencegah mereka masuk.

Thai Liong maupun Soat Eng tak mengerti tapi begitu kakaknya lengah tiba-tiba gadis ini menarik tangannya, lepas dan mamberosot memasuki lubang atau celah di puncak bangunan itu. Tapi baru sebagian kakinya masuk dan terdengar suara gemeratak dari dalam tiba-tiba menyambar tiga panah kecil ke tubuh gadis itu.

"Hayaa.....!" Soat Eng berjungkir balik. Gadis ini berteriak kaget dan keluar kembali, panah menyambar Thai Liong dan pemuda itu membentak, menggerakkan tangan menyampok. Dan ketika suara di dalam lenyap dan tiga panah itu runtuh ke tanah maka Soat Eng sudah melayang turun sementara kakaknya mengusap keringat, menegur.

"Lihat, hampir kau membawa celaka, Eng-moi. Kau terburu-buru dan gegabah!"

"Maaf," gadis itu merah mukanya. "Aku tak menyangka, Liong-ko. Dan sekarang biarlah aku menurut padamu!"

"Hm,..." Thai Liong yang tidak menegur adiknya lagi lalu memungut tiga panah kecil itu, mengamatinya dan melihat bahwa panah-panah ini beracun, ujungnya mengkilap kebiruan dan hal itu ditunjukkannya kepada adiknya. Dan ketika Soat Eng mengangguk dan meminta maaf maka Tin Tin dan gorila jantan menggaruk-garukkan kaki, ngak-nguk.

"Mereka ini memberi isyarat, menuding-nuding. Apakah minta agar kita tidak memasuki istana ini?"

"Ah, tak perlu digubris. Kalau sembrono seperti aku mungkin begitu, Liong-ko. Tapi kau mempunyai peta. Sebaiknya lihat peta itu dan kita masuk melalui jalan yang benar!"

Thai Liong tertegun. Sekarang dia teringat bahwa peta memang ada di tangannya, cepat merogoh dan mengeluarkan benda itu. Dan ketika dia membuka dan memperhatikan garis-garis di peta maka gorila betina mendengus-dengus di belakangnya, mengganggu dan gorila jantan juga menguik-nguik. Aneh dua binatang itu. Mereka gelisah dan berkali-kali menoleh ke belakang. Dan ketika Thai Liong mengerutkan kening dan Soat Eng jengkel maka gadis itu membentak agar dua gorila ini menjauh.

"Pergi kalian, jangan mengganggu!"

Dua binatang itu mundur. Thai Liong tak tahu bahwa dengan firasatnya yang tajam luar biasa binatang itu hendak memberi tahu mereka bahwa seseorang mendatangi pulau, masih jauh di lautan. Bahwa di tengah lautan sedang terombang-ambing sebuah kapal besar, diamuk gempa dan badai dan mereka itu akan terdampar di Sam-liong-to, atau mungkin sengaja akan datang di pulau itu, mencari-cari Sam-liong-to seperti halnya Ji Pin dan temannya.

Dan ketika dua binatang itu menjauh dibentak Soat Eng maka gadis ini mengamati bersama kakaknya, melihat peta dan segera ditemukan jalan masuk, berliku dan berlorong dan semuanya itu dimulai dari bawah laut, yakni dipesisir di mana mereka harus mencari teluk kecil. Thai Liong telah melihat teluk ini namun tadi tak memperhatikan, yakni teluk yang melekuk ke dalam di sebelah selatan pulau. Dan begitu Thai Liong tertegun dan melipat peta maka adiknya berseru menahan gemas,

"Wah, kita harus menyelam. Memasuki Istana Hantu berarti dimulai dengan pakaian basah kuyup di bawah laut!"

"Benar, dan ada guha di bawah teluk itu, Eng-moi. Kita harus ke sana untuk akhirnya tiba di sini lagi."

"Dan berenang seperti ikan?"

"Eh, kau mau, bukan? Ini jalan paling aman, Eng-moi. Pantas Istana Hantu tak terlihat dari atas karena istana itu terpendam!"

"Ya, dan kita akan mulai dari bawah, menyusur dan menyelam. Eh, aku mau, Liong-ko. Dan kau akan menjadi penunjuk jalan, bukan? Ayo, kita ke sana. Aku tak sabar!" dan Soat Eng yang berkelebat menuju teluk tiba-tiba menyambar kakaknya dan meninggalkan puncak bangunan itu, tak mau sembrono dan kakaknya mengangguk.

Menurut peta mereka harus menyelam dan mencari guha bawah laut, di situlah mereka akan naik dan memasuki Istana Hantu. Dan karena mereka sudah mengetahui teluk yang dimaksud dan tanda-tanda atau rahasia peta harus dipecahkan sendiri maka Thai Liong berkelebat dan bersama adiknya menuju ke teluk itu, tiba di sini dan mereka mencari sebuah batu besar. Di bawah batu itulah katanya terdapat guha bawah laut, jadi batu itu sendiri mungkin bagian atasnya dan Soat Eng girang, meloncat dan sudah bersiap di atasnya. Tapi sebelum dia terjun dan mendahului kakaknya tiba-tiba Thai Liong berkata bahwa dia akan menyelidiki dulu.

"Sebaiknya kau di sini, menunggu. Biar aku yang menyelam dan melihat apakah benar guha itu ada atau tidak."

Lalu tidak menunggu adiknya membantah Thai Liong mencebur dan terjun kelaut, menyelam berenang dan adiknya menjaga. Soat Eng memang tak dapat mendahului lagi karena kakaknyu sudah meloncat lebih dulu, mereka berdua dapat berenang dan tidak takut di air. Dan ketika Soat Eng menunggu kakaknya sementara Thai Liong sendiri menyelam dan sudah mencari guha bawah laut maka pemuda itu berenang dan menahan napas sambil mengamati, tak lama kemudian menemukan guha itu dan semacam terowongan atau guha bawah laut terlihat, didekati dan pemuda ini sudah masuk ke dalamnya. Tapi baru setombak dia masuk tiba-tiba berkelebat bayangan seekor hiu yang langsung menyerangnya.

"Plak!" Thai Liong menampar. Hiu dibuat terpental dan binatang itu terdorong jauh, lari namun dua ekor binatang lain muncul, hiu yang lebih besar. Tapi begitu Thai Liong mendorong dan menggerakkan tangannya lagi maka dua ekor binatang buas itu dapat diusir dan pemuda ini masuk ke dalam, mendapat kenyataan bahwa guha bawah laut itu dalam, kian jauh kian ke atas. Dan ketika dia hampir tiba di tempat di mana air setinggi lutut mendadak sebuah belalai panjang melibatnya dari samping.

"Gurita!" Thai Liong terkejut. Seekor gurita besar menjaga di mulut guha yang mulai dangkal, cepat sekali belalai yang lain bergerak dan melingkari tubuhnya. Thai Liong terkejut namun tidak panik, tangannya bergerak dan sekali remas dia menghancurkan sepasang belalai yang menggubat lengannya. Dan ketika gurita itu kesakitan dan Thai Liong menggerakkan tangan yang lain akhirnya belalai gurita itu putus semua namun gurita itu mengeluarkan cairan hitam dari bawah tubuhnya.

"Push!" suara ini seperti kentut. Cairan hitam yang keluar dari bagian tubuh bawah gurita diiringi bunyi menggelutuk di dalam air. Gurita itu lari dengan kesakitan, belalai-belalainya yang putus diremas Thai Liong membuat binatang itu takut.

Tapi ketika Thai Liong tersenyum dan lengah terhadap cairan hitam ini mendadak kepalanya pening dan Thai Liong seakan tercekik tenggorokannya oleh sesuatu yang berat, tersentak dan sadarlah pemuda itu bahwa racun yang aneh menyerangnya; kulit menjadi gatal-gatal dan saat itu juga dia seakan mendengar bunyi mendengung. Telinganya sakit dan cepat Thai Liong berenang ke atas, menuju tempat dangkal di mana air laut tak membasahi tempat itu. Dan begitu dia tiba di sini dan gugup serta pucat tiba-tiba Thai Liong terjatuh.

"Ah, tinta beracun!" Thai Liong teringat, pernah mendengar hal semacam itu pada seekor cumi-cumi. Tak ayal pemuda ini mengambil obat dan menelan sebutir, obat penawar racun. Dan ketika peningnya hilang dan rasa gatal juga lenyap maka Thai Liong bergidik namun lega, duduk terengah dan cepat bersila. Betapapun dia harus mengerahkan sinkangnya melindungi diri, sisa-sisa racun harus dikeluarkan dan beberapa menit kemudian barulah dia benar-benar merasa sehat.

Dan ketika Thai Liong bangkit berdiri dan mengamati guha lebih jauh ternyata ada tangga berbatu yang terus naik ke atas, samar-samar dan suram dan Thai Liong merasa cukup. Tugasnya hanya menyelidiki apakah guha bawah laut benar-benar ada di situ, selebihnya akan dikerjakannya bersama adiknya. Dan karena ruangan itu gelap dan harus menyiapkan obor maka Thai Liong kembali lagi dan muncul di tempat di mana adiknya menunggu, basah semua, dengan muka yang berseri-seri.

"Ada!" seruan ini menggirangkan adiknya. "Guha itu ada di sana, Eng-moi. Tapi kita siapkan kayu bakar dan api!"

Soat Eng terbelalak. "Apa saja yang kau lihat?"

"Ah, seekor gurita, Eng-moi, juga hiu. Tapi mereka sudah kuusir pergi dan aman!" pemuda ini meloncat naik, menceritakan pada adiknya dan Soat Eng berseri-seri.

Apa yang diceritakan kakaknya tidak membuatnya takut. Maka begitu kakaknya selesai bercerita dan keinginannya tak dapat ditunda tiba-tiba gadis ini ingin terjun dan menyelam ke bawah laut.

"Tunggu, nanti dulu, Eng-moi. Kita harus menyiapkan kayu bakar untuk obor!"

"Eh, tempat itu gelap?"

"Benar, dan dingin!"

"Ah, gampang, Liong-ko. Ini ada obor untuk itu. Tapi bagaimana supaya tidak basah?"

"Serahkan padaku... slup!" dan Thai Liong yang membuka mulutnya menyembunyikan ujung bambu tiba-tiba tertawa dan mengajak adiknya terjun, kini meloncat dan Soat Eng pun terkekeh.

Obor sudah ada di tangan dan tinggal menghidupkannya saja, nanti kalau didalam guha. Dan begitu kakaknya terjun dan menyelam segera gadis ini mengikuti, tak tahu bahwa sebuah kapal sudah merapat dan Sam-liong-to kedatangan tamu, menyelam dan berenang mengikuti kakaknya itu. Dan begitu kakak beradik ini menghilang dan lenyap di bawah laut maka Thai Liong sudah menuntun adiknya ke guha terowongan, bebas dari segala pengganggu karena pemuda itu telah mengusir penghalang di depan. Tiga ekor hiu dan seekor gurita telah dibuatnya ketakutan. Dan ketika sekejap kemudian pemuda ini telah memasuki terowongan itu dan terus menyusur untuk akhirnya sampai di tempat menanjak di mana guha sudah tak dibasahi air laut lagi maka pemuda itu tertawa menarik obor yang dihisap di mulut.

"Nah, kita sampai. Inilah guha atau terowongan menuju istana itu!"

Soat Eng tertegun. Tempat itu gelap, dia agak kedinginan namun cepat mengerahkan sinkang, menghangatkan diri sendiri dan kakaknya sudah di tangga batu itu. Soat Eng melihat betapa sebuah undak-undakan akan membawa mereka ke dalam, suram dan samar-samar namun mata mereka yang tajam dapat menembus semua kegelapan itu, maklumlah, mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi. Dan ketika kakaknya menyalakan obor dan tempat itu jelas tiba-tiba Soat Eng berteriak karena di atas kepala kakaknya terdapat sebuah tengkorak yang mati menggantung.

"Heii.....!"

Thai Liong menoleh. Pandangan adiknya yang ngeri dan kaget membuat dia juga ikut kaget. Tangan bergetar dan siap menampar, mengira ular atau benda berbahaya, yang akan menyerangnya. Tapi begitu tertegun melihat tengkorak ini maka dia pun ganti terkejut melihat di atas kepala adiknya juga terdapat sebuah tengkorak lain.

"Itu juga!"

Soat Eng meloncat. Gadis ini terkesiap dan berseru tertahan, membalik dan melihat tengkorak itu. Tapi ketika kakaknya tertawa dan menuding sana-sini ternyata di mana-mana hampir terdapat tengkorak manusia.

"lh!" gadis itu merasa seram. "Tempat ini seakan tempat hantu, Liong-ko. Menyeramkan sekali!"

"Jangan takut. Kita memang memasuki Istana Hantu, Eng-moi. Bukankah wajar dan masuk akal juga? Sudahlah, kau tak takut, bukan?"

"Tidak, aku tidak takut. Hanya merasa seram!"

"Hm, aku juga. Tempat ini dingin menyeramkan, tapi kita tak usah gentar. Ayo naik!" dan Thai Liong yang mengajak adiknya masuk dan menaiki tangga batu mulai berjalan dan hati-hati mengamati sekeliling, perlahan tetapi pasti mulai berjalan dengan obor di tangan.

Meskipun mereka memiliki mata yang tajam namun sebaiknya ada penerangan juga di situ. Mata hanya dapat dipergunakan secara terbatas, jarak jangkauannya tak akan lebih panjang dibanding dengan api penerangan. Dan ketika setapak mereka mulai maju dan tangga berbatu mulai diinjak maka, suara berkerasak terdengar di bawah kaki di mana tangga tiba-tiba seakan bergetar, ruangan itu memantulkan balik suara mereka sendiri, bunyi mencicit tiba-tiba terdengar di sana-sini dan Soat Eng pucat. Dan ketika satu saat kaki kirinya serasa diterjang seekor tikus besar di mana tikus itu juga menggigitnya maka gadis ini berteriak dan kakaknya terkejut.

"Ada apa?"

"Tikus! Kakiku digigit tikus, Liong-ko. Jahanam keparat!"

"Ah," kakaknya tertawa. "Jangan marah-marah di tempat seperti ini. Eng-moi. Kendalikan rasa ngerimu dan jangan bikin aku kaget."

"Hm, mana bisa binatang menjijkkan itu tak membuatku ngeri? Kakinya merayap dingin, Liong-ko. Dan tubuhnya basah serta licin!"

"Sudahlah, kau berpegangan tanganku," dan Thai Liong yang tersenyum menyabarkan adiknya lalu mengajak adiknya menyusuri lorong itu, mulai memasuki lagi sebuah ruangan dan di sana-sini tampak bayangan gelap dari dinding atau ruangan yang setengah terbuka, dapat menimbulkan pikiran macam-macam karena bayangan itu seolah hantu atau siluman yang siap mencekik mereka dari belakang, mengerikan sekali. Dan ketika perlahan tetapi pasti Thai Liong mulai memasuki istana itu maka beberapa benda berkilau mulai kelihatan dan memantul dari dinding batu.

"Apa itu?"

"Tampaknya, manik-manik atau mutiara yang menghiasi dinding."

"Bukan mata siluman, Liong-ko?"

"Ah, bukan, Eng-moi. Coba kita dekati dan mari lihat."

"Aku merinding!"

"Sudahlah, berpegangan tanganku dan kita dekati," Thai Liong tertawa, mengagumkan adiknya karena pemuda itu tampaknya tak takut sedikit pun, membesarkan hati gadis ini dan Soat Eng malu sendiri.

Ih, kenapa dia begini penakut? Masa sebagai puteri Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas) dia harus jerih dan takut menghadapi semuanya itu? Ah, jawab hati nuraninya. Aku tidak takut, hanya seram. Bukankah sebagai wanita adalah wajar jika gampang berdiri bulu romanya memasuki Istana Hantu? Dan istana itu tadi telah menyambut mereka dengan belasan tengkorak yang bergelantungan. Kalau bukan dia mungkin sudah roboh pingsan! Maka mengeraskan hati menggigit bibir Soat Eng lalu mengusir jauh-jauh perasaannya yang seram, terpengaruh atau terbawa oleh ketenangan sikap kakaknya yang gagah.

Thai Liong telah mendekati benda-benda berkilauan itu dan ternyata memang benar sejenis manik-manik atau mutiara sintetis, gemerlapan disana-sini namun terpasang dalam jarak yang berjauhan. Berkilau atau mengeluarkan sinar karena pantulan cahaya obor mereka, itulah sebabnya tiba-tiba manik-manik itu menjadi hidup dan seakan mata siluman, atau harimau yang kadang berkelap-kelip seakan hantu mengedip. Ah, semuanya ini memang menyeramkan. Dan ketika Thai Liong tertawa dan merenggut sebuah manik-manik maka pemuda itu menunjukkannya kepada adiknya,

"Nah, lihat. Bukan mata hantu, Eng-moi. Melainkan manik-manik atau sejenis mutiara sintetis. Kau tak perlu takut atau ngeri. Di mana keberanianmu yang biasa kau perlihatkan sehari-hari?"

"Ah, aku bukannya takut, Liong-ko. Melainkan semata merasa seram. He, mata apa itu?" Soat Eng tiba-tiba menuding, melihat dua bola berkejap dan kemudian menghilang. Seruannya itu mengejutkan Thai Liong dan cepat pemuda itu menengok, melihat sekilas "mata hantu" yang dituding itu, lenyap dan entah apa. Dan ketika mereka mulai mendengar angin berkesiur dan tempat itu terasa lebih dingin tiba-tiba terdengar suara berkelotak disusul semacam bunyi piring pecah.

"Apa itu?"

"Entahlah. Kita lihat, Eng-moi. Mari!" dan Thai Liong yang mengangkat obornya tinggi-tinggi mendadak berkelebat sambil menarik tangan adiknya ini, menuju ke asal suara namun tiba-tiba dari segala penjuru terdengar bunyi-bunyian aneh. Mula-mula seperti suara berkelinting dan Soat Eng lagi-lagi terkejut, disusul suara-suara lain seperti orang berjalan-jalan tapi tak ada orangnya.

Dan ketika di tempat itu terdengar kekeh-kekeh lembut namun tak tampak bayangannya maka Thai Liong tertegun dan berdiri bulu romanya, mencari namun tak ada siapa pun. Tawa dan derak sepatu itu masih jelas terdengar, kadang di kiri dạn kadang di kanan. Thai Liong membentak namun suaranya tiba-tiba menggetarkan ruangan.

Bunyi kelepak mengejutkan pemuda ini dan tiba-tiba ratusan kelelawar turun, berkelebatan dan mereka mencicit seakan orang kaget. Bentakan Thai Liong tadi merontokkan binatang-binatang malam itu yang menempel di langit-langit istana, tentu saja juga mengejutkan Soat Eng. Dan ketika empat kelelawar terbang di mukanya dan kelepak sayap mereka hampir mengenai muka gadis ini maka Soat Eng menjerit sementara obor di tangan kakaknya juga padam.

"Blub!"

Thai Liong tersentak. Obornya seakan ditiup setan, dinyalakan tapi padam lagi. Dan ketika bunyi mencicit disusul lagi oleh bunyi-bunyian aneh seakan detak sepatu atau tawa yang menyeramkan tiba-tiba Soat Eag menginjak sesuatu dan bunyi menjepret menyambar gadis ini.

"Aihhh....!" Soat Eng berjungkir balik, kaget dan terkesiap dan tentu saja meloncat tinggi. Dia berputar di udara tiga kali untuk menyelamatkan diri. Dan ketika dia melayang turun dan melihat bahwa yang menjepret itu adalah sesosok tengkorak yang digerakkan dengan per dari bawah maka gadis ini mengutuk dan mencaci maki.

"Keparat! Jahanam...!" gadis itu melotot. Kiranya tanpa sengaja ia tadi menginjak alat rahasia di lantai itu, yang kontan menggerakkan sesosok tengkorak yang masih utuh, berkelotak dan rontok setelah hampir mengenai tubuhnya tadi. Dan ketika kakaknya terkejut karena ruangan menjadi gelap-gulita maka Soat Eng menyambar lengan kakaknya mengandalkan pendengaran, menggigil.

"Tempat ini sarang siluman.Bagaimana sekarang, Liong-ko? Kenapa obormu selalu padam?"

"Entahlah...!" pemuda itu berkeringat. "Aku rasa ruangan ini menyeramkan, Eng-moi. Seolah banyak berkeliaran hantu-hantu penasaran!"

"Kau percaya adanya hantu?"

"Percaya atau tidak tapi nyatanya tempat ini begini, Eng-moi. Kita harus keluar dan lihat ruangan apa ini!" Thai Liong berkelebat, hapal pintu keluar dan adiknya mendesis dengan keringat sedingin kakaknya. Betapapun suara-suara tanpa rupa itu menyeramkan mereka. Dan ketika mereka sudah di luar dan obor dapat dinyalakan kembali ternyata ruangan itu adalah ruangan jasad, seperti apa yang terpampang di pintu masuknya.

"Makam para hukuman!"

Soat Eng dan kakaknya tertegun. Sekarang mereka melihat tulisan itu, bahwa tempat yang mereka masuki tadi adalah kuburan, mungkin kuburan massal bagi para hukuman yang mati, tewas atau mungkin dibunuh. Dan ketika Soat Eng menjublak maka kakaknya mundur dan cepat mencabut peta.

"Kita salah masuk, sebaiknya melihat peta dan mengikuti petunjuk-petunjuknya."

Soat Eng menggigil. Tempat begini menyeramkan membuat gadis itu seakan memasuki dunia asing, suatu dunia lain di mana roh-roh yang penasaran bergentayangan di situ, ada yang tertawa dan ada pula yang berjalan-jalan. Padahal semuanya itu tadi tak ada orangnya. Bahkan tadi ada pula seperti yang menangis. Dan ketika Soat Eng pucat dan kata-kata kakaknya hampir tak didengar maka Thai Liong sudah mengambil petanya dan mengamati di bawah obor penerangan, yang kini tak padam lagi ditiup setan!

"Ini kuburan massal, tempat para hukuman yang berdosa. Dan itu ruangan dalam serta tempat tinggal penghuni istana. Nah, di sini kita harus berjalan, Eng-moi. Kita harus ke kiri dan belok ke kanan."

Namun Soat Eng tak menjawab.

"Eh, kenapa kau ini?"

"Aku masih merasa ngeri!" gadis itu menggigil, tersendat. "Baru kali ini aku membuktikan adanya dunia hantu, Liong-ko. Kukira dongeng tapi kiranya sungguh-sungguh!"

"Sudahlah," kakaknya menenteramkan. ―Aku juga ngeri, Eng-moi. Tapi hantu tak dapat mencelakai manusia. Dunia hantu adalah dunia roh halus, mereka tak dapat ke dunia kasar ke tempat kita."

"Benarkah? Tapi kenapa suara tawa dan orang berjalan-jalan itu terdengar? Dan tadi ada yang menangis, Liong-ko. Aku merasa seram karena tempat ini benar-benar tempat hantu!"

"Tak perlu takut. Tadi kita salah masuk, Eng-moi. Sekarang tak perlu ke situ lagi. Kita cari tempat yang lain dan ayo masuki ruangan permaisuri atau raja. Aku telah menemukan petunjuknya!"

Soat Eng lemah. Meskipun gagah dan pemberani namun sebagai manusia biasa gadis ini tak tahan menghadapi dunia hantu. Suara-suara menyeramkan itu seumur hidup pasti akan diingatnya, tak mungkin lupa. Dan ketika kakaknya menyambar lengannya dan naik ke tangga batu sebelah kiri akhirnya dia diajak ke tempat yang lebih baik, membelok ke kanan dan mulailah Thai Liong mengikuti petunjuk peta.

Lorong-lorong berdebu mereka masuki namun kini suasananya lebih menenteramkan, meskipun masih tetap dingin. Dan ketika ruangan besar dan luas mulai mereka lihat dan tempatnya juga lebih terang dan jelas akhirnya cahaya matahari mulai masuk dan di sini obor mereka padamkan, tanda mereka telah berada di tempat yang tinggi dan tadi berkali-kali terus naik menanjak.

"Nah, ini taman permaisuri. Itu tentu bekas kaputren!"

Soat Eng bersinar-sinar. Setelah kakaknya mengajak naik dan tempat di bawah mereka tinggalkan maka gadis ini mulai tenang dan lega. Kakaknya benar-benar mengagumkan karena tampaknya hanya sedikit saja terpengaruh oleh kejadian di bawah, di tempat kuburan tadi. Dan begitu kakaknya menuding dan bekas taman masih terlihat jelas maka gadis itu menarik tangannya meloncat ke kiri.

"Benar, ini taman, Liong-ko. Dan indah sekali patung batu ini!" Soat Eng berseru, memuji sebuah patung yang berada di tengah taman, Patung itu patung seorang laki-laki menunggang kuda, tidak begitu besar namun tampak hidup, halus dan tinggi nilai seninya. Tapi begitu patung disentuh dan ditepuk kepalanya mendadak terdengar bunyi mencuit dan tiga sinar hitam menyambar gadis ini.

"Awas!"

Soat Eng terkejut. Seruan kakaknya yang membuat dia tersentak sudah tak mungkin menghindari tiga sinar hitam ini. Sinar itu melesat dari mata patung, jarak terlampau dekat dan Soat Eng mengibas, mengerahkan sinkangnya dan cepat dia menampar atau menyampok. Kalau sudah begini maka pedang pun bisa disampoknya patah. Dan ketika benar saja tiga sinar hitam itu terpukul dan runtuh ke tanah maka Soat Eng melihat bahwa itu adalah tiga panah kecil yang berbisa.

"Kau tak apa-apa?"

Soat Eng menggeleng, agak berubah mukanya. "Tidak, maaf, Liong-ko. Aku sembrono...."

"Hm, ini seperti panah di luar tadi, Eng-moi. Panah beracun! Kau tak terluka?"

"Tidak...!"

"Lain kali hati-hati, sebaiknya semua benda di sini jangan dipegang dulu!" dan ketika adiknya mengangguk dan tergetar oleh kejadian ini maka Thai Liong mengamati dan melihat sekeliling, mulai takjub akan bentuk atau ruangan di tempat itu, memuji dan membawa adiknya masuk ke dalam.

Dan ketika kamar-kamar atau ruangan indah mereka masuki dan satu demi satu kakak beradik ini mendapatkan bahwa di setiap kamar pasti ada patung atau benda-benda lain seperti pot bunga atau jambangan akhirnya mereka tiba di sebuah tempat di mana ada bunyi gemericik dari air yang mengalir, meloncat dan tertegun.

Karena begitu mereka tiba di tempat ini dan melihat apa yang ada tiba-tiba Soat Eng melengos karena tempat itu penuh dengan patung-patung telanjang, laki perempuan dan satu di antaranya mengeluarkan suara gemericik itu, patung seorang laki-laki di mana dari alat rahasianya mengucur air jernih itu. Jadi patung ini seolah sedang kencing. Meskipun patung tapi semuanya ditonjolkan begitu jelas. Tentu saja Soat Eng malu! Dan ketika gadis itu mencaci dan meloncat ke tempat lain maka kakaknya tertegun dan Thai Liong sendiri juga semburat.

"Aih, patung seni bernilai tinggi!" Thai Liong berseru, mengagumi keindahan patung dari kacamata seorang seniman. Bentuknya begitu halus dan pahatannya luar biasa, benar-benar seperti manusia hidup. Jantan dan perkasa! Tapi adiknya yang mendengus dan mengomel panjang pendek justeru menyemprot.

"Huh, seni apanya, Liong-ko. Patung itu cabul dan kurang ajar. Aku benci!‖ dan Soat Eng yang marah memandang tempat lain tiba-tiba melihat juga patung-patung yang mirip, kini patung wanita dan gadis itu jengah sekali. Air mancurnya ada yang dari telinga atau hidung, mulut atau tempat lain. Dan ketika Soat Eng terbelalak karena ada patung yang dianggap kurang ajar tiba-tiba dia menggerakkan kaki dan ditendanglah patung wanita itu, yang sedang pipis.

"Dess!"

Thai Liong terkejut. Patung yang ini belum dilihatnya. Tapi begitu adiknya menendang dan patung itu hancur mendadak terdengar suara menggelegar dan bergetarlah bumi yang mereka injak, disusul meluncurnya sebongkah batu besar dari atas dan batu itu tepat sekali jatuh di kepala adiknya. Thai Liong berkelebat dan menampar, berteriak agar adiknya minggir, menjauh. Dan ketika Soat Eng melempar tubuh bergulingan dan batu itu jatuh ke lantai maka suaranya yang berdebum sungguh membuat semangat seakan terbang.

"Bumm!" Suara ini sanggup merontokkan nyali seorang penakut. Ruangan bergetar hebat dan batu itu pecah, pertama oleh pukulan Thai Liang tadi dan kedua akibat benturannya yang keras ke lantai, Soat Eng pucat meloncat bangun sementara kakaknya menegur dengan keringat di dahi. Dan ketika Soat Eng tertegun dan kakaknya marah maka gadis itu membela diri dengan suara uring-uringan.

"Aku menendang patung itu karena keterlaluan. Kalau tidak cabul dan keterlaluan tak mungkin aku menendangnya, Liong-ko. Pembuat patung ini orang tak tahu malu dan cabul!"

"Hm, jangan menyalahkan pembuat patung, Eng-moi. Pembuat pasti membuat atas perintah seseorang. Memang patung ini rata-rata kurang ajar tapi mereka tetaplah patung!"

"Benar, tapi kalau begini keterlaluan, Liong-ko, saru!"

"Kalau begitu kita ke tempat lain, tak usah di sini lagi!" dan Thai Liong yang berkelebat menyambar adiknya lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke ruangan lain, tergetar dan dag-dig-dug karena adiknya tadi hampir celaka.

Tapi adiknya bengong di tempat, hampir saja tertimpa batu sebesar gajah! Dan ketika dia berputaran dan mengelilingi istana maka Thai Liong menemukan tempat tidur para pangeran, terbukti dari nama-nama yang terpampang di pintu masuk, besar dan kokoh tapi di sini pun ada patung seperti tadi, meskipun hanya setengah telanjang, sebagian besar patung wanita dan Soat Eng mengomel panjang pendek. Rata-rata patung di situ adalah patung yang memperlihatkan buah dada, bagian ke bawah ditutup tapi bagian atas diperlihatkan jelas-jelas.

Lagi-lagi Soat Eng mengomel karena pembuat patung adalah seorang cabul, pikirannya pada yang buruk-buruk dan Thai Liong merah mukanya. Kalau tadi lelaki telanjang adalah sekarang patung wanita yang setengah telanjang. Memang harus diakui bahwa semua patung-patung itu indah dan memiliki seni yang tinggi, karena rata-rata tampak hidup dan bersinar. Tapi karena model patung rata-rata begitu dan Thai Liong melengos maka dia mengajak adiknya ke ruangan atas, naik ke tempat yang menurut pikiran mereka hampir di puncak bangunan, yang atasnya menonjol di permukaan tanah itu.

"Kita ke atas, cari tempat harta dan ruangan yang menyimpan kitab!"

"Untuk apa dengan harta? Ruang perpustakaan boleh kita cari, Liong-ko. Tapi ruang harta sebaiknya tak perlu!"

"Eh," kakaknya memperingatkan. "Ji Pin menunggu kita, Eng-moi. Dan kita telah berjanji untuk memberikan harta peninggalan padanya!"

"Hm," Soat Eng teringat. "Kalau begitu boleh, Liong-ko. Terserah padamu!" dan Soat Eng yang tidak membantah serta mengikuti kakaknya lagi lalu mencari dan membuka peta, semakin ke atas semakin terang dan cahaya matahari kini tampak di celah-celah ruangan. Thai Liong teringat bahwa gempa telah meretakkan beberapa bagian istana ini, cahaya matahari masuk dan mereka pun lebih jelas. Namun ketika ruang yang dicari belum ketemu dan istana itu juga terlalu luas untuk dikelilingi mendadak mereka mendengar suara-suara aneh di atas.

"Ada orang," Thai Liong tertegun. "Tidakkah salah pendengaran kita?"

"Hm," adiknya kebat-kebit, teringat suara-suara hantu di ruang bawah. kuburan masal. "Apakah tidak salah, Liong-ko? Aku khawatir jangan-jangan hantu di bawah itu kini mengganggu kita dengan suaranya di atas!"

"Entahlah, coba dengar," dan Thai Liong yang mempertajam telinganya mendengarkan itu tiba-tiba mendengar pula suara Tin Tin dan Gosar. "Kau tahu itu?" tanyanya pada adiknya. "Suara apa yang kau tangkap?"

"Gosar dan Tin Tin!" adiknya tertegun. "Apakah mereka bertemu hantu, Liong-ko?"

"Sst, tak mungkin. Dua binatang itu seakan di bawah pengaruh seseorang, Eng-moi. Gorila-gorila itu tampaknya kesakitan!"

"Benar, mereka menguik!" dan Soat Eng yang terkejut mengenal suara gorila-gorila itu segera mendengar geraman atau semacam suara kesakitan, perlahan namun jelas dan terdengarlah suara orang bercakap-cakap. Di atas tampaknya ada tiga atau empat orang, lebih jelas lagi karena orang-orang itu kini berhenti di puncak bangunan.

Teringatlah Soat Eng bahwa di atas sana memang atap atau puncak istana ini telah menonjol, mencuat dari permukaan tanah. Dan ketika gadis itu mendengarkan dan kakaknya mengerutkan kening maka suara yang berat diimbangi suara yang terang dan halus, suara dari dua orang yang bercakap-cakap antara seorang tua dengan seorang anak muda.

"Heh, bagaimana pendapatmu, Siang Le? Bukankah ini yang kita cari cari? Lihat, ini Istana Hantu, puncak bangunannya mencuat!"

"Benar, dan kurasa tidak salah, suhu. Tapi kenapa di bawah tanah?"

"Heh, Istana Hantu memang terpendam, Siang Le. Sekarang muncul ke permukaan setelah pulau Sam-liong-to naik! Kita menemukan apa yang kita cari, ha-ha...!"

Soat Eng terkejut. Suara di atas sana tiba-tiba menggetarkan tempat mereka, ruang bawah tanah itu bergetar oleh tawa orang ini. Soat Eng saling pandang dengan kakaknya dan Thai Liong pun terkejut. Itu tanda khikang yang hebat sekali, sanggup merobohkan sebuah batu karang di tengah laut. Dan ketika mereka tertegun dan mendengarkan lagi maka orang ke tiga bicara tentang gorila itu.

"Hewan ini menguik-nguik, mengganggu saja. Bagaimana kalau dilepaskan, See-ong?"

"Hah, tanya Siang Le, Thian Cong. Dialah yang menundukkan binatang-binatang itu!"

"Bagaimana, Siang Le. Apakah telingamu tidak terganggu oleh binatang ini?"

"Hm," pemuda itu, yang bersuara tenang dan halus menjawab. "Aku khawatir binatang ini menyerang kalian, Thian Cong. Kalau dilepas dia mau pergi tentu saja boleh dilepaskan. Cobalah."

Orang itu mengangguk. Soat Eng dan kakaknya mendengar sebuah tendangan, Gosar dan pasangannya berdebuk. Dan ketika dua binatang itu ngak-nguk dan lari pergi tiba-tiba Thian Cong, laki-laki ketiga tertawa.

"Ha-ha, tak berani menyerang lagi, Siang Le. Mereka ketakutan padamu!"

"Tapi bagaimana kalau hilang? Aku tertarik memelihara mereka, Thian Cong. Sebaiknya adikmu mengawasi."

"Hm," suara berat itu, gurunya, menggeleng. "Pulau ini kecil, Siang Le. Mencarinya mudah dan tak perlu menyuruh Thian Po pergi. Nanti ditangkap lagi dan kau pusatkan perhatianmu ke sini. Istana Hantu telah di depan kita dan sebaiknya kita masuk!"

"Baik," dan Thai Liong yang mendengar ledakan ujung baju di atas sana tiba-tiba mendengar mereka menuding celah di puncak bangunan, yakni bagian yang mau dimasuki adiknya tapi disambar tiga panah beracun, tempat yang berbahaya karena istana ini ternyata penuh jebakan-jebakan. Di mana-mana ada alat rahasia dan pemuda yang dipanggil Siang Le rupanya melihat itu lebih dulu, gurunya tertawa dan kakek yang rupanya tinggi besar itu mengebut. Tapi begitu ujung baju meledak dan celah ini mau dimasuki tiba-tiba kakek itu berseru kaget karena tujuh panah kecil bercuitan menyambarnya.

"Hei.... plak-plak-plak!"

Soat Eng dan kakaknya sudah menduga. Kakek yang rupanya mau memasuki celah itu lagi-lagi diserang panah yang terpasang di bawah tanah, atap bangunan itu akan menggerakkan senjata-senjata rahasia setiap disentuh tangan yang lancang, seperti halnya Soat Eng dan kakek itu. Dan ketika kakek itu menyumpah-nyumpah namun tujuh panah beracun berhasil disampok patah maka muridnya berkata agar gurunya berhati-hati.

"Jangan gegabah. Istana Hantu masih menyimpan misteri, suhu. Tubuhmu terlalu besar untuk memasuki celah itu. Sebaiknya biarkan aku saja dan kau mundur!"

Soat Eng berdebar. Sekarang pemuda yang bersuara halus dan tenang ini mau masuk, gurunya masih mengumpat caci dan marah-marah di luar. Memang, tadi kakek itu tak dapat masuk karena tubuhnya terlalu besar, kini muridnya mengajukan diri dan dua yang lain setuju. Dan ketika lubang di atas tertutup bayangan pemuda itu dan Soat Eng mendengar gerakan perlahan maka pemuda di atas mencoba masuk dan kedua kakinya dilonjorkan ke bawah, hati-hati.

"Bagaimana, Liong-ko?" Soat Eng berdebar, bertanya kepada kakaknya. "Apakah kita membiarkan orang-orang ini masuk?"

"Hm," Thai Liong bingung. "Semestinya kita mencegah mereka, Eng-moi. Tapi biarlah dulu. Aku ingin melihat siapa mereka."

"Mereka See-ong (Raja Dari Barat), dan muridnya bernama Siang Le."

"Benar, tapi kita belum melihat muka mereka, Eng-moi. Dan aku juga belum pernah mendengar nama See-ong ini. Sebaiknya diam dan kita lihat, sesuatu.....!" kakaknya menuding, melihat sepasang kaki mulai masuk namun tiba-tiba terdengar bunyi menjepret. Siang Le rupanya menginjak alat rahasia dan menyambarlah beberapa sinar hitam ke tubuhnya itu, cepat dan luar biasa. Tapi ketika pemuda ini menggerakkan kakinya dan sinar-sinar hitam itu runtuh ditendang maka Soat Eng kagum memuji perlahan.

"Hebat, rupanya Siang Le ini cukup lihai!"

"Diamlah..." kakaknya berbisik. "Aku merasa kedatangan orang-orang berbahaya Eng-moi. Suara See-ong yang dahsyat dan kelihaian muridnya ini rupanya mengharuskan kita memasang kewaspadaan ekstra."

"Dan kita tak tahu mereka orang jahat atau bukan!"

"Sudahlah, kau diam dan kita lihat saja!" Thai Liong menghentikan adiknya, memberi isyarat dan See-ong berseru dari luar.

Tadi kakek itu mendengar suara sambaran senjata-senjata rahasia ini, mengkhawatirkan muridnya namun Siang Le menjawab tenang, menyatakan kakinya telah menendang senjata-senjata rahasia itu. Dan ketika See-ong tertawa bergelak sementara perlahan-lahan dan amat hati-hati pemuda itu memasuki celah mendadak tanpa sengaja tangannya tergelincir dari pinggiran lubang yang longsor. Dan begitu pemuda itu terjeblos ke bawah tiba-tiba atap bangunan bergetar dan runtuhlah sebuah batu menimpa kepala pemuda itu.

"Heii.....!"

Thai Liong mendekap mulut adiknya dengan cepat. Di luar terdengar teriakan kaget dan pemuda itu sendiri juga berteriak. Dia terjeblos dan gurunya serta dua temannya yang lain berseru keras. Yang di luar tak mengetahui apa yang terjadi di dalam, hanya Soat Eng dan kakaknya itulah yang melihat jelas. Dan ketika Soat Eng terkejut dan tadi tanpa sengaja mengeluarkan jeritan kaget maka pemuda itu meluncur lurus sementara batu di atas kepalanya menghantam dan menimpa dengan deras...