Istana Hantu Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 01
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SAM-LIONG-TO (Pulau Tiga Naga) adalah sebuah pulau terpencil di selatan Laut Tiongkok, jauh di tenggara. Jarang dikenal orang karena pulau itu memang jauh, baik dari keramaian maupun perbatasan. Hampir tak disebut namanya oleh siapa pun, baik oleh orang kang-ouw maupun orang biasa. Tapi ketika pagi itu sebuah perahu layar tampak mendekati gugusan pulau ini dan dua laki-laki tampak kegirangan melihat pulau itu maka seorang di antaranya menuding dan berseru,

"Lihat, itu, Ji-te (adik Ji). Ini benar-benar Sam-liong-to!"

Orang kedua, yang mengayuh dan mendayung tiba-tiba berseri mukanya. "Benar, agaknya tidak salah, Ong-twako (kakak Ong). Kita menemukan apa yang kita cari!"

"Daratkan perahu, kita menepi!" dan orang pertama yang kelihatan girang dan bersinar mukanya lalu menggerakkan dayungnya pula mempercepat laju perahu, tak menghiraukan keringat yang bercucuran dan dua orang di atas perahu itu tam pak gembira. Mereka seolah mendapat emas permata, hal itu tampak dari ketawa dan sikap mereka, yang tak henti-hentinya berseru. Dan ketika perahu menepi dan akhirnya mendarat di pasir yang lunak maka keduanya sudah meloncat dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, kita berhasil. Perjalanan jauh kita tak sia-sia!"

"Benar, rejeki di depan mata, twako. Dan kita tinggal mencari istana itu!"

"Tak salah!" dan keduanya yang sudah berjingkrak girang dan menari serta melonjak tiba-tiba berlarian ke atas bukit batu hitam kecoklatan dan mereka seakan berlomba siapa paling dulu tiba di atas. Dan ketika keduanya hampir bersamaan tiba di tempat itu dan tertawa memandang sekeliling mendadak keduanya berhenti tertawa dan menoleh kiri kanan.

"Lihat, itu, Ji-te (adik Ji). Ini benar-benar Sam-liong-to!"

"Eh, dari sini semua tempat kelihatan. Tapi mana istana itu?"

"Atau kita salah?"

"Tak mungkin. Tanda di tengah pulau itu benar, Ji-te. Lihat dua punuk di ujung paling depan itu, mirip mata naga. Kita benar-benar di pulau Sam-liong-to!"

"Tapi istana itu tak ada. Apakah kita lamur?"

"Hm, coba lihat peta, Ji-te. Keluarkan dan kita periksa sekali lagi!"

Dua orang itu bergerak. Mereka meloncat turun dan berteduh di bawah sebuah batu besar yang seorang mengeluarkan peta dan segera membebernya. Dan ketika mereka mengamati dan memperhatikan dengan seksama maka yang satu berseru, menuding sisi kanan peta, "Nah, di sini seharusnya istana itu berdiri. Raja Beng membuat istana itu di sini!"

"Benar, di dekat hutan, Ji-te. Kalau begitu apakah di sebelah hutan itu?"

"Mungkin. Kita selidiki, twako. Hutan itu memang menghalangi pandangan kita!"

"Dan kita siapkan senjata kita. Mungkin di sana ada binatang buas!"

Dua lelaki itu bergerak kembali. Mereka terdiri dari laki-laki yang tegap, otot mereka kokoh dan jari-jari tangan pun besar, sebesar pisang. Dan ketika keduanya menyimpan peta dan satu di antaranya sudah mendahului meloncat turun maka Ong-twako, laki-laki pertama sudah berteriak dan bersorak girang.

"Hayo, kita dekati hutan itu!"

Lelaki kedua, yang dipanggil Ji-te melayang turun. Dengan senyum dan tawa lebar dia sudah mengikuti temannya, berlompatan dari satu batu ke batu yang lain, ringan dan cekatan dan jelaslah bahwa dua laki-laki ini adalah orang-orang yang pandai silat. Golok yang sudah mereka cabut untuk menjaga segala kemungkinan semakin memperkuat dugaan itu. Dan ketika keduanya terbang dan tertawa-tawa mendekati hutan di tengah pulau maka keduanya tak melihat betapa sepasang mata bulat kecil mengintai dari balik celah batu, mata seekor mahluk gorila yang buas dan kelaparan!

"Ha-ha, cepat, Ji-te. Cepat...!"

"Sabar, tak lari gunung dikejar, twako. Hati-hati dan jangan tergesa!"

Dua orang itu tertawa-tawa. Mereka mendekati hutan dengan langkah tak sabar, seolah berlomba dan masing-masing menghapus keringat sekenanya. Apa yang mereka cari sudah hampir didapatkan. Kegirangan mereka tak kepalang lagi dan dua orang itu sudah tiba di mulut hutan. Tapi baru mereka menerobos masuk dan berjingkrak kegirangan tiba-tiba terdengar geraman dan mereka menoleh kaget, melihat seekor gorila berlari mengejar mereka dan dua laki-laki itu tertegun.

Seekor hewan buas, dengan ketinggian masih di atas manusia biasa tiba-tiba menubruk mereka, giginya menyeringai dan tampaklah taring-taring yang amat kuat itu. Tentu saja mereka mengelak dan dua laki-laki itu berseru memperingatkan pada yang lain. Dan ketika tubrukan luput dan gorila itu mengeluarkan pekik menggetarkan maka Ji-te, orang kedua menusukkan goloknya, tepat ke bahu.

"Tak!" Senjata itu mental. Ji-te kaget bukan main dan kuku gorila menyambarnya, membanting tubuh bergulingan namun baju pundaknya memberebet. Ternyata, hampir terlambat dia mengelak. Dan ketika gorila itu menggereng dan menubruk lagi maka laki-laki pertama membentak mengayunkan goloknya.

"Tak!" Gorila itu kebal. Dua kali bacokan golok ternyata tak membuatnya apa-apa, membalik dan kini menerkam laki-laki pertama itu. Ji-te sudah bergulingan menjauhkan diri. Dan ketika laki-laki pertama juga melempar tubuh bergulingan dan berseru keras maka dua laki-laki itu sudah meloncat bangun dengan muka pucat.

"Awas, hati-hati, Ong-twako. Binatang ini kebal!"

"Ya, dan dia kuat bukan main, Ji-te. Juga kelaparan!"

Dua orang itu bergerak ke kiri kanan. Mereka sudah diserang gorila ini dengan gerengan dan tubrukannya menghindar dan membacok namun binatang tinggi besar itu tak apa-apa. Tujuh kali tusukan golok ternyata mental tak dapat melukainya, Ong-twako bahkan menerima cakaran berat di pangkal lengannya, berdarah dan satu di antara mereka sudah terluka. Dan ketika laki-laki itu pucat dan membentak serta menyerang akhirnya mereka menujukan serangan pada mata binatang itu.

"Serang matanya. Tusuk!"

Namun hewan ini pintar. Nalurinya yang tajam memberitahunya bahwa bagian itu diincar, cepat menggeram melindungi bagian muka dengan tangannya yang berbulu. Satu tusukan golok bahkan sempat ditangkis. Dan ketika satu tusukan lagi disambutnya dengan telapak tangan yang lebar tiba-tiba golok laki-laki kedua bahkan dicengkeram.

"Hei..... plak!"

Golok itu tertangkap. Ji-te terkejut karena tak mampu membetot, sudah menarik namun gagal. Dan ketika gorila itu menggeram dan menggerakkan tangan yang lain tiba-tiba kuku jarinya sudah menyambar muka lawan.

"Awas, Ji-te!" Ong-twako, laki-laki pertama berteriak. Dia menendang namun binatang itu tak bergeming, bahkan semakin terdorong maju menyerang temannya itu. Dan karena waktu sudah sedemikian mepet dan hanya ada satu jalan menghindarkan itu dengan cara membiarkan goloknya maka Ji-te sudah melempar tubuh bergulingan dan golok tiba-tiba dicengkeram patah oleh tangan si gorila yang kuat perkasa.

"Pletak!"

Dua laki-laki itu ngeri. Aneh dan lucu tiba-tiba gorila ini menggigit mata golok, menggeram. Patahan yang lain dibuang dan Ji-te kebingungan. Dia tak mempunyai senjata lagi dan gorila sudah menyerang mereka, matanya buas kelaparan dan mereka sungguh ngeri, berloncatan dan mengelak. Dan ketika berkali-kali gorila gagal menerkam mereka sementara mereka pun gagal membacok atau merobohkan gorila itu mendadak binatang tinggi besar ini mengeluarkan suara berkuik, panjang dan parau dan Ji-te maupun temannya tak mengerti. Tapi begitu dari dalam hutan muncul seekor gorila lain dan dua laki-laki itu terkejut maka gorila yang ini sudah berlari dan menubruk mereka.

"Awas....!"

Dua laki-laki itu panik. Gorila betina, yang datang belakangan ternyata tak kalah buas. Hewan itu menggeram dan sudah menubruk mereka, menyambar siapa saja dan Ji-te pucat, bergulingan menjauh dan cepat memungut potongan kayu yang kebetulan menggeletak. Dan ketika hewan itu menyerang lagi dan Ji-te berteriak keras maka potongan kayu ini dihantamkan ke kepala si gorila betina.

"Bukk!" dahan itu malah mental. Laki-laki ini harus bertahan sekuatnya ketika dia terputar. Kaget bukan main. Senjata di tangannya seolah menghantam dinding baja dan gorila itu menggereng, menubruk lagi. Matanya yang jalang dan kelaparan jelas menunjukkan betapa buas dan ganasnya. Laki-laki ini membentak dan menyerang lagi, berkelit dan dahan di tangannya itu menghantam dari samping. Tapi ketika gorila tak bergeming dan suara "buk" itu disusul pekik tertahan laki-laki ini yang jatuh terpelanting maka gorila berkuik dan menerkamnya lagi.

"Bress!" Laki-laki itu sepucat mayat. Dia hampir diterkam kalau tidak menggulingkan tubuh ke kanan, kuku atau cakar binatang buas itu menghujam tanah, sedalam lima senti. Dan ketika temannya di sana juga berteriak dan kewalahan menghadapi gorila jantan mendadak goloknya dicengkeram dan diremas hancur oleh gorila perkasa ini, patah menjadi tiga potong dan dua laki-laki itu gentar. Mereka tak bersenjata lagi dan laki-laki pertama menyambar potongan kayu, seperti temannya, menghantam. Tapi ketika kayu itu ditangkap dan mulut yang menggigit patahan golok tiba-tiba menyeringai maka gorila ini membuka mulutnya dan menubruk.

"Grrr...!"

Ong-twako harus melempar tubuh bergulingan. Hampir dia diterkam dan digigit, kuku dan taring binatang itu sejengkal saja di sisi tubuhnya. Dan ketika dia bergulingan dan meloncat bangun maka dia melihat keadaan temannya yang juga tidak lebih baik. "Ji-te, lari....!"

Laki-laki kedua, yang gugup dan kewalahan menghadapi gorila betina mengangguk. Memang tak ada jalan lain kecuali melarikan diri. Golok mereka patah dan gorila-gorila itu kebal. Baik yang jantan maupun betina sama-sama buas, mereka tak mungkin menang lagi dan lari adalah jalan paling baik. Maka begitu mengangguk dan berteriak keras tiba-tiba dia memutar tubuhnya tidak ke hutan melainkan ke pantai, bermaksud kembali ke perahu layarnya. Tapi temannya yang berteriak menyambar tangannya tiba-tiba berseru,

"Tidak, bukan ke pantai Ji-te, melainkan ke dalam. Kita masuki hutan itu dan bersembunyi di sana!"

"Tapi gorila-gorila itu...!" lelaki ini gemetar. "Mereka terus mengejar, twako. Di tanah mereka tak dapat kita hadapi. Sebaiknya ke laut, kembali!"

"Ah, kau mau menyia-nyiakan perjalanan kita? Istana itu belum kita temukan, Ji-te. Kita terus dan masuki hutan itu, bersembunyi di sana!" dan ketika dia tak dapat membantah dan gorila di belakang menggereng dan mengejar maka lelaki kedua terpaksa mengikuti kehendak temannya, pucat dan menggigil dan tiba-tiba sebatang pohon besar ada di depan mereka.

Ong-twako sudah berlari dan memanjat pohon ini, maksudnya bersembunyi. Pohon itu luar biasa besarnya dan dahan serta daun-daunnya pun lebat. Bersembunyi di sana tak mungkin gorila itu dapat mencari. Tapi ketika terdengar suara cecowetan dan puluhan monyet besar kecil mendadak terjun dan terayun-ayun ingin menyerang mereka maka lelaki pertama terkejut dan melotot.

"Jahanam, apakah kita harus berkelahi dengan monyet?"

"Turun!" temannya berseru. "Cari tempat lain, twako. Bahaya!"

"Bluk!" Ong-twako anjlok, meluncur begitu saja dan terpaksa dia mencaci-maki. Gorila di belakang mengejar dengan langkahnya yang berat dan bunyi tapak kaki mereka menggetarkan tanah. Ngeri dua orang itu. Dan ketika mereka berlari lagi dan memasuki hutan semakin dalam maka tempat pun mulai gelap dan mereka melihat ratusan pohon besar kecil berdiri di situ, memilih satu di antaranya dan laki-laki she Ong tetap ingin memanjat pohon. Dia bermaksud menghindari dua gorila itu dengan bersembunyi di atas. Tapi ketika desis dan tubuh-tubuh yang licin menggeliat di atas kepala maka belasan ekor ular telah membuka mulutnya dan menyambut mereka, ular-ular yang ganas dan buas!

"Ssh-sshh....!"

Lelaki ini mengumpat. Kalau golok ada di tangannya mungkin dia akan membabat ular-ular itu, tak perlu takut dan gelisah. Maka mengutuk dan meloncat turun lagi terpaksa dia mencari tempat perlindungan yang lain, pohon-pohon besar di sekitar namun hampr semua pohon ada penghuninya. Ong-twako pucat dan mandi keringat, temannya juga menggigil dan gemetaran sejak tadi. Dan ketika di belakang terdengar geraman dan suara dua gorila itu maka dua laki-laki ini panik dan gugup.

"Celaka, ke mana lagi kita sekarang, twako?"

"Lari, ke depan!"

"Tapi di sana barangkali ada binatang buasnya juga, aku ngeri!"

"Kalau begitu kau ingin kembali dan menghadapi gorila itu? Kembalilah, aku tak mau menanggung keselamatanmu, Ji-te. Kita sudah di sini dan tak mungkin mundur!"

Terpaksa, karena di belakang dihadang gorila dan di depan agaknya menjanjikan tempat persembunyian yang baik akhirnya Ji-te mengikuti temannya dan tersaruk-saruk melangkah, tak dapat cepat lagi karena hutan mulai lebat, juga gelap. Dan ketika di depan tiba-tiba terdengar aum dan geraman harimau maka laki-laki ini terjatuh dan hampir lumpuh.

"Twako, macan...!"

"Diam, mereka dapat kita hadapi, Ji-te. Lepas ikat pinggangmu!"

Namun aneh. Begitu terdengar geraman gorila di belakang dua laki-laki itu mendadak harimau-harimau ini menyingkir, tiga ekor jumlahnya dan mereka menghilang, melesat di kiri kanan. Rupanya, raja hutan itu takut terhadap sepasang gorila. Tahu kekebalannya dan Ong-twako maupun Ji-te lega, meloncat dan kembaii berlari-lari kecil. Mereka menerabas dan menyusup di apa saja, kian lama terasa kian lebat dan akhirnya geraman di belakang hilang. Barangkali dua gorila itu kehilangan jejak mereka. Dan ketika Ong-twako berhenti terengah-engah dan temannya di belakang memburu napasnya maka lelaki itu menegur,

"Ji-te, kenapa kerdil amat jiwamu ini? Mana keberanianmu sehari-hari?"

"Aduh, ah....!" lelaki itu mengatur napasnya. "Aku takut melıhat suasana ini, twako. Kita seakan memasuki guha siluman!"

"Pengecut, kau mengecilkan hati dan kehilangan nyali. Hayo, kita membuat senjata dari apa saja!" Ong-twako merah mukanya, marah kepada temannya karena dia merasa mendapat beban. Temannya tampak ketakutan dan dia sudah menyambar sebatang bambu, kebetulan runcing ujungnya. Jadi, seperti tombak. Tapi ketika temannya terengah-engah dan mencari sesuatu untuk dibuat senjata mendadak temannya itu menjerit dan melolong, di sebelah kirinya.

"Buaya....!"

Lelaki ini bergerak. Terdengar suara blak-bluk di situ, menguak semak belukar dan tampaklah temannya menghantam dan diserang buaya. Kiranya mereka berada di sebuah rawa dan tanpa sadar mereka mendekati bahaya yang lain. Lolos dari harimau dan gorila ternyata menghadapi binatang air yang tak kalah ganas. Dan ketika dari kiri dan kanan bergerak tiga buaya yang lain maka Ong-twako, meloncat dan menusukkan tombak bambunya untuk menolong teman.

"Krakk!" Tombak bambu itu patah. Si buaya mengipatkan ekor dan laki-laki ini terpelanting, menjerit dan mengaduh. Celaka sekali kecebur di rawa itu. Dan ketika tiga buaya yang lain meluncur dan membuka mulut lebar-lebar tiba-tiba Ji-te melempar tali dan melasso temannya itu, menarik.

"Twako, naik!"

Teriakan itu menyelamatkan laki-laki ini. Ong-twako menyambar dan sudah gugup sekali, disendal dan terlemparlah dia tinggi ke udara, jatuh berdebuk dan terguling-guling di sana. Buaya pertama mengejar dan meluncur di air, untung dia dilasso dan dibetot dari rawa. Dan ketika Ji-te berjungkir balik dan berseru keras maka temannya itu menyambar tangannya diajak lari.

"Celaka, tempat ini tak ada yang aman, twako. Lari!"

Ong-twako, si lelaki pertama gemetar. Sekarang dia ketakutan juga karena di mana-mana tak ada tempat yang enak. Mereka kehilangan senjata dan dengan tangan kosong saja mereka diharuskan menghadapi semua bahaya itu, tak pelak lututnya menggigil dan ketakutan temannya menular. Kini dia tak memaki-maki temannya itu lagi karena hampir saja dia disergap buaya. Kalau tak cepat temannya menolong tentu dia sudah tinggal nama. Ah, mengerikan sekali kejadian itu. Dan karena mereka mulai dikejar-kejar bahaya dan laki-laki ini menyesal kenapa tak kembali ke perahunya saja maka dia mengajak untuk keluar hutan, kembali.

"Apa? Kembali? Sesudah demikian jauh kita memasuki hutan ini? Ah, tak mungkin, twako. Aku sudah tak ingat jalannya. Tadi kau tak mau!"

"Maaf, tadi aku tak menduga semuanya ini, Ji-te. Aku tak mengira kalau tempat ini penuh bahaya."

"Dan kau nekat. Tadi kau memaki-maki aku!"

"Maaf, aku menyesal, Ji-te. Biarlah sekarang aku mencari jalan dan kita memutar."

Namun terlambat. Mereka kini sudah tersesat di dalam hutan, pohon-pohon yang rimbun dan gelap tak dapat membuat mereka menentukan arah. Ke manapun pergi rasanya masih berkisar di tempat itu-itu juga, pohon-pohon yang lebat dan dingin. Bahkan sekali hampir saja ke tempat rawa itu, daerah yang dihuni oleh empat ekor buaya! Dan ketika mereka gemetaran dan menggigil pucat akhirnya lelaki she Ong jatuh terduduk dan tampak putus asa.

"Kita tak dapat kembali. Kita kehilangan arah!"

"Apa yang harus dilakukan?"

"Entahlah, aku bingung, Ji-te. Maaf!" lelaki itu tiba-tiba menangis, membuat Ji-te tertegun dan lelaki yang sebenarnya juga ketakutan ini mengeluh. Tanpa terasa dia pun mengeluarkan air mata dan dua laki-laki gagah itu menangis. Namun ketika mereka kebingungan dan menangis di situ mendadak terdengar suara berkeresek dan seekor kelinci liar melompat dari sebuah lubang.

"He, lihat itu!"

Ong-twako menoleh. Dia juga mendengar suara itu, mula-mula mengira ular dan bersiap waspada. Hati kebat-kebit dan perasaan jerih sudah mencekam dirinya terlebih dulu. Tersesat di hutan memang membuat orang ingin berteriak-teriak, melolong atau melakukan apa saja agar diselamatkan. Namun karena hutan itu tak ada manusianya dan penghuninya hanyalah hewan buas semata maka laki-laki ini tertegun melihat ada binatang lain di situ, kelinci.

"Ah, kita tangkap, Ji-te. Jadikan penangsel perut!"

Dua laki-laki itu bergerak. Memang Ji-te juga sudah berpikir begitu, perutnya lapar dan tiba-tiba berkeruyuk. Dapat menangkap kelinci ini adalah sebuah keuntungan. Tapi ketika mereka menubruk dan kelinci meloncat ternyata tubrukan luput dan kepala mereka pun malah saling beradu, terlampau terburu-buru.

"Dukk!" Ong-twako mengomel. Dia memaki temannya yang dianggap bodoh, Ji-te juga balas memakinya namun mereka berdua sudah tidak bertengkar lagi, meloncat dan menubruk kelinci gemuk itu. Namun ketika si kelinci melejit dan meloncat tinggi tiba-tiba binatang ini berkuik dan sudah melewati kepala Ji-te, meloncat-loncat dan lari memasuki lubang dari mana dia tadi keluar.

"Ah, tangkap, Ji-te. Pergunakan lasso-mu!"

"Jrrtt!" Ji-te sudah melakukan pekerjaan ini, secepat kilat melasso dan gemas pada kelinci lincah itu. Binatang itu sudah tiba di mulut lubang dan sedetik terlambat tentu mereka gagal. Dan ketika kelinci itu terjirat dan kaki belakangnya kena lasso maka binatang ini meronta-ronta dan Ji-te tertawa bergelak, merasa lucu, juga girang. Sejenak melupakan bahwa dirinya di hutan siluman!

"Ha-ha, kena, twako. Kena!"

Temannya tertawa lebar. Melasso dan menjirat kelinci gemuk tiba-tiba menimbulkan kegembiraan tersendiri. Segala ketakutan dan keputusasaan lenyap sedetik, gembira melihat tingkah kelinci gemuk yang meronta-ronta. Dan ketika Ong-twako bergerak dan menangkap kelinci itu maka tangannya sudah mengetok dan menjewer telinga kelincı ini.

"Ha-ha, kau tak dapat lari. Ayo kami panggang!"

Ji-te mengangguk. Dia sudah berkelebat mencari daun dan ranting-ranting kering, kayu bakar yang banyak terdapat di situ. Dan ketika temannya sudah membunuh dan menguliti binatang ini, maka api unggun pun menyala dan mereka tertawa-tawa memanggang daging kelinci itu.

"Ah, sedap sekali. Kelinci yang benar-benar gemuk dan sehat!"

"Dan kita tak lapar lagi, Ji-te. Daging kelinci ini nikmat dan lezat sekali!"

"Ya, dan kita dapat mencarinya lagi...."

"Eh!" temannya tiba-tiba tertegun. "Kau tak menyelidiki lubang itu, Ji-te? Siapa tahu ada guha atau apa?"

"Hm," temannya mengangguk. "Boleh jadi, twako. Biarlah kulihat!" laki-laki itu meloncat, membuang sisa makanannya dan Ong-twako pun bergerak, memadamkan api unggun dan mengikuti temannya pula. Dan ketika Ji-te menguak dan melihat lubang itu ternyata sesuatu mengejutkan sekaligus menggirangkan mereka berdua.

"Ah, sebuah guha. Benar sebuah guha!"

Ji-te menggali dan tiba-tiba menyambar potongan kayu unggun, membabat semak-semaknya dan tampaklah di depan mereka sebuah guha yang kecil, mula-mula mulutnya yang gelap dan tiba-tiba berlompatan kelinci-kelinci gemuk dari dalam, mengejutkan mereka tapi sekaligus membuat gembira. Dan ketika dua tiga ekor kelinci ditangkap dan dijepit telinganya maka mereka tertawa bergelak melihat tempat persembunyian yang bagus.

"Ha-ha, sementara ini beruntung, twako. Dapat persembunyian sekaligus bahan makanannya!"

"Ya, dan kita masuk, Ji-te. Tempat ini jelas aman!"

"Bagaimana kau tahu?"

"Eh, bukankah kelinci-kelinci ini bersembunyi di sana? Kalau ada bahaya tak mungkin mereka di situ, Ji-te. Ayo masuk dan kita buat obor!"

Ong-twako tertawa bergelak, melempar kembali kelinci yang ditangkap dan temannya pun terbahak. Memang benar, dia baru mendusin. Dan karena tempat itu jelas aman dan tak mungkin ada ular atau binatang buas lainnya maka Ji-te melompat dan memasuki guha itu, mula-mula harus hati-hati namun akhirnya dia gembira. Guha itu luas di dalam sempit di luar. Mungkin, karena tak pernah dimasuki manusia maka bebatuan dan tanah longsor menimbuni bagian guha sebelah luar, hingga mulutnya sempit dan kecil. Dan begitu mereka masuk dan guha benar-benar lebar dan luas akhirnya dua orang itu tertawa bergelak dan sebuah obor sudah ada di tangan.

"Ha-ha, ini tempat aman, Ji-te. Kita dapat beristirahat atau tidur dulu di sini!"

"Ya, dan kita sementara lega. Tak ada musuh atau binatang mengganggu. Aku puas!" dan Ji-te yang melonjak serta berjingkrak girang tiba-tiba berlarian dan memeriksa isi guha, melihat batu-batu runcing di atas dan tertawa senang.

Mereka seolah mendapat tempat menggembirakan setelah tegang di luar sana, dikejar dan diburu-buru bahaya. Dan ketika mereka mendapat kenyataan bahwa guha itu juga bersih maka Ji-te sudah melempar tubuhnya untuk beristirahat, merasa mengantuk setelah perut kenyang. Menikmati kelinci panggang tadi sudah tak membuat mereka kelaparan lagi, Ong-twako juga melempar tubuh dan mengusap keringatnya. Luka di lengan sudah dibalut dan mereka bercakap-cakap sejenak, menghilangkan ketegangan dengan cara begitu santai, obor ditancapkan di sudut dan mereka dapat melihat ke mana-mana.

Dan ketika dua lelaki itu mulai menguap dan kantuk sudah menyerang mereka maka keduanya pun terguling dan akhirnya tidur. Merencanakan bahwa besok mereka akan mencari jalan keluar dan kembali ke perahu, tentu saja tak mau berlama-lama di pulau Sam-liong-to itu, meskipun sudah di guha yang aman. Tapi begitu mereka terlelap dan kantuk menyerang dengan hebat tiba-tiba suara menggeram terdengar di luar guha dan gorila jantan ternyata ada di situ, mau memasuki mulut guha namun masih terlalu sempit bagi tubuhnya yang besar!

"Grr!" Suara ini tak didengar dua laki-laki itu. Ji-te dan temannya terlampau lelah, mereka diguncang dan ditegangkan peristiwa sehari. Maklum saja, mereka tak mengetahui bahwa isi pulau Sam-liong-to adalah binatang-binatang buas, bahkan gorila yang tahan bacokan senjata tajam. Dan ketika suara itu masih juga tak membangunkan mereka dan gorila jantan menggaruk serta mengorek batu-batu di luar akhirnya mulüt guha melebar dan memberosotlah tubuh binatang tinggi besar itu, berjalan dengan langkah berat dan yang dihampiri adalah lelaki she Ong.

Geramannya kini terdengar menggetarkan guha dan laki-laki itu tiba-tiba bangun. Betapapun, nalurinya merasa diancam bahaya dan laki-laki itu membuka mata. Tapi begitu dia bangun dan membuka mata tiba-tiba gorila ini sudah menerkamnya dan dua lengan berbulu yang amat kuat dan panjang telah mencekik lehernya.

"Auhh....!"

Teriakan atau pekik yang terhenti itu mengejutkan Ji-te. Lelaki ini membuka mata dan melompat bangun, tentu saja kaget. Dan begitu dia tahu betapa gorila jantan telah memasuki guha dan temannya kini meronta-ronta tiba-tiba lelaki itu pucat dan memekik.

"Twako...." dan menerjang serta menghantam binatang itu tiba-tiba Ji-te berusaha membebaskan temannya, tepat mengenai punggung namun binatang raksasa itu tak bergeming. Pukulannya membalik dan Ong-twako mendelik. Dia meronta dan menendang-nendang namun si gorila tak apa-apa, membuat Ji-te pucat dan menerjang lagi.

Dan ketika temannya mengeluh dan gorila menggeram tiba tiba cekikannya diperkuat dan terdengarlah suara "krak" di mana temannya tiba-tiba terkulai. Tulang lehernya patah dan seketika lelaki she Ong tewas. Ji-te terbelalak dan kaget sekali, juga marah, di samping gentar. Dan ketika gorila mencabik dada temannya dan menggigit di situ maka Ji-te ngeri sekali melihat gorila ini telah menancapkan taringnya dan menggigit sepotong jantung, yang penuh darah.

"Twako....!" Ji-te sekarang menyadari bahaya, tiba-tiba membalik dan melarikan diri. Pucatlah mukanya dan menangislah tersedu-sedu lelaki itu berkelebat keluar guha dan rasa kantuk tiba-tiba hilang. Dan begitu ia berteriak-teriak dan lari menerabas hutan maka seperti orang gila lelaki ini tak menghiraukan lagi ke mana ia lari, pokoknya lari dan lari. Ke mana saja yang kira-kira dapat menyelamatkan dirinya. Sepotong jantung yang membekas di ingatannya itu tak dapat dilupakannya, lelaki ini histeris dan menjerit-jerit. Dan ketika tiba-tiba di samping kanan terdengar geraman dan gorila betina muncul tiba-tiba lelaki itu seakan terbang semangatnya dan mengeluh.

"Ooh.....!" Ji-te jatuh bangun. Dia pucat bukan main melihat betina itu, tadi yang jantan sekarang yang betina. Lari sipat kuping dan binatang-binatang lain tiba-tiba juga berloncatan menghilang. Geraman gorila betina itu ternyata membuat jerih semua penghuni hutan, lelaki ini tak terganggu di depan dan larilah dia secepat-cepatnya.

Dan karena semangatnya seakan terbang dan entah bagaimana mendadak ia seakan mendapat tambahan tenaga baru tiba-tiba lelaki itu sudah terbang dan kebetulan dia dapat menemukan jalan semua, melihat mulut hutan dan tampaklah perahu layarnya di pasir yang lunak itu, tak bergerak dan masih berada di tepi pantai, aman. Bukan main girang dan leganya laki-laki itu, langsung saja dia berteriak dan menuju pantai, melihat laut yang biru dan ombaknya yang membuih. Dan begitu ia tiba di tempat ini dan gorila betina tersaruk-saruk mengejar maka laki-laki itu menyambar perahunya dan langsung melemparnya ke laut.

"Byurr!" Dia cepat meloncat. Gorila betina sudah tinggal beberapa tombak lagi di belakang, hewan berlangkah berat itu tak putus asa mengejarnya. Tapi begitu dia meloncat di perahu dan mengayuh menjauh maka binatang itu pun tertegun dan terbelalak di tempat. Matanya yang bulat kecil bersinar-sinar dan tentu saja ia tak dapat mengejar. Ia adalah binatang darat, bukan binatang air. Maka begitu lawan melarikan diri dan cepat kemudian sudah ke tengah laut maka binatang ini termangu dan tampaknya kecewa.

"Haram jadah! Terkutuk kau, binatang keparat. Terkutuk!" Ji-te memaki-maki di atas perahunya, menjauh dan mendayung cepat dan tiba-tiba ia menggigit bibir. Tenaga yang dipacu untuk menyelamatkan diri sekarang terasa menghabiskan dirinya, Ji-te pusing namun ia mencoba bertahan, mengutuk dan mencaci maki binatang itu dan akhirnya gorila di pantai pun menghilang. Sekarang dia sudah jauh dan aman dari segala marabahaya itu.

Dan ketika perahu terus didayung tapi laki-laki ini mengeluh mendadak perahu berhenti dan laki-laki itu ambruk, tak kuat lagi menjalankan perahunya dan kenangan hebat di atas pulau membuat Ji-te seram. Ketakutan dan kengerian membuat laki-laki ini letih, lahir batin. Dan karena ia juga baru mengerahkan segenap tenaganya untuk melarikan diri dari pulau Sam-liong-to itu maka laki-laki ini pun akhirnya roboh dan pingsan tak sadarkan diri, membiarkan perahunya hanyut dan terombang-ambing oleh ombak.

* * * * * * * *

"Hei, lihat. Liong-ko (kakak Liong). Ada orang pingsan!"

Dua muda-mudi, yang sedang berlayar dengan tenang mendadak melihat perahu Ji-te. Si gadis, yang berteriak menudingkan telunjuknya tiba-tiba tertegun. Mereka berada di laut yang luas dan temannya, seorang pemuda tampan berambut keemasan tiba-tiba menoleh, terkejut dan tertegun juga. Tapi begitu mengangguk dan menyambar dayung sekonyong-konyong dayung itu bergerak dan menepuk permukaan air.

Dan begitu laut berkecipak dan perahu terangkat naik tiba-tiba perahu itu sudah melesat dan terbang ke depan, jatuh lagi di air tapi segera melejit lagi, terbang dan meluncur lagi bagai kecapung menari-nari di atas permukaan air. Sekali melesat berjarak puluhan tombak. Dan ketika enam tujuh kali perahu itu meluncur dan "terbang" dengan cara yang aneh maka dua muda-mudi di atas perahu itu akhirnya sudah mendekati perahu Ji-te, menempel.

"Benar, dia pingsan. Coba kita sadarkan!"

Si pemuda, yang tampan dan berambut keemasan sudah mengikat dan mengait perahunya dengan perahu lawan. Gerakannya cepat dan ringan, tangkas dan menunjukkan seorang pamuda hebat. Melihat sinar matanya yang mencorong saja orang akan tahu bahwa pemuda ini seorang ahli lweekeh (tenaga dalam) yang mahir, gerak-geriknya tenang namun cekatan. Dan ketika temannya sudah meloncat ke perahu Ji-te dan menolong laki-laki itu maka Ji-te mengeluh ketika membuka matanya.

"Ah, Hai-sian-li (Dewi Laut)...!" serunya, begitu beradu pandang dengan si gadis cantik. Laki-laki ini malah bengong dan terkejut, kekagumannya memancar terang-terangan dan dia tidak ingat di mana dia berada. Tapi ketika pundaknya dicengkeram dan laki-laki ini merasa sakit tiba-tiba ia sadar namun juga kaget mendengar suara yang nyaring galak, pertanyaan kaku.

"Kau anak buah bajak?"

Ji-te mengeluh. "Aduh, lepaskan, nona...!" katanya. "Bagaimana kau menuduhku demikian? Aku orang baik-baik, bukan bajak atau anggauta bajak!"

"Tapi pakaianmu robek-robek, berpercikan darah! Bukankah kau habıs bertempur?"

"Ah, benar. Tapi... eh...!" sebuah tangan yang lembut namun kokoh mengangkat cengkeraman di pundaknya, Ji-te melihat orang ketiga di situ, si pemuda tampan berambut keemasan. Dan ketika dia terbelalak dan tertegun tak meneruskan kata-katanya maka pemuda ini, yang lembut namun bermata tajam menegur temannya, si gadis cantik,

"Eng-moi (adik Eng), lepaskan orang ini. Kita tak dapat menuduhnya bajak atau bukan dengan melihat bekas-bekas darah di pakaiannya. Dia tampaknya terguncang oleh sesuatu, biarkan ia tenang dan memperkenalkan diri..."

"Hm," gadis itu, yang dipanggil Eng-moi melepaskan cengkeramannya. Memang dialah yang mencengkeram laki-laki ini. Dia tadi merasa merah dan panas mukanya karena dipandang seperti itu. Kalau saja pandang mata Ji-te berkesan kekurangajaran tentu dia sudah membanting laki-laki ini di laut. Tampaklah bahwa dia seorang gadis yang keras. Dan ketika temannya mendorong sabar dan dia mendengus maka Ji-te sekarang melongo melihat ketampanan yang aneh namun mempesona dari pemuda berambut keemasan ini.

"Kongcu siapakah?" tanyanya, kagum. "Apakah Dewa Laut penguasa lautan ini?"

"Hm, aku Thai Liong, sobat. Kim Thai Liong. Sedang itu adikku Kim Soat Eng."

"Eh...!" Soat Eng, gadis itu menegur. "Kenapa memperkenalkan diri, Liong-ko? Dia itulah yang harus bercerita, bukan kita!"

"Maaf...!" Ji-te terkejut, menyadari kegalakan gadis ini. "Aku Ji Pin, nona. Aku orang she Ji yang malang."

"Nah, begitu!‖ gadis itu mencibir. ―Ceritakan apa yang kau alami, orang she Ji. Bukan malah bertanya atau ingin mengetahui siapa kami!"

"Maaf, aku.... aku tersesat. Aku baru saja berkelahi dengan seekor ikan hiu!"

"Hm, bohong. Di sini tak ada hiu!" Soat Eng, gadis itu membentak. Dia tak segan-segan melotot marah dan Ji Pin, laki-laki itu terkejut.

Sekarang lelaki ini sadar bahwa di situ memang tak ada hiu. Namun tentu saja tak mau berterus terang tentang Sam-liong-to dan segala kejadian yang menimpanya laki-laki ini mengerutkan alis, sudah menemukan jawaban. "Memang benar, tapi jauh dari sini aku bertemu ikan hiu, nona. Dan aku telah bertarung dengan ikan yang ganas itu. Aku dikeroyok, melarikan diri dan akhirnya pingsan."

"Kau tidak bohong?"

"Hm, sudahlah." Thai Liong, pemuda berambut keemasan itu menarik tangan adiknya. "Dia bohong atau tidak bukan urusan kita, Eng-moi. Yang penting kita sudah menolongnya dan dia selamat. Barangkali Ji-twako ini tak suka kita banyak bertanya," dan menghadapi lelaki itu Thai Liong menjura. Twako, maaf. Kami girang melihat kau tak apa-apa. Rupanya kau betul, kau habis bertarung dan pingsan oleh kelelahan dan ketakutan. Aku telah memeriksa denyut nadimu tadi. Biarlah kita berpisah dan harap kau hati-hati!"

Kemudian, menarik tangan adiknya dan tidak mau banyak bicara lagi mendadak pemuda tampan ini meloncat, naik di perahunya sendiri. Dan begitu dia melempar senyum dan menyambar dayung tiba-tiba perahu melejit dan terbang ke depan, naik dan melompat-lompat seperti capung.

"Byur..... byur....!"

Ji Pin ternganga. Dia melihat dua muda-mudi itu sudah jauh meninggalkan dirinya, perahu meloncat-loncat dengan cara yang aneh namun luar biasa. Tak lama kemudian sudah hilang dan lenyap di sana. Dan sementara dia melenggong dan membelalakkan matanya maka gadis di atas perahu itu mengomel.

"Huh, kenapa manis budi kepadanya, Liong ko? Kalau aku tak usah permisi, pembohong itu tak perlu diberi sopan!"

"Sudahlah," Thai Liong tersenyum. "Kau pemarah benar, Eng-moi. Memangnya kenapa bermanis budi kepada orang lain? Hal itu baik, tak merugikan kita sendiri."

"Tapi aku merasa sebal. Orang she Ji itu jelas berbohong!"

"Benar, karena itu tak perlu kita mendesaknya, Eng-moi. Kalau seseorang tak ingin diketahui rahasianya tentunya kita tak usah tahu. Biarlah kita tak usah pikirkan dia dan berlayar sendiri."

"Hm, kau terlalu sabar. Kau persis ayah!" dan Soat Eng yang marah-marah membanting kaki akhirnya menyambar kail dan memancing, melepas kemendongkolan dan Thai Liong tersenyum. Pemuda ini tak marah dan kini perahunya melaju lambat. Tapi ketika mereka bersantai dan perahu menentang ombak tiba-tiba terdengar jerit di kejauhan dan Ji Pin berteriak-teriak.

"Tolong..... tolong.....!"

Thai Liong bangkit berdiri. "Ada apa?"

"Huh, kena apa? Tak usah menggubrisnya, Liong-ko. Biar saja orang itu mampus!"

"Tapi..."

"Sudahlah!" adiknya menyambar dayung. "Kita jauhi si pembohong itu, Liong-ko. Tak usah menggubris dia dan biar disergap hiu!"

"Benar!" kakaknya berseru. "Aku melihat sirip-sirip hiu di sana, Eng-moi. Laki-laki itu benar diserang hiu!"

"Perduli amat!" adiknya menyambar dayung, mendahului sang kakak. "Aku sebal pada orang she Ji itu, Liong-ko. Hayo kau memancing dan biar aku mendayung... byur-byur!" Dan perahu yang kini meloncat-loncat dikemudikan gadis cantik itu tiba-tiba menjauhi dan malah meninggalkan laki-laki she Ji, tak perduli pada teriakannya dan pancing sudah dilempar kepada kakaknya. Thai Liong terkejut tapi tiba-tiba membuang pancing, meloncat pada adiknya dan merebut dayung. Dan ketika sang adik terpekik dan melotot marah maka perahu diputar dan pemuda itu kembali ke perahu Ji Pin.

"Tidak, kita harus menolongnya, Eng-moi. Belasan ekor hiu mengepung perahunya. Lihat, jangan kejam!" dan perahu yang meloncat-loncat dan kini melejit seperti ikan lumba-lumba mendadak sudah melesat dan terbang mendekati perahu Ji Pin, diteriaki adiknya tapi perahu tetap meluncur. Dua kali Soat Eng merampas dayung namun kakaknya menepis, membentak gadis itu. Dan ketika Soat Eng terbelalak dan di sana Ji Pin sudah dikeroyok dan dikepung belasan hiu ganas yang menyundul-nyundul perahunya mendadak perahu laki-laki itu terguling dan terlemparlah dia ke laut.

"Heii.....!"

Namun sebuah bayangan putih berkelebat. Thai Liong, pemuda berambut keemasan itu mendadak keluar dari perahunya, yang masih belasan tombak dari perahu Ji Pin. Dan begitu dia berjungkir balik dan berseru keras tiba-tiba pemuda ini sudah menggerakkan kedua kakinya terbang di atas permukaan air, melompat dan berjungkir balik dari satu punggung ikan hiu ke punggung yang lain, cepat dan luar biasa dan orang hanya melihat ia menotol-notolkan kakinya di punggung-punggung ikan hiu itu. Dan ketika ia dekat dengan orang she Ji ini dan laki-laki itu pucat tercebur di laut maka Thai Liong sudah bergerak dan kedua tangannya menyambar punggung laki-laki itu sementara kakinya menendang perahu yang terbalik agar berdiri lagi di atas permukaan air laut.

"Siut-dess!"

Ji Pin sudah berada di atas perahunya lagi. Dengan gerak luar biasa dan mengagumkan pemuda tampan itu telah mengembalikan posisi perahu, telentang dan tidak tengkurap lagi. Dan begitu ia berjungkir balik dan melempar tubuh laki-laki ini maka Ji Pin terbanting namun selamat di atas perahunya sendiri, yang sudah tidak terbalik.

"Bress!" Laki-laki itu ternganga. Thai Liong, penolongnya kini berkelebatan di atas punggung ikan-ikan hiu itu. Dengan kedua tangan atau kakinya pemuda ini beterbangan mengusir hiu-hiu ganas itu, membentak dan mendorong atau memukul dan segera ikan-ikan hiu itu tenggelam, banyak di antaranya yang merasa tak kuat menahan injakan pemuda itu. Thai Liong telah menakut-nakuti ikan-ikan ini dengan tenaga Seribu Katinya, Jing-kin-kang. Dan ketika tangannya juga bergerak memukul atau mendorong akhirnya semua hiu menyelam dan gentar ditendang atau ditampar telapak pemuda itu.

Des-dess!"

Thai Liong seakan menari-nari di tengah laut. Belasan ikan hiu yang diguncang dan dikejutkan sepak terjangnya tiba-tiba menyelam, terakhir dua ekor hiu berputar membawa pemuda itu, yang melekat di atas punggungnya. Satu diinjak dan yang satu lagi dibuat batu loncatan. Dua ekor hiu ini agaknya merupakan pemimpin dan tak mau segera pergi. Tapi ketika Thai Liong menepuk kepalanya dan hiu itu seakan dipukul palu godam maka ikan ini menyelam dan pemuda itu cepat berjungkir balik ke perahunya sendiri, berseru pada Ji Pin.

"Hei, cepat pergi, Ji-twako. Aku tidak membunuh ikan-ikan ini!"

Ji Pin malah melongo.

"Kau mau melihat kakakku berdemonstrasi lagi?" Soat Eng, gadis di perahu melengking. "Pergi dan jangan bengong di situ, orang she Ji. Atau aku akan menghalangi kakakku kalau coba-coba menolongmu lagi!"

"Tidak, eh... terima kasih!" Ji Pin sekarang sadar, kagum dan kaget. "Tapi di sana itu masih banyak teman-temannya, nona. Aku dikepung!"

Ternyata hiu-hiu yang lari itu hanya menjauhi Thai Liong. Ji Pin sendiri, dengan perahunya, ternyata dikepung dari jauh. Hiu-hiu itu pintar, mereka menjauhi Thai Liong tapi tidak menjauhi Ji Pin! Dan ketika lelaki itu pucat dan menuding ke sana maka Soat Eng melihat benar saja puluhan ikan hiu kini menanti dan menunggu untuk menyerang Ji Pin!

"Nah," gadis itu malah mengejek. "Kalau kau berani harap ke sini saja, orang she Ji. Coba berenang dan dekati perahu kami!"

"Mana bisa?" laki-laki itu terbelalak. "Perahumu jauh, nona. Aku tak mungkin terbang. Aku tidak seperti kakakmu yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang begitu tinggi!"

"Kalau begitu kami tak menunggumu. Terserah kau mau di situ atau pergi!" dan menyambar dayung dan waspada terhadap kakaknya gadis ini memukul permukaan air dan perahu pun meloncat, terbang dan melejit dan segera meninggalkan tempat itu. Aneh sekali ikan-ikan hiu ini menyingkir begitu perahu si gadis lewat, rupanya tahu atau mencium keberadaan Thai Liong, si pemuda lihai yang telah menggebah dan memukul-mukul mereka. Dan ketika perahu lewat dan Ji Pin tentu saja ketakutan maka lelaki ini bergerak dan berteriak,

"Hei, tunggu, nona. Biar aku ikut di belakangmu!" dan mengejar serta menyambar dayungnya pula tiba-tiba Ji Pin menggerakkan perahu dan pucat serta gentar, mengikuti tapi dia kalah cepat. Perahu yang ditumpangi Soat Eng sebentar saja sudah terbang di depan, Thai Liong mula-mula ragu dan bimbang mencegah adiknya, mengharap laki-laki itu mengikuti mereka dan menganggap itulah jalan paling baik. Laki-laki itu dapat menempel mereka sementara dia sendiri tak usah menyakiti hati adiknya. Tapi ketika adiknya mengerahkan tenaga dan perahu melesat seakan terbang maka Ji Pin tentu saja ketinggalan dan hiu-hiu itu mulai bergerak untuk menyerang laki-laki ini!

"Eh, tunggu, Eng-moi, Jangan begitu. Kalau kau tak suka aku menolongnya biarkan ia mendekati perahu kita dan dekat di belakang!"

"Huh!" gadis itu mendengus. "Dua kali kita menolong nyawanya sudah cukup, Liong-ko. Tak usah menolong untuk ketiga kali karena ini hukuman baginya. Orang she Ji itu pendusta, biar ia mampus dan dimakan hiu!"

"Tidak, jangan Eng-moi. Kuminta agar bersabar sedikit dan kembalilah...!"

"Aku tak mau!"

"Kalau begitu kau tunggu di sini, biar aku menolongnya....!" dan Thai Liong yang melempar dua potong papan ke tengah laut tiba-tiba berjumpalitan dan hinggap di dua papan ini. Lalu begitu dia mengerahkan ilmu kepandaiannya dan bergerak ke depan maka pemuda ini sudah meluncur dan seperti orang berjalan di atas permukaan air.

"Ser-ser!"

Soat Eng terbelalak. Tentu saja ia menghentikan perahunya. Kakaknya telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan Ji Pin berteriak-teriak di sana. Laki laki ini sudah diserang dan disundul-sundul perahunya. Entah kenapa hiu-hiu itu selalu ingin menyerangnya. Tapi begitu dia melihat perbuatan Thai Liong dan cepat serta luar biasa pemuda itu sudah menghampirinya maka Thai Liong berseru mendepak kepala ikan-ikan hiu itu, dengan ujung papannya.

"Pergilah, ayo pergi.... duk-dukk!"

Dan kepala ikan-ikan hiu yang terpental dan terdorong balik tiba-tiba menyelam dan kembali ketakutan melihat datangnya pemuda ini. Beberapa di antaranya menyerang namun Thai Liong dengan mudah memukul. Pemuda itu dengan lihainya menghajar puluhan hiu-hiu yang ganas ini, sepasang papan di bawah kakinya seakan selancar yang dapat membawa dia ke mana saja, ke kiri atau ke kanan dan ke muka atau belakang. Thai Liong seakan di darat bukannya di air! Dan ketika hiu-hiu itu kembali menyelam dan Ji Pin bengong maka pemuda itu melompat ke atas perahunya dan berseru,

"Sekarang kau ikut aku, perahumu bocor.... wut!" dan Thai Liong yang menyambar serta memanggul laki-laki itu tiba-tiba sudah meloncat lagi ke laut dan berjalan menggerak-gerakkan kedua kakinya di atas permukaan air!

"Ser-ser!"

Ji Pin melongo. Sekarang pemuda itu menuju ke perahunya sendiri. Perahu Ji Pin, yang bocor dan diserang ikan-ikau hiu ternyata tenggelam, terbalik dan sudah tak dapat dipergunakan lagi. Dan begitu pemuda itu bermain "selancar" dan cepat serta ringan mempergunakan dua potong papan menyelamatkan laki-laki ini maka pemuda itu sudah mendekati perahu adiknya dan melempar laki-laki itu di sana.

"Bruk!" Ji Pin masih bengong. Tadi laki-laki itu melihat betapa dengan caranya yang luar biasa pemuda ini berjalan di atas air, menggerak-gerakkan kedua kaki dan sepasang papan di bawah kakinya itu melekat seperti lintah, tak pernah lepas dan selalu melekat di kaki pemuda itu. Tanda bahwa dengan sinkangnya yang luar biasa pemuda ini mampu menyedot papan hingga benda itu mirip sepatu, sepatu air yang aneh. Tapi ketika dirinya ditendang dan Soat Eng, gadis yang galak itu berseru agar dia mendayung maka Ji Pin tersentak dan geragapan meloncat bangun.

"Hei, kini giliranmu bekerja, örang she Ji. Atau kulempar kau ke laut!"

Laki laki ini mengangguk. Dia masih bengong memandang Thai Liong, takjub. Tapi begitu dibentak dan disuruh mendayung maka dia menyambar dayung dan Soat Eng menyambar pancing, melihat puluhan hiu yang tadi menyelam sekonyong-konyong muncul kembali, memburu dan mengikuti mereka. Dan ketika Ji Pek I Nikouw pucat dan Soat Eng berseru keras maka gadis itu telah meledak-ledakkan pancingnya menyerang ikan-ikan buas yang membuntuti perahu mereka itu.

"Hei, enyah! Kalian enyah... tar-tar!" mata pancing meledak, melukai beberapa di antaranya dan hiu-hiu itu mendadak sambar-menyambar. Darah temannya yang luka tiba-tiba merangsang mereka untuk membunuh.

Tiga di sebelah kiri yang terluka oleh pancing di tangan Soat Eng mendadak disergap temannya, diserang. Dan ketika gigit-menggigit terjadi di situ dan puluhan hiu tiba-tiba berebutan mangsa mendadak laut menjadi merah dan Thai Liong berteriak,

"Jangan menyerang!" dan merampas pancing adiknya agar tidak melukai ikan-ikan itu tiba-tiba pemuda ini menyambar dayung di tangan Ji Pin. Lalu, begitu dia membentak dan melihat tiga pulau di depan tiba-tiba pemuda itu sudah menerbangkan perahunya ke sana, ke pulau Sam-liong-to!

"Hei, jangan ke sana. Itu Sam-liong-to!"

Thai Liong terkejut. "Kau yakin?"

"Tentu, aku.... aku baru saja ke sana, kongcu. Itu Sam-liong-to, berbahaya!" dan Ji Pin yang kaget serta tidak berbohong lagi tiba-tiba pucat mukanya dan meminta agar Thai Liong tidak ke pulau itu, tentu saja mengenal Sam-liong-to karena dia telah mendarat di pulau ini. Pulau yang ganas dan berisi binatang buas. Dan ketika laki-laki itu terbelalak dan pucat mukanya mendadak Soat Eng menyambar pundaknya.

"Hm, jadi kau baru saja dari pulau itu? Kau berbohong kepada kami kalau bertempur melawan hiu-hiu yang ganas?"

"Benar," lelaki ini pucat. "Tapi aku berusaha menyelamatkan diriku, nona. Aku... aku terpaksa berbohong karena kalian berdua belum kukenal baik!"

"Bagus, dan sekarang menyangsikan kami? Kau orang jahat yang tak dapat dipercaya? Dua kali kakakku menolongmu, orang she Ji. Dan itu sudah cukup membuktikan padamu macam apakah kami berdua ini. Hayo ceritakan pada kami tentang Sam-liong-to, kebetulan kami berdua juga mencarinya!"

"Nona... nona mau ke sana?"

"Ya, dan kami bukan berpesiar!"

"Nona mau mencari harta karun?"

"Keparat, kami bukan orang-orang mata duitan, orang she Ji. Orang tua kami cukup kaya hingga tak perlu kami mencari harta!"

"Tapi pulau itu menyimpan harta karun....!"

"Kami tak perduli, kami ada urusan lain!"

"Kalau begitu nona mencari apa?"

"Eh, kenapa cerewet amat, orang she Ji? Perlukah urusan kami kau ketahui? Kau tak berhak bertanya, hanya menjawab! Nah, ceritakan padaku apa isi pulau itu dan bagaimana keadaannya!"

"Hm," Thai Liong, pemuda tampan yang tetap bersikap tenang dan tersenyum itu mendinginkan perasaan Ji Pin. "Kami bukan orang-orang yang temahak akan harta, Ji-twako. Kami mencari Sam-liong-to karena terus terang saja ingin menemukan lstana Hantu. Orang tua kami memerintah kami untuk menemukan tempat itu, bukan untuk urusan harta melainkan urusan pribadi!"

"Dan.... dan kalian dari mana? Bolehkah aku tahu?"

"Cerewet, kau pernah mendengar nama Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)? Itulah ayah kami, dan ibuku adalah Hu Swat Lian puteri Hu Taihiap si jago pedang!"

"Oh, jadi ji-wi kongcu dan siocia ini putera puteri Kim-taihiap (pendekar besar Kim)? Ah, tentu saja aku mendengar namanya, siocia. Kalau begitu kebetulan, aku dapat minta tolong kalian!" dan Ji Pin yang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan dua muda-mudi itu mendadak menangis dan meratap, "Siocia, temanku Ong Lun dibunuh gorila buas. Tolong kau balaskan sakit hati ini dan bunuhlah binatang itu. Aku akan menceritakan semuanya kepada kalian!"

Namun Thai Liong yang tiba-tiba berseru dan menjentik kerikil-kerikil kecil mendadak berteriak pada Ji Pin agar berpegang erat-erat pada pinggir perahu, diserang empat hiu ganas dan hampir saja laki-laki itu terpelanting. Thai Liong mengusir empat hiu ganas ini dengan timpukan kerikilnya, yang membuat hiu itu kesakitan dan menyelam kembali. Dan ketika di belakang terlihat hiu-hiu yang lain mengejar dengan cepat akhirnya Thai Liong berkata agar percakapan dihentikan dulu.

"Semua bersiap. Aku akan menerbangkan perahu ini... byur!" dan perahu yang melejit dan meloncat tinggi di udara mendadak terbang dan jatuh lagi ke laut, meloncat dan terbang lagi dan segera kejadian semula dilihat laki-laki she Ji.

Orang itu menoleh ke belakang dan melihat bahwa tiga ekor hiu yang luka-luka sudah habis dimangsa temannya, kini ikan-ikan itu menjadi buas dan mau menyerang mereka, perahu ditumbuk dan tadi Thai Liong cepat berseru pada dua temannya untuk berhati-hati. Dan ketika pemuda itu membentak dan perahu meluncur dan timbul tenggelam di antara ombak yang besar tiba-tiba Ji-te pucat melihat datangnya awan yang gelap serta bergumpal-gumpal.

"Badai akan datang, awas...!"

Thai Liong juga terkejut. Serangan ikan hiu segera disusul datangnya ombak yang besar, angin bertiup dan awan di atas tiba-tiba juga bergulung-gulung. Semuanya berlangsung cepat. Dan ketika ombak di depan membukit setinggi rumah dan untuk pertama kali pemuda itu terteriak kaget maka perahu terpental dan hiu-hiu di bela kang sekonyong-konyong hilang.

"Ah, Topan Siluman, kongcu. Kita akan diserang topan atau Badai Siluman!"

"Bagaimana kau tahu?"

"Arus putaran angin, kongcu. Sekarang angin berpusing dan kita bakal terputar!"

Benar saja. Thai Liong yang lihai, tiba-tiba merasa menghadapi kekuatan dahsyat. Perahunya yang melaju ke depan mendadak tertahan oleh kekuatan angin yang luar biasa. Dua kali pemuda itu mendayung namun dua kali pula perahunya terbanting. Untung, tidak terbalik. Dan ketıka hiu-hiu di belakang lenyap terganti dengan datangnya awan yang gelap maka laut tiba-tiba berbuih dan Soat Eng pucat.

"Liong-ko, kita harus mendarat!"

"Ya, dan bantu aku, Eng-moi. Hiu-hiu itupun agaknya takut menghadapi keganasan badai. Dan kau....!" serunya pada Ji Pin. "Harap berpegang erat-erat pada pinggiran perahu, twako. Atau kami tak dapat menolongmu lagi kalau terlempar ke laut!"

Dan Ji Pin yang pucat namun menganggukkan kepala tiba-tiba melihat Soat Eng menyambar dayung di samping kakaknya, kebetulan ada dua dayung di situ dan mulai menyambar-nyambarlah angin serta kilat di situ. Suaranya menderu dan Ji Pin gemetar. Ombak sekarang menghantam perahu mereka dan Soat Eng serta kakaknya bertahan. Laut, yang tadi tenang sekonyong-konyong buas. Halilintar meledak dan untuk pertama kali terlihatlah kilatan petir di atas kepala, suaranya menggelegar dan Ji Pin menutupi mukanya. Tapi begitu dia melepas pinggiran perahu dan lupa pada nasihat Thai Liong mendadak tubuhnya terlempar dan untung saja menumbuk tubuh pemuda itu.

"Hei..." pemuda itu terkejut. "Berpegangan erat-erat pada pinggiran perahu, twako. Jangan dilepaskan!"

Laki-laki ini mengangguk. Sekarang dia tak dapat bersuara, mukanya pucat dan seluruh tubuh pun menggigil. Badai, yang datang menyerang mereka sekarang suaranya gemuruh. Semua suara akan tertutup oleh suara badai ini, yang begitu hebat dan ribut. Thai Liong sendiri harus mengerahkan khikangnya untuk berteriak pada temannya tadi. Dan ketika kakak beradik itu mati-matian menyelamatkan perahu karena sekarang perahu mereka terangkat dan terbanting diserang ombak maka perahu tiba-tiba anjlok ketika sebuah ombak mengangkat mereka tinggi-tinggi untuk akhirnya hilang begitu saja.

"Brakk!" Perahu ini terbanting. Sam-liong-to, yang tadi terlihat sekonyong-konyong lenyap pula. Ombak yang terlampau tinggi menghalangi pandangan mata, Thai Liong terkejut dan adiknya juga berseru keras. Dan ketika ombak kembali membawa mereka tinggi ke udara dan membanting lagi ke permukaan air maka Ji Pin muntah-muntah karena perutnya serasa diaduk-aduk.

"Aduh, mati aku, kongcu.... mati....!"

Thai Liong mengerutkan kening. Dalam keadaan begitu yang dikhawatirkan adalah pecahnya perahu. Hujan mulai turun dan mereka pun basah kuyup. Soat Eng mengomel dan memaki-maki. Dan ketika halilintar dan badai semakin ribut tiba-tiba kembali perahu mereka diangkat tinggi dan dibanting ke bawah.

"Brakk!" Ji Pin terpental. Nyaris saja laki-laki itu terlempar ke laut kalau tidak tetap berpegangan perahu, dia jungkir balik namun kesepuluh jarinya tetap mencengkeram pinggiran perahu, hal yang masih menyelamatkannya. Dan ketika dia muntah-muntah dan kembali mengeluh maka Thai Liong yang tak dapat menguasai perahu tiba-tiba sekali lagi dihantam ombak, air mulai masuk dan perahu pun oleng. Kalau tidak mati-matian mereka mempertahankan diri tentu perahu sudah terbalik. Yang membuat bingung pemuda itu adalah hujan dan masuknya air laut, yang lain tak dikhawatirkan karena dia merasa sanggup mengatasi.

Dan karena dia dan adiknya sibuk menjaga keseimbangan perahu sementara air kian membanjir masuk maka pemuda ini coba berteriak pada Ji Pin apakah laki-laki itu dapat mengeluarkan air agar perahu tidak tenggelam, dijawab dengan gelengan dan laki-laki itu tampak lemah. Ji Pin seakan dibanting berkali-kali oleh perabu yang terangkat dan anjlok. Dan ketika petir menggelegar di atas kepala dan ombak menelan perahu mereka tiba-tiba air sudah memenuhi perahu dan benda itu pun terbalik dan pecah ketika disambar dan digulung ombak yang membukit.

"Hei.... brakk!"

Perahu pecah berkeping-keping. Di tengah badai dan berkelebatnya kilat yang menyambar-nyambar mendadak saja Thai Liong berjungkir balik, adiknya berteriak melengking dan melakukan hal yang sama. Keduanya berjungkir balik dan cepat hinggap di papan perahu, yang pecah berkeping-keping. Dan ketika Thai Liong melihat Ji Pin terpental dan jatuh ke laut maka pemuda itu menjejakkan kakinya dan cepat serta luar biasa ia menyambar tubuh laki-laki itu, mengangkatnya naik dan Ji Pin mengeluh ketika sudah dipanggul di pundak. Untuk kesekian kali kembali dia diselamatkan pemuda itu. Melihat Thai Liong mempergunakan potongan papan untuk "berselancar", sama seperti ketika pemuda itu bergerak-gerak di atas permukaan laut, berjalan atau entah apa namanya.

Dan ketika Thai Liong berteriak pada adiknya agar dengan pertolongan papan di kaki mereka itu mereka bergerak melawan badai maka Soat Eng sudah membentak dan naik turun di atas ombak, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan sama seperti sang kakak gadis itu berjalan atau berlarian di atas laut, meluncur dan mengelak serta menghindari sambaran ombak, yang kian lama bukannya kian baik melainkan kian ganas.

Thai Liong berkali-kali harus meneriaki adiknya agar mereka tidak terlalu jauh, mencari jalan keluar dan tampaklah kini perbuatan aneh dua muda-mudi itu, terbang dan jatuh lagi di laut untuk akhirnya lenyap dan timbul lagi, digulung ombak yang besar dan berkali-kali mereka nyaris terguling. Hanya dengan kepandaian mereka yang luar biasa saja dua kakak beradik itu dapat menyelamatkan diri dari semua serangan ini, badai yang ganas dan ombak yang mengamuk. Dan ketika satu saat Thai Liong terlempar begitu tinggi namun secara kebetulan pemuda ini malah dapat melihat gugusan tiga pulau maka pemuda itu berteriak,

"Hei, Sam-liong-to ada di sebelah kanan. Kita ke kanan....!"

Soat Eng mengumpat caci. Diserang badai dan basah kuyup seperti itu bukannya gadis ini takut melainkan malah memaki-maki. Soat Eng marah dan memang gusar, mencari jalan keluar namun gagal, terkurung oleh ombak yang membukit dan pandangan mereka terhalang. Tanpa mereka sadari tiba-tiba saja mereka terperangkap dan memasuki Badai Siluman, terbawa dan terputar-putar di situ tanpa banyak berdaya.

Benar kata Ji Pın, topan atau Badai Siluman itu sudah seperti arus pusaran yang berusaha menggulung atau menghisap mereka. Kalau tak memiliki kepandaian tinggi jangan harap mereka dapat selamat. Maka begitu kakaknya berteriak tentang Sam-liong-to dan pulau yang dicari-cari itu katanya ada di sebelah kanan tiba-tiba Soat Eng berjungkir balik menghindari sebuah gulungan ombak dan meluncur mendekati kakaknya itu.

"Di sebelah kanan!" kakaknya berteriak. "Sam-liong-to di sebelah kanan, Eng-moi. Ikuti aku dan mari berpegangan tangan.... wut!" Thai Liong menyambar tangan adiknya, menyendal dan mereka kembali menghindari sebuah gulungan ombak, berjungkir balik dan meloncat tinggi di atas ombak yang membuih.

Mereka harus mengerahkan segenap tenaga untuk melakukan semuanya itu, apalagi Thai Liong masih memanggul Ji Pin, yang hampir pingsan. Dan ketika dua kakak beradik itu meluncur turun dan lagi-lagi harus menghindari hantaman ombak yang baru maka mereka saling menyentak dan berjungkir balik lagi, enam tujuh kali dan Thai Liong selalu ke kanan. Pemuda ini tak mau kehilangan sasaran dan sedapat mungkin mereka harus menjauhi pusat badai ini. Tempat itu berbahaya dan mereka benar-benar terperangkap. Dan ketika mereka berhasil melewati gulungan ombak dan benar saja adiknya melihat gugusan pulau Sam-liong-to maka gadis itu berseru,

"Benar, itu Sam-liong-to, Liong-ko. Sekarang kita berselancar dan tambah kekuatan.... ser-serr!"

Soat Eng dan kakaknya tak mau melepaskan pegangan lagi, menggerak-gerakkan kedua kaki dan potongan papan di bawah kaki mereka itu benar-benar sudah lekat seperti lintah. Soat Eng dan kakaknya mengerahkan ilmu sedot, sekaligus ilmu meringankan tubuh. Dan ketika dengan susah payah mereka berhasil menjauhi badai dan pulau di depan sudah dekat maka Thai Liong tiba-tiba berseru menyadarkan Ji Pin,

"Awas, kita selamat, twako. Aku hendak melemparmu ke pantai dan jaga dirimu baik-baik.... bruk!" Ji Pin, laki-laki itu sudah terlempar mendahului. Thai Liong mengerahkan tenaga dan melempar laki-laki itu tanpa cidera, Ji Pin terjatuh dengan kaki lebih dahulu, tubuhnya masih tegak. Dan ketika lelaki itu terhuyung dan dua kakak beradik itu berjungkir balik maka Thai Liong dan adiknya telah melepas "sepatu-lancar" mereka dan turun di pantai, basah kuyup.

"Wut-wut!"

Dua kakak beradik ini telah mengusap keringat. Peluh mereka menjadi satu dengan air laut, juga air hujan. Dan ketika Ji Pin bengong dan tertegun melihat sepak terjang mereka itu maka Soat Eng membentak,

"Apalagi? Kenapa melotot?"

"Eh-oh...." Ji Pin terkejut. "Maaf. Siocia. Ini... ini fantastis sekali. Aku hampir tak percaya!"

"Hm, percaya atau tidak aku tak perduli, orang she Ji. Sekarang tunjukkan padaku di mana Istana Hantu itu!"

"Tidak," Thai Liong tiba-tiba menggeleng, meloncat. Kita mencari guha dulu, Eng-moi. Kita semua perlu mengeringkan pakaian masing-masing!"

"Benar," Ji Pin berseru. "Dan pulau ini bukan pułau di mana aku mendarat, Siocia. Gorila itu bukan di pulau ini tapi di pulau yang tengah!"

"Sudahlah," Thai Liong berkelebat. "Itu urusan nanti, Ji-twako. Sekarang kita mencari guha dan berlindung dulu!"

Ji Pin mengangguk. Terhadap Thai Liong ia merasa suka, tidak seperti kalau berhadapan dengan Soat Eng. Dia selalu dibuat kebat-kebit kalau berhadapan dengan gadis itu, maklum, Soat Eng tampak galak dan ketus. Kakaknya jauh lebih ramah dan laki-laki itu sudah menyusul. Dan ketika Soat Eng juga berkelebat dan mereka mendapat sebuah guha maka Thai Liong sudah membuat api unggun dan menyuruh mereka semua berdiang.

"Kenapa repot-repot? Suruh orang she Ji itu bekerja, Liong-ko. Jangan membuat api unggun sendiri kalau di sini ada pembantu!"

"Sudahlah, ini pekerjaan kecil, Eng-moi. Jangan marah-marah melulu dan biarkan Ji-twako berdiang. Kemarilah," pemuda itu menggapai. "Dekat kami, twako. Panaskan tubuhmu dan keringkan pakaianmu."

Orang she Ji ini kebat-kebit. Berhadapan dengan Soat Eng sungguh membuat dia gugup, selamanya tak enak dan untung ada kakaknya di situ. Kalau tidak, entahlah apa yang mau dia lakukan. Barangkali kabur. Dia selalu serba salah berhadapan dengan puteri Kim-mou-eng itu. Dan ketika dia mendekat dan otomatis berdiang di sebelah Thai Liong daripada Soat Eng maka gadis itu mendengus dan mencibir.

"Huh!" Suara ini membuat Ji Pin semburat. Kalau tak terpaksa barangkali dia akan membalas, betapapun dia merasa direndahkan dan diejek terus-menerus. Tapi ketika Thai Liong tersenyum dan ramah memandangnya maka laki-laki ini menunduk dan berkata, lirih,

"Kongcu, terima kasih. Kau telah berkali-kali menyelamatkan nyawaku."

"Untuk apa berterima kasih? Lebih baik sekarang kau minta maaf dulu, orang she Ji. Kau telah berbohong kepada kami. Sekarang lebih baik ceritakan apa yang telah kau alami dan kapan kau mendarat di pulau Sam-liong-to yang di tengah itu!" Soat Eng, yang tidak puas dan masih marah karena merasa didustai menjengek, mendahului kakaknya dan Thai Liong cepat memencet lengan adiknya itu. Betapapun Soat Eng terlalu keras. Tapi ketika gadis itu mencibir dan malah mendengus maka Ji Pin tiba-tiba mengangguk dan berkata,

"Baiklah, aku minta maaf dulu, siocia. Dan aku akan berterus terang kepada kalian. Sesungguhnya, aku mencari Istana Hantu untuk mendapatkan harta karunnya. Dan karena kalian berkali-kali telah menyelamatkan nyawaku biarlah kutunjukkan peta ini dan kuberikan pada kalian."

"Nanti dulu," Thai Liong mencegah. "Aku tidak menerima peta harta karun, Ji-twako. Kami mencari Istana Hantu bukan untuk maksud itu!"

"Aku tahu," laki-laki itu mengangguk. "Tapi peta ini menunjukkan letak istana itu, kongcu. Kalau saja aku tak tersesat di hutan dan mengalami celaka bersama temanku barangkali istana itu sudah kutemukan!"

"Nah, begitu. Ini saja yang kau ceritakan!" Soat Eng berseru. "Kami tak butuh peta penyimpanan harta, orang she Ji. Lebih baik kau ceritakan apa isi pulau di tengah itu dan bagaimana kau terapung-apung di tengah laut, yang katamu habis diserang hiu!"

"Maaf," Ji Pin merah mukanya. "Aku menyesal, siocia, harap jangan mengejek lagi. Salahkah aku kalau harus berbohong pada orang yang belum kukenal sama sekali? Bagaimana kalau siocia sendiri yang mengalami seperti itu? Apakah siocia juga akan jujur dan langsung berterus terang?"

"Hm!" Soat Eng terbelalak. "Kau mau melawan aku? Kau mau menghina aku?"

"Sudahlah," Thai Liong lagi-lagi bicara. "Urusan yang lewat biarlah lewat, Eng-moi. Apa yang dikata Ji-twako ini benar. Kita tak usah mengejeknya lagi dengan omongan itu dan Ji-twako sendiri harap percaya penuh kepada kami!" dan menghadapi laki-laki itu Thai Liong berkata, "Lanjutkanlah, tak usah kau sakit hati kepada adikku, twako. Dia memang begitu dan sudah menjadi wataknya untuk selalu marah kepada orang yang pernah bohong kepadanya!"

"Hm, maaf, kongcu, memang aku juga salah. Baiklah, kuceritakan pada kalian. Pulau di tengah itu berbahaya. Sepasang gorila jantan dan betina ada di sana, kebal dan tahan bacokan senjata tajam. Temanku Ong Lun mati dicabiknya!"

"Apa yang terjadi? Bagaimana asal mulanya?"

Ji Pin tiba-tiba menangis. "Mengerikan, kongcu. Menyeramkan! Pulau itu penuh dengan binatang buas. Aku... kami berdua sial!" dan Ji Pin yang tak meneruskan kata-katanya karena teringat kematian temannya tiba-tiba mengguguk dan menutupi mukanya, terguncang dan Soat Eng tertegun juga.

Betapapun setelah laki-laki ini meminta maaf dan bersikap jujur akhirnya dia merasa lunak juga. Memang, puteri Kim-mou-eng ini amat membenci sekali orang-orang yang bohong, pantang didustai dan dia sendiri adalah seorang gadis jujur yang tak suka berbohong. Biar terhadap lawan pun dia tetap jujur. Maka begitu melihat laki-laki ini menangis dan tampak betapa kedukan sungguh-sungguh menguasai laki-laki itu maka dia meminta kakaknya agar menghibur, dengan isyarat mata.

"Hm," Thai Liong mengangguk. "Aku turut berduka cita atas kematian temanmu, Ji-twako. Sudahlah kau hentikan tangismu dan mari kita bicara lagi. Betapapun, kau selamat dan sudah tak ada bahaya di sini."

"Benar, tapi... ah, kematiannya itu mengerikan, kongcu. Gorila itu benar-benar buas dan terkutuk sekali. Keparat binatang itu. Aku ingin ji-wi membunuhnya untuk membalaskan sakit hati ini!"

"Sudahlah, itu urusan nanti. Sekarang ceritakan kepada kami bagaimana keadaan di tengah pulau itu agar kami dapat bersiap-siap."

Ji Pin akhirnya mengusap air matanya. Dihibur dan mendapat kata-kata lembut begini akhirnya dia terhibur juga. Pemuda ini adalah putera Pendekar Rambut Emas, tak usah dia ragu dan tentu pemuda itu dapat membunuh si gorila keparat di pulau bagian tengah itu. Dan ketika dia mengangguk dan mendapat tepukan lembut maka orang ini akhirnya bercerita tentang keadaan pulau yang dikunjunginya itu. Betapa pulau itu tenang di luar tapi ganas di dalam. Banyak binatang buas dan buaya, juga ular dan monyet-monyet yang ratusan jumlahnya. Dan ketika dia bercerita bahwa dari semua binatang buas itu yang tampaknya paling ditakuti adalah sepasang gorila di pulau ini maka dia menutup,

"Harimau dan semua hewan lain tampak ketakutan mendengar geraman gorila ini. Begitu mereka mendengar begitu pula mereka lari. Aku sudah beberapa kali membuktikan dan melihat bahwa agaknya raja di antara segala raja penghuni hutan itu adalah sepasang gorila ini!"

"Dan kau belum menemukan istana itu?"

"Belum, keburu dikejar-kejar binatang keparat ini, kongcu. Kami akhirnya tersesat dan hampir saja dicaplok buaya!"

"Ah, menarik!" Soat Eng kini berseru. "Kita secepatnya ke sana, Liong-ko. Ingin kulihat gorila yang aneh itu. Tentu dulu ada pemiliknya!"

"Benar, tapi kita harus berhati hati, Eng-moi. Mendengar cerita Ji-twako ini tahulah kita bahwa pulau itu cukup berbahaya. Dan dia juga belum menemukan Istana Hantu!"

"Kita dapat mencarinya!" gadis itu bersemangat. "Aku yakin kita dapat menemukan, Liong-ko. Dan sekali ketemu ingin kulihat bagaimana wujud dan isi istana itu!"

Ji Pin kagum. Puteri Kim-mou-eng ini tampak begitu berani dan tak takut, mau tak mau dia memuji juga. Jarang dia menemukan gadis seperti ini. Dan ketika Thai Liong mengangguk dan melihat hujan sudah reda maka dia bertanya pada Ji Pin apakah laki-laki itu dapat menjadi penunjuk jalan.

"Ah, bagaimana ya?" laki-laki ini ragu. "Aku dapat saja menjadi penunjuk jalan, kongcu. Tapi barangkali justeru aku akan merepotkan kalian berdua saja. Kalian harus sering menolongku kalau ada bahaya."

"Hm, jadi bagaimana kalau begitu?"

"Biarlah kongcu dan siocia berangkat berdua. Aku menunggu di sini dan peta kalian bawa. Aku percaya penuh!" Ji Pin lagi-lagi menyerahkan peta itu, memberikannya pada Thai Liong tapi pemuda itu ragu. Dan ketika Ji Pin mendesak dan berkata bahwa biarlah peta itu dibawa pemuda itu maka Thai Liong menarik napas dan melirik adiknya.

"Baiklah, terima kasih, Ji-twako. Anggap saja peta ini kupinjam. Kalau kami sudah menemukan istana itu tentu kami ke sini dan membawamu pergi...."

"Dan harta karun itu boleh kau bawa!" adiknya memotong. "Kami tak butuh harta karun, orang she Ji. Kami bukan tamak harta dan kau tak usah sangsi!"

"Tidak, tidak!" lelaki ini tiba-tiba menggeleng. "Kalau ada harta di situ biarlah kita bagi tiga, siocia. Aku juga tak tamak harta kalau sudah cukup!"

"Hm, baiklah," Thai Liong tersenyum. "Urusan itu mudah dan belakangan saja, twako. Kami tak begitu tertarik. Lagi pula kami belum tahu apakah dapat keluar atau tidak dari pulau itu...!"

Istana Hantu Jilid 01

ISTANA HANTU
JILID 01
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

SAM-LIONG-TO (Pulau Tiga Naga) adalah sebuah pulau terpencil di selatan Laut Tiongkok, jauh di tenggara. Jarang dikenal orang karena pulau itu memang jauh, baik dari keramaian maupun perbatasan. Hampir tak disebut namanya oleh siapa pun, baik oleh orang kang-ouw maupun orang biasa. Tapi ketika pagi itu sebuah perahu layar tampak mendekati gugusan pulau ini dan dua laki-laki tampak kegirangan melihat pulau itu maka seorang di antaranya menuding dan berseru,

"Lihat, itu, Ji-te (adik Ji). Ini benar-benar Sam-liong-to!"

Orang kedua, yang mengayuh dan mendayung tiba-tiba berseri mukanya. "Benar, agaknya tidak salah, Ong-twako (kakak Ong). Kita menemukan apa yang kita cari!"

"Daratkan perahu, kita menepi!" dan orang pertama yang kelihatan girang dan bersinar mukanya lalu menggerakkan dayungnya pula mempercepat laju perahu, tak menghiraukan keringat yang bercucuran dan dua orang di atas perahu itu tam pak gembira. Mereka seolah mendapat emas permata, hal itu tampak dari ketawa dan sikap mereka, yang tak henti-hentinya berseru. Dan ketika perahu menepi dan akhirnya mendarat di pasir yang lunak maka keduanya sudah meloncat dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, kita berhasil. Perjalanan jauh kita tak sia-sia!"

"Benar, rejeki di depan mata, twako. Dan kita tinggal mencari istana itu!"

"Tak salah!" dan keduanya yang sudah berjingkrak girang dan menari serta melonjak tiba-tiba berlarian ke atas bukit batu hitam kecoklatan dan mereka seakan berlomba siapa paling dulu tiba di atas. Dan ketika keduanya hampir bersamaan tiba di tempat itu dan tertawa memandang sekeliling mendadak keduanya berhenti tertawa dan menoleh kiri kanan.

"Lihat, itu, Ji-te (adik Ji). Ini benar-benar Sam-liong-to!"

"Eh, dari sini semua tempat kelihatan. Tapi mana istana itu?"

"Atau kita salah?"

"Tak mungkin. Tanda di tengah pulau itu benar, Ji-te. Lihat dua punuk di ujung paling depan itu, mirip mata naga. Kita benar-benar di pulau Sam-liong-to!"

"Tapi istana itu tak ada. Apakah kita lamur?"

"Hm, coba lihat peta, Ji-te. Keluarkan dan kita periksa sekali lagi!"

Dua orang itu bergerak. Mereka meloncat turun dan berteduh di bawah sebuah batu besar yang seorang mengeluarkan peta dan segera membebernya. Dan ketika mereka mengamati dan memperhatikan dengan seksama maka yang satu berseru, menuding sisi kanan peta, "Nah, di sini seharusnya istana itu berdiri. Raja Beng membuat istana itu di sini!"

"Benar, di dekat hutan, Ji-te. Kalau begitu apakah di sebelah hutan itu?"

"Mungkin. Kita selidiki, twako. Hutan itu memang menghalangi pandangan kita!"

"Dan kita siapkan senjata kita. Mungkin di sana ada binatang buas!"

Dua lelaki itu bergerak kembali. Mereka terdiri dari laki-laki yang tegap, otot mereka kokoh dan jari-jari tangan pun besar, sebesar pisang. Dan ketika keduanya menyimpan peta dan satu di antaranya sudah mendahului meloncat turun maka Ong-twako, laki-laki pertama sudah berteriak dan bersorak girang.

"Hayo, kita dekati hutan itu!"

Lelaki kedua, yang dipanggil Ji-te melayang turun. Dengan senyum dan tawa lebar dia sudah mengikuti temannya, berlompatan dari satu batu ke batu yang lain, ringan dan cekatan dan jelaslah bahwa dua laki-laki ini adalah orang-orang yang pandai silat. Golok yang sudah mereka cabut untuk menjaga segala kemungkinan semakin memperkuat dugaan itu. Dan ketika keduanya terbang dan tertawa-tawa mendekati hutan di tengah pulau maka keduanya tak melihat betapa sepasang mata bulat kecil mengintai dari balik celah batu, mata seekor mahluk gorila yang buas dan kelaparan!

"Ha-ha, cepat, Ji-te. Cepat...!"

"Sabar, tak lari gunung dikejar, twako. Hati-hati dan jangan tergesa!"

Dua orang itu tertawa-tawa. Mereka mendekati hutan dengan langkah tak sabar, seolah berlomba dan masing-masing menghapus keringat sekenanya. Apa yang mereka cari sudah hampir didapatkan. Kegirangan mereka tak kepalang lagi dan dua orang itu sudah tiba di mulut hutan. Tapi baru mereka menerobos masuk dan berjingkrak kegirangan tiba-tiba terdengar geraman dan mereka menoleh kaget, melihat seekor gorila berlari mengejar mereka dan dua laki-laki itu tertegun.

Seekor hewan buas, dengan ketinggian masih di atas manusia biasa tiba-tiba menubruk mereka, giginya menyeringai dan tampaklah taring-taring yang amat kuat itu. Tentu saja mereka mengelak dan dua laki-laki itu berseru memperingatkan pada yang lain. Dan ketika tubrukan luput dan gorila itu mengeluarkan pekik menggetarkan maka Ji-te, orang kedua menusukkan goloknya, tepat ke bahu.

"Tak!" Senjata itu mental. Ji-te kaget bukan main dan kuku gorila menyambarnya, membanting tubuh bergulingan namun baju pundaknya memberebet. Ternyata, hampir terlambat dia mengelak. Dan ketika gorila itu menggereng dan menubruk lagi maka laki-laki pertama membentak mengayunkan goloknya.

"Tak!" Gorila itu kebal. Dua kali bacokan golok ternyata tak membuatnya apa-apa, membalik dan kini menerkam laki-laki pertama itu. Ji-te sudah bergulingan menjauhkan diri. Dan ketika laki-laki pertama juga melempar tubuh bergulingan dan berseru keras maka dua laki-laki itu sudah meloncat bangun dengan muka pucat.

"Awas, hati-hati, Ong-twako. Binatang ini kebal!"

"Ya, dan dia kuat bukan main, Ji-te. Juga kelaparan!"

Dua orang itu bergerak ke kiri kanan. Mereka sudah diserang gorila ini dengan gerengan dan tubrukannya menghindar dan membacok namun binatang tinggi besar itu tak apa-apa. Tujuh kali tusukan golok ternyata mental tak dapat melukainya, Ong-twako bahkan menerima cakaran berat di pangkal lengannya, berdarah dan satu di antara mereka sudah terluka. Dan ketika laki-laki itu pucat dan membentak serta menyerang akhirnya mereka menujukan serangan pada mata binatang itu.

"Serang matanya. Tusuk!"

Namun hewan ini pintar. Nalurinya yang tajam memberitahunya bahwa bagian itu diincar, cepat menggeram melindungi bagian muka dengan tangannya yang berbulu. Satu tusukan golok bahkan sempat ditangkis. Dan ketika satu tusukan lagi disambutnya dengan telapak tangan yang lebar tiba-tiba golok laki-laki kedua bahkan dicengkeram.

"Hei..... plak!"

Golok itu tertangkap. Ji-te terkejut karena tak mampu membetot, sudah menarik namun gagal. Dan ketika gorila itu menggeram dan menggerakkan tangan yang lain tiba-tiba kuku jarinya sudah menyambar muka lawan.

"Awas, Ji-te!" Ong-twako, laki-laki pertama berteriak. Dia menendang namun binatang itu tak bergeming, bahkan semakin terdorong maju menyerang temannya itu. Dan karena waktu sudah sedemikian mepet dan hanya ada satu jalan menghindarkan itu dengan cara membiarkan goloknya maka Ji-te sudah melempar tubuh bergulingan dan golok tiba-tiba dicengkeram patah oleh tangan si gorila yang kuat perkasa.

"Pletak!"

Dua laki-laki itu ngeri. Aneh dan lucu tiba-tiba gorila ini menggigit mata golok, menggeram. Patahan yang lain dibuang dan Ji-te kebingungan. Dia tak mempunyai senjata lagi dan gorila sudah menyerang mereka, matanya buas kelaparan dan mereka sungguh ngeri, berloncatan dan mengelak. Dan ketika berkali-kali gorila gagal menerkam mereka sementara mereka pun gagal membacok atau merobohkan gorila itu mendadak binatang tinggi besar ini mengeluarkan suara berkuik, panjang dan parau dan Ji-te maupun temannya tak mengerti. Tapi begitu dari dalam hutan muncul seekor gorila lain dan dua laki-laki itu terkejut maka gorila yang ini sudah berlari dan menubruk mereka.

"Awas....!"

Dua laki-laki itu panik. Gorila betina, yang datang belakangan ternyata tak kalah buas. Hewan itu menggeram dan sudah menubruk mereka, menyambar siapa saja dan Ji-te pucat, bergulingan menjauh dan cepat memungut potongan kayu yang kebetulan menggeletak. Dan ketika hewan itu menyerang lagi dan Ji-te berteriak keras maka potongan kayu ini dihantamkan ke kepala si gorila betina.

"Bukk!" dahan itu malah mental. Laki-laki ini harus bertahan sekuatnya ketika dia terputar. Kaget bukan main. Senjata di tangannya seolah menghantam dinding baja dan gorila itu menggereng, menubruk lagi. Matanya yang jalang dan kelaparan jelas menunjukkan betapa buas dan ganasnya. Laki-laki ini membentak dan menyerang lagi, berkelit dan dahan di tangannya itu menghantam dari samping. Tapi ketika gorila tak bergeming dan suara "buk" itu disusul pekik tertahan laki-laki ini yang jatuh terpelanting maka gorila berkuik dan menerkamnya lagi.

"Bress!" Laki-laki itu sepucat mayat. Dia hampir diterkam kalau tidak menggulingkan tubuh ke kanan, kuku atau cakar binatang buas itu menghujam tanah, sedalam lima senti. Dan ketika temannya di sana juga berteriak dan kewalahan menghadapi gorila jantan mendadak goloknya dicengkeram dan diremas hancur oleh gorila perkasa ini, patah menjadi tiga potong dan dua laki-laki itu gentar. Mereka tak bersenjata lagi dan laki-laki pertama menyambar potongan kayu, seperti temannya, menghantam. Tapi ketika kayu itu ditangkap dan mulut yang menggigit patahan golok tiba-tiba menyeringai maka gorila ini membuka mulutnya dan menubruk.

"Grrr...!"

Ong-twako harus melempar tubuh bergulingan. Hampir dia diterkam dan digigit, kuku dan taring binatang itu sejengkal saja di sisi tubuhnya. Dan ketika dia bergulingan dan meloncat bangun maka dia melihat keadaan temannya yang juga tidak lebih baik. "Ji-te, lari....!"

Laki-laki kedua, yang gugup dan kewalahan menghadapi gorila betina mengangguk. Memang tak ada jalan lain kecuali melarikan diri. Golok mereka patah dan gorila-gorila itu kebal. Baik yang jantan maupun betina sama-sama buas, mereka tak mungkin menang lagi dan lari adalah jalan paling baik. Maka begitu mengangguk dan berteriak keras tiba-tiba dia memutar tubuhnya tidak ke hutan melainkan ke pantai, bermaksud kembali ke perahu layarnya. Tapi temannya yang berteriak menyambar tangannya tiba-tiba berseru,

"Tidak, bukan ke pantai Ji-te, melainkan ke dalam. Kita masuki hutan itu dan bersembunyi di sana!"

"Tapi gorila-gorila itu...!" lelaki ini gemetar. "Mereka terus mengejar, twako. Di tanah mereka tak dapat kita hadapi. Sebaiknya ke laut, kembali!"

"Ah, kau mau menyia-nyiakan perjalanan kita? Istana itu belum kita temukan, Ji-te. Kita terus dan masuki hutan itu, bersembunyi di sana!" dan ketika dia tak dapat membantah dan gorila di belakang menggereng dan mengejar maka lelaki kedua terpaksa mengikuti kehendak temannya, pucat dan menggigil dan tiba-tiba sebatang pohon besar ada di depan mereka.

Ong-twako sudah berlari dan memanjat pohon ini, maksudnya bersembunyi. Pohon itu luar biasa besarnya dan dahan serta daun-daunnya pun lebat. Bersembunyi di sana tak mungkin gorila itu dapat mencari. Tapi ketika terdengar suara cecowetan dan puluhan monyet besar kecil mendadak terjun dan terayun-ayun ingin menyerang mereka maka lelaki pertama terkejut dan melotot.

"Jahanam, apakah kita harus berkelahi dengan monyet?"

"Turun!" temannya berseru. "Cari tempat lain, twako. Bahaya!"

"Bluk!" Ong-twako anjlok, meluncur begitu saja dan terpaksa dia mencaci-maki. Gorila di belakang mengejar dengan langkahnya yang berat dan bunyi tapak kaki mereka menggetarkan tanah. Ngeri dua orang itu. Dan ketika mereka berlari lagi dan memasuki hutan semakin dalam maka tempat pun mulai gelap dan mereka melihat ratusan pohon besar kecil berdiri di situ, memilih satu di antaranya dan laki-laki she Ong tetap ingin memanjat pohon. Dia bermaksud menghindari dua gorila itu dengan bersembunyi di atas. Tapi ketika desis dan tubuh-tubuh yang licin menggeliat di atas kepala maka belasan ekor ular telah membuka mulutnya dan menyambut mereka, ular-ular yang ganas dan buas!

"Ssh-sshh....!"

Lelaki ini mengumpat. Kalau golok ada di tangannya mungkin dia akan membabat ular-ular itu, tak perlu takut dan gelisah. Maka mengutuk dan meloncat turun lagi terpaksa dia mencari tempat perlindungan yang lain, pohon-pohon besar di sekitar namun hampr semua pohon ada penghuninya. Ong-twako pucat dan mandi keringat, temannya juga menggigil dan gemetaran sejak tadi. Dan ketika di belakang terdengar geraman dan suara dua gorila itu maka dua laki-laki ini panik dan gugup.

"Celaka, ke mana lagi kita sekarang, twako?"

"Lari, ke depan!"

"Tapi di sana barangkali ada binatang buasnya juga, aku ngeri!"

"Kalau begitu kau ingin kembali dan menghadapi gorila itu? Kembalilah, aku tak mau menanggung keselamatanmu, Ji-te. Kita sudah di sini dan tak mungkin mundur!"

Terpaksa, karena di belakang dihadang gorila dan di depan agaknya menjanjikan tempat persembunyian yang baik akhirnya Ji-te mengikuti temannya dan tersaruk-saruk melangkah, tak dapat cepat lagi karena hutan mulai lebat, juga gelap. Dan ketika di depan tiba-tiba terdengar aum dan geraman harimau maka laki-laki ini terjatuh dan hampir lumpuh.

"Twako, macan...!"

"Diam, mereka dapat kita hadapi, Ji-te. Lepas ikat pinggangmu!"

Namun aneh. Begitu terdengar geraman gorila di belakang dua laki-laki itu mendadak harimau-harimau ini menyingkir, tiga ekor jumlahnya dan mereka menghilang, melesat di kiri kanan. Rupanya, raja hutan itu takut terhadap sepasang gorila. Tahu kekebalannya dan Ong-twako maupun Ji-te lega, meloncat dan kembaii berlari-lari kecil. Mereka menerabas dan menyusup di apa saja, kian lama terasa kian lebat dan akhirnya geraman di belakang hilang. Barangkali dua gorila itu kehilangan jejak mereka. Dan ketika Ong-twako berhenti terengah-engah dan temannya di belakang memburu napasnya maka lelaki itu menegur,

"Ji-te, kenapa kerdil amat jiwamu ini? Mana keberanianmu sehari-hari?"

"Aduh, ah....!" lelaki itu mengatur napasnya. "Aku takut melıhat suasana ini, twako. Kita seakan memasuki guha siluman!"

"Pengecut, kau mengecilkan hati dan kehilangan nyali. Hayo, kita membuat senjata dari apa saja!" Ong-twako merah mukanya, marah kepada temannya karena dia merasa mendapat beban. Temannya tampak ketakutan dan dia sudah menyambar sebatang bambu, kebetulan runcing ujungnya. Jadi, seperti tombak. Tapi ketika temannya terengah-engah dan mencari sesuatu untuk dibuat senjata mendadak temannya itu menjerit dan melolong, di sebelah kirinya.

"Buaya....!"

Lelaki ini bergerak. Terdengar suara blak-bluk di situ, menguak semak belukar dan tampaklah temannya menghantam dan diserang buaya. Kiranya mereka berada di sebuah rawa dan tanpa sadar mereka mendekati bahaya yang lain. Lolos dari harimau dan gorila ternyata menghadapi binatang air yang tak kalah ganas. Dan ketika dari kiri dan kanan bergerak tiga buaya yang lain maka Ong-twako, meloncat dan menusukkan tombak bambunya untuk menolong teman.

"Krakk!" Tombak bambu itu patah. Si buaya mengipatkan ekor dan laki-laki ini terpelanting, menjerit dan mengaduh. Celaka sekali kecebur di rawa itu. Dan ketika tiga buaya yang lain meluncur dan membuka mulut lebar-lebar tiba-tiba Ji-te melempar tali dan melasso temannya itu, menarik.

"Twako, naik!"

Teriakan itu menyelamatkan laki-laki ini. Ong-twako menyambar dan sudah gugup sekali, disendal dan terlemparlah dia tinggi ke udara, jatuh berdebuk dan terguling-guling di sana. Buaya pertama mengejar dan meluncur di air, untung dia dilasso dan dibetot dari rawa. Dan ketika Ji-te berjungkir balik dan berseru keras maka temannya itu menyambar tangannya diajak lari.

"Celaka, tempat ini tak ada yang aman, twako. Lari!"

Ong-twako, si lelaki pertama gemetar. Sekarang dia ketakutan juga karena di mana-mana tak ada tempat yang enak. Mereka kehilangan senjata dan dengan tangan kosong saja mereka diharuskan menghadapi semua bahaya itu, tak pelak lututnya menggigil dan ketakutan temannya menular. Kini dia tak memaki-maki temannya itu lagi karena hampir saja dia disergap buaya. Kalau tak cepat temannya menolong tentu dia sudah tinggal nama. Ah, mengerikan sekali kejadian itu. Dan karena mereka mulai dikejar-kejar bahaya dan laki-laki ini menyesal kenapa tak kembali ke perahunya saja maka dia mengajak untuk keluar hutan, kembali.

"Apa? Kembali? Sesudah demikian jauh kita memasuki hutan ini? Ah, tak mungkin, twako. Aku sudah tak ingat jalannya. Tadi kau tak mau!"

"Maaf, tadi aku tak menduga semuanya ini, Ji-te. Aku tak mengira kalau tempat ini penuh bahaya."

"Dan kau nekat. Tadi kau memaki-maki aku!"

"Maaf, aku menyesal, Ji-te. Biarlah sekarang aku mencari jalan dan kita memutar."

Namun terlambat. Mereka kini sudah tersesat di dalam hutan, pohon-pohon yang rimbun dan gelap tak dapat membuat mereka menentukan arah. Ke manapun pergi rasanya masih berkisar di tempat itu-itu juga, pohon-pohon yang lebat dan dingin. Bahkan sekali hampir saja ke tempat rawa itu, daerah yang dihuni oleh empat ekor buaya! Dan ketika mereka gemetaran dan menggigil pucat akhirnya lelaki she Ong jatuh terduduk dan tampak putus asa.

"Kita tak dapat kembali. Kita kehilangan arah!"

"Apa yang harus dilakukan?"

"Entahlah, aku bingung, Ji-te. Maaf!" lelaki itu tiba-tiba menangis, membuat Ji-te tertegun dan lelaki yang sebenarnya juga ketakutan ini mengeluh. Tanpa terasa dia pun mengeluarkan air mata dan dua laki-laki gagah itu menangis. Namun ketika mereka kebingungan dan menangis di situ mendadak terdengar suara berkeresek dan seekor kelinci liar melompat dari sebuah lubang.

"He, lihat itu!"

Ong-twako menoleh. Dia juga mendengar suara itu, mula-mula mengira ular dan bersiap waspada. Hati kebat-kebit dan perasaan jerih sudah mencekam dirinya terlebih dulu. Tersesat di hutan memang membuat orang ingin berteriak-teriak, melolong atau melakukan apa saja agar diselamatkan. Namun karena hutan itu tak ada manusianya dan penghuninya hanyalah hewan buas semata maka laki-laki ini tertegun melihat ada binatang lain di situ, kelinci.

"Ah, kita tangkap, Ji-te. Jadikan penangsel perut!"

Dua laki-laki itu bergerak. Memang Ji-te juga sudah berpikir begitu, perutnya lapar dan tiba-tiba berkeruyuk. Dapat menangkap kelinci ini adalah sebuah keuntungan. Tapi ketika mereka menubruk dan kelinci meloncat ternyata tubrukan luput dan kepala mereka pun malah saling beradu, terlampau terburu-buru.

"Dukk!" Ong-twako mengomel. Dia memaki temannya yang dianggap bodoh, Ji-te juga balas memakinya namun mereka berdua sudah tidak bertengkar lagi, meloncat dan menubruk kelinci gemuk itu. Namun ketika si kelinci melejit dan meloncat tinggi tiba-tiba binatang ini berkuik dan sudah melewati kepala Ji-te, meloncat-loncat dan lari memasuki lubang dari mana dia tadi keluar.

"Ah, tangkap, Ji-te. Pergunakan lasso-mu!"

"Jrrtt!" Ji-te sudah melakukan pekerjaan ini, secepat kilat melasso dan gemas pada kelinci lincah itu. Binatang itu sudah tiba di mulut lubang dan sedetik terlambat tentu mereka gagal. Dan ketika kelinci itu terjirat dan kaki belakangnya kena lasso maka binatang ini meronta-ronta dan Ji-te tertawa bergelak, merasa lucu, juga girang. Sejenak melupakan bahwa dirinya di hutan siluman!

"Ha-ha, kena, twako. Kena!"

Temannya tertawa lebar. Melasso dan menjirat kelinci gemuk tiba-tiba menimbulkan kegembiraan tersendiri. Segala ketakutan dan keputusasaan lenyap sedetik, gembira melihat tingkah kelinci gemuk yang meronta-ronta. Dan ketika Ong-twako bergerak dan menangkap kelinci itu maka tangannya sudah mengetok dan menjewer telinga kelincı ini.

"Ha-ha, kau tak dapat lari. Ayo kami panggang!"

Ji-te mengangguk. Dia sudah berkelebat mencari daun dan ranting-ranting kering, kayu bakar yang banyak terdapat di situ. Dan ketika temannya sudah membunuh dan menguliti binatang ini, maka api unggun pun menyala dan mereka tertawa-tawa memanggang daging kelinci itu.

"Ah, sedap sekali. Kelinci yang benar-benar gemuk dan sehat!"

"Dan kita tak lapar lagi, Ji-te. Daging kelinci ini nikmat dan lezat sekali!"

"Ya, dan kita dapat mencarinya lagi...."

"Eh!" temannya tiba-tiba tertegun. "Kau tak menyelidiki lubang itu, Ji-te? Siapa tahu ada guha atau apa?"

"Hm," temannya mengangguk. "Boleh jadi, twako. Biarlah kulihat!" laki-laki itu meloncat, membuang sisa makanannya dan Ong-twako pun bergerak, memadamkan api unggun dan mengikuti temannya pula. Dan ketika Ji-te menguak dan melihat lubang itu ternyata sesuatu mengejutkan sekaligus menggirangkan mereka berdua.

"Ah, sebuah guha. Benar sebuah guha!"

Ji-te menggali dan tiba-tiba menyambar potongan kayu unggun, membabat semak-semaknya dan tampaklah di depan mereka sebuah guha yang kecil, mula-mula mulutnya yang gelap dan tiba-tiba berlompatan kelinci-kelinci gemuk dari dalam, mengejutkan mereka tapi sekaligus membuat gembira. Dan ketika dua tiga ekor kelinci ditangkap dan dijepit telinganya maka mereka tertawa bergelak melihat tempat persembunyian yang bagus.

"Ha-ha, sementara ini beruntung, twako. Dapat persembunyian sekaligus bahan makanannya!"

"Ya, dan kita masuk, Ji-te. Tempat ini jelas aman!"

"Bagaimana kau tahu?"

"Eh, bukankah kelinci-kelinci ini bersembunyi di sana? Kalau ada bahaya tak mungkin mereka di situ, Ji-te. Ayo masuk dan kita buat obor!"

Ong-twako tertawa bergelak, melempar kembali kelinci yang ditangkap dan temannya pun terbahak. Memang benar, dia baru mendusin. Dan karena tempat itu jelas aman dan tak mungkin ada ular atau binatang buas lainnya maka Ji-te melompat dan memasuki guha itu, mula-mula harus hati-hati namun akhirnya dia gembira. Guha itu luas di dalam sempit di luar. Mungkin, karena tak pernah dimasuki manusia maka bebatuan dan tanah longsor menimbuni bagian guha sebelah luar, hingga mulutnya sempit dan kecil. Dan begitu mereka masuk dan guha benar-benar lebar dan luas akhirnya dua orang itu tertawa bergelak dan sebuah obor sudah ada di tangan.

"Ha-ha, ini tempat aman, Ji-te. Kita dapat beristirahat atau tidur dulu di sini!"

"Ya, dan kita sementara lega. Tak ada musuh atau binatang mengganggu. Aku puas!" dan Ji-te yang melonjak serta berjingkrak girang tiba-tiba berlarian dan memeriksa isi guha, melihat batu-batu runcing di atas dan tertawa senang.

Mereka seolah mendapat tempat menggembirakan setelah tegang di luar sana, dikejar dan diburu-buru bahaya. Dan ketika mereka mendapat kenyataan bahwa guha itu juga bersih maka Ji-te sudah melempar tubuhnya untuk beristirahat, merasa mengantuk setelah perut kenyang. Menikmati kelinci panggang tadi sudah tak membuat mereka kelaparan lagi, Ong-twako juga melempar tubuh dan mengusap keringatnya. Luka di lengan sudah dibalut dan mereka bercakap-cakap sejenak, menghilangkan ketegangan dengan cara begitu santai, obor ditancapkan di sudut dan mereka dapat melihat ke mana-mana.

Dan ketika dua lelaki itu mulai menguap dan kantuk sudah menyerang mereka maka keduanya pun terguling dan akhirnya tidur. Merencanakan bahwa besok mereka akan mencari jalan keluar dan kembali ke perahu, tentu saja tak mau berlama-lama di pulau Sam-liong-to itu, meskipun sudah di guha yang aman. Tapi begitu mereka terlelap dan kantuk menyerang dengan hebat tiba-tiba suara menggeram terdengar di luar guha dan gorila jantan ternyata ada di situ, mau memasuki mulut guha namun masih terlalu sempit bagi tubuhnya yang besar!

"Grr!" Suara ini tak didengar dua laki-laki itu. Ji-te dan temannya terlampau lelah, mereka diguncang dan ditegangkan peristiwa sehari. Maklum saja, mereka tak mengetahui bahwa isi pulau Sam-liong-to adalah binatang-binatang buas, bahkan gorila yang tahan bacokan senjata tajam. Dan ketika suara itu masih juga tak membangunkan mereka dan gorila jantan menggaruk serta mengorek batu-batu di luar akhirnya mulüt guha melebar dan memberosotlah tubuh binatang tinggi besar itu, berjalan dengan langkah berat dan yang dihampiri adalah lelaki she Ong.

Geramannya kini terdengar menggetarkan guha dan laki-laki itu tiba-tiba bangun. Betapapun, nalurinya merasa diancam bahaya dan laki-laki itu membuka mata. Tapi begitu dia bangun dan membuka mata tiba-tiba gorila ini sudah menerkamnya dan dua lengan berbulu yang amat kuat dan panjang telah mencekik lehernya.

"Auhh....!"

Teriakan atau pekik yang terhenti itu mengejutkan Ji-te. Lelaki ini membuka mata dan melompat bangun, tentu saja kaget. Dan begitu dia tahu betapa gorila jantan telah memasuki guha dan temannya kini meronta-ronta tiba-tiba lelaki itu pucat dan memekik.

"Twako...." dan menerjang serta menghantam binatang itu tiba-tiba Ji-te berusaha membebaskan temannya, tepat mengenai punggung namun binatang raksasa itu tak bergeming. Pukulannya membalik dan Ong-twako mendelik. Dia meronta dan menendang-nendang namun si gorila tak apa-apa, membuat Ji-te pucat dan menerjang lagi.

Dan ketika temannya mengeluh dan gorila menggeram tiba tiba cekikannya diperkuat dan terdengarlah suara "krak" di mana temannya tiba-tiba terkulai. Tulang lehernya patah dan seketika lelaki she Ong tewas. Ji-te terbelalak dan kaget sekali, juga marah, di samping gentar. Dan ketika gorila mencabik dada temannya dan menggigit di situ maka Ji-te ngeri sekali melihat gorila ini telah menancapkan taringnya dan menggigit sepotong jantung, yang penuh darah.

"Twako....!" Ji-te sekarang menyadari bahaya, tiba-tiba membalik dan melarikan diri. Pucatlah mukanya dan menangislah tersedu-sedu lelaki itu berkelebat keluar guha dan rasa kantuk tiba-tiba hilang. Dan begitu ia berteriak-teriak dan lari menerabas hutan maka seperti orang gila lelaki ini tak menghiraukan lagi ke mana ia lari, pokoknya lari dan lari. Ke mana saja yang kira-kira dapat menyelamatkan dirinya. Sepotong jantung yang membekas di ingatannya itu tak dapat dilupakannya, lelaki ini histeris dan menjerit-jerit. Dan ketika tiba-tiba di samping kanan terdengar geraman dan gorila betina muncul tiba-tiba lelaki itu seakan terbang semangatnya dan mengeluh.

"Ooh.....!" Ji-te jatuh bangun. Dia pucat bukan main melihat betina itu, tadi yang jantan sekarang yang betina. Lari sipat kuping dan binatang-binatang lain tiba-tiba juga berloncatan menghilang. Geraman gorila betina itu ternyata membuat jerih semua penghuni hutan, lelaki ini tak terganggu di depan dan larilah dia secepat-cepatnya.

Dan karena semangatnya seakan terbang dan entah bagaimana mendadak ia seakan mendapat tambahan tenaga baru tiba-tiba lelaki itu sudah terbang dan kebetulan dia dapat menemukan jalan semua, melihat mulut hutan dan tampaklah perahu layarnya di pasir yang lunak itu, tak bergerak dan masih berada di tepi pantai, aman. Bukan main girang dan leganya laki-laki itu, langsung saja dia berteriak dan menuju pantai, melihat laut yang biru dan ombaknya yang membuih. Dan begitu ia tiba di tempat ini dan gorila betina tersaruk-saruk mengejar maka laki-laki itu menyambar perahunya dan langsung melemparnya ke laut.

"Byurr!" Dia cepat meloncat. Gorila betina sudah tinggal beberapa tombak lagi di belakang, hewan berlangkah berat itu tak putus asa mengejarnya. Tapi begitu dia meloncat di perahu dan mengayuh menjauh maka binatang itu pun tertegun dan terbelalak di tempat. Matanya yang bulat kecil bersinar-sinar dan tentu saja ia tak dapat mengejar. Ia adalah binatang darat, bukan binatang air. Maka begitu lawan melarikan diri dan cepat kemudian sudah ke tengah laut maka binatang ini termangu dan tampaknya kecewa.

"Haram jadah! Terkutuk kau, binatang keparat. Terkutuk!" Ji-te memaki-maki di atas perahunya, menjauh dan mendayung cepat dan tiba-tiba ia menggigit bibir. Tenaga yang dipacu untuk menyelamatkan diri sekarang terasa menghabiskan dirinya, Ji-te pusing namun ia mencoba bertahan, mengutuk dan mencaci maki binatang itu dan akhirnya gorila di pantai pun menghilang. Sekarang dia sudah jauh dan aman dari segala marabahaya itu.

Dan ketika perahu terus didayung tapi laki-laki ini mengeluh mendadak perahu berhenti dan laki-laki itu ambruk, tak kuat lagi menjalankan perahunya dan kenangan hebat di atas pulau membuat Ji-te seram. Ketakutan dan kengerian membuat laki-laki ini letih, lahir batin. Dan karena ia juga baru mengerahkan segenap tenaganya untuk melarikan diri dari pulau Sam-liong-to itu maka laki-laki ini pun akhirnya roboh dan pingsan tak sadarkan diri, membiarkan perahunya hanyut dan terombang-ambing oleh ombak.

* * * * * * * *

"Hei, lihat. Liong-ko (kakak Liong). Ada orang pingsan!"

Dua muda-mudi, yang sedang berlayar dengan tenang mendadak melihat perahu Ji-te. Si gadis, yang berteriak menudingkan telunjuknya tiba-tiba tertegun. Mereka berada di laut yang luas dan temannya, seorang pemuda tampan berambut keemasan tiba-tiba menoleh, terkejut dan tertegun juga. Tapi begitu mengangguk dan menyambar dayung sekonyong-konyong dayung itu bergerak dan menepuk permukaan air.

Dan begitu laut berkecipak dan perahu terangkat naik tiba-tiba perahu itu sudah melesat dan terbang ke depan, jatuh lagi di air tapi segera melejit lagi, terbang dan meluncur lagi bagai kecapung menari-nari di atas permukaan air. Sekali melesat berjarak puluhan tombak. Dan ketika enam tujuh kali perahu itu meluncur dan "terbang" dengan cara yang aneh maka dua muda-mudi di atas perahu itu akhirnya sudah mendekati perahu Ji-te, menempel.

"Benar, dia pingsan. Coba kita sadarkan!"

Si pemuda, yang tampan dan berambut keemasan sudah mengikat dan mengait perahunya dengan perahu lawan. Gerakannya cepat dan ringan, tangkas dan menunjukkan seorang pamuda hebat. Melihat sinar matanya yang mencorong saja orang akan tahu bahwa pemuda ini seorang ahli lweekeh (tenaga dalam) yang mahir, gerak-geriknya tenang namun cekatan. Dan ketika temannya sudah meloncat ke perahu Ji-te dan menolong laki-laki itu maka Ji-te mengeluh ketika membuka matanya.

"Ah, Hai-sian-li (Dewi Laut)...!" serunya, begitu beradu pandang dengan si gadis cantik. Laki-laki ini malah bengong dan terkejut, kekagumannya memancar terang-terangan dan dia tidak ingat di mana dia berada. Tapi ketika pundaknya dicengkeram dan laki-laki ini merasa sakit tiba-tiba ia sadar namun juga kaget mendengar suara yang nyaring galak, pertanyaan kaku.

"Kau anak buah bajak?"

Ji-te mengeluh. "Aduh, lepaskan, nona...!" katanya. "Bagaimana kau menuduhku demikian? Aku orang baik-baik, bukan bajak atau anggauta bajak!"

"Tapi pakaianmu robek-robek, berpercikan darah! Bukankah kau habıs bertempur?"

"Ah, benar. Tapi... eh...!" sebuah tangan yang lembut namun kokoh mengangkat cengkeraman di pundaknya, Ji-te melihat orang ketiga di situ, si pemuda tampan berambut keemasan. Dan ketika dia terbelalak dan tertegun tak meneruskan kata-katanya maka pemuda ini, yang lembut namun bermata tajam menegur temannya, si gadis cantik,

"Eng-moi (adik Eng), lepaskan orang ini. Kita tak dapat menuduhnya bajak atau bukan dengan melihat bekas-bekas darah di pakaiannya. Dia tampaknya terguncang oleh sesuatu, biarkan ia tenang dan memperkenalkan diri..."

"Hm," gadis itu, yang dipanggil Eng-moi melepaskan cengkeramannya. Memang dialah yang mencengkeram laki-laki ini. Dia tadi merasa merah dan panas mukanya karena dipandang seperti itu. Kalau saja pandang mata Ji-te berkesan kekurangajaran tentu dia sudah membanting laki-laki ini di laut. Tampaklah bahwa dia seorang gadis yang keras. Dan ketika temannya mendorong sabar dan dia mendengus maka Ji-te sekarang melongo melihat ketampanan yang aneh namun mempesona dari pemuda berambut keemasan ini.

"Kongcu siapakah?" tanyanya, kagum. "Apakah Dewa Laut penguasa lautan ini?"

"Hm, aku Thai Liong, sobat. Kim Thai Liong. Sedang itu adikku Kim Soat Eng."

"Eh...!" Soat Eng, gadis itu menegur. "Kenapa memperkenalkan diri, Liong-ko? Dia itulah yang harus bercerita, bukan kita!"

"Maaf...!" Ji-te terkejut, menyadari kegalakan gadis ini. "Aku Ji Pin, nona. Aku orang she Ji yang malang."

"Nah, begitu!‖ gadis itu mencibir. ―Ceritakan apa yang kau alami, orang she Ji. Bukan malah bertanya atau ingin mengetahui siapa kami!"

"Maaf, aku.... aku tersesat. Aku baru saja berkelahi dengan seekor ikan hiu!"

"Hm, bohong. Di sini tak ada hiu!" Soat Eng, gadis itu membentak. Dia tak segan-segan melotot marah dan Ji Pin, laki-laki itu terkejut.

Sekarang lelaki ini sadar bahwa di situ memang tak ada hiu. Namun tentu saja tak mau berterus terang tentang Sam-liong-to dan segala kejadian yang menimpanya laki-laki ini mengerutkan alis, sudah menemukan jawaban. "Memang benar, tapi jauh dari sini aku bertemu ikan hiu, nona. Dan aku telah bertarung dengan ikan yang ganas itu. Aku dikeroyok, melarikan diri dan akhirnya pingsan."

"Kau tidak bohong?"

"Hm, sudahlah." Thai Liong, pemuda berambut keemasan itu menarik tangan adiknya. "Dia bohong atau tidak bukan urusan kita, Eng-moi. Yang penting kita sudah menolongnya dan dia selamat. Barangkali Ji-twako ini tak suka kita banyak bertanya," dan menghadapi lelaki itu Thai Liong menjura. Twako, maaf. Kami girang melihat kau tak apa-apa. Rupanya kau betul, kau habis bertarung dan pingsan oleh kelelahan dan ketakutan. Aku telah memeriksa denyut nadimu tadi. Biarlah kita berpisah dan harap kau hati-hati!"

Kemudian, menarik tangan adiknya dan tidak mau banyak bicara lagi mendadak pemuda tampan ini meloncat, naik di perahunya sendiri. Dan begitu dia melempar senyum dan menyambar dayung tiba-tiba perahu melejit dan terbang ke depan, naik dan melompat-lompat seperti capung.

"Byur..... byur....!"

Ji Pin ternganga. Dia melihat dua muda-mudi itu sudah jauh meninggalkan dirinya, perahu meloncat-loncat dengan cara yang aneh namun luar biasa. Tak lama kemudian sudah hilang dan lenyap di sana. Dan sementara dia melenggong dan membelalakkan matanya maka gadis di atas perahu itu mengomel.

"Huh, kenapa manis budi kepadanya, Liong ko? Kalau aku tak usah permisi, pembohong itu tak perlu diberi sopan!"

"Sudahlah," Thai Liong tersenyum. "Kau pemarah benar, Eng-moi. Memangnya kenapa bermanis budi kepada orang lain? Hal itu baik, tak merugikan kita sendiri."

"Tapi aku merasa sebal. Orang she Ji itu jelas berbohong!"

"Benar, karena itu tak perlu kita mendesaknya, Eng-moi. Kalau seseorang tak ingin diketahui rahasianya tentunya kita tak usah tahu. Biarlah kita tak usah pikirkan dia dan berlayar sendiri."

"Hm, kau terlalu sabar. Kau persis ayah!" dan Soat Eng yang marah-marah membanting kaki akhirnya menyambar kail dan memancing, melepas kemendongkolan dan Thai Liong tersenyum. Pemuda ini tak marah dan kini perahunya melaju lambat. Tapi ketika mereka bersantai dan perahu menentang ombak tiba-tiba terdengar jerit di kejauhan dan Ji Pin berteriak-teriak.

"Tolong..... tolong.....!"

Thai Liong bangkit berdiri. "Ada apa?"

"Huh, kena apa? Tak usah menggubrisnya, Liong-ko. Biar saja orang itu mampus!"

"Tapi..."

"Sudahlah!" adiknya menyambar dayung. "Kita jauhi si pembohong itu, Liong-ko. Tak usah menggubris dia dan biar disergap hiu!"

"Benar!" kakaknya berseru. "Aku melihat sirip-sirip hiu di sana, Eng-moi. Laki-laki itu benar diserang hiu!"

"Perduli amat!" adiknya menyambar dayung, mendahului sang kakak. "Aku sebal pada orang she Ji itu, Liong-ko. Hayo kau memancing dan biar aku mendayung... byur-byur!" Dan perahu yang kini meloncat-loncat dikemudikan gadis cantik itu tiba-tiba menjauhi dan malah meninggalkan laki-laki she Ji, tak perduli pada teriakannya dan pancing sudah dilempar kepada kakaknya. Thai Liong terkejut tapi tiba-tiba membuang pancing, meloncat pada adiknya dan merebut dayung. Dan ketika sang adik terpekik dan melotot marah maka perahu diputar dan pemuda itu kembali ke perahu Ji Pin.

"Tidak, kita harus menolongnya, Eng-moi. Belasan ekor hiu mengepung perahunya. Lihat, jangan kejam!" dan perahu yang meloncat-loncat dan kini melejit seperti ikan lumba-lumba mendadak sudah melesat dan terbang mendekati perahu Ji Pin, diteriaki adiknya tapi perahu tetap meluncur. Dua kali Soat Eng merampas dayung namun kakaknya menepis, membentak gadis itu. Dan ketika Soat Eng terbelalak dan di sana Ji Pin sudah dikeroyok dan dikepung belasan hiu ganas yang menyundul-nyundul perahunya mendadak perahu laki-laki itu terguling dan terlemparlah dia ke laut.

"Heii.....!"

Namun sebuah bayangan putih berkelebat. Thai Liong, pemuda berambut keemasan itu mendadak keluar dari perahunya, yang masih belasan tombak dari perahu Ji Pin. Dan begitu dia berjungkir balik dan berseru keras tiba-tiba pemuda ini sudah menggerakkan kedua kakinya terbang di atas permukaan air, melompat dan berjungkir balik dari satu punggung ikan hiu ke punggung yang lain, cepat dan luar biasa dan orang hanya melihat ia menotol-notolkan kakinya di punggung-punggung ikan hiu itu. Dan ketika ia dekat dengan orang she Ji ini dan laki-laki itu pucat tercebur di laut maka Thai Liong sudah bergerak dan kedua tangannya menyambar punggung laki-laki itu sementara kakinya menendang perahu yang terbalik agar berdiri lagi di atas permukaan air laut.

"Siut-dess!"

Ji Pin sudah berada di atas perahunya lagi. Dengan gerak luar biasa dan mengagumkan pemuda tampan itu telah mengembalikan posisi perahu, telentang dan tidak tengkurap lagi. Dan begitu ia berjungkir balik dan melempar tubuh laki-laki ini maka Ji Pin terbanting namun selamat di atas perahunya sendiri, yang sudah tidak terbalik.

"Bress!" Laki-laki itu ternganga. Thai Liong, penolongnya kini berkelebatan di atas punggung ikan-ikan hiu itu. Dengan kedua tangan atau kakinya pemuda ini beterbangan mengusir hiu-hiu ganas itu, membentak dan mendorong atau memukul dan segera ikan-ikan hiu itu tenggelam, banyak di antaranya yang merasa tak kuat menahan injakan pemuda itu. Thai Liong telah menakut-nakuti ikan-ikan ini dengan tenaga Seribu Katinya, Jing-kin-kang. Dan ketika tangannya juga bergerak memukul atau mendorong akhirnya semua hiu menyelam dan gentar ditendang atau ditampar telapak pemuda itu.

Des-dess!"

Thai Liong seakan menari-nari di tengah laut. Belasan ikan hiu yang diguncang dan dikejutkan sepak terjangnya tiba-tiba menyelam, terakhir dua ekor hiu berputar membawa pemuda itu, yang melekat di atas punggungnya. Satu diinjak dan yang satu lagi dibuat batu loncatan. Dua ekor hiu ini agaknya merupakan pemimpin dan tak mau segera pergi. Tapi ketika Thai Liong menepuk kepalanya dan hiu itu seakan dipukul palu godam maka ikan ini menyelam dan pemuda itu cepat berjungkir balik ke perahunya sendiri, berseru pada Ji Pin.

"Hei, cepat pergi, Ji-twako. Aku tidak membunuh ikan-ikan ini!"

Ji Pin malah melongo.

"Kau mau melihat kakakku berdemonstrasi lagi?" Soat Eng, gadis di perahu melengking. "Pergi dan jangan bengong di situ, orang she Ji. Atau aku akan menghalangi kakakku kalau coba-coba menolongmu lagi!"

"Tidak, eh... terima kasih!" Ji Pin sekarang sadar, kagum dan kaget. "Tapi di sana itu masih banyak teman-temannya, nona. Aku dikepung!"

Ternyata hiu-hiu yang lari itu hanya menjauhi Thai Liong. Ji Pin sendiri, dengan perahunya, ternyata dikepung dari jauh. Hiu-hiu itu pintar, mereka menjauhi Thai Liong tapi tidak menjauhi Ji Pin! Dan ketika lelaki itu pucat dan menuding ke sana maka Soat Eng melihat benar saja puluhan ikan hiu kini menanti dan menunggu untuk menyerang Ji Pin!

"Nah," gadis itu malah mengejek. "Kalau kau berani harap ke sini saja, orang she Ji. Coba berenang dan dekati perahu kami!"

"Mana bisa?" laki-laki itu terbelalak. "Perahumu jauh, nona. Aku tak mungkin terbang. Aku tidak seperti kakakmu yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang begitu tinggi!"

"Kalau begitu kami tak menunggumu. Terserah kau mau di situ atau pergi!" dan menyambar dayung dan waspada terhadap kakaknya gadis ini memukul permukaan air dan perahu pun meloncat, terbang dan melejit dan segera meninggalkan tempat itu. Aneh sekali ikan-ikan hiu ini menyingkir begitu perahu si gadis lewat, rupanya tahu atau mencium keberadaan Thai Liong, si pemuda lihai yang telah menggebah dan memukul-mukul mereka. Dan ketika perahu lewat dan Ji Pin tentu saja ketakutan maka lelaki ini bergerak dan berteriak,

"Hei, tunggu, nona. Biar aku ikut di belakangmu!" dan mengejar serta menyambar dayungnya pula tiba-tiba Ji Pin menggerakkan perahu dan pucat serta gentar, mengikuti tapi dia kalah cepat. Perahu yang ditumpangi Soat Eng sebentar saja sudah terbang di depan, Thai Liong mula-mula ragu dan bimbang mencegah adiknya, mengharap laki-laki itu mengikuti mereka dan menganggap itulah jalan paling baik. Laki-laki itu dapat menempel mereka sementara dia sendiri tak usah menyakiti hati adiknya. Tapi ketika adiknya mengerahkan tenaga dan perahu melesat seakan terbang maka Ji Pin tentu saja ketinggalan dan hiu-hiu itu mulai bergerak untuk menyerang laki-laki ini!

"Eh, tunggu, Eng-moi, Jangan begitu. Kalau kau tak suka aku menolongnya biarkan ia mendekati perahu kita dan dekat di belakang!"

"Huh!" gadis itu mendengus. "Dua kali kita menolong nyawanya sudah cukup, Liong-ko. Tak usah menolong untuk ketiga kali karena ini hukuman baginya. Orang she Ji itu pendusta, biar ia mampus dan dimakan hiu!"

"Tidak, jangan Eng-moi. Kuminta agar bersabar sedikit dan kembalilah...!"

"Aku tak mau!"

"Kalau begitu kau tunggu di sini, biar aku menolongnya....!" dan Thai Liong yang melempar dua potong papan ke tengah laut tiba-tiba berjumpalitan dan hinggap di dua papan ini. Lalu begitu dia mengerahkan ilmu kepandaiannya dan bergerak ke depan maka pemuda ini sudah meluncur dan seperti orang berjalan di atas permukaan air.

"Ser-ser!"

Soat Eng terbelalak. Tentu saja ia menghentikan perahunya. Kakaknya telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan Ji Pin berteriak-teriak di sana. Laki laki ini sudah diserang dan disundul-sundul perahunya. Entah kenapa hiu-hiu itu selalu ingin menyerangnya. Tapi begitu dia melihat perbuatan Thai Liong dan cepat serta luar biasa pemuda itu sudah menghampirinya maka Thai Liong berseru mendepak kepala ikan-ikan hiu itu, dengan ujung papannya.

"Pergilah, ayo pergi.... duk-dukk!"

Dan kepala ikan-ikan hiu yang terpental dan terdorong balik tiba-tiba menyelam dan kembali ketakutan melihat datangnya pemuda ini. Beberapa di antaranya menyerang namun Thai Liong dengan mudah memukul. Pemuda itu dengan lihainya menghajar puluhan hiu-hiu yang ganas ini, sepasang papan di bawah kakinya seakan selancar yang dapat membawa dia ke mana saja, ke kiri atau ke kanan dan ke muka atau belakang. Thai Liong seakan di darat bukannya di air! Dan ketika hiu-hiu itu kembali menyelam dan Ji Pin bengong maka pemuda itu melompat ke atas perahunya dan berseru,

"Sekarang kau ikut aku, perahumu bocor.... wut!" dan Thai Liong yang menyambar serta memanggul laki-laki itu tiba-tiba sudah meloncat lagi ke laut dan berjalan menggerak-gerakkan kedua kakinya di atas permukaan air!

"Ser-ser!"

Ji Pin melongo. Sekarang pemuda itu menuju ke perahunya sendiri. Perahu Ji Pin, yang bocor dan diserang ikan-ikau hiu ternyata tenggelam, terbalik dan sudah tak dapat dipergunakan lagi. Dan begitu pemuda itu bermain "selancar" dan cepat serta ringan mempergunakan dua potong papan menyelamatkan laki-laki ini maka pemuda itu sudah mendekati perahu adiknya dan melempar laki-laki itu di sana.

"Bruk!" Ji Pin masih bengong. Tadi laki-laki itu melihat betapa dengan caranya yang luar biasa pemuda ini berjalan di atas air, menggerak-gerakkan kedua kaki dan sepasang papan di bawah kakinya itu melekat seperti lintah, tak pernah lepas dan selalu melekat di kaki pemuda itu. Tanda bahwa dengan sinkangnya yang luar biasa pemuda ini mampu menyedot papan hingga benda itu mirip sepatu, sepatu air yang aneh. Tapi ketika dirinya ditendang dan Soat Eng, gadis yang galak itu berseru agar dia mendayung maka Ji Pin tersentak dan geragapan meloncat bangun.

"Hei, kini giliranmu bekerja, örang she Ji. Atau kulempar kau ke laut!"

Laki laki ini mengangguk. Dia masih bengong memandang Thai Liong, takjub. Tapi begitu dibentak dan disuruh mendayung maka dia menyambar dayung dan Soat Eng menyambar pancing, melihat puluhan hiu yang tadi menyelam sekonyong-konyong muncul kembali, memburu dan mengikuti mereka. Dan ketika Ji Pek I Nikouw pucat dan Soat Eng berseru keras maka gadis itu telah meledak-ledakkan pancingnya menyerang ikan-ikan buas yang membuntuti perahu mereka itu.

"Hei, enyah! Kalian enyah... tar-tar!" mata pancing meledak, melukai beberapa di antaranya dan hiu-hiu itu mendadak sambar-menyambar. Darah temannya yang luka tiba-tiba merangsang mereka untuk membunuh.

Tiga di sebelah kiri yang terluka oleh pancing di tangan Soat Eng mendadak disergap temannya, diserang. Dan ketika gigit-menggigit terjadi di situ dan puluhan hiu tiba-tiba berebutan mangsa mendadak laut menjadi merah dan Thai Liong berteriak,

"Jangan menyerang!" dan merampas pancing adiknya agar tidak melukai ikan-ikan itu tiba-tiba pemuda ini menyambar dayung di tangan Ji Pin. Lalu, begitu dia membentak dan melihat tiga pulau di depan tiba-tiba pemuda itu sudah menerbangkan perahunya ke sana, ke pulau Sam-liong-to!

"Hei, jangan ke sana. Itu Sam-liong-to!"

Thai Liong terkejut. "Kau yakin?"

"Tentu, aku.... aku baru saja ke sana, kongcu. Itu Sam-liong-to, berbahaya!" dan Ji Pin yang kaget serta tidak berbohong lagi tiba-tiba pucat mukanya dan meminta agar Thai Liong tidak ke pulau itu, tentu saja mengenal Sam-liong-to karena dia telah mendarat di pulau ini. Pulau yang ganas dan berisi binatang buas. Dan ketika laki-laki itu terbelalak dan pucat mukanya mendadak Soat Eng menyambar pundaknya.

"Hm, jadi kau baru saja dari pulau itu? Kau berbohong kepada kami kalau bertempur melawan hiu-hiu yang ganas?"

"Benar," lelaki ini pucat. "Tapi aku berusaha menyelamatkan diriku, nona. Aku... aku terpaksa berbohong karena kalian berdua belum kukenal baik!"

"Bagus, dan sekarang menyangsikan kami? Kau orang jahat yang tak dapat dipercaya? Dua kali kakakku menolongmu, orang she Ji. Dan itu sudah cukup membuktikan padamu macam apakah kami berdua ini. Hayo ceritakan pada kami tentang Sam-liong-to, kebetulan kami berdua juga mencarinya!"

"Nona... nona mau ke sana?"

"Ya, dan kami bukan berpesiar!"

"Nona mau mencari harta karun?"

"Keparat, kami bukan orang-orang mata duitan, orang she Ji. Orang tua kami cukup kaya hingga tak perlu kami mencari harta!"

"Tapi pulau itu menyimpan harta karun....!"

"Kami tak perduli, kami ada urusan lain!"

"Kalau begitu nona mencari apa?"

"Eh, kenapa cerewet amat, orang she Ji? Perlukah urusan kami kau ketahui? Kau tak berhak bertanya, hanya menjawab! Nah, ceritakan padaku apa isi pulau itu dan bagaimana keadaannya!"

"Hm," Thai Liong, pemuda tampan yang tetap bersikap tenang dan tersenyum itu mendinginkan perasaan Ji Pin. "Kami bukan orang-orang yang temahak akan harta, Ji-twako. Kami mencari Sam-liong-to karena terus terang saja ingin menemukan lstana Hantu. Orang tua kami memerintah kami untuk menemukan tempat itu, bukan untuk urusan harta melainkan urusan pribadi!"

"Dan.... dan kalian dari mana? Bolehkah aku tahu?"

"Cerewet, kau pernah mendengar nama Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)? Itulah ayah kami, dan ibuku adalah Hu Swat Lian puteri Hu Taihiap si jago pedang!"

"Oh, jadi ji-wi kongcu dan siocia ini putera puteri Kim-taihiap (pendekar besar Kim)? Ah, tentu saja aku mendengar namanya, siocia. Kalau begitu kebetulan, aku dapat minta tolong kalian!" dan Ji Pin yang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan dua muda-mudi itu mendadak menangis dan meratap, "Siocia, temanku Ong Lun dibunuh gorila buas. Tolong kau balaskan sakit hati ini dan bunuhlah binatang itu. Aku akan menceritakan semuanya kepada kalian!"

Namun Thai Liong yang tiba-tiba berseru dan menjentik kerikil-kerikil kecil mendadak berteriak pada Ji Pin agar berpegang erat-erat pada pinggir perahu, diserang empat hiu ganas dan hampir saja laki-laki itu terpelanting. Thai Liong mengusir empat hiu ganas ini dengan timpukan kerikilnya, yang membuat hiu itu kesakitan dan menyelam kembali. Dan ketika di belakang terlihat hiu-hiu yang lain mengejar dengan cepat akhirnya Thai Liong berkata agar percakapan dihentikan dulu.

"Semua bersiap. Aku akan menerbangkan perahu ini... byur!" dan perahu yang melejit dan meloncat tinggi di udara mendadak terbang dan jatuh lagi ke laut, meloncat dan terbang lagi dan segera kejadian semula dilihat laki-laki she Ji.

Orang itu menoleh ke belakang dan melihat bahwa tiga ekor hiu yang luka-luka sudah habis dimangsa temannya, kini ikan-ikan itu menjadi buas dan mau menyerang mereka, perahu ditumbuk dan tadi Thai Liong cepat berseru pada dua temannya untuk berhati-hati. Dan ketika pemuda itu membentak dan perahu meluncur dan timbul tenggelam di antara ombak yang besar tiba-tiba Ji-te pucat melihat datangnya awan yang gelap serta bergumpal-gumpal.

"Badai akan datang, awas...!"

Thai Liong juga terkejut. Serangan ikan hiu segera disusul datangnya ombak yang besar, angin bertiup dan awan di atas tiba-tiba juga bergulung-gulung. Semuanya berlangsung cepat. Dan ketika ombak di depan membukit setinggi rumah dan untuk pertama kali pemuda itu terteriak kaget maka perahu terpental dan hiu-hiu di bela kang sekonyong-konyong hilang.

"Ah, Topan Siluman, kongcu. Kita akan diserang topan atau Badai Siluman!"

"Bagaimana kau tahu?"

"Arus putaran angin, kongcu. Sekarang angin berpusing dan kita bakal terputar!"

Benar saja. Thai Liong yang lihai, tiba-tiba merasa menghadapi kekuatan dahsyat. Perahunya yang melaju ke depan mendadak tertahan oleh kekuatan angin yang luar biasa. Dua kali pemuda itu mendayung namun dua kali pula perahunya terbanting. Untung, tidak terbalik. Dan ketıka hiu-hiu di belakang lenyap terganti dengan datangnya awan yang gelap maka laut tiba-tiba berbuih dan Soat Eng pucat.

"Liong-ko, kita harus mendarat!"

"Ya, dan bantu aku, Eng-moi. Hiu-hiu itupun agaknya takut menghadapi keganasan badai. Dan kau....!" serunya pada Ji Pin. "Harap berpegang erat-erat pada pinggiran perahu, twako. Atau kami tak dapat menolongmu lagi kalau terlempar ke laut!"

Dan Ji Pin yang pucat namun menganggukkan kepala tiba-tiba melihat Soat Eng menyambar dayung di samping kakaknya, kebetulan ada dua dayung di situ dan mulai menyambar-nyambarlah angin serta kilat di situ. Suaranya menderu dan Ji Pin gemetar. Ombak sekarang menghantam perahu mereka dan Soat Eng serta kakaknya bertahan. Laut, yang tadi tenang sekonyong-konyong buas. Halilintar meledak dan untuk pertama kali terlihatlah kilatan petir di atas kepala, suaranya menggelegar dan Ji Pin menutupi mukanya. Tapi begitu dia melepas pinggiran perahu dan lupa pada nasihat Thai Liong mendadak tubuhnya terlempar dan untung saja menumbuk tubuh pemuda itu.

"Hei..." pemuda itu terkejut. "Berpegangan erat-erat pada pinggiran perahu, twako. Jangan dilepaskan!"

Laki-laki ini mengangguk. Sekarang dia tak dapat bersuara, mukanya pucat dan seluruh tubuh pun menggigil. Badai, yang datang menyerang mereka sekarang suaranya gemuruh. Semua suara akan tertutup oleh suara badai ini, yang begitu hebat dan ribut. Thai Liong sendiri harus mengerahkan khikangnya untuk berteriak pada temannya tadi. Dan ketika kakak beradik itu mati-matian menyelamatkan perahu karena sekarang perahu mereka terangkat dan terbanting diserang ombak maka perahu tiba-tiba anjlok ketika sebuah ombak mengangkat mereka tinggi-tinggi untuk akhirnya hilang begitu saja.

"Brakk!" Perahu ini terbanting. Sam-liong-to, yang tadi terlihat sekonyong-konyong lenyap pula. Ombak yang terlampau tinggi menghalangi pandangan mata, Thai Liong terkejut dan adiknya juga berseru keras. Dan ketika ombak kembali membawa mereka tinggi ke udara dan membanting lagi ke permukaan air maka Ji Pin muntah-muntah karena perutnya serasa diaduk-aduk.

"Aduh, mati aku, kongcu.... mati....!"

Thai Liong mengerutkan kening. Dalam keadaan begitu yang dikhawatirkan adalah pecahnya perahu. Hujan mulai turun dan mereka pun basah kuyup. Soat Eng mengomel dan memaki-maki. Dan ketika halilintar dan badai semakin ribut tiba-tiba kembali perahu mereka diangkat tinggi dan dibanting ke bawah.

"Brakk!" Ji Pin terpental. Nyaris saja laki-laki itu terlempar ke laut kalau tidak tetap berpegangan perahu, dia jungkir balik namun kesepuluh jarinya tetap mencengkeram pinggiran perahu, hal yang masih menyelamatkannya. Dan ketika dia muntah-muntah dan kembali mengeluh maka Thai Liong yang tak dapat menguasai perahu tiba-tiba sekali lagi dihantam ombak, air mulai masuk dan perahu pun oleng. Kalau tidak mati-matian mereka mempertahankan diri tentu perahu sudah terbalik. Yang membuat bingung pemuda itu adalah hujan dan masuknya air laut, yang lain tak dikhawatirkan karena dia merasa sanggup mengatasi.

Dan karena dia dan adiknya sibuk menjaga keseimbangan perahu sementara air kian membanjir masuk maka pemuda ini coba berteriak pada Ji Pin apakah laki-laki itu dapat mengeluarkan air agar perahu tidak tenggelam, dijawab dengan gelengan dan laki-laki itu tampak lemah. Ji Pin seakan dibanting berkali-kali oleh perabu yang terangkat dan anjlok. Dan ketika petir menggelegar di atas kepala dan ombak menelan perahu mereka tiba-tiba air sudah memenuhi perahu dan benda itu pun terbalik dan pecah ketika disambar dan digulung ombak yang membukit.

"Hei.... brakk!"

Perahu pecah berkeping-keping. Di tengah badai dan berkelebatnya kilat yang menyambar-nyambar mendadak saja Thai Liong berjungkir balik, adiknya berteriak melengking dan melakukan hal yang sama. Keduanya berjungkir balik dan cepat hinggap di papan perahu, yang pecah berkeping-keping. Dan ketika Thai Liong melihat Ji Pin terpental dan jatuh ke laut maka pemuda itu menjejakkan kakinya dan cepat serta luar biasa ia menyambar tubuh laki-laki itu, mengangkatnya naik dan Ji Pin mengeluh ketika sudah dipanggul di pundak. Untuk kesekian kali kembali dia diselamatkan pemuda itu. Melihat Thai Liong mempergunakan potongan papan untuk "berselancar", sama seperti ketika pemuda itu bergerak-gerak di atas permukaan laut, berjalan atau entah apa namanya.

Dan ketika Thai Liong berteriak pada adiknya agar dengan pertolongan papan di kaki mereka itu mereka bergerak melawan badai maka Soat Eng sudah membentak dan naik turun di atas ombak, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan sama seperti sang kakak gadis itu berjalan atau berlarian di atas laut, meluncur dan mengelak serta menghindari sambaran ombak, yang kian lama bukannya kian baik melainkan kian ganas.

Thai Liong berkali-kali harus meneriaki adiknya agar mereka tidak terlalu jauh, mencari jalan keluar dan tampaklah kini perbuatan aneh dua muda-mudi itu, terbang dan jatuh lagi di laut untuk akhirnya lenyap dan timbul lagi, digulung ombak yang besar dan berkali-kali mereka nyaris terguling. Hanya dengan kepandaian mereka yang luar biasa saja dua kakak beradik itu dapat menyelamatkan diri dari semua serangan ini, badai yang ganas dan ombak yang mengamuk. Dan ketika satu saat Thai Liong terlempar begitu tinggi namun secara kebetulan pemuda ini malah dapat melihat gugusan tiga pulau maka pemuda itu berteriak,

"Hei, Sam-liong-to ada di sebelah kanan. Kita ke kanan....!"

Soat Eng mengumpat caci. Diserang badai dan basah kuyup seperti itu bukannya gadis ini takut melainkan malah memaki-maki. Soat Eng marah dan memang gusar, mencari jalan keluar namun gagal, terkurung oleh ombak yang membukit dan pandangan mereka terhalang. Tanpa mereka sadari tiba-tiba saja mereka terperangkap dan memasuki Badai Siluman, terbawa dan terputar-putar di situ tanpa banyak berdaya.

Benar kata Ji Pın, topan atau Badai Siluman itu sudah seperti arus pusaran yang berusaha menggulung atau menghisap mereka. Kalau tak memiliki kepandaian tinggi jangan harap mereka dapat selamat. Maka begitu kakaknya berteriak tentang Sam-liong-to dan pulau yang dicari-cari itu katanya ada di sebelah kanan tiba-tiba Soat Eng berjungkir balik menghindari sebuah gulungan ombak dan meluncur mendekati kakaknya itu.

"Di sebelah kanan!" kakaknya berteriak. "Sam-liong-to di sebelah kanan, Eng-moi. Ikuti aku dan mari berpegangan tangan.... wut!" Thai Liong menyambar tangan adiknya, menyendal dan mereka kembali menghindari sebuah gulungan ombak, berjungkir balik dan meloncat tinggi di atas ombak yang membuih.

Mereka harus mengerahkan segenap tenaga untuk melakukan semuanya itu, apalagi Thai Liong masih memanggul Ji Pin, yang hampir pingsan. Dan ketika dua kakak beradik itu meluncur turun dan lagi-lagi harus menghindari hantaman ombak yang baru maka mereka saling menyentak dan berjungkir balik lagi, enam tujuh kali dan Thai Liong selalu ke kanan. Pemuda ini tak mau kehilangan sasaran dan sedapat mungkin mereka harus menjauhi pusat badai ini. Tempat itu berbahaya dan mereka benar-benar terperangkap. Dan ketika mereka berhasil melewati gulungan ombak dan benar saja adiknya melihat gugusan pulau Sam-liong-to maka gadis itu berseru,

"Benar, itu Sam-liong-to, Liong-ko. Sekarang kita berselancar dan tambah kekuatan.... ser-serr!"

Soat Eng dan kakaknya tak mau melepaskan pegangan lagi, menggerak-gerakkan kedua kaki dan potongan papan di bawah kaki mereka itu benar-benar sudah lekat seperti lintah. Soat Eng dan kakaknya mengerahkan ilmu sedot, sekaligus ilmu meringankan tubuh. Dan ketika dengan susah payah mereka berhasil menjauhi badai dan pulau di depan sudah dekat maka Thai Liong tiba-tiba berseru menyadarkan Ji Pin,

"Awas, kita selamat, twako. Aku hendak melemparmu ke pantai dan jaga dirimu baik-baik.... bruk!" Ji Pin, laki-laki itu sudah terlempar mendahului. Thai Liong mengerahkan tenaga dan melempar laki-laki itu tanpa cidera, Ji Pin terjatuh dengan kaki lebih dahulu, tubuhnya masih tegak. Dan ketika lelaki itu terhuyung dan dua kakak beradik itu berjungkir balik maka Thai Liong dan adiknya telah melepas "sepatu-lancar" mereka dan turun di pantai, basah kuyup.

"Wut-wut!"

Dua kakak beradik ini telah mengusap keringat. Peluh mereka menjadi satu dengan air laut, juga air hujan. Dan ketika Ji Pin bengong dan tertegun melihat sepak terjang mereka itu maka Soat Eng membentak,

"Apalagi? Kenapa melotot?"

"Eh-oh...." Ji Pin terkejut. "Maaf. Siocia. Ini... ini fantastis sekali. Aku hampir tak percaya!"

"Hm, percaya atau tidak aku tak perduli, orang she Ji. Sekarang tunjukkan padaku di mana Istana Hantu itu!"

"Tidak," Thai Liong tiba-tiba menggeleng, meloncat. Kita mencari guha dulu, Eng-moi. Kita semua perlu mengeringkan pakaian masing-masing!"

"Benar," Ji Pin berseru. "Dan pulau ini bukan pułau di mana aku mendarat, Siocia. Gorila itu bukan di pulau ini tapi di pulau yang tengah!"

"Sudahlah," Thai Liong berkelebat. "Itu urusan nanti, Ji-twako. Sekarang kita mencari guha dan berlindung dulu!"

Ji Pin mengangguk. Terhadap Thai Liong ia merasa suka, tidak seperti kalau berhadapan dengan Soat Eng. Dia selalu dibuat kebat-kebit kalau berhadapan dengan gadis itu, maklum, Soat Eng tampak galak dan ketus. Kakaknya jauh lebih ramah dan laki-laki itu sudah menyusul. Dan ketika Soat Eng juga berkelebat dan mereka mendapat sebuah guha maka Thai Liong sudah membuat api unggun dan menyuruh mereka semua berdiang.

"Kenapa repot-repot? Suruh orang she Ji itu bekerja, Liong-ko. Jangan membuat api unggun sendiri kalau di sini ada pembantu!"

"Sudahlah, ini pekerjaan kecil, Eng-moi. Jangan marah-marah melulu dan biarkan Ji-twako berdiang. Kemarilah," pemuda itu menggapai. "Dekat kami, twako. Panaskan tubuhmu dan keringkan pakaianmu."

Orang she Ji ini kebat-kebit. Berhadapan dengan Soat Eng sungguh membuat dia gugup, selamanya tak enak dan untung ada kakaknya di situ. Kalau tidak, entahlah apa yang mau dia lakukan. Barangkali kabur. Dia selalu serba salah berhadapan dengan puteri Kim-mou-eng itu. Dan ketika dia mendekat dan otomatis berdiang di sebelah Thai Liong daripada Soat Eng maka gadis itu mendengus dan mencibir.

"Huh!" Suara ini membuat Ji Pin semburat. Kalau tak terpaksa barangkali dia akan membalas, betapapun dia merasa direndahkan dan diejek terus-menerus. Tapi ketika Thai Liong tersenyum dan ramah memandangnya maka laki-laki ini menunduk dan berkata, lirih,

"Kongcu, terima kasih. Kau telah berkali-kali menyelamatkan nyawaku."

"Untuk apa berterima kasih? Lebih baik sekarang kau minta maaf dulu, orang she Ji. Kau telah berbohong kepada kami. Sekarang lebih baik ceritakan apa yang telah kau alami dan kapan kau mendarat di pulau Sam-liong-to yang di tengah itu!" Soat Eng, yang tidak puas dan masih marah karena merasa didustai menjengek, mendahului kakaknya dan Thai Liong cepat memencet lengan adiknya itu. Betapapun Soat Eng terlalu keras. Tapi ketika gadis itu mencibir dan malah mendengus maka Ji Pin tiba-tiba mengangguk dan berkata,

"Baiklah, aku minta maaf dulu, siocia. Dan aku akan berterus terang kepada kalian. Sesungguhnya, aku mencari Istana Hantu untuk mendapatkan harta karunnya. Dan karena kalian berkali-kali telah menyelamatkan nyawaku biarlah kutunjukkan peta ini dan kuberikan pada kalian."

"Nanti dulu," Thai Liong mencegah. "Aku tidak menerima peta harta karun, Ji-twako. Kami mencari Istana Hantu bukan untuk maksud itu!"

"Aku tahu," laki-laki itu mengangguk. "Tapi peta ini menunjukkan letak istana itu, kongcu. Kalau saja aku tak tersesat di hutan dan mengalami celaka bersama temanku barangkali istana itu sudah kutemukan!"

"Nah, begitu. Ini saja yang kau ceritakan!" Soat Eng berseru. "Kami tak butuh peta penyimpanan harta, orang she Ji. Lebih baik kau ceritakan apa isi pulau di tengah itu dan bagaimana kau terapung-apung di tengah laut, yang katamu habis diserang hiu!"

"Maaf," Ji Pin merah mukanya. "Aku menyesal, siocia, harap jangan mengejek lagi. Salahkah aku kalau harus berbohong pada orang yang belum kukenal sama sekali? Bagaimana kalau siocia sendiri yang mengalami seperti itu? Apakah siocia juga akan jujur dan langsung berterus terang?"

"Hm!" Soat Eng terbelalak. "Kau mau melawan aku? Kau mau menghina aku?"

"Sudahlah," Thai Liong lagi-lagi bicara. "Urusan yang lewat biarlah lewat, Eng-moi. Apa yang dikata Ji-twako ini benar. Kita tak usah mengejeknya lagi dengan omongan itu dan Ji-twako sendiri harap percaya penuh kepada kami!" dan menghadapi laki-laki itu Thai Liong berkata, "Lanjutkanlah, tak usah kau sakit hati kepada adikku, twako. Dia memang begitu dan sudah menjadi wataknya untuk selalu marah kepada orang yang pernah bohong kepadanya!"

"Hm, maaf, kongcu, memang aku juga salah. Baiklah, kuceritakan pada kalian. Pulau di tengah itu berbahaya. Sepasang gorila jantan dan betina ada di sana, kebal dan tahan bacokan senjata tajam. Temanku Ong Lun mati dicabiknya!"

"Apa yang terjadi? Bagaimana asal mulanya?"

Ji Pin tiba-tiba menangis. "Mengerikan, kongcu. Menyeramkan! Pulau itu penuh dengan binatang buas. Aku... kami berdua sial!" dan Ji Pin yang tak meneruskan kata-katanya karena teringat kematian temannya tiba-tiba mengguguk dan menutupi mukanya, terguncang dan Soat Eng tertegun juga.

Betapapun setelah laki-laki ini meminta maaf dan bersikap jujur akhirnya dia merasa lunak juga. Memang, puteri Kim-mou-eng ini amat membenci sekali orang-orang yang bohong, pantang didustai dan dia sendiri adalah seorang gadis jujur yang tak suka berbohong. Biar terhadap lawan pun dia tetap jujur. Maka begitu melihat laki-laki ini menangis dan tampak betapa kedukan sungguh-sungguh menguasai laki-laki itu maka dia meminta kakaknya agar menghibur, dengan isyarat mata.

"Hm," Thai Liong mengangguk. "Aku turut berduka cita atas kematian temanmu, Ji-twako. Sudahlah kau hentikan tangismu dan mari kita bicara lagi. Betapapun, kau selamat dan sudah tak ada bahaya di sini."

"Benar, tapi... ah, kematiannya itu mengerikan, kongcu. Gorila itu benar-benar buas dan terkutuk sekali. Keparat binatang itu. Aku ingin ji-wi membunuhnya untuk membalaskan sakit hati ini!"

"Sudahlah, itu urusan nanti. Sekarang ceritakan kepada kami bagaimana keadaan di tengah pulau itu agar kami dapat bersiap-siap."

Ji Pin akhirnya mengusap air matanya. Dihibur dan mendapat kata-kata lembut begini akhirnya dia terhibur juga. Pemuda ini adalah putera Pendekar Rambut Emas, tak usah dia ragu dan tentu pemuda itu dapat membunuh si gorila keparat di pulau bagian tengah itu. Dan ketika dia mengangguk dan mendapat tepukan lembut maka orang ini akhirnya bercerita tentang keadaan pulau yang dikunjunginya itu. Betapa pulau itu tenang di luar tapi ganas di dalam. Banyak binatang buas dan buaya, juga ular dan monyet-monyet yang ratusan jumlahnya. Dan ketika dia bercerita bahwa dari semua binatang buas itu yang tampaknya paling ditakuti adalah sepasang gorila di pulau ini maka dia menutup,

"Harimau dan semua hewan lain tampak ketakutan mendengar geraman gorila ini. Begitu mereka mendengar begitu pula mereka lari. Aku sudah beberapa kali membuktikan dan melihat bahwa agaknya raja di antara segala raja penghuni hutan itu adalah sepasang gorila ini!"

"Dan kau belum menemukan istana itu?"

"Belum, keburu dikejar-kejar binatang keparat ini, kongcu. Kami akhirnya tersesat dan hampir saja dicaplok buaya!"

"Ah, menarik!" Soat Eng kini berseru. "Kita secepatnya ke sana, Liong-ko. Ingin kulihat gorila yang aneh itu. Tentu dulu ada pemiliknya!"

"Benar, tapi kita harus berhati hati, Eng-moi. Mendengar cerita Ji-twako ini tahulah kita bahwa pulau itu cukup berbahaya. Dan dia juga belum menemukan Istana Hantu!"

"Kita dapat mencarinya!" gadis itu bersemangat. "Aku yakin kita dapat menemukan, Liong-ko. Dan sekali ketemu ingin kulihat bagaimana wujud dan isi istana itu!"

Ji Pin kagum. Puteri Kim-mou-eng ini tampak begitu berani dan tak takut, mau tak mau dia memuji juga. Jarang dia menemukan gadis seperti ini. Dan ketika Thai Liong mengangguk dan melihat hujan sudah reda maka dia bertanya pada Ji Pin apakah laki-laki itu dapat menjadi penunjuk jalan.

"Ah, bagaimana ya?" laki-laki ini ragu. "Aku dapat saja menjadi penunjuk jalan, kongcu. Tapi barangkali justeru aku akan merepotkan kalian berdua saja. Kalian harus sering menolongku kalau ada bahaya."

"Hm, jadi bagaimana kalau begitu?"

"Biarlah kongcu dan siocia berangkat berdua. Aku menunggu di sini dan peta kalian bawa. Aku percaya penuh!" Ji Pin lagi-lagi menyerahkan peta itu, memberikannya pada Thai Liong tapi pemuda itu ragu. Dan ketika Ji Pin mendesak dan berkata bahwa biarlah peta itu dibawa pemuda itu maka Thai Liong menarik napas dan melirik adiknya.

"Baiklah, terima kasih, Ji-twako. Anggap saja peta ini kupinjam. Kalau kami sudah menemukan istana itu tentu kami ke sini dan membawamu pergi...."

"Dan harta karun itu boleh kau bawa!" adiknya memotong. "Kami tak butuh harta karun, orang she Ji. Kami bukan tamak harta dan kau tak usah sangsi!"

"Tidak, tidak!" lelaki ini tiba-tiba menggeleng. "Kalau ada harta di situ biarlah kita bagi tiga, siocia. Aku juga tak tamak harta kalau sudah cukup!"

"Hm, baiklah," Thai Liong tersenyum. "Urusan itu mudah dan belakangan saja, twako. Kami tak begitu tertarik. Lagi pula kami belum tahu apakah dapat keluar atau tidak dari pulau itu...!"