Sepaseng Cermin Naga Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 04
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
CA0 CUN menggigil. Mata yang deras mengalir tak habis-habisnya itu sudah membuat wanita ini mengeluh, Wan Hoa mendekap tubuhnya erat-erat. Tapi ketika Cao Cun membalas dan semua bingung oleh sikap dua sahabat ini maka Cao Cun minta agar yang lain-lan pergi, minta agar ditemani Wan Hoa seorang. Lalu, begitu mereka berdua di dalam kamar, dua sahabat ini sudah saling bertangis-tangisan dan mengguguk.

"Cao Cun, kenapa kau lakukan itu? Apa salahku? Apa dosaku hingga kau mau mati sendiri?"

"Ah,.." Cao Cun tersedu-sedu. "Kau tak bersalah, Wan Hoa. Kau tak berdosa. Aku ingin mati karena Kim-Twako tak datang...!!”

“Dan kau mau pergi sendiri? Kau tak mau menjadi sahabat dan saudaraku lagi?"

"Tidak, tapi... tapi...ahh!” dan keduanya yang kembali mengguguk dan bertangis-tangisan akhirnya saling dekap dan peluk.

"Cao Cun, kau tak boleh melakukan itu lagi. Kalau kau mau bunuh diri bilanglah, aku mengiringi!”

Cao Cun semakin mergguguk. Tegur dan sikap keras sahabatnya ini membuat Cao Cun berderai-derai, tak kuat dia. Dan ketika Wan Hoa dipeluk dan keduanya saling remas akhirnya mereka mengeluarkan segala duka dan perasaan yang menghimpit, bertangis-tangisan dan sejenak tak dapat berkata-kata. Tapi begitu Cao Cun berhasil menguasai diri dan mengusap air matanya maka wanita ini bangkit menghapus air mata Wan Hoa.

"Sudahlah, Dewa Maut masih tak mau menjemput aku. Wan Hoa. Maafkan dan mari kita bicara baik-baík."

"Kau berjanji dulu untuk tidak bunuh diri lagi!'

"Hm.” Cao Cun terisak. "Kenapa kau mendesakku. Wan Hoa. Layak dan pantaskah aku hidup lebih lama lagi?"

"Kalau begitu katakan kapan kau akan bunuh diri, Cao Cun. Biar kuikuti dan mari mati bersama-sama!"

Cao Cun terkejut. Wan Hoa sudah bangkit mengambil selendang, memilinnya berkali-kali dan kini dengan selendang di tangan sahabatnya itu mendekatinya. Dan ketika Wan Hoa bersinar-sinar dan Cao Cun tergetar maka gadis itu bicara gagah,

"Nah, katakan padaku kapan waktunya, Cao Cun. Mari kita bunuh diri dan biar ku iringi kau di akhirat!

"Wan Hoa...!" Cao Cun gemetar. "Apa-apa ini? Siapa mau bunuh diri? Oh, tidak... Jangan sahabatku... jangan. Aku tidak akan bunuh diri dan akan salalu menamanimu!" dan Cao Cun yang hampir menangis dan cepat merampas selendang itu lalu menarik sahabatnya duduk, teriris dan luluh oleh tekad sahabatnya yang ingin sehidup semati, mengiringi kemanapun dia pergi. Ke akherat sekalipun. Dan ketika Wan Hoa menggigil dan menggigit bibirnya maka Cao Cun mendudukkan sahabatnya itu dengan jari-jari gemetar.

"Wan Hoa, sumpah demi anakku aku tidak akan bunuh diri lagi. Aku... aku hanya putus asa karena Kim-mou-eng tak datang!"

"Hm, itu dapat ditanyakan, Cao Cun. Kenapa meninggalkan aku dan mau berlaku nekat? Kau tak ingat puteramu?"

"Tentu saja. Tapi bukankah ada kau, Wan Hoa. Ituchi dapat ku titipkan padamu kalau aku mati."

"Aku tak mau. Aku akan mengikutimu ke akhirat pula, Cao Cun. Aku tak mau mengurus Ituchi kalau kau mati! Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan dan bagaimana sebaiknya yang kau lakukan pula!"

"Aku merasa ditipu Kim-twako..." Cao Cu memejamkan mata, menggigit bibir kuat kuat. "Aku merasa dibohongi Wan Hoa. Kim-twako rupanya menipu kita dan sengaja tak datang!"

Wan Hoa berapi. "Aku juga berpikir begitu, Cao Cun. Tapi sebaiknya hal itu kita selidiki. Aku akan ke bangsa Tar-tar dan menemui Pendekar Rambut Emas itu!"

"Kalau dia tak ada?"

"Aku akan menunggunya, Cao Cun. Sampai ada!"

"Hm...!" Cao Cun terbelalak, terkejut juga. "Kau keras hati, Wan Hoa. Kau bisa dianggap nekat."

"Untukmu aku sanggup melakukan api saja, Cao Cun. Nyawa sekali pun siap ku korbankan!"

"Ah, tidak...!" Cao Cun meremas sahabatnya itu, memejamkan mata. "Jangan gila, Wan Hoa. Jangan gila. Aku tak suka itu! Dengarlah, sekarang tolonglah aku dan cari Kim-twako itu. Aku setuju, kau boleh ke bangsa Tar-tar. Tapi kalau dia tak ada dan tiga hari kau menunggu ternyata dia tak datang boleh kau kembali dan tinggalkan bangsa Tar-tar itu. Kau sanggup?"

"Sanggup, Cao Cun. Tapi bukan tiga hari melainkan sampai dapat, tiga tahun sekalipun!"

"Tidak, jangan, Wan Hoa. Aku butuh kau di sini, aku tak dapat berlama-lama tanpa kau. Sudahlah, kau berjanji tiga hari saja dan pulang kalau Kim-twako tak ada. Dapat?"

Wan Hoa mengepal tinju. "Cao Cun, Kim-mou-eng itu rupanya penipu dan pendusta. Kalau tidak ingat dirimu tentu kunanti dia sampai tiga tahun atau tiga abad. Baiklah! Aku setuju, Cao Cun. Kalau tiga hari kutunggu dia tak ada makà aku akan kèmbali ke sini tapi perkenankan beberapa hari kemudian aku berangkat lagi. Betapa pun, aku harus menemuinya dan mendamprat Pendekar Rambut Emas itu!"

"Tidak, jangan, Wan Hoa. Tak perlu mendamprat. Dia sudah bermaksud menolong, kenapa malah memaki dan menyakiti hatinya? Kalau dia tak ada sebaiknya kembali, Wan Hoa. Biar kita lupakan semuanya ini dan aku mulai pasrah!"

"Maksudmu?"

“Barangkali… barangkali aku akan menerima Cimochu!"

Wan Hoa tertegun. "Sudahlah," Cao Cun menggigit bibirnya kembali "Cari. Dan temukan Kim-twako, Wan Hoa. Coba selidiki kenapa dia tak datang. Kalau memang sengaja biarlah jangan ditegur dan kau cepat pulang. Tapi kalau ada apa-apa dan Kim-twako mengalami celaka harap kau kembali segera dan laporkan padaku."

Wan Hoa mengangguk. Hari itu juga dia pergi, Cimochu masih belum datang dan untung sepak terjangnya tak diketahui. Bersama seorang pembantu terpercaya Wan Hoa berderap menuju ke bangsa Tar-tar. Diam diam sudah bulat tekadnya untuk memaki-maki Kim-mou-eng, meskipun sahabatnya melarang. Dan ketika sore itu dia tiba dan langsung menghentikan kereta maka Wan Hoa turun dan menyelidikı ke perkampungan bangsa, Tar-tar itu.

Tapi apa yang didapat? Wan Hoa tertegun. Kematian Salima didengar. Disusul hilangnya anak Kim-mou-eng yang diculik sepasang nenek iblis. Kim-moü-eng sendiri kabarnya baru pulang dari kota raja ketika mendapatkan musibah itu di rumahnya, mendapatkan isterinya tewas dan kini pergi entah ke mana, mencari anaknya dan dua nenek iblis itu. Dan ketika Wan Hoa dipertemukan Salinga dan mendengar segalanya dari mulut pembantu Kim-mou-eng ini maka Wan Hoa menutupi mukanya dan terisak.

"Oh, begitukah? Maafkan aku, twako. Kiranya lagi-lagi aku salah duga!"

"Apa yang nona kehendaki? Kenapa mencari Kim-taihiap?"

"Aku sahabatnya, Salinga. Sahabat Cao Cun... Wang Cao Cun. Tapi, ah sudahlah aku tak tahu semuanya ini dan menyesal sekali. Biar aku minta maaf pada kuburan istrinya dan menyatakan penyesalanku!“ Wan Hoa mengguguk.

Di makam Tiat-ciang Sian-li Salima yang pernah dikenalnya sebagai wanita yang keras dan galak itu gadis ini bersimpuh tersedu-sedu dan sungguh tidak mengetahui kejadian itu. Sadarlah dia sekarang akan kerepotan Kim-mou-eng. Dia telah mendengar bahwa Pendekar Rambut Emas itu telah ke kota raja, mukanya murung dan Wan Hoa mendengar dari Salinga kekecewaan pendekar itu. Disebut-sebut tentang kekecewaannya terhadap kaisar, Salinga tak tahu jelas tapi Wan Hoa dapat menduga-duga mungkin maksud yang dibawa Kim-mou-eng gagal.

Dan karena Pendekar Rambut Emas sendiri mendapat musibah dan anaknya sendiri lenyap diculik akhirnya sore itu juga Wan Hoa minta diri dan kembali ke tempatnya. Dia menubruk dan segera merangkul Cuo Cun. Untuk sejenak dia tak dapat berkata apa-apa, hanya air matanyalah yang berderai tak habis-habis, merah muka gadis ini. Tapi ketika Cao Cun berhasil menenangkannya dan menyuruh Wan Hoa bercerita maka Cao Cun tertegun mendengar berita tewasnya Salima.

"Apa, dia terbunuh?"

"Ya, begitulah. Cao Cun. Dan Kim-twako mencari pembunuh istrinya. Bangsa Tar-tar berkabung, Kim-twako ternyata mendapat musibah!"

"Ooh... semoga arwah isterinya mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan!" dan Cao.Cun yang menutupi muka memanjatkan doa, akhirnya bertanya tentang Pendekar Rambut Emas sendiri.

"Dia tak kutemukan. Kim-twako pergi, Cao Cun. Anaknya diculik dan Salinga berkata tak akan kembali sebelum membunuh dan mendapatkan anaknya itu.”

“Diculik? Astaga, cobaan apa lagi ini, Wan Hoa? Siapa nenek iblis itu?"

"Aku tak tahu, Cao Cun. Tapi disebut-sebut namanya sebagai sepasang nenek siluman, katanya sakti dan bernama Sepasang Dewi Naga!"

"Hm...!" Cao Cun mendekap dadanya sebelah kiri. "Aku merasa nyeri dan perih mendengar semuanya ini, Wan Hoa. Kiranya kita salah sangka dan menduganya yang bukan-bukan. Kita lagi-lagi harus minta maaf pada Kim-twako!"

"Benar, tapi bagaimana sekarang persoalan dirimu, Cao Cun? Apakah Cimochu sudah datang?"

Tiba-tiba wajah yang cantik itu diliputi mendung, “Sudah...” jawaban yang lirih dan menghentak jantung Wan Hoa. “Dan pagi tadi dia meminta putusanku , Wan Hoa. Aku rupanya tak dapat menolak dan harus menerima…”

“Kau mau?”

"Adakah jalan lain?"

"Ada!" Wan Hoa tiba-tiba berseru. "Ada jalan lain Cao Cun. Dengarkan...!" dan wan Hua yang bersemangat serta tahu ketidak senangan Cao Cun di kawin anak tirinya sendiri, tiba-tiba mencengkram pundak sahabatnya itu, masih mencoba lolos, betapa gigihnya. "Cao Cun, aku tahu kau tak mungkin senang di nikahi anak tiri mu itu. Nah, ini jalan terakhir. Katakan pada Cimochu bahwa sepeninggal suamimu kau adalah kembali milik kaisar. Cimochu tak dapat mengawini mu karena kau harus kembali ke negaramu!"

Cao Cum tertegun.

"Kau tak mengerti? Dengarkan. Ini muslihat kita terakhir untuk menyelamatkan diri Cao Cun. Aku tak tahu apakah Kim-twako berhasil atau gagal di kota raja. Tapi katakan pada Cimochu bahwa kau harus kembali ke Tiongkok setelah suamimu meninggal. Bukankah ini siasat tepat yang mungkin dapat menyelamatkan dirimu?”

Cao Cun terbelalak. "Wan Hoa... " suaranya menggigil. "Kau sungguh tak habis habisnya menolongku dengan segala cara. Sungguh aku tak tahu bagaimana harus membalas budimu yang sedemikian besar ini. Baiklah, kucoba Wan Hoa. Dan mudah-mudahan berhasil!"

"Ah," Wan Hoa girang. "Tak ada budi atau pertolongan yang harus dibalas, Cao Cun Kau dan aku adalah satu. Jangan berkata begitu agar aku tak malu hati."

Cao Cun tersentak. Sikap dan perjuangan sahabatnya yang begitu gigih tiba-tiba membuat air matanya membanjir, Cao Cun menggigit bibir dan menubruk sahabatnya itu. Dengan suara ditahan-tahan tangisnya dicekam, tapi ketika Wan Hoa membalas dan mereka berciuman tiba-tiba Cao Cun tak dapat menahan diri dan meledaklah tangısnya yang bersambung-sambung itu, tak dapat menahan haru dan rasa terima kasih yang besar. 

Sungguh Wan Hoa ini sahabat yang luar biasa baiknya, diri dan nyawa pun tak dihiraukannya demi keselamatan dan dan kebahagiaannya. Cao Cun merasa berhutang budi besar. Tapi ketika mereka bertangis tangisan dan Wan Hoa dapat menguasai diri lebih dulu akhirnya sahabatnya itu melepaskan pelukan berkata gementar, harap-harap girang.

"Sudahlah, kau jalankan rencanaku itu, Cao Cun. Aku akan sembahyang minta pertolongan Dewa agar akal ini berhasil!"

Cao Cun menggigıt bibir kuat-kuat. Wan Hoa sudah lari keluar kamar meninggalkannya, meninggalkan dia yang berderai-derai air mata. Sembahyang pada Dewa untuk keselamatannya. Hampir Cao Cun mengguguk lagi. Tapi ketika pintu diketuk dan seorang dayang memberi tahu kedatangan Cimochu maka Cao Cun gugup dan buru-buru mengusap air matanya, melihat seorang pemuda gagah dan tinggi besar memasuki kamarnya.

"Ah, mari, baginda. Silahkan duduk!"

Cimochu, pemuda tinggi besar yang gagah itu tersenyum. Cao Cun sudah menghilangkan bekas tangisnya, mempersilahkan duduk dan raja muda ini mengangguk. Untuk kesekian kalinya dia menemui ibu tirinya ini, kagum tak habis-habis oleh kecantikan wajah dan tubuh yang semampai itu, rambut yang terurai panjang dan lembut berombak di belakang punggung. Ah, nikmatnya mendekap tubuh semacam ini. Dan ketika dia tersenyum dan untuk kesekian kali menekan debaran jantung dan bertanya tentang jawaban Cao Cun maka sungguh tak diduga Cao Cun memberi jawaban yang menghentak.

"Maaf, hamba merasa tak berdaya, baginda. Terus terang hendak hamba katakan bahwa hamba kıni milık kaisar Tiongkok lagi setelah ayah paduka meninggal. Hamba harus kembali dan meninggalkan paduka!"

“Ibu dapat berkata begitu?" pemuda ini tertegun. "Atas dasar apa ibu berkata begitu?"

"Peraturan baginda, atas dasar peraturan. Yakni peraturan dari istana. Kalau paduka mau meminta hamba sebaiknya paduka berunding dulu dengan sri bagindà kaisar di kota raja."

"Ah!" dan Cimochu yang terkesima dan pucat tak menyangka jawaban ini sejenak tak mampu berkata-kata, tentu saja tak menyangka muslihat Cao Cun atas usulan Wan Hoa. Raja muda itu tak tahu kejadian di balik peristiwa sebenarnya. Bahwa inilah usaha Wan Hoa yang ingin mati-matian menyelamatkan Cao Cun dari cengkeraman Cimochu. Dan ketika pemuda itu terhenyak tak dapat mengeluarkan suara dan merasa terpukul maka raja hari itu menjadi murung tapi juga tak kalah nekat, tak lama kemudian keluar dari kamar Cao Cun.

Dan Cao Cun tegang. Dia melihat Cimochu berbicara dengan pengawal, memanggil beberapa pembantunya dan raja tampak buru-buru. Dan ketika kereta disiapkan dan raja pergi akhirnya Cao Cun mendengar bahwa Cimochu ke kota raja!

"Aku hendak menemui kaisar. Ingin kuminta agar peraturan itu tak berlaku untukku!"

Cao Cun pucat. Kalau Cimochu sudah sedemikian tergila-gila padanya dan apa pun hendak dilakukan maka Cao Cun merasa ngeri juga melihat ulah lelaki itu. Betapa nekat dan gigihnya. Wan Hoa mendapat lawan setımpal. Cimochu sebagai laki-laki hendak memperjuangkan cintanya sampai dapat. Cao Cun merinding! Dan sementara dia terpaku di kamarnya mendengar kepergian dan maksud raja muda itu maka sebuah kereta lain berhenti dan tamu yang tak disangka-sangka datang menemui Cao Cun, ayah dan ibunya dari Chi Chou!

"Ah, kalian, ayah? Kau, ibu?" Cao Cun tertegun, cepat menyambut dan segera tiga orang ini berpeluk-pelukan. Bupati Wang menangis hampir mengguguk, isterinya bahkan menggerung-gerung dan Cao Cun membawa ayah ibunya itu ke ruang dalam. Dan ketika mereka tenang kembali dan Cao Cun bertanya apa maksud ayah ibunya maka dua orang itu serentak berseru berbareng,

"Kami mendengar maksud bunuh dirimu, kami datang dan çemas!"

"Ah," Cao Cun semburat, akhirnya menangis lagi. "Aku selalu menyusahkan kalian, ayah. Aku selalu membuat repot orang tua. Benar, aku hampir menamatkan hidupku, ayah. Tapi Wan Hoa mencegah dan menggagalkan niat itu."

"Hm, tak boleh, Cao Cun. Kau harus ingat keselamatan ayah ibumu. Apakah kau ingin kami digantung kaisar? Kami datang selain sebagai orang tua juga sebagai utusan, Cao Cun. Sri baginda mengutus kami agar kau tetap mengendalikan bangsa liar ini dan tak boleh bunuh diri. Kau harus tetap berada di sini, mengendalikan bangsa ini dan mengemudikannya dari dalam!"

"Benar, kau tak boleh menyusahkan kami, nak. Apakah kau ingin ibumu dihukum dan digantung kaisar? Apakah kau tak ingat nasib kamı?" nyonya Wang, ibu Cao Cun meratap. Kiranya dua orang itu telah mendengar keinginan bunuh dirinya puteri mereka ini.

Cuo Cun menangis dan berlinang-linang. Dan ketika ibunya menggigil dan memegang lengannya penuh sayang Cao Cun ditanya tentang apa sebabnya dia mati bunuh diri itu. "Aku tertekan, aku terhimpit. Anak dari mendiang suamiku mau mengambilku sebagai isteri!"

"Hm....!" sang ayah mengangguk-angguk. "Aku juga telah mendengar itu, Cao Cun. persoalan pribadi harus dikalahkan persoalan negara. Kau di sini mengemban tugas, kau bukan sebagai puteri bupati wang tetapi pembantu kaisar yang ditempatkan di sini!"

"Aku ah... tapi ayah... persoalan ini terlalu berat bagiku, ayah. Tak mungkın aku sebagai janda akan menikah dengan anak tıriku sendiri. Jangankan dengan anak tiri, dengan pria lain saja pantang bagi wanita Han untuk menıkah dua kali, ayah. Kau tahu dan tentu maklum akan hal itu!”

"Ya, tapi ini lain, Cao Cun. Persoalan negara memang menuntut pengorbanan besar dari seorang yang sedang mengemban tugas. Kaisar mengancam menggantung kami kalau kau macam-macam, aku dan ibumu merasa ketakutan!”

"Benar, sebulan ini kami sakit-sakitan, nak. Tidaklah kau lihat ayah ibumu yang semakin kurus? Tidakkah kau lihat ayahmu yang kering dan pucat?"

Cao Cun menangis. Ayahnya tiba-tiba batuk dan mendekap dada dengan napas terengah, dia memang melihat ayah ibunya yang tidak sehat. Kedua orang tuanya ini terlalu banyak pikir dan dilanda cemas, takut. Dia maklum akan semuanya itu. Dan ketika ayah ibunya berlutut agar dia tidak berbuat macam-macam dan jangan bunuh diri lagi akhirnya Cao Cun tersedu dan menarik bangun dua orang tuanya itu.

"Ayah. lho... bangunlah. Jangan begini!"

"Tidak, kami akan bangun kalau kau sudah berjanji, Cao Cun. Biarlah kami berlutut dan tetap berlutut kalau kau belum berjanji!"

"Ah, tidak. Aku berjanji... aku berjanji!" dan Cao Cun yang menarik bangun kedua orang tuanya sambil mengguguk akhirnya memeluk dan mencengkeram mereka itu, melihat berapa cemas dan takutnya dua orang tuanya ini. Mereka ternyata tak kalah menderita dengan dirinya sendiri. Dan karena Cao Cun teringat keselamatan ayah ibunya akhirnya wanita ini bersumpah tak akan bunuh diri lagi.

“Percayalah, aku akan mengingat kedudukanku selama ini, ayah. Aku berjanji dan bersumpah tak akan bunuh diri lagi. Demi kalian, demi keluargaku!"

Bupati Wang dan isterinya menangis. Mereka kini lega tapi juga terharu, saling pandang dan peluk lagi dan bupati itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia heran akan ketidak beruntungan puterinya ini, akan nasibnya yang selalu dirundung malang dan tampaknya selalu susah saja. Jarang kebahagiaan muncul. Tapi ketika puterinya bersungguh-sungguh dan berjanji pada mereka tak akan membuat repot lagi maka bupati ini mengusap air matanya berkata haru,

"Baik, terima kasih, anakku. Dan mana cucuku Ituchi?"

“Ada di dalam, bersama Wan Hoa."

“Coba panggil, aku ingin tahu."

Cao Cun ke belakang. Tak lama kemudian dia sudah membawa puteranya itu. Seorang anak laki-laki berusia empat lima tahun yang beroman gagah, inilah anaknya bersama raja Hu Han Chiang dulu, suaminya yang sudah meninggal, dan ketika Wan Hoa juga dibawa dan bupati itu tertegun maka anak ini dipeluk dan Wan Hoa pun dirangkul.

"Cucuku, kau sungguh seperti ayahmu. Ah... untung ada bibimu Wan Hoa di sini. Kalau tak ada dia entah bagaimana keadaan ibumu di sini," dan ganti memandang Wan Hoa bupati itu berkata, "Wan Hoa, entah dengan apa kami sekeluarga membalas budi baikmu. Kau telah berkali-kali menolong Cao Cun. Kalau tak ada kau mungkin Cao Cun sudah tak melihat lagi terangnya bumi. Aku pribadi mengucapkan syukur dan terima kasih sebesar-besarnya kepadamu, Wan Hoa. Semoga Thian membalas semua budımu ini dan hidup bahagia."

“Ah, taijin tak perlu berkata begitu. Aku dan Cao Cun sudah ditakdirkan hidup bersama kami adalah satu bagi yang lain. Jangan membuat aku malu hati."

“Dan kau sudah menemukan calon pendamping?"

Wan Hoa tersipu. "Aku tak mau menikah sebelum Cao Cun mendapat kebahagiaannya, taijin. Biarlah aku melajang sebelum sababatku menemukan kebahagiaan sejati."

"Kau gadis mulia, sungguh luhur!" dan Wang-taijin yang tak tahan melihat gadis itu tiba-tiba memeluk dan mencium keningnya, gemetar, haru dan penuh terima kasih. "Wan Hoa, kau sungguh seperti anak kami sendiri. Kau dampingilah Cao Cun dan sadarkan dia kalau ingin melakukan hal-hal yang sesat."

Wan Hoa berlinang. Mendapat ciuman dan pelukan yang begitu hangat tiba-tiba dia teringat pada keluarganya sendiri, keluarga yang sudah terputus sejak dia mengikuti Cao Cun ke tempat bangsa liar ini. Dia hanya sebagai abdi, lain dengan Cao Cun yang resmi menjadi isteri sorang Raja, meskipun raja liar. Dan ketika hari itu Wang taijin bercakap-cakap dengan putrinya dan Wan Hoa diajak serta maka keesokannya bupati ini pamit dan pulang.

"Kami puas, tugas kami berhasil dan biar semuanya ini kulaporkan pada sri baginda."

"Ya, dan hati-hati di dalam perjalanan, ayah. Aku akan menindas semua kesengsaraan ku demi kalian!"

Bupati itu terharu. Untuk kesekian kalinya dia memeluk putrinya itu, mendekap. Tapi ketika mau menaiki keretanya dan teringat sesuatu mendadak bupati ini merandek. "Hm," mata bupati itu bersinar-sinar. "Kau masih bertemu Kim-mou-eng?”

Cao Cun terkejut. "Tidak..." isaknya timbul. "Kim-twako tak pernah ke sini sejak dua tahun yang lalu, ayah. Ada apakah?"

"Hm, apakah kau tak meminta pertolongannya untuk masalah anak tirimu itu?'"

"Sudah, tapi... ah, Kim-twako mendapat musibah, ayah. Isterinya tewas dan anaknya diculik. Kami tak mau mengganggu...!"

"Isterinya tewas? Anaknya diculik? Ah, kenapa aku tak tahu?" dan ketika Cao Cun menceritakan secara singkat apa yang sudah diketahui Wan Hoa dan berkata bahwa maksud itu pun sudah dilakukan tetapi gagal akhirnya bupati ini memejamkan mata menarik napas.

"Sudahlah.... sudahlah... aku menyesal kau tak berjodoh dengan pemuda itu, Cao Cun. Kalau Kim-mou-eng ada bersamamu tentu semuanya ini tak akan terjadi. Sudahlah, aku pulang!"

Bupati itu tak mau bicara lagi, pedih dan terluka perasaannya karena hal itu menggores kenangan lama. Sejak dulu dia sudah menginginkan puterinya ini berjodoh dengan Pendekar Rambut Emas, menggigil namun Mao-taijin menangkapnya ketika gagal dan kini kedukaan bertubi-tubi menghantam mereka semua. Bupati itu membalik dan sudah menaiki keretanya. Dan ketika Cao Cun terisak dan orang tuanya melambai di dalam kereta akhirnya kereta itu berderap dan pergilah bupati itu bersama isterinya, hilang di tikungan.

"Apa yang kau pikir?" Wan Hoa tiba-tiba menggugah lamunannya. "Ayo masuk, Cao Cun. ltuchı minta kita temani!"

Cao Cun sadar. Hari itu kedukaan dan kegembiraan sedikit bercampur aduk. Kedatangan ayahnya membuat Cao Cun gembira tapi sekaligus prihatin. Dia melihat keadaan ayahnya yang kurus. Lupa sudah pada urusannya dengan anak ini. Tapi ketika beberapa hari kemudian Cimochu datang dan gelak serta tawa gembira mengiringi pemuda tinggi besar itu maka Cao Cun terkesima mendengar suara lantang pemuda ini.

"Aku berhasil. Lihat, kaisar menyerahkan dirimu padaku!"

Cimochu mengambil sebuah surat, memberikannya pada Cao Cun dan di situ kaisar Tiongkok menyatakan secara resmi bahwa Cao Cun boleh diambil pemuda tinggı besar itu. Cao Cun dilimpahkan pada raja pengganti Hu Han Chiang dan wanita ini mendelong. Meskipun sudah dıduga tapi tak urung Cao Cun terpukul roboh maka Cao Cun tak dapat bicara apa-apa lagi karena benar benar tersudut.

"Bagaimana, kau menerima, ibu?"

Cao Cun menangis. Dalam keadaan seperti itu, apalagi yang dapat dibuat? Segala daya dan kemampuan telah dikerahkan, begitu juga akal. Maka begitu usaha terakhir gagal dan Cao Cun teringat ayah ibunya tıba-tiba wanita ini mengangguk dan menerima, tersedu-sedu.

"Tapi kau menangis, apakah tak suka?"

"Tidak... tidak...!" Cao Cun mendengar ancaman dalam kata-kata itu. "Aku bukan menangis karena tak suka, Cimochu. Tetapi... tetapi karena haru dan kagum akan kegigihanmu!" Cao Cun berbohong, tentu saja tak berterus terang.

Dan Cimochu tersenyum. Dia sudah lama mengidamkan ibunya ini, ibu tiri, meskipun mereka hampir sebaya dan tak berbeda jauh usianya. Tapi merasa Cao Cun mengeluarkan suara meragukan dan dia mengerutkan kening tiba-tiba pemuda yang sudah mendekap dan memeluk tubuh yang tinggi semampai itu berkata, langsung menyebut nama, tidak lagi "ibu".

"Cao Cun, kau demikian hambar mengeluarkan kata-katamu tadi. Dapatkah kau buktikan bahwa lahir batin kau mau menerima aku?"

Cao Cun tersentak. "Maksudmu?"

"Tunjukkan dan buktikan padaku bahwa kau membalas cintaku, Cuo Cun. Cium dan beri aku bukti kasihmu!”

Cao Cun mengeluh. Dalam saat-saat begitu sungguh berat melaksanakan permintaan ini. Orang yang lagi sedih tak mungkin dapat diajak bercinta. Nafsu menurun drastis dan nyaris Cao Cun gagal. Tapi teringat ancaman yang bakal datang dan juga teringat betapa ayah ibunya sampai berlutut di depan kakinya agar dia berusaha sekuat mungkin mengendalikan bangsa ini dan menundukkan rajanya akhirnya Cao Cun menindas semua kedukaannya dan tersenyum.

Mula-mula senyum itu pahit, mengambang dan hambar. Tapi begitu Cao Cun sanggup memerintah hatinya sendiri dan senyum itu berkembang dalam senyum yang luar biasa manisnya tiba-tiba Cao Cun menengadah dan mencium mulut Cimochu, menghilangkan semua kesan dan pıkiran bahwa Cimochu ini adalah anak mendiang suaminya.

"Cimochu, aku rela menerima dan membalas cintamu. Lihatlah, aku menciummu!"

Cimochu hampir tertawa bergelak. Ciuman yang diberikan Cao Cun memang sungguh-sungguh. Cao Cun melakukannya dengan segenap tenaga dan kekuatan. Cao Cun mengusir dan membuang jauh jauh segala pikiran tentang anak tirinya itu. Dan karena dia sadar bahwa nasibnya mengharuskannya begitu dan mau tak mau dia harus menerima pemuda ini, maka dibalik semua kepedihan dan penderitaan batinnya Cao Cun Mencium pemuda itu lama.

Dan akhirnya tersedak dan Cimochu terbahak. Nafsu seketika membakar pemuda ini dan Cimochu tahu-tahu menyambar ibunya... ah, kekasihnya itu, memeluknya dan mendekapnya serta mau menanggalkan pakaian Cao Cun. Kegembiraan dan nafsu sekaligus membuat pemuda ini lupa diri. Tapi ketika Cimochu mendengus dengus dan Cao Cun maklum tak mungkin dia dapat melepaskan diri lagi tiba-tiba dia mendorong pemuda itu dan berkata, tegas dan menguasai keadaan.

"Cimochu, nanti dulu. Kau harus berjanji dan bersumpah seperti ayahmu!"

"Ah, sumpah apalagi? Janji apa yang harus kuberikan?" Cimochu menggigil, berseri-seri namun kemerah-merahan mukanya.

"Kau harus berjanji bahwa kau harus selalu baik kepadaku. Cimochu, tak boleh bersikap kasar dan selamanya lembut kepadaku.”

"Kau... Tentu saja!" Cimochu tertawa bergelak, memotong. "Aku akan selalu baik dan lembut kepadamu, Cao Cun. Aku akan melebihi ayahku dalam hal mencintaimu. Lihat...!" pemuda itu menubruk, menyambar dan menciumi Cao Cun bertubi-tubi. Dia sudah diamuk nafsu dan kegembiraannya melihat Cao Cun membalas cintanya. lni sebuah kemenangan baginya. Tapi ketika dia membabi-buta menciumi Cao Cun tiba-tiba Cao Cun melepaskan dirinya kembali dan mendorong.

"Cimochu, tunggu dulu. Kata-kataku belum habis. Dengarlah...!" dan Cao Cun yang buru buru berkelit dan mencegah pemuda itu memeluknya sudah berkata lagi, "Kau harus selalu baik terhadap kaisar pula, Cimochu. Bangsamu tak boleh menyerang bangsaku dan harus selalu menjalin hubungan baik. Kalau ini tak dapat kau lakukan dan melanggarnya maka aku akan menolak dan tak mau melayanimu!"

"Ha ha, itu sudah kulakukan, Cao Cun. Bukankah kami semua baik dan tunduk pada kaisar di kota raja? Bukankah kami tak pernah menyerang atau menyakiti bangsa Han? Aduh, demi kau segalanya rela kulakukan, Cao Cun. Dan sumpah disaksikan Langit dan bumi aku tunduk pada kata-katamu asal kau membalas dan melayani cintaku!"

"Baik, sumpahmu didengar langit dan Bumi, Cimochu. Kalau kau bohong..."

"Aku akan mati dibunuh anakku sendiri!" Cimochu bersumpah, sumpah yang mengerikan dan Cao Cun tertegun.

Hebat sumpah pemuda itu. Cao Cun tak terasa bergidik. Namun karena Cimochu telah ditundukkannya dan pemuda itu bersungguh-sungguh maka malam itu Cao Cun menyerah, dalam arti kata mau membalas cinta pemuda itu namun belum mau disentuh. Untuk yang satu ini Сaо Cun minta agar pernikahan mereka diresmikan dulu, Cao Cun bukan sebangsa gundik atau wanita murahan. Dan ketika Cao Cun menolak yang satu itu dan Cimochu tertegun maka wanita ini menunjukkan harga dirinya.

"Aku bukan wanita murahan, Cimochu. Kalau kau menghendaki tubuh dan cintaku maka resmikanlah dahulu pernikahan kita. Aku tak menolak. Tapi jangan sekarang seperti kuda di hutan."

Cimochu semburat. Sungguh tak dia sangka bahwa calon isterinya ini demikian teguh menjaga harga diri. Tapi ingat bahwa Cao Can bukan wanita sembarangan dan kekasihnya itu adalah bekas calon selir kaisar yang tidak jadi maka Cimochu justeru menaruh hormat dan kagum. "Baiklah, aku tak akan menyentuhmu, Cao Cun. Tapi berjanjilah bahwa setelah itu kau pun akan menjadi isteri yang baik!"

"Tentu, aku berjanji, Cimochu. Dan sekali aku menjadi milikmu maka raga dan jiwa ini pun sepenuhnya kuberikan padamu!"

Cimochu girang. Kekecewaannya hari itu terobati, Cao Cun tak boleh segera disentuh meskipun dia kuasa. Dan karena tak ingin melukai perasaan wanita itu dan dia pun juga sudah berjanji untuk bersikap lembut dan mesra pada kekasihnya maka raja muda ini mengatur hari pernikahannya dan mengumumkan peresmian rencana itu. Cimochu bahkan terburu-buru khawatir Cao Cun menarik janji.

Maklumlah, cukup sukar bagınya menundukkan wanita ini. Cimochu sekarang memiliki pandangan dan hormat yang tinggi pada kekasihnya itu, terbuktilah sekarang bahwa wanita Han memang tidak sama dengan wanita dari suku bangsanya. Wanita Han memiliki peradaban tinggi dan sopan santun yang besar. Semuanya itu mengikat wanita Han sebagai wanita baik baik.

Dan ketika hari pernikahan ditentukan dan Cao Cun menyerah pada nasib maka bekas ibu tiri ini dikawin anak tirinya sendiri. Cimochu menepatı janji. Sebelum hari "H" itu tak mau dia menyentuh Cao Cun. Dan ketika hari itu tiba dan Cao Cu juga menepati janjinya maka malam itu Cimochu dibuat mabok.

Cao Cun memang pandai. Dulu sebagai calon selir kaisar dia telah diajari permainan permainan cinta, maklum, istana memang mengharuskan itu bagi setiap wanita çalon selir. Dan ketika Cao Cun telah menjadi isteri dan pengetahuannya bertambah dan meningkat tentu saja wanita ini menjadi matang dan tahu kelemahan kelemahan lelaki.

Malam pertama itu Cimochu benar-benar di beri hidangan lezat oleh wanita ini. Cao Cun mulai dapat menerima keadaan. Betapapun dia mempunyai "missi" di tempat bangsa liar itu. Dan ketika hari demi hari mereka lewati bersama dan Cimochu ternyata benar mencintai wanita ini maka sedikit tetapi pasti Cao Cun mencintai pula suaminya yang baru dan melayani dengan baik. Keadaan memaksa wanita ini terjebak dalam peristiwa yang aneh. Sungguh mimpi pun tak pernah dia bayangkan bahwa suatu ketika dia harus menjadi isteri dari anak tirinya sendiri.

Dunia benar-benar dapat membuat jungkir balik nasib seseorang. Dan ketika hari demi hari dilalui mereka berdua dan Cimochu mabok dan semakin tergila-gila pada isterinya ini maka setahun kemudian lahirlah seorang anak dari perkawinan yang luar biasa. Cao Cun melahirkan seorang anak perempuan. Ituchi, anaknya yang pertama, sukar di sebut apa dalam hubungannya dengan anak perempuan yang baru lahir itu. Paman ataukah kakak? Ah, entahlah. Bingung kita menyebutnya.

Dan ketika semuanya itu dilalui Cao Cun dan Cimochu serta suku bangsanya semakin hormat pada wanita yang luar biasa ini maka beberapa tahun kemudian lahir bayi seorang anak perempuan. Cao Cun sedikit kecewa. Kenapa tidak laki-laki? Kenapa perempuan? Menurut pendapatnya, mungkin diukur dengan dirinya sendiri. Maka lahir perempuan adalah “sial”. Perempuan selalu harus tunduk pada laki-laki. Tak pernah perempuan dapat di atas laki-laki.

Tapi karena nasib menentukan begitu dan sejarah juga mengatakan demikian maka lama-lama untuk inipun Cao Cun dapat menerima keadaannya. Cao Cun mulai pasrah. Tekanan dan Himpitan batin mulai membuat wanita ini gampang menyesuaikan diri. Wan Hoa diam-diam heran melihat sahabatnya yang kini menjadi penyabar dan begitu pasrah.

Cao Cun mulai acuh pada nasib dan membiarkan diri dimana dihanyutkan . Maklum ah setiap berontak dan ingin merobah nasib selalu saja dia gagal. Berkali kali dia membuktikan itu. Dan ketika tahun demi tahun Cao Cun merasakan hidup barunya dengan sang suami dan Cimochu ternyata mencintai dirinya lebih dari ayahnya dulu maka Cao Cun merasa terhibur dan agak mendingan.

Tapi celaka! Nasib lagi-lagi mempermainkanya dengan kejam. Ketika sepuluh tahu Cimochu menjadi raja muda mendadak pemuda itu wafat. Kejadian ini agak aneh. Tak ada tanda tanda sebelumnya. Orang menduga mungkin Cimochu diracun, tapi karena tak ada bukti dan kejadian itu juga begitu mendadak, maka untuk kedua kalinya Cao Cun menjadi janda. Tepat di usianya ketiga puluh tiga. Sungguh menyedihkan. Dan karena Cao Cun kembali mendapat pukulan berat dan kali ini kematian suaminya di rasa agak misterius maka tiga bulan penuh Cao Cun berkabung dan hidup di kamar gelap.

* * * * * * * *

"Hei, mana pesanan kami? Kenapa sejak tadi kami dıbiarkan begini?"

"Ah, maaf... maaf! Pesanan burung Hong goreng sedang dicari, nona. Tapi ternyata habis dan kami tak dapat memenuhi, bagaimana kalau diganti yang lain saja?”

Begitu percakapan ini terdengar di sebuah rumah makan. Siang itu seorang gadis dan dua orang pemuda duduk menanti makanan, mereka hanya diberi minuman saja. Dan ketika si gadis berseru mendongkol dan pelayan datang tergopoh-gopoh maka rumah makan meminta maaf karena sebuah pesanan yang diminta tak dapat dilayani.

"Kalau begitu kenapa tidak bilang sejak tadi. Huh, kami sedang terburu-buru. pelayan. Siapkan yang lain dan coret saja daftar makanan ini kalau memang tak ada!"

"Baik...baik, nona. Bagaimana kalau kaki biruang?"

"Kaki biruang?"

"Ya, sop kaki biruang, nona. Asli dan bukan tiruan. Kami dapat menyajikannya kalau nona suka. Bagaimana?"

"Hm, terimalah," pemuda di sebelah kanan yang gagah dan pendiam tiba,tiba mendahului. "Kau tak usah marah-marah, sumoi, biarlah kita nikmati yang lain dan cepat pergi.”

"Baiklah," si gadis akhirnya setuju. "Kau bawa kemari kaki biruang itu, pelayan. Tapi kalau menipu dan mengada-ada tentu kau ku hajar!"

Pelayan yang ketakutan melihat pedang di balık punggung si nona akhirnya merunduk dan buru-buru memutar tubuhnya, menyiapkan apa yang diminta dan tak lama kemudian datang dengan penampan besar berisi sop kaki biruang. Baunya yang sedap dan kepulan uapnya yang harum tiba-tiba saja membuat tiga tamunya berkeruyuk, mereka memang lapar. Dan ketika masakan itu diletakkan dan minuman serta arak ditambah lagi maka tiga muda-mudi ini menyambar sumpit dan sudah menıkmati pesanan mereka.

Tapi baru setengah yang dihabiskan tiba-tiba muncul dua tamu baru, dua laki-laki tinggi besar yang langsung mengambil tempat duduk tak jauh dari mereka, melırik dan sejenak tertegun. Memesan hidangan dan berbisik-bisik. Dan ketika dua tamu itu baru mereguk minumannya beberapa kecap tiba-tiba berturut-turut muncul yang lain dan mulailah berdatangan orang-orang aneh yang beraneka ragam. Semuanya memasuki rumah makan itu dan bisik-bisik terdengar di sana-sini.

Si gadis dan dua pemuda saling pandang. Itulah orang‐orang karg-ouw dengan sikap dan pakaian mereka yang aneh-aneh. Ada yang berpakaian tambal tambalan tapi ada pula yang bagus, bahkan terakhir masuk dua orang wanita muda yang memakai wangi-wangian begitu keras, merangsang dan menusuk hidung. Dan ketika pelayan menjadi sibuk namun anehnya tak ada suara yang keras terdengar di situ karena semua rata-rata berbisik-bisik maka gadis dan dua pemuda pertama ini mendengar percakapan lirih tentang sesuatu.

"Kita harus mendapatkan benda itu. Empat hari lagi kakek dewa itu akan memberikan cerminnya kepada kita."

"Ya, dan kita harus mendahului dari yang lain, ji-te. Kalau perlu sebelum yang lain muncul kita harus sudah ada di bukit itu!"

"Dan kita bujuk kakek itu. Siapa tahu kita mendapat rejeki dan beruntung."

"Yakinkah kau?"

“Kita harus yakin, twa-teng. Jangan pesimis dalam mengharapkan sesuatu!"

“Baiklah, kita cepat isi perut, ji-te, dan selekasnya ke bukit Malaikat menemui Sian-su!”

Percakapan terhenti. Sampai disini rupanya laki-laki tinggi besar yang duduk tak jauh dari tiga muda mudi ini merasa didengarkan, tiba-tiba mereka tak bicara lagi dan meneruskan makannya. Dan ketika dua pemuda itu saling memberi isyarat dan si gadis mengangguk, mendadak mereka menoleh ke kiri dan telinga pun tegak seperti kelinci mendengar jejak.

“Perhatikan, di sebelah kiri orang juga berbisik-bisik akan sesuatu. Agaknya di luar kota ini akan terjadi apa apa!”

“Ya, dan rupanya semua menuju ke satu titik, suheng. Mereka menyebut-nyebut tentang Sian-su dan cermin.”

“Ssst, dengarkan. Pasang telinga!” pemuda pertama, yang gagah dan pendiam tiba-tiba menggamit. Temannya dan si gadis tiba-tiba mengangguk, mereka saling berkedip. Dan ketika telinga dipasang dan mereka mendengar bisik-bisik tentang “Sian-su” dan “cermin” maka tiga muda mudi itu tertarik dan saling pandang.

“Bagaimana kau, Un Nio? Mungkinkah Sian-su memberikan pusakanya kepada kita?”

“Entahlah, tapi kita perlu coba-coba, cici. Katanya empat hari lagi kakek dewa berada di Bukit Malaikat dan memberikan barangnya kepada siapa yang beruntung."

"Dan kita harus menjadi yang beruntung itu. Kakek dewa itu manusia luar biasa yang ilmunya sudah tak dapat diukur."

"Ya, tapi di sini banyak yang lain, cici. Lihat pendatang-pendatang baru yang saling berkelompok itu. Mereka mencurigakan dan salıng pandang pada yang lain."

“Benar, tapi tak perlu takut, Un Nio. Kita bukan wanita lemah yang dapat dipermainkan sesuka hati!"

"Sst, kita didengarkan…!” dan percakapan di sini yang kembali berhenti dan tak diteruskan akhirnya membuat dua pemuda dan gadis pertama melengos, nyaris kepergok dan mereka pura-pura meneruskan makan. Kiranya dua wanita cantik yang parfumnya menyengat itu tahu kalau diperhatikan, pembicaraan mereka dicuri dengar. Dan ketıka mereka melotot dan dua pemuda itu dipandang marah maka dua pemuda yang bersangkutan merunduk dan cepat mengeluarkan sapu tangan mereka, pura-pura membersihkan mulut.

"Tempat ini panas, kita harus keluar," begitu pemuda gagah yang pertama bicara. Dia agak tak enak karena dipelototi dua wanita di sebelah itu, mengibaskan baju dan bangkit berdiri. Kebetulan makan minum mereka telah selesai. Maka begitu memanggil pelayan dan membayar rekening segera pemuda yang agaknya menjadi pemimpinnya ini mengajak dua temannya keluar.

"Sumoi, sute, mari..."

Dua temannya mengangguk. Mereka sebenarnya mendongkol pada wanita cantik yang melototi saudara mereka itu, tapi karena saudara mereka mengajak keluar dan tindakan ini jelas menghindari ribut-ribut maka mereka pun bangkit dan mengikuti. Tapi, baru sampai di pintu. Restoran mendadak mereka berpapasan dengan pendatang pendatang baru yang jumlahnya belasan orang, dipimpin seorang tosu dan kakek pengemis serta seorang wanita cantik berbaju kembang.

"Eh, bukankah ini Hu-siocia (nona Hu)?"

Tiga muda mudi itu tertegun. Mereka sudah melihat tosu dan kakek pengemis serta wanita berbaju kembang itu berhenti. Mereka tak dapat keluar karena pintu rumah makan penuh orang-orang ini, tak dapat maju. Dan ketika mereka terbelalak dan mengerutkan kening mengingat ingat maka tosu itu terbahak dan si kakek pengemis pun mendengus.

"Ha-ha, kami Koang-san Tojin dan Pek-tung Lokai, nona. Tentu kau ingat dan tak mungkin lupa!"

"Ya, dan aku Hwa-i-paicu, bocah sombong. Mana ayahmu yang pongah itu? Betulkah kakak mu mampus dibunuh Siauw-bin-kwi (Setan Muka Ketawa)?”

Muda-mudi ini terkejut. Segera mereka ingat siapa orang-orang ini, kiranya Koang-san Tojin dan Pek-tung Lokai, juga Hwa-i-paicu (ketua Perkumpulan Baju Kembang) yang dulu pernah menyatroni mereka. Hu-siocia yang dısebut-sebut itu merah mukanya. Dan belum dua temannya menjawab ia sudah mendahului, ketus dan dingin.

"Bagus, aku memang Hu Swat Lian. Hwa-i-cu. Ada apa kalian menghadang dan tidak memberi jalan? Cari setorikah?"

“Ha-ha, tetap angkuh!" si tosu tinggi kurus tertawa marah. "Kau sombong dan jumawa, nona. Kami tidak bermaksud menghadang namun kebetulan saja bertemu kalian. Hm, ini dua suhengmu Hauw Kam dan Gwan Beng, bukan? Kalian mau pergi? Kami terlanjur masuk, nona. Silahkan cari lain pintu dan lewat belakang saja!"

Swat Lian, gadis yang diejek itu marah. Dia membentak dan mau menggerakkan tangannya, tapi belum dia bergerak tiba-tiba lengannya ditangkap pemuda pertama yang gagah dan pendiam itu,

"Sumoi, sabar. Biar aku bıcara," dan membungkuk di depan tosu dan dua lainnya pemuda ini memberi hormat, sikapnya jelas menahan permusuhan. "Koang-san Tojin, kau tentu tak ingin membuat ribut, bukan? Bagaimana kalau kalian memberı jalan dan membiarkan kami pergı? Kami ada urusan sendiri, totiang. Harap kalian memaklumi dan tidak menyulitkan semua."

"Hm, kau Gwan Beng?"

"Benar, totiang. Itu aku yang rendah."

"Mana gurumu?"

"Tak ada di sini."

"Kalian mau lewat?"

"Mohon kebaikan totiang."

"Ha-ha!" tosu itu tertawa bergelak. "Boleh, bocah. Tapi minta dulu ijin dua temanku. Barangkali mereka akan menuntut sesuatu dari hutang keluarga Hu!"

"Hm," Pek-tung Lo-kai, kakek pengemis di sebelah menggeram. "Kalian boleh lewat asal berlutut, bocah. Nyatakan ampun tiga kali dan lewati selangkangan kami!'"

"Keparat!" gadis di depan melengking. "Kalian kelewat menghina, Pek-tung Lo-kai. Coba lihat siapa yang berlutut dan harus minta ampun... wut-wirr!" gadis itu berkelebat, tangannya bergerak dan cepat serta luar biasa dia telah melakukan tamparan tiga kali. Pek-tung Lo-kai terkejut karena dia tak sempat menghindar. Dan ketika dia menangkis namun terpelanting dan begitu keras kakek pengemis ini mencelat dan terguling,guling disambar pukulan itu.

“Plek-plak-plakk!"

Semua orang terkejut. Rombongan di pintu rumah makan geger, Pek-tung Lokai melompat bangun dan kakek itu gusar. Dalam gebrak cepat hanya sejurus itu dia telah dibuat tunggang langgang!! Bukan main marahnya kakek ini. Dan ketika dia menggeram dan memaki lawan maka orang melihat baju pundak kakek ini hancur oleh tamparan jari-jari yang halus itu.

"Keparat, kau semakin liar, Hu-siocia. Aku tak terima dan akan membalas!" namun belum kakek itu menerjang tiba-tiba Koang-si-Tojin temanya mencegah,

"Lokai, sabar. Tempat ini sempit. Bagaimana kalau di luar saja?"

"Boleh, aku akan membalas kekalahanku pada kakaknya dulu, Tojin. Dan kau pun dapat menghadapi yang lain sebagai balas dendam kita!”

"Nanti dulu!" Gwan Beng. Pemuda gagah yang pendiam itu berseru lantang. "Apakah kalian tak mau bersikap baik-baik, Lo-kai? Mestikah kita bermusuhan dan membuat ribut? Ingat di sini bukan untuk mencari setori, Lo-kai. Kami bersedia minta maaf kalau kami dirasa mengganggu!”

"Hm, tak perlu, suheng. Nanti kita disangka takut. Biarlah kita hadapi mereka dan tak perlu minta maaf, toh kita tak melakukan kesalahan!"

Swat Lian, gadis yang keras hati dan galak itu membentak. Betapapun dia merasa gusar dan marah oleh sikap orang-orang ini, mereka menghadang dan tetap berdiri di pintu, berarti mereka tak memberikan jalan dan harus diterjang. Tapi Hauw Kam pemuda satunya yang juga berwatak lembut dan suka mengalah ternyata menggeleng.

"Tıdak, sabar dulu, sumoi. Biar suheng yang bicara," dan menahan sumoinya agar tidak mengamuk pemuda ini berdiri waspada.

"Hm, apkah kau takut?” Hwa-i paicu, ketua perkumpulan Baju Kembang itu menjengek. "Kalau takut boleh minta ampun, bocah. Apa yang dikata Lo-kai benar dan kalian harus berlutut dan jalan di selangkangan kami"

"Maaf," Gwan Beng merah mukanya. "Hal itu tak dapat kami lakukan, paicu. Kami orang-orang gagah yang tak suka dihina. Kalau kalian sakit hatı oleh peristiwa dulu maka seharusnya hal itu tak diperpanjang lagi karena sute kami Beng An telah tiada. Kami tak pernah bermusuhan denganmu, harap tidak mencari persoalan dan biarkan kami pergi!"

"Heh!” Pek-tung Lo-kai membentak. "Sumoimu telah lancang memukul aku, bocah. Kalau begitu kalian saja yang pergi tapi biarkan sumoimu itu menghadapi kami!"

"ltu pun tak bisa," Gwan Beng masih bersabar. "Sumoi kami adalah tanggung jawab kami, Lo-kai. Mohon perbuatannya kalian maklumi dan sudahilah ketegangan ini. Kami mau pergi.”

"Kalau ingin pergi pergilah, merunduk dan lewati selangKangan kami!"

Gwan Beng merah mukanya. Kalau orang sudah mendesak dan tetap bersikap seperti itu sungguh kesabarannya lama-lama habis. Orang didalam restoran mulai bangkit berdiri dan menonton, marah dia. Dan ketika suitan serta teriakan terdengar di sana sini maka pemuda ini memandang adik seperguruannya, Hauw Kam, "Bagaimana, sute, kita lewati mereka?"

"Bisa, kita keluar, suheng. Mari!" dan Hauw Kam yang melejit serta melompat tinggi tiba-tiba membentak dan sudah berjungkir balik diatas kepala orang, cepat dan luar biasa dan tahu-tahu pemuda itu sudah ada di luar. Kepala belasan orang tadi dilewatinya dengan mudah, gegerlah yang dilewati. Dan ketika dua yang lain mengikuti jejak Hauw Kam dan berturut-turut bagai siluman atau iblis saja Gwan Beng dan sumoinya berjungkir balik di atas kepala orang-orang itu mereka bertiga sudah berada di luar rumah makan dan selamat turun dı sana, tanpa halangan.

"Ehh, kita dikurangajari!" Pek-tung Lo-kai, pengemis tua yang berangasan itu memekık. Dia tadi menyerang namun hantamannya luput mengenai angin kosong. Gwan Beng dan sumoinya itu telah lolos, sungguh mudah perbuatan mereka itu. Dan karena perbuatan ini menampar muka mereka dan sebagai orang-orang ternama mereka, merasa dipermalukan maka kakek ini sudah menerjang dan menggerakkan tongkatnya.

"Bocah siluman. kau tak tahu adat... wuuttt!" tongkat menyambar, cepat dan kuat kakek ini menyerang Swat Lian, gadis itu menjengek dan tidak mengelak. Dan ketika tongkat hampir mengenai kepalanya dan ringan namun cepat dia menggerakkan tangan kanannya tiba-tiba töngkat ditangkis.

"Plakk!" Pek-tung Lo-kai terbanting! Sungguh kejadian ini mengejutkan, kakek pengemis itu sampai berteriak dan kaget. Untuk kedua kalinya dalam satu gebrakan saja dia dıcekoki lawan, tongkat yang bertemu lengan yang halus itu mental dan dia terbanting. Dan ketika kakek itu membentak dan marah melompat bangun maka dua temannya, Hwa i-pangcu dan Koang-san Tojin terbelalak.

“Lo-kai, hati-hati. Gadis itu rupanya maju!"

Kakek ini menggereng. Dia sudah mengangguk dan menerjang Iagi, tongkat menyambar dan menderu di atas kepala. Tapi Swat Lian yang lincah mengelak ke samping dan menggerakkan lengannya tahu-tahu menampar dari samping, membuat tongkat lawannya terpental dan lagi-lagi kakek pengemis itu meraung. Pek-tung Lo-kai marah. Dan ketika dia membentak dan marah menyerang lagi maka tongkat menyambar-nyambar dan sudah menghujani tubuh lawan dengan cepat, naik turun bagai naga menari namun lawannya yang enteng selalu melentit atau menangkis, setiap menangkis tentu tongkat terpental kian keras, satu kali bahkan menghantam jidat kakek itu sendiri.

Dan ketika Pek-tung Lo kai memekik dan berkelebatan dengan tongkatnya maka pertandingan di depan rumah makan itu akhirnya menjadi tontonan orang banyak dan mereka kagum akan kepandaian Swat Lian yang luar biasa, tetap bertangan kosong menghadapi lawan.

"Sumoi, jangan emosi. Tahan kemarahan dan jangan bunuh kakek itu!"

Seruan itu, yang dikeluarkan Gwan Beng membuat Pek-tung Lo-kai mendelik. Kata-kata itu seolah terang-terangan menyatakan dia kalah, si gadis memang lihai tapi dia masih kuat menyerang. Pengemis ini menggereng dan mukanya merah padam, nyaris hitam saking marahnya. Tapi karena lawan berkelit lincah dan tongkat yang di tangkis membuat dia tergetar dan lama-lama pedas sendiri akhirnya kakek ini gusar meneriaki dua temannya, yang menonton,

"Tojin, dan kau, pangcu. Kenapa mendelong saja dan tidak mengerjai dua yang lain itu? Jangan menonton, Tojin. Serang mereka itu dan bunuh!"

Koan-san Tojin dan Hwa-i-paicu terkejut. Mereka sadar melihat kemarahan teman mereka, Pek-tung Lo-kai tersinggung dan marah kepada mereka, memang tak seharusnya mereka membiarkan kawan bertempur sendiri. Maka membentak dan melolos pedangnya tiba-tiba Hwa-i-paicu menerjang dan sudah menusuk Hauw Kam.

"Baik, kami akan membunuh mereka ini, Lokai... Lihat kami tidak tinggal diam... singg!“

Dan pedang yang menyambar menuju tenggorokan Hauw Kam tiba-tiba menusuk dan mendekati kulit leher pemuda ini, di egos dan Hauw Kam mengerutkan kening. Untuk serangan yang tiba-tiba itu dia tidak terkejut, sejak tadi sudah waspada dan siap diserang. Tapi ketika pedang mengejar lagi dan cepat serta bertubi-tubi, lawannya menikam dan menusuk akhirnya Hauw Kam berloncatan dan menangkis.

“Pangcu, kau sombong. Kau tak dapat membunuh kami...cringg!" pedang disentil, kuku jari pemuda itu bertemu pedang yang tajam dan wanita cantik inı terkejut.

Penonton juga terkejut dan kagum. Namun karena Hauw Kam bertangan kosong dan pemuda itu tidak memiliki senjata maka ketua Hwa-i Kai-pang ini melengking tinggi dan menerjang lagi, berkelebat dan lenyap dalam serangan serangannya yang ganas. Cepat dan kuat wanita cantik itu menyerang lawan, tapi karena Hauw Kam bukan pemuda sembarangan dan dia selalu menyentil pedang dengan kuku jarinya maka selama itu serangan lawan terpental dan pedang pun sering berdenting nyaring, membuat ketua Hwa-i Kai-pang ini marah dan menyerang lagi. Bagai harimau kelaparan wanita itu menusuk dan menikam. Dan ketika Hauw Kam harus berloncatan lebih cepat dan kini dia mulai menerima bacokan atau tikaman maka lawan menjadi terkejut ketika dengan tangan telanjang pemuda itu mampu menyambut pedangnya. tidak terluka. Kebal!

"Ah, kau sombong, bocah. Coba ku lihat bagaimana kalau mata atau lubang telingmu kutusuk!" Ketua Hwa-i Kai-pang ini memekik, kaget. Tapi juga kagum disamping naik darah. Apa yang ditunjukkan lawannya ini seperti ejekan baginya. Pedangnya seolah dianggap benda tumpul saja dimana dia tak dapat melukai lawan. Dan karena semuanya itu membuat ketua Baju Kembang ini gusar dan dia membentak serta mengarahkan tusukan atau tikamannya ke mata atau lubang telinga maka untuk ini Hauw Kam tak berani menerima dan terpaksa menangkis.

"Cring-trangg....!"

Penonton mendapat suguhan enak. Hauw Kam melayani lawan dengan mudah, mata dan telinganya adalah bagian yang tak dapat dilindungi sinkang untuk itu dia terpaksa menangkis dan sentilan kuku jarinya membuat ketua Hwa-i Kai-pang itu memekik. Dan ketika Hauw Kam berloncatan dan semakin lawan mengincar mata atau telinganya untuk ditusuk dan semakin sering pula Hauw Kam menyentil pedang lawan akhirnya ketua Baju Kembang ini hampir menangis karena serangan-serangannya selalu kandas.

"Keparat, jahanam! Jangan menangkis saja, bocah. Ayo balas dan robohkan aku!"

Hauw Kam menggeleng. "Tidak, aku ingin kau roboh sendiri, pangcu. Biarlah kau lelah dan kehabisan tenaga.”

"Keparat, kalau begitu kau akan kubunuh. Aku akan mempergunakan segala cara!" dan Hwa-i-pangcu yang melengking dengan suara tinggi tiba-tiba memanggil pembantunya untuk membantu, bersuit dan lima wanita baju kembang meloncat maju. Mereka itu mendengar aba-aba si ketua, bahasa isyarat yang tak diketahui orang luar. Suitan tadi memanggil mereka. Dan ketika lima wanita itu membentak dan maju membantu ketua Hwa-i Kai-pang ini maka Hauw Kam tiba-tiba dikeroyok dan sudah menghadapi enam lawan sekaligus.

"Hm, ini anak buahmu?" Hauw Kam tak gentar. "Bagus, boleh mereka maju semua, pangcu. Tapi aku akan membiarkan kalian semua roboh tanpa kubalas!"

Benar saja, untuk ini Hauw Kam hanya mengelak dan berkelebatan cepat. Dengan ringan namun cekatan dia menyentil pedang lawannya, semuanya berdenting dan terpental. Lima wanita baju kembang tu terpekik ketika pedang yang mereka cekal tergetar, telapak terasa pedas dan sakit. Hebat pemuda itu. Namun karena sang ketua membentak marah dan menyuruh mereka mempercepat gerakan akhirnya Hauw Kam diserang dan dikurung sambaran pedang dari enam penjuru.

“Ha-ha, adikmu hebat, bocah. Sekarang pinto akan coba-coba denganmu...wuut!”

Koan-san Tojin tiba-tiba membentak, tubuh berkelebat dan dia pun tak tinggal diam mengikuti teman-temannya. Dia menyerang Gwan Beng, trisula yang ada di tangannya menyambar leher pemuda itu, nyaris merupakan sinar putih yang tak kelihatan. Tapi Gwan Beng yang tenang mengelak dan mundur selangkah sudah membuat senjata lawan lewat di sisinya dan mengenai angin kosong.

"Koang-san Tojin, kita sebenarnya tak bermusuhan. Baiklah, kuikuti jejak suteku dan aku tak akan membalas semua serangan-seranganmu!"

"Hah, kau begitu sombong? Baik, awas bocah, pinto menyerang dan jangan salahkan kalau kau roboh!" tosu ini marah, tersinggung dan merasa direndahkan dan untuk kedua kali dia menubruk, trisula di tangannya membalik dan sudah menyerang lagi. Tapi ketika Gwan Beng mengelak dan untuk kedua kalinya pula senjata itu meluncur lewat tanpa hasil maka tosu ini menggeram dan membanting kaki.

"Bocah, kau lihai. Tapi awas, kali ini aku akan mengurungmu!"

Benar saja, trisula di tangan tosu itu tiba-tiba mendengung berputar dan sudah bertubi-tubi menusuk pemuda ini. Bagai payung lebar senjata ditangan tosu itu berobah menjadi cahaya putih yang berkelebatan di sekitar lawannya. Gwan Beng tak dapat mengelak kecuali menangkis, jalan keluarnya dikurung. Dan ketika untuk satu saat trisula menusuk begitu cepat dari delapan penjuru arah angin sudah di kurung sinar putih keperakan, akhirnya Gwan Beng menggerakkan kuku jarinya dan sama seperti Hauw Kam dia menangkis, tentu saja mengerahkan sinkang.

“Cringg!” Trisula mental. Koang-san Tojin kaget dan berseru marah, menyerang dan mengurung lagi namun si pemuda menyentil. Untuk kedua kali terdengir suara "cring" dan senjata di tangan tosu itu pun mental. Koang-san Tojin terkejut karena dari sentilan itu dia merasakan tenaga sin-kang yang hebat sekali, kuku jari itu mampu membuat senjatanya tertolak dan tosu ini terkesiap.

Tapi karena Gwan Beng membuktikan omongannya dan belum pernah pemuda itu membalas maka tosu ini penasaran dan menyerang lagi serta cepat dan bertubi-tubi dia menusuk dan menikam, Gwan Beng berlompatan dan mulailah pemuda itu mendemonstrasıkan kepandaiannya. Cepat dan akurat pemuda ini selalu menyentil trisula lawan, Koang-san Tojin terbelalak dan kaget.

Dan ketika pertandingan berjalan cepat dan Gwan Beng juga mulai cepat mengimbangi lawan akhirnya Koang-San Tojin membentak dan tubuh tosu itu pun tiba-tiba lenyap berputaran mengelilingi lawan. "Bocah, pinto akan merobohkanmu!"

Gwan Beng tak menjawab. Setelah dia menangkis dan mengetahui kepandaian lawan diam-diam pemuda ini menjadi geli. Hampir tertawa dia. Tapi karena Gwan Bang tak suka menyinggung perasaan dan dia melayani lawan maka begitu lawan lenyap tiba-tiba dia pun berseru keras dan lenyap pula mengikuti lawan. "Koang-san Tojin, kau boleh robohkan aku kalau bisa. Tak perlu merobohkan, dapat menyentuh bajuku saja biar aku mengaku kalah!"

Koang-san Tojin memekik. Setelah lawan berkelebat lenyap pula mengikuti gerakannya tiba-tiba tosu ini menjadi bingung. Betapa tidak. Gwan Beng kini merupakan bayang-bayang yang tak dapat disentuh. Pemuda itu selalu berada di luar jangkauannya dan setiap trisula mendekat tentu disentil kuku jari, akibatnya tak dapat dia mendekat dan tosu ini kaget. Dan ketika lawan berseru bahwa dapat menyentuh bajunya saja pemuda ini akan mengaku kalah maka tosu ini membentak dan memperhebat serangannya, gagal dan mengulang tapi lawan benar-benar seperti iblis.

Pemuda itu akhirnya mempercepat gerakannya dan hilanglah Gwan Beng dalam pandangan tosu ini, padahal Koang-san Tojin bergerak cepat dan sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kalah cepat dan akhirnya mendengus dengus seperti kuda dikuras tenaganya. Napas tosu ini mulai memburu hebat dan Gwan Beng tersenyum di sana. Dan ketika pemuda itu tak dapat disentuh dan bayangannya jauh lebih cepat dari bayangan tosu akhirnya empat orang di luar, yakni wakil dan para pembantu Koang-san Tojin membentak membantu ketuanya.

"Suheng, biar ku bantu kau...wut-siuuttt... !" tiga senjata lain menyambar, disusul sebuah senjata lagi dan Gwan Beng dikeroyok lima. Beda dengan Hauw Kam yang dikeroyok wanita-wanita cantk adalah pemuda ini dikerubuti tosu-tosu tangguh, rata-rata empat puluh tahun lebih. Tapi karena Gwan Beng pemuda hebat dan pemuda itu telah berjanji tak membalas serangan musuhnya maka Gwan Beng mempercepat, gerakannya dan baju biru pemuda ini berkelebatan di antara pakaian putih lima orang lawannya.

"Cring-cranggg!"

Sesekali terdengar suara itu. Gwan Beng menyentil dan senjata lawan pun terpental, empat pembantu Koang-san Tojin marah dan terkejut. Tapi ketika mereka mempercepat gerakan dan tetap saja pemuda itu melayang-layang di tengah mereka akhirnya sama seperti sang ketua, mereka ini pun ngos-ngosan diburu napas.

"Sudahlah, kalian berhenti, Koang-san Tojin. Aku tak mau membalas karena tak mau menyakiti kalian."

“Keparat, biar pinto roboh kehabisan tenaga, anak muda. Atau kau robohkan kami dan mampus!"

"Hm, aku tak suka mengikat permusuhan, Tojin. Kenapa ngotot dan tak tahu diri? Kalau kalian ingin kehabisan napas biarlah kubuat kalian begitu. Mari!" dan Gwan Beng yang mempercepat gerakannya hingga mata lawan berkunang-kunang akhirnya mendengar seorang di antaranya ambruk sendiri.

Seorang pembantu Koang-san Tojin tak kuat, kepalanya pusing dan Gwan Beng tertawa. Dan ketika pertandingan masih berjalan terus dan Koang-san Tojin nekat maka kembali seorang pembantunya roboh dan terguling, "Aduh, aku tak kuat. Pemuda itu siluman...!”

Penonton kagum. Dalam gebrak cepat berikutnya seorang pembantu lagi dari Koang-san Tojin roboh terguling, bukan oleh serangan pemuda ini melainkan oleh kelelahannya sendiri mengejar bayang-bayang Gwan Beng. Pemuda itu berkelebatan demikian cepatnya di antara keroyokan lawan, tak sanggup dia melanjutkan serangannya lagi. Dan ketika empat orang pembantu tosu itu akhirnya roboh semua dan tinggal Koang-san Tojin sendiri yang terhuyung-huyung dan limbung menyerbu ke sana ke mari maka penonton mulai memaki melihat sikap tak tahu diri tosu ini.

"Menyebalkan, tak tahu malu. Tosu itu seharusnya dilempar!"

"Ya, robohkan saja dia, anak muda. Lempar dan tendang pantatnya agar tahu diri!"

Gwan Beng tersenyum. Untuk ini dia sudah berjanji tak akan balas menyerang, janji itu pun ditepatinya dan tak akan dia menyerang tosu itu. Biarlah Koang-san Tojin berhenti sendiri dan ambruk. Dan ketika benar saja napas tosu itu memburu hebat dan serangan-serangannya tak dapat menyentuh lawan akhirnya Koang-san Tojin mengeluh dan roboh terguling ketika serangan terakhirnya di kelit, ambruk dan tidak sadarkan diri lagi saking bernafsunya dia menyerang, kehabisan tenaga dan penonton bersorak.

Saat itu di sebelah lain juga terdengar suara gedebuk. dan jerit kesakitan. Pek-tung Lo-kai dan Hwa-i-pangcu roboh terbantıng, dua orang itu mengeluh dan tidak dapat berdiri lagi. Kiranya Hauw Kam dan Swat Lian pun telah menyelesaikan pertandingan masing-masing. Dan ketika dua orang itu roboh hampir bersamaan dan Swat Lian serta Hauw Kam mengusap peluh muka sorak dan teriakan kagum meledak di sana-sini

“Aiihh, hebat. Mengagumkan!”

"Ya, hebat sekali. Luar biasa...."

Hauw Kam dan sumoinya tersenyum. Swat Lian malah tersenyum mengejek, tidak seperti Hauw Kam yang tersenyum malu-malu. Pemuda itu tak suka disanjung. Dan ketika mereka mendapat pujian dan Gwan Beng berkelebat mendekati mereka tiba-tiba pemuda itu berkata melihat Koang-san Tojin dan lain-lain ditolong pembantunya,

"Sute, sumoi. Mari kita pergi. Jangan lama-lama lagi... Wuss" pemuda itu mendahului, lenyap dan mengajak dua adıknya mengikuti. Gerakannya ini sudah disusul Hauw Kam yang mengangguk, tidak oleh Swat Lian yang lebih dulu menendang Pek-tung Lokai hingga lawannya itu mencelat. Baru kemudian mengikuti suhengnya dan penonton bersorak. Dan ketika Swat Lian menjejakkan kakinya dan lenyap pula mengikuti kakak seperguruannya maka tiga muda-mudi itu tak kelihatan bayangannya lagi dan beberapa di antara penonton berteriak.

"Hei, tunggu. Kami ingin berkenalan..!"

“Benar, jangan pergi dulu, sobat-sobat gagah. Kami ingin tahu tentang kalian!"

"Hm, tak perlu. Mereka adalah murid-murid Hu-taihiap, untuk apa ingin tahu lagi?" seseorang tiba-tiba memotong, menjawab teriakan itu dan orang-orang tertegun.

Yang berteriak tadi tiba-tiba mendelong, terkejut. Tapi ketika sadar dan berubah mendengar disebutnya nama ini tiba-tiba dia bertanya, ingin lebih tegas lagi, "Hu-taihiap? Hu Beng Kui si jago pedang dari Ce-bu itu?"

“Ya, memangnya siapa lagi? Adakah jago pedang yang melebihi Hu-taihiap itu?"

"Ah, pantas.... pantas kalau demikian lihai!" dan orang itu pun yang mengangguk-angguk dan kagum tapi juga ngeri akhirnya tidak bertanya lagi dan menyelinap pergi.

Nama atau kehadiran murid-murid Hu-taihiap itu mendadak membuat hati semua orang keder. Betapapun orang-orang kang-ouw ini ingat akan peristiwa tak lama berselang yang terjadi di Ce-bu, perebutan Sam-kong-kiam atau Pedang Tiga Dimensi. Pertandingan mati hidup antara si jago pedang itu dengan musuh-musuhnya, antara lain Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya, yang semua tewas dalam peristiwa menggegerkan itu (Baca Pedang Tiga Dimensi).

Dan ketika semua orang kagum dan terkejut oleh berita ini maka hari itu rumah makan itu menjadi populer dan menjadi bahan pembicaraan orang‐orang akan pertempuran yang baru saja terjadi, antara puteri dan dua murid utama si jago pedang Itu melawan Hwa-i-paicu dan Koang-san Tojin serta Pek-tung Lo-kai. Betapa mereka dirobohkan dengan mudah dan dua diantaranya bahkan tak pernah membalas. Ini cerita mengagumkan. Dan ketika hari itu semua orang bicara tentang keramaian ini dan tiga murid Hu Beng Kui itu dipuji-puji maka yang bersangkutan sendiri telah jauh meninggalkan tempat itu.

"Huh, menyebalkan. Kalau tidak ingat laranganmu tentu sudah kubunuh mereka itu, suheng. Benar-benar si katak yang coba bersikap sombong!"

"Sudahlah, tak perlu smmuanya itu, sumoi. Bukankah mereka telah pecundang dan tak mungkin berani mengganggu lagi? Dulu mereka dirobohkan mendiang kakakmu, belum berkenalan dengan kita sendiri. Kalau sekarang sudah tahu dan jelas kalah tentu mereka tak akan macam-macam lagi dan sombong. Marilah, kita terus ke utara dan melanjutkan rencana kita!"

"Tak beristirahat dulu?”

"Bukankah sudah cukup di rumah makan tadi?"

"Baiklah, mari, suheng. Aku juga ingin cepat-cepat ke bangsa Tar-tar itu dan menemui orang yang kita cari!"

Percakapan berhenti. Gadis di tengah tiba-tiba melesat, cepat dan luar biasa sekonyong-konyong ia meninggalkan suhengnya. Tapi ketika suhengnya menyusul dan pemuda kedua, Hauw Kam berseru perlahan tiba-tiba pemuda ini menggapai.

"Sumoi, suheng, berhenti dulu. Aku ingin bicara!"

Luar biasa sekali. Gadis yang sudah melesat itu sekonyong-konyong berhenti. Gerakannya seperti di rem dan berhenti begitu saja. Dan ketika dua suhengnya berkelebat dan sudah berada disampingnya maka gadis ini bertanya, "Ada urusan apa? Bicara apa?"

"Nanti dulu. Tidak ingatkah kau akan pembicaraan di rumah makan tadi, sumoi. Apakan kita tak ingin melihat-lihat?"

"Hm," gadis ini teringat, mengangguk. "Bagimana menurut Gwan suheng? Apakah kita menunda perjalanan?'"

Gwan Beng, pemuda pertama mengerutkan kening. "Sumoi, kita mendapat tugas suhu untuk mencari Kim-mau-eng. Ilmu pedang kita Giam-lo Kiam-sut telah diperdalam sedemikian rupa hingga suhu yakin kita sekarang mampu mengalahkan Kim-mou-eng itu. Apakah urusan ini harus kita tunda dan mélihat yang lain?"

"Jadi suheng menghendaki perjalanan diteruskan?"

"Begitu menurut pendapatku, sumoi. Tugas utama ini kita laksanakan dulu dan baru setelah itu yang lain-lain menyusul."

"Tapi di Bukit Malaikat Bu-beng Sian-su akan muncul, tidakkah ini menarik perhatian mu untuk melihat, suheng?" Hauw Kam, pemuda kedua bertanya, timbul keinginan tahunya yang besar.

Tapi sang suheng yang tersenyum dan menggeleng menjawab datar, "Itu dapat kita ikuti kemudian, sute. Meskipun menarik tapi seyogyanya tugas utama ini dilaksanakan dulu. Dua tahun suhu menggembleng kita, keinginannya lebih besar untuk melihat kita mengalahkan Kim-mou-eng. Apakah keinginan Ini harus dikalahkan oleh keinginan kita ke Bukit Malaikat?"

"Jadi kita tetap meneruskan perjalanan?“

"Ya, kita secepatnya ke bangsa Tar-tar itu sute baru setelah itu kita kembali ke sini dan belum terlambat."

"Maksudmu?"

"Kau dengar sendiri bahwa Sian-su akan muncul di bukit Malaikat empat hari lagi. Kalau kita dapat mempercepat perjalanan dan belum dua hari sampai di bangsa Tar-tar itu maka kita dapat kembali sebelum hari keempat....”

“Kalau tak ada halangan di jalan!" Hauw Kam memotong.

"Ya, kalau tak ada halangan di jalan, sute. Tapi bukankah kita bertiga dan dapat mengatasi itu kalau ada halangan?”

"Bagaimana menurut pendapat sumoi?"

"Aku tertarik untuk mendengar dan melihat Sian-su di Bukit Malaikat, suheng, terutama oleh cermin yang disebut-sebut itu. Tapi kalau twa suheng (kakak tertua) menyuruh kita melanjutkan perjalanan tentu saja aku menurut. Terserah kalian saja."

"Bagaimana suheng?" Hauw Kam kini memandang kakaknya.

"Kita terus, sute. Dan usahakan agar belum dua hari kita sampai di tempat Kim-mou-eng. Aku juga tak ingin mengecewakan kalian untuk melihat Sian-su. Marılah secepatnya kita ke bangsa Tar-tar itu dan secepatnya pula kita kembali."

"Baiklah, mari, suheng! dan Swat Lian yang berkelebat mendahului dan tampaknya tidak banyak bicara lagi tiba-tiba sudah terbang meninggalkan dua suhengnya, disambut senyum dan Gwan Beng serta sutenya saling pandang. Mereka menjejakkan kaki dan melesat pula. Dan ketika dua pemuda itu menyusul dan Swat Lian menambah kecepatannya maka Gwan Beng tertawa berkata gembira,

"Mari, sute. Kita kejar sumoi!"

Hauw Kam mengangguk. Dia sudah tancap gas mengejar sumoinya itu, Gwan Beng pun menggerakkan ginkangnya dan berkelebat menghilang. Bagai siluman-siluman saja tiga orang ini berkejaran. Tapı ketika Swat Lian tetap di depan dan Gwan Beng serta adiknya tak dapat mengejar maka pemuda ini kagum berseru keras.

"Sumoi, kau hebat. Aih, hebat sekali...!"

Swat Lian di depan tersenyum gembira. Dia melambai dan menyuruh dua suhengnya mengejar, mereka bertiga tiba-tiba sudah saling beriring dengan Swat Lian tetap di depan. Gwan Beng dapat menyusul sutenya tapi tak dapat menyusul Swat Lian, Hauw Kam berada di belakang sekitar dua tiga meter saja di belakang suhengnya ,Gwan Beng. Sementara Gwan Beng sendiri tertinggal sekitar sepuluh atau dua puluh meter di belakang sumoinya, bukan main. Dan ketika Gwan Beng memuji dan mau tak mau menjadi kagum akan kemajuan sumoinya yang luar biasa ini maka Hauw Kam di belakang juga berteriak tak habis takjub,

"Wah, hebat sekali sumoi kita, suheng. Lima atau enam tahun lagi kita pun masih bukan tandingannya!"

"Tentu, suhu mendidik siang malam, sute, Dan sumoi pun juga menggembleng diri tak kenal lelah. Mana mungkin tak maju pesat kalau begitu? Ha-ha, kita sebagai suhengnya tetap setingkat di bawah sumoi, sute. Jangan menyesal dan jangan iri..."

"Ha-ha, tak iri, suheng. Hanya kagum dan takjub. Kalau sumoi menghadapi langsung Pendekar Rambut Emas itu barangkali dia akan bertekuk lutut dan roboh!"

"Sudahlah, kenapa kalian bercakap-cakap saja, suheng? Ayo percepat lari kalian dan tancap gas!"

Swat Lian tertawa, berkelebat dan kembali dua suhengnya mengejar. Hauw Kam dan kakaknya matı-matian menyusul gadis itu. Tetapi ketika tetap saja jarak mereka sama dan akhirnya sedikit tetapi pasti Swat Lian justeru kian meninggalkan suhengnya lebih jauh akhirnya Gwan Beng berseru memperingatkan agar sumoinya itu tidak jauh-jauh di depan, kagum dan bersinar-sinar dan Swat Lian pun menurut. Gadis ini memperlambat larinya dan akhirnya jarak mereka sama kembali. Dua pemuda di belakang mandi keringat. Dan ketika Swat Lian terkekeh dan mereka berlari cepat tanpa berhenti maka pagi-pagi menjelang hari kedua mereka sudah menginjak daerah bangsa Tar-tar itu, tempat Kim-mou-eng.

"Hati-hati, kita sudah memasuki daerah musuh!”

Yang lain mengangguk. Swat Lin dan suhengnya memperingan langkah, mereka berkelebat dan akhirnya tiba di perkampungan bangsa Tar-tar itu, mula -mula berdebar karena Kim-mou-eng dan isterinya tentu menyambut Swat Lian sudah merah mukanya dan berapi-api, teringat Salima, kebencian dan ketidak senangannya timbul, tapi ketika mereka masuk di perkampungan itu dan disambut beberapa orang yang memergoki mereka maka Swat Lian dan suhengnya tertegun mendengar Kim-mou-eng tak ada.

"Kim-taihiap pergi, kami enggan menyambut tamu.”

"Hm, kalau begitu suruh isterinya keluar, penjaga. Kami dari Ce-bu ingin bertemu dan berbicara!" Swat Lian bersikap keras, kaku.

“Hujin pun tak ada, dia…”

"Bohong!" Swat Lian membentak, sudah mengibas penjaga ini. "Kau dan suku bangsamu tak dapat dipercaya, tikus busuk. Kalau begitu kami, masuk kedalam dan mencari sendiri. Namun, belum Salinga meloncat dan orang yang di kibas terpelanting sambil nenjerit maka belasan orang muncul dan Salinga pun menegur.

“Siapa ini? Kalian dari mana?"

"Kami dari Ce-bu,"

Gwat Beng cepat-cepat maju, maklum watak sumoinya yang berangasan dan keras. "Mohon dipertemukan dengan Kim-mou-eng atau isterinya, sobat. Kami dari jauh ingin bertemu dan bercakap soal pribadi.”

"Kim-taihiap tak ada." jawaban sama didengar. "Dan isterinya pun telah meninggal dunia. Maaf, siapa nama kalian dan ada maksud apa...?"

Sepaseng Cermin Naga Jilid 04

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 04
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
CA0 CUN menggigil. Mata yang deras mengalir tak habis-habisnya itu sudah membuat wanita ini mengeluh, Wan Hoa mendekap tubuhnya erat-erat. Tapi ketika Cao Cun membalas dan semua bingung oleh sikap dua sahabat ini maka Cao Cun minta agar yang lain-lan pergi, minta agar ditemani Wan Hoa seorang. Lalu, begitu mereka berdua di dalam kamar, dua sahabat ini sudah saling bertangis-tangisan dan mengguguk.

"Cao Cun, kenapa kau lakukan itu? Apa salahku? Apa dosaku hingga kau mau mati sendiri?"

"Ah,.." Cao Cun tersedu-sedu. "Kau tak bersalah, Wan Hoa. Kau tak berdosa. Aku ingin mati karena Kim-Twako tak datang...!!”

“Dan kau mau pergi sendiri? Kau tak mau menjadi sahabat dan saudaraku lagi?"

"Tidak, tapi... tapi...ahh!” dan keduanya yang kembali mengguguk dan bertangis-tangisan akhirnya saling dekap dan peluk.

"Cao Cun, kau tak boleh melakukan itu lagi. Kalau kau mau bunuh diri bilanglah, aku mengiringi!”

Cao Cun semakin mergguguk. Tegur dan sikap keras sahabatnya ini membuat Cao Cun berderai-derai, tak kuat dia. Dan ketika Wan Hoa dipeluk dan keduanya saling remas akhirnya mereka mengeluarkan segala duka dan perasaan yang menghimpit, bertangis-tangisan dan sejenak tak dapat berkata-kata. Tapi begitu Cao Cun berhasil menguasai diri dan mengusap air matanya maka wanita ini bangkit menghapus air mata Wan Hoa.

"Sudahlah, Dewa Maut masih tak mau menjemput aku. Wan Hoa. Maafkan dan mari kita bicara baik-baík."

"Kau berjanji dulu untuk tidak bunuh diri lagi!'

"Hm.” Cao Cun terisak. "Kenapa kau mendesakku. Wan Hoa. Layak dan pantaskah aku hidup lebih lama lagi?"

"Kalau begitu katakan kapan kau akan bunuh diri, Cao Cun. Biar kuikuti dan mari mati bersama-sama!"

Cao Cun terkejut. Wan Hoa sudah bangkit mengambil selendang, memilinnya berkali-kali dan kini dengan selendang di tangan sahabatnya itu mendekatinya. Dan ketika Wan Hoa bersinar-sinar dan Cao Cun tergetar maka gadis itu bicara gagah,

"Nah, katakan padaku kapan waktunya, Cao Cun. Mari kita bunuh diri dan biar ku iringi kau di akhirat!

"Wan Hoa...!" Cao Cun gemetar. "Apa-apa ini? Siapa mau bunuh diri? Oh, tidak... Jangan sahabatku... jangan. Aku tidak akan bunuh diri dan akan salalu menamanimu!" dan Cao Cun yang hampir menangis dan cepat merampas selendang itu lalu menarik sahabatnya duduk, teriris dan luluh oleh tekad sahabatnya yang ingin sehidup semati, mengiringi kemanapun dia pergi. Ke akherat sekalipun. Dan ketika Wan Hoa menggigil dan menggigit bibirnya maka Cao Cun mendudukkan sahabatnya itu dengan jari-jari gemetar.

"Wan Hoa, sumpah demi anakku aku tidak akan bunuh diri lagi. Aku... aku hanya putus asa karena Kim-mou-eng tak datang!"

"Hm, itu dapat ditanyakan, Cao Cun. Kenapa meninggalkan aku dan mau berlaku nekat? Kau tak ingat puteramu?"

"Tentu saja. Tapi bukankah ada kau, Wan Hoa. Ituchi dapat ku titipkan padamu kalau aku mati."

"Aku tak mau. Aku akan mengikutimu ke akhirat pula, Cao Cun. Aku tak mau mengurus Ituchi kalau kau mati! Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan dan bagaimana sebaiknya yang kau lakukan pula!"

"Aku merasa ditipu Kim-twako..." Cao Cu memejamkan mata, menggigit bibir kuat kuat. "Aku merasa dibohongi Wan Hoa. Kim-twako rupanya menipu kita dan sengaja tak datang!"

Wan Hoa berapi. "Aku juga berpikir begitu, Cao Cun. Tapi sebaiknya hal itu kita selidiki. Aku akan ke bangsa Tar-tar dan menemui Pendekar Rambut Emas itu!"

"Kalau dia tak ada?"

"Aku akan menunggunya, Cao Cun. Sampai ada!"

"Hm...!" Cao Cun terbelalak, terkejut juga. "Kau keras hati, Wan Hoa. Kau bisa dianggap nekat."

"Untukmu aku sanggup melakukan api saja, Cao Cun. Nyawa sekali pun siap ku korbankan!"

"Ah, tidak...!" Cao Cun meremas sahabatnya itu, memejamkan mata. "Jangan gila, Wan Hoa. Jangan gila. Aku tak suka itu! Dengarlah, sekarang tolonglah aku dan cari Kim-twako itu. Aku setuju, kau boleh ke bangsa Tar-tar. Tapi kalau dia tak ada dan tiga hari kau menunggu ternyata dia tak datang boleh kau kembali dan tinggalkan bangsa Tar-tar itu. Kau sanggup?"

"Sanggup, Cao Cun. Tapi bukan tiga hari melainkan sampai dapat, tiga tahun sekalipun!"

"Tidak, jangan, Wan Hoa. Aku butuh kau di sini, aku tak dapat berlama-lama tanpa kau. Sudahlah, kau berjanji tiga hari saja dan pulang kalau Kim-twako tak ada. Dapat?"

Wan Hoa mengepal tinju. "Cao Cun, Kim-mou-eng itu rupanya penipu dan pendusta. Kalau tidak ingat dirimu tentu kunanti dia sampai tiga tahun atau tiga abad. Baiklah! Aku setuju, Cao Cun. Kalau tiga hari kutunggu dia tak ada makà aku akan kèmbali ke sini tapi perkenankan beberapa hari kemudian aku berangkat lagi. Betapa pun, aku harus menemuinya dan mendamprat Pendekar Rambut Emas itu!"

"Tidak, jangan, Wan Hoa. Tak perlu mendamprat. Dia sudah bermaksud menolong, kenapa malah memaki dan menyakiti hatinya? Kalau dia tak ada sebaiknya kembali, Wan Hoa. Biar kita lupakan semuanya ini dan aku mulai pasrah!"

"Maksudmu?"

“Barangkali… barangkali aku akan menerima Cimochu!"

Wan Hoa tertegun. "Sudahlah," Cao Cun menggigit bibirnya kembali "Cari. Dan temukan Kim-twako, Wan Hoa. Coba selidiki kenapa dia tak datang. Kalau memang sengaja biarlah jangan ditegur dan kau cepat pulang. Tapi kalau ada apa-apa dan Kim-twako mengalami celaka harap kau kembali segera dan laporkan padaku."

Wan Hoa mengangguk. Hari itu juga dia pergi, Cimochu masih belum datang dan untung sepak terjangnya tak diketahui. Bersama seorang pembantu terpercaya Wan Hoa berderap menuju ke bangsa Tar-tar. Diam diam sudah bulat tekadnya untuk memaki-maki Kim-mou-eng, meskipun sahabatnya melarang. Dan ketika sore itu dia tiba dan langsung menghentikan kereta maka Wan Hoa turun dan menyelidikı ke perkampungan bangsa, Tar-tar itu.

Tapi apa yang didapat? Wan Hoa tertegun. Kematian Salima didengar. Disusul hilangnya anak Kim-mou-eng yang diculik sepasang nenek iblis. Kim-moü-eng sendiri kabarnya baru pulang dari kota raja ketika mendapatkan musibah itu di rumahnya, mendapatkan isterinya tewas dan kini pergi entah ke mana, mencari anaknya dan dua nenek iblis itu. Dan ketika Wan Hoa dipertemukan Salinga dan mendengar segalanya dari mulut pembantu Kim-mou-eng ini maka Wan Hoa menutupi mukanya dan terisak.

"Oh, begitukah? Maafkan aku, twako. Kiranya lagi-lagi aku salah duga!"

"Apa yang nona kehendaki? Kenapa mencari Kim-taihiap?"

"Aku sahabatnya, Salinga. Sahabat Cao Cun... Wang Cao Cun. Tapi, ah sudahlah aku tak tahu semuanya ini dan menyesal sekali. Biar aku minta maaf pada kuburan istrinya dan menyatakan penyesalanku!“ Wan Hoa mengguguk.

Di makam Tiat-ciang Sian-li Salima yang pernah dikenalnya sebagai wanita yang keras dan galak itu gadis ini bersimpuh tersedu-sedu dan sungguh tidak mengetahui kejadian itu. Sadarlah dia sekarang akan kerepotan Kim-mou-eng. Dia telah mendengar bahwa Pendekar Rambut Emas itu telah ke kota raja, mukanya murung dan Wan Hoa mendengar dari Salinga kekecewaan pendekar itu. Disebut-sebut tentang kekecewaannya terhadap kaisar, Salinga tak tahu jelas tapi Wan Hoa dapat menduga-duga mungkin maksud yang dibawa Kim-mou-eng gagal.

Dan karena Pendekar Rambut Emas sendiri mendapat musibah dan anaknya sendiri lenyap diculik akhirnya sore itu juga Wan Hoa minta diri dan kembali ke tempatnya. Dia menubruk dan segera merangkul Cuo Cun. Untuk sejenak dia tak dapat berkata apa-apa, hanya air matanyalah yang berderai tak habis-habis, merah muka gadis ini. Tapi ketika Cao Cun berhasil menenangkannya dan menyuruh Wan Hoa bercerita maka Cao Cun tertegun mendengar berita tewasnya Salima.

"Apa, dia terbunuh?"

"Ya, begitulah. Cao Cun. Dan Kim-twako mencari pembunuh istrinya. Bangsa Tar-tar berkabung, Kim-twako ternyata mendapat musibah!"

"Ooh... semoga arwah isterinya mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan!" dan Cao.Cun yang menutupi muka memanjatkan doa, akhirnya bertanya tentang Pendekar Rambut Emas sendiri.

"Dia tak kutemukan. Kim-twako pergi, Cao Cun. Anaknya diculik dan Salinga berkata tak akan kembali sebelum membunuh dan mendapatkan anaknya itu.”

“Diculik? Astaga, cobaan apa lagi ini, Wan Hoa? Siapa nenek iblis itu?"

"Aku tak tahu, Cao Cun. Tapi disebut-sebut namanya sebagai sepasang nenek siluman, katanya sakti dan bernama Sepasang Dewi Naga!"

"Hm...!" Cao Cun mendekap dadanya sebelah kiri. "Aku merasa nyeri dan perih mendengar semuanya ini, Wan Hoa. Kiranya kita salah sangka dan menduganya yang bukan-bukan. Kita lagi-lagi harus minta maaf pada Kim-twako!"

"Benar, tapi bagaimana sekarang persoalan dirimu, Cao Cun? Apakah Cimochu sudah datang?"

Tiba-tiba wajah yang cantik itu diliputi mendung, “Sudah...” jawaban yang lirih dan menghentak jantung Wan Hoa. “Dan pagi tadi dia meminta putusanku , Wan Hoa. Aku rupanya tak dapat menolak dan harus menerima…”

“Kau mau?”

"Adakah jalan lain?"

"Ada!" Wan Hoa tiba-tiba berseru. "Ada jalan lain Cao Cun. Dengarkan...!" dan wan Hua yang bersemangat serta tahu ketidak senangan Cao Cun di kawin anak tirinya sendiri, tiba-tiba mencengkram pundak sahabatnya itu, masih mencoba lolos, betapa gigihnya. "Cao Cun, aku tahu kau tak mungkin senang di nikahi anak tiri mu itu. Nah, ini jalan terakhir. Katakan pada Cimochu bahwa sepeninggal suamimu kau adalah kembali milik kaisar. Cimochu tak dapat mengawini mu karena kau harus kembali ke negaramu!"

Cao Cum tertegun.

"Kau tak mengerti? Dengarkan. Ini muslihat kita terakhir untuk menyelamatkan diri Cao Cun. Aku tak tahu apakah Kim-twako berhasil atau gagal di kota raja. Tapi katakan pada Cimochu bahwa kau harus kembali ke Tiongkok setelah suamimu meninggal. Bukankah ini siasat tepat yang mungkin dapat menyelamatkan dirimu?”

Cao Cun terbelalak. "Wan Hoa... " suaranya menggigil. "Kau sungguh tak habis habisnya menolongku dengan segala cara. Sungguh aku tak tahu bagaimana harus membalas budimu yang sedemikian besar ini. Baiklah, kucoba Wan Hoa. Dan mudah-mudahan berhasil!"

"Ah," Wan Hoa girang. "Tak ada budi atau pertolongan yang harus dibalas, Cao Cun Kau dan aku adalah satu. Jangan berkata begitu agar aku tak malu hati."

Cao Cun tersentak. Sikap dan perjuangan sahabatnya yang begitu gigih tiba-tiba membuat air matanya membanjir, Cao Cun menggigit bibir dan menubruk sahabatnya itu. Dengan suara ditahan-tahan tangisnya dicekam, tapi ketika Wan Hoa membalas dan mereka berciuman tiba-tiba Cao Cun tak dapat menahan diri dan meledaklah tangısnya yang bersambung-sambung itu, tak dapat menahan haru dan rasa terima kasih yang besar. 

Sungguh Wan Hoa ini sahabat yang luar biasa baiknya, diri dan nyawa pun tak dihiraukannya demi keselamatan dan dan kebahagiaannya. Cao Cun merasa berhutang budi besar. Tapi ketika mereka bertangis tangisan dan Wan Hoa dapat menguasai diri lebih dulu akhirnya sahabatnya itu melepaskan pelukan berkata gementar, harap-harap girang.

"Sudahlah, kau jalankan rencanaku itu, Cao Cun. Aku akan sembahyang minta pertolongan Dewa agar akal ini berhasil!"

Cao Cun menggigıt bibir kuat-kuat. Wan Hoa sudah lari keluar kamar meninggalkannya, meninggalkan dia yang berderai-derai air mata. Sembahyang pada Dewa untuk keselamatannya. Hampir Cao Cun mengguguk lagi. Tapi ketika pintu diketuk dan seorang dayang memberi tahu kedatangan Cimochu maka Cao Cun gugup dan buru-buru mengusap air matanya, melihat seorang pemuda gagah dan tinggi besar memasuki kamarnya.

"Ah, mari, baginda. Silahkan duduk!"

Cimochu, pemuda tinggi besar yang gagah itu tersenyum. Cao Cun sudah menghilangkan bekas tangisnya, mempersilahkan duduk dan raja muda ini mengangguk. Untuk kesekian kalinya dia menemui ibu tirinya ini, kagum tak habis-habis oleh kecantikan wajah dan tubuh yang semampai itu, rambut yang terurai panjang dan lembut berombak di belakang punggung. Ah, nikmatnya mendekap tubuh semacam ini. Dan ketika dia tersenyum dan untuk kesekian kali menekan debaran jantung dan bertanya tentang jawaban Cao Cun maka sungguh tak diduga Cao Cun memberi jawaban yang menghentak.

"Maaf, hamba merasa tak berdaya, baginda. Terus terang hendak hamba katakan bahwa hamba kıni milık kaisar Tiongkok lagi setelah ayah paduka meninggal. Hamba harus kembali dan meninggalkan paduka!"

“Ibu dapat berkata begitu?" pemuda ini tertegun. "Atas dasar apa ibu berkata begitu?"

"Peraturan baginda, atas dasar peraturan. Yakni peraturan dari istana. Kalau paduka mau meminta hamba sebaiknya paduka berunding dulu dengan sri bagindà kaisar di kota raja."

"Ah!" dan Cimochu yang terkesima dan pucat tak menyangka jawaban ini sejenak tak mampu berkata-kata, tentu saja tak menyangka muslihat Cao Cun atas usulan Wan Hoa. Raja muda itu tak tahu kejadian di balik peristiwa sebenarnya. Bahwa inilah usaha Wan Hoa yang ingin mati-matian menyelamatkan Cao Cun dari cengkeraman Cimochu. Dan ketika pemuda itu terhenyak tak dapat mengeluarkan suara dan merasa terpukul maka raja hari itu menjadi murung tapi juga tak kalah nekat, tak lama kemudian keluar dari kamar Cao Cun.

Dan Cao Cun tegang. Dia melihat Cimochu berbicara dengan pengawal, memanggil beberapa pembantunya dan raja tampak buru-buru. Dan ketika kereta disiapkan dan raja pergi akhirnya Cao Cun mendengar bahwa Cimochu ke kota raja!

"Aku hendak menemui kaisar. Ingin kuminta agar peraturan itu tak berlaku untukku!"

Cao Cun pucat. Kalau Cimochu sudah sedemikian tergila-gila padanya dan apa pun hendak dilakukan maka Cao Cun merasa ngeri juga melihat ulah lelaki itu. Betapa nekat dan gigihnya. Wan Hoa mendapat lawan setımpal. Cimochu sebagai laki-laki hendak memperjuangkan cintanya sampai dapat. Cao Cun merinding! Dan sementara dia terpaku di kamarnya mendengar kepergian dan maksud raja muda itu maka sebuah kereta lain berhenti dan tamu yang tak disangka-sangka datang menemui Cao Cun, ayah dan ibunya dari Chi Chou!

"Ah, kalian, ayah? Kau, ibu?" Cao Cun tertegun, cepat menyambut dan segera tiga orang ini berpeluk-pelukan. Bupati Wang menangis hampir mengguguk, isterinya bahkan menggerung-gerung dan Cao Cun membawa ayah ibunya itu ke ruang dalam. Dan ketika mereka tenang kembali dan Cao Cun bertanya apa maksud ayah ibunya maka dua orang itu serentak berseru berbareng,

"Kami mendengar maksud bunuh dirimu, kami datang dan çemas!"

"Ah," Cao Cun semburat, akhirnya menangis lagi. "Aku selalu menyusahkan kalian, ayah. Aku selalu membuat repot orang tua. Benar, aku hampir menamatkan hidupku, ayah. Tapi Wan Hoa mencegah dan menggagalkan niat itu."

"Hm, tak boleh, Cao Cun. Kau harus ingat keselamatan ayah ibumu. Apakah kau ingin kami digantung kaisar? Kami datang selain sebagai orang tua juga sebagai utusan, Cao Cun. Sri baginda mengutus kami agar kau tetap mengendalikan bangsa liar ini dan tak boleh bunuh diri. Kau harus tetap berada di sini, mengendalikan bangsa ini dan mengemudikannya dari dalam!"

"Benar, kau tak boleh menyusahkan kami, nak. Apakah kau ingin ibumu dihukum dan digantung kaisar? Apakah kau tak ingat nasib kamı?" nyonya Wang, ibu Cao Cun meratap. Kiranya dua orang itu telah mendengar keinginan bunuh dirinya puteri mereka ini.

Cuo Cun menangis dan berlinang-linang. Dan ketika ibunya menggigil dan memegang lengannya penuh sayang Cao Cun ditanya tentang apa sebabnya dia mati bunuh diri itu. "Aku tertekan, aku terhimpit. Anak dari mendiang suamiku mau mengambilku sebagai isteri!"

"Hm....!" sang ayah mengangguk-angguk. "Aku juga telah mendengar itu, Cao Cun. persoalan pribadi harus dikalahkan persoalan negara. Kau di sini mengemban tugas, kau bukan sebagai puteri bupati wang tetapi pembantu kaisar yang ditempatkan di sini!"

"Aku ah... tapi ayah... persoalan ini terlalu berat bagiku, ayah. Tak mungkın aku sebagai janda akan menikah dengan anak tıriku sendiri. Jangankan dengan anak tiri, dengan pria lain saja pantang bagi wanita Han untuk menıkah dua kali, ayah. Kau tahu dan tentu maklum akan hal itu!”

"Ya, tapi ini lain, Cao Cun. Persoalan negara memang menuntut pengorbanan besar dari seorang yang sedang mengemban tugas. Kaisar mengancam menggantung kami kalau kau macam-macam, aku dan ibumu merasa ketakutan!”

"Benar, sebulan ini kami sakit-sakitan, nak. Tidaklah kau lihat ayah ibumu yang semakin kurus? Tidakkah kau lihat ayahmu yang kering dan pucat?"

Cao Cun menangis. Ayahnya tiba-tiba batuk dan mendekap dada dengan napas terengah, dia memang melihat ayah ibunya yang tidak sehat. Kedua orang tuanya ini terlalu banyak pikir dan dilanda cemas, takut. Dia maklum akan semuanya itu. Dan ketika ayah ibunya berlutut agar dia tidak berbuat macam-macam dan jangan bunuh diri lagi akhirnya Cao Cun tersedu dan menarik bangun dua orang tuanya itu.

"Ayah. lho... bangunlah. Jangan begini!"

"Tidak, kami akan bangun kalau kau sudah berjanji, Cao Cun. Biarlah kami berlutut dan tetap berlutut kalau kau belum berjanji!"

"Ah, tidak. Aku berjanji... aku berjanji!" dan Cao Cun yang menarik bangun kedua orang tuanya sambil mengguguk akhirnya memeluk dan mencengkeram mereka itu, melihat berapa cemas dan takutnya dua orang tuanya ini. Mereka ternyata tak kalah menderita dengan dirinya sendiri. Dan karena Cao Cun teringat keselamatan ayah ibunya akhirnya wanita ini bersumpah tak akan bunuh diri lagi.

“Percayalah, aku akan mengingat kedudukanku selama ini, ayah. Aku berjanji dan bersumpah tak akan bunuh diri lagi. Demi kalian, demi keluargaku!"

Bupati Wang dan isterinya menangis. Mereka kini lega tapi juga terharu, saling pandang dan peluk lagi dan bupati itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia heran akan ketidak beruntungan puterinya ini, akan nasibnya yang selalu dirundung malang dan tampaknya selalu susah saja. Jarang kebahagiaan muncul. Tapi ketika puterinya bersungguh-sungguh dan berjanji pada mereka tak akan membuat repot lagi maka bupati ini mengusap air matanya berkata haru,

"Baik, terima kasih, anakku. Dan mana cucuku Ituchi?"

“Ada di dalam, bersama Wan Hoa."

“Coba panggil, aku ingin tahu."

Cao Cun ke belakang. Tak lama kemudian dia sudah membawa puteranya itu. Seorang anak laki-laki berusia empat lima tahun yang beroman gagah, inilah anaknya bersama raja Hu Han Chiang dulu, suaminya yang sudah meninggal, dan ketika Wan Hoa juga dibawa dan bupati itu tertegun maka anak ini dipeluk dan Wan Hoa pun dirangkul.

"Cucuku, kau sungguh seperti ayahmu. Ah... untung ada bibimu Wan Hoa di sini. Kalau tak ada dia entah bagaimana keadaan ibumu di sini," dan ganti memandang Wan Hoa bupati itu berkata, "Wan Hoa, entah dengan apa kami sekeluarga membalas budi baikmu. Kau telah berkali-kali menolong Cao Cun. Kalau tak ada kau mungkin Cao Cun sudah tak melihat lagi terangnya bumi. Aku pribadi mengucapkan syukur dan terima kasih sebesar-besarnya kepadamu, Wan Hoa. Semoga Thian membalas semua budımu ini dan hidup bahagia."

“Ah, taijin tak perlu berkata begitu. Aku dan Cao Cun sudah ditakdirkan hidup bersama kami adalah satu bagi yang lain. Jangan membuat aku malu hati."

“Dan kau sudah menemukan calon pendamping?"

Wan Hoa tersipu. "Aku tak mau menikah sebelum Cao Cun mendapat kebahagiaannya, taijin. Biarlah aku melajang sebelum sababatku menemukan kebahagiaan sejati."

"Kau gadis mulia, sungguh luhur!" dan Wang-taijin yang tak tahan melihat gadis itu tiba-tiba memeluk dan mencium keningnya, gemetar, haru dan penuh terima kasih. "Wan Hoa, kau sungguh seperti anak kami sendiri. Kau dampingilah Cao Cun dan sadarkan dia kalau ingin melakukan hal-hal yang sesat."

Wan Hoa berlinang. Mendapat ciuman dan pelukan yang begitu hangat tiba-tiba dia teringat pada keluarganya sendiri, keluarga yang sudah terputus sejak dia mengikuti Cao Cun ke tempat bangsa liar ini. Dia hanya sebagai abdi, lain dengan Cao Cun yang resmi menjadi isteri sorang Raja, meskipun raja liar. Dan ketika hari itu Wang taijin bercakap-cakap dengan putrinya dan Wan Hoa diajak serta maka keesokannya bupati ini pamit dan pulang.

"Kami puas, tugas kami berhasil dan biar semuanya ini kulaporkan pada sri baginda."

"Ya, dan hati-hati di dalam perjalanan, ayah. Aku akan menindas semua kesengsaraan ku demi kalian!"

Bupati itu terharu. Untuk kesekian kalinya dia memeluk putrinya itu, mendekap. Tapi ketika mau menaiki keretanya dan teringat sesuatu mendadak bupati ini merandek. "Hm," mata bupati itu bersinar-sinar. "Kau masih bertemu Kim-mou-eng?”

Cao Cun terkejut. "Tidak..." isaknya timbul. "Kim-twako tak pernah ke sini sejak dua tahun yang lalu, ayah. Ada apakah?"

"Hm, apakah kau tak meminta pertolongannya untuk masalah anak tirimu itu?'"

"Sudah, tapi... ah, Kim-twako mendapat musibah, ayah. Isterinya tewas dan anaknya diculik. Kami tak mau mengganggu...!"

"Isterinya tewas? Anaknya diculik? Ah, kenapa aku tak tahu?" dan ketika Cao Cun menceritakan secara singkat apa yang sudah diketahui Wan Hoa dan berkata bahwa maksud itu pun sudah dilakukan tetapi gagal akhirnya bupati ini memejamkan mata menarik napas.

"Sudahlah.... sudahlah... aku menyesal kau tak berjodoh dengan pemuda itu, Cao Cun. Kalau Kim-mou-eng ada bersamamu tentu semuanya ini tak akan terjadi. Sudahlah, aku pulang!"

Bupati itu tak mau bicara lagi, pedih dan terluka perasaannya karena hal itu menggores kenangan lama. Sejak dulu dia sudah menginginkan puterinya ini berjodoh dengan Pendekar Rambut Emas, menggigil namun Mao-taijin menangkapnya ketika gagal dan kini kedukaan bertubi-tubi menghantam mereka semua. Bupati itu membalik dan sudah menaiki keretanya. Dan ketika Cao Cun terisak dan orang tuanya melambai di dalam kereta akhirnya kereta itu berderap dan pergilah bupati itu bersama isterinya, hilang di tikungan.

"Apa yang kau pikir?" Wan Hoa tiba-tiba menggugah lamunannya. "Ayo masuk, Cao Cun. ltuchı minta kita temani!"

Cao Cun sadar. Hari itu kedukaan dan kegembiraan sedikit bercampur aduk. Kedatangan ayahnya membuat Cao Cun gembira tapi sekaligus prihatin. Dia melihat keadaan ayahnya yang kurus. Lupa sudah pada urusannya dengan anak ini. Tapi ketika beberapa hari kemudian Cimochu datang dan gelak serta tawa gembira mengiringi pemuda tinggi besar itu maka Cao Cun terkesima mendengar suara lantang pemuda ini.

"Aku berhasil. Lihat, kaisar menyerahkan dirimu padaku!"

Cimochu mengambil sebuah surat, memberikannya pada Cao Cun dan di situ kaisar Tiongkok menyatakan secara resmi bahwa Cao Cun boleh diambil pemuda tinggı besar itu. Cao Cun dilimpahkan pada raja pengganti Hu Han Chiang dan wanita ini mendelong. Meskipun sudah dıduga tapi tak urung Cao Cun terpukul roboh maka Cao Cun tak dapat bicara apa-apa lagi karena benar benar tersudut.

"Bagaimana, kau menerima, ibu?"

Cao Cun menangis. Dalam keadaan seperti itu, apalagi yang dapat dibuat? Segala daya dan kemampuan telah dikerahkan, begitu juga akal. Maka begitu usaha terakhir gagal dan Cao Cun teringat ayah ibunya tıba-tiba wanita ini mengangguk dan menerima, tersedu-sedu.

"Tapi kau menangis, apakah tak suka?"

"Tidak... tidak...!" Cao Cun mendengar ancaman dalam kata-kata itu. "Aku bukan menangis karena tak suka, Cimochu. Tetapi... tetapi karena haru dan kagum akan kegigihanmu!" Cao Cun berbohong, tentu saja tak berterus terang.

Dan Cimochu tersenyum. Dia sudah lama mengidamkan ibunya ini, ibu tiri, meskipun mereka hampir sebaya dan tak berbeda jauh usianya. Tapi merasa Cao Cun mengeluarkan suara meragukan dan dia mengerutkan kening tiba-tiba pemuda yang sudah mendekap dan memeluk tubuh yang tinggi semampai itu berkata, langsung menyebut nama, tidak lagi "ibu".

"Cao Cun, kau demikian hambar mengeluarkan kata-katamu tadi. Dapatkah kau buktikan bahwa lahir batin kau mau menerima aku?"

Cao Cun tersentak. "Maksudmu?"

"Tunjukkan dan buktikan padaku bahwa kau membalas cintaku, Cuo Cun. Cium dan beri aku bukti kasihmu!”

Cao Cun mengeluh. Dalam saat-saat begitu sungguh berat melaksanakan permintaan ini. Orang yang lagi sedih tak mungkin dapat diajak bercinta. Nafsu menurun drastis dan nyaris Cao Cun gagal. Tapi teringat ancaman yang bakal datang dan juga teringat betapa ayah ibunya sampai berlutut di depan kakinya agar dia berusaha sekuat mungkin mengendalikan bangsa ini dan menundukkan rajanya akhirnya Cao Cun menindas semua kedukaannya dan tersenyum.

Mula-mula senyum itu pahit, mengambang dan hambar. Tapi begitu Cao Cun sanggup memerintah hatinya sendiri dan senyum itu berkembang dalam senyum yang luar biasa manisnya tiba-tiba Cao Cun menengadah dan mencium mulut Cimochu, menghilangkan semua kesan dan pıkiran bahwa Cimochu ini adalah anak mendiang suaminya.

"Cimochu, aku rela menerima dan membalas cintamu. Lihatlah, aku menciummu!"

Cimochu hampir tertawa bergelak. Ciuman yang diberikan Cao Cun memang sungguh-sungguh. Cao Cun melakukannya dengan segenap tenaga dan kekuatan. Cao Cun mengusir dan membuang jauh jauh segala pikiran tentang anak tirinya itu. Dan karena dia sadar bahwa nasibnya mengharuskannya begitu dan mau tak mau dia harus menerima pemuda ini, maka dibalik semua kepedihan dan penderitaan batinnya Cao Cun Mencium pemuda itu lama.

Dan akhirnya tersedak dan Cimochu terbahak. Nafsu seketika membakar pemuda ini dan Cimochu tahu-tahu menyambar ibunya... ah, kekasihnya itu, memeluknya dan mendekapnya serta mau menanggalkan pakaian Cao Cun. Kegembiraan dan nafsu sekaligus membuat pemuda ini lupa diri. Tapi ketika Cimochu mendengus dengus dan Cao Cun maklum tak mungkin dia dapat melepaskan diri lagi tiba-tiba dia mendorong pemuda itu dan berkata, tegas dan menguasai keadaan.

"Cimochu, nanti dulu. Kau harus berjanji dan bersumpah seperti ayahmu!"

"Ah, sumpah apalagi? Janji apa yang harus kuberikan?" Cimochu menggigil, berseri-seri namun kemerah-merahan mukanya.

"Kau harus berjanji bahwa kau harus selalu baik kepadaku. Cimochu, tak boleh bersikap kasar dan selamanya lembut kepadaku.”

"Kau... Tentu saja!" Cimochu tertawa bergelak, memotong. "Aku akan selalu baik dan lembut kepadamu, Cao Cun. Aku akan melebihi ayahku dalam hal mencintaimu. Lihat...!" pemuda itu menubruk, menyambar dan menciumi Cao Cun bertubi-tubi. Dia sudah diamuk nafsu dan kegembiraannya melihat Cao Cun membalas cintanya. lni sebuah kemenangan baginya. Tapi ketika dia membabi-buta menciumi Cao Cun tiba-tiba Cao Cun melepaskan dirinya kembali dan mendorong.

"Cimochu, tunggu dulu. Kata-kataku belum habis. Dengarlah...!" dan Cao Cun yang buru buru berkelit dan mencegah pemuda itu memeluknya sudah berkata lagi, "Kau harus selalu baik terhadap kaisar pula, Cimochu. Bangsamu tak boleh menyerang bangsaku dan harus selalu menjalin hubungan baik. Kalau ini tak dapat kau lakukan dan melanggarnya maka aku akan menolak dan tak mau melayanimu!"

"Ha ha, itu sudah kulakukan, Cao Cun. Bukankah kami semua baik dan tunduk pada kaisar di kota raja? Bukankah kami tak pernah menyerang atau menyakiti bangsa Han? Aduh, demi kau segalanya rela kulakukan, Cao Cun. Dan sumpah disaksikan Langit dan bumi aku tunduk pada kata-katamu asal kau membalas dan melayani cintaku!"

"Baik, sumpahmu didengar langit dan Bumi, Cimochu. Kalau kau bohong..."

"Aku akan mati dibunuh anakku sendiri!" Cimochu bersumpah, sumpah yang mengerikan dan Cao Cun tertegun.

Hebat sumpah pemuda itu. Cao Cun tak terasa bergidik. Namun karena Cimochu telah ditundukkannya dan pemuda itu bersungguh-sungguh maka malam itu Cao Cun menyerah, dalam arti kata mau membalas cinta pemuda itu namun belum mau disentuh. Untuk yang satu ini Сaо Cun minta agar pernikahan mereka diresmikan dulu, Cao Cun bukan sebangsa gundik atau wanita murahan. Dan ketika Cao Cun menolak yang satu itu dan Cimochu tertegun maka wanita ini menunjukkan harga dirinya.

"Aku bukan wanita murahan, Cimochu. Kalau kau menghendaki tubuh dan cintaku maka resmikanlah dahulu pernikahan kita. Aku tak menolak. Tapi jangan sekarang seperti kuda di hutan."

Cimochu semburat. Sungguh tak dia sangka bahwa calon isterinya ini demikian teguh menjaga harga diri. Tapi ingat bahwa Cao Can bukan wanita sembarangan dan kekasihnya itu adalah bekas calon selir kaisar yang tidak jadi maka Cimochu justeru menaruh hormat dan kagum. "Baiklah, aku tak akan menyentuhmu, Cao Cun. Tapi berjanjilah bahwa setelah itu kau pun akan menjadi isteri yang baik!"

"Tentu, aku berjanji, Cimochu. Dan sekali aku menjadi milikmu maka raga dan jiwa ini pun sepenuhnya kuberikan padamu!"

Cimochu girang. Kekecewaannya hari itu terobati, Cao Cun tak boleh segera disentuh meskipun dia kuasa. Dan karena tak ingin melukai perasaan wanita itu dan dia pun juga sudah berjanji untuk bersikap lembut dan mesra pada kekasihnya maka raja muda ini mengatur hari pernikahannya dan mengumumkan peresmian rencana itu. Cimochu bahkan terburu-buru khawatir Cao Cun menarik janji.

Maklumlah, cukup sukar bagınya menundukkan wanita ini. Cimochu sekarang memiliki pandangan dan hormat yang tinggi pada kekasihnya itu, terbuktilah sekarang bahwa wanita Han memang tidak sama dengan wanita dari suku bangsanya. Wanita Han memiliki peradaban tinggi dan sopan santun yang besar. Semuanya itu mengikat wanita Han sebagai wanita baik baik.

Dan ketika hari pernikahan ditentukan dan Cao Cun menyerah pada nasib maka bekas ibu tiri ini dikawin anak tirinya sendiri. Cimochu menepatı janji. Sebelum hari "H" itu tak mau dia menyentuh Cao Cun. Dan ketika hari itu tiba dan Cao Cu juga menepati janjinya maka malam itu Cimochu dibuat mabok.

Cao Cun memang pandai. Dulu sebagai calon selir kaisar dia telah diajari permainan permainan cinta, maklum, istana memang mengharuskan itu bagi setiap wanita çalon selir. Dan ketika Cao Cun telah menjadi isteri dan pengetahuannya bertambah dan meningkat tentu saja wanita ini menjadi matang dan tahu kelemahan kelemahan lelaki.

Malam pertama itu Cimochu benar-benar di beri hidangan lezat oleh wanita ini. Cao Cun mulai dapat menerima keadaan. Betapapun dia mempunyai "missi" di tempat bangsa liar itu. Dan ketika hari demi hari mereka lewati bersama dan Cimochu ternyata benar mencintai wanita ini maka sedikit tetapi pasti Cao Cun mencintai pula suaminya yang baru dan melayani dengan baik. Keadaan memaksa wanita ini terjebak dalam peristiwa yang aneh. Sungguh mimpi pun tak pernah dia bayangkan bahwa suatu ketika dia harus menjadi isteri dari anak tirinya sendiri.

Dunia benar-benar dapat membuat jungkir balik nasib seseorang. Dan ketika hari demi hari dilalui mereka berdua dan Cimochu mabok dan semakin tergila-gila pada isterinya ini maka setahun kemudian lahirlah seorang anak dari perkawinan yang luar biasa. Cao Cun melahirkan seorang anak perempuan. Ituchi, anaknya yang pertama, sukar di sebut apa dalam hubungannya dengan anak perempuan yang baru lahir itu. Paman ataukah kakak? Ah, entahlah. Bingung kita menyebutnya.

Dan ketika semuanya itu dilalui Cao Cun dan Cimochu serta suku bangsanya semakin hormat pada wanita yang luar biasa ini maka beberapa tahun kemudian lahir bayi seorang anak perempuan. Cao Cun sedikit kecewa. Kenapa tidak laki-laki? Kenapa perempuan? Menurut pendapatnya, mungkin diukur dengan dirinya sendiri. Maka lahir perempuan adalah “sial”. Perempuan selalu harus tunduk pada laki-laki. Tak pernah perempuan dapat di atas laki-laki.

Tapi karena nasib menentukan begitu dan sejarah juga mengatakan demikian maka lama-lama untuk inipun Cao Cun dapat menerima keadaannya. Cao Cun mulai pasrah. Tekanan dan Himpitan batin mulai membuat wanita ini gampang menyesuaikan diri. Wan Hoa diam-diam heran melihat sahabatnya yang kini menjadi penyabar dan begitu pasrah.

Cao Cun mulai acuh pada nasib dan membiarkan diri dimana dihanyutkan . Maklum ah setiap berontak dan ingin merobah nasib selalu saja dia gagal. Berkali kali dia membuktikan itu. Dan ketika tahun demi tahun Cao Cun merasakan hidup barunya dengan sang suami dan Cimochu ternyata mencintai dirinya lebih dari ayahnya dulu maka Cao Cun merasa terhibur dan agak mendingan.

Tapi celaka! Nasib lagi-lagi mempermainkanya dengan kejam. Ketika sepuluh tahu Cimochu menjadi raja muda mendadak pemuda itu wafat. Kejadian ini agak aneh. Tak ada tanda tanda sebelumnya. Orang menduga mungkin Cimochu diracun, tapi karena tak ada bukti dan kejadian itu juga begitu mendadak, maka untuk kedua kalinya Cao Cun menjadi janda. Tepat di usianya ketiga puluh tiga. Sungguh menyedihkan. Dan karena Cao Cun kembali mendapat pukulan berat dan kali ini kematian suaminya di rasa agak misterius maka tiga bulan penuh Cao Cun berkabung dan hidup di kamar gelap.

* * * * * * * *

"Hei, mana pesanan kami? Kenapa sejak tadi kami dıbiarkan begini?"

"Ah, maaf... maaf! Pesanan burung Hong goreng sedang dicari, nona. Tapi ternyata habis dan kami tak dapat memenuhi, bagaimana kalau diganti yang lain saja?”

Begitu percakapan ini terdengar di sebuah rumah makan. Siang itu seorang gadis dan dua orang pemuda duduk menanti makanan, mereka hanya diberi minuman saja. Dan ketika si gadis berseru mendongkol dan pelayan datang tergopoh-gopoh maka rumah makan meminta maaf karena sebuah pesanan yang diminta tak dapat dilayani.

"Kalau begitu kenapa tidak bilang sejak tadi. Huh, kami sedang terburu-buru. pelayan. Siapkan yang lain dan coret saja daftar makanan ini kalau memang tak ada!"

"Baik...baik, nona. Bagaimana kalau kaki biruang?"

"Kaki biruang?"

"Ya, sop kaki biruang, nona. Asli dan bukan tiruan. Kami dapat menyajikannya kalau nona suka. Bagaimana?"

"Hm, terimalah," pemuda di sebelah kanan yang gagah dan pendiam tiba,tiba mendahului. "Kau tak usah marah-marah, sumoi, biarlah kita nikmati yang lain dan cepat pergi.”

"Baiklah," si gadis akhirnya setuju. "Kau bawa kemari kaki biruang itu, pelayan. Tapi kalau menipu dan mengada-ada tentu kau ku hajar!"

Pelayan yang ketakutan melihat pedang di balık punggung si nona akhirnya merunduk dan buru-buru memutar tubuhnya, menyiapkan apa yang diminta dan tak lama kemudian datang dengan penampan besar berisi sop kaki biruang. Baunya yang sedap dan kepulan uapnya yang harum tiba-tiba saja membuat tiga tamunya berkeruyuk, mereka memang lapar. Dan ketika masakan itu diletakkan dan minuman serta arak ditambah lagi maka tiga muda-mudi ini menyambar sumpit dan sudah menıkmati pesanan mereka.

Tapi baru setengah yang dihabiskan tiba-tiba muncul dua tamu baru, dua laki-laki tinggi besar yang langsung mengambil tempat duduk tak jauh dari mereka, melırik dan sejenak tertegun. Memesan hidangan dan berbisik-bisik. Dan ketika dua tamu itu baru mereguk minumannya beberapa kecap tiba-tiba berturut-turut muncul yang lain dan mulailah berdatangan orang-orang aneh yang beraneka ragam. Semuanya memasuki rumah makan itu dan bisik-bisik terdengar di sana-sini.

Si gadis dan dua pemuda saling pandang. Itulah orang‐orang karg-ouw dengan sikap dan pakaian mereka yang aneh-aneh. Ada yang berpakaian tambal tambalan tapi ada pula yang bagus, bahkan terakhir masuk dua orang wanita muda yang memakai wangi-wangian begitu keras, merangsang dan menusuk hidung. Dan ketika pelayan menjadi sibuk namun anehnya tak ada suara yang keras terdengar di situ karena semua rata-rata berbisik-bisik maka gadis dan dua pemuda pertama ini mendengar percakapan lirih tentang sesuatu.

"Kita harus mendapatkan benda itu. Empat hari lagi kakek dewa itu akan memberikan cerminnya kepada kita."

"Ya, dan kita harus mendahului dari yang lain, ji-te. Kalau perlu sebelum yang lain muncul kita harus sudah ada di bukit itu!"

"Dan kita bujuk kakek itu. Siapa tahu kita mendapat rejeki dan beruntung."

"Yakinkah kau?"

“Kita harus yakin, twa-teng. Jangan pesimis dalam mengharapkan sesuatu!"

“Baiklah, kita cepat isi perut, ji-te, dan selekasnya ke bukit Malaikat menemui Sian-su!”

Percakapan terhenti. Sampai disini rupanya laki-laki tinggi besar yang duduk tak jauh dari tiga muda mudi ini merasa didengarkan, tiba-tiba mereka tak bicara lagi dan meneruskan makannya. Dan ketika dua pemuda itu saling memberi isyarat dan si gadis mengangguk, mendadak mereka menoleh ke kiri dan telinga pun tegak seperti kelinci mendengar jejak.

“Perhatikan, di sebelah kiri orang juga berbisik-bisik akan sesuatu. Agaknya di luar kota ini akan terjadi apa apa!”

“Ya, dan rupanya semua menuju ke satu titik, suheng. Mereka menyebut-nyebut tentang Sian-su dan cermin.”

“Ssst, dengarkan. Pasang telinga!” pemuda pertama, yang gagah dan pendiam tiba-tiba menggamit. Temannya dan si gadis tiba-tiba mengangguk, mereka saling berkedip. Dan ketika telinga dipasang dan mereka mendengar bisik-bisik tentang “Sian-su” dan “cermin” maka tiga muda mudi itu tertarik dan saling pandang.

“Bagaimana kau, Un Nio? Mungkinkah Sian-su memberikan pusakanya kepada kita?”

“Entahlah, tapi kita perlu coba-coba, cici. Katanya empat hari lagi kakek dewa berada di Bukit Malaikat dan memberikan barangnya kepada siapa yang beruntung."

"Dan kita harus menjadi yang beruntung itu. Kakek dewa itu manusia luar biasa yang ilmunya sudah tak dapat diukur."

"Ya, tapi di sini banyak yang lain, cici. Lihat pendatang-pendatang baru yang saling berkelompok itu. Mereka mencurigakan dan salıng pandang pada yang lain."

“Benar, tapi tak perlu takut, Un Nio. Kita bukan wanita lemah yang dapat dipermainkan sesuka hati!"

"Sst, kita didengarkan…!” dan percakapan di sini yang kembali berhenti dan tak diteruskan akhirnya membuat dua pemuda dan gadis pertama melengos, nyaris kepergok dan mereka pura-pura meneruskan makan. Kiranya dua wanita cantik yang parfumnya menyengat itu tahu kalau diperhatikan, pembicaraan mereka dicuri dengar. Dan ketıka mereka melotot dan dua pemuda itu dipandang marah maka dua pemuda yang bersangkutan merunduk dan cepat mengeluarkan sapu tangan mereka, pura-pura membersihkan mulut.

"Tempat ini panas, kita harus keluar," begitu pemuda gagah yang pertama bicara. Dia agak tak enak karena dipelototi dua wanita di sebelah itu, mengibaskan baju dan bangkit berdiri. Kebetulan makan minum mereka telah selesai. Maka begitu memanggil pelayan dan membayar rekening segera pemuda yang agaknya menjadi pemimpinnya ini mengajak dua temannya keluar.

"Sumoi, sute, mari..."

Dua temannya mengangguk. Mereka sebenarnya mendongkol pada wanita cantik yang melototi saudara mereka itu, tapi karena saudara mereka mengajak keluar dan tindakan ini jelas menghindari ribut-ribut maka mereka pun bangkit dan mengikuti. Tapi, baru sampai di pintu. Restoran mendadak mereka berpapasan dengan pendatang pendatang baru yang jumlahnya belasan orang, dipimpin seorang tosu dan kakek pengemis serta seorang wanita cantik berbaju kembang.

"Eh, bukankah ini Hu-siocia (nona Hu)?"

Tiga muda mudi itu tertegun. Mereka sudah melihat tosu dan kakek pengemis serta wanita berbaju kembang itu berhenti. Mereka tak dapat keluar karena pintu rumah makan penuh orang-orang ini, tak dapat maju. Dan ketika mereka terbelalak dan mengerutkan kening mengingat ingat maka tosu itu terbahak dan si kakek pengemis pun mendengus.

"Ha-ha, kami Koang-san Tojin dan Pek-tung Lokai, nona. Tentu kau ingat dan tak mungkin lupa!"

"Ya, dan aku Hwa-i-paicu, bocah sombong. Mana ayahmu yang pongah itu? Betulkah kakak mu mampus dibunuh Siauw-bin-kwi (Setan Muka Ketawa)?”

Muda-mudi ini terkejut. Segera mereka ingat siapa orang-orang ini, kiranya Koang-san Tojin dan Pek-tung Lokai, juga Hwa-i-paicu (ketua Perkumpulan Baju Kembang) yang dulu pernah menyatroni mereka. Hu-siocia yang dısebut-sebut itu merah mukanya. Dan belum dua temannya menjawab ia sudah mendahului, ketus dan dingin.

"Bagus, aku memang Hu Swat Lian. Hwa-i-cu. Ada apa kalian menghadang dan tidak memberi jalan? Cari setorikah?"

“Ha-ha, tetap angkuh!" si tosu tinggi kurus tertawa marah. "Kau sombong dan jumawa, nona. Kami tidak bermaksud menghadang namun kebetulan saja bertemu kalian. Hm, ini dua suhengmu Hauw Kam dan Gwan Beng, bukan? Kalian mau pergi? Kami terlanjur masuk, nona. Silahkan cari lain pintu dan lewat belakang saja!"

Swat Lian, gadis yang diejek itu marah. Dia membentak dan mau menggerakkan tangannya, tapi belum dia bergerak tiba-tiba lengannya ditangkap pemuda pertama yang gagah dan pendiam itu,

"Sumoi, sabar. Biar aku bıcara," dan membungkuk di depan tosu dan dua lainnya pemuda ini memberi hormat, sikapnya jelas menahan permusuhan. "Koang-san Tojin, kau tentu tak ingin membuat ribut, bukan? Bagaimana kalau kalian memberı jalan dan membiarkan kami pergı? Kami ada urusan sendiri, totiang. Harap kalian memaklumi dan tidak menyulitkan semua."

"Hm, kau Gwan Beng?"

"Benar, totiang. Itu aku yang rendah."

"Mana gurumu?"

"Tak ada di sini."

"Kalian mau lewat?"

"Mohon kebaikan totiang."

"Ha-ha!" tosu itu tertawa bergelak. "Boleh, bocah. Tapi minta dulu ijin dua temanku. Barangkali mereka akan menuntut sesuatu dari hutang keluarga Hu!"

"Hm," Pek-tung Lo-kai, kakek pengemis di sebelah menggeram. "Kalian boleh lewat asal berlutut, bocah. Nyatakan ampun tiga kali dan lewati selangkangan kami!'"

"Keparat!" gadis di depan melengking. "Kalian kelewat menghina, Pek-tung Lo-kai. Coba lihat siapa yang berlutut dan harus minta ampun... wut-wirr!" gadis itu berkelebat, tangannya bergerak dan cepat serta luar biasa dia telah melakukan tamparan tiga kali. Pek-tung Lo-kai terkejut karena dia tak sempat menghindar. Dan ketika dia menangkis namun terpelanting dan begitu keras kakek pengemis ini mencelat dan terguling,guling disambar pukulan itu.

“Plek-plak-plakk!"

Semua orang terkejut. Rombongan di pintu rumah makan geger, Pek-tung Lokai melompat bangun dan kakek itu gusar. Dalam gebrak cepat hanya sejurus itu dia telah dibuat tunggang langgang!! Bukan main marahnya kakek ini. Dan ketika dia menggeram dan memaki lawan maka orang melihat baju pundak kakek ini hancur oleh tamparan jari-jari yang halus itu.

"Keparat, kau semakin liar, Hu-siocia. Aku tak terima dan akan membalas!" namun belum kakek itu menerjang tiba-tiba Koang-si-Tojin temanya mencegah,

"Lokai, sabar. Tempat ini sempit. Bagaimana kalau di luar saja?"

"Boleh, aku akan membalas kekalahanku pada kakaknya dulu, Tojin. Dan kau pun dapat menghadapi yang lain sebagai balas dendam kita!”

"Nanti dulu!" Gwan Beng. Pemuda gagah yang pendiam itu berseru lantang. "Apakah kalian tak mau bersikap baik-baik, Lo-kai? Mestikah kita bermusuhan dan membuat ribut? Ingat di sini bukan untuk mencari setori, Lo-kai. Kami bersedia minta maaf kalau kami dirasa mengganggu!”

"Hm, tak perlu, suheng. Nanti kita disangka takut. Biarlah kita hadapi mereka dan tak perlu minta maaf, toh kita tak melakukan kesalahan!"

Swat Lian, gadis yang keras hati dan galak itu membentak. Betapapun dia merasa gusar dan marah oleh sikap orang-orang ini, mereka menghadang dan tetap berdiri di pintu, berarti mereka tak memberikan jalan dan harus diterjang. Tapi Hauw Kam pemuda satunya yang juga berwatak lembut dan suka mengalah ternyata menggeleng.

"Tıdak, sabar dulu, sumoi. Biar suheng yang bicara," dan menahan sumoinya agar tidak mengamuk pemuda ini berdiri waspada.

"Hm, apkah kau takut?” Hwa-i paicu, ketua perkumpulan Baju Kembang itu menjengek. "Kalau takut boleh minta ampun, bocah. Apa yang dikata Lo-kai benar dan kalian harus berlutut dan jalan di selangkangan kami"

"Maaf," Gwan Beng merah mukanya. "Hal itu tak dapat kami lakukan, paicu. Kami orang-orang gagah yang tak suka dihina. Kalau kalian sakit hatı oleh peristiwa dulu maka seharusnya hal itu tak diperpanjang lagi karena sute kami Beng An telah tiada. Kami tak pernah bermusuhan denganmu, harap tidak mencari persoalan dan biarkan kami pergi!"

"Heh!” Pek-tung Lo-kai membentak. "Sumoimu telah lancang memukul aku, bocah. Kalau begitu kalian saja yang pergi tapi biarkan sumoimu itu menghadapi kami!"

"ltu pun tak bisa," Gwan Beng masih bersabar. "Sumoi kami adalah tanggung jawab kami, Lo-kai. Mohon perbuatannya kalian maklumi dan sudahilah ketegangan ini. Kami mau pergi.”

"Kalau ingin pergi pergilah, merunduk dan lewati selangKangan kami!"

Gwan Beng merah mukanya. Kalau orang sudah mendesak dan tetap bersikap seperti itu sungguh kesabarannya lama-lama habis. Orang didalam restoran mulai bangkit berdiri dan menonton, marah dia. Dan ketika suitan serta teriakan terdengar di sana sini maka pemuda ini memandang adik seperguruannya, Hauw Kam, "Bagaimana, sute, kita lewati mereka?"

"Bisa, kita keluar, suheng. Mari!" dan Hauw Kam yang melejit serta melompat tinggi tiba-tiba membentak dan sudah berjungkir balik diatas kepala orang, cepat dan luar biasa dan tahu-tahu pemuda itu sudah ada di luar. Kepala belasan orang tadi dilewatinya dengan mudah, gegerlah yang dilewati. Dan ketika dua yang lain mengikuti jejak Hauw Kam dan berturut-turut bagai siluman atau iblis saja Gwan Beng dan sumoinya berjungkir balik di atas kepala orang-orang itu mereka bertiga sudah berada di luar rumah makan dan selamat turun dı sana, tanpa halangan.

"Ehh, kita dikurangajari!" Pek-tung Lo-kai, pengemis tua yang berangasan itu memekık. Dia tadi menyerang namun hantamannya luput mengenai angin kosong. Gwan Beng dan sumoinya itu telah lolos, sungguh mudah perbuatan mereka itu. Dan karena perbuatan ini menampar muka mereka dan sebagai orang-orang ternama mereka, merasa dipermalukan maka kakek ini sudah menerjang dan menggerakkan tongkatnya.

"Bocah siluman. kau tak tahu adat... wuuttt!" tongkat menyambar, cepat dan kuat kakek ini menyerang Swat Lian, gadis itu menjengek dan tidak mengelak. Dan ketika tongkat hampir mengenai kepalanya dan ringan namun cepat dia menggerakkan tangan kanannya tiba-tiba töngkat ditangkis.

"Plakk!" Pek-tung Lo-kai terbanting! Sungguh kejadian ini mengejutkan, kakek pengemis itu sampai berteriak dan kaget. Untuk kedua kalinya dalam satu gebrakan saja dia dıcekoki lawan, tongkat yang bertemu lengan yang halus itu mental dan dia terbanting. Dan ketika kakek itu membentak dan marah melompat bangun maka dua temannya, Hwa i-pangcu dan Koang-san Tojin terbelalak.

“Lo-kai, hati-hati. Gadis itu rupanya maju!"

Kakek ini menggereng. Dia sudah mengangguk dan menerjang Iagi, tongkat menyambar dan menderu di atas kepala. Tapi Swat Lian yang lincah mengelak ke samping dan menggerakkan lengannya tahu-tahu menampar dari samping, membuat tongkat lawannya terpental dan lagi-lagi kakek pengemis itu meraung. Pek-tung Lo-kai marah. Dan ketika dia membentak dan marah menyerang lagi maka tongkat menyambar-nyambar dan sudah menghujani tubuh lawan dengan cepat, naik turun bagai naga menari namun lawannya yang enteng selalu melentit atau menangkis, setiap menangkis tentu tongkat terpental kian keras, satu kali bahkan menghantam jidat kakek itu sendiri.

Dan ketika Pek-tung Lo kai memekik dan berkelebatan dengan tongkatnya maka pertandingan di depan rumah makan itu akhirnya menjadi tontonan orang banyak dan mereka kagum akan kepandaian Swat Lian yang luar biasa, tetap bertangan kosong menghadapi lawan.

"Sumoi, jangan emosi. Tahan kemarahan dan jangan bunuh kakek itu!"

Seruan itu, yang dikeluarkan Gwan Beng membuat Pek-tung Lo-kai mendelik. Kata-kata itu seolah terang-terangan menyatakan dia kalah, si gadis memang lihai tapi dia masih kuat menyerang. Pengemis ini menggereng dan mukanya merah padam, nyaris hitam saking marahnya. Tapi karena lawan berkelit lincah dan tongkat yang di tangkis membuat dia tergetar dan lama-lama pedas sendiri akhirnya kakek ini gusar meneriaki dua temannya, yang menonton,

"Tojin, dan kau, pangcu. Kenapa mendelong saja dan tidak mengerjai dua yang lain itu? Jangan menonton, Tojin. Serang mereka itu dan bunuh!"

Koan-san Tojin dan Hwa-i-paicu terkejut. Mereka sadar melihat kemarahan teman mereka, Pek-tung Lo-kai tersinggung dan marah kepada mereka, memang tak seharusnya mereka membiarkan kawan bertempur sendiri. Maka membentak dan melolos pedangnya tiba-tiba Hwa-i-paicu menerjang dan sudah menusuk Hauw Kam.

"Baik, kami akan membunuh mereka ini, Lokai... Lihat kami tidak tinggal diam... singg!“

Dan pedang yang menyambar menuju tenggorokan Hauw Kam tiba-tiba menusuk dan mendekati kulit leher pemuda ini, di egos dan Hauw Kam mengerutkan kening. Untuk serangan yang tiba-tiba itu dia tidak terkejut, sejak tadi sudah waspada dan siap diserang. Tapi ketika pedang mengejar lagi dan cepat serta bertubi-tubi, lawannya menikam dan menusuk akhirnya Hauw Kam berloncatan dan menangkis.

“Pangcu, kau sombong. Kau tak dapat membunuh kami...cringg!" pedang disentil, kuku jari pemuda itu bertemu pedang yang tajam dan wanita cantik inı terkejut.

Penonton juga terkejut dan kagum. Namun karena Hauw Kam bertangan kosong dan pemuda itu tidak memiliki senjata maka ketua Hwa-i Kai-pang ini melengking tinggi dan menerjang lagi, berkelebat dan lenyap dalam serangan serangannya yang ganas. Cepat dan kuat wanita cantik itu menyerang lawan, tapi karena Hauw Kam bukan pemuda sembarangan dan dia selalu menyentil pedang dengan kuku jarinya maka selama itu serangan lawan terpental dan pedang pun sering berdenting nyaring, membuat ketua Hwa-i Kai-pang ini marah dan menyerang lagi. Bagai harimau kelaparan wanita itu menusuk dan menikam. Dan ketika Hauw Kam harus berloncatan lebih cepat dan kini dia mulai menerima bacokan atau tikaman maka lawan menjadi terkejut ketika dengan tangan telanjang pemuda itu mampu menyambut pedangnya. tidak terluka. Kebal!

"Ah, kau sombong, bocah. Coba ku lihat bagaimana kalau mata atau lubang telingmu kutusuk!" Ketua Hwa-i Kai-pang ini memekik, kaget. Tapi juga kagum disamping naik darah. Apa yang ditunjukkan lawannya ini seperti ejekan baginya. Pedangnya seolah dianggap benda tumpul saja dimana dia tak dapat melukai lawan. Dan karena semuanya itu membuat ketua Baju Kembang ini gusar dan dia membentak serta mengarahkan tusukan atau tikamannya ke mata atau lubang telinga maka untuk ini Hauw Kam tak berani menerima dan terpaksa menangkis.

"Cring-trangg....!"

Penonton mendapat suguhan enak. Hauw Kam melayani lawan dengan mudah, mata dan telinganya adalah bagian yang tak dapat dilindungi sinkang untuk itu dia terpaksa menangkis dan sentilan kuku jarinya membuat ketua Hwa-i Kai-pang itu memekik. Dan ketika Hauw Kam berloncatan dan semakin lawan mengincar mata atau telinganya untuk ditusuk dan semakin sering pula Hauw Kam menyentil pedang lawan akhirnya ketua Baju Kembang ini hampir menangis karena serangan-serangannya selalu kandas.

"Keparat, jahanam! Jangan menangkis saja, bocah. Ayo balas dan robohkan aku!"

Hauw Kam menggeleng. "Tidak, aku ingin kau roboh sendiri, pangcu. Biarlah kau lelah dan kehabisan tenaga.”

"Keparat, kalau begitu kau akan kubunuh. Aku akan mempergunakan segala cara!" dan Hwa-i-pangcu yang melengking dengan suara tinggi tiba-tiba memanggil pembantunya untuk membantu, bersuit dan lima wanita baju kembang meloncat maju. Mereka itu mendengar aba-aba si ketua, bahasa isyarat yang tak diketahui orang luar. Suitan tadi memanggil mereka. Dan ketika lima wanita itu membentak dan maju membantu ketua Hwa-i Kai-pang ini maka Hauw Kam tiba-tiba dikeroyok dan sudah menghadapi enam lawan sekaligus.

"Hm, ini anak buahmu?" Hauw Kam tak gentar. "Bagus, boleh mereka maju semua, pangcu. Tapi aku akan membiarkan kalian semua roboh tanpa kubalas!"

Benar saja, untuk ini Hauw Kam hanya mengelak dan berkelebatan cepat. Dengan ringan namun cekatan dia menyentil pedang lawannya, semuanya berdenting dan terpental. Lima wanita baju kembang tu terpekik ketika pedang yang mereka cekal tergetar, telapak terasa pedas dan sakit. Hebat pemuda itu. Namun karena sang ketua membentak marah dan menyuruh mereka mempercepat gerakan akhirnya Hauw Kam diserang dan dikurung sambaran pedang dari enam penjuru.

“Ha-ha, adikmu hebat, bocah. Sekarang pinto akan coba-coba denganmu...wuut!”

Koan-san Tojin tiba-tiba membentak, tubuh berkelebat dan dia pun tak tinggal diam mengikuti teman-temannya. Dia menyerang Gwan Beng, trisula yang ada di tangannya menyambar leher pemuda itu, nyaris merupakan sinar putih yang tak kelihatan. Tapi Gwan Beng yang tenang mengelak dan mundur selangkah sudah membuat senjata lawan lewat di sisinya dan mengenai angin kosong.

"Koang-san Tojin, kita sebenarnya tak bermusuhan. Baiklah, kuikuti jejak suteku dan aku tak akan membalas semua serangan-seranganmu!"

"Hah, kau begitu sombong? Baik, awas bocah, pinto menyerang dan jangan salahkan kalau kau roboh!" tosu ini marah, tersinggung dan merasa direndahkan dan untuk kedua kali dia menubruk, trisula di tangannya membalik dan sudah menyerang lagi. Tapi ketika Gwan Beng mengelak dan untuk kedua kalinya pula senjata itu meluncur lewat tanpa hasil maka tosu ini menggeram dan membanting kaki.

"Bocah, kau lihai. Tapi awas, kali ini aku akan mengurungmu!"

Benar saja, trisula di tangan tosu itu tiba-tiba mendengung berputar dan sudah bertubi-tubi menusuk pemuda ini. Bagai payung lebar senjata ditangan tosu itu berobah menjadi cahaya putih yang berkelebatan di sekitar lawannya. Gwan Beng tak dapat mengelak kecuali menangkis, jalan keluarnya dikurung. Dan ketika untuk satu saat trisula menusuk begitu cepat dari delapan penjuru arah angin sudah di kurung sinar putih keperakan, akhirnya Gwan Beng menggerakkan kuku jarinya dan sama seperti Hauw Kam dia menangkis, tentu saja mengerahkan sinkang.

“Cringg!” Trisula mental. Koang-san Tojin kaget dan berseru marah, menyerang dan mengurung lagi namun si pemuda menyentil. Untuk kedua kali terdengir suara "cring" dan senjata di tangan tosu itu pun mental. Koang-san Tojin terkejut karena dari sentilan itu dia merasakan tenaga sin-kang yang hebat sekali, kuku jari itu mampu membuat senjatanya tertolak dan tosu ini terkesiap.

Tapi karena Gwan Beng membuktikan omongannya dan belum pernah pemuda itu membalas maka tosu ini penasaran dan menyerang lagi serta cepat dan bertubi-tubi dia menusuk dan menikam, Gwan Beng berlompatan dan mulailah pemuda itu mendemonstrasıkan kepandaiannya. Cepat dan akurat pemuda ini selalu menyentil trisula lawan, Koang-san Tojin terbelalak dan kaget.

Dan ketika pertandingan berjalan cepat dan Gwan Beng juga mulai cepat mengimbangi lawan akhirnya Koang-San Tojin membentak dan tubuh tosu itu pun tiba-tiba lenyap berputaran mengelilingi lawan. "Bocah, pinto akan merobohkanmu!"

Gwan Beng tak menjawab. Setelah dia menangkis dan mengetahui kepandaian lawan diam-diam pemuda ini menjadi geli. Hampir tertawa dia. Tapi karena Gwan Bang tak suka menyinggung perasaan dan dia melayani lawan maka begitu lawan lenyap tiba-tiba dia pun berseru keras dan lenyap pula mengikuti lawan. "Koang-san Tojin, kau boleh robohkan aku kalau bisa. Tak perlu merobohkan, dapat menyentuh bajuku saja biar aku mengaku kalah!"

Koang-san Tojin memekik. Setelah lawan berkelebat lenyap pula mengikuti gerakannya tiba-tiba tosu ini menjadi bingung. Betapa tidak. Gwan Beng kini merupakan bayang-bayang yang tak dapat disentuh. Pemuda itu selalu berada di luar jangkauannya dan setiap trisula mendekat tentu disentil kuku jari, akibatnya tak dapat dia mendekat dan tosu ini kaget. Dan ketika lawan berseru bahwa dapat menyentuh bajunya saja pemuda ini akan mengaku kalah maka tosu ini membentak dan memperhebat serangannya, gagal dan mengulang tapi lawan benar-benar seperti iblis.

Pemuda itu akhirnya mempercepat gerakannya dan hilanglah Gwan Beng dalam pandangan tosu ini, padahal Koang-san Tojin bergerak cepat dan sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kalah cepat dan akhirnya mendengus dengus seperti kuda dikuras tenaganya. Napas tosu ini mulai memburu hebat dan Gwan Beng tersenyum di sana. Dan ketika pemuda itu tak dapat disentuh dan bayangannya jauh lebih cepat dari bayangan tosu akhirnya empat orang di luar, yakni wakil dan para pembantu Koang-san Tojin membentak membantu ketuanya.

"Suheng, biar ku bantu kau...wut-siuuttt... !" tiga senjata lain menyambar, disusul sebuah senjata lagi dan Gwan Beng dikeroyok lima. Beda dengan Hauw Kam yang dikeroyok wanita-wanita cantk adalah pemuda ini dikerubuti tosu-tosu tangguh, rata-rata empat puluh tahun lebih. Tapi karena Gwan Beng pemuda hebat dan pemuda itu telah berjanji tak membalas serangan musuhnya maka Gwan Beng mempercepat, gerakannya dan baju biru pemuda ini berkelebatan di antara pakaian putih lima orang lawannya.

"Cring-cranggg!"

Sesekali terdengar suara itu. Gwan Beng menyentil dan senjata lawan pun terpental, empat pembantu Koang-san Tojin marah dan terkejut. Tapi ketika mereka mempercepat gerakan dan tetap saja pemuda itu melayang-layang di tengah mereka akhirnya sama seperti sang ketua, mereka ini pun ngos-ngosan diburu napas.

"Sudahlah, kalian berhenti, Koang-san Tojin. Aku tak mau membalas karena tak mau menyakiti kalian."

“Keparat, biar pinto roboh kehabisan tenaga, anak muda. Atau kau robohkan kami dan mampus!"

"Hm, aku tak suka mengikat permusuhan, Tojin. Kenapa ngotot dan tak tahu diri? Kalau kalian ingin kehabisan napas biarlah kubuat kalian begitu. Mari!" dan Gwan Beng yang mempercepat gerakannya hingga mata lawan berkunang-kunang akhirnya mendengar seorang di antaranya ambruk sendiri.

Seorang pembantu Koang-san Tojin tak kuat, kepalanya pusing dan Gwan Beng tertawa. Dan ketika pertandingan masih berjalan terus dan Koang-san Tojin nekat maka kembali seorang pembantunya roboh dan terguling, "Aduh, aku tak kuat. Pemuda itu siluman...!”

Penonton kagum. Dalam gebrak cepat berikutnya seorang pembantu lagi dari Koang-san Tojin roboh terguling, bukan oleh serangan pemuda ini melainkan oleh kelelahannya sendiri mengejar bayang-bayang Gwan Beng. Pemuda itu berkelebatan demikian cepatnya di antara keroyokan lawan, tak sanggup dia melanjutkan serangannya lagi. Dan ketika empat orang pembantu tosu itu akhirnya roboh semua dan tinggal Koang-san Tojin sendiri yang terhuyung-huyung dan limbung menyerbu ke sana ke mari maka penonton mulai memaki melihat sikap tak tahu diri tosu ini.

"Menyebalkan, tak tahu malu. Tosu itu seharusnya dilempar!"

"Ya, robohkan saja dia, anak muda. Lempar dan tendang pantatnya agar tahu diri!"

Gwan Beng tersenyum. Untuk ini dia sudah berjanji tak akan balas menyerang, janji itu pun ditepatinya dan tak akan dia menyerang tosu itu. Biarlah Koang-san Tojin berhenti sendiri dan ambruk. Dan ketika benar saja napas tosu itu memburu hebat dan serangan-serangannya tak dapat menyentuh lawan akhirnya Koang-san Tojin mengeluh dan roboh terguling ketika serangan terakhirnya di kelit, ambruk dan tidak sadarkan diri lagi saking bernafsunya dia menyerang, kehabisan tenaga dan penonton bersorak.

Saat itu di sebelah lain juga terdengar suara gedebuk. dan jerit kesakitan. Pek-tung Lo-kai dan Hwa-i-pangcu roboh terbantıng, dua orang itu mengeluh dan tidak dapat berdiri lagi. Kiranya Hauw Kam dan Swat Lian pun telah menyelesaikan pertandingan masing-masing. Dan ketika dua orang itu roboh hampir bersamaan dan Swat Lian serta Hauw Kam mengusap peluh muka sorak dan teriakan kagum meledak di sana-sini

“Aiihh, hebat. Mengagumkan!”

"Ya, hebat sekali. Luar biasa...."

Hauw Kam dan sumoinya tersenyum. Swat Lian malah tersenyum mengejek, tidak seperti Hauw Kam yang tersenyum malu-malu. Pemuda itu tak suka disanjung. Dan ketika mereka mendapat pujian dan Gwan Beng berkelebat mendekati mereka tiba-tiba pemuda itu berkata melihat Koang-san Tojin dan lain-lain ditolong pembantunya,

"Sute, sumoi. Mari kita pergi. Jangan lama-lama lagi... Wuss" pemuda itu mendahului, lenyap dan mengajak dua adıknya mengikuti. Gerakannya ini sudah disusul Hauw Kam yang mengangguk, tidak oleh Swat Lian yang lebih dulu menendang Pek-tung Lokai hingga lawannya itu mencelat. Baru kemudian mengikuti suhengnya dan penonton bersorak. Dan ketika Swat Lian menjejakkan kakinya dan lenyap pula mengikuti kakak seperguruannya maka tiga muda-mudi itu tak kelihatan bayangannya lagi dan beberapa di antara penonton berteriak.

"Hei, tunggu. Kami ingin berkenalan..!"

“Benar, jangan pergi dulu, sobat-sobat gagah. Kami ingin tahu tentang kalian!"

"Hm, tak perlu. Mereka adalah murid-murid Hu-taihiap, untuk apa ingin tahu lagi?" seseorang tiba-tiba memotong, menjawab teriakan itu dan orang-orang tertegun.

Yang berteriak tadi tiba-tiba mendelong, terkejut. Tapi ketika sadar dan berubah mendengar disebutnya nama ini tiba-tiba dia bertanya, ingin lebih tegas lagi, "Hu-taihiap? Hu Beng Kui si jago pedang dari Ce-bu itu?"

“Ya, memangnya siapa lagi? Adakah jago pedang yang melebihi Hu-taihiap itu?"

"Ah, pantas.... pantas kalau demikian lihai!" dan orang itu pun yang mengangguk-angguk dan kagum tapi juga ngeri akhirnya tidak bertanya lagi dan menyelinap pergi.

Nama atau kehadiran murid-murid Hu-taihiap itu mendadak membuat hati semua orang keder. Betapapun orang-orang kang-ouw ini ingat akan peristiwa tak lama berselang yang terjadi di Ce-bu, perebutan Sam-kong-kiam atau Pedang Tiga Dimensi. Pertandingan mati hidup antara si jago pedang itu dengan musuh-musuhnya, antara lain Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya, yang semua tewas dalam peristiwa menggegerkan itu (Baca Pedang Tiga Dimensi).

Dan ketika semua orang kagum dan terkejut oleh berita ini maka hari itu rumah makan itu menjadi populer dan menjadi bahan pembicaraan orang‐orang akan pertempuran yang baru saja terjadi, antara puteri dan dua murid utama si jago pedang Itu melawan Hwa-i-paicu dan Koang-san Tojin serta Pek-tung Lo-kai. Betapa mereka dirobohkan dengan mudah dan dua diantaranya bahkan tak pernah membalas. Ini cerita mengagumkan. Dan ketika hari itu semua orang bicara tentang keramaian ini dan tiga murid Hu Beng Kui itu dipuji-puji maka yang bersangkutan sendiri telah jauh meninggalkan tempat itu.

"Huh, menyebalkan. Kalau tidak ingat laranganmu tentu sudah kubunuh mereka itu, suheng. Benar-benar si katak yang coba bersikap sombong!"

"Sudahlah, tak perlu smmuanya itu, sumoi. Bukankah mereka telah pecundang dan tak mungkin berani mengganggu lagi? Dulu mereka dirobohkan mendiang kakakmu, belum berkenalan dengan kita sendiri. Kalau sekarang sudah tahu dan jelas kalah tentu mereka tak akan macam-macam lagi dan sombong. Marilah, kita terus ke utara dan melanjutkan rencana kita!"

"Tak beristirahat dulu?”

"Bukankah sudah cukup di rumah makan tadi?"

"Baiklah, mari, suheng. Aku juga ingin cepat-cepat ke bangsa Tar-tar itu dan menemui orang yang kita cari!"

Percakapan berhenti. Gadis di tengah tiba-tiba melesat, cepat dan luar biasa sekonyong-konyong ia meninggalkan suhengnya. Tapi ketika suhengnya menyusul dan pemuda kedua, Hauw Kam berseru perlahan tiba-tiba pemuda ini menggapai.

"Sumoi, suheng, berhenti dulu. Aku ingin bicara!"

Luar biasa sekali. Gadis yang sudah melesat itu sekonyong-konyong berhenti. Gerakannya seperti di rem dan berhenti begitu saja. Dan ketika dua suhengnya berkelebat dan sudah berada disampingnya maka gadis ini bertanya, "Ada urusan apa? Bicara apa?"

"Nanti dulu. Tidak ingatkah kau akan pembicaraan di rumah makan tadi, sumoi. Apakan kita tak ingin melihat-lihat?"

"Hm," gadis ini teringat, mengangguk. "Bagimana menurut Gwan suheng? Apakah kita menunda perjalanan?'"

Gwan Beng, pemuda pertama mengerutkan kening. "Sumoi, kita mendapat tugas suhu untuk mencari Kim-mau-eng. Ilmu pedang kita Giam-lo Kiam-sut telah diperdalam sedemikian rupa hingga suhu yakin kita sekarang mampu mengalahkan Kim-mou-eng itu. Apakah urusan ini harus kita tunda dan mélihat yang lain?"

"Jadi suheng menghendaki perjalanan diteruskan?"

"Begitu menurut pendapatku, sumoi. Tugas utama ini kita laksanakan dulu dan baru setelah itu yang lain-lain menyusul."

"Tapi di Bukit Malaikat Bu-beng Sian-su akan muncul, tidakkah ini menarik perhatian mu untuk melihat, suheng?" Hauw Kam, pemuda kedua bertanya, timbul keinginan tahunya yang besar.

Tapi sang suheng yang tersenyum dan menggeleng menjawab datar, "Itu dapat kita ikuti kemudian, sute. Meskipun menarik tapi seyogyanya tugas utama ini dilaksanakan dulu. Dua tahun suhu menggembleng kita, keinginannya lebih besar untuk melihat kita mengalahkan Kim-mou-eng. Apakah keinginan Ini harus dikalahkan oleh keinginan kita ke Bukit Malaikat?"

"Jadi kita tetap meneruskan perjalanan?“

"Ya, kita secepatnya ke bangsa Tar-tar itu sute baru setelah itu kita kembali ke sini dan belum terlambat."

"Maksudmu?"

"Kau dengar sendiri bahwa Sian-su akan muncul di bukit Malaikat empat hari lagi. Kalau kita dapat mempercepat perjalanan dan belum dua hari sampai di bangsa Tar-tar itu maka kita dapat kembali sebelum hari keempat....”

“Kalau tak ada halangan di jalan!" Hauw Kam memotong.

"Ya, kalau tak ada halangan di jalan, sute. Tapi bukankah kita bertiga dan dapat mengatasi itu kalau ada halangan?”

"Bagaimana menurut pendapat sumoi?"

"Aku tertarik untuk mendengar dan melihat Sian-su di Bukit Malaikat, suheng, terutama oleh cermin yang disebut-sebut itu. Tapi kalau twa suheng (kakak tertua) menyuruh kita melanjutkan perjalanan tentu saja aku menurut. Terserah kalian saja."

"Bagaimana suheng?" Hauw Kam kini memandang kakaknya.

"Kita terus, sute. Dan usahakan agar belum dua hari kita sampai di tempat Kim-mou-eng. Aku juga tak ingin mengecewakan kalian untuk melihat Sian-su. Marılah secepatnya kita ke bangsa Tar-tar itu dan secepatnya pula kita kembali."

"Baiklah, mari, suheng! dan Swat Lian yang berkelebat mendahului dan tampaknya tidak banyak bicara lagi tiba-tiba sudah terbang meninggalkan dua suhengnya, disambut senyum dan Gwan Beng serta sutenya saling pandang. Mereka menjejakkan kaki dan melesat pula. Dan ketika dua pemuda itu menyusul dan Swat Lian menambah kecepatannya maka Gwan Beng tertawa berkata gembira,

"Mari, sute. Kita kejar sumoi!"

Hauw Kam mengangguk. Dia sudah tancap gas mengejar sumoinya itu, Gwan Beng pun menggerakkan ginkangnya dan berkelebat menghilang. Bagai siluman-siluman saja tiga orang ini berkejaran. Tapı ketika Swat Lian tetap di depan dan Gwan Beng serta adiknya tak dapat mengejar maka pemuda ini kagum berseru keras.

"Sumoi, kau hebat. Aih, hebat sekali...!"

Swat Lian di depan tersenyum gembira. Dia melambai dan menyuruh dua suhengnya mengejar, mereka bertiga tiba-tiba sudah saling beriring dengan Swat Lian tetap di depan. Gwan Beng dapat menyusul sutenya tapi tak dapat menyusul Swat Lian, Hauw Kam berada di belakang sekitar dua tiga meter saja di belakang suhengnya ,Gwan Beng. Sementara Gwan Beng sendiri tertinggal sekitar sepuluh atau dua puluh meter di belakang sumoinya, bukan main. Dan ketika Gwan Beng memuji dan mau tak mau menjadi kagum akan kemajuan sumoinya yang luar biasa ini maka Hauw Kam di belakang juga berteriak tak habis takjub,

"Wah, hebat sekali sumoi kita, suheng. Lima atau enam tahun lagi kita pun masih bukan tandingannya!"

"Tentu, suhu mendidik siang malam, sute, Dan sumoi pun juga menggembleng diri tak kenal lelah. Mana mungkin tak maju pesat kalau begitu? Ha-ha, kita sebagai suhengnya tetap setingkat di bawah sumoi, sute. Jangan menyesal dan jangan iri..."

"Ha-ha, tak iri, suheng. Hanya kagum dan takjub. Kalau sumoi menghadapi langsung Pendekar Rambut Emas itu barangkali dia akan bertekuk lutut dan roboh!"

"Sudahlah, kenapa kalian bercakap-cakap saja, suheng? Ayo percepat lari kalian dan tancap gas!"

Swat Lian tertawa, berkelebat dan kembali dua suhengnya mengejar. Hauw Kam dan kakaknya matı-matian menyusul gadis itu. Tetapi ketika tetap saja jarak mereka sama dan akhirnya sedikit tetapi pasti Swat Lian justeru kian meninggalkan suhengnya lebih jauh akhirnya Gwan Beng berseru memperingatkan agar sumoinya itu tidak jauh-jauh di depan, kagum dan bersinar-sinar dan Swat Lian pun menurut. Gadis ini memperlambat larinya dan akhirnya jarak mereka sama kembali. Dua pemuda di belakang mandi keringat. Dan ketika Swat Lian terkekeh dan mereka berlari cepat tanpa berhenti maka pagi-pagi menjelang hari kedua mereka sudah menginjak daerah bangsa Tar-tar itu, tempat Kim-mou-eng.

"Hati-hati, kita sudah memasuki daerah musuh!”

Yang lain mengangguk. Swat Lin dan suhengnya memperingan langkah, mereka berkelebat dan akhirnya tiba di perkampungan bangsa Tar-tar itu, mula -mula berdebar karena Kim-mou-eng dan isterinya tentu menyambut Swat Lian sudah merah mukanya dan berapi-api, teringat Salima, kebencian dan ketidak senangannya timbul, tapi ketika mereka masuk di perkampungan itu dan disambut beberapa orang yang memergoki mereka maka Swat Lian dan suhengnya tertegun mendengar Kim-mou-eng tak ada.

"Kim-taihiap pergi, kami enggan menyambut tamu.”

"Hm, kalau begitu suruh isterinya keluar, penjaga. Kami dari Ce-bu ingin bertemu dan berbicara!" Swat Lian bersikap keras, kaku.

“Hujin pun tak ada, dia…”

"Bohong!" Swat Lian membentak, sudah mengibas penjaga ini. "Kau dan suku bangsamu tak dapat dipercaya, tikus busuk. Kalau begitu kami, masuk kedalam dan mencari sendiri. Namun, belum Salinga meloncat dan orang yang di kibas terpelanting sambil nenjerit maka belasan orang muncul dan Salinga pun menegur.

“Siapa ini? Kalian dari mana?"

"Kami dari Ce-bu,"

Gwat Beng cepat-cepat maju, maklum watak sumoinya yang berangasan dan keras. "Mohon dipertemukan dengan Kim-mou-eng atau isterinya, sobat. Kami dari jauh ingin bertemu dan bercakap soal pribadi.”

"Kim-taihiap tak ada." jawaban sama didengar. "Dan isterinya pun telah meninggal dunia. Maaf, siapa nama kalian dan ada maksud apa...?"