Sepasang Cermin Naga Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"MENINGGAL dunia?" tiga seruan berbareng terdengar hampir bersamaan, Swat Lian dan dua kakaknya terkejut, serentak berseru.

"Apakah kau tak bohong?"

"Hm, aku wakil Kim-taihiap di sini, nona Tak perlu bohong dan tak usah bohong. Maaf ku tanya kembali, siapakah nama kalian dan ada perlu apa?"

"Aku Swat Lian. Hu Swat Lian..." Swat Lian tergetar, entah kenapa tiba tiba ada semaçam kegirangan dan rasa puas! "Aku puteri Hu Bêng kui, sobat. Dan mereka ini dua suhengku."

"Oh, Hu-taihiap maksudmu?" Salinga tertegun, terkejut juga. "Ah, maaf, nona, kami tak tahu dan tidak sopan menyambut. Mari, kita ke dalam dan silahkan masuk."

Tapi Swat Lian yang menggeleng dan tersenyum aneh menolak. "Tidak, kami hanya mencari Kim-mou-eng, atau isterinya, sobat. Kalau mereka tak ada biarlah kami pergi!"

"Nanti dulu! Tapi Hu-taihiap..."

"Maaf," Gwan Beng memotong. "Kau siapakah, sobat? Dan bagaimana Kim-hujin (nyonya Kim) tiba-tiba meninggal?"

"Hm, aku Salinga, siauw-hiap (pendekar muda). Dan hujin meninggal karena dibunuh. Kami bangsa Tar-tar berkabung dan Kim-taihiap kini mencari pembunuhnya!"

Gwan Beng tertarik. "Bolehkah kami tahu?"

Salinga mengangguk. Sebagai pembantu dekat Kim-mou-eng tentu saja dia tahu nama besar Hu-taihiap, si jago pedang Hu Beng Kui. Dan karena tiga orang tamunya ini menyebut sebagai murid-murid jago pedang itu dan Salinga pernah mendengar hubungan Kim-mou-eng dengan keluarga di Ce-bu itu maka laki-laki ini lalu bercerita dan Swat Lian yang tadinya pura-pura acuh dan seolah tidak ada perhatian ternyata menaruh perhatian juga.

Tak ada satu pun yang tahu betapa diam-diam rasa girang dan kelegaan besar mengamuk di hati puteri Hu Beng Kui itu, bukan oleh kepergian Kim-mou-eng melainkan oleh tewasnya Salima. Berarti Kim-mou-eng kini sendiri dan hidup sebagai duda! Ah, tergetar hati gadis itu. Dan karena api asmara di hati gadis ini belum padam dan sesungguhnya diam-diam dia kecewa melihat Tiat-ciang Sian-li Salima menjadi isteri Pendekar Rambut Emas maka di antara cerita dan kisah sedih yang dipaparkan Salinga gadis ini hampir acuh oleh kematian Salima sendiri, lebih menaruh perhatian pada kepergian Kim-mou-eng yang mencari pembunuh isterinya, bagian ini didengarkan dan Swat Lian pasang kuping baik-baik.

Tak aneh. Puteri Hu Beng Kui itu memang selama ini mengalami patah hati besar, nyaris tenggelam dalam kesedihan kalau ayahnya tak sering menghibur. Ikatan cinta di antara Kim-mou-eng dengan sumoinya itu membuat gadis ini terpukul, pedih. Dan ketika bagian demi bagian didengarkan Swat Lian dan hanya bagian Kim-mou -eng itu saja yang diperhatikan baik-baik maka akhirnya gadis ini bertanya ketika Salinga selesai bercerita.

"Lalu kemana dia? Kemana mencari nenek siluman itu?"

"Kami tak tahu, nona. Kim-taihiap juga tak bercerita. Hanya mungkin ke pedalaman atau mungkin menemui gurunya, Bu-beng Sian-su."

"Hm!" Swat Lian tercekat. "Bu-beng Sian-su?" dia memandang suhengnya, teringat pembicaraan hangat tentang Bukit Malaikat. "Apakah kita harus kembali?" Omongan ini lebih ditujukan pada suhengnya.

Gwan Beng dan adiknya mengangguk. Dan ketika Salinga tak mengerti dan mengerutkan kening maka pemuda yang menjadi murid utama Hu taihiap ini berkata, "Baiklah, kalau begitu kami kembali, Salinga. Sampaikan saja pernyataan bela sungkawa kami atas kematian Kim-hujin. Permisi."

"Eh!" Salinga menahan. "Kalian sebenarnya ada keperluan apa? Bolehkah kami tahu?"

"Tak usah, Salinga. Tapi sampaikan saja pada Kim-mou-eng bahwa kami datang hanya untuk melaksanakan janji guru kami. Hutang di Cebu ingin dibayar!" lalu berkelebat dan memutar tubuhnya tiba-tiba pemuda ini lenyap meninggalkan lawan, disusul Hauw Kam dan sumoinya yang bersinar-sinar.

Swat Lian mendadak menjadi gembira dan aneh. Dan ketika tiga muda mudi itu lenyap di luar sana akhirnya Salinga tertegun dan bingung, tak tahu apa yang dimaksud "hutang” itu. Tak paham karena menang tak mengerti, tak tahu bahwa sebenarnya yang dimaksud itu adalah kekalahan yang ingin dibayar Hu-taihiap lewat murid-muridnya ini.

Dulu dua tahun yang lalu jago pedang itu kalah oleh Kim-mou-eng. Tapi karena kekalahannya dianggap tak memuaskan dan jago pedang ini dalam keadaan buntung maka selama itu Hu Beng Kui penasaran dan menaruh rasa geram. Semuanya ini sudah diceritakan dalam kisah Pedang Tiga Dimensi.

Sekarang, ke mana Swat Lian dan suhengnya pergi? Tentu saja kembali. Mereka langsung ke kota di mana mereka bertempur melayani Pek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya itu, menuju Bukit Malaikat. Dan karena munculnya Sian-su mendebarkan mereka dan kehadiran kakek dewa itu selalu menarik perhatian orang banyak maka ke situlah mereka terbang dan berlari cepat, mengejar waktu agar tidak ketinggalan. Swat Lian mengajak suhengnya untuk lebih cepat lagi, mereka berendeng hampir sepanjang jalan, tak ada yang tahu betapa diam-diam gadis ini ingin bertemu Kim-mou-eng disana, siapa tahu Pendekar Rambut Emas itu akan muncul bersama gurunya.

Dan ketika mereka mengerahkan segenap kepandaian dan terbang bagai iblis-iblis kesiangan maka tiga muda mudi ini lenyap dan muncul lagi di hutan-hutan yang mereka lalui, begitu terus-menerus dan akhirnya menjelang hari keempat mereka tiba juga di kota yang mereka singgahi dulu, kelelahan dan malam itu mereka langsung beristirahat.

Betapapun perjalanan pulang balik yang mereka lakukan memang berat, jauh dan melelahkan. Dan begitu ketiganya menunggu hari esok untuk melihat apa yang terjadi maka malam itu mereka pulas dan benar benar mengembalikan tenaga untuk memulihkan yang sudah kecapaian.

* * * * * * * *

Apa yang terjadi? Di mana letak Bukit Malaikat? Kalau orang memandang jauh ke depan maka di antara sebuah lembah yang dialiri sebuah sungai tampaklah sebuah bukit yang tidak begitu tinggi, di sebelah utara kota Ci-nong. Kota inilah yang mengawali kegegeran antara Swat Lian dan Pek-tung Lo-kai serta kawan kawannya itu. Hari itu kota ini penuh, ratusan orang hilir-mudik didalamnya, semua memandang ke Bukit Malaikat itu.

Bukit yang tampak lebih kecil lagi bila dipandang dari situ, bukit biasa yang di tumbuhi pohon-pohon pek yang besar serta semak-semak lebat yang mencuat di sana-sini. Dari kejauhan, bukit ini biasa-biasa saja. Tapi kalau orang mau mendekat dan mengunjungi bukit itu maka orang akan tertegun karena bukit ini terhalang jurang. Itulah Jurang Malaikat, satu dari sekian tempat tinggal yang dihuni Sian-su, kakek dewa maha sakti yang kepandaiannya sukar diukur. Dan karena bukit ini terletak di depan Jurang Malaikat yang terkenal itu maka orang pun lalu menamakan bukit itu sebagai Bukit Malaikat.

Sebenarnya, Bu-beng Sian-su sendiri tak tinggal di bukit itu. Kakek dewa ini tak memiliki tempat tinggal tetap di mana dia berada di situlah dia tinggal. Tapi karena tak ada seorang pun yang dapat mengikuti jejak kakek dewa itu dan orang juga sukar menemui kakek ini maka adalah sebuah kehormatan sekaligus keuntungan kalau manusia dewa itu dapat dijumpai. Ini sudah dimengerti orang. Maka begitu terdengar kabar bahwa kakek dewa ini akan muncul di Bukit Malaikat dan menghadiahkan sepasang benda aneh yang disebut-sebut sebagai cermin ajaib maka berduyun duyun berdatangan orang-orang kang-ouw untuk menyaksikan sekaligus mendapatkan hadiah itu.

Apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang melepas kabar berita ini? Tak ada yang tahu secara pasti. Namun, ada berita santer bahwa Bu-beng Sian-su bertemu empat tokoh luar biasa dari timur dan barat. Tokoh-tokoh yang di ibaratkan dewa dan konon hampir setingkat dengan kakek maha sakti itu sendiri, konon katanya adalah paman-paman atau bibi seperguruan dari empat di antara Tujuh Iblis Dunia, yakni Siauw-bin kwi dan kawan-kawannya yang tewas itu. Dan ketika berita itu berkembang dari mulut ke mulut dan menjadi ramai serta santer maka kisah yang sudah dibumbu serta ditambah-tambahi ini menjadi buah bibir bagai dongeng di antara orang-orang kang-ouw itu.

Apa yang terjadi? Bagaimana sebenarnya? Marilah kita tengok kejadian di antara orang-orang luar biasa itu. Di barat, jauh tersembunyi di puncak Pegunungan Himalaya terdapat wilayah "sangar" yang ditakuti orang. Wilayah ini terletak di Puncak Siluman, sebuah puncak di antara sederetan puncak lainnya yang banyak terdapat di Himalaya, puncak tertinggi dipandang dari arah utara. Dan karena puncak ini tak pernah didatangi orang karena terkenal angker dan penuh suara-suara siluman maka tak ada seorang penduduk pun yang ada di daerah Pegunungan Himalaya berani mendekat.

Sudah bertahun-tahun ini, bahkan puluhan tahun, di Puncak Siluman terdengar suara-suara aneh mirip hantu atau iblis menangis. Orang kadang-kadang melihat adanya sinar merah atau kuning berkelebatan di Puncak Siluman itu. Kadang-kadang warnanya demikian terang, begitu terang hingga menyilaukan mata dalam jarak ratusan kilometer.

Tapi kadang-kadang begitu redup hingga nyaris merupakan dian atau pelita yang mau padam, berkedip-kedip dan akhirnya hilang setelah dua atau tiga jam. Dan karena semuanya itu selalu diiringi dengan suara mirip tangis atau jerit iblis maka puncak itu dinamakan Puncak Siluman. Memang, siapa berani mendatangi puncak ini? Tempatnya yang tinggi dan terjal saja sudah cukup membuat orang merinding, belum hawanya yang begitu dingin menggigit tulang.

Pernah ada seorang laki-laki nekat, coba mendekat dan suatu hari ingin mengetahui apakah sebenarnya sinar-sinar yang berkelebatan itu, juga suara-suara yang mendirikan bulu roma. Tapi ketika laki-laki itu akhirnya tinggal mayat tanpa kepala yang kaku kedinginan di bawah Puncak Siluman maka tak ada yang berani mendekat dan coba coba.

Sampai akhirnya, karena suara-suara dan sinar yang berkelebatan itu tak dapat didekati dan kadang-kadang juga terdengar semacam raung yang mendirikan bulu roma di Puncak Siluman akhirnya penduduk menganggap tempat itu sebagai wilayah sangar yang harus dijauhi. Tak ada seorang pun berani mendekat. Puncak Siluman adalah puncak mengerikan yang pantang didekati. Dan ketika puluhan tahun semuanya itu berjalan seperti biasa dan orang tak tahu apa yang sebenarnya ada di puncak itu maka Puncak Siluman tetap merupakan misteri dan rahasia besar bagi penduduk.

Sebenarnya, apakah yang ada di sana? Benarkah tempat itu merupakan sarang iblis atau siluman? Memang benar tapi juga tidak. Di sana tinggal seorang tokoh luar biasa yang sudah tidak lagi berkeliaran. Tokoh ini amat sakti, usianya mendekati dua ratus tahun, jadi kira-kira seangkatan dengan Bi Kim dan Bi Lin, itu Sepasang Dewi Naga yang membunuh Salima. Dan karena tokoh ini merupakan generasi tua yang mungkin sudah "kadaluwarsa" maka orang tak ingat lagi siapa dia. Namun, bagi orang-orang seangkatan Dewi Naga atau yang lain, yang sayangnya sudah meninggal semua maka tokoh ini adalah tokoh yang mengerikan.

Dulu, hampir dua ratus tahun yang lalu. 0rang mengenal Cam-kong Ho Hong Siu, si Pembunuh Petir. Orang ini tokoh luar biasa, kepandaiannya tinggi tapi wataknya kejam bukan main. Mempunyai murid tapi muridnya itu dibunuh. Dia membunuh murid sendiri hanya karena persoalan sepele, si murid menikah tapi Cam-kong atau sang Pembunuh Petir ini melarang. Baginya pantang pewaris ilmunya menikah, tak boleh punya keturunan dan biar mereka meneruskan kepandaian dengan mengambil orang lain saja, tak perlu keturunan sendiri.

Dan karena murid ini tak dapat menerima dan akhirnya diam-diam menikah namun diketahui sang guru maka Cam-kong Ho Hong Siu membunuh muridnya itu dan habislah keturunan pewaris tokoh yang luar biasa ini memang aneh. Tokoh Pembunuh Petir ini memang jalan pikirannya tidak sama dengan orang-orang lain. Baginya menikah adalah perbuatan yang harus dijauhi, entah kenapa dia bisa begitu. Dan ketika dulu muridnya membantah dan coba mendebat ini maka dengan acuh dan dingin dia menjawab,

"Untuk apa menikah? Bukankah tanpa pernikahan laki-laki juga dapat menikmati wanita? Di dunia ini banyak perempuan cantik, muridku. Kalau sekedar ingin melampiaskan berahi dan bercinta ambil saja mereka itu dan buang setelah selesai!"

"Tapi teecu (murid) ingin menikmati sebuah keluarga. Bukan sekedar melepas berahi atau nafsu syahwat!"

"Hm, kau membatah? Ingin melawan? Bagiku apa yang sudah kuputuskan tak boleh kau langgar, murid kurang ajar. Atau kau menerima akibat dan pasti kubunuh!"

Sang murid, yang mengkirik tapi tak percaya ancaman gurunya menganggap suara gurunya itu gertak sambal saja. Dia murid satu-satunya, tunggal, pewaris dan kelak akan menggantikan gurunya kalau gurunya meninggal. Masa akan di bunuh dan dihabisi nyawanya? Dan karena menganggap gurunya tak mungkin membunuhnya kalau dia membangun keluarga maka murid ini coba coba nyerempet bahaya dan nekat namun secara diam-diam dia menikah.

Tapi apa lacur, sang guru tahu dan Cam-kong Ho Hong Siu murka. Tokoh ini benar,benar membunuh muridnya, dua tahun setelah menikah. Kebetulan sekali muridnya itu telah berputera, seorang anak laki-laki. Dan ketika murid itu ditangkap dan baru untuk pertama kalinya mempercayai ancaman sang guru maka di depan matanya gurunya itu membunuh anak isterinya sebelum dia sendiri di habisı!

Begitulah, kekejaman Cam-kong Ho Hong Siu ini memang luar biasa. Orang menjadi heran tapi juga muak oleh sepak terjangnya. Tapi karena yang dibunuh adalah muridnya sendiri dan itu urusan pribadi maka orang tak ambil suara dan membiarkan semuanya itu terjadi. Hanya, ada pertanyaan menyelinap di hati. Kenapa Cam-kong Ho Hong Siu itu benci kepada sebuah pernikahan? Kenapa dia membunuh murid sendiri hanya karena sang murid jatuh cinta dan membangun rumah tangga?

Ini tak diketahui orang. Cam-kong Ho Hong Siu mempunyai sebuah cacad, dan cacad inilah yang mempengaruhi jiwanya hingga dia begitu telengas kepada murid sendiri. Dan karena cacad ini merupakan rahasia pribadi dan tak ada orang tahu tentang itu maka tindak-tanduk dan sepak terjang yang aneh dari si Pembunuh Petir ini menjadikan orang bertanda tanya. Apa cacad tokoh ini?

Bukan lain karena kelumpuhannya sebagai lelaki, Cam-kong Ho Hong Siu ini bencong, dia tak perkasa dalam urusan berahi. Alias penderita Impoten. Dan karena itu merupakan pukulan jiwa dan Pembunuh Petir ini benci terhadap keadaannya sendiri maka dia akan selalu marah dan benci pula kalau melihat sepasang laki perempuan membangun rumah tangga, apalagi muridnya sendiri. Maka begitu sang murid melanggar dan ini merupakan pantangan besar baginya maka tak ayal tokoh itu membunuh muridnya sendiri dan sekaligus anak isterinya!

Kini, kembali pada Puncak Siluman maka tokoh yang luar biasa ini ada di situ. Sudah seratus tahun lebih dia menetap di sana, tinggal dan melewatkan masa tuanya. Tentu saja jemu hidup tapi umur panjang anehnya membuntuti tokoh itu. Memang ganjil, orang yang mengharap-harap umur panjang tak mendapatkan itu sementara Cam-kong Ho Hong Siu sendiri mengumpat caci setiap hari karena tak mati-mati.

"Keparat, kau ke mana, Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Kenapa tidak datang dan menjemput nyawaku? Ayo, datang kemari, Giam-lo. Ambil dan cabut nyawaku si tua bangka ini!"

Begitu orang akan mendengar kalau kebetulan dia dekat Cam-kong Ho Hong Siu ini. Setiap hari kerjanya mengumpat si Raja Akherat. Tapi karena Giam-lo-ong sendiri agaknya enggan dan tidak menghampiri maka umur panjang yang di terima Cam-kong Ho Hong Siu ini disambut makian dan sumpah serapah. Anehkah itu? Agaknya tidak. Dalam kondisi seperti itu di mana segala-galanya terasa tawar maka Ho Hong Siu memang pilih mati ketimbang hidup. Bayangkan, siapa mau dekat dengannya? Waktu muda pun tak ada kesenangan yang diperoleh, apalagi di waktu tua. Maka daripada hidup lebih lama memang sebaiknya dia mati dan bebas. Begitu pendapatnya.

Dan hari itu, ketika malam melingkup tiba dan Puncak Siluman kembali dipenuhi sinar merah dan kuning yang berkelebatan menari-nari, mendadak tokoh ini kedatangan tamu, tepat tengah malam. Saat itu dia lagi melatih Cam-kong-ciangnya (Tangan Pembunuh Petir), sinar merah dan kuning yang berkelebatan itu keluar dari sepasang lengannya, menyambar dan berseliweran di puncak. Tapi ketika dia lagi asyik dan tenggelam melatih ilmunya ini mendadak terdengar kekeh dan tawa lembut.

"Hi-hik, kau kiranya, Cam-kong? Kau masih hidup? Heh-heh, hebat Pembunuh Petir, tapi aku datang ingin mencoba... blarr!" dan Puncak Siluman yang tiba-tiba berguncang dan meledak serta bergemuruh mendadak seakan dilanda gempa ketika sesosok tubuh muncul, menerima dan menangkap sinar merah dan kuning itu.

Cam-kong Ho Hong Siu terkejut. Tak dinyana tak di sangka orang asing sekonyong-konyong datang ke tempatnya, padahal selama ini belum pernah ada yang menyatroni. Tapi begitu sadar dan menggereng marah tiba-tiba Pembunuh Petir ini membentak mendorongkan kedua lengannya, melihat seseorang bersembunyi di balik tabir asap hitam.

"Pengacau busuk, mampuslah!" Cahaya atau sinar merah kuning kembali berkelebat. Kali ini hawa panas ikut menghembus pula, salju yang ada di puncak tiba-tiba mencair dan leleh. Tapi ketika bayangan di balik asap hitam itu terkekeh dan menggerakkan kedua lengannya pula tiba-tiba dentuman bagai gunung dihantam roket menggetarkan tempat itu.

"Blangg!"

Si Pembunuh Petir tersentak. Dia terdorong setengah tindak. Matanya membeliak dan seruan aneh keluar dari mulutnya. Bayang-bayang di balik tabir juga terhuyung, ada tawa kaget di situ. Tapi karena Cam-kong Ho Hong Siu penasaran dan marah serta gusar tiba-tiba tokoh ini sudah mencelat dan menghantam lagi, ditangkis dan kali ini semburan api menyambar dari depan. Pembunuh Petir terpekik. Dan ketika dia menghantam lagi namun lawan di depan berjungkir balik tinggi dan menangkis serta menghantam pula maka Puncak Siluman bagai gunung runtuh ketika digetarkan dentuman dahsyat di mana batu besar kecil berguguran dan ambrol ke bawah.

“Blarrr...!" Sinar warna-warni mencuat ke atas. Lidah api dan sinar merah kuning berkelebat sekejap. Puncak Siluman benar-benar terang dalam waktu beberapa detik. Tapi ketika semua cahaya dan lidah api itu lenyap maka keadaan gelap kembali menyelubungi tempat itu namun mata awas Cam Kong Ho Hong Siu melihat adanya seorang nenek yang bergoyang-goyang di depannya, sekitar sepuluh tombak.

"Dewi Api Naga Bumi...!"

Suara terkekeh menyambut seruan Cam-kong Ho Hong Siu itu. Pembunuh Petir ini tertegun, dia mengenal siapa lawannya sekarang dan nenek di depan tertawa. Tubuh yang bergoyang-goyang itu sudah berhenti. Dan ketika Ho Hong Siu bengong dan nenek ini mengibaskan rambut sekonyong-konyong ia mencelat dan sudah berada di depan Pembunuh Petir.

"Hih-heh, kau masih mengenal aku, Hong Siu? Kau tidak lupa? Heh-heh, bagus, Pembunuh Petir. Kiranya ingatanmu masih tajam dan kuat!"

Hong Siu, Pembunuh Petir ini terkesima. Seorang nenek riap-riapan berdiri di depannya, pinggangnya masih ramping dan indah. Hanya kulit tubuh dan muka yang berkeriput itu menunjukkan ketuaannya. Tapi Hong Siu yang sadar dan mundur tiba-tiba mengeluarkan seruan heran dan memukul pipinya tiga kali.

"Heh, kau ini, Pek Kiok? Kau belum mampus? Kau masih hidup? Ha-ha, sungguh luar biasa. Pek Kiok. Kiranya kau datang dan belum di cabut Giam-lo-ong...hichh!” Cam-kong Ho Hong Siu yang tiba-tiba meringkik dan tertawa seperti kuda mendadak mencelat dan menubruk lawannya itu, menghantam namun lawan menangkap. Si nenek menggerakkan dua tangannya mencengkeram, rambut dikelebatkan dan meledak menyambar pelipis Hong Siu. Dan ketika tubrukan itu diterima dan Hong Siu disambar rambut maka benturan dan ledakan kembali terjadi.

"Plak-plak!" Dua orang laki perempuan ini bersatu. Pembunuh Petir telah memeluk lawannya, tentu saja bukan sembarang pelukan karena seluruh buku-buku di tangan Pembunuh Petir itu berkerokok. Suaranya bagai jagung dibakar. Tapi ketika Dewi Api Naga Bumi menyambut dan mencengkeram pula pundak lawannya maka dua orang itu bersitegang dan untuk sejenak saling remas dan ingin menghancurkan.

"Krek-krekk!" Tulang dan buku-buku jari seakan hancur. Masing masing meremas dan menggencet. Tapi ketika masing-masing merasa perlawanan yang kuat dan daging atau tubuh yang dicengkeram mengeluarkan tenaga dahsyat menolak serangan akhirnya Ho Hong Siu tertawa panjang melepaskan gencetannya, menendang.

"Pek Kiok, kau hebat...dess!" namun Hong Siu yang terhuyung dan lawan yang juga terdorong akhirnya mendapat kenyataan bahwa mereka berimbang!

"Heh-heh, kau ingin membunuh aku, Hong Siu?”

"Hm!" Hong Siu, si Pembunuh Petir kagum. Kau hebat, Pek Kiok. Tapi katakan sekarang apa maksudmu datang ke mari!"

"Aku ingin mengajak mu melemaskan otot..."

"Mau bertanding?" Hong Siu memotong, matapun berkilat. "Boleh, Dewi Api. Tapi jangan harap dapat mengalahkan aku!"

"Hi-hik," sang nenek terkekeh, masih merdu. "Kau salah, Hong Siu. Bukan berlawan melainkan berkawan. Aku mau memberi tahu bahwa murid keponakanmu, Siauw-bin-kwi, mampus!”

"Apa perdulinya?" tokoh ini mendengus. "Aku tak perduli dia mampus atau tidak, Pek Kiok. Semua orang pasti mampus dimakan umur!"

"Tapi ini bukan mati tua, melainkan dibunuh!"

"Hm, aku tak perduli, Pek Kiok. Aku bosan menghadapi dunia dan ingin tenang di sini."

"Bodoh! Kau seperti kerbau, Hong Siu. Tak mau dengar dan buru-buru memotong dulu. Dengarlah, bukankah kau bosan hidup dan ingin mati? Bukankah setiap hari kau mencaci Giam-lo-ong agar mengambil nyawamu?"

Tokoh ini bersinar-sinar. "Memangnya kenapa?"

"Heh heh, inilah kesempatan baik, Hong Siu. Kau harus turun gunung dan mati di tangan seseorang!"

Pembunuh Petir itu tertawa mengejek. "Dewi Api, di dunia ini tak ada orang yang sanggup membunuh aku, biar kau sekalipun. Kentut busuk apa yang kau keluarkan ini?"

"Nanti dulu, jangan sombong. Cam-kong. Kalau kusebut sebuah nama beranikah kau bertaruh?"

"Siapa?"

"Taruhan dulu, beranikah kau?"

"Hm....!" Pembunuh Petir ini tertegun juga. "Kau tampaknya serius, Pek Kiok. Tapi coba sebutkan taruhan apa yang kau minta."

"Serahkan Cam-kong-ciang mu kalau kalah!"

“Baik!" dan Cam-kong Ho Hong Siu yang langsung mengiyakan dan mengangguk tiba-tiba bertanya, "Nah, sebutkan siapa orang itu dan biar kudengar siapa dia!"

"Hi-hik, Bu-beng Sian-su, Cam-kong, Manusia inilah yang dapat membunuhmu dan tak mungkin kau menang!"

"Ahh. Bu-beng Sian-su?" Cam-kong mencelat mundur.

"Ya, bukankah dia yang paling kau takuti? Nah, serahkan Pembunuh Petirmu, Hong Siu. Atau kau kuhajar!"

Cam-kong tertawa bergelak. Setelah kaget dan bengong sejenak tiba-tiba dia tertawa, mula-mula biasa namun kian lama kian tinggi. Suaranya melengking dan tajam menusuk telinga. Disebutnya nama Bu-beng Sian-su membuat tokoh ini tersentak. Memang, itulah yang paling ditakuti. Teringat dia akan kekalahannya yang berkali-kali dengan manusia dewa ini, yang anehnya tak pernah membunuhnya. Dan ketika lawan menagih janji dan Dewi Api itu bersiap menerima ilmunya mandadak tokoh ini mencelat dan menghantamkan kedua lengannya kedepan, suara tawanya berobah menjadi jerit yang mendirikan bulu kuduk, menggetarkan puncak sampai jauh di kaki gunung.

“Pek Kiok, terimalah!"

Bentakan itu disusul berkelebatnya sinar merah dan kuning Pembunuh Petir menyatakan memberi, tapi bentakan dan pukulan kedua tangannya yang jelas menyambar dahsyat dan merupakan pukulan maut tiba-tiba dikelit dan disambut pekikan Dewi Api.

"Heh, menerima serangan? Kau mau membunuh aku, Hong Siu? Keparat, kau pembohong...siut-darr!" dan si nenek yang membalas dan mengelebatkan rambutnya menghantam pinggang lawan tiba-tiba melejit dan sudah menyerang si Pembunuh Petir, merasa ditipu karena Hong Siu tak memberikan ilmunya. Apa yang dilakukan tokoh itu adalah justeru menyerang dan menghantam, itu adalah pemberian yang kurang ajar. Dan karena nenek ini tahu apa arti "pemberian" itu dan jelas harus mengelak dan memaki maka Puncak Siluman digetarkan dentuman dahsyat ketika masing-masing sama menangkis, menyerang dan menangkis lagi dan akhirnya keduanya pun bertanding.

Malam itu Puncak Siluman seakan dijatuhi peluru meriam, ledakan dan gelegaran silih berganti mengguncang tempat itu. Hong Siu si Pembunuh Petir sudah mengerahkan Cam-kong-ciangnya, hebat dan bertubi-tubi namun si nenek Dewi Api dapat melayani baik. Nenek itu menggerakkan kedua tangannya pula dan pukulan atau sambaran angin dahsyat menahan pukulan Cam-kong, bahkan mendorong dan membuat Cam kong berkali-kali berseru kaget.

Dan ketika dua orang itu bertempur dahsyat dan malam pun berganti pagi maka pohon dan batu-batu di sekitar sudah berhamburan dan terbang dihantam pukulan dua tokoh ini. Lalu, karena pertempuran dilanjutkan dan masing-masing pihak juga sama penasaran maka Puncak Siluman menjadi gemuruh. Orang di kaki gunung melihat berkelebatnya sinar merah kuning disusul ledakan-ledakan suaranya menggetarkan jantung dan beberapa kilatan api juga terlihat. Pendeknya, puncak itu benar-benar seakan diserbu iblis. Gegap-gempita dan gemuruh.

Dua hari dua malam penduduk di bawah gunung dibuat ternganga, mereka ketakutan dan akhirnya melarikan diri. Gunung Himalaya dianggap mau meletus! Tapi ketika pada hari ketiga suara-suara itu berkurang dan kepundan atau Puncak Himalaya tetap biasa-biasa saja maka orang pun berdegupan namun belum mau kembali ke tempat tinggal masing-masing, tak lagi mendengar suara itu dan akhirnya pada hari keempat pun suara suara itu lenyap. Puncak Siluman menjadi sunyi dan sepi seperti biasa. Dan ketika malam kembali tiba dan penduduk berdebar-debar maka di atas sana terdengar erangan dan umpatan.

Apa yang terjadi? Berakhirnya pertandingan dan tokoh luar biasa itu. Ho Hong Siu tak dapat mengalahkan lawannya, sementara nenek Dewi Api juga tergolek kelelahan. Tiga hari tiga malam bertanding melawan Si Pembunuh Petir itu menghasilkan pertandingan seri, mereka draw. Tak ada kalah atau menang. Dan ketika Ho Hong Siu juga tertatih-tatih di sana dan terhuyung serta jatuh terduduk lagi maka dua orang ini saling memaki dan pengumpat.

“Pek Kiok, kau masih hebat. Jahanam, terkutuk kau!"

"Hi-hik, kau pun tua bangka sialan, Hong Siu. Cam-kong-ciang mu ampuh tapi tak dapat membunuh aku."

"Hm, Tee-sin-kangmu (Pukulan Bumi) luar biasa. Kalau tidak karena itu kau tentu mampus!"

"Mau dilanjutkan kembali? Hayoh, aku siap, Hong Siu. Biar kita mati salah satu atau bersama!”

"Mana mungkin?" Hong Siu mendengus. "Berdiri pun kau tak bisa, Pek Kiok. Jangan takabur dan sombong!"

"Hi-hik, dan kau pun tak bisa berdiri pula. Lihat, duduk saja roboh!"

Dua orang itu saling memaki. Mereka mengejek dan merendahkan yang lain. Tapi karena masing-masing tak dapat bangun dan sehari itu mereka harus bersila memulihkan tenaga maka baru pada hari ke tujuh, tepat seminggu setelah pertandingan mereka baru bisa sama sama bangun!

"Nah, aku lebih kuat!" Hong Siu berdiri tegak, mengejek lawannya. Tapi baru dia bicara begitu tiba-tiba di sana pun lawannya sudah mencelat bangun.

"Tidak, aku lebih dulu, Hong Siu. Lihat, aku lebih segar dan sehat!"

Namun, ketika keduanya saling melotot dan tak mau kalah tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang berkesiur bagai siluman. Tahu-tahu telah berdiri di situ. "Heh, kalian, Hong Siu? Dan kau Dewi Api?"

Dua orang ini terkejut. Di tengah mereka telah berdiri seorang kakek gimbal-gimbal, tubuhnya cebol dan pendek. Kepalanya besar dan bulat, begitu bulat hingga biji matanya tertutup pipi yang tembem, hampir tak kelihatan. Tapi begitu mereka menoleh dan terkejut tiba,tiba Hong Siu si Pembunuh Petir terseru,

"Hek-bong Siauwjin (Manusia Busuk Dari Kubur)…!”

“Heh-héh, kau mengenal aku, Cam-kong! Bagus, kita semua ternyata masih hidup!" dan si kakek gimbal-gimbal yang mendadak menyelinap dan bergerak maju tiba-tiba sudah berada di selangkangan Hong Siu dan menarik anggauta rahasia si Pembunuh Petir itu.

“Kurang ajar... plak!" dan Hong Siu yang tentu saja membentak dan mengayun kakinya menendang tiba-tiba membuat kakek gimbal-gimbal itu mencelat dan terguling-guling, terkekeh tapi melompat bangun dan Hong Siu atau si Pembunuh Petir ini merah mukanya. Sebagian celananya sobek, persis bagian bawah tapi untung miliknya yang paling berharga tak sampai dicomot si Manusia Busuk Dari Kubur itu. Hek-bong Siauwjin terbabak-bahak. Tapi ketika Hong Siu menggeram dan hendak menyerangnya tiba-tiba kakek cebol ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berseru,

"Hei, jangan marah. Tunggu, Cam-kong. Aku hanya main-main saja!" dan pura-pura mengulapkan tangannya dua kali manusia aneh itu menyambung, "Aku datang untuk berkawan, bukan bermusuhan. Sebaiknya kuberi tahu bahwa Siauw bin-kwi murid keponakanmu itu mampus!"

"Hm, aku sudah tahu." Hong Siu melotot. "Kau tak usah memberi tahu, iblis cebol. Tapi apa maksudmu datang ke mari? Mau bertanding dan mencari mampus?"

"Ha-ha, tak perlu sombong, Cam-kong. Kau tahu bahwa tak mungkin kau dapat membunuhku seperti juga aku tak dapat membunuhmu. Jauh-jauh dari Timur aku datang bukan untuk mencari permusuhan melainkan semata mendengar kau mendekam di sini. Ingin membuktikan dan ternyata benar kau masih hidup. Heh, bagaimana si nenek siluman ini juga ada di sini? Kau masih segar, Dewi Api?"

"Cih!" si Dewi Api, nenek yang baru bertempur itu meludah. "Kau tak perlu bertanya kalau sudah melihat Siauwjin. Matamu tak buta dan tak perlu kujawab!"

"Heh-heh, Dewi Api masih angkuh! Tapi tak apa, aku datang mungkin sama dengan maksudmu, nenek siluman. Kalau kalian berdua sudah berada di sini dan agaknya bertempur pula tentu tak perlu kuberi tahu bahwa murid keponakanmu Tok-gan Sin-ni sudah mampus menyusul Siauw bin-kwi. Bagaimana pendapatmu? Apakah kau diam saja dan tak ingin membalas?"

"Hm, Cam-kong sudah kuberi tahu tentang kematian murid keponakannya, Siauwjin. Dan kini rupanya kau pun tahu tentang kematian murid keponakanku. Baiklah, kau tentu tahu pula tentang mampusnya dua murid keponakanmu Hek-bong Siang-lo-mo, bukan? Atau kau pura-pura dan tutup mata tentang ini?"

"Ya, aku tahu. Tapi, heh-heh... apakah kau tahu siapa pembunuhnya?"

“Kim-mou-eng!"

“Benar, tapi bocah ini tak perlu digubris, Dewi Api. Yang lebih penting lagi adalah..."

"Bu-beng Sian-su!" Ho Hong Siu kini memotong, memekik tinggi. "Apakah kau tahu di mana musuh kita nomor satu itu, Siauwjin? Di mana dia?”

"Hmm...!" Dewi Api menyela, meledakkan rambutnya. "Agaknya manusia cebol ini datang untuk mencari bantuan, Hong Siu. Coba tanya apa maksudnya kemari kalau bukan itu!"

"Benar," si Pembunuh Petir bersinar-sinar. "Kau sebutkan dulu apa maksudmu kemari, setan cebol. Atau kau kuusir dan pergi dari sini!"

"Heh-heh, tak perlu galak-galak, Cam-kong. Memang jujur saja kuberitahukan maksudku bahwa aku datang untuk mengajakmu membekuk manusia menyebalkan Bu-beng Sian-su itu. Kematian murid keponakanku tanggung jawabnya pula. Kim-mou-eng kita tangkap dan kita cari si Bu-beng Sian-su itu!"

"Kau cari sendiri!" Hong Siu mendengus, "Aku tak mau membantumu, Siauwjin. Kau selalu banyak akal dan curang kepada kawan!"

"Eh-eh, jangan begitu. Beranikah kau menghadapi Bu-beng Sian-su sendirian? Tidakkah kau ingat kekalahanmu dulu?"

"Hm, kau tak perlu mengungkit-ungkit kekalahanku, Siauwin. Kau pun tak dapat menandingi dia dan roboh!"

"Sudahlah,” Dewi Api memotong. "Kita semua tak perlu menyombong-nyombongkan diri, Cam-kong. Kita semua setingkat dan masing-masing tak pernah menang menghadapi kakek dewa itu. Aku datang memang untuk mengajakmu menghadapi Bu-beng Sian-su. Kalau Siauwjin datang dan iblis busuk ini mengetahui kematian muridnya pula maka kebetulan kita dapat bergabung dan cari musuh kita itu. Jangan bertengkar dan berolok-olok. Kita hadapi Bu-beng Sian-su dan satukan kekuatan untuk merobohkannya!"

"Ha-ha, setuju!“ Hek-bong Siauwjin bersorak. "Aku memang ingin menyatukan kekuatan, Dewi Api. Kalau kita dapat bergabung dan menghadapi kakek dewa itu maka kita dapat menebus kekalahan sekaligus sakit hati!"

"Ya, aku juga penasaran selama ini. Tapi sebelum semuanya mengerubuti biar satu per satu kita coba dulu dan masing-masing menghadapi kakek dewa itu."

"Benar, Cam kong-ciang ku jauh lebih dahsyat dibanding puluhan tahun yang lalu, Pek Kiok, Ingin kujajal dan kubuktikan dulu kepandaianku sekarang!" Cam-kong, si Pembunuh Petir berseru.

Dewi Api mengangguk. Si Manusia Busuk Dari Kubur juga tertawa, mereka bertiga tiba-tiba gatal tangan untuk mencoba dulu Bu-beng Sian-su seorang demi seorang, sebelum mengeroyok. Dan ketika masing-masing menyombongkan kesaktiannya dan mau turun gunung tiba-tiba terdengar jerit dan teriakan mengerikan di bawah.

"Keparat, siapa itu?"

"Mari lihat, ayo adu cepat, Cam-kong..!" dan Hek-bong Siauwjin yang melesat dan lenyap mendahului yang lain tiba-tiba mengajak dua temannya berlomba dan Dewi Api serta Pembunuh Patir mengangguk.

Dewi Api sudah meledakkan rambutnya dan lenyap, Cam-kong Ho Hong Siu sendiri sudah mendengus dan hilang pula. Gerakan tiga orang ini sungguh luar biasa dan tidak lumrah manusia pada umumnya, hanya tampak tiga titik meluncuri puncak dan tahu-tahu mereka sudah di bawah. Begitu cepatnya, sungguh seperti iblis saja. Dan ketika mereka tiba di bawah dan hampir bersamaan mereka berkelebat di situ maka Cam-kong dan dua yang lain tertegun melihat seorang laki-laki menjerit dan berteriak bergulingan.

"Aduh, ampun... ampun...!"

Tak ada apa-apa di situ. Orang tak mengerti kenapa laki-laki ini bergulingan seperti orang gila, bajunya robek-robek dan seluruh tubuhnya luka-luka kena cakar. Melihat lukanya seperti baru diserang harimau atau singa, penuh darah dan mengerikan. Dan ketika Cam-kong dan teman-temannya tertegun membelalakkan mata, mendadak terdengar gerengan dan sebuah sinar hitam mencelat.

"Grrrr!" Laki-laki itu menjerit. Bayangan hitam yang tak jelas apa dan siapa ini tahu-tahu menyambar, laki-laki itu menangkis tapi tiba-tiba terdengar suara "krak" dan lengannya pun putus. Mengerikan sekali, darah menyembur dan laki-laki itu roboh, berteriak ngeri dan bayangan hitam lenyap. Laki-laki itu bergulingan dan merintih.

Dan ketika kembali terdengar geraman dan bayangan itu muncul kembali dan menyambar untuk kedua kali maka laki-laki ini mengeluh ketika lengannya buntung lagi, copot dan entah bagaimana putus begitu saja dari pundaknya. Apa yang terlihat ini mengerikan sekali, laki-laki yang bergulingan dan merintih-rintih itu kehilangan kedua lengannya. Putus begitu saja. Tapi ketika laki-laki itu terguling dan hendak pingsan sekonyong-konyong bayangan itu muncul untuk ketiga kali dan menyambar dada laki-laki itu.

"Augh...!" Jerit mengerikan ini menutup isi lembah. Laki-laki itu akhirnya ambruk dengan dada berlubang, bayangan hitam yang menyambar dadanya itu sudah langsung merogoh, segumpal jantung dan paru-paru yang penuh darah dicomot. Kini terdengar tawa bergelak yang mendirikan bulu kuduk. Dan ketika bayangan itu, yang kini berhenti dan tegak di depan laki-laki yang sudah tidak bernyawa tampak jelas maka tahulah orang siapa bayangan atau mahluk mengerikin ini.

"Tok-ong-hang-sai (Singa Lapar Raja Racun)...!"

Seruan itu keluar dari mulut Cam-kong dan kawan-kawannya. Di depan mereka telah berdiri Seorang kakek tinggi besar yang rambutnya riap-riapan, berpakaian serba hitam namun tokoh yang dipanggil itu tak menggubris. Dia tertawa bergelak memandangi jantung dan paru-paru yang penuh darah itu, dua buah benda yang masih segar dan berdenyut-denyut. Lalu, ketika Cam-kong dan kawan-kawannya kembali berseru namun tidak digubris tiba-tiba jantung dan paru-paru yang masih bergerak hidup itu sudah dimasukkan ke dalam mulutnya dan dimakan.

"Ha-ha-heh-he, siapa mau menikmati makanan segar ini? Siapa mau?" kakek itu, tokoh yang mengerikan ini seolah bicara pada Cam-kong dan teman-temannya. Dia bertanya tapi sama sekali tak menoleh pada Pembunuh Petir dan dua temannya itu, mulut menggerogoti jantung dan paru-paru dan asyik memamah. Muntah orang biasa melihatnya. Tapi Cam-kong dan Dewi Ap! yang tiba-tiba terkekeh mendadak berkelebat dan menghantam, Dewi Api menyambarkan rambutnya ke muka laki-laki tinggi besar itu.

“Tok-ong, aku mau. Coba berikan padaku...wutt!" rambut melecut ke muka lawan, meledak dan menyambar, sementara Cam-kong sendiri sudah menggerakkan kedua tangannya ke depan, angin berkesiur dan pukulan itu pun menghantam dahsyat, dua pukulan menyerang dari kanan dan kiri. Tapi Tok-ong yang asyik memamah dan tentu saja tahu dua pukulan itu tiba-tiba menggereng dan menggerakkan siku ke kanan dan kiri, masih menggerogoti jantung dan paru paru.

"Des-plak!"

Tiga orang itu mengeluarkan seruan aneh. Tok-ong dan lawannya tergetar, tiga orang itu tampak mengerahkan tenaga dan Tok-ong tiba-tiba membungkuk. Secepat kilat Raja Racun ini miringkan kaki, dan ketika dia membentak dan tertawa aneh sekonyong-konyong pukulan Dewi Api disalurkan untuk menyambut hantaman Cam-kong.

"Blarr!" Letupan bagai gunung dihantam roket menggetarkan tempat itu. Cam-kong dan Dewi Api memekik, mereka merasa diperdayai dan diadu. Tentu saja masing-masing menarik serangannya dan secepat kilat mereka berjungkir balik. Dan ketika mereka meluncur turun dan memaki lawan maka Tok-ong terbahak-bahak sudah menggulingkan tubuh dan meloncat jauh di sana, masih asyik menggerogoti jantung dan paru paru.

"Keparat, kau busuk, Tok-ong. Jahanam!" Dewi Api membentak, gusar.

"Ya, dan kau pengecut, Tok-ong. Licik mengadu kami!" Cam-kong yang marah dan mendelik juga membentak. Tadi mereka hampir diadu oleh Raja Racun itu, tapi Raja Racun sendiri yang terbahak-bahak dan tertawa bergelak tiba-tiba mengeluarkan suaranya yang parau,

“Hee, kau Cam-kong, siapa suruh menyerang aku? Dan kenapa Dewi Api itu juga ikut-ikutan menyerang? Bukankah sepantasnya kalau pukulan kalian ku kembalikan berikut bunganya? Ha ha, tak perlu melotot, Cam-kong. Kita boleh bertanding kalau ingin melihat siapa yang kuat...ger!" tawa Raja Racun itu tiba-tiba berobah menjadi geraman, jantung dan paru-paru sudah habis dilahap dan laki-laki mengerikan ini mengusap mulut yang penuh darah, matanya meliar dan berputar-putar.

Tapi Hek-bong Siauwjin yang mencelat dan tertawa aneh tiba-tiba berseru, "Stop, tahan! Tak perlu bertempur kalau kita sesama golongan!" dan tertawa memandang semuanya. iblis cebol ini melanjutkan, "Cam-kong, dan kau Dewi Api. Ternyata kita berempat masih hidup dan segar bugar. Bagaimana kalau sekarang kita mencari Bu-beng Sian-su itu dan menantangnya? Kita semakin kuat, nenek siluman. Tak mungkin kakek itu dapat menghadapi dan memenangkan kita!"

"Hm... terserah Cam-kong. Apakah Singa Lapar ini perlu diikutkan?"

"Heh, aku telah mendengar semua percakapan kalian di puncak. Dewi Api. Kalau aku tak boleh ikut maka kau harus berhadapan dulu dengan aku dan bertanding. Atau Pembunuh Petir ini kurogoh jantungnya dulu dan biar dia kutahan di sini!"

"Keparat!" Cam-kong mendelik. "Kau selamanya sombong, Tok-ong. Dapatkah kau membunuhku dan menahanku? Mari, kita boleh bertanding, Tok-ong. Lihat siapa yang akan roboh kau ataukah aku!"

"Tidak, jangan!" Hek-bong Siauwjin buru-buru mengangkat kedua lengannya mencegah. "Kita masing-masing setingkat, Cam-k9ng. Sekali bertanding tentu tak mau sudah kalau belum seorang di antaranya roboh. Kau dan Tok-ong bisa sama-sama mati, rugi aku dan nenek siluman itu nanti. Tidak, kita berdamai dan musuh kita adalah Sian-su!"

"Hm!" Dewi Api mengangguk, sadar. "Apa yang diomongkan Siauwjin memang benar, Cam-kong. Sekali kita bertanding dan ribut sendiri tentu semuanya akan sampyuh. Musuh utama kita masih hidup, sebaiknya tak perlu cekcok dan biar Tok-ong bersama kita!"

"Bagaimana?" Siauwjin kini berseri-seri. "Dewi Api telah mendukungku, Cam-kong. Kita harus bergabung dan berempat menghadapi Sian-su tentu kita berhasil!"

"Terserah Singa Lapar itu," Cam-kong mendengus. "Aku tak keberatan kalau dia tak macam-macam, Siauwjin. Tapi kalau dia mau coba-coba denganku tentu saja boleh!"

"Heh, kalian tak usah berpanas-panasan," Dewi Api meledakkan rambutnya. "Tok-ong dan kita semua satu, Cam-kong. Kita barus bersahabat dalam menghadapi Bu-beng Sian-su!"

"Benar," Hek-bong Siauwjin tertawa. "Tak usah mendongkol oléh sikapnya, Cam-kong. Kau selamanya tahu bahwa Tok-ong memang begitu. Sudahlah, kita bersatu dan jangan hiraukan omongan Tok-ong."

"Ya, dan aku pemimpin," Tok-ong tiba-tiba menyela, melompat maju. "Kalian semua tunduk perintahku, Siauwjin. Atau..."

"Tar-tarr!" Dewi Api meledakkan rambut, marah dan akhirnya tak tahan juga. “Kau tak perlu pongah, Tok-ong. Atau kau kami keroyok dan bunuh!"

"Hm," Siauwjin akhirnya mendongkol juga. "Kau tak perlu memimpin, Tok-ong. Kita semua setingkat dan sama rata. Kalau kau macam-macam tentu kami tak dapat mengampunimu dan membunuh. Apakah kau perlu dihajar?"

“Kalian mau mengeroyok?" Raja Racun itu tertawa bergelak. "Boleh, Siauwjin. Hayo coba-coba dan mari berhantam!" dan Raja Racun itu yang tiba-tiba berkelebat menghantam iblis cebol ini tahu-tahu sudah menyerang dan melepas pukulan ke arah temannya itu, dikelit dan pukulan meledak dan Raja Racun ini menerjang kembali, tapi dua kali dua kali pukulannya menghantam pula Iblis Busuk Dari Kubur itu mengelak.

Dan ketika Hek-bong Siawjin melotot juga dan memberi tanda pada teman-temannya maka Dewi Api dan Pembunuh Petir bergerak, maju membentak dan melepas pukulan ke Raja Racun itu. Repotlah Raja Racun ini. Dia sebenarnya main-main, tentu saja tak sungguh-sungguh. Dan ketika dia dikeroyok dan berganti-ganti Siauwjin dan dua temannya melepas pukulan dari tiga penjuru akhirnya iblis berpakaian hitam ini berkaok-kaok dan jatuh bangun, menyatakan tobat dan akhirnya melesat melarikan diri.

Siauwjin yang tertawa melihat itu menyuruh dua temannya berhenti menyerang, sesungguhnya Tok-ong tadi menguji kepandaian dengan mereka bertiga, mendapat kenyataan bahwa mereka berimbang dan satu dikeroyok tiga tentu saja iblis ini berat. Dan ketika lawan melarikan diri dan dari jauh Raja Racun itu menyatakan tahu di mana Bu-beng Sian-su berada maka Cam-kong dan teman temannya mengejar, bukan untuk menyerang melainkan mengikuti Raja Racun itu, tak lama kemudian berendeng dan masing-masing sama tertawa, aneh orang orang ini.

Dan karena mereka bukan manusia-manusia biasa dan ilmu lari cepat mereka tak lumrah manusia lainnya maka bagai terbang saja akhirnya Tok-ong dan teman-temannya ini menuju ke selatan, berbelok dan akhirnya lenyap di antara lebatnya hutan-hutan besar. Mereka itu hanya tampak melesat dan hilang di kejauhan, akhirnya orang tak tahu ke mana mereka pergi.

Dan ketika orang di kota Ci-nong mendengar dentuman atau ledakan-ledakan di Bukit Malaikat maka akhirnya orang tahu bahwa semalam Bu-beng Sian-su menghadapi lawan lawan tangguh dan empat orang itu mundur setelah kalah, tersebar berita bahwa Bu-beng Sian-su menjanjikan sepasang cermin yang katanya berisi ilmu kesaktian untuk mengalahkan empat orang lawannya itu.

Cam-kong dan kawan-kawannya hanya dikenal sebagai tokoh Barat dan Timur, orang tak banyak tahu tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Bukit Malaikat itu. Dan ketika cerita itu tersebar dari mulut ke mulut dan cerita yang sudah dibawa orang ini ditambah atau dikurangi menurut watak masing-masing maka hari itu semua orang menuju ke Bukit Malaikat untuk menagih janji Sian-su!

* * * * * * * *

"Begitulah, ini yang kami dengar, nona. Katanya Bu-beng Sian-su menghadapi tokoh-tokoh amat luar biasa dan hari ini akan memberikan cerminnya. Kami tak tahu benar atau tidak tapi nyatanya orang orang kangouw berdatangan dan telah berkumpul..."

Begitu Swat Lian mendengar cerita seorang tamu penginapan, kebetulan pengunjung atau bekas penonton kejadian di Ce-bu dulu. Swat Lian dan suhengnya dikenal dan segera orang itu mendekat. Orang ini adalah pengagum keluarga Hu. Dan ketika orang itu menyelesaikan ceritanya dan Swat Lian tertarik maka gadis memandang dua suhengnya dengan mata bersinar sinar.

“Bagaimana, suheng? Kita bergerak sekarang juga?"

"Hm, masih terlampau pagi, sumoi. Tapi tak apa kalau kau mau."

"Sian-su akan muncul pagi ini, siauwhiap. Katanya sebelum matahari panas benar!" Orang ini yang banyak bercerita dan memberi tahu tiba'tiba menimpali. "Aku juga akan ke sana dan kalau boleh bergabung dengan kalian!"

Swat Lian saling pandang. "Apakah suheng setuju?"

"Maaf." Gwan Beng bicara. "Kau boleh saja ikut rombongan kami, saudara. Tapi keselamatan dan lain-lain kami tak berani tanggung. Dan lagi ilmu lari cepatmu itu tak dapat mengimbangi kami."

"Ah...." orang itu sadar. "Baiklah, siauwhiap, aku mengerti. Kalau begitu biar aku jalan sendiri dan mudah-mudahan kita bertemu lagi di Bukit Malaikat."

"Kau bilang Bukit Malaikat terhalang jurang, dapatkan kau melompati itu?"

"Aku akan mencoba, siauwhiap. Tapi kalau gagal biarkan aku menjadi penonton dari jauh."

Gwan Beng tersenyum, merasa kasihan. Pagi itu percakapan berhenti dan mereka pun berkemas, orang itu tahu diri dan Gwan Beng lega. Memang, membawa orang yang kepandaiannya masih rendah dan coba bergabung dengan mereka tentu hanya merepotkan saja. Sute dan sumoinya tentu tak suka, perjalanan jadi terganggu dan syukur orang itu tahu diri, tidak tersinggung atau pun marah setelah mendengar kata-katanya tadi.

Dan ketika pagi itu mereka siap dan cerita tentang Bu-beng Sian-su telah mereka dengar secara singkat maka pagi itu juga Gwan Beng mengajak Sute dan sumoinya berangkat, bukan untuk memperoleh cermin seperti yang di idam-idamkan orang banyak melainkan semata hanya ingin melihat dan mengikuti keramaian. Apalagi tokoh dewa macam Bu-beng Sian-su dikabarkan akan muncul di sana, tentu ramai. Dan ketika mereka berkelebat dan pagi itu juga, meninggalkan penginapan maka di sepanjang jalan mereka melihat ratusan orang berbondong-bondong ke satu arah.

"Hm, tak kurang dari tiga ratus orang. Mungkinkah semuanya mampu ke bukit itu?"

"Entahlah, kita lihat saja, sumoi dan mari kita dahului mereka itu!"

Gwan Beng berkelebat, mengajak sumoinya mengerahkan ginkang dan orang-orang di sepanjang jalan terbelalak dan terpekik melihat berkelebatnya bayangan tiga muda mudi ini. Mereka hanya merasa angin berkesiur di samping mereka, bayangan pun lenyap dan tahu-tahu tiga orang muda itu telah berada jauh di depan. Dan ketika beberapa di antaranya ada yang mengenal Swat Lian dan Gwan Beng sebagai orang-orang muda yang mengalahkan Hwa-i-paicu dan Pak-tung Lo-kai maka mereka berseru tertahan.

"Aih, murid Hu-taihiap....!"

"Ya, dan puterinya juga, Hu-siocia!"

Swat Lian dan suhengnya tak menghiraukan. Mereka hanya tersenyum saja dan melesat mengerahkan ilmu lari cepat. Bukit Malaikat tahu-tahu telah berada di depan mata dan mereka berpacu. Dan ketika tak lama kemudian mereka tiba di bawah bukit itu dan benar saja sebuah jurang yang dalam ada di bawah bukit itu maka Swat Lian dan suhengnya berhenti dan melihat puluhan orang telah berada di sini pula.

"Berhenti, jangan menarik perhatian!" Gwan Beng mengembangkan lengannya, menyuruh sute dan sumoinya berhenti dan mereka bertiga pun sudah tak jauh dari Bukit Malaikat. Bukit itu tidak begitu tinggi, namun karena terbilang jurang dan melewati jurang itu saja sudah merupakan pekerjaan sukar maka walhasıl hanya orang-orang berkepandaian tinggi saja yang akan dapat menyeberang. Gwan Beng mengerutkan keningnya sejenak.

"Bagaimana?" Hauw Kam, sang sute bertanya. "Apakah kita lewat dan membuat tambang?"

"Hm, membuat tambang tentu dapat ke sana, sute. Tapi perbuatan kita diketahui orang banyak dan ini hanya menarik perhatian saja."

"Kalau begitu kita turun ke jurang itu, naik dan merayap di dinding sebelah sana."

"Benar," Swat Lian yang pernah menuruni jurang berseru, "Aku pernah memasuki jurang itu, suheng. Kita dapat bergerak di bawah dan melompati dinding sebelahnya."

"Ini pun akan diketahui orang," Gwan Beng tak setuju. "Sebaiknya kita putar, sumoi. coba lihat barangkali di sebalik bukit itu ada jalan lain."

Hauw Kam dan sumoinya mengangguk. Mereka sudah mengikuti jejak kakak tertua itu, Gwan Beng berkelebat dan menghilang ke kiri. Di situ mereka memutar dan coba mencari jalan di seputar bukit. Tapi ketika tak ada jalan lain karena di bagian ini pun terdapat sungai yang deras arusnya maka Gwan Beng tertegun sementara belasan orang berperahu tiba-tiba muncul di sungai itu.

"Hei, kalian mau ke mana? Mari, ikut kami, nona manis. Perahu kami masih besar dan cukup untuk menampung seorang!"

"Ha-ha, benar. Tapi yang seorang itu harus kau, nona. Jangan dua temanmu itu. Kami tak butuh laki-laki!"

Swat Lian merah mukanya. Orang orang kurang ajar yang ada di atas perahu itu berteriak padanya, semua cengar cengir dan hampir dia menggerakkan lengan. Dari jarak jauh dia dapat menjungkir balikkan perahu itu. Tapi sebelum dia bergerak dan mau menghajar orang-orang itu mendadak Hauw Kam menuding dan berseru,

"Eh, Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)!”

Swat Lian terkejut. Bersama twa-hengnya dia cepat menoleh, melihat sebuah bayangan berkelebat cepat di seberang sungai. Orang-orang diatas perahu itu pun menengok dan tertegun, seorang pemuda berambut keemasan meluncur dan mendaki bukit, entah dari mana dia datang, cepat dan sebentar kemudian dia menghilang di atas bukit itu. Dan ketika Swat Lian tertegun dan suhengnya juga terbelalak mendadak terdengar jerit dan pekik orang orang di atas perahu itu.

“Hei, awas...!"

Swat Lian dan suhengnya terkesiap. Mereka melihat perahu yang ditumpangi belasan orang itu tiba-tiba menghantam batu besar, tadi batu itu tertutup arus yang bergelombang dan kini kelihatan setelah gelombangnya surut, sekejap saja kejadian itu tapi perahu tiba-tiba pecah dan berantakan. Orang-orang ini pun tadi tertegun memandang bayangan di atas bukit itu, bayangan yang disangka Kim-mou-eng. Dan ketika perahu berderak patah dan orang-orang itu terpelanting maka semuanya tercebur ke sungai dan hanyut.

"Eh, tolong... tolong...!"

Swat Lian terkesiap. Jiwa kemanusiaannya langsung bangkit, dia mau bergerak dan menolong. Tapi belum dia berkelebat tiba-tiba belasan orang yang terseret arus ini terbanting batu batu yang mencuat dan mengeluh, enam di antaranya menjerit dan tenggelam, kepala mereka kena benturan keras dan pingsan.Celakalah orang orang itu. Dalam keadaan pingsan sudah terbawa arus dan tenggelam, tak ada harapan untuk hidup. Dan Ketika Swat Lian tertegun dan mau melompat tiba-tiba yang lain ditumbuk sebuah perahu hitam yang dikemudikan seorang Kakek berpakaian hitam yang tiba-tiba muncul di situ dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, mampus kalian, cecunguk-cecunguk busuk. Siapa suruh kalian datang kemari. Hayoh, menghadap Giam-lo-ong. Pergi ke neraka!"

Jerit dan pekik terdengar di situ. Kakek itu menggerakkan lengannya dua kali, orang orang itu pecah kepalanya dan tenggelam. Air menjadi merah dan cepat seperti datangnya tahu-tahu kakek di atas perahu itu telah menghilang, semua ini bagai mimpi saja dan Swat Lian serta suhengnya terkejut. Apa yang dilihat itu bagai mimpi buruk. Sungguh mengejutkan. Dan ketika Swat Lian dan suhengnya bengong tiba-tiba terdengar kekeh wanita dan sebuah perahu lain muncul, tanpa penumpang!

"Hi-hik, kau menakut-nakuti orang, Tok-ong. Kenapa begitu telengas dan kejam? Aih, kau terlalu. Lihat ada penonton yang bengong!"

Swat Lian dan suhengnya terkesima. Mereka bergidik tapi juga heran melihat ada perahu dapat meluncur di tengah-tengah arus sungai yang deras itu, tanpa penumpang tanpa pengemudi. Tapi begitu Swat Lian mengerahkan pandangannya dan dua suhengnya juga mengerahkan kekuatan batin mendadak mereka melihat sesosok asap hitam berada di atas perahu itu, sosok yang tidak jelas tapi menyerupai manusia, bentuk seorang wanita.

“Dewi Api Naga Bumi....!"

Hauw Kam tertegun. Dialah yang berseru tadi, teringat cerita di rumah penginapan dan perahu di tengah sungai itu tiba-tiba berhenti. Berhenti begitu saja, seolah di-rem. Tentu orang biasa akan terkejut melihat kejadian luar biasa itu, sebuah perahu berhenti di tengah-tengah arus yang deras, tanpa penumpang. Atau, penumpangnya barangkali mahluk halus! Dan, ketika Hauw Kam mengeluarkan seruannya tadi dan dua saudaranya yang lain bengong mendadak terdengar kekeh itu lagi dan perahu kini berputar ke arah Hauw Kam dan suheng serta sumoinya!

"Hi hik, kau mengenal aku, anak muda? Itu sebuah kehormatan. Ayo ikut kemari dan naiklah....!"

Hauw Kam berteriak. Tiba-tiba dia merasa serangkum angin dahsyat menyambar ke arahnya, Hauw Kam berkelit tapi roboh terguling. Dan ketika pemuda itu menjadi kaget dan mencelos sekonyong-konyong tubuhnya tertarik naik dan terbang ke perahu yang tidak ada orangnya itu.

"Suheng...!" Swat Lian pucat bukan main. Dia melihat suhengnya terbanting di atas perahu itu, berdebuk dan suhengnya mengeluh. Lalu, sementara Swat Lian terkesiap dan Gwan Beng juga tersentak mendadak perahu itu berputar haluan dan meluncur menjauhi mereka.

"Suheng...!" untuk kedua kali Swat Lian berteriak. Gadis ini melengking dan gelisah, kini mencelat dan berjungkir balik mengejar perahu itu. Tapi ketika dia melayang dan berjungkir balik di udara tiba-tiba kekeh itu terdengar lagi dan Swat Lian mendengar kata-kata lirih.

“Pergilah!"

Hanya itu yang didengar Swat Lian. Setelah itu dia tak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya didorong sebuah tenaga dahsyat, begitu dahsyat hingga tubuhnya terlempar kembali ke darat. Gadis ini terbanting dan terguling-guling di tanah. Dan ketika dia mengeluh dan Gwan Beng berseru keras memburu sumoinya maka Swat Lian melompat terhuyung dan merasa pening.

"Aih, celaka. Ji-heng (kakak kedua) diculik siluman!"

"Hm," Gwan Beng menangkap lengannya, lebih memperhatikan gadis ini. "Kau tak apa-apa, sumoi?"

"Tidak, tapi... eh, kenapa kepalaku pening? Aduh, bumi, rasanya berputar, suheng. Aku tak tahan!" Swat Lian tiba-tiba terguling, suhengnya terperanjat dan Gwan Beng cepat menotok pundak sumöinya itu. Entah dengan pukulan atau ilmu siluman apa sumoinya ini diserang nenek dahsyat itu, cepat Gwan Beng menyalurkan sinkang dan mengeluarkan obat penawar racun. Barangkali sumoinya tadi mendapat serangan beracun. Dan Ketika tak lama kemudian sumoinya bangun berdiri dan pucat, memandang kedepan maka Swat Lian sudah merasa sehat kembali dan tidak pening.

"Iblis, nenek itu benar-benar iblis!"

"Kau tak apa-apa?" Gwan Beng tetap lebih memperhatikan sumoinya ini dari yang lain. “Kau sudah sembuh, sumoi?"

"Ya, tapi kenapa kau tak mengejar ji-heng, suheng? Kenapa kau membiarkan dia diculik orang?"

"Sabar, semuanya berlangsung cepat, sumoi, Aku tak menduga kalau kam-sute dapat dibawa begitu mudah. Dewi Api Naga Bumi kiranya betul-betul nenek dahsyat, dia muncul dan sungguh bukan dongeng, bagaimana kalau kita mencari perahu?"

"Ya, cepat, suheng. Kita harus mencari Kam suheng dan mengejar nenek iblis itu. Dia tadi berlindung di balik asap, dia iblis berbahaya yang harus kita waspadai!”

“Benar, tapi jangan sembrono, sumoi. Sekarang kita kehilangan seorang teman dan tinggal kita berdua. Ayo, kita cari perahu dan kejur nenek itu!”

Gwan Beng juga gelisah, bingung dia mencari perahu tapi tak ada sebuah pun kendaraan air disitu. Sungai itu hampir tak dapat direnangi, cukup lebar dan kuat arusnya, satu-satunya jalan memang harus berperahu dan itu pun harus hati-hati. Di tengah banyak batu mencuat dan hitam serta tajam, ujungnya digosok setiap hari oleh arus sungai yang kuat. Dan ketika mereka kebingungan dan gugup mencari perahu tiba-tiba muncul seorang kakek cebol dengan perahu pendek yang kedua sampingnya diberi batang pisang, sebagai pengimbang.

“Hen heh, mencari apa kalian, anak-anak?"

Gwan Beng terkejut. Seperti siluman atau hantu saja tahu-tahu kakek cebol di atas perahu pendek itu sudah ada di dekatnya, begitu dekat hingga sekali raih agaknya kakek itu dapat menyambarnya! Gwan Beng terkesiap. Dan ketika dia terbelalak dan mundur secara otamatis mendadak kakek itu mengulurkan lengan dan tertawa.

"Naiklah, mari kita bersama!"

Gwan Beng seperti disengat listrik. Lengan si kakek sudah menjulur dekat, dia mundur tapi lengan itu memanjang .Bukan main, lengan ini seperti karet! Dan ketika Gwan Beng membentak dan tentu saja menangkis tahu-tahu lengan yang terulur itu melejit dan dia pun sudah terangkat dan terlempar ke dalam perahu.

“Bluk...!" Gwan Beng terbanting bergulingan. Kejadian itu luar biasa cepat dan dia tak dapat mengelak. Pemuda ini terkesiap sementara sumoinya di sana berteriak tertahan. Swat Lian kaget bukan main melihat suhengnya roboh. Tapi ketika gadis itu membentak dan mau menyerang sekonyong-konyong perahu berputar dan meluncur jauh terbang di atas permukaan air, lenyap di kejauhan sana.

"Heh-heh, kau ikut aku, anak muda. Selamat bertemu!"

Swat Lian memekik. Dia jadi ditinggal sendirian di tempat itu, perahu sudah menghilang dan dia tak dapat mengejar. Tapi Swat Lian yang tentu saja tak mau diam dan memaki sambil memburu akhirnya menemukan sebatang pohon pisang, langsung membabat dan membuat getek. Cepat dan darurat dia menyambung nyambung batang pisang itu. Tapi ketika getek ini mau dilempar ke sungai dan dia siap menumpangi mendadak terdengar suara gaduh dan jerit kesakitan di belakang.

“Aduh, ampun... tobat...!"

"Aduh, mati aku....!"

Swat Lian tertegun. Dari arah jurang di mana pertama kali dia bersama suhengnya datang ternyata berlari puluhan orang yang tunggang langgang. Mereka ini jatuh bangun dan menjerit jerit, di belakangnya terdengar geraman dan bentakan. Dan ketika dia terbelalak dan orang itu berlari-larian saling tubruk maka tampaklah sesosok tubuh tinggi kurus menggeram geram di belakang orang-orang ini.

"Kalian tikus-tukus busuk, pergi...!"

Swat Lian terkejut. Orang yang menggeramgeram ini menggerak-gerakkan kedua lengannya, angin pukulan dahsyat menyambar dan orang orang itu pun terpelanting. Ada yang dapat bangun tapi ada pula yang tidak, yang sial ini mengerang dan merintih karena kaki atau tangan mereka patah. Swat Lian terbelalak. Dan karena mereka itu mendekatinya dari beberapa di antaranya melihat dirinya dan mengenalnya maka seorang di antaranya berteriak,

"Hu-siocia, tolong. Kami di amuk Cam-kong!”

Swat Lian tersentak. Sekarang dia mengenal kiranya orang di belakang itu adalah Cam-kong, tokoh dahsyat dari Himalaya, tokoh barat. Jadi satu dari sekian manusia luar biasa golongan Tok-ong dan lain-lainnya itu. Dan teringat bahwa suhengnya Hauw Kam dan Gwan Beng diculik dua di antara empat tokoh mengerikan ini mendadak Swat Lian melengking dan berkelebat menerjang tokoh itu, laki-laki tinggi kurus yang mukanya pucat serta bermata cekung.

"Cam-kong, kau iblis jahanam keparat. Mampuslah!"

Cam-kong, si Pembunuh Petir tertegun. Swat Lian memapak dan menyambarnya, tidak lari dan justeru menyerang. Heran dan kaget iblis ini. Tapi mendengus dan mengibaskan lengannya dari jauh tiba-tiba iblis itu membentak dan menggeram.

"Plakk!” Swat Lian tunggang-langgang. Gadis itu memekik dan terbanting bergulingan, pukulannya tadi disambut pukulan jarak jauh dan ia terlempar, Bukan main kagetnya gadis ini. Tapi ketika ia melompat bangun dan menyerang lagi tiba-tiba terdengar suara lembut yang bernada memerintah.

"Cam-kong, di wilayah ini tak boleh kau membunuh. Kalau ingin datang ke puncak datanglah baik-baik, jangan kotori dengan darah!"

Cam-kong, Pembunuh Petir terkejut. Ia mengeluarkan suara aneh dari hidung, pukulan Swat Lian dielak. Lalu melengking dan mengeluarkan suara mirip tangis mendadak tokoh itu berkelebat dan hinggap di atas air, di permukaan sungai.

"Bu-beng Sian-su, kau kakek keparat. Di mana-mana bertemu selalu memerintah....ittttt!" dan meringkik mirip kuda digebuk pantatnya sekoyong-konyong kakek ini menggerakkan kedua lengannya. Lalu sementara Swat Lian dan lain tertegun tiba-tiba kakek itu meluncur maju dan sudah terbang di atas air, menghilang!

"Iblis...!"

"Kakek luar biasa...!"

Swat Lian dan lain-lain bengong. Mereka tak melihat lagi kakek itu, Cam-kong atau Pembunuh Petir ini telah melayang atau berjalan di atas air. Itulah kesaktian luar biasa dari ilmu meringankan tubuh atau ginkang yang sudah mencapai puncaknya. Dengan kaki dan tanpa bantuan apa-apa Cam-kong lenyap di kejauhan sana, tak lama kemudian melihat sebuah titik kecil di atas bukit. itu pun tak lama karena kemudian titik ini pun lenyap lagi. Dan ketika semua orang mendelong dan kagum serta gentar mendadak Swat Lian meloncat dan hinggap pula di atas getek pisangnya, mengayuh dan membentak dan sebentar kemudian gadis itu mengejar Cam-kong.

Orang-orang berseru tertahan karena itu pun perbuatan berbahaya. Arus sungai itu deras dan perahu biasa pun dapat pecah terhantam batu-batu hitam. Swat Lian tentu saja harus berhati-hati dan mengemudikan perahu anehnya ini dengan cermat. Dan ketika gadis itu menggerak gerakkan kedua tangannya dan tanpa dayung di tangan pun ia dapat menyelinap di arus yang deras dan akhirnya menghilang di kejauhan sana orang pun menjadi kagum dan takjub. Beberapa di antaranya mencoba tapi terguling. Sungai terlalu berbahaya untuk diseberangi!

Dan karena orang-orang ini sebagian besar hanya terdiri dari orang-orang kang-ouw tingkat rendahan dan mereka tak dapat ke Bukit Malaikat maka hanya beberapa gelintir dan memiliki kepandaian cukup saja dapat menyeberang. Beberapa di antaranya mencari jalan lain tapi di belakang bukit adalah rawa, ini pun berbahaya dan tak kalah gawat. Kembali hanya orang-orang yang berkepandaian cukup yang hanya dapat melewati semua halangan itu. Dan ketika orang ribut-ribat sendiri dan sebagian besar akhirnya menjauh dari tempat berbahaya itu maka di sana Swat Lian telah berhasil menyeberang dan naik ke Bukit Malaikat.

Apa yang dicari? Tentu saja suhengnya Gwen Beng dan Hauw Kam. Tadi dua orang Suhengnya itu diculik nenek Dewi Api dan kakek cebol. Swat Lian tersentak karena ia teringat Hek-bong Siauw jin. Keparat! Suhengnya dalam bahaya dan dia harus menolong. Tapi ketika ia berkelebatan di atas bukit itu dan memaki memanggil manggil lawannya mendadak sesosok bayangan berkelebat dan Kim-mou-eng muncul.

"Adik Swat Lian tunggu! Jangan terus naik keatas...!"

Swat Lian tertegun. Di depannya telah berdiri orang yang selama ini mengganggu tidurnya, Kim-mou-eng tampak kurus namun gagah. Pendekar Rambut Emas itu agak kusut namun sinar matanya tajam bersinar-sinar. Dan ketika Swat Lian berhenti dan Kim-mou-eng berdiri di depannya tiba-tiba gadis itu terisak dan ingat kenangan lama.

"Kim-twako, kau....?"

"Ya, jangan ke puncak, Swat Lian. Terlalu berbahaya dan gawat. Suhu memerintahkan aku agar mencegah siapa pun datang ke sana. Tokong dan teman-temannya memasang ranjau....!" dan baru kata-kata ini selesai diucapkan mendadak terdengar dentuman dan jerit di sebelah kiri. Tiga sosok tubuh mencelat di udara, pekik mengerikan itu menyayat telinga. Dan ketika sosok tubuh tu terbanting dan Swat Lian terkejut mendadak terdengar lagi gelegaran di sebelah kanan dan jerit serta pekik kematian mengguncang bulu kuduk.

"Keparat, Tok-ong dan kawan-kawannya benar-benar keji...!"

Kim mou eng berkelebat, Swat Lian disambar dan cepat mereka sudah di tempat kejadian itu. Enam potong tubuh tergelimpangan di sana-sini. Swat Lian bergidik. Darah dan potongan kaki bercecer di situ, sungguh keji. Mengerikan. Tapi ketika Swat Lian hendak melepaskan dirinya dan bertanya tentang sesuatu mendadak berkesiur tiga angin dingin dan dua orang tosu serta seorang hwesio muncul.

"Omitohud, inikah kau, kim-taihiap? Mana gurumu Bu-beng Sian-su?"

“Siancai, perbuatan Tok-ong kah ini, taihiap? Mana empat datuk iblis yang jahat itu?"

Kim mou-eng dan Swat Lian tertegun. Di depan mereka berdiri tiga orang gagah yang matanya tajam berkilat-kilat. Dapat datang ke tempat itu saja sudah menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan, Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas tercekat. Tapi sebelum dia menjawab tiba-tiba Swat Lian yang maju mendahului dan rupanya mengenal hwesio di depan bertanya,

"Maaf, bukankah ini Bi Kong lo-suhu dari Siu-lim?"

"Benar, dan kau Hu-siocia, nona? Mana ayahmu?"

"Ah!" Swat Lian yang terkejut tapi girang tiba-tiba berseru, bertanya lagi, "Apakah lo-suhu melihat dua suhengku dalam perjalanan ke mari? Tidakkah bertemu nenek siluman Dewi Api atau iblis cebol Hek-bong Siauwjin?"

“Omitohud, tidak, nona. Apakah maksudmu saudara Gwan Beng dan Hauw Kam?"

"Ya, benar, mereka itu!" tapi belum gadis ini melanjutkan, Kim-mou-eng sudah menyentuh lengannya dan maju ke depan.

"Maaf, ketua Siu-lim rupanya. Lo-suhu kah yang bernama Bi Kong Hwesio? Dan siapakah dua ji-wi locianpwe ini?"

"Siancai, aku Yang Te Cinjin, Kim-taihiap. Dan ini rekanku Ciu Sek Tosu."

"Aih, ketua Hong-san dan Liong-san kiranya. Maaf, aku tak tahu...!" dan Kim mou-eng yang tampak terkejut dan buru-buru menjura lalu menghadapi tiga ketua partai itu dengan muka tegang. Baru sekarang tahu bahwa inilah ketua-ketua dari partai persilatan terkenal, satu di selatan sementara yang lain terletak di barat, di perbatasan Himalaya, bersebelahan dengan Kun-lun. Dan ketika tiga orang hwesio dan tosu itu balas menjura dan Swat Lian tertegun maka Bi Kong Hwesio, hwesio yang pertama itu merangkapkan lengannya kembali, tokoh atau orang pertama dari Siu-lim..

"Taihiap, benarkah hari ini gurumu yang terhormat Bu-beng Sian-su akan mengadakan keramaian? Bolehkah kami bertiga bertemu dan memperkenalkan diri?"

"Maaf, hari ini suhu tak mengadakan apa-apa, lo-suhu. Hanya empat iblis dari Timur dan Barat itulah yang mengacau. Mereka ingin membalas dendam, kini datang dan membuat keonaran. Kalau sam-wi (kalian bertiga) ingin bertemu tentu saja tak ada yang menolak tapi keadaan sekarang gawat!"

“Pinto (aku) sudah mendengar," Yang Te Cinjin, ketua Hong-san berkata. "Kami semua sudah mendengar itu, taihiap. Dan kami juga mendengar janji gurumu untuk memberi Cermin Naga. Terus terang, kami ingin melihat dan berkenalan. Kalau perlu melihat dan menemui Hek-bong Siauwjin dan lain-lainnya itu untuk membuktikan apakah benar mereka masih hidup atau hanya omong kosong!"

"Mereka benar masih hidup," Kim-mou-eng menjawab. "Tapi sepak terjang atau tindak-tanduk mereka luar biasa, totiang. Aku sendiri belum berhadapan tapi hari ini mereka berjanji datang!"

"Apakah sebenarnya yang terjadi? Bolehkah jauh-jauh kami mendengar?"

"Maaf, suhu belum menjelaskannya secara lengkap, totiang. Tapi kalau kalian ingin ke puncak boleh kuantar. Mari....!" tapi belum Kim-mou-eng berkelebat tiba-tiba Swat Lian menegur,

"Kim-twako, apakah mayat-mayat ini akan dibiarkan saja?"

"Ah," Kim-mou-eng sadar. "Betul, Swat Lian, tapi....”

"Biar pinto bersihkan!" Bi Kong Hwesio, tokoh atau ketua Siu-lim tiba-tiba bergerak. Dia mencabut sebatang dahan dan langsung menusuk tanah, mencongkel dan sebentar kemudian lubang besar cukup untuk beberapa mayat itu tersedia. Cepat sekali kerjanya, juga luar biasa. Dan ketika Swat Lian menutup hidung tak tahan oleh keadaan mayat yang terpotong-potong itu bergerak membantu tahu-tahu hwesio ini telah menggerakkan kakinya dan mayat-mayat itu pun masuk semua ke lubang yang dibuat, tak ada satu menit! Lalu membersihkan dan mengebut bajunya dari kotoran yang melekat. Hwesio itu berkata,

“Nah, sekarang kita siap, nona. Tapi beberapa sahabat rupanya keburu datang...!" angin berkesiur dan beberapa bayangan berkelebat.

Swat Lian sebenarnya juga sudah mendengar itu, kagum pada ketajaman hwesio ini dan muncullah di situ beberapa orang yang gagah dan keren, satu di antaranya memiliki kumis panjang sampai di bawah dagu, seorang tosu semacam Ciu Sek atau Yang Te Cinjin itu. Dan ketika Bi Kong Hwesio membalik dan tentu saja tak jadi pergi maka hwesio ini terkejut buru-buru merangkapkan kedua tangannya.

"Aih, Swan Cong Tojin kiranya! Omitohud, kau juga datang ke mari, totiang? Bersama Kwi Hiang Hosiang? Ah, Buddha yang welas asih mempertemukan kita. Omitohud...!!" hwesio ini menjura dalam-dalam, Swat Lian dan Kim-mou-eng terkejut karena itulah ketua-ketua Kun-lun dan Go-bong-pai. Mereka tertegun dan seketika terbelalak, tentu saja terkejut. Dan ketika Bi Kong Hwesio memberi hormat dan cepat dibalas maka Swan Cong Tojin, ketua Kun-lun itu merangkapkan kedua tangannya. "Siancai, tak diduga kau ada di sini pula, Bi Kong lo-suhu. Dan ini agaknya rekan Yang Te Cinjin dan Ciu Sek Tosu?”

“Benar, kami datang bersama Kwi Hiang lo-suhu. Barangkali saja kita seiring dan setujuan. Dan ini Kim-mou-eng, bukan?”

Kim-mou-eng mengangguk, cepat memberi hormat. "Totiang, jauh-jauh kau datang ke mari, tentu mendengar tentang desas-desus itu dan tertarik. Totiang ingin mencari siapa?"

"Siancai, pinto ingin bertemu gurumu, taihiap. Dan juga Tok-ong dan kawan-kawannya itu. Benarkah mereka ada dan masih hidup?"

"Suhu mengatakannya begitu, totiang. Tapi aku pribadi belum pernah bertemu..."

Sepasang Cermin Naga Jilid 05

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"MENINGGAL dunia?" tiga seruan berbareng terdengar hampir bersamaan, Swat Lian dan dua kakaknya terkejut, serentak berseru.

"Apakah kau tak bohong?"

"Hm, aku wakil Kim-taihiap di sini, nona Tak perlu bohong dan tak usah bohong. Maaf ku tanya kembali, siapakah nama kalian dan ada perlu apa?"

"Aku Swat Lian. Hu Swat Lian..." Swat Lian tergetar, entah kenapa tiba tiba ada semaçam kegirangan dan rasa puas! "Aku puteri Hu Bêng kui, sobat. Dan mereka ini dua suhengku."

"Oh, Hu-taihiap maksudmu?" Salinga tertegun, terkejut juga. "Ah, maaf, nona, kami tak tahu dan tidak sopan menyambut. Mari, kita ke dalam dan silahkan masuk."

Tapi Swat Lian yang menggeleng dan tersenyum aneh menolak. "Tidak, kami hanya mencari Kim-mou-eng, atau isterinya, sobat. Kalau mereka tak ada biarlah kami pergi!"

"Nanti dulu! Tapi Hu-taihiap..."

"Maaf," Gwan Beng memotong. "Kau siapakah, sobat? Dan bagaimana Kim-hujin (nyonya Kim) tiba-tiba meninggal?"

"Hm, aku Salinga, siauw-hiap (pendekar muda). Dan hujin meninggal karena dibunuh. Kami bangsa Tar-tar berkabung dan Kim-taihiap kini mencari pembunuhnya!"

Gwan Beng tertarik. "Bolehkah kami tahu?"

Salinga mengangguk. Sebagai pembantu dekat Kim-mou-eng tentu saja dia tahu nama besar Hu-taihiap, si jago pedang Hu Beng Kui. Dan karena tiga orang tamunya ini menyebut sebagai murid-murid jago pedang itu dan Salinga pernah mendengar hubungan Kim-mou-eng dengan keluarga di Ce-bu itu maka laki-laki ini lalu bercerita dan Swat Lian yang tadinya pura-pura acuh dan seolah tidak ada perhatian ternyata menaruh perhatian juga.

Tak ada satu pun yang tahu betapa diam-diam rasa girang dan kelegaan besar mengamuk di hati puteri Hu Beng Kui itu, bukan oleh kepergian Kim-mou-eng melainkan oleh tewasnya Salima. Berarti Kim-mou-eng kini sendiri dan hidup sebagai duda! Ah, tergetar hati gadis itu. Dan karena api asmara di hati gadis ini belum padam dan sesungguhnya diam-diam dia kecewa melihat Tiat-ciang Sian-li Salima menjadi isteri Pendekar Rambut Emas maka di antara cerita dan kisah sedih yang dipaparkan Salinga gadis ini hampir acuh oleh kematian Salima sendiri, lebih menaruh perhatian pada kepergian Kim-mou-eng yang mencari pembunuh isterinya, bagian ini didengarkan dan Swat Lian pasang kuping baik-baik.

Tak aneh. Puteri Hu Beng Kui itu memang selama ini mengalami patah hati besar, nyaris tenggelam dalam kesedihan kalau ayahnya tak sering menghibur. Ikatan cinta di antara Kim-mou-eng dengan sumoinya itu membuat gadis ini terpukul, pedih. Dan ketika bagian demi bagian didengarkan Swat Lian dan hanya bagian Kim-mou -eng itu saja yang diperhatikan baik-baik maka akhirnya gadis ini bertanya ketika Salinga selesai bercerita.

"Lalu kemana dia? Kemana mencari nenek siluman itu?"

"Kami tak tahu, nona. Kim-taihiap juga tak bercerita. Hanya mungkin ke pedalaman atau mungkin menemui gurunya, Bu-beng Sian-su."

"Hm!" Swat Lian tercekat. "Bu-beng Sian-su?" dia memandang suhengnya, teringat pembicaraan hangat tentang Bukit Malaikat. "Apakah kita harus kembali?" Omongan ini lebih ditujukan pada suhengnya.

Gwan Beng dan adiknya mengangguk. Dan ketika Salinga tak mengerti dan mengerutkan kening maka pemuda yang menjadi murid utama Hu taihiap ini berkata, "Baiklah, kalau begitu kami kembali, Salinga. Sampaikan saja pernyataan bela sungkawa kami atas kematian Kim-hujin. Permisi."

"Eh!" Salinga menahan. "Kalian sebenarnya ada keperluan apa? Bolehkah kami tahu?"

"Tak usah, Salinga. Tapi sampaikan saja pada Kim-mou-eng bahwa kami datang hanya untuk melaksanakan janji guru kami. Hutang di Cebu ingin dibayar!" lalu berkelebat dan memutar tubuhnya tiba-tiba pemuda ini lenyap meninggalkan lawan, disusul Hauw Kam dan sumoinya yang bersinar-sinar.

Swat Lian mendadak menjadi gembira dan aneh. Dan ketika tiga muda mudi itu lenyap di luar sana akhirnya Salinga tertegun dan bingung, tak tahu apa yang dimaksud "hutang” itu. Tak paham karena menang tak mengerti, tak tahu bahwa sebenarnya yang dimaksud itu adalah kekalahan yang ingin dibayar Hu-taihiap lewat murid-muridnya ini.

Dulu dua tahun yang lalu jago pedang itu kalah oleh Kim-mou-eng. Tapi karena kekalahannya dianggap tak memuaskan dan jago pedang ini dalam keadaan buntung maka selama itu Hu Beng Kui penasaran dan menaruh rasa geram. Semuanya ini sudah diceritakan dalam kisah Pedang Tiga Dimensi.

Sekarang, ke mana Swat Lian dan suhengnya pergi? Tentu saja kembali. Mereka langsung ke kota di mana mereka bertempur melayani Pek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya itu, menuju Bukit Malaikat. Dan karena munculnya Sian-su mendebarkan mereka dan kehadiran kakek dewa itu selalu menarik perhatian orang banyak maka ke situlah mereka terbang dan berlari cepat, mengejar waktu agar tidak ketinggalan. Swat Lian mengajak suhengnya untuk lebih cepat lagi, mereka berendeng hampir sepanjang jalan, tak ada yang tahu betapa diam-diam gadis ini ingin bertemu Kim-mou-eng disana, siapa tahu Pendekar Rambut Emas itu akan muncul bersama gurunya.

Dan ketika mereka mengerahkan segenap kepandaian dan terbang bagai iblis-iblis kesiangan maka tiga muda mudi ini lenyap dan muncul lagi di hutan-hutan yang mereka lalui, begitu terus-menerus dan akhirnya menjelang hari keempat mereka tiba juga di kota yang mereka singgahi dulu, kelelahan dan malam itu mereka langsung beristirahat.

Betapapun perjalanan pulang balik yang mereka lakukan memang berat, jauh dan melelahkan. Dan begitu ketiganya menunggu hari esok untuk melihat apa yang terjadi maka malam itu mereka pulas dan benar benar mengembalikan tenaga untuk memulihkan yang sudah kecapaian.

* * * * * * * *

Apa yang terjadi? Di mana letak Bukit Malaikat? Kalau orang memandang jauh ke depan maka di antara sebuah lembah yang dialiri sebuah sungai tampaklah sebuah bukit yang tidak begitu tinggi, di sebelah utara kota Ci-nong. Kota inilah yang mengawali kegegeran antara Swat Lian dan Pek-tung Lo-kai serta kawan kawannya itu. Hari itu kota ini penuh, ratusan orang hilir-mudik didalamnya, semua memandang ke Bukit Malaikat itu.

Bukit yang tampak lebih kecil lagi bila dipandang dari situ, bukit biasa yang di tumbuhi pohon-pohon pek yang besar serta semak-semak lebat yang mencuat di sana-sini. Dari kejauhan, bukit ini biasa-biasa saja. Tapi kalau orang mau mendekat dan mengunjungi bukit itu maka orang akan tertegun karena bukit ini terhalang jurang. Itulah Jurang Malaikat, satu dari sekian tempat tinggal yang dihuni Sian-su, kakek dewa maha sakti yang kepandaiannya sukar diukur. Dan karena bukit ini terletak di depan Jurang Malaikat yang terkenal itu maka orang pun lalu menamakan bukit itu sebagai Bukit Malaikat.

Sebenarnya, Bu-beng Sian-su sendiri tak tinggal di bukit itu. Kakek dewa ini tak memiliki tempat tinggal tetap di mana dia berada di situlah dia tinggal. Tapi karena tak ada seorang pun yang dapat mengikuti jejak kakek dewa itu dan orang juga sukar menemui kakek ini maka adalah sebuah kehormatan sekaligus keuntungan kalau manusia dewa itu dapat dijumpai. Ini sudah dimengerti orang. Maka begitu terdengar kabar bahwa kakek dewa ini akan muncul di Bukit Malaikat dan menghadiahkan sepasang benda aneh yang disebut-sebut sebagai cermin ajaib maka berduyun duyun berdatangan orang-orang kang-ouw untuk menyaksikan sekaligus mendapatkan hadiah itu.

Apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang melepas kabar berita ini? Tak ada yang tahu secara pasti. Namun, ada berita santer bahwa Bu-beng Sian-su bertemu empat tokoh luar biasa dari timur dan barat. Tokoh-tokoh yang di ibaratkan dewa dan konon hampir setingkat dengan kakek maha sakti itu sendiri, konon katanya adalah paman-paman atau bibi seperguruan dari empat di antara Tujuh Iblis Dunia, yakni Siauw-bin kwi dan kawan-kawannya yang tewas itu. Dan ketika berita itu berkembang dari mulut ke mulut dan menjadi ramai serta santer maka kisah yang sudah dibumbu serta ditambah-tambahi ini menjadi buah bibir bagai dongeng di antara orang-orang kang-ouw itu.

Apa yang terjadi? Bagaimana sebenarnya? Marilah kita tengok kejadian di antara orang-orang luar biasa itu. Di barat, jauh tersembunyi di puncak Pegunungan Himalaya terdapat wilayah "sangar" yang ditakuti orang. Wilayah ini terletak di Puncak Siluman, sebuah puncak di antara sederetan puncak lainnya yang banyak terdapat di Himalaya, puncak tertinggi dipandang dari arah utara. Dan karena puncak ini tak pernah didatangi orang karena terkenal angker dan penuh suara-suara siluman maka tak ada seorang penduduk pun yang ada di daerah Pegunungan Himalaya berani mendekat.

Sudah bertahun-tahun ini, bahkan puluhan tahun, di Puncak Siluman terdengar suara-suara aneh mirip hantu atau iblis menangis. Orang kadang-kadang melihat adanya sinar merah atau kuning berkelebatan di Puncak Siluman itu. Kadang-kadang warnanya demikian terang, begitu terang hingga menyilaukan mata dalam jarak ratusan kilometer.

Tapi kadang-kadang begitu redup hingga nyaris merupakan dian atau pelita yang mau padam, berkedip-kedip dan akhirnya hilang setelah dua atau tiga jam. Dan karena semuanya itu selalu diiringi dengan suara mirip tangis atau jerit iblis maka puncak itu dinamakan Puncak Siluman. Memang, siapa berani mendatangi puncak ini? Tempatnya yang tinggi dan terjal saja sudah cukup membuat orang merinding, belum hawanya yang begitu dingin menggigit tulang.

Pernah ada seorang laki-laki nekat, coba mendekat dan suatu hari ingin mengetahui apakah sebenarnya sinar-sinar yang berkelebatan itu, juga suara-suara yang mendirikan bulu roma. Tapi ketika laki-laki itu akhirnya tinggal mayat tanpa kepala yang kaku kedinginan di bawah Puncak Siluman maka tak ada yang berani mendekat dan coba coba.

Sampai akhirnya, karena suara-suara dan sinar yang berkelebatan itu tak dapat didekati dan kadang-kadang juga terdengar semacam raung yang mendirikan bulu roma di Puncak Siluman akhirnya penduduk menganggap tempat itu sebagai wilayah sangar yang harus dijauhi. Tak ada seorang pun berani mendekat. Puncak Siluman adalah puncak mengerikan yang pantang didekati. Dan ketika puluhan tahun semuanya itu berjalan seperti biasa dan orang tak tahu apa yang sebenarnya ada di puncak itu maka Puncak Siluman tetap merupakan misteri dan rahasia besar bagi penduduk.

Sebenarnya, apakah yang ada di sana? Benarkah tempat itu merupakan sarang iblis atau siluman? Memang benar tapi juga tidak. Di sana tinggal seorang tokoh luar biasa yang sudah tidak lagi berkeliaran. Tokoh ini amat sakti, usianya mendekati dua ratus tahun, jadi kira-kira seangkatan dengan Bi Kim dan Bi Lin, itu Sepasang Dewi Naga yang membunuh Salima. Dan karena tokoh ini merupakan generasi tua yang mungkin sudah "kadaluwarsa" maka orang tak ingat lagi siapa dia. Namun, bagi orang-orang seangkatan Dewi Naga atau yang lain, yang sayangnya sudah meninggal semua maka tokoh ini adalah tokoh yang mengerikan.

Dulu, hampir dua ratus tahun yang lalu. 0rang mengenal Cam-kong Ho Hong Siu, si Pembunuh Petir. Orang ini tokoh luar biasa, kepandaiannya tinggi tapi wataknya kejam bukan main. Mempunyai murid tapi muridnya itu dibunuh. Dia membunuh murid sendiri hanya karena persoalan sepele, si murid menikah tapi Cam-kong atau sang Pembunuh Petir ini melarang. Baginya pantang pewaris ilmunya menikah, tak boleh punya keturunan dan biar mereka meneruskan kepandaian dengan mengambil orang lain saja, tak perlu keturunan sendiri.

Dan karena murid ini tak dapat menerima dan akhirnya diam-diam menikah namun diketahui sang guru maka Cam-kong Ho Hong Siu membunuh muridnya itu dan habislah keturunan pewaris tokoh yang luar biasa ini memang aneh. Tokoh Pembunuh Petir ini memang jalan pikirannya tidak sama dengan orang-orang lain. Baginya menikah adalah perbuatan yang harus dijauhi, entah kenapa dia bisa begitu. Dan ketika dulu muridnya membantah dan coba mendebat ini maka dengan acuh dan dingin dia menjawab,

"Untuk apa menikah? Bukankah tanpa pernikahan laki-laki juga dapat menikmati wanita? Di dunia ini banyak perempuan cantik, muridku. Kalau sekedar ingin melampiaskan berahi dan bercinta ambil saja mereka itu dan buang setelah selesai!"

"Tapi teecu (murid) ingin menikmati sebuah keluarga. Bukan sekedar melepas berahi atau nafsu syahwat!"

"Hm, kau membatah? Ingin melawan? Bagiku apa yang sudah kuputuskan tak boleh kau langgar, murid kurang ajar. Atau kau menerima akibat dan pasti kubunuh!"

Sang murid, yang mengkirik tapi tak percaya ancaman gurunya menganggap suara gurunya itu gertak sambal saja. Dia murid satu-satunya, tunggal, pewaris dan kelak akan menggantikan gurunya kalau gurunya meninggal. Masa akan di bunuh dan dihabisi nyawanya? Dan karena menganggap gurunya tak mungkin membunuhnya kalau dia membangun keluarga maka murid ini coba coba nyerempet bahaya dan nekat namun secara diam-diam dia menikah.

Tapi apa lacur, sang guru tahu dan Cam-kong Ho Hong Siu murka. Tokoh ini benar,benar membunuh muridnya, dua tahun setelah menikah. Kebetulan sekali muridnya itu telah berputera, seorang anak laki-laki. Dan ketika murid itu ditangkap dan baru untuk pertama kalinya mempercayai ancaman sang guru maka di depan matanya gurunya itu membunuh anak isterinya sebelum dia sendiri di habisı!

Begitulah, kekejaman Cam-kong Ho Hong Siu ini memang luar biasa. Orang menjadi heran tapi juga muak oleh sepak terjangnya. Tapi karena yang dibunuh adalah muridnya sendiri dan itu urusan pribadi maka orang tak ambil suara dan membiarkan semuanya itu terjadi. Hanya, ada pertanyaan menyelinap di hati. Kenapa Cam-kong Ho Hong Siu itu benci kepada sebuah pernikahan? Kenapa dia membunuh murid sendiri hanya karena sang murid jatuh cinta dan membangun rumah tangga?

Ini tak diketahui orang. Cam-kong Ho Hong Siu mempunyai sebuah cacad, dan cacad inilah yang mempengaruhi jiwanya hingga dia begitu telengas kepada murid sendiri. Dan karena cacad ini merupakan rahasia pribadi dan tak ada orang tahu tentang itu maka tindak-tanduk dan sepak terjang yang aneh dari si Pembunuh Petir ini menjadikan orang bertanda tanya. Apa cacad tokoh ini?

Bukan lain karena kelumpuhannya sebagai lelaki, Cam-kong Ho Hong Siu ini bencong, dia tak perkasa dalam urusan berahi. Alias penderita Impoten. Dan karena itu merupakan pukulan jiwa dan Pembunuh Petir ini benci terhadap keadaannya sendiri maka dia akan selalu marah dan benci pula kalau melihat sepasang laki perempuan membangun rumah tangga, apalagi muridnya sendiri. Maka begitu sang murid melanggar dan ini merupakan pantangan besar baginya maka tak ayal tokoh itu membunuh muridnya sendiri dan sekaligus anak isterinya!

Kini, kembali pada Puncak Siluman maka tokoh yang luar biasa ini ada di situ. Sudah seratus tahun lebih dia menetap di sana, tinggal dan melewatkan masa tuanya. Tentu saja jemu hidup tapi umur panjang anehnya membuntuti tokoh itu. Memang ganjil, orang yang mengharap-harap umur panjang tak mendapatkan itu sementara Cam-kong Ho Hong Siu sendiri mengumpat caci setiap hari karena tak mati-mati.

"Keparat, kau ke mana, Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Kenapa tidak datang dan menjemput nyawaku? Ayo, datang kemari, Giam-lo. Ambil dan cabut nyawaku si tua bangka ini!"

Begitu orang akan mendengar kalau kebetulan dia dekat Cam-kong Ho Hong Siu ini. Setiap hari kerjanya mengumpat si Raja Akherat. Tapi karena Giam-lo-ong sendiri agaknya enggan dan tidak menghampiri maka umur panjang yang di terima Cam-kong Ho Hong Siu ini disambut makian dan sumpah serapah. Anehkah itu? Agaknya tidak. Dalam kondisi seperti itu di mana segala-galanya terasa tawar maka Ho Hong Siu memang pilih mati ketimbang hidup. Bayangkan, siapa mau dekat dengannya? Waktu muda pun tak ada kesenangan yang diperoleh, apalagi di waktu tua. Maka daripada hidup lebih lama memang sebaiknya dia mati dan bebas. Begitu pendapatnya.

Dan hari itu, ketika malam melingkup tiba dan Puncak Siluman kembali dipenuhi sinar merah dan kuning yang berkelebatan menari-nari, mendadak tokoh ini kedatangan tamu, tepat tengah malam. Saat itu dia lagi melatih Cam-kong-ciangnya (Tangan Pembunuh Petir), sinar merah dan kuning yang berkelebatan itu keluar dari sepasang lengannya, menyambar dan berseliweran di puncak. Tapi ketika dia lagi asyik dan tenggelam melatih ilmunya ini mendadak terdengar kekeh dan tawa lembut.

"Hi-hik, kau kiranya, Cam-kong? Kau masih hidup? Heh-heh, hebat Pembunuh Petir, tapi aku datang ingin mencoba... blarr!" dan Puncak Siluman yang tiba-tiba berguncang dan meledak serta bergemuruh mendadak seakan dilanda gempa ketika sesosok tubuh muncul, menerima dan menangkap sinar merah dan kuning itu.

Cam-kong Ho Hong Siu terkejut. Tak dinyana tak di sangka orang asing sekonyong-konyong datang ke tempatnya, padahal selama ini belum pernah ada yang menyatroni. Tapi begitu sadar dan menggereng marah tiba-tiba Pembunuh Petir ini membentak mendorongkan kedua lengannya, melihat seseorang bersembunyi di balik tabir asap hitam.

"Pengacau busuk, mampuslah!" Cahaya atau sinar merah kuning kembali berkelebat. Kali ini hawa panas ikut menghembus pula, salju yang ada di puncak tiba-tiba mencair dan leleh. Tapi ketika bayangan di balik asap hitam itu terkekeh dan menggerakkan kedua lengannya pula tiba-tiba dentuman bagai gunung dihantam roket menggetarkan tempat itu.

"Blangg!"

Si Pembunuh Petir tersentak. Dia terdorong setengah tindak. Matanya membeliak dan seruan aneh keluar dari mulutnya. Bayang-bayang di balik tabir juga terhuyung, ada tawa kaget di situ. Tapi karena Cam-kong Ho Hong Siu penasaran dan marah serta gusar tiba-tiba tokoh ini sudah mencelat dan menghantam lagi, ditangkis dan kali ini semburan api menyambar dari depan. Pembunuh Petir terpekik. Dan ketika dia menghantam lagi namun lawan di depan berjungkir balik tinggi dan menangkis serta menghantam pula maka Puncak Siluman bagai gunung runtuh ketika digetarkan dentuman dahsyat di mana batu besar kecil berguguran dan ambrol ke bawah.

“Blarrr...!" Sinar warna-warni mencuat ke atas. Lidah api dan sinar merah kuning berkelebat sekejap. Puncak Siluman benar-benar terang dalam waktu beberapa detik. Tapi ketika semua cahaya dan lidah api itu lenyap maka keadaan gelap kembali menyelubungi tempat itu namun mata awas Cam Kong Ho Hong Siu melihat adanya seorang nenek yang bergoyang-goyang di depannya, sekitar sepuluh tombak.

"Dewi Api Naga Bumi...!"

Suara terkekeh menyambut seruan Cam-kong Ho Hong Siu itu. Pembunuh Petir ini tertegun, dia mengenal siapa lawannya sekarang dan nenek di depan tertawa. Tubuh yang bergoyang-goyang itu sudah berhenti. Dan ketika Ho Hong Siu bengong dan nenek ini mengibaskan rambut sekonyong-konyong ia mencelat dan sudah berada di depan Pembunuh Petir.

"Hih-heh, kau masih mengenal aku, Hong Siu? Kau tidak lupa? Heh-heh, bagus, Pembunuh Petir. Kiranya ingatanmu masih tajam dan kuat!"

Hong Siu, Pembunuh Petir ini terkesima. Seorang nenek riap-riapan berdiri di depannya, pinggangnya masih ramping dan indah. Hanya kulit tubuh dan muka yang berkeriput itu menunjukkan ketuaannya. Tapi Hong Siu yang sadar dan mundur tiba-tiba mengeluarkan seruan heran dan memukul pipinya tiga kali.

"Heh, kau ini, Pek Kiok? Kau belum mampus? Kau masih hidup? Ha-ha, sungguh luar biasa. Pek Kiok. Kiranya kau datang dan belum di cabut Giam-lo-ong...hichh!” Cam-kong Ho Hong Siu yang tiba-tiba meringkik dan tertawa seperti kuda mendadak mencelat dan menubruk lawannya itu, menghantam namun lawan menangkap. Si nenek menggerakkan dua tangannya mencengkeram, rambut dikelebatkan dan meledak menyambar pelipis Hong Siu. Dan ketika tubrukan itu diterima dan Hong Siu disambar rambut maka benturan dan ledakan kembali terjadi.

"Plak-plak!" Dua orang laki perempuan ini bersatu. Pembunuh Petir telah memeluk lawannya, tentu saja bukan sembarang pelukan karena seluruh buku-buku di tangan Pembunuh Petir itu berkerokok. Suaranya bagai jagung dibakar. Tapi ketika Dewi Api Naga Bumi menyambut dan mencengkeram pula pundak lawannya maka dua orang itu bersitegang dan untuk sejenak saling remas dan ingin menghancurkan.

"Krek-krekk!" Tulang dan buku-buku jari seakan hancur. Masing masing meremas dan menggencet. Tapi ketika masing-masing merasa perlawanan yang kuat dan daging atau tubuh yang dicengkeram mengeluarkan tenaga dahsyat menolak serangan akhirnya Ho Hong Siu tertawa panjang melepaskan gencetannya, menendang.

"Pek Kiok, kau hebat...dess!" namun Hong Siu yang terhuyung dan lawan yang juga terdorong akhirnya mendapat kenyataan bahwa mereka berimbang!

"Heh-heh, kau ingin membunuh aku, Hong Siu?”

"Hm!" Hong Siu, si Pembunuh Petir kagum. Kau hebat, Pek Kiok. Tapi katakan sekarang apa maksudmu datang ke mari!"

"Aku ingin mengajak mu melemaskan otot..."

"Mau bertanding?" Hong Siu memotong, matapun berkilat. "Boleh, Dewi Api. Tapi jangan harap dapat mengalahkan aku!"

"Hi-hik," sang nenek terkekeh, masih merdu. "Kau salah, Hong Siu. Bukan berlawan melainkan berkawan. Aku mau memberi tahu bahwa murid keponakanmu, Siauw-bin-kwi, mampus!”

"Apa perdulinya?" tokoh ini mendengus. "Aku tak perduli dia mampus atau tidak, Pek Kiok. Semua orang pasti mampus dimakan umur!"

"Tapi ini bukan mati tua, melainkan dibunuh!"

"Hm, aku tak perduli, Pek Kiok. Aku bosan menghadapi dunia dan ingin tenang di sini."

"Bodoh! Kau seperti kerbau, Hong Siu. Tak mau dengar dan buru-buru memotong dulu. Dengarlah, bukankah kau bosan hidup dan ingin mati? Bukankah setiap hari kau mencaci Giam-lo-ong agar mengambil nyawamu?"

Tokoh ini bersinar-sinar. "Memangnya kenapa?"

"Heh heh, inilah kesempatan baik, Hong Siu. Kau harus turun gunung dan mati di tangan seseorang!"

Pembunuh Petir itu tertawa mengejek. "Dewi Api, di dunia ini tak ada orang yang sanggup membunuh aku, biar kau sekalipun. Kentut busuk apa yang kau keluarkan ini?"

"Nanti dulu, jangan sombong. Cam-kong. Kalau kusebut sebuah nama beranikah kau bertaruh?"

"Siapa?"

"Taruhan dulu, beranikah kau?"

"Hm....!" Pembunuh Petir ini tertegun juga. "Kau tampaknya serius, Pek Kiok. Tapi coba sebutkan taruhan apa yang kau minta."

"Serahkan Cam-kong-ciang mu kalau kalah!"

“Baik!" dan Cam-kong Ho Hong Siu yang langsung mengiyakan dan mengangguk tiba-tiba bertanya, "Nah, sebutkan siapa orang itu dan biar kudengar siapa dia!"

"Hi-hik, Bu-beng Sian-su, Cam-kong, Manusia inilah yang dapat membunuhmu dan tak mungkin kau menang!"

"Ahh. Bu-beng Sian-su?" Cam-kong mencelat mundur.

"Ya, bukankah dia yang paling kau takuti? Nah, serahkan Pembunuh Petirmu, Hong Siu. Atau kau kuhajar!"

Cam-kong tertawa bergelak. Setelah kaget dan bengong sejenak tiba-tiba dia tertawa, mula-mula biasa namun kian lama kian tinggi. Suaranya melengking dan tajam menusuk telinga. Disebutnya nama Bu-beng Sian-su membuat tokoh ini tersentak. Memang, itulah yang paling ditakuti. Teringat dia akan kekalahannya yang berkali-kali dengan manusia dewa ini, yang anehnya tak pernah membunuhnya. Dan ketika lawan menagih janji dan Dewi Api itu bersiap menerima ilmunya mandadak tokoh ini mencelat dan menghantamkan kedua lengannya kedepan, suara tawanya berobah menjadi jerit yang mendirikan bulu kuduk, menggetarkan puncak sampai jauh di kaki gunung.

“Pek Kiok, terimalah!"

Bentakan itu disusul berkelebatnya sinar merah dan kuning Pembunuh Petir menyatakan memberi, tapi bentakan dan pukulan kedua tangannya yang jelas menyambar dahsyat dan merupakan pukulan maut tiba-tiba dikelit dan disambut pekikan Dewi Api.

"Heh, menerima serangan? Kau mau membunuh aku, Hong Siu? Keparat, kau pembohong...siut-darr!" dan si nenek yang membalas dan mengelebatkan rambutnya menghantam pinggang lawan tiba-tiba melejit dan sudah menyerang si Pembunuh Petir, merasa ditipu karena Hong Siu tak memberikan ilmunya. Apa yang dilakukan tokoh itu adalah justeru menyerang dan menghantam, itu adalah pemberian yang kurang ajar. Dan karena nenek ini tahu apa arti "pemberian" itu dan jelas harus mengelak dan memaki maka Puncak Siluman digetarkan dentuman dahsyat ketika masing-masing sama menangkis, menyerang dan menangkis lagi dan akhirnya keduanya pun bertanding.

Malam itu Puncak Siluman seakan dijatuhi peluru meriam, ledakan dan gelegaran silih berganti mengguncang tempat itu. Hong Siu si Pembunuh Petir sudah mengerahkan Cam-kong-ciangnya, hebat dan bertubi-tubi namun si nenek Dewi Api dapat melayani baik. Nenek itu menggerakkan kedua tangannya pula dan pukulan atau sambaran angin dahsyat menahan pukulan Cam-kong, bahkan mendorong dan membuat Cam kong berkali-kali berseru kaget.

Dan ketika dua orang itu bertempur dahsyat dan malam pun berganti pagi maka pohon dan batu-batu di sekitar sudah berhamburan dan terbang dihantam pukulan dua tokoh ini. Lalu, karena pertempuran dilanjutkan dan masing-masing pihak juga sama penasaran maka Puncak Siluman menjadi gemuruh. Orang di kaki gunung melihat berkelebatnya sinar merah kuning disusul ledakan-ledakan suaranya menggetarkan jantung dan beberapa kilatan api juga terlihat. Pendeknya, puncak itu benar-benar seakan diserbu iblis. Gegap-gempita dan gemuruh.

Dua hari dua malam penduduk di bawah gunung dibuat ternganga, mereka ketakutan dan akhirnya melarikan diri. Gunung Himalaya dianggap mau meletus! Tapi ketika pada hari ketiga suara-suara itu berkurang dan kepundan atau Puncak Himalaya tetap biasa-biasa saja maka orang pun berdegupan namun belum mau kembali ke tempat tinggal masing-masing, tak lagi mendengar suara itu dan akhirnya pada hari keempat pun suara suara itu lenyap. Puncak Siluman menjadi sunyi dan sepi seperti biasa. Dan ketika malam kembali tiba dan penduduk berdebar-debar maka di atas sana terdengar erangan dan umpatan.

Apa yang terjadi? Berakhirnya pertandingan dan tokoh luar biasa itu. Ho Hong Siu tak dapat mengalahkan lawannya, sementara nenek Dewi Api juga tergolek kelelahan. Tiga hari tiga malam bertanding melawan Si Pembunuh Petir itu menghasilkan pertandingan seri, mereka draw. Tak ada kalah atau menang. Dan ketika Ho Hong Siu juga tertatih-tatih di sana dan terhuyung serta jatuh terduduk lagi maka dua orang ini saling memaki dan pengumpat.

“Pek Kiok, kau masih hebat. Jahanam, terkutuk kau!"

"Hi-hik, kau pun tua bangka sialan, Hong Siu. Cam-kong-ciang mu ampuh tapi tak dapat membunuh aku."

"Hm, Tee-sin-kangmu (Pukulan Bumi) luar biasa. Kalau tidak karena itu kau tentu mampus!"

"Mau dilanjutkan kembali? Hayoh, aku siap, Hong Siu. Biar kita mati salah satu atau bersama!”

"Mana mungkin?" Hong Siu mendengus. "Berdiri pun kau tak bisa, Pek Kiok. Jangan takabur dan sombong!"

"Hi-hik, dan kau pun tak bisa berdiri pula. Lihat, duduk saja roboh!"

Dua orang itu saling memaki. Mereka mengejek dan merendahkan yang lain. Tapi karena masing-masing tak dapat bangun dan sehari itu mereka harus bersila memulihkan tenaga maka baru pada hari ke tujuh, tepat seminggu setelah pertandingan mereka baru bisa sama sama bangun!

"Nah, aku lebih kuat!" Hong Siu berdiri tegak, mengejek lawannya. Tapi baru dia bicara begitu tiba-tiba di sana pun lawannya sudah mencelat bangun.

"Tidak, aku lebih dulu, Hong Siu. Lihat, aku lebih segar dan sehat!"

Namun, ketika keduanya saling melotot dan tak mau kalah tiba-tiba muncul sesosok bayangan yang berkesiur bagai siluman. Tahu-tahu telah berdiri di situ. "Heh, kalian, Hong Siu? Dan kau Dewi Api?"

Dua orang ini terkejut. Di tengah mereka telah berdiri seorang kakek gimbal-gimbal, tubuhnya cebol dan pendek. Kepalanya besar dan bulat, begitu bulat hingga biji matanya tertutup pipi yang tembem, hampir tak kelihatan. Tapi begitu mereka menoleh dan terkejut tiba,tiba Hong Siu si Pembunuh Petir terseru,

"Hek-bong Siauwjin (Manusia Busuk Dari Kubur)…!”

“Heh-héh, kau mengenal aku, Cam-kong! Bagus, kita semua ternyata masih hidup!" dan si kakek gimbal-gimbal yang mendadak menyelinap dan bergerak maju tiba-tiba sudah berada di selangkangan Hong Siu dan menarik anggauta rahasia si Pembunuh Petir itu.

“Kurang ajar... plak!" dan Hong Siu yang tentu saja membentak dan mengayun kakinya menendang tiba-tiba membuat kakek gimbal-gimbal itu mencelat dan terguling-guling, terkekeh tapi melompat bangun dan Hong Siu atau si Pembunuh Petir ini merah mukanya. Sebagian celananya sobek, persis bagian bawah tapi untung miliknya yang paling berharga tak sampai dicomot si Manusia Busuk Dari Kubur itu. Hek-bong Siauwjin terbabak-bahak. Tapi ketika Hong Siu menggeram dan hendak menyerangnya tiba-tiba kakek cebol ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berseru,

"Hei, jangan marah. Tunggu, Cam-kong. Aku hanya main-main saja!" dan pura-pura mengulapkan tangannya dua kali manusia aneh itu menyambung, "Aku datang untuk berkawan, bukan bermusuhan. Sebaiknya kuberi tahu bahwa Siauw bin-kwi murid keponakanmu itu mampus!"

"Hm, aku sudah tahu." Hong Siu melotot. "Kau tak usah memberi tahu, iblis cebol. Tapi apa maksudmu datang ke mari? Mau bertanding dan mencari mampus?"

"Ha-ha, tak perlu sombong, Cam-kong. Kau tahu bahwa tak mungkin kau dapat membunuhku seperti juga aku tak dapat membunuhmu. Jauh-jauh dari Timur aku datang bukan untuk mencari permusuhan melainkan semata mendengar kau mendekam di sini. Ingin membuktikan dan ternyata benar kau masih hidup. Heh, bagaimana si nenek siluman ini juga ada di sini? Kau masih segar, Dewi Api?"

"Cih!" si Dewi Api, nenek yang baru bertempur itu meludah. "Kau tak perlu bertanya kalau sudah melihat Siauwjin. Matamu tak buta dan tak perlu kujawab!"

"Heh-heh, Dewi Api masih angkuh! Tapi tak apa, aku datang mungkin sama dengan maksudmu, nenek siluman. Kalau kalian berdua sudah berada di sini dan agaknya bertempur pula tentu tak perlu kuberi tahu bahwa murid keponakanmu Tok-gan Sin-ni sudah mampus menyusul Siauw bin-kwi. Bagaimana pendapatmu? Apakah kau diam saja dan tak ingin membalas?"

"Hm, Cam-kong sudah kuberi tahu tentang kematian murid keponakannya, Siauwjin. Dan kini rupanya kau pun tahu tentang kematian murid keponakanku. Baiklah, kau tentu tahu pula tentang mampusnya dua murid keponakanmu Hek-bong Siang-lo-mo, bukan? Atau kau pura-pura dan tutup mata tentang ini?"

"Ya, aku tahu. Tapi, heh-heh... apakah kau tahu siapa pembunuhnya?"

“Kim-mou-eng!"

“Benar, tapi bocah ini tak perlu digubris, Dewi Api. Yang lebih penting lagi adalah..."

"Bu-beng Sian-su!" Ho Hong Siu kini memotong, memekik tinggi. "Apakah kau tahu di mana musuh kita nomor satu itu, Siauwjin? Di mana dia?”

"Hmm...!" Dewi Api menyela, meledakkan rambutnya. "Agaknya manusia cebol ini datang untuk mencari bantuan, Hong Siu. Coba tanya apa maksudnya kemari kalau bukan itu!"

"Benar," si Pembunuh Petir bersinar-sinar. "Kau sebutkan dulu apa maksudmu kemari, setan cebol. Atau kau kuusir dan pergi dari sini!"

"Heh-heh, tak perlu galak-galak, Cam-kong. Memang jujur saja kuberitahukan maksudku bahwa aku datang untuk mengajakmu membekuk manusia menyebalkan Bu-beng Sian-su itu. Kematian murid keponakanku tanggung jawabnya pula. Kim-mou-eng kita tangkap dan kita cari si Bu-beng Sian-su itu!"

"Kau cari sendiri!" Hong Siu mendengus, "Aku tak mau membantumu, Siauwjin. Kau selalu banyak akal dan curang kepada kawan!"

"Eh-eh, jangan begitu. Beranikah kau menghadapi Bu-beng Sian-su sendirian? Tidakkah kau ingat kekalahanmu dulu?"

"Hm, kau tak perlu mengungkit-ungkit kekalahanku, Siauwin. Kau pun tak dapat menandingi dia dan roboh!"

"Sudahlah,” Dewi Api memotong. "Kita semua tak perlu menyombong-nyombongkan diri, Cam-kong. Kita semua setingkat dan masing-masing tak pernah menang menghadapi kakek dewa itu. Aku datang memang untuk mengajakmu menghadapi Bu-beng Sian-su. Kalau Siauwjin datang dan iblis busuk ini mengetahui kematian muridnya pula maka kebetulan kita dapat bergabung dan cari musuh kita itu. Jangan bertengkar dan berolok-olok. Kita hadapi Bu-beng Sian-su dan satukan kekuatan untuk merobohkannya!"

"Ha-ha, setuju!“ Hek-bong Siauwjin bersorak. "Aku memang ingin menyatukan kekuatan, Dewi Api. Kalau kita dapat bergabung dan menghadapi kakek dewa itu maka kita dapat menebus kekalahan sekaligus sakit hati!"

"Ya, aku juga penasaran selama ini. Tapi sebelum semuanya mengerubuti biar satu per satu kita coba dulu dan masing-masing menghadapi kakek dewa itu."

"Benar, Cam kong-ciang ku jauh lebih dahsyat dibanding puluhan tahun yang lalu, Pek Kiok, Ingin kujajal dan kubuktikan dulu kepandaianku sekarang!" Cam-kong, si Pembunuh Petir berseru.

Dewi Api mengangguk. Si Manusia Busuk Dari Kubur juga tertawa, mereka bertiga tiba-tiba gatal tangan untuk mencoba dulu Bu-beng Sian-su seorang demi seorang, sebelum mengeroyok. Dan ketika masing-masing menyombongkan kesaktiannya dan mau turun gunung tiba-tiba terdengar jerit dan teriakan mengerikan di bawah.

"Keparat, siapa itu?"

"Mari lihat, ayo adu cepat, Cam-kong..!" dan Hek-bong Siauwjin yang melesat dan lenyap mendahului yang lain tiba-tiba mengajak dua temannya berlomba dan Dewi Api serta Pembunuh Patir mengangguk.

Dewi Api sudah meledakkan rambutnya dan lenyap, Cam-kong Ho Hong Siu sendiri sudah mendengus dan hilang pula. Gerakan tiga orang ini sungguh luar biasa dan tidak lumrah manusia pada umumnya, hanya tampak tiga titik meluncuri puncak dan tahu-tahu mereka sudah di bawah. Begitu cepatnya, sungguh seperti iblis saja. Dan ketika mereka tiba di bawah dan hampir bersamaan mereka berkelebat di situ maka Cam-kong dan dua yang lain tertegun melihat seorang laki-laki menjerit dan berteriak bergulingan.

"Aduh, ampun... ampun...!"

Tak ada apa-apa di situ. Orang tak mengerti kenapa laki-laki ini bergulingan seperti orang gila, bajunya robek-robek dan seluruh tubuhnya luka-luka kena cakar. Melihat lukanya seperti baru diserang harimau atau singa, penuh darah dan mengerikan. Dan ketika Cam-kong dan teman-temannya tertegun membelalakkan mata, mendadak terdengar gerengan dan sebuah sinar hitam mencelat.

"Grrrr!" Laki-laki itu menjerit. Bayangan hitam yang tak jelas apa dan siapa ini tahu-tahu menyambar, laki-laki itu menangkis tapi tiba-tiba terdengar suara "krak" dan lengannya pun putus. Mengerikan sekali, darah menyembur dan laki-laki itu roboh, berteriak ngeri dan bayangan hitam lenyap. Laki-laki itu bergulingan dan merintih.

Dan ketika kembali terdengar geraman dan bayangan itu muncul kembali dan menyambar untuk kedua kali maka laki-laki ini mengeluh ketika lengannya buntung lagi, copot dan entah bagaimana putus begitu saja dari pundaknya. Apa yang terlihat ini mengerikan sekali, laki-laki yang bergulingan dan merintih-rintih itu kehilangan kedua lengannya. Putus begitu saja. Tapi ketika laki-laki itu terguling dan hendak pingsan sekonyong-konyong bayangan itu muncul untuk ketiga kali dan menyambar dada laki-laki itu.

"Augh...!" Jerit mengerikan ini menutup isi lembah. Laki-laki itu akhirnya ambruk dengan dada berlubang, bayangan hitam yang menyambar dadanya itu sudah langsung merogoh, segumpal jantung dan paru-paru yang penuh darah dicomot. Kini terdengar tawa bergelak yang mendirikan bulu kuduk. Dan ketika bayangan itu, yang kini berhenti dan tegak di depan laki-laki yang sudah tidak bernyawa tampak jelas maka tahulah orang siapa bayangan atau mahluk mengerikin ini.

"Tok-ong-hang-sai (Singa Lapar Raja Racun)...!"

Seruan itu keluar dari mulut Cam-kong dan kawan-kawannya. Di depan mereka telah berdiri Seorang kakek tinggi besar yang rambutnya riap-riapan, berpakaian serba hitam namun tokoh yang dipanggil itu tak menggubris. Dia tertawa bergelak memandangi jantung dan paru-paru yang penuh darah itu, dua buah benda yang masih segar dan berdenyut-denyut. Lalu, ketika Cam-kong dan kawan-kawannya kembali berseru namun tidak digubris tiba-tiba jantung dan paru-paru yang masih bergerak hidup itu sudah dimasukkan ke dalam mulutnya dan dimakan.

"Ha-ha-heh-he, siapa mau menikmati makanan segar ini? Siapa mau?" kakek itu, tokoh yang mengerikan ini seolah bicara pada Cam-kong dan teman-temannya. Dia bertanya tapi sama sekali tak menoleh pada Pembunuh Petir dan dua temannya itu, mulut menggerogoti jantung dan paru-paru dan asyik memamah. Muntah orang biasa melihatnya. Tapi Cam-kong dan Dewi Ap! yang tiba-tiba terkekeh mendadak berkelebat dan menghantam, Dewi Api menyambarkan rambutnya ke muka laki-laki tinggi besar itu.

“Tok-ong, aku mau. Coba berikan padaku...wutt!" rambut melecut ke muka lawan, meledak dan menyambar, sementara Cam-kong sendiri sudah menggerakkan kedua tangannya ke depan, angin berkesiur dan pukulan itu pun menghantam dahsyat, dua pukulan menyerang dari kanan dan kiri. Tapi Tok-ong yang asyik memamah dan tentu saja tahu dua pukulan itu tiba-tiba menggereng dan menggerakkan siku ke kanan dan kiri, masih menggerogoti jantung dan paru paru.

"Des-plak!"

Tiga orang itu mengeluarkan seruan aneh. Tok-ong dan lawannya tergetar, tiga orang itu tampak mengerahkan tenaga dan Tok-ong tiba-tiba membungkuk. Secepat kilat Raja Racun ini miringkan kaki, dan ketika dia membentak dan tertawa aneh sekonyong-konyong pukulan Dewi Api disalurkan untuk menyambut hantaman Cam-kong.

"Blarr!" Letupan bagai gunung dihantam roket menggetarkan tempat itu. Cam-kong dan Dewi Api memekik, mereka merasa diperdayai dan diadu. Tentu saja masing-masing menarik serangannya dan secepat kilat mereka berjungkir balik. Dan ketika mereka meluncur turun dan memaki lawan maka Tok-ong terbahak-bahak sudah menggulingkan tubuh dan meloncat jauh di sana, masih asyik menggerogoti jantung dan paru paru.

"Keparat, kau busuk, Tok-ong. Jahanam!" Dewi Api membentak, gusar.

"Ya, dan kau pengecut, Tok-ong. Licik mengadu kami!" Cam-kong yang marah dan mendelik juga membentak. Tadi mereka hampir diadu oleh Raja Racun itu, tapi Raja Racun sendiri yang terbahak-bahak dan tertawa bergelak tiba-tiba mengeluarkan suaranya yang parau,

“Hee, kau Cam-kong, siapa suruh menyerang aku? Dan kenapa Dewi Api itu juga ikut-ikutan menyerang? Bukankah sepantasnya kalau pukulan kalian ku kembalikan berikut bunganya? Ha ha, tak perlu melotot, Cam-kong. Kita boleh bertanding kalau ingin melihat siapa yang kuat...ger!" tawa Raja Racun itu tiba-tiba berobah menjadi geraman, jantung dan paru-paru sudah habis dilahap dan laki-laki mengerikan ini mengusap mulut yang penuh darah, matanya meliar dan berputar-putar.

Tapi Hek-bong Siauwjin yang mencelat dan tertawa aneh tiba-tiba berseru, "Stop, tahan! Tak perlu bertempur kalau kita sesama golongan!" dan tertawa memandang semuanya. iblis cebol ini melanjutkan, "Cam-kong, dan kau Dewi Api. Ternyata kita berempat masih hidup dan segar bugar. Bagaimana kalau sekarang kita mencari Bu-beng Sian-su itu dan menantangnya? Kita semakin kuat, nenek siluman. Tak mungkin kakek itu dapat menghadapi dan memenangkan kita!"

"Hm... terserah Cam-kong. Apakah Singa Lapar ini perlu diikutkan?"

"Heh, aku telah mendengar semua percakapan kalian di puncak. Dewi Api. Kalau aku tak boleh ikut maka kau harus berhadapan dulu dengan aku dan bertanding. Atau Pembunuh Petir ini kurogoh jantungnya dulu dan biar dia kutahan di sini!"

"Keparat!" Cam-kong mendelik. "Kau selamanya sombong, Tok-ong. Dapatkah kau membunuhku dan menahanku? Mari, kita boleh bertanding, Tok-ong. Lihat siapa yang akan roboh kau ataukah aku!"

"Tidak, jangan!" Hek-bong Siauwjin buru-buru mengangkat kedua lengannya mencegah. "Kita masing-masing setingkat, Cam-k9ng. Sekali bertanding tentu tak mau sudah kalau belum seorang di antaranya roboh. Kau dan Tok-ong bisa sama-sama mati, rugi aku dan nenek siluman itu nanti. Tidak, kita berdamai dan musuh kita adalah Sian-su!"

"Hm!" Dewi Api mengangguk, sadar. "Apa yang diomongkan Siauwjin memang benar, Cam-kong. Sekali kita bertanding dan ribut sendiri tentu semuanya akan sampyuh. Musuh utama kita masih hidup, sebaiknya tak perlu cekcok dan biar Tok-ong bersama kita!"

"Bagaimana?" Siauwjin kini berseri-seri. "Dewi Api telah mendukungku, Cam-kong. Kita harus bergabung dan berempat menghadapi Sian-su tentu kita berhasil!"

"Terserah Singa Lapar itu," Cam-kong mendengus. "Aku tak keberatan kalau dia tak macam-macam, Siauwjin. Tapi kalau dia mau coba-coba denganku tentu saja boleh!"

"Heh, kalian tak usah berpanas-panasan," Dewi Api meledakkan rambutnya. "Tok-ong dan kita semua satu, Cam-kong. Kita barus bersahabat dalam menghadapi Bu-beng Sian-su!"

"Benar," Hek-bong Siauwjin tertawa. "Tak usah mendongkol oléh sikapnya, Cam-kong. Kau selamanya tahu bahwa Tok-ong memang begitu. Sudahlah, kita bersatu dan jangan hiraukan omongan Tok-ong."

"Ya, dan aku pemimpin," Tok-ong tiba-tiba menyela, melompat maju. "Kalian semua tunduk perintahku, Siauwjin. Atau..."

"Tar-tarr!" Dewi Api meledakkan rambut, marah dan akhirnya tak tahan juga. “Kau tak perlu pongah, Tok-ong. Atau kau kami keroyok dan bunuh!"

"Hm," Siauwjin akhirnya mendongkol juga. "Kau tak perlu memimpin, Tok-ong. Kita semua setingkat dan sama rata. Kalau kau macam-macam tentu kami tak dapat mengampunimu dan membunuh. Apakah kau perlu dihajar?"

“Kalian mau mengeroyok?" Raja Racun itu tertawa bergelak. "Boleh, Siauwjin. Hayo coba-coba dan mari berhantam!" dan Raja Racun itu yang tiba-tiba berkelebat menghantam iblis cebol ini tahu-tahu sudah menyerang dan melepas pukulan ke arah temannya itu, dikelit dan pukulan meledak dan Raja Racun ini menerjang kembali, tapi dua kali dua kali pukulannya menghantam pula Iblis Busuk Dari Kubur itu mengelak.

Dan ketika Hek-bong Siawjin melotot juga dan memberi tanda pada teman-temannya maka Dewi Api dan Pembunuh Petir bergerak, maju membentak dan melepas pukulan ke Raja Racun itu. Repotlah Raja Racun ini. Dia sebenarnya main-main, tentu saja tak sungguh-sungguh. Dan ketika dia dikeroyok dan berganti-ganti Siauwjin dan dua temannya melepas pukulan dari tiga penjuru akhirnya iblis berpakaian hitam ini berkaok-kaok dan jatuh bangun, menyatakan tobat dan akhirnya melesat melarikan diri.

Siauwjin yang tertawa melihat itu menyuruh dua temannya berhenti menyerang, sesungguhnya Tok-ong tadi menguji kepandaian dengan mereka bertiga, mendapat kenyataan bahwa mereka berimbang dan satu dikeroyok tiga tentu saja iblis ini berat. Dan ketika lawan melarikan diri dan dari jauh Raja Racun itu menyatakan tahu di mana Bu-beng Sian-su berada maka Cam-kong dan teman temannya mengejar, bukan untuk menyerang melainkan mengikuti Raja Racun itu, tak lama kemudian berendeng dan masing-masing sama tertawa, aneh orang orang ini.

Dan karena mereka bukan manusia-manusia biasa dan ilmu lari cepat mereka tak lumrah manusia lainnya maka bagai terbang saja akhirnya Tok-ong dan teman-temannya ini menuju ke selatan, berbelok dan akhirnya lenyap di antara lebatnya hutan-hutan besar. Mereka itu hanya tampak melesat dan hilang di kejauhan, akhirnya orang tak tahu ke mana mereka pergi.

Dan ketika orang di kota Ci-nong mendengar dentuman atau ledakan-ledakan di Bukit Malaikat maka akhirnya orang tahu bahwa semalam Bu-beng Sian-su menghadapi lawan lawan tangguh dan empat orang itu mundur setelah kalah, tersebar berita bahwa Bu-beng Sian-su menjanjikan sepasang cermin yang katanya berisi ilmu kesaktian untuk mengalahkan empat orang lawannya itu.

Cam-kong dan kawan-kawannya hanya dikenal sebagai tokoh Barat dan Timur, orang tak banyak tahu tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Bukit Malaikat itu. Dan ketika cerita itu tersebar dari mulut ke mulut dan cerita yang sudah dibawa orang ini ditambah atau dikurangi menurut watak masing-masing maka hari itu semua orang menuju ke Bukit Malaikat untuk menagih janji Sian-su!

* * * * * * * *

"Begitulah, ini yang kami dengar, nona. Katanya Bu-beng Sian-su menghadapi tokoh-tokoh amat luar biasa dan hari ini akan memberikan cerminnya. Kami tak tahu benar atau tidak tapi nyatanya orang orang kangouw berdatangan dan telah berkumpul..."

Begitu Swat Lian mendengar cerita seorang tamu penginapan, kebetulan pengunjung atau bekas penonton kejadian di Ce-bu dulu. Swat Lian dan suhengnya dikenal dan segera orang itu mendekat. Orang ini adalah pengagum keluarga Hu. Dan ketika orang itu menyelesaikan ceritanya dan Swat Lian tertarik maka gadis memandang dua suhengnya dengan mata bersinar sinar.

“Bagaimana, suheng? Kita bergerak sekarang juga?"

"Hm, masih terlampau pagi, sumoi. Tapi tak apa kalau kau mau."

"Sian-su akan muncul pagi ini, siauwhiap. Katanya sebelum matahari panas benar!" Orang ini yang banyak bercerita dan memberi tahu tiba'tiba menimpali. "Aku juga akan ke sana dan kalau boleh bergabung dengan kalian!"

Swat Lian saling pandang. "Apakah suheng setuju?"

"Maaf." Gwan Beng bicara. "Kau boleh saja ikut rombongan kami, saudara. Tapi keselamatan dan lain-lain kami tak berani tanggung. Dan lagi ilmu lari cepatmu itu tak dapat mengimbangi kami."

"Ah...." orang itu sadar. "Baiklah, siauwhiap, aku mengerti. Kalau begitu biar aku jalan sendiri dan mudah-mudahan kita bertemu lagi di Bukit Malaikat."

"Kau bilang Bukit Malaikat terhalang jurang, dapatkan kau melompati itu?"

"Aku akan mencoba, siauwhiap. Tapi kalau gagal biarkan aku menjadi penonton dari jauh."

Gwan Beng tersenyum, merasa kasihan. Pagi itu percakapan berhenti dan mereka pun berkemas, orang itu tahu diri dan Gwan Beng lega. Memang, membawa orang yang kepandaiannya masih rendah dan coba bergabung dengan mereka tentu hanya merepotkan saja. Sute dan sumoinya tentu tak suka, perjalanan jadi terganggu dan syukur orang itu tahu diri, tidak tersinggung atau pun marah setelah mendengar kata-katanya tadi.

Dan ketika pagi itu mereka siap dan cerita tentang Bu-beng Sian-su telah mereka dengar secara singkat maka pagi itu juga Gwan Beng mengajak Sute dan sumoinya berangkat, bukan untuk memperoleh cermin seperti yang di idam-idamkan orang banyak melainkan semata hanya ingin melihat dan mengikuti keramaian. Apalagi tokoh dewa macam Bu-beng Sian-su dikabarkan akan muncul di sana, tentu ramai. Dan ketika mereka berkelebat dan pagi itu juga, meninggalkan penginapan maka di sepanjang jalan mereka melihat ratusan orang berbondong-bondong ke satu arah.

"Hm, tak kurang dari tiga ratus orang. Mungkinkah semuanya mampu ke bukit itu?"

"Entahlah, kita lihat saja, sumoi dan mari kita dahului mereka itu!"

Gwan Beng berkelebat, mengajak sumoinya mengerahkan ginkang dan orang-orang di sepanjang jalan terbelalak dan terpekik melihat berkelebatnya bayangan tiga muda mudi ini. Mereka hanya merasa angin berkesiur di samping mereka, bayangan pun lenyap dan tahu-tahu tiga orang muda itu telah berada jauh di depan. Dan ketika beberapa di antaranya ada yang mengenal Swat Lian dan Gwan Beng sebagai orang-orang muda yang mengalahkan Hwa-i-paicu dan Pak-tung Lo-kai maka mereka berseru tertahan.

"Aih, murid Hu-taihiap....!"

"Ya, dan puterinya juga, Hu-siocia!"

Swat Lian dan suhengnya tak menghiraukan. Mereka hanya tersenyum saja dan melesat mengerahkan ilmu lari cepat. Bukit Malaikat tahu-tahu telah berada di depan mata dan mereka berpacu. Dan ketika tak lama kemudian mereka tiba di bawah bukit itu dan benar saja sebuah jurang yang dalam ada di bawah bukit itu maka Swat Lian dan suhengnya berhenti dan melihat puluhan orang telah berada di sini pula.

"Berhenti, jangan menarik perhatian!" Gwan Beng mengembangkan lengannya, menyuruh sute dan sumoinya berhenti dan mereka bertiga pun sudah tak jauh dari Bukit Malaikat. Bukit itu tidak begitu tinggi, namun karena terbilang jurang dan melewati jurang itu saja sudah merupakan pekerjaan sukar maka walhasıl hanya orang-orang berkepandaian tinggi saja yang akan dapat menyeberang. Gwan Beng mengerutkan keningnya sejenak.

"Bagaimana?" Hauw Kam, sang sute bertanya. "Apakah kita lewat dan membuat tambang?"

"Hm, membuat tambang tentu dapat ke sana, sute. Tapi perbuatan kita diketahui orang banyak dan ini hanya menarik perhatian saja."

"Kalau begitu kita turun ke jurang itu, naik dan merayap di dinding sebelah sana."

"Benar," Swat Lian yang pernah menuruni jurang berseru, "Aku pernah memasuki jurang itu, suheng. Kita dapat bergerak di bawah dan melompati dinding sebelahnya."

"Ini pun akan diketahui orang," Gwan Beng tak setuju. "Sebaiknya kita putar, sumoi. coba lihat barangkali di sebalik bukit itu ada jalan lain."

Hauw Kam dan sumoinya mengangguk. Mereka sudah mengikuti jejak kakak tertua itu, Gwan Beng berkelebat dan menghilang ke kiri. Di situ mereka memutar dan coba mencari jalan di seputar bukit. Tapi ketika tak ada jalan lain karena di bagian ini pun terdapat sungai yang deras arusnya maka Gwan Beng tertegun sementara belasan orang berperahu tiba-tiba muncul di sungai itu.

"Hei, kalian mau ke mana? Mari, ikut kami, nona manis. Perahu kami masih besar dan cukup untuk menampung seorang!"

"Ha-ha, benar. Tapi yang seorang itu harus kau, nona. Jangan dua temanmu itu. Kami tak butuh laki-laki!"

Swat Lian merah mukanya. Orang orang kurang ajar yang ada di atas perahu itu berteriak padanya, semua cengar cengir dan hampir dia menggerakkan lengan. Dari jarak jauh dia dapat menjungkir balikkan perahu itu. Tapi sebelum dia bergerak dan mau menghajar orang-orang itu mendadak Hauw Kam menuding dan berseru,

"Eh, Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)!”

Swat Lian terkejut. Bersama twa-hengnya dia cepat menoleh, melihat sebuah bayangan berkelebat cepat di seberang sungai. Orang-orang diatas perahu itu pun menengok dan tertegun, seorang pemuda berambut keemasan meluncur dan mendaki bukit, entah dari mana dia datang, cepat dan sebentar kemudian dia menghilang di atas bukit itu. Dan ketika Swat Lian tertegun dan suhengnya juga terbelalak mendadak terdengar jerit dan pekik orang orang di atas perahu itu.

“Hei, awas...!"

Swat Lian dan suhengnya terkesiap. Mereka melihat perahu yang ditumpangi belasan orang itu tiba-tiba menghantam batu besar, tadi batu itu tertutup arus yang bergelombang dan kini kelihatan setelah gelombangnya surut, sekejap saja kejadian itu tapi perahu tiba-tiba pecah dan berantakan. Orang-orang ini pun tadi tertegun memandang bayangan di atas bukit itu, bayangan yang disangka Kim-mou-eng. Dan ketika perahu berderak patah dan orang-orang itu terpelanting maka semuanya tercebur ke sungai dan hanyut.

"Eh, tolong... tolong...!"

Swat Lian terkesiap. Jiwa kemanusiaannya langsung bangkit, dia mau bergerak dan menolong. Tapi belum dia berkelebat tiba-tiba belasan orang yang terseret arus ini terbanting batu batu yang mencuat dan mengeluh, enam di antaranya menjerit dan tenggelam, kepala mereka kena benturan keras dan pingsan.Celakalah orang orang itu. Dalam keadaan pingsan sudah terbawa arus dan tenggelam, tak ada harapan untuk hidup. Dan Ketika Swat Lian tertegun dan mau melompat tiba-tiba yang lain ditumbuk sebuah perahu hitam yang dikemudikan seorang Kakek berpakaian hitam yang tiba-tiba muncul di situ dan tertawa bergelak.

"Ha-ha, mampus kalian, cecunguk-cecunguk busuk. Siapa suruh kalian datang kemari. Hayoh, menghadap Giam-lo-ong. Pergi ke neraka!"

Jerit dan pekik terdengar di situ. Kakek itu menggerakkan lengannya dua kali, orang orang itu pecah kepalanya dan tenggelam. Air menjadi merah dan cepat seperti datangnya tahu-tahu kakek di atas perahu itu telah menghilang, semua ini bagai mimpi saja dan Swat Lian serta suhengnya terkejut. Apa yang dilihat itu bagai mimpi buruk. Sungguh mengejutkan. Dan ketika Swat Lian dan suhengnya bengong tiba-tiba terdengar kekeh wanita dan sebuah perahu lain muncul, tanpa penumpang!

"Hi-hik, kau menakut-nakuti orang, Tok-ong. Kenapa begitu telengas dan kejam? Aih, kau terlalu. Lihat ada penonton yang bengong!"

Swat Lian dan suhengnya terkesima. Mereka bergidik tapi juga heran melihat ada perahu dapat meluncur di tengah-tengah arus sungai yang deras itu, tanpa penumpang tanpa pengemudi. Tapi begitu Swat Lian mengerahkan pandangannya dan dua suhengnya juga mengerahkan kekuatan batin mendadak mereka melihat sesosok asap hitam berada di atas perahu itu, sosok yang tidak jelas tapi menyerupai manusia, bentuk seorang wanita.

“Dewi Api Naga Bumi....!"

Hauw Kam tertegun. Dialah yang berseru tadi, teringat cerita di rumah penginapan dan perahu di tengah sungai itu tiba-tiba berhenti. Berhenti begitu saja, seolah di-rem. Tentu orang biasa akan terkejut melihat kejadian luar biasa itu, sebuah perahu berhenti di tengah-tengah arus yang deras, tanpa penumpang. Atau, penumpangnya barangkali mahluk halus! Dan, ketika Hauw Kam mengeluarkan seruannya tadi dan dua saudaranya yang lain bengong mendadak terdengar kekeh itu lagi dan perahu kini berputar ke arah Hauw Kam dan suheng serta sumoinya!

"Hi hik, kau mengenal aku, anak muda? Itu sebuah kehormatan. Ayo ikut kemari dan naiklah....!"

Hauw Kam berteriak. Tiba-tiba dia merasa serangkum angin dahsyat menyambar ke arahnya, Hauw Kam berkelit tapi roboh terguling. Dan ketika pemuda itu menjadi kaget dan mencelos sekonyong-konyong tubuhnya tertarik naik dan terbang ke perahu yang tidak ada orangnya itu.

"Suheng...!" Swat Lian pucat bukan main. Dia melihat suhengnya terbanting di atas perahu itu, berdebuk dan suhengnya mengeluh. Lalu, sementara Swat Lian terkesiap dan Gwan Beng juga tersentak mendadak perahu itu berputar haluan dan meluncur menjauhi mereka.

"Suheng...!" untuk kedua kali Swat Lian berteriak. Gadis ini melengking dan gelisah, kini mencelat dan berjungkir balik mengejar perahu itu. Tapi ketika dia melayang dan berjungkir balik di udara tiba-tiba kekeh itu terdengar lagi dan Swat Lian mendengar kata-kata lirih.

“Pergilah!"

Hanya itu yang didengar Swat Lian. Setelah itu dia tak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya didorong sebuah tenaga dahsyat, begitu dahsyat hingga tubuhnya terlempar kembali ke darat. Gadis ini terbanting dan terguling-guling di tanah. Dan ketika dia mengeluh dan Gwan Beng berseru keras memburu sumoinya maka Swat Lian melompat terhuyung dan merasa pening.

"Aih, celaka. Ji-heng (kakak kedua) diculik siluman!"

"Hm," Gwan Beng menangkap lengannya, lebih memperhatikan gadis ini. "Kau tak apa-apa, sumoi?"

"Tidak, tapi... eh, kenapa kepalaku pening? Aduh, bumi, rasanya berputar, suheng. Aku tak tahan!" Swat Lian tiba-tiba terguling, suhengnya terperanjat dan Gwan Beng cepat menotok pundak sumöinya itu. Entah dengan pukulan atau ilmu siluman apa sumoinya ini diserang nenek dahsyat itu, cepat Gwan Beng menyalurkan sinkang dan mengeluarkan obat penawar racun. Barangkali sumoinya tadi mendapat serangan beracun. Dan Ketika tak lama kemudian sumoinya bangun berdiri dan pucat, memandang kedepan maka Swat Lian sudah merasa sehat kembali dan tidak pening.

"Iblis, nenek itu benar-benar iblis!"

"Kau tak apa-apa?" Gwan Beng tetap lebih memperhatikan sumoinya ini dari yang lain. “Kau sudah sembuh, sumoi?"

"Ya, tapi kenapa kau tak mengejar ji-heng, suheng? Kenapa kau membiarkan dia diculik orang?"

"Sabar, semuanya berlangsung cepat, sumoi, Aku tak menduga kalau kam-sute dapat dibawa begitu mudah. Dewi Api Naga Bumi kiranya betul-betul nenek dahsyat, dia muncul dan sungguh bukan dongeng, bagaimana kalau kita mencari perahu?"

"Ya, cepat, suheng. Kita harus mencari Kam suheng dan mengejar nenek iblis itu. Dia tadi berlindung di balik asap, dia iblis berbahaya yang harus kita waspadai!”

“Benar, tapi jangan sembrono, sumoi. Sekarang kita kehilangan seorang teman dan tinggal kita berdua. Ayo, kita cari perahu dan kejur nenek itu!”

Gwan Beng juga gelisah, bingung dia mencari perahu tapi tak ada sebuah pun kendaraan air disitu. Sungai itu hampir tak dapat direnangi, cukup lebar dan kuat arusnya, satu-satunya jalan memang harus berperahu dan itu pun harus hati-hati. Di tengah banyak batu mencuat dan hitam serta tajam, ujungnya digosok setiap hari oleh arus sungai yang kuat. Dan ketika mereka kebingungan dan gugup mencari perahu tiba-tiba muncul seorang kakek cebol dengan perahu pendek yang kedua sampingnya diberi batang pisang, sebagai pengimbang.

“Hen heh, mencari apa kalian, anak-anak?"

Gwan Beng terkejut. Seperti siluman atau hantu saja tahu-tahu kakek cebol di atas perahu pendek itu sudah ada di dekatnya, begitu dekat hingga sekali raih agaknya kakek itu dapat menyambarnya! Gwan Beng terkesiap. Dan ketika dia terbelalak dan mundur secara otamatis mendadak kakek itu mengulurkan lengan dan tertawa.

"Naiklah, mari kita bersama!"

Gwan Beng seperti disengat listrik. Lengan si kakek sudah menjulur dekat, dia mundur tapi lengan itu memanjang .Bukan main, lengan ini seperti karet! Dan ketika Gwan Beng membentak dan tentu saja menangkis tahu-tahu lengan yang terulur itu melejit dan dia pun sudah terangkat dan terlempar ke dalam perahu.

“Bluk...!" Gwan Beng terbanting bergulingan. Kejadian itu luar biasa cepat dan dia tak dapat mengelak. Pemuda ini terkesiap sementara sumoinya di sana berteriak tertahan. Swat Lian kaget bukan main melihat suhengnya roboh. Tapi ketika gadis itu membentak dan mau menyerang sekonyong-konyong perahu berputar dan meluncur jauh terbang di atas permukaan air, lenyap di kejauhan sana.

"Heh-heh, kau ikut aku, anak muda. Selamat bertemu!"

Swat Lian memekik. Dia jadi ditinggal sendirian di tempat itu, perahu sudah menghilang dan dia tak dapat mengejar. Tapi Swat Lian yang tentu saja tak mau diam dan memaki sambil memburu akhirnya menemukan sebatang pohon pisang, langsung membabat dan membuat getek. Cepat dan darurat dia menyambung nyambung batang pisang itu. Tapi ketika getek ini mau dilempar ke sungai dan dia siap menumpangi mendadak terdengar suara gaduh dan jerit kesakitan di belakang.

“Aduh, ampun... tobat...!"

"Aduh, mati aku....!"

Swat Lian tertegun. Dari arah jurang di mana pertama kali dia bersama suhengnya datang ternyata berlari puluhan orang yang tunggang langgang. Mereka ini jatuh bangun dan menjerit jerit, di belakangnya terdengar geraman dan bentakan. Dan ketika dia terbelalak dan orang itu berlari-larian saling tubruk maka tampaklah sesosok tubuh tinggi kurus menggeram geram di belakang orang-orang ini.

"Kalian tikus-tukus busuk, pergi...!"

Swat Lian terkejut. Orang yang menggeramgeram ini menggerak-gerakkan kedua lengannya, angin pukulan dahsyat menyambar dan orang orang itu pun terpelanting. Ada yang dapat bangun tapi ada pula yang tidak, yang sial ini mengerang dan merintih karena kaki atau tangan mereka patah. Swat Lian terbelalak. Dan karena mereka itu mendekatinya dari beberapa di antaranya melihat dirinya dan mengenalnya maka seorang di antaranya berteriak,

"Hu-siocia, tolong. Kami di amuk Cam-kong!”

Swat Lian tersentak. Sekarang dia mengenal kiranya orang di belakang itu adalah Cam-kong, tokoh dahsyat dari Himalaya, tokoh barat. Jadi satu dari sekian manusia luar biasa golongan Tok-ong dan lain-lainnya itu. Dan teringat bahwa suhengnya Hauw Kam dan Gwan Beng diculik dua di antara empat tokoh mengerikan ini mendadak Swat Lian melengking dan berkelebat menerjang tokoh itu, laki-laki tinggi kurus yang mukanya pucat serta bermata cekung.

"Cam-kong, kau iblis jahanam keparat. Mampuslah!"

Cam-kong, si Pembunuh Petir tertegun. Swat Lian memapak dan menyambarnya, tidak lari dan justeru menyerang. Heran dan kaget iblis ini. Tapi mendengus dan mengibaskan lengannya dari jauh tiba-tiba iblis itu membentak dan menggeram.

"Plakk!” Swat Lian tunggang-langgang. Gadis itu memekik dan terbanting bergulingan, pukulannya tadi disambut pukulan jarak jauh dan ia terlempar, Bukan main kagetnya gadis ini. Tapi ketika ia melompat bangun dan menyerang lagi tiba-tiba terdengar suara lembut yang bernada memerintah.

"Cam-kong, di wilayah ini tak boleh kau membunuh. Kalau ingin datang ke puncak datanglah baik-baik, jangan kotori dengan darah!"

Cam-kong, Pembunuh Petir terkejut. Ia mengeluarkan suara aneh dari hidung, pukulan Swat Lian dielak. Lalu melengking dan mengeluarkan suara mirip tangis mendadak tokoh itu berkelebat dan hinggap di atas air, di permukaan sungai.

"Bu-beng Sian-su, kau kakek keparat. Di mana-mana bertemu selalu memerintah....ittttt!" dan meringkik mirip kuda digebuk pantatnya sekoyong-konyong kakek ini menggerakkan kedua lengannya. Lalu sementara Swat Lian dan lain tertegun tiba-tiba kakek itu meluncur maju dan sudah terbang di atas air, menghilang!

"Iblis...!"

"Kakek luar biasa...!"

Swat Lian dan lain-lain bengong. Mereka tak melihat lagi kakek itu, Cam-kong atau Pembunuh Petir ini telah melayang atau berjalan di atas air. Itulah kesaktian luar biasa dari ilmu meringankan tubuh atau ginkang yang sudah mencapai puncaknya. Dengan kaki dan tanpa bantuan apa-apa Cam-kong lenyap di kejauhan sana, tak lama kemudian melihat sebuah titik kecil di atas bukit. itu pun tak lama karena kemudian titik ini pun lenyap lagi. Dan ketika semua orang mendelong dan kagum serta gentar mendadak Swat Lian meloncat dan hinggap pula di atas getek pisangnya, mengayuh dan membentak dan sebentar kemudian gadis itu mengejar Cam-kong.

Orang-orang berseru tertahan karena itu pun perbuatan berbahaya. Arus sungai itu deras dan perahu biasa pun dapat pecah terhantam batu-batu hitam. Swat Lian tentu saja harus berhati-hati dan mengemudikan perahu anehnya ini dengan cermat. Dan ketika gadis itu menggerak gerakkan kedua tangannya dan tanpa dayung di tangan pun ia dapat menyelinap di arus yang deras dan akhirnya menghilang di kejauhan sana orang pun menjadi kagum dan takjub. Beberapa di antaranya mencoba tapi terguling. Sungai terlalu berbahaya untuk diseberangi!

Dan karena orang-orang ini sebagian besar hanya terdiri dari orang-orang kang-ouw tingkat rendahan dan mereka tak dapat ke Bukit Malaikat maka hanya beberapa gelintir dan memiliki kepandaian cukup saja dapat menyeberang. Beberapa di antaranya mencari jalan lain tapi di belakang bukit adalah rawa, ini pun berbahaya dan tak kalah gawat. Kembali hanya orang-orang yang berkepandaian cukup yang hanya dapat melewati semua halangan itu. Dan ketika orang ribut-ribat sendiri dan sebagian besar akhirnya menjauh dari tempat berbahaya itu maka di sana Swat Lian telah berhasil menyeberang dan naik ke Bukit Malaikat.

Apa yang dicari? Tentu saja suhengnya Gwen Beng dan Hauw Kam. Tadi dua orang Suhengnya itu diculik nenek Dewi Api dan kakek cebol. Swat Lian tersentak karena ia teringat Hek-bong Siauw jin. Keparat! Suhengnya dalam bahaya dan dia harus menolong. Tapi ketika ia berkelebatan di atas bukit itu dan memaki memanggil manggil lawannya mendadak sesosok bayangan berkelebat dan Kim-mou-eng muncul.

"Adik Swat Lian tunggu! Jangan terus naik keatas...!"

Swat Lian tertegun. Di depannya telah berdiri orang yang selama ini mengganggu tidurnya, Kim-mou-eng tampak kurus namun gagah. Pendekar Rambut Emas itu agak kusut namun sinar matanya tajam bersinar-sinar. Dan ketika Swat Lian berhenti dan Kim-mou-eng berdiri di depannya tiba-tiba gadis itu terisak dan ingat kenangan lama.

"Kim-twako, kau....?"

"Ya, jangan ke puncak, Swat Lian. Terlalu berbahaya dan gawat. Suhu memerintahkan aku agar mencegah siapa pun datang ke sana. Tokong dan teman-temannya memasang ranjau....!" dan baru kata-kata ini selesai diucapkan mendadak terdengar dentuman dan jerit di sebelah kiri. Tiga sosok tubuh mencelat di udara, pekik mengerikan itu menyayat telinga. Dan ketika sosok tubuh tu terbanting dan Swat Lian terkejut mendadak terdengar lagi gelegaran di sebelah kanan dan jerit serta pekik kematian mengguncang bulu kuduk.

"Keparat, Tok-ong dan kawan-kawannya benar-benar keji...!"

Kim mou eng berkelebat, Swat Lian disambar dan cepat mereka sudah di tempat kejadian itu. Enam potong tubuh tergelimpangan di sana-sini. Swat Lian bergidik. Darah dan potongan kaki bercecer di situ, sungguh keji. Mengerikan. Tapi ketika Swat Lian hendak melepaskan dirinya dan bertanya tentang sesuatu mendadak berkesiur tiga angin dingin dan dua orang tosu serta seorang hwesio muncul.

"Omitohud, inikah kau, kim-taihiap? Mana gurumu Bu-beng Sian-su?"

“Siancai, perbuatan Tok-ong kah ini, taihiap? Mana empat datuk iblis yang jahat itu?"

Kim mou-eng dan Swat Lian tertegun. Di depan mereka berdiri tiga orang gagah yang matanya tajam berkilat-kilat. Dapat datang ke tempat itu saja sudah menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan, Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas tercekat. Tapi sebelum dia menjawab tiba-tiba Swat Lian yang maju mendahului dan rupanya mengenal hwesio di depan bertanya,

"Maaf, bukankah ini Bi Kong lo-suhu dari Siu-lim?"

"Benar, dan kau Hu-siocia, nona? Mana ayahmu?"

"Ah!" Swat Lian yang terkejut tapi girang tiba-tiba berseru, bertanya lagi, "Apakah lo-suhu melihat dua suhengku dalam perjalanan ke mari? Tidakkah bertemu nenek siluman Dewi Api atau iblis cebol Hek-bong Siauwjin?"

“Omitohud, tidak, nona. Apakah maksudmu saudara Gwan Beng dan Hauw Kam?"

"Ya, benar, mereka itu!" tapi belum gadis ini melanjutkan, Kim-mou-eng sudah menyentuh lengannya dan maju ke depan.

"Maaf, ketua Siu-lim rupanya. Lo-suhu kah yang bernama Bi Kong Hwesio? Dan siapakah dua ji-wi locianpwe ini?"

"Siancai, aku Yang Te Cinjin, Kim-taihiap. Dan ini rekanku Ciu Sek Tosu."

"Aih, ketua Hong-san dan Liong-san kiranya. Maaf, aku tak tahu...!" dan Kim mou-eng yang tampak terkejut dan buru-buru menjura lalu menghadapi tiga ketua partai itu dengan muka tegang. Baru sekarang tahu bahwa inilah ketua-ketua dari partai persilatan terkenal, satu di selatan sementara yang lain terletak di barat, di perbatasan Himalaya, bersebelahan dengan Kun-lun. Dan ketika tiga orang hwesio dan tosu itu balas menjura dan Swat Lian tertegun maka Bi Kong Hwesio, hwesio yang pertama itu merangkapkan lengannya kembali, tokoh atau orang pertama dari Siu-lim..

"Taihiap, benarkah hari ini gurumu yang terhormat Bu-beng Sian-su akan mengadakan keramaian? Bolehkah kami bertiga bertemu dan memperkenalkan diri?"

"Maaf, hari ini suhu tak mengadakan apa-apa, lo-suhu. Hanya empat iblis dari Timur dan Barat itulah yang mengacau. Mereka ingin membalas dendam, kini datang dan membuat keonaran. Kalau sam-wi (kalian bertiga) ingin bertemu tentu saja tak ada yang menolak tapi keadaan sekarang gawat!"

“Pinto (aku) sudah mendengar," Yang Te Cinjin, ketua Hong-san berkata. "Kami semua sudah mendengar itu, taihiap. Dan kami juga mendengar janji gurumu untuk memberi Cermin Naga. Terus terang, kami ingin melihat dan berkenalan. Kalau perlu melihat dan menemui Hek-bong Siauwjin dan lain-lainnya itu untuk membuktikan apakah benar mereka masih hidup atau hanya omong kosong!"

"Mereka benar masih hidup," Kim-mou-eng menjawab. "Tapi sepak terjang atau tindak-tanduk mereka luar biasa, totiang. Aku sendiri belum berhadapan tapi hari ini mereka berjanji datang!"

"Apakah sebenarnya yang terjadi? Bolehkah jauh-jauh kami mendengar?"

"Maaf, suhu belum menjelaskannya secara lengkap, totiang. Tapi kalau kalian ingin ke puncak boleh kuantar. Mari....!" tapi belum Kim-mou-eng berkelebat tiba-tiba Swat Lian menegur,

"Kim-twako, apakah mayat-mayat ini akan dibiarkan saja?"

"Ah," Kim-mou-eng sadar. "Betul, Swat Lian, tapi....”

"Biar pinto bersihkan!" Bi Kong Hwesio, tokoh atau ketua Siu-lim tiba-tiba bergerak. Dia mencabut sebatang dahan dan langsung menusuk tanah, mencongkel dan sebentar kemudian lubang besar cukup untuk beberapa mayat itu tersedia. Cepat sekali kerjanya, juga luar biasa. Dan ketika Swat Lian menutup hidung tak tahan oleh keadaan mayat yang terpotong-potong itu bergerak membantu tahu-tahu hwesio ini telah menggerakkan kakinya dan mayat-mayat itu pun masuk semua ke lubang yang dibuat, tak ada satu menit! Lalu membersihkan dan mengebut bajunya dari kotoran yang melekat. Hwesio itu berkata,

“Nah, sekarang kita siap, nona. Tapi beberapa sahabat rupanya keburu datang...!" angin berkesiur dan beberapa bayangan berkelebat.

Swat Lian sebenarnya juga sudah mendengar itu, kagum pada ketajaman hwesio ini dan muncullah di situ beberapa orang yang gagah dan keren, satu di antaranya memiliki kumis panjang sampai di bawah dagu, seorang tosu semacam Ciu Sek atau Yang Te Cinjin itu. Dan ketika Bi Kong Hwesio membalik dan tentu saja tak jadi pergi maka hwesio ini terkejut buru-buru merangkapkan kedua tangannya.

"Aih, Swan Cong Tojin kiranya! Omitohud, kau juga datang ke mari, totiang? Bersama Kwi Hiang Hosiang? Ah, Buddha yang welas asih mempertemukan kita. Omitohud...!!" hwesio ini menjura dalam-dalam, Swat Lian dan Kim-mou-eng terkejut karena itulah ketua-ketua Kun-lun dan Go-bong-pai. Mereka tertegun dan seketika terbelalak, tentu saja terkejut. Dan ketika Bi Kong Hwesio memberi hormat dan cepat dibalas maka Swan Cong Tojin, ketua Kun-lun itu merangkapkan kedua tangannya. "Siancai, tak diduga kau ada di sini pula, Bi Kong lo-suhu. Dan ini agaknya rekan Yang Te Cinjin dan Ciu Sek Tosu?”

“Benar, kami datang bersama Kwi Hiang lo-suhu. Barangkali saja kita seiring dan setujuan. Dan ini Kim-mou-eng, bukan?”

Kim-mou-eng mengangguk, cepat memberi hormat. "Totiang, jauh-jauh kau datang ke mari, tentu mendengar tentang desas-desus itu dan tertarik. Totiang ingin mencari siapa?"

"Siancai, pinto ingin bertemu gurumu, taihiap. Dan juga Tok-ong dan kawan-kawannya itu. Benarkah mereka ada dan masih hidup?"

"Suhu mengatakannya begitu, totiang. Tapi aku pribadi belum pernah bertemu..."