Sepasang Cermin Naga Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 06
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"DAN nona ini, bukankah puteri Hu-taihiap?"

"Benar, aku Swat Lian totiang. Bagaimana kau mengenal aku?"

"Ah, pinto mendengar sepak terjangmu di Ci-nong, nona. Dan kebetulan juga melihat bayanganmu waktu melewati orang-orang di jalan itu. Kau hebat, ginkangmu mengagumkan! Tapi mana dua suhengmu?"

"Mereka diculik Dewi Api dan Hek-bong Siauwjin totiang. Empat tokoh itu benar ada dan masih hidup, aku melihat sendiri!"

"Omitohud, begitukah?" hwesio di sebelah Swan Cong Tojin tiba-tiba berseru. "Kalau begitu dunia dalam bahaya, cuwi enghiong (semua orang gagah). Kita harus mencegah itu dan membasmi mereka!"

"Siancai, pinto datang juga dengan maksud itu. Dan Bu-beng Sian-su yang terhormat katanya akan memberi petunjuk!"

Ciu Sek Tosu kioi berseru. "Ya, dan pinceng juga ingin melihat apa yang diberikan Sian-su, Tojin. Katanya hari ini Cermin Naga akan dikeluarkan. Pinceng ingin melihat dan menyaksikan benda itu!"

Semua kini bicara. Ternyata orang-orang itu adalah para ketua partai yang diam-diam tertarik oleh berita besar ini, tentu saja mereka tak nampak di Ci-nong karena malu harus terlihat atau berada di tengah-tengah orang banyak. Betapapun mereka harus menjaga kedudukan sendiri. Dan ketika semua saling sahut dan Kim-mou-eng bingung harus bicara kepada siapa, mendadak di puncak terdengar geraman dan bentakan.

"Sian-su, keluarlah. Kami sudah datang...!"

Semua orang terkejut. Swat Lian mengenal geraman itu, bentakan atau geraman Cam-kong, si Pembunuh Petir. Tentu saja dia bergerak dan tiba-tiba melengking, berkelebat menuju puncak. Tapi baru dia menjejakkan kaki dan membentak memaki iblis itu, tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan menyambar punggungnya.

"Swat Lian, jangan lewat jalan itu. Berbahaya...!" dan ledakan yang mengejutkan semua orang disusul pekikan Swat Lian tiba-tiba membuat semua orang terkesiap karena tanah di depan amblong, Kim-mou-eng keburu menyambar punggung gadis itu dan melempar Swat Lian kembali ke tempat semula. Pendekar Rambut Emas sendiri sudah berjungkir balik lima kali sebelum jatuh di rombongan Bi Kong Hwesio, mukanya pucat dan mengusap keringat dingin, peluh sebesar jagung menitik dari dahinya. Dan ketika Swat Lian sendiri mencelos dan hampir mati kaget melihat ke sembronoannya maka di puncak terdengar kekeh dan tawa yang panjang.

"Hi-hik, kau boleh mampus, bocah. Siapa sembrono akan mendapat hadiahnya!"

"Ya, dan kau suruh gurumu keluar, Kim-mou-eng. Kami sudah datang!"

Kim-mou-eng dan lain-lain marah. Mereka kini tahu bahwa tokoh-tokoh sesat yang kepandaiannya luar biasa sudah ada di puncak, Kim-mou-eng mengepal tinju dan berang. Tapi belum dia mengajak yang lain terdengar lagi teriakan dari puncak, kini ditujukan kepada Swat Lian.

"Sumoi, jangan datang ke mari. Turun...!"

"Benar, jangan ke mari, sumoi. Pergilah...!"

Swat Lian pucat. "Itu Hauw Kam-suheng dan Gwan Beng-suheng. Mereka ada di sana!” serunya. "Ah, apa yang harus kulakukan, Kim-twako? Apakah harus membiarkannya saja?” tapi baru gadis ini selesai bicara tiba-tiba terdengar seruan lembut dari atas, mengusap semua telinga orang, begitu menyejukkan.

"Kim-mou-eng, bawa teman-temanmu ke lorong bawah tanah. Boleh ke puncak tapi sembunyikan diri!"

Kim-mou-eng girang. "Ini suara suhu," serunya. "Mari, ikuti aku, cuwi enghiong. Semua menjadi satu dan jangan sendiri sendiri!" Kim-mou-eng sudah berkelebat, menguak sebuah semak belukar dan di situ terlihat sebuah guha atau lorong bawah tanah. Di sini Kim-mou-eng menyerahkan beberapa batang lilin dan bergeraklah pendekar itu merunduk dan melompat.

Bi Kong Hwesio dan lain-lain mengikuti dan dengan tegang namun gembira mereka berjalan di belakang Kim-mou-eng. Tempat yang gelap tak menjadi halangan karena masing masing telah menyalakan lilin pemberian Kim-mou-eng. Dan ketika sembilan orang itu mulai bergerak dan merunduk serta berlari kecil di dalam guha yang akhirnya menaik ke atas ini maka Bi Kong Hwesio dan teman-temannya kagum karena tak lama kemudian mereka tiba di sebuah tempat yang lapang. Lilin mulai tak dipakai lagi karena cahaya matahari tampak menerobos masuk di celah-celah guha, meskipun lemah. Dan ketika setengah jam kemudian mereka semakin ke atas dan akhirnya berhenti mendapat aba-aba maka mereka merasa tanah bergetar dan bergoyang ketika di atas sana terdengar bentakan dan gedrukan kaki.

"Semua jangan keluar, boleh mengintai tapi jangan menampakkan diri," suara halus tiba-tiba menyusup kembali di dalam telinga, tak diketahui dari mana asalnya tapi Bi Kong Hwesio dan lain-lain bergidik.

Sebenarnya sejak tadi mereka itu seolah diamati sepasang mata tajam, entah di mana mata itu. Pokoknya diamati dan dua kali Bi Kong Hwesio merasa diusap punggungnya ketika tadi hampir dia terpeleset. Hwesio ini terlampau buru-buru dan tegang sewaktu menelusuri lorong bawah tanah itu, kebetulan dia akhirnya di belakang karena membantu yang lain-lain masuk. Hanya hwesio inilah yang merasa didorong punggungnya dan bergidik! Dan ketika suara yang lembut itu kembali bicara dan kini mereka mengenal sebagai suara Sian-su maka Kim-mou-eng mengibas ke samping dan rontoklah beberapa dinding guha yang terkupas.

"Suhu memerintahkan kita tak boleh keluar. Sementara ini cuwi mengintai saja di beberapa tempat!"

Bi Kong Hwesio dan lain-lain mengangguk. Mereka sebenarnya ingin keluar, perintah ini agak merendahkan derajat mereka sebagai ketua ketua partai. Namun karena mereka adalah tamu dan betapapun mereka telah memasuki wilayah Bukit Malaikat maka Bi Kong dan temannya mencari tempat pengintaian dan menempelkan muka, sebelumnya saling pandang dan Ciu Sek serta Yang Te Cinjin memberi isyarat.

Agaknya ketidakpuasan dua ketua Hong-san dan Liong-san ini tak dapat disembunyikan juga. Tapi karena Bi Kong mengedip dan ketua Siu-lim ini menyuruh sabar maka dua ketua itu mengangguk dan mengintai, kebetulan mendapat celah paling jelas dan posisi paling menguntungkan. Dan begitu mereka mengintai melihat ke depan tiba-tiba keduanya berseru tertahan dan melotot.

Apa yang dilihat? Tak ada apa-apa! Di situ hanya tampak sebuah tempat datar yang sekelilingnya penuh pohon, jadi semacam lapangan kecil berbentuk lingkaran. Tempat itu kosong tapi bentakan atau geraman terdengar di sini, bahkan gedrukan-gedrukan itu pun terdengar di sini. Suaranya menggetarkan guha bawah tanah dan siapa yang tak menempel erat-erat di dinding pengintal barangkali akan jatuh seperti cecak diblandring (dikatepil). Menyeramkan sekali! Dan ketika yang lain-lain juga terbelalak dan keheranan karena tempat itu kosong maka Kim-mou-eng tiba-tiba berseru,

”Kerahkan tenaga batin, jangan melihat dengan mata biasa!"

Orang-orang terkejut. Mereka baru sadar bahwa yang mereka hadapi ini adalah tokoh-tokoh tak lumrah manusia, Hek-bong Siauwjin dan teman-temannya itu adalah iblis-iblis yang berkepandaian luar biasa. Maka begitu mereka mengerahkan tenaga batin dan mata telanjang mulai menembus disertai kekuatan dalam tiba-tiba mereka tertegun melihat apa yang ada. Sekarang tampaklah itu. Tiga pasang kakek nenek, bukan empat melainkan enam.

Dan Kim-mou-eng yang terkejut serta kaget melihat dua nenek baru di rombongan iblis ini mendadak berseru tertahan, “Sepasang Dewi Naga...!"

Yang Te Cinjin dan lain-lain tersentak. "Sepasang Dewi Naga, taihiap?"

"Ya, dua nenek itu ternyata telah bergabung dengan iblis-iblis ini, totiang. Pantas kalau mereka berani lagi datang dan menantang suhu!"

"Diakah yang menculik anakmu" Swat Lian tiba-tiba bertanya, terkejut.

"Ya, tapi... ah!" dan Kim-mou-eng yang hampir melompat keluar tapi ingat pesan gurunya tiba-tiba menggigit bibir dan sudah dicengkeram lembut jari-jari halus yang digetarkan Swat Lian.

"Twako, aku turut berduka oleh musibah yang menimpamu. Tenanglah, aku pasti membantu."

Dua pasang mata beradu pandang. Swat Lian segera menunduk ketika sepasang mata Pendekar Rambut Emas bergetar penuh perasaan, Kim-mou-eng tiba-tiba balas mecengkeram dan bertanya dari mana gadis itu tahu. Dan ketika Swat Lian berbisik bahwa dia baru saja ke tempat rendekar itu tapi Kim-mou-eng tak ada maka Pendekar Rambut Emas tertegun menatap heran.

"Kau ke suku bangsa Tar-tar?"

"Ya, dua hari yang lalu, twako."

"Untuk apa?’

“Mencari dirimu."

"Ya, aku tahu. Tapi untuk apa?"

“Disuruh ayah, twako. Menebus kekalahannya dua tahun yang lalu dan mengajakmu bertanding!"

Kim-mou-eng tersentak. Tiba-tiba dia ingat penasaran jago pedang itu, bahwa Hu Beng Kui tak puas dan ingin menebus kekalahannya. Benar, kini mengutus puterinya dan Kim-mou-eng tertegun. Tapi karena saat itu tak dapat mereka banyak bicara dan Bi Kong Hwesio serta yang lain lain juga ada di situ tiba-tiba Kim-mou-eng cepat melepas pegangannya ketika mendengar Yang Te Cinjio batuk-batuk.

"Maaf," pendekar ini merah mukanya. "Aku sedang kalut, Swat Lian. Biar lain kali kita bicara lagi," dan melepas gadis itu memandang ke depan akhirnya Pendekar Rambut Emas dan lain lain memperhatikan lagi suasana di atas, melihat nenek Dewi Naga bersiap siap sementara Hek-bong Siauwjin dan lainnya berteriak teriak.

Baru tahulah semua orang bahwa tokoh tokoh luar biasa dari dunia hitam ini rata-rata melindungi dirinya dengan semacam uap hitam di mana masing-masing tak akan terlihat oleh mata biasa, itulah semacam kekuatan sakti mirip ilmu menghilang. Hek-bong Siauwjin tampak paling pendek di antara semuanya, sementara Cam-kong tampak paling jangkung.

Tok-ong paling tinggi besar dan menyeramkan, iblis inilah yang mengedruk-gedrukkan kaki hingga bumi bergetar, seakan dilanda gempa saja. Dan ketika mereka semua memperhatikan dan enam tokoh sesat itu mengitari lapangan sambil memanggil-menggil Sian-su mendadak seperti muncul dari dalam bumi saja tampaklah kakek dewa itu, muncul dan tertutup halimun putih sementara mukanya tak kelihatan!

"Hm, aku sejak tadi di sini, Siauwjin. Tak terlihatkah oleh kalian?"

Enam tokoh itu kaget. Bi Kong Hwesio dan Teman-temannya juga terkesiap, mereka itu tak melihat dari mana Bu-beng Siun-su muncul dan tahu tahu kakek dewa itu telah bersila tenang di tengah-tengah kepungan lawannya. Begitu tenang dan agung! Dan ketika mereka terbelalak dan baru pertama kali itu juga Bi Kong dan lain lain melihat Bu-beng Sian-su maka Hek-bong Siauwjin dan teman-temannya membentak,

"Sian-su, kau kakek tua tak tahu aturan. Kenapa hendak menyerahkan Cermin Naga kepada orang lain? Berikan kepada kami, atau kau kami bunuh!"

"Benar, dan aku akan menggeragoti jantung mu, kakek keparat. Atau kau selamat dan Cermin Naga menjadi milikku!"

"Tidak, cermin itu menjadi milik bersama, Tok-ong. Jangan serakah dan tak tahu diri!"

"Hm...!" Bu-beng Sian-su, kakek di tengah-tengah lingkaran itu tiba-tiba bangkit berdiri. "Kalian semua amat beringas dan haus darah,Tok-ong. Kenapa begitu keji dan garang? Cermin Naga memang akan ku keluarkan, tapi bukan diminta dengan paksa."

"Berikan padaku!"

"Tidak, padaku, Sian-su, Atau...”

“Ha-ha, kakek ini tak mungkin memberikannya kepada kita, Dewi Api. Lebih baik serang dan bunuh dia!" Siauwjin, si Manusia Busuk Dari Kubur tiba-tiba menukas, langsung berkelebat dan menyelinap di bawah selangkangan kakek dewa itu. Dengan ganas dan keji dia merenggut bagian bawah kakek itu, kebiasaannya yang mengerikan dengan mencomot anggauta rahasia ternyata tak segan-segan dilakukannya kepada kakek dewa itu. Tapi ketika tangannya merogoh dan kakek itu membiarkan sekonyong-konyong iblis ini menjerit karena tempat itu kosong dan jarinya menyentuh benda panas yang membakar lengannya seperti api.

"Aduh, keparat...!” Hek-bong Sauwjin terguling-guling. Dia kaget dan marah, heran tapi juga gentar. Dan ketika iblis itu melompat bangun dan yang lain terbelalak melihat kejadian itu maka Tok-ong dan nenek Dewi Api melejit ke depan.

"Sian-su, mana itu Cermin Naga?"

"Kau tak memberikannya kepada kami?"

"Hm," kakek dewa itu bersikap tenang. "Hawa dan nafsu jahat mengotori kalian, Dewi Api. Dan kalian semakin tersesat. Cermin Naga akan kulempar, siapa mendapatkan dialah yang beruntung.”

"Tidak, orang lain tak boleh mendapatkannya, kakek keparat. Serahkan pada kami atau kau kubunuh!"

"Benar, dan kau juga berhutang sesuatu, kakek busuk. Kau merusakkan wajah kami berdua!" Sepasang Dewi Naga, Bi Kim dan Bi Lin membentak. Mereka itu jerih kalau menghadapi lawan berdua saja, kini tentu saja berani karena disitu banyak teman. Ada enam jumlahnya. Dan karena Hek-bong Siauwjin dan kawan-kawannya itu juga tambah berat karena Sepasang Dwi Naga membantu dan bergabung dengan mereka maka kini Tok-ong menggeram menggedrukkan kakinya.

"Bu-beng Sian-su, kau masih tak ingin mengeluarkan cermin mu?"

Bu-beng Sian-su, kakek dewa ini sekonyong-konyong tersenyum. Sepasang sorot Cahaya tiba-tiba keluar dari sepasang matanya, Bi Kong Hwesio dan lain-lain terkejut karena mereka mendadak merasa silau. Mengerahkan tenaga batin namun tak kuat, tetap saja mereka terkesiap dan kaget. Mata tiba-tiba dipejamkan dan air mata pun mengalir. Pedih. Tak kuat mereka beradu pandang dengan sorot yang amat tajam itu. Dan ketika mereka menutup mata dan sejenak saja melakukan ini sekonyong-konyong terdengar pukulan dahsyat ketika Tok ong menerjang, disusul bentakan yang lain dan bunyi berdering keluar dari lengan kakek dewa itu.

Kim-mou-eng dan Swat Lian yang tak memandang langsung sorot atau cahaya mata manusia sakti ini selamat, melihat kakek dewa itu mengeluarkan sepasang cermin namun Tok-ong menubruk begitu melihat. Kakek tinggi besar ini menerkam seperti singa haus darah, mencoba merebut. Tapi karena teman-temannya yang lain juga bermaksud sama dan mereka itu sudah melengking dan berkelebat ke depan tiba-tiba enam orang itu sudah serentak merebut dan menyerang.

"Berikan padaku...!"

"Tidak, aku saja!"

Dan enam orang itu yang berkelebat bersama dan merebut serta menghantam tiba-tiba sudah menyerang kakek dewa itu. Pukulan mereka cepat dan tentu saja bukan main dahsyatnya tapi Bu-beng Sian-su masih berdiri tegak. Kakek itu seolah tak tahu bahaya atau sengaja menerima, Kim-mou-eng sampai terkesiap. Tapi karena Bu-beng Sian-su adalah kakek maha sakti dan semua serangan itu membuat Kim-mou-eng terbelalak tiba-tiba kakek ini meniup dan enam orang itu berhantam sendiri, Bu-beng Sian-su tembus dipukul dan Hek-bong Siauwjin serta kawan-kawannya terpekik kaget.

"Heii... plak-dess!"

Tok-ong dan lima temannya terjungkal. Tadi mereka itu sudah menghantam tubuh lawan, entah kenapa tiba-tiba tembus dan amblong. Kakek itu seperti roh halus saja dan mereka berenam menjerit. Tapi karena mereka juga orang-orang luar biasa dan Hek-bong Siauwjin sudah membentak dan meloncat bangun dan iblis cebol ini dan kelima temannya sudah menyerang dan berkelebat lagi. Tamparan atau pukulan mereka membuat pohon di sekitar berderak roboh, bumi tergetar dan Bi Kong Hwasio serta lain-lain yang ada di guha terpelanting, bukan main hebatnya!

Dan ketika ketua Siu-lim itu dan kawan-kawannya berteriak tertahan dan melompat terhuyung maka di luar terdengar ledakan dan dentuman dahsyat, mereka melihat tapi yang tampak hanya bayang-bayang yang kabur saja. Pandangan dikerahkan tapi tetap saja mata tak mampu melihat jelas. Hek-bong Siauwjin dan kawan-kawannya itu hanya merupakan bayangan berseliweran dan berobah seperti bayangan iblis, sungguh mengejutkan. Dan ketika mereka mencoba mempertajam pandangan namun kepala tiba-tiba pening mendadak Bi Kong Hwesio dan teman-temannya ambruk!

"Jangan melihat pertempuran. Semua bersila...!" Kim-mou-eng berseru kaget, melihat semua yang ada kecuali dia dan Swat Lian satu per satu roboh terguling. Bayangan yang tak dapat diikuti membuat kepala berputar dan Bi Kong Hwesio serta yang lain-lain itu pun roboh. Bukan main, padahal mereka adalah ketua-ketua partai persilatan terkenal! Dan ketika Kim-mou-eng sendiri cepat memejamkan mata dan duduk bersila dan dengan cara begini dia melihat jalannya pertandingan maka di luar terdengar dentuman dan gemuruh bagai hutan diamuk hantu.

Orang tak melihat betapa Bu-beng Sian-su tiba-tiba berobah menjadi enam, masing masing, Bu-beng Sian-su menghadapi seorang lawan. Hek-bong Siauwjin dan kawan kawannya terpekik, tentu saja kaget dan gentar. Ini ilmu siluman, padahal mereka sendiri adalah siluman! Dan ketika hantaman atau pukulan meledak di tempat itu dan orang di bawah bukit melihat kilatan cahaya atau api yang menyambar-nyambar di puncak maka orang orang di bawah pelenggong dan bengong.

"Iblis, yang bertempur itu benar-benar bukan manusia.....!"

"Ya, dan Bu-beng Sian-su hanya tampak sebagai bayangan putih, kawan-kawan. Yang hitam dan berkelebatan itu tentu Tok-ong dan teman temannya!"

"Aih, hebat. Aku belum pernah melihat pertandigan macam begini. Luar biasa, aku...heii...!" orang di bawah bukit tiba-tiba berteriak.

Di puncak terdengar bentakan dan suara gemuruh, api dan petir sekonyong konyong meledak. Awan hitam bagai mendung tiba-tiba memenuhi puncak, dari mana mana datang berkumpul dan akhirnya melebar, kian melebar dan akhirnya Bukit Malaikat gelap gulita. Dan, ketika orang orang di bawah ternganga dan tak tahu apa yang terjadi sekonyong-konyong hujan api dan petir menyambar ke bawah, disusul derak tanah yang membuat bumi bergoyang. Hek-bong Siauwjin dan teman temannya telah mengerahkan ilmu hitam, iblis dan siluman dipanggil untuk membantu mereka. Dan ketika orang di bawah terpekik tak keruan meluncurlah kemudian batu batu besar dan pohon tumbang, disusul hujan deras!

"Awas, air bah. Menyingkir...!"

Paniklah orang-orang itu. Mereka seakan di dalam mimpi buruk, semuanya berlarian dan mencari selamat. Dan ketika mereka berlindung dari hujan dan batu yang seakan ditumpahkan dari langit mendadak dari puncak Bukit Malaikat yang gelap gulila muncul sepasang sinar terang yang berkilauan mengatasi segalanya, mendesing dan berputaran dan terdengarlah saat itu gerengan dan teriakan marah. Sepasang benda yag berputar-putar di atas bukit ini melesat. Lalu, ketika orang di bawah melenggong dan bengong mendadak sepasang benda itu meluncur dan terbang ke utara dan selatan.

"Sepasang Cermin Naga, kejar....!"

Orang tak tahu siapa yang berseru itu. Mereka seakan terpaku tapi tiba-tiba kaget, berjengit dan semuanya lari ke arah benda terbang itu. Ratusan orang kang-ouw melesat dan memburu. Cermin Naga sudah keluar, terlempar dari puncak Bukit Malaikat. Dan ketika semua orang berlarian dan saling dahulu mendahului maka di puncak terdengar pekik dan kilatan halilintar.

"Sian-su. Kau kakek keparat. Jahanam...! Kejar, Cermin Naga itu harus kita dapatkan...!"

Orang tak tahu apa yang terjadi. Di puncak Bukit Malaikat terdengar dentuman dahsyat, suaranya begitu menggelegar dan langit serta bukit seakan akan ambruk. Orang di bawah yang sedang berlari-larian mendadak terguling. Mereka tadi merasa tanah bergoyang dan berderak, puluhan di antaranya seketika roboh berbareng. Bukan main dahsyatnya pengaruh getaran yang berasal dari puncak itu. Dan ketika mereka berteriak kaget dan cermin yang mereka kejar itu masih mendesing di udara dan melesat ke utara dan selatan maka di Bukit Malaikat yang gelap gulita terdengar keluhan dan bantingan tubuh disertai erangan dan umpatan.

"Aduh...!"

"Bangsat...!"

Orang juga tak tahu apa yang terjadi. Di atas sana hanya terdengar rintihan itu, Cermin Naga melayang-layang di udara dan meneruskan perjalanannya. Aneh bin ajaib, cermin itu tidak segera jatuh dan meluncur kian jauh dengan masing-masing berlawanan arah, tetap ke utara dan selatan. Dan ketika orang-orang yang roboh terguling berlompatan bangun dan terhuyung memandang cermin itu maka di puncak terlihat enam bayangan yang melarikan diri dan meluncur ke bawah.

"Kejar Cermin Naga, dapatkan itu...!"

Orang di bawah bengong. Mereka hanya melihat enam bayangan meluncur ke bawah bukit, di iring umpatan dan makian, juga rintihan. Dan ketika enam bayangan itu tiba di bawah dan tiba-tiba memecah menjadi dua mendadak tiga di antaranya melesat ke utara sementara yang tiga lagi melesat ke selatan, mengejar Cermin Naga!

"Ah, mereka mendahului. Habis harapan kita....!" seorang di antara orang-orang di bawah berteriak, seruannya mengandung kecewa dan putus asa. Yang lain mengangguk dan bengong bagai mimpi saja. Tapi seorang lainnya yang rupanya berpendapat lain dan masih melihat sepasang cermin itu melayang-layang di udara mendadak melompat dan berseru,

"Tidak, Cermin Naga tak segera jatuh. Ayo, kita ikuti dan kejar..!" dan mendahului yang lain dan bersemangat tinggi tiba-tiba orang ini sudah mengejar ke depan, ke utara, yang selatan tak dihiraukan karena betapa pun dia memang harus memilih satu di antara dua.

Yang lain-lain terkejut tapi bangkit semangatnya. Dan ketika orang itu sudah mendahului dan puncak Bukit Malaikat mulai terang maka yang lain-lain pun segera mengejar dan berteriak, rombongan mendadak menjadi dua dan orang-orang kangouw ini pun mengejar Cermin Naga. Yang merasa lebih dekat dengan selatan mengejar cermin kedua itu, memburu sementara yang sudah berlari ke utara juga mengejar cermin pertama. Orang-orang itu tiba-tiba pecah dan masing-masing sudah melaksanakan keinginannya sendiri sendiri. Dan ketika semua mengejar Cermin Naga dan puncak Bukit Målaikat terang kembali maka aneh bin ajaib suara suara gemuruh dan halilintar itu pun lenyap, tak ada lagi hujan atau pun api!

"Siancai, ini bagai mimpi...!" Yang Te Cin jin, ketua Hong-san-pai berseru takjub. Dia tadi bersama kawan-kawannya berkutat melawan pengaruh di atas bukit yang begitu dahsyat, duduk bersila namun dua di antara mereka terguling, yakni wakil atau sute dari Swan Cong Tojin ketua Kun-lun dan wakil atau sute dari ketua Go-bong, adik perguruan Kwi Hiang Hosiang. Dari sini dapat dibuktikan betapa dahsyat pertempuran di atas puncak Bukit Malaikat itu, semuanya gemetaran dan menggigil.

Hampir saja mereka tak kuat bertahan lagi, hanya Kim-mou-eng serta Swat Lian saja yang dapat sedikit lebih tenang, meski pun keduanya juga berkeringat dan mengerahkan seluruh kekuatan batin untuk melawan. Suara gemuruh dan ledakan petir di atas sana terlalu hebat, begitu hebat hingga mungkin Yang Te Cinjin dan lain lainnya itu akan pingsan kalau pertempuran tidak segera bergenti. Bu-beng Sian-su rupanya berhasil mengalahkan lawan-lawannya itu, Hek-bong Siauwjin dan kawan kawan terbanting roboh ketika semua pukulan mereka membalik atau "menembus" kakek dewa itu. Yang dihadapi seakan bukan jasad kasar, melainkan roh!

Dan karena Bu-beng Sian-su sendiri memecah dirinya menjadi enam dan semua pukulan membalik atau menembus sia sia maka enam iblis itu menjadi keder dan gentar, akhirnya tunggang-langgang dan memaki-maki kakek dewa itu. Bu-beng Sian-su benar-benar kakek dewa maha sakti, begitu sakti, hingga dikeroyok enam tetap saja mereka kalah. Padahal mereka adalah tokoh-tokoh luar biasa yang ada pada jaman itu.

Dan ketika Cermin Naga mencelat dan terlempar dari atas bukit ketika pertempuran berlangsung maka akhirnya enam iblis itu melarikan diri dan mengejar sepasang cermin yang anehnya terbang berlawanan arah itu, satu ke utara sedang yang lain ke selatan. Dan Karena cermin itu berisi ilmu pamungkas untuk "menundukkan" ilmu mereka maka Hek-bong Siauwjin dan lima kawannya mengejar dan tak aneh kalau mereka mati-matian menghendaki cermin itu dan meninggalkan lawan yang tak dapat mereka kalahkan!

"Omitohud, pinceng juga takjub...!" Bi Kong Hwesio, yang kini bangkit berdiri dan agak terhuyung juga berseru. Setelah tadi Yang Te Cinjin mengucapkan seruan dan mereka semua mengangguk, memang masing-masing harus mengakui itu. Apa yang dilihat dan didengar adalah suatu kejadian mentakjubkan yang belum tentu seratus tahun sekali disaksikan. Itu mimpi luar biasa bagi mereka. Dan ketika Kwi Hiang Hosiang dan Swan Cong Tojin selesai menolong sute mereka dan dua orang itu berdiri limbung maka Kim-mou-eng melompat bangun berseru perlahan,

"Kita keluar, sekarang aman....!"

Namun angin berkesiur lembut. Sesosok bayangan menembus celah dinding, begitu luar biasa dan mengagetkan. Dan ketika orang-orang terbelalak dan tersentak, ternyala Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu telah berada di depan mereka menggoyang lengannya.

"Tak perlu, biar di sini saja!"

Orang-orang terkejut. Mereka memandang celah yang dilalui kakek dewa ini, tertegun dan terkesiap karena celah itu hanya selebar mata kucing, tak lebih dari seinci. Ujung jempol dimasukkan saja belum tentu dapat, bagaimana kakek dewa itu dapat masuk? Dan ketika mereka tertegun dan terkesima maka kakek dewa ini telah menyuruh mereka duduk.

"Kalian tenang saja, ingin bertemu dengan aku bukan? Nah kalian boleh bicara, Bikong losuhu. Atau Yang Te-totiang ini juga boleh mendahului."

"Ahh...!" dan dua ketua itu yang tiba-tiba terhenyak dan melipat tubuh dalam-dalam tiba-tiba merasa didahului dan kaget, cepat-cepat memberi hormat. "Sian-su, maafkan pinceng. Kiranya kau pun telah mengetahui apa yang ada di hati pinceng."

"Ya, dan pinto talah melihat semuanya di puncak bukit, Sian-su. Sungguh kepandaian pinto dan kawan-kawan terasa rendah sekali dibandingkan kesaktianmu!"

"Ah, kalian tak usah berbasa-basi. Mari, keluarkan apa yang ingin dibicarakan dan boleh tanya apa yang kalian suka."

"Omitohud...!" Bi Kong Hwesio bersinar-sinar. "Kalau begitu pinceng ingin mendahului, Sian-su. Apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa Cermin Naga itu kau lepaskan!"

"Ya, dan pinto juga ingin bertanya kenapa kau melepaskan pula enam iblis itu, Sian-su. Bukankah mereka dapat kau bunuh dan habisi!"

"Hm, kau Bi Kong lo-suhu, dan kau pula Yang Te Cinjin. Apa yang terjadi adalah takdir dan tak seorang pun dapat mengubah semuanya itu. Hek-bong Siauwjin dan kawan-kawannya adalah manusia, mati hidup bukanlah di tangan manusia lainnya pula..."

"Tapi kau dewa, kau bukan manusia biasa!" Yang Te Cinjin memotong.

"Hm," kakek ini tersenyum lebar. "Apa yang kau katakan tak perlu kujawab, Cinjin. Tapi dewa pun tak berhak mencabut nyawa manusia. Aku datang bukan untuk membunuh atau menghabisi, melainkan menyadarkan dan membantu manusia lainnya!"

"Baiklah, kalau begitu bagaimana pertanyaan ku tadi, kejadian tadi, Sian-su? Apa yang sebenarnya dan kenapa kau lepaskan Cermin Naga itu? Betulkah cermin itu sakti dan dapat menahan sepak terjang orang-orang sesat?" Bi Kong Hwesio bertanya, mengajak yang lain memusatkan dulu konsentrasi ke sini dan Yang Te Cinjin pun sadar. Memang saat itu pertanyaan Bi Kong Hwesio belum dijawab, sebagai orang kedua dia harus menunggu giliran.

Dan ketika Bu-beng Sian-su tertawa dan mengebutkan lengannya maka kakek ini bersila tapi anehnya tak sedikit pun kakinya menyentuh lantai, mengambang! "Bi Kong lo-suhu, dan kau Yang Te-totiang, sebaiknya kalian dengar apa yang akan ku katakan ini. Cermin Naga berisi tentang sesuatu yang hidup yang ada di permukaan hidup ini. Dan karena cermin itu berkaitan erat dengan orang atau seseorang maka cermin itu sesungguhnya bukan barang yang terlampau istimewa meski pun barangkali benar menyimpan beberapa ilmu silat tinggi, bagi yang mengerti dan mampu memahaminya."

"Pinceng tak mengerti," Bi Kong Hwesio mengernyitkan kening. "Apakah Cermin Naga itu barang biasa saja, Sian-su?"

"Biasa atau luar biasa tergantung dari yang menerima, lo-suhu. Pendapat atau daya terima seseorang berlainan antara yang satu dan yang lain."

"Pinceng masih bingung, dapatkah kau terangkan lebih jelas?" Kakek dewa itu tertawa. "Yang jelas, Cermin Naga itu menyimpan sebuah syair akan kehidupan. Syair, inilah yang penting dan perlu disadari, tapi karena benda itu telah terbang jauh dari sini maka percuma juga ku terangkan kepada kalian. Hanya tak lama lagi akan muncul gelombang di dua golongan. Satu golongan dunia kang-ouw dan yarg lainnya adalah golongan orang biasa. Dan inilah yang menjadi inti dari semua kejadian yang lewat maupun yang akan datang."

Bi Kong Hwesio jadi kebingungan. "Pinceng tak paham," katanya gugup. "Pincerg merasa bebal!"

"Ya, dan pinto juga, lo-suhu. Apa yang di kata Sian-su, pinto pun tak mengerti!" Yang Te Cinjin berseru.

"Hmmm, Bagaimana mengerti kalau kejadiannya belum terbuka?" Bu-beng Sian-su, tersenyum. "Mengerti apa yang belum dimengerti memang tak mungkin, Cinjin. Tapi kuberitahukan saja pada kalian bahwa di dunia kang-ouw akan terjadi ketidakadilan."

"Ketidakadilan tentang apa?"

"Yach, tentang banyak hal, Cinjin. Termasuk kalian barangkali juga akan melakukan hal yang sama!"

"Pinto juga melakukan ketidakadilan?"

"Ha-ha, semua orang bisa melakukan itu, Cinjin. Tak perlu kaget. Maka menyadari dan mengerti akan ini adalah sebuah perubahan mendasar!"

Yang Te Cinjin pucat. Tiba-tiba dia seakan ditodong sebuah persoalan tajam oleh kakek dewa itu, tidak mengerti namun tergetar oleh ucapan kata-kata itu. Dia seakan dimasukkan ke dalam sebuah tungku panas, namun karena tak mengerti dan penasaran oleh semuanya itu tosu ini menanya, "Sian-su, dapatkah kau jelaskan kepada kami apa yang sesungguhnya kau maksudkan? Kenapa pula Hek-bong Siauwjin dan teman-temannya itu datang?”

"Mereka datang karena ingin membalas dendam, Cinjin. Dan menjelaskan apa yang sesungguhnya ku maksudkan juga tak mungkin, waktunya belum tiba."

"Bagaimana ini?"

"Begini saja, kalian pulang dan kembali ke tempat masing-masing. Lihat dan dengarkan apa yang terjadi. Kalau waktu itu tiba dan kalian ingat aku kalian boleh datang ke sini dan dengar apa yang tersembunyi."

"Tapi kau belum menjawab tuntas pertanyaan pinceng!" Bi Kong Hwesio tiba-tiba berseru. "Kau tak menjawab apakah Cermin Naga benar dapat menahan sepak terjang orang-orang jahat atau tidak, Sian-su. Masakah kita semua harus pulang?"

"Hm," kakek itu bersinar-sinar. "Menahan sepak terjang orang jahat atau tidak bukanlah masalah mendasar, lo-suhu. Yang penting adalah kita masing-masing harus mampu menahan sepak terjang sendiri, yang tidak baik, yang tidak sehat!"

"Jadi cermin itu tidak membawa faedah? Salahkah pendengaran pinceng bahwa Cermin Naga akan mampu meningkatkan kesadaran seseorang dan menahan sepak terjang orang jahat?"

"Meningkatkan kesadaran seseorang barangkali betul, lo-suhu, tapi barangkali juga tidak. Telah kusebutkan di atas bahwa daya tangkap atau daya terima seseorang berbeda antara yang satu dan yang lain. Itu semua tergantung dari masing-masing individu. Dan kalau cermin itu mampu menahan sepak terjang orang jahat maka ini pun tergantung kalian sendiri!"

"Bagaimana ini?" Bi Kong Hwesio berkeringat. "Pinceng tak puas, Sian-su. Jawabanmu kabur!"

"Hm, kabur karena kau belum mengerti, lo-suhu. Kalau sudah tentu tidak kabur. Ku ulangi lagi, kalian pulang dan lihat saja apa yang akan terjadi. Dunia kangouw dan dunia orang biasa akan mendapat sebuah pelajaran, Cermin Naga akan menjelaskan pada kalian dan kelak kalian akan mengerti."

"Tapi cermin itu katanya berisi syair," Ciu Sek Tosu kini tiba-tiba bicara, teringat akan keistimewaan manusia dewa ini membuka syairnya, "Apakah kami tak boleh tahu apa isi syair itu, Sian-su?"

"Benar," Swan Cong Tojin tiba-tiba nimbrung. ikut bicara pula. "Kau biasanya memberi wejangan kehidupan dengan syair-syair, Sian-su. Apakah pinto juga tak boleh tahu dan lihat?"

"Kalian serius?"

"Tentu saja. Kami telah mendengar keistimewaanmu memberi nasihat, Sian-su. Daripada pulang tak membawa apa-apa lebih baik beri kami sedikit pengetahuan dan kami renungkan di rumah!"

"Baiklah, kalau begitu simpan ini sebagai bekal, Swan Cong totiang. Barangkali ada gunanya dan lihat serta dengarlah baik-baik," Bu-beng Sian-su tertawa, menjelaskan bahwa sesuatu yang berhubungan erat dengan "keadilan" akan dan sedang terjadi. Kakek dewa itu tak memberi tahu banyak dan tiba-tiba tangannya bergerak ke belakang. Dan ketika jari-jari menggurat dan sekejap kemudian kakek itu menghentikan gerakannya maka di dinding guha, tepat di belakang kakek dewa ini muncul sebuah syair terdiri dari tiga bait :

Angkat kepala, busungkan dada
acungkan tinju pekikkan kata
tuntut sesuatu demi sesama
itulah pahlawan harapan kita!

Air beriak di tengah telaga
berguncang lembut membuai sukma
jebak menjebak membodohi kita
pudarlah pahlawan harapan jaya!

Adil tak adil permainan belaka
jujur seiring itulah surga
terpeleset jua si manusia loba
rusaklah sudah hancur semua!


"Nah, kalian mengerti?" kakek itu tertawa.

"Tidak..." Swan Cong menggeleng. "Pinto tak mengerti akan apa yang kau tulis, Sian-su. Maksud pinto, ini sukar dan tak tertangkap inti sarinya."

"Sudah kubilang kalian tak mengerti karena belum terjadi, totiang. Kenapa bersikeras memaksa diri? Inti syair ini bicara tentang keadilan. Lebih baik kalian pulang dan ingat saja baik-baik. Kalian pun suatu ketika akan mengalami dan mengerti hal itu."

"Hm!" Bi Kong Hwesio berkedip-kedip. "Apakah Sian-su hendak maksudkan bahwa kejadian itu akan terjadi dan berhubungan dengan Cermin Naga?"

"Ya,"

"Padahal Cermin Naga ada dua, lalu cermin yang manakah yang ada kaitannya?"

"Dua-duanya berkait, Bi Kong lo-suhu. Dan dua-duanya berhubungan satu dengan lainnya!"

“Manakah yang lebih penting?"

"Tak ada yang lebih penting, dua-duanya sama penting!"

"Hm, kalau begitu coba sebutkan keadilan apa yang hendak kau maksudkan di sini. Bersifat perorangan ataukah umum, hanya perlu untuk satu dua orang ataukah semuanya!"

"Ha-ha, bersifat umum, lo-suhu. Untuk semuanya!"

“Begitukah?"

"Ya!"

"Dan kami semua akan membuktikan?"

"Ya, kalian semua akan membuktikan, lo-suhu. Dan lihat apa yang terjadi!" Bu-beng Sian-su tiba tiba menoleh pada Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas. “Kim-mou-eng, kau akan menjadi saksi pertama untuk cermin yang melayang di utara. Dan kau, nona..." dia menuding Swat Lian. "Kau saksi pertama untuk cermin yang melayang di selatan. Nah, kalian semua sudah mendengar. Kukira cukup dan marilah kita kerjakan pekerjaan masing-masing....wusstt" dan Bu-beng Sian-su yang tidak tampak bergerak tapi menghilang dari situ mendadak sudah lenyap dan keluar melalui celah dinding dimana pertama tadi dia masuk, menghilang dan tak diketahui ke mana perginya dan Kim-mou eng berteriak.

Pendekar ini terkejut melihat gurunya pergi, begitu tiba-tiba. Dan ketika ia melompat bangun dan memburu ke luar ternyata gurunya yang maha sakti itu sudah tak ada dan entah ke mana. "Suhu, bagaimana dengan urusan teecu? Bagaimana dengan putera teecu?"

Tak ada jawaban. Bu-beng Sian-su lenyap cepat dan seperti iblis, semuanya terjadi begitu tidak diduga. Dan ketika Bi Kong Hwesio dan lain-lain melompat keluar dan berada di belakang pendekar ini maka hwesio ketua Siu-lim itu merangkapkan kedua lengannya.

"Omitohud, kepandaian Sian-su benar-benar mentakjubkan. Sungguh bagaikan dewa!"

"Ya, dan pinto juga kagum, lo-suhu. Semoga pertemuan hari ini membawa manfaat. Siancai...!" Yang Te Cinjin, ketua Hongsan juga berseru.

Mereka semua seperti kehilangan sesuatu dan mimpi. Kakek maha sakti itu datang dan pergi tak dapat mereka ikuti, padahal mereka rata-rata adalah ketua partai persilatan terkenal. Dan ketika hari itu semua orang menyatakan kagum dan syair di dalam guha diingat-ingat akhirnya Bi Kong Hwesio dan lain-lain pamit, meninggalkan tempat itu dan tinggallah Kim-mou-eng bersama Swat Lian. Dua orang itu saling pandang dan Swat Lian menunduk, tatapan tajam dari Pendekar Rambut Emas membuat gadis itu berdebar. Tapi ketika Kim-mou-eng memegang lengannya dan Swat Lian menengadah maka gadis ini gemetar mendengar kata kata lembut,

"Lian-moi, kukira kita masing-masing tak dapat lama berkumpul. Aku akan mencari anakku, sedang kau tentu mencari suhengmu. Begitu, bukan?"

"Ya,"

"Dan maaf, aku tak dapat memenuhi keinginan ayahmu, Lian-moi. Sampaikan saja penyesalan ku dan biar lain kali kucoba ilmu pedangmu. Tampaknya kau memiliki kemajuan pesat, daya tahan dan sinkangmu sudah setingkat dengan yang ku punyai!"

"Dari mana kau tahu?"

"Kejadian di dalam guha tadi, Lian-moi, Bukankah kau dapat bertahan sementara yang lain hampir roboh? Hm, kau hebat. Kepandaianmu sekarang agaknya sudah melebihi mendiang kakakmu dulu."

"Kim-twako," Swat Lian terisak. "Jangan sebut-sebut lagi mendiang kakakku. Aku menyesal atas kematiannya. Sudahlah, kau pergi dan biar sementara kutunda keinginanku untuk melaksanakan pesan ayah."

"Terima kasih, dan kita masing-masing dinyatakan sebagai orang yang akan menjadi saksi utama dari kebenaran Cermin Naga, Lian-moi. Aku tak tahu maksud suhuku tapi akan jelas agaknya kita di kemudian hari."

"Ya, dan kau hati-hatilah, twako. Kudoakan puteramu selamat dan kau dapat bertemu lagi." Swat Lian tiba-tiba meremas lengan pendekar itu. Dengan mata terpejam dan air mata menitik gadis itu menggumamkan sesuatu, tiba-tiba menekan dan meloncat pergi. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terkejut tahu-tahu gadis itu telah lenyap dan meluncur di bawah Bukit Malaikat.

"Kim-twako, aku akan selalu menunggumu!”

Kim-mou-eng tergetar. Kata-kata itu mempunyai dua arti, mengandung dua makna. Menunggu untuk bertanding ataukah menunggu untuk menumpahkan rindu dan kecewa. Kim-mou-eng tersentak karena betapapun ia tahu apa yang terjadi di hati gadis itu. Swat Lian mencintainya, jauh sebelum ia menikah dengan sumoinya, yang sudah tewas. Dan ketika hari itu Swat Lian meninggalkannya dan Kim-mou-eng berdiri mendelong tiba-tiba pendekar itu pun menggerakkan kaki dan sadar. Sadar bahwa ia harus mencari anaknya, Dailiong.

Puteranya itu belum diketahui di mana sementara nenek Dewi Naga tak nampak bersama putranya itu. Keparat, dua nenek iblis itu harus dimintai pertanggungjawabannya. Dan karena urusan ini menggelisahkan hatinya dan persoalan Swat Lian tiba-tiba lenyap mendadak Pendekar Rambut Emas turun bukit dan terbang ke utara. Swat Lian ke selatan dan gadis itu pun mencari dua suhengnya. Dan begitu dua orang ini meninggalkan Bukit Malaikat dan sama-sama mengurus urusannya sendiri maka bukit itu pun tenang kembali dan hening seperti biasa.

* * * * * * * *

Ce-bu. Seperti diketahui tempat ini adalah kota dagang yang ramai, juga sekaligus tempat tinggal si jago pedang yang lihai, Hu Beng Kui atau Hu-taihiap. Dan karena jago pedang ini pernah membuat geger dengan menyimpan Sam Kong Kiam atau Pedang Tiga Dimensi maka Cebu menjadi terkenal dan semakin teringat oleh sepak terjang jago pedang itu. Hu Beng Kui sendiri beberapa waktu ini hidup tenang. Artinya, dia tak mencari permusuhan atau pun dimusuhi.

Jago pedang ini sudah berusia lima puluh tiga tahun, usia yang cukup matang bagi seorang laki-laki, hidup menduda dan sudah lama kematian isterinya. Berdua bersama putera-puterinya, Beng An dan Swat Lian jago pedang ini sebenarnya cukup bahagia. Tapi sayang, nafsu tamaknya akan pedang keramat membuat pendekar ini menerima akibat. Beng An, puteranya, tewas. Dan karena tinggal Swat Lian seorang yang menjadi puterinya dan jago pedang ini kian tua maka kesadaran dan pengalaman batinnya meningkat.

Hari itu jago pedang ini duduk bersila. Lengannya yang buntung, sebelah kiri, disembunyikan dalam lengan baju yang panjang. Hanya kalau dia bergerak dan berjalan tampaklah kebuntungan pendekar itu. Tapi karena da tetap seorang jago pedang lihai di mana seluruh kemahirannya bermain pedang sudah mendarah daging maka meskipun cacad pendekar ini adalah seorang laki-laki yang tetap disegani.

Sebagai jawara atau pendekar besar Hu-taihiap adalah laki-laki penuh wibawa. Kharismanya mantap, gerak-geriknya tenang dan apa pun yang digerakkan selalu mengandung tenaga. Begitulah si jago pedang ini. Dan ketika pagi itu dia duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi mendadak pintu jendelanya pecah dihantam sesuatu.

"Prangg...!"

Hu Beng Kui langsung membuka mata. Sebagai pendekar langsung dia bereaksi, tubuh mencelat dan tangan pun siap menghantam. Dia terkejut karena menyangka diserang musuh, hal yang mengagetkan karena telinganya tak mendengar apa-apa. Meskipun dalam keadaan samadhi tapi telinga dan seluruh syaraf jago pedang itu hidup, sekali mendengar suara tentu bangkit dan waspada. Maka begitu mendengar sesuatu yang mengejutkan tanpa tanda tanda lebih dulu maka pendekar ini sudah mencelat dan mata pun mencorong siap melepas pukulan maut. Tapi, apa yang dilihat?

Jago pedang ini tertegun. Di depannya, tanpa disangka-sangka terdapat sebuah cermin bulat lonjong, menghantam kaca jendela dan kini tak bergerak di depannya. Cermin itu aneh, tak bergerak dan juga tak pecah. Entah dari mana itu. Barangkali dilempar iblis! Hu Beng Kui terbelalak dan tidak segera mengambil. Syaraf di tubuhnya bergetar dan pendengaran pun dipertajam. Tapi ketika tak ada suara apa-apa lagi dan cermin itu diam tanpa hal hal mencurigakan akhirnya pendekar ini berjungkir balik dan menyambar cermin itu.

"Cermin aneh, dari mana kau datang?" Hu Beng Kui sudah mengamat-amati cermin ini, heran dan kagum karena bingkai cermin itu terbuat dari emas. Bukan main. Tentu mahal harganya. Dan ketika ia membalik dan mengamati bagian belakang mendadak matanya yang tajam melihat guratan halus disertai gambar menyeramkan, seperti iblis atau gendruwo!

"Heh, apa ini?"

Hu Beng Kui mengkirik. Dia merasa seram dengan lukisan atau gambar itu, mengamat amati dan akhirnya melihat bagian yang lain, dan heran terkejut karena bagian belakang dari sebelah yang lain kosong dan polos. Bahkan, melihat bekas bekasnya cermin ini seakan belahan atau sebagian dari sebuah cermin yang utuh. Jelasnya, cermin ini merupakan bagian atau tengahan sebuah Cermin lengkap. Cermin yang ada di tangannya itu bekas "disobek" atau dibelah, memanjang dari atas ke bawah, ganjil sekali. Dan ketika Hu Beng Kui mengamati dan tertegun maka guratan huruf huruf halus menjadi perhatian utamanya lagi.

"Pelajaran ilmu silat!"

Hu Beng Kui terpekik, melihat bahwa itulah pelajaran ilmu silat tinggi yang terdiri dari tiga jurus saja, terdiri dari pokok-pokok dasar melatih napas atau sinkang dan pukulan serta daya bertahan. Jadi, masing masing sebuah pelajaran ini telah mencakup semua dasar yang harus dimiliki seorang ahli. Tenaga atau sinkang dan teknik menyerang serta cara bertahan, itu saja, tidak lebih. Dan karena sekali lihat jago pedang ini tahu bahwa tiga pelajaran itu merupakan inti dari semua gerakan atau serangan maka dengan tertarik dan bernafsu jago pedang ini meneliti dan mempelajari!

Aneh sekali. Orang bakal terheran-heran bahwa Hu Beng Kui seorang ahli silat dan jago pedang ternama ternyata masih "berguru" pada sebuah pelajaran silat lain. Begitu antusias dan gembira serta bersemangat. Tapi kalau orang tahu bahwa di sudut bawah cermin itu terdapat sebuah nama di mana nama inilah yang membuat si jago pedang bangkit nafsunya maka orang tak akan merasa aneh lagi. Nama siapa gerangan? Bukan lain Bu-beng Sian-su!

Ya, itulah yang membuat si jago pedang berseri-seri. Hu Beng Kui melihat bahwa inilah sebuah pelajaran tingkat tinggi, bukan pelajaran sembarang pelajaran melainkan inti dari ilmu silat yang diturunkan kakek dewa itu melalui guratan huruf-huruf halus di cermin itu, singkat saja namun sebagai orang yang berpengalaman banyak, jago pedang ini dapat menangkap. Dia sudah penuh dengan segala teori dan macam ragam ilmu silat, tentu saja mudah mengerti dan memamah tiga pelajaran singkat di cermin itu. Dan karena Hu Beng Kui adalah "murid" yang sudah matang, dan sedikit saja diberi tahu dia sudah akan paham segala-galanya maka tak lama kemudian jago pedang ini tertawa bergelak dan mengerti semua pelajaran di cermin itu.

"Ha-ha, terima kasih, Sian-su. Kau agaknya, sengaja memberikan ini kepadaku!" Hu Beng Kui gembira, tak malu malu menganggap kakek itu sebagai gurunya karena dia tahu betul bahwa Bu-beng Sian-su adalah kakek dewa yang maha sakti. Dia sendiri tak pernah menang menghadapi kakek itu, dia seperti semut melawan gajah. Dan ketika pagi itu dengan gembira namun hati-hati jago pedang ini mulai "menguras" ilmu silat di cermin itu maka dengan lahap tapi tidak tergesa-gesa Hu Beng Kui mempelajari tiga macam ilmu silat itu. Cepat melatih sinkang sebagai pelajaran pertama untuk menumbuhkan tenaga super, aneh dan ajaib dia merasa kekuatannya bertambah sepuluh kali lipat.

Sekejap kemudian Hu Beng Kui dapat melakukan apa-apa yang dulu tak dapat ia lakukan, tubuhnya menjadi ringan dan kini ia dapat bersila seperti Bu-beng Sian-su, tak menyentuhkan kakinya alias mengambang. Bukan main! Dan Ketika kemudian ia mempelajari ilmu silat kedua di mana mencakup pukulan pukulan dahsyat yang akan semakin dahsyat didorong tenaga sinkangnya yang kian menghebat maka Hu Beng Kui mirip seekor naga atau harimau yang tumbuh sayap.

Jago pedang ini dapat memukul roboh sebuah bukit, mampu menghilang dengan kecepatan sepuluh kali lipat dibanding dulu dan pekerjaan lain yang dulu tak dapat dilakukannya. Dan ketika dia mempelajari pelajaran ketiga yang menjelaskan tentang cara bertahan dan melindungi diri di mana dia akan mampu "memecah" dirinya menjadi beberapa Hu Beng Kui seperti yang dikehendaki maka jago pedang ini terbahak bahak dan mendapat kenyataan bahwa dia sekarang, sudah tidak seperti dia beberapa hari yang lalu.

"Ha ha, sekarang aku akan dengan mudah dapat mengalahkan Kim-mou-eng, anak-anak, kalau kalian gagal aku yang akan merobohkannya!" Hu Beng Kui teringat puteri dan murid-muridnya, tertawa dan girang bukan main karena dia benar benar merasa semakin lihai. Begitu lihai hingga apapun rasanya sanggup dia lakukan. Dan ketika sebulan kemudian jago pedang ini memahami semua pelajaran dan hari itu berseri-seri menunggu puterinya mendadak bayangan puterinya berkelebat, sendiri.

“Ayah, Kam-suheng dan Beng-suheng diculik. Celaka...!"

Hu Beng Kui terkejut. "Apa yang terjadi?"

"Peristiwa hebat, yah. Kejadian luar biasa dipuncak Bukit Malaikat!" dan Swat Lian yang terengah menceritakan semuanya itu lalu menutup dengan muka gelisah. "Aku telah mencari Kam-suheng dan Beng-suheng di mana mana, tetapi gagal. Nenek Dewi Api dan Hek-bong Siauwjin tak ada!"

"Nenek Dewi Api? Hek-bong Siauwjin?"

"Ya, mereka, yah. Orang-orang luar biasa yang konon sudah duaratus tahun umurnya. Kam-suheng dan Beng-suheng diculik orang-orang ini. Kau harus mencari dan keluar!"

"Hm, hmm... dan bagaimana dengan Kim-mou-eng? Kau sudah mencari Pendekar Rambut Emas ini?" jago pedang itu teringat, bertanya.

"Sudah, tapi....."

"Kau menang?" sang ayah menukas, memotong tak sabar. "Kau dapat kalahkan Pendekar Rambut Emas itu? Bagaimana dia?"

"Tidak," Swat Lian terbelalak. "Pendekar Rambut Emas tak dapat bertanding denganku, yah. Kejadian luar biasa di puncak Bukit Malaikat itu mengacaukan segala-galanya. Bu-beng Sian-su muncul, enam iblis mengeroyoknya dan hujan api serta kilat merusak semuanya di sana. Kim-mou-eng bersamaku tapi kami tak bertanding!”

Hu Beng Kui tertegun. Puterinya kembali menceritakan kedahsyatan kejadian di puncak Bukit Malaikat, bahwa hujan dan petir menyambar nyambar. Orang terpelanting tak keruan dan puncak pun akhirnya gelap gulita. Dan ketika Swat Lin bergidik menceritakan itu dan memberi tahu bahwa nenek Dewi Api dan lain lain akhirnya kabur meninggalkan Bu-beng Sian-su maka gadis itu menyinggung-nyinggung tentang Cermin Naga.

“Dunia persilatan geger, semua orang mencari-cari Cermin Naga yang terlempar dari Bukit Malaikat. Apakah ayah tak mendengar?"

"Hm, aku selama ini tak keluar rumah, Lian-ji. Aku menunggu dan tak tahu apa apa."

"Kalau begitu ayah terlambat. Sekarang ayah harus mencari Kam-suheng dan Beng-suheng!"

Jago pedang itu mengerutkan kening.

"Dan juga Cermin Naga, yah. Katanya cermin itu berisi warisan Sian-su akan kesaktian tinggi. Kita keluar mencari cermin itu sekalian Kam-suheng dan Beng-suheng!"

"Hm, bagaimanakah bentuk cermin itu? Adakah yang tahu ujudnya?" Hu Beng Kui teringat penemuannya.

"Tidak, benda itu hanya melayang layang di puncak Bukit Malaikat, yah. Setelah itu lenyap dan entah ke mana! Tak ada yang tahu? Kami hanya mengetahui bahwa sepasang cermin itu berpencar, satu ke utara sedang yang lain ke selatan!"

Hu Beng Kui terkejut. Seketika dia sadar bahwa cermin temuannya itu adalah cermin yang terlempar dari puncak Bukit Malaikat. Bukan main melalui jarak ribuan li cermin itu jatuh di kamarnya, kini dia berdebar karena puterinya memberi tahu bahwa tiga di antara enam iblis mengejar cermin ke selatan, yang tiga lainnya mengejar lagi cermin yang ke utara, entah dimana cermin itu jatuh. Mungkin juga akan ditemukan seseorang seperti dirinya menemukan benda itu. Hu Beng Kui tiba-tiba tergetar, jangan jangan cermin yang satunya itu menyimpan rahasia ilmu silat lain. Mungkin tandingan bagi cermin yang ada di tangannya! Dan ketika pendekar itu tersentak dengan muka berobah maka puterinya menyambar lengannya, mendesak.

"Mari kita berangkat, yah. Kita cari Kam. suheng dan Beng suheng, juga Cermin Naga. Kakek itu betul betul hebat dan sakti!"

"Hm nanti dulu," Hu Beng Kui menahan. "Kita cari di mana mereka itu, Lian-ji? Dan apakah suhengmu masih selamat? Ingat, kau sendiri bilang nenek Dewi Api dan Hek bong Siauwim itu adalah tokoh-tokoh luar biasa, Lian-ji. Dan Seingatku mereka memang merupakan orang-orang berbahaya. Mereka sudah hidup pada duaratus tahun yang lalu, sungguh mengherankan kalau belum mati dan kini keluyuran!"

Swal Lian tertegun. "Lalu apakah kita harus diam saja?"

"Tidak, tentu saja tidak. Tapi kita tentukan dulu arahnya dan baru kita pergi. Tahukah kau ke mana kira-kira suhengmu dibawa?"

"Aku sudah menyelidiki dan berputaran kemana-mana, yah. Tapi gagal dan tak berhasil!"

"Kalau begitu tunggu saja semalam. Aku hendak bersamadhi dan mencari jejak mereka lewat getaran tenaga batin!"

Swt Lian melengak. "Ayah dapat melakukan itu?"

Ayahnya tertawa. "Kubilang kita mencoba, anak bodoh. Kenapa menganggap pasti dan yakin? Aku hanya ingin tahu, tak lebih tak kurang. Lagi pula, bukankah kau baru saja tiba? Hm, kau istirahat dulu, Swat Lian. Besok kita berangkat dan aku ikut!"

Malam itu Hu Beng Kui bersamadi. Dia telah memiliki tenaga sakti sekaligus juga tenaga batin dengan latihan samadhi menurut petunjuk Cermin Naga. Kini hal itu dapat diuji dan ia akan mencoba. Apapun rasanya mampu ia lakukan. Dan ketika malam itu jago pedang ini bersila dan puterinya ada di belakang mendadak tengah malam ketika bunyi kentongan dipukul satu kali pendekar ini merasa kesiur angin dingin yang berhembus menuju rumahnya, melihat dengan mata batin bahwa sepasang nenek renta datang menghampirinya, disusul percakapan.

"Di sinikah sinarnya kau lihat?"

"Ya, di sini, enci. Di kota ini!"

"Lalu di mana?"

"Kita cari, enci. Agaknya di rumah itu!"

Hu Beng Kui bergetar. Dari jauh ia merasa bayangan dua nenek berkelebat, menuju rumahnya. Bagai iblis saja di atas genteng sudah terdengar kesiur angin itu, halus dan enteng. Kalau bukan dia tak mungkin mendengar tapak kaki di atas itu, puterinya di belakang tenang-tenang saja, ini menunjukkan bahwa Swat Lian tak tahu, kalau tahu tentu datang ke kamarnya, memberi tanda. Dan ketika percakapan itu berhenti dan Hu Beng Kui mendengar langkah kaki ringan melayang turun maka pendekar ini melihat rumahnya dimasuki dua nenek itu seperti layaknya pencuri.

“Hati-hati, kita tangkap jejaknya!"

Jago pedang ini waspada. Sekarang dia malah terbawa getaran lain, dari jauh ia melihat dua nenek itu memasuki ruang depan, berkelebat dari akhirnya menuju ke ruang-ruang lain. Kian dekat getarannya kian hebat, pendekar ini sampai menggigil. Dan ketika dua nenek itu tiba di dekat pintu kamarnya dan dengan cara luar biasa membuka pintu dan masuk maka Hu Beng Kui meniup padam lilin di atas meja.

"Ada orang...!"

Dua nenek itu rupanya terkejut. Mereka melihat kamar yang sekonyong-konyong gulita, Hu Beng Kui ada di situ tak bergerak. Sekarang pendekar ini membuka mata dan menajamkan pandangan, dia tak tahu bahwa sorot matanya mengeluarkan cahaya berkilauan bagai mata seekor naga, dua nenek itu terkejut. Dan karena sorot ini demikian jelas sementara Hu Beng Kui sendiri tak menyadari mendadak dua nenek di depan berseru tertahan dan melempar dua buah jarum ke sorot cahaya yang bukan lain sepasang mata dari si jago pedang ini.

“Iihh....!" Seruan itu balik mengejutkan Hu Beng Kui. Pendekar ini kaget melihat dua sinar hitam meluncur menuju matanya, begitu cepat dan tepat. Terkejutlah pendekar ini karena menyangka tempatnya diketahui. Dia tak mengenal nenek itu tapi dapat merasa bahwa ini adalah dua nenek berbahaya yang luar biasa. Kedatangan mereka yang begitu ringan dan seolah iblis cukup menyadarkan Hu Beng Kui akan datangnya musuh berbahaya. Maka begitu dua sinar hitam itu menyambar matanya dan pendekar ini harus bergerak tiba-tiba Hu Beng Kui membuka mulutnya dan menerima dua batang jarum itu.

"Uph!" Dua jarum lenyap. Hu Beng Kui tidak menelannya, memutar dengan lidah dan tiba-tiba dia meniup. Dan begitu mulut dibuka dan jarum dihembuskan maka dua batang jarum itu meluncur ke asalnya dan menyambar dua nenek di depan.

"Jahanam...!"

“Keparat...!"

Dua nenek itu membentak. Mereka mengelak dan menangkis, tangan bergerak dan jarum pun runtuh ke bawah. Dan ketika nenek di sebelah melepas pukulan panas dan lilin yang padam hidup kembali maka kamar menjadi terang-benderang dan Hu Beng Kui terlihat sementara dua nenek itu juga tampak!

"Betul, ada penghuninya...!" nenek yang menyalakan lilin berkelebat, tadi pukulan panasnya memercikkan api dan lilin pun hidup, kini menyambar Hu Beng Kui dan cepat serta luar biasa ia menghantam si jago pedang itu.

Hu Beng, Kui terkejut tapi tak mengelak, pendekar ini sekarang tahu siapa lawannya, betul-betul dua nenek tua dan tiba-tiba saja tertawa. Dan ketika pukulan menyambar tiba dan ia menangkis maka kamar itu tergetar sementara lukisan dan beberapa benda di dinding lepas terbanting.

“Dukk!"

Semuanya berseru tertahan. Nenek yang melepas pukulan terjangkang, ia terlempar bergulingan sementara Hu Beng Kui hanya terhuyung dan tergetar saja, terdorong dua tindak. Dan ketika nenek itu berseru keras dan temannya melengking, tinggi tiba-tiba Hu Beng Kui disambar pukulan lain dari arah kiri.

"Dess!" Nenek terakhir ini menjerit. la terpental tapi Hu Beng Kui juga mencelat, jago pedang itu berseru keras dan akhirnya berjungkir balik, keluar dari kamarnya. Dan ketika ia melayang turun dan hinggap di luar jendela maka Swat Lian, yang mendengar lengkingan dan ribut-ribut itu berkelebat keluar, melihat ayahnya di situ dan dua nenek berambut riap-riapan yang dikenal.

"Sepasang Dewi Naga...!"

Nenek itu, yang menggeram dan sudah melayang melalui jendela tampak tertegun. Dia sudah berdiri berhadapan dengan pendekar Pedang ini, tak mengenal dan terkejut mendengar Swat Lian menyebut nama mereka. Itulah di luar dugaan. Tapi Hu Beng Kui yang tersenyum dan tertawa lebar tiba-tiba menggoyang lengan bajunya yang buntung.

"Ha-ha, inikah mereka, Swat Lian? Mereka Ini Dewi Naga yang kau ceritakan kemarin? Bagus. Selamat datang, ji-wi locianpwe. Aku Hu Beng Kui atau Hu-taihiap!"

“Hmm," nenek di depan mendesis. "Kau Hu Beng Kui?"

"Ya, aku Hu Beng Kui, locianpwe. Kabarnya kalian melarikan diri dari Bukit Malaikat dan keluyuran hingga ke Ce-bu. Ha-ha, apa yang kalian cari? Mau apa tiba-tiba datang ke rumahku seperti pencuri?"

"Képarat!" nenek ini melengking. "Kami telah mendengar namamu, orang she Hu. Tapi jangan kau sombong dihadapan kami. Mampuslah!" nenek itu berkelebat, kembali menyerang dan ia rupanya penasaran oleh adu tenaga tadi. Hu Beng Kui ini adalah orang ingusan baginya, mereka tokoh tua dan hanya Bu-beng Sian-su saja yang dapat mengalahkan mereka. Maka kaget dan marah bahwa Hu Beng Kui dapat menangkis pukulan mereka dan tadi mereka berdua mencelat bergulingan maka nenek ini sudah menyerang dan pukulan tangan kirinya berkelebat mengeluarkan sinar api.

"Awas, ayah...!" Swat Lian berteriak, tahu kehebatan nenek ini dan sudah memperingatkan ayahnya. Dia mau bergerak tapi sang ayah tertawa, mendorongnya.

Dan ketika jago pedang itu merunduk dan sebelah tangannya yang kosong menyambut pukulan nenek itu tiba-tiba suara mengegelegar mengguncang tempat itu dan lengan baju Hu Beng Kui meledak menerima pukulan nenek ini, begitu dahsyat.

"Blarr...!"

Tembok dan bumi bergetar. Nenek itu, Bi Lin, terpelanting menjerit kaget. Swat Lian sendiri terjungkal dan terpekik. Gadis ini tak menetahui kesaktian ayahnya. Dan ketika gadis itu bergulingan melompat bangun dan nenek yang lain berseru tertahan maka Bi Lin, nenek kedua sudah berjungkir balik dan terbelalak memandang Hu Bing Kui.

"Dia memiliki sinkang aneh, jahanam...!"

"Hm!" nenek pertama berkelebat marah. "Kau mau pamer kepandaian di sini, Hu Beng Kui? Kau berani melawan kami yang pernah hidup sebelum kau lahir?"

"Ha-ha!" Hu Beng Kui girang, melihat sinkangnya betul-betul luar biasa. "Ini rumahku dan kalian tamu tak diundang, nenek siluman. Kenapa memaki aku dan menganggap aku pamer? Bukankah kalian yang sombong dan sewenang-wenang? Hm, aku orang she Hu tak takut siapa pun, orang tua. Kalau kalian ingin dihormat yang muda, sebaiknya pergi dan jangan cari penyakit. Aku berani menghadapi kalian, meskipun dikeroyok dua!"

"Ayah...!" Swat Lian terkejut, pucat. "kenapa kau menantang? Mereka ini hebat, yah. Kim-mou-eng sendiri tak mampu menang dan Celaka!"

"Ha-ha, Kim-mou-eng memang bodoh, Swat Lian. Aku bukan seperti Kim-mou-eng. Kalau dua orang tua ini ingin main-main tentu saja aku tak takut. Hu Beng Kui pantang disuruh mundur!"

"Wutt..." nenek pertama tiba-tiba berkelebat, lenyap menghantam jago pedang itu. "Kau bicara besar, orang she Hu. Kalau begitu coba ini dan hati-hati...!" Bi Kim, nenek pertama gusar. Ia melihat adiknya kalah menghadapi jago pedang itu, sinkang si jago pedang demikian hebat hingga adiknya terkejut. Jangankan adiknya, dia sendiri pun terkejut dan marah. Maka ketika pendekar itu mengejek dirinya dan Bi Kim tak dapat menahan gusar maka nenek ini sudah berkelebat dan menghantam.

Serangannya tak terlihat, tahu-tahu lengan sudah terjulur dan menuju dada Si jago pedang itu. Kim-mou-eng kalah cepat kalau mengelak, tak aneh kalau Swat Lian memperingatkan ayahnya dengan jeritan tadi. Tapi Hu Beng Kui yang telah mempelajari warisan Cermin Naga dan mampu bergerak lebih cepat tiba-tiba menggerakkan tangannya dan lengan yang tidak buntung itu menangkis.

"Plakk!" Untuk kedua kali nenek ini tersentak. Dari lengan Hu Beng Kui meluncur satu tenaga dahsyat yang menumbuk pukulannya tadi, menerima tapi tiba-tiba melontar, jadi tenaga jago pedang itu seperti karet, membal dan tahu-tahu sudah mendorong balik pukulannya sendiri. Dan ketika nenek ini menjerit dan terlempar berjungkir balik maka nenek itu teringat pukulan Bu-beng Sian-su yang mirip seperti itu.

“Iblis orang she Hu ini memiliki Khi-bal-sin kang (Tenaga Sakti Karet Bola)...!"

Bi Lin, nenek kedua juga terkesiap. Dia sudah merasa dan mau meneriakkan itu, ragu-ragu tapi sang enci kini memekikkan Khi-bal-sin-kang. Benar, jago pedang itu memang memiliki tenaga sakti mirip karet bola. Kemanapun karet itu dipukul maka ke situ pula tenaga si pemukul membalik.

Hu Beng Kui sendiri tak tahu apa nama sinkang yang diwarisinya dari Cermin Naga itu, tak ada sebutan atau penjelasan di sana. Tapi ketika dua nenek itu tersentak dan mereka berteriak kaget tiba-tiba pendekar ini tertawa bergelak berseru nyaring,

"Ha ha, kalian tahu pukulanku, nenek siluman. Bagus dan mari coba-coba. Awas, sekarang aku menyerang... wutt!" dan tubuh si jago pedang yang lenyap bergerak ke depan tiba-tiba sudah merupakan bayangan kilat yang meluncur begitu cepat, hanya tampak tubuh berkelebat dan lengan baju buntung Hu Beng Kui dipakai mengebut. Jangan dianggap enteng kebutan ini, Hu Beng Kui mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya. Dan ketika nenek di depan terkejut dan mengelak tapi kalah cepat maka pundak Bi Kim, nenek pertama itu menerima hajaran.

"Dess!" nenek ini terpekik. Tadi dia menyerang tapi Hu Beng Kui dapat menangkis, kini Hu Beng Kui menyerang tapi dia tak dapat menangkis. Jangankan menangkis, mengelak saja sudah tak ada waktu. Dan ketika Hu Beng Kui tertawa bergelak dan jago pedang itu bergerak dan sudah mencelat-celat bagai bola maka Bi Kim sang nenek pertama jatuh bangun dihajar pukulan Khi-bal-sin-kang.

"Des-des-dess!"

Swat Lian dan nenek Bi Lin terbelalak. Mereka berdua melihat betapa luar biasa cepatnya pukulan-pukulan Hu Beng Kui ini. Lawan tak dapat mengelak dan menerima pukulan bertubi-tubi. Nenek Bi Kim jatuh bangun dan kaget berulang-ulang. Dan ketika dia dihajar dan tunggang langgang menerima serangan serangan itu mendadak nenek ini melengking tinggi menghantam dengan satu pukulan dahsyatnya, Mo-seng-ciang (Pukulan Bintang Iblis).

“Blarr!" Kali ini Hu Beng Kui tertahan. Jago pedang itu tergetar dan terdorong, nenek Bi Kim berteriak dan berjungkir balik, tidak di serang lagi namun pucat bertemu Khi bal sin-kang yang dimiliki jago pedang itu. Betapapun ia masih tertolak dan kalah! Dan ketika nenek itu melayang turun dan kaget oleh semuanya ini mendadak ia mengeluarkan senjata aneh sendok dan garpu!

“Hu-taihiap kau betul-betul hebat. Tapi aku akan membunuhmu!"

Hu-taihiap tertegun. Dia melihat nenek Bi Kim bersiap-siap, dua senjata aneh di tangannya itu bergetar serta berkeredep. Nenek Bi Lin tiba-tiba berkelebat dan berdiri di samping kakaknya ini. Dan ketika Bi Lin juga terkejut dan marah oleh kehebatan jago pedang ini maka nenek itu pun mengeluarkan senjata yang sama seperti yang dimiliki encinya, sendok dan garpu, dua alat makan yang tentu saja berukuran besar, tiga atau empat kali lipat dari pada biasanya!

"Benar, dan kami akan membuntungi lengan satumu lagi, Hu taihiap. Lalu membuang mayatmu dan melemparnya ke hutan!"

"Ha ha," Hu Beng Kui masih tak gentar, tertawa bergelak. "Kalian boleh bunuh aku kalau bisa, nenek siluman. Dan kalau kalian mencabut senjata barangkali kita pun boleh main-main dengan pedang....singg!" tak tahu kapan dicabutnya benda itu tahu-tahu sebatang pedang telah berkilauan di tangan jago pedang ini.

Hu Beng Kui berdiri gagah sementara lengan baju yang kosong melambai ditiup angin, bergerak mengharukan namun dua nenek itu mendelik karena dari benda yang "mengharukan" ini mereka nyaris roboh, telah dibuat tunggang-langgang karena lengan baju yang kosong itu siap sewaktu-waktu diisi Khi-bal sin-kang, ilmu sakti aneh yang entah didapat dari mana oleh pendekar itu. Mereka tertegun tapi juga terperanjat. Dan ketika dua pihak sudah saling bersiap dan pedang di tangan Hu Beng Kui bergetar di tangan kanan maka Swat Lian yang terheran-heran namun masih mengkhawatirkan ayahnya mendadak meloncat maju, mencabut pedang.

"Ayah, mari kubantu kau. Biar kita mati bersama!"

"Ha-ha, siapa pingin mati? Aku tak akan apa-apa, Lian-ji. Mundur dan lihatlah pertandingan ini. Ayahmu bukan orang yang dapat roboh begitu saja!"

Swat Lian didorong, tak mau tapi tiba-tiba ujung baju ayahnya yang kosong mengebut. Begitu di Kebut tiba-tiba Swat Lian terpelanting, kaget dan terpekiklah gadis itu. Dan ketika Swat Lian terbelalak dan melompat bangun maka ayahnya berkata, tertawa lebar. penuh kegembiraan.

”Anak bodoh, jangan anggap ayahmu seperti kucing yang siap diinjak mampus. Percayalah, aku dapat menghadapi mereka dan biar pertandingan ini sebagai uji coba bagiku!"

Gadis ini tertegun. Sekarang dia melongo melihat kesaktian ayahnya ini. Baru sebulan tak bertemu mendadak tiba-tiba begitu lihai. Sinkang ayahnya benar-benar hebat dan baru kali itu dia dikebut lalu roboh. Dia merasa tenaga luar biasa dahsyat meluncur dari lengan baju ayahnya tadi, Swat Lian mendelong. Dan ketika dia mengusap keringat dan berdebar tapi girang melihat ayahnya mampu menghadapi sepasang nenek sakti akhirnya ayahnya yang sudah berhadapan dengan dua nenek itu berkata,

"Nah, mulailah, orang tua yang terhormat. Mari kita main-main tapi jangan salahkan aku kalau pedang melukai kalian!"

"Sombong!“

"Jahanam!"

Dan dua nenek itu yang berkelebat serta menyerang ke depan tiba-tiba membentak dan melengking marah, sepasang senjata di tangan mereka mencocok dan sendok di tangan kanan mengauk. Hebat dan aneh serangan ini, baru kali itu Hu Beng Kui menghadapi lawan dengan senjata tak lazim. Tapi karena dia sudah bersiap dan membentak serta menggerakkan pedangnya pula maka jago pedang ini merunduk dan menangkis, tentu saja mengerahkan khi-bal-sin-kangnya.

"Cring-trangg!"

Aneh dan luar biasa. Sepasang sendok garpu terpental bertemu pedang di tangan Hu Beng Kui, ujungnya putus dan langsung terbabat. Ini merupakan bukti bahwa tenaga yang dimiliki Hu Beng Kui memang luar biasa, di samping pedang yang tentu saja tajam, meskipun bukan pedang pusaka. Dan ketika dua nenek itu menjerit dan maju menubruk lagi maka Hu Beng Kui menyambut dan pedang serta garpu maupun sendok bertemu lagi, lebih nyaring dan memekakkan telinga, disusul kemudian oleh bentakan dan pekikan nenek itu.

Dua nenek ini gusar. Dan karena pedang dua kali mementalkan senjata mereka dan Hu Beng Kui tertawa menangkis garpu atau sendok mereka maka dua nenek siluman ini melengking dan lenyap dalam satu serangan cepat, ganas dan bertubi-tubi mereka menusuk atau menggaruk Hu Beng kui ini. Si jago pedang melayani dan pedangnya pun berkelebat menghalau dan membalas. Dan ketika dua nenek itu memekik lenyap dan tubuh mereka sudah merupakan bayangan iblis yang tak dapat diikuti mata maka Swat Lian yang berdiri di situ dan menonton dengan tegang tapi juga gembira-tiba-tiba tak dapat mengikuti dan pening, mendadak roboh.

"Ayah, hati-hati. Jaga dirimu baik-baik...!"

"Ha-ha, ayahmu selalu hati hati, Swat Lian. Lihat dan dengarkan apa yang kulakukan... sing-cringgg!”

Swat Lian serasa pekak, benturan-benturan nyaring yang terjadi di antara pedang ayahnya dan nenek iblis itu semakin gencar, suaranya menyakitkan telinga dan gadis ini tak tahan lagi. Dan ketika ayahnya juga berkelebat lenyap dan pertandingan berjalan cepat maka Swat Lian yang sudah termasuk gadis berkepandaian tinggi ini tak! mampu lagi mengikuti jàlannya pertandingan karena kabur dan kepala serasa diajak berputar!

"Aih, bangsat! Jahanam...!"

Begitu Swat Lian mendengar makian dua nenek itu. Sepasang nenek siluman ini merasa gagal, senjata di tangan selalu terpental dan membalik. Khi-bal sin-kang yang dimiliki jago pedang itu semakin ampuh saja setelah memegang senjata, sekuat apa pun mereka mengerahkan tenaga sekuat itu pula serangan mereka membalik dan menuju mereka sendiri. Dan ketika setiap kali pertemuan senjata selalu saja garpu atau sendok di tangan mereka terpapas kutung maka setengah jam kemudian senjata mereka itu tinggal separo.

"Keparat, kau jahanam, orang she Hu. Bangsat!"

"Ha-ha, tak perlu memaki, orang tua. Kerahkan tenaga dan pusatkan konsentrasi kalian pada serangan. Jaga, sebentar lagi aku akan mainkan Giam-lo Kiam-sut ku (Pedang Maut)."

"Ayo, keluarkan. Kami tak takut!"

"Begitukah? Baik, awas... wiirrr...!" dan pedang yang tiba-tiba berobah arahnya dan mengeluarkan suara begitu lirih mendadak pecah menjadi beberapa bagian dan sinarnya menyambar berhamburan ke tubuh dua nenek itu. Hebat dan luar biasa jago pedang ini telah mulai mainkan Giam-lo Kiam-sutnya. Dan begitu dia tertawa dan berkelebat bersama pedang sekonyong-konyong tubuh pendekar ini menjadi satu dengan badan pedang dan terbang serta meluncur menusuk tenggorokan si nenek.

"Cret-augh!"

Pekik dan jerit kesakitan terdengar. Baru sejurus pendekar ini mengeluarkan ilmu pedangnya mendadak dua nenek itu terlempar, leher mereka nyaris tertikam tapi kulit pundak menjadi korban, terbeset dan luka padahal mereka sudah mengerahkan sinkang. Biasanya dengan sinkang mereka mampu menahan bacokan senjata tajam sekuat apapun. Tapi karena jago pedang ini mengisi pedangnya dengan Khi-bal-sin-kang dan sinkang itu amat ditakuti dua nenek ini maka pundak pun tergores dan luka mengeluarkan darah, pedang membalik dan mereka harus melempar tubuh bergulingan kalau tak mau celaka.

Hu Beng Kui sudah menunggang pedangnya dan bersama pedang itu pendekar ini menari-nari di udara. Tampaknya menari-nari, tapi sebenarnya berkelebatan bagai burung terbang. Dan karena pendekar itu memiliki tubuh demikian ringan dan setiap gerakannya swlalu mendahului dua nenek itu maka Toa-ci dan Ji-moi sang nenek iblis berseru tertahan, kaget dan menjauhkan diri tapi lawan selalu mengejar. Jago pedang itu bagai tak menginjak lagi tanah di bawah kakinya, melayang dan beterbangan luar biasa cepatnya. Dan ketika serangan demi serangan selalu mendesak nenek itu dan Bi Lin serta kakaknya kewalahan menjerit jerit akhirnya satu dua tusukan lagi mengenai tubuh mereka.

"Cret-cret!"

Swat Lian terbelalak. Sekarang dia membuka matanya itu, melihat dua nenek iblis sering terhuyung dan lelah, bayangan mulai tak secepat tadi lagi dan ia dapat mengikuti. Dan ketika ia melihat ayahnya dapat merangsek nenek itu dan Bi Kim serta adiknya mengeluh kebingungan mendadak ayahnya berkata bahwa tak lama lagi dua nenek itu akan roboh.

"Keparat, kami masih mempunyai ilmu lain, orang she Hu. Jangan sombong. Lihat...!" Bi Kim menepuk tangannya, ledakan terdengar dan asap hitam tiba-tiba muncul.

Hu Beng Kui terkejut karena lawan kini menghilang, terkekeh di balik asap itu dan lenyaplah nenek ini tak dapat diserang. Bi Lin sang adik juga mengikuti, menepuk tangannya dan meledaklah suara nyaring, asap hitam muncul dan nenek itu pun hilang. Dan ketika Hu Beng Kui kebingungan karena tak tahu harus menyerang yang mana maka Mo-seng-ciang, pukulan ampuh dua nenek iblis menghantamnya, tak terlihat dari balik asap dan pendekar ini terkejut.

Untung Khi-bal-sin-kangnya menahan dan pukulan itu tertolak, secara otomatis tenaga sakti di tubuh pendekar ini mengembalikan pukulan itu dan dua nenek iblis di depan menjerit. Ini juga membingungkan mereka. Dan karena mereka marah dan juga bingung menghadapi Khi-bal-sin-kang maka sendok dan garpu kembali menyerang...

Sepasang Cermin Naga Jilid 06

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 06
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"DAN nona ini, bukankah puteri Hu-taihiap?"

"Benar, aku Swat Lian totiang. Bagaimana kau mengenal aku?"

"Ah, pinto mendengar sepak terjangmu di Ci-nong, nona. Dan kebetulan juga melihat bayanganmu waktu melewati orang-orang di jalan itu. Kau hebat, ginkangmu mengagumkan! Tapi mana dua suhengmu?"

"Mereka diculik Dewi Api dan Hek-bong Siauwjin totiang. Empat tokoh itu benar ada dan masih hidup, aku melihat sendiri!"

"Omitohud, begitukah?" hwesio di sebelah Swan Cong Tojin tiba-tiba berseru. "Kalau begitu dunia dalam bahaya, cuwi enghiong (semua orang gagah). Kita harus mencegah itu dan membasmi mereka!"

"Siancai, pinto datang juga dengan maksud itu. Dan Bu-beng Sian-su yang terhormat katanya akan memberi petunjuk!"

Ciu Sek Tosu kioi berseru. "Ya, dan pinceng juga ingin melihat apa yang diberikan Sian-su, Tojin. Katanya hari ini Cermin Naga akan dikeluarkan. Pinceng ingin melihat dan menyaksikan benda itu!"

Semua kini bicara. Ternyata orang-orang itu adalah para ketua partai yang diam-diam tertarik oleh berita besar ini, tentu saja mereka tak nampak di Ci-nong karena malu harus terlihat atau berada di tengah-tengah orang banyak. Betapapun mereka harus menjaga kedudukan sendiri. Dan ketika semua saling sahut dan Kim-mou-eng bingung harus bicara kepada siapa, mendadak di puncak terdengar geraman dan bentakan.

"Sian-su, keluarlah. Kami sudah datang...!"

Semua orang terkejut. Swat Lian mengenal geraman itu, bentakan atau geraman Cam-kong, si Pembunuh Petir. Tentu saja dia bergerak dan tiba-tiba melengking, berkelebat menuju puncak. Tapi baru dia menjejakkan kaki dan membentak memaki iblis itu, tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan menyambar punggungnya.

"Swat Lian, jangan lewat jalan itu. Berbahaya...!" dan ledakan yang mengejutkan semua orang disusul pekikan Swat Lian tiba-tiba membuat semua orang terkesiap karena tanah di depan amblong, Kim-mou-eng keburu menyambar punggung gadis itu dan melempar Swat Lian kembali ke tempat semula. Pendekar Rambut Emas sendiri sudah berjungkir balik lima kali sebelum jatuh di rombongan Bi Kong Hwesio, mukanya pucat dan mengusap keringat dingin, peluh sebesar jagung menitik dari dahinya. Dan ketika Swat Lian sendiri mencelos dan hampir mati kaget melihat ke sembronoannya maka di puncak terdengar kekeh dan tawa yang panjang.

"Hi-hik, kau boleh mampus, bocah. Siapa sembrono akan mendapat hadiahnya!"

"Ya, dan kau suruh gurumu keluar, Kim-mou-eng. Kami sudah datang!"

Kim-mou-eng dan lain-lain marah. Mereka kini tahu bahwa tokoh-tokoh sesat yang kepandaiannya luar biasa sudah ada di puncak, Kim-mou-eng mengepal tinju dan berang. Tapi belum dia mengajak yang lain terdengar lagi teriakan dari puncak, kini ditujukan kepada Swat Lian.

"Sumoi, jangan datang ke mari. Turun...!"

"Benar, jangan ke mari, sumoi. Pergilah...!"

Swat Lian pucat. "Itu Hauw Kam-suheng dan Gwan Beng-suheng. Mereka ada di sana!” serunya. "Ah, apa yang harus kulakukan, Kim-twako? Apakah harus membiarkannya saja?” tapi baru gadis ini selesai bicara tiba-tiba terdengar seruan lembut dari atas, mengusap semua telinga orang, begitu menyejukkan.

"Kim-mou-eng, bawa teman-temanmu ke lorong bawah tanah. Boleh ke puncak tapi sembunyikan diri!"

Kim-mou-eng girang. "Ini suara suhu," serunya. "Mari, ikuti aku, cuwi enghiong. Semua menjadi satu dan jangan sendiri sendiri!" Kim-mou-eng sudah berkelebat, menguak sebuah semak belukar dan di situ terlihat sebuah guha atau lorong bawah tanah. Di sini Kim-mou-eng menyerahkan beberapa batang lilin dan bergeraklah pendekar itu merunduk dan melompat.

Bi Kong Hwesio dan lain-lain mengikuti dan dengan tegang namun gembira mereka berjalan di belakang Kim-mou-eng. Tempat yang gelap tak menjadi halangan karena masing masing telah menyalakan lilin pemberian Kim-mou-eng. Dan ketika sembilan orang itu mulai bergerak dan merunduk serta berlari kecil di dalam guha yang akhirnya menaik ke atas ini maka Bi Kong Hwesio dan teman-temannya kagum karena tak lama kemudian mereka tiba di sebuah tempat yang lapang. Lilin mulai tak dipakai lagi karena cahaya matahari tampak menerobos masuk di celah-celah guha, meskipun lemah. Dan ketika setengah jam kemudian mereka semakin ke atas dan akhirnya berhenti mendapat aba-aba maka mereka merasa tanah bergetar dan bergoyang ketika di atas sana terdengar bentakan dan gedrukan kaki.

"Semua jangan keluar, boleh mengintai tapi jangan menampakkan diri," suara halus tiba-tiba menyusup kembali di dalam telinga, tak diketahui dari mana asalnya tapi Bi Kong Hwesio dan lain-lain bergidik.

Sebenarnya sejak tadi mereka itu seolah diamati sepasang mata tajam, entah di mana mata itu. Pokoknya diamati dan dua kali Bi Kong Hwesio merasa diusap punggungnya ketika tadi hampir dia terpeleset. Hwesio ini terlampau buru-buru dan tegang sewaktu menelusuri lorong bawah tanah itu, kebetulan dia akhirnya di belakang karena membantu yang lain-lain masuk. Hanya hwesio inilah yang merasa didorong punggungnya dan bergidik! Dan ketika suara yang lembut itu kembali bicara dan kini mereka mengenal sebagai suara Sian-su maka Kim-mou-eng mengibas ke samping dan rontoklah beberapa dinding guha yang terkupas.

"Suhu memerintahkan kita tak boleh keluar. Sementara ini cuwi mengintai saja di beberapa tempat!"

Bi Kong Hwesio dan lain-lain mengangguk. Mereka sebenarnya ingin keluar, perintah ini agak merendahkan derajat mereka sebagai ketua ketua partai. Namun karena mereka adalah tamu dan betapapun mereka telah memasuki wilayah Bukit Malaikat maka Bi Kong dan temannya mencari tempat pengintaian dan menempelkan muka, sebelumnya saling pandang dan Ciu Sek serta Yang Te Cinjin memberi isyarat.

Agaknya ketidakpuasan dua ketua Hong-san dan Liong-san ini tak dapat disembunyikan juga. Tapi karena Bi Kong mengedip dan ketua Siu-lim ini menyuruh sabar maka dua ketua itu mengangguk dan mengintai, kebetulan mendapat celah paling jelas dan posisi paling menguntungkan. Dan begitu mereka mengintai melihat ke depan tiba-tiba keduanya berseru tertahan dan melotot.

Apa yang dilihat? Tak ada apa-apa! Di situ hanya tampak sebuah tempat datar yang sekelilingnya penuh pohon, jadi semacam lapangan kecil berbentuk lingkaran. Tempat itu kosong tapi bentakan atau geraman terdengar di sini, bahkan gedrukan-gedrukan itu pun terdengar di sini. Suaranya menggetarkan guha bawah tanah dan siapa yang tak menempel erat-erat di dinding pengintal barangkali akan jatuh seperti cecak diblandring (dikatepil). Menyeramkan sekali! Dan ketika yang lain-lain juga terbelalak dan keheranan karena tempat itu kosong maka Kim-mou-eng tiba-tiba berseru,

”Kerahkan tenaga batin, jangan melihat dengan mata biasa!"

Orang-orang terkejut. Mereka baru sadar bahwa yang mereka hadapi ini adalah tokoh-tokoh tak lumrah manusia, Hek-bong Siauwjin dan teman-temannya itu adalah iblis-iblis yang berkepandaian luar biasa. Maka begitu mereka mengerahkan tenaga batin dan mata telanjang mulai menembus disertai kekuatan dalam tiba-tiba mereka tertegun melihat apa yang ada. Sekarang tampaklah itu. Tiga pasang kakek nenek, bukan empat melainkan enam.

Dan Kim-mou-eng yang terkejut serta kaget melihat dua nenek baru di rombongan iblis ini mendadak berseru tertahan, “Sepasang Dewi Naga...!"

Yang Te Cinjin dan lain-lain tersentak. "Sepasang Dewi Naga, taihiap?"

"Ya, dua nenek itu ternyata telah bergabung dengan iblis-iblis ini, totiang. Pantas kalau mereka berani lagi datang dan menantang suhu!"

"Diakah yang menculik anakmu" Swat Lian tiba-tiba bertanya, terkejut.

"Ya, tapi... ah!" dan Kim-mou-eng yang hampir melompat keluar tapi ingat pesan gurunya tiba-tiba menggigit bibir dan sudah dicengkeram lembut jari-jari halus yang digetarkan Swat Lian.

"Twako, aku turut berduka oleh musibah yang menimpamu. Tenanglah, aku pasti membantu."

Dua pasang mata beradu pandang. Swat Lian segera menunduk ketika sepasang mata Pendekar Rambut Emas bergetar penuh perasaan, Kim-mou-eng tiba-tiba balas mecengkeram dan bertanya dari mana gadis itu tahu. Dan ketika Swat Lian berbisik bahwa dia baru saja ke tempat rendekar itu tapi Kim-mou-eng tak ada maka Pendekar Rambut Emas tertegun menatap heran.

"Kau ke suku bangsa Tar-tar?"

"Ya, dua hari yang lalu, twako."

"Untuk apa?’

“Mencari dirimu."

"Ya, aku tahu. Tapi untuk apa?"

“Disuruh ayah, twako. Menebus kekalahannya dua tahun yang lalu dan mengajakmu bertanding!"

Kim-mou-eng tersentak. Tiba-tiba dia ingat penasaran jago pedang itu, bahwa Hu Beng Kui tak puas dan ingin menebus kekalahannya. Benar, kini mengutus puterinya dan Kim-mou-eng tertegun. Tapi karena saat itu tak dapat mereka banyak bicara dan Bi Kong Hwesio serta yang lain lain juga ada di situ tiba-tiba Kim-mou-eng cepat melepas pegangannya ketika mendengar Yang Te Cinjio batuk-batuk.

"Maaf," pendekar ini merah mukanya. "Aku sedang kalut, Swat Lian. Biar lain kali kita bicara lagi," dan melepas gadis itu memandang ke depan akhirnya Pendekar Rambut Emas dan lain lain memperhatikan lagi suasana di atas, melihat nenek Dewi Naga bersiap siap sementara Hek-bong Siauwjin dan lainnya berteriak teriak.

Baru tahulah semua orang bahwa tokoh tokoh luar biasa dari dunia hitam ini rata-rata melindungi dirinya dengan semacam uap hitam di mana masing-masing tak akan terlihat oleh mata biasa, itulah semacam kekuatan sakti mirip ilmu menghilang. Hek-bong Siauwjin tampak paling pendek di antara semuanya, sementara Cam-kong tampak paling jangkung.

Tok-ong paling tinggi besar dan menyeramkan, iblis inilah yang mengedruk-gedrukkan kaki hingga bumi bergetar, seakan dilanda gempa saja. Dan ketika mereka semua memperhatikan dan enam tokoh sesat itu mengitari lapangan sambil memanggil-menggil Sian-su mendadak seperti muncul dari dalam bumi saja tampaklah kakek dewa itu, muncul dan tertutup halimun putih sementara mukanya tak kelihatan!

"Hm, aku sejak tadi di sini, Siauwjin. Tak terlihatkah oleh kalian?"

Enam tokoh itu kaget. Bi Kong Hwesio dan Teman-temannya juga terkesiap, mereka itu tak melihat dari mana Bu-beng Siun-su muncul dan tahu tahu kakek dewa itu telah bersila tenang di tengah-tengah kepungan lawannya. Begitu tenang dan agung! Dan ketika mereka terbelalak dan baru pertama kali itu juga Bi Kong dan lain lain melihat Bu-beng Sian-su maka Hek-bong Siauwjin dan teman-temannya membentak,

"Sian-su, kau kakek tua tak tahu aturan. Kenapa hendak menyerahkan Cermin Naga kepada orang lain? Berikan kepada kami, atau kau kami bunuh!"

"Benar, dan aku akan menggeragoti jantung mu, kakek keparat. Atau kau selamat dan Cermin Naga menjadi milikku!"

"Tidak, cermin itu menjadi milik bersama, Tok-ong. Jangan serakah dan tak tahu diri!"

"Hm...!" Bu-beng Sian-su, kakek di tengah-tengah lingkaran itu tiba-tiba bangkit berdiri. "Kalian semua amat beringas dan haus darah,Tok-ong. Kenapa begitu keji dan garang? Cermin Naga memang akan ku keluarkan, tapi bukan diminta dengan paksa."

"Berikan padaku!"

"Tidak, padaku, Sian-su, Atau...”

“Ha-ha, kakek ini tak mungkin memberikannya kepada kita, Dewi Api. Lebih baik serang dan bunuh dia!" Siauwjin, si Manusia Busuk Dari Kubur tiba-tiba menukas, langsung berkelebat dan menyelinap di bawah selangkangan kakek dewa itu. Dengan ganas dan keji dia merenggut bagian bawah kakek itu, kebiasaannya yang mengerikan dengan mencomot anggauta rahasia ternyata tak segan-segan dilakukannya kepada kakek dewa itu. Tapi ketika tangannya merogoh dan kakek itu membiarkan sekonyong-konyong iblis ini menjerit karena tempat itu kosong dan jarinya menyentuh benda panas yang membakar lengannya seperti api.

"Aduh, keparat...!” Hek-bong Sauwjin terguling-guling. Dia kaget dan marah, heran tapi juga gentar. Dan ketika iblis itu melompat bangun dan yang lain terbelalak melihat kejadian itu maka Tok-ong dan nenek Dewi Api melejit ke depan.

"Sian-su, mana itu Cermin Naga?"

"Kau tak memberikannya kepada kami?"

"Hm," kakek dewa itu bersikap tenang. "Hawa dan nafsu jahat mengotori kalian, Dewi Api. Dan kalian semakin tersesat. Cermin Naga akan kulempar, siapa mendapatkan dialah yang beruntung.”

"Tidak, orang lain tak boleh mendapatkannya, kakek keparat. Serahkan pada kami atau kau kubunuh!"

"Benar, dan kau juga berhutang sesuatu, kakek busuk. Kau merusakkan wajah kami berdua!" Sepasang Dewi Naga, Bi Kim dan Bi Lin membentak. Mereka itu jerih kalau menghadapi lawan berdua saja, kini tentu saja berani karena disitu banyak teman. Ada enam jumlahnya. Dan karena Hek-bong Siauwjin dan kawan-kawannya itu juga tambah berat karena Sepasang Dwi Naga membantu dan bergabung dengan mereka maka kini Tok-ong menggeram menggedrukkan kakinya.

"Bu-beng Sian-su, kau masih tak ingin mengeluarkan cermin mu?"

Bu-beng Sian-su, kakek dewa ini sekonyong-konyong tersenyum. Sepasang sorot Cahaya tiba-tiba keluar dari sepasang matanya, Bi Kong Hwesio dan lain-lain terkejut karena mereka mendadak merasa silau. Mengerahkan tenaga batin namun tak kuat, tetap saja mereka terkesiap dan kaget. Mata tiba-tiba dipejamkan dan air mata pun mengalir. Pedih. Tak kuat mereka beradu pandang dengan sorot yang amat tajam itu. Dan ketika mereka menutup mata dan sejenak saja melakukan ini sekonyong-konyong terdengar pukulan dahsyat ketika Tok ong menerjang, disusul bentakan yang lain dan bunyi berdering keluar dari lengan kakek dewa itu.

Kim-mou-eng dan Swat Lian yang tak memandang langsung sorot atau cahaya mata manusia sakti ini selamat, melihat kakek dewa itu mengeluarkan sepasang cermin namun Tok-ong menubruk begitu melihat. Kakek tinggi besar ini menerkam seperti singa haus darah, mencoba merebut. Tapi karena teman-temannya yang lain juga bermaksud sama dan mereka itu sudah melengking dan berkelebat ke depan tiba-tiba enam orang itu sudah serentak merebut dan menyerang.

"Berikan padaku...!"

"Tidak, aku saja!"

Dan enam orang itu yang berkelebat bersama dan merebut serta menghantam tiba-tiba sudah menyerang kakek dewa itu. Pukulan mereka cepat dan tentu saja bukan main dahsyatnya tapi Bu-beng Sian-su masih berdiri tegak. Kakek itu seolah tak tahu bahaya atau sengaja menerima, Kim-mou-eng sampai terkesiap. Tapi karena Bu-beng Sian-su adalah kakek maha sakti dan semua serangan itu membuat Kim-mou-eng terbelalak tiba-tiba kakek ini meniup dan enam orang itu berhantam sendiri, Bu-beng Sian-su tembus dipukul dan Hek-bong Siauwjin serta kawan-kawannya terpekik kaget.

"Heii... plak-dess!"

Tok-ong dan lima temannya terjungkal. Tadi mereka itu sudah menghantam tubuh lawan, entah kenapa tiba-tiba tembus dan amblong. Kakek itu seperti roh halus saja dan mereka berenam menjerit. Tapi karena mereka juga orang-orang luar biasa dan Hek-bong Siauwjin sudah membentak dan meloncat bangun dan iblis cebol ini dan kelima temannya sudah menyerang dan berkelebat lagi. Tamparan atau pukulan mereka membuat pohon di sekitar berderak roboh, bumi tergetar dan Bi Kong Hwasio serta lain-lain yang ada di guha terpelanting, bukan main hebatnya!

Dan ketika ketua Siu-lim itu dan kawan-kawannya berteriak tertahan dan melompat terhuyung maka di luar terdengar ledakan dan dentuman dahsyat, mereka melihat tapi yang tampak hanya bayang-bayang yang kabur saja. Pandangan dikerahkan tapi tetap saja mata tak mampu melihat jelas. Hek-bong Siauwjin dan kawan-kawannya itu hanya merupakan bayangan berseliweran dan berobah seperti bayangan iblis, sungguh mengejutkan. Dan ketika mereka mencoba mempertajam pandangan namun kepala tiba-tiba pening mendadak Bi Kong Hwesio dan teman-temannya ambruk!

"Jangan melihat pertempuran. Semua bersila...!" Kim-mou-eng berseru kaget, melihat semua yang ada kecuali dia dan Swat Lian satu per satu roboh terguling. Bayangan yang tak dapat diikuti membuat kepala berputar dan Bi Kong Hwesio serta yang lain-lain itu pun roboh. Bukan main, padahal mereka adalah ketua-ketua partai persilatan terkenal! Dan ketika Kim-mou-eng sendiri cepat memejamkan mata dan duduk bersila dan dengan cara begini dia melihat jalannya pertandingan maka di luar terdengar dentuman dan gemuruh bagai hutan diamuk hantu.

Orang tak melihat betapa Bu-beng Sian-su tiba-tiba berobah menjadi enam, masing masing, Bu-beng Sian-su menghadapi seorang lawan. Hek-bong Siauwjin dan kawan kawannya terpekik, tentu saja kaget dan gentar. Ini ilmu siluman, padahal mereka sendiri adalah siluman! Dan ketika hantaman atau pukulan meledak di tempat itu dan orang di bawah bukit melihat kilatan cahaya atau api yang menyambar-nyambar di puncak maka orang orang di bawah pelenggong dan bengong.

"Iblis, yang bertempur itu benar-benar bukan manusia.....!"

"Ya, dan Bu-beng Sian-su hanya tampak sebagai bayangan putih, kawan-kawan. Yang hitam dan berkelebatan itu tentu Tok-ong dan teman temannya!"

"Aih, hebat. Aku belum pernah melihat pertandigan macam begini. Luar biasa, aku...heii...!" orang di bawah bukit tiba-tiba berteriak.

Di puncak terdengar bentakan dan suara gemuruh, api dan petir sekonyong konyong meledak. Awan hitam bagai mendung tiba-tiba memenuhi puncak, dari mana mana datang berkumpul dan akhirnya melebar, kian melebar dan akhirnya Bukit Malaikat gelap gulita. Dan, ketika orang orang di bawah ternganga dan tak tahu apa yang terjadi sekonyong-konyong hujan api dan petir menyambar ke bawah, disusul derak tanah yang membuat bumi bergoyang. Hek-bong Siauwjin dan teman temannya telah mengerahkan ilmu hitam, iblis dan siluman dipanggil untuk membantu mereka. Dan ketika orang di bawah terpekik tak keruan meluncurlah kemudian batu batu besar dan pohon tumbang, disusul hujan deras!

"Awas, air bah. Menyingkir...!"

Paniklah orang-orang itu. Mereka seakan di dalam mimpi buruk, semuanya berlarian dan mencari selamat. Dan ketika mereka berlindung dari hujan dan batu yang seakan ditumpahkan dari langit mendadak dari puncak Bukit Malaikat yang gelap gulila muncul sepasang sinar terang yang berkilauan mengatasi segalanya, mendesing dan berputaran dan terdengarlah saat itu gerengan dan teriakan marah. Sepasang benda yag berputar-putar di atas bukit ini melesat. Lalu, ketika orang di bawah melenggong dan bengong mendadak sepasang benda itu meluncur dan terbang ke utara dan selatan.

"Sepasang Cermin Naga, kejar....!"

Orang tak tahu siapa yang berseru itu. Mereka seakan terpaku tapi tiba-tiba kaget, berjengit dan semuanya lari ke arah benda terbang itu. Ratusan orang kang-ouw melesat dan memburu. Cermin Naga sudah keluar, terlempar dari puncak Bukit Malaikat. Dan ketika semua orang berlarian dan saling dahulu mendahului maka di puncak terdengar pekik dan kilatan halilintar.

"Sian-su. Kau kakek keparat. Jahanam...! Kejar, Cermin Naga itu harus kita dapatkan...!"

Orang tak tahu apa yang terjadi. Di puncak Bukit Malaikat terdengar dentuman dahsyat, suaranya begitu menggelegar dan langit serta bukit seakan akan ambruk. Orang di bawah yang sedang berlari-larian mendadak terguling. Mereka tadi merasa tanah bergoyang dan berderak, puluhan di antaranya seketika roboh berbareng. Bukan main dahsyatnya pengaruh getaran yang berasal dari puncak itu. Dan ketika mereka berteriak kaget dan cermin yang mereka kejar itu masih mendesing di udara dan melesat ke utara dan selatan maka di Bukit Malaikat yang gelap gulita terdengar keluhan dan bantingan tubuh disertai erangan dan umpatan.

"Aduh...!"

"Bangsat...!"

Orang juga tak tahu apa yang terjadi. Di atas sana hanya terdengar rintihan itu, Cermin Naga melayang-layang di udara dan meneruskan perjalanannya. Aneh bin ajaib, cermin itu tidak segera jatuh dan meluncur kian jauh dengan masing-masing berlawanan arah, tetap ke utara dan selatan. Dan ketika orang-orang yang roboh terguling berlompatan bangun dan terhuyung memandang cermin itu maka di puncak terlihat enam bayangan yang melarikan diri dan meluncur ke bawah.

"Kejar Cermin Naga, dapatkan itu...!"

Orang di bawah bengong. Mereka hanya melihat enam bayangan meluncur ke bawah bukit, di iring umpatan dan makian, juga rintihan. Dan ketika enam bayangan itu tiba di bawah dan tiba-tiba memecah menjadi dua mendadak tiga di antaranya melesat ke utara sementara yang tiga lagi melesat ke selatan, mengejar Cermin Naga!

"Ah, mereka mendahului. Habis harapan kita....!" seorang di antara orang-orang di bawah berteriak, seruannya mengandung kecewa dan putus asa. Yang lain mengangguk dan bengong bagai mimpi saja. Tapi seorang lainnya yang rupanya berpendapat lain dan masih melihat sepasang cermin itu melayang-layang di udara mendadak melompat dan berseru,

"Tidak, Cermin Naga tak segera jatuh. Ayo, kita ikuti dan kejar..!" dan mendahului yang lain dan bersemangat tinggi tiba-tiba orang ini sudah mengejar ke depan, ke utara, yang selatan tak dihiraukan karena betapa pun dia memang harus memilih satu di antara dua.

Yang lain-lain terkejut tapi bangkit semangatnya. Dan ketika orang itu sudah mendahului dan puncak Bukit Malaikat mulai terang maka yang lain-lain pun segera mengejar dan berteriak, rombongan mendadak menjadi dua dan orang-orang kangouw ini pun mengejar Cermin Naga. Yang merasa lebih dekat dengan selatan mengejar cermin kedua itu, memburu sementara yang sudah berlari ke utara juga mengejar cermin pertama. Orang-orang itu tiba-tiba pecah dan masing-masing sudah melaksanakan keinginannya sendiri sendiri. Dan ketika semua mengejar Cermin Naga dan puncak Bukit Målaikat terang kembali maka aneh bin ajaib suara suara gemuruh dan halilintar itu pun lenyap, tak ada lagi hujan atau pun api!

"Siancai, ini bagai mimpi...!" Yang Te Cin jin, ketua Hong-san-pai berseru takjub. Dia tadi bersama kawan-kawannya berkutat melawan pengaruh di atas bukit yang begitu dahsyat, duduk bersila namun dua di antara mereka terguling, yakni wakil atau sute dari Swan Cong Tojin ketua Kun-lun dan wakil atau sute dari ketua Go-bong, adik perguruan Kwi Hiang Hosiang. Dari sini dapat dibuktikan betapa dahsyat pertempuran di atas puncak Bukit Malaikat itu, semuanya gemetaran dan menggigil.

Hampir saja mereka tak kuat bertahan lagi, hanya Kim-mou-eng serta Swat Lian saja yang dapat sedikit lebih tenang, meski pun keduanya juga berkeringat dan mengerahkan seluruh kekuatan batin untuk melawan. Suara gemuruh dan ledakan petir di atas sana terlalu hebat, begitu hebat hingga mungkin Yang Te Cinjin dan lain lainnya itu akan pingsan kalau pertempuran tidak segera bergenti. Bu-beng Sian-su rupanya berhasil mengalahkan lawan-lawannya itu, Hek-bong Siauwjin dan kawan kawan terbanting roboh ketika semua pukulan mereka membalik atau "menembus" kakek dewa itu. Yang dihadapi seakan bukan jasad kasar, melainkan roh!

Dan karena Bu-beng Sian-su sendiri memecah dirinya menjadi enam dan semua pukulan membalik atau menembus sia sia maka enam iblis itu menjadi keder dan gentar, akhirnya tunggang-langgang dan memaki-maki kakek dewa itu. Bu-beng Sian-su benar-benar kakek dewa maha sakti, begitu sakti, hingga dikeroyok enam tetap saja mereka kalah. Padahal mereka adalah tokoh-tokoh luar biasa yang ada pada jaman itu.

Dan ketika Cermin Naga mencelat dan terlempar dari atas bukit ketika pertempuran berlangsung maka akhirnya enam iblis itu melarikan diri dan mengejar sepasang cermin yang anehnya terbang berlawanan arah itu, satu ke utara sedang yang lain ke selatan. Dan Karena cermin itu berisi ilmu pamungkas untuk "menundukkan" ilmu mereka maka Hek-bong Siauwjin dan lima kawannya mengejar dan tak aneh kalau mereka mati-matian menghendaki cermin itu dan meninggalkan lawan yang tak dapat mereka kalahkan!

"Omitohud, pinceng juga takjub...!" Bi Kong Hwesio, yang kini bangkit berdiri dan agak terhuyung juga berseru. Setelah tadi Yang Te Cinjin mengucapkan seruan dan mereka semua mengangguk, memang masing-masing harus mengakui itu. Apa yang dilihat dan didengar adalah suatu kejadian mentakjubkan yang belum tentu seratus tahun sekali disaksikan. Itu mimpi luar biasa bagi mereka. Dan ketika Kwi Hiang Hosiang dan Swan Cong Tojin selesai menolong sute mereka dan dua orang itu berdiri limbung maka Kim-mou-eng melompat bangun berseru perlahan,

"Kita keluar, sekarang aman....!"

Namun angin berkesiur lembut. Sesosok bayangan menembus celah dinding, begitu luar biasa dan mengagetkan. Dan ketika orang-orang terbelalak dan tersentak, ternyala Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu telah berada di depan mereka menggoyang lengannya.

"Tak perlu, biar di sini saja!"

Orang-orang terkejut. Mereka memandang celah yang dilalui kakek dewa ini, tertegun dan terkesiap karena celah itu hanya selebar mata kucing, tak lebih dari seinci. Ujung jempol dimasukkan saja belum tentu dapat, bagaimana kakek dewa itu dapat masuk? Dan ketika mereka tertegun dan terkesima maka kakek dewa ini telah menyuruh mereka duduk.

"Kalian tenang saja, ingin bertemu dengan aku bukan? Nah kalian boleh bicara, Bikong losuhu. Atau Yang Te-totiang ini juga boleh mendahului."

"Ahh...!" dan dua ketua itu yang tiba-tiba terhenyak dan melipat tubuh dalam-dalam tiba-tiba merasa didahului dan kaget, cepat-cepat memberi hormat. "Sian-su, maafkan pinceng. Kiranya kau pun telah mengetahui apa yang ada di hati pinceng."

"Ya, dan pinto talah melihat semuanya di puncak bukit, Sian-su. Sungguh kepandaian pinto dan kawan-kawan terasa rendah sekali dibandingkan kesaktianmu!"

"Ah, kalian tak usah berbasa-basi. Mari, keluarkan apa yang ingin dibicarakan dan boleh tanya apa yang kalian suka."

"Omitohud...!" Bi Kong Hwesio bersinar-sinar. "Kalau begitu pinceng ingin mendahului, Sian-su. Apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa Cermin Naga itu kau lepaskan!"

"Ya, dan pinto juga ingin bertanya kenapa kau melepaskan pula enam iblis itu, Sian-su. Bukankah mereka dapat kau bunuh dan habisi!"

"Hm, kau Bi Kong lo-suhu, dan kau pula Yang Te Cinjin. Apa yang terjadi adalah takdir dan tak seorang pun dapat mengubah semuanya itu. Hek-bong Siauwjin dan kawan-kawannya adalah manusia, mati hidup bukanlah di tangan manusia lainnya pula..."

"Tapi kau dewa, kau bukan manusia biasa!" Yang Te Cinjin memotong.

"Hm," kakek ini tersenyum lebar. "Apa yang kau katakan tak perlu kujawab, Cinjin. Tapi dewa pun tak berhak mencabut nyawa manusia. Aku datang bukan untuk membunuh atau menghabisi, melainkan menyadarkan dan membantu manusia lainnya!"

"Baiklah, kalau begitu bagaimana pertanyaan ku tadi, kejadian tadi, Sian-su? Apa yang sebenarnya dan kenapa kau lepaskan Cermin Naga itu? Betulkah cermin itu sakti dan dapat menahan sepak terjang orang-orang sesat?" Bi Kong Hwesio bertanya, mengajak yang lain memusatkan dulu konsentrasi ke sini dan Yang Te Cinjin pun sadar. Memang saat itu pertanyaan Bi Kong Hwesio belum dijawab, sebagai orang kedua dia harus menunggu giliran.

Dan ketika Bu-beng Sian-su tertawa dan mengebutkan lengannya maka kakek ini bersila tapi anehnya tak sedikit pun kakinya menyentuh lantai, mengambang! "Bi Kong lo-suhu, dan kau Yang Te-totiang, sebaiknya kalian dengar apa yang akan ku katakan ini. Cermin Naga berisi tentang sesuatu yang hidup yang ada di permukaan hidup ini. Dan karena cermin itu berkaitan erat dengan orang atau seseorang maka cermin itu sesungguhnya bukan barang yang terlampau istimewa meski pun barangkali benar menyimpan beberapa ilmu silat tinggi, bagi yang mengerti dan mampu memahaminya."

"Pinceng tak mengerti," Bi Kong Hwesio mengernyitkan kening. "Apakah Cermin Naga itu barang biasa saja, Sian-su?"

"Biasa atau luar biasa tergantung dari yang menerima, lo-suhu. Pendapat atau daya terima seseorang berlainan antara yang satu dan yang lain."

"Pinceng masih bingung, dapatkah kau terangkan lebih jelas?" Kakek dewa itu tertawa. "Yang jelas, Cermin Naga itu menyimpan sebuah syair akan kehidupan. Syair, inilah yang penting dan perlu disadari, tapi karena benda itu telah terbang jauh dari sini maka percuma juga ku terangkan kepada kalian. Hanya tak lama lagi akan muncul gelombang di dua golongan. Satu golongan dunia kang-ouw dan yarg lainnya adalah golongan orang biasa. Dan inilah yang menjadi inti dari semua kejadian yang lewat maupun yang akan datang."

Bi Kong Hwesio jadi kebingungan. "Pinceng tak paham," katanya gugup. "Pincerg merasa bebal!"

"Ya, dan pinto juga, lo-suhu. Apa yang di kata Sian-su, pinto pun tak mengerti!" Yang Te Cinjin berseru.

"Hmmm, Bagaimana mengerti kalau kejadiannya belum terbuka?" Bu-beng Sian-su, tersenyum. "Mengerti apa yang belum dimengerti memang tak mungkin, Cinjin. Tapi kuberitahukan saja pada kalian bahwa di dunia kang-ouw akan terjadi ketidakadilan."

"Ketidakadilan tentang apa?"

"Yach, tentang banyak hal, Cinjin. Termasuk kalian barangkali juga akan melakukan hal yang sama!"

"Pinto juga melakukan ketidakadilan?"

"Ha-ha, semua orang bisa melakukan itu, Cinjin. Tak perlu kaget. Maka menyadari dan mengerti akan ini adalah sebuah perubahan mendasar!"

Yang Te Cinjin pucat. Tiba-tiba dia seakan ditodong sebuah persoalan tajam oleh kakek dewa itu, tidak mengerti namun tergetar oleh ucapan kata-kata itu. Dia seakan dimasukkan ke dalam sebuah tungku panas, namun karena tak mengerti dan penasaran oleh semuanya itu tosu ini menanya, "Sian-su, dapatkah kau jelaskan kepada kami apa yang sesungguhnya kau maksudkan? Kenapa pula Hek-bong Siauwjin dan teman-temannya itu datang?”

"Mereka datang karena ingin membalas dendam, Cinjin. Dan menjelaskan apa yang sesungguhnya ku maksudkan juga tak mungkin, waktunya belum tiba."

"Bagaimana ini?"

"Begini saja, kalian pulang dan kembali ke tempat masing-masing. Lihat dan dengarkan apa yang terjadi. Kalau waktu itu tiba dan kalian ingat aku kalian boleh datang ke sini dan dengar apa yang tersembunyi."

"Tapi kau belum menjawab tuntas pertanyaan pinceng!" Bi Kong Hwesio tiba-tiba berseru. "Kau tak menjawab apakah Cermin Naga benar dapat menahan sepak terjang orang-orang jahat atau tidak, Sian-su. Masakah kita semua harus pulang?"

"Hm," kakek itu bersinar-sinar. "Menahan sepak terjang orang jahat atau tidak bukanlah masalah mendasar, lo-suhu. Yang penting adalah kita masing-masing harus mampu menahan sepak terjang sendiri, yang tidak baik, yang tidak sehat!"

"Jadi cermin itu tidak membawa faedah? Salahkah pendengaran pinceng bahwa Cermin Naga akan mampu meningkatkan kesadaran seseorang dan menahan sepak terjang orang jahat?"

"Meningkatkan kesadaran seseorang barangkali betul, lo-suhu, tapi barangkali juga tidak. Telah kusebutkan di atas bahwa daya tangkap atau daya terima seseorang berbeda antara yang satu dan yang lain. Itu semua tergantung dari masing-masing individu. Dan kalau cermin itu mampu menahan sepak terjang orang jahat maka ini pun tergantung kalian sendiri!"

"Bagaimana ini?" Bi Kong Hwesio berkeringat. "Pinceng tak puas, Sian-su. Jawabanmu kabur!"

"Hm, kabur karena kau belum mengerti, lo-suhu. Kalau sudah tentu tidak kabur. Ku ulangi lagi, kalian pulang dan lihat saja apa yang akan terjadi. Dunia kangouw dan dunia orang biasa akan mendapat sebuah pelajaran, Cermin Naga akan menjelaskan pada kalian dan kelak kalian akan mengerti."

"Tapi cermin itu katanya berisi syair," Ciu Sek Tosu kini tiba-tiba bicara, teringat akan keistimewaan manusia dewa ini membuka syairnya, "Apakah kami tak boleh tahu apa isi syair itu, Sian-su?"

"Benar," Swan Cong Tojin tiba-tiba nimbrung. ikut bicara pula. "Kau biasanya memberi wejangan kehidupan dengan syair-syair, Sian-su. Apakah pinto juga tak boleh tahu dan lihat?"

"Kalian serius?"

"Tentu saja. Kami telah mendengar keistimewaanmu memberi nasihat, Sian-su. Daripada pulang tak membawa apa-apa lebih baik beri kami sedikit pengetahuan dan kami renungkan di rumah!"

"Baiklah, kalau begitu simpan ini sebagai bekal, Swan Cong totiang. Barangkali ada gunanya dan lihat serta dengarlah baik-baik," Bu-beng Sian-su tertawa, menjelaskan bahwa sesuatu yang berhubungan erat dengan "keadilan" akan dan sedang terjadi. Kakek dewa itu tak memberi tahu banyak dan tiba-tiba tangannya bergerak ke belakang. Dan ketika jari-jari menggurat dan sekejap kemudian kakek itu menghentikan gerakannya maka di dinding guha, tepat di belakang kakek dewa ini muncul sebuah syair terdiri dari tiga bait :

Angkat kepala, busungkan dada
acungkan tinju pekikkan kata
tuntut sesuatu demi sesama
itulah pahlawan harapan kita!

Air beriak di tengah telaga
berguncang lembut membuai sukma
jebak menjebak membodohi kita
pudarlah pahlawan harapan jaya!

Adil tak adil permainan belaka
jujur seiring itulah surga
terpeleset jua si manusia loba
rusaklah sudah hancur semua!


"Nah, kalian mengerti?" kakek itu tertawa.

"Tidak..." Swan Cong menggeleng. "Pinto tak mengerti akan apa yang kau tulis, Sian-su. Maksud pinto, ini sukar dan tak tertangkap inti sarinya."

"Sudah kubilang kalian tak mengerti karena belum terjadi, totiang. Kenapa bersikeras memaksa diri? Inti syair ini bicara tentang keadilan. Lebih baik kalian pulang dan ingat saja baik-baik. Kalian pun suatu ketika akan mengalami dan mengerti hal itu."

"Hm!" Bi Kong Hwesio berkedip-kedip. "Apakah Sian-su hendak maksudkan bahwa kejadian itu akan terjadi dan berhubungan dengan Cermin Naga?"

"Ya,"

"Padahal Cermin Naga ada dua, lalu cermin yang manakah yang ada kaitannya?"

"Dua-duanya berkait, Bi Kong lo-suhu. Dan dua-duanya berhubungan satu dengan lainnya!"

“Manakah yang lebih penting?"

"Tak ada yang lebih penting, dua-duanya sama penting!"

"Hm, kalau begitu coba sebutkan keadilan apa yang hendak kau maksudkan di sini. Bersifat perorangan ataukah umum, hanya perlu untuk satu dua orang ataukah semuanya!"

"Ha-ha, bersifat umum, lo-suhu. Untuk semuanya!"

“Begitukah?"

"Ya!"

"Dan kami semua akan membuktikan?"

"Ya, kalian semua akan membuktikan, lo-suhu. Dan lihat apa yang terjadi!" Bu-beng Sian-su tiba tiba menoleh pada Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas. “Kim-mou-eng, kau akan menjadi saksi pertama untuk cermin yang melayang di utara. Dan kau, nona..." dia menuding Swat Lian. "Kau saksi pertama untuk cermin yang melayang di selatan. Nah, kalian semua sudah mendengar. Kukira cukup dan marilah kita kerjakan pekerjaan masing-masing....wusstt" dan Bu-beng Sian-su yang tidak tampak bergerak tapi menghilang dari situ mendadak sudah lenyap dan keluar melalui celah dinding dimana pertama tadi dia masuk, menghilang dan tak diketahui ke mana perginya dan Kim-mou eng berteriak.

Pendekar ini terkejut melihat gurunya pergi, begitu tiba-tiba. Dan ketika ia melompat bangun dan memburu ke luar ternyata gurunya yang maha sakti itu sudah tak ada dan entah ke mana. "Suhu, bagaimana dengan urusan teecu? Bagaimana dengan putera teecu?"

Tak ada jawaban. Bu-beng Sian-su lenyap cepat dan seperti iblis, semuanya terjadi begitu tidak diduga. Dan ketika Bi Kong Hwesio dan lain-lain melompat keluar dan berada di belakang pendekar ini maka hwesio ketua Siu-lim itu merangkapkan kedua lengannya.

"Omitohud, kepandaian Sian-su benar-benar mentakjubkan. Sungguh bagaikan dewa!"

"Ya, dan pinto juga kagum, lo-suhu. Semoga pertemuan hari ini membawa manfaat. Siancai...!" Yang Te Cinjin, ketua Hongsan juga berseru.

Mereka semua seperti kehilangan sesuatu dan mimpi. Kakek maha sakti itu datang dan pergi tak dapat mereka ikuti, padahal mereka rata-rata adalah ketua partai persilatan terkenal. Dan ketika hari itu semua orang menyatakan kagum dan syair di dalam guha diingat-ingat akhirnya Bi Kong Hwesio dan lain-lain pamit, meninggalkan tempat itu dan tinggallah Kim-mou-eng bersama Swat Lian. Dua orang itu saling pandang dan Swat Lian menunduk, tatapan tajam dari Pendekar Rambut Emas membuat gadis itu berdebar. Tapi ketika Kim-mou-eng memegang lengannya dan Swat Lian menengadah maka gadis ini gemetar mendengar kata kata lembut,

"Lian-moi, kukira kita masing-masing tak dapat lama berkumpul. Aku akan mencari anakku, sedang kau tentu mencari suhengmu. Begitu, bukan?"

"Ya,"

"Dan maaf, aku tak dapat memenuhi keinginan ayahmu, Lian-moi. Sampaikan saja penyesalan ku dan biar lain kali kucoba ilmu pedangmu. Tampaknya kau memiliki kemajuan pesat, daya tahan dan sinkangmu sudah setingkat dengan yang ku punyai!"

"Dari mana kau tahu?"

"Kejadian di dalam guha tadi, Lian-moi, Bukankah kau dapat bertahan sementara yang lain hampir roboh? Hm, kau hebat. Kepandaianmu sekarang agaknya sudah melebihi mendiang kakakmu dulu."

"Kim-twako," Swat Lian terisak. "Jangan sebut-sebut lagi mendiang kakakku. Aku menyesal atas kematiannya. Sudahlah, kau pergi dan biar sementara kutunda keinginanku untuk melaksanakan pesan ayah."

"Terima kasih, dan kita masing-masing dinyatakan sebagai orang yang akan menjadi saksi utama dari kebenaran Cermin Naga, Lian-moi. Aku tak tahu maksud suhuku tapi akan jelas agaknya kita di kemudian hari."

"Ya, dan kau hati-hatilah, twako. Kudoakan puteramu selamat dan kau dapat bertemu lagi." Swat Lian tiba-tiba meremas lengan pendekar itu. Dengan mata terpejam dan air mata menitik gadis itu menggumamkan sesuatu, tiba-tiba menekan dan meloncat pergi. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terkejut tahu-tahu gadis itu telah lenyap dan meluncur di bawah Bukit Malaikat.

"Kim-twako, aku akan selalu menunggumu!”

Kim-mou-eng tergetar. Kata-kata itu mempunyai dua arti, mengandung dua makna. Menunggu untuk bertanding ataukah menunggu untuk menumpahkan rindu dan kecewa. Kim-mou-eng tersentak karena betapapun ia tahu apa yang terjadi di hati gadis itu. Swat Lian mencintainya, jauh sebelum ia menikah dengan sumoinya, yang sudah tewas. Dan ketika hari itu Swat Lian meninggalkannya dan Kim-mou-eng berdiri mendelong tiba-tiba pendekar itu pun menggerakkan kaki dan sadar. Sadar bahwa ia harus mencari anaknya, Dailiong.

Puteranya itu belum diketahui di mana sementara nenek Dewi Naga tak nampak bersama putranya itu. Keparat, dua nenek iblis itu harus dimintai pertanggungjawabannya. Dan karena urusan ini menggelisahkan hatinya dan persoalan Swat Lian tiba-tiba lenyap mendadak Pendekar Rambut Emas turun bukit dan terbang ke utara. Swat Lian ke selatan dan gadis itu pun mencari dua suhengnya. Dan begitu dua orang ini meninggalkan Bukit Malaikat dan sama-sama mengurus urusannya sendiri maka bukit itu pun tenang kembali dan hening seperti biasa.

* * * * * * * *

Ce-bu. Seperti diketahui tempat ini adalah kota dagang yang ramai, juga sekaligus tempat tinggal si jago pedang yang lihai, Hu Beng Kui atau Hu-taihiap. Dan karena jago pedang ini pernah membuat geger dengan menyimpan Sam Kong Kiam atau Pedang Tiga Dimensi maka Cebu menjadi terkenal dan semakin teringat oleh sepak terjang jago pedang itu. Hu Beng Kui sendiri beberapa waktu ini hidup tenang. Artinya, dia tak mencari permusuhan atau pun dimusuhi.

Jago pedang ini sudah berusia lima puluh tiga tahun, usia yang cukup matang bagi seorang laki-laki, hidup menduda dan sudah lama kematian isterinya. Berdua bersama putera-puterinya, Beng An dan Swat Lian jago pedang ini sebenarnya cukup bahagia. Tapi sayang, nafsu tamaknya akan pedang keramat membuat pendekar ini menerima akibat. Beng An, puteranya, tewas. Dan karena tinggal Swat Lian seorang yang menjadi puterinya dan jago pedang ini kian tua maka kesadaran dan pengalaman batinnya meningkat.

Hari itu jago pedang ini duduk bersila. Lengannya yang buntung, sebelah kiri, disembunyikan dalam lengan baju yang panjang. Hanya kalau dia bergerak dan berjalan tampaklah kebuntungan pendekar itu. Tapi karena da tetap seorang jago pedang lihai di mana seluruh kemahirannya bermain pedang sudah mendarah daging maka meskipun cacad pendekar ini adalah seorang laki-laki yang tetap disegani.

Sebagai jawara atau pendekar besar Hu-taihiap adalah laki-laki penuh wibawa. Kharismanya mantap, gerak-geriknya tenang dan apa pun yang digerakkan selalu mengandung tenaga. Begitulah si jago pedang ini. Dan ketika pagi itu dia duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi mendadak pintu jendelanya pecah dihantam sesuatu.

"Prangg...!"

Hu Beng Kui langsung membuka mata. Sebagai pendekar langsung dia bereaksi, tubuh mencelat dan tangan pun siap menghantam. Dia terkejut karena menyangka diserang musuh, hal yang mengagetkan karena telinganya tak mendengar apa-apa. Meskipun dalam keadaan samadhi tapi telinga dan seluruh syaraf jago pedang itu hidup, sekali mendengar suara tentu bangkit dan waspada. Maka begitu mendengar sesuatu yang mengejutkan tanpa tanda tanda lebih dulu maka pendekar ini sudah mencelat dan mata pun mencorong siap melepas pukulan maut. Tapi, apa yang dilihat?

Jago pedang ini tertegun. Di depannya, tanpa disangka-sangka terdapat sebuah cermin bulat lonjong, menghantam kaca jendela dan kini tak bergerak di depannya. Cermin itu aneh, tak bergerak dan juga tak pecah. Entah dari mana itu. Barangkali dilempar iblis! Hu Beng Kui terbelalak dan tidak segera mengambil. Syaraf di tubuhnya bergetar dan pendengaran pun dipertajam. Tapi ketika tak ada suara apa-apa lagi dan cermin itu diam tanpa hal hal mencurigakan akhirnya pendekar ini berjungkir balik dan menyambar cermin itu.

"Cermin aneh, dari mana kau datang?" Hu Beng Kui sudah mengamat-amati cermin ini, heran dan kagum karena bingkai cermin itu terbuat dari emas. Bukan main. Tentu mahal harganya. Dan ketika ia membalik dan mengamati bagian belakang mendadak matanya yang tajam melihat guratan halus disertai gambar menyeramkan, seperti iblis atau gendruwo!

"Heh, apa ini?"

Hu Beng Kui mengkirik. Dia merasa seram dengan lukisan atau gambar itu, mengamat amati dan akhirnya melihat bagian yang lain, dan heran terkejut karena bagian belakang dari sebelah yang lain kosong dan polos. Bahkan, melihat bekas bekasnya cermin ini seakan belahan atau sebagian dari sebuah cermin yang utuh. Jelasnya, cermin ini merupakan bagian atau tengahan sebuah Cermin lengkap. Cermin yang ada di tangannya itu bekas "disobek" atau dibelah, memanjang dari atas ke bawah, ganjil sekali. Dan ketika Hu Beng Kui mengamati dan tertegun maka guratan huruf huruf halus menjadi perhatian utamanya lagi.

"Pelajaran ilmu silat!"

Hu Beng Kui terpekik, melihat bahwa itulah pelajaran ilmu silat tinggi yang terdiri dari tiga jurus saja, terdiri dari pokok-pokok dasar melatih napas atau sinkang dan pukulan serta daya bertahan. Jadi, masing masing sebuah pelajaran ini telah mencakup semua dasar yang harus dimiliki seorang ahli. Tenaga atau sinkang dan teknik menyerang serta cara bertahan, itu saja, tidak lebih. Dan karena sekali lihat jago pedang ini tahu bahwa tiga pelajaran itu merupakan inti dari semua gerakan atau serangan maka dengan tertarik dan bernafsu jago pedang ini meneliti dan mempelajari!

Aneh sekali. Orang bakal terheran-heran bahwa Hu Beng Kui seorang ahli silat dan jago pedang ternama ternyata masih "berguru" pada sebuah pelajaran silat lain. Begitu antusias dan gembira serta bersemangat. Tapi kalau orang tahu bahwa di sudut bawah cermin itu terdapat sebuah nama di mana nama inilah yang membuat si jago pedang bangkit nafsunya maka orang tak akan merasa aneh lagi. Nama siapa gerangan? Bukan lain Bu-beng Sian-su!

Ya, itulah yang membuat si jago pedang berseri-seri. Hu Beng Kui melihat bahwa inilah sebuah pelajaran tingkat tinggi, bukan pelajaran sembarang pelajaran melainkan inti dari ilmu silat yang diturunkan kakek dewa itu melalui guratan huruf-huruf halus di cermin itu, singkat saja namun sebagai orang yang berpengalaman banyak, jago pedang ini dapat menangkap. Dia sudah penuh dengan segala teori dan macam ragam ilmu silat, tentu saja mudah mengerti dan memamah tiga pelajaran singkat di cermin itu. Dan karena Hu Beng Kui adalah "murid" yang sudah matang, dan sedikit saja diberi tahu dia sudah akan paham segala-galanya maka tak lama kemudian jago pedang ini tertawa bergelak dan mengerti semua pelajaran di cermin itu.

"Ha-ha, terima kasih, Sian-su. Kau agaknya, sengaja memberikan ini kepadaku!" Hu Beng Kui gembira, tak malu malu menganggap kakek itu sebagai gurunya karena dia tahu betul bahwa Bu-beng Sian-su adalah kakek dewa yang maha sakti. Dia sendiri tak pernah menang menghadapi kakek itu, dia seperti semut melawan gajah. Dan ketika pagi itu dengan gembira namun hati-hati jago pedang ini mulai "menguras" ilmu silat di cermin itu maka dengan lahap tapi tidak tergesa-gesa Hu Beng Kui mempelajari tiga macam ilmu silat itu. Cepat melatih sinkang sebagai pelajaran pertama untuk menumbuhkan tenaga super, aneh dan ajaib dia merasa kekuatannya bertambah sepuluh kali lipat.

Sekejap kemudian Hu Beng Kui dapat melakukan apa-apa yang dulu tak dapat ia lakukan, tubuhnya menjadi ringan dan kini ia dapat bersila seperti Bu-beng Sian-su, tak menyentuhkan kakinya alias mengambang. Bukan main! Dan Ketika kemudian ia mempelajari ilmu silat kedua di mana mencakup pukulan pukulan dahsyat yang akan semakin dahsyat didorong tenaga sinkangnya yang kian menghebat maka Hu Beng Kui mirip seekor naga atau harimau yang tumbuh sayap.

Jago pedang ini dapat memukul roboh sebuah bukit, mampu menghilang dengan kecepatan sepuluh kali lipat dibanding dulu dan pekerjaan lain yang dulu tak dapat dilakukannya. Dan ketika dia mempelajari pelajaran ketiga yang menjelaskan tentang cara bertahan dan melindungi diri di mana dia akan mampu "memecah" dirinya menjadi beberapa Hu Beng Kui seperti yang dikehendaki maka jago pedang ini terbahak bahak dan mendapat kenyataan bahwa dia sekarang, sudah tidak seperti dia beberapa hari yang lalu.

"Ha ha, sekarang aku akan dengan mudah dapat mengalahkan Kim-mou-eng, anak-anak, kalau kalian gagal aku yang akan merobohkannya!" Hu Beng Kui teringat puteri dan murid-muridnya, tertawa dan girang bukan main karena dia benar benar merasa semakin lihai. Begitu lihai hingga apapun rasanya sanggup dia lakukan. Dan ketika sebulan kemudian jago pedang ini memahami semua pelajaran dan hari itu berseri-seri menunggu puterinya mendadak bayangan puterinya berkelebat, sendiri.

“Ayah, Kam-suheng dan Beng-suheng diculik. Celaka...!"

Hu Beng Kui terkejut. "Apa yang terjadi?"

"Peristiwa hebat, yah. Kejadian luar biasa dipuncak Bukit Malaikat!" dan Swat Lian yang terengah menceritakan semuanya itu lalu menutup dengan muka gelisah. "Aku telah mencari Kam-suheng dan Beng-suheng di mana mana, tetapi gagal. Nenek Dewi Api dan Hek-bong Siauwjin tak ada!"

"Nenek Dewi Api? Hek-bong Siauwjin?"

"Ya, mereka, yah. Orang-orang luar biasa yang konon sudah duaratus tahun umurnya. Kam-suheng dan Beng-suheng diculik orang-orang ini. Kau harus mencari dan keluar!"

"Hm, hmm... dan bagaimana dengan Kim-mou-eng? Kau sudah mencari Pendekar Rambut Emas ini?" jago pedang itu teringat, bertanya.

"Sudah, tapi....."

"Kau menang?" sang ayah menukas, memotong tak sabar. "Kau dapat kalahkan Pendekar Rambut Emas itu? Bagaimana dia?"

"Tidak," Swat Lian terbelalak. "Pendekar Rambut Emas tak dapat bertanding denganku, yah. Kejadian luar biasa di puncak Bukit Malaikat itu mengacaukan segala-galanya. Bu-beng Sian-su muncul, enam iblis mengeroyoknya dan hujan api serta kilat merusak semuanya di sana. Kim-mou-eng bersamaku tapi kami tak bertanding!”

Hu Beng Kui tertegun. Puterinya kembali menceritakan kedahsyatan kejadian di puncak Bukit Malaikat, bahwa hujan dan petir menyambar nyambar. Orang terpelanting tak keruan dan puncak pun akhirnya gelap gulita. Dan ketika Swat Lin bergidik menceritakan itu dan memberi tahu bahwa nenek Dewi Api dan lain lain akhirnya kabur meninggalkan Bu-beng Sian-su maka gadis itu menyinggung-nyinggung tentang Cermin Naga.

“Dunia persilatan geger, semua orang mencari-cari Cermin Naga yang terlempar dari Bukit Malaikat. Apakah ayah tak mendengar?"

"Hm, aku selama ini tak keluar rumah, Lian-ji. Aku menunggu dan tak tahu apa apa."

"Kalau begitu ayah terlambat. Sekarang ayah harus mencari Kam-suheng dan Beng-suheng!"

Jago pedang itu mengerutkan kening.

"Dan juga Cermin Naga, yah. Katanya cermin itu berisi warisan Sian-su akan kesaktian tinggi. Kita keluar mencari cermin itu sekalian Kam-suheng dan Beng-suheng!"

"Hm, bagaimanakah bentuk cermin itu? Adakah yang tahu ujudnya?" Hu Beng Kui teringat penemuannya.

"Tidak, benda itu hanya melayang layang di puncak Bukit Malaikat, yah. Setelah itu lenyap dan entah ke mana! Tak ada yang tahu? Kami hanya mengetahui bahwa sepasang cermin itu berpencar, satu ke utara sedang yang lain ke selatan!"

Hu Beng Kui terkejut. Seketika dia sadar bahwa cermin temuannya itu adalah cermin yang terlempar dari puncak Bukit Malaikat. Bukan main melalui jarak ribuan li cermin itu jatuh di kamarnya, kini dia berdebar karena puterinya memberi tahu bahwa tiga di antara enam iblis mengejar cermin ke selatan, yang tiga lainnya mengejar lagi cermin yang ke utara, entah dimana cermin itu jatuh. Mungkin juga akan ditemukan seseorang seperti dirinya menemukan benda itu. Hu Beng Kui tiba-tiba tergetar, jangan jangan cermin yang satunya itu menyimpan rahasia ilmu silat lain. Mungkin tandingan bagi cermin yang ada di tangannya! Dan ketika pendekar itu tersentak dengan muka berobah maka puterinya menyambar lengannya, mendesak.

"Mari kita berangkat, yah. Kita cari Kam. suheng dan Beng suheng, juga Cermin Naga. Kakek itu betul betul hebat dan sakti!"

"Hm nanti dulu," Hu Beng Kui menahan. "Kita cari di mana mereka itu, Lian-ji? Dan apakah suhengmu masih selamat? Ingat, kau sendiri bilang nenek Dewi Api dan Hek bong Siauwim itu adalah tokoh-tokoh luar biasa, Lian-ji. Dan Seingatku mereka memang merupakan orang-orang berbahaya. Mereka sudah hidup pada duaratus tahun yang lalu, sungguh mengherankan kalau belum mati dan kini keluyuran!"

Swal Lian tertegun. "Lalu apakah kita harus diam saja?"

"Tidak, tentu saja tidak. Tapi kita tentukan dulu arahnya dan baru kita pergi. Tahukah kau ke mana kira-kira suhengmu dibawa?"

"Aku sudah menyelidiki dan berputaran kemana-mana, yah. Tapi gagal dan tak berhasil!"

"Kalau begitu tunggu saja semalam. Aku hendak bersamadhi dan mencari jejak mereka lewat getaran tenaga batin!"

Swt Lian melengak. "Ayah dapat melakukan itu?"

Ayahnya tertawa. "Kubilang kita mencoba, anak bodoh. Kenapa menganggap pasti dan yakin? Aku hanya ingin tahu, tak lebih tak kurang. Lagi pula, bukankah kau baru saja tiba? Hm, kau istirahat dulu, Swat Lian. Besok kita berangkat dan aku ikut!"

Malam itu Hu Beng Kui bersamadi. Dia telah memiliki tenaga sakti sekaligus juga tenaga batin dengan latihan samadhi menurut petunjuk Cermin Naga. Kini hal itu dapat diuji dan ia akan mencoba. Apapun rasanya mampu ia lakukan. Dan ketika malam itu jago pedang ini bersila dan puterinya ada di belakang mendadak tengah malam ketika bunyi kentongan dipukul satu kali pendekar ini merasa kesiur angin dingin yang berhembus menuju rumahnya, melihat dengan mata batin bahwa sepasang nenek renta datang menghampirinya, disusul percakapan.

"Di sinikah sinarnya kau lihat?"

"Ya, di sini, enci. Di kota ini!"

"Lalu di mana?"

"Kita cari, enci. Agaknya di rumah itu!"

Hu Beng Kui bergetar. Dari jauh ia merasa bayangan dua nenek berkelebat, menuju rumahnya. Bagai iblis saja di atas genteng sudah terdengar kesiur angin itu, halus dan enteng. Kalau bukan dia tak mungkin mendengar tapak kaki di atas itu, puterinya di belakang tenang-tenang saja, ini menunjukkan bahwa Swat Lian tak tahu, kalau tahu tentu datang ke kamarnya, memberi tanda. Dan ketika percakapan itu berhenti dan Hu Beng Kui mendengar langkah kaki ringan melayang turun maka pendekar ini melihat rumahnya dimasuki dua nenek itu seperti layaknya pencuri.

“Hati-hati, kita tangkap jejaknya!"

Jago pedang ini waspada. Sekarang dia malah terbawa getaran lain, dari jauh ia melihat dua nenek itu memasuki ruang depan, berkelebat dari akhirnya menuju ke ruang-ruang lain. Kian dekat getarannya kian hebat, pendekar ini sampai menggigil. Dan ketika dua nenek itu tiba di dekat pintu kamarnya dan dengan cara luar biasa membuka pintu dan masuk maka Hu Beng Kui meniup padam lilin di atas meja.

"Ada orang...!"

Dua nenek itu rupanya terkejut. Mereka melihat kamar yang sekonyong-konyong gulita, Hu Beng Kui ada di situ tak bergerak. Sekarang pendekar ini membuka mata dan menajamkan pandangan, dia tak tahu bahwa sorot matanya mengeluarkan cahaya berkilauan bagai mata seekor naga, dua nenek itu terkejut. Dan karena sorot ini demikian jelas sementara Hu Beng Kui sendiri tak menyadari mendadak dua nenek di depan berseru tertahan dan melempar dua buah jarum ke sorot cahaya yang bukan lain sepasang mata dari si jago pedang ini.

“Iihh....!" Seruan itu balik mengejutkan Hu Beng Kui. Pendekar ini kaget melihat dua sinar hitam meluncur menuju matanya, begitu cepat dan tepat. Terkejutlah pendekar ini karena menyangka tempatnya diketahui. Dia tak mengenal nenek itu tapi dapat merasa bahwa ini adalah dua nenek berbahaya yang luar biasa. Kedatangan mereka yang begitu ringan dan seolah iblis cukup menyadarkan Hu Beng Kui akan datangnya musuh berbahaya. Maka begitu dua sinar hitam itu menyambar matanya dan pendekar ini harus bergerak tiba-tiba Hu Beng Kui membuka mulutnya dan menerima dua batang jarum itu.

"Uph!" Dua jarum lenyap. Hu Beng Kui tidak menelannya, memutar dengan lidah dan tiba-tiba dia meniup. Dan begitu mulut dibuka dan jarum dihembuskan maka dua batang jarum itu meluncur ke asalnya dan menyambar dua nenek di depan.

"Jahanam...!"

“Keparat...!"

Dua nenek itu membentak. Mereka mengelak dan menangkis, tangan bergerak dan jarum pun runtuh ke bawah. Dan ketika nenek di sebelah melepas pukulan panas dan lilin yang padam hidup kembali maka kamar menjadi terang-benderang dan Hu Beng Kui terlihat sementara dua nenek itu juga tampak!

"Betul, ada penghuninya...!" nenek yang menyalakan lilin berkelebat, tadi pukulan panasnya memercikkan api dan lilin pun hidup, kini menyambar Hu Beng Kui dan cepat serta luar biasa ia menghantam si jago pedang itu.

Hu Beng, Kui terkejut tapi tak mengelak, pendekar ini sekarang tahu siapa lawannya, betul-betul dua nenek tua dan tiba-tiba saja tertawa. Dan ketika pukulan menyambar tiba dan ia menangkis maka kamar itu tergetar sementara lukisan dan beberapa benda di dinding lepas terbanting.

“Dukk!"

Semuanya berseru tertahan. Nenek yang melepas pukulan terjangkang, ia terlempar bergulingan sementara Hu Beng Kui hanya terhuyung dan tergetar saja, terdorong dua tindak. Dan ketika nenek itu berseru keras dan temannya melengking, tinggi tiba-tiba Hu Beng Kui disambar pukulan lain dari arah kiri.

"Dess!" Nenek terakhir ini menjerit. la terpental tapi Hu Beng Kui juga mencelat, jago pedang itu berseru keras dan akhirnya berjungkir balik, keluar dari kamarnya. Dan ketika ia melayang turun dan hinggap di luar jendela maka Swat Lian, yang mendengar lengkingan dan ribut-ribut itu berkelebat keluar, melihat ayahnya di situ dan dua nenek berambut riap-riapan yang dikenal.

"Sepasang Dewi Naga...!"

Nenek itu, yang menggeram dan sudah melayang melalui jendela tampak tertegun. Dia sudah berdiri berhadapan dengan pendekar Pedang ini, tak mengenal dan terkejut mendengar Swat Lian menyebut nama mereka. Itulah di luar dugaan. Tapi Hu Beng Kui yang tersenyum dan tertawa lebar tiba-tiba menggoyang lengan bajunya yang buntung.

"Ha-ha, inikah mereka, Swat Lian? Mereka Ini Dewi Naga yang kau ceritakan kemarin? Bagus. Selamat datang, ji-wi locianpwe. Aku Hu Beng Kui atau Hu-taihiap!"

“Hmm," nenek di depan mendesis. "Kau Hu Beng Kui?"

"Ya, aku Hu Beng Kui, locianpwe. Kabarnya kalian melarikan diri dari Bukit Malaikat dan keluyuran hingga ke Ce-bu. Ha-ha, apa yang kalian cari? Mau apa tiba-tiba datang ke rumahku seperti pencuri?"

"Képarat!" nenek ini melengking. "Kami telah mendengar namamu, orang she Hu. Tapi jangan kau sombong dihadapan kami. Mampuslah!" nenek itu berkelebat, kembali menyerang dan ia rupanya penasaran oleh adu tenaga tadi. Hu Beng Kui ini adalah orang ingusan baginya, mereka tokoh tua dan hanya Bu-beng Sian-su saja yang dapat mengalahkan mereka. Maka kaget dan marah bahwa Hu Beng Kui dapat menangkis pukulan mereka dan tadi mereka berdua mencelat bergulingan maka nenek ini sudah menyerang dan pukulan tangan kirinya berkelebat mengeluarkan sinar api.

"Awas, ayah...!" Swat Lian berteriak, tahu kehebatan nenek ini dan sudah memperingatkan ayahnya. Dia mau bergerak tapi sang ayah tertawa, mendorongnya.

Dan ketika jago pedang itu merunduk dan sebelah tangannya yang kosong menyambut pukulan nenek itu tiba-tiba suara mengegelegar mengguncang tempat itu dan lengan baju Hu Beng Kui meledak menerima pukulan nenek ini, begitu dahsyat.

"Blarr...!"

Tembok dan bumi bergetar. Nenek itu, Bi Lin, terpelanting menjerit kaget. Swat Lian sendiri terjungkal dan terpekik. Gadis ini tak menetahui kesaktian ayahnya. Dan ketika gadis itu bergulingan melompat bangun dan nenek yang lain berseru tertahan maka Bi Lin, nenek kedua sudah berjungkir balik dan terbelalak memandang Hu Bing Kui.

"Dia memiliki sinkang aneh, jahanam...!"

"Hm!" nenek pertama berkelebat marah. "Kau mau pamer kepandaian di sini, Hu Beng Kui? Kau berani melawan kami yang pernah hidup sebelum kau lahir?"

"Ha-ha!" Hu Beng Kui girang, melihat sinkangnya betul-betul luar biasa. "Ini rumahku dan kalian tamu tak diundang, nenek siluman. Kenapa memaki aku dan menganggap aku pamer? Bukankah kalian yang sombong dan sewenang-wenang? Hm, aku orang she Hu tak takut siapa pun, orang tua. Kalau kalian ingin dihormat yang muda, sebaiknya pergi dan jangan cari penyakit. Aku berani menghadapi kalian, meskipun dikeroyok dua!"

"Ayah...!" Swat Lian terkejut, pucat. "kenapa kau menantang? Mereka ini hebat, yah. Kim-mou-eng sendiri tak mampu menang dan Celaka!"

"Ha-ha, Kim-mou-eng memang bodoh, Swat Lian. Aku bukan seperti Kim-mou-eng. Kalau dua orang tua ini ingin main-main tentu saja aku tak takut. Hu Beng Kui pantang disuruh mundur!"

"Wutt..." nenek pertama tiba-tiba berkelebat, lenyap menghantam jago pedang itu. "Kau bicara besar, orang she Hu. Kalau begitu coba ini dan hati-hati...!" Bi Kim, nenek pertama gusar. Ia melihat adiknya kalah menghadapi jago pedang itu, sinkang si jago pedang demikian hebat hingga adiknya terkejut. Jangankan adiknya, dia sendiri pun terkejut dan marah. Maka ketika pendekar itu mengejek dirinya dan Bi Kim tak dapat menahan gusar maka nenek ini sudah berkelebat dan menghantam.

Serangannya tak terlihat, tahu-tahu lengan sudah terjulur dan menuju dada Si jago pedang itu. Kim-mou-eng kalah cepat kalau mengelak, tak aneh kalau Swat Lian memperingatkan ayahnya dengan jeritan tadi. Tapi Hu Beng Kui yang telah mempelajari warisan Cermin Naga dan mampu bergerak lebih cepat tiba-tiba menggerakkan tangannya dan lengan yang tidak buntung itu menangkis.

"Plakk!" Untuk kedua kali nenek ini tersentak. Dari lengan Hu Beng Kui meluncur satu tenaga dahsyat yang menumbuk pukulannya tadi, menerima tapi tiba-tiba melontar, jadi tenaga jago pedang itu seperti karet, membal dan tahu-tahu sudah mendorong balik pukulannya sendiri. Dan ketika nenek ini menjerit dan terlempar berjungkir balik maka nenek itu teringat pukulan Bu-beng Sian-su yang mirip seperti itu.

“Iblis orang she Hu ini memiliki Khi-bal-sin kang (Tenaga Sakti Karet Bola)...!"

Bi Lin, nenek kedua juga terkesiap. Dia sudah merasa dan mau meneriakkan itu, ragu-ragu tapi sang enci kini memekikkan Khi-bal-sin-kang. Benar, jago pedang itu memang memiliki tenaga sakti mirip karet bola. Kemanapun karet itu dipukul maka ke situ pula tenaga si pemukul membalik.

Hu Beng Kui sendiri tak tahu apa nama sinkang yang diwarisinya dari Cermin Naga itu, tak ada sebutan atau penjelasan di sana. Tapi ketika dua nenek itu tersentak dan mereka berteriak kaget tiba-tiba pendekar ini tertawa bergelak berseru nyaring,

"Ha ha, kalian tahu pukulanku, nenek siluman. Bagus dan mari coba-coba. Awas, sekarang aku menyerang... wutt!" dan tubuh si jago pedang yang lenyap bergerak ke depan tiba-tiba sudah merupakan bayangan kilat yang meluncur begitu cepat, hanya tampak tubuh berkelebat dan lengan baju buntung Hu Beng Kui dipakai mengebut. Jangan dianggap enteng kebutan ini, Hu Beng Kui mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya. Dan ketika nenek di depan terkejut dan mengelak tapi kalah cepat maka pundak Bi Kim, nenek pertama itu menerima hajaran.

"Dess!" nenek ini terpekik. Tadi dia menyerang tapi Hu Beng Kui dapat menangkis, kini Hu Beng Kui menyerang tapi dia tak dapat menangkis. Jangankan menangkis, mengelak saja sudah tak ada waktu. Dan ketika Hu Beng Kui tertawa bergelak dan jago pedang itu bergerak dan sudah mencelat-celat bagai bola maka Bi Kim sang nenek pertama jatuh bangun dihajar pukulan Khi-bal-sin-kang.

"Des-des-dess!"

Swat Lian dan nenek Bi Lin terbelalak. Mereka berdua melihat betapa luar biasa cepatnya pukulan-pukulan Hu Beng Kui ini. Lawan tak dapat mengelak dan menerima pukulan bertubi-tubi. Nenek Bi Kim jatuh bangun dan kaget berulang-ulang. Dan ketika dia dihajar dan tunggang langgang menerima serangan serangan itu mendadak nenek ini melengking tinggi menghantam dengan satu pukulan dahsyatnya, Mo-seng-ciang (Pukulan Bintang Iblis).

“Blarr!" Kali ini Hu Beng Kui tertahan. Jago pedang itu tergetar dan terdorong, nenek Bi Kim berteriak dan berjungkir balik, tidak di serang lagi namun pucat bertemu Khi bal sin-kang yang dimiliki jago pedang itu. Betapapun ia masih tertolak dan kalah! Dan ketika nenek itu melayang turun dan kaget oleh semuanya ini mendadak ia mengeluarkan senjata aneh sendok dan garpu!

“Hu-taihiap kau betul-betul hebat. Tapi aku akan membunuhmu!"

Hu-taihiap tertegun. Dia melihat nenek Bi Kim bersiap-siap, dua senjata aneh di tangannya itu bergetar serta berkeredep. Nenek Bi Lin tiba-tiba berkelebat dan berdiri di samping kakaknya ini. Dan ketika Bi Lin juga terkejut dan marah oleh kehebatan jago pedang ini maka nenek itu pun mengeluarkan senjata yang sama seperti yang dimiliki encinya, sendok dan garpu, dua alat makan yang tentu saja berukuran besar, tiga atau empat kali lipat dari pada biasanya!

"Benar, dan kami akan membuntungi lengan satumu lagi, Hu taihiap. Lalu membuang mayatmu dan melemparnya ke hutan!"

"Ha ha," Hu Beng Kui masih tak gentar, tertawa bergelak. "Kalian boleh bunuh aku kalau bisa, nenek siluman. Dan kalau kalian mencabut senjata barangkali kita pun boleh main-main dengan pedang....singg!" tak tahu kapan dicabutnya benda itu tahu-tahu sebatang pedang telah berkilauan di tangan jago pedang ini.

Hu Beng Kui berdiri gagah sementara lengan baju yang kosong melambai ditiup angin, bergerak mengharukan namun dua nenek itu mendelik karena dari benda yang "mengharukan" ini mereka nyaris roboh, telah dibuat tunggang-langgang karena lengan baju yang kosong itu siap sewaktu-waktu diisi Khi-bal sin-kang, ilmu sakti aneh yang entah didapat dari mana oleh pendekar itu. Mereka tertegun tapi juga terperanjat. Dan ketika dua pihak sudah saling bersiap dan pedang di tangan Hu Beng Kui bergetar di tangan kanan maka Swat Lian yang terheran-heran namun masih mengkhawatirkan ayahnya mendadak meloncat maju, mencabut pedang.

"Ayah, mari kubantu kau. Biar kita mati bersama!"

"Ha-ha, siapa pingin mati? Aku tak akan apa-apa, Lian-ji. Mundur dan lihatlah pertandingan ini. Ayahmu bukan orang yang dapat roboh begitu saja!"

Swat Lian didorong, tak mau tapi tiba-tiba ujung baju ayahnya yang kosong mengebut. Begitu di Kebut tiba-tiba Swat Lian terpelanting, kaget dan terpekiklah gadis itu. Dan ketika Swat Lian terbelalak dan melompat bangun maka ayahnya berkata, tertawa lebar. penuh kegembiraan.

”Anak bodoh, jangan anggap ayahmu seperti kucing yang siap diinjak mampus. Percayalah, aku dapat menghadapi mereka dan biar pertandingan ini sebagai uji coba bagiku!"

Gadis ini tertegun. Sekarang dia melongo melihat kesaktian ayahnya ini. Baru sebulan tak bertemu mendadak tiba-tiba begitu lihai. Sinkang ayahnya benar-benar hebat dan baru kali itu dia dikebut lalu roboh. Dia merasa tenaga luar biasa dahsyat meluncur dari lengan baju ayahnya tadi, Swat Lian mendelong. Dan ketika dia mengusap keringat dan berdebar tapi girang melihat ayahnya mampu menghadapi sepasang nenek sakti akhirnya ayahnya yang sudah berhadapan dengan dua nenek itu berkata,

"Nah, mulailah, orang tua yang terhormat. Mari kita main-main tapi jangan salahkan aku kalau pedang melukai kalian!"

"Sombong!“

"Jahanam!"

Dan dua nenek itu yang berkelebat serta menyerang ke depan tiba-tiba membentak dan melengking marah, sepasang senjata di tangan mereka mencocok dan sendok di tangan kanan mengauk. Hebat dan aneh serangan ini, baru kali itu Hu Beng Kui menghadapi lawan dengan senjata tak lazim. Tapi karena dia sudah bersiap dan membentak serta menggerakkan pedangnya pula maka jago pedang ini merunduk dan menangkis, tentu saja mengerahkan khi-bal-sin-kangnya.

"Cring-trangg!"

Aneh dan luar biasa. Sepasang sendok garpu terpental bertemu pedang di tangan Hu Beng Kui, ujungnya putus dan langsung terbabat. Ini merupakan bukti bahwa tenaga yang dimiliki Hu Beng Kui memang luar biasa, di samping pedang yang tentu saja tajam, meskipun bukan pedang pusaka. Dan ketika dua nenek itu menjerit dan maju menubruk lagi maka Hu Beng Kui menyambut dan pedang serta garpu maupun sendok bertemu lagi, lebih nyaring dan memekakkan telinga, disusul kemudian oleh bentakan dan pekikan nenek itu.

Dua nenek ini gusar. Dan karena pedang dua kali mementalkan senjata mereka dan Hu Beng Kui tertawa menangkis garpu atau sendok mereka maka dua nenek siluman ini melengking dan lenyap dalam satu serangan cepat, ganas dan bertubi-tubi mereka menusuk atau menggaruk Hu Beng kui ini. Si jago pedang melayani dan pedangnya pun berkelebat menghalau dan membalas. Dan ketika dua nenek itu memekik lenyap dan tubuh mereka sudah merupakan bayangan iblis yang tak dapat diikuti mata maka Swat Lian yang berdiri di situ dan menonton dengan tegang tapi juga gembira-tiba-tiba tak dapat mengikuti dan pening, mendadak roboh.

"Ayah, hati-hati. Jaga dirimu baik-baik...!"

"Ha-ha, ayahmu selalu hati hati, Swat Lian. Lihat dan dengarkan apa yang kulakukan... sing-cringgg!”

Swat Lian serasa pekak, benturan-benturan nyaring yang terjadi di antara pedang ayahnya dan nenek iblis itu semakin gencar, suaranya menyakitkan telinga dan gadis ini tak tahan lagi. Dan ketika ayahnya juga berkelebat lenyap dan pertandingan berjalan cepat maka Swat Lian yang sudah termasuk gadis berkepandaian tinggi ini tak! mampu lagi mengikuti jàlannya pertandingan karena kabur dan kepala serasa diajak berputar!

"Aih, bangsat! Jahanam...!"

Begitu Swat Lian mendengar makian dua nenek itu. Sepasang nenek siluman ini merasa gagal, senjata di tangan selalu terpental dan membalik. Khi-bal sin-kang yang dimiliki jago pedang itu semakin ampuh saja setelah memegang senjata, sekuat apa pun mereka mengerahkan tenaga sekuat itu pula serangan mereka membalik dan menuju mereka sendiri. Dan ketika setiap kali pertemuan senjata selalu saja garpu atau sendok di tangan mereka terpapas kutung maka setengah jam kemudian senjata mereka itu tinggal separo.

"Keparat, kau jahanam, orang she Hu. Bangsat!"

"Ha-ha, tak perlu memaki, orang tua. Kerahkan tenaga dan pusatkan konsentrasi kalian pada serangan. Jaga, sebentar lagi aku akan mainkan Giam-lo Kiam-sut ku (Pedang Maut)."

"Ayo, keluarkan. Kami tak takut!"

"Begitukah? Baik, awas... wiirrr...!" dan pedang yang tiba-tiba berobah arahnya dan mengeluarkan suara begitu lirih mendadak pecah menjadi beberapa bagian dan sinarnya menyambar berhamburan ke tubuh dua nenek itu. Hebat dan luar biasa jago pedang ini telah mulai mainkan Giam-lo Kiam-sutnya. Dan begitu dia tertawa dan berkelebat bersama pedang sekonyong-konyong tubuh pendekar ini menjadi satu dengan badan pedang dan terbang serta meluncur menusuk tenggorokan si nenek.

"Cret-augh!"

Pekik dan jerit kesakitan terdengar. Baru sejurus pendekar ini mengeluarkan ilmu pedangnya mendadak dua nenek itu terlempar, leher mereka nyaris tertikam tapi kulit pundak menjadi korban, terbeset dan luka padahal mereka sudah mengerahkan sinkang. Biasanya dengan sinkang mereka mampu menahan bacokan senjata tajam sekuat apapun. Tapi karena jago pedang ini mengisi pedangnya dengan Khi-bal-sin-kang dan sinkang itu amat ditakuti dua nenek ini maka pundak pun tergores dan luka mengeluarkan darah, pedang membalik dan mereka harus melempar tubuh bergulingan kalau tak mau celaka.

Hu Beng Kui sudah menunggang pedangnya dan bersama pedang itu pendekar ini menari-nari di udara. Tampaknya menari-nari, tapi sebenarnya berkelebatan bagai burung terbang. Dan karena pendekar itu memiliki tubuh demikian ringan dan setiap gerakannya swlalu mendahului dua nenek itu maka Toa-ci dan Ji-moi sang nenek iblis berseru tertahan, kaget dan menjauhkan diri tapi lawan selalu mengejar. Jago pedang itu bagai tak menginjak lagi tanah di bawah kakinya, melayang dan beterbangan luar biasa cepatnya. Dan ketika serangan demi serangan selalu mendesak nenek itu dan Bi Lin serta kakaknya kewalahan menjerit jerit akhirnya satu dua tusukan lagi mengenai tubuh mereka.

"Cret-cret!"

Swat Lian terbelalak. Sekarang dia membuka matanya itu, melihat dua nenek iblis sering terhuyung dan lelah, bayangan mulai tak secepat tadi lagi dan ia dapat mengikuti. Dan ketika ia melihat ayahnya dapat merangsek nenek itu dan Bi Kim serta adiknya mengeluh kebingungan mendadak ayahnya berkata bahwa tak lama lagi dua nenek itu akan roboh.

"Keparat, kami masih mempunyai ilmu lain, orang she Hu. Jangan sombong. Lihat...!" Bi Kim menepuk tangannya, ledakan terdengar dan asap hitam tiba-tiba muncul.

Hu Beng Kui terkejut karena lawan kini menghilang, terkekeh di balik asap itu dan lenyaplah nenek ini tak dapat diserang. Bi Lin sang adik juga mengikuti, menepuk tangannya dan meledaklah suara nyaring, asap hitam muncul dan nenek itu pun hilang. Dan ketika Hu Beng Kui kebingungan karena tak tahu harus menyerang yang mana maka Mo-seng-ciang, pukulan ampuh dua nenek iblis menghantamnya, tak terlihat dari balik asap dan pendekar ini terkejut.

Untung Khi-bal-sin-kangnya menahan dan pukulan itu tertolak, secara otomatis tenaga sakti di tubuh pendekar ini mengembalikan pukulan itu dan dua nenek iblis di depan menjerit. Ini juga membingungkan mereka. Dan karena mereka marah dan juga bingung menghadapi Khi-bal-sin-kang maka sendok dan garpu kembali menyerang...