Sepasang Cermin Naga Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 07
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"BRET CRATT...!"

Hu Beng Kui robek bajunya. Dua kali dia tertusuk tapi dua kali itu pula sendok garpu terpental. Sepasang nenek iblis terbelalak karena lagi-lagi Khi-bal-sin-kang melindungi tubuh pendekar itu, bukan main marahnya mereka. Tapi karena Hu Beng Kui juga tak dapat menyerang mereka dan pertandingan berjalan imbang maka Swat Lian yang ada di luar mendengar ayahnya memaki.

"Iblis busuk, kalian mempergunakan ilmu hitam, nenek siluman. Ayo keluarlah dan jangan memakai itu!"

"Hi-hik, kalau kau pandai kau boleh membuyarkan ilmu kami, orang she Hu. Ayo robohkan kami seperti katamu itu?"

"Kalian licik, kalian curang. Mana dapat ku robohkan kalau bersembunyi?"

"Heh heh, itu namanya tak mampu, Hu-taihiap. Lebih baik kau pun tak mempergunakan Khi-bal-sin-kang mu itu dan kami muncul."

"Keparat, kalian pun tak dapat merobohkan aku. Biar kulihat sampai di mana tenaga kalian kalau bertanding sampai pagi!"

Dua nenek di depan terdiam. Mereka tiba-tiba tidak tertawa lagi, serang menyerang masih terjadi namun nenek di dalam gulungan asap hitam mengendorkan serangan. Mereka rupanya terkejut mendengar kata-kata lawannya tadi, ingin melihat tenaga mereka kalau pertandingan berjalan lama. Ini berbahaya, mereka sudah tua, tak mungkin kuat berlama-lama diajak bertanding dengan yang lebih muda. Betapapun Hu Beng Kui menang napas dan daya tahan. Dan karena ancaman itu membuat mereka terkejut sekaligus sadar tiba-tiba dua nenek itu mengendorkan serangan dan satu sama lain melengking lirih, memberi isyarat..

"Ji-moi, jangan kuras tenaga. Hati hati...!"

"Ya, dan kau pun jangan bernafsu, Toa-ci. Biar saja kita isi kesempatan begitu tiba!"

Hu Beng Kui kini menyesal. Dia menggeram tanda mendongkol, Hu Beng Kui dapat diserang tapi tak dapat dilukai sementara nenek iblis di depan tak dapat diserang tapi sekali diserang tentu kaget. Pertandingan macam begini membuat repot, dan bingung, masing-masing pihak merasa menemui jalan buntu. Dan ketika mereka tak mengeluarkan suara lagi dan sama-sama mendongkol mendadak muncul sesosok bayangan pendek yang tiba-tiba berkelebat di situ.

"Heh, kalian kiranya di sini, Bi Kim? Siapa lawan kalian ini?"

"Hek-bong Siauwjin!" Swat Lian tiba-tiba berteriak, terkejut dan ganti mengejutkan bayangan ini. "Eh, mana suhengku, Siauwjin? Mana dia? Keparat, kau iblis busuk... singg!" dan Swat Lian yang meloncat serta menusukkan pedangnya tiba-tiba berkelebat dan menyerang setan cebol ini, dikelit.

Hek-bong Siauwjin tertegun. Tadinya dia tak mengenal gadis itu. Tapi setelah Swat Lian menyerang dan membentaknya tiba-tiba iblis cebol ini teringat dan terkekeh. "Heh-heh, kau anak perempuan di pinggir sungai itu? sumoi dari pemuda itu? Bagus, suhengmu sudah kuantar ke neraka, bocah. Dan kau pun boleh menyusul kalau suka... plak!" si iblis tiba-tiba menangkis, kali ini tidak mengelak ketika Swat Lian menyerang lagi, pedang di tangan gadis itu terpental sementara Hek-bong Siauwjin tak apa-apa, Swat Lian terpelanting. Dan ketika gadis itu terkejut dan meloncat lagi maka di sana Bi Kim berseru nyaring,

"Siauwjin, dia itu anak Hu-taihiap. Lebih baik kau bantu kami dan robohkan pendekar pedang ini!"

"Eh, dia Hu taihiap? Jadi ini orang she Hu yang terkenal permainan pedangnya itu? Ha-ha. bagus. Kalau begitu bekuk dan tangkap dia, Bi Kim. Tak usah ku bantu kalian berdua tentu mampu!"

"Tidak, dia memiliki Khi-bal-sin-kang, Siauwjin. Ayo bantu kami dan jangan hiraukan gadis itu!"

"Khi-bal-sin-kang?" Siauwjin melengak, mengelak serangan-serangan Swat Lian. "Eh, kalian tidak main-main, nenek siluman? Jago pedang ini memiliki Khi-bal-sin-kang?"

"Ya, dan kami tak perlu malu minta bantuanmu, Sauwjin. Ayo ke sini dan tinggalkan gadis itu....cring-trangg!" sendok dan garpu di tangan si nenek putus lagi, mereka menampakkan diri dan Hu Beng Kui berkelebat. Percakapan tadi membuat mereka lengah, jago pedang ini membentak dan pedang pun bergerak. Dan ketika dua nenek itu terkejut dan terpaksa mengerahkan ilmu hitamnya bergulingan lagi maka Siauwjin terkejut terheran heran, menangkis dan tiba-tiba menampar pedang di tangan Swat Lian.

Gadis itu berteriak dan pedangnya pun mencelat. Sungguh menghadapi orang-orang macam Hek-bong Siauwin ini dia macam anak kecil saja, bukan main. Dan ketika Swat Lian mengeluh dan Hek-bong Siauw jin tertarik oleh kepandaian ayahnya tiba-tiba iblis cebol ini meninggalkannya dan lenyap ke depan.

"Baik, coba kucoba dia, Bi Kim. Ingin kutahu apakah benar dia memiliki Khi-bal-sinkang... siuutt!" dan Hek-bong Siauwjin yang memukul serta melontar pukulan jarak jauh tiba-tiba sudah membokong dan menghantam punggung pendekar ini, leluasa geraknya karena dia cebol, Hu Beng Kui membentak dan marah. Tentu saja dia menangkis. Dan ketika dia membalik dan lengan bajunya yang kosong menyambut pukulan Siauwjin tiba-tiba setan cebol itu berteriak keras dan tubuhnya pun terlempar tinggi.

"Heii.... dess!" Hek-bong Siauwjin kaget. Untuk pertama kali dia percaya omongan rekannya, pukulannya membalik dan masih ditambahi lagi dengan khi bal-sin-kang yang dilancarkan Hu Beng Kui. Jago pedang itu mengebut dan ia pun terlempar. Dan ketika Hek-bong Siauwjin terpaksa berjungkir balik mematahkan pukulan lawan dan dua nenek iblis Bi Kim serta Bi Lin tertawa maka iblis cebol ini melayang turun dengan muka pucat.

"Hayaa? betul. Itu Khi-bal-sin-kang!"

"Heh-heh, sekarang kau percaya, Siauwjin? Nah, jangan main-main dan bantu kami. Coba kerubut bertiga dan cabut senjatamu!"

"Tidak, aku masih penasaran, nenek siluman. Biar aku bertangan kosong dulu dan kubuktikan lagi... siuuut!" si iblis menyerang lagi, membokong dan Hu-taihiap membentak. Dua kali Hek-bong Siauwjin selalu membokong dan menyerang curang, dia marah dan menangkis. Dan ketika lengan bajunya kembali mengebut dan iblis itu terpelanting roboh maka Hek-bong Siauwjin terbelalak dan ingat Bu-beng Sian-su.

"Dia seperti Sian-su. Keparat, ini Khi-bal-sin-kang yang dimiliki Sian-su...!"

"Hi hik, tak perlu penasaran, Siauwjin. Jago pedang ini, rupanya memang memiliki hubungan dengan Sian-su. Ayo, serang lagi dan jangan banyak cakap. Cabut senjatamu!"

Terpaksa, karena malu dan marah dua kali dipukul balik oleh Khi-bal-sin kang tiba-tiba Hek bong Siauwjin mencabut senjatanya, sebuah sabit lebar berbadan tipis, berkelebat dan lenyap membentak Hu Beng Kui. Dan ketika jago pedang itu dikeroyok tiga dan menggeram memaki lawannya maka pedang bergerak dan sabit di tangan iblis cebol itu pun ditangkis.

"Cranggg!" Sama seperti Toa-ci atau Ji-moi iblis ini terkejut. Dia berteriak melihat ujung sabitnya putus terbabat, lagi-lagi karena Khi-bal sin-kang. Bukan main marahnya setan cebol ini. Tapi membentak dan menerjang lagi akhirnya dia berkelebat dan menggerakkan sabitnya, tak berani beradu secara langsung dan nenek Bi Kim maupun Bi Lin terkekeh. Mereka geli oleh pelajaran yang didapat rekan mereka itu, Hek-hong Siauwjin hati-hati, mendelik dan memaki-maki mereka. Lalu ketika mereka bertiga bergerak menyerang dan Hu Beng Kui dikepung dari tiga penjuru maka jago pedang ini menggerakkan pedangnya seraya mengibaskan pula lengan bajunya yang kosong.

Ramailah pertandingan itu. Swat Lian terbelalak melihat kehebatan ayahnya ini, semakin terbelalak dan kagum serta terheran heran. Dia baru kali itu mendengar Khi-bal-sin kang, sinkang aneh yang didapat ayahnya entah dari mana. Dan kini melihat ayahnya mampu menghadapi Hek-bong Siauwjin dan dua nenek iblis Bi Kim serta Bi Lin dan ayahnya tak nampak terdesak maka gadis ini girang bukan main dan takjub.

"Yah, bunuh mereka itu. Tangkap dan bekuk Hek-bong Siauwjin, dia menculik Beng suheng!"

Swat Lian mulai berteriak, menyoraki dan memberi semangat pada ayahnya tapi Hek-bog Siauwjin dan Toa-ci serta Ji-moi mendengus. Mereka memang tak dapat mendesak jago pedang ini namun sesungguhnya jago pedang iu pun tak dapat mengalahkan mereka. Aneh pertandingan ini. Hu Beng Kui kebingungan karena dua nenek siluman menyembunyikan diri lagi di balik ilmu hitam, tabir asap yang melindungi mereka itu membuat si jago pedang memaki.

Hek-bong Siawjin terbahak dan mengeluarkn ilmu hitamnya pula, meniup dan asıp hitam pun tiba-tiba membungkus dirinya. Rupanya setan cebol ini tahu bahwa dengan cara itu Hu Bung Kui tak dapat mnyerang. Menirulah dia cara yang dipergunakan rekannya dan lenyaplah pula iblis ini di balik asap hitam. Dan karena mereka tokoh-tokoh tua yang kepandaiannya sudah tinggi dan hanya menghadapi Khi-bal-sin-kang mereka kewalahan dan berhati-hati maka seruan Swat Lian disambut dengus dan ejekan,

"Heh, ayahmu itu tak dapat mengalahkan kami, bocah. Meskipun dia hebat tapi kami pun tak dapat diserang!" nenek Bi Kim mendelik, mendongkol pada gadis itu dan tiba-tiba dia memekik. Adiknya menyambut dan tiba-tiba dua nenek ini menyerang dari muka dan belakang, Hek-bong Siauw jin diminta dari samping dan Swat Lian pun tak dapat mengikuti jalannya pertardingan. Gerakan mereka sudah sedemikian cepat hingga matapun kabur mengikuti jalannya pertandingan. Dan ketika Hu Beng Kui terkejut karena lawan dapat menyerang di balik asap hitamnya maka jago pedang ini mendapat tusukan atau bacokan.

"Plak-Brett!

Khi-bal-sin-kang lagi-lagi melindungi pendekar itu. Hu Beng Ku tak apa-apa, hanya baju dan pakaiannya robek, lawan berteriak marah dan menyerang kembali. Dan karena pendekar ini kebingungan karena lawan tak terlihat tiba-tiba dia didesak dan Hek-bong Siauwjin tertawa.

"Ha-ha, sekarang kau mampus, Hu-taihiap. Sekarang kau terdesak!"

Jago pedang ini menggereng. Terdesak dalam arti sebenarnya sebetulnya tidak, dia hanya kewalahan menghadapi sambaran senjata yang mencuat dari balik ilmu hitam, apalagi ketika matanya dijadikan sasaran. Tiga iblis itu cerdik dia sudah mengincar bagian ini, matanya tak mungkin dilindungi Khi-bal-sin-kang, benda itu memang paling lemah. Hek-bong Siauwjin dan nenek Bi Kim terkekeh-kekeh.

Tapi ketika Iawan mendesak curang dan jago pedang ini teringat ilmu bertahan di Cermin Naga mendadak pendekar ini mengeluarkan seruan panjang dan pedang tiba-tiba dilontar jauh ke udara, meloncat dan tiba-tiba berkelebatan dan lawan pun terseru kaget. Hu Beng Kui tiba-tiba memecah dirinya menjadi tiga, begitu cepat dan luar biasa hingga Bi Kim dan dua temannya terpekik. Itulah ilmu yang lagi lagi mirip dengan yang dipunyai Sian-su, mereka tentu saja tak mengira jago pedang ini telah mendapatkan Cermin Naga.

Dan Ketika Hu Beng Kui semakin menpercepat gerakannya dan bayangannya dari tiga menjadi enam dan dari enam menjadi dua belas akhirnya bayangan pendekar itu menjadi ratusan banyaknya dan Hu Beng kui tampak pecah menjadi seribu!

"Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa)..." nenek Bi Kim menjerit, kaget dan terkesiap karena kini lawan berkelebatan cepat di sekeliling dirinya. Tabir asap hitam menjadi tak berguna dan tampaklah kini bayangan si nenek itu, juga Bi Lin. sang adik, begitu pula Hek-bong Siauwjin. Tiga orang itu merasa ditelanjangi dan mereka tak dapat lagi bersembunyi di balik ilmu hitam sekonyong-konyong Hu Beng Kui tertawa bergelak menggerakkan pedangnya tiga kali, pedang yang sudah ditangkap dan disambar dari udara.

"Ha-ha, sekarang kalian tak dapat lari, nenek siluman, Aku masih lebih lihai dari kalian.... cret-sing-singgg!"

Nenek Bi Kim mengeluh, pundaknya terluka dan ia membanting-banting tubuh bergulingan. Hu Beng Kui ternyata memiliki Jing-sian eng pula, di samping Khi-bal sin-kang. Dan karena pendekar itu sekarang dapat melihat mereka dan ke manapun mereka bersembunyi selalu dikejar pedang maka Hek-bong Siauwjin dan nenek Bi Lin mencelos pula, berteriak dan mendapat satu babatan dan cepat menangkis, lupa bahwa senjata di tangan mereka tak mungkin menang menghadapi tenaga pendekar itu. Benar saja, senjata mereka putus dan pedang masih terus menyambar miring, mereka membanting tubuh bergulingan dan berteriak kaget. Dan ketika mereka melompat bangun dan di sana Bi Kim sang nenek pertama melengking gentar maka nenek ini tiba-tiba berjungkir balik dan lenyap melarikan diri.

"Ji-moi, mundur. Biar setan cebol itu menghadapi sendirian!"

"Aih," Hek-bong Siauwjin terbelalak, kecut. "Kalian meninggalkan kawan, Bi Kim? Ha-ha. Tak usah, nenek busuk. Aku pun juga pergi...siuut!" dan sebuah sinar putih yang menyambar dan tahu-tahu menuju tenggorokan Hu Beng Kui namun dikebut jago pedang itu, runtuh dan ternyata sisa potongan sabit.

Hu Beng Kui tertawa bergelak mau mengejar, sinar putih kembali menyerang dan kali ini pisau pisau kecil yang dilontar lawan. Dari arah lain menyambar pula garpu dan sendok puluhan banyaknya, itulah senjata rahasia milik dua nenek siluman itu. Tapi ketika Hu Beng Kui meruntuhkan semua senjata, dan pedangnya berdenting berkali-kali maka Swat Lian melompat bangun dan terseru keras,

"Ayah, jangan kejar. Aku tak dapat mengikutimu!" dan si jago pedang yang sadar dan cepat menahan langkah akhirnya tertawa dan menyambut puterinya, menyimpan pedang dan matahari pun mulai semburat di langit timur. Kiranya pertandingan telah berjalan cukup lama, tak kurang dari empat jam. Dan ketika Swat Lian menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya maka si jago pêdang sendiri terbahak-bahak,

"Ha ha, sekarang aku tak takut siapa pun. Swat Lian. Ilmu kepandaianku sudah naik sepuluh kali lipat!"

"Ya, dan kau hebat bukan main, ayah. Kau sekarang menjadi orang saktı! Kepandaian dari manakah semuanya itu? Bukankah sebelumnya menghadapi Kim-mou-eng pun kau kalah?"

"Ha ha, ini ku dapat dari, eh....mari masuk, anak baik. Kita ke dalam!" dan si jago pedang yang menghentikan semuanya menarik sang puteri lalu berkelebat dan masuk ke kamar. Di situ membetulkan gambar-gambar yang berserakan di lantai. Kepuasan dan rasa gembira jelas terbayang di wajah pendekar ini. Dan ketika ia duduk sementara puterinya menunggu dan tampak terbelalak maka pendekar ini mengeluarkan cermin yarg di dapatnya itu.

"Inilah asal mulanya, aku belajar dari sini."

"Cermin Naga?" Swat Lian terkejut. "Kau mendapatkannya, yah? Dari mana ini? Eh....!" dan Swat Lian yang bengong mengamat amati benda itu lalu melihat guratan-guratan halus di belakang cermin. Kaget dan girang tapi sekaligus juga khawatir! Dia tak menyangka ayahnya bakal mendapatkan benda itu, padahal benda ini menjadi rebutan orang banyak dan ayahnya tak tahu dan tak ada di Bukit Malaikat. Waktu itu dia hanya bersama suhengnya dan lain lain, terkejut dan tertegun. Dan ketika dia bertanya dari mana dan bagaimana ayahnya itu bisa mendapatkan cermin ini maka ayahnya tertawa berkata mengherankan,

"Aku dapat di rumah ini, di kamar ini. Waktu itu aku bersamadhi dan cermin ini tahu-tahu memecahkan kaca jendelaku dan jatuh di sini."

"Ayah tak bohong?"

"Heh, untuk apa bohong, anak nakal? Kau kira aku bohong?"

"Tapi cerita ayah mirip dongeng, sulit orang percaya!"

"Hm, begitulah kenyataannya!, Lian-ji. Aku sedang bersamadhi dan tahu-tahu cermin itu menabrak jendela dan jatuh di sini. Aku memang tidak ke mana-mana, aku sendiri juga heran."

Swat Lian tertegun. "Dan Bu-beng Sian-su. hm...." gadis ini teringat pesan kakek dewa itu. "Kakek ini luar biasa, ayah. Aku khawatir dengan Cermin Naga ini!"

"Apa yang kau khawatirkan?"

"Aku khawatir kau di cari orang banyak!"

"Musuh maksudmu?"

"Ya."

"Ha ha, aku tak takut, Lian-ji. Biar enam iblis itu pun datang ke mari aku sanggup menghadapi mereka. Aku kini memiliki Khi-bal-sin-kang, juga Jing-sian-eng!"

"Benar, tapi ini berarti permusuhan, ayah. Aku jadi khawatir terulang kejadian seperti dulu, ketika kau memegang Sam-kong-kiam!"

"Hm," jago pedang itu tiba-tiba berkerut, menarik puterinya mendekat, mengusap rambutnya. "Tak akan ada kejadian seperti dulu lagi, Swat Lian. Kalau toh harus ada korban jiwa maka itu haruslah aku, bukan kau. Aku tak akan membiarkan puteri tunggalku menjadi korban, percayalah!"

"Aku percaya." Swat Lian menggigil, terisak teringat kematian kakaknya. "Hanya... hanya aku ngeri melihat benda-benda pusaka, ayah. Sebaiknya kau kembalikan saja benda itu kepada Sian-su!"

"Apa?" sang ayah terkejut, mendorong puterinya. "Kau gila, Swat Lian. Benda ini datang dan jatuh di kamarku tanpa kuminta. Kalau aku merebut barulah itu tak baik dan harus dikembalikan, seperti Pedang Tiga Dimensi dulu. Tapi bukankah Cermin Naga datang sendiri dan rupunya berjodoh di sini? Tidak, benda ini akan kusimpan, Swat Lian. Dan justeru kau kuminta untuk mempelajarinya pula!"

"Aku tak mau," Swat Lian menggeleng. "Aku takut yah, aku tak mau..."

Kenapa?"

"Pokoknya aku tak mau, dan Swat Lian yang melompat bangun memandang ayahnya tiba-tiba berseru, "Yah. kita harus mencari Kam-suheng dan Beng-suheng. Kepandaianmu sekarang hebat, kau memiliki kesaktian tinggi. Mari kita cari mereka dan kejar si iblis cebol Hek-bong Siauwjin itu!"

"Hm, aku pribadi tak suka menanam permusuhan, anakku. Tapi kalau Hauw Kam dan Gwan Beng diculik orang tentu saja kita harus mencari. Baiklah, kita berangkat dan kejar si setan cebol itu."

Swat Lian girang. Ayahnya sudah bangkit berdiri dan mau diajak, itu pertanda baik. Tapi ketika ia hendak keluar dan sang ayah memandangnya aneh tiba-tiba pendekar itu menahan puterinya.

"Nanti dulu, bagaimana dengan Kim-mou eng? Bukankah dia juga harus dicari?"

Swat Lian terkejut. "Boleh dicari tapi jangan sekarang, yah. Pendekar Rambut Emas sendiri sedang susah dan bingung."

"Kenapa?"

"Anaknya hilang, diculik Sepasang Dewi Naga itu!"

"Tapi sepasang nenek iblis itu tak membawa apa-apa, mereka tanpaknya sendirian saja!"

"Benar, tapi..."

"Hm, apa perdulimu?" sang ayah memotong. "Itu urusan Kim-mou-eng sendiri, Swat Lian. Kalau dia kehilangan anak itulah salahnya sendiri. Tidak, kita cari suhengmu dan Kim-mou-eng itu juga. Siapa pun yang kita dapatkan harus di dahulukan. Mari!" dan sang ayah yang menyentak serta menarik puterinyà tiba tiba mereka keluar melalui jendela. Lalu begitu pendekar itu mengerahkan kesaktiannya dan berkelebat ke utara tiba-tiba pendekar ini terbang dan sudah membawa puterinya meninggalkan Ce-bu, lenyap dan hilang dalam sekejap mata saja.

* * * * * * * *

"Koko, bangun. Heii, jangan malas!"

"Mmmm....sudah siangkah! Di mana kita?"

“Hi-hik, kita di Telaga Tiga Naga, koko. Ayo bangun dan cuci muka, lalu sarapan!"

Suara kekeh dan geliatan tubuh terdengar di pagi itu. Sepasang muda-mudi tampak gembira di kamar sebuah losmen, si wanita menggelitik kekasihnya dan si pemuda pun bangun, menggeliat dan menguap lalu tertawa. Semalam itu dia tidur terlalu larut, mata masih mengantuk namun sang kekasih membangunkan. Dia bangun dan terhuyung ke kamar mandi. Dan ketika air ditepiskan ke muka dan rasa dingin mengejutkan syaraf maka si wanita yang mengikuti dan terkekeh di belakang mendorong tak sabar.

"Hi hik, masuk, koko. Ayo mandi dan biar kusiram!"

"Eh-eh, nanti dulu, Siong-hi. Aku belum siap, aku masih kedingin uh... eh!" dan si wanita yang menyiramkan air tanpa menunggu lagi mendadak membuat si pemuda terkejut namun tertawa, dilepas seluruh pakaiannya dan mandilah dia bersama kekasihnya itu. Pagi yang segar di Telaga Tiga Naga mudah membuat orang merasa gembira, sepasang muda-mudi ini begitu juga dan mereka pun tertawa-tawa di kamar mandi itu.

Siong-hi, si wanita, menggerujuk kekasihnya dengan air berkali-kali, dan karena Telaga Tiga Naga adalah daerah dingin di mana air serasa beku seperti es maka si pemuda menggigil kedinginan namun tertawa menyambar kekasihnya itu, memeluk. Lalu begitu dia disiram lagi dan pemuda ini gemas-gemas mendongkol tiba-tiba ia pun menyergap mulut kekasihnya dan mencium.

"Siong-hi, kau nakal. Harus dihukum!" dan suara air yang berhenti tiba-tiba diganti kecupan dan ciuman akhirnya membuat. kamar mandi itu tak berisik lagi dan sejenak dipenuhi suara dan keluhan nikmat. Keduanya saling peluk dan dekap di kamar mandi itu, kemesraan ditunjukkan masing masing pihak dan si wanita pun memejamkan mata Tapi ketika si pemuda melepaskan dirinya dan wanita ini membuka mata maka Siong-hi terengah manja.

"Han-ko, kau nakal. Hanya begini saja?"

"Maksudmu?"

“Jangan setengah-setengah, koko. Cumbu dan berilah aku kasih sayangmu sepenuhnya!"

"Ha-ha...!" dan si pemuda yang menyambar dan meraih pinggang si wanita tiba-tiba sudah menggulingkan tubuh dan mencium lagi, kini lebih ganas dan agresip dibanding tadi. Si wanita merintih dan mengeluh. Dan ketika si pemuda memagut dan menciumi bagian-bagian lain lagi akhirnya mereka pun terbang ke surga dan kamar mandi itu menjadi saksi bisu atas semua asyik masyuk ini, setengah jam kemudian erangan puas terdengar di situ. Keduanya bangkit dan sama-sama mandi, terkekeh. Lalu ketika keduanya keluar dan berganti pakaian maka si pemuda memuji tak habis habisnya, kagum.

"Siong-hi, kau cantik. Sungguh cantik!"

"Ih, berulang kali kau memujiku, koko. Tidakkah kau bosan?"

"Ha ha... memuji dan mengagumimu takkan membuatku bosan, Siong-hi. Kau isteriku yang cantik dan ku kagumi!"

Mata yang mengerling itu melerok manja. Siong-hi tertawa dan merebahkan tubuh di dada kekasihnya, mereka ternyata sepasang suami isteri muda. Agaknya masih dalam suasana bulan madu dan si pemuda menyambut. Dan ketika pintu diketok dan seorang pelayan memberi tahu mengantar makanan maka Siong-hi, si cantik ini menggeliat bangun.

"Nah, sudah waktunya sarapan, koko. Mestinya sejak tadi namun pelayan rupanya segan menemui kita. Ayo, kita ke taman!"

Siong-hi membuka pintu, melihat seorang pelayan berdiri di pintu dengan senyum penuh arti, membawa penampan berisi sarapan pagi, mengangguk. Namun ketika wanita ini memberi tahu båhwa mereka ingin makan di taman maka si pelayan diminta untuk mengantar makanan itu di sana.

"Letakkan di meja taman, ambil yang menghadap telaga!"

Si pelayan mengangguk, memutar tubuh dan membawa pergi makanan tamunya. Dan ketika wanita ini mengajak suaminya dan berdua mereka ke taman maka si pemuda menggandeng dan memeluk pinggang isterinya itu.

Siapakah mereka? Sudah kita kenal, Kwee Han dan Siong-hi, isterinya. Mereka memang telah menikah dan kini dua suami isteri itu ke Telaga Tiga Naga. Inilah tempat di mana mereka dulu berasyik masyuk, di situlah Kwee Han mengenal wanita dalam arti sesungguhnya. Kini merasa bahagia dan mencinta isterinya sungguh sungguh. Siong-hi memang cantik, merenggut seluruh sukma pemuda itu. Dan ketika Kwee Han, pemuda asal Ming-ciang yang gagah dan pemberani ini bertekuk lutut di kaki isterinya maka sepuluh bulan ini pemuda itu selalu minta isterinya berlibur di Telaga Tiga Naga.

Kwee Han sekarang pemuda kaya raya. Tokonya besar, pandai berdagang dan kebetulan sahabat Khek-taijin pula, menteri yang banyak memberi hadiah pada pemuda itu, menteri yang tentu saja banyak kenalan dan mudah menggalang persahabatan dengan siapa saja, tentu saja orang-orang besar kaum bangsawan atau pedagang. Kwee Han banyak dibantu menteri ini dan mengalami kemajuan besar.

Artinya, kemajuan materi karena pemuda itu sekarang sudah berkecukupan dalam segala bidang. Untuk makan minum Kwee Han tak perlu khawatir lagi, bekas nelayan yang sudah menjadi hartawan ini berlimpahan harta benda, semua mula-mula berasal dari Khek taijin. Dan ketika hari itu, ahir pekan, Kwee Han pesiar dan mengajak isterinya ke telaga ini, maka suami muda ini merasa gembira dan bahagia karena sang isteri dirasa mencinta dan menyayangnya pula.

Siong-hi tampak setia. Kemana si suami pergi ke situ wanita ini mengikut, bahkan toko Kwee Han pun dia yang mengelola. Siong-hi isteri yang pandai dan mengagumkan, Kwee Han harus mengakui itu dan kadang-kadang dia merasa kecil.Maklum, Kwee Han ini adalah bekas pemuda yang kehidupannya dulu sebagai nelayan biasa. Sebuah perahu bututnya saja diperoleh dengan susah payah, pendidikannya sedang sedang saja dan tidak tinggi. Dan ketika semuanya dibantu Siong-hi dan toko serta perdagangan mereka maju maka setiap minggu Kwee Han mengajak isterinya melepas lelah di Telaga Tiga Naga.

"Kita sehari-harian bekerja penuh, seharusnya seminggu sekali harus rileks dan mengendorkan pikiran. Bagaimana pendaptmu, Siong-hi?” dulu pernah pemuda ini bertanya, jawab senyum dan anggukan isterinya.

Dan ketika Siong hi setuju dan sependapat maka wanita ini menjawab. “Tentu saja, bukankah kita hidup untuk mencari senang, koko? Bekerja sehari harian memeras keringat memang meletihkan. Aku setuju dan sependapat dengan maksudmu, Hanya ke mana kita mélepas lelah?"

"Telaga Tiga Naga! Bukankah di sana pertama kali kita menjalin cinta? Ha ha, kita pesiar di sana, isteriku. Kita méngulang kenangan manis kita dulu!"

Siong-hi tertawa. Mereka kini setiap minggu pasti ke sana, pelayan losmen mengenal mereka dan tentu saja mereka disambut gembira. Kwee Han cukup royal membagi persen, maklum, uang didapat dengan mudah. Dan ketika hari itu mereka kembali bersenang-senang dan masa bulan madu seolah tak habis-habisnya maka Kwee Han gembira dan bahagia, meskipun ada satu yang agak mengganjal, yakni belum diperolehnya keturunan.

“Siong-hi, kapan kita punya anak? Kenapa kau belum berubah juga?"

"Ih, kenapa tergesa-gesa, koko? Bukankah kau masih ingin bersenang-senang?"

"Benar, tapi aku mulai pingin punya keturunan, Siong-hi. Aku ingin menjadi bapak!"

Siong-hi tertawa. Kalau sudah begini biasanya dia akan melingkarkan lengan di leher suaminya, berbisik menyuruh sabar dan memberi kecupan mesra. Kwee Han tampak terburu-buru dan segera akan sabar lagi kalau sudah dipeluk. Dan ketika hari itu pemuda ini juga terhanyut dan mabok dalam belaian isterinya maka Siong-hi lalu mengajak suaminya pesiar ke tengah telaga, berperahu.

"Kita ke tengah, cari perahu yang baik!"

Kwee Han menurut Setelah sarapan dia lalu mencari perahu, bersenang senang di tengah telaga bersama isteri tersayang. Tapi ketika mereka asyik mendayung pelan dan Kwee Han minum arak sambil bernyanyi-nyanyi mendadak sebuah perahu lain muncul dan tiga laki-laki di sana terbelalak memandang Siong hi.

"Eh, bukankah itu Siong-hi?"

"Benar, itu Siong-hi, Giok Po. Si cantik yang dulu pernah melayani kita!"

"Ha-ha, memang benar, itu Song-hi. Kebetulan.....!" dan tiga laki-laki di atas perahu yang segera memutar dan mendekatkan perahunya ke perahu Siong-hi tiba-tiba membuat Siong-hi pucat karena mengenal mereka sebagai orang-orang kasar yang dulu memang pernah kencan dengannya, pembantu atau tukang pukul Ban-taijin sahabat dari Khek-taijin.

Mereka dulu pernah datang di gedung menteri Khek dan Bao-taijin melihatnya, memintanya dan menyuruhnya melayani dan akhirnya tiga orang itu pun minta bagi. Khek taijin memberikannya karena di gedung itu dia memang pelayan, Siong-hi tak dapat menolak. Dan ketika tiga orang di atas perahu itu tertawa-tawa menghampirinya dan Sioog hi pucat maka perahu itu pun mendekat dan Kwee Han saat itu mulai mabok, terbelalak melihat orang-orang ini.

"Eh, siapa mereka?"

"Ha ha!" perahu sudah menempel, tiga orang itu berloncatan ke perahu Kwee Han. "Kami sahabat Siong-hi, anak muda. Kau rupanya pacar barunya dan tak tahu, ha-ha...!" dan mereka yang tertawa-tawa menghampiri Siong-hi tiba-tiba menyambar dan mencekal lengan wanita itu. "Hei, kau ingat kami, Siong-hi? Aku Giok Po, orang kepercayaan Ban-taijin!"

"Ya, dan aku Ting Hong, Siong-hi. Kau tentu masih ingat ketika memberikan kecupan mesra padaku!"

"Ha ha, dan aku tak lupa. Kau tentu tak lupa pula, Siong-hi. Ayo kita bersenang senang dan pindah ke perahu kami!"

Sion hi di tarik, disambar dan dipegangi serta diremas-remas dan Siong hi tentu saja berteriak-teriak. Wanita ini pucat dan Kwee Han yang mabok tiba.-tiba menggereng, Pemuda itu melihat seolah ada enam orang di situ. Dan ketika mereka tertawa-tawa dan menarik serta menjamah-jamah isterinya mendadak pemuda ini menyambar dayung dan rasa mabok tiba-tiba hilang.

"Manusia-manusia keparat, kalian binatang... plak-plak-dess!" dan dayung yang menyambar serta menghantam tiga kali tiba-tiba membuat tiga laki-laki itu menjerit dan terpelanting, masuk ke air telaga dan terlempar keluar perahu.

Gegerlah tempat itu. Orang di tepian terbelalak dan kaget. Suara terceburnya tiga laki-laki kasar tadi diiring pekik dan teriakan Siong-hi segera menarik perhatian, semua menoleh dan tiga laki-laki yang kecebur sudah berenang marah. Mereka memaki dan naik ke atas perahu. Tapi begitu tangan memegang pinggiran perahu dan Kwee Han menghantam maka tiga orang ini menjerit lagi dan jatuh.

"Kalian manusia-manusia busuk, Kuhajar kalian!" Kwee Han marah-marah, menghantam dan memukuli setiap laki-laki yang coba naik ke perahunya. Tiga laki-laki itu nekat. Namun karena Kwee Han di atas perahu dan mereka di air tiba-tiba ketiganya memekik dan langsung menyelam menyerang bawah perahu Kwee Han, diguncang guncang dan diguling ke kiri kanan.

"Aduh, jangan... jangan...!" Siong-hi histeris, takut kecebur karena ia tak pandai berenang. Mereka berada di tengah dan bisa tengglam dia nanti.

Kwee Han kaget dia seketika meluap. Dan karena pemuda ini adalah pemuda pemberani dan Kwee Han adalah bekas nelayan yang tentu saja tak asing dengan air mendadak pemuda ini meloncat ke air telaga dan menyelam pula, dayung tetap di tangan, kaku dan beringas! Tak tahulah Siong-hi apa yang terjadi. Dia hanya merasa perahu dibalik dan diguncang, miring ke kiri tapi akhirnya ke kanan, miring ke kanan tapi akhinya ke kiri lagi. Dan ketika terdengar suara menggeluguk dan di bawah terlihat pertandingan seru satu lawan tiga akhirnya tiga laki-laki kasar muncul dan megap-megap.

"Aduh, tobat! Ampun...!"

Kwee Han muncul juga. Pemuda ini beringas dan kiranya pandai berenang, tadi dalam air ia menghajar tiga laki-laki itu. Giok Po dan teman-temannya kaget. Mereka kalah lama bertahan di air, bukan jago yang baik seperti Kwee Han. Dan ketika mereka harus mengambil napas dan Kwee Han di bawah sudah menghajar mereka pulang-balik maka ketiganya muncul ke permukaan dan berteriak tak karuan, matang biru dan Kwe Han mengejar. Pemuda ini gagah sekali di dalam air. Giok Po dan dua temannya gentar. Dan karena mereka laki-laki kasar yang hanya berani kalau menghadapi lawan lemah maka tiga orang itu tiba-tiba meloncat ke perahu mereka dan melarikan diri.

"Bangsat, jahanam kalian! Kubunuh kalian." Kwee Han meloncat ke perahunya pula, basah kuyup dan mau mendayung tapi Siong-hi menyetuh mencegah. Beberapa perahu berdatangan untuk melerai kejadian ini. Siong-hi takut dan menangis tak keruan. Dan ketika Kwee Han melotot dan beberapa perahu mengepung perahunya maka Liok Kwi, pemilik losmen yang dikenal Kwee Han buru-buru membujuk meloncat di perahu pemuda itu.

“Kwee-wangwe (hartawan Kwee), tenanglah. Tahan amarahmu dan lihat harga dirimu dibanding orang-orang kasar itu. Mereka tak pantas menghadapimu. Lihatlah isterimu dan pulanglah ke losmen."

"Keparat!" Kwee Han masih marah. "Siapa mereka itu, Liok Kwi? Dari mana?"

"Aku tak tahu, wangwe. Tapi sudahilah persoalan ini dan jangan ganggu senang-senang kalian dengan persoalan sepele."

"Benar, mereka itu tak berharga melayanimu, kongcu (tuan muda). Dirimu terlalu penting menghadapi kerucuk-kerucuk macam mereka!" seorang kakek, yang dikenal Kwee Han sebagai pemilik perahu berkata pula.

Kwee Han dibujuk dan Siong-hi pun menangis memeluk suaminya ini. Dan ketika semuanya menyuruh Kwee Han diam dan panas yang membakar berhasil didinginkan akhirnya Kwee Han melempar dayung dan tenang, sebenarnya masih uring-uringan dan sisa arakpun dibuang. Pagi itu dia terganggu dan mendidih, kalau tak ada pembujuk tentu dia menghajar tiga orang itu, Kwee Han menahan marah. Dan karena kesenangan menjadi terganggu dan pemuda ini kesal maka Kwee Han mengajak isterinya pulang, tidak ke losmen melainkan terus ke kota raja, rumah mereka sendiri.

"Kita berkemas, bawa semua pakaian dan beri tahu Cin-lopek!"

Cin-lopek, kusir kereta bersiap. Tadi dia melenggut ayam ketika majikannya pesiar, Kwee Han membawa kereta dan pemuda itu selalu bepergian naik kereta kalau kemana-mana, bersama kusirnya itu. Dan ketika mereka kembali dan Kwee Han terganggu oleh tingkah tiga orang itu mendadak ia ingin menyelidiki ketika sampai di rumah, teringat pengakuan tiga orang itu sebagai pembantu Ban-taijin, seorang menteri yang kurang dikenal tapi di ketahui Kwee Han.

Pemuda ini cemburu, rasa panas ternyata membuatnya terbakar. Ia memang tak tahu masa silam isterinya, ini. Dan ketika ia mencari sana-sini dan sedikit demi sedikit ia mengumpulkan keterangan tiba-tiba Kwee Han meledak ketika mengetahui bahwa isterinya dulu memang pernah melayani tiga orang itu.

"Keparat!" Kwee Han menggebrak meja ketika sampai di rumah. "Jadi mereka memang pernah menggaulimu, Siong-hi? Kau wanita tak setia dan tak tahu malu? Dan selama ini kau selalu mengelak dan berbohong?"

"Ah," Siong-hi terkejut, seminggu ini memang dicekam kekhawatiran. "Apa katamu, koko? Kau menuduh isterimu berbuat serong dan tidak setia? Aduh, suami macam apa kau ini, Han-ko? Tega dan mampu melepas kata-kata begitu keji untuk isterimu! Aku tidak mengenal sama sekali tiga manusia binatang itu, aku berani sumpah dan mati!"

"Baik, aku akan mengorek bukti-buktinya, Siong-hi. Dan kalau benar maka kau boleh mati seperti keinginanmu!"

Rumah tangga tiba-tiba geger. Si Suami muda merasa ditipu, Siong-hi kalut dan sehari-hari menangis, kemesraan dan cinta yang selama ini memabokkan mereka tiba-tiba kandas di tengah jalan, Siong-hi pun marah. Dan ketika suaminya pergi dan Siong-hi cemas tiba-tiba ia pun keluar rumah dan pergi, entah ke mana tak ada yang tahu tapi keesokannya mendadak Kwee Han mendapatkan Giok Po dan dua temannya itu tewas, mereka dibunuh dengan cara dicekik. Dan ketika Kwee Han termangu dan pulang ke rumah maka Siong-hi sudah berdiri di situ dengan sikap menantang.

"Bagaimana, kau dapatkan bukti-buktinya, koko? Kau masih menuduh isterimu tak keruan lagi?"

Kwee Han tertegun. Hari itu dia diguncang perasaan tak keruan, menatap isterinya dan menggeram. Sebenarnya dla akan membawa tiga orang itu ke rumahnya, memaksa mereka mengaku dan sudah menyewa tukang pukul pula. Kwee Han kini dapat berbuat apa saja dengan uangnya yang banyak, diam-diam dia mengumpulkan pembantu dan siap menghajar Giok Po dan teman-temannya itu. Tapi ketika mereka didapatkan tewas dan entah siapa yang membunuh maka Kwee Han termangu dan melihat sang isteri terisak, kini tak tahan dan menubruk suaminya itu.

"Han-ko. kau terlalu cepat mempercayai orang. Kau mudah dihasut dan ditipu. Siapa sudi melayani tiga laki-laki kasar macam mereka? Boleh kau bawa mereka ke sini, Han-ko, hadapkan padaku dan biar aku memaki-maki mereka!"

"Mereka sudah tewas," Kwee Han bicara lirih, bingung dan juga marah, masih marah tapi tak tahu kepada siapa sekarang kemarahan itu di tumpahkan. "Mereka telah dibunuh, Siong-hi. Aku memang bermaksud membawanya ke sini tapi keduluan!"

"Hm," Siong-hi berseri-seri, aneh sekali dia menunjukkan kegirangan luar biasa. "Dan kau masih menyangsikan isterimu, koko? Kau seminggu ini keluyuran untuk mencari berita? Kau tak percaya pada ku?"

Kwee Han tertegun.

"Suamiku," Siong-hi merajuk mesra. "Selama ini belum pernah seorang pun menyentuh tubuhku. Kaulah orang pertama dan laki-laki pertama yang menjamah tubuhku. Kalau aku bohong biarlah aku mati ditikam belati!" dan, mendesah menggeleserkan tubuhnya wanita ini tiba-tiba memeluk Kwee Han, seminggu ini tak disentuh dan gairah tertahan tahan tak mendapat jalan keluar.

Siong-hi sebenarnya takut kehilangan Kwee Han, betapapun Kwee Han adalah laki-laki yang dapat memberinya banyak kesenangan, mulai dari harta benda sampai tentu saja hubungan mesra, dia tak ingin kehilangan semuanya itu. Dan ketika Siong-hi menangis dan terisak di dada suaminya ini tiba-tiba Kwee Han tergetar dan tersentak setelah Siong-hi mencium mulutnya.

"Suamiku, mana nafkah batin untukku? Mana semua kasih sayang dan cinta yang selama ini kau berikan? Ah, aku rindu, suamiku. Aku menderita...!"

Dan Kwee Han yang tak dapat menahan diri dan roboh dalam ciuman isterinya tiba-tiba mendesis dan mengambil semuanya itu terbang dan tak lama kemudian rasa cemburu pun lenyap. Kwee Han percaya dan aneh bin ajaib semua kemarahan hilang. Sumpah dan kata-kata isterinya tadi cukup meyakinkan, kwee Han pun mabok. Dan ketika sang isteri membelai dan kecupan demi kecupan membuat mereka berdua panas akhirnya Kwee Han minta maaf dan membawa isterinya itu ke kamar.

"Ah, maafkan aku, Siong-hi. Kiranya selama ini aku dibuat cemburu dan buta. Maafkan aku. Kau isteriku tersayang....!"

Song- hi mengeluh, hubungan tegang di antara mereka selama seminggu ini mendadak lenyap. Wanita itu berhasil menguasai suaminya lagi dan maboklah Kwee Han dalam cinta dan pelukan isterinya. Malam itu mereka bagai pengantin baru lagi, bukan main. Dan ketika hari-hari berikut membuat mereka melayang ke surga dan semua kejadian di telaga dilupakan Kwee han maka Siong-hi sudah memulihkan hubungan suaminya dan sebulan terlewatkan cepat tanpa mereka rasakan. Kini Kwee Han percaya lagi kepada isterinya, hampir saja bulat kalau tak ada kejadian baru yang membuat pemuda ini tertegun. Dan ketika minggu ketujuh secara kebetulan Kwee Han tak jadi keluar kota untuk urusan dagang dan pulang ke rumah mendadak di sana dia melihat kereta Khek-taijin.

"Eh!" Kwee Hari terkejut. "Ada apa?"

Pemuda itu cepat menghampiri. Dia jadi merasa heran dan aneh bahwa Khek-taijin datang ke rumahnya, hal yang jarang dilakukan menteri itu. Dan ketika Kwee Han masuk dan tertegun di ruang dalam ternyata Khek-taijin bercakap cakap dengan isterinya, rambut isterinya agak kusut. Dua orang itu tampak gugup!

"Maaf," menteri Khek buru-buru bangkit tertawa dibuat-buat. "Aku mencarimu, Kwee Han. Kata isterimu sedang keluar kota dan ternyata tiba-tiba muncul. Bagaimana datang begini cepat? Apakah tidak jadi?"

Kwee Han terbelalak. "Aku membatalkan perjalananku, taijin. Ada apakah paduka datang sendiri tidak melalui utusan?"

"Ah, aku hendak memberi tahu berita baik, Kwee Han. Besok beberapa pedagang permata akan datang di gedungku. Mereka butuh uang, mereka akan menjualnya dengan harga murah!"

Kwee Han tertegun. Khek-taijin segera memberi tahu bahwa besok kesempatan bagus baginya datang, beberapi pedagang permata akan muncul menawarkan dagangan mereka, juga beberapa pedagang Cita. Sebulan lagi akan ada kenaikan besar-besaran untuk beberapa macam barang, têrutama kain dan bahan makanan. Persediaan menipis dan harga barang akan melonjak. Dan ketika menteri ini bicara ini itu yung pada pokoknya membujuk Kwee Han untuk membeli semuanya itu karena akan dapat dijual dengan harga tinggi maka menteri ini menutup pembicaraannya.

"Demikianlah, ini satu kesempatan bagus bagimu, Kwee Han. Kau dapat menumpuk semua barang-barang ini untuk akhirnya menjual di saat harga melonjak. Isi tokomu penuh-penuh dan masalah permata dapat kau tawarkan kepada istana!"

"Hm," Kwee Han mengangguk. "Terima kasih, taijin. Tapi masalah permata aku kurang tertarik, aku tak begitu mahir dengan barang-barang seperti itu."

"Siong-hi dapat membantumu. Kwee Han. Dia tahu dan mengerti akan barang-barang permata."

"Benar," Siong-hi menyahut. "Aku dapat membantumu, koko. Aku mengerti akan barang-barang begitu dan tak mungkin ditipu. Betapapun maksud baik Khek-taijin harus kita terima dengan terima kasih."

"Ya," Kwee Han mengerutkan kening. "Aku berterima kasih, Siong-hi. Tapi kenapa tidak Khek-taijin sendiri yang membeli semua barang-barang ini? Bukankah dia dapat juga melakukannya?"

"Aku ingin membagi keuntungan denganmu, Kwee Han. Aku teringat hubungan baik kita. Tentu saja aku dapat membeli semuanya itu, tapi aku ingin memberi kesempatan padamu untuk dapat mereguk keuntungan pula!"

"Baiklah, sekali lagi terima kasih, taijin. Aku akan memikir semuanya itu dan membicarakannya dengan Siong-hi."

Khek-taijin pamit. Akhirnya menteri itu pulang, dan Kwee Han termangu-mangu, sekilas melihat baju isterinya yang agak kedodoran, bagian dada tersingkap dan pemuda ini mengerutkan kening. Kecurigaan timbul tapi Kwee Han tidak buru-buru mengeluarkan semuanya itu. Khek-taijin dikenal sebagai menteri yang tamak, dia tahu itu setelah beberapa bulan berdekatan. Kini secara aneh kesempatan yang begitu bagus ditawarkan kepadanya, padahal sebetulnya menteri itu dapat menikmatinya sendiri.

Dan ketika keesokannya Kwee Han coba membuktikan semua kata-kata menteri itu dan datang ke rumahnya ternyata memang betul beberapa pedagang permata dan pedagang-pedagang lain yang menjalin persahabatan dengan Khek-taijin ada di sana, menawarkan dagangannya dan Khek-taijin menunjuk dia. Di sini kecurigaan Kwee Han lenyap, meskipun masih ada sisa sedikit, yakni ingatan baju isterinya yang agak kedodoran itu. Tak biasa isterinya seperti ini apalagi ada tamu. Dan ketika hari demi hari dilewatkan lagi dan suatu ketika Kwee Han berkata lagi ingin keluar kota tapi tiba- tiba membatalkan perjalanannya di tengah jalan dan pulang dengan terburu buru mendadak kereta Khek-taijin itu ada di depan rumahnya lagi!

"Keparat, apa yang dia lakukan?"

Kwee Han bergegas. Roda kereta yang berhenti di depan rumahnya rupanya diketahui Siong-hi, lagi isterinya itu duduk di ruang dalam bersama Khek-taijin. Kwee Han terbelalak. Dan ketika pemuda itu masuk dengan muka merah dan Khek taijin tampak terkejut maka kembali menteri ini buru-buru bangkit berdiri mendahuluinya,

"Kwee Han, kau besok dipanggil pangeran Yu Fu. Aku datang memberi tahu isterimu karena kau tak ada!"

Kwee Han tertegun. "Pangeran Yu Fu?"

"Ya, dia, Kwee Han. Kau diminta ke sana membawa emas permata yang dulu kau beli itu. Pangeran tertarik!"

Kemarahan dan kecurigaan Kwee Han tiba-tiba sirna. Khek Tajin ternyata memberitahunya bahwa Pangeran Yu Fu mengundangnya, sang pangeran tertarik dan ingin melihat emas permata yang dulu dia beli, sang pangeran akan membeli dan memilih beberapa di antaranya. Itulah alasan Khek-taijin. Dan ketika Kwee Han terheran namun pergi juga menemui pangeran itu ternyata Yu Fu, pangeran muda itu menyambut, bersama Khek-taijin, keesokan harinya.

"Ha-ha, ini Kwee Han, paman Khek? Dia pemuda pemberani yang dari Ming-ciang itu?"

"Benar, inilah Kwee Han, pangeran. Dialah Pemuda yang kuberi tahu itu."

"Kwee Han...." menteri Khek memandang pemuda itu. "Inilah pangeran Yu Fu yang berkenan mengundangmu. Perlihatkan permatamu dan kemarilah!"

Kwee Han memberi hormat. Setelah berhadapan sendiri dengan pangeran Yu Fu tiba-tiba kecurigaannya terhadap Khek taijin kembali lenyap. Untuk kedua kali dia membuang prasangkanya yang buruk, Khek-taijin ternyata tak bermaksud apa-apa dengan isterinya. Menteri itu datang justeru untuk keuntungannya, kini dia diperkenalkan dengan seorang pangeran dan Kwee Han tentu saja girang. Berhubungan dengan istana tentu akan membawa berkah baginya, paling tidak keuntungan moral baginya, itu paling sedikit.

Dan ketika dia dipanggil mendekat dan pangeran tertawa maka Yu Fu meminta padanya untuk menunjukkan barang permata yang sebelumnya memang sudah disiapkan. Sang pangeran memilih dan membeli, Kwee Han agak tersipu. Dia jadi bigung untuk menawarkan harga, tak boleh kemahalan, tapi juga tak boleh rugi. Maklum, dia berhadapan dengan pangeran! Dan ketika pangeran tersenyum dan justeru tidak bertanya tapi langsung memberi sepundi-pundi uang emas kepadanya untuk beberapa macam permata yang dipilih, maka Kwee Han terbelalak tapi juga girang luar biasa karena itu keuntungan berlipat-lipat!

"Sudahlah, aku pilih ini saja. Kau boleh pergi dan bawa sekantung uang emas ini. Kalau kurang, anggap saja kurangnya kuminta!"

Kwee Han hampir tak dapat bicara apa-apa. Dia hanya berulang-ulang mengucap terima kasih, kembali dan pulang ke rumahnya dengan perasaan gembira. Uang itu dapat dipergunakannya membangun lagi sepuluh toko besar, bukan main. Tapi ketika kecurigaannya terhadap menteri Khek lenyap dan justeru dia merasa berhutang budi atas semua jasa dan kebaikan menteri ini mendadak suatu pagi, ketika ia bangun tidur isterinya tak ada.

Kwee Han heran, mencari-cari namun tak menemukan. Beberapa pelayan yang ditanya, menyebut Siong-hi keluar rumah, mungkin mengurus ini-itu di toko mereka yang kini sudah beberapa buah. Kwee Han memang semakin kaya dan lupa pada kemiskinannya dulu. Dan ketika ia mengerutkan kening dan curiga memikirkan isterinya, mendadak Pwee lopek, sahabatnya di Ming-ciang dulu muncul. Seorang laki-laki tua yang tampak putih dan pucat, datang dengan mata bersinar sinar, marah.

"Kwee Han, kau melupakan kawan-kawanmu. Kau tak menepati janji dan enak bersenang-senang sendiri!"

Kwee Han terkejut. "Ada apa, lopek? Kau datang sendiri? Dan tahu rumahku?"

"Ya, seluruh kota raja mengenal namamu, Kwee Han. Aku datang mewakili teman-teman dan menuntut keadilan. Liem-taijin berkomplot dengan juragan-juragan perahu!"

"Apa yang terjadi? Ada apa?"

"Hm...!" mata kakek itu memndang sekeliling rumah Kwee Han yang bagus, gedung yang besar dan indah, tidak segera menjawab. "Inikah yang membuat dirimu berubah? Semua kesenangan inikah yang membuat kau melupakan kawan-kawan di Miog-ciang?"

"Lopek," Kwee Han merah mukanya. "Sebaiknya kau katakan apa maksud kedatanganmu dan apa yang hendak kau ceritakan di sini. Aku sedang bingung, sibuk mencari isteriku!"

"Kau sudah beristeri?"

"Ya, beberapa bulan yang lalu, lopek."

"Dan tidak memberi tahu kami kawan-kawanmu?"

"Hm," Kwee Han melihat masuknya beberapa pelayan, agak malu. "Kau tak usah bertele-tele, lopek. Mari duduk dan katakan keperluanmu!"

"Apakah kau masih seperti Kwee Han yang dulu?"

"Maksudmu?"

"Aku kecewa melihat kehidupanmu sekarang, Kwee Han. Kau tampak berubah luar dalam. Dulu kau ramah, kini agak sombong. Dulu kau selalu memperhatikan nasib kawan-kawan sepenanggungan, kini kau acuh! Perlukah kiranya kuberitahukan semua maksud kedatanganku?"

"Hm," Kwee Han terpukul, tersentak oleh kenangan lama, waktu dia masih dekat dan bergaul dengan kakek ini, bahkan makan bersama pula. Makanan sederhana yang acap kali terdiri dari nasi biasa dan ikan asin! "Kau boleh tuangkan semua persoalanmu kepadaku, lopek. Aku masih Kwee Han yang dulu!"

"Baiklah dengarlah, Kwee Han. Kami semua teman-temanmu di Ming-ciang dulu kini berbulan bulan mulai ditindas kaum juragan perahu lagi. Mereka memeras, kami dijadikan kuda beban dan tidak mendapat keadilan lagi. Liem-taijin, pembesar yang dulu berjuang untuk kami itu ternyata berpihak. Sekarang dia berkomplot dan sama saja seperti pembesar pembesar yang lain!"

"Hm, lalu?"

"Lalu kami berontak, Kwee Han. Kami menuntut keadilan itu tapi juragan perahu bersikap kurang ajar. Mereka memeras, memberi pilihan kepada kami untuk terus bekerja atau berhenti. Kami tak berdaya dan kalah posisi!"

Kwee Han bersinar-sinar. "Apakah tak ada yang berani seperti aku?"

"Ada, tapi hilang, Kwee Han. A-lok dan A-bin entah ke mana setelah menjalankan protes!"

"Hilang? Maksudmu..."

"Ya, hilang, Kwee Han. Dugaan kami dia dibunuh!"

Kwee Han terkejut. Dia tiba-tiba teringat kenangannya sendiri, betapa dia pun "diciduk" dan tentu dibunuh kalau tidak memiliki cincin yang kini melingkar di jarinya itu. Cincin pemberian seorang sahabat yang berpengaruh di istana, demikian besar pengaruhnya itu hingga Khek-taijin pun takut. Menteri itu gentar dan akhirnya dia selamat, bahkan kini dihormati Khek-taijin dan memperoleh semua kesenangan ini. harta kekayaan itu dan lain-lain lagi termasuk Siong-hi isterinya. Dan ketika dia teringat akan isterinya dan tersentak karena sang isteri juga tak ada mendadak Kwe Han gelap mukanya dan acuh oleh semua cerita Pwee lopek itu.

"Hm, aku sendiri sedang sibuk, lopek. lsteri ku tak di rumah dan aku mencarinya. Bagaimana kalau urusan ini dibicarakan lain kali saja dan kau pulang?"

"Pulang?" kakek itu tiba-tiba bangkit berdiri, matanya berapi-api. "Kau menyuruh aku pulang untuk membiarkan teman-teman menderita di sana, Kwee Han? Kau tak mau membantu sedikit pun untuk persoalan ini?"

Kwee Han terkejut, sadar. "Bukan begitu," katanya buru-buru. "Hanya aku sendiri sedang sibuk dengan urusanku, lopek. Sebaiknya, hmm... sebaiknya begini saja. Apa yang menjadi beban kalian di sana? Apakah tercekik hutang lagi?"

"Benar, kami tercekik hutang lagi, Kwee Han. Para juragan itu kurang ajar karena mereka sengaja memberi hutang untuk menjerat kita. Dengan begini kita tak dapat pergi, semua teman-teman mengharap pertolonganmu dan kau datang ke sana atau Ming-ciang geger lagi dengan demonstrasi besar-besaran!"

"Hm, jangan," Kwee Han mulai tahu aturan main, aturan hukum. "Demonstrasi tak baik untuk kita, lopek. Apa yang tidak puas sebaiknya dimusyawarahkan dan dibicarakan bersama. Demonstrasi hanya memancing tindak kekerasan, sebaiknya katakan berapa hutang kawan-kawan dan kubantu dulu dengan uang."

"Kau mau membebaskan kami dengan membayar lunas hutang-hutang itu?"

"Sementara ini begitu dulu, lopek. Aku sibuk dan tak dapat ke Ming-ciang. Katakan berapa hutang semuanya dan biar kubayar itu."

"Ah, banyak, Kwee Han. Ribuan tail....!"

“Katakan saja, lopek. Dan pergilah segera setelah itu!"

"Kau mempunyai uang?"

"Sebutkan saja, dan cepat kau bayar!" Kwee Han tak sabar, tahu bahwa Pwee lopek ini akan terheran-heran dan sukar mempercayai kekayaannya sekarang. Dia memang bukan Kwee Han yang dulu, dia sekarang adalah seorang hartawan dan mungkin jutawan. Pwee lopek segera menghitung dan menggerakkan jari-jarinya. Dan karena di Ming-cang ada sekitar tigaratus nelayan dan kalau masing-masing berhutang seribu tail maka di dapatlah angka tiga ratus ribu tail yang bukan main banyaknya maka kakek ini berkata agak tergagap,

"Kira-kira, eh... kira-kira tigaratus ribu tail, Kwee Han. Mungkinkah semuanya itu dapat kau bayar?"

"Hm, tiga ratus ribu? Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan mengambilnya!" dan Kwee Han yang cepat ke dalam dan keluar lagi akhirnya mengambil sekantung uang yang membuat Pwee-lopek terbelalak, kagum, memberikannya pada kakek itu, "Lopek, di sini ada limaratus ribu. Kalau kurang boleh datang lagi. Sekarang pulanglah, biar diantar kusirku dan bayarkan ini untuk hutang kawan-kawan kita di sana."

"Lima ratus ribu?" kakek itu menggigil. "Begitu banyak? Ah, terima kasih, Kwee Han. Kau sungguh baik dan ku sampaikan ini pada mereka!"

"Ya, dan cepat selesaikan itu, lopek. Kuharap tak ada apa-apa lagi dan pulanglah."

Pwee-lopek tak habis takjub. Sekantung besar uang yang diterimanya itu membuat kakek ini seakan menang lotre, heran dan takjub akan kekayaan Kwee Han sekarang. Bukan main. Dulu Kwee Han adalah nelayan miskin seperti dirinya, kini mendadak begitu kaya dan dermawan. Dan membuktikan bahwa Kwee Han ternyata masih sama seperti dulu tiba tiba kakek ini menjatuhkn diri berlutut dan menangis. "Kwee Han, mewakili semua teman-teman di Ming-ciang biarlah si tua bangka ini menghaturkan beribu terima kasih padamu. Semoga kau berumur panjang dan bahagia!"

"Sudahlah, pergilah, lopek. Kusir di depan sudah siap dan biar aku menyelesaikan persoalanku."

"Baik, baik.... terima kasih, Kwee Han...terima kasih....!" dan Pweeopek yang diantar dan diserahkan Cin-lopek, kusir kepercayaan Kwee Han lalu diantar dan malah dinaikkan kereta sampai ke Ming-ciang. Kwee Han tak tahu lagi setelah itu, dia sibuk mencari isterinya. Anggapnya, urusan Ming-ciang akan beres dan Pwee-lopek tak mengganggu lagi. Tapi ketika tengah hari kakek itu datang lagi dan bersama kusirnya babak belur menyatakan dirampok maka Kwee Han kaget dan menyesal, sang isteri masih belum ketemu!

"Aduh, celaka, Kwee Han... celaka! Kami dirampok ditengah jalan, uang itu amblas dan aku disakiti!" kakek itu tersedu-sedu.

Kwee Han tertegun dan segera dia termang-mangu. Apa yang didengar ini di luar dugaan. Dia terlalu sembrono dengan membiarkan seorang bodoh macam Pwee Topek pergi dengan begitu banyak uang. Dan ketika kakek itu menangis tak keruan dan Kwee Han terpaku maka Cin-lopek, kusirnya, juga menjatuhkan diri berlutut, tubuhnya matang biru.

"Wangwe, kami dirampok. Uang yang dibawa sahabatmu lenyap dan kami tak berdaya....!"

Kwee Han marah. Dalam keadaan biasa tentu dia akan menghadap Hong-ciangkun untuk mengejar dan mencari penjahat itu, panglima Hong yang dikenalnya baik. Tapi karena bingung isterinya belum ketemu dan entah ke mana gerangan isterinya itu tiba-tiba Kwee Han menyuruh kusirnya pergi dan membawa Pwee-lopek ini ke dalam.

"Sudahlah, sekarang begini saja. Maukah kau menolongku sebelum aku menolong teman-teman di Ming-ciang? Aku dapat memberimu uang lagi, lopek, tapi harap kau bersabar dan cari dulu isteriku. Bagaimana?"

"Maksudmu?"

"Aku kehilangan isteriku, lopek. Heran bahwa seharian ini ia tak ada di rumah. Mungkin... hmm, mungkin di suatu tempat. Kau bantu aku dulu dan urusan di Ming-ciang nanti saja kita bicarakan lagi!"

Karena merasa Kwee Han sudah menolong dan kakek itu tahu diri akhirnya Pwee-lopek mengangguk. "Baiklah, aku tahu kesulitanmu. Kwee Han. Apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Coba pergilah ke dua tempat. Selidiki isteriku di gedung Khek-taijin atau Ban-taijin. Aku curiga jangan-jangan ia ke sana...." dan Kwee Han yang lalu memberi tahu dan menunjuk gedung dua pembesar itu lalu mewanti-wanti agar Pwee-lopek berhati-hati.

Tentu saja membuat kakek itu mula-mula takut dan mengerutkan kening. dia bakal diusir sebelum masuk. Tapi ketika Kwee Han memberi semacam tanda bahwa ia pelayan atau pembantu pemuda itu di mana orang-orangnya Khek-taijin atau Ban-taijin pasti mengenal maka kakek ini pun mengangguk dan merasa bebas.

"Baiklah, biar kucoba, Kwee Han. Tapi kalau gagal jangan kau marah marah kepadaku. Dan,... kenapa kau menduga ke gedung dua menteri itu? Bukankah sebenarnya kau dapat datang sendiri dan mencari?"

"Aku sudah dikenal, lopek. Kalau mereka tahu tentu isteriku bersembunyi atau Khek-taijin serta Ban-taijin bersiap-siap."

"Baiklah, tapi, eh..... aku tak mengenal istemu!”

"Mudah, lopek. Ia cantik dan mengenakan empat gelang emas di lengannya, umur kira-kira sembilan belas tahun."

"Begitu muda?"

"Ya, masih muda, lopek. Dan untuk memperjelas lagi lihatlah ini!" Kwee Han menyambar gambar isterinya di dinding, lukisan yang dulu di pesan dari seoranh pelukis dan menunjukkannya pada Pwee Lopek, kakek ini kagum dan mengakui kecantikan Siong-hi, mendecak. Dan ketika semuanya dianggap selesai dan kakek ini siap berangkat mendadak dia masih bertanya lagi,

"Kwee Han, apakah nanti kalau aku menemukannya lalu menyuruhnya pulang?"

Tidak, jangan!" Kwee Han teringat. Kau cepat kembali dan diam-diam ke sini, lopek. Aku yang akan ke sana dan menjemputnya!"

"Baiklah," dan si kakek yang pergi dan memutar tubuhnya lalu keluar dan meninggalkan rumah pemuda itu, melaksanakan tugasnya dan tentu saja tak tahu apa yarg diam-diam pernah terjadi di rumah tangga pemuda ini, setengah jam kemudian datang dan bergegas terbata-bata menemui Kwee Han, memberi tahu bahwa isteri pemuda itu ada di sana, di tempat Khek-taijin. Rupanya semalam menteri itu baru saja mengadakan pesta, Kwee Han terkejut dan terbakar. Tiba-tiba cemburu dan rasa marahnya mengamuk. Untuk ketiga kali dia melihat isterinya bersama menteri itu lagi. Dan ketika Kwee Han bergegas dan cepat ke gedung menteri Khek maka di sana di kamár menteri itu tampak Siong-hi tertawa-tawa di pelukan menteri ini, nyaris telanjang dan kedua-duanya berbau arak!

"Heh-heh, ke mari, Siong-hi... kemarilah....!" menteri Khek meraih isterinya, terhuyung dan sama-sama terbanting di pembaringan. Siong-hi terkekeh pula dan di tangannya terdapat segelas arak yang amat keras, menyambut dan tiba-tiba dicium menteri itu. Dan ketika Siong-hi tertawa dan bicara tak jelas karena tampak mabok maka Khek-taijin sudah menindih dan menggeluti isterinya itu.

"Keparat!" Kwee Han merghambur maju, mendobrak dan masuk ke dalam. "Kau jahanam keparat, Siong-hi. Kiranya benar dugaanku bahwa kau isteri tak setia.... dess!" dan Kwee Han yang menubruk serta menghantam isterinya tiba-tiba membuat Siong-hi menjerit dan terlempar roboh, lepas dari pelukan menteri Khek dan sang menteri pun terkejut.

Siong-hí terguling-guling dan pakaiannya terbuka, tampaklah wanita itu dalam keadaan aslinya, Siong-hi memang nyaris telanjang ketika berdekapan dengan Khek-taijin tadi. Dan ketika Kwee Han berteriak dan marah mengejar maju maka bertubi-tubi dan cepat pemuda ini sudah menghajar isterinya, ditendang dan ditampar dan segera kamar itu terisi oleh jerit dan teriakan Siong-hi. Waktu dia hilang maboknya setelah dihajar suami, kaget dan sadar karena kini dengan beringas dan penuh kebencian suaminya itu menendang pulang balik.

Dan ketika Kwee Han kalap dan melihat Khek-taijin pula mendadak pemuda ini terigat dan menerkam menteri itu, mencekik dan memukuli seperti harimau haus darah, atau setan kelaparan. Dan ketika menteri ini pun berteriak-teriak dan Kwee Han mata gelap tiba-tiba pemuda itu memecahkan botol dan dengan pecahan botol ini pemuda itu menyerang.

"Khek-tajin, kau menteri jahanam keparat. Kau tak tahu malu. Kubunuh kau... cras!" dan pecahan botol yang mengenai bahu dan lengan menteri itu akhirnya mendarat bertubi-tubi lagi dan lukalah menteri ini, maboknya hilang dan ketakutan hebat pun menyerang menteri itu.

Semalam menteri ini berpesta dan tengah malam tadi Siong-hi diminta datang. Wanita ini adalah bekas pelayannya, Kwee Han tak tahu bahwa selama ini Siong-hi tetap digauli menteri itu, Khek taijin sering minta dilayani dan Siong-hi tentu saja takut. Menteri itu adalah bekas majikannya sendiri dan untuk hubungan kotor memang sering menteri itu berduaan dengan Siong-hi. Wanita ini cantik, tubuhnya menggairahkan dan servis di atas ranjang memang Siong-hi sudah mahir.

Sebagai bekas pelayan sekaligus teman di waktu dingin Siong-hi masih sering membuat menteri Khek tergila-gila, permainannya hebat dan itulah yang membuat menteri ini tak dapat melupakan Siong-hi, meskipun wanita lain juga banyak dan tak kurang. Dan ketika Kwee Han menghajar menteri itu dan pecahan botol berkali-kali melukai wajah dan tubuh menteri itu maka ketika Siong-hi menjerit dan berteriak-teriak masuklah pengawal yang kaget mendengar ribut-ribut ini.

"Hei, jangan kurang ajar!" dua pengawal cepat membentak maju, menubruk Kwee Han dan pemuda itu diringkus.

Khek taijin sudah bermandi darah di lantai, Kwee Han memberontak dan meronta, berteriak dan memaki dua pengawal itu, lepas dan mau menyerang Khek-taijin lagi. Tapi begitu masuk tiga pengawal lagi dan mereka ini meloncat dan menghalangi Kwee Han maka sebatang tombak memukul pemuda ini dan Kwee Han pun roboh.

"Buk!" Kwee Han mengeluh dan terbanting di lantai. Dua pengawal lain kembali menggerakkan tombak mereka menghantam Kwee Han, mengenai punggung dan pemuda itu pun menjerit. Tiga pukulan keras mengenai kepala dan tubuh Kwee Han, pemuda itu tak dapat bangun dan akhirnya pingsan. Ribut-ribut ini mengundang banyak orang dan tempat Khek-taijin geger, menteri itu ditoIong dan segera dilarikan ke dalam, dirawat. Dan ketika Kwee Han menggelepar di sana dan Siong-hi menangis dan menjerit tak keruan maka siang itu Kwee Han sadar dan tahu-tahu ia berada di sébuah tempat di mana pangeran Yu Fu tampak di situ.

"Kau sadar?" pangeran ini menarik bangun Kwee Han, tersenyum aneh. "Mari, bangunlah, Kwee Han, Ceritakan apa yang terjadi dan kenapa kau menyerang Khek-taijin."

Kwee Han mendelik, bangun terhuyung. "Khek-taijin menghina hamba, pangeran. Dia mempermainkan isteri hamba!"

"Hm, urusan kecil," Yu Fu tertawa "Kau ingat kedudukan dan jasa baik Khek-taijin, Kwee Han. Dia adalah penolong sekaligus pemberi hutang budi kepadamu. Urusan ini tak perlu diperpanjang, Siong-hi memang bekas pelayan Khek-taijin.

"Tapi dia isteri hamba, pangeran! Masakah....”

"Sst," pangeran tiba-tiba bersikap ketus. Negara dan isinya ini adalah milik istana dan para pembantunya, Kwee Han. Apakah kau tak ingat kedudukanmu sebelum datang di sini? Begaimanakah kadaanmu dulu? Lupakah kau bahwa dulu kau adalah nelayan miskin yang kini banyak diberi kesenangan oleh Khek-taijin? Ingat, kau orang biasa saja, Kwee Han. Kau bukan bangsawan atau orang berdarah biru. Kau dapat hidup senang di sini adalah atas jasa Khek-taijin. Kalau sekarang Khek-taijin ingin bersenang-senang dengan Siong-hi apakah kau tak rela? Hm, orang kecil tak menang melawan orang besar, Kwee Han. Khek-taijin adalah sahabatku dan kau harus memandang aku!"

"Paduka maksudkan...?"

"Benar, kau tak perlu dendam padanya, Kwee Han. Urusan ini selesai dan kau tak perlu marah-marah kepada Khek-taijin!"

"Tapi hamba...."

"Hm, kalau tak ingat cincin di jarimu tentu kau sudah dibunuh, Kwee Han. Aku menasihati agar kau melupakan ini dan tidak memperpanjang urusan. Atau, kau memikul akibatnya dan mungkin aku tak bisa menolong!" Yu Fu memotong, memberi tatapan tajam dan Kwee Han tertegun.

Di sekitar pangeran tiba-tiba muncul beberapa pengawal yang siap bergerak, sikap dan mata mereka penuh ancaman. Kwee Han mendadak tergetar dan takut. Baru kali itu dia merasa terkesiap dan berdebar. Wibawa dan sikap pangeran Yu Fu tak sanggup ditandingi pemuda ini. Kwee Han memang pemuda biasa, bahkan bekas nelayan. Dan ketika dia tertegun dan bengong memandang maka pangeran bertepuk dan memanggil beberapa dayang-dayang manis yang melenggang dengan gaya memikat.

"Sekarang obati kekecewaanmu dengan dayang-dayangku ini. Main-mainlah, bersenang-senanglah!" Yu Fu memberi tanda, empat dayang datang mendekat dan langsung membelai Kwee Han.

Pemuda ini terkejut dan kaget, mau menghindar tapi sang pangeran sudah memberi isyarat agar dia tak menolak. Dayang-dayang itu katanya sebagai pengganti Siong-hi yang entah kini di mana. Dan ketika pangeran tertawa dan menyuruh pengawal keluar dan ia pun juga pergi dari situ maka seorang dayang yang mencium pipi Kwee Han berkata, merdu dan manis,

"Kwee-kongcu, marilah. Sudah biasa kami menghadapi orang-orang macam kongcu. Mari ke kamar dan kendorkan seluruh urat-urat yang tegang.”

"Benar," yang lain berkata, tertawa dan memainkan matanya. "Kami akan membuatmu lupa segala, kongcu. Mari dan ikutlah kami."

Kwee Han dibawa. Tanpa berdaya dan menurut saja Kwee Han membiarkan lengannya di gandeng, empat dayang tiba-tiba memeluknya dan membawanya ke sebuah kamar besar. Mereka kini mulai cekikikan, Kwee Han tiba-tiba seperti kehilangan kesadaran dan mulailah ciuman serta belaian mendarat di tubuhnya. Dan ketika mereka berada di dalam kamar dan pintu ditutup maka Kwee Han tak tahu lagi apa yang terjadi selain dia dibawa terbang ke surga yang tinggi, melayang-layang dan bayangan Siong-hi pun lenyap.

Pemuda itu terbuai dan hanyut dalam pelukan empat dayang ini. Baru kali itu Kwee Han dikerubut empat gadis sekaligus, tentu saja semua itu membuat pemuda ini lupa diri dan mabok. Dan karena perbuatan Siong-hi menyakitkan hatinya dan Kwee Han ingin membalas maka empat dayang itu pun diterimanya dan akhirnya bersenang-senanglah pemuda ini dengan pengalaman tiada tara, tiba-tiba menjadi lebih dewasa dan matang.

Empat dayang itu berkata bahwa tak usah dia mengingat-ingat Siong-hi, cinta sejati tak ada di dunia ini dan tak perlu Kwee Han kecewa. Dan ketika belaian serta kecupan lembut membuat Kwee Han lupa diri maka Kwee Han mabok dan hanyut dalam dunia barunya. Sehari itu bersenang-senang dan Kwee Han merasa jatuh cinta kepada A-hwa, dayang pertama yang menciumnya itu, yang mahir dan tak kalah dengan Siong-hi. Dan ketika semuanya selesai dan Kwee Han pulang maka sang pangeran tiba-tiba muncul dan memberinya janji yang seumur hidup belum pernah terbayangkan, yakni bahwa dia akan menjadi menteri muda urusan perdagangan.

"Nah, kau sekarang dapat berpikir lebih jernih, Kwee Han. Pulang dan bawalah kenangan ini seumur hidupmu. Aku akan membujuk ayahanda kaisar agar mengangkatmu sebagai menteri muda. Kau tak menolak, bukan?”

Kwee Han ternganga. "Paduka mau memberiku kedudukan tinggi itu?"

"Bukan aku, Kwee Han, melainkan ayahanda kaisar. Kau dapat menjadi pembantuku dan sama seperti Khek-taijin."

"Ah, terima kasih!" dan Kwee Han yang langsung menjatuhkan diri berlutut dan berseri-seri akhirnya menerima janji itu dengan gembira. A-hwa, yang keluar bersamanya tersenyum manis. Pangeran Yu Fu tertawa dan menepuk pundaknya. Dan ketika pangeran bertanya apalagi yang kira-kira dia maui mendadak pemuda ini memandang A-hwa, wanita yang baru saja melayaninya itu.

"Pangeran, maaf... bolehkah hamba mengajak A-hwa ke rumah?"

"Ha-ha, kau puas oleh pelayanannya?"

"Benar,“ Kwee Han agak tersipu. "Hamba merasa mendapat pengganti Siong-hi dalam dirinya, pangeran. Kalau paduka memperkenankan biarlah A-hwa ikut hamba dan menjadi pendamping hamba."

"Ha ha, kalau begitu tiga yang lain juga ku serahkan padamu, Kwee Han. Bawa dan ajaklah mereka!"

Kwee Han terkejut. "Paduka menyerahkan empat wanita ini kepada hamba?"

"Ya, kenapakah? Aku dapat mencari penggantinya, Kwee Han. Aku hendak memberi tahu padamu bahwa jangan bodoh kalau ditinggal Siong-hi atau siapa pun juga kekasihmu. Dunia ini banyak wanita, tinggal kita mencari dan mendapatkan. Nah, bawalah A-hwa dan bersenang-senanglah di tempatmu!" Yu Fu memberi tanda, empat dayang yang melayani Kwee Han ternyata diberikan begitu saja.

Kwee Han terbelalak tapi tentu saja girang bukan main. Tak tahu akal licik sedang berjalan di benak pangeran itu. Dan ketika hari itu A-hwa dan tiga temannya mengikuti Kwee Han maka pemuda ini seakan mendapat durian runtuh dan hidup bagai di surga. Empat dayang itu seolah bidadari bagi Kwee Han. Siong-hi seketika lenyap dari ingatannya, A-hwa pandai dan tak kalah dengan Siong-hi.

Dan ketika beberapa hari kemudian Kwee Han mendapat kabar bahwa kaisr berkenan mengangkatnya sebagai menteri muda, atas bujukan Yu Fu, maka tak lama kemudian Kwee Han terangkat derajatnya dan benar-benar menjadi menteri muda, jauh lebih terhormat lagi sewaktu dia masih pedagang. Satu kedudukan tinggi yang belum pernah diimpikannya. Dan karena ini mengharuskan dia bergaul dengan kerabat-kerabat istana dan satu demi satu pengalaman dan kesadaran hidup Kwee Han meningkat maka Khek-taijin, yang dulu dimusuhinya itu kini sudah dekat lagi, akur dan bersahabat.

Kwee Han mengalami dunia baru yang lain daripada dulu. Pemuda ini telah menjadi pembesar, dipanggil "taijin" dan segala hormat serta kemuliaan mengiringinya. Para hamba dan pembantunya bertambah, bahkan Kwee Han sekarang mempunyai pengawal. Bukan main. Dan ketika hari demi hari dilewatkan pemuda itu dan Siong-hi benar benar dilupakan karena sudah diganti A-hwa dan lain-lain maka suatu hari pemuda ini mendapatkan sebuah benda, cermin.

Waktu itu Kwee Han duduk-duduk menikmati teh panas. Semalam dia dilayani A-hwa dan teman-temannya. Pemuda ini mulai menjadi hamba birahi, Kwee Han mulai memelihara gundik juga. Kebiasaan dan contoh istana mulai diikuti. Siong-hi benar-benar terlupakan. Hidup seperti Kwee Han benar-benar hidup yang bergelimang kesenangan, harta dan wanita. Dan ketika pemuda itu sedang melepas lelah setelah semalam mengumbar nafsu mendadak terdengar bunyi nyaring dan kaca jendelanya pecah.

"Pranggg!"

Kwee Han terbelalak. Dia melihat sebuah cermin berbingkai emas jatuh di bawah kakinya, pemuda ini menjublak dan tertegun. Tapi ketika benda itu tak bergerak lagi dan Kwee Han bangkit segera pemuda ini mengambil dan mendesis. "Ahh, cermin apa ini? Dari mana?"

Kwee Han mengamat-amati, heran dan kaget namun juga girang. Cermin itu indah dan bersinar-sinar. Bingkainya yang terbuat dari emas cukup mahal, kalau dulu dia masih menjadi nelayan miskin tentu ini penarik perhatiannya yang utama. Tapi karena Kwee Han telah kaya dan emas begituan saja tak menarik hatinya maka dia membalik dan tertarik oleh huruf huruf di bagian belakang, tiga bait syair yang membuatnya heran, membaca tapi tak mengerti dan segera Kwee Han bergidik oleh sepasang gambar yang berlawanan di cermin ini.

Sebuah bergambar dewa-dewi bersama burung Hong sedang yang lain bergambar mirip iblis atau gendruwo! Kwee Han bergidik, tengkuknya meremang. Dan ketika dia membalik dan melihat guratan-guratan lain yang tidak dimengerti macam pelajaran ilmu silat tiba-tiba berkesiur tiga bayangan dan suara di luar.

"Heh, ke sinikah benda itu jatuh?"

"Benar."

"Di mana gerangan?"

"Tak tahu, nenek siluman. Tapi ayo kita cari. Siapa mendapatkan dialah yang berhak!"

Kwee Han terkesiap. Di luar kamarnya itu berkelebat tiga bayangan yang mirip iblis, tak tampak siapa mereka dan Kwee Han cepat-cepat menyembunyikan benda penemuannya itu. Angin berkesiur dan pintu kamarnya terbuka, sesosok bayangan tinggi besar muncul disusul bayangan lain yang tinggi kurus.

Mereka berkelebat dan geraman menggetarkan terdengar di situ, hampir copot nyali Kwee Han mendengar geraman itu, pemuda ini sudah menyelinap dan meringkuk di bawah tempat tidur, dikolong, benda penemuannya sudah dilempar ke dinding rahasia dan lenyap sebelum dua bayangan ini muncul. Dan ketika Kwee Han bersembunyi dan terbelalak melihat seorang kakek tinggi besar menggeram-geram mendadak yang tinggi kurus mendengus dan mengobrak abrik isi kamarnya.

"Benda itu kelihatannya di sini, keparat!"

"Hm, di mana?"

"Cari saja, Tok-ong. Jangan bertanya dan bawel seperti perempuan!"

Kakek tinggi besar itu memaki. Dia menggeram dan mengobrak-abrik isi kamar Kwee Han pula, Kwee Han mau keluar tapi gentar. Sikap dan gerak-gerik dua orang itu terlalu menyeramkan bagi Kwee Han. Dan ketika Kwee Han menggigil dan pucat di bawah tempat tidur tiba-tiba tempat tidurnya ditendang dan Kwee Han mencelat terlempar.

"Hei, kau jangan bersembunyi seperti tikus. Apkah melihat cermin di sini?" bentakan itu menggelegar, Kwee Han merasa terlempar dan menumbuk dinding. Pemuda ini berteriak. Tapi ketika dia terkejut dan kaget tempat tidurnya mencelat ditendang tahu-tahu kakek tinggi besar yang menyeramkan itu menyambar dirinya.

"Ngek!" Kwee Han serasa digencet. "Kau melihat apa di kolong tempat tidur itu, bocah? Mana Cermin Naga yang kami cari-cari...?"

Sepasang Cermin Naga Jilid 07

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 07
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"BRET CRATT...!"

Hu Beng Kui robek bajunya. Dua kali dia tertusuk tapi dua kali itu pula sendok garpu terpental. Sepasang nenek iblis terbelalak karena lagi-lagi Khi-bal-sin-kang melindungi tubuh pendekar itu, bukan main marahnya mereka. Tapi karena Hu Beng Kui juga tak dapat menyerang mereka dan pertandingan berjalan imbang maka Swat Lian yang ada di luar mendengar ayahnya memaki.

"Iblis busuk, kalian mempergunakan ilmu hitam, nenek siluman. Ayo keluarlah dan jangan memakai itu!"

"Hi-hik, kalau kau pandai kau boleh membuyarkan ilmu kami, orang she Hu. Ayo robohkan kami seperti katamu itu?"

"Kalian licik, kalian curang. Mana dapat ku robohkan kalau bersembunyi?"

"Heh heh, itu namanya tak mampu, Hu-taihiap. Lebih baik kau pun tak mempergunakan Khi-bal-sin-kang mu itu dan kami muncul."

"Keparat, kalian pun tak dapat merobohkan aku. Biar kulihat sampai di mana tenaga kalian kalau bertanding sampai pagi!"

Dua nenek di depan terdiam. Mereka tiba-tiba tidak tertawa lagi, serang menyerang masih terjadi namun nenek di dalam gulungan asap hitam mengendorkan serangan. Mereka rupanya terkejut mendengar kata-kata lawannya tadi, ingin melihat tenaga mereka kalau pertandingan berjalan lama. Ini berbahaya, mereka sudah tua, tak mungkin kuat berlama-lama diajak bertanding dengan yang lebih muda. Betapapun Hu Beng Kui menang napas dan daya tahan. Dan karena ancaman itu membuat mereka terkejut sekaligus sadar tiba-tiba dua nenek itu mengendorkan serangan dan satu sama lain melengking lirih, memberi isyarat..

"Ji-moi, jangan kuras tenaga. Hati hati...!"

"Ya, dan kau pun jangan bernafsu, Toa-ci. Biar saja kita isi kesempatan begitu tiba!"

Hu Beng Kui kini menyesal. Dia menggeram tanda mendongkol, Hu Beng Kui dapat diserang tapi tak dapat dilukai sementara nenek iblis di depan tak dapat diserang tapi sekali diserang tentu kaget. Pertandingan macam begini membuat repot, dan bingung, masing-masing pihak merasa menemui jalan buntu. Dan ketika mereka tak mengeluarkan suara lagi dan sama-sama mendongkol mendadak muncul sesosok bayangan pendek yang tiba-tiba berkelebat di situ.

"Heh, kalian kiranya di sini, Bi Kim? Siapa lawan kalian ini?"

"Hek-bong Siauwjin!" Swat Lian tiba-tiba berteriak, terkejut dan ganti mengejutkan bayangan ini. "Eh, mana suhengku, Siauwjin? Mana dia? Keparat, kau iblis busuk... singg!" dan Swat Lian yang meloncat serta menusukkan pedangnya tiba-tiba berkelebat dan menyerang setan cebol ini, dikelit.

Hek-bong Siauwjin tertegun. Tadinya dia tak mengenal gadis itu. Tapi setelah Swat Lian menyerang dan membentaknya tiba-tiba iblis cebol ini teringat dan terkekeh. "Heh-heh, kau anak perempuan di pinggir sungai itu? sumoi dari pemuda itu? Bagus, suhengmu sudah kuantar ke neraka, bocah. Dan kau pun boleh menyusul kalau suka... plak!" si iblis tiba-tiba menangkis, kali ini tidak mengelak ketika Swat Lian menyerang lagi, pedang di tangan gadis itu terpental sementara Hek-bong Siauwjin tak apa-apa, Swat Lian terpelanting. Dan ketika gadis itu terkejut dan meloncat lagi maka di sana Bi Kim berseru nyaring,

"Siauwjin, dia itu anak Hu-taihiap. Lebih baik kau bantu kami dan robohkan pendekar pedang ini!"

"Eh, dia Hu taihiap? Jadi ini orang she Hu yang terkenal permainan pedangnya itu? Ha-ha. bagus. Kalau begitu bekuk dan tangkap dia, Bi Kim. Tak usah ku bantu kalian berdua tentu mampu!"

"Tidak, dia memiliki Khi-bal-sin-kang, Siauwjin. Ayo bantu kami dan jangan hiraukan gadis itu!"

"Khi-bal-sin-kang?" Siauwjin melengak, mengelak serangan-serangan Swat Lian. "Eh, kalian tidak main-main, nenek siluman? Jago pedang ini memiliki Khi-bal-sin-kang?"

"Ya, dan kami tak perlu malu minta bantuanmu, Sauwjin. Ayo ke sini dan tinggalkan gadis itu....cring-trangg!" sendok dan garpu di tangan si nenek putus lagi, mereka menampakkan diri dan Hu Beng Kui berkelebat. Percakapan tadi membuat mereka lengah, jago pedang ini membentak dan pedang pun bergerak. Dan ketika dua nenek itu terkejut dan terpaksa mengerahkan ilmu hitamnya bergulingan lagi maka Siauwjin terkejut terheran heran, menangkis dan tiba-tiba menampar pedang di tangan Swat Lian.

Gadis itu berteriak dan pedangnya pun mencelat. Sungguh menghadapi orang-orang macam Hek-bong Siauwin ini dia macam anak kecil saja, bukan main. Dan ketika Swat Lian mengeluh dan Hek-bong Siauw jin tertarik oleh kepandaian ayahnya tiba-tiba iblis cebol ini meninggalkannya dan lenyap ke depan.

"Baik, coba kucoba dia, Bi Kim. Ingin kutahu apakah benar dia memiliki Khi-bal-sinkang... siuutt!" dan Hek-bong Siauwjin yang memukul serta melontar pukulan jarak jauh tiba-tiba sudah membokong dan menghantam punggung pendekar ini, leluasa geraknya karena dia cebol, Hu Beng Kui membentak dan marah. Tentu saja dia menangkis. Dan ketika dia membalik dan lengan bajunya yang kosong menyambut pukulan Siauwjin tiba-tiba setan cebol itu berteriak keras dan tubuhnya pun terlempar tinggi.

"Heii.... dess!" Hek-bong Siauwjin kaget. Untuk pertama kali dia percaya omongan rekannya, pukulannya membalik dan masih ditambahi lagi dengan khi bal-sin-kang yang dilancarkan Hu Beng Kui. Jago pedang itu mengebut dan ia pun terlempar. Dan ketika Hek-bong Siauwjin terpaksa berjungkir balik mematahkan pukulan lawan dan dua nenek iblis Bi Kim serta Bi Lin tertawa maka iblis cebol ini melayang turun dengan muka pucat.

"Hayaa? betul. Itu Khi-bal-sin-kang!"

"Heh-heh, sekarang kau percaya, Siauwjin? Nah, jangan main-main dan bantu kami. Coba kerubut bertiga dan cabut senjatamu!"

"Tidak, aku masih penasaran, nenek siluman. Biar aku bertangan kosong dulu dan kubuktikan lagi... siuuut!" si iblis menyerang lagi, membokong dan Hu-taihiap membentak. Dua kali Hek-bong Siauwjin selalu membokong dan menyerang curang, dia marah dan menangkis. Dan ketika lengan bajunya kembali mengebut dan iblis itu terpelanting roboh maka Hek-bong Siauwjin terbelalak dan ingat Bu-beng Sian-su.

"Dia seperti Sian-su. Keparat, ini Khi-bal-sin-kang yang dimiliki Sian-su...!"

"Hi hik, tak perlu penasaran, Siauwjin. Jago pedang ini, rupanya memang memiliki hubungan dengan Sian-su. Ayo, serang lagi dan jangan banyak cakap. Cabut senjatamu!"

Terpaksa, karena malu dan marah dua kali dipukul balik oleh Khi-bal-sin kang tiba-tiba Hek bong Siauwjin mencabut senjatanya, sebuah sabit lebar berbadan tipis, berkelebat dan lenyap membentak Hu Beng Kui. Dan ketika jago pedang itu dikeroyok tiga dan menggeram memaki lawannya maka pedang bergerak dan sabit di tangan iblis cebol itu pun ditangkis.

"Cranggg!" Sama seperti Toa-ci atau Ji-moi iblis ini terkejut. Dia berteriak melihat ujung sabitnya putus terbabat, lagi-lagi karena Khi-bal sin-kang. Bukan main marahnya setan cebol ini. Tapi membentak dan menerjang lagi akhirnya dia berkelebat dan menggerakkan sabitnya, tak berani beradu secara langsung dan nenek Bi Kim maupun Bi Lin terkekeh. Mereka geli oleh pelajaran yang didapat rekan mereka itu, Hek-hong Siauwjin hati-hati, mendelik dan memaki-maki mereka. Lalu ketika mereka bertiga bergerak menyerang dan Hu Beng Kui dikepung dari tiga penjuru maka jago pedang ini menggerakkan pedangnya seraya mengibaskan pula lengan bajunya yang kosong.

Ramailah pertandingan itu. Swat Lian terbelalak melihat kehebatan ayahnya ini, semakin terbelalak dan kagum serta terheran heran. Dia baru kali itu mendengar Khi-bal-sin kang, sinkang aneh yang didapat ayahnya entah dari mana. Dan kini melihat ayahnya mampu menghadapi Hek-bong Siauwjin dan dua nenek iblis Bi Kim serta Bi Lin dan ayahnya tak nampak terdesak maka gadis ini girang bukan main dan takjub.

"Yah, bunuh mereka itu. Tangkap dan bekuk Hek-bong Siauwjin, dia menculik Beng suheng!"

Swat Lian mulai berteriak, menyoraki dan memberi semangat pada ayahnya tapi Hek-bog Siauwjin dan Toa-ci serta Ji-moi mendengus. Mereka memang tak dapat mendesak jago pedang ini namun sesungguhnya jago pedang iu pun tak dapat mengalahkan mereka. Aneh pertandingan ini. Hu Beng Kui kebingungan karena dua nenek siluman menyembunyikan diri lagi di balik ilmu hitam, tabir asap yang melindungi mereka itu membuat si jago pedang memaki.

Hek-bong Siawjin terbahak dan mengeluarkn ilmu hitamnya pula, meniup dan asıp hitam pun tiba-tiba membungkus dirinya. Rupanya setan cebol ini tahu bahwa dengan cara itu Hu Bung Kui tak dapat mnyerang. Menirulah dia cara yang dipergunakan rekannya dan lenyaplah pula iblis ini di balik asap hitam. Dan karena mereka tokoh-tokoh tua yang kepandaiannya sudah tinggi dan hanya menghadapi Khi-bal-sin-kang mereka kewalahan dan berhati-hati maka seruan Swat Lian disambut dengus dan ejekan,

"Heh, ayahmu itu tak dapat mengalahkan kami, bocah. Meskipun dia hebat tapi kami pun tak dapat diserang!" nenek Bi Kim mendelik, mendongkol pada gadis itu dan tiba-tiba dia memekik. Adiknya menyambut dan tiba-tiba dua nenek ini menyerang dari muka dan belakang, Hek-bong Siauw jin diminta dari samping dan Swat Lian pun tak dapat mengikuti jalannya pertardingan. Gerakan mereka sudah sedemikian cepat hingga matapun kabur mengikuti jalannya pertandingan. Dan ketika Hu Beng Kui terkejut karena lawan dapat menyerang di balik asap hitamnya maka jago pedang ini mendapat tusukan atau bacokan.

"Plak-Brett!

Khi-bal-sin-kang lagi-lagi melindungi pendekar itu. Hu Beng Ku tak apa-apa, hanya baju dan pakaiannya robek, lawan berteriak marah dan menyerang kembali. Dan karena pendekar ini kebingungan karena lawan tak terlihat tiba-tiba dia didesak dan Hek-bong Siauwjin tertawa.

"Ha-ha, sekarang kau mampus, Hu-taihiap. Sekarang kau terdesak!"

Jago pedang ini menggereng. Terdesak dalam arti sebenarnya sebetulnya tidak, dia hanya kewalahan menghadapi sambaran senjata yang mencuat dari balik ilmu hitam, apalagi ketika matanya dijadikan sasaran. Tiga iblis itu cerdik dia sudah mengincar bagian ini, matanya tak mungkin dilindungi Khi-bal-sin-kang, benda itu memang paling lemah. Hek-bong Siauwjin dan nenek Bi Kim terkekeh-kekeh.

Tapi ketika Iawan mendesak curang dan jago pedang ini teringat ilmu bertahan di Cermin Naga mendadak pendekar ini mengeluarkan seruan panjang dan pedang tiba-tiba dilontar jauh ke udara, meloncat dan tiba-tiba berkelebatan dan lawan pun terseru kaget. Hu Beng Kui tiba-tiba memecah dirinya menjadi tiga, begitu cepat dan luar biasa hingga Bi Kim dan dua temannya terpekik. Itulah ilmu yang lagi lagi mirip dengan yang dipunyai Sian-su, mereka tentu saja tak mengira jago pedang ini telah mendapatkan Cermin Naga.

Dan Ketika Hu Beng Kui semakin menpercepat gerakannya dan bayangannya dari tiga menjadi enam dan dari enam menjadi dua belas akhirnya bayangan pendekar itu menjadi ratusan banyaknya dan Hu Beng kui tampak pecah menjadi seribu!

"Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa)..." nenek Bi Kim menjerit, kaget dan terkesiap karena kini lawan berkelebatan cepat di sekeliling dirinya. Tabir asap hitam menjadi tak berguna dan tampaklah kini bayangan si nenek itu, juga Bi Lin. sang adik, begitu pula Hek-bong Siauwjin. Tiga orang itu merasa ditelanjangi dan mereka tak dapat lagi bersembunyi di balik ilmu hitam sekonyong-konyong Hu Beng Kui tertawa bergelak menggerakkan pedangnya tiga kali, pedang yang sudah ditangkap dan disambar dari udara.

"Ha-ha, sekarang kalian tak dapat lari, nenek siluman, Aku masih lebih lihai dari kalian.... cret-sing-singgg!"

Nenek Bi Kim mengeluh, pundaknya terluka dan ia membanting-banting tubuh bergulingan. Hu Beng Kui ternyata memiliki Jing-sian eng pula, di samping Khi-bal sin-kang. Dan karena pendekar itu sekarang dapat melihat mereka dan ke manapun mereka bersembunyi selalu dikejar pedang maka Hek-bong Siauwjin dan nenek Bi Lin mencelos pula, berteriak dan mendapat satu babatan dan cepat menangkis, lupa bahwa senjata di tangan mereka tak mungkin menang menghadapi tenaga pendekar itu. Benar saja, senjata mereka putus dan pedang masih terus menyambar miring, mereka membanting tubuh bergulingan dan berteriak kaget. Dan ketika mereka melompat bangun dan di sana Bi Kim sang nenek pertama melengking gentar maka nenek ini tiba-tiba berjungkir balik dan lenyap melarikan diri.

"Ji-moi, mundur. Biar setan cebol itu menghadapi sendirian!"

"Aih," Hek-bong Siauwjin terbelalak, kecut. "Kalian meninggalkan kawan, Bi Kim? Ha-ha. Tak usah, nenek busuk. Aku pun juga pergi...siuut!" dan sebuah sinar putih yang menyambar dan tahu-tahu menuju tenggorokan Hu Beng Kui namun dikebut jago pedang itu, runtuh dan ternyata sisa potongan sabit.

Hu Beng Kui tertawa bergelak mau mengejar, sinar putih kembali menyerang dan kali ini pisau pisau kecil yang dilontar lawan. Dari arah lain menyambar pula garpu dan sendok puluhan banyaknya, itulah senjata rahasia milik dua nenek siluman itu. Tapi ketika Hu Beng Kui meruntuhkan semua senjata, dan pedangnya berdenting berkali-kali maka Swat Lian melompat bangun dan terseru keras,

"Ayah, jangan kejar. Aku tak dapat mengikutimu!" dan si jago pedang yang sadar dan cepat menahan langkah akhirnya tertawa dan menyambut puterinya, menyimpan pedang dan matahari pun mulai semburat di langit timur. Kiranya pertandingan telah berjalan cukup lama, tak kurang dari empat jam. Dan ketika Swat Lian menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya maka si jago pêdang sendiri terbahak-bahak,

"Ha ha, sekarang aku tak takut siapa pun. Swat Lian. Ilmu kepandaianku sudah naik sepuluh kali lipat!"

"Ya, dan kau hebat bukan main, ayah. Kau sekarang menjadi orang saktı! Kepandaian dari manakah semuanya itu? Bukankah sebelumnya menghadapi Kim-mou-eng pun kau kalah?"

"Ha ha, ini ku dapat dari, eh....mari masuk, anak baik. Kita ke dalam!" dan si jago pedang yang menghentikan semuanya menarik sang puteri lalu berkelebat dan masuk ke kamar. Di situ membetulkan gambar-gambar yang berserakan di lantai. Kepuasan dan rasa gembira jelas terbayang di wajah pendekar ini. Dan ketika ia duduk sementara puterinya menunggu dan tampak terbelalak maka pendekar ini mengeluarkan cermin yarg di dapatnya itu.

"Inilah asal mulanya, aku belajar dari sini."

"Cermin Naga?" Swat Lian terkejut. "Kau mendapatkannya, yah? Dari mana ini? Eh....!" dan Swat Lian yang bengong mengamat amati benda itu lalu melihat guratan-guratan halus di belakang cermin. Kaget dan girang tapi sekaligus juga khawatir! Dia tak menyangka ayahnya bakal mendapatkan benda itu, padahal benda ini menjadi rebutan orang banyak dan ayahnya tak tahu dan tak ada di Bukit Malaikat. Waktu itu dia hanya bersama suhengnya dan lain lain, terkejut dan tertegun. Dan ketika dia bertanya dari mana dan bagaimana ayahnya itu bisa mendapatkan cermin ini maka ayahnya tertawa berkata mengherankan,

"Aku dapat di rumah ini, di kamar ini. Waktu itu aku bersamadhi dan cermin ini tahu-tahu memecahkan kaca jendelaku dan jatuh di sini."

"Ayah tak bohong?"

"Heh, untuk apa bohong, anak nakal? Kau kira aku bohong?"

"Tapi cerita ayah mirip dongeng, sulit orang percaya!"

"Hm, begitulah kenyataannya!, Lian-ji. Aku sedang bersamadhi dan tahu-tahu cermin itu menabrak jendela dan jatuh di sini. Aku memang tidak ke mana-mana, aku sendiri juga heran."

Swat Lian tertegun. "Dan Bu-beng Sian-su. hm...." gadis ini teringat pesan kakek dewa itu. "Kakek ini luar biasa, ayah. Aku khawatir dengan Cermin Naga ini!"

"Apa yang kau khawatirkan?"

"Aku khawatir kau di cari orang banyak!"

"Musuh maksudmu?"

"Ya."

"Ha ha, aku tak takut, Lian-ji. Biar enam iblis itu pun datang ke mari aku sanggup menghadapi mereka. Aku kini memiliki Khi-bal-sin-kang, juga Jing-sian-eng!"

"Benar, tapi ini berarti permusuhan, ayah. Aku jadi khawatir terulang kejadian seperti dulu, ketika kau memegang Sam-kong-kiam!"

"Hm," jago pedang itu tiba-tiba berkerut, menarik puterinya mendekat, mengusap rambutnya. "Tak akan ada kejadian seperti dulu lagi, Swat Lian. Kalau toh harus ada korban jiwa maka itu haruslah aku, bukan kau. Aku tak akan membiarkan puteri tunggalku menjadi korban, percayalah!"

"Aku percaya." Swat Lian menggigil, terisak teringat kematian kakaknya. "Hanya... hanya aku ngeri melihat benda-benda pusaka, ayah. Sebaiknya kau kembalikan saja benda itu kepada Sian-su!"

"Apa?" sang ayah terkejut, mendorong puterinya. "Kau gila, Swat Lian. Benda ini datang dan jatuh di kamarku tanpa kuminta. Kalau aku merebut barulah itu tak baik dan harus dikembalikan, seperti Pedang Tiga Dimensi dulu. Tapi bukankah Cermin Naga datang sendiri dan rupunya berjodoh di sini? Tidak, benda ini akan kusimpan, Swat Lian. Dan justeru kau kuminta untuk mempelajarinya pula!"

"Aku tak mau," Swat Lian menggeleng. "Aku takut yah, aku tak mau..."

Kenapa?"

"Pokoknya aku tak mau, dan Swat Lian yang melompat bangun memandang ayahnya tiba-tiba berseru, "Yah. kita harus mencari Kam-suheng dan Beng-suheng. Kepandaianmu sekarang hebat, kau memiliki kesaktian tinggi. Mari kita cari mereka dan kejar si iblis cebol Hek-bong Siauwjin itu!"

"Hm, aku pribadi tak suka menanam permusuhan, anakku. Tapi kalau Hauw Kam dan Gwan Beng diculik orang tentu saja kita harus mencari. Baiklah, kita berangkat dan kejar si setan cebol itu."

Swat Lian girang. Ayahnya sudah bangkit berdiri dan mau diajak, itu pertanda baik. Tapi ketika ia hendak keluar dan sang ayah memandangnya aneh tiba-tiba pendekar itu menahan puterinya.

"Nanti dulu, bagaimana dengan Kim-mou eng? Bukankah dia juga harus dicari?"

Swat Lian terkejut. "Boleh dicari tapi jangan sekarang, yah. Pendekar Rambut Emas sendiri sedang susah dan bingung."

"Kenapa?"

"Anaknya hilang, diculik Sepasang Dewi Naga itu!"

"Tapi sepasang nenek iblis itu tak membawa apa-apa, mereka tanpaknya sendirian saja!"

"Benar, tapi..."

"Hm, apa perdulimu?" sang ayah memotong. "Itu urusan Kim-mou-eng sendiri, Swat Lian. Kalau dia kehilangan anak itulah salahnya sendiri. Tidak, kita cari suhengmu dan Kim-mou-eng itu juga. Siapa pun yang kita dapatkan harus di dahulukan. Mari!" dan sang ayah yang menyentak serta menarik puterinyà tiba tiba mereka keluar melalui jendela. Lalu begitu pendekar itu mengerahkan kesaktiannya dan berkelebat ke utara tiba-tiba pendekar ini terbang dan sudah membawa puterinya meninggalkan Ce-bu, lenyap dan hilang dalam sekejap mata saja.

* * * * * * * *

"Koko, bangun. Heii, jangan malas!"

"Mmmm....sudah siangkah! Di mana kita?"

“Hi-hik, kita di Telaga Tiga Naga, koko. Ayo bangun dan cuci muka, lalu sarapan!"

Suara kekeh dan geliatan tubuh terdengar di pagi itu. Sepasang muda-mudi tampak gembira di kamar sebuah losmen, si wanita menggelitik kekasihnya dan si pemuda pun bangun, menggeliat dan menguap lalu tertawa. Semalam itu dia tidur terlalu larut, mata masih mengantuk namun sang kekasih membangunkan. Dia bangun dan terhuyung ke kamar mandi. Dan ketika air ditepiskan ke muka dan rasa dingin mengejutkan syaraf maka si wanita yang mengikuti dan terkekeh di belakang mendorong tak sabar.

"Hi hik, masuk, koko. Ayo mandi dan biar kusiram!"

"Eh-eh, nanti dulu, Siong-hi. Aku belum siap, aku masih kedingin uh... eh!" dan si wanita yang menyiramkan air tanpa menunggu lagi mendadak membuat si pemuda terkejut namun tertawa, dilepas seluruh pakaiannya dan mandilah dia bersama kekasihnya itu. Pagi yang segar di Telaga Tiga Naga mudah membuat orang merasa gembira, sepasang muda-mudi ini begitu juga dan mereka pun tertawa-tawa di kamar mandi itu.

Siong-hi, si wanita, menggerujuk kekasihnya dengan air berkali-kali, dan karena Telaga Tiga Naga adalah daerah dingin di mana air serasa beku seperti es maka si pemuda menggigil kedinginan namun tertawa menyambar kekasihnya itu, memeluk. Lalu begitu dia disiram lagi dan pemuda ini gemas-gemas mendongkol tiba-tiba ia pun menyergap mulut kekasihnya dan mencium.

"Siong-hi, kau nakal. Harus dihukum!" dan suara air yang berhenti tiba-tiba diganti kecupan dan ciuman akhirnya membuat. kamar mandi itu tak berisik lagi dan sejenak dipenuhi suara dan keluhan nikmat. Keduanya saling peluk dan dekap di kamar mandi itu, kemesraan ditunjukkan masing masing pihak dan si wanita pun memejamkan mata Tapi ketika si pemuda melepaskan dirinya dan wanita ini membuka mata maka Siong-hi terengah manja.

"Han-ko, kau nakal. Hanya begini saja?"

"Maksudmu?"

“Jangan setengah-setengah, koko. Cumbu dan berilah aku kasih sayangmu sepenuhnya!"

"Ha-ha...!" dan si pemuda yang menyambar dan meraih pinggang si wanita tiba-tiba sudah menggulingkan tubuh dan mencium lagi, kini lebih ganas dan agresip dibanding tadi. Si wanita merintih dan mengeluh. Dan ketika si pemuda memagut dan menciumi bagian-bagian lain lagi akhirnya mereka pun terbang ke surga dan kamar mandi itu menjadi saksi bisu atas semua asyik masyuk ini, setengah jam kemudian erangan puas terdengar di situ. Keduanya bangkit dan sama-sama mandi, terkekeh. Lalu ketika keduanya keluar dan berganti pakaian maka si pemuda memuji tak habis habisnya, kagum.

"Siong-hi, kau cantik. Sungguh cantik!"

"Ih, berulang kali kau memujiku, koko. Tidakkah kau bosan?"

"Ha ha... memuji dan mengagumimu takkan membuatku bosan, Siong-hi. Kau isteriku yang cantik dan ku kagumi!"

Mata yang mengerling itu melerok manja. Siong-hi tertawa dan merebahkan tubuh di dada kekasihnya, mereka ternyata sepasang suami isteri muda. Agaknya masih dalam suasana bulan madu dan si pemuda menyambut. Dan ketika pintu diketok dan seorang pelayan memberi tahu mengantar makanan maka Siong-hi, si cantik ini menggeliat bangun.

"Nah, sudah waktunya sarapan, koko. Mestinya sejak tadi namun pelayan rupanya segan menemui kita. Ayo, kita ke taman!"

Siong-hi membuka pintu, melihat seorang pelayan berdiri di pintu dengan senyum penuh arti, membawa penampan berisi sarapan pagi, mengangguk. Namun ketika wanita ini memberi tahu båhwa mereka ingin makan di taman maka si pelayan diminta untuk mengantar makanan itu di sana.

"Letakkan di meja taman, ambil yang menghadap telaga!"

Si pelayan mengangguk, memutar tubuh dan membawa pergi makanan tamunya. Dan ketika wanita ini mengajak suaminya dan berdua mereka ke taman maka si pemuda menggandeng dan memeluk pinggang isterinya itu.

Siapakah mereka? Sudah kita kenal, Kwee Han dan Siong-hi, isterinya. Mereka memang telah menikah dan kini dua suami isteri itu ke Telaga Tiga Naga. Inilah tempat di mana mereka dulu berasyik masyuk, di situlah Kwee Han mengenal wanita dalam arti sesungguhnya. Kini merasa bahagia dan mencinta isterinya sungguh sungguh. Siong-hi memang cantik, merenggut seluruh sukma pemuda itu. Dan ketika Kwee Han, pemuda asal Ming-ciang yang gagah dan pemberani ini bertekuk lutut di kaki isterinya maka sepuluh bulan ini pemuda itu selalu minta isterinya berlibur di Telaga Tiga Naga.

Kwee Han sekarang pemuda kaya raya. Tokonya besar, pandai berdagang dan kebetulan sahabat Khek-taijin pula, menteri yang banyak memberi hadiah pada pemuda itu, menteri yang tentu saja banyak kenalan dan mudah menggalang persahabatan dengan siapa saja, tentu saja orang-orang besar kaum bangsawan atau pedagang. Kwee Han banyak dibantu menteri ini dan mengalami kemajuan besar.

Artinya, kemajuan materi karena pemuda itu sekarang sudah berkecukupan dalam segala bidang. Untuk makan minum Kwee Han tak perlu khawatir lagi, bekas nelayan yang sudah menjadi hartawan ini berlimpahan harta benda, semua mula-mula berasal dari Khek taijin. Dan ketika hari itu, ahir pekan, Kwee Han pesiar dan mengajak isterinya ke telaga ini, maka suami muda ini merasa gembira dan bahagia karena sang isteri dirasa mencinta dan menyayangnya pula.

Siong-hi tampak setia. Kemana si suami pergi ke situ wanita ini mengikut, bahkan toko Kwee Han pun dia yang mengelola. Siong-hi isteri yang pandai dan mengagumkan, Kwee Han harus mengakui itu dan kadang-kadang dia merasa kecil.Maklum, Kwee Han ini adalah bekas pemuda yang kehidupannya dulu sebagai nelayan biasa. Sebuah perahu bututnya saja diperoleh dengan susah payah, pendidikannya sedang sedang saja dan tidak tinggi. Dan ketika semuanya dibantu Siong-hi dan toko serta perdagangan mereka maju maka setiap minggu Kwee Han mengajak isterinya melepas lelah di Telaga Tiga Naga.

"Kita sehari-harian bekerja penuh, seharusnya seminggu sekali harus rileks dan mengendorkan pikiran. Bagaimana pendaptmu, Siong-hi?” dulu pernah pemuda ini bertanya, jawab senyum dan anggukan isterinya.

Dan ketika Siong hi setuju dan sependapat maka wanita ini menjawab. “Tentu saja, bukankah kita hidup untuk mencari senang, koko? Bekerja sehari harian memeras keringat memang meletihkan. Aku setuju dan sependapat dengan maksudmu, Hanya ke mana kita mélepas lelah?"

"Telaga Tiga Naga! Bukankah di sana pertama kali kita menjalin cinta? Ha ha, kita pesiar di sana, isteriku. Kita méngulang kenangan manis kita dulu!"

Siong-hi tertawa. Mereka kini setiap minggu pasti ke sana, pelayan losmen mengenal mereka dan tentu saja mereka disambut gembira. Kwee Han cukup royal membagi persen, maklum, uang didapat dengan mudah. Dan ketika hari itu mereka kembali bersenang-senang dan masa bulan madu seolah tak habis-habisnya maka Kwee Han gembira dan bahagia, meskipun ada satu yang agak mengganjal, yakni belum diperolehnya keturunan.

“Siong-hi, kapan kita punya anak? Kenapa kau belum berubah juga?"

"Ih, kenapa tergesa-gesa, koko? Bukankah kau masih ingin bersenang-senang?"

"Benar, tapi aku mulai pingin punya keturunan, Siong-hi. Aku ingin menjadi bapak!"

Siong-hi tertawa. Kalau sudah begini biasanya dia akan melingkarkan lengan di leher suaminya, berbisik menyuruh sabar dan memberi kecupan mesra. Kwee Han tampak terburu-buru dan segera akan sabar lagi kalau sudah dipeluk. Dan ketika hari itu pemuda ini juga terhanyut dan mabok dalam belaian isterinya maka Siong-hi lalu mengajak suaminya pesiar ke tengah telaga, berperahu.

"Kita ke tengah, cari perahu yang baik!"

Kwee Han menurut Setelah sarapan dia lalu mencari perahu, bersenang senang di tengah telaga bersama isteri tersayang. Tapi ketika mereka asyik mendayung pelan dan Kwee Han minum arak sambil bernyanyi-nyanyi mendadak sebuah perahu lain muncul dan tiga laki-laki di sana terbelalak memandang Siong hi.

"Eh, bukankah itu Siong-hi?"

"Benar, itu Siong-hi, Giok Po. Si cantik yang dulu pernah melayani kita!"

"Ha-ha, memang benar, itu Song-hi. Kebetulan.....!" dan tiga laki-laki di atas perahu yang segera memutar dan mendekatkan perahunya ke perahu Siong-hi tiba-tiba membuat Siong-hi pucat karena mengenal mereka sebagai orang-orang kasar yang dulu memang pernah kencan dengannya, pembantu atau tukang pukul Ban-taijin sahabat dari Khek-taijin.

Mereka dulu pernah datang di gedung menteri Khek dan Bao-taijin melihatnya, memintanya dan menyuruhnya melayani dan akhirnya tiga orang itu pun minta bagi. Khek taijin memberikannya karena di gedung itu dia memang pelayan, Siong-hi tak dapat menolak. Dan ketika tiga orang di atas perahu itu tertawa-tawa menghampirinya dan Sioog hi pucat maka perahu itu pun mendekat dan Kwee Han saat itu mulai mabok, terbelalak melihat orang-orang ini.

"Eh, siapa mereka?"

"Ha ha!" perahu sudah menempel, tiga orang itu berloncatan ke perahu Kwee Han. "Kami sahabat Siong-hi, anak muda. Kau rupanya pacar barunya dan tak tahu, ha-ha...!" dan mereka yang tertawa-tawa menghampiri Siong-hi tiba-tiba menyambar dan mencekal lengan wanita itu. "Hei, kau ingat kami, Siong-hi? Aku Giok Po, orang kepercayaan Ban-taijin!"

"Ya, dan aku Ting Hong, Siong-hi. Kau tentu masih ingat ketika memberikan kecupan mesra padaku!"

"Ha ha, dan aku tak lupa. Kau tentu tak lupa pula, Siong-hi. Ayo kita bersenang senang dan pindah ke perahu kami!"

Sion hi di tarik, disambar dan dipegangi serta diremas-remas dan Siong hi tentu saja berteriak-teriak. Wanita ini pucat dan Kwee Han yang mabok tiba.-tiba menggereng, Pemuda itu melihat seolah ada enam orang di situ. Dan ketika mereka tertawa-tawa dan menarik serta menjamah-jamah isterinya mendadak pemuda ini menyambar dayung dan rasa mabok tiba-tiba hilang.

"Manusia-manusia keparat, kalian binatang... plak-plak-dess!" dan dayung yang menyambar serta menghantam tiga kali tiba-tiba membuat tiga laki-laki itu menjerit dan terpelanting, masuk ke air telaga dan terlempar keluar perahu.

Gegerlah tempat itu. Orang di tepian terbelalak dan kaget. Suara terceburnya tiga laki-laki kasar tadi diiring pekik dan teriakan Siong-hi segera menarik perhatian, semua menoleh dan tiga laki-laki yang kecebur sudah berenang marah. Mereka memaki dan naik ke atas perahu. Tapi begitu tangan memegang pinggiran perahu dan Kwee Han menghantam maka tiga orang ini menjerit lagi dan jatuh.

"Kalian manusia-manusia busuk, Kuhajar kalian!" Kwee Han marah-marah, menghantam dan memukuli setiap laki-laki yang coba naik ke perahunya. Tiga laki-laki itu nekat. Namun karena Kwee Han di atas perahu dan mereka di air tiba-tiba ketiganya memekik dan langsung menyelam menyerang bawah perahu Kwee Han, diguncang guncang dan diguling ke kiri kanan.

"Aduh, jangan... jangan...!" Siong-hi histeris, takut kecebur karena ia tak pandai berenang. Mereka berada di tengah dan bisa tengglam dia nanti.

Kwee Han kaget dia seketika meluap. Dan karena pemuda ini adalah pemuda pemberani dan Kwee Han adalah bekas nelayan yang tentu saja tak asing dengan air mendadak pemuda ini meloncat ke air telaga dan menyelam pula, dayung tetap di tangan, kaku dan beringas! Tak tahulah Siong-hi apa yang terjadi. Dia hanya merasa perahu dibalik dan diguncang, miring ke kiri tapi akhirnya ke kanan, miring ke kanan tapi akhinya ke kiri lagi. Dan ketika terdengar suara menggeluguk dan di bawah terlihat pertandingan seru satu lawan tiga akhirnya tiga laki-laki kasar muncul dan megap-megap.

"Aduh, tobat! Ampun...!"

Kwee Han muncul juga. Pemuda ini beringas dan kiranya pandai berenang, tadi dalam air ia menghajar tiga laki-laki itu. Giok Po dan teman-temannya kaget. Mereka kalah lama bertahan di air, bukan jago yang baik seperti Kwee Han. Dan ketika mereka harus mengambil napas dan Kwee Han di bawah sudah menghajar mereka pulang-balik maka ketiganya muncul ke permukaan dan berteriak tak karuan, matang biru dan Kwe Han mengejar. Pemuda ini gagah sekali di dalam air. Giok Po dan dua temannya gentar. Dan karena mereka laki-laki kasar yang hanya berani kalau menghadapi lawan lemah maka tiga orang itu tiba-tiba meloncat ke perahu mereka dan melarikan diri.

"Bangsat, jahanam kalian! Kubunuh kalian." Kwee Han meloncat ke perahunya pula, basah kuyup dan mau mendayung tapi Siong-hi menyetuh mencegah. Beberapa perahu berdatangan untuk melerai kejadian ini. Siong-hi takut dan menangis tak keruan. Dan ketika Kwee Han melotot dan beberapa perahu mengepung perahunya maka Liok Kwi, pemilik losmen yang dikenal Kwee Han buru-buru membujuk meloncat di perahu pemuda itu.

“Kwee-wangwe (hartawan Kwee), tenanglah. Tahan amarahmu dan lihat harga dirimu dibanding orang-orang kasar itu. Mereka tak pantas menghadapimu. Lihatlah isterimu dan pulanglah ke losmen."

"Keparat!" Kwee Han masih marah. "Siapa mereka itu, Liok Kwi? Dari mana?"

"Aku tak tahu, wangwe. Tapi sudahilah persoalan ini dan jangan ganggu senang-senang kalian dengan persoalan sepele."

"Benar, mereka itu tak berharga melayanimu, kongcu (tuan muda). Dirimu terlalu penting menghadapi kerucuk-kerucuk macam mereka!" seorang kakek, yang dikenal Kwee Han sebagai pemilik perahu berkata pula.

Kwee Han dibujuk dan Siong-hi pun menangis memeluk suaminya ini. Dan ketika semuanya menyuruh Kwee Han diam dan panas yang membakar berhasil didinginkan akhirnya Kwee Han melempar dayung dan tenang, sebenarnya masih uring-uringan dan sisa arakpun dibuang. Pagi itu dia terganggu dan mendidih, kalau tak ada pembujuk tentu dia menghajar tiga orang itu, Kwee Han menahan marah. Dan karena kesenangan menjadi terganggu dan pemuda ini kesal maka Kwee Han mengajak isterinya pulang, tidak ke losmen melainkan terus ke kota raja, rumah mereka sendiri.

"Kita berkemas, bawa semua pakaian dan beri tahu Cin-lopek!"

Cin-lopek, kusir kereta bersiap. Tadi dia melenggut ayam ketika majikannya pesiar, Kwee Han membawa kereta dan pemuda itu selalu bepergian naik kereta kalau kemana-mana, bersama kusirnya itu. Dan ketika mereka kembali dan Kwee Han terganggu oleh tingkah tiga orang itu mendadak ia ingin menyelidiki ketika sampai di rumah, teringat pengakuan tiga orang itu sebagai pembantu Ban-taijin, seorang menteri yang kurang dikenal tapi di ketahui Kwee Han.

Pemuda ini cemburu, rasa panas ternyata membuatnya terbakar. Ia memang tak tahu masa silam isterinya, ini. Dan ketika ia mencari sana-sini dan sedikit demi sedikit ia mengumpulkan keterangan tiba-tiba Kwee Han meledak ketika mengetahui bahwa isterinya dulu memang pernah melayani tiga orang itu.

"Keparat!" Kwee Han menggebrak meja ketika sampai di rumah. "Jadi mereka memang pernah menggaulimu, Siong-hi? Kau wanita tak setia dan tak tahu malu? Dan selama ini kau selalu mengelak dan berbohong?"

"Ah," Siong-hi terkejut, seminggu ini memang dicekam kekhawatiran. "Apa katamu, koko? Kau menuduh isterimu berbuat serong dan tidak setia? Aduh, suami macam apa kau ini, Han-ko? Tega dan mampu melepas kata-kata begitu keji untuk isterimu! Aku tidak mengenal sama sekali tiga manusia binatang itu, aku berani sumpah dan mati!"

"Baik, aku akan mengorek bukti-buktinya, Siong-hi. Dan kalau benar maka kau boleh mati seperti keinginanmu!"

Rumah tangga tiba-tiba geger. Si Suami muda merasa ditipu, Siong-hi kalut dan sehari-hari menangis, kemesraan dan cinta yang selama ini memabokkan mereka tiba-tiba kandas di tengah jalan, Siong-hi pun marah. Dan ketika suaminya pergi dan Siong-hi cemas tiba-tiba ia pun keluar rumah dan pergi, entah ke mana tak ada yang tahu tapi keesokannya mendadak Kwee Han mendapatkan Giok Po dan dua temannya itu tewas, mereka dibunuh dengan cara dicekik. Dan ketika Kwee Han termangu dan pulang ke rumah maka Siong-hi sudah berdiri di situ dengan sikap menantang.

"Bagaimana, kau dapatkan bukti-buktinya, koko? Kau masih menuduh isterimu tak keruan lagi?"

Kwee Han tertegun. Hari itu dia diguncang perasaan tak keruan, menatap isterinya dan menggeram. Sebenarnya dla akan membawa tiga orang itu ke rumahnya, memaksa mereka mengaku dan sudah menyewa tukang pukul pula. Kwee Han kini dapat berbuat apa saja dengan uangnya yang banyak, diam-diam dia mengumpulkan pembantu dan siap menghajar Giok Po dan teman-temannya itu. Tapi ketika mereka didapatkan tewas dan entah siapa yang membunuh maka Kwee Han termangu dan melihat sang isteri terisak, kini tak tahan dan menubruk suaminya itu.

"Han-ko. kau terlalu cepat mempercayai orang. Kau mudah dihasut dan ditipu. Siapa sudi melayani tiga laki-laki kasar macam mereka? Boleh kau bawa mereka ke sini, Han-ko, hadapkan padaku dan biar aku memaki-maki mereka!"

"Mereka sudah tewas," Kwee Han bicara lirih, bingung dan juga marah, masih marah tapi tak tahu kepada siapa sekarang kemarahan itu di tumpahkan. "Mereka telah dibunuh, Siong-hi. Aku memang bermaksud membawanya ke sini tapi keduluan!"

"Hm," Siong-hi berseri-seri, aneh sekali dia menunjukkan kegirangan luar biasa. "Dan kau masih menyangsikan isterimu, koko? Kau seminggu ini keluyuran untuk mencari berita? Kau tak percaya pada ku?"

Kwee Han tertegun.

"Suamiku," Siong-hi merajuk mesra. "Selama ini belum pernah seorang pun menyentuh tubuhku. Kaulah orang pertama dan laki-laki pertama yang menjamah tubuhku. Kalau aku bohong biarlah aku mati ditikam belati!" dan, mendesah menggeleserkan tubuhnya wanita ini tiba-tiba memeluk Kwee Han, seminggu ini tak disentuh dan gairah tertahan tahan tak mendapat jalan keluar.

Siong-hi sebenarnya takut kehilangan Kwee Han, betapapun Kwee Han adalah laki-laki yang dapat memberinya banyak kesenangan, mulai dari harta benda sampai tentu saja hubungan mesra, dia tak ingin kehilangan semuanya itu. Dan ketika Siong-hi menangis dan terisak di dada suaminya ini tiba-tiba Kwee Han tergetar dan tersentak setelah Siong-hi mencium mulutnya.

"Suamiku, mana nafkah batin untukku? Mana semua kasih sayang dan cinta yang selama ini kau berikan? Ah, aku rindu, suamiku. Aku menderita...!"

Dan Kwee Han yang tak dapat menahan diri dan roboh dalam ciuman isterinya tiba-tiba mendesis dan mengambil semuanya itu terbang dan tak lama kemudian rasa cemburu pun lenyap. Kwee Han percaya dan aneh bin ajaib semua kemarahan hilang. Sumpah dan kata-kata isterinya tadi cukup meyakinkan, kwee Han pun mabok. Dan ketika sang isteri membelai dan kecupan demi kecupan membuat mereka berdua panas akhirnya Kwee Han minta maaf dan membawa isterinya itu ke kamar.

"Ah, maafkan aku, Siong-hi. Kiranya selama ini aku dibuat cemburu dan buta. Maafkan aku. Kau isteriku tersayang....!"

Song- hi mengeluh, hubungan tegang di antara mereka selama seminggu ini mendadak lenyap. Wanita itu berhasil menguasai suaminya lagi dan maboklah Kwee Han dalam cinta dan pelukan isterinya. Malam itu mereka bagai pengantin baru lagi, bukan main. Dan ketika hari-hari berikut membuat mereka melayang ke surga dan semua kejadian di telaga dilupakan Kwee han maka Siong-hi sudah memulihkan hubungan suaminya dan sebulan terlewatkan cepat tanpa mereka rasakan. Kini Kwee Han percaya lagi kepada isterinya, hampir saja bulat kalau tak ada kejadian baru yang membuat pemuda ini tertegun. Dan ketika minggu ketujuh secara kebetulan Kwee Han tak jadi keluar kota untuk urusan dagang dan pulang ke rumah mendadak di sana dia melihat kereta Khek-taijin.

"Eh!" Kwee Hari terkejut. "Ada apa?"

Pemuda itu cepat menghampiri. Dia jadi merasa heran dan aneh bahwa Khek-taijin datang ke rumahnya, hal yang jarang dilakukan menteri itu. Dan ketika Kwee Han masuk dan tertegun di ruang dalam ternyata Khek-taijin bercakap cakap dengan isterinya, rambut isterinya agak kusut. Dua orang itu tampak gugup!

"Maaf," menteri Khek buru-buru bangkit tertawa dibuat-buat. "Aku mencarimu, Kwee Han. Kata isterimu sedang keluar kota dan ternyata tiba-tiba muncul. Bagaimana datang begini cepat? Apakah tidak jadi?"

Kwee Han terbelalak. "Aku membatalkan perjalananku, taijin. Ada apakah paduka datang sendiri tidak melalui utusan?"

"Ah, aku hendak memberi tahu berita baik, Kwee Han. Besok beberapa pedagang permata akan datang di gedungku. Mereka butuh uang, mereka akan menjualnya dengan harga murah!"

Kwee Han tertegun. Khek-taijin segera memberi tahu bahwa besok kesempatan bagus baginya datang, beberapi pedagang permata akan muncul menawarkan dagangan mereka, juga beberapa pedagang Cita. Sebulan lagi akan ada kenaikan besar-besaran untuk beberapa macam barang, têrutama kain dan bahan makanan. Persediaan menipis dan harga barang akan melonjak. Dan ketika menteri ini bicara ini itu yung pada pokoknya membujuk Kwee Han untuk membeli semuanya itu karena akan dapat dijual dengan harga tinggi maka menteri ini menutup pembicaraannya.

"Demikianlah, ini satu kesempatan bagus bagimu, Kwee Han. Kau dapat menumpuk semua barang-barang ini untuk akhirnya menjual di saat harga melonjak. Isi tokomu penuh-penuh dan masalah permata dapat kau tawarkan kepada istana!"

"Hm," Kwee Han mengangguk. "Terima kasih, taijin. Tapi masalah permata aku kurang tertarik, aku tak begitu mahir dengan barang-barang seperti itu."

"Siong-hi dapat membantumu. Kwee Han. Dia tahu dan mengerti akan barang-barang permata."

"Benar," Siong-hi menyahut. "Aku dapat membantumu, koko. Aku mengerti akan barang-barang begitu dan tak mungkin ditipu. Betapapun maksud baik Khek-taijin harus kita terima dengan terima kasih."

"Ya," Kwee Han mengerutkan kening. "Aku berterima kasih, Siong-hi. Tapi kenapa tidak Khek-taijin sendiri yang membeli semua barang-barang ini? Bukankah dia dapat juga melakukannya?"

"Aku ingin membagi keuntungan denganmu, Kwee Han. Aku teringat hubungan baik kita. Tentu saja aku dapat membeli semuanya itu, tapi aku ingin memberi kesempatan padamu untuk dapat mereguk keuntungan pula!"

"Baiklah, sekali lagi terima kasih, taijin. Aku akan memikir semuanya itu dan membicarakannya dengan Siong-hi."

Khek-taijin pamit. Akhirnya menteri itu pulang, dan Kwee Han termangu-mangu, sekilas melihat baju isterinya yang agak kedodoran, bagian dada tersingkap dan pemuda ini mengerutkan kening. Kecurigaan timbul tapi Kwee Han tidak buru-buru mengeluarkan semuanya itu. Khek-taijin dikenal sebagai menteri yang tamak, dia tahu itu setelah beberapa bulan berdekatan. Kini secara aneh kesempatan yang begitu bagus ditawarkan kepadanya, padahal sebetulnya menteri itu dapat menikmatinya sendiri.

Dan ketika keesokannya Kwee Han coba membuktikan semua kata-kata menteri itu dan datang ke rumahnya ternyata memang betul beberapa pedagang permata dan pedagang-pedagang lain yang menjalin persahabatan dengan Khek-taijin ada di sana, menawarkan dagangannya dan Khek-taijin menunjuk dia. Di sini kecurigaan Kwee Han lenyap, meskipun masih ada sisa sedikit, yakni ingatan baju isterinya yang agak kedodoran itu. Tak biasa isterinya seperti ini apalagi ada tamu. Dan ketika hari demi hari dilewatkan lagi dan suatu ketika Kwee Han berkata lagi ingin keluar kota tapi tiba- tiba membatalkan perjalanannya di tengah jalan dan pulang dengan terburu buru mendadak kereta Khek-taijin itu ada di depan rumahnya lagi!

"Keparat, apa yang dia lakukan?"

Kwee Han bergegas. Roda kereta yang berhenti di depan rumahnya rupanya diketahui Siong-hi, lagi isterinya itu duduk di ruang dalam bersama Khek-taijin. Kwee Han terbelalak. Dan ketika pemuda itu masuk dengan muka merah dan Khek taijin tampak terkejut maka kembali menteri ini buru-buru bangkit berdiri mendahuluinya,

"Kwee Han, kau besok dipanggil pangeran Yu Fu. Aku datang memberi tahu isterimu karena kau tak ada!"

Kwee Han tertegun. "Pangeran Yu Fu?"

"Ya, dia, Kwee Han. Kau diminta ke sana membawa emas permata yang dulu kau beli itu. Pangeran tertarik!"

Kemarahan dan kecurigaan Kwee Han tiba-tiba sirna. Khek Tajin ternyata memberitahunya bahwa Pangeran Yu Fu mengundangnya, sang pangeran tertarik dan ingin melihat emas permata yang dulu dia beli, sang pangeran akan membeli dan memilih beberapa di antaranya. Itulah alasan Khek-taijin. Dan ketika Kwee Han terheran namun pergi juga menemui pangeran itu ternyata Yu Fu, pangeran muda itu menyambut, bersama Khek-taijin, keesokan harinya.

"Ha-ha, ini Kwee Han, paman Khek? Dia pemuda pemberani yang dari Ming-ciang itu?"

"Benar, inilah Kwee Han, pangeran. Dialah Pemuda yang kuberi tahu itu."

"Kwee Han...." menteri Khek memandang pemuda itu. "Inilah pangeran Yu Fu yang berkenan mengundangmu. Perlihatkan permatamu dan kemarilah!"

Kwee Han memberi hormat. Setelah berhadapan sendiri dengan pangeran Yu Fu tiba-tiba kecurigaannya terhadap Khek taijin kembali lenyap. Untuk kedua kali dia membuang prasangkanya yang buruk, Khek-taijin ternyata tak bermaksud apa-apa dengan isterinya. Menteri itu datang justeru untuk keuntungannya, kini dia diperkenalkan dengan seorang pangeran dan Kwee Han tentu saja girang. Berhubungan dengan istana tentu akan membawa berkah baginya, paling tidak keuntungan moral baginya, itu paling sedikit.

Dan ketika dia dipanggil mendekat dan pangeran tertawa maka Yu Fu meminta padanya untuk menunjukkan barang permata yang sebelumnya memang sudah disiapkan. Sang pangeran memilih dan membeli, Kwee Han agak tersipu. Dia jadi bigung untuk menawarkan harga, tak boleh kemahalan, tapi juga tak boleh rugi. Maklum, dia berhadapan dengan pangeran! Dan ketika pangeran tersenyum dan justeru tidak bertanya tapi langsung memberi sepundi-pundi uang emas kepadanya untuk beberapa macam permata yang dipilih, maka Kwee Han terbelalak tapi juga girang luar biasa karena itu keuntungan berlipat-lipat!

"Sudahlah, aku pilih ini saja. Kau boleh pergi dan bawa sekantung uang emas ini. Kalau kurang, anggap saja kurangnya kuminta!"

Kwee Han hampir tak dapat bicara apa-apa. Dia hanya berulang-ulang mengucap terima kasih, kembali dan pulang ke rumahnya dengan perasaan gembira. Uang itu dapat dipergunakannya membangun lagi sepuluh toko besar, bukan main. Tapi ketika kecurigaannya terhadap menteri Khek lenyap dan justeru dia merasa berhutang budi atas semua jasa dan kebaikan menteri ini mendadak suatu pagi, ketika ia bangun tidur isterinya tak ada.

Kwee Han heran, mencari-cari namun tak menemukan. Beberapa pelayan yang ditanya, menyebut Siong-hi keluar rumah, mungkin mengurus ini-itu di toko mereka yang kini sudah beberapa buah. Kwee Han memang semakin kaya dan lupa pada kemiskinannya dulu. Dan ketika ia mengerutkan kening dan curiga memikirkan isterinya, mendadak Pwee lopek, sahabatnya di Ming-ciang dulu muncul. Seorang laki-laki tua yang tampak putih dan pucat, datang dengan mata bersinar sinar, marah.

"Kwee Han, kau melupakan kawan-kawanmu. Kau tak menepati janji dan enak bersenang-senang sendiri!"

Kwee Han terkejut. "Ada apa, lopek? Kau datang sendiri? Dan tahu rumahku?"

"Ya, seluruh kota raja mengenal namamu, Kwee Han. Aku datang mewakili teman-teman dan menuntut keadilan. Liem-taijin berkomplot dengan juragan-juragan perahu!"

"Apa yang terjadi? Ada apa?"

"Hm...!" mata kakek itu memndang sekeliling rumah Kwee Han yang bagus, gedung yang besar dan indah, tidak segera menjawab. "Inikah yang membuat dirimu berubah? Semua kesenangan inikah yang membuat kau melupakan kawan-kawan di Miog-ciang?"

"Lopek," Kwee Han merah mukanya. "Sebaiknya kau katakan apa maksud kedatanganmu dan apa yang hendak kau ceritakan di sini. Aku sedang bingung, sibuk mencari isteriku!"

"Kau sudah beristeri?"

"Ya, beberapa bulan yang lalu, lopek."

"Dan tidak memberi tahu kami kawan-kawanmu?"

"Hm," Kwee Han melihat masuknya beberapa pelayan, agak malu. "Kau tak usah bertele-tele, lopek. Mari duduk dan katakan keperluanmu!"

"Apakah kau masih seperti Kwee Han yang dulu?"

"Maksudmu?"

"Aku kecewa melihat kehidupanmu sekarang, Kwee Han. Kau tampak berubah luar dalam. Dulu kau ramah, kini agak sombong. Dulu kau selalu memperhatikan nasib kawan-kawan sepenanggungan, kini kau acuh! Perlukah kiranya kuberitahukan semua maksud kedatanganku?"

"Hm," Kwee Han terpukul, tersentak oleh kenangan lama, waktu dia masih dekat dan bergaul dengan kakek ini, bahkan makan bersama pula. Makanan sederhana yang acap kali terdiri dari nasi biasa dan ikan asin! "Kau boleh tuangkan semua persoalanmu kepadaku, lopek. Aku masih Kwee Han yang dulu!"

"Baiklah dengarlah, Kwee Han. Kami semua teman-temanmu di Ming-ciang dulu kini berbulan bulan mulai ditindas kaum juragan perahu lagi. Mereka memeras, kami dijadikan kuda beban dan tidak mendapat keadilan lagi. Liem-taijin, pembesar yang dulu berjuang untuk kami itu ternyata berpihak. Sekarang dia berkomplot dan sama saja seperti pembesar pembesar yang lain!"

"Hm, lalu?"

"Lalu kami berontak, Kwee Han. Kami menuntut keadilan itu tapi juragan perahu bersikap kurang ajar. Mereka memeras, memberi pilihan kepada kami untuk terus bekerja atau berhenti. Kami tak berdaya dan kalah posisi!"

Kwee Han bersinar-sinar. "Apakah tak ada yang berani seperti aku?"

"Ada, tapi hilang, Kwee Han. A-lok dan A-bin entah ke mana setelah menjalankan protes!"

"Hilang? Maksudmu..."

"Ya, hilang, Kwee Han. Dugaan kami dia dibunuh!"

Kwee Han terkejut. Dia tiba-tiba teringat kenangannya sendiri, betapa dia pun "diciduk" dan tentu dibunuh kalau tidak memiliki cincin yang kini melingkar di jarinya itu. Cincin pemberian seorang sahabat yang berpengaruh di istana, demikian besar pengaruhnya itu hingga Khek-taijin pun takut. Menteri itu gentar dan akhirnya dia selamat, bahkan kini dihormati Khek-taijin dan memperoleh semua kesenangan ini. harta kekayaan itu dan lain-lain lagi termasuk Siong-hi isterinya. Dan ketika dia teringat akan isterinya dan tersentak karena sang isteri juga tak ada mendadak Kwe Han gelap mukanya dan acuh oleh semua cerita Pwee lopek itu.

"Hm, aku sendiri sedang sibuk, lopek. lsteri ku tak di rumah dan aku mencarinya. Bagaimana kalau urusan ini dibicarakan lain kali saja dan kau pulang?"

"Pulang?" kakek itu tiba-tiba bangkit berdiri, matanya berapi-api. "Kau menyuruh aku pulang untuk membiarkan teman-teman menderita di sana, Kwee Han? Kau tak mau membantu sedikit pun untuk persoalan ini?"

Kwee Han terkejut, sadar. "Bukan begitu," katanya buru-buru. "Hanya aku sendiri sedang sibuk dengan urusanku, lopek. Sebaiknya, hmm... sebaiknya begini saja. Apa yang menjadi beban kalian di sana? Apakah tercekik hutang lagi?"

"Benar, kami tercekik hutang lagi, Kwee Han. Para juragan itu kurang ajar karena mereka sengaja memberi hutang untuk menjerat kita. Dengan begini kita tak dapat pergi, semua teman-teman mengharap pertolonganmu dan kau datang ke sana atau Ming-ciang geger lagi dengan demonstrasi besar-besaran!"

"Hm, jangan," Kwee Han mulai tahu aturan main, aturan hukum. "Demonstrasi tak baik untuk kita, lopek. Apa yang tidak puas sebaiknya dimusyawarahkan dan dibicarakan bersama. Demonstrasi hanya memancing tindak kekerasan, sebaiknya katakan berapa hutang kawan-kawan dan kubantu dulu dengan uang."

"Kau mau membebaskan kami dengan membayar lunas hutang-hutang itu?"

"Sementara ini begitu dulu, lopek. Aku sibuk dan tak dapat ke Ming-ciang. Katakan berapa hutang semuanya dan biar kubayar itu."

"Ah, banyak, Kwee Han. Ribuan tail....!"

“Katakan saja, lopek. Dan pergilah segera setelah itu!"

"Kau mempunyai uang?"

"Sebutkan saja, dan cepat kau bayar!" Kwee Han tak sabar, tahu bahwa Pwee lopek ini akan terheran-heran dan sukar mempercayai kekayaannya sekarang. Dia memang bukan Kwee Han yang dulu, dia sekarang adalah seorang hartawan dan mungkin jutawan. Pwee lopek segera menghitung dan menggerakkan jari-jarinya. Dan karena di Ming-cang ada sekitar tigaratus nelayan dan kalau masing-masing berhutang seribu tail maka di dapatlah angka tiga ratus ribu tail yang bukan main banyaknya maka kakek ini berkata agak tergagap,

"Kira-kira, eh... kira-kira tigaratus ribu tail, Kwee Han. Mungkinkah semuanya itu dapat kau bayar?"

"Hm, tiga ratus ribu? Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan mengambilnya!" dan Kwee Han yang cepat ke dalam dan keluar lagi akhirnya mengambil sekantung uang yang membuat Pwee-lopek terbelalak, kagum, memberikannya pada kakek itu, "Lopek, di sini ada limaratus ribu. Kalau kurang boleh datang lagi. Sekarang pulanglah, biar diantar kusirku dan bayarkan ini untuk hutang kawan-kawan kita di sana."

"Lima ratus ribu?" kakek itu menggigil. "Begitu banyak? Ah, terima kasih, Kwee Han. Kau sungguh baik dan ku sampaikan ini pada mereka!"

"Ya, dan cepat selesaikan itu, lopek. Kuharap tak ada apa-apa lagi dan pulanglah."

Pwee-lopek tak habis takjub. Sekantung besar uang yang diterimanya itu membuat kakek ini seakan menang lotre, heran dan takjub akan kekayaan Kwee Han sekarang. Bukan main. Dulu Kwee Han adalah nelayan miskin seperti dirinya, kini mendadak begitu kaya dan dermawan. Dan membuktikan bahwa Kwee Han ternyata masih sama seperti dulu tiba tiba kakek ini menjatuhkn diri berlutut dan menangis. "Kwee Han, mewakili semua teman-teman di Ming-ciang biarlah si tua bangka ini menghaturkan beribu terima kasih padamu. Semoga kau berumur panjang dan bahagia!"

"Sudahlah, pergilah, lopek. Kusir di depan sudah siap dan biar aku menyelesaikan persoalanku."

"Baik, baik.... terima kasih, Kwee Han...terima kasih....!" dan Pweeopek yang diantar dan diserahkan Cin-lopek, kusir kepercayaan Kwee Han lalu diantar dan malah dinaikkan kereta sampai ke Ming-ciang. Kwee Han tak tahu lagi setelah itu, dia sibuk mencari isterinya. Anggapnya, urusan Ming-ciang akan beres dan Pwee-lopek tak mengganggu lagi. Tapi ketika tengah hari kakek itu datang lagi dan bersama kusirnya babak belur menyatakan dirampok maka Kwee Han kaget dan menyesal, sang isteri masih belum ketemu!

"Aduh, celaka, Kwee Han... celaka! Kami dirampok ditengah jalan, uang itu amblas dan aku disakiti!" kakek itu tersedu-sedu.

Kwee Han tertegun dan segera dia termang-mangu. Apa yang didengar ini di luar dugaan. Dia terlalu sembrono dengan membiarkan seorang bodoh macam Pwee Topek pergi dengan begitu banyak uang. Dan ketika kakek itu menangis tak keruan dan Kwee Han terpaku maka Cin-lopek, kusirnya, juga menjatuhkan diri berlutut, tubuhnya matang biru.

"Wangwe, kami dirampok. Uang yang dibawa sahabatmu lenyap dan kami tak berdaya....!"

Kwee Han marah. Dalam keadaan biasa tentu dia akan menghadap Hong-ciangkun untuk mengejar dan mencari penjahat itu, panglima Hong yang dikenalnya baik. Tapi karena bingung isterinya belum ketemu dan entah ke mana gerangan isterinya itu tiba-tiba Kwee Han menyuruh kusirnya pergi dan membawa Pwee-lopek ini ke dalam.

"Sudahlah, sekarang begini saja. Maukah kau menolongku sebelum aku menolong teman-teman di Ming-ciang? Aku dapat memberimu uang lagi, lopek, tapi harap kau bersabar dan cari dulu isteriku. Bagaimana?"

"Maksudmu?"

"Aku kehilangan isteriku, lopek. Heran bahwa seharian ini ia tak ada di rumah. Mungkin... hmm, mungkin di suatu tempat. Kau bantu aku dulu dan urusan di Ming-ciang nanti saja kita bicarakan lagi!"

Karena merasa Kwee Han sudah menolong dan kakek itu tahu diri akhirnya Pwee-lopek mengangguk. "Baiklah, aku tahu kesulitanmu. Kwee Han. Apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Coba pergilah ke dua tempat. Selidiki isteriku di gedung Khek-taijin atau Ban-taijin. Aku curiga jangan-jangan ia ke sana...." dan Kwee Han yang lalu memberi tahu dan menunjuk gedung dua pembesar itu lalu mewanti-wanti agar Pwee-lopek berhati-hati.

Tentu saja membuat kakek itu mula-mula takut dan mengerutkan kening. dia bakal diusir sebelum masuk. Tapi ketika Kwee Han memberi semacam tanda bahwa ia pelayan atau pembantu pemuda itu di mana orang-orangnya Khek-taijin atau Ban-taijin pasti mengenal maka kakek ini pun mengangguk dan merasa bebas.

"Baiklah, biar kucoba, Kwee Han. Tapi kalau gagal jangan kau marah marah kepadaku. Dan,... kenapa kau menduga ke gedung dua menteri itu? Bukankah sebenarnya kau dapat datang sendiri dan mencari?"

"Aku sudah dikenal, lopek. Kalau mereka tahu tentu isteriku bersembunyi atau Khek-taijin serta Ban-taijin bersiap-siap."

"Baiklah, tapi, eh..... aku tak mengenal istemu!”

"Mudah, lopek. Ia cantik dan mengenakan empat gelang emas di lengannya, umur kira-kira sembilan belas tahun."

"Begitu muda?"

"Ya, masih muda, lopek. Dan untuk memperjelas lagi lihatlah ini!" Kwee Han menyambar gambar isterinya di dinding, lukisan yang dulu di pesan dari seoranh pelukis dan menunjukkannya pada Pwee Lopek, kakek ini kagum dan mengakui kecantikan Siong-hi, mendecak. Dan ketika semuanya dianggap selesai dan kakek ini siap berangkat mendadak dia masih bertanya lagi,

"Kwee Han, apakah nanti kalau aku menemukannya lalu menyuruhnya pulang?"

Tidak, jangan!" Kwee Han teringat. Kau cepat kembali dan diam-diam ke sini, lopek. Aku yang akan ke sana dan menjemputnya!"

"Baiklah," dan si kakek yang pergi dan memutar tubuhnya lalu keluar dan meninggalkan rumah pemuda itu, melaksanakan tugasnya dan tentu saja tak tahu apa yarg diam-diam pernah terjadi di rumah tangga pemuda ini, setengah jam kemudian datang dan bergegas terbata-bata menemui Kwee Han, memberi tahu bahwa isteri pemuda itu ada di sana, di tempat Khek-taijin. Rupanya semalam menteri itu baru saja mengadakan pesta, Kwee Han terkejut dan terbakar. Tiba-tiba cemburu dan rasa marahnya mengamuk. Untuk ketiga kali dia melihat isterinya bersama menteri itu lagi. Dan ketika Kwee Han bergegas dan cepat ke gedung menteri Khek maka di sana di kamár menteri itu tampak Siong-hi tertawa-tawa di pelukan menteri ini, nyaris telanjang dan kedua-duanya berbau arak!

"Heh-heh, ke mari, Siong-hi... kemarilah....!" menteri Khek meraih isterinya, terhuyung dan sama-sama terbanting di pembaringan. Siong-hi terkekeh pula dan di tangannya terdapat segelas arak yang amat keras, menyambut dan tiba-tiba dicium menteri itu. Dan ketika Siong-hi tertawa dan bicara tak jelas karena tampak mabok maka Khek-taijin sudah menindih dan menggeluti isterinya itu.

"Keparat!" Kwee Han merghambur maju, mendobrak dan masuk ke dalam. "Kau jahanam keparat, Siong-hi. Kiranya benar dugaanku bahwa kau isteri tak setia.... dess!" dan Kwee Han yang menubruk serta menghantam isterinya tiba-tiba membuat Siong-hi menjerit dan terlempar roboh, lepas dari pelukan menteri Khek dan sang menteri pun terkejut.

Siong-hí terguling-guling dan pakaiannya terbuka, tampaklah wanita itu dalam keadaan aslinya, Siong-hi memang nyaris telanjang ketika berdekapan dengan Khek-taijin tadi. Dan ketika Kwee Han berteriak dan marah mengejar maju maka bertubi-tubi dan cepat pemuda ini sudah menghajar isterinya, ditendang dan ditampar dan segera kamar itu terisi oleh jerit dan teriakan Siong-hi. Waktu dia hilang maboknya setelah dihajar suami, kaget dan sadar karena kini dengan beringas dan penuh kebencian suaminya itu menendang pulang balik.

Dan ketika Kwee Han kalap dan melihat Khek-taijin pula mendadak pemuda ini terigat dan menerkam menteri itu, mencekik dan memukuli seperti harimau haus darah, atau setan kelaparan. Dan ketika menteri ini pun berteriak-teriak dan Kwee Han mata gelap tiba-tiba pemuda itu memecahkan botol dan dengan pecahan botol ini pemuda itu menyerang.

"Khek-tajin, kau menteri jahanam keparat. Kau tak tahu malu. Kubunuh kau... cras!" dan pecahan botol yang mengenai bahu dan lengan menteri itu akhirnya mendarat bertubi-tubi lagi dan lukalah menteri ini, maboknya hilang dan ketakutan hebat pun menyerang menteri itu.

Semalam menteri ini berpesta dan tengah malam tadi Siong-hi diminta datang. Wanita ini adalah bekas pelayannya, Kwee Han tak tahu bahwa selama ini Siong-hi tetap digauli menteri itu, Khek taijin sering minta dilayani dan Siong-hi tentu saja takut. Menteri itu adalah bekas majikannya sendiri dan untuk hubungan kotor memang sering menteri itu berduaan dengan Siong-hi. Wanita ini cantik, tubuhnya menggairahkan dan servis di atas ranjang memang Siong-hi sudah mahir.

Sebagai bekas pelayan sekaligus teman di waktu dingin Siong-hi masih sering membuat menteri Khek tergila-gila, permainannya hebat dan itulah yang membuat menteri ini tak dapat melupakan Siong-hi, meskipun wanita lain juga banyak dan tak kurang. Dan ketika Kwee Han menghajar menteri itu dan pecahan botol berkali-kali melukai wajah dan tubuh menteri itu maka ketika Siong-hi menjerit dan berteriak-teriak masuklah pengawal yang kaget mendengar ribut-ribut ini.

"Hei, jangan kurang ajar!" dua pengawal cepat membentak maju, menubruk Kwee Han dan pemuda itu diringkus.

Khek taijin sudah bermandi darah di lantai, Kwee Han memberontak dan meronta, berteriak dan memaki dua pengawal itu, lepas dan mau menyerang Khek-taijin lagi. Tapi begitu masuk tiga pengawal lagi dan mereka ini meloncat dan menghalangi Kwee Han maka sebatang tombak memukul pemuda ini dan Kwee Han pun roboh.

"Buk!" Kwee Han mengeluh dan terbanting di lantai. Dua pengawal lain kembali menggerakkan tombak mereka menghantam Kwee Han, mengenai punggung dan pemuda itu pun menjerit. Tiga pukulan keras mengenai kepala dan tubuh Kwee Han, pemuda itu tak dapat bangun dan akhirnya pingsan. Ribut-ribut ini mengundang banyak orang dan tempat Khek-taijin geger, menteri itu ditoIong dan segera dilarikan ke dalam, dirawat. Dan ketika Kwee Han menggelepar di sana dan Siong-hi menangis dan menjerit tak keruan maka siang itu Kwee Han sadar dan tahu-tahu ia berada di sébuah tempat di mana pangeran Yu Fu tampak di situ.

"Kau sadar?" pangeran ini menarik bangun Kwee Han, tersenyum aneh. "Mari, bangunlah, Kwee Han, Ceritakan apa yang terjadi dan kenapa kau menyerang Khek-taijin."

Kwee Han mendelik, bangun terhuyung. "Khek-taijin menghina hamba, pangeran. Dia mempermainkan isteri hamba!"

"Hm, urusan kecil," Yu Fu tertawa "Kau ingat kedudukan dan jasa baik Khek-taijin, Kwee Han. Dia adalah penolong sekaligus pemberi hutang budi kepadamu. Urusan ini tak perlu diperpanjang, Siong-hi memang bekas pelayan Khek-taijin.

"Tapi dia isteri hamba, pangeran! Masakah....”

"Sst," pangeran tiba-tiba bersikap ketus. Negara dan isinya ini adalah milik istana dan para pembantunya, Kwee Han. Apakah kau tak ingat kedudukanmu sebelum datang di sini? Begaimanakah kadaanmu dulu? Lupakah kau bahwa dulu kau adalah nelayan miskin yang kini banyak diberi kesenangan oleh Khek-taijin? Ingat, kau orang biasa saja, Kwee Han. Kau bukan bangsawan atau orang berdarah biru. Kau dapat hidup senang di sini adalah atas jasa Khek-taijin. Kalau sekarang Khek-taijin ingin bersenang-senang dengan Siong-hi apakah kau tak rela? Hm, orang kecil tak menang melawan orang besar, Kwee Han. Khek-taijin adalah sahabatku dan kau harus memandang aku!"

"Paduka maksudkan...?"

"Benar, kau tak perlu dendam padanya, Kwee Han. Urusan ini selesai dan kau tak perlu marah-marah kepada Khek-taijin!"

"Tapi hamba...."

"Hm, kalau tak ingat cincin di jarimu tentu kau sudah dibunuh, Kwee Han. Aku menasihati agar kau melupakan ini dan tidak memperpanjang urusan. Atau, kau memikul akibatnya dan mungkin aku tak bisa menolong!" Yu Fu memotong, memberi tatapan tajam dan Kwee Han tertegun.

Di sekitar pangeran tiba-tiba muncul beberapa pengawal yang siap bergerak, sikap dan mata mereka penuh ancaman. Kwee Han mendadak tergetar dan takut. Baru kali itu dia merasa terkesiap dan berdebar. Wibawa dan sikap pangeran Yu Fu tak sanggup ditandingi pemuda ini. Kwee Han memang pemuda biasa, bahkan bekas nelayan. Dan ketika dia tertegun dan bengong memandang maka pangeran bertepuk dan memanggil beberapa dayang-dayang manis yang melenggang dengan gaya memikat.

"Sekarang obati kekecewaanmu dengan dayang-dayangku ini. Main-mainlah, bersenang-senanglah!" Yu Fu memberi tanda, empat dayang datang mendekat dan langsung membelai Kwee Han.

Pemuda ini terkejut dan kaget, mau menghindar tapi sang pangeran sudah memberi isyarat agar dia tak menolak. Dayang-dayang itu katanya sebagai pengganti Siong-hi yang entah kini di mana. Dan ketika pangeran tertawa dan menyuruh pengawal keluar dan ia pun juga pergi dari situ maka seorang dayang yang mencium pipi Kwee Han berkata, merdu dan manis,

"Kwee-kongcu, marilah. Sudah biasa kami menghadapi orang-orang macam kongcu. Mari ke kamar dan kendorkan seluruh urat-urat yang tegang.”

"Benar," yang lain berkata, tertawa dan memainkan matanya. "Kami akan membuatmu lupa segala, kongcu. Mari dan ikutlah kami."

Kwee Han dibawa. Tanpa berdaya dan menurut saja Kwee Han membiarkan lengannya di gandeng, empat dayang tiba-tiba memeluknya dan membawanya ke sebuah kamar besar. Mereka kini mulai cekikikan, Kwee Han tiba-tiba seperti kehilangan kesadaran dan mulailah ciuman serta belaian mendarat di tubuhnya. Dan ketika mereka berada di dalam kamar dan pintu ditutup maka Kwee Han tak tahu lagi apa yang terjadi selain dia dibawa terbang ke surga yang tinggi, melayang-layang dan bayangan Siong-hi pun lenyap.

Pemuda itu terbuai dan hanyut dalam pelukan empat dayang ini. Baru kali itu Kwee Han dikerubut empat gadis sekaligus, tentu saja semua itu membuat pemuda ini lupa diri dan mabok. Dan karena perbuatan Siong-hi menyakitkan hatinya dan Kwee Han ingin membalas maka empat dayang itu pun diterimanya dan akhirnya bersenang-senanglah pemuda ini dengan pengalaman tiada tara, tiba-tiba menjadi lebih dewasa dan matang.

Empat dayang itu berkata bahwa tak usah dia mengingat-ingat Siong-hi, cinta sejati tak ada di dunia ini dan tak perlu Kwee Han kecewa. Dan ketika belaian serta kecupan lembut membuat Kwee Han lupa diri maka Kwee Han mabok dan hanyut dalam dunia barunya. Sehari itu bersenang-senang dan Kwee Han merasa jatuh cinta kepada A-hwa, dayang pertama yang menciumnya itu, yang mahir dan tak kalah dengan Siong-hi. Dan ketika semuanya selesai dan Kwee Han pulang maka sang pangeran tiba-tiba muncul dan memberinya janji yang seumur hidup belum pernah terbayangkan, yakni bahwa dia akan menjadi menteri muda urusan perdagangan.

"Nah, kau sekarang dapat berpikir lebih jernih, Kwee Han. Pulang dan bawalah kenangan ini seumur hidupmu. Aku akan membujuk ayahanda kaisar agar mengangkatmu sebagai menteri muda. Kau tak menolak, bukan?”

Kwee Han ternganga. "Paduka mau memberiku kedudukan tinggi itu?"

"Bukan aku, Kwee Han, melainkan ayahanda kaisar. Kau dapat menjadi pembantuku dan sama seperti Khek-taijin."

"Ah, terima kasih!" dan Kwee Han yang langsung menjatuhkan diri berlutut dan berseri-seri akhirnya menerima janji itu dengan gembira. A-hwa, yang keluar bersamanya tersenyum manis. Pangeran Yu Fu tertawa dan menepuk pundaknya. Dan ketika pangeran bertanya apalagi yang kira-kira dia maui mendadak pemuda ini memandang A-hwa, wanita yang baru saja melayaninya itu.

"Pangeran, maaf... bolehkah hamba mengajak A-hwa ke rumah?"

"Ha-ha, kau puas oleh pelayanannya?"

"Benar,“ Kwee Han agak tersipu. "Hamba merasa mendapat pengganti Siong-hi dalam dirinya, pangeran. Kalau paduka memperkenankan biarlah A-hwa ikut hamba dan menjadi pendamping hamba."

"Ha ha, kalau begitu tiga yang lain juga ku serahkan padamu, Kwee Han. Bawa dan ajaklah mereka!"

Kwee Han terkejut. "Paduka menyerahkan empat wanita ini kepada hamba?"

"Ya, kenapakah? Aku dapat mencari penggantinya, Kwee Han. Aku hendak memberi tahu padamu bahwa jangan bodoh kalau ditinggal Siong-hi atau siapa pun juga kekasihmu. Dunia ini banyak wanita, tinggal kita mencari dan mendapatkan. Nah, bawalah A-hwa dan bersenang-senanglah di tempatmu!" Yu Fu memberi tanda, empat dayang yang melayani Kwee Han ternyata diberikan begitu saja.

Kwee Han terbelalak tapi tentu saja girang bukan main. Tak tahu akal licik sedang berjalan di benak pangeran itu. Dan ketika hari itu A-hwa dan tiga temannya mengikuti Kwee Han maka pemuda ini seakan mendapat durian runtuh dan hidup bagai di surga. Empat dayang itu seolah bidadari bagi Kwee Han. Siong-hi seketika lenyap dari ingatannya, A-hwa pandai dan tak kalah dengan Siong-hi.

Dan ketika beberapa hari kemudian Kwee Han mendapat kabar bahwa kaisr berkenan mengangkatnya sebagai menteri muda, atas bujukan Yu Fu, maka tak lama kemudian Kwee Han terangkat derajatnya dan benar-benar menjadi menteri muda, jauh lebih terhormat lagi sewaktu dia masih pedagang. Satu kedudukan tinggi yang belum pernah diimpikannya. Dan karena ini mengharuskan dia bergaul dengan kerabat-kerabat istana dan satu demi satu pengalaman dan kesadaran hidup Kwee Han meningkat maka Khek-taijin, yang dulu dimusuhinya itu kini sudah dekat lagi, akur dan bersahabat.

Kwee Han mengalami dunia baru yang lain daripada dulu. Pemuda ini telah menjadi pembesar, dipanggil "taijin" dan segala hormat serta kemuliaan mengiringinya. Para hamba dan pembantunya bertambah, bahkan Kwee Han sekarang mempunyai pengawal. Bukan main. Dan ketika hari demi hari dilewatkan pemuda itu dan Siong-hi benar benar dilupakan karena sudah diganti A-hwa dan lain-lain maka suatu hari pemuda ini mendapatkan sebuah benda, cermin.

Waktu itu Kwee Han duduk-duduk menikmati teh panas. Semalam dia dilayani A-hwa dan teman-temannya. Pemuda ini mulai menjadi hamba birahi, Kwee Han mulai memelihara gundik juga. Kebiasaan dan contoh istana mulai diikuti. Siong-hi benar-benar terlupakan. Hidup seperti Kwee Han benar-benar hidup yang bergelimang kesenangan, harta dan wanita. Dan ketika pemuda itu sedang melepas lelah setelah semalam mengumbar nafsu mendadak terdengar bunyi nyaring dan kaca jendelanya pecah.

"Pranggg!"

Kwee Han terbelalak. Dia melihat sebuah cermin berbingkai emas jatuh di bawah kakinya, pemuda ini menjublak dan tertegun. Tapi ketika benda itu tak bergerak lagi dan Kwee Han bangkit segera pemuda ini mengambil dan mendesis. "Ahh, cermin apa ini? Dari mana?"

Kwee Han mengamat-amati, heran dan kaget namun juga girang. Cermin itu indah dan bersinar-sinar. Bingkainya yang terbuat dari emas cukup mahal, kalau dulu dia masih menjadi nelayan miskin tentu ini penarik perhatiannya yang utama. Tapi karena Kwee Han telah kaya dan emas begituan saja tak menarik hatinya maka dia membalik dan tertarik oleh huruf huruf di bagian belakang, tiga bait syair yang membuatnya heran, membaca tapi tak mengerti dan segera Kwee Han bergidik oleh sepasang gambar yang berlawanan di cermin ini.

Sebuah bergambar dewa-dewi bersama burung Hong sedang yang lain bergambar mirip iblis atau gendruwo! Kwee Han bergidik, tengkuknya meremang. Dan ketika dia membalik dan melihat guratan-guratan lain yang tidak dimengerti macam pelajaran ilmu silat tiba-tiba berkesiur tiga bayangan dan suara di luar.

"Heh, ke sinikah benda itu jatuh?"

"Benar."

"Di mana gerangan?"

"Tak tahu, nenek siluman. Tapi ayo kita cari. Siapa mendapatkan dialah yang berhak!"

Kwee Han terkesiap. Di luar kamarnya itu berkelebat tiga bayangan yang mirip iblis, tak tampak siapa mereka dan Kwee Han cepat-cepat menyembunyikan benda penemuannya itu. Angin berkesiur dan pintu kamarnya terbuka, sesosok bayangan tinggi besar muncul disusul bayangan lain yang tinggi kurus.

Mereka berkelebat dan geraman menggetarkan terdengar di situ, hampir copot nyali Kwee Han mendengar geraman itu, pemuda ini sudah menyelinap dan meringkuk di bawah tempat tidur, dikolong, benda penemuannya sudah dilempar ke dinding rahasia dan lenyap sebelum dua bayangan ini muncul. Dan ketika Kwee Han bersembunyi dan terbelalak melihat seorang kakek tinggi besar menggeram-geram mendadak yang tinggi kurus mendengus dan mengobrak abrik isi kamarnya.

"Benda itu kelihatannya di sini, keparat!"

"Hm, di mana?"

"Cari saja, Tok-ong. Jangan bertanya dan bawel seperti perempuan!"

Kakek tinggi besar itu memaki. Dia menggeram dan mengobrak-abrik isi kamar Kwee Han pula, Kwee Han mau keluar tapi gentar. Sikap dan gerak-gerik dua orang itu terlalu menyeramkan bagi Kwee Han. Dan ketika Kwee Han menggigil dan pucat di bawah tempat tidur tiba-tiba tempat tidurnya ditendang dan Kwee Han mencelat terlempar.

"Hei, kau jangan bersembunyi seperti tikus. Apkah melihat cermin di sini?" bentakan itu menggelegar, Kwee Han merasa terlempar dan menumbuk dinding. Pemuda ini berteriak. Tapi ketika dia terkejut dan kaget tempat tidurnya mencelat ditendang tahu-tahu kakek tinggi besar yang menyeramkan itu menyambar dirinya.

"Ngek!" Kwee Han serasa digencet. "Kau melihat apa di kolong tempat tidur itu, bocah? Mana Cermin Naga yang kami cari-cari...?"