Sepasang Cermin Naga Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 08
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“APA... apa...?" Kwee Han gagap. "Cermin apa, locianpwe! Benda apa?"

"Heh, kami mencari Cermin Naga, bocah. Kau tentu melihat dan tunjukkan kepada kami... bruk!"

Kwee Han dibanting, mengeluh dan menggeliat dan tiba-tiba menangis. Kwee Han sekarang tak seberani dulu, kesenangan dan kenikmatan yang dihadapinya membuat pemuda ini agak berubah, takut kehilangan semuanya itu, kesenangan dan kegembiraan dalam hidup. Dan ketika kakek tinggi besar itu memaki-maki dan kakek satunya yang tinggi kurus mendengus dingin mendadak Kwee han diungkit sebuah kaki dia mencelat ke atas.

"Kau tahu Cermin Naga?" Kwee Han tahu-tahu sudah disambar kakek tadi, kakek yang berwajah dingin dan matanya cekung, begitu menyeramkan seperti iblis.

Kwee Han menggeleng dan ketakutan, nyaris tak dapat mengeluarkan suara, tenggorokan rasanya tercekik. Dan ketika kakek itu menunjukan rasa marah dan Kwee Han terbata-bata tak dapat menjawab tiba tiba kakek itu mencekik tenggorokannya dan mau membunuh!

"Kalau begitu kau mampus. Kau tikus cilik tak berharga!"

"Augh...!" Kwee Han tiba-tiba meronta, dapat mengeluarkan suara. "Aku... aku... aku tahu, locianpwe.... lepaskan... aduh....!"

Kakek itu melepaskan. "Di mana?" suaranya gembira. Mana Cermin Naga?"

"Itu... itu barangkali...!" Kwee Han menuding gentar, roboh terbanting dan ngawur menunjuk sebuah cermin besar yang ada di kamarnya.

Tentu saja bukan cermin yang dimaksud dan kakek tinggi kurus itu tiba-tiba mendelik. Temannya, yang di panggil Tok-ong, tiba-tiba tertawa bergelak. Dan ketika yang tinggi kurus melotot dan marah mendapat jawaban mendadak yang tinggi besar itu bergerak dan sudah menyambar dada Kwee Han.

"Kau Kwee-taijin?"

"Ya, ben..... benar...."

"Kau yang baru diangkat sebagai menteri muda urusan perdagangan?"

"Beb... Benar...."

"Hah, kalau begitu kau pembesar bodoh, anak muda. Lebih baik kuganyang jantungmu dan kunikmati paru-parumu... wutt!" kakek ini menggerakkan tangan satunya, secepat kilat merogoh dan mau mencabut jantung dan paru-paru Kwee Han.

Kwee Han tak dapat bicara lagi dan pucat pasi, tahu bahwa dia berhadapan dengan tokoh-tokoh iblis yang bukan main ganasnya. Sepak terjang dan kata-kata mereka saja cukup dijadikan bukti, dia berhadapan dengan maut dan tak mungkin dia melepaskan diri lagi. Dan terbelalak serta ngeri oleh ancaman kakek ini yang mau mengganyang jantung dan paru parunya mendadak Kwee Han berteriak dan tanpa sadar menyebut nama seseorang yang pernah memberinya cincin itu.

“Kim-mou-eng...!"

Tangan yang bergerak itu tiba-tiba berhenti. Sama cepat dan mengejutkan jari kakek ini sudah menempel di dada Kwee Han, sekali tusuk tentu jantung dan paru-paru akan dicoblos. Tok ong, kakek itu, terhenyak. Dan ketika Kwee Han tertegun dan pucat serta menggigil maka lawan melepasnya kasar dan membantingnya roboh, membalik. "Mana Kim-mou eng?"

“Tak ada siapa-siapa.”

"Heh, kau bicara apa, anak muda?" kakek itu bergerak kembali, mencengkeram Kwee Han. "Siapa kau dan apa hubunganmu dengan Kim-mou-eng?"

Kwee Han menelan ludah, tiba-tiba timbul keberaniannya. "Locianpwe siapakah? Musuh atau sahabat?'

"Heh heh!" sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat masuk. "Bocah ini besar nyalinya, Tok-ong. Baru kali ini kau membatalkan niatmu hanya mendengar Kim-mou-eng. Berikan padaku dan biar dia kutanya!"

Kwee Han tak tahu disulap macam apa. Dia hanya mendengar suara seorang nenek tertawa dan tahu-tahu semacam benda melilit tubuhnya, ditarik dan melayang dan dia telah berhadapan dengan seorang nenek yang matanya seperti api. Kwee Han terkejut, lebih terkejut lagi karena dia tergantung di tengah udara, dijungkir, kaki dan pinggangnya dibelit rambut, tadi disangka ular. Dan ketika Kwee Han pucat dan nenek itu terkekeh maka Kwee Han mendengar pertanyaan serak yang mendirikan bulu roma,

"Kau menyebut-nyebut nama Kim-mou-eng ada hubungan apakah? Sahabat Kim-mou-eng atau musuhnya?"

Kwee Han bingung. "Locianpwe siapakah?"

"Heh, kau tak berhak menanya, bocah. Kau hanya menjawab dan aku bertanya!"

Kwee Han bingung. Tadi dia menanya apakah orang-orang ini sahabat Kim-mou-eng ataukah musuhnya, kini dia dibalik dan harus menjawab. Tapi karena orang-orang ini dilihatnya bukan orang baik-baik dan Kim-mou-eng jelas seorang pendekar maka dengan tegas dan berapi Kwee Han menjawab, "Aku musuhnya. Kim-mou-eng adalah orang yang kubenci!"

“Heh heh, benarkah?”

“Benar, locianpwe. Aku berani bersumpah!"

"Wutt...!" Kwee Han dibalik, kini berdiri dengan kaki di bawah kepala di atas. "Coba kalau begitu maki dia sepuas-puasnya, aku ingin dengar!"

Dan Kwee Han yang lalu memaki-maki dan mengumpat Kim-mou-eng. Lalu didengar dan melihat nenek itu terkekeh-kekeh, tubuhnya bergoyang tapi tiba-tiba dia bergerak dan rambut pun meledak. Kwee Han terhempas dan jatuh menjerit makiannya seketika berhenti dan pemuda itu mengaduh. Dan ketika Kwee Han merintih dan kaget serta takut maka nenek itu berkelebat dan sudah berdiri di dekatnya

"Kalau begitu kau kubunuh, kami adalah sahabat Kim-mou-eng!"

"Eh!" Kwee Han meringis, terbelalak. "Locianpwe sahabat Kim-mou-eng?"

"Ya, aku sahabatnya, bocah. Dan kami semua telah mendengar maki-makianmu tadi. Sekarang kau mampus!" tapi baru tangan itu bergerak tiba-tiba Kwee Han membentak dan memaki nenek ini.

"Tua bangka, kalau begitu kau pun kumaki. Kau nenek jahanam tak tahu malu. Kau bangsat keparat! Kau...." Kwee Han berhenti, tertegun karena melihat si nenek tak melanjutkan ayunan tangannya. Mata yang seperti api itu tiba-tiba tersenyum, aneh sekali. Dan ketika Kwee Han mendelong dan menghentikan makiannya mendadak nenek ini terkekeh dan geli mencium pipinya.

"Ngok!" Kwee Han terkesima.

"Kau bocah bagus, anak muda. Kau pemberani dan gagah, Heh-heh, kalau begitu kau tak jadi dibunuh....wutt!" dan Kwee Han yang dibelit serta disambar rambut tiba-tiba dilontar dan meluncur tinggi ke atas, jatuh dan berteriak tapi rambut menyambutnya lagi. Dua tiga kali Kwee Han dilontar seperti ini, jatuh dan diterima lalu dilempar ke atas. Dan ketika nenek itu puas dan Kwee Han terkesiap berkali-kali maka tubuhnya akhirnya diterima dan diturunkan baik-baik di lantai, tentu saja mengeluarkan keringat sebesar-besar jagung!

"Bocah, kau melihat Cermin Naga?"

Kwee Han menggeleng.

"Kau tak melihat benda jatuh di sini?"

Kwee Han lagi lagi menggeleng. "Kalau begitu kenapa jendela itu pecah?"

Kwee Han terkejut. "Seekor anjing melompat di situ, locianpwe, berlingkar dan memecahkan kaca jendela!"

"Kau tak bohong?"

Kwee Han bergidik, melawan rasa takut kuat kuat, tersenyum mengejek. "Kalau locianpwe tak percaya lebih baik tak usah bertanya lagi, kalau ada benda jatuh di sini sebaiknya geledah saja dan bunuh aku kalau ketemu!"

"Hmm...!" geraman di belakang menggetarkan dinding kamar. "Bocah ini tak perlu ditanya lagi, nenek siluman. Cermin Naga memang tak ada di sini dan sebaiknya dia dibunuh!"

"Benar," dengus di sebelah kiri tak kalah mendirikan bulu roma.

"Bunuh dia dan habis perkara, Dewi Api. Kita pergi dan cari di lain tempat!"

Kwee Han mendengar kesiur angin, terkejut dan menjerit karena serangkum hawa panas tiba tiba membakar tubuhnya. Si nenek terkekeh dan menggerakkan tangan ke depan, ledakan mengguncangkan tempat itu dan Kwee Han terpelanting. Dan ketika dia mengeluh dan sayup sayup mendengar si nenek mencegah dia dibunuh maka Kwee Han tak ingat apa-apa lagi dan roboh pingsan. Kwee Han hanya tahu ketika dia diguncang guncang pengawal, mendengar pula isak dan panggilan A-hwa, sadar setelah dua jam kemudian tiga orang iblis itu pergi, bangkit dan membuka mata dan segera A-Hwa memeluknya.

Pengawal dan A hwa berkata bahwa mereka mendengar ribut-ribut di situ, datang namun melihat dia pingsan, kaca jendela pecah dan entah apa yang terjadi. Dan ketika A-hwa bertanya apa yang terjadi namun Kwee Han tersenyum aneh tiba-tiba pe muda ini mengusir semuanya agar pergi.

"Tak apa-apa, tak ada apa-apa. Pergilah, aku hanya diserang seekor anjing dan kalian pergilah."

"Aku tak perlu menemani?"

"Tidak, kau pun pergi, A-hwa. Aku hanya sedikit kaget dan ingin menenangkan diri."

"Baiklah, kalau begitu aku di luar, koko. Sewaktu-waktu kau memerlukan aku silahkan panggil."

A-hwa keluar, heran tapi lega Kwee Han tak apa-apa. Tadinya dia cemas dan khawatir, takut pemuda itu diserang musuh. Tapi karena Kweê Han baik-baik saja dan mereka semua pun pergi akhirnya tinggal Kwee Han seorang diri di situ, duduk termenung dan bersinar-sinar memandang dinding rahasia di mana dia menyimpan benda aneh itu. Kiranya Cermin Naga, tentu sebuah benda luar biasa karena dicari-cari oleh tiga orang iblis macam nenek dan kakek-kakek itu. Kwee Han tiba-tiba berdebar, sekarang menyadai bahwa benda yang jatuh di kamarnya itu adalah benda berharga, di mana harganya dia masih kurang tahu.

Tapi karena cermin itu telah berada di tangannya dan tentu saja dia harus berhati-hati menyimpan maka Kwee Han tak mengutak atik benda itu selama beberapa hari, takut diintai atau didatangi iblis-Iblis seperti tiga orang tadi. Kwee Han ngeri dan bergidik, tak mengenal mereka kecuali Tok-ong dan Dewi Api, itu saja, seperti yang mereka sebut sendiri. Dan ketika pemuda ini berdegupan kencang dan masih tegang oleh kejadian itu mendadak dua minggu kemudian dia mendengar berita bahwa dirinya akan diangkat sebagai menteri penuh, langsung berdampingan dengan pangeran Yu Fu yang kiranya menambah jasa dengan pengangkatan itu. Kwee Han teringat Cermin Naga, Cermin itu kiranya membawa rejeki.

Dan ketika benar saja tak lama kemudian pemuda ini diangkat sebagai menteri penuh dan kedudukannya sejajar dengan Khek-taijin atau lain-lain maka rejeki demi rejeki membanjir di diri pemuda ini, membuat Kwee Han melambung dan naik pamornya. Tak lama kemudian menjabat kedudukan rangkap sebagai menteri tanah, kedudukan ini jelas membawa rejeki luar biasa banyaknya. Kwee Han si bekas nelayan itu tiba-tiba menjadi pembesar tinggi. Dan ketika setahun kemudian kaisar wafat dan diganti oleh saudara pangeran Yu Fu maka Kwee Han duduk pula sebagai anggauta dewan penasihat kaisar. Bukan main!

Kwee Han lagi-lagi teringat Cermin Naga itu, entah kenapa sejak cermin itu datang di tempatnya tiba-tiba keberuntungannya melonjak. Dia tak ingat lagi pada Siong-hi dan lain-lain. Harta dan wanita telah mengelilingi pemuda ini, setiap hari bersenang senang dan lupa dia pada kampung halamannya, Ming ciang. Dan ketika suatu hari rasa mabok membuat pemuda ini tinggi hati dan mulai congkak maka hari itu kakek Pwee lagi-lagi muncul bersama dua pelayan dusun yang notabene masih bekas sababatnya dulu. Tapi begitu tiga orang ini muncul maka muncul pula seorang lain yang tidak diduga duga Kwee Han.

"Kenapa kalian ke sini?" begitu Kwee Han menyambut tak senang ketika Pwee-lopek dan dua temannya datang, langsung mengerutkan kening dan merasa terganggu. Pakaian lusuh dan sikap kedusun-dusunan kakek Pwee ini membuat Kwee Han malu. Pagi itu dia dikelilingi tujuh pelayan yang sekaligus selirnya, Kwee Han kini banyak memelihara gundik. Dan ketika sorot matanya menunjukkan ketidaksenangan dan Pwee lopek terbata-bata maka kakek ini berkata dengan sikap dan kata-kata seperti dulu, lugu dan apa adanya, tidak tahu sopan santun tata istana.

"Kami datang ingin meminta bantuanmu Kwee Han. Dua teman kita ini, A-kong dan Asam dianiaya Cu-wangwe (hartawan Cu). Mereka…”

"Hm, siapa mereka ini?" kata-kata Pwee-lopek terputus, wanita cantik di sebelah kiri Kwee Han bangkit berdiri, dia adalah Kiu Kin, selir terkasih baru Kwee Han. “Apakah kalian tak tahu sopan santun menghadap pembesar? Eh, Kwee koko, sebaiknya panggil pengawal dan suruh pergi orang-orang ini. Mereka kurang ajar dan tidak tahu adat!"

Pwee-lopek terkejut. "Kau siapa?”

"Aku Istri Kwee-taijin (menteri Kwee), kakek buruk. Kau enyah dan pergilah!"

"Kwee taijin...?"

"Ya, Kwee-taijin! Suamiku ini adalah menteri Kwee dan kau enak saja menyebut namanya! Di manakah aturan dan sopan santunmu? Dimana hormat dan adatmu menghadap seorang pembesar? Kakek buruk, kau pergi dan enyahlah, atau aku memanggil pengawal dan kau dihajar!"

Pwee-lopek pucat. "Kwee Han, eh.... Kwee-taijin, apa.... eh, bagaimana aku harus bicara?"

Kwee Han mencekal lengan selirnya. "Kiu Kin, sabarlah. Tahan kemarahanmu dan dengar apa yang hendak dikata kekek ini, jangan panggil pengawal dulu!" dan menghadapi bekas temannya dengan muka gelap Kwee Han berkata, "Lopek, aku adalah seorang menteri. Aku pembesar yang dihormati di sini. Kalau kau ingin bicara mestinya kau mempergunakan sopan santun dan tata cara yang benar. Kalau kau tak mau lebih baik pergi dan keluarlah."

"Kwee Han," pemuda di sebelah kanan kakek Pwee tiba-tiba melompat bangun, berseru marah. "Apakah ini mengharuskan kami berlutut dan bersoja di depan mu? Apakah jabatanmu itu sekarang memisahkan jarak di antara kita berdua? Bukankah kau adalah Kwee Han yang dulu dan bekas nelayan di Ming-ciang? Bukankah kau tak perlu sombong dan congkak meskipun kedudukanmu tinggi? Ingat, kau dan kami sama-sama makan nasi, Kwee Han. Kalau kami bukan menemui Kwee Han seperti dulu lebih baik kau terus terang ingin mengusir kami. Kau sudah berbohong pada Pwee-lopek, tak pernah datang ke Ming-ciang dan membiarkan kami para sababatmu ditindas juragan perahu. Kalau kami disuruh berlutut dan harus menghormatimu berlebih-lebihan lebih baik kami pergi dan keluar!"

Dan marah menuding-nuding Kwee Han pemuda itu, A-kong, mengajak Pwee-lopek dan temannya pergi. Panas dan marah karena Kwee Han sekarang bukan seperti Kwee Han yang dulu. Tadi di waktu meréka masuk saja mereka hampir gagal dicegah pengawal. A kong yang berangasan ini sudah naik pitam dan hampir berkelahi. Pemuda itu sudah menahan-nahan kemarahan karena Kwee Han tak menepati janji, pemuda itu lupa dengan janjinya pada Pwee-lopek dulu. Tindasan kaum juragan menjadi-jadi dan A-kong malah berurusan dengan Cu-Wangwe, hartawan yang sudah kembali ke Ming-ciang itu, hampir dibunuh dan melarikan diri.

Dan ketika kini sambutan Kwee Han terasa tak menyenangkan dan pemuda itu tampaknya bersikap sombong dan mengagung-agungkan kedudukannya tiba-tiba A-kong yang bertemperamen tinggi ini tak sabar, langsung berdiri dan memaki-maki Kwee Han. Kebiasaan mengumbar makian di kalangan buruh nelayan timbul, A-kong memang tak tahu tata cara menghadap pembesar. Kwee Han dianggapnya sama seperti dulu, pemuda itu masih Kwee Han juga dan kedudukannyalah yang membedakan mereka.

A-kong yang lugu dan kasar tak mau tahu semuanya itu. Maka begitu Kwee Han dirasa menaruh diri terlalu tinggi dan Kiu Kin juga mengusir Pwee-lopek tiba-tiba nelayan bertemperamen keras ini gusar, marah-marah dan memaki Kwee Han yang dianggap congkak. Kerut dikening Kwee Han pertama kali menyambut mereka sudah membuat Akong tersinggung, pemuda ini naik darah. Tapi ketika dia memutar tubuh dan menyambar Pwee lopek tiba-tiba tiga pengawal masuk ke ruangan itu dan mendengar bentakan Kwee Han, yang juga marah.

"A-kong, kau manusia kurang ajar. Berhenti dan berlututlah sebelum pengawalku bertindak!"

A-kong terkejut. "Kau mau apa?"

"Hm," Kwee Han mendorong selirnya. "Aku mau memberi adat padamu, A-kong. Bahwa kau harus bicara dan bersikap yang baik di hadapan seorang pembesar. Aku menteri Kwee, bukan sahabat kalian yang dulu lagi melainkan seorang pembesar dan pembantu kaisar. Nah, berlututlah, dan keluar dengan jalan merangkak!"

A-kong mendelik. Tapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata kasar Pwee lopek tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, merasa keperluannya bisa gagal kalau belum apa-apa terjadi pertengkaran.

"Kwee Han, eh.... Kwee-taijin, maafkan kami bertiga. Kami menyadari kesalahan kami. Kau benar, kau adalah menteri yang harus dihormati seluruh rakyat kecil. Kami bertiga datang bukan untuk mencari ribut melainkan mencari perlindungan. Aku dan dua temanku mewakili teman-teman lain di Ming-ciang untuk mohon keadilan. Bisakah taijin menolong dan menyelamatkan kami?"

"Huh!" A-kong tiba-tiba berseru. "Untuk apa menyebutnya seperti itu, paman Pwee. Kalau dia begitu sombong lebih baik kita pergi. Aku menyesal setelah melihat semuanya ini, Kwee Han ini sudah bukan seperti sahabat kita dulu!"

"A-kong!" Pwee-lopek membentak. "Kau diamlah dan dengar kata-kataku. Kita datang bukan untuk mencari perkara melainkan mencari perlindungan. Atau....."

"Atau aku keluar!" A-kong membalik, memotong ucapan kakek itu dan dengan berani serta pongah pula dia meninggalkan temannya. Di situ menghadang tiga pengawal yang tidak membuat pemuda ini takut. A-kong memang pemberani tapi sayangnya kasar, kebiasaan hidup sebagai kaum buruh membuat pemuda ini kurang memiliki sopan santun, maklumlah, pendidikannya memang rendah. Dan ketika dia membuat yang lain-lain terbelalak dan Kwee Han mendelik tiba-tiba A-kong di sana sudah melewati pengawal dan dengan gagah coba meneruskan langkahnya.

"Berhenti...!"

Seruan itu tak digubris. Tiga pengawal sesudah mendapat isyarat Kwee Han, mereka menodongkan tombak dan A-kong malah membentak. Pemuda itu dengan berani dan gegabah menyambar tombak pengawal di sebelah kanan, dia mengira akan diserang. Dan karena pemuda itu mulai bergerak dan berarti menyerang tentu saja pengawal menjadi marah dan dua yang di sebelah kiri menusuk dan menghantam pemuda itu.

"Bluk!" A-kong mengelit, lolos dari tusukan tapi tak lolos dari hantaman, mengaduh dan mengamuk dan segera pemuda itu mencabut pisau. Kiranya dalam perjalanan pemuda ini membekal senjata, membalas dan segera terjadi perkelahian sengit. Dengan kekerasan dan kepandaian seadanya nelayan ini berusaha mengalahkan tiga pengawal.

Tentu saja tak mungkin dan tiga pengawal berseru marah. Mereka gusar oleh sikap pemuda itu. Dan ketika tombak akhirnya memukul runtuh pisau di tangan pemuda itu, akhirnya A-kong menjerit dan terlempar, sebuah tombak menusüknya dan dua yang lain menghantam tengkuknya. Pemuda ini terkapar dan menggeliat, pengawal memburunya dan hendak membunuh pemuda itu. Tapi Pwee-lopek yang berteriak dan melompat bangun tiba-tiba menghambur.

"Jangan.... jangan dibunuh...." dan gemetar menghalang pemuda itu dengan tubuhnya kakek ini terbata-bata meratap kepada Kwee Han. "Taijin, tolong ampuni kawanku ini. Dia memang bersalah, tapi jangan dibunuh dan ingatlah sisa persahabatan kita dulu!"

"Hm!" Kwee Han mengangkat lengan. "Lempar dia ke kamar gelap, pengawal. Biarkan dia hidup!"

Pengawal gemas. Mereka menendang A-kong sehingga pemuda itu pun pingsan, Pwee-lopek menangis sementara A-sam di sana berdiri menggigil. Pemuda yang satu ini tahu gelagat, dia tak sekasar dan seberangasan A-kong. Dan ketika A-kong dibawa dan mereka pucat memandang tiba-tiba Pwee lopek berlutut di depan Kwee Han.

"Tajin... kakek ini gemetar. "Tidakkah A-kong, kau bebaskan? Bagaimana kami menjawab pertanyaan bila kembali tanpa dia?"

"Aku tak mau berurusan lagi, lopek. Temanmu itu kurang ajar dan harus dihukum!"

"Tapi...."

"Aku tak mau bicara, pergilah!" dan Kwee Han yang mengusir serta memberi tanda pada dua pengawal yang masih di situ tiba-tiba membalik dan tak mau menemui kakek ini, marah dan tersinggung karena sikap A-kong tadi begitu kasar. Dia jadi teringat kenangan dulu ketika di Ming-ciang. Begitulah, orang orang rendah memang biasanya kasar. Untung dia hidup di kota raja dan pandai membawa diri, sedikit demi sedikit dia mengerti pergaulan dengan orang-orang kaya atau bangsawan. Kini dia bermartabat lebih baik tapi bekas teman temannya ini mau mempermalukan dia, lebih baik diusir dan tak perlu bicara lagi. Dan begitu Kwee Han membalik dan meninggalkan Pwee-lopek maka dua pengawal yang sudah mendapat isyarat cepat-cepat mencengkram kakek itu.

“Taijin, sudah mengusir kalian, pergilah!"

Pwee-lopek menangis. A-Sam di sana juga didorong dan dibentak pengawal, mereka tiba-tiba melihat Kwee Han sekarang benar-benar orang yang berpengaruh, diri sendiri menjadi terasa begitu kecil dan tak berarti. Dan karena Kwee Han tak mau menemui mereka dan pengawal sudah memaksa mereka pergi, akhirnya Pwee-lopek dan temannya ini tak berdaya, pergi dan meninggalkan gedung Kwee Han tapi tentu saja tak terus pulang. Mereka sekarang malah mendapat persoalan baru, urusan di Ming-ciang yang sebenarnya harus dibantu Kwee Han malah berbalik dengan di tangkapnya A-kong, teman mereka itu. Dan ketika malam itu kakek ini mondar-mandir di sekitar gedung Kwee Han dan A-Sam termangu maka kakek ini tiba-tiba menggigit bibir.

"Kita harus membebaskan A-kong. Malam ini kita masuk dan berbuat nekat!"

Asam terkejut. "Kau mau mencari penyakit?"

"Habis, masakah kita pulang dangan membiarkan teman sendiri dikurung di sini? Eh, A-sam. Heran bahwa hari ini keberanianmu mengkerut. Mana itu keberanian dan kegagahanmu? Bukankah kau orang muda yang seharusnya lebih tangkas dan berani daripada aku? Kau harus bertindak, A-sam, jangan melenggong dan menunggu saja!"

“Aku tak berani, Kwee Han sudah menjadi orang besar...!"

"Dan kau mau menyuruhku si tua ini ke dalam bahaya! A-sam, mana itu janjimu ketika berangkat? Bukankah kau berjanji bahwa suka-duka harus kita hadapi bertiga? A-kong kini dikururg, kita harus membebaskan dan masuk!"

"Tapi pintu depan dijaga pengawal...."

"Kita masuk lewat bagian lainnya, kalau perlu melompat di tembok!"

Hm...." A-sam akhirnya mengeraskan hati. "Baiklah, tapi aku agak ragu, lopek. Dan aku diam-diam heran bagaimana Kwee Han itu bisa menduduki jabatan tinggi dan menjadi orang besar! Tidakkah kau merasa aneh?"

"Itu keberuntungannya, A-sam, kau tak usah iri!"

"Bukan iri, tapi.... hm, bagaimana kalau kita menyelidiki ini? Maksudku, tak mungkin Kwee Han bergerak atas kekuatannya sendiri, lopek. Pasti ada seseorang yang membantu dia dan membuat dia berhasil. Barangkali seorang terkenal!"

Kakek Pwee tertawa mengejek. "Kita sekarang tak perlu melantur ke mana-mana, A-sam. Pokoknya kita cari akal dan masuk untuk membebaskan A-kong!"

"Dengan menempuh bahaya menyerahkan diri sendiri, mungkin nyawa!"

"Takutkah kau?"

"Tidak, bukan begitu. Tapi aku...." A-sam berhenti, melihat sebuah bayangan berkelebat di atas kepalanya dan hilang, seperti iblis. "Eh.... Serunya. "Hantukah itu?"

Kakek Pwee terkejut. "Apa itu, A-sam?"

"Mana aku tahu? Ah, tempat ini rupanya banyak hantu, lopek. Mari menyingkir!" A-sam pucat, tiba-tiba menarik temannya dan menjauhi tempat itu.

Kini mereka di sebelah gedung Kwee Han dan A-sam menoleh sana-sini, mendadak mendengar kelelawar mencicit dan pemuda ini kaget setengah mati. Hidungnya disambar dan A-sam terjengkang! Dan ketika pemuda itu melompat bangun dan memaki setelah sadar maka dia celingukan dan mengumpat. "Lopek, sekitar rumah Kwee Han ini rupanya sarang iblis. Aku jadi meremang dan ngeri. Bagaimana kalau tidak malam-malam begini menolong A-kong?"

“Maksudmu siang saja? Bodoh, pengawal tentu melihat kita, A-sam, mudah tertangkap dan kita mudah celaka. Tenangkan dirimu, di sini tak ada apa-apa dan itu tadi hanya kelelawar!" kakek Pwee menindas rasa takutnya sendiri, berdiri gagah dan memegang temannya itu. Jari si kakek yang agak gemetar ditekan kuat, A-sam akhirnya tenang dan mereka pun melanjutkan percakapan.

Sehari tadi mereka telah membicarakan A-kong dan ingin membebaskan pemuda itu, maklum bahwa Kwee Han tak mungkin dibujuk untuk melepaskan temannya itu. Dan karena keputusan belum didapat dan mereka hanya mondar-mandir saja akhirnya malam itu kakek ini minta ketegasan temannya untuk membantu, A-sam tadi termangu dan sedikit gangguan kelelawar dan bayangan yang entah apa itu membuat meremang. A-sam sebenarnya bukan penakut tapi juga tidak terlampau berani, sepak terjangnya selalu diperhitungkan. Dan ketika dia masih ragu untuk membebaskan A-kong akhirnya kakek Pwee memberi ultimatum,

"A-sam, kau dan A-kong adalah pemuda yang sama-sama hendak dibunuh Cu-wangwe. Aku sebenarnya hanya pengantar, tak berkepentingan langsung. Kalau kau ragu-ragu menolong sahabatmu sendiri dan A-kong dibiarkan di sana lebih baik kau pergi dan aku yang akan melakukannya. Bekerja dengan orang yang selalu ragu-ragu tak enak rasanya. Kau ambillah keputusanmu dan jawab maukah atau tidak!"

"Aku mau," A-sam akhirnya mengangguk. "Hanya kuminta jangan kau gegabah, lopek. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai celaka di tangan Kwee Han."

"Tentu saja, siapa mau begitu bodoh tertangkap? Kita masuk dengan melompati tembok, A-sam. Kau dan aku dapat mempergunakan tali dan hati-hati turun ke dalam."

"Ya, dan kau membawa senjata?"

"Hm, aku si tua ini membawa pisau, A-sam. Tapi jangan digunakan kalau tidak perlu. Kau menyimpan pisaumu, bukan?"

“Ya."

"Baiklah, mari masuk," dan kakek Pwee yang tak sabar mengajak temannya lalu mendekati tembok dan mengeluarkan tali, memanjat dan akhirnya ke dalam tapi di sini tiba-tiba mereka bingung. Mereka tak tahu di mana A-kong ditahan, ini menyulitkan dan dua orang itu lalu berbisik bisik lagi. Dan ketika mereka berbicara serius tiba-tiba terdengar suara orang dan pengawal atau penjaga mendatangi tempat itu, dua orang.

"Merunduk!' A-sam cepat ditekan kepalanya, kaget dan menghentikan percakapan dan tentu saja kakek Pwee gemetar. Dia gelisah dan menanti dua orang itu lewat, mereka menyebut-nyebut tentang A-kong, tapi tak menyebut di mana teman mereka itu disekap. Dan ketika semuanya lewat dan kakek ini berdiri lagi maka A-sam mengusap keringat karena bahaya pertama lewat tapi bahaya-bahaya lain masih ada di depan.

"Bagaimana?" pemuda ini menggigil. tangkap mereka, lopek? Atau kita mencari di dalam?"

"Kita ke dalam, kita cari pelayan atau seorang selir!"

A-sam terbuka. Tiba-tiba dia sadar bahwa daripada berhadapan dengan seorang pengawal lebih baik mereka berhadapan dengan seorang selir atau pelayan, wanita tentu saja, membekuk dan mengompres mereka agar memberi tahu. Kepalang basah di tempat itu membuat keberanian bertambah saja. Dan ketika mereka menyelinap dan A-sam mengangguk mendahului maka dua orang ini sudah meneruskan langkahnya dan memasuki tempat itu tanpa bicara lagi, mulai mendekati bagian yang terang dan di sini mereka berhati-hati.

Kebetulan sekali mereka menuju dapur, terdengar tawa dan percakapan pelayan, dua orang gadis muncul dan kakek Pwee serta A-sam menarik diri ke dinding. Percakapan menyebut-nyebut A-kong, dua orang pelayan mula itu rupanya tahu di mana A-kong ditahan. Dan persis mereka berjalan di dekat A-sam dan Pwee lopek maka dua orang ini sudah saling memberi isyarat dan menubruk serta mendekap mulut mereka.

"Jangan berteriak, atau kalian mati!” kakek Pwee tiba-tiba menjadi garang, menubruk dan sudah menyambar korbannya sementara A-sam di sana juga melaksanakan tugasnya tak kalah gesit dengan kakek ini, sempat mendengar jerit tertahan namun setelah itu semuanya sepi. Dan ketika dua orang ini menyeret korbannya dan untuk pertama kali Pwee-lopek mengancam orang maka kakek ini agak gemetar ketika bertanya, mengorek keterangan tentang A-kong.

"Kami mencari pemuda yang kalian sebut-sebut itu. Di mana tempatnya dan tunjukkan kepada kami!"

"Ufh uufft....!" pelayan yang didekap tak dapat bicara, meronta dan akhirnya sedikit dikendorkan mulutnya. "Aku, eh... aku tak tahu, orang tua. Yang tahu adalah temanku itu!" dia menunjuk temannya, yang didekap A-sam.

Pemuda ini sejak tadi gemetaran memeluk korbannya pula, bukan karena tegang melainkan justeru panas dingin sendiri karena korban yang dibekuk adalah pelayan muda yang hangat tubuhnya, dipeluk dan nyaris mereka menjadi satu. Si pelayan tadinya ketakutan tapi kini tenang, dia melihat bahwa yang menangkap adalah pemuda biasa yang bertampang dusun, tersenyum dan tiba-tiba merapatkan tubuhnya ke tubuh pemuda itu, A-sam di gesek-gesek dan tentu saja kebingungan. Antara keinginan dan gairah tiba-tiba bangkit.

Dia tak tahu bahwa pelayan yang disambarnya itu kebetulan pagi tadi melihatnya, ketika mengantar minuman dan makanan kecil bersama tujuh selir yang melayani Kwee Han, jadi pelayan ini tak takut setelah melihat siapa penyergapnya. Dan ketika pelayan yang ditangkap Pwee-lopek menunjuk dan memandang dirinya maka pelayan ini tersenyum dan tertawa kecil, tak didekap begitu kencang oleh A-sam, yang entah kenapa jadi kendor dan setengah hati menangkap korbannya.

"Aku tahu, tapi tak perlu kalian kasar. Bebaskan temanku itu dan kita bicara baik-baik."

"Hm, kami tak main-main, gadis muda. Kau jangan ketawa atau mengejek kami!"

“Siapa mengejek?" gadis itu geli, memandang Pwee-lopek. "Kami tahu maksudmu, orang tua. Dan tentu kuberi tahu kalau kalian baik-baik kepada kami. Lepaskan temanku itu,"

Kakek Pwee melepaskan korbannya, hati-hati tapi siap mendekatkan pisau di leher. "Kami tak mau kalian melarikan diri, jangan main main, dan jangan bergurau!"

"Kami tak bergurau, kalianlah yang terlalu tegang dan nampaknya ketakutan.“

"Hiii," kakek Pwee merah mukanya. "Kau jangan menghina, gadis muda. Apa maksud kau dengan kata-kata tadi?”

"Eh, salahkah? Aku bilang kalian nampak ketakutan, orang tua. Dan aku tahu kalian sengaja menangkap kami, wanita-wanita lemah. Tentu kalian telah bertemu dengan pengawal tapi menyembünyikan diri dan takut!"

"Sudahlah." A-sam memotong pembicaraan, memegang lengan korbannya. "Kau tak usah berdebat dengan kami, nona. Kami datang untuk membebaskan teman kami."

"Aku tahu. Kau A-sam, bukan? Dan ini Pwee-lopek, aku tahu semuanya. Nah, kalau ingin menolong teman kalian itu cari saja di samping gedung ini, memutar dari sini lima belas langkah dan kalian berbelok ke kanan menuju rumah tahanan. bercat putih. Di situ teman kalian disekap dan sekarang bebaskan kami."

"Kau tak bohong?"

"Hi-hik, aku bohong tak ada gunanya, kakek Pwee. Kau ke sana pasti gagal dan akan tertangkap pula. Nah, untuk apa bohong?"

Kakek itu tertegun, memandang temannya. “Bagaimana, A-sam?"

"Hm," A-sam garuk-garuk kepala. "Kita sudah di sini, lopek. Kepalang tanggung tak melakukan maksud kita. Cari saja, dan kita ke sana!"

"Benar, atau kalau ingin mudah bawa sekalian aku ke sana, A.sam. Kutunjukkan pada kalian dan setelah itu terserah kalian sendiri," pelayan itu menyambung, bahkan memberi nasihat dan kakek Pwea mendelik. Dia merasa dipermainkan gadis ini yang tersenyum dan tidak nampak takut berhadapan dengan mereka, kurang ajar. Tapi sebelum dia menjawab tiba-tiba A-sam setuju, mengangguk.

"Bagaimana pendapatmu, lopek? Gadis ini dapat dibawa, kalau perlu dijadikan sandera!"

"Eh, kalian mengancam aku? Baik-baik aku bersikap pada kalian, A-sam, jangan diperlakukan sebaliknya kalau tak ingin aku marah!"

"Marahlah," kakek Pwee merasa ada yang tak wajar. "Kau di sini saja, gadis muda. Aku tak mau kalian ikut dan hanya merepotkan kami!" dan cepat membungkam mulut korbannya kakek ini berseru,

"Asam, gadis itu dapat menggagalkan kita kalau kepergok penjaga. Sebaiknya bungkam dia dan ikat di sini, bersama temannya!" dan mengikat serta membungkam gadis yang dibekuk kakek ini sudah melempar pelayan yang ditangkap dan menyembunyikannya di balik gerumbul, melihat A-sam ragu-ragu dan tampaknya keberatan.

Gadis yang dibekuk A-sam menggeliatkan tubuh, meronta tapi A-sam mendekapnya, mempererat cengkeraman. Dan ketika pemuda itu bingung dan ragu mengikuti nasihat Pwee-lopek tiba-tiba kakek ini sudah menghantam dan memukul tengkuk gadis itu.

"Kau laki-laki bodoh, jangan bangkit nafsu mu oleh tubuh yang hangat... ngek!" dan si gadis yang roboh dan mengeluh di tanah akhirnya diberesi kakek ini yang tampaknya paham akan apa yang bergejolak di hati A-sam, tentu saja melihat semuanya tadi dan kegenitan si gadis muda. Pwee-lopek khawatir akan gagal gara-gara ini, jebakan halus. Dan ketika A-sam tertegun dan terkejut oleh perbuatannya maka kakek ini menyambar lengannya meloncat ke kiri. "Jangan bengong, sekarang kita buktikan kata-katanya. Kalau bohong dan kita tertipu kita dapat kembali ke sini dan menjadikan mereka seperti sandera, seperti katamu tadi. Nah, ayo A-sam, kita mulai dan cari rumah bercat putih itu!"

A sam sadar. Pwee-lopek sudah menyeretnya ke tempat yang dituju, mereka berbelok ke kiri dan akhirnya ke kanan. Benar saja, terlihat sebuah rumah tahanan bercat putih, mereka merunduk dan melompat masuk. Dan ketika di dalam terdengar rintihan dan umpatan lirih maka kakek ini girang berseru tertahan,

"A-kong, dia A-kong...!"

"Sst," A-sam menyuruhnya berhati-hati, menoleh kiri kanan. "Kenapa tak ada penjaga? Apakah memang tak ada penjaga?"

"Ah, tempat ini sepi, A-sam. Mungkin penjaga sedang pergi atau A-kong memang tak perlu dijaga. Ayo, buka pintunya dan masuk!" kakek Pwee mendorong, tak sabar dan sudah membuka paksa pintu rumah itu. Pintu terbuka dan diapun meloncat masuk. Dan ketika benar saja A-kong menggeletak di situ dalam keadaan merintih serta terikat memaki Kwee Han maka kakek itu girang namun juga cemas.

"A kong...."

Pemuda itu menoleh. A-kong terbelalak dan seakan nampak tak percaya, tapi ketika dilihatnya pula A-sam di situ tiba-tiba pemuda ini girang dan merintih. "Oh, aduh.... kau mau menolongku, lopek? Aduh, buka ikatan tali ini. Mereka menghajarku dan membuatku pingsan!"

Pwee-lopek tak perlu diulang lagi. Kakek ini sudah bergerak dan memutus ikatan di tubuh temannya, A-kong ditarik bangun tapi pemuda itu terguling kembali. Ikatan yang terlalu lama dan menyakitkan membuatnya kejang, tak dapat begitu saja pemuda ini berdiri dan mengeluh. Tapi ketika A-sam datang menolong dan memijat mijat tubuhnya akhirnya pemuda ini dapat berdiri dan memaki.

"Bangsat jahanam Kwee Han itu. Dia menyuruh pengawalnya menyiksa dan nyaris membunuh aku!"

"Sudahlah, tak perlu marah, A-kong. Kau juga salah tak menghormat orang besar!"

“Tahi kucing! Kwee Han itu orang besar macam apa? Dia juga seperti kita, lopek. Hanya entah keberuntungan macam apa yang membuat dia jadi berobah begitu. Aku tak akan marah kalau pertama kali dia menyambut dengan mulut tidak cemberut. Dia sombong, kini pongah dan congkak!"

“Kau mau keluar atau memaki-maki?” kakek Pwee membentak juga. "Kami mempertaruhkan keselamatan untukmu, A-kong. Kalau kau ingin tetap di sini biarlah kami pergi!"

"Tidak, ah.... maaf!" pemuda itu sadar juga. "Aku tentu saja ingin keluar, lopek. Dan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu. Ayolah, mari. Bawa aku keluar!" tapi baru mereka bergerak dan memutar tubuh tiba-tiba lima pengawal muncul dan sudah berdiri di pintu, bengis dan dingin.

"Kalian mau merat? Jangan ngimpi!" pengawal di depan, yang tertawa dan mengejek mereka melompat masuk, diikuti keempat temannya, langsung mengepung. "Kwee-taijin sudah menduga kalian datang lagi, tua bengka. Dan kini kalian tak dapat lagi dibiarkan hidup... wutt!" dan tombak serta golok yang digerakkan dan sudah menyerang tiga orang ini lalu membuat Pwee-Iopek terkesiap dan menangkis, menggerakkan pisaunya tapi dia terbanting.

Tenaga yang tua ternyata tak dapat menghadapi tenaga yang muda, si pengawal terlalu kuat dan sudah menerkam lagi, kali ini menyambar dan menusuk punggung kakek itu. Tapi karena A-kong ada di dekatnya dan pemuda ini tentu saja tak membiarkan temannya dibunuh tiba-tiba A-kong melompat dan membentak pengawal itu, menghantam dan dari samping dia menyerang si pengawal, A-Sam juga terpaksa bergerak dan menyerang pengawal itu pula, pengawal ini dikeroyok. Dan karena dua lawan satu dan si pengawal terjepit maka tombak terampas dan segera A-kong atau A-sam mengamuk di situ, ditubruk empat pengawal yang lain namun kakek Pwee berteriak marah.

Dengan gagah dan berani kakek ini membela temannya, terjadilah serang-menyerang di situ. Tapi karena lima lawan tiga dan Akong juga masih terasa kaku ototnya maka sebentar kemudian tiga orang ini kewalahan, menjerit dan mulai menerima tusukan atau bacokan golok. Kakek Pwee terbabat namun dengan gagah dan berani kakek ini maju lagi, dia Terasa dipepet dan tak mungkin mundur. Apa yang sudah terjadi harus dihadapi. Dan ketika A kong dan Asam di sana menjerit dan mengeluh oleh sambaran sebuah golok akhirnya kakek ini berteriak,

"A-kong, lari... A-sam, ingat dua pelayan wanita itu. Tangkap dan jadikan mereka sandera!"

"Ah" A-sam pucat. "Mana mungkin, lopek? Mereka mengepung, kita tak dapat keluar!"

"Aku akan memberimu jalan keluar, A-sam. Kalian masih muda-muda dan biar si tua ini mati. Aku....aduh!" kakek itu menghentikan keta katanya, menjerit dan terlempar karena dua pengawal menusuknya dari samping, pinggang terluka dan kakek ini roboh.

Si pengawal tertawa mengejek karena kakek ini besar nafsunya namun kurang tenaganya. Apa yang diniatkan tak seimbang dengan apa yang dipunyai, kakek itu terguling-guling dan A-sam serta A-kong terkejut. Mereka sendiri terdesak hebat oleh golok dan tombak tiga pengawal, tombak rampasan terpental jauh ketika dipukul, mereka memang bukan jago berkelahi, tak dapat menolong kakek itu.

Tapi ketika pengawal mengejar Pwee-lopek dan dua tombak diarahkan dengan beringas untuk menghabisi kakek itu mendadak berkelebat sesosok bayangan kuning emas dan bentakan perlahan terdengar di tempat itu, disusul tangkisan dan robohnya lima pengawal yang enteh bagaimana tiba-tiba berpelantingan tak keruan.

"Jangan bersikap kejam, tahan!" dan Pwee-lopek yang selamat dan melompat bangun melihat lima pengawaI menjerit dan terguling-guling akhirnya tertegun melihat seorang pendekar gagah berdiri di situ, tegak dengan rambutnya yang kuning keemasan.

“Kim-mou-eng...!"

"Pendekar Rambut Emas...!

Kakek ini mendelong. Lima pengawal yang tadi menyerang dia dan dua temannya mendadak berseru kaget, membeliak dan tiba-tiba melarikan diri melempar senjata masing-masing. Mereka begitu ketakutan dan baru kali ini Pwee-lopek mendengar nama itu, juga orangnya. Dan ketika A-kong dan A-sam juga tertegun dan bengong di sana mendadak kakek Pwee sudah menjatuhkan diri berlutut dan mengucap terima kasih, tentu saja tahu bahwa seorang pendekar telah menolong dan menyelamatkannya.

"Taihip, terima kasih. Aku si tua ini kiranya berhadapan dengan Kim-mou-eng!"

"Hm, bangunlah”, Kim-mou-eng, pendekar itu menarik kakek ini. "Aku melihat dan mendengar semuanya, kakek Pwee. Aku tahu masalah kalian dan mari sama-sama menghadap Kwee-taijin."

Kakek itu terbelalak. "Menghadap Kwee-taijin?"

"Ya, bukankah kau datang untuk urusan teman-temanmu di Ming-ciang? Aku tahu semuanya, kakek Pwee. Dan aku akan membantumu!"

"Dia yang kukira hantu itu!" A-sam tiba-tiba berseru, kaget dan teringat bayangan di atas pohon. "Eh, bukankah kau orangnya, taihiap? Kau yang berkelebat dan mengejutkan kami berdua?"

"Benar," Kim-mou-eng tersenyum. "Akulah itu, A-sam. Dan aku simpatik atas perjuangan kalian. Mari, kuantar menghadap Kwee-taijin dan rencana kalian pasti berhasil!" dan belum A-sam hilang bengongnya tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan lenyap dari situ.

"Kakek Pwee, ayo keluar. Kwee-taijin ada di ruang dalam!”

"Ah," kakek ini terkejut. "Dia akan menangkap kami, taihiap. Pengawal bisa berdatangan dan menyerang kami!”

"Jangan takut, kalian datang saja dan lihat bagaimana sikap Kwee-taijin menyambut kalian nanti!" suara itu tak diketahui orangnya, lenyap dan kakek ini ragu-ragu namun A-sam berseri-seri .Dia sudah mendengar nama Kim-mou-eng dan lebih tahu daripada kakek itu, tanpa ragu dan tertawa pemuda isi melompat keluar. Lalu ketika témannya mengikuti dan kakek Pwee nampak ragu atau cemas maka pemuda ini berkata, menyambar lengannya,

"Jangan takut, apa yang dikata Kim-mou-eng benar, lopek. Ayo ke sana dan cari Kwee Han!"

Kakek ini kebat-kebit. Akhirnya dia mengeraskan hati dan takut serta gelisah diajak A-sam, berlari dan sebentar kemudian sudah melihat ribut-ribut di dalam. Pengawal berkelebatan dan kakek ini pucat. Dia menganggap mereka bertiga justeru mendatangi gua harimau. Tapi ketika dia tiba di luar gedung utama dan di situ balasan pengawal berjajar berdiri tegak maka mereka seolah disambut dan kakek ini tertegun, melihat Kim-mou-eng ada di dalam bersama Kwee Han, yang buru-buru berlari dan menyambut kakek ini.

“Pwee-lopek, mari. Silahkan masuk!"

Pwee-lopek bengong. Kwee Han, yang pagi tadi galak dan ketus sekonyong-konyong berubah, sikapnya manis dan sudah menyambut kakek ini, memegang lengannya, membawa masuk. Dan ketika A-kong dan A-sam mengikuti dan mereka juga tertegun oleh sikap Kwee Han maka pemuda ini tampak menjura dalam dalam di hadapan Pendekar Rambut Emas itu, memberi hormat dengan penghormatan yang luar biasa hormat!

“Taihiap, maafkan aku. Kiranya Pwee-lopek sudah berkenalan denganmu dan juga sahabatmu. Maaf, aku tak tahu dan tentu saja akan menyatakan penyesalanku kepadanya”, dan menbalik menghadapi kakek Ini Kwee Han berkata, “Lopek, aku tak tahu kalau kau adalah juga sahabat Kim-taihiap. Kenapa tidak bilang dari dulu-dulu agar aku mengerti? Maaf atas semua kekasaranku, lopek. Aku berjanji tak akan mengulang semuanya itu dan kita tetap kawan!"

Pwee-lopek mendelong. Dia melihat Kwee Han begitu manis dan hormat kepadanya, bertemu pandang dengan Kim-mou-eng dan sekilas isyarat tampak dikedipkan pendekar itu. Kakek ini mengerti, segera tersenyum. Dan ketika dia mengangguk dan tentu saja girang maka dia menunjuk dua temannya, "Ah, tak apa, Kwee-taijin. Dan aku juga minta maaf atas kekasaran, A-kong dan A-sam ini. Mereka tak tahu adat, kami memang orang-orang kecil yang tidak tahu banyak sopan santun. Maafkan kami pula," dan menegur temannya kakek ini menyambung, "A-kong, kau harus minta maaf pada Kwee-taijin. Hayo beri hormat dan lakukan perintahku!"

A-kong buru-buru membungkuk. "Maafkan aku, taijin," katanya pendek. "Tapi kau juga bersalah karena menyuruh pengawal-pengawalmu bersikap kejam!"

"Ah, itu kelancangan mereka. Aku akan menegur!" Kwee Han buru-buru menjawab. "Dan kau tak usah memanggilku taijin, kita adalah sahabat dan bekas sesama rekan. Mari duduk A-kong. Kita duduk di dalam!" Kwee Han yang tak mau dilihat pengawal berlama-lama lalu mengusir mereka pergi, mengajak tiga temannya masuk dan Kim-mou-eng pun dipersilahkan. Sekarang Kwee Han tampak begitu hormat dan merendah, kakek Pwee tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi antara pemuda itu dengan Pendekar Rambut Emas.

Tapi ketika mereka diajak masuk dan duduk mendapat jamuan tiba-tiba Kim-mou-eng berkata, "Kwee Han, aku tak ada banyak waktu. Aku datang untuk menanyakan sesuatu, adakah pernah kau melihat sebuah cermin berbingkai emas? "Dan apakah kau dapat membereskan masalah yang dibawa tiga orang ini?"

"Ah, taihiap mau ke mana? Ada apa buru-buru?"

"Aku datang untuk mencari sesuatu, Kwee Han. Dan kebetulan saja bertemu Pwee-lopek dan dua temannya ini. Apakah kau pernah menemukan sebuah cermin?"

"Tidak," Kwee Han langsung saja berbohong. "Aku tak tahu dan tak mengerti cermin apa, taihiap. Dan kalau masalah teman-temanku ini tentu saja akan kubereskan."

"Hm, aneh. Aku melihat jatuhnya benda itu di sekitar sini, kukira kau tahu atau mendapatkannya. Kalau kau tak tahu baiklah, Kwee Han. Mungkin satu dua hari lagi aku akan datang dan kita bertemu lagi. Aku telah tahu semuanya yang diminta kakek ini, tolong kau perhatikan dia dan jangan lupa nasihatku tadi."

"Baik... baik, taihiap, terima kasih. Tentu saja aku tak melupakan mereka dan akan membantu!" dan ketika Kwee Han selesai mengucapkan kata-katanya itu dan Kim-mou-eng tertawa tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu telah lenyap dan entah berkelebat ke mana, hanya tampak sebuah bayangan meloncat dan tiba-tiba perdekar itu pun menghilang. Ini sama seperti yang dilihat A-sam tadi, gerakan luar biasa cepat mirip siluman saja.

Dan ketika mereka bengong dan Kwee Han termangu maka kakek Pwee mendapat sambutan ramah dan kini Kwee Han tak memusuhi mereka lagi, mengajak ketiganya duduk kembali dan Kwee Han segera minta apa yang hendak dibicarakan kakek itu. Tidak seperti pagi tadi di mana Kwee Hån cemberut dan jelas menunjukkan ketidak senangannya adalah sekarang pemuda ini menyambut tamunya baik-baik.

Pwee-lopek segera menceritakan apa yang terjadi di Ming-ciang, bahwa "penyakit" juragan perahu kambuh lagi. Mereka memeras dan mencekik kaum nelayan, bahwa sistem bagi hasil kembali mengalami ketidakadilan dan kakek itu minta agar dengan pengaruhnya Kwee Han dapat mengatasi semuanya itu, pemuda inilah harapan satu-satunya bagi seluruh buruh nelayan.

Dan ketika Kwee Han berjanji akan datang dan mengurus hal itu maka untuk kedua kalinya pemuda ini memberi bekal beberapa puluh ribu tail perak untuk membantu kehidupan teman-teman Pwee lopek, disambut girang dan untuk kedua kalinya pula kakek ini mengucap terima kasih. Dan ketika semuanya berjalan lancar dan Kwee Han benar-benar berjanji akan membantu mereka maka kakek ini akhirnya kembali dan pulang ke Ming-ciang.

* * * * * * * * *

"Hei, lepaskan aku. Bebaskan kami!"

Dua tubuh di atas api unggun itu meronta, Mereka berteriak dan memaki-maki sejak tadi, dua orang di bawah mereka terkekeh dan tertawa. Mereka itulah Hauw Kam dan Gwan Beng, dua murid Hu-taihiap yang diculik Nenek Naga Bumi dan iblis cebol Hek-bong Siauwjin dan yang kini marah-marah di atas api unggun. Mereka diikat dan digantung di situ, persis babi panggang, Dan ketika mereka berteriak dan mulai memaki-maki lawannya maka nenek Naga Bumi yang menculik dan menawan Hauw Kam bangkit berdiri, tahu-tahu melecutkan rambutnya ke tubuh pemuda itu.

"Hei, kenapa berkaok-kaok macam ayam di sembelih? Kami tak meng-apa-apakan kalian, bocah. Diam dan tenanglah di situ, atau aku akan menghangatkan kalian dengan api yang lebih besar lagi...tarr!"

Hauw Kam menggeliat, tubuhnya sudah penuh keringat dan suhengnya terbelalak. Pemuda ini memaki dan marah-marah kepada nenek iblis itu, nenek Naga Bumi tampaknya mendongkol dan meniup api dengan hembusan mulutnya, api berkobar dan tubuh Hauw Kam yang telanjang tinggal mengenakan pakaian dalam saja terbakar, langsung dijilat dan pemuda itu mengeluh. Sejak tadi mereka di siksa nenek ini, dua jam lebih menerima panasnya api unggun dan kini si nenek tiba-tiba malah membesarkan api, tentu saja Hauw Kam kepanasan tapi dengan sinkangnya pemuda ini membuat tubuhnya licin dingin.

Keringat mengucur deras dan jatuh menetesi api di bawah, memang tidak langsung padam namun sedikit banyak membantu juga. Hauw Kam bertahan dan tidak sampai terbakar, kecuali kulitnya menjadi merah kematang-matangan. Dan ketika pemuda itu menggeliat dan meronta-ronta di atas api unggun maka Hek-bong Siauwjin mendadak tertawa dan meniup api pula untuk membakar hidup-hidup Gwan Beng, pemuda satunya.

"Heh heh, ini pemandangan menarik, nenek siluman. Aku jadi gatal melihat tingkahmu... Wush!"

Gwan Beng terjilat besar, tersentak dan kaget dan tiba-tiba bagian leher sampai pinggang disambar api berkobar. Dia terkejut tapi mengerahkan sinkang, bertahan dan sama seperti sutenya dia pun tidak apa-apa oleh api di bawah mereka itu, kecuali kulit yang menjadi merah kematang-matangan, tidak memaki kecuali melotot. Hauw Kam lah yang banyak memaki dan mengumpat-umpat tak keruan. Dan ketika pemuda itu mampu bertahan dan tidak apa-apa oleh api yang menjilat jilat tubuhnya maka Hek-bong Siauwjin kagum dan memuji.

"Hebat, murid-murid Hu-taihiap ini pemuda pemuda mengagumkan, nenek siluman. Bagaimana pendapatmu melihat ini?"

"Hm, aku pribadi tertarik pada yang ini, setan cebol. Tapi untuk yang itu lebih baik dibunuh!" dia menuding Gwan Beng. "Yang itu tidak cerewet dan pendiam, kurang menggairahkan dan tak kusuka!"

“Ha-ha, justeru sebaliknya!" setan cebol ngakak. "Aku suka yang pendiam begini, nenek siluman. Tak banyak memanaskan telinga dan patuh, itu saja yang dibunuh dan ini kita manfaatkan!"

“Tidak, aku tak suka itu, setan cebol. Lebih baik dia yang dibunuh dan ini kita manfaatkan!"

"Tidak, ini yang harus diberi hidup. Kita menjadikannya robot dan pewaris tunggal!"

"Hm, kau mau melawan?"

"Eh!" Hek-bong Siauwjin membeliak. "Kau tak perlu memaksakan perintah, nenek siluman. Aku tak mau tunduk perintahmu dan kau pun tak perlu tunduk perintahku. Kalau kita tak sependapat lebih baik masing-masing kembali pada haknya, aku pemuda itu sedang kau pemuda ini!"

Nekek Naga Bumi tertegun.

"Ingat," setan cebol kembali bicara. "Hu-taihiap sekarang lihai bukan main, nenek siluman. Aku dan nenek Naga tak mampu menandingi. Dia memiliki Khi-bal-sin-kang, juga Jing-sian-eng!"

Dewi Naga Bumi terbelalak. "Kau tak main-main?"

"Sial! Siapa main-main? Aku tak perlu bohong atau main-main denganmu, nenek siluman. Kami bertiga benar-benar tak mampu menghadapinya dan jago pedang itu persis Sian-su!"

"Bagaimana dia selihai itu? Dari mana dia mendapatkan Khi-bal-sin-kang dan Jing'sian-eng?"

"Siapa tahu? Mungkin Sian-su yang memberinya, nenek siluman. Atau sengaja jago pedang itu memintanya dan kakek itu memberinya!"

"Hm, aku penasaran," nenek Naga Bumi tak menelan mentah-mentah. "Aku ingin bertemu dan menghadapi jago pedang itu, Siauwjin. Kalau kata-katamu benar tentu aku percaya penuh!"

"Baiklah terserah dirimu. Tapi kita bicarakan sekarang dua anak-anak ini. Apakah kita kembali pada hak masing-masing dan aku mengambil pemuda itu sedang kau si cerewet ini? Aku tak mau kau membunuh punyaku, nenek siluman. Aku ingin mendidiknya dan menjadikannya muridku!"

"Tapi kau kalah dengan Hu Beng Kui!"

"Itu masalah lain. Hu Beng Kui memiliki Khi-bal sin-kang dan Jing-sian-eng sedang anak-anak ini tidak. Mereka tentu lebih lihai kalau menjadi muridku, tanpa ilmu yang dipunyai si jago pedang itu tentu saja!"

"Hm, dan aku akan mendidik yang ini. Sudah lama aku membutuhkan pewaris dan kebetulan mereka datang. Kim-mou-eng tentu bukan tandingannya lagi kalau pemuda ini menjadi muridku!"

"Ya, dan aku akan mendidik punyaku, nenek siluman. Kalau begitu kita masing-masing menggembleng murid sendiri dan lihat siapa yang kelak lebih unggul!"

"Tak perlu macam-macam, murid kita tentu imbang!"

"Ha-ha, siapa tahu? Yang pendiam ini lebih lihai, nenek siluman. Lihat dia lebih dapat bertahan dari pada yang itu!"

Nenek Naga Bumi mendengus. Saat itu Hauw Kam kembali berteriak-teriak, Gwan Beng diam saja sementara api menjilat jilat tubuhnya. Dua pemuda ini sama dipanggang tapi Hauw Kam rupanya tak tahan lebih dulu, kalah kuat dan keringatnya membanjir lebih deras daripada suhengnya, Gwan Beng. Dan ketika pemuda itu berkaok-kaok sementara Naga Bumi mendongkol dan gemas mendadak nenek itu melecut dan menyambar Gwan Beng.

"Augh!" Gwan Beng berteriak, pedih dan terbelalak dan setan cebol terkejut. Nenek Naga Bumi kembali hendak menyiksa pemuda itu, Hek-bong Siauwjin membentak dan akhirnya menghadang di tengah, mulut meniup dan api pun tiba-tiba padam, tinggal Hauw Kam di sana terpanggang kepanasan. Dan ketika nenek Naga Bumi mendengus dan marah memandang Gwan Beng tiba-tiba Hek-bong Siauwjin menggerakkan tangan dan Hauw Kam pun yang berkaok-kaok ditepuknya roboh.

"Diam kau cerewet!" dan kayu pengikat, yang ditepuk iblis ini tiba-tiba runtuh dan membawa Hauw Kam ke dalam api unggun, persis di bawahnya.

"Aduh, keparat! Jahanam kau, Siauwjin. Bangsat!"

Nenek Naga Bumi menggerakkan kaki. Hauw Kam yang terbakar langsung di bara api ditendang, mencelat dan diterima nenek ini. Hek-bong Siauwjin terbahak dan geli memandang pemuda itu, dibentak Naga Bumi. Dan ketika nenek itu marah dan memandang setan cebol maka Dewi Api atau nenek Naga Bumi ini mendelik.

"Siauwjin, jangan kau menyiksa punyaku. Pemuda ini muridku, kalau kau menyerangnya maka kau akan berhadapan dengan aku!"

"Ha-ha, bukankah yang mulai adalah kau? Kau menyerang punyaku, nenek siluman, dan pemuda ini pun adalah muridku. Kalau kau menyerangnya maka kau berarti menyerang aku, tentu kubalas!"

"Hm, kita harus berbagi dua. Baiklah, kau mati matian membela pnnyamu, dan aku akan mati-matian membela punyaku. Bagaimana kalau kita cari Hu Beng Kui dan dua anak ini kita cekoki obat pelupa ingatan?"

"Kau masih punya? Ha-ha, tentu bagus sekali, nenek siluman. Aku setuju dan berikan itu pada muridku!"

"Huh, kau selamanya peminta-minta, Siauwjin. Kau bagai jembel tak punya apa-apa! Kau boleh mendapatkan tapi tentu saja harus ada imbalan!"

"Imbalan apa?" iblis ini ketawa. "Kita adalah sahabat dan sesama rekan, Naga Bumi. Tak seharusnya utang piutang macam itu."

"Keenakan kau!" nenek ini ketus. "Kau tak pernah memberiku cuma-cuma, Siauwjin. Setiap pemberian tentu ada perhitungan. Nah, kuminta agar kau menemukan orang she Hu itu dan biar kulihat dia apakah omonganmu betul atau tidak!"

"Wah, bukankah kau dapat mencarinya sendiri! Kenapa aku?"

"Aku tak mau bersusah payah, setan cebol. Aku sudah memberikan sesuatu dan kau harus membalas dengan jasa!"

"Huh!" Siauwjin mangut-mangut, tiba-tiba tertawa. "Apakah ini berarti kau minta bantuan secara tak langsung? Kau jerih menghadapi si jago pedang itu?"

"Apa katamu?" si nenek mendelik.

"Ha-ha, tak usah menipu, nenek siluman. Aku sekarang tahu bahwa diam-diam di balik ketidakpercayaanmu ini tersisip rasa gentar. Kau berjaga-jaga bila benar tak dapat menghadapi Si jago pedang itu maka kau dapat meminta tolong aku. Setidak-tidaknya, agar kau dapat melarikan diri dan selamat!"

"Tarr!" rambut itu meledak, menyambar muka Siauwjn namun dielak. "Kau jahanam tak tahu malu, Siauwiin. Kau pandai membaca pikiran orang tapi keliru. Aku tidak maksudkan itu namun sekedar memberi pelajaran padamu kalau omonganmu bohong. Artinya, kalau orang she Hu itu tak selihai katamu maka dia akan kutangkap dan kau bertanggung jawab. Obat tidak kuberikan dan kau kuhajar!"

“Ha-ha, siapa takut? Boleh, kita buktikan itu, nenek siluman. Dan kalau kau kalah maka obat harus kau berikan atau aku ganti mengejarmu dan menghajarmu ke mana kau pergi!”

Nenek ini mendengus. Hanya Siauwjin yang tahu perubahan mukanya yang sekilas tadi, dari biasa menjadi merah. Bahwa dia memang gentar dan tersisip rasa berhati-hati menghadapi Hu Beng Kui, tentu saja setelah mendengar bahwa Hu Beng Kui mampu menghadapi tiga temannya sekaligus, Hek-bong Siauwjin dan Sepasang Dewi Naga. Tentu cebol itu telah menceritakan peristiwa di Ce-bu, bahwa Hu Beng Kui memiliki kepandaian luar biasa di mana jago pedang itu nyaris sama dengan Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang mereka takuti itu. Dan ketika Siauwjin tertawa dan nenek ini mengangguk maka Dewi Api atau nenek Naga Bumi itu melepas ikatan Hauw Kam.

"Kau harus tunduk kepadaku. Sekarang tak boleh berteriak-teriak lagi. Buka mulutmu dan telan ini!"

Hauw Kam terkejut. Tadinya dia mau mengamuk dan menyerang nenek itu, tak tahunya si nenek menotok dan membuatnya lumpuh. Dan ketika Hauw Kam terbelalak dan melotot tak dapat memaki tiba-tiba si nenek mejepit rahangnya dan otomatis mulut pun terbuka. Dan begitu si nenek tersenyum dan mengambil dua butir obat berwarna hitam tiba-tiba obat itu telah dimasukkan ke mulut Hauw Kam dan pemuda itu pun dilepas.

"Sekarang mundurlah, berlutut dan beri hormat padaku. Sebut subo (guru)!"

Aneh bin ajaib. Hauw Kam tiba-tiba mengeluh, roboh dan terjerembab. Sedetik dia merasa pening Gwan Beng yang ada di sebelahnya tampak pucat memandang sutenya itu, Hauw Kam yang garang kelihatan lumpuh, wajahnya berangsur-angsur berubah. Dan ketika dua menit kemudian mata sutenya yang berapi-api tampak memudar dan menjadi lemah sekonyong-konyong Hauw Kam berlutut dan menjatuhkan dirinya di depan nenek itu, suaranya kosong, memanggil lirih, "Subo....!"

Gwan Beng kaget bukan main. Sutenya itu tiba-tiba telah masuk dalam perangkap si nenek. Dewi Api Naga Bumi terkekeh. Dan ketika Gwan Beeg terbeliak dan berseru tertahan maka sutenya ditendang dan diterima nenek itu, yang tertawa aneh.

"Hauw Kam, sekarang kau adalah murid Dewi Api si nenek sakti. Kau akan tunduk dan selalu mengikuti perintahku!"

"Dan kau juga akan seperti sutemu ini, bocah. Kau akan tunduk dan menjadi muridku!" Hek-bong Siauwjin terbahak, memandang Gwan Beng dan pemuda itu berteriak. Sekarang Gwani Beng pucat, kaget dan takut, juga marah. Namun ketika Hek-bong Siauwjin melepas dan menendang dirinya pemuda ini pun tak dapat berbuat apa-apa dan lumpuh.

"Tidak!" Gwan Beng menjadi kalap. Kau bunuh dan cabut nyawaku, iblis busuk. Kalian iblis terkutuk tak tahu malu!"

"Heh, kenapa sekarang menjadi cerewet? Diam dan tenanglah, bocah. Hek-bong Siauwjin tak akan membunuhmu karena kau calon murid yang berbakat...plak!" setan cebol itu menepuk pundak Gwan Beng, si pemuda mengeluh dan tak dapat bicara lagi.

Gwan Beng melotot dan Hek-bong Siauwjin memencet jalan darah di punggungnya, sedikit saja, dipelintir dan akhirnya dicubit. Dan ketika Gwan Beng berteriak tanda kesakitan tiba-tiba pemuda ini telah pingsan dan jalan darah pembalik otak telah diputar arahnya oleh Hek-bong Siauwjin. Gwan Beng akan menjadi pemuda yang sementara ini tak dapat menemukan dirinya sendiri, linglung!

"Ha ha, bagaimana, nenek siluman? Bukankah dia akan menjadi sama seperti muridmu?"

“Ya, tapi kau harus memencet jalan darahnya lagi kalau jalan pikirannya pulih, setan cebol. Tindakanmu tak sepasti obat pelupa ingatan yang kupunyai. Pemuda itu akan pulih setiap enam atau tujuh bulan."

"Ha ha, dan setiap enam atau tujuh bulan berarti jalan darahnya harus kubalik lagi, tak apa. Kau memang pelit, nenek sial. Kalau sekarang kau berikan obat pelupa ingatanmu itu tentu aku tak perlu bersusah payah!"

"Heh, tak usah melantur! Kau belum melepas jasa mana mungkin mendapat imbalan? Cari orang she Hu itu dulu, setan cebol. Dan baru setelah itu janjiku kupenuhi!"

"Baik, mari pergi, nenek siluman. Aku jadi gatal menghajarmu lewat si jago pedang itu...wuttt!" dan Hek-bong Siauwjin yang menyambar Gwan Beng tiba-tiba lenyap dan menghilang dari tempat itu, disusul kemudian oleh gerakan si nenek iblis dan nenek Naga Bumi ini pun lenyap, menyambar dan memanggul Hauw Kam dan segera dua tokoh luar biasa ini menuju ke selatan. Mereka hendak ke Ce-bu, ke tempat si jago pedang itu. Tapi karena saat itu Hu Beng Kui telah meninggalkan rumahnya untuk mencari dua muridnya maka di tengah jalan tiba-tiba mereka bertemu, tepat di sebuah tikungan ketika pendekar itu hendak berbelok.

"Heh!" bentakan ini mengejutkan Hu Beng Kui. "Kau orang she Hu dari Ce-bu?"

Hu Beng Kui tertegun, tak melihat siapa-siapa. Ada suara tanpa rupa! Tapi karena jago pedang ini seorang lihai dan kini kepandaiannya sudah meningkat beberapa kali lipat maka cepat ia mengerahkan tenaga batin dan seorang nenek tampak di depannya terlindung asap hitam, hal yang tak dapat dilihat Swat Lian yang saat itu di sampingnya, bertanya heran,

"Siapa yang membentak kita, yah?"

“Ssst." jago pedang ini bersinar sinar, pura-pura tak tahu. "Kita bersembunyi, Swat Lian. Rupanya ada siluman atau hantu, mari!" jago pedang itu menyelinap, bersembunyi di balik gerumbul dan nenek Naga Bumi terkekeh tak menperlihatkan diri.

Ia tentu saja mengetahui lawannya itu, rekannya, si setan cebol Hek-bong Siauwjin tak menunjukkan diri, iblis cebol itu sengaja membiarkan temannya berhadapan sendiri dengan jago pedang ini. Dan ketika nenek itu terkekeh dan tentu saja mencibir melihat "kebodohan" Hu Beng Kui ini maka dia ingin menggoda dan justeru mau mengejek lebih lanjut, menakut-nakuti alias memberi teror metal.

“Heh, kau jangan seperti siput bersembunyi di rumahnya, Hu Beng Kui. Keluar dan hadapilah aku, Api Maut!"

Swat Lian terkejut. Entah dari mana asalnya sekonyong-konyong meluncur sebuah lidah api menyambar ayahnya, cepat dan luar biasa dan desisnya seperti naga kelaparan. Gadis ini terkejut tapi ayahnya mengelak. Hu Beng Kui tentu saja tahu asal api itu dan mengebut. Dan ketika api lenyap dan padam menghilang entah ke mana maka nenek Naga Bumi terbelalak.

"Kau dapat menyelamatkan diri?” suara itu pun tak kelihatan orangnya oleh Swat Lian, "Kau menantang aku, orang she Hu? Baik, lihat dan dengarkan ini. Seribu api akan menyerangmu... wush-wushh!"

Seribu api bagai kunang-kunang mendadak muncul, berhamburan dan menyambar dari mana-mana mengejutkan Swat Lian. Gadis ini memekik dan tentu saja kaget, dia dan ayahnya sudah diserang dari segala penjuru. Tapi begitu Hu Beng Kui mengebut dan memutar kedua tangannya tiba-tiba api itu pun lenyap dan padam.

"Heh!?" suara tanpa rupa itu tampaknya tertegun. Kau dapat mengalahkan aku? Keparat, kau akan kubunuh, orang she Hu. Sekarang kau mampus....cringg!"

Dan sebuah benda terbang yang berputar dan melayang cepat menuju leher jago pedang itu tiba-tiba membuat Swat Lian menjerit, melihat seorang nenek menunggang di atasnya dan kini tampaklah nenek Naga Bumi itu. Swat Lian seketika terbelalak karena itulah nenek yang menculik suhengnya nomor dua, Hauw Kam. Dan ketika gadis ini berseru kaget dan terbelalak maka ayahnya, yang sudah tahu dan melihat nenek itu sejak tadi tiba-tiba tertawa bergelak dan mendorong puterinya hingga terpelanting jauh ke belakang, menyambut serangan luar biasa ini, seolah lawan berada di atas piring terbang!

"Nenek siluman, tak perlu kau banyak lagak. Aku telah tahu kehadiranmu sejak tadi. Nah, inilah aku, Hu Beng Kui yang akan meruntuhkan kesombonganmu....dess!" dan Hu Beng Kui yang mencelat tapi lawan yang berteriak berjungkir balik tiba-tiba membuat bumi berguncang dan tanah di mana jago pedang itu berdiri amblong, bagai ditumbuk atau kejatuhan gajah.

Dan nenek Naga Bumi terpekik. Dia tadi melancarkan pukulan jarak jauhnya tapi disambut, dua tenaga mereka bertemu dan nenek ini terpental, hampir terbanting kalau dia tidak berjungkir balik. Dan ketika nenek itu meluncur turun dan berdiri tegak dengan tubuh bergoyang maka nenek ini mendelik dan membeliakkan mata.

"Itu khi-bal-sin-kang?"

"Ha-ha, kau tahu?" Hu Beng Kui tertawa bergelak, maklum berhadapan dengan seorang nenek setingkat Dewi Naga, atau Hek-bong Siauwjin. "Ya, itu Khi-bal sin-kang, nenek iblis. Sekarang apa maumu dan katakan dimana muridku. Kau tentu Dewi Api Naga Bumi!"

"Tarr!" nenek ini meledakkan rambut. "kau betul, orang she Hu. Tapi jangan bersikap congkak dulu. Aku datang untuk membunuhmu, juga seluruh keluargamu yang lain!"

"Hm, mana muridku?" Hu Beng Kui tak perduli, maju dengan mata bersinar-sinar, tak kelihatan takut atau gentar. "Kembalikan muridku atau kau kuhajar, nenek iblis. Dan kau tentu telah mendengar dari Hek-bong Siauwjin atau Sepasang Dewi Naga akan kekalahan mereka di tanganku!"

"Dia yang menculik Hauw Kam, ayah!" Swat Lian tiba-tiba berseru nyaring. "Dan jangan lepaskan dia kalau tak menyerahkan Hauw Kam suheng!"

“Diamlah," si jago pedang mengangguk. "Aku tahu, Lian-ji. Duduk dan tenanglah di sana."

Nenek Naga Bumi mendesis. Jarinya menuding dan tiba-tiba sebuah sinar hitam mencicit menyambar Swat Lian, gadis itu tak tahu karena kebetulan membalik. Dia mau duduk. Tapi Hu Beng Kui yang membentak dan tentu saja tak membiarkan putrinya celaka tiba-tiba menggerakkan jarinya pula dan telunjuk si jago pedang ini mengeluarkan sinar putih.

"Critt!" Sinar hitam di tangan nenek iblis hancur. Kekuatan jari sakti di tangan Hu Beng Kui masih terus meluncur, ganti menyambar tenggorokan si nenek, nenek itu terkejut dan marah. Dan ketika ia mengelak dan sinar itu meluncur di belakangnya maka sebuah batu meledak dan hancur terkena totokan jarak jauh si jago pedang ini, yang tentu saja diisi Khi-bal-sin-kang yang sakti.

“Keparat!" nenek itu mendelik. "Kau kiranya benar-benar lihai, orarg she Hu. Kalau begitu lebih baik kita tak usah bicara lagi dan biar kulihat sampai di mana kelihaianmu...wut!" dan si nenek yang hilang dan lenyap berkelebat ke depan tiba-tiba sudah mencoblos mata Hu Beng Kui dengan tusukan kilat, dikelit dan membalik dan tiba-tiba sebuah sapuan menyambar kaki si jago pedang ini.

Hu Beng Kui meloncat dan serangan itu pun lewat. Dan ketika si nenek membentak dan menyerang lagi maka bertubi-tubi Hu Beng Kui menghadapi pukulan dan tendangan dan segera jago pedang itu berkelit atau menghindar, tak lama kemudian merasa kewalahan dan terpaksa ia menangkis atau membalas. Serangan-serangan si nenek amat berbahaya, kian lama kian ganas dan tusukan maupun tamparannya mulai merobohkan pohon pohon di sekitar.

Dan ketika nenek itu melengking dan mengeluarkan segenap kepandaiannya maka getaran atau ledakan memenuhi tempat itu, disusul geraman-geraman atau suara suara mirip iblis mengamuk di dasar neraka. Swat Lian terduduk tak mampu mengikuti jalannya pertandingan. Nenek itu mengeluarkan ilmu hitamnya pula dan lenyap dalam pandangan mata, yang tampak hanya bayang-bayang tak jelas yang berseliweran di sekeliling tubuh Hu Beng Kui. Dan ketika ayahnya membentak dan mengeluarkan pula Jing-sian-eng nya atau Bayangan Seribu Dewa mendadak ayahnya ini pun lenyap dan berputaran serta saling belit dengan si nenek.

"Blang-blang!"

Suara itu membuat Swat Lian mengeluh. Sama seperti di Bukit Malaikat dulu ia mendengar ledakan-ledakan petir, telinganya serasa pekak dan Swat Lian harus mergerahkan segenap kekuatannya untuk bertahan. Dia menggigil dan bergoyang, tak lama kemudian ayahnya berseru agar ia menyumbat telinganya itu. Swat Lian yang berkepandaian tinggi ternyata tetap tak mampu mendengarkan suara pertandingan ini. Dan ketika awan di atas mulai menggelap dan suara mirip hantu atau iblis kesiangan dikeluarkan nenek itu dalam campuran ilmu hitamnya maka di angkasa seolah terjadi pertarungan sengit antara iblis dan kutilanak.

Apa yang terjadi selanjutnya tak dapat diikuti Swat Lian lagi. Gadis ini mengeluh dan pucat. Benturan-benturan yang terjadi di tempat itu berkali-kali membuat tubuhnya terguling. Satu kali bahkan membuat tubuhnya terlempar dan mencelat ke atas, roboh dan terbanting lagi dan segera gadis ini duduk dengan tubuh gemetar hebat. la harus memusatkan segenap konsentrasinya untuk pemusatan diri, Swat Lian tak mau lagi mendengarkan suara-suara itu. Dan ketika ia melayang-layang dalam samadhinya dan tak tahu lagi apa yang terjadi antara ayahnya dengan nenek Naga Bumi maka di sana ayahnya tertawa berglrak sementara si nenek iblis mengumpat dan memaki-maki.

"Keparat, kau lihai, orang she Hu. Tapi aku akan merobohkanmu dan membunuhmu!"

"Ha-ha, coba saja, nenek siluman. Robohkan aku dan bunuh aku kalau bisa!"

"Tentu, aku akan membunuhmu, manusia sombong. Dan kau tak kubiarkan selamat...darr!" kali ini api menyembur dari tangan nenek itu, meledak dan menyambar dan Hu Beng Kui menghentikan tawanya. Lawan mengerahkan kesaktian bersama ilmu hitam, dia menunduk dan mendorong. Dan ketika api itu dikebut padam dan si nenek memekik maka pukulan berikut menyambar dalam bentuk siluman.

"Koaakkk...!"

Suara ini pun tak merobah kedudukan pendekar itu. Hu Beng Kui menggerakkan lengan bajunya dan menampar, seekor naga bertubuh siluman dipukulnya. Dan ketika bayangan hitam itu hancur dan kembali lenyap maka nenek lawannya menjerit histeris.

"Hu Beng Kui, kau jahanam keparat...sing-blarr!" secercah kilat tiba-tiba muncul, menyambar dan menuju kepala si jago pedang.

Kali ini Hu Beng Ku tak mengelak melainkan memasang kepalanya, sengaja menerima itu. Dan ketika kilat atau pukulan api ini mengenai batok kepalanya tapi hancur berkeping-keping maka nenek Naga Bumi merasa kewalahan, akhirnya membuang semua ilmu hitamnya karena jugo pedang itu mampu menolak atau mementalkan. Dia menjerit dan mengeluarkan ilmu pukulannya paling dahsyat, Tee-sin-kang (Pukulan Bumi). Dan ketika nenek itu meraung dan menancapkan kedua kaki kuat-kuat di tanah dan tubuh tiba tiba mendoyong ke depan melepas pukulan ini maka dorongan bagai gunung meletus menghantam pendekar itu.

"Desss!"

Swat Lian terlempar tinggi. Gadis itu terkena guncangan dahsyat, mencelat disamping pohon, jatuh terduduk dan masih dalam keadaan bersila, bukan main. Dia dalam samadhinya yang khusuk, dalam keadaan seperti itu tak ada apa pun yang dapat membuka matanya. Gadis ini tak sadar dan kesangsang di pohon, untung tidak jatuh atau kejeblos di dalam jurang umpamanya. Dan ketika benturan itu disusul teriakan si nenek iblis dan Tee-sin-kang dihadapi Hu Beng Kui maka jago pedang ini terdorong sementara si nenek terjengkang bergulingan sepuluh tombak.

"Augh!" nenek itu mendekap dadanya, melompat bangun. "Kau hebat, orang she Hu. Rupanya Sian-su benar-benar memberikan ilmunya padamu!"

"Ha-ha, kau masih tak menyerah?" Hu Beng Kui bersinar-sinar menang. "Kau boleh maju lagi, nenek siluman. Atau aku akan menghajarmu dan membuatmu benar-benar tak berkutik!"

"Keparat!" dan si nenek yang melengking tinggi tiba-tiba melihat sebuah bayangan berkelebat, mendengar tawa yang mengejeknya.

"Bagaimana, kau percaya, tua bangka? Kau ingin agar aku membantumu dan mengeroyok si jago pedang ini?"

Hek-bong Siauwjin muncul, datang dan tertawa dan segera nenek itu melotot. Sekarang temannya tak bohong dan tentu saja ia percaya. Apa yang dikata setan cebol ini benar, Hu Beng Kui tampak terkejut melihat kedatangan si iblis yang lain, membelalakkan mata tapi tidak takut. Dan ketika nenek itu melotot dan Dewi Api menggoyang tubuhnya tiba-tiba nenek ini mencelat dan menyerang lagi.

"Benar, aku penasaran, Setan cebol. Coba kau bantu aku dan robohkan si sombong ini. Kalau tidak aku tak mau memberimu obat itu!"

"Ha-ha, kau mau curang? Sial, kau selalu menekan aku, nenek siluman. Tapi tak apalah, aku membantumu dan lihat kelihaian si orang she Hu ini!" Hek-bong Siauwjin mencelat, lenyap dan menyerang pula dan tahu-tahu ia menyelinap di bawah selangkangan Hu Beng Kui. Dengan kecepatan dan kekejian luar biasa ia hendak "mencomot" benda berharga milik si jago pedang.

Hu Beng Kui membentak dan tentu saja marah. Dan ketika dua orang itu berkelebat dan hampir berbareng keduanya menyerang dari atas dan bawah maka jago pedang ini menggerakkan tangannya dan cepat serta tepat pula ia menangkis.

"Des-dess....!"

Sepasang Cermin Naga Jilid 08

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 08
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“APA... apa...?" Kwee Han gagap. "Cermin apa, locianpwe! Benda apa?"

"Heh, kami mencari Cermin Naga, bocah. Kau tentu melihat dan tunjukkan kepada kami... bruk!"

Kwee Han dibanting, mengeluh dan menggeliat dan tiba-tiba menangis. Kwee Han sekarang tak seberani dulu, kesenangan dan kenikmatan yang dihadapinya membuat pemuda ini agak berubah, takut kehilangan semuanya itu, kesenangan dan kegembiraan dalam hidup. Dan ketika kakek tinggi besar itu memaki-maki dan kakek satunya yang tinggi kurus mendengus dingin mendadak Kwee han diungkit sebuah kaki dia mencelat ke atas.

"Kau tahu Cermin Naga?" Kwee Han tahu-tahu sudah disambar kakek tadi, kakek yang berwajah dingin dan matanya cekung, begitu menyeramkan seperti iblis.

Kwee Han menggeleng dan ketakutan, nyaris tak dapat mengeluarkan suara, tenggorokan rasanya tercekik. Dan ketika kakek itu menunjukan rasa marah dan Kwee Han terbata-bata tak dapat menjawab tiba tiba kakek itu mencekik tenggorokannya dan mau membunuh!

"Kalau begitu kau mampus. Kau tikus cilik tak berharga!"

"Augh...!" Kwee Han tiba-tiba meronta, dapat mengeluarkan suara. "Aku... aku... aku tahu, locianpwe.... lepaskan... aduh....!"

Kakek itu melepaskan. "Di mana?" suaranya gembira. Mana Cermin Naga?"

"Itu... itu barangkali...!" Kwee Han menuding gentar, roboh terbanting dan ngawur menunjuk sebuah cermin besar yang ada di kamarnya.

Tentu saja bukan cermin yang dimaksud dan kakek tinggi kurus itu tiba-tiba mendelik. Temannya, yang di panggil Tok-ong, tiba-tiba tertawa bergelak. Dan ketika yang tinggi kurus melotot dan marah mendapat jawaban mendadak yang tinggi besar itu bergerak dan sudah menyambar dada Kwee Han.

"Kau Kwee-taijin?"

"Ya, ben..... benar...."

"Kau yang baru diangkat sebagai menteri muda urusan perdagangan?"

"Beb... Benar...."

"Hah, kalau begitu kau pembesar bodoh, anak muda. Lebih baik kuganyang jantungmu dan kunikmati paru-parumu... wutt!" kakek ini menggerakkan tangan satunya, secepat kilat merogoh dan mau mencabut jantung dan paru-paru Kwee Han.

Kwee Han tak dapat bicara lagi dan pucat pasi, tahu bahwa dia berhadapan dengan tokoh-tokoh iblis yang bukan main ganasnya. Sepak terjang dan kata-kata mereka saja cukup dijadikan bukti, dia berhadapan dengan maut dan tak mungkin dia melepaskan diri lagi. Dan terbelalak serta ngeri oleh ancaman kakek ini yang mau mengganyang jantung dan paru parunya mendadak Kwee Han berteriak dan tanpa sadar menyebut nama seseorang yang pernah memberinya cincin itu.

“Kim-mou-eng...!"

Tangan yang bergerak itu tiba-tiba berhenti. Sama cepat dan mengejutkan jari kakek ini sudah menempel di dada Kwee Han, sekali tusuk tentu jantung dan paru-paru akan dicoblos. Tok ong, kakek itu, terhenyak. Dan ketika Kwee Han tertegun dan pucat serta menggigil maka lawan melepasnya kasar dan membantingnya roboh, membalik. "Mana Kim-mou eng?"

“Tak ada siapa-siapa.”

"Heh, kau bicara apa, anak muda?" kakek itu bergerak kembali, mencengkeram Kwee Han. "Siapa kau dan apa hubunganmu dengan Kim-mou-eng?"

Kwee Han menelan ludah, tiba-tiba timbul keberaniannya. "Locianpwe siapakah? Musuh atau sahabat?'

"Heh heh!" sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat masuk. "Bocah ini besar nyalinya, Tok-ong. Baru kali ini kau membatalkan niatmu hanya mendengar Kim-mou-eng. Berikan padaku dan biar dia kutanya!"

Kwee Han tak tahu disulap macam apa. Dia hanya mendengar suara seorang nenek tertawa dan tahu-tahu semacam benda melilit tubuhnya, ditarik dan melayang dan dia telah berhadapan dengan seorang nenek yang matanya seperti api. Kwee Han terkejut, lebih terkejut lagi karena dia tergantung di tengah udara, dijungkir, kaki dan pinggangnya dibelit rambut, tadi disangka ular. Dan ketika Kwee Han pucat dan nenek itu terkekeh maka Kwee Han mendengar pertanyaan serak yang mendirikan bulu roma,

"Kau menyebut-nyebut nama Kim-mou-eng ada hubungan apakah? Sahabat Kim-mou-eng atau musuhnya?"

Kwee Han bingung. "Locianpwe siapakah?"

"Heh, kau tak berhak menanya, bocah. Kau hanya menjawab dan aku bertanya!"

Kwee Han bingung. Tadi dia menanya apakah orang-orang ini sahabat Kim-mou-eng ataukah musuhnya, kini dia dibalik dan harus menjawab. Tapi karena orang-orang ini dilihatnya bukan orang baik-baik dan Kim-mou-eng jelas seorang pendekar maka dengan tegas dan berapi Kwee Han menjawab, "Aku musuhnya. Kim-mou-eng adalah orang yang kubenci!"

“Heh heh, benarkah?”

“Benar, locianpwe. Aku berani bersumpah!"

"Wutt...!" Kwee Han dibalik, kini berdiri dengan kaki di bawah kepala di atas. "Coba kalau begitu maki dia sepuas-puasnya, aku ingin dengar!"

Dan Kwee Han yang lalu memaki-maki dan mengumpat Kim-mou-eng. Lalu didengar dan melihat nenek itu terkekeh-kekeh, tubuhnya bergoyang tapi tiba-tiba dia bergerak dan rambut pun meledak. Kwee Han terhempas dan jatuh menjerit makiannya seketika berhenti dan pemuda itu mengaduh. Dan ketika Kwee Han merintih dan kaget serta takut maka nenek itu berkelebat dan sudah berdiri di dekatnya

"Kalau begitu kau kubunuh, kami adalah sahabat Kim-mou-eng!"

"Eh!" Kwee Han meringis, terbelalak. "Locianpwe sahabat Kim-mou-eng?"

"Ya, aku sahabatnya, bocah. Dan kami semua telah mendengar maki-makianmu tadi. Sekarang kau mampus!" tapi baru tangan itu bergerak tiba-tiba Kwee Han membentak dan memaki nenek ini.

"Tua bangka, kalau begitu kau pun kumaki. Kau nenek jahanam tak tahu malu. Kau bangsat keparat! Kau...." Kwee Han berhenti, tertegun karena melihat si nenek tak melanjutkan ayunan tangannya. Mata yang seperti api itu tiba-tiba tersenyum, aneh sekali. Dan ketika Kwee Han mendelong dan menghentikan makiannya mendadak nenek ini terkekeh dan geli mencium pipinya.

"Ngok!" Kwee Han terkesima.

"Kau bocah bagus, anak muda. Kau pemberani dan gagah, Heh-heh, kalau begitu kau tak jadi dibunuh....wutt!" dan Kwee Han yang dibelit serta disambar rambut tiba-tiba dilontar dan meluncur tinggi ke atas, jatuh dan berteriak tapi rambut menyambutnya lagi. Dua tiga kali Kwee Han dilontar seperti ini, jatuh dan diterima lalu dilempar ke atas. Dan ketika nenek itu puas dan Kwee Han terkesiap berkali-kali maka tubuhnya akhirnya diterima dan diturunkan baik-baik di lantai, tentu saja mengeluarkan keringat sebesar-besar jagung!

"Bocah, kau melihat Cermin Naga?"

Kwee Han menggeleng.

"Kau tak melihat benda jatuh di sini?"

Kwee Han lagi lagi menggeleng. "Kalau begitu kenapa jendela itu pecah?"

Kwee Han terkejut. "Seekor anjing melompat di situ, locianpwe, berlingkar dan memecahkan kaca jendela!"

"Kau tak bohong?"

Kwee Han bergidik, melawan rasa takut kuat kuat, tersenyum mengejek. "Kalau locianpwe tak percaya lebih baik tak usah bertanya lagi, kalau ada benda jatuh di sini sebaiknya geledah saja dan bunuh aku kalau ketemu!"

"Hmm...!" geraman di belakang menggetarkan dinding kamar. "Bocah ini tak perlu ditanya lagi, nenek siluman. Cermin Naga memang tak ada di sini dan sebaiknya dia dibunuh!"

"Benar," dengus di sebelah kiri tak kalah mendirikan bulu roma.

"Bunuh dia dan habis perkara, Dewi Api. Kita pergi dan cari di lain tempat!"

Kwee Han mendengar kesiur angin, terkejut dan menjerit karena serangkum hawa panas tiba tiba membakar tubuhnya. Si nenek terkekeh dan menggerakkan tangan ke depan, ledakan mengguncangkan tempat itu dan Kwee Han terpelanting. Dan ketika dia mengeluh dan sayup sayup mendengar si nenek mencegah dia dibunuh maka Kwee Han tak ingat apa-apa lagi dan roboh pingsan. Kwee Han hanya tahu ketika dia diguncang guncang pengawal, mendengar pula isak dan panggilan A-hwa, sadar setelah dua jam kemudian tiga orang iblis itu pergi, bangkit dan membuka mata dan segera A-Hwa memeluknya.

Pengawal dan A hwa berkata bahwa mereka mendengar ribut-ribut di situ, datang namun melihat dia pingsan, kaca jendela pecah dan entah apa yang terjadi. Dan ketika A-hwa bertanya apa yang terjadi namun Kwee Han tersenyum aneh tiba-tiba pe muda ini mengusir semuanya agar pergi.

"Tak apa-apa, tak ada apa-apa. Pergilah, aku hanya diserang seekor anjing dan kalian pergilah."

"Aku tak perlu menemani?"

"Tidak, kau pun pergi, A-hwa. Aku hanya sedikit kaget dan ingin menenangkan diri."

"Baiklah, kalau begitu aku di luar, koko. Sewaktu-waktu kau memerlukan aku silahkan panggil."

A-hwa keluar, heran tapi lega Kwee Han tak apa-apa. Tadinya dia cemas dan khawatir, takut pemuda itu diserang musuh. Tapi karena Kweê Han baik-baik saja dan mereka semua pun pergi akhirnya tinggal Kwee Han seorang diri di situ, duduk termenung dan bersinar-sinar memandang dinding rahasia di mana dia menyimpan benda aneh itu. Kiranya Cermin Naga, tentu sebuah benda luar biasa karena dicari-cari oleh tiga orang iblis macam nenek dan kakek-kakek itu. Kwee Han tiba-tiba berdebar, sekarang menyadai bahwa benda yang jatuh di kamarnya itu adalah benda berharga, di mana harganya dia masih kurang tahu.

Tapi karena cermin itu telah berada di tangannya dan tentu saja dia harus berhati-hati menyimpan maka Kwee Han tak mengutak atik benda itu selama beberapa hari, takut diintai atau didatangi iblis-Iblis seperti tiga orang tadi. Kwee Han ngeri dan bergidik, tak mengenal mereka kecuali Tok-ong dan Dewi Api, itu saja, seperti yang mereka sebut sendiri. Dan ketika pemuda ini berdegupan kencang dan masih tegang oleh kejadian itu mendadak dua minggu kemudian dia mendengar berita bahwa dirinya akan diangkat sebagai menteri penuh, langsung berdampingan dengan pangeran Yu Fu yang kiranya menambah jasa dengan pengangkatan itu. Kwee Han teringat Cermin Naga, Cermin itu kiranya membawa rejeki.

Dan ketika benar saja tak lama kemudian pemuda ini diangkat sebagai menteri penuh dan kedudukannya sejajar dengan Khek-taijin atau lain-lain maka rejeki demi rejeki membanjir di diri pemuda ini, membuat Kwee Han melambung dan naik pamornya. Tak lama kemudian menjabat kedudukan rangkap sebagai menteri tanah, kedudukan ini jelas membawa rejeki luar biasa banyaknya. Kwee Han si bekas nelayan itu tiba-tiba menjadi pembesar tinggi. Dan ketika setahun kemudian kaisar wafat dan diganti oleh saudara pangeran Yu Fu maka Kwee Han duduk pula sebagai anggauta dewan penasihat kaisar. Bukan main!

Kwee Han lagi-lagi teringat Cermin Naga itu, entah kenapa sejak cermin itu datang di tempatnya tiba-tiba keberuntungannya melonjak. Dia tak ingat lagi pada Siong-hi dan lain-lain. Harta dan wanita telah mengelilingi pemuda ini, setiap hari bersenang senang dan lupa dia pada kampung halamannya, Ming ciang. Dan ketika suatu hari rasa mabok membuat pemuda ini tinggi hati dan mulai congkak maka hari itu kakek Pwee lagi-lagi muncul bersama dua pelayan dusun yang notabene masih bekas sababatnya dulu. Tapi begitu tiga orang ini muncul maka muncul pula seorang lain yang tidak diduga duga Kwee Han.

"Kenapa kalian ke sini?" begitu Kwee Han menyambut tak senang ketika Pwee-lopek dan dua temannya datang, langsung mengerutkan kening dan merasa terganggu. Pakaian lusuh dan sikap kedusun-dusunan kakek Pwee ini membuat Kwee Han malu. Pagi itu dia dikelilingi tujuh pelayan yang sekaligus selirnya, Kwee Han kini banyak memelihara gundik. Dan ketika sorot matanya menunjukkan ketidaksenangan dan Pwee lopek terbata-bata maka kakek ini berkata dengan sikap dan kata-kata seperti dulu, lugu dan apa adanya, tidak tahu sopan santun tata istana.

"Kami datang ingin meminta bantuanmu Kwee Han. Dua teman kita ini, A-kong dan Asam dianiaya Cu-wangwe (hartawan Cu). Mereka…”

"Hm, siapa mereka ini?" kata-kata Pwee-lopek terputus, wanita cantik di sebelah kiri Kwee Han bangkit berdiri, dia adalah Kiu Kin, selir terkasih baru Kwee Han. “Apakah kalian tak tahu sopan santun menghadap pembesar? Eh, Kwee koko, sebaiknya panggil pengawal dan suruh pergi orang-orang ini. Mereka kurang ajar dan tidak tahu adat!"

Pwee-lopek terkejut. "Kau siapa?”

"Aku Istri Kwee-taijin (menteri Kwee), kakek buruk. Kau enyah dan pergilah!"

"Kwee taijin...?"

"Ya, Kwee-taijin! Suamiku ini adalah menteri Kwee dan kau enak saja menyebut namanya! Di manakah aturan dan sopan santunmu? Dimana hormat dan adatmu menghadap seorang pembesar? Kakek buruk, kau pergi dan enyahlah, atau aku memanggil pengawal dan kau dihajar!"

Pwee-lopek pucat. "Kwee Han, eh.... Kwee-taijin, apa.... eh, bagaimana aku harus bicara?"

Kwee Han mencekal lengan selirnya. "Kiu Kin, sabarlah. Tahan kemarahanmu dan dengar apa yang hendak dikata kekek ini, jangan panggil pengawal dulu!" dan menghadapi bekas temannya dengan muka gelap Kwee Han berkata, "Lopek, aku adalah seorang menteri. Aku pembesar yang dihormati di sini. Kalau kau ingin bicara mestinya kau mempergunakan sopan santun dan tata cara yang benar. Kalau kau tak mau lebih baik pergi dan keluarlah."

"Kwee Han," pemuda di sebelah kanan kakek Pwee tiba-tiba melompat bangun, berseru marah. "Apakah ini mengharuskan kami berlutut dan bersoja di depan mu? Apakah jabatanmu itu sekarang memisahkan jarak di antara kita berdua? Bukankah kau adalah Kwee Han yang dulu dan bekas nelayan di Ming-ciang? Bukankah kau tak perlu sombong dan congkak meskipun kedudukanmu tinggi? Ingat, kau dan kami sama-sama makan nasi, Kwee Han. Kalau kami bukan menemui Kwee Han seperti dulu lebih baik kau terus terang ingin mengusir kami. Kau sudah berbohong pada Pwee-lopek, tak pernah datang ke Ming-ciang dan membiarkan kami para sababatmu ditindas juragan perahu. Kalau kami disuruh berlutut dan harus menghormatimu berlebih-lebihan lebih baik kami pergi dan keluar!"

Dan marah menuding-nuding Kwee Han pemuda itu, A-kong, mengajak Pwee-lopek dan temannya pergi. Panas dan marah karena Kwee Han sekarang bukan seperti Kwee Han yang dulu. Tadi di waktu meréka masuk saja mereka hampir gagal dicegah pengawal. A kong yang berangasan ini sudah naik pitam dan hampir berkelahi. Pemuda itu sudah menahan-nahan kemarahan karena Kwee Han tak menepati janji, pemuda itu lupa dengan janjinya pada Pwee-lopek dulu. Tindasan kaum juragan menjadi-jadi dan A-kong malah berurusan dengan Cu-Wangwe, hartawan yang sudah kembali ke Ming-ciang itu, hampir dibunuh dan melarikan diri.

Dan ketika kini sambutan Kwee Han terasa tak menyenangkan dan pemuda itu tampaknya bersikap sombong dan mengagung-agungkan kedudukannya tiba-tiba A-kong yang bertemperamen tinggi ini tak sabar, langsung berdiri dan memaki-maki Kwee Han. Kebiasaan mengumbar makian di kalangan buruh nelayan timbul, A-kong memang tak tahu tata cara menghadap pembesar. Kwee Han dianggapnya sama seperti dulu, pemuda itu masih Kwee Han juga dan kedudukannyalah yang membedakan mereka.

A-kong yang lugu dan kasar tak mau tahu semuanya itu. Maka begitu Kwee Han dirasa menaruh diri terlalu tinggi dan Kiu Kin juga mengusir Pwee-lopek tiba-tiba nelayan bertemperamen keras ini gusar, marah-marah dan memaki Kwee Han yang dianggap congkak. Kerut dikening Kwee Han pertama kali menyambut mereka sudah membuat Akong tersinggung, pemuda ini naik darah. Tapi ketika dia memutar tubuh dan menyambar Pwee lopek tiba-tiba tiga pengawal masuk ke ruangan itu dan mendengar bentakan Kwee Han, yang juga marah.

"A-kong, kau manusia kurang ajar. Berhenti dan berlututlah sebelum pengawalku bertindak!"

A-kong terkejut. "Kau mau apa?"

"Hm," Kwee Han mendorong selirnya. "Aku mau memberi adat padamu, A-kong. Bahwa kau harus bicara dan bersikap yang baik di hadapan seorang pembesar. Aku menteri Kwee, bukan sahabat kalian yang dulu lagi melainkan seorang pembesar dan pembantu kaisar. Nah, berlututlah, dan keluar dengan jalan merangkak!"

A-kong mendelik. Tapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata kasar Pwee lopek tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, merasa keperluannya bisa gagal kalau belum apa-apa terjadi pertengkaran.

"Kwee Han, eh.... Kwee-taijin, maafkan kami bertiga. Kami menyadari kesalahan kami. Kau benar, kau adalah menteri yang harus dihormati seluruh rakyat kecil. Kami bertiga datang bukan untuk mencari ribut melainkan mencari perlindungan. Aku dan dua temanku mewakili teman-teman lain di Ming-ciang untuk mohon keadilan. Bisakah taijin menolong dan menyelamatkan kami?"

"Huh!" A-kong tiba-tiba berseru. "Untuk apa menyebutnya seperti itu, paman Pwee. Kalau dia begitu sombong lebih baik kita pergi. Aku menyesal setelah melihat semuanya ini, Kwee Han ini sudah bukan seperti sahabat kita dulu!"

"A-kong!" Pwee-lopek membentak. "Kau diamlah dan dengar kata-kataku. Kita datang bukan untuk mencari perkara melainkan mencari perlindungan. Atau....."

"Atau aku keluar!" A-kong membalik, memotong ucapan kakek itu dan dengan berani serta pongah pula dia meninggalkan temannya. Di situ menghadang tiga pengawal yang tidak membuat pemuda ini takut. A-kong memang pemberani tapi sayangnya kasar, kebiasaan hidup sebagai kaum buruh membuat pemuda ini kurang memiliki sopan santun, maklumlah, pendidikannya memang rendah. Dan ketika dia membuat yang lain-lain terbelalak dan Kwee Han mendelik tiba-tiba A-kong di sana sudah melewati pengawal dan dengan gagah coba meneruskan langkahnya.

"Berhenti...!"

Seruan itu tak digubris. Tiga pengawal sesudah mendapat isyarat Kwee Han, mereka menodongkan tombak dan A-kong malah membentak. Pemuda itu dengan berani dan gegabah menyambar tombak pengawal di sebelah kanan, dia mengira akan diserang. Dan karena pemuda itu mulai bergerak dan berarti menyerang tentu saja pengawal menjadi marah dan dua yang di sebelah kiri menusuk dan menghantam pemuda itu.

"Bluk!" A-kong mengelit, lolos dari tusukan tapi tak lolos dari hantaman, mengaduh dan mengamuk dan segera pemuda itu mencabut pisau. Kiranya dalam perjalanan pemuda ini membekal senjata, membalas dan segera terjadi perkelahian sengit. Dengan kekerasan dan kepandaian seadanya nelayan ini berusaha mengalahkan tiga pengawal.

Tentu saja tak mungkin dan tiga pengawal berseru marah. Mereka gusar oleh sikap pemuda itu. Dan ketika tombak akhirnya memukul runtuh pisau di tangan pemuda itu, akhirnya A-kong menjerit dan terlempar, sebuah tombak menusüknya dan dua yang lain menghantam tengkuknya. Pemuda ini terkapar dan menggeliat, pengawal memburunya dan hendak membunuh pemuda itu. Tapi Pwee-lopek yang berteriak dan melompat bangun tiba-tiba menghambur.

"Jangan.... jangan dibunuh...." dan gemetar menghalang pemuda itu dengan tubuhnya kakek ini terbata-bata meratap kepada Kwee Han. "Taijin, tolong ampuni kawanku ini. Dia memang bersalah, tapi jangan dibunuh dan ingatlah sisa persahabatan kita dulu!"

"Hm!" Kwee Han mengangkat lengan. "Lempar dia ke kamar gelap, pengawal. Biarkan dia hidup!"

Pengawal gemas. Mereka menendang A-kong sehingga pemuda itu pun pingsan, Pwee-lopek menangis sementara A-sam di sana berdiri menggigil. Pemuda yang satu ini tahu gelagat, dia tak sekasar dan seberangasan A-kong. Dan ketika A-kong dibawa dan mereka pucat memandang tiba-tiba Pwee lopek berlutut di depan Kwee Han.

"Tajin... kakek ini gemetar. "Tidakkah A-kong, kau bebaskan? Bagaimana kami menjawab pertanyaan bila kembali tanpa dia?"

"Aku tak mau berurusan lagi, lopek. Temanmu itu kurang ajar dan harus dihukum!"

"Tapi...."

"Aku tak mau bicara, pergilah!" dan Kwee Han yang mengusir serta memberi tanda pada dua pengawal yang masih di situ tiba-tiba membalik dan tak mau menemui kakek ini, marah dan tersinggung karena sikap A-kong tadi begitu kasar. Dia jadi teringat kenangan dulu ketika di Ming-ciang. Begitulah, orang orang rendah memang biasanya kasar. Untung dia hidup di kota raja dan pandai membawa diri, sedikit demi sedikit dia mengerti pergaulan dengan orang-orang kaya atau bangsawan. Kini dia bermartabat lebih baik tapi bekas teman temannya ini mau mempermalukan dia, lebih baik diusir dan tak perlu bicara lagi. Dan begitu Kwee Han membalik dan meninggalkan Pwee-lopek maka dua pengawal yang sudah mendapat isyarat cepat-cepat mencengkram kakek itu.

“Taijin, sudah mengusir kalian, pergilah!"

Pwee-lopek menangis. A-Sam di sana juga didorong dan dibentak pengawal, mereka tiba-tiba melihat Kwee Han sekarang benar-benar orang yang berpengaruh, diri sendiri menjadi terasa begitu kecil dan tak berarti. Dan karena Kwee Han tak mau menemui mereka dan pengawal sudah memaksa mereka pergi, akhirnya Pwee-lopek dan temannya ini tak berdaya, pergi dan meninggalkan gedung Kwee Han tapi tentu saja tak terus pulang. Mereka sekarang malah mendapat persoalan baru, urusan di Ming-ciang yang sebenarnya harus dibantu Kwee Han malah berbalik dengan di tangkapnya A-kong, teman mereka itu. Dan ketika malam itu kakek ini mondar-mandir di sekitar gedung Kwee Han dan A-Sam termangu maka kakek ini tiba-tiba menggigit bibir.

"Kita harus membebaskan A-kong. Malam ini kita masuk dan berbuat nekat!"

Asam terkejut. "Kau mau mencari penyakit?"

"Habis, masakah kita pulang dangan membiarkan teman sendiri dikurung di sini? Eh, A-sam. Heran bahwa hari ini keberanianmu mengkerut. Mana itu keberanian dan kegagahanmu? Bukankah kau orang muda yang seharusnya lebih tangkas dan berani daripada aku? Kau harus bertindak, A-sam, jangan melenggong dan menunggu saja!"

“Aku tak berani, Kwee Han sudah menjadi orang besar...!"

"Dan kau mau menyuruhku si tua ini ke dalam bahaya! A-sam, mana itu janjimu ketika berangkat? Bukankah kau berjanji bahwa suka-duka harus kita hadapi bertiga? A-kong kini dikururg, kita harus membebaskan dan masuk!"

"Tapi pintu depan dijaga pengawal...."

"Kita masuk lewat bagian lainnya, kalau perlu melompat di tembok!"

Hm...." A-sam akhirnya mengeraskan hati. "Baiklah, tapi aku agak ragu, lopek. Dan aku diam-diam heran bagaimana Kwee Han itu bisa menduduki jabatan tinggi dan menjadi orang besar! Tidakkah kau merasa aneh?"

"Itu keberuntungannya, A-sam, kau tak usah iri!"

"Bukan iri, tapi.... hm, bagaimana kalau kita menyelidiki ini? Maksudku, tak mungkin Kwee Han bergerak atas kekuatannya sendiri, lopek. Pasti ada seseorang yang membantu dia dan membuat dia berhasil. Barangkali seorang terkenal!"

Kakek Pwee tertawa mengejek. "Kita sekarang tak perlu melantur ke mana-mana, A-sam. Pokoknya kita cari akal dan masuk untuk membebaskan A-kong!"

"Dengan menempuh bahaya menyerahkan diri sendiri, mungkin nyawa!"

"Takutkah kau?"

"Tidak, bukan begitu. Tapi aku...." A-sam berhenti, melihat sebuah bayangan berkelebat di atas kepalanya dan hilang, seperti iblis. "Eh.... Serunya. "Hantukah itu?"

Kakek Pwee terkejut. "Apa itu, A-sam?"

"Mana aku tahu? Ah, tempat ini rupanya banyak hantu, lopek. Mari menyingkir!" A-sam pucat, tiba-tiba menarik temannya dan menjauhi tempat itu.

Kini mereka di sebelah gedung Kwee Han dan A-sam menoleh sana-sini, mendadak mendengar kelelawar mencicit dan pemuda ini kaget setengah mati. Hidungnya disambar dan A-sam terjengkang! Dan ketika pemuda itu melompat bangun dan memaki setelah sadar maka dia celingukan dan mengumpat. "Lopek, sekitar rumah Kwee Han ini rupanya sarang iblis. Aku jadi meremang dan ngeri. Bagaimana kalau tidak malam-malam begini menolong A-kong?"

“Maksudmu siang saja? Bodoh, pengawal tentu melihat kita, A-sam, mudah tertangkap dan kita mudah celaka. Tenangkan dirimu, di sini tak ada apa-apa dan itu tadi hanya kelelawar!" kakek Pwee menindas rasa takutnya sendiri, berdiri gagah dan memegang temannya itu. Jari si kakek yang agak gemetar ditekan kuat, A-sam akhirnya tenang dan mereka pun melanjutkan percakapan.

Sehari tadi mereka telah membicarakan A-kong dan ingin membebaskan pemuda itu, maklum bahwa Kwee Han tak mungkin dibujuk untuk melepaskan temannya itu. Dan karena keputusan belum didapat dan mereka hanya mondar-mandir saja akhirnya malam itu kakek ini minta ketegasan temannya untuk membantu, A-sam tadi termangu dan sedikit gangguan kelelawar dan bayangan yang entah apa itu membuat meremang. A-sam sebenarnya bukan penakut tapi juga tidak terlampau berani, sepak terjangnya selalu diperhitungkan. Dan ketika dia masih ragu untuk membebaskan A-kong akhirnya kakek Pwee memberi ultimatum,

"A-sam, kau dan A-kong adalah pemuda yang sama-sama hendak dibunuh Cu-wangwe. Aku sebenarnya hanya pengantar, tak berkepentingan langsung. Kalau kau ragu-ragu menolong sahabatmu sendiri dan A-kong dibiarkan di sana lebih baik kau pergi dan aku yang akan melakukannya. Bekerja dengan orang yang selalu ragu-ragu tak enak rasanya. Kau ambillah keputusanmu dan jawab maukah atau tidak!"

"Aku mau," A-sam akhirnya mengangguk. "Hanya kuminta jangan kau gegabah, lopek. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai celaka di tangan Kwee Han."

"Tentu saja, siapa mau begitu bodoh tertangkap? Kita masuk dengan melompati tembok, A-sam. Kau dan aku dapat mempergunakan tali dan hati-hati turun ke dalam."

"Ya, dan kau membawa senjata?"

"Hm, aku si tua ini membawa pisau, A-sam. Tapi jangan digunakan kalau tidak perlu. Kau menyimpan pisaumu, bukan?"

“Ya."

"Baiklah, mari masuk," dan kakek Pwee yang tak sabar mengajak temannya lalu mendekati tembok dan mengeluarkan tali, memanjat dan akhirnya ke dalam tapi di sini tiba-tiba mereka bingung. Mereka tak tahu di mana A-kong ditahan, ini menyulitkan dan dua orang itu lalu berbisik bisik lagi. Dan ketika mereka berbicara serius tiba-tiba terdengar suara orang dan pengawal atau penjaga mendatangi tempat itu, dua orang.

"Merunduk!' A-sam cepat ditekan kepalanya, kaget dan menghentikan percakapan dan tentu saja kakek Pwee gemetar. Dia gelisah dan menanti dua orang itu lewat, mereka menyebut-nyebut tentang A-kong, tapi tak menyebut di mana teman mereka itu disekap. Dan ketika semuanya lewat dan kakek ini berdiri lagi maka A-sam mengusap keringat karena bahaya pertama lewat tapi bahaya-bahaya lain masih ada di depan.

"Bagaimana?" pemuda ini menggigil. tangkap mereka, lopek? Atau kita mencari di dalam?"

"Kita ke dalam, kita cari pelayan atau seorang selir!"

A-sam terbuka. Tiba-tiba dia sadar bahwa daripada berhadapan dengan seorang pengawal lebih baik mereka berhadapan dengan seorang selir atau pelayan, wanita tentu saja, membekuk dan mengompres mereka agar memberi tahu. Kepalang basah di tempat itu membuat keberanian bertambah saja. Dan ketika mereka menyelinap dan A-sam mengangguk mendahului maka dua orang ini sudah meneruskan langkahnya dan memasuki tempat itu tanpa bicara lagi, mulai mendekati bagian yang terang dan di sini mereka berhati-hati.

Kebetulan sekali mereka menuju dapur, terdengar tawa dan percakapan pelayan, dua orang gadis muncul dan kakek Pwee serta A-sam menarik diri ke dinding. Percakapan menyebut-nyebut A-kong, dua orang pelayan mula itu rupanya tahu di mana A-kong ditahan. Dan persis mereka berjalan di dekat A-sam dan Pwee lopek maka dua orang ini sudah saling memberi isyarat dan menubruk serta mendekap mulut mereka.

"Jangan berteriak, atau kalian mati!” kakek Pwee tiba-tiba menjadi garang, menubruk dan sudah menyambar korbannya sementara A-sam di sana juga melaksanakan tugasnya tak kalah gesit dengan kakek ini, sempat mendengar jerit tertahan namun setelah itu semuanya sepi. Dan ketika dua orang ini menyeret korbannya dan untuk pertama kali Pwee-lopek mengancam orang maka kakek ini agak gemetar ketika bertanya, mengorek keterangan tentang A-kong.

"Kami mencari pemuda yang kalian sebut-sebut itu. Di mana tempatnya dan tunjukkan kepada kami!"

"Ufh uufft....!" pelayan yang didekap tak dapat bicara, meronta dan akhirnya sedikit dikendorkan mulutnya. "Aku, eh... aku tak tahu, orang tua. Yang tahu adalah temanku itu!" dia menunjuk temannya, yang didekap A-sam.

Pemuda ini sejak tadi gemetaran memeluk korbannya pula, bukan karena tegang melainkan justeru panas dingin sendiri karena korban yang dibekuk adalah pelayan muda yang hangat tubuhnya, dipeluk dan nyaris mereka menjadi satu. Si pelayan tadinya ketakutan tapi kini tenang, dia melihat bahwa yang menangkap adalah pemuda biasa yang bertampang dusun, tersenyum dan tiba-tiba merapatkan tubuhnya ke tubuh pemuda itu, A-sam di gesek-gesek dan tentu saja kebingungan. Antara keinginan dan gairah tiba-tiba bangkit.

Dia tak tahu bahwa pelayan yang disambarnya itu kebetulan pagi tadi melihatnya, ketika mengantar minuman dan makanan kecil bersama tujuh selir yang melayani Kwee Han, jadi pelayan ini tak takut setelah melihat siapa penyergapnya. Dan ketika pelayan yang ditangkap Pwee-lopek menunjuk dan memandang dirinya maka pelayan ini tersenyum dan tertawa kecil, tak didekap begitu kencang oleh A-sam, yang entah kenapa jadi kendor dan setengah hati menangkap korbannya.

"Aku tahu, tapi tak perlu kalian kasar. Bebaskan temanku itu dan kita bicara baik-baik."

"Hm, kami tak main-main, gadis muda. Kau jangan ketawa atau mengejek kami!"

“Siapa mengejek?" gadis itu geli, memandang Pwee-lopek. "Kami tahu maksudmu, orang tua. Dan tentu kuberi tahu kalau kalian baik-baik kepada kami. Lepaskan temanku itu,"

Kakek Pwee melepaskan korbannya, hati-hati tapi siap mendekatkan pisau di leher. "Kami tak mau kalian melarikan diri, jangan main main, dan jangan bergurau!"

"Kami tak bergurau, kalianlah yang terlalu tegang dan nampaknya ketakutan.“

"Hiii," kakek Pwee merah mukanya. "Kau jangan menghina, gadis muda. Apa maksud kau dengan kata-kata tadi?”

"Eh, salahkah? Aku bilang kalian nampak ketakutan, orang tua. Dan aku tahu kalian sengaja menangkap kami, wanita-wanita lemah. Tentu kalian telah bertemu dengan pengawal tapi menyembünyikan diri dan takut!"

"Sudahlah." A-sam memotong pembicaraan, memegang lengan korbannya. "Kau tak usah berdebat dengan kami, nona. Kami datang untuk membebaskan teman kami."

"Aku tahu. Kau A-sam, bukan? Dan ini Pwee-lopek, aku tahu semuanya. Nah, kalau ingin menolong teman kalian itu cari saja di samping gedung ini, memutar dari sini lima belas langkah dan kalian berbelok ke kanan menuju rumah tahanan. bercat putih. Di situ teman kalian disekap dan sekarang bebaskan kami."

"Kau tak bohong?"

"Hi-hik, aku bohong tak ada gunanya, kakek Pwee. Kau ke sana pasti gagal dan akan tertangkap pula. Nah, untuk apa bohong?"

Kakek itu tertegun, memandang temannya. “Bagaimana, A-sam?"

"Hm," A-sam garuk-garuk kepala. "Kita sudah di sini, lopek. Kepalang tanggung tak melakukan maksud kita. Cari saja, dan kita ke sana!"

"Benar, atau kalau ingin mudah bawa sekalian aku ke sana, A.sam. Kutunjukkan pada kalian dan setelah itu terserah kalian sendiri," pelayan itu menyambung, bahkan memberi nasihat dan kakek Pwea mendelik. Dia merasa dipermainkan gadis ini yang tersenyum dan tidak nampak takut berhadapan dengan mereka, kurang ajar. Tapi sebelum dia menjawab tiba-tiba A-sam setuju, mengangguk.

"Bagaimana pendapatmu, lopek? Gadis ini dapat dibawa, kalau perlu dijadikan sandera!"

"Eh, kalian mengancam aku? Baik-baik aku bersikap pada kalian, A-sam, jangan diperlakukan sebaliknya kalau tak ingin aku marah!"

"Marahlah," kakek Pwee merasa ada yang tak wajar. "Kau di sini saja, gadis muda. Aku tak mau kalian ikut dan hanya merepotkan kami!" dan cepat membungkam mulut korbannya kakek ini berseru,

"Asam, gadis itu dapat menggagalkan kita kalau kepergok penjaga. Sebaiknya bungkam dia dan ikat di sini, bersama temannya!" dan mengikat serta membungkam gadis yang dibekuk kakek ini sudah melempar pelayan yang ditangkap dan menyembunyikannya di balik gerumbul, melihat A-sam ragu-ragu dan tampaknya keberatan.

Gadis yang dibekuk A-sam menggeliatkan tubuh, meronta tapi A-sam mendekapnya, mempererat cengkeraman. Dan ketika pemuda itu bingung dan ragu mengikuti nasihat Pwee-lopek tiba-tiba kakek ini sudah menghantam dan memukul tengkuk gadis itu.

"Kau laki-laki bodoh, jangan bangkit nafsu mu oleh tubuh yang hangat... ngek!" dan si gadis yang roboh dan mengeluh di tanah akhirnya diberesi kakek ini yang tampaknya paham akan apa yang bergejolak di hati A-sam, tentu saja melihat semuanya tadi dan kegenitan si gadis muda. Pwee-lopek khawatir akan gagal gara-gara ini, jebakan halus. Dan ketika A-sam tertegun dan terkejut oleh perbuatannya maka kakek ini menyambar lengannya meloncat ke kiri. "Jangan bengong, sekarang kita buktikan kata-katanya. Kalau bohong dan kita tertipu kita dapat kembali ke sini dan menjadikan mereka seperti sandera, seperti katamu tadi. Nah, ayo A-sam, kita mulai dan cari rumah bercat putih itu!"

A sam sadar. Pwee-lopek sudah menyeretnya ke tempat yang dituju, mereka berbelok ke kiri dan akhirnya ke kanan. Benar saja, terlihat sebuah rumah tahanan bercat putih, mereka merunduk dan melompat masuk. Dan ketika di dalam terdengar rintihan dan umpatan lirih maka kakek ini girang berseru tertahan,

"A-kong, dia A-kong...!"

"Sst," A-sam menyuruhnya berhati-hati, menoleh kiri kanan. "Kenapa tak ada penjaga? Apakah memang tak ada penjaga?"

"Ah, tempat ini sepi, A-sam. Mungkin penjaga sedang pergi atau A-kong memang tak perlu dijaga. Ayo, buka pintunya dan masuk!" kakek Pwee mendorong, tak sabar dan sudah membuka paksa pintu rumah itu. Pintu terbuka dan diapun meloncat masuk. Dan ketika benar saja A-kong menggeletak di situ dalam keadaan merintih serta terikat memaki Kwee Han maka kakek itu girang namun juga cemas.

"A kong...."

Pemuda itu menoleh. A-kong terbelalak dan seakan nampak tak percaya, tapi ketika dilihatnya pula A-sam di situ tiba-tiba pemuda ini girang dan merintih. "Oh, aduh.... kau mau menolongku, lopek? Aduh, buka ikatan tali ini. Mereka menghajarku dan membuatku pingsan!"

Pwee-lopek tak perlu diulang lagi. Kakek ini sudah bergerak dan memutus ikatan di tubuh temannya, A-kong ditarik bangun tapi pemuda itu terguling kembali. Ikatan yang terlalu lama dan menyakitkan membuatnya kejang, tak dapat begitu saja pemuda ini berdiri dan mengeluh. Tapi ketika A-sam datang menolong dan memijat mijat tubuhnya akhirnya pemuda ini dapat berdiri dan memaki.

"Bangsat jahanam Kwee Han itu. Dia menyuruh pengawalnya menyiksa dan nyaris membunuh aku!"

"Sudahlah, tak perlu marah, A-kong. Kau juga salah tak menghormat orang besar!"

“Tahi kucing! Kwee Han itu orang besar macam apa? Dia juga seperti kita, lopek. Hanya entah keberuntungan macam apa yang membuat dia jadi berobah begitu. Aku tak akan marah kalau pertama kali dia menyambut dengan mulut tidak cemberut. Dia sombong, kini pongah dan congkak!"

“Kau mau keluar atau memaki-maki?” kakek Pwee membentak juga. "Kami mempertaruhkan keselamatan untukmu, A-kong. Kalau kau ingin tetap di sini biarlah kami pergi!"

"Tidak, ah.... maaf!" pemuda itu sadar juga. "Aku tentu saja ingin keluar, lopek. Dan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu. Ayolah, mari. Bawa aku keluar!" tapi baru mereka bergerak dan memutar tubuh tiba-tiba lima pengawal muncul dan sudah berdiri di pintu, bengis dan dingin.

"Kalian mau merat? Jangan ngimpi!" pengawal di depan, yang tertawa dan mengejek mereka melompat masuk, diikuti keempat temannya, langsung mengepung. "Kwee-taijin sudah menduga kalian datang lagi, tua bengka. Dan kini kalian tak dapat lagi dibiarkan hidup... wutt!" dan tombak serta golok yang digerakkan dan sudah menyerang tiga orang ini lalu membuat Pwee-Iopek terkesiap dan menangkis, menggerakkan pisaunya tapi dia terbanting.

Tenaga yang tua ternyata tak dapat menghadapi tenaga yang muda, si pengawal terlalu kuat dan sudah menerkam lagi, kali ini menyambar dan menusuk punggung kakek itu. Tapi karena A-kong ada di dekatnya dan pemuda ini tentu saja tak membiarkan temannya dibunuh tiba-tiba A-kong melompat dan membentak pengawal itu, menghantam dan dari samping dia menyerang si pengawal, A-Sam juga terpaksa bergerak dan menyerang pengawal itu pula, pengawal ini dikeroyok. Dan karena dua lawan satu dan si pengawal terjepit maka tombak terampas dan segera A-kong atau A-sam mengamuk di situ, ditubruk empat pengawal yang lain namun kakek Pwee berteriak marah.

Dengan gagah dan berani kakek ini membela temannya, terjadilah serang-menyerang di situ. Tapi karena lima lawan tiga dan Akong juga masih terasa kaku ototnya maka sebentar kemudian tiga orang ini kewalahan, menjerit dan mulai menerima tusukan atau bacokan golok. Kakek Pwee terbabat namun dengan gagah dan berani kakek ini maju lagi, dia Terasa dipepet dan tak mungkin mundur. Apa yang sudah terjadi harus dihadapi. Dan ketika A kong dan Asam di sana menjerit dan mengeluh oleh sambaran sebuah golok akhirnya kakek ini berteriak,

"A-kong, lari... A-sam, ingat dua pelayan wanita itu. Tangkap dan jadikan mereka sandera!"

"Ah" A-sam pucat. "Mana mungkin, lopek? Mereka mengepung, kita tak dapat keluar!"

"Aku akan memberimu jalan keluar, A-sam. Kalian masih muda-muda dan biar si tua ini mati. Aku....aduh!" kakek itu menghentikan keta katanya, menjerit dan terlempar karena dua pengawal menusuknya dari samping, pinggang terluka dan kakek ini roboh.

Si pengawal tertawa mengejek karena kakek ini besar nafsunya namun kurang tenaganya. Apa yang diniatkan tak seimbang dengan apa yang dipunyai, kakek itu terguling-guling dan A-sam serta A-kong terkejut. Mereka sendiri terdesak hebat oleh golok dan tombak tiga pengawal, tombak rampasan terpental jauh ketika dipukul, mereka memang bukan jago berkelahi, tak dapat menolong kakek itu.

Tapi ketika pengawal mengejar Pwee-lopek dan dua tombak diarahkan dengan beringas untuk menghabisi kakek itu mendadak berkelebat sesosok bayangan kuning emas dan bentakan perlahan terdengar di tempat itu, disusul tangkisan dan robohnya lima pengawal yang enteh bagaimana tiba-tiba berpelantingan tak keruan.

"Jangan bersikap kejam, tahan!" dan Pwee-lopek yang selamat dan melompat bangun melihat lima pengawaI menjerit dan terguling-guling akhirnya tertegun melihat seorang pendekar gagah berdiri di situ, tegak dengan rambutnya yang kuning keemasan.

“Kim-mou-eng...!"

"Pendekar Rambut Emas...!

Kakek ini mendelong. Lima pengawal yang tadi menyerang dia dan dua temannya mendadak berseru kaget, membeliak dan tiba-tiba melarikan diri melempar senjata masing-masing. Mereka begitu ketakutan dan baru kali ini Pwee-lopek mendengar nama itu, juga orangnya. Dan ketika A-kong dan A-sam juga tertegun dan bengong di sana mendadak kakek Pwee sudah menjatuhkan diri berlutut dan mengucap terima kasih, tentu saja tahu bahwa seorang pendekar telah menolong dan menyelamatkannya.

"Taihip, terima kasih. Aku si tua ini kiranya berhadapan dengan Kim-mou-eng!"

"Hm, bangunlah”, Kim-mou-eng, pendekar itu menarik kakek ini. "Aku melihat dan mendengar semuanya, kakek Pwee. Aku tahu masalah kalian dan mari sama-sama menghadap Kwee-taijin."

Kakek itu terbelalak. "Menghadap Kwee-taijin?"

"Ya, bukankah kau datang untuk urusan teman-temanmu di Ming-ciang? Aku tahu semuanya, kakek Pwee. Dan aku akan membantumu!"

"Dia yang kukira hantu itu!" A-sam tiba-tiba berseru, kaget dan teringat bayangan di atas pohon. "Eh, bukankah kau orangnya, taihiap? Kau yang berkelebat dan mengejutkan kami berdua?"

"Benar," Kim-mou-eng tersenyum. "Akulah itu, A-sam. Dan aku simpatik atas perjuangan kalian. Mari, kuantar menghadap Kwee-taijin dan rencana kalian pasti berhasil!" dan belum A-sam hilang bengongnya tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan lenyap dari situ.

"Kakek Pwee, ayo keluar. Kwee-taijin ada di ruang dalam!”

"Ah," kakek ini terkejut. "Dia akan menangkap kami, taihiap. Pengawal bisa berdatangan dan menyerang kami!”

"Jangan takut, kalian datang saja dan lihat bagaimana sikap Kwee-taijin menyambut kalian nanti!" suara itu tak diketahui orangnya, lenyap dan kakek ini ragu-ragu namun A-sam berseri-seri .Dia sudah mendengar nama Kim-mou-eng dan lebih tahu daripada kakek itu, tanpa ragu dan tertawa pemuda isi melompat keluar. Lalu ketika témannya mengikuti dan kakek Pwee nampak ragu atau cemas maka pemuda ini berkata, menyambar lengannya,

"Jangan takut, apa yang dikata Kim-mou-eng benar, lopek. Ayo ke sana dan cari Kwee Han!"

Kakek ini kebat-kebit. Akhirnya dia mengeraskan hati dan takut serta gelisah diajak A-sam, berlari dan sebentar kemudian sudah melihat ribut-ribut di dalam. Pengawal berkelebatan dan kakek ini pucat. Dia menganggap mereka bertiga justeru mendatangi gua harimau. Tapi ketika dia tiba di luar gedung utama dan di situ balasan pengawal berjajar berdiri tegak maka mereka seolah disambut dan kakek ini tertegun, melihat Kim-mou-eng ada di dalam bersama Kwee Han, yang buru-buru berlari dan menyambut kakek ini.

“Pwee-lopek, mari. Silahkan masuk!"

Pwee-lopek bengong. Kwee Han, yang pagi tadi galak dan ketus sekonyong-konyong berubah, sikapnya manis dan sudah menyambut kakek ini, memegang lengannya, membawa masuk. Dan ketika A-kong dan A-sam mengikuti dan mereka juga tertegun oleh sikap Kwee Han maka pemuda ini tampak menjura dalam dalam di hadapan Pendekar Rambut Emas itu, memberi hormat dengan penghormatan yang luar biasa hormat!

“Taihiap, maafkan aku. Kiranya Pwee-lopek sudah berkenalan denganmu dan juga sahabatmu. Maaf, aku tak tahu dan tentu saja akan menyatakan penyesalanku kepadanya”, dan menbalik menghadapi kakek Ini Kwee Han berkata, “Lopek, aku tak tahu kalau kau adalah juga sahabat Kim-taihiap. Kenapa tidak bilang dari dulu-dulu agar aku mengerti? Maaf atas semua kekasaranku, lopek. Aku berjanji tak akan mengulang semuanya itu dan kita tetap kawan!"

Pwee-lopek mendelong. Dia melihat Kwee Han begitu manis dan hormat kepadanya, bertemu pandang dengan Kim-mou-eng dan sekilas isyarat tampak dikedipkan pendekar itu. Kakek ini mengerti, segera tersenyum. Dan ketika dia mengangguk dan tentu saja girang maka dia menunjuk dua temannya, "Ah, tak apa, Kwee-taijin. Dan aku juga minta maaf atas kekasaran, A-kong dan A-sam ini. Mereka tak tahu adat, kami memang orang-orang kecil yang tidak tahu banyak sopan santun. Maafkan kami pula," dan menegur temannya kakek ini menyambung, "A-kong, kau harus minta maaf pada Kwee-taijin. Hayo beri hormat dan lakukan perintahku!"

A-kong buru-buru membungkuk. "Maafkan aku, taijin," katanya pendek. "Tapi kau juga bersalah karena menyuruh pengawal-pengawalmu bersikap kejam!"

"Ah, itu kelancangan mereka. Aku akan menegur!" Kwee Han buru-buru menjawab. "Dan kau tak usah memanggilku taijin, kita adalah sahabat dan bekas sesama rekan. Mari duduk A-kong. Kita duduk di dalam!" Kwee Han yang tak mau dilihat pengawal berlama-lama lalu mengusir mereka pergi, mengajak tiga temannya masuk dan Kim-mou-eng pun dipersilahkan. Sekarang Kwee Han tampak begitu hormat dan merendah, kakek Pwee tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi antara pemuda itu dengan Pendekar Rambut Emas.

Tapi ketika mereka diajak masuk dan duduk mendapat jamuan tiba-tiba Kim-mou-eng berkata, "Kwee Han, aku tak ada banyak waktu. Aku datang untuk menanyakan sesuatu, adakah pernah kau melihat sebuah cermin berbingkai emas? "Dan apakah kau dapat membereskan masalah yang dibawa tiga orang ini?"

"Ah, taihiap mau ke mana? Ada apa buru-buru?"

"Aku datang untuk mencari sesuatu, Kwee Han. Dan kebetulan saja bertemu Pwee-lopek dan dua temannya ini. Apakah kau pernah menemukan sebuah cermin?"

"Tidak," Kwee Han langsung saja berbohong. "Aku tak tahu dan tak mengerti cermin apa, taihiap. Dan kalau masalah teman-temanku ini tentu saja akan kubereskan."

"Hm, aneh. Aku melihat jatuhnya benda itu di sekitar sini, kukira kau tahu atau mendapatkannya. Kalau kau tak tahu baiklah, Kwee Han. Mungkin satu dua hari lagi aku akan datang dan kita bertemu lagi. Aku telah tahu semuanya yang diminta kakek ini, tolong kau perhatikan dia dan jangan lupa nasihatku tadi."

"Baik... baik, taihiap, terima kasih. Tentu saja aku tak melupakan mereka dan akan membantu!" dan ketika Kwee Han selesai mengucapkan kata-katanya itu dan Kim-mou-eng tertawa tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu telah lenyap dan entah berkelebat ke mana, hanya tampak sebuah bayangan meloncat dan tiba-tiba perdekar itu pun menghilang. Ini sama seperti yang dilihat A-sam tadi, gerakan luar biasa cepat mirip siluman saja.

Dan ketika mereka bengong dan Kwee Han termangu maka kakek Pwee mendapat sambutan ramah dan kini Kwee Han tak memusuhi mereka lagi, mengajak ketiganya duduk kembali dan Kwee Han segera minta apa yang hendak dibicarakan kakek itu. Tidak seperti pagi tadi di mana Kwee Hån cemberut dan jelas menunjukkan ketidak senangannya adalah sekarang pemuda ini menyambut tamunya baik-baik.

Pwee-lopek segera menceritakan apa yang terjadi di Ming-ciang, bahwa "penyakit" juragan perahu kambuh lagi. Mereka memeras dan mencekik kaum nelayan, bahwa sistem bagi hasil kembali mengalami ketidakadilan dan kakek itu minta agar dengan pengaruhnya Kwee Han dapat mengatasi semuanya itu, pemuda inilah harapan satu-satunya bagi seluruh buruh nelayan.

Dan ketika Kwee Han berjanji akan datang dan mengurus hal itu maka untuk kedua kalinya pemuda ini memberi bekal beberapa puluh ribu tail perak untuk membantu kehidupan teman-teman Pwee lopek, disambut girang dan untuk kedua kalinya pula kakek ini mengucap terima kasih. Dan ketika semuanya berjalan lancar dan Kwee Han benar-benar berjanji akan membantu mereka maka kakek ini akhirnya kembali dan pulang ke Ming-ciang.

* * * * * * * * *

"Hei, lepaskan aku. Bebaskan kami!"

Dua tubuh di atas api unggun itu meronta, Mereka berteriak dan memaki-maki sejak tadi, dua orang di bawah mereka terkekeh dan tertawa. Mereka itulah Hauw Kam dan Gwan Beng, dua murid Hu-taihiap yang diculik Nenek Naga Bumi dan iblis cebol Hek-bong Siauwjin dan yang kini marah-marah di atas api unggun. Mereka diikat dan digantung di situ, persis babi panggang, Dan ketika mereka berteriak dan mulai memaki-maki lawannya maka nenek Naga Bumi yang menculik dan menawan Hauw Kam bangkit berdiri, tahu-tahu melecutkan rambutnya ke tubuh pemuda itu.

"Hei, kenapa berkaok-kaok macam ayam di sembelih? Kami tak meng-apa-apakan kalian, bocah. Diam dan tenanglah di situ, atau aku akan menghangatkan kalian dengan api yang lebih besar lagi...tarr!"

Hauw Kam menggeliat, tubuhnya sudah penuh keringat dan suhengnya terbelalak. Pemuda ini memaki dan marah-marah kepada nenek iblis itu, nenek Naga Bumi tampaknya mendongkol dan meniup api dengan hembusan mulutnya, api berkobar dan tubuh Hauw Kam yang telanjang tinggal mengenakan pakaian dalam saja terbakar, langsung dijilat dan pemuda itu mengeluh. Sejak tadi mereka di siksa nenek ini, dua jam lebih menerima panasnya api unggun dan kini si nenek tiba-tiba malah membesarkan api, tentu saja Hauw Kam kepanasan tapi dengan sinkangnya pemuda ini membuat tubuhnya licin dingin.

Keringat mengucur deras dan jatuh menetesi api di bawah, memang tidak langsung padam namun sedikit banyak membantu juga. Hauw Kam bertahan dan tidak sampai terbakar, kecuali kulitnya menjadi merah kematang-matangan. Dan ketika pemuda itu menggeliat dan meronta-ronta di atas api unggun maka Hek-bong Siauwjin mendadak tertawa dan meniup api pula untuk membakar hidup-hidup Gwan Beng, pemuda satunya.

"Heh heh, ini pemandangan menarik, nenek siluman. Aku jadi gatal melihat tingkahmu... Wush!"

Gwan Beng terjilat besar, tersentak dan kaget dan tiba-tiba bagian leher sampai pinggang disambar api berkobar. Dia terkejut tapi mengerahkan sinkang, bertahan dan sama seperti sutenya dia pun tidak apa-apa oleh api di bawah mereka itu, kecuali kulit yang menjadi merah kematang-matangan, tidak memaki kecuali melotot. Hauw Kam lah yang banyak memaki dan mengumpat-umpat tak keruan. Dan ketika pemuda itu mampu bertahan dan tidak apa-apa oleh api yang menjilat jilat tubuhnya maka Hek-bong Siauwjin kagum dan memuji.

"Hebat, murid-murid Hu-taihiap ini pemuda pemuda mengagumkan, nenek siluman. Bagaimana pendapatmu melihat ini?"

"Hm, aku pribadi tertarik pada yang ini, setan cebol. Tapi untuk yang itu lebih baik dibunuh!" dia menuding Gwan Beng. "Yang itu tidak cerewet dan pendiam, kurang menggairahkan dan tak kusuka!"

“Ha-ha, justeru sebaliknya!" setan cebol ngakak. "Aku suka yang pendiam begini, nenek siluman. Tak banyak memanaskan telinga dan patuh, itu saja yang dibunuh dan ini kita manfaatkan!"

“Tidak, aku tak suka itu, setan cebol. Lebih baik dia yang dibunuh dan ini kita manfaatkan!"

"Tidak, ini yang harus diberi hidup. Kita menjadikannya robot dan pewaris tunggal!"

"Hm, kau mau melawan?"

"Eh!" Hek-bong Siauwjin membeliak. "Kau tak perlu memaksakan perintah, nenek siluman. Aku tak mau tunduk perintahmu dan kau pun tak perlu tunduk perintahku. Kalau kita tak sependapat lebih baik masing-masing kembali pada haknya, aku pemuda itu sedang kau pemuda ini!"

Nekek Naga Bumi tertegun.

"Ingat," setan cebol kembali bicara. "Hu-taihiap sekarang lihai bukan main, nenek siluman. Aku dan nenek Naga tak mampu menandingi. Dia memiliki Khi-bal-sin-kang, juga Jing-sian-eng!"

Dewi Naga Bumi terbelalak. "Kau tak main-main?"

"Sial! Siapa main-main? Aku tak perlu bohong atau main-main denganmu, nenek siluman. Kami bertiga benar-benar tak mampu menghadapinya dan jago pedang itu persis Sian-su!"

"Bagaimana dia selihai itu? Dari mana dia mendapatkan Khi-bal-sin-kang dan Jing'sian-eng?"

"Siapa tahu? Mungkin Sian-su yang memberinya, nenek siluman. Atau sengaja jago pedang itu memintanya dan kakek itu memberinya!"

"Hm, aku penasaran," nenek Naga Bumi tak menelan mentah-mentah. "Aku ingin bertemu dan menghadapi jago pedang itu, Siauwjin. Kalau kata-katamu benar tentu aku percaya penuh!"

"Baiklah terserah dirimu. Tapi kita bicarakan sekarang dua anak-anak ini. Apakah kita kembali pada hak masing-masing dan aku mengambil pemuda itu sedang kau si cerewet ini? Aku tak mau kau membunuh punyaku, nenek siluman. Aku ingin mendidiknya dan menjadikannya muridku!"

"Tapi kau kalah dengan Hu Beng Kui!"

"Itu masalah lain. Hu Beng Kui memiliki Khi-bal sin-kang dan Jing-sian-eng sedang anak-anak ini tidak. Mereka tentu lebih lihai kalau menjadi muridku, tanpa ilmu yang dipunyai si jago pedang itu tentu saja!"

"Hm, dan aku akan mendidik yang ini. Sudah lama aku membutuhkan pewaris dan kebetulan mereka datang. Kim-mou-eng tentu bukan tandingannya lagi kalau pemuda ini menjadi muridku!"

"Ya, dan aku akan mendidik punyaku, nenek siluman. Kalau begitu kita masing-masing menggembleng murid sendiri dan lihat siapa yang kelak lebih unggul!"

"Tak perlu macam-macam, murid kita tentu imbang!"

"Ha-ha, siapa tahu? Yang pendiam ini lebih lihai, nenek siluman. Lihat dia lebih dapat bertahan dari pada yang itu!"

Nenek Naga Bumi mendengus. Saat itu Hauw Kam kembali berteriak-teriak, Gwan Beng diam saja sementara api menjilat jilat tubuhnya. Dua pemuda ini sama dipanggang tapi Hauw Kam rupanya tak tahan lebih dulu, kalah kuat dan keringatnya membanjir lebih deras daripada suhengnya, Gwan Beng. Dan ketika pemuda itu berkaok-kaok sementara Naga Bumi mendongkol dan gemas mendadak nenek itu melecut dan menyambar Gwan Beng.

"Augh!" Gwan Beng berteriak, pedih dan terbelalak dan setan cebol terkejut. Nenek Naga Bumi kembali hendak menyiksa pemuda itu, Hek-bong Siauwjin membentak dan akhirnya menghadang di tengah, mulut meniup dan api pun tiba-tiba padam, tinggal Hauw Kam di sana terpanggang kepanasan. Dan ketika nenek Naga Bumi mendengus dan marah memandang Gwan Beng tiba-tiba Hek-bong Siauwjin menggerakkan tangan dan Hauw Kam pun yang berkaok-kaok ditepuknya roboh.

"Diam kau cerewet!" dan kayu pengikat, yang ditepuk iblis ini tiba-tiba runtuh dan membawa Hauw Kam ke dalam api unggun, persis di bawahnya.

"Aduh, keparat! Jahanam kau, Siauwjin. Bangsat!"

Nenek Naga Bumi menggerakkan kaki. Hauw Kam yang terbakar langsung di bara api ditendang, mencelat dan diterima nenek ini. Hek-bong Siauwjin terbahak dan geli memandang pemuda itu, dibentak Naga Bumi. Dan ketika nenek itu marah dan memandang setan cebol maka Dewi Api atau nenek Naga Bumi ini mendelik.

"Siauwjin, jangan kau menyiksa punyaku. Pemuda ini muridku, kalau kau menyerangnya maka kau akan berhadapan dengan aku!"

"Ha-ha, bukankah yang mulai adalah kau? Kau menyerang punyaku, nenek siluman, dan pemuda ini pun adalah muridku. Kalau kau menyerangnya maka kau berarti menyerang aku, tentu kubalas!"

"Hm, kita harus berbagi dua. Baiklah, kau mati matian membela pnnyamu, dan aku akan mati-matian membela punyaku. Bagaimana kalau kita cari Hu Beng Kui dan dua anak ini kita cekoki obat pelupa ingatan?"

"Kau masih punya? Ha-ha, tentu bagus sekali, nenek siluman. Aku setuju dan berikan itu pada muridku!"

"Huh, kau selamanya peminta-minta, Siauwjin. Kau bagai jembel tak punya apa-apa! Kau boleh mendapatkan tapi tentu saja harus ada imbalan!"

"Imbalan apa?" iblis ini ketawa. "Kita adalah sahabat dan sesama rekan, Naga Bumi. Tak seharusnya utang piutang macam itu."

"Keenakan kau!" nenek ini ketus. "Kau tak pernah memberiku cuma-cuma, Siauwjin. Setiap pemberian tentu ada perhitungan. Nah, kuminta agar kau menemukan orang she Hu itu dan biar kulihat dia apakah omonganmu betul atau tidak!"

"Wah, bukankah kau dapat mencarinya sendiri! Kenapa aku?"

"Aku tak mau bersusah payah, setan cebol. Aku sudah memberikan sesuatu dan kau harus membalas dengan jasa!"

"Huh!" Siauwjin mangut-mangut, tiba-tiba tertawa. "Apakah ini berarti kau minta bantuan secara tak langsung? Kau jerih menghadapi si jago pedang itu?"

"Apa katamu?" si nenek mendelik.

"Ha-ha, tak usah menipu, nenek siluman. Aku sekarang tahu bahwa diam-diam di balik ketidakpercayaanmu ini tersisip rasa gentar. Kau berjaga-jaga bila benar tak dapat menghadapi Si jago pedang itu maka kau dapat meminta tolong aku. Setidak-tidaknya, agar kau dapat melarikan diri dan selamat!"

"Tarr!" rambut itu meledak, menyambar muka Siauwjn namun dielak. "Kau jahanam tak tahu malu, Siauwiin. Kau pandai membaca pikiran orang tapi keliru. Aku tidak maksudkan itu namun sekedar memberi pelajaran padamu kalau omonganmu bohong. Artinya, kalau orang she Hu itu tak selihai katamu maka dia akan kutangkap dan kau bertanggung jawab. Obat tidak kuberikan dan kau kuhajar!"

“Ha-ha, siapa takut? Boleh, kita buktikan itu, nenek siluman. Dan kalau kau kalah maka obat harus kau berikan atau aku ganti mengejarmu dan menghajarmu ke mana kau pergi!”

Nenek ini mendengus. Hanya Siauwjin yang tahu perubahan mukanya yang sekilas tadi, dari biasa menjadi merah. Bahwa dia memang gentar dan tersisip rasa berhati-hati menghadapi Hu Beng Kui, tentu saja setelah mendengar bahwa Hu Beng Kui mampu menghadapi tiga temannya sekaligus, Hek-bong Siauwjin dan Sepasang Dewi Naga. Tentu cebol itu telah menceritakan peristiwa di Ce-bu, bahwa Hu Beng Kui memiliki kepandaian luar biasa di mana jago pedang itu nyaris sama dengan Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang mereka takuti itu. Dan ketika Siauwjin tertawa dan nenek ini mengangguk maka Dewi Api atau nenek Naga Bumi itu melepas ikatan Hauw Kam.

"Kau harus tunduk kepadaku. Sekarang tak boleh berteriak-teriak lagi. Buka mulutmu dan telan ini!"

Hauw Kam terkejut. Tadinya dia mau mengamuk dan menyerang nenek itu, tak tahunya si nenek menotok dan membuatnya lumpuh. Dan ketika Hauw Kam terbelalak dan melotot tak dapat memaki tiba-tiba si nenek mejepit rahangnya dan otomatis mulut pun terbuka. Dan begitu si nenek tersenyum dan mengambil dua butir obat berwarna hitam tiba-tiba obat itu telah dimasukkan ke mulut Hauw Kam dan pemuda itu pun dilepas.

"Sekarang mundurlah, berlutut dan beri hormat padaku. Sebut subo (guru)!"

Aneh bin ajaib. Hauw Kam tiba-tiba mengeluh, roboh dan terjerembab. Sedetik dia merasa pening Gwan Beng yang ada di sebelahnya tampak pucat memandang sutenya itu, Hauw Kam yang garang kelihatan lumpuh, wajahnya berangsur-angsur berubah. Dan ketika dua menit kemudian mata sutenya yang berapi-api tampak memudar dan menjadi lemah sekonyong-konyong Hauw Kam berlutut dan menjatuhkan dirinya di depan nenek itu, suaranya kosong, memanggil lirih, "Subo....!"

Gwan Beng kaget bukan main. Sutenya itu tiba-tiba telah masuk dalam perangkap si nenek. Dewi Api Naga Bumi terkekeh. Dan ketika Gwan Beeg terbeliak dan berseru tertahan maka sutenya ditendang dan diterima nenek itu, yang tertawa aneh.

"Hauw Kam, sekarang kau adalah murid Dewi Api si nenek sakti. Kau akan tunduk dan selalu mengikuti perintahku!"

"Dan kau juga akan seperti sutemu ini, bocah. Kau akan tunduk dan menjadi muridku!" Hek-bong Siauwjin terbahak, memandang Gwan Beng dan pemuda itu berteriak. Sekarang Gwani Beng pucat, kaget dan takut, juga marah. Namun ketika Hek-bong Siauwjin melepas dan menendang dirinya pemuda ini pun tak dapat berbuat apa-apa dan lumpuh.

"Tidak!" Gwan Beng menjadi kalap. Kau bunuh dan cabut nyawaku, iblis busuk. Kalian iblis terkutuk tak tahu malu!"

"Heh, kenapa sekarang menjadi cerewet? Diam dan tenanglah, bocah. Hek-bong Siauwjin tak akan membunuhmu karena kau calon murid yang berbakat...plak!" setan cebol itu menepuk pundak Gwan Beng, si pemuda mengeluh dan tak dapat bicara lagi.

Gwan Beng melotot dan Hek-bong Siauwjin memencet jalan darah di punggungnya, sedikit saja, dipelintir dan akhirnya dicubit. Dan ketika Gwan Beng berteriak tanda kesakitan tiba-tiba pemuda ini telah pingsan dan jalan darah pembalik otak telah diputar arahnya oleh Hek-bong Siauwjin. Gwan Beng akan menjadi pemuda yang sementara ini tak dapat menemukan dirinya sendiri, linglung!

"Ha ha, bagaimana, nenek siluman? Bukankah dia akan menjadi sama seperti muridmu?"

“Ya, tapi kau harus memencet jalan darahnya lagi kalau jalan pikirannya pulih, setan cebol. Tindakanmu tak sepasti obat pelupa ingatan yang kupunyai. Pemuda itu akan pulih setiap enam atau tujuh bulan."

"Ha ha, dan setiap enam atau tujuh bulan berarti jalan darahnya harus kubalik lagi, tak apa. Kau memang pelit, nenek sial. Kalau sekarang kau berikan obat pelupa ingatanmu itu tentu aku tak perlu bersusah payah!"

"Heh, tak usah melantur! Kau belum melepas jasa mana mungkin mendapat imbalan? Cari orang she Hu itu dulu, setan cebol. Dan baru setelah itu janjiku kupenuhi!"

"Baik, mari pergi, nenek siluman. Aku jadi gatal menghajarmu lewat si jago pedang itu...wuttt!" dan Hek-bong Siauwjin yang menyambar Gwan Beng tiba-tiba lenyap dan menghilang dari tempat itu, disusul kemudian oleh gerakan si nenek iblis dan nenek Naga Bumi ini pun lenyap, menyambar dan memanggul Hauw Kam dan segera dua tokoh luar biasa ini menuju ke selatan. Mereka hendak ke Ce-bu, ke tempat si jago pedang itu. Tapi karena saat itu Hu Beng Kui telah meninggalkan rumahnya untuk mencari dua muridnya maka di tengah jalan tiba-tiba mereka bertemu, tepat di sebuah tikungan ketika pendekar itu hendak berbelok.

"Heh!" bentakan ini mengejutkan Hu Beng Kui. "Kau orang she Hu dari Ce-bu?"

Hu Beng Kui tertegun, tak melihat siapa-siapa. Ada suara tanpa rupa! Tapi karena jago pedang ini seorang lihai dan kini kepandaiannya sudah meningkat beberapa kali lipat maka cepat ia mengerahkan tenaga batin dan seorang nenek tampak di depannya terlindung asap hitam, hal yang tak dapat dilihat Swat Lian yang saat itu di sampingnya, bertanya heran,

"Siapa yang membentak kita, yah?"

“Ssst." jago pedang ini bersinar sinar, pura-pura tak tahu. "Kita bersembunyi, Swat Lian. Rupanya ada siluman atau hantu, mari!" jago pedang itu menyelinap, bersembunyi di balik gerumbul dan nenek Naga Bumi terkekeh tak menperlihatkan diri.

Ia tentu saja mengetahui lawannya itu, rekannya, si setan cebol Hek-bong Siauwjin tak menunjukkan diri, iblis cebol itu sengaja membiarkan temannya berhadapan sendiri dengan jago pedang ini. Dan ketika nenek itu terkekeh dan tentu saja mencibir melihat "kebodohan" Hu Beng Kui ini maka dia ingin menggoda dan justeru mau mengejek lebih lanjut, menakut-nakuti alias memberi teror metal.

“Heh, kau jangan seperti siput bersembunyi di rumahnya, Hu Beng Kui. Keluar dan hadapilah aku, Api Maut!"

Swat Lian terkejut. Entah dari mana asalnya sekonyong-konyong meluncur sebuah lidah api menyambar ayahnya, cepat dan luar biasa dan desisnya seperti naga kelaparan. Gadis ini terkejut tapi ayahnya mengelak. Hu Beng Kui tentu saja tahu asal api itu dan mengebut. Dan ketika api lenyap dan padam menghilang entah ke mana maka nenek Naga Bumi terbelalak.

"Kau dapat menyelamatkan diri?” suara itu pun tak kelihatan orangnya oleh Swat Lian, "Kau menantang aku, orang she Hu? Baik, lihat dan dengarkan ini. Seribu api akan menyerangmu... wush-wushh!"

Seribu api bagai kunang-kunang mendadak muncul, berhamburan dan menyambar dari mana-mana mengejutkan Swat Lian. Gadis ini memekik dan tentu saja kaget, dia dan ayahnya sudah diserang dari segala penjuru. Tapi begitu Hu Beng Kui mengebut dan memutar kedua tangannya tiba-tiba api itu pun lenyap dan padam.

"Heh!?" suara tanpa rupa itu tampaknya tertegun. Kau dapat mengalahkan aku? Keparat, kau akan kubunuh, orang she Hu. Sekarang kau mampus....cringg!"

Dan sebuah benda terbang yang berputar dan melayang cepat menuju leher jago pedang itu tiba-tiba membuat Swat Lian menjerit, melihat seorang nenek menunggang di atasnya dan kini tampaklah nenek Naga Bumi itu. Swat Lian seketika terbelalak karena itulah nenek yang menculik suhengnya nomor dua, Hauw Kam. Dan ketika gadis ini berseru kaget dan terbelalak maka ayahnya, yang sudah tahu dan melihat nenek itu sejak tadi tiba-tiba tertawa bergelak dan mendorong puterinya hingga terpelanting jauh ke belakang, menyambut serangan luar biasa ini, seolah lawan berada di atas piring terbang!

"Nenek siluman, tak perlu kau banyak lagak. Aku telah tahu kehadiranmu sejak tadi. Nah, inilah aku, Hu Beng Kui yang akan meruntuhkan kesombonganmu....dess!" dan Hu Beng Kui yang mencelat tapi lawan yang berteriak berjungkir balik tiba-tiba membuat bumi berguncang dan tanah di mana jago pedang itu berdiri amblong, bagai ditumbuk atau kejatuhan gajah.

Dan nenek Naga Bumi terpekik. Dia tadi melancarkan pukulan jarak jauhnya tapi disambut, dua tenaga mereka bertemu dan nenek ini terpental, hampir terbanting kalau dia tidak berjungkir balik. Dan ketika nenek itu meluncur turun dan berdiri tegak dengan tubuh bergoyang maka nenek ini mendelik dan membeliakkan mata.

"Itu khi-bal-sin-kang?"

"Ha-ha, kau tahu?" Hu Beng Kui tertawa bergelak, maklum berhadapan dengan seorang nenek setingkat Dewi Naga, atau Hek-bong Siauwjin. "Ya, itu Khi-bal sin-kang, nenek iblis. Sekarang apa maumu dan katakan dimana muridku. Kau tentu Dewi Api Naga Bumi!"

"Tarr!" nenek ini meledakkan rambut. "kau betul, orang she Hu. Tapi jangan bersikap congkak dulu. Aku datang untuk membunuhmu, juga seluruh keluargamu yang lain!"

"Hm, mana muridku?" Hu Beng Kui tak perduli, maju dengan mata bersinar-sinar, tak kelihatan takut atau gentar. "Kembalikan muridku atau kau kuhajar, nenek iblis. Dan kau tentu telah mendengar dari Hek-bong Siauwjin atau Sepasang Dewi Naga akan kekalahan mereka di tanganku!"

"Dia yang menculik Hauw Kam, ayah!" Swat Lian tiba-tiba berseru nyaring. "Dan jangan lepaskan dia kalau tak menyerahkan Hauw Kam suheng!"

“Diamlah," si jago pedang mengangguk. "Aku tahu, Lian-ji. Duduk dan tenanglah di sana."

Nenek Naga Bumi mendesis. Jarinya menuding dan tiba-tiba sebuah sinar hitam mencicit menyambar Swat Lian, gadis itu tak tahu karena kebetulan membalik. Dia mau duduk. Tapi Hu Beng Kui yang membentak dan tentu saja tak membiarkan putrinya celaka tiba-tiba menggerakkan jarinya pula dan telunjuk si jago pedang ini mengeluarkan sinar putih.

"Critt!" Sinar hitam di tangan nenek iblis hancur. Kekuatan jari sakti di tangan Hu Beng Kui masih terus meluncur, ganti menyambar tenggorokan si nenek, nenek itu terkejut dan marah. Dan ketika ia mengelak dan sinar itu meluncur di belakangnya maka sebuah batu meledak dan hancur terkena totokan jarak jauh si jago pedang ini, yang tentu saja diisi Khi-bal-sin-kang yang sakti.

“Keparat!" nenek itu mendelik. "Kau kiranya benar-benar lihai, orarg she Hu. Kalau begitu lebih baik kita tak usah bicara lagi dan biar kulihat sampai di mana kelihaianmu...wut!" dan si nenek yang hilang dan lenyap berkelebat ke depan tiba-tiba sudah mencoblos mata Hu Beng Kui dengan tusukan kilat, dikelit dan membalik dan tiba-tiba sebuah sapuan menyambar kaki si jago pedang ini.

Hu Beng Kui meloncat dan serangan itu pun lewat. Dan ketika si nenek membentak dan menyerang lagi maka bertubi-tubi Hu Beng Kui menghadapi pukulan dan tendangan dan segera jago pedang itu berkelit atau menghindar, tak lama kemudian merasa kewalahan dan terpaksa ia menangkis atau membalas. Serangan-serangan si nenek amat berbahaya, kian lama kian ganas dan tusukan maupun tamparannya mulai merobohkan pohon pohon di sekitar.

Dan ketika nenek itu melengking dan mengeluarkan segenap kepandaiannya maka getaran atau ledakan memenuhi tempat itu, disusul geraman-geraman atau suara suara mirip iblis mengamuk di dasar neraka. Swat Lian terduduk tak mampu mengikuti jalannya pertandingan. Nenek itu mengeluarkan ilmu hitamnya pula dan lenyap dalam pandangan mata, yang tampak hanya bayang-bayang tak jelas yang berseliweran di sekeliling tubuh Hu Beng Kui. Dan ketika ayahnya membentak dan mengeluarkan pula Jing-sian-eng nya atau Bayangan Seribu Dewa mendadak ayahnya ini pun lenyap dan berputaran serta saling belit dengan si nenek.

"Blang-blang!"

Suara itu membuat Swat Lian mengeluh. Sama seperti di Bukit Malaikat dulu ia mendengar ledakan-ledakan petir, telinganya serasa pekak dan Swat Lian harus mergerahkan segenap kekuatannya untuk bertahan. Dia menggigil dan bergoyang, tak lama kemudian ayahnya berseru agar ia menyumbat telinganya itu. Swat Lian yang berkepandaian tinggi ternyata tetap tak mampu mendengarkan suara pertandingan ini. Dan ketika awan di atas mulai menggelap dan suara mirip hantu atau iblis kesiangan dikeluarkan nenek itu dalam campuran ilmu hitamnya maka di angkasa seolah terjadi pertarungan sengit antara iblis dan kutilanak.

Apa yang terjadi selanjutnya tak dapat diikuti Swat Lian lagi. Gadis ini mengeluh dan pucat. Benturan-benturan yang terjadi di tempat itu berkali-kali membuat tubuhnya terguling. Satu kali bahkan membuat tubuhnya terlempar dan mencelat ke atas, roboh dan terbanting lagi dan segera gadis ini duduk dengan tubuh gemetar hebat. la harus memusatkan segenap konsentrasinya untuk pemusatan diri, Swat Lian tak mau lagi mendengarkan suara-suara itu. Dan ketika ia melayang-layang dalam samadhinya dan tak tahu lagi apa yang terjadi antara ayahnya dengan nenek Naga Bumi maka di sana ayahnya tertawa berglrak sementara si nenek iblis mengumpat dan memaki-maki.

"Keparat, kau lihai, orang she Hu. Tapi aku akan merobohkanmu dan membunuhmu!"

"Ha-ha, coba saja, nenek siluman. Robohkan aku dan bunuh aku kalau bisa!"

"Tentu, aku akan membunuhmu, manusia sombong. Dan kau tak kubiarkan selamat...darr!" kali ini api menyembur dari tangan nenek itu, meledak dan menyambar dan Hu Beng Kui menghentikan tawanya. Lawan mengerahkan kesaktian bersama ilmu hitam, dia menunduk dan mendorong. Dan ketika api itu dikebut padam dan si nenek memekik maka pukulan berikut menyambar dalam bentuk siluman.

"Koaakkk...!"

Suara ini pun tak merobah kedudukan pendekar itu. Hu Beng Kui menggerakkan lengan bajunya dan menampar, seekor naga bertubuh siluman dipukulnya. Dan ketika bayangan hitam itu hancur dan kembali lenyap maka nenek lawannya menjerit histeris.

"Hu Beng Kui, kau jahanam keparat...sing-blarr!" secercah kilat tiba-tiba muncul, menyambar dan menuju kepala si jago pedang.

Kali ini Hu Beng Ku tak mengelak melainkan memasang kepalanya, sengaja menerima itu. Dan ketika kilat atau pukulan api ini mengenai batok kepalanya tapi hancur berkeping-keping maka nenek Naga Bumi merasa kewalahan, akhirnya membuang semua ilmu hitamnya karena jugo pedang itu mampu menolak atau mementalkan. Dia menjerit dan mengeluarkan ilmu pukulannya paling dahsyat, Tee-sin-kang (Pukulan Bumi). Dan ketika nenek itu meraung dan menancapkan kedua kaki kuat-kuat di tanah dan tubuh tiba tiba mendoyong ke depan melepas pukulan ini maka dorongan bagai gunung meletus menghantam pendekar itu.

"Desss!"

Swat Lian terlempar tinggi. Gadis itu terkena guncangan dahsyat, mencelat disamping pohon, jatuh terduduk dan masih dalam keadaan bersila, bukan main. Dia dalam samadhinya yang khusuk, dalam keadaan seperti itu tak ada apa pun yang dapat membuka matanya. Gadis ini tak sadar dan kesangsang di pohon, untung tidak jatuh atau kejeblos di dalam jurang umpamanya. Dan ketika benturan itu disusul teriakan si nenek iblis dan Tee-sin-kang dihadapi Hu Beng Kui maka jago pedang ini terdorong sementara si nenek terjengkang bergulingan sepuluh tombak.

"Augh!" nenek itu mendekap dadanya, melompat bangun. "Kau hebat, orang she Hu. Rupanya Sian-su benar-benar memberikan ilmunya padamu!"

"Ha-ha, kau masih tak menyerah?" Hu Beng Kui bersinar-sinar menang. "Kau boleh maju lagi, nenek siluman. Atau aku akan menghajarmu dan membuatmu benar-benar tak berkutik!"

"Keparat!" dan si nenek yang melengking tinggi tiba-tiba melihat sebuah bayangan berkelebat, mendengar tawa yang mengejeknya.

"Bagaimana, kau percaya, tua bangka? Kau ingin agar aku membantumu dan mengeroyok si jago pedang ini?"

Hek-bong Siauwjin muncul, datang dan tertawa dan segera nenek itu melotot. Sekarang temannya tak bohong dan tentu saja ia percaya. Apa yang dikata setan cebol ini benar, Hu Beng Kui tampak terkejut melihat kedatangan si iblis yang lain, membelalakkan mata tapi tidak takut. Dan ketika nenek itu melotot dan Dewi Api menggoyang tubuhnya tiba-tiba nenek ini mencelat dan menyerang lagi.

"Benar, aku penasaran, Setan cebol. Coba kau bantu aku dan robohkan si sombong ini. Kalau tidak aku tak mau memberimu obat itu!"

"Ha-ha, kau mau curang? Sial, kau selalu menekan aku, nenek siluman. Tapi tak apalah, aku membantumu dan lihat kelihaian si orang she Hu ini!" Hek-bong Siauwjin mencelat, lenyap dan menyerang pula dan tahu-tahu ia menyelinap di bawah selangkangan Hu Beng Kui. Dengan kecepatan dan kekejian luar biasa ia hendak "mencomot" benda berharga milik si jago pedang.

Hu Beng Kui membentak dan tentu saja marah. Dan ketika dua orang itu berkelebat dan hampir berbareng keduanya menyerang dari atas dan bawah maka jago pedang ini menggerakkan tangannya dan cepat serta tepat pula ia menangkis.

"Des-dess....!"