Sepasang Cermin Naga Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 10
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“ITUCHI, kau benar. Ibu sekarang diam dan jangan tinggalkan ibumu. Kau tak akan ke mana-mana bukan?"

"Tentu saja, tapi kau jangan selalu sedih, ibu. Aku tertusuk dan ikut berduka. Diamlah dan mari kita main-main."

Cao Cun tersenyum. Kalau puteranya sudah bicara seperti itu maka dia akan terhibur, Ituchi akan mengambil mainannya dan mulai mengajak dia bermain. Dan karena hidup di lingkungan serba cukup maka puteranya ini memiliki bermacam-macam mainan menarik, mulai dari kuda batu sampai harimau terbuat dari pualam. Dan ketika dia mulai melayani puteranya bermain-main maka Wan Hoa, sahabatnya muncul, melihat bekas tangis di pipi Cao Cun itu.

"Eh, kau nakal kepada ibumu, Ituchi?”

Sang anak tertegun. "Bibi, aku hanya bertanya pada ibu tentang siapakah sebenarnya ayahku, tiba-tiba ibu menangis. Salahkah aku?"

Wan Hoa terkejut, mengerling Cao Cun. "Untuk apa bertanya itu?" tanyanya kaget. "Ayahmu adalah Cimochu itu, Ituchi. Pemimpin dan raja bangsa ini!"

"Tidak," anak itu menggeleng. "Anak-anak Han mengatakan Cimochu adalah anak ibu, bibi. Katanya ibu dikawin anaknya sendiri dan mau!"

"Tutup mulut mu!" Wan Hoa membentak, kaget sekali. "Kau tak perlu mempercayai omongan itu. Ituchi Kau bergaul dengan anak-anak liar!"

"Kalau begitu," anak ini berani. Kenapa bibi tidak menghajar anak-anak itu? Mereka yang mengatakan, bibi, dan jangan kau marah-marah kepadaku!"

"Sudahlah," Cao Cun tiba-tiba menangis lagi. "Ituchi harus kita awasi secara ketat, Wan Hoa. Dia bergaul dengan anak-anak buruk dan tak sopan. Anak-anak menteri itu sungguh kurang ajar dan tak tahu diri."

"Siapa mereka itu?"

"Mao Ping, anak Mao-taijin!"

Wan Hoa tersentak. Jawaban Ituchi ini membuat dia teringat pada menteri yang jahat itu, menteri tamak dan sesungguhnya menteri itulah yang mencelakakan nasibnya dan Cao Cun, membuang mereka dari istana dan kini hidup di tengah-tengah suku bangsa liar. Tapi Cao Cun yarg tersedu dan menyambar lengannya berkata,

"Wan Hoa, sudahlah. Jangan remas-remas perasaanku lagi dengan semuanya ini. Ituchi hanya ikut ikutan, jangan salahkan dia!" dan mencium serta memeluk puteranya dengan air mata bercucuran Cao Cun menyuruh anaknya itu tak bicara lagi tentang itu. Bahwa hatinya terasa sakit sekali karena kata-kata itu amat menusuk. Bangsa Han memang amat memandang rendah dirinya setelah menjadi isteri Cimochu, mereka tak tahu betapa semuanya itu dilakukan atas kehendak istana. Bahwa dia harus mengendalikan raja liar itu dan jangan sampai Tiongkok diserang, sudah cukup banyak Tiongkok menghadapi musuh-musuh bangsa liar.

Dan ketika Wan Hoa tertegun dan mengumpat menteri dorna itu maka Cao Cun menyerahkan anaknya agar menemani Ituchi, pergi ke belakang dan di sana wanita cantik ini melampiaskan tangisnya. Sakit yang bertubi-tubi semakin bertambah dengan kekurangajaran anak-anak Han itu, terutama Mao Ping, putera Mao-taijin. Tapi karena anak-anak itu dihasut orang tuanya dan tentu saja Cao Cun tak dapat berbuat apa-apa maka hari-hari berikut dilewatkan wanita ini dengan perasaan tertekan.

Tamu-tamu dari istana sudah pulang kembali dan Ituchi tampaknya biasa-biasa lagi, tak bertanya lagi tentang itu dan lama-lama lenyaplah kedukaan wanita itu tentang satu hal ini. Tapi ketika beberapa tahun kemudian Cimochu meninggal dan kedudukan di ganti oleh Khan atau raja yang lain maka dia mulai mendengar berita tidak enak tentang putranya itu,

"ltuchi keturunan langsung dari raja Hu. Kalau anak itu dibiarkan hidup dan tumbuh dewasa tentu dia akan merebut tahta dan meminta haknya."

"Hm, apa yang harus kita lakukan?"

"Bunuh anak itu, sri baginda. Lenyapkan pohon penghalang sebelum dia besar dan kuat!"

Berita-berita begini membuat Cao Cun panik. Secara selentingan wanita itu mendengar kabar yang mencemaskan ini. Raja baru, Khan yang baru mulai sering melirik anaknya. Cao Cun gelisah dan tidak nyaman. Dan ketika Wan Hoa mendengar berita itu juga dan menyampaikannya dengan hati-hati maka Cao Cun menangis.

"Wao Hoa, hidupku selalu dirundung duka. Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja dan membiarkan aku begini? Apa yang harus kulakukan, Wan Hoa? Kenapa cobaan demi cobaan bertubi-tubi menimpa nasibku?"

"Tenanglah," Wan Hoa gemetar. "Satu-satunya jalan ituchi harus disingkirkan dari sini, Cao Cun. Biarkan dia pergi dan selamat."

“Pergi ke mana? Selamat bagaimana?"

"Aku, hm... aku akan mencari Kim-mou-eng. Aku akan mengantar anakmu pada bangsa Tar-tar. Aku hendak menyerahkan anakmu pada Kim-taihiap! Kau setuju?"

"Kim-mou-eng...?” Cao Cun tertegun. “Kau... kau mau mencari Pendekar Rambut Emas. Wan Hoa? Kau tak jera setelah bertahun-tahun dia tak pernah menemui kita lagi?"

"Hm, aku tak pernah jera, Cao Cun. Kalau Kim-mou-eng tak pernah menjenguk kita tentu karena ada sebabnya. Mungkin masalah anaknya yang diculik itu, atau karena isterinya yang terbunuh."

"Oh, Kim-twako juga bernasib malang!" dan Cao Cun yang tersedu dengan muka bingung ternyata masih menaruh kasihan dan iba terhadap Pendekar Rambut Emas itu, lupa sejenak bahwa dirinya pun menderita sepanjang hidupnya. Bahkan kini putera tunggalnya, karena Ituchi merupakan satu-satunya anak lelaki, siap akan disingkirkan, dibunuh. Dan ketika wanita itu menangis dan Wan Hoa tak sabar tiba-tiba wanita ini bertanya lagi,

"Bagaimana, kau memperbolehkan Ituchi keluar, Cao Cun?"

Cao Cun menghapus air matanya. "Bagaimana menurut pikiranmu?" dia balik bertanya. "Apakah satu-satunya anakku lelaki harus berpisah dari ibunya?"

"Cao Cun." Wan Hoa menasihati. "Apa yang akan terjadi justeru menyangkut masa depan Ituchi. Raja yang sekarang tampaknya tak senang dan khawatir anakmu merebut tahta. Bukankah sebaiknya anakmu disingkirkan dan diselamatkan? Aku cemas akan sikap raja akhir-akhir ini, Cao Cun. Aku khawatir dan gelisah akan hidup anak mu!"

"Benar, aku juga tak tenang. Ah, kau panggillah anakku itu, Wan Hoa. Suruh Ituchi kemari!"

Wan Hoa lenyap memanggil anak laki-laki itu. Ituchi sekarang sudah berumur sepuluh tahun, gagah dan semakin tegap. Matanya bersinar sinar ketika menghadap ibunya. Dan ketika Cao Cun menubruk dan memeluk anaknya itu maka sang ibu menangis tersedu-sedu dan tak dapat menahan kembali cucuran air matanya.

"Eh, ada apa lagi, ibu? Kenapa kau menangis?"

"Ah, hu-huk... kau, ah... kau harus keluar dari tempat ini, Ituchi. Bibimu Wan Hoa akan membawamu ke tempat yang jauh!"

Ituchi terkejut. "Apa?"

"Benar,“ Wan Hoa kini memotong. "Kau harus berpisah sementara dengan ibumu, Ituchi. Aku akan membawamu ke tempat Kim-mou-eng."

"Ada apa? Kenapa?"

Wan Hoa tak dapat menjawab. Dia hendak menyerahkan jawabannya pada Cao Cun, sang ibu. Tapi Cao Cun yang juga tak dapat menjawab dan justeru semakin terguncang guncang mendadak mendekap putranya itu erat-erat.

"Ituchi, kau tak usah bertanya. Pokoknya, ini demi keselamatanmu!"

"Tidak," anak itu melepaskan diri. "Kau tak usah berahasia kepadaku, ibu. Kalau kau tak berterus terang dan jujur kepadaku aku tak mau pergi!"

"Hm." Wan Hoa terkejut, menyadari sulitnya berterus terang. "Kau tak usah membantah ibumu, Ituchi. Pokoknya siapkan pakaianmu dan kita pergi!"

Anak itu mengedikkan kepala. "Apakah bibi pengecut? Mana itu pelajaran-pelajaran dari bibi bahwa orang hidup harus jujur dan berani. Mana itu nasihat bibi bahwa kita harus berterus terang dan tak perlu sembunyi-sembunyi? Kau mengajari aku untuk tidak berbohong, bibi. Tapi sekarang kau menyembunyikan sesuatu dan tidak jujur! Kenapa bibi melakukan ini dan hendak memaksa aku pergi? Apakah takut karena mendengar berita-berita di luaran bahwa aku hendak di bunuh?"

"Ituchi...! Cao Cun terpekik, menjerit mendengar kata-kata anaknya ini. "Apa... apa yang kau omongkan ini?"

"Hm," anak itu berdiri gagah. "Kalau itu yang menjadi maksudmu aku tak mau, ibu. Aku tak mu pergi dan ingin tetap tinggal disini, menemanimu. Aku tak takut dibunuh dan boleh mereka bunuh aku kalau bisa!"

"Ituchi... ooh....!" dan Cao Cun yang mengguguk dan mencengkeram puteranya itu tiba-tiba tersedu kembali dan tak dapat menahan lukanya hati, teriris dan tersedak-sedak dan Wan hoa di situ tertegun. Wanita ini tersentak dan kaget oleh kata-kata anak lelaki ini, kiranya Ituchi sudah tahu namun tak takut atau gentar. Betapa tabahnya anak ini. Betapa beraninya! Dan ketika Wan Hoa tertegun dan menjublak memandang anak laki-laki itu maka Ituchi memeluk ibunya berkata gemetar,

"Ibu, tak perlu kau sembunyi-sembunyi. Aku sudah tahu dan mendengar berita ini. Tapi aku tak takut. Bukankah aku keturunan raja Hu ibu? Bukankah ayahku adalah raja yang gagah dan berani?"

“Kau sudah tahu?" Cao Cun terbelalak.

"Aku sudah tahu semuanya, ibu. Dan aku tahu bahwa mendiang Cimochu adalah kakakku. Dia bukan ayahku. Ayahku adalah raja Hu!" dan Cao Cun yang tersedak dan menangis lagi akhirnya menubruk anaknya itu.

"Ituchi, kau... kau benar. Ahh, kau memang sudah besar...."

"Ibu tak perlu lagi sembunyi-sembunyi, bukan? Nah, katakan pada ku kenapa aku harus meninggalkanmu, ibu. Apakah karena takut mendengar ancaman itu atau karena sebab lain."

"Sebab lain!" Wan Hoa tiba-tiba berseru, mencegat atau mendahului Cao Cun. "kami berdua aku dan ibumu bukan takut karena ini, Ituchi. Melainkan sebab lain di mana aku meminta ibumu agar kau belajar silat, mencari guru pandai!"

"Hm, begitukah?" Wan Hoa cepat mengedip pada Cao Cun. "Tentu saja," Wan Hoa kembali mendahului. "Kau tanya ibumu, Ituchi. Dan ibumu tentu akan menjawab seperti aku. Kau memang keturunan raji Hu yang gagah, yang tak perlu takut pada kematian atau ancaman kematian!"

"Benarkah, ibu?" anak itu menoleh, "Atau ibu akan tidak jujur dan mendustai aku?"

Cao Cun terpukul. Sebenarnya, dalam mengasuh dan membesarkan anaknya ini baik dia maupun Wan Hoa selalu berkali-kali menekankan perihal kejujuran dan keterbukaan itu, Ituchi sudah mereka didik untuk menjadi anak laki-laki yang jujur dan berani. Maklum, bukankah Ituchi adalah keturunan raja Hu? Tapi mendengar anaknya kini "menodong" dia dengan senjata yang sering dia lepaskan sendiri mendadak Cao Cun tertegun dan tak dapat segera menjawab, mendapat kerling kilat dan segera Wan Hoa memberinya tanda untuk tidak ragu. Anak laki-laki ini sudah semakin besar, dia juga semakin cerdas dan pandai. Dan ketika Wan Hoa mengerlingnya lagi dan Cao Cun menelan ludah maka ibu muda ini merangkul anaknya menyembunyikan wajah.

"Ituchi, apa yang dikata bibimu benar, Aku menyuruhmu pergi dari tempat ini bukan karena takut melainkan semata ingin mencarikan guru yang pandai untukmu. Kau sudah mendengar cerita ibu tentang Kim-mou-eng, bukan? Nah, dia ada di utara, anakku. Pergi dan temuilah dia diantar bibimu. Bibi Wan Hoa akan memperkenalkanmu dengan Pendekar Rambut Emas!"

Anak itu girang. "Ibu menyuruhku belajar silat?"

“Untuk kebaikanmu, Ituchi. Demi menjaga dirimu sendiri..."

"Tapi ibu sering berkata bahwa belajar silat adalah pekerjaan orang-orang kasar, tukang pukul dan sebangsanya!"

"Hm, itu untuk mereka yang sombong, Ituchi. Tapi untuk orang macam Pendekar Rambut Emas atau yang lain tentu tidak berlaku. Ilmu silat dipergunakan untuk melindungi yang lemah di samping menjaga diri."

"Baiklah, kapan aku berangkat, ibu?"

“Kau setuju?"

"Tentu saja. Aku selama ini hanya belajar membaca dan menulis, ibu. Aku pingin seperti paman Kim-mou-eng atau pendekar Pendekar yang lain!"

Ini sudah cukup. Bujukan dan sedikit kebohongan itu menyelamatkan Ituchi, Cao Cun lega meskipun diam diam dia malu dan jengah. Untuk pertama kali dia berbohong, demi keselamatan puteranya. Dan ketika malam itu semuanya diatur dan Wan Hoa membawa Ituchi maka anak laki-laki ini meninggalkan ibunya sekaligus meninggalkan suku bangsanya yang dipimpin bukan oleh kerabat dekat sendiri.

"Kau tak perlu pulang, kalau belum sanggup menjaga dirimu sendiri. Nah, jaga dirimu baik-baik, anakku. Doa dan restu ibu selalu menyertaimu."

"Dan jangan lupa sembahyang!" Wan Hoa memperingatkan. "Berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan adalah pekerjaan yang tak boleh di lupakan manusia, Ituchi. Jadilah kau pendekar yang berwatak dan berahlak mulia!"

Ituchi mengangguk. Ibunya melepas dengan derai air mata, betapapun Cao Cun tak sanggup menahan kepedihan itu tanpa air mata. Ituchi ini adalah satu-satunya anak lelaki baginya, anak yang mestinya diharap melindungi dan menjaga ibunya. Anak perempuan tak dapat diandalkan seperti anak laki-laki, begitulah jaman dulu. Dan ketika malam itu Wan Hoa berindap dan menyambar Ituchi maka dua orang ini lenyap keluar kemah.

"Ituchi, tunggu dulu...!"

Seruan itu menghentikan langkah dua orang ini. Wan Hoa tertegun dan mendengar sahabatnya menangis, ditahan-tahan dan tiba-tiba Cao Cun menubruk anaknya itu, menciumnya sebelum anaknya benar-benar menghilang. Dan ketika adegan itu membuat Wan Hoa melengos dan terpaksa membuang muka karena tak tahan maka Cao Cun membalik dan berlari ke kamarnya.

"Pergilah.... pergilah sekarang. Aku sudah puas....!" dan Wan Hoa yang tersedak tak dapat menahan dirinya tiba-tiba menyambar kembali anak itu dan berseru, air mata pun berderai,

"Ituchi, ayo berangkat!" dan begitu anak ini disambar dan ditarik pergi akhirnya Wan Hoa tak membiarkan lagi suasana mengharukan itu. Dapat menyadari betapa beratnya sang ibu ditinggal anak. Wan Hoa sendiri akhirnya terisak dan tersedu-sedu sepanjang jalan. Dan ketika malam itu mereka berangkat tanpa pengantar maka perjalanan yang sulit, yang sudah dapat diduga, merepotkan dan menyukarkan wanita cantik ini.
Wan Hoa, sebagaimana kita kenal adalah sahabat paling setia bagi Cao Cun. Begitu setianya hingga dua sahabat karib ini tak pernah berpisah. Di mana ada Cao Cun pasti di situlah ada Wan Hoa. Hanya disebabkan keadaan yang memaksa yang membuat dua bersahabat itu berpisah, seperti sekarang ini. Dan karena Ituchi sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Wan Hoa dan anak itu tiada bedanya seperti anak kandung bagi Wan Hoa maka siapa yang mengancam anak itu akan dilindungi sekuat tenaga oleh wanita ini. Dan halangan atau ancaman itu ada di depan.

Mula-mula Wan Hoa bertemu penjaga perbatasan. Bibi dan keponakan ini berindap, terpaksa berhenti dan Wan Hoa mendekap mulut Ituchi kuat-kuat. Dia khawatir anak itu berteriak. Tapi ketika Ituchi melepas tangannya dan menyuruh dia tenang maka sang bibi tertegun melihat sikap luar biasa pada diri anak laki-laki ini.

“Bibi tak usah takut. Kalau menghendaki aku tenang tentu aku tak akan berteriak. Lepaskan, aku tak akan menyusahkanmu."

Wan Hoa takjub. Anak ini seperti orang dewasa saja, sikapnya bahkan seperti pemimpin dan teringatlah ia akan raja Hu. Ah, dasar keturunan raja sikap pun jadi seperti raja. Hebat! Dan ketika penjaga berlalu dan Wan Hoa menarik lengannya ternyata anak itu mendahului dan sudah menyeretnya keluar.

"Mari, di sebelah kiri masih ada penjaga lagi. Kita ke kanan!"

Wan Hoa tertegun. Untunglah perbatasan waktu itu bisa dibilang aman, raja yang baru tak memperketat penjagaan dan mereka lolos dengan selamat. Tapi ketika perjalanan mulai menjarah padang ilalang dan Wan Hoa ngeri oleh bayangan rampok atau penyamun maka anak itu menenangkannya dengan kata-kata sejuk.

"Bibi tak usah takut. Kalau ada perampok atau orang yang mengganggu kita aku dapat menghadapi mereka-mereka itu."

"Ah, kau anak kecil, Ituchi. Mana mungkin?"

"Meskipun kecil tapi aku lelaki, bibi. Laki-laki harus melindungi perempuan dan bukan sebaliknya!"

"Ahh, mana bisa..."

“Sst, diam, bibi. Tugasmu hanya mengantar. Kau bukan melindungi atau menjaga aku, tapi mengantar!" Ituchi memotong, membuat Wan Hoa terbelalak dan tiba-tiba merahlah mukanya.

Memang dia dan Cao Cun berkata bahwa dia akan mengantar anak ini, sekarang kata-kata itu diartikan secara "cerdik" oleh Ituchi. Dan ketika wanita itu tak dapat berkata dan sudah ditarik ke depan maka Ituchi bertanya kepadanya di mana arah menuju ke bangsa Tar-tar itu, tempat Kim-mou-eng, ditunjuk dan Ituchi sudah membawanya ke situ. Sekarang berbalik anak ini yang menuntun Wan Hoa, sang bibi benar-benar hanya pengantar dan anak itulah yang berjalan di depan. Dan ketika ilalang demi ilalang mereka lalui dan Wan Hoa bengong serta tertegun melihat sikap anak laki-laki ini mendadak tanpa dapat dicegah lagi beberapa perampok muncul.

“Ha-ha, siapa kalian? Mau ke mana?"

Ituchi terkejut. Otomatis dia berhenti, Wan Hoa pucat dan anak itu maju. Lalu berhadapan tanpa sedikit pun rasa takut anak ini balik bertanya, "Kalian siapa? Kenapa menghadang perjalanan orang? Kami bibi dan keponakan, paman yang baik. Harap kalian minggir dan tidak mengganggu kami!"

"Ha-ha, bibi dan keponakan? Mana pamannya? Heh, kami tak akan minggir kalau belum menerima sesuatu, bocah cilik. Aku Yagu penguasa padang ilalang ini!"

"Kau perampok?"

"Busyet, tutup mulutmu. Aku penarik pajak!"

Ituchi marah. Tiba-tiba dia tahu bahwa orang-orang ini adalah perampok, sikap kasar dan kata-kata mereka membuat dia tahu bahwa inilah bukan orang baik-baik. Tapi Wan Hoa yang maju dan melindungi anak itu dengan gemetar tiba-tiba berseru,

"Yagu, tahan. Jangan ganggu keponakanku. Kalau kalian ingin merampas barang-barang kami silahkan, tapi jangan mengganggu anak in!"

"Ha-ha, siapa dia? Keberaniannya luar biasa, seperti anak raja!"

"Aku Itu...."

"Sst!” Wan Hoa mencegat, menutup kata-kata anak itu, "Tak perlu kau memberitahukan nama, Ituchi. Mereka tak akan memperdulikan kita dan masa bodoh. Biar kulepas gelangku dan jangan ribut!"

Wan Hoa cepat melepas gelangnya, menyerahkan pada kepala rampok itu dan Yagu menerima. Laki-laki bercambang ini tertawa bergelak, gembira sekali. Dan ketika dia mengamat-amati bahwa gelang itu betul emas dan bukan imitasi tiba-tiba kepala rampok ini bersorak tapi sekonyong-konyong membentak,

"Heh, hanya ini saja? Tak ada yang lain? Serahkan yang lain, nyonya manis. Kalau tidak tak boleh kalian pergi!"

“Wutl" Ituchi tiba-tiba menyerang, mengayun tinju. "Kau kembalikan gelang bibi ku, rampok kasar. Atau aku akan berkelahi denganmu sampai mampus!" dan sang anak yang menerjang dan marah membentak rampok itu tiba-tiba sudah memukul dan menendang. lucu dan si kepala rampok tertawa, tentu saja mengelak sana-sini dan anak buahnya terbahak. Ituchi semakin marah dan menyerang kalap. Tapi ketika kepala rampok itu menjengek dan menangkap tangannya tiba-tiba rampok ini membentak dan membanting anak itu,

"Jangan kurang ajar.... brukk!"

Ituchi terbanting, menggeliat namun bangkit lagi menyerang perampok itu. Anak ini tak takut dan kembali lawannya menggeram. Yagu terbelalak melihat kebandelan anak itu. Dan ketika Wan Hoa menjerit dan coba mencegah Ituçhi mendadak anak buah rampok menyergap dan menubruk dirinya.

"Ha-ha, ini makanan nikmat, twako. Kau banting anak itu dan biar bibinya kami tundukkan...!"

Wan Hoa kalang kabut, menjerit dan tiba-tiba mencabut badik, pisau kecil. Lalu sekuat tenaga membabat pisau itu ke sana ke mari akhirnya lawan pun terkejut dan mundur, mendengar makian Wan Hoa dan kepala rampok semakin terbelalak. Anak buahnya mencabut senjata dan mau membunuh Wan Hoa, dibentak dan disuruh mundur dan tiba-tiba kepala rampok itu menangkis pukulan Ituchi. Dan ketika Ituchi terpelanting dan berteriak kesakitan maka rampok ini berkelebat menyambar Wan Hoa.

"Lepaskan pisau itu....!"

Win Hoa memekik. Meskipun tak bisa silat namun tentu saja ia melawan, sebisanya. Pisau menyambut si kepala rampok dengan tikaman ke depan. Tapi karena lawan adalah kepala rampok dan tentu saja wanita ini bukan lawannya maka Yagu menyelinapkan lengannya dan pisau pun di tangkisnya miring.

“Plak!"

Wan Hoa mengeluh, pisau terlempar dan ia pun jatuh terduduk. Tangkisan si kepala rampok membuat wanita ini kesakitan dan Wan Hoa hampir menangis, si kepala rampok menyambar dan tahu-tahu ia pun sudah ditelikung kedua tangannya. Dan ketika kepala Rampok itu tertawa dan anak buahnya bersorak gembira tiba-tiba Ituchi, yang terbanting dan roboh untuk kedua kali tiba-tiba melompat dan menyerang kepala rampok itu, rupanya tak menghiraukan rasa sakit dibanting.

"Lepaskan bibiku....!"

Sang kepala rampok terbelalak. Ia jadi heran dan kagum akan daya tahan anak ini, menendang dan anak laki-laki itu pun mencelat. Memang ituchi bukan tandingan kepala rampok ini. Dan ketika anak itu bangkit lagi dan menerjang marah maka kepala råmpok itu mēnyuruh anak buahnya bergerak dan menangkap bocah itu, keadaan jadi berbalik karena kini si kepala rampok, menawan Wan Hoa, anak itu sudah digebuk dan ditendangi macam-macam.

Ituchi babak-belur namun sedikit pun anak itu tidak mengeluh. Wan Hoa terbelalak dan berteriak-teriak, menangis, memaki dan meronta namun Yagu memperkuat cengkramannya hingga dia tak berdaya. Dan ketika Suara bak bak-buk menghajar anak laki-laki itu dan Ituchi terbanting serta terguling-guling akhirnya anak ini mengerang dan tak dapat bergerak lagi karena keroyokan anak buah perampok itu,

"Keparat kalian. Jahanam! Kalian tak malu mengeroyok seorang anak kecil....!"

"Ha-ha, dia tak akan dihajar kalau tak kurang ajar, nyonya. Sekarang kau diamlah dan lihat anak ini akan kami bunuh!"

"Tidak!” Wan Hoa berteriak. "Jangan bunuh dia, Yagu. Jangan bunuh. Kalian akan berhadapan dengan Khan kalau berani membunuh anak itu!"

Yagu, kepala rampok terkejut. Dia tertegun mendengar kata-kata Wan Hoa ini, terpaksa Wan Hoa memberitahukan siapa anak laki-laki itu dan nama Khan kiranya cukup menggetarkan kepala rampok ini. Yagu tentu saja tak tahu adanya perubahan di suku bangsa liar itu, sebagai orang kasar dia tak tahu jalannya politik. Tak tahu bahwa Khan yang baru justeru menghendaki nyawa anak laki-laki ini dan Wan Hoa memang bersikap untung-untungan. Kalau Yagu tahu tentu celakalah dia, juga Ituchi. Tapi melihat Yagu tertegun dan mundur dengan kaget maka Wan Hoa melihat kesempatan bagus dengan gerak-gerik kepala rampok ini.

"Yagu, dia putera raja Hu. Kalau kau berani mengganggunya tentu seluruh bangsa itu akan mencari dan membunuh mu!"

"Hmm, benarkah?" kepala rampok ini menyeringai, takut juga. "Baiklah, aku percaya padamu nyonya. Dan boleh kalian pergi!"

Yagu tiba-tiba bersuit, memberi tanda pada anak buahnya dan mereka tiba-tiba berlompatan, tak lama kemudian menghilang dan Wan Hoa berlari menghampiri Ituchi. Anak laki-laki ini babak-belur dan Ituchi kembali mengerang. Dan ketika Wan Hoa tersedu-sedu mengusap anak itu dan membersihkan mukanya dari luka atau darah akhirnya wanita ini mengangkat anak itu dan menggendongnya.

"Ituchi, kita selamat. Syukur kau tak diganggunya!"

"Ah, tapi gelangmu diambilnya, bibi. Mereka terkutuk dan keparat!"

"Sudahlah, aku tak apa-apa, Ituchi. Sekarang kita lanjutkan perjalanan dan kau diamlah,"

Wan Hoa bercucuran air mata, menggendong anak itu dan dengan tertatih-tatih dia membawa pergi anak ini jauh dari tempat celaka itu. Dalam keadaan begitu tiba-tiba Wan Hoa menginginkan kuda, kalau ada kuda tentu mereka dapat lebih cepat dan ringan. Sayang, pelarian yang dilakukan malam malam itu memang tak memungkinkan mereka membawa kuda, bisa ketahuan jejak mereka nanti. Dan ketika hari itu dengan letih dan haus wanita ini membawa keponakannya maka Ituchi menahan tangisnya melihat kasih dan setia bibinya itu.

"Bibi, turunkan aku. Aku dapat berjalan sendiri."

Wan Hoa tertegun. "Kau tak bohong? Bukankah kakimu masih sakit?"

"Aku... aku dapat berjalan, bibi Coba turunkan dan lihat!" Ituchi memaksa, akhirnya meloncat turun dan dengan menahan sakit dia coba menapakkan kaki. Anak ini hampir menjerit namun menggigit bibir kuat kuat. Dan ketika dengan memaksa dia menggerakkan kakinya dan tersenyum dapat berjalan juga akhirnya dia berkata, tentu saja menahan nyeri di tumit yang menggigit,

"Lihat, aku dapat berjalan, bibi. Tak usah kau khawatir... ayo!"

Ituchi yang bersikap gagah melambaikan lengan pada bibinya akhirnya membuat Wan Hoa tertegun tapi girang, tak tahu Ituchi harus mengeraskan hati kuat-kuat kalau tak mau mengaduh. Sebenarnya kaki anak itu terkilir. Dan ketika Wan Hoa girang menyambar anak itu dan dengan terseok tapi pasti mereka meninggalkan tempat itu akhirnya wanita ini tak merasa kelelahan diri sendiri, berkali-kali Ituchi menahan sakit dan dua tiga kali kembali mereka bertemu pengganggu di tengah jalan. Wan Hoa mempergunakan nama Khan untuk menggertak orang-orang itu. Dan ketika seminggu kemudian perjalanan yang susah payah ini berhasil mereka lewatkan dan sudah hampir mendekati tempat yang dituju mendadak aum seekor harimau mengagetkan mereka.

“Ah, celaka....!" kali ini Wan Hoa merasa lemas, melihat seekor harimau menyambar di depan mereka dan Ituchi serta bibinya hampir mati kaku.

Sekarang pakaian mereka robek-robek dan Ituchi sendiri maupun Wan Hoa tampaknya seperti dua orang jembel. Hanya wajah dan sinar di wajah mereka saja yang menunjukkan dua orang ini bukanlah orang biasa, prana atau cahaya yang memancar di wajah Ituchi masih tetap mengesankan anak itu sebagai anak yang agung, anak seorang raja. Dan ketika harimau itu berbalik dan menggeram di depan mereka maka seekor raja hutan yang buas siap menerkam, harimau yang sedang kelaparan!

"Ituchi, bersembunyi di belakangku!"

"Tidak, kau yang di belakang, bibi. Kau hanya pengantar dan akulah yang bertanggung jawab!"

Ituchi masih gagah, tiba-tiba mencabut badik bibinya dan dengan pisau ini anak laki-laki itu mengamang-amangkan di depan si raja hutan. Sebenarnya Ituchi ngeri juga, hanya didorong keadaan yang memaksa dan membuat dia harus bertindak sesuatu maka bocah ini timbul keberaniannya. Tapi ketika dia menggertak dan harimau itu malah mengaum tiba-tiba si raja hutan menubruk dan menyerang anak itu.

"Ituchi, awas....!”

Ituchi berkelit. Dan cepat dia mengelak, pengalaman di dalam perjalanan mulai membuat anak ini gagah, tangkas. Namun karena si raja hutan masih lebih cepat dan baru pertama itu la berhadapan dengan hewan yang begini buas tiba-tiba Ituchi kesambar pundaknya dan baju yang sudah compang camping pun memberebet.

"Brett!"

Wan Hoa menjerit seolah hilang akal. Ituchi berteriak melempar tubuh bergulingan, mendorong bibinya dan Wan Hoa pun terbanting. Sungguh mendebarkan melihat dua manusia yang tergolong lemah ini, juga mengharukan. Dan ketika Ituchi melompat bangun dan melihat harimau menyerang kembali maka anak itu menggerakkan pisaunya dan coba melawan, berkelit dan menusuk dan terjadilah perkelahian tidak seimbang di situ, Ituchi bocah sepuluh tahunan ini coba menghadapi lawannya yang jauh lebih besar, juga lebih kuat.

Dan ketika beberapa tusukan gagal dan Ituchi mendapat cakaran atau gigitan maka Wan Hoa seolah pingsan melihat semuanya itu, menjerit-jerit dan mengambil batu atau apa saja, bahkan menerjang tapi ditampar kuku harimau yang tajam. Dan ketika Win Hoa terlempar dan menangis sambil menjerit jerit maka ituchi di sana bertarung mati hidup, sang raja hutan rupanya tahu bahwa anak ini adalah makanan empuk baginya. Ituchi sering terbanting bertemu cakaran lawan yang kuat, akhirnya tak tahan juga anak itu dan mulailah Ituchi mengeluh, berteriak menyuruh bibinya melarikan diri dan membiarkan dia diserang.

Sungguh gagah anak ini, dia hendak menyelamatkan Wan Hoa sementara menerima cakaran dan gigitan. Dan ketika keadaan semakin berbahaya dan Wan Hoa juga baru terlempar oleh tubrukan harimau itu maka pisau di tangan Ituchi mencelat ketika mental bertemu batok kepala yang keras. Sang harimau mengaum dan habislah riwayat anak laki-laki itu, Ituchi berdarah sekujur tubuhnya oleh gigitan atau cakaran si raja hutan, inilah maut yang mencekam jiwa anak itu. Tapi ketika Ituchi terbanting dan sang harimau menubruk tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan yang membentak harimau itu, sebuah bayangan dan laki-laki berpakaian hitam yang gagah tiba tiba muncul di situ.

“Binatang terkutuk, robohlah....!"

Ituchi tak tahu apa yang terjadi. Harimau tiba-tiba mengeluarkan aum panjang, berdebuk dan jatuh di dekatnya dengan kepala pecah. Semua berlangsung cepat dan Ituchi di sana mengeluh, pusing dan masih tak dapat segera bangun namun Wan Hoa yang melihat laki-laki gagah itu dan terbelalak tapi girang bukan main tiba-tiba menubruk dan menangis di kaki penolongnya ini.

"Oh, terima kasih, inkong (tuan penolong), terima kasih... kau telah menyelamatkan anakku!" dan bangkit lagi berlari menghampiri Ituchi Wan Hoa menubruk dan memeluk anak laki-laki ini. "Kau tak apa-apa? Kau luka? Ah, tubuhmu penuh darah, Ituchi. Mari kubersihkan dan lihat tuan penolong kita....!"

Wan Hoa merobek üjung bajunya sendiri, membersihkan darah dan kotoran dan segera menggigil menciumi anak itu. Maut yang hampir menyergap Ituchi membuat Wan Hoa sendiri seakan terbang nyawanya. Dan ketika semuanya selesai dan Ituchi bangun terhuyung maka Wan Hoa mengajak anak itu berlutut di depan sang penolong.

"Inkong, terima kasih. Kau telah menyelamatkan mutiara satu-satunya yang kumiliki!"

“Bangunlah," laki-laki itu, yang sejak tadi bersinar-sinar memandang Ituchi mengangkat bangun wanita ini. "Kalian siapa dan mau ke mana? Bagaimana berjalan sendirian di tempat begini?"

"Aku.... aku Wan Hoa, inkong. Ini puteraku Ituchi....!"

"Mau ke mana? Kenapa tidak ada laki-laki mengawal kalian?"

"Kami mau mencari Kim-mou-eng, ke bangsa Tar-tar itu."

"Kim-mou-eng? Astaga! Apakah kalian sahabatnya?"

Wan Hoa mengangguk. Akhirnya dia berterus terang dan menceritakan pada penolongnya itu bahwa Kim-mou-eng memang sahabatnya, tak menyembunyikan diri karena Wan Hoa dapat melihat bahwa penolongnya ini orang yang dapat di percaya, lelaki baik-baik. Dan ketika dia menceritakan maksudnya bahwa dia hendak menyerahkan Ituchi untuk menjadi murid Pendekar Rambut Emas itu maka Wan Hoa balik bertanya siapakah tuan penolongnya ini.

"Aku Hek-eng Taihiap (Pendekar Garuda Hitam)." laki-laki itu agak terbelalak. "Dan kebetulan Kim-mao-eng adalah juga sahabatku!"

"Ah, kalau begitu kebetulan, taihiap. Aku merasa gembira dan senang mendengar ini!"

"Dan, hmm.... puteramu ini. Benarkah dia puteramu? Kenapa dia menyebutmu bibi?"

Kiranya tadi dalam percakapan Ituchi memang memanggil bibi pada bibinya itu, didengar dan Hek-eng Taihiap bingung. Tapi ketika Wan Hoa mengangguk dan tersenyum memandang keponakannya wanita ini menjawab, "Benar, dia... dia anak kandung dari saudaraku sendiri, taihiap. Aku memang bukan ibunya tapi aku menganggapnya sebagai anak sendiri."

"Dan namanya berbau asing, sedang kau jelas wanita Han. Siapalah sebenarnya anak ini?"

"Aku Ituchi, paman. Anak ibuku bernama Cao Cun!"

"Cao Cun? Eh, kalau begitu... hei..!" Hek-eng Taihiap tiba-tiba berseru. Kau anak raja Hu? Ibumu adalah calon selir kaisar yang tidak jadi itu?"

"Benar," kini Wan Hoa menjawab, tentu saja ltuchi tak akan tahu sejauh itu. "Itulah ibu anak ini, taihiap. Dan kalau begitu kau tentu tahu bahwa ibu anak inilah yang sebenarnya menjadi sahabat Kim-taihiap (Pendekar Rambut Emas)!"

"Ah-ah...!" Hek-eng Taihiap bengong. "Tentu saja aku tahu, Wan Hoa. Pantas saja kalau begitu!"

"Pantas apa?"

Anak ini, kegagahannya! Dia benar-benar mengagumkan dan pantas sebagai putera raja Hu!" lalu bersinar-sinar memandang anak itu Hek-eng Taihiap bertanya, "Ituchi, kenapa kau tidak dikawal pengawalmu? Mergapa harus sendirian bersama bibimu?"

Wan Ho tiba-tiba terisak. "Dia... dia diancam akan dibunuh, taihiap. Khan yang baru tak menyukai kehadiran anak ini. Tapi kami mencari Kim-mou-eng bukan karena takut, melainkan semata ingin memberikan bekal kepandaian kepada anak ini!" Wan Hoa ingat, tak boleh menyimpang dan segera Hek-eng Taihiap itu tertegun. Wan Hoa memberi sekilas isyarat rahasia agar dia tidak banyak bertanya, tentu saja pendekar ini tertarik. Tapi sebelum dia bertanya lebih jauh tiba-tiba Wan Hoa sudah menyambar keponakannya dan mau pergi, sekali lagi mengucap terima kasih.

"Inkong, terima kasih. Sekali lagi budimu tak dapat kubalas. Perkenankan kami pergi dan biar nanti kuceritakan pada Kim-taihiap!"

Lalu berlutut dan bangkit berdiri Wan Hoa sudah memutar tubuhnya dan bergegas meninggalkan pendekar itu, takut ditanya lebih jauh tentang Ituchi dan tentu saja dia bisa bingung menjawabnya. Anak itu sejak tadi memandangnya dan mengerutkan kening, Ituchi sekarang lebih cerdas dan pandai, segala apa bisa ditanyakan anak itu kalau sesuatu mencurigakannya. Dan begitu Wan Hoa mengajak pergi anak laki-laki ini dan Hek-eng Taihiap tertegun akhirnya bibi dan keponakan itu lenyap di sana.

Wan Hoa sudah tak ingin banyak bicara lagi. Kemah bangsa Tar-tar sudah mulai terlihat kaki bergerak lebih cepat lagi dan kegirangan melanda wanita ini. Tak aneh, dia ingin segera bertemu Kim-mou-eng dan menyerahkan anak laki laki itu, tugasnya akan selesai. Tapi ketika Wan Hoa tiba di tempat bangsa Tar-tar itu dan bertemu penjaga mendadak perasaannya terguncang.

"Kim-taihiap tak pernah pulang. Sejak kematian istrinya dan hilangnya Dailiong pemimpin kami belum pernah kembali. Ada apakah kau mencari Kim-taihiap?"

Wan Hoa tiba-tiba menangis. "Eh, kenapa menangis?"

"Ah," Wan Hoa tersedu-sedu. "Siapa tak menangis kalau hati terasa kecewa? Jauh-jauh aku datang mengantar anak ini, twako. Dan ternyata Kim-taihiap tak ada! Apa yang harus kulakukan?"

"Siapa dia?"

Wan Hoa tak menjawab. Tiba-tiba dia menubruk dan mendekap Ituchi, mengguguk dan, menciumi anak itu penuh sesal. Perjuangannya sia-sia dàn Ituchi semenjak tadi hanya memandang saja. Tapi ketika sang bibi mengguguk dan menangis tersedu-sedu tiba-tiba anak ini melepaskan diri dan tertawa berkata, aneh sekali,

"Bibi, untuk apa menangis? Kalau Kim-taihiap belum datang biarlah kita tunggu, atau kita pulang dan cari dia."

"Apa?" Wan Hoa terbelalak. "Pulang?"

"Hm, kalau tak mau kita dapat mencari Kim-mo-eng, bibi. Atau tinggal dulu di sini menanti kedatangannya."

"Kau enak sekali! Kau tenang sekali! Kau kira apa tempat ini Ituchi? Ini bukan kampung halaman kita, ini rumah orang! Kalau kita di sini dan menjadi beban tentu orang-orang ini tak suka. Tidak, kita tak dapat tinggal di sini, Ituchi. Kita harus kembali dan cari Kim-mou-eng. Kita pergi!"

"Hm, siapa kalian sebenarnya?"

"Eh!" seorang pemuda tiba-tiba muncul. Bukankah kau Wan Hoa? Eh, ini orang yang dulu pernah ke sini, Kwa-ko Dia Wan Hoa sahabat Cao Cun, isteri raja Hu!”

Wan Hoa terkejut. Cepat dia menoleh dan melihat seorang pemuda tegap bermata tajam muncul di situ, mengeluarkan senyum aneh dan Wan Hoa berdetak. Dia lupa- lupa ingat. Namun ketika pemuda itu tiba di situ dan memperkenalkan diri maka Wan Hoa segera berdesir.

"Aku Daikim, yang dulu pernah mengantarmu sampai di perbatasan. Ingat?"

“Ah, Daikim-ko kiranya. Benar, aku ingat, Daikim. Kau.... kau benar. Aku Wan Hoa!"

"Ha-ha, ada apa kemari?"

"Dia mencari Kim taihiap!" Kwa-kö temannya menjawab. "Katanya mau mengantar anak ini, Daikin. Tapi entah apa maksudnya aku tak tahu!"

Daikim, pemuda Tar-tar itu memandang ituchi. Anak laki-laki ini sejak tadi memandanginya juga. Entah kenapa Ituchi tak senang melihat mata Daikim yang sering menyambar ke arah bibinya itu, ada kesan nakal dan liar. Anak sekecil itu sudah dapat merasakan getaran tak baik yang memancar dari mata Daikim. Namun ketika Daikim tersenyum dan memegang lengan anak itu tiba-tiba dia bertanya,

"Kau putera raja Hu?"

Ituchi menarik lengannya. "Benar," anak ini berkata angkuh. "Ada apa kau memegang-megang aku?"

"Ituchi," Wan Hoa kaget, menegur. "Jangan kasar terhadap tuan rumah. Hayo minta maaf dan mundur!"

"Ha ha," Daikin tertawa. "Tak apa, Wan Hoa... tak apa. Tapi kini aku tahu, kalian pergi secara diam-diam, bukan? Kalian menjauhi Khan yang baru?"

"Daikim!" Wan Hoa kaget. "Apa maksudmu?"

“Hm." pemuda itu menyeringai. "Aku mendengar apa yang terjadi, Wan Hoa, Bahwa anak ini, ha-ha.... tak disukai Khan!" lalu tak menghiraukan keterkejutan Wan Hoa pemuda itu pura-pura memandang temannya, "Kwa-ko, biar tamu Kita menginap di sini. Kalau Kim-taihiap datang kita serahkan padanya. Kau pergilah!"

Kwa-ko, laki-laki itu mengangguk. Dia pergi dan kini tinggallah Wan Hoa bersama pemuda itu, Daikim tersenyum dan mengeluarkan sinar aneh, cahaya matanya berputar dan Wan Hoa sudah tak enak. Tapi sopan membungkukkan tubuhnya pemuda ini berkata,

"Wan Hoa, marilah. Kau boleh tinggal di tengah-tengah bangsa ini dan kalau mau menginap di kemahku. Aku akan melindungimu dan jangan khawatir akan anak ini."

"Tidak," Wan Hoa berdetak. "Kalau Kim-taihiap tak ada biarlah kami pergi, Daikim. Kami tak enak mengganggumu dan biar kami datang lain kali saja!"

"Aha, kau takut?"

"Apa maksudmu?" Wan Hoa membentak "Jangan kau kurang ajar, Daikim. Kalau kuberitahukan Kim-mou-eng nanti tentu dirimu celaka!"

"Ha-ha, Kim-taihiap tak ada di sini, Wan Hoa. Kalau kau mau melapor laporlah, aku tidak takut. Tapi anak ini tentu celaka!" dan maju dengan sikap mengancam pemuda ini berkata, perlahan, ”Wan Hoa, aku tahu dan mendengar apa yang terjadi di kemah bangsamu. Tak usah mungkir, kau tentu menyelamatkan anak ini dari ancaman Khan yang baru dan ingin berlindung di balik Kim-taihiap. Kalau aku menangkap dan menyerahkan anak ini kepada Khan di sana tentu besar upahku, Wan Hoa. Dan kalian berdua bisa tak berkutik, ha-ha...!"

Pemuda itu menyambar, menangkap Wan Hoa dan Wan Hoa menjerit. Dulu Daikim ini pernah mengganggunya di perbatasan, pemuda itu mengincar dan mau kurang ajar. Tapi karena Kim-mou-eng ada di situ dan pengaruh Pendekar Rambut Emas itu menggetarkan pemuda ini maka waktu itu Darkim tak berani terlalu jauh dan mundur. Waktu itu Wan Hoa mencari Kim-mou eng untuk urusan Cao Cun, pulang dan kejadian ini tak diingatnya lagi. Tak tahunya dia bertemu lagi dengan pemuda yang tampaknya menaksir itu.

Daikim mau kurang ajar dan pemuda ini pun mengetahui tepat perihal Ituchi. Tentu pemuda itu tahu dari berita di luaran. Tapi ketika si pemuda menyambar lengannya dan mau kurang ajar tiba-tiba Wan Hoa menjerit dan mengelak, ditubruk lagi dan ltuchi di sana tiba-tiba membentak. Anak ini menerjang menolong bibinya. Dan karena Daikim terpecah dan jengkel serta marah tiba-tiba dia membalik menghadapi anak laki-laki ini.

“Jangan kurang ajar terhadap bibi....!"

Daikim menjengek. Setelah berbulan-bulan Kim-mou-eng tak datang di tempat sukunya lagi pemuda ini tak merasa takut, melihat Wan Hoa datang dan nafsunya bangkit. Memang dulu dia hampir mendapatkan wanita ini, tak jadi karena adanya Kim-mou-eng. Tapi begitu Pendekar Rambut Emas tak pernah pulang dan Daikim menduga barangkali pendekar itu tewas maka dia bermaksud mengganggu Wan Hoa lagi namun Ituchi menyerang, tentu saja menjengek karena anak ini bukan lawannya. Dan ketika anak itu menubruk dan dia terpaksa melepas Wan Hoa maka tangan bergerak dan terjangan anak itu pun disambutnya.

"Enyah kau....plakk!"

Ituchi terbanting, memekik dan Wan Hoa di sana ganti menjerit. Wanita ini mengambil potongan kayu dan menerjang lawannya. Ituchi bangkit dan menyerang lagi. Dan ketika dua orang itu membentak dan memaki-makinya kalang-kabut maka Daikim tertawa mencabut golok.

"Crak-blukk..!" kayu di tangan Wan Hoa terbabat, potongannya mengenai kepala Ituchi dan anak itu mengeluh. Ituchi terlempar dan memegangi kepalanya, tak dapat bangun. Dan ketika Wan Hoa berteriak dan tertegun di tempat tahu tahu dengan mudah pemuda ini sudah menyambar korbannya dan mengancam,

"Wan Hoa, tak usah melawan atau kau kubunuh!"

Namun Ituchi yang melompat bangun dan berseru keras tiba-tiba menerjang dan memaki pemuda itu. "Daikim, lepaskan bibiku!" dan Daikim yang terkejut dan cepat mengelak tiba-tiba menggerakkan kaki menendang anak itu.

"Bluk!" Ituchi terbanting, roboh lagi dan Daikim tertawa, sedikit lengah melepas Wan Hoa dan wanita itu tiba-tiba berontak, melepas tendangan dan ganti lawannya terpekik. Tumit Wan Hoa telak sekali bersarang di perut pemuda ini. Dan ketika Daikim memekik dan terguling memegangi perutnya yang sakit tiba-tiba Wan Hoa menyambar keponakannya dan memutar tubuh.

"Lari...!" Namun, ke mana mereka lari? Daikim yang kuat ternyata hanya sebentar saja mengeluh, pemuda ini meloncat bangun dan sudah membentak. Dan ketika lawan melarikan diri dan Daikim berseru keras maka pemuda ini membentak menyambar di depan keduanya, menangkap Ituchi.

"Berhenti!"

Ituchi kaget. Daikim menariknya lepas dari tangan sang bibi, terbetot dan Wan Hoa pun terpekik. Dan ketika dia membalik dan memaki-maki pemuda itu maka Daikim tertawa menempelkan golok di leher Ituchi.

"Wan Hoa, diam di tempatmu. Atau anak ini kubunuh!"

"Tidak... jangan...!" Wan Hoa menangis. "Lepaskan dia, Daikim. Lepaskan...!"

Namun Ituchi yang meronta dan menendang. Lawannya tiba-tiba berteriak menyuruh bibinya lari, kena selangkangan dan Daikim mengaduh. Ituchi menendangnya begitu rupa hingga hampir saja Daikim "kecil"-nya kena, tentu saja pemuda itu marah. Dan ketika Ituchi berontak dan lepas dari cengkeramnya maka anak ini sudah menubruk dan menyerang lawan.

"Bak-bik-buk!" Daikim sudah dihajar, memaki dan tentu saja pemuda sekuat ini tak apa-apa. Daikim menggeram dan tiba-tiba ganti menubruk. Dan ketika Wan Hoa menjerit dan memperingatkan keponakannya maka Ituchi tertangkap dan dibanting.

"Brukk!"

Daikim tertawa bergelak. Ituchi mengaduh dan kelengar, bocah itu kesakitan oleh bantingan ini. Dan ketika dia tak dapat bangun karena meringkuk seperti anjing digebuk tuannya maka Daikim menyambar dan dengan kejam membacok pundak anak itu.

"Kau anjing cilik keparat... bret!" pundak anak itu terluka, Daikim mau membacok lagi namun Wan Hoa menjerit histeris. Wanita ini menubruk kalap, Daikim diterjangnya dan pemuda itu pun roboh. Dan ketika mereka bergulingan bersama dan Wan Hoa menggigit dan mencakar maka Daikim kalang-kabut dicaci wanita ini.

"Kau yang keparat, Daikim. Kau pemuda terkutuk!"

“Aduh, ah... lepaskan!" Daikim akhirnya menampar, mengutuk dan menghantam perut lawannya hingga gigitan Wan Hoa lepas. Lalu sebelum wanita itu melompat bangun memberikan perlawanan lagi Daikim sudah menangkap dan menindihi tubuhnya.

"Wan Hoa, sekali kau melawan anak itu ku bunuh. Sekarang menyerahlah dan dengar baik-baik apa permintaanku!"

"Apa yang kau minta?" Wan Höa menggigil. "Kau jahanam keparat, Daikim. Kau akan kulaporkan pada Kim-mou-eng kalau dia datang!"

"Ha-ha, Kim-mou-eng sudah mampus, Wan Hoa. Kenapa kau berteriak-teriak menyebut namanya? Bangsa ini sudah tak dipimpinnya lagi Pendekar Rambut Emas itu telah menyusul isterinya ke alam baka!"

"Apa? Kau...."

"Kau kira bohong?" Daikim tertawa bergerak. "Kau boleh tidak mempercayai keteranganku, Wan Hoa. Tapi kalau Kim-mou-eng masih hidup tentu aku tak berani bertindak begini kepadamu. Ha-ha....!" dan Daikim yang menelikung dan mempererat cengkeramannya tiba-tiba berbisik, melihat Ituchi terhuyung berdiri. "Wan Hoa, suruh anak itu mundur. Atau dia kubacok dan kau akan melihat mayatnya!"

"Tidak... jangan..." Wan Hoa menggigil, ngeri. "Jangan kau ganggu dia, Daikim. Bebaskan dan lepaskan anak itu....!"

"Tapi dia kemari," Daikin melotot. "Apakah kau tak mau menyuruhnya berhenti? Cepat suruh dia berhenti, Wan Hoa. Atau kubacok mampus dan jangan kau salahkan aku!"

Daikim kiranya ngeri, melihat anak ini seperti hantu dari balik kubur dan Ituchi mendelik padanya. Anak itu terhuyung-huyung maju menghampiri, tak kenal takut dan rupanya tahan banting. Daikim ngeri menghadapi anak macam begini. Ituchi seperti bocah tak takut mati saja. Atau, barangkali, anak itu sudah mati dan kini sukmanya yang menghampiri. Tiga kali dibanting tiga kali pula bangkit berdiri. Sungguh seperti bukan anak manusia! Tapi Wan Hoa yang terbelalak dan mengeluh melihat anak itu tiba-tiba mengusir.

"Ituchi, pergi. Selamatkan dirimu...!"

“Nguk!" suara ini seperti kera marah. Aku tak mau pergi, bibi. Aku akan menolongmu dan mencekik musuhku ini!"

"Tidak... tidak...! Wan Hoa gelisah. "Daikim tak akan membunuhku, Ituchi. Pergi dan percayalah bibimu...!"

"Tapi dia menangkapmu. Dia menindihmu!"

Wan Hoa hampir kehilangan akal. Saat itu Daikim di atas tubuhnya sudah siap meloncat ke depan, laki-laki itu menggigil dan marah, juga ngeri. Dalam keadaan seperti itu Ituchi seperti iblis cilik, dia akan menerkam mangsanya dan menghisap darah laki-laki ini. Namun Wan Hoa yang cepat menggoyang lengan dan membentak sekuat tenaga tiba tiba berteriak,

"Ituchi, kalau kau maju biar bibimu mati di hadapanmu. Apakah kau ingin bibimu mati? Sebelum kau dibunuhnya bibimu akan dibunuh dulu, Ituchi. Lihat golok itu dan berhenti!"

Ituchi berhenti, tertegun.

"Ha ha," kini Daikim gembira. "Kau mundur, anak baik. Atau bibimu ini benar-benar kubunuh dan kau menyusul!"

"Pergilah... mundurlah...!" Wan Hoa serak suaranya. "Kau biarkan bibimu di sini, ituchi. Dengar dan ikuti baik-baik perintah bibimu. Kau jangan maju dan mundur!"

Ituchi akhirnya mundur. Daikim tertawa bergelak dan lega, dia memerintahkan Wan Hoa agar anak itu berbalik, semakin menjauh lagi. Dan ketika anak itu menurut namun ragu tiba-tiba Daikim melompat dan membawa wanita ini ke semak semak.

"Wan Hoa, kalau kau tak ingin keponakanmu kuserahkan pada Khan turutilah permintaan ku. Aku... aku ingin kau layani!"

Wan Hoa terbelalak.

"Ha-ha," Daikim tertawa aneh, mencium. "Kau tentu tak menolak, bukan? Lepas pakaianmu, Wan Hoa. Dan berikan apa yang kuminta!"

Wan Hoa merasa bumi berputar. Di sana Ituchi mengeluh aneh, anak itu membalik namun disuruh berputar lagi. Daikim mendengus-dengus menggerayangi tubuh korbannya, Wan Hoa bingung dan takut, juga marah. Tapi ketika Daikim mengancam bahwa dia akan menangkap dan membawa anak itu ke Khan yang baru kalau dia tidak mau menurut maka apa boleh buat terpaksa Wan Hoa menuruti, membiarkan muka diciumi dan tiba-tiba Daikim telah melepas semua pakaiannya. Dengan buas dan kasar pemuda Tar tar ini mencopot bajunya sendiri. Tapi ketika setengah jalan dan siap "main" tiba-tiba Ituchi berlari dan menubruk semak-semak belukar itu.

"Daikim, kau anjing hina!"

Daikim, pemuda Tar-tar ini kaget. Saat itu tubuhnya setengah telanjang, dia kedodoran dan anak laki-laki itu menerjang. Tapi membentak dan meloncat marah tiba-tiba dia membalik dan menyambut anak itu, dengan gagang golok di deраn. "Bocah anjing, kaulah yang hina... dukk!"

Gagang golok menghantam tengkuk anak laki-laki ini, Ituchi menjerit dan roboh pingsan. Seketika dia ambruk. Dan ketika Wan Hoa menjerit dan melompat setengah telanjang pula maka Daikim yang marah dan geram menempelkan mata goloknya ke leher anak itu.

"Wan Hoa, kalau kau tak menyerah anak ini kubunuh. Sialan keponakanmu itu!"

Wan Hoa menggigil, tak dapat bicara. "Ayo, lepas pakaianmu. Ke semak-semak itu!"

Akhirnya Wan Hoa dapat bicara juga. "Daikim, kau... kau berjanji tak akan membunuh anak ini? Kau berjanji membebaskannya?"

"Tentu, asal kau menyambut cintaku, Wan Hoa. Lepas dan copot pakaian mu itu!"

Wan Hoa tak berkutik. Demi keselamatan Ituchi terpaksa dia melakukan perintah Daikim ini, satu demi satu pakaian itu dilepas. Tapi ketika pakaian terakhir hampir dilolos dan Daikim terbelalak dengan mata menggilar melihat tubuh yang aduhai itu mendadak sebuah bayangan berkelebat dan membentak pemuda Tar-tar itu.

"Daikim, kau pemuda hina...!"

Daikim mencelat. Sebuah tendangan mengenai dirinya, pemuda ini menjerit dan terguling-guling. Dan ketika dia bangun berdiri dan meringis kesakitan maka seorang laki-laki gagah berdiri disitu.

"Hek-eng Taihiap...!"

Daikim kaget. Wan Hoa memanggil pendekar itu dan lari menubruk, sisa pakaiannya dikenakan lagi dan mengguguklah wanita malang itu. Tapi Hek-eng Taihiap yang mendorong dan memandang Daikim membentak berseru marah,

"Daikim, kau pemuda tak tahu malu. Kalau Kim-taihiap ada di sini tentu hancur tulang-tulangmu. Hm, aku mewakilinya, pemuda tak tahu malu. Mintalah ampun dan bertobat... wut plak-plak!"

Hek-eng Taihiap berkelebat, menampar dan menendang dan segera pemuda Tar-tar itu memekik. Dia jatuh bangun dihajar Pendekar Garuda Hitam ini, Daikim mengenal dan segera mukanya pucat. Dan ketika dia menjadi bulan-bulanan pukulan Hek-eng Taihiap dan pemuda itu menjerit-jerit minta ampun tiba-tiba Wan Hoa menyambar golok yang terjatuh dan menusuk lawannya ini.

"Augh!" Jerit itu mengejutkan Hek-eng Taihiap. Wan Hoa menusuk lawannya dengan beringas, Daikim terjungkal dan darah memuncrat. Dan begitu pemuda itu roboh dan darah memuncrat dari luka di perut tiba-tiba Wan Hoa semakin haus darah dan menusuk serta menikami lagi, tujuh delapan kali dan tak ayal Daikim mengeluh panjang pendek. Hajaran Hek-eng Taihiap telah membuatnya tak berdaya lagi, tusukan atau tikaman Wan Hoa tak dapat dikelitnya. Dan ketika Wan Hoa beringas dan menusuk dadanya maka robohlah pemuda ini dengan erangan pendek.

"Crep!" Golok itu bergoyang sejenak di dada pemuda ini. Daikim terkapar, seketika tewas dan terbang nyawanya. Dan ketika Wan Hoa terhuyung melepaskan golok itu tiba-tiba Kwa-ko, laki-laki penjaga muncul di situ, melihat kejadiannya.

"Heii...!" laki-laki ini terkejut. "Kau membunuh Daikim? Celaka, kita diserang iblis perempuan, kawan-kawan. Keluar dan lihatlah. Tolong...!"

Pekik atau seruan Kwa-ko menggemparkan bangsa Tar-tar. Semuanya berlarian dan ributlah tempat itu, Kwa-ko menubruk dan menyerang Wan Hoa. Tapi karena Hek-eng Taihiap ada di situ dan tentu saja pendekar ini tak membiarkan Wan Hoa dicelakai maka Hek-eng Taihiap sudah mendorong laki-laki Tar-tar ini, menendang dan seketika Kwa-ko mencelat. Laki-laki itu menjerit dan roboh berdebuk, kawan-kawannya datang dengan teriakan marah. Dan karena keadaan lebih gawat dan bukan maksud Hek-eng Taihiap untuk memusuhi bangsa itu maka Pendekar Garuda Hitam ini menyambar Wan Hoa dan Ituchi ditangkapnya.

"Kita pergi...!" dan begitu pendekar itu mengerahkan kepandaian berkelebat lenyap tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur memasuki hutan, mendengar teriakan-teriakan di belakang tapi tentu saja bangsa Tar-tar itu bukan lawannya. Pendekar ini telah menyelamatkan Wan Hoa dan Ituchi. Dan ketika mereka tiba di tempat aman dan Hek-eng Taihiap meletakkan Ituchi maka pendekar ini melepas Wan Hoa yang sejak tadi menangis di atas pundaknya.

"Diamlah, tenanglah. Aku akan menolong anak ini."

"Tidak.... tidak matikah dia? Masih hidupkah?"

"Tenang, kau tak usah gelisah, Wan Hoa. Ituchi rupanya hanya pingsan saja dan tidak apa-apa. Mundurlah."

Wan Hoa mundur. Dia terisak dan memandang pendekar itu, melihat Hek-eng Taihiap mengurut dan memijat sana sini, menotok. Dan ketika tak lama kemudian terdengar keluhan Ituchi dan Wan Hoa girang maka anak itu membuka mata dan yang ditanya terutama adalah bibinya itu.

"Bibi, di mana kau...?"

"Ooh!" Wan Hoa menubruk, tersedu-sedu. "Aku di sini, Ituchi. Lihatlah, ini bibimu!"

Anak itu bangun. "Dan mana Daikim? Mana jahanam itu?" matanya meliar, tertegun bertemu Hek-eng Taihiap dan pendekar ini tersenyum. Ituchi tampaknya terkejut juga melihat pendekar itu.

Namun Wan Hoa yang memeluk serta menangis di depannya memberi tahu, "Daikim kubunuh, Ituchi. Jahanam itu tewas. Hek-eng Taihiap inilah yang menolong kita!"

"Ooh...!" dan Ituchi yang bangkit serta berlutut di depan pendekar itu tiba-tiba berseru, "Paman, terima kasih. Kau telah menyelamatkan bibi!"

"Tidak, aku yang berterima kasih karena Hek-eng Taihiap menyelamatkanmu, Ituchi. Bukan kau yang berterima kasih karena aku selamat. Ayo, ucapkan terima kasih bahwa Hek-eng Taihiap telah menyelamatkanmu!"

Hek-eng Taihiap tertawa. Kalau dua orang ini saling berterima kasih untuk yang lain maka dapat dilihat betapa masing-masing amat mencinta kawannya, tak memperdulikan diri sendiri dan tentu saja pendekar ini tiba-tiba terharu. Cinta Wan Hoa kepada Ituchi maupun cinta anak itu terhadap bibinya sama besar, tak tahan pendekar ini untuk menyambar anak itu. Dan ketika Ituchi di peluk dan diciumnya maka pendekar ini berkata terharu, agak serak,

"Ituchi, kau anak baik. Sudahlah, tak perlu berterima kasih karena apa yang kulakukan adalah sudah merupakan kewajibanku. Kalian bibi dan anak sama-sama baik, aku akan melindungi kalian dan sejak ini biarlah aku mengawal kalian!"

Wan Hoa terkejut.

"Ada apakah?"

"Ti... tidak. Tapi, ah.... apakah taihiap tak punya urusan?" Wan Hoa bingung, tak tahan beradu pandang dengan pendekar ini dan tatapan Hek-eng Taihiap membuat dia tergetar. Dua kali pendekar itu menolongnya, dua kali mereka selamat. Dan ketika Wan Hoa menunduk dan Hek-eng Taihiap tersenyum maka pendekar ini berkata dengan lembut,

"Aku tak mempunyai urusan, Wan Hoa. Kalau kalian tak keberatan tentu saja aku bersama kalian, menemani. Tapi kalau kau atau Ituchi tak suka tentu saja aku tak memaksa dan akan pergi."

"Ah, tidak!" Wan Hoa menggeleng. "Aku, eh... kami tentu senang kalau kau mau menemani, taihiap. Hanya kami khawatir akan merepotkanmu saja!"

"Benar, aku suka kau temani, paman. Dan kalau boleh sekalian belajar ilmu silatmu itu!"

"Ituchı..."

"Ha ha!" Hek-eng-taihiap tertawa bergelak, memotong seruan Wan Hoa. "Kalau kau mau belajar sedikit-sedikit ilmuku tentu saja boleh, ituchi. Hanya kau ketahui saja bahwa kepandaianku masih kalah dengan Kim-mou-eng. Bukankah kau mau mencari Pendekar Rambut Emas itu?"

Ituchi tertegun, memandang bibinya. Tapi melihat bibinya terbelalak dan tampaknya bingung tiba-tiba anak ini berseri-seri. "Paman," katanya, "kalau Kim-mou-eng tak dapat kami temukan biarlah kau saja penggantinya. Bukankah kau pendekar baik-baik? Aku suka padamu, paman. Dua kali kau menyelamatkan aku dan bibi. Kalau kau suka biarlah aku belajar padamu dan ikut!"

"Hm, bagaimana bibimu?"

“Aku... aku..." Wan Hoa gagap. "Terserah kau, taihiap. Kalau Ituchi dan kau sama-sama suka biarlah kau pengganti Kim-mou-eng. Aku dapat menceritakan pada ibu anak ini tentang kalian!!”

"Tidak," Hek-eng Taihiap tersenyum. Karena kalian ingin mencari Kim-mou-eng biarlah kuantar, Wan Hoa. Kalau sebulan tak ketemu biarlah kuterima maksud itu. Terus terang, hm... aku suka anak ini. Dia penuh keberanian dan gagah, sayang barangkali agaknya aku kurang berharga sebagai gurunya!"

"Kenapa paman bilang begitu?" Ituchi girang. “Kepandaianmu tinggi, paman. Justeru barangkali aku yang kurang berharga menjadi muridmu!"

"Ha ha, tidak, Ituchi. Justeru sebaliknya, Kau yang harus mendapatkan guru yang pandai dan biarlah sementara ini aku mengajari mu dasar dasar ilmu silat" dan Hek-eng Taihiap yang girang melihat watak anak itu lalu menyambar dan melempar-lemparnya ke udara, lima enam kali dan Ituchi pun tidak takut. Anak ini memang berani dan tak kenal takut, sesungguhnya bangga Pendekar Garuda Hitam itu mendapat anak macam ini. Sayang dia merasa terlalu rendah. Dan ketika anak itu diturunkan kembali dan Ituchi tertawa maka pendekar ini mengajak semuanya berangkat.

"Ayo kita sekarang mencari Kim-mou-eng. Kalau ketemu baik, tidak ketemu pun tak mengapa...!" dan mengajak keduanya meninggalkan tempat itu akhirnya Pendekar Garuda Hitam ini berjalan mengawal Ituchi dan bibinya, ditanya apakah Kim-mou-eng masih hidup atau tewas, Wan Hoa teringat kata-kata Daikim. Tapi tersenyum menjawab pendek pendekar itu berkata bahwa Kim-mou-eng masih hidup.

"Tak usah dipercaya orang macam Daikim itu. Dia pembohong dan pendusta!"

Wan Hoa lega. Berjalan bersama pendekar ini mendadak dia merasa terlindung, aman dan bahagia. Eh! Wan Hoa tiba tiba terkejut sendiri. Kenapa bahagia? Ada apa dengan perasaannya itu? Dan ketika dia mengerling dan tanpa sengaja dikerling pula tiba-tiba Wan Hoa semburat dan melengos, mulai sering "lirik-lirikan" dan baik Hek-eng Taihiap atau pun wanita ini menyeling pembicaraan mereka dengan pandang mata lembut, mesra dan hangat. Dan ketika perjalanan dilakukan dari hari ke hari dan pendekar itu mulai menurunkan dasar-dasar ilmu silat kepada Ituchi maka seminggu kemudian, dalam perjalanan yang hangat dan mesra ini mendadak keduanya merasa saling jatuh cinta!

Aneh, Hek-eng Taihiap, pria di atas tiga puluh lima tahun itu sering memperhatikan Wan Hoa. Dan karena selama ini dia masih lajang dan kebetulan Wan Hoa juga masih sendiri maka di minggu kedua, di mana mereka sering sambar menyambar memberikan pandangan lembut akhirnya pendekar itu menyatakan cintanya, tentu saja panas dingin karena sama-sama merasa jatuh cinta untuk pertama kali. Lucu.

Waktu itu mereka bertiga beristirahat. Ituchi lelah, anak ini tidur dan Wan Hoa memberikan selimutnya. Dalam perjalanan Hek-eng Taihiap telah mencukupi keperluan dua orang ini dengan makan minum dan pakaian. Wan Hoa benar-benar merasa berhutang budi sekali. Dan ketika dua orang itu duduk sendiri dan canggung serta malu-malu, hal yang akhir-akhir ini sering terjadi, tiba,tiba Pendekar Garuda Hitam itu beringsut, mendadak memegang lengan Wan Hoa, menggigil.

"Wan Hoa, bolehkah aku bicara sesuatu?"

Wan Hoa terkejut. Saat itu dia menjahit baju yang sobek, mengangkat mukanya dan tiba-tiba merah padam. Pandang mata dan sikap Hek-eng Taihiap yang mesra serta lembut membuat dia menunduk, tak tahan. Dan ketika dia bertanya apa yang hendak dikatakan pendekar itu dan membiarkan tangannya digenggam gadis ini tampak tak berhasil menguasai suaranya yang gemetar pula. "Taihiap mau bicara apa?"

"Ah," Hek-eng Taihiap mendekat. "Buang sebutan taihiap itu, Wan hoa. Bukankah berkali-kali kularang kau menyebutku taihiap. Panggil saja aku Siok-twako, atau Beng-twako (kakak Beng). Kau tahu namaku adalah Siok Gwan Beng Dan, hm.... aku mau bicara tentang kita, tentang kau dan aku...."

Wan Hoa mengangkat mukanya. Saat itu Hek-eng Taihiap melirih suaranya, serak dan menggigil. Dan ketika dia memandang dan beradu pandang di udara tiba-tiba dia terkejut melihat pendekar itu menitikkan air matanya, "Eh, taihiap kena apa?"

Gwan Beng, Pendekar Garuda hitan ini cepat menghapus air matanya. "Aku... aku tak apa-apa, Wan Hoa. Hanya sedikit terguncang dan gugup. Aku... aku mau menyatakan cinta!"

Wan Hoa tersentak. Mukanya tiba-tiba seperti kepiting direbus, merah sampai ke telinga. Tapi mendengar suara yang lantang seperti panglima mau perang tiba-tiba Wan Hoa tak dapat menahan geli dan tertawa.

"Eh, kenapa kau tertawa?"

"Hi-hik, aku.... ah, aku geli, taihiap. Kau lucu!"

"Hmm....!" Hek-eng Taihiap tiba-tiba terpukul, malu. "Aku... aku serius, Wan Hoa. Aku benar-benar menyatakan cintaku!"

Wan Hoa memandang, Hek-eng Taihiap membalas. Dan ketika dua mata itu beradu sama-sama tajam di udara tiba-tiba Wan Hoa menunduk dan terisak, tak menjawab kecuali memainkan jari-jarinya di atas baju sendiri. Hek-eng Taihiap penasaran dan memegang jari-jari yang lembut itu, tangan yang menggigil. Dan ketika pendekar itu bertanya bagaimana jawaban Wan Hoa tiba-tiba Wan Hoa menangis dan berseru,

"Taihiap, perlukah kujawab lagi? Tidakkah kau tahu bahwa aku... aku, ah...!" dan Wan Hoa yang menubruk, serta mendekap pendekar itu tiba-tiba mengguguk, dan tersedu-sedu. Aneh sekali.

Hek-eng Taihiap menjadi bingung. Dia tak tahu apa artinya ini, wanita dianggapnya menyimpan banyak misteri. Namun mendorong dan mengangkat wajah itu dia coba bertanya, “Wan Hoa, kau menerima cintaku?"

Wan Hoa tak kuat menahan. "Perlukah ku jelaskan, taihiap?"

"Ya, aku ingin tahu jawabanmu, Wan Hoa Aku perlu kepastian!"

"Kalau begitu kau... kau bodoh!" dan Wan Hoa yang menangis lagi di pelukan pendekar ini akhirnya membuat Hek-eng Taihiap bingung dan ragu-ragu.

Sebagai lelaki yang jarang bergauI dengan wanita memang dia canggung dan kikuk sekali. Lihat pernyataan cintanya tadi, lantang seperti perajurit maju perang. Namun karena dia pun memiliki naluri dan naluri laki-laki ini menyatakan gadis itu menerima cintanya tiba-tiba, untuk membuktikan kebenarannya Hek eng Taibiap menunduk dan mencium.

"Baiklah, kalau begitu biarlah kubuktikan, Wan Hoa. Aku... maaf, aku menciummu!" dan nekat mencium bibir itu tiba-tiba Hek eng Taihiap menghisap dan memejamkan mata. Apa yang dilakukan ini dilakukannya sepenuh keberanian. Lucu melihat perbuatan pria di atas tiga puluhan itu, dia layaknya perjaka yang baru mengenal wanita. Mulut mencium asal mencium, tentu saja, Wan Hoa tersedak, terbatuk-batuk.

Dan ketika Wan Hoa melepaskan diri dan geli namun juga terharu tiba-tiba wanita ini tersenyum dan tertawa, aneh sekali, tertawa di saat air mata masih basah. "Taihiap, kau lucu. Canggung sekali, ah, kau pria serba kikuk!" dan Wan Hoa yang bangkit melempar pandangan mesra tiba-tiba berlari dan tertawa meninggalkan pendekar itu, membuat Hek-eng Taihiap tertegun namun girang. Mukanya merah, Wan Hoa tidak marah. Dan karena Wan Hoa membiarkan dia mencium dan wanita itu melempar pandangan mesra tiba-tiba pendekar ini bangkit meloncat tertawa mengejar.

“Hoa-moi (dinda Hoa), tunggu...!”

Wan Hoa tertangkap. Hek-eng Taihiap menyambar dan menubruknya, mereka terguling dan segera tertawa-tawa. Dan ketika mereka bergulingan dan berpelukan sambil tertawa-tawa maka Hek-eng Taihiap mendaratkan lagi ciumannya ke wajah wanita ini, disambut dan segera Pendekar Garuda Hitam itu melayang ke surga. Kini yakinlah dia bahwa cintanya bersambut, sang pujaan menerima dan bukan main girangnya hati. Dan ketika mereka berciuman dan Hek-eng Taihiap tidak canggung atau kaku lagi maka gerakan pendekar ini lebih berani lagi dan segera Wan Hoa mengeluh atau menggelinjang, jari-jari sang kekasih menyelinap ke sana-sini. Hek-eng Taihiap hampir lupa daratan karena ia baru pertama itu dia dibuat mabok. Tapi ketika sang pendekar hendak bertindak jauh dan Wan Hoa mendorong tiba-tiba wanita ini berbisik,

"Beng-ko, di sini ada Ituchi. Sst, jangan...!"

"Ah, maaf, moi-moi. Aku lupa," Hek-eng Taihiap sadar, mencium kekasihnya dengan lembut dan tentu saja dia mengurungkan niatnya itu. Di situ memang ada Ituchi, mereka harus hati-hati. Dan ketika keduanya sadar dan Hek-eng Taihiap mengangguk maka pendekar itu meraih dan memeluk kekasihnya, membisikkan kata-kata cinta dan Wan Hoa terharu.

Lelaki ini dapat menahan diri, dia bahagia. Dan karena keduanya memang saling jatuh cinta dan kehangatan serta kemesraan itu ditunjukkan kian menjadi suka sebentar kemudian mereka sudah intim dan akrab, tawa dan senyum silih berganti. Ah, orang bercinta memang nikmat. Begitu nikmatnya hingga sekeliling pun bisa terlupa. Dan ketika hari demi hari dilewati lagi dengan indah dan burung serta lain-lain berkicau gembira maka sebulan kemudian lewat dengan cepat dan tibalah hari keputusan itu.

"Kim,mou-eng tak kita ketemukan. Bagaimana sekarang?"

"Ituchi ikut denganmu, Beng-ko. Dan aku...." Wan Hoa tiba-tiba sedih, terisak. "...pulang!”

"Hm," pendekar ini mencekal lengan kekasihnya. "Bagaimana kalau kau ikut aku, Hoa-moi? Kita membangun saja keluarga bahagia, kau dan ituchi tak berpisah!"

"Tidak, bagaimana dengan Cao Cun? Aku tak dapat meninggalkan sahabatku itu lama-lama, Beng-ko. Dia tiada ubahnya saudaraku sendiri!"

Hek-eng Taihiap tertegun. Dia melihat cinta luar biasa kekasihnya ini terhadap Cao Cun. Ah, betapa agung dan hebatnya cinta Wan Hoa itu, sedikitpun Wan Hoa tak dapat melupakan sahabatnya. Agaknya, Hek,eng Taihiap cemas, Wan Hoa sanggup meninggalkan dirinya demi Cao Cun. Persahabatan di antara dua orang itu sedemikian luar biasanya hingga tak seorang pun mampu meninggalkan yang lain. Wan Hoa tiada ubahnya Cao Cun sementara Cao Cun sendiri tiada ubahnya Wan Hoa. Dua orang ini satu jiwa dua raga. Wan Hoa sanggup mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan Cao Cun. Dan karena pendekar itu mulai tergetar dan was was akan sikap Wan Hoa maka benar saja kekasihnya itu berkata, tersendat,

"Beng-ko, sekarang waktu sebulan itu habis. Aku harus kembali, menemani Cao Cun. Kau pergi dan bawalah Ituchi. Kalau kau rindu datanglah sewaktu-waktu ke sana."

"Hm," Hek-eng Taihiap merasa dinomor duakan. "Apakah kau tak dapat menuruti nasihatku, Hoa-moi? Apakah kita tak melanjutkan hubungan ini sampai rumah tangga?"

Wan Hoa menangis. "Aku tentu tak akan mengecewakanmu, Beng-ko. Tapi aku juga tak dapat berpisah dengan sahabatku. Cao Cun sendiri di sana, dia tak ada siapa siapa. Bagaimana kalau Khan yang baru mengancam dan mencelakai dirinya? Tidak, aku tak dapat meninggikan sahabatku. Beng-ko. Kau maafkanlah aku dan biar aku pulang!"

"Gila," pendekar ini terkejut. "Kau mengorbankan cinta kita, Hoa-moi. Kau lebih memberatkan Cao Cun daripada aku!"

Wan Hoa tiba-tiba tersentak, membuka matanya lebar-lebar. "Beng-ko, sebagai seorang pendekar tentu kau tak boleh egois. Tak dapat kusangkal bahwa aku dapat mengorbankan segala-galanya demi Cao Cun. Kami senasib dan sependeritaan sejak masih remaja, Beng-ko. Apa yang kualami bersamanya sudah seraga mendarah daging. Kami satu meskipun dua. Kau tak boleh begitu kalau melihat cinta kami, justeru kau harus bijaksana dan menolong Cao Cun pula kalau tak ingin hatiku mendua!"

"Hm." pendekar ini terpukul. "Baiklah, bagaimana kalau begitu maumu?"

"Aku harus kembali. Beng-ko, menengok dan menemani sahabatku itu."

"Dan Ituchi?"

"Ikut denganmu. Kau gembleng dia, kau latih dia ilmu ilmu silat seperti janjimu sendiri. Kalau sudah, kau datanglah ke tempat kami dan jemput aku. Ituchi tentu sudah dapat menjaga ibunya."

Hek-eng Taihiap tertegun. Tiba-tiba dia melihat betapa mulia dan agungnya kekasihnya ini, Wan Hoa siap berkorban sampai Ituchi pandai, artinya sampai pemuda itu dapat menjaga ibunya sendiri kalau Wan Hoa sudah menjadi isterinya. Kata-kata Wan Hoa bahwa dia disuruh datang dan menjemput wanita itu jelas mengandung arti yang gamblang. Hek-eng Taihiap tiba-tiba terharu. Dan karena dia merasa betapa dia hampir terjerat keakuannya dan untung sang kekasih menyadarkan tiba-tiba pendekar itu memeluk dan mencium Wan Hoa, terharu dan gemetar.

"Baiklah, aku mengikuti kata-katamu, Wan Hoa. Tapi kau tak boleh pulang sendiri. Aku mengantarmu, dan setelah itu Ituchi ikut denganku"

Wao Hoa terisak. "Kau tidak marah, Beng-ko?"

"Ah, mendapatkan kekasih seagung dan semulia dirimu bagaimana aku marah, moi-moi? Tidak, justeru aku terharu dan bangga melihat persahabatanmu yang begitu suci dan tulus terhadap Cao Cun, moi-moi. Semoga aku dapat mengikuti jejakmu dan rela berkorban untuk orang yang di sayang!"

Wan Hoa menangis. Tiba-tiba dia tahu bahwa kekasihnya ini berkorban pula demi dia, Hek-eng Taihiap menahan diri dan tidak memaksa, Betapa berbudi dan bijaksananya pula kekasihnya ini. Dan ketika dia dipeluk dan Wan Hoa mengangkat wajahnya tiba-tiba wanita itu mencium dan mendahului. "Beng-ko, maaf...!"

Hek-eng Taihiap serasa terbang. Baru kali ini Wan Hoa menciumnya lebih dulu, biasanya dia yang memulai dan Wan Hoa menerima. Tapi begitu menyambut dan balas mencium tiba-tiba keduanya melekat dan seolah tak mau berpisah lagi. Wan Hoa menumpahkan semua sesal dan cintanya kepada pendekar itu. Dia tahu bahwa mereka segera harus berpisah, Ituchi tak dapat dibawa ke tempat bangsa liar itu karena Khan yang baru akan mengancam.

Satu satunya jalan memang anak itu harus disingkirkan dan sudah tepat kalau mendapat pendekar ini, karena Kim-mou-eng tak mereka ketemukan. Dan ketika pertemuan itu diakhiri dengan ciuman ciuman mesra dan keduanya saling menumpahkan sayang dan cinta maka hari itu Ituchi disuruh menunggu karena pendekar ini akan mengantar Wan Hoa sampai di tempatnya sendiri. Tapi, ketika di perbatasan tiba-tiba Wan Hoa merandek.

"Beng.ko," wanita itu tiba-tiba berkata. "Bagaimana kalau Cao Cun kubujuk agar meninggalkan tempat itu dan bersama kita? Kita dapat segera hidup sebagai suami isteri, Beng-ko. Aku tak perlu menyiksamu lagi dan Cao Cun pun aman...!"

Sepasang Cermin Naga Jilid 10

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 10
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“ITUCHI, kau benar. Ibu sekarang diam dan jangan tinggalkan ibumu. Kau tak akan ke mana-mana bukan?"

"Tentu saja, tapi kau jangan selalu sedih, ibu. Aku tertusuk dan ikut berduka. Diamlah dan mari kita main-main."

Cao Cun tersenyum. Kalau puteranya sudah bicara seperti itu maka dia akan terhibur, Ituchi akan mengambil mainannya dan mulai mengajak dia bermain. Dan karena hidup di lingkungan serba cukup maka puteranya ini memiliki bermacam-macam mainan menarik, mulai dari kuda batu sampai harimau terbuat dari pualam. Dan ketika dia mulai melayani puteranya bermain-main maka Wan Hoa, sahabatnya muncul, melihat bekas tangis di pipi Cao Cun itu.

"Eh, kau nakal kepada ibumu, Ituchi?”

Sang anak tertegun. "Bibi, aku hanya bertanya pada ibu tentang siapakah sebenarnya ayahku, tiba-tiba ibu menangis. Salahkah aku?"

Wan Hoa terkejut, mengerling Cao Cun. "Untuk apa bertanya itu?" tanyanya kaget. "Ayahmu adalah Cimochu itu, Ituchi. Pemimpin dan raja bangsa ini!"

"Tidak," anak itu menggeleng. "Anak-anak Han mengatakan Cimochu adalah anak ibu, bibi. Katanya ibu dikawin anaknya sendiri dan mau!"

"Tutup mulut mu!" Wan Hoa membentak, kaget sekali. "Kau tak perlu mempercayai omongan itu. Ituchi Kau bergaul dengan anak-anak liar!"

"Kalau begitu," anak ini berani. Kenapa bibi tidak menghajar anak-anak itu? Mereka yang mengatakan, bibi, dan jangan kau marah-marah kepadaku!"

"Sudahlah," Cao Cun tiba-tiba menangis lagi. "Ituchi harus kita awasi secara ketat, Wan Hoa. Dia bergaul dengan anak-anak buruk dan tak sopan. Anak-anak menteri itu sungguh kurang ajar dan tak tahu diri."

"Siapa mereka itu?"

"Mao Ping, anak Mao-taijin!"

Wan Hoa tersentak. Jawaban Ituchi ini membuat dia teringat pada menteri yang jahat itu, menteri tamak dan sesungguhnya menteri itulah yang mencelakakan nasibnya dan Cao Cun, membuang mereka dari istana dan kini hidup di tengah-tengah suku bangsa liar. Tapi Cao Cun yarg tersedu dan menyambar lengannya berkata,

"Wan Hoa, sudahlah. Jangan remas-remas perasaanku lagi dengan semuanya ini. Ituchi hanya ikut ikutan, jangan salahkan dia!" dan mencium serta memeluk puteranya dengan air mata bercucuran Cao Cun menyuruh anaknya itu tak bicara lagi tentang itu. Bahwa hatinya terasa sakit sekali karena kata-kata itu amat menusuk. Bangsa Han memang amat memandang rendah dirinya setelah menjadi isteri Cimochu, mereka tak tahu betapa semuanya itu dilakukan atas kehendak istana. Bahwa dia harus mengendalikan raja liar itu dan jangan sampai Tiongkok diserang, sudah cukup banyak Tiongkok menghadapi musuh-musuh bangsa liar.

Dan ketika Wan Hoa tertegun dan mengumpat menteri dorna itu maka Cao Cun menyerahkan anaknya agar menemani Ituchi, pergi ke belakang dan di sana wanita cantik ini melampiaskan tangisnya. Sakit yang bertubi-tubi semakin bertambah dengan kekurangajaran anak-anak Han itu, terutama Mao Ping, putera Mao-taijin. Tapi karena anak-anak itu dihasut orang tuanya dan tentu saja Cao Cun tak dapat berbuat apa-apa maka hari-hari berikut dilewatkan wanita ini dengan perasaan tertekan.

Tamu-tamu dari istana sudah pulang kembali dan Ituchi tampaknya biasa-biasa lagi, tak bertanya lagi tentang itu dan lama-lama lenyaplah kedukaan wanita itu tentang satu hal ini. Tapi ketika beberapa tahun kemudian Cimochu meninggal dan kedudukan di ganti oleh Khan atau raja yang lain maka dia mulai mendengar berita tidak enak tentang putranya itu,

"ltuchi keturunan langsung dari raja Hu. Kalau anak itu dibiarkan hidup dan tumbuh dewasa tentu dia akan merebut tahta dan meminta haknya."

"Hm, apa yang harus kita lakukan?"

"Bunuh anak itu, sri baginda. Lenyapkan pohon penghalang sebelum dia besar dan kuat!"

Berita-berita begini membuat Cao Cun panik. Secara selentingan wanita itu mendengar kabar yang mencemaskan ini. Raja baru, Khan yang baru mulai sering melirik anaknya. Cao Cun gelisah dan tidak nyaman. Dan ketika Wan Hoa mendengar berita itu juga dan menyampaikannya dengan hati-hati maka Cao Cun menangis.

"Wao Hoa, hidupku selalu dirundung duka. Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja dan membiarkan aku begini? Apa yang harus kulakukan, Wan Hoa? Kenapa cobaan demi cobaan bertubi-tubi menimpa nasibku?"

"Tenanglah," Wan Hoa gemetar. "Satu-satunya jalan ituchi harus disingkirkan dari sini, Cao Cun. Biarkan dia pergi dan selamat."

“Pergi ke mana? Selamat bagaimana?"

"Aku, hm... aku akan mencari Kim-mou-eng. Aku akan mengantar anakmu pada bangsa Tar-tar. Aku hendak menyerahkan anakmu pada Kim-taihiap! Kau setuju?"

"Kim-mou-eng...?” Cao Cun tertegun. “Kau... kau mau mencari Pendekar Rambut Emas. Wan Hoa? Kau tak jera setelah bertahun-tahun dia tak pernah menemui kita lagi?"

"Hm, aku tak pernah jera, Cao Cun. Kalau Kim-mou-eng tak pernah menjenguk kita tentu karena ada sebabnya. Mungkin masalah anaknya yang diculik itu, atau karena isterinya yang terbunuh."

"Oh, Kim-twako juga bernasib malang!" dan Cao Cun yang tersedu dengan muka bingung ternyata masih menaruh kasihan dan iba terhadap Pendekar Rambut Emas itu, lupa sejenak bahwa dirinya pun menderita sepanjang hidupnya. Bahkan kini putera tunggalnya, karena Ituchi merupakan satu-satunya anak lelaki, siap akan disingkirkan, dibunuh. Dan ketika wanita itu menangis dan Wan Hoa tak sabar tiba-tiba wanita ini bertanya lagi,

"Bagaimana, kau memperbolehkan Ituchi keluar, Cao Cun?"

Cao Cun menghapus air matanya. "Bagaimana menurut pikiranmu?" dia balik bertanya. "Apakah satu-satunya anakku lelaki harus berpisah dari ibunya?"

"Cao Cun." Wan Hoa menasihati. "Apa yang akan terjadi justeru menyangkut masa depan Ituchi. Raja yang sekarang tampaknya tak senang dan khawatir anakmu merebut tahta. Bukankah sebaiknya anakmu disingkirkan dan diselamatkan? Aku cemas akan sikap raja akhir-akhir ini, Cao Cun. Aku khawatir dan gelisah akan hidup anak mu!"

"Benar, aku juga tak tenang. Ah, kau panggillah anakku itu, Wan Hoa. Suruh Ituchi kemari!"

Wan Hoa lenyap memanggil anak laki-laki itu. Ituchi sekarang sudah berumur sepuluh tahun, gagah dan semakin tegap. Matanya bersinar sinar ketika menghadap ibunya. Dan ketika Cao Cun menubruk dan memeluk anaknya itu maka sang ibu menangis tersedu-sedu dan tak dapat menahan kembali cucuran air matanya.

"Eh, ada apa lagi, ibu? Kenapa kau menangis?"

"Ah, hu-huk... kau, ah... kau harus keluar dari tempat ini, Ituchi. Bibimu Wan Hoa akan membawamu ke tempat yang jauh!"

Ituchi terkejut. "Apa?"

"Benar,“ Wan Hoa kini memotong. "Kau harus berpisah sementara dengan ibumu, Ituchi. Aku akan membawamu ke tempat Kim-mou-eng."

"Ada apa? Kenapa?"

Wan Hoa tak dapat menjawab. Dia hendak menyerahkan jawabannya pada Cao Cun, sang ibu. Tapi Cao Cun yang juga tak dapat menjawab dan justeru semakin terguncang guncang mendadak mendekap putranya itu erat-erat.

"Ituchi, kau tak usah bertanya. Pokoknya, ini demi keselamatanmu!"

"Tidak," anak itu melepaskan diri. "Kau tak usah berahasia kepadaku, ibu. Kalau kau tak berterus terang dan jujur kepadaku aku tak mau pergi!"

"Hm." Wan Hoa terkejut, menyadari sulitnya berterus terang. "Kau tak usah membantah ibumu, Ituchi. Pokoknya siapkan pakaianmu dan kita pergi!"

Anak itu mengedikkan kepala. "Apakah bibi pengecut? Mana itu pelajaran-pelajaran dari bibi bahwa orang hidup harus jujur dan berani. Mana itu nasihat bibi bahwa kita harus berterus terang dan tak perlu sembunyi-sembunyi? Kau mengajari aku untuk tidak berbohong, bibi. Tapi sekarang kau menyembunyikan sesuatu dan tidak jujur! Kenapa bibi melakukan ini dan hendak memaksa aku pergi? Apakah takut karena mendengar berita-berita di luaran bahwa aku hendak di bunuh?"

"Ituchi...! Cao Cun terpekik, menjerit mendengar kata-kata anaknya ini. "Apa... apa yang kau omongkan ini?"

"Hm," anak itu berdiri gagah. "Kalau itu yang menjadi maksudmu aku tak mau, ibu. Aku tak mu pergi dan ingin tetap tinggal disini, menemanimu. Aku tak takut dibunuh dan boleh mereka bunuh aku kalau bisa!"

"Ituchi... ooh....!" dan Cao Cun yang mengguguk dan mencengkeram puteranya itu tiba-tiba tersedu kembali dan tak dapat menahan lukanya hati, teriris dan tersedak-sedak dan Wan hoa di situ tertegun. Wanita ini tersentak dan kaget oleh kata-kata anak lelaki ini, kiranya Ituchi sudah tahu namun tak takut atau gentar. Betapa tabahnya anak ini. Betapa beraninya! Dan ketika Wan Hoa tertegun dan menjublak memandang anak laki-laki itu maka Ituchi memeluk ibunya berkata gemetar,

"Ibu, tak perlu kau sembunyi-sembunyi. Aku sudah tahu dan mendengar berita ini. Tapi aku tak takut. Bukankah aku keturunan raja Hu ibu? Bukankah ayahku adalah raja yang gagah dan berani?"

“Kau sudah tahu?" Cao Cun terbelalak.

"Aku sudah tahu semuanya, ibu. Dan aku tahu bahwa mendiang Cimochu adalah kakakku. Dia bukan ayahku. Ayahku adalah raja Hu!" dan Cao Cun yang tersedak dan menangis lagi akhirnya menubruk anaknya itu.

"Ituchi, kau... kau benar. Ahh, kau memang sudah besar...."

"Ibu tak perlu lagi sembunyi-sembunyi, bukan? Nah, katakan pada ku kenapa aku harus meninggalkanmu, ibu. Apakah karena takut mendengar ancaman itu atau karena sebab lain."

"Sebab lain!" Wan Hoa tiba-tiba berseru, mencegat atau mendahului Cao Cun. "kami berdua aku dan ibumu bukan takut karena ini, Ituchi. Melainkan sebab lain di mana aku meminta ibumu agar kau belajar silat, mencari guru pandai!"

"Hm, begitukah?" Wan Hoa cepat mengedip pada Cao Cun. "Tentu saja," Wan Hoa kembali mendahului. "Kau tanya ibumu, Ituchi. Dan ibumu tentu akan menjawab seperti aku. Kau memang keturunan raji Hu yang gagah, yang tak perlu takut pada kematian atau ancaman kematian!"

"Benarkah, ibu?" anak itu menoleh, "Atau ibu akan tidak jujur dan mendustai aku?"

Cao Cun terpukul. Sebenarnya, dalam mengasuh dan membesarkan anaknya ini baik dia maupun Wan Hoa selalu berkali-kali menekankan perihal kejujuran dan keterbukaan itu, Ituchi sudah mereka didik untuk menjadi anak laki-laki yang jujur dan berani. Maklum, bukankah Ituchi adalah keturunan raja Hu? Tapi mendengar anaknya kini "menodong" dia dengan senjata yang sering dia lepaskan sendiri mendadak Cao Cun tertegun dan tak dapat segera menjawab, mendapat kerling kilat dan segera Wan Hoa memberinya tanda untuk tidak ragu. Anak laki-laki ini sudah semakin besar, dia juga semakin cerdas dan pandai. Dan ketika Wan Hoa mengerlingnya lagi dan Cao Cun menelan ludah maka ibu muda ini merangkul anaknya menyembunyikan wajah.

"Ituchi, apa yang dikata bibimu benar, Aku menyuruhmu pergi dari tempat ini bukan karena takut melainkan semata ingin mencarikan guru yang pandai untukmu. Kau sudah mendengar cerita ibu tentang Kim-mou-eng, bukan? Nah, dia ada di utara, anakku. Pergi dan temuilah dia diantar bibimu. Bibi Wan Hoa akan memperkenalkanmu dengan Pendekar Rambut Emas!"

Anak itu girang. "Ibu menyuruhku belajar silat?"

“Untuk kebaikanmu, Ituchi. Demi menjaga dirimu sendiri..."

"Tapi ibu sering berkata bahwa belajar silat adalah pekerjaan orang-orang kasar, tukang pukul dan sebangsanya!"

"Hm, itu untuk mereka yang sombong, Ituchi. Tapi untuk orang macam Pendekar Rambut Emas atau yang lain tentu tidak berlaku. Ilmu silat dipergunakan untuk melindungi yang lemah di samping menjaga diri."

"Baiklah, kapan aku berangkat, ibu?"

“Kau setuju?"

"Tentu saja. Aku selama ini hanya belajar membaca dan menulis, ibu. Aku pingin seperti paman Kim-mou-eng atau pendekar Pendekar yang lain!"

Ini sudah cukup. Bujukan dan sedikit kebohongan itu menyelamatkan Ituchi, Cao Cun lega meskipun diam diam dia malu dan jengah. Untuk pertama kali dia berbohong, demi keselamatan puteranya. Dan ketika malam itu semuanya diatur dan Wan Hoa membawa Ituchi maka anak laki-laki ini meninggalkan ibunya sekaligus meninggalkan suku bangsanya yang dipimpin bukan oleh kerabat dekat sendiri.

"Kau tak perlu pulang, kalau belum sanggup menjaga dirimu sendiri. Nah, jaga dirimu baik-baik, anakku. Doa dan restu ibu selalu menyertaimu."

"Dan jangan lupa sembahyang!" Wan Hoa memperingatkan. "Berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan adalah pekerjaan yang tak boleh di lupakan manusia, Ituchi. Jadilah kau pendekar yang berwatak dan berahlak mulia!"

Ituchi mengangguk. Ibunya melepas dengan derai air mata, betapapun Cao Cun tak sanggup menahan kepedihan itu tanpa air mata. Ituchi ini adalah satu-satunya anak lelaki baginya, anak yang mestinya diharap melindungi dan menjaga ibunya. Anak perempuan tak dapat diandalkan seperti anak laki-laki, begitulah jaman dulu. Dan ketika malam itu Wan Hoa berindap dan menyambar Ituchi maka dua orang ini lenyap keluar kemah.

"Ituchi, tunggu dulu...!"

Seruan itu menghentikan langkah dua orang ini. Wan Hoa tertegun dan mendengar sahabatnya menangis, ditahan-tahan dan tiba-tiba Cao Cun menubruk anaknya itu, menciumnya sebelum anaknya benar-benar menghilang. Dan ketika adegan itu membuat Wan Hoa melengos dan terpaksa membuang muka karena tak tahan maka Cao Cun membalik dan berlari ke kamarnya.

"Pergilah.... pergilah sekarang. Aku sudah puas....!" dan Wan Hoa yang tersedak tak dapat menahan dirinya tiba-tiba menyambar kembali anak itu dan berseru, air mata pun berderai,

"Ituchi, ayo berangkat!" dan begitu anak ini disambar dan ditarik pergi akhirnya Wan Hoa tak membiarkan lagi suasana mengharukan itu. Dapat menyadari betapa beratnya sang ibu ditinggal anak. Wan Hoa sendiri akhirnya terisak dan tersedu-sedu sepanjang jalan. Dan ketika malam itu mereka berangkat tanpa pengantar maka perjalanan yang sulit, yang sudah dapat diduga, merepotkan dan menyukarkan wanita cantik ini.
Wan Hoa, sebagaimana kita kenal adalah sahabat paling setia bagi Cao Cun. Begitu setianya hingga dua sahabat karib ini tak pernah berpisah. Di mana ada Cao Cun pasti di situlah ada Wan Hoa. Hanya disebabkan keadaan yang memaksa yang membuat dua bersahabat itu berpisah, seperti sekarang ini. Dan karena Ituchi sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Wan Hoa dan anak itu tiada bedanya seperti anak kandung bagi Wan Hoa maka siapa yang mengancam anak itu akan dilindungi sekuat tenaga oleh wanita ini. Dan halangan atau ancaman itu ada di depan.

Mula-mula Wan Hoa bertemu penjaga perbatasan. Bibi dan keponakan ini berindap, terpaksa berhenti dan Wan Hoa mendekap mulut Ituchi kuat-kuat. Dia khawatir anak itu berteriak. Tapi ketika Ituchi melepas tangannya dan menyuruh dia tenang maka sang bibi tertegun melihat sikap luar biasa pada diri anak laki-laki ini.

“Bibi tak usah takut. Kalau menghendaki aku tenang tentu aku tak akan berteriak. Lepaskan, aku tak akan menyusahkanmu."

Wan Hoa takjub. Anak ini seperti orang dewasa saja, sikapnya bahkan seperti pemimpin dan teringatlah ia akan raja Hu. Ah, dasar keturunan raja sikap pun jadi seperti raja. Hebat! Dan ketika penjaga berlalu dan Wan Hoa menarik lengannya ternyata anak itu mendahului dan sudah menyeretnya keluar.

"Mari, di sebelah kiri masih ada penjaga lagi. Kita ke kanan!"

Wan Hoa tertegun. Untunglah perbatasan waktu itu bisa dibilang aman, raja yang baru tak memperketat penjagaan dan mereka lolos dengan selamat. Tapi ketika perjalanan mulai menjarah padang ilalang dan Wan Hoa ngeri oleh bayangan rampok atau penyamun maka anak itu menenangkannya dengan kata-kata sejuk.

"Bibi tak usah takut. Kalau ada perampok atau orang yang mengganggu kita aku dapat menghadapi mereka-mereka itu."

"Ah, kau anak kecil, Ituchi. Mana mungkin?"

"Meskipun kecil tapi aku lelaki, bibi. Laki-laki harus melindungi perempuan dan bukan sebaliknya!"

"Ahh, mana bisa..."

“Sst, diam, bibi. Tugasmu hanya mengantar. Kau bukan melindungi atau menjaga aku, tapi mengantar!" Ituchi memotong, membuat Wan Hoa terbelalak dan tiba-tiba merahlah mukanya.

Memang dia dan Cao Cun berkata bahwa dia akan mengantar anak ini, sekarang kata-kata itu diartikan secara "cerdik" oleh Ituchi. Dan ketika wanita itu tak dapat berkata dan sudah ditarik ke depan maka Ituchi bertanya kepadanya di mana arah menuju ke bangsa Tar-tar itu, tempat Kim-mou-eng, ditunjuk dan Ituchi sudah membawanya ke situ. Sekarang berbalik anak ini yang menuntun Wan Hoa, sang bibi benar-benar hanya pengantar dan anak itulah yang berjalan di depan. Dan ketika ilalang demi ilalang mereka lalui dan Wan Hoa bengong serta tertegun melihat sikap anak laki-laki ini mendadak tanpa dapat dicegah lagi beberapa perampok muncul.

“Ha-ha, siapa kalian? Mau ke mana?"

Ituchi terkejut. Otomatis dia berhenti, Wan Hoa pucat dan anak itu maju. Lalu berhadapan tanpa sedikit pun rasa takut anak ini balik bertanya, "Kalian siapa? Kenapa menghadang perjalanan orang? Kami bibi dan keponakan, paman yang baik. Harap kalian minggir dan tidak mengganggu kami!"

"Ha-ha, bibi dan keponakan? Mana pamannya? Heh, kami tak akan minggir kalau belum menerima sesuatu, bocah cilik. Aku Yagu penguasa padang ilalang ini!"

"Kau perampok?"

"Busyet, tutup mulutmu. Aku penarik pajak!"

Ituchi marah. Tiba-tiba dia tahu bahwa orang-orang ini adalah perampok, sikap kasar dan kata-kata mereka membuat dia tahu bahwa inilah bukan orang baik-baik. Tapi Wan Hoa yang maju dan melindungi anak itu dengan gemetar tiba-tiba berseru,

"Yagu, tahan. Jangan ganggu keponakanku. Kalau kalian ingin merampas barang-barang kami silahkan, tapi jangan mengganggu anak in!"

"Ha-ha, siapa dia? Keberaniannya luar biasa, seperti anak raja!"

"Aku Itu...."

"Sst!” Wan Hoa mencegat, menutup kata-kata anak itu, "Tak perlu kau memberitahukan nama, Ituchi. Mereka tak akan memperdulikan kita dan masa bodoh. Biar kulepas gelangku dan jangan ribut!"

Wan Hoa cepat melepas gelangnya, menyerahkan pada kepala rampok itu dan Yagu menerima. Laki-laki bercambang ini tertawa bergelak, gembira sekali. Dan ketika dia mengamat-amati bahwa gelang itu betul emas dan bukan imitasi tiba-tiba kepala rampok ini bersorak tapi sekonyong-konyong membentak,

"Heh, hanya ini saja? Tak ada yang lain? Serahkan yang lain, nyonya manis. Kalau tidak tak boleh kalian pergi!"

“Wutl" Ituchi tiba-tiba menyerang, mengayun tinju. "Kau kembalikan gelang bibi ku, rampok kasar. Atau aku akan berkelahi denganmu sampai mampus!" dan sang anak yang menerjang dan marah membentak rampok itu tiba-tiba sudah memukul dan menendang. lucu dan si kepala rampok tertawa, tentu saja mengelak sana-sini dan anak buahnya terbahak. Ituchi semakin marah dan menyerang kalap. Tapi ketika kepala rampok itu menjengek dan menangkap tangannya tiba-tiba rampok ini membentak dan membanting anak itu,

"Jangan kurang ajar.... brukk!"

Ituchi terbanting, menggeliat namun bangkit lagi menyerang perampok itu. Anak ini tak takut dan kembali lawannya menggeram. Yagu terbelalak melihat kebandelan anak itu. Dan ketika Wan Hoa menjerit dan coba mencegah Ituçhi mendadak anak buah rampok menyergap dan menubruk dirinya.

"Ha-ha, ini makanan nikmat, twako. Kau banting anak itu dan biar bibinya kami tundukkan...!"

Wan Hoa kalang kabut, menjerit dan tiba-tiba mencabut badik, pisau kecil. Lalu sekuat tenaga membabat pisau itu ke sana ke mari akhirnya lawan pun terkejut dan mundur, mendengar makian Wan Hoa dan kepala rampok semakin terbelalak. Anak buahnya mencabut senjata dan mau membunuh Wan Hoa, dibentak dan disuruh mundur dan tiba-tiba kepala rampok itu menangkis pukulan Ituchi. Dan ketika Ituchi terpelanting dan berteriak kesakitan maka rampok ini berkelebat menyambar Wan Hoa.

"Lepaskan pisau itu....!"

Win Hoa memekik. Meskipun tak bisa silat namun tentu saja ia melawan, sebisanya. Pisau menyambut si kepala rampok dengan tikaman ke depan. Tapi karena lawan adalah kepala rampok dan tentu saja wanita ini bukan lawannya maka Yagu menyelinapkan lengannya dan pisau pun di tangkisnya miring.

“Plak!"

Wan Hoa mengeluh, pisau terlempar dan ia pun jatuh terduduk. Tangkisan si kepala rampok membuat wanita ini kesakitan dan Wan Hoa hampir menangis, si kepala rampok menyambar dan tahu-tahu ia pun sudah ditelikung kedua tangannya. Dan ketika kepala Rampok itu tertawa dan anak buahnya bersorak gembira tiba-tiba Ituchi, yang terbanting dan roboh untuk kedua kali tiba-tiba melompat dan menyerang kepala rampok itu, rupanya tak menghiraukan rasa sakit dibanting.

"Lepaskan bibiku....!"

Sang kepala rampok terbelalak. Ia jadi heran dan kagum akan daya tahan anak ini, menendang dan anak laki-laki itu pun mencelat. Memang ituchi bukan tandingan kepala rampok ini. Dan ketika anak itu bangkit lagi dan menerjang marah maka kepala råmpok itu mēnyuruh anak buahnya bergerak dan menangkap bocah itu, keadaan jadi berbalik karena kini si kepala rampok, menawan Wan Hoa, anak itu sudah digebuk dan ditendangi macam-macam.

Ituchi babak-belur namun sedikit pun anak itu tidak mengeluh. Wan Hoa terbelalak dan berteriak-teriak, menangis, memaki dan meronta namun Yagu memperkuat cengkramannya hingga dia tak berdaya. Dan ketika Suara bak bak-buk menghajar anak laki-laki itu dan Ituchi terbanting serta terguling-guling akhirnya anak ini mengerang dan tak dapat bergerak lagi karena keroyokan anak buah perampok itu,

"Keparat kalian. Jahanam! Kalian tak malu mengeroyok seorang anak kecil....!"

"Ha-ha, dia tak akan dihajar kalau tak kurang ajar, nyonya. Sekarang kau diamlah dan lihat anak ini akan kami bunuh!"

"Tidak!” Wan Hoa berteriak. "Jangan bunuh dia, Yagu. Jangan bunuh. Kalian akan berhadapan dengan Khan kalau berani membunuh anak itu!"

Yagu, kepala rampok terkejut. Dia tertegun mendengar kata-kata Wan Hoa ini, terpaksa Wan Hoa memberitahukan siapa anak laki-laki itu dan nama Khan kiranya cukup menggetarkan kepala rampok ini. Yagu tentu saja tak tahu adanya perubahan di suku bangsa liar itu, sebagai orang kasar dia tak tahu jalannya politik. Tak tahu bahwa Khan yang baru justeru menghendaki nyawa anak laki-laki ini dan Wan Hoa memang bersikap untung-untungan. Kalau Yagu tahu tentu celakalah dia, juga Ituchi. Tapi melihat Yagu tertegun dan mundur dengan kaget maka Wan Hoa melihat kesempatan bagus dengan gerak-gerik kepala rampok ini.

"Yagu, dia putera raja Hu. Kalau kau berani mengganggunya tentu seluruh bangsa itu akan mencari dan membunuh mu!"

"Hmm, benarkah?" kepala rampok ini menyeringai, takut juga. "Baiklah, aku percaya padamu nyonya. Dan boleh kalian pergi!"

Yagu tiba-tiba bersuit, memberi tanda pada anak buahnya dan mereka tiba-tiba berlompatan, tak lama kemudian menghilang dan Wan Hoa berlari menghampiri Ituchi. Anak laki-laki ini babak-belur dan Ituchi kembali mengerang. Dan ketika Wan Hoa tersedu-sedu mengusap anak itu dan membersihkan mukanya dari luka atau darah akhirnya wanita ini mengangkat anak itu dan menggendongnya.

"Ituchi, kita selamat. Syukur kau tak diganggunya!"

"Ah, tapi gelangmu diambilnya, bibi. Mereka terkutuk dan keparat!"

"Sudahlah, aku tak apa-apa, Ituchi. Sekarang kita lanjutkan perjalanan dan kau diamlah,"

Wan Hoa bercucuran air mata, menggendong anak itu dan dengan tertatih-tatih dia membawa pergi anak ini jauh dari tempat celaka itu. Dalam keadaan begitu tiba-tiba Wan Hoa menginginkan kuda, kalau ada kuda tentu mereka dapat lebih cepat dan ringan. Sayang, pelarian yang dilakukan malam malam itu memang tak memungkinkan mereka membawa kuda, bisa ketahuan jejak mereka nanti. Dan ketika hari itu dengan letih dan haus wanita ini membawa keponakannya maka Ituchi menahan tangisnya melihat kasih dan setia bibinya itu.

"Bibi, turunkan aku. Aku dapat berjalan sendiri."

Wan Hoa tertegun. "Kau tak bohong? Bukankah kakimu masih sakit?"

"Aku... aku dapat berjalan, bibi Coba turunkan dan lihat!" Ituchi memaksa, akhirnya meloncat turun dan dengan menahan sakit dia coba menapakkan kaki. Anak ini hampir menjerit namun menggigit bibir kuat kuat. Dan ketika dengan memaksa dia menggerakkan kakinya dan tersenyum dapat berjalan juga akhirnya dia berkata, tentu saja menahan nyeri di tumit yang menggigit,

"Lihat, aku dapat berjalan, bibi. Tak usah kau khawatir... ayo!"

Ituchi yang bersikap gagah melambaikan lengan pada bibinya akhirnya membuat Wan Hoa tertegun tapi girang, tak tahu Ituchi harus mengeraskan hati kuat-kuat kalau tak mau mengaduh. Sebenarnya kaki anak itu terkilir. Dan ketika Wan Hoa girang menyambar anak itu dan dengan terseok tapi pasti mereka meninggalkan tempat itu akhirnya wanita ini tak merasa kelelahan diri sendiri, berkali-kali Ituchi menahan sakit dan dua tiga kali kembali mereka bertemu pengganggu di tengah jalan. Wan Hoa mempergunakan nama Khan untuk menggertak orang-orang itu. Dan ketika seminggu kemudian perjalanan yang susah payah ini berhasil mereka lewatkan dan sudah hampir mendekati tempat yang dituju mendadak aum seekor harimau mengagetkan mereka.

“Ah, celaka....!" kali ini Wan Hoa merasa lemas, melihat seekor harimau menyambar di depan mereka dan Ituchi serta bibinya hampir mati kaku.

Sekarang pakaian mereka robek-robek dan Ituchi sendiri maupun Wan Hoa tampaknya seperti dua orang jembel. Hanya wajah dan sinar di wajah mereka saja yang menunjukkan dua orang ini bukanlah orang biasa, prana atau cahaya yang memancar di wajah Ituchi masih tetap mengesankan anak itu sebagai anak yang agung, anak seorang raja. Dan ketika harimau itu berbalik dan menggeram di depan mereka maka seekor raja hutan yang buas siap menerkam, harimau yang sedang kelaparan!

"Ituchi, bersembunyi di belakangku!"

"Tidak, kau yang di belakang, bibi. Kau hanya pengantar dan akulah yang bertanggung jawab!"

Ituchi masih gagah, tiba-tiba mencabut badik bibinya dan dengan pisau ini anak laki-laki itu mengamang-amangkan di depan si raja hutan. Sebenarnya Ituchi ngeri juga, hanya didorong keadaan yang memaksa dan membuat dia harus bertindak sesuatu maka bocah ini timbul keberaniannya. Tapi ketika dia menggertak dan harimau itu malah mengaum tiba-tiba si raja hutan menubruk dan menyerang anak itu.

"Ituchi, awas....!”

Ituchi berkelit. Dan cepat dia mengelak, pengalaman di dalam perjalanan mulai membuat anak ini gagah, tangkas. Namun karena si raja hutan masih lebih cepat dan baru pertama itu la berhadapan dengan hewan yang begini buas tiba-tiba Ituchi kesambar pundaknya dan baju yang sudah compang camping pun memberebet.

"Brett!"

Wan Hoa menjerit seolah hilang akal. Ituchi berteriak melempar tubuh bergulingan, mendorong bibinya dan Wan Hoa pun terbanting. Sungguh mendebarkan melihat dua manusia yang tergolong lemah ini, juga mengharukan. Dan ketika Ituchi melompat bangun dan melihat harimau menyerang kembali maka anak itu menggerakkan pisaunya dan coba melawan, berkelit dan menusuk dan terjadilah perkelahian tidak seimbang di situ, Ituchi bocah sepuluh tahunan ini coba menghadapi lawannya yang jauh lebih besar, juga lebih kuat.

Dan ketika beberapa tusukan gagal dan Ituchi mendapat cakaran atau gigitan maka Wan Hoa seolah pingsan melihat semuanya itu, menjerit-jerit dan mengambil batu atau apa saja, bahkan menerjang tapi ditampar kuku harimau yang tajam. Dan ketika Win Hoa terlempar dan menangis sambil menjerit jerit maka ituchi di sana bertarung mati hidup, sang raja hutan rupanya tahu bahwa anak ini adalah makanan empuk baginya. Ituchi sering terbanting bertemu cakaran lawan yang kuat, akhirnya tak tahan juga anak itu dan mulailah Ituchi mengeluh, berteriak menyuruh bibinya melarikan diri dan membiarkan dia diserang.

Sungguh gagah anak ini, dia hendak menyelamatkan Wan Hoa sementara menerima cakaran dan gigitan. Dan ketika keadaan semakin berbahaya dan Wan Hoa juga baru terlempar oleh tubrukan harimau itu maka pisau di tangan Ituchi mencelat ketika mental bertemu batok kepala yang keras. Sang harimau mengaum dan habislah riwayat anak laki-laki itu, Ituchi berdarah sekujur tubuhnya oleh gigitan atau cakaran si raja hutan, inilah maut yang mencekam jiwa anak itu. Tapi ketika Ituchi terbanting dan sang harimau menubruk tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan yang membentak harimau itu, sebuah bayangan dan laki-laki berpakaian hitam yang gagah tiba tiba muncul di situ.

“Binatang terkutuk, robohlah....!"

Ituchi tak tahu apa yang terjadi. Harimau tiba-tiba mengeluarkan aum panjang, berdebuk dan jatuh di dekatnya dengan kepala pecah. Semua berlangsung cepat dan Ituchi di sana mengeluh, pusing dan masih tak dapat segera bangun namun Wan Hoa yang melihat laki-laki gagah itu dan terbelalak tapi girang bukan main tiba-tiba menubruk dan menangis di kaki penolongnya ini.

"Oh, terima kasih, inkong (tuan penolong), terima kasih... kau telah menyelamatkan anakku!" dan bangkit lagi berlari menghampiri Ituchi Wan Hoa menubruk dan memeluk anak laki-laki ini. "Kau tak apa-apa? Kau luka? Ah, tubuhmu penuh darah, Ituchi. Mari kubersihkan dan lihat tuan penolong kita....!"

Wan Hoa merobek üjung bajunya sendiri, membersihkan darah dan kotoran dan segera menggigil menciumi anak itu. Maut yang hampir menyergap Ituchi membuat Wan Hoa sendiri seakan terbang nyawanya. Dan ketika semuanya selesai dan Ituchi bangun terhuyung maka Wan Hoa mengajak anak itu berlutut di depan sang penolong.

"Inkong, terima kasih. Kau telah menyelamatkan mutiara satu-satunya yang kumiliki!"

“Bangunlah," laki-laki itu, yang sejak tadi bersinar-sinar memandang Ituchi mengangkat bangun wanita ini. "Kalian siapa dan mau ke mana? Bagaimana berjalan sendirian di tempat begini?"

"Aku.... aku Wan Hoa, inkong. Ini puteraku Ituchi....!"

"Mau ke mana? Kenapa tidak ada laki-laki mengawal kalian?"

"Kami mau mencari Kim-mou-eng, ke bangsa Tar-tar itu."

"Kim-mou-eng? Astaga! Apakah kalian sahabatnya?"

Wan Hoa mengangguk. Akhirnya dia berterus terang dan menceritakan pada penolongnya itu bahwa Kim-mou-eng memang sahabatnya, tak menyembunyikan diri karena Wan Hoa dapat melihat bahwa penolongnya ini orang yang dapat di percaya, lelaki baik-baik. Dan ketika dia menceritakan maksudnya bahwa dia hendak menyerahkan Ituchi untuk menjadi murid Pendekar Rambut Emas itu maka Wan Hoa balik bertanya siapakah tuan penolongnya ini.

"Aku Hek-eng Taihiap (Pendekar Garuda Hitam)." laki-laki itu agak terbelalak. "Dan kebetulan Kim-mao-eng adalah juga sahabatku!"

"Ah, kalau begitu kebetulan, taihiap. Aku merasa gembira dan senang mendengar ini!"

"Dan, hmm.... puteramu ini. Benarkah dia puteramu? Kenapa dia menyebutmu bibi?"

Kiranya tadi dalam percakapan Ituchi memang memanggil bibi pada bibinya itu, didengar dan Hek-eng Taihiap bingung. Tapi ketika Wan Hoa mengangguk dan tersenyum memandang keponakannya wanita ini menjawab, "Benar, dia... dia anak kandung dari saudaraku sendiri, taihiap. Aku memang bukan ibunya tapi aku menganggapnya sebagai anak sendiri."

"Dan namanya berbau asing, sedang kau jelas wanita Han. Siapalah sebenarnya anak ini?"

"Aku Ituchi, paman. Anak ibuku bernama Cao Cun!"

"Cao Cun? Eh, kalau begitu... hei..!" Hek-eng Taihiap tiba-tiba berseru. Kau anak raja Hu? Ibumu adalah calon selir kaisar yang tidak jadi itu?"

"Benar," kini Wan Hoa menjawab, tentu saja ltuchi tak akan tahu sejauh itu. "Itulah ibu anak ini, taihiap. Dan kalau begitu kau tentu tahu bahwa ibu anak inilah yang sebenarnya menjadi sahabat Kim-taihiap (Pendekar Rambut Emas)!"

"Ah-ah...!" Hek-eng Taihiap bengong. "Tentu saja aku tahu, Wan Hoa. Pantas saja kalau begitu!"

"Pantas apa?"

Anak ini, kegagahannya! Dia benar-benar mengagumkan dan pantas sebagai putera raja Hu!" lalu bersinar-sinar memandang anak itu Hek-eng Taihiap bertanya, "Ituchi, kenapa kau tidak dikawal pengawalmu? Mergapa harus sendirian bersama bibimu?"

Wan Ho tiba-tiba terisak. "Dia... dia diancam akan dibunuh, taihiap. Khan yang baru tak menyukai kehadiran anak ini. Tapi kami mencari Kim-mou-eng bukan karena takut, melainkan semata ingin memberikan bekal kepandaian kepada anak ini!" Wan Hoa ingat, tak boleh menyimpang dan segera Hek-eng Taihiap itu tertegun. Wan Hoa memberi sekilas isyarat rahasia agar dia tidak banyak bertanya, tentu saja pendekar ini tertarik. Tapi sebelum dia bertanya lebih jauh tiba-tiba Wan Hoa sudah menyambar keponakannya dan mau pergi, sekali lagi mengucap terima kasih.

"Inkong, terima kasih. Sekali lagi budimu tak dapat kubalas. Perkenankan kami pergi dan biar nanti kuceritakan pada Kim-taihiap!"

Lalu berlutut dan bangkit berdiri Wan Hoa sudah memutar tubuhnya dan bergegas meninggalkan pendekar itu, takut ditanya lebih jauh tentang Ituchi dan tentu saja dia bisa bingung menjawabnya. Anak itu sejak tadi memandangnya dan mengerutkan kening, Ituchi sekarang lebih cerdas dan pandai, segala apa bisa ditanyakan anak itu kalau sesuatu mencurigakannya. Dan begitu Wan Hoa mengajak pergi anak laki-laki ini dan Hek-eng Taihiap tertegun akhirnya bibi dan keponakan itu lenyap di sana.

Wan Hoa sudah tak ingin banyak bicara lagi. Kemah bangsa Tar-tar sudah mulai terlihat kaki bergerak lebih cepat lagi dan kegirangan melanda wanita ini. Tak aneh, dia ingin segera bertemu Kim-mou-eng dan menyerahkan anak laki laki itu, tugasnya akan selesai. Tapi ketika Wan Hoa tiba di tempat bangsa Tar-tar itu dan bertemu penjaga mendadak perasaannya terguncang.

"Kim-taihiap tak pernah pulang. Sejak kematian istrinya dan hilangnya Dailiong pemimpin kami belum pernah kembali. Ada apakah kau mencari Kim-taihiap?"

Wan Hoa tiba-tiba menangis. "Eh, kenapa menangis?"

"Ah," Wan Hoa tersedu-sedu. "Siapa tak menangis kalau hati terasa kecewa? Jauh-jauh aku datang mengantar anak ini, twako. Dan ternyata Kim-taihiap tak ada! Apa yang harus kulakukan?"

"Siapa dia?"

Wan Hoa tak menjawab. Tiba-tiba dia menubruk dan mendekap Ituchi, mengguguk dan, menciumi anak itu penuh sesal. Perjuangannya sia-sia dàn Ituchi semenjak tadi hanya memandang saja. Tapi ketika sang bibi mengguguk dan menangis tersedu-sedu tiba-tiba anak ini melepaskan diri dan tertawa berkata, aneh sekali,

"Bibi, untuk apa menangis? Kalau Kim-taihiap belum datang biarlah kita tunggu, atau kita pulang dan cari dia."

"Apa?" Wan Hoa terbelalak. "Pulang?"

"Hm, kalau tak mau kita dapat mencari Kim-mo-eng, bibi. Atau tinggal dulu di sini menanti kedatangannya."

"Kau enak sekali! Kau tenang sekali! Kau kira apa tempat ini Ituchi? Ini bukan kampung halaman kita, ini rumah orang! Kalau kita di sini dan menjadi beban tentu orang-orang ini tak suka. Tidak, kita tak dapat tinggal di sini, Ituchi. Kita harus kembali dan cari Kim-mou-eng. Kita pergi!"

"Hm, siapa kalian sebenarnya?"

"Eh!" seorang pemuda tiba-tiba muncul. Bukankah kau Wan Hoa? Eh, ini orang yang dulu pernah ke sini, Kwa-ko Dia Wan Hoa sahabat Cao Cun, isteri raja Hu!”

Wan Hoa terkejut. Cepat dia menoleh dan melihat seorang pemuda tegap bermata tajam muncul di situ, mengeluarkan senyum aneh dan Wan Hoa berdetak. Dia lupa- lupa ingat. Namun ketika pemuda itu tiba di situ dan memperkenalkan diri maka Wan Hoa segera berdesir.

"Aku Daikim, yang dulu pernah mengantarmu sampai di perbatasan. Ingat?"

“Ah, Daikim-ko kiranya. Benar, aku ingat, Daikim. Kau.... kau benar. Aku Wan Hoa!"

"Ha-ha, ada apa kemari?"

"Dia mencari Kim taihiap!" Kwa-kö temannya menjawab. "Katanya mau mengantar anak ini, Daikin. Tapi entah apa maksudnya aku tak tahu!"

Daikim, pemuda Tar-tar itu memandang ituchi. Anak laki-laki ini sejak tadi memandanginya juga. Entah kenapa Ituchi tak senang melihat mata Daikim yang sering menyambar ke arah bibinya itu, ada kesan nakal dan liar. Anak sekecil itu sudah dapat merasakan getaran tak baik yang memancar dari mata Daikim. Namun ketika Daikim tersenyum dan memegang lengan anak itu tiba-tiba dia bertanya,

"Kau putera raja Hu?"

Ituchi menarik lengannya. "Benar," anak ini berkata angkuh. "Ada apa kau memegang-megang aku?"

"Ituchi," Wan Hoa kaget, menegur. "Jangan kasar terhadap tuan rumah. Hayo minta maaf dan mundur!"

"Ha ha," Daikin tertawa. "Tak apa, Wan Hoa... tak apa. Tapi kini aku tahu, kalian pergi secara diam-diam, bukan? Kalian menjauhi Khan yang baru?"

"Daikim!" Wan Hoa kaget. "Apa maksudmu?"

“Hm." pemuda itu menyeringai. "Aku mendengar apa yang terjadi, Wan Hoa, Bahwa anak ini, ha-ha.... tak disukai Khan!" lalu tak menghiraukan keterkejutan Wan Hoa pemuda itu pura-pura memandang temannya, "Kwa-ko, biar tamu Kita menginap di sini. Kalau Kim-taihiap datang kita serahkan padanya. Kau pergilah!"

Kwa-ko, laki-laki itu mengangguk. Dia pergi dan kini tinggallah Wan Hoa bersama pemuda itu, Daikim tersenyum dan mengeluarkan sinar aneh, cahaya matanya berputar dan Wan Hoa sudah tak enak. Tapi sopan membungkukkan tubuhnya pemuda ini berkata,

"Wan Hoa, marilah. Kau boleh tinggal di tengah-tengah bangsa ini dan kalau mau menginap di kemahku. Aku akan melindungimu dan jangan khawatir akan anak ini."

"Tidak," Wan Hoa berdetak. "Kalau Kim-taihiap tak ada biarlah kami pergi, Daikim. Kami tak enak mengganggumu dan biar kami datang lain kali saja!"

"Aha, kau takut?"

"Apa maksudmu?" Wan Hoa membentak "Jangan kau kurang ajar, Daikim. Kalau kuberitahukan Kim-mou-eng nanti tentu dirimu celaka!"

"Ha-ha, Kim-taihiap tak ada di sini, Wan Hoa. Kalau kau mau melapor laporlah, aku tidak takut. Tapi anak ini tentu celaka!" dan maju dengan sikap mengancam pemuda ini berkata, perlahan, ”Wan Hoa, aku tahu dan mendengar apa yang terjadi di kemah bangsamu. Tak usah mungkir, kau tentu menyelamatkan anak ini dari ancaman Khan yang baru dan ingin berlindung di balik Kim-taihiap. Kalau aku menangkap dan menyerahkan anak ini kepada Khan di sana tentu besar upahku, Wan Hoa. Dan kalian berdua bisa tak berkutik, ha-ha...!"

Pemuda itu menyambar, menangkap Wan Hoa dan Wan Hoa menjerit. Dulu Daikim ini pernah mengganggunya di perbatasan, pemuda itu mengincar dan mau kurang ajar. Tapi karena Kim-mou-eng ada di situ dan pengaruh Pendekar Rambut Emas itu menggetarkan pemuda ini maka waktu itu Darkim tak berani terlalu jauh dan mundur. Waktu itu Wan Hoa mencari Kim-mou eng untuk urusan Cao Cun, pulang dan kejadian ini tak diingatnya lagi. Tak tahunya dia bertemu lagi dengan pemuda yang tampaknya menaksir itu.

Daikim mau kurang ajar dan pemuda ini pun mengetahui tepat perihal Ituchi. Tentu pemuda itu tahu dari berita di luaran. Tapi ketika si pemuda menyambar lengannya dan mau kurang ajar tiba-tiba Wan Hoa menjerit dan mengelak, ditubruk lagi dan ltuchi di sana tiba-tiba membentak. Anak ini menerjang menolong bibinya. Dan karena Daikim terpecah dan jengkel serta marah tiba-tiba dia membalik menghadapi anak laki-laki ini.

“Jangan kurang ajar terhadap bibi....!"

Daikim menjengek. Setelah berbulan-bulan Kim-mou-eng tak datang di tempat sukunya lagi pemuda ini tak merasa takut, melihat Wan Hoa datang dan nafsunya bangkit. Memang dulu dia hampir mendapatkan wanita ini, tak jadi karena adanya Kim-mou-eng. Tapi begitu Pendekar Rambut Emas tak pernah pulang dan Daikim menduga barangkali pendekar itu tewas maka dia bermaksud mengganggu Wan Hoa lagi namun Ituchi menyerang, tentu saja menjengek karena anak ini bukan lawannya. Dan ketika anak itu menubruk dan dia terpaksa melepas Wan Hoa maka tangan bergerak dan terjangan anak itu pun disambutnya.

"Enyah kau....plakk!"

Ituchi terbanting, memekik dan Wan Hoa di sana ganti menjerit. Wanita ini mengambil potongan kayu dan menerjang lawannya. Ituchi bangkit dan menyerang lagi. Dan ketika dua orang itu membentak dan memaki-makinya kalang-kabut maka Daikim tertawa mencabut golok.

"Crak-blukk..!" kayu di tangan Wan Hoa terbabat, potongannya mengenai kepala Ituchi dan anak itu mengeluh. Ituchi terlempar dan memegangi kepalanya, tak dapat bangun. Dan ketika Wan Hoa berteriak dan tertegun di tempat tahu tahu dengan mudah pemuda ini sudah menyambar korbannya dan mengancam,

"Wan Hoa, tak usah melawan atau kau kubunuh!"

Namun Ituchi yang melompat bangun dan berseru keras tiba-tiba menerjang dan memaki pemuda itu. "Daikim, lepaskan bibiku!" dan Daikim yang terkejut dan cepat mengelak tiba-tiba menggerakkan kaki menendang anak itu.

"Bluk!" Ituchi terbanting, roboh lagi dan Daikim tertawa, sedikit lengah melepas Wan Hoa dan wanita itu tiba-tiba berontak, melepas tendangan dan ganti lawannya terpekik. Tumit Wan Hoa telak sekali bersarang di perut pemuda ini. Dan ketika Daikim memekik dan terguling memegangi perutnya yang sakit tiba-tiba Wan Hoa menyambar keponakannya dan memutar tubuh.

"Lari...!" Namun, ke mana mereka lari? Daikim yang kuat ternyata hanya sebentar saja mengeluh, pemuda ini meloncat bangun dan sudah membentak. Dan ketika lawan melarikan diri dan Daikim berseru keras maka pemuda ini membentak menyambar di depan keduanya, menangkap Ituchi.

"Berhenti!"

Ituchi kaget. Daikim menariknya lepas dari tangan sang bibi, terbetot dan Wan Hoa pun terpekik. Dan ketika dia membalik dan memaki-maki pemuda itu maka Daikim tertawa menempelkan golok di leher Ituchi.

"Wan Hoa, diam di tempatmu. Atau anak ini kubunuh!"

"Tidak... jangan...!" Wan Hoa menangis. "Lepaskan dia, Daikim. Lepaskan...!"

Namun Ituchi yang meronta dan menendang. Lawannya tiba-tiba berteriak menyuruh bibinya lari, kena selangkangan dan Daikim mengaduh. Ituchi menendangnya begitu rupa hingga hampir saja Daikim "kecil"-nya kena, tentu saja pemuda itu marah. Dan ketika Ituchi berontak dan lepas dari cengkeramnya maka anak ini sudah menubruk dan menyerang lawan.

"Bak-bik-buk!" Daikim sudah dihajar, memaki dan tentu saja pemuda sekuat ini tak apa-apa. Daikim menggeram dan tiba-tiba ganti menubruk. Dan ketika Wan Hoa menjerit dan memperingatkan keponakannya maka Ituchi tertangkap dan dibanting.

"Brukk!"

Daikim tertawa bergelak. Ituchi mengaduh dan kelengar, bocah itu kesakitan oleh bantingan ini. Dan ketika dia tak dapat bangun karena meringkuk seperti anjing digebuk tuannya maka Daikim menyambar dan dengan kejam membacok pundak anak itu.

"Kau anjing cilik keparat... bret!" pundak anak itu terluka, Daikim mau membacok lagi namun Wan Hoa menjerit histeris. Wanita ini menubruk kalap, Daikim diterjangnya dan pemuda itu pun roboh. Dan ketika mereka bergulingan bersama dan Wan Hoa menggigit dan mencakar maka Daikim kalang-kabut dicaci wanita ini.

"Kau yang keparat, Daikim. Kau pemuda terkutuk!"

“Aduh, ah... lepaskan!" Daikim akhirnya menampar, mengutuk dan menghantam perut lawannya hingga gigitan Wan Hoa lepas. Lalu sebelum wanita itu melompat bangun memberikan perlawanan lagi Daikim sudah menangkap dan menindihi tubuhnya.

"Wan Hoa, sekali kau melawan anak itu ku bunuh. Sekarang menyerahlah dan dengar baik-baik apa permintaanku!"

"Apa yang kau minta?" Wan Höa menggigil. "Kau jahanam keparat, Daikim. Kau akan kulaporkan pada Kim-mou-eng kalau dia datang!"

"Ha-ha, Kim-mou-eng sudah mampus, Wan Hoa. Kenapa kau berteriak-teriak menyebut namanya? Bangsa ini sudah tak dipimpinnya lagi Pendekar Rambut Emas itu telah menyusul isterinya ke alam baka!"

"Apa? Kau...."

"Kau kira bohong?" Daikim tertawa bergerak. "Kau boleh tidak mempercayai keteranganku, Wan Hoa. Tapi kalau Kim-mou-eng masih hidup tentu aku tak berani bertindak begini kepadamu. Ha-ha....!" dan Daikim yang menelikung dan mempererat cengkeramannya tiba-tiba berbisik, melihat Ituchi terhuyung berdiri. "Wan Hoa, suruh anak itu mundur. Atau dia kubacok dan kau akan melihat mayatnya!"

"Tidak... jangan..." Wan Hoa menggigil, ngeri. "Jangan kau ganggu dia, Daikim. Bebaskan dan lepaskan anak itu....!"

"Tapi dia kemari," Daikin melotot. "Apakah kau tak mau menyuruhnya berhenti? Cepat suruh dia berhenti, Wan Hoa. Atau kubacok mampus dan jangan kau salahkan aku!"

Daikim kiranya ngeri, melihat anak ini seperti hantu dari balik kubur dan Ituchi mendelik padanya. Anak itu terhuyung-huyung maju menghampiri, tak kenal takut dan rupanya tahan banting. Daikim ngeri menghadapi anak macam begini. Ituchi seperti bocah tak takut mati saja. Atau, barangkali, anak itu sudah mati dan kini sukmanya yang menghampiri. Tiga kali dibanting tiga kali pula bangkit berdiri. Sungguh seperti bukan anak manusia! Tapi Wan Hoa yang terbelalak dan mengeluh melihat anak itu tiba-tiba mengusir.

"Ituchi, pergi. Selamatkan dirimu...!"

“Nguk!" suara ini seperti kera marah. Aku tak mau pergi, bibi. Aku akan menolongmu dan mencekik musuhku ini!"

"Tidak... tidak...! Wan Hoa gelisah. "Daikim tak akan membunuhku, Ituchi. Pergi dan percayalah bibimu...!"

"Tapi dia menangkapmu. Dia menindihmu!"

Wan Hoa hampir kehilangan akal. Saat itu Daikim di atas tubuhnya sudah siap meloncat ke depan, laki-laki itu menggigil dan marah, juga ngeri. Dalam keadaan seperti itu Ituchi seperti iblis cilik, dia akan menerkam mangsanya dan menghisap darah laki-laki ini. Namun Wan Hoa yang cepat menggoyang lengan dan membentak sekuat tenaga tiba tiba berteriak,

"Ituchi, kalau kau maju biar bibimu mati di hadapanmu. Apakah kau ingin bibimu mati? Sebelum kau dibunuhnya bibimu akan dibunuh dulu, Ituchi. Lihat golok itu dan berhenti!"

Ituchi berhenti, tertegun.

"Ha ha," kini Daikim gembira. "Kau mundur, anak baik. Atau bibimu ini benar-benar kubunuh dan kau menyusul!"

"Pergilah... mundurlah...!" Wan Hoa serak suaranya. "Kau biarkan bibimu di sini, ituchi. Dengar dan ikuti baik-baik perintah bibimu. Kau jangan maju dan mundur!"

Ituchi akhirnya mundur. Daikim tertawa bergelak dan lega, dia memerintahkan Wan Hoa agar anak itu berbalik, semakin menjauh lagi. Dan ketika anak itu menurut namun ragu tiba-tiba Daikim melompat dan membawa wanita ini ke semak semak.

"Wan Hoa, kalau kau tak ingin keponakanmu kuserahkan pada Khan turutilah permintaan ku. Aku... aku ingin kau layani!"

Wan Hoa terbelalak.

"Ha-ha," Daikim tertawa aneh, mencium. "Kau tentu tak menolak, bukan? Lepas pakaianmu, Wan Hoa. Dan berikan apa yang kuminta!"

Wan Hoa merasa bumi berputar. Di sana Ituchi mengeluh aneh, anak itu membalik namun disuruh berputar lagi. Daikim mendengus-dengus menggerayangi tubuh korbannya, Wan Hoa bingung dan takut, juga marah. Tapi ketika Daikim mengancam bahwa dia akan menangkap dan membawa anak itu ke Khan yang baru kalau dia tidak mau menurut maka apa boleh buat terpaksa Wan Hoa menuruti, membiarkan muka diciumi dan tiba-tiba Daikim telah melepas semua pakaiannya. Dengan buas dan kasar pemuda Tar tar ini mencopot bajunya sendiri. Tapi ketika setengah jalan dan siap "main" tiba-tiba Ituchi berlari dan menubruk semak-semak belukar itu.

"Daikim, kau anjing hina!"

Daikim, pemuda Tar-tar ini kaget. Saat itu tubuhnya setengah telanjang, dia kedodoran dan anak laki-laki itu menerjang. Tapi membentak dan meloncat marah tiba-tiba dia membalik dan menyambut anak itu, dengan gagang golok di deраn. "Bocah anjing, kaulah yang hina... dukk!"

Gagang golok menghantam tengkuk anak laki-laki ini, Ituchi menjerit dan roboh pingsan. Seketika dia ambruk. Dan ketika Wan Hoa menjerit dan melompat setengah telanjang pula maka Daikim yang marah dan geram menempelkan mata goloknya ke leher anak itu.

"Wan Hoa, kalau kau tak menyerah anak ini kubunuh. Sialan keponakanmu itu!"

Wan Hoa menggigil, tak dapat bicara. "Ayo, lepas pakaianmu. Ke semak-semak itu!"

Akhirnya Wan Hoa dapat bicara juga. "Daikim, kau... kau berjanji tak akan membunuh anak ini? Kau berjanji membebaskannya?"

"Tentu, asal kau menyambut cintaku, Wan Hoa. Lepas dan copot pakaian mu itu!"

Wan Hoa tak berkutik. Demi keselamatan Ituchi terpaksa dia melakukan perintah Daikim ini, satu demi satu pakaian itu dilepas. Tapi ketika pakaian terakhir hampir dilolos dan Daikim terbelalak dengan mata menggilar melihat tubuh yang aduhai itu mendadak sebuah bayangan berkelebat dan membentak pemuda Tar-tar itu.

"Daikim, kau pemuda hina...!"

Daikim mencelat. Sebuah tendangan mengenai dirinya, pemuda ini menjerit dan terguling-guling. Dan ketika dia bangun berdiri dan meringis kesakitan maka seorang laki-laki gagah berdiri disitu.

"Hek-eng Taihiap...!"

Daikim kaget. Wan Hoa memanggil pendekar itu dan lari menubruk, sisa pakaiannya dikenakan lagi dan mengguguklah wanita malang itu. Tapi Hek-eng Taihiap yang mendorong dan memandang Daikim membentak berseru marah,

"Daikim, kau pemuda tak tahu malu. Kalau Kim-taihiap ada di sini tentu hancur tulang-tulangmu. Hm, aku mewakilinya, pemuda tak tahu malu. Mintalah ampun dan bertobat... wut plak-plak!"

Hek-eng Taihiap berkelebat, menampar dan menendang dan segera pemuda Tar-tar itu memekik. Dia jatuh bangun dihajar Pendekar Garuda Hitam ini, Daikim mengenal dan segera mukanya pucat. Dan ketika dia menjadi bulan-bulanan pukulan Hek-eng Taihiap dan pemuda itu menjerit-jerit minta ampun tiba-tiba Wan Hoa menyambar golok yang terjatuh dan menusuk lawannya ini.

"Augh!" Jerit itu mengejutkan Hek-eng Taihiap. Wan Hoa menusuk lawannya dengan beringas, Daikim terjungkal dan darah memuncrat. Dan begitu pemuda itu roboh dan darah memuncrat dari luka di perut tiba-tiba Wan Hoa semakin haus darah dan menusuk serta menikami lagi, tujuh delapan kali dan tak ayal Daikim mengeluh panjang pendek. Hajaran Hek-eng Taihiap telah membuatnya tak berdaya lagi, tusukan atau tikaman Wan Hoa tak dapat dikelitnya. Dan ketika Wan Hoa beringas dan menusuk dadanya maka robohlah pemuda ini dengan erangan pendek.

"Crep!" Golok itu bergoyang sejenak di dada pemuda ini. Daikim terkapar, seketika tewas dan terbang nyawanya. Dan ketika Wan Hoa terhuyung melepaskan golok itu tiba-tiba Kwa-ko, laki-laki penjaga muncul di situ, melihat kejadiannya.

"Heii...!" laki-laki ini terkejut. "Kau membunuh Daikim? Celaka, kita diserang iblis perempuan, kawan-kawan. Keluar dan lihatlah. Tolong...!"

Pekik atau seruan Kwa-ko menggemparkan bangsa Tar-tar. Semuanya berlarian dan ributlah tempat itu, Kwa-ko menubruk dan menyerang Wan Hoa. Tapi karena Hek-eng Taihiap ada di situ dan tentu saja pendekar ini tak membiarkan Wan Hoa dicelakai maka Hek-eng Taihiap sudah mendorong laki-laki Tar-tar ini, menendang dan seketika Kwa-ko mencelat. Laki-laki itu menjerit dan roboh berdebuk, kawan-kawannya datang dengan teriakan marah. Dan karena keadaan lebih gawat dan bukan maksud Hek-eng Taihiap untuk memusuhi bangsa itu maka Pendekar Garuda Hitam ini menyambar Wan Hoa dan Ituchi ditangkapnya.

"Kita pergi...!" dan begitu pendekar itu mengerahkan kepandaian berkelebat lenyap tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur memasuki hutan, mendengar teriakan-teriakan di belakang tapi tentu saja bangsa Tar-tar itu bukan lawannya. Pendekar ini telah menyelamatkan Wan Hoa dan Ituchi. Dan ketika mereka tiba di tempat aman dan Hek-eng Taihiap meletakkan Ituchi maka pendekar ini melepas Wan Hoa yang sejak tadi menangis di atas pundaknya.

"Diamlah, tenanglah. Aku akan menolong anak ini."

"Tidak.... tidak matikah dia? Masih hidupkah?"

"Tenang, kau tak usah gelisah, Wan Hoa. Ituchi rupanya hanya pingsan saja dan tidak apa-apa. Mundurlah."

Wan Hoa mundur. Dia terisak dan memandang pendekar itu, melihat Hek-eng Taihiap mengurut dan memijat sana sini, menotok. Dan ketika tak lama kemudian terdengar keluhan Ituchi dan Wan Hoa girang maka anak itu membuka mata dan yang ditanya terutama adalah bibinya itu.

"Bibi, di mana kau...?"

"Ooh!" Wan Hoa menubruk, tersedu-sedu. "Aku di sini, Ituchi. Lihatlah, ini bibimu!"

Anak itu bangun. "Dan mana Daikim? Mana jahanam itu?" matanya meliar, tertegun bertemu Hek-eng Taihiap dan pendekar ini tersenyum. Ituchi tampaknya terkejut juga melihat pendekar itu.

Namun Wan Hoa yang memeluk serta menangis di depannya memberi tahu, "Daikim kubunuh, Ituchi. Jahanam itu tewas. Hek-eng Taihiap inilah yang menolong kita!"

"Ooh...!" dan Ituchi yang bangkit serta berlutut di depan pendekar itu tiba-tiba berseru, "Paman, terima kasih. Kau telah menyelamatkan bibi!"

"Tidak, aku yang berterima kasih karena Hek-eng Taihiap menyelamatkanmu, Ituchi. Bukan kau yang berterima kasih karena aku selamat. Ayo, ucapkan terima kasih bahwa Hek-eng Taihiap telah menyelamatkanmu!"

Hek-eng Taihiap tertawa. Kalau dua orang ini saling berterima kasih untuk yang lain maka dapat dilihat betapa masing-masing amat mencinta kawannya, tak memperdulikan diri sendiri dan tentu saja pendekar ini tiba-tiba terharu. Cinta Wan Hoa kepada Ituchi maupun cinta anak itu terhadap bibinya sama besar, tak tahan pendekar ini untuk menyambar anak itu. Dan ketika Ituchi di peluk dan diciumnya maka pendekar ini berkata terharu, agak serak,

"Ituchi, kau anak baik. Sudahlah, tak perlu berterima kasih karena apa yang kulakukan adalah sudah merupakan kewajibanku. Kalian bibi dan anak sama-sama baik, aku akan melindungi kalian dan sejak ini biarlah aku mengawal kalian!"

Wan Hoa terkejut.

"Ada apakah?"

"Ti... tidak. Tapi, ah.... apakah taihiap tak punya urusan?" Wan Hoa bingung, tak tahan beradu pandang dengan pendekar ini dan tatapan Hek-eng Taihiap membuat dia tergetar. Dua kali pendekar itu menolongnya, dua kali mereka selamat. Dan ketika Wan Hoa menunduk dan Hek-eng Taihiap tersenyum maka pendekar ini berkata dengan lembut,

"Aku tak mempunyai urusan, Wan Hoa. Kalau kalian tak keberatan tentu saja aku bersama kalian, menemani. Tapi kalau kau atau Ituchi tak suka tentu saja aku tak memaksa dan akan pergi."

"Ah, tidak!" Wan Hoa menggeleng. "Aku, eh... kami tentu senang kalau kau mau menemani, taihiap. Hanya kami khawatir akan merepotkanmu saja!"

"Benar, aku suka kau temani, paman. Dan kalau boleh sekalian belajar ilmu silatmu itu!"

"Ituchı..."

"Ha ha!" Hek-eng-taihiap tertawa bergelak, memotong seruan Wan Hoa. "Kalau kau mau belajar sedikit-sedikit ilmuku tentu saja boleh, ituchi. Hanya kau ketahui saja bahwa kepandaianku masih kalah dengan Kim-mou-eng. Bukankah kau mau mencari Pendekar Rambut Emas itu?"

Ituchi tertegun, memandang bibinya. Tapi melihat bibinya terbelalak dan tampaknya bingung tiba-tiba anak ini berseri-seri. "Paman," katanya, "kalau Kim-mou-eng tak dapat kami temukan biarlah kau saja penggantinya. Bukankah kau pendekar baik-baik? Aku suka padamu, paman. Dua kali kau menyelamatkan aku dan bibi. Kalau kau suka biarlah aku belajar padamu dan ikut!"

"Hm, bagaimana bibimu?"

“Aku... aku..." Wan Hoa gagap. "Terserah kau, taihiap. Kalau Ituchi dan kau sama-sama suka biarlah kau pengganti Kim-mou-eng. Aku dapat menceritakan pada ibu anak ini tentang kalian!!”

"Tidak," Hek-eng Taihiap tersenyum. Karena kalian ingin mencari Kim-mou-eng biarlah kuantar, Wan Hoa. Kalau sebulan tak ketemu biarlah kuterima maksud itu. Terus terang, hm... aku suka anak ini. Dia penuh keberanian dan gagah, sayang barangkali agaknya aku kurang berharga sebagai gurunya!"

"Kenapa paman bilang begitu?" Ituchi girang. “Kepandaianmu tinggi, paman. Justeru barangkali aku yang kurang berharga menjadi muridmu!"

"Ha ha, tidak, Ituchi. Justeru sebaliknya, Kau yang harus mendapatkan guru yang pandai dan biarlah sementara ini aku mengajari mu dasar dasar ilmu silat" dan Hek-eng Taihiap yang girang melihat watak anak itu lalu menyambar dan melempar-lemparnya ke udara, lima enam kali dan Ituchi pun tidak takut. Anak ini memang berani dan tak kenal takut, sesungguhnya bangga Pendekar Garuda Hitam itu mendapat anak macam ini. Sayang dia merasa terlalu rendah. Dan ketika anak itu diturunkan kembali dan Ituchi tertawa maka pendekar ini mengajak semuanya berangkat.

"Ayo kita sekarang mencari Kim-mou-eng. Kalau ketemu baik, tidak ketemu pun tak mengapa...!" dan mengajak keduanya meninggalkan tempat itu akhirnya Pendekar Garuda Hitam ini berjalan mengawal Ituchi dan bibinya, ditanya apakah Kim-mou-eng masih hidup atau tewas, Wan Hoa teringat kata-kata Daikim. Tapi tersenyum menjawab pendek pendekar itu berkata bahwa Kim-mou-eng masih hidup.

"Tak usah dipercaya orang macam Daikim itu. Dia pembohong dan pendusta!"

Wan Hoa lega. Berjalan bersama pendekar ini mendadak dia merasa terlindung, aman dan bahagia. Eh! Wan Hoa tiba tiba terkejut sendiri. Kenapa bahagia? Ada apa dengan perasaannya itu? Dan ketika dia mengerling dan tanpa sengaja dikerling pula tiba-tiba Wan Hoa semburat dan melengos, mulai sering "lirik-lirikan" dan baik Hek-eng Taihiap atau pun wanita ini menyeling pembicaraan mereka dengan pandang mata lembut, mesra dan hangat. Dan ketika perjalanan dilakukan dari hari ke hari dan pendekar itu mulai menurunkan dasar-dasar ilmu silat kepada Ituchi maka seminggu kemudian, dalam perjalanan yang hangat dan mesra ini mendadak keduanya merasa saling jatuh cinta!

Aneh, Hek-eng Taihiap, pria di atas tiga puluh lima tahun itu sering memperhatikan Wan Hoa. Dan karena selama ini dia masih lajang dan kebetulan Wan Hoa juga masih sendiri maka di minggu kedua, di mana mereka sering sambar menyambar memberikan pandangan lembut akhirnya pendekar itu menyatakan cintanya, tentu saja panas dingin karena sama-sama merasa jatuh cinta untuk pertama kali. Lucu.

Waktu itu mereka bertiga beristirahat. Ituchi lelah, anak ini tidur dan Wan Hoa memberikan selimutnya. Dalam perjalanan Hek-eng Taihiap telah mencukupi keperluan dua orang ini dengan makan minum dan pakaian. Wan Hoa benar-benar merasa berhutang budi sekali. Dan ketika dua orang itu duduk sendiri dan canggung serta malu-malu, hal yang akhir-akhir ini sering terjadi, tiba,tiba Pendekar Garuda Hitam itu beringsut, mendadak memegang lengan Wan Hoa, menggigil.

"Wan Hoa, bolehkah aku bicara sesuatu?"

Wan Hoa terkejut. Saat itu dia menjahit baju yang sobek, mengangkat mukanya dan tiba-tiba merah padam. Pandang mata dan sikap Hek-eng Taihiap yang mesra serta lembut membuat dia menunduk, tak tahan. Dan ketika dia bertanya apa yang hendak dikatakan pendekar itu dan membiarkan tangannya digenggam gadis ini tampak tak berhasil menguasai suaranya yang gemetar pula. "Taihiap mau bicara apa?"

"Ah," Hek-eng Taihiap mendekat. "Buang sebutan taihiap itu, Wan hoa. Bukankah berkali-kali kularang kau menyebutku taihiap. Panggil saja aku Siok-twako, atau Beng-twako (kakak Beng). Kau tahu namaku adalah Siok Gwan Beng Dan, hm.... aku mau bicara tentang kita, tentang kau dan aku...."

Wan Hoa mengangkat mukanya. Saat itu Hek-eng Taihiap melirih suaranya, serak dan menggigil. Dan ketika dia memandang dan beradu pandang di udara tiba-tiba dia terkejut melihat pendekar itu menitikkan air matanya, "Eh, taihiap kena apa?"

Gwan Beng, Pendekar Garuda hitan ini cepat menghapus air matanya. "Aku... aku tak apa-apa, Wan Hoa. Hanya sedikit terguncang dan gugup. Aku... aku mau menyatakan cinta!"

Wan Hoa tersentak. Mukanya tiba-tiba seperti kepiting direbus, merah sampai ke telinga. Tapi mendengar suara yang lantang seperti panglima mau perang tiba-tiba Wan Hoa tak dapat menahan geli dan tertawa.

"Eh, kenapa kau tertawa?"

"Hi-hik, aku.... ah, aku geli, taihiap. Kau lucu!"

"Hmm....!" Hek-eng Taihiap tiba-tiba terpukul, malu. "Aku... aku serius, Wan Hoa. Aku benar-benar menyatakan cintaku!"

Wan Hoa memandang, Hek-eng Taihiap membalas. Dan ketika dua mata itu beradu sama-sama tajam di udara tiba-tiba Wan Hoa menunduk dan terisak, tak menjawab kecuali memainkan jari-jarinya di atas baju sendiri. Hek-eng Taihiap penasaran dan memegang jari-jari yang lembut itu, tangan yang menggigil. Dan ketika pendekar itu bertanya bagaimana jawaban Wan Hoa tiba-tiba Wan Hoa menangis dan berseru,

"Taihiap, perlukah kujawab lagi? Tidakkah kau tahu bahwa aku... aku, ah...!" dan Wan Hoa yang menubruk, serta mendekap pendekar itu tiba-tiba mengguguk, dan tersedu-sedu. Aneh sekali.

Hek-eng Taihiap menjadi bingung. Dia tak tahu apa artinya ini, wanita dianggapnya menyimpan banyak misteri. Namun mendorong dan mengangkat wajah itu dia coba bertanya, “Wan Hoa, kau menerima cintaku?"

Wan Hoa tak kuat menahan. "Perlukah ku jelaskan, taihiap?"

"Ya, aku ingin tahu jawabanmu, Wan Hoa Aku perlu kepastian!"

"Kalau begitu kau... kau bodoh!" dan Wan Hoa yang menangis lagi di pelukan pendekar ini akhirnya membuat Hek-eng Taihiap bingung dan ragu-ragu.

Sebagai lelaki yang jarang bergauI dengan wanita memang dia canggung dan kikuk sekali. Lihat pernyataan cintanya tadi, lantang seperti perajurit maju perang. Namun karena dia pun memiliki naluri dan naluri laki-laki ini menyatakan gadis itu menerima cintanya tiba-tiba, untuk membuktikan kebenarannya Hek eng Taibiap menunduk dan mencium.

"Baiklah, kalau begitu biarlah kubuktikan, Wan Hoa. Aku... maaf, aku menciummu!" dan nekat mencium bibir itu tiba-tiba Hek eng Taihiap menghisap dan memejamkan mata. Apa yang dilakukan ini dilakukannya sepenuh keberanian. Lucu melihat perbuatan pria di atas tiga puluhan itu, dia layaknya perjaka yang baru mengenal wanita. Mulut mencium asal mencium, tentu saja, Wan Hoa tersedak, terbatuk-batuk.

Dan ketika Wan Hoa melepaskan diri dan geli namun juga terharu tiba-tiba wanita ini tersenyum dan tertawa, aneh sekali, tertawa di saat air mata masih basah. "Taihiap, kau lucu. Canggung sekali, ah, kau pria serba kikuk!" dan Wan Hoa yang bangkit melempar pandangan mesra tiba-tiba berlari dan tertawa meninggalkan pendekar itu, membuat Hek-eng Taihiap tertegun namun girang. Mukanya merah, Wan Hoa tidak marah. Dan karena Wan Hoa membiarkan dia mencium dan wanita itu melempar pandangan mesra tiba-tiba pendekar ini bangkit meloncat tertawa mengejar.

“Hoa-moi (dinda Hoa), tunggu...!”

Wan Hoa tertangkap. Hek-eng Taihiap menyambar dan menubruknya, mereka terguling dan segera tertawa-tawa. Dan ketika mereka bergulingan dan berpelukan sambil tertawa-tawa maka Hek-eng Taihiap mendaratkan lagi ciumannya ke wajah wanita ini, disambut dan segera Pendekar Garuda Hitam itu melayang ke surga. Kini yakinlah dia bahwa cintanya bersambut, sang pujaan menerima dan bukan main girangnya hati. Dan ketika mereka berciuman dan Hek-eng Taihiap tidak canggung atau kaku lagi maka gerakan pendekar ini lebih berani lagi dan segera Wan Hoa mengeluh atau menggelinjang, jari-jari sang kekasih menyelinap ke sana-sini. Hek-eng Taihiap hampir lupa daratan karena ia baru pertama itu dia dibuat mabok. Tapi ketika sang pendekar hendak bertindak jauh dan Wan Hoa mendorong tiba-tiba wanita ini berbisik,

"Beng-ko, di sini ada Ituchi. Sst, jangan...!"

"Ah, maaf, moi-moi. Aku lupa," Hek-eng Taihiap sadar, mencium kekasihnya dengan lembut dan tentu saja dia mengurungkan niatnya itu. Di situ memang ada Ituchi, mereka harus hati-hati. Dan ketika keduanya sadar dan Hek-eng Taihiap mengangguk maka pendekar itu meraih dan memeluk kekasihnya, membisikkan kata-kata cinta dan Wan Hoa terharu.

Lelaki ini dapat menahan diri, dia bahagia. Dan karena keduanya memang saling jatuh cinta dan kehangatan serta kemesraan itu ditunjukkan kian menjadi suka sebentar kemudian mereka sudah intim dan akrab, tawa dan senyum silih berganti. Ah, orang bercinta memang nikmat. Begitu nikmatnya hingga sekeliling pun bisa terlupa. Dan ketika hari demi hari dilewati lagi dengan indah dan burung serta lain-lain berkicau gembira maka sebulan kemudian lewat dengan cepat dan tibalah hari keputusan itu.

"Kim,mou-eng tak kita ketemukan. Bagaimana sekarang?"

"Ituchi ikut denganmu, Beng-ko. Dan aku...." Wan Hoa tiba-tiba sedih, terisak. "...pulang!”

"Hm," pendekar ini mencekal lengan kekasihnya. "Bagaimana kalau kau ikut aku, Hoa-moi? Kita membangun saja keluarga bahagia, kau dan ituchi tak berpisah!"

"Tidak, bagaimana dengan Cao Cun? Aku tak dapat meninggalkan sahabatku itu lama-lama, Beng-ko. Dia tiada ubahnya saudaraku sendiri!"

Hek-eng Taihiap tertegun. Dia melihat cinta luar biasa kekasihnya ini terhadap Cao Cun. Ah, betapa agung dan hebatnya cinta Wan Hoa itu, sedikitpun Wan Hoa tak dapat melupakan sahabatnya. Agaknya, Hek,eng Taihiap cemas, Wan Hoa sanggup meninggalkan dirinya demi Cao Cun. Persahabatan di antara dua orang itu sedemikian luar biasanya hingga tak seorang pun mampu meninggalkan yang lain. Wan Hoa tiada ubahnya Cao Cun sementara Cao Cun sendiri tiada ubahnya Wan Hoa. Dua orang ini satu jiwa dua raga. Wan Hoa sanggup mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan Cao Cun. Dan karena pendekar itu mulai tergetar dan was was akan sikap Wan Hoa maka benar saja kekasihnya itu berkata, tersendat,

"Beng-ko, sekarang waktu sebulan itu habis. Aku harus kembali, menemani Cao Cun. Kau pergi dan bawalah Ituchi. Kalau kau rindu datanglah sewaktu-waktu ke sana."

"Hm," Hek-eng Taihiap merasa dinomor duakan. "Apakah kau tak dapat menuruti nasihatku, Hoa-moi? Apakah kita tak melanjutkan hubungan ini sampai rumah tangga?"

Wan Hoa menangis. "Aku tentu tak akan mengecewakanmu, Beng-ko. Tapi aku juga tak dapat berpisah dengan sahabatku. Cao Cun sendiri di sana, dia tak ada siapa siapa. Bagaimana kalau Khan yang baru mengancam dan mencelakai dirinya? Tidak, aku tak dapat meninggikan sahabatku. Beng-ko. Kau maafkanlah aku dan biar aku pulang!"

"Gila," pendekar ini terkejut. "Kau mengorbankan cinta kita, Hoa-moi. Kau lebih memberatkan Cao Cun daripada aku!"

Wan Hoa tiba-tiba tersentak, membuka matanya lebar-lebar. "Beng-ko, sebagai seorang pendekar tentu kau tak boleh egois. Tak dapat kusangkal bahwa aku dapat mengorbankan segala-galanya demi Cao Cun. Kami senasib dan sependeritaan sejak masih remaja, Beng-ko. Apa yang kualami bersamanya sudah seraga mendarah daging. Kami satu meskipun dua. Kau tak boleh begitu kalau melihat cinta kami, justeru kau harus bijaksana dan menolong Cao Cun pula kalau tak ingin hatiku mendua!"

"Hm." pendekar ini terpukul. "Baiklah, bagaimana kalau begitu maumu?"

"Aku harus kembali. Beng-ko, menengok dan menemani sahabatku itu."

"Dan Ituchi?"

"Ikut denganmu. Kau gembleng dia, kau latih dia ilmu ilmu silat seperti janjimu sendiri. Kalau sudah, kau datanglah ke tempat kami dan jemput aku. Ituchi tentu sudah dapat menjaga ibunya."

Hek-eng Taihiap tertegun. Tiba-tiba dia melihat betapa mulia dan agungnya kekasihnya ini, Wan Hoa siap berkorban sampai Ituchi pandai, artinya sampai pemuda itu dapat menjaga ibunya sendiri kalau Wan Hoa sudah menjadi isterinya. Kata-kata Wan Hoa bahwa dia disuruh datang dan menjemput wanita itu jelas mengandung arti yang gamblang. Hek-eng Taihiap tiba-tiba terharu. Dan karena dia merasa betapa dia hampir terjerat keakuannya dan untung sang kekasih menyadarkan tiba-tiba pendekar itu memeluk dan mencium Wan Hoa, terharu dan gemetar.

"Baiklah, aku mengikuti kata-katamu, Wan Hoa. Tapi kau tak boleh pulang sendiri. Aku mengantarmu, dan setelah itu Ituchi ikut denganku"

Wao Hoa terisak. "Kau tidak marah, Beng-ko?"

"Ah, mendapatkan kekasih seagung dan semulia dirimu bagaimana aku marah, moi-moi? Tidak, justeru aku terharu dan bangga melihat persahabatanmu yang begitu suci dan tulus terhadap Cao Cun, moi-moi. Semoga aku dapat mengikuti jejakmu dan rela berkorban untuk orang yang di sayang!"

Wan Hoa menangis. Tiba-tiba dia tahu bahwa kekasihnya ini berkorban pula demi dia, Hek-eng Taihiap menahan diri dan tidak memaksa, Betapa berbudi dan bijaksananya pula kekasihnya ini. Dan ketika dia dipeluk dan Wan Hoa mengangkat wajahnya tiba-tiba wanita itu mencium dan mendahului. "Beng-ko, maaf...!"

Hek-eng Taihiap serasa terbang. Baru kali ini Wan Hoa menciumnya lebih dulu, biasanya dia yang memulai dan Wan Hoa menerima. Tapi begitu menyambut dan balas mencium tiba-tiba keduanya melekat dan seolah tak mau berpisah lagi. Wan Hoa menumpahkan semua sesal dan cintanya kepada pendekar itu. Dia tahu bahwa mereka segera harus berpisah, Ituchi tak dapat dibawa ke tempat bangsa liar itu karena Khan yang baru akan mengancam.

Satu satunya jalan memang anak itu harus disingkirkan dan sudah tepat kalau mendapat pendekar ini, karena Kim-mou-eng tak mereka ketemukan. Dan ketika pertemuan itu diakhiri dengan ciuman ciuman mesra dan keduanya saling menumpahkan sayang dan cinta maka hari itu Ituchi disuruh menunggu karena pendekar ini akan mengantar Wan Hoa sampai di tempatnya sendiri. Tapi, ketika di perbatasan tiba-tiba Wan Hoa merandek.

"Beng.ko," wanita itu tiba-tiba berkata. "Bagaimana kalau Cao Cun kubujuk agar meninggalkan tempat itu dan bersama kita? Kita dapat segera hidup sebagai suami isteri, Beng-ko. Aku tak perlu menyiksamu lagi dan Cao Cun pun aman...!"