Sepasang Cermin Naga Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 03
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SENJATA di tangan pendekar itu nyaris terlepas. Ji-moi mengerahkan sinkangnya, hebat hingga pit di tangan pendekar ini tergetar. Kim-mou-eng merasa tangannya sakit dan linu. Sampokan tadi bukan sembarang sampokan dan tentu saja dia gelisah. Dan ketika dia menyerang lagı namun pukulan maupun totokan tak mempan menghadapı nenek yang sakti ini akhirnya senjata di tangan Kim-mou-eng patah bertemu tubuh si nenek yang kebal.

“Krek!" Kim-mou-eng membuang pitnya di lantai, marah tapi juga bingung. "Kau hebat, nenek siluman. Tapi aku belum menyerah!" bentakan itu disusul terjangan kedua, tangan kiri menampar sementara tangan kanan menghantam. Kim-mou-eng melakukan dua serangan sekaligus ke kepala dan lambung. Tapi ketika si nenek tertawa dan mengibas rambutnya yang riap-riapan mendadak dua pukulan, itu dısambut dengan sabetan rambut yang tiba,tiba berubah kaku seperti kawat baja.

“Plak-plak!" Kim-mou eng mengeluh. Lawan tidak berhenti sampai disitu saja, Ji-moi terkekeh dan menggerakkan kepala, rambut yang menangkis tiba-tiba juga menggubat pergelangan tangan lawan. Kim-mou-eng mau menarik tapi tak keburu. Pendekar ini berseru kaget ketika tangannya tergurat. Dan ketika dia mau membetot tapi lawan mendahului mendadak nenek itu telah menyendal dan Kim-mou-eng pun roboh terbanting.

"Bress!" Kim-mou-eng terguling-guling, melompat bangun dan melihat si nenek berkelebat. Rambut itu meledak dan kini menyambar pinggangnya, melibat dan menarik dan Pendekar Rambut Emas berseru keras. Dia menghantam tapi si nenek mengangkat naik. Dan ketika dia kehilangan keseimbangan dan si nenek pun membanting, maka Kim-mou-eng lagi-lagi terlempar dan jadi bulan-bulanan serangan nenek ini, mendengar lawan terkekeh.

Dan para menteri serta perwira terbelalak melihat semuanya itu. Dengan jelas mereka melihat bahwa Kim-mou-eng bukan tandingan nenek ini. Padahal nenek yang lain masih belum bergerak. Bukan main saktinya nenek itu. Dan ketika Kim-mou-eng kembali terguling-guling dan dihajar serta dilecut cambuk maka Toa-ci, nenek pertama, berseru agar adiknya menyudahi main-main itu, Ji-moi memang mempermainkan Kim-mou-eng.

"Ji-moi, bereskan dia. Bunuh!"

“Hih-heh, baik, Toa-ci. Lihat sekarang dia akan kucekik... wiirrr" rambut itu tiba-tiba meluncur cepat, lurus dan tahu-tahu sudah melilit di leher Pendekar Rambut Emas. Dan ketlka Kim-mou-eng tersentak dan kaget membelalakkan mata sekonyong-konyong tubuhnya terangkat naik dan diputar-putar di sekeliling tubuh nenek itu.

"Hi-heh, mampus kau bocah. Mampus!"

Kim-mou-eng pucat. Dia sudah tak berdaya diperlakukan seperti itu, tubuhnya terkatung di udara, kian lama kian cepat diputar dan tentu saja nafasnya tercekik. Kim-mou-eng kaget bukan main. Tapi ketika si nenek terkekeh-kekeh dan betapa pun Kim-mou-eng tak mau mati konyol tiba-tiba pendekar ini mengeluarkan bentakan keras dan kedua tangan menghantam dengan pukulan sinar putih, satu-satunya pukulan yang merupakan ilmu simpanan yang bukan lain Pek-sian-ciang adanya.

"Dess!" Nenek itu bergoyang. Tubuhnya tiba-tiba berhenti berputar, rambut yang melilit mengendur, Kim-mou-eng telah menghantamnya begitu hebat dan Ji-moi sejenak lupa bahwa pendekar ini masih mempunyai ilmu andalan, Pek-sian-ciang atau Pukulan Dewa Putih. Kini sadar tapi pukulan telah mengenai dirinya. Rambut sebagian putus dan nenek ilu terhuyung, Kim-mou-eng membebaskan diri. Dan ketika nenek itu terbelalak dan Kim-mou-eng mengeluarkan bentakan kedua dan menghantam lagi maka sinar berkedip menyambar dan kembali mengenai nenek itu, yang tampaknya tertegun.

“Dess!” Ji-moi mengeluh. Untuk pertama kalinya nenek itu sadar, dia terlalu merendahkan lawan dan lupa jelek-jelek Kim-mou-eng masih dapat menggigit. kini "gigitannya" itu dirasakan dan pakaian nenek ini hancur. Kejadian seperti dulu berulang, Ji-moi terkejut dan batuk-batuk.

Kim-mou-eng terbelalak, seharusnya kalau orang lain tentu sudah mampus dan terkapar roboh, nenek ini masih dapat berdiri meskipun bergoyang-goyang. Dan karena saat itu merupakan penentuan dan tak boleh dia membuang kesempatan tiba-tiba untuk ke tiga kalinya pendekar ini menyerang lagi dan menghantam, kali ini mengerahkan segenap kekuatannya dan gedung istana seakan diguncang dentuman gunung meletus. Bukan main hebatnya. Bentakan Kim-mou-eng itu sendıri sudah cukup membuat orang-orang yang ada di situ terpelanting, sebagian besar roboh, pingsan! Tapi ketika Kim-mou-eng menghantam dan nenek Ji-moi tersentak tiba-tiba nenek itu mendengar seruan toa-cinya (kakak) dan bayangan nenek pertama berkelebat.

"Awas.. dess!"

Pukulan Pek-sian-ciang seolah mengenai bukit. Ji-moi, sang nenek menggerakkan lengannya. Saat itu nenek ini menggeram dan menyambut, sang Toa-ci menyelinap di belakang Kim-mou-eng dan menotok. Dan ketika Ji-moi menerima pukulan itu dan mengerahkan sinkang menolak maka nenek itu menjerit sementara Kim-mou-eng bergoyang lawan mencelat naik tapi Toa-ci sudah ada di belakangnya. Gerakan nenek ini yang menotok tengkuk termasuk perbuatan curang, Kim-mou-eng merasa tolakan keras dari nenek Ji-moi. Pukulannya tertahan danmembentur dinding tak kelihatan yang bukan main kuatnya, mau membalik dan menghantam dirinya sendiri.

Dan ketika Toa-ci melengking dan menotok tengkuknya tiba-tiba Kim-mou-eng mengeluh dan roboh terlempar, seketika pingsan karena serangan di belakang itu melumpuhkan tenaganya. Pek-sian-ciang akhirnya membalik dan benar-benar menyerang dirinya sendiri. Keadaan ini bisa membahayakan Kim-mou-eng, apalagi pendekar itu sedang pingsan nyawa bisa terbang dalam keadaan tak sadar. Tapi ketika pendekar itu mencelat dan hampir menumbuk dinding sekonyong-konyong sebuah helaan terdengar dı situ dan seorang maha sakti menangkap Pendekar ini berseru lembut,

"Thian Yang Agung,! Bi Kim dan Bi Lan masih juga telengas... ahh!"

Dan Kim-mou-eng yang ditahan serta diselamatkan dari pukulan maut tiba-tıba dilontar ke atas dan... blang." dinding di belakang hancur berkeping-keping menerima hembusan Pek-sian-ciang yang membalik begıtu dahsyat, lewat dan tembus begitu saja di tubuh manusia maha sakti ini dan Kim-mou-eng kembali ditangkap, diterima dan seorang kakek yang mukanya tertutup halimun muncul di situ. Entah kapan dia datang tak ada yang tahu.

Tapi begitu düa nenek itu melihat kakek ini tiba-tiba keduanya berjengit dan mundur mengeluarkan seruan gentar, “Sian-su...!"

"Bu-beng Sian-su...!"

Dua nenek itu tertegun. Mereka melihat sang maha sakti, kakek dewa Bu-beng Sian-su, berdiri di situ. Kakek ini memandang dua nenek itu dan Sepasang Dewi Naga terkejut, mereka tadi telah disebut nama kecil masing-masing, sang kakak bernama Bi Kim sedang sang adik bernama Bi Lan. Itulah nama yang hampir terkubur dua ratus tahun yang lalu, tak ada yang tahu kecuali si manusia dewa ini, Bu-beng Sian-su yang berkepandaian tinggi, tentu saja dua nenek itu tersentak dan kaget bukan main. Rasa gentar jelas membayang di wajah dua orang nenek ini. Tapi melihat Bu-beng Sian-su menolong muridnya dan perlahan namun lembut kakek itu mengusap muridnya agar sadar tiba-tiba nenek Ji-moi, Bi Lan, melengking berkelebat ke depan.

“Sian-su, kau mampuslah...!”

Bu-beng Siansu, kakek yang diserang tenang-tenang saja. Dia tidak mengelak, juga tidak menangkis. Pukulan nenek Ji-moi menghantam dahsyat ke tubuhnya. Tapi begitu kakek ini mengangkat tangan tinggı-tinggi dan menerima pukulan itu tiba tiba pukulan yang begitu dahsyat lewat begitu saja dan kakek ini tidak apa-apa, seolah menyerang sebuah bayangan yang tidak berbadan kasar.

"Dess!" tembok di belakang malah menjadi sasaran. Suara hiruk-pikuk menyusuli serangan itu, dinding ruangan roboh dan nenek Ji-moi kembali melengking. Dengan marah dan gusar ia kembali menyerang. Tapi ketika pukulannya lewat dan Bu-beng Sian-su tak apa-apa maka nenek ini gentar meneriaki encinya. "Toa-ci, serang!"

Toa-ci, nenek yang bernama kecil Bi Kim terbelalak. Dia melihat dua pukulan adiknya menghantam angin kosong, tubuh lawan tak apa-apa padahal baju manusia dewa itu berkibar keras. Jelas pukulannya mengena tapi entah bagaimana kakek dewa itu tak merasakan. Nenek ini pun marah. Dan karena adiknya meneriaki dan ia pun penasaran tiba-tiba nenek Toa-ci membentak dan berkelebat pula ke depan.

“Desss! Pukulan nenek Toa-ci membuat genteng di atas berhamburan. Ruangan terasa dilanda gempa dahsyat dan beberapa yang masih ada di situ berpelantingan roboh. Mereka tadi belum pingsan oleh bentakan Kim-mou-eng, kini mencelat dan pingsan oleh hembusan angin Toa-ci. Bu-beng Sian-su berseru perlahan dan tampak menggoyang tubuh, Kim-mou-eng dilontar kembali ke atas dan diterima setelah pukulan lewat. Dan ketika Toa-ci melengking dan kakek dewa itu menggumam tak jelas tiba-tiba nenek Ji-moi, nenek kedua menyuruh encinya menyerang berbareng, muka dan belakang.

"Toa-ci... serang serentak. Lancarkan Mo-seng-ciang (Pukulan Bintang Iblis)!"

Sang Toa-ci mengangguk. Saat itu penasarannya pun memuncak, begitu pula kemarahannya. Maka begitu sang adik menyuruh dia melancarkan Mo-seng-ciang, sebuah pukulan dahsyat yang dipunyai mereka tiba-tiba dua nenek ini berkelebat dan dari muka serta belakang mereka menghantam sekuat tenaga.

“Blang!” Sinar hitam berkedip warna-warni menyambar tubuh Bu-beng Sian-su. Awan gelap dan ledakan bagai petir terdengar di situ. Entah apa yang terjadi tapi Bu-beng Sian-su mengangkat sebelah lengannya, kakek itu mengeluh dan menyambut dua nenek Naga tersebut dan menjerit. Dan ketika Bu-beng Sian-su menolak dan Bi Kim serta Bi Lin mencelat tiba-tiba dua nenek itu mengaduh dan berguling-guling melontakkan darah.

"Aduh, keparat kau, Sian-su. Jahanam!'"

Dua nenek itu memaki, tubuh mereka berubah kehitaman dan masing-masing mendelik. Masing-masing seakan menjadi arang dan hanya sepasang mata bulat yang berwarna keputihan tampak di situ, menandakan bahwa mereka masih hidup dan Ji-moi serta kakaknya menangis. Tadi mereka ditahan dan ditolak oleh tenaga maha dahsyat, pukulan mereka membalik dan Mo-seng-ciang justeru memhuat mereka hangus. Kalau bukan mereka tentu dua nenek ini sudah terbakar kulitnya. Mereka seketika sudah menjadi kehitaman dan tentu saja mereka sudah tak dapat memulihkan diri. Dan ketika menyadari bahwa mereka tak dapat menandingi manusa dewa itu dan Bi Lan serta kakaknya gentar tiba-tiba mereka memekik dan melarikan diri, menyamhar Togura.

"Togur, lari. Kita ketemu iblis!"

Bu-beng Sian-su. kakek dewa itu tak mengejar. Dia hanya menghela napas dan mengurut muridnya. Kim-mou-eng sadar dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Gurunya datang dan menolong. Untung, kalau tidak tentu dia binasa. Sepasang nenek siluman itu betul-betul hebat. Dan ketika gurunya menarik bangun dan mengebut lengan kesegala penjuru maka para menteri dan perwira yang roboh pingsan mendadak bangun berdiri dan segar bugar disehatkan kakek maha sakti ini.

"Muridku, mari pergi. Aku ingin bicara di luar!!” Kakek itu lenyap. Sama seperti datangnya tadi manusia dewa ini tak meninggalkan jejak.

Kim-mou-eng girang tapi juga çemas. Dan ketika dia menolong Kim-taijin dan aneh bin ajaib semua luka-luka dı tubuh menteri itu hilang setelah dikebut gurunya maka Kim-mou-eng menyusul dan meninggalkan orang-orang itu, diteriaki namun tak dihiraukan dan semua menteri serta perwira mengira Kim-mou-eng mengusir dua nenek siluman itu. Tadi mereka setengah pingsan ketika Kim-mou-eng melancarkan Pek-sian-ciangnya yang ketiga, akhirnya benar-benar pingsan setelah dihembus pukulan dua nenek itu. Dan ketika Kim-mou-eng lenyap dan tentu saja kegegeran itu tak dapat mereka lupakan dan Kim-mou-eng dıpuji setinggi langit maka di lain tempat Kim-mou eng sendiri telah terbang dan menyusul gurunya, membiarkan istana sibuk sendiri dengan urusannya.

Sepasang nenek iblis itu telah pergi. Dan begitu Kim-mou-eng pergi pula dan entah apa yang dilakukan pendekar itu ditempat lain, maka pemakaman jenazah akhirnya di percepat dan tak lama kemudian pangeran mahkota yang di pilih telah menduduki jabatannya sebagai pengganti sang ayahanda.

* * * * * * * *

“Bagaimana, kau masıh mengulur-ulur waktu ibu?"

Begitu sebuah pertanyaan dilontarkan seorang pemuda gagah kepada seorang wanita lain yang masih muda. Wanita ini sejak tadi menangis terisak, duduk di hadapan seorang pemuda tinggi besar berkulit hitam, usianya tak lehih dari dua puluh tiga tahun dan pemuda di depannya yang bertanya tampak tak sabar. Sudah beberapa harı ini dia mendesak. Dan ketika wanita yang ditanya mengguguk dan malah tersedu-sedu akhirnya pemuda tınggi besar itu gemas.

"Ibu!" katanya lagi. "Sudah sebulan ini kau menunda jawaban. Ayah telah wafat, kau dan semuanya yang ada di sini diwariskan secara adat kepadaku. Apalagi yang ditunggu?"

"Aduh, nanti dulu, Cimochu. Biarkan aku berpikir, aku.... aku minta waktu seminggu lagi"

"Hm... kalau begitu ini batas waktu terakhir, ibu. Setelah itu kau tak boleh mengulur lagı dan tunduk kepadaku!'

Pemuda itu marah, meninggalkan kamar itu dan si wanita cantik mengguguk. Sudah berapa waktu ini dia didesak. Dan ketika pemuda itu pergi dan wanita ini yang bukan lain Cao Cun adanya melempar tubuh di pembaringan. Akhirnya wanita ini menutupi mukanya dan menangis berguncang-guncang.

“Wan Hoa, berhasilkah tugasmu? Dapatkah kau menemui. Kim-twako?" begitu berulang-ulang ia mengeluh. Ratapannya memilukan dan sepuluh hari ini matanya selalu merah. Tapi karena tetap cantik dan betapapun kecantikan Cao Cun tak ada tandingannya di seluruh bangsa liar itu maka tangisnya yang mengguguk justeru menyentuh hati menyayat perasaan.

Bagaimanakah asal mulanya? Kenapa wanita ini selalu dirundung nasib celaka? Tak ada yang tahu. Sebulan itu wafatnya raja Hu telah lewat. Cao Cun, wanita yang dıperisteri raja liar ini akan diperisteri anak tirinya, Cimochu yang gagah dan yang tadi telah menanyai dirinya. Pemuda tinggi besar itu memang jengkel, dia selalu diulur-ulur dan disuruh menunggu. Gemas dia. Dan ketika hari itu Cao Cun dipepet dan diberi batas terakhir maka wanita ini menjanjikan batas satu minggu untuk memberi jawaban.

Akan diterimakah? Atau ditolak? Cao Cun belum tahu pasti. Yang jelas, dia terhimpit rasa takut dan tak sudi. Takut kepadà ancaman tapi tak sudı kalau harus dikawin anak tirinya sendiri. Aib itu. Pantang bagi wanita Han yang terhormat untuk melakukan itu. Tapi karena dia tak berada di negerinya sendiri dan adat istiadat bangsa liar itu harus diikutinya maka berminggu-minggu ini Cao Cun meratap dan mengeluh.

Memang berat. Mana ada ibu tiri dikawin anaknya sendiri? Hal begini memang langka dan dikutuk bangsa baik-baik. Tapi karena bangsa liar itu memang bangsa liar dan Cimochu sendiri berbulan-bulan ini tertarik dan tergila-gila kepada ibu tirinya maka meninggalnya raja Hu justeru seperti sebuah kesempatan bagi pemuda tinggi besar ini. Cimochu sudah lama merasa jatuh cinta kepada ibu tirinya itu.

Lihat, mana ada wanita di tengah-tengah suku bangsanya yang demikian cantik dan jelita seperti Cao Cun? Mana ada yang halus dan lembut seperti selir kaisar yang tak jadi diambil itu? Seluruh Tiongkok mengakui itu, apalagi Cimochu dan bangsa liarnya. Maka begitu sang ayahanda mangkat dan Cimochu merasa mendapat durian runtuh segera pemuda berkulit hitam ini mendekati ibu tirinya.

"lbu harus menjadi isteriku," demikian mula-mula pemuda itu berkata, lembut dan halus dengan mata bersinar-sinar. "Adat dan cara bangsa ini mengharuskan segala milik ayah menjadi tanggung jawab putera sulung. Karena itu bersiaplah agar kita merayakan pesta agung!"

Cao Cun pucat. Memang dia sudah mendengar itu, jauh hari sebelum suaminya meninggaI, di kala sang suami terbaring sakit dan merupakan berita selentingan. Tapi ketika berita itu kian santer dan kini Cimochu sendiri sudah menyatakan itu secara terang-terangan maka Cau Cun hampir roboh pingsan mendengar itu.

"Bagaimana? Ibu sudah menetapkan harinya?" begitu sang anak tiri bertanya lagi di lain kesempatan. "Kita harus cepat-cepat menjadi suami istri, ibu. Setelah itu kita punya anak dan membangun bangsa yang besar!"

Cao Cun merenung seperti patung. Saat itu air matanya berderai, mau menolak tapi tahu akibatnya. Dan karena berhari-hari ini sudah mulai sering dikunjungi pemuda itu dan perasaan takut serta cemas hampir membuat wanita ini kehilangan akal maka Wan Hoa, sahabat setianya itu memberi jalan,

"Jangan khawatir aku akan menolongmu, Cao Cun. Aku akan ke kota raja dan meminta tolong istana!”

“Hm." Cao Cun memandang kosong. "Kau wanita lemah, Wan Hoa, seperti juga aku. Kalau kau datang sendiri dan minta kesana tentu tak berhasil.“

"Lalu apakah aku barus membiarkanmu begini?"

Cao Cun diam. "Tidak," Wan Hoa menyambung. "Aku tidak meminta sendiri, Cao Cun, melainkan mencari Kim-twako dan dialah yang ku mintakan bantuannya!"

"Kim-mou-eng?"

"Ya, siapa lagi? Dialah yang dapat melakukan apa yang tak dapat kita lakukan Cao Cun. Karena itu tenanglah dan tunggu hasilnya."

Cao Cun bangkit semangatnya. Ia teringat wajah yang gagah dan tampan dari Pendekar Rambut Emas itu, tiba-tiba Cao Cun merasa rindu, air mata menitik dan tiba-tiba terkenanglah dia akan segala suka dukanya bersama sang pendekar tampan. Betapa mula-mula dia jatuh hati tapi diganggu Mao-taijin, dikurung dan dilepas tapi akhirnya terjebak lagi. Satu demi satu gangguan hidup silih berganti, Kim-mou-eng berkali-kali menolongnya tapi selalu saja ada yang tidak senang.

Cİnta pertamanya gagal dan Kim-mou-eng ditekan sumoinya, Salima yang sudah lama tergila-gila dan jatuh cinta lebih dulu kepada Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika dia terkurung di istana Dingin dan berkali-kali mengalami nasib menyedihkan akibat ulah Mao-taijin akhirnya dia diberikan kepada raja Hu dan kini hidup di tengah tengah suku bangsa liar. Satu dua dihubungi pihak keluarganya tapi hubungan itu lebih bersifat kunjungan "politik".

Keluarganya diminta kaisar agar dia berbaik-baik dengan raja Hu, raja liar itu banyak membantu istana dengan penjagaannya di tembok besar. ltulah sebabnya dia dihadiahkan pada raja bangsa liar itu karena raja Hu tak mengganggu istana, bahkan menjadi sahabat dan bertahun-tahun menjaga tapal batas dari serangan suku-suku bangsa lain. Tar-tar umpamanya. Dan karena dia mengemban tugas untuk tetap menjaga persahabatan ini dengan melayani suaminya sebaik mungkin maka Cao Cun tertekan dan sedih.

Memang betul. Wanita cantik ini sedang mengemban tugas negara, secara tidak kentara. Karena kaisar yang waktu itu berkuasa dan ingin menjaga hubungan baik dengan raja Hu sengaja "menjual" wanita ini agar raja Hu tidak menyerang istana, diberi wanita cantik dan kebetulan raja Hu tergila-gila pada Cao Cun. Cao Cun memang hebat dan cantik, kecantikannya tak ada yang menandingi di seluruh negeri. Wanita ini adalah hasil seleksi ketat dari permintaan kaisar yang kejatuhan mimpi suatu malam bahwa dia harus mencari Cao Cun, didapat tapi diputar-putar oleh Mao-taijin yang menghendaki ayah Cao Cun bupati Wang, memberi dulu hadiah padanya, lima ratus ons emas, tidak diberi dan karena itu menteri ini lalu membalas dendam.

Cao Cun tak diberikan pada kaisar melainkan disimpan saja di Istana Dingin, sebuah istana penampung bagi selir-selir kaisar yang dipilih, calon selir. Dan karena Mao-taijin berusaha menekan namun ayah Cao Cun tetap bersikeras pula dengan sikapnya untuk tidak memberi sogokan itu, maka Cao Cun menjadi korban dan begitulah, gadis ini akhirnya menjadi isteri pemimpin bangsa liar, dibawa keluar kota raja dan kini hidup di tengah-tengah suku itu. Mula-mula tak dapat menerima suaminya tapi pihak keluarga selalu memperingatkan, dia tak boleh begitu dan harus mencintai suaminya. Cao Cun ditekan dan dipaksa.

Dan karena kebetulan suaminya amat mencintai dirinya dan sedikit demi sedikit perhatian suaminya yang begitu besar berhasil menggugah perasaannya pula akhirnya Cao Cun dapat melakukan semuanya itu dan dia pun melahirkan seorang putera, diberi nama ltuchi Yashi dan kebahagiaan mulai timbul. Tapi, belum lama kebahagiaan atau kesenangan ini didapat tiba-tiba raja wafat dan kini Cimochu mengganggu.

"Sudahlah, paduka tak perlu bersedih, hu-jin. Ini memang adat bangsa sini dan Cimochu benar, segala warisan ayahnya akan jatuh ke tangannya. Paduka tinggal menerima dan jangan membuat celaka, kita semua bisa terancam."

Begitu seorang pembantunya membujuk. Cao Cun mengiyakan saja namun kedatangan Wan Hoa tetap diharap. Hari-hari terakhir ini berat menindih perasaannya. Dan ketika dengan gelisah dan tak sabar dia menanti kedatangan sahabatnya paling setia itu mendadak suatu sore Wen Hoa muncul.

"Aduh, berhasil, Cao Cun. Berhasil! Aku ketemu Kim-twako...!" begitu Wan Hoa melonjak dan menubruknya di kamar, ketika baru saja datang dan turun dari kereta. Dan ketika gadis itü bersorak kegirangan dan memeluk serta menciuminya maka Cao Cun berseri-seri mendengar berita yang amat menggembirakan ini, air matanya berderai, runtuh oleh rasa girang yang luar biasa.

"Begitukah?” tanyanya. “Dan mana Kim-twako, Wan Hoa? Kapan kau ketemu?”

"Ah, dua hari yang lalu, Cao Cun. Dan Kim-mou-eng akan menolong kita. Kau pasti selamat, Cimochu tak dapat mengambil mu sebagai istri."

Wan Hoa lalu menceritakan pertemuannya, bersemangat dan berapi-api dan Cao Cun hanyut oleh cerita sahabatnya ini. Keluhan dan air mata bahagia kembali runtuh berderai derai, Wan Hoa berkali-kali mencium dan memeluknya, sahabatnya itu seakan menari-nari oleh gembira. Dan ketika selesai menutup ceritanya dan mengatakan Kim-mou-eng akan datang, Wan Hoa mengusap rambut sahabat yang dicintanya ini, berseri-seri,

"Nah, karena itu tunggu saja beberapa hari, Cao Cun. Kim-twako akan datang dan membawa berita dari istana!"

Cao Cun mengangguk-angguk. "Terima kasih," ucapnya haru. "Kau tak lelah-lelahnya, menolong aku. Wan Hoa. Entah dengan apa aku harus membalas semua budi kebaikanmu ini. Kalau tak ada kau tak mungkin rasanya aku hidup lebih lama."

"Ah," Wan Hoa terharu juga. "Jangan begitu, Cao Cun Kau dan aku satu. Tanpa kau, aku juga tak ingin lama tinggal di dunia ini. Sudahlah, simpan terima kasihmu itu dan nantikan kedatangan Kim-twako!"

Dua wanita itu berpelukan. Wan Hoa telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik, dia telah menemui Kim-mou-eng dan berhasil mendapat janji Pendekar Rambut Emas itu, Kim-mou-eng pasti menolong dan menyelamatkan Sahabatnya. Aib itu tak jadi menimpa. Tapi ketika mereka bersenang-senang dan riang menanti kedatangan Kim-mou-eng mendadak sesuatu yang mengejutkan datang menimpa, ketika Kim-mou-eng muncul, datang menepati janji.

"Maaf," begitu pendekar itu menunjukan roman tak gembira. "Aku gagal, Wau Hoa. Apa yang kujanjikan tak dapat kupenuhi."

"Apa maksudmu?" Wan Hoa terbelalak. "Kenapa begitu?" lalu teringat belum mempersilahkan tamunya. Wan Hoa menyuruh pendekar itu ke dalam, mau memanggil Cao Cun.

"Tidak, jangan..." Pcndekar Rambut Emas mencegah. "Aku malu, Wan Hoa. Jangan panggil ia dan biarlah kita berdua!"

"Apa artinya ini? Kenapa?" Wan Hoa tertegun.

"Dengarlah," Pendekar Rambut Emas tergetar. "Aku tak dapat menyampaikan permintaanmu karena kaisar wafat, Wan Hoa. Aku gagal dan terus terang tak mampu menolong."

“Oohh...!" Wan Hoa terbelalak. "Wafat? Sri baginda wafat?"

"Ya, baru saja, Wan Hoa. Aku mendengar ketika kau pulang. Saat itu Bu-ciangkun muncul...”

Kím-mou-eng lalu menceritakan kejadiannya betapa dia ke kota raja dan hanya melihat peti jenazah di istana. Tentu saja gagal dan tak dapat menolong Cao Cun karena kaisar meninggal dunia. Apa yang diharap menjadi kandas dan Wan Hoa tiba-tiba tersedu. Dan ketika wanita itu menangis dan hampir menjerit penuh kecewa maka Kim-mou-eng terharu meletakkan tangannya di pudak gadis ini.

"Nah, sekarang kau tahu, Wan Hoa. Sampaikan pada Cao Cun dan biar aku kembali. Aku malu bertemu dengannya, aku tak berdaya..."

"Tidak!" Wan Hoa tiba-tiba melengking. "Masih ada jalan, twako. Tolonglah sekali lagi dan jangan biarkan Cao Cun menderita!"

"Hm, apa lagi? Jalan apa?"

"Bukankah kaisar telah memilih pangeran mahkota? Bukankah penggantinya ada?"

“Benar, lalu?”

“Lalu kau minta tolong padanya, twako. Suruh kaisar yang baru itu menolong dan menyelamatkan sahabatku!"

Kim-mou eng tertegun.

"Bisa, bukan?"

"Hm...." Kim-mou-eng ragu. "Kaisar yang baru tak seberapa kukenal, Wan Hoa. Aku tak begitu akrab seperti terhadap ayahnya.”

"Tapi kau bisa mencoba, twako. Coba dan lakukan itu demi Cao Cun. Sumpah, aku tak ingin hidup kalau Cao Cun bunuh diri!"

Kim-mou-eng pucat. "Wan Hoa, sedemikian sulitkah hidup yang kita alami ini? Haruskah kegagalan ditebus dengan bunuh dıri?"

"Kau tahu, Cao Cun selamanya tak mengecap kebahagiaan twako. Baru sedikit sudah direnggut lagi dengan kejam. Dewa maut tak kasihan kepada raja Hu, kalau dia tak wafat dan anaknya tak ada tentu Cao Cun dapat bahagia bersama suaminya itu. Tıdak, hidup terlalu kejam buat Cao Cun, twako. Kalau kau yang diharap tak dapat menolong maka mungkin dia akan bunuh diri! Kau bantulah, kau tolonglah. Demi arwah leluhurku. biarlah Kubayar semua petolonganmu ini dengan menjadi budak mu selama tujuh penghidupan!"

Wan Hoa sudah menangis, mengguguk dan meratap dan keputusasaan serta kecemasan sudah menyelubungi dirinya. Wan Hoa pucat melihat kegagalan Kim-mou-eng. Dan ketika gadis itu tersedu-sedu dan Kim-mou-eng sendiri pucat serta gemetar akhirnya pendekar ini mengeraskan hati.

"Baiklah, aku akan mencoba semua daya dan kemampuanku, Wan Hoa. Akan kutemui kaisar baru itu dan tunggulah, mudah-mudahan berhasil."

Dan Wan Hoa menangis terputus-putus. “Jangan lama-lama, twako. Waktu bagi Cao Cun tinggal tiga hari lagi. Sekali kau terlambat, maka putuslah harapannya..."

“Apa maksudmu?"

"Cimochu sudah menetapkan batas akhir, twako, Cao Cun telah berlanjį memberi jawaban. Kau ditunggu-tunggu, janjinya tinggal tiga hari lagi. Kalau kau gagal dan tak dapat membujuk kaisar baru itu maka kandaslah segalanya!"

"Baik! Kalau begitu begini saja, Wan Hoa. Nantikan aku sampai hari ketiga. Aku akan secepat mungkin menemui kaisar baru itu, membujuknya. Kalau aku berhasil tentu sebelum hari ketiga aku kembali. Tapi kalau aku gagal, yach...maaf aku tak ke sini."

Wan Hua pucat, ”Jangan katakan itu kepadaku twako... jangan gagal!"

"Aku berusaha tapi Tuhan yang menentukan, Wan Hoa ingat ini dan jangan emosi. Betapapun juga, aku bersungguh-sungguh menolong kalian. Sudahlah, aku pergi dan nantikan sampai hari ketiga!" Kim-mou-eng lenyap, tak mau lagi berlama-lama disitu karena tangis Wan Hoa bisa mengganggunya.

Gadis itu linglung dan pucat sekali. Tapi karena Wan Hoa masih menaruh harapan dan betapapun kata “gagal” hampir tak dipercayainya ada pada Pendekar Rambut Emas itu maka Wan Hoa menggigil dan menunggu, berlari ke dalam dan berdoa sepanjang waktu. Apa yang didengar dari Kim-mou-eng itu tak diceritakannya pada Cao Cun, Wan Hoa berdoa terus dengan penuh kegelisahan, Air matanya mengalir deras.

Dan ketika hari pertama dan kedua lewat maka menjelang pagi, di hari ketiga Cao Cun menggedor pintu kamarnya. Wan Hoa terkejut. Dia membuka pintu kamar dan melihat Cao Cun tersedu-sedu, sahabatnya itu langsung menubruk dan roboh di dalam pelukannya. Wan Hoa tersedak dan kaget. Dan ketika ia bertanya apa yang terjadi dan kenapa pagi-pagi begitu Cao Cun mengguguk di kamarnya segera wanita ini berkata,

"Sri baginda wafat, Wan Hoa... wafat...!"

“Wafat?” Wan Hoa terkesima, seketika sadar bahwa Cao Cun pasti tahu. Cimochu dan bangsanya tak mungkin tidak mendapat berita penting itu dari istana. Dan ketika Cao Cun mengguguk dan mengangguk sambii menangis tak keruan maka sahabatnya ini sudah meremas-remas pundaknya.

"Ya, wafat, Wan Hoa. Kaisar tak ada lagi dan habislah harapan kita!"

"Tidak," Wan Hoa mendorong sahabatnya itu. "Harapan masih tetap ada, Cao Cun, jangan putus asa. Dengarlah, aku sesungguhnya telah mendengar berita itu lebih dulu...." dan Wan Hoa yang merasa tak perlu lagi menyembunyikan rahasia pertemuannya dengan Kim-mou-eng dan minta maaf pada Cao Cun akhirnya menceritakan juga perjumpaannya dengan Pendekar Rambut Emas itu.

Bahwa Kim-mou-eng sudah kesitu dan dari pendekar itulah dia tahu meninggalnya kaisar. Wan Hoa lalu berterus terang bahwa jangan memberitahukan ini pada Cao Cun agar semata Cao Cun tidak gelisah, tak mau sahabatnya itu terganggu pikirannya dan coba menenteramkan perasaannya. Tak nyana bahwa akhirnya Cao Cun tahu juga. Berita itu memang telah didengar bangsa liar itu dan tengah malam tadi Cimochu berangkat ke kota raja, melayat.

Cao Cun mendengar dan kini bermaksud menceritakannya pada Wan Hoa, tak disangkanya bahwa Wan Hoa justeru telah mendengar lebih dulu dan sengaja menyembunyikan berita itu agar dia tidak gelisah. Dan ketika Wan Hoa menceritakan pertemuannya dengan Kim-mou-eng dan Kim-mou-eng juga menyatakan kegagalannya tak menemui kaisar karena kaisar telah lebih dulu mangkat maka disini Wan Hoa memegang pundak sahabatnya itu.

"Memang betul kaisar wafat, Cao Cun. Tapi bukan berarti harapan kita habis. Kim-twako mula-mula juga menyangka begitu. Tapi setelah kuberi tahu bahwa pengganti kaisar ada dan justeru terhadap kaisar yang baru ini. Kini twako akan meminta tolong maka harapan bagimu masih terbuka dan tenanglah. Aku yakin berhasil dan Kim-twako pasti besok datang!"

"Tapi besok hari ketiga, Wan Hoa. Hari teakhir janjiku pada Cimochu!"

“Benar, tapi Cimochu sekarang sedang ke kota raja, Cao Cun, melayat. Tak mungkin besok dia pulang. Paling tidak tiga empat hari lagi."

"Hm..." Cao Cun menggigil, merasa ditipu sahabatnya ini juga. "Kau terlalu, Wan Hoa. Kenapa tidak menceritakan pertemuanmu dengan Kim-twako? Kenapa tidak memanggilku agar menemui dia? Bukankah kau tahu aku rindu padanya?"

"Maaf, jangan salah paham Cao Cun. Kim-twako yang tak mau bertemu denganmu. Dia malu!”

"Malu?"

"Ya, karena kegagalannya itu, Cao Cun. Malu karena tak dapat menepati janji."

"Ooh, tapi wafatnya kaisar di luar kekuasaannya, di luar dugaan siapa pun. Kenapa malu! Kalau dia datang temukan aku dengannya, Wan Hoa. Biarkan sekali ini aku melihatnya untuk terakhir kalinya!"

"Tentu," dan Wan Hoa yang kembali menyatakan maaf dan minta agar Cao Cun tidak marah padanya akhirnya menunggu dan menghabiskan hari ketiga itu. Dari pagi sampai siang ia menanti, jantung berdebar dan perasaan gelisah tak keruan. Detik demi detik dilewati tapi yang ditunggu tak muncul juga. Dan ketika matahari terbenam di ufuk barat dan Cao Cun menutupi mukanya akhirnya wanita ini mengeluh.

"Oh, habis harapan kita, Wan Hoa. Habiss…!”

"Tidak," Wan Hoa masih bersikeras, diam-diam menenangkan guncangan jantungnya yang tak keruan pula. "Waktu belum habis. Cao Cun Masih ada enam jam lagi dan kita tunggu tepat tengah malam!"

"Tapi harapan mulai tipis, jangan-jangan dia gagal..."

"Hmm, aku masih menaruh harapan, Cao Cun. Tenanglah dan jangan buat aku bingung. Aku pun tak kalah gelisahnya dengan kau!"

Tapi ketika tengah malam lewat dan detik detik terakhir lenyap begitu saja akhirnya Cao Cun mengguguk dan lari menutupi piniu kamar tersedu dan menjerit dan Wan Hoa pun mendelong. Malam itu sampai kentongan terakhir Kim-mou-eng tak datang, Wan Hoa pucat dan ambruk. Dan karena Wan Hoa teringat kata kata Pendekar Rambut Emas itu bahwa kalau dia tak datang berarti gagal maka Wan Hoa mengeluh.

Apa yang terjadi? Kenapa Kim-mou-eng tak datang-datang? Gagalkah dia? Memang begitu. Tiga hari yang lalu, ketika Pendekar Rambut Emas itu terbang ke kota raja memburu waktu. Dia sudah tiba di istana. Suasana berkabung masih nampak, pendekar ini tertegun dan ragu-ragu. Sejenak terpikir olehnya, pantaskah dalam suasana seperti itu dia mengganggu pangeran mahkota yang kini telah menjadi kaisar baru? Pantaskah dia membujuk dan merengek pada kaisar muda itu? Tapi teringat bahwa ini masalah Cao Cun dan untuk Cao Cun dia siap melakukan apa saja tiba-tiba pendekar ini mengeraskan dagu dan berkelebat masuk. Tapi siapa yang dijumpai? Justeru Kim-taijin!

"Eh, kau, Kim-taihiap? Ada apa malam-malam begini datang? Aih, mari duduk. Aku belum mengucap terima kasih untuk semua pertolongan mu. Kau telah menghidupkan nyawaku yang sudah di ambang pintu neraka!"

Kim-mou-eng terkejut. Pembesar ini telah menjura di depannya berulang-ulang, begitu hormat, air mata pun menitik dan dia ménjadi terharu. Dan karena menteri itu merupakan örang yang sudah cukup dikenal lama dan kebetulan bertemu menteri ini akhirnya Kim-mou-eng menyambar dan menyuruh menteri itu duduk, malah sebaliknya.

“Taijin, ah…. aku ada persoalan, lupakan terima kasih itu dan dengarlah!"

“Ada apa?" menteri ini terbelalak, melihat sikap yang penuh kekhawatiran dan kecemasan di wajah Kim-mou-eng. "Persoalan apa? Apa yang mau kau minta?"

"Hm, begini. Aku membawa persoalan besar, taijin. Masalah Cao Cun. Wang Cao Cun!"

"Ah, duduklah, taihiap tampaknya haus, biar kucari minum dan jangan terburu-buru," Kim-taijin mengerutkan kening, teringat pada puteri bupati Wang itu dan dapat menangkap bahwa persoalan yang betul-betul penting dibawa pendekar ini. Dia menuang air putih dan menyodorkan pada tamunya, Kim mou-eng meneguk dan legalah sejenak perasaannya.

Dan ketika pembesar itu mendengarkan dan duduk serius maka Kim-mou-eng menceritakan permasalahannya, bahwa raja Hu meninggal dan kini anak sulungnya, Cimochu, berhak mewarisi semua peninggalan bapaknya, termasuk isteri dan selir-selirnya, termasuk Cao Cun tentu saja. Menceritakan sampai di sini Pendekar Rambut Emas itu tampak gemetar. Dan ketika ceritanya selesai dan permasalahan itu disambut anggukan berkali-kali oleh menteri ini maka Kim-taijin berkata,

"Betul. wafatnya raja Hu telah kudengar, Taihiap. Tapi persoalan Cimochu hendak mengawini ibu tirinya baru kali ini kudengar. Lalu apa maksudmu? Apa yang harus kulakukan?"

"Aku datang untuk meminta kaisar mencegah perkawinan itu, taijin, mempergunakan pengaruhnya dan membatalkan niat Cimochu itu! Hmm, bisakah?"

Sang menteri terkejut. "Aku tidak tahu, taihiap, tapi kaisar agaknya tak dapat memutuskan sendiri."

"Maksudmu?”

"Persoalan ini bersifat politis, apa yang menyangkut bangsa liar itu harus dibicarakan hati-hati dan seksama." dan ketika pendekar itu tertegun dan tampak terbelalak menteri itu bicara lagi, "Taihaip, kau tentu tahu bahwa penyerahan Cao Cun kepada raja Hu oleh mendiang kaisar lama adalah dikarenakan kecenderungan politik itu. Bahwa Cao Cun diminta agar menundukkan suaminya dari dalam, agar raja tidak menyerang dan justeru mengikat persahabatan dengan istana. Dan kalau raja meninggal dan kemudian digantikan puteranya di mana putranya lalu hendak mengawini ibu tirinya karena adat menentukan begitu agaknya kaisar tak dapat campur tangan. Ini urusan pribadı, kenapa kau turut campur? Tapi aku dapat memahamı perasaanmu, taihiap. Biar besok aku beritahukan kaisar dan membicarakannya bersama. Kalau negara dapat terancam oleh campur tangan ini barangkalı maaf saja, kami tak mau terlibat!“

Kim-mou-eng pucat. "Taijin tak mau menolongku?"

"Bukan begitu, taihiap. Tapi coba tolong pula kau lihat kedudukan kami."

"Hm, kalau begitu rupanya gagal, perjuanganku sia-sia!"

"Jangan terburu, kami akan berusaha, taihiap. Dan kau boleh dengar semua pembicaraan kami. Marilah...!" dan Kim-taijin yang tak enak juga disangka tak mau menolong lalu mengajak Kim-mou-eng menemui kaisar baru, sang pangeran mahkota yang baru beberapa hari saja diangkat.

Di sini kaisar itu terkejut, apa yang diminta Kim-mou-eng memang tergolong rawan. Maklum, sekali Cimochu dibuat marah dan bangsa liar itu menyerang maka istana akan kedatangan musuh baru di samping musuh-musuh lain yang cukup banyak mengganggu di perbatasan. "Aku tak dapat menentukan sekarang. Biarlah keputusan ini diambil dalam sebuah sidang!"

Jawaban kaisar membuat perasaan Kim-mou-eng tergetar. Apa yang dikata Kim-taijin memang mulai terbukti, kaisar baru yang belum banyak pengalaman itu tak berani mengambil tindakan sendiri. Terpaksa, keesokannya diadakan sidang dengan menteri-menteri yang bersangkutan, para pembantu dekat kaisar ini dan Mao-taijin terlihat. Belum apa-apa Kim-mou-eng sudah mendidih melihat menteri memuakan itu. Inilah menteri yang membuat Cao Cun sengsara. Dan ketika persidangan dimulai dan Mao-taijin rupanya dekat sekali dengan kaisar baru. Maka perdebatan sengit terjadi disini.

“Urusan negara lebih penting daripada urusan pribadı. Kalau campur tangan ini menimbulkan kemarahan Cimochu tentu saja kita tak usah terlibat," begitu menteri itu bicara, disambut yang lain dan anggukan di sana-sini membuat Kim-mou-eng putus asa. Dia melihat hanya Kim-taijin dan beberapa lainnya saja yang tidak mengangguk, mungkin "abstein". Dan ketika kaisar bertanya bagaimana baiknya dan apakah Cao Cun hendak dibiarkan saja dinikah anak tirinya maka menteri itu kembali bicara.

“Hamba kira tak usah dihiraukan, sri baginda. Itu urusan dalam mereka, urusan pribadi. Kalau sang anak hendak mengawini ibunya biarlah itu terjadi karena Cao Cun bukan warga negara kita lagı!"

"Hm, Cao Cun mungkin bukan warga negara lagi, Mao-taijin...“ menteri Kim yang mendongkol dan mengerutkan kening oleh kata-kata rekannya itu menanggapi. "Tapi betapapun ia masih menolong dan membantu kita. Apakah kau tak tahu bahwa atas semua jasanyalah maka raja Hu dan rakyatnya jinak kepada kita? Apakah kita menutup mata atas kenyataan bahwa wanita itu pembantu paling berguna bagi kita di tengah-tengah bangsa liar itu? Kalau dia ngambek atau membangkang maka semuanya bisa berobah, taijin. Harap ingat semuanya ini dan jangan bersikap masa bodoh!!”

"Ah, Kim-tıjin salah paham," menteri she Mao itu menyeringai, tahu rekannya ini dekat dengan Kim-mou-eng. "Kita harus melihat persoalan secara makro, taijin, jangan mikro. Kalau campur tangan ini tak disenangi Cimochu dan dia marah lalu menyerang kita tentu kita celaka. Manakah yang kau pilih antara membiarkan saja urusan itu dan kita aman atau ikut mencampurinya tapi diserang Cimochu dan suku bangsanya?"

"Tentu saja sikap permusuhan harus d hindari, tapi harap kau ingat bahwa yang datang kali ini memintai tolong kita adalah Kim-taihiap. Kim-mou-eng berkali-kali menolong kita, masa sekali datang kita membalasnya dengan sikap masa bodoh dan tidak perdulian? Kim-mou-eng datang bukan untuk dirinya pribadi, taijin melainkan orang lain. Ini menunjukan betapa Kim-taihiap seorang ringan hati yang suka menolong sesama dan tidak acuh atau masa bodoh terhadap orang lain!"

Mao-taijin tertampar. Omongan itu sama dengan mengejeknya, sebagai orang yang tak memperdulikan kesusahan orang lain, merah muka menteri ini. Dan karena dia tak mau kalah dan tentu saja harus mendebat maka dia menantang. "Baiklah, mari kita tolong si Cao Cun itu, taijin. Cegah niat anak tırinya itu dan mari kita campur tangan. Tapi beranikah kau bertanggung jawab untuk menerima kemarahan Cimochu? Beranikah seorang diri kau menghadapi pemimpin bangsa liar itu dan menyatakan ketidaksenangan ini secara pribadi. Kalau kau berani melakukan itu silahkan, taijin. Banyak orang akan kagum kepadamu dan memujimu sebagai orang yang tidak masa bodoh dan tahu kesusahan orang lain!"

Kim-taijin ganti merah mukanya. Sekarang dia dibalas dan ditantang, suasana tiba-tiba menjadi panas dan seru. Menteri itu mendelik. Tapi sebelum dia menjawab dan bangkit berdiri tiba-tiba Siung-taijin, menteri luar negeri menjura ke pada kaisar dalam-dalam.

"Sri baginda, mohon ampun. Hamba mendapat jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan ini. Bolehkah hamba bicara?"

"Hm... apa itu, taijin? Kau bicaralah, barang kali semuanya cocok dan sependapat."

"Tentu, hamba yakin sependapat, sri baginda. Dan jalan tengah ini adalah sederhana saja. Yakni bahwa Kim-taiihiap harus ikut terlibat. Maksud hamba, boleh kita menolong wanita itu tapi kalau bangsa liar menyerbu maka Kim-taihiap dan bangsa tar-tar diminta mengatasi dan bertanggung jawab menyelesaikan ini. Kalau Kim-taihiap setuju tentu paduka dapat mempergunakan pengaruh paduka untuk mencegah niat Cimochu itu!"

"Betul!" kaisar tiba-tiba bertepuk tangan. "Cocok sekali, taijin. Aku setuju dan sependapat. Bagaimana kalau Kim-mou-eng dan suku bangsanya bersiap menghadapi kemarahan Cimochu dan sukunya? Maukah Kim-taihiap mengatasi dan membunuh pemimpın bangsa liar itu?"

Kim-mou-eng terkejut. Tiba-tiba secara halus dan licik Siung-taijin telah menggiringnya untuk menjeremusksn dirinya, menteri itu tersenyum dan sinar curang terlihat di mata menteri luar negeri itu. Kim-mou-eng tertegun. Dan karena ini sama dengan menyuruh dirinya mengerjakan sendiri pekerjaan itu dan istana mau lepas tangan tiba-tiba Kim-mou-eng kecewa dan bangkit berdiri.

"Sri baginda, kalau hamba mempertanggung jawabkan semuanya ini berartı paduka dan lain-lain tak mau menolong hamba. Hamba tidak takut menghadapi Cimochu dan suku bangsanya itu. Tapi kenapa harus begini? Kalau paduka dan lain-lain mau cuci tangan lebih baik terus terang saja, Sri baginda. Kalau ayahanda paduka masih hidup tentu tidak begini sikapnya. Kalian tampak ketakutan sekali, baiklah hamba permisi dan tidak perlu bicara lagi. Selamat tinggal..." dan Kim-mou-eng yang berkelebat lenyap tak mau bicara lagi tiba-tiba pergi dan keluar dengan kecewa, minta tolong malah dimintai tolong. Kaisar baru ternyata tak sejantan seperti kaisar lama. Kim-mou-eng marah dan melompat pergi. Dan begitu pendekar itu meninggalkan sidang dan kaisar serta yang lain-lain tertegun maka Kim-taijin melonjak.

"Taihiap tunggu...!"

Namun Kim-mou-eng tak mau kembali. Hari itu persidangan geger, Kim-taijin marah-marah dan memaki rekannya yang dianggap pengecut. Dan karena menteri ini termasuk menteri senior dan tentu saja tak ada yang berani membalas kecuali kaisar akhirnya kaisar menyuruh menterinya ini diam. Betapapun menteri itu adalah menteri tua yang sudah lama mengabdi sejak ayahanda kaisar sekarang masih hidup, kesetiaan menteri itu besar. Dan ketika persidangan dibubarkan dan hasilnya nihil bagi Kim-mou-eng maka Kim-taijin cepat- pulang dan melepas kekecewaannya dengan membanting-banting pintu!

Sedang di tempat lain di mana Kim-mou-eng terbang meninggalkan kota raja, pendekar ini pergi dengan muka merah. Apa yang didapat di istana benar-benar menyakitkan. Kalau dia disuruh menghadapi Cimochu itu apa gunanya dia ke istana? Bukankah dia dapat langsung menemui pemuda itu dan membunuhnya? Mencari dan menyelesaikan Cimochu dengan jalan kekerasan bukan hal sukar bagınya, tapi bukan itu yang dikehendaki. Jalan kekerasan selamanya tak disukai. Kim-mou-eng memang pendekar yang lembut dan lemah hati.

Dan karena kegagalan di istana menimbulkan kekecewaan besar dan sepanjang jalan pendekar ini memendam kemarahan akhirnya dia berkeputusan akan pulang dulu ke utara, menjumpai sang isteri dan berunding dergan isterinya itu bagaimana baiknya. Betapapun dia tak berani mengambil keputusan sendiri takut isterinya tersinggung, bahkan mungkin cemburu dan marah-marah. Maklum, betapapun dia cukup kenal watak istrinya itu, keras dan berangasan. Maka ketika hari itu dia meninggalkan kota raja dan cepat-cepat pulang ke tempat tinggalnya mendadak sesuatu yang mengejutkan menyambut pendekar ini bagai petir di siang bolong.

"Taihiap, celaka. Hujin (nyonya) tewas..! Taihiap, sepaseng nenek siluman membunuh isteri mu, Ah, kau terlambat...!”

Kim-mou-eng berhenti detak jantungnya. Sambutan dan seruan disana sini membuat Pendekar Rambut Emas terkesiap. Bangsa Tar-tar menyambutnya dengan tangis dan jerit kepedihan. Hari itu dia melihat rumahnya dipenuhi banyak orang, pembantu pembantu dekatnya menjatuhkan diri berlutut dan tampak gentar. Semuanya menunjukkan ketakutan. Dan ketika dia terhenyak dan terpaku di halaman rumah maka didalam, di tengah-tengah pintu terlihat sesosok tubuh membujur kaku di atas sebuah dipan.

“Sumoi...!” Bentakkan atau seruan itu melengking tinggi. Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat dan sudah berada di dalam, tersentak dan melihat isterinya telah tewas dengan tubuh berlumuran darah. Hidung dan mulut isterinya pecah. Kim-mou-eng menubruk dan tiba-tiba menjerit histeris. Dan ketika bangsa Tar-tar tertegun dan melihat pendekar itu mengguguk, tiba-tiba Kim-mou-eng, membalik dan mencelat, menangkap seorang pembantunya terdekat, Lisang.

"Lisang, siapa yarg membunuh isteriku? Siapa yang melakukan ini?"

"Ah, sepasang nenek siluman, taiiap. Nenek Sakti yang amat luar biasa, datang membawa bocah….”

"Sepasang Dewi Naga?"

"Betul, mereka menyebut dirinya begitu, taihiap. Datang dan... aduh……!”

Kim-mou-eng membanting pembantunya itu. Tanpa sadar pendekar ini melempar Kalisang hingga sang pembantü menjerit, pendekar itu berkelebat dan berteriak memaki nenek iblis itu. Dan ketika para pembantunya terkejut dan buru-buru menolong Kalisang maka Pendekar Rambut Emas telah terbang berputaran mencari-cari nenek ini.

"Siang-liong Mo-li (lblis Perempuan Sepasang Naga), keluarlah. Kalian telah membunuh isteriku, bayar dan lunasi hutang jiwa ini!" Kim mou-eng berteriak-teriak. Bagai orang kalap dia memaki-maki nenek itu, berputaran dan terbang dari tempat satu ke tempat lain, mencari-cari namun tak berhasil. Dan ketika dua jam kemudian dia kehabisan suara dan para pembantunya memanggil-manggil di belakang akhirnya pendekar itu roboh pingsan di atas sebuah bukit, bukan pingsan karena kehabisan tenaga melainkan pingsan oleh pukulan batin yang amat berat itu. Dia tak menyangka isterinya tewas. Dan ketika para pembantunya menolong dan membawa pendekar itu ke bawah maka di sana ribuan orang menyambut dan tangis serta keluhan terdengar tak habis-habisnya

* * * * * * * *

Apa yang terjadi? Bagaimana Salima bisa terbunuh? Hal ini dimulai dari kemarahan Sepasang Dewi Naga itu. Seperti diketahui, dua orang nenek iblis itu menemui kegagalan di kota raja. Mereka hampir membunuh Kim-mou-eng namun Bu-beng Sian-su datang, kakek dewa itu mencegah mereka dan mereka pun diusir. Dua orang nenek ini marah-marah namun tak berani melanjutkan serangan pada kakek maha sakti tu. Bu-beng Sian-su terlalu hebat, manusia dewa itü térlalu ampuh. Maka ketika mereka meninggalkan kota raja dan memaki-maki lawan maka dua nenek ini pergi tapi malah membalas dendamnya pada Salima.

Mereka tahu Kim-mou-eng telah menikahi sumoinya itu. Maka ketika kegagalan di kota raja membuat dua nenek ini marah dan sakit hati, mendadak mereka sudah mènuju ketengah tengah suku bangsa Tar-tar itu mencari Salima. Tak sukar bagi mereka menemukan wanita itu. Den begitu mereka sudah berhadapan maka langsung saja mereka membentak,

"Heh, kau mampuslah, bocah. Penggal dan potong kepalamu dengan ini!!”

Ji-moi, si nenek kedua melempar sebuah pedang, berdiri tegak dan membentak Salima. Saat itu wanita ini sedang menunggui anak laki-lakinya bermain. Thai Liong atau Dailiong terkejut, anak itu menangis dan segera ibunya menyambar. Dan ketika dua nenek iblis itu membentak dan Salima kaget, maka wanita ini bangkit berdiri dengan mata bersinar-sinar.

"Kalian siapa? Dari mana datang-datang bicara seperti ini?"

"Cerewet! Kau tak perlu banyak bertanya lagi, bocah. Ambil dan potong kepalamu dengan itu. Cepat, kami tak ingin mengotori tangan dengan darahmu!"

Salima marah. Sebagai wanita yang galak dan keras hati tentu saja dia gusar mendengar semua kata-kata ini. Tapi belum dia membentak tiba-tiba Togur, bocah di tengah-tengah dua nenek iblis itu melangkah maju, sikapnya mengherankan Salima.

“Kau bibi Salima? Kau yang pernah digila-gilai ayah?"

"Siapa kau?" Salima terkejut. "Dan siapa mereka ini?”

"Aku Togura, bibi. Ayahku adalah suhengmu, Gurba yang gagah perkasa. Kenapa kau dulu menolak cinta ayah? Kenapa kau menyia-nyiakannya!"

Salima mundur, terkesiap. "Kau Togura? Putera Bi Nio yang hilang itu?"

"Benar, tapi aku tidak hilang, bibi. Aku diambil dua guruku yang sakti ini. Mereka adalah Sepasang Dewi Naga!"

“Ooohh…! Salima terbelalak, mendekap mulutnya. "Jadi kalian kiranya?" dia teringat cerita sang suami. "Kalian menculik dan kini mengambil bocah ini sebagai murid? Keparat, kalian lancang, nenek iblis. Kalau begıtu aku harus merampas keponakkanku dan kalian mampuss...siuuttt...!”

Salima tiba-tiba melengking, maju menampar dan tubuh sudah berkelebat dengan pukulan Tiat-lui-kang. Salima pernah mendengar kelihaian nenek ini dari suamınya tapi sedikit pun ia tak takut. Ji-moi yang ada di depan diserang. Tapi begitu nenek itu mendengus dan mengangkat sebelah tangannya tiba-tiba Tiat lui kang diterima dan Salima menjerit.

“Dess!" Salima mencelat menubruk dinding. Dailiong yang ada di tangannya menjerit tak keruan, anak itu menangis dan melengking. Dan ketika Salima terguling-guling melompat bangun mendadak sesosok bayangan lain berkelebat dan merampas anaknya.

“Kesinikan bocah ini!”

Salima terkejut. Saat itu dia melompat bangun dengan kaki terhuyung, tak tahunya nenek yang satu berkelebat dan merampas anaknya itu, tentu saja dia membentak dan menàngkis. Tapi ketika jengekan terdengar dari mulut lawan dan sebuah jarı menyelinap di ketiaknya tahu-tahu tangannya lumpuh dan Dailiong dirampas lawannya itu. Salima kaget bukan main. Saat itu anaknya sudah direnggut lepas dan Dailiong menangis di sana.

Nenek itu tertawa dan sudah berkelebat kembalı di tempatnya semula, itulah Toa-ci, nenek iblis pertama. Gerakannya serba cepat seperti siluman saja, Salima tersentak dan melengking tinggi. Dan karena dia tentu saja tak mau anaknya dirampas dan Dailiong menangis tak keruan tiba-tiba Salima memekik dan menerjang nenek itu.

"Ji-moi, hajar dia!"

Salima mendengar seruan itu. Sang nenek pertama mencelat dan berada diluar rumah. nenek kedua menyambut dan tertawa. Dan ketika Salima ményerang dan marah melepas pukulan maka kembali nenek ini menerima dan menyambut Tiat-lui-kang.

“Dess!" Salima lagi-lagi terpelanting. Untuk kedua kalinya wanita itu mengeluh terguling-guling pukulannya membalik dan nyaris dia terluka. Dan ketika Dailiong semakin menangis dan Salıma marah bukan main maka Salima mencabut benderanya dan menerjang lagi.

Ji-moi tersenyum. Salima sudah menyerangnya gencar bertubi-tubi, bendera di tangan kanan wanita itu menyambarnya dan meledak, nenek ini menjengek dan berkelit. Dan ketika Salima menggerakkan tangan kirinya pula melakukan tamparan tamparan Tiat-lui-kang akhirnya nenek ini tertawa.

"Bocah, suamimu sendlri masih bukan lawanku, apalagi kau. Nah, bersiaplah kuhajar!" dan nenek Ji-moi yang berkelit dan menangkis akhirnya menggerakkan tangannya turun naik, mengibas dan mendorong dan segera Salima terkejut.

Bendera di tangannya itu selalu tertahan angin pukulan tak nampak yang luar biasa kuatnya, semakin dia menambah tenaga semakin kuat pula tenaga tak nampak yang menahan benderanya itu. Dan ketika Salima membentak dan marah mengebutkan benderanya mendadak si nenek malah tertawa mengebut balik.

“Plak!' bendera mengibas Salima sendiri. Wanita itu terbanting .Salima kaget dan marah. Dan ketika ia melonpat bangun dan menyerang lagi maka lagi-lagi nenek itu mengebut dan menolak benderanya. Begitu sampai tiga kali, sehingga Salima mengeluh. Bendera yang mengebut balik mukanya sendiri itu membuat kulit muka berasa panas.

Salima melengking dan kini menggerakkan tangan kirinya. Tapi ketika Tiat Lui Kang di tampar dan nenek itu membentak tiba tiba Salima malah terjengkang tak karuan, dihantam pukulan si nenek, terkejut dan terguling guling dan Salima bingung. Lawannya terkekeh kekeh dan menangkis seenaknya. Dan karena lawan di rasa benar benar lihai dan Salima pucat, maka Toa-ci, nenek di depan berseru agar adiknya segera membunuh wanita itu.

“Ji-moi, jangan main-main. Cukup, bunuh dia!!”

Salima mengkirik. Dia mendengar suara yang dingin menyeramkan dari mulut wanita di depan itu, Dailiong meronta-ronta dan Salima terbakar. Anaknya itu dicengkeram si nenek bagai mencengkram seekor anjing kecil, meluap kemarahan Salima. Dan ketika lawan terkekeh kekeh dan maju menusuk tenggorakkannya tiba-tiba Salima nekat dan menggerakkan benderanya.

"Bret!" Bendera di tangannya pecah. Jari si nenek mencoblos tapi Salima membanting tubuh bergulingan, dari bawah ia menggerakkan kaki menendang, langsung ke pusar. Tapi ketika kakinya mengenai tempat lunak dan nenek itu tak apa-apa mendadak Salima terkesiap ketika si nenek tertawa menggerakkan tangan lainnya.

“Bocah, kau harus segera mampus. Awass…crit!"

Salima melihat sinar berkeredep dari telunjuk si nenekk. Lawan menotoknya darı jauh, dia mengelak tak berani menangkis. Adu tenaga berulang-ulang membuat Salima sadar akan tangguhnya iawan yang dihadapi. Tapi ketika ia mengelak dan si nenek mengejar maka Salima menjadi sibuk karena harus menggulingkan tubuh lagi kesana kemari.

"Heh-heh, kau harus mampus, bocah. Mampus!"

Salima pucat. la menggerakkan benderanya ke depan, kali ini tak ada jalan lain kecuali menangkis. Tapi ketika bendera kembali robek dan jari si nenek tetep mengejar akhirnya Salima mengeluh dan bergulingan menjauhkan diri dari kejaran si nenek. Dan sekali dua dia melancarkan Tiat-lui-kang, lawan menerima dan kini justeru Salima yang mengaduh. Tangannya yang bertemu tubuh si nenek seakan bertemu baja panas yang membuat Pukulan Petirnya membalik, salima menggigit bibir dan terdengar tangis anaknya yang melolong-lolong. Dan ketika ia bingung dan marah serta gentar maka beberapa pembantunya muncul mendengar ribut ribut itu.

"Hujin, siapa mereka? Ah... mana Kim-taihiap?"

Salima tak dapat menjawab. Saat itu dirinya dikejar dan didesak hanya dapat mengelak tak dapat menyerang. Ji-mo terkekeh-kekeh mempermainkannya. Tapi ketika ia harus bergulingan menyelamatkan diri dan pembantu pembantunya yang lain muncul lagi maka bebenpa di antara mereka tiba-tiba membentak dan menyerang nenek ji-moi.

"Keparat, bunuh nenek ini!'

Tujuh orang menerjang maju. Salima mau mencegah tapi tak keburu, tombak dan golok terlanjur berkelebat. Dan ketika mereka menubruk. Dan si nenek tertawa tiba-tiba tujuh lelaki Tar-tar ini menjerit ketika golok dan tombak méreka patah-patah, tangan yang memegang senjata pun seketika bengkak.

“Krak-kraak.. aduh!"

Tujuh pembantu Salima bergulingan pingsan. Mereka tadi menusukkan tombak dan golok ke tubuh si nenek ,mental dan terkejut karena si nenek kebal . Dan ketika mereka terbeliak dan mengaduh karena senjata patah patah dan tangan mereka pun bengkak maka si nenek menjengek dan mengibaskan tangan kearah mereka.

“Mampusssss...!”

Tujuh laki-laki itu tersentak. Mereka merasa disambar angin pukulan dingin, begitu dıngin hingga tubuh seolah beku, mereka yang sedang bergulingan otomatis berhenti, terkejut. Tapi begitu mereka berhenti dan pukulan ini langsung menghantam tiba-tiba semuanya mendelik roboh tewas dengan tulang pletak pletok.

"Augh!" Jerit terakhir itu menutup kejadian.

Tujuh laki-laki ini telah membiru kehitaman dengan tubuh kedinginan, mereka mati beku dan tewas seketika. Itulah pukulan Im-kang yang dahsyat sekali. Semua organ tubuh di dalam akan mengeras seperti es. Salima terkejut dan memekik. Tapi ketika dia menerjang dan si nenek kembali menghadapi dirinya maka pukulan dingin itu ganti menyambarnya.

"Dess!" Salima terhuyung dengan muka kebiruan. Ia cepat mengerahkan Tiat-lui-kangnya untuk melawan rasa dingin itu, rasa dingin yang menembus ke seluruh tulang-tulang paling kecil. Salima nyaris beku. Tapi ketika si nenek hendak menyerang lagi dan Salima pucat maka para pembantunya bermunculan dan seratus lebih laki-laki Tar-tar menyerang nenek ini.

"Hujin, jangan khawatir. Kami akan membantu…!”

"Benar, kami akan menangkap nenek ini, hujin. Lalu dia kita bunuh”

Oh, Salima ingin mengeluh. Dia melihat seratus pembantunya tu meluruk bagai laron-laron menghadapi api, mau membentak tapi mulut masih terasa beku. Pukulan si nenek itu di masih membuatnya kedinginan dan nyaris membuat dia sepeti arca hidup. Pukulan Im-kang yang dirasakannya masih belum dapat dicairkan dengan Tiat-lui-kangnya yang berhawa panas. Dan ketika Salima terbelalak dan ingin menjerit agar orang-orang itu tidak maju maka satu demi satu pekikan ngeri terdengar di situ dan tubuh-tubuh pun bergelimpangan roboh, semua senjata mencelat dan patah-patah bertemu tubuh si nenek.

“Heh heh hehh, kalian mampuslah… plak, trang-tranggg!”

Salima memejamkan mata. Dia melihat sebelas pemhantunya terbanting seketika, tujuh diantarnya remuk dengan kepala pecah. Salima mengigil. Dan ketika ia menarik nafas panjang dan mengempos semangat dalam-dalam mendadak hawa dingin berhasil di buyarkannya dan Salima melengking maju.

"Minggir, kalian semua minggir....des-des-dess!" Salima terpaksa melempar pembantunya itu, ditangkap dan ditendangi dan akhirnya dia berhadapan dengan si nenek Ji-moi. Marah dan meluap dan seketika dia menggerakkan benderanya yang robek.

Saat itu si nenek menerima serangan terakhir dari seorang pembantunya, menangkap dan mematahkan tombak dan tiba-tiba melontarkan tombak itu ke pemiliknya. Tombak langsung meluncur dan menancap di dada lawan. Dan ketika laki-laki itu menjerit den roboh mandi darah maka bendera ditangan Salima berkelebat dan tepat menghantam tengkuk si nenek.

"Dess!" Nenek itu tak apa-apa. Salima melengking dan menyerang lagi, bendera dibalik dan gagangnya menotok ulu hati. Cepat dan tepat dia menyodok ulu hati si nenek. Tapi ketika gagang benderanya mental dan ulu hati si nenek tak apa-apa akhirnya nenek itu terkekeh mencongkel bahunya.

“Bocah, pergilah!"

Salima dilempar. Bagai layang-layang putus. Salima tak mampu mengendalikan dirinya sendiri, terbanting dan terguling tapi menyerang lagi, bangkit dan menerjang lagi dan para pembantunya membentak membantu Salima, betapapun mereka tak dapat membiarkan wanita itu sendirian menghadapi musuh tangguh. Tapi ketika beberapa dari antara mereka terpelanting lagi dan tewas mandi darah akhirnya Salima memekik agar dia sendiri menghadapi nenek siluman itu.

"Minggir... minggir kalian semua minggir" Salima marah, menendangi dan melempar mereka hingga para pembantunya terkejut. Salima tak menghendaki mereka menjadi korban, betapapun yang dicari adalah dirinya. Tapi ketika si nenek Ji-moi terkekeh dan Salima tak berhasil melukai nenek ini akhirnya Toa Ci, nenek pertama menggeram di tempat.

"Ji-moi, kau masih main-main saja? Bunuh wanita itu, bunuh kataku!"

Salima melengking. Kemaraanpun sudah naik sampai ke ubun-ubun, jerit dan tangis anaknya di sana membuat dia mata gelap. Maka ketika pukulannya mental bertemu nenek Ji-moi dan kebetulan ia bergulingan di dekat Toa-ci tiba-tiba Salima membentak mengayun benderanya yang sudah robek-robek itu.

"Krakk!"

Salima terbelalak. Toa-ci menangkis, benderanya langsung hancur dan gagang bandera pun patah menjadi dua. Salima memekik dan melontar gagang benderanya itu, dua-duanya menyambar kening dan dada si nenek. Tapi ketika Toa ci mendengus dan nenek ini menangkap maka dua patahan gagang bendera itu diterima dan.... dilontar balik ke arah Salima, dua tiga kali kecepatan Salima sendiri.

"Crep-ccep...!"

Salima menjerit. Dua pundaknya menerima patahan gagang bendera itu, langsung dia terjungkal dan kaget. Kecepatan timpukan si nenek jauh lebih cepat dibanding timpukannya sendiri, bukan main. Namun Salima yang melompat bangun dan terhuyung menerjang lagi kali ini justeru menghantam Toa-ci.

"Nenek siluman, kau boleh bunuh aku!" Salima kalap, lupa segala-galanya dan mendelik menyerang nenek itu. Tapi ketika si nenek mendengus dan mengibaskan lengan kirinya maka Tiat lui-kang yang dilancarkan Salima membalik dan menghantam wanita itu sendiri.

"Bress!" Salima muntah darah. Sekarang dia terluka, terhuyung dan molompat lagi menghantam. Toa-ci membentak. Nenek ini tidak seperti adiknya yang suka main-main, tak mau memperpanjang waktu dan melancarkan tamparan dari jauh, tamparan dingin. Dan ketıka Salima tak dapat mengelak dan kembali terjungkal roboh maka wanita itu mengeluh dan hidung serla telinganya mengeIuarkan darah.

“Desssss!” Salima masih kuat. Wanita ini terhuyung dan bangkit menyerang lagı, dikibas dan mencelat dan kali ini agak sukar bangun. Semua pembantunya tertegun dan kaget Tapi ketika Salima bangun lagı terhuyung-huyung dan.membentak nenek itu.dengan ngawur maka Toa-ci, si nenek berhati iblis mengakhiri pertempuran dengan satu ketukan diubun-ubun.

"Robohlah!"

Bentakan itu disusul tergulingnya tubuh Salima. Wanita ini mengeluh dan tidak bergerak-gerak lagi, tadi nenek toa-ci berkelebat dan mendahului Salima. Satu ketukan jarinya mengenai ubun-ubun wanita itu. Dan karena tempat ini merupakan daerah lunak dan ketukan itu adalah totokan maut yang tak mungkin menyelamatkan wanita itu. akhirnya Salima roboh dan tewas dengan mata dan hidung mengeluarkan darah.

“Bluk!" Salima terkapar mandi darah. Para pembantunya terkejut dan tersentak, semua orang berteriak dan menubruk. Mereka menolong Salima. Tapi ketika dilihatnya wanita itu tak bergerak legi dan bangsa Tar-tar gempar akhirnya mereka membalik dan mau menyerang dua nenek iblis itu, tertegun dan bengong karena dua nenek itu ternyata telah pergi. Gerakan mereka benar-benar seperti siluman saja dan tadi nenek Toa ci mengajak Ji-moi meninggalkan tempat itu.

Orang-orang yang ada di situ tak perlu dilayani, mereka hanyalah bangsa keroco saja. Maka begitu dua nenek ini membunuh Salima dan tak perlu melayani yang lain maka bangsa Tar-tar menjadi ribut dan memaki serta mengejar nenek itu, mencari-cari namun dua orang nenek itu telah pergi. Tak ada seorang pun diantara mereka yang tau kemana lenyapnya nenek itu. Dan karena Salima telah tewas dan bangsa Tar-tar marah serta bingung maka hari itu mayat Salima diurus dan Kim-mou-eng pun ditunggu.

Kebetulan sekali datang namun Kim-mou-eng pun tak tahu ke mana perginya dua nenek itu. Pendekar Rambut Emas roboh pirgsan dan ganti ditolong para pembantunya. Dan ketika pêndekar itu sadar dan mendengar cerita ini maka pandangan yang beringas dan sikap yang menakutkan muncul di wajah pendekar itu. Demikianlah, pembantunya mengakhiri.

"Kami tak berdaya melawan nenek itu, taihiap. Mereka terlalu sakti dan hebat. Kami bukan apa-apa dan tiga puluh orang di antara kami binasa pula!”

“Aku tahu," Kim-mou-eng mengepal tinju. "Kalian semua bukan lawannya, Salinga. Tapi aku akan membalas dan mencari dua nenek iblıs itu! Dan Dailiong dibawa?"

Salinga, pembantu Kim-mou-eng menggigil. "Kami sungguh menyesal atas kebodohan kami semua, taihiap. Kalau kami salah dan patut dihukum silahkan dihukum!”

"Tidak!" Kim-mou-eng memejamkan mata. "Aku akan mencari dan merampas anakku kembali, Salinga. Aku tahu dan kenal betul siapa dua nenek iblis itu. Kalian tak perlu menyesal. Biarlah setelah penguburan isteriku aku akan pergi dan mencari mereka. Kau sementara memimpin teman-temanmu di sini."

Hari itu Kim-mou-eng mendapat pukulan berat. Sumoinya, sekaligus istrinya tersayang tewas dibunuh Sepasang Dewi Naga. Padahal perkawinan mereka baru berjalan dua tahun lebih sedikit. Ah, kebahagiaan yang sejenak tahu-tahu direnggut dan dirampas begitu keji. Kim-mou-eng mendidıh dan bertekad akan mencari dua nenek iblis itu, merampas anaknya dan membalas kematian sang istri, dua hal yang sukar dilakukan karena dia tahu betul kesaktian sepasang nenek iblis itu.

Tapi karena ini merupakan kewajibannya dan hari itu jenazah isterinya dimakamkan maka beberapa jam kemudian, karena kalut dan marah serta bingung Kim-mou-eng meninggalkan suku bangsanya, lupa sudah pada persoalan Cao Cun. Maklum, urusan ini melibatkan dirinya langsung dan amat penting.

"Aku akan pergi. Kalian jaga diri baik-baik dan jangan keluar dari wilayah ini. Salinga akan memimpin kalian, tunduk dan taatlah kepada perintahnya dan musyawarahkan bersama hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak." Hanya itu nasihatnya. Lalu, merasa cukup dan tak mau berlama-lama di situ tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan lenyap.

"Taihiap, jaga dirimu pula baik-baik. Hati-hati dalam perjalanan!" beberapa pembantunya balas memberi pesan, disambut anggukan dan terima kasih. Dan ketika mereka mencucurkan air mata dan Kim-mou-eng tidak menoleh lagi maka hari itu bangsa Tar-tar berkabung tujuh hari untuk kematian Salima. Sungguh tak diduga.

* * * * * * * *

"Cao Cun...!" Pekik dan jerit itu menggegerkan suku bangsa liar ini. Pagi itu Wan Hoa berteriak seperti orang gila, Cao Cun dilihatnya menggantung di belandar. Geger dan ributlah pagi itu. Dan ketika pengawal berkelebatan masuk dan Wan Hoa menjerit-jerit maka tigapuluh orang mematung di tempat kejadian dengan mulut ternganga.

"Ambil dia, cepat. Jangan ndomblong dan putuskan tali itu!" Wan Hoa kalap, menumpuk kursi dan mau memutuskan tali gantungan di leher Cao Cun tapi terguling roboh, kursi meleset dan Wan Hoa berteriak-teriak. Dan ketika pagi itu kemah itu geger dan ribut oleh niat Cao Cun yang gantung diri maka lima pengawal maju meloncat dan mencabut golok.

"Naiki pundakku, tebas tali itu!"

Wan Hoa histeris. Dia tak sabar melihat semuanya hanya menjadi penonton saja, hampir wanita ini lupa diri dan mengamuk. Tapi ketika lima pengawal berjongkok dan satu demi satu menaiki pundak kawannya mencapai tali gantungan itu maka golok berkelebat dan Cao Cun yang menggantung diri meluncur ke bawah, diterima tubuhnya dan segera Wan Hoa menangis tak keruan, menjerit dan menubruk sahabatnya itu. Dan ketika semua merubung dan seorang tabib dipanggil maka pengawal diminta mundur dan Cao Cun dibaringkan di dalam kamarnya.

"Dia masih hidup, ambil air dingin...!'"

Semua gugup. Wan Hoa berteriak-teriak menyuruh dayang mengambil air, tak sabar dan berlari sendiri mengambıl air itu. Tapi ketika dia hendak mengguyurnya dan sang tabib mencegah maka gadis itu tertegun dengan air mata bercucuran.

"Jangan disiram, serahkan air itu kepadaku. Harus dimantrai!

Wan Hoa sadar. Kepercayaan pada bangsa liar itu akan jampi-jampi atau mantra memang kuat, tanpa mantra semuanya tak akan berjalan mulus. Dan ketika si tabib berkemak-kemik dan air yang dimantrai ditiup tiga kali maka tabib itu memerciki muka si korban sambil berseru mengusir setan.

“Bangunlah... sadarlah!”

Dayang dan Wan Hoa tegang. Cao Cun sudah tidak bergerak-gerak lagi, tubuhnya sudah kaku dan nyaris dingin. Wan Hoa heran bahwa sang tabib mengatakan sahabatnya masih hidup, padahal denyut nadi tak dirasakannya. Tapi ketika air dipercikkan dan doa pengusır setan dibuat mendadak tubuh Cao Cun bergerak dan wanita yang gagal bunuh dirinya itu mengeluh.

"Cao Cun...!" Wan Hoa menubruk, girang dan gembira sekali tapi tabib di situ menahan bahunya.

Dengan lembut dan halus sang tabib berkata bahwa korban yang baru sadar tak boleh dikagetin dulu, biarkan beberapa saat sampai kelopak mata itu terbuka. Wan Hoa mengguguk tapi menurut. Dan ketika tak lama kemudian kelopak mata itu terbuka dan air berhenti di percik-percikkan maka Wan Hoa mengguguk dan sudah menubruk sahabatnya itu, tersedu-sedu.

"Cao Cun, apa yang kau lakukan ini? Kau gila? Kau tidak waras!"

Bibir yang kini mulai merah itu bergerak. Cao Cun tak tahu apa yang terjadi, dia merasa tubuhnya ringan dan sukar menemukan kesadaran dalam waktu cepat. Tapi ketika tubuhnya diguncang-gunçang dan Wan Hoa mengguguk di atas dadanya tiba-tiba Cao Cun mengerutkan kening dan menangis. "Aku dı mana? Di nerakakah? Kenapa begini panas?"

"Ah, kau masih di kemah bangsa liar, Cao Cun. Kau kami gagalkan maksud bunuh dirimu. Kau tidak waras, kau gila!"

Dan Cao Cun yang terkejut bangkit duduk tiba-tiba melihat beberapa orang ada di situ.

"Lihat... lihat! Kami semua menolongmu, Cao Cun. Masa demikian gampang kau pergi? Kau mau meninggalkan aku?" dan Wan Hoa yang tersedu-sedu memeluk Cao Cun sudah bicara lagi, penuh getaran. "Cao Cun, kalau kau mau mati harap ajak aku. Jangan sendiri. Sekali kau melakukan itu lagi tanpa memberi tahu aku maka aku tak mau mengampunimu biar di neraka sekali pun...!"

Sepasang Cermin Naga Jilid 03

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 03
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SENJATA di tangan pendekar itu nyaris terlepas. Ji-moi mengerahkan sinkangnya, hebat hingga pit di tangan pendekar ini tergetar. Kim-mou-eng merasa tangannya sakit dan linu. Sampokan tadi bukan sembarang sampokan dan tentu saja dia gelisah. Dan ketika dia menyerang lagı namun pukulan maupun totokan tak mempan menghadapı nenek yang sakti ini akhirnya senjata di tangan Kim-mou-eng patah bertemu tubuh si nenek yang kebal.

“Krek!" Kim-mou-eng membuang pitnya di lantai, marah tapi juga bingung. "Kau hebat, nenek siluman. Tapi aku belum menyerah!" bentakan itu disusul terjangan kedua, tangan kiri menampar sementara tangan kanan menghantam. Kim-mou-eng melakukan dua serangan sekaligus ke kepala dan lambung. Tapi ketika si nenek tertawa dan mengibas rambutnya yang riap-riapan mendadak dua pukulan, itu dısambut dengan sabetan rambut yang tiba,tiba berubah kaku seperti kawat baja.

“Plak-plak!" Kim-mou eng mengeluh. Lawan tidak berhenti sampai disitu saja, Ji-moi terkekeh dan menggerakkan kepala, rambut yang menangkis tiba-tiba juga menggubat pergelangan tangan lawan. Kim-mou-eng mau menarik tapi tak keburu. Pendekar ini berseru kaget ketika tangannya tergurat. Dan ketika dia mau membetot tapi lawan mendahului mendadak nenek itu telah menyendal dan Kim-mou-eng pun roboh terbanting.

"Bress!" Kim-mou-eng terguling-guling, melompat bangun dan melihat si nenek berkelebat. Rambut itu meledak dan kini menyambar pinggangnya, melibat dan menarik dan Pendekar Rambut Emas berseru keras. Dia menghantam tapi si nenek mengangkat naik. Dan ketika dia kehilangan keseimbangan dan si nenek pun membanting, maka Kim-mou-eng lagi-lagi terlempar dan jadi bulan-bulanan serangan nenek ini, mendengar lawan terkekeh.

Dan para menteri serta perwira terbelalak melihat semuanya itu. Dengan jelas mereka melihat bahwa Kim-mou-eng bukan tandingan nenek ini. Padahal nenek yang lain masih belum bergerak. Bukan main saktinya nenek itu. Dan ketika Kim-mou-eng kembali terguling-guling dan dihajar serta dilecut cambuk maka Toa-ci, nenek pertama, berseru agar adiknya menyudahi main-main itu, Ji-moi memang mempermainkan Kim-mou-eng.

"Ji-moi, bereskan dia. Bunuh!"

“Hih-heh, baik, Toa-ci. Lihat sekarang dia akan kucekik... wiirrr" rambut itu tiba-tiba meluncur cepat, lurus dan tahu-tahu sudah melilit di leher Pendekar Rambut Emas. Dan ketlka Kim-mou-eng tersentak dan kaget membelalakkan mata sekonyong-konyong tubuhnya terangkat naik dan diputar-putar di sekeliling tubuh nenek itu.

"Hi-heh, mampus kau bocah. Mampus!"

Kim-mou-eng pucat. Dia sudah tak berdaya diperlakukan seperti itu, tubuhnya terkatung di udara, kian lama kian cepat diputar dan tentu saja nafasnya tercekik. Kim-mou-eng kaget bukan main. Tapi ketika si nenek terkekeh-kekeh dan betapa pun Kim-mou-eng tak mau mati konyol tiba-tiba pendekar ini mengeluarkan bentakan keras dan kedua tangan menghantam dengan pukulan sinar putih, satu-satunya pukulan yang merupakan ilmu simpanan yang bukan lain Pek-sian-ciang adanya.

"Dess!" Nenek itu bergoyang. Tubuhnya tiba-tiba berhenti berputar, rambut yang melilit mengendur, Kim-mou-eng telah menghantamnya begitu hebat dan Ji-moi sejenak lupa bahwa pendekar ini masih mempunyai ilmu andalan, Pek-sian-ciang atau Pukulan Dewa Putih. Kini sadar tapi pukulan telah mengenai dirinya. Rambut sebagian putus dan nenek ilu terhuyung, Kim-mou-eng membebaskan diri. Dan ketika nenek itu terbelalak dan Kim-mou-eng mengeluarkan bentakan kedua dan menghantam lagi maka sinar berkedip menyambar dan kembali mengenai nenek itu, yang tampaknya tertegun.

“Dess!” Ji-moi mengeluh. Untuk pertama kalinya nenek itu sadar, dia terlalu merendahkan lawan dan lupa jelek-jelek Kim-mou-eng masih dapat menggigit. kini "gigitannya" itu dirasakan dan pakaian nenek ini hancur. Kejadian seperti dulu berulang, Ji-moi terkejut dan batuk-batuk.

Kim-mou-eng terbelalak, seharusnya kalau orang lain tentu sudah mampus dan terkapar roboh, nenek ini masih dapat berdiri meskipun bergoyang-goyang. Dan karena saat itu merupakan penentuan dan tak boleh dia membuang kesempatan tiba-tiba untuk ke tiga kalinya pendekar ini menyerang lagi dan menghantam, kali ini mengerahkan segenap kekuatannya dan gedung istana seakan diguncang dentuman gunung meletus. Bukan main hebatnya. Bentakan Kim-mou-eng itu sendıri sudah cukup membuat orang-orang yang ada di situ terpelanting, sebagian besar roboh, pingsan! Tapi ketika Kim-mou-eng menghantam dan nenek Ji-moi tersentak tiba-tiba nenek itu mendengar seruan toa-cinya (kakak) dan bayangan nenek pertama berkelebat.

"Awas.. dess!"

Pukulan Pek-sian-ciang seolah mengenai bukit. Ji-moi, sang nenek menggerakkan lengannya. Saat itu nenek ini menggeram dan menyambut, sang Toa-ci menyelinap di belakang Kim-mou-eng dan menotok. Dan ketika Ji-moi menerima pukulan itu dan mengerahkan sinkang menolak maka nenek itu menjerit sementara Kim-mou-eng bergoyang lawan mencelat naik tapi Toa-ci sudah ada di belakangnya. Gerakan nenek ini yang menotok tengkuk termasuk perbuatan curang, Kim-mou-eng merasa tolakan keras dari nenek Ji-moi. Pukulannya tertahan danmembentur dinding tak kelihatan yang bukan main kuatnya, mau membalik dan menghantam dirinya sendiri.

Dan ketika Toa-ci melengking dan menotok tengkuknya tiba-tiba Kim-mou-eng mengeluh dan roboh terlempar, seketika pingsan karena serangan di belakang itu melumpuhkan tenaganya. Pek-sian-ciang akhirnya membalik dan benar-benar menyerang dirinya sendiri. Keadaan ini bisa membahayakan Kim-mou-eng, apalagi pendekar itu sedang pingsan nyawa bisa terbang dalam keadaan tak sadar. Tapi ketika pendekar itu mencelat dan hampir menumbuk dinding sekonyong-konyong sebuah helaan terdengar dı situ dan seorang maha sakti menangkap Pendekar ini berseru lembut,

"Thian Yang Agung,! Bi Kim dan Bi Lan masih juga telengas... ahh!"

Dan Kim-mou-eng yang ditahan serta diselamatkan dari pukulan maut tiba-tıba dilontar ke atas dan... blang." dinding di belakang hancur berkeping-keping menerima hembusan Pek-sian-ciang yang membalik begıtu dahsyat, lewat dan tembus begitu saja di tubuh manusia maha sakti ini dan Kim-mou-eng kembali ditangkap, diterima dan seorang kakek yang mukanya tertutup halimun muncul di situ. Entah kapan dia datang tak ada yang tahu.

Tapi begitu düa nenek itu melihat kakek ini tiba-tiba keduanya berjengit dan mundur mengeluarkan seruan gentar, “Sian-su...!"

"Bu-beng Sian-su...!"

Dua nenek itu tertegun. Mereka melihat sang maha sakti, kakek dewa Bu-beng Sian-su, berdiri di situ. Kakek ini memandang dua nenek itu dan Sepasang Dewi Naga terkejut, mereka tadi telah disebut nama kecil masing-masing, sang kakak bernama Bi Kim sedang sang adik bernama Bi Lan. Itulah nama yang hampir terkubur dua ratus tahun yang lalu, tak ada yang tahu kecuali si manusia dewa ini, Bu-beng Sian-su yang berkepandaian tinggi, tentu saja dua nenek itu tersentak dan kaget bukan main. Rasa gentar jelas membayang di wajah dua orang nenek ini. Tapi melihat Bu-beng Sian-su menolong muridnya dan perlahan namun lembut kakek itu mengusap muridnya agar sadar tiba-tiba nenek Ji-moi, Bi Lan, melengking berkelebat ke depan.

“Sian-su, kau mampuslah...!”

Bu-beng Siansu, kakek yang diserang tenang-tenang saja. Dia tidak mengelak, juga tidak menangkis. Pukulan nenek Ji-moi menghantam dahsyat ke tubuhnya. Tapi begitu kakek ini mengangkat tangan tinggı-tinggi dan menerima pukulan itu tiba tiba pukulan yang begitu dahsyat lewat begitu saja dan kakek ini tidak apa-apa, seolah menyerang sebuah bayangan yang tidak berbadan kasar.

"Dess!" tembok di belakang malah menjadi sasaran. Suara hiruk-pikuk menyusuli serangan itu, dinding ruangan roboh dan nenek Ji-moi kembali melengking. Dengan marah dan gusar ia kembali menyerang. Tapi ketika pukulannya lewat dan Bu-beng Sian-su tak apa-apa maka nenek ini gentar meneriaki encinya. "Toa-ci, serang!"

Toa-ci, nenek yang bernama kecil Bi Kim terbelalak. Dia melihat dua pukulan adiknya menghantam angin kosong, tubuh lawan tak apa-apa padahal baju manusia dewa itu berkibar keras. Jelas pukulannya mengena tapi entah bagaimana kakek dewa itu tak merasakan. Nenek ini pun marah. Dan karena adiknya meneriaki dan ia pun penasaran tiba-tiba nenek Toa-ci membentak dan berkelebat pula ke depan.

“Desss! Pukulan nenek Toa-ci membuat genteng di atas berhamburan. Ruangan terasa dilanda gempa dahsyat dan beberapa yang masih ada di situ berpelantingan roboh. Mereka tadi belum pingsan oleh bentakan Kim-mou-eng, kini mencelat dan pingsan oleh hembusan angin Toa-ci. Bu-beng Sian-su berseru perlahan dan tampak menggoyang tubuh, Kim-mou-eng dilontar kembali ke atas dan diterima setelah pukulan lewat. Dan ketika Toa-ci melengking dan kakek dewa itu menggumam tak jelas tiba-tiba nenek Ji-moi, nenek kedua menyuruh encinya menyerang berbareng, muka dan belakang.

"Toa-ci... serang serentak. Lancarkan Mo-seng-ciang (Pukulan Bintang Iblis)!"

Sang Toa-ci mengangguk. Saat itu penasarannya pun memuncak, begitu pula kemarahannya. Maka begitu sang adik menyuruh dia melancarkan Mo-seng-ciang, sebuah pukulan dahsyat yang dipunyai mereka tiba-tiba dua nenek ini berkelebat dan dari muka serta belakang mereka menghantam sekuat tenaga.

“Blang!” Sinar hitam berkedip warna-warni menyambar tubuh Bu-beng Sian-su. Awan gelap dan ledakan bagai petir terdengar di situ. Entah apa yang terjadi tapi Bu-beng Sian-su mengangkat sebelah lengannya, kakek itu mengeluh dan menyambut dua nenek Naga tersebut dan menjerit. Dan ketika Bu-beng Sian-su menolak dan Bi Kim serta Bi Lin mencelat tiba-tiba dua nenek itu mengaduh dan berguling-guling melontakkan darah.

"Aduh, keparat kau, Sian-su. Jahanam!'"

Dua nenek itu memaki, tubuh mereka berubah kehitaman dan masing-masing mendelik. Masing-masing seakan menjadi arang dan hanya sepasang mata bulat yang berwarna keputihan tampak di situ, menandakan bahwa mereka masih hidup dan Ji-moi serta kakaknya menangis. Tadi mereka ditahan dan ditolak oleh tenaga maha dahsyat, pukulan mereka membalik dan Mo-seng-ciang justeru memhuat mereka hangus. Kalau bukan mereka tentu dua nenek ini sudah terbakar kulitnya. Mereka seketika sudah menjadi kehitaman dan tentu saja mereka sudah tak dapat memulihkan diri. Dan ketika menyadari bahwa mereka tak dapat menandingi manusa dewa itu dan Bi Lan serta kakaknya gentar tiba-tiba mereka memekik dan melarikan diri, menyamhar Togura.

"Togur, lari. Kita ketemu iblis!"

Bu-beng Sian-su. kakek dewa itu tak mengejar. Dia hanya menghela napas dan mengurut muridnya. Kim-mou-eng sadar dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Gurunya datang dan menolong. Untung, kalau tidak tentu dia binasa. Sepasang nenek siluman itu betul-betul hebat. Dan ketika gurunya menarik bangun dan mengebut lengan kesegala penjuru maka para menteri dan perwira yang roboh pingsan mendadak bangun berdiri dan segar bugar disehatkan kakek maha sakti ini.

"Muridku, mari pergi. Aku ingin bicara di luar!!” Kakek itu lenyap. Sama seperti datangnya tadi manusia dewa ini tak meninggalkan jejak.

Kim-mou-eng girang tapi juga çemas. Dan ketika dia menolong Kim-taijin dan aneh bin ajaib semua luka-luka dı tubuh menteri itu hilang setelah dikebut gurunya maka Kim-mou-eng menyusul dan meninggalkan orang-orang itu, diteriaki namun tak dihiraukan dan semua menteri serta perwira mengira Kim-mou-eng mengusir dua nenek siluman itu. Tadi mereka setengah pingsan ketika Kim-mou-eng melancarkan Pek-sian-ciangnya yang ketiga, akhirnya benar-benar pingsan setelah dihembus pukulan dua nenek itu. Dan ketika Kim-mou-eng lenyap dan tentu saja kegegeran itu tak dapat mereka lupakan dan Kim-mou-eng dıpuji setinggi langit maka di lain tempat Kim-mou eng sendiri telah terbang dan menyusul gurunya, membiarkan istana sibuk sendiri dengan urusannya.

Sepasang nenek iblis itu telah pergi. Dan begitu Kim-mou-eng pergi pula dan entah apa yang dilakukan pendekar itu ditempat lain, maka pemakaman jenazah akhirnya di percepat dan tak lama kemudian pangeran mahkota yang di pilih telah menduduki jabatannya sebagai pengganti sang ayahanda.

* * * * * * * *

“Bagaimana, kau masıh mengulur-ulur waktu ibu?"

Begitu sebuah pertanyaan dilontarkan seorang pemuda gagah kepada seorang wanita lain yang masih muda. Wanita ini sejak tadi menangis terisak, duduk di hadapan seorang pemuda tinggi besar berkulit hitam, usianya tak lehih dari dua puluh tiga tahun dan pemuda di depannya yang bertanya tampak tak sabar. Sudah beberapa harı ini dia mendesak. Dan ketika wanita yang ditanya mengguguk dan malah tersedu-sedu akhirnya pemuda tınggi besar itu gemas.

"Ibu!" katanya lagi. "Sudah sebulan ini kau menunda jawaban. Ayah telah wafat, kau dan semuanya yang ada di sini diwariskan secara adat kepadaku. Apalagi yang ditunggu?"

"Aduh, nanti dulu, Cimochu. Biarkan aku berpikir, aku.... aku minta waktu seminggu lagi"

"Hm... kalau begitu ini batas waktu terakhir, ibu. Setelah itu kau tak boleh mengulur lagı dan tunduk kepadaku!'

Pemuda itu marah, meninggalkan kamar itu dan si wanita cantik mengguguk. Sudah berapa waktu ini dia didesak. Dan ketika pemuda itu pergi dan wanita ini yang bukan lain Cao Cun adanya melempar tubuh di pembaringan. Akhirnya wanita ini menutupi mukanya dan menangis berguncang-guncang.

“Wan Hoa, berhasilkah tugasmu? Dapatkah kau menemui. Kim-twako?" begitu berulang-ulang ia mengeluh. Ratapannya memilukan dan sepuluh hari ini matanya selalu merah. Tapi karena tetap cantik dan betapapun kecantikan Cao Cun tak ada tandingannya di seluruh bangsa liar itu maka tangisnya yang mengguguk justeru menyentuh hati menyayat perasaan.

Bagaimanakah asal mulanya? Kenapa wanita ini selalu dirundung nasib celaka? Tak ada yang tahu. Sebulan itu wafatnya raja Hu telah lewat. Cao Cun, wanita yang dıperisteri raja liar ini akan diperisteri anak tirinya, Cimochu yang gagah dan yang tadi telah menanyai dirinya. Pemuda tinggi besar itu memang jengkel, dia selalu diulur-ulur dan disuruh menunggu. Gemas dia. Dan ketika hari itu Cao Cun dipepet dan diberi batas terakhir maka wanita ini menjanjikan batas satu minggu untuk memberi jawaban.

Akan diterimakah? Atau ditolak? Cao Cun belum tahu pasti. Yang jelas, dia terhimpit rasa takut dan tak sudi. Takut kepadà ancaman tapi tak sudı kalau harus dikawin anak tirinya sendiri. Aib itu. Pantang bagi wanita Han yang terhormat untuk melakukan itu. Tapi karena dia tak berada di negerinya sendiri dan adat istiadat bangsa liar itu harus diikutinya maka berminggu-minggu ini Cao Cun meratap dan mengeluh.

Memang berat. Mana ada ibu tiri dikawin anaknya sendiri? Hal begini memang langka dan dikutuk bangsa baik-baik. Tapi karena bangsa liar itu memang bangsa liar dan Cimochu sendiri berbulan-bulan ini tertarik dan tergila-gila kepada ibu tirinya maka meninggalnya raja Hu justeru seperti sebuah kesempatan bagi pemuda tinggi besar ini. Cimochu sudah lama merasa jatuh cinta kepada ibu tirinya itu.

Lihat, mana ada wanita di tengah-tengah suku bangsanya yang demikian cantik dan jelita seperti Cao Cun? Mana ada yang halus dan lembut seperti selir kaisar yang tak jadi diambil itu? Seluruh Tiongkok mengakui itu, apalagi Cimochu dan bangsa liarnya. Maka begitu sang ayahanda mangkat dan Cimochu merasa mendapat durian runtuh segera pemuda berkulit hitam ini mendekati ibu tirinya.

"lbu harus menjadi isteriku," demikian mula-mula pemuda itu berkata, lembut dan halus dengan mata bersinar-sinar. "Adat dan cara bangsa ini mengharuskan segala milik ayah menjadi tanggung jawab putera sulung. Karena itu bersiaplah agar kita merayakan pesta agung!"

Cao Cun pucat. Memang dia sudah mendengar itu, jauh hari sebelum suaminya meninggaI, di kala sang suami terbaring sakit dan merupakan berita selentingan. Tapi ketika berita itu kian santer dan kini Cimochu sendiri sudah menyatakan itu secara terang-terangan maka Cau Cun hampir roboh pingsan mendengar itu.

"Bagaimana? Ibu sudah menetapkan harinya?" begitu sang anak tiri bertanya lagi di lain kesempatan. "Kita harus cepat-cepat menjadi suami istri, ibu. Setelah itu kita punya anak dan membangun bangsa yang besar!"

Cao Cun merenung seperti patung. Saat itu air matanya berderai, mau menolak tapi tahu akibatnya. Dan karena berhari-hari ini sudah mulai sering dikunjungi pemuda itu dan perasaan takut serta cemas hampir membuat wanita ini kehilangan akal maka Wan Hoa, sahabat setianya itu memberi jalan,

"Jangan khawatir aku akan menolongmu, Cao Cun. Aku akan ke kota raja dan meminta tolong istana!”

“Hm." Cao Cun memandang kosong. "Kau wanita lemah, Wan Hoa, seperti juga aku. Kalau kau datang sendiri dan minta kesana tentu tak berhasil.“

"Lalu apakah aku barus membiarkanmu begini?"

Cao Cun diam. "Tidak," Wan Hoa menyambung. "Aku tidak meminta sendiri, Cao Cun, melainkan mencari Kim-twako dan dialah yang ku mintakan bantuannya!"

"Kim-mou-eng?"

"Ya, siapa lagi? Dialah yang dapat melakukan apa yang tak dapat kita lakukan Cao Cun. Karena itu tenanglah dan tunggu hasilnya."

Cao Cun bangkit semangatnya. Ia teringat wajah yang gagah dan tampan dari Pendekar Rambut Emas itu, tiba-tiba Cao Cun merasa rindu, air mata menitik dan tiba-tiba terkenanglah dia akan segala suka dukanya bersama sang pendekar tampan. Betapa mula-mula dia jatuh hati tapi diganggu Mao-taijin, dikurung dan dilepas tapi akhirnya terjebak lagi. Satu demi satu gangguan hidup silih berganti, Kim-mou-eng berkali-kali menolongnya tapi selalu saja ada yang tidak senang.

Cİnta pertamanya gagal dan Kim-mou-eng ditekan sumoinya, Salima yang sudah lama tergila-gila dan jatuh cinta lebih dulu kepada Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika dia terkurung di istana Dingin dan berkali-kali mengalami nasib menyedihkan akibat ulah Mao-taijin akhirnya dia diberikan kepada raja Hu dan kini hidup di tengah tengah suku bangsa liar. Satu dua dihubungi pihak keluarganya tapi hubungan itu lebih bersifat kunjungan "politik".

Keluarganya diminta kaisar agar dia berbaik-baik dengan raja Hu, raja liar itu banyak membantu istana dengan penjagaannya di tembok besar. ltulah sebabnya dia dihadiahkan pada raja bangsa liar itu karena raja Hu tak mengganggu istana, bahkan menjadi sahabat dan bertahun-tahun menjaga tapal batas dari serangan suku-suku bangsa lain. Tar-tar umpamanya. Dan karena dia mengemban tugas untuk tetap menjaga persahabatan ini dengan melayani suaminya sebaik mungkin maka Cao Cun tertekan dan sedih.

Memang betul. Wanita cantik ini sedang mengemban tugas negara, secara tidak kentara. Karena kaisar yang waktu itu berkuasa dan ingin menjaga hubungan baik dengan raja Hu sengaja "menjual" wanita ini agar raja Hu tidak menyerang istana, diberi wanita cantik dan kebetulan raja Hu tergila-gila pada Cao Cun. Cao Cun memang hebat dan cantik, kecantikannya tak ada yang menandingi di seluruh negeri. Wanita ini adalah hasil seleksi ketat dari permintaan kaisar yang kejatuhan mimpi suatu malam bahwa dia harus mencari Cao Cun, didapat tapi diputar-putar oleh Mao-taijin yang menghendaki ayah Cao Cun bupati Wang, memberi dulu hadiah padanya, lima ratus ons emas, tidak diberi dan karena itu menteri ini lalu membalas dendam.

Cao Cun tak diberikan pada kaisar melainkan disimpan saja di Istana Dingin, sebuah istana penampung bagi selir-selir kaisar yang dipilih, calon selir. Dan karena Mao-taijin berusaha menekan namun ayah Cao Cun tetap bersikeras pula dengan sikapnya untuk tidak memberi sogokan itu, maka Cao Cun menjadi korban dan begitulah, gadis ini akhirnya menjadi isteri pemimpin bangsa liar, dibawa keluar kota raja dan kini hidup di tengah-tengah suku itu. Mula-mula tak dapat menerima suaminya tapi pihak keluarga selalu memperingatkan, dia tak boleh begitu dan harus mencintai suaminya. Cao Cun ditekan dan dipaksa.

Dan karena kebetulan suaminya amat mencintai dirinya dan sedikit demi sedikit perhatian suaminya yang begitu besar berhasil menggugah perasaannya pula akhirnya Cao Cun dapat melakukan semuanya itu dan dia pun melahirkan seorang putera, diberi nama ltuchi Yashi dan kebahagiaan mulai timbul. Tapi, belum lama kebahagiaan atau kesenangan ini didapat tiba-tiba raja wafat dan kini Cimochu mengganggu.

"Sudahlah, paduka tak perlu bersedih, hu-jin. Ini memang adat bangsa sini dan Cimochu benar, segala warisan ayahnya akan jatuh ke tangannya. Paduka tinggal menerima dan jangan membuat celaka, kita semua bisa terancam."

Begitu seorang pembantunya membujuk. Cao Cun mengiyakan saja namun kedatangan Wan Hoa tetap diharap. Hari-hari terakhir ini berat menindih perasaannya. Dan ketika dengan gelisah dan tak sabar dia menanti kedatangan sahabatnya paling setia itu mendadak suatu sore Wen Hoa muncul.

"Aduh, berhasil, Cao Cun. Berhasil! Aku ketemu Kim-twako...!" begitu Wan Hoa melonjak dan menubruknya di kamar, ketika baru saja datang dan turun dari kereta. Dan ketika gadis itü bersorak kegirangan dan memeluk serta menciuminya maka Cao Cun berseri-seri mendengar berita yang amat menggembirakan ini, air matanya berderai, runtuh oleh rasa girang yang luar biasa.

"Begitukah?” tanyanya. “Dan mana Kim-twako, Wan Hoa? Kapan kau ketemu?”

"Ah, dua hari yang lalu, Cao Cun. Dan Kim-mou-eng akan menolong kita. Kau pasti selamat, Cimochu tak dapat mengambil mu sebagai istri."

Wan Hoa lalu menceritakan pertemuannya, bersemangat dan berapi-api dan Cao Cun hanyut oleh cerita sahabatnya ini. Keluhan dan air mata bahagia kembali runtuh berderai derai, Wan Hoa berkali-kali mencium dan memeluknya, sahabatnya itu seakan menari-nari oleh gembira. Dan ketika selesai menutup ceritanya dan mengatakan Kim-mou-eng akan datang, Wan Hoa mengusap rambut sahabat yang dicintanya ini, berseri-seri,

"Nah, karena itu tunggu saja beberapa hari, Cao Cun. Kim-twako akan datang dan membawa berita dari istana!"

Cao Cun mengangguk-angguk. "Terima kasih," ucapnya haru. "Kau tak lelah-lelahnya, menolong aku. Wan Hoa. Entah dengan apa aku harus membalas semua budi kebaikanmu ini. Kalau tak ada kau tak mungkin rasanya aku hidup lebih lama."

"Ah," Wan Hoa terharu juga. "Jangan begitu, Cao Cun Kau dan aku satu. Tanpa kau, aku juga tak ingin lama tinggal di dunia ini. Sudahlah, simpan terima kasihmu itu dan nantikan kedatangan Kim-twako!"

Dua wanita itu berpelukan. Wan Hoa telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik, dia telah menemui Kim-mou-eng dan berhasil mendapat janji Pendekar Rambut Emas itu, Kim-mou-eng pasti menolong dan menyelamatkan Sahabatnya. Aib itu tak jadi menimpa. Tapi ketika mereka bersenang-senang dan riang menanti kedatangan Kim-mou-eng mendadak sesuatu yang mengejutkan datang menimpa, ketika Kim-mou-eng muncul, datang menepati janji.

"Maaf," begitu pendekar itu menunjukan roman tak gembira. "Aku gagal, Wau Hoa. Apa yang kujanjikan tak dapat kupenuhi."

"Apa maksudmu?" Wan Hoa terbelalak. "Kenapa begitu?" lalu teringat belum mempersilahkan tamunya. Wan Hoa menyuruh pendekar itu ke dalam, mau memanggil Cao Cun.

"Tidak, jangan..." Pcndekar Rambut Emas mencegah. "Aku malu, Wan Hoa. Jangan panggil ia dan biarlah kita berdua!"

"Apa artinya ini? Kenapa?" Wan Hoa tertegun.

"Dengarlah," Pendekar Rambut Emas tergetar. "Aku tak dapat menyampaikan permintaanmu karena kaisar wafat, Wan Hoa. Aku gagal dan terus terang tak mampu menolong."

“Oohh...!" Wan Hoa terbelalak. "Wafat? Sri baginda wafat?"

"Ya, baru saja, Wan Hoa. Aku mendengar ketika kau pulang. Saat itu Bu-ciangkun muncul...”

Kím-mou-eng lalu menceritakan kejadiannya betapa dia ke kota raja dan hanya melihat peti jenazah di istana. Tentu saja gagal dan tak dapat menolong Cao Cun karena kaisar meninggal dunia. Apa yang diharap menjadi kandas dan Wan Hoa tiba-tiba tersedu. Dan ketika wanita itu menangis dan hampir menjerit penuh kecewa maka Kim-mou-eng terharu meletakkan tangannya di pudak gadis ini.

"Nah, sekarang kau tahu, Wan Hoa. Sampaikan pada Cao Cun dan biar aku kembali. Aku malu bertemu dengannya, aku tak berdaya..."

"Tidak!" Wan Hoa tiba-tiba melengking. "Masih ada jalan, twako. Tolonglah sekali lagi dan jangan biarkan Cao Cun menderita!"

"Hm, apa lagi? Jalan apa?"

"Bukankah kaisar telah memilih pangeran mahkota? Bukankah penggantinya ada?"

“Benar, lalu?”

“Lalu kau minta tolong padanya, twako. Suruh kaisar yang baru itu menolong dan menyelamatkan sahabatku!"

Kim-mou eng tertegun.

"Bisa, bukan?"

"Hm...." Kim-mou-eng ragu. "Kaisar yang baru tak seberapa kukenal, Wan Hoa. Aku tak begitu akrab seperti terhadap ayahnya.”

"Tapi kau bisa mencoba, twako. Coba dan lakukan itu demi Cao Cun. Sumpah, aku tak ingin hidup kalau Cao Cun bunuh diri!"

Kim-mou-eng pucat. "Wan Hoa, sedemikian sulitkah hidup yang kita alami ini? Haruskah kegagalan ditebus dengan bunuh dıri?"

"Kau tahu, Cao Cun selamanya tak mengecap kebahagiaan twako. Baru sedikit sudah direnggut lagi dengan kejam. Dewa maut tak kasihan kepada raja Hu, kalau dia tak wafat dan anaknya tak ada tentu Cao Cun dapat bahagia bersama suaminya itu. Tıdak, hidup terlalu kejam buat Cao Cun, twako. Kalau kau yang diharap tak dapat menolong maka mungkin dia akan bunuh diri! Kau bantulah, kau tolonglah. Demi arwah leluhurku. biarlah Kubayar semua petolonganmu ini dengan menjadi budak mu selama tujuh penghidupan!"

Wan Hoa sudah menangis, mengguguk dan meratap dan keputusasaan serta kecemasan sudah menyelubungi dirinya. Wan Hoa pucat melihat kegagalan Kim-mou-eng. Dan ketika gadis itu tersedu-sedu dan Kim-mou-eng sendiri pucat serta gemetar akhirnya pendekar ini mengeraskan hati.

"Baiklah, aku akan mencoba semua daya dan kemampuanku, Wan Hoa. Akan kutemui kaisar baru itu dan tunggulah, mudah-mudahan berhasil."

Dan Wan Hoa menangis terputus-putus. “Jangan lama-lama, twako. Waktu bagi Cao Cun tinggal tiga hari lagi. Sekali kau terlambat, maka putuslah harapannya..."

“Apa maksudmu?"

"Cimochu sudah menetapkan batas akhir, twako, Cao Cun telah berlanjį memberi jawaban. Kau ditunggu-tunggu, janjinya tinggal tiga hari lagi. Kalau kau gagal dan tak dapat membujuk kaisar baru itu maka kandaslah segalanya!"

"Baik! Kalau begitu begini saja, Wan Hoa. Nantikan aku sampai hari ketiga. Aku akan secepat mungkin menemui kaisar baru itu, membujuknya. Kalau aku berhasil tentu sebelum hari ketiga aku kembali. Tapi kalau aku gagal, yach...maaf aku tak ke sini."

Wan Hua pucat, ”Jangan katakan itu kepadaku twako... jangan gagal!"

"Aku berusaha tapi Tuhan yang menentukan, Wan Hoa ingat ini dan jangan emosi. Betapapun juga, aku bersungguh-sungguh menolong kalian. Sudahlah, aku pergi dan nantikan sampai hari ketiga!" Kim-mou-eng lenyap, tak mau lagi berlama-lama disitu karena tangis Wan Hoa bisa mengganggunya.

Gadis itu linglung dan pucat sekali. Tapi karena Wan Hoa masih menaruh harapan dan betapapun kata “gagal” hampir tak dipercayainya ada pada Pendekar Rambut Emas itu maka Wan Hoa menggigil dan menunggu, berlari ke dalam dan berdoa sepanjang waktu. Apa yang didengar dari Kim-mou-eng itu tak diceritakannya pada Cao Cun, Wan Hoa berdoa terus dengan penuh kegelisahan, Air matanya mengalir deras.

Dan ketika hari pertama dan kedua lewat maka menjelang pagi, di hari ketiga Cao Cun menggedor pintu kamarnya. Wan Hoa terkejut. Dia membuka pintu kamar dan melihat Cao Cun tersedu-sedu, sahabatnya itu langsung menubruk dan roboh di dalam pelukannya. Wan Hoa tersedak dan kaget. Dan ketika ia bertanya apa yang terjadi dan kenapa pagi-pagi begitu Cao Cun mengguguk di kamarnya segera wanita ini berkata,

"Sri baginda wafat, Wan Hoa... wafat...!"

“Wafat?” Wan Hoa terkesima, seketika sadar bahwa Cao Cun pasti tahu. Cimochu dan bangsanya tak mungkin tidak mendapat berita penting itu dari istana. Dan ketika Cao Cun mengguguk dan mengangguk sambii menangis tak keruan maka sahabatnya ini sudah meremas-remas pundaknya.

"Ya, wafat, Wan Hoa. Kaisar tak ada lagi dan habislah harapan kita!"

"Tidak," Wan Hoa mendorong sahabatnya itu. "Harapan masih tetap ada, Cao Cun, jangan putus asa. Dengarlah, aku sesungguhnya telah mendengar berita itu lebih dulu...." dan Wan Hoa yang merasa tak perlu lagi menyembunyikan rahasia pertemuannya dengan Kim-mou-eng dan minta maaf pada Cao Cun akhirnya menceritakan juga perjumpaannya dengan Pendekar Rambut Emas itu.

Bahwa Kim-mou-eng sudah kesitu dan dari pendekar itulah dia tahu meninggalnya kaisar. Wan Hoa lalu berterus terang bahwa jangan memberitahukan ini pada Cao Cun agar semata Cao Cun tidak gelisah, tak mau sahabatnya itu terganggu pikirannya dan coba menenteramkan perasaannya. Tak nyana bahwa akhirnya Cao Cun tahu juga. Berita itu memang telah didengar bangsa liar itu dan tengah malam tadi Cimochu berangkat ke kota raja, melayat.

Cao Cun mendengar dan kini bermaksud menceritakannya pada Wan Hoa, tak disangkanya bahwa Wan Hoa justeru telah mendengar lebih dulu dan sengaja menyembunyikan berita itu agar dia tidak gelisah. Dan ketika Wan Hoa menceritakan pertemuannya dengan Kim-mou-eng dan Kim-mou-eng juga menyatakan kegagalannya tak menemui kaisar karena kaisar telah lebih dulu mangkat maka disini Wan Hoa memegang pundak sahabatnya itu.

"Memang betul kaisar wafat, Cao Cun. Tapi bukan berarti harapan kita habis. Kim-twako mula-mula juga menyangka begitu. Tapi setelah kuberi tahu bahwa pengganti kaisar ada dan justeru terhadap kaisar yang baru ini. Kini twako akan meminta tolong maka harapan bagimu masih terbuka dan tenanglah. Aku yakin berhasil dan Kim-twako pasti besok datang!"

"Tapi besok hari ketiga, Wan Hoa. Hari teakhir janjiku pada Cimochu!"

“Benar, tapi Cimochu sekarang sedang ke kota raja, Cao Cun, melayat. Tak mungkin besok dia pulang. Paling tidak tiga empat hari lagi."

"Hm..." Cao Cun menggigil, merasa ditipu sahabatnya ini juga. "Kau terlalu, Wan Hoa. Kenapa tidak menceritakan pertemuanmu dengan Kim-twako? Kenapa tidak memanggilku agar menemui dia? Bukankah kau tahu aku rindu padanya?"

"Maaf, jangan salah paham Cao Cun. Kim-twako yang tak mau bertemu denganmu. Dia malu!”

"Malu?"

"Ya, karena kegagalannya itu, Cao Cun. Malu karena tak dapat menepati janji."

"Ooh, tapi wafatnya kaisar di luar kekuasaannya, di luar dugaan siapa pun. Kenapa malu! Kalau dia datang temukan aku dengannya, Wan Hoa. Biarkan sekali ini aku melihatnya untuk terakhir kalinya!"

"Tentu," dan Wan Hoa yang kembali menyatakan maaf dan minta agar Cao Cun tidak marah padanya akhirnya menunggu dan menghabiskan hari ketiga itu. Dari pagi sampai siang ia menanti, jantung berdebar dan perasaan gelisah tak keruan. Detik demi detik dilewati tapi yang ditunggu tak muncul juga. Dan ketika matahari terbenam di ufuk barat dan Cao Cun menutupi mukanya akhirnya wanita ini mengeluh.

"Oh, habis harapan kita, Wan Hoa. Habiss…!”

"Tidak," Wan Hoa masih bersikeras, diam-diam menenangkan guncangan jantungnya yang tak keruan pula. "Waktu belum habis. Cao Cun Masih ada enam jam lagi dan kita tunggu tepat tengah malam!"

"Tapi harapan mulai tipis, jangan-jangan dia gagal..."

"Hmm, aku masih menaruh harapan, Cao Cun. Tenanglah dan jangan buat aku bingung. Aku pun tak kalah gelisahnya dengan kau!"

Tapi ketika tengah malam lewat dan detik detik terakhir lenyap begitu saja akhirnya Cao Cun mengguguk dan lari menutupi piniu kamar tersedu dan menjerit dan Wan Hoa pun mendelong. Malam itu sampai kentongan terakhir Kim-mou-eng tak datang, Wan Hoa pucat dan ambruk. Dan karena Wan Hoa teringat kata kata Pendekar Rambut Emas itu bahwa kalau dia tak datang berarti gagal maka Wan Hoa mengeluh.

Apa yang terjadi? Kenapa Kim-mou-eng tak datang-datang? Gagalkah dia? Memang begitu. Tiga hari yang lalu, ketika Pendekar Rambut Emas itu terbang ke kota raja memburu waktu. Dia sudah tiba di istana. Suasana berkabung masih nampak, pendekar ini tertegun dan ragu-ragu. Sejenak terpikir olehnya, pantaskah dalam suasana seperti itu dia mengganggu pangeran mahkota yang kini telah menjadi kaisar baru? Pantaskah dia membujuk dan merengek pada kaisar muda itu? Tapi teringat bahwa ini masalah Cao Cun dan untuk Cao Cun dia siap melakukan apa saja tiba-tiba pendekar ini mengeraskan dagu dan berkelebat masuk. Tapi siapa yang dijumpai? Justeru Kim-taijin!

"Eh, kau, Kim-taihiap? Ada apa malam-malam begini datang? Aih, mari duduk. Aku belum mengucap terima kasih untuk semua pertolongan mu. Kau telah menghidupkan nyawaku yang sudah di ambang pintu neraka!"

Kim-mou-eng terkejut. Pembesar ini telah menjura di depannya berulang-ulang, begitu hormat, air mata pun menitik dan dia ménjadi terharu. Dan karena menteri itu merupakan örang yang sudah cukup dikenal lama dan kebetulan bertemu menteri ini akhirnya Kim-mou-eng menyambar dan menyuruh menteri itu duduk, malah sebaliknya.

“Taijin, ah…. aku ada persoalan, lupakan terima kasih itu dan dengarlah!"

“Ada apa?" menteri ini terbelalak, melihat sikap yang penuh kekhawatiran dan kecemasan di wajah Kim-mou-eng. "Persoalan apa? Apa yang mau kau minta?"

"Hm, begini. Aku membawa persoalan besar, taijin. Masalah Cao Cun. Wang Cao Cun!"

"Ah, duduklah, taihiap tampaknya haus, biar kucari minum dan jangan terburu-buru," Kim-taijin mengerutkan kening, teringat pada puteri bupati Wang itu dan dapat menangkap bahwa persoalan yang betul-betul penting dibawa pendekar ini. Dia menuang air putih dan menyodorkan pada tamunya, Kim mou-eng meneguk dan legalah sejenak perasaannya.

Dan ketika pembesar itu mendengarkan dan duduk serius maka Kim-mou-eng menceritakan permasalahannya, bahwa raja Hu meninggal dan kini anak sulungnya, Cimochu, berhak mewarisi semua peninggalan bapaknya, termasuk isteri dan selir-selirnya, termasuk Cao Cun tentu saja. Menceritakan sampai di sini Pendekar Rambut Emas itu tampak gemetar. Dan ketika ceritanya selesai dan permasalahan itu disambut anggukan berkali-kali oleh menteri ini maka Kim-taijin berkata,

"Betul. wafatnya raja Hu telah kudengar, Taihiap. Tapi persoalan Cimochu hendak mengawini ibu tirinya baru kali ini kudengar. Lalu apa maksudmu? Apa yang harus kulakukan?"

"Aku datang untuk meminta kaisar mencegah perkawinan itu, taijin, mempergunakan pengaruhnya dan membatalkan niat Cimochu itu! Hmm, bisakah?"

Sang menteri terkejut. "Aku tidak tahu, taihiap, tapi kaisar agaknya tak dapat memutuskan sendiri."

"Maksudmu?”

"Persoalan ini bersifat politis, apa yang menyangkut bangsa liar itu harus dibicarakan hati-hati dan seksama." dan ketika pendekar itu tertegun dan tampak terbelalak menteri itu bicara lagi, "Taihaip, kau tentu tahu bahwa penyerahan Cao Cun kepada raja Hu oleh mendiang kaisar lama adalah dikarenakan kecenderungan politik itu. Bahwa Cao Cun diminta agar menundukkan suaminya dari dalam, agar raja tidak menyerang dan justeru mengikat persahabatan dengan istana. Dan kalau raja meninggal dan kemudian digantikan puteranya di mana putranya lalu hendak mengawini ibu tirinya karena adat menentukan begitu agaknya kaisar tak dapat campur tangan. Ini urusan pribadı, kenapa kau turut campur? Tapi aku dapat memahamı perasaanmu, taihiap. Biar besok aku beritahukan kaisar dan membicarakannya bersama. Kalau negara dapat terancam oleh campur tangan ini barangkalı maaf saja, kami tak mau terlibat!“

Kim-mou-eng pucat. "Taijin tak mau menolongku?"

"Bukan begitu, taihiap. Tapi coba tolong pula kau lihat kedudukan kami."

"Hm, kalau begitu rupanya gagal, perjuanganku sia-sia!"

"Jangan terburu, kami akan berusaha, taihiap. Dan kau boleh dengar semua pembicaraan kami. Marilah...!" dan Kim-taijin yang tak enak juga disangka tak mau menolong lalu mengajak Kim-mou-eng menemui kaisar baru, sang pangeran mahkota yang baru beberapa hari saja diangkat.

Di sini kaisar itu terkejut, apa yang diminta Kim-mou-eng memang tergolong rawan. Maklum, sekali Cimochu dibuat marah dan bangsa liar itu menyerang maka istana akan kedatangan musuh baru di samping musuh-musuh lain yang cukup banyak mengganggu di perbatasan. "Aku tak dapat menentukan sekarang. Biarlah keputusan ini diambil dalam sebuah sidang!"

Jawaban kaisar membuat perasaan Kim-mou-eng tergetar. Apa yang dikata Kim-taijin memang mulai terbukti, kaisar baru yang belum banyak pengalaman itu tak berani mengambil tindakan sendiri. Terpaksa, keesokannya diadakan sidang dengan menteri-menteri yang bersangkutan, para pembantu dekat kaisar ini dan Mao-taijin terlihat. Belum apa-apa Kim-mou-eng sudah mendidih melihat menteri memuakan itu. Inilah menteri yang membuat Cao Cun sengsara. Dan ketika persidangan dimulai dan Mao-taijin rupanya dekat sekali dengan kaisar baru. Maka perdebatan sengit terjadi disini.

“Urusan negara lebih penting daripada urusan pribadı. Kalau campur tangan ini menimbulkan kemarahan Cimochu tentu saja kita tak usah terlibat," begitu menteri itu bicara, disambut yang lain dan anggukan di sana-sini membuat Kim-mou-eng putus asa. Dia melihat hanya Kim-taijin dan beberapa lainnya saja yang tidak mengangguk, mungkin "abstein". Dan ketika kaisar bertanya bagaimana baiknya dan apakah Cao Cun hendak dibiarkan saja dinikah anak tirinya maka menteri itu kembali bicara.

“Hamba kira tak usah dihiraukan, sri baginda. Itu urusan dalam mereka, urusan pribadi. Kalau sang anak hendak mengawini ibunya biarlah itu terjadi karena Cao Cun bukan warga negara kita lagı!"

"Hm, Cao Cun mungkin bukan warga negara lagi, Mao-taijin...“ menteri Kim yang mendongkol dan mengerutkan kening oleh kata-kata rekannya itu menanggapi. "Tapi betapapun ia masih menolong dan membantu kita. Apakah kau tak tahu bahwa atas semua jasanyalah maka raja Hu dan rakyatnya jinak kepada kita? Apakah kita menutup mata atas kenyataan bahwa wanita itu pembantu paling berguna bagi kita di tengah-tengah bangsa liar itu? Kalau dia ngambek atau membangkang maka semuanya bisa berobah, taijin. Harap ingat semuanya ini dan jangan bersikap masa bodoh!!”

"Ah, Kim-tıjin salah paham," menteri she Mao itu menyeringai, tahu rekannya ini dekat dengan Kim-mou-eng. "Kita harus melihat persoalan secara makro, taijin, jangan mikro. Kalau campur tangan ini tak disenangi Cimochu dan dia marah lalu menyerang kita tentu kita celaka. Manakah yang kau pilih antara membiarkan saja urusan itu dan kita aman atau ikut mencampurinya tapi diserang Cimochu dan suku bangsanya?"

"Tentu saja sikap permusuhan harus d hindari, tapi harap kau ingat bahwa yang datang kali ini memintai tolong kita adalah Kim-taihiap. Kim-mou-eng berkali-kali menolong kita, masa sekali datang kita membalasnya dengan sikap masa bodoh dan tidak perdulian? Kim-mou-eng datang bukan untuk dirinya pribadi, taijin melainkan orang lain. Ini menunjukan betapa Kim-taihiap seorang ringan hati yang suka menolong sesama dan tidak acuh atau masa bodoh terhadap orang lain!"

Mao-taijin tertampar. Omongan itu sama dengan mengejeknya, sebagai orang yang tak memperdulikan kesusahan orang lain, merah muka menteri ini. Dan karena dia tak mau kalah dan tentu saja harus mendebat maka dia menantang. "Baiklah, mari kita tolong si Cao Cun itu, taijin. Cegah niat anak tırinya itu dan mari kita campur tangan. Tapi beranikah kau bertanggung jawab untuk menerima kemarahan Cimochu? Beranikah seorang diri kau menghadapi pemimpin bangsa liar itu dan menyatakan ketidaksenangan ini secara pribadi. Kalau kau berani melakukan itu silahkan, taijin. Banyak orang akan kagum kepadamu dan memujimu sebagai orang yang tidak masa bodoh dan tahu kesusahan orang lain!"

Kim-taijin ganti merah mukanya. Sekarang dia dibalas dan ditantang, suasana tiba-tiba menjadi panas dan seru. Menteri itu mendelik. Tapi sebelum dia menjawab dan bangkit berdiri tiba-tiba Siung-taijin, menteri luar negeri menjura ke pada kaisar dalam-dalam.

"Sri baginda, mohon ampun. Hamba mendapat jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan ini. Bolehkah hamba bicara?"

"Hm... apa itu, taijin? Kau bicaralah, barang kali semuanya cocok dan sependapat."

"Tentu, hamba yakin sependapat, sri baginda. Dan jalan tengah ini adalah sederhana saja. Yakni bahwa Kim-taiihiap harus ikut terlibat. Maksud hamba, boleh kita menolong wanita itu tapi kalau bangsa liar menyerbu maka Kim-taihiap dan bangsa tar-tar diminta mengatasi dan bertanggung jawab menyelesaikan ini. Kalau Kim-taihiap setuju tentu paduka dapat mempergunakan pengaruh paduka untuk mencegah niat Cimochu itu!"

"Betul!" kaisar tiba-tiba bertepuk tangan. "Cocok sekali, taijin. Aku setuju dan sependapat. Bagaimana kalau Kim-mou-eng dan suku bangsanya bersiap menghadapi kemarahan Cimochu dan sukunya? Maukah Kim-taihiap mengatasi dan membunuh pemimpın bangsa liar itu?"

Kim-mou-eng terkejut. Tiba-tiba secara halus dan licik Siung-taijin telah menggiringnya untuk menjeremusksn dirinya, menteri itu tersenyum dan sinar curang terlihat di mata menteri luar negeri itu. Kim-mou-eng tertegun. Dan karena ini sama dengan menyuruh dirinya mengerjakan sendiri pekerjaan itu dan istana mau lepas tangan tiba-tiba Kim-mou-eng kecewa dan bangkit berdiri.

"Sri baginda, kalau hamba mempertanggung jawabkan semuanya ini berartı paduka dan lain-lain tak mau menolong hamba. Hamba tidak takut menghadapi Cimochu dan suku bangsanya itu. Tapi kenapa harus begini? Kalau paduka dan lain-lain mau cuci tangan lebih baik terus terang saja, Sri baginda. Kalau ayahanda paduka masih hidup tentu tidak begini sikapnya. Kalian tampak ketakutan sekali, baiklah hamba permisi dan tidak perlu bicara lagi. Selamat tinggal..." dan Kim-mou-eng yang berkelebat lenyap tak mau bicara lagi tiba-tiba pergi dan keluar dengan kecewa, minta tolong malah dimintai tolong. Kaisar baru ternyata tak sejantan seperti kaisar lama. Kim-mou-eng marah dan melompat pergi. Dan begitu pendekar itu meninggalkan sidang dan kaisar serta yang lain-lain tertegun maka Kim-taijin melonjak.

"Taihiap tunggu...!"

Namun Kim-mou-eng tak mau kembali. Hari itu persidangan geger, Kim-taijin marah-marah dan memaki rekannya yang dianggap pengecut. Dan karena menteri ini termasuk menteri senior dan tentu saja tak ada yang berani membalas kecuali kaisar akhirnya kaisar menyuruh menterinya ini diam. Betapapun menteri itu adalah menteri tua yang sudah lama mengabdi sejak ayahanda kaisar sekarang masih hidup, kesetiaan menteri itu besar. Dan ketika persidangan dibubarkan dan hasilnya nihil bagi Kim-mou-eng maka Kim-taijin cepat- pulang dan melepas kekecewaannya dengan membanting-banting pintu!

Sedang di tempat lain di mana Kim-mou-eng terbang meninggalkan kota raja, pendekar ini pergi dengan muka merah. Apa yang didapat di istana benar-benar menyakitkan. Kalau dia disuruh menghadapi Cimochu itu apa gunanya dia ke istana? Bukankah dia dapat langsung menemui pemuda itu dan membunuhnya? Mencari dan menyelesaikan Cimochu dengan jalan kekerasan bukan hal sukar bagınya, tapi bukan itu yang dikehendaki. Jalan kekerasan selamanya tak disukai. Kim-mou-eng memang pendekar yang lembut dan lemah hati.

Dan karena kegagalan di istana menimbulkan kekecewaan besar dan sepanjang jalan pendekar ini memendam kemarahan akhirnya dia berkeputusan akan pulang dulu ke utara, menjumpai sang isteri dan berunding dergan isterinya itu bagaimana baiknya. Betapapun dia tak berani mengambil keputusan sendiri takut isterinya tersinggung, bahkan mungkin cemburu dan marah-marah. Maklum, betapapun dia cukup kenal watak istrinya itu, keras dan berangasan. Maka ketika hari itu dia meninggalkan kota raja dan cepat-cepat pulang ke tempat tinggalnya mendadak sesuatu yang mengejutkan menyambut pendekar ini bagai petir di siang bolong.

"Taihiap, celaka. Hujin (nyonya) tewas..! Taihiap, sepaseng nenek siluman membunuh isteri mu, Ah, kau terlambat...!”

Kim-mou-eng berhenti detak jantungnya. Sambutan dan seruan disana sini membuat Pendekar Rambut Emas terkesiap. Bangsa Tar-tar menyambutnya dengan tangis dan jerit kepedihan. Hari itu dia melihat rumahnya dipenuhi banyak orang, pembantu pembantu dekatnya menjatuhkan diri berlutut dan tampak gentar. Semuanya menunjukkan ketakutan. Dan ketika dia terhenyak dan terpaku di halaman rumah maka didalam, di tengah-tengah pintu terlihat sesosok tubuh membujur kaku di atas sebuah dipan.

“Sumoi...!” Bentakkan atau seruan itu melengking tinggi. Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat dan sudah berada di dalam, tersentak dan melihat isterinya telah tewas dengan tubuh berlumuran darah. Hidung dan mulut isterinya pecah. Kim-mou-eng menubruk dan tiba-tiba menjerit histeris. Dan ketika bangsa Tar-tar tertegun dan melihat pendekar itu mengguguk, tiba-tiba Kim-mou-eng, membalik dan mencelat, menangkap seorang pembantunya terdekat, Lisang.

"Lisang, siapa yarg membunuh isteriku? Siapa yang melakukan ini?"

"Ah, sepasang nenek siluman, taiiap. Nenek Sakti yang amat luar biasa, datang membawa bocah….”

"Sepasang Dewi Naga?"

"Betul, mereka menyebut dirinya begitu, taihiap. Datang dan... aduh……!”

Kim-mou-eng membanting pembantunya itu. Tanpa sadar pendekar ini melempar Kalisang hingga sang pembantü menjerit, pendekar itu berkelebat dan berteriak memaki nenek iblis itu. Dan ketika para pembantunya terkejut dan buru-buru menolong Kalisang maka Pendekar Rambut Emas telah terbang berputaran mencari-cari nenek ini.

"Siang-liong Mo-li (lblis Perempuan Sepasang Naga), keluarlah. Kalian telah membunuh isteriku, bayar dan lunasi hutang jiwa ini!" Kim mou-eng berteriak-teriak. Bagai orang kalap dia memaki-maki nenek itu, berputaran dan terbang dari tempat satu ke tempat lain, mencari-cari namun tak berhasil. Dan ketika dua jam kemudian dia kehabisan suara dan para pembantunya memanggil-manggil di belakang akhirnya pendekar itu roboh pingsan di atas sebuah bukit, bukan pingsan karena kehabisan tenaga melainkan pingsan oleh pukulan batin yang amat berat itu. Dia tak menyangka isterinya tewas. Dan ketika para pembantunya menolong dan membawa pendekar itu ke bawah maka di sana ribuan orang menyambut dan tangis serta keluhan terdengar tak habis-habisnya

* * * * * * * *

Apa yang terjadi? Bagaimana Salima bisa terbunuh? Hal ini dimulai dari kemarahan Sepasang Dewi Naga itu. Seperti diketahui, dua orang nenek iblis itu menemui kegagalan di kota raja. Mereka hampir membunuh Kim-mou-eng namun Bu-beng Sian-su datang, kakek dewa itu mencegah mereka dan mereka pun diusir. Dua orang nenek ini marah-marah namun tak berani melanjutkan serangan pada kakek maha sakti tu. Bu-beng Sian-su terlalu hebat, manusia dewa itü térlalu ampuh. Maka ketika mereka meninggalkan kota raja dan memaki-maki lawan maka dua nenek ini pergi tapi malah membalas dendamnya pada Salima.

Mereka tahu Kim-mou-eng telah menikahi sumoinya itu. Maka ketika kegagalan di kota raja membuat dua nenek ini marah dan sakit hati, mendadak mereka sudah mènuju ketengah tengah suku bangsa Tar-tar itu mencari Salima. Tak sukar bagi mereka menemukan wanita itu. Den begitu mereka sudah berhadapan maka langsung saja mereka membentak,

"Heh, kau mampuslah, bocah. Penggal dan potong kepalamu dengan ini!!”

Ji-moi, si nenek kedua melempar sebuah pedang, berdiri tegak dan membentak Salima. Saat itu wanita ini sedang menunggui anak laki-lakinya bermain. Thai Liong atau Dailiong terkejut, anak itu menangis dan segera ibunya menyambar. Dan ketika dua nenek iblis itu membentak dan Salima kaget, maka wanita ini bangkit berdiri dengan mata bersinar-sinar.

"Kalian siapa? Dari mana datang-datang bicara seperti ini?"

"Cerewet! Kau tak perlu banyak bertanya lagi, bocah. Ambil dan potong kepalamu dengan itu. Cepat, kami tak ingin mengotori tangan dengan darahmu!"

Salima marah. Sebagai wanita yang galak dan keras hati tentu saja dia gusar mendengar semua kata-kata ini. Tapi belum dia membentak tiba-tiba Togur, bocah di tengah-tengah dua nenek iblis itu melangkah maju, sikapnya mengherankan Salima.

“Kau bibi Salima? Kau yang pernah digila-gilai ayah?"

"Siapa kau?" Salima terkejut. "Dan siapa mereka ini?”

"Aku Togura, bibi. Ayahku adalah suhengmu, Gurba yang gagah perkasa. Kenapa kau dulu menolak cinta ayah? Kenapa kau menyia-nyiakannya!"

Salima mundur, terkesiap. "Kau Togura? Putera Bi Nio yang hilang itu?"

"Benar, tapi aku tidak hilang, bibi. Aku diambil dua guruku yang sakti ini. Mereka adalah Sepasang Dewi Naga!"

“Ooohh…! Salima terbelalak, mendekap mulutnya. "Jadi kalian kiranya?" dia teringat cerita sang suami. "Kalian menculik dan kini mengambil bocah ini sebagai murid? Keparat, kalian lancang, nenek iblis. Kalau begıtu aku harus merampas keponakkanku dan kalian mampuss...siuuttt...!”

Salima tiba-tiba melengking, maju menampar dan tubuh sudah berkelebat dengan pukulan Tiat-lui-kang. Salima pernah mendengar kelihaian nenek ini dari suamınya tapi sedikit pun ia tak takut. Ji-moi yang ada di depan diserang. Tapi begitu nenek itu mendengus dan mengangkat sebelah tangannya tiba-tiba Tiat lui kang diterima dan Salima menjerit.

“Dess!" Salima mencelat menubruk dinding. Dailiong yang ada di tangannya menjerit tak keruan, anak itu menangis dan melengking. Dan ketika Salima terguling-guling melompat bangun mendadak sesosok bayangan lain berkelebat dan merampas anaknya.

“Kesinikan bocah ini!”

Salima terkejut. Saat itu dia melompat bangun dengan kaki terhuyung, tak tahunya nenek yang satu berkelebat dan merampas anaknya itu, tentu saja dia membentak dan menàngkis. Tapi ketika jengekan terdengar dari mulut lawan dan sebuah jarı menyelinap di ketiaknya tahu-tahu tangannya lumpuh dan Dailiong dirampas lawannya itu. Salima kaget bukan main. Saat itu anaknya sudah direnggut lepas dan Dailiong menangis di sana.

Nenek itu tertawa dan sudah berkelebat kembalı di tempatnya semula, itulah Toa-ci, nenek iblis pertama. Gerakannya serba cepat seperti siluman saja, Salima tersentak dan melengking tinggi. Dan karena dia tentu saja tak mau anaknya dirampas dan Dailiong menangis tak keruan tiba-tiba Salima memekik dan menerjang nenek itu.

"Ji-moi, hajar dia!"

Salima mendengar seruan itu. Sang nenek pertama mencelat dan berada diluar rumah. nenek kedua menyambut dan tertawa. Dan ketika Salima ményerang dan marah melepas pukulan maka kembali nenek ini menerima dan menyambut Tiat-lui-kang.

“Dess!" Salima lagi-lagi terpelanting. Untuk kedua kalinya wanita itu mengeluh terguling-guling pukulannya membalik dan nyaris dia terluka. Dan ketika Dailiong semakin menangis dan Salıma marah bukan main maka Salima mencabut benderanya dan menerjang lagi.

Ji-moi tersenyum. Salima sudah menyerangnya gencar bertubi-tubi, bendera di tangan kanan wanita itu menyambarnya dan meledak, nenek ini menjengek dan berkelit. Dan ketika Salima menggerakkan tangan kirinya pula melakukan tamparan tamparan Tiat-lui-kang akhirnya nenek ini tertawa.

"Bocah, suamimu sendlri masih bukan lawanku, apalagi kau. Nah, bersiaplah kuhajar!" dan nenek Ji-moi yang berkelit dan menangkis akhirnya menggerakkan tangannya turun naik, mengibas dan mendorong dan segera Salima terkejut.

Bendera di tangannya itu selalu tertahan angin pukulan tak nampak yang luar biasa kuatnya, semakin dia menambah tenaga semakin kuat pula tenaga tak nampak yang menahan benderanya itu. Dan ketika Salima membentak dan marah mengebutkan benderanya mendadak si nenek malah tertawa mengebut balik.

“Plak!' bendera mengibas Salima sendiri. Wanita itu terbanting .Salima kaget dan marah. Dan ketika ia melonpat bangun dan menyerang lagi maka lagi-lagi nenek itu mengebut dan menolak benderanya. Begitu sampai tiga kali, sehingga Salima mengeluh. Bendera yang mengebut balik mukanya sendiri itu membuat kulit muka berasa panas.

Salima melengking dan kini menggerakkan tangan kirinya. Tapi ketika Tiat Lui Kang di tampar dan nenek itu membentak tiba tiba Salima malah terjengkang tak karuan, dihantam pukulan si nenek, terkejut dan terguling guling dan Salima bingung. Lawannya terkekeh kekeh dan menangkis seenaknya. Dan karena lawan di rasa benar benar lihai dan Salima pucat, maka Toa-ci, nenek di depan berseru agar adiknya segera membunuh wanita itu.

“Ji-moi, jangan main-main. Cukup, bunuh dia!!”

Salima mengkirik. Dia mendengar suara yang dingin menyeramkan dari mulut wanita di depan itu, Dailiong meronta-ronta dan Salima terbakar. Anaknya itu dicengkeram si nenek bagai mencengkram seekor anjing kecil, meluap kemarahan Salima. Dan ketika lawan terkekeh kekeh dan maju menusuk tenggorakkannya tiba-tiba Salima nekat dan menggerakkan benderanya.

"Bret!" Bendera di tangannya pecah. Jari si nenek mencoblos tapi Salima membanting tubuh bergulingan, dari bawah ia menggerakkan kaki menendang, langsung ke pusar. Tapi ketika kakinya mengenai tempat lunak dan nenek itu tak apa-apa mendadak Salima terkesiap ketika si nenek tertawa menggerakkan tangan lainnya.

“Bocah, kau harus segera mampus. Awass…crit!"

Salima melihat sinar berkeredep dari telunjuk si nenekk. Lawan menotoknya darı jauh, dia mengelak tak berani menangkis. Adu tenaga berulang-ulang membuat Salima sadar akan tangguhnya iawan yang dihadapi. Tapi ketika ia mengelak dan si nenek mengejar maka Salima menjadi sibuk karena harus menggulingkan tubuh lagi kesana kemari.

"Heh-heh, kau harus mampus, bocah. Mampus!"

Salima pucat. la menggerakkan benderanya ke depan, kali ini tak ada jalan lain kecuali menangkis. Tapi ketika bendera kembali robek dan jari si nenek tetep mengejar akhirnya Salima mengeluh dan bergulingan menjauhkan diri dari kejaran si nenek. Dan sekali dua dia melancarkan Tiat-lui-kang, lawan menerima dan kini justeru Salima yang mengaduh. Tangannya yang bertemu tubuh si nenek seakan bertemu baja panas yang membuat Pukulan Petirnya membalik, salima menggigit bibir dan terdengar tangis anaknya yang melolong-lolong. Dan ketika ia bingung dan marah serta gentar maka beberapa pembantunya muncul mendengar ribut ribut itu.

"Hujin, siapa mereka? Ah... mana Kim-taihiap?"

Salima tak dapat menjawab. Saat itu dirinya dikejar dan didesak hanya dapat mengelak tak dapat menyerang. Ji-mo terkekeh-kekeh mempermainkannya. Tapi ketika ia harus bergulingan menyelamatkan diri dan pembantu pembantunya yang lain muncul lagi maka bebenpa di antara mereka tiba-tiba membentak dan menyerang nenek ji-moi.

"Keparat, bunuh nenek ini!'

Tujuh orang menerjang maju. Salima mau mencegah tapi tak keburu, tombak dan golok terlanjur berkelebat. Dan ketika mereka menubruk. Dan si nenek tertawa tiba-tiba tujuh lelaki Tar-tar ini menjerit ketika golok dan tombak méreka patah-patah, tangan yang memegang senjata pun seketika bengkak.

“Krak-kraak.. aduh!"

Tujuh pembantu Salima bergulingan pingsan. Mereka tadi menusukkan tombak dan golok ke tubuh si nenek ,mental dan terkejut karena si nenek kebal . Dan ketika mereka terbeliak dan mengaduh karena senjata patah patah dan tangan mereka pun bengkak maka si nenek menjengek dan mengibaskan tangan kearah mereka.

“Mampusssss...!”

Tujuh laki-laki itu tersentak. Mereka merasa disambar angin pukulan dingin, begitu dıngin hingga tubuh seolah beku, mereka yang sedang bergulingan otomatis berhenti, terkejut. Tapi begitu mereka berhenti dan pukulan ini langsung menghantam tiba-tiba semuanya mendelik roboh tewas dengan tulang pletak pletok.

"Augh!" Jerit terakhir itu menutup kejadian.

Tujuh laki-laki ini telah membiru kehitaman dengan tubuh kedinginan, mereka mati beku dan tewas seketika. Itulah pukulan Im-kang yang dahsyat sekali. Semua organ tubuh di dalam akan mengeras seperti es. Salima terkejut dan memekik. Tapi ketika dia menerjang dan si nenek kembali menghadapi dirinya maka pukulan dingin itu ganti menyambarnya.

"Dess!" Salima terhuyung dengan muka kebiruan. Ia cepat mengerahkan Tiat-lui-kangnya untuk melawan rasa dingin itu, rasa dingin yang menembus ke seluruh tulang-tulang paling kecil. Salima nyaris beku. Tapi ketika si nenek hendak menyerang lagi dan Salima pucat maka para pembantunya bermunculan dan seratus lebih laki-laki Tar-tar menyerang nenek ini.

"Hujin, jangan khawatir. Kami akan membantu…!”

"Benar, kami akan menangkap nenek ini, hujin. Lalu dia kita bunuh”

Oh, Salima ingin mengeluh. Dia melihat seratus pembantunya tu meluruk bagai laron-laron menghadapi api, mau membentak tapi mulut masih terasa beku. Pukulan si nenek itu di masih membuatnya kedinginan dan nyaris membuat dia sepeti arca hidup. Pukulan Im-kang yang dirasakannya masih belum dapat dicairkan dengan Tiat-lui-kangnya yang berhawa panas. Dan ketika Salima terbelalak dan ingin menjerit agar orang-orang itu tidak maju maka satu demi satu pekikan ngeri terdengar di situ dan tubuh-tubuh pun bergelimpangan roboh, semua senjata mencelat dan patah-patah bertemu tubuh si nenek.

“Heh heh hehh, kalian mampuslah… plak, trang-tranggg!”

Salima memejamkan mata. Dia melihat sebelas pemhantunya terbanting seketika, tujuh diantarnya remuk dengan kepala pecah. Salima mengigil. Dan ketika ia menarik nafas panjang dan mengempos semangat dalam-dalam mendadak hawa dingin berhasil di buyarkannya dan Salima melengking maju.

"Minggir, kalian semua minggir....des-des-dess!" Salima terpaksa melempar pembantunya itu, ditangkap dan ditendangi dan akhirnya dia berhadapan dengan si nenek Ji-moi. Marah dan meluap dan seketika dia menggerakkan benderanya yang robek.

Saat itu si nenek menerima serangan terakhir dari seorang pembantunya, menangkap dan mematahkan tombak dan tiba-tiba melontarkan tombak itu ke pemiliknya. Tombak langsung meluncur dan menancap di dada lawan. Dan ketika laki-laki itu menjerit den roboh mandi darah maka bendera ditangan Salima berkelebat dan tepat menghantam tengkuk si nenek.

"Dess!" Nenek itu tak apa-apa. Salima melengking dan menyerang lagi, bendera dibalik dan gagangnya menotok ulu hati. Cepat dan tepat dia menyodok ulu hati si nenek. Tapi ketika gagang benderanya mental dan ulu hati si nenek tak apa-apa akhirnya nenek itu terkekeh mencongkel bahunya.

“Bocah, pergilah!"

Salima dilempar. Bagai layang-layang putus. Salima tak mampu mengendalikan dirinya sendiri, terbanting dan terguling tapi menyerang lagi, bangkit dan menerjang lagi dan para pembantunya membentak membantu Salima, betapapun mereka tak dapat membiarkan wanita itu sendirian menghadapi musuh tangguh. Tapi ketika beberapa dari antara mereka terpelanting lagi dan tewas mandi darah akhirnya Salima memekik agar dia sendiri menghadapi nenek siluman itu.

"Minggir... minggir kalian semua minggir" Salima marah, menendangi dan melempar mereka hingga para pembantunya terkejut. Salima tak menghendaki mereka menjadi korban, betapapun yang dicari adalah dirinya. Tapi ketika si nenek Ji-moi terkekeh dan Salima tak berhasil melukai nenek ini akhirnya Toa Ci, nenek pertama menggeram di tempat.

"Ji-moi, kau masih main-main saja? Bunuh wanita itu, bunuh kataku!"

Salima melengking. Kemaraanpun sudah naik sampai ke ubun-ubun, jerit dan tangis anaknya di sana membuat dia mata gelap. Maka ketika pukulannya mental bertemu nenek Ji-moi dan kebetulan ia bergulingan di dekat Toa-ci tiba-tiba Salima membentak mengayun benderanya yang sudah robek-robek itu.

"Krakk!"

Salima terbelalak. Toa-ci menangkis, benderanya langsung hancur dan gagang bandera pun patah menjadi dua. Salima memekik dan melontar gagang benderanya itu, dua-duanya menyambar kening dan dada si nenek. Tapi ketika Toa ci mendengus dan nenek ini menangkap maka dua patahan gagang bendera itu diterima dan.... dilontar balik ke arah Salima, dua tiga kali kecepatan Salima sendiri.

"Crep-ccep...!"

Salima menjerit. Dua pundaknya menerima patahan gagang bendera itu, langsung dia terjungkal dan kaget. Kecepatan timpukan si nenek jauh lebih cepat dibanding timpukannya sendiri, bukan main. Namun Salima yang melompat bangun dan terhuyung menerjang lagi kali ini justeru menghantam Toa-ci.

"Nenek siluman, kau boleh bunuh aku!" Salima kalap, lupa segala-galanya dan mendelik menyerang nenek itu. Tapi ketika si nenek mendengus dan mengibaskan lengan kirinya maka Tiat lui-kang yang dilancarkan Salima membalik dan menghantam wanita itu sendiri.

"Bress!" Salima muntah darah. Sekarang dia terluka, terhuyung dan molompat lagi menghantam. Toa-ci membentak. Nenek ini tidak seperti adiknya yang suka main-main, tak mau memperpanjang waktu dan melancarkan tamparan dari jauh, tamparan dingin. Dan ketıka Salima tak dapat mengelak dan kembali terjungkal roboh maka wanita itu mengeluh dan hidung serla telinganya mengeIuarkan darah.

“Desssss!” Salima masih kuat. Wanita ini terhuyung dan bangkit menyerang lagı, dikibas dan mencelat dan kali ini agak sukar bangun. Semua pembantunya tertegun dan kaget Tapi ketika Salima bangun lagı terhuyung-huyung dan.membentak nenek itu.dengan ngawur maka Toa-ci, si nenek berhati iblis mengakhiri pertempuran dengan satu ketukan diubun-ubun.

"Robohlah!"

Bentakan itu disusul tergulingnya tubuh Salima. Wanita ini mengeluh dan tidak bergerak-gerak lagi, tadi nenek toa-ci berkelebat dan mendahului Salima. Satu ketukan jarinya mengenai ubun-ubun wanita itu. Dan karena tempat ini merupakan daerah lunak dan ketukan itu adalah totokan maut yang tak mungkin menyelamatkan wanita itu. akhirnya Salima roboh dan tewas dengan mata dan hidung mengeluarkan darah.

“Bluk!" Salima terkapar mandi darah. Para pembantunya terkejut dan tersentak, semua orang berteriak dan menubruk. Mereka menolong Salima. Tapi ketika dilihatnya wanita itu tak bergerak legi dan bangsa Tar-tar gempar akhirnya mereka membalik dan mau menyerang dua nenek iblis itu, tertegun dan bengong karena dua nenek itu ternyata telah pergi. Gerakan mereka benar-benar seperti siluman saja dan tadi nenek Toa ci mengajak Ji-moi meninggalkan tempat itu.

Orang-orang yang ada di situ tak perlu dilayani, mereka hanyalah bangsa keroco saja. Maka begitu dua nenek ini membunuh Salima dan tak perlu melayani yang lain maka bangsa Tar-tar menjadi ribut dan memaki serta mengejar nenek itu, mencari-cari namun dua orang nenek itu telah pergi. Tak ada seorang pun diantara mereka yang tau kemana lenyapnya nenek itu. Dan karena Salima telah tewas dan bangsa Tar-tar marah serta bingung maka hari itu mayat Salima diurus dan Kim-mou-eng pun ditunggu.

Kebetulan sekali datang namun Kim-mou-eng pun tak tahu ke mana perginya dua nenek itu. Pendekar Rambut Emas roboh pirgsan dan ganti ditolong para pembantunya. Dan ketika pêndekar itu sadar dan mendengar cerita ini maka pandangan yang beringas dan sikap yang menakutkan muncul di wajah pendekar itu. Demikianlah, pembantunya mengakhiri.

"Kami tak berdaya melawan nenek itu, taihiap. Mereka terlalu sakti dan hebat. Kami bukan apa-apa dan tiga puluh orang di antara kami binasa pula!”

“Aku tahu," Kim-mou-eng mengepal tinju. "Kalian semua bukan lawannya, Salinga. Tapi aku akan membalas dan mencari dua nenek iblıs itu! Dan Dailiong dibawa?"

Salinga, pembantu Kim-mou-eng menggigil. "Kami sungguh menyesal atas kebodohan kami semua, taihiap. Kalau kami salah dan patut dihukum silahkan dihukum!”

"Tidak!" Kim-mou-eng memejamkan mata. "Aku akan mencari dan merampas anakku kembali, Salinga. Aku tahu dan kenal betul siapa dua nenek iblis itu. Kalian tak perlu menyesal. Biarlah setelah penguburan isteriku aku akan pergi dan mencari mereka. Kau sementara memimpin teman-temanmu di sini."

Hari itu Kim-mou-eng mendapat pukulan berat. Sumoinya, sekaligus istrinya tersayang tewas dibunuh Sepasang Dewi Naga. Padahal perkawinan mereka baru berjalan dua tahun lebih sedikit. Ah, kebahagiaan yang sejenak tahu-tahu direnggut dan dirampas begitu keji. Kim-mou-eng mendidıh dan bertekad akan mencari dua nenek iblis itu, merampas anaknya dan membalas kematian sang istri, dua hal yang sukar dilakukan karena dia tahu betul kesaktian sepasang nenek iblis itu.

Tapi karena ini merupakan kewajibannya dan hari itu jenazah isterinya dimakamkan maka beberapa jam kemudian, karena kalut dan marah serta bingung Kim-mou-eng meninggalkan suku bangsanya, lupa sudah pada persoalan Cao Cun. Maklum, urusan ini melibatkan dirinya langsung dan amat penting.

"Aku akan pergi. Kalian jaga diri baik-baik dan jangan keluar dari wilayah ini. Salinga akan memimpin kalian, tunduk dan taatlah kepada perintahnya dan musyawarahkan bersama hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak." Hanya itu nasihatnya. Lalu, merasa cukup dan tak mau berlama-lama di situ tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan lenyap.

"Taihiap, jaga dirimu pula baik-baik. Hati-hati dalam perjalanan!" beberapa pembantunya balas memberi pesan, disambut anggukan dan terima kasih. Dan ketika mereka mencucurkan air mata dan Kim-mou-eng tidak menoleh lagi maka hari itu bangsa Tar-tar berkabung tujuh hari untuk kematian Salima. Sungguh tak diduga.

* * * * * * * *

"Cao Cun...!" Pekik dan jerit itu menggegerkan suku bangsa liar ini. Pagi itu Wan Hoa berteriak seperti orang gila, Cao Cun dilihatnya menggantung di belandar. Geger dan ributlah pagi itu. Dan ketika pengawal berkelebatan masuk dan Wan Hoa menjerit-jerit maka tigapuluh orang mematung di tempat kejadian dengan mulut ternganga.

"Ambil dia, cepat. Jangan ndomblong dan putuskan tali itu!" Wan Hoa kalap, menumpuk kursi dan mau memutuskan tali gantungan di leher Cao Cun tapi terguling roboh, kursi meleset dan Wan Hoa berteriak-teriak. Dan ketika pagi itu kemah itu geger dan ribut oleh niat Cao Cun yang gantung diri maka lima pengawal maju meloncat dan mencabut golok.

"Naiki pundakku, tebas tali itu!"

Wan Hoa histeris. Dia tak sabar melihat semuanya hanya menjadi penonton saja, hampir wanita ini lupa diri dan mengamuk. Tapi ketika lima pengawal berjongkok dan satu demi satu menaiki pundak kawannya mencapai tali gantungan itu maka golok berkelebat dan Cao Cun yang menggantung diri meluncur ke bawah, diterima tubuhnya dan segera Wan Hoa menangis tak keruan, menjerit dan menubruk sahabatnya itu. Dan ketika semua merubung dan seorang tabib dipanggil maka pengawal diminta mundur dan Cao Cun dibaringkan di dalam kamarnya.

"Dia masih hidup, ambil air dingin...!'"

Semua gugup. Wan Hoa berteriak-teriak menyuruh dayang mengambil air, tak sabar dan berlari sendiri mengambıl air itu. Tapi ketika dia hendak mengguyurnya dan sang tabib mencegah maka gadis itu tertegun dengan air mata bercucuran.

"Jangan disiram, serahkan air itu kepadaku. Harus dimantrai!

Wan Hoa sadar. Kepercayaan pada bangsa liar itu akan jampi-jampi atau mantra memang kuat, tanpa mantra semuanya tak akan berjalan mulus. Dan ketika si tabib berkemak-kemik dan air yang dimantrai ditiup tiga kali maka tabib itu memerciki muka si korban sambil berseru mengusir setan.

“Bangunlah... sadarlah!”

Dayang dan Wan Hoa tegang. Cao Cun sudah tidak bergerak-gerak lagi, tubuhnya sudah kaku dan nyaris dingin. Wan Hoa heran bahwa sang tabib mengatakan sahabatnya masih hidup, padahal denyut nadi tak dirasakannya. Tapi ketika air dipercikkan dan doa pengusır setan dibuat mendadak tubuh Cao Cun bergerak dan wanita yang gagal bunuh dirinya itu mengeluh.

"Cao Cun...!" Wan Hoa menubruk, girang dan gembira sekali tapi tabib di situ menahan bahunya.

Dengan lembut dan halus sang tabib berkata bahwa korban yang baru sadar tak boleh dikagetin dulu, biarkan beberapa saat sampai kelopak mata itu terbuka. Wan Hoa mengguguk tapi menurut. Dan ketika tak lama kemudian kelopak mata itu terbuka dan air berhenti di percik-percikkan maka Wan Hoa mengguguk dan sudah menubruk sahabatnya itu, tersedu-sedu.

"Cao Cun, apa yang kau lakukan ini? Kau gila? Kau tidak waras!"

Bibir yang kini mulai merah itu bergerak. Cao Cun tak tahu apa yang terjadi, dia merasa tubuhnya ringan dan sukar menemukan kesadaran dalam waktu cepat. Tapi ketika tubuhnya diguncang-gunçang dan Wan Hoa mengguguk di atas dadanya tiba-tiba Cao Cun mengerutkan kening dan menangis. "Aku dı mana? Di nerakakah? Kenapa begini panas?"

"Ah, kau masih di kemah bangsa liar, Cao Cun. Kau kami gagalkan maksud bunuh dirimu. Kau tidak waras, kau gila!"

Dan Cao Cun yang terkejut bangkit duduk tiba-tiba melihat beberapa orang ada di situ.

"Lihat... lihat! Kami semua menolongmu, Cao Cun. Masa demikian gampang kau pergi? Kau mau meninggalkan aku?" dan Wan Hoa yang tersedu-sedu memeluk Cao Cun sudah bicara lagi, penuh getaran. "Cao Cun, kalau kau mau mati harap ajak aku. Jangan sendiri. Sekali kau melakukan itu lagi tanpa memberi tahu aku maka aku tak mau mengampunimu biar di neraka sekali pun...!"