Sepasang Cermin Naga Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"KONGCU, mari. Bukankah kau ingin pulang? Kota raja ke Ming-ciang tak berapa jauh, aku akan ikut dan mengantarmu."

Kwee Han sadar, buru-buru melepaskan tangan-tangan yang lembut itu, yang membuat tengkuknya meremang! "Tidak... jangan, biarkan aku sendiri, nona. Aku dapat pulang sendiri dan tak perlu diantar!"

"Aku Siong-hi, panggil namaku Siong-hi, kongcu. Aku tak berani membiarkanmu sendiri dan marilah, dengar kereta sudah datang!"

Benar saja, di luar terdengar suara ketepak kaki kuda. Khek-taijin muncul dan seorang kusir menjatuhkan diri berlutut, Khek-taijin sendiri melipat punggung. Dan ketika Kwee Han tertegun dan terbelalak memandang mereka Khek-taijin sudah berseru, "Kongcu, kereta sudah kami siapkan. Kalau kongcu ingin pergi silahkan. Sais ini dan Siong-hi akan mengantar!"

"Ah, tak usah repot," Kwee Han mau menolak. "Aku dapat pulang sendiri, taijin, dan juga tak perlu diantar!"

"Tidak, aku tak berani, kongcu. Kalau sribaginda mendengar tentu aku mendapat hukuman. Biarlah kongcu naik kereta dan beberapa pengawalku juga akan menjaga di perjalanan." lalu memberi isyarat agar kusir mendekatkan keretanya menteri ini menghampiri Kwee Han, mempersilahkan dan menggandeng lengannya lembut, disisi yang lain Siong Hi juga merangkul lengan pemuda itu, jadilah Kwee Han diapit dan dituntun.

Dan ketika Kwee Han tak dapat menjawab dan gugup serta merah mukanya maka Khek-taijin sudah membawa pemuda itu ke dalam kereta, yang ternyata di dalamnya sudah penuh dengan barang-barang hadiah, emas dan uang serta kain sutera.

"Kongcu, sayang kau bersikeras tak mau disini. Tapi sudahlah, hormat dan pujiku untukmu. Sedikit barang-barang ini barangkali dapat membuat kongcu senang, jangan ditolak dan selamat jalan!" pembesar itu menjura, hormat dan manis dan Siong-hi pun sudah mendahului naik ke dalam kereta. Di situ gadis ini duduk dan mengulurkan lengannya, menyuruh Kwee Han naik pula. Dan ketika Kwee Han duduk dan langsung dipepet maka jantung pemuda ini berdebur kencang disambut tubuh hangat dan senyum yang tak pernah meninggalkan mulut manis itu.

“Taijin, kami barangkali akan jalan-jalan dulu, keliling kota raja. Kalau Kwee-kongcu tak keberatan aku akan mengajaknya ke tempat-tempat indah agar tahu bagaimana isi kota raja sebenarnya."

"Ah, baik, tentu boleh! Benar, Siong-hi, tunjukkan tempat-tempat indah pada Kwee-kongcu kalau dia suka!" Khek-taijin tertawa, kali ini mendapat kerling rahasia dari pelayannya itu dan tirai pun ditutup.

Kini Kwee Han berada di dalam kereta berdua dengan pelayan cantik itu, pemuda ini hampir tak berani bergerak saking tegangnya dipepet seperti itu. Maklum, Siong-hi selalu menggeser tubuhnya seolah tak sengaja dan memberikan lengan dan pundaknya yang halus di tubuh pemuda itu, tentu saja membuat aliran darah di tubuh pemuda ini semakin gencar. Dan ketika kereta dihentak dan beberapa pengawal melompat di atas punggung kudanya maka kereta pun bergerak dan tiga pengawal mengikuti di belakang.

Suara kaki kuda meluncur di jalanan yang halus itu. Kwee Han sudah dibawa, pengawal mengiring dan Siong-hi mulai mengajak bercakap-cakap. Lincah dan memikat gadis ini mengajak tamunya bicara, mula-mula persoalan ringan dan lucu. Menceritakan kehidupan di kota raja dengan penduduknya yang beraneka ragam, keberhasilan kaum hartawan dan juga pemerintahan yang baik dari kaisar dan para pembantunya. Nama Khek-taijin tak disebut-sebut, begitu juga Cu-wangwe. Gadis ini mengajak bicara soal lain, tak ada hubungannya dengan dua orang itu. Dan ketika perjalanan mulai kencang dan küsir mencambuk kuda berulang-ulang mendadak gadis ini membuka tirai kereta dan berseru.

"Paman Sam, jangan cepat-cepat. Kami tak ingin buru-buru!"

Kereta mulai perlahan kembali. Kini gonjangan tak sekeras tadi, kereta berjalan perlahan. Siong-hi pun melanjutkan pembicaraannya. Dan ketika gadis itu bercerita tentang beberapa tempat wisata yang ada di sekitar kota raja dan indah indah maka mulailah ia membujuk.

"Ada Telaga Tiga Naga. kongcu. Sudahkah kau dengar nama ini dan melihatnya?"

"Belum."

"Aih, sayang. Kau perlu melihatnya. Telaga ini indah, kongcu, juga romantis. Airnya tiga warna hijau, kuning dan merah."

"Masa?" Kwee Han mulai tertarik. "Ada telaga begitu rupa, Siong-hi?"

"Ya, dan banyak pelancong serta bangsawan menikmati telaga ini, kongcu. Bahkan berhari-hari mereka tinggal dan menginap di situ. Konon siapa dapat berendam satu jam saja di air telaga itu maka keberuntungan pun bertambah!"

"Ah, ada-ada saja," Kwee Han tertawa. "Itu omong kosong belaka, siong-hi. Aku tak percaya."

"Kongcu tak percaya? Mau bertaruh?"

"Eh!" Kwee Han terkejut. Bertaruh bagaimana? Aku tak punya apa-apa, Siong-hi, aku nelayan miskin!"

"Tidak, bukan bertaruh uang, kongcu, melainkan taruhan lain. Misalnya, hi-hik... main gendongan atau apa. Siapa kalah dia menggendong dan siapa menang dia digendong. Aku juga pelayan dan tak punya uang!"

Kwee Han terkesiap. Apa yang diucapkan gadis ini membuat mukanya tiba-tiba merah, jantungnya seketika berdetak dan dia pun menelan ludah. Gadis itu berani. Tapi karena Siong-hi menunjukkan kewajarannya dan kata-kata itu pun bernada kekanak-kanakan akhirnya Kwee Han tertawa dan menenangkan degupan jantungnya tadi, dan berkata, "Siong-hi, kau lucu. Kenapa main taruhan seperti anak-anak? Kalau aku menang tentu kàu pun tak sanggup menggendong aku. Ha-ha, tak mungkin!"

"Siapa bilang?" gadis itu tiba-tiba menantang. "Tubuhmu paling-paling enam puluh kilo, kongcu. Dan aku sudah biasa mengangkat air enampuluh atau tujuh puluh kilo!"

Kwee Han tertegun. "Untuk apa?"

"Mengisi bak mandi!" dan Siong-hi yang tertawa dengan suara lepas tiba-tiba terguncang ketika roda kereta terantuk batu, terpekik dan entah sengaja atau tidak mendadak tubuhnya terguling, tepat sekali di pangkuan Kwee Han. Dan mencengkeram paha pemuda ini dan Kwee Han berjengit. Miliknya yang paling berharga hampir tersentuh! Dan ketika Siong-hi mengeluh dan tampak kaget maka dengan tersipu-sipu dan muka merah gadis itu meminta maaf.

"Tak apa," Kwee Han menggigil, panas dingin. "Jalanan rupanya berbatu, Siong-hi. Sudahlah, jangan salahkan kereta dan tenanglah," Kwee Han teringat pelukannya, tadi memeluk gadis itu dan kini melepas Siong-hi. Rambut yang harum dan tubuh yang lunak hangat lebih dirasakannya lagi, apalagi dia tadi hampır "kesetroom". Meremang Kwee Han. Dan ketika kereta kembali barjalan dan ketepak kaki kuda berirama rata dan datar tiba tiba Kwee Han yang tertarik akan Telaga Tiga Naga itu minta ke sana, sekedar melihat-lihat.

"Jadi Kongcu mau ke sana?" Siong-hi girang. "Mau berendam dan mencoba keberuntungan?"

"Ah sekedar melihat keindahannya saja, Siong-hi. Dan lagi rupanya kau ingin menunjukkan benar keindahan telaga itu."

Siong-hi berseru keluar kereta, membuka tirainya. "Belokkan kereta ke Telaga Tiga Naga, paman Sam. Kwee-kongcu ingin melihat dan mau ke sana!"

"Apa?"

"kwee-kongcu ingin melihat keindahan telaga, paman Sam. Arahkan kereta ke sana dan jangan buru-buru!"

"Baik," dan kereta yang berderap lembut dan tampak diputar tiba-tiba dilecut dan mencongklang lagi, menuju ke timur dan Siong-hi tertawa-tawa.

Ada kegembiraan dan kesenangan besar di hati gadis ini. Tamunya berhasil dibujuk, Kwee Han terpengaruh. Dan ketika Siong-hi kembali mengajak bercakap cakap dan kali ini pembicaraan tertumpu pada Telaga Tiga Naga maka Siong-hi mulai lebih berani daripada tadi dan bertambah berkesan manja. Kwee Han menanya dari mana gadis itu sebenarnya berasal, ternyata ayah gadis ini adalah bekas seorang nelayan pula, sudah meninggal dan kini ibunya tinggal di desa, hidup dari sebidang tanah yang dimiliki keluarganya.

Dan ketika Kwee Han terharu karena Siong-hi ternyata juga berasal dari keluarga miskin tiba-tiba mereka menjadi akrab dan tanpa terasa pemuda ini terseret oleh daya pikat Siong-hi. Kwee Han balas memegang lengan orang dan tanpa terasa rasa haru menjadı rasa suka. Dan ketika rasa suka itu berkembang menjadi rasa cinta dan entah kenapa Kwee Han jatuh sayang pada gadis ini, mendadak di saat kereta sudah mendekati Telaga Tiga Naga sekonyong-konyong gadis itu berani merebahkan dirinya di dada Kwee Han dan menangis.

"Aku gadis tak beruntung kongcu. Sungguh bahagia kalau kau menaruh perhatian begini besar kepadaku!"

"Hm..." Kwee Han mengusap rambut kepala itu. "Jangan bersedih, Siong-hi. Aku juga tahu rasanya miskin dan kekurangan. Sudahlah, bangunlah dan hapus air matamu, nanti orang bertanya-tanya, tak enak nanti."

"Tapi setelah ini kita berpisah, kongcu tentu tak ingat aku lagi dan tak akan mengenal Siong-hi!"

"Siapa bilang? Aku tetap mengenangmu, Siong-hi. Kau gadis baik dan...."

Kereta berhenti, sang kusir berteriak dan Kwee Han menghentikan percakapan. Lelaki tua itu memberi tahu bahwa mereka sudah tiba di telaga tujuan, Siong-hi menyingkap tirainya dan Kwee Han tertegun. Sebuah telaga terpampang di depan jendela kereta, luas gemerlapan dengan airnya yang berwarna-warni, hijau kuning dan merah.

Dan ketika Kwee Han bengong dan Siong-hi tersenyum lebar tiba-tiba air mata itu sudah dihapus dan gadis ini melompat turun, menyeret Kwee Han sadar. Diseret dan disambar tangan-tangan yang halus itu dia tergugah, Telaga Tiga Naga ternyata telaga yang indah, air di tepinya beriak, pohon-pohon banyak di sekeliling tempat itu dan beberapa rumah pun dibangun di sana-sini. Sungguh asri. Dan ketika Siong-hi tertawa dan tiga pengawal berkuda mendekat dan meloncat turun maka Kwee Han tersipu dan tiba-tiba merasa terganggu.

"Kongcu, silahkan perintah kami dengan apa saja. Butuh perahu atau ingin memancing?"

Kwee Han mengerutkan kening. "Bisakah mereka pergi?" bisiknya pada Siong-hi. "Aku risih dengan kehadiran mereka, Siong-hi. Tempat ini indah dan aku tak ingin banyak orang!"

"Tentu," Siong-hi tersenyum, mengangguk. Lalu menghadapi tiga, pengawal itu dia memberi kedipan, "Lui-toako, tolong jangan ganggu kami. Kongcu minta kalian pulang dan pergilah!”

Tiga pengawal terkejut. "Bagaimana kata Khek-taijin nanti?”

"Aku yang bertanggung jawab, katakan Kwee-kongcu tak nenghendaki kalian dan merasa aman disini."

"Baiklah, begitukah, kongcu?" lalu ketika Kwee Han mengangguk dan sedıkit memerah melihat pengawal itu senyum penuh arti tiba-tiba para pengawal itu membungkuk, memberi hormat dan akhirnya meloncat di atas punggung kudanya masing-masing. Dan begitu sang pemimpin menggeprak dan memutar kudanya akhirnya tiga pengawal itu pergi dan Siong-hi tertawa.

"Mengganggu saja," ujarnya. "Bukankah sekarang kita dapat lebih bebas, kongco? Kau mau apa? Memancing atau berperahu?"

"Aku ingin melihat-lihat mungkin juga berperahu."

"Atau mancing?"

"Di Ming-ciang aku sering menangkap ikan, Siong-hi. Rasanya tak suka itu dan biar aku berjalan-jalan dulu."

“Baik..." dan Siong-hi yang mengikuti serta melempar kerling pada sang kusir berkata, "Lopek (paman), tolong kau tunggu kami di sini. Awas barang barang di kereta, jangan sampai hilang!" dan ketika sang kusir-mengangguk dan Siong-hi berjalan bersama Kwee Han akhirnya tanpa malu-malu atau likat-likat lagi gadis ini sudah menyambar lengan pemuda itu, memeluk dan menggandengnya dan segera Kwee Han tidak menolak.

Setelah "warming-up" di dalam kereta tadi Kwee Han sudah mulai biasa, gerak dan daya pikat si pelayan cantik ini telah menembus hatinya. Dan ketika mereka mulai berjalan berdua dan kemesraan mulai tampak dibalas pemuda itu maka Siong-hi bersikap genit dan mengeluarkan tehnik pergaulannya, lincah dan ceria dan tak lama kemudian gadis ini mengajak ke tempat-tempat rimbun. Di situ memang banyak pepohonan besar-besar. Kalau berduaan dan jalan bersentuhan tubuh tentu tak banyak mata melihat, tempat itu memang romantis.

Dan ketika Kwee Han menjadi gembira dan percakapan demi percakapan membuat pemüda itu merasa cocok dan seakan mabok didampingi si cantik maka tak lama kemudian pemuda ini jatuh dalam cinta pertamanya, balas memeluk dan merangkul dan tak lama kemudian mereka pun mulai berciuman. Mula-mula Kwee Han menggigil. mencium satu kali nyaris luput. Lucu!

Tapi ketika Siong-hi "membetulkan" dan keduanya sama terkekeh akhirnya siang itu Kwee Han tak meneruskan perjalanan, memenuhi permintaan Siong-hi agar tinggal dulu beberapa hari di situ. Menginap di sebuah losmen dan Kwee Han gembira. Disini terjadi "malem pertama" bagi Kwee Han, mabok pemuda itu dan karena Siong-hi pandai memikat dan Kwee Han jatuh cinta akhirnya pemuda ini malah tak mau kembali ke Ming-ciang!

"Khek-taijin dapat mengatur teman temanmu di sana. Percayalah, setelah taijin tahu siapa kau tentu tak berani dia main gila dan nasib teman-temanmu pasti diperhatikan. Kudengar Cu-wangwe diusir pergi, hartawan itu memang buruk dan tamak!"

"Ya, aku tahu. Tapi aku harus kembali, Siong-hi. Teman-temanku tentu menunggu beritaku dan ingin tahu keselamatanku."

"Ah, dapat kukirim kabar, Kwee-koko. Aku akan membantumu dan tak perlu kau khawatır,"

Siong-hi kini menyebut Kwee-koko (kanda Kwee), sebutan romantis yang membuat Kwee Han mendekap dan memeluk gadis. itu. Dan ketika Siong-hi berkata bahwa tak perlu dia kembali dan biar nasib teman-temannya diatur Khek-taijin melalui pembantu-pembantunya maka Kwee Han mengangguk dan mencium kekasıhnya ini, mesra.

"Baiklah, tapi masa kita akan terus di sini, Siong-hi? Bukankah aku perlu tempat tinggal?"

"Aih, ini pun tak perlu repot-repot, koko. Hadiah dan uang dari Khek-teijin dapat dipergunakan sebaik mungkin. Kau dapat membeli rumah di kota raja, membuka toko dan berdagang, Dan aku akan setia membantumu!"

"Membuka toko? Berdagang?"

"Ya, habis apalagi? Kain dan segala macam hadiah itu dapat dijual, koko. Dan aku akan mendampingimu. Kalau ada perlu apa-apa tentu Khek-taijin dapat menolong lagi, apa pun yang kau minta pasti kau dapat. Aku yakin!"

Kwee Han mengangguk angguk. Dia gembira. percaya itu. Cincin yang dikenakan itu membuat menteri Khek jerih, tersenyumlah dia dan teringatlah dia akan si pemberi cincin itu, tertawa. Dan ketika dia setuju dan Siong-hi sang kekasih menjamin kehidupan teman-temannya di Ming-ciang lewat Khek-taijin akhirnya pemuda ini ternina-bobokan dan mabok dalam pelukan Siong-hi, seminggu berada di Telaga tiga Naga dan akhirnya tak jadi kembali ke Ming-ciang. Dia tak tahu apa yang terjadi di kota kecilnya itu, membelı rumah di kota raja dan membuka toko, berdagang.

Khek taijin lagi-lagi membantu dan memberi banyak hadiah lagi, nyaris isi toko pemuda ini pemberian menteri itu. Dan ketika beberapa bulan kemudian Kwee han mempererat cintanya dengan siong-hi dan akhirnya menikah, maka nelayan muda yang kini kaya-raya itu hidup enak dan tenggelam dalam kebahagiaan bersama Siong-hi, juwitanya.

* * * * * * * *

Seruan itu terdengar dı tempat indah di sebuah lembah. Seorang wanita cantik, cantik manis, membangunkan seseorang yang sedang bersila, duduk sejak malam dan pagi itu wajahnya disiram embun, membuka mata dan menyorotlah sepasang cahaya lembut dari pria ini, pria tampan dengan rambut keemasan. Dan ketika wanita itu tertawa dan mengguncang pundaknya maka pria gagah ini melompat bangun.

"Kau mengganggu orang bersamadhi?"

"Hi-hik, kau tidak bersamadhi, suheng. Kau melamun dan tersenyum-senyum. Jangan bohong. kau sadar sejak tadi. Hayo, apa yang kau pikir?"

Wanita itu, si cantik, menggelandot manja, dipeluk dan akhirnya menerima sebuah ciuman, mendarat di bibirnya dan wanita ini mengeluh. Senyum dan sinar kebatinan jelas benar terlihat di wajahnya itu. Dan ketika si pria menarik napas dan melihat daging panggang diatas api unggun tiba-tiba ia tertegun.

"Kau membakar daging kelinci?"

"Ya, kusambar di hutan, suheng. Aku pingin dan ingin mengajakmu sarapan!"

“Tapi kularang kau membunuh binatang lucu itu. Kelinci di sini tinggal sedıkit, sumoi. Jangan lakukan lagi dan biar kita makan daging yang lainnya saja! Ah, kau aneh, sumoi. Selamanya suka membantah dan bandel. Sudahlah, jangan menangkap binatang itu lagi dan penuhi permintaanku ini!"

Aneh sekali, wanita itu tiba-tiba terisak "Suheng, kau tak sayang padaku?"

Sang suheng, pria tampan ini terkejut. "Apa?" tanyanya heran. "Tak sayang lagi? Ha-ha, ada-ada saja kau ini, sumoi. Kalau tak sayang tentu tak menikah. Aku tetap sayang dan kasih padamu, lihatlah!" pria ini menyambar pinggang yang ramping itu, mengangkatkannya dan mulut tahu-tahu menempel di bıbir yang sedang cemberut itu. kecup lembut terdengar di sini dan si wanita itupun mengeluh. Tapi ketika bibir itu hendak dicium lagi dan pria ini terengah, mendadak wanita menolak.

“Sudah… tidak mau...!”

"Kenapa?"

“Aku masih ingin menangkap kelinci beberapa ekor lagi, suheng. Dan kau tentu marah!"

"Hm." pria ini tiba-tiba tak senang. "Kelinci di sini jangan dihabiskan, sumoi. Aku melarang karena ingin agar mereka berkembang-biak. kenapa ngotot dan ingin menangkapi lagi? Bukankah ada makanan lain selain itu? Ayam hutan umpamanya, atau harimau!"

"Aku tak suka, aku sedang ingin yang ini!"

"Dan menghabiskan mereka semua?"

"Tidak, tapi... ah, kau tak mengerti, suheng, Kau tak mengerti...!" dan wanita itu yang menangis memutar tubuhnya tiba-tiba meloncat pergi dan marah-marah.

Pria ini tertegun, memanggil tapi tak di hiraukan dan pertengkaran tiba-tiba mulai terjadi. Dia tak suka isterinya itu, wanita cantik itu, menangkapi dan membunuh-bunuhi kelinci di situ. Beberapa bulan ini isterinya menurut tapi pagi itu tiba-tiba berobah. Setelah sekian lama jinak kini mendadak melanggar, tentu saja dia marah. Dan ketika dia tertegun mengerutkan kening dan terganggu oleh masalah kecil ini tiba-tiba seorang wanita setengah baya muncul.

"Kau tak tahu, Taihiap. Isterimu sedang Ngidam. Janganlah marah dan bersikaplah yang lembut."

"Apa?" pria ini terkejut. "Ngidam, uwak Chi? Dia..."

"Ya... dia hamil muda, taihiap. Tadi pagi memberi tahu padaku dan biarkanlah dia melakukan sesukanya," wanita setengah baya itu memotong. "Karena itu, janganlah marahi dia dan bersikaplah sabar!"

"Ohh...! dan begitu pria ini sadar tiba-tiba dia berkelebat tertawa lebar. "Sumoi, tunggu. Aku mengerti!" dan lenyap dari depan wanita tua itu. Pria tampan ini mengejar isterinya, melihat istrinya menangis di balik sebatang pohon, daging panggang di sana terlupa dan cepat dia menyambar islerinya itu.

Dan ketika isterinya terbelalak dan menepis meronta tiba-tiba laki-laki itu sudah mendaratkan ciuman bertubi-tubi. "Ha-ha, kenapa tidak bilang, sumoi? Siapa tahu kau akan menjadi calon ibu? Wah, jangankan berapa ekor, biar semua kelincı kau habiskan di sini aku tak marah lagi, isteriku sayang. Ayo kembali dan nikmati kelinci panggang itu...!" pria ini memutar-mutar tubuh isterinya, diangkat dan digoda dan sang isteri tiba-tiba cemberut. Dia malu namun girang. Dan ketika dia bertanya dari mana suaminya tahu, maka di jawab dengan tertawa bergelak,

“Uwak Chi, dialah yang memberi tahu dan aku kini mengerti mengapa sikapmu demikian aneh..." dan ketıka pria itu menurunkan isterinya itu sang isteri malu-malu mencium suaminva maka pria ini terbahak membawa isterinya ke tempat semula, dalam satu lompatan yang mengagumkan. "Sumoi, kau seharusnya memberi tahu ini langsung, kenapa uwak Chi dulu? Ah, kau harus dihukum. Ayo habiskan paha dan daging nikmat ini...!"

Dan si suami yang menjejali mulut isterinya dengan paha kelinci dan daging yang montok akhirnya disambut ketawa geli wanita cantik ini, menolak dan justeru memberıkan daging itu kepada suaminya, ditolak tapi akhirnya dikembalikan lagi. Dan ketika masing-masing coba memberikan agar yang lain makan dulu maka wanita ini berkata,

"Suheng, kalau kau sayang padaku tak boleh kau menolak lagi. Ini permintaan terakhir dari si jabang bayi. Kau gigit dulu dan baru setelah itu aku!”

"Ha-ha... begitu? Baik sumoi, demi si jabang bayi membuat aku kalah!" dan si pria yang menggigit paha kelinci dan ganti menyerahkan sisanya pada si wanita lalu tertawa bergelak dan mendaratkan kembali dua ciuman sayang, begitu bahagia dan gembira dan kali ini mereka sama-sama tertawa menikmati kelinci panggang itu.

Si pria merangkul dan memeluk isterinya sementara tangan menggoda mengusap nakal perut isterinya itu. Perut itu telah berisi keturunan mereka. Buah kasih mereka, alangkah senangnya. Dan ketika pagi itu masing-masing menikmati daging panggang dengan tersenyum serta tertawa bahagia maka uwak Chi, wanita setengah baya yang melihat semuanya itu dari kejauhan mengusap dua titik air matanya tanda haru dan turut bahagia.

Siapakah mereka ini? Sudah kita kenal, bukan lain Kim-mou-eng dan isterinya, Salima. Dulu dalam kisah Pedang Tiga Dimensi telah kita ketahui bahwa mereka akhirnya menikah. Kim-mou eng atau Pendekar Rambut Emas itu pulang ke tengah-tengah suku bangsanya, bangsa Tar-tar. Tapi karena kehidupan ditengah-tengah suku bangsa itu terlalu ramai dan hiruk maka Kim-mou-eng mengajak isterinya mencari tempat sendiri, di lembah itu di mana sebuah sungai mengalir tenang dengan airnya yang jernih, tak begitu jauh dengan pusat suku bangsanya, betapapun Kim-mou-eng adalah pemimpin bangsa itu setelah mendiang suhengnya yang gagah tewas, Gurba si raksasa tinggi besar.

Dan karena mereka telah menjadi suami isteri dan Salima atau si Dewi Bertangan Besi ini membantu suaminya maka tak ada bangsa-bangsa lain yang berani mengganggu bangsa Tar-tar itu. Siapa berani mengganggu? siapa berani coba-coba main api dengan Kim-mou-eng dan suku bangsanya? Tak ada. Hal itu sama dengan coba-coba memelintir kumis singa!

Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas adalah seorang tokoh yang disegani, begitu juga sumoinya, wanita yang telah menjadi isterinya itu. Dan karena mereka merupakan orang-orang hebat dengan kepandaian tinggi maka selama ini bangsa Tar-tar hidup aman dan damai, apalagi setelah Kim-mou-eng tak meninggalkan suku bangsanya lagi, ngemong dan memimpin bangsanya dengan bijak, sering mengarahkan dan mengendalikan suku bangsanya yang suka berperang ini, pernah hancur ketika menyerang kota raja. Nyaris menjadi bangsa yang punah kalau tidak diselamatkan Kim-mou-eng.

Peperangan demi peperangan menjadikan bangsa ini keras dan tegar, juga cenderung kasar. Tapi setelah Kim-mou-eng tinggal di situ dan pendekar ini dikenal sebagai pendekar yang lembut dan berhati lunak maka bangsa Tar-tar seakan harimau jinak yang patuh dan tunduk di bawah Pendekar Rambut Emas itu. Tidak seperti misalnya ketika dipimpın Gurba, mendiang suheng Kim-mou-eng yang tewas akibat perbuatan sendiri. Semuanya itu sudah diceritakan dalam kisah-kisah yang lalu.

Dan ketika pagi itu Kim-mou-eng mendengar isterinya hamil muda tentu saja pendekar ini girang dan senang. Beberapa bulan ini, sejak pernikahan mereka yang sederhana namun dihadiri kaisar, satu kehormatan bagi Kim-mou-eng dan suku bangsanya. Kim-mou-eng memang mendambakan hadirnya seorang anak. Dan dia agak gelisah. Tujuh bulan ini isterinya tak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Kim-mou-eng sering mengerutkan alis. Dia mendambakan seorang anak laki-laki, keturunan yang gagah dan yang tentu saja dicita-citakannya untuk menggantikan dirinya memimpin bangsa Tar-tar. Maka ketika beberapa bulan isterinya masih saja biasa dan baru pada pagi itu dia mendapat berita mendadak pendekar ini seakan kejatuhan ndaru dan senang bukan kepalang.

"Aku ingin anak laki-laki," begitu katanya berulang-ulang. "Kita didik dan gembleng anak kita agar menjadi patriot dan pemimpin bangsa!"

"Hm, kalau perempuan kenapa sih? Memangnya tak dapat melakukan hal-hal seperti yang biasa dilakukan lelaki? Kalau aku laki-perempuan sama saja, suheng. Asal sehat dan selamat serta panjang umur!"

"Ah, kau tahu apa? Gerak wanita tak sebebas laki-laki, sumoi. Aku ingin laki-laki karena leluasa dan bebas ke mana dia suka. Dan untuk pemimpin tentu saja aku lebih senang laki-laki daripada perempuan!"

“Huh, kalian laki-laki memang selalu mengunggulkan kaum sendiri. Kalau tak ada perempuan tentu laki-laki juga tak ada!"

"Ha-ha, jangan marah, sumoi. Aku hanya menyatakan pendapat semata demi kelangsungan hidup bangsa kita. Perempuan memang perlu. Tapi kasihan kalau harus memimpin dan melakukan tugas berat. Sudahlah, tak perlu kita cekcok dan nantikan saja apa kelak bayi kita, laki-laki ataukah perempuan!"

Begitulah, Kim-mou-eng telah menyatakan pendapatnya. Memang pendekar ini menginginkan anak laki-laki. Dan ketika pagi itu didengarnya Istrinya hamil maka kegirangan pendekar ini tak dapat dikata lagi. "Wah, apa kira-kira kelamin bayi kita ini?" pendekar itu teringat cekcoknya dulu. "Laki laki ataukah perempuan?"

"Mana aku tahu? Laki-perempuan bagiku sama saja, suheng. Pokoknya sehat dan montok!" isterinya menjawab.

“Ya. tapı aku ingin tahu, sumoi. Barangkali uwak Chi dapat menolong... heeii!" Kim-mou-eng menggapai. “Ke sini sebentar, uwak Chi. Ada pertanyaan untukmu!"

"Ada apa?" wanita itu mendekat. "Apa yang dapat kubantu?"

"Aku ingin tahu kelamin bayiku, wak. Dapatkah kau menolong?"

"Hm." wanita ini tersenyum. "Aku pribadi tak dapat Taihiap. tapi dukun Cani tentu bisa. Bagaimana kalau diperiksakan dia?"

"Dukun bayi itu? Ah, benar. Mari ke sana!" dan Kim-mou-eng yang melompat tertawa tiba-tiba menyambar isterinya.

"Heii...!" sang isteri terkejut. "Nanti dulu, suheng. Jangan buru-buru!"

"Ha-ha, aku terlampau girang, sumoi. Ayo cepat dan jangan buang waktu!"

"Tapi uwak Chi harus ikut, aku ingin dia bersama kita!"

"Wah, baiklah. Ayo, uwak Chi...!" dan Kim mou-eng yang tertawa menyambar uwak itu pula akhirnya terbang dan meluncur ke timur lembah. sepanjang jalan begitu gembira dan uwak ini berkali-kali mengeluh kaget. Dia disendal dan dibawa lari cepat, kaki sendiri tak menginjak tanah dan mengambang mirip peri, begitu juga dua majikannya yang tertawa-tawa di kiri kanan tubuhnya.

Tapi ketika mereka tiba di tempat dukun Cani dan di saat Kim-mou-eng melepas wanita itu maka uwak Chi menggigil mengusap keringat dingin . "Taihiap, terbangmu seperti iblis!"

"Ha-ha, jangan takut uwak. Aku bukan iblis meskipun terbangku sepertı iblis. Sudahlah, kita temui dan cari bibi Cani!"

Pendekar Rambut emas masuk ke rumah sederhana itu, disambut wanita tua yang rambutnya riap-riapan, pipi dan dahi berkeriput tapi cepat-cepat wanita tua itu memberi hormat ketika tahu siapa yang datang. Dan ketika Salima menyusul dan wanita itu tampak tertegun memandang perut Salima tiba-tiba dukun bayi yang rupanya awas dan tajam perasaannya ini berseru,

"Aıh, lihiap berbadan dua. Bangsa kita akan mendapat tamu baru!"

Salima terkejut. "Kau tahu, bibi? Dari mana?”

"Ah, wajahmu mengeluarkan sinar, lihiap. Dan bentuk pinggul serta buah dadamu berubah. Kau tampak lebih montok dan menggairahkan! Aih, apa maksud kalian ke mari? Ada apa?"

Salima tersipu, semburat. "Hm...." suaminya yang menjawab, berseri-seri. "Kami datang memang untuk itu, bibi Cani. Minta tolong padamu agar menentukan jenis kelamin bayı!"

"Heh heh, ingin tahu sebelum lahir?"

"Ya, suhengku tak sabar, bibi. Aku dipaksa dan dibawa ke mari!"

Wanita tua itu terkekeh. Dia adalah dukun bayi yang terkenal di situ, hampiir semua suku Tar-tar ke sini. Dan ketika Salima cemberut memandang suaminya sementara Kim-mou-eng tersenyum menyeringai maka wanita ini menyuruh Salima duduk di atas balai-balai.

"Duduklah, mari kuperiksa...!"

Salima duduk. la agak berdebar ketika dukun itu mengusap perutnya, dengan ibu jari tangan kanan menekan dan mengusap seperti bola, dipijit dan akhirnya berhenti di perut sebelah kirı, wanita itu tertawa. Dan ketika dia membungkuk dan memijit ibu jari kaki Salima akhirnya dia bangkit berdiri dan berseru,

“Laki-laki, bayi yang akan dilahirkan adalah seperti ayahnya, berjenis kèlamin laki-laki!"

"Ha ha!" Kim-mou-eng melonjak. "Laki-laki, bibi? Kau yakin?"

"Ya," dukun ini tersenyum. "Laki-laki. taihiap, tak salah. Aku berani potong kepala. Bahwa yang akan dilahirkan isterimu ini adalah anak laki-laki"

"Ah, terima kasih...." dan Kim-mou-eng yang menyambar serta mengangkat istrinya tiba-tiba tertawa bergelak. "Sumoi, laki-laki. Anak kita pertama laki-laki....!" dan Kim-mou-eng yang melempar serta menangkap kembali isterinya itu lalu terbang keluar rumah.

"Hei, ke mana?" Salima berteriak, terkejut tapi juga tak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Betapapun ia gembira mendengar kabar berita itu. Anaknya laki-laki, dukun Cani dapat dipercaya dan selama ini belum pernah dukun bayi itu meleset. Dan ketika suaminya tertawa tergelak dan meneruskan larinya ke dalam lembah akhirnya tiga orang menyambut dan berseru menjatuhkan diri berlutut.

"Taihiap, selamat. Kami bangsa Tar-rar menghaturkan selamat... !"

"Eh!" pendekar ini berhenti, langsung tertegun. "Ada apa kalian ke mari? Mau apa?" sang isteri diturunkan, terbelaľak memandang tiga laki-laki gagah itu dan seorang di antaranya tersenyum.

Mereka adalah pembantu-pembantu suami isteri ini, menyatakan bahwa mereka telah mendengar berita bahagia itu. Bangsa Tar-tar ingin merayakan kebahagiaan ini dan mengucap selamat. Dan Ketika Salima berseru kecil dan langsung semburat tiba-tiba wanita ini berkelebat memasuki rumah, tersipu.

"Kami ingin merayakan déngan pesta adat, Taihiap. Menyambut calon pemimpin baru menyatakan kebahagiaan. Kalau taihiap setuju malam nanti juga kita siapkan pesta sekaligus mencari nama baru bagi putera taihiap."

"Ha-ha. boleh. Lakukan itu. Cukri. Malam nanti isteriku hadir dan biar kukumpulkan nama untuk calon puteraku!"

Kebahagiaan kembali meledak. Bangsa Tar-tar malam itu benar-benar bahagia, kiranya berita dari mulut ke mulut telah menyebar luas. Dukun Cani telah menebak calon keturunan pemimpin mereka, laki-laki, bukan main gembiranya. Dan ketika malam itu Salima menemui rakyatnya dan kembali bertemu bibi Cani akhirnya tak dapat ditahan wanita yang berbahagia ini menanyai dari mana dukun itu mendapatkan "resepnya" menebak jenis kelamin bayinya.

"Heh-heh, mudah lihiap, dari letak dan gerakannya!"

"Letak dan gerakannya?"

Ya, artinya begini, lihiap. Kalau bayi berada dı sebelah kiri perut dan sering bergerak di daerah situ maka berarti menjauhi irus (pengaduk atau penyendok sayur). Tapi kalau bergerak dan terletak di sebelah kanan maka berarti mendekati atau memegang irus. Yang menjauhi irus tentu laki-laki, karena laki-laki tak biasa memasak. Sedang yang mendekati irus tentu perempuan, karena perempuan tugasnya masak. Nah, sederhana kan. Ini dapat dijadikan patokan paling gampang dan mudah diingat!"

Salima bengong. Ternyata "resep" itu begitu bersahaja, hampir tertawa dia. Agaknya tak masuk akal. Tapi ketika beberapa bulan kemudian dia melahirkan dan bayinya ternyata benar laki-laki mendadak wanita yang telah menjadi ibu ini terkejut, kagum. Mendengar tangis bayi dan kembali bangsa Tar-tar ribut. Kim-mου-eng melonjak gembira dan untuk kedua kalinya suami yang berbahagia itu mendapat kebahagiaan. Bayinya laki-laki, tepat dan cocok seperti ramalan dukun Cani. Bukan main girangnya. Dan ketika bayi itu dia upacarai adat dan menjalanı "pasaran" atau "selapanan" ternyata kaisar mengutus orangnya untuk menyatakan kegembiraan, datang diwakili Bu-ciangkun, panglima Bu yang gagah dan brewokan itu.

"Ha-ha. selamat, taihiap. Selamat!"

Kim-mou-eng tertegun.

"Lupa kepadaku, taihiap?"

"Tidak, tentu saja tidak! Tapi, eh... bagaimana kau bisa tahu ini, ciangkun? Kapan kalian mendengarnya!"

"Ha-ha, bangsa Tar-tar dan bangsa Han adalah sahabat, taihiap. Bagaimana kami tak mendengar kalau kami tak pernah berjauhan? Sri baginda mengutus dan memberi ini, taihiap. Juga sebuah nama untuk putera taihiap itu, kalau taihiap suka!"

Panglima brewok itu menuding sepuluh kereta berisi barang-barang hadiah, mengambil sebuah mainan dari batu giok hijau yang indah dan menyerahkannya pada Kim-mou-eng, secara simbolis menyerahkan semua barang-barang di kereta itu. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan teringat nama-nama yang dipilih untuk puteranya tiba-tiba Cukri pembantunya yang gagah itu tampil ke depan.

"Taihiap, pemberian nama kaisar Han adalah sesuatu yang amat berharga. Taihiap boleh menerima itu dan tak perlu ragu!"

"Hm... apakah Kim-taihiap telah memberikan sebuah nama?"

"Belum, tapi kami bangsa Tar-tar telah memilihkannya beberapa nama, ciangkun. Tapi kalau sri baginda kaisar memberikan nama dan dipergunakan untuk keturunan pemimpin kami tentu saja kami tidak menolak. Ini satu penghargaan sendiri yang besar!"

Bu-ciangkun, panglima brewok itu tertegun memandang Cukri. Dia lupa bahwa Kim-mou-eng dan bangsanya tentu telah memberikan sebuah nama bagi calon pemimpin baru itu, berkejap dan menyeringai. Menunggu dan tentu saja tak berani mendesak. Kim-mou-eng sendiri ragu dan bimbang, khawatir dianggap tak menghiraukan bangsa sendiri dengan memperhatikan orang lain. Tapi ketika Cukri bertanya pada teman-temannya apakah mereka setuju meninggalkan semua nama pilihan dan menerima nama baru dari kaisar di Tiongkok tiba-tiba serentak mereka berseru setuju.

"Nah, tak ada ganjalan lagi, taihiap. Silahkan diterima!"

"Tapi kita gak tahu cocok atau tidak!"

"Ha ha, nama pemberian kaisar pasti cocok bagi bangsa Tar-tar, taihiap. Tak usah ragu dan percayalah!" Bu-ciangkun, panglima tinggi besar itu berseru, membuat Kim-mou-eng tersenyum dan segera bangsa Tar-tar menjadi tertarik. Kim-mou-eng mengangguk dan lain-lain pun bersorak. Dan ketika Kim-mou-eng bertanya nama apa yang hendak diberikan kaisar kepada puteranya, maka Bu-ciangkun terbahak gembira menyebut nyaring,

Thai Liong (Naga Besar), Kim Thai Liong!"

"Thai Liong?"

"Ya. Thai Liong, taihiap. Dan kalian bangsa Tar-tar boleh juga menyebutnya Dailiong! Nah, hebat apa tidak?"

Sorak gemuruh dan tepuk tangan tiba-tiba meledak. Kim-mou-eng sendiri ternganga mendengar sebutan nama ini, kaisar memberinya nama Thai Liong. Dan karena nama itu dapat disesuaikan dengan lidah bangsa Tar-tar dengan nama Dailiong. Tiba tiba Pendekar Rambut Emas membungkuk dan memberi hormat dalam-dalam di depan panglima brewok itu, sang wakil kaisar, diiring tepuk tangan dan sorak gemuruh rakyatnya.

"Terima kasih, nama ini benar-benar indah sekali, ciangkun. Juga fleksibel karena dapat diucapkan oleh dua bangsa. Baiklah, puteraku bernama Thai Liong dan mudah-mudahan dapat menjadi 'Liong' (naga) yang besar!"

"Ha ha... terima kasih kembali, taihiap. Sri baginda tentu senang menerima sambutanmu ini. "Ayo, siapkan makan untuk rombonganku!" dan Bu-ciangkun yang terbahak menggoda pendekar itu akhirnya dijamu dan disambut bangsa Tar-tar yang sudah cukup mengenal panglima ini, menurunkan hadiah dan mengeluarkan makan minum untuk panglima itu serta rombongannya. Hari itu benar-benar hari gembira bagi Kim-mou-eng dan tamunya. Dan ketika semalam Bu-ciangkun tinggal dan keesokannya baru pulang kembali maka Pendekar Rambut Emas minta disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kaisar.

"Tentu... tentu... tak usah khawatir, taihiap. Dan terima kasih pula atas sambutan bangsamu yang ramah. Betapapun aku prıbadi juga ingin mengundangmu ke kota raja!"

Kim-mou-eng tersenyum.

"Kapan kau ke kota raja, taihiap? Tentu tak melupakan kami, bukan?"

"Hm, saat inı aku sibuk mengatur bangsaku, ciangkun, tentu saja tak lupa pada kalian dan sri baginda. Tapi percayalah, lima enam bulan lagi tentu aku datang berkunjung."

"Ha-ha, terimakasih, taihiap.. terima kasih..." dan panglima Bu yang lalu memberi hormat dan pulang bersama rombongannya lalu meninggalkan Kim-mou-eng yang berjanji beberapa bulan lagi akan datang ke kota raja. Kim-mou-eng biasa menepati janji.

Dan ketika hari demi hari dilewatkan gembira dan Thai Liong, anak lelaki tumbuh besar dan sehat maka Salima berulang kali menyatakan kebahagiaannya dengan menciumi anak satu-satunya ltu. “Suheng aku merasa mendapat anugerah. Anak kita ini sehat dan lucu!"

"Ya, dan aku juga bahagia, sumoi. Tapi satu yang agak mengganjal hatiku!"

"Apa?" sang istri terkejut "Kau tak senang?”

"Bukan begitu sumoi. Melainkan kenapa suhu tak pernah menengok. Kau lupa kepada suhu?"

Salima tertegun. "Hm, suhu adalah orang aneh, suheng, selamanya tak terikat dan tak mau diikat, kau tentu tahu ini dan menyadari kenapa bertanya?"

"Aku terganjal karena guru kita itu belum melihat Thai Liong, sumoi. Aku ingin dia melihat dan menyatakan pendapanya.”

"Ah, suhu datang dan pergi seperti iblis! Bagaimana kita mengharap kedatangannya? Tanpa diundang tentu dia datang suheng. Tapi kalau tak datang tentu belum punya keperluan. Sudahlah, jangan kau kecewa dan lihat anak kita dia sudah mulai tengkurap den belajar duduk. hi-hik...lucu!"

Dan Salima yang mencium anaknya di pembaringan dan terkekeh-kekeh lalu membuat suaminya terlupa dan turut gembira memandang anaknya itu Thai Liong memiliki mata yang bulat jernih, dan yang amat spesifik, rambut anaknya itu juga kuning keemasan, persis Kim-mou-eng. Dan ketika Salima menunjuk ini dan tertawa geli maka kekecewaan Kim-mou-eng tak ketemu gurunya terobati.

Siapakah guru atau suhu Pendekar Rambut Emas ini? Bukan lain si manusia sakti Bu-beng Sian'su. Bagi yang mengikuti serial Pendekar Rambut Emas tentu mengetahui kehebatan kakek dewa ini. Bu-beng Sian-su memang amat sakti dan hebat. Dan Kim-mou-eng yang merupakan murid kedua setelah Gurba yang tewas adalah pendekar yang banyak belajar dari gurunya itu si kakek dewa yang sakti. Selain ilmu silat juga ilmu kehidupan. Banyak belajar dan mendapat nasehat dari manusia dewa ini.

Maka ketika gurunya tak datang dan kelahiran Thai Liong tak diketahui kakek itu diam-diam Kim-mou eng sedikit kecewa. Namun pendekar ini adalah pendekar besar. Kim-mou-eng tahu keanehan gurunya, datang dan pergi tak lumrah manusia biasa. Sekali datang biasanya membawa kepentingan bukan kepentingan untuk diri sendiri melainkan justeru orang lain, itulah istimewanya. Gurunya memang istimewa. Dan ketika setahun kemudian Thai Liong sudah belajar berjalan dan hari itu Kim-mou-eng sibuk mengurus bangsanya tiba-tiba sebuah undangan muncul dari kota raja.

"Sri Baginda ingin bertemu taihiap, mohon taihiap ke sana dan datang."

"Ada apa?

"Kami tak tahu, taihiap, tapi penting!"

“Hm, baiklah. Kalian kembali, aku menyusul!"

Sang utusan pergi. Kim-mou-eng tak curiga apa-apa, memberi tahu isterinya dan berangkat. Tapi ketika dia tiba di luar padang rumput dan melihat utusan berdiri menanti tiba-tiba pendekar ini tertegun. "Kau masih di sini?"

"Maaf, seseorang ingin menemuimu, taihiap"

"Aku!" sesosok bayangan keluar dari balik pohon, berseru dan terisak memanggil Kim-mou-eng.

Pendekar Rambut Emas itu tersentak dan tiba-tiba mundur. Dan ketika bayangan itu, wanita cantik yang rambutnya kusut menubruk Kim-mou-eng sekonyong-konyong Kim-mou-eng tergetar dan menggigil di tempat.

"Wan Hoa, bagaimana kau ada di sini?!"

"Aku... aku, hu-huu...!" wanita cantik itu, Wan Hoa, tersedu. "Aku datang diutus Cao Cun, twako. Kami, ah... kami ingin menyatakan selamat dan bahagia atas kelahiran bayimu itu...!"

“Hm…!” Kim-mou-eng tertegun.” Anakku kini telah berusia setahun, Wan Hoa, terimakasih kalau kau datang untuk mengucapkan itu!”

“Ya-ya, kami sebenarnya ingin datang berdua, twako. Tapi... tapi takut isterimu marah!"

"Sudahlah, hentikan tangismu, Wan hoa, apa kabar kalian berdua dan kenapa hari ini kau muncul di sini? Dan kau...." Kim-mou eng menunjuk utusan itu, laki-laki yang terkejut. "Kau membohongi aku!"

"Maaf," utusan itu menjatuhkan diri berlutut. "Aku hanya disuruh Wan siocia (nona Wan) Kim-taihiap. Kami tak berani berterus terang agar tak menimbulkan kecurigaan yang lain."

"Benar!" Wan Hoa melepaskan dirinya. "Aku yang menyuruh dia berhohong, twako. Kalau tidak begitu tentu tak ketemu dirimu."

"Baiklah, apa kabarnya Cao Cun? Dia tak apa-apa?"

“Tidak..., tapi…”

"Kenapa?" Kim-mou-eng melihat Wan Hoa bercucuran air mata kembali, cepat bertanya. "Dia hidup bahagia dengan suaminya, bukan?"

“Ohh… tidak... tidak!” Wan Hoa tiba-tiba mengguguk, menangis lagi. "Raja Hu telah meninggal twako. Cao Cun telah menjadi janda!"

"Apa?" Kim-mou-eng berjengit. "Raja Hu wafat? Cao Cun menjadi janda?"

"Ya. Sudah lama, twako. Hampir dua tahun yang lalu!”

"Ah, ceritakan padaku, kenapa raja Hu wafat!"

Wan Hoa lalu bercerita, sambil tak hentinya menangis wanita yang setia kepada Cao Cun dan merupakan sahabat paling kental dari isteri mendiang raja Hu itu mulai mengisahkan kehidupan Cao Cun. Betapa Cao Cun menjadi isteri raja Hu dan akhirnya mempunyai seorang anak laki-laki, Ituchi Yashi. Mula-mula tak cinta pada raja bangsa liar itu karena Cao Cun mencinta Kim-mou-eng, betapa saking cintanya kepada Pendekar Rambut Emas ini berkali-kali gadis Puteri bupati Wang itu dicelakai orang.

Tapi karena Kim-mou-eng berbohong dan derita demi derita dialami gadis itu akhirnya puteri bupati yang malang ini menjadi isteri raja Hu, seorang raja dari suku setengah liar di luar tembok perbatasan, tak jadi diambil selir oleh kaisar sendiri yang dipermainkan pembantu-pembantunya yang jahat, Mao-taijin dan lain-lain. Dan ketika semuanya itu terjadi dan nasib gadis ini sudah ditentukan maka hubungan Cao Cun dengan Kim-mou-eng menjadi putus dan gadis ini pasrah, hidup ditengah-tengah suku yang liar tapi lama-kelamaan kasih sayang raja berhasil melunakkan sikapnya pula, tak lama kemudian mereka mempunyai keturunan dan Cao Cun mulai membalas cinta suaminya. Tapi belum hal itu berjalan lama tiba-tiba raja Hu terserang sakit dan meninggal dunia.

"Begitulah, tak lama setelah kau marah-marah kepada kami dan membawa dayang celaka itu raja mangkat, twako. Cao Cun menjadi janda dan kini hidup sendiri. Tapi persoalan baru datang menghadang, aku dan Cao Cun ngeri!"

"Hm...!" Kim-mou-eng mengangguk-angguk. Teringat semuanya itu, perih dan tersenyum getir. "Persoalan apa yang kau maksudkan ini, Wan Hoa? Dan tentunya untuk persoalan ini kamu datang, bukan?"

"Benar!" Wan Hoa menggigil. "Cao Cun... Cao Cun... dia hendak diambil Cimochu, twako, akan diperisteri!"

"Siapa itu Cimochu?"

"Putera sulung raja Hu sendiri, anak tirinya!"

“Haaa!!” pendekar ini mencelat. "Cao Cun mau dikawin anak tirinya?” dan ketika Wan Hoa mengguguk dan menggangguk, akhirnya gadis itu tak kuat lagi menubruk pendekar itu, meratap dan berkata bahwa itu sudah menjadi adat bagi bangsa liar itu, segala warisan ayah jatuh ditangan anak sulung, termasuk isteri dan selir-selirnya. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan pucat mendengar ini maka Wan Hoa mengakhiri ceritanya, gemetar, air mata jatuh berderai-derai tak kunjung habis.

“Begitulah, Cao Cun dan aku tak berdaya, twako. Karena itu kami datang kepadamu. Tolong Kau bantu kami dan bebaskan Cao Cun dari masalah yang memalukan ini!"

"Hm!" Kim-mou-eng mengangguk-angguk, muka pun gemetar. ”Bangsa itu memang bangsa yang aneh, Wan Hoa. Kalau Cimochu hendak mengambil ibu tirinya dan ini sudah merupakan adat agaknya tak banyak yang dapat kita lakukan. Apa yang dapat kukerjakan untuk kalian? Apa aku harus membawa Cao Cun dari tempat itu dan melarikan diri?"

"Kami berpikir begitu, twako. Tapi kau tentu repot. Namamu bisa tercoreng dan isterimu pun bisa marah besar. Kau akan dianggap melarikan isteri orang dan ini sebuah aib bagimu. Tidak, kami tak minta yang itu, twako, melainkan laporkan saja pada kaisar dan biar kekuasaan kaisar menghalangi niat Cimochu itu dan jangan dia mengambil Cao Cun!"

"Hm..." Kim-mou-eng merasa sependapat. Kalau ini dapat kulakukan, Wan Hoa, tidak mengandung resiko dan sama-sama baik bagi kita. Baiklah, katakan pada Cao Cun dan hibur dia bahwa aku pasti menolong!"

"Kau memang baik dan berbudi luhur!" Wan Hoa yang tak dapat menahan diri dan langsung menubruk dan memeluk pendekar itu lalu tersedu-sedu dan menangis penuh gembira, melihat harapan pada pendekar ini dan memang Kim-mou-eng lah yang dapat menolong itu.

Pendekar Rambut Emas ini memiliki hubungan baik dengan kaisar, begitu baiknya hingga kaisar memberi kebebasan pada pendekar ini untuk datang dan pergi sesukanya di istana, tanpa memberi tahu. Dan ketika Wan Hoa mendapat janji pendekar itu untuk menolong Cao Cun, maka wanita in melepaskan diri dan akhirnya sayu memandang pendekar itu.

"Twako, kau hidup bahagia?"

"Hm..." Kim-mou-eng mengangguk. "Aku cukup bahagia, Wan Hoa, sumoiku wanita yang baik. Dan kau sendiri, sudah menemukan pilihan atau masih melajang?”

"Aku masih sendiri..."

"Tak baik. Kau harus menikah, Wan Hoa. Kau harus mendapat pendamping dan hidup bahagia!"

"Ah, aku tak mau menikah, twako. Kecuali aku mendapat orang macam dirimu. Selama Cao Cun masih mendapat persoalan bertubi,tubi aku tak mau menikah dan biar menghibur sahabatku itu."

Kim-mou-eng tergetar. Dia memejamkan mata, teringat kesetiaan dan cinta kasih Wan Hoa kepada Cao Cun. Selama hidup, belum dijumpainya gadis sehebat Wan Hoa, rela bekoban dan begitu setia kepada sahabat hingga nyawa pun siap diberikan. Suka duka yang dialami Cau Cun tak pernah tanpa gadis ini. Cinta dan persahabatan Wan Hoa benar-benar luar biasa. Dan ketika Wan Hoa menyatakan tak usah menikah selama sahabatnya belum bahagia akhirnya dua titik air mata meluncur di pipi pendekar ini, membuka mata dan mencengkeram gadis itu penuh keharuan.

“Wan Hoa, kau benar-benar sahabat setia. Kalau saja Cao Cun bahagia kelak akan kupilihkan seorang laki-laki yang tepat untukmu!"

"Terima kasih!" mulut itu tersenyum getir. "Tak ada laki-laki yang sehebat dirimu, Kim-twako. Kalau ada yang macam kau baru aku menerıma. Tapı kalau tidak lebih baik tak usah. Sudahlah, kapan kau menolong Cao Cun?"

"Seminggu lagi. Wan Hoa. Tunggu aku seminggu dan mudah-mudahan sri baginda dapat menghalangi niat itu."

"Pasti, asal kau yang minta tentu sri baginda dapat menghalangi Cimochu, twako. Kalau begitu kutunggu kau di tempat kami."

"Ya, pergilah. Tunggu aku di sana, Wan Hoa, dan sampaikan salamku buat Cao Cun!"

"Baiklah." dan Wan Hoa yang memutar tubuh serta mengucap terima kasih lalu menyuruh pengawal mengeluarkan kereta. Kiranya sebuah kereta disembunyikan tak jauh dari situ, berderak dan akhirnya meninggalkan tempat itu. Wan Hoa berkali-kali melambaikan tangan di jendela kereta, air matanya mengalir tak habis-habisnya, tersenyum dan harapan besar jelas terlihat di muka yang cantik itu. Kini Wan Hoa bersinar-sinar.

Dan ketika kereta lenyap dan Kim-mou-eng menghela napas tiba-tiba empat laki-laki mendatangi tempat itu dengan kuda mencongklang, mengeprak demikian buru-buru dan Kim-mou-eng tak jadi pergi. Dia tertarik dan menunggu. Dan ketika empat orang itu datang mendekat dan Kim-mou-eng tertegun segera dia melihat bahwa itulah Bu-ciangkun bersama tiga pengawalnya, panglıma yang dulu datang berkunjung!

"Eh, ada apa, ciangkun? Kenapa kalian demikian cepat dan buru-buru?"

“Ah, celaka... celaka, taihiap. Istana berkabung!" Bu-ciangkun meloncat turun, suaranya serak dan menggigil mengejutkan Kim-mou-eng, datang‐datang membuat kaget dan panglima itu menangis. Dan ketika dia gemetar dan limbung berjalan menghampiri maka panglima ini tiba-tiba roboh dan lemas mendeprok di tanah.

Kim-mou-eng tersentak. "Ciangkun, apa yang terjadi? Kenapa berkabung?"

"Sri baginda mangkat, taihiap. Sri baginda... sri baginda, ooh...!" panglima itu menutupi muka, mengguguk. "Kami kehilangan junjungan taihiap, Sri baginda wafat!"

"Wafat?" Kim-mou-eng bagai disambar petir, teringat janjinya pada Wan Hoa. "Kapan beliau mangkat? Sebab apa?"

"Penyakit tua, taihiap. Dan kami memberi tahumu kalau ingin berbela sungkawa, ooh...!"

Bu-ciangkun yang kembali menutupi muka dengan tangis tersedu lalu menceritakan keadaan di istana. Bahwa kaisar wafat karena penyakit tua, bahwa istana kini berkabung dan tiga pengawal yang sampingnya pun menangis. Kedukaan dan kesedihan besar tiba-tiba memenuhi empat orang itu, Kim-mou-eng terpaku dan nyaris tak dapat mengeluarkan suara. Dia teringat Wan Hoa yang baru pergi, yang begitu penuh harap akan pertolongannya pada Cao Cun. Kini tanpa disangka-sangka kaisar telah meninggal dunia, sungguh ini di luar perhitungan. Tapi ketika Kim-mou-eng sadar dan menekan degup jantungnya yang tidak karuan tiba-tiba pendekar ini menepuk bangun panglima tinggi besar itu.

"Bu-ciangkun, bangunlah. Aku turut berbela sungkawa. Mari kita ke istana dan biar kuberikan hormatku yang terakhir kepada sri baginda!"

Bu-ciangkun masih menangis. "Kau akan bersama kami, taihiap?"

"Ya, bangunlah. Mari berangkat!" dan Bu-ciangkun yang berdiri mengusap air matanya dengan tinju akhirnya sadar melihat kewibawaan pendekar ini, mata masih memerah namun cepat dia melompat di atas kudanya kembali. Dan ketika Kim-mou-eng memberí tanda dan kuda ditendang tiba-tiba Bu-ciangkun mengeprak dan kembali ke kota raja, diiringi Kim-mou-eng yang mengerahkan ginkang disamping panglima itu. Kuda dan manusia, berlari bagai terbang.

Kim-mou-eng mendampingi panglima ini dengan ilmu lari cepatnya, mau tak mau Bu-ciangkun kagum. Dan karena dia menyadari tak mungkin Kim-mou-eng mau menunggang kuda dan sepuluh menit kemudian pendekar ini merasa larinya kuda terlalu lambat tiba-tiba pendekar itu berkata bahwa dia akan mendahului, melesat dan terbang serta lenyap di depan. Dalam waktu sekejap saja sudah merupakan titik kecil dan hilang di sana. Bu-ciangkun ternganga. Tapi begitu Kim-mou-eng lenyap dan dia mengejar maka empat ekor kuda ini mencongklang dan membalap namun masih saja tertinggal jauh di belakang!

Apa yang terjadi di kota raja? Benarkah kaisar mangkat? Melihat bendera-bendera yang dikibarkan setengah tiang memang telah menunjukkan hal itu. Istana berkabung, kota raja tiba-tiba menjadi sirap dan sunyi. Orang yang berlalu-lalang hampir tak mengeluarkan suara, muka yang berpapasan sering menunduk dan menunjukkan wajah sedih. Istana memang dirundung duka. Dan ketika para menteri dan putera pangeran mendampingi jenazah di Ruang Agung maka di luar dibalik sosok-sosok tubuh pengawal уang menjaga seputar istana terdengar kekeh dan tawa nyaring.

"Heh-heh, kaisar wafat? Mana peti jenazahnya?"

Dua nenek riap-riapan muncul. Mereka ini nyelonong masuk di saat keadaan begitu khusuk, para pengawal terkejut dan membentak. Tentu saja mereka tak mengijinkan nenek itu membuat onar. Tapi ketika tombak dan golok ditodongkan di depan keduanya, yang membawa seorang anak berusia tiga tahun tiba-tiba mereka tertawa dan mengibas

"Kami datang untuk memberi hormat. Minggir...!"

Pengawal berpelantingan. Entah bagaimana dari kedua tangan nenek Itu muncul sambaran angin bertenaga dahsyat, mereka tahu-tahu terdorong dan jatuh tak keruan, beberapa di antaranya bahkan patah-patah tombaknya. Dan pengawal berteriak kaget dan serta gentar menghadapı nenek itu maka dua orang nenek ini meneruskan langkahnya memasuki istana.

“Hei, kami mau menyatakan bela sungkawa. Minggir!" begitu berkali-kali dua nenek itu berseru. Setiap pengawal mau menghadang, mengembangkan lengan mereka dan pengawal pun tunggang langgang disapu angin pukulan dahsyat. Mereka itu tak berdaya dan kedua nenek ini pun akhirnya memasuki bangsal istana, terus mengibas-ngibaskan lengan setiap dicegah. Dan ketika mereka masukı Ruang Agung dan para perwira serta panglimanya terbelalak melihat datangnya dua nenek itu maka sepuluh orang melompat ke depan mencabut senjara. Dua di antaranya adalah Cu-ciangkun, sepasang panglima kakak beradik yang bersenjatakan tombak.

"Ji-wi locianpwe (dua orang tua sakti), kalian siapakah dan mau apa masuk ke dalam?"

“Heee-heh, kami mengantar pangeran, ciangkun. Ingin menyatakan bela sungkawa dan turut berduka."

"Tapi kalian tak dikenal!"

"Hm, ini murid kami, putera Gurba dengan selir Bi Nio. Apakah kalian tak mengenal dan masih melarang?"

Cu-ciangkun, dua panglima itu terkejut. Mereka melihat seorang anak kecil dengan bola mata bundar tersenyum mengejek, tidak mengeIuarkan suara tapi angkuh memandang mereka. Namun yang disebut-sebut kedua nenek itu membuat mereka tertegun, mendiang Gurba dan Bi Nio. Tapi ketika mereka terpaku dan bingung memandang kedua nenek itu tiba-tiba mereka berkata,

“Nah... biarkan kami lewat. Biarkan pangeran Togura menghormati ayah tirinya!"

Cu Hak, panglima tertua sadar. Dia melihat dua nenek itu berjalan ke peti jenazah, anak laki-laki di tengahnya diapit, bocah ini tampak jumawa dan angkuh, sekecil itu sudah menunjukkan kesombongan besar. Dan karena nenek riap-riapan ini tak dikenal dan Cu Hak terkejut mendengar anak itu adalah Togura anak Gurba dan Bi Nio tiba-tiba panglima ini meloncat dan berseru nyaring,

"Nenek siluman, kau jangan kurang ajar. Kalau benar itu adalah putera Bi Nio yang hilang maka kaulah pencurinya. Kalian kami tangkap!!!”

“Heh!" dua nenek itu tak acuh, seorang diantaranya berhenti. "Kau berani menangkap kami, panglima busuk? Siapa kau yang berani mati?"

Dan Cu Hak yang terkejut melihat nenek satunya terus berjalan dan tidak menghiraukan dirinya akhirnya menggerakkan tombak menusuk kearah si nenek itu. "Berhenti, atau kau kubunuh!"

Namun tombak yang menyeleweng ditiup si nenek itu, tiba-tiba panglima ini berteriak kaget. Sementara bocah berumur tiga tahun itu berkelebat. Mencengkeram dan kaki panglima ini diangkat. Lalu begitu bocah itu berseru keras menyelinap diselangkangan panglima ini tahu-tahu melewati pundaknya yang kecil dan kaget dibanting keras,

"Bress!" Panglima itu terguling. Togura, anak lelaki berumur tiga tahunan itu membuat terkesima semua orang. Cu Hak sang panglima yang gagah disambar dan dibanting begitu rupa, gesit dan bertenaga dan orang pun melongo. Tapi ketika panglima ini melompat bangun dan marah berteriak geram maka Cu Kim, sang adik, berkelebat maju bersama pembantu-pembantunya.

“Hak-ko, mereka itu pengacau. Lindungi peti jenazah!”

Dua nenek itu terkekeh. Mereka telah melihat murid mereka yang kecil membanting panglima she Cu. Togura melakukan itu tanpa banyak cakap, tak ada kata-kata secuil pun keluar dari mulutnya, kecuali bentakkan kecil tadi ketika membanting. Maka ketika Cu Hak melompat bangun dan orang geger oleh peristiwa ini maka dua kakak beradik panglima Cu itu telah mengepung dan membentak nenek ini, menerjang dan segera dua nenek itu diserang. Tombak dan golok berseliweran naik turun, membacok dan menusuk. Tapi kedua nenek itu terkekeh dan membuka mulut mereka meniup maka...susshhh, semua senjata pun terpental dan menyeleweng arahnya.

"Hi hik, hajar mereka, Togura. Beri adat!"

Togura, bocah tiga tahunan itu mengangguk. Dia sudah berkelebat dan keluar dari tengah-tengah gurunya, membagi pukulan dan tendangan. Tak ada yang dapat mengelak dan semua menerima bogem mentahnya. Dan ketika semua menjerit dan mengaduh oleh hajaran anak laki-laki itu maka Cu-ciangkun dua bersaudara pucat terhuyung mundur, tombak mereka patah dan dua nenek itu tertawa-tawa. Apa yang terjadi ini benar-benar mengagetkan. Tapi karena Cu-ciangkun merupakan orang paling bertanggung jawab saat itu dan tentu saja dia tak akan membiarkan pengacau membuat onar maka mereka kembali membentak dan sudah menyambar tombak pengawal, menyuruh yang lain maju lagi dan bersama puluhan pembantu panglima ini mengeroyok, mereka menyerang dan menusuk nenek itu. Tapi ketika lagi-lagi nenek itu meniup dan tombak serta golok menyeleweng tak keruan akhirnya nenek di sebelah kiri berseru,

"Togur, hajar panglima she Cu ini. Dia paling nekat...!”

Togura, bocah ini lagi-lagi mengangguk. Saat gurunya diserang dia tidak bergerak, kembali ke tempatnya semula. Tapi ketika pengawal maju lagi dan gurunya memerintah tiba-tiba anak ini berkelebat ke arah panglima she Cu, kebetulan menuju Cu Kim yang menjadi panglíma nomor dua. Anak itu menampar dan Cu Kim mengelak, tentu saja panglima ini marah.

Tapi ketika panglima itu hendak membalas dan bocah laki-laki itu menyusuli serangannya tiba-tiba ketiak panglima ini terketok sesuatu dan lumpuh, tak dapat digerakkan dan tentu saja tamparan anak itu mengenai mukanya, kali ini keras sekali, begitu kerasnya hingga gaplokan yang nyaring mengejutkan semua pengawal. Dan ketika panglima itu mengeluh dan roboh terguling ternyata panglima ini tak bergerak lagi karena pingsan.

"Setan!" Cu Hak, sang kakak, menjadi gusar. Dan menusukkan tombaknya tidak lagi ke nenek lawannya melainkan ke tubuh anak ini. Mengejutkan sekali, bocah itu dapat mengelak. Dan ketika tombak lewat di atas kepalanya tiba-tiba anak ini menyodok dan panglima itu pun berteriak ngeri.

“Cuss….!” Panglima ini terpelanting. Empat jari lurus dari bocah lelaki itu mengenai ulu hatinya, kontan panglima sesak napas dan roboh. Dan ketika ia mengeluh dan melotot kaget tahu-tahu іa pun terguling dan tidak bergerak lagi, pingsan.

"Heh-heh, siapa berani main-main lagi?"

Dua nenek itu tertawa, tidak lagi meniup melainkan tangan bergerak ke sana kemari. Para pengawal berpelantingan terlempar dan menjerit tak karuan. Kini bukan tombak atau golok yang patah-patah melainkan tulang kaki atau tangan mereka, lawan mulai bersikap keras. Dan ketika pertempuran berhenti dan para menteri serta pangeran tak dapat bersuara akhirnya pengawal mundur ketakutan tak ada yang berani mendekat.

"Heh-heh, kalian takut?"

Semua orang terbelalak gentar. Cu-ciangkun yang menjadı andalan kini pingsan, dua nenek itu maju lagi mendekati peti jenazah. Dan karena tak ada yang menghalangi dan sepasang nenek ini terkekeh geli maka mereka pun sudah tiba di depan peti jenazah dan menepuk-nepuk permukaannya, Berseru nyaring.

"Sri baginda, apakah kau telah memilih pangeran mahkota?'"

Tentu saja kaisar yang wafat tak dapat menjawab. Tiga kali nenek itu bertanya dan tiga kali pula gaung suaranya lenyap, nenek yang bertanya tiba-tiba marah. Dia mau membuka tutup peti. Tapi ketika nenek itu hendak merusak dan bertindak lebih jauh, tiba-tiba Kim-taijin, seorang menteri tua maju melangkah dengan buru-buru, menteri yang selama ini menunjukkan kesetiaannya kepada kaisar.

"Nenek keparat, tunggu dulu. Biar kujawab pertanyaanmu!" dan menteri yang merah padam melihat sepak terjang dua orang ini lalu melindungi peti jenazah, berkata marah, "Kalian berdua siapakah? Sri baginda wafat, tak mungkin menjawab pertanyaan kalian. Nah, aku menteri Kim, kujawab pertanyaan kalian. Sri baginda telah mengangkat pangeran mahkota, dialah yang akan menggantikan dan coba jawab pertanyaan kami kenapa kalian datang dan meroboh robohkan pengawal?"

"Heh-heh, kami Sepasang Dewi Naga. Apakah kau pernah mendengar nama kami?" nenek di sebelah kiri menjawab, "Kami datang untuk menghomati sri baginda, menteri Kim, juga sekaligus meminta agar murid kami diangkat sebagai penggantinya!"

“Apa?!!” Kim-taijin terkejut. "Kalian gila? Kalian tidak waras?"

”Hmm, murid kami adalah seorang pangeran, taijin. Dan dia pantas menduduki tahta kerajaan. Mana pangeran mahkota yang diangkat dan siapa wakil yang bertanggung jawab tentang peralihan kekuasaan?"

"Aku," menteri Kim menggigil, "Aku yang bertanggung jawab atas peralihan kekuasaan, nenek siluman. Dan kau tak dapat berbuat sesuka hatimu karena sri baginda telah memutuskan penggantinya dalam sebuah surat wasiat."

"Mana surat itu?" nenek ini marah. "Biar kurobek dan tidak berlaku. Pilihan kaisar salah, harus diganti dan muridku inilah yang lebih berhak. Hei, kalian para menteri dan perwira, siapa yang ingin melawan dan tidak menuruti kehendakku? Siapa yaag hendak membangkang?”

Para menteri dan perwira gentar. Tentu saja mereka tak berani melawan, dua nenek itu terlalu sakti. Tapi Kim-taijin yang tidak takut dan marah dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba mengedikkan kepalanya. "Nenek iblis, tak ada seorang pun di sini yang akan menyetujui tindakkan mu. Dan kalau kau bertanya siapa yang akan melawan dan membangkang kehendakmu maka akulah orangnya. Kau boleh bunuh aku dan paksakan kehendak mu, tapi tak mungkin tahta kerajaan jatuh ditangan muridmu karena perbuatanmu tidak disetujui rakyat, tidak sah!"

"Keparat" nenek itu membentak. "Kalau begitu kau boleh mampus, menteri busuk pergilah!" dan tubuh Kim-taijin yang terangkat naik dan terlempar roboh akhirnya terbanting dan tergulıng-guling membentur peti jenasah, suaranya gedobrakan.

Tapi menteri tua itu mampu bangkit kembali, dengan gagah dia terhuyung menghampiri... dipukul lagi dari jarak jauh dan akhirnya laki-laki tua ini terlempar lagi tapi bangun lagi, dihajar lagi dan begitu berulang-ulang hingga menteri itu akhirnya mengeluh dan menggeletak, hidung dan mulutnya penuh darah, pakaiannya sudah tak keruan lagi karena robek-robek menerima pukulan lawan, nenek Dewi Naga sengaja tidak membunuhnya sekaligus untuk menakut-nakuti yang lain, рага menteri dan perwira serta pengawal yang terbelalak melihat itu, ngeri. Dan ketika nenek ini terkekeh dan menteri itu tak dapat bangun lagi kecuali merintih dan mengerang tanpa pertolongan maka dua nenek ini menghadapi kembali semua orang yang ada di ruangan itu.

"Nah, siapa berani unjuk gigi? Aku akan menyiksa kalian seperti si tua bangka ini, hidup tidak mati pun belum. Ayo maju yang ingin dihajar!"

Semua orang mengkeret.

"Kalau begitu kalian ikuti perintahku. Yang tidak ingin dibunuh harus berlutut dan beri hormat kepada muridku, pangeran Togur!”

Semua orang tib-tiba berlutut. Dalam hal ini tidak ada seorang pun yang tidak mencari selamat, semua menteri dan perwiran menjatukan diri berlutut. Tapi karena anak lelaki itu berdiri di depan peti jenasah dan kebetulan yang berlutut menghadap ke peti itu maka sepintas ada kesan bahwa semua yang berlutut hormat pada jenazah kaisar.

"Sekarang tirukan kata-kataku!" nenek itu bicara lagi. "Nyatakan bahwa kalian setia kepada dia muridku dan bahwa pangeran Togur menggantikan kaisar!”

Semua mulut bicara tak jełas. “Heh, katakan bahwa pangeran Togur adalah kaisar!!”

Semua mulut bersatu bicara dan serentak. Tapi belum nenek ini mendengar suara yang dimaksud tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, muncul di Ruang Agung.

"Nenek siluman, tak ada seorang pun di tempat ini yang akan mengikuti perintahmu. Hayo semua bangun dan berdiri!" dan begitu seorang pemuda muncul dan membentak maka teriakan dan sambutan girang terdengar disana sini.

“Kim mou-eng...!”

“Pendekar Rambut Emas!“

Dua nenek itu terkejut. Kim Mou Eng, sang Pendekar Rambut Emas tiba-tiba ada di situ berdiri tegak diantara para menteri dan perwira, gagah memandang mereka dan mata yang bersinar-sinar menunjukkan kemarahan. Dua orang nenek itu tertegun. Tapi ketika mereka sadar dan mendadak kaget, tiba-tiba mereka berkelebat dan berdiri didepan pendekar tampan itu.

"Heh, kau tak ingat hajaran kami tempo hari, Kim-mou-eng? Berani datang dan membuat onar?"

"Hm, yang membuat onar adalah kalian, nenek iblis. Di sini dan di mana-mana kalian selalu mengacau. Pergilah, jangan membuat ribut atau aku akan menghadapi kalian!"

"Heh-heh!" dua nenek itu saling pandang mata berkilat-kilat. "Kau sombong, Kim-mou-eng. Congkak! Kepandaian apa yang hendak kau pamerkan di sini? Tidakkah kau ingat ketika kami menghajarmu dan memberimu umur panjang?"

"Aku hidup karena kekuasaan Tuhan, nenek iblis, bukan karena kalian memperpanjang umurku. Kalau kalian tak mau pergi dan tetap mengacau maka kali ini pun aku siap menghadapi kalian dan tak gentar meskipun kalian memiliki kepandaian lebih tinggi!"

"Keparat! Bagus, kami sekarang akan membunuhmu....!" tapi belum seorang di antaranya bergerak marah tiba-tiba Togur, anak laki-laki tiga tahun itu berseru, baru kali ini bicara panjang,

"Subo, tunggu! Biar aku menghadapinya!" anak itu sudah berkelebat menghadapi Kim-mou-eng. "Kaukah Kim-mou-eng?" tanyanya bersinar-sinar. "Kau paman guru ku? Kau yang membuat ayahku menderita?"

Kim-mou-eng tertegun, teringat anak yang dulu dibawa dua nenek iblis itu. "Kau Togura?"

"Ya, aku Togur, Kim-mou-eng. Dan kau ternyata telah merampas pula kepemimpinan ayahku di bangsa Tar-tar!"

Kim-mou-eng terkejut.

"Berlututlah!" anak itu menyambung. "Kau harus menerima hukuman, Kim-mou-eng. Dan serahkan pimpinan kekuasaan bangsa Tar-tar kepadaku!”

"Hm!" Kim-mou-eng tersentak, membelalakkan matanya lebar-lebar. "Kau tak tahu aturan, Togur. Beginikah sikapmu kepada paman guru? Kau seorang anak, semestinya kau menghormat yang tua dan tidak kurang ajar. Ini tentu hasil didikan subomu yang sesat!" dan marah memandang sepasang nenek itu Kim-mou-eng membentak, "Nenek iblis, kalian membuat putera suhengku tak karuan. Kalian harus mengembalikan anak ini kepadaku agar dapat kudidik baik. Lihat, dia rusak dan sesat seperti kalian!'"

“Heh-heh, yang tak keruan adalah kau, Kim-mou-eng. Muridku telah memerintah agar kau berlulut. Berlututlah, serahkan kekuasaanmu pula dan biar bangsa Tar-lar dipimpin muridku!"

“keparat!" Kim-mou-eng marah. "Kalau begitu bocah ini harus ku ambil, nenek jahat. Kalian tak boleh mendidiknya lagi dan biar kubawa. Kim-möu-eng yang menggerakkan tangan menyambar anak itu tiba-tiba bergerak, mau merampas Togura tapi si boçah berkelit. Kim-mou-eng terbelalak, bergerak dan menyambar lagi dan Togur, anak laki-laki itu tiba-tiba menangkis. Kim-mou-eng mendengus dan anak itu terpental. Togura menjerit karena lengannya bengkak, Kim-mou-eng memang menghajarnya tadi. Dan ketika pendekar ini mau menyambar lagi dan menangkap bocah itu tiba-tiba sebuah lengan lain terulur dan menangkis pendekar ini.

"Kim-mou-eng, enyahlah... dukk!" dan Kim-mou-eng tergetar dan terdorong dua tindak tiba-tiba sudah berhadapan dengan Ji-moi, nenek kedua yang menyeringai dengan nafsu membunuh! "Kau berani mati?" pertanyaan itu dingin menyeramkan. "Kau ingin mati dengan cara apa?"

Kim-mou-eng menyadari keadaan. "Nenek jahat, tak ada yang dapat menentukan mati hidup di sini. Kalau kalian tak mau menyerahkan murid keponakanku, aku akan merampasnya dari kalian. Dan aku akan melawan kalian sampai titik darah penghabisan!"

"Bagus, kalau begitu jangan banyak bicara, Kim-mou-eng. Terimalah pukulanku dan mampuslah... wuutt!" dan si nenek yang sudah menyerang dan menggerakkan tangannya ke depan tiba-tiba menghantam dan mendorong tubuh pendekar itu, angin pukulan dingin bersiut tajam dan Kim-mou-eng mengelak. Lawan membentak dan menyerang lagi. Dan karena ruangan itu sempit dan terpaksa Kim-mou-eng menangkis maka dia pun menggerakkan lengan menerima pukulan itu, mengerahkan sinkangnya.

"Dukk!" Kim-mou-eng kembali tergetar. Untuk kedua kali dia terdorong, kali ini lebih jauh, hampir empat langkah. Tapi Kim-mou eng yang tak takut dan gentar sedikit pun juga tiba-tiba melengking dan balas menyerang nenek itu, berkelebat dan mengerahkan Tiat-lui-kangnya dan segera pukulan berhawa panas menyambar, dielak dan Kim-mou-eng mengejar. Dengan cepat dan bertubi-tubi ia menyusuli serangannnya, si nenek Iihai mendengus dan menampar.

Dan ketika dua tenaga kembali beradu dan Kim-mou-eng terhuyung akhirnya pendekar ini berseru keras mencabut senjatanya, sebuah pit hitam dan segera senjata pendek di tangannya itu bergerak ke sana ke mari dengan amat cepatnya, menotok dan menggores dan Ji-moi menggeram. Nenek sakti ini menampar dan memukul. Tapi karena Kim-mou-eng menggerakkan lengan kirinya pula melancarkan pukulan-pukulan Petir, Tiat-lui-kang, akhirnya nenek ini mendesis dan marah menerima semua serangan-serangan itu.

Pit mental bertemu tubuhnya dan si nenek pun membal. Dan karena kepandaian nenek itu demikian tingginya dan betapapun Kim-mou-eng menyerang selalu saja pukulannya membalık atau pit di tangannya terpental maka serangan Kim-mou-eng mulai kandas dan pendekar itu pun mengeluh.

"Heh-heh, untuk orang lain mungkin Tiat-lui-kang mu sudah hebat, Kim-mou-eng. Tapi untuk diriku tak mampu berbuat apa-apa!"

kim-mou-eng gelisah. Memang apa yang dikata nenek ini benar. Tiat-lui-kangnya, pukulan Petir, diterima begitu saja oleh nenek ini, meledak tapi tak apa-apa dan si nenek pun tak roboh. Bahkan nenek itu serasa diusap pukulan hangat yang membuat tubuhnya segar, terkekeh-kekeh dan Kim-mou-eng pucat dan ketika pit di tangannya menyambar ke mata dan si nenek mengelak maka dengan cepat pula nenek itu menyamplok. "Plak...!“

Sepasang Cermin Naga Jilid 02

SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"KONGCU, mari. Bukankah kau ingin pulang? Kota raja ke Ming-ciang tak berapa jauh, aku akan ikut dan mengantarmu."

Kwee Han sadar, buru-buru melepaskan tangan-tangan yang lembut itu, yang membuat tengkuknya meremang! "Tidak... jangan, biarkan aku sendiri, nona. Aku dapat pulang sendiri dan tak perlu diantar!"

"Aku Siong-hi, panggil namaku Siong-hi, kongcu. Aku tak berani membiarkanmu sendiri dan marilah, dengar kereta sudah datang!"

Benar saja, di luar terdengar suara ketepak kaki kuda. Khek-taijin muncul dan seorang kusir menjatuhkan diri berlutut, Khek-taijin sendiri melipat punggung. Dan ketika Kwee Han tertegun dan terbelalak memandang mereka Khek-taijin sudah berseru, "Kongcu, kereta sudah kami siapkan. Kalau kongcu ingin pergi silahkan. Sais ini dan Siong-hi akan mengantar!"

"Ah, tak usah repot," Kwee Han mau menolak. "Aku dapat pulang sendiri, taijin, dan juga tak perlu diantar!"

"Tidak, aku tak berani, kongcu. Kalau sribaginda mendengar tentu aku mendapat hukuman. Biarlah kongcu naik kereta dan beberapa pengawalku juga akan menjaga di perjalanan." lalu memberi isyarat agar kusir mendekatkan keretanya menteri ini menghampiri Kwee Han, mempersilahkan dan menggandeng lengannya lembut, disisi yang lain Siong Hi juga merangkul lengan pemuda itu, jadilah Kwee Han diapit dan dituntun.

Dan ketika Kwee Han tak dapat menjawab dan gugup serta merah mukanya maka Khek-taijin sudah membawa pemuda itu ke dalam kereta, yang ternyata di dalamnya sudah penuh dengan barang-barang hadiah, emas dan uang serta kain sutera.

"Kongcu, sayang kau bersikeras tak mau disini. Tapi sudahlah, hormat dan pujiku untukmu. Sedikit barang-barang ini barangkali dapat membuat kongcu senang, jangan ditolak dan selamat jalan!" pembesar itu menjura, hormat dan manis dan Siong-hi pun sudah mendahului naik ke dalam kereta. Di situ gadis ini duduk dan mengulurkan lengannya, menyuruh Kwee Han naik pula. Dan ketika Kwee Han duduk dan langsung dipepet maka jantung pemuda ini berdebur kencang disambut tubuh hangat dan senyum yang tak pernah meninggalkan mulut manis itu.

“Taijin, kami barangkali akan jalan-jalan dulu, keliling kota raja. Kalau Kwee-kongcu tak keberatan aku akan mengajaknya ke tempat-tempat indah agar tahu bagaimana isi kota raja sebenarnya."

"Ah, baik, tentu boleh! Benar, Siong-hi, tunjukkan tempat-tempat indah pada Kwee-kongcu kalau dia suka!" Khek-taijin tertawa, kali ini mendapat kerling rahasia dari pelayannya itu dan tirai pun ditutup.

Kini Kwee Han berada di dalam kereta berdua dengan pelayan cantik itu, pemuda ini hampir tak berani bergerak saking tegangnya dipepet seperti itu. Maklum, Siong-hi selalu menggeser tubuhnya seolah tak sengaja dan memberikan lengan dan pundaknya yang halus di tubuh pemuda itu, tentu saja membuat aliran darah di tubuh pemuda ini semakin gencar. Dan ketika kereta dihentak dan beberapa pengawal melompat di atas punggung kudanya maka kereta pun bergerak dan tiga pengawal mengikuti di belakang.

Suara kaki kuda meluncur di jalanan yang halus itu. Kwee Han sudah dibawa, pengawal mengiring dan Siong-hi mulai mengajak bercakap-cakap. Lincah dan memikat gadis ini mengajak tamunya bicara, mula-mula persoalan ringan dan lucu. Menceritakan kehidupan di kota raja dengan penduduknya yang beraneka ragam, keberhasilan kaum hartawan dan juga pemerintahan yang baik dari kaisar dan para pembantunya. Nama Khek-taijin tak disebut-sebut, begitu juga Cu-wangwe. Gadis ini mengajak bicara soal lain, tak ada hubungannya dengan dua orang itu. Dan ketika perjalanan mulai kencang dan küsir mencambuk kuda berulang-ulang mendadak gadis ini membuka tirai kereta dan berseru.

"Paman Sam, jangan cepat-cepat. Kami tak ingin buru-buru!"

Kereta mulai perlahan kembali. Kini gonjangan tak sekeras tadi, kereta berjalan perlahan. Siong-hi pun melanjutkan pembicaraannya. Dan ketika gadis itu bercerita tentang beberapa tempat wisata yang ada di sekitar kota raja dan indah indah maka mulailah ia membujuk.

"Ada Telaga Tiga Naga. kongcu. Sudahkah kau dengar nama ini dan melihatnya?"

"Belum."

"Aih, sayang. Kau perlu melihatnya. Telaga ini indah, kongcu, juga romantis. Airnya tiga warna hijau, kuning dan merah."

"Masa?" Kwee Han mulai tertarik. "Ada telaga begitu rupa, Siong-hi?"

"Ya, dan banyak pelancong serta bangsawan menikmati telaga ini, kongcu. Bahkan berhari-hari mereka tinggal dan menginap di situ. Konon siapa dapat berendam satu jam saja di air telaga itu maka keberuntungan pun bertambah!"

"Ah, ada-ada saja," Kwee Han tertawa. "Itu omong kosong belaka, siong-hi. Aku tak percaya."

"Kongcu tak percaya? Mau bertaruh?"

"Eh!" Kwee Han terkejut. Bertaruh bagaimana? Aku tak punya apa-apa, Siong-hi, aku nelayan miskin!"

"Tidak, bukan bertaruh uang, kongcu, melainkan taruhan lain. Misalnya, hi-hik... main gendongan atau apa. Siapa kalah dia menggendong dan siapa menang dia digendong. Aku juga pelayan dan tak punya uang!"

Kwee Han terkesiap. Apa yang diucapkan gadis ini membuat mukanya tiba-tiba merah, jantungnya seketika berdetak dan dia pun menelan ludah. Gadis itu berani. Tapi karena Siong-hi menunjukkan kewajarannya dan kata-kata itu pun bernada kekanak-kanakan akhirnya Kwee Han tertawa dan menenangkan degupan jantungnya tadi, dan berkata, "Siong-hi, kau lucu. Kenapa main taruhan seperti anak-anak? Kalau aku menang tentu kàu pun tak sanggup menggendong aku. Ha-ha, tak mungkin!"

"Siapa bilang?" gadis itu tiba-tiba menantang. "Tubuhmu paling-paling enam puluh kilo, kongcu. Dan aku sudah biasa mengangkat air enampuluh atau tujuh puluh kilo!"

Kwee Han tertegun. "Untuk apa?"

"Mengisi bak mandi!" dan Siong-hi yang tertawa dengan suara lepas tiba-tiba terguncang ketika roda kereta terantuk batu, terpekik dan entah sengaja atau tidak mendadak tubuhnya terguling, tepat sekali di pangkuan Kwee Han. Dan mencengkeram paha pemuda ini dan Kwee Han berjengit. Miliknya yang paling berharga hampir tersentuh! Dan ketika Siong-hi mengeluh dan tampak kaget maka dengan tersipu-sipu dan muka merah gadis itu meminta maaf.

"Tak apa," Kwee Han menggigil, panas dingin. "Jalanan rupanya berbatu, Siong-hi. Sudahlah, jangan salahkan kereta dan tenanglah," Kwee Han teringat pelukannya, tadi memeluk gadis itu dan kini melepas Siong-hi. Rambut yang harum dan tubuh yang lunak hangat lebih dirasakannya lagi, apalagi dia tadi hampır "kesetroom". Meremang Kwee Han. Dan ketika kereta kembali barjalan dan ketepak kaki kuda berirama rata dan datar tiba tiba Kwee Han yang tertarik akan Telaga Tiga Naga itu minta ke sana, sekedar melihat-lihat.

"Jadi Kongcu mau ke sana?" Siong-hi girang. "Mau berendam dan mencoba keberuntungan?"

"Ah sekedar melihat keindahannya saja, Siong-hi. Dan lagi rupanya kau ingin menunjukkan benar keindahan telaga itu."

Siong-hi berseru keluar kereta, membuka tirainya. "Belokkan kereta ke Telaga Tiga Naga, paman Sam. Kwee-kongcu ingin melihat dan mau ke sana!"

"Apa?"

"kwee-kongcu ingin melihat keindahan telaga, paman Sam. Arahkan kereta ke sana dan jangan buru-buru!"

"Baik," dan kereta yang berderap lembut dan tampak diputar tiba-tiba dilecut dan mencongklang lagi, menuju ke timur dan Siong-hi tertawa-tawa.

Ada kegembiraan dan kesenangan besar di hati gadis ini. Tamunya berhasil dibujuk, Kwee Han terpengaruh. Dan ketika Siong-hi kembali mengajak bercakap cakap dan kali ini pembicaraan tertumpu pada Telaga Tiga Naga maka Siong-hi mulai lebih berani daripada tadi dan bertambah berkesan manja. Kwee Han menanya dari mana gadis itu sebenarnya berasal, ternyata ayah gadis ini adalah bekas seorang nelayan pula, sudah meninggal dan kini ibunya tinggal di desa, hidup dari sebidang tanah yang dimiliki keluarganya.

Dan ketika Kwee Han terharu karena Siong-hi ternyata juga berasal dari keluarga miskin tiba-tiba mereka menjadi akrab dan tanpa terasa pemuda ini terseret oleh daya pikat Siong-hi. Kwee Han balas memegang lengan orang dan tanpa terasa rasa haru menjadı rasa suka. Dan ketika rasa suka itu berkembang menjadi rasa cinta dan entah kenapa Kwee Han jatuh sayang pada gadis ini, mendadak di saat kereta sudah mendekati Telaga Tiga Naga sekonyong-konyong gadis itu berani merebahkan dirinya di dada Kwee Han dan menangis.

"Aku gadis tak beruntung kongcu. Sungguh bahagia kalau kau menaruh perhatian begini besar kepadaku!"

"Hm..." Kwee Han mengusap rambut kepala itu. "Jangan bersedih, Siong-hi. Aku juga tahu rasanya miskin dan kekurangan. Sudahlah, bangunlah dan hapus air matamu, nanti orang bertanya-tanya, tak enak nanti."

"Tapi setelah ini kita berpisah, kongcu tentu tak ingat aku lagi dan tak akan mengenal Siong-hi!"

"Siapa bilang? Aku tetap mengenangmu, Siong-hi. Kau gadis baik dan...."

Kereta berhenti, sang kusir berteriak dan Kwee Han menghentikan percakapan. Lelaki tua itu memberi tahu bahwa mereka sudah tiba di telaga tujuan, Siong-hi menyingkap tirainya dan Kwee Han tertegun. Sebuah telaga terpampang di depan jendela kereta, luas gemerlapan dengan airnya yang berwarna-warni, hijau kuning dan merah.

Dan ketika Kwee Han bengong dan Siong-hi tersenyum lebar tiba-tiba air mata itu sudah dihapus dan gadis ini melompat turun, menyeret Kwee Han sadar. Diseret dan disambar tangan-tangan yang halus itu dia tergugah, Telaga Tiga Naga ternyata telaga yang indah, air di tepinya beriak, pohon-pohon banyak di sekeliling tempat itu dan beberapa rumah pun dibangun di sana-sini. Sungguh asri. Dan ketika Siong-hi tertawa dan tiga pengawal berkuda mendekat dan meloncat turun maka Kwee Han tersipu dan tiba-tiba merasa terganggu.

"Kongcu, silahkan perintah kami dengan apa saja. Butuh perahu atau ingin memancing?"

Kwee Han mengerutkan kening. "Bisakah mereka pergi?" bisiknya pada Siong-hi. "Aku risih dengan kehadiran mereka, Siong-hi. Tempat ini indah dan aku tak ingin banyak orang!"

"Tentu," Siong-hi tersenyum, mengangguk. Lalu menghadapi tiga, pengawal itu dia memberi kedipan, "Lui-toako, tolong jangan ganggu kami. Kongcu minta kalian pulang dan pergilah!”

Tiga pengawal terkejut. "Bagaimana kata Khek-taijin nanti?”

"Aku yang bertanggung jawab, katakan Kwee-kongcu tak nenghendaki kalian dan merasa aman disini."

"Baiklah, begitukah, kongcu?" lalu ketika Kwee Han mengangguk dan sedıkit memerah melihat pengawal itu senyum penuh arti tiba-tiba para pengawal itu membungkuk, memberi hormat dan akhirnya meloncat di atas punggung kudanya masing-masing. Dan begitu sang pemimpin menggeprak dan memutar kudanya akhirnya tiga pengawal itu pergi dan Siong-hi tertawa.

"Mengganggu saja," ujarnya. "Bukankah sekarang kita dapat lebih bebas, kongco? Kau mau apa? Memancing atau berperahu?"

"Aku ingin melihat-lihat mungkin juga berperahu."

"Atau mancing?"

"Di Ming-ciang aku sering menangkap ikan, Siong-hi. Rasanya tak suka itu dan biar aku berjalan-jalan dulu."

“Baik..." dan Siong-hi yang mengikuti serta melempar kerling pada sang kusir berkata, "Lopek (paman), tolong kau tunggu kami di sini. Awas barang barang di kereta, jangan sampai hilang!" dan ketika sang kusir-mengangguk dan Siong-hi berjalan bersama Kwee Han akhirnya tanpa malu-malu atau likat-likat lagi gadis ini sudah menyambar lengan pemuda itu, memeluk dan menggandengnya dan segera Kwee Han tidak menolak.

Setelah "warming-up" di dalam kereta tadi Kwee Han sudah mulai biasa, gerak dan daya pikat si pelayan cantik ini telah menembus hatinya. Dan ketika mereka mulai berjalan berdua dan kemesraan mulai tampak dibalas pemuda itu maka Siong-hi bersikap genit dan mengeluarkan tehnik pergaulannya, lincah dan ceria dan tak lama kemudian gadis ini mengajak ke tempat-tempat rimbun. Di situ memang banyak pepohonan besar-besar. Kalau berduaan dan jalan bersentuhan tubuh tentu tak banyak mata melihat, tempat itu memang romantis.

Dan ketika Kwee Han menjadi gembira dan percakapan demi percakapan membuat pemüda itu merasa cocok dan seakan mabok didampingi si cantik maka tak lama kemudian pemuda ini jatuh dalam cinta pertamanya, balas memeluk dan merangkul dan tak lama kemudian mereka pun mulai berciuman. Mula-mula Kwee Han menggigil. mencium satu kali nyaris luput. Lucu!

Tapi ketika Siong-hi "membetulkan" dan keduanya sama terkekeh akhirnya siang itu Kwee Han tak meneruskan perjalanan, memenuhi permintaan Siong-hi agar tinggal dulu beberapa hari di situ. Menginap di sebuah losmen dan Kwee Han gembira. Disini terjadi "malem pertama" bagi Kwee Han, mabok pemuda itu dan karena Siong-hi pandai memikat dan Kwee Han jatuh cinta akhirnya pemuda ini malah tak mau kembali ke Ming-ciang!

"Khek-taijin dapat mengatur teman temanmu di sana. Percayalah, setelah taijin tahu siapa kau tentu tak berani dia main gila dan nasib teman-temanmu pasti diperhatikan. Kudengar Cu-wangwe diusir pergi, hartawan itu memang buruk dan tamak!"

"Ya, aku tahu. Tapi aku harus kembali, Siong-hi. Teman-temanku tentu menunggu beritaku dan ingin tahu keselamatanku."

"Ah, dapat kukirim kabar, Kwee-koko. Aku akan membantumu dan tak perlu kau khawatır,"

Siong-hi kini menyebut Kwee-koko (kanda Kwee), sebutan romantis yang membuat Kwee Han mendekap dan memeluk gadis. itu. Dan ketika Siong-hi berkata bahwa tak perlu dia kembali dan biar nasib teman-temannya diatur Khek-taijin melalui pembantu-pembantunya maka Kwee Han mengangguk dan mencium kekasıhnya ini, mesra.

"Baiklah, tapi masa kita akan terus di sini, Siong-hi? Bukankah aku perlu tempat tinggal?"

"Aih, ini pun tak perlu repot-repot, koko. Hadiah dan uang dari Khek-teijin dapat dipergunakan sebaik mungkin. Kau dapat membeli rumah di kota raja, membuka toko dan berdagang, Dan aku akan setia membantumu!"

"Membuka toko? Berdagang?"

"Ya, habis apalagi? Kain dan segala macam hadiah itu dapat dijual, koko. Dan aku akan mendampingimu. Kalau ada perlu apa-apa tentu Khek-taijin dapat menolong lagi, apa pun yang kau minta pasti kau dapat. Aku yakin!"

Kwee Han mengangguk angguk. Dia gembira. percaya itu. Cincin yang dikenakan itu membuat menteri Khek jerih, tersenyumlah dia dan teringatlah dia akan si pemberi cincin itu, tertawa. Dan ketika dia setuju dan Siong-hi sang kekasih menjamin kehidupan teman-temannya di Ming-ciang lewat Khek-taijin akhirnya pemuda ini ternina-bobokan dan mabok dalam pelukan Siong-hi, seminggu berada di Telaga tiga Naga dan akhirnya tak jadi kembali ke Ming-ciang. Dia tak tahu apa yang terjadi di kota kecilnya itu, membelı rumah di kota raja dan membuka toko, berdagang.

Khek taijin lagi-lagi membantu dan memberi banyak hadiah lagi, nyaris isi toko pemuda ini pemberian menteri itu. Dan ketika beberapa bulan kemudian Kwee han mempererat cintanya dengan siong-hi dan akhirnya menikah, maka nelayan muda yang kini kaya-raya itu hidup enak dan tenggelam dalam kebahagiaan bersama Siong-hi, juwitanya.

* * * * * * * *

Seruan itu terdengar dı tempat indah di sebuah lembah. Seorang wanita cantik, cantik manis, membangunkan seseorang yang sedang bersila, duduk sejak malam dan pagi itu wajahnya disiram embun, membuka mata dan menyorotlah sepasang cahaya lembut dari pria ini, pria tampan dengan rambut keemasan. Dan ketika wanita itu tertawa dan mengguncang pundaknya maka pria gagah ini melompat bangun.

"Kau mengganggu orang bersamadhi?"

"Hi-hik, kau tidak bersamadhi, suheng. Kau melamun dan tersenyum-senyum. Jangan bohong. kau sadar sejak tadi. Hayo, apa yang kau pikir?"

Wanita itu, si cantik, menggelandot manja, dipeluk dan akhirnya menerima sebuah ciuman, mendarat di bibirnya dan wanita ini mengeluh. Senyum dan sinar kebatinan jelas benar terlihat di wajahnya itu. Dan ketika si pria menarik napas dan melihat daging panggang diatas api unggun tiba-tiba ia tertegun.

"Kau membakar daging kelinci?"

"Ya, kusambar di hutan, suheng. Aku pingin dan ingin mengajakmu sarapan!"

“Tapi kularang kau membunuh binatang lucu itu. Kelinci di sini tinggal sedıkit, sumoi. Jangan lakukan lagi dan biar kita makan daging yang lainnya saja! Ah, kau aneh, sumoi. Selamanya suka membantah dan bandel. Sudahlah, jangan menangkap binatang itu lagi dan penuhi permintaanku ini!"

Aneh sekali, wanita itu tiba-tiba terisak "Suheng, kau tak sayang padaku?"

Sang suheng, pria tampan ini terkejut. "Apa?" tanyanya heran. "Tak sayang lagi? Ha-ha, ada-ada saja kau ini, sumoi. Kalau tak sayang tentu tak menikah. Aku tetap sayang dan kasih padamu, lihatlah!" pria ini menyambar pinggang yang ramping itu, mengangkatkannya dan mulut tahu-tahu menempel di bıbir yang sedang cemberut itu. kecup lembut terdengar di sini dan si wanita itupun mengeluh. Tapi ketika bibir itu hendak dicium lagi dan pria ini terengah, mendadak wanita menolak.

“Sudah… tidak mau...!”

"Kenapa?"

“Aku masih ingin menangkap kelinci beberapa ekor lagi, suheng. Dan kau tentu marah!"

"Hm." pria ini tiba-tiba tak senang. "Kelinci di sini jangan dihabiskan, sumoi. Aku melarang karena ingin agar mereka berkembang-biak. kenapa ngotot dan ingin menangkapi lagi? Bukankah ada makanan lain selain itu? Ayam hutan umpamanya, atau harimau!"

"Aku tak suka, aku sedang ingin yang ini!"

"Dan menghabiskan mereka semua?"

"Tidak, tapi... ah, kau tak mengerti, suheng, Kau tak mengerti...!" dan wanita itu yang menangis memutar tubuhnya tiba-tiba meloncat pergi dan marah-marah.

Pria ini tertegun, memanggil tapi tak di hiraukan dan pertengkaran tiba-tiba mulai terjadi. Dia tak suka isterinya itu, wanita cantik itu, menangkapi dan membunuh-bunuhi kelinci di situ. Beberapa bulan ini isterinya menurut tapi pagi itu tiba-tiba berobah. Setelah sekian lama jinak kini mendadak melanggar, tentu saja dia marah. Dan ketika dia tertegun mengerutkan kening dan terganggu oleh masalah kecil ini tiba-tiba seorang wanita setengah baya muncul.

"Kau tak tahu, Taihiap. Isterimu sedang Ngidam. Janganlah marah dan bersikaplah yang lembut."

"Apa?" pria ini terkejut. "Ngidam, uwak Chi? Dia..."

"Ya... dia hamil muda, taihiap. Tadi pagi memberi tahu padaku dan biarkanlah dia melakukan sesukanya," wanita setengah baya itu memotong. "Karena itu, janganlah marahi dia dan bersikaplah sabar!"

"Ohh...! dan begitu pria ini sadar tiba-tiba dia berkelebat tertawa lebar. "Sumoi, tunggu. Aku mengerti!" dan lenyap dari depan wanita tua itu. Pria tampan ini mengejar isterinya, melihat istrinya menangis di balik sebatang pohon, daging panggang di sana terlupa dan cepat dia menyambar islerinya itu.

Dan ketika isterinya terbelalak dan menepis meronta tiba-tiba laki-laki itu sudah mendaratkan ciuman bertubi-tubi. "Ha-ha, kenapa tidak bilang, sumoi? Siapa tahu kau akan menjadi calon ibu? Wah, jangankan berapa ekor, biar semua kelincı kau habiskan di sini aku tak marah lagi, isteriku sayang. Ayo kembali dan nikmati kelinci panggang itu...!" pria ini memutar-mutar tubuh isterinya, diangkat dan digoda dan sang isteri tiba-tiba cemberut. Dia malu namun girang. Dan ketika dia bertanya dari mana suaminya tahu, maka di jawab dengan tertawa bergelak,

“Uwak Chi, dialah yang memberi tahu dan aku kini mengerti mengapa sikapmu demikian aneh..." dan ketıka pria itu menurunkan isterinya itu sang isteri malu-malu mencium suaminva maka pria ini terbahak membawa isterinya ke tempat semula, dalam satu lompatan yang mengagumkan. "Sumoi, kau seharusnya memberi tahu ini langsung, kenapa uwak Chi dulu? Ah, kau harus dihukum. Ayo habiskan paha dan daging nikmat ini...!"

Dan si suami yang menjejali mulut isterinya dengan paha kelinci dan daging yang montok akhirnya disambut ketawa geli wanita cantik ini, menolak dan justeru memberıkan daging itu kepada suaminya, ditolak tapi akhirnya dikembalikan lagi. Dan ketika masing-masing coba memberikan agar yang lain makan dulu maka wanita ini berkata,

"Suheng, kalau kau sayang padaku tak boleh kau menolak lagi. Ini permintaan terakhir dari si jabang bayi. Kau gigit dulu dan baru setelah itu aku!”

"Ha-ha... begitu? Baik sumoi, demi si jabang bayi membuat aku kalah!" dan si pria yang menggigit paha kelinci dan ganti menyerahkan sisanya pada si wanita lalu tertawa bergelak dan mendaratkan kembali dua ciuman sayang, begitu bahagia dan gembira dan kali ini mereka sama-sama tertawa menikmati kelinci panggang itu.

Si pria merangkul dan memeluk isterinya sementara tangan menggoda mengusap nakal perut isterinya itu. Perut itu telah berisi keturunan mereka. Buah kasih mereka, alangkah senangnya. Dan ketika pagi itu masing-masing menikmati daging panggang dengan tersenyum serta tertawa bahagia maka uwak Chi, wanita setengah baya yang melihat semuanya itu dari kejauhan mengusap dua titik air matanya tanda haru dan turut bahagia.

Siapakah mereka ini? Sudah kita kenal, bukan lain Kim-mou-eng dan isterinya, Salima. Dulu dalam kisah Pedang Tiga Dimensi telah kita ketahui bahwa mereka akhirnya menikah. Kim-mou eng atau Pendekar Rambut Emas itu pulang ke tengah-tengah suku bangsanya, bangsa Tar-tar. Tapi karena kehidupan ditengah-tengah suku bangsa itu terlalu ramai dan hiruk maka Kim-mou-eng mengajak isterinya mencari tempat sendiri, di lembah itu di mana sebuah sungai mengalir tenang dengan airnya yang jernih, tak begitu jauh dengan pusat suku bangsanya, betapapun Kim-mou-eng adalah pemimpin bangsa itu setelah mendiang suhengnya yang gagah tewas, Gurba si raksasa tinggi besar.

Dan karena mereka telah menjadi suami isteri dan Salima atau si Dewi Bertangan Besi ini membantu suaminya maka tak ada bangsa-bangsa lain yang berani mengganggu bangsa Tar-tar itu. Siapa berani mengganggu? siapa berani coba-coba main api dengan Kim-mou-eng dan suku bangsanya? Tak ada. Hal itu sama dengan coba-coba memelintir kumis singa!

Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas adalah seorang tokoh yang disegani, begitu juga sumoinya, wanita yang telah menjadi isterinya itu. Dan karena mereka merupakan orang-orang hebat dengan kepandaian tinggi maka selama ini bangsa Tar-tar hidup aman dan damai, apalagi setelah Kim-mou-eng tak meninggalkan suku bangsanya lagi, ngemong dan memimpin bangsanya dengan bijak, sering mengarahkan dan mengendalikan suku bangsanya yang suka berperang ini, pernah hancur ketika menyerang kota raja. Nyaris menjadi bangsa yang punah kalau tidak diselamatkan Kim-mou-eng.

Peperangan demi peperangan menjadikan bangsa ini keras dan tegar, juga cenderung kasar. Tapi setelah Kim-mou-eng tinggal di situ dan pendekar ini dikenal sebagai pendekar yang lembut dan berhati lunak maka bangsa Tar-tar seakan harimau jinak yang patuh dan tunduk di bawah Pendekar Rambut Emas itu. Tidak seperti misalnya ketika dipimpın Gurba, mendiang suheng Kim-mou-eng yang tewas akibat perbuatan sendiri. Semuanya itu sudah diceritakan dalam kisah-kisah yang lalu.

Dan ketika pagi itu Kim-mou-eng mendengar isterinya hamil muda tentu saja pendekar ini girang dan senang. Beberapa bulan ini, sejak pernikahan mereka yang sederhana namun dihadiri kaisar, satu kehormatan bagi Kim-mou-eng dan suku bangsanya. Kim-mou-eng memang mendambakan hadirnya seorang anak. Dan dia agak gelisah. Tujuh bulan ini isterinya tak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Kim-mou-eng sering mengerutkan alis. Dia mendambakan seorang anak laki-laki, keturunan yang gagah dan yang tentu saja dicita-citakannya untuk menggantikan dirinya memimpin bangsa Tar-tar. Maka ketika beberapa bulan isterinya masih saja biasa dan baru pada pagi itu dia mendapat berita mendadak pendekar ini seakan kejatuhan ndaru dan senang bukan kepalang.

"Aku ingin anak laki-laki," begitu katanya berulang-ulang. "Kita didik dan gembleng anak kita agar menjadi patriot dan pemimpin bangsa!"

"Hm, kalau perempuan kenapa sih? Memangnya tak dapat melakukan hal-hal seperti yang biasa dilakukan lelaki? Kalau aku laki-perempuan sama saja, suheng. Asal sehat dan selamat serta panjang umur!"

"Ah, kau tahu apa? Gerak wanita tak sebebas laki-laki, sumoi. Aku ingin laki-laki karena leluasa dan bebas ke mana dia suka. Dan untuk pemimpin tentu saja aku lebih senang laki-laki daripada perempuan!"

“Huh, kalian laki-laki memang selalu mengunggulkan kaum sendiri. Kalau tak ada perempuan tentu laki-laki juga tak ada!"

"Ha-ha, jangan marah, sumoi. Aku hanya menyatakan pendapat semata demi kelangsungan hidup bangsa kita. Perempuan memang perlu. Tapi kasihan kalau harus memimpin dan melakukan tugas berat. Sudahlah, tak perlu kita cekcok dan nantikan saja apa kelak bayi kita, laki-laki ataukah perempuan!"

Begitulah, Kim-mou-eng telah menyatakan pendapatnya. Memang pendekar ini menginginkan anak laki-laki. Dan ketika pagi itu didengarnya Istrinya hamil maka kegirangan pendekar ini tak dapat dikata lagi. "Wah, apa kira-kira kelamin bayi kita ini?" pendekar itu teringat cekcoknya dulu. "Laki laki ataukah perempuan?"

"Mana aku tahu? Laki-perempuan bagiku sama saja, suheng. Pokoknya sehat dan montok!" isterinya menjawab.

“Ya. tapı aku ingin tahu, sumoi. Barangkali uwak Chi dapat menolong... heeii!" Kim-mou-eng menggapai. “Ke sini sebentar, uwak Chi. Ada pertanyaan untukmu!"

"Ada apa?" wanita itu mendekat. "Apa yang dapat kubantu?"

"Aku ingin tahu kelamin bayiku, wak. Dapatkah kau menolong?"

"Hm." wanita ini tersenyum. "Aku pribadi tak dapat Taihiap. tapi dukun Cani tentu bisa. Bagaimana kalau diperiksakan dia?"

"Dukun bayi itu? Ah, benar. Mari ke sana!" dan Kim-mou-eng yang melompat tertawa tiba-tiba menyambar isterinya.

"Heii...!" sang isteri terkejut. "Nanti dulu, suheng. Jangan buru-buru!"

"Ha-ha, aku terlampau girang, sumoi. Ayo cepat dan jangan buang waktu!"

"Tapi uwak Chi harus ikut, aku ingin dia bersama kita!"

"Wah, baiklah. Ayo, uwak Chi...!" dan Kim mou-eng yang tertawa menyambar uwak itu pula akhirnya terbang dan meluncur ke timur lembah. sepanjang jalan begitu gembira dan uwak ini berkali-kali mengeluh kaget. Dia disendal dan dibawa lari cepat, kaki sendiri tak menginjak tanah dan mengambang mirip peri, begitu juga dua majikannya yang tertawa-tawa di kiri kanan tubuhnya.

Tapi ketika mereka tiba di tempat dukun Cani dan di saat Kim-mou-eng melepas wanita itu maka uwak Chi menggigil mengusap keringat dingin . "Taihiap, terbangmu seperti iblis!"

"Ha-ha, jangan takut uwak. Aku bukan iblis meskipun terbangku sepertı iblis. Sudahlah, kita temui dan cari bibi Cani!"

Pendekar Rambut emas masuk ke rumah sederhana itu, disambut wanita tua yang rambutnya riap-riapan, pipi dan dahi berkeriput tapi cepat-cepat wanita tua itu memberi hormat ketika tahu siapa yang datang. Dan ketika Salima menyusul dan wanita itu tampak tertegun memandang perut Salima tiba-tiba dukun bayi yang rupanya awas dan tajam perasaannya ini berseru,

"Aıh, lihiap berbadan dua. Bangsa kita akan mendapat tamu baru!"

Salima terkejut. "Kau tahu, bibi? Dari mana?”

"Ah, wajahmu mengeluarkan sinar, lihiap. Dan bentuk pinggul serta buah dadamu berubah. Kau tampak lebih montok dan menggairahkan! Aih, apa maksud kalian ke mari? Ada apa?"

Salima tersipu, semburat. "Hm...." suaminya yang menjawab, berseri-seri. "Kami datang memang untuk itu, bibi Cani. Minta tolong padamu agar menentukan jenis kelamin bayı!"

"Heh heh, ingin tahu sebelum lahir?"

"Ya, suhengku tak sabar, bibi. Aku dipaksa dan dibawa ke mari!"

Wanita tua itu terkekeh. Dia adalah dukun bayi yang terkenal di situ, hampiir semua suku Tar-tar ke sini. Dan ketika Salima cemberut memandang suaminya sementara Kim-mou-eng tersenyum menyeringai maka wanita ini menyuruh Salima duduk di atas balai-balai.

"Duduklah, mari kuperiksa...!"

Salima duduk. la agak berdebar ketika dukun itu mengusap perutnya, dengan ibu jari tangan kanan menekan dan mengusap seperti bola, dipijit dan akhirnya berhenti di perut sebelah kirı, wanita itu tertawa. Dan ketika dia membungkuk dan memijit ibu jari kaki Salima akhirnya dia bangkit berdiri dan berseru,

“Laki-laki, bayi yang akan dilahirkan adalah seperti ayahnya, berjenis kèlamin laki-laki!"

"Ha ha!" Kim-mou-eng melonjak. "Laki-laki, bibi? Kau yakin?"

"Ya," dukun ini tersenyum. "Laki-laki. taihiap, tak salah. Aku berani potong kepala. Bahwa yang akan dilahirkan isterimu ini adalah anak laki-laki"

"Ah, terima kasih...." dan Kim-mou-eng yang menyambar serta mengangkat istrinya tiba-tiba tertawa bergelak. "Sumoi, laki-laki. Anak kita pertama laki-laki....!" dan Kim-mou-eng yang melempar serta menangkap kembali isterinya itu lalu terbang keluar rumah.

"Hei, ke mana?" Salima berteriak, terkejut tapi juga tak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Betapapun ia gembira mendengar kabar berita itu. Anaknya laki-laki, dukun Cani dapat dipercaya dan selama ini belum pernah dukun bayi itu meleset. Dan ketika suaminya tertawa tergelak dan meneruskan larinya ke dalam lembah akhirnya tiga orang menyambut dan berseru menjatuhkan diri berlutut.

"Taihiap, selamat. Kami bangsa Tar-rar menghaturkan selamat... !"

"Eh!" pendekar ini berhenti, langsung tertegun. "Ada apa kalian ke mari? Mau apa?" sang isteri diturunkan, terbelaľak memandang tiga laki-laki gagah itu dan seorang di antaranya tersenyum.

Mereka adalah pembantu-pembantu suami isteri ini, menyatakan bahwa mereka telah mendengar berita bahagia itu. Bangsa Tar-tar ingin merayakan kebahagiaan ini dan mengucap selamat. Dan Ketika Salima berseru kecil dan langsung semburat tiba-tiba wanita ini berkelebat memasuki rumah, tersipu.

"Kami ingin merayakan déngan pesta adat, Taihiap. Menyambut calon pemimpin baru menyatakan kebahagiaan. Kalau taihiap setuju malam nanti juga kita siapkan pesta sekaligus mencari nama baru bagi putera taihiap."

"Ha-ha. boleh. Lakukan itu. Cukri. Malam nanti isteriku hadir dan biar kukumpulkan nama untuk calon puteraku!"

Kebahagiaan kembali meledak. Bangsa Tar-tar malam itu benar-benar bahagia, kiranya berita dari mulut ke mulut telah menyebar luas. Dukun Cani telah menebak calon keturunan pemimpin mereka, laki-laki, bukan main gembiranya. Dan ketika malam itu Salima menemui rakyatnya dan kembali bertemu bibi Cani akhirnya tak dapat ditahan wanita yang berbahagia ini menanyai dari mana dukun itu mendapatkan "resepnya" menebak jenis kelamin bayinya.

"Heh-heh, mudah lihiap, dari letak dan gerakannya!"

"Letak dan gerakannya?"

Ya, artinya begini, lihiap. Kalau bayi berada dı sebelah kiri perut dan sering bergerak di daerah situ maka berarti menjauhi irus (pengaduk atau penyendok sayur). Tapi kalau bergerak dan terletak di sebelah kanan maka berarti mendekati atau memegang irus. Yang menjauhi irus tentu laki-laki, karena laki-laki tak biasa memasak. Sedang yang mendekati irus tentu perempuan, karena perempuan tugasnya masak. Nah, sederhana kan. Ini dapat dijadikan patokan paling gampang dan mudah diingat!"

Salima bengong. Ternyata "resep" itu begitu bersahaja, hampir tertawa dia. Agaknya tak masuk akal. Tapi ketika beberapa bulan kemudian dia melahirkan dan bayinya ternyata benar laki-laki mendadak wanita yang telah menjadi ibu ini terkejut, kagum. Mendengar tangis bayi dan kembali bangsa Tar-tar ribut. Kim-mου-eng melonjak gembira dan untuk kedua kalinya suami yang berbahagia itu mendapat kebahagiaan. Bayinya laki-laki, tepat dan cocok seperti ramalan dukun Cani. Bukan main girangnya. Dan ketika bayi itu dia upacarai adat dan menjalanı "pasaran" atau "selapanan" ternyata kaisar mengutus orangnya untuk menyatakan kegembiraan, datang diwakili Bu-ciangkun, panglima Bu yang gagah dan brewokan itu.

"Ha-ha. selamat, taihiap. Selamat!"

Kim-mou-eng tertegun.

"Lupa kepadaku, taihiap?"

"Tidak, tentu saja tidak! Tapi, eh... bagaimana kau bisa tahu ini, ciangkun? Kapan kalian mendengarnya!"

"Ha-ha, bangsa Tar-tar dan bangsa Han adalah sahabat, taihiap. Bagaimana kami tak mendengar kalau kami tak pernah berjauhan? Sri baginda mengutus dan memberi ini, taihiap. Juga sebuah nama untuk putera taihiap itu, kalau taihiap suka!"

Panglima brewok itu menuding sepuluh kereta berisi barang-barang hadiah, mengambil sebuah mainan dari batu giok hijau yang indah dan menyerahkannya pada Kim-mou-eng, secara simbolis menyerahkan semua barang-barang di kereta itu. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan teringat nama-nama yang dipilih untuk puteranya tiba-tiba Cukri pembantunya yang gagah itu tampil ke depan.

"Taihiap, pemberian nama kaisar Han adalah sesuatu yang amat berharga. Taihiap boleh menerima itu dan tak perlu ragu!"

"Hm... apakah Kim-taihiap telah memberikan sebuah nama?"

"Belum, tapi kami bangsa Tar-tar telah memilihkannya beberapa nama, ciangkun. Tapi kalau sri baginda kaisar memberikan nama dan dipergunakan untuk keturunan pemimpin kami tentu saja kami tidak menolak. Ini satu penghargaan sendiri yang besar!"

Bu-ciangkun, panglima brewok itu tertegun memandang Cukri. Dia lupa bahwa Kim-mou-eng dan bangsanya tentu telah memberikan sebuah nama bagi calon pemimpin baru itu, berkejap dan menyeringai. Menunggu dan tentu saja tak berani mendesak. Kim-mou-eng sendiri ragu dan bimbang, khawatir dianggap tak menghiraukan bangsa sendiri dengan memperhatikan orang lain. Tapi ketika Cukri bertanya pada teman-temannya apakah mereka setuju meninggalkan semua nama pilihan dan menerima nama baru dari kaisar di Tiongkok tiba-tiba serentak mereka berseru setuju.

"Nah, tak ada ganjalan lagi, taihiap. Silahkan diterima!"

"Tapi kita gak tahu cocok atau tidak!"

"Ha ha, nama pemberian kaisar pasti cocok bagi bangsa Tar-tar, taihiap. Tak usah ragu dan percayalah!" Bu-ciangkun, panglima tinggi besar itu berseru, membuat Kim-mou-eng tersenyum dan segera bangsa Tar-tar menjadi tertarik. Kim-mou-eng mengangguk dan lain-lain pun bersorak. Dan ketika Kim-mou-eng bertanya nama apa yang hendak diberikan kaisar kepada puteranya, maka Bu-ciangkun terbahak gembira menyebut nyaring,

Thai Liong (Naga Besar), Kim Thai Liong!"

"Thai Liong?"

"Ya. Thai Liong, taihiap. Dan kalian bangsa Tar-tar boleh juga menyebutnya Dailiong! Nah, hebat apa tidak?"

Sorak gemuruh dan tepuk tangan tiba-tiba meledak. Kim-mou-eng sendiri ternganga mendengar sebutan nama ini, kaisar memberinya nama Thai Liong. Dan karena nama itu dapat disesuaikan dengan lidah bangsa Tar-tar dengan nama Dailiong. Tiba tiba Pendekar Rambut Emas membungkuk dan memberi hormat dalam-dalam di depan panglima brewok itu, sang wakil kaisar, diiring tepuk tangan dan sorak gemuruh rakyatnya.

"Terima kasih, nama ini benar-benar indah sekali, ciangkun. Juga fleksibel karena dapat diucapkan oleh dua bangsa. Baiklah, puteraku bernama Thai Liong dan mudah-mudahan dapat menjadi 'Liong' (naga) yang besar!"

"Ha ha... terima kasih kembali, taihiap. Sri baginda tentu senang menerima sambutanmu ini. "Ayo, siapkan makan untuk rombonganku!" dan Bu-ciangkun yang terbahak menggoda pendekar itu akhirnya dijamu dan disambut bangsa Tar-tar yang sudah cukup mengenal panglima ini, menurunkan hadiah dan mengeluarkan makan minum untuk panglima itu serta rombongannya. Hari itu benar-benar hari gembira bagi Kim-mou-eng dan tamunya. Dan ketika semalam Bu-ciangkun tinggal dan keesokannya baru pulang kembali maka Pendekar Rambut Emas minta disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kaisar.

"Tentu... tentu... tak usah khawatir, taihiap. Dan terima kasih pula atas sambutan bangsamu yang ramah. Betapapun aku prıbadi juga ingin mengundangmu ke kota raja!"

Kim-mou-eng tersenyum.

"Kapan kau ke kota raja, taihiap? Tentu tak melupakan kami, bukan?"

"Hm, saat inı aku sibuk mengatur bangsaku, ciangkun, tentu saja tak lupa pada kalian dan sri baginda. Tapi percayalah, lima enam bulan lagi tentu aku datang berkunjung."

"Ha-ha, terimakasih, taihiap.. terima kasih..." dan panglima Bu yang lalu memberi hormat dan pulang bersama rombongannya lalu meninggalkan Kim-mou-eng yang berjanji beberapa bulan lagi akan datang ke kota raja. Kim-mou-eng biasa menepati janji.

Dan ketika hari demi hari dilewatkan gembira dan Thai Liong, anak lelaki tumbuh besar dan sehat maka Salima berulang kali menyatakan kebahagiaannya dengan menciumi anak satu-satunya ltu. “Suheng aku merasa mendapat anugerah. Anak kita ini sehat dan lucu!"

"Ya, dan aku juga bahagia, sumoi. Tapi satu yang agak mengganjal hatiku!"

"Apa?" sang istri terkejut "Kau tak senang?”

"Bukan begitu sumoi. Melainkan kenapa suhu tak pernah menengok. Kau lupa kepada suhu?"

Salima tertegun. "Hm, suhu adalah orang aneh, suheng, selamanya tak terikat dan tak mau diikat, kau tentu tahu ini dan menyadari kenapa bertanya?"

"Aku terganjal karena guru kita itu belum melihat Thai Liong, sumoi. Aku ingin dia melihat dan menyatakan pendapanya.”

"Ah, suhu datang dan pergi seperti iblis! Bagaimana kita mengharap kedatangannya? Tanpa diundang tentu dia datang suheng. Tapi kalau tak datang tentu belum punya keperluan. Sudahlah, jangan kau kecewa dan lihat anak kita dia sudah mulai tengkurap den belajar duduk. hi-hik...lucu!"

Dan Salima yang mencium anaknya di pembaringan dan terkekeh-kekeh lalu membuat suaminya terlupa dan turut gembira memandang anaknya itu Thai Liong memiliki mata yang bulat jernih, dan yang amat spesifik, rambut anaknya itu juga kuning keemasan, persis Kim-mou-eng. Dan ketika Salima menunjuk ini dan tertawa geli maka kekecewaan Kim-mou-eng tak ketemu gurunya terobati.

Siapakah guru atau suhu Pendekar Rambut Emas ini? Bukan lain si manusia sakti Bu-beng Sian'su. Bagi yang mengikuti serial Pendekar Rambut Emas tentu mengetahui kehebatan kakek dewa ini. Bu-beng Sian-su memang amat sakti dan hebat. Dan Kim-mou-eng yang merupakan murid kedua setelah Gurba yang tewas adalah pendekar yang banyak belajar dari gurunya itu si kakek dewa yang sakti. Selain ilmu silat juga ilmu kehidupan. Banyak belajar dan mendapat nasehat dari manusia dewa ini.

Maka ketika gurunya tak datang dan kelahiran Thai Liong tak diketahui kakek itu diam-diam Kim-mou eng sedikit kecewa. Namun pendekar ini adalah pendekar besar. Kim-mou-eng tahu keanehan gurunya, datang dan pergi tak lumrah manusia biasa. Sekali datang biasanya membawa kepentingan bukan kepentingan untuk diri sendiri melainkan justeru orang lain, itulah istimewanya. Gurunya memang istimewa. Dan ketika setahun kemudian Thai Liong sudah belajar berjalan dan hari itu Kim-mou-eng sibuk mengurus bangsanya tiba-tiba sebuah undangan muncul dari kota raja.

"Sri Baginda ingin bertemu taihiap, mohon taihiap ke sana dan datang."

"Ada apa?

"Kami tak tahu, taihiap, tapi penting!"

“Hm, baiklah. Kalian kembali, aku menyusul!"

Sang utusan pergi. Kim-mou-eng tak curiga apa-apa, memberi tahu isterinya dan berangkat. Tapi ketika dia tiba di luar padang rumput dan melihat utusan berdiri menanti tiba-tiba pendekar ini tertegun. "Kau masih di sini?"

"Maaf, seseorang ingin menemuimu, taihiap"

"Aku!" sesosok bayangan keluar dari balik pohon, berseru dan terisak memanggil Kim-mou-eng.

Pendekar Rambut Emas itu tersentak dan tiba-tiba mundur. Dan ketika bayangan itu, wanita cantik yang rambutnya kusut menubruk Kim-mou-eng sekonyong-konyong Kim-mou-eng tergetar dan menggigil di tempat.

"Wan Hoa, bagaimana kau ada di sini?!"

"Aku... aku, hu-huu...!" wanita cantik itu, Wan Hoa, tersedu. "Aku datang diutus Cao Cun, twako. Kami, ah... kami ingin menyatakan selamat dan bahagia atas kelahiran bayimu itu...!"

“Hm…!” Kim-mou-eng tertegun.” Anakku kini telah berusia setahun, Wan Hoa, terimakasih kalau kau datang untuk mengucapkan itu!”

“Ya-ya, kami sebenarnya ingin datang berdua, twako. Tapi... tapi takut isterimu marah!"

"Sudahlah, hentikan tangismu, Wan hoa, apa kabar kalian berdua dan kenapa hari ini kau muncul di sini? Dan kau...." Kim-mou eng menunjuk utusan itu, laki-laki yang terkejut. "Kau membohongi aku!"

"Maaf," utusan itu menjatuhkan diri berlutut. "Aku hanya disuruh Wan siocia (nona Wan) Kim-taihiap. Kami tak berani berterus terang agar tak menimbulkan kecurigaan yang lain."

"Benar!" Wan Hoa melepaskan dirinya. "Aku yang menyuruh dia berhohong, twako. Kalau tidak begitu tentu tak ketemu dirimu."

"Baiklah, apa kabarnya Cao Cun? Dia tak apa-apa?"

“Tidak..., tapi…”

"Kenapa?" Kim-mou-eng melihat Wan Hoa bercucuran air mata kembali, cepat bertanya. "Dia hidup bahagia dengan suaminya, bukan?"

“Ohh… tidak... tidak!” Wan Hoa tiba-tiba mengguguk, menangis lagi. "Raja Hu telah meninggal twako. Cao Cun telah menjadi janda!"

"Apa?" Kim-mou-eng berjengit. "Raja Hu wafat? Cao Cun menjadi janda?"

"Ya. Sudah lama, twako. Hampir dua tahun yang lalu!”

"Ah, ceritakan padaku, kenapa raja Hu wafat!"

Wan Hoa lalu bercerita, sambil tak hentinya menangis wanita yang setia kepada Cao Cun dan merupakan sahabat paling kental dari isteri mendiang raja Hu itu mulai mengisahkan kehidupan Cao Cun. Betapa Cao Cun menjadi isteri raja Hu dan akhirnya mempunyai seorang anak laki-laki, Ituchi Yashi. Mula-mula tak cinta pada raja bangsa liar itu karena Cao Cun mencinta Kim-mou-eng, betapa saking cintanya kepada Pendekar Rambut Emas ini berkali-kali gadis Puteri bupati Wang itu dicelakai orang.

Tapi karena Kim-mou-eng berbohong dan derita demi derita dialami gadis itu akhirnya puteri bupati yang malang ini menjadi isteri raja Hu, seorang raja dari suku setengah liar di luar tembok perbatasan, tak jadi diambil selir oleh kaisar sendiri yang dipermainkan pembantu-pembantunya yang jahat, Mao-taijin dan lain-lain. Dan ketika semuanya itu terjadi dan nasib gadis ini sudah ditentukan maka hubungan Cao Cun dengan Kim-mou-eng menjadi putus dan gadis ini pasrah, hidup ditengah-tengah suku yang liar tapi lama-kelamaan kasih sayang raja berhasil melunakkan sikapnya pula, tak lama kemudian mereka mempunyai keturunan dan Cao Cun mulai membalas cinta suaminya. Tapi belum hal itu berjalan lama tiba-tiba raja Hu terserang sakit dan meninggal dunia.

"Begitulah, tak lama setelah kau marah-marah kepada kami dan membawa dayang celaka itu raja mangkat, twako. Cao Cun menjadi janda dan kini hidup sendiri. Tapi persoalan baru datang menghadang, aku dan Cao Cun ngeri!"

"Hm...!" Kim-mou-eng mengangguk-angguk. Teringat semuanya itu, perih dan tersenyum getir. "Persoalan apa yang kau maksudkan ini, Wan Hoa? Dan tentunya untuk persoalan ini kamu datang, bukan?"

"Benar!" Wan Hoa menggigil. "Cao Cun... Cao Cun... dia hendak diambil Cimochu, twako, akan diperisteri!"

"Siapa itu Cimochu?"

"Putera sulung raja Hu sendiri, anak tirinya!"

“Haaa!!” pendekar ini mencelat. "Cao Cun mau dikawin anak tirinya?” dan ketika Wan Hoa mengguguk dan menggangguk, akhirnya gadis itu tak kuat lagi menubruk pendekar itu, meratap dan berkata bahwa itu sudah menjadi adat bagi bangsa liar itu, segala warisan ayah jatuh ditangan anak sulung, termasuk isteri dan selir-selirnya. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan pucat mendengar ini maka Wan Hoa mengakhiri ceritanya, gemetar, air mata jatuh berderai-derai tak kunjung habis.

“Begitulah, Cao Cun dan aku tak berdaya, twako. Karena itu kami datang kepadamu. Tolong Kau bantu kami dan bebaskan Cao Cun dari masalah yang memalukan ini!"

"Hm!" Kim-mou-eng mengangguk-angguk, muka pun gemetar. ”Bangsa itu memang bangsa yang aneh, Wan Hoa. Kalau Cimochu hendak mengambil ibu tirinya dan ini sudah merupakan adat agaknya tak banyak yang dapat kita lakukan. Apa yang dapat kukerjakan untuk kalian? Apa aku harus membawa Cao Cun dari tempat itu dan melarikan diri?"

"Kami berpikir begitu, twako. Tapi kau tentu repot. Namamu bisa tercoreng dan isterimu pun bisa marah besar. Kau akan dianggap melarikan isteri orang dan ini sebuah aib bagimu. Tidak, kami tak minta yang itu, twako, melainkan laporkan saja pada kaisar dan biar kekuasaan kaisar menghalangi niat Cimochu itu dan jangan dia mengambil Cao Cun!"

"Hm..." Kim-mou-eng merasa sependapat. Kalau ini dapat kulakukan, Wan Hoa, tidak mengandung resiko dan sama-sama baik bagi kita. Baiklah, katakan pada Cao Cun dan hibur dia bahwa aku pasti menolong!"

"Kau memang baik dan berbudi luhur!" Wan Hoa yang tak dapat menahan diri dan langsung menubruk dan memeluk pendekar itu lalu tersedu-sedu dan menangis penuh gembira, melihat harapan pada pendekar ini dan memang Kim-mou-eng lah yang dapat menolong itu.

Pendekar Rambut Emas ini memiliki hubungan baik dengan kaisar, begitu baiknya hingga kaisar memberi kebebasan pada pendekar ini untuk datang dan pergi sesukanya di istana, tanpa memberi tahu. Dan ketika Wan Hoa mendapat janji pendekar itu untuk menolong Cao Cun, maka wanita in melepaskan diri dan akhirnya sayu memandang pendekar itu.

"Twako, kau hidup bahagia?"

"Hm..." Kim-mou-eng mengangguk. "Aku cukup bahagia, Wan Hoa, sumoiku wanita yang baik. Dan kau sendiri, sudah menemukan pilihan atau masih melajang?”

"Aku masih sendiri..."

"Tak baik. Kau harus menikah, Wan Hoa. Kau harus mendapat pendamping dan hidup bahagia!"

"Ah, aku tak mau menikah, twako. Kecuali aku mendapat orang macam dirimu. Selama Cao Cun masih mendapat persoalan bertubi,tubi aku tak mau menikah dan biar menghibur sahabatku itu."

Kim-mou-eng tergetar. Dia memejamkan mata, teringat kesetiaan dan cinta kasih Wan Hoa kepada Cao Cun. Selama hidup, belum dijumpainya gadis sehebat Wan Hoa, rela bekoban dan begitu setia kepada sahabat hingga nyawa pun siap diberikan. Suka duka yang dialami Cau Cun tak pernah tanpa gadis ini. Cinta dan persahabatan Wan Hoa benar-benar luar biasa. Dan ketika Wan Hoa menyatakan tak usah menikah selama sahabatnya belum bahagia akhirnya dua titik air mata meluncur di pipi pendekar ini, membuka mata dan mencengkeram gadis itu penuh keharuan.

“Wan Hoa, kau benar-benar sahabat setia. Kalau saja Cao Cun bahagia kelak akan kupilihkan seorang laki-laki yang tepat untukmu!"

"Terima kasih!" mulut itu tersenyum getir. "Tak ada laki-laki yang sehebat dirimu, Kim-twako. Kalau ada yang macam kau baru aku menerıma. Tapı kalau tidak lebih baik tak usah. Sudahlah, kapan kau menolong Cao Cun?"

"Seminggu lagi. Wan Hoa. Tunggu aku seminggu dan mudah-mudahan sri baginda dapat menghalangi niat itu."

"Pasti, asal kau yang minta tentu sri baginda dapat menghalangi Cimochu, twako. Kalau begitu kutunggu kau di tempat kami."

"Ya, pergilah. Tunggu aku di sana, Wan Hoa, dan sampaikan salamku buat Cao Cun!"

"Baiklah." dan Wan Hoa yang memutar tubuh serta mengucap terima kasih lalu menyuruh pengawal mengeluarkan kereta. Kiranya sebuah kereta disembunyikan tak jauh dari situ, berderak dan akhirnya meninggalkan tempat itu. Wan Hoa berkali-kali melambaikan tangan di jendela kereta, air matanya mengalir tak habis-habisnya, tersenyum dan harapan besar jelas terlihat di muka yang cantik itu. Kini Wan Hoa bersinar-sinar.

Dan ketika kereta lenyap dan Kim-mou-eng menghela napas tiba-tiba empat laki-laki mendatangi tempat itu dengan kuda mencongklang, mengeprak demikian buru-buru dan Kim-mou-eng tak jadi pergi. Dia tertarik dan menunggu. Dan ketika empat orang itu datang mendekat dan Kim-mou-eng tertegun segera dia melihat bahwa itulah Bu-ciangkun bersama tiga pengawalnya, panglıma yang dulu datang berkunjung!

"Eh, ada apa, ciangkun? Kenapa kalian demikian cepat dan buru-buru?"

“Ah, celaka... celaka, taihiap. Istana berkabung!" Bu-ciangkun meloncat turun, suaranya serak dan menggigil mengejutkan Kim-mou-eng, datang‐datang membuat kaget dan panglima itu menangis. Dan ketika dia gemetar dan limbung berjalan menghampiri maka panglima ini tiba-tiba roboh dan lemas mendeprok di tanah.

Kim-mou-eng tersentak. "Ciangkun, apa yang terjadi? Kenapa berkabung?"

"Sri baginda mangkat, taihiap. Sri baginda... sri baginda, ooh...!" panglima itu menutupi muka, mengguguk. "Kami kehilangan junjungan taihiap, Sri baginda wafat!"

"Wafat?" Kim-mou-eng bagai disambar petir, teringat janjinya pada Wan Hoa. "Kapan beliau mangkat? Sebab apa?"

"Penyakit tua, taihiap. Dan kami memberi tahumu kalau ingin berbela sungkawa, ooh...!"

Bu-ciangkun yang kembali menutupi muka dengan tangis tersedu lalu menceritakan keadaan di istana. Bahwa kaisar wafat karena penyakit tua, bahwa istana kini berkabung dan tiga pengawal yang sampingnya pun menangis. Kedukaan dan kesedihan besar tiba-tiba memenuhi empat orang itu, Kim-mou-eng terpaku dan nyaris tak dapat mengeluarkan suara. Dia teringat Wan Hoa yang baru pergi, yang begitu penuh harap akan pertolongannya pada Cao Cun. Kini tanpa disangka-sangka kaisar telah meninggal dunia, sungguh ini di luar perhitungan. Tapi ketika Kim-mou-eng sadar dan menekan degup jantungnya yang tidak karuan tiba-tiba pendekar ini menepuk bangun panglima tinggi besar itu.

"Bu-ciangkun, bangunlah. Aku turut berbela sungkawa. Mari kita ke istana dan biar kuberikan hormatku yang terakhir kepada sri baginda!"

Bu-ciangkun masih menangis. "Kau akan bersama kami, taihiap?"

"Ya, bangunlah. Mari berangkat!" dan Bu-ciangkun yang berdiri mengusap air matanya dengan tinju akhirnya sadar melihat kewibawaan pendekar ini, mata masih memerah namun cepat dia melompat di atas kudanya kembali. Dan ketika Kim-mou-eng memberí tanda dan kuda ditendang tiba-tiba Bu-ciangkun mengeprak dan kembali ke kota raja, diiringi Kim-mou-eng yang mengerahkan ginkang disamping panglima itu. Kuda dan manusia, berlari bagai terbang.

Kim-mou-eng mendampingi panglima ini dengan ilmu lari cepatnya, mau tak mau Bu-ciangkun kagum. Dan karena dia menyadari tak mungkin Kim-mou-eng mau menunggang kuda dan sepuluh menit kemudian pendekar ini merasa larinya kuda terlalu lambat tiba-tiba pendekar itu berkata bahwa dia akan mendahului, melesat dan terbang serta lenyap di depan. Dalam waktu sekejap saja sudah merupakan titik kecil dan hilang di sana. Bu-ciangkun ternganga. Tapi begitu Kim-mou-eng lenyap dan dia mengejar maka empat ekor kuda ini mencongklang dan membalap namun masih saja tertinggal jauh di belakang!

Apa yang terjadi di kota raja? Benarkah kaisar mangkat? Melihat bendera-bendera yang dikibarkan setengah tiang memang telah menunjukkan hal itu. Istana berkabung, kota raja tiba-tiba menjadi sirap dan sunyi. Orang yang berlalu-lalang hampir tak mengeluarkan suara, muka yang berpapasan sering menunduk dan menunjukkan wajah sedih. Istana memang dirundung duka. Dan ketika para menteri dan putera pangeran mendampingi jenazah di Ruang Agung maka di luar dibalik sosok-sosok tubuh pengawal уang menjaga seputar istana terdengar kekeh dan tawa nyaring.

"Heh-heh, kaisar wafat? Mana peti jenazahnya?"

Dua nenek riap-riapan muncul. Mereka ini nyelonong masuk di saat keadaan begitu khusuk, para pengawal terkejut dan membentak. Tentu saja mereka tak mengijinkan nenek itu membuat onar. Tapi ketika tombak dan golok ditodongkan di depan keduanya, yang membawa seorang anak berusia tiga tahun tiba-tiba mereka tertawa dan mengibas

"Kami datang untuk memberi hormat. Minggir...!"

Pengawal berpelantingan. Entah bagaimana dari kedua tangan nenek Itu muncul sambaran angin bertenaga dahsyat, mereka tahu-tahu terdorong dan jatuh tak keruan, beberapa di antaranya bahkan patah-patah tombaknya. Dan pengawal berteriak kaget dan serta gentar menghadapı nenek itu maka dua orang nenek ini meneruskan langkahnya memasuki istana.

“Hei, kami mau menyatakan bela sungkawa. Minggir!" begitu berkali-kali dua nenek itu berseru. Setiap pengawal mau menghadang, mengembangkan lengan mereka dan pengawal pun tunggang langgang disapu angin pukulan dahsyat. Mereka itu tak berdaya dan kedua nenek ini pun akhirnya memasuki bangsal istana, terus mengibas-ngibaskan lengan setiap dicegah. Dan ketika mereka masukı Ruang Agung dan para perwira serta panglimanya terbelalak melihat datangnya dua nenek itu maka sepuluh orang melompat ke depan mencabut senjara. Dua di antaranya adalah Cu-ciangkun, sepasang panglima kakak beradik yang bersenjatakan tombak.

"Ji-wi locianpwe (dua orang tua sakti), kalian siapakah dan mau apa masuk ke dalam?"

“Heee-heh, kami mengantar pangeran, ciangkun. Ingin menyatakan bela sungkawa dan turut berduka."

"Tapi kalian tak dikenal!"

"Hm, ini murid kami, putera Gurba dengan selir Bi Nio. Apakah kalian tak mengenal dan masih melarang?"

Cu-ciangkun, dua panglima itu terkejut. Mereka melihat seorang anak kecil dengan bola mata bundar tersenyum mengejek, tidak mengeIuarkan suara tapi angkuh memandang mereka. Namun yang disebut-sebut kedua nenek itu membuat mereka tertegun, mendiang Gurba dan Bi Nio. Tapi ketika mereka terpaku dan bingung memandang kedua nenek itu tiba-tiba mereka berkata,

“Nah... biarkan kami lewat. Biarkan pangeran Togura menghormati ayah tirinya!"

Cu Hak, panglima tertua sadar. Dia melihat dua nenek itu berjalan ke peti jenazah, anak laki-laki di tengahnya diapit, bocah ini tampak jumawa dan angkuh, sekecil itu sudah menunjukkan kesombongan besar. Dan karena nenek riap-riapan ini tak dikenal dan Cu Hak terkejut mendengar anak itu adalah Togura anak Gurba dan Bi Nio tiba-tiba panglima ini meloncat dan berseru nyaring,

"Nenek siluman, kau jangan kurang ajar. Kalau benar itu adalah putera Bi Nio yang hilang maka kaulah pencurinya. Kalian kami tangkap!!!”

“Heh!" dua nenek itu tak acuh, seorang diantaranya berhenti. "Kau berani menangkap kami, panglima busuk? Siapa kau yang berani mati?"

Dan Cu Hak yang terkejut melihat nenek satunya terus berjalan dan tidak menghiraukan dirinya akhirnya menggerakkan tombak menusuk kearah si nenek itu. "Berhenti, atau kau kubunuh!"

Namun tombak yang menyeleweng ditiup si nenek itu, tiba-tiba panglima ini berteriak kaget. Sementara bocah berumur tiga tahun itu berkelebat. Mencengkeram dan kaki panglima ini diangkat. Lalu begitu bocah itu berseru keras menyelinap diselangkangan panglima ini tahu-tahu melewati pundaknya yang kecil dan kaget dibanting keras,

"Bress!" Panglima itu terguling. Togura, anak lelaki berumur tiga tahunan itu membuat terkesima semua orang. Cu Hak sang panglima yang gagah disambar dan dibanting begitu rupa, gesit dan bertenaga dan orang pun melongo. Tapi ketika panglima ini melompat bangun dan marah berteriak geram maka Cu Kim, sang adik, berkelebat maju bersama pembantu-pembantunya.

“Hak-ko, mereka itu pengacau. Lindungi peti jenazah!”

Dua nenek itu terkekeh. Mereka telah melihat murid mereka yang kecil membanting panglima she Cu. Togura melakukan itu tanpa banyak cakap, tak ada kata-kata secuil pun keluar dari mulutnya, kecuali bentakkan kecil tadi ketika membanting. Maka ketika Cu Hak melompat bangun dan orang geger oleh peristiwa ini maka dua kakak beradik panglima Cu itu telah mengepung dan membentak nenek ini, menerjang dan segera dua nenek itu diserang. Tombak dan golok berseliweran naik turun, membacok dan menusuk. Tapi kedua nenek itu terkekeh dan membuka mulut mereka meniup maka...susshhh, semua senjata pun terpental dan menyeleweng arahnya.

"Hi hik, hajar mereka, Togura. Beri adat!"

Togura, bocah tiga tahunan itu mengangguk. Dia sudah berkelebat dan keluar dari tengah-tengah gurunya, membagi pukulan dan tendangan. Tak ada yang dapat mengelak dan semua menerima bogem mentahnya. Dan ketika semua menjerit dan mengaduh oleh hajaran anak laki-laki itu maka Cu-ciangkun dua bersaudara pucat terhuyung mundur, tombak mereka patah dan dua nenek itu tertawa-tawa. Apa yang terjadi ini benar-benar mengagetkan. Tapi karena Cu-ciangkun merupakan orang paling bertanggung jawab saat itu dan tentu saja dia tak akan membiarkan pengacau membuat onar maka mereka kembali membentak dan sudah menyambar tombak pengawal, menyuruh yang lain maju lagi dan bersama puluhan pembantu panglima ini mengeroyok, mereka menyerang dan menusuk nenek itu. Tapi ketika lagi-lagi nenek itu meniup dan tombak serta golok menyeleweng tak keruan akhirnya nenek di sebelah kiri berseru,

"Togur, hajar panglima she Cu ini. Dia paling nekat...!”

Togura, bocah ini lagi-lagi mengangguk. Saat gurunya diserang dia tidak bergerak, kembali ke tempatnya semula. Tapi ketika pengawal maju lagi dan gurunya memerintah tiba-tiba anak ini berkelebat ke arah panglima she Cu, kebetulan menuju Cu Kim yang menjadi panglíma nomor dua. Anak itu menampar dan Cu Kim mengelak, tentu saja panglima ini marah.

Tapi ketika panglima itu hendak membalas dan bocah laki-laki itu menyusuli serangannya tiba-tiba ketiak panglima ini terketok sesuatu dan lumpuh, tak dapat digerakkan dan tentu saja tamparan anak itu mengenai mukanya, kali ini keras sekali, begitu kerasnya hingga gaplokan yang nyaring mengejutkan semua pengawal. Dan ketika panglima itu mengeluh dan roboh terguling ternyata panglima ini tak bergerak lagi karena pingsan.

"Setan!" Cu Hak, sang kakak, menjadi gusar. Dan menusukkan tombaknya tidak lagi ke nenek lawannya melainkan ke tubuh anak ini. Mengejutkan sekali, bocah itu dapat mengelak. Dan ketika tombak lewat di atas kepalanya tiba-tiba anak ini menyodok dan panglima itu pun berteriak ngeri.

“Cuss….!” Panglima ini terpelanting. Empat jari lurus dari bocah lelaki itu mengenai ulu hatinya, kontan panglima sesak napas dan roboh. Dan ketika ia mengeluh dan melotot kaget tahu-tahu іa pun terguling dan tidak bergerak lagi, pingsan.

"Heh-heh, siapa berani main-main lagi?"

Dua nenek itu tertawa, tidak lagi meniup melainkan tangan bergerak ke sana kemari. Para pengawal berpelantingan terlempar dan menjerit tak karuan. Kini bukan tombak atau golok yang patah-patah melainkan tulang kaki atau tangan mereka, lawan mulai bersikap keras. Dan ketika pertempuran berhenti dan para menteri serta pangeran tak dapat bersuara akhirnya pengawal mundur ketakutan tak ada yang berani mendekat.

"Heh-heh, kalian takut?"

Semua orang terbelalak gentar. Cu-ciangkun yang menjadı andalan kini pingsan, dua nenek itu maju lagi mendekati peti jenazah. Dan karena tak ada yang menghalangi dan sepasang nenek ini terkekeh geli maka mereka pun sudah tiba di depan peti jenazah dan menepuk-nepuk permukaannya, Berseru nyaring.

"Sri baginda, apakah kau telah memilih pangeran mahkota?'"

Tentu saja kaisar yang wafat tak dapat menjawab. Tiga kali nenek itu bertanya dan tiga kali pula gaung suaranya lenyap, nenek yang bertanya tiba-tiba marah. Dia mau membuka tutup peti. Tapi ketika nenek itu hendak merusak dan bertindak lebih jauh, tiba-tiba Kim-taijin, seorang menteri tua maju melangkah dengan buru-buru, menteri yang selama ini menunjukkan kesetiaannya kepada kaisar.

"Nenek keparat, tunggu dulu. Biar kujawab pertanyaanmu!" dan menteri yang merah padam melihat sepak terjang dua orang ini lalu melindungi peti jenazah, berkata marah, "Kalian berdua siapakah? Sri baginda wafat, tak mungkin menjawab pertanyaan kalian. Nah, aku menteri Kim, kujawab pertanyaan kalian. Sri baginda telah mengangkat pangeran mahkota, dialah yang akan menggantikan dan coba jawab pertanyaan kami kenapa kalian datang dan meroboh robohkan pengawal?"

"Heh-heh, kami Sepasang Dewi Naga. Apakah kau pernah mendengar nama kami?" nenek di sebelah kiri menjawab, "Kami datang untuk menghomati sri baginda, menteri Kim, juga sekaligus meminta agar murid kami diangkat sebagai penggantinya!"

“Apa?!!” Kim-taijin terkejut. "Kalian gila? Kalian tidak waras?"

”Hmm, murid kami adalah seorang pangeran, taijin. Dan dia pantas menduduki tahta kerajaan. Mana pangeran mahkota yang diangkat dan siapa wakil yang bertanggung jawab tentang peralihan kekuasaan?"

"Aku," menteri Kim menggigil, "Aku yang bertanggung jawab atas peralihan kekuasaan, nenek siluman. Dan kau tak dapat berbuat sesuka hatimu karena sri baginda telah memutuskan penggantinya dalam sebuah surat wasiat."

"Mana surat itu?" nenek ini marah. "Biar kurobek dan tidak berlaku. Pilihan kaisar salah, harus diganti dan muridku inilah yang lebih berhak. Hei, kalian para menteri dan perwira, siapa yang ingin melawan dan tidak menuruti kehendakku? Siapa yaag hendak membangkang?”

Para menteri dan perwira gentar. Tentu saja mereka tak berani melawan, dua nenek itu terlalu sakti. Tapi Kim-taijin yang tidak takut dan marah dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba mengedikkan kepalanya. "Nenek iblis, tak ada seorang pun di sini yang akan menyetujui tindakkan mu. Dan kalau kau bertanya siapa yang akan melawan dan membangkang kehendakmu maka akulah orangnya. Kau boleh bunuh aku dan paksakan kehendak mu, tapi tak mungkin tahta kerajaan jatuh ditangan muridmu karena perbuatanmu tidak disetujui rakyat, tidak sah!"

"Keparat" nenek itu membentak. "Kalau begitu kau boleh mampus, menteri busuk pergilah!" dan tubuh Kim-taijin yang terangkat naik dan terlempar roboh akhirnya terbanting dan tergulıng-guling membentur peti jenasah, suaranya gedobrakan.

Tapi menteri tua itu mampu bangkit kembali, dengan gagah dia terhuyung menghampiri... dipukul lagi dari jarak jauh dan akhirnya laki-laki tua ini terlempar lagi tapi bangun lagi, dihajar lagi dan begitu berulang-ulang hingga menteri itu akhirnya mengeluh dan menggeletak, hidung dan mulutnya penuh darah, pakaiannya sudah tak keruan lagi karena robek-robek menerima pukulan lawan, nenek Dewi Naga sengaja tidak membunuhnya sekaligus untuk menakut-nakuti yang lain, рага menteri dan perwira serta pengawal yang terbelalak melihat itu, ngeri. Dan ketika nenek ini terkekeh dan menteri itu tak dapat bangun lagi kecuali merintih dan mengerang tanpa pertolongan maka dua nenek ini menghadapi kembali semua orang yang ada di ruangan itu.

"Nah, siapa berani unjuk gigi? Aku akan menyiksa kalian seperti si tua bangka ini, hidup tidak mati pun belum. Ayo maju yang ingin dihajar!"

Semua orang mengkeret.

"Kalau begitu kalian ikuti perintahku. Yang tidak ingin dibunuh harus berlutut dan beri hormat kepada muridku, pangeran Togur!”

Semua orang tib-tiba berlutut. Dalam hal ini tidak ada seorang pun yang tidak mencari selamat, semua menteri dan perwiran menjatukan diri berlutut. Tapi karena anak lelaki itu berdiri di depan peti jenasah dan kebetulan yang berlutut menghadap ke peti itu maka sepintas ada kesan bahwa semua yang berlutut hormat pada jenazah kaisar.

"Sekarang tirukan kata-kataku!" nenek itu bicara lagi. "Nyatakan bahwa kalian setia kepada dia muridku dan bahwa pangeran Togur menggantikan kaisar!”

Semua mulut bicara tak jełas. “Heh, katakan bahwa pangeran Togur adalah kaisar!!”

Semua mulut bersatu bicara dan serentak. Tapi belum nenek ini mendengar suara yang dimaksud tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat, muncul di Ruang Agung.

"Nenek siluman, tak ada seorang pun di tempat ini yang akan mengikuti perintahmu. Hayo semua bangun dan berdiri!" dan begitu seorang pemuda muncul dan membentak maka teriakan dan sambutan girang terdengar disana sini.

“Kim mou-eng...!”

“Pendekar Rambut Emas!“

Dua nenek itu terkejut. Kim Mou Eng, sang Pendekar Rambut Emas tiba-tiba ada di situ berdiri tegak diantara para menteri dan perwira, gagah memandang mereka dan mata yang bersinar-sinar menunjukkan kemarahan. Dua orang nenek itu tertegun. Tapi ketika mereka sadar dan mendadak kaget, tiba-tiba mereka berkelebat dan berdiri didepan pendekar tampan itu.

"Heh, kau tak ingat hajaran kami tempo hari, Kim-mou-eng? Berani datang dan membuat onar?"

"Hm, yang membuat onar adalah kalian, nenek iblis. Di sini dan di mana-mana kalian selalu mengacau. Pergilah, jangan membuat ribut atau aku akan menghadapi kalian!"

"Heh-heh!" dua nenek itu saling pandang mata berkilat-kilat. "Kau sombong, Kim-mou-eng. Congkak! Kepandaian apa yang hendak kau pamerkan di sini? Tidakkah kau ingat ketika kami menghajarmu dan memberimu umur panjang?"

"Aku hidup karena kekuasaan Tuhan, nenek iblis, bukan karena kalian memperpanjang umurku. Kalau kalian tak mau pergi dan tetap mengacau maka kali ini pun aku siap menghadapi kalian dan tak gentar meskipun kalian memiliki kepandaian lebih tinggi!"

"Keparat! Bagus, kami sekarang akan membunuhmu....!" tapi belum seorang di antaranya bergerak marah tiba-tiba Togur, anak laki-laki tiga tahun itu berseru, baru kali ini bicara panjang,

"Subo, tunggu! Biar aku menghadapinya!" anak itu sudah berkelebat menghadapi Kim-mou-eng. "Kaukah Kim-mou-eng?" tanyanya bersinar-sinar. "Kau paman guru ku? Kau yang membuat ayahku menderita?"

Kim-mou-eng tertegun, teringat anak yang dulu dibawa dua nenek iblis itu. "Kau Togura?"

"Ya, aku Togur, Kim-mou-eng. Dan kau ternyata telah merampas pula kepemimpinan ayahku di bangsa Tar-tar!"

Kim-mou-eng terkejut.

"Berlututlah!" anak itu menyambung. "Kau harus menerima hukuman, Kim-mou-eng. Dan serahkan pimpinan kekuasaan bangsa Tar-tar kepadaku!”

"Hm!" Kim-mou-eng tersentak, membelalakkan matanya lebar-lebar. "Kau tak tahu aturan, Togur. Beginikah sikapmu kepada paman guru? Kau seorang anak, semestinya kau menghormat yang tua dan tidak kurang ajar. Ini tentu hasil didikan subomu yang sesat!" dan marah memandang sepasang nenek itu Kim-mou-eng membentak, "Nenek iblis, kalian membuat putera suhengku tak karuan. Kalian harus mengembalikan anak ini kepadaku agar dapat kudidik baik. Lihat, dia rusak dan sesat seperti kalian!'"

“Heh-heh, yang tak keruan adalah kau, Kim-mou-eng. Muridku telah memerintah agar kau berlulut. Berlututlah, serahkan kekuasaanmu pula dan biar bangsa Tar-lar dipimpin muridku!"

“keparat!" Kim-mou-eng marah. "Kalau begitu bocah ini harus ku ambil, nenek jahat. Kalian tak boleh mendidiknya lagi dan biar kubawa. Kim-möu-eng yang menggerakkan tangan menyambar anak itu tiba-tiba bergerak, mau merampas Togura tapi si boçah berkelit. Kim-mou-eng terbelalak, bergerak dan menyambar lagi dan Togur, anak laki-laki itu tiba-tiba menangkis. Kim-mou-eng mendengus dan anak itu terpental. Togura menjerit karena lengannya bengkak, Kim-mou-eng memang menghajarnya tadi. Dan ketika pendekar ini mau menyambar lagi dan menangkap bocah itu tiba-tiba sebuah lengan lain terulur dan menangkis pendekar ini.

"Kim-mou-eng, enyahlah... dukk!" dan Kim-mou-eng tergetar dan terdorong dua tindak tiba-tiba sudah berhadapan dengan Ji-moi, nenek kedua yang menyeringai dengan nafsu membunuh! "Kau berani mati?" pertanyaan itu dingin menyeramkan. "Kau ingin mati dengan cara apa?"

Kim-mou-eng menyadari keadaan. "Nenek jahat, tak ada yang dapat menentukan mati hidup di sini. Kalau kalian tak mau menyerahkan murid keponakanku, aku akan merampasnya dari kalian. Dan aku akan melawan kalian sampai titik darah penghabisan!"

"Bagus, kalau begitu jangan banyak bicara, Kim-mou-eng. Terimalah pukulanku dan mampuslah... wuutt!" dan si nenek yang sudah menyerang dan menggerakkan tangannya ke depan tiba-tiba menghantam dan mendorong tubuh pendekar itu, angin pukulan dingin bersiut tajam dan Kim-mou-eng mengelak. Lawan membentak dan menyerang lagi. Dan karena ruangan itu sempit dan terpaksa Kim-mou-eng menangkis maka dia pun menggerakkan lengan menerima pukulan itu, mengerahkan sinkangnya.

"Dukk!" Kim-mou-eng kembali tergetar. Untuk kedua kali dia terdorong, kali ini lebih jauh, hampir empat langkah. Tapi Kim-mou eng yang tak takut dan gentar sedikit pun juga tiba-tiba melengking dan balas menyerang nenek itu, berkelebat dan mengerahkan Tiat-lui-kangnya dan segera pukulan berhawa panas menyambar, dielak dan Kim-mou-eng mengejar. Dengan cepat dan bertubi-tubi ia menyusuli serangannnya, si nenek Iihai mendengus dan menampar.

Dan ketika dua tenaga kembali beradu dan Kim-mou-eng terhuyung akhirnya pendekar ini berseru keras mencabut senjatanya, sebuah pit hitam dan segera senjata pendek di tangannya itu bergerak ke sana ke mari dengan amat cepatnya, menotok dan menggores dan Ji-moi menggeram. Nenek sakti ini menampar dan memukul. Tapi karena Kim-mou-eng menggerakkan lengan kirinya pula melancarkan pukulan-pukulan Petir, Tiat-lui-kang, akhirnya nenek ini mendesis dan marah menerima semua serangan-serangan itu.

Pit mental bertemu tubuhnya dan si nenek pun membal. Dan karena kepandaian nenek itu demikian tingginya dan betapapun Kim-mou-eng menyerang selalu saja pukulannya membalık atau pit di tangannya terpental maka serangan Kim-mou-eng mulai kandas dan pendekar itu pun mengeluh.

"Heh-heh, untuk orang lain mungkin Tiat-lui-kang mu sudah hebat, Kim-mou-eng. Tapi untuk diriku tak mampu berbuat apa-apa!"

kim-mou-eng gelisah. Memang apa yang dikata nenek ini benar. Tiat-lui-kangnya, pukulan Petir, diterima begitu saja oleh nenek ini, meledak tapi tak apa-apa dan si nenek pun tak roboh. Bahkan nenek itu serasa diusap pukulan hangat yang membuat tubuhnya segar, terkekeh-kekeh dan Kim-mou-eng pucat dan ketika pit di tangannya menyambar ke mata dan si nenek mengelak maka dengan cepat pula nenek itu menyamplok. "Plak...!“