SEPASANG CERMIN NAGA
JILID 01
KARYA BATARA
BERASAL dari keluarga miskin Kwee Han adalah pemuda yang tegar dan keras. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya sedikit kehitaman karena terbakar matahari. Dia hampir dikenal di seluruh Ming-ciang, sebuah kota kecil di pinggiran Sungai Wu-han. Bukan sebagai tokoh berkepandaian tinggi melainkan semata karena kejujuran dan keberaniannya, juga sikap kepemimpinannya kepada teman-temannya, sesama nelayan di tepi sungai Wuhan itu. Dan karena pemuda ini cukup dikenal di antara juragan-juragan ikan yang menghidupi nelayan-nelayan kecil maka Kwee Han adalah pemuda yang disegani dan cukup dihargai masyarakat Ming-ciang.
Dan itu semua berasal dari kejadian beberapa bulan yang lalu. Kaum nelayan, sebagaimana kehidupan rakyat kecil lainnya adalah kaum yang lemah dan selalu tertekan. Banyak di antara mereka yang tak mempunyai perahu sendiri, hidup dengan menyewa perahu juragan-juragan kaya di mana alam kehidupan sehari-hari mereka itu lalu bagi hasil. Artinya, ikan yang mereka dapatkan haruslah dibagi dengan sang juragan sebagai pembayaran sewa perahu.
Tapi karena akhir-akhir ini terjadi ketika mana para juragan menuntut terlalu banyak, maka kaum nelayan menjadi gelisah dan tak tenteram. Dan itu dimulai dari datangnya juragan Cu dua minggu yang lalu, sebelum kejadian beberapa bulan itu juragan Cu datang bersama keluarganya dari kota raja. Entah kenapa orang kaya ini pindah dari kota besar ke kota kecil, tak ada yang tahu. Mungkin karena kehidupan dikota besar sesak, atau mungkin ada hal lain yang membuat juragan ini tak kerasan.
Yang jelas, sejak dia pindah ke kota pelabuhan kota sungai, juragan ini mampu membeli berpuluh perahu kecil dan hidup akrab dengan pejabat-pejabat kota, sampai tokoh-tokoh penting, agaknya sudah dikenal dan beberapa perangkat kota tampak segan kepada hartawan baru ini. Maklum Cu-wangwe (juragan Cu) adalah laki-laki yang katanya memiliki hubungan dengan seorang menteri di istana, didesas desuskan sebagai keluarga dekat.
Jadi, menebeng nama menteri ini Cu-wangwe lalu disegani orang Ming-ciang, meskipun baru namun beberapa minggu kemudian pengaruhnya berkembang łuas. Dan karena dialah satu-satunya hartawan yang dapat membeli berpuluh-puluh perahu untuk disewakan pada kaum nelayan maka sungai Wu-han, yang tiap hari isinya dikeruk dan diambil para nelayan tiba-tiba seolah menjadi harta milik Cu-wangwe ini.
Mula-mula tradisi kaum nelayan tak berubah, artinya berjalan dari itu ke itu juga. Pembagian ikan, sebagai bagi hasil masih ditularkan separuh. Yakni separuh untuk si nelayan dan separuh lagi untuk juragan Cu. Tapi ketika sebulan kemudian juragan ini mengadakan kebijaksanaan dengan merubah peraturan itu menjadi dua banding satu maka kehidupan nelayan tiba-tiba guncang.
"Kutetapkan hari ini sepertiga untuk kalian dua-pertiga untukku. Siapa yang tak setuju boleh tak usah menyewa perahuku dan mencari perahu lain." begitu pengumuman yang dicanangkan Cu-wangwe ini.
Kaum nelayan ribut, keadaan tiba-tiba menjadi gaduh dan gelisah. Banyak para nelayan menentang dan tak setuju, hartawan itu dianggap mau menangnya sendiri dan hidup enak-enakan. Kebiasaan yang sudah berjalan bertahun-tahun mendadak dikoyak begitu saja oleh sikap Cu-wangwe ini. Dan karena Cu-wangwe dianggap tak adil dan para nelayan tak setuju maka mereka berhenti dan mencarı atau pindah ke juragan lain.
Tapi persoalan baru menyusul, juragan-juragan ikan yang lain menyatakan tak sanggup menerima, perahu mereka sedikit dan sudah pas disewa nelayan lain. Jadi nelayan yang keluar dari hartawan she Cu itu menghadapi masalah keluar dari sana tapi tak diterima di sini, pekerjaan tertutup untuk mereka dan tentu saja mereka bingung. Kalau keadaan ini berlarut-larut mereka bisa berpredikat penganggur, satu keadaan yang tidak enak serta mencemaskan.
Dan ketika pintu di mana-mana tertutup dan juragan lain yang kalah besar dengan juragan she Cu itu menyatakan tak sanggup menerima para nelayan bekas Cu wangwe ini maka kehidupan semakin guncang dan beberapa dı antaranya terpaksa balik, kembali kepada Cu-wangwe.
"Kami menerima, biarlah dua pertiga bagian untuk wangwe dan sepertiga untuk kami."
“Hm, kalian datang setelah gagal? Kembali setelah ditolak pemilik perahu yang lain?" Cu-wangwe memelintir kumisnya, sombong. "Tidak bisa, hari ini peraturan terpaksa kurobah lagi, A-liok. Kau dan teman-temanmu telah membangkang dan kembali karena terpaksa. Kalau juragan lain menerima tentu kalian tak akan datang kemari. Tidak, peraturan itu tak berlaku lagi! Sekarang pembagiannya adalah tiga banding satu. Aku tiga perempat bagian dan kalian seperempatnya. Kalau kalian menerima boleh bekerja tapi kalau tidak juga tak apa, boleh pergi!"
"Wangwe...!" A-liok, nelayan yang mewakili teman-temannya itu terkejut. "Kenapa kau demikian kejam mempermainkan kami?” Dengan dua banding satu saja kami sudah berat, wangwe. Apalagi tiga banding satu kami mohon kebijaksanaan kau untuk menarik kembali!"
"Hm, siapa yang berkuasa di sini. A-liok? Kau ataukah aku? Kalau kalian tidak menjalankannya aku juga tidak memaksa, kalian boleh pergı dan cari perahu lain!" hartawan itu mendengus, memutar tubuh dan tidak menghiraukan nelayan itu lagi. Dia telah memberi keputusan dan tidak memperlunak Iagi. Apa yang dilakukan tadi adalah untuk menghajar kaum nelayan ini, sudah pergi dan kini mau bekerja lagi. Tentu saja tak begitu gampang dan Cu-wangwe sengaja bersikap keras.
Dia memang dapat hidup senang. Tidak seperti A-liok dan teman-temannya itu. Mau makan apa mereka itu kalau tidak bekerja. Memangnya mau menghidupi orang kaya, tidak bekerja pun disuapi anak isteri dengan kerikit sungai? Maki Cu-wangwe yang sudah mengelus dan mengusap pipa cangklongnya lalu melangkah pergi dan membiarkan A-liok beserta teman-temannya tertegun menangis dan beberapa diantaranya pingsan. Bukan pingsan karena kaget melainkan pingsan karena sudah beberapa harı ini mereka menahan lapar, tidak makan dan kini mengharap ikut juragan dulu lagi tapi justru Cu-wangwe mencueki mereka.
Pembagian yang sudah tidak adil semakin tidak adil lagi, mereka merintih dan mengeluh. Dan ketika hartawan itu memasuki rumahnya dan A-liok serta teman-temannya termangu maka nelayan ini tak dapat berbuat apa-apa dan pucat serta gemetar.
"Apa yang akan kita lakukan, kawan-kawan?" nelayan itu sayu memandang teman-temannya. "Maukah kalian menerima dan bekerja lagi:"
“Ah, habis bagaimana lagi, A-lok? Juragan lain tak dapat menerima kita, perahu mereka sedikit dan sudah disewa teman-leman yang lain. Kalau Cu-wangwe sudah menetapkan begitu dan marah kepada kita barangkali terpaksa kita menerima. Terhadap ini ketidakadilan besar. Cu wangwe pemeras!”
"Hm...!!" seorang tukang pukul tiba-tiba mucul, garang. "Cu-wangwe bukan pemeras, A-liok..! Dia tidak memaksa hati orang. Kalau kalian tidak suka boleh pergi, jangan menuduhkan kata-kata tak enak yang dapat membuat kalian celaka."
A-liok terkejut.
"Siapa berani mengatakan Cu-wangwe pemeras lagi? Hayo pukul... pukul... pukul! Boleh kalian bicara lagi, tikus-tikus busuk. Dan akan kulaporkan pada Cu-wangwe.”
Ciutlah nyali nelayan-nelayan itu. Mereka jadi semakin terkejut mendengar ancaman itu, tak boleh bekerja lagı. Satu ancaman yang jauh lebih dahsyat dibanding bekerja meskipun hasilnya. Tak memadai. Dan karena tukang pukul itu mau penjarakan mereka dan mau tak mau ancaman ini melumpuhkan nyali mereka. Akhirnya, dengan suara bulat namun tentu tidak puas mereka lalu menerima tawaran Cu-wangwe itu, masuk bekerja namun pembagian sudah semakin pincang. Mereka mau pindah namun tak ada juragan lain yang dapat menerima.
Ketika hari itu Cu-wangwe tertawa penuh kemenangan, nelayannya bekerja lagi maka hari demi hari dilewatkan para nelayan itu dengan perasaan tertindih. Bagi hasil yang dilaksanakan Cu-wangwe ini tiba-tiba seperti penyakit menular. Juragan-juragan yang lain, para pemilik perahu entah kenapa ikut ikutan mengatur kebijaksanaan baru. Mereka mencontoh gerakan Cu-wangwe itu, dan ketika anak buahnya memprotes dan menentang maka jawaban pemilik perahu ini hampir sama.
"Kami tak bisa berbuat banyak, kami kalah bisnis, Cu-wangwe mampu menjual murah sementara kami tidak!'"
Begitulah, guncangan ekonomi telah dibuat Cu-wangwe memang dapat menjual hasil ikannya dengan lebih murah, maklum, tenaga yang diperoleh dia juga murah. Dan karena ini berarti ancaman bagi para pemilik perahu lain dan mereka bisa bangkrut kalau tidak segera mengimbangi Cu-wangwe itu maka apa boleh buat mereka pun ikut ikutan menetapkan bagi hasil baru dengan cara seperti Cu-wangwe agar dapat bersaing dalam menjual barang dagangannya, tentu saja dengan mengorbankan para nelayan itu dan akibatnya kaum nelayan ini semakin terhimpit.
Orang kecil memang biasanya begitu, mudah dipermainkan orang besar, orang kuat. Dan ketika dengan terpaksa para nelayan ini menerima dan alasan yang dikemukakan juragan diterima maka sebagaimana biasa, juragan juragan perahu ini tertawa di balik rumah mereka karena mereka sendiri dapat menyelamatkan keuntungan mereka dan tentu saja masa bodoh terhadap anak buah mereka itu, nelayan-nelayan bodoh.
Tapi satu gebrakan lagi dilakukan hartawan she Cu itu. Dengan mengejutkan hartawan ini tiba-tiba membuat peraturan baru lagi, yakni bagi hasil dırobah, bukan tiga banding satu melainkan empat banding satu. Alasannya? Ah, mudah. Harus bersaing harga dengan juragan-juragan lain, persaingan ketat yang tentu saja tidak sehat. Hartawan ini mengandalkan posisinya yang kuat menekan para buruhnya lagi, membuat peraturan empat banding sutu. Siapa yang tak suka boleh keluar, dia dapat mencari pengganti karena pasaran buruh lagi mbludak, hartawan ini mulai sewenang-wenang dengan kekayaannya. Dan ketika keputusannya itu membuat gempar dan gelisah para buruhnya maka lag-lagi A-liok memprotes.
“Kami rasanya tak sanggup lagi bekerja, wangwe. Mana mungkin kami hanya menerima seperlimanya saja? Sedang menerima seperempat saja kami sudah mulai tertimbun hutang, apalagi seperlima!"
"Hmmm,.. aku sudah bilang jika kalian tak suka boleh pergi, A-liok. Aku tidak memaksa atau menyuruh kalian! Juragan ini membanting harga ikannya, apakah aku harus ikut dengan menjual harga tinggi yang berakibat tidak laku? Tidak. Aku terpaksa melakukan ini, aku perlu menyelamatkan harta dan hidupku. Ini persaingan ketat, aku tak mau kalah!”
"Tapi kami menjadi korban, kami seakan diperah!"
"Siapa memerah kalian?. Kalau tak suka boleh pergi, A-liok. Jangan macam-macam dan membantah!" Cu-wangwe malah melotot, mendelık pada nelayannya itu dan meninggalkannya pergi. Kata-kata itu membuat telinganya merah.
Dan ketika hartawan itu masuk rumah, Ia menyumpah nelayan ini maka A-Liok termangu-mangu dan lagi-lagi tidak bisa bicara. "Kalıan mau, kawan-kawan?" tanyanya lirih. Bısakah kita hidup dengan pembagian yang semakin menyolok itu?"
"Habis apa yang dapat kita lakukan? Kita buruh kecil selamanya susah, A-Liok. Kita terima saja dan serahkan nasib kepada Tuhan!" Omongan ini menghentikan pergunjingan. Memang itu seakan hiburan akhir bagi mereka, menyerahkan nasib kepada Tuhan. Biarlah Tuhan mengatur hidup mereka dan mereka bekerja lagi.
Dan karena para nelayan ini menerima dan Cu wangwe menekan harga ikannya lagi maka di pihak para pemilik perahu yang lain terbelalak merasa dipukul. “Cu-wangwe melakukan bagi hasil macam itu? Wah, kita celaka, teman-teman. Bisa bangkrut dan gulung tikar kita nanti. Apa boleh buat, tentu kita pun harus dibuat mengerti dan kita mengikuti tindakan Cu-wangwe itu!"
Buruh nelayan di Iain tempat ganti dihantam. Mereka diberi tahu perobahan itu, bahwa masing-masing majikan mereka terpaksa mengimbangi jejak Cu-wangwe, ikut-ikutan membuat bagi hasil empat banding satu. Tentu saja ini mengejutkan dan membuat nelayan tersirap. Jerat di leher mereka kian ke atas, sedikit ke atas lagi mereka bisa menggelepar. Ah, orang kecil memang susah. Dan ketika mereka terpaksa menerima dan banting-membanting harga terjadi di pasaran ikan maka Cu-wangwe dan saingan dagangnya pukul-memukul di balik tabir, sementara kaum nelayan akan tercekik dan putus asa, dihantam lagi gelombang permainan para majikan yang turun-menurunkan harga, semuanya selalu dimulai Cu-wangwe.
Agaknya hartawan itu tak puas-puasnya bermain curang dan menindas nelayannya dengan bagi hasil yang lebih rendah lagi, lima banding satu dan akhirnya enam banding satu. Dalam waktu begitu cepat hartawan ini pukul-memukul harga, tentu saja kaum nelayanlah yang menjadi korban. Dan ketika perbandingan menjadi satu banding sepuluh dan para nelayan tak kuat lagi. Ketika itulah muncul Kwee Han itu. Seorang nelayan muda yang gagah berani.
"Kita hentikan permainan curang kaum majikan ini. Semua mogok bekerja dan jangan mmenangkap ikan!"
Kaum nelayan ribut. Itu berarti fatal bagi mereka, periuk di rumah tak akan mengebul dan alamat anak isteri mati kelaparan. Mereka bersuara gaduh, tentu saja ada yang setuju dan tidak setuju. Dan ketika yang tidak setuju menentang pendapat Kwie Han dan seorang laki-laki tua maju ke depan maka Pwe lopek, kakek itu, mengacungkan tangan.
"Kwee Han, enak saja kau menyuruh berhenti bekerja. Makan apa anak isteri kami nanti? Minum apa mereka kalau berteriak haus?" Kau mau mengajak kami menjadi perampok?”
“Kalian semua pindah pekerjaan, lopek. Banting stir dan tıdak menangkap ikan lagı!"
"Bagus, kau mau mengajak kami merampok?”
Tempat itu geger. Debat yang dilancarkan Pwee-lopek ini benar, mereka mengangguk dan setuju. Keahlian mereka memang menangkap ikan, bertahun-tahun hidup sebagai nelayan, tak ada keterampilan lain.
Tapi Kwee Han yang gagah berdiri diantara kerumunan teman-temannya menggeram, merasa dipojokkan. “Lopek, kenapa hanya pikiran perut melulu yang ada di benakmu? Apakah aku menyuruh kalian merampok. Siapa bilang kita harus bekerja sebagai penyamun? Tidak, kita tetap mengerjakan pekerjaan yang halal, lopek. Dan jangan kalian kira aku akan menyesatkan kalian!"
"Tapi pekerjaan sekarang susah, di mana-mana kaum majikan selalu menolak!"
"Itu karena kebanyakan tenaga. Kita semua hanya memiliki keterampilan yang itu itu saja, kita berbakat menjadi buruh! Siapa tidak tahu bahwa hal ini pun disebabkan kesalahan kita, sistem masyarakat kita yang ingin hidup melulu ketergantungan diri kepada majikan? Tidak. Kita harus merobah keadaan ini, teman-teman. Dan itu semua diawali dengan pemogokan kerja!"
Para nelayan kembali ribut. Waktu itu belum ada larangan mogok. Masalah ini masih belum meluas dan bersifat intern saja, baru terjadi di Ming-ciang itu. Pemerintahan di kota raja atau daerah belum ikut campur. Jadi apa yang diusulkan Kwek Han masih baru, baru kali itu didengar kaum nelayan. Dan detik itu mereka menuntut apa yang dimaui Kwee Han sesungguhnya kalau bukan merampok atau menyamun maka pemuda berkulit kehitaman ini berkata berapi-api.
“Kalian semua tahu bahwa ini semua gara-gara Cu-wangwe. Dia semena-mena dengan kekayaannya, ia mentang-mentang dan menindas kita. Dan karena kita sudah dicekik dan juragan perahu yang lain hanya membelo dan menumpang sepak terjang hartawan itu maka kalian kuajak mogok dan melakukan tindakan balasan. Tunjukkan pada semua juragan itu bahwa kita dapat hidup tanpa mereka, bahwa kita bukan tıkus yang mudah diinjak dan dipermainkan. Bagaimana kalau kita bertanı? Bagaimana kalau kita merubah haluan dan nasıb kita sendiri?"
"Bertani?" seorang nelayan tertawa, mengejek. "Kau mimpi, Kwee Han. Tak ada di antara kita yang memilıki tanah dan dapat bercocok tanam. Kau mengkhayal dan membual. Atau barangkali kau memiliki tanah ratusan hektar dan kini secara cuma-cuma hendak membagikannya kepada kami, ha-ha!”
"Benar!" Kwee Han tiba-tiba berteriak, mengacungkan tinju. "Kalian semua akan mendapatkan tanah itu, kawan-kawan. Dan satu yang dituntut dari kalian ialah kerja keras. Maukah kalian bekerja keras? Maukah kalian membabat hutan dan membuka lahan? Nah, di depan itu tanah harapan kita, teman teman. Kita dapat bertani dan mencukupı makan minum kita tanpa menggantungkan diri kepada majikan!"
"Membabat hutan?" kaum nelayan terkejut. "Kau gila, Kwee Han? Kau mabok?"
"Tidak, hutan itu adalah milik kita, teman-teman. Tanah dan seisinya ini adalah milık kita, rakyat! Kita dapat bertani dan membuka lahan itu!”
Kaum nelayan geger. Mereka tiba-tiba gaduh dan melihat kesempatan baru itu, kebenaran itu. Dan ketika mereka ribut dan saling bicara sendiri maka Kwee Han mengangkat tangannya lagi, tinggi-tinggi.
“Kawan-kawan, bagaimana sekarang pendapat kalian? Salahkah bila kukatakan bahwa kita dapat merubah nasib dan hidup kita dengan cara seperti yang kusebutkan tadi? Kita sudah berbulan bulan ditindas juragan perahu, kawan-kawan. Dan kita harus berontak dan berani meninggalkan mereka. Hidup tidak melulu dengan menangkap ikan saja, banyak jalan menuju keberhasilan asal kita mau bekerja keras! Ayo, siapa mau ikut aku? Siapa mau membabat hutan dan banting stir menjadi petani?"
"Aku...”
"Aku...”
"Aku juga!”
Dan ketika susul-menyusul teriakan para nelayan itu gembira menyambut ajakan Kwee Han maka yang lain-lain, yang tadi merasa ragu dan mengejek pemuda itu tiba-tiba tergerak dan ikut ikutan mengacungkan tangan. Mereka dapat melihat itu dan sebuah kehidupan baru menantang mereka, mereka akan bekerja keras dan membabat hutan. Dikerjakan secara beramai-ramai tentu asyik dan menyenangkan. Dan ketika hari itu Kwee Han berhasil mempengaruhi teman teman-temannya dan seluruh nelayan mogok bekerja maka para juragan perahu menjadi ribut dan gempar.
“Kami siap meninggalkan kalian daripada ditindas seperti anjing. Birlah kami memulai hidup baru dan bekerja dengan lebih terhormat, toh kami adalah manusia yang layak hidup pantas dan bukan binatang!" Begitu rata-rata jawaban mereka.
Para pemilik perahu tertegun, mula-mula tak percaya namun akhirnya melihat kesungguhan itu. Kebulatan tekad dan mata yang bersinar-sinar dari buruh nelayan yang berhasil dibangkitkan semangatnya oleh Kwee Han itu memang tak main-main. Mereka siap meninggalkan pekerjaan lama berganti dengan pekerjaan baru. Membabat hutan, bercocok tanam dan Kwee Han berjanji akan membantu mereka dalam masalah ini, pemuda itu mempunyai teman yang dapat menuntun mereka sebagai petani mahir.
Kwee Han memang dikenal sebagai pemuda yang banyak bergerak, aktip dan beberapa di antaranya adalah petani yang tinggal di luar Ming ciang. Jadi petani sahabat-sahabat Kwee Han itulah yang akan membantu, Kwee Han orang kecil memang sahabatnya terdiri dari orang-orang kecil pula. Dan ketika seminggu para nelayan itu mogok dan entah darimana Kwee Han mampu menyumbang temannya makan minum sebelum mendapat penghasilan maka pemilik perahu, dan juga Cu-wangwe, mencak-mencak.
“Keparat, siapa Kwee Han itu? Orang macam apa dia?”
"Dia nelayan sederhana, wangwe. Memiliki sebuah perahu sendiri namun butut."
"Hah, dan sekarang mengacau dengan pemogokan massal?"
"Kami tak berdaya, mereka telah pergi dan terpengaruh pemuda itu."
"Keparat, siapkan kereta. biar aku menghadap Lie-taijin (pembesar Lie)!" Cu wangwe marah marah, berang dan minta disiapkan sebuah kereta di mana kemudian dia buru-buru menghadap Lie-taijin, kepala atau pemimpin daerah itu, Walikota Ming-ciang. Dan ketika hartawan itu melaporkan tindakan Kwee Han dan betapa seluruh kehidupan nelayan berhenti total, maka pemilik perahu yang lain, yang diajak hartawan itu untuk membumbui dan memanaskan keadaan disambut kerut dalam oleh pembesar ini, menyuruh panggil pemuda she Kwee itu.
"Panggil dia, biar kuminta penjelasannya!"
Kwee Han menghadap. Dengan tenang dan sedikit pun tidak takut pemuda itu dihadapkan dengan Lie-taijin dan pihak "oposisi", rata-rata semua mata melotot memandangnya dengan gusar. Cu-wangwe apalagi. Dan ketika pemuda itu ditanya dan ganti berganti mendapatkan serangan gencar maka pemuda ini, yang juga mengajak beberapa temannya untuk mendatangi hartawan-hartawan itu lalu berkata,
"Taijin, kami semua dengan juragan-juragan perahu tak ada ikatan resmi. Boleh kau tanya mereka itu. Sekarang kalau kami meninggalkan mereka bukankah tak perlu mereka marah-marah. Lihat dan tanya mereka, taijin, apa jawab mereka kalau kami menuntut imbalan yang pantas. Tentu akan dijawab boleh kami pergi kalau kami tak suka. Nah, sekarang kami pergi, kenapa marah? Bukankah kami tak bersalah?"
“Tapi mereka meninggalkan hutang, bocah she Kwee. Puluhan buruh nelayanku membawa hutang!" Cu-wangwe membentak.
"ltu dapat diatur," Kwee Han tenang-tenang saja. "Kamı bukan sebangsa manusia yang tidak bertanggung jawab, wangwe. Kalau kami berhasil dengan membuka lahan itu tentu kami akan membayar dan melunasinya."
"Tapi hutang mereka berbunga! Kapan akan dibayar?"
"Kami akan membayar sesuai kemampuan kami. wangwe. Dan masalah bunga juga dapat diatur."
“Keparat kau pandai bicara dan main aturanmu sendiri. Kau pengacau, kau patut ditangkap!"
Dan Cu-wangwe yang marah berseru pada Lie-taijin lalu menyuruh tangkap pemuda itu, memberi tanda dan juragan-juragan yang lain mengangguk. Mereka tentu saja setuju kalau Kwee Han ditangkap. Tapi Kwee Han yang mengedikkan kepala berseru lantang tiba-tiba membentak,
"Cu-wangwe, jangan kau sombong. Sebenarnya kalau bukan karena kau tak mungkin semuanya ini akan terjadi! Lihat, siapa yang mulai membuat gara gara? Siapa yang menurunkan tarip seenaknya? Kaulah, wangwe. Kau memeras dan menindas buruh-buruhmu. Kau menimba keuntungan besar dari keringat buruhmu dan terus menekan mereka. Bagi hasil kau atur seenak perutmu, kau tak menghiraukan mereka dan berkali-kali menantang mereka untuk keluar kalau tak setuju dengan tindakanmu. Sekarang mereka keluar. Sekarang mereka tak mau menangkap ikan lagi dan akan memulai hidup baru, bertani. Kenapa kalian sewot dan gusar? Lie taijin boleh saja menangkap aku, wangwe. Tapi seluruh temanku akan berontak dan membuat kekacauan lebih besar. Ya, mereka akan melawan dan tak mau lagı diperas dan dihina!"
Dan Kwee Han yang memaki habis habisan hartawan itu dan berkobar meneriakkan kata katanya lalu disambut suara hiruk pikuk di luar dan para nelayan yang mengikuti pemuda ini ternyata bersorak, mendengar dan menyatakan setuju dan Cu-wangwe serta lain-lainnya tentu saja pucat. Mereka tiba-tiba seolah-olah ditantang oleh buruh mereka. Bukan main! Dan ketika Cu-wangwe melotot dan Le-tajin bergerak menyuruh pengawalnya mengamankan pemuda itu maka Ming-ciang gager ketika para nelayan minta agar Kwee Han dibebaskan. Mereka tak mau pemuda itu ditangkap..
Selama seminggu ini kaum nelayan merasa berhutang budi besar kepada Kwee Han. Pemuda itulah yang menghidupi mereka selama ini, memberi makan minum. Juga anak isteri mereka! Dan ketika nelayan ribut-ribut dan Cu-wangwe serta pemilik perahu yang lain terbelalak memandang Lie-taijin maka buruh nelayan tiba-tiba memasuki gedung dan minta agar Kwee Han dibebaskan.
"Bebaskan Kwee Han, atau gedung ini kami bakar!"
"Ya, bebaskan Kwee Han, taijin. Atau gedung orang-orang kaya akan kami bakar semuanya!"
Dan ketika ribut dan gaduh itu semakin memuncak dan Lie-taijin ternganga melihat perlawanan kaum buruh tiba-tiba seseorang sudah menyulut api dan mau membakar gedung pembesar itu!
"Hei, jangan. Tunggu!” Orang itu disergap. Pengawal Lie-taijin sudah bergerak cepat dengan menghantam orang ini, orang itu roboh dan mengaduh.
Tapi ketika nelayan yang lain marah dan berteriak melihat temannya dipukul tiba tiba kaum buruh ini meluruk dan sudah menyerang si pengawal. Kekacauan terjadi. Kaum nelayan bagai api disiram minyak, selama ini mereka sudah memendam bibit kebencian. Teman mereka yang dipukul dan disergap tadi membuat mereka naik pitam. Maka begitu si pengawal merobohkan dan menghajar teman mereka mendadak ratusan buruh menerjang dan menubruk maju.
“Bunuh… hajar pengawal itu...!"
Kekalutan terjadi. Kemarahan kaum nelayan meledak dalam bentuk kasar. Mereka sudah menangkap dan menghajar pengawal itu, dıpukul beramai ramai, tentu saja pengawal yang lain tak terima dan mereka itu membela teman mereka. Pengawal yang melawan dan meronta-ronta di tengah kerumunan kaum nelayan, babak belur dan sebentar kemudian bentrokan fisik tak dapat dihindari.
Kaum nelayan berkelahi melawan para pengawal. Cu wangwe dan teman temannya buru buru menyingkir dari amukan buruhnya itu. Keadaan memang berbahaya. Amukan kaum nelayan dapat menjadi ajang pembunuhan, tentu saja Cu wangwe pucat. Dan ketika para pengawal justeru dihajar dan dikeroyok kaum nelayan yang jumlahnya lebih banyak dari mereka maka Lie-Taijin berteriak teriak agar kerusuhan diakhiri.
“Hei... kalian berhenti. Jangan ribut!"
Namun, suara pembesar ini tidak digubris kaum nelayan justeru semakin kelap. mereka mengamuk dan memukuli apa saja. Kebencian, kemarahan selama ini tiba-tiba seolah pelampiasan, para pengawal yang lain buru-buru menyelamatkan diri dan lari. Mereka benar-benar dapat dibunuh, keberingasan kaum nelayan itu tak lagi terbendung. Dan ketika Lie-taijin coba melerai, kaum nelayan melihat pembesar itu mendadak mereka lari dan malah menghambur kearah Lie-taijin.
"Lie-taijın antek Cu-wangwe! Bunuh dia....!”
Dan itu semua berasal dari kejadian beberapa bulan yang lalu. Kaum nelayan, sebagaimana kehidupan rakyat kecil lainnya adalah kaum yang lemah dan selalu tertekan. Banyak di antara mereka yang tak mempunyai perahu sendiri, hidup dengan menyewa perahu juragan-juragan kaya di mana alam kehidupan sehari-hari mereka itu lalu bagi hasil. Artinya, ikan yang mereka dapatkan haruslah dibagi dengan sang juragan sebagai pembayaran sewa perahu.
Tapi karena akhir-akhir ini terjadi ketika mana para juragan menuntut terlalu banyak, maka kaum nelayan menjadi gelisah dan tak tenteram. Dan itu dimulai dari datangnya juragan Cu dua minggu yang lalu, sebelum kejadian beberapa bulan itu juragan Cu datang bersama keluarganya dari kota raja. Entah kenapa orang kaya ini pindah dari kota besar ke kota kecil, tak ada yang tahu. Mungkin karena kehidupan dikota besar sesak, atau mungkin ada hal lain yang membuat juragan ini tak kerasan.
Yang jelas, sejak dia pindah ke kota pelabuhan kota sungai, juragan ini mampu membeli berpuluh perahu kecil dan hidup akrab dengan pejabat-pejabat kota, sampai tokoh-tokoh penting, agaknya sudah dikenal dan beberapa perangkat kota tampak segan kepada hartawan baru ini. Maklum Cu-wangwe (juragan Cu) adalah laki-laki yang katanya memiliki hubungan dengan seorang menteri di istana, didesas desuskan sebagai keluarga dekat.
Jadi, menebeng nama menteri ini Cu-wangwe lalu disegani orang Ming-ciang, meskipun baru namun beberapa minggu kemudian pengaruhnya berkembang łuas. Dan karena dialah satu-satunya hartawan yang dapat membeli berpuluh-puluh perahu untuk disewakan pada kaum nelayan maka sungai Wu-han, yang tiap hari isinya dikeruk dan diambil para nelayan tiba-tiba seolah menjadi harta milik Cu-wangwe ini.
Mula-mula tradisi kaum nelayan tak berubah, artinya berjalan dari itu ke itu juga. Pembagian ikan, sebagai bagi hasil masih ditularkan separuh. Yakni separuh untuk si nelayan dan separuh lagi untuk juragan Cu. Tapi ketika sebulan kemudian juragan ini mengadakan kebijaksanaan dengan merubah peraturan itu menjadi dua banding satu maka kehidupan nelayan tiba-tiba guncang.
"Kutetapkan hari ini sepertiga untuk kalian dua-pertiga untukku. Siapa yang tak setuju boleh tak usah menyewa perahuku dan mencari perahu lain." begitu pengumuman yang dicanangkan Cu-wangwe ini.
Kaum nelayan ribut, keadaan tiba-tiba menjadi gaduh dan gelisah. Banyak para nelayan menentang dan tak setuju, hartawan itu dianggap mau menangnya sendiri dan hidup enak-enakan. Kebiasaan yang sudah berjalan bertahun-tahun mendadak dikoyak begitu saja oleh sikap Cu-wangwe ini. Dan karena Cu-wangwe dianggap tak adil dan para nelayan tak setuju maka mereka berhenti dan mencarı atau pindah ke juragan lain.
Tapi persoalan baru menyusul, juragan-juragan ikan yang lain menyatakan tak sanggup menerima, perahu mereka sedikit dan sudah pas disewa nelayan lain. Jadi nelayan yang keluar dari hartawan she Cu itu menghadapi masalah keluar dari sana tapi tak diterima di sini, pekerjaan tertutup untuk mereka dan tentu saja mereka bingung. Kalau keadaan ini berlarut-larut mereka bisa berpredikat penganggur, satu keadaan yang tidak enak serta mencemaskan.
Dan ketika pintu di mana-mana tertutup dan juragan lain yang kalah besar dengan juragan she Cu itu menyatakan tak sanggup menerima para nelayan bekas Cu wangwe ini maka kehidupan semakin guncang dan beberapa dı antaranya terpaksa balik, kembali kepada Cu-wangwe.
"Kami menerima, biarlah dua pertiga bagian untuk wangwe dan sepertiga untuk kami."
“Hm, kalian datang setelah gagal? Kembali setelah ditolak pemilik perahu yang lain?" Cu-wangwe memelintir kumisnya, sombong. "Tidak bisa, hari ini peraturan terpaksa kurobah lagi, A-liok. Kau dan teman-temanmu telah membangkang dan kembali karena terpaksa. Kalau juragan lain menerima tentu kalian tak akan datang kemari. Tidak, peraturan itu tak berlaku lagi! Sekarang pembagiannya adalah tiga banding satu. Aku tiga perempat bagian dan kalian seperempatnya. Kalau kalian menerima boleh bekerja tapi kalau tidak juga tak apa, boleh pergi!"
"Wangwe...!" A-liok, nelayan yang mewakili teman-temannya itu terkejut. "Kenapa kau demikian kejam mempermainkan kami?” Dengan dua banding satu saja kami sudah berat, wangwe. Apalagi tiga banding satu kami mohon kebijaksanaan kau untuk menarik kembali!"
"Hm, siapa yang berkuasa di sini. A-liok? Kau ataukah aku? Kalau kalian tidak menjalankannya aku juga tidak memaksa, kalian boleh pergı dan cari perahu lain!" hartawan itu mendengus, memutar tubuh dan tidak menghiraukan nelayan itu lagi. Dia telah memberi keputusan dan tidak memperlunak Iagi. Apa yang dilakukan tadi adalah untuk menghajar kaum nelayan ini, sudah pergi dan kini mau bekerja lagi. Tentu saja tak begitu gampang dan Cu-wangwe sengaja bersikap keras.
Dia memang dapat hidup senang. Tidak seperti A-liok dan teman-temannya itu. Mau makan apa mereka itu kalau tidak bekerja. Memangnya mau menghidupi orang kaya, tidak bekerja pun disuapi anak isteri dengan kerikit sungai? Maki Cu-wangwe yang sudah mengelus dan mengusap pipa cangklongnya lalu melangkah pergi dan membiarkan A-liok beserta teman-temannya tertegun menangis dan beberapa diantaranya pingsan. Bukan pingsan karena kaget melainkan pingsan karena sudah beberapa harı ini mereka menahan lapar, tidak makan dan kini mengharap ikut juragan dulu lagi tapi justru Cu-wangwe mencueki mereka.
Pembagian yang sudah tidak adil semakin tidak adil lagi, mereka merintih dan mengeluh. Dan ketika hartawan itu memasuki rumahnya dan A-liok serta teman-temannya termangu maka nelayan ini tak dapat berbuat apa-apa dan pucat serta gemetar.
"Apa yang akan kita lakukan, kawan-kawan?" nelayan itu sayu memandang teman-temannya. "Maukah kalian menerima dan bekerja lagi:"
“Ah, habis bagaimana lagi, A-lok? Juragan lain tak dapat menerima kita, perahu mereka sedikit dan sudah disewa teman-leman yang lain. Kalau Cu-wangwe sudah menetapkan begitu dan marah kepada kita barangkali terpaksa kita menerima. Terhadap ini ketidakadilan besar. Cu wangwe pemeras!”
"Hm...!!" seorang tukang pukul tiba-tiba mucul, garang. "Cu-wangwe bukan pemeras, A-liok..! Dia tidak memaksa hati orang. Kalau kalian tidak suka boleh pergi, jangan menuduhkan kata-kata tak enak yang dapat membuat kalian celaka."
A-liok terkejut.
"Siapa berani mengatakan Cu-wangwe pemeras lagi? Hayo pukul... pukul... pukul! Boleh kalian bicara lagi, tikus-tikus busuk. Dan akan kulaporkan pada Cu-wangwe.”
Ciutlah nyali nelayan-nelayan itu. Mereka jadi semakin terkejut mendengar ancaman itu, tak boleh bekerja lagı. Satu ancaman yang jauh lebih dahsyat dibanding bekerja meskipun hasilnya. Tak memadai. Dan karena tukang pukul itu mau penjarakan mereka dan mau tak mau ancaman ini melumpuhkan nyali mereka. Akhirnya, dengan suara bulat namun tentu tidak puas mereka lalu menerima tawaran Cu-wangwe itu, masuk bekerja namun pembagian sudah semakin pincang. Mereka mau pindah namun tak ada juragan lain yang dapat menerima.
Ketika hari itu Cu-wangwe tertawa penuh kemenangan, nelayannya bekerja lagi maka hari demi hari dilewatkan para nelayan itu dengan perasaan tertindih. Bagi hasil yang dilaksanakan Cu-wangwe ini tiba-tiba seperti penyakit menular. Juragan-juragan yang lain, para pemilik perahu entah kenapa ikut ikutan mengatur kebijaksanaan baru. Mereka mencontoh gerakan Cu-wangwe itu, dan ketika anak buahnya memprotes dan menentang maka jawaban pemilik perahu ini hampir sama.
"Kami tak bisa berbuat banyak, kami kalah bisnis, Cu-wangwe mampu menjual murah sementara kami tidak!'"
Begitulah, guncangan ekonomi telah dibuat Cu-wangwe memang dapat menjual hasil ikannya dengan lebih murah, maklum, tenaga yang diperoleh dia juga murah. Dan karena ini berarti ancaman bagi para pemilik perahu lain dan mereka bisa bangkrut kalau tidak segera mengimbangi Cu-wangwe itu maka apa boleh buat mereka pun ikut ikutan menetapkan bagi hasil baru dengan cara seperti Cu-wangwe agar dapat bersaing dalam menjual barang dagangannya, tentu saja dengan mengorbankan para nelayan itu dan akibatnya kaum nelayan ini semakin terhimpit.
Orang kecil memang biasanya begitu, mudah dipermainkan orang besar, orang kuat. Dan ketika dengan terpaksa para nelayan ini menerima dan alasan yang dikemukakan juragan diterima maka sebagaimana biasa, juragan juragan perahu ini tertawa di balik rumah mereka karena mereka sendiri dapat menyelamatkan keuntungan mereka dan tentu saja masa bodoh terhadap anak buah mereka itu, nelayan-nelayan bodoh.
Tapi satu gebrakan lagi dilakukan hartawan she Cu itu. Dengan mengejutkan hartawan ini tiba-tiba membuat peraturan baru lagi, yakni bagi hasil dırobah, bukan tiga banding satu melainkan empat banding satu. Alasannya? Ah, mudah. Harus bersaing harga dengan juragan-juragan lain, persaingan ketat yang tentu saja tidak sehat. Hartawan ini mengandalkan posisinya yang kuat menekan para buruhnya lagi, membuat peraturan empat banding sutu. Siapa yang tak suka boleh keluar, dia dapat mencari pengganti karena pasaran buruh lagi mbludak, hartawan ini mulai sewenang-wenang dengan kekayaannya. Dan ketika keputusannya itu membuat gempar dan gelisah para buruhnya maka lag-lagi A-liok memprotes.
“Kami rasanya tak sanggup lagi bekerja, wangwe. Mana mungkin kami hanya menerima seperlimanya saja? Sedang menerima seperempat saja kami sudah mulai tertimbun hutang, apalagi seperlima!"
"Hmmm,.. aku sudah bilang jika kalian tak suka boleh pergi, A-liok. Aku tidak memaksa atau menyuruh kalian! Juragan ini membanting harga ikannya, apakah aku harus ikut dengan menjual harga tinggi yang berakibat tidak laku? Tidak. Aku terpaksa melakukan ini, aku perlu menyelamatkan harta dan hidupku. Ini persaingan ketat, aku tak mau kalah!”
"Tapi kami menjadi korban, kami seakan diperah!"
"Siapa memerah kalian?. Kalau tak suka boleh pergi, A-liok. Jangan macam-macam dan membantah!" Cu-wangwe malah melotot, mendelık pada nelayannya itu dan meninggalkannya pergi. Kata-kata itu membuat telinganya merah.
Dan ketika hartawan itu masuk rumah, Ia menyumpah nelayan ini maka A-Liok termangu-mangu dan lagi-lagi tidak bisa bicara. "Kalıan mau, kawan-kawan?" tanyanya lirih. Bısakah kita hidup dengan pembagian yang semakin menyolok itu?"
"Habis apa yang dapat kita lakukan? Kita buruh kecil selamanya susah, A-Liok. Kita terima saja dan serahkan nasib kepada Tuhan!" Omongan ini menghentikan pergunjingan. Memang itu seakan hiburan akhir bagi mereka, menyerahkan nasib kepada Tuhan. Biarlah Tuhan mengatur hidup mereka dan mereka bekerja lagi.
Dan karena para nelayan ini menerima dan Cu wangwe menekan harga ikannya lagi maka di pihak para pemilik perahu yang lain terbelalak merasa dipukul. “Cu-wangwe melakukan bagi hasil macam itu? Wah, kita celaka, teman-teman. Bisa bangkrut dan gulung tikar kita nanti. Apa boleh buat, tentu kita pun harus dibuat mengerti dan kita mengikuti tindakan Cu-wangwe itu!"
Buruh nelayan di Iain tempat ganti dihantam. Mereka diberi tahu perobahan itu, bahwa masing-masing majikan mereka terpaksa mengimbangi jejak Cu-wangwe, ikut-ikutan membuat bagi hasil empat banding satu. Tentu saja ini mengejutkan dan membuat nelayan tersirap. Jerat di leher mereka kian ke atas, sedikit ke atas lagi mereka bisa menggelepar. Ah, orang kecil memang susah. Dan ketika mereka terpaksa menerima dan banting-membanting harga terjadi di pasaran ikan maka Cu-wangwe dan saingan dagangnya pukul-memukul di balik tabir, sementara kaum nelayan akan tercekik dan putus asa, dihantam lagi gelombang permainan para majikan yang turun-menurunkan harga, semuanya selalu dimulai Cu-wangwe.
Agaknya hartawan itu tak puas-puasnya bermain curang dan menindas nelayannya dengan bagi hasil yang lebih rendah lagi, lima banding satu dan akhirnya enam banding satu. Dalam waktu begitu cepat hartawan ini pukul-memukul harga, tentu saja kaum nelayanlah yang menjadi korban. Dan ketika perbandingan menjadi satu banding sepuluh dan para nelayan tak kuat lagi. Ketika itulah muncul Kwee Han itu. Seorang nelayan muda yang gagah berani.
"Kita hentikan permainan curang kaum majikan ini. Semua mogok bekerja dan jangan mmenangkap ikan!"
Kaum nelayan ribut. Itu berarti fatal bagi mereka, periuk di rumah tak akan mengebul dan alamat anak isteri mati kelaparan. Mereka bersuara gaduh, tentu saja ada yang setuju dan tidak setuju. Dan ketika yang tidak setuju menentang pendapat Kwie Han dan seorang laki-laki tua maju ke depan maka Pwe lopek, kakek itu, mengacungkan tangan.
"Kwee Han, enak saja kau menyuruh berhenti bekerja. Makan apa anak isteri kami nanti? Minum apa mereka kalau berteriak haus?" Kau mau mengajak kami menjadi perampok?”
“Kalian semua pindah pekerjaan, lopek. Banting stir dan tıdak menangkap ikan lagı!"
"Bagus, kau mau mengajak kami merampok?”
Tempat itu geger. Debat yang dilancarkan Pwee-lopek ini benar, mereka mengangguk dan setuju. Keahlian mereka memang menangkap ikan, bertahun-tahun hidup sebagai nelayan, tak ada keterampilan lain.
Tapi Kwee Han yang gagah berdiri diantara kerumunan teman-temannya menggeram, merasa dipojokkan. “Lopek, kenapa hanya pikiran perut melulu yang ada di benakmu? Apakah aku menyuruh kalian merampok. Siapa bilang kita harus bekerja sebagai penyamun? Tidak, kita tetap mengerjakan pekerjaan yang halal, lopek. Dan jangan kalian kira aku akan menyesatkan kalian!"
"Tapi pekerjaan sekarang susah, di mana-mana kaum majikan selalu menolak!"
"Itu karena kebanyakan tenaga. Kita semua hanya memiliki keterampilan yang itu itu saja, kita berbakat menjadi buruh! Siapa tidak tahu bahwa hal ini pun disebabkan kesalahan kita, sistem masyarakat kita yang ingin hidup melulu ketergantungan diri kepada majikan? Tidak. Kita harus merobah keadaan ini, teman-teman. Dan itu semua diawali dengan pemogokan kerja!"
Para nelayan kembali ribut. Waktu itu belum ada larangan mogok. Masalah ini masih belum meluas dan bersifat intern saja, baru terjadi di Ming-ciang itu. Pemerintahan di kota raja atau daerah belum ikut campur. Jadi apa yang diusulkan Kwek Han masih baru, baru kali itu didengar kaum nelayan. Dan detik itu mereka menuntut apa yang dimaui Kwee Han sesungguhnya kalau bukan merampok atau menyamun maka pemuda berkulit kehitaman ini berkata berapi-api.
“Kalian semua tahu bahwa ini semua gara-gara Cu-wangwe. Dia semena-mena dengan kekayaannya, ia mentang-mentang dan menindas kita. Dan karena kita sudah dicekik dan juragan perahu yang lain hanya membelo dan menumpang sepak terjang hartawan itu maka kalian kuajak mogok dan melakukan tindakan balasan. Tunjukkan pada semua juragan itu bahwa kita dapat hidup tanpa mereka, bahwa kita bukan tıkus yang mudah diinjak dan dipermainkan. Bagaimana kalau kita bertanı? Bagaimana kalau kita merubah haluan dan nasıb kita sendiri?"
"Bertani?" seorang nelayan tertawa, mengejek. "Kau mimpi, Kwee Han. Tak ada di antara kita yang memilıki tanah dan dapat bercocok tanam. Kau mengkhayal dan membual. Atau barangkali kau memiliki tanah ratusan hektar dan kini secara cuma-cuma hendak membagikannya kepada kami, ha-ha!”
"Benar!" Kwee Han tiba-tiba berteriak, mengacungkan tinju. "Kalian semua akan mendapatkan tanah itu, kawan-kawan. Dan satu yang dituntut dari kalian ialah kerja keras. Maukah kalian bekerja keras? Maukah kalian membabat hutan dan membuka lahan? Nah, di depan itu tanah harapan kita, teman teman. Kita dapat bertani dan mencukupı makan minum kita tanpa menggantungkan diri kepada majikan!"
"Membabat hutan?" kaum nelayan terkejut. "Kau gila, Kwee Han? Kau mabok?"
"Tidak, hutan itu adalah milik kita, teman-teman. Tanah dan seisinya ini adalah milık kita, rakyat! Kita dapat bertani dan membuka lahan itu!”
Kaum nelayan geger. Mereka tiba-tiba gaduh dan melihat kesempatan baru itu, kebenaran itu. Dan ketika mereka ribut dan saling bicara sendiri maka Kwee Han mengangkat tangannya lagi, tinggi-tinggi.
“Kawan-kawan, bagaimana sekarang pendapat kalian? Salahkah bila kukatakan bahwa kita dapat merubah nasib dan hidup kita dengan cara seperti yang kusebutkan tadi? Kita sudah berbulan bulan ditindas juragan perahu, kawan-kawan. Dan kita harus berontak dan berani meninggalkan mereka. Hidup tidak melulu dengan menangkap ikan saja, banyak jalan menuju keberhasilan asal kita mau bekerja keras! Ayo, siapa mau ikut aku? Siapa mau membabat hutan dan banting stir menjadi petani?"
"Aku...”
"Aku...”
"Aku juga!”
Dan ketika susul-menyusul teriakan para nelayan itu gembira menyambut ajakan Kwee Han maka yang lain-lain, yang tadi merasa ragu dan mengejek pemuda itu tiba-tiba tergerak dan ikut ikutan mengacungkan tangan. Mereka dapat melihat itu dan sebuah kehidupan baru menantang mereka, mereka akan bekerja keras dan membabat hutan. Dikerjakan secara beramai-ramai tentu asyik dan menyenangkan. Dan ketika hari itu Kwee Han berhasil mempengaruhi teman teman-temannya dan seluruh nelayan mogok bekerja maka para juragan perahu menjadi ribut dan gempar.
“Kami siap meninggalkan kalian daripada ditindas seperti anjing. Birlah kami memulai hidup baru dan bekerja dengan lebih terhormat, toh kami adalah manusia yang layak hidup pantas dan bukan binatang!" Begitu rata-rata jawaban mereka.
Para pemilik perahu tertegun, mula-mula tak percaya namun akhirnya melihat kesungguhan itu. Kebulatan tekad dan mata yang bersinar-sinar dari buruh nelayan yang berhasil dibangkitkan semangatnya oleh Kwee Han itu memang tak main-main. Mereka siap meninggalkan pekerjaan lama berganti dengan pekerjaan baru. Membabat hutan, bercocok tanam dan Kwee Han berjanji akan membantu mereka dalam masalah ini, pemuda itu mempunyai teman yang dapat menuntun mereka sebagai petani mahir.
Kwee Han memang dikenal sebagai pemuda yang banyak bergerak, aktip dan beberapa di antaranya adalah petani yang tinggal di luar Ming ciang. Jadi petani sahabat-sahabat Kwee Han itulah yang akan membantu, Kwee Han orang kecil memang sahabatnya terdiri dari orang-orang kecil pula. Dan ketika seminggu para nelayan itu mogok dan entah darimana Kwee Han mampu menyumbang temannya makan minum sebelum mendapat penghasilan maka pemilik perahu, dan juga Cu-wangwe, mencak-mencak.
“Keparat, siapa Kwee Han itu? Orang macam apa dia?”
"Dia nelayan sederhana, wangwe. Memiliki sebuah perahu sendiri namun butut."
"Hah, dan sekarang mengacau dengan pemogokan massal?"
"Kami tak berdaya, mereka telah pergi dan terpengaruh pemuda itu."
"Keparat, siapkan kereta. biar aku menghadap Lie-taijin (pembesar Lie)!" Cu wangwe marah marah, berang dan minta disiapkan sebuah kereta di mana kemudian dia buru-buru menghadap Lie-taijin, kepala atau pemimpin daerah itu, Walikota Ming-ciang. Dan ketika hartawan itu melaporkan tindakan Kwee Han dan betapa seluruh kehidupan nelayan berhenti total, maka pemilik perahu yang lain, yang diajak hartawan itu untuk membumbui dan memanaskan keadaan disambut kerut dalam oleh pembesar ini, menyuruh panggil pemuda she Kwee itu.
"Panggil dia, biar kuminta penjelasannya!"
Kwee Han menghadap. Dengan tenang dan sedikit pun tidak takut pemuda itu dihadapkan dengan Lie-taijin dan pihak "oposisi", rata-rata semua mata melotot memandangnya dengan gusar. Cu-wangwe apalagi. Dan ketika pemuda itu ditanya dan ganti berganti mendapatkan serangan gencar maka pemuda ini, yang juga mengajak beberapa temannya untuk mendatangi hartawan-hartawan itu lalu berkata,
"Taijin, kami semua dengan juragan-juragan perahu tak ada ikatan resmi. Boleh kau tanya mereka itu. Sekarang kalau kami meninggalkan mereka bukankah tak perlu mereka marah-marah. Lihat dan tanya mereka, taijin, apa jawab mereka kalau kami menuntut imbalan yang pantas. Tentu akan dijawab boleh kami pergi kalau kami tak suka. Nah, sekarang kami pergi, kenapa marah? Bukankah kami tak bersalah?"
“Tapi mereka meninggalkan hutang, bocah she Kwee. Puluhan buruh nelayanku membawa hutang!" Cu-wangwe membentak.
"ltu dapat diatur," Kwee Han tenang-tenang saja. "Kamı bukan sebangsa manusia yang tidak bertanggung jawab, wangwe. Kalau kami berhasil dengan membuka lahan itu tentu kami akan membayar dan melunasinya."
"Tapi hutang mereka berbunga! Kapan akan dibayar?"
"Kami akan membayar sesuai kemampuan kami. wangwe. Dan masalah bunga juga dapat diatur."
“Keparat kau pandai bicara dan main aturanmu sendiri. Kau pengacau, kau patut ditangkap!"
Dan Cu-wangwe yang marah berseru pada Lie-taijin lalu menyuruh tangkap pemuda itu, memberi tanda dan juragan-juragan yang lain mengangguk. Mereka tentu saja setuju kalau Kwee Han ditangkap. Tapi Kwee Han yang mengedikkan kepala berseru lantang tiba-tiba membentak,
"Cu-wangwe, jangan kau sombong. Sebenarnya kalau bukan karena kau tak mungkin semuanya ini akan terjadi! Lihat, siapa yang mulai membuat gara gara? Siapa yang menurunkan tarip seenaknya? Kaulah, wangwe. Kau memeras dan menindas buruh-buruhmu. Kau menimba keuntungan besar dari keringat buruhmu dan terus menekan mereka. Bagi hasil kau atur seenak perutmu, kau tak menghiraukan mereka dan berkali-kali menantang mereka untuk keluar kalau tak setuju dengan tindakanmu. Sekarang mereka keluar. Sekarang mereka tak mau menangkap ikan lagi dan akan memulai hidup baru, bertani. Kenapa kalian sewot dan gusar? Lie taijin boleh saja menangkap aku, wangwe. Tapi seluruh temanku akan berontak dan membuat kekacauan lebih besar. Ya, mereka akan melawan dan tak mau lagı diperas dan dihina!"
Dan Kwee Han yang memaki habis habisan hartawan itu dan berkobar meneriakkan kata katanya lalu disambut suara hiruk pikuk di luar dan para nelayan yang mengikuti pemuda ini ternyata bersorak, mendengar dan menyatakan setuju dan Cu-wangwe serta lain-lainnya tentu saja pucat. Mereka tiba-tiba seolah-olah ditantang oleh buruh mereka. Bukan main! Dan ketika Cu-wangwe melotot dan Le-tajin bergerak menyuruh pengawalnya mengamankan pemuda itu maka Ming-ciang gager ketika para nelayan minta agar Kwee Han dibebaskan. Mereka tak mau pemuda itu ditangkap..
Selama seminggu ini kaum nelayan merasa berhutang budi besar kepada Kwee Han. Pemuda itulah yang menghidupi mereka selama ini, memberi makan minum. Juga anak isteri mereka! Dan ketika nelayan ribut-ribut dan Cu-wangwe serta pemilik perahu yang lain terbelalak memandang Lie-taijin maka buruh nelayan tiba-tiba memasuki gedung dan minta agar Kwee Han dibebaskan.
"Bebaskan Kwee Han, atau gedung ini kami bakar!"
"Ya, bebaskan Kwee Han, taijin. Atau gedung orang-orang kaya akan kami bakar semuanya!"
Dan ketika ribut dan gaduh itu semakin memuncak dan Lie-taijin ternganga melihat perlawanan kaum buruh tiba-tiba seseorang sudah menyulut api dan mau membakar gedung pembesar itu!
"Hei, jangan. Tunggu!” Orang itu disergap. Pengawal Lie-taijin sudah bergerak cepat dengan menghantam orang ini, orang itu roboh dan mengaduh.
Tapi ketika nelayan yang lain marah dan berteriak melihat temannya dipukul tiba tiba kaum buruh ini meluruk dan sudah menyerang si pengawal. Kekacauan terjadi. Kaum nelayan bagai api disiram minyak, selama ini mereka sudah memendam bibit kebencian. Teman mereka yang dipukul dan disergap tadi membuat mereka naik pitam. Maka begitu si pengawal merobohkan dan menghajar teman mereka mendadak ratusan buruh menerjang dan menubruk maju.
“Bunuh… hajar pengawal itu...!"
Kekalutan terjadi. Kemarahan kaum nelayan meledak dalam bentuk kasar. Mereka sudah menangkap dan menghajar pengawal itu, dıpukul beramai ramai, tentu saja pengawal yang lain tak terima dan mereka itu membela teman mereka. Pengawal yang melawan dan meronta-ronta di tengah kerumunan kaum nelayan, babak belur dan sebentar kemudian bentrokan fisik tak dapat dihindari.
Kaum nelayan berkelahi melawan para pengawal. Cu wangwe dan teman temannya buru buru menyingkir dari amukan buruhnya itu. Keadaan memang berbahaya. Amukan kaum nelayan dapat menjadi ajang pembunuhan, tentu saja Cu wangwe pucat. Dan ketika para pengawal justeru dihajar dan dikeroyok kaum nelayan yang jumlahnya lebih banyak dari mereka maka Lie-Taijin berteriak teriak agar kerusuhan diakhiri.
“Hei... kalian berhenti. Jangan ribut!"
Namun, suara pembesar ini tidak digubris kaum nelayan justeru semakin kelap. mereka mengamuk dan memukuli apa saja. Kebencian, kemarahan selama ini tiba-tiba seolah pelampiasan, para pengawal yang lain buru-buru menyelamatkan diri dan lari. Mereka benar-benar dapat dibunuh, keberingasan kaum nelayan itu tak lagi terbendung. Dan ketika Lie-taijin coba melerai, kaum nelayan melihat pembesar itu mendadak mereka lari dan malah menghambur kearah Lie-taijin.
"Lie-taijın antek Cu-wangwe! Bunuh dia....!”
Lie-taijin pucat. Kaum nelayan yang maju menuju dirinya dan kini mau menyerang tiba-tiba tanpa sadar dia terkencing kencing dan tentu saja memutar tubuh, siap menyelamatkan diri. Tapi sebuah tangan kuat yang mencengkeramnya mendadak membuat pembesar ini tertegun.
“Kau masih mau menangkap aku, taijin? Kau ingin kekacauan lebih besar lagi? Teman-temanku hanya aku yang dapat meredakan, terserah kau mau menuruti nasibatku atau tidak!”
"Ah. Ya..ya...! Kau bebas, aku tak jadi menangkapmu! Tolong redakan kemarahan teman temanmu itu dan suruh mereka berhenti!”
Kwee Han, yang mencengkeram pembesar itu tak bergerak. Tali ikatan tubuhnya sudah buru-buru dilepaskan Lie-Taijin, kini pembesar itu berlindung di punggung pemuda ini. Lucu melihatnya. Dan ketika Kwee Han membalikkan badan dan mengangkat tangannya tinggi tinggi, menunjukkan dirinya bebas, tiba tiba pemuda ini berseru kuat dan nyaring,
”Kawan-kawan, berhenti. Lihat, Lie-taijin telah membebaskan aku dan jangan berkelahi lagi. Berhenti, jangan menyerang...!"
Kaum "demonstran" berhenti. Mereka telah mendengar seruan Kwee Han itu, melihat pemuda itu bebas. Tapi belasan nelayan yang telah membiru dan mau menyerang Lie-taijin tiba-tiba berteriak,
“Kami boleh berhenti, Kwee Han. Tapi serahkan Cu-wangwe! Lie-taijin itu, dia sahabat dan pelindung."
Lie-taijin gemetar. "Kau tolonglah aku, Kwee Han. Jangan teman temanmu menangkap aku!"
Kwee Han mengangguk. "Tunggu...!" serunya. "Kalian dengarkan aku, kawan kawan. Lie-taijin memang sahabat Cu-wangwe tapi bukan dia musuh kita. Dia aparat pemerintah, kita harus menghargainya dan dengarkan kata-kataku. Sekarang Cu-wangwe telah melarikan diri. Aku tak jadi ditangkap dan jangan kalian ribut. Apa yang sudah terjadi biar dibuat pelajaran dan kita minta Lie-taijin bertindak adil!" lalu memandang pembesar itu Kwee Han bertanya, “Taijin. Kau tentunya tahu bahwa selama ini Cu-wangwe dan juragan-juragan lain selalu memeras kami, para nelayan. Tentu sudah kau ketahu, bahwa Cu-wangwe mencekik buruhnya dengan upah yang kecil, kenapa kau diam saja dan tidak menolong?"
“Kau masih mau menangkap aku, taijin? Kau ingin kekacauan lebih besar lagi? Teman-temanku hanya aku yang dapat meredakan, terserah kau mau menuruti nasibatku atau tidak!”
"Ah. Ya..ya...! Kau bebas, aku tak jadi menangkapmu! Tolong redakan kemarahan teman temanmu itu dan suruh mereka berhenti!”
Kwee Han, yang mencengkeram pembesar itu tak bergerak. Tali ikatan tubuhnya sudah buru-buru dilepaskan Lie-Taijin, kini pembesar itu berlindung di punggung pemuda ini. Lucu melihatnya. Dan ketika Kwee Han membalikkan badan dan mengangkat tangannya tinggi tinggi, menunjukkan dirinya bebas, tiba tiba pemuda ini berseru kuat dan nyaring,
”Kawan-kawan, berhenti. Lihat, Lie-taijin telah membebaskan aku dan jangan berkelahi lagi. Berhenti, jangan menyerang...!"
Kaum "demonstran" berhenti. Mereka telah mendengar seruan Kwee Han itu, melihat pemuda itu bebas. Tapi belasan nelayan yang telah membiru dan mau menyerang Lie-taijin tiba-tiba berteriak,
“Kami boleh berhenti, Kwee Han. Tapi serahkan Cu-wangwe! Lie-taijin itu, dia sahabat dan pelindung."
Lie-taijin gemetar. "Kau tolonglah aku, Kwee Han. Jangan teman temanmu menangkap aku!"
Kwee Han mengangguk. "Tunggu...!" serunya. "Kalian dengarkan aku, kawan kawan. Lie-taijin memang sahabat Cu-wangwe tapi bukan dia musuh kita. Dia aparat pemerintah, kita harus menghargainya dan dengarkan kata-kataku. Sekarang Cu-wangwe telah melarikan diri. Aku tak jadi ditangkap dan jangan kalian ribut. Apa yang sudah terjadi biar dibuat pelajaran dan kita minta Lie-taijin bertindak adil!" lalu memandang pembesar itu Kwee Han bertanya, “Taijin. Kau tentunya tahu bahwa selama ini Cu-wangwe dan juragan-juragan lain selalu memeras kami, para nelayan. Tentu sudah kau ketahu, bahwa Cu-wangwe mencekik buruhnya dengan upah yang kecil, kenapa kau diam saja dan tidak menolong?"
“Ah-ah, aku tak tahu... aku tak tahu...!" pembesar itu buru-buru menjawab. "Aku tak mendapatkan laporan atau berita mengenai ini. Kwee Han. Baru sekarang kudengar dan tahu-tahu kalian sudah membuat onar...."
"Kami tidak membuat onar, Cu-wangwe itulah biang keladinya!”
“Ya... ya, aku keliru. Cu-wangwe biang keladinya!”
“Dan tindakan apa yang sekarang akan kau lakukan?”
"Apa yang kalian minta?"
“Cu-wangwe diseret ke sini, taijin. Suruh dia meminta maaf dan merubah perbuatannya yang menindas!"
“Ah, tapi..."
“Tapi apa!”
“Dia keluarga dekat menteri Khek... aku…”
“Kau takut?" Kwee Han tertawa mengejek. "Kalau begitu teman temanku yang akan menyeretnya ke sini, taijin. Dan kami dapat menyuruh dia mengobah sepak terjangnya di depanmu!”
“Tidak, jangan... aku, aku...!" Lie-taijin bingung, teringat bayangan menteri Khek dan dia ketakutan. Tentu saja takut karena itu akan mengancam kedudukannya. Keributan bisa terjadi lagi dan dia dipaksa memilih. Dan karena Cu-wangwe selama ini banyak memberikan kebaikan dan dia berhutang budi maka pembesar itu di persimpangan jalan dan bingung untuk menetapkan sesuatu, memenuhi kehendak Kwee Han ataukah membiarkan saja pemuda itu bersama kawannya menangkap Cu-wengwe. Ini berarti lembaran baru. Dia sebagai pemimpin di situ dianggap tak becus oleh atasan, salah salah dia bisa didepak. Dan karena saat itu dia bingung dan susah mengambil keputusan akhirnya pembesar itu berkata, gemetar,
"Baik, baiklah... aku menemui Cu-wangwe itu dan minta ke sini Kwee Han. Sekarang tolong kawan kawanmu disuruh pergi dulu!”
"Mana bisa?" Kwee Han mengejek. Justru mereka ingin melihat kau membuktikan omonganmu taijin. Dan juga sumpah jabatanmu bahwa kau di sini membantu rakyat, bukan sebaliknya!"
Pembesar ini jadi serba salah. “Jadi bagaimana?"
“Kau panggil hartawan itu, atau, kita bersama dan beramai-ramai mengambilnya!"
"Ah, tidak, jangan begitu. Hartawan itu akan tersinggung!" Lie-taijin pucat, "Biar aku memanggilnya, Kwee Han, biar kusuruh orang kesana...” dan Li-taijin yang menyuruh pembantunya memanggil Cu wangwe lalu menunggu dan gemetar di tengah kerumunan kaum nelayan yang tak sabar. Beberapa diantaranya bahkan siap mengetok kepala pembesar itu, Lie-taijin dianggap antek dan sahabat Cu-wangwe. Dan ketika utusan kembali dan menyatakan Cu wangwe tak ada di rumahnya maka pembesar ini lega sekaligus khawatir.
"Nah... aku telah berusaha. Kwee Han, bagaimana kalau besok kita ulangi? Aku berjanji memanggıl hartawan itu, kalian akan kutemukan dan mendengar maafnya."
"Kalau tidak?"
"Aku yang akan minta maaf pada kalian!"
“Hm, enaknya Kwee Hin mendengus. "Tadi kau mau menangkap dan sewenang-wenang kepadaku, taijin. Kalau tak ada teman temanku ini tentu kau akan memukulku dan entah apa lagi. Baiklah, karna kau sudah berjanji besok biarlah kita bertemu lagi. Kuharap hartawan itu mau meminta maaf atau kami akan meluruk kerumahnya, menghajarnya!”
"Tidak, jangan, Kwee Han. Ini wilayahku, ini daerahku. Aku bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan setiap wargaku. Aku berjanji akan bertemu kalian besok bersama Cu-wangwe.”
Kwee Han membubarkan teman-temannya. Kemarahan kaum nelayan dapat diatasi. Kwee Han memang pemimpinnya dan para nelayan patuh. Janji Lie-taijin dipegang. Dan ketika Kwee Han pergi dan Lie-taijin bingung oleh masalah yang gawat ini maka buru-buru dia mencari hartawan dan ketemu, tentu saja tahu kira-kira hartawan itu bersembunyi. Mereka bersahabat dan tahu sama tahu, utusannya tadi berpura-pura dan tentu saja Lie-taijin harus menyelamatkan hartawan itu. Secara cerdik dan licik dia melindungi hartawan ini. Dan ketika mereka bertemu dan Lie-taljin meminta pendapat malah Cu-wangwe menyemprotnya!!
"Taijin, kau kurang berwibawa. Kalau aku melaporkan ini pada kakak misanku menteri Khek tentu kau dipecat! Mana itu bantuanmu kepadaku? Mana itu kekuasaanmu yang tak berdaya menghadapi nelayan-nelayan hina? Apakah kau minta aku melapor ke saudaraku di istana, agar kau di ganti.”
"Ah-ah, sabar dulu... nanti dulu!" pembesar ini gugup. "Aku telah menyelamatkanmu, wangwe. Aku telah melindungimu! Siapa bilang aku tak memberi bantuan padamu.Kalau utusanku benar-benar menemuimu tentu kau sudah dihadapkan nelayan-nelayan itu, wangwe, dan kita berdua tentu celaka!"
“Hmm, sekarang apa maumu? Kenapa kau ke sini?" mata hartawan itu bersinar-Sinar, marah.
"Aku datang untuk meminta pendapat mu wangwe. Bagaimana sebaiknya menghadapi Kwee Han dan kawan kawannya itu?”
“Aku benci mereka. Aku minta agar bocah she Kwee itu disingkirkan. Bunuh atau tangkap dia!"
"Tapi teman-temannya melindungi, urusan ini terlanjur menjadi urusan terbuka. Mana mungkin aku melakukan itu? Tidak, ini berbahaya wangwe. Mereka tentu tahu kalau Kwee Han ditangkap atau dibunuh. Mereka bisa mengamuk dan kita semua menjadi sasaran!"
“Lalu apakah aku harus dihadapkan mereka. Kau menghendaki tikus-tikus busuk itu merajam dan menghukum aku?"
"Tidak, tidak... bukan begitu. Tapi aku ingin agar semuanya berjalan baik dan aku mau pun kau selamat. Mereka memang menghendaki kau ke sana, wangwe, meminta maaf dan merobah caramu selama ini. Bocah she Kwee itu menekan aku agar dapat membawamu besok pagi!”
"Lalu apa jawabmu?”
"Aku mengiyakan, aku... berjanji untuk membawamu ke sana!”
“Kau berani bicara bodoh! Kau pembesar tengik, taijin. Kalau aku melapor ini pada kakak misanku tentu kedudukanmu sudah dicopot! Kau mengiyakan permintaan mereka. Jahanam, kau sahabat tak tahu budi, Lie-taijin. Lihat dan ingat atas jasa siapa selama ini kau hidup mulia! Siapa yang membuatmu semakin kaya dan berperut gendut... brakk!"
Dan Cu-wangwe yang marah menggebrak-gebrak meja tiba tiba sudah memotong pembicaraan pembesar ilu dan berani memakinya tengik segala, kata-kala yang lain mungkın meluncur begitu saja kalau memang tak ada "apa-apa” di antara pembesar ini dengan hartawan itu. Saling menunjang dan untung-menguntungkan kedua pihak. Dengan, tentu saja, pihak Cu wangwelah yang Iebih untung, lebih berkuasa. Hartawan itu sering menyogok dan memberi banyak hadiah pada pembesar iniı agar Lie-taijn diam, tak banyak memberi aksi atas semua sepak terjangnya selama ini.
Tindasannya terhadap kaum buruh, tindakan tak terpuji yang tentu saja menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Lie-taiin sesungguhnya tahu itu semua tapi sengaja bungkam, "dibungkam" oleh hartawan itu dengan hadiah dan macam-macam kėsenangn lain lagi. ltulah sebabnya kenapa hartawan ini berani membentak-bentak segala pembesar itu, bahkan memakinya sebagai pembesar tengik. Satu sikap dan kata-kata yang tıdak menghargai aparatur negara. Lie-taijin lebih kehilangan kewibawaan dan harga diri.
Dia tertegun dan Cu-wangwe terus melototinya. Dan ketika Cu-wangwe memakinya akhirnya pembesar ini dengan gemetar mengeluarkan suara, "Wangwe, sabar dulu. Aku tahu bahwa kau kerabat menteri Khek, bahwa kau dapat melepaskan kedudukan dari tempat yang sekarang ini. Tapi betapapun aku juga perlu menyelamatkan diri, wangwe. Kalau aku tidak berjanji begitu tentu tikus tikus hina itu akan menggantungku dan mungkin membunuhku...."
"Aku tak perduli! Lebih baik begitu daripada kau ke sini melapor kentut busuk!"
“Ah...!" Lie-taijin terbelalak, harkat dan kewibawaannya sebagai pembesar benar-benar terinjak-injak. "Kau dengarkan kata-kataku dulu wangwe. Aku menipu dan sengaja menjebak mereka. Aku sebenarnya bohong kalau menyatakan akan membawamu ke sana!"
“Hm, apa ini? Apa maksudmu?"
"Begini, wangwe." Pembesar itu berkeringat. "Aku sesungguhnya tak bermaksud membawamu ke sana dalam arti yang benar. Aku membohongi mereka, aku menipu mereka. Tapi karena aku telah berjanji dan tentu saja harus menyelamatkan diriku pula maka kita atur bagaimana baiknya agar mereka tak memburu-buru lagi dan kau pun selamat. Aku ingin minta pendapatmu bagaimana sebaiknya urusan ini diselesaikan. Bagaimana supaya mereka reda dan kita semua aman.”
"Kalau aku sebaiknya pemuda she Kwee itu ditangkap dan diburu dengan alasan memberontak dan membalas."
"Berbahaya, wangwe. Buruh nelayan tentu membalas."
"Jadi bagaimana maumu?” Hartawan ini mengerutkan kening. "Bukankah kau minta pendapatku?”
“Benar, tapi yang kuminta adalah kedua pihak sama-sama tak dirugikan, wangwe. Karena kalau caramu itu dilaksanakan tentu Ming-ciang akan menjadi gempar dan nelayan nelayan itu mengamuk. Aku kurang sependapat. Bagaimana kalau, hm... maaf, kau pergi saja dari sini, wangwe, pindah dan berusaha di lain tempat?"
“Kau mengusirku?"
“Maaf, bukan begitu, wangwe. Tapi demi semata keselamatan kita bersama."
“Tidak, aku tak sudi! Itu sama dengan memenangkan nelayan-nelayan busuk itu. Heh, kau mulai melantur tak keruan, taijin. Kalau kau tak dapat membereskan ini biarlah aku meminta bantuan saudaraku dan kau saja yang pindah!”
Lie-taijin pucat. Pembesar ini memang berada di persimpangan jalan yang rumit, Cu-wangwe lalu mengata-ngatainya dengan kata-kata tak pantas lagi. Bahwa dia tak mau pergi dan justeru pembesar itulah yang pergi. Cu-wangwe telah merasa sebagai raja di situ. Dan karena tak ada kesepakatan di antara mereka sementara Cu-wangwe bersikap mau menangnya sendiri saja akhirnya waktu pun habis dan hari itu Lie-taijin percuma mengeluarkan omongan, tak dapat membujuk dan bahkan didamprat.
Kini hartawan itu terang-terangan menyatakan akan "memecat" pembesar itu melalui saudaranya yang berpengaruh, menteri khek. Dan karena hartawan ini memang mempunyai "backing" dan backing itu juga tidak main-main akhirnya dengan gemetar dan bingung serta tak keruan pembesar ini bangkit berdıri.
“Wangwe," begitu katanya memelas. "Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, tapi aku telah berusaha sekuat tenagaku. Kalau kau berkeras dengan tekadmu dan tak mau pergi maka besok Kwee Han dan teman-temannya itu akan datang ke sini dan menyeretmu dengan paksa. Aku tak berdaya, terserah kau mau bikin apa!”
Cu-wangwe terkejut. "Bukankah kau memiliki pengawal?"
"Ya, dan kau juga memiliki tukang pukul wangwe. Tapi apa artinya dibanding ratusan buruh nelayan yang ada di sini? Bukankah Ming-ciang dipenuhi buruh-buruh nelayan? Kau telah menetapkan keputusanmu, wanggwe, dan aku tak dapat berbuat apa-apa. Maaf..." pembesar itu pergi, lunglai dan cemas karena besok pagi nelayan tentu menuntut.
Benar saja, keesokannya, Kwee Han dan teman temannya itu datang. Jumlahnya semakin banyak karena anak isteri mereka pun kut. Bukan main. Ini benar benar gerakan massal dari rakyat kecil yang ingin menyatakan ketidakpuasannya. Dan ketika pembesar itu menyatakan kegagalannya dan minta maaf atas nama pribadi maka teriakan marah dan riuh terdengar di sana sini.
“Tentu dia telah melindungi hartawan itu, agar percaya dan mengelabuhi kami!"
“Pembesar ini Bohong, Lie-taijin berkomplot. Semalam.”
“Benar, kau dusta, taijin. Kau tak dapat dipercaya.”
"Seret saja hartawan itü, bekuk bersama” Dan ketika teriakan dan suara ramai mencaci dan tak mempercayai pembesar itu maka Lie-taijin beringsut dan minta pengawalnya melindungi, melihat kaum nelayan bergerak dan mau menyerangnya. Ini berbahaya.
Tapi Kwee Han yang mengangkat tangannya dan cepat berseru tiba-tiba mengeluarkan suara lantang, “Kawan-kawan, tenang. Kemarin kita telah berjanji untuk tidak mengganggu Lie-taijin. Dia bukanlah musuh kita, musuh kita adalah Cu-wanggwe. Dan karena hartawan itu tak mau datang dan kita harus menghajarnya maka marilah ke sana dan tangkap serta temui si penindas itu dan ikat hartawan itu!"
“Betul, kita ke sana, Kwee Han. Tangkap...“
“Ya, dan bakar pula gedungnya kalau tak ada dirumah. Jangan-jangan dia bersembunyi dan sudah melarikan dıri!"
Begitulah, Kwee Han mengangguk. Gerakan ini terlanjur menjadi "perang terbuka". Da sendiri telah merasakan kesewenang-wenangan hartawan itu dengan coba mempengaruhi Lie-tajin untuk menangkap dan mungkin membunuhnya. Hartawan itu patut dihajar dan diberi pelajaran, kesombongan dan kesewenangan hartawan itu perlu disambut keras.
Dan karena Lie-taijin gagal membawa hartawan itu dan Kwee Han minta teman-temannya untuk mendatangi dan menangkap hartawan itu sendiri akhirnya jadilah gerakan kaum buruh ini menjadi gerakan ganas yang siap membekuk hartawan itu. Sakit hati dan kebencian yang sudah lama dipendam-pendam bangkit. Begitu semangat dan penuh keberanian.
Kwee Han telah membangkitkan semangat mereka. Dan ketika mereka bergerak dan meninggalkan gedung itu menuju ke tempat hartawan she Cu, maka di tengah jalan, sambil bersorak dan mengeluarkan teriakan gaduh mereka berhasil menarik orang-orang yang simpatik terhadap gerakan ini, nimbrung dan jumlah mereka semakin banyak. Hal ini menggegerkan Ming-ciang, mereka bergerak ke rumah Cu-wangwe.
Tapi ketika mereka tiba di sana dan Cu-wangwe siap diseret ternyata puluhan tukang pukul menyambut, menghalang-halangi. Tak ayal, kerusuhan terjadi lagi. Gerakan massa yang sudah emosi ini langsung meluruk. Ratusan buruh nelayan menghambur dan melempar tukang tukang pukul itu, menyerbu. Datang pengawal kota yang coba memadamkan kerusuhan itu, disambut dan bahkan dicaci-maki kaum nelayan. Terjadı perkelahian dan terjadilah semacam perang kecil.
Dan karena jumlah mereka kalah banyak dan kaum nelayan menjadi beringas dan bersorak menyerbu maka perkelahian tak imbang terjadi. Lie-taijin diam diam menyuruh orang-orangnya bergrak, tak mampu akhirnya kalah. Dan begitu kaum nelayan menyerang dan tukang tukang pukul Cu-wangwe pun mawut diserbu orang-orang kecil akhirnya bendungan mereka jadi jebol dan rumah Cu-wangwe dimasuki.
Dengan pekik dan sorak seakan perajurit menang perang mereka mencari hartawan itu, mengobrak-abrik rumahnya, rusak dan hancur oleh kemarahan buruh nelayan ini. Dan ketika Cu wangwe tak diketemukan dan hartawan itu rupanya sudah melarikan diri maka rumah atau tempat tinggal hartawan itu dibakar.
“Bakar rumahnya! Hancurkan segala isinya!”
Kekejaman kasar tampak di sini. Buruh nelayan itu tak dapat dicegah lagi menumpahkan segala kemarahannya kepada rumah Cu wwangw. Apa yang tampak disambar dan dibakar, meja kursi dibanting. Dan ketika tak lama kemudian api telah berkobar di tempat itu maka jago merah mengamuk dan ganti melaksanakan tugasnya menggantikan amukan buruh nelayan itu.
Kwee Han bersinar-sinar. Dia sengaja membiarkan teman-temannya bertindak brutal, emosi dan hawa amarah memang perlu disalurkan saat itu. Juga untuk nemberi pelajaran bagi juragan-juragan kaya yang lain agar mereka tak sewenang wenang. Dan ketika hari itu rumah Cu-wangwe dibakar dan segala isinya dirusak binasakan maka Ming-ciang yang biasanya tenang dan aman mendadak menjadi kota rusuh yang tidak bersahabat.
Nama Kwee Han mencuat tinggi. Pemuda itu adalah pemimpin kerusuhan. Kaum nelayan benar-benar mendukung dan berdiri di belakang pemuda ini. Dan ketika seminggu kemudian rumah Cu-wangwe rata dengan tanah dan hartawan itu ternyata melarikan diri ke kota raja maka sepasukan baju hitam datang ke kota sungai itu, menghadap Lie-taijin dan entah apa yang dibicarakan.
Orang tak tahu karena pembicaraan berlangsung dalam pintu tertutup, mungkin percakapan rahasia di sana. Dan ketika seminggu ini berjalan dengan tegang dan Kwee Han tetap di tengah-tengah kerumunan teman-temannya maka orang mendengar Lie-taijin dicambuk dan ke kedudukan lie taijin didepak, orang tak tahu beritanya diganti orang lain, pembesar Liem. Entah kenapa pembesar itu diganti. Namun setelah suasana agak tenang tiba-tiba Kwee Han dipanggil disuruh menghadap pembesar baru ini.
"Kami ingin meminta pertanggung jawaban pemuda itu. Suruh dia ke mari."
Kwee Han dicari, dilindungi teman-temannya dan tentu saja pemuda itu tak dibiarkan sendiri menghadap si pembesar baru. Di sana Kwee Han dicecar, istilah halusnya diarabkan. Dan ketika Liem-taijin, pembesar baru itu meminta pertanggungjawaban Kwee Han maka pemuda ini membalas.
"Pertanggungjawaban apa, taijin? Yang memulai semua ini bukanlah aku, melainkan hartawan she Cu itu. Kalau kau mau meminta pertanggungjawaban maka hartawan itulah yang kau tuntut, bukan aku!"
"Tapi kau telah membuat onar, teman-temanmu membakar dan merusakbinasakan rumah hartawan itu,"
"Benar, karena hartawan ini telah menyakiti kami, taijin. Kalau tak ada kebencian atau kemarahan di hati kami tentu kami semua lak akan melakukannya."
"Jadi kau mau lepas tanggung jawab?'"
"Taijin." Kwee Han menjadi marah. "Kau bukanlah hakim di sini. Kau hanya kepala daerah. Kalau kau ingin menghakimı dan memérıksa aku maka hartawan she Cu itu juga harus kau ajukan dan tuntut di sini. Aku mau diadili asal Cu-wangwe itupun kau adili, boleh kau mengadu kami dan lihat siapa yang benar siapa yang salah.”
"Tapi kau dan teman-temanmu main hakim sendiri...!”
“Siapa bilang? Kwee Han memotong. "Yang main hakim adalah Cu wangwe dan teman-temannya itu, taijin. Dia mencekik dan membuat kelaparan seluruh nelayan di sini. Kalau dia mau datang baik-baik dan menemui kami tentu semuanya itu tak bakal terjadi. Cu-wangwe mengandalkan kekayaannya. Dia sewenang-wenang dan semena-mena terhadap rakyat kecil tentu rakyat pun tak akan mengganggunya dan kami dapat hidup dengan pantas!"
Liem-tajin, pembesar baru itu melotot. Sebagai orang yang baru ditugaskan atasan dan duduk di situ tentu saja dia ingin membuat sesuatu. Artinya, ingin berbuat sesuatu agar konduitenya naik, dengan begıtu dia mendapat nama dan penghargaan. Tapi melihat ketegaran Kwee Han dan kawan kawannya yang ada di belakang tampak melindungi dan siap bergerak kalau dia mengganggu pemuda itu akhirnya pembesar ini, yang tentu saja telah mendengar semua masalah dan coba menyudutkan Kwee Han tiba-tiba membelokkan percakapan.
"Baik, kami akan menuntut Cu-wangwe pula, Kwee Han. Tapi sekarang coba sebutkan kenapa kau membabat hutan dan menyuruh teman temanmu memiliki tanah itu. Kau melanggar undang undang, hutan dan seisinya itu adalab milik kaisar. Kau dan teman temanmu dapat dijatuhi tuduban merampok!"
“Hm..." Kwee Han terkejut. "Kami melakukan itu semua demi menyelamatkan diri sendıri, taijin. Kalau kami tidak membabat hutan dan bertani tentu kami kelaparan karena kami tak dihidupi lagi oleh Cu wangwe sebagai nelayan.”
“Tapi kau tak meminta ijin. Kau membabat hutan seenak perutmu sendiri!”
”Baiklah, kalau begitu taijin dapat memberi pengganti!”
Pembesar ini melengak. "Pengganti apa?"
"Berikan kehidupan yang lain pada teman-temanku ini, taijin. Dan hutan itu akan kami kembalikan!"
"Keparat!" pembesar ini marah marah. "Kehidupan kalian adalah masalah kalian sendiri Kwee Han. Aku tak ada sangkut pautnya dengan itu!"
"Kalau begitu apa hubungannya taijin dı sini? Bukankah kau kepala daerah yang ingin memimpin dan mengurus rakyatmu? Kalau kau bilang itu urusan kami sendiri maka kedudukan dan keberadaanmu di sini percuma, taijin. Kau bukan kepala daerah yang baik karena membiarkan dan acuh saja terhadap masalah kehidupan rakyatmu!"
Pembesar ini terbelalak. Kwee han lalu menyerangnya dengan kata-kata gencar lagi, bahwa sebagai "bapak" yang baik tak seharusnya pembesar itu bicara seperti itu. Nasib atau kehidupan rakyat di situ haruslah menjadi pikirannya, meskipun tak sepenuhnya. Tak bisa pembesar itu mengacuhkan penduduk Ming-ciang dalam kedudukannya sebagai kepala daerah. Kwee Han memberi contoh dirınya sendıri, lihat dia itu, betapa ia berusaha dan berjuang memberi makan minum teman temannya. Pembesar ini tersudut dan tak dapat menjawab.
Dan ketika Kwee Han membuat pembesar itu marah dan naik pitam tiba tiba Liem-taijin mengusir pemuda ini dan mengancam hukuman berıkut, bahwa bagaimanapun Kwee Han tak dapat lepas dari tanggung jawab. Semua kegegeran dan kekacauan di kota itu itu Kwee Han-lah biang keladinya. Kini Liem-taijin menitik beratkan persoalan pada masalah pembabatan hutan, licik pembesar itu, dengan begini Cu-wangwe jadi tak disebut sebut dan Kwee Han dipojokkan dan nama kaisar dibawa-bawa dan Kwee Han tentu saja repot.
Dia lupa bahwa pada masa itu negara dan seisinya adalah milik kaisar. Tanpa kaisar rakyat menjadi tak berguna, ituah kealpaan Kwee Han. Dan ketika Kwee Han dipojokkan dan masalah Cu-wangwe digeser menjadi masalah "perampokan" hutan maka Kwee Han akhirnya ditangkap dan berurusan dengan pemerintahan pusat, kota raja, beberapa hari kemudian!
"Kami sekarang bukan bicara masalah Cu-wangwe. Masalah itu akan diselesaikan di lain kesempatan. Kami datang untuk membicarakan masalah hutan, bahwa Kwee Han telah mengajak teman-temannya merampok milik kaisar dan biar kepada kaisar pemuda itu kami hadapkan. Kalian kaum nelayan tunggu di sini dan jangan melawan!”
Buruh kecil itu tertegun. Disebut sebutnya nama kaisar membuat mereka gentar, pengaruh dan kewibawaan kaisar memang hebat. Rakyat kecil akan dianggap pemberontak kalau berani melawan kaisar. Terpaksa, mereka membiarkan Kwee Han dibawa ke kota raja karena Kwee Han dituduh merampok hutan. Ini tuduhan berat, hutan dan seisinya adalah milik kaisar. Dan ketika Kwee Han coba bertanya bagaimana nasib teman-temannya kalau hutan yang sudah dibabat itu tak boleh dikerjakan lagi maka Liem-taijin menjawab,
“Aku memenuhi tuntutanmu, aku memikirkan nasib mereka. Mereka akan kupekerjakan seperti dulu dan menangkap ikan lagi...!”
“Tapi tak ada Cu-wangwe..."
"Pemilik perahu yang lain telah kuajak bicara, Kwee Han. Mereka sanggup dan mau menampung teman-temanmu ini. Mereka akan menambah perahu dan teman temanmu dapat bekerja lagi!"
"Dengan bagi hasil macam apa?' Separuh?”
“Separuh, kwee Han. Sesuai kembali seperti dulu!"
Kwee Han tertegun. Liem-taijin telah berseru pada nelayan nelayan yang ada di situ bahwa mereka dapat bekerja lagi, bahwa mulai detik itu para pemilik perahu akan menampung dan mempekerjakan mereka. Pembagian kembali adil, satu banding satu. Para nelayan tentu saja bersorak dan gembira. Itu Rejeki mereka! Kwee Han tiba-tiba saja terlupa dan kegembiraan meluap membuat para nelayan ini lupa diri.
Pemilik perahu berkata bahwa biang keladi kini tak ada, Cu-wangwe telah pergi dan kini juragan perahu itu tak perlu lagi bersaing harga seperti dulu, ketika Cu-Wangwe ada. Dan karena janji serta ajakan itu memang manis memikat dan kaum buruh yang sebagian besar berpikiran sederhana dan mendekatı bodoh itu menerima maka Kwee Han dibawa ke kota raja dan hanya satu dua saja, yang mengkhawatirkan nasib pemuda itu.
“Sudahlah, kalian sudah mendapatkan perbaikan nasib. Aku gembira dan ikut senang. Tak perlu kalian cemas dan biar aku mempertanggung jawabkan perbuatanku di muka kaisar!"
Kwee Han berangkat. Liem-taijin cerdik dan licin, dia rupanya memang lebih "siluman" ketimbang pendahulunya. Perigikut Kwee Han berhasil direbut simpatinya dengan janji dan kata-kata manis. Sementara itu memang pemil!k perahu menerima ratusan nelayan ini dengan pekerjaan baru, pembagian dibual satu bagi satu, jadi seperti dulu.
Mula-mula memang berjalan lancar dan menggembirakan. Tapi ketika Kwee han tak kembali dan para pemilik perahu diam-diam mengadakan kasak kusuk maka beberapa bulan kemudian, di saat iblis dan siluman menyatakan ketidakpuasannya maka ganti pemilik perahu yang bekoar.
"Sialan, keuntunganku menipis. Dulu waktu satu dibanding sepuluh aku bisa bersenang senang dengan sebelas selir. Tapi setelah sekarang perbandingan menjadi sama dan kebutuhan selirku tak dapat kupenuhi semuanya tiba-tiba empat di antara mereka minggat dan lari entah ke mana!"
"Benar, aku juga begitu, Cit-wangwe, Dulu aku mampu setiap minggu pulang balık ke kota raja menikmati hiburan-hiburan mahal. Sekarang sebulan sekali belum tentu dan cukup dengan hiburan biasa di rumah Ang-hwa!"
Ang-hwa, sebuah rumah pelacuran menjadi pembicaraan. Juragan-juragan perahu yang hari itu berkumpul mulai membicarakan penghasilan mereka yang merosot tajam, tentu saja begitu karena diukur atau dibandingkan dengan pembagian seperti dulu, waktu satu banding sepuluh. Lupa mereka itu bahwa perbandingan yang menyolok itu justeru membuat buruh nelayan mogok dan akhirnya terjadi geger dan sebulan dua bulan mereka tak bekerja, perahu perahu menjadi nganggur dan juragan juragan ini gigit jari. Mereka tak memikirkan itu dan kini membicarakan kesenangannya sendiri dan enaknya sendiri.
Dan ketika yang lain-lain juga menyokong dan mendukung pendapatnya itu bahwa pendapatan mereka jatuh merosot dan banyak dıantaranya yang kehilangan selir atau kesenangan-kesenangan lain yang sifatnya amat individualistis maka beberapa hari kemudian, setelah Kwee Han tak ada di situ bagi hasil pun mulai "dipermainkan", ulah dari setan atau iblis yang tamak akan harta.
"Kami tak dapat bekerja lagi. Keuntungan merosot tajam, bagaimana kalau bagi hasil satu banding dua!"
"Ah, kamı tak dapat menerima, wangwe. Anak istri kami tak dapat makan dan tentu kelaparan!"
"Tapi dulu satu banding sepuluh kalian mampu, masa sekarang satu banding dua tak bisa!"
"Jadi bagaimana maksud wangwe?"
"Aku ingin mengembangkan usahaku, anak anak yang baik. Dan bagi hasil harus dirobah atau aku tak menyewakan perahuku lagi dan biar aku berhenti bekerja!"
Buruh nelayan terkejut. Kalau juragan sudah mengancam begitu tentu saja mereka kalah. Sekarang suasananya lain, Kwee Han tak ada disitu lagi dan mereka tak dapat membabat hutan. Kalau juragan menghentikan sewa perahunya dan "mogok" tak menerima mereka tentu mereka kelabakan. Buruh tak akan menang kalau "diadu" dengan juragan. Juragan bisa hidup beberapa bulan atau tahun dengan sisa kekayaannya sementara mereka pasti mati "tercekik" saat itu juga, itulah kelemahan mereka.
Dan karena kaum juragan ini sudah kompak dan juragan sini maupun juragan disana juga sama-sama meminta bagi hasil berubah akhirnya, apa boleh buat, para nelayan, mereka orang kecil. Bagi hasil satu banding dua masih tak merugikan mereka, bahkan dulu satu banding sepuluh juga mereka masih dapat hidup, meskipun hidup dengan mawut, tentu saja.
Dan karena ancaman mogok majikan ini dan terjadi di serentak dan sungguh langka melihat kejadian macam ini maka sebagaimana biasa pihak yang lemah terpaksa mengalah dan mau menerima, bekerja dengan bagi hasil yang mulai berubah dan "keadilan" dulu itu ternyata hangat-hangat tahi ayam. Apa yang dijanjikan Liem-taijin sang kepala daerah baru tak berjalan lama, mereka tak tahu bahwa itu sebenarnya memang sudah diatur jauh hari sebelumnya, yakni siasat yang disebut "mendinginkan ular memanaskan kepiting".
Mendinginkan dulu kaum nelayan itu baru kemudian "menggebuk" lagi setelah kuat. Orang kecil tentu saja tak tahu permainan orang orang pintar ini. Dan ketika ular yang dulu mengamuk itu sudah berhasil dijinakkan dan kini kepiting dipanaskan untuk menjepit atau menggigit mereka secara perlahan-lahan maka, tak lama kemudian. ketidakadilan seperti dulu muncul. Kwee Han, si kuat, telah tak ada. Para juragan mulai main gila lagi. Mereka merubah lagi siasat bagi hasil satu banding tiga, satu banding empat dan akhirnya satu banding tujuh.
Di sini keributan mulai terjadi. Para nelayan mau berontak tapi Liem-taijin buru-buru menengahi. Dengan sigap pembesar itu mengumpulkan pemilik-pemilik perahu ini, dan ketika mereka bertemu dan langsung diadakan "rapat" maka pembesar ini berkata,
"Kita tak boleh menimbulkan kekacauan seperti dulu. Betapapun bagi hasil sekarang ini lebih dari cukup bagi kita. Karena itu agar ketenteraman dan keamanan kota tetap berjalan baik biarlah bagi hasil berhenti di sini dan jangan ditambah. Mereka toh akan tetap miskin, kita tetap dapat menguasai mereka dan tak perlu menciptakan kerusuhan baru. Lebih baik begini daripada satu banding sepuluh tapi mereka berhenti bekerja!"
Begitulah, pembesar ini berhasil memberi pengarahan. Ketamakan kaum majikan direm, semuanya sadar. Dan karena apa yang dikatakan pembesar itu benar dan mereka sudah jauh dari pada cukup menikmati harta dan kesenangan maka sampai di sini bagi hasil tak dirobah lagi. Kaum nelayan lega Keputusan yang diambil pembesar itu dianggap sebagai kebijaksanaan atau pertolongan besar, tentu saja Liem-taijin mendapat pujian. Kepala daerah itu mendapat simpatik.
Tak ada yang tabu bahwa sebenarnya, dıbalik "pertolongan" itu, Liem-taijin sebenarnya menyelamatkan diri sendiri, bukan buruh-buruh kecil itu. Karena di balik layar, tanpa diketahui orang banyak, diam-diam pembesar ini juga memiliki seratus perahu yang diatas namakan juragan lain. Begitulah. Alhasil pembesar ini menyelamatkan harta benda dan kedudukannya hingga atasan di kota raja pun dikelabuhi. Licin!
Bagaimana dengan Kwee Han? Ada kejutan. Waktu itu, ketıka Kwee Han dibawa pemuda ini langsung dihadapkan kaisar, begitu katanya. Tapi ketika pemuda itu tiba di kota raja dan para pengawal menurunkannya dari atas kuda ternyata Kwee Han dibawa ke menteri Khek dan di situ menteri itu sudah menunggu, berikut Cu-wangwe!
"Nah, inilah, Jin-ko. Kwee Han yang kuceitakan itu. Si pengacau!" Cu-wangwe menyambut, mendahului, marah dan turun dari undak-undakan batu.
Dan Kwee Han terkejut. Dia memandang si pengawal yang sudah mundur, berhadapan dengan Cu-wangwe dan seorang laki-laki lain yang berpakaian gemerlapan, angkuh dan tidak bersahabat dan Kwee Han sudah melihat senyum yang dingin itu. Perjumpaan yang tidak disangka. Dan ketika Cu-wangwe marah-marah dan laki-laki berpakaian gemerlapan itu sinis memandang Kwee Han maka Kwee Han bertanya di mana sesungguhnya dia berada, terbelalak melihat adanya Cu-wangwe yang ada di situ, yang rumah serta segala isinya sudah dibakar.
"Kau berada di gedung menteri Khek, ayo cepat beri hormat dan berlutut! Cu-wangwe membentak, memukul pemuda itu namun Kwee Han menangkis. Dengan marah tak mau ia dihina, pengawal maju dan kini pemuda itu ditodorg tombak, Kwee Han dipaksa berlutut. Dan ketika Khek taijin, menteri itu turun dari anak tangga dan mendengus melihat Kwee Han keluarlah kata-katanya yang tidak ramah.
"Jadi kau yang bernama Kwee Han? Kau yang membakar dan merusak rumah saudaraku di Ming-ciang?"
"Benar, tapi bukan aku yang melakukannya, taijin. Melainkan teman-temanku yang tidak puas atas sepak terjang hartawan ini."
"Tutup mulutmu, kita selesaikan di dalam!" Khek-taijin yang marah membentak pemuda itu lalu memberi tanda dan lima pengawal menyeret Kwee Han masuk, naik dan akhirnya lenyap di gedung indah itu. Kwee Han tergetar namun tidak takut, hebat pemuda ini. Dan ketika dia di dalam dan lima pengawal siap "mempermaknya" sesuai kehendak majikan maka di sini Khek-taijin menyuruh ikat pemuda itu.
"Tidak, aku tak bersalah. Aku tak mau diikat!" Kwee Han memberontak, gagah dan tegak dı depan pembesar itu dan Khek taijin tertegun.
Dia sebenarnya heran melihat betapa sedikit pun pemuda ini tak takut sejak bertemu pertama kalinya, dia terbelalak. Tapi karena lima pengawal ada di situ dan Kwee Han tak mungkin lari akhirnya menteri ini memulai pembicaraannya, sebuah tuntutan dingin. "Bocah she Kwee, kau mengetahui kesalahanmu tidak. Kau siap mengaku dosa atau tidak?"
"Apa yang kulakukan?" Kwee Han menantang. "Aku tak mengganggumu atau merugikanmu, taijin. Bahkan baru ini kita bertemu!"
"Benar, tapi kau menghancurkan hidup Cu-wangwe, kau mengobrak abrik rumahnya dan membakar isinya. Apa yang mau kau katakan tentang ini?"
"Hm," Kwee Han membusungkan dada. "Ada akibat tentu ada sebab, taijin. Sebaiknya kau tanya dulu saudaramu itu kenapa semuanya itu terjadi. Dia sewenang-wenang terhadap buruhnya, menindas dan membuat mereka kelaparan. Dan karena tindakannya sudah di luar batas dan kami tak tahan maka dia menerima hukuman dan rumahnya dibakar. Mungkin, kalau dia tidak melarikan diri tentu tubuhnya yang dibakar, direbus hidup hidup!"
"Lancang!" menteri itu marah. "Kau orang kecil tak tahu adat, bocah she Kwee. Sudah memasuki mulut harimau masih juga pentang bacot, Tahukah kau dengan siapa kau berhadapan? Tahukah kau hukuman apa yang bakal kau terima?"
"Orang tak bersalah tak mungkin dihukum, Taijin. Aku tahu dengan siapa berhadapan tapi aku tidak takut!"
"Plak!" Cu-wangwe menampar. "kau kurang ajar, bocah she kwee. Kau tak tahu adat dan minta dibunuh. Baiklah, biar Khek-taijin meminta pengawal menguliti tubuhmu!" dan marah memandang saudaranya hartawan ini berkata. nadanya tinggi, "Jin-ko, pemuda macam ini tak perlu diajak bicara lagi. Ambil, pisau dan sayat tubuhnya. Hukum picis dia!"
"Hmm...! Kwee Han bangkit berdiri, terhuyung menerima tamparan itu. "Siapa berani, mengganggu diriku? Kau dan pengawal? Lihat, aku ingin tahu seberapa jauh kalian akan menggangguku, wangwe. Lihat apa yang kubawa dan siapa yang berani kurang ajar....klap!"
Secercah sinar memancar, muncul dari tangan Kwee Han dan Cu-wangwe serta pengawal tertegun. Mereka melihat sebuah cincin gemerlapan di tangan pemuda itu, cincin emas dengan mata berlian, mencorong dan berkilauan bagai bintang kejora. Hebat benda itu, sekali lihat orang pasti akan tahu bahwa cincin ini bukanlah benda sembarang benda, jelas mahal dan merupakan mustika dunia. Cu-wangwe terbelalak dan melotot, kaget dan heran, melihat benda itu hanya sebagai benda tapi Khek-taijin tiba-tiba berseru tertahan, mundur dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. Dan ketika Cu-wangwe dan lima pengawal tak mengerti apa yang dibawa pemuda itu maka Khek-taijin sudah gemetar dan berkata terbata-bata,
"Kami tak tahu kau membawa benda ini. Hormat dan selamat datang untuk sahabat sri baginda...!" dan membentak menyuruh pengawalnya dan Cu-wangwe berlutut menteri itu berseru, "Cu Pa, mohon ampun kepada Kwee-kongcu!"
Cu-wangwe terkejut. la kaget melihat perobahan dratis itu, mendengar bentakan saudaranya dan kedipan penuh rahasia, tentu saja tersentak dan tak mengerti. Tapi karena kakaknya bersungguh-sungguh dengan muka yang pucat serta tubuh yang menggigil itu jelas tidak main-main akhirnya dengan gugup dan bingung hartawan ini meminta ampun, tanpa mengerti ampunan untuk apa.
"Kwee Han, ampunkan aku. Maaf...!"
"Ah, bodoh. Sebut Kwee-kongcu, Pa-te (adik Pa). Dia, adalah tamu agung dan mulia di sini. Ulangi sebutanmu dan kembali meminta ampun yang benar!"
Hartawan she Cu itu jadi semakin mengkeret. Melihat ketakutan kakaknya itu tiba-tiba dia juga menjadi cemas, takut. Dia kini mengulang perkataannya dengan betul, menyebut Kwee Han dengan Kwee-kongcu (tuan muda Kwee), satu sikap yang berbalik seratus delapan puluh derajat dibanding tadi.
Dan ketika lima pengawal juga dibentak agar berlutut dan terheran-heran serta tidak mengerti atas segala sikap Khek-taijin itu maka mereka diminta keluar dan menyuruh pelayan menyiapkan makan minum, jamuan besar-besaran. Lalu, bangkit dan menjura berulang-ulang dengan sikap luar biasa manisnya menteri ini menarik sebuah kursi, buru-buru mempersilahkan pemuda itu duduk, melayani sendiri pemuda ini seperti pesuruh.
"Kwee-kongcu, mari. silahkan duduk, kami tak tahu kau sahabat sri baginda. Maafkan dan ampuni semua kesalahan kami!"
"Hm!" Kwee Han mengejek. "Kau berbalik sikap setelah melihat cincin ini, taijin? Mana itu kegarangan dan kesombonganmu tadi?"
"Kongcu. Aku patut dimaki dan boleh kau tampar!"
"Tidak, aku ingin membalas saudaramu ini. Coba kau tampar dia empat kali dan bersihkan bajuku!"
Khek-taijin menghampiri saudaranya dan cepat melaksanakan perintah itu tiba-tiba menampar adiknya empat kali pulang balik, membuat Cu-wangwe terpelanting dan itu pun masih ditambah dengan maki-makian lagi. Menteri Khek memaki-maki saudaranya sebagai orang yang tak tahu diri, dan juga menghadiahi satu tendangan lagi dan baru menteri itu berhenti. Dan ketika Cu-wangwe melotot dan mengeluh kesakitan maka menteri ini menghampiri Kwee Han dan mengebut-ngebut membersihkan baju pemuda itu.
"Maaf, sudah puas, kongcu? Apa masih perlu ditambah lagi?"
Kwee Han tersenyum, tiba-tiba tertawa. "Aku sebenarnya ingin menghajarmu pula, taijin. Tapi karena kau belum membuat kesalahan berarti biarlah ku ampuni dirimu tapi suruh adikmu itu mencium kakiku!"
Khek-taijin terkejut. Tapi mengangguk dan buru-buru menghampiri adiknya, Cu-wangwe, menteri ini berkata, "Pa-te, Kwee-kongcu masih ingin menghukummu. Ayo berlutut dan cium kakinya!"
Cu-wangwe, hartawan yang tak mengerti dan penasaran itu pucat. Dibentak dan dihardik seperti ini tiba tiba dia tak berkutik, beringsut dan mendekati Kwee Han. Dan ketika dia berlutut dan menggigil mencium kaki pemuda itü maka Kwee Han menendang hartawan ini, tepat mengenai mukanya.
"Enyahlah, aku muak melihat mukamu, wangwe. Pergi dan jangan temui aku lagi...dukk!"
Dagu hartawan itu terangkat, Cu-wangwe terlempar dan Kwee Han telah membalas hinaannya. Kwee Han tiba-tiba menjadi orang yang amat ditakuti di situ. Dan ketika pemuda ini menyuruh pergi dan hartawan itu beringsut bagai anjing melipat buntut maka Khek-taijin tertawa dan sudah membawa pelayan yang berdatangan satu per satu. Membawa makanan dan minuman dan segera meja besar di situ penuh dengan aneka masakan lezat. Arak dan anggur tak lupa ketinggalan. Inilah jamuan besar-besaran bagi Kwee Han. Tapi ketika pelayan berseliweran dengan harum semerbak silih berganti meletakkan makanan dan minuman ternyata Kwee Han menolak, bangkit berdiri.
“Taijin, aku tak mau semuanya ini. Biarlah kau masukkan lagi dan aku pulang!"
"Eh-ah...." pembesar itu gugup. Aku ingin menghargaimu kongcu, juga ingin meminta maaf, kenapa engkau buru-buru?"
"Tidak, aku ingin kembali, taijin. Aku tak merasa lapar ataupun haus!"
"Tapi pelayan pelayanku sudah menyiapkan semua," pembesar itu berkata. "Apakah kongcu tak kasihan pada mereka dan membiarkan segala hidangan ini tak tersentuh? Ah, jangan. kongcu. Demi mereka dan ucapan maafku biarlah kongcu duduk dulu dan cicipi ini. Aku akan melayani.”
"Tidak, aku tak suka, taijin. Aku ingin kembali dan jangan dihalangi."
Terpaksa, pembesar ini kelabakan. Dia memberi isyarat kepada seorang pelayan yang cantik. Siong-hi, cepat pelayan itu mengerti dan tersenyum menghampiri Kwee Han. Lenggangnya yang manis dan senyumnya yang menawan sudah cukup menggetarkan hati pemuda itu. Dan ketika Kwee Han bersıkeras dan gadis ini sudah membungkuk maka Siong-hi. pelayan yang disuruh majikannya itu berkata, halus dan, merdu,
"Kongcu, kalau kongcu ingin pulang baiklah, barangkali masakan kami kurang enak bagi kongcu. Tak apa, taijin akan memberikan kereta dan mari kongcu kuantar!"
Kwee Han terkejut. Ganti pemuda ini gugup menghadapi pelayan cantik itu, Kwee Han tak biasa dan jarang dia bergaul dengan wanita apalagi secantik dan selembut Siong-hi ini gadis yang sebenarnya menjadi pelayan "luar dalam" bagi menteri Khek, gadis yang matang dan penuh pengalaman. Dan ketika Kwee Han gugup dan tampak kebingungan maka Khek-taijin yang tahu gelagat dan diam-diam gembira cepat-cepat keluar.
"Benar, kusiapkan kereta, kongcu. Kalau kau ingin kembali biarlah kuambil kereta dan kusuruh kusir mengantarmu!”
Kwee Han tinggal berdua. Dalam waktu begitu cepat tiba-tiba pelayan yang lain pergi, kini pemuda itu tinggal bersama Siong-hi, si pelayan cantik. Dan ketika Kwee Han mendelong dan gugup harus bicara bagaimana maka tangan yang lembut dari pelayan cantik ini telah mencegat tangannya...