Pedang Tiga Dimensi Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Tiga Dimensi
Jilid 19
Karya Batara


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
Kim Mou Eng terkejut dan nyaris lengah, dia memang belum tahu kelihaian lawan dalam gebrak sesungguhnya, kini mendapat serangan begitu cepat dan ujung pedang tahu-tahu sudah serambut saja di tenggorokannya. Kecepatan dan kekuatan jago pedang itu melakukan jurus pertamanya sungguh maut, Kim-mou-eng terkesiap dan melempar kepalanya. Tapi ketika lawan berteriak dan kaki maju satu langkah tiba-tiba Hu Beng Kui telah membelokkan pedangnya dan kini mata pedang yang tajam siap mengiris atau menggorok dari samping, tetap membayangi!

“Trangg!”

Kim-mou-eng berkeringat dingin. Dia sudah menangkis dan berseru keras menggerakkan pitnya, dua senjata beradu dan mereka sama sama terpental. Apa yang terjadi tadi sungguh luar biasa, juga mengerikan. Lehernya nyaris disembelih Hu Beng Kui! Dan ketika jago pedang itu menggereng dan maju lagi dengan pedangnya yang berputaran cepat serta menusuk atau membacok maka jago pedang ini menghujani lawan dengan serangannya yang gencar.

Dan Kim-mou-eng mulai berlompatan, mengelak atau menangkis dan beberapa kali bunga api berpijar, pedang maupun pit terpental dan dari adu tenaga ini kedua pihak maklum bahwa masing-masing memiliki tenaga berimbang. Hu Beng Kui kagum sementara Kim-mou-eng berhati-hati. Dan ketika pendekar itu mulai bergerak kian cepat dan tusukan atau bacokan pedangnya mulai tak kelihatan lagi karena berobah menjadi sinar yang berkelebatan menyambar-nyambar maka Kim-mou-eng dipaksa mempertahankan diri dan inisiatip serangan berada pada si jago pedang itu.

“Trang-tranggl”

Orang orang silau. Benturan senjata yang kembali beradu membuat kembang api warna-warni, meletik dan muncrat menyambar wajah mereka. Cu-ciangkun dan kawan-kawannya terpaksa mundur semakin jauh, tempat pertempuran ini agaknya kurang luas bagi dua jago yang sedang bertanding. Dan ketika Hu Beng Kui kembali membentak dan berkelebat menghilang tiba-tiba jago pedang itu sudah naik turun mengelilingi lawan dengan pedangnya yang menukik serta beterbangan.

“Ahh, hebat. Indah sekali!” Cu-ciangkun tak tahan, memuji dan menonton sambil geleng geleng kepala.

Kim-mou-eng juga mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya pun lenyap mengimbangi lawannya, kini dua orang itu bergerak-gerak dalam rupa bayangan saja, mereka mulai kabur dan Cu-ciangkun serta Bu-ciangkun tak dapat mengikuti lagi. Hanya Salima serta Gwan Beng atau Hauw Kam yang dapat mengikuti, itu pun tak lama karena Hauw Kam segara menjadi pusing. Gwan Beng masih bertahan dan akhirnya dengan Salima sajalah dua orang itu dapat mengikuti jalannya pertandingan.

Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun ternyata sudah roboh memegangi kepala, mereka serasa melihat dua kunang-kunang berkelebatan dan menari-nari di depan mata, angin bertiup menderu dan mereka pun tak tahan, Bu ciangkun sudah berteriak memejamkan mata. Kilauan pedang dan letikan bunga api sudah membuat panglima tinggi besar ini pusing, jauh lebih dahulu daripada Hauw Kam. Dan ketika pertempuran terus berjalan dan tiga panglima itu tak dapat mengikutil dan mulai pekak mendengar benturan-benturan senjata akhirnya mereka bertanya pada Salima, setengah berteriak, nyaris kalah oleh gaung pedang atau benturan senjata yang kian dehsyat itu.

“Nona, mana yang menang di antara mereka itu. Siapakah yang terdesak?”

Salima tak menjawab, hanyut dalam pertandingan yang mencekam itu.

“Heei....!”

Salima terkejut. Gadis ini mendesis: “Diamlah, mereka belum ada yang kalah atau menang. Bu-ciangkun. Hu-taihiap masih menyerang tapi suhengku bertahan!”

“Dan kau tidak pusing mengikuti jalannya pertandingan itu?”

“Ah, kau cerewet. Diamlah!” dan Salima yanq jengkel diganggu panglima ini akhirnya melompat dan menyingkir ke kiri, melihat dari situ dan bola matanya tak pernah berkedip. Sekarang tahulah dia bahwa Hu taihiap ini betul-betul hebat. Pedangnya bergerak begitu cepat hingga nyaris tak kelihatan, berkali-kali hampir mengenai suhengnya dan suhengnya sering berseru kaget. Tak ada jalan lain kecuali menangkis dan akibatnya benturan demi benturan membuat keduanya terdorong, sebentar saja mereka sama-sama berkeringat dan Hu Beng Kui penasaran. Dia kagum benar akan kelihaian lawannya ini, pedangnya berkali-kali terpental tapi sudah menyerang lagi, menusuk dan menyambar bagai petir di angkasa.

Dan ketika pertempuran berjalan seratus jurus dan jago pedang ini melengking tinggi tiba-tiba gerak pedangnya borobah dan kini mulai lambat namun bertenaga penuh, mengaung dan menderu dan Kim-mou-eng tampak susah payah menyelamatkan diri. Ada semacam tenaga dahsyat muncul di situ, menahan gerakan pitnya dan Kim-mou-eng terperanjat. Sekarang sambaran pedang Hu Beng Kui ini diselingi hawa dingin menyeramkan, bukan main hebatnya. Kim-mou-eng tertekan dan terdesak. Dan ketika dua tiga kali gerakan pedang menuju tempat berbahaya dan dia menangkis namun tenaga dahsyat itu menghambat perjalanan pitnya tiba-tiba pundak Kim-mou-eng tertusuk dan robek.

“Brett!” Gerak dan tusukan pedang ini mengejutkan semua orang. Sekarang Cu-ciangkun dapat mengikuti jalannya pertandingan lagi, berseru tertahan karena dia pun disambar hawa dingin yang menyertai gerakan pedang Hu Beng Kui, mundur tapi masih kesampok juga, terhuyung dan nyaris terpelanting. Panglima ini dan dua temannya ternganga melihat kejadian itu. Mereka mendengar angin yang menderu-deru itu, mundur lagi dan baru pada jarak sepuluh tombak merasa aman, terbelalak tapi sayangnya pertempuran tak dapat di lihat dalam jarak dekat.

Salima dan Gwan Beng sendiri mundur beberapa langkah menghindari deru angin dahsyat itu, pakaian mereka berkibar. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluh dan suara memberebet itu membuat Cu-ciangkun dan lainnya tertegun tiba-tiba untuk kedua kali pangkal lengan Pendekar Rambut Emas menjadi sasaran.

“Brett!”

Tiga panglima itu merasa aneh. Mereka melihat Kim-mou-eng terhuyung, pundak dan pangkal lengannya terluka. Padahal menurut mereka, begitu perasaan mereka bicara, seharusnya Kim-mou-eng dapat menghindar dan tidak terkena pedang. Jadi sungguh dirasa aneh kenapa gerakan pedang yang begitu lambat tak mampu dikelit, atau mungkin ditangkis. Dan ketika suara brat-bret kembali terdengar dan empat luka menghias tubuh Kim-mou-eng akhirnya panglima Bu menjadi khawatir dan berteriak,

“Kim taihiap, jangan lamban. Elak atau tangkis senjata lawanmu itu!”

“Hm!” sebuah dengus tiba-tiba terdengar. “Suhu mengeluarkan tenaga dalamnya, ciangkun. Mana mungkin dikelit atau ditangkis? Menggerakkan pit saja susah bagi Kim-mou-eng, apalagi menangkis. Itulah Giam-lo Kiam-sut dalam gabungan tenaga sakti, suhu mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling tinggi untuk, mengalahkan lawannya!”

Bu-ciangkun melotot. Yang bicara itu adalah Gwan Beng, murid tertua si jago pedang ini. Mengejek dan tampak berseri-seri melihat suhunya mendesak lawan. Hu-taihiap memang mengeluarkan gabungan tenaga saktinya untuk mendesak Kim-mou-eng, mengeluarkan silat pedang yang dinamakan Sin-khi-giam-kiam (Pedang Maut Hawa Sakti), dua gabungan tenaga sekaligus gerakan pedang, dahsyat dan mengerikan karena Kim-mou-eng susah menggerakkan pitnya.

Senjatanya itu selalu tertekan dan terdorong hawa dingin yang keluar bersama gerakan pedang, kaget dan pucat muka pendekar ini, dia dihimpit dan terus ditekan Dan karena pit di tangannya seolah ditekan hawa dingin yang keluar dari badan pedang dan tentu saja ini semua menghalangi gerakan, yang akhirnya Kim-mou-eng tak tahan berseru keras.

”Hu-taihiap, ilmu pedangmu betul-betul hebat. Tangguh sekali, awas..!” dan tak mau didesak dan terus menderita tiba-tiba Pendekar Rambut Emas melengking, menggerakkan tangan kirinya dan apa boleh buat pukulan Tiat-lui-kang mulai menyambar. Sinar merah berkelebat dan bunyi ledakan hebat terjadi. Hawa dingin di pedang Hu Beng Kui bertemu hawa panas yang keluar dari pukulan Petir, Kim-mou-eng memang belum mengeluarkan ilmunya ini dan Hu Beng Kui terkejut. Dan ketika benturan menggelegar mengguncangkan tempat itu dan lawan terhuyung tiba tiba Kim-mou-eng berkelebat dan memindah pit di tangan kirinya ke tangan kanan, menotok.

“Crangg!” Hu Beng Kui sekarang menangkis. Tadi dia terdorong dan terhuyung, kaget melihat lawannya lolos dari himpitan tenaga dinginnya. Tenaga panas dari pukulan Tiat-lui-kang rupanya mampir dan cocok dihadapkan dengan tenaga dingin dari Sin-khi-giam-kiamnya. Dan ketika pedang terpental dan pit kembali berpindah ke tangan kanan sekonyong-konyong Kim-mou-eng melejit dan berkelebatan menyerang bagian kiri dari tubuh lawannya itu, bagian kosong di mana lengan kiri Hu-taihiap buntung.

“Ah!” Hu-taihiap berseru keras, membentak dan marah melihat lawannya menyerang gencar. Kiranya ketika didesak tadi Kim-mou-eng tak tinggal diam, pikirannya bekerja keras dan mencari kelemahan lawan, ketemu dan melihat bahwa bagian kiri itulah yang kosong. Hu-taihiap selalu terhuyung bila bagian ini diserang. Maklum, lengannya yang buntung itu membuat hilangnya keseimbangan dan pit berkali-kali menyerang daerah ini. Hu-taihiap pucat karena kelemahannya diketahui, Kim-mou-eng cerdik dan mulai mengincar bagian ini. Dan ketika Tiat-lui-kang menangkis pedang sementara senjata di tangan kanan Pendekar Rambut Emas itu selalu bergerak ke arah lengan buntung Hu-taihiap akhirnya jago pedang ini menggereng memaki lawan.

“Keparat, kau cerdik, Kim-mou-eng. Kau benar-benar lihai!”

Pertempuran sekarang berobah. Tadi Kim-mou-eng selalu memperhatikan gerakan pedang, tidak ke lengan kiri lawannya. Sekarang menangkis pedang dengan tangan kiri sementara tangan kanan menyerang bagian kosong lawannya. Tiat-lui-kang mampu menahan pukulan dingin yang datang bersama pedang, memang harus sedikit berkorban dan beberapa guratan menggores lengan Kim-mou-eng. Tapi karena Kim-mou-eng membalas dan sekarang semua totokan atau pun tutukan pitnya selalu mengarah ke lengan buntung Hu-taihiap yang kosong maka satu saat pedang bertemu Tiat-lui-kang sementara pit di tangan kanan Kim-mou-eng menyambar bagian kosong lawan.

“Bret!” Untuk pertama kait Hu Beng Kui mengeluh. Ledakan Tiat-lui-kang yang mengenai pedangnya membuat senjata di tangan jago pedang itu memental, dan menyambar pundak kirinya dan Hu-taihiap tak dapat mengelak. Sebuah totokan dirasa kerap menyengat, hampir lumpuh pundaknya itu. Dan ketika lawan kembali menyerang dan Kim-mou-eng tak menghiraukan gerakan pedang mengenai dirinya dan jago pedang ini terhuyung, dia telah mengerahkan sinkangnya namun totokan di tangan lawan karena ditangkis dengan pukulan Petirnya maka kembali untuk kedua kali Hu-tai hiap terkena sambaran pit hitam itu.

“Tuk!” Hu-taihiap menggigit bibit. Dua serangan senjata kecil di tangan Kim-mou-eng ini tak kalah berbahayanya dengan senjata pedang atau senjata tajam. Bahkan pit itu menghentikan aliran darahnya di bagian yang tertotok. Hu-taihiap mulai terganggu dan kesakitan. Dia terpecah konsentrasinya dan mulai gugup. Dan ketika totokan demi totokan mengenai daerah ini dan tentu saja dia tak dapat menahan tiba-tiba Hu Beng Kui berteriak keras melakukan jurus yang disebut Thian-kong pok-lui (Naga Angkasa Menerkam Petir), melepas pedangnya dalam satu timpukan cepat yang bukan main hebatnya.

Kim-mou-eng terkejut melihat pedang menyambar, menuju ulu hatinya dan timpukan seorang jago pedang macam Hu Beng Kui jelas bukan timpukan main-main. Timpukan itu berbahaya sekali karena sifatnya hendak mengadu jiwa. Gwan Beng dan Salima terpekik, Cu-ciangkun dan lain-lain juga berseru tertahan. Dan ketika mereka terkesiap sementara Kim-mou-eng sendiri sudah disambar pedang dengan kecepatan yang luar biasa tiba-tiba pendekar ini melempar tubuh bergulingan dan pit di tangan kanannya pun disambitkan ke pundak lawannya, bagian kiri itu.

“Singgg-crep!”

Dua sinar hitam dan putih itu nyaris bertemu di tengah udara. Orang mendengar ledakan dan keluhan, Hu Beng Kui terbanting sementara Kim-mou-eng juga berseru tertahan. Pedang mengenai dada kirinya, Salima menjerit dan menghambur ke arah suhengnya itu. Kim-mou-eng tak dapat bangun. Dan ketika Gwan Beng dan Hauw Kam ikut terpekik menubruk guru mereka, ternyata pit yang melesat dari tangan Kim-mou-eng telah menancap setengahnya di pundak kiri jago pedang ini, darah mengucur dan Hu Beng Kui roboh, tak dapat berdiri dan segera dua muridnya sibuk. Sebuah jeritan kecil terdengar, dan Swat Lian muncul, berkelebat dan berlutut di samping ayahnya. Dan ketika semua orang terkejut dan pertempuran otomatis berhenti maka Salima menguguk sementara Swat Lian juga menangis memanggil-manggil ayahnya.

“Ayah...!”

“Suheng...!”

Keadaan tiba-tiba menjadi gempar. Cu-ciangkun dan Bu-ciangkun sudah melompat ke arah Kim-mou-eng, melihat keadaan pendekar itu dan Kim-mou-eng menyeringai. Tiga panglima ini tertegun karena tak ada darah yang keluar, heran mereka. Dan ketika Salima mengguguk dan, mengira suhengnya luka maka di sana Hu Beng Kui bertanya bagaimana keadaan lawannya itu.

“Angkat aku, berdirikan aku...!” Jago pedang itu diberdirikan, melihat ke arah Kim-mou-eng, menggigil tapi matanya bersinar-sinar. “Bagaimana keadaan dia? Aku menang?”

“Ah!” Swat Lian mengguguk. “Kau kejam, yah. Sudah kubilang agar kau tidak bersikap telengas dan kejam terhadap lawanmu. Kim-mou-eng rupanya tewas, kau jahat...!”

“Tidak!” jago pedang ini tiba-tiba terbelalak, tersentak, melihat Kim-mou-eng berdiri. “Dia tidak apa-apa, Lian-ji. Lihatlah....!” dan Hu beng Kui yang tertegun melihat lawannya tiba-tiba terkesima dan bengong melihat keadaan Kim-mou-eng, tidak ada luka atau apa pun yang menghias dada Pendekar Rambut Emas ilu.

Kim-mou-eng tersenyum dan Salima tiba-tiba menghentikan tangisnya, terbelalak melihat pedang yang disangka “menancap” di dada. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan membungkuk menggerakkan tangan maka pedang itu dicabut dan semua orang melongo, melihat bahwa pedang sebenarnya dikempit di ketiak Pendekar Rambut Emas itu, dari jauh tampaknya seolah menancap tapi sebenarnya bukan.

“Oohh...!” Salima sadar, tersedu dan menubruk subengnya itu. “Kau terlalu, suheng. Kau menipu kami!” Salima memukul mukul dada suhengnya, gemas dan marah tapi tentu saja girang bukan main.

Tadi semua orang menyangka suhengnya ini terkena pedang, tentu tewas dan tak mungkin selamat. Tapi begitu mengetahui bahwa pedang menyelinap di bawah ketiak dan sesungguhnya dalam gerak yang luar biasa cepat dan amat berani Pendekar Rambut Emas ini mengempit pedang Hu Beng Kui mendadak Cu-ciangkun dan teman-temannya melenggong sementara Hu Beng Kui sendiri juga mendusin, sadar bahwa serangannya tadi gagal dan dia kalah. Kim-mou-eng tak apa-apa sementara dia luka. Dan ketika Kim mou-eng mendorong sumoinya dan maju merjura di depannya maka bekas lawan ini memberi hormat.

“Hu-taihiap, nyaris aku terkapar. Ilmu pedangmu sungguh-sungguh hebat, aku menyatakan kagum dengan setulus hati. Kalau kedua lengan mu masih utuh barangkali aku tak dapat berdiri lagi di sini dengan selamat. Aku menyerah, kepandaianmu betul-betul luar biasa!”

“Tidak, kau yang menang, Kim-mou eng. Betapapun kau segar-bugar dan aku terluka. Tiat-lui-kangmu betul-betul hebat. Akulah yang kagum dan kaupun cerdas, mampu mencari kelemahanku dan aku kalah. Sekarang aku menepati janji dan Sam-kong-kiam kuserahkan padamu!” Jago pedang itu tertatih, meminta Sam-kong-kiam dari tangan muridnya dan Gwan Beng menyerahkan pedang itu.

Pemuda ini pun terbelalak melihat kehebatan Kim-mou-eng, jarang ada yang dapat selamat dari timpukan gurunya tadi. Kim-mou-eng memang luar biasa. Dan ketika secara merendah Pendekar Rambut Emas itu mengakui kepandaian gurunya dan menyatakan menyerah padahal sesungguhnya gurunya yang kalah maka pemuda ini menjadi kagum dan menaruh hormat setingginya, melihat muka gurunya muram dan gurunya menyerahkan pedang itu pada lawannya, diterima dan Kim-mou-eng kembali membungkukkan menyerahkan pedang pada Bu-ciangkun dan panglima itu gembira, berlutut dan menerima pedang seolah menerima sabda dari kaisar sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng mengucap terima kasih dan Hu Beng Kui murung tiba-tiba pendekar ini terhuyung membalikkan tubuh.

“Kim-mou-eng, betapapun aku penasaran. Biarlah dua tiga tahun lagi kita mengadakan pertandingan ulang dan kau akan menghadapi salah seorang muridku. Terima kasih atas pelajaranmu!” dan pergi meninggalkan lawan dengan muka murung jago pedang ini dituntun putrinya memasuki gedung, tak menghiraukan yang lain-lain lagi dan Kim-mou-eng tersenyum pahit. Isak dan lirikan Swat Lian masih sempat menyambarnya tadi, berkilat dan berapi-api.

Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan mematung di situ sekonyong-konyong Bu-ciangkun menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. “Taihiap, terima kasih. Kami akan pulang dan melapor pada sri baginda. Sungguh untuk kedua kalinya kau menyelamatkan pamor junjungan kami!”

“Ah,” pendekar ini membangunkan tiga panglima itu. “Jangan begitu, ciangkun. Semua berkat kemurahan Tuhan juga. Bangunlah, tak perlu sungkan!”

Lalu membersihkan baju dan memandang sumoinya Pendekar Rambut Emas bertanya, “Bagaimana, kita pulang, sumoi?”

“Tentu, aku rindu suku bangsaku, suheng. Memangnya kita akan berkeliaran lagi?”

“Nanti dulu!” Bu-cimgkun berkata serak. “Kalian ke istana dulu, taihiap. Kami ingin sri baginda menyambut dan mengucapkan terima kasih secara pribadi...”

“Benar, kalian ke istana dulu, taihiap. Sri baginda tentu ingin bertemu denganmu,” Cu-ciangkun menyambung.

“Hm.” Pendekar Rambut Emas menggeleng. “Kami terlalu lama meninggalkan kampung halaman, ciangkun. Biar lain kali saja kami ke sana. Kami tak butuh balas jasa, kami tak memberikan budi. Kalau ini semua dapat terlaksana maka sesungguhnya itu berkat nasib baik belaka. Sudahlah, sampaikan pada sri baginda salam hormat kami dan biar beberapa bulan lagi kami mengirim undangan untuk beliau, juga kalian.”

“Undangan pernikahan?”

“Ya.”

“Baiklah, hormat setinggi-tingginya kepadamu, taihiap. Semoga kalian bahagia dan sekali lagi terima Kasih atas semua pertolonganmu!” Cu-ciangkun melipat punggung menjadi dua, disusul yang lain dan Kim-mou-eng tersenyum.

Pada saat tiga panglima itu membungkuk tiba-tiba dia sudah menyambar sumoinya, berkelebat lenyap. Dan ketika tiga panglima itu mengangkat tubuhnya kembali dan terkejut melihat Kim-mou-eng tak ada di situ lagi mendadak mereka tertegun dan berseru memuji, “Hebat, Kim-mou-eng dan sumoinya itu sungguh orang-orang luar biasa. Kita benar-benar bukan tandingannya dan seperti semut menghadapi gajah!”

Lalu memutar tubuh bergegas meninggalkan tempat itu segera tiga panglima itu ke kota raja, menyampaikan semua yang terjadi dan menyerahkan Sam-kong-kiam pada kaisar, di sambut gembira namun kaisar kecewa kim-mou-eng tak ikut serta, tapi ketika tiga panglima itu berkata bahwa beberapa bulan lagi Kim-mou-eng akan memberikan undangan untuk perkawinannya maka kaisar bertepuk tangan berkata girang,

“Bagus, aku akan ke sana. Kita semua ke sana dan ikut meramaikan pesta! Kapan tepatnya hari perkawinan itu, Ciangkun?”

“Hamba belum tahu, sri baginda. Kim-taihiap tidak memberi tahu dan agaknya sengaja mennyembunyikan itu. Kita nantikan saja dan biar kita tunggu undangannya.”

Begitulah, kaisar telah menerima Sam-kong-kiam. Ingin menyatakan rasa terima kasihnya dengan menghadiri perkawinan Kim-mou-eng, satu kehormatan besar yang tak mungkin orang lain menerimanya. Dan ketika hari itu kaisar bergembira dan Sam-kong-kiam disembunyikan ditempat lain maka urusan pedang telah selesai dan Cu-ciangkun serta Bu-ciangkun pun lega. Tak ada masalah bagi mereka dan hati pun terasa ringan. Istana kelihatan riang dan suka cita. Tapi sementara di tempat ini terjadi kegembiraan dan kesukaan hati maka di Ce-bu, di tempat Hu Beng Kui terjadi hal sebaliknya di mana berminggu-minggu pendekar pedang itu kelihatan murung.

* * * * * * * *

Tiga bulan kemudian. Hu-taihiap tetap tak gembira. sehari-hari hanya tepekur dan termenung. Itulah pekerjaannya sehari-hari. Dan ketika pagi itu jago pedang ini duduk di taman dan sebagai mana biasa bersunyi diri tenggelam dalam sepi tiba-tiba seakan tersentak dia melihat ukiran di dinding yang ditulis Bu-beng Sian-su itu. Matanya melebar, tiba-tiba bangkit berdiri dan sudah mendekati kalimat-kalimat itu, tajam bersinar-sinar dan tangan pun tiba-tiba bergerak, menyentuh tulisan-tulisan halus ini dan hati pun tiba-tiba tergerak. Ada semacam dorongan menggugah perasaannya, Hu Beng Kui mengerutkan kening dan berpikir keras. Bayangan manusia dewa itu muncul.

Teringatlah dia akan perjumpaannya semula, ketika manusia dewa itu datang dan menyalaminya, diserang tapi menghilang. Dipukul tapi tak ada apa-apa di sekitarnya, bukti kesaktian luar biasa yang membuat dia bergidik. Manusia dewa itu sungguh tidak lumrah manusia. Dan ketika dia teringat ucapan kakek dewa itu bahwa dia akan kehilangan seorang anaknya kalau Sam-kong-kiam tetap di tangannya tiba-tiba pendekar ini menutupi muka dan menangis.

Dan sedu sedan ditahan di tenggorokannya, sakit sekali rasa hati pendekar ini dan nyaris dia mengguguk. Kata kata manusia dewa itu terbukti, bahkan, bukan anaknya saja yang hilang melainkan sebuah lengannya pun menjadi korban. Dia buntung! Tapi menyadari sesal kemudian tiada guna maka jago pedang ini kembali tepekur dan merenung.

Tiga bait syair di depan matanya itu dibacanya dan turun lagi untuk akhirnya kembali ke atas. Bait pertama itu melulu bicara Pedang tiga Dimensi, tak ada yang aneh rupanya. Dan ketika dia membaca bait kedua dan ketiga tiba-tiba pendekar ini berpikir keras, mengotak-atik dan tiba-tiba teringat bahwa manusia dewa itu pernah bilang bahwa jawaban syair ini isinya berada di bait kedua, berhenti di situ dan pikirannya bekerja cepat, coba menelusuri namun gagal. Dia tak mengerti apa yang dimaksud. Dan ketika seharian itu pendekar pedang ini mencoba membuka tabir namun tetap gagal juga maka hari kedua dan hari-hari berikut mulai menyeret pendekar ini untuk menemukan jawabannya.

Ajaib, tiba-tiba renungannya terpusat di sini. Ada semacam daya tarik pada bait-bait itu. Hu Beng Kui coba menganalisa dan pikiran pun mulai membayangkan manusia dewa itu. Tanpa terasa dia mengadakan kontak batin. Dan ketika tujuh hari berturut-turut dia merasa gagal dan pucat serta lemah mendadak pada hari ke delapan, persis seperti dulu di pagi hari yang masih segar Bu-beng Sian-su muncul.

“Selamat pagi, Hu-taihiap. Kau memanggilku?”

Hu Beng Kui kaget. “Ah, kau, Sian-su? Selamat pagi, silahkan duduk. Benar, aku menggetarkan batinku untuk menghubungimu. Aku...” jago pedang ini melongo, tertegun dan menghentikan kata-katanya karena manusia dewa itu dilihatnya tak menginjak tanah, mengambang dan seolah melayang di atas permukaan tanah. Wajah yang berkabut itu pun tiba-tiba mengeluarkan sinar, dua sorot berkelebat dan Hu-taihiap mengeluh, terhuyung dan jatuh terduduk. Dan ketika dia bengong dan sorot mata itu kembali lenyap tiba-tiba kakek dewa ini tertawa dan menempel di dinding, mengusap tiga bait syair yang dulu dibuatnya itu.

“Kau tak mempersalahkan muridku?”

Jago pedang ini terkesiap. Di belakang kakek dewa itu tiba-tiba muncul Kim-mou-eng, menjura dan memberi hormat padanya. Hu Beng Kui seperti melihat hantu saja karena Kim-mou-eng tadi tak dilihatnya, barangkali Pendekar Rambut Emas itu bersembunyi atau “disembunyikan” Bu-beng Sian-su, mencelos dia. Dan ketika dia bangkit berdiri dan terhuyung mengibas lengan bajunya pendekar ini mendengar Kim-mou-eng menyapa lembut.

“Hu-taihiap, maafkan aku. Suhu membawa aku ke mari, katanya disuruh mendengar apa yang hendak dibicarakan. Selamat pagi.”

“Ah, kalian... eh, di mana kau tadi, Kim-mou-eng? Kenapa baru sekarang kulihat?”

“Suhu menggulungku dalam lengan bajunya, taihiap. Baru sekarang aku dikeluarkan agar tak mengganggu keasyikanmu membaca syair itu.”

“Digulung dalam lengan baju? Seperti siluman saja? Ah, kau nenar-benar luar biasa, Sian-su. Sungguh tinggi kesaktianmu ini hingga kedatanganmu tak kudengar. Pantas, kalau Kim-mou-eng, saja tentu kutangkap langkahnya. Kau benar-benar hebat dan sakti. Benar, aku penasaran oleh isi syair ini dan teringat janjimu untuk menerangkan. Aku gagal dan mohon petunjuk, harap Sian-su memberi tahu!” Hu Beng Kui terbelalak, tak habis pikir bagaimana seorang manusia bisa “digulung” dalam lengan baju, disembunyikan dan tampaknya seperti kisah tak masuk akal sija. Mirip dongeng!

Tapi Bu-beng Sian-su sendiri yang tersenyum tak menghiraukan pujian iiu sudah bersinar-sinar memandang jago pedang ini, menepuk-nepuk dinding tembok itu. “Kau tak berhasil?” pertanyaan ini lembut diajukan, dijawab gelengan dan Bu-beng Sian-su melepaskan tangannya. Ukiran halus di dinding itu tiba-tiba mencorong, aneh sekali, mengeluarkan cahaya dan Hu Beng Kui mendelong. Ajaib bin aneh tiba-tiba bait teratas “copot”, tanggal dan kini menempel di telapak kakek dewa itu. Dan ketika manusia dewa ini tersenyum dan membuka telapaknya maka sebait syair itu melekat dan berkeredep mengeluarkan cahaya warna-warni.

“Apa ini, taihiap?”

“Bait pertama dari syair yang kau buat, Sian-su.”

“Bagus, kau dapat mengerti maksudnya?”

“Ya, tentang Sam-kong-kiam itu. Kukira tentang Pedang Tiga Dimensi itu.”

“Hm, kau dapat menjelaskan lebih jauh?”

Hu Beng Kui bingung. “Tidak, kukira tak ada penjelasan lebih jauh, Sian-su. Syair itu kukira jelas dan cukup dimengerti bahwa Sam-kong-kiam hendak kau maksudkan sebagai benda yang mati dan dingin!”

“Bagus, dan ini?” kakek itu mengusap bait kedua, tiba-tiba “copot” dan tanggal melekat di telapaknya, lagi-lagi perbuatan aneh yang tidak dimengerti Hu Beng Kui. Dan karena bait kedua ini yang justeru membingungkan Hu Beng Kui maka jago pedang itu menggeleng, tak mengerti.

“Maaf, aku dapat membaca namun tak dapat menangkap isinya, Sian-su. Justeru ini yang ingin kutanyakan kepadamu!”

“Ha-ha, dan ini?” Bu-beng Sian-su menunjuk bait ketiga, kini berturut-turut menempelkannya dan menyusunnya rapi di talapak tangannya. Tiga bait itu berkeredep berwarna-warni. Hu Beng Kui menggeleng. Dan ketka pendekar itu menyatakan sebaiknya kakek itu menerangkannya kepadanya maka Bu beng Sian su tersenyum dan tertawa lembut.

“Baiklah, aku datang memang untuk memenuhi keinginan tahumu, taihiap. Semoga pikiranmu dapat hidup seperti bait ini!”

Bu-beng Sian-su mendorong bait-bait itu tiba-tiba lepas dari telapaknya dan kembali menempel di dinding, rapi dan tak ada yang bergeser dari kedudakannya semula. Hu Beng Kui berdebar. Dan ketika manusia dewa itu menghela napas dan duduk bersila tiba-tiba seperti tadi kakek ini tak menyentuhkan tubuhnya sedikit pun di atas tanah, duduk dalam keadaan mengambang.

“Hu-taihiap, mari kita bicarakan ini dalam dialog terbuka, lihatlah!”

Hu Beng Kui terganga. Dia terkejut melihat manusia dewa itu duduk dengan caranya yang aneh. Teringat sebuah ilmu yang disebut Mengapung Tanpa Bobot, sebuah ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, baru merupakan cerita dari mulut ke mulut dan belum ada tang mampu memiliki ilmu itu. Mengapung Tanpa Bobot adalah semacam ilmu ginkang yang luar biasa tingginya, orang yang memiliki ilmu ini akan sama dengan udara. Tulang dan otot serta dagingnya bukan merupakan tulang dan otot serta daging manusia biasa. Sepenuhnya ilmu itu memang hanya dimiliki dewa-dewi berkepandaian tinggi, yang hidup di alam halus dan konon katanya ilmu itu tak memiliki gaya berat. Bu-beng Sian-su telah menunjukkan ini dan Hu taihiap kagum. Bukan main takjubnya dia. Dan ketika Bu-beng Sian-su mengulapkan dengan dan menepuk pundaknya tiba-tiba pendekar ini gelagapan dan sadar.

“Oh, oh... Apa... apa, Sian-su?”

Kakek dewa itu tertawa. “Aku bilang mari pusatkan perhatianmu pada syair ini, taihiap. Jangan melihat yang lain dan mari kita mulai!”

“Baik,” jago pedang ini menelan ludah, mukanya segera menjadi merah,. “Aku akan memusatkan perhatianku pada kata-katamu, Sian-su. Mulailah dan beri petunjuk kepadaku apa yang harus kulakukan.” Hu Beng Kui menenangkan guncangan jantungnya, duduk dan sudah bersila berhadapan dengan kakek dewa itu. Betapapun dia tak dapat tenang dan selalu takjub akan kesaktian kakek ini. Tadi caranya datang dan sekarang caranya duduk. Seumur hidup baru kali itu dia melihat manusia begini hebat! Mampu mengambang, seperti roh atau makhluk-mahluk halus lainnya saja. Dan ketika dia menggigil berkeringat dingin maka kakek dewa ilu mulai bicara, sungguh-sungguh dan serius.

“Taihiap, ingatan apakah yang dapat kau ingat ketika perjumpaan kita dulu?”

“Hm, yang kuingat adalah ramalanmu tentang kematian seorang anakku, Sian-su. Dan itu ternyata benar!”

“Maaf, agaknya itu melukai hatimu. Bukan, bukan itu. Yang lain lagi. Adakah sesuatu yang kau ingat? Dulu pernah kukatakan bahwa inti jawaban syair ini berada pada bait kedua. Benar, bukan?”

“Ya.”

“Nah, kau belum sedikit pun dapat menangkap inti sarinya?”

“Kalau sudah tentu sudah kukatakan, Sian-su. Dan aku menyesal kenapa diriku demikian bodoh!”

“Jangan menyesali diri sendiri, mari kutuntun. Dan sebaiknya kita mulai dari bait pertama. Bacalah!”

Hu-taihiap membaca. Bait pertama itu terdiri dari lima baris. Bu beng Sian-su mengangguk angguk dan tersenyum, mendengarkan dan sedikit pun tak mengganggu. Dan ketika pendekar itu selesai dan kakek ini tertawa maka dia pun berseru memandang bait pertama itu.

“Bagus, benar, taihiap. Mari kuulangi” dan Bu-beng Sian-su yang menunjuk dan membaca bait itu lalu berseru, penuh semangat:

Mengguncang langit menggetarkan bumi
Terhujam pongah sepotong besi
Tiada perduli kanan dan kiri
Itulah Pedang Tiga Dimensi
Kaku, dingin dan mati


Kemudian berhenti di sini kakek ini bertanya, “Apa yang dapat kautangkap, taihiap?”

“Tak ada apa-apa, Sian-su. Kecuali bicara tentang Pedang Tiga Dimensi itu.”

“Betul, tapi tentu tidak sedangkal itu. Ada hal lain lagi yang perlu diketahui. Sebuah perbandingan!”

“sebuah perbandingan?”

“Ya, sekarang teruskan dulu bait kedua, taihiap. Coba baca!”

Hu Beng Kui membaca, mulai lantang dan penuh semangat, terpengaruh kakek itu:

Sekarang apa artinya ini
Kenapa dikejar dan dicari
Bukankah yang amat berarti
Masih bukan milik sendiri!


“Nah,” Bu-beng Sian-su lagi-lagi bertanya, setelah pendekar itu selesai. “Apa yang dapat kau tangkap, taihiap? Apa kira-kira yang paling berarti pada bait kedua itu?”

“Hm, justeru ini yang kubingungkan. Sian-su. Aku tak mengerti apa sebenarnya yang ingin kau maksudkan itu?”

“Ha-ha. kalau begitu mari berhenti sebentar. Kita kupas ini!” dan Bu-beng Sian-su yang bangkit semangatnya memberi tahu tiba-tiba mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. “Taihiap lihat. Apakah yang paling berarti dalam hidup ini? Apakah yang kau rasa yang paling berharga dari hidup ini?”

Hu Beng Kui bingung. “Tak tahu, Sian-su, tapi barangkali kehormatan....”

“Ha-ha, adakah kehormatan itu berharga? Paling berharga?”

“Atau kepandaian?”

“Ha, kau boleh sebut satu persatu, taihiap. Coba ulangi dan sebut apa saja kiranya yang paling berharga menurut jalan pikiranmu!”

Hu-taihiap berkeringat. Dia mulai menyebut bahwa yang paling berharga adalah kehormatan, lalu kepandaian dan akhirnya harta benda atau apa saja yang ternyata disambut tawa kakek dewa itu. Hu Beng Kui penasaran bahwa agaknya kakek dewa itu tak membenarkan, dia mulai bertubi-tubi menyebut benda-benda yang bersifat lahiriah: Uang, Kedudukan dan Kesenangan. Dan ketika teringat bahwa hidup hanya berisi tiga hal itu. Kekuasaan, Kekayaan dan Kenikmatan maka pendekar itu gemetar, mengusap peluh, bertanya, “Adakah yang lebih berharga dari tiga sumber pokok itu, Sian-su? Bukankah Pedang Tiga Dimensi sendiri menjanjikan tiga hal itu?”

“Jadi kau tahu? Ha ha, kalau begitu jelas alasanmu menginginkan pedang pusaka itu, taihiap. Ternyata kau pun tak berbeda banyak dengan peminat lain yang menginginkan Sam-kong-kiam. Baiklah, aku tak akan menjawab penanyaan ini secara langsung, nanti kau akan mengerti sendiri. Sekarang coba kita ulas, kita renungkan. Kalau benar Kekuasaan dan Kekayaan serta Kenikmatan itu adalah hal yang paling berharga, terbukti banyak manusia mengejar-ngejar ini, lalu apakah mereka mau mengalami seperti yang kau alami? Maukah mereka menukar semuanya itu seperti yang terjadi pada dirimu?”

“Maksud Sian-su?”

“Jelas, kau meletakkan tiga hal ini paling atas, Hu-taihiap. Bahwa “Kekanik” (Kekuasaan Kekayaan dan Kenikmatan) kau anggap hal yang paling berharga, bahwa ini adalah segala-galanya. Dan kalau ini adalah segala-galanya lalu maukah mereka mengalami seperti yang kau alami? Taruh kata Kehormatan adalah sesuatu yang paling unggul lalu maukah kehormatan ini ditukar dengan nyawa seorang anak kita? Taruh kata Kekayaan adalah hal yang paling unggul lainnya, maukah ditukar dengan sebagian atau setengah tubuh kita? Atau...“

“Nanti, nanti dulu!” Hu-taihiap pucat, tergesa memotong. “Apakah jawabanku tadi salah, Sian-su? Apakah semua kata-kataku tadi tidak benar?”

“Benar atau tidak justeru sedang kita selidiki, taihiap. Aku hendak mengajakmu untuk membuka tabir rahasia ini.”

“Tapi kau bicara tentang anak, tentang nyawa dan tubuh! Apakah aku, ah....!” Jago pedang ini menggigil. “Apakah aku salah, Sian-su? Kenapa kau menarik-narikku dalam persoalan berdarah ini? Aku menyesal akan kematian putraku, Sian-su. Jangan kau robek-robek hatiku dengan kenangan yang tak dapat kulupakan itu!”

“Bagus, berarti kesadaran mulai tumbuh di hatimu. Tapi jangan menolak pembicaraan ini, taihiap. Apa yang kukatakan tidak semata mengorek luka lamamu, justeru akan menenangkan batinmu yang beberapa waktu lalu gelap!”

“Tapi....”

“Kau tak takut menghadapi kebenaran, bukan? Kalau kau takut berarti pembicaraan kita berhenti, taihiap. Dan aku akan pergi memutuskan percakapan ini...”

“Tidak. Ah....! Teruskan. Aku mulai menangkap maksudmu, tapi terus terang aku ngeri!”

“Hm, melihat sesuatu sebagaimana adanya tak akan menimbulkan ngeri atau takut, Hu-taihiap justeru akan mendewasakan dan mematangkan batinmu!”

“Baiklah, kau lanjutkan kata-katamu, Sian-su. Aku mendengar...” Hu Beng Kui setengah rnemejamkan mata, menggigit bibir dan tiba-tiba dia menangkap apa yang hendak dimaksudkan kakek dewa ini, mulai menerima dan mengerti getaran-getaran gaib itu, sesuatu yang mulai samar-samar nampak, gemetar namun dia berusaha menenangkan dirinya.

Dan ketika Bu-beng Sian-su tersenyum dan mengusap wajahnya lembut tiba-tiba kakek ini mulai menyambung, “Nah, kembali kuulang pembicaraan tadi. Kalau sebuah kehormatan umpamanya, dinilai paling tinggi dan dianggap segala-galanya maka maukah manusia yang sadar dan waras, menukarkan itu dengan buah hatinya. Kalau kekayaan umpamanya, dianggap segala-galanya dan perlu dikejar maukah manusia yang sadar dan waras menukarkan itu dengan sebagian anggota tubuhnya? Lihat dirimu, taihiap, ambil contoh yang dekat ini. Kalau seandainya Pedang Tiga Dimensi ditukar dengan nyawa puteramu agar kau dapat berkumpul lagi dengannya maukah kau? Kalau Pedang Tiga Dimensi ditukar dengan lenganmu yang buntung agar kau utuh kembali maukah kau menerimanya? Maaf, aku tidak bermaksud menyakiti perasaaanmu, taihiap. Tapi semata berbicara demi memperlihatkan sebuah kebenaran. Coba kau jawab pertanyaanku tadi, maukah kau menukarkan Pedang Tiga Dimensi asal puteramu hidup? Maukah kau menukarkan Pedang Tiga Dimensi asal lenganmu yang buntung dapat kembali lagi?”

Hu Beng Kui mengeluh, menggigil hebat. “Mau... mau, Sian-su...!”

“Lalu apa artinya ini?”

“Artinya bahwa jawabanku salah, bahwa masih ada yang lebih berharga lagi ketimbang itu.”

“Cocok! Tapi coba sebutkan, apakah yang lebih berharga itu? Apakah yang dapat kau mengert ini?”

“Artinya ah.... anakku masih jauh lebih berharga dibanding Sam-kong-kiam, Sian-su. Bahwa buah hatiku masih jauh lebih berharga ketimbang kehormatan atau pedang pusaka itu!”

“Ya, dan kemudian?”

“Bahwa aku tolol. Bahwa sesungguhnya lenganku yang buntung ini juga lebih berharga di banding Sam-kong-kiam yang membawa celaka!”

“Ha-ha, yang membawa celaka bukanlah Sam-kong-kiam atau benda-benda lain, Hu-taihiap. Melainkan cara berpikirmu yang tidak sehat dan tak sempurna. Kalau dulu kau sudah menyadari ini dan mengikuti petunjukku tentu kau tak perlu kehilangan seorang anak atau pun lengan. Sam-kong-kiam adalah sebuah benda mati, kau tak perlu menyalahkannya atau pun mengutuk. Yang salah adalah kau, kau mabok kehormatan dan gengsi. Inilah!”

“Augh....!” Hu Beng Kui mengerang. “Lalu kesalahan apalagi yang kubuat, sian-su? Bagaimana setelah ini?”

“Kau harus mengerti baik-baik dulu tentang ini, baru kesalahan tak akan terjadi.”

“Ya, ya. Aku sekarang mengerti. Bahwa Kehormatan, Kekayaan atau pun Kenikmatan atau Kesenangan itu bukanlah sesuatu yang paling berharga. Bahwa masih ada yang lebih berharga lagi ketimbang itu, ialah keluarga atau diri sendiri bukankah begitu, Sian-su?”

“Belum tepat benar. Kau masih belum menuju intinya.”

“Lalu bagaimana?”

“Begini, sekarang mulai kau sadari bahwa Kehormatan, atau yang lain-lainnya tadi adalah sesuatu yang bukan 'paling' berharga. Bahwa masih ada yang jauh lebih berharga lagi daripada itu. Terbukti kau mau menukarkan anakmu dengan Pedang Tiga Dimensi, padahal pedang ini adalah pedang yang dipercaya dapat memberikan Kehormatan, Kekayaan serta Kenikmatan kepada manusia. Dan kau pun mau menukarkan, lenganmu dengan pedang keramat, ini, meskipun hal itu tak mungkin lagi karena semuanya terlambat. Dan melihat semuanya ini, kenyataan ini, apa yang kau lihat dalam bait-bait itu, taihiap? Bukankah Kehormatan, Kekayaan atau pun Kenikmatan yang dikejar kejar manusia hanyalah sekedar 'baju' belaka. Bukankah semuanya itu hanyalah sesuatu yang menempel di luar? Apa yang ada di luar jelas kalah berharga dibanding dengan yang di dalam, taihiap. Maka untuk yang didalam inilah kita harus tahu!”

Hu Beng Kui bingung.

“Kau tak mengerti, bukan? Nah, lihat ini. Dulu, sewaktu kau berambisi memiliki Sam-kong-kiam maka kehormatanlah yang kau kejar. Sebagai seorang jago pedang kau ingin mendapat kehormatan 'lebih'. Ditambah godaan bahwa Sam-kong-kiam dapat memberikan ini dan itu maka kau mati-matian merebutnya. Itu bagimu, bagi, seorang jago silat. Sedang bagi seorang tabib, apa yang dikata paling berharga dalam hidupnya, taihiap? Tentu kesehatannya. Itu yang akan dikatakan tabib ini. Dan bagi seorang miskin, apa yagg akan dikatakan paling berharga bagi hidupnya? Tentu kekayaan, itu jawabnya. Dan karena semua yang di anggap berharga ini adalah sesuatu yang 'di luar' dan kebetulan semuanya itu belum dimiliki maka orang ramai-ramai memperebutkan ini, mengejar ini, hingga yang ada di dalam, yang amat hakiki orang lupa dan lengah untuk memperhatikannya. Kau paham?”

“Belum...“

“Hm, baik. Sekarang aku menuju sasaran pokok. Jangan tersinggung kalau aku banyak menuju dirimu. Sekarang perhatikan ini. Kalau seandainya dulu kau tahu bahwa puteramu akan tewas kalau kau bersikeras mempertahankan Sam-kong-kiam apakah tindakan yang akan kau ambil, taihiap? Salahkah bila kukatakan bahwa kau akan melepaskan pedang itu dan lebih mementingkan puteramu?”

“Tidak!”

“Bagus, lagi pertanyaan ini. Kalau seandainya kau tahu pula bahwa lenganmu akan buntung salahkah bila kukatakan bahwa kau akan melepas pedang itu dan lebih menghargai lenganmu sendiri?”

“Tidak.”

“Cocok, pembicaraan mulai lancar. Sekarang kau menangkap bahwa Sam-kong-kiam, betapapun hebatnya dia, betapapun berharganya dia tetap tak lebih berharga daripada lenganmu sendiri, atau puteramu itu, darah dagingmu itu. Dan kerena kau telah mengakui ini maka kau tentu sepakat jika kukatakan bahwa yang di luar, benda-benda yang di luar masih kalah berharga di banding dengan yang di dalam. Seperti Pedang Tiga Dimensi itu dengan lenganmu atau seperti Pedang Tiga Dimensi dengan anggauta tubuhmu yang lain. Dan karena kau telah melihat ini tentunya sekarang kau mengerti bahwa dibanding dengan apapun juga tetap saja diri sendiri atau tubuh sendiri lebih berharga dibanding yang lain-lain, begitu, bukan?”

“Ya.”

“Nah, apa kelanjutannya? Kenapa orang masih mengejar-ngejar itu?”

“Karena mereka tak tahu, Sian-su. Karena mereka mabok dan ingin memiliki itu.”

“Cocok, tepat sekali. Itulah sumber kecelakaan manusia. Nafsu memiliki! Ha ha. Kau mulai menyentuh. Hu-taihiap. Sekarang pembicaraan akan beres dan semakin lancar!”

Hu Beng Kui tertegun. Kakek dewa itu tiba-tiba tertawa bergelak dengan suara nyaring, mengejutkan namun lembut. Dia tadi sebetulnya kebetulan saja menyebut itu, rasa kemilikan, rasa yang membuat manusia mabok untuk memiliki sesuatu. Hal yang rasanya manusiawi dan lumrah, Hu Beng Kui tercekat kenapa Bu-beng Sian-su tiba-tiba tertawa begitu gembira, terbelalak dia.

Dan ketika kakek dewa itu menghentikan tawanya dan berseri-seri memandangnya maka kakek ini mengangkat lengannya. “Nah. sekarang pembicaraan semakin jelas, Hu-taihiap. Bahwa sumber dari semua kejadian ini adalah karena hak milik, hak ingin memiliki dan rasa kemilikan itu. Dan karena semua peristiwa yang menimpamu itu bersumber pada rasa ingin memiliki ini maka enak tidak enaknya telah kau rasakan, termasuk peristiwa pahit dari rasa yang tidak benar itu!”

“Tidak benar?” Hu Beng Kui penasaran. “Apakah tidak benar rasa kemilikan itu, Sian-su? Apakah salah kalau setiap manusia dihinggapi perasaan ingin memiliki akan sesuatu?”

“Hm, dalam batas-batas tertentu rasa itu tidak salah, taihiap. Tapi begitu perasaan itu melejit dan melangkah terlalu jauh, maka rasa ingin memiliki itu salah!”

“Sian-su dapat membuktikannya?”

“Tentu, lihat ini. Dengarkan!” kakek itu membetulkan letak duduknya, masih berseri-seri dan bersinar-sinar memandang lawan bicaranya.

Hu taihiap berdebar dan ingin tahu, tiba-tiba pembicaraan ini telah menyeretnya dalam satu daya tarik yang besar. Dia ingin tahu dan mendapat jawaban kakek dewa itu. Dan ketika Bu,beng Sian-su tertawa dan menggosok-gosok telapaknya segera kakek ini menuding,

“Hu-taihiap, pengertian apa yang sekarang kau tangkap dalam pembicaraan sampai di sini?”

“Bahwa diriku lebih berharga daripada Sam-kong-kiam?”

“Bagus jadi kau tak mau ditukar pedang itu bila kau harus kehilangan sebuah kaki atau lengan, umpamanya?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena diriku lebih berharga dibanding pedang itu, betapapun hebatnya Sam-kong-kiam!”

“Meskipun dengan janji pedang iiu dapat memberimu Kekuasaan, Kekayaan dan Kesenangan?”

“Ya, aku tak mau, Sian-su. Karena ternyata apa yang diberikan itu hanya merupakan “baju” belaka, sesuatu yang bersifat lahiriah!”

“Mengagumkan, kau benar-benar sehat dan waras. Dan sekarang, bagaimana pengertianmu tentang diri sendiri? Bagaimana kau memperhatikan dirimu itu?”

“Aku akan menjaganya lebih dari apa pun, karena itulah milikku yang paling berharga!”

“Ha-ha, cocok tapi salah! Kau boleh menjaganya lebih dari apa pun, Hu-taihiap. Tapi sesungguhnya kau tak memiliki “hak milik” atas dirimu itu!”

“Eh!” Hu Beng Kui melengak. “Apa kata-katamu ini, Sian-su? Bagaimana ini?”

“Dengar,” kakek dewa itu berseri-seri. “Kau mulai benar tapi juga salah, taihiap. Dan untuk itu perhatikan baik-baik. Sekarang kau mulai mengerti bahwa yang paling berharga, yang paling penting adalah diri kita sendiri ini, tubuh kita sendiri ini. Jadi bait kedua itu mulai kita sentuh. Lihat kata-kata itu, yang amat berarti. Itulah yang kumaksud. Bahwa di antara semua yang di luar sesungguhnya yang kita miliki ialah yang amat berharga. Sam-kong-kiam dan benda-benda lain boleh berharga, boleh penting. Tapi apa gunanya kalau kita harus kehilangan sebagian atau bahkan seluruh tubuh kita? Apa gunanya memiliki pedang kalau lengan atau kaki haruslah buntung? Nah, ini menunjukkan diri kita lebih penting dari segala-galanya, taihiap. Karena biar pun segala kemewahan atau pun kesenangan mengelilingi kita namun tak ada gunanya kalau kita harus kehilangan sebagian anggauta tubuh kita, lengan atau kaki misalnya. Dan karena kita menyadari bahwa diri kita adalah sesuatu yang paling berharga dan jelas di atas yang lain-lain itu maka kita akan menjaganya dan tentu merawatnya sebaik mungkin, luar dalam, lahir batin. Kau setuju, bukan?”

“Ya.”

“Nah, sampai di sini sekarang kau harus berhati-hati. Coba kuulang pertanyaan tadi, kenapa kau menjaga dirimu lebih dari apa pun?”

“Karena inilah milikku, Sian-su. Milik satu-satunya dan amat penting.”

“Bagus, tapi kuberitahukan padamu, taihiap. Bahwa sesungguhnya kau TAK MEMILIKI apa pun atas dirimu itu. Bahwa hak milik, dalam hubungannya dengan pembicaraan ini sama sekali tak kau punyai. Bahwa manusia tak memiliki apa-apa atas hidupnya. Bahwa kau dan orang-orang lainnya itu sama sekali tak memiliki “hak milik” atas dirinya itu apalagi terhadap yang lain!”

Hu Beng Kui terkejut. “Bagaimana itu, Sian-su?”

“Tidakkah kau lihat jelas? Hmm, coba sebutkan padaku apa yang penting dalam dirimu, taihiap. Coba kutuntun lebih jauh lagi...”

“Aku merasa penting atas diriku, tubuhku!”

“Hanya itu saja?”

“Ya, adakah yang lainnya lagi?”

“Baik, kutanya kau, Tanpa Nyawa bisakah kau hidup?”

“Ah!” Hu Beng Kui terkejut, sadar. “Tentu saja tidak, Sian-su. Jadi inikah yang kau maksud?”

“Jangan bertanya, kau hanya menjawab. Ulangi sekarang jawabanmu itu. Apakah yang kau rasa penting dan amat penting dalam dirimu itu?”

“Kehidupanku, rohku. Nyawaku!”

“Kenapa begitu?”

“Karena tanpa itu wadahku adalah mayat!”

“Bagus, jadi bagaimana?”

“Bahwa kehidupanku, rohku, nyawaku adalah sesuatu yang paling penting itu, yang paling berharga itu. Karena tanpa itu aku bukanlah manusia hidup!”

“Benar, dan sekarang dapatkah kaukatakan bahwa kehidupanmu itu, roh-mu, nyawamu, adalah milikmu?”

“Tentu saja! Ini milikku, Sian-su. Dia menempel dan melekat di tubuhku!”

“Kalau begitu dapatkah kau katakan kepada Malaikat El-maut jika kelak dia menghampirimu bahwa milikmu itu tak boleh diganggu gugat?”

Hu Beng Kui tertegun, terkesiap.

“Ayo, kenapa diam, taihiap? Bisakah kau katakan kepada Malaikat El-maut bahwa dia tak boleh mengambil nyawamu? Bahwa itu milikmu dan seharusnya kau hidup abadi? Ayo jawab, Hu-taihiap. Ini persoalan penting yang akan kita kupas bersama!”

Hu Beng Kui tiba-tiba menggigil hebat, terkejut. “Tidak... tidak, Sian-su. tapi... tapi... ah, aku bingung...”

“Biarkan kebingungan ini, nantikan akan mengerti sendiri. Sekarang kau tahu, meskipun belum mengerti bahwa milikmu yang paling berharga itu, kehidupanmu, nyawamu, bukanlah milik dalam arti yang sesungguhnya. Kau tak dapat berkata apabila ajal menjemput tiba misalnya dengan kata-kata seperti ini Hei, Malaikat Muat, ini milikku. Jangan ambil, pergilah! Dan karena kau tak dapat berkata begitu maka jelaslah bahwa sesungguhnya terhadap milikmu yang satu itu kau tak menguasai dan memilikinya. Bahwa kita sesungguhnya memang tak memiliki apa-apa karena pemiliknya yang asli, yang tunggal, semata adalah Sang Pencipta adanya. Itulah yang hendak kumaksud! Paham?”

Hu Beng Kui bengong, tertegun.

“Kau mengerti, bukan?”

“Ya.” Hu Beng Kui masih setengah mengerti, menggigil. “Kalau begitu kita ini tak memiliki hak milik, Sian-su? Jadi kita ini mamsia kosong yang tidak memiliki hak akan sesuatu?”

“Tidak, kita memiliki hak, tapi bukan hak milik. Dan karena kita sudah akan melanjutkan ke sana maka tentu saja aku akan menerangkan bahwa kita, manusia tak perlu berkecil hati. Semua kata-kataku tadi bukanlah hendak mengecilkan akan keberadaan kita, kehidupan kita. Kerena meskipun kita tidak mempunyai hak milik atas diri kita sendiri namun kita memiliki hak lain yang tak kalah agungnya!”

“Hak apakah itu?”

“Mestikah kujawab cepat? Tidak, coba kau dulu, taihiap. Barangkali kau dapat menangkap dan mergerti ini.”

“Aku bingung, kepalaku pening. Lebih baik kau saja yarg bicara dan biar kudengar!”

“Baiklah, dengarkan ini, Hu-taihiap. Bahwa meskipun kita tidak memiliki “hak milik” atas diri dan kehidupan kita, sesungguhnya kita mendapat penukar hak lain yang patut disyukuri. Dan hak itu adalah HAK MANFAAT. Ya, inilah yang patut disyukuri manusia. Karena biarpun kita tak memiliki hak milik atas hidup atau kehidupan kita maka hak manfaat ini sesungguhnya merupakan karunia besar yang amat agung dan sepatutnya diiterima dengan penuh kebahagiaan murni. Karena meskipun kita tak memiliki hak milik namun hak manfaat itu akan membuat kila seolah memiliki hak milik, serupa tapi tak sama, tampaknya mirip tapi dasar keduanya itu berbeda. Kau mengerti”

“Ooh....!” Hu Beng Kui mengangguk-angguk, mulai mengerti. “Ya, ya, aku mulai paham, Sian-su. Tapi coba teruskan wejanganmu ini. Kurasa masih ada sesuatu yang penting yang harus kuketahui.”

“Tentu, dan yang penting itu adalah kesadaran akan ini, taihiap. Bahwa kalau terhadap diri sendiri kita tak mempunyai “hak milik” lalu bagaimana kita akan serakah dan memiliki yang lain-lain yang ada di luar kita? Jangankan yang di luar, yang di dalam saja, yang melekat sehari-hari masih bukan milik kita. Apalagi Sam-kong-kiam atau pun kedudukan dan kekayaan, bukankah kita ini hanya memiliki hak manfaat? Nah, sadar akan ini berarti mengerem loba dan tamak kita, taihiap. Karena sekali kita terperangkap dan masuk dalam kubangan itu maka kita pun menjadi bulan-bulanan pikiran keliru dan tak ada kebahagiaan dalam diri sendiri. Sederhana, bukan? Kau dapat mengerti?”

“Ah-ah....!” Hu Beng Kui kagum, berseri-seri. “Aku mengerti, Sian-su. Sekarang aku benar-benar mengerti...”

“Apa yang kau mengerti?”

“Bahwa kita, manusia, tak memiliki hak milik. Yang kita miliki adalah hak manfaat, itu saja!”

“Dan mengertikah kau bahwa kemilikan adalah sesuatu yang semu? Bahwa kemilikan itu mengikat kita dan memperbodoh kita?”

Hu Beng Kui melengak.

“Lihat, kalau kau tak diperbodoh rasa kemilikan itu tentu puteramu masih hidup, Hu-taihiap. Dan kalau kau tak diperbodoh rasa kemilikan itu tentu hidupmu akan tenang-tenang saja di Ce-bu. Kau masih seorang laki-laki gagah, utuh, tidak cacad...”

“Ya. aku sadar. Aku salah...!” Hu Beng Kui menunduk, merah mukanya. “Aku sekarang mengerti akan semua kata-katamu, Sian-su. Bahwa sesungguhnya terhadap diri sendiri pun kita sebenarnya tak mempunyai hak milik itu, apalagi terhadap benda-benda atau manusia. Bahwa kemilikan itu bersifat semu. Bahwa, hm... anak atau isteri pun sebenarnya juga bukan milik kita. Mereka itu milik Sang Pencipta. Aku sadar, aku mengerti!”

“Dan kau dapat membaca tiga bait syair itu dengan lebih baik?”

“Kukira dapat, Sian-su. Sekarang aku benar-benar paham. Kemilikan memang harus diletakkan dalam proporsinya yang wajar, tidak melambung dan keluar dari rel-nya. Dan karena aku sudah mengerti tentunya sepak terjang atau tindak tandukku nanti tak akan keliru dari garisnya ini.”

“Cobalah, kuharap begitu,” Bu-beng Sian-su, bangkit berdiri. “Kau tak ada pertanyaan lagi bukan?”

“Ah. Sian-su mau ke mana?” Hu Beng Kui terkejut. “Bukankah kau sendiri belum menjelaskan bait ketiga? Tidak, nanti dulu, Sian-su. Aku ingin mendengar suaramu lagi dan jangan buru-buru pergi!”

“Ha-ha. semuanya sudah gamblang, taihiap. Untuk apa, ditanya? Baiklah, kuulang pendek. Bait pertama itu sesungguhnya tak ada apa-apa yang istimewa. Kalimat itu hanya hendak menunjukkan bahwa Sam-kong-kiam adalah sebuah benda mati yang dingin dan kaku, tak ada ulasan lebih jauh. Benda itu meskipun hebat tetaplah benda mati, kalah berharga dengan kita ini, yang masih hidup. Dan bait kedua, hmm... bukankah sudah kuberi tahu? Yang amat berarti itu adalah hidup kita ini, dirimu, hidupmu, nyawamu. Dan karena sudah jelas kutulis disitu bahwa hidup ini bukanlah “milik” kita maka meskipun yang paling berarti itu ada di dalam kita tapi kita tak mempunyai hak milik. Kita hanya mempunyai hak manfaat. itu saja. Sedangkan bait ketiga, ah... bukankah jelas sekali, taihiap? Itu pun juga tak ada rahasianya. Semuanya gamblang kusebut. Kemilikan adalah sesuatu yang semu, tak langgeng. Dan orang yang terikat kemilikan ini berarti telah diperbodoh oleh jalan pikirannya sendiri, pengertiannya sendiri. Dan semakin dia terkidung dan tersesat menumpuk dosa maka celakalah bagiannya tak ada apa-apa, semua orang bisa membuktikan ini. Kau mengerti, bukan?”

“Ya”

“Nah. selesailah sudah. Kau sudah jelas dan cukup mengerti. Ingat bahwa kita tak mempunyai hak milik. Kita hanya memiliki hak manfaat. Sedang hak milik yang terjadi antar manusia adalah hak yang timbul dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan. Tentunya kau mengerti ini dan tak perlu kuterangkan. Begitu, bukan?”

Hu Beng Kui mengangguk. Bu-beng Sian-su tiba-tiba mundur tersenyum dan menjauh. Bagai kapas tertiup angin mendadak kakek dewa itu terdorong. Dan ketika dia mengebutkan lengannya dan tertawa mendadak kakek ini lenyap. Hilang begitu saja!

“Sian su...!”

Tak ada jawaban. Hu Beng Kui mengejar tapi Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat, tertegunlah pendekar ini. Dan ketika Hu Beng Kui terhenyak dan teringat sesuatu mendadak pendekar ini bertanya. “Kim-mou-eng! Kemana gurumu? Dan bagaimana sebenarnya dengan orang yang kubunuh itu?”

“Hm..., suhu kemana aku sendiri juga tak tahu, taihiap. Tapi kalau tentang orang yang kau bunuh itu aku tahu. Dia adalah Bu-hiong, nama sebenarnya Yu Bing. Anak angkat atau murid dari mendiang pamanku yang sesat Cheng-bin Yu-lo.”

“Cheng-bin Yu-lo? Tokoh yang tewas dan seorang dari Jit-mo Kang-ouw (Tujuh iblis Dunia)?”

“Ya, dialah muridnya, Hu-taihiap. Dan Bu-hiong atau Yu Bing inilah yang mencemarkan namaku. Kau telah membunuhnya, mengira itulah diriku. Maaf tak ada lain-lain lagi yang perlu kita bicarakan. Ijinkan aku pergi!” Kim-mou-eng menjura, melihat berkelebatnya bayangan Swat Lian dan tentu saja dia tak enak. Dia harus segera pergi.

Dan begitu Hu Beng Kui tertegun dan terbelalak memandangnya tiba-tiba Pendekar Rambut Emas memutar tubuhnya dan berkelebat lenyap. “Kim-mou-eng...!”

Kim-mou-eng tak menjawab. Dia hanya melambaikan tangan dan tubuhnya pun telah menghilang di luar tembok. Hu Beng Kui melesat dan mengejar. Dan ketika jago pedang itu melihat bayangan Kim-mou-eng di luar sana tiba-tiba pendekar ini berseru, “Kim-mou-eng, tiga tahun lagi kita bertemu. Aku ingin mengalahkanmu, membalas penasaranku....”

“Baik, kuterima, taihiap. Dan maaf atas semua perbuatanku yang mengecewakan hatimu!” Kim-mou-eng lenyap.

Hu-taihiap tak mengejar lagi dan Swat Lian muncul. Puterinya ini heran kenapa ayahnya di belakang saja, tak tahu bahwa ayahnya baru kedatangan tamu. Tapi ketika ia mendengar seruan ayahnya dan tertegun melihat bayangan Pendekar Rambut Emas tiba-tiba gadis itu terisak dan menggigit bibir.

“Ada apa dia kemari, yah? Mau apa?”

“Hm, dia mengantar Bu-beng Sian-su, Lian-ji. Kakek dewa itu baru saja membuka kesadaranku!”

“Ah, Bu-beng Sian-su?”

“Ya.”

“Apa yang dikatakannya?”

“Banyak, mari kuperlihatkan,” dan Hu Beng Kui yang memasuki rumahnya lagi dan menunjuk bait-bait di tembok lalu ganti menerangkan pada putrinya apa yang diwejangkan kakek dewa tadi. Bahwa kemilikan sering menyeleweng dari porsinya yang benar. Bahwa kemilikan membuat orang mabok dan tenggelam dalam nafsu pribadi. Dan ketika jago pedang itu berkata bahwa kemilikan yang sudah tidak terkontrol ini hanya akan menjerumuskan manusia pada kesengsaraan-kesengsaraan lahir batin akhirnya pendekar itu menutup,

“Aku sekarang sadar akan apa yang dimaksudkan kakek dewa itu. Lian-ji. Kemilikan memang mengikat dan memperbodoh kita. Aku menyesal. Kalau dulu kuturut nasihat kakek itu dan tidak ingin memiliki Sam-kong-kiam yang sebenarnya juga bukan milikku tentu hidupku tak diguncang gempa kedukaan seperti ini. Sekarang kakakmu menjadi korban, lenganku juga buntung. Sudahlah, kita harus meletakkan rasa kemilikan itu pada batas-batas yang benar. Selama kita tak ingat akan ini dan lupa daratan serta mabok akan kemilikan tentu kita celaka. Mari bersamadhi, besok kau dan dua suhengmu harus mempelajari semua ilmu pedangku guna dipakai mengalahkan Kim-mou-eng. Tiga tahun lagi aku berjanji menemuinya. Kalian semua harus belajar baik-baik dan ilmu pedang kita tak seharusnya kalah dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Kim-mou-eng itu!”

Swat Lian termangu.

“Apa yang kau pikir?”

Swat Lian terisak. “Pendekar Rambut Emas itu, yah. Aku, ah... aku tak dapat melupakannya. Dia hebat. Kepandaiannya benar-benar tinggi...!”

“Tentu saja, dia murid Bu-beng Sian-su. Tapi kekalahanku tidak memuaskan, dia hanya menghadapi sebelah lenganku dan itu pun aku masih belum sembuh benar. Kalau aku memiliki kedua lengan dan dia tidak mengincar kelemahan ku pada lengan yang buntung ini belum tentu dia sanggup merobohkan aku!”

“Benar, tapi... hm, dia juga belum mengeluarkan semua ilmunya, yah. Ada satu ilmu yang tidak dikeluarkan!”

“Apa itu?” Hu Beng Kui terkejut.

“Pek-sian-ciang!”

“Ah...!” jago pedang ini terbelalak, kaget. “Kau benar, Lian-ji. Jadi kalau begitu...”

“Dia pun masih menyimpan ilmunya. Jadi kalau ayah bertempur dengan sebelah lengan dan belum sembuh maka dia pun masih memiliki Pek-sian-ciang dan mungkin kalian berimbang Atau...” putrinya memotong. “Dia menang seusap dan ayah harus mengakui itu karena Kim-mou-eng telah mengetahui ilmu pedang kita!”

“Tidak.” Hu Beng Kui pucat. “Aku tak mau kalah, Lian-ji. Betapapun aku penasaran dan ingin menebus kekalahanku itu. Aku akan menggembleng kalian, kalau perlu kuciptakan sebuah ilmu baru yang lawanku itu tidak tahu!”

“Tentu, aku juga penasaran akan kekalahanmu itu, yah. Aku akan memperdalam ilmuku dan menebus kekalahanmu!”

“Mari, kalau begitu bersiaplah. Kita bersamadhi dan besok kumpulkan dua suhengmu itu!” dan begitu Hu Beng Kui berkelebat masuk maka puterinya mengangguk dan Swat Lian pun mengikuti, tak banyak bicara dan hari itu Hu Beng Kui bersemangat. Dia ingin mendidik dan menggembleng murid-muridnya ini, tak mau kalah dengan Kim-mou-eng.

Putrinya juga bersemangat dan barangkali lebih bersemangat dari sang ayah. Swat Lian menyimpan kekecewaan dan patah hati yang besar. gadis ini sering menangis. Tapi begitu mengepal tinju dan menggigit bibir maka semua kekecewaan ditekan dan sinar yang aneh pun mencorong di matanya. Tak tahu apa yang bergolak namun mudah kita duga. Semacam sakit hati mengguncang perasaan gadis ini.

Swat Lian ingin suatu ketika berhadapan dengan Salima, di tempat yang sepi, di tempat yang sunyi. Dan karena pengakuan Kim-mou-eng terhadap sumoinya dirasa terlalu menyakitkan dan memukul perasaannya maka gadis ini belajar lebih tekun daripada yang lain. Hari demi hari mulai dilalap dengan pelajaran ilmu-ilmu silat. Di bawah gemblengan ayahnya gadis ini belajar tak henti-hentinya. Bulan demi bulan dilalui cepat dan akhirnya setahun pun lewat tanpa terasa.

Tapi karena kisah ini hendak ditutup dan Pedang Tiga Dimensi selesai sampai di sini biarlah kita tunda perjumpaan kita dalam kisah berikut: Sepasang Cermin Naga. Di situ, kita-akan kembali berjumpa dengan tokoh-tokoh cerita ini, termasuk tentu saja Kim-mou-eng dan sumoinya, yang kini telah menjadi suami istri dan hidup di luar tembok besar, di tengah-tengah perkampungan besar bangsa Tar-tar. Dan karena kisah ini sudah selesai sampai di sini penulis hendak mohon diri untuk jumpa dalam kisah berikutnya.

Bu Beng Sian Su kembali muncul untuk persoalan yang lain. Bicara tentang Keadilan. Hal yang sering menjadi “topik” dalam kehidupan manusia. Apakah keadilan itu? Bagaimana manusia menghadapi yang satu ini? Mengecewakan. Memprihatinkan! Dan untuk mengetahui itu biarlah kita lihat apa yang hendak “ditodongkan” manusia dewa ini. Satu pembicaraan yang menarik!

TAMAT

Pedang Tiga Dimensi Jilid 19

Pedang Tiga Dimensi
Jilid 19
Karya Batara


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
Kim Mou Eng terkejut dan nyaris lengah, dia memang belum tahu kelihaian lawan dalam gebrak sesungguhnya, kini mendapat serangan begitu cepat dan ujung pedang tahu-tahu sudah serambut saja di tenggorokannya. Kecepatan dan kekuatan jago pedang itu melakukan jurus pertamanya sungguh maut, Kim-mou-eng terkesiap dan melempar kepalanya. Tapi ketika lawan berteriak dan kaki maju satu langkah tiba-tiba Hu Beng Kui telah membelokkan pedangnya dan kini mata pedang yang tajam siap mengiris atau menggorok dari samping, tetap membayangi!

“Trangg!”

Kim-mou-eng berkeringat dingin. Dia sudah menangkis dan berseru keras menggerakkan pitnya, dua senjata beradu dan mereka sama sama terpental. Apa yang terjadi tadi sungguh luar biasa, juga mengerikan. Lehernya nyaris disembelih Hu Beng Kui! Dan ketika jago pedang itu menggereng dan maju lagi dengan pedangnya yang berputaran cepat serta menusuk atau membacok maka jago pedang ini menghujani lawan dengan serangannya yang gencar.

Dan Kim-mou-eng mulai berlompatan, mengelak atau menangkis dan beberapa kali bunga api berpijar, pedang maupun pit terpental dan dari adu tenaga ini kedua pihak maklum bahwa masing-masing memiliki tenaga berimbang. Hu Beng Kui kagum sementara Kim-mou-eng berhati-hati. Dan ketika pendekar itu mulai bergerak kian cepat dan tusukan atau bacokan pedangnya mulai tak kelihatan lagi karena berobah menjadi sinar yang berkelebatan menyambar-nyambar maka Kim-mou-eng dipaksa mempertahankan diri dan inisiatip serangan berada pada si jago pedang itu.

“Trang-tranggl”

Orang orang silau. Benturan senjata yang kembali beradu membuat kembang api warna-warni, meletik dan muncrat menyambar wajah mereka. Cu-ciangkun dan kawan-kawannya terpaksa mundur semakin jauh, tempat pertempuran ini agaknya kurang luas bagi dua jago yang sedang bertanding. Dan ketika Hu Beng Kui kembali membentak dan berkelebat menghilang tiba-tiba jago pedang itu sudah naik turun mengelilingi lawan dengan pedangnya yang menukik serta beterbangan.

“Ahh, hebat. Indah sekali!” Cu-ciangkun tak tahan, memuji dan menonton sambil geleng geleng kepala.

Kim-mou-eng juga mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya pun lenyap mengimbangi lawannya, kini dua orang itu bergerak-gerak dalam rupa bayangan saja, mereka mulai kabur dan Cu-ciangkun serta Bu-ciangkun tak dapat mengikuti lagi. Hanya Salima serta Gwan Beng atau Hauw Kam yang dapat mengikuti, itu pun tak lama karena Hauw Kam segara menjadi pusing. Gwan Beng masih bertahan dan akhirnya dengan Salima sajalah dua orang itu dapat mengikuti jalannya pertandingan.

Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun ternyata sudah roboh memegangi kepala, mereka serasa melihat dua kunang-kunang berkelebatan dan menari-nari di depan mata, angin bertiup menderu dan mereka pun tak tahan, Bu ciangkun sudah berteriak memejamkan mata. Kilauan pedang dan letikan bunga api sudah membuat panglima tinggi besar ini pusing, jauh lebih dahulu daripada Hauw Kam. Dan ketika pertempuran terus berjalan dan tiga panglima itu tak dapat mengikutil dan mulai pekak mendengar benturan-benturan senjata akhirnya mereka bertanya pada Salima, setengah berteriak, nyaris kalah oleh gaung pedang atau benturan senjata yang kian dehsyat itu.

“Nona, mana yang menang di antara mereka itu. Siapakah yang terdesak?”

Salima tak menjawab, hanyut dalam pertandingan yang mencekam itu.

“Heei....!”

Salima terkejut. Gadis ini mendesis: “Diamlah, mereka belum ada yang kalah atau menang. Bu-ciangkun. Hu-taihiap masih menyerang tapi suhengku bertahan!”

“Dan kau tidak pusing mengikuti jalannya pertandingan itu?”

“Ah, kau cerewet. Diamlah!” dan Salima yanq jengkel diganggu panglima ini akhirnya melompat dan menyingkir ke kiri, melihat dari situ dan bola matanya tak pernah berkedip. Sekarang tahulah dia bahwa Hu taihiap ini betul-betul hebat. Pedangnya bergerak begitu cepat hingga nyaris tak kelihatan, berkali-kali hampir mengenai suhengnya dan suhengnya sering berseru kaget. Tak ada jalan lain kecuali menangkis dan akibatnya benturan demi benturan membuat keduanya terdorong, sebentar saja mereka sama-sama berkeringat dan Hu Beng Kui penasaran. Dia kagum benar akan kelihaian lawannya ini, pedangnya berkali-kali terpental tapi sudah menyerang lagi, menusuk dan menyambar bagai petir di angkasa.

Dan ketika pertempuran berjalan seratus jurus dan jago pedang ini melengking tinggi tiba-tiba gerak pedangnya borobah dan kini mulai lambat namun bertenaga penuh, mengaung dan menderu dan Kim-mou-eng tampak susah payah menyelamatkan diri. Ada semacam tenaga dahsyat muncul di situ, menahan gerakan pitnya dan Kim-mou-eng terperanjat. Sekarang sambaran pedang Hu Beng Kui ini diselingi hawa dingin menyeramkan, bukan main hebatnya. Kim-mou-eng tertekan dan terdesak. Dan ketika dua tiga kali gerakan pedang menuju tempat berbahaya dan dia menangkis namun tenaga dahsyat itu menghambat perjalanan pitnya tiba-tiba pundak Kim-mou-eng tertusuk dan robek.

“Brett!” Gerak dan tusukan pedang ini mengejutkan semua orang. Sekarang Cu-ciangkun dapat mengikuti jalannya pertandingan lagi, berseru tertahan karena dia pun disambar hawa dingin yang menyertai gerakan pedang Hu Beng Kui, mundur tapi masih kesampok juga, terhuyung dan nyaris terpelanting. Panglima ini dan dua temannya ternganga melihat kejadian itu. Mereka mendengar angin yang menderu-deru itu, mundur lagi dan baru pada jarak sepuluh tombak merasa aman, terbelalak tapi sayangnya pertempuran tak dapat di lihat dalam jarak dekat.

Salima dan Gwan Beng sendiri mundur beberapa langkah menghindari deru angin dahsyat itu, pakaian mereka berkibar. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluh dan suara memberebet itu membuat Cu-ciangkun dan lainnya tertegun tiba-tiba untuk kedua kali pangkal lengan Pendekar Rambut Emas menjadi sasaran.

“Brett!”

Tiga panglima itu merasa aneh. Mereka melihat Kim-mou-eng terhuyung, pundak dan pangkal lengannya terluka. Padahal menurut mereka, begitu perasaan mereka bicara, seharusnya Kim-mou-eng dapat menghindar dan tidak terkena pedang. Jadi sungguh dirasa aneh kenapa gerakan pedang yang begitu lambat tak mampu dikelit, atau mungkin ditangkis. Dan ketika suara brat-bret kembali terdengar dan empat luka menghias tubuh Kim-mou-eng akhirnya panglima Bu menjadi khawatir dan berteriak,

“Kim taihiap, jangan lamban. Elak atau tangkis senjata lawanmu itu!”

“Hm!” sebuah dengus tiba-tiba terdengar. “Suhu mengeluarkan tenaga dalamnya, ciangkun. Mana mungkin dikelit atau ditangkis? Menggerakkan pit saja susah bagi Kim-mou-eng, apalagi menangkis. Itulah Giam-lo Kiam-sut dalam gabungan tenaga sakti, suhu mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling tinggi untuk, mengalahkan lawannya!”

Bu-ciangkun melotot. Yang bicara itu adalah Gwan Beng, murid tertua si jago pedang ini. Mengejek dan tampak berseri-seri melihat suhunya mendesak lawan. Hu-taihiap memang mengeluarkan gabungan tenaga saktinya untuk mendesak Kim-mou-eng, mengeluarkan silat pedang yang dinamakan Sin-khi-giam-kiam (Pedang Maut Hawa Sakti), dua gabungan tenaga sekaligus gerakan pedang, dahsyat dan mengerikan karena Kim-mou-eng susah menggerakkan pitnya.

Senjatanya itu selalu tertekan dan terdorong hawa dingin yang keluar bersama gerakan pedang, kaget dan pucat muka pendekar ini, dia dihimpit dan terus ditekan Dan karena pit di tangannya seolah ditekan hawa dingin yang keluar dari badan pedang dan tentu saja ini semua menghalangi gerakan, yang akhirnya Kim-mou-eng tak tahan berseru keras.

”Hu-taihiap, ilmu pedangmu betul-betul hebat. Tangguh sekali, awas..!” dan tak mau didesak dan terus menderita tiba-tiba Pendekar Rambut Emas melengking, menggerakkan tangan kirinya dan apa boleh buat pukulan Tiat-lui-kang mulai menyambar. Sinar merah berkelebat dan bunyi ledakan hebat terjadi. Hawa dingin di pedang Hu Beng Kui bertemu hawa panas yang keluar dari pukulan Petir, Kim-mou-eng memang belum mengeluarkan ilmunya ini dan Hu Beng Kui terkejut. Dan ketika benturan menggelegar mengguncangkan tempat itu dan lawan terhuyung tiba tiba Kim-mou-eng berkelebat dan memindah pit di tangan kirinya ke tangan kanan, menotok.

“Crangg!” Hu Beng Kui sekarang menangkis. Tadi dia terdorong dan terhuyung, kaget melihat lawannya lolos dari himpitan tenaga dinginnya. Tenaga panas dari pukulan Tiat-lui-kang rupanya mampir dan cocok dihadapkan dengan tenaga dingin dari Sin-khi-giam-kiamnya. Dan ketika pedang terpental dan pit kembali berpindah ke tangan kanan sekonyong-konyong Kim-mou-eng melejit dan berkelebatan menyerang bagian kiri dari tubuh lawannya itu, bagian kosong di mana lengan kiri Hu-taihiap buntung.

“Ah!” Hu-taihiap berseru keras, membentak dan marah melihat lawannya menyerang gencar. Kiranya ketika didesak tadi Kim-mou-eng tak tinggal diam, pikirannya bekerja keras dan mencari kelemahan lawan, ketemu dan melihat bahwa bagian kiri itulah yang kosong. Hu-taihiap selalu terhuyung bila bagian ini diserang. Maklum, lengannya yang buntung itu membuat hilangnya keseimbangan dan pit berkali-kali menyerang daerah ini. Hu-taihiap pucat karena kelemahannya diketahui, Kim-mou-eng cerdik dan mulai mengincar bagian ini. Dan ketika Tiat-lui-kang menangkis pedang sementara senjata di tangan kanan Pendekar Rambut Emas itu selalu bergerak ke arah lengan buntung Hu-taihiap akhirnya jago pedang ini menggereng memaki lawan.

“Keparat, kau cerdik, Kim-mou-eng. Kau benar-benar lihai!”

Pertempuran sekarang berobah. Tadi Kim-mou-eng selalu memperhatikan gerakan pedang, tidak ke lengan kiri lawannya. Sekarang menangkis pedang dengan tangan kiri sementara tangan kanan menyerang bagian kosong lawannya. Tiat-lui-kang mampu menahan pukulan dingin yang datang bersama pedang, memang harus sedikit berkorban dan beberapa guratan menggores lengan Kim-mou-eng. Tapi karena Kim-mou-eng membalas dan sekarang semua totokan atau pun tutukan pitnya selalu mengarah ke lengan buntung Hu-taihiap yang kosong maka satu saat pedang bertemu Tiat-lui-kang sementara pit di tangan kanan Kim-mou-eng menyambar bagian kosong lawan.

“Bret!” Untuk pertama kait Hu Beng Kui mengeluh. Ledakan Tiat-lui-kang yang mengenai pedangnya membuat senjata di tangan jago pedang itu memental, dan menyambar pundak kirinya dan Hu-taihiap tak dapat mengelak. Sebuah totokan dirasa kerap menyengat, hampir lumpuh pundaknya itu. Dan ketika lawan kembali menyerang dan Kim-mou-eng tak menghiraukan gerakan pedang mengenai dirinya dan jago pedang ini terhuyung, dia telah mengerahkan sinkangnya namun totokan di tangan lawan karena ditangkis dengan pukulan Petirnya maka kembali untuk kedua kali Hu-tai hiap terkena sambaran pit hitam itu.

“Tuk!” Hu-taihiap menggigit bibit. Dua serangan senjata kecil di tangan Kim-mou-eng ini tak kalah berbahayanya dengan senjata pedang atau senjata tajam. Bahkan pit itu menghentikan aliran darahnya di bagian yang tertotok. Hu-taihiap mulai terganggu dan kesakitan. Dia terpecah konsentrasinya dan mulai gugup. Dan ketika totokan demi totokan mengenai daerah ini dan tentu saja dia tak dapat menahan tiba-tiba Hu Beng Kui berteriak keras melakukan jurus yang disebut Thian-kong pok-lui (Naga Angkasa Menerkam Petir), melepas pedangnya dalam satu timpukan cepat yang bukan main hebatnya.

Kim-mou-eng terkejut melihat pedang menyambar, menuju ulu hatinya dan timpukan seorang jago pedang macam Hu Beng Kui jelas bukan timpukan main-main. Timpukan itu berbahaya sekali karena sifatnya hendak mengadu jiwa. Gwan Beng dan Salima terpekik, Cu-ciangkun dan lain-lain juga berseru tertahan. Dan ketika mereka terkesiap sementara Kim-mou-eng sendiri sudah disambar pedang dengan kecepatan yang luar biasa tiba-tiba pendekar ini melempar tubuh bergulingan dan pit di tangan kanannya pun disambitkan ke pundak lawannya, bagian kiri itu.

“Singgg-crep!”

Dua sinar hitam dan putih itu nyaris bertemu di tengah udara. Orang mendengar ledakan dan keluhan, Hu Beng Kui terbanting sementara Kim-mou-eng juga berseru tertahan. Pedang mengenai dada kirinya, Salima menjerit dan menghambur ke arah suhengnya itu. Kim-mou-eng tak dapat bangun. Dan ketika Gwan Beng dan Hauw Kam ikut terpekik menubruk guru mereka, ternyata pit yang melesat dari tangan Kim-mou-eng telah menancap setengahnya di pundak kiri jago pedang ini, darah mengucur dan Hu Beng Kui roboh, tak dapat berdiri dan segera dua muridnya sibuk. Sebuah jeritan kecil terdengar, dan Swat Lian muncul, berkelebat dan berlutut di samping ayahnya. Dan ketika semua orang terkejut dan pertempuran otomatis berhenti maka Salima menguguk sementara Swat Lian juga menangis memanggil-manggil ayahnya.

“Ayah...!”

“Suheng...!”

Keadaan tiba-tiba menjadi gempar. Cu-ciangkun dan Bu-ciangkun sudah melompat ke arah Kim-mou-eng, melihat keadaan pendekar itu dan Kim-mou-eng menyeringai. Tiga panglima ini tertegun karena tak ada darah yang keluar, heran mereka. Dan ketika Salima mengguguk dan, mengira suhengnya luka maka di sana Hu Beng Kui bertanya bagaimana keadaan lawannya itu.

“Angkat aku, berdirikan aku...!” Jago pedang itu diberdirikan, melihat ke arah Kim-mou-eng, menggigil tapi matanya bersinar-sinar. “Bagaimana keadaan dia? Aku menang?”

“Ah!” Swat Lian mengguguk. “Kau kejam, yah. Sudah kubilang agar kau tidak bersikap telengas dan kejam terhadap lawanmu. Kim-mou-eng rupanya tewas, kau jahat...!”

“Tidak!” jago pedang ini tiba-tiba terbelalak, tersentak, melihat Kim-mou-eng berdiri. “Dia tidak apa-apa, Lian-ji. Lihatlah....!” dan Hu beng Kui yang tertegun melihat lawannya tiba-tiba terkesima dan bengong melihat keadaan Kim-mou-eng, tidak ada luka atau apa pun yang menghias dada Pendekar Rambut Emas ilu.

Kim-mou-eng tersenyum dan Salima tiba-tiba menghentikan tangisnya, terbelalak melihat pedang yang disangka “menancap” di dada. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan membungkuk menggerakkan tangan maka pedang itu dicabut dan semua orang melongo, melihat bahwa pedang sebenarnya dikempit di ketiak Pendekar Rambut Emas itu, dari jauh tampaknya seolah menancap tapi sebenarnya bukan.

“Oohh...!” Salima sadar, tersedu dan menubruk subengnya itu. “Kau terlalu, suheng. Kau menipu kami!” Salima memukul mukul dada suhengnya, gemas dan marah tapi tentu saja girang bukan main.

Tadi semua orang menyangka suhengnya ini terkena pedang, tentu tewas dan tak mungkin selamat. Tapi begitu mengetahui bahwa pedang menyelinap di bawah ketiak dan sesungguhnya dalam gerak yang luar biasa cepat dan amat berani Pendekar Rambut Emas ini mengempit pedang Hu Beng Kui mendadak Cu-ciangkun dan teman-temannya melenggong sementara Hu Beng Kui sendiri juga mendusin, sadar bahwa serangannya tadi gagal dan dia kalah. Kim-mou-eng tak apa-apa sementara dia luka. Dan ketika Kim mou-eng mendorong sumoinya dan maju merjura di depannya maka bekas lawan ini memberi hormat.

“Hu-taihiap, nyaris aku terkapar. Ilmu pedangmu sungguh-sungguh hebat, aku menyatakan kagum dengan setulus hati. Kalau kedua lengan mu masih utuh barangkali aku tak dapat berdiri lagi di sini dengan selamat. Aku menyerah, kepandaianmu betul-betul luar biasa!”

“Tidak, kau yang menang, Kim-mou eng. Betapapun kau segar-bugar dan aku terluka. Tiat-lui-kangmu betul-betul hebat. Akulah yang kagum dan kaupun cerdas, mampu mencari kelemahanku dan aku kalah. Sekarang aku menepati janji dan Sam-kong-kiam kuserahkan padamu!” Jago pedang itu tertatih, meminta Sam-kong-kiam dari tangan muridnya dan Gwan Beng menyerahkan pedang itu.

Pemuda ini pun terbelalak melihat kehebatan Kim-mou-eng, jarang ada yang dapat selamat dari timpukan gurunya tadi. Kim-mou-eng memang luar biasa. Dan ketika secara merendah Pendekar Rambut Emas itu mengakui kepandaian gurunya dan menyatakan menyerah padahal sesungguhnya gurunya yang kalah maka pemuda ini menjadi kagum dan menaruh hormat setingginya, melihat muka gurunya muram dan gurunya menyerahkan pedang itu pada lawannya, diterima dan Kim-mou-eng kembali membungkukkan menyerahkan pedang pada Bu-ciangkun dan panglima itu gembira, berlutut dan menerima pedang seolah menerima sabda dari kaisar sendiri. Dan ketika Kim-mou-eng mengucap terima kasih dan Hu Beng Kui murung tiba-tiba pendekar ini terhuyung membalikkan tubuh.

“Kim-mou-eng, betapapun aku penasaran. Biarlah dua tiga tahun lagi kita mengadakan pertandingan ulang dan kau akan menghadapi salah seorang muridku. Terima kasih atas pelajaranmu!” dan pergi meninggalkan lawan dengan muka murung jago pedang ini dituntun putrinya memasuki gedung, tak menghiraukan yang lain-lain lagi dan Kim-mou-eng tersenyum pahit. Isak dan lirikan Swat Lian masih sempat menyambarnya tadi, berkilat dan berapi-api.

Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan mematung di situ sekonyong-konyong Bu-ciangkun menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. “Taihiap, terima kasih. Kami akan pulang dan melapor pada sri baginda. Sungguh untuk kedua kalinya kau menyelamatkan pamor junjungan kami!”

“Ah,” pendekar ini membangunkan tiga panglima itu. “Jangan begitu, ciangkun. Semua berkat kemurahan Tuhan juga. Bangunlah, tak perlu sungkan!”

Lalu membersihkan baju dan memandang sumoinya Pendekar Rambut Emas bertanya, “Bagaimana, kita pulang, sumoi?”

“Tentu, aku rindu suku bangsaku, suheng. Memangnya kita akan berkeliaran lagi?”

“Nanti dulu!” Bu-cimgkun berkata serak. “Kalian ke istana dulu, taihiap. Kami ingin sri baginda menyambut dan mengucapkan terima kasih secara pribadi...”

“Benar, kalian ke istana dulu, taihiap. Sri baginda tentu ingin bertemu denganmu,” Cu-ciangkun menyambung.

“Hm.” Pendekar Rambut Emas menggeleng. “Kami terlalu lama meninggalkan kampung halaman, ciangkun. Biar lain kali saja kami ke sana. Kami tak butuh balas jasa, kami tak memberikan budi. Kalau ini semua dapat terlaksana maka sesungguhnya itu berkat nasib baik belaka. Sudahlah, sampaikan pada sri baginda salam hormat kami dan biar beberapa bulan lagi kami mengirim undangan untuk beliau, juga kalian.”

“Undangan pernikahan?”

“Ya.”

“Baiklah, hormat setinggi-tingginya kepadamu, taihiap. Semoga kalian bahagia dan sekali lagi terima Kasih atas semua pertolonganmu!” Cu-ciangkun melipat punggung menjadi dua, disusul yang lain dan Kim-mou-eng tersenyum.

Pada saat tiga panglima itu membungkuk tiba-tiba dia sudah menyambar sumoinya, berkelebat lenyap. Dan ketika tiga panglima itu mengangkat tubuhnya kembali dan terkejut melihat Kim-mou-eng tak ada di situ lagi mendadak mereka tertegun dan berseru memuji, “Hebat, Kim-mou-eng dan sumoinya itu sungguh orang-orang luar biasa. Kita benar-benar bukan tandingannya dan seperti semut menghadapi gajah!”

Lalu memutar tubuh bergegas meninggalkan tempat itu segera tiga panglima itu ke kota raja, menyampaikan semua yang terjadi dan menyerahkan Sam-kong-kiam pada kaisar, di sambut gembira namun kaisar kecewa kim-mou-eng tak ikut serta, tapi ketika tiga panglima itu berkata bahwa beberapa bulan lagi Kim-mou-eng akan memberikan undangan untuk perkawinannya maka kaisar bertepuk tangan berkata girang,

“Bagus, aku akan ke sana. Kita semua ke sana dan ikut meramaikan pesta! Kapan tepatnya hari perkawinan itu, Ciangkun?”

“Hamba belum tahu, sri baginda. Kim-taihiap tidak memberi tahu dan agaknya sengaja mennyembunyikan itu. Kita nantikan saja dan biar kita tunggu undangannya.”

Begitulah, kaisar telah menerima Sam-kong-kiam. Ingin menyatakan rasa terima kasihnya dengan menghadiri perkawinan Kim-mou-eng, satu kehormatan besar yang tak mungkin orang lain menerimanya. Dan ketika hari itu kaisar bergembira dan Sam-kong-kiam disembunyikan ditempat lain maka urusan pedang telah selesai dan Cu-ciangkun serta Bu-ciangkun pun lega. Tak ada masalah bagi mereka dan hati pun terasa ringan. Istana kelihatan riang dan suka cita. Tapi sementara di tempat ini terjadi kegembiraan dan kesukaan hati maka di Ce-bu, di tempat Hu Beng Kui terjadi hal sebaliknya di mana berminggu-minggu pendekar pedang itu kelihatan murung.

* * * * * * * *

Tiga bulan kemudian. Hu-taihiap tetap tak gembira. sehari-hari hanya tepekur dan termenung. Itulah pekerjaannya sehari-hari. Dan ketika pagi itu jago pedang ini duduk di taman dan sebagai mana biasa bersunyi diri tenggelam dalam sepi tiba-tiba seakan tersentak dia melihat ukiran di dinding yang ditulis Bu-beng Sian-su itu. Matanya melebar, tiba-tiba bangkit berdiri dan sudah mendekati kalimat-kalimat itu, tajam bersinar-sinar dan tangan pun tiba-tiba bergerak, menyentuh tulisan-tulisan halus ini dan hati pun tiba-tiba tergerak. Ada semacam dorongan menggugah perasaannya, Hu Beng Kui mengerutkan kening dan berpikir keras. Bayangan manusia dewa itu muncul.

Teringatlah dia akan perjumpaannya semula, ketika manusia dewa itu datang dan menyalaminya, diserang tapi menghilang. Dipukul tapi tak ada apa-apa di sekitarnya, bukti kesaktian luar biasa yang membuat dia bergidik. Manusia dewa itu sungguh tidak lumrah manusia. Dan ketika dia teringat ucapan kakek dewa itu bahwa dia akan kehilangan seorang anaknya kalau Sam-kong-kiam tetap di tangannya tiba-tiba pendekar ini menutupi muka dan menangis.

Dan sedu sedan ditahan di tenggorokannya, sakit sekali rasa hati pendekar ini dan nyaris dia mengguguk. Kata kata manusia dewa itu terbukti, bahkan, bukan anaknya saja yang hilang melainkan sebuah lengannya pun menjadi korban. Dia buntung! Tapi menyadari sesal kemudian tiada guna maka jago pedang ini kembali tepekur dan merenung.

Tiga bait syair di depan matanya itu dibacanya dan turun lagi untuk akhirnya kembali ke atas. Bait pertama itu melulu bicara Pedang tiga Dimensi, tak ada yang aneh rupanya. Dan ketika dia membaca bait kedua dan ketiga tiba-tiba pendekar ini berpikir keras, mengotak-atik dan tiba-tiba teringat bahwa manusia dewa itu pernah bilang bahwa jawaban syair ini isinya berada di bait kedua, berhenti di situ dan pikirannya bekerja cepat, coba menelusuri namun gagal. Dia tak mengerti apa yang dimaksud. Dan ketika seharian itu pendekar pedang ini mencoba membuka tabir namun tetap gagal juga maka hari kedua dan hari-hari berikut mulai menyeret pendekar ini untuk menemukan jawabannya.

Ajaib, tiba-tiba renungannya terpusat di sini. Ada semacam daya tarik pada bait-bait itu. Hu Beng Kui coba menganalisa dan pikiran pun mulai membayangkan manusia dewa itu. Tanpa terasa dia mengadakan kontak batin. Dan ketika tujuh hari berturut-turut dia merasa gagal dan pucat serta lemah mendadak pada hari ke delapan, persis seperti dulu di pagi hari yang masih segar Bu-beng Sian-su muncul.

“Selamat pagi, Hu-taihiap. Kau memanggilku?”

Hu Beng Kui kaget. “Ah, kau, Sian-su? Selamat pagi, silahkan duduk. Benar, aku menggetarkan batinku untuk menghubungimu. Aku...” jago pedang ini melongo, tertegun dan menghentikan kata-katanya karena manusia dewa itu dilihatnya tak menginjak tanah, mengambang dan seolah melayang di atas permukaan tanah. Wajah yang berkabut itu pun tiba-tiba mengeluarkan sinar, dua sorot berkelebat dan Hu-taihiap mengeluh, terhuyung dan jatuh terduduk. Dan ketika dia bengong dan sorot mata itu kembali lenyap tiba-tiba kakek dewa ini tertawa dan menempel di dinding, mengusap tiga bait syair yang dulu dibuatnya itu.

“Kau tak mempersalahkan muridku?”

Jago pedang ini terkesiap. Di belakang kakek dewa itu tiba-tiba muncul Kim-mou-eng, menjura dan memberi hormat padanya. Hu Beng Kui seperti melihat hantu saja karena Kim-mou-eng tadi tak dilihatnya, barangkali Pendekar Rambut Emas itu bersembunyi atau “disembunyikan” Bu-beng Sian-su, mencelos dia. Dan ketika dia bangkit berdiri dan terhuyung mengibas lengan bajunya pendekar ini mendengar Kim-mou-eng menyapa lembut.

“Hu-taihiap, maafkan aku. Suhu membawa aku ke mari, katanya disuruh mendengar apa yang hendak dibicarakan. Selamat pagi.”

“Ah, kalian... eh, di mana kau tadi, Kim-mou-eng? Kenapa baru sekarang kulihat?”

“Suhu menggulungku dalam lengan bajunya, taihiap. Baru sekarang aku dikeluarkan agar tak mengganggu keasyikanmu membaca syair itu.”

“Digulung dalam lengan baju? Seperti siluman saja? Ah, kau nenar-benar luar biasa, Sian-su. Sungguh tinggi kesaktianmu ini hingga kedatanganmu tak kudengar. Pantas, kalau Kim-mou-eng, saja tentu kutangkap langkahnya. Kau benar-benar hebat dan sakti. Benar, aku penasaran oleh isi syair ini dan teringat janjimu untuk menerangkan. Aku gagal dan mohon petunjuk, harap Sian-su memberi tahu!” Hu Beng Kui terbelalak, tak habis pikir bagaimana seorang manusia bisa “digulung” dalam lengan baju, disembunyikan dan tampaknya seperti kisah tak masuk akal sija. Mirip dongeng!

Tapi Bu-beng Sian-su sendiri yang tersenyum tak menghiraukan pujian iiu sudah bersinar-sinar memandang jago pedang ini, menepuk-nepuk dinding tembok itu. “Kau tak berhasil?” pertanyaan ini lembut diajukan, dijawab gelengan dan Bu-beng Sian-su melepaskan tangannya. Ukiran halus di dinding itu tiba-tiba mencorong, aneh sekali, mengeluarkan cahaya dan Hu Beng Kui mendelong. Ajaib bin aneh tiba-tiba bait teratas “copot”, tanggal dan kini menempel di telapak kakek dewa itu. Dan ketika manusia dewa ini tersenyum dan membuka telapaknya maka sebait syair itu melekat dan berkeredep mengeluarkan cahaya warna-warni.

“Apa ini, taihiap?”

“Bait pertama dari syair yang kau buat, Sian-su.”

“Bagus, kau dapat mengerti maksudnya?”

“Ya, tentang Sam-kong-kiam itu. Kukira tentang Pedang Tiga Dimensi itu.”

“Hm, kau dapat menjelaskan lebih jauh?”

Hu Beng Kui bingung. “Tidak, kukira tak ada penjelasan lebih jauh, Sian-su. Syair itu kukira jelas dan cukup dimengerti bahwa Sam-kong-kiam hendak kau maksudkan sebagai benda yang mati dan dingin!”

“Bagus, dan ini?” kakek itu mengusap bait kedua, tiba-tiba “copot” dan tanggal melekat di telapaknya, lagi-lagi perbuatan aneh yang tidak dimengerti Hu Beng Kui. Dan karena bait kedua ini yang justeru membingungkan Hu Beng Kui maka jago pedang itu menggeleng, tak mengerti.

“Maaf, aku dapat membaca namun tak dapat menangkap isinya, Sian-su. Justeru ini yang ingin kutanyakan kepadamu!”

“Ha-ha, dan ini?” Bu-beng Sian-su menunjuk bait ketiga, kini berturut-turut menempelkannya dan menyusunnya rapi di talapak tangannya. Tiga bait itu berkeredep berwarna-warni. Hu Beng Kui menggeleng. Dan ketka pendekar itu menyatakan sebaiknya kakek itu menerangkannya kepadanya maka Bu beng Sian su tersenyum dan tertawa lembut.

“Baiklah, aku datang memang untuk memenuhi keinginan tahumu, taihiap. Semoga pikiranmu dapat hidup seperti bait ini!”

Bu-beng Sian-su mendorong bait-bait itu tiba-tiba lepas dari telapaknya dan kembali menempel di dinding, rapi dan tak ada yang bergeser dari kedudakannya semula. Hu Beng Kui berdebar. Dan ketika manusia dewa itu menghela napas dan duduk bersila tiba-tiba seperti tadi kakek ini tak menyentuhkan tubuhnya sedikit pun di atas tanah, duduk dalam keadaan mengambang.

“Hu-taihiap, mari kita bicarakan ini dalam dialog terbuka, lihatlah!”

Hu Beng Kui terganga. Dia terkejut melihat manusia dewa itu duduk dengan caranya yang aneh. Teringat sebuah ilmu yang disebut Mengapung Tanpa Bobot, sebuah ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, baru merupakan cerita dari mulut ke mulut dan belum ada tang mampu memiliki ilmu itu. Mengapung Tanpa Bobot adalah semacam ilmu ginkang yang luar biasa tingginya, orang yang memiliki ilmu ini akan sama dengan udara. Tulang dan otot serta dagingnya bukan merupakan tulang dan otot serta daging manusia biasa. Sepenuhnya ilmu itu memang hanya dimiliki dewa-dewi berkepandaian tinggi, yang hidup di alam halus dan konon katanya ilmu itu tak memiliki gaya berat. Bu-beng Sian-su telah menunjukkan ini dan Hu taihiap kagum. Bukan main takjubnya dia. Dan ketika Bu-beng Sian-su mengulapkan dengan dan menepuk pundaknya tiba-tiba pendekar ini gelagapan dan sadar.

“Oh, oh... Apa... apa, Sian-su?”

Kakek dewa itu tertawa. “Aku bilang mari pusatkan perhatianmu pada syair ini, taihiap. Jangan melihat yang lain dan mari kita mulai!”

“Baik,” jago pedang ini menelan ludah, mukanya segera menjadi merah,. “Aku akan memusatkan perhatianku pada kata-katamu, Sian-su. Mulailah dan beri petunjuk kepadaku apa yang harus kulakukan.” Hu Beng Kui menenangkan guncangan jantungnya, duduk dan sudah bersila berhadapan dengan kakek dewa itu. Betapapun dia tak dapat tenang dan selalu takjub akan kesaktian kakek ini. Tadi caranya datang dan sekarang caranya duduk. Seumur hidup baru kali itu dia melihat manusia begini hebat! Mampu mengambang, seperti roh atau makhluk-mahluk halus lainnya saja. Dan ketika dia menggigil berkeringat dingin maka kakek dewa ilu mulai bicara, sungguh-sungguh dan serius.

“Taihiap, ingatan apakah yang dapat kau ingat ketika perjumpaan kita dulu?”

“Hm, yang kuingat adalah ramalanmu tentang kematian seorang anakku, Sian-su. Dan itu ternyata benar!”

“Maaf, agaknya itu melukai hatimu. Bukan, bukan itu. Yang lain lagi. Adakah sesuatu yang kau ingat? Dulu pernah kukatakan bahwa inti jawaban syair ini berada pada bait kedua. Benar, bukan?”

“Ya.”

“Nah, kau belum sedikit pun dapat menangkap inti sarinya?”

“Kalau sudah tentu sudah kukatakan, Sian-su. Dan aku menyesal kenapa diriku demikian bodoh!”

“Jangan menyesali diri sendiri, mari kutuntun. Dan sebaiknya kita mulai dari bait pertama. Bacalah!”

Hu-taihiap membaca. Bait pertama itu terdiri dari lima baris. Bu beng Sian-su mengangguk angguk dan tersenyum, mendengarkan dan sedikit pun tak mengganggu. Dan ketika pendekar itu selesai dan kakek ini tertawa maka dia pun berseru memandang bait pertama itu.

“Bagus, benar, taihiap. Mari kuulangi” dan Bu-beng Sian-su yang menunjuk dan membaca bait itu lalu berseru, penuh semangat:

Mengguncang langit menggetarkan bumi
Terhujam pongah sepotong besi
Tiada perduli kanan dan kiri
Itulah Pedang Tiga Dimensi
Kaku, dingin dan mati


Kemudian berhenti di sini kakek ini bertanya, “Apa yang dapat kautangkap, taihiap?”

“Tak ada apa-apa, Sian-su. Kecuali bicara tentang Pedang Tiga Dimensi itu.”

“Betul, tapi tentu tidak sedangkal itu. Ada hal lain lagi yang perlu diketahui. Sebuah perbandingan!”

“sebuah perbandingan?”

“Ya, sekarang teruskan dulu bait kedua, taihiap. Coba baca!”

Hu Beng Kui membaca, mulai lantang dan penuh semangat, terpengaruh kakek itu:

Sekarang apa artinya ini
Kenapa dikejar dan dicari
Bukankah yang amat berarti
Masih bukan milik sendiri!


“Nah,” Bu-beng Sian-su lagi-lagi bertanya, setelah pendekar itu selesai. “Apa yang dapat kau tangkap, taihiap? Apa kira-kira yang paling berarti pada bait kedua itu?”

“Hm, justeru ini yang kubingungkan. Sian-su. Aku tak mengerti apa sebenarnya yang ingin kau maksudkan itu?”

“Ha-ha. kalau begitu mari berhenti sebentar. Kita kupas ini!” dan Bu-beng Sian-su yang bangkit semangatnya memberi tahu tiba-tiba mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. “Taihiap lihat. Apakah yang paling berarti dalam hidup ini? Apakah yang kau rasa yang paling berharga dari hidup ini?”

Hu Beng Kui bingung. “Tak tahu, Sian-su, tapi barangkali kehormatan....”

“Ha-ha, adakah kehormatan itu berharga? Paling berharga?”

“Atau kepandaian?”

“Ha, kau boleh sebut satu persatu, taihiap. Coba ulangi dan sebut apa saja kiranya yang paling berharga menurut jalan pikiranmu!”

Hu-taihiap berkeringat. Dia mulai menyebut bahwa yang paling berharga adalah kehormatan, lalu kepandaian dan akhirnya harta benda atau apa saja yang ternyata disambut tawa kakek dewa itu. Hu Beng Kui penasaran bahwa agaknya kakek dewa itu tak membenarkan, dia mulai bertubi-tubi menyebut benda-benda yang bersifat lahiriah: Uang, Kedudukan dan Kesenangan. Dan ketika teringat bahwa hidup hanya berisi tiga hal itu. Kekuasaan, Kekayaan dan Kenikmatan maka pendekar itu gemetar, mengusap peluh, bertanya, “Adakah yang lebih berharga dari tiga sumber pokok itu, Sian-su? Bukankah Pedang Tiga Dimensi sendiri menjanjikan tiga hal itu?”

“Jadi kau tahu? Ha ha, kalau begitu jelas alasanmu menginginkan pedang pusaka itu, taihiap. Ternyata kau pun tak berbeda banyak dengan peminat lain yang menginginkan Sam-kong-kiam. Baiklah, aku tak akan menjawab penanyaan ini secara langsung, nanti kau akan mengerti sendiri. Sekarang coba kita ulas, kita renungkan. Kalau benar Kekuasaan dan Kekayaan serta Kenikmatan itu adalah hal yang paling berharga, terbukti banyak manusia mengejar-ngejar ini, lalu apakah mereka mau mengalami seperti yang kau alami? Maukah mereka menukar semuanya itu seperti yang terjadi pada dirimu?”

“Maksud Sian-su?”

“Jelas, kau meletakkan tiga hal ini paling atas, Hu-taihiap. Bahwa “Kekanik” (Kekuasaan Kekayaan dan Kenikmatan) kau anggap hal yang paling berharga, bahwa ini adalah segala-galanya. Dan kalau ini adalah segala-galanya lalu maukah mereka mengalami seperti yang kau alami? Taruh kata Kehormatan adalah sesuatu yang paling unggul lalu maukah kehormatan ini ditukar dengan nyawa seorang anak kita? Taruh kata Kekayaan adalah hal yang paling unggul lainnya, maukah ditukar dengan sebagian atau setengah tubuh kita? Atau...“

“Nanti, nanti dulu!” Hu-taihiap pucat, tergesa memotong. “Apakah jawabanku tadi salah, Sian-su? Apakah semua kata-kataku tadi tidak benar?”

“Benar atau tidak justeru sedang kita selidiki, taihiap. Aku hendak mengajakmu untuk membuka tabir rahasia ini.”

“Tapi kau bicara tentang anak, tentang nyawa dan tubuh! Apakah aku, ah....!” Jago pedang ini menggigil. “Apakah aku salah, Sian-su? Kenapa kau menarik-narikku dalam persoalan berdarah ini? Aku menyesal akan kematian putraku, Sian-su. Jangan kau robek-robek hatiku dengan kenangan yang tak dapat kulupakan itu!”

“Bagus, berarti kesadaran mulai tumbuh di hatimu. Tapi jangan menolak pembicaraan ini, taihiap. Apa yang kukatakan tidak semata mengorek luka lamamu, justeru akan menenangkan batinmu yang beberapa waktu lalu gelap!”

“Tapi....”

“Kau tak takut menghadapi kebenaran, bukan? Kalau kau takut berarti pembicaraan kita berhenti, taihiap. Dan aku akan pergi memutuskan percakapan ini...”

“Tidak. Ah....! Teruskan. Aku mulai menangkap maksudmu, tapi terus terang aku ngeri!”

“Hm, melihat sesuatu sebagaimana adanya tak akan menimbulkan ngeri atau takut, Hu-taihiap justeru akan mendewasakan dan mematangkan batinmu!”

“Baiklah, kau lanjutkan kata-katamu, Sian-su. Aku mendengar...” Hu Beng Kui setengah rnemejamkan mata, menggigit bibir dan tiba-tiba dia menangkap apa yang hendak dimaksudkan kakek dewa ini, mulai menerima dan mengerti getaran-getaran gaib itu, sesuatu yang mulai samar-samar nampak, gemetar namun dia berusaha menenangkan dirinya.

Dan ketika Bu-beng Sian-su tersenyum dan mengusap wajahnya lembut tiba-tiba kakek ini mulai menyambung, “Nah, kembali kuulang pembicaraan tadi. Kalau sebuah kehormatan umpamanya, dinilai paling tinggi dan dianggap segala-galanya maka maukah manusia yang sadar dan waras, menukarkan itu dengan buah hatinya. Kalau kekayaan umpamanya, dianggap segala-galanya dan perlu dikejar maukah manusia yang sadar dan waras menukarkan itu dengan sebagian anggota tubuhnya? Lihat dirimu, taihiap, ambil contoh yang dekat ini. Kalau seandainya Pedang Tiga Dimensi ditukar dengan nyawa puteramu agar kau dapat berkumpul lagi dengannya maukah kau? Kalau Pedang Tiga Dimensi ditukar dengan lenganmu yang buntung agar kau utuh kembali maukah kau menerimanya? Maaf, aku tidak bermaksud menyakiti perasaaanmu, taihiap. Tapi semata berbicara demi memperlihatkan sebuah kebenaran. Coba kau jawab pertanyaanku tadi, maukah kau menukarkan Pedang Tiga Dimensi asal puteramu hidup? Maukah kau menukarkan Pedang Tiga Dimensi asal lenganmu yang buntung dapat kembali lagi?”

Hu Beng Kui mengeluh, menggigil hebat. “Mau... mau, Sian-su...!”

“Lalu apa artinya ini?”

“Artinya bahwa jawabanku salah, bahwa masih ada yang lebih berharga lagi ketimbang itu.”

“Cocok! Tapi coba sebutkan, apakah yang lebih berharga itu? Apakah yang dapat kau mengert ini?”

“Artinya ah.... anakku masih jauh lebih berharga dibanding Sam-kong-kiam, Sian-su. Bahwa buah hatiku masih jauh lebih berharga ketimbang kehormatan atau pedang pusaka itu!”

“Ya, dan kemudian?”

“Bahwa aku tolol. Bahwa sesungguhnya lenganku yang buntung ini juga lebih berharga di banding Sam-kong-kiam yang membawa celaka!”

“Ha-ha, yang membawa celaka bukanlah Sam-kong-kiam atau benda-benda lain, Hu-taihiap. Melainkan cara berpikirmu yang tidak sehat dan tak sempurna. Kalau dulu kau sudah menyadari ini dan mengikuti petunjukku tentu kau tak perlu kehilangan seorang anak atau pun lengan. Sam-kong-kiam adalah sebuah benda mati, kau tak perlu menyalahkannya atau pun mengutuk. Yang salah adalah kau, kau mabok kehormatan dan gengsi. Inilah!”

“Augh....!” Hu Beng Kui mengerang. “Lalu kesalahan apalagi yang kubuat, sian-su? Bagaimana setelah ini?”

“Kau harus mengerti baik-baik dulu tentang ini, baru kesalahan tak akan terjadi.”

“Ya, ya. Aku sekarang mengerti. Bahwa Kehormatan, Kekayaan atau pun Kenikmatan atau Kesenangan itu bukanlah sesuatu yang paling berharga. Bahwa masih ada yang lebih berharga lagi ketimbang itu, ialah keluarga atau diri sendiri bukankah begitu, Sian-su?”

“Belum tepat benar. Kau masih belum menuju intinya.”

“Lalu bagaimana?”

“Begini, sekarang mulai kau sadari bahwa Kehormatan, atau yang lain-lainnya tadi adalah sesuatu yang bukan 'paling' berharga. Bahwa masih ada yang jauh lebih berharga lagi daripada itu. Terbukti kau mau menukarkan anakmu dengan Pedang Tiga Dimensi, padahal pedang ini adalah pedang yang dipercaya dapat memberikan Kehormatan, Kekayaan serta Kenikmatan kepada manusia. Dan kau pun mau menukarkan, lenganmu dengan pedang keramat, ini, meskipun hal itu tak mungkin lagi karena semuanya terlambat. Dan melihat semuanya ini, kenyataan ini, apa yang kau lihat dalam bait-bait itu, taihiap? Bukankah Kehormatan, Kekayaan atau pun Kenikmatan yang dikejar kejar manusia hanyalah sekedar 'baju' belaka. Bukankah semuanya itu hanyalah sesuatu yang menempel di luar? Apa yang ada di luar jelas kalah berharga dibanding dengan yang di dalam, taihiap. Maka untuk yang didalam inilah kita harus tahu!”

Hu Beng Kui bingung.

“Kau tak mengerti, bukan? Nah, lihat ini. Dulu, sewaktu kau berambisi memiliki Sam-kong-kiam maka kehormatanlah yang kau kejar. Sebagai seorang jago pedang kau ingin mendapat kehormatan 'lebih'. Ditambah godaan bahwa Sam-kong-kiam dapat memberikan ini dan itu maka kau mati-matian merebutnya. Itu bagimu, bagi, seorang jago silat. Sedang bagi seorang tabib, apa yang dikata paling berharga dalam hidupnya, taihiap? Tentu kesehatannya. Itu yang akan dikatakan tabib ini. Dan bagi seorang miskin, apa yagg akan dikatakan paling berharga bagi hidupnya? Tentu kekayaan, itu jawabnya. Dan karena semua yang di anggap berharga ini adalah sesuatu yang 'di luar' dan kebetulan semuanya itu belum dimiliki maka orang ramai-ramai memperebutkan ini, mengejar ini, hingga yang ada di dalam, yang amat hakiki orang lupa dan lengah untuk memperhatikannya. Kau paham?”

“Belum...“

“Hm, baik. Sekarang aku menuju sasaran pokok. Jangan tersinggung kalau aku banyak menuju dirimu. Sekarang perhatikan ini. Kalau seandainya dulu kau tahu bahwa puteramu akan tewas kalau kau bersikeras mempertahankan Sam-kong-kiam apakah tindakan yang akan kau ambil, taihiap? Salahkah bila kukatakan bahwa kau akan melepaskan pedang itu dan lebih mementingkan puteramu?”

“Tidak!”

“Bagus, lagi pertanyaan ini. Kalau seandainya kau tahu pula bahwa lenganmu akan buntung salahkah bila kukatakan bahwa kau akan melepas pedang itu dan lebih menghargai lenganmu sendiri?”

“Tidak.”

“Cocok, pembicaraan mulai lancar. Sekarang kau menangkap bahwa Sam-kong-kiam, betapapun hebatnya dia, betapapun berharganya dia tetap tak lebih berharga daripada lenganmu sendiri, atau puteramu itu, darah dagingmu itu. Dan kerena kau telah mengakui ini maka kau tentu sepakat jika kukatakan bahwa yang di luar, benda-benda yang di luar masih kalah berharga di banding dengan yang di dalam. Seperti Pedang Tiga Dimensi itu dengan lenganmu atau seperti Pedang Tiga Dimensi dengan anggauta tubuhmu yang lain. Dan karena kau telah melihat ini tentunya sekarang kau mengerti bahwa dibanding dengan apapun juga tetap saja diri sendiri atau tubuh sendiri lebih berharga dibanding yang lain-lain, begitu, bukan?”

“Ya.”

“Nah, apa kelanjutannya? Kenapa orang masih mengejar-ngejar itu?”

“Karena mereka tak tahu, Sian-su. Karena mereka mabok dan ingin memiliki itu.”

“Cocok, tepat sekali. Itulah sumber kecelakaan manusia. Nafsu memiliki! Ha ha. Kau mulai menyentuh. Hu-taihiap. Sekarang pembicaraan akan beres dan semakin lancar!”

Hu Beng Kui tertegun. Kakek dewa itu tiba-tiba tertawa bergelak dengan suara nyaring, mengejutkan namun lembut. Dia tadi sebetulnya kebetulan saja menyebut itu, rasa kemilikan, rasa yang membuat manusia mabok untuk memiliki sesuatu. Hal yang rasanya manusiawi dan lumrah, Hu Beng Kui tercekat kenapa Bu-beng Sian-su tiba-tiba tertawa begitu gembira, terbelalak dia.

Dan ketika kakek dewa itu menghentikan tawanya dan berseri-seri memandangnya maka kakek ini mengangkat lengannya. “Nah. sekarang pembicaraan semakin jelas, Hu-taihiap. Bahwa sumber dari semua kejadian ini adalah karena hak milik, hak ingin memiliki dan rasa kemilikan itu. Dan karena semua peristiwa yang menimpamu itu bersumber pada rasa ingin memiliki ini maka enak tidak enaknya telah kau rasakan, termasuk peristiwa pahit dari rasa yang tidak benar itu!”

“Tidak benar?” Hu Beng Kui penasaran. “Apakah tidak benar rasa kemilikan itu, Sian-su? Apakah salah kalau setiap manusia dihinggapi perasaan ingin memiliki akan sesuatu?”

“Hm, dalam batas-batas tertentu rasa itu tidak salah, taihiap. Tapi begitu perasaan itu melejit dan melangkah terlalu jauh, maka rasa ingin memiliki itu salah!”

“Sian-su dapat membuktikannya?”

“Tentu, lihat ini. Dengarkan!” kakek itu membetulkan letak duduknya, masih berseri-seri dan bersinar-sinar memandang lawan bicaranya.

Hu taihiap berdebar dan ingin tahu, tiba-tiba pembicaraan ini telah menyeretnya dalam satu daya tarik yang besar. Dia ingin tahu dan mendapat jawaban kakek dewa itu. Dan ketika Bu,beng Sian-su tertawa dan menggosok-gosok telapaknya segera kakek ini menuding,

“Hu-taihiap, pengertian apa yang sekarang kau tangkap dalam pembicaraan sampai di sini?”

“Bahwa diriku lebih berharga daripada Sam-kong-kiam?”

“Bagus jadi kau tak mau ditukar pedang itu bila kau harus kehilangan sebuah kaki atau lengan, umpamanya?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Karena diriku lebih berharga dibanding pedang itu, betapapun hebatnya Sam-kong-kiam!”

“Meskipun dengan janji pedang iiu dapat memberimu Kekuasaan, Kekayaan dan Kesenangan?”

“Ya, aku tak mau, Sian-su. Karena ternyata apa yang diberikan itu hanya merupakan “baju” belaka, sesuatu yang bersifat lahiriah!”

“Mengagumkan, kau benar-benar sehat dan waras. Dan sekarang, bagaimana pengertianmu tentang diri sendiri? Bagaimana kau memperhatikan dirimu itu?”

“Aku akan menjaganya lebih dari apa pun, karena itulah milikku yang paling berharga!”

“Ha-ha, cocok tapi salah! Kau boleh menjaganya lebih dari apa pun, Hu-taihiap. Tapi sesungguhnya kau tak memiliki “hak milik” atas dirimu itu!”

“Eh!” Hu Beng Kui melengak. “Apa kata-katamu ini, Sian-su? Bagaimana ini?”

“Dengar,” kakek dewa itu berseri-seri. “Kau mulai benar tapi juga salah, taihiap. Dan untuk itu perhatikan baik-baik. Sekarang kau mulai mengerti bahwa yang paling berharga, yang paling penting adalah diri kita sendiri ini, tubuh kita sendiri ini. Jadi bait kedua itu mulai kita sentuh. Lihat kata-kata itu, yang amat berarti. Itulah yang kumaksud. Bahwa di antara semua yang di luar sesungguhnya yang kita miliki ialah yang amat berharga. Sam-kong-kiam dan benda-benda lain boleh berharga, boleh penting. Tapi apa gunanya kalau kita harus kehilangan sebagian atau bahkan seluruh tubuh kita? Apa gunanya memiliki pedang kalau lengan atau kaki haruslah buntung? Nah, ini menunjukkan diri kita lebih penting dari segala-galanya, taihiap. Karena biar pun segala kemewahan atau pun kesenangan mengelilingi kita namun tak ada gunanya kalau kita harus kehilangan sebagian anggauta tubuh kita, lengan atau kaki misalnya. Dan karena kita menyadari bahwa diri kita adalah sesuatu yang paling berharga dan jelas di atas yang lain-lain itu maka kita akan menjaganya dan tentu merawatnya sebaik mungkin, luar dalam, lahir batin. Kau setuju, bukan?”

“Ya.”

“Nah, sampai di sini sekarang kau harus berhati-hati. Coba kuulang pertanyaan tadi, kenapa kau menjaga dirimu lebih dari apa pun?”

“Karena inilah milikku, Sian-su. Milik satu-satunya dan amat penting.”

“Bagus, tapi kuberitahukan padamu, taihiap. Bahwa sesungguhnya kau TAK MEMILIKI apa pun atas dirimu itu. Bahwa hak milik, dalam hubungannya dengan pembicaraan ini sama sekali tak kau punyai. Bahwa manusia tak memiliki apa-apa atas hidupnya. Bahwa kau dan orang-orang lainnya itu sama sekali tak memiliki “hak milik” atas dirinya itu apalagi terhadap yang lain!”

Hu Beng Kui terkejut. “Bagaimana itu, Sian-su?”

“Tidakkah kau lihat jelas? Hmm, coba sebutkan padaku apa yang penting dalam dirimu, taihiap. Coba kutuntun lebih jauh lagi...”

“Aku merasa penting atas diriku, tubuhku!”

“Hanya itu saja?”

“Ya, adakah yang lainnya lagi?”

“Baik, kutanya kau, Tanpa Nyawa bisakah kau hidup?”

“Ah!” Hu Beng Kui terkejut, sadar. “Tentu saja tidak, Sian-su. Jadi inikah yang kau maksud?”

“Jangan bertanya, kau hanya menjawab. Ulangi sekarang jawabanmu itu. Apakah yang kau rasa penting dan amat penting dalam dirimu itu?”

“Kehidupanku, rohku. Nyawaku!”

“Kenapa begitu?”

“Karena tanpa itu wadahku adalah mayat!”

“Bagus, jadi bagaimana?”

“Bahwa kehidupanku, rohku, nyawaku adalah sesuatu yang paling penting itu, yang paling berharga itu. Karena tanpa itu aku bukanlah manusia hidup!”

“Benar, dan sekarang dapatkah kaukatakan bahwa kehidupanmu itu, roh-mu, nyawamu, adalah milikmu?”

“Tentu saja! Ini milikku, Sian-su. Dia menempel dan melekat di tubuhku!”

“Kalau begitu dapatkah kau katakan kepada Malaikat El-maut jika kelak dia menghampirimu bahwa milikmu itu tak boleh diganggu gugat?”

Hu Beng Kui tertegun, terkesiap.

“Ayo, kenapa diam, taihiap? Bisakah kau katakan kepada Malaikat El-maut bahwa dia tak boleh mengambil nyawamu? Bahwa itu milikmu dan seharusnya kau hidup abadi? Ayo jawab, Hu-taihiap. Ini persoalan penting yang akan kita kupas bersama!”

Hu Beng Kui tiba-tiba menggigil hebat, terkejut. “Tidak... tidak, Sian-su. tapi... tapi... ah, aku bingung...”

“Biarkan kebingungan ini, nantikan akan mengerti sendiri. Sekarang kau tahu, meskipun belum mengerti bahwa milikmu yang paling berharga itu, kehidupanmu, nyawamu, bukanlah milik dalam arti yang sesungguhnya. Kau tak dapat berkata apabila ajal menjemput tiba misalnya dengan kata-kata seperti ini Hei, Malaikat Muat, ini milikku. Jangan ambil, pergilah! Dan karena kau tak dapat berkata begitu maka jelaslah bahwa sesungguhnya terhadap milikmu yang satu itu kau tak menguasai dan memilikinya. Bahwa kita sesungguhnya memang tak memiliki apa-apa karena pemiliknya yang asli, yang tunggal, semata adalah Sang Pencipta adanya. Itulah yang hendak kumaksud! Paham?”

Hu Beng Kui bengong, tertegun.

“Kau mengerti, bukan?”

“Ya.” Hu Beng Kui masih setengah mengerti, menggigil. “Kalau begitu kita ini tak memiliki hak milik, Sian-su? Jadi kita ini mamsia kosong yang tidak memiliki hak akan sesuatu?”

“Tidak, kita memiliki hak, tapi bukan hak milik. Dan karena kita sudah akan melanjutkan ke sana maka tentu saja aku akan menerangkan bahwa kita, manusia tak perlu berkecil hati. Semua kata-kataku tadi bukanlah hendak mengecilkan akan keberadaan kita, kehidupan kita. Kerena meskipun kita tidak mempunyai hak milik atas diri kita sendiri namun kita memiliki hak lain yang tak kalah agungnya!”

“Hak apakah itu?”

“Mestikah kujawab cepat? Tidak, coba kau dulu, taihiap. Barangkali kau dapat menangkap dan mergerti ini.”

“Aku bingung, kepalaku pening. Lebih baik kau saja yarg bicara dan biar kudengar!”

“Baiklah, dengarkan ini, Hu-taihiap. Bahwa meskipun kita tidak memiliki “hak milik” atas diri dan kehidupan kita, sesungguhnya kita mendapat penukar hak lain yang patut disyukuri. Dan hak itu adalah HAK MANFAAT. Ya, inilah yang patut disyukuri manusia. Karena biarpun kita tak memiliki hak milik atas hidup atau kehidupan kita maka hak manfaat ini sesungguhnya merupakan karunia besar yang amat agung dan sepatutnya diiterima dengan penuh kebahagiaan murni. Karena meskipun kita tak memiliki hak milik namun hak manfaat itu akan membuat kila seolah memiliki hak milik, serupa tapi tak sama, tampaknya mirip tapi dasar keduanya itu berbeda. Kau mengerti”

“Ooh....!” Hu Beng Kui mengangguk-angguk, mulai mengerti. “Ya, ya, aku mulai paham, Sian-su. Tapi coba teruskan wejanganmu ini. Kurasa masih ada sesuatu yang penting yang harus kuketahui.”

“Tentu, dan yang penting itu adalah kesadaran akan ini, taihiap. Bahwa kalau terhadap diri sendiri kita tak mempunyai “hak milik” lalu bagaimana kita akan serakah dan memiliki yang lain-lain yang ada di luar kita? Jangankan yang di luar, yang di dalam saja, yang melekat sehari-hari masih bukan milik kita. Apalagi Sam-kong-kiam atau pun kedudukan dan kekayaan, bukankah kita ini hanya memiliki hak manfaat? Nah, sadar akan ini berarti mengerem loba dan tamak kita, taihiap. Karena sekali kita terperangkap dan masuk dalam kubangan itu maka kita pun menjadi bulan-bulanan pikiran keliru dan tak ada kebahagiaan dalam diri sendiri. Sederhana, bukan? Kau dapat mengerti?”

“Ah-ah....!” Hu Beng Kui kagum, berseri-seri. “Aku mengerti, Sian-su. Sekarang aku benar-benar mengerti...”

“Apa yang kau mengerti?”

“Bahwa kita, manusia, tak memiliki hak milik. Yang kita miliki adalah hak manfaat, itu saja!”

“Dan mengertikah kau bahwa kemilikan adalah sesuatu yang semu? Bahwa kemilikan itu mengikat kita dan memperbodoh kita?”

Hu Beng Kui melengak.

“Lihat, kalau kau tak diperbodoh rasa kemilikan itu tentu puteramu masih hidup, Hu-taihiap. Dan kalau kau tak diperbodoh rasa kemilikan itu tentu hidupmu akan tenang-tenang saja di Ce-bu. Kau masih seorang laki-laki gagah, utuh, tidak cacad...”

“Ya. aku sadar. Aku salah...!” Hu Beng Kui menunduk, merah mukanya. “Aku sekarang mengerti akan semua kata-katamu, Sian-su. Bahwa sesungguhnya terhadap diri sendiri pun kita sebenarnya tak mempunyai hak milik itu, apalagi terhadap benda-benda atau manusia. Bahwa kemilikan itu bersifat semu. Bahwa, hm... anak atau isteri pun sebenarnya juga bukan milik kita. Mereka itu milik Sang Pencipta. Aku sadar, aku mengerti!”

“Dan kau dapat membaca tiga bait syair itu dengan lebih baik?”

“Kukira dapat, Sian-su. Sekarang aku benar-benar paham. Kemilikan memang harus diletakkan dalam proporsinya yang wajar, tidak melambung dan keluar dari rel-nya. Dan karena aku sudah mengerti tentunya sepak terjang atau tindak tandukku nanti tak akan keliru dari garisnya ini.”

“Cobalah, kuharap begitu,” Bu-beng Sian-su, bangkit berdiri. “Kau tak ada pertanyaan lagi bukan?”

“Ah. Sian-su mau ke mana?” Hu Beng Kui terkejut. “Bukankah kau sendiri belum menjelaskan bait ketiga? Tidak, nanti dulu, Sian-su. Aku ingin mendengar suaramu lagi dan jangan buru-buru pergi!”

“Ha-ha. semuanya sudah gamblang, taihiap. Untuk apa, ditanya? Baiklah, kuulang pendek. Bait pertama itu sesungguhnya tak ada apa-apa yang istimewa. Kalimat itu hanya hendak menunjukkan bahwa Sam-kong-kiam adalah sebuah benda mati yang dingin dan kaku, tak ada ulasan lebih jauh. Benda itu meskipun hebat tetaplah benda mati, kalah berharga dengan kita ini, yang masih hidup. Dan bait kedua, hmm... bukankah sudah kuberi tahu? Yang amat berarti itu adalah hidup kita ini, dirimu, hidupmu, nyawamu. Dan karena sudah jelas kutulis disitu bahwa hidup ini bukanlah “milik” kita maka meskipun yang paling berarti itu ada di dalam kita tapi kita tak mempunyai hak milik. Kita hanya mempunyai hak manfaat. itu saja. Sedangkan bait ketiga, ah... bukankah jelas sekali, taihiap? Itu pun juga tak ada rahasianya. Semuanya gamblang kusebut. Kemilikan adalah sesuatu yang semu, tak langgeng. Dan orang yang terikat kemilikan ini berarti telah diperbodoh oleh jalan pikirannya sendiri, pengertiannya sendiri. Dan semakin dia terkidung dan tersesat menumpuk dosa maka celakalah bagiannya tak ada apa-apa, semua orang bisa membuktikan ini. Kau mengerti, bukan?”

“Ya”

“Nah. selesailah sudah. Kau sudah jelas dan cukup mengerti. Ingat bahwa kita tak mempunyai hak milik. Kita hanya memiliki hak manfaat. Sedang hak milik yang terjadi antar manusia adalah hak yang timbul dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan. Tentunya kau mengerti ini dan tak perlu kuterangkan. Begitu, bukan?”

Hu Beng Kui mengangguk. Bu-beng Sian-su tiba-tiba mundur tersenyum dan menjauh. Bagai kapas tertiup angin mendadak kakek dewa itu terdorong. Dan ketika dia mengebutkan lengannya dan tertawa mendadak kakek ini lenyap. Hilang begitu saja!

“Sian su...!”

Tak ada jawaban. Hu Beng Kui mengejar tapi Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat, tertegunlah pendekar ini. Dan ketika Hu Beng Kui terhenyak dan teringat sesuatu mendadak pendekar ini bertanya. “Kim-mou-eng! Kemana gurumu? Dan bagaimana sebenarnya dengan orang yang kubunuh itu?”

“Hm..., suhu kemana aku sendiri juga tak tahu, taihiap. Tapi kalau tentang orang yang kau bunuh itu aku tahu. Dia adalah Bu-hiong, nama sebenarnya Yu Bing. Anak angkat atau murid dari mendiang pamanku yang sesat Cheng-bin Yu-lo.”

“Cheng-bin Yu-lo? Tokoh yang tewas dan seorang dari Jit-mo Kang-ouw (Tujuh iblis Dunia)?”

“Ya, dialah muridnya, Hu-taihiap. Dan Bu-hiong atau Yu Bing inilah yang mencemarkan namaku. Kau telah membunuhnya, mengira itulah diriku. Maaf tak ada lain-lain lagi yang perlu kita bicarakan. Ijinkan aku pergi!” Kim-mou-eng menjura, melihat berkelebatnya bayangan Swat Lian dan tentu saja dia tak enak. Dia harus segera pergi.

Dan begitu Hu Beng Kui tertegun dan terbelalak memandangnya tiba-tiba Pendekar Rambut Emas memutar tubuhnya dan berkelebat lenyap. “Kim-mou-eng...!”

Kim-mou-eng tak menjawab. Dia hanya melambaikan tangan dan tubuhnya pun telah menghilang di luar tembok. Hu Beng Kui melesat dan mengejar. Dan ketika jago pedang itu melihat bayangan Kim-mou-eng di luar sana tiba-tiba pendekar ini berseru, “Kim-mou-eng, tiga tahun lagi kita bertemu. Aku ingin mengalahkanmu, membalas penasaranku....”

“Baik, kuterima, taihiap. Dan maaf atas semua perbuatanku yang mengecewakan hatimu!” Kim-mou-eng lenyap.

Hu-taihiap tak mengejar lagi dan Swat Lian muncul. Puterinya ini heran kenapa ayahnya di belakang saja, tak tahu bahwa ayahnya baru kedatangan tamu. Tapi ketika ia mendengar seruan ayahnya dan tertegun melihat bayangan Pendekar Rambut Emas tiba-tiba gadis itu terisak dan menggigit bibir.

“Ada apa dia kemari, yah? Mau apa?”

“Hm, dia mengantar Bu-beng Sian-su, Lian-ji. Kakek dewa itu baru saja membuka kesadaranku!”

“Ah, Bu-beng Sian-su?”

“Ya.”

“Apa yang dikatakannya?”

“Banyak, mari kuperlihatkan,” dan Hu Beng Kui yang memasuki rumahnya lagi dan menunjuk bait-bait di tembok lalu ganti menerangkan pada putrinya apa yang diwejangkan kakek dewa tadi. Bahwa kemilikan sering menyeleweng dari porsinya yang benar. Bahwa kemilikan membuat orang mabok dan tenggelam dalam nafsu pribadi. Dan ketika jago pedang itu berkata bahwa kemilikan yang sudah tidak terkontrol ini hanya akan menjerumuskan manusia pada kesengsaraan-kesengsaraan lahir batin akhirnya pendekar itu menutup,

“Aku sekarang sadar akan apa yang dimaksudkan kakek dewa itu. Lian-ji. Kemilikan memang mengikat dan memperbodoh kita. Aku menyesal. Kalau dulu kuturut nasihat kakek itu dan tidak ingin memiliki Sam-kong-kiam yang sebenarnya juga bukan milikku tentu hidupku tak diguncang gempa kedukaan seperti ini. Sekarang kakakmu menjadi korban, lenganku juga buntung. Sudahlah, kita harus meletakkan rasa kemilikan itu pada batas-batas yang benar. Selama kita tak ingat akan ini dan lupa daratan serta mabok akan kemilikan tentu kita celaka. Mari bersamadhi, besok kau dan dua suhengmu harus mempelajari semua ilmu pedangku guna dipakai mengalahkan Kim-mou-eng. Tiga tahun lagi aku berjanji menemuinya. Kalian semua harus belajar baik-baik dan ilmu pedang kita tak seharusnya kalah dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Kim-mou-eng itu!”

Swat Lian termangu.

“Apa yang kau pikir?”

Swat Lian terisak. “Pendekar Rambut Emas itu, yah. Aku, ah... aku tak dapat melupakannya. Dia hebat. Kepandaiannya benar-benar tinggi...!”

“Tentu saja, dia murid Bu-beng Sian-su. Tapi kekalahanku tidak memuaskan, dia hanya menghadapi sebelah lenganku dan itu pun aku masih belum sembuh benar. Kalau aku memiliki kedua lengan dan dia tidak mengincar kelemahan ku pada lengan yang buntung ini belum tentu dia sanggup merobohkan aku!”

“Benar, tapi... hm, dia juga belum mengeluarkan semua ilmunya, yah. Ada satu ilmu yang tidak dikeluarkan!”

“Apa itu?” Hu Beng Kui terkejut.

“Pek-sian-ciang!”

“Ah...!” jago pedang ini terbelalak, kaget. “Kau benar, Lian-ji. Jadi kalau begitu...”

“Dia pun masih menyimpan ilmunya. Jadi kalau ayah bertempur dengan sebelah lengan dan belum sembuh maka dia pun masih memiliki Pek-sian-ciang dan mungkin kalian berimbang Atau...” putrinya memotong. “Dia menang seusap dan ayah harus mengakui itu karena Kim-mou-eng telah mengetahui ilmu pedang kita!”

“Tidak.” Hu Beng Kui pucat. “Aku tak mau kalah, Lian-ji. Betapapun aku penasaran dan ingin menebus kekalahanku itu. Aku akan menggembleng kalian, kalau perlu kuciptakan sebuah ilmu baru yang lawanku itu tidak tahu!”

“Tentu, aku juga penasaran akan kekalahanmu itu, yah. Aku akan memperdalam ilmuku dan menebus kekalahanmu!”

“Mari, kalau begitu bersiaplah. Kita bersamadhi dan besok kumpulkan dua suhengmu itu!” dan begitu Hu Beng Kui berkelebat masuk maka puterinya mengangguk dan Swat Lian pun mengikuti, tak banyak bicara dan hari itu Hu Beng Kui bersemangat. Dia ingin mendidik dan menggembleng murid-muridnya ini, tak mau kalah dengan Kim-mou-eng.

Putrinya juga bersemangat dan barangkali lebih bersemangat dari sang ayah. Swat Lian menyimpan kekecewaan dan patah hati yang besar. gadis ini sering menangis. Tapi begitu mengepal tinju dan menggigit bibir maka semua kekecewaan ditekan dan sinar yang aneh pun mencorong di matanya. Tak tahu apa yang bergolak namun mudah kita duga. Semacam sakit hati mengguncang perasaan gadis ini.

Swat Lian ingin suatu ketika berhadapan dengan Salima, di tempat yang sepi, di tempat yang sunyi. Dan karena pengakuan Kim-mou-eng terhadap sumoinya dirasa terlalu menyakitkan dan memukul perasaannya maka gadis ini belajar lebih tekun daripada yang lain. Hari demi hari mulai dilalap dengan pelajaran ilmu-ilmu silat. Di bawah gemblengan ayahnya gadis ini belajar tak henti-hentinya. Bulan demi bulan dilalui cepat dan akhirnya setahun pun lewat tanpa terasa.

Tapi karena kisah ini hendak ditutup dan Pedang Tiga Dimensi selesai sampai di sini biarlah kita tunda perjumpaan kita dalam kisah berikut: Sepasang Cermin Naga. Di situ, kita-akan kembali berjumpa dengan tokoh-tokoh cerita ini, termasuk tentu saja Kim-mou-eng dan sumoinya, yang kini telah menjadi suami istri dan hidup di luar tembok besar, di tengah-tengah perkampungan besar bangsa Tar-tar. Dan karena kisah ini sudah selesai sampai di sini penulis hendak mohon diri untuk jumpa dalam kisah berikutnya.

Bu Beng Sian Su kembali muncul untuk persoalan yang lain. Bicara tentang Keadilan. Hal yang sering menjadi “topik” dalam kehidupan manusia. Apakah keadilan itu? Bagaimana manusia menghadapi yang satu ini? Mengecewakan. Memprihatinkan! Dan untuk mengetahui itu biarlah kita lihat apa yang hendak “ditodongkan” manusia dewa ini. Satu pembicaraan yang menarik!

TAMAT