Pedang Tiga Dimensi Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Tiga Dimensi
Jilid 18
Karya Batara


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“BIN-KWI, jangan gila. Pergilah...”

“Dukk!” Dua iblis itu terpental, masing-masing terhuyung dan Hu-taihiap di belakang berseru lagi dengan suaranya yang geram, bin-kwi tak perduli dan ganti membentak kawannya, jari menotok dan terang-terangan sekarang dia menyerang Mo-ong, Beng An mau dirampas dan tak boleh temannya itu pergi kalau pemuda itu belum diserahkan. Dan karena Beng An dirasa pegangan (sandera) yang amat berharga dan untuk itu Bin-kwi akan mati-matian merebutnya dan menyesal kenapa tadi menyerahkan tawanannya kepada Mo-ong tiba-tiba iblis buntung itu sudah menyerang temannya dengan cepat dan bertubi-tubi sambil berseru agar Mo-ong tak usah keras kepala, ditangkis dan segera dua iblis itu bertempur.

Hu Beng Kui kian dekat dan terpaksa Mo-ong melanjutkan larinya lagi, sambil berlari dan memaki Bin-kwi kakek ini menangkis serangan-serangan lawan. Dan ketika Bin-kwi tetap mengejar dan suara Hu-taihiap tinggal beberapa meter saja di belakangnya, dimana Mo-ong menjadi gusar dan bengis memandang lawan tiba-tiba Mo-ong membalas dan berhenti melayani bekas rekannya itu, menggereng.

“Bin-kwi, kau tak tahu diri. Kalau begitu baik aku akan membuatmu mampus...”

“Des-dess!”

Dan Mo-ong yang berhenti serta menangkis pukulan lawan tiba-tiba terjungkal karena dia hanya memakai sebelah tangan saja, sebelah yang lain tak dapat dipakai karena memanggul Beng An. Muridnya terkejut karena sang guru berkelahi dengan sesama teman sendiri, masing-masing ngotot untuk mempertahankan tawanan. Dan ketika Mo-ong bergulingan dan berteriak melompat bangun maka kakek ini menerjang dan mengeluarkan kipasnya menghantam bekas kawan itu, ditangkis dan seperti keduanya bertempur hebat.

Bin-kwi mempergunakan tongkat bambunya menotok dan menyodok, bahkan mengemplang dan menghajar lawan dengan angin pukulan menderu yang begitu kerasnya, Mo-ong naik pitam dan segera berkelebatan lenyap. Dan karena masing-masing pihak rupanya sama marah dan sama-sama tak mau mengalah akhirnya mereka berdua bertanding memperebutkan Beng An yang nyaris terkena pukulan-pukulan berbahaya!

“Hei, berhenti....!”

Bentakan itu adalah bentakan si jago pedang. Hu Beng Kui telah tiba di tempat ini dan terbelalak melihat pertempuran itu, berkali-kali terkesiap melihat puteranya nyaris kena pukulan tongkat atau totokan jari. Berbahaya sekali pertandingan ini, jago pedang itu tertegun. Tapi ketika ketika dia marah dan Bin-kwi terus mendesak Mo-ong tiba tiba pendekar ini berkelebat dan menyerang Mo-ong pula yang menawan puteranya.

“Siutt-sing....!”

Sinar Sam-kong-kiam berkelebat, hebat bukan main dan sudah menyambar kipas di tangan Mo-ong. Sang kakek iblis terkejut dan berteriak kaget, melempar tubuh ke kiri tapi tongkat bambu di tangan Bin-kwi mengemplang, tak ada kesempatan menangkis dan Mo-ong menjerit. Pundaknya terhajar, sebagian punggung Beng An juga terkena dan pemuda itu mengeluh, siuman, membuka mata.

Dan ketika Bin-kwi tertawa dan Hu-taihiap menggeram tiba-tiba Sam-kong-kiam kembali bergerak dan sudah melancarkan tusukan serta tikaman di sembilan jalan darah di tubuh Mo-ong, dikelit tapi tak semuanya berhasil. Mo-ong mengeluh dan terhuyung mendekap lukanya, tiga tusukan cepat mengenai tubuhnya, kakek iblis ini pucat. Dan ketika Bin-kwi menyerang kembali dan dia marah terhadap bekas kawan yang menjadi lawan itu tiba-tiba Mo-ong berteriak melempar Beng An pada kakek buntung itu.

“Bin-kwi, terimalah....!”

Bin kwi melengak. Dia sama sekali tak menyangka Beng An tiba-tiba dilempar kepadanya, tentu saja menangkap dan gembira menerima pemuda itu. Tak tahunya Hu-taihiap membentak dan menyerangnya, ganti menusuk dan menikam delapan kali, cepat bukan main dan Bin-kwi gugup. Dia melempar tubuh namun empat di antara serangan itu mengenai dirinya juga, merobek baju melukai kulit daging, kakek ini berteriak. Dan ketika dia bergulingan menjauhkan diri dan Mo-ong terbahak tiba-tiba kakek ini menggerakkan kipasnya dan ganti menyerang Bin-kwi.

“Haha, sekarang kau tahu rasa, Bin-kwi. Hu-taihiap akan membantuku dan kau mampus¡”

“Plak brett!”

Kipas ditangkis tongkat, terpental tapi sudah meyerempet leher lawan, berkelebat dan menyusul lagi dan Bin-kwi terbelalak. Kiranya Mo-ong memberikan tawanannya hanya untuk sekedar melepas sasaran, dia sudah menghadapi serangan Mo-ong dan pedang di tangan jago pedang itu juga kembali mengejar. Bin kwi gugup. Tapi ketika Mo-ong mengeluarkan kata-katanya dengan menerangkan bahwa Hu taihiap membantunya mendadak Sam-kong-kiam membelok dan menebas pinggangnya.

“Mo-ong, kalian semua iblis-iblis busuk. Aku tak membantu dirimu atau Bin-kwi...!”

“Bret-crat!” pundak Mo-ong terkuak, dagingnya tercongkel keluar dan Mo-ong menjerit. Serangan itu tak disangkanya sama sekali dan Mo-ong meraung, bergulingan. Dan ketika Bin-kwi tertawa dan mengejek bekas temannya tahu-tahu Hu Beng Kui berkelebat dan meneruskan serangannya kepadanya.

“Kau pun diamlah, Bin-kwi. Aku pun akan membunuhmu....”

“Sing-crat!”

Pedang mengena sasaran, membabat tubuh si buntung ini dan Bin-kwi berteriak kaget. Marah dan melotot dan men adi bingung oleh semua gebrakan ini. Mereka bisa bertempur segi tiga. Bin-kwi gentar. Dan ketika dia melempar tubuh bergulingan dan di sana Mo-ong melompat bangun tiba-tiba kakek iblis ini berseru gusar menyerang Hu Beng Kwi.

“Hu-taihiap, kau tak tahu dibantu. Baiklah, Bin-kwi akan membantuku dan kau akan kami bunuh....”

“Wir-crat!”

Dan kipas yang disambut pedang dan sekaligus putus menjadi dua tiba-tiba membuat Mo-ong memekik keras berjungkir balik menghindari sambaran pedang yang terus membabat dan bisa jarinya terpapas semua, iblis ini pucat memaki lawan. Dan ketika dia melayang turun dan mengharap Bin-kwi membantu tiba-tiba rekannya itu tertawa dan malah melompat pergi melarikan diri.

“Mo-ong, maaf. Biarlah kau hadapi sendiri Hu taihiap itu!”

Mo-ong tertegun. “Kau...?”

Namun kata katanya terhenti. Hu Beng Kui menusuknya dengan cepat. Pedang berkelebat dan iblis ini memaki Bin-kwi, meloncat tinggi dan Bin-kwi merasa girang karena Mo-ong bakal menghadapi Hu taihiap sendirian, tak tahu gerak selanjutnya dari pedang di tangan pendekar itu karena Hu-taihiap tiba-tiba menimpuk. Pedang yang luput mengenai Mo-ong ini sudah menyambar belakang punggung Bin-kwi, tanpa suara, dikerahkan dengan lontaran begitu cepat dan juga tenaga yang istimewa, begitu istimewa hingga Siauw-bin-kwi tak mendengar angin sambarannya. Tahu tahu pedang mengenai punggung dan amblas di tubuh si buntung itu.

Siauw-bin-kwi menjerit dan roboh. Sam-kong-kiam menancap di tubuhnya sampai ke gagang. Bukan main timpukan ini, menunjukkan tenaga luar biasa dan juga kemarahan luar biasa dari Hu-taihiap. Iblis buntung itu langsung terjungkal dan tewas. Tapi begitu Bin-kwi ambruk dan kehilangan nyawanya tiba-tiba keluhan lain terdengar dan Beng An yang dibawa kakek itu ternyata juga menerima akibat buruk karena pedang yang amblas di dada Siauw Bin-kwi mengenai dirinya pula.

“Augh...!”

Hu Beng Kui terkejut. Dia melempar Sam-kong-kiamnya karena memang ingin menyelamatkan anaknya itu, tak tahunya Beng An itu jadi korban dan roboh di bawah tindihan Bin kwi. Jago pedang ini berseru dan kaget melihat dada anaknya terluka pula. Ujung Sam-kong-kiam yang mencuat dari dada Bin-kwi mengenai dada Beng An, menusuk cukup dalam dan pemuda itu mengeluh. Dia baru sadar namun tak berdaya, masih tertotok. Kini terkena timpukan ayahnya dan Hu Beng Kui terkesiap, tentu saja itu tak diduga.

Dan ketika pendekar ini mendorong mayat Bin kwi dan menyambar puteranya sambil berseru keras maka Mo-ong yang melihat Sam kong-kiam masih menancap di punggung Bin-kwi dan tidak diambil pendekar itu tiba-tiba tertawa bergelak dan menyambar pedang ini, tahu Hu-taihiap lebih memperhatikan anak laki-lakinya daripada Sam-kong-kiam.

“Ha ha, sekarang aku berhasil. Bu Ham. Lihat gurumu akan membunuh Hu taihiap....”

“Siiing!” Pedang menyambar, menusuk punggung Hu Beng Kui dan jago pedang itu terkejut, melempar tubuh bergulingan dan Mo-ong terbahak-bahak memegang Sam-kong-kiam, menyerang dan mengetarnya lagi dengan penuh beringas.

Hu-taihiap tersentak karena sekarang dia sadar bahwa pedang tadi tak dicabutnya, kini Mo-ong menerjang dan kakek iblis itu bagai harimau tumbuh sayap, menusuk dan membacok dan ketajaman pedang pusaka itu cukup membabatnya saja dalam jarak dua meter. Dan ketika dia harus berlompatan dan berkali kali bajunya robek tersambar angin pedang maka Bu Ham tiba-tiba menyeringai dan terkekeh menyambar Beng An.

“Bagus dan aku akan memaksa Hu taihiap untuk menyerahkan puterinya, suhu. Sekarang pemuda ini menjadi milikku untuk ditukar dengan adiknya!”

Hu taihiap pucat sekali. Dia melengking melihat kegilaan itu, guru dan murid mempermainkannya begitu hebat. Puteranya disandera sedang dirinya diserang pedang keramat di tangan kakek yang tidak waras pula. Mo-ong mengejar dan terus memburunya ke mana dia pergi. Hu Beng Kui mengelak sana sini dan berkali kali mengeluarkan keringat dingin. Sam-kong-kiam yang biasanya dipegang dan dielus-elus ternyata sekarang berbalik arah, menusuk dan memburunya kemanapun dia pergi.

Dan karena dia tahu ketajaman pedang ditangan lawannya itu dan tentu saja dia tak berani menangkis atau bersentuhan maka Hu Beng Kui melempar tubuh bergulingan ketika pedang mengejar, terus mengelak dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu dia menyesali kebodohan sendiri yang lupa memperhatikan pedang. Mo-ong semakin ganas dan memburunya dengan pedang di tangan. Dan ketika lawan menusuk dan mengejar dan Hu Beng Kui hanya memaki sambil bergulingan sana-sini maka dua tusukan mengenai tubuh si jago pedang ini ketika dia kewalahan.

“Bret-bret!”

Hu Beng Kui menggeram. Untung Mo-ong bukan seorang ahli pedang. Kakek iblis itu lebih biasa dengan kipasnya daripada senjata lain. Tapi karena seorang ahli silat tinggi macam Mo-ong tentu saja dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan senjata apa saja maka Hu Beng Kui menjadi korban dan pucat melihat ancaman bahaya itu. Bergulingan dan sudah dikejar lagi dan dia harus susah payah menyelamatkan diri. Betapapun pedang itu terlampau ampuh untuk dihadapi. Dengan tangan telanjang. Bahkan dengan senjatapun tak ada yang sanggup menandingi Sam-kong-kiam.

Maka ketika kembali dia dikejar dan jago pedang ini bingung untuk menghadapi lawan yang sedang gila-gilanya maka dua tusukan kembali mengenai tubuhnya ditambah sebuah bacokan yang membuat Hu Beng Kui melengking. Dia marah bukan main tapi tak tahu harus berbuat apa. Memang, jalan satu-satunya melarikan diri. Tapi apakah sebagai seorang pendekar dia akan melakukan itu? Tidak, Hu Beng Kui tak akan mau melakukannya, apalagi disitu ada puteranya, yang entah masih hidup atau tidak.

Maka ketika lawan menyerang dan mendesak dia hingga tersudut, akhirnya jago pedang yang pucat serta putus asa ini mengambil jalan nekat, menyambut Sam-kong-kiam yang saat itu menyambar dirinya, mengerahkan sinkang dan melindungi seluruh tangannya dari pundak sampai ke jari-jari. Inilah yang dapat dilakukan. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelesaikan pertempuran, meskipun mungkin dia korban.

Dan ketika pedang menyambar dan Hu Beng Kui menutup segala kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi dan menggereng bagai seekor harimau mendadak dia sudah menyambut bacokan Sam-kong-kiam yang menuju lehernya, dengan tangan kiri, miringkan kepala dan sedikit merendahkan tubuh menangkap pedang. Satu perbuatan nekat yang bisa dianggap gila. Sam-kong-kiam bukanlah pedang sembarang pedang, bisa putus jari-jarinya itu. Meskipun dia mengerahkan sinkang melindungi jari-jarinya, agar kebal. Dan begitu lawan membacok dan Hu Beng Kui menangkap tiba-tiba secepat kilat jago pedang ini menggerakkan tangan yang lain, tangan kanan menghantam muka lawannya yang sudah begitu dekat.

“Hei.... crak-dess!”

Mo-ong tak sempat berpikir banyak. Dia sudah menyerang, tak mungkin menarik diri. Maka begitu lawan menyambut pedangnya dengan tangan kiri sementara tangan kanan melepas pukulan dahsyat tiba-tiba jeritan ngeri terdengar di tempat itu dan kakek iblis ini terbanting. Sebuah potongan tangan mencelat, kelima jari Hu-taihiap putus terbabat dan pendekar itu pun mengeluh. Darah bercucuran dari lukanya. Hu Beng Kui pucat. Dan ketika jago pedang itu terhuyung dan nyeri menahan sakit mendadak Bu Ham yang terkejut melihat robohnya sang guru dan lepasnya Sam-kong-kiam tiba-tiba berkelebat, membentak menyambar pedang keramat itu dan membacok Hu Beng Kui.

Jago pedang ini terkesiap karena dia sudah terluka, pergelangan tangannya buntung dan tak mungkin dia menangkis. Maka ketika dia mengelak dan pedang nyaris mengenai pundaknya tiba-tiba Bu-kongcu kalap dan menerjangnya lagi, menusuk dan membacok dan Hu Beng Kui menghindar. Susah payah pendekar ini berkelit. Dan karena dia sudah terluka dan pedang itu mengamuk memburunya lagi tiba-tiba pendekar ini membentak mengayun tendangan dan bawah.

“Bocah siluman, susullah gurumu!”

Bu Ham terpental, memekik tapi berjungkir balik dan menyerang pendekar itu lagi, dikelit dan kembali sebuah tendangan membuat pemuda itu terlempar. Bu Ham penasaran karena dengan pedang pusaka tak dapat dia merobohkan pendekar itu, Hu Beng Kui betul-betul hebat, bukan main pendekar ini. Dan ketika lawan kembali berkelit dan selamat dari tusukan pedangnya tiba-tiba pemuda ini merogoh sakunya dan melempar granat ke arah Hu Beng Kui, disambut dengan seruan kaget dari Hu Beng Kui melompat tinggi di udara. Pucat sekali pendekar itu, lawan masih memiliki senjata peledak. Keparat!

Dan ketika Hu Beng Kui melayang turun dan asap tebal menghalangi pandangan tiba-tiba Bu Ham menubruk dan Hu Beng Kui mengeluh, terjadi benturan keras di dalam asap itu dan orang tak tahu apa yang terjadi, Bu Ham meraung dan Sam-kong-kiam mencelat, pemuda itu roboh terbanting dan dadanya hancur terkena tendangan. Kiranya Hu taihiap tadi sempat menggerakkan kakinya menendang pemuda itu. Bu Ham menjerit dan roboh, tewas. Dan ketika pemuda itu tak bergerak dan asap menipis menguak apa yang terjadi, ternyata Hu Beng Kui juga roboh terkapar dan lengannya yang buntung sudah semakin buntung sampai di pundak!

Apa yang terjadi? Kiranya gebrak penentuan. Hu-taihiap sudah tak sanggup menahan sakitnya. Darah yang mengucur di pergelangan tangannya itu tak sempat ditotok, mengakibatkan luka yang pedih dan pendekar ini menggigit bibir. Pertempuran demi pertempuran yang ia alami itu menguras tenaga, betapapun ia menghadapi lawan-lawan berat. Maka ketika Bu Ham menubruknya dan sebuah bacokan dilakukan pemuda itu menyambut dirinya yang melayang turun tiba-tiba Hu Beng Kui menggeram dan memasang lengannya yang buntung menangkis pedang di tangan lawan, memilih harus mengorbankan kaki atau lengannya dalam menyambut Sam-kong kiam. Dia tak memiliki jalan lain kecuali itu.

Hu Beng Kui bertindak cepat dalam waktu yang amat singkat. Dan ketika lengannya terbabat dan kembali darah muncrat dari luka yang lebih berat tiba-tiba kaki yang menyentuh tanah sudah bergerak menendang dada lawan, bergerak dari bawah ke atas dengan kecepatan kilat. Hu Beng Kui tak mau berayal-ayal lagi dalam keadaan yang berbahaya itu. Dan begitu lawan menjerit dan terlempar roboh maka Hu Beng Kui sendiri terhuyung dan jatuh terduduk, lengannya sekarang buntung sebatas pundak, potongan tangannya itu mencelat tak jauh dari situ, mengerikan. Dan tepat pendekar ini menyelesaikan pertempuran dengan merobohkan Bu-kongcu maka beberapa bayangan berkelebat ditempat itu, persis ketika pendekar ini jatuh terduduk.

“Ayah...!” Swat Lian dan Gwan Beng serta Hauw Kam tiba di situ. Mereka tadi mengejar pendekar ini, tertinggal dan Swat Lian sudah sadar dari pingsannya, dibawa suhengnya dan kini melihat bekas-bekas pertempuran itu. Mo-ong dan bin-kwi serta Bu Ham telah menjadi mayat, ayah atau guru mereka terduduk dengan pundak berlumuran darah. Swat Lian menjerit melihat buntungan lengan ayahnya. Dan ketika gadis itu melihat pula potongan jari ayahnya yang tergeletak di tanah tiba-tiba gadis ini terpekik dan terbang menyambar ayahnya itu.

“Ayah...!” Swat Lian mengguguk. Gadis ini menangis tersedu-sedu melihat keadaan ayahnya. Hu Beng Kui tersenyum dan tiba-tiba tertawa. Aneh sekali. Tapi begitu pendekar ini ditubruk puterinya dan Swat Lian memeluk ayahnya tiba-tiba pendekar itu terguling dan pingsan, roboh dalam dekapan puterinya dan Swat Lian menjerit lagi. Gadis itu mengira ayahnya tewas. Dan karena pukulan demi pukulan mengguncang batin gadis itu hingga Swat Lian tak kuat tiba-tiba gadis itupun roboh dan mencengkeram ayahnya dengan tubuh berlepotan darah pula.

“Ah, sumoi pingsan” Gwan Beng terkejut.

Beberapa bayangan berkelebat lagi dan muncullah Kim-mou-eng dan lain-lain. Bahkan Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun juga datang. Panglima tinggi besar itu terbelalak melihat bekas-bekas pertempuran yang begitu hebat. Tapi begitu dia sadar dan bersama rekannya mendekati Hu-taihiap maka panglima ini lalu menolong dan sibuk menghentikan tangis Swat Lian yang siuman kembali, mengguguk dan memanggil ayahnya dan segera suhengnya merenangkan, tak berhasil dan Swat Lian menjerit-jerit. Dia menyangka ayahnya tewas. Tapi ketika sebuah tangan lembut menyentuh pundak gadis itu dan Kim-mou-eng mengatakan ayahnya tak apa-apa mendadak gadis ini mengeluh dan menubruk Pendekar Rambut Emas itu, memeluk erat-erat, rnengguguk.

“Kim twako, bagaimana aku?”

“Hm, tenanglah. Ayahmu tak apa-apa. adik Lian. Dia hanya terluka tapi tak membahayakan jiwanya. Aku jamin itu, kami semua akan menolongnya dan kau tak perlu cemas.”

“Dan An-ko, mana An ko?”

“Dia disana....”

Dan begitu Kim-mou-eng menunjuk tiba-tiba Swat Lian menjerit kembali dan melepas pelukannya, melompat dan melihat kakaknya itu, Beng An ternyata luka parah, hanya berkat kekuatan fisiknya saja pemuda ini masih hidup, dia pun pingsan. Melihat keadaannya tak mungkin pemuda itu diselamatkan. Dan ketika Swat Lian terguncang-guncang di tubuh kakaknya dan berkali kali menangisi kakaknya itu mendadak Beng An sadar dan membuka mata.

“Oohh...!” Swat Lian mengguguk. “Kau bagaimana, An-ko? Bagaimana sampai begini? Siapa keparat yangmembuatmu begini?” Beng An tersenyum, merintih. “Siauw-bin-kwi, sumoi. Mana iblis itu?”

“Dia tewas, tapi akan kupenggal kepalanya agar kau puas!” Swat Lian beringas, melompat dan mau melakukan ancamannya.

Tapi Beng An yang merintih dan menggoyang lengan tiba-tiba menggapai. “Tidak.... tidak.... jangan, Lian-moi. Bagaimana ayah? Mana dia?”

“Ayah pingsan, koko. Kim-twako menolongnya dan suheng berdua ada di sini pula.” Swat Lian mengguguk.

“Tapi ayah tak apa-apa, bukan?”

“Tidak, kecuali.... buntung. Lengan kirinya buntung dan ayah cacad!”

“Ah....!” Beng An menggeliat, terkejut. “Ayah terluka, Lian-moi? Lengannya buntung?”

“Ya, sudahlah. Ayah telah ditolong yang lain, koko. Kau jangan banyak bergerak dan biar kutolong dirimu,”

Swat Lian menangis, merobek baju kakaknya dan membalut luka-luka yang ada. Tapi karena luka di bagian dada amat dalam dan untuk ini Swat Lian mengguguk tiba-tiba kakaknya mengerang dan merintih, muncul beberapa orang dan Hu Beng Kui ternyata sudah dipapah dua muridnya. Jago pedang itu mendekati Beng An. Dan ketika Swat Lian menangis dan Beng An mulai redup bayang-bayangnya mendadak pendekar ini berlutut dengar air mata bercucuran, sudah ditolong Hauw Kam dan lain-lain ketika tadi pingsan.

“An-ji (anak An), kau dapat mendengar suara ayahmu?”

Beng An tiba-tiba membuka kelopaknya, terkejut. “Kau di mana, yah....?”

“Aku di sini, Beng An. Lihatlah....!”

Semua orang tak dapat menahan keharuannya, melihat jago pedang itu mencium muka anaknya dan air mata yang deras mengalir begitu deras dari mata jago pedang ini. Hu Beng Kui sampai mengguguk memeluk anaknya, lupa pada penderitaan sendiri dengan lengan kirinya yang buntung itu, yang kini sudah dibalut dan jago pedang ini menggigit bibir kuat-kuat. Dan ketika Beng An tersenyum dan dapat melihat ayahnya itu tiba-tiba pemuda ini tertawa.

“Yah, kau menangis?”

“Ah!” Hu Beng Kui malah tersedu-sedu. “Aku menangis melihat penderitaanmu An-ji. Aku berdosa dan telah mencelakakan putraku sendiri!”

“Tapi ayah, seorang gagah pantang menangis. Tidak, jangan, yah. Aku tak mau menangisi semuanya ini. Kau telah menghendaki semuanya begitu. Aku anakmu. Aku harus tunduk dan patuh pada semua perintahmu...”

“Ah, aku salah. An-ji. Sekarang aku menyesal!” Hu Beng Kui semakin mengguguk. “Aku siap menukarkan jiwaku denganmu. Beng An. Biar kutemui dewa maut dan kunyatakan ini!”

“Tidak....” Beng An mengeluh. “Aku sudah ditakdirkan mati, yah.... aku, augh....” Beng An menggelinjang. “Aku mau pergi, yah... aku tak mau pergi diantar tangismu. Keluarga Hu adalah keluarga yang gagah....!”

“Ohh...” jago pedang itu semakin tak dapat menahan diri. “Aku menyesal, Beng An... aku menyesal. Biar kutemui dewa maut dan kutukar jiwamu dengan jiwaku!” jago pedang itu menggereng berteriak seperti orang gila agar dewa maut tidak mengambil jiwa anaknya, biarlah itu ditukar dengan jiwanya sendiri dan semua orang mengkirik. Geram dan teriakan jago pedang ini seperti orang tidak waras saja. Swat Lian tersedu-sedu. Dan ketika Hu Beng Kui memekik dan memukul-mukul kepalanya seperti orang gila maka Beng An yang kembali meredup pandang matanya itu merintih.

“Yah. jangan diiringi kepergianku dengan tangis. Diamlah!”

“Tidak!” Hu Beng Kui mengguncang anaknya. “Kau tak boleh mati, Beng An. Kau harus hidup!”

“Tapi aku tak kuat lagi, yah. Masihkah kau menyiksaku dengan kekerasan kepalamu ini?”

Hu Beng Kui tertegun, membanjir air matanya itu.

“Tidak, jangan, yah. Masih ada Lian-moi di sana.... masih ada anakmu yang lain di sana. Dialah mutiaramu. Kuharap kalian semua diam dan jangan iringi kepergianku dengan tangis.... aku tak dapat pergi....”

Hu Beng Kui menjambak rambutnya sendiri bagai orang gila. Dia melihat puteranya dalam sakratul maut, mau hilang tapi kembali lagi, begitu berulang-ulang hingga jago pedang ini menangis, tak dapat menahan diri dan nyaris dia menghantam kepalanya sendiri. Tapi ketika Beng Ah minta semuanya diam dan jago pedang itu tersedu-sedu maka pemuda ini tiba-tiba menjadi tenang, sedikit gemetar. “Yah, kau tentu mau menjaga Lian-moi baik-baik, bukan?”

“Tentu, Beng An!”

“Dan tidak memaksakan kehendak sendiri untuk menuruti kemauanmu?”

“Ah aku sadar, Beng An. Aku tak akan mengulang itu pada adikmu!”

“Terima kasin. Aku percaya padamu, yah. Sekarang aku ingin bertanya di mana Kim-twako.”

“Aku di sini,” Kim-mou-eng tiba-tiba muncul, menggenggam lengan pemuda itu, terharu. “Ada apa, saudara Beng An?”

“Aku, ah... aku ingin bertanya apakah kau sudah memiliki tambatan hati, Kim-twako? Maaf, kau jawab jujur saja pertanyaanku ini.... aku tak lama lagi di dunia....”

Kim-mou-eng tertegun. “Hm....” suaranya berat, segera maklum apa yang dituju. “Aku, hmm. aku telah memiliki apa yang kau maksud, Beng An. Aku telah memiliki tambatan hati.”

“Orangnya ada di sini atau tidak?”

“Ada di sini.” Kim-mou-eng melihat berkelebatnya bayangan sang sumoi.

Melihat Beng An tersenyum dan berkata, “Bagus”, pemuda itu tertawa girang.

Dan ketika Kim-mou-eng dilepasnya dan Swat Lian memerah ketika kebetulan bertemu pandang dengan Pendekar Rambut Emas tiba tiba pemuda itu mengerang, bertanya pada ayahnya, “Yah adakah Tiat-ciang Sian-li di sini? Mana dia? Aku ingin bertemu....”

Hu Beng Kui mengerutkan kening. Tiba-tiba keadaan menjadi begitu khusuk, apa yang diminta pemuda ini seolah harus dipenuhi. Dan ketika dia kebetulan melihat Salima berdiri di sana di belakang Bu ciangkun tiba-tiba pendekar ini bangkit berdiri meminta gadis itu menemui puteranya. agak canggung juga karena sebelumnya mereka bermusuhan, berat dan kelu rasanya lidah memenuhi panggilan itu. Tapi karena Beng An mengulang pertanyaannya dan memanggil namanya tiba-tiba Salima berkelebat dan berdiri di samping pemuda ini.

“Aku di sini!” suara ketus dan dingin ini agak tak menyenangkan juga.

Beng An tampak tertegun. Sikap dan kata-kata itu memang sudah dikenalnya. Tapi begitu orang mau datang dan berdiri kaku tiba-tiba Beng An tersenyum dan menyeringai, menggapai. “Sian-li, bagaimana harus kusebut dirimu? Memanggil julukanmu atau nona seperti dulu?”

“Aku boleh kau panggil dengan sebutan apa saja, Beng An. Katakan apa perlumu memanggil aku.”

“Ah, kau masih seperti dulu, galak dan ketus!” Beng An tertawa, tapi tiba-tiba mengaduh lagi menahan sakit, menggigil. “Nona, tak dapatkah kau bersikap lunak kepada orang yang tak lama lagi berada di dunia ini? Aku ingin menyatakan sesuatu, mendekatlah.... aku ingin meraba lenganmu....”

Salima terpaksa berlutut, digenggam lengannya, melihat Beng An berseri-seri.

“Terima kasih, kau mengabulkan permintaan orang yang mau mati, nona. Aku ingin menyatakan, hm.... rasa kagum dan sukaku kepadamu. Kau gadis hebat, aku..... hm....” Beng An menggigil. “Apakah aku harus berterus terang, nona? Bolehkah aku berterus terang?”

Salima mengangguk, betapapun mukanya mulai merah, melirik sang suheng, mengejek, “berterus teranglah!”

“Baik, aku ingin menyatakan isi hatiku, nona. Bahwa, hm... aku... aku mencintaimu!”

Salima terkejut. Lengannya tiba-tiba dicengkeram, Beng An mencengkeramnya dan pemuda itu memejamkan mata. Segenap kekuatan rupanya dilakukan pemuda ini, suaranya lantang dan nyaring. Aneh bahwa dalam keadaan sakratul maut begitu pemuda ini dapat memiliki suara yang jernih. Kejernihannya merasuk menyentuh setiap pendengarnya, tentu saja semua orang tak dapat menahan perasaan dan diguncang oleh keharuan ini.

Salima pun tiba-tiba lumer, tanpa terasa dia terisak dan teringatlah segala sakit hatinya terhadap sang suheng. Suhengnya itu berkali-kali mempermainkannya dan semacam dendam tiba-tiba muncul di hati. Salima merasa suhengnya tak jujur, dia merasa disakiti berkali-kali dan Salima tiba-tiba mengguguk.

Beng An terkejut dan heran. Dia tak tahu kenapa gadis ini malah menangis. Dan ketika pemuda itu mengerutkan kening dan bertanya kenapa Salima menangis maka pemuda ini mengendorkan cengkeramannya dan menggeliat. “Nona, salahkah pernyataanku tadi? Tersinggungkah kau dengan ucapanku?”

“Tidak,” Salima balas mencengkeram pemuda itu, tersedu. “Aku.... aku tak marah. Beng An. Hanya, ah...!” Salima tak melanjutkan kata-katanya, perasaan serasa diremas dan dia tiba-tiba menubruk, memeluk Beng An, menangis tersedu-sedu di dada pemuda itu. Tentu saja Beng An terkejut, juga girang. Adegan ini sengaja dilakukan Salima untuk membalas sakit hatinya pada sang suheng.

Kim-mou-eng tersentak dan mengerutkan kening melihat perbuatan sumoinya itu. Dan ketika Beng An menggigil dan bertanya apakah cintanya diterima mendadak Salima mengangguk dan berkata lantang, “Ya, aku menerima cintamu!”

Beng An menggeliat, merintih. “Kau tak bohong?”

“Aku tak bohong, Beng An. Aku menerima cintamu!”

“Sungguh?” Beng An seakan tak percaya. “Kalau begitu, ah.... coba cium aku, moi-moi (dinda).... cium aku dua kali....!”

Dan, memenuhi pemintaan itu tiba-tiba Salima mencium Beng An, dua kali di pipi kiri dan kanan dan sengaja menciumnya begitu mesra. Entah kenapa tiba-tiba Salima ingin berontak terhadap perlakuan tidak adil suhengnya kepadanya, begitu menurut yang dia rasakan. Dan ketika ciuman itu mendarat dan dua kali Beng An menerima ciuman mesra tiba-tiba pemuda ini tertawa bergelak dan berseru,

“Ayah, aku puas.... ohh, aku puas....!” Dan Beng An yang balas memeluk dan mencium pipi Salima tiba-tiba mengerang dan mengejang dua kali, mau menangkap bibir gadis itu tapi tiba-tiba mengaduh. Beng An tak kuat lagi diguncang kebahagiaan di saat-saat terakhir hidupnya. Dan begitu pemuda itu mengeluh dan terguling roboh tiba-tiba dia menghembuskan napasnya yang penghabisan dan Swat Lian serta ayahnya memekik.

“Beng An... !”

“An-ko.....!'

Beng An telah tiada. Hu Beng Kui tertegun melihat putranya tewas. Beng An meninggalkan dunia dengan senyum yang begitu bahagia. Pemuda itu seolah tampak masih hidup saja dengan senyumnya yang mengembang itu, tapi begitu Swat Lian menubruk dan melihat jantung kakaknya telah herhenti maka gadis ini mengguguk dan tersedu-sedu di dada kakaknya, menangis dan menjerit dan semua orang terharu.

Rata-rata terobek oleh keharuan besar ini. Kecuali Kim-mou-eng, yang tertegun dan merah mukanya melihat sikap sumoinya tadi. Ciuman yang diberikan kepada Beng An dan Pendekar Rambut Emas ini terpukul. Entah kenapa dia merasa begitu terguncang, apa yang diperlihatkan sumoinya tadi betul-betul di luar dugaan. Dan ketika Swat Lian menangis dan semua orang merasa sedih oleh kepergian Beng An maka Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat dan lenyap dari tempat itu, tak menghiraukan Sam-kong-kiam dan juga orang-orang lain yang ada di situ. Dia terguncang dan terpukul oleh sikap sumoinya.

Dan begitu pendekar ini berkelebat dan Beng An dirubung keluarganya maka di lain tempat jago kita ini menangis sendirian sambil mengepal-ngepal tinju, tak tahu bayangan sumoinya menyusul dan sebuah ejekan muncul di bibir yang manis itu.

Hu Beng Kui dan lain-lain sibuk mengurusi mayat Beng An. Dan ketika semuanya kembali dan Hu-ciangkun mau mengambil Sam-kong-kiam tapi cepat direbut Hu Beng Kui maka pendekar itu berkata bahwa pedang masih menjadi miliknya Pibu belum berakhir karena Pendekar Rambat Emas masih belum menyelesaikan urusannya. Hu Beng Kui telah tahu bahwa istana mempergunakan Kim-mou-eng sebagai wakil, pendekar itu harus datang dan menyelesaikan semuanya dengan tuntas. Bu-ciangkun dan Cu ciangkun tertegun.

Tapi karena ini ada benarnya dan mereka bingung melihat Kim-mou-eng tak ada di situ maka Bu ciangkun mengangguk dan berkata, “Baiklah, ini saat berkabung bagimu, Hu-taihiap. Biarlah seminggu lagi kucari Kim-mou-eng dan kami datang ke rumahmu. Kami juga ingin merebut Sam-kong-kiam secara jantan!”

Begitulah, urusan di tempat itu selesai, untuk sementara, karena tentu saja pertandingan antara Hu Beng Kui dan Kim-mou-eng harus dilanjutkan. Pendekar Rambut Emas itu telah mengikuti pibu. Hu taihiap menerima dan pendekar itu harus datang ke rumahnya. Mo-ong dan kawan-kawannya semua tewas dalam pertempuran hebat ini, tak ada yang sisa. Dan ketika Hu Beng Kui membawa mayat puteranya dan di sana tujuh hari tujuh malam pendekar itu berkabung untuk kematian puteranya maka di lain tempat, di luar kota Ce-bu Pendekar Rambut Emas duduk termenung-menung dengan muka pucat dan kurus.

* * * * * * * *

“Taihiap, ah, apa ini? Ke mana saja kau pergi? Susah payah kami mencarimu, tak tahunya kau melamun di sini!” Bu-ciangkun berkelebat girang, menemukan pendekar itu dan Kim-mou-eng acuh tak acuh. Dia sinis saja mendengar seruan panglima tinggi besar itu.

Dan ketika Cu-ciang-kun juga muncul dan menegur pendekar itu dengan suara gembira maka Cu Hak langsung berkata, “Taihiap, pertolonganmu kepada kami belum habis. Hu-taihiap tak mau menyerahkan pedang. Kau diminta ke sana dan melanjutkan pertandingan!”

“Aku malas,” Pendekar Rambut Emas enak saja menjawab. “Aku tak bergairah, ciangkun. Lebih baik kalian saja ke sana atau pulang kembali ke istana.”

“Ah, mana bisa, taihiap? Ini berarti kegagalan, sri baginda tentu kecewa!”

“Hm. memangnya kaisar harus selalu hidup dalam kesenangan? Dia bukan seperti kita yang dapat susah dan berduka?”

Cu ciangkun tertegun. “Taihiap, ada apa ini? Kenapa kau marah-marah dan tidak senang?”

“Sudahlah, aku tak suka kalian mengganggu, ciangkun. Pulang dan katakan saja pada sri baginda bahwa tugasku gagal.”

“Tapi kau belum bertanding dengan Hu taihiap! Kau ditunggu di sana!”

“Aku mundur, aku menyatakan kalah!”

“Apa?” tiga panglima itu terkejut. “Kau mundur sebelum bertanding? Ha-ha, kau melucu, taihiap. Aku tak percaya dan tak mungkin itu terjadi. Aku baru saja menemui sumoimu, kau katanya harus datang dan menghadapi Hu-taihiap!”

Kim-mou-eng tiba-tiba bangkit berdiri, mata itu sekonyong-konyong hidup. “Mana dia?”

“Siapa yang kau maksud?”

“Sumoiku itu. siapa lagi?”

“Hm....!” Cu-ciangkun mengangguk-angguk, tersenyum, tiba-tiba melirik dua temannya yang lain dan panglima itu tertawa. Tentu saja dia mengerti kemurungan Pendekar Rambut Emas ini, tahu apa yang terjadi dan mereka pun diam-diam heran akan sikap Salima terhadap mendiang putera Hu-taihiap itu.

Sebenarnya mereka kasak-kusuk sendiri dan membicarakan keganjilan gadis Tar-tar itu, kenapa Salima menyakiti perasaan suhengnya dengan menerima cinta Beng An, meskipun cinta itu tak berumur panjang karena Beng An tewas, mereka telah menemui gadis itu dan mendengar alasannya. Bahwa Salima ingin membalas dendam pada suhengnya yang dianggap mempermainkannya, bahwa semua orang sebenarnya tahu bahwa Kim-mou-eng dan sumoinya ini sebenarnya saling mencinta, maka adalah aneh kalau tiba-tiba Salima menerima cinta Beng An.

Dan ketika mereka semua mendengar dan sebagai orang-orang tua tentu saja mereka maklum bagaimana pahitnya disakiti cinta maka hari itu kebetulan mereka menemukan Pendekar Rambut Emas ini dan melihat reaksinya atas perbuatan Salima, diam-diam saling memberi tanda dan Cu Hak yang maju, dua temannya diminta diam dan panglima inilah yang angkat bicara.

Dan ketika Cu Hak melihat betapa Kim-mou-eng tampak bersemangat begitu dia menyebut Salima tiba-tiba panglima, ini tertawa tersenyum lebar. “Taihiap, agaknya beberapa hari ini kau ingin menemui sumoimu, tak berhasil dan kini duduk di sini. Benarkah?”

“Benar.”

“Dan kau mau kami bantu menemukan sumoimu itu?”

Mata yang bersinar sinar itu semakin hidup. “Tentu saja!” jawaban ini menggembirakan hati. “Di mana sumoiku itu, ciangkun? Aku telah berputar-putar dan memang tak dapat menemukannya!”

“Kau yang meninggalkannya dulu, masa sumoimu sudi dilihat. Sudahlah, sumoimu pun sebenarnya marah padamu, taihiap. Ada hal hal yang bersifat pribadi yang memang harus kau selesaikan dengan sumoimu itu. Aku telah berbicara dengannya, dan aku tak dapat berbuat apa-apa. Taihiap memang harus menyelesaikan persoalan itu sendiri dan kami akan memberi tahu, asal taihiap membantu kami dalam soal Sam-kong-kiam itu.”

“Beri tahulah, aku berjanji!” Kim-mou-eng tak sabar. “Aku memang ingin menuntut pertanggung-jawaban sumoiku itu, ciangkun. Aku penasaran dan terluka oleh sikapnya!”

“Kami tahu, dan silahkan taihiap temui dia,” Cu-ciangkun lalu memberi tahu di mana Salima, tersenyum dan sudah berkata agar pendekar itu berhati-hati. Masalahnya cukup rawan dan peka.

Kim-mou-eng mengangguk dan tampak mengiyakan saja. Dan ketika panglima itu selesai bicara dan Kim-mou-eng tak sabar tiba-tiba pendekar itu berkelebat lenyap mengucap terima kasih.

“Eh, nanti dulu, taihiap. Kapan kau ke Hu Beng Kui?” Cu-ciangkun berteriak, bertanya dan Kim-mou-eng menjawab bahwa saat itu juga dia akan ke sana, setelah urusannya dengan sang sumoi selesai.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas lenyap dan Cu-ciangkun tertegun maka Kim-mou-eng sendiri sudah memasuki Ce-bu dan menuju ke sudut kota di mana berdiri sebuah kelenteng tua. Langsung masuk dan mencari sumoinya di sana. Kiranya sumoinya ada di sana dan ia berdebar. Kelenteng itu kosong dan terus dia masuk, mencari sana sini dan mendengar orang bercakap-cakap di belakang.

Kim-mou-eng berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di sini. Dan ketika ia melihat siapa yang bicara maka pendekar itu tertegun melihat sumoinya berhadapan dengan seorang nikouw tua, mendengar percakapan terakhir, sumoinya memegang sebuah gunting.

“Tidak, tidak baik, nona. Menjadi nikouw karena patah hati bukanlah perbuatan benar. Kalau kau masih mencintai suhengmu itu dan semata sakit hati kepadanya karena merasa dipermainkan sebaiknya masalah itu ditanyakan baik-baik, jangan begini dan aku tak dapat menerima. Tuhan tak akan mengabulkan permintaanmu itu!”

“Tapi aku tak tahan, suthai. Aku merasa ingin bunuh diri...!”

“Ah, tak baik, nona. Perbuatanmu pun menerima cintanya Hu-kongcu (tuan muda Hu) sudah membuatmu berdosa. Kau menipu orang yang mau mati. Kau harus menebus ini dengan jalan yang benar Tidak berpura-pura!”

“Tapi....”

“Sudahlah, kau masih mencintai suheng-mu, bukan? Menjadi nikouw harus bebas dari semua masalah begini, nona. Kalau hatimu masih lekat kepada suhengmu itu maka pinni (aku) tak dapat menerima. Kau tak berbakat menjadi nikouw!”

Salima menangis. Tiba-tiba gadis itu menubruk nikouw tua ini dan tersedu-sedu, gunting di tangannya diambil alih. Dia tak tahu kedatangan Kim-mou-eng karena seluruh pikirannya tercurah pada persoalan pribadi, juga barangkali tak mengira bahwa suhengnya akan menemukannya di situ.

Maka begitu percakapan ini selesai dan Kim-mou-eng tak tahan tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu berseru menangkap sumoinya. “Sumoi....!”

Salima terkejut. Kedatangan dan seruan suhengnya ini membuat gadis itu terkesiap, lengannya dipegang dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan suhengnya itu. Suhengnya gemetar, berkaca-kaca, menggigil. Tapi begitu sadar dan kaget serta marah tiba-tiba Salima melengking dan mengebas lengannya. “Jangan sentuh aku!”

Kim-mou-eng terhuyung. Nikouw tua yang terkejut serta mengerutkan kening itu terdorong. Lalu mengucap puji puji dan merangkapkan kedua tangannya. Salima beringas, keadaan dinilai tidak baik. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluh dan Salima siap menyerang tiba-tiba nikouw ini maju menghalangi dengan sapaan lembut.

“Kau Kim-mou-eng, taihiap? Suheng nona ini? Ah, pinni telah mendengar tentang kalian. Tak perlu menyerang dan tekan semua kemarahan di hati. Kalau ingin bicara silahkan bicara baik-baik, pinni tak suka keributan. Ini rumah pinni. Biarlah pinni siapkan minuman dingin untuk kalian dan kalian bicaralah,” nikouw itu membungkuk, memberi isyarat halus dan segera mundur memberi kesempatan pada dua muda mudi itu.

Salima sadar dan menekan kemarahannya, betapapun dia bukan di rumah sendiri. Dan ketika suhengnya menggigil dan matanya sendu gadis ini membentak tak dapat menahan kemarahannya.

“Kau mau apa? Ada apa datang ke sini?”

Kim-mou-eng memegang lengan sumoinya, nekat. “Aku datang untuk menemuimu, sumoi. Kenapa kau menyembunyikan diri dan melakukan semuanya itu?”

“Apa yang kulakukan? Apa perdulimu?”

“Ah, tentu saja aku perduli. Sumoi. Aku penasaran. Aku ingin bertanya kenapa kau menerima cinta Hu-kongcu itu dan meninggalkan aku?”

“Hm!” Salima mengibaskan lengannya kembali, matanya dingin menusuk tajam “Itu bukan urusanmu, suheng. Itu urusanku pribadi!”

“Tidak, urusanmu berarti urusanku juga, sumoi. Kau mengkhianati cinta kita dan berpaling. Aku tak mengerti kenapa kau mencium pemuda itu segala dan berani berkata cinta!” Kim-mou-eng panas, lepas kendali dan dia geram memandang sumoinya ini.

Memang teringat adegan itu hatinya terbakar bukan main. Coba, sumoinya mencium mesra pemuda lain di depan hidungnya, bahkan mendekap dan peluk-peluk segala. Siapa tidak panas? Dan Kim-mou-eng yang marah menegur sumoinya itu tiba-tiba disambut ketawa aneh dan Salima geli, menjengek.

“Suheng, di antara kita barangkali apa yang kulakukan itu tidak seberapa. Lihat dirimu, tengok dirimu. Berapa kali kau melakukan adegan lebih seram dengan Cao Cun atau wanita lain? Berapa kali kau kumpul intim dengan Hu-siocia yang cantik manis itu? Hm, jangan buru-buru menuduh aku berpaling, suheng. Justeru kaulah yang berkhianat dan tidak memperdulikan aku. Kau mempermainkan aku, kau menyakiti aku. Jadi kalau aku menerima cinta pemuda lain dan menciumnya segala itu adalah hakku. Kau tak usah marah!”

Kim-mou-eng menggigil. “Tapi kau menipu, sumoi. Kau berpura-pura!”

“Apa maksudmu?” Salima terkejut.

“Hm....!” Kim-mou-eng menyambar lagi lengan sumoinya, mencengkeramnya erat. tak mau melepasnya. “Kau masih mencintaiku, sumoi. Dan akupun mencintaimu. Kalau kau menyatakan semua tuduhan itu kepadaku maka kau adalah keliru. Kau salah. Aku tak pernah mempermainkanmu dan sama sekali tak ada niat mempermainkanmu. Aku telah mendengar apa yang dibicarakan nikouw tadi dan cintamu terhadap Beng An adalah pura pura. Bohong!”

Salima gemetar, terpekik, meronta dan mau melepaskan diri tapi suhengnya tak mau melepaskan gadis itu. Kim-mou-eng merah padam dan berkata lagi bahwa ikalan batin di antara mereka tak mungkin putus, hubungan cinta di antara mereka tetap terpatri dan Salima mengeluh. Dan ketika Kim-mou-eng memberi tahu bahwa percakapan sumoinya dengan nikouw tadi telah didengar semua dan kenyataan gadis itu hendak mencukur rambut sebagai tanda patah hati maka Kim-mou-eng menyambar dan memeluk sumoinya ini, menggigil,

“Sumoi, tuduhan apalagi yang hendak kau berikan kepadaku? Perkiraan apalagi yang mengotori benakmu? Kau boleh tanya asal mula hubunganku dengan Cao Cun, sumoi. Tanyalah Wang taijin itu kenapa dia mula-mula hendak menjodohkan aku dengan puterinya tapi kutolak. Kenapa aku masih terikat dengan Cao Cun karena semata tanggung jawabku yang ingin menyelamatkan gadis itu dari kekejaman Mao-taijin. Tapi semuanya gagal, Cao Cun akhirnya menjadi isteri seorang bangsa liar dan aku dituduh sana-sini, difitnah sana-sini dan Cao Cun sendiri tak kurang-kurangnya menyangka aku jelek. Tak ku sangkal bahwa Cao Cun mencintaiku, tapi aku tak dapat menerimanya karena aku mencintaimu, sumoi. Dan aku berkali-kali meninggalkan gadis itu semata teringat dirimu. Sekarang kau bicara yang tidak-tidak, lalu penjelasan apalagi yang harus kuterangkan?”

Pendekar Rambut Emas menceritakan semuanya, mulai dari perkenalannya dengan Cao Cun sampai berpisahnya dia dengan puteri Wang taijin itu, diambilnya Cao Cun oleh pemimpin bangsa liar di utara sana dan betapa Cao Cun menderita. Sesungguhnya dia tak dapat menerima putri Wang taijin itu karena dia mencinta sumoinya. Salima terbelalak dan masih ragu, ada terbayang ketidakpercayaan dan Kim-mou-eng meneruskan, bahwa semua hubungannya dengan Cao Cun dulu semata hubungan biasa.

Cao Cun memang mencintanya dan terpaksa dia harus bersikap luwes, berkali-kali gadis itu hendak bunuh diri dan dia menyelamatkan, satu di antaranya adalah terpaksa berbohong dengan mengaku cinta pula kepada gadis itu, hampir mirip dengan apa yang telah dilakukan sumoinya terhadap Beng An, meskipun dasar dari dua perbuatan itu berbeda. Salima melakukan itu karena dendam, sedang Kim-mou-eng tidak. Dan ketika satu demi satu dia menceritakan segala keruwetannya dan betapa dia mencinta sumoinya maka Salima mengguguk namun masih menuding Swat Lian, putri Hu taihiap itu.

“Baiklah, tapi bagaimana sekarang dengan puteri Hu-taihiap itu, suheng? Bukankah kau mengaku cinta di depan kakaknya?”

“Maksudmu?”

“Kau menyatakan telah mempunyai tambatan hati, suheng. Dan yang kau maksud tentulah puteri Hu-taihiap itu, karena gadis itu memang ada di dekatmu. Nah, apa keteranganmu untuk ini?”

“Salah, kau lagi-lagi keliru, sumoi. Dalam pengakuanku terhadap Beng An sama sekali tak kusebut nama gadis yang kucinta. Beng An salah paham kalau mengira gadis yang kumaksud adalah adiknya, karena kau pun saat itu ada di sana. Dan karena pemuda itu keburu menanyakah dirimu dan gembira mengira aku mencintai adiknya maka aku diam saja ketika dia tak mendesak.”

“Jadi kau berbohong?”

“Aku tidak berbohong, sumoi. Hanya aku tidak menyatakan terus terang siapa gadis yang kucinta karena pemuda itu memang tidak mendesak. Nah, sekarang kuulangi kepadamu bahwa aku tetap mencintaimu. Hubunganku dengan Hu-siocia itu biasa-biasa saja karena aku sendiri memang tidak ada hati kepadanya.”

“Kalau dia yang ada hati kepadamu?”

“Aku tak mungkin menerimanya, sumoi. Aku telah memilih dirimu dan ikatan kita pun cukup lama. Aku berani sumpah hanya kaulah yang kucintai, bukan Cao Cun atau Swat Lian. Apalagi Cao Cun telah menjadi isteri orang lain dan tak mungkin aku bersikap gila dengan mencintai wanita yang telah menjadi ibu!”

“Ooh....!”

Kim-mou-eng terkejut. Sumoinya mengeluarkan keluhan itu berbareng dengan sebuah keluhan lain di samping mereka. Sesosok bayangan berkelebat dan Kim-mou-eng kaget. Cepat dia melepaskan sumoinya dan menengok. Salima juga begitu dan begitu mereka melihat siapa bayangan itu, Kim-mou-eng tertegun berseru tertahan, “Lian-moi....!”

Salima tersentak. Lagi-lagi dalam kelengahan diri sendiri yang terlampau terlibat dalam urusan pribadi mereka sama-sama tak mendengar gerakan orang lain. Swat Lian, puteri Hu Beng Kui itu mengintai. Apa yang dikata Kim-mou-eng dalam ucapannya yang terakhir tadi membuat Swat Lian terhuyung, nyaris menjerit dan gadis ini limbung. Baru sekarang dia tahu bahwa “Kim siucai” yang dicintainya itu adalah Pendekar Rambut Emas, pemuda yang telah memiliki pilihan hati sendiri dan orang yang dipilih itu bukan lain adalah sumoinya sendiri, Tiat-ciang Sian-li Salima.

Dan karena Swat Lian tak tahan dan cerita demi cerita yang dibeberkan Kim-mou-eng itu membuat kesadarannya akan orang yang ia cintai mendadak gadis ini mengeluh dan berkelebat keluar. Tak dapat menahan kehancurannya dan kebetulan juga keluhannya berbareng dengan keluhan Salima. Dan karena keluhan Salima adalah keluhan bahagia sementara keluhan puteri Hu taihiap ini adalah keluhan hati yang hancur maka Swat Lian tak dapat menyembunyikan tangisnya dan tersedu meninggalkan kelenteng itu, mau dikejar tapi Kim-mou-eng tertegun. Dia teringat sumoinya di situ, Salima membiarkan dan seolah menguji suhengnya ini apakah kata-katanya benar atau tidak. Dan karena Kim-mou-eng tercekat hatinya dan tentu saja dia tak berani mengejar akhirnya pendekar ini menggigil menangkap sumoinya.

“Nah, kau lihat, sumoi? Lagi-lagi seorang menjadi korban!”

Salima percaya. Sekarang dia pun tertegun seperti suhengnya itu, memandang kepergian Swat Lian dan terisak. Betapapun, dia dapat merasakan kehancuran hati puteri Hu Beng Kui itu dan mengangguk. Suhengnya benar, dia tetap merupakan pilihan suhengnya. Dan ketika suhengnya memeluk dan gadis ini menangis tiba-tiba Salima menubruk suhengnya meminta maaf. “Suheng, maafkan aku. Kiranya aku terlampau berprasangka!”

Kim-mou-eng menggigit bibir. Dalam saat seperti itu tak ada lagi kata-kata yang indah selain pandang mata dan sikap yang lembut, cepat membelai sumoinya ini dan mengusap rambutnya. Dan ketika wajah itu diungkap dan Kim-mou-eng menundukkan muka tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu telah mencium sumoinya. “Sumoi....!”

“Suheng.....!”

Dua tubuh itu lekat menjadi satu. Bayangan Swat Lian sudah mereka lupakan dengan cepat. Kebahagiaan itu telah menjadi milik mereka dan Salima mengeluh. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya dia memihta maaf pada suhengnya itu, menyambut dan segera mencium suhengnya dengan sedu-sedan yang tertahan di kerongkongan. Dan ketika mereka lupa diri dan saling melumat serta menumpahkan kasih sayang tiba-tiba seruan lembut menyadarkan mereka,

“Kim-taihiap, minuman dingin telah tersedia untuk kalian....!”

Kim-mou-eng cepat melepaskan sumoinya. Bibir yang basah bekas mencium gugup dibersihkan, Kim-mou-eng merah padam dan melihat nikouw tua itu telah berada di situ. Tentu saja dia kikuk. Tapi Salima yang bahagia serta melangkah maju dengan pipi kemerah-merahan sudah menyambut nikouw ini dan memeluk penuh haru.

“Suthai, aku telah menemukan kebahagiaan ku. Kau benar, maafkan semua kesesatanku dan biarlah kuturuti semua nasihatmu demi kebaikanku juga. Aku sadar,” Dan menoleh memandang suhengnya Salima memperkenalkan, “suheng. Inilah Ui Sim Nikouw. Beberapa hari ini aku tinggal di sini dan dialah yang selalu menasihati aku.”

Kim-mou-eng menjura. “Terima kasih, aku gembira kau telah menolong sumoiku, suthai. Semoga Tuhan membalas budimu.”

“Ah, kenapa kalian ini. Justeru pinni yang merasa bahagia kalian dapat rujuk kembali. Kim-taihiap. Pinni tahu bahwa sumoimu masih mencintaimu!”

“Ya, dan aku hampir putus asa, suthai. Untung Cu-ciangkun yang memberitahukan kepada ku di mana sumoiku yang nakal ini. Kalau tidak tentu aku tak dapat menemukannya dan barang kali dia sudah menjadi nikouw!”

“Ah....!” dan Ui Sim Nikouw yang tertawa memandang Salima lalu memberikan minuman di tangannya itu, geli dan menyuruh mereka minum. Salima menunduk dengan muka merah, malu dia teringat perbuatannya itu. Dan ketika mereka tertawa dan Ui Sim Nikouw memberi banyak nasihat kepada mereka akhirnya nikouw ini menyudahi dengan kata-kata manis. “Sudahlah, sekarang semuanya berakhir, Kim-taihiap. Aku merasa gembira kalian dapat bersatu lagi. Hanya sebelum kalian pergi barangkali pinni perlu mengingatkan lagi agar kalian bersikap lebih terbuka satu sama lain. Tetap jujur satu sama lain dan tidak gampang menuruti panasnya hati. Bukankah kalian mendambakan kebahagiaan?”

“Ya, terima kasih, suthai. Kami akan selalu menperhatikan ini...”

“Dan kapan kalian meresmikan pernikahan?”

Kim-mou-eng melirik sumoinya. “Terserah dia....” katanya menggoda.

“Ih, kenapa aku, suheng? Kau laki-laki, kaulah yang menentukan!” Salima semburat.

“Sudahlah, pinni harap kalian secepatnya menikah, taihiap. Dan pinni menyertai kalian dalam doa. Sampaikan salam pinni untuk guru kalian manusia dewa Bu-beng Sian-su itu. Sekarang kalian akan segera kembali ke suku bangsa kalian?”

“Ya, tapi setelah ke rumah Hu-taihiap dulu. suthai. Aku akan ke sana mengambil Sam-kong-kiam”

Kening nikouw itu tiba-tiba berkerut. “Belum selesai?”

“Belum.”

“Baiklah, hati-hatilah, taihiap. Aku tak mau bicara tentang ini dan selamat menemukan jalan kebahagiaan!” nikouw itu merangkapkan tangan, tahu Pendekar Rambut Emas tak akan mungkin berlama-lama lagi di situ dengan kekasihnya. Urusan mereka telah beres.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas juga menjura dan Salima memeluk nikouw ini maka Salima berbisik akan mengundang nikouw itu bila saat pernikahan tiba, disambut senyum dan anggukan nikouw ini dan Salima mengusap dua titik air matanya. Perjumpaan dengan Ui Sim Nikouw memberikan suatu kesan yang dalam, tak mungkin gadis itu melupakannya. Dan begitu mereka minta diri dan kembali mengucap terima kasih maka Kim-mou-eng berkelebat menyambar sumoinya, meninggalkan tempat itu, dipandang penuh haru dan mata berkaca-kaca oleh nikouw tua ini. Ui Sim Nikouw sendiri menitikkan dua titik air matanya yang jatuh tanpa terasa. Tapi begitu keduanya lenyap dan nikouw ini membalikkan tubuh maka dia memasuki kamarnya dan berkemak kemik membaca doa.

* * * * * * * *

“Taihiap, Hu Beng Kui telah menunggumu. Ah, ini sumoimu telah datang? Bagus, kami gembira sekali. Mari, taihiap, kita masuk dan temui si jago pedang itu!” Cu-ciangkun menyambut, berseru girang dan melihat Kim-mou-eng telah berhasil membawa sumoinya.

Dua orang muda itu tampak bahagia, Salima tersenyum-senyum. Cu ciangkun cepat menangkap bahwa persoalan di antara suheng dan sumoi itu telah selesai, tentu saja panglima ini gembira. Dan ketika bersama dua temannya yang lain dia memasuki rumah Hu taihiap dan disambut Gwan Beng dan Hauw Kam ternyata kedatangan mereka memang telah dinanti pendekar tua itu.

“Silahkan, suhu telah menanti kalian. Harap Kim-taihiap masuk dan mari kuantar.”

Kim-mou-eng dan teman-temannya diantar. Bersama dua murid tertua Hu Beng Kui yang masih ada mereka memasuki rumah besar itu, Kim-mou-eng berdebar dan melirik sana-sini, mencari Swat Lian namun tak ketemu. Agak tenang juga dia. Dan ketika mereka terus ke dalam dan akhirnya disuruh menunggu di sebuah ruangan yang besar dan luas maka di sini rombongan itu duduk dan Kauw Kam serta suhengnya melapor ke belakang, tak lama kemudian keluar lagi dan Hu Beng Kui muncul. Jago pedang ini muram, lengan kirinya yang buntung masih tak mengurangi kewibawaannya yang besar, matanya tajam berkilat. Dan ketika Kim-mou-eng berdiri dan semua orang memberi hormat maka jago pedang iiu bersinar-sinar memandang Kim-mou-eng, Sam-kong-kiam berada di belakang punggung dan tampak garang.

“Kalian menepati janji? Bagus, aku tak sabar menunggu kedatanganmu, Kim-mou-eng. Dan kebetulan sekali kau datang bersama sumoimu!”

Kim-mou-eng berdebar. “Maaf, aku diminta orang-orang ini untuk mengambil Sam-kong-kiam, Hu-taihiap. Sebenarnya alangkah baiknya apabila ini kulakukan tanpa bertempur!”

“Tak mungkin, kau telah memasuki pibu. Dan aku memperoleh pedang ini juga dengan keringat. Mari, kita ke belakang, Kim-mou-eng. Aku ingin menyelesaikan urusan ini denganmu” Hu-taihiap melompat, mengajak tamunya ke belakang.

Kim-mou-eng merasa heran kepada Swat Lian masih juga tak kelihatan, biasanya gadis itu menyertai ayahnya, melirik sumoinya dan kebetulan sumoinya pun melirik dirinya. Agaknya sejak tadi Salima memperhatikan suhengnya ini secara diam-diam jantung Kim-mou-eng berdetak dan mereka sudah ada di halaman belakang, luas dan lega. Dan ketika Hu Beng Kui tegak berdiri gagah dan menanti lawan utamanya maka semua orang mundur mempersilahkan Pendekar Rambut Emas maju, diam-diam dicekam ketegangan besar yang amat menggelisahkan.

“Hu-taihiap, aku datang sekedar memenuhi janjiku belaka. Maaf kalau kiranya aku bersikap kasar.”

“Hm, tak ada permusuhan pribadi diantara kita, Kim-mou-eng. Tak perlu sungkan dan sebaiknya bersikap wajar saja. Beruntung dirimu bahwa puteriku melarang aku mempergunakan Sam-kong-kiam. Mari mulai dan tak perlu bicara yang lalu-lalu lagi....”

“Sraat!” Hu Beng Kui mencabut pedangnya, Sam-kong-kiam itu, bukan untuk dipergunakan melainkan dilempar kepada muridnya, Gwat Beng, cepat menangkap dan menjatuhkan diri berlutut karena wibawa pedang begitu besar. Sinar berkilauan memancar begitu kuat dari tubuh pedang ini. Dan ketika Hu Beng Kui melepas sarungnya pula dan menyuruh muridnya menyimpan pedang itu maka pendekar ini meminta sebatang pedang biasa kepada muridnya itu, diberi dan Hu Beng Kui sudah memasang kuda-kuda di depan lawannya.

Pendekar Rambut Emas tertegun melihat semuanya itu. Dan tetap tak melihat dimana Swat Lian, tiba-tiba Kim-mou-eng tak tahan bertanya, “Maaf, mana puterimu, Hu-taihiap? Kenapa tak menyertaimu?”

“Sudah kubilang tak perlu bicara yang lain, Kim-mou-eng. Majulah dan mari kita bertempur!”

Kim-mou-eng terkejut. Sinar mata yang berkilat dan mencorong menggambarkan perasaan bermacam-macam dari jago pedang itu membuat Pendekar Rambut Emas sulit menerka, apa kiranya arti dari kilatan mata itu. Tapi karena lawan telah menghentikan pertanyaannya dan bentakan itu didengar sumoinya pula akhirnya, Kim-mou-eng memerah dan cepat menenangkan guncangan hatinya, sedikit merasa heran dan lega kenapa pendekar itu tidak menggunakan Sam-kong-kiam. Sebenarnya dia bingung dan gelisah juga kalau pedang yang ampuh itu dipergunakan pendekar ini, kebetulan sekarang Hu Beng Kui malah mempergunakan pedang biasa.

Dan karena ini merupakan keringanan baginya dan betapapun jago pedang itu masih belum sembuh luka lukanya maka dia membalas dengan anggukan simpatik, bertangan kosong, menyuruh pendekar maju tapi Hu Beng Kui malah marah. Jago pedang itu menyuruh dia mengeluarkan senjatanya, pit hitam yang disembunyikan di balik baju. Lawan telah melihat itu dan ini menunjukkan betapa tajamnya mata pendekar pedang itu. Dan ketika Kim-mou-eng bersikeras dan ingin bertangan kosong saja Hu-taihiap justeru semakin gusar, merasa terhina.

“Aku tak mau menyerang orang yang bertangan kosong dengan pedang di tangan, Kim-mou-eng. Kalau kau bertangan kosong maka aku juga akan melepaskan pedang ini. Tapi kau tak akan merasakan lihainya ilmu pedangku. Nah, pilih. Ingin bertanding sungguh-sungguh dan melihat siapa yang unggul atau kau mungkin menang tanpa mau mengeluarkan ilmu pedangku karena kebetulan kau lebih lihai bertanding tanpa senjata!”

Terpaksa, Kim-mou-eng mencabut senjatanya dia tak mau dianggap merendahkan dan dia tahu keistimewaan lawannya ini. Hu Beng Kui memang terkenal akan ilmu pedangnya, bahkan itulah dijuluki Si Pedang Maut. Dan karena lawan adalah seorang jago dan jelas menghendaki lawan bertangan kosong adalah sama saja dengan menghendaki “kemurahan” yang lebih jauh lagi Kim-mou-eng mengangguk dan menghela napas.

Tentu saja sebagai seorang pendekar dia tak mau dikasihani lawan. Bahwa lawan tak mempergunakan sam-kong-kiam saja sudah termasuk sehuah kemurahan baginya, itu lebih dan cukup, apalagi lawan sebenarnya masih menderita dengan buntungnya lengan itu. Maka begitu mencabut pit-nya dan menyuruh lawan menyerang tiba tiba secepat kilat tanpa gerakan pendahuluan lawannya sudah berkelebat dan lenyap dalam satu tusukan luar masa yang menuju tenggorokannya.

“Aku mulai...!” Bentakan itu kalah cepat dengan gerakan pedang. Hu Beng Kui sendiri sudah mencelat ke arahnya dengan tusukan lurus, hanya tampak sinar putih dan ujung pedang pun tahu-tahu sudah berada di kulit leher. Bukan main hebatnya...

Pedang Tiga Dimensi Jilid 18

Pedang Tiga Dimensi
Jilid 18
Karya Batara


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“BIN-KWI, jangan gila. Pergilah...”

“Dukk!” Dua iblis itu terpental, masing-masing terhuyung dan Hu-taihiap di belakang berseru lagi dengan suaranya yang geram, bin-kwi tak perduli dan ganti membentak kawannya, jari menotok dan terang-terangan sekarang dia menyerang Mo-ong, Beng An mau dirampas dan tak boleh temannya itu pergi kalau pemuda itu belum diserahkan. Dan karena Beng An dirasa pegangan (sandera) yang amat berharga dan untuk itu Bin-kwi akan mati-matian merebutnya dan menyesal kenapa tadi menyerahkan tawanannya kepada Mo-ong tiba-tiba iblis buntung itu sudah menyerang temannya dengan cepat dan bertubi-tubi sambil berseru agar Mo-ong tak usah keras kepala, ditangkis dan segera dua iblis itu bertempur.

Hu Beng Kui kian dekat dan terpaksa Mo-ong melanjutkan larinya lagi, sambil berlari dan memaki Bin-kwi kakek ini menangkis serangan-serangan lawan. Dan ketika Bin-kwi tetap mengejar dan suara Hu-taihiap tinggal beberapa meter saja di belakangnya, dimana Mo-ong menjadi gusar dan bengis memandang lawan tiba-tiba Mo-ong membalas dan berhenti melayani bekas rekannya itu, menggereng.

“Bin-kwi, kau tak tahu diri. Kalau begitu baik aku akan membuatmu mampus...”

“Des-dess!”

Dan Mo-ong yang berhenti serta menangkis pukulan lawan tiba-tiba terjungkal karena dia hanya memakai sebelah tangan saja, sebelah yang lain tak dapat dipakai karena memanggul Beng An. Muridnya terkejut karena sang guru berkelahi dengan sesama teman sendiri, masing-masing ngotot untuk mempertahankan tawanan. Dan ketika Mo-ong bergulingan dan berteriak melompat bangun maka kakek ini menerjang dan mengeluarkan kipasnya menghantam bekas kawan itu, ditangkis dan seperti keduanya bertempur hebat.

Bin-kwi mempergunakan tongkat bambunya menotok dan menyodok, bahkan mengemplang dan menghajar lawan dengan angin pukulan menderu yang begitu kerasnya, Mo-ong naik pitam dan segera berkelebatan lenyap. Dan karena masing-masing pihak rupanya sama marah dan sama-sama tak mau mengalah akhirnya mereka berdua bertanding memperebutkan Beng An yang nyaris terkena pukulan-pukulan berbahaya!

“Hei, berhenti....!”

Bentakan itu adalah bentakan si jago pedang. Hu Beng Kui telah tiba di tempat ini dan terbelalak melihat pertempuran itu, berkali-kali terkesiap melihat puteranya nyaris kena pukulan tongkat atau totokan jari. Berbahaya sekali pertandingan ini, jago pedang itu tertegun. Tapi ketika ketika dia marah dan Bin-kwi terus mendesak Mo-ong tiba tiba pendekar ini berkelebat dan menyerang Mo-ong pula yang menawan puteranya.

“Siutt-sing....!”

Sinar Sam-kong-kiam berkelebat, hebat bukan main dan sudah menyambar kipas di tangan Mo-ong. Sang kakek iblis terkejut dan berteriak kaget, melempar tubuh ke kiri tapi tongkat bambu di tangan Bin-kwi mengemplang, tak ada kesempatan menangkis dan Mo-ong menjerit. Pundaknya terhajar, sebagian punggung Beng An juga terkena dan pemuda itu mengeluh, siuman, membuka mata.

Dan ketika Bin-kwi tertawa dan Hu-taihiap menggeram tiba-tiba Sam-kong-kiam kembali bergerak dan sudah melancarkan tusukan serta tikaman di sembilan jalan darah di tubuh Mo-ong, dikelit tapi tak semuanya berhasil. Mo-ong mengeluh dan terhuyung mendekap lukanya, tiga tusukan cepat mengenai tubuhnya, kakek iblis ini pucat. Dan ketika Bin-kwi menyerang kembali dan dia marah terhadap bekas kawan yang menjadi lawan itu tiba-tiba Mo-ong berteriak melempar Beng An pada kakek buntung itu.

“Bin-kwi, terimalah....!”

Bin kwi melengak. Dia sama sekali tak menyangka Beng An tiba-tiba dilempar kepadanya, tentu saja menangkap dan gembira menerima pemuda itu. Tak tahunya Hu-taihiap membentak dan menyerangnya, ganti menusuk dan menikam delapan kali, cepat bukan main dan Bin-kwi gugup. Dia melempar tubuh namun empat di antara serangan itu mengenai dirinya juga, merobek baju melukai kulit daging, kakek ini berteriak. Dan ketika dia bergulingan menjauhkan diri dan Mo-ong terbahak tiba-tiba kakek ini menggerakkan kipasnya dan ganti menyerang Bin-kwi.

“Haha, sekarang kau tahu rasa, Bin-kwi. Hu-taihiap akan membantuku dan kau mampus¡”

“Plak brett!”

Kipas ditangkis tongkat, terpental tapi sudah meyerempet leher lawan, berkelebat dan menyusul lagi dan Bin-kwi terbelalak. Kiranya Mo-ong memberikan tawanannya hanya untuk sekedar melepas sasaran, dia sudah menghadapi serangan Mo-ong dan pedang di tangan jago pedang itu juga kembali mengejar. Bin kwi gugup. Tapi ketika Mo-ong mengeluarkan kata-katanya dengan menerangkan bahwa Hu taihiap membantunya mendadak Sam-kong-kiam membelok dan menebas pinggangnya.

“Mo-ong, kalian semua iblis-iblis busuk. Aku tak membantu dirimu atau Bin-kwi...!”

“Bret-crat!” pundak Mo-ong terkuak, dagingnya tercongkel keluar dan Mo-ong menjerit. Serangan itu tak disangkanya sama sekali dan Mo-ong meraung, bergulingan. Dan ketika Bin-kwi tertawa dan mengejek bekas temannya tahu-tahu Hu Beng Kui berkelebat dan meneruskan serangannya kepadanya.

“Kau pun diamlah, Bin-kwi. Aku pun akan membunuhmu....”

“Sing-crat!”

Pedang mengena sasaran, membabat tubuh si buntung ini dan Bin-kwi berteriak kaget. Marah dan melotot dan men adi bingung oleh semua gebrakan ini. Mereka bisa bertempur segi tiga. Bin-kwi gentar. Dan ketika dia melempar tubuh bergulingan dan di sana Mo-ong melompat bangun tiba-tiba kakek iblis ini berseru gusar menyerang Hu Beng Kwi.

“Hu-taihiap, kau tak tahu dibantu. Baiklah, Bin-kwi akan membantuku dan kau akan kami bunuh....”

“Wir-crat!”

Dan kipas yang disambut pedang dan sekaligus putus menjadi dua tiba-tiba membuat Mo-ong memekik keras berjungkir balik menghindari sambaran pedang yang terus membabat dan bisa jarinya terpapas semua, iblis ini pucat memaki lawan. Dan ketika dia melayang turun dan mengharap Bin-kwi membantu tiba-tiba rekannya itu tertawa dan malah melompat pergi melarikan diri.

“Mo-ong, maaf. Biarlah kau hadapi sendiri Hu taihiap itu!”

Mo-ong tertegun. “Kau...?”

Namun kata katanya terhenti. Hu Beng Kui menusuknya dengan cepat. Pedang berkelebat dan iblis ini memaki Bin-kwi, meloncat tinggi dan Bin-kwi merasa girang karena Mo-ong bakal menghadapi Hu taihiap sendirian, tak tahu gerak selanjutnya dari pedang di tangan pendekar itu karena Hu-taihiap tiba-tiba menimpuk. Pedang yang luput mengenai Mo-ong ini sudah menyambar belakang punggung Bin-kwi, tanpa suara, dikerahkan dengan lontaran begitu cepat dan juga tenaga yang istimewa, begitu istimewa hingga Siauw-bin-kwi tak mendengar angin sambarannya. Tahu tahu pedang mengenai punggung dan amblas di tubuh si buntung itu.

Siauw-bin-kwi menjerit dan roboh. Sam-kong-kiam menancap di tubuhnya sampai ke gagang. Bukan main timpukan ini, menunjukkan tenaga luar biasa dan juga kemarahan luar biasa dari Hu-taihiap. Iblis buntung itu langsung terjungkal dan tewas. Tapi begitu Bin-kwi ambruk dan kehilangan nyawanya tiba-tiba keluhan lain terdengar dan Beng An yang dibawa kakek itu ternyata juga menerima akibat buruk karena pedang yang amblas di dada Siauw Bin-kwi mengenai dirinya pula.

“Augh...!”

Hu Beng Kui terkejut. Dia melempar Sam-kong-kiamnya karena memang ingin menyelamatkan anaknya itu, tak tahunya Beng An itu jadi korban dan roboh di bawah tindihan Bin kwi. Jago pedang ini berseru dan kaget melihat dada anaknya terluka pula. Ujung Sam-kong-kiam yang mencuat dari dada Bin-kwi mengenai dada Beng An, menusuk cukup dalam dan pemuda itu mengeluh. Dia baru sadar namun tak berdaya, masih tertotok. Kini terkena timpukan ayahnya dan Hu Beng Kui terkesiap, tentu saja itu tak diduga.

Dan ketika pendekar ini mendorong mayat Bin kwi dan menyambar puteranya sambil berseru keras maka Mo-ong yang melihat Sam kong-kiam masih menancap di punggung Bin-kwi dan tidak diambil pendekar itu tiba-tiba tertawa bergelak dan menyambar pedang ini, tahu Hu-taihiap lebih memperhatikan anak laki-lakinya daripada Sam-kong-kiam.

“Ha ha, sekarang aku berhasil. Bu Ham. Lihat gurumu akan membunuh Hu taihiap....”

“Siiing!” Pedang menyambar, menusuk punggung Hu Beng Kui dan jago pedang itu terkejut, melempar tubuh bergulingan dan Mo-ong terbahak-bahak memegang Sam-kong-kiam, menyerang dan mengetarnya lagi dengan penuh beringas.

Hu-taihiap tersentak karena sekarang dia sadar bahwa pedang tadi tak dicabutnya, kini Mo-ong menerjang dan kakek iblis itu bagai harimau tumbuh sayap, menusuk dan membacok dan ketajaman pedang pusaka itu cukup membabatnya saja dalam jarak dua meter. Dan ketika dia harus berlompatan dan berkali kali bajunya robek tersambar angin pedang maka Bu Ham tiba-tiba menyeringai dan terkekeh menyambar Beng An.

“Bagus dan aku akan memaksa Hu taihiap untuk menyerahkan puterinya, suhu. Sekarang pemuda ini menjadi milikku untuk ditukar dengan adiknya!”

Hu taihiap pucat sekali. Dia melengking melihat kegilaan itu, guru dan murid mempermainkannya begitu hebat. Puteranya disandera sedang dirinya diserang pedang keramat di tangan kakek yang tidak waras pula. Mo-ong mengejar dan terus memburunya ke mana dia pergi. Hu Beng Kui mengelak sana sini dan berkali kali mengeluarkan keringat dingin. Sam-kong-kiam yang biasanya dipegang dan dielus-elus ternyata sekarang berbalik arah, menusuk dan memburunya kemanapun dia pergi.

Dan karena dia tahu ketajaman pedang ditangan lawannya itu dan tentu saja dia tak berani menangkis atau bersentuhan maka Hu Beng Kui melempar tubuh bergulingan ketika pedang mengejar, terus mengelak dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu dia menyesali kebodohan sendiri yang lupa memperhatikan pedang. Mo-ong semakin ganas dan memburunya dengan pedang di tangan. Dan ketika lawan menusuk dan mengejar dan Hu Beng Kui hanya memaki sambil bergulingan sana-sini maka dua tusukan mengenai tubuh si jago pedang ini ketika dia kewalahan.

“Bret-bret!”

Hu Beng Kui menggeram. Untung Mo-ong bukan seorang ahli pedang. Kakek iblis itu lebih biasa dengan kipasnya daripada senjata lain. Tapi karena seorang ahli silat tinggi macam Mo-ong tentu saja dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan senjata apa saja maka Hu Beng Kui menjadi korban dan pucat melihat ancaman bahaya itu. Bergulingan dan sudah dikejar lagi dan dia harus susah payah menyelamatkan diri. Betapapun pedang itu terlampau ampuh untuk dihadapi. Dengan tangan telanjang. Bahkan dengan senjatapun tak ada yang sanggup menandingi Sam-kong-kiam.

Maka ketika kembali dia dikejar dan jago pedang ini bingung untuk menghadapi lawan yang sedang gila-gilanya maka dua tusukan kembali mengenai tubuhnya ditambah sebuah bacokan yang membuat Hu Beng Kui melengking. Dia marah bukan main tapi tak tahu harus berbuat apa. Memang, jalan satu-satunya melarikan diri. Tapi apakah sebagai seorang pendekar dia akan melakukan itu? Tidak, Hu Beng Kui tak akan mau melakukannya, apalagi disitu ada puteranya, yang entah masih hidup atau tidak.

Maka ketika lawan menyerang dan mendesak dia hingga tersudut, akhirnya jago pedang yang pucat serta putus asa ini mengambil jalan nekat, menyambut Sam-kong-kiam yang saat itu menyambar dirinya, mengerahkan sinkang dan melindungi seluruh tangannya dari pundak sampai ke jari-jari. Inilah yang dapat dilakukan. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelesaikan pertempuran, meskipun mungkin dia korban.

Dan ketika pedang menyambar dan Hu Beng Kui menutup segala kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi dan menggereng bagai seekor harimau mendadak dia sudah menyambut bacokan Sam-kong-kiam yang menuju lehernya, dengan tangan kiri, miringkan kepala dan sedikit merendahkan tubuh menangkap pedang. Satu perbuatan nekat yang bisa dianggap gila. Sam-kong-kiam bukanlah pedang sembarang pedang, bisa putus jari-jarinya itu. Meskipun dia mengerahkan sinkang melindungi jari-jarinya, agar kebal. Dan begitu lawan membacok dan Hu Beng Kui menangkap tiba-tiba secepat kilat jago pedang ini menggerakkan tangan yang lain, tangan kanan menghantam muka lawannya yang sudah begitu dekat.

“Hei.... crak-dess!”

Mo-ong tak sempat berpikir banyak. Dia sudah menyerang, tak mungkin menarik diri. Maka begitu lawan menyambut pedangnya dengan tangan kiri sementara tangan kanan melepas pukulan dahsyat tiba-tiba jeritan ngeri terdengar di tempat itu dan kakek iblis ini terbanting. Sebuah potongan tangan mencelat, kelima jari Hu-taihiap putus terbabat dan pendekar itu pun mengeluh. Darah bercucuran dari lukanya. Hu Beng Kui pucat. Dan ketika jago pedang itu terhuyung dan nyeri menahan sakit mendadak Bu Ham yang terkejut melihat robohnya sang guru dan lepasnya Sam-kong-kiam tiba-tiba berkelebat, membentak menyambar pedang keramat itu dan membacok Hu Beng Kui.

Jago pedang ini terkesiap karena dia sudah terluka, pergelangan tangannya buntung dan tak mungkin dia menangkis. Maka ketika dia mengelak dan pedang nyaris mengenai pundaknya tiba-tiba Bu-kongcu kalap dan menerjangnya lagi, menusuk dan membacok dan Hu Beng Kui menghindar. Susah payah pendekar ini berkelit. Dan karena dia sudah terluka dan pedang itu mengamuk memburunya lagi tiba-tiba pendekar ini membentak mengayun tendangan dan bawah.

“Bocah siluman, susullah gurumu!”

Bu Ham terpental, memekik tapi berjungkir balik dan menyerang pendekar itu lagi, dikelit dan kembali sebuah tendangan membuat pemuda itu terlempar. Bu Ham penasaran karena dengan pedang pusaka tak dapat dia merobohkan pendekar itu, Hu Beng Kui betul-betul hebat, bukan main pendekar ini. Dan ketika lawan kembali berkelit dan selamat dari tusukan pedangnya tiba-tiba pemuda ini merogoh sakunya dan melempar granat ke arah Hu Beng Kui, disambut dengan seruan kaget dari Hu Beng Kui melompat tinggi di udara. Pucat sekali pendekar itu, lawan masih memiliki senjata peledak. Keparat!

Dan ketika Hu Beng Kui melayang turun dan asap tebal menghalangi pandangan tiba-tiba Bu Ham menubruk dan Hu Beng Kui mengeluh, terjadi benturan keras di dalam asap itu dan orang tak tahu apa yang terjadi, Bu Ham meraung dan Sam-kong-kiam mencelat, pemuda itu roboh terbanting dan dadanya hancur terkena tendangan. Kiranya Hu taihiap tadi sempat menggerakkan kakinya menendang pemuda itu. Bu Ham menjerit dan roboh, tewas. Dan ketika pemuda itu tak bergerak dan asap menipis menguak apa yang terjadi, ternyata Hu Beng Kui juga roboh terkapar dan lengannya yang buntung sudah semakin buntung sampai di pundak!

Apa yang terjadi? Kiranya gebrak penentuan. Hu-taihiap sudah tak sanggup menahan sakitnya. Darah yang mengucur di pergelangan tangannya itu tak sempat ditotok, mengakibatkan luka yang pedih dan pendekar ini menggigit bibir. Pertempuran demi pertempuran yang ia alami itu menguras tenaga, betapapun ia menghadapi lawan-lawan berat. Maka ketika Bu Ham menubruknya dan sebuah bacokan dilakukan pemuda itu menyambut dirinya yang melayang turun tiba-tiba Hu Beng Kui menggeram dan memasang lengannya yang buntung menangkis pedang di tangan lawan, memilih harus mengorbankan kaki atau lengannya dalam menyambut Sam-kong kiam. Dia tak memiliki jalan lain kecuali itu.

Hu Beng Kui bertindak cepat dalam waktu yang amat singkat. Dan ketika lengannya terbabat dan kembali darah muncrat dari luka yang lebih berat tiba-tiba kaki yang menyentuh tanah sudah bergerak menendang dada lawan, bergerak dari bawah ke atas dengan kecepatan kilat. Hu Beng Kui tak mau berayal-ayal lagi dalam keadaan yang berbahaya itu. Dan begitu lawan menjerit dan terlempar roboh maka Hu Beng Kui sendiri terhuyung dan jatuh terduduk, lengannya sekarang buntung sebatas pundak, potongan tangannya itu mencelat tak jauh dari situ, mengerikan. Dan tepat pendekar ini menyelesaikan pertempuran dengan merobohkan Bu-kongcu maka beberapa bayangan berkelebat ditempat itu, persis ketika pendekar ini jatuh terduduk.

“Ayah...!” Swat Lian dan Gwan Beng serta Hauw Kam tiba di situ. Mereka tadi mengejar pendekar ini, tertinggal dan Swat Lian sudah sadar dari pingsannya, dibawa suhengnya dan kini melihat bekas-bekas pertempuran itu. Mo-ong dan bin-kwi serta Bu Ham telah menjadi mayat, ayah atau guru mereka terduduk dengan pundak berlumuran darah. Swat Lian menjerit melihat buntungan lengan ayahnya. Dan ketika gadis itu melihat pula potongan jari ayahnya yang tergeletak di tanah tiba-tiba gadis ini terpekik dan terbang menyambar ayahnya itu.

“Ayah...!” Swat Lian mengguguk. Gadis ini menangis tersedu-sedu melihat keadaan ayahnya. Hu Beng Kui tersenyum dan tiba-tiba tertawa. Aneh sekali. Tapi begitu pendekar ini ditubruk puterinya dan Swat Lian memeluk ayahnya tiba-tiba pendekar itu terguling dan pingsan, roboh dalam dekapan puterinya dan Swat Lian menjerit lagi. Gadis itu mengira ayahnya tewas. Dan karena pukulan demi pukulan mengguncang batin gadis itu hingga Swat Lian tak kuat tiba-tiba gadis itupun roboh dan mencengkeram ayahnya dengan tubuh berlepotan darah pula.

“Ah, sumoi pingsan” Gwan Beng terkejut.

Beberapa bayangan berkelebat lagi dan muncullah Kim-mou-eng dan lain-lain. Bahkan Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun juga datang. Panglima tinggi besar itu terbelalak melihat bekas-bekas pertempuran yang begitu hebat. Tapi begitu dia sadar dan bersama rekannya mendekati Hu-taihiap maka panglima ini lalu menolong dan sibuk menghentikan tangis Swat Lian yang siuman kembali, mengguguk dan memanggil ayahnya dan segera suhengnya merenangkan, tak berhasil dan Swat Lian menjerit-jerit. Dia menyangka ayahnya tewas. Tapi ketika sebuah tangan lembut menyentuh pundak gadis itu dan Kim-mou-eng mengatakan ayahnya tak apa-apa mendadak gadis ini mengeluh dan menubruk Pendekar Rambut Emas itu, memeluk erat-erat, rnengguguk.

“Kim twako, bagaimana aku?”

“Hm, tenanglah. Ayahmu tak apa-apa. adik Lian. Dia hanya terluka tapi tak membahayakan jiwanya. Aku jamin itu, kami semua akan menolongnya dan kau tak perlu cemas.”

“Dan An-ko, mana An ko?”

“Dia disana....”

Dan begitu Kim-mou-eng menunjuk tiba-tiba Swat Lian menjerit kembali dan melepas pelukannya, melompat dan melihat kakaknya itu, Beng An ternyata luka parah, hanya berkat kekuatan fisiknya saja pemuda ini masih hidup, dia pun pingsan. Melihat keadaannya tak mungkin pemuda itu diselamatkan. Dan ketika Swat Lian terguncang-guncang di tubuh kakaknya dan berkali kali menangisi kakaknya itu mendadak Beng An sadar dan membuka mata.

“Oohh...!” Swat Lian mengguguk. “Kau bagaimana, An-ko? Bagaimana sampai begini? Siapa keparat yangmembuatmu begini?” Beng An tersenyum, merintih. “Siauw-bin-kwi, sumoi. Mana iblis itu?”

“Dia tewas, tapi akan kupenggal kepalanya agar kau puas!” Swat Lian beringas, melompat dan mau melakukan ancamannya.

Tapi Beng An yang merintih dan menggoyang lengan tiba-tiba menggapai. “Tidak.... tidak.... jangan, Lian-moi. Bagaimana ayah? Mana dia?”

“Ayah pingsan, koko. Kim-twako menolongnya dan suheng berdua ada di sini pula.” Swat Lian mengguguk.

“Tapi ayah tak apa-apa, bukan?”

“Tidak, kecuali.... buntung. Lengan kirinya buntung dan ayah cacad!”

“Ah....!” Beng An menggeliat, terkejut. “Ayah terluka, Lian-moi? Lengannya buntung?”

“Ya, sudahlah. Ayah telah ditolong yang lain, koko. Kau jangan banyak bergerak dan biar kutolong dirimu,”

Swat Lian menangis, merobek baju kakaknya dan membalut luka-luka yang ada. Tapi karena luka di bagian dada amat dalam dan untuk ini Swat Lian mengguguk tiba-tiba kakaknya mengerang dan merintih, muncul beberapa orang dan Hu Beng Kui ternyata sudah dipapah dua muridnya. Jago pedang itu mendekati Beng An. Dan ketika Swat Lian menangis dan Beng An mulai redup bayang-bayangnya mendadak pendekar ini berlutut dengar air mata bercucuran, sudah ditolong Hauw Kam dan lain-lain ketika tadi pingsan.

“An-ji (anak An), kau dapat mendengar suara ayahmu?”

Beng An tiba-tiba membuka kelopaknya, terkejut. “Kau di mana, yah....?”

“Aku di sini, Beng An. Lihatlah....!”

Semua orang tak dapat menahan keharuannya, melihat jago pedang itu mencium muka anaknya dan air mata yang deras mengalir begitu deras dari mata jago pedang ini. Hu Beng Kui sampai mengguguk memeluk anaknya, lupa pada penderitaan sendiri dengan lengan kirinya yang buntung itu, yang kini sudah dibalut dan jago pedang ini menggigit bibir kuat-kuat. Dan ketika Beng An tersenyum dan dapat melihat ayahnya itu tiba-tiba pemuda ini tertawa.

“Yah, kau menangis?”

“Ah!” Hu Beng Kui malah tersedu-sedu. “Aku menangis melihat penderitaanmu An-ji. Aku berdosa dan telah mencelakakan putraku sendiri!”

“Tapi ayah, seorang gagah pantang menangis. Tidak, jangan, yah. Aku tak mau menangisi semuanya ini. Kau telah menghendaki semuanya begitu. Aku anakmu. Aku harus tunduk dan patuh pada semua perintahmu...”

“Ah, aku salah. An-ji. Sekarang aku menyesal!” Hu Beng Kui semakin mengguguk. “Aku siap menukarkan jiwaku denganmu. Beng An. Biar kutemui dewa maut dan kunyatakan ini!”

“Tidak....” Beng An mengeluh. “Aku sudah ditakdirkan mati, yah.... aku, augh....” Beng An menggelinjang. “Aku mau pergi, yah... aku tak mau pergi diantar tangismu. Keluarga Hu adalah keluarga yang gagah....!”

“Ohh...” jago pedang itu semakin tak dapat menahan diri. “Aku menyesal, Beng An... aku menyesal. Biar kutemui dewa maut dan kutukar jiwamu dengan jiwaku!” jago pedang itu menggereng berteriak seperti orang gila agar dewa maut tidak mengambil jiwa anaknya, biarlah itu ditukar dengan jiwanya sendiri dan semua orang mengkirik. Geram dan teriakan jago pedang ini seperti orang tidak waras saja. Swat Lian tersedu-sedu. Dan ketika Hu Beng Kui memekik dan memukul-mukul kepalanya seperti orang gila maka Beng An yang kembali meredup pandang matanya itu merintih.

“Yah. jangan diiringi kepergianku dengan tangis. Diamlah!”

“Tidak!” Hu Beng Kui mengguncang anaknya. “Kau tak boleh mati, Beng An. Kau harus hidup!”

“Tapi aku tak kuat lagi, yah. Masihkah kau menyiksaku dengan kekerasan kepalamu ini?”

Hu Beng Kui tertegun, membanjir air matanya itu.

“Tidak, jangan, yah. Masih ada Lian-moi di sana.... masih ada anakmu yang lain di sana. Dialah mutiaramu. Kuharap kalian semua diam dan jangan iringi kepergianku dengan tangis.... aku tak dapat pergi....”

Hu Beng Kui menjambak rambutnya sendiri bagai orang gila. Dia melihat puteranya dalam sakratul maut, mau hilang tapi kembali lagi, begitu berulang-ulang hingga jago pedang ini menangis, tak dapat menahan diri dan nyaris dia menghantam kepalanya sendiri. Tapi ketika Beng Ah minta semuanya diam dan jago pedang itu tersedu-sedu maka pemuda ini tiba-tiba menjadi tenang, sedikit gemetar. “Yah, kau tentu mau menjaga Lian-moi baik-baik, bukan?”

“Tentu, Beng An!”

“Dan tidak memaksakan kehendak sendiri untuk menuruti kemauanmu?”

“Ah aku sadar, Beng An. Aku tak akan mengulang itu pada adikmu!”

“Terima kasin. Aku percaya padamu, yah. Sekarang aku ingin bertanya di mana Kim-twako.”

“Aku di sini,” Kim-mou-eng tiba-tiba muncul, menggenggam lengan pemuda itu, terharu. “Ada apa, saudara Beng An?”

“Aku, ah... aku ingin bertanya apakah kau sudah memiliki tambatan hati, Kim-twako? Maaf, kau jawab jujur saja pertanyaanku ini.... aku tak lama lagi di dunia....”

Kim-mou-eng tertegun. “Hm....” suaranya berat, segera maklum apa yang dituju. “Aku, hmm. aku telah memiliki apa yang kau maksud, Beng An. Aku telah memiliki tambatan hati.”

“Orangnya ada di sini atau tidak?”

“Ada di sini.” Kim-mou-eng melihat berkelebatnya bayangan sang sumoi.

Melihat Beng An tersenyum dan berkata, “Bagus”, pemuda itu tertawa girang.

Dan ketika Kim-mou-eng dilepasnya dan Swat Lian memerah ketika kebetulan bertemu pandang dengan Pendekar Rambut Emas tiba tiba pemuda itu mengerang, bertanya pada ayahnya, “Yah adakah Tiat-ciang Sian-li di sini? Mana dia? Aku ingin bertemu....”

Hu Beng Kui mengerutkan kening. Tiba-tiba keadaan menjadi begitu khusuk, apa yang diminta pemuda ini seolah harus dipenuhi. Dan ketika dia kebetulan melihat Salima berdiri di sana di belakang Bu ciangkun tiba-tiba pendekar ini bangkit berdiri meminta gadis itu menemui puteranya. agak canggung juga karena sebelumnya mereka bermusuhan, berat dan kelu rasanya lidah memenuhi panggilan itu. Tapi karena Beng An mengulang pertanyaannya dan memanggil namanya tiba-tiba Salima berkelebat dan berdiri di samping pemuda ini.

“Aku di sini!” suara ketus dan dingin ini agak tak menyenangkan juga.

Beng An tampak tertegun. Sikap dan kata-kata itu memang sudah dikenalnya. Tapi begitu orang mau datang dan berdiri kaku tiba-tiba Beng An tersenyum dan menyeringai, menggapai. “Sian-li, bagaimana harus kusebut dirimu? Memanggil julukanmu atau nona seperti dulu?”

“Aku boleh kau panggil dengan sebutan apa saja, Beng An. Katakan apa perlumu memanggil aku.”

“Ah, kau masih seperti dulu, galak dan ketus!” Beng An tertawa, tapi tiba-tiba mengaduh lagi menahan sakit, menggigil. “Nona, tak dapatkah kau bersikap lunak kepada orang yang tak lama lagi berada di dunia ini? Aku ingin menyatakan sesuatu, mendekatlah.... aku ingin meraba lenganmu....”

Salima terpaksa berlutut, digenggam lengannya, melihat Beng An berseri-seri.

“Terima kasih, kau mengabulkan permintaan orang yang mau mati, nona. Aku ingin menyatakan, hm.... rasa kagum dan sukaku kepadamu. Kau gadis hebat, aku..... hm....” Beng An menggigil. “Apakah aku harus berterus terang, nona? Bolehkah aku berterus terang?”

Salima mengangguk, betapapun mukanya mulai merah, melirik sang suheng, mengejek, “berterus teranglah!”

“Baik, aku ingin menyatakan isi hatiku, nona. Bahwa, hm... aku... aku mencintaimu!”

Salima terkejut. Lengannya tiba-tiba dicengkeram, Beng An mencengkeramnya dan pemuda itu memejamkan mata. Segenap kekuatan rupanya dilakukan pemuda ini, suaranya lantang dan nyaring. Aneh bahwa dalam keadaan sakratul maut begitu pemuda ini dapat memiliki suara yang jernih. Kejernihannya merasuk menyentuh setiap pendengarnya, tentu saja semua orang tak dapat menahan perasaan dan diguncang oleh keharuan ini.

Salima pun tiba-tiba lumer, tanpa terasa dia terisak dan teringatlah segala sakit hatinya terhadap sang suheng. Suhengnya itu berkali-kali mempermainkannya dan semacam dendam tiba-tiba muncul di hati. Salima merasa suhengnya tak jujur, dia merasa disakiti berkali-kali dan Salima tiba-tiba mengguguk.

Beng An terkejut dan heran. Dia tak tahu kenapa gadis ini malah menangis. Dan ketika pemuda itu mengerutkan kening dan bertanya kenapa Salima menangis maka pemuda ini mengendorkan cengkeramannya dan menggeliat. “Nona, salahkah pernyataanku tadi? Tersinggungkah kau dengan ucapanku?”

“Tidak,” Salima balas mencengkeram pemuda itu, tersedu. “Aku.... aku tak marah. Beng An. Hanya, ah...!” Salima tak melanjutkan kata-katanya, perasaan serasa diremas dan dia tiba-tiba menubruk, memeluk Beng An, menangis tersedu-sedu di dada pemuda itu. Tentu saja Beng An terkejut, juga girang. Adegan ini sengaja dilakukan Salima untuk membalas sakit hatinya pada sang suheng.

Kim-mou-eng tersentak dan mengerutkan kening melihat perbuatan sumoinya itu. Dan ketika Beng An menggigil dan bertanya apakah cintanya diterima mendadak Salima mengangguk dan berkata lantang, “Ya, aku menerima cintamu!”

Beng An menggeliat, merintih. “Kau tak bohong?”

“Aku tak bohong, Beng An. Aku menerima cintamu!”

“Sungguh?” Beng An seakan tak percaya. “Kalau begitu, ah.... coba cium aku, moi-moi (dinda).... cium aku dua kali....!”

Dan, memenuhi pemintaan itu tiba-tiba Salima mencium Beng An, dua kali di pipi kiri dan kanan dan sengaja menciumnya begitu mesra. Entah kenapa tiba-tiba Salima ingin berontak terhadap perlakuan tidak adil suhengnya kepadanya, begitu menurut yang dia rasakan. Dan ketika ciuman itu mendarat dan dua kali Beng An menerima ciuman mesra tiba-tiba pemuda ini tertawa bergelak dan berseru,

“Ayah, aku puas.... ohh, aku puas....!” Dan Beng An yang balas memeluk dan mencium pipi Salima tiba-tiba mengerang dan mengejang dua kali, mau menangkap bibir gadis itu tapi tiba-tiba mengaduh. Beng An tak kuat lagi diguncang kebahagiaan di saat-saat terakhir hidupnya. Dan begitu pemuda itu mengeluh dan terguling roboh tiba-tiba dia menghembuskan napasnya yang penghabisan dan Swat Lian serta ayahnya memekik.

“Beng An... !”

“An-ko.....!'

Beng An telah tiada. Hu Beng Kui tertegun melihat putranya tewas. Beng An meninggalkan dunia dengan senyum yang begitu bahagia. Pemuda itu seolah tampak masih hidup saja dengan senyumnya yang mengembang itu, tapi begitu Swat Lian menubruk dan melihat jantung kakaknya telah herhenti maka gadis ini mengguguk dan tersedu-sedu di dada kakaknya, menangis dan menjerit dan semua orang terharu.

Rata-rata terobek oleh keharuan besar ini. Kecuali Kim-mou-eng, yang tertegun dan merah mukanya melihat sikap sumoinya tadi. Ciuman yang diberikan kepada Beng An dan Pendekar Rambut Emas ini terpukul. Entah kenapa dia merasa begitu terguncang, apa yang diperlihatkan sumoinya tadi betul-betul di luar dugaan. Dan ketika Swat Lian menangis dan semua orang merasa sedih oleh kepergian Beng An maka Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat dan lenyap dari tempat itu, tak menghiraukan Sam-kong-kiam dan juga orang-orang lain yang ada di situ. Dia terguncang dan terpukul oleh sikap sumoinya.

Dan begitu pendekar ini berkelebat dan Beng An dirubung keluarganya maka di lain tempat jago kita ini menangis sendirian sambil mengepal-ngepal tinju, tak tahu bayangan sumoinya menyusul dan sebuah ejekan muncul di bibir yang manis itu.

Hu Beng Kui dan lain-lain sibuk mengurusi mayat Beng An. Dan ketika semuanya kembali dan Hu-ciangkun mau mengambil Sam-kong-kiam tapi cepat direbut Hu Beng Kui maka pendekar itu berkata bahwa pedang masih menjadi miliknya Pibu belum berakhir karena Pendekar Rambat Emas masih belum menyelesaikan urusannya. Hu Beng Kui telah tahu bahwa istana mempergunakan Kim-mou-eng sebagai wakil, pendekar itu harus datang dan menyelesaikan semuanya dengan tuntas. Bu-ciangkun dan Cu ciangkun tertegun.

Tapi karena ini ada benarnya dan mereka bingung melihat Kim-mou-eng tak ada di situ maka Bu ciangkun mengangguk dan berkata, “Baiklah, ini saat berkabung bagimu, Hu-taihiap. Biarlah seminggu lagi kucari Kim-mou-eng dan kami datang ke rumahmu. Kami juga ingin merebut Sam-kong-kiam secara jantan!”

Begitulah, urusan di tempat itu selesai, untuk sementara, karena tentu saja pertandingan antara Hu Beng Kui dan Kim-mou-eng harus dilanjutkan. Pendekar Rambut Emas itu telah mengikuti pibu. Hu taihiap menerima dan pendekar itu harus datang ke rumahnya. Mo-ong dan kawan-kawannya semua tewas dalam pertempuran hebat ini, tak ada yang sisa. Dan ketika Hu Beng Kui membawa mayat puteranya dan di sana tujuh hari tujuh malam pendekar itu berkabung untuk kematian puteranya maka di lain tempat, di luar kota Ce-bu Pendekar Rambut Emas duduk termenung-menung dengan muka pucat dan kurus.

* * * * * * * *

“Taihiap, ah, apa ini? Ke mana saja kau pergi? Susah payah kami mencarimu, tak tahunya kau melamun di sini!” Bu-ciangkun berkelebat girang, menemukan pendekar itu dan Kim-mou-eng acuh tak acuh. Dia sinis saja mendengar seruan panglima tinggi besar itu.

Dan ketika Cu-ciang-kun juga muncul dan menegur pendekar itu dengan suara gembira maka Cu Hak langsung berkata, “Taihiap, pertolonganmu kepada kami belum habis. Hu-taihiap tak mau menyerahkan pedang. Kau diminta ke sana dan melanjutkan pertandingan!”

“Aku malas,” Pendekar Rambut Emas enak saja menjawab. “Aku tak bergairah, ciangkun. Lebih baik kalian saja ke sana atau pulang kembali ke istana.”

“Ah, mana bisa, taihiap? Ini berarti kegagalan, sri baginda tentu kecewa!”

“Hm. memangnya kaisar harus selalu hidup dalam kesenangan? Dia bukan seperti kita yang dapat susah dan berduka?”

Cu ciangkun tertegun. “Taihiap, ada apa ini? Kenapa kau marah-marah dan tidak senang?”

“Sudahlah, aku tak suka kalian mengganggu, ciangkun. Pulang dan katakan saja pada sri baginda bahwa tugasku gagal.”

“Tapi kau belum bertanding dengan Hu taihiap! Kau ditunggu di sana!”

“Aku mundur, aku menyatakan kalah!”

“Apa?” tiga panglima itu terkejut. “Kau mundur sebelum bertanding? Ha-ha, kau melucu, taihiap. Aku tak percaya dan tak mungkin itu terjadi. Aku baru saja menemui sumoimu, kau katanya harus datang dan menghadapi Hu-taihiap!”

Kim-mou-eng tiba-tiba bangkit berdiri, mata itu sekonyong-konyong hidup. “Mana dia?”

“Siapa yang kau maksud?”

“Sumoiku itu. siapa lagi?”

“Hm....!” Cu-ciangkun mengangguk-angguk, tersenyum, tiba-tiba melirik dua temannya yang lain dan panglima itu tertawa. Tentu saja dia mengerti kemurungan Pendekar Rambut Emas ini, tahu apa yang terjadi dan mereka pun diam-diam heran akan sikap Salima terhadap mendiang putera Hu-taihiap itu.

Sebenarnya mereka kasak-kusuk sendiri dan membicarakan keganjilan gadis Tar-tar itu, kenapa Salima menyakiti perasaan suhengnya dengan menerima cinta Beng An, meskipun cinta itu tak berumur panjang karena Beng An tewas, mereka telah menemui gadis itu dan mendengar alasannya. Bahwa Salima ingin membalas dendam pada suhengnya yang dianggap mempermainkannya, bahwa semua orang sebenarnya tahu bahwa Kim-mou-eng dan sumoinya ini sebenarnya saling mencinta, maka adalah aneh kalau tiba-tiba Salima menerima cinta Beng An.

Dan ketika mereka semua mendengar dan sebagai orang-orang tua tentu saja mereka maklum bagaimana pahitnya disakiti cinta maka hari itu kebetulan mereka menemukan Pendekar Rambut Emas ini dan melihat reaksinya atas perbuatan Salima, diam-diam saling memberi tanda dan Cu Hak yang maju, dua temannya diminta diam dan panglima inilah yang angkat bicara.

Dan ketika Cu Hak melihat betapa Kim-mou-eng tampak bersemangat begitu dia menyebut Salima tiba-tiba panglima, ini tertawa tersenyum lebar. “Taihiap, agaknya beberapa hari ini kau ingin menemui sumoimu, tak berhasil dan kini duduk di sini. Benarkah?”

“Benar.”

“Dan kau mau kami bantu menemukan sumoimu itu?”

Mata yang bersinar sinar itu semakin hidup. “Tentu saja!” jawaban ini menggembirakan hati. “Di mana sumoiku itu, ciangkun? Aku telah berputar-putar dan memang tak dapat menemukannya!”

“Kau yang meninggalkannya dulu, masa sumoimu sudi dilihat. Sudahlah, sumoimu pun sebenarnya marah padamu, taihiap. Ada hal hal yang bersifat pribadi yang memang harus kau selesaikan dengan sumoimu itu. Aku telah berbicara dengannya, dan aku tak dapat berbuat apa-apa. Taihiap memang harus menyelesaikan persoalan itu sendiri dan kami akan memberi tahu, asal taihiap membantu kami dalam soal Sam-kong-kiam itu.”

“Beri tahulah, aku berjanji!” Kim-mou-eng tak sabar. “Aku memang ingin menuntut pertanggung-jawaban sumoiku itu, ciangkun. Aku penasaran dan terluka oleh sikapnya!”

“Kami tahu, dan silahkan taihiap temui dia,” Cu-ciangkun lalu memberi tahu di mana Salima, tersenyum dan sudah berkata agar pendekar itu berhati-hati. Masalahnya cukup rawan dan peka.

Kim-mou-eng mengangguk dan tampak mengiyakan saja. Dan ketika panglima itu selesai bicara dan Kim-mou-eng tak sabar tiba-tiba pendekar itu berkelebat lenyap mengucap terima kasih.

“Eh, nanti dulu, taihiap. Kapan kau ke Hu Beng Kui?” Cu-ciangkun berteriak, bertanya dan Kim-mou-eng menjawab bahwa saat itu juga dia akan ke sana, setelah urusannya dengan sang sumoi selesai.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas lenyap dan Cu-ciangkun tertegun maka Kim-mou-eng sendiri sudah memasuki Ce-bu dan menuju ke sudut kota di mana berdiri sebuah kelenteng tua. Langsung masuk dan mencari sumoinya di sana. Kiranya sumoinya ada di sana dan ia berdebar. Kelenteng itu kosong dan terus dia masuk, mencari sana sini dan mendengar orang bercakap-cakap di belakang.

Kim-mou-eng berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di sini. Dan ketika ia melihat siapa yang bicara maka pendekar itu tertegun melihat sumoinya berhadapan dengan seorang nikouw tua, mendengar percakapan terakhir, sumoinya memegang sebuah gunting.

“Tidak, tidak baik, nona. Menjadi nikouw karena patah hati bukanlah perbuatan benar. Kalau kau masih mencintai suhengmu itu dan semata sakit hati kepadanya karena merasa dipermainkan sebaiknya masalah itu ditanyakan baik-baik, jangan begini dan aku tak dapat menerima. Tuhan tak akan mengabulkan permintaanmu itu!”

“Tapi aku tak tahan, suthai. Aku merasa ingin bunuh diri...!”

“Ah, tak baik, nona. Perbuatanmu pun menerima cintanya Hu-kongcu (tuan muda Hu) sudah membuatmu berdosa. Kau menipu orang yang mau mati. Kau harus menebus ini dengan jalan yang benar Tidak berpura-pura!”

“Tapi....”

“Sudahlah, kau masih mencintai suheng-mu, bukan? Menjadi nikouw harus bebas dari semua masalah begini, nona. Kalau hatimu masih lekat kepada suhengmu itu maka pinni (aku) tak dapat menerima. Kau tak berbakat menjadi nikouw!”

Salima menangis. Tiba-tiba gadis itu menubruk nikouw tua ini dan tersedu-sedu, gunting di tangannya diambil alih. Dia tak tahu kedatangan Kim-mou-eng karena seluruh pikirannya tercurah pada persoalan pribadi, juga barangkali tak mengira bahwa suhengnya akan menemukannya di situ.

Maka begitu percakapan ini selesai dan Kim-mou-eng tak tahan tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu berseru menangkap sumoinya. “Sumoi....!”

Salima terkejut. Kedatangan dan seruan suhengnya ini membuat gadis itu terkesiap, lengannya dipegang dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan suhengnya itu. Suhengnya gemetar, berkaca-kaca, menggigil. Tapi begitu sadar dan kaget serta marah tiba-tiba Salima melengking dan mengebas lengannya. “Jangan sentuh aku!”

Kim-mou-eng terhuyung. Nikouw tua yang terkejut serta mengerutkan kening itu terdorong. Lalu mengucap puji puji dan merangkapkan kedua tangannya. Salima beringas, keadaan dinilai tidak baik. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluh dan Salima siap menyerang tiba-tiba nikouw ini maju menghalangi dengan sapaan lembut.

“Kau Kim-mou-eng, taihiap? Suheng nona ini? Ah, pinni telah mendengar tentang kalian. Tak perlu menyerang dan tekan semua kemarahan di hati. Kalau ingin bicara silahkan bicara baik-baik, pinni tak suka keributan. Ini rumah pinni. Biarlah pinni siapkan minuman dingin untuk kalian dan kalian bicaralah,” nikouw itu membungkuk, memberi isyarat halus dan segera mundur memberi kesempatan pada dua muda mudi itu.

Salima sadar dan menekan kemarahannya, betapapun dia bukan di rumah sendiri. Dan ketika suhengnya menggigil dan matanya sendu gadis ini membentak tak dapat menahan kemarahannya.

“Kau mau apa? Ada apa datang ke sini?”

Kim-mou-eng memegang lengan sumoinya, nekat. “Aku datang untuk menemuimu, sumoi. Kenapa kau menyembunyikan diri dan melakukan semuanya itu?”

“Apa yang kulakukan? Apa perdulimu?”

“Ah, tentu saja aku perduli. Sumoi. Aku penasaran. Aku ingin bertanya kenapa kau menerima cinta Hu-kongcu itu dan meninggalkan aku?”

“Hm!” Salima mengibaskan lengannya kembali, matanya dingin menusuk tajam “Itu bukan urusanmu, suheng. Itu urusanku pribadi!”

“Tidak, urusanmu berarti urusanku juga, sumoi. Kau mengkhianati cinta kita dan berpaling. Aku tak mengerti kenapa kau mencium pemuda itu segala dan berani berkata cinta!” Kim-mou-eng panas, lepas kendali dan dia geram memandang sumoinya ini.

Memang teringat adegan itu hatinya terbakar bukan main. Coba, sumoinya mencium mesra pemuda lain di depan hidungnya, bahkan mendekap dan peluk-peluk segala. Siapa tidak panas? Dan Kim-mou-eng yang marah menegur sumoinya itu tiba-tiba disambut ketawa aneh dan Salima geli, menjengek.

“Suheng, di antara kita barangkali apa yang kulakukan itu tidak seberapa. Lihat dirimu, tengok dirimu. Berapa kali kau melakukan adegan lebih seram dengan Cao Cun atau wanita lain? Berapa kali kau kumpul intim dengan Hu-siocia yang cantik manis itu? Hm, jangan buru-buru menuduh aku berpaling, suheng. Justeru kaulah yang berkhianat dan tidak memperdulikan aku. Kau mempermainkan aku, kau menyakiti aku. Jadi kalau aku menerima cinta pemuda lain dan menciumnya segala itu adalah hakku. Kau tak usah marah!”

Kim-mou-eng menggigil. “Tapi kau menipu, sumoi. Kau berpura-pura!”

“Apa maksudmu?” Salima terkejut.

“Hm....!” Kim-mou-eng menyambar lagi lengan sumoinya, mencengkeramnya erat. tak mau melepasnya. “Kau masih mencintaiku, sumoi. Dan akupun mencintaimu. Kalau kau menyatakan semua tuduhan itu kepadaku maka kau adalah keliru. Kau salah. Aku tak pernah mempermainkanmu dan sama sekali tak ada niat mempermainkanmu. Aku telah mendengar apa yang dibicarakan nikouw tadi dan cintamu terhadap Beng An adalah pura pura. Bohong!”

Salima gemetar, terpekik, meronta dan mau melepaskan diri tapi suhengnya tak mau melepaskan gadis itu. Kim-mou-eng merah padam dan berkata lagi bahwa ikalan batin di antara mereka tak mungkin putus, hubungan cinta di antara mereka tetap terpatri dan Salima mengeluh. Dan ketika Kim-mou-eng memberi tahu bahwa percakapan sumoinya dengan nikouw tadi telah didengar semua dan kenyataan gadis itu hendak mencukur rambut sebagai tanda patah hati maka Kim-mou-eng menyambar dan memeluk sumoinya ini, menggigil,

“Sumoi, tuduhan apalagi yang hendak kau berikan kepadaku? Perkiraan apalagi yang mengotori benakmu? Kau boleh tanya asal mula hubunganku dengan Cao Cun, sumoi. Tanyalah Wang taijin itu kenapa dia mula-mula hendak menjodohkan aku dengan puterinya tapi kutolak. Kenapa aku masih terikat dengan Cao Cun karena semata tanggung jawabku yang ingin menyelamatkan gadis itu dari kekejaman Mao-taijin. Tapi semuanya gagal, Cao Cun akhirnya menjadi isteri seorang bangsa liar dan aku dituduh sana-sini, difitnah sana-sini dan Cao Cun sendiri tak kurang-kurangnya menyangka aku jelek. Tak ku sangkal bahwa Cao Cun mencintaiku, tapi aku tak dapat menerimanya karena aku mencintaimu, sumoi. Dan aku berkali-kali meninggalkan gadis itu semata teringat dirimu. Sekarang kau bicara yang tidak-tidak, lalu penjelasan apalagi yang harus kuterangkan?”

Pendekar Rambut Emas menceritakan semuanya, mulai dari perkenalannya dengan Cao Cun sampai berpisahnya dia dengan puteri Wang taijin itu, diambilnya Cao Cun oleh pemimpin bangsa liar di utara sana dan betapa Cao Cun menderita. Sesungguhnya dia tak dapat menerima putri Wang taijin itu karena dia mencinta sumoinya. Salima terbelalak dan masih ragu, ada terbayang ketidakpercayaan dan Kim-mou-eng meneruskan, bahwa semua hubungannya dengan Cao Cun dulu semata hubungan biasa.

Cao Cun memang mencintanya dan terpaksa dia harus bersikap luwes, berkali-kali gadis itu hendak bunuh diri dan dia menyelamatkan, satu di antaranya adalah terpaksa berbohong dengan mengaku cinta pula kepada gadis itu, hampir mirip dengan apa yang telah dilakukan sumoinya terhadap Beng An, meskipun dasar dari dua perbuatan itu berbeda. Salima melakukan itu karena dendam, sedang Kim-mou-eng tidak. Dan ketika satu demi satu dia menceritakan segala keruwetannya dan betapa dia mencinta sumoinya maka Salima mengguguk namun masih menuding Swat Lian, putri Hu taihiap itu.

“Baiklah, tapi bagaimana sekarang dengan puteri Hu-taihiap itu, suheng? Bukankah kau mengaku cinta di depan kakaknya?”

“Maksudmu?”

“Kau menyatakan telah mempunyai tambatan hati, suheng. Dan yang kau maksud tentulah puteri Hu-taihiap itu, karena gadis itu memang ada di dekatmu. Nah, apa keteranganmu untuk ini?”

“Salah, kau lagi-lagi keliru, sumoi. Dalam pengakuanku terhadap Beng An sama sekali tak kusebut nama gadis yang kucinta. Beng An salah paham kalau mengira gadis yang kumaksud adalah adiknya, karena kau pun saat itu ada di sana. Dan karena pemuda itu keburu menanyakah dirimu dan gembira mengira aku mencintai adiknya maka aku diam saja ketika dia tak mendesak.”

“Jadi kau berbohong?”

“Aku tidak berbohong, sumoi. Hanya aku tidak menyatakan terus terang siapa gadis yang kucinta karena pemuda itu memang tidak mendesak. Nah, sekarang kuulangi kepadamu bahwa aku tetap mencintaimu. Hubunganku dengan Hu-siocia itu biasa-biasa saja karena aku sendiri memang tidak ada hati kepadanya.”

“Kalau dia yang ada hati kepadamu?”

“Aku tak mungkin menerimanya, sumoi. Aku telah memilih dirimu dan ikatan kita pun cukup lama. Aku berani sumpah hanya kaulah yang kucintai, bukan Cao Cun atau Swat Lian. Apalagi Cao Cun telah menjadi isteri orang lain dan tak mungkin aku bersikap gila dengan mencintai wanita yang telah menjadi ibu!”

“Ooh....!”

Kim-mou-eng terkejut. Sumoinya mengeluarkan keluhan itu berbareng dengan sebuah keluhan lain di samping mereka. Sesosok bayangan berkelebat dan Kim-mou-eng kaget. Cepat dia melepaskan sumoinya dan menengok. Salima juga begitu dan begitu mereka melihat siapa bayangan itu, Kim-mou-eng tertegun berseru tertahan, “Lian-moi....!”

Salima tersentak. Lagi-lagi dalam kelengahan diri sendiri yang terlampau terlibat dalam urusan pribadi mereka sama-sama tak mendengar gerakan orang lain. Swat Lian, puteri Hu Beng Kui itu mengintai. Apa yang dikata Kim-mou-eng dalam ucapannya yang terakhir tadi membuat Swat Lian terhuyung, nyaris menjerit dan gadis ini limbung. Baru sekarang dia tahu bahwa “Kim siucai” yang dicintainya itu adalah Pendekar Rambut Emas, pemuda yang telah memiliki pilihan hati sendiri dan orang yang dipilih itu bukan lain adalah sumoinya sendiri, Tiat-ciang Sian-li Salima.

Dan karena Swat Lian tak tahan dan cerita demi cerita yang dibeberkan Kim-mou-eng itu membuat kesadarannya akan orang yang ia cintai mendadak gadis ini mengeluh dan berkelebat keluar. Tak dapat menahan kehancurannya dan kebetulan juga keluhannya berbareng dengan keluhan Salima. Dan karena keluhan Salima adalah keluhan bahagia sementara keluhan puteri Hu taihiap ini adalah keluhan hati yang hancur maka Swat Lian tak dapat menyembunyikan tangisnya dan tersedu meninggalkan kelenteng itu, mau dikejar tapi Kim-mou-eng tertegun. Dia teringat sumoinya di situ, Salima membiarkan dan seolah menguji suhengnya ini apakah kata-katanya benar atau tidak. Dan karena Kim-mou-eng tercekat hatinya dan tentu saja dia tak berani mengejar akhirnya pendekar ini menggigil menangkap sumoinya.

“Nah, kau lihat, sumoi? Lagi-lagi seorang menjadi korban!”

Salima percaya. Sekarang dia pun tertegun seperti suhengnya itu, memandang kepergian Swat Lian dan terisak. Betapapun, dia dapat merasakan kehancuran hati puteri Hu Beng Kui itu dan mengangguk. Suhengnya benar, dia tetap merupakan pilihan suhengnya. Dan ketika suhengnya memeluk dan gadis ini menangis tiba-tiba Salima menubruk suhengnya meminta maaf. “Suheng, maafkan aku. Kiranya aku terlampau berprasangka!”

Kim-mou-eng menggigit bibir. Dalam saat seperti itu tak ada lagi kata-kata yang indah selain pandang mata dan sikap yang lembut, cepat membelai sumoinya ini dan mengusap rambutnya. Dan ketika wajah itu diungkap dan Kim-mou-eng menundukkan muka tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu telah mencium sumoinya. “Sumoi....!”

“Suheng.....!”

Dua tubuh itu lekat menjadi satu. Bayangan Swat Lian sudah mereka lupakan dengan cepat. Kebahagiaan itu telah menjadi milik mereka dan Salima mengeluh. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya dia memihta maaf pada suhengnya itu, menyambut dan segera mencium suhengnya dengan sedu-sedan yang tertahan di kerongkongan. Dan ketika mereka lupa diri dan saling melumat serta menumpahkan kasih sayang tiba-tiba seruan lembut menyadarkan mereka,

“Kim-taihiap, minuman dingin telah tersedia untuk kalian....!”

Kim-mou-eng cepat melepaskan sumoinya. Bibir yang basah bekas mencium gugup dibersihkan, Kim-mou-eng merah padam dan melihat nikouw tua itu telah berada di situ. Tentu saja dia kikuk. Tapi Salima yang bahagia serta melangkah maju dengan pipi kemerah-merahan sudah menyambut nikouw ini dan memeluk penuh haru.

“Suthai, aku telah menemukan kebahagiaan ku. Kau benar, maafkan semua kesesatanku dan biarlah kuturuti semua nasihatmu demi kebaikanku juga. Aku sadar,” Dan menoleh memandang suhengnya Salima memperkenalkan, “suheng. Inilah Ui Sim Nikouw. Beberapa hari ini aku tinggal di sini dan dialah yang selalu menasihati aku.”

Kim-mou-eng menjura. “Terima kasih, aku gembira kau telah menolong sumoiku, suthai. Semoga Tuhan membalas budimu.”

“Ah, kenapa kalian ini. Justeru pinni yang merasa bahagia kalian dapat rujuk kembali. Kim-taihiap. Pinni tahu bahwa sumoimu masih mencintaimu!”

“Ya, dan aku hampir putus asa, suthai. Untung Cu-ciangkun yang memberitahukan kepada ku di mana sumoiku yang nakal ini. Kalau tidak tentu aku tak dapat menemukannya dan barang kali dia sudah menjadi nikouw!”

“Ah....!” dan Ui Sim Nikouw yang tertawa memandang Salima lalu memberikan minuman di tangannya itu, geli dan menyuruh mereka minum. Salima menunduk dengan muka merah, malu dia teringat perbuatannya itu. Dan ketika mereka tertawa dan Ui Sim Nikouw memberi banyak nasihat kepada mereka akhirnya nikouw ini menyudahi dengan kata-kata manis. “Sudahlah, sekarang semuanya berakhir, Kim-taihiap. Aku merasa gembira kalian dapat bersatu lagi. Hanya sebelum kalian pergi barangkali pinni perlu mengingatkan lagi agar kalian bersikap lebih terbuka satu sama lain. Tetap jujur satu sama lain dan tidak gampang menuruti panasnya hati. Bukankah kalian mendambakan kebahagiaan?”

“Ya, terima kasih, suthai. Kami akan selalu menperhatikan ini...”

“Dan kapan kalian meresmikan pernikahan?”

Kim-mou-eng melirik sumoinya. “Terserah dia....” katanya menggoda.

“Ih, kenapa aku, suheng? Kau laki-laki, kaulah yang menentukan!” Salima semburat.

“Sudahlah, pinni harap kalian secepatnya menikah, taihiap. Dan pinni menyertai kalian dalam doa. Sampaikan salam pinni untuk guru kalian manusia dewa Bu-beng Sian-su itu. Sekarang kalian akan segera kembali ke suku bangsa kalian?”

“Ya, tapi setelah ke rumah Hu-taihiap dulu. suthai. Aku akan ke sana mengambil Sam-kong-kiam”

Kening nikouw itu tiba-tiba berkerut. “Belum selesai?”

“Belum.”

“Baiklah, hati-hatilah, taihiap. Aku tak mau bicara tentang ini dan selamat menemukan jalan kebahagiaan!” nikouw itu merangkapkan tangan, tahu Pendekar Rambut Emas tak akan mungkin berlama-lama lagi di situ dengan kekasihnya. Urusan mereka telah beres.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas juga menjura dan Salima memeluk nikouw ini maka Salima berbisik akan mengundang nikouw itu bila saat pernikahan tiba, disambut senyum dan anggukan nikouw ini dan Salima mengusap dua titik air matanya. Perjumpaan dengan Ui Sim Nikouw memberikan suatu kesan yang dalam, tak mungkin gadis itu melupakannya. Dan begitu mereka minta diri dan kembali mengucap terima kasih maka Kim-mou-eng berkelebat menyambar sumoinya, meninggalkan tempat itu, dipandang penuh haru dan mata berkaca-kaca oleh nikouw tua ini. Ui Sim Nikouw sendiri menitikkan dua titik air matanya yang jatuh tanpa terasa. Tapi begitu keduanya lenyap dan nikouw ini membalikkan tubuh maka dia memasuki kamarnya dan berkemak kemik membaca doa.

* * * * * * * *

“Taihiap, Hu Beng Kui telah menunggumu. Ah, ini sumoimu telah datang? Bagus, kami gembira sekali. Mari, taihiap, kita masuk dan temui si jago pedang itu!” Cu-ciangkun menyambut, berseru girang dan melihat Kim-mou-eng telah berhasil membawa sumoinya.

Dua orang muda itu tampak bahagia, Salima tersenyum-senyum. Cu ciangkun cepat menangkap bahwa persoalan di antara suheng dan sumoi itu telah selesai, tentu saja panglima ini gembira. Dan ketika bersama dua temannya yang lain dia memasuki rumah Hu taihiap dan disambut Gwan Beng dan Hauw Kam ternyata kedatangan mereka memang telah dinanti pendekar tua itu.

“Silahkan, suhu telah menanti kalian. Harap Kim-taihiap masuk dan mari kuantar.”

Kim-mou-eng dan teman-temannya diantar. Bersama dua murid tertua Hu Beng Kui yang masih ada mereka memasuki rumah besar itu, Kim-mou-eng berdebar dan melirik sana-sini, mencari Swat Lian namun tak ketemu. Agak tenang juga dia. Dan ketika mereka terus ke dalam dan akhirnya disuruh menunggu di sebuah ruangan yang besar dan luas maka di sini rombongan itu duduk dan Kauw Kam serta suhengnya melapor ke belakang, tak lama kemudian keluar lagi dan Hu Beng Kui muncul. Jago pedang ini muram, lengan kirinya yang buntung masih tak mengurangi kewibawaannya yang besar, matanya tajam berkilat. Dan ketika Kim-mou-eng berdiri dan semua orang memberi hormat maka jago pedang iiu bersinar-sinar memandang Kim-mou-eng, Sam-kong-kiam berada di belakang punggung dan tampak garang.

“Kalian menepati janji? Bagus, aku tak sabar menunggu kedatanganmu, Kim-mou-eng. Dan kebetulan sekali kau datang bersama sumoimu!”

Kim-mou-eng berdebar. “Maaf, aku diminta orang-orang ini untuk mengambil Sam-kong-kiam, Hu-taihiap. Sebenarnya alangkah baiknya apabila ini kulakukan tanpa bertempur!”

“Tak mungkin, kau telah memasuki pibu. Dan aku memperoleh pedang ini juga dengan keringat. Mari, kita ke belakang, Kim-mou-eng. Aku ingin menyelesaikan urusan ini denganmu” Hu-taihiap melompat, mengajak tamunya ke belakang.

Kim-mou-eng merasa heran kepada Swat Lian masih juga tak kelihatan, biasanya gadis itu menyertai ayahnya, melirik sumoinya dan kebetulan sumoinya pun melirik dirinya. Agaknya sejak tadi Salima memperhatikan suhengnya ini secara diam-diam jantung Kim-mou-eng berdetak dan mereka sudah ada di halaman belakang, luas dan lega. Dan ketika Hu Beng Kui tegak berdiri gagah dan menanti lawan utamanya maka semua orang mundur mempersilahkan Pendekar Rambut Emas maju, diam-diam dicekam ketegangan besar yang amat menggelisahkan.

“Hu-taihiap, aku datang sekedar memenuhi janjiku belaka. Maaf kalau kiranya aku bersikap kasar.”

“Hm, tak ada permusuhan pribadi diantara kita, Kim-mou-eng. Tak perlu sungkan dan sebaiknya bersikap wajar saja. Beruntung dirimu bahwa puteriku melarang aku mempergunakan Sam-kong-kiam. Mari mulai dan tak perlu bicara yang lalu-lalu lagi....”

“Sraat!” Hu Beng Kui mencabut pedangnya, Sam-kong-kiam itu, bukan untuk dipergunakan melainkan dilempar kepada muridnya, Gwat Beng, cepat menangkap dan menjatuhkan diri berlutut karena wibawa pedang begitu besar. Sinar berkilauan memancar begitu kuat dari tubuh pedang ini. Dan ketika Hu Beng Kui melepas sarungnya pula dan menyuruh muridnya menyimpan pedang itu maka pendekar ini meminta sebatang pedang biasa kepada muridnya itu, diberi dan Hu Beng Kui sudah memasang kuda-kuda di depan lawannya.

Pendekar Rambut Emas tertegun melihat semuanya itu. Dan tetap tak melihat dimana Swat Lian, tiba-tiba Kim-mou-eng tak tahan bertanya, “Maaf, mana puterimu, Hu-taihiap? Kenapa tak menyertaimu?”

“Sudah kubilang tak perlu bicara yang lain, Kim-mou-eng. Majulah dan mari kita bertempur!”

Kim-mou-eng terkejut. Sinar mata yang berkilat dan mencorong menggambarkan perasaan bermacam-macam dari jago pedang itu membuat Pendekar Rambut Emas sulit menerka, apa kiranya arti dari kilatan mata itu. Tapi karena lawan telah menghentikan pertanyaannya dan bentakan itu didengar sumoinya pula akhirnya, Kim-mou-eng memerah dan cepat menenangkan guncangan hatinya, sedikit merasa heran dan lega kenapa pendekar itu tidak menggunakan Sam-kong-kiam. Sebenarnya dia bingung dan gelisah juga kalau pedang yang ampuh itu dipergunakan pendekar ini, kebetulan sekarang Hu Beng Kui malah mempergunakan pedang biasa.

Dan karena ini merupakan keringanan baginya dan betapapun jago pedang itu masih belum sembuh luka lukanya maka dia membalas dengan anggukan simpatik, bertangan kosong, menyuruh pendekar maju tapi Hu Beng Kui malah marah. Jago pedang itu menyuruh dia mengeluarkan senjatanya, pit hitam yang disembunyikan di balik baju. Lawan telah melihat itu dan ini menunjukkan betapa tajamnya mata pendekar pedang itu. Dan ketika Kim-mou-eng bersikeras dan ingin bertangan kosong saja Hu-taihiap justeru semakin gusar, merasa terhina.

“Aku tak mau menyerang orang yang bertangan kosong dengan pedang di tangan, Kim-mou-eng. Kalau kau bertangan kosong maka aku juga akan melepaskan pedang ini. Tapi kau tak akan merasakan lihainya ilmu pedangku. Nah, pilih. Ingin bertanding sungguh-sungguh dan melihat siapa yang unggul atau kau mungkin menang tanpa mau mengeluarkan ilmu pedangku karena kebetulan kau lebih lihai bertanding tanpa senjata!”

Terpaksa, Kim-mou-eng mencabut senjatanya dia tak mau dianggap merendahkan dan dia tahu keistimewaan lawannya ini. Hu Beng Kui memang terkenal akan ilmu pedangnya, bahkan itulah dijuluki Si Pedang Maut. Dan karena lawan adalah seorang jago dan jelas menghendaki lawan bertangan kosong adalah sama saja dengan menghendaki “kemurahan” yang lebih jauh lagi Kim-mou-eng mengangguk dan menghela napas.

Tentu saja sebagai seorang pendekar dia tak mau dikasihani lawan. Bahwa lawan tak mempergunakan sam-kong-kiam saja sudah termasuk sehuah kemurahan baginya, itu lebih dan cukup, apalagi lawan sebenarnya masih menderita dengan buntungnya lengan itu. Maka begitu mencabut pit-nya dan menyuruh lawan menyerang tiba tiba secepat kilat tanpa gerakan pendahuluan lawannya sudah berkelebat dan lenyap dalam satu tusukan luar masa yang menuju tenggorokannya.

“Aku mulai...!” Bentakan itu kalah cepat dengan gerakan pedang. Hu Beng Kui sendiri sudah mencelat ke arahnya dengan tusukan lurus, hanya tampak sinar putih dan ujung pedang pun tahu-tahu sudah berada di kulit leher. Bukan main hebatnya...