Pedang Tiga Dimensi Jilid 17

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Pedang Tiga Dimensi Jilid 17 Karya Batara
Sonny Ogawa

Pedang Tiga Dimensi
Jilid 17
Karya Batara


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
BAGAIMANA dengan Gwan Beng? Hampir tak jauh berbeda Murid tertua Hu Beng Kui ini menghadapi Ma Tung. Kakek tinggi besar dari Bhutan itu menggosok-gosok kedua tangannya, timbullah semacam kepulan tipis di mana hawa dingin menyerang. Gwan Beng menghadapi kakek itu dengan tangan kosong, mula-mula.

Tapi ketika belasan jurus mereka bertanding dan hawa dingin itu kian mendesak tiba-tiba Gwan Beng terpaksa mencabut pedangnya dan menghadapi kakek tinggi besar ini dengan senjata, menahan pukulan-pukulan dingin dan lawannya sementara Ma Tung tertawa mengejek. Kakek ini memiliki ilmu yang disebut Pek-in-kang (Pukulan Awan Putih), mengandalkan tenaga Im-kang (telaga dingin) dan dengan tenaga itu dia mengisi pukulan pukulannya, mendesak dan menekan tapi kini pedang mulai bicara.

Gwan Beng melindungi dirinya dengan pedang di tangan hingga gulungan putih membungkus dirinya begitu rapat. pukulan dingin selalu terbentur sinar pedangnya itu dan kakek Bhutan ini terkejut karena Pek-in-kangnya terpental, selalu tertolak begitu menyentuh gulungan putih di depan tubuh lawannya. Dan ketika berkali-kali dia harus menggeram karena pukulannya tak dapat masuk maka kakek ini membentak menyuruh lawan membalas.

“Ayo jangan bertahan saja. bocah. Balas dan seraglah aku!”

Gwan Beng adalah pemuda yang tenang. Diantara kelima murid Hu Beng Kui pemuda ini adalah yang paling pendiam, jarang bicara kalau tidak dirasa perlu. Karena itu dia juga paling penyabar dibanding adik-adiknya yang lain. Maka mendengar lawan membentak dan menyuruh dia menyerang pemuda ini enak saja tersenyum menjawab, “Kau seranglah aku kalau bisa, kakek Bhutan. Kalau aku sudah selesai dan kurasa waktunya tepat tentu aku akan membalasmu!”

“Keparat, kalau begitu aku akan merobohkanmu....”

“wuuut-plakk!”

Dan pukulan Pek-in-kang yang kembali membentur cahaya pedang tiba-tiba membalik dan membuat kakek ini marah, berseru keras dan Ma Tung melompat tinggi. Dalam pertempuran belasan jurus ini sekarang dia melihat bahwa yang merupakan bagian kosong adalah bagian atas, depan dan belakang atau kiri dan kanan sudah penuh dilindungi pedang, pemuda itu rapat benar melindungi dirinya. Maka begitu matanya melihat lowongan dan cepat kakek ini melompat tinggi berjungkir balik tiba-tiba dia sudah melepas pukulannya lagi ke ubun-ubun kepala lawan.

“Plak-bret!”

Ma Tung malah kaget. Pukulannya yang dilancarkan dari atas tadi sekonyong konyong menghadapi cahaya keperakan, pedang mengikuti gerakannya dan Gwan Beng membentuk gerakan pedangnya seperti setengah bola, hebat dan bagus bukan main pemuda itu sudah melindungi ubun-ubunnya dari serangan lawan, menangkis dan menolak dan kakek Bhutan itu memekik. Dia gagal dan marah melengking tinggi. Dan ketika Ma Tung mencoba namun gagal lagi tiba-tiba kakek ini mengeluarkan pecut berujung roda menjeletar menuju tengah-tengah gulungan cahaya pedang.

“Tar-tar!”

Kini kakek itu bersenjata. Ma Tung rupanya tak tahan diajak bersabar, seram dia menghadapi lawan yang demikian tenang. Maka begitu Pek in-kangnya tak mampu menembus cahaya pedang di tangan lawan dan pemuda itu masih bersikap bertahan saja maka dua kali pecut berodanya menyambar dan kali ini gulungan pedang di tangan lawan pecah.

“Siiing....!” Gwan Beng terkejut. Setelah lawan mengeluarkan senjatanya menghadapi pedang tiba-tiba gulungan pedangnya buyar, kakek itu mampu menerobos dan kini pecut beroda itu menyambar lurus, menuju dadanya tapi dia mengelak, masih mengejar dan terpaksa pemuda ini menggerakkan lengan kiri, menangkis. Dan ketika lengannya tergetar bertemu roda di ujung pecut dan lawan terbahak merangsek maju tiba-tiba tangan kiri Ma Tung menyambar pula dengan pukulan Pek-in-kangnya itu.

“Des-plak!” Gwan Beng terhuyung, kalah posisi dan nyaris terpelanting. Kiranya setelah Ma Tung dibantu senjatanya itu kakek ini bagai harimau tumbuh sayap, Gwan Beng terpaksa berlompatan dan belum membalas. Tapi ketika lawan mengejar dan apa boleh buat terpaksa dia melawan keras dengan keras akhirnya untuk pertama kali pemuda ini membentak menukikkan pedangnya, ketika menangkis pecut beroda yang mengejar pundaknya, bertemu dan lawan tergetar.

Gwan Beng mengerahkan tenaganya ketika menangkis tadi, menambah kekuatan. Dan ketika lawan tertegun dan marah memandangnya tiba-tiba pemuda ini melesat ke depan dengan tikaman beruntun. Tiga kali menusuk tenggorokan lawan dan ujung pedangnya pecah menjadi tiga bagian. Hebat sekali. Dan ketika lawan mengelak dan pecut ditarik menangkis tiba-tiba dengan satu seruan keras pemuda itu mengeluarkan jurus yang disebut Bianglala Menembus Bulan.

“Brett!” untuk pertama kali Ma Tung menggereng. Leher bajunya putus, habis dimakan pedang. Dia tadi menggerakkan pecut berodanya namun kalah cepat, pedang menyelinap dan sudah menusuk, dilanjutkan dengan gerak membabat dan dia miringkan kepala, masih kena dan leher bajunya termakan. Kakek ini marah karena sebagian kulit lehernya juga keserempet, tidak terluka karena Ma Tung mengerahkan sinkangnya, kulit menjadi kebal dan Gwan Berg kagum, tadi dia sudah melakukan jurus yang cepat dan kalau lawan lain tentu roboh, kakek ini hanya terhuyung saja dan leher pun tidak lecet. Gwan Beng mendesah dan lawan pun mengumpat. Dan ketika kakek itu menggereng dan lagi-lagi menyerang dengan pecut berodanya untuk membalas kekalahan kecilnya tadi tiba-tiba di ujung pertempuran terdengar pekik seseorang dan Bu-kongcu roboh terjungkal.

Apa yang terjadi? Kiranya penyelesaian sepihak. Sebagaimana diketahui, pertandingan Bu Ham melawan murid termuda Hu Beng Kui ini berjalan lama, Kao Sin dapat mendesak lawan tapi Bu-kongcu menarik ularnya. Dengan ular ini murid Mo-ong itu bertahan dan pertandingan kembali berjalan imbang. Kao Sin harus berhati-hati menghadapi ular di tangan kiri pemuda muka pucat itu, tahu bahwa ular di tangan lawannya ini adalah ular berbisa yang harus diwaspadai.

Tapi karena Kao Sin adalah pemuda yang sudah kenyang pertempuran dalam sebulan penuh ini dengan pertandingan melawan penantang-penantang yang dirobohkannya dalam berbagai jenis maka pemuda ini mulai dapat menguasai jalannya pertandingan lagi dengan menekan lawan, menggerakkan pedang pada tubuh ular itu sementara kebutan kipas dihadapi dengan tangan kirinya.

Bu-kongcu terbelalak karena dia pun mulai merasa bahwa ular di tangan kirinya itulah yang diperhatikan lawan daripada kipasnya. Dari benturan sinkang dia tahu bahwa murid Hu Beng Kui itu lebih kuat. Bu Ham diam-diam gentar. Dan ketika pedang menyambar-nyambar ke arah ular di tangan kirinya dan nyaris berkali-kali membacok pergelangan tangannya akhirnya satu saat murid Mo-ong ini tak dapat menjaga piaraannya ketika pedang membacok putus kepala ularnya.

“Tas!” Ular menggelepar terbelah dua. Bu-kongcu memekik melihat ularnya terbacok, darah memuncrat dan dia pun membuang bangkai ular itu, tidak ke tanah melainkan ke muka lawan. Dan ketika lawan menggerakkan pedangnya menebas lagi tubuh ular yang semakin terpotong tiba-tiba dia berkelebat menotok rahang lawan dengan kipas tertutup.

“Criit!” Kao Sin waspada, memang menunggu saat begitu dengan seolah membiarkan dirinya terbuka, melihat lawan menyambar maju dengan totokan kipasnya. Tentu saja dia tak mau roboh dengan membiarkan rahang ditotok. Maka begitu pedangnya bergerak dan lawan terkekeh dengan kipas tertutup tiba-tiba Kao Sin melakukan gerakan yang sama sekali tak disangka lawan. Jurus tipuan yang disebut Dewa Pedang Memetik Kembang, tubuh meliuk dan tahu-tahu dia sudah berputar dan berada di belakang lawan.

Tentu saja lawan kaget bukan main karena Bu-kongcu tak menyangka. Totokannya tadi otomatis mengenai angin kosong dan lawan sudah bergerak dengan pedangnya di belakang, menusuk punggung. Dan karena sudah tak mungkin lagi untuk menangkis dan membalik menghadapi serangan itu pun juga sudah tak sempat lagi maka Bu-kongcu melempar tubuh bergulingan namun Kao Sin mengejar, pedang tetap membayang dibelakang punggung dan tiga titik menjadi sasaran pedang pemuda ini. Dari bawah leher sampai ke tulang ekor. Hebat serangan itu, tak mungkin lawan dapat mengelak lagi.

Dan ketika benar pedang mengenai lawan dan punggung pemuda itu tertusuk pedang maka Bu Ham menjerit terpelanting roboh, luka dan mengaduh memanggil suhunya, tentu saja tak mungkin ditolong karena Mo-ong sendiri masih sibuk disana. Pemuda ini kesakitan ketika lawan menendangnya pula. Dan ketika Bu Ham bergulingan melompat bangun dan pucat memandang lawan maka Kao Sin sudah menusuknya lagi dengan jurus terakhir, bermaksud menyelesaikan pertempuran, lawan terbelalak menggerakkan kipas namun senjata itu malah terpental. Bu-kongcu benar-benar berada di ambang kekalahan. Tapi ketika lawan membentak dan Bu Ham melotot gusar tiba-tiba tanpa diduga sama sekali pemuda ini merenggut sesuatu dari balik bajunya dan melempar granat ke muka Kao Sin.

“Darr!” Granat meledak, Kao Sin berteriak dan roboh menggelepar. Penonton segera menjadi geger melihat kejadian tak diduga-duga itu. Bu Ham berbuat curang dalam pibu yang adil, melempar senjata peledak yang tepat sekali mengenai muka lawannya. Tadi Kao Sin menangkis dengan pedangnya karena tak menyangka itu sebuah granat, tentu saja meledak dan pecahan granat berhamburan mengenai pemuda itu. Kao Sin berkelojotan dan penonton gempar. Dan ketika murid Hu Beng Kui itu roboh dengan luka parah dan jeritan terdengar di sana-sini mendadak Bu Ham melompat dan melempar lagi beberapa granat kearah Cun Li dan Gi Lun.

“Dar-dar!” Keadaan menjadi ribut. Saat itu Cun Li dan suhengnya sedang sibuk menghadapi Hek-bong Siang-lo-mo, bertanding cepat dan keras karena Sepasang Iblis cebol itu berkepandaian tinggi mereka harus memusatkan seluruh perhatian pada lawan yang berbahaya ini. Maka ketika Bu Ham melempar granat dan mereka tentu saja tak mengira sama sekali maka dua granat itu meledak dan mereka pun terbanting roboh, menjerit dan kembali sebuah pekikan terdengar.

Seorang gadis berkelebat, itulah Siu Cing, melihat kekasihnya berteriak dan gadis ini melengking kaget. Siu Cing dan adiknya, Siu Loan, telah menghambur ke tempat Kao Sin dan Cun Li, tentu saja mereka marah. Dan karena tiga murid Hu Beng Kui telah roboh sekaligus dihantam granat dan penonton kaget oleh kejadian tak disangka-sangka itu maka Hek-bong Siang-lo-mo tertawa bergelak menyambar yang lain, tersembunyi di balik asap yang tebal mereka menyerang Hauw Kam dan Gwan Heng. Di sini kekalutan terjadi, Hauw Kam dan Suhengnya terkejut mendengar bunyi ledakan-ledakan itu.

Penonton kalut dan Bu Ham melempar lagi beberapa granat ke arah mereka, penonton diusir dan segera kegaduhan tumpang-tindih menyertai pibu ini. Tentu saja semakin geger dan tidak keruan. Din ketika semuanya kacau dan Hek-bong Siang-lo-mo mererjang dua murid Hu Beng Kui tertua dan Hauw Kam serta Gwan Beng terkesiap oleh kecurangan ini maka sambaran sabit menyobek pundak mereka ketika mereka sedang memusatkan konsentrasi pada lawan.

“Cret-augh...!” Hauw Kam dan suhengnya terguling. Twa-lo-mo dan adiknya terbahak menyerang dua pemuda itu. mengeroyok dan mengejar lagi sementara Bong Kak dan Ma Tung menggeram. Dua kakek Bhutan ini sebenarnya tak senang dibantu dua iblis cebol itu, seolah mereka tak dapat mengatasi lawan dan merasa direndahkan. Tapi karena mereka sudah maju dan pertempuran menjadi kacau maka dua kakek Bhutan ini tak dapat berbuat apa-apa dan mengomeli sepasang Iblis Kuburan itu, memaki dan menyerang Hauw Kam serta suhengnya untuk mendahului Hek-bong Siang lo-mo merobohkan lawan mereka.

Tentu saja keadaan ini membahayakan dua pemuda itu karena menghadapi Ma Tung atau Bong Kak seorang saja mereka masih berimbang, kini dikeroyok dan diserang Hek-bong Siang lo mo pula, tak ayal membuat dua pemuda ini menjadi marah dan terdesak. Dan ketika sabit melukai pundak mereka dan Gwan Beng yang termasuk sabar menjadi marah maka di pihak lain Hu Beng Kui dan Beng An serta Swat Lian terkejut.

Jago pedang ini terbelalak. Dia melihat muridnya roboh di sana, bukan oleh pertandingan melainkan oleh ledakan granat yang dilakukan Bu Ham, tersentak dan kaget dan sebuah pukulan petir menyambar, mengenai pangkal lengannya dan jago pedang ini menggerung, terpelanting bergulingan. Betapapun Tiat-lui-kang yang dilakukan Salima adalah pukulan berbahaya yang kalau orang lain yang menerimanya tentu sudah roboh dengan tubuh gosong. Pendekar itu dapat mengerahkan sinkangnya dan baju pundaknya saja yang terbakar, hangus. Dia sadar dan cepat melompat bangun. Dan ketika Salima berkelebat kembali menyerangnya dan menyuruh dia menyerahkan Sam kong-kiam tiba-tiba jago pedang ini naik darah menangkis pukulan lawan.

“Dukk!” Salima menjerit. Kali ini si jago pedang mengerahkan tenaganya sedemikian rupa hingga Tiat-lui-kang tertolak, Salima terpental dan jatuh bergulingan dua tombak. Pukulan Petirnya membalik dan gadis itu harus menggulingkan tubuh kalau tak ingin senjata makan tuan, pukulannya meledak di sisi kepala dan Hu Beng Kui menggereng, meninggalkannya dan melompat ke arah muridnya yang saat itu diserang Hek-bong Siang lo mo yang terbahak mengeroyok bersama Ma Tung dan Bong Kak, Hauw Kam terbanting dua kali ketika harus memutar pedangnya menangkis dua sambaran sabit di tangan sepasang iblis cebol itu.

Dan begitu mereka menyerang lagi dan Hu Beng Kui datang berkelebat tiba-tiba secercah sinar mendesing dari tangan jago pedang ini disusul pekik kaget Hek-bong Siang-lo-mo yang dipapas sabitnya oleh sinar yang menyambar dari tangan jago pedang itu, bergulingan menjerit ketika sinar yang luar biasa ini masih mengejar mereka, dua kali menusuk dan membabat. Dan ketika Hu Beng Kui membuat gerak silang dari atas ke bawah dan Bong Kak serta Ma Tung menyambut tiba sekonyong-sekonyong dua kakek tinggi besar itu berteriak keras ketika mengenal sinar apa gerangan yang berkelebatan menyambar dari tangan jago pedang itu.

“Awas Sam-kong-kiam...”

“Bret-brett!” Dua kakek itu bergulingan, maksudnya memperingatkan kawannya tapi mereka sendiri terbabat pedang. Dua luka panjang menghias tubuh dua kakek ini dari lengan ke pergelangan. cepat membanting diri bergulingan dan Hek-bong Siang lo'mo kakak beradik pucat. Sabit mereka putus ujungnya disambar sinar yang berkilauan dari tangan Hu Beng Kui ini, tak tahunya Sam-kong-kiam, pedang yang membuat bulu roma bergidik saking dingin dan seramnya. Dan ketika mereka terkejut dan Hu Beng Kui membentak menyuruh dua muridnya bangun melompat maka pendekar yang marah itu sudah memburu Hek-bong Siang-lo-mo yang berada paling dekat dibanding Bong Kak atau Ma Tung.

“Lo-mo, kalian iblis-iblis licik. Kubunuh kalian....”

“Wuut singgg....”

Dan pedang yang terayun panjang menusuk dua iblis itu tahu-tahu sudah berada di depan mata dan mereka menangkis, lupa bahwa yang dihadapi adalah sebatang pedang pusaka. Hawa dinginnya saja sudah cukup membuat orang biasa tergores. Maka begitu sabit menangkis pedang dan sabit yang sudah putus itu dibabat seperti agar-agar maka dua iblis ini menjerit ketika pedang masih menyambar dan terus menuju tenggerokan mereka, lurus bagai petir menyambar.

“Aih....”

“Bret-crat!” Hek-bong Siang-lo-mo tunggang langgang. Mereka terluka menerima goresan pedang, bergulingan menjauh dan melempar kutungan sabit ketika jago pedang itu mengejar. Hebat sekali jago pedang ini. Dalam kemarahannya Hu Beng Kui berobah menjadi seekor harimau haus darah, dia tak memberi ampun dan membabat kutungan sabit itu, putus lagi menjadi beberapa bagian dan dua iblis cebol itu pucat. Dan ketika mereka berteriak agar Bong Kak atau Ma Tung maju membantu maka dari belakang Ma Tung melancarkan pecut berodanya menghantam belakang kepala jago pedang itu.

“Takk!”

Hu Beng Kui tak apa-apa. Pendekar ini tergetar sedikit tapi sudah maju lagi, mengejar Lo-mo dan geramannya mendirikan bulu roma. Mata yang ganas dan muka yang beringas itu cukup merontokkan nyali lawan. Hek-bong Siang-lo-mo bingung karena mereka tak bersenjata lagi. Itu membuat mereka ngeri. Maka ketika lawan menerjang dan pedang di tangan Hu Beng Kui menyambar bagai kilat menyambar-nyambar maka dua iblis ini melempar tubuh bergulingan dan berteriak-teriak agar yang lain menolong, Bong Kak dan Ma Tung maju tapi dibabat cahaya bergulung-gulurg itu, tentu saja mundur dan bingung serta kaget bagaimana mereka dapat menghadapi lawan yang marah itu. Hu Beng Kui dengan Sam kong kiam di tangan seolah seekor naga sakti, tak ada yang dapat mendekat.

Tapi ketika jago pedang itu mengamuk dan Hauw Kam serta Gwan Beng dapat maju kembali meskipun terluka dan agak lamban tiba-tiba terdengar bentakan dan tawa mengejek, “Hu-taihiap, berhenti. Lihat apa ini!”

Hu Beng Kui membalik. Dia mendengar keluhan dan jeritan lirih dari dua orang anakrya, tertegun karena Swat Lian dan Beng An ternyata roboh di tangan siauw-bin-kwi dan Mo-ong. Dua iblis itu tertawa, masing-masing mencengkeram tengkuk. Tak tahu dia apa yang terjadi dan kenapa Swat Lian dan Beng An yang dapat melayani dua iblis itu roboh di tangan lawan. Tapi begitu dia berhenti dan Bin-kwi serta Mo-ong berkelebat di depannya maka Hek-bong Siang lo mo dan Bong Kak serta Ma Tung cepat mengepungnya dan maju menyeringai.

“Hu-taihiap, kami telah merobohkan anakmu. Kalau kau menginginkan keselamatan mereka sukalah kau memberikan pedang kepada kami dan mereka kami bebaskan!”

Hu-taihiap tertegun. Apa yang terjadi? Kiranya sebuah kecurangan yang lagi-lagi dilakukan dua kakek iblis ini. Sebagaimana diketahui, Mo-ong maupun Bin-kwi tak dapat mendesak lawan. Mereka menghadapi perlawanan luar biasa dari dua kakak beradik itu. Swat Lian bahkan berhasil merobek kipas di tangan Mo-ong, pertandingan berjalan terus dan Mo-ong tak dapat menembus gulungan pedang di tangan gadis itu, begitu juga Bin-kwi. Tapi begitu Bu Ham membuat kacau dengan ledakan granatnya dan Kao Sin serta Cu Lin dan Gi Lun roboh luka parah maka Bang An dan adiknya terkejut melihat kejadian itu.

Sama seperti ayah mereka dua kakak beradik ini pun marah melihat kecurangan Bu Ham. Pihak mereka roboh sekaligus tiga orang, hampir separuh dari jumlah yang ada. Dan Beng An serta Swat Lian yang marah dan terkejut oleh peristiwa itu lalu hampir saja terpukul tongkat dan kipas ketika lengah, sesaat menoleh namun cukup membuat lawan mereka mendapat kesempatan bagus.

Tongkat di tangan Bin-kwi menyambar kepala Beng An dan pemuda itu nyaris roboh kalau tidak cepat melempar tubuh bergulingan, ini berarti putaran pedangnya kacau dan Bin-kwi terbahak. berkelebat dan mengejar melakukan serangan bertubi-tubi. Dua tongkatnya ganti-berganti menyodok dan mengemplang, sekali kena tentu Beng An celaka dan terpaksa pemuda ini menggulingkan tubuh semakin jauh menghindari lawan. Tapi karena Bin-kwi terus memburu dan Beng An sibuk bergulingan di bawah sambil memutar pedangnya maka berkali-kali tongkat ditangkis pedang dan lawan penasaran belum juga dapat menyelesaikan pemuda itu, kagum dan sengit dan terus pemuda itu dikejar. Beng An terdesak dan posisinya berada dalam bahaya.

Tapi karena Beng An adalah putera seorang jago pedang dan jelek-jelek dia hanya setingkat di bawah ayahnya saja maka Beng An membuat jurus Trenggiing Menari Dua Kali ketika tongkat di tangan kiri lawan menyambar, tidak menangkis tapi melipat tubuh menjadi dua. Dengan amat berani dan cepat pemuda ini mengambil resiko, tongkat serambut saja menghantam pinggangnya, sebenarnya menuju dada tapi Beng An sudah melipat tubuhnya tadi, nyaris terkena. Dan ketika lawan mengumpat dan tongkat yang satu lagi bergerak menghantam kepalanya tiba-tiba Beng An melenting dan sudah membentak menangkis tongkat yang ini, sekaligus menggerakkan kaki dari arah berlawanan menendang kepala lawannya.

“Trak-dess!”

Bin-kwi terpelanting. Gerakan Beng An yang mengkerut dan melenting itu termasuk luar biasa, dalam posisi begitu sulit pemuda ini mampu meloloskan diri, meskipun sedikit terlambat saja tentu dia bakal terkapar, tongkat bisa menghantam dadanya kalau tidak cepat melipat tubuh, satu gerakan yang berbahaya dan penuh resiko. Dan ketika Bin-kwi malah terpelanting dan Beng An bebas melompat bangun maka pemuda ini ganti mengejar lawan dan pedangnya sudah menusuk dan membacok bertubi-tubi, begitu cepat dan gencar hingga Bin-kwi memaki.

Iblis ini terdesak dan terpaksa dia menggerakkan tongkat berkali kali. Benturan demi benturan membuat keduanya berkeringat, itu memakan tenaga. Dan ketika kembali pertempuran sengit terjadi di sini dan Beng An mendepak tapi Bin-kwi dapat bertahan maka di lain tempat Swat Lian juga mengalami hal yang hampir sama dengan kakaknya.

Saat itu dia meleng, menengok jeritan Kao Sin yang roboh luka parah. Hanya sekejap saja dia memperhatikan ini, tapi Mo-ong yang dapat melihat kesempatan dan sudah menubruk tiba-tiba menutup kipasnya menotok kening, gerakannya cepat dan hampir tak bersuara. Swat Lian kaget ketika ujung kipas tahu-tahu sudah di dekat hidung Mo-ong tertawa bergelak dan dia melempar kepala ke belakang. Tapi ketika kakek itu mengejar dan ujung kipas ganti menuju dadanya yang membusung padat tiba-tiba secara kurang ajar pula kakek ini menggerakkan tangan yang lain untuk meremas!

“Aih...trak-trakk!”

Swat Lian terpaksa membanting tubuh bergulingan, memekik dan memaki kakek itu seraya menggerakkan pedang, menangkis tapi pedang tiba-tiba terjepit. Kiranya kipas yang robek ditusuk pedang justeru kini membuat celaka bagi gadis ini, pedangnya terjepit di tengah tulang tulang kipas, mau dicabut tapi lawan sudah menutup kipasnya, tentu saja tak dapat ditarik dan Mo-ong mengikuti gulingan tubuhnya. Kakek ini terbahak seraya membetot dan mau merampas pedang, Swat Lian pucat dan justeru melakukan gerakan sebaliknya untuk mencabut dan menyelamatkan pedangnya. Dan ketika keduanya bergulingan seolah orang berkejar-kejaran untuk bercumbu maka jari Mo-ong mencengkeram celana Swat Lian dan langsung menarik.

“Breett....!” Swat Lian terpekik. Untuk kedua kalinya dia memaki kakek itu, menendang dan Mo-ong melepaskan sobekan celananya, tertawa tapi tetap mengikuti kemana puteri Hu Beng Kui itu menggulingkan tubuh. Dan ketika Swat Lian pucat dan marah serta gelisah tiba-tiba dengan nekad ia menghentikan gerakannya dan membentak mencobloskan pedang yang langsung menusuk dada kakek itu, tentu saja membuat Mo-ong terkesiap dan menghentikan gerakannya pula. Ada satu di antara dua pilihan, tetap “menempel” gadis itu.

Tapi dadanya menerima tusukan atau dia mengelak dan berarti menarik kipas. Dan jalan kedua itulah yang dipilih Mo-ong. Kakek itu tak berani mengambil resiko, betapapun dia tahu betapa berbahayanya pedang di tangan puteri Hu Beng Kui ini. Maka ketika dengan kecewa terpaksa dia menarik kipas dan bergulingan menjauh sambil melompat bangun maka di sana Swat Lian juga melompat bangun dan berseru keras menerjang kakek itu lagi.

Begitulah, keduanya lalu bertempur sengit. Mo-ong diam-diam merasa sayang dengan kesempatannya tadi, kesempatan yang sukar didapatkan dan sulit rasanya mengulang kejadian seperti tadi. Namun karena kipasnya yang berlubang justru seakan memberikan ilham baginya untuk mempergunakan itu sebagai “penjepit” maka Mo-ong mulai beraksi dengan memberikan bagian ini untuk menangkap pedang lawannya lagi, dua tiga kali berhasil tapi Swat Lian mampu melepaskan diri. Kiranya gadis ini tak mau dibodohi lagi dengan cara seperti itu. Tadi dia terjebak karena konsentrasinya pecah, terkejut oleh robohnya Kao Sin. Jadi inilah yang menjadikan dia dikejar lawan dan nyaris celaka.

Tapi karena sekarang konsentrasinya sudah dipusatkan lagi dan tak mungkin Mo-ong memperdayainya seperti tadi maka iblis ini geram ketika Swat Lian melakukan perlawanan sengit dan tak dapat didesak lagi, bahkan dia yang dihujani serangan-serangan gencar di mana pedang menyambar-nyambar bagai naga haus darah. Dua tiga kali mengelak namun masih juga beberapa bagai bajunya terkuak. Mo-ong mulai gusar. Dan ketika kipas kembali menangkis tapi gagal menjepit tiba-tiba iblis ini mengedarkan pelor-pelor rahasianya dan mulai mempergunakan senjata-senjata rahasia itu untuk memecah perhatian lawan.

“Bocah, kau akan kurobohkan. Tak boleh tidak!” Mo-ong mulai menghamburkan senjata-rahasianya itu menahan desakan perang dan Swat Lian terbelalak. Gadis ini seketika merah mukanya karena lawan tak malu malu berbuat seperti itu, memakai am-gi (senjata gelap) dan membantu kipas di tangan kanan uniuk mengacau konsentrasinya. Dan karena Swat Lian kurang pengalaman itu berani menangkis pelor2 yang menyambar tubuhnya maka tak pelak lagi dia menerima akibat tak menyenangkan ketika dari dalam pelor pelor yang pecah itu berhamburan jarum-jarum halus yang menuju ke tubuhnya.

Inilah keistimewaan senjata rahasia Mo-ong di mana orang yang tak tahu akan menangkis dan menerima hamburan jarum jarum halus itu, jadi senjata rahasia yang di dalamnya mengandung “rahasia” pula. Swat Lian terkejut ketika harus menerima ini, menangkis pelor-pelor yang pecah dan menghadapi lagi jarum-jarum halus ymg amat banyak yang menyembur dari balik pelor itu. Dan karena Mo-ong sendiri terus menggerakkan kipasnya dan jurus demi jurus dilancarkan kakek ini untuk mencapai kemenangan dalam cara apapun.

Maka Swat Lian menjerit ketika dua batang jarum mengenai pundak dan pangkal lengannya, terhuyung dan merasa kesemutan di mana lawan terus menyerang dengan kipasnya pula. Mo-ong terbahak. Dan ketika satu saat Swat Lian menangkis totokan kakek itu dan pedangnya bertemu kipas tiba-tiba pedangnya terlepas karena tenaga yang dipakai menangkis serangan mendadak seolah dilolosi oleh gangguan kesemutan terkena jarum-jarum beracun.

“Trang-trangg....!”

Swat Lian pucat. Dia tak menduga semuanya itu, membanting tubuh bergulingan ketika lawan mengejar, mengeluh dan kaget karena tenaga tiba2 seolah habis semua. Pundak dan pangkal lengannya tak dapat digerakkan. Sadarlah Swat Lian sekarang bahwa dua jarum yang mengenai tubuhnya itu beracun, bagian yang terkena serasa kaku dan sakit, juga panas. Dan karena gerakannya sudah tak leluasa lagi dan totokan demi totokan yang dilakukan lawan selalu mengejar dan menghujani dirinya akhirnya Swat Lian roboh ketika satu ketukan mengenai tengkuknya, ambruk dan tidak dapat bergulingan lagi karena Mo-ong telah mencuranginya. Inilah kelemahan Swat Lian, kurangnya pengalaman. Dan ketika gadis itu mengeluh dan tidak bergerak lagi dirobohkan Mo-ong maka Beng An yang kaget melihat kekalahan adiknya itu terbelalak.

Pemuda ini pun, seperti adiknya, juga tidak jauh berbeda menghadapi lawan. Bin-kwi terus di desak tapi lblis buntung itu bertahan, Bin-kwi memang hebat. Dan ketika berkali-kali benturan demi benturan membuat keduanya menguras keringat dan Bin-kwi melotot tersengal-sengal maka sama seperti Mo-ong tiba-tiba iblis ini mengeluarkan senjata rahasianya, sebuah granat karena Bin-kwi memang ahli dalam senjata yang amat berbahaya ini.

Bu Ham pun sebenarnya mendapat beberapa buah darinya, demi penjagaan diri. sekaligus perlawanan bila keadaan mendesak, di saat darurat. Dan begitu Bin-kwi melepas senjata rahasianya ini dan Beng An terang tak berani menangkis maka desakan terhadap lawan menjadi kendor dan Bin-kwi ganti merangsek. Beng An mundur-mundur karena harus berhati-hati terhadap senjata peledak itu. Dia membentak dan memaki lawan.

Tapi karena Bin-kwi adalah iblis yang tebal muka dan semua makian pemuda itu tak digubrisnya maka menyerang dengan kedua tongkat bambunya yang dibantu ancaman granat kakek ini akhirnya berhasil mendesak Beng An, yang terus mundur-mundur dan kebingungan bagaimana harus melawan senjata yang satu itu. Berkali-kali dia lolos tapi berkali kali pula granat baru siap di tangan kakek buntung ini. Dan ketika Beng An memaki dan marah oleh kelicikan iblis ini mendadak dia mendengar keluhan adiknya di sebelah dan Swat Lian roboh, tercekat dan kaget bukan main karena itu berarti bahaya.

Adiknya tak dapat ditolong lagi. Dia tak dapat membantu karena diri sendiri diancam oleh serangan kakek buntung itu. Sekarang maklumlah Beng An akan kekejian orang-orang sesat ini, kelicikannya dan kecurangannya yang tak malu-malu mempergunakan segala cara. Dan ketika Bin-kwi mengejar dan kakek itu terbahak-bahak melihat Beng An pucat mukanya mendadak Mo-ong yang telah merobohkan Swat Lian berkelebat maju mengeroyok pemuda ini.

“Ha-he, kita habisi dia, Bin-kwi. Bunuh dan basmi pemuda ini!”

“Tidak, jangan, Mo-ong. Jangan dibunuh dan biar ditangkap hidup-hidup saja untuk penukar Sam-kong-kiam. Ayahnya tentu tunduk dan tak berdaya mengikuti kemauan kita!”

“Ah, begitukah? Baik....”

Dan Mo-ong yang tertawa mengeroyok Beng An lalu mengeluarkan pula pelor-pelor berbahayanya, menyerang dan mendesak pemuda itu sehingga mau tidak mau Beng An harus menangkis, tak ada jalan lain. Dan ketika jarum jarum halus menyambar dari dalam pelor-pelor yang pecah itu dan Beng An kewalahan menghadapi tongkat bambu di tangan Bin-kwi pula maka sebatang jarum mengenai dirinya, tak dapat dielak karena jarum-jarum itu banyak sekali, lebih dari dua puluh. Beng An terhuyung dan kesemutan, sama seperti adiknya dia pun tiba-tiba merasa kaku dan panas, juga sakit. Bibir dikatup dan dia mencoba bertahan dengan putaran pedaangnya, dua iblis itu licik.

Tapi karena Beng An terkena jarum beracun dan tangan yang memegang pedang menggigil oleh racun yang naik ke atas akhirnya pemuda ini tak dapat menahan senjatanya ketika tongkat di tangan kiri Bin-kwi menyambar, ditangkis tapi justeru pedangnya mencelat. Bin-kwi terbahak menyerang dengan tongkat satunya lagi. dikelit tapi Beng An tergelincir. Dan ketika dia mengeluh dan memaki dua kakek itu tiba-tiba Mo-ong berkelebat dan kipasnya pun menotok pundaknya, tak dapat dihindarkan lagi.

“Tuk!” Beng An roboh. Sekarang dia benar benar tak berdaya di tangan dua iblis itu. Bin-kwi terkekeh dan menghajar pinggangnya pula. Beng An menggeliat dan terguling-guling, sama sekali dia tak dapat melawan. Dan begitu Mo-ong menendang tubuhnya ke arah Bin-kwi maka iblis buntung itu telah menangkap dirinya sementara Mo-ong menyambar adiknya yang pingsan, tertawa bergelak dan kini menyuruh ayahnya berhenti, mengancam ayahnya itu.

Dan ketika Hu Beng Kui tertegun melihat dua anaknya di pondongan Bin-kwi dan Mo-ong ini maka Mo-ong berseru kembali, bertanya, “Bagaimana kau mau menukarkan Sam-kong-kiam, Hu-taihiap? Kami akan membebaskan mereka jika kau menyerahkan pedang itu!”

Hu Beng Kui sadar. Sekarang dia menggeram memandang dua iblis itu, matanya berkilat menakutkan namun jago pedang ini tak dapat berbuat apa-apa. Mo-ong dan Bin-kwi mencengkeram tengkuk anak-anaknya, sekali dia bergerak tentu mereka tak akan segan-segan membunuh Beng An dan adiknya. Ini tak boleh terjadi. Maka bingung tak dapat menentukan apa yang harus dilakukan tiba-tiba Kim-siucai muncul kembali membuat ulah. ternyata tak menyingkir dari tempat yang berbahaya itu.

“Mo-ong, kalian licik. Kemenangan kalian, ini tak sah karena banyak terjadi kecurangan di sini. Sebaiknya Hu-taihiap tak menuruti kehendak mu dan gadis itu harus kau kembalikan baik baik kepadanya!”

“Hah!” Mo-ong melotot. “Kau tak usah ikut campur, siucai tengik. Nanti kau akan mendapat giliran dan pergilah. Kubunuh kau!”

“Aku tak takut, manusia hidup memang harus mati. Tapi serahkan dulu gadis itu, hayo...”

Dan menentang bahaya menubruk penuh keberanian tiba-tiba siucai ini menyerang Mo-ong yang membawa Swat Lian, tentu saja digebah dan siucai itu terpental. Dia didorong dan terguling-guling, kebetulan sekali mendekati bin-kwi yang menyangga tubuhnya dengan tongkat. Dan karena Bin-kwi menganggap siucai ini manusia rendahan di mana tak perlu orang takut kepadanya tiba-tiba iblis ini tertawa menggerakkan tongkatnya menyodok siucai itu, yang bergulingan di bawahnya. Sekali pukul dia mau membuat siucai itu tak banyak tingkah lagi.

Tapi sesuatu yang tak diduga iblis itu terjadi, hal yang tidak disangka-sangka. Karena begitu Bin-kwi menggerakkan tongkatnya dan berdiri dengan satu tongkat saja mendadak tongkat yang menyambar siucai itu ditangkap, di betot dan ditarik kuat dan Bin-kwi tiba tiba terpekik. Dia merasa tenaga dahsyat menariknya dari bawah, tenaga itulah yang membuat dia terkejut. Tongkatnya berkeratak dan Bin-kwi tiba-tiba terguling. Dia kalah kuat dan tongkat yang satu ini terlepas, terjerembablah iblis itu dan Bin-kwi berteriak kaget, tongkatnya terampas. Dan ketika dia terbanting dan pucat tak menyangka semuanya ini mendadak Kim-siucai meloncat dan terbang seperti orang memakai galah menumbuk Mo-ong!

“Dukk!” Mo-ong terkesiap. Apa yang terjadi di depan mata ini sungguh di luar dugaan. Tak ada yang menyangka bahwa siucai yang dianggap tengik itu mampu menjatuhkan Bin-kwi, kini menyambar Mo-ong dan dengan kakinya yarg luar biasa cepat siucai itu menumbuk dada kakek iblis ini. Mo-ong terjengkang dan Swat Lian pun terlempar, lepas dari cengkeraman kakek itu. Dan ketika Mo-ong berteriak marah dan bergulingan kaget maka siucai itu sudah menyambar tubuh Swat Lian dan melemparkannya kepada Hu Beng Kui.

“Hu taihiap, tangkap...!”

Hu Beng Kui menangkap. Dia bengong dan terbelalak memandang semuanya itu. Kim-siucai telah merampaskan seorang anaknya, bukan main. Jago pedang ini sampai tertegun tak dapat bicara. Tapi ketika jago pedang itu terbelalak dan terheran-heran mendadak Mo-ong yang sudah melompat bangun menerjang siucai itu, disusul Bin-kwi yang juga marah kehilangan sebuah tongkatnya, terpincang, menghantam dan melepas pukulan jarak jauh di mana dua iblis itu sama-sama membentak gusar. Apa yang terjadi ini memang memalukan sekali, amat memalukan.

Tapi begitu mereka menyerang dan siucai ini tertawa tiba-tiba dia mengelak dan meloncat menjauh, dikejar dan dipukul lagi di mana Mo-ong sekarang malah mengebutkan kipasnya, totokan dari jauh juga di lakukan kakek ini. Dan karena Bin-kwi juga melengking dan berteriak marah maka siucai itu tak dapat menghindarkan diri ketika dua pukulan menjepitnya dari kiri dan kanan. Hu Beng Kui sudah siap meloncat menolong siucai itu. Orang memang akan menyangka siucai ini bakal celaka. Tapi ketika siucai itu membanting diri ke bawah dan melewati dua pukulan itu dengan cara bergulingan tiba-tiba dia lolos dan sudah tertawa berseru pada Hu Beng Kui,

“Hu-taihiap, tolong. Dua iblis ini mengeroyok tak tahu malu!”

Hu Beng Kui lagi-lagi tertegun. Dia melihat tak ada keistimewaan sesuatu dari siucai ini, gerakannya tadi berkesan biasa dan takut, bahkan lucu itu lak pernah membalas kecuali mengelak sana-sini saja, menghindar sana-sini saja. Caranya meloloskannya juga lugas dan lugu. Meskipun agak aneh bagaimana Mo-ong dan Bin-kwi yang melupakan dua datuk sesat itu dapat dikibuli macam ini. Serangan mereka luput dan siucai itu lolos.

Mo-ong menggereng dan mengejar lagi. Tapi ketika kakek iblis itu membentak dan mengayun tubuh mendadak Ma Tung dan Bong Kak yang berada dekat dengan siucai itu berkelebat tanpa suara. Mereka ini menyergap lawan yang baru melompat bangun, dua kakek itu langsung menyambar tengkuk. Dua-duanya seolah mendahului dan hampir bersamaan. Kim-siucai kaget. Dan karena dia tak mengkin mengelak karena sudah tak keburu maka sambil berteriak seolah orang tolol dia menggerakkan lengannya ke kanan dan ke kiri menangkis cengkeraman dua kakek Bhutan itu, tergetar dan terpental dan Hu Beng Kui terkejut.

Tangkisan Siucai itu menimbulkan getaran keras, tanah tempat ia berdiri tergetar begitu kuat dan jelaslah itu sebagai benturan sinkang yang amat hebat, jago pedang ini terbelalak. Dan ketika siucai itu bergulingan dan lagi lagi dia tak apa-apa diserang dua kakek itu maka Mo-ong dan Bin-kwi menyambar tiba, kipas menotok dan tongkat bambu pun menghajar.

Keadaan siucai ini kalut, tak ada waktu melompat bangun dan terpaksa ia menggerakkan kakinya menendang dua serangan itu. Sekarang tampaklah bahwa sebuah jurus dari ilmu tendangan lihai dikeluarkan, kipas dan tongkat terpental, Bin-kwi dan Mo-ong berseru kaget, terdorong. Tapi begitu siucai itu melompat bangun dengan muka berkeringat mendadak Ma Tung menggeram maju dan menubruk siucai ini, disusul Bong Kak yang juga membentak mencengkeram kopiah siucai itu.

“Siucai keparat, kau mahasiswa gadungan...”

“Plak-brett..!”

Siucai itu menangkis, tak dapat mengelak dan lagi-lagi dia dibuat kaget. Sekarang tangkisannya ini pun mengeluarkan cahaya merah seperti petir, meledak dan terguncang dan dua orang lawannya terpelanting. Ma Tung nyaris tersungkur di tanah tapi Bong Kak berhasil mencengkeram kopiah di atas kepala siucai itu, sekarang menjuratlah rambut keemasan dari siucai ini, kepalanya tak tertutup apa-apa lagi. Dan begitu semua orang melihat siapa “siucai” ini tiba-tiba teriakan tertahan terdengar dari sana-sini.

“Kim-mou-eng...!”

“Pendekar Rambut Emas...!”

Semua orang menjublak. Kim-mou-eng ternyata tak dapat menyembunyikan diri lagi, dia memang Pendekar Rambut Emas itu, tersenyum kecut dan terhuyung setelah menangkis pukulan dua kakek Bhutan tadi, mengusap keringat dan tertawa memandang lawan-lawannya. Dan ketika semua orang terkejut dan gempar oleh kejadian ini maka tiga bayangan berkelebat di samping pendekar ini dan berseru,

“Hu-taihiap, dia memang Pendekar Rambut Emas. Sekarang ternyatalah bahwa Pendekar Rambut Emas tak bersalah!”

Lalu sementara semua orang tertegun dan orang yang bicara ini menghadapi Hu Beng Kui dan lain lain maka dia melanjutkan, lantang dan kuat, “Cuwi-enghiong (orang orang gagah sekalian), kami dari istana ingin menyatakan maaf sebesar-besarnya kepada Kim-mou-eng. Dulu kami menuduh dialah yang mencuri Sam-kong-kiam, bahkan mengejar-ngejarnya. Dan setelah sekarang kami tahu bahwa bukan Kim-mou-eng yang mencuri pedang itu, maka atas nama kaisar kami menarik tuduhan itu dan menyatakan maaf terhadap Kim-mou-eng. Cuwi menjadi saksi, pedang itu telah berada di tangan Hu-taihiap dan Kim-mou-eng dinyatakan tewas. Dan karena sekarang ternyata Kim-mou-eng masih hidup dan ada di sini maka jelaslah oleh kita sekalian bahwa yang dibunuh dan disangka Kim-mou-eng oleh Hu-taihiap bukanlah Kim-mou-eng, melainkan orang lain dan orang itulah yang mencuri Sam-kong-kiam. Dan kami dari istana sekali lagi menyatakan maaf dan rasa salah yang sebesar-besarnya terhadap Kim-mou-eng!”

Gegerlah tempat itu lagi. Orang yang bicara ini bukan lain Bu-ciangkun adanya, dua temannya yang lain bukan lain adalah dua panglima Cu kakak beradik. Tadi mereka itu pun ada di antara penonton dan menyaksikan jalannya pertandingan, jadi mengetahui semua yang terjadi termasuk kecurangan-kecurangan Mo-ong dan kawan-kawannya itu. Kata-katanya ini yang ditujukan kepada semua orang karena penonton memang tidak pergi meninggalkan tempat itu meskipun dilempari granat tangan seketika membuat orang menjadi ribut.

Ini memang hebat. Kim-mou-eng sudah diketahui tewas, dan Hu Beng Kui lah yang membunuh. Bukti pedang di tangan pendekar itu cukup dijadikan saksi. Maka begitu Bu-ciangkun muncul dan kata-katanya ini menggegerkan semua orang dan Kim-mou-eng juga ada di situ maka tempat yang sudah ribut ini menjadi semakin ribut dan orang terheran-heran serta kaget oleh keterangan yang tidak disangka-sangka ini, bengong tapi seketika gaduh ketika mereka sadar. Kim-mou-eng memang ada di situ, masih hidup, bahkan segar-bugar dan tadi melayani Mo-ong dan Bin-kwi malah masih ditambah lagi dengan Bong Kak dan Ma Tung. Pantas begitu lihai. kiranya Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas!

Dan begitu orang menjadi geger dan ribut oleh peristiwa ini maka Hu Beng Kui yang terkesima dan Mo-ong serta teman-temannya yang terkejut mendadak menjadi marah tapi juga gentar oleh kehadiran murid Bu-beng Sian-su ini. Tentu saja Mo-ong berobah mukanya karena dia tahu betul betapa hebatnya Pendekar Rambut Emas ini, dikeroyok bertiga pun dulu tak apa-apa. Maka begitu mereka saling memberi isyarat dan Bin-kwi yang mencengkeram Beng An melotot kaget tiba-tiba iblis ini melompat dan kabur meninggalkan tempat itu, tak ingat kepada Sam-kong-kiam lagi?

“Mo-ong, kita rupanya sial. Sebaiknya pergi saja, masih ada Tiat-ciang Sian-li di sana!”

Mo-ong mengangguk. Memang keadaan tiba-tiba menjadi tidak menguntungkan bagi mereka, ada Salima di sana, sumoi dari Kim-mou-eng itu. Padahal Hu-taihiap sendiri masih bersama dua muridnya, jadi keadaan tidak menguntungkan dan dinilai berbahaya. Maka begitu keadaan berobah dan semuanya dinilai berbahaya tiba-tiba dua kakek iblis ini melompat meninggalkan gelanggang, jerih dan tahu suasana amat jelek.

Hu Beng Kui tadi dapat melayani Bong Kak dan Ma Tung serta Hek-bong Siang-lo-mo sekaligus. Empat orang melawan satu, dengan Sam-kong-kiam yang mengerikan itu, yang ketajamannya saja sudah cukup membuat empat rekan mereka itu gentar tak berani mendekati. Kini tiba-tiba muncul Pendekar Rambut Emas yang tentu dapat melayani mereka berdua, belum adanya Salima di sana dan dua murid Hu Beng Kui yang utama. Ini semuanya membuat perhitungan ceroboh. Maka begitu Bin-kwi berkelebat membawa Beng An dan Mo-ong juga mengikuti menyambar muridnya maka mereka tiba-tiba meninggalkan pertempuran sementara Lo-mo dan Bong Kak serta Ma Tung terbelalak.

“Hei, kemana kalian, Mo-ong?”

“Lari, lari saja...!”

“Tak jadi merampas Sam-kong-kiam?”

“Ah, tolol kalian, Bong Kak. Kim-mou-eng itu menggagalkan segala-galanya bagi kita. Ayo lari dan menyingkir saja...!”

Bong Kak menggereng. Dia merasa ditinggalkan dua temannya ini, padahal Mo-ong adalah yang memimpin mereka. Dan ketika Hek-bong Siang lo-mo juga tertawa aneh dan melejit pergi tiba-tiba Bong Kak marah dan menyusul, diikuti Ma Tung. “Keparat busuk mereka itu, meninggalkan teman!”

“Ya, tapi rupanya benar, Bong Kak. Mereka benar dan kita harus pergi!” Ma Tung menjawab, diam-diam mendongkol tapi dapat menerima semuanya itu.

Mereka sudah merasakan kelihaian Hu Beng Kui dengan Sam-kong kiam nya, dan Bin-kwi serta Mo-ong juga sudah merasakan kelihaian Kim-mou-eng karena berkali kali mereka itu pernah bertanding. Jadi wawasan temannya itu rupanya tepat dan tak ada jalan lain selain mengikuti. Tapi Hu Beng Kui yang tentu saja tak membiarkan musuh kabur begitu saja tiba-tiba membentak dan menyerahkan Swat Lian pada seorang muridnya, mengejar Bin-kwi dan Mo-ong, terutama Bin-kwi.

“Iblis lblis curang, kalian kembalilah!” bentakan itu disusul terbangnya tubuh yang menyambar Bin-kwi, pedang berkelebat dan Bin-kwi pun terkejut.

Dia mengelak tapi pedang masih mengenai pundaknya, robek terbacok dan Bin-kwi mengaduh. Sambaran Sam kong kiam memang tak mungkin dielak lagi. Bin-kwi harus membalas dan menyerang. Tapi karena Bin-kwi sudah keder terlebih dahulu dan dia juga membawa Beng An maka iblis ini menjadi sibuk ketika pedang kembali menyambar, cepat meloncat jauh dan tangan pun merogoh senjata peledak. Dan begitu lawan menyerang lagi dan cepat dia melempar senjatanya itu maka Hu Beng Kui harus berjungkir balik menghindari pecahan granat yang pecah berhamburan di situ.

“Keparat, kalian benar-benar jahanam!” Hu Beng Kui tak dapat menahan marahnya, melayang turun tapi asap tebal menghalangi pandangannya.

Dia harus berputar untuk mencari iblis yang licik itu. Bin-kwi dan Mo-ong ternyata sudah lari lagi di depan, jauh sekali. Hu Beng Kui melengking dan melesat seperti iblis. Dan begitu jago pedang ini mengejar lawannya sementara Gwan Beng mengikuti di belakang membantu gurunya maka Kim-mou-eng sendiri yang tidak berpangku tangan saja membiarkan semuanya itu terjadi sudah menyusul dan kebetulan menghadapi Bong Kak yang berendeng bersama Ma Tung, menyuruh mereka berhenti dan dua kakek Bhutan ini berhenti. Mereka sebenarnya memang penasaran terhadap sikap kawan kawannya itu, belum menjajal sampai di mana sesungguhnya kelihaian Pendekar Rambut Emas Maka begitu mereka disuruh berhenti dan Bong Kak membalik tiba-tiba kakek tinggi besar ini sudah melancarkan serangan dengan kedua tangan menghantam seraya menggeram bagai seekor harimau terluka.

“Kim-mou-eng, kau keparat. Terimalah ini!”

“Wushh!” Pukulan kakek itu menyambar, berhawa dingin dan langsung menuju dada lawannya itu. Hebat dan dahsyat karena mampu menumbangkan seekor gajah. Tapi Pendekar Rambut Emas yang tersenyum dan cepat menggerakkan lengan ke depan tiba-tiba menyambut dan mendorong pukulan lawannya.

“Dess!” Bong Kak menjerit. Dua tenaga sinkang yang bertemu di udara tadi tak sampai membuat tangan mereka bertemu semeter saja tapi sudah cukup membuat kakek tinggi besar ini terpental. Tubuhnya terangkat naik dan Bong Kak terbanting bergulingan karena dia kalah kuat. Pukulan dinginnya tadi bertemu cahaya merah yang panas sekali, bagai petir dan langsung menyelinap menembus pukulan dinginnya, menuju lengannya dan kakek itu bagai tersengat. Itulah Tiat-lui kang, pukulan Petir.

Dan begitu kakek ini bergulingan dan berteriak kaget karena pukulan dinginnya kalah dibanding pukulan lawan maka Ma Tung yang terkejut dan marah melihat temannya terguling-guling sudah membentak dan menyerang Pendekar Rambut Emas itu pula, ditangkis dan kakek ini pun mencelat. Ma Tung menggeram dan maju lagi. Dan karena rupanya mereka harus maju berdua dan adu sinkang tadi membuktikan lawan memang lihai akhirnya dua kakek tinggi besar ini mengeroyok dan melepas pukulan-pukulan maut ke arah Kim-mou-eng, dielak dan segera mereka bertiga terlibat perkelahian seru.

Kim-mou-eng mempergunakan Tiat-lui-kangnya sementara Bong Kak mempergunakan Hek in-ciang (Pukulan Awan Hitam) dan Ma Tung melepas Pek in-kang. Hebat dan ramai sekali pertandingan ini. Tapi karena Kim-mou-eng bukan pendekar sembarangan dan dia adalah murid Bu-beng Sian-su si manusia dewa maka semua pukulan-pukulan lawan dapat dipentalkan dan Tiat-lui-kang secara perlahan tetapi pasti mendesak kakek Bhutan ini, meledak dan bahkan mengenai pundak Ma Tung, hangus dan nyaris terbakar dan kakek tinggi besar ini menjerit. Dia murka sekali.

Maka ketika lawan terus mendesak dan mereka rupanya kewalahan tiba-tiba kakek ini mencabut pecut berodanya dan meledakkannya di udara. “Kim-mou-eng, kau manusia keparat. Kubunuh kau!”

Kim-mou-eng tenang mengelak. Dia dapat mengatasi Hek-in-ciang maupun Pek-in-kang yang dimiliki dua kakek itu, bukan lain karena Tiat-lui-kangnya yang lebih kuat karena sinkangnya menang lebih setingkat. Dan ketika Ma Tung mencabut senjatanya dan kini dibantu pecut beroda itu, kakek Bhutan ini menerjang maju.

Tiba-tiba Kim-mou-eng tertawa dan mempercepat gerakannya. “Ma Tung, kalian orang orang asing. Sebaiknya kalian pulang dan tidak membuat onar di Tiong-goan!”

“Keparat, kau pun juga asing, Kim-mou-eng. Kau pun harus pulang dan justru kami akan mengantarmu ke neraka....”

“Wut-prak!”

Dan pecut beroda yang ditangkis Kim-mou-eng meledak dan terpental tiba-tiba membuat kakek ini meraung, marah dan gusar bukan kepalang karena dibantu senjata masih juga dia belum dapat mengalahkan lawannya itu. Tiat-lui-kang menyambar dan ganti dia menangkis. Dan ketika pecutnya terbakar dan putus menjadi dua tiba-tiba kakek ini mencak-mencak dan mempergunakan senjata yang sudah menjadi dua bagian itu dengan tangan kiri dan kanan, dipandang terbelalak oleh Bong Kak yang terkejut melihat kelihaian Pendekar Rambut Emas ini.

Sekarang percayalah dia akan berita kawan kawannya di luar bahwa Kim-mou-eng memang hebat, malah lebih hebat dibanding sumoinya yang telah mereka keroyok bertiga. Pendekar Rambut Emas ini memiliki kelebihan sinkang di mana pukulan-pukulannya selalu mementalkan pukulan mereka. Dan ketika mereka marah-marah dan Kim-mou-eng terus mendesak dengan kedua tangan dan kakinya mendadak Hek-bong Siang-lo-mo muncul membantu mereka, sudah mempunyai sabit baru yang rupanya merupakan sabit cadangan.

“Heh-heh, kalian belum dapat merobohkan si Rambut Emas ini, Bong Kak? Kalau begitu, kubantu, biar kutolong dia pergi ke akhirat....”

“Sing...!” Dan sabit yang bergerak naik dari bawah ke atas tiba-tiba membabat selangkangan Pendekar Rambut Emas di mana pendekar itu harus mekoncat tinggi, berjungkir balik dan terkejut melihat kedatangan Sepasang Iblis Kuburan ini, berseru keras.

Dan ketika Bong Kak dan Ma Tung maju kembali dengan pekik kegembiraan mereka dan menyambut lawan yang meluncur turun maka dua kakek Bhutan itu bangkit semangatnya berseru tertawa. “Bagus terima kasih, Lo-mo. Rupanya Kim-mou-eng ini betul-betul hebat dan kami harus kalian bantu...”

“Wirr-plakk!”

Pecut Ma Tung mengenai pangkal lengan Pendekar Rambut Emas, meledak dan pendekar itu terhuyung. Dan ketika Bong Kak juga menerjang dan Hek-bong Siang-lo-mo sebentar kemudian juga membantu dengan babatan sabit mereka yang tajam mengerikan maka pendekar kita mendapat kesulitan dikeroyok empat, memaki dan membentak mereka namun sama sekali tak digubris.

Dua kali Kim-mou-eng menerima babatan sabit, robek bajunya tapi tidak terluka kulitnya, dia telah mengerahkai sinkang hingga sabit di tangan Lo-mo terpental kembali persis mengenai karet. Dan ketika mereka menyerang lagi dan Lo-mo mulai mengarahkan serangannya pada tempat-tempat berbahaya seperti mata dan lubang telinga akhirnya apa boleh buat Pendekar Rambut Emas mengeluarkan pit-nya, senjata yang pantas dipakai melukis itu.

“Lo-mo, kalian licik. Tapi jangan kira aku takut....”

“Tak-wirr...!”

Dan sabit yang meleset ditangkis alat menggambar ini dan menyeleweng ke kanan tiba-tiba bertemu dan membentur roda di ujung pecut Ma Tung, berdencing dan keduanya sama terpental. Ma Tung kaget sementara Lo-mo memaki. Tapi ketika mereka menyerang kembali dan satu dikeroyok empat akhirnya Kim-mou-eng mengerahkan segenap kepandaiannya menghidapi empat lawan tangguh ini. Tangguh tapi licik dan segera pertempuran berjalan cepat.

Kim-mou-eng mengerahkan ginkangnya dan lenyap berkelebatan ke sana ke mari. Pitnya menyelinap dan menangkis serangan-serangan lawan, membalas dan mulai menotok pula sementara Tiat lui-kang nya masih bekerja meledak sana-sini. Tapi karena lawan berjumlah empat dan sendirian saja dikeroyok orang-orang lihai macam Lo-mo dan Bong Kak itu akhirnya Kim-mou-eng kewalahan dan berkali-kali dia harus menerima pukulan lawan, tergetar dan terhuyung.

Dan Bong Kak serta Ma Tung berseru gembira. Mereka mulai dapat mendesak pendekar itu dan Kim mou-eng harus bekerja keras. Tiat-lui-kang dan pit di tangan kanannya masih bergerak sana sini tapi sekarang lebih sering dipakai untuk bertahan. Serangan bertubi-tubi dari empat penjuru itu bagai hujan di sekeliling dirinya yang membuat dia sibuk. Dan ketika Lo-mo menggerakkan sabitnya membacok dan menyerang maka pecut dan roda yang ada di tangan Ma Tung mengenai tubuhnya.

“Plak-bret-bret!”

Kim-mou-eng meringis. Dia terhuyung dan tergetar lagi, tidak terluka tapi kesakitan juga. Pecut dan roda yang menghantam tubuhnya tadi terasa menyengat, belum sabit di tangan Lo-mo yang menguak bajunya, kulit tergores dan pertahanannya mulai goyah. Betapapun dia telah menghadapi keroyokan gencar yang dilakukan empat lawannya ini. Dan ketika pukulan Bong Kak menyambar tiba dan dia terlambat berkelit muka pukulan kakek tinggi besar itu ganti mengenai lehernya.

“Dess!” Pendekar ini terbanting bengulingan. Lawan sekarang membuatnya terdesak dan Ma Tung serta Lo-mo mengejar, menghantamkan senjata mereka sementara tangan kiri juga melakuan pukulan jarak jauh. Kim-mou-eng menangkis tapi kurang tepat, pitnya membentur sabit namun senjata di tangan Ma Tung menyambar pipinya, bukan main sakitnya.

Dan ketika dia terpaksa harus menggulingkan tubuh lebih jauh tapi lawan terus mengejar dan tertawa menyerangnya tiba-tiba tak ada jalan lain Pendekar Rambut Emas mengeluarkan ilmu simpanannya yang ditakuti orang. Pek-sian ciang (Pukulan Dewa Putih), membentak dan melompat bangun dan empat serangan dari segala jurusan ditangkis berbareng dengan mengembang di kanan kiri dan bentakan menggetarkan jantung membuat lawan terkejut, dari kedua tangan pendekar itu berkelebat cahaya berkeredep yang mengandung hawa panas. Dan begitu sabit dan pukulan-pukulan lain bertemu cahaya putih dari lengan Pendekar Rambut Emas tiba-tiba teriakan dan keluhan terdengar dari empat orang lawannya itu.

“Des-des-dess...!”

Bong Kak dan teman-temanrya terlempar. Mereka bergulingan menjerit kaget, tubuh terangkat tinggi dan mereka pun terbanting. Bong Kak dan Ma Tung kaget bukan main karena tangkisan itu begitu dahsyatnya, mereka seolah ditumbuk palu godam dan dua kakek itu muntah darah. Hek-bong Siang-lomo juga terpekik, mereka pun batuk-batuk, dari sudut bibir mengalir cairan merah yang membuat keduanya pucat. Itulah pukulan yang sudah mereka kenal, tadi mau mengelak tapi tidak keburu. Mereka begitu bersemangat dan mengejar Kim-mou-eng, lupa dan terlalu gembira mendesak lawan. Maka ketika lawan mengeluarkan ilmu simpanannya itu dan mereka terkejut maka Hek-bong Siang-lo-mo mengeluh dan bergulingan dengan dada sesak, bangun terhuyung.

Kim-mou-eng sendiri di sana juga pucat mukanya. Hantaman empat lawan sekaligus yang harus ditangkisnya terlalu berat, dia pun batuk-batuk, bangun berdiri tapi jatuh lagi. Kaki gemetar dan Kim-mou-eng pun agaknya menderita, bangun lagi dan menggigit bibir memandang empat lawannya itu, tertawa dan tiba-tiba mengeraskan hati untuk tidak menunjukkan penderitaannya itu.

Ini membuat lawan terbelalak dan gentar, mereka seolah melihat Kim-mou-eng tetap tegar sementara mereka terluka. Tak tahu diam diam dengan keras hati Pendekar Rambut Emas ini menahan batuknya yang membuat tenggorokan terasa gatal. Sekali batuk tentu dia muntah darah pula. Dan ketika Hek-bong Siang-lo-mo pucat dan ngeri memandang lawan yang menghimpiri mereka dengan langkah agak bergoyang tiba-tiba Bong Kak mengumpat dan berdiri menggigil.

“Setan, itukah Pek-sian-ciang? Hebat sekali. Pendekar Rambut Emas ini benar-benar siluman!”

“Dan kita akan dibunuhnya, Bong Kak. Karena itu lari dan selamatkanlah dirimu!”

Twa Lo-mo melompat, lari dan sudah disusul adiknya yang juga gentar melihat hebatnya Pendekar Rambut Emas itu. Mereka memang licik, akan mundur kalau lawan terlalu kuat. Tapi baru mereka melangkah tiga tindak dan mau kabur tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat di depan mereka, mendengus.

“Lo-mo, kapan kalian membayar hutang kepada suka bangsa Tar-tar? Jangan lari. Perhitungkan dulu semuanya itu dan lihat benderaku....”

“Plak!” Lo-mo terguling, sebuah bendera mengebut mukanya dan kakek iblis ini berteriak kaget. Salima muncul menyerang dirinya. Dan ketika dia berguling-guling dan pucat melihat sumoi Kim-mou-eng itu tiba-tiba Salima sudah menyerang adiknya pula dan Ji-lo-mo terlempar, mengeluh dan pucat melihat kehadiran gadis Tar-tar itu. Mereka sudah terluka, pukulan Pek-sian-ciang masih menggetaikan dada mereka. Dan ketika Salima menyerang dan bendera serta pukulan pukulan tangan kirinya ikut bicara menyerang kakek itu maka Hek-bong Siang-lo-mo jatuh bangun terpontang-panting menghadapi serangan-serangan yang amat gencar ini, terdesak dan menggerakkan sabit mereka namun tenaga sudah banyak berkurang.

Luka dalam yang mereka derita cukup berbahaya, seharusnya dalam keadaan begini mereka duduk bersila, beristirahat, memulihkan tenaga dan luka agar pulih kembali. Maka diserang dan dihujani pukulan dan kebutan bendera yang demikian bertubi-tubi dan Salima termasuk segar dibanding mereka tak ayal Sepasang Iblis Kuburan ini mengeluh dan terhuyung serta terdorong menangkis serangan serangan lawan, kian lama kian lelah karena tenaga mereka betul-betul terkuras.

Luka dalam yang mereka derita kian bertambah berat dan ketika Ji-lo-mo memaki dan mengelak sebuah sambaran bendera namun kurang cepat maka Iblis Kuburan nomor dua ini terpelanting ketika disambar, dikejar dan sebuah tendangan membuatnya mencelat tiga tombak, mengaduh dan menggulingkan diri menjauhi lawan. Tak tahunya Salima tetap menempel dan membayangi iblis ini. Dan karena Ji-lo-mo sudah kepayahan dan dia muntah darah oleh tendangan tadi maka dia tak dapat mengelak ketika pukulan Tiat-lui-kang dari tangan kiri gadis itu menghantam tepat sekali mengenai pundaknya, terjungkal dan coba melompat bangun, gagal. Dan ketika Salima berkelebat dan mengebut benderanya ke muka iblis itu tiba-tiba Ji-lo-mo roboh dan menjerit dengan muka hancur.

“Plakk!” Jerit mengerikan terdengar dari iblis cebol ini. Ji-lo-mo sudah tidak bengerak-gerak lagi, kakaknya pucat dan Twa-lo-mo ngeri. Iblis ini mengambil langkah seribu ketika melihat saudaranya tewas, kematian adiknya itu mengerikan iblis ini dan Twa-lo-mo sudah melarikan diri. Tapi karena dia sudah kehabisan tenaga dan luka di dadanya membuat iblis ini batuk dan muntah darah tiba-tiba kaki Lo-mo keserimpet sesuatu dan dia roboh terguling, melompat terhuyung tapi tertegun melihat Salima ada di depannya, kain benderanya membelit kakinya dan itu tadilah yang membuat dia keserimpet dan terguling. Kiranya lawan tak mau membiarkan dia pergi dengan selamat.

Twa lo mo menggigil dengan keringat bercucuran, dii melihat senyum dingin di wajah gadis itu. Salima tak mungkin mau mengampuninya. Maka membentak mengayun sabitnya tiba-tiba Lo-mo menyerang, dikelit dan bendera tahu tahu mengebut, menghalangi pandang matanya. Dan ketika Lo-mo terkesiap dan lawan tertawa mengejek tahu-tahu kaki bergerak dari bawah menghantam perutnya, bertepatan dengan bendera yang mengenai pundaknya.

“Dess!” Lo-mo terlempar. Dia menjerit bergulingan, teringat pada Bong Kak dan Ma Tung dan berteriak agar dua kawannya itu membantu. Dia tak tahu bahwa dua kakek Bhutan itu sudah melarikan diri, Kim-mou-eng juga tak ada di situ karena mengejar kakek tinggi besar ini, kakek kakek Bhutan yang ketakutan. Dan ketika Lo-mo mengeluh dan sadar bahwa rekannya tak ada di situ tiba-tiba Salima sudah berdiri lagi di depannya dengan ancaman.

“Kau ingin mati cepat atau lambat, Lo-mo? Katakanlah, dan sebut pula berapa ratus nyawa yang melayang sia-sia akibat kejahatanmu!”

“Oh, tidak. Jangan, Sian-li... jangan...!”

Namun Lo-mo yang melepas sabitnya menimpuk dalam jarak dekat tiba-tiba berseru nekat dan mencoba mencuri kesempatan dalam kesempitan, melompat dan menerjang gadis itu dalam keputus asaan hebat. Dia mengharap cara terakhirnya ini berhasil. Tapi Salima yang mendengus dan mengebutkan bendera tiba-tiba menangkap sabitnya itu, menggulung sekaligus mengelak ke kiri tubrukan lawannya yang luput mengenai angin kosong. Lo-mo terhuyung Dan ketika iblis cebol itu nyaris tersungkur dan terbelalak melihat dua serangannya luput semua mendadak angin dingin berkesiur di punggungnya dan Salima mengembalikan sabit dengan bentakan perlahan,

“Lo-mo, robohlah...!”

Twa-lo-mo tak dapat menghindar lagi. Dia sedang terhuyung, tak dapat membalik atau menangkis. Maka begitu Salima membuka gulungan benderanya dan sabit meluncur ke punggungnya tiba-tiba kakek ini menjerit tinggi ketika sabit mengenai tubuhnya. “Crep... augh!”

Lo-mo terbanting. Seketika dia roboh terjerembab, ujung sabit amblas separohnya di punggungnya. Kakek ini berkelojotan dan darah pun muncrat. Tapi begitu keluhan pendek meluncur dari mulutnya tiba-tiba kakek ini mengeliat dan diam untuk selama-lamanya, tewas. Tak ada lagi suara atau keributan di situ. Salima menarik bibirnya, mengejek. Dan ketika kakek itu menyusul adiknya dan Hek-bong Siang lo-mo menemui ajal di tangan gadis Tar-tar ini maka di lain tempat Ma Tung dan Bong Kak juga nyaris mengalami hal yang sama.

Mereka memang melarikan diri, di saat Lo mo kakak beradik menghadapi Salima. Tapi karena Kim-mou-eng tak mau melepas mereka dan tentu saja Pendekar Rambut Emas tak mau diam maka dua kakek tinggi besar ini gentar ketika lawan menyuruh mereka berhenti, tak mau berhenti dan terus melarikan diri sambil mengumpat. Mereka sebenarnya juga terluka, menguat-nguatkan diri dan memaksa lari menjauhi lawan. Tapi karena Kim-mou-eng mengejar dan mereka rupanya tak diberi ampun tiba-tiba Bong Kak berseru pada temannya agar berpencar, tiba di sebuah perempatan.

“Kau ke kiri, aku ke kanan. Biar salah satu di antara kita lolos!”

Ma Tung mengangguk. Dia sudah ke kiri mengikuti petunjuk temannya itu, Bong Kak ke kanan. Tapi ketika mereka berdua berpencar dan Kim-mou-eng bingung melihat lawan ke kiri dan ke kanan mendadak Hauw Kam muncul menghadang Ma Tung.

“Kakek siluman, kau harus membereskan dulu perhitungan di antara kita!”

Ma Tung tertegun. Dia melihat pemuda itu berapi memandangnya, dari belakang tiba-tiba muncul dua bayangan lain, Siu Cing dan Siu Loan. Pucatlah kakek ini. Dan ketika dia terkejut dan melotot memandang murid Hu Beng Kui itu tiba-tiba Hauw Kam menerjangnya dengan pedang di tangan, dielak dan ditangkis tapi kakek tinggi besar ini mengeluh. Tangannya terluka, sinkangnya sudah merosot jauh dan tak dapat melindungi diri lagi, kekebalannya lemah.

Dan ketika ia menghindar sana-sini dan marah namun tak dapat berbuat apa-apa mendadak dua gadis itu menerjangnya pula dengan bentakan nyaring, tentu saja membuat kakek ini kewalahan dan sebuah bacokan tak dapat dielaknya lagi, pundaknya terbabat dan kakek ini jatuh terguling. Dan ketika dia mengeluh dan mencabut senjatanya untuk menghadapi tiga muda mudi yang marah itu maka di lain pihak Bong Kak sendiri kecut mukanya menghadapi Kim-mou-eng.

“Kau tak dapat lari, kau harus menebus dosa teman-temanmu!”

“Keparat, kalau begitu boleh kau bunuh aku. Pendekar Rambut Emas. Dan biar aku mengadu jiwa denganmu...”

“Plak! Duk!”

Bong Kak meangkis, menggeram namun terpental dan mendekap dadanya yang kian sakit. Dia batuk-batuk dan muntah darah lagi. Serangan Kim-mou-eng tadi ditangkisnya tapi kalah kuat. Jangankan dia sendiri, berempat dengan temannya dia tak mampu merobohkan lawannya itu. Maka ketika Kim-mou-eng mengejar dan kembali serangan demi serangan menekan kakek ini dan Bong Kak merasa tobat akhirnya sebuah pukulan mendarat di telinganya dan dia pun terbanting. Bangun melompat tapi sebuah tendangan mengenai pinggangnya lagi, mencelat dan roboh. Dan ketika Kim-mou-eng menyuruh dia menyerah dan menghentikan perlawanan tiba-tiba Bong Kak berteriak dan menghantam ubun-ubun kepalanya sendiri.

“Kim-mou-eng, biar aku mampus membunuh diri...”

“Praakk...!” Kakek itu menghabisi nyawa, terjengkang dan roboh mandi darah. Kepalanya pecah dihantam seperti itu, hantaman kuat didorong keputusasaan besar.

Dan ketika kakek itu tewas dan Ma Tung terkejut melihat temannya bunuh diri maka kakek ini pun menjerit ketika pedang, di tangan Hauw Kam kembali mengenai lengannya, luka memanjang dan kakek itu terhuyung. Dia meleng karena tercekat oleh robohnya Bong Kak tadi, kini dikejar dan dua tiga tusukan kembali melukai dirinya. Kakek ini mulai berlumuran darah. Tapi ketika Hauw Kam menyerang dan tak lama lagi kakek ini tentu roboh tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat menyuruh semua orang berhenti.

“Saudara Hauw, biarkan yang ini pergi. Sudah cukup kiranya darah mengalir di sini!” Kim-mou-eng menangkis, menyelamatkan kakek itu dan Ma Tung terbelalak.

Dia tertegun oleh kata-kata Pendekar Rambut Emas ini, tiga lawannya terhuyung. Tapi Hauw Kam yang teringat kematian adik adiknya tentu saja tak mau sudah. “Tidak, kakek ini mengacau di tempatku, Kim-taihiap. Biar dia kubunuh dan jangan halangi kami”

“Benar, dua kekasih kami tewas, Kim-mou-eng. Kami hendak menuntut balas dan jangan biarkan dia selamat!”

“Hmm, sabar!” Kim-mou-eng bingung juga. “Kakek ini sebenarnya ikut-ikutan, nona. Yang tak boleh diampuni dan berbahaya adalah Siauw Bin-kwi dan Mo-ong, juga muridnya. Mereka itulah yang harus dicari dan dibunuh. Kakek ini ikut-ikutan saja dan biarlah semua ini menjadi pelajaran baginya untuk tidak mengulang kekeliruannya...”

“Tapi suhu akan memarahi kami dan lagi...”

“Benar!” Salima berkelebat muncul, “Tak ada yang boleh diampuni di sini, Hauw Kam. Bunuh dia, habisi kakek itu. Biar kubantu kalian!”

“Wuut...!” Dan Salima yang langsung menyerang Ma Tung yang ada di belakang suhengnya tiba-tiba melepas tamparan maut, bendera di tangan kiri pun berkelebat dan Kim-mou-eng terkejut. Kehadiran sekaligus kata-kata sumoinya ini membuat dia mengeluh, tak mungkin dia melindungi kakek tinggi besar itu. Pukulan sumoinya menuju dirinya sebelum menghantam Ma Tung. Dan karena dia harus mengelak dan mata sumoinya yang berapi membuat pendekar ini mengeluh maka Ma Tung menerima tamparan itu yang tak dapat di kelit.

“Dess!” Kakek ini terpelanting. Salima berseru lagi mengulang serangannya. Hauw Kam dan Siu Cing serta Siu Loan menjadi gembira, mereka mau menerjang maju tapi Salima mencegah, biarlah lawan dibunuh tangannya sendiri karena Salima teringat perbuatan kakek ini yang dulu merobohkannya bersama Bong Kak dan Bin-kwi, untung di tolong Bu-hiong.

Dan Ma Tung pucat. Dia menangkis tapi terpental menjerit. Luka-lukanya sudah tak memungkinkan kakek ini bertahan. Dan ketika serangan demi serangan membuai Ma Tung jatuh bangun dan bendera di tangan gadis itu pun mengebut gencar tiba-tiba kakek ini terbanting ketika pukulan petir mengenai tengkuknya dan kibasan bendera menghantam pelipisnya.

“Plak-des!”

Ma Tung kembali terguling-guling. Kakek Bhutan ini termasuk kuat, bangun lagi tapi mencelat ketika tendangan penuh kebencian menghantam dagunya, terjerembab dan terbanting. Dan ketika dia mengeluh dan satu demi satu pukulan serta tamparan Salima mengenai tubuhnya dan berkali-kali kakek ini jatuh terduduk akhirnya kebutan bendera menyambar mukanya dan kakek itu menjerit. Roboh terlempar dan Salima mengejar. Kakek ini pucat dan menggeram. Dan karena rupanya tak mau dia mati di tangan lawan dan teringat perbuatan Bong Kak yang menghabisi nyawanya sendiri tiba-tiba kakek ini menggerakkan tangan kiri dan menusuk batok kepalanya dengan dua jari terbuka.

“Tiat-ciang Sian-li, aku boleh mati. Tapi aku tak mau mati di tanganmu...”

“Crep!” Kakek itu menggelimpang, dua jarinya telah menusuk tembus ubun-ubun kepalanya sendiri, darah muncrat dan dia pun terguling. Dan ketika Salima tertegun dan mendengus melihat lawan membunuh diri maka Kim-mou-eng yang tak tahan melihat semuanya itu sudah menghilang dan entah pergi ke mana.

“Sumoi, kau telengas....!”

Hanya itulah suara Kim-mou-eng tadi. Pendekar Rambut Emas memang tak dapat menahan bingungnya hati, mau mendebat jelas sumoinya akan beringas tapi mendiamkan begitu saja tentu lawan menjadi korban. Benar saja, Ma Tung akhirnya membunuh diri. Dan karena dia dapat menduga itu dan tak mau melihat lebih jauh maka Kim-mou-eng menghilang dan meninggalkan tempat itu, bukan ke mana-mana melainkan mencari Siauw Bin-kwi yang dikejar Hu taihiap, juga Mo-ong. Tentu saja ingin tahu bagaimana pengejaran Hu-taihiap itu, berhasilkah atau tidak. Dan sementara pendekar ini meninggalkan sumoinya dan Ma Tung tewas membunuh diri maka di lain tempat pengejaran seru yang dilakukan Hu taihiap memang tidak sia-sia.

Saat itu Hu Beng Kui melihat bayangan Bin-kwi, berdua bersama Mo-ong iblis buntung, itu melarikan diri, jauh di depan. Tapi karena Hu Beng Kui amat marah melihat kelicikan lawan-lawannya dan terang dia tak membiarkan musuh-musuhnya melarikan diri maka jago pedang ini mengerahkan ginkang berkelebat menyusul, membentak dan menyuruh mereka berhenti sementara Bin-kwi dan Mo-ong terkejut. Mereka terkesiap melihat ilmu lari cepat pendekar itu, sebentar kemudian memperpendek jarak dan mereka tersusul. Bukan main, Mo-ong dan Bin-kwi terbelalak. Dan ketika pendekar itu semakin dekat dan suaranya seakan sudah di belakang telinga saja mendadak Bin-kwi membelok ke utara ketika tiba di persimpangan jalan.

“Mo-ong, kita berpisah saja. Kau teruskan larimu dan biar aku ke sini...”

“Eh, ke mana. Bin-kwi? Tidak berdua saja?”

“Tidak, tidak! Kau teruskan larimu, Mo-ong. Kita berpencar dan biar lawan kita itu bingung!”

“Tapi kau membawa beban, serahkan putra Hu-taihiap itu kepadaku...!”

Bin-kwi mengangguk. Dalam keadaan gelisah dan gentar begitu tiba-tiba dia melempar tubuh Beng An, disambut dan sudah diterima Mo-ong. Rekannya itu menyeringai dan meneruskan larinya, sekarang Bin-kwi ke utara, Mo-ong ke timur. Tapi ketika beberapa langkah dia tertegun dan berpikir-pikir mendadak Bi-kwi seolah teringat akan sesuatu.

“Eh, tunggu, Mo-ong. Nanti dulu....!” Bin-kwi kembali, berseru dan mengejar kawannya itu.

Mo-ong menoleh dan terheran, tidak berhenti, meneruskan larinya. Dan ketika Mo-ong bertanya kenapa dia memanggil dan kembali seperti itu maka Bin-kwi berkata agar Beng An diserahkan saja kepadanya. “Eh. untuk apa? Bukankah memberi beban padamu?”

“Tidak, aku justeru merasa tenang dengan tawananku itu, Mo-ong, aku....”

“Ha-ha, dapat memaksa Hu-taihiap menyerahkan Sam-kong-kiam? Bodoh, justeru kau akan diincar kalau membawa pemuda ini. Bin-kwi. Tarik dan buang saja niatmu itu. Lihat, jago pedang mendekati kita, kau pergilah dan biarkan pemuda ini menjadi tawananku!”

Bin-kwi bingung. Ternyata Mo-ong mengetahui maksudnya. Memang benar, dia hendak memaksa Hu Beng Kui kalau Beng An ada di tangannya. Dia hendak meminta pendekar itu menyerahkan Sam-kong-kiam sebagai ganti tukar puteranya. Mo-ong kiranya cerdik dan tahu maksudnya. Tapi ketika Mo-ong menyatakan bahwa beradanya pemuda itu di tangannya justeru akan menjadikan dia diincar Hu-taihiap dan pendekar itu jelas akan mengejarnya daripada mengejar Mo-ong akhirnya kakek buntung ini ragu-ragu, mendengar bentakan Hu taihiap di belakang dan dia gugup. Semakin bingung saja dan Mo-ong kembali menyuruhnya pergi. Mo-ong setuju mereka berpencar. Hal itu memang baik. Dan ketika suara Hu-taihiap semakin dekat di telinganya dan bayangan pendekar itu hanya beberapa tombak saja di belakang mereka tiba-tiba Bin-kwi mengangguk dan berkata,

“Baiklah, aku pergi, Mo-ong. Kau rupanya benar dan biar aku menyingkir....”

“Dar-Dar!”

Bin-kwi meledakkan beberapa granatnya, asap kembali menghalangi Hu Beng Kui dan terpaksa pendekar itu berjungkir balik. Sudah beberapa kali ini Hu Beng Kui mengumpat geram bila Bin-kwi menggunakan granat tangannya, itu membuat dia semakin marah. Bin-kwi membelok dan lagi-lagi berpencar. Tapi ketika diingat-ingat dan dipikir panjang lebar lagi kenapa Mo-ong mau membawa Beng An dengan menanggung resiko berhadapan dengan jago pedang yang lihai itu sementara dia tidak tiba-tiba Bin-kwi terkejut dan sadar lagi.

Sadar bahwa keselamatan pemuda itu justeru lebih berharga dibanding keselamatan diri sendiri. Hu Beng Kui tentu akan menyerahkan apa saja yang diminta asal puteranya itu dikembalikan. Mo-ong berani menghadapi resiko karena jelas kedudukannya lebih baik, dengan pemuda itu di tangan rekannya ini akan lebih selamat daripada yang tidak membawa apa-apa.

Bin-kwi mengumpat dan sadar, tiba-tiba mendusin dan tentu saja menghentikan larinya, membalik dan sudah mengejar temannya lagi. Mo-ong disuruh berhenti. Dan ketika Mo-ong terheran kenapa Bin-kwi kembali dan berteriak ribut iblis ini segera bertanya, tetap melarikan diri,

“Apa yang kau maui, Bin-kwi? Ada apa lagi datang ke sini?”

“Aku mau meminta tawananku itu. Biarkan dia bersamaku dan kau pergilah bersama murid mu!”

“Eh, kenapa begitu? Apa yang membuatmu berubah pikiran? Bukankah kau dapat melarikan diri tanpa beban?”

“Tidak, dengan beban atau tanpa beban Hu taihiap tetap akan mencari aku, Mo-ong. Karena itu serahkan puteranya dan biar dia kuurus!”

“Wah, tidak bisa, Bin-kwi. Kau telah menyerahkannya kepadaku dan tidak dapat kautarik kembali!”

“Tapi dia tawananku semula, kau tak berhak!”

“Ah, itu tadi, Bin-kwi, sekarang lain. Kau telah memberikannya kepadaku dan aku menerima. Sekarang pemuda ini menjadi tawananku, kau pergilah dan menyingkir saja baik-baik.”

“Kau mau mencari enak?”

“Enak bagaimana?”

“Kau dapat menyelamatkan dirimu dengan pemuda itu di tangan, Mo-ong. Sedang aku tak memiliki apa-apa sebagai pegangan!”

“Ha-ha, kau salah. Justeru dengan adanya pemuda ini aku menanggung resiko lebih berat, aku dapat terancam dan dibunuh Hu-taihiap itu!”

“Tak mungkin, justeru kau akan selamat kalau mengancam mau membunuh pemuda itu lebih dulu. Tidak, serahkan dia kepadaku. Mo-ong. Biar aku yang mengurus dan kau larilah!”

Bin-kwi menyambar, coba merampas Beng An yang pingsan tapi Mo-ong mengelak. Iblis ini marah dan memaki temannya. Dan ketika Bin-kwi terbelalak dan akan menyambar kembali tiba-tiba Mo-ong menangkis dan membentak...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.