Pedang Tiga Dimensi Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 16
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

BENG AN terkejut, serba salah. “Tidak... tidak, aku percaya padamu, nona. Kalau begitu kehendakmu baiklah, aku menunggu!” dan Beng An yang tidak menerima tantangan orang dan segera mengusap pipinya lalu berdiri mematung ketika gadis itu mengeluarkan suara dari hidung, memutar tubuh dan berkelebat pergi. Dan begitu orang lenyap dan pandang matanya maka pemuda ini terhuyung memasuki rumah, bertemu dengan adiknya yang berlari-lari dengan muka pucat pula, menghambur ke arahnya.

“An-ko, celaka. Kim-siucai mau mengikuti pibu...!”

Heng An bengong. “Apa?”

“Ya, Kim-siucai mau bertanding, An-ko. Tadi dia datang dan menyerahkan sepucuk surat kepada Lun-suheng. Lihat!”

Swat Lian mengeluarkan sepucuk surat, menggigil menyerahkannya pada sang kakak. Beng An menerima dan segera melihat tulisan halus dari surat itu. Dia mengenal gaya coretannya. Dan ketika Beng An tertegun dan heran serta bingung tiba-tiba adiknya menangis!

“Eh, kau kenapa? Kenapa menangis?”

Swat Lian mengguguk. Tanpa ba atau bu dia menubruk kakaknya itu, tersedu-sedu. Sebentar kemudian baju kakaknya basah air mata, terkejutlah Beng An. Dan ketika dia mengguncang adiknya dan mendorong adiknya itu maka Swat Lian mengguguk berkata tersendat-sendat, “An-ko, apa jadinya ini? Bagaimana kalau ayah tahu? Aku cemas, An ko. Kau tolonglah aku dan cegat siucai itu agar tidak memasuki arena pibu!”

“Maksudmu?”

“Siucai itu gila, An-ko. Dia tak tahu kemarahan ayah kalau dia terlihat. Aku takut ayah membunuhnya dan tak ingin hal itu terjadi. Kau cegahlah dia dan suruh dia kembali!”

“Hm,” Beng An tergetar teringat kegelisahannya sendiri terhadap gadis Tar-tar itu. “Apakah kau demikian mengkhawatirkan nasib siucai itu, Lian-moi? Apa yang menyebabkanmu begitu?”

Empat mata itu beradu pandang, Swat Lian tak mampu menjawab dan bibir yang gemetar itu digigit kuat-kuat. Pertanyaan itu diulang dan Swat Lian tiba-tiba memejamkan mata, air matanya membanjir. Dan ketika Beng An memeluk dan mengusap rambut adiknya segera pemuda ini maklum apa yang terjadi.

“Kau mencintainya, Lian-moi? Kau jatuh hati pada siucai yang aneh itu?”

Swat Lian mengguguk. Dia menyusupkan kepala di dada kakaknya, mengangguk. Betapapun tak perlu dia menyembunyikan hal itu pada kakaknya, kakaknya inilah yang lebih dapat dipercaya daripada ayahnya. Swat Lian merasa lebih bebas berterus terang dengan kakaknya itu. Dan ketika dia menangis dan kakaknya mengeluh tiba-tiba ganti kakaknya berkata,

“Kalau begitu keadaan kita sama, Lian-moi Aku pun baru bingung kedatangan gadis Tar-tar itu!”

“Ah!” Swat Lian menarik kepalanya, seketika menghentikan tangis. “Apa... apa katamu, koko? Gadis Tar-tar itu?”

“Ya, dia baru datang ke sini, moi-moi. Dan aku tak keruan mendengar dia mau memasuki pibu!” Beng An segera menceritakan itu, tak perlu sembunyi-sembunyi pula pada adiknya dan Swat Lian tertegun. Di sinilah masing-masing dapat merasakan perasaan yang lain karena mereka mengalami hal yang sama, apalagi mereka memang suka berterus terang. Dan ketika Beng An mengakhiri ceritanya bahwa besok pada hari terakhir gadis yang membuatnya jungkir balik itu akan menantangnya pibu. Pemuda ini menahan dua titik air mata yang menggantung di pelupuk.

“Aku sedih. Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan kalau dia benar-benar datang!”

“Hmm, dan aku juga tak tahu apa yang harus kulakukan pada Kim-siucai itu. Aku juga bingung, An-ko. Lalu bagaimana ini?”

“Menurutmu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?” sang kakak balik bertanya.

“Aku tak tahu, tapi kalau kau mungkin dapat menolongku!”

“Menolong bagaimana?”

“Mencari Kim siucai itu, dia pasti di sekitar sini!”

Beng An mengerutkan kening. “Di saat kita harus berjaga jaga? Hm” pemuda ini menggeleng. “Ayah menyuruh kita menanti kedatangan Mo-ong, Lian-moi. Kalau aku keluar dan ayah mencari tentu repot!”

“Kalau begitu aku saja yang pergi. Kau lindungi aku barang satu dua jam!”

“Ah, begitu nekat?”

“Ya, aku ingin menemui siucai ini, An-ko. Kalau perlu menyelidiki dia apakah cukup kepandaiannya itu untuk memasuki pibu!”

“Daripada bikin malu?” kakaknya tersenyum. “Kalah baru menghadapi Kao Sin-suheng? Baiklah,” pemuda ini mengangguk. “Kau boleh cari pemuda itu, Lian moi. Tapi janji tak boleh lebih dari dua jam. Aku tak dapat melindungimu dari pertanyaan ayah kalau lebih dari batas waktu yang ditentukan!”

“Terima kasih!” Swat Lian mencium kakaknya, girang bukan main. “Kau baik sekali, An-ko. Kau sungguh kakakku yang mulia!” tapi ketika gadis itu siap berkelebat pergi mendadak Beng An menahan lengan adiknya.

“Eh, nanti dulu. Ini baru pertolonganku. Lalu bagaimana pertolonganmu kepadaku? Apa yang bisa kau perbuat untuk menolongku, Lian-moi?”

Swat Lian terkejut, mengerutkan kening. “Apa yang bisa kulakukan? Aku tak tahu harus melakukan apa.....”

“Begini saja, kalau kau nanti menemui gadis Tar-tar itu pula tolong nasihati dia agar tak mengikuti pibu. Sampaikan padanya bahwa aku tak dapat melawannya, bahwa aku.... hm, aku mencintainya.”

“Ih!” sang adik tertawa lebar. “Kenapa menyatakan cinta harus lewat orang lain, koko? Aku tak mau, malu!”

“Kalau begitu, bujuk saja dia, atau... ah terserah kaulah!”

Beng An merah mukanya, mendengar sang adik tertawa dan tentu saja dia tersipu. Dalam saat begitu tiba-tiba mereka saling menggoda, Beng An meremas adiknya itu dan Swat Lian melompat pergi. Dan ketika pemuda itu menghela napas dan adiknya lenyap di luar tembok maka pemuda ini masuk dengan langkah berdebar.

Swat Lian sendiri sudah mengelilingi Ce-bu. Gadis ini tak sabar mencari Kim siucai, berputar putar dan akhimya tiba di kota sebelah timur, melihat seseorang duduk melukis, tentu saja berdebar karena itulah Kim siucai, orang yang dicari, capai sekali! Dan ketika Swat Lian meloncat dan benar saja pelukis ini adalah Kim-siucai maka langsung gadis itu menegur dengan suara menggigil. “Twako, apa yang kau lakukan ini? Kau mengikuti pibu di rumahku?”

Kim-siucai terkejut. “Eh, kau, adik Lian? Ada apa kau datang?” pelukis itu gugup juga. “Aku. Eh.... benar, aku coba-coba mengikuti pibu untuk menjajal kepandaianku!”

“Kau gila?” Swat Lian sudah mencengkeram lengan pemuda ini. “Kaukira apa dirimu ini? Kau tak tahu bahaya pibu? Tidak, kau tak boleh ikut, twako. Kau jangan berpikiran sinting dan tarik niatmu itu!”

“Lho?” pemuda ini terbelalak. “Kenapa, Lian moi? Bukankah pibu bebas diadakan untuk siapa saja?”

“Benar, tapi bukan untuk kau. Ayah bisa marah dan membunuhmu begitu kau muncul! Tidak, kau harus menarik niatmu itu, twako. Jangan dilanjutkan dan jangan terlihat ayahku. Kau dicari-cari, ayah bisa membunuhmu dan kau celaka!”

“Mm,” pemuda ini menyeringai, menarik tangannya. “Lepaskan aku dulu, Lian-moi. Jangan dicengkeram begini kalau tak ingin membuatku kesakitan. Aku datang karena ingin coba-coba, dan lagi aku tak takut bertemu ayahmu karena aku merasa tak mempunyai kesalahan. Apakah memasuki pibu berarti membuat kesalahan?”

“Kau tolol!” Swat Lian membanting kaki. “Ayah sudah tak suka padamu, twako. Ayah sudah mencurigai dan tak senang padamu sejak kau melarikan diri dulu. Ini yang harus kau perhatikan!”

“Tapi aku lari karena aku takut, dulu ayahmu itu seperti harimau haus darah yang ingin membunuhku!”

“Itulah, makanya jangan tolol dengan mengikuti pibu, twako. Kau tak mungkin selamat kalau ayah melihatmu. Dan lagi, apa yang kauandalkan? Kepandaian apa yang kau punyai?”

“He-he,” siucai ini tertawa. “Yang kuandalkan adalah pelajaran silat dirimu, adik Lian. Kepandaian yang kupunyai itu yang akan kucoba. Aku memang ingin coba-coba.”

“Dan itu berarti mampus! Aku bakal mendapat marah ayahku pula kalau kau memperlihatkan kepandaianmu itu. Kau harus tahu ini Apakah kau mau menyusahkan aku? Apakah kau senang melihat ayah marah-marah kepadaku? tidak, kau tak boleh ikut, twako. Daripada kau di hajar di sana lebih baik aku yang merobohkanmu di sini... tuk!”

Swat Lian tiba-tiba menotok, siucai itu roboh dan Swat Lian terisak. Gadis ini menyambar kembali pemuda itu, mendudukkannya di pinggir jalan, tak jauh dari lukisannya, bersandar pada batu besar. Dan ketika siucai itu menahan sakit dan bertanya kenapa dia diperlakukan seperti itu maka Swat Lian jengkel membentak perlahan.

“Aku ingin tanya apakah kau mau membuang niatmu itu atau tidak. Kalau kau membuang niatmu, kau boleh bebas. Tapi kalau tidak, hm... aku terpaksa menotokmu di sini agar kau tak dapat ke mana-mana!”

“Wah, mana mungkin, adik Lian? Bagaimana kalau perutku lapar atau kerongkonganku haus?”

Swat Lian tertegun juga.

“Lebih baik bebaskan aku, kau tak mungkin menahanku.”

“Tidak!” Swat Lian akhirnya menggeleng. “Masalah itu dapat kuatasi, twako. Sekarang kau jawab dulu pertanyaanku tadi. Apakah kau mau membuang niatmu atau tidak!”

“Kalau mau?”

“Kau bebas!”

“Kalau tak mau?”

“Aku akan membiarkanmu di sini, memanggil seorang pelayanku untuk melayanimu makan minum!”

Siucai ini melongo, membuka matanya lebar lebar. “Kau akan memperlakukan aku seperti itu?”

“Ya, kalau kau bandel!”

“Ha-ha!” siucai itu tiba-tiba tertawa bergelak. “Kalau begitu aku pilih yang ini, Lian-moi. Aku tak dapat membuang niatku dan boleh kau coba panggil pelayanmu itu. Aku tetap akan mengikuti pibu!”

“Wut!” Swat Lian marah sekali. “Kau nekat dan minta dihukum begini? Kau menantangku dan tidak mau dengar omonganku? Baik, aku akan melaksanakan omonganku, Kim-twako. Kau robohlah dan tunggu aku mengambil pelayanku!”

Swat Lian mendorong, tubuh Kini-siucai terguling dan segera gadis itu berkelebat pergi dan mengambil pelayannya untuk menjaga siucai itu, aneh kejadian ini. Kim-siucai telah ditotoknya dan tak mungkin mahasiswa itu dapat melarikan diri. Tapi ketika Swat Lian tiba kembali dan membawa pelayannya ke tempat itu mendadak gadis ini tertegun karena siucai itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Hilang!

“Eh, mana dia?” Swat Lian celingukan, melompat dan berputar-putar mencari siucai itu. Tak ada.

Pelayannya bingung karena gerak-gerik si nona terasa sulit di mengerti. Tadi majikannya itu bilang bahwa dia akan menjaga seseorang, katanya seorang pelajar lemah. Kini orang yang dimaksud tak kelihatan batang hidungnya dan si nona malah tampak kebingungan sendiri, juga marah. Dan ketika Kim-siucai tak diketahui ke mana perginya dan Swat Lian membanting kaki mendadak dia melihat guratan kecil di atas tanah, yang tadi tak dilihatnya karena terburu-buru mencari Kim-siucai.

“Apa itu, nona?” pelayannya menunjuk.

Swat Lian sudah melompat dan memperhatikan guratan itu, ternyata tulisan Kim-siucai, memberitahukan bahwa pemuda itu telah pergi dan tak perlu dicari. Dua hari lagi dia akan datang, niatnya untuk berpibu tak dapat dicegah. Tentu saja Swat Lian tertegun dan terbelalak, heran dan kaget dia bahwa siucai yang dulu pemah belajar silat padanya itu dapat lolos. Hampir tak dapat dipercaya. Tapi karena orang telah pergi dan Swat Lian membanting kaki tiba-tiba gadis ini terisak melompat pergi, merasa dipermainkan.

“Aku pulang. Kita kembali ke rumah!”

Swat Lian menangis. Dia meninggalkan pelayannya yang bengong terlongong, lagi-lagi tak mengerti sikap majikannya ini, diajak tapi tiba-tiba disuruh kembali tanpa penjelasan lengkap. Pelayan itu geleng-geleng kepala. Tapi karena Swat Lian berkelebat pulang dan dia berteriak memanggil segera pelayan ini mengejar majikannya pulang ke rumah, tak dapat mendahului dan berkaok-kaok di belakang. Swat Lian tak perduli dan sudah bertemu kakaknya, kebetulan kakaknya menunggu Dan ketika Swat Lian menangis dan ditangkap kakaknya ini maka gadis itu menceritakan pertemuannya yang singkat, keberhasilan tapi sekaligus kegagalan, berhasil menemukan namun tak berhasil mencegah kemauan siucai itu.

“Dia keras kepala, tak mau membuang niatnya dan kutotok roboh. Tapi ketika kupanggil A-kin untuk menjaganya di sana mendadak dia lenyap dan aku tak tahu ke mana dia pergi!”

“Menghilang begitu saja? Dapat membebaskan diri dari totokanmu?”

“Ya, aku juga tak mengerti bagaimana siucai ini dapat membebaskan totokanku. koko. Padahal kutahu kepandaiannya yang begitu rendah!”

“Kalau begitu dia mempermainkanmu. Siucai ini memang aneh, jangan-jangan dia berlagak pilon saja untuk mengelabuhimu!” Beng An terkejut, tentu saja kaget mendengar cerita adiknya yang hampir tak masuk akal.

Sekarang semakin kuatlah dugaannya bahwa siucai itu memang bukan siucai sembarangan. Ayahnya betul, siucai ini patut dicurigai dan agaknya dia siucai yang berkepandaian tinggi. Buktinya dapat lolos dan totokan adiknya yang melumpuhkan. Dan Beng An yang berdebar serta mengerutkan kening menghibur adiknya agar adiknya tak perlu kecewa segera menutup pembicaraan dengan kata-kata pendek,

“Tak perlu kau marah, toh dua hari lagi dia akan datang. Kita tunggu dia, dan aku yang akan menghadapinya untuk melihat siapa sebenarnya Kim-siucaimu ini!”

Begitulah, Beng An menenangkan adiknya. Hari itu tak ada apa-apa, begitu juga keesokan harinya. Tapi ketika hari terakhir tiba dan hari yang amat menentukan ini datang dengan munculnya fajar di ufuk timur maka kejadian menggemparkan terjadi di sini.

* * * * * * * *

Hari itu, seperti hari hari yang lain Mo-ong dan kawan-kawannya yang ditunggu-tunggu tak datang juga. Hu-taihiap mulai menganggap kakek iblis itu takut, barangkali telah mendengar kelihaian anak muridnya dan jerih sebelum bertanding. Jago pedang ini mulai tak acuh dan tak mengharap-harap lawannya itu. Menunggu dan diguncang berbagai macam perasaan tanpa melihat hasilnya memang membuat orang mulai tak perdulian, begitu pula jago pedang ini.

Maka ketika pagi itu datang dan hari itu adalah hari penutupan di mana pibu akan ditutup maka jago pedang ini acuh saja ketika mendengar seorang gadis muncul di panggung, gadis tak dikenal, yang menurut Gi Lun adalah gadis yang berusia dua-puluhan, seorang diri.

“Tak perlu mengganggu aku. Aku tak mau melihat kecuali Mo-ong dan kawan-kawannya itu. Robohkan dan singkirkan dia sebelum macam macam!”

“Tapi....“

“Sudahlah, aku tak mau mendengar lagi, Gi Lun. Jangan ganggu aku karena aku hendak bersamadhi!” Hu Beng Kui malah membentak, menutup pintu kamarnya dan menyuruh muridnya nomor tiga itu pergi.

Gi Lun sebenarnya hendak memberi tahu bahwa gadis itu katanya telah dikenal suhunya, seorang gadis Tar-tar yang konon berkepandaian tinggi. Beng An pernah berkenalan dengan kepandaian gadis itu, meskipun tak sepenuhnya. Tapi karena sang suhu telah membentaknya marah dan menyuruh dia pergi akhirnya pemuda ini menghela napas dan tidak berani banyak bicara lagi.

Siapa yang datang? Memang Malisa adanya, gadis Tar-tar itu. Pagi itu dia sudah menepati janji, datang dengan kepala tegak dan dada membusung. Hebat gadis ini. Kedatangannya segera menarik perhatian dan topi burungnya itu menambat anggun di atas kepala, cantik dengan mata berbinar binar seolah harimau siap tempur.

Semua mata tertegun ketika dia datang, begitu juga Beng An, pemuda ini seakan meloncat-loncat jantungnya melihat kedatangan gadis yang tak dapat membuatnya tidur itu, dua hari ini dia gelisah tak keruan, meskipun di mata orang lain pemuda itu tampaknya bersikap biasa-biasa saja. Dan ketika pagi itu dia mendapat laporan dan gadis Tartar itu datang maka Beng An sudah menyambut bersama adiknya serta lima orang saudara seperguruannya yang lain.

“Selamat pagi,” begitu Beng An menjura. hati berdegup kencang. “Apakah nona datang untuk berpibu?”



“Hmm!” si gadis malah mendengus. “Mana ayahmu, orang she Hu? Kenapa tidak menyambut. Aku datang memang untuk menantang kalian semua, aku ingin merampas Sam-kong-kiam”

“Ayah di dalam, kami sudah cukup menyambut dirimu,” Beng An berusaha menenangkan dirinya sebisa mungkin. “Apakah nona bertekad merobohkan kami? Kalau begitu kami akan gembira melihat kepandaianmu, silahkan naik ke atas panggung!” Dan Beng An yang mendahului meloncat dan sudah berada di panggung lui-tai lalu mendapat lirikan adiknya yang tersenyum mengejek.

“An-ko, calon kekasihmu ini sombong benar. Agaknya dia terlampau angkuh untuk menjadi pendampingmu!”

Beng An mengerdipkan matanya, bisikan adiknya tadi rupanya didengar gadis itu, cahaya yang berkilat dan berapi membuat Beng An terkejut. Malisa memandang adiknya. Dan ketika Swat Lian balas memandang dan gadis itu melayang naik, maka Beng An buru-buru maju ke depan menghalangi adiknya, tergetar. “Nona. pertandingan boleh dimulai. Yang akan maju menghadapimu adalah suhengku Gi Lun!” Beng An cepat memanggil suhengnya nomor tiga itu, memang tadi sudah memberi isyarat dan, Gi Lun meloncat naik.

Pemuda ini melayang ke panggung luitai dengan gerakan ringan. Malisa mengerutkan kening. Dan ketika gadis itu tampak tidak senang dan Beng An sengaja menekan pembicaraan sedikit mungkin pemuda ini sudah menjura meloncat turun, menyambar adiknya. “Nona, itulah lawanmu, silahkan mulai!”

Gadis ini mendongkol. Sebenarnya Beng An yang ia harap, tak tahunya pemuda itu melayang turun. Ketika suhengnya melayang naik. Tapi mendengus merendahkan lawan ia pun menghadapi Gi Lun. “Kau sudah bersiap?”

Gi Lun terkejut. Ditanya langsung begini membuat dia tercekat juga. Gi Lun sedikit gugup, kegagahan dan kecantikan gadis ini membuat dia tergetar, tak tahu bahwa Beng An, putera suhunya diam-diam memperhatikan gadis itu lebih dari siapa pun. Gi Lun mengangguk dan tak dapat bicara, menelan ludah.

Dan ketika gadis itu menjengek dan sinar keras memancar dari sepasang mata yang bulat lebar itu tiba-tiba dia dihardik, “Kalau begitu majulah, seranglah aku!”

“Eh,” Gi Lun melengak juga. “Kami sebagai tuan rumah tak biasa menyerang dulu, nona. kalau kau menantang silahkan kau dulu yang mulai!"

“Kau cerewet seperti nenek bawel? Baiklah, aku menyerang dan jaga tamparanku..... wuut!”

Gadis itu membentak, tubuh tiba-tiba lenyap dan Gi Lun kaget melihat sesosok bayangan mencelat ke arahnya dengan tamparan kilat. Angin yang panas dan pukulan yang kuat mendahului gerakan lawannya ini. Gadis itu tahu-tahu sudah di depan mata dan sebelah kepalan meninju tengkuknya. Tentu saja Gi Lun kaget, mengelak namun bayangan itu seolah tak mau menjauh. Ia sudah merasa mundur satu langkah namun tamparan tetap juga membayangi. Gi Lun terkejut dan berseru keras. Dan ketika lawan tetap mengejar dan dia tak dapat menghindar maka Gi Lun terkesiap menangkis serangan pertama ini.

“Plak!” Gi Lun terpental. Dalam gebrakan pertama ini ternyata Gi Lun mendapat kejutan luar biasa. Tamparan gadis itu seperti api panasnya dan Gi Lun berteriak. Beng An dan adiknya melihat pemuda itu mencelat, nyaris terguling keluar panggung dan Gi Lun berjungkir balik dengan menekan bibir panggung. Hanya dengan begitu saja selamat tak terlempar keluar. Gi Lun terbelalak, pucat mukanya. Dan ketika dia melayang turun dan pukulan serta tamparan menantinya di bawah dengan angin panas dan pukulan menderu. Mendadak pemuda itu sudah diteter dan didesak kalang-kabut.

“Plak-plaakk!”

Gi Lun hampir tak dipercaya juga saudara-saudaranya yang lain. Dua kali pemuda ini menjerit lagi. Tangan yang bertemu dengan tamparan si gadis ternyata bengkak dan kemerah-merahan. Hampir semuanya tak percaya ketika Gi Lun mendesis kesakitan. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan terhuyung menghindar sana-sini maka dalam beberapa jurus kemudian pemuda itu terdesak hebat dan tak berani menangkis kecuali berlompatan dan mengelak sana-sini saja!

“Suheng, keluarkan pedangmu. Mainkan Giam-lo Kiam-sut!” Swat Lian akhirnya penasaran, terkejut dan berseru agar suhengnya itu mencabut pedang. Dalam beberapa jurus saja suhengnya ini kewalahan, tangannya bengkak-bengkak dan tentu saja tak dapat dipakai. Dan ketika Swat Lian berseru dan ganti gadis Tar-tar itu menjengek maka dia berkata bahwa boleh pemuda itu mencabut pedang.

“Ya, keluarkan pedangmu, orang she Gi. Aku akan bertangan kosong menghadapimu!”

Gi Lun pucat. Dia mau mencabut pedangnya itu, tapi.... ah, mana mungkin mencekal pedang kalau tangan sudah bengkak-bengkak begini? Dia tak tahu dan berani menangkis karena tak mengenal gadis ini. Dikiranya sama saja dengan wanita-wanita lain seperti ketua Hwa-i-pang itu misalnya. Maka ketika tangkisan pertama sudah membuat lengannya kesakitan dan dia merasa seolah terbakar setiap kali menangkis maka pemuda ini hanya dapat menggigit bibir saja sementara lawan menyerangnya dengan tamparan-tamparan mengerikan itu, mendesak dan merangsek hingga pemuda ini bingung, terjepit dan kian kewalahan saja. Dan ketika satu tamparan cepat menuju pelipisnya dan Gi Lun tak sempat mengelak maka dengan terpaksa dan amat gentar Gi Lun menangkis.

“Plakk!”

Gi Lun menjerit. Kali ini dia terpelanting, gadis itu menjengek dan mengejar. Beng An dan saudara-saudaranya terbelalak melihat kejadian itu, Gi Lun tak akan menang. Dan ketika benar saja Gi Lun menggulingkan tubuh dalam usahanya menghindar kejaran lawan tahu-tahu gadis itu mengangkat sebelah kakinya dan.... sebuah tendangan membuat Gi Lun terpelanting roboh, terlempar keluar panggung.

“Dess!”

Semuanya terkesima. Baru untuk pertama kali ini pihak mereka dikalahkan telak. Gi Lun tak berdaya lagi di bawah panggung dan terkapar, merintih menahan sakit, Beng An melompat mendekati dan segera menolong suhengnya itu, ternyata hampir seluruh tubuh suhengnya ini bengkak-bengkak, beberapa di antaranya bahkan gosong, Gi Lun seakan dibakar api atau tersengat halilintar.

Dan ketika yang lain-lain maju menolong dan Beng An bengong tiba-tiba adiknya melayang naik berseru nyaring, “Malisa, kau menang. Sekarang kau boleh hadapi aku!”

Beng An terkejut. Dia melihat adiknya tahu-tahu sudah berhadapan dengan gadis itu, mukanya merah, sikap adiknya beringas dan Beng An tentu saja khawatir. Maka begitu adiknya berada di atas panggung dan siap menghadapi gadis Tar-tar itu tiba-tiba Beng An melayang naik pula berseru keras, “Tidak, di sini masih ada suheng-suheng yang lain. Lian-moi. Biar Gwan Beng suheng atau Hauw Kam-suheng maju. Mundurlah!”

Dan menarik adiknya di belakang punggung dan merangkapkan tangan buru-buru Beng An berkata, “Nona, kau memang menang. Tapi babak berikut masih menantimu. Sanggupkah kau bertempur lagi menghadapi yang lain?”

“Hm. kenapa satu per satu? Suruh mereka maju semua, orang she Hu. Aku ingin cepat-cepat membereskan urusan ini dan pergi!” gadis itu berkata congkak.

“Tidak, kami tak mau mengeroyok. Kalau kau belum capai kau boleh menghadapi suhengku nomor dua atau satu!”

“Kalau begitu suruh saja yang paling lihai maju ke sini, atau kau saja yang menghadapi aku!” gadis itu memandang Beng An, cepat ditolak dan Beng An mau memanggil suhengnya nomor Satu, Gwan Beng.

Tapi Hauw Kam yang melayang mendahului dan sudah berdiri di situ ternyata menghendaki dirinya menghadapi gadis Tar-tar ini. “Sute, biarlah kau turun. Kalau aku tak dapat mengalahkan gadis ini sebaiknya kau saja yang maju. Biarlah kucoba-coba kepandaianku dengannya,”

Hauw Kam sudah berkata, tenang dan lembut dan Beng An lega. Dengan begini dia tak perlu lama-lama lagi menghadapi gadis ini, perasaannya selalu terguncang bila beradu pandang dengan bola mata yang lebar itu. Beng An tak tahan. Maka begitu suhengnya nomor dua maju dan Hauw Kam sudah memberi hormat di depan lawannya maka pemuda ini bersiap-siap dengan kuda-kuda yang kokoh.

“Nona, aku telah melihat bekas-bekas pukulanmu pada suteku Gi Lun. Agaknya semacam Tiat-lui-kang, atau sejenis itu. Kalau begitu apa hubunganmu dengan Tiat-ciang Sian-li Salima? Saudaranyakah kau ini?”

Gadis itu terkejut. “Aku tak mengenal orang yang kau sebut itu, aku adalah Malisa dan tidak ada hubungan dengan orang lain. Majulah, aku ingin merobohkanmu dan secepatnya menghadapi Hu Beng Kui!”

“Hm, tak mudah, nona. Kau masih menghadapi kami berlapis-lapis dan tak mungkin kau menang menghadapi guruku. Majulah, kau agaknya pantas mendapat kehormatan pertama diriku!”

Dan Hauw Kam yang sudah bersiap dengan memperhatikan telapak lawan tiba-tiba menekuk lutut dan berhati-hati, omongannya tadi tidaklah sombong karena memang baru kali ini Hauw Kam maju. Sebagai murid nomor dua dari Hu Beng Kui belum pernah dia menunjukkan kepandaiannya, paling-paling adiknya yang lain dan Beng An, yang terpaksa menghadapi keroyokan Pek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya itu.

Dan ketika gadis itu menjengek dan kembali kening yang menjelirit panjang itu terangkat naik tiba-tiba gadis ini membentak dan sudah menerjang maju. “Awas....!”

Hauw Kam berkelit. Tidak seperti adiknya tadi di mana Gi Lun berkelit mundur adalah pemuda ini menghindar ke samping, kaki terangkat dan lutut pun bergerak. Tamparan itu diterima lutut pemuda ini, Hauw Kam cerdik dengan memasang lutut sendiri, sengaja memberi bagian terkuat untuk menerima pukulan lawan, pemuda ini belum berani menerima serangan dengan tangan sendiri. Dan ketika Hauw Kam mengerahkan tenaga dan lutut menyambut tamparan maka tamparan gadis itu bertemu lutut pemuda ini dalam satu pukulan kuat.

“Dukk!” Hauw Kam terdorong. Ternyata pemuda ini mendesis kesakitan menerima tamparan itu, terbelalak, melihat lawan tak apa-apa dan sudah menyerang lagi. Gadis Tar-tar itu berkelebat dan pukulan demi pukulan menyambar cepat, Hauw Kam terkejut karena lawan memiliki sinkang yang panas. Lututnya tadi terasa nyeri dan kemriut, tulang seakan berkeratak ditampar telapak halus itu. Bukan main. Dan ketika Hauw Kam mendesis dan berlompatan mengelak sana-sini tiba-tiba lawan sudah menyerangnya gencar dengan pukulan-pukulan berhawa panas yang mengejutkan itu.

“Orang she Hauw, cabut saja pedangmu. Mainkan Giam-lo Kiam-sut!”

Hauw Kam merah mukanya. Dalam serangan-serangan cepat ini dia belum terdesak, lawannya itu dianggap sombong dengan menyuruh dia mencabut pedang. Hauw Kam menggeleng, marah. Dan ketika lawan mendengus dan berkata jangan salahkan dirinya kalau pemuda itu roboh mendadak gadis ini mempercepat gerakannya dan lenyap dalam gulungan arus pukulan yang kian panas dan membakar, mengejutkan Hauw Kam karena sebentar kemudian pemuda ini sudah berkeringat. Dalam belasan jurus dia merasa panik, lawan kehilangan bentuknya terganti bayangan cepat yang berputar di sekeliling dirinya. Dan ketika Hauw Kam mengelak sana sini dan gugup menerima pukulan dari segala penjuru mendadak pundak kanannya tertampar tanpa diketahui.

“Plak!” Hauw Kam mendeiis. Dia merasa kesakitan, lagi-lagi menggigit bibir dan penasaran. Tubuh gadis itu berputaran kian cepat dan Hauw Kam bingung sekarang dia tak ada kesempatan mengelak kecuali menangkis. Pukulan serta serangan lawan datang bagaikan hujan, hawa panas itu menyesakkan pemuda ini dan Hauw Kam kewalahan. Dan ketika dia menangkis tapi terkejut karena selalu dia terhuyung maka sadarlah pemuda ini banwa dia kalah kuat.

“Suheng, keluarkan pedangmu. Cabut pedangmu....!”

Swat Lian di luar mulai berteriak. Hauw Kam mulai terdesak dan bingung. Semuanya ini membuat saudara-saudaranya dan Hauw Kam maju mundur. Seruan sumoinya itu rupanya baik tapi Hauw Kam terbentur kegagahannya, berat rasanya harus mengeluarkan senjata sementara lawan masih bertangan kosong. Memang sebenamya keistimewaan murid-murid Hu Beng Kui ini adalah bermain pedang, bukan bertangan kosong, meskipun dengan bertangan kosong bukan berarti mereka lemah.

Tapi karena lawan memiliki kelebihan sinkang dan Hauw Kam harus mengaku bahwa dalam setiap benturan tentu dia menyeringai menahan sakit maka pemuda ini terdesak hebat ketika harus memilih mencabut senjatanya atau tidak. Dan sebuah pukulan mengenai pundaknya lagi, Hauw Kam terhuyung dan meringis. Pukulan itu dapat ditahan tapi lama lama dia tak sanggup juga. Pemuda ini menggigit bibir, kian tertekan. Dan ketika satu tamparan miring menyambar ulu hatinya dan Hauw Kam menggeram tiba tiba pemuda ini menangkis dan mengerahkan semua tenaganya.

“Dukk!” Hauw Kam pun terpental. Baju pemuda ini sudah basah oleh keringat, tenaga banyak terkuras. Lawan benar-benar kuat. Dan ketika lawan mengejar dan satu pukulan lagi mengenai tengkuk pemuda ini akhirnya Hauw Kam terjungkal tapi melompat bangun lagi, terhuyung dan mengelak namun sebuah tendangan mengenai pinggangnya. Lagi-lagi Hauw Kam roboh. Dan ketika Hauw Kam menjadi bulanan pukulan dan tamparan demi tamparan menghujani tubuhnya dan mulailah pemuda ini bengkak-bengkak akhirnya Beng An tak tahan berseru keras, tepat di saat suhengnya roboh terpelanting.

“Suheng, kau kalah. Kita harus mengakui ini, mundur...!”

Beng An menangkap suhengnya, tak mau suhengnya roboh seperti Ci Lun, di bawah panggung, sebelum semuanya semakin parah. Dan Beng An yang menyambar suhengnya disuruh berdiri lalu melempar suhengnya ke bawah panggung dan sudah menghadapi gadis Tar-tar yang lihai itu dengan wajah berseri-seri, kagum.

“Nona, kau hebat. Kau lihai sekali. Dua kali kau memenangkan pertandingan dan pantas menantang kami!”

“Sekarang kau yang akan maju menghadapi aku?” gadis itu mengusap keringat. “Dengan cara begini kau hendak menguras tenaga dan mencari kemenangan?”

“Tidak, aku memberimu waktu untuk beristirahat, nona. Kalau kau capai boleh beristirahat sejenak dan maju lagi”

“Aku tak capai, siapa pun boleh maju kalau ingin terjungkal!” gadis itu berkata sombong. “Nah, aku siap, orang she Hu. Kalau boleh ku nasehati sebaiknya kau atau adikmu itu yang maju!”

“Wut!” Swat Lian melayang naik. “Gadis ini sombong benar, An-ko. Kalau tidak diberi pelajaran tentu ia semakin congkak. Minggirlah, aku yang menghadapi dan kau turun!”

Swat Lian tak tahan, sejak tadi sebenamya merasa marah dan geram. Gadis ini semakin menjadi jadi. Maka menyuruh kakaknya mundur dan tangan bergerak ke belakang tiba-tiba Swat Lian sudah mencabut pedangnya dan menyilangkannya di dada.

“Malisa, berkali-kali kau ingin menghadapi Giam-lo Kiam-sut. Nah, aku memenuhi permintaanmu, cabutlah senjatamu dan kita boleh tentukan siapa yang kalah dan menang di sini!” Swat Lian memasang kuda-kuda, tangan lurus tergetar dengan pedang di tangan sementara kakaknya terkejut. Sebenarnya Beng An tak menghendaki adiknya ini maju, dia hendak menyuruh suhengnya tertua, Gwan Beng.

Tapi di saat dia mau mencegah dan melompat ke depan tiba-tiba tujuh bayangan berkelebat di depan panggung dan seorang kakek bermuka singa tertawa gemuruh. “Tiat-ciang Sian-li, kau memang hebat. Sendiri tanpa dibantu siapa pun kau hendak menantang Hu Beng Kui. Ha-ha, jago pedang itu tak mungkin kau hadapi sendirian. Dewi Jelita (Sian-li). Kami datang untuk membantumu... wut-wut!”

Dan enam bayangan lain yang sudah berkelebatan di samping kakek ini tiba-tiba membuat Beng An tertegun dan berhenti, terkejut dan baru sekarang tahu bahwa kiranya inilah musuh yang ditunggu-tunggu itu, Mo-ong dan kawan-kawannya. Segera dapat menduga dengan melihat wajah kakek bertelanjang kaki itu, Mo-ong memang tak pernah memakai sepatu, dapat dikenal karena wajah kakek itu mirip singa, kasar dengan brewok yang lebat. Tapi mendengar Mo-ong mennyebut gadis Tar-tar itu sebagai Tiat-ciang Sian-li mendadak pemuda ini bengong dan menjublak.

“Kau Tiat-ciang Sian-li? Kau, eh... bukankah Tiat-ciang Sian-li bernama Salima dan sumoi Kim-mou-eng?”

“Ha-ha, ini memang sumoi Kim-mou-eng, Hu-kongcu. Dia datang tentu saja untuk membalas dendam, di samping merampas kembali Sam-kong-kiam!”

Beng An tersentak. Bagai dipukul sesuatu mendadak dia mundur, memandang Malisa dan menghubung-hubungkan nama itu dengan salima, terkejut dan sadar setelah mengetahui persamaan nama ini. Bahwa nama itu dibalik dan Beng An segera berubah mukanya. Dan ketika dia tertegun dan Mo-ong serta kawan-kawannya membuat suheng-suhengnya bangkit berdiri maka seorang di antara rombongan itu, seorang pemuda bermuka pucat yang matanya bergerak-gerak sudah menghampiri Malisa atau Salima itu dengan senyum dikulum, tertawa gembira, membungkuk.

“Sian-li, apa kabar? Kau baik-baik, bukan? Kami sudah mendengar dirimu yang berkeliaran di sini, sengaja menunggumu dan menantimu agar dapat menghadapi Hu taihiap bersama-sama. Aku prihatin, turut berbela sungkawa atas kematian suhengmu. Terimalah pernyataanku!”

Dan si muka pucat yang membungkuk dan memberi hormat itu tiba-tiba menitikkan air matanya dan sudah menunjukkan muka sedih, tak perduli bahwa dirinya tak digubris dan Beng An melihat gadis cantik itu mendengus, menghadapi Mo-ong dan lain-lain dan tampak terkejut. Memang gadis ini terkejut karena tak menduga kedatangan kakek iblis itu.

Dan ketika Bu Ham, pemuda muka pucat itu menyeringai saja diacuhkan gadis ini maka gadis itu membentak si kakek bermuka singa. “Mo-ong, apa maksud kedatanganmu ke mari? Siapa perlu bantuan?”

“Heh-heh, kami datang untuk membantumu, Sian-li. Kami telah mendengar tewasnya suhengmu itu dan turut menaruh kebencian terhadap Hu-taihiap!”

“Aku tak butuh belas kasihanmu, kalian orang orang sesat yang tak dapat dipercaya. Pergilah, aku dapat menghadapi Hu Beng Kui sendirian!”

“Hmm” sesosok bayangan tiba-tiba muncul, berdiri di pintu tengah. “Siapa yang membuat ribut-ribut ini, Beng An? Kalian mengganggu samadhiku?”

Semua orang menengok. Beng An dan saudara-saudaranya segera menjadi girang karena itulah bayangan ayahnya, Hu-taihiap rupanya terganggu dan mendengar suara pertempuran itu. Agaknya dari suara ini saja Hu Beng kui tahu bahwa sebuah pertandingan berat terjadi, gerakan-gerakan Gi Lun tadi terdengar dan pendekar ini terkejut karena gerakan Gi Lun berhenti, muridnya itu roboh.

Dan ketika pertandingan berlanjut dengan Hauw Kam yang maju namun murid nomor duanya itu pun agaknya tak dapat bertanding lama karena siutan angin panas mendesak muridnya itu dan Hu Beng Kui tertegun maka saat itu dia mendengar tawa Mo-ong yang datang bersama kawan-kawannya, keluar dan sudah berdiri di pintu ruangan di mana jago pedang ini tampak gagah dan angker.

Hu Beng Kui tegak di tengah pintu dengan mata menyapu ke depan, semua orang disambar. Dan ketika jago pedang itu melihat Mo-ong dan kawan-kawannya berada di situ mendadak dia menggerakkan kakinya dan sudah berdiri di atas panggung secepat iblis, hampir tak kelihatan gerakannya tadi.

“Ayah, inilah Mo-ong. Dan itu Tiat-ciang Sian-li Salima!”

Hu beng Kui mendengus. Dia telah mendengar semua pembicaraan itu tadi, kini bersama puteranya menghadapi semua lawan di depan. Dan ketika lima muridnya melayang naik dan Mo-ong serta kawan-kawannya siap dihadang maka Hu Beng Kui menghentikan pandang matanya pada gadis Tar-tar itu.

“Kau kiranya Tiat-ciang Sian-li? kau sumoi Kim-mou-eng?”

Salima, yang memang membalik namanya ini mengangguk, pandang matanya tajam bersinar-sinar. “Ya, aku Salima, Hu-taihiap. Kita pernah bertemu tapi saat itu kau belum membunuh orang yang kau anggap Kim-mou-eng. Aku datang untuk mengambil pedang!”

“Dan membalas kematian suhengmu?”

“Aku tak perduli padanya, aku perduli pada Sam-kong-kiam!”

Semua orang melengak. Hu Beng Kui terheran mendengar jawaban ini. Gadis itu tak nampak dendam, hanya pandang matanya beringas membicarakan Sim-kong-kiam. Dan sementara yang lain juga tertegun mendengar kata-kata itu maka Hu Beng Kui bertanya kembali, menuding Mo-ong dan rombongannya, “Kau membawa teman-temanmu itu? Kau mau berbuat curang untuk merampas Sam kong-kiam!”

“Hm, aku tak mengajak tujuh setan ini, Hu-taihiap. Kalau mereka datang adalah ini semuanya kebetulan. Aku datang sendiri, dan ingin merampas sendiri Pedang Tiga Dimensi itu dari tanganmu!”

“Bagus, kalau begitu kau bukan segolongan mereka. Dan kau, kenapa mengingkari janji, Mo-ong? Kenapa baru sekarang kalian datang? Bukankah seharusnya lima hari ying lalu?” Hu Beng Kui menoleh pada kakek iblis itu.

“Ha-ha, kami datang karena sekarang inilah saatnya yang tepat, Hu-taihiap. Lima hari yang lalu kami masih keluyuran dan belum siap!”

“Dan kau mau memasuki pibu?”

“Tentu, merampas Sam-kong-kiam dan merobohkan anak muridmu!”

“Bagus, kalau begitu silahkan coba!” tapi baru pendekar ini menyelesaikan kata-katanya mendadak seorang pemuda muncul, seorang siucai dengan kopiah mahasiswanya yang cakep itu.

“Hu-taihiap, nanti dulu. Aku juga ikut, aku mendaftar!” dan Kini siucai yang muncul terburu-buru tiba-tiba sudah berlari ke depan panggung dan tertawa ha-ha he-he, sikapnya ke-tolol-tololan dan Swat Lian kaget.

Sekarang siucai yang aneh ini datang dengan pakaian komprang, kedodoran, lucu melihat gerak geriknya itu. Tapi karena semua orang lagi tercekam oleh kedatangan Mo-ong dan hadirnya Tiat-ciang Sian-li Salima yang ternyata sumoi dari Kim-mou-cng maka tak ada orang yang tertawa melihat sikap lucu dari siucai ini kecuali rombongan Mo-ong. Melihat siucai itu sudah berada di depan panggung dan dengan berani dia berdiri di samping Mo-ong, bukun main. Dan ketika Hu-taihiap terkejut dan terbelalak memandang siucai itu maka siucai itu menjura dan lengan bajunya yang gerombyongan mengebut hidung Mo-ong!

“Hu-taihiap, dua hari yang lalu aku sudah mendaftar. Tolong diriku diterima dan jangan di tolak!”

Hu-taihiap tertegun. Tentu saja dia melihat kebutan ke hidung Mo-ong itu, tak terasa menjadi geli dan melihat Mo-ong batuk-batuk, bau yang kecut keluar dari ujung lengan baju itu, tercium sampai ke atas. Dan belum dia menjawab atau berkata melayani siucai ini tiba-tiba Mo-ong yang marah dan mendelik oleh kebutan itu tiba-tiba mengibas dan menendang siucai ini.

“Mahasiswa busuk, minggir kau. Ini bukan urusanmu!”

“Dess” dan Kim-siucai yang menjerit dan terlempar jauh tiba-tiba berdebuk dan jatuh terbanting di sana, bergulingan, disusul pekik tertahan seorang gadis dan semua orang menoleh pada Swat Lian. Puteri Hu Beng Kui itulah yang terpekik ditahan. Dan ketika semua orang terheran dan merasa aneh kenapa puteri si jago pedang itu memperhatikan siucai ini mendadak Swat Lian melayang turun dan membangunkan siucai itu.

“Kim-twako, kau tak apa-apa?”

Orang-orang menjadi bengong. Perhatian dan sikap khawatir yang ditunjukkan puteri Hu Beng Kui ini mendadak membuat orang-orang menjadi iri. Mo-ong tertawa mengejek dan memandang ke panggung. Hu Beng Kui terkejut dan merah mukanya melihat perbuatan putrinya itu. Jelas perasaan gadis ini tak dapat disembunyikan. Dan ketika siucai itu diangkat bangun dan sikap yang lembut serta perhatian yang begitu mesra di tunjukkan tanpa sadar oleh Swat Lian maka Mo-ong tertawa nyaring menunjukkan kata-katanya pada Hu-taihiap.

“Kawan-kawan, agaknya Hu-siocia ini lagi jatuh hati pada seorang siucai tolol. Lihat, betapa mesranya dia menggandeng lengan siucai itu. Kalau saja muridku beruntung mendapatkan gadis ini tentunya Hu-taihiap tak perlu malu mendapatkan mantu seorang mahasiswa goblok!”

“Ha-ha, kau betul, Mo-ong. Kalau tidak kulihat dengan mata kepalaku sendiri barangkali tak mau aku percaya puteri seorang jago pedang mencintai seorang pelajar tolol. Aih, sayang. Kasihan nama ayahnya!” seorang kakek buntung yang bukan lain Siauw-bin-kwi adanya menyambung, disusul dengus dan ejekan-ejekan lain dari rombongan Mo-ong itu. Bu Ham juga terbelalak melihat mesranya puteri Hu Beng Kui itu memperhatikan siucai ini.

Dan ketika ejekan serta cemoohan membuat Hu Beng Kui semakin tak tahan dan gusar melihat sikap puterinya tiba-tiba pendekar ini membentak, “Swat Lian, kesini. Tinggalkan siucai itu!”

Swat Lian terkejut. Dia segera sadar tapi juga lega melihat Kim-siucai tak apa-apa. Rupanya kibasan Mo-ong tadi tak cukup bertenaga, atau mungkin memang tidak bertenaga karena kakek iblis itu tak bermaksud melukai. Tak tahu bahwa diam-diam Mo-ong kaget setengah mati karena kibasannya tadi disambut pukulan tak nampak yang keluar dari lengan kanan siucai itu. ketika seolah tak sengaja dia menangkis, menolak dan nyaris Mo-ong terdorong! Dan ketika Swat Lian mendengar bentakan ayahnya dan segera dia menjadi merah karena sikapnya tak dapat ditahan maka gadis itu berkelebat kembali ke atas dan mendengar bisikan siucai itu, lembut di dalam telinga,

“Lian-moi, tak perlu khawatir. Aku dapat menjaga diriku, kau berhati-hatilah terhadap Mo-ong dan kawan-kawannya itu dan jangan pikirkan aku!”

Gadis ini sudah ditegur ayahnya. Di atas panggung Hu Beng Kui marah-marah kepada puterinya itu, mengecam pedas sikapnya yang membuat malu nama keluarga dan Beng An menengahi, cepat-cepat pemuda ini memberi tahu bahwa lawan di depan lebih penting diperhatikan daripada Swat Lian. Jago pedang itu sadar.

Dan ketika kembali dia menghadapi Mo-ong dan rombongannya dan melupakan siucai itu maka Tiat-ciang Sian-li Salima menuntut perhatian. “Hu-taihiap, bagaimana sekarang? Aku sudah siap merampas pedang!”

“Nanti dulu,” Hu Beng Kui mengeratkan kening. “Rombongan Mo-ong ini ingin kukenal satu per satu, nona. Harap sabar dan biar kutanya mereka,” dan kembali menghadapi Mo-ong jago pedang ini memandang bersinar-sinar “Mo-ong, dapatkah kau beritahukun nama teman-teman mu itu?”

“Ha-ha, ini muridku. Hu-taihiap, Bu Ham. Sedang yang cebol-cebol itu adalah Hek-bong Siang lo-mo dan dia itu Siauw bin-kwi. Sedang yang terakhir ini, dua kakek yang gagah ini adalah sahabat sahabatku dari Bhutan, Bong Kak dan Ma Tung!”

Hu Beng Kui mengangguk angguk. Untuk Hek-bong Siang-lo mo dia sudah menduga, sepasang iblis itu memang dikabarkan cebol dan senjatanya adalah sabit. Ilmu kepandaian mereka ini tinggi. Tapi melihat Sauw-bin-kwi seorang kakek buntung yang papas kedua kakinya dia pun merasa heran, memandang iblis itu dan senyum mengejek membayang di wajahnya. Hu Beng Kui tidak gentar. Namun melihat dua kakek Bhutan yang belum pernah didengar namanya itu jago pedang ini pun mengerutkan kening.

“Mereka ini dari Bhutan?”

“Ya, aku Ma Tung!” suara geraman menjawab, disusul berkilatnya sepasang mata merah dari kakek di sebelah kiri. Dan ketika Hu Beng Kui menjengek dan kakek di sebelah kanan maju pula maka kakek tinggi besar yang satu ini pun memperkenalkan diri dengan geraman yang sama.

“Dan aku Bong Kak. ingin menjajal kepandaianmu dan merampas Sam-kong-kiam!”

“Hm, boleh!” Hu Beng Kui akhimya mengenal semua. “Pibu ini memang terbuka untuk siapa saja, Bong Kak. Kalau kalian ingin maju silahkan, tapi satu persatu.”

“Bagaimana dengan aku?” Salima melengking. “Aku telah merobohkan dua orang muridmu, Hu-taihiap. Urusanku belum selesai dan sebaiknya kita selesaikan dulu!”

“Benar,” Mo-ong terkekeh. “Tiat-ciang Sian-li telah maju lebih dulu, Hu-taihiap. Kau selesaikan urusanmu dan biar kami menonton!”

“Tidak!” Kim-siucai tiba-tiba berseru nyaring. “Gadis iu telah bertempur dua kali, Hu-taihiap. Masa tidak diberi istirahat dan menghadapi lawan baru lagi? Kalau begini keenakan Mo-ong dan kawan-kawannya itu, mereka bisa mendapat lawan yang sudah kehabisan tenaga melawan gadis itu!”

“Keparat.” Mo-ong mendelik. “Kau tutup mulutmu, siucai busuk. Hu-taihiap tak mungkin mengikuti omonganmu yang menunjukkan ketakutan. Anak muridnya gagah berani, masa harus kehabisan tenaga melawan musuh baru-baru. Kalau itu dilakukan tuan rumah maka Hu-taihiap bukan seorang pendekar yang dimalui namanya!”

Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka tentu saja ikut membakar, mendukung kata-kata Mo-ong itu dan Hu Beng Kui disudutkan. Kegagahan jago pedang ini disinggung. Tentu saja Hu Beng Kui maklum. Dan karena pendekar itu telah bersiap menghadapi segalanya dan tak akan mundur menghadapi siapapun maka dia berseru, mengangkat tangannya,

“Mo-ong, tak perlu membakar hatiku. Kami keluarga Hu bukan orang-orang yang takut menghadapi lawan kuat. Kalau nona ini ingin maju dan menantang kami tentu saja kami layani, pibu tetap dilaksanakan. Biar puteraku yang maju Beng An, hadapi nona ini!” dan memanggil puteranya agar maju menghadapi Salima lalu Hu Beng Kui mengebutkan lengan menyuruh yang lain mundur.

“Bagus!” Mo-ong tertawa. “Ini pertandingan menarik, Hu-taihiap. Biar aku dan teman temanku menonton!”

Tapi baru kakek iblis itu mundur bersama kawan-kawannya mendadak Kim siucai lagi-lagi membuat ulah. “Hu taihiap, tunggu. Bagaimana kalau pibu diadakan secara berbareng saja? Aku usul agar pertandingan ini dijalankan sekaligus, di halaman yang luas itu. Terlalu lama rasanya kalau pibu berjalan satu per satu seperti ini. Lebih baik kita masing-masing mencari lawan dan siapa kalah dia langsung tersingkir!”

“Setuju!” penonton tiba-tiba bersorak, mereka muncul begitu saja seperti iblis iblis dari balik kubur. “Apa yang dikata Kim-siucai ini betul, Hu taihap. Pertandingan berjalan terlalu lama kalau maju satu per satu. Persingkat saja waktunya, biar kami menonton delapan pertandingan sekaligus!”

Hu-taihiap terkejut. Penonton sudah berteriak susul-menyusul, mereka itu tiba-tiba sudah memenuhi rumahnya bagai semut semut menemukan gula. Agaknya kedatangan Mo-ong dan kawan kawannya ini sudah diketahui dari mulut ke mulut, menyebar begitu cepat. Dan ketika teriakan ramai menggaduhkan suasana dan suaranya tumpang tindih akhimya Mo-ong yang terbelalak tak setuju membentak keras,

“Diam, kalian semua diam! Apa yang sudah diputuskan Hu-taihiap tak boleh dirobah. Pibu tetap berjalan seperti yang sudah digariskan!”

“Apakah kau takut?” Kim-siucai lagi-lagi berseru nyaring, membuat ulah. “Kalau kau takut boleh saja Hu-taihiap menerima permintaanmu, Mo-ong. Karena semua akan tahu bahwa kau dan teman-temanmu menghendaki lawan yang sudah kehabisan tenaga. Ha ha, Mo-ong kakek iblis ini ternyata takut!”

“Wut!” Mo-ong berkelebat, langsung menghantam. “Kau bermulut tajam, siucai busuk. Kalau begitu biar kau mampus!” namun Kim-siucai yang buru-buru melempar tubuh bergulingan dan berteriak pada Hu beng Kui tiba-tiba menjerit.

“Hu-taihiap. tolong. Tamu mu ini liar...!” dan melompat bangun dengan kaki tunggang-langgang siucai ini menuju ke tempat Hu-taihiap, di situ bersembunyi dan gemetar memegangi baju Swat Lian, memang gadis inilah yang dituju.

Dan ketika Mo-ong berteriak marah dan tertegun melihat pukulannya luput maka iblis itu berhenti tak berani mengejar, maklum, tuan rumah memandangnya tajam! “Hu-taihiap. siucai itu manusia pengacau. Berikan dia dan biar kuhajar!” iblis ini terengah engah.

“Tidak, apa yang dia kata didukung penonton, Mo-ong. Kalau kau memang tak takut sebaiknya mempersingkat saja aturan ini,” Swat Lian membela, sudah mendahului dan tentu saja dia melindungi siucai itu. Sebenarnya dia cemas dan gelisah oleh hadirnya Kim-siucai ini. Siucai itu dirasa gegabah. Meskipun dia kagum oleh keberaniannya yang menentang Mo-ong.

Hu Beng Kui mengerutkan kening dan ragu-ragu. Dan ketika penonton kembali bersorak dan setuju untuk mempercepat pibu dengan jalan pertempuran berbareng maka Kim-siucai berseru lagi padanya, “Nah, tunggu apa, taihiap? Kalau ini adalah hari terakhir penutupan pibu anggap saja keinginan penonton kau penuhi. Hitung-hitung sebagai hadiahmu kepada mereka!”

Terpaksa Hu-taihiap memandang Mo-ong. Dan karena Mo-ong mewakili teman-temannya sementara dia mewakili anak muridnya maka pendekar itu bertanya, “Bagaimana. kau menerima usul Kim-siucai ini, Mo-ong? Kau tak takut mengadakan pibu secara serentak?”

“Kalau Mo-ong takut lebih baik kencingi saja dia. Aku tak takut!” Kim-siucai mendahului, suaranya lantang dan nyaring dan Swat Lian tersenyum geli. Siucai ini semakin menarik hatinya. Dan ketika Mo-ong mendelik dan terpaksa kakek ini meminta persetujuan kawan-kawannya maka penonton bersorak agar dia tidak menolak.

“Jahanam, siucai itu menghancurkan semua rencana kita!” Hek-bong Siang-lo-mo menggeram, marah dan melotot seakan melahap kepala orang bulat-bulat. Semuanya mendelik dan gusar kepada siucai itu.

Dan karena penonton berteriak dan suara mereka yang ribut mengharuskan Mo-ong dan kawan-kawan menerima akhirnya kakek ini mengangguk berkata geram, “Baiklah, kami menerima, Hu-taihiap. Kita berpibu sekaligus mencari kemenangan. siapa roboh dia langsung mengeroyok, aku ingin menghancur lumatkan siucai itu!”

Mo-ong melompat, mendekati Kim-siucai dan sudah bersiap melancarkan pukulan lagi. Agaknya sebelum menyerang Hu-taihiap dia ingin menyerang siucai ini dulu. Tapi Swat Lian yang mendorong siucai itu menjauhi tempat berbahaya lalu berkata, “Kim-twako, kau pergi dulu. Tempat ini bukan main-main untukmu.”

“Lho, kenapa begitu, Lian-moi? Aku juga bertempur, aku sudah mendaftar!”

“Hm,” Swat Lian tersenyum geli. “Menghadapi Mo-ong saja kau terbirit-birit mana mungkin menghadapi kami? Tidak, menyingkirlah, twako, pergi dan menontonlah saja di situ.”

“Menonton? Ah, aku tak mau. Aku ingin maju!”

Tapi Hu Beng Kui yang membentak mengebutkan lengan tiba-tiba mendorong. “Kim-siucai, kau enyahlah. Kami tak main-main....”

“Bluk!” Dan Kim-siucai yang terlempar bergulingan didorong pendekar itu akhirnya meringis dan bangun diketawai penonton, diejek dan disuruh minggir karena pihak Hu Beng Kui tak memiliki kelebihan jumlah untuk menghadapi lawan satu lagi, Mo-ong bertujuh dan Salima seorang sudah cukup menghadapi Hu Beng Kui dan anak muridnya. Pihak pendekar itu sudah berjumlah delapan.

Dan ketika apa boleh buat siucai ini menahan kecewanya dan mengomel panjang pendek maka Hu Beng Kui sendiri sudah menghadapi lawan-lawannya berseru nyaring, “Nah, kami berdelapan siap menghadapi kalian. Mo-ong. Mari turun dan kita bertempur di lapangan yang luas itu, siapa di antara kalian yang ingin menghadapi aku!”

Jago pedang ini melayang turun, berkelebat dan sudah berdiri di halaman yang luas itu, lima muridnya dan dua putera-puterinya sudah siap di samping kiri kanan. Pertandingan berbareng satu lawan satu segera dimulai, keadaan segera menjadi menegangkan Dan ketika Hu Beng Kui menantang siapa yang akan menghadapinya dan rombongan Mo-ong tampak saling mendorong tiba tiba Salima sudah mendengus menghadapi jago pedang itu, berkelebat menerima tantangan.

“Aku yang akan menghadapimu, Hu-taihiap. Biar kurasakan seberapa hebat ilmu pedang Giam-lo Kiam-sutmu!”

Mo-ong tertawa bergelak. Dia dan kawan-kawannya memang menunggu siapa yang akan menghadapi jago pedang itu, saling mengharap dan menanti. Tentu saja semuanya tak ingin mendapatkan lawan terberat di awal pertandingan, betapapun mereka sudah mendengar kehebatan jago pedang itu dengan pedang mautnya. Hu Beng Kui memang menggetarkan dengan pedangnya yang amat lihai itu. Maka begitu Salima maju menghadapi lawan terberat dan Mo-ong serta kawan-kawannya merasa enteng mendapat lawan yang lain maka iblis ini sudah memilih Swat Lian dan berkata terkekeh,

“Kalau begitu aku menghadapi lawan yang ini, Hu-taihiap. Biar kucoba-coba kepandaian puterimu dan temanku yang lain biar memilih sendiri”

“Aku menghadapi dia!”

“Dan aku dia.....”

Dan ketika berturut-turut Siauw-bin-kwi dan kawan-kawan memilih Beng An dan lain-lain dan Beng An sudah menghadapi kakek buntung itu maka Kao Sin dan empat suhengnya sudah menghadapi lawan-lawan tangguh sementara murid termuda jago pedang itu mendapat lawan paling ringan, Bu Ham atau Bu-kongcu karena pemuda ini sudah melompat di depan pemuda itu dan mengetahui bahwa Kao Sin adalah murid paling muda dari Hu Beng Kui. Jadi agaknya dengan menghadapi murid paling muda ini dia akan memperoleh kemenangan, tertawa dan mencabut kipas hitamnya yang merupakan senjata andalan itu.

Cun Li dan Gi Lun menghadapi sepasang kakek iblis Hek bong siang lo-mo, sementara Hauw Kam menghadapi Bong Kak dan suhengnya tertua, Gwan Beng menghadapi Ma Tung. Rombongan Mo-ong itu telah memilih sendiri pasangan lawan-lawannya. Dan ketika semuanya berhadapan dan murid murid Hu Beng Kui bersiap dengan kewaspadaan tinggi dan Hu Beng Kui sudah berhadapan dengan Salima mendadak, tanpa banyak bicara atau menunggu aba-aba dari tuan rumah Siauw-bin-kwi sudah menyerang Beng An!

“Wuutt....!” Beng An terkejut, tongkat penyangga kaki lawan bergerak menotok ulu hatinya dan Siauw-bin-kwi terkekeh, kekehnya itu seakan komando bagi teman-temannya untuk menyerang. Beng An berkelit dan mundur selangkah. Dan ketika iblis buntung itu mengejar dan serangan demi serangan dilancarkan susul-menyusul dan Siauw-bin-kwi berkelebat in tiba-tiba kakek ini sudah memburu lawannya dan berseru,

“Kawan-kawan, serbu....!”

Dan begitu yang lain mengangguk dan tertawa mengikuti gerakan Bin kwi-ini tiba-tiba Mo-ong menggerakkan lengannya dan Bong Kak serta yang lain-lain pun menerjang:

“Wut-plak-siuuttt...!”

Kipas dan senjata-senjata lain menyambar. Hek-bong Siang-lo-mo sudah menggerakkan sabit mereka menyerang dua murid Hu Beng Kui itu, Twa-lo mo (iblis tertua) menghadapi Gi Lun sedang Ji-lo-mo (iblis termuda) menghadapi Cun Li. Cepat dan ganas hingga dua murid Hu Beng Kui itu terkejut, tak sempat menangkis dan terpaksa mereka membanting tubuh bergulingan. Gerak sepasang sabit itu cepat luar biasa, juga tanpa tanda-tanda dahulu. Dan ketika mereka dikejar dan Hu Beng Kui mengerutkan kening melihat sepak-terjang iblis-iblis ini yang curang tak memberi tahu tiba-tiba pendekar itu berseru agar Cun Li dan kakaknya mencabut senjata, maklum dari sekali gebrakan itu bahwa dua orang muridnya menghadapi lawan berat.

“Cun Li, Lun-ji, cabut pedang kalian. Mainkan sepenuhnya Giam-lo Kiam-sut...!”

Dua murid itu mengangguk. Mereka juga maklum dalam sekali serangan ini bahwa sepasang iblis cebol itu memiliki kepandaian tinggi. Gerak sabitnya bagai petir saja yang berkelebatan serupa cahaya, mengejar dan sudah menyerang mereka dalam serangan serangan berikut, terlalu bahaya untuk bertangan kosong. Maka begitu Hek bong Siang-lo-mo memburu dan sabit bergerak menyilaukan mata tiba tiba Cun Li dan Gi Lun sudah mencabut pedang mereka dan menangkis.

“Trang-trangg!”

Dua iblis itu berteriak. Mereka terpental. Cun Li dan Gi Lun sudah melompat bangun dan kini mereka membalas, pedang ditangan pun berkelebat tak kalah cepat menusuk dan membacok. Ganti Hek-bong Siang lo-mo yang terkejut. Dan ketika mereka menangkis dan pedang serta sabit bertemu memuncratkan bunga api maka Hek-bong Siang-lo-mo tertegun ketika menyaksikan bahwa murid nomor empat dan nomor tiga dari Hu-taihiap ini mampu menahan sabit mereka, sama-sama tergetar dan Hek-bong Siang-lo-mo melotot. Ternyata dugaan mereka meleset, anak-anak murid ini pun memiliki kepandaian tinggi dan cukup hebat, berarti bukan lawan enteng. Dan ketika pedang menyambar kembali dan Hek-bong Siang lo-mo memekik maka dua iblis cebol itu berkelebatan melayani lawan.

Begitulah, Cun Li dan suhengnya telah mendapatkan tandingannya. Mereka bekerja keras dari harus mengakui bahwa dua iblis ini tidak seperti lawan lawan lain yang pernah mereka robohkan di atas panggung. Hek-bong Siang-lo-mo memiliki tenaga yang membuat telapak serasa pedas setiap kali menangkis, belum gerakan gerakan kaki mereka yang lincah melejit-lejit.

Dan karena sepasang kakek iblis itu merupakan manusia manusia cebol yang hanya sebatas dada dibanding mereka maka tentu saja serangan serangan mereka lebih ditujukan kepada bagian bagian tubuh bawah, pinggang dan perut dan berkali kali Cun Li serta suhengnya harus mengeluarkan keringat dingin. Kecepatan sabit di tangan dua iblis cebol itu luar biasa. Tapi karena mereka telah memutar pedang dan seluruh tubuh dilindungi sinar pedang yang bergulung naik turun maka lawan dapat ditahan dan untuk sejenak Hek-bong Siang-lo-mo memaki-maki.

Dan lain Hek-bong Siang-lo-mo lain pula Bu-kongcu. Murid Mo-ong ini mendapatkan Kao Sin sebagai tandingannya. Mula-mula kipasnya mendesak, lawan dibuat berhati-hati dan belum mencabut pedang. Kao Sin memang ingin tahu lebih dulu kepandaian lawan. Tapi ketika dia harus mengakui kipas di tangan lawannya itu dan dua kali dia menotok namun untung meleset maka Kao Sin tak berani main-main lagi dan cepat mencabut pedangnya, menangkis dan segera membalas dan segera dua orang itu terlibat dalam pertandingan cepat.

Kao Sin mengeluarkan Giam-lo Kiam-sutnya itu. Ilmu pedang maut ini mendesing menyambar segala penjuru, ditangkis kipas, tapi kipas di tangan Bu kongcu terpental. Ternyata dalam pertandingan ini Bu Ham kalah kuat dibanding lawannya. Dan ketika pedang bergulung menari nari di depan mata tiba-tiba satu babatan tak sempat dielak pemuda ini dan mengenai pundaknya“.br/>
“Bret!” Bu Ham terkejut. Dia berteriak melihat sebagian kulit pundaknya robek, mengeluarkan darah dan pedang menyambar lagi menusuk dari membacok. Dua kali dia berkelit tapi dua kali kurang cepat, lagi lagi tubuhnya tergores. Dari ketika Bu Ham pucat memutar kipasnya dan mengelak sana sini tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan seekor ular kecil dari balik sakunya, menggerakkan tangan kiri dan membantu serangan kipas dengan ular kecil itu.

Kao Sin mengerutkan kening karena ular itu tampaknya berbisa, lidah amis yang keluar masuk di rongga mulut yang merah itu serasa membuat perut mau muntah. Dan ketika dengan ular ini Bu Ham mampu melindungi diri dan pertandingan di antara dua pemuda ini berjalan seimbang maka untuk sejenak siapa di antara mereka yarg kalah atau menang belum dapat diketahui.

Dan lain Bu-kongcu lain pula Bong Kak. Kakek Bhutan ini menyerang Hauw Kam, tidak mengeluarkan senjata tapi angin pukulannya yang menyambar-nyambar dari kedua lengan yang besar dan kuat itu mendorong dan mendesak Hauw Kam. Hauw Kam tak mengeluarkan senjata karena melihat lawan bertangan kosong pula. Malu dia, tersentuh harga dirinya dan melayani kakek tinggi besar ini dengan tangan dan kakinya pula. Tapi ketika dia menangkis dan terkejut karena lawan memiliki sinkang kuat di mana dia selalu tergetar dan terpental maka Hauw Kam terbelalak menghadapi pukulan dan dorongan sinkang yang menderu bersiutan dari lengan kakek Bhutan itu.

“Ha-ha, keluarkan pedangmu, bocah. Biar aku melihat seberapa hebat Giam-lo Kiam-sut mu itu!”

Hauw Kam ragu. Dia mundur-mundur dan menangkis pukulan-pukulan kakek itu, terhuyung dan ternyata tak tahan, masih tak mengeluarkan pedangnya. Dan ketika dia terdesak dan dengan cepat pukulan kakek itu menjepitnya dari segala penjuru tiba-tiba dia mendengar seruan gurunya. “Hauw Kam, mainkan Giam-lo Kiam-sut. Cabut pedangmu!”

Hu Beng Kui ternyata memperhatikan murid-muridnya. Jago pedang ini hanya masih belum bertanding bersama Salima, masih menyaksikan jalannya pertandingan yang lain dan memberi perintah ini itu. Salima sebenamya gemas, sudah tak sabar. Dan ketika jago pedang itu menyuruhnya sabar dan sebagai seorang pendekar tentu saja. Salima tak mau menyerang lawan yang belum menyatakan siap maka jago pedang itu memberi instruksi ini itu pada anak anak muridnya, memberi kesempatan pada lawan dan diam-diam Salima pun tertarik melihat jalannya pertandingan.

Murid murid Hu Beng Kui mulai mengeluarkan ilmu Pedang Maut itu. Bu kongcu berhasil dilukai Kao Sin dalam beberapa jurus setelah pedang di cabut, kagum Salima. Dan ketika Cun Li dan Gi Lun juga mampu menghadapi Hek-bong Siang-lo-mo dan pertempuran itu pun berjalan seru dengan keras dan cepat maka di pihak Hauw Kam pemuda ini sudah mengeluarkan pedangnya pula membacok Bong Kak, yang saat itu mendorong dengan kebutan lengan bajunya, menyambar dan tiba-tiba meledak ketika bertemu pedang di tangan murid nomor dua dari jago pedang itu.

Bong Kak berseru kaget. Nyata dalam gebrakan berikut ini Hauw Kam mampu menangkis pukulannya, dengan senjata di tangan pemuda itu berhasil menahan kebutannya. Dan ketika Hauw Kam berseru keras dan pedang berkelebat membentuk sinar segi delapan tiba tiba Bong Kak diterjang dan sudah mendapat tusukan dan bacokan bertubi-tubi, delapan kali banyaknya.

“Plak-plak-plakk!”

Bong Kak menangkis, ganti terhuyung dan lawan sudah mengitari tubuhnya, meloncat naik turun dan pedang pun bergerak menari-nari bagai naga mencari mangsa. Tusukan dan tikamannya cepat, kakek Bhutan ini menggereng. Dan ketika dia menangkis dan pedang serta ujung lengan baju sama-sama terpental tiba-tiba kakek ini membentak berseru geram, “Bagus kau cukup hebat. Tapi sekarang jaga ini....”

“Wuut-wuut!” dan Bong Kak yang merobah gerakan dengan berputar dan meledakkan ujung bajunya tiba-tiba menerjang dan memapak serangan pedang, membalik dan bahkan masuk dalam gulungan pedang lawan. Dengan berani dan mengejutkan kakek tinggi besar ini menggunakan telapak tangannya, telapak telanjang untuk menangkis dan mencengkeram pedang. Dan ketika Hauw Kam menjadi kaget dan heran serta terbelalak tiba-tiba Bong Kak sudah mengeluarkan ilmunya yang aneh yang meniup seperti angin beliung.

“Plak-plak-plak!” pedang, kembali ditangkis. Hauw Kam tergetar dan nyaris terpelanting. Sekarang pemuda ini merasakan kekuatan lawan yang semakin bertambah, Bong Kak menjadikan ujung bajunya sebagai senjata. Hebat dan aneh kakek ini menghadapi pedang yang tajam. Ujung bajunya menyambar-nyambar, mirip toya yang ampuh. Dan ketika Bong Kak menggereng dan tertawa aneh sekonyong-konyong lengannya mulur dan memanjang seperti karet, menangkis dan menolak pedang dan segera kakek itu maju melanjutkan dengan cengkeraman-cengkeraman berbahaya, lawan dikejar dan Hauw Kam sibuk.

Untuk sejenak pemuda ini terdesak dan melindungi diri dengan pedangnya, gerak menyerang terpaksa menjadi gerak bertahan. Tapi ketika Hu Beng Kui berkemak kemik memberitahukan sesuatu dan Hauw Kam berlompat lompatan lincah, tiba-tiba tangan mulur dan kakek bhutan itu sia-sia karena semua cengkeraman maupun pagutannya luput mengenai angin kosong, membuat kakek itu mengumpat dan pertandingan berjalan ramai. Hauw Kam tenang kembali dan dapat mengimbangi lawan. Dan ketika mereka serang-menyerang dan pedang saling bertemu ujung baju yang sudah mengeras berkat pengerahan sinkang maka pertandingan di tempat ini pun berjalan seru tanpa dapat ditentukan siapa kalah siapa menang.

Begitulah, empat pertandingan masih berjalan imbang. Dalam gebrak-gebrak yang memukau ini rata-rata pertandingan berjalan ramai. Hu Beng Kui mengangguk-angguk puas Ternyata murid-muridnya dapat menahan serangan lawan dan tak percuma dia mendidik mereka. Dan menurut pengamatannya, dari empat pertandingan itu agaknya muridnya termudalah yang dapat menguasai keadaan. Meskipun bukan berarti Kao Sin akan memenangkan pertandingan dengan mudah. Dan merasa puas dengan perlawanan murid-muridnya karena yang lain pun juga dilihatnya dapat mengimbangi lawan maka Salima yang sudah tak sabar menghadapi jago pedang itu membentak.

“Hu-taihiap, kau sudah siap? Ayo kita mulai, jangan diam saja menonton orang lain!”

“Baik,” jago pedang ini bersiap. “Kau mulailah, Sian-li. Terima kasih atas pengertianmu sedikit memberi kesempatan memperhatikan murid-muridku.”

“Tak perlu banyak cakap, cabut pedangmu!”

“Aku akan mencabut kalau sudah diperlukan, kau mulailah dan seranglah aku!” jago pedang ini tersenyum karena lega melihat jalannya pertandingan yang lain, menyuruh lawan menyerang dulu dan dia sudah merenggangkan kaki dalam kuda-kuda yang kokoh. Dalam keadaan seperti itu Beng Kui siap diserang dalam posisi apa pun, sikapnya penuh kepercayaan diri dan diam-diam jago pedang ini mengerahkan sinkangnya, melindungi diri untuk dipukul atau ditampar. Dia telah mendengar Tiat-lui-kang yang dimiliki Dewi bertangan besi ini, tentu saja dia tak main-main.

Dan karena Salima telah menuggu terlalu lama dengan membiarkan pendekar itu mengamati jalannya pertandingan dan kini merasa didesak untuk menyerang lebih dulu tiba tiba tanpa banyak cakap gadis ini melengking berkelebat maju. tangan menampar dan angin panaspun menyambar. Itu sudah diduga Hu Beng Kui. Jago pedang ini tak mengelak, dia ingin mengetahui sampai dimana kehebatan sinkang lawan. Maka begitu Salima sudah maju menerjan dan pukulan Petir meledak menyambar pelipisnya tiba-tiba pendekar ini menangkis tanpa merobah kedudukan kaki.

“Dukk!” Dua lengan itu bertemu dalam satu benturan kuat. Salima tenyata terpental, memekik dan menyerang lagi, tubuhnya mencelat berjungkir balik dan Hu Beng Kui tersenyum lega. Dia dapat menahan pukulan lawan, tangannya hanya terasa sedikit panas tapi cepat dia dapat menguasai diri. Kedudukan kakinya sama sekali tak tergetar. Dan ketika lawan menyerang lagi dan Salima menggerakkan kedua tangannya menyerang belakang pundak dan tulang belikat tiba2 tanpa menoleh dan tetap dalam posisi seperti itu pendekar ini pun menggerakkan lengannya ke belakang dan menangkis lagi.

“Duk-dukk!”

Salima kembali melengking. Lawan yang menangkis tanpa menoleh seakan melupakan hinaan baginya, dia merasa direndahkan. Maka begitu Hu Beng Kui tertawa dan dia terpental ke atas tiba-tiba gadis ini berseru marah menerjang lagi, menghujani pukulan dan tamparan dan segera Hu Beng Kui dibuat sibuk. Pukulan pukulan lawan menuju pada simpul-simpul syaraf yang berbahaya, tak mungkin baginya menangkis tanpa menengok lagi, terlalu riskan.

Dan ketika Hu Beng Kui terpaksa membalik dan tamparan demi lamparan mulai memekakkan telinganya karena pukulan Petir meledak-ledak membuat jago pedang ini harus berhati-hati maka Hu Beng Kui sudah melayani lawan sementara kakinya bergerak ke sana ke mari menghindari pukulan-pukulan yang dinilai berbahaya, didesak tapi dia bertahan sambil mengagumi pukulan Petir itu. Hu-taihiap rupanya tertarik dan kagum akan pukulan lawannya ini pukulan panas di mana diam-diam dia merasa heran kenapa dulu ketika dia membunuh Kim-mou-eng tak sejurus pun pukulan macam ini keluar.

Jago pedang ini sebenarnya merasa aneh dengan kejadian itu, diam-diam tak enak. Dan ketika lawan menyerangnya, gencar dan bertubi serta sengit. Salima menerjang lawannya itu maka jago pedang ini berputaran mengikuti lawan dan Salima pun akhirnya mengerahkan ginkang, lenyap berkelebatan mengelilingi lawan dan Hu Beng Kui dibuat sibuk. Berkali-kali jago pedang itu menangkis tapi hampir saja meleset, pukulan Petir benar-benar luar biasa dan terpaksa dia mengerahkan ginkangnya pula. Dan begitu pendekar ini membentak mengimbangi lawan yang bergerak cepat mengelilingi tubuhnya akhirnya orang tak melihat lagi bayangan keduanya yang sudah berputaran dan saling belit menjadi satu.

Begitulah, pertempuran ini pun menegangkan. Orang harus berganti-ganti menikmati pertempuran yang satu dengan yang lain. Mereka kabur mengikuti jalannya pertandingan kelas tinggi ini, tak sembarang dapat mengikuti kalau bukan mereka yang cukup kepandaiannya, memiliki mata awas dan tajam. Dan karena semua pertempuran itu berjalan cepat dan baik pihak tuan rumah atau pun pihak lawan sama-sama berusaha untuk merobohkan lawannya maka pibu serempak yang terjadi di halaman rumah jago pedang ini merupakan pibu luar biasa yang jarang dapat ditonton sekaligus dalam waktu bersamaan.

Bagaimana dengan Beng An dan Swat Lian? Sama saja. Mereka ini adalah putera-puteri Hu Beng Kui, salah rasanya kalau Siauw-bin kwi maupun Mo-ong menganggap muda-mudi itu lawan yang ringan, meskipun tentu saja memang tak seberat si jago pedang sendiri yang diserang dua kakek itu. Karena begitu Swat Lian menghadapi Mo-ong dan kakaknya menghadapi Bin-kwi maka dua muda mudi ini sudah mencabut pedang dan melayani musuh dengan senjata di tangan, sebelumnya sudah dipesan ayah mereka agar tidak menghadapi lawan dengan tangan kosong.

Mereka harus mengeluarkan Giam-lo Kiam-sut jika Mo-ong dan rombongannya tiba, benar saja, dua lawan itu cukup berat dan Beng An maupun adiknya harus bersenjatakan pedang bila tak ingin roboh. Dan ketika Bin-kwi menyerang Beng An, sementara Mo-ong menghadapi Swat Lian. Maka dua kakak beradik ini membuat dua kakek iblis itu kecelik kalau mengira dapat merobohkan lawan dengan cepat, menghadapi gulungan pedang dan Swat Lian maupun kakaknya memutar pedang dalam jurus-jurus pilihan.

Kian lama kian cepat mereka bergerak dan kipas di tangan Mo-ong malah terbabat kainnya, robek dan kakek iblis itu menggereng, nyaris bahunya termakan kalau tidak melompat tinggi. Dan ketika Bin-kwi juga menghadapi tembok cahaya dan putaran pedang di tangan Beng An di mana tongkat bambunya tak dapat masuk dan selalu terpental bertemu pedang di tangan pemuda itu maka kakek bantung ini memaki-maki dengan mata melotot gusar.

“Bocah, kau cukup pintar. Tapi jangan sombong, aku akan mengeluarkan semua ilmuku dan kau pasti roboh!”

“Cobalah, aku juga akan merobohkanmu, Siauw-bin-kwi, Tak ada di antara kita yang akan mengalah dan memberi kemenangan pada yang lain. Majulah dan kita lihat siapa yang akan menang di antara kita!”

Beng An menjawab, diam-diam girang karena ternyata dia dapat menahan iblis yang kesohor ini, tadinya agak ragu tapi tentu saja tidak takut. Ayahnya memberi tahu padanya bahwa tak perlu dia kecil hati menghadapi lawan yang sudah memiliki nama, kepandaiannya setingkat saja di bawah sang ayah dan Hu Beng Kui memberikan kekuatan mental pada puteranya itu, juga yang lain. Dan ketika Beng An merasa dapat menahan tongkat bambu di tangan lawan dan Siauw-bin-kwi harus gusar dan mengumpat tak keruan maka di pihak lain Mo-ong juga menggeram melihat perlawanan Swat Lian yang tangguh menghadapi kipasnya.

“Bocah, kau betina lihai. Bagus sekali ilmu pedangmu itu. Tapi jangan sombong, aku akan membualmu terjungkal dan kau akan roboh!”

“Hmm, jangan menggonggong seperti anjing kehabisan tulang. Mo-ong. Bukankan kipasmu yang sobek membuktikan kepandaianku yang lebih tinggi? Kau tak mungkin dapat menghadapi Giam-lo Kiam-sut, pedangku akan merobohkanmu dan kau mampus!”

“Keparat, mulutmu tajam!” dan Mo-ong yang membentak marah itu menggerakkan kipasnya kian cepat dan segera keduanya terlibat pertempuran hebat di mana masing-masing pihak tak ada yang mau mengalah, serang-menyerang dan masing-masing mencoba merobohkan yang lain, mendahului yang lain. Tapi karena Mo-ong adalah seorang iblis berkepandaian tinggi dan kakek ini juga kenyang asam garam pertempuran maka pedang di tangan Swat Lian dapat dibendung dan Swat Lian terbelalak, penasaran dan memperhebat serangannya namun Mo-ong dapat mengelak lincah.

Kakek iblis itu memang memiliki ginkang yang ringan pula menghindari serangan-serangan berbahaya. Dan karena Mo-ong juga membalas dan tentu saja kakek ini tak mau diam mengelak maka pertandingan di antara mereka berjalan ramai dan sekejap kemudian dua puluh jurus berlangsung cepat dan seru....

Pedang Tiga Dimensi Jilid 16

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 16
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

BENG AN terkejut, serba salah. “Tidak... tidak, aku percaya padamu, nona. Kalau begitu kehendakmu baiklah, aku menunggu!” dan Beng An yang tidak menerima tantangan orang dan segera mengusap pipinya lalu berdiri mematung ketika gadis itu mengeluarkan suara dari hidung, memutar tubuh dan berkelebat pergi. Dan begitu orang lenyap dan pandang matanya maka pemuda ini terhuyung memasuki rumah, bertemu dengan adiknya yang berlari-lari dengan muka pucat pula, menghambur ke arahnya.

“An-ko, celaka. Kim-siucai mau mengikuti pibu...!”

Heng An bengong. “Apa?”

“Ya, Kim-siucai mau bertanding, An-ko. Tadi dia datang dan menyerahkan sepucuk surat kepada Lun-suheng. Lihat!”

Swat Lian mengeluarkan sepucuk surat, menggigil menyerahkannya pada sang kakak. Beng An menerima dan segera melihat tulisan halus dari surat itu. Dia mengenal gaya coretannya. Dan ketika Beng An tertegun dan heran serta bingung tiba-tiba adiknya menangis!

“Eh, kau kenapa? Kenapa menangis?”

Swat Lian mengguguk. Tanpa ba atau bu dia menubruk kakaknya itu, tersedu-sedu. Sebentar kemudian baju kakaknya basah air mata, terkejutlah Beng An. Dan ketika dia mengguncang adiknya dan mendorong adiknya itu maka Swat Lian mengguguk berkata tersendat-sendat, “An-ko, apa jadinya ini? Bagaimana kalau ayah tahu? Aku cemas, An ko. Kau tolonglah aku dan cegat siucai itu agar tidak memasuki arena pibu!”

“Maksudmu?”

“Siucai itu gila, An-ko. Dia tak tahu kemarahan ayah kalau dia terlihat. Aku takut ayah membunuhnya dan tak ingin hal itu terjadi. Kau cegahlah dia dan suruh dia kembali!”

“Hm,” Beng An tergetar teringat kegelisahannya sendiri terhadap gadis Tar-tar itu. “Apakah kau demikian mengkhawatirkan nasib siucai itu, Lian-moi? Apa yang menyebabkanmu begitu?”

Empat mata itu beradu pandang, Swat Lian tak mampu menjawab dan bibir yang gemetar itu digigit kuat-kuat. Pertanyaan itu diulang dan Swat Lian tiba-tiba memejamkan mata, air matanya membanjir. Dan ketika Beng An memeluk dan mengusap rambut adiknya segera pemuda ini maklum apa yang terjadi.

“Kau mencintainya, Lian-moi? Kau jatuh hati pada siucai yang aneh itu?”

Swat Lian mengguguk. Dia menyusupkan kepala di dada kakaknya, mengangguk. Betapapun tak perlu dia menyembunyikan hal itu pada kakaknya, kakaknya inilah yang lebih dapat dipercaya daripada ayahnya. Swat Lian merasa lebih bebas berterus terang dengan kakaknya itu. Dan ketika dia menangis dan kakaknya mengeluh tiba-tiba ganti kakaknya berkata,

“Kalau begitu keadaan kita sama, Lian-moi Aku pun baru bingung kedatangan gadis Tar-tar itu!”

“Ah!” Swat Lian menarik kepalanya, seketika menghentikan tangis. “Apa... apa katamu, koko? Gadis Tar-tar itu?”

“Ya, dia baru datang ke sini, moi-moi. Dan aku tak keruan mendengar dia mau memasuki pibu!” Beng An segera menceritakan itu, tak perlu sembunyi-sembunyi pula pada adiknya dan Swat Lian tertegun. Di sinilah masing-masing dapat merasakan perasaan yang lain karena mereka mengalami hal yang sama, apalagi mereka memang suka berterus terang. Dan ketika Beng An mengakhiri ceritanya bahwa besok pada hari terakhir gadis yang membuatnya jungkir balik itu akan menantangnya pibu. Pemuda ini menahan dua titik air mata yang menggantung di pelupuk.

“Aku sedih. Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan kalau dia benar-benar datang!”

“Hmm, dan aku juga tak tahu apa yang harus kulakukan pada Kim-siucai itu. Aku juga bingung, An-ko. Lalu bagaimana ini?”

“Menurutmu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?” sang kakak balik bertanya.

“Aku tak tahu, tapi kalau kau mungkin dapat menolongku!”

“Menolong bagaimana?”

“Mencari Kim siucai itu, dia pasti di sekitar sini!”

Beng An mengerutkan kening. “Di saat kita harus berjaga jaga? Hm” pemuda ini menggeleng. “Ayah menyuruh kita menanti kedatangan Mo-ong, Lian-moi. Kalau aku keluar dan ayah mencari tentu repot!”

“Kalau begitu aku saja yang pergi. Kau lindungi aku barang satu dua jam!”

“Ah, begitu nekat?”

“Ya, aku ingin menemui siucai ini, An-ko. Kalau perlu menyelidiki dia apakah cukup kepandaiannya itu untuk memasuki pibu!”

“Daripada bikin malu?” kakaknya tersenyum. “Kalah baru menghadapi Kao Sin-suheng? Baiklah,” pemuda ini mengangguk. “Kau boleh cari pemuda itu, Lian moi. Tapi janji tak boleh lebih dari dua jam. Aku tak dapat melindungimu dari pertanyaan ayah kalau lebih dari batas waktu yang ditentukan!”

“Terima kasih!” Swat Lian mencium kakaknya, girang bukan main. “Kau baik sekali, An-ko. Kau sungguh kakakku yang mulia!” tapi ketika gadis itu siap berkelebat pergi mendadak Beng An menahan lengan adiknya.

“Eh, nanti dulu. Ini baru pertolonganku. Lalu bagaimana pertolonganmu kepadaku? Apa yang bisa kau perbuat untuk menolongku, Lian-moi?”

Swat Lian terkejut, mengerutkan kening. “Apa yang bisa kulakukan? Aku tak tahu harus melakukan apa.....”

“Begini saja, kalau kau nanti menemui gadis Tar-tar itu pula tolong nasihati dia agar tak mengikuti pibu. Sampaikan padanya bahwa aku tak dapat melawannya, bahwa aku.... hm, aku mencintainya.”

“Ih!” sang adik tertawa lebar. “Kenapa menyatakan cinta harus lewat orang lain, koko? Aku tak mau, malu!”

“Kalau begitu, bujuk saja dia, atau... ah terserah kaulah!”

Beng An merah mukanya, mendengar sang adik tertawa dan tentu saja dia tersipu. Dalam saat begitu tiba-tiba mereka saling menggoda, Beng An meremas adiknya itu dan Swat Lian melompat pergi. Dan ketika pemuda itu menghela napas dan adiknya lenyap di luar tembok maka pemuda ini masuk dengan langkah berdebar.

Swat Lian sendiri sudah mengelilingi Ce-bu. Gadis ini tak sabar mencari Kim siucai, berputar putar dan akhimya tiba di kota sebelah timur, melihat seseorang duduk melukis, tentu saja berdebar karena itulah Kim siucai, orang yang dicari, capai sekali! Dan ketika Swat Lian meloncat dan benar saja pelukis ini adalah Kim-siucai maka langsung gadis itu menegur dengan suara menggigil. “Twako, apa yang kau lakukan ini? Kau mengikuti pibu di rumahku?”

Kim-siucai terkejut. “Eh, kau, adik Lian? Ada apa kau datang?” pelukis itu gugup juga. “Aku. Eh.... benar, aku coba-coba mengikuti pibu untuk menjajal kepandaianku!”

“Kau gila?” Swat Lian sudah mencengkeram lengan pemuda ini. “Kaukira apa dirimu ini? Kau tak tahu bahaya pibu? Tidak, kau tak boleh ikut, twako. Kau jangan berpikiran sinting dan tarik niatmu itu!”

“Lho?” pemuda ini terbelalak. “Kenapa, Lian moi? Bukankah pibu bebas diadakan untuk siapa saja?”

“Benar, tapi bukan untuk kau. Ayah bisa marah dan membunuhmu begitu kau muncul! Tidak, kau harus menarik niatmu itu, twako. Jangan dilanjutkan dan jangan terlihat ayahku. Kau dicari-cari, ayah bisa membunuhmu dan kau celaka!”

“Mm,” pemuda ini menyeringai, menarik tangannya. “Lepaskan aku dulu, Lian-moi. Jangan dicengkeram begini kalau tak ingin membuatku kesakitan. Aku datang karena ingin coba-coba, dan lagi aku tak takut bertemu ayahmu karena aku merasa tak mempunyai kesalahan. Apakah memasuki pibu berarti membuat kesalahan?”

“Kau tolol!” Swat Lian membanting kaki. “Ayah sudah tak suka padamu, twako. Ayah sudah mencurigai dan tak senang padamu sejak kau melarikan diri dulu. Ini yang harus kau perhatikan!”

“Tapi aku lari karena aku takut, dulu ayahmu itu seperti harimau haus darah yang ingin membunuhku!”

“Itulah, makanya jangan tolol dengan mengikuti pibu, twako. Kau tak mungkin selamat kalau ayah melihatmu. Dan lagi, apa yang kauandalkan? Kepandaian apa yang kau punyai?”

“He-he,” siucai ini tertawa. “Yang kuandalkan adalah pelajaran silat dirimu, adik Lian. Kepandaian yang kupunyai itu yang akan kucoba. Aku memang ingin coba-coba.”

“Dan itu berarti mampus! Aku bakal mendapat marah ayahku pula kalau kau memperlihatkan kepandaianmu itu. Kau harus tahu ini Apakah kau mau menyusahkan aku? Apakah kau senang melihat ayah marah-marah kepadaku? tidak, kau tak boleh ikut, twako. Daripada kau di hajar di sana lebih baik aku yang merobohkanmu di sini... tuk!”

Swat Lian tiba-tiba menotok, siucai itu roboh dan Swat Lian terisak. Gadis ini menyambar kembali pemuda itu, mendudukkannya di pinggir jalan, tak jauh dari lukisannya, bersandar pada batu besar. Dan ketika siucai itu menahan sakit dan bertanya kenapa dia diperlakukan seperti itu maka Swat Lian jengkel membentak perlahan.

“Aku ingin tanya apakah kau mau membuang niatmu itu atau tidak. Kalau kau membuang niatmu, kau boleh bebas. Tapi kalau tidak, hm... aku terpaksa menotokmu di sini agar kau tak dapat ke mana-mana!”

“Wah, mana mungkin, adik Lian? Bagaimana kalau perutku lapar atau kerongkonganku haus?”

Swat Lian tertegun juga.

“Lebih baik bebaskan aku, kau tak mungkin menahanku.”

“Tidak!” Swat Lian akhirnya menggeleng. “Masalah itu dapat kuatasi, twako. Sekarang kau jawab dulu pertanyaanku tadi. Apakah kau mau membuang niatmu atau tidak!”

“Kalau mau?”

“Kau bebas!”

“Kalau tak mau?”

“Aku akan membiarkanmu di sini, memanggil seorang pelayanku untuk melayanimu makan minum!”

Siucai ini melongo, membuka matanya lebar lebar. “Kau akan memperlakukan aku seperti itu?”

“Ya, kalau kau bandel!”

“Ha-ha!” siucai itu tiba-tiba tertawa bergelak. “Kalau begitu aku pilih yang ini, Lian-moi. Aku tak dapat membuang niatku dan boleh kau coba panggil pelayanmu itu. Aku tetap akan mengikuti pibu!”

“Wut!” Swat Lian marah sekali. “Kau nekat dan minta dihukum begini? Kau menantangku dan tidak mau dengar omonganku? Baik, aku akan melaksanakan omonganku, Kim-twako. Kau robohlah dan tunggu aku mengambil pelayanku!”

Swat Lian mendorong, tubuh Kini-siucai terguling dan segera gadis itu berkelebat pergi dan mengambil pelayannya untuk menjaga siucai itu, aneh kejadian ini. Kim-siucai telah ditotoknya dan tak mungkin mahasiswa itu dapat melarikan diri. Tapi ketika Swat Lian tiba kembali dan membawa pelayannya ke tempat itu mendadak gadis ini tertegun karena siucai itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Hilang!

“Eh, mana dia?” Swat Lian celingukan, melompat dan berputar-putar mencari siucai itu. Tak ada.

Pelayannya bingung karena gerak-gerik si nona terasa sulit di mengerti. Tadi majikannya itu bilang bahwa dia akan menjaga seseorang, katanya seorang pelajar lemah. Kini orang yang dimaksud tak kelihatan batang hidungnya dan si nona malah tampak kebingungan sendiri, juga marah. Dan ketika Kim-siucai tak diketahui ke mana perginya dan Swat Lian membanting kaki mendadak dia melihat guratan kecil di atas tanah, yang tadi tak dilihatnya karena terburu-buru mencari Kim-siucai.

“Apa itu, nona?” pelayannya menunjuk.

Swat Lian sudah melompat dan memperhatikan guratan itu, ternyata tulisan Kim-siucai, memberitahukan bahwa pemuda itu telah pergi dan tak perlu dicari. Dua hari lagi dia akan datang, niatnya untuk berpibu tak dapat dicegah. Tentu saja Swat Lian tertegun dan terbelalak, heran dan kaget dia bahwa siucai yang dulu pemah belajar silat padanya itu dapat lolos. Hampir tak dapat dipercaya. Tapi karena orang telah pergi dan Swat Lian membanting kaki tiba-tiba gadis ini terisak melompat pergi, merasa dipermainkan.

“Aku pulang. Kita kembali ke rumah!”

Swat Lian menangis. Dia meninggalkan pelayannya yang bengong terlongong, lagi-lagi tak mengerti sikap majikannya ini, diajak tapi tiba-tiba disuruh kembali tanpa penjelasan lengkap. Pelayan itu geleng-geleng kepala. Tapi karena Swat Lian berkelebat pulang dan dia berteriak memanggil segera pelayan ini mengejar majikannya pulang ke rumah, tak dapat mendahului dan berkaok-kaok di belakang. Swat Lian tak perduli dan sudah bertemu kakaknya, kebetulan kakaknya menunggu Dan ketika Swat Lian menangis dan ditangkap kakaknya ini maka gadis itu menceritakan pertemuannya yang singkat, keberhasilan tapi sekaligus kegagalan, berhasil menemukan namun tak berhasil mencegah kemauan siucai itu.

“Dia keras kepala, tak mau membuang niatnya dan kutotok roboh. Tapi ketika kupanggil A-kin untuk menjaganya di sana mendadak dia lenyap dan aku tak tahu ke mana dia pergi!”

“Menghilang begitu saja? Dapat membebaskan diri dari totokanmu?”

“Ya, aku juga tak mengerti bagaimana siucai ini dapat membebaskan totokanku. koko. Padahal kutahu kepandaiannya yang begitu rendah!”

“Kalau begitu dia mempermainkanmu. Siucai ini memang aneh, jangan-jangan dia berlagak pilon saja untuk mengelabuhimu!” Beng An terkejut, tentu saja kaget mendengar cerita adiknya yang hampir tak masuk akal.

Sekarang semakin kuatlah dugaannya bahwa siucai itu memang bukan siucai sembarangan. Ayahnya betul, siucai ini patut dicurigai dan agaknya dia siucai yang berkepandaian tinggi. Buktinya dapat lolos dan totokan adiknya yang melumpuhkan. Dan Beng An yang berdebar serta mengerutkan kening menghibur adiknya agar adiknya tak perlu kecewa segera menutup pembicaraan dengan kata-kata pendek,

“Tak perlu kau marah, toh dua hari lagi dia akan datang. Kita tunggu dia, dan aku yang akan menghadapinya untuk melihat siapa sebenarnya Kim-siucaimu ini!”

Begitulah, Beng An menenangkan adiknya. Hari itu tak ada apa-apa, begitu juga keesokan harinya. Tapi ketika hari terakhir tiba dan hari yang amat menentukan ini datang dengan munculnya fajar di ufuk timur maka kejadian menggemparkan terjadi di sini.

* * * * * * * *

Hari itu, seperti hari hari yang lain Mo-ong dan kawan-kawannya yang ditunggu-tunggu tak datang juga. Hu-taihiap mulai menganggap kakek iblis itu takut, barangkali telah mendengar kelihaian anak muridnya dan jerih sebelum bertanding. Jago pedang ini mulai tak acuh dan tak mengharap-harap lawannya itu. Menunggu dan diguncang berbagai macam perasaan tanpa melihat hasilnya memang membuat orang mulai tak perdulian, begitu pula jago pedang ini.

Maka ketika pagi itu datang dan hari itu adalah hari penutupan di mana pibu akan ditutup maka jago pedang ini acuh saja ketika mendengar seorang gadis muncul di panggung, gadis tak dikenal, yang menurut Gi Lun adalah gadis yang berusia dua-puluhan, seorang diri.

“Tak perlu mengganggu aku. Aku tak mau melihat kecuali Mo-ong dan kawan-kawannya itu. Robohkan dan singkirkan dia sebelum macam macam!”

“Tapi....“

“Sudahlah, aku tak mau mendengar lagi, Gi Lun. Jangan ganggu aku karena aku hendak bersamadhi!” Hu Beng Kui malah membentak, menutup pintu kamarnya dan menyuruh muridnya nomor tiga itu pergi.

Gi Lun sebenarnya hendak memberi tahu bahwa gadis itu katanya telah dikenal suhunya, seorang gadis Tar-tar yang konon berkepandaian tinggi. Beng An pernah berkenalan dengan kepandaian gadis itu, meskipun tak sepenuhnya. Tapi karena sang suhu telah membentaknya marah dan menyuruh dia pergi akhirnya pemuda ini menghela napas dan tidak berani banyak bicara lagi.

Siapa yang datang? Memang Malisa adanya, gadis Tar-tar itu. Pagi itu dia sudah menepati janji, datang dengan kepala tegak dan dada membusung. Hebat gadis ini. Kedatangannya segera menarik perhatian dan topi burungnya itu menambat anggun di atas kepala, cantik dengan mata berbinar binar seolah harimau siap tempur.

Semua mata tertegun ketika dia datang, begitu juga Beng An, pemuda ini seakan meloncat-loncat jantungnya melihat kedatangan gadis yang tak dapat membuatnya tidur itu, dua hari ini dia gelisah tak keruan, meskipun di mata orang lain pemuda itu tampaknya bersikap biasa-biasa saja. Dan ketika pagi itu dia mendapat laporan dan gadis Tartar itu datang maka Beng An sudah menyambut bersama adiknya serta lima orang saudara seperguruannya yang lain.

“Selamat pagi,” begitu Beng An menjura. hati berdegup kencang. “Apakah nona datang untuk berpibu?”



“Hmm!” si gadis malah mendengus. “Mana ayahmu, orang she Hu? Kenapa tidak menyambut. Aku datang memang untuk menantang kalian semua, aku ingin merampas Sam-kong-kiam”

“Ayah di dalam, kami sudah cukup menyambut dirimu,” Beng An berusaha menenangkan dirinya sebisa mungkin. “Apakah nona bertekad merobohkan kami? Kalau begitu kami akan gembira melihat kepandaianmu, silahkan naik ke atas panggung!” Dan Beng An yang mendahului meloncat dan sudah berada di panggung lui-tai lalu mendapat lirikan adiknya yang tersenyum mengejek.

“An-ko, calon kekasihmu ini sombong benar. Agaknya dia terlampau angkuh untuk menjadi pendampingmu!”

Beng An mengerdipkan matanya, bisikan adiknya tadi rupanya didengar gadis itu, cahaya yang berkilat dan berapi membuat Beng An terkejut. Malisa memandang adiknya. Dan ketika Swat Lian balas memandang dan gadis itu melayang naik, maka Beng An buru-buru maju ke depan menghalangi adiknya, tergetar. “Nona. pertandingan boleh dimulai. Yang akan maju menghadapimu adalah suhengku Gi Lun!” Beng An cepat memanggil suhengnya nomor tiga itu, memang tadi sudah memberi isyarat dan, Gi Lun meloncat naik.

Pemuda ini melayang ke panggung luitai dengan gerakan ringan. Malisa mengerutkan kening. Dan ketika gadis itu tampak tidak senang dan Beng An sengaja menekan pembicaraan sedikit mungkin pemuda ini sudah menjura meloncat turun, menyambar adiknya. “Nona, itulah lawanmu, silahkan mulai!”

Gadis ini mendongkol. Sebenarnya Beng An yang ia harap, tak tahunya pemuda itu melayang turun. Ketika suhengnya melayang naik. Tapi mendengus merendahkan lawan ia pun menghadapi Gi Lun. “Kau sudah bersiap?”

Gi Lun terkejut. Ditanya langsung begini membuat dia tercekat juga. Gi Lun sedikit gugup, kegagahan dan kecantikan gadis ini membuat dia tergetar, tak tahu bahwa Beng An, putera suhunya diam-diam memperhatikan gadis itu lebih dari siapa pun. Gi Lun mengangguk dan tak dapat bicara, menelan ludah.

Dan ketika gadis itu menjengek dan sinar keras memancar dari sepasang mata yang bulat lebar itu tiba-tiba dia dihardik, “Kalau begitu majulah, seranglah aku!”

“Eh,” Gi Lun melengak juga. “Kami sebagai tuan rumah tak biasa menyerang dulu, nona. kalau kau menantang silahkan kau dulu yang mulai!"

“Kau cerewet seperti nenek bawel? Baiklah, aku menyerang dan jaga tamparanku..... wuut!”

Gadis itu membentak, tubuh tiba-tiba lenyap dan Gi Lun kaget melihat sesosok bayangan mencelat ke arahnya dengan tamparan kilat. Angin yang panas dan pukulan yang kuat mendahului gerakan lawannya ini. Gadis itu tahu-tahu sudah di depan mata dan sebelah kepalan meninju tengkuknya. Tentu saja Gi Lun kaget, mengelak namun bayangan itu seolah tak mau menjauh. Ia sudah merasa mundur satu langkah namun tamparan tetap juga membayangi. Gi Lun terkejut dan berseru keras. Dan ketika lawan tetap mengejar dan dia tak dapat menghindar maka Gi Lun terkesiap menangkis serangan pertama ini.

“Plak!” Gi Lun terpental. Dalam gebrakan pertama ini ternyata Gi Lun mendapat kejutan luar biasa. Tamparan gadis itu seperti api panasnya dan Gi Lun berteriak. Beng An dan adiknya melihat pemuda itu mencelat, nyaris terguling keluar panggung dan Gi Lun berjungkir balik dengan menekan bibir panggung. Hanya dengan begitu saja selamat tak terlempar keluar. Gi Lun terbelalak, pucat mukanya. Dan ketika dia melayang turun dan pukulan serta tamparan menantinya di bawah dengan angin panas dan pukulan menderu. Mendadak pemuda itu sudah diteter dan didesak kalang-kabut.

“Plak-plaakk!”

Gi Lun hampir tak dipercaya juga saudara-saudaranya yang lain. Dua kali pemuda ini menjerit lagi. Tangan yang bertemu dengan tamparan si gadis ternyata bengkak dan kemerah-merahan. Hampir semuanya tak percaya ketika Gi Lun mendesis kesakitan. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan terhuyung menghindar sana-sini maka dalam beberapa jurus kemudian pemuda itu terdesak hebat dan tak berani menangkis kecuali berlompatan dan mengelak sana-sini saja!

“Suheng, keluarkan pedangmu. Mainkan Giam-lo Kiam-sut!” Swat Lian akhirnya penasaran, terkejut dan berseru agar suhengnya itu mencabut pedang. Dalam beberapa jurus saja suhengnya ini kewalahan, tangannya bengkak-bengkak dan tentu saja tak dapat dipakai. Dan ketika Swat Lian berseru dan ganti gadis Tar-tar itu menjengek maka dia berkata bahwa boleh pemuda itu mencabut pedang.

“Ya, keluarkan pedangmu, orang she Gi. Aku akan bertangan kosong menghadapimu!”

Gi Lun pucat. Dia mau mencabut pedangnya itu, tapi.... ah, mana mungkin mencekal pedang kalau tangan sudah bengkak-bengkak begini? Dia tak tahu dan berani menangkis karena tak mengenal gadis ini. Dikiranya sama saja dengan wanita-wanita lain seperti ketua Hwa-i-pang itu misalnya. Maka ketika tangkisan pertama sudah membuat lengannya kesakitan dan dia merasa seolah terbakar setiap kali menangkis maka pemuda ini hanya dapat menggigit bibir saja sementara lawan menyerangnya dengan tamparan-tamparan mengerikan itu, mendesak dan merangsek hingga pemuda ini bingung, terjepit dan kian kewalahan saja. Dan ketika satu tamparan cepat menuju pelipisnya dan Gi Lun tak sempat mengelak maka dengan terpaksa dan amat gentar Gi Lun menangkis.

“Plakk!”

Gi Lun menjerit. Kali ini dia terpelanting, gadis itu menjengek dan mengejar. Beng An dan saudara-saudaranya terbelalak melihat kejadian itu, Gi Lun tak akan menang. Dan ketika benar saja Gi Lun menggulingkan tubuh dalam usahanya menghindar kejaran lawan tahu-tahu gadis itu mengangkat sebelah kakinya dan.... sebuah tendangan membuat Gi Lun terpelanting roboh, terlempar keluar panggung.

“Dess!”

Semuanya terkesima. Baru untuk pertama kali ini pihak mereka dikalahkan telak. Gi Lun tak berdaya lagi di bawah panggung dan terkapar, merintih menahan sakit, Beng An melompat mendekati dan segera menolong suhengnya itu, ternyata hampir seluruh tubuh suhengnya ini bengkak-bengkak, beberapa di antaranya bahkan gosong, Gi Lun seakan dibakar api atau tersengat halilintar.

Dan ketika yang lain-lain maju menolong dan Beng An bengong tiba-tiba adiknya melayang naik berseru nyaring, “Malisa, kau menang. Sekarang kau boleh hadapi aku!”

Beng An terkejut. Dia melihat adiknya tahu-tahu sudah berhadapan dengan gadis itu, mukanya merah, sikap adiknya beringas dan Beng An tentu saja khawatir. Maka begitu adiknya berada di atas panggung dan siap menghadapi gadis Tar-tar itu tiba-tiba Beng An melayang naik pula berseru keras, “Tidak, di sini masih ada suheng-suheng yang lain. Lian-moi. Biar Gwan Beng suheng atau Hauw Kam-suheng maju. Mundurlah!”

Dan menarik adiknya di belakang punggung dan merangkapkan tangan buru-buru Beng An berkata, “Nona, kau memang menang. Tapi babak berikut masih menantimu. Sanggupkah kau bertempur lagi menghadapi yang lain?”

“Hm. kenapa satu per satu? Suruh mereka maju semua, orang she Hu. Aku ingin cepat-cepat membereskan urusan ini dan pergi!” gadis itu berkata congkak.

“Tidak, kami tak mau mengeroyok. Kalau kau belum capai kau boleh menghadapi suhengku nomor dua atau satu!”

“Kalau begitu suruh saja yang paling lihai maju ke sini, atau kau saja yang menghadapi aku!” gadis itu memandang Beng An, cepat ditolak dan Beng An mau memanggil suhengnya nomor Satu, Gwan Beng.

Tapi Hauw Kam yang melayang mendahului dan sudah berdiri di situ ternyata menghendaki dirinya menghadapi gadis Tar-tar ini. “Sute, biarlah kau turun. Kalau aku tak dapat mengalahkan gadis ini sebaiknya kau saja yang maju. Biarlah kucoba-coba kepandaianku dengannya,”

Hauw Kam sudah berkata, tenang dan lembut dan Beng An lega. Dengan begini dia tak perlu lama-lama lagi menghadapi gadis ini, perasaannya selalu terguncang bila beradu pandang dengan bola mata yang lebar itu. Beng An tak tahan. Maka begitu suhengnya nomor dua maju dan Hauw Kam sudah memberi hormat di depan lawannya maka pemuda ini bersiap-siap dengan kuda-kuda yang kokoh.

“Nona, aku telah melihat bekas-bekas pukulanmu pada suteku Gi Lun. Agaknya semacam Tiat-lui-kang, atau sejenis itu. Kalau begitu apa hubunganmu dengan Tiat-ciang Sian-li Salima? Saudaranyakah kau ini?”

Gadis itu terkejut. “Aku tak mengenal orang yang kau sebut itu, aku adalah Malisa dan tidak ada hubungan dengan orang lain. Majulah, aku ingin merobohkanmu dan secepatnya menghadapi Hu Beng Kui!”

“Hm, tak mudah, nona. Kau masih menghadapi kami berlapis-lapis dan tak mungkin kau menang menghadapi guruku. Majulah, kau agaknya pantas mendapat kehormatan pertama diriku!”

Dan Hauw Kam yang sudah bersiap dengan memperhatikan telapak lawan tiba-tiba menekuk lutut dan berhati-hati, omongannya tadi tidaklah sombong karena memang baru kali ini Hauw Kam maju. Sebagai murid nomor dua dari Hu Beng Kui belum pernah dia menunjukkan kepandaiannya, paling-paling adiknya yang lain dan Beng An, yang terpaksa menghadapi keroyokan Pek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya itu.

Dan ketika gadis itu menjengek dan kembali kening yang menjelirit panjang itu terangkat naik tiba-tiba gadis ini membentak dan sudah menerjang maju. “Awas....!”

Hauw Kam berkelit. Tidak seperti adiknya tadi di mana Gi Lun berkelit mundur adalah pemuda ini menghindar ke samping, kaki terangkat dan lutut pun bergerak. Tamparan itu diterima lutut pemuda ini, Hauw Kam cerdik dengan memasang lutut sendiri, sengaja memberi bagian terkuat untuk menerima pukulan lawan, pemuda ini belum berani menerima serangan dengan tangan sendiri. Dan ketika Hauw Kam mengerahkan tenaga dan lutut menyambut tamparan maka tamparan gadis itu bertemu lutut pemuda ini dalam satu pukulan kuat.

“Dukk!” Hauw Kam terdorong. Ternyata pemuda ini mendesis kesakitan menerima tamparan itu, terbelalak, melihat lawan tak apa-apa dan sudah menyerang lagi. Gadis Tar-tar itu berkelebat dan pukulan demi pukulan menyambar cepat, Hauw Kam terkejut karena lawan memiliki sinkang yang panas. Lututnya tadi terasa nyeri dan kemriut, tulang seakan berkeratak ditampar telapak halus itu. Bukan main. Dan ketika Hauw Kam mendesis dan berlompatan mengelak sana-sini tiba-tiba lawan sudah menyerangnya gencar dengan pukulan-pukulan berhawa panas yang mengejutkan itu.

“Orang she Hauw, cabut saja pedangmu. Mainkan Giam-lo Kiam-sut!”

Hauw Kam merah mukanya. Dalam serangan-serangan cepat ini dia belum terdesak, lawannya itu dianggap sombong dengan menyuruh dia mencabut pedang. Hauw Kam menggeleng, marah. Dan ketika lawan mendengus dan berkata jangan salahkan dirinya kalau pemuda itu roboh mendadak gadis ini mempercepat gerakannya dan lenyap dalam gulungan arus pukulan yang kian panas dan membakar, mengejutkan Hauw Kam karena sebentar kemudian pemuda ini sudah berkeringat. Dalam belasan jurus dia merasa panik, lawan kehilangan bentuknya terganti bayangan cepat yang berputar di sekeliling dirinya. Dan ketika Hauw Kam mengelak sana sini dan gugup menerima pukulan dari segala penjuru mendadak pundak kanannya tertampar tanpa diketahui.

“Plak!” Hauw Kam mendeiis. Dia merasa kesakitan, lagi-lagi menggigit bibir dan penasaran. Tubuh gadis itu berputaran kian cepat dan Hauw Kam bingung sekarang dia tak ada kesempatan mengelak kecuali menangkis. Pukulan serta serangan lawan datang bagaikan hujan, hawa panas itu menyesakkan pemuda ini dan Hauw Kam kewalahan. Dan ketika dia menangkis tapi terkejut karena selalu dia terhuyung maka sadarlah pemuda ini banwa dia kalah kuat.

“Suheng, keluarkan pedangmu. Cabut pedangmu....!”

Swat Lian di luar mulai berteriak. Hauw Kam mulai terdesak dan bingung. Semuanya ini membuat saudara-saudaranya dan Hauw Kam maju mundur. Seruan sumoinya itu rupanya baik tapi Hauw Kam terbentur kegagahannya, berat rasanya harus mengeluarkan senjata sementara lawan masih bertangan kosong. Memang sebenamya keistimewaan murid-murid Hu Beng Kui ini adalah bermain pedang, bukan bertangan kosong, meskipun dengan bertangan kosong bukan berarti mereka lemah.

Tapi karena lawan memiliki kelebihan sinkang dan Hauw Kam harus mengaku bahwa dalam setiap benturan tentu dia menyeringai menahan sakit maka pemuda ini terdesak hebat ketika harus memilih mencabut senjatanya atau tidak. Dan sebuah pukulan mengenai pundaknya lagi, Hauw Kam terhuyung dan meringis. Pukulan itu dapat ditahan tapi lama lama dia tak sanggup juga. Pemuda ini menggigit bibir, kian tertekan. Dan ketika satu tamparan miring menyambar ulu hatinya dan Hauw Kam menggeram tiba tiba pemuda ini menangkis dan mengerahkan semua tenaganya.

“Dukk!” Hauw Kam pun terpental. Baju pemuda ini sudah basah oleh keringat, tenaga banyak terkuras. Lawan benar-benar kuat. Dan ketika lawan mengejar dan satu pukulan lagi mengenai tengkuk pemuda ini akhirnya Hauw Kam terjungkal tapi melompat bangun lagi, terhuyung dan mengelak namun sebuah tendangan mengenai pinggangnya. Lagi-lagi Hauw Kam roboh. Dan ketika Hauw Kam menjadi bulanan pukulan dan tamparan demi tamparan menghujani tubuhnya dan mulailah pemuda ini bengkak-bengkak akhirnya Beng An tak tahan berseru keras, tepat di saat suhengnya roboh terpelanting.

“Suheng, kau kalah. Kita harus mengakui ini, mundur...!”

Beng An menangkap suhengnya, tak mau suhengnya roboh seperti Ci Lun, di bawah panggung, sebelum semuanya semakin parah. Dan Beng An yang menyambar suhengnya disuruh berdiri lalu melempar suhengnya ke bawah panggung dan sudah menghadapi gadis Tar-tar yang lihai itu dengan wajah berseri-seri, kagum.

“Nona, kau hebat. Kau lihai sekali. Dua kali kau memenangkan pertandingan dan pantas menantang kami!”

“Sekarang kau yang akan maju menghadapi aku?” gadis itu mengusap keringat. “Dengan cara begini kau hendak menguras tenaga dan mencari kemenangan?”

“Tidak, aku memberimu waktu untuk beristirahat, nona. Kalau kau capai boleh beristirahat sejenak dan maju lagi”

“Aku tak capai, siapa pun boleh maju kalau ingin terjungkal!” gadis itu berkata sombong. “Nah, aku siap, orang she Hu. Kalau boleh ku nasehati sebaiknya kau atau adikmu itu yang maju!”

“Wut!” Swat Lian melayang naik. “Gadis ini sombong benar, An-ko. Kalau tidak diberi pelajaran tentu ia semakin congkak. Minggirlah, aku yang menghadapi dan kau turun!”

Swat Lian tak tahan, sejak tadi sebenamya merasa marah dan geram. Gadis ini semakin menjadi jadi. Maka menyuruh kakaknya mundur dan tangan bergerak ke belakang tiba-tiba Swat Lian sudah mencabut pedangnya dan menyilangkannya di dada.

“Malisa, berkali-kali kau ingin menghadapi Giam-lo Kiam-sut. Nah, aku memenuhi permintaanmu, cabutlah senjatamu dan kita boleh tentukan siapa yang kalah dan menang di sini!” Swat Lian memasang kuda-kuda, tangan lurus tergetar dengan pedang di tangan sementara kakaknya terkejut. Sebenarnya Beng An tak menghendaki adiknya ini maju, dia hendak menyuruh suhengnya tertua, Gwan Beng.

Tapi di saat dia mau mencegah dan melompat ke depan tiba-tiba tujuh bayangan berkelebat di depan panggung dan seorang kakek bermuka singa tertawa gemuruh. “Tiat-ciang Sian-li, kau memang hebat. Sendiri tanpa dibantu siapa pun kau hendak menantang Hu Beng Kui. Ha-ha, jago pedang itu tak mungkin kau hadapi sendirian. Dewi Jelita (Sian-li). Kami datang untuk membantumu... wut-wut!”

Dan enam bayangan lain yang sudah berkelebatan di samping kakek ini tiba-tiba membuat Beng An tertegun dan berhenti, terkejut dan baru sekarang tahu bahwa kiranya inilah musuh yang ditunggu-tunggu itu, Mo-ong dan kawan-kawannya. Segera dapat menduga dengan melihat wajah kakek bertelanjang kaki itu, Mo-ong memang tak pernah memakai sepatu, dapat dikenal karena wajah kakek itu mirip singa, kasar dengan brewok yang lebat. Tapi mendengar Mo-ong mennyebut gadis Tar-tar itu sebagai Tiat-ciang Sian-li mendadak pemuda ini bengong dan menjublak.

“Kau Tiat-ciang Sian-li? Kau, eh... bukankah Tiat-ciang Sian-li bernama Salima dan sumoi Kim-mou-eng?”

“Ha-ha, ini memang sumoi Kim-mou-eng, Hu-kongcu. Dia datang tentu saja untuk membalas dendam, di samping merampas kembali Sam-kong-kiam!”

Beng An tersentak. Bagai dipukul sesuatu mendadak dia mundur, memandang Malisa dan menghubung-hubungkan nama itu dengan salima, terkejut dan sadar setelah mengetahui persamaan nama ini. Bahwa nama itu dibalik dan Beng An segera berubah mukanya. Dan ketika dia tertegun dan Mo-ong serta kawan-kawannya membuat suheng-suhengnya bangkit berdiri maka seorang di antara rombongan itu, seorang pemuda bermuka pucat yang matanya bergerak-gerak sudah menghampiri Malisa atau Salima itu dengan senyum dikulum, tertawa gembira, membungkuk.

“Sian-li, apa kabar? Kau baik-baik, bukan? Kami sudah mendengar dirimu yang berkeliaran di sini, sengaja menunggumu dan menantimu agar dapat menghadapi Hu taihiap bersama-sama. Aku prihatin, turut berbela sungkawa atas kematian suhengmu. Terimalah pernyataanku!”

Dan si muka pucat yang membungkuk dan memberi hormat itu tiba-tiba menitikkan air matanya dan sudah menunjukkan muka sedih, tak perduli bahwa dirinya tak digubris dan Beng An melihat gadis cantik itu mendengus, menghadapi Mo-ong dan lain-lain dan tampak terkejut. Memang gadis ini terkejut karena tak menduga kedatangan kakek iblis itu.

Dan ketika Bu Ham, pemuda muka pucat itu menyeringai saja diacuhkan gadis ini maka gadis itu membentak si kakek bermuka singa. “Mo-ong, apa maksud kedatanganmu ke mari? Siapa perlu bantuan?”

“Heh-heh, kami datang untuk membantumu, Sian-li. Kami telah mendengar tewasnya suhengmu itu dan turut menaruh kebencian terhadap Hu-taihiap!”

“Aku tak butuh belas kasihanmu, kalian orang orang sesat yang tak dapat dipercaya. Pergilah, aku dapat menghadapi Hu Beng Kui sendirian!”

“Hmm” sesosok bayangan tiba-tiba muncul, berdiri di pintu tengah. “Siapa yang membuat ribut-ribut ini, Beng An? Kalian mengganggu samadhiku?”

Semua orang menengok. Beng An dan saudara-saudaranya segera menjadi girang karena itulah bayangan ayahnya, Hu-taihiap rupanya terganggu dan mendengar suara pertempuran itu. Agaknya dari suara ini saja Hu Beng kui tahu bahwa sebuah pertandingan berat terjadi, gerakan-gerakan Gi Lun tadi terdengar dan pendekar ini terkejut karena gerakan Gi Lun berhenti, muridnya itu roboh.

Dan ketika pertandingan berlanjut dengan Hauw Kam yang maju namun murid nomor duanya itu pun agaknya tak dapat bertanding lama karena siutan angin panas mendesak muridnya itu dan Hu Beng Kui tertegun maka saat itu dia mendengar tawa Mo-ong yang datang bersama kawan-kawannya, keluar dan sudah berdiri di pintu ruangan di mana jago pedang ini tampak gagah dan angker.

Hu Beng Kui tegak di tengah pintu dengan mata menyapu ke depan, semua orang disambar. Dan ketika jago pedang itu melihat Mo-ong dan kawan-kawannya berada di situ mendadak dia menggerakkan kakinya dan sudah berdiri di atas panggung secepat iblis, hampir tak kelihatan gerakannya tadi.

“Ayah, inilah Mo-ong. Dan itu Tiat-ciang Sian-li Salima!”

Hu beng Kui mendengus. Dia telah mendengar semua pembicaraan itu tadi, kini bersama puteranya menghadapi semua lawan di depan. Dan ketika lima muridnya melayang naik dan Mo-ong serta kawan-kawannya siap dihadang maka Hu Beng Kui menghentikan pandang matanya pada gadis Tar-tar itu.

“Kau kiranya Tiat-ciang Sian-li? kau sumoi Kim-mou-eng?”

Salima, yang memang membalik namanya ini mengangguk, pandang matanya tajam bersinar-sinar. “Ya, aku Salima, Hu-taihiap. Kita pernah bertemu tapi saat itu kau belum membunuh orang yang kau anggap Kim-mou-eng. Aku datang untuk mengambil pedang!”

“Dan membalas kematian suhengmu?”

“Aku tak perduli padanya, aku perduli pada Sam-kong-kiam!”

Semua orang melengak. Hu Beng Kui terheran mendengar jawaban ini. Gadis itu tak nampak dendam, hanya pandang matanya beringas membicarakan Sim-kong-kiam. Dan sementara yang lain juga tertegun mendengar kata-kata itu maka Hu Beng Kui bertanya kembali, menuding Mo-ong dan rombongannya, “Kau membawa teman-temanmu itu? Kau mau berbuat curang untuk merampas Sam kong-kiam!”

“Hm, aku tak mengajak tujuh setan ini, Hu-taihiap. Kalau mereka datang adalah ini semuanya kebetulan. Aku datang sendiri, dan ingin merampas sendiri Pedang Tiga Dimensi itu dari tanganmu!”

“Bagus, kalau begitu kau bukan segolongan mereka. Dan kau, kenapa mengingkari janji, Mo-ong? Kenapa baru sekarang kalian datang? Bukankah seharusnya lima hari ying lalu?” Hu Beng Kui menoleh pada kakek iblis itu.

“Ha-ha, kami datang karena sekarang inilah saatnya yang tepat, Hu-taihiap. Lima hari yang lalu kami masih keluyuran dan belum siap!”

“Dan kau mau memasuki pibu?”

“Tentu, merampas Sam-kong-kiam dan merobohkan anak muridmu!”

“Bagus, kalau begitu silahkan coba!” tapi baru pendekar ini menyelesaikan kata-katanya mendadak seorang pemuda muncul, seorang siucai dengan kopiah mahasiswanya yang cakep itu.

“Hu-taihiap, nanti dulu. Aku juga ikut, aku mendaftar!” dan Kini siucai yang muncul terburu-buru tiba-tiba sudah berlari ke depan panggung dan tertawa ha-ha he-he, sikapnya ke-tolol-tololan dan Swat Lian kaget.

Sekarang siucai yang aneh ini datang dengan pakaian komprang, kedodoran, lucu melihat gerak geriknya itu. Tapi karena semua orang lagi tercekam oleh kedatangan Mo-ong dan hadirnya Tiat-ciang Sian-li Salima yang ternyata sumoi dari Kim-mou-cng maka tak ada orang yang tertawa melihat sikap lucu dari siucai ini kecuali rombongan Mo-ong. Melihat siucai itu sudah berada di depan panggung dan dengan berani dia berdiri di samping Mo-ong, bukun main. Dan ketika Hu-taihiap terkejut dan terbelalak memandang siucai itu maka siucai itu menjura dan lengan bajunya yang gerombyongan mengebut hidung Mo-ong!

“Hu-taihiap, dua hari yang lalu aku sudah mendaftar. Tolong diriku diterima dan jangan di tolak!”

Hu-taihiap tertegun. Tentu saja dia melihat kebutan ke hidung Mo-ong itu, tak terasa menjadi geli dan melihat Mo-ong batuk-batuk, bau yang kecut keluar dari ujung lengan baju itu, tercium sampai ke atas. Dan belum dia menjawab atau berkata melayani siucai ini tiba-tiba Mo-ong yang marah dan mendelik oleh kebutan itu tiba-tiba mengibas dan menendang siucai ini.

“Mahasiswa busuk, minggir kau. Ini bukan urusanmu!”

“Dess” dan Kim-siucai yang menjerit dan terlempar jauh tiba-tiba berdebuk dan jatuh terbanting di sana, bergulingan, disusul pekik tertahan seorang gadis dan semua orang menoleh pada Swat Lian. Puteri Hu Beng Kui itulah yang terpekik ditahan. Dan ketika semua orang terheran dan merasa aneh kenapa puteri si jago pedang itu memperhatikan siucai ini mendadak Swat Lian melayang turun dan membangunkan siucai itu.

“Kim-twako, kau tak apa-apa?”

Orang-orang menjadi bengong. Perhatian dan sikap khawatir yang ditunjukkan puteri Hu Beng Kui ini mendadak membuat orang-orang menjadi iri. Mo-ong tertawa mengejek dan memandang ke panggung. Hu Beng Kui terkejut dan merah mukanya melihat perbuatan putrinya itu. Jelas perasaan gadis ini tak dapat disembunyikan. Dan ketika siucai itu diangkat bangun dan sikap yang lembut serta perhatian yang begitu mesra di tunjukkan tanpa sadar oleh Swat Lian maka Mo-ong tertawa nyaring menunjukkan kata-katanya pada Hu-taihiap.

“Kawan-kawan, agaknya Hu-siocia ini lagi jatuh hati pada seorang siucai tolol. Lihat, betapa mesranya dia menggandeng lengan siucai itu. Kalau saja muridku beruntung mendapatkan gadis ini tentunya Hu-taihiap tak perlu malu mendapatkan mantu seorang mahasiswa goblok!”

“Ha-ha, kau betul, Mo-ong. Kalau tidak kulihat dengan mata kepalaku sendiri barangkali tak mau aku percaya puteri seorang jago pedang mencintai seorang pelajar tolol. Aih, sayang. Kasihan nama ayahnya!” seorang kakek buntung yang bukan lain Siauw-bin-kwi adanya menyambung, disusul dengus dan ejekan-ejekan lain dari rombongan Mo-ong itu. Bu Ham juga terbelalak melihat mesranya puteri Hu Beng Kui itu memperhatikan siucai ini.

Dan ketika ejekan serta cemoohan membuat Hu Beng Kui semakin tak tahan dan gusar melihat sikap puterinya tiba-tiba pendekar ini membentak, “Swat Lian, kesini. Tinggalkan siucai itu!”

Swat Lian terkejut. Dia segera sadar tapi juga lega melihat Kim-siucai tak apa-apa. Rupanya kibasan Mo-ong tadi tak cukup bertenaga, atau mungkin memang tidak bertenaga karena kakek iblis itu tak bermaksud melukai. Tak tahu bahwa diam-diam Mo-ong kaget setengah mati karena kibasannya tadi disambut pukulan tak nampak yang keluar dari lengan kanan siucai itu. ketika seolah tak sengaja dia menangkis, menolak dan nyaris Mo-ong terdorong! Dan ketika Swat Lian mendengar bentakan ayahnya dan segera dia menjadi merah karena sikapnya tak dapat ditahan maka gadis itu berkelebat kembali ke atas dan mendengar bisikan siucai itu, lembut di dalam telinga,

“Lian-moi, tak perlu khawatir. Aku dapat menjaga diriku, kau berhati-hatilah terhadap Mo-ong dan kawan-kawannya itu dan jangan pikirkan aku!”

Gadis ini sudah ditegur ayahnya. Di atas panggung Hu Beng Kui marah-marah kepada puterinya itu, mengecam pedas sikapnya yang membuat malu nama keluarga dan Beng An menengahi, cepat-cepat pemuda ini memberi tahu bahwa lawan di depan lebih penting diperhatikan daripada Swat Lian. Jago pedang itu sadar.

Dan ketika kembali dia menghadapi Mo-ong dan rombongannya dan melupakan siucai itu maka Tiat-ciang Sian-li Salima menuntut perhatian. “Hu-taihiap, bagaimana sekarang? Aku sudah siap merampas pedang!”

“Nanti dulu,” Hu Beng Kui mengeratkan kening. “Rombongan Mo-ong ini ingin kukenal satu per satu, nona. Harap sabar dan biar kutanya mereka,” dan kembali menghadapi Mo-ong jago pedang ini memandang bersinar-sinar “Mo-ong, dapatkah kau beritahukun nama teman-teman mu itu?”

“Ha-ha, ini muridku. Hu-taihiap, Bu Ham. Sedang yang cebol-cebol itu adalah Hek-bong Siang lo-mo dan dia itu Siauw bin-kwi. Sedang yang terakhir ini, dua kakek yang gagah ini adalah sahabat sahabatku dari Bhutan, Bong Kak dan Ma Tung!”

Hu Beng Kui mengangguk angguk. Untuk Hek-bong Siang-lo mo dia sudah menduga, sepasang iblis itu memang dikabarkan cebol dan senjatanya adalah sabit. Ilmu kepandaian mereka ini tinggi. Tapi melihat Sauw-bin-kwi seorang kakek buntung yang papas kedua kakinya dia pun merasa heran, memandang iblis itu dan senyum mengejek membayang di wajahnya. Hu Beng Kui tidak gentar. Namun melihat dua kakek Bhutan yang belum pernah didengar namanya itu jago pedang ini pun mengerutkan kening.

“Mereka ini dari Bhutan?”

“Ya, aku Ma Tung!” suara geraman menjawab, disusul berkilatnya sepasang mata merah dari kakek di sebelah kiri. Dan ketika Hu Beng Kui menjengek dan kakek di sebelah kanan maju pula maka kakek tinggi besar yang satu ini pun memperkenalkan diri dengan geraman yang sama.

“Dan aku Bong Kak. ingin menjajal kepandaianmu dan merampas Sam-kong-kiam!”

“Hm, boleh!” Hu Beng Kui akhimya mengenal semua. “Pibu ini memang terbuka untuk siapa saja, Bong Kak. Kalau kalian ingin maju silahkan, tapi satu persatu.”

“Bagaimana dengan aku?” Salima melengking. “Aku telah merobohkan dua orang muridmu, Hu-taihiap. Urusanku belum selesai dan sebaiknya kita selesaikan dulu!”

“Benar,” Mo-ong terkekeh. “Tiat-ciang Sian-li telah maju lebih dulu, Hu-taihiap. Kau selesaikan urusanmu dan biar kami menonton!”

“Tidak!” Kim-siucai tiba-tiba berseru nyaring. “Gadis iu telah bertempur dua kali, Hu-taihiap. Masa tidak diberi istirahat dan menghadapi lawan baru lagi? Kalau begini keenakan Mo-ong dan kawan-kawannya itu, mereka bisa mendapat lawan yang sudah kehabisan tenaga melawan gadis itu!”

“Keparat.” Mo-ong mendelik. “Kau tutup mulutmu, siucai busuk. Hu-taihiap tak mungkin mengikuti omonganmu yang menunjukkan ketakutan. Anak muridnya gagah berani, masa harus kehabisan tenaga melawan musuh baru-baru. Kalau itu dilakukan tuan rumah maka Hu-taihiap bukan seorang pendekar yang dimalui namanya!”

Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka tentu saja ikut membakar, mendukung kata-kata Mo-ong itu dan Hu Beng Kui disudutkan. Kegagahan jago pedang ini disinggung. Tentu saja Hu Beng Kui maklum. Dan karena pendekar itu telah bersiap menghadapi segalanya dan tak akan mundur menghadapi siapapun maka dia berseru, mengangkat tangannya,

“Mo-ong, tak perlu membakar hatiku. Kami keluarga Hu bukan orang-orang yang takut menghadapi lawan kuat. Kalau nona ini ingin maju dan menantang kami tentu saja kami layani, pibu tetap dilaksanakan. Biar puteraku yang maju Beng An, hadapi nona ini!” dan memanggil puteranya agar maju menghadapi Salima lalu Hu Beng Kui mengebutkan lengan menyuruh yang lain mundur.

“Bagus!” Mo-ong tertawa. “Ini pertandingan menarik, Hu-taihiap. Biar aku dan teman temanku menonton!”

Tapi baru kakek iblis itu mundur bersama kawan-kawannya mendadak Kim siucai lagi-lagi membuat ulah. “Hu taihiap, tunggu. Bagaimana kalau pibu diadakan secara berbareng saja? Aku usul agar pertandingan ini dijalankan sekaligus, di halaman yang luas itu. Terlalu lama rasanya kalau pibu berjalan satu per satu seperti ini. Lebih baik kita masing-masing mencari lawan dan siapa kalah dia langsung tersingkir!”

“Setuju!” penonton tiba-tiba bersorak, mereka muncul begitu saja seperti iblis iblis dari balik kubur. “Apa yang dikata Kim-siucai ini betul, Hu taihap. Pertandingan berjalan terlalu lama kalau maju satu per satu. Persingkat saja waktunya, biar kami menonton delapan pertandingan sekaligus!”

Hu-taihiap terkejut. Penonton sudah berteriak susul-menyusul, mereka itu tiba-tiba sudah memenuhi rumahnya bagai semut semut menemukan gula. Agaknya kedatangan Mo-ong dan kawan kawannya ini sudah diketahui dari mulut ke mulut, menyebar begitu cepat. Dan ketika teriakan ramai menggaduhkan suasana dan suaranya tumpang tindih akhimya Mo-ong yang terbelalak tak setuju membentak keras,

“Diam, kalian semua diam! Apa yang sudah diputuskan Hu-taihiap tak boleh dirobah. Pibu tetap berjalan seperti yang sudah digariskan!”

“Apakah kau takut?” Kim-siucai lagi-lagi berseru nyaring, membuat ulah. “Kalau kau takut boleh saja Hu-taihiap menerima permintaanmu, Mo-ong. Karena semua akan tahu bahwa kau dan teman-temanmu menghendaki lawan yang sudah kehabisan tenaga. Ha ha, Mo-ong kakek iblis ini ternyata takut!”

“Wut!” Mo-ong berkelebat, langsung menghantam. “Kau bermulut tajam, siucai busuk. Kalau begitu biar kau mampus!” namun Kim-siucai yang buru-buru melempar tubuh bergulingan dan berteriak pada Hu beng Kui tiba-tiba menjerit.

“Hu-taihiap. tolong. Tamu mu ini liar...!” dan melompat bangun dengan kaki tunggang-langgang siucai ini menuju ke tempat Hu-taihiap, di situ bersembunyi dan gemetar memegangi baju Swat Lian, memang gadis inilah yang dituju.

Dan ketika Mo-ong berteriak marah dan tertegun melihat pukulannya luput maka iblis itu berhenti tak berani mengejar, maklum, tuan rumah memandangnya tajam! “Hu-taihiap. siucai itu manusia pengacau. Berikan dia dan biar kuhajar!” iblis ini terengah engah.

“Tidak, apa yang dia kata didukung penonton, Mo-ong. Kalau kau memang tak takut sebaiknya mempersingkat saja aturan ini,” Swat Lian membela, sudah mendahului dan tentu saja dia melindungi siucai itu. Sebenarnya dia cemas dan gelisah oleh hadirnya Kim-siucai ini. Siucai itu dirasa gegabah. Meskipun dia kagum oleh keberaniannya yang menentang Mo-ong.

Hu Beng Kui mengerutkan kening dan ragu-ragu. Dan ketika penonton kembali bersorak dan setuju untuk mempercepat pibu dengan jalan pertempuran berbareng maka Kim-siucai berseru lagi padanya, “Nah, tunggu apa, taihiap? Kalau ini adalah hari terakhir penutupan pibu anggap saja keinginan penonton kau penuhi. Hitung-hitung sebagai hadiahmu kepada mereka!”

Terpaksa Hu-taihiap memandang Mo-ong. Dan karena Mo-ong mewakili teman-temannya sementara dia mewakili anak muridnya maka pendekar itu bertanya, “Bagaimana. kau menerima usul Kim-siucai ini, Mo-ong? Kau tak takut mengadakan pibu secara serentak?”

“Kalau Mo-ong takut lebih baik kencingi saja dia. Aku tak takut!” Kim-siucai mendahului, suaranya lantang dan nyaring dan Swat Lian tersenyum geli. Siucai ini semakin menarik hatinya. Dan ketika Mo-ong mendelik dan terpaksa kakek ini meminta persetujuan kawan-kawannya maka penonton bersorak agar dia tidak menolak.

“Jahanam, siucai itu menghancurkan semua rencana kita!” Hek-bong Siang-lo-mo menggeram, marah dan melotot seakan melahap kepala orang bulat-bulat. Semuanya mendelik dan gusar kepada siucai itu.

Dan karena penonton berteriak dan suara mereka yang ribut mengharuskan Mo-ong dan kawan-kawan menerima akhirnya kakek ini mengangguk berkata geram, “Baiklah, kami menerima, Hu-taihiap. Kita berpibu sekaligus mencari kemenangan. siapa roboh dia langsung mengeroyok, aku ingin menghancur lumatkan siucai itu!”

Mo-ong melompat, mendekati Kim-siucai dan sudah bersiap melancarkan pukulan lagi. Agaknya sebelum menyerang Hu-taihiap dia ingin menyerang siucai ini dulu. Tapi Swat Lian yang mendorong siucai itu menjauhi tempat berbahaya lalu berkata, “Kim-twako, kau pergi dulu. Tempat ini bukan main-main untukmu.”

“Lho, kenapa begitu, Lian-moi? Aku juga bertempur, aku sudah mendaftar!”

“Hm,” Swat Lian tersenyum geli. “Menghadapi Mo-ong saja kau terbirit-birit mana mungkin menghadapi kami? Tidak, menyingkirlah, twako, pergi dan menontonlah saja di situ.”

“Menonton? Ah, aku tak mau. Aku ingin maju!”

Tapi Hu Beng Kui yang membentak mengebutkan lengan tiba-tiba mendorong. “Kim-siucai, kau enyahlah. Kami tak main-main....”

“Bluk!” Dan Kim-siucai yang terlempar bergulingan didorong pendekar itu akhirnya meringis dan bangun diketawai penonton, diejek dan disuruh minggir karena pihak Hu Beng Kui tak memiliki kelebihan jumlah untuk menghadapi lawan satu lagi, Mo-ong bertujuh dan Salima seorang sudah cukup menghadapi Hu Beng Kui dan anak muridnya. Pihak pendekar itu sudah berjumlah delapan.

Dan ketika apa boleh buat siucai ini menahan kecewanya dan mengomel panjang pendek maka Hu Beng Kui sendiri sudah menghadapi lawan-lawannya berseru nyaring, “Nah, kami berdelapan siap menghadapi kalian. Mo-ong. Mari turun dan kita bertempur di lapangan yang luas itu, siapa di antara kalian yang ingin menghadapi aku!”

Jago pedang ini melayang turun, berkelebat dan sudah berdiri di halaman yang luas itu, lima muridnya dan dua putera-puterinya sudah siap di samping kiri kanan. Pertandingan berbareng satu lawan satu segera dimulai, keadaan segera menjadi menegangkan Dan ketika Hu Beng Kui menantang siapa yang akan menghadapinya dan rombongan Mo-ong tampak saling mendorong tiba tiba Salima sudah mendengus menghadapi jago pedang itu, berkelebat menerima tantangan.

“Aku yang akan menghadapimu, Hu-taihiap. Biar kurasakan seberapa hebat ilmu pedang Giam-lo Kiam-sutmu!”

Mo-ong tertawa bergelak. Dia dan kawan-kawannya memang menunggu siapa yang akan menghadapi jago pedang itu, saling mengharap dan menanti. Tentu saja semuanya tak ingin mendapatkan lawan terberat di awal pertandingan, betapapun mereka sudah mendengar kehebatan jago pedang itu dengan pedang mautnya. Hu Beng Kui memang menggetarkan dengan pedangnya yang amat lihai itu. Maka begitu Salima maju menghadapi lawan terberat dan Mo-ong serta kawan-kawannya merasa enteng mendapat lawan yang lain maka iblis ini sudah memilih Swat Lian dan berkata terkekeh,

“Kalau begitu aku menghadapi lawan yang ini, Hu-taihiap. Biar kucoba-coba kepandaian puterimu dan temanku yang lain biar memilih sendiri”

“Aku menghadapi dia!”

“Dan aku dia.....”

Dan ketika berturut-turut Siauw-bin-kwi dan kawan-kawan memilih Beng An dan lain-lain dan Beng An sudah menghadapi kakek buntung itu maka Kao Sin dan empat suhengnya sudah menghadapi lawan-lawan tangguh sementara murid termuda jago pedang itu mendapat lawan paling ringan, Bu Ham atau Bu-kongcu karena pemuda ini sudah melompat di depan pemuda itu dan mengetahui bahwa Kao Sin adalah murid paling muda dari Hu Beng Kui. Jadi agaknya dengan menghadapi murid paling muda ini dia akan memperoleh kemenangan, tertawa dan mencabut kipas hitamnya yang merupakan senjata andalan itu.

Cun Li dan Gi Lun menghadapi sepasang kakek iblis Hek bong siang lo-mo, sementara Hauw Kam menghadapi Bong Kak dan suhengnya tertua, Gwan Beng menghadapi Ma Tung. Rombongan Mo-ong itu telah memilih sendiri pasangan lawan-lawannya. Dan ketika semuanya berhadapan dan murid murid Hu Beng Kui bersiap dengan kewaspadaan tinggi dan Hu Beng Kui sudah berhadapan dengan Salima mendadak, tanpa banyak bicara atau menunggu aba-aba dari tuan rumah Siauw-bin-kwi sudah menyerang Beng An!

“Wuutt....!” Beng An terkejut, tongkat penyangga kaki lawan bergerak menotok ulu hatinya dan Siauw-bin-kwi terkekeh, kekehnya itu seakan komando bagi teman-temannya untuk menyerang. Beng An berkelit dan mundur selangkah. Dan ketika iblis buntung itu mengejar dan serangan demi serangan dilancarkan susul-menyusul dan Siauw-bin-kwi berkelebat in tiba-tiba kakek ini sudah memburu lawannya dan berseru,

“Kawan-kawan, serbu....!”

Dan begitu yang lain mengangguk dan tertawa mengikuti gerakan Bin kwi-ini tiba-tiba Mo-ong menggerakkan lengannya dan Bong Kak serta yang lain-lain pun menerjang:

“Wut-plak-siuuttt...!”

Kipas dan senjata-senjata lain menyambar. Hek-bong Siang-lo-mo sudah menggerakkan sabit mereka menyerang dua murid Hu Beng Kui itu, Twa-lo mo (iblis tertua) menghadapi Gi Lun sedang Ji-lo-mo (iblis termuda) menghadapi Cun Li. Cepat dan ganas hingga dua murid Hu Beng Kui itu terkejut, tak sempat menangkis dan terpaksa mereka membanting tubuh bergulingan. Gerak sepasang sabit itu cepat luar biasa, juga tanpa tanda-tanda dahulu. Dan ketika mereka dikejar dan Hu Beng Kui mengerutkan kening melihat sepak-terjang iblis-iblis ini yang curang tak memberi tahu tiba-tiba pendekar itu berseru agar Cun Li dan kakaknya mencabut senjata, maklum dari sekali gebrakan itu bahwa dua orang muridnya menghadapi lawan berat.

“Cun Li, Lun-ji, cabut pedang kalian. Mainkan sepenuhnya Giam-lo Kiam-sut...!”

Dua murid itu mengangguk. Mereka juga maklum dalam sekali serangan ini bahwa sepasang iblis cebol itu memiliki kepandaian tinggi. Gerak sabitnya bagai petir saja yang berkelebatan serupa cahaya, mengejar dan sudah menyerang mereka dalam serangan serangan berikut, terlalu bahaya untuk bertangan kosong. Maka begitu Hek bong Siang-lo-mo memburu dan sabit bergerak menyilaukan mata tiba tiba Cun Li dan Gi Lun sudah mencabut pedang mereka dan menangkis.

“Trang-trangg!”

Dua iblis itu berteriak. Mereka terpental. Cun Li dan Gi Lun sudah melompat bangun dan kini mereka membalas, pedang ditangan pun berkelebat tak kalah cepat menusuk dan membacok. Ganti Hek-bong Siang lo-mo yang terkejut. Dan ketika mereka menangkis dan pedang serta sabit bertemu memuncratkan bunga api maka Hek-bong Siang-lo-mo tertegun ketika menyaksikan bahwa murid nomor empat dan nomor tiga dari Hu-taihiap ini mampu menahan sabit mereka, sama-sama tergetar dan Hek-bong Siang-lo-mo melotot. Ternyata dugaan mereka meleset, anak-anak murid ini pun memiliki kepandaian tinggi dan cukup hebat, berarti bukan lawan enteng. Dan ketika pedang menyambar kembali dan Hek-bong Siang lo-mo memekik maka dua iblis cebol itu berkelebatan melayani lawan.

Begitulah, Cun Li dan suhengnya telah mendapatkan tandingannya. Mereka bekerja keras dari harus mengakui bahwa dua iblis ini tidak seperti lawan lawan lain yang pernah mereka robohkan di atas panggung. Hek-bong Siang-lo-mo memiliki tenaga yang membuat telapak serasa pedas setiap kali menangkis, belum gerakan gerakan kaki mereka yang lincah melejit-lejit.

Dan karena sepasang kakek iblis itu merupakan manusia manusia cebol yang hanya sebatas dada dibanding mereka maka tentu saja serangan serangan mereka lebih ditujukan kepada bagian bagian tubuh bawah, pinggang dan perut dan berkali kali Cun Li serta suhengnya harus mengeluarkan keringat dingin. Kecepatan sabit di tangan dua iblis cebol itu luar biasa. Tapi karena mereka telah memutar pedang dan seluruh tubuh dilindungi sinar pedang yang bergulung naik turun maka lawan dapat ditahan dan untuk sejenak Hek-bong Siang-lo-mo memaki-maki.

Dan lain Hek-bong Siang-lo-mo lain pula Bu-kongcu. Murid Mo-ong ini mendapatkan Kao Sin sebagai tandingannya. Mula-mula kipasnya mendesak, lawan dibuat berhati-hati dan belum mencabut pedang. Kao Sin memang ingin tahu lebih dulu kepandaian lawan. Tapi ketika dia harus mengakui kipas di tangan lawannya itu dan dua kali dia menotok namun untung meleset maka Kao Sin tak berani main-main lagi dan cepat mencabut pedangnya, menangkis dan segera membalas dan segera dua orang itu terlibat dalam pertandingan cepat.

Kao Sin mengeluarkan Giam-lo Kiam-sutnya itu. Ilmu pedang maut ini mendesing menyambar segala penjuru, ditangkis kipas, tapi kipas di tangan Bu kongcu terpental. Ternyata dalam pertandingan ini Bu Ham kalah kuat dibanding lawannya. Dan ketika pedang bergulung menari nari di depan mata tiba-tiba satu babatan tak sempat dielak pemuda ini dan mengenai pundaknya“.br/>
“Bret!” Bu Ham terkejut. Dia berteriak melihat sebagian kulit pundaknya robek, mengeluarkan darah dan pedang menyambar lagi menusuk dari membacok. Dua kali dia berkelit tapi dua kali kurang cepat, lagi lagi tubuhnya tergores. Dari ketika Bu Ham pucat memutar kipasnya dan mengelak sana sini tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan seekor ular kecil dari balik sakunya, menggerakkan tangan kiri dan membantu serangan kipas dengan ular kecil itu.

Kao Sin mengerutkan kening karena ular itu tampaknya berbisa, lidah amis yang keluar masuk di rongga mulut yang merah itu serasa membuat perut mau muntah. Dan ketika dengan ular ini Bu Ham mampu melindungi diri dan pertandingan di antara dua pemuda ini berjalan seimbang maka untuk sejenak siapa di antara mereka yarg kalah atau menang belum dapat diketahui.

Dan lain Bu-kongcu lain pula Bong Kak. Kakek Bhutan ini menyerang Hauw Kam, tidak mengeluarkan senjata tapi angin pukulannya yang menyambar-nyambar dari kedua lengan yang besar dan kuat itu mendorong dan mendesak Hauw Kam. Hauw Kam tak mengeluarkan senjata karena melihat lawan bertangan kosong pula. Malu dia, tersentuh harga dirinya dan melayani kakek tinggi besar ini dengan tangan dan kakinya pula. Tapi ketika dia menangkis dan terkejut karena lawan memiliki sinkang kuat di mana dia selalu tergetar dan terpental maka Hauw Kam terbelalak menghadapi pukulan dan dorongan sinkang yang menderu bersiutan dari lengan kakek Bhutan itu.

“Ha-ha, keluarkan pedangmu, bocah. Biar aku melihat seberapa hebat Giam-lo Kiam-sut mu itu!”

Hauw Kam ragu. Dia mundur-mundur dan menangkis pukulan-pukulan kakek itu, terhuyung dan ternyata tak tahan, masih tak mengeluarkan pedangnya. Dan ketika dia terdesak dan dengan cepat pukulan kakek itu menjepitnya dari segala penjuru tiba-tiba dia mendengar seruan gurunya. “Hauw Kam, mainkan Giam-lo Kiam-sut. Cabut pedangmu!”

Hu Beng Kui ternyata memperhatikan murid-muridnya. Jago pedang ini hanya masih belum bertanding bersama Salima, masih menyaksikan jalannya pertandingan yang lain dan memberi perintah ini itu. Salima sebenamya gemas, sudah tak sabar. Dan ketika jago pedang itu menyuruhnya sabar dan sebagai seorang pendekar tentu saja. Salima tak mau menyerang lawan yang belum menyatakan siap maka jago pedang itu memberi instruksi ini itu pada anak anak muridnya, memberi kesempatan pada lawan dan diam-diam Salima pun tertarik melihat jalannya pertandingan.

Murid murid Hu Beng Kui mulai mengeluarkan ilmu Pedang Maut itu. Bu kongcu berhasil dilukai Kao Sin dalam beberapa jurus setelah pedang di cabut, kagum Salima. Dan ketika Cun Li dan Gi Lun juga mampu menghadapi Hek-bong Siang-lo-mo dan pertempuran itu pun berjalan seru dengan keras dan cepat maka di pihak Hauw Kam pemuda ini sudah mengeluarkan pedangnya pula membacok Bong Kak, yang saat itu mendorong dengan kebutan lengan bajunya, menyambar dan tiba-tiba meledak ketika bertemu pedang di tangan murid nomor dua dari jago pedang itu.

Bong Kak berseru kaget. Nyata dalam gebrakan berikut ini Hauw Kam mampu menangkis pukulannya, dengan senjata di tangan pemuda itu berhasil menahan kebutannya. Dan ketika Hauw Kam berseru keras dan pedang berkelebat membentuk sinar segi delapan tiba tiba Bong Kak diterjang dan sudah mendapat tusukan dan bacokan bertubi-tubi, delapan kali banyaknya.

“Plak-plak-plakk!”

Bong Kak menangkis, ganti terhuyung dan lawan sudah mengitari tubuhnya, meloncat naik turun dan pedang pun bergerak menari-nari bagai naga mencari mangsa. Tusukan dan tikamannya cepat, kakek Bhutan ini menggereng. Dan ketika dia menangkis dan pedang serta ujung lengan baju sama-sama terpental tiba-tiba kakek ini membentak berseru geram, “Bagus kau cukup hebat. Tapi sekarang jaga ini....”

“Wuut-wuut!” dan Bong Kak yang merobah gerakan dengan berputar dan meledakkan ujung bajunya tiba-tiba menerjang dan memapak serangan pedang, membalik dan bahkan masuk dalam gulungan pedang lawan. Dengan berani dan mengejutkan kakek tinggi besar ini menggunakan telapak tangannya, telapak telanjang untuk menangkis dan mencengkeram pedang. Dan ketika Hauw Kam menjadi kaget dan heran serta terbelalak tiba-tiba Bong Kak sudah mengeluarkan ilmunya yang aneh yang meniup seperti angin beliung.

“Plak-plak-plak!” pedang, kembali ditangkis. Hauw Kam tergetar dan nyaris terpelanting. Sekarang pemuda ini merasakan kekuatan lawan yang semakin bertambah, Bong Kak menjadikan ujung bajunya sebagai senjata. Hebat dan aneh kakek ini menghadapi pedang yang tajam. Ujung bajunya menyambar-nyambar, mirip toya yang ampuh. Dan ketika Bong Kak menggereng dan tertawa aneh sekonyong-konyong lengannya mulur dan memanjang seperti karet, menangkis dan menolak pedang dan segera kakek itu maju melanjutkan dengan cengkeraman-cengkeraman berbahaya, lawan dikejar dan Hauw Kam sibuk.

Untuk sejenak pemuda ini terdesak dan melindungi diri dengan pedangnya, gerak menyerang terpaksa menjadi gerak bertahan. Tapi ketika Hu Beng Kui berkemak kemik memberitahukan sesuatu dan Hauw Kam berlompat lompatan lincah, tiba-tiba tangan mulur dan kakek bhutan itu sia-sia karena semua cengkeraman maupun pagutannya luput mengenai angin kosong, membuat kakek itu mengumpat dan pertandingan berjalan ramai. Hauw Kam tenang kembali dan dapat mengimbangi lawan. Dan ketika mereka serang-menyerang dan pedang saling bertemu ujung baju yang sudah mengeras berkat pengerahan sinkang maka pertandingan di tempat ini pun berjalan seru tanpa dapat ditentukan siapa kalah siapa menang.

Begitulah, empat pertandingan masih berjalan imbang. Dalam gebrak-gebrak yang memukau ini rata-rata pertandingan berjalan ramai. Hu Beng Kui mengangguk-angguk puas Ternyata murid-muridnya dapat menahan serangan lawan dan tak percuma dia mendidik mereka. Dan menurut pengamatannya, dari empat pertandingan itu agaknya muridnya termudalah yang dapat menguasai keadaan. Meskipun bukan berarti Kao Sin akan memenangkan pertandingan dengan mudah. Dan merasa puas dengan perlawanan murid-muridnya karena yang lain pun juga dilihatnya dapat mengimbangi lawan maka Salima yang sudah tak sabar menghadapi jago pedang itu membentak.

“Hu-taihiap, kau sudah siap? Ayo kita mulai, jangan diam saja menonton orang lain!”

“Baik,” jago pedang ini bersiap. “Kau mulailah, Sian-li. Terima kasih atas pengertianmu sedikit memberi kesempatan memperhatikan murid-muridku.”

“Tak perlu banyak cakap, cabut pedangmu!”

“Aku akan mencabut kalau sudah diperlukan, kau mulailah dan seranglah aku!” jago pedang ini tersenyum karena lega melihat jalannya pertandingan yang lain, menyuruh lawan menyerang dulu dan dia sudah merenggangkan kaki dalam kuda-kuda yang kokoh. Dalam keadaan seperti itu Beng Kui siap diserang dalam posisi apa pun, sikapnya penuh kepercayaan diri dan diam-diam jago pedang ini mengerahkan sinkangnya, melindungi diri untuk dipukul atau ditampar. Dia telah mendengar Tiat-lui-kang yang dimiliki Dewi bertangan besi ini, tentu saja dia tak main-main.

Dan karena Salima telah menuggu terlalu lama dengan membiarkan pendekar itu mengamati jalannya pertandingan dan kini merasa didesak untuk menyerang lebih dulu tiba tiba tanpa banyak cakap gadis ini melengking berkelebat maju. tangan menampar dan angin panaspun menyambar. Itu sudah diduga Hu Beng Kui. Jago pedang ini tak mengelak, dia ingin mengetahui sampai dimana kehebatan sinkang lawan. Maka begitu Salima sudah maju menerjan dan pukulan Petir meledak menyambar pelipisnya tiba-tiba pendekar ini menangkis tanpa merobah kedudukan kaki.

“Dukk!” Dua lengan itu bertemu dalam satu benturan kuat. Salima tenyata terpental, memekik dan menyerang lagi, tubuhnya mencelat berjungkir balik dan Hu Beng Kui tersenyum lega. Dia dapat menahan pukulan lawan, tangannya hanya terasa sedikit panas tapi cepat dia dapat menguasai diri. Kedudukan kakinya sama sekali tak tergetar. Dan ketika lawan menyerang lagi dan Salima menggerakkan kedua tangannya menyerang belakang pundak dan tulang belikat tiba2 tanpa menoleh dan tetap dalam posisi seperti itu pendekar ini pun menggerakkan lengannya ke belakang dan menangkis lagi.

“Duk-dukk!”

Salima kembali melengking. Lawan yang menangkis tanpa menoleh seakan melupakan hinaan baginya, dia merasa direndahkan. Maka begitu Hu Beng Kui tertawa dan dia terpental ke atas tiba-tiba gadis ini berseru marah menerjang lagi, menghujani pukulan dan tamparan dan segera Hu Beng Kui dibuat sibuk. Pukulan pukulan lawan menuju pada simpul-simpul syaraf yang berbahaya, tak mungkin baginya menangkis tanpa menengok lagi, terlalu riskan.

Dan ketika Hu Beng Kui terpaksa membalik dan tamparan demi lamparan mulai memekakkan telinganya karena pukulan Petir meledak-ledak membuat jago pedang ini harus berhati-hati maka Hu Beng Kui sudah melayani lawan sementara kakinya bergerak ke sana ke mari menghindari pukulan-pukulan yang dinilai berbahaya, didesak tapi dia bertahan sambil mengagumi pukulan Petir itu. Hu-taihiap rupanya tertarik dan kagum akan pukulan lawannya ini pukulan panas di mana diam-diam dia merasa heran kenapa dulu ketika dia membunuh Kim-mou-eng tak sejurus pun pukulan macam ini keluar.

Jago pedang ini sebenarnya merasa aneh dengan kejadian itu, diam-diam tak enak. Dan ketika lawan menyerangnya, gencar dan bertubi serta sengit. Salima menerjang lawannya itu maka jago pedang ini berputaran mengikuti lawan dan Salima pun akhirnya mengerahkan ginkang, lenyap berkelebatan mengelilingi lawan dan Hu Beng Kui dibuat sibuk. Berkali-kali jago pedang itu menangkis tapi hampir saja meleset, pukulan Petir benar-benar luar biasa dan terpaksa dia mengerahkan ginkangnya pula. Dan begitu pendekar ini membentak mengimbangi lawan yang bergerak cepat mengelilingi tubuhnya akhirnya orang tak melihat lagi bayangan keduanya yang sudah berputaran dan saling belit menjadi satu.

Begitulah, pertempuran ini pun menegangkan. Orang harus berganti-ganti menikmati pertempuran yang satu dengan yang lain. Mereka kabur mengikuti jalannya pertandingan kelas tinggi ini, tak sembarang dapat mengikuti kalau bukan mereka yang cukup kepandaiannya, memiliki mata awas dan tajam. Dan karena semua pertempuran itu berjalan cepat dan baik pihak tuan rumah atau pun pihak lawan sama-sama berusaha untuk merobohkan lawannya maka pibu serempak yang terjadi di halaman rumah jago pedang ini merupakan pibu luar biasa yang jarang dapat ditonton sekaligus dalam waktu bersamaan.

Bagaimana dengan Beng An dan Swat Lian? Sama saja. Mereka ini adalah putera-puteri Hu Beng Kui, salah rasanya kalau Siauw-bin kwi maupun Mo-ong menganggap muda-mudi itu lawan yang ringan, meskipun tentu saja memang tak seberat si jago pedang sendiri yang diserang dua kakek itu. Karena begitu Swat Lian menghadapi Mo-ong dan kakaknya menghadapi Bin-kwi maka dua muda mudi ini sudah mencabut pedang dan melayani musuh dengan senjata di tangan, sebelumnya sudah dipesan ayah mereka agar tidak menghadapi lawan dengan tangan kosong.

Mereka harus mengeluarkan Giam-lo Kiam-sut jika Mo-ong dan rombongannya tiba, benar saja, dua lawan itu cukup berat dan Beng An maupun adiknya harus bersenjatakan pedang bila tak ingin roboh. Dan ketika Bin-kwi menyerang Beng An, sementara Mo-ong menghadapi Swat Lian. Maka dua kakak beradik ini membuat dua kakek iblis itu kecelik kalau mengira dapat merobohkan lawan dengan cepat, menghadapi gulungan pedang dan Swat Lian maupun kakaknya memutar pedang dalam jurus-jurus pilihan.

Kian lama kian cepat mereka bergerak dan kipas di tangan Mo-ong malah terbabat kainnya, robek dan kakek iblis itu menggereng, nyaris bahunya termakan kalau tidak melompat tinggi. Dan ketika Bin-kwi juga menghadapi tembok cahaya dan putaran pedang di tangan Beng An di mana tongkat bambunya tak dapat masuk dan selalu terpental bertemu pedang di tangan pemuda itu maka kakek bantung ini memaki-maki dengan mata melotot gusar.

“Bocah, kau cukup pintar. Tapi jangan sombong, aku akan mengeluarkan semua ilmuku dan kau pasti roboh!”

“Cobalah, aku juga akan merobohkanmu, Siauw-bin-kwi, Tak ada di antara kita yang akan mengalah dan memberi kemenangan pada yang lain. Majulah dan kita lihat siapa yang akan menang di antara kita!”

Beng An menjawab, diam-diam girang karena ternyata dia dapat menahan iblis yang kesohor ini, tadinya agak ragu tapi tentu saja tidak takut. Ayahnya memberi tahu padanya bahwa tak perlu dia kecil hati menghadapi lawan yang sudah memiliki nama, kepandaiannya setingkat saja di bawah sang ayah dan Hu Beng Kui memberikan kekuatan mental pada puteranya itu, juga yang lain. Dan ketika Beng An merasa dapat menahan tongkat bambu di tangan lawan dan Siauw-bin-kwi harus gusar dan mengumpat tak keruan maka di pihak lain Mo-ong juga menggeram melihat perlawanan Swat Lian yang tangguh menghadapi kipasnya.

“Bocah, kau betina lihai. Bagus sekali ilmu pedangmu itu. Tapi jangan sombong, aku akan membualmu terjungkal dan kau akan roboh!”

“Hmm, jangan menggonggong seperti anjing kehabisan tulang. Mo-ong. Bukankan kipasmu yang sobek membuktikan kepandaianku yang lebih tinggi? Kau tak mungkin dapat menghadapi Giam-lo Kiam-sut, pedangku akan merobohkanmu dan kau mampus!”

“Keparat, mulutmu tajam!” dan Mo-ong yang membentak marah itu menggerakkan kipasnya kian cepat dan segera keduanya terlibat pertempuran hebat di mana masing-masing pihak tak ada yang mau mengalah, serang-menyerang dan masing-masing mencoba merobohkan yang lain, mendahului yang lain. Tapi karena Mo-ong adalah seorang iblis berkepandaian tinggi dan kakek ini juga kenyang asam garam pertempuran maka pedang di tangan Swat Lian dapat dibendung dan Swat Lian terbelalak, penasaran dan memperhebat serangannya namun Mo-ong dapat mengelak lincah.

Kakek iblis itu memang memiliki ginkang yang ringan pula menghindari serangan-serangan berbahaya. Dan karena Mo-ong juga membalas dan tentu saja kakek ini tak mau diam mengelak maka pertandingan di antara mereka berjalan ramai dan sekejap kemudian dua puluh jurus berlangsung cepat dan seru....