Pedang Tiga Dimensi Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Pedang Tiga Dimensi Jilid 15 Karya Batara
Sonny Ogawa

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 15
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
HU-TAIHIAP berkelebat mengejar bayangan kakek dewa ini, berseru memanggil. Melihat kakek itu lenyap di luar tembok dan tidak kelihatan lagi. Hu-taihiap penasaran dan mengerahkan ginkangnya. Tapi ketika kakek dewa itu lenyap dan bayangannya benar-benar tak diketahui lagi ke mana tiba-tiba pendekar pedang ini menghentikan langkahnya dengan kaki menggigil.

Apa yang harus dia lakukan? Memaki-maki dan marah? Jago pedang ini tak tahu. Dia menjadi ketakutan mendengar kata kata kakek dewa itu. tentang seorang anaknya yang akan hilang kalau dia meneruskan tindakannya. Bahwa Sam-kong kiam rupanya tak baik di tangannya terus dan kakek dewa itu menghimbau agar mengembalikannya ke istana. Hu-taihiap mengepalkan tinju. Dan ketika pertanyaan lain mengiang di telinganya tentang kurang enakkah hidupnya saat ini tiba-tiba jago pedang itu bingung dan gelisah.

Kurang enakkah dia di dunia ini? Kurang bahagiakah hidupnya? Ah, jawannya relatif. Manusia tak mengenal puas, manusia tak mengenal bahagia. Jadi kalau ditanya tentang itu bisa ssja dijawab tidak. Tapi tentunya pertanyaan tadi ada hubungannya dengan Sam kong-kiam, bukan meluncur begitu saja. Dan karena dia mendengar bahwa kakek itu biasanya suka memberi petunjuk dan kata-kata bijaksana kepada orang lain, maka tentunya perjumpaannya tadi dengan manusia dewa itu bukan sekedar pertemuan kosong.

Hu Beng Kui termenung. Terus terang saja, “ramalan” tadi membuatnya berdebar. Kata kata itu mengiang selalu di telinga. Dan ketika ngiangan itu terus mengganggu dan dia gemas tiba tiba, Hu Beng Kui meremas hancur sepotong batu di tangannya.

“Tak mungkin. Kakek dewa itu bukan malaikat pencabut nyawa, juga bukan nujum, mana bisa kata-katanya dipercaya? Ah, kau hanya menggangguku saja, Sian-su. Kedatanganmu tak membawa berkah!” jago pedang ini akhirnya geram, melesat dan memasuki rumahnya kembali dan pagi itu dia memanggil anak-anaknya. Dan ketika. Swat Lian dan kakaknya muncul maka pendekar, menyuruh mereka duduk.

“Kalian merasa sehat?”

Beng An dan adiknya merasa aneh. “Ya, kami tak ada apa apa, yah. Kenapa kautanyakan itu? Ada apa?”

Hu Beng Kui menggeram. “Aku baru saja bertemu Bu-beng Sian-su. Kakek dewa itu datang tapi hatiku dibuatnya guncang!”

“Ah!” Swat berseru tertahan. “Kau bertemu tokoh dewa itu, yah? Apa katanya? Kenapa kau kelihatan tidak senang?”

“Dia, hm.... dia tak setuju perbuatanku!”

“Apa katanya?”

“Secara tersirat menyuruh aku mengembalikan Sam-kong-kiam!”

“Betul!” Swat Lian tiba-tiba berseru, meluncur tanpa sengaja. “Pedang itu memang bukan milikmu, yah. Sebaiknya kembalikan saja dan...”

“Brakk!” Hu Beng Kui menggebrak meja, marah sekali. “Kau juga masih menentang keinginan ayahmu, Lian-ji? Kau hendak menggagalkan usahaku yang hampir berhasil? Tidak, aku tak mau itu. Seminggu lagi pibu kunyatakan tutup dan pedang itu berhak di tanganku!”

Swat Lian terkejut. Tanpa sadar ia membuat ayahnya marah, memang selama ini di hati kecilnya ia tak menyetujui tindakan sang ayah, begitu juga kakaknya. Meskipun sebentar lagi perjuangan ayahnya berhasil karena semua penantang berhasil dirobohkan. Ayahnya telah memberi pengumuman bahwa seminggu lagi pibu akan ditutup. Para penantang hampir tak ada lagi dan ayahnya mau ke kota raja, pertaruhannya dengan istana sudah di ambang pintu kemenangan. Tentu saja, dia terbelalak ketika ayahnya gusar, kaget melihat ayahnya menggebrak meja. Dan ketika ayahnya berapi-api dan marah memandangnya tiba-tiba gadis ini menunduk dan terisak.

“Maafkan aku, yah....”

Hu Beng Kui sadar kembali. Kata-kata putrinya tadi seakan minyak yang dituangkan ke api yang membara. Dia sebenarnya sedang tak enak dan marah akan kata-kata Bu-beng Sian-su itu, tentang seorang anaknya yang akan “hilang”. Inilah yang membuat pendekar itu terguncang karena entah kenapa dia begitu terpengaruh oieh kata kata ini. Dia telah berusaha melenyapkan guncangan ini namun batinnya tak dapat diredakan, kata-kata itu selalu mengiang dan mengganggu. Maka begitu puterinya dibentak dan Swat Lian menangis tiba tiba pendekar ini sadar kembali dan cepat mengusap rambut putrinya itu, menyatakan penyesalannya.

“Lian-ji, kau sebaiknya tak perlu cepat menyokong pendapat orang lain. Aku terganggu oleh kedatangan kakek itu. Aku sedang gelisah. Maafkanlah kalau ayahmu bersikap kasar.” Hu Beng Kui terharu. Tentu saja ia terharu dan menyesal karena jarang ia memarahi anaknya ini, Swat Lian puteri satu-satunya yang dicinta. Gadis itu cukup dimanja dan disayang.

Dan Swat Lian yang mengangguk menyesal pula akan kata katanya sendiri sudah memeluk ayahnya itu. “Sudahlah, aku juga menyesal akan kata-kataku tadi, yah. Aku tak akan mengulangi sikap ku dan mudah-mudahan seminggu ini tak ada penantang terakhir hingga kau memenangkan taruhanmu dengan istana.”

“Ya, mudah-mudahan....”

Tapi baru Hu Beng Kui menyelesaikan kata katanya mendadak muridnya tertua, Gwan Beng, muncul. “Suhu, teecu menerima surat seseorang!”

Hu Beng Kui terkejut. Muridnya sudah berlutut, sebuah surat ada di tangan dan siap diserahkan. Jago pedang ini bangkit dan akan menerima, tapi begitu melihat ada asap di ujung surat itu tiba-tiba pendekar ini membentak memandang muridnya. “Lepaskan surat itu...”

Gwan Beng terkejut. Dia mencelat ditendang gurunya, sebuah ledakan terjadi dan Hu Beng Kui berjungkir balik. Swat Lian dan Beng An berseru tertahan melihat kejadian itu. Ayah mereka melayang turun dengan muka berobah. Dan ketika asap buyar dan mereka melihat Gwan Beng bengong di sana mendadak suheng mereka itu mengeluh dan terhuyung jatuh terduduk, tangannya hitam kemerah-merahan.

“Kau terkena racun!”

Seruan ini sudah cukup bagi mereka semua. Gwan Beng pucat melihat kejadian tak disangka itu, tangannya perih dan gatal, tiba-tiba saja sudah bengkak begitu besar. Dan ketika pemuda itu terkejut dan mendesis maka gurunya sudah berkelebat mendekati muridnya itu menotok pergelangan tangan.

“Tahan napasmu, sedot dan keluarkan tiga kali perlahan-lahan. Minum pil ini!”

Hu Beng Kui merah padam, terbelalak gusar dan sudah memberikan sebutir obat kepada muridnya, ditelan dan Gwan Beng disuruh bersila mengatur pernapasannya. Pendekar itu maklum bahwa sesorang hampir mencelakai muridnya, tentu saja dia marah. Dan ketika pendekar itu meletakkan tangan di pundak muridnya dan membantu menyalurkan sinkang maka lima menit kemudian bengkak di tangan muridnya sembuh.

“Siapa yang memberikan surat itu?”

Gwan Beng mengusap keringat, bangkit berdiri. “Seorang pemuda, suhu. Memperkenalkan diri sebagai Bu-kongcu.”

“Mana dia sekarang?”

“Sudah pergi.”

“Kau mengenal ciri-cirinya?”

“Ya, teecu ingat baik. Tampan dan agak pucat dan....”

“Hei, itu apa?” Swat Lian tiba tiba berseru, otomatis menghentikan kata-kata Gwan Beng dan semua orang melihat sebuah benda mengkilap menggelinding dari surat peledak. Swat Lian melompat tapi ayahnya menghardik, Hu Beng Kui sendiri yang mendekati dan membungkuk. Ternyata benda mengkilap itu semacam lencana berbentuk segi empat, pendekar ini mengamati dan cepat memungut, tentu saja dia mengerahkan sin-kangnya berjaga-jaga. Lencana itu panas bekas terbakar. Dan ketika tak ada apa-apa dan Hu Beng Kui membalik lencana ini ternyata di belakangnya ada kata-kata tantangan yang berisi pemberitahuan bahwa dua hari lagi tujuh orang akan datang untuk mengajak pibu, dipimpin Sai-mo-ong!

“Dari siapa, yah?”

Hu Beng Kui menggigil. “Seorang iblis, Sam-mo-ong!”

“Ah, akhirnya dia datang juga?”

“Ya, bersama enam temannya, Lian-ji. Coba kau lihat!” Hu Beng Kui melempar lencana itu, diterima dan dibaca.

Dan ketika Swat Lian membaca dan tertegun maka kakaknya meminta dan ingin tahu, segera berubah karena inilah yang menegangkan. Memang selama ini pentolan sesat belum pernah muncul. Kiranya sekarang datang bertujuh dan Beng An ingin tahu siapa kiranya mereka-mereka itu. Sai-mo-ong tak memberi tahu nama teman-temannya dan hanya mengatakan dua hari lagi mereka akan datang, merebut Sam-kong-kiam. Dan sementara mereka semua berdebar dengan muka merah karena teringat surat beracun yang sekaligus surat peledak tiba tiba Cun Li dan Kao Sin muncul.

“Suhu, penantang-penantang baru dari tiga partai datang menghadap. Mereka ingin bertemu!”

Hu Beng Kui mengerutkan kening, “siapa mereka itu?”

“Para ketua dari Hwa-i-pang dan teman-temannya, Pek-tung Lo-kai dan Koang-san Tojin!”

Hu Beng Kui terbelalak. “Suruh mereka masuk, aku akan menemuinya”

Dan ketika dua pemuda itu mengangguk dan keluar lagi tiba-tiba mereka datang lagi bersama dua murid Hu Beng Kui yang lain.

“Maaf, ada apa dengan ledakan tadi, suhu? Tidak ada apa apakah?”

“Tak ada apa-apa, suhengmu Gwan Beng hampir celaka menerima surat dari Sai-mo-ong!”

“Ah, di mana dia?”

“Dua hari lagi akan datang. Sudahlah, kalian pergi dan sambut ketua-ketua partai itu. Lihat lencana ini!”

Hu Beng Kui melempar lencana yang sudah dikembalikan padanya, Kao Sin dan suheng-suhenanya menerima. Dan ketika mereka tahu dan tertegun membaca surat aneh itu maka Gwen Beng diminta membawa sute sutenya keluar. “Kalian perketat penjagaan. Dua hari lagi musuh-musuh yang curang akan tiba, waspadalah!”

Kao Sin dan lainnya mengangguk. Mereka tentu saja sudah mendengar akan nama Sai-mo-ong ini, juga nama-nama lain seperti Hek-bong Siang lo-mo atau Siauw bin-kwi, meskipun mereka belum pernah bertemu muka. Nama yang sudah dikenal karena iblis-iblis itu termasuk di antara Jit-mo Kang-ouw (Tujuh Iblis Dunia), dimana beberapa di antaranya telah tewas di tangan Kim-mou-eng dan suhengnya, mendiang Gurba.

Pertandingan pibu yang diadakan guru mereka ini membuat murid-murid Hu Beng Kui lebih luas cakrawala pengetahuannya, mengenal nama-nama tokoh baik hitam maupun putih. Dan ketika mereka heran karena seingat mereka Jit-mo Kang auw tinggal empat orang saja padahal Sai-mo-ong akan datang bertujuh maka di luar telah menanti penantang-penantang baru yang disebur-sebut sebagai ketua Hwa-i-pang dan teman temannya.

Hwa-i-pang, sebagaimana kita tahu adalah perkumpulan wanita-wanita berbaju kembang yang dipimpin ketuanya berjuluk Hwa-paicu, seorang wanita cantik berusia tigapuluh enam tahunan yang dulu mengerubut Kim-mou-eng. Bersama teman-temannya para ketua dari kaum pengemis dan to su Koang-san wanita ini memusuhi Kim-mou-eng, bermaksud merampas Sam kong-kiam namun tidak berhasil. Kim-mou-eng terjatuh di jurang yang dalam dan sejak itu terjadi berita simpang siur akan Pendekar Rambut Emas ini dinyatakan tewas namun hidup lagi dan akhirnya tewas setelah Hu Beng Kui membunuh pendekar itu.

Ini berita terakhir yang disebut-sebut banyak orang lebih dapat dipercaya pula karena Hu Beng Kui telah memiliki Sam-kong-kiam. Pedang itu kini jatuh di tangan si jago pedang dan Kim-mou-eng benar benar dianggap tamat riwayatnya, banyak orang terkejut karena hal itu menunjukkan bahwa si jago pedang ini adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi, begitu tinggi hingga Kim-mou-eng yang sudah memiliki kepandaian tinggi masih kalah oleh pendekar pedang ini.

Dan karena pertandingan demi pertandingan di pibu yang diadakan Hu Beng Kui juga selalu menunjukkan pendekar pedang itu sebagai pemenang maka akhirnya banyak orang gentar dan takut menghadapi Hu Beng Kui ini, berakibat kurangnya para penantang dan nama jago pedang itu kian melambung, padahal semua orang tahu bahwa si jago pedang sendiri belum turun tangan. Yang turun baru murid-muridnya tapi itu pun semua penantang dibuat roboh, tak ada yang menang. Dan ketika penantang mulai menipis dan seminggu lagi pibu akan ditutup, mendadak pada hari itu Hwa-i-paicu dan teman-temannya datang.

Teman teman yang dimaksud adalah Koang-san Tojin dan Hek-tung Lo-kai. Dua orang ini adalah rekan sejawat Hwa-i paicu. Mereka serombongan karena masing-masing ingin bergabung mendapatkan Sam kong-kiam, tentu saja akan pecah lagi kalau pedang sudah didapat, mereka sama tahu itu. Dan ketika mereka mendengar bahwa Sam-kong-kiam sekarang sudah jatuh di tangan Hu-taihiap dan jago pedang itu membunuh Kim-mou-eng maka tiga ketua ini datang untuk mencoba-coba keberuntungan.

Sebenarnya, di antara tiga ketua itu maka hanya paicu memiliki alasan sendiri untuk menemui Hu-taihiap, bukan semata merebut Sam-kong kiam tapi juga ingin membalas dendam atas Kematian Kim-mou-eng. Karena wanita cantik yang sebenarnya sudah jatuh hati pada Kim-mou-eng ini merasa terkejut dan sakit hati mendengar pria pujaannya dibunuh. Seminggu ketua Hwa-i pang ini menggigil, nyaris dia jatuh sakit. Maka ketika hari itu dia datang di rumah Hu Beng Kui untuk mengadu kepandaian juga secara diam-diam dia mau membunuh pendekar itu!

Tentu saja dua temannya tak tahu ini rahasia pribadi ketua Hwa i pang. Dan ketika pagi itu tiga ketua ini muncul dan mereka minta agar Hu-tai-hiap menyambut maka seperempat jam kemudian jago pedang itu muncul. Hwa-i-paicu menyala matanya. Dia sudah beringas memandang laki-laki gagah ini. Hu-tai-hiap muncul diapit putera-puterinya. Hek-tung Lo kai dan Koan sam Tojin juga sudah mengarahkan perhatian ke sini, jarang Hu Beng Kui melayani kalau yang datang bukan ketua-ketua partai atau perkumpulan yang sudah punya nama.

Dan ketika Hu Beng Kui mendekat dan mereka sudah sama berhadapan maka tuan rumah menegur tamu-tamunya sementara para tamu juga menyatakan maksudnya. Terang-rerangan saja mereka bicara, maksud hati tak perlu disembunyikan lagi. Toh mereka memang ingin merampas pedang. Tapi sebelum pertandingan di sini dibicarakan lebih lanjut, biarlah kita tengok sebentar tempat yang lain, keadaan di istana.

* * * * * * * *

Malam itu di gedung Bu-ciangkun. Seorang siucai (mahasiswa) dengan kopiah tinggi meminta pada pengawal agar diperkenankan menghadap Bu-ciangkun. Dia memperkenalkan diri sebagai Kim-siucai (mahasiswa Kim), katanya ada keperluan penting dan minta supaya cepat dipertemukan dengan panglima itu, pengawal menahan dan tidak mengijinkan. Katanya Bu-ciangkun tak ada di rumah dan siucai ini tidak percaya. Dia baru saja melihat Bu-ciangkun mondar-mandir di dalam rumahnya. Ribut-ribut pun terjadi. Dan sementara pengawal bersitegang dengan siucai yang tak di pandang sebelah mata dan dianggap mengganggu itu, maka tiba-tiba siucai ini ngeloyor masuk dan berkata marah,

“Kalau begitu aku akan membuktikannya di dalam. Aku tak minta ijin kalian lagi!”

“Hei...!” pengawal terkejut, tentu saja memburu. “Kau berani lancang? Tunggu...!”

Namun si pelajar yang terus ngeloyor dan tidak memperdulikan pengawal itu mendadak mempercepat jalannya dan telah melalui pos penjagaan, sebentar saja lenyap di dalam dan si pengawal berteriak. Dan dia sudah mengejar namun langkahnya kalah panjang, berlari namun masih juga kurang cepat. Dan ketika siucai itu menghilang di dalam dan pengawal ini kaget serta marah tiba-tiba dia memukul tanda bahaya dan pengawal pengawal lain muncul.

“Ada siucai nyelonong masuk. Awas, tangkap dia....!”

Rumah Bu-ciangkun geger. Sungguh aneh bahwa seorang pelajar lemah sampai dapat meributkan pengbwal, mereka itu penjaga yang memiliki kepandaian cukup. Maka ketika sang siucai dikejar dan diburu sampai ke dalam mendadak Bu-ciangkun muncul mendengar ribut-ribut, membentak,

“Ada apa? Kenapa malam-malam ribut?”

“Maaf, hamba... eh, seorang tamu masuk, ciangkun. Dia ingin menemui paduka dan hamba larang!”

“Siapa? Kenapa?”

“Orang tak dikenal, siucai lemah....!”

“Hm...!” Bu-ciangkun melotot, mendengar pengawal disekelilingnya gaduh dan tiba-tiba siucai yang dimaksud itu muncul. Dia dikejar-kejar, dan pengawal pertama tertegun, kiranya siucai ini sudah masuk demikian jauh dan kini telah melihat Bu-ciangkun itu. Dan ketika Bu-ciangkun membalik dan siucai ini tertawa maka dia sudah berada di depan panglima itu dan langsung berseru,

“Ciangkun, pengawal-pengawalmu sungguh terlalu. Bohong semuanya itu!”

Bu-ciangkun terbelalak. “Kau siapa?” panglima ini terkejut.

“Aku, he-he... aku Kim-siucai, ciangkun. Selamat bertemu....!” dan melipat tubuhnya dalam-dalam di depan panglima itu tiba-tiba kopiah tinggi yang dipakai siucai ini jatuh, seakan tanpa sengaja tapi Bu-ciangkun dan semua pengawalnya terkesiap. Bersamaan dengan jatuhnya kopiah itu tampaklah wajah siucai ini, seorang pemuda yang rambutnya tiba-tiba terurai panjang, rambut berwarna keemasan yang kini tidak tersimpan di balik kopiah itu. Dan begitu semua orang melihat siapa “siucai” ini sekonyong-konyong seruan serentak meluncur dari mulut Bu-ciangkun dan para pengawalnya.

“Pendekar Rambut Emas!”

Siucai itu tertawa. “Kalian mengenal aku?”

“Ah!” dan Bu-ciangkun yang seketika mundur dengan muka berobah tiba-tiba memandang menggigil. “Kau... kau Kim-mou-eng? Kau hantu atau rohnya?”

“Ha-ha, aku bukan hantu atau roh Kim-mou-eng, ciangkun. Melainkan Kim-mou-eng benar-benar. Coba kau raba lenganku. hangat. Dan kau pegang pula tubuhku, hangat. Aku bukan setan atau hantu melainkan manusia hidup!”

“Tapi kau sudah tewas! Hu Beng Kui membunuhmu!”

“Itu kabar orang, ciangkun. Sebaiknya tak usah percaya dan lihat saja tubuhku, peganglah.... rabalah....”

Dan siucai ini yang ternyata Kim-mou-eng adanya tiba-tiba sudah mendekatkan dirinya pada panglima tinggi besar itu, disuruh memegang dan meraba denyut nadinya. Bu-ciangkun mencengkeram, panglima ini mengira bertemu hantu atau roh dan kini dia ingin membuktikan. Kulit tubuh itu diremas-remas, bahkan dipelintir, orang lain tentu sudah roboh diperlakukan seperti itu. Tapi ketika lawan tertawa saja dan tak ada rasa kesakitan di wajah tampan iiu akhirnya Bu-ciangkun mundur menelan ludah, bergong dan terheran heran bagaimana orang yang dikabarkan mati dapat hidup kembali!

“Kim-mou-eng... kau benar adanya. Kau masih hidup! Tapi bagaimana dengan pedang di tangan Hu Beng Kui itu? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Sam-kong-kiam berada di tangan jago pedang itu!”

“ltulah kebodohanmu tak mempercayai aku, ciangkun. Kalau aku tak dianggap pencuri Sam-kong-kiam dan dikejar-kejar seperti ini tak akan terjadi semuanya itu. Sudahlah, sekarang kau lihat aku masih hidup, yang mati itu bukan aku melainkan orang lain!”

“Siapa?”

“Pencuri Sam-kong-kiam. Kim-mou-eng palsu!” lalu sementara orang tertegun dan semakin bengong tiba-tiba Pendekar Rambut Emas ini mengebutkan lengan, mengusir pengawal. “Kalian bengong mau melihat apalagi? Aku Kim-mou-eng, masih hidup. Sekarang dapat kalian kabarkan pada orang sekota raja bahwa Kim-mou-eng bukan pencuri Sam-kong-kiam. Aku mau berbicara dengan panglima kalian, pergilah....!”

Bu-ciangkun mengangguk. Sekarang dia sadar dan percaya betul bahwa yang ini adalah Kim-mou-eng sungguhan. Dia terheran heran tapi segera menyuruh pengawalnya pergi, terkejut memandang Pendekar Rambut Emas itu dan segera malu karena selama ini dia mengejar-ngejar pendekar itu, bahkan menemuinya di suku bangsa Tar-tar sana hingga terjadi permusuhan hebat. Muka panglima ini segera menjadi merah. Dan ketika Kim-mou-eng memandangnya dan tersenyum lebar maka Bu ciangkun mempersilahkan duduk dan sudah membawa tamunya ke dalam.

Dag-dig-dug.

“Taihiap, kau ada persoalan apa datang ingin menemuiku? Apa yang kau bawa?”

Tidak seperti biasanya di mana Bu-ciangkun suka bicara keras dan lantang adalah kali ini panglima brewok itu bicara lirih. Ada dua hal yang membuat dia begitu. Pertama karena tuduhan keliru dan kedua karena dia ingin membetulkan sikap. Biasanya panglima ini tergolong pemberang dan suka bicara membentak-bentak. Tapi begitu Kim-mou-eng muncul dan kemunculannya ini sekaligus mematahkan semua tuduhan bahwa dia pencuri Sam-kong-kiam maka panglima ini merasa salah dan merendah. Lagi pula, dia tahu kepandaian Kim-mou-eng ini, tak mungkin dia menang kalau orang hendak mencelakainya. Dan karena menyadari semuanya itu dan ingin merobah sikap segera panglima ini bersikap hormat dan asor.

“Kau kira apa?” Kim-mou-eng tersenyum, balas bertanya. “Adakah sesuatu yang tidak penting yang harus kubawa?”

“Tidak, kau pasti memiliki kepentingan yang serius, taihiap. Aku sekarang tak ragu akan semua tindakanmu dan coba katakan apa keperluanmu.”

“Aku datang karena Sam-kong-kiam....”

“Sudah kuduga, pasti itu!” Bu-ciangkun memotong girang. “Kau sudah tahu akan pibu yang dibuka di Ce-bu, taihiap?”

“Ya, dan aku akan ke sana.”

“Bagus, kalau begitu kau dapat mewakili istana, taihiap. Rebut dan rampas kembali pedang keramat itu untuk Sri Baginda!”

“Setelah kalian mengejar-ngejarku sedemikian rupa?” Kim-mou-eng tertawa. “Aha, bagus sekali, ciangkun. Gagasanmu ini sungguh cemerlang dan enak disodorkan!”

“Maaf!” Bu-ciangkun terkejut, sadar akan kesalahannya. “Aku tak sengaja, taihiap. Aku mengkal dan geram benar pada Hu-taihiap yang sombong itu. Dia berkepandaian tinggi, aku telah pecundang dan terus terang tak ada muka untuk menghadapinya!”

“Aku tahu,” Kim-mou-eng kagum akan kejujuran orang. “Aku telah mendengar kekalahan mu, ciangkun, dan juga kekalahan rekanmu Cu hengte bersaudara.”

“Ah, kami memang orang-orang tolol, taihiap. Andai saja di istana ini ada orang macam dirimu!” panglima itu mengeluh, pandangan serasa kosong.

“Sudahlah, aku datang bukan untuk menciptakan kemurungan, ciangkun. Aku datang justeru untuk membersihkan namaku. Sekarang semua orang tahu bahwa Kim-mou-eng telah terbunuh, pedang curiannya telah berpindah tangan ke tangan Hu Beng Kui. Bagus, ini tak apa. Aku akan muncul dan tak lama lagi orang akan tahu bahwa Kim-mou-eng bukan seorang hina yang suka mencuri milik orang lain!”

“Ya-ya, maafkan kami, taihiap. Ini semuanya bersumber dari istana. Kalau saja istana tak mengatakan kau pencurinya tentu namamu tak jadi jelek!”

“Aku tak menyalahkan istana, barangkali ini memang sudah suratan hidupku. Sudahlah, tak perlu menyalahkan diri, ciangkun. Aku datang untuk membereskan semuanya ini dan ingin minta bantuanmu.”

“Taihiap ingin minta bantuan apa?” Bu ciangkun girang, merasa mendapat kesempatan. “Apakah ada sesuatu yang dapat kulakukan?”

“Ya, kau pertemukan diriku dengan Sri Baginda, juga Kim-taijin!”

“Ah, gampang, taihiap. Sekarang juga dapat kulakukan!”

“Eh, nanti dulu. Tunggu....!” Kim-mou-eng tertawa. “Aku belum habis bicara, ciangkun. Dengarkan dulu apa yang hendak kukatakan ini!” lalu ketika orang duduk kembali dan bersinar sinar memandangnya Kim-mou-eng sudah bertanya, “Adakah yang dapat diketahui istana tentang anak Bi Nio itu? Kalian sudah mendapat petunjuk?”

Muka yang bersinar-sinar ini mendadak gelap. “Hm, kami lagi lagi mengakui kegagalan kami, taihiap. Apa yang kau minta belum berhasil kami laksanakan.”

“Sri Baginda belum mendapatkan petunjuk?”

“Belum.”

“Tak ada yang tahu bagaimana sebenarnya masalah anak itu?”

Bu-ciangkun menghela napas. “Taihiap, barangkali sesuatu harus kukatakan di sini. Bi Nio, selir yang melahirkan itu telah tiada lagi. Dia meninggal beberapa minggu yang lalu, sakit....”

“Meninggal?”

“Ya, wanita ini setengah gila pula, taihiap. Bi Nio terpukul benar melihat anaknya tertukar. Dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal.”

Kim-mou-eng tertegun. Berita meninggalnya selir cantik ini mengejutkan juga, Bi Nio adalah selir mendiang suhengnya. Tapi karena dia tak memiliki hubungan mendalam dan kematian itu di terimanya biasa akhirnya Kim-mou-eng menghela napas dan berkata, “Kalau begitu kebetulan, ibu anak itu tak usuh menderita lagi di dunia. Aku telah mendapatkan jejak anaknya!”

Bu ciangkun terkejut. “Kau tahu, taihiap?”

“Ya, aku bertemu dengan penculiknya, seorang tokoh luar biasa. Tapi aku tak dapat membawa ke sini karena kepandaianku masih kalah jauh dengannya!”

Bu ciangkun terbelalak. “Siapa itu, taihiap?” dia hampir tak percaya.

“Dua nenek tua, Sepasang Dewi Naga. Nenek ini menyembunyikan diri dan hidup pada dua ratus tahun yang lalu!”

“Ah!” Bu-ciangkun bengong. “Jamannya dinasti Han?”

“Ya, begitu.”

Dan ketika Kim-mou-eng menceritakan pertemuannya dengan dua nenek amat sakti itu maka Bu-ciangkun semakin celangap dan terbengong-bengong mendengar kisah pertemuan Pendekar Rambut Emas ini, bahwa pendekar itu kalah jauh dan hampir mati di tangan seorang dari dua nenek ini. Kepandaian mereka begitu tinggi hingga layaknya hanya dewi saja yang mampu mengatasi, tak ada manusia di dunia ini yang mampu menandingi kesaktiannya, kecuali Bu-beng Sian-su, guru pendekar itu. Dan ketika Kim-mou-eng menyatakan bahwa anak yang dibawa nenek itu diaku sebagai anak yang diambil dari Bi Nio maka Kim-mou-eng mengakhiri ceritanya.

“Karena itu aku pun sekarang percaya bahwa Sri Baginda tak bohong, bahwa Bi Nio betul mengandung dari keturunan mendiang suhengku. Dan karena sekarang persoalan persoalan di antara kita sudah sama terbuka jelas maka tak ada lagi ganjalan di antara kita dan semua curiga-mencurigai atau permusuhan ini harus berakhir”

“Betul,” Bu-ciangkun mengangguk, menelan ludah, masih terkesan oleh kehebatan sepasang nenek sakti itu.

“Tapi.... tapi apakah nenek itu tak melupakan ancaman baru bagi kita, taihiap?”

“Maksudmu?”

“Aku khawatir selelah mendengar ceritamu. Aku takut nenek ini akan menurunkan bencana lewat anak Bi Nio itu!”

“Hm, bisa jadi, ciangkun. Tapi urusan itu biarlah dihadapi belakangan. Yang penting sekarang ini adalah urusan sekarang, urusan Sam-kong-kiam. Aku ingin membersihkan namaku dibantu istana.”

Bu-ciangkun sadar. “Benar, kau benar, taihiap. Lalu apa maumu sekarang?” panglima itu menekan kekhawatirannya.

“Aku ingin menghadap kaisar, juga Kim-taijin.”

“Baik, aku sanggup mengantarkan.”

“Bisakah ditemui sekarang?”

“Kukira bisa, baginda baru saja mendengarkan musik di halaman belakang. Tapi taihiap tak ada pesanan lagi?”

“Kukira cukup, aku hanya ingin tahu hasil istana dengan anak Bi Nio itu.” dan baru ucapan ini dihentkan mendadak dua panglima muncul mengganggu dua orang itu, berkelebat masuk dengan terburu-buru.

“Bu-ciangkun, benarkah Kim-mou-eng ada di sini?”

Kim-mou-eng dan tuan rumah menoleh. Bu-ciangkun tak mendengar laporan pengawal, dua panglima Cu berkelebat dan mereka itu sudah berseru dari jauh, agaknya laporan pengawal telah didengar dua panglima kakak beradik ini. Cu Kim dan Cu Hak muncul. Dan begitu mereka berada di ruangan itu sementara suara mereka belum habis gemanya tiba-tiba dua panglima tinggi kurus itu tertegun melihat rekan mereka, Bu-ciangkun, duduk bercakap-cakap dengan orang yang mereka kenal sebagai Kim-mou-eng!

“Ah, salahkah ini?” dua panglima itu terkejut, langsung berhenti dan mereka terbelalak lebar melihat Kim-mou-eng bangkit berdiri. Kim-mou-eng tahu kekagetan orang, juga keheranan yang besar. Tapi belum dia menjawab seruan panglima itu mendadak Bu-ciangkun sudah tertawa gembira dan bangkit berdiri.

“Aha, kebetulan rekan Cu. Ini Kim-taihiap. Pendekar Rambut Emas. Mari duduk!”

Dua panglima itu bengong. “Kami tidak salah lihat?”

“Tidak, Cu-ciangkun. Ayo duduk dan mendekatlah. Ada cerita untuk kalian!” dan ketika Bu-ciangkun tertawa bergelak melihat dua rekannya seperti melihat hantu, akhirnya dua panglima itu berhenti, semeter saja jarak mereka. Dan ketika mereka masih bengong dan seolah tidak percaya maka Kim-mou-eng membungkuk memberi hormat, diam diam mengerahkan tenaganya, mendorong.

“Cu-ciangkun, selamat bertemu. Kebetulan kalian kemari!”

Dua panglima itu terkejut. Dari depan meluncur kesiur angin pukulan yang kuat, segera mereka tahu bahwa lawan menyerang. Serentak mereka mengibas dan bertahan. Tapi ketika angin pukulan itu tetap mendorong mereka dan dua panglima ini terangkat kakinya mendadak tanpa dapat dicegah lagi dua panglima itu terdorong dan jatuh bergulingan!

“Aah, benar-benar Kim-mou-eng....!”

Kim-mou-eng tertawa. “Mana, sekarang kalian percaya bahwa kalian sedang berhadapan dengan setan atau rohnya Kim-mou-eng, ji-wi ciangkun. Kalian benar-benar berhadapan dengan aku yang masih hidup!”

“Tapi berita di luar itu....” dua panglima itu melompat bangun, terbelalak. “Bukankah kau tewas di tangan Hu Beng Kui?”

“Inilah kesalahan mulut ke mulut, ciangkun. Kalau saja kalian percaya bahwa sejak semula aku tak mencuri Sam-kong-kiam dan bahwa benar-benar aku tak tahu-menahu urusan pedang itu tentu kalian tak akan bingung. Duduklah. Bu-ciangkun dapat menceritakannya kepada kalian!”

Dan ketika Kim-mou-eng menjura dan duduk di temani Bu-ciangkun yang tersenyum lebar seperti dua panglima itu duduk menghadapi dengan kening yang tak habis pikir, bertanya dan sudah di jawab seperti apa yang diketahui Bu-ciangkun. Panglima tinggi besar ini memberi keterangan seperti apa yang diminta, kadang-kadang disusul Kim-mou-eng bila satu dua masih kurang jelas. Dan ketika dua panglima itu terhenyak mendengar Kim-mou-eng yang terbunuh adalah Kim-mou-eng palsu tiba-tiba mereka bangkit berdiri melipat punggung.

“Kim-taihiap, maafkan kami berdua. Kiranya kami berdua benar-benar telah menuduh buta dan tidak melihat orang!”

Ah, tak perlu begitu, ciangkun. Kalian tak bersalah karena semua itu memang cobaan bagiku. Sudahlah, kalian duduk kembali dan tak perlu menyesal.”

“Dan betul kalau begitu kata-kata Kim-taijin (pembesar Kim). Dia mempertahankan dirimu dan berani membantah Sri Baginda!”

“Aku akan menemuinya,” Kim-mou-eng tersenyum. “Apa saja yang dia bilang?”

“Dia bilang kau tak bersalah, taihiap. Dan kami berdua pernah ngotot berdebat dengannya. Kim-taijin yakin bahwa kau orang baik-baik dan tak mungkin seorang pendekar mau melakukan perbuatan hina!”

Kim-mou-eng tertawa.

“Dan Kim-taihiap datang mau membantu kita, rekan Cu,” Bu-ciangkun menukas. “Dia datang untuk menemui Sri Baginda dan akan merampas Sam-kong-kiam dari tangan Hu-taihiap!”

“Begitukah?” Cu-ciangkun girang. “Bagus sekali, taihiap. Kalau begitu kami patut berterima kasih!”

“Ah, nanti dulu. Bu-ciangkun terlalu cepat,” Kim-mou-eng tertawa kecut. “Aku belum yakin kemampuanku menghadapi jago pedang itu, ji-wi ciangkun. Harap jangan terlalu menaruh harapan agar tidak kecewa belakangan.”

“Ah, kami percaya!” Bu-ciangkun gagah menyambung. “Dan Kim-mou-eng menyelesaikan pula masalah Bi Nio, Cu-ciangkun. Anak itu benar ditukar dan diculik sepasang nenek sakti!”

Dan ketika panglima itu menceritakan persoalan ini dan dua panglima Cu itu lagi-lagi dibuat tertegun maka Bu-ciangkun mengakhiri dengan ketukan di atas meja, “Sekarang Sri Baginda pun tak perlu dicurigai Kim-taihiap, Kim-taihiap telah melihat sendiri anak itu tapi sayang tak dapat membawanya kemari. Nenek itu terlalu sakti.

Dua panglima ini mendelong. “Sedemikian hebatkah mereka itu, taihiap?”

Kim-mou-eng mengangguk, senyumnya kecut. “Ya, aku tak mampu mengalahkannya. Tapi urusan itu tak perlu dipikir sekarang. Sekarang yang perlu diselesaikan adalah Sam-kong-kiam itu. Aku akan membersihkan namaku dan istana ingin kuminta bantuannya agar semuanya jelas.”

Dan ketika pendekar itu berkata bahwa dia ingin segera menghadap kaisar dan juga Kim-taijin maka Cu-ciangkun bangkit berdiri dan kagum. Lagi-lagi Kim-mou-eng menyelesaikan masalah yang seharusnya menjadi bagian mereka. Pendekar itu telah terkena getah sementara mereka tak dapat berbuat apa-apa. Kini mereka ingin tahu apa maksud pendekar itu menemui kaisar.

Dan ketika Kim-mou-eng menjawab bahwa itu nanti dapat mereka dengar kalau kaisar sudah di depan mereka maka dua panglima itu mengangguk dan tidak menjadi kecewa, segera memandang Bu-ciangkun dan panglima tinggi besar itu tertawa. Tanpa banyak cakap ia melompat, mengajak pendekar itu meninggalkan gedung untuk menuju istana. Dan ketika malam itu juga Pendekar Rambut Emas “dikawal” tiga panglima ini menghadap kaisar maka pengawal dan perwira yang terkejut melihat rombongan itu segera menjadi gempar dan kaget melihat munculnya Kim-mou-eng ini.

Berita dari mulut ke mulut menyebar cepat. Kim-mou-eng yang masih hidup membuat orang sekota raja bangun, mereka hampir tidak percaya. Tapi ketika pendekar itu benar ada dan kini bersama Cu-ciangkun dan Bu-ciangkun menghadap kaisar maka orang ramai membicarakan ini sementara Kim-mou-eng sendiri sudah bertemu dengan orang yang dicari di mana kaisar sendiri ternganga dan bengong melihat pendekar itu, kebetulan didampingi menteri Kim.

“Ah, ini siapa, ciangkun? Kim-mou-eng?”

“Ya, maafkan kami, Sri Baginda. Malam-malam mengganggu paduka karena Kim-taihiap ingin bertemu.”

“Tapi orang bilang sudah tewas! Bukankah Hu Beng Kui membunuhnya? Dan pedang Sam-kong-kiam itu....?”

“Maaf, hamba dapat menceritakannya. Sri Baginda. Ternyata Kim-taihiap memang tidak bersalah. Kim-taijin (menteri Kim) betul, kami yang ceroboh,” dan Bu-ciangkun yang lalu menceritakan semuanya itu dari awal sampai akhir kemudian menutup ceritanya begini, “Dan Kim-taihiap menyelesaikan pula masalah Bi Nio, Sri Baginda. Bahwa benar putera selir itu ditukar dan diganti seseorang di mana kebetulan Kim-taihiap tahu. Sekarang curiga mencurigai di antara kita tak ada lagi dan semuanya jelas!”

Kaisar kagum. “Begitukah, Kim-mou-eng?”

“Ya, benar, Sri Baginda. Tapi sayang sekali hamba tak dapat membawa penculiknya karena mereka lihai sekali.”

“Siapa mereka?”

“Sepasang Dewi Naga, dua orang nenek yang sudah berusia dua ratus tahun!”

“Dua ratus tahun?” kaisar mendecah.

“Ya, begitu menurut yang hamba ketahui, Sri Baginda. Dan sekarang persoalan di antara kita beres.”

“Ah, maafkan aku. Aku ingin menyatakan penyesalanku secara pribadi, harap kau tidak kecewa,” kaisar terkejut juga. “Dan sekarang, apa maumu menghadap?”

“Hamba ingin ke Ce-bu, Sri Baginda, menjadi penantang Hu Beng Kui dan merampas Sam-kong-kiam!”

“Untukmu pribadi?”

Kim-mou-eng tersenyum. “Sri Baginda, harap tidak menyangka yang bukan-bukan, Hamba bukan seorang temahak, yang tamak akan barang orang lain. Hamba tidak bermaksud mengangkangi pedang pusaka itu, melainkan semata mempergunakan arena pibu untuk membersihkan nama hamba agar tuntas!”

“Maksudmu?”

“Hamba ingin restu paduka di kamar abu. Hamba mendapat petunjuk bahwa merampas kembali pedang itu harus dimintakan restunya dari nenek moyang paduka, lewat paduka. Tanpa itu sukar bagi hamba mendapatkan kembali pedang itu.”

“Hmm...!” kaisar terbelalak, baru tahu. “Begitukah, Kim-mou-eng? Darimana kau tahu?”

“Guru hamba yang memberi tahu.”

“Ah, si manusia dewa Bu-beng Sian-su itu?”

“Ya, benar, Sri Baginda. Dan hamba kira Kim-taijin di sini tahu!”

Kaisar menoleh pada pembantunya itu “Benarkah begitu, taijin?”

Kim-taijin tertawa. Sebenarnya, sejak pendekar ini datang dia sudah ingin maju dan berbicara. Kini Kim-mou-eng menyinggung namanya sementara sang junjungan juga bertanya, tentu saja pembesar ini mengangguk dan menjura. Dan ketika kaisar terheran memandangnya dan Kim-taijin menghela napas tiba-tiba menteri ini mendekati Kim-mou-eng dan melipat punggung penuh hormat di depan pendekar itu.

“Kim-taihap, agaknya gurumulah yang menyuruhmu ke sini. Sebelumnya aku mengucapkan selamat bahwa kau ternyata tidak apa-apa dan tetap sehat walafiat, aku sungguh girang sekali. Aku percaya bahwa bukan kau orangnya yang mencuri Sam-kong-kiam. Sekarang kepercayaanku diyakinkan bukti-bukti. Baiklah, apa kata Sian-su tentang Pedang Tiga Dimensi ini?”

“Aku diminta menghadap Sri Baginda untuk mendapat restunya, dan katanya kau tahu tentang cara-cara meminta restu dari abu leluhur!”

“Benar, dan apalagi katanya?”

“Aku harus ke Ce-bu, taijin, mengambil pedang itu dan mengembalikannya ke istana!”

“Bagus, terima kasih, taihiap. Dan kalau semuanya ini berhasil sungguh kami pihak istana mendapat budi yang luar biasa sekali besarnya!” Kim-taijin menghentikan kata-katanya. membungkuk di depan kaisar. “Sri Baginda, apa yang dikatakan taihiap memang betul. Merampas Sam-kong-kiam harus meminta restu dari leluhur paduka, kita harus ke ruang abu!”

Lalu semantara kaisar tertegun pembesar ini menghadapi Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun, berkata. “Maaf, kalian bertiga tak dapat ikut, ciangkun. Hanya aku dan Sri Baginda serta Kim-taihiap yang boleh masuk, kalian harap menunggu di sini.”

Bu-ciangkun dan dua rekannya mengangguk. Tentu saja mereka tak berani membantah, Pedang keramat memang memiliki hal-hal yang bersilat sakral, membayangkan pedang itu saja sudah cukup membuat mereka bergidik. Dan ketika Kim-mou-eng berlalu dan kaisar serta Kim-taijin menghilang di balik sana maka sejam kemudian tiga orang ini kembali lagi, kaisar berseri-seri.

“Bu-ciangkun, kau boleh ikut ke Ce-bu!”

“Terima kasih,” Bu-ciangkun girang. “Hamba siap, Sri Baginda. Dan kalau boleh dua rekan Cu juga diperkenankan bersama!”

“Ha-ha, tanyakan Kim-mou-eng saja, ciangkun. Boleh atau tidak!”

Kim-mou-eng tersenyum. “Ciangkun, di dalam tadi kami telah membicarakan kalian semua. Kalau Cu-ciangkun mau turut boleh juga, tapi terus terang kukatakan di sini bahwa aku berangkat duluan. Hu-taihiap kabarnya beberapa hari lagi siap menutup arena pertandingan itu!”

“Ah, kami mengerti, taihiap. Dan kami juga mengaku bahwa ilmu lari cepat kami masih kalah olehmu. Silahkan, kau boleh duluan dan kami menyusul. Tapi, kalau boleh kami minta sukalah kau mengatur agar pertandinganmu dengan Hu-taihiap dilaksanakan pada hari terakhir saja. Kami ingin menonton!” Cu-ciangkun gembira.

“Benar,” Bu-ciangkun juga menyambung. “Dan kami akan mengumumkan pembersihan namamu di arena pibu itu, taihiap. Kami pihak istana akan secara resmi menarik semua tuduhan kami kepadamu hingga semua orarg tahu!”

“Terima kasih,” Kim-mou-eng tersenyum. “Kalau begitu rupanya cukup pertemuan kita, ciangkun. Dan sekali lagi terima kasih atas restu Sri Baginda memberkahi hamba. Semoga hamba berhasil di Ce-bu!”

Dan memberi hormat di depan kaisar tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat lenyap dan mengucap selamat tinggal, hilang dan tidak kelihatan lagi sementara kaisar dan pembantu-pembantunya kagum. Memang kehadiran dan lenyapnya Pendekar Rambut Emas itu seperti siluman saja.

Dan ketika malam itu kaisar berbicara sejenak dengan tiga panglima ini dan memberi petunjuk-petunjuk agar membersihkan nama Kim-mou-eng secara resmi di arena pibu itu maka malam itu juga Bu ciangkun dan Cu-ciangkun berangkat, mengambil kuda dan segera membedal kuda mereka ke selatan, terlalu capai rasanya kalau harus berlari cepat seperti Kim-mou-eng, mereka bukan Kim-mou-eng. Dan begitu tiga orang ini menyusul dan menuju Ce-bu maka istana pun tenang kembali meskipun di sana-sini para pengawal dan lain-lain masih membicarakan Kim-mou-eng yang masih hidup itu.

* * * * * * * *

Kembali di Ce-bu. Sebagaimana dituturkan di bagian depan saat itu Hu Beng Kui menerima tantangan tiga ketua Hwa-i-pang dan lain2, di samping akan munculnya Sai-mo-ong dan kawan-pada dua hari mendatang. Dan karena saat itu Hwa-i-paicu dan Pek tung Lo-kai serta Koang-san Tojin sudah bersiap-siap menghadapi jago pedang itu maka Hwa-i paicu berseru nyaring agar dia maju duluan.

“Hu taihiap, aku ingin coba coba kepandaianmu. Majulah dan mari kita main-main!” wanita cantik itu sudah mencabut pedang, mendesing dan sudah berada di atas panggung. Mata yang berapi-api dan beringas memandang jago pedang itu membuat Hu Beng Kui heran, dia menangkap semacam dendam di hati ketua Hwa-i pang ini, padahal seingatnya dia tak pernah bermusuhan dengan perkumpulan wanita-wanita cantik berbaju kembang itu. Mereka bahkan baru kali itu bertemu.

Tapi Hu Beng Kui yang tersenyum mendengar kata-kata tantangan itu berkata kalem. “Pangcu (ketua), aku tak dapat maju sebelum kau berhadapan dengan anak-anak dan para muridku dulu. Ini peraturan yang sudah kubuat. Kalau kau dapat merobohkan mereka barulah kau berhak menantangku dan aku tentu menghadapimu.”

“Baik, majukan mereka. Biar kuhadapi dan kutabas dengan pedangku!”

Hu Beng Kui mengerutkan kening. Mendengar kata-kata kaku dan ketus begini tentu saja ia tak senang, lagi-lagi melihat sikap dan rasa permusuhan di wajah ketua Hwa-i-pang itu. Tapi sebelum dia bicara atau menjawab kata-kata ini tiba-tiba muridnya termuda, Kao Sin, sudah maju membungkuk di depannya.

“Suhu, teecu siap menjalankan tugas. Mohon suhu menunjuk teecu seperti biasa untuk menutup kesombongan ketua Hwa-i-pang ini.”

Kiranya Kao Sin pun marah melihat sikap dan kata-kata wanita cantik itu. Sebenarnya bukan Kao Sin saja yang tak suka menghadapi tutur kata ketua Hwa-i-pang itu, juga saudara-saudaranya yang lain, termasuk Swat Lian dan Beng An ikut tak senang melihat nada dan bicara wanita baju kembang ini. Tapi karena lawan adalah tamu dan mereka tuan rumah maka tentu saja mereka tak dapat berbuat sembarangan dan menunggu kata kata ayah mereka yang merupakan pucuk pimpinan. Swat Lian gatal tangan untuk maju menghadapi. Ingin sekali gebrak merobohkan wanita itu. Dan Hu Beng Kui yang melihat majunya murid termuda ini untuk melayani ketua Hwa-i pang tiba-tiba tertegun, sebenarnya bukan Kao Sin yang dituju.

“Kau sebaiknya beristirahat dulu, Kao Sin. Kau telah sebulan penuh melayani penantang dan lelah, kupikir bukan kau.”

Jawaban ini tak membuat Kao Sin mundur. “Tidak, teecu masih kuat, suhu. Teecu sanggup untuk bertempur sehari dua hari lagi, teecu belum capai!”

“Hmm, bagaimana ini?” Hu Beng Kui memandang putera-puterinya. “Apakah kalian dapat mempercayainya?”

Swat Lian menggeleng. “Sebaiknya Gi Lun suheng saja, yah. Kasihan kalau Kao Sin-suheng bertanding terus-menerus. Bukan apa-apa, tapi dia mulai capai.”

“Tidak!” Kao Sin bangkit berdiri. “Aku masih kuat, sumoi. Kalaupun roboh masih ada suheng suheng yang lain dan kau sendiri. Kenapa takut? Kau dan suhu tak perlu takut, dan lagi aku sudah maju ke sini, pantang rasanya bagi murid Giam-lo-kiam Hu Beng Kui untuk mundur setelah ditantang!”

Hu Beng Kui kalah suara, terdesak. “Baiklah,” katanya dengan agak khawatir, kagum juga. “kau boleh maju, Kao Sin. Tapi hati-hati dan cepat menyerah saja kalau kau memang tidak kuat!”

Kao Sin girang. “Kenapa menyerah? Teecu siap mati, suhu. Membela namamu sampai titik darah terakhir adalah kehormatan besar bagi teecu. Terima kasih!”

Dan Kao Sin yang memutar tubuh menghadapi ketua Hwa-i-pang itu sudah berkata dengan gagah, “Paicu, silahkan mulai. Aku mewakili suhuku menjaga nama besarnya. Majulah, dan seranglah aku!”

Hwa-i-paicu bersinar-sinar. Sebenarnya, dia marah kepada Hu-taihiap, bukan apa-apa melainkan masalah Kim-mou-eng itu. Tentu saja ia tak tahu bahwa yang tewas adalah Bu-hiong yang menyamar sebagai Kim-mou-eng. Dia telah mendengar bahwa di dalam pibu ini setiap penantang harus berhadapan dulu dengan murid-murid Hu Beng Kui sebelum menantang si jago pedang sendiri, hal yang dianggapnya memerahkan telinga karena dianggap, merendahkan penantang. Hu Beng Kui dianggapnya terlalu memandang harga kelewat tinggi, jago pedang itu sombong. Maka ketika Kao Sin maju dan dia sudah mendengar tentang murid termuda Hu-taihiap ini maka wanita cantik itu mendengus memainkan pedangnya.

“Kau tidak bersenjata?”

“Aku akan mencabutnya kalau diperlukan!”

“Bagus, kalau begitu jangan salahkan aku. Aku mulai, awas....!” dan Hwa-i-paicu yang tidak banyak bicara karena sudah mendengar kebiasaan ini tiba-tiba membentak dan sudah berkelebat menyerang, menusuk dan membacok dan tiba2 tubuhnya lenyap. Dalam satu gerakan itu ketua Hwa-i-pang ini telah melancarkan tujuh tikaman berturut-turut, hebat sekali. Dan Kao Sin yang tidak menduga kelihaian lawan tiba-tiba mengelak namun dalam jurus pertama ini dia terkecoh karena pedang yang membabat tiba-tiba berubah geraknya menjadi menusuk dan ulu hatinya nyaris bolong.

“Bret-aaah!” Kao Sin terkejut. Nyaris dia terkena serangan cepat itu. Melempar tubuh bergulingan dan pedang di tangan Hwa-i-paicu mengejarnya lagi dalam tusukan dan bacokan bertubi-tubi, cepat dan ganas dan ada kesan ketua Hwa i-pang ini mau merobohkan lawan cepat-cepat. Memang begitu.

Ketua Hwa-i-pang itu mau menghabisi Kao Sin agar dia dapat menghadapi yang lain-lain, sampai akhirnya pada Hu Beng Kui. Gerak pedangnya cepat dan ganas. Kao Sin ternyata payah dan pucat, lawan memburu kemanapun dia bergulingan. Dan ketika pedang kembali membabat namun geraknya ternyata menusuk maka Kao Sin menerima satu serangan lagi yang membuat kulit lengannya tergores.

“Creet!”

Sekarang Kao Sin luka. Nyata pemuda ini tak segesit dan selincah hari-hari pertama, mata Hu Beng Kui awas. Muridnya termuda itu sebetulnya sudah lelah dan perlu istirahat. Kao Sin membandel dan kini menerima akibatnya. Dan ketika serangan semakin gencar dan pedang di tangan Hwa-i-paicu itu mengejarnya sementara Kao Sin pun tak dapat melindungi diri dengan sin-kangnya yang mulai lemah maka dua tiga tusukan lagi mengenai pemuda ini dan menembus kekebalannya, Kao Sin gemetar dan gerak cepat ketua Hwa-i-pang itu benar-benar membuat dia gugup.

Lawan mengejek, dan Kao Sin pun mengeluh. Dia tadi mengajukan diri karena gemas terhadap keketusan sikap lawan, dia tak tahan gurunya tidak dihormati. Dan ketika serangan demi serangan semakin mendesak pemuda ini dan Kao Sin mulai berpikir untuk mencabut pedang ternyata semua maksudnya itu ditutup serangan lawan yang tidak memberi sedikit pun kesempatan padanya untuk mengambil pedangnya itu.

“Suheng, cabut pedangmu itu. Cabut....!” Seruan ini sia-sia. Swat Lian khawatir melihat keadaan suhengnya itu, dia tadi berteriak tapi ayahnya berkata terlambat. Memang sudah terlambat bagi Kao Sin karena jangankan untuk mencabut pedang, untuk mengelak dan menghindari serangan Hwa-i-paicu itu yang demikian gencar saja susah. Maka ketika jurus demi jurus dilancarkan ketua Hwa-i-pang itu dan Kao Sin terdesak dan terjepit tiba-tiba pinggangnya kembali terluka ketika pedang di tangan lawan menyambar. Kao Sin bergulingan namun lawan memburu.

Swat Lian mulai berteriak agar suhengnya itu menyerah, melompat turun dari panggung. Tapi Kao Sin yang rupanya tak mau dan nekat ingin mati tiba-tiba kembali mendapat satu bacokan pedang yang kali ini mengenai pangkal lengannya. Pemuda itu mulai bercucuran darah. Hwa-i-paicu juga menyuruh pemuda itu menyatakan kekalahannya, Kao Sin melotot dan diam, tidak mau.

Dan ketika satu serangan lagi menukik menuju leher pemuda ini dan Kao Sin tak dapat menghindar tiba-tiba Swat Lian terpekik melihat suhengnya siap binasa, pedang meluncur cepat namun Kao Sin melakukan gerak yang tidak diduga. Dengan berani pemuda ini malah mendekatkan tubuhnya dengan tubuh lawan, menggelinding dari bawah. Dan ketika lawan terkejut karena pemuda itu menerkam kakinya tiba tiba gerakan pedang berubah dan Hwa-i-paicu menjerit sambil menendang.

“Plak-dess!”

Pertandingan berakhir. Kao Sin tadi telah menangkap kaki lawannya, sebenarnya bermaksud menarik dan melontarkan, membuat ketua Hwa-i-pang itu keluar panggung. Tapi tendangan yang menyambut terkamannya dan disusul satu gerakan pedang yang miring mengenai pundaknya, akhirnya membuat pemuda ini mengeluh dan balik keluar panggung, mencelat dan terlempar dan akhirnya terbanting di sana, pingsan.

Dengan gagah dia telah melakukan perlawanan nekat yang membuat Hwa-i-paicu pucat, terhuyung dan nyaris dilempar ke bawah kalau pemuda itu masih memiliki kekuatannya yang prima. Kao Sin terlalu lelah dan kini dia kalah. Dan ketika ketua Hwa-i-pang itu mengusap peluhnya dan membetulkan anak rambut yang melekat di dahi maka Siu Loan terpekik menubruk kekasihnya sementara Hu Beng Kui bersinar sinar memandang ketua baju kembang itu.

“Pangcu, kau menang!”

Hwa-i-paicu mendengus dingin. Wanita cantik ini beringas memandang Hu Beng Kui, yang saat itu mendekatinya. Dan ketika jago pedang ini sudah berhenti di depannya dan menjura menyatakan kemenangan tiba-tiba dia memalangkan pedang di depan dada. “Kau mau menghadapi aku?”

Hu Beng Kui tersenyum mendongkol. “Belum, paicu. Karena kau masih harus menghadapi murid-murid dan dua anakku yang lain. Tapi sebelum dilanjutkan bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Apa yang ingin kau tanyakan?”

“Sikap dan sepak terjangmu ini. Kenapa begitu ganas dan permusuhan besar memancar di wajahmu!”

“Hm!” wanita ini terkejut juga, merah mukanya. “Aku benci karena kau merampas Sam-kong-kiam, Hu taihiap. Dan aku ingin ganti merampasnya dari tanganmu!”

“Begitukah?” Hu Beng Kui tertawa, tentu saja tak tahu rahasia sebenarnya. “Kalau begitu cobalah, paicu Hadapilah muridku yang lain bernama Gi Lun!” tapi baru pendekar itu memanggil muridnya nomor tiga, Gi Lun, mendadak Koang-san Tojin berkelebat naik ke atas panggung.

“Hu-taihiap, kukira tak adil kalau begini. Hwa-i-paicu baru bertanding, tentunya lelah. Kalau dia maju lagi berarti pihakmu curang mengajukan tenaga yang masih segar. Sebaiknya Hwa-i paicu beristirahat dan aku menggantikannya!”

Koang-san Tojin sudah di atas panggung, seruannya yang lantang disambut banyak anggukan dan Hu-taihiap mengerutkan kening. Tentu saja dia bisa menangkis bahwa Kao Sin yang baru kalah itu pun juga bukan tenaga yang segar. Muridnya sampai roboh karena berkali-kali harus menghadapi lawan baru, itu hal yang tak perlu dibuat alasan. Tapi mendengar kata-kata tosu ini dan melihat anggukan penonton di bawah panggung tiba-tiba pendekar ini tertawa berkata dingin,

“Baik, kalau begitu boleh saja, totiang. Atau kalau ingin ramai biar sekalian saja kau dan Pek-tung Lo-kai maju menghadapi dua murudku sekalian. Bagaimana?”

Koang-tan Tojin terkejut. Tapi belum dia menjawab mendadak Pek-tung Lo-kai melayang ke atas panggung, tertawa bergelak. “Boleh, aku menerima, Hu-taihiap. Dan kalau perlu boleh semua murid-muridmu maju menghadapi kami. Bertiga dengan Hwa-i-paicu kukira tak perlu kami takut!”

Penonton tiba-tiba bersorak. Sebagai penonton tentu saja mereka menyambut baik tantangan ini, Pek tung Lo kai mendapat dukungan dan suara gaduh di bawah membuat Hu Beng Kui memerah. Jago pedang ini tersinggung. Tapi ketika dia mengangkat tangannya dan semua suara di bawah lenyap tiba-tiba jago pedang ini menghadapi Hwa-i-paicu.

“Bagaimana, kau setuju dengan usul rekan mu, paicu? Pertandingan keroyokan boleh terjadi di sini, tapi bukan kalian yang dikeroyok melainkan seorang muridku, anakku sendiri, Beng An!”

Ribut-ribut mendadak terdengar kembali. Penonton di bawah bersorak, si jago pedang kini menghadapi kecongkakan Pek-tung Lo-kai dengan tak kalah pongahnya. Beng An terkejut mendengar ayahnya mengajukan dirinya, dia menghadapi tiga ketua sekaligus. Tapi ketika penonton bersorak dan Beng An berdebar tiba-tiba Hwa-i-paicu yang rupanya sengit kepada ayahnya mengangguk.

“Boleh, kau sendiri yang mengajukan itu, Hu-taihiap. Kami menerima dan tak perlu aku beristirahat. Majukan anakmu dan biar kulihat sampai di mana hebatnya ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut!”

Jadilah. Hu Beng Kui menawarkan sebuah pertarungan baru, Beng An dipanggil dan segera pemuda itu melayang naik. Pemuda yang gagah dan tampan dan si jago pedang ini segera menarik perhatian orang, penonton menghentikan teriakannya dan Hu Beng Kui tersenyum mengejek. Dan ketika mereka sudah berhadapan dan penonton berbisik-bisik bertaruhan siapa yang menang maka dengan tegas dan sombong Hu Beng Kui menyatakan bahwa pertandingan tak akan lebih dari lima puluh jurus.

“Cuwi (anda semua) menjadi saksi. Kalau anakku tak dapat merobohkan lawannya dalam lima puluh jurus biarlah aku menyatakan kalah dan Sam-kong-kiam menjadi miiik mereka!”

Inilah kesombongan yang menampar tiga ketua partai itu. Pek-tung Lo-kai tadinya mau mengajukan perang syaraf, membakar si jago pedang itu agar membangkitkan kemarahannya, juga kemarahan murid-muridnya agar para murid nanti bertempur dengan emosi tak terkendali, dengan begini dia mengharap mampu memperoleh kemenangan. Tapi begitu lawan berbalik menghinanya dengan kata-kata seperti itu dan yang maju hanya seorang saja tiba-tiba kakek ini mendelik dan berbalik menjadi gusar.

Pek-tung Lo-kai merasa direndahkan, dan marah bukan main. Dan ketika kakek ini gemetar memegang tongkatnya maka Koang-san tojin dan Hwa-i-paicu yang juga gusar bukan kepalang sudah berkerut gigi membentak si jago pedang itu. “Hu-taihiap, kau sendiri yang menentukan. Kalau dalam lima puluh jurus puteramu tak dapat merobohkan kami jangan jilat ludahmu sebagai orang gagah!”

“Hm, aku bukan orang macam begitu, Koang San Tojin. Justeru kalau kalian menang bukan saja Sam-kong-kiam kuserahkan tapi juga jiwaku. Percayalah.”

Kemarahan tiga orang ini tak dapat dikendalikan lagi. Hu Beng Kui telah menantang mereka sedemikian rupa, tiga orang itu melotot. Dan ketika Hu Beng Kui melayang turun dan mereka sudah menghadapi Beng An maka Pek-tung Lokai mendelik mengeremus ujung tongkatnya.

“Anak muda, ayahmu telah mengucap janji. Mudah-mudahan kau sebagai anaknya dapat memegang teguh dan tidak bersikap pengecut!”

Beng An merah mukanya. Sebenarnya dia tak setuju dengan segala sepak terjang ayahnya itu, juga dengan kata-katanya tadi. Dapat meembayangkan betapa sakitnya hati tiga orang ketua ini. Tapi karena dia juga berada di posisi sulit dan dia sudah melihat permainan pedang di tangan Hwa-i-paicu maka Beng An sendiri tidak takut meskipun agak menyesal. Tak enak akan semuanya ini namun musuh sudah berdiri menantang. Tak boleh dia mundur. Dan ketika lawan mencabut senjatanya dan dia masih berdiri diam maka Pek tung Lo-kai bertanya apakah dia mau bertangan kosong atau mencabut senjata.

Beng An lingak-linguk. “Aku ingin bersenjata, tapi bukan senjata tajam.”

“Kalau begitu cabutlah, kami sudah tak sabar!”

Beng An mengerdip ke bawah. Swat Lian yarg mendapat isyarat kakaknya ini tanggap, tiba-tiba melempar sebatang pedang kayu keatas panggung, Beng An menangkap dan tersenyum. Dan ketika dia sudah tenang dan yakin dengan pedang kayunya ini, pedang yang biasa dibuat berlatih bersama adiknya Beng An menjura menghadapi lawan. “Maaf, aku tak ingin melukai siapa pun. Sam-wi (kalian bertiga) boleh maju dan mulai!”

Penonton gempar. Untuk kesekian kalinya mereka melihat keluar biasaan pada keluarga Hu-taihiap ini. Beng An menghadapi lawan dengan sebatang pedang kayu. Bukan maksud pemuda itu untuk merendahkan lawan, melainkan semata menjaga agar tidak ada pertumpahan darah. Tapi ketika penonton gaduh dan Pek-tung Lo kai serta dua kawannya tak dapat menahan diri mendadak mereka membentak melepas serangan pertama, kemarahan benar-benar tak dapat dikendalikan lagi.

“Awas serangan pinto...!”

Koang San Tojin menerjang, matanya melotot seakan meloncat, trisula di tangannya mengaung dengan suara mengerikan, senjata itu menyambar tenggorokan Beng An. Dan ketika tosu Koang-san itu membentak membuka serangan maka tongkat dan pedang di tangan Hwa-i-paicu juga berkelebat menyusul bentakan tosu ini, diiring deru tongkat di mana Pek tung Lo-kai mengayunkannya dengan tenaga dahsyat, lantai panggung berderak. Tiga orang itu bergerak hampir berbareng dengan titik sasaran yang sama, tubuh Beng An.

Dan ketika tiga senjata itu menyerang dari tiga jurusan menuju tempat-tempat berbahaya maka penonton celangap ketika Beng An mengeluarkan seruan perlahan, tidak mengelak atau menangkis melainkan mencelat ke atas. Tubuhnya mumbul tinggi dan amat ringan sekali, tiga senjata lewat di bawah kakinya. Dan ketika lawan terkejut karena Beng An tiba-tiba menghilang mendadak pemuda itu menggerakkan pedang kayunya ketika melayang turun.

“Cring-krak-krakk!”

Tiga ketua itu terperanjat. Mereka dibabat dari atas ke bawah, tiga senjata mereka terpental bertemu pedang kayu di tangan pemuda itu. Dan ketika mereka berteriak kaget karena tubuh pun terhuyung mendadak Pek-tung Lo-kai membalik menerjang lagi.

“Siuuutt...!” tongkat mengeluarkan cahaya keperakan, sudah menyerang dan kali ini menuju ulu hati, lurus dan cepat karena didorong tenaga yang kuat. Kakek itu menggereng ketika melancarkan serangan ini, marah dia. Tapi Beng An yang mengangkat satu kaki menyambut dengan pedang melenceng kembali membentur tongkat itu.

“Trakk!” Tongkat pun terpental. Untuk kedua kali Pek-tung Lo-kai merasa tangkisan yang membuat telapaknya seolah terbeset, kaget kakek ini. Dia segera terbelalak karena lawan yang masih muda itu ternyata memiliki sinkang yang membuat dia tergetar, lagi-lagi Pek-tung Lo-kai terhuyung. Tapi Hwa-i-paicu dan Koang-san Tojin yang sudah melengking dan membentak marah ternyata mengulang serangannya, membalik dan maju lagi menyerang dari kiri dan kanan. Pedang dan trisula mendesing menyambar pemuda itu. Tapi Beng An yang lagi-lagi menunjukkan kebolehannya menahan lawan kembali menangkis dan mengangkat sebelah kakinya.

“Trang-trang...!”

Suara ini aneh. Pedang kayu di tangan pemuda itu dapat mengeluarkan suara mirip logam bertemu logam, padahal tadi bertentu tongkat jelas mengeluarkan suara seperti kayu bertemu kayu. Itulah tanda Beng An pandai menguasai senjatanya dan Hwa-i-paicu serta Koang-san Tojin terbelalak. Sama seperti Pek-tung Lo-kai mereka pun merasa telapakan pedas seperti dibeset. Dua orang ini terkejut karena itu bukti sinkang lawan yang mengagumkan. Dan ketika mereka terhuyung tapi lo-kai kembali menerjang dan mengisi kekosongan itu maka bertubi-tubi dan cepat mereka segera maju kembali dan mengeroyok pemuda ini, ganti berganti menyerang tiada henti sementara lawan menggerakkan pedangnya menangkis sana-sini.

Penonton terbelalak, mereka tak melihat secuwil pun pedang kayu itu rusak. Ini lagi-lagi bukti kelihaian putera jago pedang itu “mengisi” senjatanya, dengan sinkang yang tinggi dia mampu membuat benda lemah menjadi kuat, pedang kayu seolah pedang besi. Dan ketika tiga ketua itu membentak dan mengeroyok Beng An tiada henti maka pertandingan menarik segera terjadi di sini ketika Beng An dikelilingi cahaya sambar-menyambar dari tiga macam senjata yang ada di tangan tiga ketua partai itu.

“Trang-trangg!”

Suara ini kembali memekakkan telinga. Tiga ketua itu marah, mereka mulai melengking dan mengerahkan ginkang. Dua puluh jurus berlalu dengan cepat sementara penonton mulai berdebar, melihat pertandingan mulai meningkat dan tak ada suara keluar dari mulut penonton. Suara yang ada hanya benturan benturan senjata itu, kadang seperti logam bertemu logam tapi sewaktu-waktu berobah seperti kayu bertentu kayu, malah tongkat atau trisula maupun pedang yang bertemu dengan senjata di tangan Beng An.

Dan ketika pertempuran kembali berjalan cepat dan tubuh tiga ketua partai itu sekarang lenyap terbungkus gulungan senjata mereka yang mengelilingi Beng An maka penonton yang tingkatnya rendah sudah tak dapat mengikuti jalannya pertandingan itu karena mata mereka kabur.

“Hebat, lihai sekali. Hu-kongcu itu benar-benar luar biasa!”

Pujian ini tak dihiraukan Beng An. Dia sendiri sudah dikurung tiga senjata lawan yang tak memberinya jalan keluar, semua jalan seolah sudah ditutup oleh tiga senjata itu. Tapi karena Beng An telah mencoba dan mengetahui bahwa sinkangnya masih lebih tinggi daripada lawan maka sebenarnya pemuda itu tak menemui banyak kesulitan meskipun seolah olah dari luar dia tampaknya terkurung, diam-diam memperhatikan silat lawan dan mempelajari. Itulah sebabnya tiga-puluh jurus berlalu dengan cepat sementara Beng An baru menangkis atau menghindar saja. Dan ketika pertempuran meginjak pada jurus keempat puluh dan Beng An merasa cukup tiba-tiba dia mendengar teriakan adiknya dari bawah,

“An-ko, ayo balas. Hajar mereka itu...!”

Beng An tersenyum. Sikapnya yang tak segera membalas membuat adiknya di bawah panggung khawatir, tentu Swat Lian sudah menghitung hitung jurus yang mereka lalui ini, memang mendebarkan sepuluh jurus lagi dia bisa dinyatakan kalah dan Hu Beng Kui pun mengerutkan alis. Jago pedang ini melihat puteranya ayal-ayalan, bagi dia terlalu lamban. Mulailah jago pedang itu tak senang, diam-diam menegur puteranya dengan ilmunya jarak jauh, menyusupkan suara dan menyuruh puteranya menyelesaikan pertandingan.

Beng An mengangguk. Dan ketika kembali senjata lawan menyambar dari segala penjuru dan pedang serta tongkat seolah berkejaran memburunya mendadak Beng An merobah gerakan. “Sam-wi-pangcu, awas. Aku membalas!”

Tiga ketua itu mendengus. Sebenarnya mereka penasaran dan juga marah melihat kelihaian putera Hu beng Kui ini. Bayangkan, empat puluh jurus mengeroyok belum sekali pun juga senjata mereka mengenai tubuh pemuda itu, selalu di kelit atau ditangkis dan mereka terpental, padahal si pemuda belum membalas. Maka ketika pemuda itu berseru dan menyuruh mereka berhati hati karena akan membalas tiba-tiba Koang-san tojin dan temannya berteriak agar mereka memperketat kepungan.

“Jangan biarkan dia menyerang. Hati-hati, persempit ruang geraknya dan kita berpindah-pindah!”

Beng An tertawa. Tentu saja dia tahu bahwa lawan hendak membuatnya bingung dengan cara baru, Koang-san Tojin dan dua temannya sudah berpindah tempat. Kini mereka berputaran cepat mengelilingi dirinya, tongkat dan trisula serta pedang ganti-berganti menyambar. Tapi karena Beng An ingin menyudahi pertempuran dan diapun mulai hapal gaya serangan lawan tiba-tiba pemuda ini berseru keras ketika tongkat di tangan Pek-tung Lo-kai menghantamnya dari depan sementara Koang-san Tojin dan Hwa-i-paicu menyerangnya dari kiri dan kanan, pada jurus keempat puluh satu.

“Trakk....!” Beng An menangkis, langsung menempel dan mengerahkan tenaganya menyedot, tongkat di tangan ketua Pek-tung-pang itu tak dapat ditarik. Pek-tung lo-kai berseru kaget. Dia terbelalak dan terkejut serta merasa heran kenapa Beng An tidak perduli pada dua serangan yang lain, pedang dan trisula di tangan Koang-san Tojin dan Hwa-i-paicu, yang saat itu menyambar dan menusuk serta membacok bahu pemuda ini.

Tapi ketika pedang dan trisula mental mengenai bahu pemuda itu dan kiranya Beng An telah melindungi diri dengari sinkangnya hingga tubuhnya kebal barulah Pek-tung Lo-kai beeteriak keras ketika Beng An tertawa, membetot dan menarik tongkatnya yang menempel di pedang kayu pemuda itu, tak dapat ditahan dan ketua pengemis ini tertarik. Tubuhnya terhuyung ke depan, mendekati pemuda itu .Tentu saja Pek-tung Lo-kai terkesiap. Dan ketika dia berusaha menarik dirinya namun tubuhnya ternyata sudah “disedot” pula oleh pedang di tangan Beng An mendadak tubuh ketua pengemis ini terangkat naik ketika Beng An mengangkat pedangnya pula.

“Pek-tung Lokai, sekarang kau roboh!”

Ketua pengemis ini pucat. Saat itu dia benar-benar tak berdaya di tangan lawan, tubuh dan tongkatnya lekat di pedang pemuda itu. Sebuah getaran mujijat muncul di badan pedang dan ketua pengemis ini terpekik. Dia berusaha meronta, tapi ketika dia terangkat dan Beng An menggerakkan kakinya tiba-tiba tubuh ketua pengemis ini mencelat dan tongkatnya pun lepas dari tangan.

“Dess... augh!”

Gerakan itu mengejutkan dua orang ketua yang lain. Hwa-i-paicu dan Koang san Tojin tersentak melihat teman mereka melayang keluar panggung, terlempar dan terguling-guling di sana. Tentu saja ini berarti kekalahan Pek-tung Lo-kai. Dan ketika mereka terbelalak dan menjublak bengong tahu-tahu Beng An membalik dan menggerakkan pedang menyilang dua kali.

“Ji-wi pangcu (ketua berdua), kalian pun sekarang menyusul. Robohlah....!”

Hwa-i-paicu dan Koang-san Tojin terkesiap. Pedang kayu di tangan pemuda itu menyilang dengan gerak menggunting, mereka kaget dan berseru keras, tentu saja menangkis. Tapi begitu mereka menangkis sekonyong-konyong mereka menjerit karena Beng An menambah tenaganya hingga delapan persepuluh bagian, pedang dan trisula mencelat sementara telapak tangan merekapun pecah. Beng An tertawa namun dua orang ketua itu membanting tubuh bergulingan. Di saat seperti itu memang tak ada jalan lain menyelamatkan diri kecuali dengan melempar tubuh bergulingan, menjauhi lawan.

Tapi Beng An yang berkelebat dengan pedang di tangan tahu tahu menikam pundak Hwa-i-paicu sementara kaki kirinya bergerak menendang Koang-san To jin, tak dapat dielak dan lawan pun mengeluh Koang-san Tojin terlempar keluar panggung dan berdebuk di sana. Dan ketika Hwa-i-paicu juga terkesima dan robek baju pundaknya maka wanita cantik ketua perkumpulan baju kembang ini pun roboh tak berkutik di bawah kaki Bang An.

“Dess-blukk!”

Semuanya itu berlangsung cepat. Dua tokoh terakhir ini sudah tak berdaya lagi di tangan Beng An, masing-masing terbelalak, seakan tak percaya. Tapi begitu Beng An menyimpan pedangnya dan Hwa-i-paicu terisak maka penonton gempar menyambut kemenangan putera si jago pedang ini.

“Hu kongcu menang, tak sampai lima puluh jurus!”

“Ya, dan Hwa-i-paicu kalah tak perlu menyesal. Hu-kongcu memang lihai!”

Dan ketika teriakan dan seruan memecah suasana menjadi gaduh maka Pek-tung lo-kai dan Koang-san Tojin yang tertegun di bawah panggung tiba-tiba menghilang, menyelinap dan lenyap di balik seruan ribut yang memuji kemenangan Beng An. Tentu saja mereka malu dan tak ada muka lagi menghadapi si jago padang, kekalahan mereka memang telak.

Dan ketika Beng An memungut pedang Hwa-i paicu dan menyerahkannya pada wanita baju kembang itu maka Hwa-i-paicu pun melompat turun dan tidak bicara apa-apa lagi, menghilang dan menyusul dua temannya yang sudah tidak ada lagi di tempat itu. Kekalahan tiga orang ini diiring ejekan-ejekan yang membuat telinga merah, tak tahan wanita ini. Dan begitu semuanya berakhir dan orang lagi-lagi menjadi kagum akan kehebatan keluarga ini maka Hu Beng Kui menyambut puteranya dengan gembira.

“Kau membuat kami berdebar, kau bersikap ayal-ayalan!”

“Ah. maafkan aku, yah. Toh aku melaksanakan permintaanmu.”

“Ya, tapi adikmu tak tahan, Beng An. Kau membuatnya cemas, terlalu!”

Dan Beng An yang tertawa disambut adiknya akhirnya masuk ke dalam setelah pibu berakhir. Pertandingan hari itu memang tak bersambung lagi, semuanya selesai. Tinggal menanti kedatangan Mo-ong pada hari kedua. Di sini Hu Beng Kui bersikap serius. Dan ketika hari yang dijanjikan itu tiba dan si jago pedang bersiap-siap maka Hu Beng Kui menyuruh muridnya berjaga-jaga, Kao Sin telah sehat kembali, cukup sehat.

“Kalian jaga setiap sudut, jangan ada yang lolos!”

Tapi sayang, hari itu tak terjadi apa-apa. Mereka kecelik, Mo-ong yang berjanji datang ternyata tidak datang. Tengah malam lewat dan hari pun menginjak pada hari ketiga. Hu Beng Kui mengerutkan alis dan merasa dipermainkan. Barangkali hari ketiga itu musuh akan datang. Tapi ketika pada hari ketiga ini Mo-ong dan kawan-kawannya juga tak muncul maka jago pedang itu membelalakkan mata menggeram marah. “Apakah mereka takut?”

“Tak mungkin. Mereka pasti bersiasat, yah. Mo-ong terkenal licik dan curang, kita berhati-hati saja.”

“Benar, aku juga curiga, Beng An. Jangan-jangan mereka bersiasat dan tetap jaga setiap sudut. Barangkali hari ini dia datang!”

Tapi, seperti sebelumnya ternyata Mo-ong dan kawan-kawannya itu tak muncul. Mereka enak saja melanggar janji, bilang dua hari lagi datang tapi nyatanya tidak. Hu Beng Kui mulai gusar. Dan ketika menginjak hari kelima orang yang ditunggu belum juga muncul mendadak seorang gadis mengejutkan Beng An ketika datang menantang.

“Aku ingin merampas Sam-kong-kiam. beri tahu ayahmu bahwa hari terakhir aku ke sini!”

Beng An celangap. “Nona... nona mau pibu?”

“Ya, bukankah kalian mengadakan sayembara? Aku ikut, aku akan bertanding!” Gadis itu lalu pergi.

Beng An melenggong ketika tanya jawab singkat ini berakhir, pemuda itu bengong dan tampak kaget, keringat tiba-tiba membasahi dahinya. Tapi begitu gadis itu meninggalkannya pergi mendadak Beng An mengejar berseru memanggil, “Nona, nanti dulu. Tunggu...!”

“Kau mau apa?” gadis itu berhenti, membalikkan tubuh.

“Aku, eh... aku bingung, nona. Benarkah kau mau bertanding dan memusuhi kami!”

Dan Beng An yang panik mengusap keringat lalu menggigil di depan orang, gugup dan jelas bingung kenapa gadis ini datang, bukan datang dengan maksud baik-baik tapi justeru mengikuti pibu dan berarti menciptakan permusuhan. Bisa jadi dia harus merobohkan gadis itu dan Beng An tak suka. Gadis ini bukan lain adalah gadis Tar-tar yang sudah membuatnya tak keruan itu, hati dag-dig-dug dan selama ini Beng An tak dapat melupakan wajah yang ayu manis itu, meskipun berkesan galak. Dan ketika Beng An gelisah dan gugup tak keruan maka gadis itu, yang memperkenalkan diri sebagai Malisa mendengus, bibir ditarik sedikit.

“Orang she Hu, selama ini kau sekeluarga bersikap sombong dengan menantang semua orang-orang kang-ouw. Kenapa mesti takut kalau aku datang? Aku ingin coba-coba, dan ingin mengalahkan Giam-lo Kiam-sutmu itu!”

“Ah, bukan takut, nona. Tapi aku tak suka! Aku tak ingin bermusuhan denganmu dan menciptakan permusuhan!”

“Aku tak mengajak bermusuhan, aku hanya coba-coba memasuki pibu dan merebut Sam-kong-kiam!”

“Kau tak mungkin menang, ayah terlalu lihai dan....”

“Wut-plak!” Beng An terpelanting, si gadis menamparnya roboh dan Beng An berseru kaget. Tadi dalam gerak begitu cepat gadis ini berkelebat, tangan terayun dan pipi pun kena gampar. Beng An pucat melompat bangun. Dan ketika dia terbelalak dan menggigil melihat gadis itu berkacak pinggang maka gadis ini berseru padanya dengan mata berapi-api, kepala tegak dan dada dibusungkan,

“Orang she Hu, jangan terlampau congkak dengan kepandaian ayahmu. Meskipun kau sekeluarga maju aku tak takut, aku datang memang ingin mencoba dan merobohkan kalian. Kalau kau tak sabar ingin bertanding maka aku siap melayani, majulah...!”

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.