Pedang Tiga Dimensi Jilid 14 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 14
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
TUJUH PENGEMIS itu berseru kaget. Mereka masing-masing tak sempat menarik tongkat, menarik pun juga tak guna. Pedang di tangan Kao Sin bergerak cepat dan semua tongkat buntung, papas seperempat lebih dibacok pedang pemuda ini. Dan ketika mereka berseru kaget dan harus melempar tubuh bergulingan dikejar pedang maka Kao Sin sudah memburu mereka dalam gerakan yang disebut Koai-kiam-bui-kwi (Pedang Siluman Mengejar Iblis), berturut-turut dia menusuk dan membabat.

Lawan dipaksa menangkis lagi dan tongkat menjadi semakin pendek, bahkan tongkat di tangan Twa-kai dan Ji-kai serta Sam-kai tinggal sepergelangan tangan, tak kuat bertemu pedang di tangan pemuda itu. Tentu saja mereka pucat dan nyaris terbabat pula pergelangan tangan mereka. Dan ketika tiga pengemis utama ini tertegun dan Kao Sin menggerakkan kaki empat kali berturut-turut maka empat pengemis muda terlempar keluar panggung sementara ujung pedang sudah berhenti di kulit leher Twa-kai dalam satu getaran siap menusuk!

“Ah” Twa-kai pucat bukan main. Dia melihat Kao Sin menodong pedangnya, tertawa mengusap keringat. Gerakan tadi memang memakan banyak tenaga. Kao Sin sudah berdiri di depan pengemis itu dengan pedang menempel di kulit leher. Kalau dia meneruskan gerakannya tentu Twa-kai tewas, pengemis tertua ini terbelalak dengan muka seputih kertas. Dan ketika dia sadar dan membuang sisa tongkatnya maka Twa-kai menjura dan Kao Sin menurunkan pedangnya.

“Sobat she Kao, kau memang hebat. Kami Kang-lam Jit-kai kalah!”

Kao Sin memasukkan pedangnya. Penonton di sekitar tempat itu tiba-tiba bersorak gemuruh, tadi mereka mengkhawatirkan nasib pemuda ini namun tak disangka dalam gebrak yang begitu cepat pemuda ini berhasil merobah keadaan. Pedang mautnya itu mampu membacok putus semua tongkat di tangan lawan, dalam gerak yang begitu cepat dan memukau. Tak ada di antara mereka yang tahu kapan Kao Sin mencabut senjatanya.

Maka begitu Twa-kai menyatakan kekalahannya dan semua orang kagum akan kelihaian Kao Sin tiba-tiba sorak yang begitu gembira memuji murid Hu Beng Kui ini dalam kemenangannya yang menakjubkan. Satu dikeroyok tujuh namun Kao Sin di atas angin, tiba-tiba pemuda itu mendapat tepuk tangan riuh yang membisingkan telinga. Twa-kai tak ada muka lagi dan sudah melayang turun, diikuti pula oleh Ji-kai dan Sam-kai.

Dan ketika tiga pengemis itu ngeloyor pergi disusul empat saudaranya yang meringis terlempar dari panggung yang tinggi maka kemenangan ini membuat nama Hu Beng Kui terkenal dan Kao Sin pun di sebut-sebut sebagai murid yang tangguh dari jago pedang itu, padahal Kao Sin adalah murid termuda, putera-puteri Hu Beng Kui sendiri belum turun tangan karena di sana masih ada empat murid kepala yang lain, yakni Cun Li dan tiga suhengnya itu. Dan begitu hari itu Hu Beng Kui mendapat kemenangan mudah atas tujuh pengemis dari Kang-lam maka orang ramai membicarakan ini dan hari pertama tak ada pertandingan berikut.

Hari itu yang mendaftar memang baru Kang-lam Jit-kai. Siang hari sampai malam hanya nama keluarga ini yang disebut-sebut, juga tentu saja Kao Sin. Dan ketika keesokan harinya tak ada yang berani menantang hingga orang menjadi gelisah karena berarti pertunjukan menarik bakal tak ternikmati, mendadak sore hari menjelang malam datang berturut-turut dua rombongan kecil.

Yang pertama adalah empat manusia-manusia gundul. Mereka menyebut diri sebagal Empat Harimau Hitam, kulit mereka memang hitam-hitam dan melihat gerak-geriknya jelas dari golongan kasar. Mereka kokoh dengan lengan yang besar-besar, tampak kuat dan tegap. Tak ada yang tahu dari mana sebenarnya empat orang ini, logat bicaranya menunjukkan daerah utara. Mata mereka yang membelalak besar mudah menciutkan nyali, bersinar-sinar dan buas seperti harimau saja.

Dan karena Hu Beng Kui sudah kecewa melihat kemunculan Kang-lam Jit-kai sebagai penantang pertama yang termasuk kelas “gurem” maka Hu Beng Kui tak mau menyambut dan menyuruh dua anaknya menerima penantang. “Kalian saja yang menerima. Aku baru akan muncul kalau yang datang adalah ketua-ketua partai atau orang-orang ternama.”

Beng An dan adiknya mengangguk. Memang ayahnya harus menjaga gengsi, bukan sombong. Semata bersikap begitu demi menjaga wibawa. Tak boleh sembarang orang berhadapan dengan ayahnya itu. Hu Beng Kui Si Pedang Maut harus menempatkan diri dalam tempat teratas, apalagi berani menantang orang-orang kang-ouw dengan resiko tinggi. Beng An dan adiknya mewakili ayah mereka. Dan ketika petang itu mereka menerima Empat Harimau Hitam yang sudah melotot melihat kecantikan Swat Lian yang menonjol maka rombongan kedua, sepasang wanita cantik menyusul belakangan diantar Cun Li.

“Sumoi, ini Bi-ciam Sian-li (Dewi Jarum Cantik) dari propinsi Fu-kien. Datang menantang kita memenuhi undangan.”

Empat Harimau Hitam melotot semakin lebar. Di ruangan itu tiba-tiba muncul tiga wanita cantik. Swat Lian menjadi sebal dan muak. Empat laki-laki gundul itu terkekeh, mata mereka jalang berganti-ganti memandang dirinya dan Bi-ciam Sian-li. Tentu saja Bi-ciam Sian-li juga tahu dan ada pandangan marah pada sepasang wanita cantik itu, Cun Li mengerutkan kening. Dan ketika Beng An menerima tamu-tamu itu dan bagaimana pun mereka harus menyambut baik maka Beng An mendahului adiknya berkata tenang, ikut mendongkol melihat kejalangan mata Empat Harimau Hitam,

“Cu-wi sekalian kuterima, mari ke panggung dan kita bicara di luar!”

Enam tamu itu mengikuti. Penonton sudah terbelalak, mereka juga telah mendengar kedatangan tamu-tamu baru ini. Beng An berkelebat ke atas dan menyuruh semuanya naik. Empat Harimau Hitam terbahak dan melayang mengikuti Beng An, Bi-ciam Sian-li disuruh menunggu di bawah karena mereka datang belakangan, Empat Harimau itulah yang harus dilayani dulu. Dan ketika Beng An tiba di sana dan melihat Empat Harimau sudah melayang dengan ringan maka pemuda ini menjura menyambung kata-katanya,

“Su-wi enghiong (empat laki-laki gagah), kami dari keluarga Hu sebelumnya menghaturkan terima kasih atas perhatian su-wi. Sebagaimina biasa yang telah jadi peraturan kami maka su-wi dipersilahkan bertanding menghadapi murid termuda dari ayah kami. Kalau Su-wi dapat memenangkan pertandingan ini barulah su-wi menghadapi berturut-turut murid yang lain sebagai jenjang peningkatan. Tapi kalau dalam babak pendahuluan ini su-wi kalah harap su-wi mundur dan tidak coba-coba mengikuti pibu.”

“Wah, mana Hu-taihiap? Masa dia tak muncul?”

“Ayah kami akan muncul kalau kalian dapat menyelesaikan pertempuran dan pertempuran, su-wi enghiong. Kalian tak perlu khawatir dan sebaiknya mulai dulu jenjang pertama, inilah murid termuda ayah kami, Kao Sin-suheng!”

Lalu memanggil Kao Sin yang sudah bersiap di bawah panggung Beng An memperkenalkan sutenya yang baru-baru ini menggemparkan kota Ce-bu. “Inilah suheng kami, Kao Sin. Harap kalian selesaikan pibu ini dan kami menonton di bawah” dan turun meloncat ringan Beng An sudah membiarkan murid ayahnya berhadapan dengan lawan, membuat Empat Harimau itu terbelalak. “Kau yang maju?”

Kao Sin menjura. “Benar.”

“Kau yang mengalahkan Kang-lam Jit-kai?”

“Benar.”

“Hmm, kau rupanya lemah, orang she Kao. Bagaimana kalau kau dan putera-puteri Hu-taihiap itu maju sekalian?”

“Peraturan tak menyebutkan begitu. Kalian harus merobohkan aku dulu sebelum bertemu saudara-saudaraku yang lain.” Kao Sin mendongkol.

“Baiklah, kalau begitu mari kita mulai.... wuuut!“ dan harimau gundul yang tiba-tiba berkelebat tanpa banyak memberi tahu ini mendadak sudah mengeluarkan cakar harimaunya dan menyerang Kao Sin, dikelit dan memaksa Kao Sin mundur karena lawan tiba-tiba terbahak, orang itu menerjang lagi dan melakukan gerak memutar.

Kao Sin menghindar lagi ke kiri namun orang di kiri menubruknya, dua harimau kiri mergeroyok. Yang kedua ini pun menggunakan cakar harimaunya. Dan ketika Kao Sin mengelak ke belakang tapi orang di belakang menyerang dan berkelit ke kanan. Orang di sebelah kanan juga menyerang maka berturut-turut serta cepat dan bertubi-tubi Kao Sin dikeroyok Empat Harimau yang sudah maju berbareng.

“Ha-ha, keluarkan pedangmu, anak muda. Biar kami lihat sampai di mana kesohornya ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut!”

Kao Sin terkejut. Mengelak dan berlompatan saja ke sana-sini menghadapi Empat Harimau ini ternyata payah. Dia harus mengerahkan gin-kang, beradu cepat, bukan main orang-orang gundul ini. Dan ketika dia kewalahan mengelak dan berkelit maka satu serangan di kiri terpaksa ditangkis.

“Plaak!” Cakar harimau itu mental. Pemiliknya melotot berseru marah, temannya di sebelah kanan membentak dan menyerang, lagi-lagi Kao Sin menangkis. Dan ketika cakar harimau itu pun terpental namun Kao Sin terkejut karena lengannya pun terasa pedas dan sakit maka dua yang lain menerjang sambil memaki, tak dapat berkelit dan ditangkis dan senjata itu pun menjerat di tubuh Kao Sin, baju pemuda ini robek dan Kao Sin terhuyung, untung dia sudah mengerahkan sinkang-nya melindungi kulit dan tubuh. Kao Sin marah Dan ketika lawan juga terkejut karena pemuda itu tak terluka oleh cakar harimau mereka yang tajam maka empat orang ini berteriak dan mulai meraung.

“Bunuh dia, keluarkan am-gi (senjata rahasia)!”

Kao Sin terbelalak. Empat lawannya tiba-tiba mengeluarkan senjata kecil mirip bintang, menghamburkan ke arahnya sementara cakar di tangan juga terus menyerang bertubi-tubi. Tentu saja Kao Sin kaget dan marah, ini bukan lagi pibu (pertandingan persahabatan) melainkan perkelahian ganas. Empat lawannya itu mendadak buas dan tidak tahu diri, di tempat tuan rumah berani menyerang seperti itu.

Maka ketika lawan memekik dan menyerangnya dengan bantuan am-gi segala mendadak Kao Sin mencabut pedangnya, membantak dan sudah meloncat tinggi berjungkir balik, semua senjata rahasia disapu runtuh. Sinar pedangnya bergulung dua kali membentuk angka delapan. Dan ketika lawan terkejut dan berseru tertahan. Kao Sin mengeluarkan jurus mautnya yang disebut Bianglala Menikam Iblis. Empat kali pedangnya bergerak dan cakar harimau itupun di babat putus, senjata di tangan pemuda ini ternyata tajam.

Kao Sin sekarang tak mau lagi bersikap sungkan kepada tamu, mereka mendahuluinya berbuat ganas. Dan ketika lawan terpekik dan tertegun melihat cakar harimau putus di tangan mendadak sinar pedang di tangan Kao Sin membalas empat leher lawannya dalam jurus maut itu.

“Suheng, jangan membunuh....!”

Seruan itu menyelamatkan jiwa Empat Harimau ini. Mereka tak mungkin mengelak, gerak pedang terlampau cepat bagi mereka, sinarnya berkeredep menyilaukan mata. Tapi begitu Kao Sin terkejut oleh bentakan Beng An dan otomatis mengurangi tenaga maka pedang menyentuh lemah menggores kulit leher lawan.

“Cret-cret-creet...!”

Empat Harimau itu terguling. Mereka terkejut mengeluh tertahan, kulit leher mereka terluka, tidak dalam namun mengucurkan darah. Itulah berkat kemurahan lawan. Dan ketika Kao Sin tegak di depan mereka dengan muka menahan marah maka Beng An berkelebat ke atas panggung menegur Empat Harimau ini.

“Sin-houw (Empat Harimau), tak diperkenankan sekali pun mempergunakan senjata rahasia disini. Kalian melanggar peraturan, enyahlah!”

Empat Harimau itu malu. Kegirangan dan kesombongan mereka mendadak padam, mereka memang kalah, juga salah. Kalau putera Hu Beng Kui ini tak membentak suhengnya untuk tidak melakukan pembunuhan tentu mereka sudah terkapar tak bernyawa. Jurus maut dari pedang di tangan lawan tadi terlampau hebat. Mereka tiba-tiba gentar. Maka ketika Beng An menegur mereka dan menyuruh mereka enyah tiba-tiba Empat Harimau ini menunduk dan beringsut bangun, turun dan pergi meninggalkan panggung dengan malu tak terhingga besarnya. Mereka telah pecundang.

Dan begitu Empat Harimau ini pergi menelan kekalahan mereka mendadak penonton bersorak memuji kemenangan Kao Sin. Untuk kedua kali mereka melihat kelihaian ilmu pedang pemuda itu, tak sampai dua tiga jurus lawan dibuat roboh. Benar-benar hebat Giam-lo Kiam-sut itu. Dan ketika Empat Harimau pergi dan penonton masih gaduh dengan suara mereka maka Beng An mengundang Bi-ciam Sian-li yang sejak tadi memandang pertempuran di atas, menyuruh mereka itu naik. Dua wanita ini melayang ke panggung lui-tai. Tentu saja sorak penonton seketika berhenti dan mereka mendecah melihat peristiwa menarik ini. Baru kali ini ada penantang wanita cantik!

Dan ketika dua wanita itu sudah di atas dan mereka tersenyum memandang Beng An maka pemuda ini menjura berseru nyaring, “Ji-wi lihiap (dua wanita gagah), pertandingan pertama telah berakhir. Ji-wi (kalian berdua) tetap menghadapi Kao Sin-suheng. Siapkah kalian?”

“Kami siap, kongcu,” seorang di antara mereka berseru merdu. “Tapi apakah saudara Kao Sin tak terlalu capai?”

“Hm,” Beng An mengerutkan keningnya. “Kukira tidak, nona. Suhengku dapat bertempur dua tiga jam tanpa beristirahat, kami sudah terbiasa. Kalau nona siap silahkan maju, tapi kuperingatkan di sini bahwa tak diperkenankan mempergunakan senjata gelap dalam pibu yang bersifat persahabatan ini!”

“Kami tahu,” si cantik kembali tersenyum. “Dan kami akan mematuhi peraturan, kongcu. Kami siap merobohkan suhengmu!”

Beng An melayang turun. Kedip dan sinar mata Bi-ciam Sian-li mengharuskan dia cepat-cepat meninggalkan lawan. Dua wanita cantik itu rupanya menaksir, Beng An menekan guncangannya dan sang adik tersenyum. Pandang mata adiknya itu jelas menggoda, pemuda ini mendengus. Dan ketika mereka memandang ke atas dan Bi-ciam Sian-li sudah berhadapan dengan Kao Sin maka Kao Sin tiba-tiba tergetar dan gugup menerima kata-kata seorang di antara mereka, yang rambutnya disanggul, rupanya sang adik,

“Saudara Kao Sin, sudah siapkah kau melayani kami. Kami datang untuk merobohkanmu, bersiaplah!”

Kao Sin mengangguk, gugup. “Ya, majulah, nona. Aku sudah siap!”

“Dan kau menyimpan pedangmu lagi? Ayo keluarkan, kami ingin melihat jurus-jurus maut dari Giam-lo Kiam-sut!”

“Aku akan mengeluarkan kalau diperlukan, nona. Sebaiknya kalian maju dan seranglah aku, kalian boleh mempergunakan senjata,” Kao Sin sudah menenangkan hatinya, berhasil memantapkan perasaan dan kini bersiap-siap di depan dua wanita cantik itu. Dia terpaksa harus selalu melengos kalau bertatap langsung dengan si cantik yang bersanggul. Entah kenapa dengan yang ini jantungnya berdebar-debar dan ketika dua wanita itu tersenyum dan saling pandang mendadak yang satunya mundur dan yang bersanggul menghadapi Kao Sin!

“Sin-twako, enciku bilang biar aku duluan menghadapimu. Kita bertanding satu lawan satu!”

“Apa?” Kao Sin terkejut. “Kalian tidak maju berdua?”

“Kami bukan sejenis pengeroyok, twako. Kalau kau hanya seorang tentu kami pun juga maju seorang.”

“Ah....!” dan Kao Sin yang kembali terguncang melihat senyum si cantik itu mendadak bengong dan melongo di tempat. Tak disangkanya sama sekali bahwa Bi-ciam Sian-li hanya maju seorang. Celakanya, yang maju itu pun yang mengguncang perasaannya. Kao Sin kalut, mendadak dia menggigil dan tidak keruan.

Si cantik memandangnya heran dan penonton tiba-tiba tertawa. Mereka merasa lucu oleh sikap Kao Sin. Dan ketika Kao Sin panas dingin dan gemetar tanpa sebab sekonyong-konyong enci si cantik yang bersanggul ini melompat turun.

“Siu Loan, jangan buat lawanmu bengong!”

Gadis ini tertawa. Ternyata dia bernama Siu Loan, Kao Sin sadar dan penonton pun riuh. Beng An di bawah panggung menjadi geli dan ikut tertawa pula. Dan ketika suhengnja tersipu dan Siu Loan terkekeh merdu Beng An berseru dari bawah,

“suheng, jangan mendelong lagi. Lawan siap menghadapimu...!”

“Eh-oh... ya-ya!” Kao Sin terkejut, merah seperti kepiting direbus. “Kau majulah, nona. Aku siap menghadapimu!”

“Tapi kau harus mengganti baju, keringatmu kecut!”

Penonton tiba-tiba terbahak. Kata-kata yang diucapkan Siu Loan ini tidak bermaksud menggoda, gadis itu bicara sewajarnya, tapi karena disuarakan nyaring dan semua orang mendengar tiba-tiba panggung seakan runtuh oleh tawa bergelak para penonton.

Kao Sin tak keruan rupanya tapi sesosok bayangan berkelebat ke atas. Dialah Cun Li, murid keempat si jago pedang. Rupanya Cun Li membawa baju baru, tahu kekikukan sang sute di panggung lui-tai dan segera menyerahkan ba|u pengganti itu. Dibantu Cun Li pemuda ini melepas bajunya yang kotor, memang penuh keringat dan debu, tak heran karena Kao Sin sudah menghadapi Empat Harimau dalam pertandingannya tadi. Dan ketika baju dilepas dan Kao Sin tampak bidang dengan dada telanjang tiba-tiba Siu Loan melengos dan penonton pun gemuruh.

“Aih, jantan. Pemuda yang energik!”

Siu Loan tersipu merah. Dialah yang menjadi gara-gara hingga Kao Sin harus mengganti baju, tentu saja di atas panggung karena tak perlu turun kalau hanya mengganti baju saja. Kao Sin seorang lelaki, lain dengan perempuan yang harus “bersembunyi” kalau ganti baju. Dada telanjang ditonton pun tak apa-apa. Dan ketika Kao Sin selesai dan Cun Li tersenyum melayang turun maka Kao Sin mengucap terima kasih pada suhengnya itu.

“Suheng, terima kasih!” dan menghadapi Siu Loan yang sudah bersemu merah memandangnya, pemuda ini membungkuk. “Nona, mari....!”

Siu Loan tertegun. Untuk sejenak dia kagum. Setelah berganti baju begini Kao Sin tampak lebih tampan, atau barangkali matanya tadi yang kurang jeli. Pemuda ini lebih gagah dan menarik. Tapi begitu lawan mempersilahkannya menyerang tiba-tiba Siu Loan tersenyum dan berkata lirih, “Baiklah, awas saudara Kao Sin, aku tak mencabut senjataku pula kecuali diperlukan....”

“Siuutt!” dan kaki yang bergerak dari bawah ke atas menuju dagu pemuda itu tiba-tiba menendang, dan membuat Kao Sin terkejut, mengelak dan kaki lain tiba-tiba mengganti, dua kali gadis itu memutar pinggang dan dua tendangan pun melayang ke tubuh Kao Sin. Tapi karena Kao Sin dapat mengelak dan berturut turut dua tendangan itu gagal mendadak Siu Loan membentak menerjang maju.

“Awas, wut-wutt....” dua lengan itu mulai bekerja, menampar dan memukul dan tiba-tiba gadis ini pun berputaran. Kao Sin melihat kecepatan bergerak dalam setiap gerakan itu. Dan ketika lawan dibantu kakinya dan kini tendangan serta tamparan bertubi menghujani pemuda ini maka Kao Sin berloncatan ringan mengelak dan menangkis, mulai merasakan bahwa di samping. cepat ternyata gadis itu pun memiliki tenaga yang kuat. Kaki atau tangan yang bertemu dengan tangkisannya tak terpental, bukti bahwa gadis ini memiliki sinkang dan ginkang yang tak boleh diremehkan.

Dan ketika lawan penasaran dan Kao Sin hanya menangkis serta mengelak tiba-tiba gadis itu membentak mengeluarkan jurus-jurusnya yang aneh. mematuk dan menerkam mirip gerakan rajawali. Semua serangannya tertuju ke bagian tengah. Berkali-kali Kao Sin nyaris tersambar oleh tangan lawan yang cepat. Dan ketika jurus demi jurus dilancarkan cepat dan perkelahian semakin seru tiba tiba Kao Sin melihat dua titik air mata di mata lawan yang penasaran belum sekali pun mendaratkan pukulannya di tubuh Kao Sin.

“Ayo balas, jangan menangkis alau mengelak saja!”

Kao Sin tergetar. Tiba-tiba perasaannya terasa luluh oleh isak si gadis, gadis itu marah dan Kao Sin bingung. Entah bagaimara dia tak tahan oleh titik air mata itu. Si nona rupanya ingin mendaratkan satu dua pukulan ke tubuhnya. Dan karena dia tak tahan dan Kao Sin sudah terguncang sejak pertama mereka bertemu pandang mata secara aneh dan tiba-tiba mendadak pemuda ini bersikap ayal-ayalan dan mulai memberikan tubuhnya untuk digebuk!

“Buk-bukk!”

Kao Sin mulai terhuyung. Dia menerima bulan bulanan pukulan, satu demi satu penonton juga tertegun melihat pemuda itu mulai jatuh bangun. Kao Sin tak mengerahkan sinkangnya dan sengaja menerima semua pukulan hingga tubuhnya matang biru, si gadis terkejut karena Kao Sin yang dilawan ini berbeda dangan Kao Sin yang tadi melawan Empat Harimau itu. Lemah dan tampak lelah. Tentu saja dia girang dan mendaratkan pukulannya bertubi-tubi.

Tak ada seorang pun yang tahu kecuali Beng An dan saudara-saudaranya bahwa ini posisinya tidak wajar, Kao Sin menunjukkan kelambanannya yang tentu saja membuat kening Beng An dan suheng suhengnya berkerut. Mereka tak tahu apa maksud pemuda itu, tak menyangka sama sekali bahwa Kao Sin ingin menggembirakan lawan. Isak si nona yang pembuat perasaannya luluh itu tak dapat ditahan pemuda ini. Maka ketika pukulan demi pukulan menghujani pemuda itu dan Kao Sin berkali kali mengeluh tiba-tiba pemuda ini terlempar keluar panggung ketika satu tendangan miring mengenai pinggangnya.

“Dess!” Kao Sin terguling-guling. Penonton seakan tak percaya menyaksikan kejadian ini. Kao Sin, jago yang dijagokan ternyata roboh. Pemuda itu kalah. Tapi begitu mereka sadar dan sesosok bayangan meloncat ke atas panggung memuji kemenangan Siu Loan mendadak penonton bersorak karena tak menyangka sama sekali, heran dan kagum.

“Loan-moi (adik Loan), kau menang...!” Itulah bayangan Bi-ciam Sian li yang lain. Gadis yang menjadi enci Siu Loan ini mengangkat adiknya, di atas panggung dia, berteriak girang. Penonton menyambut dan panggung pun akan roboh ditimpa sorak penonton. Dan ketika Siu Loan memeluk encinya menyambut dengan gembira maka di bawah panggung, di mana Beng An dan saudara-saudaranya berada sudah melompat mendekati Kao Sin.

“Suheng, kau bertempur tidak Sungguh-sungguh! Kau memalukan kami! Apa maksudmu in!“

“Ya, kau banyak mengalah kepada gadis itu, suheng. Apa artinya ini dan kenapa kau sengaja memberi kemenangan?” Swat Lian pun tak habis mengerti.

“Maaf,” Kao Sin menunduk, mukanya merah. “Aku... aku memang tak dapat menghadapi lawanku itu, sumoi. Aku menyerah saja dan biar suheng suheng yang lain yang maju.”

“Kenapa begitu? Apa artinya ini?”

“Aku tak dapat menjelaskan, sute. Tapi aku benar-benar tak dapat menghadapi gadis itu.”

“Kalau begitu kau memalukan kami. Penonton bisa salah paham dengan kejadian ini!”

Tapi sementara Beng An marah-marah mendadak suara dari jauh menegur mereka, “Beng An, tak perlu marah. Kao Sin sedang jatuh hati kepada gadis itu. Biarlah yang lain maju dan aku dapat mengerti perasaan suhengmu!“

“Suhu....!” Kao Sin terkejut, cepat menoleh dan melihat bayangan suhunya berkelebat di dalam rumah. Mukanya tiba-tiba semburat dan merah seperti kepiting direbus. Kiranya Hu Beng Kui mengetahui tepat perasaan muridnya ini.

Pendekar itu tertawa. Dari ketika Kao Sin mendengar tawa suhunya yang lembut maka dia dipanggil suhunya itu, “Kao Sin, kau ke mari!”

Beng An dan saudara-saudaranya tertegun. Tiba-tiba mereka tersenyum geli, Kao Sin sudah bangkit berdiri dan memenuhi panggilan gurunya. Kiranya Hu Beng Kui diam-diam memperhatikan jalannya pertandingan di luar dengan seksama. Jago pedang itu memang tidak muncul. Dan ketika Kao Sin menghadap ayahnya dan Swat Lian terkekeh tiba-tiba gadis ini berseru, “Ih, kalau begini celaka, koko. Kao Sin-suheng tak mungkin membantu kita kalau disuruh melawan pujaannya!”

“Benar,” Beng An tersenyum geli. “Dan barangkali ayah akan mendampratnya di dalam, Lian moi. Biarlah dia rasakan dan kita harus melanjutkan pertandingan ini!” dan melompat ke atas menghentikan tepuk penonton Beng An sudah menghadapi Siu Loan yang masih berpelukan dengan encinya.

“Nona, kau menang. Tapi ini masih babak pertama. Sanggupkah kau melanjutkan pertandingan berikut sebagai babak peningkatan?”

“Hmm, mana saudara Kao Sin?” Siu Loan heran. “Kenapa dia tak muncul?. Aku agak aneh dengan kemenanganku!”

Beng An tersenyum. Mendengar kata-kata ini tiba-tiba dia merasa suka dengan si nona, ternyata gadis ini pun merasa ketidakwajaran itu dan tidak merasa sombong, menanyakan suhengnya dan mencari sana-sini. Tapi karena suhengnya masuk ke dalam dipanggil ayahnya maka Beng An menjawab pendek, “Dia dipanggil ayahku, barangkali harus mempertanggungjawabkan kekalahannya ini. Apakah nona siap untuk melanjutkan pibu berikut?”

Siu Loan seakan tak mendengar pertanyaan terakhir. “Dipanggil ayahmu. Harus mempertanggungjawabkan kekalahannya?” mukanya pucat.

“Ya, ada apakah, nona? Bukankah itu wajar?” dan heran memandang gadis Beng An mengulang pertanyaannya, “Nona, siapkah kau menghadapi pertandingan berikut? Masih ada enam orang lagi yang akan mengujimu sebelum kau berhadapan dengan ayahku pribadi!”

“Tidak!” gadis ini tiba-tiba melayang turun. “Aku lelah, kongcu. Biar enciku saja yang menggantikan aku!” dan sementara encinya terbelalak melihat sang adik menghilang di samping panggung maka Beng An dan gadis di atas panggung itu tertegun.

“Ke mana adikmu?”

“Barangkali mencari Kao Sin!”

“Untuk apa?”

“Hm, mana aku tahu. kongcu? Adikku memang aneh, tapi sebentar tentu dia kembali. Sudahlah, aku mewakili adikku dan aku siap di sini!”

Beng An terkejut. Tiba-tiba dia sadar bahwa penonton di bawah panggung menanti pertandingan berikut, mereka mulai berteriak agar pibu dilanjutkan. tentu saja heran akan lenyapnya Siu Loan namun sang adik sudah mewakilkan pada sang kakak. Kini perhatian tertuju ke atas panggung dan Beng An menarik napas.

Dan ketika suara teriakan mulai terdengar di sana-sini dan Beng An mengangkat tangannya maka dia berseru, “Cuwi (tuan-tuan sekalian), harap tenang. Pibu memang akan dilanjutkan. Sekarang nona ini menggantikan adiknya menghadapi kami. Kami tampilkan Cun Li suheng untuk melayaninya!” dan memanggil suhengnya ke atas panggung akhirnya Cun Li berkelebat datang.

“Nah, ini musuhmu, nona. Suhengku nomor empat, Cun Li!”

Cun Li memberi hormat. Empat mata tiba-tiba beradu, Cun Li dan gadis di atas panggung sama-sama tertegun. Mereka bertatap pandang mata dan gadis itu lebih dulu menunduk. Mengalihkan perhatiannya tiba tiba dia menggigil, entah kenapa sekonyong-konyong gadis ini berdebar. Cun Li yang tinggi tegap dengan kesan sedikit kurus itu nampak berwibawa, gagah dan tidak kalah dengan Kao Sin. Dan ketika Beng An meloncat turun dan Cun Li menjura di depannya maka untuk pertama kali gadis itu mendengar suara lawan yang serak-serak bergetar,

“Nona, aku mewakili suhuku melayani setiap penantang. Silahkan mulai, aku memberi kesempatan padamu tiga jurus pertama!”

Gadis itu bersinar-sinar. “Kita bertangan kosong?”

“Kau boleh bersenjata, nona. Keluarkan jarummu di balik baju itu!”

“Ah!” gadis ini terkejut “Kau tahu?”

“Ya, aku melihatnya, nona. Silahkan cabut dan mulailah, seranglah aku!”

Gadis itu tiba-tiba mencabut senjatanya. “Namaku Siu Cing,” katanya lirih. “Dan aku akan mencoba merobohkanmu sebelum berhadapan dengan Hu-taihiap!”

“Mulailah” Cun Li tersenyum, segera mengenal nama lawan. “Kau boleh mulai tiga jurus pertama, nona Siu. Aku memberi kesempatan padamu kalau kau bisa mengalahkan aku!”

“Tentu, aku akan mencoba... wuut!” dan jarum yang berkelebat di depan main tiba-tiba meluncur dan menyambar tenggorokan Cun Li. Dielak dan sudah menyambar lagi dua kali berturut-turut ke dada dan pusar. Cun Li mengagumi kecepatan lawan dan terpaksa meloncat tinggi dan ketika lawan mengejar dan jarum menusuk telapak kakinya tiba-tiba Cun Li membentak melakukan tendangan dengan lutut terlipat.

“Plak!” jarum terpental, gadis berseru kaget dan Siu Cing tiba-tiba berseru keras. Lengannya yang tergetar oleh tangkisan tadi membuat gadis ini penasaran, pinggang meliuk dan kaki pun bergerak dari bawah, menendang dengan posisi empat puluh derajat ke dagu Cun Li. Hebat dan indah sekali. Dan karena gerakan gadis itu cepat bertubi-tubi dan Cun Li memuji kagum maka pemuda ini mengembangkan lengan kanannya mengibas tendangan kaki, jarum segera mencuat ketika kaki terprntal. Lawan sudah melengking aneh dan berkelebatan mengitari Cun Li. Dan ketika Cun L i mengelak dan menangkis sana sini maka tubuh sinona tiba-tiba lenyap mengelilingi pemuda ini.

“Bagus, hebat nona, indah sekali!”

Siu Cing tak menghiraukan pujian. Dia sudah melakukan tusukan dengan jarum di tangannnya, menusuk dan menyelinap seperti orang menjahit. Mula mula Cun Li bingung. Gerakan jarinya melingkar lingkar mencari lubang, dua kali Cun Li tertusuk namun si nona terkejut. Jarum membal bertemu sinkang yang melindungi tubuh pemuda itu, hebat sekali. Dan ketika Siu Cing kagum melihat lawan memiliki kekebalan yang mampu menolak tusukan jarumnya maka gadis itu pun membantu serangannya dengan tendangan kaki kanan tadi yang mencuat menari-nari.

Penonton kagum. Mereka disuguhi tontonan menarik. Sekarang mereka melihat murid yang lebih lihai dari Hu-taihiap maju. Cun Li banyak melakukan tamparan menolak serangan lawan, juga mendemonstrasikan kekebalan sinkangnya yang mampu menolak jarum, sama sekali belum membalas. Siu Cing penasaran dan merah mukanya. Dan ketika dia membentak menyuruh pemuda itu membalas tiba-tiba seperti adiknya tadi gadis ini menitikkan air mata yang membuat Cun Ll terkejut.

“Ayo balas, jangan menangkis saja!”

Cun Li tergetar. Melihat dua titik air mata mendadak dia lemah, apalagi melihat bibir yang digigit kuat-kuat menahan gemas. Ah, betapa lembutnya bibir itu. Betapa lunaknya. Cun Li tiba-tiba melamun. Air mata dan bibir yang lunak-lembut membuat pemuda ini meleng, konstrasinya pecah. Dua kali jarum berkelebat dan baju pun robek. Cun Li terkejut dan segera sadar. Dan ketika dia terhuyung di maju mundur untuk melakukan balasan sekonyong-konyong kaki si nona menyambar pundaknya, dalam, satu tendangan tinggi.

“Dess!” Cun Li terpelanting. Untuk pertama kalinya dia roboh, cepat melompat bangun dari si nona berkelebat mengejanya. Dia menangkis dan si nona pun terdorong. Dan ketika gadis itu membentak marah dan menyuruh dia membalas maka Cun Li menghela napas dan tiba-tiba berbisik, “Tidak, aku tak dapat melakukannya, nona. Silahkan kau menyerang dan biar aku bertahan sampai aku atau kau roboh sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Tak apa-apa, hanya aku merasa tak sampai hati.”

“Ah...!” dan si nona yang terguncang oleh pandangan lembut lawannya tiba-tiba gugup dan melengos, melanjutkan serangan-serangan tapi sekarang ia gelisah. Cun Li mulai melancarkan tatapannya yang mesra, tentu saja gadis ini gugup dan bingung. Dan ketika dia tak keruan diguncang perasaannya oleh Cun Li dan terisak ditahan maka di tempat lain, di mana Siu Loan melayang turun dari panggung ternyata benar gadis ini mencari Kao Sin.

Apa dipikir? Apa yang mau dilakukan. Memang aneh. Siu Loan sudah merasa bahwa kemenangannya tadi tidak wajar, ada sesuatu yang diberikan lawan. Kao Sin banyak mengalah dan pemuda ini pun belum mengeluarkan Giam-lo Kiam-Sutnya. Padahal ia melihat betapa hebatnya Ginm-lo Kiim-sut itu. Sekali pedang keluar dari sarungnya maka korban pun jatuh. Dia belum merasakan semuanya itu dan lawan keburu roboh. Kao Sin terlempar keluar panggung setengah disengaja pula. Ini membuatnya heran. Tapi karena kejadian di atas pinggung dilihat orang banyak dan secara gampang Kao Sin dinyatakan kalah maka Siu Loan pun girang meskipun juga bercampur tidak mengerti.

Hu Beng Kui, yang murid-muridnya terkenal ternyata sudah ia robohkan seorang, tinggal yang lain dan ia akan berusaha. Tapi begitu mendengar lawannya dipanggil si jago pedang itu dan Kao Sin mungkin mendapat hukumun atas kekalahannya itu, mendadak gadis ini merasa tak enak. Apa yang akan dilakukan Hu Beng Kui terhadap Kao Sin? Akan di apakankah pemuda itu. Maka gelisah dan cemas memikirkan Kao Sin. gadis ini berbuat nekat dan menyelinap ke dalam tanpa ijin!

Itulah yang dilakukan Siu Loan. Dia tak tahu bahwa diam-diam sesosok bayangan lain mengikuti, bayangan ramping yang bergerak ringan di belakangnya, bayangan Swat Lian. Gadis ini mendapat perintah kakaknya agar mengamati gerak-gerik Siu Loan. Tentu saja Beng An tak membiarkan rumahnya dimasuki begitu saja. Swat Lian mengangguk dan sudah mengikuti Siu Loan ini. melihat gadis itu memasuki rumahnya dan celingak celinguk ke sana-sini, mencari-cari. Dan ketika gadis itu melompat ke samping dan terdengar percakapan di dalam rumah maka dia mengintai dan melihat Kao Sin berlutut di depan seorang laki-laki gagah setengah baya. Agaknya inilah Hu Beng Kui, pikirnya.

“Kao Sin, kenapa kau membuat malu aku dengan kekalahanmu tadi?” begitu mula-mula Siu Loan mendengar percakapan.

“Maaf.” Kao Sin menunduk. “Teecu tak tahu kenapa begitu, Suhu. Tapi teecu benar-benar tak mampu menghadapi gadis itu.”

“Tapi kau tidak bersungguh-sungguh, kau kehilangan semangat!”

“Itulah, teecu kehilangan semangat, suhu. Teecu mengaku salah dan siap menerima hukuman."

“Hm!” Hu Beng Kui yang kini dikenal Siu Loan itu mengangguk. “Kau memang harus menerima hukuman, Kao Sin. Dan hukuman itu adalah membawa gadis itu ke mari!”

“Mau diapakan?” Kao Sin terkejut, tiba-tiba mengangkat mukanya. “Dia tak bersalah apa-apa, suhu. Yang bersalah hanyalah teecu!”

“Ya aku tahu. Karena itu kuperintahkan padamu untuk membawa gadis itu kemari. Kao Sin. Aku mau kau bertempur lagi dan robohkan dia di sini dengan pedangmu!”

“Tidak!” Kao Sin tiba-tiba mengeluh. “Teecu tak dapat melakukannya, suhu. Ilmu pedang kita adalah ilmu pedang ganas yang sekali mencabut pedang tentu korban pun roboh!”

“Kau membantah?” Hu Beng Kui membentak. “Ini perintah, Kao Sin. Atau aku akan menyuruh yang lain menyeret gadis itu dan membunuhnya di sini!”

“Tidak... jangan...!” Kao Sin tiba-tiba menangis. “Jangan lakukan itu, suhu. Jangan. Kalau suhu bersikeras biarlah teecu yang menyerahkan jiwa sebagai penggantinya... srat!” pemuda itu mencabut pedang, menggigil dan pucat memandang gurunya.

Hu Beng Kui tertegun. Tapi tersenyum mengejek melihat kelakuan muridnya. Pendekar ini bertanya, “Kau mau apa?”

“Teecu... teecu hendak menyerahkan jiwa, suhu. Kalau suhu bersikeras ingin membunuh gadis itu!”

“Kau membelanya?”

Kao Sin tertegun.

“Kau mencintainya? Hm....!” jago pedang ini tertawa mengejek. “Kalau begitu kau mencintainya, Kao Sin. Kalau begitu aku yang akan membunuhmu karena kau telah membuat malu nama keluarga Hu dengan membiarkan diri kalah di tangan gadis itu... wutt...!” Dan Hu Beng Kui yang merampas pedang siap menebas leher muridnya, tiba-tiba mendapat bentakan dan luar di mana sesosok bayangan melompat masuk.

“Hu-taihiap, tahan. Jangan bersikap kejam!” dan Siu Loan yang menerjang melepas jarumnya tiba-tiba menyambitkan senjatanya itu ke pedang Hu Beng Kui, kaki bergerak dan dua tendangan pun menyambar tubuh si jago pedang ini.

Hu Beng Kui terkejut tapi tertawa dingin, menangkis. Dan ketika jarum runtuh sementara gadis itu pun juga terpelanting oleh kibasan pendekar ini maka Hu Beng Kui mendengus bersikap bengis. “Bocah, kau datang kemari? Bagus, aku tak usah mencarimu lagi tapi terangkan apa artinya ini dan kenapa kau lancang masuk!”

Siu Loan tegak melompat bangun. Dia kaget mengusap keringat, matanya melirik Kao Sin, gemetar. Tapi berseru gagah menuding pemuda itu dia berkata, “Kau tak boleh membunuhnya!”

“Kenapa? Dia muridku!”

“Benar, tapi ini sewenang-wenang, Hu-taihiap. Kau tak boleh membunuhnya dan titik!”

“Eh, kau lancang mencampuri urusan orang lain?” Hu-taihiap membentak marah. “Atas dasar apa kau melarangku menghukum murid sendiri. Bocah, ini rumahku. Coba terangkan kenapa kau membelanya dan menghalangi aku!”

Siu Loan gugup mendapat pertanyaan begitu mendadak ia bingung. Ya, atas dasar apa dia membela Kao Sin? Atas dasar apa dia menghalangi Hu Beng Kui? Karena Kao Sin menyatakan cinta kepadanya? Siu Loan merah dan semakin gugup. Terus terang ia sendiri juga tak tahu kenapa dia membela Kao Sin. Kenapa perasaannya begitu tercekam ketika Hu Beng Kui hendak membunuh pemula itu. Perasaannya bergolak. Ada perasaan marah dan gusar di hatinya melihat Hu Beng Kui hendak membunuh muridnya hanya karena Kao Sin mencintainya.

Ada semacam perasaan tidak puas. Siu Loan tiba-tiba memandang Kao Sin dan dia tergetar melihat pemuda itu tersenyum kepadanya. Pandangan mata Kao Sin begitu lembut, begitu mesra. Siu Loan tergetar dan tiba-tiba terisak. Dan ketika Hu Beng Kui bertanya lagi kepadanya kenapa ia membela pemuda itu maka Siu Loan mengedikkan kepala membusungkan dada.

“Aku membelanya demi perikemanusiaan. Aku membelanya karena ia tak bersalah!”

“Hm!” Hu Beng Kui tertawa mengejek. “Dia jelas bersalah, nona bukannya tidak. Dia bersalah karena membuat malu namaku, dia tak melawanmu sungguh-sungguh!”

“Kalau begitu pertandingan boleh diulang. Aku siap melawannya lagi!”

“Muridku yang tak mau, dia menyatakan tak sanggup!” lalu menghadapi muridnya pendekar ini membentak, “Kao Sin, tak dapatkah kau melawan gadis ini? Benar-benarkah kau tak memiliki semangat?”

“Maaf,” Kao Sin menjatuhkan diri berlutut. “Teecu benar-benar tak sanggup, suhu. Teecu tak mampu menghadapi nona ini.”

“Kenapa?”

Kao Sin tertegun.

“Hayo, jawab. Kau seorang laki-laki gagah, bukan banci!”

Kao Sin semburat, menunduk, berkata lirih, “Karena teecu mencintainya, suhu. Teecu mencintai gadis ini!”

Siu Loan sekarang terang-terangan mendengar pernyataan ini. Tadi dia masih bersembunyi di luar. Sekarang dia mendengar pengakuan si pemuda dan tiba-tiba mukanya pun tak kalah merah dengan Kao Sin. Hu Beng Kui telah memaksa muridnya untuk mengaku di depan gadis itu. Kao Sin menyambarkan sudut matanya dan Siu Loan berdegup. Jantung di dalam dada seakan terloncat keluar mendengar kata-kata pemuda itu. juga sambaran matanya yang begitu mesra. Siu Loan tiba tiba mengeluh. Dan ketika gadis itu terhuyung dan Hu Beng Kui tertawa mengejek maka pendekar pedang ini mendengus.

“Nah... kau dengar, nona. Terhadap musuh, muridku ini berani jatuh cinta. Dia harus menerima hukumannya atau....”

“Tidak” Siu loan pucat, melihat Hu Beng Kui mau menggerakkan pedangnya lagi. “Kau tak boleh membunuhnya, Hu-taihiap. Atau kau bunuh aku lebih dulu....wuut!" Dan Siu Loan yang tegak melindungi pemuda itu dengan mata berapi api tiba-tiba menangis. “Hu-taihiap sumpah demi segala dewa kau tak boleh membunuh pemuda ini. Dia... dia tak bersalah. Cintanya tak bersalah!”

“Eh!?” Jago pedang itu terkejut. “Apa maksudmu, nona? Kau maksudkan bahwa kau bukan musuh muridku? bahwa kau tidah marah mendengar pengakuan cintanya?”

“Tidak... tidak, dia tak bersalah!” Siu Loan berseru. “Aku memang bukan musuhnya, Hu-taihiap. Kalau kau menyatakan muridmu salah karena mencintai musuh, maka pernyataanmu tidak benar. Aku bukan musuh. Aku... aku suka dan ingin bersahabat dengan muridmu!”

Hu Beng Kui tertegun. “Kau tidak bohong?”

“Tidak!”

“Kalau begitu kau menerima cintanya?”

Siu Loan sukar menjawab. Untuk ini tentu saja dia jengah, rasa malunya luar biasa hebat. Pertanyaan itu serasa todongan pedang tajam yang menghunjam langsung, mukanya berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat. Dan ketika gadis itu tak menjawab karena bingung dan gugup menerima pertanyaan Hu Beng Kui maka pendekar ini mengejek.

“Bocah, aku akan mengampuni muridku kalau kau menerima cintanya. Dengan begini berarti dia bukan jatuh cinta kepada musuh. Tapi kalau kau menolak dan muridku jelas bersalah maka aku akan menghukum sesuai peraturanku.... Singg!” Pedang itu digerakkan lagi, mendengung dan bergetar di tangan Hu Beng Kui.

Siu Loan terkesiap mendengar suara pedang yang mengerikan itu, melihat Hu Beng Kui siap menghukum muridnya dengan dagu yang keras. Wajah jago pedang itu tampak bengis. Dan karena satu-satunya jalan hanya ia harus menerima cinta pemuda itu kalau menginginkan Kao Sin selamat tiba-tiba Siu Loan mengangguk dan berkata menangis, “Ya, aku menerima!”

Hu Beng Kui tiba-tiba pecah tawanya. Jago pedang ini bergelak sampai Siu Loan terkejut Kao Sin melompat dan tiba-tiba memeluknya. Entah kegirangan apa yang membuat pemuda itu seperti lupa diri. Kao Sin berseru menyebut kekasihnya. Dan ketika Siu Loan tertegun dan pemuda itu menyebutnya “Loan-moi” (Adinda Loan) maka Hu Beng Kui melempar pedang berseru meninggalkan sepasang muda mudi ini,

“Kao Sin, berhasil. Kau telah mendapatkan kekasihmu!” dan sementara Siu Loan bengong dan Kao Sin memeluknya gembira maka pemuda ini pun berbisik lembut, “Loan-moi. Jangan marah. Suhu hanya bersandiwara saja untuk mengujimu yang mengintai di luar tadi.”

“Ah, Hu-taihiap tahu?”

“Tentu, suhu sudah tahu kedatanganmu, Loan-moi. Beliau sengaja menguji dan pura-pura saja mau menghukum aku!”

“Ihh” gadis itu tiba-tiba meronta. “Kalau begitu kalian mempermainkan aku. Sin-ko. Aku, ah.... tahu aku sekarang. Kau dan gurumu rupanya menguji aku tak tanggung-tanggung, terlalu!”

Dan Siu Loan yang terisak melepaskan diri tiba-tiba berkelebat dan memaki-maki Kao Sin. Tentu saja sekarang dia “mendusin” bahwa semua kejadian di dalam ruangan tadi sudah diatur. Hu Beng Kui tak sungguh-sungguh dan ia pun terjebak. Kini terang-terangan ia menyatakan menerima cinta pemuda itu. Siu Loan malu dan gemas. Kalau tahu begini barangkali ia tak muncul. Sialan!. Tapi ketika ia tiba di luar pintu dan sesosok bayangan menyambar lengannya tiba-tiba Swat Lian tertawa geli berkata,

“Adik Siu Loan, selamat. Ayah dapat meresmikan kalian di atas panggung!”

Siu Loan terkejut. Sekarang dia semakin kaget lagi karena putri Hu Beng Kui ini ternyata diam-diam berada di belakangnya, menguntit tanpa diketahui. Sadarlah dia bahwa memasuki rumah jago pedang ini sama dengan memasuki sarang harimau, tak mungkin yang masuk bisa lolos dari pengamatan penghuninya. Dan ketika Swat Lian menyambar lengannya dan tertawa menggoda mendadak gadis ini melepaskan diri melihat Kau Sio menyusul.

“Kalian terlalu, curang....” gadis itu menangis, segera berlari pergi tapi Swat Lian tidak mengejar. Kao Sin lah yang mengejar dan berseru menangkap gadis itu. Dan ketika Swat Lian terpaksa melengos karena Kao Sin menangkap dan memeluk gadis itu dengan mesra maka Siu Loan sudah dibujuk dengan kata-kata lembut.

“Loan-moi, maafkan kami semua. Akulah yang membujuk suhu. Suhu tak bersalah. Aku yang bersalah karena semua sandiwara itu aku yang membuat!”

“Kau...?”

“Ya, terpaksa, Loan-moi. Aku ingin tahu apakah kau menerima cintaku atau tidak. Aku menyuruh suhu membantu dan ternyata berhasil. Aku bahagia. Maafkan aku, Loam-moi sekarang aku mendapatkan kekasihku dan suhu akan ku minta mengumumkan perjodohan kita di panggung lui-tai....”

Dan sementara Siu Loan bengong dengan semua kata-kata pemuda itu tiba-tiba Kao Sin menundukkan mukanya dan mencium bibir yang lunak hangat itu.

“Ih!” Siu Loan meronta. “Lepaskan, Sin-ko. Lepaskan. Ada sumoimu di sana!”

Kao Sin terkejut. Dia melihat sumoinya tertawa di sana, seketika iapun jengah. Tapi ketika sumoinya melompat pergi dan ia mau menyambar kekasihnya mendadak Siu Loan pun berkelebat meninggalkannya. “Hei, tunggu, Loan-moi. Tunggu...!”

Siu Loan pura-pura tak mendengar. Ia sebenarnya mendongkol tapi juga bahagia menerima pemuda itu, menjadi kekasih dan kelak mantu murid Hu Beng Kui. Bukan main keberuntungannya ini. Tapi malu dan gemas Kao Sin menciumnya di dekat Swat Lian ia pun meninggalkan kekasihnya, mulut cemberut dan pura-pura marah. Diam-diam mengecup bekas ciuman tadi. Alangkah nikmatnya. Ciuman pertama memang selalu nikmat!

Dan ketika Kao Sin mengejar dan ia pura-pura tak mendengar maka Kao Sin sudah di belakangnya dan menangkap lengannya, membuat gadis itu tertarik dan seketika berhenti. Dua pasang mata kini beradu pandang. Kao Sin meminta maaf, ujarnya lembut membelai rambut si nona. Dan ketika Siu Loan terisak dan menjatuhkan diri di dada pemuda itu maka Kao Sin berbisik. “Sumoiku telah pergi, bolehkah kulanjutkan?”

“Melanjutkan apa?”

“Ah, tanda sayang itu, Loan-moi. Bolehkah?”

“Mmmm....” Siu Loan tak mengerti, mengangkat wajahnya tapi tiba-tiba Kao Sio menunduk. Dan ketika dia terkejut dan baru mengerti ternyata apa yang dimaksudkan dengan “lanjutan” itu adalan ciuman mesra yang diberikan pemuda itu untuk kekasihnya. Siu Loan tak menolak, kebahagiaan memang sedang melanda hatinya. Dan ketika dia menyambut dan membalas ciuman kekasihnya maka dua muda-mudi ini tenggelam dalam nikmatnya madu asmara yang memabukkan. Asyikk!

Sementara di tempat lain, di panggung lui-tai juga terjadi sesuatu yang tak kalah menariknya. Saat itu Cun Li menerima serangan-serangan gencar dari lawannya. Siu Cing menghujani tendangan dan tusukan jarum ke arah murid Hu Beng Kui itu. Gadis ini terbelalak, dia sudah berkeringat basah kuyup sementara lawan enak enakan saja. Semua pukulan dan tusukan jarumnya mental. Dan ketika jurus demi jurus dilakukan gencar namun lawan mampu menghadapinya dengan baik maka Siu Cing kehabisan tenaga dan akhirnya menghentikan serangan.

“Aku kalah, kau yang menang...!” gadis itu membanting kaki, melempar jarumnya dan mata pun merah. Dan ketika Cun Li tertegun karena melihat lawan mau menangis tiba-tiba gadis itu meloncat turun dan lari meninggalkan panggung.

“Nona...”

Siu Cing tak mau dengar. Dia penasaran dan marah serta kagum menghadapi pemuda itu. Juga malu karena ia tak dapat merobohkan lawan yang bertangan kosong. Cun Li terlalu lihai baginya. Maka merasa tak mungkin ia menang dan murid Hu Beng Kui itu kuat benar akhirnya kekecewaan mengusik hatinya dan Siu Cing pun menangis. Pada saat seperti itu tak mau ia ditonton orang banyak, ia ingin menyingkir, ingin menumpahkan tangisnya.

Tapi melihat Cun Li mengejarnya di belakang mendadak Siu Cing terkejut dan mempercepat larinya, dikejar dan di panggil-panggil dan akhirnya gadis ini berhenti, Ia merasa akan tersusul dan kemarahan tiba-tiba bergolak di dadanya. Siu Cing naik pitam. Mana begitu lawan berada di dekatnya dan ia membalik tiba-tiba seperti harimau diganggu anaknya gadis ini berkacak pinggang membentak gusar,

“Kau mau apa? Mau menyuruh aku roboh di panggung lui-tai? Mau membuat malu aku yang sudah menyatakan kalah?”

“Ah-ah, nanti dulu, nona. Nanti dulu. Aku tidak bermaksud begitu. Aku mau bicara baik-baik!” Cun Li kelabakan, tentu saja gugup dan bingung diberondong pertanyaan bertubi-tubi begini. Ia tidak bermaksud membuat malu gadis itu, bahkan sebaliknya. Tapi melihat muka yang merah mangar-mangar itu dan si gadis pun bertolak pinggang mendadak jakun pemuda ini naik turun dan kata-kata pun seret tak dapat dikeluarkan.

“Hayo, kau mau apa? Apa maksudmu mengejar-ngejar aku?”

“Glek!” ludah pemuda ini masuk kembali. “Aku, eh... aku mau bicara, nona. Aku mau mengembalikan jarummu!” kebetulan sekali Cun Li tadi memungut jarum si nona, kini dapat mempunyai alasan baik dan cepat-cepat menyerahkan senjata nona itu.

Siu Cing tertegun tapi segera menerima, Cun Li girang dan dua tangan mereka bersentuh lembut. Siu Cing tersentak, Cun Li juga tersenyum. Dan ketika dua mata ikut beradu dan sorot yang mesra memancar dari mata Cun Li maka pemuda itu menyambung,

“Maafkan aku kalau perbuatanku tadi tidak berkenan di hatimu, nona Siu. Aku tak dapat membalas serangan-seranganmu karena aku tak mampu!”

“Kenapa?” suara itu kini lirih terdengar.

“Entahlah, aku... ah, aku tak tahu!”

“Masa?”

“Sungguh!” Cun Li mulai girang mendapatkan ketenangannya kembali. “Aku tak mampu menghadapimu, nona. Semangatku lemah!”

Siu Cing tiba-tiba tersenyum. Dua tiga percakapan yang terjadi ini, sudah memudarkan kemarahannya, dia merasa geli mendengar pemuda itu menyatakan semangatnya lemah, padahal kalau mau pemuda itu dapat membalasnya, mungkin malah merobohkannya. Dia bisa malu di atas panggung. Tapi mau menguji kenapa pemuda ini lemah menghadapinya, maka Siu Cing bertanya, tak puas. “Kau lihai dan gagah, kenapa lemah menghadapi aku? Atau kau memang lemah kalau menghadapi setiap wanita?”

“Ah, tentu tidak, nona! Aku hanya lemah kalau menghadapimu. Aku tak mengerti kenapa!”

Siu Cing semburat merah. “Kau bohong, kau tentunya dapat menjawab pertanyaanku itu.”

“Tidak, aku tak bohong, nona Siu. Aku....”

Cun Li menahan kata-katanya. Siu Cing membalik memutar tubuhnya, tak mau mendengar kata-katanya lagi. Rupanya gadis ini tak puas karena dua tiga kali Cun Li berkata tak tahu, gadis itu jengkel. Dan ketika Cun Li mendelong melihat lawan melompat pergi tiba2 Siu Cing berseru, “Sudahlah, aku tak mau bicara lagi, orang she Cun. Kau rupanya tak cukup jantan untuk bicara terus terang!”

Cun Li kaget. Si nona meninggalkannya, Siu Cing berkelebat dan lenyap. Tapi Cun Li yang sadar berseru tertahan tiba-tiba mengejar “Nona, tunggu...!”

Siu Cing menghentikan langkah. Berhentinya ini amat mendadak, Cun Li terkesiap karena ia tiba-tiba menabrak, tanpa sengaja memeluk dan mendekap si nona. Cun Li gelagapan. Tentu saja ia pucat karena lompatannya tadi terlalu terburu-buru, tak menduga kalau si nona berhenti dan langsung membalikkan tubuh. Dia tak dapat mengerem dan seketika menabrak, si nona pun dipeluk dan sudah masuk dalam lingkaran lengannya. Tentu saja pemuda ini berseru kaget dan buru-buru melepaskan tangkapannya. Dan ketika Cun Li menjura berulang-ulang menyatakan maafnya pemuda ini berkata gugup dengan muka merah padam,

“Maaf... maaf, nona Siu. Aku tak sengaja...!”

Siu Cing pun merah mukanya. Sebenarnya dia gemas melihat pemuda itu masih mengejar-ngejarnya juga. Dia pun tak menyangka kalau di tabrak dan dipeluk lawan, orang rupanya terburu-buru. Maka menyingsingkan lengan berkacak pinggang tiba-tiba Siu Cing membentak menghilangkan malunya, “Kau mau apa? Kenapa mengejar-ngejarku juga?”

“Ah, aku... eh, aku...” Cun Li kelabakan. “Aku masih ingin bicara, nona. Aku ingin kau tidak buru-buru pergi!”

“Untuk apa?”

“Untuk, eh... untuk apa saja. Untuk berkenalan lebih lanjut!”

“Bukankah kau sudah kenal?”

Cun Li gugup. “Bukan itu, nona. Perkenalan kita terlalu singkat. Aku, eh... aku ingin lebih jauh dan... dan...”

“Hi-hik!” Swat Lian tiba-tiba muncul, mengejutkan dua orang itu. “Cun Li-suheng hendak menyatakan isi hatinya. Siu Cing. Jangan kau buat dia gugup dan semakin gugup!”

“Sumoi...!” Cun Li seperti kepiting direbus, kaget bukan main. “Apa katamu ini? Kau bilang apa?”

“Hi-hik, aku bilang kau mau menyatakan sesuatu pada gadis ini, suheng. Belum terucapkan karena lawanmu tampak galak! Bukankah kau mau menyatakan bahwa kau suka kepadanya? Bahwa kau jatuh cinta kepadanya? Nah, nyatakan itu terus terang, suheng. Siu Cing tak suka kau plintat-plintut!”

“Sumoi...!”

Swat Lian berkelebat lenyap. Dia terkekeh di kejauhan sana, berhasil menggoda suhengnya habis-habisan dan Cun Li merah sampai ke leher. Bukan main sumoinya itu, Siu Cing pun semburat tak kalah merah dengan si pemuda. Tapi begitu Swat Lian lenyap di kejauhan sana dan Siu Cing jengah mendadak gadis ini pun meninggalkan Cun Li memutar tubuh.

“Nona...!”

Siu Cing tak menghiraukan. Dia malu digoda seperti itu. diam-diam gemas dan marah pada puteri Hu Beng Kui itu. Sekarang ingin dia lihat apakah Cun Li masih mau mengejarnya. Dan ketika betul dia mendengar angin berkesiur di belakang dan Cun Li mengejar tiba-tiba Siu Cing terkejut merasa pundaknya ditangkap.

“Nona, tunggu. Aku mau blak-blakan...!”

Siu Cing tersentak. Sekarang dia berhenti, Cun Li telah menahan larinya dan mereka berdua berada di halaman belakang, suasana remang remang dan sedikit gelap. Cui Li yang merah mukanya tak begitu kentara. Dan sementara Siu Cing tertegun dengan mata melotot maka pemuda itu berdiri gagah dengan dada dibusungkan, sikapnya seperti panglima perang yang dikepung musuh, berkata gemetar,

“Aku mau mengatakan bahwa apa yang dikata sumoiku benar. Aku tak akan berputar-putar. Aku suka dan cinta kepadamu!”

Siu Cing terbelalak. Disembunyikan keremangan malam membuat gadis ini merah seperti kipiting direbus, dia sekarang mendengar kata-kata pemuda itu yang tidak tedeng aling-aling. Dengan gagah tapi menggelikan Cun Li telah menyatakan cintanya, itulah yang memang di harap. Sejak tadi dia ingin mendengar pengakuan ini. Tapi melihat sikap dan kata-kota Cun Li yang mirip panglima mau tanding dan kaku tiba tiba gadis ini tak dapat menahan gelinya dan terkekeh.

“Hi-hik, kau lucu....!” dan mendekap mulut tertawa geli tiba-tiba Siu Cing memutar tubuhnya dan melompat lagi.

“Eh!” Cun Li tertegun, penasaran. “Bagaimana jawabanmu, nona? Kenapa pergi? Tunggu...!”

Cun Li mengejar lagi, kini dia menyergap dan menyambar lengan orang, gadis itu tersentak dan seketika terputar. Dan ketika Siu Cing terkejut dan terbelalak marah Cun Li sudah memegang lengannya erat erat, bertanya menggigil, “Nona, kenapa kau pergi? Bukankah aku sudah berterus terang? salahkah aku?”

Siu Cing tak dapat menjawab. Ditanya dan dipandang seperti itu mendadak membuat gadis ini gugup, Siu Cing lupa menarik tangannya. Mereka begitu dekat sementara sorot mata masing-masing saling menyelidik dan menyelami. Cun Li rupanya gelisah. Dia mencengkeram semakin erat lagi. Dan ketika Siu Cing menunduk dan tidak menjawab akhirnya Cun Li penasaran mengguncang gadis ini.

“Nona, salahkah aku? Kurang terus terangkah aku?”

Siu Cing terisak. Sekarang dia memejamkan mata, pertanyaan pemuda itu tak dapat dijawab. Tapi ketika tangannya lembut balas mencengkeram jari-jari pemuda itu mendadak Cun Li seolah mendapat sebongkah kebahagiaan yang besar, tujuh kali lebih besar dan gunung Himalaya!

“Li-ko, beginikah caramu menunjukkan cinta? Kau masih menyebutku nona segala?”

“Ooh...!” suara itu mirip gelembung ban bocor yang tak jadi meledak, Cun Li girang bukan main. “Kau menerimaku, Cing-moi (dinda Cing)?” langsung saja pemuda ini merobah panggilannya. “Kau tidak marah? Kau mau menerima cintaku?”

Siu Cing mengangguk. Perlahan saja anggukan ini, hampir tak kentara. Tapi begitu Cun Li melihatnya tiba-tiba pemuda ini mendekap kekasihnya dan memeluk.

“Cing-moi, terimakasih. Aku bahagia sekali!” dan ketika Siu Cing mengeluh dan Cun Li mendekap kepalanya tiba-tiba Siu Cing menengadah dan menitikkan dua butir air mata yang bagai mutiara pagi. Cun Li, dihisap dan ditelan dan segera gadis itu mengeluarkan keluh bahagia. Dan ketika dua tubuh itu sama merapat dan masing-masing dilanda perasaan yang sirna bergemuruh mendadak Cun Li mengangkat dagu kekasihnya dan mencium.

“Asyiikk...!”

Cun Li dan Siu Cing kaget. Kekeh dan tawa di belakang mereka membuat Cun Li seketika melepas kekasihnya, melihat Siu Loan dan Kao Sin muncul, tertawa-tawa menggoda mereka. seruan itu mengejutkan Cun Li dan membuat pipi Siu Cing bersemu dadu. Itulah seruan adiknya yang nakal, Siu Loan tertawa-tawa di samping Kao Sin. Siu Cing tertegun. Tapi begitu sadar dan Siu Loan melompat mendekati encinya sambil berkata menggoda mendadak, Siu Cing menampar berseru jengah,

“Loan-moi, kau mengintai? Kurang ajar tak tahu malu kau...!” namun si adik yang mengelak dan bersembunyi di punggung Kao Sin tiba-tiba berteriak,

“Sin-ko, bantu aku. Enci ku marah-marah, hi-hik....” Dan Siu Loan yang berputar-putar dikejar encinya akhirnya membuat Siu Cing berhenti dan Kao Sin tersenyum.

Cun Li sudah berkelebat mendekati sutenya ini dan Kao Sin memainkan bola matanya. Kiranya suhengnya pun sudah berhasil menggaet seorang dari Bi-ciam Sian-li ini, berarti kedua-duanya mendapat seorang. Dan ketika suhengnya bertanya kenapa dia berada di situ maka pemuda ini menjawab kalem,

“Kami baru saja menghadap suhu, suheng. Loan-mo ini menerima cintaku dan tak kusangka Siu Cing pun menerima cintamu. Kalau begitu tepat kata sumoi, suhu dapat mengumumkan perjodohan ini di atas panggung.”

Cun Li merah. “Sumoi pun bertemu denganmu?”

“Ya, dan memberi tahu kalian di sini, suheng. Katanya Siu Cing bertempur denganmu tapi tak tahunya, eh....”

“Memadu cinta!” Siu Loan menyambung, cekikikan dan cepat hingga Kao Sin tertawa.

Suhengnya dan Siu Cing semburat merah. Memang nakal Siu Loan ini, centil. Tapi karena adiknya itu juga berpasangan dengan Kao Sin dan Siu Cing hilang malunya tiba-tiba sang enci menangkap adiknya gemas.

“Dan kau pun pacaran dengan Kao Sin, Loan-moi. Swat Lian memberi tahu kami tapi kami keduluan olehmu!”

“Hi-hik, tak mungkin, enci. Swat Lian tak memberi tahu apa-apa padamu melainkan kepada kami. Kau bohong!”

“Tidak percaya?”

“Tentu saja tidak!”

Dan keduanya yang tertawa cubit-mencubit akhirnya membuat Kao Sin dan suhengnya tersenyum ditahan, segera melerai dan Siu Loan memonyongkan bibirnya, sang enci menampar. Tapi ketika dua gadis itu hendak ribut-ribut lagi Cun Li sudah maju ke depan berkata tersipu, “Adik Loan, betapapun aku merasa bahagia bahwa kau telah mendapatkan Suteku. Sudahlah, akhiri main-main ini dan kita mencari suhu.”

“Untuk apa?”

“Eh, bukankah minta diumumkan perjodohan kita?”

“Hi-hik, enci Cing tak mau buru-buru, Li-twako (Kakak Li). Coba tanya dia apakah mau atau tidak!”

Siu Cing memaki adiknya. Digoda begini gadis ini gemas, mereka semua tertawa tapi tak ada yang marah. Tentu saja mereka tahu bahwa kata-kata itu hanyalah main main belaka dari gadis termuda Bi-ciam Sian-li ini. Dan ketika Cun Li berkata bahwa baiklah mereka masuk ke dalam maka Hu-taihiap ditemui dan dua pasangan muda itu minta restu. Tentu saja Hu-taihiap telah mengetahui ini dari putrinya, Swat Lian melaporkan semua yang terjadi. Dua pasangan itu mendapat restu. Dan ketika malam itu juga pibu selesai dan Hu-taihiap mengumumkan perjodohan ini maka penonton tertawa dan ada yang menyeringai iri.

Siu Loan dan kakaknya memang termasuk cantik-cantik. Mereka juga cukup lihai. Maka ketika pibu berubah menjadi tempat pengumuman jodoh dan dua pasangan itu tampak bahagia namun tersipu malu maka malam kedua berakhir dengan tambahan “pembantu” di pihak Hu-taihiap.

“Kalian boleh tinggal di sini. Namun yang menghadapi penantang tetap murid-muridku dan putera-puteriku.”

Dua gadis itu mengangguk. Urusan ini memang urusan pribadi Hu-taihiap, mereka tak berhak mencampuri. Aneh memang dalam waktu sekejap saja mereka telah menjadi calon mantu murid Hu-taihiap, hal yang dinilai beruntung dan membahagiakan hati. Mereka sebenarnya coba-coba saja tapi malah mendapat jodoh. Ini keberuntungan besar. Dan ketika hari-hari berikut tak banyak penantang yang berani mencoba karena satu demi satu mereka dirobohkan Kao Sin atau Cun Li maka sebulan kemudian pibu nyaris ditutup.

“Tak ada lagi yang maju. Suhu agaknya berhak memiliki Sam-kong-kiam itu!”

Hu-taihiap berseri seri. Memang itulah yang diharap, dia akan menjagoi dunia dengan pedang keramat itu. Tapi ketika pendekar ini siap-siap melaporkan segalanya pada Kim-taijin mendadak seminggu menjelang penutupan terjadi peristiwa besar, peristiwa menggegerkan. Apakah itu? Mari kita lihat.

* * * * * * * *

Sebulan setelah kemenangan berturut-turut dari Hu-taihiap. Pagi itu tak ada penantang. Jago pedang ini menikmati arak di belakang taman. Wajah Hu Beng Kui segar bersinar-sinar, tak ada rasa gelisah atau pun khawatir di wajah pendekar itu. Tapi ketika pendekar ini siap menenggak habis sisa araknya yang terakhir mendadak helaan napas terdengar di belakangnya, lembut.

“Hu-taihiap, selamat pagi. Maafkan aku.”

Hu-taihiap mencelat dari bangkunya. Belum pernah dia mendapat peristiwa macam ini, ada orang di belakang tanpa diketahui. Tentu saja jago pedang itu kaget dan otomatis membentak sambil menghantam lengan ke belakang. Angin yang dahsyat berkesiur dingin, tajam dan menyeramkan. Tapi ketika pendekar itu tak melihat apa-apa dan kosong saja di belakangnya mendadak pendekar ini melongo terbelalak lebar, melihat bangku yang didudukinya pecah terhantam angin pukulannya.

“Eh. setankah tadi?” Hu-taihiap terkejut, seketika bengong karena dia benar-benar tak melihat apa pun. Di sekitarnya itu kosong dan tak ada orang. Tapi ketika dia celingukan ke sana-sini mendadak sapaan halus itu terdengar lagi.

“Hu-taihiap. selamat pagi...! Maafkan aku.”

Pendekar ini membalik. Dengan gerakan super cepat dia mengayun tubuh, berjungkir balik dan berseru keras menghantam ke asal suara itu. Sekarang dia melihat sesosok bayangan berdiri di situ, bayangan aneh karena kepalanya tertutup halimun. Pendekar ini terkejut. Tapi karena dia sudah melancarkan pukulan dan menghantam ke arah bayangan yang kini dilihatnya itu maka pukulannya tepat menghantam namun lenyap tak berbekas seolah tenaganya mengenai sesosok hantu yang tidak memiliki badan kasar.

“Iblis!” pendekar ini melayang turun. “Siapakah kau?”

Kini Hu Beng Kui melihat jelas. Sekarang dia sudah berhadapan dengan bayangan aneh ini, terkejut dan tergetar karena dari balik halimun itu sekonyong-konyong menyorot dua bola mata yang mengeluarkan sinar. Sinarnya tajam namun lembut, Hu Beng Kui tiba-tiba seakan lumpuh. Cepat pendekar ini mengerahkan tenaga batinnya dan maklum bahwa seseorang berkesaktian tinggi sedang dia hadapi, bukan main kagetnya pendekar ini. Tapi begitu lawan tersenyum dan dia ingat akan sesuatu mendadak jago pedang ini berseru tertahan teringat dongeng seorang tokoh dewa yang belum pernah dijumpai.

“Bu-beng Sian-su....!”

Bayangan itu mengangguk. Sekarang tawa lirih terdengar dari mulut bayangan ini. Bukan main lembutnya, bukan main sejuknya. Dan ketika pendekar itu tertegun dan terkesiap karena baru sekarang dia percaya akan tokoh dongeng ini maka pendekar itu jatuh terduduk dan berkedip-kedip.

“Sian-su, ada apa kau datang? Kau sengaja mencari aku?” Hu Beng Kui menggigil. Dia tak menyangka sama sekali bahwa dia akan didatangi tokoh dongeng ini, nyaris tak percaya kalau tak melihat sendiri. Jago pedang ini terhenyak.

Tapi ketika Bu-beng Sian-su mengangguk dan mengeluarkan tawanya yang lembut segera pendekar ini sadar. “Ya, maafkan aku, taihiap. Aku datang memang sengaja mencarimu.”

“Untuk apa?”

“Bolehkah kita bicara terbuka?” tokoh dewa itu tersenyum. “Aku datang bukan untuk merebut Sam-kong-kiam, taihiap. Justeru ingin menyelamatkan dirimu dari pedang keramat ini.”

Hu-taihiap merah mukanya. Kiranya manusia dewa itu dapat menangkap pikirannya, tadi dia bertanya kaku karena mengira kakek dewa itu akan mengajak pibu. Tak tahunya justeru bukan dan tokoh dewa ini bahkan katanya hendak menyelamatkannya. Hu Beng Kui merasa aneh dan segera tertarik karena dia telah mendengar akan tokoh luar biasa ini, yang kedatangannya senantiasa membawa berkah dan belum pernah terdengar Bu-beng Sian-Bu mencelakakan orang lain.

Manusia dewa ini sudah dikenal kearifannya, di samping kesaktiannya yang tak lumrah manusia. Tadi dia telah membuktikan itu. pukulannya amblas tanpa bekas, padahal sebongkah batu sebesar gajah akan hancur terkena pukulannya itu. Maka tertarik dan berdebar mendengar kata-kata kakek dewa ini segera Hu-taihiap menjura dan membungkukkan tubuh, betapapun keramahan dan kelembutan kakek itu pantas disambut hormat.

“Silahkan, aku siap bicara terbuka, Sian-su. Mohon petunjukmu kalau memang ada!”

“Hm, tentu ada, taihiap. Dan kuharap kau tidak tersinggung.”

“Aku tidak tersinggung, silahkan Sian-su bicara.”

Dan ketika kakek dewa itu tersenyum dan memandangnya bersinar-sinar segera kakek ini bertanya, “Betulkah Samkong-kiam telah berada di tanganmu?”

“Betul.” Hu Beng Kui tak perlu berbohong.

“Dan kau menantang semua orang kang-ouw untuk mempertahankan pedang ini?”

“Hm.” jago pedang itu mengelak. “Aku sebenarnya ditantang hingga berbuat seperti itu, Sian-su. Istana mengujiku untuk melihat apakah aku pantas atau tidak memegang Sam-kong-kiam”

“Baik, aku sudah dengar itu. Tapi kenapa kau menerima?”

Hu Beng Kui mengerutkan alis. “Aku menerima karena ditantang, Sian-su. Aku tak mau di sangka takut!”

“Dengan melibatkan pula anak-anak dan murid-murid mu? Hm, jujur saja, Hu-taihiap. Aku melihat masih ada yang lain di samping ini. Dan inilah yang berbahaya!”

Hu Beng Kui terkejut. “Sian-su tahu?”

“Tentu. Aku tahu apa yang terkandung di hatimu, taihiap. Karena itu aku hendak memberitahu sebelum semuanya terlambat!”

Hu Beng Kui mengedikkan kepala. “Maaf, ini sebenarnya urusan pribadiku, Sian-su. Masakah orang lain mencampuri dan mengorek-ngorek apa yang semestinya tak perlu diketahui orang lain? apakah Sian-su tak merasa mencampuri urusan ini?”

Hebat kata-kata ini. Dengan tajam dan getas Hu Beng Kui telah menyatakan bahwa kakek dewa itu adalah orang luar, semestinya kakek itu marah. Tapi Sian-su yang tertawa dan tersenyum lembut mengangguk. “Benar, ini memang urusan pribadimu, taihiap. Tapi jujurkah kau dengan melibatkan orang lain pula? Lihat anak-anak dan muridmu itu. Mereka juga termasuk orang lain dan bisa menerima akibat dan sepak terjangmu. Masihkah ini masalah pribadi dan tidak bisa dibilang masalah bersama? Ingat, kalau kau jujur dengan kata-kata “pribadi” itu seharusnya kau tak melibatkan orang lainnya, taihiap. Karena betapapun anak-anak dan muridmu itu tetap bukan kau. Mereka adalah orang lain, mereka terlibat dan sengaja kau libatkan hingga masalah ini tidak bisa dibilang pribadi melainkan masalah kau sekeluarga, kau dan anak-anak muridmu!”

Hu Beng Kui tertegun.

“Kau tak jelas? Aha, marilah melihatnya baik-baik. Urusan yang dinamakan pribadi semestinya urusan yang hanya ditanggung orang per orang, oleh yang bersangkutan. Jadi tak benar rasanya kalau orang lain dilibatkan meskipun orang lain itu adalah anak sendiri dan murid sendiri. Dan karena, kau telah melibatkan anak muridmu ini maka aku datang untuk memberi tahu, bahwa kau tak cukup jantan untuk memikul sendiri masalah yang kau sebut pribadi ini...!”

Hu Beng Kui terkejut. “Sian-su bicara apa?”

“Ah... aku sudah bicara jelas, taihiap. Bahwa masalah yang kau anggap pribadi ini semestinya kau tanggung secara pribadi pula, tidak melibatkan yang lain meskipun mereka itu anak-anakmu sendiri atau muridmu sendiri!”

“Tapi mereka putera puteriku, mereka muridku!”

“Ya, namun mereka tetaplah mereka, taihiap. Mereka bukanlah kau. Mereka adalah pribadi-pribadi lain yang memiliki pula keinginan atau pendapat pribadi!”

Hu Beng Kui mengerutkan kening. “Sian-su, apa sebenarnya yang kau inginkan di sini? Coba kau bicara jujur saja. Aku masih tak mengerti!”

“Hm, kalau begini baiklah, taihiap. Terus terang aku hendak menyatakan bahwa aku tak menyetujui tindakanmu. Kau salah. Kau dapat membahayakan orang lain dengan perbuatanmu tentang masalah ini. Urusan Sam-kong-kiam seharusnya diselesaikan dengan cara jujur dan wajar. Ini keterusteranganku.”

“Sian-su hendak maksudkan bahwa Sam-kong-kiam diserahkan ke istana?”

Kakek dewa itu tertawa, “Kenapa kau bertanya dengan emosi? Tersinggungkah dirimu, Hu-taihiap? Aku tak perlu menjawab ini kalau kau mendapatkan pikiranmu yang jernih. Kau dikuasai nafsu pribadi...” lalu sementara jago pedang itu memerah mukanya kakek ini tiba-tiba membalik. “Taihiap, coba lihat ini. Barangkali kau dapat menemukan inti sarinya!” dan mencorat-coret di tembok yang kokoh, kakek ini mengukir huruf-huruf indah:

Mengguncang langit menggetarkan bumi
Terhunjam pongah sepotong besi
Tiada perduli kanan dan kiri
Itulah Pedang Tiga Dimensi
Kaku, dingin dan mati
Sekarang apa artinya ini
Kenapa dikejar dan dicari
Bukankah yang amat berarti
Masih bukan milik sendiri?
Karena itu, sungguh bodoh si manusia buta
Yang terkidung nafsu dan loba kian tersesat
Menumpuk dosa sampai ajal merenggut tiba


“Nah, kau mengerti, taihiap?” Sian-su membalik menghadapi jago pedang itu lagi, selesai mencoretnya. “Ataukah kau masih kurang jelas?”

“Tulisan itu jelas, tapi aku tak mengerti!”

“Hm, kau tak mengerti karena kau belum menghayatinya, taihiap. Kalau sudah tentu kau akan mengerti. Ilustrasi ini adalah gambaran dirimu, juga banyak orang lain di dunia. Karena itu renungkan sejenak dan jangan buru-buru bertanya!”

Hu Beng Kui bingung. Bagi dirinya, itu tak lebih dari sekedar coretan halus kakek dewa ini. Bait pertama agak menyeramkan. Dan ketika dia menggeleng tetap belum mengerti maka Bu-beng Sian-su memberi sedikit petunjuk

. “Inti syair ini pada bait kedua. Dapatkah kau menangkap?”

Hu Beng Kui tertegun. Dia memperhatikan bait kedua itu, berpikir keras dan mengulang ulang kalimatnya. Belum juga berhasil. Dan ketika dia menggeleng dan bertanya apa artinya itu maka Bu-beng Sian-su tertawa lembut dan berkata sambil menghela napas,

“Baiklah, rupanya kau belum dapat juga menangkap, taihiap. Barangkali sesuatu harus terjadi dulu baru kemudian kau mengerti. Syair ini sederhana, tapi inti sarinya amat tinggi. Kalau kau belum mengerti percuma juga kukatakan sekarang. Manusia cenderung mendapat kesusahan dulu sebelum memetik hikmahnya, biarlah kau rasakan itu sebelum terbuka kesadaranmu. Hanya, sebelum kita berjumpa lagi dalam pertemuaan berikut bolehkah kutanya satu hal padamu?”

“Apa yang hendak Sian-su tanyakan?”

“Kurang bahagiakah hidupmu ini? Kurang enakkah?”

Hu Beng Kui terkejut. “Apa yang Sian-su maksudkan?”

“Jelas, aku hanya bertanya tentang itu, taihiap. Kurang bahagiakah hidupmu ini, kurang enakkah?”

Hu Beng Kui mendelong. Tiba-tiba dia bingung, pertanyaan itu membuatnya berdebar. Entah bagaimana mendadak dia berdesir, ada sesuatu yang serasa disodokkan ke ulu hatinya. Jago pedang ini tertegun.

Dan sementara dia bengong tak menjawab tiba-tiba kakek dewa itu berkata lagi “Nah, kalan kau sudah merasa enak sebaiknya sadari keberuntunganmu ini, taihiap. Aku khawatir kau bakal kehilangan segala-galanya gara-gara urusan Sam-kong-kiam. Aku tidak mendahului di depan, tapi seorang anakmu akan hilang bila tindakanmu ini diteruskan!”

Hu Beng Kui terkesiap. Kata-kata kakek dewa itu seakan ramalan baginya, ramalan mengerikan. Jago pedang ini mundur selangkah dan pucat mukanya. Hampir dia marah mendengar kata-kata itu. Tapi ketika dia hendak membantah dan tersinggung tiba-tiba Bu-beng Sian-su lenyap berkelebat meninggalkan dirinya.

“Hu-taihiap... aku tak bermaksud menyakiti siapa pun. Kalau ada kata-kataku yang tak enak bagimu maafkanlah. Sampai jumpa lagi...”

Pedang Tiga Dimensi Jilid 14

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 14
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
TUJUH PENGEMIS itu berseru kaget. Mereka masing-masing tak sempat menarik tongkat, menarik pun juga tak guna. Pedang di tangan Kao Sin bergerak cepat dan semua tongkat buntung, papas seperempat lebih dibacok pedang pemuda ini. Dan ketika mereka berseru kaget dan harus melempar tubuh bergulingan dikejar pedang maka Kao Sin sudah memburu mereka dalam gerakan yang disebut Koai-kiam-bui-kwi (Pedang Siluman Mengejar Iblis), berturut-turut dia menusuk dan membabat.

Lawan dipaksa menangkis lagi dan tongkat menjadi semakin pendek, bahkan tongkat di tangan Twa-kai dan Ji-kai serta Sam-kai tinggal sepergelangan tangan, tak kuat bertemu pedang di tangan pemuda itu. Tentu saja mereka pucat dan nyaris terbabat pula pergelangan tangan mereka. Dan ketika tiga pengemis utama ini tertegun dan Kao Sin menggerakkan kaki empat kali berturut-turut maka empat pengemis muda terlempar keluar panggung sementara ujung pedang sudah berhenti di kulit leher Twa-kai dalam satu getaran siap menusuk!

“Ah” Twa-kai pucat bukan main. Dia melihat Kao Sin menodong pedangnya, tertawa mengusap keringat. Gerakan tadi memang memakan banyak tenaga. Kao Sin sudah berdiri di depan pengemis itu dengan pedang menempel di kulit leher. Kalau dia meneruskan gerakannya tentu Twa-kai tewas, pengemis tertua ini terbelalak dengan muka seputih kertas. Dan ketika dia sadar dan membuang sisa tongkatnya maka Twa-kai menjura dan Kao Sin menurunkan pedangnya.

“Sobat she Kao, kau memang hebat. Kami Kang-lam Jit-kai kalah!”

Kao Sin memasukkan pedangnya. Penonton di sekitar tempat itu tiba-tiba bersorak gemuruh, tadi mereka mengkhawatirkan nasib pemuda ini namun tak disangka dalam gebrak yang begitu cepat pemuda ini berhasil merobah keadaan. Pedang mautnya itu mampu membacok putus semua tongkat di tangan lawan, dalam gerak yang begitu cepat dan memukau. Tak ada di antara mereka yang tahu kapan Kao Sin mencabut senjatanya.

Maka begitu Twa-kai menyatakan kekalahannya dan semua orang kagum akan kelihaian Kao Sin tiba-tiba sorak yang begitu gembira memuji murid Hu Beng Kui ini dalam kemenangannya yang menakjubkan. Satu dikeroyok tujuh namun Kao Sin di atas angin, tiba-tiba pemuda itu mendapat tepuk tangan riuh yang membisingkan telinga. Twa-kai tak ada muka lagi dan sudah melayang turun, diikuti pula oleh Ji-kai dan Sam-kai.

Dan ketika tiga pengemis itu ngeloyor pergi disusul empat saudaranya yang meringis terlempar dari panggung yang tinggi maka kemenangan ini membuat nama Hu Beng Kui terkenal dan Kao Sin pun di sebut-sebut sebagai murid yang tangguh dari jago pedang itu, padahal Kao Sin adalah murid termuda, putera-puteri Hu Beng Kui sendiri belum turun tangan karena di sana masih ada empat murid kepala yang lain, yakni Cun Li dan tiga suhengnya itu. Dan begitu hari itu Hu Beng Kui mendapat kemenangan mudah atas tujuh pengemis dari Kang-lam maka orang ramai membicarakan ini dan hari pertama tak ada pertandingan berikut.

Hari itu yang mendaftar memang baru Kang-lam Jit-kai. Siang hari sampai malam hanya nama keluarga ini yang disebut-sebut, juga tentu saja Kao Sin. Dan ketika keesokan harinya tak ada yang berani menantang hingga orang menjadi gelisah karena berarti pertunjukan menarik bakal tak ternikmati, mendadak sore hari menjelang malam datang berturut-turut dua rombongan kecil.

Yang pertama adalah empat manusia-manusia gundul. Mereka menyebut diri sebagal Empat Harimau Hitam, kulit mereka memang hitam-hitam dan melihat gerak-geriknya jelas dari golongan kasar. Mereka kokoh dengan lengan yang besar-besar, tampak kuat dan tegap. Tak ada yang tahu dari mana sebenarnya empat orang ini, logat bicaranya menunjukkan daerah utara. Mata mereka yang membelalak besar mudah menciutkan nyali, bersinar-sinar dan buas seperti harimau saja.

Dan karena Hu Beng Kui sudah kecewa melihat kemunculan Kang-lam Jit-kai sebagai penantang pertama yang termasuk kelas “gurem” maka Hu Beng Kui tak mau menyambut dan menyuruh dua anaknya menerima penantang. “Kalian saja yang menerima. Aku baru akan muncul kalau yang datang adalah ketua-ketua partai atau orang-orang ternama.”

Beng An dan adiknya mengangguk. Memang ayahnya harus menjaga gengsi, bukan sombong. Semata bersikap begitu demi menjaga wibawa. Tak boleh sembarang orang berhadapan dengan ayahnya itu. Hu Beng Kui Si Pedang Maut harus menempatkan diri dalam tempat teratas, apalagi berani menantang orang-orang kang-ouw dengan resiko tinggi. Beng An dan adiknya mewakili ayah mereka. Dan ketika petang itu mereka menerima Empat Harimau Hitam yang sudah melotot melihat kecantikan Swat Lian yang menonjol maka rombongan kedua, sepasang wanita cantik menyusul belakangan diantar Cun Li.

“Sumoi, ini Bi-ciam Sian-li (Dewi Jarum Cantik) dari propinsi Fu-kien. Datang menantang kita memenuhi undangan.”

Empat Harimau Hitam melotot semakin lebar. Di ruangan itu tiba-tiba muncul tiga wanita cantik. Swat Lian menjadi sebal dan muak. Empat laki-laki gundul itu terkekeh, mata mereka jalang berganti-ganti memandang dirinya dan Bi-ciam Sian-li. Tentu saja Bi-ciam Sian-li juga tahu dan ada pandangan marah pada sepasang wanita cantik itu, Cun Li mengerutkan kening. Dan ketika Beng An menerima tamu-tamu itu dan bagaimana pun mereka harus menyambut baik maka Beng An mendahului adiknya berkata tenang, ikut mendongkol melihat kejalangan mata Empat Harimau Hitam,

“Cu-wi sekalian kuterima, mari ke panggung dan kita bicara di luar!”

Enam tamu itu mengikuti. Penonton sudah terbelalak, mereka juga telah mendengar kedatangan tamu-tamu baru ini. Beng An berkelebat ke atas dan menyuruh semuanya naik. Empat Harimau Hitam terbahak dan melayang mengikuti Beng An, Bi-ciam Sian-li disuruh menunggu di bawah karena mereka datang belakangan, Empat Harimau itulah yang harus dilayani dulu. Dan ketika Beng An tiba di sana dan melihat Empat Harimau sudah melayang dengan ringan maka pemuda ini menjura menyambung kata-katanya,

“Su-wi enghiong (empat laki-laki gagah), kami dari keluarga Hu sebelumnya menghaturkan terima kasih atas perhatian su-wi. Sebagaimina biasa yang telah jadi peraturan kami maka su-wi dipersilahkan bertanding menghadapi murid termuda dari ayah kami. Kalau Su-wi dapat memenangkan pertandingan ini barulah su-wi menghadapi berturut-turut murid yang lain sebagai jenjang peningkatan. Tapi kalau dalam babak pendahuluan ini su-wi kalah harap su-wi mundur dan tidak coba-coba mengikuti pibu.”

“Wah, mana Hu-taihiap? Masa dia tak muncul?”

“Ayah kami akan muncul kalau kalian dapat menyelesaikan pertempuran dan pertempuran, su-wi enghiong. Kalian tak perlu khawatir dan sebaiknya mulai dulu jenjang pertama, inilah murid termuda ayah kami, Kao Sin-suheng!”

Lalu memanggil Kao Sin yang sudah bersiap di bawah panggung Beng An memperkenalkan sutenya yang baru-baru ini menggemparkan kota Ce-bu. “Inilah suheng kami, Kao Sin. Harap kalian selesaikan pibu ini dan kami menonton di bawah” dan turun meloncat ringan Beng An sudah membiarkan murid ayahnya berhadapan dengan lawan, membuat Empat Harimau itu terbelalak. “Kau yang maju?”

Kao Sin menjura. “Benar.”

“Kau yang mengalahkan Kang-lam Jit-kai?”

“Benar.”

“Hmm, kau rupanya lemah, orang she Kao. Bagaimana kalau kau dan putera-puteri Hu-taihiap itu maju sekalian?”

“Peraturan tak menyebutkan begitu. Kalian harus merobohkan aku dulu sebelum bertemu saudara-saudaraku yang lain.” Kao Sin mendongkol.

“Baiklah, kalau begitu mari kita mulai.... wuuut!“ dan harimau gundul yang tiba-tiba berkelebat tanpa banyak memberi tahu ini mendadak sudah mengeluarkan cakar harimaunya dan menyerang Kao Sin, dikelit dan memaksa Kao Sin mundur karena lawan tiba-tiba terbahak, orang itu menerjang lagi dan melakukan gerak memutar.

Kao Sin menghindar lagi ke kiri namun orang di kiri menubruknya, dua harimau kiri mergeroyok. Yang kedua ini pun menggunakan cakar harimaunya. Dan ketika Kao Sin mengelak ke belakang tapi orang di belakang menyerang dan berkelit ke kanan. Orang di sebelah kanan juga menyerang maka berturut-turut serta cepat dan bertubi-tubi Kao Sin dikeroyok Empat Harimau yang sudah maju berbareng.

“Ha-ha, keluarkan pedangmu, anak muda. Biar kami lihat sampai di mana kesohornya ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut!”

Kao Sin terkejut. Mengelak dan berlompatan saja ke sana-sini menghadapi Empat Harimau ini ternyata payah. Dia harus mengerahkan gin-kang, beradu cepat, bukan main orang-orang gundul ini. Dan ketika dia kewalahan mengelak dan berkelit maka satu serangan di kiri terpaksa ditangkis.

“Plaak!” Cakar harimau itu mental. Pemiliknya melotot berseru marah, temannya di sebelah kanan membentak dan menyerang, lagi-lagi Kao Sin menangkis. Dan ketika cakar harimau itu pun terpental namun Kao Sin terkejut karena lengannya pun terasa pedas dan sakit maka dua yang lain menerjang sambil memaki, tak dapat berkelit dan ditangkis dan senjata itu pun menjerat di tubuh Kao Sin, baju pemuda ini robek dan Kao Sin terhuyung, untung dia sudah mengerahkan sinkang-nya melindungi kulit dan tubuh. Kao Sin marah Dan ketika lawan juga terkejut karena pemuda itu tak terluka oleh cakar harimau mereka yang tajam maka empat orang ini berteriak dan mulai meraung.

“Bunuh dia, keluarkan am-gi (senjata rahasia)!”

Kao Sin terbelalak. Empat lawannya tiba-tiba mengeluarkan senjata kecil mirip bintang, menghamburkan ke arahnya sementara cakar di tangan juga terus menyerang bertubi-tubi. Tentu saja Kao Sin kaget dan marah, ini bukan lagi pibu (pertandingan persahabatan) melainkan perkelahian ganas. Empat lawannya itu mendadak buas dan tidak tahu diri, di tempat tuan rumah berani menyerang seperti itu.

Maka ketika lawan memekik dan menyerangnya dengan bantuan am-gi segala mendadak Kao Sin mencabut pedangnya, membantak dan sudah meloncat tinggi berjungkir balik, semua senjata rahasia disapu runtuh. Sinar pedangnya bergulung dua kali membentuk angka delapan. Dan ketika lawan terkejut dan berseru tertahan. Kao Sin mengeluarkan jurus mautnya yang disebut Bianglala Menikam Iblis. Empat kali pedangnya bergerak dan cakar harimau itupun di babat putus, senjata di tangan pemuda ini ternyata tajam.

Kao Sin sekarang tak mau lagi bersikap sungkan kepada tamu, mereka mendahuluinya berbuat ganas. Dan ketika lawan terpekik dan tertegun melihat cakar harimau putus di tangan mendadak sinar pedang di tangan Kao Sin membalas empat leher lawannya dalam jurus maut itu.

“Suheng, jangan membunuh....!”

Seruan itu menyelamatkan jiwa Empat Harimau ini. Mereka tak mungkin mengelak, gerak pedang terlampau cepat bagi mereka, sinarnya berkeredep menyilaukan mata. Tapi begitu Kao Sin terkejut oleh bentakan Beng An dan otomatis mengurangi tenaga maka pedang menyentuh lemah menggores kulit leher lawan.

“Cret-cret-creet...!”

Empat Harimau itu terguling. Mereka terkejut mengeluh tertahan, kulit leher mereka terluka, tidak dalam namun mengucurkan darah. Itulah berkat kemurahan lawan. Dan ketika Kao Sin tegak di depan mereka dengan muka menahan marah maka Beng An berkelebat ke atas panggung menegur Empat Harimau ini.

“Sin-houw (Empat Harimau), tak diperkenankan sekali pun mempergunakan senjata rahasia disini. Kalian melanggar peraturan, enyahlah!”

Empat Harimau itu malu. Kegirangan dan kesombongan mereka mendadak padam, mereka memang kalah, juga salah. Kalau putera Hu Beng Kui ini tak membentak suhengnya untuk tidak melakukan pembunuhan tentu mereka sudah terkapar tak bernyawa. Jurus maut dari pedang di tangan lawan tadi terlampau hebat. Mereka tiba-tiba gentar. Maka ketika Beng An menegur mereka dan menyuruh mereka enyah tiba-tiba Empat Harimau ini menunduk dan beringsut bangun, turun dan pergi meninggalkan panggung dengan malu tak terhingga besarnya. Mereka telah pecundang.

Dan begitu Empat Harimau ini pergi menelan kekalahan mereka mendadak penonton bersorak memuji kemenangan Kao Sin. Untuk kedua kali mereka melihat kelihaian ilmu pedang pemuda itu, tak sampai dua tiga jurus lawan dibuat roboh. Benar-benar hebat Giam-lo Kiam-sut itu. Dan ketika Empat Harimau pergi dan penonton masih gaduh dengan suara mereka maka Beng An mengundang Bi-ciam Sian-li yang sejak tadi memandang pertempuran di atas, menyuruh mereka itu naik. Dua wanita ini melayang ke panggung lui-tai. Tentu saja sorak penonton seketika berhenti dan mereka mendecah melihat peristiwa menarik ini. Baru kali ini ada penantang wanita cantik!

Dan ketika dua wanita itu sudah di atas dan mereka tersenyum memandang Beng An maka pemuda ini menjura berseru nyaring, “Ji-wi lihiap (dua wanita gagah), pertandingan pertama telah berakhir. Ji-wi (kalian berdua) tetap menghadapi Kao Sin-suheng. Siapkah kalian?”

“Kami siap, kongcu,” seorang di antara mereka berseru merdu. “Tapi apakah saudara Kao Sin tak terlalu capai?”

“Hm,” Beng An mengerutkan keningnya. “Kukira tidak, nona. Suhengku dapat bertempur dua tiga jam tanpa beristirahat, kami sudah terbiasa. Kalau nona siap silahkan maju, tapi kuperingatkan di sini bahwa tak diperkenankan mempergunakan senjata gelap dalam pibu yang bersifat persahabatan ini!”

“Kami tahu,” si cantik kembali tersenyum. “Dan kami akan mematuhi peraturan, kongcu. Kami siap merobohkan suhengmu!”

Beng An melayang turun. Kedip dan sinar mata Bi-ciam Sian-li mengharuskan dia cepat-cepat meninggalkan lawan. Dua wanita cantik itu rupanya menaksir, Beng An menekan guncangannya dan sang adik tersenyum. Pandang mata adiknya itu jelas menggoda, pemuda ini mendengus. Dan ketika mereka memandang ke atas dan Bi-ciam Sian-li sudah berhadapan dengan Kao Sin maka Kao Sin tiba-tiba tergetar dan gugup menerima kata-kata seorang di antara mereka, yang rambutnya disanggul, rupanya sang adik,

“Saudara Kao Sin, sudah siapkah kau melayani kami. Kami datang untuk merobohkanmu, bersiaplah!”

Kao Sin mengangguk, gugup. “Ya, majulah, nona. Aku sudah siap!”

“Dan kau menyimpan pedangmu lagi? Ayo keluarkan, kami ingin melihat jurus-jurus maut dari Giam-lo Kiam-sut!”

“Aku akan mengeluarkan kalau diperlukan, nona. Sebaiknya kalian maju dan seranglah aku, kalian boleh mempergunakan senjata,” Kao Sin sudah menenangkan hatinya, berhasil memantapkan perasaan dan kini bersiap-siap di depan dua wanita cantik itu. Dia terpaksa harus selalu melengos kalau bertatap langsung dengan si cantik yang bersanggul. Entah kenapa dengan yang ini jantungnya berdebar-debar dan ketika dua wanita itu tersenyum dan saling pandang mendadak yang satunya mundur dan yang bersanggul menghadapi Kao Sin!

“Sin-twako, enciku bilang biar aku duluan menghadapimu. Kita bertanding satu lawan satu!”

“Apa?” Kao Sin terkejut. “Kalian tidak maju berdua?”

“Kami bukan sejenis pengeroyok, twako. Kalau kau hanya seorang tentu kami pun juga maju seorang.”

“Ah....!” dan Kao Sin yang kembali terguncang melihat senyum si cantik itu mendadak bengong dan melongo di tempat. Tak disangkanya sama sekali bahwa Bi-ciam Sian-li hanya maju seorang. Celakanya, yang maju itu pun yang mengguncang perasaannya. Kao Sin kalut, mendadak dia menggigil dan tidak keruan.

Si cantik memandangnya heran dan penonton tiba-tiba tertawa. Mereka merasa lucu oleh sikap Kao Sin. Dan ketika Kao Sin panas dingin dan gemetar tanpa sebab sekonyong-konyong enci si cantik yang bersanggul ini melompat turun.

“Siu Loan, jangan buat lawanmu bengong!”

Gadis ini tertawa. Ternyata dia bernama Siu Loan, Kao Sin sadar dan penonton pun riuh. Beng An di bawah panggung menjadi geli dan ikut tertawa pula. Dan ketika suhengnja tersipu dan Siu Loan terkekeh merdu Beng An berseru dari bawah,

“suheng, jangan mendelong lagi. Lawan siap menghadapimu...!”

“Eh-oh... ya-ya!” Kao Sin terkejut, merah seperti kepiting direbus. “Kau majulah, nona. Aku siap menghadapimu!”

“Tapi kau harus mengganti baju, keringatmu kecut!”

Penonton tiba-tiba terbahak. Kata-kata yang diucapkan Siu Loan ini tidak bermaksud menggoda, gadis itu bicara sewajarnya, tapi karena disuarakan nyaring dan semua orang mendengar tiba-tiba panggung seakan runtuh oleh tawa bergelak para penonton.

Kao Sin tak keruan rupanya tapi sesosok bayangan berkelebat ke atas. Dialah Cun Li, murid keempat si jago pedang. Rupanya Cun Li membawa baju baru, tahu kekikukan sang sute di panggung lui-tai dan segera menyerahkan ba|u pengganti itu. Dibantu Cun Li pemuda ini melepas bajunya yang kotor, memang penuh keringat dan debu, tak heran karena Kao Sin sudah menghadapi Empat Harimau dalam pertandingannya tadi. Dan ketika baju dilepas dan Kao Sin tampak bidang dengan dada telanjang tiba-tiba Siu Loan melengos dan penonton pun gemuruh.

“Aih, jantan. Pemuda yang energik!”

Siu Loan tersipu merah. Dialah yang menjadi gara-gara hingga Kao Sin harus mengganti baju, tentu saja di atas panggung karena tak perlu turun kalau hanya mengganti baju saja. Kao Sin seorang lelaki, lain dengan perempuan yang harus “bersembunyi” kalau ganti baju. Dada telanjang ditonton pun tak apa-apa. Dan ketika Kao Sin selesai dan Cun Li tersenyum melayang turun maka Kao Sin mengucap terima kasih pada suhengnya itu.

“Suheng, terima kasih!” dan menghadapi Siu Loan yang sudah bersemu merah memandangnya, pemuda ini membungkuk. “Nona, mari....!”

Siu Loan tertegun. Untuk sejenak dia kagum. Setelah berganti baju begini Kao Sin tampak lebih tampan, atau barangkali matanya tadi yang kurang jeli. Pemuda ini lebih gagah dan menarik. Tapi begitu lawan mempersilahkannya menyerang tiba-tiba Siu Loan tersenyum dan berkata lirih, “Baiklah, awas saudara Kao Sin, aku tak mencabut senjataku pula kecuali diperlukan....”

“Siuutt!” dan kaki yang bergerak dari bawah ke atas menuju dagu pemuda itu tiba-tiba menendang, dan membuat Kao Sin terkejut, mengelak dan kaki lain tiba-tiba mengganti, dua kali gadis itu memutar pinggang dan dua tendangan pun melayang ke tubuh Kao Sin. Tapi karena Kao Sin dapat mengelak dan berturut turut dua tendangan itu gagal mendadak Siu Loan membentak menerjang maju.

“Awas, wut-wutt....” dua lengan itu mulai bekerja, menampar dan memukul dan tiba-tiba gadis ini pun berputaran. Kao Sin melihat kecepatan bergerak dalam setiap gerakan itu. Dan ketika lawan dibantu kakinya dan kini tendangan serta tamparan bertubi menghujani pemuda ini maka Kao Sin berloncatan ringan mengelak dan menangkis, mulai merasakan bahwa di samping. cepat ternyata gadis itu pun memiliki tenaga yang kuat. Kaki atau tangan yang bertemu dengan tangkisannya tak terpental, bukti bahwa gadis ini memiliki sinkang dan ginkang yang tak boleh diremehkan.

Dan ketika lawan penasaran dan Kao Sin hanya menangkis serta mengelak tiba-tiba gadis itu membentak mengeluarkan jurus-jurusnya yang aneh. mematuk dan menerkam mirip gerakan rajawali. Semua serangannya tertuju ke bagian tengah. Berkali-kali Kao Sin nyaris tersambar oleh tangan lawan yang cepat. Dan ketika jurus demi jurus dilancarkan cepat dan perkelahian semakin seru tiba tiba Kao Sin melihat dua titik air mata di mata lawan yang penasaran belum sekali pun mendaratkan pukulannya di tubuh Kao Sin.

“Ayo balas, jangan menangkis alau mengelak saja!”

Kao Sin tergetar. Tiba-tiba perasaannya terasa luluh oleh isak si gadis, gadis itu marah dan Kao Sin bingung. Entah bagaimara dia tak tahan oleh titik air mata itu. Si nona rupanya ingin mendaratkan satu dua pukulan ke tubuhnya. Dan karena dia tak tahan dan Kao Sin sudah terguncang sejak pertama mereka bertemu pandang mata secara aneh dan tiba-tiba mendadak pemuda ini bersikap ayal-ayalan dan mulai memberikan tubuhnya untuk digebuk!

“Buk-bukk!”

Kao Sin mulai terhuyung. Dia menerima bulan bulanan pukulan, satu demi satu penonton juga tertegun melihat pemuda itu mulai jatuh bangun. Kao Sin tak mengerahkan sinkangnya dan sengaja menerima semua pukulan hingga tubuhnya matang biru, si gadis terkejut karena Kao Sin yang dilawan ini berbeda dangan Kao Sin yang tadi melawan Empat Harimau itu. Lemah dan tampak lelah. Tentu saja dia girang dan mendaratkan pukulannya bertubi-tubi.

Tak ada seorang pun yang tahu kecuali Beng An dan saudara-saudaranya bahwa ini posisinya tidak wajar, Kao Sin menunjukkan kelambanannya yang tentu saja membuat kening Beng An dan suheng suhengnya berkerut. Mereka tak tahu apa maksud pemuda itu, tak menyangka sama sekali bahwa Kao Sin ingin menggembirakan lawan. Isak si nona yang pembuat perasaannya luluh itu tak dapat ditahan pemuda ini. Maka ketika pukulan demi pukulan menghujani pemuda itu dan Kao Sin berkali kali mengeluh tiba-tiba pemuda ini terlempar keluar panggung ketika satu tendangan miring mengenai pinggangnya.

“Dess!” Kao Sin terguling-guling. Penonton seakan tak percaya menyaksikan kejadian ini. Kao Sin, jago yang dijagokan ternyata roboh. Pemuda itu kalah. Tapi begitu mereka sadar dan sesosok bayangan meloncat ke atas panggung memuji kemenangan Siu Loan mendadak penonton bersorak karena tak menyangka sama sekali, heran dan kagum.

“Loan-moi (adik Loan), kau menang...!” Itulah bayangan Bi-ciam Sian li yang lain. Gadis yang menjadi enci Siu Loan ini mengangkat adiknya, di atas panggung dia, berteriak girang. Penonton menyambut dan panggung pun akan roboh ditimpa sorak penonton. Dan ketika Siu Loan memeluk encinya menyambut dengan gembira maka di bawah panggung, di mana Beng An dan saudara-saudaranya berada sudah melompat mendekati Kao Sin.

“Suheng, kau bertempur tidak Sungguh-sungguh! Kau memalukan kami! Apa maksudmu in!“

“Ya, kau banyak mengalah kepada gadis itu, suheng. Apa artinya ini dan kenapa kau sengaja memberi kemenangan?” Swat Lian pun tak habis mengerti.

“Maaf,” Kao Sin menunduk, mukanya merah. “Aku... aku memang tak dapat menghadapi lawanku itu, sumoi. Aku menyerah saja dan biar suheng suheng yang lain yang maju.”

“Kenapa begitu? Apa artinya ini?”

“Aku tak dapat menjelaskan, sute. Tapi aku benar-benar tak dapat menghadapi gadis itu.”

“Kalau begitu kau memalukan kami. Penonton bisa salah paham dengan kejadian ini!”

Tapi sementara Beng An marah-marah mendadak suara dari jauh menegur mereka, “Beng An, tak perlu marah. Kao Sin sedang jatuh hati kepada gadis itu. Biarlah yang lain maju dan aku dapat mengerti perasaan suhengmu!“

“Suhu....!” Kao Sin terkejut, cepat menoleh dan melihat bayangan suhunya berkelebat di dalam rumah. Mukanya tiba-tiba semburat dan merah seperti kepiting direbus. Kiranya Hu Beng Kui mengetahui tepat perasaan muridnya ini.

Pendekar itu tertawa. Dari ketika Kao Sin mendengar tawa suhunya yang lembut maka dia dipanggil suhunya itu, “Kao Sin, kau ke mari!”

Beng An dan saudara-saudaranya tertegun. Tiba-tiba mereka tersenyum geli, Kao Sin sudah bangkit berdiri dan memenuhi panggilan gurunya. Kiranya Hu Beng Kui diam-diam memperhatikan jalannya pertandingan di luar dengan seksama. Jago pedang itu memang tidak muncul. Dan ketika Kao Sin menghadap ayahnya dan Swat Lian terkekeh tiba-tiba gadis ini berseru, “Ih, kalau begini celaka, koko. Kao Sin-suheng tak mungkin membantu kita kalau disuruh melawan pujaannya!”

“Benar,” Beng An tersenyum geli. “Dan barangkali ayah akan mendampratnya di dalam, Lian moi. Biarlah dia rasakan dan kita harus melanjutkan pertandingan ini!” dan melompat ke atas menghentikan tepuk penonton Beng An sudah menghadapi Siu Loan yang masih berpelukan dengan encinya.

“Nona, kau menang. Tapi ini masih babak pertama. Sanggupkah kau melanjutkan pertandingan berikut sebagai babak peningkatan?”

“Hmm, mana saudara Kao Sin?” Siu Loan heran. “Kenapa dia tak muncul?. Aku agak aneh dengan kemenanganku!”

Beng An tersenyum. Mendengar kata-kata ini tiba-tiba dia merasa suka dengan si nona, ternyata gadis ini pun merasa ketidakwajaran itu dan tidak merasa sombong, menanyakan suhengnya dan mencari sana-sini. Tapi karena suhengnya masuk ke dalam dipanggil ayahnya maka Beng An menjawab pendek, “Dia dipanggil ayahku, barangkali harus mempertanggungjawabkan kekalahannya ini. Apakah nona siap untuk melanjutkan pibu berikut?”

Siu Loan seakan tak mendengar pertanyaan terakhir. “Dipanggil ayahmu. Harus mempertanggungjawabkan kekalahannya?” mukanya pucat.

“Ya, ada apakah, nona? Bukankah itu wajar?” dan heran memandang gadis Beng An mengulang pertanyaannya, “Nona, siapkah kau menghadapi pertandingan berikut? Masih ada enam orang lagi yang akan mengujimu sebelum kau berhadapan dengan ayahku pribadi!”

“Tidak!” gadis ini tiba-tiba melayang turun. “Aku lelah, kongcu. Biar enciku saja yang menggantikan aku!” dan sementara encinya terbelalak melihat sang adik menghilang di samping panggung maka Beng An dan gadis di atas panggung itu tertegun.

“Ke mana adikmu?”

“Barangkali mencari Kao Sin!”

“Untuk apa?”

“Hm, mana aku tahu. kongcu? Adikku memang aneh, tapi sebentar tentu dia kembali. Sudahlah, aku mewakili adikku dan aku siap di sini!”

Beng An terkejut. Tiba-tiba dia sadar bahwa penonton di bawah panggung menanti pertandingan berikut, mereka mulai berteriak agar pibu dilanjutkan. tentu saja heran akan lenyapnya Siu Loan namun sang adik sudah mewakilkan pada sang kakak. Kini perhatian tertuju ke atas panggung dan Beng An menarik napas.

Dan ketika suara teriakan mulai terdengar di sana-sini dan Beng An mengangkat tangannya maka dia berseru, “Cuwi (tuan-tuan sekalian), harap tenang. Pibu memang akan dilanjutkan. Sekarang nona ini menggantikan adiknya menghadapi kami. Kami tampilkan Cun Li suheng untuk melayaninya!” dan memanggil suhengnya ke atas panggung akhirnya Cun Li berkelebat datang.

“Nah, ini musuhmu, nona. Suhengku nomor empat, Cun Li!”

Cun Li memberi hormat. Empat mata tiba-tiba beradu, Cun Li dan gadis di atas panggung sama-sama tertegun. Mereka bertatap pandang mata dan gadis itu lebih dulu menunduk. Mengalihkan perhatiannya tiba tiba dia menggigil, entah kenapa sekonyong-konyong gadis ini berdebar. Cun Li yang tinggi tegap dengan kesan sedikit kurus itu nampak berwibawa, gagah dan tidak kalah dengan Kao Sin. Dan ketika Beng An meloncat turun dan Cun Li menjura di depannya maka untuk pertama kali gadis itu mendengar suara lawan yang serak-serak bergetar,

“Nona, aku mewakili suhuku melayani setiap penantang. Silahkan mulai, aku memberi kesempatan padamu tiga jurus pertama!”

Gadis itu bersinar-sinar. “Kita bertangan kosong?”

“Kau boleh bersenjata, nona. Keluarkan jarummu di balik baju itu!”

“Ah!” gadis ini terkejut “Kau tahu?”

“Ya, aku melihatnya, nona. Silahkan cabut dan mulailah, seranglah aku!”

Gadis itu tiba-tiba mencabut senjatanya. “Namaku Siu Cing,” katanya lirih. “Dan aku akan mencoba merobohkanmu sebelum berhadapan dengan Hu-taihiap!”

“Mulailah” Cun Li tersenyum, segera mengenal nama lawan. “Kau boleh mulai tiga jurus pertama, nona Siu. Aku memberi kesempatan padamu kalau kau bisa mengalahkan aku!”

“Tentu, aku akan mencoba... wuut!” dan jarum yang berkelebat di depan main tiba-tiba meluncur dan menyambar tenggorokan Cun Li. Dielak dan sudah menyambar lagi dua kali berturut-turut ke dada dan pusar. Cun Li mengagumi kecepatan lawan dan terpaksa meloncat tinggi dan ketika lawan mengejar dan jarum menusuk telapak kakinya tiba-tiba Cun Li membentak melakukan tendangan dengan lutut terlipat.

“Plak!” jarum terpental, gadis berseru kaget dan Siu Cing tiba-tiba berseru keras. Lengannya yang tergetar oleh tangkisan tadi membuat gadis ini penasaran, pinggang meliuk dan kaki pun bergerak dari bawah, menendang dengan posisi empat puluh derajat ke dagu Cun Li. Hebat dan indah sekali. Dan karena gerakan gadis itu cepat bertubi-tubi dan Cun Li memuji kagum maka pemuda ini mengembangkan lengan kanannya mengibas tendangan kaki, jarum segera mencuat ketika kaki terprntal. Lawan sudah melengking aneh dan berkelebatan mengitari Cun Li. Dan ketika Cun L i mengelak dan menangkis sana sini maka tubuh sinona tiba-tiba lenyap mengelilingi pemuda ini.

“Bagus, hebat nona, indah sekali!”

Siu Cing tak menghiraukan pujian. Dia sudah melakukan tusukan dengan jarum di tangannnya, menusuk dan menyelinap seperti orang menjahit. Mula mula Cun Li bingung. Gerakan jarinya melingkar lingkar mencari lubang, dua kali Cun Li tertusuk namun si nona terkejut. Jarum membal bertemu sinkang yang melindungi tubuh pemuda itu, hebat sekali. Dan ketika Siu Cing kagum melihat lawan memiliki kekebalan yang mampu menolak tusukan jarumnya maka gadis itu pun membantu serangannya dengan tendangan kaki kanan tadi yang mencuat menari-nari.

Penonton kagum. Mereka disuguhi tontonan menarik. Sekarang mereka melihat murid yang lebih lihai dari Hu-taihiap maju. Cun Li banyak melakukan tamparan menolak serangan lawan, juga mendemonstrasikan kekebalan sinkangnya yang mampu menolak jarum, sama sekali belum membalas. Siu Cing penasaran dan merah mukanya. Dan ketika dia membentak menyuruh pemuda itu membalas tiba-tiba seperti adiknya tadi gadis ini menitikkan air mata yang membuat Cun Ll terkejut.

“Ayo balas, jangan menangkis saja!”

Cun Li tergetar. Melihat dua titik air mata mendadak dia lemah, apalagi melihat bibir yang digigit kuat-kuat menahan gemas. Ah, betapa lembutnya bibir itu. Betapa lunaknya. Cun Li tiba-tiba melamun. Air mata dan bibir yang lunak-lembut membuat pemuda ini meleng, konstrasinya pecah. Dua kali jarum berkelebat dan baju pun robek. Cun Li terkejut dan segera sadar. Dan ketika dia terhuyung di maju mundur untuk melakukan balasan sekonyong-konyong kaki si nona menyambar pundaknya, dalam, satu tendangan tinggi.

“Dess!” Cun Li terpelanting. Untuk pertama kalinya dia roboh, cepat melompat bangun dari si nona berkelebat mengejanya. Dia menangkis dan si nona pun terdorong. Dan ketika gadis itu membentak marah dan menyuruh dia membalas maka Cun Li menghela napas dan tiba-tiba berbisik, “Tidak, aku tak dapat melakukannya, nona. Silahkan kau menyerang dan biar aku bertahan sampai aku atau kau roboh sendiri.”

“Apa maksudmu?”

“Tak apa-apa, hanya aku merasa tak sampai hati.”

“Ah...!” dan si nona yang terguncang oleh pandangan lembut lawannya tiba-tiba gugup dan melengos, melanjutkan serangan-serangan tapi sekarang ia gelisah. Cun Li mulai melancarkan tatapannya yang mesra, tentu saja gadis ini gugup dan bingung. Dan ketika dia tak keruan diguncang perasaannya oleh Cun Li dan terisak ditahan maka di tempat lain, di mana Siu Loan melayang turun dari panggung ternyata benar gadis ini mencari Kao Sin.

Apa dipikir? Apa yang mau dilakukan. Memang aneh. Siu Loan sudah merasa bahwa kemenangannya tadi tidak wajar, ada sesuatu yang diberikan lawan. Kao Sin banyak mengalah dan pemuda ini pun belum mengeluarkan Giam-lo Kiam-Sutnya. Padahal ia melihat betapa hebatnya Ginm-lo Kiim-sut itu. Sekali pedang keluar dari sarungnya maka korban pun jatuh. Dia belum merasakan semuanya itu dan lawan keburu roboh. Kao Sin terlempar keluar panggung setengah disengaja pula. Ini membuatnya heran. Tapi karena kejadian di atas pinggung dilihat orang banyak dan secara gampang Kao Sin dinyatakan kalah maka Siu Loan pun girang meskipun juga bercampur tidak mengerti.

Hu Beng Kui, yang murid-muridnya terkenal ternyata sudah ia robohkan seorang, tinggal yang lain dan ia akan berusaha. Tapi begitu mendengar lawannya dipanggil si jago pedang itu dan Kao Sin mungkin mendapat hukumun atas kekalahannya itu, mendadak gadis ini merasa tak enak. Apa yang akan dilakukan Hu Beng Kui terhadap Kao Sin? Akan di apakankah pemuda itu. Maka gelisah dan cemas memikirkan Kao Sin. gadis ini berbuat nekat dan menyelinap ke dalam tanpa ijin!

Itulah yang dilakukan Siu Loan. Dia tak tahu bahwa diam-diam sesosok bayangan lain mengikuti, bayangan ramping yang bergerak ringan di belakangnya, bayangan Swat Lian. Gadis ini mendapat perintah kakaknya agar mengamati gerak-gerik Siu Loan. Tentu saja Beng An tak membiarkan rumahnya dimasuki begitu saja. Swat Lian mengangguk dan sudah mengikuti Siu Loan ini. melihat gadis itu memasuki rumahnya dan celingak celinguk ke sana-sini, mencari-cari. Dan ketika gadis itu melompat ke samping dan terdengar percakapan di dalam rumah maka dia mengintai dan melihat Kao Sin berlutut di depan seorang laki-laki gagah setengah baya. Agaknya inilah Hu Beng Kui, pikirnya.

“Kao Sin, kenapa kau membuat malu aku dengan kekalahanmu tadi?” begitu mula-mula Siu Loan mendengar percakapan.

“Maaf.” Kao Sin menunduk. “Teecu tak tahu kenapa begitu, Suhu. Tapi teecu benar-benar tak mampu menghadapi gadis itu.”

“Tapi kau tidak bersungguh-sungguh, kau kehilangan semangat!”

“Itulah, teecu kehilangan semangat, suhu. Teecu mengaku salah dan siap menerima hukuman."

“Hm!” Hu Beng Kui yang kini dikenal Siu Loan itu mengangguk. “Kau memang harus menerima hukuman, Kao Sin. Dan hukuman itu adalah membawa gadis itu ke mari!”

“Mau diapakan?” Kao Sin terkejut, tiba-tiba mengangkat mukanya. “Dia tak bersalah apa-apa, suhu. Yang bersalah hanyalah teecu!”

“Ya aku tahu. Karena itu kuperintahkan padamu untuk membawa gadis itu kemari. Kao Sin. Aku mau kau bertempur lagi dan robohkan dia di sini dengan pedangmu!”

“Tidak!” Kao Sin tiba-tiba mengeluh. “Teecu tak dapat melakukannya, suhu. Ilmu pedang kita adalah ilmu pedang ganas yang sekali mencabut pedang tentu korban pun roboh!”

“Kau membantah?” Hu Beng Kui membentak. “Ini perintah, Kao Sin. Atau aku akan menyuruh yang lain menyeret gadis itu dan membunuhnya di sini!”

“Tidak... jangan...!” Kao Sin tiba-tiba menangis. “Jangan lakukan itu, suhu. Jangan. Kalau suhu bersikeras biarlah teecu yang menyerahkan jiwa sebagai penggantinya... srat!” pemuda itu mencabut pedang, menggigil dan pucat memandang gurunya.

Hu Beng Kui tertegun. Tapi tersenyum mengejek melihat kelakuan muridnya. Pendekar ini bertanya, “Kau mau apa?”

“Teecu... teecu hendak menyerahkan jiwa, suhu. Kalau suhu bersikeras ingin membunuh gadis itu!”

“Kau membelanya?”

Kao Sin tertegun.

“Kau mencintainya? Hm....!” jago pedang ini tertawa mengejek. “Kalau begitu kau mencintainya, Kao Sin. Kalau begitu aku yang akan membunuhmu karena kau telah membuat malu nama keluarga Hu dengan membiarkan diri kalah di tangan gadis itu... wutt...!” Dan Hu Beng Kui yang merampas pedang siap menebas leher muridnya, tiba-tiba mendapat bentakan dan luar di mana sesosok bayangan melompat masuk.

“Hu-taihiap, tahan. Jangan bersikap kejam!” dan Siu Loan yang menerjang melepas jarumnya tiba-tiba menyambitkan senjatanya itu ke pedang Hu Beng Kui, kaki bergerak dan dua tendangan pun menyambar tubuh si jago pedang ini.

Hu Beng Kui terkejut tapi tertawa dingin, menangkis. Dan ketika jarum runtuh sementara gadis itu pun juga terpelanting oleh kibasan pendekar ini maka Hu Beng Kui mendengus bersikap bengis. “Bocah, kau datang kemari? Bagus, aku tak usah mencarimu lagi tapi terangkan apa artinya ini dan kenapa kau lancang masuk!”

Siu Loan tegak melompat bangun. Dia kaget mengusap keringat, matanya melirik Kao Sin, gemetar. Tapi berseru gagah menuding pemuda itu dia berkata, “Kau tak boleh membunuhnya!”

“Kenapa? Dia muridku!”

“Benar, tapi ini sewenang-wenang, Hu-taihiap. Kau tak boleh membunuhnya dan titik!”

“Eh, kau lancang mencampuri urusan orang lain?” Hu-taihiap membentak marah. “Atas dasar apa kau melarangku menghukum murid sendiri. Bocah, ini rumahku. Coba terangkan kenapa kau membelanya dan menghalangi aku!”

Siu Loan gugup mendapat pertanyaan begitu mendadak ia bingung. Ya, atas dasar apa dia membela Kao Sin? Atas dasar apa dia menghalangi Hu Beng Kui? Karena Kao Sin menyatakan cinta kepadanya? Siu Loan merah dan semakin gugup. Terus terang ia sendiri juga tak tahu kenapa dia membela Kao Sin. Kenapa perasaannya begitu tercekam ketika Hu Beng Kui hendak membunuh pemula itu. Perasaannya bergolak. Ada perasaan marah dan gusar di hatinya melihat Hu Beng Kui hendak membunuh muridnya hanya karena Kao Sin mencintainya.

Ada semacam perasaan tidak puas. Siu Loan tiba-tiba memandang Kao Sin dan dia tergetar melihat pemuda itu tersenyum kepadanya. Pandangan mata Kao Sin begitu lembut, begitu mesra. Siu Loan tergetar dan tiba-tiba terisak. Dan ketika Hu Beng Kui bertanya lagi kepadanya kenapa ia membela pemuda itu maka Siu Loan mengedikkan kepala membusungkan dada.

“Aku membelanya demi perikemanusiaan. Aku membelanya karena ia tak bersalah!”

“Hm!” Hu Beng Kui tertawa mengejek. “Dia jelas bersalah, nona bukannya tidak. Dia bersalah karena membuat malu namaku, dia tak melawanmu sungguh-sungguh!”

“Kalau begitu pertandingan boleh diulang. Aku siap melawannya lagi!”

“Muridku yang tak mau, dia menyatakan tak sanggup!” lalu menghadapi muridnya pendekar ini membentak, “Kao Sin, tak dapatkah kau melawan gadis ini? Benar-benarkah kau tak memiliki semangat?”

“Maaf,” Kao Sin menjatuhkan diri berlutut. “Teecu benar-benar tak sanggup, suhu. Teecu tak mampu menghadapi nona ini.”

“Kenapa?”

Kao Sin tertegun.

“Hayo, jawab. Kau seorang laki-laki gagah, bukan banci!”

Kao Sin semburat, menunduk, berkata lirih, “Karena teecu mencintainya, suhu. Teecu mencintai gadis ini!”

Siu Loan sekarang terang-terangan mendengar pernyataan ini. Tadi dia masih bersembunyi di luar. Sekarang dia mendengar pengakuan si pemuda dan tiba-tiba mukanya pun tak kalah merah dengan Kao Sin. Hu Beng Kui telah memaksa muridnya untuk mengaku di depan gadis itu. Kao Sin menyambarkan sudut matanya dan Siu Loan berdegup. Jantung di dalam dada seakan terloncat keluar mendengar kata-kata pemuda itu. juga sambaran matanya yang begitu mesra. Siu Loan tiba tiba mengeluh. Dan ketika gadis itu terhuyung dan Hu Beng Kui tertawa mengejek maka pendekar pedang ini mendengus.

“Nah... kau dengar, nona. Terhadap musuh, muridku ini berani jatuh cinta. Dia harus menerima hukumannya atau....”

“Tidak” Siu loan pucat, melihat Hu Beng Kui mau menggerakkan pedangnya lagi. “Kau tak boleh membunuhnya, Hu-taihiap. Atau kau bunuh aku lebih dulu....wuut!" Dan Siu Loan yang tegak melindungi pemuda itu dengan mata berapi api tiba-tiba menangis. “Hu-taihiap sumpah demi segala dewa kau tak boleh membunuh pemuda ini. Dia... dia tak bersalah. Cintanya tak bersalah!”

“Eh!?” Jago pedang itu terkejut. “Apa maksudmu, nona? Kau maksudkan bahwa kau bukan musuh muridku? bahwa kau tidah marah mendengar pengakuan cintanya?”

“Tidak... tidak, dia tak bersalah!” Siu Loan berseru. “Aku memang bukan musuhnya, Hu-taihiap. Kalau kau menyatakan muridmu salah karena mencintai musuh, maka pernyataanmu tidak benar. Aku bukan musuh. Aku... aku suka dan ingin bersahabat dengan muridmu!”

Hu Beng Kui tertegun. “Kau tidak bohong?”

“Tidak!”

“Kalau begitu kau menerima cintanya?”

Siu Loan sukar menjawab. Untuk ini tentu saja dia jengah, rasa malunya luar biasa hebat. Pertanyaan itu serasa todongan pedang tajam yang menghunjam langsung, mukanya berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat. Dan ketika gadis itu tak menjawab karena bingung dan gugup menerima pertanyaan Hu Beng Kui maka pendekar ini mengejek.

“Bocah, aku akan mengampuni muridku kalau kau menerima cintanya. Dengan begini berarti dia bukan jatuh cinta kepada musuh. Tapi kalau kau menolak dan muridku jelas bersalah maka aku akan menghukum sesuai peraturanku.... Singg!” Pedang itu digerakkan lagi, mendengung dan bergetar di tangan Hu Beng Kui.

Siu Loan terkesiap mendengar suara pedang yang mengerikan itu, melihat Hu Beng Kui siap menghukum muridnya dengan dagu yang keras. Wajah jago pedang itu tampak bengis. Dan karena satu-satunya jalan hanya ia harus menerima cinta pemuda itu kalau menginginkan Kao Sin selamat tiba-tiba Siu Loan mengangguk dan berkata menangis, “Ya, aku menerima!”

Hu Beng Kui tiba-tiba pecah tawanya. Jago pedang ini bergelak sampai Siu Loan terkejut Kao Sin melompat dan tiba-tiba memeluknya. Entah kegirangan apa yang membuat pemuda itu seperti lupa diri. Kao Sin berseru menyebut kekasihnya. Dan ketika Siu Loan tertegun dan pemuda itu menyebutnya “Loan-moi” (Adinda Loan) maka Hu Beng Kui melempar pedang berseru meninggalkan sepasang muda mudi ini,

“Kao Sin, berhasil. Kau telah mendapatkan kekasihmu!” dan sementara Siu Loan bengong dan Kao Sin memeluknya gembira maka pemuda ini pun berbisik lembut, “Loan-moi. Jangan marah. Suhu hanya bersandiwara saja untuk mengujimu yang mengintai di luar tadi.”

“Ah, Hu-taihiap tahu?”

“Tentu, suhu sudah tahu kedatanganmu, Loan-moi. Beliau sengaja menguji dan pura-pura saja mau menghukum aku!”

“Ihh” gadis itu tiba-tiba meronta. “Kalau begitu kalian mempermainkan aku. Sin-ko. Aku, ah.... tahu aku sekarang. Kau dan gurumu rupanya menguji aku tak tanggung-tanggung, terlalu!”

Dan Siu Loan yang terisak melepaskan diri tiba-tiba berkelebat dan memaki-maki Kao Sin. Tentu saja sekarang dia “mendusin” bahwa semua kejadian di dalam ruangan tadi sudah diatur. Hu Beng Kui tak sungguh-sungguh dan ia pun terjebak. Kini terang-terangan ia menyatakan menerima cinta pemuda itu. Siu Loan malu dan gemas. Kalau tahu begini barangkali ia tak muncul. Sialan!. Tapi ketika ia tiba di luar pintu dan sesosok bayangan menyambar lengannya tiba-tiba Swat Lian tertawa geli berkata,

“Adik Siu Loan, selamat. Ayah dapat meresmikan kalian di atas panggung!”

Siu Loan terkejut. Sekarang dia semakin kaget lagi karena putri Hu Beng Kui ini ternyata diam-diam berada di belakangnya, menguntit tanpa diketahui. Sadarlah dia bahwa memasuki rumah jago pedang ini sama dengan memasuki sarang harimau, tak mungkin yang masuk bisa lolos dari pengamatan penghuninya. Dan ketika Swat Lian menyambar lengannya dan tertawa menggoda mendadak gadis ini melepaskan diri melihat Kau Sio menyusul.

“Kalian terlalu, curang....” gadis itu menangis, segera berlari pergi tapi Swat Lian tidak mengejar. Kao Sin lah yang mengejar dan berseru menangkap gadis itu. Dan ketika Swat Lian terpaksa melengos karena Kao Sin menangkap dan memeluk gadis itu dengan mesra maka Siu Loan sudah dibujuk dengan kata-kata lembut.

“Loan-moi, maafkan kami semua. Akulah yang membujuk suhu. Suhu tak bersalah. Aku yang bersalah karena semua sandiwara itu aku yang membuat!”

“Kau...?”

“Ya, terpaksa, Loan-moi. Aku ingin tahu apakah kau menerima cintaku atau tidak. Aku menyuruh suhu membantu dan ternyata berhasil. Aku bahagia. Maafkan aku, Loam-moi sekarang aku mendapatkan kekasihku dan suhu akan ku minta mengumumkan perjodohan kita di panggung lui-tai....”

Dan sementara Siu Loan bengong dengan semua kata-kata pemuda itu tiba-tiba Kao Sin menundukkan mukanya dan mencium bibir yang lunak hangat itu.

“Ih!” Siu Loan meronta. “Lepaskan, Sin-ko. Lepaskan. Ada sumoimu di sana!”

Kao Sin terkejut. Dia melihat sumoinya tertawa di sana, seketika iapun jengah. Tapi ketika sumoinya melompat pergi dan ia mau menyambar kekasihnya mendadak Siu Loan pun berkelebat meninggalkannya. “Hei, tunggu, Loan-moi. Tunggu...!”

Siu Loan pura-pura tak mendengar. Ia sebenarnya mendongkol tapi juga bahagia menerima pemuda itu, menjadi kekasih dan kelak mantu murid Hu Beng Kui. Bukan main keberuntungannya ini. Tapi malu dan gemas Kao Sin menciumnya di dekat Swat Lian ia pun meninggalkan kekasihnya, mulut cemberut dan pura-pura marah. Diam-diam mengecup bekas ciuman tadi. Alangkah nikmatnya. Ciuman pertama memang selalu nikmat!

Dan ketika Kao Sin mengejar dan ia pura-pura tak mendengar maka Kao Sin sudah di belakangnya dan menangkap lengannya, membuat gadis itu tertarik dan seketika berhenti. Dua pasang mata kini beradu pandang. Kao Sin meminta maaf, ujarnya lembut membelai rambut si nona. Dan ketika Siu Loan terisak dan menjatuhkan diri di dada pemuda itu maka Kao Sin berbisik. “Sumoiku telah pergi, bolehkah kulanjutkan?”

“Melanjutkan apa?”

“Ah, tanda sayang itu, Loan-moi. Bolehkah?”

“Mmmm....” Siu Loan tak mengerti, mengangkat wajahnya tapi tiba-tiba Kao Sio menunduk. Dan ketika dia terkejut dan baru mengerti ternyata apa yang dimaksudkan dengan “lanjutan” itu adalan ciuman mesra yang diberikan pemuda itu untuk kekasihnya. Siu Loan tak menolak, kebahagiaan memang sedang melanda hatinya. Dan ketika dia menyambut dan membalas ciuman kekasihnya maka dua muda-mudi ini tenggelam dalam nikmatnya madu asmara yang memabukkan. Asyikk!

Sementara di tempat lain, di panggung lui-tai juga terjadi sesuatu yang tak kalah menariknya. Saat itu Cun Li menerima serangan-serangan gencar dari lawannya. Siu Cing menghujani tendangan dan tusukan jarum ke arah murid Hu Beng Kui itu. Gadis ini terbelalak, dia sudah berkeringat basah kuyup sementara lawan enak enakan saja. Semua pukulan dan tusukan jarumnya mental. Dan ketika jurus demi jurus dilakukan gencar namun lawan mampu menghadapinya dengan baik maka Siu Cing kehabisan tenaga dan akhirnya menghentikan serangan.

“Aku kalah, kau yang menang...!” gadis itu membanting kaki, melempar jarumnya dan mata pun merah. Dan ketika Cun Li tertegun karena melihat lawan mau menangis tiba-tiba gadis itu meloncat turun dan lari meninggalkan panggung.

“Nona...”

Siu Cing tak mau dengar. Dia penasaran dan marah serta kagum menghadapi pemuda itu. Juga malu karena ia tak dapat merobohkan lawan yang bertangan kosong. Cun Li terlalu lihai baginya. Maka merasa tak mungkin ia menang dan murid Hu Beng Kui itu kuat benar akhirnya kekecewaan mengusik hatinya dan Siu Cing pun menangis. Pada saat seperti itu tak mau ia ditonton orang banyak, ia ingin menyingkir, ingin menumpahkan tangisnya.

Tapi melihat Cun Li mengejarnya di belakang mendadak Siu Cing terkejut dan mempercepat larinya, dikejar dan di panggil-panggil dan akhirnya gadis ini berhenti, Ia merasa akan tersusul dan kemarahan tiba-tiba bergolak di dadanya. Siu Cing naik pitam. Mana begitu lawan berada di dekatnya dan ia membalik tiba-tiba seperti harimau diganggu anaknya gadis ini berkacak pinggang membentak gusar,

“Kau mau apa? Mau menyuruh aku roboh di panggung lui-tai? Mau membuat malu aku yang sudah menyatakan kalah?”

“Ah-ah, nanti dulu, nona. Nanti dulu. Aku tidak bermaksud begitu. Aku mau bicara baik-baik!” Cun Li kelabakan, tentu saja gugup dan bingung diberondong pertanyaan bertubi-tubi begini. Ia tidak bermaksud membuat malu gadis itu, bahkan sebaliknya. Tapi melihat muka yang merah mangar-mangar itu dan si gadis pun bertolak pinggang mendadak jakun pemuda ini naik turun dan kata-kata pun seret tak dapat dikeluarkan.

“Hayo, kau mau apa? Apa maksudmu mengejar-ngejar aku?”

“Glek!” ludah pemuda ini masuk kembali. “Aku, eh... aku mau bicara, nona. Aku mau mengembalikan jarummu!” kebetulan sekali Cun Li tadi memungut jarum si nona, kini dapat mempunyai alasan baik dan cepat-cepat menyerahkan senjata nona itu.

Siu Cing tertegun tapi segera menerima, Cun Li girang dan dua tangan mereka bersentuh lembut. Siu Cing tersentak, Cun Li juga tersenyum. Dan ketika dua mata ikut beradu dan sorot yang mesra memancar dari mata Cun Li maka pemuda itu menyambung,

“Maafkan aku kalau perbuatanku tadi tidak berkenan di hatimu, nona Siu. Aku tak dapat membalas serangan-seranganmu karena aku tak mampu!”

“Kenapa?” suara itu kini lirih terdengar.

“Entahlah, aku... ah, aku tak tahu!”

“Masa?”

“Sungguh!” Cun Li mulai girang mendapatkan ketenangannya kembali. “Aku tak mampu menghadapimu, nona. Semangatku lemah!”

Siu Cing tiba-tiba tersenyum. Dua tiga percakapan yang terjadi ini, sudah memudarkan kemarahannya, dia merasa geli mendengar pemuda itu menyatakan semangatnya lemah, padahal kalau mau pemuda itu dapat membalasnya, mungkin malah merobohkannya. Dia bisa malu di atas panggung. Tapi mau menguji kenapa pemuda ini lemah menghadapinya, maka Siu Cing bertanya, tak puas. “Kau lihai dan gagah, kenapa lemah menghadapi aku? Atau kau memang lemah kalau menghadapi setiap wanita?”

“Ah, tentu tidak, nona! Aku hanya lemah kalau menghadapimu. Aku tak mengerti kenapa!”

Siu Cing semburat merah. “Kau bohong, kau tentunya dapat menjawab pertanyaanku itu.”

“Tidak, aku tak bohong, nona Siu. Aku....”

Cun Li menahan kata-katanya. Siu Cing membalik memutar tubuhnya, tak mau mendengar kata-katanya lagi. Rupanya gadis ini tak puas karena dua tiga kali Cun Li berkata tak tahu, gadis itu jengkel. Dan ketika Cun Li mendelong melihat lawan melompat pergi tiba2 Siu Cing berseru, “Sudahlah, aku tak mau bicara lagi, orang she Cun. Kau rupanya tak cukup jantan untuk bicara terus terang!”

Cun Li kaget. Si nona meninggalkannya, Siu Cing berkelebat dan lenyap. Tapi Cun Li yang sadar berseru tertahan tiba-tiba mengejar “Nona, tunggu...!”

Siu Cing menghentikan langkah. Berhentinya ini amat mendadak, Cun Li terkesiap karena ia tiba-tiba menabrak, tanpa sengaja memeluk dan mendekap si nona. Cun Li gelagapan. Tentu saja ia pucat karena lompatannya tadi terlalu terburu-buru, tak menduga kalau si nona berhenti dan langsung membalikkan tubuh. Dia tak dapat mengerem dan seketika menabrak, si nona pun dipeluk dan sudah masuk dalam lingkaran lengannya. Tentu saja pemuda ini berseru kaget dan buru-buru melepaskan tangkapannya. Dan ketika Cun Li menjura berulang-ulang menyatakan maafnya pemuda ini berkata gugup dengan muka merah padam,

“Maaf... maaf, nona Siu. Aku tak sengaja...!”

Siu Cing pun merah mukanya. Sebenarnya dia gemas melihat pemuda itu masih mengejar-ngejarnya juga. Dia pun tak menyangka kalau di tabrak dan dipeluk lawan, orang rupanya terburu-buru. Maka menyingsingkan lengan berkacak pinggang tiba-tiba Siu Cing membentak menghilangkan malunya, “Kau mau apa? Kenapa mengejar-ngejarku juga?”

“Ah, aku... eh, aku...” Cun Li kelabakan. “Aku masih ingin bicara, nona. Aku ingin kau tidak buru-buru pergi!”

“Untuk apa?”

“Untuk, eh... untuk apa saja. Untuk berkenalan lebih lanjut!”

“Bukankah kau sudah kenal?”

Cun Li gugup. “Bukan itu, nona. Perkenalan kita terlalu singkat. Aku, eh... aku ingin lebih jauh dan... dan...”

“Hi-hik!” Swat Lian tiba-tiba muncul, mengejutkan dua orang itu. “Cun Li-suheng hendak menyatakan isi hatinya. Siu Cing. Jangan kau buat dia gugup dan semakin gugup!”

“Sumoi...!” Cun Li seperti kepiting direbus, kaget bukan main. “Apa katamu ini? Kau bilang apa?”

“Hi-hik, aku bilang kau mau menyatakan sesuatu pada gadis ini, suheng. Belum terucapkan karena lawanmu tampak galak! Bukankah kau mau menyatakan bahwa kau suka kepadanya? Bahwa kau jatuh cinta kepadanya? Nah, nyatakan itu terus terang, suheng. Siu Cing tak suka kau plintat-plintut!”

“Sumoi...!”

Swat Lian berkelebat lenyap. Dia terkekeh di kejauhan sana, berhasil menggoda suhengnya habis-habisan dan Cun Li merah sampai ke leher. Bukan main sumoinya itu, Siu Cing pun semburat tak kalah merah dengan si pemuda. Tapi begitu Swat Lian lenyap di kejauhan sana dan Siu Cing jengah mendadak gadis ini pun meninggalkan Cun Li memutar tubuh.

“Nona...!”

Siu Cing tak menghiraukan. Dia malu digoda seperti itu. diam-diam gemas dan marah pada puteri Hu Beng Kui itu. Sekarang ingin dia lihat apakah Cun Li masih mau mengejarnya. Dan ketika betul dia mendengar angin berkesiur di belakang dan Cun Li mengejar tiba-tiba Siu Cing terkejut merasa pundaknya ditangkap.

“Nona, tunggu. Aku mau blak-blakan...!”

Siu Cing tersentak. Sekarang dia berhenti, Cun Li telah menahan larinya dan mereka berdua berada di halaman belakang, suasana remang remang dan sedikit gelap. Cui Li yang merah mukanya tak begitu kentara. Dan sementara Siu Cing tertegun dengan mata melotot maka pemuda itu berdiri gagah dengan dada dibusungkan, sikapnya seperti panglima perang yang dikepung musuh, berkata gemetar,

“Aku mau mengatakan bahwa apa yang dikata sumoiku benar. Aku tak akan berputar-putar. Aku suka dan cinta kepadamu!”

Siu Cing terbelalak. Disembunyikan keremangan malam membuat gadis ini merah seperti kipiting direbus, dia sekarang mendengar kata-kata pemuda itu yang tidak tedeng aling-aling. Dengan gagah tapi menggelikan Cun Li telah menyatakan cintanya, itulah yang memang di harap. Sejak tadi dia ingin mendengar pengakuan ini. Tapi melihat sikap dan kata-kota Cun Li yang mirip panglima mau tanding dan kaku tiba tiba gadis ini tak dapat menahan gelinya dan terkekeh.

“Hi-hik, kau lucu....!” dan mendekap mulut tertawa geli tiba-tiba Siu Cing memutar tubuhnya dan melompat lagi.

“Eh!” Cun Li tertegun, penasaran. “Bagaimana jawabanmu, nona? Kenapa pergi? Tunggu...!”

Cun Li mengejar lagi, kini dia menyergap dan menyambar lengan orang, gadis itu tersentak dan seketika terputar. Dan ketika Siu Cing terkejut dan terbelalak marah Cun Li sudah memegang lengannya erat erat, bertanya menggigil, “Nona, kenapa kau pergi? Bukankah aku sudah berterus terang? salahkah aku?”

Siu Cing tak dapat menjawab. Ditanya dan dipandang seperti itu mendadak membuat gadis ini gugup, Siu Cing lupa menarik tangannya. Mereka begitu dekat sementara sorot mata masing-masing saling menyelidik dan menyelami. Cun Li rupanya gelisah. Dia mencengkeram semakin erat lagi. Dan ketika Siu Cing menunduk dan tidak menjawab akhirnya Cun Li penasaran mengguncang gadis ini.

“Nona, salahkah aku? Kurang terus terangkah aku?”

Siu Cing terisak. Sekarang dia memejamkan mata, pertanyaan pemuda itu tak dapat dijawab. Tapi ketika tangannya lembut balas mencengkeram jari-jari pemuda itu mendadak Cun Li seolah mendapat sebongkah kebahagiaan yang besar, tujuh kali lebih besar dan gunung Himalaya!

“Li-ko, beginikah caramu menunjukkan cinta? Kau masih menyebutku nona segala?”

“Ooh...!” suara itu mirip gelembung ban bocor yang tak jadi meledak, Cun Li girang bukan main. “Kau menerimaku, Cing-moi (dinda Cing)?” langsung saja pemuda ini merobah panggilannya. “Kau tidak marah? Kau mau menerima cintaku?”

Siu Cing mengangguk. Perlahan saja anggukan ini, hampir tak kentara. Tapi begitu Cun Li melihatnya tiba-tiba pemuda ini mendekap kekasihnya dan memeluk.

“Cing-moi, terimakasih. Aku bahagia sekali!” dan ketika Siu Cing mengeluh dan Cun Li mendekap kepalanya tiba-tiba Siu Cing menengadah dan menitikkan dua butir air mata yang bagai mutiara pagi. Cun Li, dihisap dan ditelan dan segera gadis itu mengeluarkan keluh bahagia. Dan ketika dua tubuh itu sama merapat dan masing-masing dilanda perasaan yang sirna bergemuruh mendadak Cun Li mengangkat dagu kekasihnya dan mencium.

“Asyiikk...!”

Cun Li dan Siu Cing kaget. Kekeh dan tawa di belakang mereka membuat Cun Li seketika melepas kekasihnya, melihat Siu Loan dan Kao Sin muncul, tertawa-tawa menggoda mereka. seruan itu mengejutkan Cun Li dan membuat pipi Siu Cing bersemu dadu. Itulah seruan adiknya yang nakal, Siu Loan tertawa-tawa di samping Kao Sin. Siu Cing tertegun. Tapi begitu sadar dan Siu Loan melompat mendekati encinya sambil berkata menggoda mendadak, Siu Cing menampar berseru jengah,

“Loan-moi, kau mengintai? Kurang ajar tak tahu malu kau...!” namun si adik yang mengelak dan bersembunyi di punggung Kao Sin tiba-tiba berteriak,

“Sin-ko, bantu aku. Enci ku marah-marah, hi-hik....” Dan Siu Loan yang berputar-putar dikejar encinya akhirnya membuat Siu Cing berhenti dan Kao Sin tersenyum.

Cun Li sudah berkelebat mendekati sutenya ini dan Kao Sin memainkan bola matanya. Kiranya suhengnya pun sudah berhasil menggaet seorang dari Bi-ciam Sian-li ini, berarti kedua-duanya mendapat seorang. Dan ketika suhengnya bertanya kenapa dia berada di situ maka pemuda ini menjawab kalem,

“Kami baru saja menghadap suhu, suheng. Loan-mo ini menerima cintaku dan tak kusangka Siu Cing pun menerima cintamu. Kalau begitu tepat kata sumoi, suhu dapat mengumumkan perjodohan ini di atas panggung.”

Cun Li merah. “Sumoi pun bertemu denganmu?”

“Ya, dan memberi tahu kalian di sini, suheng. Katanya Siu Cing bertempur denganmu tapi tak tahunya, eh....”

“Memadu cinta!” Siu Loan menyambung, cekikikan dan cepat hingga Kao Sin tertawa.

Suhengnya dan Siu Cing semburat merah. Memang nakal Siu Loan ini, centil. Tapi karena adiknya itu juga berpasangan dengan Kao Sin dan Siu Cing hilang malunya tiba-tiba sang enci menangkap adiknya gemas.

“Dan kau pun pacaran dengan Kao Sin, Loan-moi. Swat Lian memberi tahu kami tapi kami keduluan olehmu!”

“Hi-hik, tak mungkin, enci. Swat Lian tak memberi tahu apa-apa padamu melainkan kepada kami. Kau bohong!”

“Tidak percaya?”

“Tentu saja tidak!”

Dan keduanya yang tertawa cubit-mencubit akhirnya membuat Kao Sin dan suhengnya tersenyum ditahan, segera melerai dan Siu Loan memonyongkan bibirnya, sang enci menampar. Tapi ketika dua gadis itu hendak ribut-ribut lagi Cun Li sudah maju ke depan berkata tersipu, “Adik Loan, betapapun aku merasa bahagia bahwa kau telah mendapatkan Suteku. Sudahlah, akhiri main-main ini dan kita mencari suhu.”

“Untuk apa?”

“Eh, bukankah minta diumumkan perjodohan kita?”

“Hi-hik, enci Cing tak mau buru-buru, Li-twako (Kakak Li). Coba tanya dia apakah mau atau tidak!”

Siu Cing memaki adiknya. Digoda begini gadis ini gemas, mereka semua tertawa tapi tak ada yang marah. Tentu saja mereka tahu bahwa kata-kata itu hanyalah main main belaka dari gadis termuda Bi-ciam Sian-li ini. Dan ketika Cun Li berkata bahwa baiklah mereka masuk ke dalam maka Hu-taihiap ditemui dan dua pasangan muda itu minta restu. Tentu saja Hu-taihiap telah mengetahui ini dari putrinya, Swat Lian melaporkan semua yang terjadi. Dua pasangan itu mendapat restu. Dan ketika malam itu juga pibu selesai dan Hu-taihiap mengumumkan perjodohan ini maka penonton tertawa dan ada yang menyeringai iri.

Siu Loan dan kakaknya memang termasuk cantik-cantik. Mereka juga cukup lihai. Maka ketika pibu berubah menjadi tempat pengumuman jodoh dan dua pasangan itu tampak bahagia namun tersipu malu maka malam kedua berakhir dengan tambahan “pembantu” di pihak Hu-taihiap.

“Kalian boleh tinggal di sini. Namun yang menghadapi penantang tetap murid-muridku dan putera-puteriku.”

Dua gadis itu mengangguk. Urusan ini memang urusan pribadi Hu-taihiap, mereka tak berhak mencampuri. Aneh memang dalam waktu sekejap saja mereka telah menjadi calon mantu murid Hu-taihiap, hal yang dinilai beruntung dan membahagiakan hati. Mereka sebenarnya coba-coba saja tapi malah mendapat jodoh. Ini keberuntungan besar. Dan ketika hari-hari berikut tak banyak penantang yang berani mencoba karena satu demi satu mereka dirobohkan Kao Sin atau Cun Li maka sebulan kemudian pibu nyaris ditutup.

“Tak ada lagi yang maju. Suhu agaknya berhak memiliki Sam-kong-kiam itu!”

Hu-taihiap berseri seri. Memang itulah yang diharap, dia akan menjagoi dunia dengan pedang keramat itu. Tapi ketika pendekar ini siap-siap melaporkan segalanya pada Kim-taijin mendadak seminggu menjelang penutupan terjadi peristiwa besar, peristiwa menggegerkan. Apakah itu? Mari kita lihat.

* * * * * * * *

Sebulan setelah kemenangan berturut-turut dari Hu-taihiap. Pagi itu tak ada penantang. Jago pedang ini menikmati arak di belakang taman. Wajah Hu Beng Kui segar bersinar-sinar, tak ada rasa gelisah atau pun khawatir di wajah pendekar itu. Tapi ketika pendekar ini siap menenggak habis sisa araknya yang terakhir mendadak helaan napas terdengar di belakangnya, lembut.

“Hu-taihiap, selamat pagi. Maafkan aku.”

Hu-taihiap mencelat dari bangkunya. Belum pernah dia mendapat peristiwa macam ini, ada orang di belakang tanpa diketahui. Tentu saja jago pedang itu kaget dan otomatis membentak sambil menghantam lengan ke belakang. Angin yang dahsyat berkesiur dingin, tajam dan menyeramkan. Tapi ketika pendekar itu tak melihat apa-apa dan kosong saja di belakangnya mendadak pendekar ini melongo terbelalak lebar, melihat bangku yang didudukinya pecah terhantam angin pukulannya.

“Eh. setankah tadi?” Hu-taihiap terkejut, seketika bengong karena dia benar-benar tak melihat apa pun. Di sekitarnya itu kosong dan tak ada orang. Tapi ketika dia celingukan ke sana-sini mendadak sapaan halus itu terdengar lagi.

“Hu-taihiap. selamat pagi...! Maafkan aku.”

Pendekar ini membalik. Dengan gerakan super cepat dia mengayun tubuh, berjungkir balik dan berseru keras menghantam ke asal suara itu. Sekarang dia melihat sesosok bayangan berdiri di situ, bayangan aneh karena kepalanya tertutup halimun. Pendekar ini terkejut. Tapi karena dia sudah melancarkan pukulan dan menghantam ke arah bayangan yang kini dilihatnya itu maka pukulannya tepat menghantam namun lenyap tak berbekas seolah tenaganya mengenai sesosok hantu yang tidak memiliki badan kasar.

“Iblis!” pendekar ini melayang turun. “Siapakah kau?”

Kini Hu Beng Kui melihat jelas. Sekarang dia sudah berhadapan dengan bayangan aneh ini, terkejut dan tergetar karena dari balik halimun itu sekonyong-konyong menyorot dua bola mata yang mengeluarkan sinar. Sinarnya tajam namun lembut, Hu Beng Kui tiba-tiba seakan lumpuh. Cepat pendekar ini mengerahkan tenaga batinnya dan maklum bahwa seseorang berkesaktian tinggi sedang dia hadapi, bukan main kagetnya pendekar ini. Tapi begitu lawan tersenyum dan dia ingat akan sesuatu mendadak jago pedang ini berseru tertahan teringat dongeng seorang tokoh dewa yang belum pernah dijumpai.

“Bu-beng Sian-su....!”

Bayangan itu mengangguk. Sekarang tawa lirih terdengar dari mulut bayangan ini. Bukan main lembutnya, bukan main sejuknya. Dan ketika pendekar itu tertegun dan terkesiap karena baru sekarang dia percaya akan tokoh dongeng ini maka pendekar itu jatuh terduduk dan berkedip-kedip.

“Sian-su, ada apa kau datang? Kau sengaja mencari aku?” Hu Beng Kui menggigil. Dia tak menyangka sama sekali bahwa dia akan didatangi tokoh dongeng ini, nyaris tak percaya kalau tak melihat sendiri. Jago pedang ini terhenyak.

Tapi ketika Bu-beng Sian-su mengangguk dan mengeluarkan tawanya yang lembut segera pendekar ini sadar. “Ya, maafkan aku, taihiap. Aku datang memang sengaja mencarimu.”

“Untuk apa?”

“Bolehkah kita bicara terbuka?” tokoh dewa itu tersenyum. “Aku datang bukan untuk merebut Sam-kong-kiam, taihiap. Justeru ingin menyelamatkan dirimu dari pedang keramat ini.”

Hu-taihiap merah mukanya. Kiranya manusia dewa itu dapat menangkap pikirannya, tadi dia bertanya kaku karena mengira kakek dewa itu akan mengajak pibu. Tak tahunya justeru bukan dan tokoh dewa ini bahkan katanya hendak menyelamatkannya. Hu Beng Kui merasa aneh dan segera tertarik karena dia telah mendengar akan tokoh luar biasa ini, yang kedatangannya senantiasa membawa berkah dan belum pernah terdengar Bu-beng Sian-Bu mencelakakan orang lain.

Manusia dewa ini sudah dikenal kearifannya, di samping kesaktiannya yang tak lumrah manusia. Tadi dia telah membuktikan itu. pukulannya amblas tanpa bekas, padahal sebongkah batu sebesar gajah akan hancur terkena pukulannya itu. Maka tertarik dan berdebar mendengar kata-kata kakek dewa ini segera Hu-taihiap menjura dan membungkukkan tubuh, betapapun keramahan dan kelembutan kakek itu pantas disambut hormat.

“Silahkan, aku siap bicara terbuka, Sian-su. Mohon petunjukmu kalau memang ada!”

“Hm, tentu ada, taihiap. Dan kuharap kau tidak tersinggung.”

“Aku tidak tersinggung, silahkan Sian-su bicara.”

Dan ketika kakek dewa itu tersenyum dan memandangnya bersinar-sinar segera kakek ini bertanya, “Betulkah Samkong-kiam telah berada di tanganmu?”

“Betul.” Hu Beng Kui tak perlu berbohong.

“Dan kau menantang semua orang kang-ouw untuk mempertahankan pedang ini?”

“Hm.” jago pedang itu mengelak. “Aku sebenarnya ditantang hingga berbuat seperti itu, Sian-su. Istana mengujiku untuk melihat apakah aku pantas atau tidak memegang Sam-kong-kiam”

“Baik, aku sudah dengar itu. Tapi kenapa kau menerima?”

Hu Beng Kui mengerutkan alis. “Aku menerima karena ditantang, Sian-su. Aku tak mau di sangka takut!”

“Dengan melibatkan pula anak-anak dan murid-murid mu? Hm, jujur saja, Hu-taihiap. Aku melihat masih ada yang lain di samping ini. Dan inilah yang berbahaya!”

Hu Beng Kui terkejut. “Sian-su tahu?”

“Tentu. Aku tahu apa yang terkandung di hatimu, taihiap. Karena itu aku hendak memberitahu sebelum semuanya terlambat!”

Hu Beng Kui mengedikkan kepala. “Maaf, ini sebenarnya urusan pribadiku, Sian-su. Masakah orang lain mencampuri dan mengorek-ngorek apa yang semestinya tak perlu diketahui orang lain? apakah Sian-su tak merasa mencampuri urusan ini?”

Hebat kata-kata ini. Dengan tajam dan getas Hu Beng Kui telah menyatakan bahwa kakek dewa itu adalah orang luar, semestinya kakek itu marah. Tapi Sian-su yang tertawa dan tersenyum lembut mengangguk. “Benar, ini memang urusan pribadimu, taihiap. Tapi jujurkah kau dengan melibatkan orang lain pula? Lihat anak-anak dan muridmu itu. Mereka juga termasuk orang lain dan bisa menerima akibat dan sepak terjangmu. Masihkah ini masalah pribadi dan tidak bisa dibilang masalah bersama? Ingat, kalau kau jujur dengan kata-kata “pribadi” itu seharusnya kau tak melibatkan orang lainnya, taihiap. Karena betapapun anak-anak dan muridmu itu tetap bukan kau. Mereka adalah orang lain, mereka terlibat dan sengaja kau libatkan hingga masalah ini tidak bisa dibilang pribadi melainkan masalah kau sekeluarga, kau dan anak-anak muridmu!”

Hu Beng Kui tertegun.

“Kau tak jelas? Aha, marilah melihatnya baik-baik. Urusan yang dinamakan pribadi semestinya urusan yang hanya ditanggung orang per orang, oleh yang bersangkutan. Jadi tak benar rasanya kalau orang lain dilibatkan meskipun orang lain itu adalah anak sendiri dan murid sendiri. Dan karena, kau telah melibatkan anak muridmu ini maka aku datang untuk memberi tahu, bahwa kau tak cukup jantan untuk memikul sendiri masalah yang kau sebut pribadi ini...!”

Hu Beng Kui terkejut. “Sian-su bicara apa?”

“Ah... aku sudah bicara jelas, taihiap. Bahwa masalah yang kau anggap pribadi ini semestinya kau tanggung secara pribadi pula, tidak melibatkan yang lain meskipun mereka itu anak-anakmu sendiri atau muridmu sendiri!”

“Tapi mereka putera puteriku, mereka muridku!”

“Ya, namun mereka tetaplah mereka, taihiap. Mereka bukanlah kau. Mereka adalah pribadi-pribadi lain yang memiliki pula keinginan atau pendapat pribadi!”

Hu Beng Kui mengerutkan kening. “Sian-su, apa sebenarnya yang kau inginkan di sini? Coba kau bicara jujur saja. Aku masih tak mengerti!”

“Hm, kalau begini baiklah, taihiap. Terus terang aku hendak menyatakan bahwa aku tak menyetujui tindakanmu. Kau salah. Kau dapat membahayakan orang lain dengan perbuatanmu tentang masalah ini. Urusan Sam-kong-kiam seharusnya diselesaikan dengan cara jujur dan wajar. Ini keterusteranganku.”

“Sian-su hendak maksudkan bahwa Sam-kong-kiam diserahkan ke istana?”

Kakek dewa itu tertawa, “Kenapa kau bertanya dengan emosi? Tersinggungkah dirimu, Hu-taihiap? Aku tak perlu menjawab ini kalau kau mendapatkan pikiranmu yang jernih. Kau dikuasai nafsu pribadi...” lalu sementara jago pedang itu memerah mukanya kakek ini tiba-tiba membalik. “Taihiap, coba lihat ini. Barangkali kau dapat menemukan inti sarinya!” dan mencorat-coret di tembok yang kokoh, kakek ini mengukir huruf-huruf indah:

Mengguncang langit menggetarkan bumi
Terhunjam pongah sepotong besi
Tiada perduli kanan dan kiri
Itulah Pedang Tiga Dimensi
Kaku, dingin dan mati
Sekarang apa artinya ini
Kenapa dikejar dan dicari
Bukankah yang amat berarti
Masih bukan milik sendiri?
Karena itu, sungguh bodoh si manusia buta
Yang terkidung nafsu dan loba kian tersesat
Menumpuk dosa sampai ajal merenggut tiba


“Nah, kau mengerti, taihiap?” Sian-su membalik menghadapi jago pedang itu lagi, selesai mencoretnya. “Ataukah kau masih kurang jelas?”

“Tulisan itu jelas, tapi aku tak mengerti!”

“Hm, kau tak mengerti karena kau belum menghayatinya, taihiap. Kalau sudah tentu kau akan mengerti. Ilustrasi ini adalah gambaran dirimu, juga banyak orang lain di dunia. Karena itu renungkan sejenak dan jangan buru-buru bertanya!”

Hu Beng Kui bingung. Bagi dirinya, itu tak lebih dari sekedar coretan halus kakek dewa ini. Bait pertama agak menyeramkan. Dan ketika dia menggeleng tetap belum mengerti maka Bu-beng Sian-su memberi sedikit petunjuk

. “Inti syair ini pada bait kedua. Dapatkah kau menangkap?”

Hu Beng Kui tertegun. Dia memperhatikan bait kedua itu, berpikir keras dan mengulang ulang kalimatnya. Belum juga berhasil. Dan ketika dia menggeleng dan bertanya apa artinya itu maka Bu-beng Sian-su tertawa lembut dan berkata sambil menghela napas,

“Baiklah, rupanya kau belum dapat juga menangkap, taihiap. Barangkali sesuatu harus terjadi dulu baru kemudian kau mengerti. Syair ini sederhana, tapi inti sarinya amat tinggi. Kalau kau belum mengerti percuma juga kukatakan sekarang. Manusia cenderung mendapat kesusahan dulu sebelum memetik hikmahnya, biarlah kau rasakan itu sebelum terbuka kesadaranmu. Hanya, sebelum kita berjumpa lagi dalam pertemuaan berikut bolehkah kutanya satu hal padamu?”

“Apa yang hendak Sian-su tanyakan?”

“Kurang bahagiakah hidupmu ini? Kurang enakkah?”

Hu Beng Kui terkejut. “Apa yang Sian-su maksudkan?”

“Jelas, aku hanya bertanya tentang itu, taihiap. Kurang bahagiakah hidupmu ini, kurang enakkah?”

Hu Beng Kui mendelong. Tiba-tiba dia bingung, pertanyaan itu membuatnya berdebar. Entah bagaimana mendadak dia berdesir, ada sesuatu yang serasa disodokkan ke ulu hatinya. Jago pedang ini tertegun.

Dan sementara dia bengong tak menjawab tiba-tiba kakek dewa itu berkata lagi “Nah, kalan kau sudah merasa enak sebaiknya sadari keberuntunganmu ini, taihiap. Aku khawatir kau bakal kehilangan segala-galanya gara-gara urusan Sam-kong-kiam. Aku tidak mendahului di depan, tapi seorang anakmu akan hilang bila tindakanmu ini diteruskan!”

Hu Beng Kui terkesiap. Kata-kata kakek dewa itu seakan ramalan baginya, ramalan mengerikan. Jago pedang ini mundur selangkah dan pucat mukanya. Hampir dia marah mendengar kata-kata itu. Tapi ketika dia hendak membantah dan tersinggung tiba-tiba Bu-beng Sian-su lenyap berkelebat meninggalkan dirinya.

“Hu-taihiap... aku tak bermaksud menyakiti siapa pun. Kalau ada kata-kataku yang tak enak bagimu maafkanlah. Sampai jumpa lagi...”