PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 13
KARYA BATARA
“HU-TAIHIAP, kukira tak ada orang lain yang membunuh Sun-taijin selain dirimu. Catatan penyelidik tak menunjukkan Sun-taijin memiliki permusuhan dengan orang lain. Kaulah tentu yang membunuh. Kami dan pihak istana menuntut tanggung jawabmu dan menyerahlah!”
“Hm, beginikah sikap seorang panglima terhormat? Tidak percaya dan kini menuduh sembarangan? Baik, sekali lagi kutegaskan pada kalian bahwa aku tak tahu menahu pembunuhan itu, Bu-ciangkun. Tapi kalau kau mendesak dan mengancamku begitu rupa tentu saja aku tak takut. Ini rumahku, pergilah dan jangan membuat onar di sini.”
“Wutt!” Bu-ciangkun melompat bangun, membentak para pengawal yang tiba-tiba muncul. Lalu sementara Hu Beng Kui terkejut mengerutkan kening panglima tinggi besar itu berseru. “Tangkap orang she Hu ini, borgol tangannya!”
Hu Beng Kui tertawa mengejek. Para pengawal maju, mereka tak ada yang tahu bahwa Huwangwe ini adalah seorang jago pedang. Hu Beng Kui dikenal sebagai pedagang. Dan ketika mereka maju dan mau menangkap pendekar itu tiba-tiba Hu Beng Kui menepuk tangannya dan lima muridnya muncul. Kao Sin dan saudara-saudaranya, juga Beng An dan Swat Lian.
“Anak-anak, tikus-tikus busuk ini mau menangkap aku. Enyahkanlah!”
Kao Sin membentak. Dia lebih dulu berkelebat ke depan, pengawal diterjang dan kaki serta tangannya bergerak. Empat kali dia mengibas dan empat kali dia menendang sepuluh pengawal roboh berpelantingan, tentu saja pengawal terkejut dan Bu-ciangkun juga terbelalak. Murid termuda jago pedang ini mulai beraksi. Dan ketika Bu-ciangkun menyuruh maju kembali dan pengawal nekat meluruk maka Kao Sin berkelebatan menyambar-nyambar menyerang para pengawal itu.
“Kalian robohlah, dan mengelindinglah ke sana....”
“Dess-dess!”
Pengawal berjumpalitan, semuanya memekik dan Kao Sin berhenti. Tigapuluh pengawal dalam waktu begitu singkat roboh tumpang-tindih, tentu saja Bu-ciangkun semakin terhenyak. Dan ketika pengawal merintih dan panglima tinggi besar itu mendelik maka empat murid Hu Beng Kui yang lain sudah berkelebat maju menghadapi Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun.
“Ji-wi ciangkun, suhu kami memerintahkan kalian pergi baik baik. Sebaiknya kalian tak membantah dan pergilah!” Siauw Gi, murid tertua Hu Beng Kui berkata. Dia juga telah mendengar urusan gurunya yang ribut-ribut dengan istana, masalah Sam-hong-kiam itu. Tentu saja baik buruk dia membela guru sendiri.
Dan Bu-ciangkun yang mendelik diusir begini tiba-tiba menggereng, “Hu Beng Kui, kami tak akan pulang sebelum membawa dirimu. Kau majulah dan biar kucoba ilmu pedangmu yang katanya kesohor!”
“Hm, kalau begitu coba kau layani muridku termuda. Bu-ciangkun. Kalau kau dapat nengalahkannya berarti kau berhak menantangku!” Hu Bang Kui tertawa dingin, memberi isyarat pada Kao Sin dan pemuda itu sudah melangkah maju. Dengan tegak dan kuda kuda kokoh dia menghadapi si panglima tinggi besar, Bu-ciangkun marah. Maka begitu Kao Sin bersiap di mukanya dan jelas menghadang dia mendekati si jago pedang tiba-tiba kedua tangan panglima ini menyambar dan sudah menderu menghantam kedua sisi kepala lawan.
“Minggir... wut-wut!”
Kao Sin mengelak. Dia cepat menghindar mendengar desir angin yang kuat, Bu-ciangkun membentak dan menyerangnya lagi. Kali ini Kao Sin tidak menghindar dan mengangkat lengannya. Dan ketika dua lengan beradu dan Kao Sin mengerahkan sinkang menangkis pukulan lawan maka Bu-ciangkun tercekat menerima tangkisan lawan yang membuat jantung tergetar.
“Dukk!”
Panglima itu terpental! Bu-ciangkun kaget berseru tertahan, tentu saja marah dan membentak lagi maju ke depan, adu tenaga tadi jelas menununjukkan kekuatan lawan yang lebih besar. Dia seorang tinggi besar kalah dengan seorang pemuda bertubuh sedang saja, kalah kuat. Dan karena adu pukulan tadi membuat panglima ini penasaran dan marah menerjang maju maka Bu-ciangkun sudah berteriak menyerang bertubi-tubi, mengeluarkan Silat Tangan Bajanya dan segera kedua lengan panglima ini menyambar-nyambar bagai tongkat yang menyerang tiada henti, kelima jarinya pun bergerak mencengkeram dan meninju, hebat memang.
Dan Kao Sin yang belum mengenal silat lawan dan mengelak maju mundur segera tampak terdesak tapi belum satu pukulan pun mengenai tubuhnya, dikejar dan terus disusul hingga pemuda ini seolah keteter. Hanya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi saja yang tahu bahwa apa yang tampak di depan mata itu bukanlah sebenarnya, Kao Sin sebenarnya tidak terdesak melainkan mengamati pemainan lawan dan coba mempelajari.
Bu-ciangkun geram dan menyerang bertubi tubi. Dan ketika belasan jurus lewat dan Kao Sin malah tersenyum tiba-tiba pemuda ini mulai membalas dan berseru perlahan. “Ciangkun, hati-hati...!” lalu begitu tubuh berputaran mengikuti gerakan lawan tiba-tiba pemuda ini membalik dan menangkis serta mengadu tenaga.
“Duk-dukk!”
Dua benturan itu menggetari ruangan. Bu-ciangkun meringis dan lagi-lagi terdorong, untuk kesekian kalinya pula dia harus menggigit bibir. Sinkang lawan memang lebih kuat. Dan ketika lawan mengejar dan ganti menyodok dan nenusuk tiba-tiba panglima ini terdesak dan balik bertahan, berseru pucat karena pukulan demi pukulan merangsek dirinya, ditangkis tapi dia kesakitan. Panglima ini terkejut karena Tangan Bajanya masih kalah ampuh dengan tangan lawan. Tentu saja panglima ini gusar. Dan ketika satu saat Kao Sin menampar pundaknya dan dia nekat berseru keras tiba-tiba panglima ini mengerahkan segenap kekuatannya untuk beradu tenaga.
“Dess...!”
Getaran kali ini paling kuat. Kao Sin rupanya tahu kenekatan lawan, melihat lawan mengerahkan segenap tenaganya dan dia pun menambah tenaganya pula. Sinkang mereka bertemu dan Bu-ciangkun menjerit, panglima itu mencelat menghantam tembok. Dan ketika dia terguling-guling dan Kao Sin ingin menyudahi pertandingan maka pemuda ini berkelebat dan dua jarinya sudah menyentuh tenggorokan lawan dalam satu sentilan kecil.
“Tuk!” Bu-ciangkun terbelalak. Sentuhan dua jari di tenggorokannya itu dapat berarti maut. Dia mengira lawan membunuh dan serasa terbang semangatnya. Tapi ketika lawan melompat mundur dan menjura kepadanya maka Bu-ciangkun tertegun melihat dirinya tak apa-apa kecuali sedikit terasa gatal di tenggorokan.
“Ciangkun, maaf. Kepandaianmu cukup hebat, aku mengaku dan biarlah kita sudahi main-main ini.”
Bu-ciangkun melompat bangun. Tentu saja dia tahu bahwa lawan telah bermurah hati, dia selamat dai totokan itu meskipun tepat tapi hampir sama sekali tak diisi kekuatan, kalau tidak demikian tentu dia sudah tak bernyawa. Maka mendengar lawan bicara merendah dan dia harus tahu diri maka panglima jujur yang berangasan ini berseru merah, “Anak muda, kaulah yang hebat. Aku yang minta maaf dan mengaku kalah!” dan mundur mau meninggalkan ruangan mendadak rekannya, Cu-ciangkun, menahan dirinya.
“Tunggu, jangan keluar, rekan Hu. Kau telah main-main dengan murid Hu-taihiap tapi aku belum. Berilah kesempatan padaku dan biar sekalian aku menjajal mereka ini” dan mengeluaikan tombaknya yang mendesing ketika dicabut pangilima tinggi kurus ini telah menghadapi Hu Beng Kui. “Taihiap, bisakah aku main-main denganmu. Atau kau menyuruh maju seorang muridmu pula?”
“Ha-ha, aku lagi capai, Cu-ciangkun. Biarlah seorang muridku mewakiliku!” dia memberi isyarat pada muridnya nomor empat. Cun Li, pendekar ini menyuruh Kao Sin mundur. “Cun Li, kau layanilah tamu baik-baik. Bersikaplah sopan dan hati hati!”
Cun Li mengangguk. Dia adalah pemuda yang sedikit lebih tua dibanding Kao Sin, lengannya tegap namun panjang berkesan ramping. Dan ketika dia melangkah maju memberi hormat di depan Cu-ciangkun maka pemuda yang tampak lemah lembut gerak-geriknya ini berkata, “Ciangkun, suhu memerintahkan aku main-main denganmu. Silahkan mulai tapi mohon kemurahanmu untuk tidak bersikap keras kepadaku.”
“Hm, tak perlu merendah, anak muda. Aku ingin bermain senjata dan cabutlah pedangmu!”
Cun Li tersenyum. “Suhu tak memerintahkan kepadaku, ciangkun. Biarlah aku bertangan kosong dulu dan nanti kucabut senjataku.”
“Kau sombong? Baiklah, kau rupanya mirip gurumu. Awas. wuuut....” dan tombak yang bergerak menuju tenggorokan lawan tiba-tiba pecah ujungnya menjadi lima bagian yang sudah menusuk dari atas ke bawah, cepat dan penuh tenaga yang membuat tombak mendengung, Cun Li mengelak namun masih dikejar. Tombak memburu ke manapun dia pergi. Dan karena tombak bagai bayangan yang tak mau melepasnya terpaksa Cun Li menangkis dan menggerakkan lengan kirinya.
“Plak!” Senjata panjang itu terpental. Cu-ciangkun terkejut karena lengan lawan menggetarkan lengannya, nyaris tombak membalik dan mengemplang kepalanya sendiri, tentu saja panglima ini terkejut. Tapi berseru keras memutar pergelangannya tiba-tiba panglima ini sudah menyerang lagi dan bertubi serta cepat dia menusuk dan mematukkan mata tombaknya, memburu dan membuat lawan harus berlompatan karena tombak di tangan panglima itu memang berbahaya, Cun Li mengakui ini. Dan ketika panglima itu mendesak dan Cun Li mundur-mundur maka kembali seperti Kao Sin tadi keadaan pemuda ini seolah keteter.
Hu Beng Kui tersenyum. Sama seperti muridnya pertama tadi dia tahu bahwa Cun Li pun tak mengalami kesulitan menghadapi tombak di tangan lawannya. Tombak itu memang ganas dan cepat mematuk-matuk, tapi Cun Li belum sekali pun terpatuk. Pemuda ini mempelajari ilmu silat lawan dan jago pedang itu mengangguk angguk. Memang dia sering memberi nasehat agar sebelum membalas sebaiknya memperhatikan dulu ilmu silat lawan, di mana kelebihan dan kelemahannya.
Dan ketika Cun Li menentukan hal itu dan tahu bahwa dalam hal sinkang dia lebih kuat dibanding lawannya maka pemuda ini pun mulai menangkis dan berseru. “Ciangkun, hati-hati!” dan menggeser kedudukan kaki serta mengembangkan lengan seperti rajawali mengelepakkan sayap tiba-tiba Cun Li merobah gerakan dan menangkis serta mendorong tombak lawan, membuat lawan terkejut karena tombak terpental, dua tiga kali selalu begitu hingga Cu-ciangkun marah. Hebat pemuda itu. Dan ketika tangkisan kesekian kalinya begitu keras karena Cun Li mengerahkan tenaganya lebih besar mendadak tombak di tangan panglima itu, yang sebenarnya bukan tombak simpanan, patah bertemu lengan Cun Li.
“Krakk!” Cu-ciangkun terhuyung. Dia nyaris terpelanting kehilangan keseimbangan, cepat berseru keras menegakkan punggung. Tentu saja panglima ini terkejut, juga malu. Dan ketika dia melotot memandang lawan ternyata pemuda itu menjura kepadanya dengan senyum lebar,
“Ciangkun, maaf. Aku tak sengaja mematahkan tombakmu.”
“Hm!” sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat telah berdiri di samping panglima ini. “Kau hebat, saudara Cun Li. Adikku kalah tapi belum semua ilmu tombak keluarga Cu dikeluarkan! Beranikah kau sekarang meneruskan pertandingan?”
Cun Li terbelalak. “Ciangkun mau maju berdua?”
“Kalau kau tak takut, kami masih mempunyai Hu-liong Chio-sut yang belum kami perlihatkan!” dan Cun Li yang tertegun menyaksikan majunya lawan kedua segera menghadapi gurunya yang saat itu tertawa bergelak.
“Cun Li. terima saja tawaran itu. Cu Hak-ciangkun tentu saja penasaran melihat adiknya kalah. Tak apa, kau boleh maju dan terserah mau mencabut senjata atau tidak!”
Cun Li tersenyum. “Kalau begitu baiklah, Cu Hak-ciangkun. Hanya seperti adikmu tadi kuminta kemurahanmu untuk mengalah!”
“Tak perlu berpura-pura, dan maaf kalau kami terpaksa maju berdua... siuut!” dan Cu Hak-ciangkun yang mencabut tombaknya yang ampuh tiba-tiba menggetarkannya di tangan kanan, tombak beronce biru karena Cu-ciangkun memang merupakan dua panglima kakak beradik, yang tadi adalah Cu Kim sedang yang ini adalah Cu Hak, sang kakak. Cu Kim sendiri memiliki tombak beronce merah yang tidak dikeluarkan, tadi yang dipakai adalah tombak biasa. Dan begitu sang kakak mengeluarkan tombaknya dan Cun Li tak takut dikeroyok akhirnya Cu Kim yang kalah dipatahkan tombaknya mencabut pula tombak yang lain yang justeru tombak pusakanya.
“Siuut...!” panglima Cu yang termuda itupun menggetarkan tombaknya. “Bagus sekali, saudara Cun Li. Kalau kau berani menghadapi kami berdua sebaiknya kau cabut pedangmu agar tidak roboh menghadapi kami kakak beradik!”
“Terima kasih,” Cun Li tetap tenang. “Sementara ini aku bertangan kosong, ji-wi ciangkun. Kalau Hu-liong Chio-sut (Silat Tombak Naga Terbang) kalian memang hebat tentu aku akan mencabut pedangku. Silahkan ji-wi (kalian berdua) maju.”
“Kau bertangan kosong?” Cu Hak, panglima tertua menggeram.
“Ya, tak apa. Cu-ciangkun. Biar aku bertangan kosong dulu dan...”
“Awas... siut-plakk!” panglima itu menerjang, tiba-tiba memotong omongan lawan dan sudah membentak menggerakkan tombaknya. Tombak beronce biru di tangan panglima tertua ini mendesing dengan begitu ceptanya hingga Cun Li tak sempat mengelak, pemuda itu menangkis dan tombak terpental.
Cun Li terkejut karena lawan yang satu ini tampaknya lebih cepat dibanding lawan yang tadi, gerakan sang kakak dinilai lebih kuat dibanding sang adik. Dan ketika dia menangkis namun tombak membalik tiba-tiba Cu Hak sang panglima tertua sudah berteriak dan menerjang lagi, menyuruh sang adik menggerakkan tombaknya pula dan Cu Kim pun mengangguk, sedetik menyusuli gerakan kakaknya, panglima ini pun berkelebat ke depan, tombak berouce merah di tangannya menusuk tubuh samping Cun Li, yang saat itu baru mengegos dan menangkis tombak beronce biru.
Dan ketika dua kakak beradik itu menusuk dan mengemplang dan Cun Li terkejut karena dipaksa berlompatan tahu-tahu dua sinar biru dan merah medengung di sekeliling dirinya menyambar-nyambar dengan amat ganas dan cepatnya, gulung-menggulung dan akhirnya Cun Li tak dapat melepaskan diri. Dua tombak di tangan dua panglima itu seolah naga menari-nari yang membelit dirinya, Cun Li terbelalak. Dan ketika tombak berputaran semakin cepat dan ujungnya mematuk-matuk bagai ular besar yang amat buas tiba-tiba baju Cun Li terobek dua kali terkena tusukan ujung tombak.
“Bret-brett...!”
Cun Li terkesiap. Sekarang dua lawannya tertawa mengejek dan berkelebatan tiada henti, kini ia terkurung dan Beng An serta saudara-saudara seperguruannya yang lain cemas, hanya Hu Beng Kui yang tetap tenang dengan mata awas ke depan. Jago pedang ini tertarik karena gerakan tombak di tangan dua panglima itu luar biasa cepatnya. Cun Li terkurung di tengah dan coba keluar, belum berhasil dan terpaksa kedua lengan bergerak menangkis ke sana ke mari, tombak terpental tapi sudah menerjang lagi, gerakannya seolah tombak bernyawa. Dan ketika dua panglima itu berseru keras dan sang kakak menyuruh Cu Kim memainkan tombak terbang sekonyong-konyong tombak di tangan dua panglima itu lepas dari tangan dan benar-benar “terbang” menyambar dan menyerang Cun Li seolah tombak yang hidup!
“Aih, hebat. Bagus...!” Cun Li kebingungan. Tentu saja mengelak dan menampar atau menendang. Dua tombak itu ber-ganti-gantian menyerangnya dari segala penjuru, terbang dan berputaran bagai benda-benda bernyawa yang memiliki mata. Kemana Cun Li mengelak ke situ pula mereka memburu, Cun Li berobah mukanya. Benar-benar hebat Hui-liong Chio-sut yang dimainkan dua panglima ini. Mula-mula heran bagaimana tombak terbarg itu dapat menyerang sendiri tanpa dicekal tuannya.
Tapi ketika Cun Li melihat sinar halus berkeredep dari tangan dua panglima itu merupakan sinar panjang yang mengemudikan dua tombak ini tiba-tiba Cun Li sadar bahwa kiranya dua panglima itu mengikat bagian belakang tombaknya dengan semacam benang baja yang amat halus namun kuat, kawat-kawat baja yang mampu mengendalikan dua senjata panjang itu sesuai kehendak majikannya, inilah permainan jari-jari tangan yang harus lihai, juga putaran pergelangan yang harus kuat. Cun Li kagum. Dan ketika tombak terus menyerang dan menusuk serta mematuk tiba-tiba kembali baju pundak Cun Li robek.
“Bret!” Cun Li mengerahkan sinkangnya. Mata tombak mematuk baju sekaligus kulit dagingnya. mental dan hanya merobek pakaian pemuda itu karena Cun Li telah melindungi diri, sinkangnya itulah yang menyelamatkannya. Panglima Cu tertegun. Tapi karena pemula itu terkurung dan telah menghadapi serangan tombak yang berputaran dari segala penjuru maka kembali dua bagian tubuh lawan tersambar tombak.
“Bret-brett!”
Dua panglima Cu lagi-lagi tertegun. Mereka tak dapat melukai tubuh pemuda itu, tombak lagi-lagi mental bertemu kulit daging yang atos. Mereka marah, kalau begini percuma saja kurungan tombak yang hebat itu, lawan tak dapat dirobohkan. Maka membentak berseru keras tiba-tiba Cu Hak menyuruh adiknya menyerang bagian lawan yang lemah yakni mata dan lubang telinga, segera bertabi-tubi menyerang bagian itu dan Cun Li sibuk, pemuda ini harus menampar dan mendorong berkali-kali.
Patukan tombak semakin cepat dan Cun Li semakin kewalahan, tak mungkin lagi dia bertahan dengan caranya itu, hanya menangkis dan mendorong tusukan tombak. Maka ketika gerakan tombak semakin gencar dan Cun Li melengking tinggi mendadak pemuda ini mencabut pedangnya dan dengan gerak menyilang menangkis tombak yang menyerang dari kiri dan kanan.
“Trang-trangg....!”
Tangkisan pemuda itu mengejutkan Cu-ciangkun kakak beradik. Mereka tahu-tahu melihat sinar menyilaukan berkelebat dari punggung pemuda itu, menangkis tombak mereka dan bunga api berpijar. Hebat karena tombak membalik dan tidak sekedar tertolak, mengemplang dan hampir mengenai dua panglima itu kalau mereka tidak membanting diri bergulingan.
Tombak tiba-tiba kehilangan nyawanya dan tak dapat dikendalikan dua panglima itu berteriak tertahan. Dan ketika mereka melompat bangun dan kaget melihat pemuda itu sudah membawa pedang tiba-tiba Cun Li berkelebat dan bertubi-tubi menyerang mereka dengan sinar keperakan yang menggulung mereka berdua.
“Cu-ciangkun, maaf. Sekarang aku terpaksa mencabut senjataku. Inilah Giam-lo Kiam-sut... Siuut-plak!”
Dan pedang yang cepat menyambar mereka namun ditangkis dan membalik sekonyong-konyong lenyap bentuknya menjadi cahaya menyilaukan yang membuat mata dua panglima itu tak tahan, nyaris terpejam dan mereka kaget. Tombak di tangan mendadak kehilangan garangnya, kini mereka didesak dan cahaya pedang mencuat naik turun, hebat dan panas karena menyerang bagian-bagian tubuh yang mematikan. Ulu hati, tenggorokan dan bawah pusar. Cepat dan sebat hingga mereka sibuk.
Dua panglima itu ganti kewalahan. Dan ketika mereka mundur-mundur dan pedang terus menyambar tiada henti mendadak Cun Li berseru keras memperingatkan mereka menjaga tenggorokan, sinar mencuat membelah dari atas ke bawah, hampir berbareng dua panglima itu mendapat serangan yang sama. Dalam waktu sepersekian detik saja pedang menuju tenggorokan, hebat bukan main.
Cu-ciangkun coba mengelak dan menangkis namun kalah cepat. Pedang sudah meluncur dan menuju tenggorokan mereka. Dan ketika terdengar suara “bret-bret” dua kali dan pedang berhenti, ternyata ujung pedang sudah menodong Cu Hak. sementara leher baju dua panglima itu bolong tertusuk mata pedang yang tadi bergerak luar biasa cepat!
“Aaah...” Cu Hok dan adiknya terkejut. Mereka terkejut melihat leher baju masing-masing berlubang. Sebenarnya bukan leher baju yang berlubang melainkan leher mereka, sekali pemuda itu meneruskan serangannya tentu mereka sudah terkapar mandi darah. Dua panglima itu pucat. Dan ketika Cun Li tersenyum dan mundur menyimpan pedangnya, maka murid nomor empat dari Giam-lo-kiam Hu Beng Kui ini menjura.
“Ji-wi ciangkun, maafkan aku. Barangkali ji-wi sudah puas dan cukup menghentikan main main ini”
Cu Hak merah mukanya, menunduk. “Saudara Cun Li, rupanya kau dan gurumu orang-orang luar biasa. Kami mengaku kalah, Giam-lo Kiam-sut mu memang hebat dan kami bukan tandinganmu!”
Dan menyimpan tombaknya menghadapi Hu Beng Kui panglima itu merangkapkan kedua tangan. “Hu taihiap, hari ini kami menelan pil pahit. Biarlah kami terima dan mudah-mudahan lain hari kami dapat membalasnya. Maaf kami pergi terburu-buru dan kami akan melaporkan ini semuanya pada kaisar!” lalu membalik memutar tubuhnya panglima itu berkelebat keluar meninggalkan ruangan, disusul yang lain dan segera Hu Beng Ku bangkit berdiri.
Jago pedang itu berseri-seri memandang kepergian orang namun tidak mencegah. Dan ketika tempat itu sepi dan semua orang pergi maka pendekar ini menyuruh murid-muridnya mundur. Selesaikah urusan itu? Tentu saja tidak.
Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun menaruh penasaran besar, tiga panglima ini terpukul. Maka ketika mereka ke kota raja dan melapor kegagalan mereka maka kaisar marah-marah mendengar sikap Hu Beng Kui, hampir menyuruh pasukan menyerbu rumah pendekar itu. Untunglah Kim-taijin datang, pembesar ini memberi nasihat panjang lebar dan membujuk kaisar. Penyerbuan ke Ce-bu hanya memalukan istana saja. Sebuah keluarga akan di serbu ratusan orang, mungkin ribuan, jelas ini merusak citra istana saja.
Hu Beng Kui tentu akan melawan keras dengan keras, akan jatuh banyak korban dan belum tentu Sam-kong-kiam didapat, salah salah pendekar itu akan menyembunyikannya di suatu tempat. Istana bisa kehilangan muka dan orang macam Hu Beng Kui lebih baik dihadapi secara siasat. Dan ketika kaisar bertanya apa kiranya siasat itu maka Kim-taijin menunduk hormat.
“Sebaiknya tantang Hu Beng Kui dengan kegagahan. Kalau dia ingin menjaga Sam-kong-kiam seharusnya dia mampu melindungi pusaka itu dari tangan semua orang, mampukah dia melakukan itu dan beranikah dia menghadapi orang-orang yang ingin merebut Sam-kong-kiam.”
“Apa maksudmu, taijin?” kaisar kurang jelas. “Aku belum mengerti.”
“Artinya begini, sri baginda. Hu Beng Kui adalah jago pedang yang terlalu memasang harga diri. Kalau dia memang menginginkan pedang itu, sebaiknya suruh jago-jago persilatan berkumpul di rumahnya. Adakan semacam tantangan dengannya. Kalau dia dapat menghadapi semua lawannya biarlah pedang itu tinggal bersamanya, hitung-hitung sebagai hadiah sri baginda kepada seorang rakyat yang gagah perkasa. Tapi kalau pedang tak dapat dijaga maka pendekar itu diminta mengembalikan pedang secara baik-baik kepada paduka.”
Sri baginda mengerutkan kening. “Kau mau menyuruh aku menghadiahkan Sam-kong-kiam kepada orang lain? Mana bisa? Pedang itu pedang keramat, taijin. Sam-kong-kiam adalah nyawa kedua bagiku di istana ini. Tak mungkin aku melakukan itu!”
“Sabar, kita sedang menguji pendekar ini, sri baginda. Bukan menyerahkan pedang melainkan menyudutkan pendekar itu agar mengembalikan pedang kepada paduka. Menurut perhitungan hanya seorang gagahlah yang berani menantang orang-orang kang-ouw untuk mempertahankan sebuah benda, meskipun pedang pusaka. Dan karena menurut perhitungan hamba Hu Beng Kui akan berpikir seribu kali untuk mengundang orang-orang gagah berebut Sam-kong-kiam dengannya maka pendekar itu akan mengalah dan baik baik menyerahkan Sam-kong-kiam kepada paduka.”
“Kalau dia tak mau?”
“Maksud paduka Hu Beng Kui akan nekat menantang orang kang-ouw? Wah, ini Kesombongan luar biasa dari si jago pedang itu, sri baginda. Dan biar dia merasakan akibatnya!”
“Tapi pedang bisa terjatuh ke tangan orang lain!”
“Tenang, sabar. Kemungkinan itu memang bisa terjadi, sri baginda. Tapi masalah itu dapat kita pikirkan berikut. Sekarang ini adalah menantang pendekar itu dulu agar dia terpojok, agar dia insyaf dan tak usah mencari penyakit dengan menerima tantangan kita, menyerahkan pedang dan kedua pihak sama-sama tenteram, tentu saja paduka berjanji memberikan pengganti Hok-seng-kiam tapi Sam-kong-kiam harus diserahkan dulu. Janji paduka tentu tak perlu disangsikan lagi. Dan kalau pendekar itu tak percaya dan jelas dia ingin mengangkangi Sam-kong-kiam maka dia harus dihajar dengan menyuruh menerima tantangan kita. Dia harus menunjukkan kelihaiannya kepada semua orang kangouw dan biar dia menghadapi ribuan orang persilatan dan bukan menghadapi ribuan pasukan!”
“Ah, hendak meminjam tangan, taijin?”
“Begitulah, kalau paduka dapat menangkap.”
“Bagus, aku setuju, taijin. Laksanakan maksudmu itu!” kaisar tertawa girang, merasa setuju dan Hu Beng Kui bisa dipojokkan dengan cara begitu.
Menantang orang kang-ouw untuk mempertahankan Pedang Tiga Dimensi adalah pekerjaan luar biasa keras, tak mungkin pendekar pedang itu berani. Dan karena kaisar menyetujui buah pikirannya dan Kim-taijin mengangguk maka keesokan harinya penasihat kaisar yang luar biasa pandangannya ini ke Ce-bu, datang secara baik-baik dan dia pribadi bertemu pendekar itu, Cu-ciangkun dan Bu-ciangkun tak ikut. Tapi bagaimana jawaban Hu Beng Kui? Sungguh di luar dugaan!
“Aku menerima tantangan ini, taijin. katakan pada sri baginda bahwa Hu Beng Kui tak takut menantang semua ruang kang-ouw!”
“Taihiap tidak terlampau takabur?” Kim-taijin terkejut, melengak. “Apakah taihiap telah berpikir baik-baik menerima semuanya ini?”
“Ya, aku telah memikirkannya baik-baik, taijin. Tak usah ragu dan sampaikan saja pada sri baginda bahwa aku siap menerima siapa saja yang ingin coba-coba memiliki Sam-kong-kiam!”
“Tapi ini perbuatan berbahaya...”
“Ha ha ini urusanku, taijin. Aku orang she Hu telah menerima tantangan dan jangan kalian mungkir untuk memberikan Sam-kong kiam bila aku merobohkan semua lawan-lawanku!”
“Tentu, tapi, hm... apakah tidak kau pikir ulang jawabanmu ini, taihiap? Apakah kau tidak mempercayai pula janji sri baginda akan mengganti Hek-seng-kiam bila Sam-kong-kiam dikembalikan lebih dulu?”
“Aku tidak mengatakan begitu, taijin. Tapi bagiku lebih baik mempertahankan apa yang sudah ada di tangan daripada harus menunggu pengganti Hek-seng-kiam yang belum tentu sekualitas Sam-kong-kiam!”
“Blaiklah” Kim-taijin mengangguk-angguk, melihat bahwa di balik semua alasannya pendekar itu memang ingin memiliki Sam-kong-kiam. “Kau telah mengatur nasibmu sendiri, taihiap dan kami pihak istana akan menanti pergumumanmu untuk mengundang orang kang-ouw!” Lalu pulang kembali ke istana segera pembesar ini melapor pada kaisar apa yang telah dia perdebatkan dengan si jago pedang itu.
“Gila, orang she Hu ini benar-benar sombong! Kalau saja kita belum melepas tantangan tentu sudah kusuruh serbu rumahnya itu, taijin. Tapi karena dia menerima tantangan kita baiklah kutunggu apa sepak terjangnya!” kaisar marah-marah, tentu saja tak menduga bahwa Hu Beng Kui sesakti itu, entah karena kepercayaannya yang demikian besar terhadap kepandaian sendiri ataukah kesombongannya dengan meremehkan orang lain. Maklum, dia telah berhasil membunuh Kim-mou-eng dan barangkali keberhasilannya ini membuat jago pedang itu merasa diri sendiri paling unggul, Kim-taijin segera menghibur junjungannya.
Dan hari itu pihak istana nenunggu pengumuman Hu Beng Kui, bahwa dengan amat heran dan tidak kenal takut jago pedang itu memperkenankan siapa saja yang ingin mendapatkan Sam-kong kiam di tangannya, boleh datang dan boleh mereka beradu kepandaian. Hu Beng Kui ternyata sungguh-sungguh melaksanakan omongannya itu, kini secara terbuka dan terang-terangan dia mengundang semua orang dan mengatakan bahwa Sam-kong-kiam ada di tangannya.
Siapa merasa gagah boleh berhadapan dengannya, tentu saja setelah menghadapi murid dan anak-anaknya dulu. Dan karena ini peristiwa menggemparkan dan Hu Beng Kui tiba-tiba dikenal sebagai pembunuh Kim-mou-eng maka mendadak penduduk Ce-bu menjadi ramai dan baru tahu bahwa Hu Beng Kui yang mereka anggap pedagang itu ternyata seorang ahli pedang berjuluk Si Pedang Maut!
Bagaimana dengan Swat Lian dan Beng An sendiri? Tentu saja mereka terkejut. Tindakan ayahnya itu dinilai terlalu berani, hal ini terasa “kontroversial” dengan sepak terjang ayahnya sehari-hari, yang tak suka menonjolkan diri dan kini mendadak bersikap “perang terbuka”. Bukan main. Dan ketika hari itu Beng An terbelalak menegur ayahnya maka dengan tertawa dan tenang-tenang saja pendekar ini berkata,
“Biarlah, aku ditantang pihak istana. Kaisar ingin tahu pantaskah aku menjaga Sam-kong kiam. Kalau berhasil Sam-kong-kiam menjadi milikku tapi kalau tidak berhasil paling paling mampus menelan kekalahan!”
Bang An pucat. “Tapi itu kesombongan, yah. Tidakkah kau merasa bahwa istana menguji watakmu pula?”
“Aku tak perduli tentang itu. Pokoknya mereka menantang dan aku menerima, titik.”
“Tapi ayah mencari penyakit, kita semua bisa terlibat!”
“Hei, takutkah kau?” sang ayah tiba-tiba marah, memandang puteranya dengan tajam. “Apa maksud semua kata-katamu ini, Beng An? Apakah kau hendak menyuruh ayahmu menjilat ludah kembali dan terbungkuk-bungkuk menghadap kaisar dengan nenarik pengumumanku ini? Sekarang semuanya tak dapat mundur, aku harus maju dan Sam-kong-kiam cukup berharga untuk di pertaruhkan dengan nyawa sekali pun. Keberhasilanku membunuh Kim-mou-eng tak perlu membuat gentar menghadapi yang lain!”
Begitulah, Beng An tak bisa berkutik. Memang repot sekarang ini. Ayahnya telah mengedarkan pengumuman, siapapun orang kang-ouw boleh datang ke rumah mereka untuk coba-coba mendapatkan Sam-kong-kiam. Ayahnya hendak menunjukkan kepada dunia dan semua orang persilatan bahwa ayahnyalah yang patut memegang pedang keramat itu, apalagi ayahnya dikenal sebagai seorang jago pedang.
Bukti kematian Kim-mou-eng sendiri cukup menunjukkan hal itu, padahal Kim-mou-eng mampu meloloskan dari kepungan sekian ratus orang yang mengejar-ngejar dirinya. Bukankah keberhasilan ayahnya ini menunjukkan ayahnya jauh lebih hebat dibanding Kim-mou-eng? Dan dengan pedang begitu ampuh ayahnya ini sekarang bagaikan seekor harimau tumbuh sayap! Beng An sendiri percaya bahwa sukar ada orang dapat mengalahkan ayahnya itu. Tanpa Sam-kong-kiam sekali pun ayahnya sudah ditakuti orang, apalagi dengan pedang seampuh itu. Maka menunduk menghela napas pemuda ini mundur dan sudah disambut adiknya.
“Bagaimana, ayah bersikeras?”
“Ya, semuanya sudah terlanjur, Lian-moi. Aku tak dapat membujuk dan kita siap-siap saja menanti banjirnya para penantang!”
Swat Lian pucat. “Ayah begitu sombong?”
“Hm, kenyataannya begitu, Lian-moi. Tapi sekarang kita tahu bahwa ayah memang ingin memiliki Sam-kong-kiam, meskipun di mulut berkata tidak!”
“Dan kau membantu ayah?”
“Apakah tidak begitu?” Beng An balik bertanya. “Adakah jalan lain dan kita harus memusuhi ayah sendiri? Tidak, jelek-jelek dia ayah kita sendiri, Lian-moi. Kalau ayah sudah menetapkan begitu maka kita sebagai anak-anaknya tak dapat berbuat lain. Biarlah, apa yang terjadi kita lihat dulu dan barangkali sesuatu hikmah dapat kita petik di sini.”
Swat Lian terisak. Dia pun tak dapat berbuat apa-apa sekarang, bukan takut menghadapi lawan lawan berat melainkan menyesali sikap ayahnya itu. Sikap yang dapat menyusahkan mereka sekeluarga, baik dia dan kakaknya dan Kao Sin serta suheng-suhengnya. Ayah mereka telah melibatkan mereka dalam permusuhan terbuka.
Tapi karena ayah mereka adalah orang tua satunya di mana mereka hidup dan dibesarkan akhirnya apa boleh buat Beng An dan adiknya ini menerima semuanya itu dengan perasaan tertekan. Dan, begitu Hu Beng Kui mengeluarkan pengumumannya untuk menerima orang-orang yang ingin mendapatkan Sam-kong-kiam maka dunia kang-ouw memang tiba-tiba geger! Apa yang akan terjadi? Mari kita lihat saja.
Seminggu setelah pengumuman diumumkan. Pagi itu Swat Lian termenung di taman. Entah kenapa dia merasa tak nyaman menghadapi sepak terjang ayahnya ini, tangan memegang sehelai gambar yang akhir-akhir ini sering dilihat. Bukan lain gambarnya sendiri yang dilukis oleh Kim-siucai itu. Bayangan Kim-siucai yang tampan serta lemah lembut akhir-akhir ini kembali muncul, mengganggu pikirannya dan tiba-tiba Swat Lian menitikkan air mata. Dalam kesedihan memikirkan sepak terjang ayahnya itu tiba-tiba Swat Lian ingin berbicara dengan seseorang, bukan kakaknya melainkan orang lain.
Dan ketika ia termenung dengan isak kecil mendadak suara seseorang mengejutkannya di belakang. “Siocia, kau sendirian di sini? Mana ayahmu?”
Swat Lian mencelat. Tanpa didengar dan tanpa diketahui mendadak seseorang begitu saja telah berada di belakangnya, kalau itu musuh tentu dia celaka. Swat Lian kaget dan berjungkir balik, gerak refleks dirinya siap melepas pukulan. Tapi begitu dia melayang turun dan menahan lengannya yang siap menghantam mendadak Swat Lian berseru tertahan melihat siapa yang datang. “Kim-twako....!”
“Heh heh, maaf, siocia. Rupanya aku mengejutkanmu!” dan Kim-siucai yang muncul membuat Swat Lian terbelalak tiba-tiba membuat gadis itu girang bukan main dan sudah meremas pundak sastrawan ini.
“Eh, kau yang datang? Bagaimana bisa masuk? Melompati tembok?”
“Aduh. lepaskan dulu cengkeramanmu, siocia. Sakit sekali bahuku kau remas. Aku, eh... aku benar melompati tembok, masuk seperti anjing digebuk, heh-heh...!” sastrawan ini menyeringai.
Sikapnya meggemaskan dan tiba-tiba Swat Lian tersenyum. Entah kenapa mendadak dia merasa geli mendengar sastrawan ilu melompati tembok, tentu dengan susah payah. Persis, hm.... kira-kira persis anjing yang baru dikejar-kejar. Swat Lian terkekeh.
Dan ketika dia memperlihatkan giginya yang berderet seperti mutiara maka Kim-siucai itu cemberut kepadanya. “Kenapa kau tertawa? Memangnya aku badut?”
“Hi-hik, aku tertawa karena omonganmu tadi, Kim-twako. Bahwa kau melompati tembok seperti anjing digebuk. Tentu lucu tingkahmu tadi, barangkali kau kerangkangan seperti anjing sungguhan!”
“Ah, terlalu kau, siocia. Masa aku kau anggap anjing beneran? Aku manusia, bukan hewan!”
“Ya, ya. Aku tahu, aku hanya menggodamu saja. Eh, bagaimana kau dapat mengejutkani aku tanpa kudengar langkahmu? Kau.... hm, kenapa dulu kau pergi, Kim-twako? Benarkah kau sastrawan tulen?” Swat Lian tiba-tiba teringat, curiga dan memandang penuh selidik hingga lawan bicaranya tersenyum. Swat Lian genius dan tiba-tiba menotok, dia ingin menguji. Tapi ketika lawan roboh dan menjerit tertahan tiba-tiba gadis ini tertegun.
“Aduh, kenapa begini, siocia? Kau apakan aku? Aku tak bisa bangkit, pundakku terasa retak!”
Swat Lian menggerakkan jari. Sekali totok dia membebaskan lawan, Kim-siucai itu bangkit dan mengusap-usap pundaknya. Rasa sakit yang diperlihatkannya sambil mendesis-desis itu jelas bukan pura-pura. Swat Lian mengerutkan kening, teringat ucapan ayahnya dan tiba-tiba memandang umbaian rambut di bawah kopiah. Ternyata ia melihat rambut itu hitam biasa, tidak keemasan seperti kata ayahnya. Dan karena dia ragu dan kembali menganggap sastrawan ini bukan seorang ahli silat dan rupanya benar-benar orang lemah akhirnya Swat Lian duduk membanting pantatnya.
“Kim-siucai, kau orang aneh. Bagaimana kau dulu dapat melepaskan diri dari kami?”
“Ah, gampang, siocia. Waktu itu aku sembunyi di kakus!”
“Heh?”
“Benar, aku memasuki kakus dan bersembunyi di situ. Aku mendengar ayahmu marah-marah dan mencariku. Tentu saja aku gemetar dan nyaris kecemplung. Wah, kalau aku tidak menahan napasku dan sembunyi di sana tentu kau dan ayahmu menemukan aku!”
Swat Lian tiba-tiba merasa geli. Tanpa terasa senyumnya melebar, pecah dalam tawa kecil dan Sastrawan itu mengerutkan kening. Dan ketika orang kelihatan marah kepadanya maka gadis ini berkata, “Kim-twako, bukan main caramu itu. Tempat itu memang tepat, siapa mau mencarimu di sana? Hi-hik, kau tak tertimpa kotoran?”
“Ah, jangan meledek, siocia. Aku nyaris muntah-muntah bersembunyi di sana. Kalau ayahmu teliti dan mau mendobrak pintu kakus tentu aku mati kaku digantung ayahmu itu! Sudahlah, mana ayahmu sekarang dan betulkah berita yang kudengar di luaran bahwa ayahmu menantang semua orang kang-ouw untuk mempertahankan Sam-kong-kiam?”
“Kau tahu?”
“Wah, aku pengelana, siocia. Tahu segalanya!”
Swat Lian kagum. Untuk kesekian, kalinya dia tercengang akan telinga sastrawan ini, yang rupanya suka “nguping” dan tahu akan sesuatu hal, tahu sebelum diberi tahu, tiba-tiba tertegun karena Kim-siucai memang pengelana. Seorang pengelana akan tahu lebih banyak hal daripada yang bukan pengelana, perjalanannya itulah yang meluaskan pengetahuan sistrawan ini. Dan karena lagi-lagi Swat Lian dapat menerima alasan itu maka gadis ini mengangguk berseru kagum “Kim twako, kau rupanya orang isitmewa. Apalagi yang kau ketahui selain ini?”
“Banyak, siocia. Termasuk pertikaian ayahmu dengan pihak istana.”
Swat Lian mengerutkan kennrg. “Kau juga tahu itu?”
“Tentu saja, aku punya telinga di mana-mana!”
Swat Lian mendesis, “Twako, bagaimana kau bisa tahu itu? Tak banyak orang tahu akan ini. Kau rupanya dapat bergerak cepat ke sana ke mari untuk melacak berita!”
Kim-siucai menghentikan tawanya. Sorot yang penuh selidik dan lagi-lagi curiga membuat dia menyeringai, menahan diri. Dan ketika gadis itu memandangnya tajam mahasiswa ini mengangkat lengannya. “Siocia” katanya sungguh-sungguh, “bukankah hal begini dapat disiarkan istana kepada siapa saja? Bukankah persoalan itu gampang didengar karena pihak istana mendongkol kepada ayahmu? Hal ini bukan istimewa, siocia. Kalau aku tahu itu adalah lumrah.”
“Hm, baiklah. Dan kedatanganmu sekarang ini, apa maksudmu? Bagaimana kau berani mati mendatangi rumahku? bukankah kau tahu ayahku akan menangkapmu kalau kau terlihat?”
“Aku percaya padamu, siocia. Aku tahu kau akan melindungiku bila ayahmu marah-marah!“
“Kau percaya itu?”
“Tentu saja, kita sahabat. Dan heh-heh... maaf agaknya beberapa hari ini siocia teringat padaku dan ingin bertemu.”
“Wut!” Swat Lian melompat bangun, terbelalak matanya, merah mukanya. “Kau berani bicara seperti itu, Kim-siucai? Kau mau main-main denganku!“
“Ah-ah, maaf,” siucai ini tiba-tiba ketakutan. “Aku tidak bermaksud kurang ajar kepadamu, siocia, melainkan melihat bukti yang ada di tangan. Bukankah kau membawa lukisanku dua tiga hari ini? Bukankah kau selalu termenung dan tampak sedih? Aku mencuri lihat akhir-akhir ini siocia, tapi baru hari ini aku berani masuk!”
Swat Lian tertegun. Tiba-tiba lukisan di tangannya jatuh, wajah gadis ini memerah dan Swat Lian gugup memandang siucai itu. Kim-siucai sendiri sudah mengambil lukisan yang jatuh itu dan menyerahkannya dengan menunduk. Dan ketika Swat Lian menerima dan tubuh dilipat dua maka sastrawan ini berkata menyesal.
“Hu siacia, maafkan aku. Rupanya kata-kataku telah menyinggung perasaanmu. Kukira kau membutuhkan seseorang untuk bicara di tempat ini, tak tahunya aku salah. Biarlah aku pergi dan aku tak akan berani datang lagi kemari....”
Tapi ketika sastrawan itu memutar tubuhnya tiba-tiba Swat Lian berseru menahan, terisak. “Tunggu, kau memang benar, twako. Aku ingin bicara denganmu dan jangan pergi!”
“Eh,” sastrawan ini terkejut, girang. “Siocia tidak marah?”
“Tidak, kau duduklah, twako. Mari kita omong-omong!” Dan begitu Swat Lian memerintahkannya duduk tiba-tiba Kim-siucai ini tersenyum lebar.
“Siocia, apa yang ingin kau bicarakan? Tidak lancangkah kiranya aku ngobrol di sini denganmu?”
“Tidak, aku cukup mendapat kebebasan, twako. Dan, hm... terus terang saja hari ini ayah sedang tidak di rumah!”
“Wah, kebetulan. Tapi bagaimana kalau kakakmu atau yang lain tahu?”
“Aku akan melindungimu, kakakku amat sayang kepadaku dan tak mungkin dia marah.”
“Dan pembantu-pembantumu?”
“Kenapa cerewet amat? Kau bawel seperti nenek-nenek, twako. Tak usah khawatir dan percayalah akan kata-kataku!” Swat Lian kesal.
“Ha-ha, terima kasih, siocia. Kalau bagitu terima kasih!” sastrawan ini tertawa bergelak.
Swat Lian mengerutkan kening tapi akhirnya tersenyum. Dua titik air mata itu diusapnya dan mereka sudah duduk berhadapan. Dan ketika dua pasang mata kembali beradu dan Swat Lian merah mukanya memandang wajah tampan itu maka Kim-siucai tiba-tiba memegang pundaknya, begitu berani!
“Siocia, kenapa kau begitu sedih? Kenapa menangis?”
Aneh sekali, Swat Lian tak mengusir tangan di atas pundak ini, bahkan menarik napas. “Aku prihatin atas sikap ayah, Kim-twako,” katanya. “Dan aku khawatir akan apa yang bakal terjadi“
“Hm, urusan Sam-kong-kiam itu?”
“Ya.”
Jari itu tampak menggigil, bergetar di atas pundak. “Kau tak membujuk ayahmu?”
“Sudah, twako, tetapi gagal.”
“Ayahmu seorang keras kepala?”
“Ya, bahkan akhir-akhir ini cenderung sombong, setelah tewasnya Kim-mou-eng itu. Eh...!” Swat Lian berhenti sejenak. “Kau tahu tentang terbunuhnya Pendekar Rambut Emas itu, twako? Kau mendengar pula?”
“Tentu, kalau tidak tak mungkin pedang berpindah tangan, siocia. Dan aku prihatin atas semua kejadian ini!”
“Kau tak perlu menyebutku siocia (nona)” mendadak Swat Lian menegur. “Panggil saja namaku atau adik Swat Lian!”
“Hm, keluargamu tidak marah?”
“Kenapa marah? Memangnya aku harus tunduk pada mereka dan terikat peraturan-peraturan kaku?”
Kim-siucai tiba-tiba kagum, melepas tangannya. “Siocia, eh... adik Swat Lian, kau benar-benar lihiap (pendekar wanita) sejati. Lebih pantas kau menjadi puteri Si Pedang Maut daripada puteri seorang pedagang!”
“Kau memuji?” Swat Lian tersenyum. “Maaf, toako, aku tak punya uang kecil!”
“Ha-ha!” mereka tiba-tiba sama tertawa. “Kau luar biasa, adik Swat Lian. Kalau tidak mengenal sendiri tingkah lakumu sehari-hari tentu tak mau aku percaya bahwa kau demikian bebas, tak terikat norma-norma usang dan gagah serta lihai. Mana mungkin orang percaya bahwa jari-jari yang demikian halus mampu membuat jungkir balik penjahat? Ah, aku kagum padamu, adik Swat Lian. Kau memang hebat!” tapi mendesis mengangkat mukanya tiba-tiba Kim-siucai ini berseru, “Ada orang datang...!”
Swat Lian terkejut. Dengan amat cepat namun berkesan gugup siucai itu meloncat di belakang, bersembunyi di gerumbul taman dan menghilang di situ. Swat Lian terkejut karena baru mendengar langkah seseorang, suhengnya nomor empat Cun Li muncul. Dan ketika dia tertegun dan heran bagaimana siucai itu bisa lebih dulu tahu maka Cun Li telah berkelebat di depannya dan membungkuk.
“Sumoi, tak ada seseorang di sini? Aku melihat jejak kaki mencurigakan, jangan-jangan ada pencuri atau orang asing masuk!”
Swat Lian bangkit berdiri, terbelalak. “Di mana kau lihat?”
“Di tembok, sumoi. Seperti orang merayapi dinding dan menuju ke tempat ini!”
“Hm, tidak!” Swat Lian berdebar, teringat Kim-siucai dan tentu saja menggeleng. “Kau barangkali salah lihat, suheng. Coba periksa kembali tapi tempat ini betul-betul tak ada orang selain aku.”
“Baiklah, terima kasih, sumoi. Dan aku akan melapor kepada kakakmu.”
Cun Li berkelebat ke dalam. Sekarang Kim-siucai muncul dan sastrawan itu mengebut-ngebut pakaiannya, tiba-tiba Swat Lian curiga dan memandang tajam. Aneh siucai ini, pikirnya. Bagaimana dapat mendahului pendengarannya mendengar Cun Li? Apakah dia lengah atau...,
“Kim-twako!” Swat Lian tiba-tiba membentak, mencengkeram bahu lawan. “Bagaimana kau tahu kedatangan suhengku itu padahal aku belum? Kau memiliki kepandaian dan berpura-pura?”
“Ah-ah....!” Kim-siucai ini meringis. lagi-lagi menampakkan diri kesakitan. “Kenapa kau menduga begitu, adik Swat Lian? Bukankah aku kebetulan menghadap arah suhengmu dan adakah aneh kalau aku lebih dulu tahu? Aku telah melihat bayangannya, karena itu aku lebih dulu tahu dibanding dirimu. Lepaskan cengkeramanmu, sakit!”
Swat Lian melepaskan cengkeramannya, tertegun. “Begitukah?”
“Ya, kau kira apa? Aku bohong?”
“Hm....!” Swat Lian menyerah kalah. “Aku lagi-lagi salah, twako. Maafkan aku.”
“Kenapa? kau menduga aku bisa silat? Ha-ha, kau ini lucu, adik Lian. Kalau aku bisa silat tentu tiga penjahat dulu itu tak dapat menghina aku. Kau terlampau curiga, atau barangkaii penampilanku yang terlalu mencurigakan. Baiklah, kalau begitu aku pergi saja dan biar kau....”
“Tidak!” Swat Lian memotong, mencegah. “Kau tak usah pergi, twako. Nanti saja, aku masih ingin bercakap-cakap denganmu!”
“Tapi kau memiliki ketidakpercayaan....”
“Aih, sudahlah. Ini semua karena ayah, twako. Ayah berkeyakinan benar bahwa kau bisa silat. Padahal, hm... sekali totok saja kau roboh!” Swat Lian terkekeh, menyatakan penyesalannya.
Siucai itu meringis. Dia merasa diolok-olok karena kebodohannya. Tapi tidak marah dan tersenyum memandang gadis itu dan malah berkata, menepuk dahi sendiri, “Ya, itulah kesialanku. Aku melulu sastrawan goblok, adik Swat Lian. Pintar tidak goblok pun belum. Heh-heh, ayahmu terlalu berlebihan menilai diriku. Kalau saja benar, hm... tentu nikmat sekali bisa memiliki kepandaian bela diri.”
“Kau mau belajar?”
Kim-siucai terbelalak. “Siapa mau menjadi guruku?”
“Hi-hik, aku mau, twako. Kau Kulihat berbakat dan dapat memiliki sekedar ilmu penjaga diri agar tidak diganggu orang jahat.”
“Kau?”
“Ya, kenapa? Kau tak suka?”
“Ah!” siucai ini bertepuk tangan. “Tentu saja suka, adik Lian. Tapi....“ keningnya tiba-tiba berkerut. “Lancang apa aku ini? Mana mungkin kau dapat mengajari aku? Tidak, aku takut ayahmu, adik Lian. Jangan-jangan dia marah besar dan aku bisa dibunuhnya!”
“Aku akan melindungimu!” gadis itu menegakkan kepala. “Dan aku jamin keselamatanmu asal kau menurut perintahku!”
“Begitu nekat?” pemuda ini tertawa. “Kau melihat apa pada diriku ini, adik Swat Lian. Bukankah aku seorang pengelana yang suka bergerak dari satu tempat ke tempat lain? Apakah bisa aku kau kurung di sini? Jangan, aku tak mau merepotkanmu, adik Lian. meskipun aku merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa demikian besar perhatianmu kepadaku!”
“Kau menolak?” Swat Lian tiba-tiba kecewa. “Baiklah, kau rupanya merendahkan ilmu silat keluarga Hu, Kim-twako. Barangkali dalam perjalananmu itu kau melihat seorang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kami!”
“Ah, jangan salah paham. Kenapa berpikir begitu, adik Lian? Aku tak merendahkan, hanya semata aku tak mau membuatmu repot.”
“Aku tidak repot!”
“Tapi ayahmu bisa marah.”
”Aku dapat memberi jawabannya!”
“Hm....!” Kim-siucai ini garuk-garuk kepala terdesak. “Baiklah, adik Lian. Tapi aku ragu apakah setua ini aku dapat menjadi muridmu yang baik!”
“Kau suka?”
“Sekedar penjaga diri saja...”
“Tentu, aku memang ingin membayar sedikit jasamu atas lukisanmu dulu, twako. Kalau kau suka tentu saja aku akan girang sekali!” Swat Lian benae-benar girang, mukanya tiba-tiba berseri. “Kalau begitu sekarang boleh kita mulai!” gadis itu melompat bangun, langsung berseru. “Aku akan mengajarimu kauwkoat (teori silat) sebelum meningkat yang lain!”
“Ah, begini mendadak?”
“Memangnya kenapa? Hayo, kesini, twako. Lihat aku akan mengajarimu jurus-jurus penahan serangan!” dan menyuruh pemuda itu maju Swat Lian sudah menunjukkan gerak-gerak tangan dan sikap kaki yang benar, menyuruh pemuda itu menirukan dan sambil nyengir Kim-siucai ini pun mengangguk, dua tiga jam tidak terasa mereka habiskan dengan cepat. Dan ketika siucai itu menghapus keringat dengan napas terengah-engah maka Swat Lian menghentikan gerakannya dan tertawa berkata, “Kau lemah benar. Baru beberapa jurus saja sudah capai!”
“He-he, aku belum biasa, adik Lian. Tapi dua tiga hari tentu aku akan lebih kuat.”
“Ya, dan kau akan bertambah sehat!”
“Tapi pelajaran pun meningkat!”
Swat Lian tertawa. Bergaul dengan siucai ini mendadak membuat dia lupa kemurungannya terhadap sang ayah. Hari itu mereka menyelesaikan percakapan dan keesokan harinya kembali mereka bertemu lagi. Jurus demi jurus diajarkan Swat Lian kepada murid barunya ini. Dan ketika seminggu kemudian mereka belajar dengan begitu gembira mendadak Beng An muncul berseru marah.
“Lian-moi, apa-apaan ini? Kau memasukkan orang asing ke dalam rumah? Hei.... dia Kim siucai!” Beng An terkejut, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan terbelalak memandang siucai itu.
Kim-siucai sendiri tersentak dan buru-buru menyelinap di belakang Swat Lian, dia menggigil dan berbisik meminta tolong Swat Lian. Dan sementara Swat Lian sendiri juga terkejut karena lengah kedatangan kakaknya maka Beng An berdiri di depannya dengan mata melotot.
“Lian-moi, bagaimana kau bergaul dengan siucai ini? Dan kau mengajarinya silat? Ah, kau lancang. Ayah bisa marah dan menghajar kalian berdua!”
Swat Lian sudah dapat menenangkan diri. “An-ko, jangan keburu marah. Aku hanya sekedar memberinya pelajaran sederhana, hitung-hitung sebagai jasa lukisannya dulu itu.”
“Tapi kau tak meminta ijin, Lian-moi. Dan Kim-siucai ini pun dicari ayah!”
“Aku tahu...”
“Kalau begitu kenapa nekat? Kau lancang, biar kulihat sampai di mana ilmu yang kau berikan....!” dan berkelebat menyambar siucai itu tiba-tiba Beng An bergerak dan menyerang pemuda ini, dikelit tapi dua tiga gebrakan Kim-siucai roboh. Beng An segera tahu sampai di mana ilmu yang diberikan adiknya, ternyata memang ilmu yang biasa-biasa saja. Untung bukan ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut!
Beng An mendengus. Dan ketika dia mencengkeram dan marah mengangkat bangun siucai itu maka pemuda ini membentak, “Kim-siucai, berapa hari kau mendapat pelajaran adikku? Kau begini berani mati bergaul dengan adikku? Lancang kau, seharusnya ku lempar sekarang....!”
Tapi Swat Lian yang berkelebat menyambar siucai itu tiba-tiba berseru, “An-ko, lepaskan. Keselamatan Kim-siucai aku yang menjaga!” dan merenggut siucai itu dari tangan kakaknya gadis ini berdiri gagah, membusungkan dada. “Dia datang karena ku undang. Kalau ingin marah jangan kepadanya melainkan kepadaku. Nah, kuharap kau tidak memberitahukan ini kepada ayah!”
Beng An terkejut. “Kau gila?”
“Aku tidak gila, An-ko, melainkan aku telah berjanji kepadanya agar tidak siapa pun mengganggu!”
“Tapi Kim-siucai ini mencurigakan, dia lolos ketika dulu kita kejar!”
“Dia bersembunyi di kakus, An-ko. Dan aku telah menanyainya hingga tak perlu bercuriga lagi!”
Beng An mengerutkan kening. Dia tertegun melihat adiknya demikian ngotot melindungi siucai ini, tentu saja tak senang karena sebagai seorang gadis adikkya ini telah bergaul dengan pemuda asing, tanpa sepengetahuannya, tentu saja dia marah dan Beng An melotot memandang siucai itu. Tapi melihat adiknya bersungguh-sungguh dan dia tahu watak adiknya yang keras akhirnya Beng An menarik napas panjang.
“Lian-moi, kau adalah puteri Hu Beng Kui yang terhormat. Haruskah kini kau bergaul diam-diam dengan pemuda yang baru dikenal? Pantaskah kiranya selama berhari-hari kau bertemu dengannya di sini? Bagaimana kalau diketahui orang lain dan namamu cemar. Kim-siucai ini sudah jelas bukan pemuda baik-baik, Lian-moi. Kalau dia pemuda baik-baik tentu akan datang secara terhormat dan meminta ijin kepada ayah atau aku untuk menemuimu. Insaflah, ini bukan pertemuan yang baik dan siucai ini harus diusir!”
Swat Lian tertegun, mau membantah. Tapi Kim-siucai yang sudah maju mendahului merangkapkan tangan ternyata berkata, persis seperti apa yang dipikir Swat Lian, “Saudara Beng An, apa yang kau katakan memang tidak salah. Tapi coba pikir, mungkinkah aku mendapat ijin kalau masuk terang-terangan? Mungkinkah ayahmu atau kau mengijinkan aku di sini? Tidak, aku rasa tak mungkin itu kalian lakukan, saudara Beng An. Dan karena itu terpaksa secara lancang aku berada di sini menemui adikmu.”
“Untuk urusan apa?”
“Sam-kong-kiam.”
Beng An melengak, terkejut. “Kau siucai lemah begini bicara tentang Sam-kong-kiam? Hm....!” Beng An tiba-tiba mercengkeram bahu lawan. “Kau mencurigakan hatiku, Kim-siucai. Omonganmu ini saja sudah cukup membuat aku mencurigaimu karena tak masuk akal seorang mahasiswa lemah macam dirimu bicara tentang Sam-kong-kiam!” dan memandang adiknya dengan tetap mencengkeram siucai itu Beng An berseru, “Nah, kau dengar, Lian-moi. Tidakkah kau curiga melihat siucai ini bicara tentang Sam-kong-kiam? Tidakkah pemuda macam ini seharusya di tangkap dan dihadapkan ayah?”
“Maaf,” Kim-siucai berkata. “Aku tidak bermaksud merebut pedang itu, saudara Beng An. Melainkan membicarakan sepak terjang ayahmu yang dapat mencelakakan diri sendiri. Aku datang untuk berbicara ini dan bukan pedangnya sendiri!”
“Benar,” Swat Lian tiba-tiba mengangguk. “Dia datang untuk membicarakan ayah yang melepas pengumuman itu, An-ko. Karena sama seperti kita Kim-siucai pun menganggap ayah mengundang bahaya!”
“Apa perdulinya?” Beng An marah. “Bukankah dia orang luar dan tak perlu ikut campur?”
“Ah, salah. Aku memang orang luar, saudara Beng An. Tapi budi adikmu yang telah menyelamatkan aku dari penjahat membuat aku ingin berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kalian sekeluarga pula. Aku... ah... jangan merendahkan!” Kim-siucai melihat jengek mengejek dari mulut Beng An. “Aku memang siucai lemah tapi buah pikiranku barangkali dapat mempengaruhi orang lain!”
“Hm, pengaruh apa? Kau tetap tak banyak bisa berbuat, siucai tolol. Kalau kami yang berkepandain saja tak bisa melakukan apa-apa apalagi kau. Sudahlah, nama keluarga Hu harus kami jaga. Memandang muka adikku biarlah kehadiranmu kuanggap tak ada dan sekarang kau harus pergi. Jangan mrnenui adikku lagi karena tak pantas seorang gadis mengadakan kencan dengan pemuda yang bukan apa-apanya!”
Swat Lian merah mukanya. Memang untuk ini ia merasa salah, sebenarnya Kim-siucai itu sudah mau pergi tapi dia selalu menahan-nahan. itu kesalahannya. Dia merasa tentarik dan entah kenapa wajah siucai ini mengganggunya. Barangkali gerak-geriknya yang aneh dan serba rahasia itu membuatnya kepingin tahu. Maka ketika kakaknya melirik tajam dan teguran itu pun ditujukan pula pada dirinya maka Swat Lian menunduk sementara Kim-siucai pun menghela napas, mengangguk.
“Adik Swat Lian, apa yang dikata kakakmu memang benar. Sekarang kita harus berpisah, banyak terima kasih bahwa sejurus dua ilmu yang telah kau berikan padaku mungkin dapat berguna di kemudian hari. Maaf kalau aku merepotkanmu dan maaf pula terhadap saudara Beng An!” dan membungkuk memberi hormat tiba-tiba siucai itu memutar tubuhnya meninggalkan tempat itu, naik ke tembok dan merayap ke atas. Lucu sekali tingkahnya ini, menggelikan. Tapi begitu dia lenyap di luar dan Beng An berkelebat menyusul ternyata orang sudah tak ada lagi di sana.
“Iblis! Ke mana dia?”
Swat Lian juga terkejut. Dia sendiri sudah menyusul kakaknya, di luar tembok itu adalah tempat terbuka, semestinya Kim-siucai itu masih terlihat dan tentu saja mereka terbelalak karena seperti siluman saja siucai itu lenyap. Ini tak mungkin. Maka Beng An yang berseru pada adiknya agar memutari tembok sebelah kiri tiba-tiba berkelebat mencari memutari tembok sebelah kanan.
“Lian-moi, coba cari. Temukan dia!”
Swat Lian mengangguk, ia sudah berkelebat seperti kata kakaknya, mencari tapi tidak ketemu. Di ujung tembok mereka kembali jumpa. Dan ketika swat Lian tertegun dan kakaknya melotot. Maka Beng An membanting kaki tak menemukan Kim-siucai itu. “Sial! Kenapa tidak tadi-tadi saja dia kutangkap? Siucai ini mencurigakan, Lian-moi. Aku tak percaya dia orang biasa karena untuk kedua kali sekarang kita tertipu!”
Swat Lian berdebar, heran juga. “Ya, kemana siucai itu, An-ko? Apakah dia pandai menghilang seperti siluman?”
“Tak mungkin, ini pasti kepandaian ilmu meringankan tubuh. Atau dia bersembunyi di kakus lagi? Coba kucari” Dan Beng An yang penasaran berkelebat ke samping akhirnya tak lama kemudian kembali lagi dengan tangan kosong. “Tak ada, ia benar-benar lenyap!”
“Hm!” Swat Lian bersinar-sinar, heran dan curiga dengan kuat “Siucai ini aneh sekali, An-ko. Kalau begitu lain kali dia kutemukan sebaiknya dia kuhadapkan kepada ayah!”
“Kau terlambat, seharusnya tadi!” dan sesosok bayangan yang terkelebat di belakang mereka tiba-iiba membuat dua muda-mudi ini membalik, melihat Cun Li muncul.
“Sumoi, sute, ayah kalian memanggil. Undangan sudah mulai berdatangan dan kalian diminta masuk!”
Beng An terkejut. “Siapa?”
“Tujuh Pengemis Kang-lam. suhu telah menerima mereka dan kalian diharapkan hadir!”
“Baik!” dan Beng An yang menyambar adiknya melompat ke dalam akhirnya tak jadi memikirkan keanehan Kim-siucai dan buru-buru menghadap ayah mereka.
Hu Beng Kui mulai kedatangan tamu, murid-murid berkata bahwa di luar kota tentu orang-orang mulai membanjir, inilah detik-detik menegangkan itu. Dan ketika mereka menghadap ayah mereka itu dan mendapat dampratan karena dikata keluyuran tak tahu diri akhirnya mereka disuruh tinggal di rumah menyiapkan diri menyambut kedatangan para tamu. “Kalian tak usah ke mana-mana, ini saatnya kita bekerja!”
Beng An menunduk. Kata-kata sang ayah tentu saja tak berani dia bantah, hari itu terjadi kesibukan di rumah Hu Beng Kui. Dan karena Tujuh Pengemis Kang Lam dinyatakan sudah mendaftar dan mereka merupakah tamu pertama yang mengikuti undangan Hu Beng Kui yang aneh maka hari itu Swat Lian dan kakaknya tak lagi memikirkan Kim-siucai.
Siang itu, memasuki tengah hari ternyata sudah banyak orang berkumpul di halaman keluarga ini. Rumah Hu Beng Kui memang luas, halamannya dapat menampung lima ratus orang lebih, tak heran karena keluarga ini adalah keluarga kaya. Hu Beng Kui memang berhasil dalam menikmati kehidupan materinya.
Tujuh Pengemis Kam Lam yang dimaksud itu sudah duduk di depan panggung lui-tai. Panggung yang telah didirikan Hu Beng Kui untuk mengadu kepandaian. Panggungnya kokoh dan tinggi dua meter lebih, tak ada tangga disitu dan orang harus meloncat untuk naik ke sina. Inilah cara Hu Beng Kui menguji lawannya. Lawan harus memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup untuk dapat melayang ke atas panggung.
Orang-orang lain rupanya sudah mendengar dan Hu Beng Kui juga menyediakan tempat duduk. Kedatangan Tujuh Pengemis Kang Lam yang merupakan orang pertana yang akan merebut Sam-kong-kiam tentu saja cepat menarik perhatian orang dan ketika Hu Beng Kui muncul diiring putera-puterinya maka tujuh pengemis ini bangkit berdiri memberi hormat, baru kali itu bertemu jago pedang ini dan lima dari mereka kagum memandang Swat Lian, yang hari itu mengenakan pakaian hijau, dengan ikat pinggang hitam. Cantik dan gagah.
“Hu-taihiap, kami datang untuk coba-coba memenuhi tantangannya. Kami Kang-lam Jit-kai tak tahu diri ingin merebut Sam-kong-kiam!”
“Hm, kami tahu, jit-wi lo-kai (tujuh pengemis). Kalian ingin bertanding dengan cara bagaimana? Silahkan naik ke atas panggung, kita bicara di sana!” Hu Beng Kui menggerakkan kaki, tubuh tiba-tiba lenyap dan mumbul di atas panggung lui-tai, tanpa menengok atau pun menoleh pendekar ini sudah melesat ke sana, gerakannya demikian ringan dan luar biasa.
Dan ketika Swat Lian dan kakaknya juga mengikuti gerakan sang ayah dan mereka sudah menyuruh naik tujuh pengemis di bawah tiba-tiba orang-orang yang ada di sekitar situ bertepuk tangan memuji melihat kepandaian Hu Beng Kui dan dua anaknya ini, di sambut acuh saja oleh Hu Beng Kui yang belum mengeluarkan sepersepuluh dari kepandaian yang dia miliki.
Kang-lam Jit-kai (Tujuh pengemis Kang-lam) tertegun. Mereka tiba-tiba tergetar, meloncat tanpa memandang kiri kanan bukanlah perbuatan yang tidak berbahaya, sekali meleset tentu bakal terjeblos, dan sekali kejeblos tentu bakal menjadi bahan tertawaan orang belaka. Tapi merasa dapat melompat tanpa banyak susah tiba-tiba mereka bergerak serentak dan tujuh pengemis ini telah mengikuti jejak tuan rumah, kembali mendapat tepukan ketika mereka sudah berhadapan dengan Hu Beng Kui di atas panggung.
“Maaf, aku Twa-kai (Pengemis Tertua), taihiap. Masalah cara pertandingan kuserahkan saja padamu. Kami biasa maju bertujuh, tapi kalau dikehendaki maju satu per satu pun kami dapat, semuanya terserah padamu.”
“Hmm, begitukah? Kalau begitu bareng saja, aku akan menyuruh muridku termuda melayani kalian” dan menoleh memanggil Kao Sin pendekar ini menggapaikan tangan. “Kao Sin, majulah. Hadapi tamu dan robohkan mereka!”
Dan begitu muridnya melayang masuk jago pedang ini sudah meluncur turun dan membiarkan muridnya menghadapi lawan, diikuti putera-putrinya karena sebenarnya Hu Beng Kui ini sedang menguji kepandaian lawan belaka, melihat dari gerak tujuh pengemis ilu mereka masih di bawah Kao Sin. Tentu saja sikap ini meremehkan tujuh pengemis itu dan Twa-kai mendelik, tuan rumah sudah menyerahkan mereka pada orang lain, Kao Sin sudah menjura di depan mereka.
Dan ketika pemuda itu membungkuk dan Twa-kai mengetukkan tongkat maka orang tertua dari Kang-lam Jit-kai ini berseru, “Hu-taihiap, sedemikian sombongkah dirimu ini hingga menyuruh maju seorang muridmu melawan kami bertujuh? Bagaimana kalau muridmu mampus?”
“Hm, tak perlu banyak cakap. Twa-kai. Kalian yang akan roboh dan cepatlah selesaikan pertandingan ini!”
Hu Beng Kui malah memberi tanda, menyuruh putera-puterinya mewakili di situ dan sudah masuk ke dalam. Rupanya pertandingan ini tak menarik bagi pendekar itu. Hu Beng Kui telah melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) mereka yang rendah. Tentu saja tujuh pengemis itu mencak-mencak. Bukan main pongahnya si jago pedang itu, kehadirannya cukup diwakili putera-putrinya.
Tapi karena tuan rumah sudah diwakili muda-mudi itu dan Kang Lam Jit-kai tak dapat menahan diri maka bentakan nyaring sudah dimulai mereka, menyuruh Kao Sin bersiap dan mereka maju menubruk, mula-mula yang maju hanya dua orang saja. Tongkat bergerak dan Kao Sin diserang, pemuda ini mengelak dan menangkis. Dan ketika tongkat terpental dan dua pengemis itu kaget menubruk lagi maka Kao Sin berkelebatan di antara mereka.
“Jit-wi lo-kai, majulah semua!”
“Sombong” Twa-kai semakin mendelik. “Kau belum tentu dapat menghadapi dua di antara kami, bocah. Robohkan dulu mereka dan baru setelah itu menyuruh kami maju bertujuh!”
Kao Sin tertawa. Sebenarnya dia sudah besar hati dengan sikap gurunya tadi, itu tanda dia dapat menghadapi lawan. Benar saja, tengkisannya membuat dua pengemis itu terpental dan mereka terkejut, dengan mudah dia mengelak dan berlompatan dan kini mulai menampar. Dan ketika dia membalas dan sama sekali belum mengeluarkan pedangnya tiba-tiba dua pengemis itu terpelanting ketika dua tamparan Kao Sin mengenai pundak mereka, disusul tendangan dan tamparan-tamparan lain di mana dua pengemis itu jatuh bangun dan berseru keras.
Kao Sin membagi-bagikan pukulannya dengan mudah, begitu enak pemuda ini berkelebatan di antara dua lawannya, tongkat sama sekali tak berdaya menghadapi pemuda ini. Dan ketika dua pengemis itu terdesak hebat dan tak lama lagi tentu mereka roboh di bawah panggung mendadak dua saudaranya maju menerjang mendapat isyarat Twa-kai.
“Bocah, kau memang lihai. Sekarang hadapilah kami berempat.... siutt-trakk!” tongkat menyambar, bila bantuan datang dan Kao Sin melepas dua musuhnya pertama, membalik dan menangkis dan tongkat terpental. Dua pengemis pertama berseru lega dan kini temannya yang baru datang sudah menghujani Kao Sin dengan sodokan dan gebukan bertubi-tubi. Kao Sin tertawa dan meloncat t8nggi. Dan ketika dia melayang turun dan tongkat menyambar kakinya maka pemuda ini mengadakan sapuan kuat menyambut dua senjata lawan.
“Des-dess!”
Dua pengemis itu terjengkang. Mereka berseru kaget menerima tendangan melayang ini, Kao Sin sudah di lantai panggung tapi dua pengemis pertama sudah maju menerjang, mereka membentak menolong dua saudara mereka. Kao Sin membalik dan kembali menangkis. Dan ketika mereka terpelanting dan tongkat nyaris terlepas maka Twa-kai yang ada di luar pertempuran berseru keras,
“Jangan maju berdua-dua, keroyoklah berempat!”
“Bagus, keroyoklah berempat, si-wi lo-kai (empat pengemis). Kalau perlu kalian bertujuh boleh maju serentak!” Kao Sin menyambut, tertawa menimpali seruan Twa-kai dan pengemis itu mendelik. Sekarang Kao Sin berputaran cepat diantara empat sambaran tongkat, tubuhnya lincah menyelinap ke sana-sini, hebat pemuda itu, bagai belut saja, licin. Dan ketika dia mendorong dan menolak pula maka Kao Sin sudah menyambut datangnya hujan tongkat dengan kedua lengan telanjang.
”Plak-plak-plak!”
Penonton terbelalak kagum. Mereka melihat murid Giam-lo-kiam itu mampu menolak semua tongkat dengan baik, empat pengemis di atas panggung selalu terhuyung. Ini menandakan bahwa mereka kalah kuat. Tangkisan Kao Sin selalu membuat telapak pedas, mereka menggigit bibir dan marah menerjang lagi. Tapi karena Kao Sin memiliki sinkang dan ginkang di atas mereka dan sebentar kemudian pemuda itu lenyap mendahului gerakan tongkat tiba-tiba Kao Sin membagi pukulannya dan tertawa berkata,
“Si-wi lo-kai, robohlah....!”
Empat pengemis itu pusing. Mereka tak dapat mengikuti gerakan lawan, Kao Sin berkelebatan di antara mereka bagai kelelawar yang luar biasa ringan, tentu saja pukulan demi pukulan mendarat di tubuh mereka. Dan karena Kao Sin mengatur tenaganya sedemikian rupa agar sekali pukul lawan roboh maka berturut-turut empat pengemis ini mengeluh dan mereka benar-benar ambruk di lantai panggung, bagai kain basah.
“Bluk-bluk-bluk!”
Empat tubuh itu bergelimpangan. Tongkat di tangan empat pengemis ini terlepas, tadi Kao Sin menotok pergelangan tangan mereka pula. Tentu saja mereka mengeluh dan roboh terjerembab. Dan ketika empat pengemis itu menggeluh dan merintih di atas panggung maka Twa-kai dan dua temannya terkejut sementara penonton tiba-tiba bersorak ramai.
“Ah, keparat!” Twa-kai mencelat, menolong adik-adiknya itu dan segera membangunkan mereka, Ji-kat (Pengemis Kedua) dan Sam-kai (Pengemis Ketiga) juga membantu, mereka ini mengambil tongkat yang berserakan di situ. Dan ketika empat pengemis itu ditolong dan mereka pucat memandang Kao Sin maka Twa-kai melompat berdiri berseru marah, “Bocah she Kao, kau hebat. Agaknya kami memang harus maju bertujuh. Beranikah kau meneruskan pertandingan melayani kami?”
“Ha-ha, itu sudah kubilang tadi, Twa-kai. Kenapa sekarang baru sadar dan ingin maju bertujuh? Majulah, seharusnya sejak tadi kalian bergabung dan menghadapi aku!”
“Baik” dan Twa-kai yang gusar mencabut tongkatnya akhirnya mengepung bersama enam adiknya. “Kau cabut senjatamu!”
“Tak usah diperintah, tentu kucabut kalau nanti diperlukan.”
“Kau bertangan kosong?”
“Untuk sementara ini....”
“Wuutt...!” dan bentakan Twa-kai yang tak dapat membendung marahnya memutus omongan Kao Sin tiba-tiba sudah menyambar dan menuju ke dada lawan, disusul Ji-kai dan Sam-kai yang sudah mendapat aba-aba kakaknya, dua pengemis ini menyerang Kao Sin dari kiri dan kanan. Angin gerakan tongkat yang berkesiur tajam menunjukkan Twa-kai dan dua adiknya ini memang lain dibanding empat pengemis pertama, tenaga mereka hebat dan gerakan tongkat pun mantap, ujungnya bergetar dan sulit orang menduga arahnya. Kao Sin terkejut. Dan sementara dia mengelak den waspada terhadap serangan yang lain maka empat pengemis terakhir yang sudah mendapat seruan Twa-kai tiba-tiba menerjang dari belakang menghantam murid Hu Beng Kui ini.
“Plak-plak-plakk....!”
Kao Sio membalik, menangkis dengan sapuan kakinya dan empat pengemis itu terpental, mereka memang berkali-kali sudah mendapat kenyataan tak mampu menghadapi tenaga Kao Sin, mereka terkejut. Tapi Twa-kai dan Ji-kai serta Sam-kai yang menyerang lagi dari depan dan kiri kanan sudah menyambarkan tongkatnya, bertubi dan susul-menyusul mereka ini mencecar Kao Sin. Hebat serangan mereka, Kao Sin mengelak namun tongkat selalu memburu. Dan ketika satu saat pemuda ini terpaksa menggerakkan lengan menyambut tiga tongkat sekaligus maka benturan keras terjadi di antara mereka dan tiga pengemis itu hanya terhuyung saja.
“Bagus!” Kao Sin memuji, segera mengetahui bahwa tenaga tiga pengemis utama ini lebih kuat dibanding yang lain, mereka maju lagi dan Kao Sin dibuat sibuk, kini dia disibukkan oleh tiga tongkat di tangan tiga pengemis itu. Twa-kai dan Ji-kai serta Sam-kai hampir berimbang, mereka sama-sama memiliki gerakan cepat yarg mantap.
Dan ketika tiga pengemis itu mendesak sementara empat pengemis yang lain menyerang dari belakang maka Kao Sin berputaran mengerahkan ginkang menghindari seringan-serangan berbahaya, satu dua mulai mendapat gebukan tongkat namun pemuda ini telah melindungi dirinya dengan sinkang, bahkan tongkat yang membalik dan hampir mengemplang tuannya sendiri. Para pengemis itu terkejut. Dan ketika Twa-kai membentak nyaring mempercepat gerakannya tiba-tiba bersama Ji-kai dan Sam-kai dia lenyap mengelilingi Kao Sin.
“Bentuk Tujuh Tongkat Bangau!”
Kao Sin terbelalak. Lawan di belakang dan kiri kanan tiba-tiba berpencaran, tongkat di tangan tujuh pengemis itu mendadak menutuk menyambar seperti kaki bangau, cepat dan susul menyusul hingga Kao Sin bingung. Kao Sin terkurung dan tak dapat keluar. Dan ketika dia mencari lubang keluar dan coba memperhatikan mana lubang itu tiba-tiba tujuh tongkat menggebuknya hampir berbareng, dari semua penjuru.
“Buk-buk-bukk....!”
Kao Sin terpelanting. Untuk pertama kalinya dia dibuat kelabakan oleh hujan tongkat yang luar biasa ini, Tiga pukulan dari Twa-kai dan Ji-kai serta Sam-kai membuat dia menggigit bibir. Kuat pukulan itu, tenaga tiga pengemis utama ini memang lebih hebat. Dan ketika kembali dia kebingungan dan harus hati-hati terhadap pukulan tiga pengemis utama itu maka kembali dia mendapat gebukan dan harus bergulingan menjauh di panggung lui-tai, melompat bangun tapi tujuh tongkat sudah mengejar lagi, dua tiga kali Kao Sin dihajar.
Marahlah pemuda ini. Dan karena Twa-kai terdengar mengeluarkan kata-kata mengejek dan dia harus menahan sakit terhadap tiga pukulan pengemis utama itu akhirnya Kao Sio membentak mencabut pedangnya, persis di saat lawan mengejar dia yang sedang bergulingan, dia sudah di pinggir lui-tai dan sedikit ayal tentu dia terlempar keluar, ini tak boleh jadi. Itu berarti kalah.
“Hm, beginikah sikap seorang panglima terhormat? Tidak percaya dan kini menuduh sembarangan? Baik, sekali lagi kutegaskan pada kalian bahwa aku tak tahu menahu pembunuhan itu, Bu-ciangkun. Tapi kalau kau mendesak dan mengancamku begitu rupa tentu saja aku tak takut. Ini rumahku, pergilah dan jangan membuat onar di sini.”
“Wutt!” Bu-ciangkun melompat bangun, membentak para pengawal yang tiba-tiba muncul. Lalu sementara Hu Beng Kui terkejut mengerutkan kening panglima tinggi besar itu berseru. “Tangkap orang she Hu ini, borgol tangannya!”
Hu Beng Kui tertawa mengejek. Para pengawal maju, mereka tak ada yang tahu bahwa Huwangwe ini adalah seorang jago pedang. Hu Beng Kui dikenal sebagai pedagang. Dan ketika mereka maju dan mau menangkap pendekar itu tiba-tiba Hu Beng Kui menepuk tangannya dan lima muridnya muncul. Kao Sin dan saudara-saudaranya, juga Beng An dan Swat Lian.
“Anak-anak, tikus-tikus busuk ini mau menangkap aku. Enyahkanlah!”
Kao Sin membentak. Dia lebih dulu berkelebat ke depan, pengawal diterjang dan kaki serta tangannya bergerak. Empat kali dia mengibas dan empat kali dia menendang sepuluh pengawal roboh berpelantingan, tentu saja pengawal terkejut dan Bu-ciangkun juga terbelalak. Murid termuda jago pedang ini mulai beraksi. Dan ketika Bu-ciangkun menyuruh maju kembali dan pengawal nekat meluruk maka Kao Sin berkelebatan menyambar-nyambar menyerang para pengawal itu.
“Kalian robohlah, dan mengelindinglah ke sana....”
“Dess-dess!”
Pengawal berjumpalitan, semuanya memekik dan Kao Sin berhenti. Tigapuluh pengawal dalam waktu begitu singkat roboh tumpang-tindih, tentu saja Bu-ciangkun semakin terhenyak. Dan ketika pengawal merintih dan panglima tinggi besar itu mendelik maka empat murid Hu Beng Kui yang lain sudah berkelebat maju menghadapi Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun.
“Ji-wi ciangkun, suhu kami memerintahkan kalian pergi baik baik. Sebaiknya kalian tak membantah dan pergilah!” Siauw Gi, murid tertua Hu Beng Kui berkata. Dia juga telah mendengar urusan gurunya yang ribut-ribut dengan istana, masalah Sam-hong-kiam itu. Tentu saja baik buruk dia membela guru sendiri.
Dan Bu-ciangkun yang mendelik diusir begini tiba-tiba menggereng, “Hu Beng Kui, kami tak akan pulang sebelum membawa dirimu. Kau majulah dan biar kucoba ilmu pedangmu yang katanya kesohor!”
“Hm, kalau begitu coba kau layani muridku termuda. Bu-ciangkun. Kalau kau dapat nengalahkannya berarti kau berhak menantangku!” Hu Bang Kui tertawa dingin, memberi isyarat pada Kao Sin dan pemuda itu sudah melangkah maju. Dengan tegak dan kuda kuda kokoh dia menghadapi si panglima tinggi besar, Bu-ciangkun marah. Maka begitu Kao Sin bersiap di mukanya dan jelas menghadang dia mendekati si jago pedang tiba-tiba kedua tangan panglima ini menyambar dan sudah menderu menghantam kedua sisi kepala lawan.
“Minggir... wut-wut!”
Kao Sin mengelak. Dia cepat menghindar mendengar desir angin yang kuat, Bu-ciangkun membentak dan menyerangnya lagi. Kali ini Kao Sin tidak menghindar dan mengangkat lengannya. Dan ketika dua lengan beradu dan Kao Sin mengerahkan sinkang menangkis pukulan lawan maka Bu-ciangkun tercekat menerima tangkisan lawan yang membuat jantung tergetar.
“Dukk!”
Panglima itu terpental! Bu-ciangkun kaget berseru tertahan, tentu saja marah dan membentak lagi maju ke depan, adu tenaga tadi jelas menununjukkan kekuatan lawan yang lebih besar. Dia seorang tinggi besar kalah dengan seorang pemuda bertubuh sedang saja, kalah kuat. Dan karena adu pukulan tadi membuat panglima ini penasaran dan marah menerjang maju maka Bu-ciangkun sudah berteriak menyerang bertubi-tubi, mengeluarkan Silat Tangan Bajanya dan segera kedua lengan panglima ini menyambar-nyambar bagai tongkat yang menyerang tiada henti, kelima jarinya pun bergerak mencengkeram dan meninju, hebat memang.
Dan Kao Sin yang belum mengenal silat lawan dan mengelak maju mundur segera tampak terdesak tapi belum satu pukulan pun mengenai tubuhnya, dikejar dan terus disusul hingga pemuda ini seolah keteter. Hanya orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi saja yang tahu bahwa apa yang tampak di depan mata itu bukanlah sebenarnya, Kao Sin sebenarnya tidak terdesak melainkan mengamati pemainan lawan dan coba mempelajari.
Bu-ciangkun geram dan menyerang bertubi tubi. Dan ketika belasan jurus lewat dan Kao Sin malah tersenyum tiba-tiba pemuda ini mulai membalas dan berseru perlahan. “Ciangkun, hati-hati...!” lalu begitu tubuh berputaran mengikuti gerakan lawan tiba-tiba pemuda ini membalik dan menangkis serta mengadu tenaga.
“Duk-dukk!”
Dua benturan itu menggetari ruangan. Bu-ciangkun meringis dan lagi-lagi terdorong, untuk kesekian kalinya pula dia harus menggigit bibir. Sinkang lawan memang lebih kuat. Dan ketika lawan mengejar dan ganti menyodok dan nenusuk tiba-tiba panglima ini terdesak dan balik bertahan, berseru pucat karena pukulan demi pukulan merangsek dirinya, ditangkis tapi dia kesakitan. Panglima ini terkejut karena Tangan Bajanya masih kalah ampuh dengan tangan lawan. Tentu saja panglima ini gusar. Dan ketika satu saat Kao Sin menampar pundaknya dan dia nekat berseru keras tiba-tiba panglima ini mengerahkan segenap kekuatannya untuk beradu tenaga.
“Dess...!”
Getaran kali ini paling kuat. Kao Sin rupanya tahu kenekatan lawan, melihat lawan mengerahkan segenap tenaganya dan dia pun menambah tenaganya pula. Sinkang mereka bertemu dan Bu-ciangkun menjerit, panglima itu mencelat menghantam tembok. Dan ketika dia terguling-guling dan Kao Sin ingin menyudahi pertandingan maka pemuda ini berkelebat dan dua jarinya sudah menyentuh tenggorokan lawan dalam satu sentilan kecil.
“Tuk!” Bu-ciangkun terbelalak. Sentuhan dua jari di tenggorokannya itu dapat berarti maut. Dia mengira lawan membunuh dan serasa terbang semangatnya. Tapi ketika lawan melompat mundur dan menjura kepadanya maka Bu-ciangkun tertegun melihat dirinya tak apa-apa kecuali sedikit terasa gatal di tenggorokan.
“Ciangkun, maaf. Kepandaianmu cukup hebat, aku mengaku dan biarlah kita sudahi main-main ini.”
Bu-ciangkun melompat bangun. Tentu saja dia tahu bahwa lawan telah bermurah hati, dia selamat dai totokan itu meskipun tepat tapi hampir sama sekali tak diisi kekuatan, kalau tidak demikian tentu dia sudah tak bernyawa. Maka mendengar lawan bicara merendah dan dia harus tahu diri maka panglima jujur yang berangasan ini berseru merah, “Anak muda, kaulah yang hebat. Aku yang minta maaf dan mengaku kalah!” dan mundur mau meninggalkan ruangan mendadak rekannya, Cu-ciangkun, menahan dirinya.
“Tunggu, jangan keluar, rekan Hu. Kau telah main-main dengan murid Hu-taihiap tapi aku belum. Berilah kesempatan padaku dan biar sekalian aku menjajal mereka ini” dan mengeluaikan tombaknya yang mendesing ketika dicabut pangilima tinggi kurus ini telah menghadapi Hu Beng Kui. “Taihiap, bisakah aku main-main denganmu. Atau kau menyuruh maju seorang muridmu pula?”
“Ha-ha, aku lagi capai, Cu-ciangkun. Biarlah seorang muridku mewakiliku!” dia memberi isyarat pada muridnya nomor empat. Cun Li, pendekar ini menyuruh Kao Sin mundur. “Cun Li, kau layanilah tamu baik-baik. Bersikaplah sopan dan hati hati!”
Cun Li mengangguk. Dia adalah pemuda yang sedikit lebih tua dibanding Kao Sin, lengannya tegap namun panjang berkesan ramping. Dan ketika dia melangkah maju memberi hormat di depan Cu-ciangkun maka pemuda yang tampak lemah lembut gerak-geriknya ini berkata, “Ciangkun, suhu memerintahkan aku main-main denganmu. Silahkan mulai tapi mohon kemurahanmu untuk tidak bersikap keras kepadaku.”
“Hm, tak perlu merendah, anak muda. Aku ingin bermain senjata dan cabutlah pedangmu!”
Cun Li tersenyum. “Suhu tak memerintahkan kepadaku, ciangkun. Biarlah aku bertangan kosong dulu dan nanti kucabut senjataku.”
“Kau sombong? Baiklah, kau rupanya mirip gurumu. Awas. wuuut....” dan tombak yang bergerak menuju tenggorokan lawan tiba-tiba pecah ujungnya menjadi lima bagian yang sudah menusuk dari atas ke bawah, cepat dan penuh tenaga yang membuat tombak mendengung, Cun Li mengelak namun masih dikejar. Tombak memburu ke manapun dia pergi. Dan karena tombak bagai bayangan yang tak mau melepasnya terpaksa Cun Li menangkis dan menggerakkan lengan kirinya.
“Plak!” Senjata panjang itu terpental. Cu-ciangkun terkejut karena lengan lawan menggetarkan lengannya, nyaris tombak membalik dan mengemplang kepalanya sendiri, tentu saja panglima ini terkejut. Tapi berseru keras memutar pergelangannya tiba-tiba panglima ini sudah menyerang lagi dan bertubi serta cepat dia menusuk dan mematukkan mata tombaknya, memburu dan membuat lawan harus berlompatan karena tombak di tangan panglima itu memang berbahaya, Cun Li mengakui ini. Dan ketika panglima itu mendesak dan Cun Li mundur-mundur maka kembali seperti Kao Sin tadi keadaan pemuda ini seolah keteter.
Hu Beng Kui tersenyum. Sama seperti muridnya pertama tadi dia tahu bahwa Cun Li pun tak mengalami kesulitan menghadapi tombak di tangan lawannya. Tombak itu memang ganas dan cepat mematuk-matuk, tapi Cun Li belum sekali pun terpatuk. Pemuda ini mempelajari ilmu silat lawan dan jago pedang itu mengangguk angguk. Memang dia sering memberi nasehat agar sebelum membalas sebaiknya memperhatikan dulu ilmu silat lawan, di mana kelebihan dan kelemahannya.
Dan ketika Cun Li menentukan hal itu dan tahu bahwa dalam hal sinkang dia lebih kuat dibanding lawannya maka pemuda ini pun mulai menangkis dan berseru. “Ciangkun, hati-hati!” dan menggeser kedudukan kaki serta mengembangkan lengan seperti rajawali mengelepakkan sayap tiba-tiba Cun Li merobah gerakan dan menangkis serta mendorong tombak lawan, membuat lawan terkejut karena tombak terpental, dua tiga kali selalu begitu hingga Cu-ciangkun marah. Hebat pemuda itu. Dan ketika tangkisan kesekian kalinya begitu keras karena Cun Li mengerahkan tenaganya lebih besar mendadak tombak di tangan panglima itu, yang sebenarnya bukan tombak simpanan, patah bertemu lengan Cun Li.
“Krakk!” Cu-ciangkun terhuyung. Dia nyaris terpelanting kehilangan keseimbangan, cepat berseru keras menegakkan punggung. Tentu saja panglima ini terkejut, juga malu. Dan ketika dia melotot memandang lawan ternyata pemuda itu menjura kepadanya dengan senyum lebar,
“Ciangkun, maaf. Aku tak sengaja mematahkan tombakmu.”
“Hm!” sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat telah berdiri di samping panglima ini. “Kau hebat, saudara Cun Li. Adikku kalah tapi belum semua ilmu tombak keluarga Cu dikeluarkan! Beranikah kau sekarang meneruskan pertandingan?”
Cun Li terbelalak. “Ciangkun mau maju berdua?”
“Kalau kau tak takut, kami masih mempunyai Hu-liong Chio-sut yang belum kami perlihatkan!” dan Cun Li yang tertegun menyaksikan majunya lawan kedua segera menghadapi gurunya yang saat itu tertawa bergelak.
“Cun Li. terima saja tawaran itu. Cu Hak-ciangkun tentu saja penasaran melihat adiknya kalah. Tak apa, kau boleh maju dan terserah mau mencabut senjata atau tidak!”
Cun Li tersenyum. “Kalau begitu baiklah, Cu Hak-ciangkun. Hanya seperti adikmu tadi kuminta kemurahanmu untuk mengalah!”
“Tak perlu berpura-pura, dan maaf kalau kami terpaksa maju berdua... siuut!” dan Cu Hak-ciangkun yang mencabut tombaknya yang ampuh tiba-tiba menggetarkannya di tangan kanan, tombak beronce biru karena Cu-ciangkun memang merupakan dua panglima kakak beradik, yang tadi adalah Cu Kim sedang yang ini adalah Cu Hak, sang kakak. Cu Kim sendiri memiliki tombak beronce merah yang tidak dikeluarkan, tadi yang dipakai adalah tombak biasa. Dan begitu sang kakak mengeluarkan tombaknya dan Cun Li tak takut dikeroyok akhirnya Cu Kim yang kalah dipatahkan tombaknya mencabut pula tombak yang lain yang justeru tombak pusakanya.
“Siuut...!” panglima Cu yang termuda itupun menggetarkan tombaknya. “Bagus sekali, saudara Cun Li. Kalau kau berani menghadapi kami berdua sebaiknya kau cabut pedangmu agar tidak roboh menghadapi kami kakak beradik!”
“Terima kasih,” Cun Li tetap tenang. “Sementara ini aku bertangan kosong, ji-wi ciangkun. Kalau Hu-liong Chio-sut (Silat Tombak Naga Terbang) kalian memang hebat tentu aku akan mencabut pedangku. Silahkan ji-wi (kalian berdua) maju.”
“Kau bertangan kosong?” Cu Hak, panglima tertua menggeram.
“Ya, tak apa. Cu-ciangkun. Biar aku bertangan kosong dulu dan...”
“Awas... siut-plakk!” panglima itu menerjang, tiba-tiba memotong omongan lawan dan sudah membentak menggerakkan tombaknya. Tombak beronce biru di tangan panglima tertua ini mendesing dengan begitu ceptanya hingga Cun Li tak sempat mengelak, pemuda itu menangkis dan tombak terpental.
Cun Li terkejut karena lawan yang satu ini tampaknya lebih cepat dibanding lawan yang tadi, gerakan sang kakak dinilai lebih kuat dibanding sang adik. Dan ketika dia menangkis namun tombak membalik tiba-tiba Cu Hak sang panglima tertua sudah berteriak dan menerjang lagi, menyuruh sang adik menggerakkan tombaknya pula dan Cu Kim pun mengangguk, sedetik menyusuli gerakan kakaknya, panglima ini pun berkelebat ke depan, tombak berouce merah di tangannya menusuk tubuh samping Cun Li, yang saat itu baru mengegos dan menangkis tombak beronce biru.
Dan ketika dua kakak beradik itu menusuk dan mengemplang dan Cun Li terkejut karena dipaksa berlompatan tahu-tahu dua sinar biru dan merah medengung di sekeliling dirinya menyambar-nyambar dengan amat ganas dan cepatnya, gulung-menggulung dan akhirnya Cun Li tak dapat melepaskan diri. Dua tombak di tangan dua panglima itu seolah naga menari-nari yang membelit dirinya, Cun Li terbelalak. Dan ketika tombak berputaran semakin cepat dan ujungnya mematuk-matuk bagai ular besar yang amat buas tiba-tiba baju Cun Li terobek dua kali terkena tusukan ujung tombak.
“Bret-brett...!”
Cun Li terkesiap. Sekarang dua lawannya tertawa mengejek dan berkelebatan tiada henti, kini ia terkurung dan Beng An serta saudara-saudara seperguruannya yang lain cemas, hanya Hu Beng Kui yang tetap tenang dengan mata awas ke depan. Jago pedang ini tertarik karena gerakan tombak di tangan dua panglima itu luar biasa cepatnya. Cun Li terkurung di tengah dan coba keluar, belum berhasil dan terpaksa kedua lengan bergerak menangkis ke sana ke mari, tombak terpental tapi sudah menerjang lagi, gerakannya seolah tombak bernyawa. Dan ketika dua panglima itu berseru keras dan sang kakak menyuruh Cu Kim memainkan tombak terbang sekonyong-konyong tombak di tangan dua panglima itu lepas dari tangan dan benar-benar “terbang” menyambar dan menyerang Cun Li seolah tombak yang hidup!
“Aih, hebat. Bagus...!” Cun Li kebingungan. Tentu saja mengelak dan menampar atau menendang. Dua tombak itu ber-ganti-gantian menyerangnya dari segala penjuru, terbang dan berputaran bagai benda-benda bernyawa yang memiliki mata. Kemana Cun Li mengelak ke situ pula mereka memburu, Cun Li berobah mukanya. Benar-benar hebat Hui-liong Chio-sut yang dimainkan dua panglima ini. Mula-mula heran bagaimana tombak terbarg itu dapat menyerang sendiri tanpa dicekal tuannya.
Tapi ketika Cun Li melihat sinar halus berkeredep dari tangan dua panglima itu merupakan sinar panjang yang mengemudikan dua tombak ini tiba-tiba Cun Li sadar bahwa kiranya dua panglima itu mengikat bagian belakang tombaknya dengan semacam benang baja yang amat halus namun kuat, kawat-kawat baja yang mampu mengendalikan dua senjata panjang itu sesuai kehendak majikannya, inilah permainan jari-jari tangan yang harus lihai, juga putaran pergelangan yang harus kuat. Cun Li kagum. Dan ketika tombak terus menyerang dan menusuk serta mematuk tiba-tiba kembali baju pundak Cun Li robek.
“Bret!” Cun Li mengerahkan sinkangnya. Mata tombak mematuk baju sekaligus kulit dagingnya. mental dan hanya merobek pakaian pemuda itu karena Cun Li telah melindungi diri, sinkangnya itulah yang menyelamatkannya. Panglima Cu tertegun. Tapi karena pemula itu terkurung dan telah menghadapi serangan tombak yang berputaran dari segala penjuru maka kembali dua bagian tubuh lawan tersambar tombak.
“Bret-brett!”
Dua panglima Cu lagi-lagi tertegun. Mereka tak dapat melukai tubuh pemuda itu, tombak lagi-lagi mental bertemu kulit daging yang atos. Mereka marah, kalau begini percuma saja kurungan tombak yang hebat itu, lawan tak dapat dirobohkan. Maka membentak berseru keras tiba-tiba Cu Hak menyuruh adiknya menyerang bagian lawan yang lemah yakni mata dan lubang telinga, segera bertabi-tubi menyerang bagian itu dan Cun Li sibuk, pemuda ini harus menampar dan mendorong berkali-kali.
Patukan tombak semakin cepat dan Cun Li semakin kewalahan, tak mungkin lagi dia bertahan dengan caranya itu, hanya menangkis dan mendorong tusukan tombak. Maka ketika gerakan tombak semakin gencar dan Cun Li melengking tinggi mendadak pemuda ini mencabut pedangnya dan dengan gerak menyilang menangkis tombak yang menyerang dari kiri dan kanan.
“Trang-trangg....!”
Tangkisan pemuda itu mengejutkan Cu-ciangkun kakak beradik. Mereka tahu-tahu melihat sinar menyilaukan berkelebat dari punggung pemuda itu, menangkis tombak mereka dan bunga api berpijar. Hebat karena tombak membalik dan tidak sekedar tertolak, mengemplang dan hampir mengenai dua panglima itu kalau mereka tidak membanting diri bergulingan.
Tombak tiba-tiba kehilangan nyawanya dan tak dapat dikendalikan dua panglima itu berteriak tertahan. Dan ketika mereka melompat bangun dan kaget melihat pemuda itu sudah membawa pedang tiba-tiba Cun Li berkelebat dan bertubi-tubi menyerang mereka dengan sinar keperakan yang menggulung mereka berdua.
“Cu-ciangkun, maaf. Sekarang aku terpaksa mencabut senjataku. Inilah Giam-lo Kiam-sut... Siuut-plak!”
Dan pedang yang cepat menyambar mereka namun ditangkis dan membalik sekonyong-konyong lenyap bentuknya menjadi cahaya menyilaukan yang membuat mata dua panglima itu tak tahan, nyaris terpejam dan mereka kaget. Tombak di tangan mendadak kehilangan garangnya, kini mereka didesak dan cahaya pedang mencuat naik turun, hebat dan panas karena menyerang bagian-bagian tubuh yang mematikan. Ulu hati, tenggorokan dan bawah pusar. Cepat dan sebat hingga mereka sibuk.
Dua panglima itu ganti kewalahan. Dan ketika mereka mundur-mundur dan pedang terus menyambar tiada henti mendadak Cun Li berseru keras memperingatkan mereka menjaga tenggorokan, sinar mencuat membelah dari atas ke bawah, hampir berbareng dua panglima itu mendapat serangan yang sama. Dalam waktu sepersekian detik saja pedang menuju tenggorokan, hebat bukan main.
Cu-ciangkun coba mengelak dan menangkis namun kalah cepat. Pedang sudah meluncur dan menuju tenggorokan mereka. Dan ketika terdengar suara “bret-bret” dua kali dan pedang berhenti, ternyata ujung pedang sudah menodong Cu Hak. sementara leher baju dua panglima itu bolong tertusuk mata pedang yang tadi bergerak luar biasa cepat!
“Aaah...” Cu Hok dan adiknya terkejut. Mereka terkejut melihat leher baju masing-masing berlubang. Sebenarnya bukan leher baju yang berlubang melainkan leher mereka, sekali pemuda itu meneruskan serangannya tentu mereka sudah terkapar mandi darah. Dua panglima itu pucat. Dan ketika Cun Li tersenyum dan mundur menyimpan pedangnya, maka murid nomor empat dari Giam-lo-kiam Hu Beng Kui ini menjura.
“Ji-wi ciangkun, maafkan aku. Barangkali ji-wi sudah puas dan cukup menghentikan main main ini”
Cu Hak merah mukanya, menunduk. “Saudara Cun Li, rupanya kau dan gurumu orang-orang luar biasa. Kami mengaku kalah, Giam-lo Kiam-sut mu memang hebat dan kami bukan tandinganmu!”
Dan menyimpan tombaknya menghadapi Hu Beng Kui panglima itu merangkapkan kedua tangan. “Hu taihiap, hari ini kami menelan pil pahit. Biarlah kami terima dan mudah-mudahan lain hari kami dapat membalasnya. Maaf kami pergi terburu-buru dan kami akan melaporkan ini semuanya pada kaisar!” lalu membalik memutar tubuhnya panglima itu berkelebat keluar meninggalkan ruangan, disusul yang lain dan segera Hu Beng Ku bangkit berdiri.
Jago pedang itu berseri-seri memandang kepergian orang namun tidak mencegah. Dan ketika tempat itu sepi dan semua orang pergi maka pendekar ini menyuruh murid-muridnya mundur. Selesaikah urusan itu? Tentu saja tidak.
Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun menaruh penasaran besar, tiga panglima ini terpukul. Maka ketika mereka ke kota raja dan melapor kegagalan mereka maka kaisar marah-marah mendengar sikap Hu Beng Kui, hampir menyuruh pasukan menyerbu rumah pendekar itu. Untunglah Kim-taijin datang, pembesar ini memberi nasihat panjang lebar dan membujuk kaisar. Penyerbuan ke Ce-bu hanya memalukan istana saja. Sebuah keluarga akan di serbu ratusan orang, mungkin ribuan, jelas ini merusak citra istana saja.
Hu Beng Kui tentu akan melawan keras dengan keras, akan jatuh banyak korban dan belum tentu Sam-kong-kiam didapat, salah salah pendekar itu akan menyembunyikannya di suatu tempat. Istana bisa kehilangan muka dan orang macam Hu Beng Kui lebih baik dihadapi secara siasat. Dan ketika kaisar bertanya apa kiranya siasat itu maka Kim-taijin menunduk hormat.
“Sebaiknya tantang Hu Beng Kui dengan kegagahan. Kalau dia ingin menjaga Sam-kong-kiam seharusnya dia mampu melindungi pusaka itu dari tangan semua orang, mampukah dia melakukan itu dan beranikah dia menghadapi orang-orang yang ingin merebut Sam-kong-kiam.”
“Apa maksudmu, taijin?” kaisar kurang jelas. “Aku belum mengerti.”
“Artinya begini, sri baginda. Hu Beng Kui adalah jago pedang yang terlalu memasang harga diri. Kalau dia memang menginginkan pedang itu, sebaiknya suruh jago-jago persilatan berkumpul di rumahnya. Adakan semacam tantangan dengannya. Kalau dia dapat menghadapi semua lawannya biarlah pedang itu tinggal bersamanya, hitung-hitung sebagai hadiah sri baginda kepada seorang rakyat yang gagah perkasa. Tapi kalau pedang tak dapat dijaga maka pendekar itu diminta mengembalikan pedang secara baik-baik kepada paduka.”
Sri baginda mengerutkan kening. “Kau mau menyuruh aku menghadiahkan Sam-kong-kiam kepada orang lain? Mana bisa? Pedang itu pedang keramat, taijin. Sam-kong-kiam adalah nyawa kedua bagiku di istana ini. Tak mungkin aku melakukan itu!”
“Sabar, kita sedang menguji pendekar ini, sri baginda. Bukan menyerahkan pedang melainkan menyudutkan pendekar itu agar mengembalikan pedang kepada paduka. Menurut perhitungan hanya seorang gagahlah yang berani menantang orang-orang kang-ouw untuk mempertahankan sebuah benda, meskipun pedang pusaka. Dan karena menurut perhitungan hamba Hu Beng Kui akan berpikir seribu kali untuk mengundang orang-orang gagah berebut Sam-kong-kiam dengannya maka pendekar itu akan mengalah dan baik baik menyerahkan Sam-kong-kiam kepada paduka.”
“Kalau dia tak mau?”
“Maksud paduka Hu Beng Kui akan nekat menantang orang kang-ouw? Wah, ini Kesombongan luar biasa dari si jago pedang itu, sri baginda. Dan biar dia merasakan akibatnya!”
“Tapi pedang bisa terjatuh ke tangan orang lain!”
“Tenang, sabar. Kemungkinan itu memang bisa terjadi, sri baginda. Tapi masalah itu dapat kita pikirkan berikut. Sekarang ini adalah menantang pendekar itu dulu agar dia terpojok, agar dia insyaf dan tak usah mencari penyakit dengan menerima tantangan kita, menyerahkan pedang dan kedua pihak sama-sama tenteram, tentu saja paduka berjanji memberikan pengganti Hok-seng-kiam tapi Sam-kong-kiam harus diserahkan dulu. Janji paduka tentu tak perlu disangsikan lagi. Dan kalau pendekar itu tak percaya dan jelas dia ingin mengangkangi Sam-kong-kiam maka dia harus dihajar dengan menyuruh menerima tantangan kita. Dia harus menunjukkan kelihaiannya kepada semua orang kangouw dan biar dia menghadapi ribuan orang persilatan dan bukan menghadapi ribuan pasukan!”
“Ah, hendak meminjam tangan, taijin?”
“Begitulah, kalau paduka dapat menangkap.”
“Bagus, aku setuju, taijin. Laksanakan maksudmu itu!” kaisar tertawa girang, merasa setuju dan Hu Beng Kui bisa dipojokkan dengan cara begitu.
Menantang orang kang-ouw untuk mempertahankan Pedang Tiga Dimensi adalah pekerjaan luar biasa keras, tak mungkin pendekar pedang itu berani. Dan karena kaisar menyetujui buah pikirannya dan Kim-taijin mengangguk maka keesokan harinya penasihat kaisar yang luar biasa pandangannya ini ke Ce-bu, datang secara baik-baik dan dia pribadi bertemu pendekar itu, Cu-ciangkun dan Bu-ciangkun tak ikut. Tapi bagaimana jawaban Hu Beng Kui? Sungguh di luar dugaan!
“Aku menerima tantangan ini, taijin. katakan pada sri baginda bahwa Hu Beng Kui tak takut menantang semua ruang kang-ouw!”
“Taihiap tidak terlampau takabur?” Kim-taijin terkejut, melengak. “Apakah taihiap telah berpikir baik-baik menerima semuanya ini?”
“Ya, aku telah memikirkannya baik-baik, taijin. Tak usah ragu dan sampaikan saja pada sri baginda bahwa aku siap menerima siapa saja yang ingin coba-coba memiliki Sam-kong-kiam!”
“Tapi ini perbuatan berbahaya...”
“Ha ha ini urusanku, taijin. Aku orang she Hu telah menerima tantangan dan jangan kalian mungkir untuk memberikan Sam-kong kiam bila aku merobohkan semua lawan-lawanku!”
“Tentu, tapi, hm... apakah tidak kau pikir ulang jawabanmu ini, taihiap? Apakah kau tidak mempercayai pula janji sri baginda akan mengganti Hek-seng-kiam bila Sam-kong-kiam dikembalikan lebih dulu?”
“Aku tidak mengatakan begitu, taijin. Tapi bagiku lebih baik mempertahankan apa yang sudah ada di tangan daripada harus menunggu pengganti Hek-seng-kiam yang belum tentu sekualitas Sam-kong-kiam!”
“Blaiklah” Kim-taijin mengangguk-angguk, melihat bahwa di balik semua alasannya pendekar itu memang ingin memiliki Sam-kong-kiam. “Kau telah mengatur nasibmu sendiri, taihiap dan kami pihak istana akan menanti pergumumanmu untuk mengundang orang kang-ouw!” Lalu pulang kembali ke istana segera pembesar ini melapor pada kaisar apa yang telah dia perdebatkan dengan si jago pedang itu.
“Gila, orang she Hu ini benar-benar sombong! Kalau saja kita belum melepas tantangan tentu sudah kusuruh serbu rumahnya itu, taijin. Tapi karena dia menerima tantangan kita baiklah kutunggu apa sepak terjangnya!” kaisar marah-marah, tentu saja tak menduga bahwa Hu Beng Kui sesakti itu, entah karena kepercayaannya yang demikian besar terhadap kepandaian sendiri ataukah kesombongannya dengan meremehkan orang lain. Maklum, dia telah berhasil membunuh Kim-mou-eng dan barangkali keberhasilannya ini membuat jago pedang itu merasa diri sendiri paling unggul, Kim-taijin segera menghibur junjungannya.
Dan hari itu pihak istana nenunggu pengumuman Hu Beng Kui, bahwa dengan amat heran dan tidak kenal takut jago pedang itu memperkenankan siapa saja yang ingin mendapatkan Sam-kong kiam di tangannya, boleh datang dan boleh mereka beradu kepandaian. Hu Beng Kui ternyata sungguh-sungguh melaksanakan omongannya itu, kini secara terbuka dan terang-terangan dia mengundang semua orang dan mengatakan bahwa Sam-kong-kiam ada di tangannya.
Siapa merasa gagah boleh berhadapan dengannya, tentu saja setelah menghadapi murid dan anak-anaknya dulu. Dan karena ini peristiwa menggemparkan dan Hu Beng Kui tiba-tiba dikenal sebagai pembunuh Kim-mou-eng maka mendadak penduduk Ce-bu menjadi ramai dan baru tahu bahwa Hu Beng Kui yang mereka anggap pedagang itu ternyata seorang ahli pedang berjuluk Si Pedang Maut!
Bagaimana dengan Swat Lian dan Beng An sendiri? Tentu saja mereka terkejut. Tindakan ayahnya itu dinilai terlalu berani, hal ini terasa “kontroversial” dengan sepak terjang ayahnya sehari-hari, yang tak suka menonjolkan diri dan kini mendadak bersikap “perang terbuka”. Bukan main. Dan ketika hari itu Beng An terbelalak menegur ayahnya maka dengan tertawa dan tenang-tenang saja pendekar ini berkata,
“Biarlah, aku ditantang pihak istana. Kaisar ingin tahu pantaskah aku menjaga Sam-kong kiam. Kalau berhasil Sam-kong-kiam menjadi milikku tapi kalau tidak berhasil paling paling mampus menelan kekalahan!”
Bang An pucat. “Tapi itu kesombongan, yah. Tidakkah kau merasa bahwa istana menguji watakmu pula?”
“Aku tak perduli tentang itu. Pokoknya mereka menantang dan aku menerima, titik.”
“Tapi ayah mencari penyakit, kita semua bisa terlibat!”
“Hei, takutkah kau?” sang ayah tiba-tiba marah, memandang puteranya dengan tajam. “Apa maksud semua kata-katamu ini, Beng An? Apakah kau hendak menyuruh ayahmu menjilat ludah kembali dan terbungkuk-bungkuk menghadap kaisar dengan nenarik pengumumanku ini? Sekarang semuanya tak dapat mundur, aku harus maju dan Sam-kong-kiam cukup berharga untuk di pertaruhkan dengan nyawa sekali pun. Keberhasilanku membunuh Kim-mou-eng tak perlu membuat gentar menghadapi yang lain!”
Begitulah, Beng An tak bisa berkutik. Memang repot sekarang ini. Ayahnya telah mengedarkan pengumuman, siapapun orang kang-ouw boleh datang ke rumah mereka untuk coba-coba mendapatkan Sam-kong-kiam. Ayahnya hendak menunjukkan kepada dunia dan semua orang persilatan bahwa ayahnyalah yang patut memegang pedang keramat itu, apalagi ayahnya dikenal sebagai seorang jago pedang.
Bukti kematian Kim-mou-eng sendiri cukup menunjukkan hal itu, padahal Kim-mou-eng mampu meloloskan dari kepungan sekian ratus orang yang mengejar-ngejar dirinya. Bukankah keberhasilan ayahnya ini menunjukkan ayahnya jauh lebih hebat dibanding Kim-mou-eng? Dan dengan pedang begitu ampuh ayahnya ini sekarang bagaikan seekor harimau tumbuh sayap! Beng An sendiri percaya bahwa sukar ada orang dapat mengalahkan ayahnya itu. Tanpa Sam-kong-kiam sekali pun ayahnya sudah ditakuti orang, apalagi dengan pedang seampuh itu. Maka menunduk menghela napas pemuda ini mundur dan sudah disambut adiknya.
“Bagaimana, ayah bersikeras?”
“Ya, semuanya sudah terlanjur, Lian-moi. Aku tak dapat membujuk dan kita siap-siap saja menanti banjirnya para penantang!”
Swat Lian pucat. “Ayah begitu sombong?”
“Hm, kenyataannya begitu, Lian-moi. Tapi sekarang kita tahu bahwa ayah memang ingin memiliki Sam-kong-kiam, meskipun di mulut berkata tidak!”
“Dan kau membantu ayah?”
“Apakah tidak begitu?” Beng An balik bertanya. “Adakah jalan lain dan kita harus memusuhi ayah sendiri? Tidak, jelek-jelek dia ayah kita sendiri, Lian-moi. Kalau ayah sudah menetapkan begitu maka kita sebagai anak-anaknya tak dapat berbuat lain. Biarlah, apa yang terjadi kita lihat dulu dan barangkali sesuatu hikmah dapat kita petik di sini.”
Swat Lian terisak. Dia pun tak dapat berbuat apa-apa sekarang, bukan takut menghadapi lawan lawan berat melainkan menyesali sikap ayahnya itu. Sikap yang dapat menyusahkan mereka sekeluarga, baik dia dan kakaknya dan Kao Sin serta suheng-suhengnya. Ayah mereka telah melibatkan mereka dalam permusuhan terbuka.
Tapi karena ayah mereka adalah orang tua satunya di mana mereka hidup dan dibesarkan akhirnya apa boleh buat Beng An dan adiknya ini menerima semuanya itu dengan perasaan tertekan. Dan, begitu Hu Beng Kui mengeluarkan pengumumannya untuk menerima orang-orang yang ingin mendapatkan Sam-kong-kiam maka dunia kang-ouw memang tiba-tiba geger! Apa yang akan terjadi? Mari kita lihat saja.
* * * * * * * *
Seminggu setelah pengumuman diumumkan. Pagi itu Swat Lian termenung di taman. Entah kenapa dia merasa tak nyaman menghadapi sepak terjang ayahnya ini, tangan memegang sehelai gambar yang akhir-akhir ini sering dilihat. Bukan lain gambarnya sendiri yang dilukis oleh Kim-siucai itu. Bayangan Kim-siucai yang tampan serta lemah lembut akhir-akhir ini kembali muncul, mengganggu pikirannya dan tiba-tiba Swat Lian menitikkan air mata. Dalam kesedihan memikirkan sepak terjang ayahnya itu tiba-tiba Swat Lian ingin berbicara dengan seseorang, bukan kakaknya melainkan orang lain.
Dan ketika ia termenung dengan isak kecil mendadak suara seseorang mengejutkannya di belakang. “Siocia, kau sendirian di sini? Mana ayahmu?”
Swat Lian mencelat. Tanpa didengar dan tanpa diketahui mendadak seseorang begitu saja telah berada di belakangnya, kalau itu musuh tentu dia celaka. Swat Lian kaget dan berjungkir balik, gerak refleks dirinya siap melepas pukulan. Tapi begitu dia melayang turun dan menahan lengannya yang siap menghantam mendadak Swat Lian berseru tertahan melihat siapa yang datang. “Kim-twako....!”
“Heh heh, maaf, siocia. Rupanya aku mengejutkanmu!” dan Kim-siucai yang muncul membuat Swat Lian terbelalak tiba-tiba membuat gadis itu girang bukan main dan sudah meremas pundak sastrawan ini.
“Eh, kau yang datang? Bagaimana bisa masuk? Melompati tembok?”
“Aduh. lepaskan dulu cengkeramanmu, siocia. Sakit sekali bahuku kau remas. Aku, eh... aku benar melompati tembok, masuk seperti anjing digebuk, heh-heh...!” sastrawan ini menyeringai.
Sikapnya meggemaskan dan tiba-tiba Swat Lian tersenyum. Entah kenapa mendadak dia merasa geli mendengar sastrawan ilu melompati tembok, tentu dengan susah payah. Persis, hm.... kira-kira persis anjing yang baru dikejar-kejar. Swat Lian terkekeh.
Dan ketika dia memperlihatkan giginya yang berderet seperti mutiara maka Kim-siucai itu cemberut kepadanya. “Kenapa kau tertawa? Memangnya aku badut?”
“Hi-hik, aku tertawa karena omonganmu tadi, Kim-twako. Bahwa kau melompati tembok seperti anjing digebuk. Tentu lucu tingkahmu tadi, barangkali kau kerangkangan seperti anjing sungguhan!”
“Ah, terlalu kau, siocia. Masa aku kau anggap anjing beneran? Aku manusia, bukan hewan!”
“Ya, ya. Aku tahu, aku hanya menggodamu saja. Eh, bagaimana kau dapat mengejutkani aku tanpa kudengar langkahmu? Kau.... hm, kenapa dulu kau pergi, Kim-twako? Benarkah kau sastrawan tulen?” Swat Lian tiba-tiba teringat, curiga dan memandang penuh selidik hingga lawan bicaranya tersenyum. Swat Lian genius dan tiba-tiba menotok, dia ingin menguji. Tapi ketika lawan roboh dan menjerit tertahan tiba-tiba gadis ini tertegun.
“Aduh, kenapa begini, siocia? Kau apakan aku? Aku tak bisa bangkit, pundakku terasa retak!”
Swat Lian menggerakkan jari. Sekali totok dia membebaskan lawan, Kim-siucai itu bangkit dan mengusap-usap pundaknya. Rasa sakit yang diperlihatkannya sambil mendesis-desis itu jelas bukan pura-pura. Swat Lian mengerutkan kening, teringat ucapan ayahnya dan tiba-tiba memandang umbaian rambut di bawah kopiah. Ternyata ia melihat rambut itu hitam biasa, tidak keemasan seperti kata ayahnya. Dan karena dia ragu dan kembali menganggap sastrawan ini bukan seorang ahli silat dan rupanya benar-benar orang lemah akhirnya Swat Lian duduk membanting pantatnya.
“Kim-siucai, kau orang aneh. Bagaimana kau dulu dapat melepaskan diri dari kami?”
“Ah, gampang, siocia. Waktu itu aku sembunyi di kakus!”
“Heh?”
“Benar, aku memasuki kakus dan bersembunyi di situ. Aku mendengar ayahmu marah-marah dan mencariku. Tentu saja aku gemetar dan nyaris kecemplung. Wah, kalau aku tidak menahan napasku dan sembunyi di sana tentu kau dan ayahmu menemukan aku!”
Swat Lian tiba-tiba merasa geli. Tanpa terasa senyumnya melebar, pecah dalam tawa kecil dan Sastrawan itu mengerutkan kening. Dan ketika orang kelihatan marah kepadanya maka gadis ini berkata, “Kim-twako, bukan main caramu itu. Tempat itu memang tepat, siapa mau mencarimu di sana? Hi-hik, kau tak tertimpa kotoran?”
“Ah, jangan meledek, siocia. Aku nyaris muntah-muntah bersembunyi di sana. Kalau ayahmu teliti dan mau mendobrak pintu kakus tentu aku mati kaku digantung ayahmu itu! Sudahlah, mana ayahmu sekarang dan betulkah berita yang kudengar di luaran bahwa ayahmu menantang semua orang kang-ouw untuk mempertahankan Sam-kong-kiam?”
“Kau tahu?”
“Wah, aku pengelana, siocia. Tahu segalanya!”
Swat Lian kagum. Untuk kesekian, kalinya dia tercengang akan telinga sastrawan ini, yang rupanya suka “nguping” dan tahu akan sesuatu hal, tahu sebelum diberi tahu, tiba-tiba tertegun karena Kim-siucai memang pengelana. Seorang pengelana akan tahu lebih banyak hal daripada yang bukan pengelana, perjalanannya itulah yang meluaskan pengetahuan sistrawan ini. Dan karena lagi-lagi Swat Lian dapat menerima alasan itu maka gadis ini mengangguk berseru kagum “Kim twako, kau rupanya orang isitmewa. Apalagi yang kau ketahui selain ini?”
“Banyak, siocia. Termasuk pertikaian ayahmu dengan pihak istana.”
Swat Lian mengerutkan kennrg. “Kau juga tahu itu?”
“Tentu saja, aku punya telinga di mana-mana!”
Swat Lian mendesis, “Twako, bagaimana kau bisa tahu itu? Tak banyak orang tahu akan ini. Kau rupanya dapat bergerak cepat ke sana ke mari untuk melacak berita!”
Kim-siucai menghentikan tawanya. Sorot yang penuh selidik dan lagi-lagi curiga membuat dia menyeringai, menahan diri. Dan ketika gadis itu memandangnya tajam mahasiswa ini mengangkat lengannya. “Siocia” katanya sungguh-sungguh, “bukankah hal begini dapat disiarkan istana kepada siapa saja? Bukankah persoalan itu gampang didengar karena pihak istana mendongkol kepada ayahmu? Hal ini bukan istimewa, siocia. Kalau aku tahu itu adalah lumrah.”
“Hm, baiklah. Dan kedatanganmu sekarang ini, apa maksudmu? Bagaimana kau berani mati mendatangi rumahku? bukankah kau tahu ayahku akan menangkapmu kalau kau terlihat?”
“Aku percaya padamu, siocia. Aku tahu kau akan melindungiku bila ayahmu marah-marah!“
“Kau percaya itu?”
“Tentu saja, kita sahabat. Dan heh-heh... maaf agaknya beberapa hari ini siocia teringat padaku dan ingin bertemu.”
“Wut!” Swat Lian melompat bangun, terbelalak matanya, merah mukanya. “Kau berani bicara seperti itu, Kim-siucai? Kau mau main-main denganku!“
“Ah-ah, maaf,” siucai ini tiba-tiba ketakutan. “Aku tidak bermaksud kurang ajar kepadamu, siocia, melainkan melihat bukti yang ada di tangan. Bukankah kau membawa lukisanku dua tiga hari ini? Bukankah kau selalu termenung dan tampak sedih? Aku mencuri lihat akhir-akhir ini siocia, tapi baru hari ini aku berani masuk!”
Swat Lian tertegun. Tiba-tiba lukisan di tangannya jatuh, wajah gadis ini memerah dan Swat Lian gugup memandang siucai itu. Kim-siucai sendiri sudah mengambil lukisan yang jatuh itu dan menyerahkannya dengan menunduk. Dan ketika Swat Lian menerima dan tubuh dilipat dua maka sastrawan ini berkata menyesal.
“Hu siacia, maafkan aku. Rupanya kata-kataku telah menyinggung perasaanmu. Kukira kau membutuhkan seseorang untuk bicara di tempat ini, tak tahunya aku salah. Biarlah aku pergi dan aku tak akan berani datang lagi kemari....”
Tapi ketika sastrawan itu memutar tubuhnya tiba-tiba Swat Lian berseru menahan, terisak. “Tunggu, kau memang benar, twako. Aku ingin bicara denganmu dan jangan pergi!”
“Eh,” sastrawan ini terkejut, girang. “Siocia tidak marah?”
“Tidak, kau duduklah, twako. Mari kita omong-omong!” Dan begitu Swat Lian memerintahkannya duduk tiba-tiba Kim-siucai ini tersenyum lebar.
“Siocia, apa yang ingin kau bicarakan? Tidak lancangkah kiranya aku ngobrol di sini denganmu?”
“Tidak, aku cukup mendapat kebebasan, twako. Dan, hm... terus terang saja hari ini ayah sedang tidak di rumah!”
“Wah, kebetulan. Tapi bagaimana kalau kakakmu atau yang lain tahu?”
“Aku akan melindungimu, kakakku amat sayang kepadaku dan tak mungkin dia marah.”
“Dan pembantu-pembantumu?”
“Kenapa cerewet amat? Kau bawel seperti nenek-nenek, twako. Tak usah khawatir dan percayalah akan kata-kataku!” Swat Lian kesal.
“Ha-ha, terima kasih, siocia. Kalau bagitu terima kasih!” sastrawan ini tertawa bergelak.
Swat Lian mengerutkan kening tapi akhirnya tersenyum. Dua titik air mata itu diusapnya dan mereka sudah duduk berhadapan. Dan ketika dua pasang mata kembali beradu dan Swat Lian merah mukanya memandang wajah tampan itu maka Kim-siucai tiba-tiba memegang pundaknya, begitu berani!
“Siocia, kenapa kau begitu sedih? Kenapa menangis?”
Aneh sekali, Swat Lian tak mengusir tangan di atas pundak ini, bahkan menarik napas. “Aku prihatin atas sikap ayah, Kim-twako,” katanya. “Dan aku khawatir akan apa yang bakal terjadi“
“Hm, urusan Sam-kong-kiam itu?”
“Ya.”
Jari itu tampak menggigil, bergetar di atas pundak. “Kau tak membujuk ayahmu?”
“Sudah, twako, tetapi gagal.”
“Ayahmu seorang keras kepala?”
“Ya, bahkan akhir-akhir ini cenderung sombong, setelah tewasnya Kim-mou-eng itu. Eh...!” Swat Lian berhenti sejenak. “Kau tahu tentang terbunuhnya Pendekar Rambut Emas itu, twako? Kau mendengar pula?”
“Tentu, kalau tidak tak mungkin pedang berpindah tangan, siocia. Dan aku prihatin atas semua kejadian ini!”
“Kau tak perlu menyebutku siocia (nona)” mendadak Swat Lian menegur. “Panggil saja namaku atau adik Swat Lian!”
“Hm, keluargamu tidak marah?”
“Kenapa marah? Memangnya aku harus tunduk pada mereka dan terikat peraturan-peraturan kaku?”
Kim-siucai tiba-tiba kagum, melepas tangannya. “Siocia, eh... adik Swat Lian, kau benar-benar lihiap (pendekar wanita) sejati. Lebih pantas kau menjadi puteri Si Pedang Maut daripada puteri seorang pedagang!”
“Kau memuji?” Swat Lian tersenyum. “Maaf, toako, aku tak punya uang kecil!”
“Ha-ha!” mereka tiba-tiba sama tertawa. “Kau luar biasa, adik Swat Lian. Kalau tidak mengenal sendiri tingkah lakumu sehari-hari tentu tak mau aku percaya bahwa kau demikian bebas, tak terikat norma-norma usang dan gagah serta lihai. Mana mungkin orang percaya bahwa jari-jari yang demikian halus mampu membuat jungkir balik penjahat? Ah, aku kagum padamu, adik Swat Lian. Kau memang hebat!” tapi mendesis mengangkat mukanya tiba-tiba Kim-siucai ini berseru, “Ada orang datang...!”
Swat Lian terkejut. Dengan amat cepat namun berkesan gugup siucai itu meloncat di belakang, bersembunyi di gerumbul taman dan menghilang di situ. Swat Lian terkejut karena baru mendengar langkah seseorang, suhengnya nomor empat Cun Li muncul. Dan ketika dia tertegun dan heran bagaimana siucai itu bisa lebih dulu tahu maka Cun Li telah berkelebat di depannya dan membungkuk.
“Sumoi, tak ada seseorang di sini? Aku melihat jejak kaki mencurigakan, jangan-jangan ada pencuri atau orang asing masuk!”
Swat Lian bangkit berdiri, terbelalak. “Di mana kau lihat?”
“Di tembok, sumoi. Seperti orang merayapi dinding dan menuju ke tempat ini!”
“Hm, tidak!” Swat Lian berdebar, teringat Kim-siucai dan tentu saja menggeleng. “Kau barangkali salah lihat, suheng. Coba periksa kembali tapi tempat ini betul-betul tak ada orang selain aku.”
“Baiklah, terima kasih, sumoi. Dan aku akan melapor kepada kakakmu.”
Cun Li berkelebat ke dalam. Sekarang Kim-siucai muncul dan sastrawan itu mengebut-ngebut pakaiannya, tiba-tiba Swat Lian curiga dan memandang tajam. Aneh siucai ini, pikirnya. Bagaimana dapat mendahului pendengarannya mendengar Cun Li? Apakah dia lengah atau...,
“Kim-twako!” Swat Lian tiba-tiba membentak, mencengkeram bahu lawan. “Bagaimana kau tahu kedatangan suhengku itu padahal aku belum? Kau memiliki kepandaian dan berpura-pura?”
“Ah-ah....!” Kim-siucai ini meringis. lagi-lagi menampakkan diri kesakitan. “Kenapa kau menduga begitu, adik Swat Lian? Bukankah aku kebetulan menghadap arah suhengmu dan adakah aneh kalau aku lebih dulu tahu? Aku telah melihat bayangannya, karena itu aku lebih dulu tahu dibanding dirimu. Lepaskan cengkeramanmu, sakit!”
Swat Lian melepaskan cengkeramannya, tertegun. “Begitukah?”
“Ya, kau kira apa? Aku bohong?”
“Hm....!” Swat Lian menyerah kalah. “Aku lagi-lagi salah, twako. Maafkan aku.”
“Kenapa? kau menduga aku bisa silat? Ha-ha, kau ini lucu, adik Lian. Kalau aku bisa silat tentu tiga penjahat dulu itu tak dapat menghina aku. Kau terlampau curiga, atau barangkaii penampilanku yang terlalu mencurigakan. Baiklah, kalau begitu aku pergi saja dan biar kau....”
“Tidak!” Swat Lian memotong, mencegah. “Kau tak usah pergi, twako. Nanti saja, aku masih ingin bercakap-cakap denganmu!”
“Tapi kau memiliki ketidakpercayaan....”
“Aih, sudahlah. Ini semua karena ayah, twako. Ayah berkeyakinan benar bahwa kau bisa silat. Padahal, hm... sekali totok saja kau roboh!” Swat Lian terkekeh, menyatakan penyesalannya.
Siucai itu meringis. Dia merasa diolok-olok karena kebodohannya. Tapi tidak marah dan tersenyum memandang gadis itu dan malah berkata, menepuk dahi sendiri, “Ya, itulah kesialanku. Aku melulu sastrawan goblok, adik Swat Lian. Pintar tidak goblok pun belum. Heh-heh, ayahmu terlalu berlebihan menilai diriku. Kalau saja benar, hm... tentu nikmat sekali bisa memiliki kepandaian bela diri.”
“Kau mau belajar?”
Kim-siucai terbelalak. “Siapa mau menjadi guruku?”
“Hi-hik, aku mau, twako. Kau Kulihat berbakat dan dapat memiliki sekedar ilmu penjaga diri agar tidak diganggu orang jahat.”
“Kau?”
“Ya, kenapa? Kau tak suka?”
“Ah!” siucai ini bertepuk tangan. “Tentu saja suka, adik Lian. Tapi....“ keningnya tiba-tiba berkerut. “Lancang apa aku ini? Mana mungkin kau dapat mengajari aku? Tidak, aku takut ayahmu, adik Lian. Jangan-jangan dia marah besar dan aku bisa dibunuhnya!”
“Aku akan melindungimu!” gadis itu menegakkan kepala. “Dan aku jamin keselamatanmu asal kau menurut perintahku!”
“Begitu nekat?” pemuda ini tertawa. “Kau melihat apa pada diriku ini, adik Swat Lian. Bukankah aku seorang pengelana yang suka bergerak dari satu tempat ke tempat lain? Apakah bisa aku kau kurung di sini? Jangan, aku tak mau merepotkanmu, adik Lian. meskipun aku merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa demikian besar perhatianmu kepadaku!”
“Kau menolak?” Swat Lian tiba-tiba kecewa. “Baiklah, kau rupanya merendahkan ilmu silat keluarga Hu, Kim-twako. Barangkali dalam perjalananmu itu kau melihat seorang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada kami!”
“Ah, jangan salah paham. Kenapa berpikir begitu, adik Lian? Aku tak merendahkan, hanya semata aku tak mau membuatmu repot.”
“Aku tidak repot!”
“Tapi ayahmu bisa marah.”
”Aku dapat memberi jawabannya!”
“Hm....!” Kim-siucai ini garuk-garuk kepala terdesak. “Baiklah, adik Lian. Tapi aku ragu apakah setua ini aku dapat menjadi muridmu yang baik!”
“Kau suka?”
“Sekedar penjaga diri saja...”
“Tentu, aku memang ingin membayar sedikit jasamu atas lukisanmu dulu, twako. Kalau kau suka tentu saja aku akan girang sekali!” Swat Lian benae-benar girang, mukanya tiba-tiba berseri. “Kalau begitu sekarang boleh kita mulai!” gadis itu melompat bangun, langsung berseru. “Aku akan mengajarimu kauwkoat (teori silat) sebelum meningkat yang lain!”
“Ah, begini mendadak?”
“Memangnya kenapa? Hayo, kesini, twako. Lihat aku akan mengajarimu jurus-jurus penahan serangan!” dan menyuruh pemuda itu maju Swat Lian sudah menunjukkan gerak-gerak tangan dan sikap kaki yang benar, menyuruh pemuda itu menirukan dan sambil nyengir Kim-siucai ini pun mengangguk, dua tiga jam tidak terasa mereka habiskan dengan cepat. Dan ketika siucai itu menghapus keringat dengan napas terengah-engah maka Swat Lian menghentikan gerakannya dan tertawa berkata, “Kau lemah benar. Baru beberapa jurus saja sudah capai!”
“He-he, aku belum biasa, adik Lian. Tapi dua tiga hari tentu aku akan lebih kuat.”
“Ya, dan kau akan bertambah sehat!”
“Tapi pelajaran pun meningkat!”
Swat Lian tertawa. Bergaul dengan siucai ini mendadak membuat dia lupa kemurungannya terhadap sang ayah. Hari itu mereka menyelesaikan percakapan dan keesokan harinya kembali mereka bertemu lagi. Jurus demi jurus diajarkan Swat Lian kepada murid barunya ini. Dan ketika seminggu kemudian mereka belajar dengan begitu gembira mendadak Beng An muncul berseru marah.
“Lian-moi, apa-apaan ini? Kau memasukkan orang asing ke dalam rumah? Hei.... dia Kim siucai!” Beng An terkejut, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan terbelalak memandang siucai itu.
Kim-siucai sendiri tersentak dan buru-buru menyelinap di belakang Swat Lian, dia menggigil dan berbisik meminta tolong Swat Lian. Dan sementara Swat Lian sendiri juga terkejut karena lengah kedatangan kakaknya maka Beng An berdiri di depannya dengan mata melotot.
“Lian-moi, bagaimana kau bergaul dengan siucai ini? Dan kau mengajarinya silat? Ah, kau lancang. Ayah bisa marah dan menghajar kalian berdua!”
Swat Lian sudah dapat menenangkan diri. “An-ko, jangan keburu marah. Aku hanya sekedar memberinya pelajaran sederhana, hitung-hitung sebagai jasa lukisannya dulu itu.”
“Tapi kau tak meminta ijin, Lian-moi. Dan Kim-siucai ini pun dicari ayah!”
“Aku tahu...”
“Kalau begitu kenapa nekat? Kau lancang, biar kulihat sampai di mana ilmu yang kau berikan....!” dan berkelebat menyambar siucai itu tiba-tiba Beng An bergerak dan menyerang pemuda ini, dikelit tapi dua tiga gebrakan Kim-siucai roboh. Beng An segera tahu sampai di mana ilmu yang diberikan adiknya, ternyata memang ilmu yang biasa-biasa saja. Untung bukan ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut!
Beng An mendengus. Dan ketika dia mencengkeram dan marah mengangkat bangun siucai itu maka pemuda ini membentak, “Kim-siucai, berapa hari kau mendapat pelajaran adikku? Kau begini berani mati bergaul dengan adikku? Lancang kau, seharusnya ku lempar sekarang....!”
Tapi Swat Lian yang berkelebat menyambar siucai itu tiba-tiba berseru, “An-ko, lepaskan. Keselamatan Kim-siucai aku yang menjaga!” dan merenggut siucai itu dari tangan kakaknya gadis ini berdiri gagah, membusungkan dada. “Dia datang karena ku undang. Kalau ingin marah jangan kepadanya melainkan kepadaku. Nah, kuharap kau tidak memberitahukan ini kepada ayah!”
Beng An terkejut. “Kau gila?”
“Aku tidak gila, An-ko, melainkan aku telah berjanji kepadanya agar tidak siapa pun mengganggu!”
“Tapi Kim-siucai ini mencurigakan, dia lolos ketika dulu kita kejar!”
“Dia bersembunyi di kakus, An-ko. Dan aku telah menanyainya hingga tak perlu bercuriga lagi!”
Beng An mengerutkan kening. Dia tertegun melihat adiknya demikian ngotot melindungi siucai ini, tentu saja tak senang karena sebagai seorang gadis adikkya ini telah bergaul dengan pemuda asing, tanpa sepengetahuannya, tentu saja dia marah dan Beng An melotot memandang siucai itu. Tapi melihat adiknya bersungguh-sungguh dan dia tahu watak adiknya yang keras akhirnya Beng An menarik napas panjang.
“Lian-moi, kau adalah puteri Hu Beng Kui yang terhormat. Haruskah kini kau bergaul diam-diam dengan pemuda yang baru dikenal? Pantaskah kiranya selama berhari-hari kau bertemu dengannya di sini? Bagaimana kalau diketahui orang lain dan namamu cemar. Kim-siucai ini sudah jelas bukan pemuda baik-baik, Lian-moi. Kalau dia pemuda baik-baik tentu akan datang secara terhormat dan meminta ijin kepada ayah atau aku untuk menemuimu. Insaflah, ini bukan pertemuan yang baik dan siucai ini harus diusir!”
Swat Lian tertegun, mau membantah. Tapi Kim-siucai yang sudah maju mendahului merangkapkan tangan ternyata berkata, persis seperti apa yang dipikir Swat Lian, “Saudara Beng An, apa yang kau katakan memang tidak salah. Tapi coba pikir, mungkinkah aku mendapat ijin kalau masuk terang-terangan? Mungkinkah ayahmu atau kau mengijinkan aku di sini? Tidak, aku rasa tak mungkin itu kalian lakukan, saudara Beng An. Dan karena itu terpaksa secara lancang aku berada di sini menemui adikmu.”
“Untuk urusan apa?”
“Sam-kong-kiam.”
Beng An melengak, terkejut. “Kau siucai lemah begini bicara tentang Sam-kong-kiam? Hm....!” Beng An tiba-tiba mercengkeram bahu lawan. “Kau mencurigakan hatiku, Kim-siucai. Omonganmu ini saja sudah cukup membuat aku mencurigaimu karena tak masuk akal seorang mahasiswa lemah macam dirimu bicara tentang Sam-kong-kiam!” dan memandang adiknya dengan tetap mencengkeram siucai itu Beng An berseru, “Nah, kau dengar, Lian-moi. Tidakkah kau curiga melihat siucai ini bicara tentang Sam-kong-kiam? Tidakkah pemuda macam ini seharusya di tangkap dan dihadapkan ayah?”
“Maaf,” Kim-siucai berkata. “Aku tidak bermaksud merebut pedang itu, saudara Beng An. Melainkan membicarakan sepak terjang ayahmu yang dapat mencelakakan diri sendiri. Aku datang untuk berbicara ini dan bukan pedangnya sendiri!”
“Benar,” Swat Lian tiba-tiba mengangguk. “Dia datang untuk membicarakan ayah yang melepas pengumuman itu, An-ko. Karena sama seperti kita Kim-siucai pun menganggap ayah mengundang bahaya!”
“Apa perdulinya?” Beng An marah. “Bukankah dia orang luar dan tak perlu ikut campur?”
“Ah, salah. Aku memang orang luar, saudara Beng An. Tapi budi adikmu yang telah menyelamatkan aku dari penjahat membuat aku ingin berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kalian sekeluarga pula. Aku... ah... jangan merendahkan!” Kim-siucai melihat jengek mengejek dari mulut Beng An. “Aku memang siucai lemah tapi buah pikiranku barangkali dapat mempengaruhi orang lain!”
“Hm, pengaruh apa? Kau tetap tak banyak bisa berbuat, siucai tolol. Kalau kami yang berkepandain saja tak bisa melakukan apa-apa apalagi kau. Sudahlah, nama keluarga Hu harus kami jaga. Memandang muka adikku biarlah kehadiranmu kuanggap tak ada dan sekarang kau harus pergi. Jangan mrnenui adikku lagi karena tak pantas seorang gadis mengadakan kencan dengan pemuda yang bukan apa-apanya!”
Swat Lian merah mukanya. Memang untuk ini ia merasa salah, sebenarnya Kim-siucai itu sudah mau pergi tapi dia selalu menahan-nahan. itu kesalahannya. Dia merasa tentarik dan entah kenapa wajah siucai ini mengganggunya. Barangkali gerak-geriknya yang aneh dan serba rahasia itu membuatnya kepingin tahu. Maka ketika kakaknya melirik tajam dan teguran itu pun ditujukan pula pada dirinya maka Swat Lian menunduk sementara Kim-siucai pun menghela napas, mengangguk.
“Adik Swat Lian, apa yang dikata kakakmu memang benar. Sekarang kita harus berpisah, banyak terima kasih bahwa sejurus dua ilmu yang telah kau berikan padaku mungkin dapat berguna di kemudian hari. Maaf kalau aku merepotkanmu dan maaf pula terhadap saudara Beng An!” dan membungkuk memberi hormat tiba-tiba siucai itu memutar tubuhnya meninggalkan tempat itu, naik ke tembok dan merayap ke atas. Lucu sekali tingkahnya ini, menggelikan. Tapi begitu dia lenyap di luar dan Beng An berkelebat menyusul ternyata orang sudah tak ada lagi di sana.
“Iblis! Ke mana dia?”
Swat Lian juga terkejut. Dia sendiri sudah menyusul kakaknya, di luar tembok itu adalah tempat terbuka, semestinya Kim-siucai itu masih terlihat dan tentu saja mereka terbelalak karena seperti siluman saja siucai itu lenyap. Ini tak mungkin. Maka Beng An yang berseru pada adiknya agar memutari tembok sebelah kiri tiba-tiba berkelebat mencari memutari tembok sebelah kanan.
“Lian-moi, coba cari. Temukan dia!”
Swat Lian mengangguk, ia sudah berkelebat seperti kata kakaknya, mencari tapi tidak ketemu. Di ujung tembok mereka kembali jumpa. Dan ketika swat Lian tertegun dan kakaknya melotot. Maka Beng An membanting kaki tak menemukan Kim-siucai itu. “Sial! Kenapa tidak tadi-tadi saja dia kutangkap? Siucai ini mencurigakan, Lian-moi. Aku tak percaya dia orang biasa karena untuk kedua kali sekarang kita tertipu!”
Swat Lian berdebar, heran juga. “Ya, kemana siucai itu, An-ko? Apakah dia pandai menghilang seperti siluman?”
“Tak mungkin, ini pasti kepandaian ilmu meringankan tubuh. Atau dia bersembunyi di kakus lagi? Coba kucari” Dan Beng An yang penasaran berkelebat ke samping akhirnya tak lama kemudian kembali lagi dengan tangan kosong. “Tak ada, ia benar-benar lenyap!”
“Hm!” Swat Lian bersinar-sinar, heran dan curiga dengan kuat “Siucai ini aneh sekali, An-ko. Kalau begitu lain kali dia kutemukan sebaiknya dia kuhadapkan kepada ayah!”
“Kau terlambat, seharusnya tadi!” dan sesosok bayangan yang terkelebat di belakang mereka tiba-iiba membuat dua muda-mudi ini membalik, melihat Cun Li muncul.
“Sumoi, sute, ayah kalian memanggil. Undangan sudah mulai berdatangan dan kalian diminta masuk!”
Beng An terkejut. “Siapa?”
“Tujuh Pengemis Kang-lam. suhu telah menerima mereka dan kalian diharapkan hadir!”
“Baik!” dan Beng An yang menyambar adiknya melompat ke dalam akhirnya tak jadi memikirkan keanehan Kim-siucai dan buru-buru menghadap ayah mereka.
Hu Beng Kui mulai kedatangan tamu, murid-murid berkata bahwa di luar kota tentu orang-orang mulai membanjir, inilah detik-detik menegangkan itu. Dan ketika mereka menghadap ayah mereka itu dan mendapat dampratan karena dikata keluyuran tak tahu diri akhirnya mereka disuruh tinggal di rumah menyiapkan diri menyambut kedatangan para tamu. “Kalian tak usah ke mana-mana, ini saatnya kita bekerja!”
Beng An menunduk. Kata-kata sang ayah tentu saja tak berani dia bantah, hari itu terjadi kesibukan di rumah Hu Beng Kui. Dan karena Tujuh Pengemis Kang Lam dinyatakan sudah mendaftar dan mereka merupakah tamu pertama yang mengikuti undangan Hu Beng Kui yang aneh maka hari itu Swat Lian dan kakaknya tak lagi memikirkan Kim-siucai.
* * * * * * * *
Siang itu, memasuki tengah hari ternyata sudah banyak orang berkumpul di halaman keluarga ini. Rumah Hu Beng Kui memang luas, halamannya dapat menampung lima ratus orang lebih, tak heran karena keluarga ini adalah keluarga kaya. Hu Beng Kui memang berhasil dalam menikmati kehidupan materinya.
Tujuh Pengemis Kam Lam yang dimaksud itu sudah duduk di depan panggung lui-tai. Panggung yang telah didirikan Hu Beng Kui untuk mengadu kepandaian. Panggungnya kokoh dan tinggi dua meter lebih, tak ada tangga disitu dan orang harus meloncat untuk naik ke sina. Inilah cara Hu Beng Kui menguji lawannya. Lawan harus memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup untuk dapat melayang ke atas panggung.
Orang-orang lain rupanya sudah mendengar dan Hu Beng Kui juga menyediakan tempat duduk. Kedatangan Tujuh Pengemis Kang Lam yang merupakan orang pertana yang akan merebut Sam-kong-kiam tentu saja cepat menarik perhatian orang dan ketika Hu Beng Kui muncul diiring putera-puterinya maka tujuh pengemis ini bangkit berdiri memberi hormat, baru kali itu bertemu jago pedang ini dan lima dari mereka kagum memandang Swat Lian, yang hari itu mengenakan pakaian hijau, dengan ikat pinggang hitam. Cantik dan gagah.
“Hu-taihiap, kami datang untuk coba-coba memenuhi tantangannya. Kami Kang-lam Jit-kai tak tahu diri ingin merebut Sam-kong-kiam!”
“Hm, kami tahu, jit-wi lo-kai (tujuh pengemis). Kalian ingin bertanding dengan cara bagaimana? Silahkan naik ke atas panggung, kita bicara di sana!” Hu Beng Kui menggerakkan kaki, tubuh tiba-tiba lenyap dan mumbul di atas panggung lui-tai, tanpa menengok atau pun menoleh pendekar ini sudah melesat ke sana, gerakannya demikian ringan dan luar biasa.
Dan ketika Swat Lian dan kakaknya juga mengikuti gerakan sang ayah dan mereka sudah menyuruh naik tujuh pengemis di bawah tiba-tiba orang-orang yang ada di sekitar situ bertepuk tangan memuji melihat kepandaian Hu Beng Kui dan dua anaknya ini, di sambut acuh saja oleh Hu Beng Kui yang belum mengeluarkan sepersepuluh dari kepandaian yang dia miliki.
Kang-lam Jit-kai (Tujuh pengemis Kang-lam) tertegun. Mereka tiba-tiba tergetar, meloncat tanpa memandang kiri kanan bukanlah perbuatan yang tidak berbahaya, sekali meleset tentu bakal terjeblos, dan sekali kejeblos tentu bakal menjadi bahan tertawaan orang belaka. Tapi merasa dapat melompat tanpa banyak susah tiba-tiba mereka bergerak serentak dan tujuh pengemis ini telah mengikuti jejak tuan rumah, kembali mendapat tepukan ketika mereka sudah berhadapan dengan Hu Beng Kui di atas panggung.
“Maaf, aku Twa-kai (Pengemis Tertua), taihiap. Masalah cara pertandingan kuserahkan saja padamu. Kami biasa maju bertujuh, tapi kalau dikehendaki maju satu per satu pun kami dapat, semuanya terserah padamu.”
“Hmm, begitukah? Kalau begitu bareng saja, aku akan menyuruh muridku termuda melayani kalian” dan menoleh memanggil Kao Sin pendekar ini menggapaikan tangan. “Kao Sin, majulah. Hadapi tamu dan robohkan mereka!”
Dan begitu muridnya melayang masuk jago pedang ini sudah meluncur turun dan membiarkan muridnya menghadapi lawan, diikuti putera-putrinya karena sebenarnya Hu Beng Kui ini sedang menguji kepandaian lawan belaka, melihat dari gerak tujuh pengemis ilu mereka masih di bawah Kao Sin. Tentu saja sikap ini meremehkan tujuh pengemis itu dan Twa-kai mendelik, tuan rumah sudah menyerahkan mereka pada orang lain, Kao Sin sudah menjura di depan mereka.
Dan ketika pemuda itu membungkuk dan Twa-kai mengetukkan tongkat maka orang tertua dari Kang-lam Jit-kai ini berseru, “Hu-taihiap, sedemikian sombongkah dirimu ini hingga menyuruh maju seorang muridmu melawan kami bertujuh? Bagaimana kalau muridmu mampus?”
“Hm, tak perlu banyak cakap. Twa-kai. Kalian yang akan roboh dan cepatlah selesaikan pertandingan ini!”
Hu Beng Kui malah memberi tanda, menyuruh putera-puterinya mewakili di situ dan sudah masuk ke dalam. Rupanya pertandingan ini tak menarik bagi pendekar itu. Hu Beng Kui telah melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) mereka yang rendah. Tentu saja tujuh pengemis itu mencak-mencak. Bukan main pongahnya si jago pedang itu, kehadirannya cukup diwakili putera-putrinya.
Tapi karena tuan rumah sudah diwakili muda-mudi itu dan Kang Lam Jit-kai tak dapat menahan diri maka bentakan nyaring sudah dimulai mereka, menyuruh Kao Sin bersiap dan mereka maju menubruk, mula-mula yang maju hanya dua orang saja. Tongkat bergerak dan Kao Sin diserang, pemuda ini mengelak dan menangkis. Dan ketika tongkat terpental dan dua pengemis itu kaget menubruk lagi maka Kao Sin berkelebatan di antara mereka.
“Jit-wi lo-kai, majulah semua!”
“Sombong” Twa-kai semakin mendelik. “Kau belum tentu dapat menghadapi dua di antara kami, bocah. Robohkan dulu mereka dan baru setelah itu menyuruh kami maju bertujuh!”
Kao Sin tertawa. Sebenarnya dia sudah besar hati dengan sikap gurunya tadi, itu tanda dia dapat menghadapi lawan. Benar saja, tengkisannya membuat dua pengemis itu terpental dan mereka terkejut, dengan mudah dia mengelak dan berlompatan dan kini mulai menampar. Dan ketika dia membalas dan sama sekali belum mengeluarkan pedangnya tiba-tiba dua pengemis itu terpelanting ketika dua tamparan Kao Sin mengenai pundak mereka, disusul tendangan dan tamparan-tamparan lain di mana dua pengemis itu jatuh bangun dan berseru keras.
Kao Sin membagi-bagikan pukulannya dengan mudah, begitu enak pemuda ini berkelebatan di antara dua lawannya, tongkat sama sekali tak berdaya menghadapi pemuda ini. Dan ketika dua pengemis itu terdesak hebat dan tak lama lagi tentu mereka roboh di bawah panggung mendadak dua saudaranya maju menerjang mendapat isyarat Twa-kai.
“Bocah, kau memang lihai. Sekarang hadapilah kami berempat.... siutt-trakk!” tongkat menyambar, bila bantuan datang dan Kao Sin melepas dua musuhnya pertama, membalik dan menangkis dan tongkat terpental. Dua pengemis pertama berseru lega dan kini temannya yang baru datang sudah menghujani Kao Sin dengan sodokan dan gebukan bertubi-tubi. Kao Sin tertawa dan meloncat t8nggi. Dan ketika dia melayang turun dan tongkat menyambar kakinya maka pemuda ini mengadakan sapuan kuat menyambut dua senjata lawan.
“Des-dess!”
Dua pengemis itu terjengkang. Mereka berseru kaget menerima tendangan melayang ini, Kao Sin sudah di lantai panggung tapi dua pengemis pertama sudah maju menerjang, mereka membentak menolong dua saudara mereka. Kao Sin membalik dan kembali menangkis. Dan ketika mereka terpelanting dan tongkat nyaris terlepas maka Twa-kai yang ada di luar pertempuran berseru keras,
“Jangan maju berdua-dua, keroyoklah berempat!”
“Bagus, keroyoklah berempat, si-wi lo-kai (empat pengemis). Kalau perlu kalian bertujuh boleh maju serentak!” Kao Sin menyambut, tertawa menimpali seruan Twa-kai dan pengemis itu mendelik. Sekarang Kao Sin berputaran cepat diantara empat sambaran tongkat, tubuhnya lincah menyelinap ke sana-sini, hebat pemuda itu, bagai belut saja, licin. Dan ketika dia mendorong dan menolak pula maka Kao Sin sudah menyambut datangnya hujan tongkat dengan kedua lengan telanjang.
”Plak-plak-plak!”
Penonton terbelalak kagum. Mereka melihat murid Giam-lo-kiam itu mampu menolak semua tongkat dengan baik, empat pengemis di atas panggung selalu terhuyung. Ini menandakan bahwa mereka kalah kuat. Tangkisan Kao Sin selalu membuat telapak pedas, mereka menggigit bibir dan marah menerjang lagi. Tapi karena Kao Sin memiliki sinkang dan ginkang di atas mereka dan sebentar kemudian pemuda itu lenyap mendahului gerakan tongkat tiba-tiba Kao Sin membagi pukulannya dan tertawa berkata,
“Si-wi lo-kai, robohlah....!”
Empat pengemis itu pusing. Mereka tak dapat mengikuti gerakan lawan, Kao Sin berkelebatan di antara mereka bagai kelelawar yang luar biasa ringan, tentu saja pukulan demi pukulan mendarat di tubuh mereka. Dan karena Kao Sin mengatur tenaganya sedemikian rupa agar sekali pukul lawan roboh maka berturut-turut empat pengemis ini mengeluh dan mereka benar-benar ambruk di lantai panggung, bagai kain basah.
“Bluk-bluk-bluk!”
Empat tubuh itu bergelimpangan. Tongkat di tangan empat pengemis ini terlepas, tadi Kao Sin menotok pergelangan tangan mereka pula. Tentu saja mereka mengeluh dan roboh terjerembab. Dan ketika empat pengemis itu menggeluh dan merintih di atas panggung maka Twa-kai dan dua temannya terkejut sementara penonton tiba-tiba bersorak ramai.
“Ah, keparat!” Twa-kai mencelat, menolong adik-adiknya itu dan segera membangunkan mereka, Ji-kat (Pengemis Kedua) dan Sam-kai (Pengemis Ketiga) juga membantu, mereka ini mengambil tongkat yang berserakan di situ. Dan ketika empat pengemis itu ditolong dan mereka pucat memandang Kao Sin maka Twa-kai melompat berdiri berseru marah, “Bocah she Kao, kau hebat. Agaknya kami memang harus maju bertujuh. Beranikah kau meneruskan pertandingan melayani kami?”
“Ha-ha, itu sudah kubilang tadi, Twa-kai. Kenapa sekarang baru sadar dan ingin maju bertujuh? Majulah, seharusnya sejak tadi kalian bergabung dan menghadapi aku!”
“Baik” dan Twa-kai yang gusar mencabut tongkatnya akhirnya mengepung bersama enam adiknya. “Kau cabut senjatamu!”
“Tak usah diperintah, tentu kucabut kalau nanti diperlukan.”
“Kau bertangan kosong?”
“Untuk sementara ini....”
“Wuutt...!” dan bentakan Twa-kai yang tak dapat membendung marahnya memutus omongan Kao Sin tiba-tiba sudah menyambar dan menuju ke dada lawan, disusul Ji-kai dan Sam-kai yang sudah mendapat aba-aba kakaknya, dua pengemis ini menyerang Kao Sin dari kiri dan kanan. Angin gerakan tongkat yang berkesiur tajam menunjukkan Twa-kai dan dua adiknya ini memang lain dibanding empat pengemis pertama, tenaga mereka hebat dan gerakan tongkat pun mantap, ujungnya bergetar dan sulit orang menduga arahnya. Kao Sin terkejut. Dan sementara dia mengelak den waspada terhadap serangan yang lain maka empat pengemis terakhir yang sudah mendapat seruan Twa-kai tiba-tiba menerjang dari belakang menghantam murid Hu Beng Kui ini.
“Plak-plak-plakk....!”
Kao Sio membalik, menangkis dengan sapuan kakinya dan empat pengemis itu terpental, mereka memang berkali-kali sudah mendapat kenyataan tak mampu menghadapi tenaga Kao Sin, mereka terkejut. Tapi Twa-kai dan Ji-kai serta Sam-kai yang menyerang lagi dari depan dan kiri kanan sudah menyambarkan tongkatnya, bertubi dan susul-menyusul mereka ini mencecar Kao Sin. Hebat serangan mereka, Kao Sin mengelak namun tongkat selalu memburu. Dan ketika satu saat pemuda ini terpaksa menggerakkan lengan menyambut tiga tongkat sekaligus maka benturan keras terjadi di antara mereka dan tiga pengemis itu hanya terhuyung saja.
“Bagus!” Kao Sin memuji, segera mengetahui bahwa tenaga tiga pengemis utama ini lebih kuat dibanding yang lain, mereka maju lagi dan Kao Sin dibuat sibuk, kini dia disibukkan oleh tiga tongkat di tangan tiga pengemis itu. Twa-kai dan Ji-kai serta Sam-kai hampir berimbang, mereka sama-sama memiliki gerakan cepat yarg mantap.
Dan ketika tiga pengemis itu mendesak sementara empat pengemis yang lain menyerang dari belakang maka Kao Sin berputaran mengerahkan ginkang menghindari seringan-serangan berbahaya, satu dua mulai mendapat gebukan tongkat namun pemuda ini telah melindungi dirinya dengan sinkang, bahkan tongkat yang membalik dan hampir mengemplang tuannya sendiri. Para pengemis itu terkejut. Dan ketika Twa-kai membentak nyaring mempercepat gerakannya tiba-tiba bersama Ji-kai dan Sam-kai dia lenyap mengelilingi Kao Sin.
“Bentuk Tujuh Tongkat Bangau!”
Kao Sin terbelalak. Lawan di belakang dan kiri kanan tiba-tiba berpencaran, tongkat di tangan tujuh pengemis itu mendadak menutuk menyambar seperti kaki bangau, cepat dan susul menyusul hingga Kao Sin bingung. Kao Sin terkurung dan tak dapat keluar. Dan ketika dia mencari lubang keluar dan coba memperhatikan mana lubang itu tiba-tiba tujuh tongkat menggebuknya hampir berbareng, dari semua penjuru.
“Buk-buk-bukk....!”
Kao Sin terpelanting. Untuk pertama kalinya dia dibuat kelabakan oleh hujan tongkat yang luar biasa ini, Tiga pukulan dari Twa-kai dan Ji-kai serta Sam-kai membuat dia menggigit bibir. Kuat pukulan itu, tenaga tiga pengemis utama ini memang lebih hebat. Dan ketika kembali dia kebingungan dan harus hati-hati terhadap pukulan tiga pengemis utama itu maka kembali dia mendapat gebukan dan harus bergulingan menjauh di panggung lui-tai, melompat bangun tapi tujuh tongkat sudah mengejar lagi, dua tiga kali Kao Sin dihajar.
Marahlah pemuda ini. Dan karena Twa-kai terdengar mengeluarkan kata-kata mengejek dan dia harus menahan sakit terhadap tiga pukulan pengemis utama itu akhirnya Kao Sio membentak mencabut pedangnya, persis di saat lawan mengejar dia yang sedang bergulingan, dia sudah di pinggir lui-tai dan sedikit ayal tentu dia terlempar keluar, ini tak boleh jadi. Itu berarti kalah.
Dan ketika lawan menyergap dan tujuh tongkat menukik ke bawah bagai paruh bangau yang siap melempar Kao Sin ke luar panggung tiba-tiba Kao Sin mencabut pedangnya dan satu sinar panjang memecah di udara menyambut tujuh batang tongkat itu.
“Crak-crak-crakk...!”
“Crak-crak-crakk...!”