Pedang Tiga Dimensi Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 12
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SANG pelayan terkejut. Dia melihat uang yang menancap di atas meja tadi sudah dicabut, kini ganti uang Beng An menyambarnya, dia mau menangkap tapi uang itu tiba-tiba melejit, aneh sekali. Dan ketika dia terkesiap dan berseru tertahan tiba-tiba uang itu telah memasuki kantung bajunya dan amblas di situ!

“Aih, terima kasih, kongcu... terima kasih...”

Beng An tak memperdulikan. Dia sudah meloncat melihat Malisa berkelebat keluar, membuntuti gadis itu dan agaknya siap “mengawal” kemanapun si nona pergi. Malisa berhenti dan tiba-tiba membalikkan tubuh, mereka sudah berada di luar restoran. Dan ketika Beng An terkejut melihat si nona memandangnya marah maka dia mendapat teguran tajam.

“Kau mau apa mengikutiku terus? Mau kurang ajar?”

“Ah, tidak! Eh, bukankah nona mau kembali? Kita sama-sama ke losmen, kita...”

“Aku tidak ke sana, siapa bilang begitu?” gadis ini menyemprot, memotong. “Kuharap kau tidak mengikutiku lagi, orang she Hu. Perkenalan kita cukup dan kau pergilah!”

Beng An kecewa. “Nona mau ke mana?”

“Perlukah kau tahu?”

“Maaf,” Beng An terkejut. “Aku... sudahlah. Aku menunggumu di losmen, nona. Disana kita bercakap-cakap lagi dan baik aku kembali dulu!” Beng An menjura, si gadis mendengus dan tidak menghiraukan lagi, memutar tubuh din berkelebat lenyap.

Dan karena mengikuti terus gadis itu memang dirasa tidak sopan akhirnya Beng An kembali dan menunggu Malisa di losmen, sebenarnya kecewa namun berharap ketemu lagi dengan gadis yang memikat hatinya itu. Beng An berdebar dan ingin bertatap muka, entah kenapa perasaannya begitu gundah ketika harus sendiri kembali ke losmen. Tapi ketika semalam dia menunggu gadis itu seperti yang diharap ternyata si nona tak kunjung muncul!

“Eh, mana adikmu?” begitu malah ayahnya menegur.

Beng An jadi serba salah dan tak enak berjalan ke sana ke mari. Adiknya ternyata ke luar juga, baru dia tahu. Dan ketika dia jengkel menunggu dengan perasaan tak sabar maka kentongan di luar mulai dipukul orang. Ke mana Swat Lian?

Ternyata gadis ini bertemu sahabat yang menyenangkan. Waktu itu dia berjalan putar di sekitar losmen, tak melihat kakaknya dan berjalan sedikit jauh. Tiba-tiba seorang siucai (pelajar) muncul di tikungan, berhenti dan dihadang tiga laki-laki kasar yang membentak dan kebetulan didengar Swat Lian. Siucai itu tertegun, bukunya dirampas dan tiga laki-laki kasar ini yang ternyata orang-orang jahat menggeledah sakunya. Siucai itu tak melawan Swat Lian marah melihat kejadian di depan mata. Dan ketika siucai itu hendak dipukuli dan swat Lian tak tahan tiba-tiba gadis ini berkelebat menendang tiga laki-laki kasar itu.

“Kalian manusia-manusia busuk. Di tempat begini berani merampok orang? Enyahlah... des-des-dess!”

Swat Lian yang menghajar tiga penjahat tadi dengan kaki tangannya tiba-tiba membuat lawan terpelanting mengaduh-aduh. Gadis itu tak memberi mereka kesempatan melihat dirinya, tangan kembali bergerak menampar tiga kali berturut-turut. Dan ketika tiga orang itu mencelat bagai disambar petir maka buku dan barang-barang lain yang dirampas jatuh berhamburan sementara mereka menjerit-jerit bagai ketemu setan.

“Aduh, tobat... ampun” Tiga penjahat itu tunggang-langgang.

Swat Lian telah berdiri di depan siucai itu, kini mereka berhadapan. Dan ketika Swat Lian tertegun melihat wajah tampan dan mata yang hidup berseri-seri mendadak gadis ini tertegun dengan muka merah. “Kau siapa?”

“Ah, terima kasih. Aku Kim San, nona. Pelajar lemah yang nyaris tak berdaya dirampok orang jahat!” siucai itu membungkukkan tubuh, memberi hormat dan sudah mengambili buku bukunya yang berceceran. Gerakannya begitu cepat dan sebentar kemudian buku-buku itu sudah dirapikannya kembali.

Sekali pandang orang mengetahui bahwa pemuda ini laki-laki lemah, gerak-geriknya lembut namun memiliki jari-jari yang trampil yang mampu merapikan sesuatu dengan cepat, agaknya jari-jari itu sudah terbiasa bergerak setiap hari. Dan ketika Swat Lian tertegun memandang siucai ini dari atas ke bawah maka dia tersenyum memperhatikan kopiah di atas kepala yang lucu, miring ketika mengelak tamparan seorang penjahat tadi.

“Kau jangan jalan-jalan di tempat sepi begini. Mau ke mana dan kenapa malam-malam keluyuran seorang diri? Bukankah enak diam di rumah dan duduk membaca buku?”

“Aku tak mempunyai rumah...”

“Eh, kau bukan penduduk kota sini?”

“Bukan, aku pengembara, siucai pengembara...”

“Lalu tadi kau mau ke mana?”

“Aku dari rumah Siok-wangwe, mau melukis...”

“Melukis? Kau pandai melukis?”

“Ya, aku bisa melukis sedikit-sedikit, nona. Tadi ke rumah Siok-wangwe tetapi gagal. Hartawan itu pergi. Sial!” dan Kim-siucai ini yang menggerutu dengan senyum pahit tiba-tiba mengeluarkan pit-nya (alat tulis), mencorat-coret. “Nona mau ke mana? Kenapa keluyuran juga malam malam? Bukankah kita sama?” dan ketika dia tertawa menghentikan corat-coretnya maka Swat Lian terbelalak melihat wajahnya sudah digambar di situ, persis dan indah!

“Aih, hebat. Kau pandai sekali!”

Siucai itu tertawa. “Untukmu, nona. Sekedar rasa terima kasihku atas pertolonganmu tadi.”

Swat Lian menerima. Dia kagum melihat kecepatan siucai ini melukis, padahal tangan melukis sambil bicara. Kembali untuk kedua kali Swat Lian melihat kelincahan jari-jari Kim siucai ini. Wajahnya terpampang di situ, cantik dengan mata bersinar-sinar. Swat Lian tertawa. Dan ketika dia memuji lukisan itu dan lawan tersenyum maka Swat Lian tiba-tiba teringat kakaknya. “Kau mau melukis seorang lagi?”

“Siapa?”

“Kakakku!”

Siucai ini mengerutkan kening. “Nona penduduk kota sini?”

“Bukan, aku menginap di losmen Kwi-hoa. Aku dan kakakku ada di sana!“

“Hm, nona juga pengembara?”

Swat Lian tersenyum. “Kim-twako, apakah setiap orang yang kebetulan tidak berada di rumah sendiri kau anggap pengembara? Tidak, aku kebetulan bepergian saja dengan kakakku, juga ayahku. Kami mencari seseorang.”

“Penjahat?”

“Ya, penjahat, namanya Kim-mou-eng!”

Siucai ini terkejut. Mukanya tiba-tiba berubah, tapi tertawa menutupi rasa kagetnya tiba-tiba dia berseru, “Aih, nona juga bermusuhan dengan Pendekar Rambut Emas itu? Ada hubungan dengan Sam-kong-kiam?”

“Wut!” Swat Lian tiba-tiba mencengkeram leher orang. “Kau tahu dari mana, Kim-siucai? Kau pelajar gadungan?”

“Aduh... aduh, lepaskan aku, nona. Lepaskan dulu! Aku bukan siucai gadungan, aku benar-benar siucai tulen. Siucai yang tidak lulus ujian!”

“Tapi kau tahu tentang Sam-kong kiam. kau pasti orang kang-ouw!”

“Ah, apakah hanya orang kang-ouw saja yang tahu tentang itu, nona? Bukankah hilangnya Sam-kong kiam sudah diketahui orang banyak? Orang sekota raja sudah tahu tertang itu, dan aku juga tahu karena aku seorang pengembara yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain!”

Swat Lian terkejut. Dia melepaskan cengkeramannya, memang alasan itu tepat dan dapat diterima akal. Siucai ini adalah pengelana, jadi tak heran kalau dia mengetahui kejadian-kejadian di luar. Dan karena hilangnya Sam-kong-kiam memang sudah bukan rahasia lagi maka Swat Lian percaya dan minta maaf, melihat orang menyeringai dan merasa kesakitan. Tengkuknya berulang-ulang dipijit. Swat Lian merasa bersalah. Dan ketika dia membantu melancarkan kembali jalan darah di tengkuk siucai itu maka siucai ini ngambek.

“Aku tak berani melukis kakakmu. Salah-salah aku pun dihajar!”

“Maaf,” Swat Lian menyesal. “Aku tak sengaja, Kim-twako. Jangan marah dan biar aku membawakan buku-bukumu. Aku tak sengaja dan tadi kelupaan. Kukira kau pura-pura. sudahlah, jangan ngambek dan lupakan perbuatanku tadi. Mari ke losmen dan penuhi permintaanku!“

Siucai ini ragu-ragu. “Kakakmu juga selihai dirimu?”

Swat Lian tertawa. “Lebih lihai lagi, tapi tidak sekasar aku!”

“Ah,” pelukis ini tersenyum lebar. “Kau tidak kasar, nona, hanya barangkali terkejut saja. Aku rupanya mengejutkanmu. Eh, omong-omong siapa nama nona? Kau belum memberi tahu.”

“Aku Swat Lian, she Hu,” Swat Lian teringat.

“Hm, nama yang bagus. Cantik dan indah seperti orangnya!” Kim-siucui memuji. Tapi melihat Swat Lian merah mukanya tiba-tiba dia sadar. “Ah, maaf. nona. Aku tak sadar!”

“Sudahlah, kita masih mau omong-omong saja di sini?” Swat Lian gembira, merasa siucai ini seorang pemuda yang baik. “Kau tidak segera menyatakan kesanggupanmu untuk melukis engkoh ku (kakak laki-laki)?”

“Tentu,” Kim-siucai pun tertawa. “Aku menurut, nona. Tapi kalau kakakmu nanti marah-marah tolong kau bantu aku agar tidak kena gaplok!”

“Kakakku orangnya baik, tak perlu kau khawatir,”

Swat Lian yang mengajak Kim-siucai ke losmen akhirnya tiba dan disambut kakak dan ayahnya dengan muka terheran. “Siapa dia?”

“Hi-hik, Kim-siucai, ayah. Datang karena kuundang!”

“Kau membawa laki-laki?“ Hu Beng Kui langsung bangkit berdiri, terbelalak marah tapi sebelum jago pedang itu mengeluarkan kata-kata keras Kim-siucai buru buru memberi hormat, tubuhnya dilipat dalam-dalam hingga Swat Lian geli.

“Hu taihiap (pendekar besar Hu), maafkan aku. Aku datang karena diminta melukis oleh putrimu. Hu-siocia minta agar Hu-kongcu (tuan muda Hu) digambar!”

“Benar,” Swat Lian tertawa. “Siucai ini ku undang karena kumintai tolong melukis An-ko, ayah. Lukisannya hebat dan indah sekali, juga cepat. Lihat ini!” Swat Lian mengeluarkan lukisan dirinya, gambar yang tadi dibuat Kim-siucai.

Dan ketika sang ayah tertegun dan terbelalak melihat lukisan itu maka Kim-siucai sendiri sudah mengeluarkan alat-alatnya dan mencorat-coret. Beng An yang berdiri mengerutkan kening dan melongo melihat adiknya membawa laki-laki. Sekejap saja. Dan ketika Hu Beng Kui mendengus mengembalikan gambar anaknya maka Kim-siucai pun selesai dan menyodorkan lukisan itu pada swat Lian, agaknya masih takut-takut kepada Beng An.

“Selesai, silahkan nona lihat!”

Swat Lian tiba-tiba terkekeh. Dia telah menerima dan mengamati gambar itu. lukisan kakaknya memang telah jadi dan lagi-lagi ia kagum. Apa yang diperbuat Kim-siucai ini luar biasa cepatnya. Tapi melihat kakaknya dilukis dalam keadaan melongo tiba-tiba Swat Lian tak dapat menahan kekehnya dan meledak dalam tawa yang keras. “Hi-hik, kaya monyet mendapat buah!”

Beng An terkejut. Dia cepat menyambar lukisan dirinya itu, melihat gambar dirinya terlukis disitu dengan amat sempurna, persis dan mirip. Tapi melihat gambarnya dibuat melongo dan Swat Lian memakinya seperti monyet mendapat buah tiba-tiba Beng An tersenyum tertawa geli. “Hebat, Kim-siucai ini memang pandai membuat gambar!”

“Tapi kau melongo. Seperti bocah melihat kembang gula!”

“Hmm, barangkali Kim-siucai dapat merobahnya, Lian-moi. Kau selalu meledek dan menggoda kakakmu“ dan Beng An yang tersipu memandang Kim-siucai tiba tiba sudah mendapat anggukan pemuda itu yang cepat mengambil gambarnya.

“Bisa... bisa, asal kongcu tersenyum!” dan Kim-siucai yang kembali mencorat-coret merobah gambarnya lalu melihat Beng An tersenyum, menghapus bentuk yang lama dalam bentuk yang baru, bagian mulut itu. Dan ketika sekejap kemudian lukisan itu selesai dan kembali disodorkan pada Beng An maka pemuda ini kagum mendecah perlahan.

“Cocok sekali, hebat!”

Swat Lian juga kagum. Dalam waktu yang begitu singkat Kim-siucai ini telah merobah gambar. Lukisan itu bagus dan bersih sekali. Beng An tampak tersenyum dan gagah, Lukisan ini memang mengagumkan. Dan ketika Beng An tertawa dan ayahnya juga kagum memandang lukisan hitam putih itu maka Kim-siucai menghadapinya.

“Taihiap juga minta dilukis?”

“Ah. tidak!” Hu Beng Kui terkejut. “Aku tak minta dilukis dan tak senang dilukis!” lalu teringat sesuatu memandang putrinya pendekar ini menegur, “Lian-ji, dari mana kau temukan Kim-siucai ini? Bagaimana dia menyebutku taihiap?” Jago pedang ini memang curiga.

Dia sebenarnya menyembunyikan diri, sedikit sekali orang yang memanggilnya taihiap (pendekar besar), kebanyakan menyebutnya wangwe dan dia agak terkejut datang datang pelukis ini menyebutnya taihiap. Tentu saja dia mengerutkan kening, itu tentu ulah putrinya. Dan ketika dia memandang putrinya dengan tajam dan Swat Lian tersenyum tiba-tiba Kim siucai mendahului.

“Kami berkenalan secara kebetulan, taihiap. Puterimu menolongku dari terkaman tiga orang jahat. Aku hampir dibegal!”

“Benar,” Swat Lian menyambung. “Aku menolongnya ketika dia dihadang tiga laki-laki kasar, ayah. Buku dan uangnya mau dirampas!”

“Hm. begitu!”

“Ya, begitu, taihiap. Karena itu aku lalu melukisnya dan biar lukisan itu sebagai tanda terima kasihku, tapi aku sebenarnya lebih suka melukis benda benda mati, pedang misalnya!”

Hu Beng Kui terkejut. “Pedang?”

“Ya, pedang, taihiap. Terutama pedang-pedang pusaka. Lihat, aku pernah mengenal beberapa pedang pusaka!” dan ketika tanpa diminta kembali sastrawan itu mencorat-coret kertasnya tiba-tiba dia telah melukis sebatang pedang yang berkeredep dalam tiga warna, hijau kuning dan merah.

Hu Beng Kui tertegun dan Beng An serta adiknya terbelalak. Seketika mereka teringat itulah Sam-kong-kiam, demikian hidup dan indah dilukis Kim-siucai ini. Dan ketika mereka bengong membelalakkan mata tiba-tiba Beng An berseru, “Sam-kong-kiam!”

Hu Beng Kui dan dua anaknya terkejut. Si jago pedang sendiri belum melihat Sam-kong-kiam. Hanya Beng An dan adiknya yang pernah melihat pedang itu, ketika bertempur dengan Kim-mou-eng alias Bu-hiong. Dan ketika Hu Beng Kui terkejut mendengar seruan anaknya, tiba tiba dia melihat sesuatu yang aneh di balik kopiah Kim-siucai, rambut yang sedikit menyungai dan berwarna keemasan.

“Kau Kim-mou-eng...!” tiba-tiba pendekar itu membentak, langsung melejit dan melakukan cengkeraman kuat. Swat Lian dari kakaknya terkejut melihat gerakan ayahnya itu, Kim-siucai juga terkejut. Kiranya Hu Beng Kui yang curiga ini bermata tajam. Sebenarnya dia melihat gerak gerik yang aneh pada laki-laki yang mengaku sastrawan itu, matanya yang tajam melihat kilatan bercahaya pada mata lawan, itulah bukti hebatnya sinkang seseorang yang dirasa pendekar ini. Swat Lian dan kakaknya memang belum berpengalaman seperti ayah mereka, hanya Hu Beng Kui lah yang tahu.

Maka ketika pendekar itu membentak dan sekilas ujung rambut keemasan tampak di balik kopiah lawan tiba-tiba pendekar ini telah mencelat dari duduknya dan langsung menyerang. Kelima jarinya menegang bagai jari baja, mencengkeram dan siap mencekik lawan. Kim-siucai berseru keras Tapi ketika jari jago pedang itu hampir mengenai lehernya dan Kim-siucai berteriak gugup tiba-tiba seolah tak sengaja tubuhnya dilempar ke belakang menendang kursi.

“Aduh, tolong siocia... Brukk” Sastrawan itu jatuh ke belakang, kursi menimpa dirinya tapi cengkeraman Hu Beng Kui luput. Pendekar ini kaget karena tak pernah serangannya gagal, apalagi kalau hanya menghadapi seorang siucai lemah. Dan ketika dia tertegun dan heran membelalakkan mata tahu tahu siucai ini telah kabur meloncat ke pintu melarikan diri. “Hu-siocia, tolong, ayahmu mengamuk....!”

Swat Lian bengong. Dia tak securiga ayahnya, tak melihat sembulan rambut di balik kopiah itu, tentu saja terkejut melihat ayahnya menyerang siucai ini. Tapi melihat siucai itu melarikan diri dan berteriak padanya agar menolongnya dari serangan ayahnya tiba-tiba Swat Lian berseru menyuruh ayahnya berhenti. “Yah, jangan. Tak patut kau menyerangnya!”

“Benar,” Beng An juga kaget. “Kau tak pantas menyerangnya, yah. Siucai itu manusia lemah yang tak bersalah apa-apa. Jangan merendahkan dirimu sendiri dengan menyerang orang biasa!”

“Kalian bodoh, dia itu Kim-mou-eng!” Hu Beng Kui membentak, mengibas dua anaknya dan meloncat keluar. Sekarang dia marah dan tidak tertegun lagi, Swat Lian dan kakaknya terhuyung. Dan ketika Hu Beng Kui berkelebat keluar mencari sana-sini ternyata Kim-siucai lenyap entah ke mana, jago pedang ini menggeram dan tubuh pun melayang turun, dari atas loteng yang tinggi dia berputaran di sekitar losmen. Sebenarnya lawan baru saja pergi dan tak mungkin hilang, kalau benar-benar Kim-siucai itu orang biasa. Jago pedang ini terbelalak dan membanting kaki, tentu saja geram. Dan ketika dia tak mendapatkan buruannya dan pendekar ini terkejut maka dua anaknya memburu dan Swat Lian pucat, masih tak percaya.

“Yah, bagaimana kau tahu dia Kim-mou-eng?”

“Kalian tak melihat sembulan rambutnya di balik kopiah?”

“Tidak...!“

“Itulah kebodohan kalian. Kau tertipu, siucai itu sastrawan gadungan dan aku yakin bahwa dia Kim-mou-eng!”

“Tapi dia sastrawan lemah, dia dihadang tiga orang kasar dan tidak berdaya apa-apa!”

“Huh... kau memang hijau, Swat Lian. Untuk orang macam Kim-mou-eng itu bisa saja dia berpura-pura mengelabuhi orang lain. Dia bukan sastrawan lemah, kutegaskan sekali lagi pada kalian bahwa dia bukan siucai biasa!” jago pedang ini marah, kembali berkelebat dan mencari sana sini namun tidak berhasil.

Swat Lian juga mulai heran bagaimana Kim-siucai yang dianggapnya lemah itu bisa menghilang begitu cepat, padahal ayahnya adalah seorang pendekar pedang yang berkepandaian tinggi. Dan ketika ayahnya uring-uringan dan mengajak mereka masuk kembali ke kamar maka untuk pertama kalinya Swat Lian melihat muka ayahnya merah.

“Swat Lian, kau lancang sekali. Bagaimana kau memasukkan orang macam begitu ke sini? Seharusnya kau sedikit jeli, buka mata dan telingamu agar mengenal siapa lawan siapa kawan. Lihat, masuk akalkah kalau siucai itu benar orang biasa dan kita bertiga tak dapat menangkapnya? Masuk akalkah bahwa aku tak dapat mencengkeram siucai itu ketika di dalam kamar? Renungkan dan lihat semuanya ini, anak-anak. Kuberi tahu kalian bahwa dia bukan sastrawan biasa!”

“Maaf” Swat Lian mengangguk. “Aku tak menyangka semuanya itu, ayah. Aku benar-benar tak mengira kalau dia Kim-mou-eng.”

“Tentu saja, bagaimana bukan Kim-mou-eng kalau dia mampu melukis Pedang Tiga Dimensi? Bagaimana seorang sastrawan bisa mengenal bentuk pedang itu kalau tidak pernah melihat atau memeganginya? Nah, jangan sembrono berkenalan dengan seseorang, Swat Lian. Dan juga kakakmu kuberi tahu agar tidak mendekati pula gadis Tar-tar itu!”

Beng An semburat. Ayah mereka marah-marah. Bukan apa-apa, melainkan tersinggung karena sebagai orang yang telah diakui memiliki kepandaian tinggi ayahnya tak dapat menangkap Kim-mou-eng. Bahkan ketika musuh di dalam kamar dan ayahnya menyerang ternyata seranganannya luput. Beng An tiba-tiba terkejut. Benar, mana mungkin seorang siucai biasa mampu mengundurkan serangan ayahnya yang cepat? Bukankah ini aneh? Maka ketika malam itu ayah mereka marah-marah dan mendongkol anak-anaknya bersikap lamban maka Beng An menunduk melihat adiknya terisak.

“Sudahlah, jangan marahi Lian-moi lagi, yah. Lian-moi tak sengaja dan biar kau marahi aku saja. Akulah yang menjadi gara-gara. Kalau aku tak keluar tentu Lian-moi juga tak bermaksud menyusulku disana. Aku yang bertanggung jawab tentang semuanya ini.”

Hu Beng Kui masih bersungut-sungut. Dia marah dan benar-benar terpukul. Kejadian ini seolah ejekan baginya. Musuh yang ada di depan mata lolos begitu mudah, bagaimana dia tak marah-marah? Tapi Beng An yang teringat sesuatu tiba-tiba mengangkat mukanya.

“Yah, kukira siucai itu bukan Kim-mou-eng. Kami melihat siucai itu lain dengan Kim-mou-eng yang pernah kami temukan. Wajahnya tak mirip!”

Swat Lian terkejut, tiba-tiba menyambung. “Benar, aku sekarang teringat, yah. Siucai ini memang tidak mirip dengan Kim-mou-eng yang melukai An-ko itu!”

Hu Beng Kui terbelalak. “Kalian yakin?”

“Tentu, yah!” dua anak itu hampir berbareng sama-sama berseru. “Kami tahu bahwa Kim-mou-eng yang kami temukan wajahnya tidak seperti Kim-siucai ini, Kim-mou-eng itu jelek, wajahnya kaku dan sama sekali tidak menarik!”

“Hmm, kau hendak mengatakan bahwa wajah Kim-siucai ini lebih tampan dan lebih menarik?”

“Benar,” Beng An yang menjawab, adiknya merah dan tidak berani menjawab. “Kim-siucai ini jauh lebih tampan dan menarik dibanding Kim-mou-eng yang kami temui itu, yah. Jadi sekarang, kami ragu bahwa Kim-siucai adalah Kim-mou-eng!”

“Tapi rambutnya keemasan dan hanya Kim-mou-eng yang memiliki rambut seperti itu!”

“Ini yang tidak kami lihat, tapi kami berdua berani menyatakan bahwa Kim-siucai bukanlah Kim-mou-eng yang dulu kami temukan!”

“Hm, kalau begitu siapa?” Hu Beng Kui bingung. “Kalian yang salah atau aku yang tidak, benar?”

“Kukira kau pun benar, yah. Tapi kalau hendak dinyatakan Kim-siucai ini adalah Kim-mou-eng yang kami temukan maka itu tidak mungkin. Kami berdua hapal benar wajah Kim-mou-eng yang menyerang kami itu, dan Kim-siucai yang kau anggap Kim-mou-eng itu tampaknya tidak membawa pedang kecuali pit dan alat lukisnya itu!”

Hu Beng Kui tertegun. Tiba-tiba dia sadar bahwa Kim-siucai tidak bersenjata. Siucai itu hanya membawa pit dan buku-buku. Memang benar. Dan ketika dia mengerutkan alis dan semakin bingung untuk urusan ini maka pendekar itu diam berlama-lama, heran dan mulai menduga-duga siapakah sastrawan gadungan itu. Jika yakin Kim-siucai adalah sastrawan gadungan, jelas siucai itu seorang berkepandaian tinggi yang berpura-pura. Dia yakin betul.

Tapi karena anaknya berhasil membantah bahwa siucai itu bukanlah Kim-mou-eng akhirnya jago pedang ini mendengus dan jengkel terhadap semua teka-teki itu, duduk bersila dan akhirnya menghilangkan kejengkelan dengan membuang semua pikiran. Beng An dan adiknya disuruh tidur. Dan ketika malam itu mereka sama-sama bingung memikirkan siapa siucai yang aneh ini maka Beng An tak dapat memejamkan mata karena teringat si gadis Tar-tar.

* * * * * * * *

“Di sini tempatnya?”

Tiga orang itu telah berdiri di atas Jurang Malaikat. Hu Beng Kui bertanya pada anaknya, Swat Lian dan kakaknya mengangguk. Dan ketika pendekar itu melihat kiri kanan maka Beng An menunjuk ke bawah.

“Kim-mou-eng dikabarkan tewas di sini, ayah. Namun ternyata masih hidup dan menyerang kami. Lihat, bekas bekas pertempuran pun masih ada. Di sinilah dia melukaiku!”

“Hm. kalian tunggu di sini. Aku mau melihat ke bawah!” Hu Beng Kui berkelebat, langsung terjun dan memasuki jurang, berjungkir balik dan tiba-tiba sudah berada di sisi jurang sebelah sana. Lalu begitu dia melekatkan telapaknya di dinding jurang maka pendekar ini sudah merayap turun dengan ringan dan cepat seperti cecak.

“Ck-ck, ayah memang hebat!” Beng An memandang kagum, melihat ayahnya menghilang dan sudah turun ke bawah dengan caranya yang luar biasa. Kedua telapak baik kaki maupun tangan menempel dan melekat di dinding jurang, dengan caranya itu pendekar ini merayap ke bawah, tentu saja Beng An kagum. Dan sementara ayahnya menyelidiki bawah jurang dengan cara seperti cecak merayap maka Beng An dan adiknya duduk lenggut-lenggut menanti.

“Kau merasakan apa, Lian-moi? Kau masih melamunkan Kim-siucai itu?”

Swat Lian terkejut. “Tidak...”

“Tapi wajahmu murung, rupanya bayangan Kim-siucai itu mengganggu hatimu!”

“Hmmm...!” Swat Lian semburat merah. “Kau agaknya memperhatikan aku sejak tadi. An-ko. Ada apa berolok-olok? Aku memang teringat bayangan siucai itu, tapi bukan apa-apa melainkan keanehannya yang bisa pergi secepat itu. Kau kira apa?”

“Ah, jangan marah,” Beng An tersenyum. “Aku tidak menuduhmu yang bukan-bukan, Lian-moi, melainkan sama seperti apa yang kau pikir.“

“Kupikir tentang apa? Mana kau tahu?”

“Hm....!” Beng An menyeringai. “Aku tahu apa yang kau pikir, Lian-moi, karena itu aku tahu pula apa yang kupikir. Aku tahu bahwa kau heran oleh cepatnya siucai itu menghilang, dan aku juga heran bagaimana dia bisa menghilang secepat itu. He-he, bukankah sama?”

Swat Lian mengerutkan kening, mendengar tawa kakaknya yang main-main. “Kau serius?”

“Eh. tentu saja. Siapa bilang tidak serius?”

“Tapi tawamu mengejek, kau seolah mengejek aku bahwa hatiku tergoda oleh wajah Kim-siucai itu!”

“Ha ha, untuk ini aku tak tahu, Lian-moi. Aku tak bilang begitu, itu urusan hatimu. Aku hanya bilang bahwa akupun heran bagaimana siucai itu bisa menghilang begitu cepat. Dugaan ayah benar, siucai ini pemuda misterius yang lain kali harus dicari. Aah.... aku ingin menangkapnya lagi dan bertanya siapa dia itu sebenarnya!”

Swat Lian mengangguk. “Aku juga penasaran...”

“Tentang apa? Bahwa dia tak tertangkap dan kau tak dapat mengetahui siapa sebenarnya dia itu?”

“Tentu saja, kau kira apa? Kau. Eeh...!” Swat Lian mencubit kakaknya ini keras keras, melihat kakaknya tertawa lebar. “Kau jangan mengejek aku, koko. Kita bicara serius dan hayo mengaku tobat kalau tak ingin kucubit!” Swat Lian gemas. Kakaknya ini ternyata menggodanya saja dan mata serta mulut kakaknya itu tertawa. Tentu saja Swat Lian mendongkol dan ketika kakaknya mengaduh aduh dan minta dia melepaskan cubitannya baru Swat Lian melepaskan kakaknya itu dengan muka semakin merah. “Koko, kau jangan menggoda aku. Kalau aku marah jangan kau tanya....”

“Ya ampun.... tobat....“ Beng An bisa melucu, “Aku tak ingin main lagi, Lian-moi. Hayo kita serius dan coba kau terangkan padaku kenapa semalaman ini kau tak dapat tidur?"

“Kau tahu aku tak tidur?”

“Tentu saja, matamu masih merah!”

“Ah!” Swat Lian terkejut. “Kau terlalu. An ko. Orang tidak tidur pun kau selidiki, kurang ajar” dan Swat Lian yang mau mencubit kakaknya lagi dengan gemas tiba-tiba sudah dihindari karena Beng An meloncat bangun melarikan diri.

“Hei. jangan, Lian-moi. Nanti matang biru semua kulitku!”

“Kau meledek, kau suka mengoda orang!”

“Sudahlah, sekarang aku tak menggoda lagi mari bicara baik baik.” dan Beng An yang duduk lagi dengan muka serius akhirnya membuka percakapan kembali pada Kim-siucia itu. “Pikirmu bagaimana? Apakah Kim-siucai ini orang berbahaya atau tidak? Maksudku, apakah dia orang baik-baik atau orang jahat?”

“Aku tak tahu, tapi melihat sinar matanya kulihat dia bukan orang jahat!”

“Kau yakin hanya dengan melihat sinar matanya saja? Wah...!” Beng An tersenyum lebar, “Kalau begini kau hebat. Lian-moi. Barangkali aku pun kelak ingin minta pendapatmu tentang jahat tidaknya seseorang dengan melihat sinar matanya!”

Swat Lian merah mukanya. “An-ko, aku tidak main-main. Kalau sinar matanya itu bohong maka perasaan hatiku tentunya tidak. Aku merasa Kim-siucai ini orang baik-baik tapi entah siapa dia itu!”

“Eh, bukankah dia Kim-siucai? Kau sudah tahu namanya, tak perlu bertanya lagi!”

“Bukan itu, yang kumaksud adalah siapa sebenarnya dia ini, kenapa menyamar sebagai seorang siucai dan seberapa pula kepandaiannya. Aku jadi penasaran dan ingin bertemu lagi untuk menjajal kepandaiannya!”

“Kepandaiannya melukis, kau tak mungkin menang!”

“Ya, aku tahu, tapi bukan itu.”

“Ilmu silatnya?”

“Tentu saja.”

“Tapi kau bilang dia dihadang tiga laki-laki kasar!”

“Itulah, aku gemas setelah tahu terkecoh, An-ko. Rupanya Kim-siucai itu suka main-main dan kelak ingin kuhajar dia itu!”

“Wah, wah... menghajar setelah menolong?” kakaknya tertawa. “Mana mungkin ini. Lian-moi? Kalau ingin menghajar sebaiknya aku... aku belum pernah menolong dan tidak janggal kalau menghajar siucai gadungan itu!”

“Sudahlah” Swat Lian mengerutkan kening. “Bagaimana sekarang tentang Kim,mou-eng, An ko? Dan bagaimana pula dengan, hmm... gadis Tar-tar itu? Kemana kau semalam keluyuran?”

“Aaah...! jalan-jalan,” Beng An tiba-tiba semburat. “Mencari angin dan pergi ke tengah kota.”

“Huh, jalan-jalan apanya? Aku tak percaya, An-ko, berani bertaruh semalam tentu kau menjumpai gadis Tar-tar itu!”

“Tidak!”

“Tak perlu bohong, kau dan aku bukan orang lain...!” Swat Lian ganti tertawa. “Matamu telah mengakui itu, An-ko. Dan semalam aku juga tak melihat gadis itu di kamarnya. Tentu kalian bertemu!”

“Hmm...” Beng An akhirnya mengaku. “Benar, Lian moi. Dan ternyata dugaan ayah betul...”

“Dugaan apa?“

“Ilmu silat gadis itu hebat sekali...”

“Kau bertempur?”

“Tidak, hanya menguji coba. Dan aku harus mengakui bahwa dia luar biasa. Semalam kami kejar-kejaran dan nyaris aku tak menemukan jejaknya!”

Beng An lalu bercerita matanya menjadi hidup dan tiba-tiba pemuda ini gembira. Swat Lian tersenyum. Dan ketika cerita diakhiri dengan kepergian gadis itu yang tak mau kembali ke losmen. Beng An tampak murung. “Aku Kecewa, dia tak mau bersamaku ke penginapan”

“Kau jatuh hati?”

Beng An terkejut...

“Hmmm, kalau begitu kau jatuh hati, An-ko. Memang sudah kuduga sejak semula bahwa kau terpikat pada gadis Tar-tar ini. Dia memang menarik tapi sayang sombong!”

“Hmm, kukira tidak, Lian,moi. Melainkan angkuh, karena itu rupanya pembawaannya!” Beng An membela.

“Apa bedanya?” sang adik berseru. “Angkuh atau sombong sama saja, An-ko. Kedua duanya berarti merendahkan orang lain. Dan orang yang suka merendahkan orang lain bisa disebut sombong atau angkuh!”

“Sudahlah, kita kembali pada Kim-mou-eng,” sang kakak tak mau berdebat, kemurungannya datang begitu membicarakan gadis Tar-tar itu. “Kita tak perlu membicarakan Kim siucai atau dia lagi, Lian-moi. Sebaiknya kita pikir apakah kiranya Kim-mou-eng dapat kita temukan di sini.”

“Aku pikir begitu,” adiknya mengangguk, merasa pasti. “Dulu dia datang ke sini menemui kita. An-ko. Dan sekarang pun tentu akan bertemu lagi karena rupanya dia memiliki kepentingan di sini.”

“Kepentingan apa?”

“Siapa tahu? Aku menduga begitu karena aku teringat ketika dia muncul dia pun mau turun ke jurang dan keburu kepergok kita, barangkali ada hubungannya dengan guha di bawah jurang itu. Kau ingat?”

Beng An tertegun. “Ya, benar, aku lupa. Kalau begitu guha di bawah itu tempat tinggalnya? Jangan-jangan ayah.....”

“Sst....!” Swat Lian menggerakkan telunjuknya, Beng An tiba-tiba menghentikan kata-katanya karena dari dalam jurang mendadak terdengar bentakan dan lengkingan.

Kejadian berlangsung cepat dan tahu-tahu doa sosok tubuh berjungkir balik keluar dari jurang. Hu Beng Kui muncul bersama Kim-mou-eng. Dan ketika Swat Lian dan kakaknya terkejut melompat bangun tahu-tahu Kim-mou-eng menyerang ayah mereka itu sambil memaki maki.

“Hu Beng Kui, kau manusia jahanam. Ada apa mengejar-ngejar aku dan mengintai orang di dalam guha? Memangnya kau kurang kerjaan, keparat, kubunuh kau. Kucincang tubuhmu.... sing-singg!”

Dan Pedang Tiga Sinar yang sudah dicabut Kim-mou-eng membacok dan menyambar Hu Beng Kui tiba-tiba berkelebatan membuat Swat Lian dan kakaknya terbelalak. Mereka tak tahu bahwa ayah mereka ternyata mendapat lawan di dalam jurang, tadi Hu Beng Kui memasukii guha di bawah sana menjumpai lawannya ini. Kini lawan menerjang marah dan Hu Beng Kui mengelak ke sana-sini. Pendekar itu terkejut tapi girang bukan main. Girang karena lawan yang dicari-cari ternyata ketemu. Maka begitu diserang dan dimaki dengan pedang menyambar-nyambar tiba-tiba pendekar ini berseru keras berlompatan sambil mengibas lengan.

“Kim-mou-eng, kau tak dapat lolos. Aku datang memang untuk meminta pertunggungjawab mu yang telah melukai puteraku!”

“Aku tak perduli, kau akan kubunuh dan tak dapat banyak cakap lagi.. sing-singg...!” dan pedang ynng menyambar lagi mengejar pendekar ini akhirnya membuat Swat Lian berteriak mencabut pedangnya.

“Yah, biar aku yang maju. Kau mundurlah!”

“Tidak!” Beng An tak kalah lantang. “Aku saja yang maju. yah. Biar kubalas kecurangannya dulu dan kau minggir!”

“Hm, sebentar...!” Hu Beng Kui mengelak gembira. “Aku ingin tahu ilmunya dulu, Beng An. Kalau sudah cukup boleh kupertimbangkan nanti!”

“Tapi pedangnya itu berbahaya, ayah sebaiknya berpedang pula agar tidak celaka!”

“Ha-ha, tak gampang orang mencelakai ayahmu. Beng An. Lihat dan tunggu saja kelihaian ayahmu....wut-sing!”

Dan Hu Beng Kui yang hampir lambat mengelak berseru pada puteranya tiba-tiba berteriak tertahan ketika harus membanting tubuh bergulingan, angin sambaran pedang membuat pendekar ini terkejut dan harus menjauhkan diri. Nyaris dia terbabat. Dan ketika lawan mengejar dan berseru marah menggerakkan pedangnya maka pendekar ini sudah digulung dan dikelilingi bayangan pedang yang naik turun bagai naga menari

“Yah. pakai saja pedangku. Hati-hati” Swat Lian khawatir, betapapun dia cemas. Karena Swat Lian tahu betul keampuhan pedang pusaka itu. Angin sambarannya saja cukup membabat putus benda-benda dalam jarak setombak.

Ayahnya menolak dan coba menghindar dengan mengikuti gerakan pedang. Lawan menyerang kian cepat dan Hu Beng Kui berkali-kali berseru keras, dua kali nyaris dia tertusuk. Dan ketika lawan mempergencar serangannya dan jago pedang ini masih bertangan koong menghadapi lawan tiba-tiba Sam-kong-kiam menyambar dan kali ini merobek baju pundaknya diseling pekik kaget puterinya.

“Bret-aih...!” Hu Beng Kui terkejut. Dia sebenarnya menyampok, lengan bajunya itu telah menegang dan penuh terisi sinkang, tapi tetap juga terbabat. Tahulah dia bahwa ketajaman pedang memang luar biasa sekali, jarang ada senjata mampu membacok benda-benda yang dia pegang. Dan ketika lawan tertawa bergelak dan mulai mengejek melihat mukanya yang berobah segera pendekar ini menyambar pedang anaknya yang dilontar puterinya ini.

“Kim-mou-eng jangan sombong. Kau masih belum menang!”

“Ha-ha. tapi mukamu pucat, Hu Beng Kui. Dan sebentar lagi kau roboh bersama pedang tumpulmu itu... trang!”

Hu Beng Kui menangkis, mengerahkan sinkangnya tapi pedang putus juga, berkerutlah alis pendekar ini karena Sam-kong-kiam betul-betul tajam. Dia belum mengeluarkan Hek-seng-kiamnya yang melilit di pinggang, sengaja coba-coba untuk membuktikan seberapa jauh ketajaman pedang di tangan lawannya itu. Dan ketika lawan berkelebat dan dia terpaksa mengerahkan ginkang untuk beradu cepat tiba-tiba jago tua ini melengking tinggi mainkan ilmu pedangnya, Giam-lo Kiam-sut (lima Pedang Maut). Bergerak dan bergeser serta melompat-lompat menghadapi pedang lawan sementara pedang sendiri bergerak naik turun tak kalah cepat.

Hebat pertandingan ini, Hu Beng Kui memegang pedang buntung yang sudah terpapas, berhati-hati namun membalas dan menyerang lawan tak kalah ganas. Pedang di tangannya itu mendesing berputaran mengikuti gerak tubuhnya. Dan ketika Hu Beng Kui berhasil menghindari pedang lawan dan Sam-kong-kiam selalu luput menyerang pendekar ini maka Kim-mou eng, yang sebenarnya Bu-hiong itu terkejut melihat bayangan lebar yang mengelilingi dirinya dari segala penjuru.

“Bagus, kau kiranya lihai. Pantas kalau sombong!”

“Ha ha. yang sombong bukan aku, Kim-mou-eng, melainkan kau. Kaulah yang sombong dan berani melukai anakku untuk menantang keluarga Hu... Wuuut... sinnggg...!”

Pedang di tangan jago tua itu berkelebat, dari arah tak terduga menusuk tenggorokan lawan namun Sam-kong-kiam menangkis, tentu saja pendekar ini mengelak dan angin sambaran pedang yang luput terdengar mengiris telinga. Lawan terbelalak dan memaki. Dan ketika Hu Beng Kui menyerang lagi dan perlahan tetapi pasti sinar pedangnya bergulung-gulung membungkus lawan maka Bu-hiong yang dikira Kim-mou-eng itu pucat.

Nyatalah olehnya bahwa lawan yang satu ini benar-benar lihai. Hu Beng Kui memang jago pedang jempolan, dengan pedang buntung saja dia mampu mengelilingi lawan, tusukan dan tikamannya yang berantai serta bertubi-tubi membuat Bu-hiong sibuk. Kalau dia tak membawa pedang pusaka tentu sinar pedang di tangan Hu Beng Kui memasuki putaran pedangnya, berangkali dua tiga tusukan telah mengenai tubuhnya. Tapi karena Bu-hiong membawa Sam-kong-kiam dan desing pedang itu sendiri amat tajam dan mampu merobek baju Hu Beng Kui maka pertandingan berjalan seru dan lama.

“Ayah, keluarkan saja pedangmu. Cabut Hek seng-kiam (Pedang Bintang Hitam) dan coba diadu dengan Sam-kong-kiam!”

Hu Beng Kui mengangguk. Setelah duapuluh lima jurus dia serang-menyerang dengan lawan tahulah dia kelebihan dan kekurangan lawannya ini. Sebagai jago pedang kelas satu segera dia melihat kelemahan lawan, yakni lawan tak memiliki ilmu pedang yang baik kecuali Sam-kong-kiam itu. Pedang ini hebat, berkali-kali dia nyaris teriris oleh angin sambarannya yang dingin, padahal dia sudah mengerahkan sinkangnya namun tetap saja hawa dingin itu menembus.

Dari sini dapat diketahui betapa berbahayanya Pedang Tiga Sinar itu, tajam dan ampuh sehingga dapat memotong benda-benda keras seperti memotong agar agar. Timbullah keinginannya untuk mengadu Hek-seng-kiam dengan Sam-kong-kiam. Hek-seng-kiam yang dipunyainya itu pun bukan sembarang pedang dan selama ini menjadi temannya dan mengangkat namanya sebagai pendekar pedang. Sam-kong-kiam itulah yang berbahaya, bukan ilmu silat lawan. Maka begitu puterinya berteriak dan Hu Beng Kui tertawa mendadak pendekar pedang ini melakukan jurus yang disebut Payung Berputar Mengikuti Awan.

“Awas...!” bentakan itu suda mengiringi gerakan pendekar ini. Pedang di tangan Hu Beng Kui lenyap, yang ada ialah putaran pedang yang bergulung lebar bagai payung terkembang, berputar cepat menyilaukan mata. Lawan terkurung dan bingung karena tak dapat menduga kemana kira-kira gerakan selanjutnya. Gulungan pedang itu masih naik turun membentuk payung, indah dan hebat sekali karena bagian tengahnya adalah tubuh Hu Beng Kui sendiri yang memutar pedangnya. Tapi begitu jago pedang ini melengking menggetarkan jantung sekonyong-konyong bagian atas yang bergulung-gulung itu pecah tujuh bagian menukik ke bawah menusuk bertubi-tubi ke tubuh lawan yang sedang terbelalak.

“Siut-siut-singgg....!”

Cepat bukan main gerakan itu. Bu-hiong berteriak kaget melihat tujuh titik berkeredep menyambar tubuhnya, meluncur bagai patukan tujuh rajawali haus darah. Inilah serangan ganas yang bukan main berbahayanya. Tapi Bu-hiong yang marah memekik tinggi tiba-tiba merendahkan tubuh dan menangkis dengan Sam-kong-kiam.

“Trang trang taangg...!”

Hu Beng Kui tertawa. Pedangnya putus menjadi tujuh, dibabat Sam-kong-kiam bagai agar-agar. Tapi begitu potongan pedang mencelat kemana-mana mendadak semua kutungan pedang itu menyambar Bu-hiong, cepat dan mengejutkan karena menyambar dalam jarak begitu dekat. Bu-hiong berteriak dan lagi-lagi menangkis dengan pedangnya. Tapi ketika dia memperhatikan kutungan-kutungan pedang ini dan tidak waspada terhadap serangan lain mendadak Hu Beng Kui telah mencabut Hek-seng kiamnya yang lentur dan menjatuhkan diri bergulingan menyerang perut lawan.

“Crett...!” Gerakan itu luar biasa cepatnya. Hu Beng Kui si jago pedang ternyata lihai, juga cerdik. Dengan cara bergulingan itu dia menyerang sekaligus menghindarkan sambaran Sam-kong-kiam, dari bawah dia menggerakkan pedang hitamnya dan lawan tak menyangka dia mempunyai cadangan senjata. Bu-hiong menganggap lawan tak bersenjata lagi setelah pedangnya tadi dikutungi menjadi tujuh bagian. Maka begitu Hek-seng-kiam berkelebat dan dari bawah pendekar ini menyerang lawan menuju perutnya tiba-tiba perut Bu hiong robek dan laki-laki ini mengaduh.

“Augh....!” darah bercucuran keluar. Cepat dan luar biasa Hu Beng Kui telah melompat bangun pula, lawan di sana terhuyung dan terbelalak memandang perutnya yang terkuak. Swat Lian ngeri melihat pedang ayahnya mendapat korban, usus Bu-hiong nyaris terburai. Dan ketika Bu-hiong sadar dan marah melihat lawan melukainya, mendadak laki-laki ini melolong memanggil seseorang.

“Sian-su, tolong....” Bu-hiong menyerang lagi, perut didekap dan pedang di tangannya bergerak lagi. Kini bagai manusia kesetanan dia menusuk Hu Bang Kui, si jago pedang mengelak dan menangkis. Dan begitu dua pedang bertemu tiba-tiba Hek-seng-kiam rompal dan rusak ujungnya.

“Trang!”

Hu Beng Kui terkejut. Kiranya pedangnya masih kalah kuat, meskipun jauh lebih ampuh dari pada pedang anaknya, pedang biasa. Hek-seng-kiam di tangannya rompal meskipun tidak putus, ini bukti bahwa pedangnya pedang yang baik tapi kalah diadu dengan Sam-kong-kiam. Dan ketika lawan berteriak menerjang dan marah menyerang membabi buta maka Hu Beng Kui berlompatan mendengar lawan memanggil-manggil Sian-su.

“Sian-su, tolong. Orang she Hu mencelakaiku!”

Hu Beng Kui mengerutkan kening. Dia tak mengerti siapa yang dipanggil itu, tak tahu bahwa yang dimaksud Bu-hiong adulah Bu beng Sian su, manusia dewa yang amat sakti itu. Tak tahu bahwa keberadaan Bu-hiong di bawah jurang tadi adalah berkenaan dengan maksudnya mencari manusia dewa ini, dulu sudah mencoba tapi ketemu Beng An dan adiknya, kini mencoba lagi tapi sial bertemu Hu Beng Kui. Dan karena Hu Beng Kui berlompatan menghindar dan melihat lawan semikin parah lukanya, dengan membabi buta menyerangnya seperti itn maka pendekar ini menjengek menasihati lawan.

“Kim-mou-eng, sebaiknya kau menyerah. Serahkan pedang itu dan kau boleh mengobati luka mu.”

“Jahanam, aku tak akan menyerah, orang she Hu. Kau boleh mengambil pedang ini setelah melangkahi mayatku!”

“Kalau begitu kau mencari mati, baiklah aku penuhi permintaanmu dan robohlah.... sing plak!”

Hu Beng Kui menangkis, melihat lawan mengendor gerakannya dan Sam-kong-kiam kembali membuat pedangnya rusak, Hu Beng Kui tertawa mengejek dan tidak perduli. Kehebatan pedang itu sekarang tak ditunjang tenaga yang memadai. Luka lawan yang nyaris membuat usus terburai dibiarkan saja demi melampiaskan kemarahan, inilah kemenangan jago pedang itu dan Hu Beng Kui mulai sering mengadu tenaga. Benturan-benturan di antara mereka, membuat lawan pucat, kian lama kian pucat clan akhirnya Bu-hiong mengeluh. Dan ketika perut itu semakin terkuak lebar dan Bu-hiong meringis mendadak satu tangkisan kuat dari pendekar itu membuat Sam-kong-kiam terlepas.

“Trangg!”

Bu-hiong menjerit. Dia melempar tubuh bergulingan bukan menjauhi pedang melainkan sebaliknya, mendekati pedang dan menyambarnya. Lalu begitu memaki melompat bangun laki-laki ini memutar tubuh dan melarikan diri.

“Hu Beng Kui, kau jahanam keparat. Kau manusia terkutuk!”

Si jago pedang terbelalak. Dia heran melihat lawan yang terluka masih mampu melarikan diri, darah mengucur berceceran dari perut lawan yang robek. Seharusnya lawannya itu roboh dan menyerah. Dia pribadi tak akan kejam membunuh lawan, kalau lawan menyerah dan memberikan Sam-kong-kiam baik-baik. Maka ketika lawan justeru bersikap sebaliknya dan bandel melarikan diri tiba-tiba pendekar ini mengejar berseru mengejek. “Kim-mou-eng, kau tak dapat lari jauh. Serahkan Sam-kong-kiam dan menyerahlah baik-baik!”

“Menyerah hidungmu!” Bu-hiong memaki. “Kau boleh bunuh aku dan rampas pedang ini kalau bisa, orang she Hu. Atau kau biarkan aku pergi dan jangan menggangguku!“

“Kalau begitu serahkan pedang, kau boleh mengobati lukamu dan pergi.”

“Keparat, aku tak akan menyerahkan pedang, Hu Beng Kui. Kau boleh mengambilnya setelah melangkahi mayatku.... aduh!” Bu-hiong tiba-tiba terguling, lukanya itu membuat dia tak dapat lari jauh, benar kata Hu Beng Kui. Dan ketika Hu Berg Kui tertawa mengejek dan berkelebat menyerangnya maka Bu-hiong menyeringai den menangikis lagi.

“Trangg!” pedang kali ini dicekal erat. Bu-hiong bertahan tapi mengeluh. Hek-seng-kiam di tangan Hu Beng Kui nyaris putus tapi Bu-hiong terhuyung, tangan kirinya yang mendekap perut penuh darah. Dan ketika lawan tertawa mengejek dan menyerang lagi maka Bu-hiong menangkis sebelum terjungkal.

“Trang-trangg!”

Hek-seng-kiam sekarang putus. Hu Beng Kui terkejut meihat pedangnya tinggal separuh. benar-benar luar biasa pedang di tangan lawannya itu. Tapi melihat lawan terjungkal dan dia marah menyaksikan kekerasan lawannya ini tiba-tiba Hu Beng Kui menimpukkan sisa pedangnya sambil membentak, “Kim-mou-eng, robohlah!”

Bu-hiong berusaha mengelak. Dia terbelalak melihat sambaran Hek-seng-kiam yang menuju dadanya itu, mau menangkis tapi tangan tiba-tiba lumpuh. Kehilangan darah dan tenaga kiranya membuat laki-laki ini kehabisan daya untuk menyelamatkan diri. Maka begitu pedang menyambar dan dia tak dapat mengelak lagi maka buntungan Hek-seng-kiam tepat menembus dadanya dan Bu-hiong roboh.

“Trang!”

Swat Lian dan kakaknya terbelalak. Mereka melihat laki-laki yang disangka Kim-mou-eng itu mengeluh, menuding-nuding tapi akhirnya terguling. Dan ketika mereka melompat mendekat untuk melihat laki-laki ini maka lawan ternyata tewas dengan Sam-kong-kiam masih di tangan!

“Hm, luar biasa pedang ini. Benar-benar hebat dan tajam!” Hu Beng Kui mengusap keringatnya, menyesal tapi terpaksa melakukan pembunuhan. Lawan tak mau menyerahkannya baik-baik. Dan ketika dia melompat dan mau mengambil pedang itu ternyata pedang bersatu dengan jari-jari lawan tak dapat ditarik.

“Ah, keparat. Setelah ajal pun tak mau dia menyerahkan pedang ini!” Hu Beng Kui terkejut, menarik-nariknya tapi tetap saja Sam-kong-kiam tak berhasil dicabut. Rupanya pedang itu sudah bersatu dengan kulit lawan, pendekar ini marah. Dan sementara dua anaknya mendelong memandang kejadian itu tahu-tahu Hu Beng Kui menyambar pedang di punggung Beng An dan membabatkannya ke pergelangan mayat Bu hiong.

“Krak!” putuslah pergelangan itu. Memang di antara mereka yang tinggal membawa pedang adalah Beng An seorang. Pedang Swat Lian sudah dipakai ayahnya dan hancur bertemu Sam-kong-kiam, begitu pula pedang Hu Beng Kui sendiri, Hek-seng-kiam yang ternyata kalah ampuh dengan Sam-kong-kiam. Dan ketika dua anaknya berseru tertahan melihat ayah mereka melakukan kekejaman dengan membacok putus pergelangan lawan yang sudah menjadi mayat maka Swat Lian terisak menutupi mukanya.

“Yah, kau terlalu...!”

“Hm,” pendekar ini mendengus. “Aku tak akan terlalu kalau lawan juga tak terlalu, Lian-ji. Kim-mou-eng yang terlalu dan membuatku marah, sudahlah. Pedang sudah di tangan dan kita pergi!” Hu Beng Kui berkelebat. Swat Lian dan kakaknya masih terbelalak. Tapi ketika ayah mereka membentak dan menegur mereka maka dua muda-mudi ini mengikuti ayah mereka dan pulang ke Ce-bu.

Hari itu Hu Beng Kui memiliki Sam-kong-kiam. Tapi tidak seperti yang dijanjikan pada Sun-tajin ternyata pedang ini disimpan Hu Beng Kui sendiri. Ada rasa eman (sayang) setelah mendapatkan pedang. Swat Lian dan kakaknya dilarang pendekar ini membicarakan keberhasilan mereka. Dan ketika seminggu kemudian Swat Lian dan Beng An bertanya tentang ini mereka mendapatkan jawaban yang mengejutkan.

“Pedang ini terpaksa kusimpan dulu. Untuk sementara tak akan kuserahkan pala Sun-taijin.”

“Tapi ayah berjanji pada Sun-taijin. bukankah ini pelanggaran janji, yah?” putrinya menegur.

“Aku memang berjanji pada pembesar itu, tapi aku tidak berjanji untuk menyerahkannya kapan.”

“Apa maksud ayah?” Sang puteri terbelalak, “Bukankah pedang itu bukan milikmu?”

“Benar, tapi sementara ini aku ingin berteman dengan Sam-kong-kiam, Lian-ji. Aku ingin mengobati kecewaku kehilangan Hek-seng-kiam. Sudahlah, kau tak perlu khawatir kepada ayahmu dan jangan bicarakan ini pada orang lain.”

Swat Lian termangu. Hari itu dia diam. berbisik-bisik dengan kakaknya dan mereka merasa khawatir. Dan ketika dua minggu kemudian mereka melihat ayah mereka sering mengusap-usap Sam-kong-kiam dan betapa setiap harinya pendekar ini berseri-seri memandang pedang itu maka Swat Lian cemas melihat sorot tamak memancar di wajah ayahnya.

“Yah, kau sekarang mulai melupakan pekerjaan. Apakah setiap hari kau hendak menggosok-gosok pedang keramat ini?”

“Hm, aku kagum kepadanya, Lian-ji. Aku ternyata jatuh cinta kepada pedang ini. Sam-kong-kiam betul-betul hebat, bersama pedang ini tiba-tiba aku ingin menaklukkan dunia!”

Swat Lian terkejut. “Ayah gila!”

“Eh!” sang ayah menoleh. “Kau memaki ayahmu, Lian-ji? Kau bilang ayahmu gila?”

Swat Lian terisak. “Yah, aku gelisah akhir-akhir ini. Kau melupakan segalanya pada tiga minggu terakhir ini. Semuanya gara-gara Sam-kong-kiam! Apakah ayah hendak mengangkangi pedang itu?”

”Ha-ha!” sang ayah tertawa bergelak. “Aku tak bermaksud mengangkangi pedang ini, Swat Lian melainkan meminjamnya sebentar untuk memuaskan nafsuku!”

“Tapi berapa lama ayah pinjam? Kapan dikembalikan?”

“Tentu tak lama, aku ingin memuaskan diri dulu.”

Dan ketika pendekar itu tersenyum menggosok Sam-kong-kiam tiba-tiba seorang pelayan masuk memberi tahu kedatangan Sun-taijin, walikota Ce-bu itu.

“Suruh dia masuk!” si jago pedang tertegun. “Dan tunggu aku di ruang tengah!”

“Nah,” Swat Lian khawatir. “Bagaimana jawabmu sekarang, yah? Sun-taijin ternyata datang, dan dia mungkin tahu bahwa pedang itu sudah kau dapatkan!”

“Itu bisa diatur, kau keluarlah dan jangan ganggu aku.”

Hu Beng Kui tiba-tiba tak senang, untuk pertama kalinya dia merasa tak senang dan marah pada puterinya ini. Berkali-kali Swat Lian bertanya tentang Sam-kong-kiam, menyuruh dia mengembalikan pedang itu padahal dia mulai tertarik pada pedang yang luar biasa ini. Ketajamannya dan sinar gaibnya yang berwarna warni. Ada perasaan menyedot pada tubuh pedang ini. Daya tarik luar biasa yang membuat orang kagum dan ingin memiliki. Dan ketika pagi ini jago pedang ini menemui tamunya dan Sun-taijin berseri memberi hormat maka pertanyaan langsung ditujukan pada persoalan pedang keramat itu.

“Maaf, kudengar kabar Sam-kong-kiam tak berada lagi di tangan Kim-mou-eng, taihiap. Katanya Kim-mou-eng terbunuh. Apakah taihiap tahu tentang ini.”

Inilah pertanyaan memutar. Dengan cerdik dan halus pembesar itu menegur Hu Beng Kui, memang tak berani terang-terangan karena Hu Beng Kui bukanlah orang sembarangan. Hu Beng Kui terkejut karena tewasnya Kim-mou-eng ternyata sudah diketahui pembesar ini, berarti sepak terjangnya tak dapat disembunyikan dan dia menyesal kenapa mayat Kim-mou-eng dulu tak di lemparkan ke jurang, kini dia tersudut dan mau tak mau harus mengaku. Hu Beng Kui bukanlah seorarg pengecut yang ingin menyembunyikan perbuatan. Dan karena Sun-taijin sudah mengetahui tewasnya lawan dan itu berarti tak mungkin dia mundur maka terus terang pendekar ini menggangguk.

“Ya, aku tahu. taijin. Dan terus terang yang membunuh Kim-mou-eng adalah aku!”

“Ha ha, sudah kuduga. Kau memang hebat taihiap, sungguh hebat! Dan bagaimana dengan Sam-kong-kiam itu? Apakah taihiap mendapatkannya dari lawan taihiap?”

“Aku sudah mendapatkannya, tapi sementara ini memang sengaja kusimpan!”

“Ahl” sang pembesar terbelalak. “Kenapa begitu, taihiap? Bukankah secepatnya harus diserahkan pada kaisar?”

“Seharusnya memang begitu, tapi aku ingin meminjamnya dulu.” dan ketika sang tamu tertegun dan tampak heran pendekar ini segera menyambung, “Sun-taijin, apa yang kulakukan ini demi menutup kekecewaanku yang kehilangan Hek-seng-kiam. Perjuangan berat yang kulakukan demi memperoleh Sam-kong-kiam ternyata harus ku bayar cukup mahal. Pedangku Hek-seng-kiam patah, aku belum memperoleh pengganti pedang yang seperti isteriku itu sendiri dan karena itu Sam-kong-kiam kutahan. Kalau kelak pengganti Hek-seng-kiam telah kudapatkan dan aku memperoleh gantinya tentu Sam-kong-kiam kukembalikan dan aku tak akan menahan pedang itu.”

“Tapi kaisar mengharap-harap pedangnya. Sam-kong-kiam pedang keramat yang menjadi simbol jatuh bangunnya kerajaan!”

“Ah, itu cerita kosong, taijin. Aku pribadi tak percaya tapi mengakui keampuhan Sam-kong kiam yang memang luar biasa!”

“Dan kapan taihiap mengembalikan pedang itu?”

“Kalau kutemukan pengganti Hek-seng-kiam!”

Sun-taijin bingung. “Taihiap, bagaimana kalau kuusulkan pada sri baginda agar mengganti pedangmu dengau pedang pusaka lain di istana? Atau, hmm... maaf, bagaimana kalau diganti dengan uang dan emas permata?”

“Ha-ha, aku tak butuh uang atau emas permata, taijin. Hartaku sudah lebih dari cukup untuk hidup sampai anak cucuku. Tidak, aku tak ingin emas permata tetapi setuju kalau ada pedang yang hebat sebagai pengganti pedangku yang kalah dengan Sam-kong-kiam itu!”

“Kalau begitu aku akan melapor pada Bu-ciangkun dan Bu-ciangkun akan menyampaikannya pada sri baginda!”

“Boleh, tapi...”

Sun-taijin keburu girang, memotong percakapan orang. “Dan aku akan mohon agar kau mendapat kedudukan pula, taihiap. Barangkali kau suka akan ini dan kaisar mengangkatmu sebagai kepala pengawal, di istana!”

“Hm, kau dengar aku dulu, taijin. Aku sebenarnya tak mengharapkan segala macam kedudukan meskipun aku juga tak menolaknya. Itu anugerah, tapi melanjutkan kata-kataku tadi baiklah kau dengar bahwa pedang yang bakal menggantikan Hek-seng-kiam ku adalah sebatang pedang ampuh yang berani diadu dengan Sam-kong-kiam. Kalau tidak rusak atau patah diadu dengan pedang itu barulah semuanya kuterima!”

Sun-taijin terkejut. “Apa, taihiap minta pedang yang seperti Sam-kong-kiam itu? Ah, mana ada, taihiap? Bukankah ini permintaan mustahil? Di dunia ini Sam-Kong-kiam tidak memiliki saudara kembarnya. Kalau taihiap minta yang seperti itu tentu saja sri baginda tak sanggup?”

“Aku tak minta Sam-kong-kiam kedua, melainkan minta pedang yang ketajamannya sama dengan pedang ini.”

“Sama saja. Di dunia ini tak ada ketajaman pedang yang melebihi Sam-kong-kiam itu, taihiap. Taihiap meminta yang di luar batas kemampuan!”

“Hm, belum tentu, taijin. Kau jangan terburu-buru mengatakan begitu. Sebaiknya kau pikirkan dulu dan biar sementara ini Sam-kong-kiam di sini.”

Sun-taijin tertegun. Apa yang dikata Hu Beng Kui ini seolah ultimatum baginya, dengan halus dan amat pintar si jago pedang itu memiliki Sam-kong-kiam. Memang di mulut tidak mengatakan memiliki namun meminjam, sampai suatu ketika datang pedang yang sama ampuh seperti Sam-kong-kiam pengganti Hek-seng-kiam.

Dan karena pedang itu diyatakan “disimpan” dan Sun-taijin diminta untuk mencari pengganti Hek-seng-kiam sebelum Pedang Tiga Dimensi dikembalikan ke kaisar maka pembesar ini kecewa dan marah. Namun Sun-taijin bukanlah pembesar yang gegabah. Pembesar ini tahu benar kesaktian Hu Beng Kui. Bahkan dengan tewasnya Kim-mou-eng terbuktilah kehebatan pendekar pedang ini, berarti Hu Beng Kui jauh lebih lihai dibandingkan Kim-mou-eng.

Dan begitu si jago pedang sudah menyatakan meminjam dan dia harus tahu gelagat akhirnya dengan mulut tersenyum tapi hati mendongkol bukan main pembesar ini pamit dan menyatakan kesanggupannya, bahwa dia akan mengganti Hek-seng-kiam. Diam-diam pembesar ini mulai tidak senang. Dan ketika beberapa hari kemudian dia datang di kota raja melapor pada Bu-ciangkun maka panglima tinggi besar yang brewok ini gusar.

“Apa, orang she Hu itu tak mau mengembalikan Sam-kong-kiam. Dia minta pengganti Hek-seng-kiam yang sama ampuh dengan Sam-kong-kiam? Keparat, orang ini mencari-cari alasan, taijin. Biar kudatangi dia dan kugempur bersama seribu pasukan!”

“Aduh, nanti dulu!” Sun-taijin terkejut. “Jangan terburu-buru, ciangkun. Jangan tergesa-gesa. Hu Beng Kui amat hebat dan lihai, bisa geger kotaku nanti!”

“Aku tak perduli. Pokoknya pedang itu kembali dan orang itu harus diberi pelajaran!”

“Ah-ah.” Cu-ciangkun tiba-tiba muncul, melihat ribut-ribut itu. “Ada apa ini, ciangkun? Kenapa marah-marah? Eh, bukankah ini Sun-taijin dari Ce-bu?”

“Maaf, benar aku ciangkun. Aku baru datang mengabarkan kembalinya Sam-kong-kiam.”

“Wah, mana itu? Mana Sam-kong-kiam?”

“Di tangan Hu Beng Kui, dia baru saja membunuh Kim-mou-eng.”

Cu-ciangkun terkejut. Disebutnya nama Kim-mou-eng membuat alis panglima tinggi kurus itu berkerut dan semakin berkerut ketika Sun-taijin mengatakan Kam-mou-eng terbunuh. Maka ketika dia duduk dan minta agar pembesar itu menceritakan kepadanya maka Sun-tajin segera mengulang apa yang dia ketahui.

“Hampir sebulan lalu Kim-mou-eng tewas. Hu Beng Kui inilah yang membunuh, Sam-kong-kiam dirampasnya. Tapi ketika pedang diminta ternyata Hu Beng Kui minta tukar, katanya pedangnya sendiri, Hek-seng-kiam yang sudah mengikutinya bertahun-tahun hancur bertemu Sam-kong-kiam. Karena itu dia minta pengganti dan untuk sementara ini Sam-kong-kiam dipinjam.”

“Dipinjam?” Cu-ciangkun terbelalak. “Itu omong kosong belaka, taijin. Itu alasan Hu Beng Kui untuk mengangkangi pedang!”

“Itulah, aku juga menduganya begitu, ciangkun. Tapi karena bertindak keras terhadap jago pedang ini aku tak berani maka aku datang ke sini untuk melapor semuanya pada Bu-ciangkun.”

“Hm, bagaimana pendapatmu, rekan Bu? Apa yang ingin kau lakukan?”

“Aku ingin mendatanginya, menggempur bersama seribu pasukan!”

“Dan membuat geger di kota Ce-bu?” ternyata Cu-ciangkun juga tak setuju. “Tidak, kudengar orang she Hu ini orang baik-baik, rekan Bu. Sebaiknya kita datangi saja dan bicarakan semuanya dengan baik-baik.”

“Tapi dia keras kepala!”

“Sebagian besar tokoh persilatan memang begitu, tapi kita coba membujuk.”

“Kalau tak berhasil?”

“Hm, kita lapor kaisar.”

“Baiklah, mari.” Dan Bu-ciangkun yang bangkit berdiri dan hari itu juga mengajak rekannya ke Ce-bu segera menemui Hu Beng Kui yang kebetulan ada di rumah, lagi-lagi menggosok penuh kagum Pedang Tiga Dimensi yang memikat hatinya itu.

“Maaf,” Bu-ciangkun langsung bicara pada pokok persoalan, baru kali itu berhadapan dengan jago pedang yang lihai ini, diam-diam kagum tapi juga mendongkol. “Apakah benar Sam-kong-kiam telah berada di tanganmu, taihiap? Kenapa kau menyimpannya dan tidak segera memberikannya kepada istana?”

Hu Beng Kui tersenyum. “Kau Bu-ciangkun? Ah, gagah dan jujur, suka bicara blak-blakan. Benar, aku juga tak menyangkal pertanyaanmu, ciangkun. Sam-kong-kiam telah berada di tanganku dan lihatlah buktinya... srat!”

Pedang Tiga Dimensi berkeredep, sinar menyilaukan mata tampak di ruangan itu dan mendadak semua lampu padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan kini sinar terang cemerlang dari pedang itulah yang memancar. Tamu jago pedang ini memang datang di malam hari. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun terkejut, mereka pribadi baru kali itu melihat pedang keramat ini. Pengaruhnya benar-berar luar biasa dan hawa dinginnya serasa menusuk jantung. Dua panglima itu tersirap.

Tapi ketika Hu Beng Kui memasukkan pedangnya kembali dan lampu kembali menyala maka Cu-ciangkun berseru memuji dengan penuh kagum. “Hebat, pedang luar biasa. Benar-benar pedang ampuh!”

Bu-ciangkun mengangguk-angguk. Dia pun kagum bukan main menyaksikan pedang keramat itu, perasaannya terasa teriris begitu pedang dicabut. Bukan main. Dan ketika Hu Beng Kui terrsenyum dan kembali dia bertanya kenapa pemdekar itu tidak segera mengembalikan pedang ke istana, maka dengan tenang dan kalem pendekar ini menjawab. “Hal itu telah kunyatakan pada Sun-taijin. Aku akan mengembalikan pedang ini kalau pedangku Hek-seng-kiam yang rusak mendapat ganti setimpal, seperti Sam-kong-kiam ini.”

“Tapi Sam-kong-kiam adalah pedang paling ampuh, taihiap. Mana mungkin kau meminta pedang macam itu? Bukankah kau mencari cari alasan agar dapat memiliki pedang ini?”

Kata-kata bu-ciangkun mulai menajam. Penglima tinggi besar ini memang dikenal sebagai seorang yang mudah marah, berangasan dan keras. Itulah sebabnya dia cepat mendongkol mendengar Hu Beng Kui menahan Sam-kong-kiam, baru menyerahkan pedang kalau Hek-seng-kiamnya sudah ditukar, ditukar dengan pedang seampuh Sam-kong-kiam, padahal tak ada pedang lain di dunia ini yang dapat menandingi Sam-kong-kiam. Dan ketika panglima itu mulai menegur dan kata-katanya setengah menuduh maka Hu Beng Kui sendiri tetap tidak ketinggalan senyumnya yang tipis, kini mulai berkesan acuh.

“Cu-ciangkun, kalau itu dianggap alasan adalah terserah kau. Yang jelas aku sendiri telah mengatakan bahwa aku tidak bermaksud mengangkangi pedang ini, melainkan meminjamnya sampai pedangku Hek-seng-kiam diganti. Anggap saja permintaanku ini sebagai balas jasa atas jerih payahku merampas Sam-kong-kiam dari Kim-mou-eng.”

“Hm,” Cu-ciangkun kini bicara, menekan kaki temannya yang mendelik, siap mengamuk. “Permintaanmu memang pantas diajukan, Hu taihiap. Tapi yang kurang sesuai adalah nilai dari permintaannya yang kami rasa berlebihan. Sam-kong-kiam adalah pedang berpengaruh gaib, selain tajam juga dapat mengangkat pemiliknya sebagai orang yang dapat hidup mulia, pedang ini hanya sepantasnya dimiliki kaisar. Apakah taihiap juga ingin menjadi kaisar dan hidup menikmati kemuliaan seperti itu?”

“Ha-ha, aku pribadi tak percaya pada pengaruh gaibnya, Cu-ciangkun. Aku hanya percaya pada ketajamannya yang luar biasa!”

“Benar, tapi pengaruh gaibnya mampu memadamkan lampu atau cahaya lain yang coba menandingi kecemerlangannyal Bukankah ini pengarah gaib yang harus kau percaya? Ataukah ini kau sangkal, Hu taihiap?”

Dan ketika pendekar itu tertegun dan mengerutkan kening ditodong begini maka Cu-ciangkun berkata lagi, “Taihiap, apa pun permintaanmu sekali lagi kami tegaskan bahwa kau benar, tidak salah. Tapi yang tidak sesuai adalah nilai permintaanmu yang berlebihan, yang kami rasa tak mungkin kami penuhi. Bagaimana kalau kau pikir lagi permintaanmu ini agar dapat diterima akal dan dalam batas-batas yang wajar?”

“Hmm, kukira permintaanku juga wajar, ciangkun. Kalau kau menilainya berlebihan adalah barangkali kedangkalan caramu berpikir. Kau sendiri mengakui pedang ini adalah pedang yang paling ampuh, berarti pedang ini amat tinggi nilainya dan siapa yang dapat merampasnya adalah orang yang benar-benar luar biasa. Dengan taruhan nyawa kurampas pedang ini dari tangan Kim-mou-eng, bukankah wajar kalau kuminta imbalan seperti itu karena aku sendiri telah mempertaruhkan nyawaku untuk mendapatkannya? Ataukah permintaanku yang masih berujud benda itu juga di atas nilai nyawaku yang kupertaruhkan di sini? Hmm, coba ganti kau pikir, ciangkun. Apakah nilai permintaanku ini berlebihan atau tidak!”

Cu-ciangkun tertegun. Ditodong seperti itu tiba-tiba dia tak bisa bicara. Sam-kong-kiam memang pedang keramat dan bahkan benda paling keramat di istana, menjadi simbol jatuh bangunnya kerajaan dan memang merupakan benda paling berharga yang amat dimuliakan kaisar. Untuk apa pun memang bisa dilakukan agar benda ini tetap mendampingi istana. Lolosnya Sam-kong-kiam justeru keteledoran pihak istana sendiri, ini sebenarnya kelengahan mereka, kelengahan istana dan kini akibat dari semuanya itu memang resiko istana. Jadi kalau mau diusut sebenarnya istanalah yang salah, kurang hati-hati dan pandai menjaga pedang hingga pedang lolos keluar. Tapi mendengar semua kata-kata Hu Beng Kui dan juga pedang itu menganggapnya sebagai orang yang berpikiran dangkal tiba-tiba Cu-ciangkun tersinggung dan merah mukanya, marah!

“Hu-taihiap, barangkali berdebat denganmu tentang masalah ini tak akan habisnya. Kau memang betul, nyawamu masih lebih tinggi daripada pedang itu, karena apa gunanya mendapatkan pedang kalau sudah berkalang tanah? baik. Kembali kau betul, taihiap. Tapi harap diingat bahwa kau tinggal di wilayah kekuasaan kaisar, bahwa kau adalah seorang rakyat yang sudah seharusnya tunduk di bawah kekuasaan kaisar. Sebenarnya dengan mengingat ini saja sudah selayaknya kau merampas Sam-kong-kiam untuk dikembalikan kepada kaisar, sebagai seorang rakyat yang baik kepada junjungannya, sebagai seorang hamba yang setia terhadap kaisarnya. Apakah ini kau ingkari? Jadi, mengingat ini saja seharusnya tanpa imbalan apapun kau harus mengembalikan Sam-kong-kiam, taihiap. Atau kau dianggap sebagai rakyat yang memberontak terhadap kekuasaan dan wibawa kaisar. Kau bisa di cap pembangkang!”

“Ha-ha!” Hu Beng Kui tiba-tiba tertawa terbahak. “Kau sekarang membawa-bawa baju kekuasaan untuk menakut-nakuti aku, Cu-ciangkun. Apa yang kau kata memang tidak salah. Tapi harap diingat pula bahwa seorang penguasa yang baik tidak akan menakut-nakuti atau mengancam rakyatnya. Aku telah berjuang untuk istana, telah berjuang untuk kaisar. Apakah untuk ini kaisar lalu memejamkan mata tidak memberi balas jasa kepada rakyatnya? Apakah aku atau rakyat lain seperti kuda-kuda piaraan yang diperas susunya saja? Hei inikah yang kau maksud? Kalau begitu namanya sewenang-wenang, ciangkun. Kau mau mempergunakan kekuasaan untuk menekan aku. Tidak, aku tidak takut. Justeru hal itu akan kusiarkan di luar sebagai tindak kesewenangan kaisar kepada rakyatnya. Kau boleh menekan aku dengan baju kekuasaan dan aku akan melawan kalian sebagai orang-orang zalim!”

Cu-ciangkun terkejut. Sekarang Hu Beng Kui malah menantang. Jago pedang ini terang-terangan membalas kata-katanya dengan tak kalah tajam. Keras sama keras! Dan ketika Cu-ciangkun tertegun dan tuan rumah membusungkan dada maka Sun-taijin yang batuk-batuk melihat ketegangan itu bangkit berdiri.

“Taihiap, maaf. Kami datang bukan untuk bertikai. Kalau belum ada kesepakatan di sini sebaiknya kita runding lagi beberapa hari. Hawa yang panas tak baik dituruti, sebaiknya kami pergi dan biar masing-masing berpikir lagi dengan pikiran yang lebih dingin.”

Itulah kata-kata bijak. Cu-ciangkun tiba-tiba sadar, saat itu mereka di rumah si jago pedang dan betapapun mereka adalah tamu. Tak baik bertengkar di rumah orang, meskipun mereka adalah panglima. Maka sadar mendapat kedipan sun-taijin tiba-tiba Cu-ciangkun mengangguk dan bangkit berdiri, tersenyum.

“Betul, maafkan aku, taihiap. Rupanya aku terbawa emosi dan hampir bersitegang denganmu. Kata-kata Sun-taijin memang tidak salah, biar beberapa hari lagi kami datang kemari mencari penyelesaian denganmu.”

Hu Beng Kui tertawa tak acuh. Hari itu semua tamunya kembali, beberapa hari datang lagi namun jago pedang ini bersikeras, dia tetap pada pendiriannya semula, Sam-kong-kiam dipinjam dan biar dia mendapatkan dulu pengganti Hek-seng-kiam. Cu ciangkun mengerutkan kening dan hampir panglima ini lupa diri. Bu-ciangkun juga begitu dan nyaris panglima tinggi besar ini menggebrak meja. Hu Beng Kui ternyata orang yang alot. Dan ketika hari itu perundingan gagal dan dua panglima itu meninggalkan Ce-bu maka ketegangan terjadi di antara panglima-panglima ini dengan si jago pedang. “Orang she Hu itu ngotot benar. Dia sombong dan keras kepala!”

“Ya, dan tak ada jalan selain kembali, rekan Bu. Aku kira kekerasan paling baik diberlakukan pada si jaga pedang itu.”

“Membawa pasukan?”

“Sebentar, sebaiknya kita ke Kim taijin. Biar kita ke sana sebelum menghadap sri baginda.”

Begitulah, dua panglima ini pulang. Mereka membawa kemarahan atas sikap Hu Beng Kui yang tidak kenal kompromi. Mereka tegas meminta namun si jago pedang tegas menuntut, carikan dulu pengganti Hek-seng-kiam dan baru Sam-kong-kiam d kembalikan. Pendekar itu bersikeras menyatakan bahwa dia tidak bermaksud mengangkangi Pedang Tiga Dimensi, dia hanya meminjam. Dan karena berkali-kali bujukan mereka gagal dan pendekar itu tak mau mengalah maka Bu ciangkun dan Cu-ciangkun pulang ke kota raja. Dan begitu tamunya pulang ke istana maka Beng An dan adiknya muncul, sudah mendengar ketegangan ini.

“Yah, kenapa kau ngotot benar? Bukankah pedang itu dapat menjadikan sengketa antara kita dengan istana!”

“Hmm, aku tak mencari sengketa, Lian-ji. Aku hanya minta pengganti pedangku yang rusak. Kalau mereka tak dapat memberi berarti mereka kurang berusaha dan tidak menghargai keberhasilanku.”

“Tapi ayah dapat dianggap mengangkangi pedang!”

“Itu terserah mereka, toh aku berjanji akan mengembalikannya begitu pengganti Hek-seng-kiam kudapat!”

“Tapi pengganti yang kau minta terlalu berat, yah. Bukankah tak ada pedang lain yang seperti Sam-kong-kiam?”

“Aku tak percaya, di istana tentu ada, hanya dua panglima itu ogah mencari dan mau berkata seenaknya.”

Swat Lian dan Beng An bingung. “Yah, kalau begitu bagaimana jika kaisar mendengar ini? Bukankah penolakanmu dianggap pemberontak!”

“Ha-ha, jangan bicara tentang pemberontakan, Beng An. Aku tidak bermaksud memberontak atau melawan kaisar. Aku hanya minta pengganti Hek-seng-kiam dan mereka harus berusaha. Jangan bilang tak bisa kalau belum dicari. Sudahlah, kalian pergi dan tak perlu mengganggu aku!” sang ayah mengusir.

Dua anak itu mundur ke belakang dan kini Beng An pun tak senang melihat sikap ayahnya itu. Betapapun dia melihat sikap tak wajar pada ayahnya ini, berkali-kali ayahnya mencium Sam-kong-kiam dan ayahnya itu tampak tergila-gila benar pada pedang yang ampuh ini. Sebagai putera seorang jago pedang tentu saja Beng An tahu bahwa ayahnya “jatuh hati”.

Ayahnya menemukan barang yang cocok bagai menemukan isteri baru saja, isteri yang segala-galanya mencocoki dan Beng An khawatir. Kian lama ayahnya akan kian terpikat dan gandrung wuyung saja. Ini berbahaya. Dan ketika sebulan kemudian persoalan itu masih ngambang dan hangat-hangat panas mendadak Sun-taijiin yang menjadi walikota Ce-bu itu diketemukan tewas dan mati dibunuh orang!”

“Yah. Sun-taijin tewas terbunuh. Apa kata istana kalau hal ini dihubungkan dengan Sam-kong-kiam?”

Hu Beng Kui terkejut. “Terbunuh?”

“Ya, dia mati terbunuh, ayah. Semalam katanya didatangi penjabat dan istana bisa mencurigai kita!”

“Hm, aku tak perduli pada segala macam kecurigaan. Kalau mereka berani menuduh tanpa bukti-bukti tentu aku akan menuntut!”

Benar saja, kejadian ini membawa buntut panjang. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun datang, mereka menunjukkan sikap tidak bersahabat pada si jago pedang itu. Hu Beng Kui berkerut kening. Dan karena urusan lama merasa belum terselesaikan dan kini urusan baru datang dengan tewasnya Sun-taijin maka Bu-ciangkun menggebrak meja ketika pembicaraan meningkat panas....

Pedang Tiga Dimensi Jilid 12

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 12
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SANG pelayan terkejut. Dia melihat uang yang menancap di atas meja tadi sudah dicabut, kini ganti uang Beng An menyambarnya, dia mau menangkap tapi uang itu tiba-tiba melejit, aneh sekali. Dan ketika dia terkesiap dan berseru tertahan tiba-tiba uang itu telah memasuki kantung bajunya dan amblas di situ!

“Aih, terima kasih, kongcu... terima kasih...”

Beng An tak memperdulikan. Dia sudah meloncat melihat Malisa berkelebat keluar, membuntuti gadis itu dan agaknya siap “mengawal” kemanapun si nona pergi. Malisa berhenti dan tiba-tiba membalikkan tubuh, mereka sudah berada di luar restoran. Dan ketika Beng An terkejut melihat si nona memandangnya marah maka dia mendapat teguran tajam.

“Kau mau apa mengikutiku terus? Mau kurang ajar?”

“Ah, tidak! Eh, bukankah nona mau kembali? Kita sama-sama ke losmen, kita...”

“Aku tidak ke sana, siapa bilang begitu?” gadis ini menyemprot, memotong. “Kuharap kau tidak mengikutiku lagi, orang she Hu. Perkenalan kita cukup dan kau pergilah!”

Beng An kecewa. “Nona mau ke mana?”

“Perlukah kau tahu?”

“Maaf,” Beng An terkejut. “Aku... sudahlah. Aku menunggumu di losmen, nona. Disana kita bercakap-cakap lagi dan baik aku kembali dulu!” Beng An menjura, si gadis mendengus dan tidak menghiraukan lagi, memutar tubuh din berkelebat lenyap.

Dan karena mengikuti terus gadis itu memang dirasa tidak sopan akhirnya Beng An kembali dan menunggu Malisa di losmen, sebenarnya kecewa namun berharap ketemu lagi dengan gadis yang memikat hatinya itu. Beng An berdebar dan ingin bertatap muka, entah kenapa perasaannya begitu gundah ketika harus sendiri kembali ke losmen. Tapi ketika semalam dia menunggu gadis itu seperti yang diharap ternyata si nona tak kunjung muncul!

“Eh, mana adikmu?” begitu malah ayahnya menegur.

Beng An jadi serba salah dan tak enak berjalan ke sana ke mari. Adiknya ternyata ke luar juga, baru dia tahu. Dan ketika dia jengkel menunggu dengan perasaan tak sabar maka kentongan di luar mulai dipukul orang. Ke mana Swat Lian?

Ternyata gadis ini bertemu sahabat yang menyenangkan. Waktu itu dia berjalan putar di sekitar losmen, tak melihat kakaknya dan berjalan sedikit jauh. Tiba-tiba seorang siucai (pelajar) muncul di tikungan, berhenti dan dihadang tiga laki-laki kasar yang membentak dan kebetulan didengar Swat Lian. Siucai itu tertegun, bukunya dirampas dan tiga laki-laki kasar ini yang ternyata orang-orang jahat menggeledah sakunya. Siucai itu tak melawan Swat Lian marah melihat kejadian di depan mata. Dan ketika siucai itu hendak dipukuli dan swat Lian tak tahan tiba-tiba gadis ini berkelebat menendang tiga laki-laki kasar itu.

“Kalian manusia-manusia busuk. Di tempat begini berani merampok orang? Enyahlah... des-des-dess!”

Swat Lian yang menghajar tiga penjahat tadi dengan kaki tangannya tiba-tiba membuat lawan terpelanting mengaduh-aduh. Gadis itu tak memberi mereka kesempatan melihat dirinya, tangan kembali bergerak menampar tiga kali berturut-turut. Dan ketika tiga orang itu mencelat bagai disambar petir maka buku dan barang-barang lain yang dirampas jatuh berhamburan sementara mereka menjerit-jerit bagai ketemu setan.

“Aduh, tobat... ampun” Tiga penjahat itu tunggang-langgang.

Swat Lian telah berdiri di depan siucai itu, kini mereka berhadapan. Dan ketika Swat Lian tertegun melihat wajah tampan dan mata yang hidup berseri-seri mendadak gadis ini tertegun dengan muka merah. “Kau siapa?”

“Ah, terima kasih. Aku Kim San, nona. Pelajar lemah yang nyaris tak berdaya dirampok orang jahat!” siucai itu membungkukkan tubuh, memberi hormat dan sudah mengambili buku bukunya yang berceceran. Gerakannya begitu cepat dan sebentar kemudian buku-buku itu sudah dirapikannya kembali.

Sekali pandang orang mengetahui bahwa pemuda ini laki-laki lemah, gerak-geriknya lembut namun memiliki jari-jari yang trampil yang mampu merapikan sesuatu dengan cepat, agaknya jari-jari itu sudah terbiasa bergerak setiap hari. Dan ketika Swat Lian tertegun memandang siucai ini dari atas ke bawah maka dia tersenyum memperhatikan kopiah di atas kepala yang lucu, miring ketika mengelak tamparan seorang penjahat tadi.

“Kau jangan jalan-jalan di tempat sepi begini. Mau ke mana dan kenapa malam-malam keluyuran seorang diri? Bukankah enak diam di rumah dan duduk membaca buku?”

“Aku tak mempunyai rumah...”

“Eh, kau bukan penduduk kota sini?”

“Bukan, aku pengembara, siucai pengembara...”

“Lalu tadi kau mau ke mana?”

“Aku dari rumah Siok-wangwe, mau melukis...”

“Melukis? Kau pandai melukis?”

“Ya, aku bisa melukis sedikit-sedikit, nona. Tadi ke rumah Siok-wangwe tetapi gagal. Hartawan itu pergi. Sial!” dan Kim-siucai ini yang menggerutu dengan senyum pahit tiba-tiba mengeluarkan pit-nya (alat tulis), mencorat-coret. “Nona mau ke mana? Kenapa keluyuran juga malam malam? Bukankah kita sama?” dan ketika dia tertawa menghentikan corat-coretnya maka Swat Lian terbelalak melihat wajahnya sudah digambar di situ, persis dan indah!

“Aih, hebat. Kau pandai sekali!”

Siucai itu tertawa. “Untukmu, nona. Sekedar rasa terima kasihku atas pertolonganmu tadi.”

Swat Lian menerima. Dia kagum melihat kecepatan siucai ini melukis, padahal tangan melukis sambil bicara. Kembali untuk kedua kali Swat Lian melihat kelincahan jari-jari Kim siucai ini. Wajahnya terpampang di situ, cantik dengan mata bersinar-sinar. Swat Lian tertawa. Dan ketika dia memuji lukisan itu dan lawan tersenyum maka Swat Lian tiba-tiba teringat kakaknya. “Kau mau melukis seorang lagi?”

“Siapa?”

“Kakakku!”

Siucai ini mengerutkan kening. “Nona penduduk kota sini?”

“Bukan, aku menginap di losmen Kwi-hoa. Aku dan kakakku ada di sana!“

“Hm, nona juga pengembara?”

Swat Lian tersenyum. “Kim-twako, apakah setiap orang yang kebetulan tidak berada di rumah sendiri kau anggap pengembara? Tidak, aku kebetulan bepergian saja dengan kakakku, juga ayahku. Kami mencari seseorang.”

“Penjahat?”

“Ya, penjahat, namanya Kim-mou-eng!”

Siucai ini terkejut. Mukanya tiba-tiba berubah, tapi tertawa menutupi rasa kagetnya tiba-tiba dia berseru, “Aih, nona juga bermusuhan dengan Pendekar Rambut Emas itu? Ada hubungan dengan Sam-kong-kiam?”

“Wut!” Swat Lian tiba-tiba mencengkeram leher orang. “Kau tahu dari mana, Kim-siucai? Kau pelajar gadungan?”

“Aduh... aduh, lepaskan aku, nona. Lepaskan dulu! Aku bukan siucai gadungan, aku benar-benar siucai tulen. Siucai yang tidak lulus ujian!”

“Tapi kau tahu tentang Sam-kong kiam. kau pasti orang kang-ouw!”

“Ah, apakah hanya orang kang-ouw saja yang tahu tentang itu, nona? Bukankah hilangnya Sam-kong kiam sudah diketahui orang banyak? Orang sekota raja sudah tahu tertang itu, dan aku juga tahu karena aku seorang pengembara yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain!”

Swat Lian terkejut. Dia melepaskan cengkeramannya, memang alasan itu tepat dan dapat diterima akal. Siucai ini adalah pengelana, jadi tak heran kalau dia mengetahui kejadian-kejadian di luar. Dan karena hilangnya Sam-kong-kiam memang sudah bukan rahasia lagi maka Swat Lian percaya dan minta maaf, melihat orang menyeringai dan merasa kesakitan. Tengkuknya berulang-ulang dipijit. Swat Lian merasa bersalah. Dan ketika dia membantu melancarkan kembali jalan darah di tengkuk siucai itu maka siucai ini ngambek.

“Aku tak berani melukis kakakmu. Salah-salah aku pun dihajar!”

“Maaf,” Swat Lian menyesal. “Aku tak sengaja, Kim-twako. Jangan marah dan biar aku membawakan buku-bukumu. Aku tak sengaja dan tadi kelupaan. Kukira kau pura-pura. sudahlah, jangan ngambek dan lupakan perbuatanku tadi. Mari ke losmen dan penuhi permintaanku!“

Siucai ini ragu-ragu. “Kakakmu juga selihai dirimu?”

Swat Lian tertawa. “Lebih lihai lagi, tapi tidak sekasar aku!”

“Ah,” pelukis ini tersenyum lebar. “Kau tidak kasar, nona, hanya barangkali terkejut saja. Aku rupanya mengejutkanmu. Eh, omong-omong siapa nama nona? Kau belum memberi tahu.”

“Aku Swat Lian, she Hu,” Swat Lian teringat.

“Hm, nama yang bagus. Cantik dan indah seperti orangnya!” Kim-siucui memuji. Tapi melihat Swat Lian merah mukanya tiba-tiba dia sadar. “Ah, maaf. nona. Aku tak sadar!”

“Sudahlah, kita masih mau omong-omong saja di sini?” Swat Lian gembira, merasa siucai ini seorang pemuda yang baik. “Kau tidak segera menyatakan kesanggupanmu untuk melukis engkoh ku (kakak laki-laki)?”

“Tentu,” Kim-siucai pun tertawa. “Aku menurut, nona. Tapi kalau kakakmu nanti marah-marah tolong kau bantu aku agar tidak kena gaplok!”

“Kakakku orangnya baik, tak perlu kau khawatir,”

Swat Lian yang mengajak Kim-siucai ke losmen akhirnya tiba dan disambut kakak dan ayahnya dengan muka terheran. “Siapa dia?”

“Hi-hik, Kim-siucai, ayah. Datang karena kuundang!”

“Kau membawa laki-laki?“ Hu Beng Kui langsung bangkit berdiri, terbelalak marah tapi sebelum jago pedang itu mengeluarkan kata-kata keras Kim-siucai buru buru memberi hormat, tubuhnya dilipat dalam-dalam hingga Swat Lian geli.

“Hu taihiap (pendekar besar Hu), maafkan aku. Aku datang karena diminta melukis oleh putrimu. Hu-siocia minta agar Hu-kongcu (tuan muda Hu) digambar!”

“Benar,” Swat Lian tertawa. “Siucai ini ku undang karena kumintai tolong melukis An-ko, ayah. Lukisannya hebat dan indah sekali, juga cepat. Lihat ini!” Swat Lian mengeluarkan lukisan dirinya, gambar yang tadi dibuat Kim-siucai.

Dan ketika sang ayah tertegun dan terbelalak melihat lukisan itu maka Kim-siucai sendiri sudah mengeluarkan alat-alatnya dan mencorat-coret. Beng An yang berdiri mengerutkan kening dan melongo melihat adiknya membawa laki-laki. Sekejap saja. Dan ketika Hu Beng Kui mendengus mengembalikan gambar anaknya maka Kim-siucai pun selesai dan menyodorkan lukisan itu pada swat Lian, agaknya masih takut-takut kepada Beng An.

“Selesai, silahkan nona lihat!”

Swat Lian tiba-tiba terkekeh. Dia telah menerima dan mengamati gambar itu. lukisan kakaknya memang telah jadi dan lagi-lagi ia kagum. Apa yang diperbuat Kim-siucai ini luar biasa cepatnya. Tapi melihat kakaknya dilukis dalam keadaan melongo tiba-tiba Swat Lian tak dapat menahan kekehnya dan meledak dalam tawa yang keras. “Hi-hik, kaya monyet mendapat buah!”

Beng An terkejut. Dia cepat menyambar lukisan dirinya itu, melihat gambar dirinya terlukis disitu dengan amat sempurna, persis dan mirip. Tapi melihat gambarnya dibuat melongo dan Swat Lian memakinya seperti monyet mendapat buah tiba-tiba Beng An tersenyum tertawa geli. “Hebat, Kim-siucai ini memang pandai membuat gambar!”

“Tapi kau melongo. Seperti bocah melihat kembang gula!”

“Hmm, barangkali Kim-siucai dapat merobahnya, Lian-moi. Kau selalu meledek dan menggoda kakakmu“ dan Beng An yang tersipu memandang Kim-siucai tiba tiba sudah mendapat anggukan pemuda itu yang cepat mengambil gambarnya.

“Bisa... bisa, asal kongcu tersenyum!” dan Kim-siucai yang kembali mencorat-coret merobah gambarnya lalu melihat Beng An tersenyum, menghapus bentuk yang lama dalam bentuk yang baru, bagian mulut itu. Dan ketika sekejap kemudian lukisan itu selesai dan kembali disodorkan pada Beng An maka pemuda ini kagum mendecah perlahan.

“Cocok sekali, hebat!”

Swat Lian juga kagum. Dalam waktu yang begitu singkat Kim-siucai ini telah merobah gambar. Lukisan itu bagus dan bersih sekali. Beng An tampak tersenyum dan gagah, Lukisan ini memang mengagumkan. Dan ketika Beng An tertawa dan ayahnya juga kagum memandang lukisan hitam putih itu maka Kim-siucai menghadapinya.

“Taihiap juga minta dilukis?”

“Ah. tidak!” Hu Beng Kui terkejut. “Aku tak minta dilukis dan tak senang dilukis!” lalu teringat sesuatu memandang putrinya pendekar ini menegur, “Lian-ji, dari mana kau temukan Kim-siucai ini? Bagaimana dia menyebutku taihiap?” Jago pedang ini memang curiga.

Dia sebenarnya menyembunyikan diri, sedikit sekali orang yang memanggilnya taihiap (pendekar besar), kebanyakan menyebutnya wangwe dan dia agak terkejut datang datang pelukis ini menyebutnya taihiap. Tentu saja dia mengerutkan kening, itu tentu ulah putrinya. Dan ketika dia memandang putrinya dengan tajam dan Swat Lian tersenyum tiba-tiba Kim siucai mendahului.

“Kami berkenalan secara kebetulan, taihiap. Puterimu menolongku dari terkaman tiga orang jahat. Aku hampir dibegal!”

“Benar,” Swat Lian menyambung. “Aku menolongnya ketika dia dihadang tiga laki-laki kasar, ayah. Buku dan uangnya mau dirampas!”

“Hm. begitu!”

“Ya, begitu, taihiap. Karena itu aku lalu melukisnya dan biar lukisan itu sebagai tanda terima kasihku, tapi aku sebenarnya lebih suka melukis benda benda mati, pedang misalnya!”

Hu Beng Kui terkejut. “Pedang?”

“Ya, pedang, taihiap. Terutama pedang-pedang pusaka. Lihat, aku pernah mengenal beberapa pedang pusaka!” dan ketika tanpa diminta kembali sastrawan itu mencorat-coret kertasnya tiba-tiba dia telah melukis sebatang pedang yang berkeredep dalam tiga warna, hijau kuning dan merah.

Hu Beng Kui tertegun dan Beng An serta adiknya terbelalak. Seketika mereka teringat itulah Sam-kong-kiam, demikian hidup dan indah dilukis Kim-siucai ini. Dan ketika mereka bengong membelalakkan mata tiba-tiba Beng An berseru, “Sam-kong-kiam!”

Hu Beng Kui dan dua anaknya terkejut. Si jago pedang sendiri belum melihat Sam-kong-kiam. Hanya Beng An dan adiknya yang pernah melihat pedang itu, ketika bertempur dengan Kim-mou-eng alias Bu-hiong. Dan ketika Hu Beng Kui terkejut mendengar seruan anaknya, tiba tiba dia melihat sesuatu yang aneh di balik kopiah Kim-siucai, rambut yang sedikit menyungai dan berwarna keemasan.

“Kau Kim-mou-eng...!” tiba-tiba pendekar itu membentak, langsung melejit dan melakukan cengkeraman kuat. Swat Lian dari kakaknya terkejut melihat gerakan ayahnya itu, Kim-siucai juga terkejut. Kiranya Hu Beng Kui yang curiga ini bermata tajam. Sebenarnya dia melihat gerak gerik yang aneh pada laki-laki yang mengaku sastrawan itu, matanya yang tajam melihat kilatan bercahaya pada mata lawan, itulah bukti hebatnya sinkang seseorang yang dirasa pendekar ini. Swat Lian dan kakaknya memang belum berpengalaman seperti ayah mereka, hanya Hu Beng Kui lah yang tahu.

Maka ketika pendekar itu membentak dan sekilas ujung rambut keemasan tampak di balik kopiah lawan tiba-tiba pendekar ini telah mencelat dari duduknya dan langsung menyerang. Kelima jarinya menegang bagai jari baja, mencengkeram dan siap mencekik lawan. Kim-siucai berseru keras Tapi ketika jari jago pedang itu hampir mengenai lehernya dan Kim-siucai berteriak gugup tiba-tiba seolah tak sengaja tubuhnya dilempar ke belakang menendang kursi.

“Aduh, tolong siocia... Brukk” Sastrawan itu jatuh ke belakang, kursi menimpa dirinya tapi cengkeraman Hu Beng Kui luput. Pendekar ini kaget karena tak pernah serangannya gagal, apalagi kalau hanya menghadapi seorang siucai lemah. Dan ketika dia tertegun dan heran membelalakkan mata tahu tahu siucai ini telah kabur meloncat ke pintu melarikan diri. “Hu-siocia, tolong, ayahmu mengamuk....!”

Swat Lian bengong. Dia tak securiga ayahnya, tak melihat sembulan rambut di balik kopiah itu, tentu saja terkejut melihat ayahnya menyerang siucai ini. Tapi melihat siucai itu melarikan diri dan berteriak padanya agar menolongnya dari serangan ayahnya tiba-tiba Swat Lian berseru menyuruh ayahnya berhenti. “Yah, jangan. Tak patut kau menyerangnya!”

“Benar,” Beng An juga kaget. “Kau tak pantas menyerangnya, yah. Siucai itu manusia lemah yang tak bersalah apa-apa. Jangan merendahkan dirimu sendiri dengan menyerang orang biasa!”

“Kalian bodoh, dia itu Kim-mou-eng!” Hu Beng Kui membentak, mengibas dua anaknya dan meloncat keluar. Sekarang dia marah dan tidak tertegun lagi, Swat Lian dan kakaknya terhuyung. Dan ketika Hu Beng Kui berkelebat keluar mencari sana-sini ternyata Kim-siucai lenyap entah ke mana, jago pedang ini menggeram dan tubuh pun melayang turun, dari atas loteng yang tinggi dia berputaran di sekitar losmen. Sebenarnya lawan baru saja pergi dan tak mungkin hilang, kalau benar-benar Kim-siucai itu orang biasa. Jago pedang ini terbelalak dan membanting kaki, tentu saja geram. Dan ketika dia tak mendapatkan buruannya dan pendekar ini terkejut maka dua anaknya memburu dan Swat Lian pucat, masih tak percaya.

“Yah, bagaimana kau tahu dia Kim-mou-eng?”

“Kalian tak melihat sembulan rambutnya di balik kopiah?”

“Tidak...!“

“Itulah kebodohan kalian. Kau tertipu, siucai itu sastrawan gadungan dan aku yakin bahwa dia Kim-mou-eng!”

“Tapi dia sastrawan lemah, dia dihadang tiga orang kasar dan tidak berdaya apa-apa!”

“Huh... kau memang hijau, Swat Lian. Untuk orang macam Kim-mou-eng itu bisa saja dia berpura-pura mengelabuhi orang lain. Dia bukan sastrawan lemah, kutegaskan sekali lagi pada kalian bahwa dia bukan siucai biasa!” jago pedang ini marah, kembali berkelebat dan mencari sana sini namun tidak berhasil.

Swat Lian juga mulai heran bagaimana Kim-siucai yang dianggapnya lemah itu bisa menghilang begitu cepat, padahal ayahnya adalah seorang pendekar pedang yang berkepandaian tinggi. Dan ketika ayahnya uring-uringan dan mengajak mereka masuk kembali ke kamar maka untuk pertama kalinya Swat Lian melihat muka ayahnya merah.

“Swat Lian, kau lancang sekali. Bagaimana kau memasukkan orang macam begitu ke sini? Seharusnya kau sedikit jeli, buka mata dan telingamu agar mengenal siapa lawan siapa kawan. Lihat, masuk akalkah kalau siucai itu benar orang biasa dan kita bertiga tak dapat menangkapnya? Masuk akalkah bahwa aku tak dapat mencengkeram siucai itu ketika di dalam kamar? Renungkan dan lihat semuanya ini, anak-anak. Kuberi tahu kalian bahwa dia bukan sastrawan biasa!”

“Maaf” Swat Lian mengangguk. “Aku tak menyangka semuanya itu, ayah. Aku benar-benar tak mengira kalau dia Kim-mou-eng.”

“Tentu saja, bagaimana bukan Kim-mou-eng kalau dia mampu melukis Pedang Tiga Dimensi? Bagaimana seorang sastrawan bisa mengenal bentuk pedang itu kalau tidak pernah melihat atau memeganginya? Nah, jangan sembrono berkenalan dengan seseorang, Swat Lian. Dan juga kakakmu kuberi tahu agar tidak mendekati pula gadis Tar-tar itu!”

Beng An semburat. Ayah mereka marah-marah. Bukan apa-apa, melainkan tersinggung karena sebagai orang yang telah diakui memiliki kepandaian tinggi ayahnya tak dapat menangkap Kim-mou-eng. Bahkan ketika musuh di dalam kamar dan ayahnya menyerang ternyata seranganannya luput. Beng An tiba-tiba terkejut. Benar, mana mungkin seorang siucai biasa mampu mengundurkan serangan ayahnya yang cepat? Bukankah ini aneh? Maka ketika malam itu ayah mereka marah-marah dan mendongkol anak-anaknya bersikap lamban maka Beng An menunduk melihat adiknya terisak.

“Sudahlah, jangan marahi Lian-moi lagi, yah. Lian-moi tak sengaja dan biar kau marahi aku saja. Akulah yang menjadi gara-gara. Kalau aku tak keluar tentu Lian-moi juga tak bermaksud menyusulku disana. Aku yang bertanggung jawab tentang semuanya ini.”

Hu Beng Kui masih bersungut-sungut. Dia marah dan benar-benar terpukul. Kejadian ini seolah ejekan baginya. Musuh yang ada di depan mata lolos begitu mudah, bagaimana dia tak marah-marah? Tapi Beng An yang teringat sesuatu tiba-tiba mengangkat mukanya.

“Yah, kukira siucai itu bukan Kim-mou-eng. Kami melihat siucai itu lain dengan Kim-mou-eng yang pernah kami temukan. Wajahnya tak mirip!”

Swat Lian terkejut, tiba-tiba menyambung. “Benar, aku sekarang teringat, yah. Siucai ini memang tidak mirip dengan Kim-mou-eng yang melukai An-ko itu!”

Hu Beng Kui terbelalak. “Kalian yakin?”

“Tentu, yah!” dua anak itu hampir berbareng sama-sama berseru. “Kami tahu bahwa Kim-mou-eng yang kami temukan wajahnya tidak seperti Kim-siucai ini, Kim-mou-eng itu jelek, wajahnya kaku dan sama sekali tidak menarik!”

“Hmm, kau hendak mengatakan bahwa wajah Kim-siucai ini lebih tampan dan lebih menarik?”

“Benar,” Beng An yang menjawab, adiknya merah dan tidak berani menjawab. “Kim-siucai ini jauh lebih tampan dan menarik dibanding Kim-mou-eng yang kami temui itu, yah. Jadi sekarang, kami ragu bahwa Kim-siucai adalah Kim-mou-eng!”

“Tapi rambutnya keemasan dan hanya Kim-mou-eng yang memiliki rambut seperti itu!”

“Ini yang tidak kami lihat, tapi kami berdua berani menyatakan bahwa Kim-siucai bukanlah Kim-mou-eng yang dulu kami temukan!”

“Hm, kalau begitu siapa?” Hu Beng Kui bingung. “Kalian yang salah atau aku yang tidak, benar?”

“Kukira kau pun benar, yah. Tapi kalau hendak dinyatakan Kim-siucai ini adalah Kim-mou-eng yang kami temukan maka itu tidak mungkin. Kami berdua hapal benar wajah Kim-mou-eng yang menyerang kami itu, dan Kim-siucai yang kau anggap Kim-mou-eng itu tampaknya tidak membawa pedang kecuali pit dan alat lukisnya itu!”

Hu Beng Kui tertegun. Tiba-tiba dia sadar bahwa Kim-siucai tidak bersenjata. Siucai itu hanya membawa pit dan buku-buku. Memang benar. Dan ketika dia mengerutkan alis dan semakin bingung untuk urusan ini maka pendekar itu diam berlama-lama, heran dan mulai menduga-duga siapakah sastrawan gadungan itu. Jika yakin Kim-siucai adalah sastrawan gadungan, jelas siucai itu seorang berkepandaian tinggi yang berpura-pura. Dia yakin betul.

Tapi karena anaknya berhasil membantah bahwa siucai itu bukanlah Kim-mou-eng akhirnya jago pedang ini mendengus dan jengkel terhadap semua teka-teki itu, duduk bersila dan akhirnya menghilangkan kejengkelan dengan membuang semua pikiran. Beng An dan adiknya disuruh tidur. Dan ketika malam itu mereka sama-sama bingung memikirkan siapa siucai yang aneh ini maka Beng An tak dapat memejamkan mata karena teringat si gadis Tar-tar.

* * * * * * * *

“Di sini tempatnya?”

Tiga orang itu telah berdiri di atas Jurang Malaikat. Hu Beng Kui bertanya pada anaknya, Swat Lian dan kakaknya mengangguk. Dan ketika pendekar itu melihat kiri kanan maka Beng An menunjuk ke bawah.

“Kim-mou-eng dikabarkan tewas di sini, ayah. Namun ternyata masih hidup dan menyerang kami. Lihat, bekas bekas pertempuran pun masih ada. Di sinilah dia melukaiku!”

“Hm. kalian tunggu di sini. Aku mau melihat ke bawah!” Hu Beng Kui berkelebat, langsung terjun dan memasuki jurang, berjungkir balik dan tiba-tiba sudah berada di sisi jurang sebelah sana. Lalu begitu dia melekatkan telapaknya di dinding jurang maka pendekar ini sudah merayap turun dengan ringan dan cepat seperti cecak.

“Ck-ck, ayah memang hebat!” Beng An memandang kagum, melihat ayahnya menghilang dan sudah turun ke bawah dengan caranya yang luar biasa. Kedua telapak baik kaki maupun tangan menempel dan melekat di dinding jurang, dengan caranya itu pendekar ini merayap ke bawah, tentu saja Beng An kagum. Dan sementara ayahnya menyelidiki bawah jurang dengan cara seperti cecak merayap maka Beng An dan adiknya duduk lenggut-lenggut menanti.

“Kau merasakan apa, Lian-moi? Kau masih melamunkan Kim-siucai itu?”

Swat Lian terkejut. “Tidak...”

“Tapi wajahmu murung, rupanya bayangan Kim-siucai itu mengganggu hatimu!”

“Hmmm...!” Swat Lian semburat merah. “Kau agaknya memperhatikan aku sejak tadi. An-ko. Ada apa berolok-olok? Aku memang teringat bayangan siucai itu, tapi bukan apa-apa melainkan keanehannya yang bisa pergi secepat itu. Kau kira apa?”

“Ah, jangan marah,” Beng An tersenyum. “Aku tidak menuduhmu yang bukan-bukan, Lian-moi, melainkan sama seperti apa yang kau pikir.“

“Kupikir tentang apa? Mana kau tahu?”

“Hm....!” Beng An menyeringai. “Aku tahu apa yang kau pikir, Lian-moi, karena itu aku tahu pula apa yang kupikir. Aku tahu bahwa kau heran oleh cepatnya siucai itu menghilang, dan aku juga heran bagaimana dia bisa menghilang secepat itu. He-he, bukankah sama?”

Swat Lian mengerutkan kening, mendengar tawa kakaknya yang main-main. “Kau serius?”

“Eh. tentu saja. Siapa bilang tidak serius?”

“Tapi tawamu mengejek, kau seolah mengejek aku bahwa hatiku tergoda oleh wajah Kim-siucai itu!”

“Ha ha, untuk ini aku tak tahu, Lian-moi. Aku tak bilang begitu, itu urusan hatimu. Aku hanya bilang bahwa akupun heran bagaimana siucai itu bisa menghilang begitu cepat. Dugaan ayah benar, siucai ini pemuda misterius yang lain kali harus dicari. Aah.... aku ingin menangkapnya lagi dan bertanya siapa dia itu sebenarnya!”

Swat Lian mengangguk. “Aku juga penasaran...”

“Tentang apa? Bahwa dia tak tertangkap dan kau tak dapat mengetahui siapa sebenarnya dia itu?”

“Tentu saja, kau kira apa? Kau. Eeh...!” Swat Lian mencubit kakaknya ini keras keras, melihat kakaknya tertawa lebar. “Kau jangan mengejek aku, koko. Kita bicara serius dan hayo mengaku tobat kalau tak ingin kucubit!” Swat Lian gemas. Kakaknya ini ternyata menggodanya saja dan mata serta mulut kakaknya itu tertawa. Tentu saja Swat Lian mendongkol dan ketika kakaknya mengaduh aduh dan minta dia melepaskan cubitannya baru Swat Lian melepaskan kakaknya itu dengan muka semakin merah. “Koko, kau jangan menggoda aku. Kalau aku marah jangan kau tanya....”

“Ya ampun.... tobat....“ Beng An bisa melucu, “Aku tak ingin main lagi, Lian-moi. Hayo kita serius dan coba kau terangkan padaku kenapa semalaman ini kau tak dapat tidur?"

“Kau tahu aku tak tidur?”

“Tentu saja, matamu masih merah!”

“Ah!” Swat Lian terkejut. “Kau terlalu. An ko. Orang tidak tidur pun kau selidiki, kurang ajar” dan Swat Lian yang mau mencubit kakaknya lagi dengan gemas tiba-tiba sudah dihindari karena Beng An meloncat bangun melarikan diri.

“Hei. jangan, Lian-moi. Nanti matang biru semua kulitku!”

“Kau meledek, kau suka mengoda orang!”

“Sudahlah, sekarang aku tak menggoda lagi mari bicara baik baik.” dan Beng An yang duduk lagi dengan muka serius akhirnya membuka percakapan kembali pada Kim-siucia itu. “Pikirmu bagaimana? Apakah Kim-siucai ini orang berbahaya atau tidak? Maksudku, apakah dia orang baik-baik atau orang jahat?”

“Aku tak tahu, tapi melihat sinar matanya kulihat dia bukan orang jahat!”

“Kau yakin hanya dengan melihat sinar matanya saja? Wah...!” Beng An tersenyum lebar, “Kalau begini kau hebat. Lian-moi. Barangkali aku pun kelak ingin minta pendapatmu tentang jahat tidaknya seseorang dengan melihat sinar matanya!”

Swat Lian merah mukanya. “An-ko, aku tidak main-main. Kalau sinar matanya itu bohong maka perasaan hatiku tentunya tidak. Aku merasa Kim-siucai ini orang baik-baik tapi entah siapa dia itu!”

“Eh, bukankah dia Kim-siucai? Kau sudah tahu namanya, tak perlu bertanya lagi!”

“Bukan itu, yang kumaksud adalah siapa sebenarnya dia ini, kenapa menyamar sebagai seorang siucai dan seberapa pula kepandaiannya. Aku jadi penasaran dan ingin bertemu lagi untuk menjajal kepandaiannya!”

“Kepandaiannya melukis, kau tak mungkin menang!”

“Ya, aku tahu, tapi bukan itu.”

“Ilmu silatnya?”

“Tentu saja.”

“Tapi kau bilang dia dihadang tiga laki-laki kasar!”

“Itulah, aku gemas setelah tahu terkecoh, An-ko. Rupanya Kim-siucai itu suka main-main dan kelak ingin kuhajar dia itu!”

“Wah, wah... menghajar setelah menolong?” kakaknya tertawa. “Mana mungkin ini. Lian-moi? Kalau ingin menghajar sebaiknya aku... aku belum pernah menolong dan tidak janggal kalau menghajar siucai gadungan itu!”

“Sudahlah” Swat Lian mengerutkan kening. “Bagaimana sekarang tentang Kim,mou-eng, An ko? Dan bagaimana pula dengan, hmm... gadis Tar-tar itu? Kemana kau semalam keluyuran?”

“Aaah...! jalan-jalan,” Beng An tiba-tiba semburat. “Mencari angin dan pergi ke tengah kota.”

“Huh, jalan-jalan apanya? Aku tak percaya, An-ko, berani bertaruh semalam tentu kau menjumpai gadis Tar-tar itu!”

“Tidak!”

“Tak perlu bohong, kau dan aku bukan orang lain...!” Swat Lian ganti tertawa. “Matamu telah mengakui itu, An-ko. Dan semalam aku juga tak melihat gadis itu di kamarnya. Tentu kalian bertemu!”

“Hmm...” Beng An akhirnya mengaku. “Benar, Lian moi. Dan ternyata dugaan ayah betul...”

“Dugaan apa?“

“Ilmu silat gadis itu hebat sekali...”

“Kau bertempur?”

“Tidak, hanya menguji coba. Dan aku harus mengakui bahwa dia luar biasa. Semalam kami kejar-kejaran dan nyaris aku tak menemukan jejaknya!”

Beng An lalu bercerita matanya menjadi hidup dan tiba-tiba pemuda ini gembira. Swat Lian tersenyum. Dan ketika cerita diakhiri dengan kepergian gadis itu yang tak mau kembali ke losmen. Beng An tampak murung. “Aku Kecewa, dia tak mau bersamaku ke penginapan”

“Kau jatuh hati?”

Beng An terkejut...

“Hmmm, kalau begitu kau jatuh hati, An-ko. Memang sudah kuduga sejak semula bahwa kau terpikat pada gadis Tar-tar ini. Dia memang menarik tapi sayang sombong!”

“Hmm, kukira tidak, Lian,moi. Melainkan angkuh, karena itu rupanya pembawaannya!” Beng An membela.

“Apa bedanya?” sang adik berseru. “Angkuh atau sombong sama saja, An-ko. Kedua duanya berarti merendahkan orang lain. Dan orang yang suka merendahkan orang lain bisa disebut sombong atau angkuh!”

“Sudahlah, kita kembali pada Kim-mou-eng,” sang kakak tak mau berdebat, kemurungannya datang begitu membicarakan gadis Tar-tar itu. “Kita tak perlu membicarakan Kim siucai atau dia lagi, Lian-moi. Sebaiknya kita pikir apakah kiranya Kim-mou-eng dapat kita temukan di sini.”

“Aku pikir begitu,” adiknya mengangguk, merasa pasti. “Dulu dia datang ke sini menemui kita. An-ko. Dan sekarang pun tentu akan bertemu lagi karena rupanya dia memiliki kepentingan di sini.”

“Kepentingan apa?”

“Siapa tahu? Aku menduga begitu karena aku teringat ketika dia muncul dia pun mau turun ke jurang dan keburu kepergok kita, barangkali ada hubungannya dengan guha di bawah jurang itu. Kau ingat?”

Beng An tertegun. “Ya, benar, aku lupa. Kalau begitu guha di bawah itu tempat tinggalnya? Jangan-jangan ayah.....”

“Sst....!” Swat Lian menggerakkan telunjuknya, Beng An tiba-tiba menghentikan kata-katanya karena dari dalam jurang mendadak terdengar bentakan dan lengkingan.

Kejadian berlangsung cepat dan tahu-tahu doa sosok tubuh berjungkir balik keluar dari jurang. Hu Beng Kui muncul bersama Kim-mou-eng. Dan ketika Swat Lian dan kakaknya terkejut melompat bangun tahu-tahu Kim-mou-eng menyerang ayah mereka itu sambil memaki maki.

“Hu Beng Kui, kau manusia jahanam. Ada apa mengejar-ngejar aku dan mengintai orang di dalam guha? Memangnya kau kurang kerjaan, keparat, kubunuh kau. Kucincang tubuhmu.... sing-singg!”

Dan Pedang Tiga Sinar yang sudah dicabut Kim-mou-eng membacok dan menyambar Hu Beng Kui tiba-tiba berkelebatan membuat Swat Lian dan kakaknya terbelalak. Mereka tak tahu bahwa ayah mereka ternyata mendapat lawan di dalam jurang, tadi Hu Beng Kui memasukii guha di bawah sana menjumpai lawannya ini. Kini lawan menerjang marah dan Hu Beng Kui mengelak ke sana-sini. Pendekar itu terkejut tapi girang bukan main. Girang karena lawan yang dicari-cari ternyata ketemu. Maka begitu diserang dan dimaki dengan pedang menyambar-nyambar tiba-tiba pendekar ini berseru keras berlompatan sambil mengibas lengan.

“Kim-mou-eng, kau tak dapat lolos. Aku datang memang untuk meminta pertunggungjawab mu yang telah melukai puteraku!”

“Aku tak perduli, kau akan kubunuh dan tak dapat banyak cakap lagi.. sing-singg...!” dan pedang ynng menyambar lagi mengejar pendekar ini akhirnya membuat Swat Lian berteriak mencabut pedangnya.

“Yah, biar aku yang maju. Kau mundurlah!”

“Tidak!” Beng An tak kalah lantang. “Aku saja yang maju. yah. Biar kubalas kecurangannya dulu dan kau minggir!”

“Hm, sebentar...!” Hu Beng Kui mengelak gembira. “Aku ingin tahu ilmunya dulu, Beng An. Kalau sudah cukup boleh kupertimbangkan nanti!”

“Tapi pedangnya itu berbahaya, ayah sebaiknya berpedang pula agar tidak celaka!”

“Ha-ha, tak gampang orang mencelakai ayahmu. Beng An. Lihat dan tunggu saja kelihaian ayahmu....wut-sing!”

Dan Hu Beng Kui yang hampir lambat mengelak berseru pada puteranya tiba-tiba berteriak tertahan ketika harus membanting tubuh bergulingan, angin sambaran pedang membuat pendekar ini terkejut dan harus menjauhkan diri. Nyaris dia terbabat. Dan ketika lawan mengejar dan berseru marah menggerakkan pedangnya maka pendekar ini sudah digulung dan dikelilingi bayangan pedang yang naik turun bagai naga menari

“Yah. pakai saja pedangku. Hati-hati” Swat Lian khawatir, betapapun dia cemas. Karena Swat Lian tahu betul keampuhan pedang pusaka itu. Angin sambarannya saja cukup membabat putus benda-benda dalam jarak setombak.

Ayahnya menolak dan coba menghindar dengan mengikuti gerakan pedang. Lawan menyerang kian cepat dan Hu Beng Kui berkali-kali berseru keras, dua kali nyaris dia tertusuk. Dan ketika lawan mempergencar serangannya dan jago pedang ini masih bertangan koong menghadapi lawan tiba-tiba Sam-kong-kiam menyambar dan kali ini merobek baju pundaknya diseling pekik kaget puterinya.

“Bret-aih...!” Hu Beng Kui terkejut. Dia sebenarnya menyampok, lengan bajunya itu telah menegang dan penuh terisi sinkang, tapi tetap juga terbabat. Tahulah dia bahwa ketajaman pedang memang luar biasa sekali, jarang ada senjata mampu membacok benda-benda yang dia pegang. Dan ketika lawan tertawa bergelak dan mulai mengejek melihat mukanya yang berobah segera pendekar ini menyambar pedang anaknya yang dilontar puterinya ini.

“Kim-mou-eng jangan sombong. Kau masih belum menang!”

“Ha-ha. tapi mukamu pucat, Hu Beng Kui. Dan sebentar lagi kau roboh bersama pedang tumpulmu itu... trang!”

Hu Beng Kui menangkis, mengerahkan sinkangnya tapi pedang putus juga, berkerutlah alis pendekar ini karena Sam-kong-kiam betul-betul tajam. Dia belum mengeluarkan Hek-seng-kiamnya yang melilit di pinggang, sengaja coba-coba untuk membuktikan seberapa jauh ketajaman pedang di tangan lawannya itu. Dan ketika lawan berkelebat dan dia terpaksa mengerahkan ginkang untuk beradu cepat tiba-tiba jago tua ini melengking tinggi mainkan ilmu pedangnya, Giam-lo Kiam-sut (lima Pedang Maut). Bergerak dan bergeser serta melompat-lompat menghadapi pedang lawan sementara pedang sendiri bergerak naik turun tak kalah cepat.

Hebat pertandingan ini, Hu Beng Kui memegang pedang buntung yang sudah terpapas, berhati-hati namun membalas dan menyerang lawan tak kalah ganas. Pedang di tangannya itu mendesing berputaran mengikuti gerak tubuhnya. Dan ketika Hu Beng Kui berhasil menghindari pedang lawan dan Sam-kong-kiam selalu luput menyerang pendekar ini maka Kim-mou eng, yang sebenarnya Bu-hiong itu terkejut melihat bayangan lebar yang mengelilingi dirinya dari segala penjuru.

“Bagus, kau kiranya lihai. Pantas kalau sombong!”

“Ha ha. yang sombong bukan aku, Kim-mou-eng, melainkan kau. Kaulah yang sombong dan berani melukai anakku untuk menantang keluarga Hu... Wuuut... sinnggg...!”

Pedang di tangan jago tua itu berkelebat, dari arah tak terduga menusuk tenggorokan lawan namun Sam-kong-kiam menangkis, tentu saja pendekar ini mengelak dan angin sambaran pedang yang luput terdengar mengiris telinga. Lawan terbelalak dan memaki. Dan ketika Hu Beng Kui menyerang lagi dan perlahan tetapi pasti sinar pedangnya bergulung-gulung membungkus lawan maka Bu-hiong yang dikira Kim-mou-eng itu pucat.

Nyatalah olehnya bahwa lawan yang satu ini benar-benar lihai. Hu Beng Kui memang jago pedang jempolan, dengan pedang buntung saja dia mampu mengelilingi lawan, tusukan dan tikamannya yang berantai serta bertubi-tubi membuat Bu-hiong sibuk. Kalau dia tak membawa pedang pusaka tentu sinar pedang di tangan Hu Beng Kui memasuki putaran pedangnya, berangkali dua tiga tusukan telah mengenai tubuhnya. Tapi karena Bu-hiong membawa Sam-kong-kiam dan desing pedang itu sendiri amat tajam dan mampu merobek baju Hu Beng Kui maka pertandingan berjalan seru dan lama.

“Ayah, keluarkan saja pedangmu. Cabut Hek seng-kiam (Pedang Bintang Hitam) dan coba diadu dengan Sam-kong-kiam!”

Hu Beng Kui mengangguk. Setelah duapuluh lima jurus dia serang-menyerang dengan lawan tahulah dia kelebihan dan kekurangan lawannya ini. Sebagai jago pedang kelas satu segera dia melihat kelemahan lawan, yakni lawan tak memiliki ilmu pedang yang baik kecuali Sam-kong-kiam itu. Pedang ini hebat, berkali-kali dia nyaris teriris oleh angin sambarannya yang dingin, padahal dia sudah mengerahkan sinkangnya namun tetap saja hawa dingin itu menembus.

Dari sini dapat diketahui betapa berbahayanya Pedang Tiga Sinar itu, tajam dan ampuh sehingga dapat memotong benda-benda keras seperti memotong agar agar. Timbullah keinginannya untuk mengadu Hek-seng-kiam dengan Sam-kong-kiam. Hek-seng-kiam yang dipunyainya itu pun bukan sembarang pedang dan selama ini menjadi temannya dan mengangkat namanya sebagai pendekar pedang. Sam-kong-kiam itulah yang berbahaya, bukan ilmu silat lawan. Maka begitu puterinya berteriak dan Hu Beng Kui tertawa mendadak pendekar pedang ini melakukan jurus yang disebut Payung Berputar Mengikuti Awan.

“Awas...!” bentakan itu suda mengiringi gerakan pendekar ini. Pedang di tangan Hu Beng Kui lenyap, yang ada ialah putaran pedang yang bergulung lebar bagai payung terkembang, berputar cepat menyilaukan mata. Lawan terkurung dan bingung karena tak dapat menduga kemana kira-kira gerakan selanjutnya. Gulungan pedang itu masih naik turun membentuk payung, indah dan hebat sekali karena bagian tengahnya adalah tubuh Hu Beng Kui sendiri yang memutar pedangnya. Tapi begitu jago pedang ini melengking menggetarkan jantung sekonyong-konyong bagian atas yang bergulung-gulung itu pecah tujuh bagian menukik ke bawah menusuk bertubi-tubi ke tubuh lawan yang sedang terbelalak.

“Siut-siut-singgg....!”

Cepat bukan main gerakan itu. Bu-hiong berteriak kaget melihat tujuh titik berkeredep menyambar tubuhnya, meluncur bagai patukan tujuh rajawali haus darah. Inilah serangan ganas yang bukan main berbahayanya. Tapi Bu-hiong yang marah memekik tinggi tiba-tiba merendahkan tubuh dan menangkis dengan Sam-kong-kiam.

“Trang trang taangg...!”

Hu Beng Kui tertawa. Pedangnya putus menjadi tujuh, dibabat Sam-kong-kiam bagai agar-agar. Tapi begitu potongan pedang mencelat kemana-mana mendadak semua kutungan pedang itu menyambar Bu-hiong, cepat dan mengejutkan karena menyambar dalam jarak begitu dekat. Bu-hiong berteriak dan lagi-lagi menangkis dengan pedangnya. Tapi ketika dia memperhatikan kutungan-kutungan pedang ini dan tidak waspada terhadap serangan lain mendadak Hu Beng Kui telah mencabut Hek-seng kiamnya yang lentur dan menjatuhkan diri bergulingan menyerang perut lawan.

“Crett...!” Gerakan itu luar biasa cepatnya. Hu Beng Kui si jago pedang ternyata lihai, juga cerdik. Dengan cara bergulingan itu dia menyerang sekaligus menghindarkan sambaran Sam-kong-kiam, dari bawah dia menggerakkan pedang hitamnya dan lawan tak menyangka dia mempunyai cadangan senjata. Bu-hiong menganggap lawan tak bersenjata lagi setelah pedangnya tadi dikutungi menjadi tujuh bagian. Maka begitu Hek-seng-kiam berkelebat dan dari bawah pendekar ini menyerang lawan menuju perutnya tiba-tiba perut Bu hiong robek dan laki-laki ini mengaduh.

“Augh....!” darah bercucuran keluar. Cepat dan luar biasa Hu Beng Kui telah melompat bangun pula, lawan di sana terhuyung dan terbelalak memandang perutnya yang terkuak. Swat Lian ngeri melihat pedang ayahnya mendapat korban, usus Bu-hiong nyaris terburai. Dan ketika Bu-hiong sadar dan marah melihat lawan melukainya, mendadak laki-laki ini melolong memanggil seseorang.

“Sian-su, tolong....” Bu-hiong menyerang lagi, perut didekap dan pedang di tangannya bergerak lagi. Kini bagai manusia kesetanan dia menusuk Hu Bang Kui, si jago pedang mengelak dan menangkis. Dan begitu dua pedang bertemu tiba-tiba Hek-seng-kiam rompal dan rusak ujungnya.

“Trang!”

Hu Beng Kui terkejut. Kiranya pedangnya masih kalah kuat, meskipun jauh lebih ampuh dari pada pedang anaknya, pedang biasa. Hek-seng-kiam di tangannya rompal meskipun tidak putus, ini bukti bahwa pedangnya pedang yang baik tapi kalah diadu dengan Sam-kong-kiam. Dan ketika lawan berteriak menerjang dan marah menyerang membabi buta maka Hu Beng Kui berlompatan mendengar lawan memanggil-manggil Sian-su.

“Sian-su, tolong. Orang she Hu mencelakaiku!”

Hu Beng Kui mengerutkan kening. Dia tak mengerti siapa yang dipanggil itu, tak tahu bahwa yang dimaksud Bu-hiong adulah Bu beng Sian su, manusia dewa yang amat sakti itu. Tak tahu bahwa keberadaan Bu-hiong di bawah jurang tadi adalah berkenaan dengan maksudnya mencari manusia dewa ini, dulu sudah mencoba tapi ketemu Beng An dan adiknya, kini mencoba lagi tapi sial bertemu Hu Beng Kui. Dan karena Hu Beng Kui berlompatan menghindar dan melihat lawan semikin parah lukanya, dengan membabi buta menyerangnya seperti itn maka pendekar ini menjengek menasihati lawan.

“Kim-mou-eng, sebaiknya kau menyerah. Serahkan pedang itu dan kau boleh mengobati luka mu.”

“Jahanam, aku tak akan menyerah, orang she Hu. Kau boleh mengambil pedang ini setelah melangkahi mayatku!”

“Kalau begitu kau mencari mati, baiklah aku penuhi permintaanmu dan robohlah.... sing plak!”

Hu Beng Kui menangkis, melihat lawan mengendor gerakannya dan Sam-kong-kiam kembali membuat pedangnya rusak, Hu Beng Kui tertawa mengejek dan tidak perduli. Kehebatan pedang itu sekarang tak ditunjang tenaga yang memadai. Luka lawan yang nyaris membuat usus terburai dibiarkan saja demi melampiaskan kemarahan, inilah kemenangan jago pedang itu dan Hu Beng Kui mulai sering mengadu tenaga. Benturan-benturan di antara mereka, membuat lawan pucat, kian lama kian pucat clan akhirnya Bu-hiong mengeluh. Dan ketika perut itu semakin terkuak lebar dan Bu-hiong meringis mendadak satu tangkisan kuat dari pendekar itu membuat Sam-kong-kiam terlepas.

“Trangg!”

Bu-hiong menjerit. Dia melempar tubuh bergulingan bukan menjauhi pedang melainkan sebaliknya, mendekati pedang dan menyambarnya. Lalu begitu memaki melompat bangun laki-laki ini memutar tubuh dan melarikan diri.

“Hu Beng Kui, kau jahanam keparat. Kau manusia terkutuk!”

Si jago pedang terbelalak. Dia heran melihat lawan yang terluka masih mampu melarikan diri, darah mengucur berceceran dari perut lawan yang robek. Seharusnya lawannya itu roboh dan menyerah. Dia pribadi tak akan kejam membunuh lawan, kalau lawan menyerah dan memberikan Sam-kong-kiam baik-baik. Maka ketika lawan justeru bersikap sebaliknya dan bandel melarikan diri tiba-tiba pendekar ini mengejar berseru mengejek. “Kim-mou-eng, kau tak dapat lari jauh. Serahkan Sam-kong-kiam dan menyerahlah baik-baik!”

“Menyerah hidungmu!” Bu-hiong memaki. “Kau boleh bunuh aku dan rampas pedang ini kalau bisa, orang she Hu. Atau kau biarkan aku pergi dan jangan menggangguku!“

“Kalau begitu serahkan pedang, kau boleh mengobati lukamu dan pergi.”

“Keparat, aku tak akan menyerahkan pedang, Hu Beng Kui. Kau boleh mengambilnya setelah melangkahi mayatku.... aduh!” Bu-hiong tiba-tiba terguling, lukanya itu membuat dia tak dapat lari jauh, benar kata Hu Beng Kui. Dan ketika Hu Berg Kui tertawa mengejek dan berkelebat menyerangnya maka Bu-hiong menyeringai den menangikis lagi.

“Trangg!” pedang kali ini dicekal erat. Bu-hiong bertahan tapi mengeluh. Hek-seng-kiam di tangan Hu Beng Kui nyaris putus tapi Bu-hiong terhuyung, tangan kirinya yang mendekap perut penuh darah. Dan ketika lawan tertawa mengejek dan menyerang lagi maka Bu-hiong menangkis sebelum terjungkal.

“Trang-trangg!”

Hek-seng-kiam sekarang putus. Hu Beng Kui terkejut meihat pedangnya tinggal separuh. benar-benar luar biasa pedang di tangan lawannya itu. Tapi melihat lawan terjungkal dan dia marah menyaksikan kekerasan lawannya ini tiba-tiba Hu Beng Kui menimpukkan sisa pedangnya sambil membentak, “Kim-mou-eng, robohlah!”

Bu-hiong berusaha mengelak. Dia terbelalak melihat sambaran Hek-seng-kiam yang menuju dadanya itu, mau menangkis tapi tangan tiba-tiba lumpuh. Kehilangan darah dan tenaga kiranya membuat laki-laki ini kehabisan daya untuk menyelamatkan diri. Maka begitu pedang menyambar dan dia tak dapat mengelak lagi maka buntungan Hek-seng-kiam tepat menembus dadanya dan Bu-hiong roboh.

“Trang!”

Swat Lian dan kakaknya terbelalak. Mereka melihat laki-laki yang disangka Kim-mou-eng itu mengeluh, menuding-nuding tapi akhirnya terguling. Dan ketika mereka melompat mendekat untuk melihat laki-laki ini maka lawan ternyata tewas dengan Sam-kong-kiam masih di tangan!

“Hm, luar biasa pedang ini. Benar-benar hebat dan tajam!” Hu Beng Kui mengusap keringatnya, menyesal tapi terpaksa melakukan pembunuhan. Lawan tak mau menyerahkannya baik-baik. Dan ketika dia melompat dan mau mengambil pedang itu ternyata pedang bersatu dengan jari-jari lawan tak dapat ditarik.

“Ah, keparat. Setelah ajal pun tak mau dia menyerahkan pedang ini!” Hu Beng Kui terkejut, menarik-nariknya tapi tetap saja Sam-kong-kiam tak berhasil dicabut. Rupanya pedang itu sudah bersatu dengan kulit lawan, pendekar ini marah. Dan sementara dua anaknya mendelong memandang kejadian itu tahu-tahu Hu Beng Kui menyambar pedang di punggung Beng An dan membabatkannya ke pergelangan mayat Bu hiong.

“Krak!” putuslah pergelangan itu. Memang di antara mereka yang tinggal membawa pedang adalah Beng An seorang. Pedang Swat Lian sudah dipakai ayahnya dan hancur bertemu Sam-kong-kiam, begitu pula pedang Hu Beng Kui sendiri, Hek-seng-kiam yang ternyata kalah ampuh dengan Sam-kong-kiam. Dan ketika dua anaknya berseru tertahan melihat ayah mereka melakukan kekejaman dengan membacok putus pergelangan lawan yang sudah menjadi mayat maka Swat Lian terisak menutupi mukanya.

“Yah, kau terlalu...!”

“Hm,” pendekar ini mendengus. “Aku tak akan terlalu kalau lawan juga tak terlalu, Lian-ji. Kim-mou-eng yang terlalu dan membuatku marah, sudahlah. Pedang sudah di tangan dan kita pergi!” Hu Beng Kui berkelebat. Swat Lian dan kakaknya masih terbelalak. Tapi ketika ayah mereka membentak dan menegur mereka maka dua muda-mudi ini mengikuti ayah mereka dan pulang ke Ce-bu.

Hari itu Hu Beng Kui memiliki Sam-kong-kiam. Tapi tidak seperti yang dijanjikan pada Sun-tajin ternyata pedang ini disimpan Hu Beng Kui sendiri. Ada rasa eman (sayang) setelah mendapatkan pedang. Swat Lian dan kakaknya dilarang pendekar ini membicarakan keberhasilan mereka. Dan ketika seminggu kemudian Swat Lian dan Beng An bertanya tentang ini mereka mendapatkan jawaban yang mengejutkan.

“Pedang ini terpaksa kusimpan dulu. Untuk sementara tak akan kuserahkan pala Sun-taijin.”

“Tapi ayah berjanji pada Sun-taijin. bukankah ini pelanggaran janji, yah?” putrinya menegur.

“Aku memang berjanji pada pembesar itu, tapi aku tidak berjanji untuk menyerahkannya kapan.”

“Apa maksud ayah?” Sang puteri terbelalak, “Bukankah pedang itu bukan milikmu?”

“Benar, tapi sementara ini aku ingin berteman dengan Sam-kong-kiam, Lian-ji. Aku ingin mengobati kecewaku kehilangan Hek-seng-kiam. Sudahlah, kau tak perlu khawatir kepada ayahmu dan jangan bicarakan ini pada orang lain.”

Swat Lian termangu. Hari itu dia diam. berbisik-bisik dengan kakaknya dan mereka merasa khawatir. Dan ketika dua minggu kemudian mereka melihat ayah mereka sering mengusap-usap Sam-kong-kiam dan betapa setiap harinya pendekar ini berseri-seri memandang pedang itu maka Swat Lian cemas melihat sorot tamak memancar di wajah ayahnya.

“Yah, kau sekarang mulai melupakan pekerjaan. Apakah setiap hari kau hendak menggosok-gosok pedang keramat ini?”

“Hm, aku kagum kepadanya, Lian-ji. Aku ternyata jatuh cinta kepada pedang ini. Sam-kong-kiam betul-betul hebat, bersama pedang ini tiba-tiba aku ingin menaklukkan dunia!”

Swat Lian terkejut. “Ayah gila!”

“Eh!” sang ayah menoleh. “Kau memaki ayahmu, Lian-ji? Kau bilang ayahmu gila?”

Swat Lian terisak. “Yah, aku gelisah akhir-akhir ini. Kau melupakan segalanya pada tiga minggu terakhir ini. Semuanya gara-gara Sam-kong-kiam! Apakah ayah hendak mengangkangi pedang itu?”

”Ha-ha!” sang ayah tertawa bergelak. “Aku tak bermaksud mengangkangi pedang ini, Swat Lian melainkan meminjamnya sebentar untuk memuaskan nafsuku!”

“Tapi berapa lama ayah pinjam? Kapan dikembalikan?”

“Tentu tak lama, aku ingin memuaskan diri dulu.”

Dan ketika pendekar itu tersenyum menggosok Sam-kong-kiam tiba-tiba seorang pelayan masuk memberi tahu kedatangan Sun-taijin, walikota Ce-bu itu.

“Suruh dia masuk!” si jago pedang tertegun. “Dan tunggu aku di ruang tengah!”

“Nah,” Swat Lian khawatir. “Bagaimana jawabmu sekarang, yah? Sun-taijin ternyata datang, dan dia mungkin tahu bahwa pedang itu sudah kau dapatkan!”

“Itu bisa diatur, kau keluarlah dan jangan ganggu aku.”

Hu Beng Kui tiba-tiba tak senang, untuk pertama kalinya dia merasa tak senang dan marah pada puterinya ini. Berkali-kali Swat Lian bertanya tentang Sam-kong-kiam, menyuruh dia mengembalikan pedang itu padahal dia mulai tertarik pada pedang yang luar biasa ini. Ketajamannya dan sinar gaibnya yang berwarna warni. Ada perasaan menyedot pada tubuh pedang ini. Daya tarik luar biasa yang membuat orang kagum dan ingin memiliki. Dan ketika pagi ini jago pedang ini menemui tamunya dan Sun-taijin berseri memberi hormat maka pertanyaan langsung ditujukan pada persoalan pedang keramat itu.

“Maaf, kudengar kabar Sam-kong-kiam tak berada lagi di tangan Kim-mou-eng, taihiap. Katanya Kim-mou-eng terbunuh. Apakah taihiap tahu tentang ini.”

Inilah pertanyaan memutar. Dengan cerdik dan halus pembesar itu menegur Hu Beng Kui, memang tak berani terang-terangan karena Hu Beng Kui bukanlah orang sembarangan. Hu Beng Kui terkejut karena tewasnya Kim-mou-eng ternyata sudah diketahui pembesar ini, berarti sepak terjangnya tak dapat disembunyikan dan dia menyesal kenapa mayat Kim-mou-eng dulu tak di lemparkan ke jurang, kini dia tersudut dan mau tak mau harus mengaku. Hu Beng Kui bukanlah seorarg pengecut yang ingin menyembunyikan perbuatan. Dan karena Sun-taijin sudah mengetahui tewasnya lawan dan itu berarti tak mungkin dia mundur maka terus terang pendekar ini menggangguk.

“Ya, aku tahu. taijin. Dan terus terang yang membunuh Kim-mou-eng adalah aku!”

“Ha ha, sudah kuduga. Kau memang hebat taihiap, sungguh hebat! Dan bagaimana dengan Sam-kong-kiam itu? Apakah taihiap mendapatkannya dari lawan taihiap?”

“Aku sudah mendapatkannya, tapi sementara ini memang sengaja kusimpan!”

“Ahl” sang pembesar terbelalak. “Kenapa begitu, taihiap? Bukankah secepatnya harus diserahkan pada kaisar?”

“Seharusnya memang begitu, tapi aku ingin meminjamnya dulu.” dan ketika sang tamu tertegun dan tampak heran pendekar ini segera menyambung, “Sun-taijin, apa yang kulakukan ini demi menutup kekecewaanku yang kehilangan Hek-seng-kiam. Perjuangan berat yang kulakukan demi memperoleh Sam-kong-kiam ternyata harus ku bayar cukup mahal. Pedangku Hek-seng-kiam patah, aku belum memperoleh pengganti pedang yang seperti isteriku itu sendiri dan karena itu Sam-kong-kiam kutahan. Kalau kelak pengganti Hek-seng-kiam telah kudapatkan dan aku memperoleh gantinya tentu Sam-kong-kiam kukembalikan dan aku tak akan menahan pedang itu.”

“Tapi kaisar mengharap-harap pedangnya. Sam-kong-kiam pedang keramat yang menjadi simbol jatuh bangunnya kerajaan!”

“Ah, itu cerita kosong, taijin. Aku pribadi tak percaya tapi mengakui keampuhan Sam-kong kiam yang memang luar biasa!”

“Dan kapan taihiap mengembalikan pedang itu?”

“Kalau kutemukan pengganti Hek-seng-kiam!”

Sun-taijin bingung. “Taihiap, bagaimana kalau kuusulkan pada sri baginda agar mengganti pedangmu dengau pedang pusaka lain di istana? Atau, hmm... maaf, bagaimana kalau diganti dengan uang dan emas permata?”

“Ha-ha, aku tak butuh uang atau emas permata, taijin. Hartaku sudah lebih dari cukup untuk hidup sampai anak cucuku. Tidak, aku tak ingin emas permata tetapi setuju kalau ada pedang yang hebat sebagai pengganti pedangku yang kalah dengan Sam-kong-kiam itu!”

“Kalau begitu aku akan melapor pada Bu-ciangkun dan Bu-ciangkun akan menyampaikannya pada sri baginda!”

“Boleh, tapi...”

Sun-taijin keburu girang, memotong percakapan orang. “Dan aku akan mohon agar kau mendapat kedudukan pula, taihiap. Barangkali kau suka akan ini dan kaisar mengangkatmu sebagai kepala pengawal, di istana!”

“Hm, kau dengar aku dulu, taijin. Aku sebenarnya tak mengharapkan segala macam kedudukan meskipun aku juga tak menolaknya. Itu anugerah, tapi melanjutkan kata-kataku tadi baiklah kau dengar bahwa pedang yang bakal menggantikan Hek-seng-kiam ku adalah sebatang pedang ampuh yang berani diadu dengan Sam-kong-kiam. Kalau tidak rusak atau patah diadu dengan pedang itu barulah semuanya kuterima!”

Sun-taijin terkejut. “Apa, taihiap minta pedang yang seperti Sam-kong-kiam itu? Ah, mana ada, taihiap? Bukankah ini permintaan mustahil? Di dunia ini Sam-Kong-kiam tidak memiliki saudara kembarnya. Kalau taihiap minta yang seperti itu tentu saja sri baginda tak sanggup?”

“Aku tak minta Sam-kong-kiam kedua, melainkan minta pedang yang ketajamannya sama dengan pedang ini.”

“Sama saja. Di dunia ini tak ada ketajaman pedang yang melebihi Sam-kong-kiam itu, taihiap. Taihiap meminta yang di luar batas kemampuan!”

“Hm, belum tentu, taijin. Kau jangan terburu-buru mengatakan begitu. Sebaiknya kau pikirkan dulu dan biar sementara ini Sam-kong-kiam di sini.”

Sun-taijin tertegun. Apa yang dikata Hu Beng Kui ini seolah ultimatum baginya, dengan halus dan amat pintar si jago pedang itu memiliki Sam-kong-kiam. Memang di mulut tidak mengatakan memiliki namun meminjam, sampai suatu ketika datang pedang yang sama ampuh seperti Sam-kong-kiam pengganti Hek-seng-kiam.

Dan karena pedang itu diyatakan “disimpan” dan Sun-taijin diminta untuk mencari pengganti Hek-seng-kiam sebelum Pedang Tiga Dimensi dikembalikan ke kaisar maka pembesar ini kecewa dan marah. Namun Sun-taijin bukanlah pembesar yang gegabah. Pembesar ini tahu benar kesaktian Hu Beng Kui. Bahkan dengan tewasnya Kim-mou-eng terbuktilah kehebatan pendekar pedang ini, berarti Hu Beng Kui jauh lebih lihai dibandingkan Kim-mou-eng.

Dan begitu si jago pedang sudah menyatakan meminjam dan dia harus tahu gelagat akhirnya dengan mulut tersenyum tapi hati mendongkol bukan main pembesar ini pamit dan menyatakan kesanggupannya, bahwa dia akan mengganti Hek-seng-kiam. Diam-diam pembesar ini mulai tidak senang. Dan ketika beberapa hari kemudian dia datang di kota raja melapor pada Bu-ciangkun maka panglima tinggi besar yang brewok ini gusar.

“Apa, orang she Hu itu tak mau mengembalikan Sam-kong-kiam. Dia minta pengganti Hek-seng-kiam yang sama ampuh dengan Sam-kong-kiam? Keparat, orang ini mencari-cari alasan, taijin. Biar kudatangi dia dan kugempur bersama seribu pasukan!”

“Aduh, nanti dulu!” Sun-taijin terkejut. “Jangan terburu-buru, ciangkun. Jangan tergesa-gesa. Hu Beng Kui amat hebat dan lihai, bisa geger kotaku nanti!”

“Aku tak perduli. Pokoknya pedang itu kembali dan orang itu harus diberi pelajaran!”

“Ah-ah.” Cu-ciangkun tiba-tiba muncul, melihat ribut-ribut itu. “Ada apa ini, ciangkun? Kenapa marah-marah? Eh, bukankah ini Sun-taijin dari Ce-bu?”

“Maaf, benar aku ciangkun. Aku baru datang mengabarkan kembalinya Sam-kong-kiam.”

“Wah, mana itu? Mana Sam-kong-kiam?”

“Di tangan Hu Beng Kui, dia baru saja membunuh Kim-mou-eng.”

Cu-ciangkun terkejut. Disebutnya nama Kim-mou-eng membuat alis panglima tinggi kurus itu berkerut dan semakin berkerut ketika Sun-taijin mengatakan Kam-mou-eng terbunuh. Maka ketika dia duduk dan minta agar pembesar itu menceritakan kepadanya maka Sun-tajin segera mengulang apa yang dia ketahui.

“Hampir sebulan lalu Kim-mou-eng tewas. Hu Beng Kui inilah yang membunuh, Sam-kong-kiam dirampasnya. Tapi ketika pedang diminta ternyata Hu Beng Kui minta tukar, katanya pedangnya sendiri, Hek-seng-kiam yang sudah mengikutinya bertahun-tahun hancur bertemu Sam-kong-kiam. Karena itu dia minta pengganti dan untuk sementara ini Sam-kong-kiam dipinjam.”

“Dipinjam?” Cu-ciangkun terbelalak. “Itu omong kosong belaka, taijin. Itu alasan Hu Beng Kui untuk mengangkangi pedang!”

“Itulah, aku juga menduganya begitu, ciangkun. Tapi karena bertindak keras terhadap jago pedang ini aku tak berani maka aku datang ke sini untuk melapor semuanya pada Bu-ciangkun.”

“Hm, bagaimana pendapatmu, rekan Bu? Apa yang ingin kau lakukan?”

“Aku ingin mendatanginya, menggempur bersama seribu pasukan!”

“Dan membuat geger di kota Ce-bu?” ternyata Cu-ciangkun juga tak setuju. “Tidak, kudengar orang she Hu ini orang baik-baik, rekan Bu. Sebaiknya kita datangi saja dan bicarakan semuanya dengan baik-baik.”

“Tapi dia keras kepala!”

“Sebagian besar tokoh persilatan memang begitu, tapi kita coba membujuk.”

“Kalau tak berhasil?”

“Hm, kita lapor kaisar.”

“Baiklah, mari.” Dan Bu-ciangkun yang bangkit berdiri dan hari itu juga mengajak rekannya ke Ce-bu segera menemui Hu Beng Kui yang kebetulan ada di rumah, lagi-lagi menggosok penuh kagum Pedang Tiga Dimensi yang memikat hatinya itu.

“Maaf,” Bu-ciangkun langsung bicara pada pokok persoalan, baru kali itu berhadapan dengan jago pedang yang lihai ini, diam-diam kagum tapi juga mendongkol. “Apakah benar Sam-kong-kiam telah berada di tanganmu, taihiap? Kenapa kau menyimpannya dan tidak segera memberikannya kepada istana?”

Hu Beng Kui tersenyum. “Kau Bu-ciangkun? Ah, gagah dan jujur, suka bicara blak-blakan. Benar, aku juga tak menyangkal pertanyaanmu, ciangkun. Sam-kong-kiam telah berada di tanganku dan lihatlah buktinya... srat!”

Pedang Tiga Dimensi berkeredep, sinar menyilaukan mata tampak di ruangan itu dan mendadak semua lampu padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan kini sinar terang cemerlang dari pedang itulah yang memancar. Tamu jago pedang ini memang datang di malam hari. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun terkejut, mereka pribadi baru kali itu melihat pedang keramat ini. Pengaruhnya benar-berar luar biasa dan hawa dinginnya serasa menusuk jantung. Dua panglima itu tersirap.

Tapi ketika Hu Beng Kui memasukkan pedangnya kembali dan lampu kembali menyala maka Cu-ciangkun berseru memuji dengan penuh kagum. “Hebat, pedang luar biasa. Benar-benar pedang ampuh!”

Bu-ciangkun mengangguk-angguk. Dia pun kagum bukan main menyaksikan pedang keramat itu, perasaannya terasa teriris begitu pedang dicabut. Bukan main. Dan ketika Hu Beng Kui terrsenyum dan kembali dia bertanya kenapa pemdekar itu tidak segera mengembalikan pedang ke istana, maka dengan tenang dan kalem pendekar ini menjawab. “Hal itu telah kunyatakan pada Sun-taijin. Aku akan mengembalikan pedang ini kalau pedangku Hek-seng-kiam yang rusak mendapat ganti setimpal, seperti Sam-kong-kiam ini.”

“Tapi Sam-kong-kiam adalah pedang paling ampuh, taihiap. Mana mungkin kau meminta pedang macam itu? Bukankah kau mencari cari alasan agar dapat memiliki pedang ini?”

Kata-kata bu-ciangkun mulai menajam. Penglima tinggi besar ini memang dikenal sebagai seorang yang mudah marah, berangasan dan keras. Itulah sebabnya dia cepat mendongkol mendengar Hu Beng Kui menahan Sam-kong-kiam, baru menyerahkan pedang kalau Hek-seng-kiamnya sudah ditukar, ditukar dengan pedang seampuh Sam-kong-kiam, padahal tak ada pedang lain di dunia ini yang dapat menandingi Sam-kong-kiam. Dan ketika panglima itu mulai menegur dan kata-katanya setengah menuduh maka Hu Beng Kui sendiri tetap tidak ketinggalan senyumnya yang tipis, kini mulai berkesan acuh.

“Cu-ciangkun, kalau itu dianggap alasan adalah terserah kau. Yang jelas aku sendiri telah mengatakan bahwa aku tidak bermaksud mengangkangi pedang ini, melainkan meminjamnya sampai pedangku Hek-seng-kiam diganti. Anggap saja permintaanku ini sebagai balas jasa atas jerih payahku merampas Sam-kong-kiam dari Kim-mou-eng.”

“Hm,” Cu-ciangkun kini bicara, menekan kaki temannya yang mendelik, siap mengamuk. “Permintaanmu memang pantas diajukan, Hu taihiap. Tapi yang kurang sesuai adalah nilai dari permintaannya yang kami rasa berlebihan. Sam-kong-kiam adalah pedang berpengaruh gaib, selain tajam juga dapat mengangkat pemiliknya sebagai orang yang dapat hidup mulia, pedang ini hanya sepantasnya dimiliki kaisar. Apakah taihiap juga ingin menjadi kaisar dan hidup menikmati kemuliaan seperti itu?”

“Ha-ha, aku pribadi tak percaya pada pengaruh gaibnya, Cu-ciangkun. Aku hanya percaya pada ketajamannya yang luar biasa!”

“Benar, tapi pengaruh gaibnya mampu memadamkan lampu atau cahaya lain yang coba menandingi kecemerlangannyal Bukankah ini pengarah gaib yang harus kau percaya? Ataukah ini kau sangkal, Hu taihiap?”

Dan ketika pendekar itu tertegun dan mengerutkan kening ditodong begini maka Cu-ciangkun berkata lagi, “Taihiap, apa pun permintaanmu sekali lagi kami tegaskan bahwa kau benar, tidak salah. Tapi yang tidak sesuai adalah nilai permintaanmu yang berlebihan, yang kami rasa tak mungkin kami penuhi. Bagaimana kalau kau pikir lagi permintaanmu ini agar dapat diterima akal dan dalam batas-batas yang wajar?”

“Hmm, kukira permintaanku juga wajar, ciangkun. Kalau kau menilainya berlebihan adalah barangkali kedangkalan caramu berpikir. Kau sendiri mengakui pedang ini adalah pedang yang paling ampuh, berarti pedang ini amat tinggi nilainya dan siapa yang dapat merampasnya adalah orang yang benar-benar luar biasa. Dengan taruhan nyawa kurampas pedang ini dari tangan Kim-mou-eng, bukankah wajar kalau kuminta imbalan seperti itu karena aku sendiri telah mempertaruhkan nyawaku untuk mendapatkannya? Ataukah permintaanku yang masih berujud benda itu juga di atas nilai nyawaku yang kupertaruhkan di sini? Hmm, coba ganti kau pikir, ciangkun. Apakah nilai permintaanku ini berlebihan atau tidak!”

Cu-ciangkun tertegun. Ditodong seperti itu tiba-tiba dia tak bisa bicara. Sam-kong-kiam memang pedang keramat dan bahkan benda paling keramat di istana, menjadi simbol jatuh bangunnya kerajaan dan memang merupakan benda paling berharga yang amat dimuliakan kaisar. Untuk apa pun memang bisa dilakukan agar benda ini tetap mendampingi istana. Lolosnya Sam-kong-kiam justeru keteledoran pihak istana sendiri, ini sebenarnya kelengahan mereka, kelengahan istana dan kini akibat dari semuanya itu memang resiko istana. Jadi kalau mau diusut sebenarnya istanalah yang salah, kurang hati-hati dan pandai menjaga pedang hingga pedang lolos keluar. Tapi mendengar semua kata-kata Hu Beng Kui dan juga pedang itu menganggapnya sebagai orang yang berpikiran dangkal tiba-tiba Cu-ciangkun tersinggung dan merah mukanya, marah!

“Hu-taihiap, barangkali berdebat denganmu tentang masalah ini tak akan habisnya. Kau memang betul, nyawamu masih lebih tinggi daripada pedang itu, karena apa gunanya mendapatkan pedang kalau sudah berkalang tanah? baik. Kembali kau betul, taihiap. Tapi harap diingat bahwa kau tinggal di wilayah kekuasaan kaisar, bahwa kau adalah seorang rakyat yang sudah seharusnya tunduk di bawah kekuasaan kaisar. Sebenarnya dengan mengingat ini saja sudah selayaknya kau merampas Sam-kong-kiam untuk dikembalikan kepada kaisar, sebagai seorang rakyat yang baik kepada junjungannya, sebagai seorang hamba yang setia terhadap kaisarnya. Apakah ini kau ingkari? Jadi, mengingat ini saja seharusnya tanpa imbalan apapun kau harus mengembalikan Sam-kong-kiam, taihiap. Atau kau dianggap sebagai rakyat yang memberontak terhadap kekuasaan dan wibawa kaisar. Kau bisa di cap pembangkang!”

“Ha-ha!” Hu Beng Kui tiba-tiba tertawa terbahak. “Kau sekarang membawa-bawa baju kekuasaan untuk menakut-nakuti aku, Cu-ciangkun. Apa yang kau kata memang tidak salah. Tapi harap diingat pula bahwa seorang penguasa yang baik tidak akan menakut-nakuti atau mengancam rakyatnya. Aku telah berjuang untuk istana, telah berjuang untuk kaisar. Apakah untuk ini kaisar lalu memejamkan mata tidak memberi balas jasa kepada rakyatnya? Apakah aku atau rakyat lain seperti kuda-kuda piaraan yang diperas susunya saja? Hei inikah yang kau maksud? Kalau begitu namanya sewenang-wenang, ciangkun. Kau mau mempergunakan kekuasaan untuk menekan aku. Tidak, aku tidak takut. Justeru hal itu akan kusiarkan di luar sebagai tindak kesewenangan kaisar kepada rakyatnya. Kau boleh menekan aku dengan baju kekuasaan dan aku akan melawan kalian sebagai orang-orang zalim!”

Cu-ciangkun terkejut. Sekarang Hu Beng Kui malah menantang. Jago pedang ini terang-terangan membalas kata-katanya dengan tak kalah tajam. Keras sama keras! Dan ketika Cu-ciangkun tertegun dan tuan rumah membusungkan dada maka Sun-taijin yang batuk-batuk melihat ketegangan itu bangkit berdiri.

“Taihiap, maaf. Kami datang bukan untuk bertikai. Kalau belum ada kesepakatan di sini sebaiknya kita runding lagi beberapa hari. Hawa yang panas tak baik dituruti, sebaiknya kami pergi dan biar masing-masing berpikir lagi dengan pikiran yang lebih dingin.”

Itulah kata-kata bijak. Cu-ciangkun tiba-tiba sadar, saat itu mereka di rumah si jago pedang dan betapapun mereka adalah tamu. Tak baik bertengkar di rumah orang, meskipun mereka adalah panglima. Maka sadar mendapat kedipan sun-taijin tiba-tiba Cu-ciangkun mengangguk dan bangkit berdiri, tersenyum.

“Betul, maafkan aku, taihiap. Rupanya aku terbawa emosi dan hampir bersitegang denganmu. Kata-kata Sun-taijin memang tidak salah, biar beberapa hari lagi kami datang kemari mencari penyelesaian denganmu.”

Hu Beng Kui tertawa tak acuh. Hari itu semua tamunya kembali, beberapa hari datang lagi namun jago pedang ini bersikeras, dia tetap pada pendiriannya semula, Sam-kong-kiam dipinjam dan biar dia mendapatkan dulu pengganti Hek-seng-kiam. Cu ciangkun mengerutkan kening dan hampir panglima ini lupa diri. Bu-ciangkun juga begitu dan nyaris panglima tinggi besar ini menggebrak meja. Hu Beng Kui ternyata orang yang alot. Dan ketika hari itu perundingan gagal dan dua panglima itu meninggalkan Ce-bu maka ketegangan terjadi di antara panglima-panglima ini dengan si jago pedang. “Orang she Hu itu ngotot benar. Dia sombong dan keras kepala!”

“Ya, dan tak ada jalan selain kembali, rekan Bu. Aku kira kekerasan paling baik diberlakukan pada si jaga pedang itu.”

“Membawa pasukan?”

“Sebentar, sebaiknya kita ke Kim taijin. Biar kita ke sana sebelum menghadap sri baginda.”

Begitulah, dua panglima ini pulang. Mereka membawa kemarahan atas sikap Hu Beng Kui yang tidak kenal kompromi. Mereka tegas meminta namun si jago pedang tegas menuntut, carikan dulu pengganti Hek-seng-kiam dan baru Sam-kong-kiam d kembalikan. Pendekar itu bersikeras menyatakan bahwa dia tidak bermaksud mengangkangi Pedang Tiga Dimensi, dia hanya meminjam. Dan karena berkali-kali bujukan mereka gagal dan pendekar itu tak mau mengalah maka Bu ciangkun dan Cu-ciangkun pulang ke kota raja. Dan begitu tamunya pulang ke istana maka Beng An dan adiknya muncul, sudah mendengar ketegangan ini.

“Yah, kenapa kau ngotot benar? Bukankah pedang itu dapat menjadikan sengketa antara kita dengan istana!”

“Hmm, aku tak mencari sengketa, Lian-ji. Aku hanya minta pengganti pedangku yang rusak. Kalau mereka tak dapat memberi berarti mereka kurang berusaha dan tidak menghargai keberhasilanku.”

“Tapi ayah dapat dianggap mengangkangi pedang!”

“Itu terserah mereka, toh aku berjanji akan mengembalikannya begitu pengganti Hek-seng-kiam kudapat!”

“Tapi pengganti yang kau minta terlalu berat, yah. Bukankah tak ada pedang lain yang seperti Sam-kong-kiam?”

“Aku tak percaya, di istana tentu ada, hanya dua panglima itu ogah mencari dan mau berkata seenaknya.”

Swat Lian dan Beng An bingung. “Yah, kalau begitu bagaimana jika kaisar mendengar ini? Bukankah penolakanmu dianggap pemberontak!”

“Ha-ha, jangan bicara tentang pemberontakan, Beng An. Aku tidak bermaksud memberontak atau melawan kaisar. Aku hanya minta pengganti Hek-seng-kiam dan mereka harus berusaha. Jangan bilang tak bisa kalau belum dicari. Sudahlah, kalian pergi dan tak perlu mengganggu aku!” sang ayah mengusir.

Dua anak itu mundur ke belakang dan kini Beng An pun tak senang melihat sikap ayahnya itu. Betapapun dia melihat sikap tak wajar pada ayahnya ini, berkali-kali ayahnya mencium Sam-kong-kiam dan ayahnya itu tampak tergila-gila benar pada pedang yang ampuh ini. Sebagai putera seorang jago pedang tentu saja Beng An tahu bahwa ayahnya “jatuh hati”.

Ayahnya menemukan barang yang cocok bagai menemukan isteri baru saja, isteri yang segala-galanya mencocoki dan Beng An khawatir. Kian lama ayahnya akan kian terpikat dan gandrung wuyung saja. Ini berbahaya. Dan ketika sebulan kemudian persoalan itu masih ngambang dan hangat-hangat panas mendadak Sun-taijiin yang menjadi walikota Ce-bu itu diketemukan tewas dan mati dibunuh orang!”

“Yah. Sun-taijin tewas terbunuh. Apa kata istana kalau hal ini dihubungkan dengan Sam-kong-kiam?”

Hu Beng Kui terkejut. “Terbunuh?”

“Ya, dia mati terbunuh, ayah. Semalam katanya didatangi penjabat dan istana bisa mencurigai kita!”

“Hm, aku tak perduli pada segala macam kecurigaan. Kalau mereka berani menuduh tanpa bukti-bukti tentu aku akan menuntut!”

Benar saja, kejadian ini membawa buntut panjang. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun datang, mereka menunjukkan sikap tidak bersahabat pada si jago pedang itu. Hu Beng Kui berkerut kening. Dan karena urusan lama merasa belum terselesaikan dan kini urusan baru datang dengan tewasnya Sun-taijin maka Bu-ciangkun menggebrak meja ketika pembicaraan meningkat panas....