Pedang Tiga Dimensi Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 11
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“KIM-MOU-ENG, aku Hu Swat Lian. Kebetulan datang mencarimu...!” dan Swat Lian yang sudah berjungkir balik dibantu ikat pinggangnya tiba-tiba telah tiba di atas.

Dan orang di atas itu tertegun, terbelalak melihat kepandaian gadis itu yang mengagumkan. Dalam beberapa gerak yang begitu ringan dan cepat gadis ini telah berada di atas jurang, sekarang mereka berhadapan. Ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkan Swat Lian tadi memang luar biasa. Dan ketika mereka sudah sama berhadapan dan Swat Lian baru kali itu melihat Kim-mou-eng maka gadis yang tak mau berpikir panjang ini sudah membentak.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam Itu milik kaisar!”

Orang ini terbelalak. Dia tentu saja bukan Kim-mou-eng, melainkan Bu-hiong adanya, terkejut dan terheran melihat seorang gadis cantik di tengah jurang. Dia tak akan tahu kalau Swat Lian tadi tidak berteriak. Tapi melihat gadis itu menyusulnya dan kini Swat Lian membentaknya mendadak Bu-hiong tertawa bergelak berseru menjawab, “Nona, kau siapa gerangan? Siapa namamu tadi? Kau mau minta Sam-kong-kiam? Ha-ha, mudah memintanya, nona. Tapi tak gampang untuk memberikannya!”

“Aku tahu!” Swat Lian tetap galak. “Dan aku siap merampas pedang itu dari tanganmu!”

“Hm!” Bu-hiong mundur, melihat sebuah gerakan dari dalam jurang. Sesosok bayangan melompat dan berjungkir balik. Beng An tahu-tahu muncul dan pencuri Sam-kong-kiam ini terkejut. Dia tak menduga kalau ada orang kedua bersembunyi di sana, disangkanya hanya Swat Lian seorang. Maka ketika Beng An berdiri di samping adiknya dan telah memandangnya dengan mata bersinar-sinar maka laki-laki ini membentak, “Siapa ini? Kalian berdua bersembunyi di balik jurang?”

Beng An menjengek, “Aku orang she Hu, Kim-mou-eng. Namaku Beng An dan ini adikku Swat Lian!”

“Kalian menghendaki Sam-kong-kiam?”

“Ya, berikut dirimu. Kami diperintahkan untuk menangkap dan membawamu beserta pedang itu!”

“Ha ha!” Bu-hiong tertawa. “Kalian terlalu gampang bicara, anak-anak. Tapi tak apalah, kalian rupanya bersemangat tinggi dan ingin menyaksikan kelihaianku. Baiklah, Kim-mou-eng tak pernah menyerah, kalian baru dapat memperoleh pedang ini jika mampu mendapatkannya!”

“Srat!” Swat Lian menggetarkan ikat pinggang yang tiba-tiba kaku dan keras, lagi-lagi membuat lawan terbelalak. “Kami siap mencoba kepandaianmu, Kim-mou-eng. Jangan sombong kalau kau telah mampu menghadapi ratusan orang kang-ouw!”

Dan Swat Lian yang menggerakkan ikat pinggang seperti menggerakkan pedang tiba-tiba mundur dan memasang kuda-kuda, maklum bahwa dia menghadapi lawan lihai dan nama Kim-mou-eng telah menggetarkan seluruh dunia kang-ouw. Diam-diam gadis ini memperhatikan dan kecewa melihat muka Kim-mou-eng yang tidak menarik, muka itu kaku dan jarang bergerak-gerak, mendongkol dia teringat pujian orang bahwa Kim-mou-eng dikabarkan tampan, tak tahunya hanya begini saja. Wajah itu seperti topeng! Dan ketika Swat Lian mendengus dan marah merasa tertipu maka kakaknya menggetarkan lengan yang tiba-tiba berkilat mengeluarkan cahaya berkerotok membuat kening Bu-hiong berkerut.

“Lian-moi, biar aku yang maju. Kau mundurlah!”

“Tidak.” Swat Lian menggeleng. “Aku ingin maju dulu. An-ko. Kau yang mundur dan biarkan aku menghadapi si sombong ini!”

“Ha-ha, kalau begitu kalian maju berbareng saja, nona. Tak perlu khawatir mengeroyok aku!” Bu-hiong tiba-tiba berseru, memerahkan muka Swat Lian dan gadis ini melotot, kakaknya tetap diminta mundur dari Beng An mengalah, mengerutkan kening dan tak senang melihat kesombongan lawan. Bu-hiong yang disangka Kim-mou-eng ini dinilai jumawa.

Beng An mendengus. Dan ketika adiknya bersiap-siap dan ikat pinggang yang sudah berobah seperti pedang atau toya keras itu digetarkan adiknya Beng An berseru dengan sikap hati-hati, “Lian-moi, betapapun si sombong ini memegang pedang ampuh. Berhati-hatilah menghadapinya!”

“Aku tahu,” Swat Lian mengangguk. “Aku akan-berhati-hati, An-ko. Tak perlu khawatir dan lihat saja aku menghajarnya!” gadis itu sudah bersiap-siap, pandangan lurus ke depan, semenjak tadi matanya tak pernah lepas dari Sam-kong-kiam itu.

Sebagai puteri pendekar pedang tentu saja Swat Lian tahu keampuhan pedang di tangan lawan, pedang di tangan lawannya itu mengeluarkan cahaya berkilauan yang menyilaukan mata, menarik tapi juga mengeluarkan sinar dingin. Ada semacam hawa gaib yang memancar dari tubuh pedang. Swat Lian tertarik dan berdebar. Tapi karena dia datang memang untuk mencari Kim-mou-eng dan kini lawan sudah ditemukannya secara kebetulan maka Swat Lian tak gentar dan justru menantang. “Kim-mou-eng, majulah!”

Bu-hiong tertawa lebar. Sejak tadi dia pun sudah mengamati gadis ini, cantik dan gagah. Tiba-tiba membandingkannya dengan Salima dan mata berkilat aneh. Dia tak kenal gadis ini, tak tahu nama Hu Beng Kui karena jago pedang itu tinggal di selatan, jauh di selatan dan menyembunyikan diri sebagai pedagang pula. Maka ketika dilihatnya Swat Lian bersinar-sinar memandang pedangnya dan gadis itu bersiap-siap dengan senjata aneh di tangan. Mendadak Bu-hiong menggerakkan tangannya dan Sam-kong-kiam itu pun disimpan.

“Nona, aku tak biasa berpedang menghadapi lawan baru. Sebaiknya kau saja yang maju dan seranglah!”

Swat Lian terkejut. "Kau begitu sombong” gadis ini lupa, terasa terhina karena sebagai puteri Si Pedang Maut tentu saja dia merasa direndahkan oleh lawannya itu, tak tahu bahwa lawan tak mengenal ayahnya dan karena itu pula tak mengenal dirinya. Swat Lian tak ingat ini. Maka ketika dia membentak dan Bu-hiong tertawa maka laki-laki misterius ini menggoyangkan lengannya.

“Sudahlah, kita main-main dulu, nona. Kalau pedang itu terpaksa dicabut tentu aku akan mencabutnya!”

“Baik!” dan Swat Lian yang melempar ikat pinggangnya dengan marah tiba-tiba menggetarkan lengan dengan bentakan nyaring, membalas kesombongan lawan dengan sikap yang sama, sama-sama tak bersenjata. “Kim-mou-eng awas..!”

Dan begitu dia menerjang dengan tanpa banyak bicara lagi tiba-tiba Swat Lian sudah mengayunkan lengannya ke muka lawan, angin bersiut tajam dan sinar keperakan berkeredep dari lengan gadis ini, kaki bergerak dan lengan yang bersiutan mendadak sudah mendesing bagai sebatang pedang, perobahan ini begitu cepatnya. Dan ketika Bu-hiong terkejut dan berseru mengelak tiba-tiba angin serangan itu mengenai pohon di belakang dan pohon itu roboh bagai dibabat senjata tajam.

“Crak...!”

Bu-hiong berseru kaget. Dia harus berlompatan mengelak ketika Swat Lian kembali menyerangnya, berbalik dan sudah bertubi-tubi melancarkan serangan dengan ganas. Gadis ini melengking dan penasaran bahwa serangan pertamanya tidak ditangkis. Dia ingin ingin menjajal kekuatan Kim-mou-eng dan marah kenapa lawan menghindar.

Kini dengan cepat dan bertubi-tubi Swat Lian menghujam lawannya, Lengan terus membacok ke sana sini dan desingan demi desingan membuat Bu-hiong terbelalak, kian lama kian hebat saja serangan gadis ini. Dan ketika Swat Lian berkelebatan dan lenyap dalam satu gulungan besar dimana dari balik gulungan ini mencuat lengan pedang yang bertubi'tubi menyerangnya maka Bu-hiong terkesiap dan sadar bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai.

“Bagus, hebat sekali. Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang luar biasa!” Bu-hiong memuji, tentu saja ikut berkelebatan dan kini dia mengimbangi kecepatan lawan. Keduanya kemudian lenyap dan Beng An memandang dengan penuh perhatian. Adiknya sudah mulai mengeluarkan Tangan Pedang dan tentu saja Tangan Pedang yang dimiliki gadis ini jauh lebih hebat daripada yang dimiliki Kao Sin. Angin sambaran yang digerakkan Swat Lian mampu membacok putus apa saja yang berada dalam jarak dekat, seperti yang yang dibuktikannya dengan robohnya pohon di belakang Bu-hiong. Dan karena Swat Lian adalah puteri langsung dari Hu Beng Kiam, Si Pedang Maut maka belasan jurus kemudian lawan dibuat kaget berkali-kali ketika baju dan rambut Bu-hiong terbabat.

“Kurang ajar! Hebat... aihh!” begitu Bu-hiong berseru belulang-ulang, jungkir balik dan sebentar kemudian terdesak. Laki-laki ini terbelalak dan marah, berkali-kali dia harus melempar tubuh bergulingan kalau Tangan Pedang gadis itu menyambar, tajam dan mendesing bagai senjata pusaka saja. Dan ketika dia mundur-mundur dan Swat Lian mengejek lawan maka dalam satu bacokan miring Tangan Pedang gadis ini sempat mencium pundak lawannya.

“Brett...!” Bu-hiong terpelanting mengaduh. Bajunya robek, daging serasa dikoyak sayatan tajam. Dia tidak terluka karena telah mengerahkan sinkang, sinkangnya ini mampu melindungi diri namun tetap juga dia kesakitan, Swat Lian diam-diam terkejut.

Dan ketika gadis itu gembira dapat membuat lawan jatuh bangun maka Beng An yang berseri-seri menonton pertandingan itu ikut girang. “Bagus, arahkan sekarang serangan-serangan mu ke muka lawan. Lian-moi. Robohkan dan pergunakan jurus Pedang Lemas Mengikuti Angin!”

Swat Lian mengangguk. Dia sudah mengikuti petunjuk kakaknya itu, kini tangannya lemas bergerak namun kaku ketika mendekati sasaran. Itulah Pedang Lemas yang dimaksud Beng An, gerakannya tak diduga dan Bu-hiong gusar. Dan ketika satu tusukan hampir saja mengenai matanya dan laki-laki ini berteriak mendadak ketika Swat Lian mengejar dan berkelebat menyusuli serangannya sekonyong-konyong Sam-kong-kiam dicabut, mendesing dan angin sambarannya membuat Swat Lian terpekik. Kalah tajam dan kalah dingin dari kiam-ciangnya sendiri. Dan persis Swat Lian melakukan bacokan ke pinggang dan Bu-hiong bergulingan menangkis maka Swat Lian menjerit ketika ujung lengannya nyaris terpapas.

“Bret!” Kini Swat Lian ganti bergulingan. Dia cepat menarik bacokannya kembali, lawan sudah melompat bangun dan Swat Lian terbelalak, mendengar lawan tertawa dan menggerak-gerakkan Sam-kong-kiam. Pedang Tiga Sinar itu berkeredep dengan mengeluarkan angin bersiut-siut yang tajam. Dari jarak setombak saja orang merasakan gerakannya seperti pisau cukur. Bukan main. Dan ketika Swat Lian melompat bangun dan pucat oleh gebrakan yang membuat ujung lengan bajunya buntung maka gadis ini tertegun dan kaget.

Beng An berkelebat dan tak tega melihat adiknya terluka, gebrakan tadi juga membuat pemuda ini berseru tertahan dan pucat. Sinar menyilaukan dari Pedang Tiga Dimensi itu memang membuat orang mudah terkesiap. Dan ketika adiknya tertegun dengan kaki menggigil maka Beng An berkata, mendorong adiknya ini. “Sekarang kau mundurlah, Lian-moi. Biar aku yang menghadapinya dan kau beristirahatlah”

“Tidak?” Swat Lian tiba-tiba menyambar kembali ikat pinggangnya, mengerahkan sinkang dan ikat pinggang itu mendadak kaku, penasaran. “Aku belum kalah, An-ko. Kau yang mundur dan biarkan aku kembali menghadapi si sombong ini...”

“Sing-sing!” Ikat pinggang itu bergerak dua kali, mengeluarkan desingan dan Swat Lian melompat lagi menghadapi lawan, matanya bersinar-sinar, kaget tapi juga marah. Dan ketika kakaknya was-was dan Bu-hiong tertawa melihat kekerasan hati gadis ini maka laki-laki itu berkata,

“Majulah, mari kita main-main lagi, nona. Kiam-ciangmu yang hebat terpaksa membuat aku mencabut senjata. Majulah, dan hati-hati!”

Swat Lian tak dapat menahan diri. Bu-hiong mengejeknya dengan sikap pongah, lawan sebenarnya dapat didesak tapi berlindung di balik keampuhan pedang pusaka itu. Dia harus mengakui ketajaman Sam-kiong kiam, pedang ini nyaris membuat tangannya buntung. Maka melihat lawan mengejek padanya dan Swat Lian gusar tiba-tiba gadis ini melejit dan sudah membentak, “Manusia sombong, jangan pongah!”

Dan begitu ikat pinggang meluncur lurus ke depan dan menusuk tenggorokan lawan tiba-tiba Swat Lian sudah menyerang dan mempergunakan ikat pinggangnya sebagai pedang, dikelit dan ditangkis dan Swat Lian terpaksa menarik serangannya ini. Menggantinya dengan serangan lain di mana ikat pinggang yang sudah kaku dan keras ini menikam dan menusuk bertubi-tubi, cepat dan luar biasa karena Swat Lian mengerahkan ginkangnya. Tubuh gadis ini lenyap dan sebentar kemudian sinar hitam bergulung-gulung mengelilingi Bu-hiong.

Laki-laki ini terkejut tapi tertawa lebar. Dan karena dia memiliki Sam-kong-kiam dan tusukan serta tikaman bertubi-tubi yang dilakukan Swat Lian memang berbahaya dan selalu menuju tempat-tempat mematikan maka Bu-hiong melompat sana-sini dan mempergunakan pedangnya itu menangkis, selalu coba membentur dengan senjata di tangan Swat Lian, tentu saja Swat Lian marah, senjatanya itu tak mungkin diadu dengan Sam-kong-kiam, terang kalah, kalah tajam. Dan ketika gadis itu melengking dan gusar serta bingung karena senjatanya selalu dipapak Sam-kong-kiam yang luar biasa tajam akhirnya Swat Lian memekik berputaran cepat, mengelilingi lawan.

“Kim-mou-eng, kau licik. Kau hanya mengandalkan pedangmu yang ampuh itu!”

“Ha ha, orang bertempur tentu membela diri, nona. Aku memang hanya memiliki pedang ini. Kalau kau tak mampu merobohkan aku sebaiknya menyerah saja!”

“Keparat, kau sombong....!” dan Swat Lian yang marah serta melengking tinggi mendadak menggerakkan tangan kirinya, senjata di tangan bergerak menusuk ulu hati lawan dan lawan menangkis. Swat Lian berbuat nekat dengan membiarkan ikat pinggangnya bertemu Sam-kong-Kiam. tentu saja putus, sehebat hebat dia mengerahkan sinkang membuat benda lemas menjadi keras tetap saja ikat pinggangnya itu terbabat. Tapi begitu lawan terbahak menangkis senjatanya sekonyong-konyong jari telunjuknya bergerak cepat menotok leher kanan lawan.

“Tuk!” Jari Swat Lian tiba-tiba membal. Gadis ini terkejut karena jalan darah yang diincar ternyata merupakan daging empuk saja, sasarannya kosong. Lawan tidak apa-apa dan Swat Lian penasaran, kembali menyerang dan mempergunakan taktik seperti tadi, yakni mengorbankan ikat pinggangnya dan menclok dua tiga kali. Ikat pinggangnya putus semakin pendek namun setiap totokannya itu gagal. Gadis ini kaget dan tidak mengerti. Dan ketika lima enam kali dia tetap saja tak berhasil merobohkan lawan dan ikat pinggangnya kian pendek dibabat Sam-kong-kiam akhirnya lawan terbahak dan balas menyerangnya.

“Lian-moi, awas...!”

Swat Lian kaget. Saat itu dia mengorbankan senjatanya sudah tujuh kali, ikat pinggangnya ini hampir habis dan lawan berkelebat. Sam-kong-kiam mengeluarkan sinar menyilaukan dan Beng An berseru keras melihat adiknya dalam bahaya. Maka begitu pedang berkelebat dan Sam-kong-kiam menuju dada adiknya tiba-tiba Beng An membentak dan meloncat tinggi, kaki bergerak dan dengan gerak begitu cepat pemuda ini menendang pundak lawan.

Swat Lian sendiri sudah membanting tubuh bergulingan tapi sisa ikat pinggangnya disambitkan ke depan, benda ini mirip belati tajam yang menyambar muka lawan, jarak demikian dekat dan Bu-hiong terkejut, tak menduga kalau Beng An menyerangnya pula dari sebelah kiri. Dan karena sambaran ikat pinggang cukup berbahaya karena benda lemas itu telah menjadi kaku seperti pisau dan tendangan dari samping dinilai tak begitu berbahaya dibanding sambitan jarak dekat ini maka Bu-hiong berseru keras merobah gerakan pedangnya menangkis ikat pinggang yang menyambar cepat itu.

“Crak!” Sam-kong-kiam berhasil meruntuhkan benda ini. Bu-hiong selamat, tapi karena tendangan dari samping tak dapat dia hindari maka Bu-hiong mencelat dan jatuh bergulingan mengeluh kaget. Bagaimana pun tendangan Beng An bukanlah tendangan main-main, Beng An mengerahkan hampir segenap tenaganya di sini. Kalau orang biasa yang menerima tentu pundak itu sudah remuk. Bu-hiong melompat bangun dan marah memandang pemuda itu.

Dan ketika Beng An mendekati adiknya dan lega melihat Swat Lian tak apa-apa maka pemuda ini berkata, “Nah, sekarang kau mundur, Lian-moi. Kau tak dapat mengatasi Kim-mou-eng dan biar aku yang maju.”

“Tapi aku belum kalah!” Swat Lian sengit. “Dia licik mempergunakan keampuhan pedangnya itu. An-ko. Kalau bukan karena Sam-kong-kiam belum tentu dia menang!”

“Sudahlah, kita harus bersikap ksatria, Lian moi. Karena kau kehilangan senjata dan tak dapat meneruskan pertandingan maka anggap saja kau kalah. Sekarang biarkan aku yang maju dan kau menonton di pinggir.” Beng An berkata halus, betapapun adiknya ini harus dibujuk karena Swat Lian merupakan gadis yang keras hati. Dengan lembut dan halus pula dia mendorong adiknya, Swat Lian melotot. Dan ketika gadis itu mau dibujuk dan Beng An tersenyum maka pemuda ini membalik menghadapi lawan.

“Kun-mou-eng, kau hebat. Tapi sayang kehebatanmu ternyata ditunjang Sam-kong-kiam. Biarlah aku menggantikan adikku dan kita main-main sebentar... srat!” Beng An mangeluarkan ikat pinggangnya pula, sudah meluruskannya dan mengerahkan sinkang hingga ikat pinggang itu kaku, keras dan bergetar di tangan pemuda ini. Lalu sementara lawan terbelalak kepadanya pemuda ini melompat ke depan, kelima jari di tangan kiri berkerotok mencengkeram dan membuka. “Majulah!” lantangnya. “Mari main-main dan biar ku rasakan sendiri kelihaianmu!”

Bu-hiong terbelalak. Sebenarnya dia harus mengakui dalam pertandingannya melawan Swat Lian tadi bahwa gadis itu memiliki ilmu yang hebat. Kalau tak ada Sam-kong-kiam di tangan barangkali dia roboh. Kini sang kakak maju dan lawannya ini tampak lebih tenang, berarti lebih dapat menguasai diri dan orang begini berarti lebih terbahaya.

Beng An sendiri sebenarnya jarang bertempur, kini bertempur dengan lawan yang dianggap berat, lawan memegang Sam-kong-kiam. Tapi karena dia telah menantang dan pemuda itu ingin merasakan sendiri kehebatan lawan, maka Beng An bersiap-siap dan sudah meluruskan senjatanya itu, senjata yang aneh, karena Beng An memang tidak membawa senjata lain kecuali itu, begitu juga adiknya.

Mereka dapat mempergunakan apa saja sebagai pedang. Jarang bertempur membuat mereka jarang membawa senjata, padahal kalau pedang ada di tangan tentu kakak beradik ini akan lebih hebat lagi. Mereka tak perlu mengeraskan senjata lemas menjadi keras, yang berani pengeluaran tenaga ekstra. Dan ketika lawan sudah maju menantang dan Bu-hiong tertawa aneh tiba-tiba laki-laki ini pun berkelebat ke depan dan berseru mengejek,

“Tidak, kau dulu yang maju, anak muda. Kalau kau dapat merobohkan aku tentu kau berhak membawa pedang ini!”

“Aku akan coba-coba,” Beng An berkata tenang, melirik dan berhati-hati menghadapi pedang di tangan lawan. Lalu begitu lawan bersiap dengan senyum mengejek tiba-tiba Beng An membentak dan sudah menyerang dengan satu serangan miring. “Awas...!”

Bu-hiong siap. Beng An menggerakkan senjatanya yang aneh. ikat pinggang meluncur lurus menuju dadanya, tentu saja disambut Sam-kong-kiam dan Bu-hiong tertawa mengejek. Pemuda itu tak mungkin mengadu senjata, hal ini benar karena Beng An tiba-tiba menarik serangannya, ikat pinggang membalik dan tiba-tiba menjadi benda lemas lagi. Dan begitu Beng An berseru melompat ke kiri tahu-tahu ikat pinggang yang lemas ini meledak nyaring di sisi kepala lawan.

“Tarr...!”

Bu-hiong terkejut. Dia tak menduga kalau Beng An mampu merubah-rubah sinkangnya, dari keras menjadi lemas atau sebaliknya. Ini tentu saja membuat dia terkejut karena ikat pinggang sudah menyambar telinganya, ledakannya membuat terkesiap karena mirip petir di siang bolong. Dan karena dia tak sempat menangkis dan satu-satunya jalan hanya melompat mengelak maka Bu-hiong melakukan ini dan sudah dikejar dengan serangan-serangan berikut, ikat pnggang mendadak berobah lagi menjadi kaku dan keras, menutuk dan mendesing menuju kaki.

Lalu ketika Sam-kong-kiam ikut bicara dan menangkis serangan ini maka senjata di tangan Beng An sudah berobah lemas lagi dan meledak menyambar tempat lain, bertubi-tubi dan cepat Beng An menyerang lawannya. Bu-hiong sibuk dan terpaksa bergerak cepat pula. Serangan lawan berubah-ubah. Dan ketika ikat pinggang itu menusuk dan meledak membingungkan lawan mendadak untuk pertama kalinya Bu-hiong dibuat bingung!

“Keparat, lihai sekali. Hebat!”

Beng An tak lekas menjadi gembira. Seruan lawan yang memuji berkali-kali tetap membuat pemuda ini bersikap biasa. Serangan-serangannya mulai menuju pada titik-titik pusat yang berbahaya, kening, mata dan bagian bawah. Sering berganti namun memiliki tenaga dan kecepatan yang semakin bertambah. Sam-kong-kiam tak banyak berdaya menghadapi serangan Beng An yang tak gampang diikuti, aneh tapi berbahaya. Dan ketika Beng An mempercepat gerakannya dan selalu menghindar bila Sam-kong-kiam menyambut maka satu kali ujung ikat pinggang meledak mengenai pundak lawan.

Bu-hiong tak apa-apa. Laki-laki ini hanya terhuyung, ikat pinggang kembali bergerak dan kali ini berobah kaku. Bagai sebatang pedang senjata di tangan Beng An menusuk, tepat mengenai leher laki-laki itu. Tapi ketika ikat pinggang mental bertemu tubuh lawan yang dilindungi kekebalan sinkang maka Beng An ganti terkejut mengerutkan kening.

“Ha-ha, kau tak dapat melukai aku, anak muda. Boleh pilih sasaranmu tapi berhati-hatilah, aku pun akan membalas!”

Beng An merjadi penasaran. Dia saat itu di atas angin, lawan dibuat bingung oleh perobahan pukulannya yang bervariasi, inilah kelebihan Beng An dibanding adiknya. Tapi melihat dua tusukannya gagal menghadapi lawan yang kuat Beng An menjadi gemas dan marah juga. “Ayo, kau pun boleh menyerangku, Kim-mou-eng. Jangan hanya menangkis saja!” Beng An membentak, diam-diam mempelajari kelemahan lawan dan coba mencari kelemahan ini.

Seruannya disambut tawa oleh Bu-hiong. Hal itu dianggap sebagai penyerahan, Beng An tak dapat merobohkannya dan laki-laki ini gembira. Maka begitu lawan menyuruhnya menyerang dan Beng An memperlambat serangannya tiba-tiba Sam-kong-kiam menusuk dan membabat leher pemuda ini.

“Singg!”

Beng An merendahkan kepala. Dengan berani dia membiarkan pedang lewat beberapa senti saja di atas kepalanya, terkejut ketika sebagian rambutnya terpapas oleh angin sambaran pedang, baru oleh anginnya saja. Tapi karena dia telah mengatur strategi dan melihat kesempatan baik dengan ketiak lawan yang terbuka di atas kepalanya tiba-tiba Beng An menggerakkan jari menusuk menotok bawah ketiak tawan.

“Tuk!” Jari Beng An membal. Sama seperti adiknya Beng An merasa menusuk segumpal daging yang kosong, tempat ini tak memiliki jalan darah dan Beng An tertegun. Tapi karena dia tak boleh lengah dan lawan memutar tubuh tertawa mengejek tiba-tiba ikat pinggang Beng An meledak menyambar selangkangan.

“Tarr!” ikat pinggang ini pun mental Beng An jadi terkejut ketika lagi-lagi untuk kedua kali dia merasa bagian itu kosong, agaknya lawan “menarik” anggota bagian tubuh ini ke dalam. Beng An tercekat. Dan ketika dia terbelalak dan tertegun kalah cepat tahu-tahu Sam-kong-kiam menyambar dan untuk pertama kali membabat senjatanya.

“Tass!” senjata Beng An putus, ikat pinggang itu tinggal separoh, kini Beng An berseru keras menghindari sambaran berikut, Sam-kong-kiam memburu dan lawan terbahak gembira. Rupanya sedikit hasil tadi membuat dia di atas angin. Beng An dikejar dan kini berlompatan menghindari Sam-kong-kiam, pemuda itu pucat. Dan ketika Bu-hiong tertawa bergelak dan Beng An berputaran mengelak dan menangkis tiba-tiba Beng An yang tadi di atas angin berobah menjadi di bawah dan terdesak.

“An-ko. Pergunakan Bianglala Menari. Jangan beri kesempatan lawan mendekatimu!”

Beng An sadar. Tiba-tiba dalam saat begitu dia mengeluarkan seruan panjang, tubuh yang berputaran mendadak meloncat tinggi. Beng An berjungkir balik dan melewati kepala lawan. Dan ketika Bu-hiong menggeram dan memutar tubuhnya tiba-tiba Beng An berpusing mengelilingi lawan dengan senjata yang tinggal separoh menikam dan menotok.

“Aih, siluman. Ilmu yang aneh!” Bu-hiong berseru, menjadi marah dan mendongkol karena kini tangan lawan menjulur masuk keluar mengiringi gerakan senjata, ikat pinggang di tangan Beng An itu melakukan serangan bertubi yang amat cepat. tingkahnya bagai lidah ular yang keluar masuk. Sam-kong-kiam kembali bingung menyambut sana-sini.

Beng An sekarang waspada untuk tidak terbacok lagi. Senjatanya yang tinggal separoh itu harus disayang-sayang. Dan ketika pemuda ini lenyap mengelilingi lawan dan tangan kiri juga mulai mendesing-desing dengan kiam-ciang atau Tangan Pedang maka Beng An tiba-tiba seolah memiliki dua senjata di kedua tangannya.

“Keparat, benar benar hebat...!” Bu-hiong terbelalak, mata menjadi kabur dan tak dapat mengikuti gerakan Beng An, terpaksa memutar cepat Sam-kong-kiam di tangan hingga pedang itu membentuk gulungan cahaya yang membungkus dirinya.

Sekarang Beng An repot dan mengumpat, lagi-lagi dia tak dapat menyerang, tentu saja tak berani menembus bungkusan cahaya yang angin sambarannya saja sudah merontokkan daun-daun di atas kepala mereka. Dan ketika pemuda itu berputaran cepat dan Bianglala Menari yang dimainkan Beng An terus bergerak dan mengelilingi lawan maka Bu-hiong membentak dari dalam gulungan sinar pedangnya melontarkan pukulan aneh dengan tangan kirinya.

“Bocah, jangan berputaran dengan licik. Ayo sambut pukulanku kalau berani!”

Beng An marah. Ditantang dan dikira licik begini membuat pemuda itu naik darah, pukulan tangan kiri lawan mencuat dari gulungan sinar pedang. Tentu saja dia tak takut dan merasa kebetulan, inilah saatnya dia menemukan titik kelemahan, lawan bisa ditarik dan menghentikan gerakan pedangnya. Maka begitu pukulan menyambar tiba dan saat itu Beng An ada di depan, mendadak pemuda ini menyambut dan berseru keras.

“Dukk!” Dua lengan mereka bertemu. Beng An yang mau menarik tiba-tiba melihat tangan lawan dibuka, kiranya lawan pun mau melakukan hal yang sama, yakni menarik dirinya dan membawa dirinya ke dalam gulungan sinar pedang, tentu saja Beng An tak mau dan mendahului. Tapi ketika lawan tertawa aneh dan cengkeraman Beng An bertemu cengkeraman lawan sekonyong-konyong Bu-hiong membentak dan Beng An terkejut melihat lengan lawan yang sudah berobah kehijauan seperti kulit ular.

“Aihh!” Beng An terlambat, terkejut dan segera mencium bau amis dari lengan lawan yang terjulur Kedua tangan mereka sudah saling cengkeram dan Bu-hiong membetot, saat itu mereka berkutat dan Beng An kaget bukan main karena baru sekarang dia sadar bahwa pukulan lawan mengandung racun, entah apa itu namun Beng An cepat menahan napas, tak mau menyedot dan tentu saja gugup. Beng An kurang pengalaman dalam pertempuran di dunia kang-ouw. Dan ketika dia membentak dan coba melepaskan diri dengan menarik dan mendorong mendadak Sam-kong-kiam berkelebat dari samping menyambar leher pemuda ini.

“Ha-ha,... mampus kau...!”

Beng An dan Swat Lian terkejut. Beng An sampai putih mukanya melihat sambaran pedang itu, dia seharusnya menggerakkan ikat pinggang mendahului lawan setidak-tidaknya dengan ikat pinggang itu dia dapat mengacau konsentrasi lawan, Bu-hiong tentu harus berpikir seribu kali bila Beng An menimpuk sisa senjatanya itu, seperti Swat Lian tadi misalnya. Tapi karena Beng An dalam keadaan gugup dan juga rasa gatal yang menyerang tangannya akibat cengkeram-mencengkeram itu membuat dia terbelalak dan lupa akan semuanya maka pedang membabat dan Swat Lian terpekik.

“Awas...!” Swat Lian sudah berkelebat cepat. Kaki gadis ini bergerak menendang sebuah batu, lumayan besarnya, menyambar dan menangkis Sam-long-kiam, pecah dan tiba-tiba menjadi dua ketika bertemu ketajaman pedang itu. Kebetulan mencelat ke kiri dan ke kanan menghantam pelipis Bu-hiong.

Lawan terkejut dan berseru tertahan. Namun karena pedang tetap menyambar dan Bu-hiong juga tak dapat mengelak sambaran dua batu kecil itu maka Bu-hiong terpekik sementara Beng An juga mengaduh ketika pedang menyerempet pundaknya, untung keserempet.

“Tak-tak-bret!”

Dua laki-laki itu sama sama terpelanting bergulingan. Beng An terlepas dari maut berkat pertolongan adiknya. Swat Lian berkelebat mengangkat bangun kakaknya ini, terkesiap melihat lengan kakaknya berobah kehijauan. Kena racun! Dan ketika Beng An mengeluh dan memandang pundaknya yang luka pula mendadak pemuda ini roboh dan jatuh kembali.

“Aduh, Kim-mou-eng! curang, Lian-moi. Dia menggunakan racun dan licik!”

Swat Lian marah, terkejut sekali, cepat mengambil obat penawar dan menyuruh kakaknya minum. Tapi begitu Beng An menelan obat ini dan mengeluh dua kali tiba-tiba pemuda ini terguling dan pingsan.

“Keparat!” Swat Lian melompat bangun. “Kau jahanam tak tahu malu, Kim-mou-eng. Kau licik dan curang. Kau melukai kakakku!”

Dan Swat Lian yang marah membentak nyaring tiba-tiba berkelebat dan menyerang Bu-hiong bertubi-tubi, nekat dan mempergunakan kaki tangannya untuk merobohkan lawan. Bu-hiong terkejut dan mundur-mundur, pedang bergerak dua kali dan lengan baju si nona putus. Swat Lian tidak perduli dan terus menyerang. Laki-laki ini terbelalak dan kaget. Kemarahan Swat Lian persis kemarahan Salima. Tak takut atau gentar menghadapi kematian. Dan ketika gadis itu terus memaki-makinya dan Tangan Pedang menyambar-nyambar akhirnya dalam satu kelengahan yang tidak disengaja leher laki-laki ini terpukul.

“Plak!” Bu-hiong terjengkang. Dia bergulingan menjauh, Swat Lian mengejar dan berseru keras lagi. Tangan Pedang bergerak dan kembali mengenai lawan. Bu-hiong batuk-batuk dan ragu mempergunakan Sam-kong-kiam, entah kenapa mengamuknya gadis ini mengingatkan dia akan Salima, wajah Swat Lian seolah menjadi wajah Salima. Dan ketika Bu-hiong mengeluh dan terhuyung mengelak sana-sini mendadak laki-laki ini muntah darah.

“Aduh, tobat, Salima. Tobat...!”

Swat Lian terkejut orang tiba-tiba menyebutnya sebagai Salima, lebih terkejut lagi melihat lawan melontakkan darah, padahal sebenarnya berkali-kali lawannya itu mampu menahan pukulannya dengan sinkang. Jadi aneh kalau Kim-mou-eng ini terluka, Swat Lian tentu saja tidak mengerti dan bingung, sejenak merandek namun kembali meneruskan serangan-serangannya. Dia marah melihat lawannya ini melukai kakaknya, dengan pukulan beracun. Dan ketika lawan didesak dan terus mundur-mundur dengan sikap yang aneh mendadak lawannya itu memutar tubuh dan lari meninggalkan pertempuran.

“Nona, urusi kakakmu. Kita hentikan perkelahian ini!”

Swat Lian kembali terkejut. Orang muntahkan darah untuk kesekian kalinya, kini darah itu berwarna kehijauan. Kim-mou-eng rupanya keracunan. Tapi Swat Lian yang tak membiarkan orang lari dan meninggalkan pertempuran tiba-tiba mengejar dan membentak, “Tidak, kau mampus dulu, Kim-mou-eng. Bayar dulu hutang kesalahanmu pada kakakku!” dan Swat Lian yang melakukan pukulan dari belakang tiba tiba menyambar dan tepat menghantam punggung orang.

“Dess!” Bu-hiong terguling-guling. Untuk kesekian kalinya dia mengeluh, terhuyung dan melompat bangun dengan bingung. Geraman pendek terdengar dari mulutnya, mata liar ke kiri kanan. Dan ketika Swat Lian kembali menyerangnya dan nekat tak mau membiarkan dia pergi sekonyong-konyong tangannya meraup dan segenggam pasir dihamburkan ke muka gadis ini. “Pergilah...!”

Swat Lian terkejut. Dia terpekik tak mengira perbuatan itu, mengelak namun masih kemasukan juga, pasir-pasir yang lembut memasuki matanya, tentu saja dia mencak-mencak dan memaki kalang kabut. Mata tak dapat dipakai melihat dan Swat Lian marah bukan main, cepat membersihkan dan membuka kembali matanya. Namun ketika dia memandang dan mencari-cari lawannya itu dengan mata yang masih pedih ternyata lawannya itu telah lenyap.

“Keparat, kau licik, Kim-mou-eng. Kau curang!” Swat Lian membanting kaki, gusar dan marah dan hampir dia menangis. Swat Lian coba mencari lagi tetapi gagal. Dan karena lawan benar-benar rneninggalkannya Swat Lian tak tahu lagi ke mana lawannya itu pergi akhirnya gadis ini menghampiri kakaknya dan cemas melihat kakaknya belum siuman juga. Wajah kakaknya itu kehijauan pula, Swat Lian akhirnya benar-benar menangis, tak mampu dia menolong kakaknya itu lebih jauh. Dan karena kakaknya keracunan dan hanya ayahnyalah yang dapat mengobati kakaknya itu akhirnya Swat Lian menyambar dan memanggul kakaknya ini pulang ke Ce-bu.

* * * * * * * *

“Hm, Cheng-tok-jiu yang ganas. Pukulan beracun yang benar-benar berbahaya!” begitu ayahnya berkata ketika terkejut melihat kedatangannya.

Swat Lian telah tiba di rumah, tiga hari tiga malam melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti. Kini sambil menangis dia meletakkan kakaknya ini di lantai. Si Pedang Maut Hu Beng Kui cepat memeriksa. Dan ketika Swat Lian bercerita bahwa dia telah bertemu Kim-mou-eng dan Kim-mou-eng melukai kakaknya maka alis jago tua ini berkerut kerut.

“Suruh kelima suhengmu mengurusi semua pekerjaan hari ini. Aku tak mau diganggu!” begitu Hu Beng Kui memerintah puterinya, menaruh telapak tangan dan segera menyalurkan sinkang-nya di punggung sang anak. Tiga hari tiga malam ini Beng An hanya diberi obat penawar, muka pemuda itu semakin pucat kehijauan, Hu Beng Kui marah. Sebagai orang berpengalaman tentu saja dia tahu pukulan apa yang diterima puteranya itu. pukulan beracun yang dikenal sebagai Cheng-tok-jiu (Racun Hijau).

Swat Lian dan kakaknya kurang pengalaman dalam menghadapi pukulan-pukulan macam begini, dia memang tak memperbolehkan putera-putrinya turun ke dunia kangouw, baru kali ini. Maka ketika anak-anaknya kembali dan Beng An mengalami luka pukulan berat akhirnya pendekar ini agak menyesal dan cepat menolong puteranya itu, menyuruh Swat Lian menyeduh ramuan-ramuan tertentu dan kini dengan telapak di punggung dia menyalurkan sinkangnya.

Dengan sinkang itu pendekar pedang ini hendak melenyapkan racun yang mengeram, membakarnya. Dan ketika dua jam kemudian pendekar ini mengeluarkan peluh dan racun dibakar dari dalam tiba-tiba tak lama kemudian uap hijau menguap dari tubuh Beng An, naik dan keluar dari tubuh pemuda itu, baunya menyengat, amis dan busuk. Swat Lian menutupi hidung mencium bau tak sedap itu, seperti kentut bercampur bau bangkai! Dan ketika sejam kemudian pendekar pedang ini menambah tenaganya dan bekerja keras mendadak Beng An membuka mata dan mengeluarkan keluhan lirih.

“Dia sadar, minumkan ramuan itu dan bawa ke sini segayung air dingin!” Hu Beng Kui melepaskan tangannya, tubuh basah kuyup oleh keringat dan Swat Lian cepat maju, ramuan diberikan dan pendekar pedang ini mengguyur muka puteranya dengan air dingin itu. Tak ayal Beng An gelagapan dan bangkit duduk, kaget dan membelalakkan mata. Tapi melihat ayah dan adiknya ada di situ dan sang ayah bersimbah peluh tiba-tiba pemuda ini menjadi girang.

“Ayah...!” Beng An mau melompat turun, berseru dan lupa bahwa dia baru saja terkena pukulan beracun, sang ayah cepat mengibas dan Swat Lian menahan kakaknya ini Beng An hampir saja terjelungup. Dan ketika pemuda itu terkejut dan sadar mendapat isyarat maka adiknya berkata,

“Sst, kau baru sembuh, An-ko. Jangan banyak bergerak dan cepat minum ini!”

Beng An tertegun. Adiknya telah mendekatkan semangkok besar minuman panas, obat yang pahit dan hitam. Sang ayah mengangguk dan Beng An teringat, sekarang dia teringat bahwa dia terkena pukulan beracun, tentu saja girang ayahnya menolong, kontan menerima mangkok obat itu dan langsung menenggaknya. Sekali tegukan obat itu amblas di perutnya. Dan ketika Beng An merasa perutnya hangat dan lengan yang kehijauan juga sudah pulih seperti sedia kala tiba-tiba pemuda ini berseru, “Mana Kim-mou-eng, Lian-moi? Mana manusia curang yang tidak tahu malu itu!“

“Hm,” Swat Lian mengepal tinju. “Kim-mou-eng lari, An-ko. Aku tak dapat mengejar dan menolongmu.”

“Dia kalah olehmu?”

“Tidak,” Swat Lian merah mukanya, “Dia melarikan diri tanpa sebab yang kumengerti.”

“Melarikan diri? Kenapa?”

“Aku tak tahu,” Swat Lian menggeleng “Aku juga heran dan tak mengerti perbuatannya itu, An ko. Tapi kalau dia tetap melayaniku barang-kali kita berdua sudah tak dapat bertemu ayah lagi. Sam-kong-kiam di tangannya terlalu hebat!”

Beng An melompat turun, mengangguk. “Ya, pedangnya itu terlampau luar biasa, Lian-moi. Kau sudah menceritakannya kepada ayah?” Beng An bergidik, harus mengakui ketajaman Sam-kong-kiam dan kini ayahnya mengangguk.

Swat Lian memang telah menceritakannya kepadanya. Dan ketika dua putera-putrimya menarik kursi masing-masing pendekar pedang ini berkata, “Kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik, dan untung kalian dapat pulang dengan selamat, meskipun Beng An terluka. Dan karena kalian tahu dimana kalian bertemu dengan Kim-mou-eng maka besok tunjukkan padaku dan kita bertiga berangkat lagi...”

“Ah, ayah mau turun tangan?”

“Agaknya begitu, An-ji. Keampuhan Pedang Tiga Dimensi menarik perhatianku. Kalian rupanya benar-benar tak sanggup menandingi pedang itu. Biar aku yang maju dan dua hari lagi kita berangkat?”

“Tapi aku sudah sehat, ayah,” Beng An berseru, rupanya penasaran tapi juga girang. “Dan aku sanggup berangkat hari ini atau besok!”

“Tidak,” sang ayah tetap menggeleng. “Racun di tubuhmu memang telah sirna, An-ji. Tapi kekuatan tubuhmu belum putih benar. Kau masih lemah, biar kau beristirahat dua hari ini sementara aku akan mengatur kelima suhengmu meneruskan pekerjaan.”

Beng An terdiam. Kalau ayahnya sudah bicara seperti itu tak mungkin dia membantah lagi. Swat Lian tersenyum dan menowel kakaknya ini, memberi pandangan penuh arti dan Beng An menarik napas panjang, senyum kecut muncul di sudut bibirnya. Dia maklum akan perintah sekaligus nasihat ayahnya ini. Dan karena sang ayah sudah memutuskan begitu dan mereka terpaksa menurut maka Beng An disuruh ayahnya untuk memulihkan tenaga sendiri.

“Kau harus mengumpulkan tenagamu, bersamadhilah dan pulihkan tenaga sendiri agar sisa-sisa racun benar-benar lenyap.”

Beng An lagi-lagi tak dapat membantah. Hari itu dan hari kedua dia diharuskan mengumpulkan tenaga, memulihkan sinkangnya dan duduk bersila. Swat Lian telah keluar untuk menyiapkan yang lain-lain, gadis itu pun tak dapat mambantah ayahnya. Dan ketika dua hari lewat, jago pedang itu memanggil semua muridnya maka berkatalah pendekar ini sebelum berangkat.

“Kalian berlima teruskan pekerjaanku sebagaimana biasa. Aku dan Beng An serta Swat Lian akan pergi, kami mencari Kim-mou-eng. Kalau ada urusan-urusan yang tak dapat kalian selesaikan biar ditunda dulu sampai kami kembali.”

“Apakah tak dapat diwakili kami, suhu?” Kao Sin, murid termuda bertanya, sudah mendengar perihal sumoinya dan kecurangan Kim-mou-eng. “Atau dua di antara kami mewakili suhu menghadapi Pendekar Rambat Emas itu!”

“Tidak. Sam-kong-kiam di tangannya terlalu berbahaya, Kao Sin. Kalau toh kalian semua pergi maka pekerjaan di sini tak ada yang mengurus.”

“Tapi dua atau tiga di antara teecu sanggup, tidak perlu berlima!”

“Tidak, aku menginginkan kalian di sini, Kao Sin. Pedang itu benar'benar terlampau berbahaya dan kalian mungkin kurang pengalaman. Sudahlah, kalian tunggu kami kembali dan urus pekerjaan sehari-hari sebagaimana biasa!” jago pedang itu tak mau berpanjang lebar lagi, memutus bantahan muridnya dan Kao Sin serta empat suhengnya tak berani lagi bicara.

Mereka pun tahu watak suhu mereka ini, keras dan tegas. Dan ketika hari itu suhu mereka berangkat dan Beng An serta adiknya menyimpan pedang di belakang punggung dan tampak begitu gagah dengan pakaian baru yang ringkas maka mereka kagum memandang dua sumoi dan sute itu, terutama Swat Lian, tampak semakin cantik dan gagah!

“Selamat jalan, sumoi. Hati-hati!”

“Ya, selamat jalan, sute. Hati-hati!”

Beng An dan adiknya mengangguk. Mereka sudah naik ke kereta bersama ayah mereka, Hu Beng Kui tak mau menunjukkan kepandaian di dalam kota, menyuruh kusir berangkat dan mereka seolah keluarga hartawan yang ingin pesiar. Kusir pun menurut. Tapi begitu mereka tiba diperbatasan kota yang sepi dan jago pedang ini menyuruh kereta berhenti maka dia sudah meloncat keluar diikuti dua anaknya.

“Cukup, pulanglah. Sekarang kau kembali dan kami akan berjalan kaki...” Hu Beng Kui berkelebat, untuk pertama kali dia menunjukkan kepandaiannya pada bawahan, tiba-tiba lenyap dan hilang seperti iblis.

Swat Lian dan Beng An tertawa melihat kusir mereka itu melongo, memang pembantu mereka itu hanya mendengar-dengar saja tentang kepandaian pendekar ini, tak berani bicara dan juga tak berani bertanya. Tentu saja kaget melihat majikannya lenyap sebelum kata-katanya selesai. Dan ketika Beng An serta adiknya juga mengikuti jejak sang ayah dan mereka lenyap dari depan kusir ini maka dari kejauhan Swat Lian berseru tertawa,

“Ai lopek, jangan ndomblong saja. Ayah menyuruhmu pulang dan pulanglah. Jangan ceritakan peristiwa ini pada siapa pun!”

Sang kusir baru sadar. Sekarang dia terkejut, menjatuhkan diri berlutut dan berulang-ulang mengucap janji. Keluarga itu memang dianggap sebagai dewa atau orang-orarg aneh saja, dia adalah pelayan biasa yang tidak memiliki kepandaian seperti Kao Sin dan empat suhengnya itu. Maka begitu mendapat peringatan dan disuruh pergi buru-buru kusir ini mengangguk dan meloncat ke atas keretanya kembali, memutar kereta dan pulang ke Ce-bu.

Entah kenapa mukanya tiba-tiba penuh keringat. Kalau tidak mengenal majikannya bertahun-tahun tentu dia akan menganggap ketiganya hantu-hantu yang pandai menghilang. Begitu hebat dan luar biasa. Dan ketika kereta berderap kembali memasuki kota Ce-bu maka di sana Swat Lian tertawa-tawa mengejar ayahnya.

“Ayah, Ai-lopek seperti melihat setan. Kau membuatnya terkejut dan kaget!”

Hu Beng Kui tak tersenyum. Dia sedang memusatkan perhatian pada Kim-mou-eng, diam-diam meraba sebatang pedang hitam di pinggangnya, pedang lentur tapi tajam luar biasa. Itu pun pedang pusaka dan entah bagaimana kalau nanti berhadapan dengan Sam-kong-kiam. Pedangnya itu terbuat dari baja pilihan bercampur batu bintang, kerasnya sudah diuji dan batu sebesar apa pun terbacok mudah bila bertemu pedangnya ini. Dia menamakan pedangnya itu Hek-seng-kiam (Pedang Bintang Hitam). Maka ketika puterinya menegur dan berseru tentang perbuatannya jago pedang ini seolah-olah tak mendengar.

“Hm, tak perlu banyak bicara di saat ini, Lian ji. Aku ingin kalian semua serius dan cepat menemui Kim-mou-eng.”

Swat Lian cemberut. “Memangnya sehari bisa sampai? Aku harus berlari tanpa henti tiga hari tiga malam, ayah. Sebaiknya tak perlu serius dan dua hari ini kau ajak kami menikmati perjalanan.”

“Benar, kami hampir tak pernah keluar bersamamu, ayah. Ini kesempatan bagus bagi kami untuk menikmati perjalanan keluarga, sebelum bertemu Kim-mou-eng!” Beng An menyambung.

“Huh, memangnya kalian mau bersenang-senang? Bukankah di Ce-bu kalian dapat melakukan itu tanpa halangan?”

“Tapi ini lain, ayah. Kami ingin mendapatkan perhatianmu sebelum kita bertemu Kim-mou-eng!” Swat Lian berkata lagi, membuat ayahnya menoleh dan si jago pedang bertanya apa maksud putrinya itu, kenapa putrinya bicara tentang “perhatian”. Dan ketika dengan mulut sedikit cemberut Swat Lian berkata bahwa dia ingin dimanja ayahnya dengan makan minum bersama atau tinggal di penginapan yang baik karena jarang mereka dapat melakukan itu tiba-tiba pendekar ini tersenyum.

“Kau seperti anak kecil, tingkahmu lucu!”

“Hm, ayah tak mau menyenangkan kami?”

“Menyenangkan apa lagi? Bukankah di Ce-bu hampir semua permintaan kalian kuturuti? Sudahlah, ini bukan perjalanan santai, Lian-ji. Aku ingin cepat ketemu dan berhadapan dengan Kim-mou-eng itu!” Hu Beng Kui tak menggubris lagi, dua anaknya disuruh diam dan Swat Lian serta kakaknya kecewa. Swat Lian mendongkol. Maka ketika malam tiba dan mereka terhambat di tengah hutan tiba-tiba gadis ini mogok dan tak mau meneruskan perjalanan!

“Sudah, di sini saja. Kita boleh berteman nyamuk dan ular!” Swat Lian berhenti, sang ayah terkejut karena sebenarnya pendekar pedang itu menghendaki perjalanan diteruskan, putrinya mogok dan untuk pertama kali protes. Dan ketika Swat Lian membanting pantat terisak di rerumputan akhirnya Beng An mengikuti adiknya dan duduk memandang ayah mereka.

“Benar, kita berhenti di sini saja, ayah. Aku capai dan Lian-moi pun rupanya letih. Kalau kau mau melanjutkan perjalanan biar ayah di depan dulu besok kami menyusul.”

Pendekar ini tertegun. “Kalian sinting? Dua puluh li lagi ada dusun Lim-chung, Beng An. Kita beristirahat di sana dan minta sekedar makanan pada penduduk!”

“Tidak, aku tak lapar, yah. Aku juga tak haus dan ingin tidur di hutan ini. Sudah lama aku tak berteman nyamuk maupun ular, biar malam ini aku berkawan mereka dan kau tidur di dusun Lim-chun itu,” Swat Lian ngambek, bilang tidak lapar tapi perut tiba-tiba berkeruyuk.

Hu Beng Kui tersenyum dan tiba-tiba tertawa tergelak. Kalau sudah begini dia dilulu (disanjung kebohongan) oleh putrinya itu, tentu saja mengerti dan teringat percakapan pagi tadi. Maka berkelebat menepuk pundak puterinya ini dia berkata, “Baik, aku menyerah pada kalian, anak-anak. Ayo bangun dan kita ke Se-yang. Di sana kita menginap dan cari losmen yang bagus, boleh makan yang enak-enak dan kalian puaskan diri. Tapi ingat, kita harus lari cepat satu jam lagi sebelum tiba di kota itu!”

Hu Beng Kui menarik bangun puterinya, kata-kata ini membuat mata puterinya bersinar dan bibir yang cemberut itu mendadak tersenyum. Swat Lian merasa permintaannya dikabulkan. Tapi karena dia gadis manja dan tentu saja pura-pura menolak dia berkata, “Aku tak ingin ke mana-mana. Aku ingin di sini saja. Kalau ayah mau ke Se-yang silahkan pergi”

“Eh!” Hu Beng Kui mengenal watak anaknya. “Kau mendongkol? Baik, aku minta maaf padamu, Swat Lian. Dan biar kutebus kesalahanku itu.... wut!” dan si jago pedang yang tiba-tiba menyambar puterinya memanggulnya di pundak mendadak tertawa berseru pada puteranya, “Beng An, ayo jalan. Adikmu yang manja ini memang ingin menghukum ayahnya, ha-ha!” dan Hu Beng Kui yang berkelebat sambil memondong anaknya seperti anak kecil tiba-tiba sudah meluncur dan keluar dari hutan.

Swat Lian terkekeh dan Beng An tersenyum. Kalau sudah begitu tampaklah betapa kasih ayah mereka itu, Beng An tersipu melihat adiknya dipondong. Tapi karena ayahnya berkelebat dan mau tak mau dia harus angkat kaki akhirnya Beng An menyusul dan berkelebat mengejar ayahnya itu. “Yah, lempar saja si bengal itu. Kenapa di pondong seperti anak kecil?”

“Ha ha, adikmu pingin disayang, Beng An. Biar kulaksanakan permintaannya itu dan jangan kau marah. Sekali tempo ayah memang harus tunduk kepada kemauan anaknya!”

Beng An tertawa. Tiba-tiba saja kemesraan di antara mereka tumbuh, Hu Beng Kui menyambar lengan puteranya pula dan Beng An merasakan kasih yang hangat dan jari-jari ayahnya itu. Inilah yang mereka inginkan. Dan ketika pendekar itu memanggul puterinya menuju Se-yang dan lengan Beng An dicengkeram ayahnya dengan lembut maka Swat Lian tertawa-tawa di pundak ayahnya itu.

“Yah, beginikah ketika aku kecil kau memondongku? Berapa kali sehari kau memondongku?”

“Ha-ha, kau cerewet seperti masa kecilmu, Swat Lian. Aku ratusan kali menggendongmu setiap kau merengek. Ada apa? Minta ditampar pinggulmu pula seperti masa kanak-kanak?” dan ketika Swat Lian terkekeh dan sang ayah bercanda dengan mereka akhirnya sejam kemudian Hu Beng Kui dan anak-anaknya tiba di Se-yang, tentu saja di pintu gerbang kota Swat Lian meloncat duluan, gadis ini berseri-seri dan bahagia memandang ayahnya. Dan begitu mereka masuk kota dan swat Lian hilang cemberutnya langsung gadis ini mencari penginapan yang paling baik.

“Kita ke jantung kota, cari penginapan bertingkat dan pilih yang di atas!”

“Ya... ya, aku tahu,” ayahnya tertawa, “Kau selamanya minta yang serba baik, anak nakal. Kita cari losmen bertingkat dan tidur di atas!” Hu Beng Kui menuruti puterinya, mendapatkan losmen yang dimaksud dan malam itu mereka meminta tiga kamar.

Beng An mengerutkan kening dan minta dua saja, biar dia dan ayahnya itu tidur bersama, katanya demi pengiritan. Hu Beng Kui mau menolak tapi melihat sinar aneh di mata puteranya itu, rupanya Beng An pun ingin tidur bersama sang ayah menikmati kasih sayang, seperti adiknya tadi. Pendekar ini tersenyum, tentu saja tak menolak dan kali ini dia memenuhi keinginan puteranya.

Malam itu ayah dan anak tidur bersama, Beng An merasakan kenikmatan sendiri dalam tidur bersama ini. Memang tak pernah dia tidur bersama ayahnya sejak dia beranjak dewasa, tentu saja itu merupakan kenangan manis bagi pemuda ini. Dan ketika keesokan harinya mereka bangun tidur dan sang ayah membuka jendela maka Swat Lian mengetuk pintu ribut-ribut, rupanya sudah bangun duluan.

“Yah, bangun. Sudah siang. Ayo sarapan dan nikmati hidanganku ini!”

Si jago pedang keluar. “Hm, kenapa ribut-ribut? Hidangan apa?”

“Lihat, aku mendapatkan bubur ayam, yah, dan kecap asin. Ayo kita sarapan mumpung masih panas!”

Hu Beng Kui tersenyum. Di depan pintu kamar Swat Lian telah membawa tiga mangkok bubur yang mengepul harum, bubur ayam kesukaannya, juga kecap asin. Putrinya begitu gembira menawarkan semuanya itu, cepat pendekar ini menyambut dan seorang pelayan membawa meja kursi. Bubur dan lain-lainnya itu ditaruh.

Dan ketika Beng An muncul dan keluar dengan muka segar maka pemuda ini pun tersenyum memandang adiknya, wajah berseri-seri. “Yah, kebiasaan anakmu ini tak hilang juga. Selalu menggedor dan suka membuat ribut di pintu kamar!”

“Hi-hik, aku tak sabar menanti kalian, koko. Aku terbangun karena dengkur yang terlalu kerasi”

“Siapa mendengkur?”

“Tentu kau!”

“Tidak, aku tak pernah mendengkur dan tentu ayah. Ayah semalam pulas dan mendengkur. Aku tahu dan....”

“Ha-ha. sudahlah, anak-anak. Kalau bertengkar begini saja kapan kita menikmati bubur? Ayo makan, jangan ribut!” Hu Beng Kui tertawa tergelak, pagi itu dia gembira karena perjalanan ini memang menggembirakan benar. Melihat dua anaknya ribut menimbulkan satu kegembiraan sendiri di hatinya, Swat Lian dan kakaknya tersenyum. Dan ketika sang ayah menyambar mangkok bubur dan mengeduk isinya maka dua kakak beradik itu tertawa mengikuti, menyambar mangkok masing-masing dan tak lama kemudian isinya pun habis disikat. Bubur ayam dengan kecap asin sungguh nikmat.

Dan ketika Swat Lian mengusap bibirnya yang berminyak maka seorang gadis muncul di tangga loteng, diantar pelayan. “Ini, nona. Silahkan beristirahat!”

Swat Lian tertegun. Dia melihat seorang gadis berkulit hitam manis mendapatkan kamar sebelah, cantik dan gagah dengan topi burung rajawali di atas kepalanya. Semuanya menoleh dan kagum memandang gadis itu. Yang diperhatikan bersikap acuh dan dingin. Ada kesan angkuh pada tamu baru itu, rupanya gadis itu mencari kamar dan kebetulan berada dekat dengan kamar Swat Lian, bersebelahan. Dan ketika pelayan menyerahkan kunci dan gadis itu masuk, maka Hu Beng Kui berkata perlahan,

“Seorang gadis kang-ouw, rupanya bangsa Tar-tar!”

Swat Lian tertarik. “Kau tahu, yah? Dia gadis asing?”

“Ya, kulit dan mukanya itu jelas menunjukkan dia bangsa Tar-tar. Tapi mukanya murung, sebaiknya tak usah kita mengganggu dan biar dia sendirian.”

“Tapi aku ingin berkenalan!” Beng An tiba-tiba berkata tanpa sadar, terkejut sendiri. “Aku, eh... apa yang kukatakan ini?” dan ketika pemuda itu tersipu merah mendengar suara hatinya yang terloncat keluar maka Swat Lian terkekeh berseru menggoda,

“An-ko, kau rupanya kasmaran. Baru sekali ketemu sudah jatuh cinta!”

“Hush!” Beng An merah mukanya. “Aku maksudkan berkenalan dengan kepandaiannya, Lian-moi. Kalau dia gadis kang-ouw tentu kepandaiannya tinggi!”

“Hi-hik, bukankah sama saja? Berkenalan dengan kepandaiannya atau orangnya tiada beda. Kau tak perlu berpura-pura dan aku tahu kau kagum memandang sejak tadi, kau melotot!”

“Sudahlah!” Hu Beng Kui melerai tersenyum, melirik puteranya. “Jangan keras-keras. Lian-ji. Tamu itu dapat mendengar dan kita disangka kurang ajar. Kalian tak perlu ribut dan hari ini kita meneruskan perjalanan. Kakakmu tak serius.”

“Tak serius apa? Lihat, An-ko kecewa. ayah. Begitu kau bilang mau melanjutkan perjalanan tiba-tiba kakakku yang baik ini terkejut. Lihat, tuh.... matanya!” Swat Lian berolok-olok menggoda sang kakak dan Beng An terkesiap.

Memang dia terkejut mendengar perjalanan mau diteruskan, hati tiba-tiba kecewa, sang adik melihat dan langsung saja Swat Lian yang nakal itu mencoblosnya, tentu saja dia kaget. Dan ketika ayahnya memandang dan Beng An gugup tiba-tiba pemuda ini bangkit berdiri berseru geram, “Siapa kecewa? Siapa terkejut? Kalau mau berangkat tentu saja aku mau. Hayo...!” dan Beng An yang gemas melotot pada adiknya tiba-tiba disambut ketawa ayahnya yang geli melihat tingkah dua anaknya itu.

“Sudahlah, kalian lagi-lagi bertengkar. Kenapa ribut melulu? Kau jangan menggoda kakakmu, Swat Lian. Kakakmu tak apa-apa dan mari kita turun, perjalanan tertunda semalaman setelah kita menginap!”

Dan Hu Beng Kui yang berkemas untuk melanjutkan perjalanan lalu membayar sewa kamar dan diam-diam memperhatikan puteranya itu. Tampak jelas bahwa mukanya memang kecewa, Beng An rupanya berat meninggalkan tempat itu setelah melihat kedatangan si gadis Tar-tar, jago pedang ini ingin menguji dan mengajak puteranya berangkat. Kekecewaan Beng An disembunnyikan dan jago pedang ini pun diam-diam tertarik pada gadis di tempat penginapan itu. Sebenarnya juga ingin tahu tapi terhadang perjalanan mereka mencari Kim-mou-eng, dia ingin secepatnya menemui lawannya itu dan merampas Sam-kong-kiam.

Beng An agak murung dalam perjalanan kali ini, sering melamun. Swat Lian sering memberi isyarat padanya dan menyuruh ia melirik puteranya itu, jago pedang ini tersenyum. Dan ketika perjalanan dilanjutkan dan hari kedua mereka menginap di kota Lu-sin mendadak tanpa disangka mereka bertemu kembali dengan gadis Tar-tar itu, di penginapan yang kebetulan dituju pendekar itu, gadis itu sudah lebih dulu di situ, sama-sama di loteng!

“Eh, ketemu lagi, nona?” Hu Beng Kui terpaksa menegur, terkejut dan heran.

“Kau sendiri....?”

“Perkenalkan, kami keluarga Hu. Ini putera putriku Hu Beng An dan Hu Swat Lian!” jago pedang itu terpaksa menyapa, mereka berada di penginapan yang sama dan kebetulan mendapat kamar yang bersebelahan pula.

Entah bagaimana semua kebetulan ini terjadi lagi. Si jago pedang terkejut dan heran, kini dia melihat mata yang tajam dan penuh tenaga sinkang dari gadis yang ditegur ini. Lawan rupanya terkejut dan heran juga. Gadis itu tertegun. Tapi ketika Hu Beng Kui memperkenalkan diri dan dia terpaksa membalas muka dengan sedikit anggukan gadis itu berkata.

“Maaf, aku Malisa. Aku telah mengenal kalian ketika di Se-yang, silahkan kalian beristirahat” dan tidak mau menanggapi jauh jauh gadis ini sudah meninggalkan Hu Beng Kui dan dua anaknya memasuki kamar.

“Sombong!” Swat Lian berseru “Kenapa begitu angkuh budak betina itu, yah? Apakah perlu dia kuhajar?”

“Sst!” sang ayah mencengkeram puterinya. “Jangan membuat ribut, Lian-ji. Gadis itu rupanya tinggi hati tapi biarlah Mudah-mudahan kita tak ketemu lagi dan tak usah bercakap-cakap!” pendekar ini mendongkol, betapapun dia tersinggung tapi sebagai orang yang telah cukup umur dia dapat menahan diri.

Beng An terkejut dan kecewa juga, bukan kecewa karena ayahnya tak di hargai melainkan kecewa kenapa gadis itu masuk ke kamarnya lagi, berarti kesempatan emas yang hanya sejenak itu lenyap. Beng An memaki ketidak beruntungannya. Dan ketika mereka memasuki kamar dan duduk beristirahat, maka pendekar pedang ini memesan arak.

“Bawa ke mari yang terbaik, kami ingin minum.”

Pelayan mengangguk. Tak lama kemudian arak sudah diantar, baunya harum dan Hu Beng Kui menenggak araknya. Beng An termangu melihat kebiasaan ayahnya yang jarang dilakukan ini, agaknya sang ayah mendongkol dan ingin melepas kemendongkolan dengan menenggak arak. Rupanya sikap gadis Tar-tar itu masih menyinggung ayahnya. Swat Lian mengerutkan kening dan menegur ayahnya itu. Dan Beng An yang termangu menyandarkan diri tiba-tiba bangkit berdiri.

“Yah, aku ingin jalan-jalan sebentar. Aku ingin keluar.”

Si jago pedang mengerutkan kening “Mau ke mana?”

“Melihat-lihat kota, yah. Sekedar membuang waktu karena aku belum ingin tidur!”

“Tapi ini sudah malam....”

“Aku hanya sebentar saja, sekitar losmen.”

“Baik, tapi jangan buang tenaga cuma-cuma. Beng An. Besok kita sudah di tempat tujuan dan kau harus menjaga kondisimu!”

“Aku tahu, yah, sebentar saja!” Beng An yang keluar kamar menutup pintu, akhirnya dipandang curiga adiknya yang melalui gerak gerik aneh sang kakak.

“An-ko rupanya mau bertemu si budak betina itu. Dia nampaknya terpikat!”

“Hm, gadis ini memang aneh, Lian-ji. Aku curiga dan yakin dia memiliki kepandaan tinggi...!”

“Dari mana ayah tahu?”

“Eh, apakah kau tidak berpikir? Lihat, seharian kita berlari cepat tapi gadis ini sudah lebih dulu di sini mendahului kita. Ini menunjukkan dia memiliki ginkang yang luar biasa kalau tidak tak mungkin lebih dulu tiba. Aku kepingin tahu...!?”

“Tapi jalan ke Lu-sin ada banyak, Dia tentu memotong jalan hingga mendahului kita?”

“Benar, tapi betapapun sinar matanya yang tajam dan penuh tenaga sinkang itu menyatakan dia bukan gadis sembarangan, Lian-ji. Aku berani bertaruh gadis ini merupakan gadis luar biasa yang termasuk pendekar kelas satu!”

“Tapi dia sombong, angkuh!”

“Itulah kebiasaan orang-orang berkepandaian tinggi. Orang yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi memang biasanya angkuh, memiliki kepercayaan diri berlebih-lebihan dan membuat mereka sombong. Tapi betapapun kita harus berhati-hati dengannya!”

Swat Lian tak puas. “Ayah terlalu memuji,” katanya. “Aku jadi gatal untuk membuktikan omonganmu!” dan sementara ayahnya terkejut tiba-tiba gadis ini melompat keluar. “Yah, aku ingin mengikuti An-ko. Coba kulihat apa yang dia lakukan!”

“Eh!” pendekar ini menyambar puterinya. “Kau jangan mencari ribut, Swat Lian. Kau di sini saja tak perlu keluar!”

“Tapi ayah mengijinkan An-ko kenapa aku tidak? Aku juga sebentar, yah, lepaskan dan aku segera kembali!”

Dua mata beradu, si jago pedang tersenyum dan melepas tangannya. Swat Lian memakai alasan kakaknya sebagai ijin, dia memang harus bersikap adil. Dan karena Swat Lian sudah dewasa dan tak perlu dia khawatir melepas puterinya akhirnya pendekar ini mengangguk “Baik, tapi jangan kau mencari permusuhan, Lian-ji. Sekali kau melanggar aku tak bakal melepasmu lagi sampai kau tobat!”

Swat Lian tertawa. “Ayah terlalu khawatir, baik aku berjanji” dan Swat Lian yang berkelebat keluar menghilang di luar kamar akhirnya membuat Hu-Beng Kui duduk tertegun menenggak araknya kembali, tersenyum dan bernyanyi-nyanyi kecil. Saat itu dia pun menyadari kebebasan putera putrinya, mereka sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi. Tak apa kalau hanya sebentar saja. Dan begitu pendekar ini menikmati araknya di dalam kamar maka Swat Lian dan Beng An yang katanya berjalan jalan sebentar sudah menemui kejadiannya sendiri-sendiri.

Beng An sebenarnya beralasan saja. Sebenarnya dia ingin mengintai gadis Tar-tar itu. Entah kenapa keinginannya begitu kuat untuk mengenal si nona, ketika keluar kamar sudah melirik pintu si gadis, tutup dan berdebar dan diam-diam ingin tahu apa yang dikerjakan gadis itu di dalam kamar. Maka begitu dia memutar dan mendekati losmen dari belakang tiba-tiba pemuda ini sudah melayang dan menggantol kakinya di atas jendela orang. Dan Beng An tertegun. Kamar itu kosong, penghuninya tak ada dan Beng An terkejut.

Bukan main, pikirnya. Kapan gadis itu pergi dan kenapa dia tak tahu? Kenapa dia tak mendengar gerakannya padahal kamar mereka bersebelahan? Apakah di saat adiknya ribut-ribut tadi? Beng An melayang turun. Dia mencari sana sini, tiba-tiba mendengar dengusan entah dari mana dan pemuda itu terperanjat. Suara itu dari sebelah kiri dan cepat pemuda ini menoleh. Dan ketika dia memandang dan kaget membelalakkan mata tiba-tiba gadis itu ada di belakangnya menatap dengan mata bersinar-sinar!

“Kau pencuri?”

Beng An kaget sekali. “Eh, tidak... eh... maaf, nona! Aku mengintaimu karena...”

“Karena kau kurang ajar!” gadis itu berkelebat ke depan, menampar pipi Beng An dan dua kali pemuda itu kena gaplok suara plak-plak yang nyaring membuat Beng An terpelanting. Dan ketika pemuda itu melompat bangun dengan pipi merah si nona sudah bertolak pinggang dengan suara dingin.

“Orang she Hu, jangan kau main-main denganku. Kulihat kau pemuda baik-baik, kenapa mengintai kamar orang? Kau mau kurang ajar dan menjadi pemuda hidung belang?”

“Eh, tidak... eh, maaf, nona. Aku... aku sebenarnya ingin berkenalan denganmu. Aku mengintai karena melihat pintumu tutup. Aku mau masuk tapi takut!” Beng An gugup.

“Kau laki-laki mau memasuki kamar seorang wanita? Kau kira gadis macam apa diriku ini...!”

“Tidak... tidak, nanti dulu!” Beng An menaggoyang-goyang tangan, menyetop karena melihat gadis itu mau menggerakkan tangannya lagi. “Aku tak bermaksud mau kurang ajar, nona. Kalau aku salah biarlah aku minta maaf padamu. Aku bukan pemuda pemogoran. Aku....”

“Aku tahu. Karena itu aku tak membunuhmu!” gadis itu memotong, suaranya dingin dan bengis, Beng An meremang tengkuknya. Dan ketika pemuda itu terbelalak karena melihat betapa gampangnya gadis ini mau membunuh orang maka gadis itu membentak, “Sekarang kau pergi dan jangan ganggu aku lagi!”

Beng An menelan ludah. “Aku ingin berkenalan, nona...”

“Kita sudah berkenalan, di atas tadi ayahmu sudah menyebut-nyebut kalian!”

“Tapi itu lain, aku ingin berkenalan dalam arti yang lebih dalam lagi. Aku....”

“Cerewet!” gadis itu berkelebat pergi. “Kau menyebalkan, orang she Hu. Kalau kau tidak mau pergi biar aku yang pergi!”

Dan Beng An yang bengong ditinggal lawan tiba-tiba berseru, “Eh, tunggu, nona. Tunggu!” Dan Beng An yang mengejar di belakang orang tiba-tiba melihat orang mengerahkan ginkang melayang ke wuwungan penginapan. Beng An terbelalak melihat ilmu meringankan tubuh yang begitu enteng, bagai seekor walet saja, gadis itu melayang naik.

Tapi karena Beng An tak mau melepaskan gadis itu dan ingin banyak bicara lagi akhirnya mengerahkan ginkangnya pula dan tetap mengejar, melihat lawan menoleh dan kembali mendengar dengusannya, gadis itu melompat turun dan kini berlarian di tanah, dikejar dan naik lagi ke atas, berlarian di wuwungan rumah-rumah penduduk dan Beng An tetap mengejar. Dan ketika pemuda itu tak mau melepaskan dan tetap membayangi di belakang tiba-tiba gadis ini tancap gas wuuut.... terbang menuju luar kota.

“Heei...!” Beng An berteriak keras, kaget. “Tunggu, nona... tunggu...!” namun si gadis yang bergerak cepat di depan terpaksa dikejar dengan sepenuh tenaga.

Beng An kini mengerahkan semua ilmu lari cepatnya dan terkejut melihat kepandaian gadis itu. Bayangannya bergerak seperti iblis dan nyaris dia kehilangan jejak karena terhalang kegelapan malam, Beng An susah payah mengejar gadis ini. Sekarang teringatlah dia akan kata-kata ayahnya, bahwa gadis itu berkepandaian tinggi dan bukan orang sembarangan. Dan ketika dia mengejar dan berteriak-teriak di belakang tiba-tiba gadis itu membalik dan kembali ke dalam kota.

“Ah...” Beng An sadar. “Kau mau menguji kepandaianku, nona? Kau mau melihat ilmu lari cepatku? Baik, aku akan mengejarmu sampai ke manapun kau lari!” Beng An sekarang mendusin, tiba-tiba berseri karena orang rupanya mau mengadu kepandaian dengannya, kepandaian berlari cepat. Ini berarti dia telah menarik simpati gadis itu. Dia rupanya berhasil!

Dan Beng An yang tertawa mengerahkan ginkangnya tiba-tiba melesat dan mengejar lawannya. Kini mereka masuk kembali ke kota namun si gadis itu menambah kecepatannya, jarak di antara mereka sekarang terjaga ketat dan si gadis rupanya kagum, dia menoleh dan berseri-seri memandang Beng An, pemuda ini serasa mendapat durian runtuh dengan pandangan lawan, mata yang berseri-seri itu, mata yang girang dan kagum.

Dan ketika mereka memasuki kembali kota Lu-sin dan keduanya terbang seperti iblis di malam hari maka gadis itu berkelebat memasuki sebuah restoran dan berhenti di situ, masuk dan langsung duduk mengusap keringatnya. Beng An menyusul dan menyeka keringatnya pula. Pemuda ini tertawa kecut.

Dan ketika Beng An menarik kursi berhadapan dengan gadis itu, maka pemuda ini serasa disiram air sejuk ketika si gadis berkata, “Kepandaianmu hebat, ilmu lari cepatmu mengagumkan. Siapa gurumu, orang she Hu?”

“Ah,” Beng An menyeringai malu-malu “Guruku adalah ayahku sendiri, nona. Ilmu lari cepatmu pun hebat dan nyaris aku ketinggalan. Kau rupanya benar-benar gadis kang-ouw yang mengagumkan!”

“Hm... dan kenapa kau mengikutiku selalu?”

“Aku, eh.... aku ingin berkenalan!”

Gadis itu tiba-tiba tersenyum. “Kau pemuda tak waras. Bukankah kau sudah tahu namaku? Apalagi yang kau minta? Kalau tidak melihat dirimu sebagai pemuda baik-baik tentu sudah kutendang kau, orang she Hu. Kau tidak tahu malu namun lurus!”

Beng An dapat tertawa. Sekarang dia merasa gadis ini tak marah lagi, mata yang tersinar-sinar itu sudah kehilangan galaknya dan Beng An maju mendekat, kursi yang sudah dekat itu didekatkan lagi menyentuh pinggir meja, Beng An kini berani karena meskipun orang memakinya tak tahu malu namun bibir itu tersenyum.

Kekaguman gadis ini rupanya membangkitkan keramahan, seorang pelayan mendekati mereka dan Beng An mendahului si gadis, memesan makanan dan minuman. Dan ketika pelayan pergi menyiapkan permintaan mereka maka Beng An tertawa lebar berkata menjawab, “Nona, maafkan aku kalau tidak tahu malu. Aku tidak bermaksud kurang ajar, aku ingin mengenalmu lebih jauh dan mengikat persahabatan. Kau tentu tak keberatan menerima keinginanku, bukan?”

“Kalau aku keberatan tentu kau sudah ku lempar pergi, mungkin kubunuh! Nah, sekarang apa yang ingin kau percakapkan dan cepat saja, aku tak lama di kota ini dan buru-buru.”

“Tentu, aku dan ayahku juga buru-buru. nona. Aku juga tak lama di kota ini dan besok harus pergi. Siapakah nona sebenarnya dan tinggal dimana? Aku orang she Hu tinggal di Ce-bu, kami sekeluarga sedang bepergian untuk mencari seseorang.”

“Hm, aku juga mencari seseorang. Kau mencari siapa? Bagaimana perjalanan kita bisa sama?”

“Aku dan ayah juga heran, nona. Kita rupanya searah. Aku, hm... kami mencari Pendekar Rambut Emas?”

“Kim-mou-eng?” alis yang menjelirit itu tiba-tiba terangkat naik. “Ada apa? Kenapa kalian mencarinya?”

“Ha, agaknya kau mengenal penjahat itu, nona. Kami mencarinya karena hendak merampas Sam-kong-kiam!”

Mendadak muka yang cantik itu berubah. Beng An terkejut ketika mata si nona berkilat, memandangnya seperti api dan bola mata itu menyambarnya seperti mau menelannya bulat-bulat. Beng An terperanjat dan tanpa terasa meremang bulu tengkuknya, kembali dia melihat sikap yang ganas dari lawan bicaranya ini. Tapi ketika pelayan datang membawa hidangan den meletakkannya di meja tiba-tiba gadis itu terkekeh, kekeh yang dingin.

“Hi-hik, kau lucu. Rupanya keluarga Hu sudah mabok dan tergila-gila pula seperti orang kang-ouw, ingin merampas dan memiliki Sam-kong-kiam. Apakah kau ingin menikmati kemuliaan seperti kaisar?”

Beng An mengerutkan kening. Masalah Pedang Tiga Sinar itu memiliki pengaruh gaib yang dapat membuat orang memiliki “3 K”, dia tak tahu, pemuda ini semata mencari karena mendapat perintah ayahnya. Beng An tak mengerti dan merah mukanya dikata ingin hidup seperti kaisar. Tentu saja dia tak senang. Tapi karena perkenalan ini baru berjalan dan dia tak mau hubungan itu rusak untuk hal-hal yang dianggapnya sepele maka Beng An tersenyum dan menggelengkan kepala.

“Tidak, aku sesungguhnya kurang mengerti maksud kata-katamu, nona. Tapi kalau dikata ingin merampas dan memiliki Sam-kong-kiam sesungguhnya juga kurang tepat.”

“Lalu untuk apa? Bukankah pedang itu yang kalian cari?”

“Ah, mari nikmati hidangan dulu, nona. Pembicaraan itu kita bicarakan sambil menikmati makan minum ini,” Beng An menawarkan, mengambil sumpit dan sudah mulai menikmati pesanannya dan menuangkan minuman di cawan si gadis, menyodorkannya dan menyuruh gadis itu mencicipi hidangan. Beng An sebenamya hendak menghilangkan debaran hatinya melihat kilatan sinar mata tadi, mata yang marah dan entah kenapa begitu dingin menusuk. Pemuda ini tak enak. Dan ketika Salima mengambil sumpitnya dan menerima cawan meneguk isinya segera Beng An melanjutkan.

“Kami sekeluarga bukan hendak mengangkangi pedang itu, tetapi kami mencari karena diminta tolong kaisar, lewat Sun-taijin.”

“Siapa Sun-taijin?”

“Walikota Ce-bu. pembesar di mana kami tinggal.”

“Hmm, bagus sekali, kalau memang betul.”

“Nona tak percaya?” Beng An penasaran.

“Aku tidak mengatakan percaya atau tidak percaya, tapi pengalamanku selama ini menunjukkan bahwa orang mencari Kim-mou-eng karena ingin memiliki pedang itu untuk diri sendiri...!”

“Tapi kami semata membantu, kaisar....”

“Itulah. maka kukata bagus kalau kata-kata mu betul, orang she Hu. Tapi kukira semuanya itu harus dibuktikan!”

“Tentu kami akan membuktikan, Sam-kong-kiam memang milik kaisar!”

Salima tertawa dingin. Tiba-tiba dia tak ingin berbicara tentang itu, tentang Sam-kong-kiam dan Kim-mou-eng. Menghentikan Beng An dengan menyuruh pemuda itu tak usah menyebut-nyebut lagi masalah itu. Katanya dia akan marah kalau pemuda itu melanjutkan bicaranya. Dan ketika hidangan disapu bersih dan Beng An terbelalak memandang gadis ini maka si gadis memanggil pelayan dan melempar sekeping uang emas untuk pembayaran di atas meja.

“Ah, aku yang memesan, biar aku yang bayar” Beng An terkejut, bangkit berdiri.

Dan pelayan berseri-seri mencabut uang emas yang menancap di atas meja itu. Pembayaran itu cukup untuk sepuluh orang, terlalu banyak. Tapi ketika pelayan ini berkutat dan tak berhasil mancabut uang emas itu tiba-tiba dia mengeluh dan mengusap keringatnya yang bercucuran di atas dahi. “Aduh, siocia terlampau kuat menancapkan uang ini. Biar kuambil alat penyungkil!”

Beng An tertegun. Dia melihat si nona meliriknya dengan senyum mengejek, mulai melihat sinar permusuhan pada pandang mata itu. berdebar dan menjepit uang emas itu. Dan ketika pelayan mau mengambil alat penyungkil untuk mencabut uang itu tiba-tiba Beng An mengerahkan tenaganya dan uang itupun dicabutnya mudah dengan jari telunjuk dan ibu jari.

“Nona, ini uangmu, terimalah. Biar aku yang bayar dan jangan membuat aku sungkan!” dan Beng An yang ganti mengeluarkan uangnya dari balik baju tiba-tiba melemparkannya pada si pelayan. “Bung pelayan, tak usah repot. Terimalah ini....!”

Pedang Tiga Dimensi Jilid 11

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 11
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“KIM-MOU-ENG, aku Hu Swat Lian. Kebetulan datang mencarimu...!” dan Swat Lian yang sudah berjungkir balik dibantu ikat pinggangnya tiba-tiba telah tiba di atas.

Dan orang di atas itu tertegun, terbelalak melihat kepandaian gadis itu yang mengagumkan. Dalam beberapa gerak yang begitu ringan dan cepat gadis ini telah berada di atas jurang, sekarang mereka berhadapan. Ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkan Swat Lian tadi memang luar biasa. Dan ketika mereka sudah sama berhadapan dan Swat Lian baru kali itu melihat Kim-mou-eng maka gadis yang tak mau berpikir panjang ini sudah membentak.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam Itu milik kaisar!”

Orang ini terbelalak. Dia tentu saja bukan Kim-mou-eng, melainkan Bu-hiong adanya, terkejut dan terheran melihat seorang gadis cantik di tengah jurang. Dia tak akan tahu kalau Swat Lian tadi tidak berteriak. Tapi melihat gadis itu menyusulnya dan kini Swat Lian membentaknya mendadak Bu-hiong tertawa bergelak berseru menjawab, “Nona, kau siapa gerangan? Siapa namamu tadi? Kau mau minta Sam-kong-kiam? Ha-ha, mudah memintanya, nona. Tapi tak gampang untuk memberikannya!”

“Aku tahu!” Swat Lian tetap galak. “Dan aku siap merampas pedang itu dari tanganmu!”

“Hm!” Bu-hiong mundur, melihat sebuah gerakan dari dalam jurang. Sesosok bayangan melompat dan berjungkir balik. Beng An tahu-tahu muncul dan pencuri Sam-kong-kiam ini terkejut. Dia tak menduga kalau ada orang kedua bersembunyi di sana, disangkanya hanya Swat Lian seorang. Maka ketika Beng An berdiri di samping adiknya dan telah memandangnya dengan mata bersinar-sinar maka laki-laki ini membentak, “Siapa ini? Kalian berdua bersembunyi di balik jurang?”

Beng An menjengek, “Aku orang she Hu, Kim-mou-eng. Namaku Beng An dan ini adikku Swat Lian!”

“Kalian menghendaki Sam-kong-kiam?”

“Ya, berikut dirimu. Kami diperintahkan untuk menangkap dan membawamu beserta pedang itu!”

“Ha ha!” Bu-hiong tertawa. “Kalian terlalu gampang bicara, anak-anak. Tapi tak apalah, kalian rupanya bersemangat tinggi dan ingin menyaksikan kelihaianku. Baiklah, Kim-mou-eng tak pernah menyerah, kalian baru dapat memperoleh pedang ini jika mampu mendapatkannya!”

“Srat!” Swat Lian menggetarkan ikat pinggang yang tiba-tiba kaku dan keras, lagi-lagi membuat lawan terbelalak. “Kami siap mencoba kepandaianmu, Kim-mou-eng. Jangan sombong kalau kau telah mampu menghadapi ratusan orang kang-ouw!”

Dan Swat Lian yang menggerakkan ikat pinggang seperti menggerakkan pedang tiba-tiba mundur dan memasang kuda-kuda, maklum bahwa dia menghadapi lawan lihai dan nama Kim-mou-eng telah menggetarkan seluruh dunia kang-ouw. Diam-diam gadis ini memperhatikan dan kecewa melihat muka Kim-mou-eng yang tidak menarik, muka itu kaku dan jarang bergerak-gerak, mendongkol dia teringat pujian orang bahwa Kim-mou-eng dikabarkan tampan, tak tahunya hanya begini saja. Wajah itu seperti topeng! Dan ketika Swat Lian mendengus dan marah merasa tertipu maka kakaknya menggetarkan lengan yang tiba-tiba berkilat mengeluarkan cahaya berkerotok membuat kening Bu-hiong berkerut.

“Lian-moi, biar aku yang maju. Kau mundurlah!”

“Tidak.” Swat Lian menggeleng. “Aku ingin maju dulu. An-ko. Kau yang mundur dan biarkan aku menghadapi si sombong ini!”

“Ha-ha, kalau begitu kalian maju berbareng saja, nona. Tak perlu khawatir mengeroyok aku!” Bu-hiong tiba-tiba berseru, memerahkan muka Swat Lian dan gadis ini melotot, kakaknya tetap diminta mundur dari Beng An mengalah, mengerutkan kening dan tak senang melihat kesombongan lawan. Bu-hiong yang disangka Kim-mou-eng ini dinilai jumawa.

Beng An mendengus. Dan ketika adiknya bersiap-siap dan ikat pinggang yang sudah berobah seperti pedang atau toya keras itu digetarkan adiknya Beng An berseru dengan sikap hati-hati, “Lian-moi, betapapun si sombong ini memegang pedang ampuh. Berhati-hatilah menghadapinya!”

“Aku tahu,” Swat Lian mengangguk. “Aku akan-berhati-hati, An-ko. Tak perlu khawatir dan lihat saja aku menghajarnya!” gadis itu sudah bersiap-siap, pandangan lurus ke depan, semenjak tadi matanya tak pernah lepas dari Sam-kong-kiam itu.

Sebagai puteri pendekar pedang tentu saja Swat Lian tahu keampuhan pedang di tangan lawan, pedang di tangan lawannya itu mengeluarkan cahaya berkilauan yang menyilaukan mata, menarik tapi juga mengeluarkan sinar dingin. Ada semacam hawa gaib yang memancar dari tubuh pedang. Swat Lian tertarik dan berdebar. Tapi karena dia datang memang untuk mencari Kim-mou-eng dan kini lawan sudah ditemukannya secara kebetulan maka Swat Lian tak gentar dan justru menantang. “Kim-mou-eng, majulah!”

Bu-hiong tertawa lebar. Sejak tadi dia pun sudah mengamati gadis ini, cantik dan gagah. Tiba-tiba membandingkannya dengan Salima dan mata berkilat aneh. Dia tak kenal gadis ini, tak tahu nama Hu Beng Kui karena jago pedang itu tinggal di selatan, jauh di selatan dan menyembunyikan diri sebagai pedagang pula. Maka ketika dilihatnya Swat Lian bersinar-sinar memandang pedangnya dan gadis itu bersiap-siap dengan senjata aneh di tangan. Mendadak Bu-hiong menggerakkan tangannya dan Sam-kong-kiam itu pun disimpan.

“Nona, aku tak biasa berpedang menghadapi lawan baru. Sebaiknya kau saja yang maju dan seranglah!”

Swat Lian terkejut. "Kau begitu sombong” gadis ini lupa, terasa terhina karena sebagai puteri Si Pedang Maut tentu saja dia merasa direndahkan oleh lawannya itu, tak tahu bahwa lawan tak mengenal ayahnya dan karena itu pula tak mengenal dirinya. Swat Lian tak ingat ini. Maka ketika dia membentak dan Bu-hiong tertawa maka laki-laki misterius ini menggoyangkan lengannya.

“Sudahlah, kita main-main dulu, nona. Kalau pedang itu terpaksa dicabut tentu aku akan mencabutnya!”

“Baik!” dan Swat Lian yang melempar ikat pinggangnya dengan marah tiba-tiba menggetarkan lengan dengan bentakan nyaring, membalas kesombongan lawan dengan sikap yang sama, sama-sama tak bersenjata. “Kim-mou-eng awas..!”

Dan begitu dia menerjang dengan tanpa banyak bicara lagi tiba-tiba Swat Lian sudah mengayunkan lengannya ke muka lawan, angin bersiut tajam dan sinar keperakan berkeredep dari lengan gadis ini, kaki bergerak dan lengan yang bersiutan mendadak sudah mendesing bagai sebatang pedang, perobahan ini begitu cepatnya. Dan ketika Bu-hiong terkejut dan berseru mengelak tiba-tiba angin serangan itu mengenai pohon di belakang dan pohon itu roboh bagai dibabat senjata tajam.

“Crak...!”

Bu-hiong berseru kaget. Dia harus berlompatan mengelak ketika Swat Lian kembali menyerangnya, berbalik dan sudah bertubi-tubi melancarkan serangan dengan ganas. Gadis ini melengking dan penasaran bahwa serangan pertamanya tidak ditangkis. Dia ingin ingin menjajal kekuatan Kim-mou-eng dan marah kenapa lawan menghindar.

Kini dengan cepat dan bertubi-tubi Swat Lian menghujam lawannya, Lengan terus membacok ke sana sini dan desingan demi desingan membuat Bu-hiong terbelalak, kian lama kian hebat saja serangan gadis ini. Dan ketika Swat Lian berkelebatan dan lenyap dalam satu gulungan besar dimana dari balik gulungan ini mencuat lengan pedang yang bertubi'tubi menyerangnya maka Bu-hiong terkesiap dan sadar bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai.

“Bagus, hebat sekali. Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang luar biasa!” Bu-hiong memuji, tentu saja ikut berkelebatan dan kini dia mengimbangi kecepatan lawan. Keduanya kemudian lenyap dan Beng An memandang dengan penuh perhatian. Adiknya sudah mulai mengeluarkan Tangan Pedang dan tentu saja Tangan Pedang yang dimiliki gadis ini jauh lebih hebat daripada yang dimiliki Kao Sin. Angin sambaran yang digerakkan Swat Lian mampu membacok putus apa saja yang berada dalam jarak dekat, seperti yang yang dibuktikannya dengan robohnya pohon di belakang Bu-hiong. Dan karena Swat Lian adalah puteri langsung dari Hu Beng Kiam, Si Pedang Maut maka belasan jurus kemudian lawan dibuat kaget berkali-kali ketika baju dan rambut Bu-hiong terbabat.

“Kurang ajar! Hebat... aihh!” begitu Bu-hiong berseru belulang-ulang, jungkir balik dan sebentar kemudian terdesak. Laki-laki ini terbelalak dan marah, berkali-kali dia harus melempar tubuh bergulingan kalau Tangan Pedang gadis itu menyambar, tajam dan mendesing bagai senjata pusaka saja. Dan ketika dia mundur-mundur dan Swat Lian mengejek lawan maka dalam satu bacokan miring Tangan Pedang gadis ini sempat mencium pundak lawannya.

“Brett...!” Bu-hiong terpelanting mengaduh. Bajunya robek, daging serasa dikoyak sayatan tajam. Dia tidak terluka karena telah mengerahkan sinkang, sinkangnya ini mampu melindungi diri namun tetap juga dia kesakitan, Swat Lian diam-diam terkejut.

Dan ketika gadis itu gembira dapat membuat lawan jatuh bangun maka Beng An yang berseri-seri menonton pertandingan itu ikut girang. “Bagus, arahkan sekarang serangan-serangan mu ke muka lawan. Lian-moi. Robohkan dan pergunakan jurus Pedang Lemas Mengikuti Angin!”

Swat Lian mengangguk. Dia sudah mengikuti petunjuk kakaknya itu, kini tangannya lemas bergerak namun kaku ketika mendekati sasaran. Itulah Pedang Lemas yang dimaksud Beng An, gerakannya tak diduga dan Bu-hiong gusar. Dan ketika satu tusukan hampir saja mengenai matanya dan laki-laki ini berteriak mendadak ketika Swat Lian mengejar dan berkelebat menyusuli serangannya sekonyong-konyong Sam-kong-kiam dicabut, mendesing dan angin sambarannya membuat Swat Lian terpekik. Kalah tajam dan kalah dingin dari kiam-ciangnya sendiri. Dan persis Swat Lian melakukan bacokan ke pinggang dan Bu-hiong bergulingan menangkis maka Swat Lian menjerit ketika ujung lengannya nyaris terpapas.

“Bret!” Kini Swat Lian ganti bergulingan. Dia cepat menarik bacokannya kembali, lawan sudah melompat bangun dan Swat Lian terbelalak, mendengar lawan tertawa dan menggerak-gerakkan Sam-kong-kiam. Pedang Tiga Sinar itu berkeredep dengan mengeluarkan angin bersiut-siut yang tajam. Dari jarak setombak saja orang merasakan gerakannya seperti pisau cukur. Bukan main. Dan ketika Swat Lian melompat bangun dan pucat oleh gebrakan yang membuat ujung lengan bajunya buntung maka gadis ini tertegun dan kaget.

Beng An berkelebat dan tak tega melihat adiknya terluka, gebrakan tadi juga membuat pemuda ini berseru tertahan dan pucat. Sinar menyilaukan dari Pedang Tiga Dimensi itu memang membuat orang mudah terkesiap. Dan ketika adiknya tertegun dengan kaki menggigil maka Beng An berkata, mendorong adiknya ini. “Sekarang kau mundurlah, Lian-moi. Biar aku yang menghadapinya dan kau beristirahatlah”

“Tidak?” Swat Lian tiba-tiba menyambar kembali ikat pinggangnya, mengerahkan sinkang dan ikat pinggang itu mendadak kaku, penasaran. “Aku belum kalah, An-ko. Kau yang mundur dan biarkan aku kembali menghadapi si sombong ini...”

“Sing-sing!” Ikat pinggang itu bergerak dua kali, mengeluarkan desingan dan Swat Lian melompat lagi menghadapi lawan, matanya bersinar-sinar, kaget tapi juga marah. Dan ketika kakaknya was-was dan Bu-hiong tertawa melihat kekerasan hati gadis ini maka laki-laki itu berkata,

“Majulah, mari kita main-main lagi, nona. Kiam-ciangmu yang hebat terpaksa membuat aku mencabut senjata. Majulah, dan hati-hati!”

Swat Lian tak dapat menahan diri. Bu-hiong mengejeknya dengan sikap pongah, lawan sebenarnya dapat didesak tapi berlindung di balik keampuhan pedang pusaka itu. Dia harus mengakui ketajaman Sam-kiong kiam, pedang ini nyaris membuat tangannya buntung. Maka melihat lawan mengejek padanya dan Swat Lian gusar tiba-tiba gadis ini melejit dan sudah membentak, “Manusia sombong, jangan pongah!”

Dan begitu ikat pinggang meluncur lurus ke depan dan menusuk tenggorokan lawan tiba-tiba Swat Lian sudah menyerang dan mempergunakan ikat pinggangnya sebagai pedang, dikelit dan ditangkis dan Swat Lian terpaksa menarik serangannya ini. Menggantinya dengan serangan lain di mana ikat pinggang yang sudah kaku dan keras ini menikam dan menusuk bertubi-tubi, cepat dan luar biasa karena Swat Lian mengerahkan ginkangnya. Tubuh gadis ini lenyap dan sebentar kemudian sinar hitam bergulung-gulung mengelilingi Bu-hiong.

Laki-laki ini terkejut tapi tertawa lebar. Dan karena dia memiliki Sam-kong-kiam dan tusukan serta tikaman bertubi-tubi yang dilakukan Swat Lian memang berbahaya dan selalu menuju tempat-tempat mematikan maka Bu-hiong melompat sana-sini dan mempergunakan pedangnya itu menangkis, selalu coba membentur dengan senjata di tangan Swat Lian, tentu saja Swat Lian marah, senjatanya itu tak mungkin diadu dengan Sam-kong-kiam, terang kalah, kalah tajam. Dan ketika gadis itu melengking dan gusar serta bingung karena senjatanya selalu dipapak Sam-kong-kiam yang luar biasa tajam akhirnya Swat Lian memekik berputaran cepat, mengelilingi lawan.

“Kim-mou-eng, kau licik. Kau hanya mengandalkan pedangmu yang ampuh itu!”

“Ha ha, orang bertempur tentu membela diri, nona. Aku memang hanya memiliki pedang ini. Kalau kau tak mampu merobohkan aku sebaiknya menyerah saja!”

“Keparat, kau sombong....!” dan Swat Lian yang marah serta melengking tinggi mendadak menggerakkan tangan kirinya, senjata di tangan bergerak menusuk ulu hati lawan dan lawan menangkis. Swat Lian berbuat nekat dengan membiarkan ikat pinggangnya bertemu Sam-kong-Kiam. tentu saja putus, sehebat hebat dia mengerahkan sinkang membuat benda lemas menjadi keras tetap saja ikat pinggangnya itu terbabat. Tapi begitu lawan terbahak menangkis senjatanya sekonyong-konyong jari telunjuknya bergerak cepat menotok leher kanan lawan.

“Tuk!” Jari Swat Lian tiba-tiba membal. Gadis ini terkejut karena jalan darah yang diincar ternyata merupakan daging empuk saja, sasarannya kosong. Lawan tidak apa-apa dan Swat Lian penasaran, kembali menyerang dan mempergunakan taktik seperti tadi, yakni mengorbankan ikat pinggangnya dan menclok dua tiga kali. Ikat pinggangnya putus semakin pendek namun setiap totokannya itu gagal. Gadis ini kaget dan tidak mengerti. Dan ketika lima enam kali dia tetap saja tak berhasil merobohkan lawan dan ikat pinggangnya kian pendek dibabat Sam-kong-kiam akhirnya lawan terbahak dan balas menyerangnya.

“Lian-moi, awas...!”

Swat Lian kaget. Saat itu dia mengorbankan senjatanya sudah tujuh kali, ikat pinggangnya ini hampir habis dan lawan berkelebat. Sam-kong-kiam mengeluarkan sinar menyilaukan dan Beng An berseru keras melihat adiknya dalam bahaya. Maka begitu pedang berkelebat dan Sam-kong-kiam menuju dada adiknya tiba-tiba Beng An membentak dan meloncat tinggi, kaki bergerak dan dengan gerak begitu cepat pemuda ini menendang pundak lawan.

Swat Lian sendiri sudah membanting tubuh bergulingan tapi sisa ikat pinggangnya disambitkan ke depan, benda ini mirip belati tajam yang menyambar muka lawan, jarak demikian dekat dan Bu-hiong terkejut, tak menduga kalau Beng An menyerangnya pula dari sebelah kiri. Dan karena sambaran ikat pinggang cukup berbahaya karena benda lemas itu telah menjadi kaku seperti pisau dan tendangan dari samping dinilai tak begitu berbahaya dibanding sambitan jarak dekat ini maka Bu-hiong berseru keras merobah gerakan pedangnya menangkis ikat pinggang yang menyambar cepat itu.

“Crak!” Sam-kong-kiam berhasil meruntuhkan benda ini. Bu-hiong selamat, tapi karena tendangan dari samping tak dapat dia hindari maka Bu-hiong mencelat dan jatuh bergulingan mengeluh kaget. Bagaimana pun tendangan Beng An bukanlah tendangan main-main, Beng An mengerahkan hampir segenap tenaganya di sini. Kalau orang biasa yang menerima tentu pundak itu sudah remuk. Bu-hiong melompat bangun dan marah memandang pemuda itu.

Dan ketika Beng An mendekati adiknya dan lega melihat Swat Lian tak apa-apa maka pemuda ini berkata, “Nah, sekarang kau mundur, Lian-moi. Kau tak dapat mengatasi Kim-mou-eng dan biar aku yang maju.”

“Tapi aku belum kalah!” Swat Lian sengit. “Dia licik mempergunakan keampuhan pedangnya itu. An-ko. Kalau bukan karena Sam-kong-kiam belum tentu dia menang!”

“Sudahlah, kita harus bersikap ksatria, Lian moi. Karena kau kehilangan senjata dan tak dapat meneruskan pertandingan maka anggap saja kau kalah. Sekarang biarkan aku yang maju dan kau menonton di pinggir.” Beng An berkata halus, betapapun adiknya ini harus dibujuk karena Swat Lian merupakan gadis yang keras hati. Dengan lembut dan halus pula dia mendorong adiknya, Swat Lian melotot. Dan ketika gadis itu mau dibujuk dan Beng An tersenyum maka pemuda ini membalik menghadapi lawan.

“Kun-mou-eng, kau hebat. Tapi sayang kehebatanmu ternyata ditunjang Sam-kong-kiam. Biarlah aku menggantikan adikku dan kita main-main sebentar... srat!” Beng An mangeluarkan ikat pinggangnya pula, sudah meluruskannya dan mengerahkan sinkang hingga ikat pinggang itu kaku, keras dan bergetar di tangan pemuda ini. Lalu sementara lawan terbelalak kepadanya pemuda ini melompat ke depan, kelima jari di tangan kiri berkerotok mencengkeram dan membuka. “Majulah!” lantangnya. “Mari main-main dan biar ku rasakan sendiri kelihaianmu!”

Bu-hiong terbelalak. Sebenarnya dia harus mengakui dalam pertandingannya melawan Swat Lian tadi bahwa gadis itu memiliki ilmu yang hebat. Kalau tak ada Sam-kong-kiam di tangan barangkali dia roboh. Kini sang kakak maju dan lawannya ini tampak lebih tenang, berarti lebih dapat menguasai diri dan orang begini berarti lebih terbahaya.

Beng An sendiri sebenarnya jarang bertempur, kini bertempur dengan lawan yang dianggap berat, lawan memegang Sam-kong-kiam. Tapi karena dia telah menantang dan pemuda itu ingin merasakan sendiri kehebatan lawan, maka Beng An bersiap-siap dan sudah meluruskan senjatanya itu, senjata yang aneh, karena Beng An memang tidak membawa senjata lain kecuali itu, begitu juga adiknya.

Mereka dapat mempergunakan apa saja sebagai pedang. Jarang bertempur membuat mereka jarang membawa senjata, padahal kalau pedang ada di tangan tentu kakak beradik ini akan lebih hebat lagi. Mereka tak perlu mengeraskan senjata lemas menjadi keras, yang berani pengeluaran tenaga ekstra. Dan ketika lawan sudah maju menantang dan Bu-hiong tertawa aneh tiba-tiba laki-laki ini pun berkelebat ke depan dan berseru mengejek,

“Tidak, kau dulu yang maju, anak muda. Kalau kau dapat merobohkan aku tentu kau berhak membawa pedang ini!”

“Aku akan coba-coba,” Beng An berkata tenang, melirik dan berhati-hati menghadapi pedang di tangan lawan. Lalu begitu lawan bersiap dengan senyum mengejek tiba-tiba Beng An membentak dan sudah menyerang dengan satu serangan miring. “Awas...!”

Bu-hiong siap. Beng An menggerakkan senjatanya yang aneh. ikat pinggang meluncur lurus menuju dadanya, tentu saja disambut Sam-kong-kiam dan Bu-hiong tertawa mengejek. Pemuda itu tak mungkin mengadu senjata, hal ini benar karena Beng An tiba-tiba menarik serangannya, ikat pinggang membalik dan tiba-tiba menjadi benda lemas lagi. Dan begitu Beng An berseru melompat ke kiri tahu-tahu ikat pinggang yang lemas ini meledak nyaring di sisi kepala lawan.

“Tarr...!”

Bu-hiong terkejut. Dia tak menduga kalau Beng An mampu merubah-rubah sinkangnya, dari keras menjadi lemas atau sebaliknya. Ini tentu saja membuat dia terkejut karena ikat pinggang sudah menyambar telinganya, ledakannya membuat terkesiap karena mirip petir di siang bolong. Dan karena dia tak sempat menangkis dan satu-satunya jalan hanya melompat mengelak maka Bu-hiong melakukan ini dan sudah dikejar dengan serangan-serangan berikut, ikat pnggang mendadak berobah lagi menjadi kaku dan keras, menutuk dan mendesing menuju kaki.

Lalu ketika Sam-kong-kiam ikut bicara dan menangkis serangan ini maka senjata di tangan Beng An sudah berobah lemas lagi dan meledak menyambar tempat lain, bertubi-tubi dan cepat Beng An menyerang lawannya. Bu-hiong sibuk dan terpaksa bergerak cepat pula. Serangan lawan berubah-ubah. Dan ketika ikat pinggang itu menusuk dan meledak membingungkan lawan mendadak untuk pertama kalinya Bu-hiong dibuat bingung!

“Keparat, lihai sekali. Hebat!”

Beng An tak lekas menjadi gembira. Seruan lawan yang memuji berkali-kali tetap membuat pemuda ini bersikap biasa. Serangan-serangannya mulai menuju pada titik-titik pusat yang berbahaya, kening, mata dan bagian bawah. Sering berganti namun memiliki tenaga dan kecepatan yang semakin bertambah. Sam-kong-kiam tak banyak berdaya menghadapi serangan Beng An yang tak gampang diikuti, aneh tapi berbahaya. Dan ketika Beng An mempercepat gerakannya dan selalu menghindar bila Sam-kong-kiam menyambut maka satu kali ujung ikat pinggang meledak mengenai pundak lawan.

Bu-hiong tak apa-apa. Laki-laki ini hanya terhuyung, ikat pinggang kembali bergerak dan kali ini berobah kaku. Bagai sebatang pedang senjata di tangan Beng An menusuk, tepat mengenai leher laki-laki itu. Tapi ketika ikat pinggang mental bertemu tubuh lawan yang dilindungi kekebalan sinkang maka Beng An ganti terkejut mengerutkan kening.

“Ha-ha, kau tak dapat melukai aku, anak muda. Boleh pilih sasaranmu tapi berhati-hatilah, aku pun akan membalas!”

Beng An merjadi penasaran. Dia saat itu di atas angin, lawan dibuat bingung oleh perobahan pukulannya yang bervariasi, inilah kelebihan Beng An dibanding adiknya. Tapi melihat dua tusukannya gagal menghadapi lawan yang kuat Beng An menjadi gemas dan marah juga. “Ayo, kau pun boleh menyerangku, Kim-mou-eng. Jangan hanya menangkis saja!” Beng An membentak, diam-diam mempelajari kelemahan lawan dan coba mencari kelemahan ini.

Seruannya disambut tawa oleh Bu-hiong. Hal itu dianggap sebagai penyerahan, Beng An tak dapat merobohkannya dan laki-laki ini gembira. Maka begitu lawan menyuruhnya menyerang dan Beng An memperlambat serangannya tiba-tiba Sam-kong-kiam menusuk dan membabat leher pemuda ini.

“Singg!”

Beng An merendahkan kepala. Dengan berani dia membiarkan pedang lewat beberapa senti saja di atas kepalanya, terkejut ketika sebagian rambutnya terpapas oleh angin sambaran pedang, baru oleh anginnya saja. Tapi karena dia telah mengatur strategi dan melihat kesempatan baik dengan ketiak lawan yang terbuka di atas kepalanya tiba-tiba Beng An menggerakkan jari menusuk menotok bawah ketiak tawan.

“Tuk!” Jari Beng An membal. Sama seperti adiknya Beng An merasa menusuk segumpal daging yang kosong, tempat ini tak memiliki jalan darah dan Beng An tertegun. Tapi karena dia tak boleh lengah dan lawan memutar tubuh tertawa mengejek tiba-tiba ikat pinggang Beng An meledak menyambar selangkangan.

“Tarr!” ikat pinggang ini pun mental Beng An jadi terkejut ketika lagi-lagi untuk kedua kali dia merasa bagian itu kosong, agaknya lawan “menarik” anggota bagian tubuh ini ke dalam. Beng An tercekat. Dan ketika dia terbelalak dan tertegun kalah cepat tahu-tahu Sam-kong-kiam menyambar dan untuk pertama kali membabat senjatanya.

“Tass!” senjata Beng An putus, ikat pinggang itu tinggal separoh, kini Beng An berseru keras menghindari sambaran berikut, Sam-kong-kiam memburu dan lawan terbahak gembira. Rupanya sedikit hasil tadi membuat dia di atas angin. Beng An dikejar dan kini berlompatan menghindari Sam-kong-kiam, pemuda itu pucat. Dan ketika Bu-hiong tertawa bergelak dan Beng An berputaran mengelak dan menangkis tiba-tiba Beng An yang tadi di atas angin berobah menjadi di bawah dan terdesak.

“An-ko. Pergunakan Bianglala Menari. Jangan beri kesempatan lawan mendekatimu!”

Beng An sadar. Tiba-tiba dalam saat begitu dia mengeluarkan seruan panjang, tubuh yang berputaran mendadak meloncat tinggi. Beng An berjungkir balik dan melewati kepala lawan. Dan ketika Bu-hiong menggeram dan memutar tubuhnya tiba-tiba Beng An berpusing mengelilingi lawan dengan senjata yang tinggal separoh menikam dan menotok.

“Aih, siluman. Ilmu yang aneh!” Bu-hiong berseru, menjadi marah dan mendongkol karena kini tangan lawan menjulur masuk keluar mengiringi gerakan senjata, ikat pinggang di tangan Beng An itu melakukan serangan bertubi yang amat cepat. tingkahnya bagai lidah ular yang keluar masuk. Sam-kong-kiam kembali bingung menyambut sana-sini.

Beng An sekarang waspada untuk tidak terbacok lagi. Senjatanya yang tinggal separoh itu harus disayang-sayang. Dan ketika pemuda ini lenyap mengelilingi lawan dan tangan kiri juga mulai mendesing-desing dengan kiam-ciang atau Tangan Pedang maka Beng An tiba-tiba seolah memiliki dua senjata di kedua tangannya.

“Keparat, benar benar hebat...!” Bu-hiong terbelalak, mata menjadi kabur dan tak dapat mengikuti gerakan Beng An, terpaksa memutar cepat Sam-kong-kiam di tangan hingga pedang itu membentuk gulungan cahaya yang membungkus dirinya.

Sekarang Beng An repot dan mengumpat, lagi-lagi dia tak dapat menyerang, tentu saja tak berani menembus bungkusan cahaya yang angin sambarannya saja sudah merontokkan daun-daun di atas kepala mereka. Dan ketika pemuda itu berputaran cepat dan Bianglala Menari yang dimainkan Beng An terus bergerak dan mengelilingi lawan maka Bu-hiong membentak dari dalam gulungan sinar pedangnya melontarkan pukulan aneh dengan tangan kirinya.

“Bocah, jangan berputaran dengan licik. Ayo sambut pukulanku kalau berani!”

Beng An marah. Ditantang dan dikira licik begini membuat pemuda itu naik darah, pukulan tangan kiri lawan mencuat dari gulungan sinar pedang. Tentu saja dia tak takut dan merasa kebetulan, inilah saatnya dia menemukan titik kelemahan, lawan bisa ditarik dan menghentikan gerakan pedangnya. Maka begitu pukulan menyambar tiba dan saat itu Beng An ada di depan, mendadak pemuda ini menyambut dan berseru keras.

“Dukk!” Dua lengan mereka bertemu. Beng An yang mau menarik tiba-tiba melihat tangan lawan dibuka, kiranya lawan pun mau melakukan hal yang sama, yakni menarik dirinya dan membawa dirinya ke dalam gulungan sinar pedang, tentu saja Beng An tak mau dan mendahului. Tapi ketika lawan tertawa aneh dan cengkeraman Beng An bertemu cengkeraman lawan sekonyong-konyong Bu-hiong membentak dan Beng An terkejut melihat lengan lawan yang sudah berobah kehijauan seperti kulit ular.

“Aihh!” Beng An terlambat, terkejut dan segera mencium bau amis dari lengan lawan yang terjulur Kedua tangan mereka sudah saling cengkeram dan Bu-hiong membetot, saat itu mereka berkutat dan Beng An kaget bukan main karena baru sekarang dia sadar bahwa pukulan lawan mengandung racun, entah apa itu namun Beng An cepat menahan napas, tak mau menyedot dan tentu saja gugup. Beng An kurang pengalaman dalam pertempuran di dunia kang-ouw. Dan ketika dia membentak dan coba melepaskan diri dengan menarik dan mendorong mendadak Sam-kong-kiam berkelebat dari samping menyambar leher pemuda ini.

“Ha-ha,... mampus kau...!”

Beng An dan Swat Lian terkejut. Beng An sampai putih mukanya melihat sambaran pedang itu, dia seharusnya menggerakkan ikat pinggang mendahului lawan setidak-tidaknya dengan ikat pinggang itu dia dapat mengacau konsentrasi lawan, Bu-hiong tentu harus berpikir seribu kali bila Beng An menimpuk sisa senjatanya itu, seperti Swat Lian tadi misalnya. Tapi karena Beng An dalam keadaan gugup dan juga rasa gatal yang menyerang tangannya akibat cengkeram-mencengkeram itu membuat dia terbelalak dan lupa akan semuanya maka pedang membabat dan Swat Lian terpekik.

“Awas...!” Swat Lian sudah berkelebat cepat. Kaki gadis ini bergerak menendang sebuah batu, lumayan besarnya, menyambar dan menangkis Sam-long-kiam, pecah dan tiba-tiba menjadi dua ketika bertemu ketajaman pedang itu. Kebetulan mencelat ke kiri dan ke kanan menghantam pelipis Bu-hiong.

Lawan terkejut dan berseru tertahan. Namun karena pedang tetap menyambar dan Bu-hiong juga tak dapat mengelak sambaran dua batu kecil itu maka Bu-hiong terpekik sementara Beng An juga mengaduh ketika pedang menyerempet pundaknya, untung keserempet.

“Tak-tak-bret!”

Dua laki-laki itu sama sama terpelanting bergulingan. Beng An terlepas dari maut berkat pertolongan adiknya. Swat Lian berkelebat mengangkat bangun kakaknya ini, terkesiap melihat lengan kakaknya berobah kehijauan. Kena racun! Dan ketika Beng An mengeluh dan memandang pundaknya yang luka pula mendadak pemuda ini roboh dan jatuh kembali.

“Aduh, Kim-mou-eng! curang, Lian-moi. Dia menggunakan racun dan licik!”

Swat Lian marah, terkejut sekali, cepat mengambil obat penawar dan menyuruh kakaknya minum. Tapi begitu Beng An menelan obat ini dan mengeluh dua kali tiba-tiba pemuda ini terguling dan pingsan.

“Keparat!” Swat Lian melompat bangun. “Kau jahanam tak tahu malu, Kim-mou-eng. Kau licik dan curang. Kau melukai kakakku!”

Dan Swat Lian yang marah membentak nyaring tiba-tiba berkelebat dan menyerang Bu-hiong bertubi-tubi, nekat dan mempergunakan kaki tangannya untuk merobohkan lawan. Bu-hiong terkejut dan mundur-mundur, pedang bergerak dua kali dan lengan baju si nona putus. Swat Lian tidak perduli dan terus menyerang. Laki-laki ini terbelalak dan kaget. Kemarahan Swat Lian persis kemarahan Salima. Tak takut atau gentar menghadapi kematian. Dan ketika gadis itu terus memaki-makinya dan Tangan Pedang menyambar-nyambar akhirnya dalam satu kelengahan yang tidak disengaja leher laki-laki ini terpukul.

“Plak!” Bu-hiong terjengkang. Dia bergulingan menjauh, Swat Lian mengejar dan berseru keras lagi. Tangan Pedang bergerak dan kembali mengenai lawan. Bu-hiong batuk-batuk dan ragu mempergunakan Sam-kong-kiam, entah kenapa mengamuknya gadis ini mengingatkan dia akan Salima, wajah Swat Lian seolah menjadi wajah Salima. Dan ketika Bu-hiong mengeluh dan terhuyung mengelak sana-sini mendadak laki-laki ini muntah darah.

“Aduh, tobat, Salima. Tobat...!”

Swat Lian terkejut orang tiba-tiba menyebutnya sebagai Salima, lebih terkejut lagi melihat lawan melontakkan darah, padahal sebenarnya berkali-kali lawannya itu mampu menahan pukulannya dengan sinkang. Jadi aneh kalau Kim-mou-eng ini terluka, Swat Lian tentu saja tidak mengerti dan bingung, sejenak merandek namun kembali meneruskan serangan-serangannya. Dia marah melihat lawannya ini melukai kakaknya, dengan pukulan beracun. Dan ketika lawan didesak dan terus mundur-mundur dengan sikap yang aneh mendadak lawannya itu memutar tubuh dan lari meninggalkan pertempuran.

“Nona, urusi kakakmu. Kita hentikan perkelahian ini!”

Swat Lian kembali terkejut. Orang muntahkan darah untuk kesekian kalinya, kini darah itu berwarna kehijauan. Kim-mou-eng rupanya keracunan. Tapi Swat Lian yang tak membiarkan orang lari dan meninggalkan pertempuran tiba-tiba mengejar dan membentak, “Tidak, kau mampus dulu, Kim-mou-eng. Bayar dulu hutang kesalahanmu pada kakakku!” dan Swat Lian yang melakukan pukulan dari belakang tiba tiba menyambar dan tepat menghantam punggung orang.

“Dess!” Bu-hiong terguling-guling. Untuk kesekian kalinya dia mengeluh, terhuyung dan melompat bangun dengan bingung. Geraman pendek terdengar dari mulutnya, mata liar ke kiri kanan. Dan ketika Swat Lian kembali menyerangnya dan nekat tak mau membiarkan dia pergi sekonyong-konyong tangannya meraup dan segenggam pasir dihamburkan ke muka gadis ini. “Pergilah...!”

Swat Lian terkejut. Dia terpekik tak mengira perbuatan itu, mengelak namun masih kemasukan juga, pasir-pasir yang lembut memasuki matanya, tentu saja dia mencak-mencak dan memaki kalang kabut. Mata tak dapat dipakai melihat dan Swat Lian marah bukan main, cepat membersihkan dan membuka kembali matanya. Namun ketika dia memandang dan mencari-cari lawannya itu dengan mata yang masih pedih ternyata lawannya itu telah lenyap.

“Keparat, kau licik, Kim-mou-eng. Kau curang!” Swat Lian membanting kaki, gusar dan marah dan hampir dia menangis. Swat Lian coba mencari lagi tetapi gagal. Dan karena lawan benar-benar rneninggalkannya Swat Lian tak tahu lagi ke mana lawannya itu pergi akhirnya gadis ini menghampiri kakaknya dan cemas melihat kakaknya belum siuman juga. Wajah kakaknya itu kehijauan pula, Swat Lian akhirnya benar-benar menangis, tak mampu dia menolong kakaknya itu lebih jauh. Dan karena kakaknya keracunan dan hanya ayahnyalah yang dapat mengobati kakaknya itu akhirnya Swat Lian menyambar dan memanggul kakaknya ini pulang ke Ce-bu.

* * * * * * * *

“Hm, Cheng-tok-jiu yang ganas. Pukulan beracun yang benar-benar berbahaya!” begitu ayahnya berkata ketika terkejut melihat kedatangannya.

Swat Lian telah tiba di rumah, tiga hari tiga malam melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti. Kini sambil menangis dia meletakkan kakaknya ini di lantai. Si Pedang Maut Hu Beng Kui cepat memeriksa. Dan ketika Swat Lian bercerita bahwa dia telah bertemu Kim-mou-eng dan Kim-mou-eng melukai kakaknya maka alis jago tua ini berkerut kerut.

“Suruh kelima suhengmu mengurusi semua pekerjaan hari ini. Aku tak mau diganggu!” begitu Hu Beng Kui memerintah puterinya, menaruh telapak tangan dan segera menyalurkan sinkang-nya di punggung sang anak. Tiga hari tiga malam ini Beng An hanya diberi obat penawar, muka pemuda itu semakin pucat kehijauan, Hu Beng Kui marah. Sebagai orang berpengalaman tentu saja dia tahu pukulan apa yang diterima puteranya itu. pukulan beracun yang dikenal sebagai Cheng-tok-jiu (Racun Hijau).

Swat Lian dan kakaknya kurang pengalaman dalam menghadapi pukulan-pukulan macam begini, dia memang tak memperbolehkan putera-putrinya turun ke dunia kangouw, baru kali ini. Maka ketika anak-anaknya kembali dan Beng An mengalami luka pukulan berat akhirnya pendekar ini agak menyesal dan cepat menolong puteranya itu, menyuruh Swat Lian menyeduh ramuan-ramuan tertentu dan kini dengan telapak di punggung dia menyalurkan sinkangnya.

Dengan sinkang itu pendekar pedang ini hendak melenyapkan racun yang mengeram, membakarnya. Dan ketika dua jam kemudian pendekar ini mengeluarkan peluh dan racun dibakar dari dalam tiba-tiba tak lama kemudian uap hijau menguap dari tubuh Beng An, naik dan keluar dari tubuh pemuda itu, baunya menyengat, amis dan busuk. Swat Lian menutupi hidung mencium bau tak sedap itu, seperti kentut bercampur bau bangkai! Dan ketika sejam kemudian pendekar pedang ini menambah tenaganya dan bekerja keras mendadak Beng An membuka mata dan mengeluarkan keluhan lirih.

“Dia sadar, minumkan ramuan itu dan bawa ke sini segayung air dingin!” Hu Beng Kui melepaskan tangannya, tubuh basah kuyup oleh keringat dan Swat Lian cepat maju, ramuan diberikan dan pendekar pedang ini mengguyur muka puteranya dengan air dingin itu. Tak ayal Beng An gelagapan dan bangkit duduk, kaget dan membelalakkan mata. Tapi melihat ayah dan adiknya ada di situ dan sang ayah bersimbah peluh tiba-tiba pemuda ini menjadi girang.

“Ayah...!” Beng An mau melompat turun, berseru dan lupa bahwa dia baru saja terkena pukulan beracun, sang ayah cepat mengibas dan Swat Lian menahan kakaknya ini Beng An hampir saja terjelungup. Dan ketika pemuda itu terkejut dan sadar mendapat isyarat maka adiknya berkata,

“Sst, kau baru sembuh, An-ko. Jangan banyak bergerak dan cepat minum ini!”

Beng An tertegun. Adiknya telah mendekatkan semangkok besar minuman panas, obat yang pahit dan hitam. Sang ayah mengangguk dan Beng An teringat, sekarang dia teringat bahwa dia terkena pukulan beracun, tentu saja girang ayahnya menolong, kontan menerima mangkok obat itu dan langsung menenggaknya. Sekali tegukan obat itu amblas di perutnya. Dan ketika Beng An merasa perutnya hangat dan lengan yang kehijauan juga sudah pulih seperti sedia kala tiba-tiba pemuda ini berseru, “Mana Kim-mou-eng, Lian-moi? Mana manusia curang yang tidak tahu malu itu!“

“Hm,” Swat Lian mengepal tinju. “Kim-mou-eng lari, An-ko. Aku tak dapat mengejar dan menolongmu.”

“Dia kalah olehmu?”

“Tidak,” Swat Lian merah mukanya, “Dia melarikan diri tanpa sebab yang kumengerti.”

“Melarikan diri? Kenapa?”

“Aku tak tahu,” Swat Lian menggeleng “Aku juga heran dan tak mengerti perbuatannya itu, An ko. Tapi kalau dia tetap melayaniku barang-kali kita berdua sudah tak dapat bertemu ayah lagi. Sam-kong-kiam di tangannya terlalu hebat!”

Beng An melompat turun, mengangguk. “Ya, pedangnya itu terlampau luar biasa, Lian-moi. Kau sudah menceritakannya kepada ayah?” Beng An bergidik, harus mengakui ketajaman Sam-kong-kiam dan kini ayahnya mengangguk.

Swat Lian memang telah menceritakannya kepadanya. Dan ketika dua putera-putrimya menarik kursi masing-masing pendekar pedang ini berkata, “Kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik, dan untung kalian dapat pulang dengan selamat, meskipun Beng An terluka. Dan karena kalian tahu dimana kalian bertemu dengan Kim-mou-eng maka besok tunjukkan padaku dan kita bertiga berangkat lagi...”

“Ah, ayah mau turun tangan?”

“Agaknya begitu, An-ji. Keampuhan Pedang Tiga Dimensi menarik perhatianku. Kalian rupanya benar-benar tak sanggup menandingi pedang itu. Biar aku yang maju dan dua hari lagi kita berangkat?”

“Tapi aku sudah sehat, ayah,” Beng An berseru, rupanya penasaran tapi juga girang. “Dan aku sanggup berangkat hari ini atau besok!”

“Tidak,” sang ayah tetap menggeleng. “Racun di tubuhmu memang telah sirna, An-ji. Tapi kekuatan tubuhmu belum putih benar. Kau masih lemah, biar kau beristirahat dua hari ini sementara aku akan mengatur kelima suhengmu meneruskan pekerjaan.”

Beng An terdiam. Kalau ayahnya sudah bicara seperti itu tak mungkin dia membantah lagi. Swat Lian tersenyum dan menowel kakaknya ini, memberi pandangan penuh arti dan Beng An menarik napas panjang, senyum kecut muncul di sudut bibirnya. Dia maklum akan perintah sekaligus nasihat ayahnya ini. Dan karena sang ayah sudah memutuskan begitu dan mereka terpaksa menurut maka Beng An disuruh ayahnya untuk memulihkan tenaga sendiri.

“Kau harus mengumpulkan tenagamu, bersamadhilah dan pulihkan tenaga sendiri agar sisa-sisa racun benar-benar lenyap.”

Beng An lagi-lagi tak dapat membantah. Hari itu dan hari kedua dia diharuskan mengumpulkan tenaga, memulihkan sinkangnya dan duduk bersila. Swat Lian telah keluar untuk menyiapkan yang lain-lain, gadis itu pun tak dapat mambantah ayahnya. Dan ketika dua hari lewat, jago pedang itu memanggil semua muridnya maka berkatalah pendekar ini sebelum berangkat.

“Kalian berlima teruskan pekerjaanku sebagaimana biasa. Aku dan Beng An serta Swat Lian akan pergi, kami mencari Kim-mou-eng. Kalau ada urusan-urusan yang tak dapat kalian selesaikan biar ditunda dulu sampai kami kembali.”

“Apakah tak dapat diwakili kami, suhu?” Kao Sin, murid termuda bertanya, sudah mendengar perihal sumoinya dan kecurangan Kim-mou-eng. “Atau dua di antara kami mewakili suhu menghadapi Pendekar Rambat Emas itu!”

“Tidak. Sam-kong-kiam di tangannya terlalu berbahaya, Kao Sin. Kalau toh kalian semua pergi maka pekerjaan di sini tak ada yang mengurus.”

“Tapi dua atau tiga di antara teecu sanggup, tidak perlu berlima!”

“Tidak, aku menginginkan kalian di sini, Kao Sin. Pedang itu benar'benar terlampau berbahaya dan kalian mungkin kurang pengalaman. Sudahlah, kalian tunggu kami kembali dan urus pekerjaan sehari-hari sebagaimana biasa!” jago pedang itu tak mau berpanjang lebar lagi, memutus bantahan muridnya dan Kao Sin serta empat suhengnya tak berani lagi bicara.

Mereka pun tahu watak suhu mereka ini, keras dan tegas. Dan ketika hari itu suhu mereka berangkat dan Beng An serta adiknya menyimpan pedang di belakang punggung dan tampak begitu gagah dengan pakaian baru yang ringkas maka mereka kagum memandang dua sumoi dan sute itu, terutama Swat Lian, tampak semakin cantik dan gagah!

“Selamat jalan, sumoi. Hati-hati!”

“Ya, selamat jalan, sute. Hati-hati!”

Beng An dan adiknya mengangguk. Mereka sudah naik ke kereta bersama ayah mereka, Hu Beng Kui tak mau menunjukkan kepandaian di dalam kota, menyuruh kusir berangkat dan mereka seolah keluarga hartawan yang ingin pesiar. Kusir pun menurut. Tapi begitu mereka tiba diperbatasan kota yang sepi dan jago pedang ini menyuruh kereta berhenti maka dia sudah meloncat keluar diikuti dua anaknya.

“Cukup, pulanglah. Sekarang kau kembali dan kami akan berjalan kaki...” Hu Beng Kui berkelebat, untuk pertama kali dia menunjukkan kepandaiannya pada bawahan, tiba-tiba lenyap dan hilang seperti iblis.

Swat Lian dan Beng An tertawa melihat kusir mereka itu melongo, memang pembantu mereka itu hanya mendengar-dengar saja tentang kepandaian pendekar ini, tak berani bicara dan juga tak berani bertanya. Tentu saja kaget melihat majikannya lenyap sebelum kata-katanya selesai. Dan ketika Beng An serta adiknya juga mengikuti jejak sang ayah dan mereka lenyap dari depan kusir ini maka dari kejauhan Swat Lian berseru tertawa,

“Ai lopek, jangan ndomblong saja. Ayah menyuruhmu pulang dan pulanglah. Jangan ceritakan peristiwa ini pada siapa pun!”

Sang kusir baru sadar. Sekarang dia terkejut, menjatuhkan diri berlutut dan berulang-ulang mengucap janji. Keluarga itu memang dianggap sebagai dewa atau orang-orarg aneh saja, dia adalah pelayan biasa yang tidak memiliki kepandaian seperti Kao Sin dan empat suhengnya itu. Maka begitu mendapat peringatan dan disuruh pergi buru-buru kusir ini mengangguk dan meloncat ke atas keretanya kembali, memutar kereta dan pulang ke Ce-bu.

Entah kenapa mukanya tiba-tiba penuh keringat. Kalau tidak mengenal majikannya bertahun-tahun tentu dia akan menganggap ketiganya hantu-hantu yang pandai menghilang. Begitu hebat dan luar biasa. Dan ketika kereta berderap kembali memasuki kota Ce-bu maka di sana Swat Lian tertawa-tawa mengejar ayahnya.

“Ayah, Ai-lopek seperti melihat setan. Kau membuatnya terkejut dan kaget!”

Hu Beng Kui tak tersenyum. Dia sedang memusatkan perhatian pada Kim-mou-eng, diam-diam meraba sebatang pedang hitam di pinggangnya, pedang lentur tapi tajam luar biasa. Itu pun pedang pusaka dan entah bagaimana kalau nanti berhadapan dengan Sam-kong-kiam. Pedangnya itu terbuat dari baja pilihan bercampur batu bintang, kerasnya sudah diuji dan batu sebesar apa pun terbacok mudah bila bertemu pedangnya ini. Dia menamakan pedangnya itu Hek-seng-kiam (Pedang Bintang Hitam). Maka ketika puterinya menegur dan berseru tentang perbuatannya jago pedang ini seolah-olah tak mendengar.

“Hm, tak perlu banyak bicara di saat ini, Lian ji. Aku ingin kalian semua serius dan cepat menemui Kim-mou-eng.”

Swat Lian cemberut. “Memangnya sehari bisa sampai? Aku harus berlari tanpa henti tiga hari tiga malam, ayah. Sebaiknya tak perlu serius dan dua hari ini kau ajak kami menikmati perjalanan.”

“Benar, kami hampir tak pernah keluar bersamamu, ayah. Ini kesempatan bagus bagi kami untuk menikmati perjalanan keluarga, sebelum bertemu Kim-mou-eng!” Beng An menyambung.

“Huh, memangnya kalian mau bersenang-senang? Bukankah di Ce-bu kalian dapat melakukan itu tanpa halangan?”

“Tapi ini lain, ayah. Kami ingin mendapatkan perhatianmu sebelum kita bertemu Kim-mou-eng!” Swat Lian berkata lagi, membuat ayahnya menoleh dan si jago pedang bertanya apa maksud putrinya itu, kenapa putrinya bicara tentang “perhatian”. Dan ketika dengan mulut sedikit cemberut Swat Lian berkata bahwa dia ingin dimanja ayahnya dengan makan minum bersama atau tinggal di penginapan yang baik karena jarang mereka dapat melakukan itu tiba-tiba pendekar ini tersenyum.

“Kau seperti anak kecil, tingkahmu lucu!”

“Hm, ayah tak mau menyenangkan kami?”

“Menyenangkan apa lagi? Bukankah di Ce-bu hampir semua permintaan kalian kuturuti? Sudahlah, ini bukan perjalanan santai, Lian-ji. Aku ingin cepat ketemu dan berhadapan dengan Kim-mou-eng itu!” Hu Beng Kui tak menggubris lagi, dua anaknya disuruh diam dan Swat Lian serta kakaknya kecewa. Swat Lian mendongkol. Maka ketika malam tiba dan mereka terhambat di tengah hutan tiba-tiba gadis ini mogok dan tak mau meneruskan perjalanan!

“Sudah, di sini saja. Kita boleh berteman nyamuk dan ular!” Swat Lian berhenti, sang ayah terkejut karena sebenarnya pendekar pedang itu menghendaki perjalanan diteruskan, putrinya mogok dan untuk pertama kali protes. Dan ketika Swat Lian membanting pantat terisak di rerumputan akhirnya Beng An mengikuti adiknya dan duduk memandang ayah mereka.

“Benar, kita berhenti di sini saja, ayah. Aku capai dan Lian-moi pun rupanya letih. Kalau kau mau melanjutkan perjalanan biar ayah di depan dulu besok kami menyusul.”

Pendekar ini tertegun. “Kalian sinting? Dua puluh li lagi ada dusun Lim-chung, Beng An. Kita beristirahat di sana dan minta sekedar makanan pada penduduk!”

“Tidak, aku tak lapar, yah. Aku juga tak haus dan ingin tidur di hutan ini. Sudah lama aku tak berteman nyamuk maupun ular, biar malam ini aku berkawan mereka dan kau tidur di dusun Lim-chun itu,” Swat Lian ngambek, bilang tidak lapar tapi perut tiba-tiba berkeruyuk.

Hu Beng Kui tersenyum dan tiba-tiba tertawa tergelak. Kalau sudah begini dia dilulu (disanjung kebohongan) oleh putrinya itu, tentu saja mengerti dan teringat percakapan pagi tadi. Maka berkelebat menepuk pundak puterinya ini dia berkata, “Baik, aku menyerah pada kalian, anak-anak. Ayo bangun dan kita ke Se-yang. Di sana kita menginap dan cari losmen yang bagus, boleh makan yang enak-enak dan kalian puaskan diri. Tapi ingat, kita harus lari cepat satu jam lagi sebelum tiba di kota itu!”

Hu Beng Kui menarik bangun puterinya, kata-kata ini membuat mata puterinya bersinar dan bibir yang cemberut itu mendadak tersenyum. Swat Lian merasa permintaannya dikabulkan. Tapi karena dia gadis manja dan tentu saja pura-pura menolak dia berkata, “Aku tak ingin ke mana-mana. Aku ingin di sini saja. Kalau ayah mau ke Se-yang silahkan pergi”

“Eh!” Hu Beng Kui mengenal watak anaknya. “Kau mendongkol? Baik, aku minta maaf padamu, Swat Lian. Dan biar kutebus kesalahanku itu.... wut!” dan si jago pedang yang tiba-tiba menyambar puterinya memanggulnya di pundak mendadak tertawa berseru pada puteranya, “Beng An, ayo jalan. Adikmu yang manja ini memang ingin menghukum ayahnya, ha-ha!” dan Hu Beng Kui yang berkelebat sambil memondong anaknya seperti anak kecil tiba-tiba sudah meluncur dan keluar dari hutan.

Swat Lian terkekeh dan Beng An tersenyum. Kalau sudah begitu tampaklah betapa kasih ayah mereka itu, Beng An tersipu melihat adiknya dipondong. Tapi karena ayahnya berkelebat dan mau tak mau dia harus angkat kaki akhirnya Beng An menyusul dan berkelebat mengejar ayahnya itu. “Yah, lempar saja si bengal itu. Kenapa di pondong seperti anak kecil?”

“Ha ha, adikmu pingin disayang, Beng An. Biar kulaksanakan permintaannya itu dan jangan kau marah. Sekali tempo ayah memang harus tunduk kepada kemauan anaknya!”

Beng An tertawa. Tiba-tiba saja kemesraan di antara mereka tumbuh, Hu Beng Kui menyambar lengan puteranya pula dan Beng An merasakan kasih yang hangat dan jari-jari ayahnya itu. Inilah yang mereka inginkan. Dan ketika pendekar itu memanggul puterinya menuju Se-yang dan lengan Beng An dicengkeram ayahnya dengan lembut maka Swat Lian tertawa-tawa di pundak ayahnya itu.

“Yah, beginikah ketika aku kecil kau memondongku? Berapa kali sehari kau memondongku?”

“Ha-ha, kau cerewet seperti masa kecilmu, Swat Lian. Aku ratusan kali menggendongmu setiap kau merengek. Ada apa? Minta ditampar pinggulmu pula seperti masa kanak-kanak?” dan ketika Swat Lian terkekeh dan sang ayah bercanda dengan mereka akhirnya sejam kemudian Hu Beng Kui dan anak-anaknya tiba di Se-yang, tentu saja di pintu gerbang kota Swat Lian meloncat duluan, gadis ini berseri-seri dan bahagia memandang ayahnya. Dan begitu mereka masuk kota dan swat Lian hilang cemberutnya langsung gadis ini mencari penginapan yang paling baik.

“Kita ke jantung kota, cari penginapan bertingkat dan pilih yang di atas!”

“Ya... ya, aku tahu,” ayahnya tertawa, “Kau selamanya minta yang serba baik, anak nakal. Kita cari losmen bertingkat dan tidur di atas!” Hu Beng Kui menuruti puterinya, mendapatkan losmen yang dimaksud dan malam itu mereka meminta tiga kamar.

Beng An mengerutkan kening dan minta dua saja, biar dia dan ayahnya itu tidur bersama, katanya demi pengiritan. Hu Beng Kui mau menolak tapi melihat sinar aneh di mata puteranya itu, rupanya Beng An pun ingin tidur bersama sang ayah menikmati kasih sayang, seperti adiknya tadi. Pendekar ini tersenyum, tentu saja tak menolak dan kali ini dia memenuhi keinginan puteranya.

Malam itu ayah dan anak tidur bersama, Beng An merasakan kenikmatan sendiri dalam tidur bersama ini. Memang tak pernah dia tidur bersama ayahnya sejak dia beranjak dewasa, tentu saja itu merupakan kenangan manis bagi pemuda ini. Dan ketika keesokan harinya mereka bangun tidur dan sang ayah membuka jendela maka Swat Lian mengetuk pintu ribut-ribut, rupanya sudah bangun duluan.

“Yah, bangun. Sudah siang. Ayo sarapan dan nikmati hidanganku ini!”

Si jago pedang keluar. “Hm, kenapa ribut-ribut? Hidangan apa?”

“Lihat, aku mendapatkan bubur ayam, yah, dan kecap asin. Ayo kita sarapan mumpung masih panas!”

Hu Beng Kui tersenyum. Di depan pintu kamar Swat Lian telah membawa tiga mangkok bubur yang mengepul harum, bubur ayam kesukaannya, juga kecap asin. Putrinya begitu gembira menawarkan semuanya itu, cepat pendekar ini menyambut dan seorang pelayan membawa meja kursi. Bubur dan lain-lainnya itu ditaruh.

Dan ketika Beng An muncul dan keluar dengan muka segar maka pemuda ini pun tersenyum memandang adiknya, wajah berseri-seri. “Yah, kebiasaan anakmu ini tak hilang juga. Selalu menggedor dan suka membuat ribut di pintu kamar!”

“Hi-hik, aku tak sabar menanti kalian, koko. Aku terbangun karena dengkur yang terlalu kerasi”

“Siapa mendengkur?”

“Tentu kau!”

“Tidak, aku tak pernah mendengkur dan tentu ayah. Ayah semalam pulas dan mendengkur. Aku tahu dan....”

“Ha-ha. sudahlah, anak-anak. Kalau bertengkar begini saja kapan kita menikmati bubur? Ayo makan, jangan ribut!” Hu Beng Kui tertawa tergelak, pagi itu dia gembira karena perjalanan ini memang menggembirakan benar. Melihat dua anaknya ribut menimbulkan satu kegembiraan sendiri di hatinya, Swat Lian dan kakaknya tersenyum. Dan ketika sang ayah menyambar mangkok bubur dan mengeduk isinya maka dua kakak beradik itu tertawa mengikuti, menyambar mangkok masing-masing dan tak lama kemudian isinya pun habis disikat. Bubur ayam dengan kecap asin sungguh nikmat.

Dan ketika Swat Lian mengusap bibirnya yang berminyak maka seorang gadis muncul di tangga loteng, diantar pelayan. “Ini, nona. Silahkan beristirahat!”

Swat Lian tertegun. Dia melihat seorang gadis berkulit hitam manis mendapatkan kamar sebelah, cantik dan gagah dengan topi burung rajawali di atas kepalanya. Semuanya menoleh dan kagum memandang gadis itu. Yang diperhatikan bersikap acuh dan dingin. Ada kesan angkuh pada tamu baru itu, rupanya gadis itu mencari kamar dan kebetulan berada dekat dengan kamar Swat Lian, bersebelahan. Dan ketika pelayan menyerahkan kunci dan gadis itu masuk, maka Hu Beng Kui berkata perlahan,

“Seorang gadis kang-ouw, rupanya bangsa Tar-tar!”

Swat Lian tertarik. “Kau tahu, yah? Dia gadis asing?”

“Ya, kulit dan mukanya itu jelas menunjukkan dia bangsa Tar-tar. Tapi mukanya murung, sebaiknya tak usah kita mengganggu dan biar dia sendirian.”

“Tapi aku ingin berkenalan!” Beng An tiba-tiba berkata tanpa sadar, terkejut sendiri. “Aku, eh... apa yang kukatakan ini?” dan ketika pemuda itu tersipu merah mendengar suara hatinya yang terloncat keluar maka Swat Lian terkekeh berseru menggoda,

“An-ko, kau rupanya kasmaran. Baru sekali ketemu sudah jatuh cinta!”

“Hush!” Beng An merah mukanya. “Aku maksudkan berkenalan dengan kepandaiannya, Lian-moi. Kalau dia gadis kang-ouw tentu kepandaiannya tinggi!”

“Hi-hik, bukankah sama saja? Berkenalan dengan kepandaiannya atau orangnya tiada beda. Kau tak perlu berpura-pura dan aku tahu kau kagum memandang sejak tadi, kau melotot!”

“Sudahlah!” Hu Beng Kui melerai tersenyum, melirik puteranya. “Jangan keras-keras. Lian-ji. Tamu itu dapat mendengar dan kita disangka kurang ajar. Kalian tak perlu ribut dan hari ini kita meneruskan perjalanan. Kakakmu tak serius.”

“Tak serius apa? Lihat, An-ko kecewa. ayah. Begitu kau bilang mau melanjutkan perjalanan tiba-tiba kakakku yang baik ini terkejut. Lihat, tuh.... matanya!” Swat Lian berolok-olok menggoda sang kakak dan Beng An terkesiap.

Memang dia terkejut mendengar perjalanan mau diteruskan, hati tiba-tiba kecewa, sang adik melihat dan langsung saja Swat Lian yang nakal itu mencoblosnya, tentu saja dia kaget. Dan ketika ayahnya memandang dan Beng An gugup tiba-tiba pemuda ini bangkit berdiri berseru geram, “Siapa kecewa? Siapa terkejut? Kalau mau berangkat tentu saja aku mau. Hayo...!” dan Beng An yang gemas melotot pada adiknya tiba-tiba disambut ketawa ayahnya yang geli melihat tingkah dua anaknya itu.

“Sudahlah, kalian lagi-lagi bertengkar. Kenapa ribut melulu? Kau jangan menggoda kakakmu, Swat Lian. Kakakmu tak apa-apa dan mari kita turun, perjalanan tertunda semalaman setelah kita menginap!”

Dan Hu Beng Kui yang berkemas untuk melanjutkan perjalanan lalu membayar sewa kamar dan diam-diam memperhatikan puteranya itu. Tampak jelas bahwa mukanya memang kecewa, Beng An rupanya berat meninggalkan tempat itu setelah melihat kedatangan si gadis Tar-tar, jago pedang ini ingin menguji dan mengajak puteranya berangkat. Kekecewaan Beng An disembunnyikan dan jago pedang ini pun diam-diam tertarik pada gadis di tempat penginapan itu. Sebenarnya juga ingin tahu tapi terhadang perjalanan mereka mencari Kim-mou-eng, dia ingin secepatnya menemui lawannya itu dan merampas Sam-kong-kiam.

Beng An agak murung dalam perjalanan kali ini, sering melamun. Swat Lian sering memberi isyarat padanya dan menyuruh ia melirik puteranya itu, jago pedang ini tersenyum. Dan ketika perjalanan dilanjutkan dan hari kedua mereka menginap di kota Lu-sin mendadak tanpa disangka mereka bertemu kembali dengan gadis Tar-tar itu, di penginapan yang kebetulan dituju pendekar itu, gadis itu sudah lebih dulu di situ, sama-sama di loteng!

“Eh, ketemu lagi, nona?” Hu Beng Kui terpaksa menegur, terkejut dan heran.

“Kau sendiri....?”

“Perkenalkan, kami keluarga Hu. Ini putera putriku Hu Beng An dan Hu Swat Lian!” jago pedang itu terpaksa menyapa, mereka berada di penginapan yang sama dan kebetulan mendapat kamar yang bersebelahan pula.

Entah bagaimana semua kebetulan ini terjadi lagi. Si jago pedang terkejut dan heran, kini dia melihat mata yang tajam dan penuh tenaga sinkang dari gadis yang ditegur ini. Lawan rupanya terkejut dan heran juga. Gadis itu tertegun. Tapi ketika Hu Beng Kui memperkenalkan diri dan dia terpaksa membalas muka dengan sedikit anggukan gadis itu berkata.

“Maaf, aku Malisa. Aku telah mengenal kalian ketika di Se-yang, silahkan kalian beristirahat” dan tidak mau menanggapi jauh jauh gadis ini sudah meninggalkan Hu Beng Kui dan dua anaknya memasuki kamar.

“Sombong!” Swat Lian berseru “Kenapa begitu angkuh budak betina itu, yah? Apakah perlu dia kuhajar?”

“Sst!” sang ayah mencengkeram puterinya. “Jangan membuat ribut, Lian-ji. Gadis itu rupanya tinggi hati tapi biarlah Mudah-mudahan kita tak ketemu lagi dan tak usah bercakap-cakap!” pendekar ini mendongkol, betapapun dia tersinggung tapi sebagai orang yang telah cukup umur dia dapat menahan diri.

Beng An terkejut dan kecewa juga, bukan kecewa karena ayahnya tak di hargai melainkan kecewa kenapa gadis itu masuk ke kamarnya lagi, berarti kesempatan emas yang hanya sejenak itu lenyap. Beng An memaki ketidak beruntungannya. Dan ketika mereka memasuki kamar dan duduk beristirahat, maka pendekar pedang ini memesan arak.

“Bawa ke mari yang terbaik, kami ingin minum.”

Pelayan mengangguk. Tak lama kemudian arak sudah diantar, baunya harum dan Hu Beng Kui menenggak araknya. Beng An termangu melihat kebiasaan ayahnya yang jarang dilakukan ini, agaknya sang ayah mendongkol dan ingin melepas kemendongkolan dengan menenggak arak. Rupanya sikap gadis Tar-tar itu masih menyinggung ayahnya. Swat Lian mengerutkan kening dan menegur ayahnya itu. Dan Beng An yang termangu menyandarkan diri tiba-tiba bangkit berdiri.

“Yah, aku ingin jalan-jalan sebentar. Aku ingin keluar.”

Si jago pedang mengerutkan kening “Mau ke mana?”

“Melihat-lihat kota, yah. Sekedar membuang waktu karena aku belum ingin tidur!”

“Tapi ini sudah malam....”

“Aku hanya sebentar saja, sekitar losmen.”

“Baik, tapi jangan buang tenaga cuma-cuma. Beng An. Besok kita sudah di tempat tujuan dan kau harus menjaga kondisimu!”

“Aku tahu, yah, sebentar saja!” Beng An yang keluar kamar menutup pintu, akhirnya dipandang curiga adiknya yang melalui gerak gerik aneh sang kakak.

“An-ko rupanya mau bertemu si budak betina itu. Dia nampaknya terpikat!”

“Hm, gadis ini memang aneh, Lian-ji. Aku curiga dan yakin dia memiliki kepandaan tinggi...!”

“Dari mana ayah tahu?”

“Eh, apakah kau tidak berpikir? Lihat, seharian kita berlari cepat tapi gadis ini sudah lebih dulu di sini mendahului kita. Ini menunjukkan dia memiliki ginkang yang luar biasa kalau tidak tak mungkin lebih dulu tiba. Aku kepingin tahu...!?”

“Tapi jalan ke Lu-sin ada banyak, Dia tentu memotong jalan hingga mendahului kita?”

“Benar, tapi betapapun sinar matanya yang tajam dan penuh tenaga sinkang itu menyatakan dia bukan gadis sembarangan, Lian-ji. Aku berani bertaruh gadis ini merupakan gadis luar biasa yang termasuk pendekar kelas satu!”

“Tapi dia sombong, angkuh!”

“Itulah kebiasaan orang-orang berkepandaian tinggi. Orang yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi memang biasanya angkuh, memiliki kepercayaan diri berlebih-lebihan dan membuat mereka sombong. Tapi betapapun kita harus berhati-hati dengannya!”

Swat Lian tak puas. “Ayah terlalu memuji,” katanya. “Aku jadi gatal untuk membuktikan omonganmu!” dan sementara ayahnya terkejut tiba-tiba gadis ini melompat keluar. “Yah, aku ingin mengikuti An-ko. Coba kulihat apa yang dia lakukan!”

“Eh!” pendekar ini menyambar puterinya. “Kau jangan mencari ribut, Swat Lian. Kau di sini saja tak perlu keluar!”

“Tapi ayah mengijinkan An-ko kenapa aku tidak? Aku juga sebentar, yah, lepaskan dan aku segera kembali!”

Dua mata beradu, si jago pedang tersenyum dan melepas tangannya. Swat Lian memakai alasan kakaknya sebagai ijin, dia memang harus bersikap adil. Dan karena Swat Lian sudah dewasa dan tak perlu dia khawatir melepas puterinya akhirnya pendekar ini mengangguk “Baik, tapi jangan kau mencari permusuhan, Lian-ji. Sekali kau melanggar aku tak bakal melepasmu lagi sampai kau tobat!”

Swat Lian tertawa. “Ayah terlalu khawatir, baik aku berjanji” dan Swat Lian yang berkelebat keluar menghilang di luar kamar akhirnya membuat Hu-Beng Kui duduk tertegun menenggak araknya kembali, tersenyum dan bernyanyi-nyanyi kecil. Saat itu dia pun menyadari kebebasan putera putrinya, mereka sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi. Tak apa kalau hanya sebentar saja. Dan begitu pendekar ini menikmati araknya di dalam kamar maka Swat Lian dan Beng An yang katanya berjalan jalan sebentar sudah menemui kejadiannya sendiri-sendiri.

Beng An sebenarnya beralasan saja. Sebenarnya dia ingin mengintai gadis Tar-tar itu. Entah kenapa keinginannya begitu kuat untuk mengenal si nona, ketika keluar kamar sudah melirik pintu si gadis, tutup dan berdebar dan diam-diam ingin tahu apa yang dikerjakan gadis itu di dalam kamar. Maka begitu dia memutar dan mendekati losmen dari belakang tiba-tiba pemuda ini sudah melayang dan menggantol kakinya di atas jendela orang. Dan Beng An tertegun. Kamar itu kosong, penghuninya tak ada dan Beng An terkejut.

Bukan main, pikirnya. Kapan gadis itu pergi dan kenapa dia tak tahu? Kenapa dia tak mendengar gerakannya padahal kamar mereka bersebelahan? Apakah di saat adiknya ribut-ribut tadi? Beng An melayang turun. Dia mencari sana sini, tiba-tiba mendengar dengusan entah dari mana dan pemuda itu terperanjat. Suara itu dari sebelah kiri dan cepat pemuda ini menoleh. Dan ketika dia memandang dan kaget membelalakkan mata tiba-tiba gadis itu ada di belakangnya menatap dengan mata bersinar-sinar!

“Kau pencuri?”

Beng An kaget sekali. “Eh, tidak... eh... maaf, nona! Aku mengintaimu karena...”

“Karena kau kurang ajar!” gadis itu berkelebat ke depan, menampar pipi Beng An dan dua kali pemuda itu kena gaplok suara plak-plak yang nyaring membuat Beng An terpelanting. Dan ketika pemuda itu melompat bangun dengan pipi merah si nona sudah bertolak pinggang dengan suara dingin.

“Orang she Hu, jangan kau main-main denganku. Kulihat kau pemuda baik-baik, kenapa mengintai kamar orang? Kau mau kurang ajar dan menjadi pemuda hidung belang?”

“Eh, tidak... eh, maaf, nona. Aku... aku sebenarnya ingin berkenalan denganmu. Aku mengintai karena melihat pintumu tutup. Aku mau masuk tapi takut!” Beng An gugup.

“Kau laki-laki mau memasuki kamar seorang wanita? Kau kira gadis macam apa diriku ini...!”

“Tidak... tidak, nanti dulu!” Beng An menaggoyang-goyang tangan, menyetop karena melihat gadis itu mau menggerakkan tangannya lagi. “Aku tak bermaksud mau kurang ajar, nona. Kalau aku salah biarlah aku minta maaf padamu. Aku bukan pemuda pemogoran. Aku....”

“Aku tahu. Karena itu aku tak membunuhmu!” gadis itu memotong, suaranya dingin dan bengis, Beng An meremang tengkuknya. Dan ketika pemuda itu terbelalak karena melihat betapa gampangnya gadis ini mau membunuh orang maka gadis itu membentak, “Sekarang kau pergi dan jangan ganggu aku lagi!”

Beng An menelan ludah. “Aku ingin berkenalan, nona...”

“Kita sudah berkenalan, di atas tadi ayahmu sudah menyebut-nyebut kalian!”

“Tapi itu lain, aku ingin berkenalan dalam arti yang lebih dalam lagi. Aku....”

“Cerewet!” gadis itu berkelebat pergi. “Kau menyebalkan, orang she Hu. Kalau kau tidak mau pergi biar aku yang pergi!”

Dan Beng An yang bengong ditinggal lawan tiba-tiba berseru, “Eh, tunggu, nona. Tunggu!” Dan Beng An yang mengejar di belakang orang tiba-tiba melihat orang mengerahkan ginkang melayang ke wuwungan penginapan. Beng An terbelalak melihat ilmu meringankan tubuh yang begitu enteng, bagai seekor walet saja, gadis itu melayang naik.

Tapi karena Beng An tak mau melepaskan gadis itu dan ingin banyak bicara lagi akhirnya mengerahkan ginkangnya pula dan tetap mengejar, melihat lawan menoleh dan kembali mendengar dengusannya, gadis itu melompat turun dan kini berlarian di tanah, dikejar dan naik lagi ke atas, berlarian di wuwungan rumah-rumah penduduk dan Beng An tetap mengejar. Dan ketika pemuda itu tak mau melepaskan dan tetap membayangi di belakang tiba-tiba gadis ini tancap gas wuuut.... terbang menuju luar kota.

“Heei...!” Beng An berteriak keras, kaget. “Tunggu, nona... tunggu...!” namun si gadis yang bergerak cepat di depan terpaksa dikejar dengan sepenuh tenaga.

Beng An kini mengerahkan semua ilmu lari cepatnya dan terkejut melihat kepandaian gadis itu. Bayangannya bergerak seperti iblis dan nyaris dia kehilangan jejak karena terhalang kegelapan malam, Beng An susah payah mengejar gadis ini. Sekarang teringatlah dia akan kata-kata ayahnya, bahwa gadis itu berkepandaian tinggi dan bukan orang sembarangan. Dan ketika dia mengejar dan berteriak-teriak di belakang tiba-tiba gadis itu membalik dan kembali ke dalam kota.

“Ah...” Beng An sadar. “Kau mau menguji kepandaianku, nona? Kau mau melihat ilmu lari cepatku? Baik, aku akan mengejarmu sampai ke manapun kau lari!” Beng An sekarang mendusin, tiba-tiba berseri karena orang rupanya mau mengadu kepandaian dengannya, kepandaian berlari cepat. Ini berarti dia telah menarik simpati gadis itu. Dia rupanya berhasil!

Dan Beng An yang tertawa mengerahkan ginkangnya tiba-tiba melesat dan mengejar lawannya. Kini mereka masuk kembali ke kota namun si gadis itu menambah kecepatannya, jarak di antara mereka sekarang terjaga ketat dan si gadis rupanya kagum, dia menoleh dan berseri-seri memandang Beng An, pemuda ini serasa mendapat durian runtuh dengan pandangan lawan, mata yang berseri-seri itu, mata yang girang dan kagum.

Dan ketika mereka memasuki kembali kota Lu-sin dan keduanya terbang seperti iblis di malam hari maka gadis itu berkelebat memasuki sebuah restoran dan berhenti di situ, masuk dan langsung duduk mengusap keringatnya. Beng An menyusul dan menyeka keringatnya pula. Pemuda ini tertawa kecut.

Dan ketika Beng An menarik kursi berhadapan dengan gadis itu, maka pemuda ini serasa disiram air sejuk ketika si gadis berkata, “Kepandaianmu hebat, ilmu lari cepatmu mengagumkan. Siapa gurumu, orang she Hu?”

“Ah,” Beng An menyeringai malu-malu “Guruku adalah ayahku sendiri, nona. Ilmu lari cepatmu pun hebat dan nyaris aku ketinggalan. Kau rupanya benar-benar gadis kang-ouw yang mengagumkan!”

“Hm... dan kenapa kau mengikutiku selalu?”

“Aku, eh.... aku ingin berkenalan!”

Gadis itu tiba-tiba tersenyum. “Kau pemuda tak waras. Bukankah kau sudah tahu namaku? Apalagi yang kau minta? Kalau tidak melihat dirimu sebagai pemuda baik-baik tentu sudah kutendang kau, orang she Hu. Kau tidak tahu malu namun lurus!”

Beng An dapat tertawa. Sekarang dia merasa gadis ini tak marah lagi, mata yang tersinar-sinar itu sudah kehilangan galaknya dan Beng An maju mendekat, kursi yang sudah dekat itu didekatkan lagi menyentuh pinggir meja, Beng An kini berani karena meskipun orang memakinya tak tahu malu namun bibir itu tersenyum.

Kekaguman gadis ini rupanya membangkitkan keramahan, seorang pelayan mendekati mereka dan Beng An mendahului si gadis, memesan makanan dan minuman. Dan ketika pelayan pergi menyiapkan permintaan mereka maka Beng An tertawa lebar berkata menjawab, “Nona, maafkan aku kalau tidak tahu malu. Aku tidak bermaksud kurang ajar, aku ingin mengenalmu lebih jauh dan mengikat persahabatan. Kau tentu tak keberatan menerima keinginanku, bukan?”

“Kalau aku keberatan tentu kau sudah ku lempar pergi, mungkin kubunuh! Nah, sekarang apa yang ingin kau percakapkan dan cepat saja, aku tak lama di kota ini dan buru-buru.”

“Tentu, aku dan ayahku juga buru-buru. nona. Aku juga tak lama di kota ini dan besok harus pergi. Siapakah nona sebenarnya dan tinggal dimana? Aku orang she Hu tinggal di Ce-bu, kami sekeluarga sedang bepergian untuk mencari seseorang.”

“Hm, aku juga mencari seseorang. Kau mencari siapa? Bagaimana perjalanan kita bisa sama?”

“Aku dan ayah juga heran, nona. Kita rupanya searah. Aku, hm... kami mencari Pendekar Rambut Emas?”

“Kim-mou-eng?” alis yang menjelirit itu tiba-tiba terangkat naik. “Ada apa? Kenapa kalian mencarinya?”

“Ha, agaknya kau mengenal penjahat itu, nona. Kami mencarinya karena hendak merampas Sam-kong-kiam!”

Mendadak muka yang cantik itu berubah. Beng An terkejut ketika mata si nona berkilat, memandangnya seperti api dan bola mata itu menyambarnya seperti mau menelannya bulat-bulat. Beng An terperanjat dan tanpa terasa meremang bulu tengkuknya, kembali dia melihat sikap yang ganas dari lawan bicaranya ini. Tapi ketika pelayan datang membawa hidangan den meletakkannya di meja tiba-tiba gadis itu terkekeh, kekeh yang dingin.

“Hi-hik, kau lucu. Rupanya keluarga Hu sudah mabok dan tergila-gila pula seperti orang kang-ouw, ingin merampas dan memiliki Sam-kong-kiam. Apakah kau ingin menikmati kemuliaan seperti kaisar?”

Beng An mengerutkan kening. Masalah Pedang Tiga Sinar itu memiliki pengaruh gaib yang dapat membuat orang memiliki “3 K”, dia tak tahu, pemuda ini semata mencari karena mendapat perintah ayahnya. Beng An tak mengerti dan merah mukanya dikata ingin hidup seperti kaisar. Tentu saja dia tak senang. Tapi karena perkenalan ini baru berjalan dan dia tak mau hubungan itu rusak untuk hal-hal yang dianggapnya sepele maka Beng An tersenyum dan menggelengkan kepala.

“Tidak, aku sesungguhnya kurang mengerti maksud kata-katamu, nona. Tapi kalau dikata ingin merampas dan memiliki Sam-kong-kiam sesungguhnya juga kurang tepat.”

“Lalu untuk apa? Bukankah pedang itu yang kalian cari?”

“Ah, mari nikmati hidangan dulu, nona. Pembicaraan itu kita bicarakan sambil menikmati makan minum ini,” Beng An menawarkan, mengambil sumpit dan sudah mulai menikmati pesanannya dan menuangkan minuman di cawan si gadis, menyodorkannya dan menyuruh gadis itu mencicipi hidangan. Beng An sebenamya hendak menghilangkan debaran hatinya melihat kilatan sinar mata tadi, mata yang marah dan entah kenapa begitu dingin menusuk. Pemuda ini tak enak. Dan ketika Salima mengambil sumpitnya dan menerima cawan meneguk isinya segera Beng An melanjutkan.

“Kami sekeluarga bukan hendak mengangkangi pedang itu, tetapi kami mencari karena diminta tolong kaisar, lewat Sun-taijin.”

“Siapa Sun-taijin?”

“Walikota Ce-bu. pembesar di mana kami tinggal.”

“Hmm, bagus sekali, kalau memang betul.”

“Nona tak percaya?” Beng An penasaran.

“Aku tidak mengatakan percaya atau tidak percaya, tapi pengalamanku selama ini menunjukkan bahwa orang mencari Kim-mou-eng karena ingin memiliki pedang itu untuk diri sendiri...!”

“Tapi kami semata membantu, kaisar....”

“Itulah. maka kukata bagus kalau kata-kata mu betul, orang she Hu. Tapi kukira semuanya itu harus dibuktikan!”

“Tentu kami akan membuktikan, Sam-kong-kiam memang milik kaisar!”

Salima tertawa dingin. Tiba-tiba dia tak ingin berbicara tentang itu, tentang Sam-kong-kiam dan Kim-mou-eng. Menghentikan Beng An dengan menyuruh pemuda itu tak usah menyebut-nyebut lagi masalah itu. Katanya dia akan marah kalau pemuda itu melanjutkan bicaranya. Dan ketika hidangan disapu bersih dan Beng An terbelalak memandang gadis ini maka si gadis memanggil pelayan dan melempar sekeping uang emas untuk pembayaran di atas meja.

“Ah, aku yang memesan, biar aku yang bayar” Beng An terkejut, bangkit berdiri.

Dan pelayan berseri-seri mencabut uang emas yang menancap di atas meja itu. Pembayaran itu cukup untuk sepuluh orang, terlalu banyak. Tapi ketika pelayan ini berkutat dan tak berhasil mancabut uang emas itu tiba-tiba dia mengeluh dan mengusap keringatnya yang bercucuran di atas dahi. “Aduh, siocia terlampau kuat menancapkan uang ini. Biar kuambil alat penyungkil!”

Beng An tertegun. Dia melihat si nona meliriknya dengan senyum mengejek, mulai melihat sinar permusuhan pada pandang mata itu. berdebar dan menjepit uang emas itu. Dan ketika pelayan mau mengambil alat penyungkil untuk mencabut uang itu tiba-tiba Beng An mengerahkan tenaganya dan uang itupun dicabutnya mudah dengan jari telunjuk dan ibu jari.

“Nona, ini uangmu, terimalah. Biar aku yang bayar dan jangan membuat aku sungkan!” dan Beng An yang ganti mengeluarkan uangnya dari balik baju tiba-tiba melemparkannya pada si pelayan. “Bung pelayan, tak usah repot. Terimalah ini....!”