Pedang Tiga Dimensi Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 10
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“HA-HA, itu bukan karena salahmu, Lian-Ji (anak Lian). Melainkan semata ketidaktahuan si orang she kok itu. Biarlah, kenapa sewot dan harus marah? Bukankah lamarannya sudah kutolak?”

“Tapi anaknya sering peringas-peringis, aku benci sikapnya itu!”

Hu-wangwe ganda ketawa. Ini tadi adalah sekelumit dialog ayah dan anak. Swat Lian, putri Hu Beng Kui marah-marah. Beberapa hari yang lalu datang si juragan cita meminangnya, bukan untuk diri sendiri melainkan untuk anaknya laki-laki. Ditolak, tapi anak juragan she Lok itu sering menggoda Swat Lian, cengar-cengir. Hu Beng Kui mengatakan biar saja dan tak perlu pemuda itu ditanggapi.

Swat Lian hampir tak kuat dan akan menghajar lawannya, sang ayah mengerutkan kening. Dan karena juragan she Lok itu adalah rekan dagang sementara puterinya seorang gadis yang keras maka Hu-wangwe akhirnya berkata, “Kau tak perlu lagi ketemu dengannya. Kalau anak orang she Lok itu datang menghampiri mu lebih baik kau pergi. Toh kau dapat melakukan itu.”

Swat Lian menurut. Dia juga tahu kehendak ayahnya, bahwa ayahnya tak mau hubungannya dengan juragan cita itu rusak. Persoalan pinangan sudah dianggap selesai. Hu Beng Kui menyatakan putrinya belum ingin menikah, inilah tolakan halus. Tapi anak juragan she Lok yang rupanya tergila-gila pada Swat Lian ternyata tak melepaskan gadis ini semudah perkiraan Hu-wangwe. Swat Lian yaog menghindar selalu diburu, gadis itu menjadi jengkel. Dan ketika suatu hari gadis itu memasuki pasar dan sedang berbelanja tahu-tahu Lok Pauw, anak juragan cita itu sudah berada di sampingnya.

“Heh heh, belanja apa, Hu-siocia?”

Swat Lian mengerutkan kening. Dia terkejut melihat kehadiran pemuda itu, sekarang tak dapat menghindar. Orang tahu-tahu telah berada di sampingnya dan siap membawakan belanjaannya, sayur dan buah-buahan. Swat Lian menjadi sebal dan ingin menampar. Tapi karena ayah pemuda itu rekan dagang ayahnya dan dia tak mau merusak hubungan itu maka Swat Lian berkata bahwa sebaiknya pemuda itu tak mengganggu.

“Ah, aku tak mengganggumu, siocia. Bahkan ingin menolongmu. Bukankah belanjaanmu berat? Mari kubawakan semuanya!”

Lok Pauw sudah menyambar belanjaan Swat Lian, tertawa-tawa dan orang pasar tersenyum. Mereka sama-sama mengenal dua anak muda itu, yang satu putera jurangan cita sedang yang lain puteri Hu-wangwe. Perhatian lebih tertarik pada Hu siocia yang cantik ini. Swat Lian memang cantik. Tapi ketika Lok Pauw membawakan belanjaannya dan gadis ini geram tiba-tiba Swat Lian ingin memberi pelajaran.

“Kau tak perlu repot-repot, biarlah itu kubawa sendiri!” Swat Lian maju dengan cepat, kedua tangannya bergerak dan tanpa di ketahui seorangpun dia memencet jalan darah di tengkuk pemuda ini, jalan darah git-ceng-hiat yang membuat orang akan menjerit karena tubuh seakan disengat ribuan tawon. Tak berhenti di situ saja kaki Swat Lian menyentuh jalan darah di belakang lutut pemuda itu, ini pun jalan darah yang akan membuat Lok Pauw terguling'guling mengaduh kesakitan.

Dan ketika benar saja pemuda itu menjerit dan berteriak mengejutkan orang pasar tahu-tahu dia sudah bergulingan dan mengaduh-aduh tak keruan, tengkuk dan belakang lututnya dipegangi seperti orang kena strom! “Aduh... augh... aku disengat tawon... tolong...!”

Orang-orang terkejut. Swat Lian sendiri sudah menyelinap menyambar belanjaannya, dia tersenyum puas menghajar pemuda itu. Tapi ketika orang ribut-ribut dan Swat Lian menjauhi tempat iru mendadak seorang laki-laki berkelebat menghadang dan membentak,

“Nona. sembuhkan dulu Lok-siauwya (tuan muda Lok)!”

Swat Lian berhenti. Dia akan menabrak seorang laki-laki brewok yang tinggi besar, laki-laki ini sudah menghadang larinya dan Swat Lian marah. Di belakang Lok Pauw masih mengaduh-aduh tak keruan, pasar menjadi ribut dan ramai. Tak ada orang yang mampu menyembuhkan Lok Pauw, pemuda itu memang akan menderita setengah jam lebih. Swat Lian telah mengatur ini. Dan ketika si brewok itu membentaknya dan Swat Lian meletakkan barang belanjaan maka si brewok berkata lagi dengan nada tinggi,

“Kau mengerjai Lok-siauwya. Kau menotok tengkuk dan belakang lututnya. Sembuhkan dia dulu baru kau boleh pulang!”

“Hmm!” Swat Lian menjadi gusar. “Kau siapakah dan ada hubungan apa dengan pemuda itu? Kalau kau tahu aku menotoknya mengapa tidak kau sembuhkan sendiri? Bukankah kau tahu?”

“Aku telah mencoba, tapi gagal. Aku adalah centeng Lok-loya (tuan Lok) dan karena itu harus menjaga keselamatan keluarganya!”

“Bagus, kalau begitu kau minggir. Suruh Lok-siauwya datang ke rumahku dan biar dia ku sembuhkan di sana....”

Swat Lian meloncat, barang bawaan disambar kembali dan dia tahu-tahu telah menyelinap di samping laki-laki ini. Laki-laki itu terkejut, menggerakkan lengan tapi Swat Lian telah lolos. Dan ketika Swat Lian berlari cepat dan tak ingin membuat ribut maka laki-laki itu mengejar dan membentak,

“Hu-siocia, kau harus kembali dulu!”

Swat Lian mendongkol. Kalau saja tak ingat pesan ayahnya tentu dia sudah menghajar laki-laki ini, lawan berteriak-teriak dan Swat Lian tak senang karena segera ia menjadi perhatian orang banyak. Mereka berlari-lari di jalan raya, Swat Lian tak berani mengerahkan ginkangnya dan berlari biasa saja. Mereka seolah adu cepat. Dan ketika Swat Lian hampir tiba di rumahnya dan laki-laki di belakang tetap mengejar maka secara kebetulan seorang pemuda muncul, seorang murid dari Giam-lo-kiam Hu Beng Kui.

“Sumoi, apa apa?”

Swat Lian menuding ke belakang. “Centeng Lok-loya itu mengejar-ngejarku seperti orang gila. Hajar dia!”

Pemuda itu mengangguk. Dan sudah menghadang dan melompat ke depan, Swat Lian sendiri sudah memasuki rumahnya dan lenyap. Kini centeng itu berhenti dan terbelalak marah, dia gagal mengejar puteri Hu-wangwe. Dan ketika pemuda itu yang dikenalnya sebagai pembantu Hu-wangwe melompat ke depan dan menghadang jalannya, tiba-tiba centeng (tukang pukul) ini membentak.

“Kau minggirlah...!” dan tangannya yang mencengkeram ke depan menuju pundak tahu-tahu bersiap mendorong pemuda ini untuk dibanting, disambut dengus mengejek dan pemuda itu tidak mengelak.

Dia adalah Kao Sin, murid termuda Hu Beng Kui. Dan ketika tangan menyambar pundaknya dan Kao Sin membiarkan jari-jari itu mencengkeramnya mendadak pemuda ini membentak dan balas memaki lawannya, “Kaulah yang minggir!” dan begitu kaki bergerak cepat menuju perut lawan tahu-tahu terdengar suara “ngek” dan centeng itu berteriak, terpelanting dan roboh terjerembab. Lutut Kao Sin telah bersarang di perutnya, centeng ini mengaduh-aduh. Tapi ketika dia melompat bangun lagi dan melotot marah tahu tahu dia mencabut golok dan menyerang Kao Sin.

“Kau pelayan jahanam. Derajatmu masih rendah dibanding aku!” dan sang centeng yang menyerang dengan tubrukan cepat lalu membacok dan mengayunkan goloknya bertubi-tubi, memaki Kao Sin yang memang dikenal sebagai pembantu Hu-wangwe, pemuda ini sering muncul melayani Lok-loya, karena itu dianggap pelayan biasa saja dan centeng itu merendahkan pemuda ini. Tapi ketika lawan berloncatan ringan dan tak ada sebuah serangan pun yang mengenai tubuh pemuda ini maka tukang pukul itu terkejut.

“Kau kiranya bisa sedikit ilmu silat, pantas sombong!” centeng itu membentak lagi, menyerang tapi kembali dikelit dan Kao Sin mengejek padanya, berkata bahwa dialah yang sombong.

Dan ketika centeng ini marah dann semakin membabi-buta mengayunkan golok tiba-tiba Kao Sin menangkis bacokan goloknya sambil berseru, “Sekarang kau lihat, aku yang tak tahu diri atau kau... plak!”

Dan golok yang ditangkis patah oleh tangan telanjang itu tiba'tiba membuat sang centeng berteriak kaget, terbelalak dan tertegun. Dan ketika dia terkesima dan memandang dengan mata pucat tahu-tahu lawan telah menendang pinggangnya dan dia pun terbanting tak dapat bangun lagi!

“Aduh... aduh...!” centeng itu mengerang di atas tanah, menggeliat dan menekan-nekan pinggangnya yang kesakitan. Sekarang dia sadar bahwa “pelayan” Hu-wangwe ini kiranya bukan pelayan biasa. Seorang pemuda yang lihai. Goloknya patah ditangkis tangan pemuda itu. Dan karena sadar bahwa lawan kiranya bukan pemuda sembarangan dan centeng itu minta ampun maka Kao Sin membebaskan dirinya dan menyuruh tukang pukul itu pergi.

“Kau jangan berlagak macam-macam. Kalau tidak ingat pesan guruku tentu tulang tulangmu sudah kupatahkan!” Kao Sin memberi ancaman, membuat sang centeng ketakutan dan berkali-kali laki-laki itu mengangguk.

Dia tak tahu bahwa yang dimaksud “guru” adalah Hu-wangwe sendiri. Si Pedang Maut. Dan ketika hari itu dia mendapat pelajaran dan jerih menghadapi keluarga Hu maka tukang pukul ini berhenti dan ngacir dari kota Ce-bu. Dia membertahukan majikan mudanya bahwa di rumah keluarga Hu itu terdapat seorang pemuda lihai. Dia kalah dan gentar. Tugasnya tak dapat dilakukan dengan baik dan karena itu dia minta berhenti.

Lok Pauw terkejut dan bimbang, tiba-tiba saja dia tak berani lagi mengganggu Swat Lian, takut pada Kao Sin. Tapi centeng yang mundur dan dikalahkan Kao Sin ini kiranya tak kapok begitu saja, seminggu kemudian datang bersama lima orang kawannya dan Kao Sin dicegat, pemuda ini memang sering mondar mandir mengantar barang, Hu Beng Kui memang pedagang. Dan ketika hari itu Kao Sin mengawal hantaran menuju rekan dagang gurunya yang tinggal di pinggiran kota mendadak keretanya dicegat dan enam laki-laki membentaknya menyuruh turun.

“Kau berhutang sesuatu kepada kami. Turunlah!”

Kao Sin tertegun. Dia melihat laki-laki brewok itu, tahulah dia bahwa urusan seminggu lalu rupanya berbuntut. Orang ini datang lagi dan mengikutsertakan teman-temannya, dia mau dikeroyok. Tapi Kao Sin yang melompat turun dan tersenyum mengejek segara menghadapi orang-orang itu dan bertanya, “Aku berhutang apa pada kalian? Dan ini centeng Lok-loya, bukan?”

“Benar, dia A-lun, kami teman-temannya. Kami menuntut hutang karena seminggu yang lalu katanya kau menghina temanku ini. Sekarang bayar dosamu itu, tinggalkan kereta ini atau kau berlutut meminta ampun dan mencium kaki kami!”

“Hm...!” Kao Sin tertawa mengejek “Urusanku dengan A-lun itu sudah selesai sobat-sobat. Kenapa diperpanjang dan mencari ribut. Kalau kalian ingin merampok bilang saja, aku tak usah banyak bicara dan kalian maju.”

“Sombong, kau rupanya pongah!” Dan orang di depan yang mencabut senjatanya dan sejak tadi bersikap mengancam, tiba-tiba membacok dan menyerang pemuda ini, sudah menduga bahwa Kao Sin akan melayani mereka. Pemuda ini dikatakan lihai dan berani menangkis golok dengan tangan telanjang, kini dia ingin membuktikan itu dan melihat apakah lawan benar-benar lihai.

Tapi Kao Sin yang berkelit dan tertawa mengejek ternyata menghindari serangannya itu, berloncatan dan waspada terhadap lima yang lain. Teman teman orang ini sudah mencabut senjata pula dan siap menyerang. Kao Sin yang muda ingin bermain-main, diam-diam matanya menyipit tajam pada si A-lun, laki-laki brewok itulah yang menjadi gara-gara. Dan ketika lawan berteriak dan menyerang lagi dengan penuh kemarahan maka Kao Sin diminta menangkis goloknya itu.

“Ayo, tunjukkan kehebatanmu. Katanya kau berani menangkis senjata tajam!”

Kao Sin tertawa. “Kau ingin tahu? Baik!” Dan Kao Sin yang berkelebat cepat menangkis sambaran golok tiba-tiba membentak dan mencengkeram golok itu.

Kejadian berlangsung cepat dan lawan ternganga, golok tahu-tahu dikeremus dan suara pletak-pletak membuat laki-laki ini kaget. Dia melihat goloknya dicengkeram dan patah. Dan ketika dia terbelalak dan Kao Sin menggerakkan kaki maka laki-laki ini terjungkal dan mengaduh-aduh seperti ayam disembelih.

“Nah, sekarang tahu rasa. Yang ingin coba-coba boleh maju!” Kao Sin menantang, melihat yang lain-lain terkejut dan A-lun pucat. Untuk kedua kalinya dia melihat kehebatan Kao Sin, pemuda ini memang lihai. Tapi karena mereka datang bukan untuk bertempur satu lawan satu melainkan maju mengeroyok maka A-lun sudah memberi aba-aba dan empat temannya menyerang, yang roboh juga sudah bangun kembali dan mencabut senjata baru. Rupanya dia sudah bersiap dengan senjata cadangan.

Kao Sin melihat yang lain-lain juga membawa golok kedua, jadi mereka sudah bersiap-siap begitu senjata pertama dipatahkan. A-lun memang telah menceritakan kehebatan pemuda ini menghadapi senjata tajam. Dan begitu mereka berenam menerjang maju dan mengeluarkan bentakan bentakan seram tiba-tiba Kao Sin sudah dikeroyok dan menghadapi enam golok yang membacok bertubi-tubi.

“Kalian pengecut, rupanya kalian memang bukan orang baik-baik!” Kao Sin marah, meloncat dan tiba-tiba berjumpalitan keluar dari kepungan. Dengan indah dan luar biasa dia melewati kepala enam lawannya, Alun dan kawan-kawan kehilangan pemuda ini. Tapi ketika mereka membalik dan melihat pemuda itu ada di belakang tiba-tiba mereka sudah menyerbu kembali dan berserabutan mengayunkan golok.

“Wut-wut wut...!”

Enam golok itu menyambar Kao Sin. Pemuda ini tertawa, menggeliat dan miringkan tubuh ke sana ke mari. Gerakannya sederhana, tapi semua serangan luput, tak ada satu pun yang mengenai tubuhnya. Dan ketika lawan terkejut dan berseru keras maka pemuda ini membentak mengayunkan lengan kirinya,

“Sekarang kalian rasakan balasanku. Nih, boleh coba satu persatu!” Dan Kao Sin yang bergerak cepat mengayun lengannya tahu-tahu telah menggaplok pipi mereka hingga menerbitkan suara nyaring.

“Plak-plak-plak!” enam lawan terpelanting, semua berteriak kaget dan masing-masing bergulingan. Tamparan itu keras, pipi mereka seketika bengap. Dan ketika mereka melompat bangun dan terkejut oleh balasan Kao Sin maka mereka membalik lagi dan menyerbu dengan seruan marah.

“Bocah ini kurang ajar, bunuh dia...!” mereka menerjang kembali, golok bertubi-tubi membacok tapi Kao Sin menghilang.

Pemuda ini berkelebat lenyap dengan gerak luar biasa, lawan tak tahu di mana dia berada. Kini Kao Sin mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat, dia menggrahkan ginkang yang membuat tubuhnya lenyap seperti setan. Dan ketika lawan terbelalak memutar matanya mencari carinya mendadak Kao Sin muncul dan atas dan terbahak membagi tendangan satu per satu, kiranya pemuda itu tadi mencelat ke atas pohon dan kini melayang turun mengejutkan enam lawannya.

“Sekarang kalian rasakan kakiku, boleh tambah kalau kurang...des-des-des!”

Dan enam lawan yang kontan terbanting tiba-tiba mengaduh dan menjerit kesakitan, si brewok bahkan mengeluh menerima tendangan paling keras, dagunya terangkat ke atas dan bawah rahangnya sobek, sepatu Kao Sin mencuat begitu cepat tak dapat dihindar. Mereka semua bergulingan. Dan ketika mereka berteriak dan melompat bangun tahu-tahu Kao Sin berkelebatan di antara mereka dan enam batang golok sudah dirampas, membuat lawan tertegun.

“Nah siapa yang berani coba-coba lagi?”

Enam orang itu mendadak gentar. Mereka hanya melihat bayangan pemuda itu mengelilingi mereka, pergelangan diketuk dan golok pun disambar. Kini enam batang golok ada di tangan pemuda itu. Kao Sin memain-mainkannya seperti orang bermain gelang, tak ada yang menjawab. Dan ketika Kao Sin tertawa dan ingin menghajar si brewok tiba tiba dia menyambitkan sebatang golok di tangannya ke telinga laki-laki itu.

“Kau yang menjadi gara-gara, kau pula yang harus menerima hukuman...”

“Cras!” telinga si brewok ini terpapas, darah memuncrat dan si brewok pun menjerit. Dia jatuh bergulingan mendekap telinganya yang berdarah, daun telinga itu telah jatuh di tanah. Dan takut pemuda itu membuntungi mereka seperti membuntungi telinga si brewok mendadak lima yang lain menjatuhkan diri berlutut dan mohon ampun.

“Siauw-hiap (pendekar muda), ampuni kami. Kami memang terbujuk A-lun...!”

Kao Sin tertawa. “Kalian benar-benar bertobat? Atau hanya pura-pura saja?”

“Tidak... tidak...! Kami betul-betul bertobat, siauw-hiap. Ampuni kami dan jangan hukum kami!”

“Baiklah. Kalau begitu kalian enyah dan jangan tunjukkan muka lagi kepadaku!” Kao Sin membuang golok, semuanya sudah patah-patah dan lima orang itu mengangguk.

Tanpa diperintah lagi mereka bangkit berdiri, kaki menggigil dan muka pun pucat. Dan ketika mereka memutar kaki dan membalikkan tubuh tiba-tiba semuanya sudah kabur dan tak menghiraukan lagi si brewok yang merintih memandangi buntungan telinganya.

“Hei, bawa aku...!” laki-laki itu terkejut. Seketika sadar dan tidak menghiraukan lagi daun telinganya. Dia terlanjur ngeri menghadapi Kao Sin. Dan karena lima kawannya sudah lari mendahului dan Kao Sio tertawa melihat ketakutan si brewok itu akhirnya Kao Sin meloncat di atas keretanya lagi dan membedal tali kekangnya.

Begitulah, Kao Sin menghajar enam lawannya. Dengan mudah dan enak dia melumpuhkan si brewok dan teman temannya itu, semuanya dengan tangan kosong. Dan karena pemuda ini memang lihai dan kekalahan si brewok membuat lawan gentar maka entah bagaimana tiba-tiba pemuda ini dikenal dan berturut-turut Kao Sin menghadapi lawan baru. Rupanya orang-orang ini ingin menjejal kepandaian pemuda itu, ada-ada saja alasan yang dicari.

Barangkali penasaran dan juga ingin tahu seberapa hebatkah kepandaian pemuda itu, kebanyakan orang-orang kasar macam si brewok, mungkin mereka ini temannya dan tampang mereka seperti tukang-tukang pukul pula. Kao Sin jengkel dan menghajar mereka itu semua. Tapi ketika suatu hari dia didatangi seorang wanita muda disertai nenek tua yang menghadang jalannya mendadak Kao Sin tertegun karena kali ini dia menghadapi lawan yang lain daripada yang lain.

“Kao bocah she Kao?” demikian nenek itu membentak dengan seruan galak. “Kau pembantu Hu-wangwe?”

Kao Sin terkejut. “Ya. ada apakah? Siapa kalian?”

“Aku penghuni Bukit Hitam, ini muridku Hoa Kiem...!”

“Hah,” Kao Sio terbelalak. “Locianpwe adalah Hek-san Mo-li (Iblis Wanita Dari Bukit Hitam)? Ada keperluan apa datang menggangguku di jalan?”

“Heh-heh,” nenek itu mendadak tertawa. “Kau mengenal diriku, bocah. Kalau begitu kau pemuda yang cukup pandai. Aku memang Hek-san Mo-li, ingin mengadu muridku dan mencari jodoh. Kalau kau dapat mengalahkan muridku maka kau pantas menjadi suaminya!”

Kao Sio melengak, merah mukanya, melihat wanita muda di samping Hek-san Mo-li senyum-senyum. Sudah tadi gadis ini memandanginya dengan mata bersinar-sinar, Kao Sin barangkali di anggap calon yang tepat. Tapi karena cara itu dianggap tak wajar dan Hek-san Mo-li juga dikenal sebagali nenek jahat tentu saja Kao Sin menolak dan tidak ingin menerima tawaran itu, meski pun Hoa Kiem cantik dan murah senyum. Maka begitu menggeleng dan mundur setindak pemuda ini sudah berkata, agak jengah, “Aku tak dapat menerima itu. Aku tak biasa bertanding untuk urusan begini!”

“Heh. kau menolak? Kau berani menentang kehendak Hek-san Mo-li?”

Tapi sebelum Kao Sin menjawab tiba-tiba gadis di samping nenek itu tertawa, genit suaranya. “Subo, sebaiknya tak perlu mendesak-desak orang. Meskipun pemuda ini tampan tapi belum tentu ilmu silatnya luar biasa. Sebaiknya biarkan aku maju dan kujajal ilmu kepandaiannya itu. Kalau dia kosong tiada guna biar kulempar dan ku benamkan kepalanya di lumpur...!”

“Heh-heh, bagus, Hoa Kiem. Aku lupa dan terlalu banyak bicara. Kau majulah, tantang dia dan robohkan dalam sepuluh jurus!”

Hoa Kim sudah melompat maju, menghadapi Kao Sio. “Sobat she Kao, mari main-main beberapa jurus. Cabut senjatamu dan biar kulihat ilmu silatmu!”

Kao Sio menjengek. Setelah berhadapan cukup dekat dia melihat sinar mata buruk dalam pandang mata gadis ini. Sebagai pemuda tentu saja dia tahu sinar yang ganjil itu, liar dan menunjukkan watak cabul. Diam-diam pemuda ini mencemooh dalam hati, jauh bedanya dengan sumoinya yang jelita itu, bagai bumi dan langit. Tapi karena orang telah menantangnya dan sikap sombong gadis itu membuat Kao Sin marah maka pemuda ini menjawab dengan menyilangkan kedua tangannya. “Aku tak membawa senjata. Senjataku adalah tangan dan kaki ini. Kalau kau mau mengajak aku main-main silahkan, boleh kau maju lebih dulu”

Hoa Kiem tertawa. “Kau sungguh-sungguh?”

“Tentu, aku siap melayanimu dan...”

“Wuut” gadis itu tiba-tiba menyerang, geraknya tiba-tiba dan sebuah tamparan melesat tanpa memberi tanda. Kao Sin terkejut karena gadis ini dinilai curang, angin pukulan panas menyambar mukanya. Tapi karena Kao Sin cepat mengelak dan waspada akan semua pukulan begini maka dia sudah menjengek dan lawan berkelebatan mengejar dirinya. Hoa Kiem tertawa dan diam-diam terkejut juga melihat Kao Sin mampu menghindari tamparannya, padahal dia bergerak cukup cepat dan nyaris mengenai muka pemuda itu.

Dan ketika Kao Sin berlompatan lincah dan Hoa Kiem bertubi-tubi melancarkan serangan namun selalu luput maka nenek di luar tiba-tiba terkekeh dan berseru, “Hoa Kiem, mainkan Silat Dewi Hitam, cabut senjatamu!”

Hoa Kiem tertawa. Dia mengangguk dan diam-diam penasaran oleh kelihaian lawan, sudah sepuluh jurus ia melancarkan serangan tapi semuanya gagal. Kao Sin hanya mengelak sana-sini dan belum membalas. Diam-diam ia terkejut dan kagum serta girang. Agaknya inilah calonnya yang tepat. Ia akan mendapat suami yang lihai. Tapi mendengar subonya menyuruh dia mengeluarkan Silat Dewi Hitam dan Hoa Kiem memang ingin menjajal sampai seberapa hebat lawannya itu maka gadis ini melengking dan tiba-tiba mencabut sebuah selendang.

“Orang she Kao, aku akan menyerangmu habis-habisan!” Hoa Kiem membentak, sudah merobah permainannya dan selendang tiba-tiba meledak nyaring di sisi kepala.

Kao Sin Pemuda ini mengerutkan kening dan mencium bau amis. Selendang itu tampaknya dilumuri racun, cepat mengelak dan berhati-hati. Tapi karena sekarang lawan mempergunakan senjata panjang dan kemana pun Kao Sin mengelak selalu saja diburu maka selendang tiba-tiba sudah berputaran dan mengurung dirinya.

“Hi-hik, kau tak dapat mengelak saja, harus menangkis!” Hoa Kiem berseru, memang benar dan Kao Sin terpaksa menggerakkan lengannya. Apa boleh buat dia mendorong dan mengarahkan sinkang, selendang kini ditangkis dan selalu mental bertemu angin pukulannya. Hoa Kiem terbelalak karena tak pernah selendangnya itu menyentuh lengan lawan, dorongan pukulan lawan selalu membuat selendangnya mental sebelum bertemu. Hebat. Dan ketika Hoa Kiem terkejut dan nenek di luar berseru penasaran maka Hoa Kiem mempercepat permainannya tapi tetap selalu gagal.

“Keparat, kau memang lihai. Ayo balas dan jangan tangkis melulu!” Hoa Kiem kini minta diserang, selama ini dialah yang menyerang dan Kao Sin belum membalas. Hal itu membuat wanita ini gusar namun gembira, aneh. Dan karena berkali-kali Hoa Kiem minta dibalas dan Kao Sin tertawa maka tiba-tiba pemuda ini menjawab pendek.

“Baik!”

Dan begitu Kao Sio menangkis lecutan terakhir mendadak pemuda ini berkelebat ke depan, dua jari menotok tengah kening dan Hoa Kiem terkejut menarik selendangnya, senjata itu dipakai menangkis. Tapi ketika Kao Sin merobah gerakannya dan lengan kiri menampar tahu-tahu pundak lawan terkena dan Hoa Kiem terpelanting roboh, menjerit bergulingan dan Kao Sin mengejar, sekarang dia betul-betul membalas dan lawan terpekik.

Hoa Kiem gugup mengelak sana sini, tiba-tiba mengeluarkan am-gi (senjata gelap) dan menyerang Kao Sin, hampir mengenai pemuda itu namun Kao Sin menyampuk runtuh. Dan ketika Hoa Kiem bergulingan dengan muka pucat dan selendang tak dapat dipergunakan lagi maka tiba-tiba Kao Sin telah menotok pinggangnya dan murid Hek-san Mo-li itu pun tak dapat bergerak lagi, roboh mengeluh di tanah.

“Tuk!”

Hek-san Mo-li terbelalak. Dia melihat muridnya tak berdaya, Hoa Kiem menangis tapi tertawa, ganjil sikap gadis ini. Tapi begitu nenek ini sadar dan melonjak girang mendadak Hek-san Mo-li pun terkekeh dan menari-nari. “Bagus, kau hebat, bocah she Kao. Bagus sekali. Kau menang, kau layak menjadi suami muridku!” dan Hek-san Mo-li yang berputar-putar mengelilingi Kao Sin tiba-tiba melompat dan membebaskan muridnya, tertawa-tawa dan Hoa Kiem dipeluk gurunya. Hek san Mo-li berkata bahwa suami yang cakap sudah ada. Pemuda itulah calon jodoh yang sesuai. Dan ketika Hoa Kiem bersinar-sinar memandang Kao Sin dan kagum bukan main pada pemuda itu maka suhunya sudah meloncat dan menghadapi pemuda ini.

“Bocah, antar aku kepada gurumu. Suruh dia meminang muridku!”

Kao Sin semburat merah. “Hek-San Mo-li. Aku tak akan menjadi suami muridmu. Aku hanya bertempur karena ditantang.”

“Heh?” nenek ini terkejut. “Kau menipu? Kau menghina kami?”

“Hm!” Kao Sin tertawa mengejek. “Sudah kubilang bahwa aku menolak tawaranmu. Hek-san Mo-li. Aku melayani muridmu karena ditantang. Urusan di antara kita habis sampai di sini, tak ada pinang-meminang!”

Kao Sin telah mengetahui kepandaian Hoa Kiem, tentu saja segera dapat mengukur sampai di mana kira-kira kepandaian nenek ini. Dia tak perlu takut. Maka begitu mengeluarkan kata-katanya dan menjengek nenek ini Kao Sin sudah bersiap-siap menghadapi kemungkinannya. Dan benar saja, nenek itu terbelalak, matanya melotot dan Hoa Kiem pun terkejut dengan muka berobah. Mereka ini menganggap diri sendiri seperti ratu, tak boleh ada orang membantah perintah mereka dan Hek-San Mo-li mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya. Sikap Kao Sin dianggap menghina dirinya. Dan ketika Hoa Kiem tertegun dan malah mendengar onongan pemuda itu mendadak Hek-san Mo-li sudah mencelat dan kelima jari tangannya menusuk mata Kao Sin.

“Kau pemuda berani mati!” nenek itu membentak, geraknya jauh lebih cepat dibanding sang murid namun Kao Sin sudah bersiap-siap. Memang dia sudah menduga kemarahan nenek ini. Dan begitu lawan menyerang dan menusuk matanya dengan kelima jari setegang baja tiba-tiba Kao Sin menunduk dan menangkis.

“Dukk!”

Hek-san Mo-li terkejut. Sekarang Kao Sin menunjukkan kelihaiannya, pemuda itu mengerahkan sinkang dan lengannya pun sekeras baja, menangkis dan menolak kelima jari si nenek yang mental. Hek-san Mo-li memekik dan merasa ditantang, pemuda ini dianggapnya kurang ajar. Maka begitu dia memekik dan kembali menerjang mendadak kaki dan tangannya sudah bertubi-tubi menghujani tubuh Kao Sin, dikelit dan ditangkis dan nenek ini berseru gusar. Pemuda itu mampu menghalau semua serangannya, Hek-san Mo-li kian terkejut dan melengking marah.

Dan ketika Kao Sin berlompatan ke sana-sini dan semua pukulannya yang bertubi-tubi dipentalkan pemuda itu dan nenek Ini terbelalak karena lawan memiliki sinkang demikian kuat yang mampu menghalau semua serangannya mendadak nenek ini mengeluarkan senjatanya dan berteriak keras.

“Kubunuh kau...tar-tar!” dan selendang berwarna hitam yang jauh lebih amis dibanding yang dimiliki Hoa Kiem tiba-tiba meledak dan gencar menyerang pemuda ini, disusul cengkeraman cengkeraman tangan kiri yang berkerotok mematuk dan mercengkeram bagai kuku rajawali.

Kao Sin dibuat sibuk dan mengerutkan alisrya. Pemuda ini dikurung dan sudah menghadapi bayangan selendang yang kian hebat, bau amis juga kian menyengat dan Kao Sin terkejut. Lama-lama dia bisa celaka. Maka berseru keras menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri tiba-tiba pemuda ini membentak, “Hek-san Mo-li, kau nenek buruk...!”

Dan begitu Kao Sin mengembangkan lengannya ke kanan kiri mendadak pemuda ini menangkis dan menghalau selendang, menambah tenaganya dan Hek-san Mo-li memekik. Angin pukulan pemuda itu membuat selendangnya mental, apa yang dialami ini persis seperti apa yang dialami muridnya tadi. Hek-san Mo-li marah dan menjadi gusar. Dan ketika selendang dipukul balik dan Kao Sin juga mampu menangkis cengkeraman cengkeraman tangan kirinya di mana setiap adu tenaga nenek ini merasa lengannya sakit tiba-tiba Hek-san Mo-li mencabut senjata-senjata rahasianya dan menyambitkannya berhamburan ke arah lawan.

“Curang...!” Kao Sin terkejut, marah dan menangkis pula senjata-senjata rahasia itu. Beberapa di antaranya runtuh namun satu dua mengenai juga tubuhnya, Hek-san Mo-li tertawa girang tapi segera menghentikan tawanya itu ketika melihat senjata-senjata rahasia yang mengenai tubuh Kao Sin tak mampu melukai pemuda itu, pemuda ini telah menjaga diri hingga tubuhnya kebal, sinkang yang kuat telah melindungi pemuda itu. Dan ketika Kao Sin menangkap dan meretour balik beberapa senjata rahasia yang berhasil disambarnya maka ganti nenek itu yang kelabakan disambar senjata rahasianya sendiri.

“Keparat, kurang ajar...!” nenek ini memaki maki, dua diantara senjata rahasia yang dilemparkan Kao Sin merobek bajunya, kulitnya tergores dan nenek ini terkejut karena sambitan Kao Sin lebih hebat darinya. Dia kalah kuat! Dan ketika Kao Sin mulai mambalas dan menyerang nenek ini dengan pukulan-pukulan sinkang mendadak selendangnya membalik dan menyerang dirinya sendiri.

“Aduh. Jahanam!” nenek itu kembali terkejut, sekarang Kao Sin “berkelebatan mengeliling” dirinya hingga dia sibuk menangkis, tangan kiri dipergunakan tapi tangan kiri itu pun tertolak, dua kali nenek ini mengaduh ketika lengan mereka beradu sama keras. Dan ketika nenek ini mulai terhuyung-huyung dan selendang di tangannya meledak-ledak didorong Kao Sin akhirnya satu lecutan keras mengenai pundak nenek ini, disusul lecutan kedua dan tiga di mana Hek-san Mo-li menjerit kelabakan. Nenek ini mulai gugup, juga gusar. Dan ketika selendang mulai berputar-putar dan menyerang dirinya sendiri akhirnya nenek ini berteriak pada muridnya,

“Hoa Kiem, bantu aku. Jangan bengong...“

Hoa Kiem sadar. Tadi dia terkesima oleh pertandingan itu, kekagumannya memuncak melihat Kao Sin mampu mendesak gurunya. Gurunya kewalahan dan sebentar lagi tentu roboh. Hoa Kiem terbelalak melihat kehebatan lawan. Tapi mendengar gurunya berteriak dan menyuruh dia agar maju membantu mendadak wanita ini sadar dan melengking tinggi, tubuh bergerak dan dia pun sudah menyerang Kao Sin. Hoa Kiem telah meledakkan selendangnya juga dan Kao Sin dikeroyok. Sekarang pemuda ini menghadapi guru dan murid. Dan ketika Hek-san Mo-li mampu memperbaiki diri karena muridnya menyerang mengganggu Kao Sin akhirnya pemuda ini geram berkata marah,

“Hek-san Mo-li, kau benar-benar wanita tak tahu malu. Baik, aku akan menghajar kalian!”

Dan Kao Sin yang berseru keras merobah permainannya mendadak mengacungkan lengan lurus ke atas, menggetarkannya tiga kali dan mendadak lengan itu mengeluarkan cahaya berkilat macam pedang, ujung tangan sudah membentuk ujung pedang dan Kao Sin tiba-tiba membacok, selendang Hoa Kiem menyambarnya dari kiri. Dan ketika pemuda itu membacok dan selendang disambar ujung tangannya mendadak selendang terbabat dan putus bagai dibacok senjata tajam.

“Bret!” Hoa Kiem terkejut berseru kaget. Dia melempar tubuh bergulingan ketika bacokan tangan itu memburunya, berteriak agar gurunya membantu dan Hek-san Mo-li tersentak. Nenek ini ganti menyerang dan selendangrya pun menyambar Kao Sin, belakang tubuh pemuda itu menjadi sasarannya. Tapi ketika Kao Sin membalik dan membacok selendang nenek ini maka seperti Hoa Kiem selendang di tangan nenek itu pun putus terbabat.

“Bret!” Hek-san Mo-li juga terpekik. Nenek ini ganti membanting tubuh bergulingan ketika bacokan itn masih mengejarnya, dia merasa siutan angin tajam bergerak dari tangan pemuda itu. Dan ketika Kao Sin memburu dan selendang lagi-lagi menangkis tapi putus pula dibabat pemuda itu maka suara “bret-bret” akhirnya membuat selendang di tangan Hek-San Mo-li mau pun muridnya menjadi pendek dan kian pendek saja, akhirnya tinggal setengah meter dan nenek ini ngeri.

Dia teringat silat pedang yang dapat dimainkan dengan lengan, semacam kiam-ciang (Tangan Pedang) dan Tangan Pedang begitu mampu membacok putus senjata tajam. Tentu saja nenek ini gentar, ketakutan. Maka ketika selendangnya sudah begitu pendek dan tak dapat dipergunakan lagi menyerang lawan mendadak nenek ini memutar tubuhnya dan melarikan diri, menyambar sang murid.

“Hoa Kiem, bocah ini siluman. Ayo lari...” nenek itu terbirit-birit, tak berani lagi menghadapi Kao Sin dan pemuda ini tidak mengejar.

Kao Sin berhenti dan tertawa mengejek, Hek-san Mo-li sudah dihajarnya. Dia mengira nenek itu tak akan berani lagi mencarinya dan Kao Sin mengusap peluh. Tapi ketika beberapa hari kemudian dia dihadang dua orang kakek di mana nenek itu muncul kembali bersama muridnya maka Kao Sin tertegun membelalakkan matanya, mendengar seorang di antara dua kakek tinggi kurus itu bertanya,

“Inikah orangnya?”

Kao Sin sebal. Dia tiba-tiba menjadi marah, mulai geram karena berkali-kali diganggu orang. Kini Hek-san Mo-li yang disangka takut itu pun datang, barangkali karena dia tidak menghajar nenek itu dengan keras, sikapnya barangkali terlalu lunak. Barangkali kalau orang-orang ini sudah dibunuh dia akan terbebas dari segala macam gangguan. Kao Sin tiba-tiba berkilat matanya dan sinar keras memancar dari pandang mata pemuda itu. Dan ketika dia sudah dikurung dan Hek-san Mo-li mengangguk maka nenek itu menjawab marah.

“Ya, dia, twa-heng (kakak seperguruan pertama). Inilah orangnya yang telah menghina aku itu!” nenek ini tampak garang, sorot matanya beringas dan segera Kao Sin tahu siapakah kakek tinggi kurus itu. Agaknya suheng (kakak seperguruan) Hek-san Mo-li yang sengaja dibawa datang untuk menghadapinya. Kiranya nenek ini masih penasaran dan ingin membalas kekalahan. Menebus dengan cara mengeroyok!

Dan ketika dua kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek menghadapi Kao Sin tiba-tiba mereka berdua mencabut tongkat baja. “Bagus, memang bertampang bohong. Agaknya bocah ini cukup berisi!”

Kao Sin mendongkol. “Kalian siapakah?” tanyanya. “Ada apa mencari perkara dan mengganggu orang di tengah jalan?”

“Aku Si Tongkat Iblis, anak muda. Dan ini suteku (adik seperguruan) Si Tongkat Hantu!“

Kao Sin tertawa mengejek. Dia tak takut mendengar julukan yang seram-seram itu, memandang mereka dan akhirnya berhenti pada si nenek curang, Hek-san M- li melotot dan nenek itu coba menutupi rasa gentarnya dengan ledakan selendang, rupanya nenek ini telah memiliki senjata baru. Dan ketika lawan mendengus dan marah kepadanya Kao Sin berkata, “Mo-li, rupanya dua orang suhengmu ini orang-orang tak keruan semua. Kalian sama-sama berjuluk iblis, agaknya di neraka sudah tak ada kerjaan lagi hingga kalian kelayapan di muka bumi!”

“Jangan sombong!” si nenek membentak. “Kau menghadapi dewa maut, anak muda. Kami datang untuk mencabut nyawamu!”

“Atau kau yang harus kembali ke neraka?” Kao Sin mengejek. “Kalau begitu boleh kuantar, nenek bangkotan. Maju dan mari main-main lagi untuk terakhir kalinya. Aku tak akan mengampunimu lagi!” Dan ketika si nenek gusar dan meletakkan selendang Kao Sin sudah bersiap-siap dengan kedua lengan lurus ke atas, digetarkan tiga kali.

“Awas Tangan Pedangnya!” Hek-san Mo-li berseru, rupanya jerih dan ngeri memandang tangan yang tiba-tiba berkilat itu. Kao Sin memang menyiapkan Tangan Pedangnya, tertawa mengejek dan dua kakek di depan terbelalak. Mereka juga melihat tangan Kao Sin yan berkilat-kilat itu, tangan yang tampak kokoh dan tajam! Dan ketika lawan mengetukkan tongkat dan Hoa Kiem diminta mundur segera tiga orang tua itu berputar.

“Mo-li, biar kami berdua di depan. Kau di belakang!”

Hek-san Mo-li mengangguk. Dia sudah melompat dibelakang Kao Sin, diam-diam bersinar dan ingin merobohkan pemuda ini membalas kekalahannya. Kao Sin menghadapi dua kakek di depan dengan senyum mengejek, dia tidak mengikuti kedua lawan yang berputar dengan gaya masing-masing. Si Tongkat Iblis dengan gagang diputar ke kiri sementara sutenya menggerakkan tongkat dengan putaran ke kanan, rupanya dua kakek ini bersiap-siap dengan cara masing-masing. Dan ketika Kao Sin menunggu namun kedua lengan digetarkan semakin keras mendadak kakek, di sebelah kanan mengeluarkan bentakan dan mulai menyerang.

“Awas..!” tongkat itu bergerak, arahnya menuju ke kepala namun tiba-tiba menukik, menghantam lambung Kao Sin dan pemuda ini waspada, mengelak dan menghindarkan serangan. Dia tahu bahwa sebentar kemudian Hek-san Mo-li dan kakek satunya akan menyerang, gerakan mereka bisa berbareng. Dan ketika benar saja dua orang itu berseru keras dan selendang di belakang pemuda ini meledak disusul terjangan kakek kedua mendadak Kao Sin sudah menghadapi dua serangan yang meluncur dari arah berlawanan.

“Plak-Dess!“ Kao Sin menangkis, selendang terpental dan kakek di depan terkejut., tongkatnya membalik dan menyerang kepalanya sendiri, tentu saja dia berseru keras dan kakek ini meliuk. Dengan gaya yang indah dia mengikuti gerakan tongkatnya dan tiba-tiba menyerang kembali. Kao Sin melihat kaki yang ringan dan gerakan yang cepat dari kakek ini, lincah namun bertenaga. Dan ketika dua yang lain menyambar kembali dan selendang serta tongkat di belakang menderu dengan hebat tiba-tiba Kao Sio mengeluarkan seruan nyaring dan berkelebatan cepat menangkis semua serangan itu.

“Plak-plak-plak!” tiga senjata tertolak semua, tiga orang tua itu mengeluarkan teriakan marah dan kakek pertama melengking tinggi, dia sudah berputaran dan lenyap bersama gulungan tongkatnya. Dan ketika kakek kedua juga membentak parau dan lenyap dengan gerakan tongkatnya mendadak Kao Sin menghadapi dua gulungan hitam yang menari-nari dan mengelilinginya dari segala penjuru, bertubi-tubi menghadapi serangan dan Kao Sin sibuk. Hek-san Mo-li juga meledakkan selendangnya dan lenyap pula mengelilingi pemuda itu. Kao Sin di keroyok tiga. Dan ketika pemuda itu berseru marah dan mengerahkan pula ginkangnya mengimbangi lawan mendadak pemuda ini pun lenyap di balik gulungan selendang dan tongkat.

“Plak-des des!“ Kao Sin menangkis, lawan mengeluarkan pujian dan pemuda itu segera menghadapi keroyokan sengit, selendang dan tongkat bertubi-tubi menghujani pemuda ini. Kao Sin didesak dari tiga jurusan dan pemuda itu kewalahan juga, dia bertangan kosong. Dan karena dua kakek di depan rupanya benar-benar lihai dan serangan tongkat mereka membingunngkan pemuda ini maka tidak begitu sering tetapi pasti Kao Sin menerima gebukan tongkat, satu dua kali dihajar namun pemuda ini telah melindungi dirinya, tongkat mental dan lawan berteriak mendongkol karena Kao Sin kebal. Betapapun dihantam tetap saja tongkat membalik mengenai pemuda itu, persis karet.

Namun karena gebukan-gebukan itu cukup bertenaga dan Kao Sin sering terhuyung maka Hek-san Mo-li girang berseru keras, “Dia mulai kepayahan, hajar dan hantam terus!”

Kao Sin mendongkol. Kalau saja dia dulu membereskan nenek ini barangkali tak ada pertempuran ini. Hek-san Mo-li sudah dikejar dan barangkali dibunuhnya, pemuda ini mulai marah dan melihat si nenek tak tahu diri. Dia teringat pada A-lun dan nenek ini pun agaknya seperti itu, tak mau sudah kalau belum mendapat hajaran keras, hukuman yang akan membuat nenek itu jera.

Dan ketika Kao Sin didesak dan dua kakek di depan berulang-ulang mendaratkan tongkat mereka di tubuh pemuda ini maka Kao Sin mulai merah mukanya dan membentak, “Orang-orang tak tahu malu, kalian kiranya tua bangka tua bangka yang suka menyusahkan orang lain. Aku akan menghajar kalian agar tahu diri. Awas...!”

Dan Kao Sin yang menangkis tongkat dengan tangan telanjang tiba-tiba menambah tenaganya hingga tongkat bergeratak, mestinya tongkat itu patah atau putus bertemu Tangan Pedang ini. Nyatanya tidak, sinkang yang dimiliki dua kakek itu rupanya cukup kuat hingga mereka mampu bertahan. Inilah yang membuat Kao Sin diam-diam terkejut karena lawan benar-benar cukup lihai.

Dan ketika kakek di depan hanya terhuyung dan temannya maju menyerang dengan tongkat yang lain sementara Hek-San Mo-li juga menubruk dengan lecutan selendangnya mendadak, tanpa diketahui kapan dicabutnya tahu-tahu sebatang pedang berkelebat menyilaukan mata dan mengeluarkan desing mengerikan menyambut sambaran senjata orang-orang itu.

“Crak breet...!”

Hek-san Mo-li dan Tongkat Hantu kaget bukan mim. Mereka tak menyangka bahwa kali ini Kao Sin membawa pedang, menyembunyikannya dibalik punggung dan kini menggerakkan pedangnya itu dengan cara luar biasa. Selendang dan tongkat tahu-tahu dibabat buntung, dua orang tua ini berteriak kaget dan ternganga. Dan ketika mereka terbelalak dan tertegun melihat kilauan sinar putih itu tahu-tahu pedang berkelebat panjang menusuk tenggerokan dan dada mereka.

“Awas...!” Tongkat Hantu menjerit, melempar tubuh bergulingan namun pangkal lengannya tergores juga, kakek ini kalah cepat dan mengeluh menjauhkan diri, pangkal lengannya terluka. Dan Hek-san Mo-li yang juga melecut selendang namun terbabat sampai setengahnya lebih tiba-tiba terpekik ketika ujung pedang mengejarnya, seinci saja diri tenggorokan dan nenek ini pucat. Gerakan pedang betul-betul maut dan dia membanting tubuh bergulingan.

Tapi ketika terdengar suara memberebet dan dada kanan nenek itu tergores panjang maka nenek ini menjerit dan Tongkat Iblis membantunya, menghantam kepala Kao Sin dan terpaksa pemuda ini menunda serangannya terhadap Hek-san Mo-li, membalik dan menangkis hantaman tongkat. Dan ketika tongkat bertemu pedang dan buntung separoh lebih maka Tongkat iblis berseru tertahan melempar tubuhnya bergulingan pula.

“Pedang Maut....!” kakek itu berteriak, melompat bangun dan menggigil memandang Kao Sin.

Pemuda ini sudah tegak berdiri setelah melakukan satu gebrakan yang luar biasa itu, tiga lawannya terluka dan Hek-san Mo-li yang paling menderita. Nenek ini merintih sambil mengusap cucuran lukanya. Bukan main, dalam satu jurus pemuda ini telah membuat lawan-lawannya jumpalitan. Dan ketika Kao Sin tersenyum mengejek dan memandang satu per satu lawan-lawannya itu maka Tongkat Iblis bertanya, suaranya gemetar,

“Bocah, kau ada hubungan apa dengan Si Pedang Maut yang sakti? Bukankah itu jurus Bangau Mengelepakkan Sayap?”

“Hm,” Kao Sin terkejut. “Kau tahu dari mana, tua bangka? Memang benar, itu jurus yang kau sebutkan. Agaknya kau pernah bertemu guruku?”

“Si Pedang Maut gurumu?” kakek ini terbelalak. “Jadi kau muridnya? Ah...!” dan si kakek yang mundur berseru tertahan tiba-tiba meloncat gentar meninggalkan pemuda itu. “Kalau begitu aku tak akan berurusan lagi denganmu, sampaikan salam hormatku pada gurumu!” dan si Tongkat ibiis yang berkelebat pergi rneninggalkan temannya tiba-tiba berseru pula pada Hek-san Mo-li, “Mo-li, aku tak dapat membantumu. Maaf!”

Dan bayangan si kakek yang lenyap begitu cepat tiba-tiba membuat Hek-san Mo-li tertegun, suhengnya nomor dua juga menyusul suhengnya nomor satu itu, Tongkat Hantu pun gentar menghadapi Kao Sin. Dan karena dia ditinggal sendirian dan Hek-san Mo-li tentu saja pucat mendengar nama Si Pedang Maut tiba-tiba nenek ini pun meloncat dan meninggalkan Kao Sin, disusul Hoa Kiem yang juga ketakutan melihat gurunya pergi, wanita muda itu melompat dan mengejar subonya.

Dan ketika orang orang itu pergi dan Kao Sin lagi-lagi membiarkan mereka setelah memberi pelajaran cukup keras akhirnya pemuda ini menyimpan pedangnya dan tertawa mengejek, bangga dan baru tahu bahwa nama gurunya kiranya telah dikenal di luaran. Rupanya gurunya itu pernah menghajar si Tongkat Iblis dengan jurus Bangau Mengelepakkan Sayap, kakek itn mengenal dan gentar. Dan ketika semua lawan pergi meninggalkannya dan Kao Sin merasa puas akhirnya pemuda ini kembali dan tenang dalam hari-hari berikut.

Dia tak diganggu lagi. Tongkat Iblis dan teman-temannya merupakan orang terakhir yang mengganggunya. Kao Sin bekerja seperti biasa dan hidup dengan gembira. Tapi karena pemuda ini mulai dikenal orang-orang kang-ouw dan sepak terjangnya membuat lawan terbirit-birit maka suatu malam dia dipanggil gurunya.

“Apa yang kau lakukan selama ini, Kao Sin? Kau mendemonstrasikan kepandaianmu pada orang luar?”

Kao Sin terkejut. “Maaf, teecu sebenarnya tak melakukan apa-apa, suhu. Dari mana kau tahu?”

“Aku mendengar orang membicarakan namamu. Kau telah menunjukkan ilmu pedangmu dan namaku terbawa-bawa. Bagaimana ini? Bukankah sudah kupesan padamu agar tidak membocorkan rahasia diriku?”

Kao Sin pucat. Tiba-tiba dia melihat muka gurunya marah, mata yang biasa lembut itu mendadak mencorong. Hu-wangwe atau Si Pedang Maut ini marah, Kao Sin ditegur. Tapi karena Kao Sin mempunyai alasan sendiri dan cepat menjatuhkan diri berlutut maka pemuda ini berkata,

“Suhu, ampunkan teecu. Sebenarnya tiada maksud teecu untuk memamerkan kepandaian. Semuanya ini berawal dari sumoi,” dan Kao Sin yang cepat menceritakan kejadiannya yang berasal dan Swat Lian lalu didengar dan diperhatikan si jago pedang itu.

Alis Hu Beng Kui berkerut kerut. Dan ketika cerita itu selesai dan Swat Lian dipanggil maka ganti gadis ini mendapat teguran. “Kenapa kau menyuruh Kao Sin menghajar si brewok? Bukankah sudah kukatakan bahwa rahasia keluarga kita tak perlu diketahui orang lain?”

Swat Lian tersenyum mengejek. “Ayah, kalau orang menggangguku haruskah aku diam saja? Kalau Lok-siauwya itu mencari perkara haruskah aku mengalah dan membiarkannya tanpa pelajaran? Aku pribadi tak menunjukkan kepandaianku, ayah. Kebetulan Kao suheng ini muncul dan kusuruh menghajar si brewok karena dia mengejar ngejarku sumpai ke rumah ini.”

“Hmm...!” sang ayah tetap mengerutkan alisnya. “Kau dapat menghindar, Lian-ji. Kau seharusnya mampu melakukan ini dan tak perlu si brewok mengejarmu!”

“O..., ayah menyuruhku mengeluarkan ginkang di jalan raya? ayah hendak membenarkan tindakan si brewok itu? Baik, aku akan mengeluarkan kepandaian di depan orang banyak, ayah. Dan biar kau tahu siapa sebenarnya yang salah!”

Swat Lian membanting kaki, sang ayah terkejut dan tiba-tiba sadar. Anak gadisnya telah marah kepadanya, dia terlalu mendesak. Dan ketika Swat Lian melompat pergi dan mengancam mau menghajar siapa saja agar dia tidak dikejar-kejar sampai ke rumah maka jago pedang ini menyambar puterinya, terkejut berkata,

“Lian-ji, jangan begitu. Maaf kalau aku salah bicara!” Lalu menenangkan putrinya dengan tawa sejuk buru-buru pendekar ini menyambung. “Aku tak tahu kalau kau dikejar-kejar sampai ke rumah ini. Sudahlah aku minta maaf dan jangan kau memarahi ayahmu. Mana kakakmu?”

Bibir yang cemberut tadi mendadak tersenyum. “An Koko (kakak An) di kebun, ayah. Perlukah kupanggil?”

“Ada apa di sana? Dia sedang berbuat apa?”

“Melatih ilmu silat, katanya sedang jengkel dengan jurus Bangau Mematuk Naga!”

“Hmm, panggil dia, aku juga ingin bicara!”

Dan ketika putrinya mengangguk dan jago pedang ini tersenyum maka dia menyuruh pergi muridnya, dan Kao Sin pun mengangguk diam-diam melirik sang sumoi dan tak lama kemudian Beng An muncul, inilah putera si Pedang Maut itu, kakak Swat Lian. Dan ketika pemuda itu duduk mengusap peluh dan bertanya apa maksud panggilan ayahnya maka sang ayah kagum memandang putranya yang gagah itu.

“Aku hendak minta kau mengawal adikmu. Swat Lian sekarang banyak diincar pemuda pemuda nakal. Apakah kau tak pernah memperhatikan adikmu?”

Beng An, pemuda gagah ini tersenyum: “Apakah Lian-moi tak dapat menjaga dirinya, ayah? Bukankah dia mampu melindungi diri sendiri?"

“Bukan begitu. Adikmu telah membuat keributan. Beng An. Gara-gara Lok-siauwya dan sekarang nama Kao Sin terbawa-bawa dan aku pun terlibat. Orang mulai mengenal namaku dan tahu keberadaanku di kota ini...”

“Hm,” Beng An mengerutkan kening. “Apa yang terjadi? Kenapa bisa begitu?”

“Aku mendengar Kao Sin menghajar orang-orang kauw-ouw, beberapa di antaranya adalah si Tongkat Iblis dan Hek-san Mo-li. Mereka menceritakan hal ini pada orang-orang lain dan namaku mulai terbawa-bawa!”

“Kao-suheng membawa-bawa nama ayah? Dia menghajar Tongkat Iblis dan Hek-san Mo-li?”

“Ya, kau dengarlah,” dan si jago pedang yang menceritakan peristiwa itu lalu mengulang cerita Swat Lian yang diganggu Lok-siauwya, muncul si brewok A-lun dan Kao Sin menghadapi si brewok ini, tak habis begitu saja lalu muncul orang-orang lain. Terakhir Hek-san Mo-li dan dua suhengnya itu.

Dan ketika Beng An mengangguk-angguk dan mengerti duduk perkaranya tiba-tiba pemuda ini tersenyum. “Ayah, dari dulu kau selalu suka menyembunyikan diri. Apa salahnya kalau sekali tempo kau dikenal orang bukan sebagai Hu wangwe melainkan sebagai Si Pedang Maut yang lihai? Bukanlah tiada orang yang dapat menandingi ilmu pedangmu dan tak perlu gentar menghadapi siapa pun? Kalau ada orang coba-coba mengganggu kita biarlah itu kita hadapi, toh aku dan Lian-moi sudah bukan anak-anak kecil lagi yang harus selalu kau lindungi.”

“Hm, aku tak suka menonjolkan diri, An-ji (anak An). Aku tak senang kalau ada orang lain mengetahui aku sebagai Si Pedang Maut!”

“Tapi Sun-taijin (walikota Sun) dan beberapa pembesar di Ce-bu tahu tentang siapa ayah, mana mungkin tak ingin dikenal orang? Bukankah mereka tahu dan mengenal ayah?”

“Mereka lain, An-ji. Mereka telah kupesan untuk tidak menyebut-nyebut namaku sebagai Si Pedang Maut!”

“Benar, tapi mereka toh tahu. Kita tak dapat menyembunyikan diri dari beberapa orang dan ini namanya bukan rahasia lagi.”

“Sudahlah,” ayahnya tak mau dibantah. “Persoalan adikmu cukup di sini, An-ji. Kuminta kau mengawal adikmu agar tidak terjadi lagi peristiwa seperti Lok-siauwya itu!”

“Baik,” dan Beng An yang hari itu juga mengawal adiknya setiap keluar rumah lalu menyanggupi dan menjaga adiknya ini, bukan untuk melindungi keselamatan adiknya melainkan semata agar membuat segan para pemuda yang ingin menggoda adiknya ini. Swat Lian memang cantik. Dan ketika keadaan itu berjalan sebulan dua bulan dan tak ada apa-apa yang mengganggu maka tiba-tiba saja suasana menjadi berubah ketika suatu hari Sun-taijin datang dengan takut-takut, menghadap si jago pedang ini.

“Maaf, aku ingin mengganggu sebentar, taihiap (pendekar besar). “Bolehkah aku bicara tentang sesuatu yang penting?”

“Tentang apa?” Hu-wangwe tersenyum lebar, walikota ini memanggilnya dengan taihiap, bukannya wangwe (hartawan)! Dan ketika tamunya duduk dan Sun-taijin tertawa gugup maka pembesar ini berkata tentang keributan di kota raja, di istana.

“Kim-mou-eng mencuri Sam-kong-kiam, sri baginda marah-marah dan menyuruh cari Pendekar Rambut Emas ini. Bu-ciangkun datang dan kini meminta aku membantu istana.”

“Hm,” alis pendekar ini tiba-tiba terangkat. “Kenapa kau menceritakan ini kepadaku, taijin? Apa maksudmu?”

“Aku ingin minta tolong padamu, Bu-ciangkun ingin menemuimu dan bicara tentang ini.”

“Kau sudah bicara mengenai diriku?” mendadak pendekar ini terbelalak. “Taijin melanggar pesanku dan bercerita pada Bu-ciangkun?”

“Tidak... tidak...!” pembesar itu terkejut, menggoyang lengan. "Aku tidak menceritakan apa-apa tentang dirimu, taihiap. Hanya aku berkata bahwa aku mengenal seseorang yang mungkin dapat membantu persoalan ini. Aku tak menyebut namamu!”

Jago pedang ini mengangguk-angguk. “Terima kasih, kalau begitu aku tetap menghargaimu, taijin. Tapi apakah. Sam-kong-kiam ini betul-betul benda berharga bagi istana?”

“Ah!” Sun taijin membelalakkan matanya, kaget dan penasaran. “Pedang ini pedang keramat, taihiap. Kalau pedang ini hilang dari istana maka pamor sri baginda akan turun!”

“Hm, begitu hebat?”

“Ya, dan pedang ini membawa pengaruh gaib pula. Konon katanya siapa yang dapat memiliki pedang itu dia akan hidup enak tujuh Turunan!”

Hu Beng Kui tertawa. “Taijin, pedang keramat mana bisa membuat orang enak selama tujuh turunan? Jikalau tidak bekerja dan membanting tulang tak mungkin sebatang pedang bisa membuat orang hidup seperti itu, betapapun pedang itu adalah benda mati...!”

“Tapi Sam-kong-kiam bukan pedang biasa. Pedang ini simbol kekuasaan kaisar dan jatuh bangunnya kerajaan!”

“Baiklah,” Hu Beng Kui tak mau berdebat panjang lebar. “Sekarang apa maumu, taijin? Bantuan bagaimana yang kauinginkan?”

“Aku ingin taihiap menemui Bu-ciangkun. Panglima itu ada di rumahku dan bingung mencari orang lihai. Aku teringat taihiap dan kini datang untuk meminta pertolongan ini, mencari dan menangkap Kim-mou-eng yang mencuri Pedang Tiga Sinar itu!”

“Baik, tapi aku tak berjanji banyak, taijin. Untuk sementara ini anak-anakku yang akan turun tangan. Masalah Bu-ciangkun katakan saja bahwa aku coba membantu.”

“Taihiap tak mau menemuinya?” pembesar ini kecewa.

“Maaf, aku tak suka memperkenalkan diriku, taijin. Yang penting adalah maksud kedatanganmu kuterima, bukan? Nah. katakan saja pada Bu-ciangkun bahwa aku akan menolongnya dan coba merampas Sam-kong-kiam itu. Kebetulan aku juga sudah mendengar tentang Pendekar Rambut Emas dan ingin mengenalnya.” jago pedang itu bersinar-sinar, memang dia sudah mendengar akan kelihaian Kim-mou-eng dan diam-diam ingin mengenal pendekar itu.

Hanya, mendengar pendekar itu tiba-tiba mencuri sebatang pedang kenapa hal ini terjadi? Bukankah Pendekar Rambut Emas dikenal sebagai orang baik-baik dan bukan golongan hitam? Dan ketika dia bertanya pada pembesar itu dan Sun-taijin mengerutkan kening maka pembesar ini menjawab,

“Kim-mou-eng bukan bangsa kita, taihiap. Dia keturunan Tar-tar dan mungkin saja ingin membalas dendam atas kematian suhengnya. Dulu mereka ribut-ribut di kota raja dan bangsa Tar-tar pernah menyerang pula bangsa kita!”

“Hmm, aku jadi tertarik” jago pedang ini mengangguk-angguk, telah mendengar itu pula dan jadi gatal untuk menemui Pendekar Rambut Emas ini. Kini Kim-mou-eng memang hampir dikenal di seluruh negeri. Dan ketika dia berjanji untuk membantu istana lewat pembesar itu maka Sun-taijin berpamitan dan meninggalkan cerita tentang Sam-kong-kiam. Bahwa pedang ini merupakan sebatang pedang ampuh yang amat gila ketajamannya, juga berpengaruh gaib karena dapat membuat orang memiliki Kekuasaan, Kekayaan dan Kenikmatan. Dan ketika jago pedang itu tepekur memikir permintaan tamunya maka dua hari pendekar ini mondar-mandir di kamarnya, kegiatan dagang tiba-tiba berhenti.

“Ayah ada apa? Kenapa sering melamun?”

Itulah pertanyaan puterinya. Swat Lian memang menegur ayahnya ini, heran melihat ayahnya hilir-mudik dan sering mengerutkan kening, kadang-kadang tersenyum dan menyeringai aneh, seperti orang gembira. Dan ketika hari itu kembali dia menegur ayahnya dan Beng An kebetulan menemani maka pendekar pedang ini tiba-tiba memanggil mereka berdua.

“Kalian duduklah, ada berita penting!”

Swat Lian berdebar. “Berita apa, ayah? Tentang apa?”

“Kalian sudah mendengar Kim-mou-eng?”

Mendadak Swat Lian berseri gembira “Pendekar Rambut Emas itu?” serunya. “Ah, dia orang gagah, ayah. Juga katanya amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi!”

“Benar, dan aku juga mendengar banyak tentang pendekar ini, ayah. Katanya menjadi musuh nomor satu dari golongan hitam dan sepak terjangnya mengagumkan!” Beng An juga berseru.

“Dan kalian ingin berkenalan?”

Swat Lian dan kakaknya tertegun. Mereka tak mengerti maksud ayah mereka ini, tapi Swat Lian yang sudah lama mendengar tentang pendekar itu dan berdebar membayangkan Kim-mou-eng yang gagah dan tampan tiba-tiba tersipu dan menundukkan muka ketika bertemu dengan pandang mata ayahnya, melihat ayahnya tertawa dan gadis ini tiba-tiba jengah.

Pembicaraan itu seolah ditujukan kepada dirinya, Swat Lian gugup dan entah mengapa jantungnya meloncat-loncat. Dia mengira ayahnya akan membicarakan perjodohannya dengan Kim-mou-eng, gadis ini menunduk dan membenamkan pandangan ke tanah. Dan ketika ayahnya bertanya kembali apakah mereka mau berkenalan denpan pendekar itu maka kakaknya yang menjawab,

“Kami tak mengerti maksud ayah, sebaiknya ayah katakan dulu apa maksud semua pembicaraan ini agar kami paham.”

“Hmm,” sang ayah mengangguk-angguk. “Aku ingin menyuruh kalian berkenalan dengan pendekar itu, anak-anak. Dan aku bermaksud menyuruh kalian menangkap Kim-mou-eng!”

“Apa?” Swat Lian kaget. “Menangkap Kim-mou-eng, ayah? Apa alasannya dan kenapa kata-katamu mengandung permusuhan?”

Pendekar itu tertawa. “Lian-ji, dua hari yang lain aku didatangi Sun-taijin. Pembesar itu datang karena ada hubungannya dengan Pendekar Rambut Emas ini. Aku dimintai tolong pendekar itu harus dicari dan ditangkap karena dia mencuri Sam-kong-kiam!”

Lalu Hu Beng Kui yang menceritakan pada putera-puterinya tentang pencurian Sam-kong-kiam itu kemudian didengar dengan muka berubah-ubah dan hampir tidak percaya oleh Swat Lian, kakaknya sendiri hanya mengangguk angguk dan menggumam. Mungkin pemuda ini pun heran kenapa Kim-mou-eng yang dikenal sebagai orang baik-baik ini melakukan perbuatan hina, mencuri. Dan ketika cerita itu habis dikisahkan dan Hu Beng Kui bersinar-sinar memandang putera putrinya maka pendekar itu mengakhiri,

“Karena itulah aku ingin menyuruh kalian mencari dan menangkap Kim-mou-eng ini. Dan karena aku berjanji pada Sun-taijin harus menghadapi Kim-mou-eng maka sebaiknya kalian pergi dan cari penjahat ini. Kim-mou-eng ternyata bukan orang baik-baik, kalian harumkan nama keluarga Hu dan tangkap pencuri ini!”

Swat Lian terhenyak. Kalau bukan ayaknya sendiri yang menceritakan itu kemungkinan ia tak akan percaya. Kekagumannya pada Kim-mou-eng mendadak lenyap, terganti senyum sinis dan Swat Lian mendengus. Diam-diam ada rasa mendongkol kenapa orang macam begitu membuat dia berdebar, gugup dan bingung seolah gadis ditawari jejaka. Swat Lian malu pada diri sendiri dan segera mengiyakan permintaan ayahnya. Mereka disuruh mencari Pendekar Rambut Emas itu.

Swat Lian gatal tangan dan diam-diam ingin melampiaskan kemendongkolan. Dan ketika malam itu ayahnya berpesan agar mereka hati-hati dan keesokan harinya mereka disuruh berangkat maka dua kakak beradik ini memulai perjalanan mereka dan mencari Kim-mou-eng. Namun tak mudah hal itu dilakukan. Swat Lian dan kakaknya harus bekerja keras, mereka bertanya sana-sini dan berkali-kali gagal.

Swat Lian semakin mendongkol saja ketika orang menyatakan bahwa Kim-mou-eng memang tampan, gagah dan berkepandaian tinggi dan karena itu ia semakin penasaran saja. Dan ketika dua minggu kemudian mereka mendengar serbuan orang-orang kang-ouw di dekat Jurang Malaikat maka dua kakak beradik ini terhenyak ketika Kim-mou-eng dikabarkan tewas.

“Pendekar Rambut Emas itu terjungkal, dia tewas di dalam jurang.”

“Bagaimana dengan Sam-kong-kiam?”

“Tak tahulah, Mo-ong den Hek-bong Siang Lo-mo katanya terbirit-birit meninggalkan jurang itu. Katanya mereka bertemu arwah Kim-mou-eng yang mati penasaran.”

“Atau Kim mou-eng hidup lagi? Bagaimana sebuah arwah bisa mengejar-ngejar orang?”

“Kami tak tahu, Kim-mou-eng dikabarkan tewas tapi katanya tiga kakek iblis itu lari tunggang tanggang setelah melompat ke dasar jurang. Barangkali mereka bertemu arwah sungguhan atau mungkin Kim-mou-eng masih hidup dan di dasar jurang menghajar tiga kakek itu hingga lari terbirit-birit!”

Swat Lian dan kakaknya tertegun. Itulah pernyataan orang-orang yang mereka jumpai, hampir semuanya menyatakan Kim-mou-eng tewas tapi mereka juga tak bisa menjawab bagaimana Lo-mo dan Mo-ong yang hendak merampas Sam kong-kiam di mayat Kim mou-eng bisa ketakutan dan lari keluar jurang, katanya bertemu hantu dan orang-orang kangouw di situ juga tunggang-langgang. Segumpal asap menyerang mereka dan semuanya roboh, tak ada yang mampu menghadapi asap atau sesuatu yang aneh itu, yang sebenarnya adalah Bu-beng Sian-su adanya. Dan karena berita ini dinilai simpang-siur dan Swat Lian serta kakaknya penasaran maka Swat Lian mengajak agar mereka ke Jurang Malaikat itu.

“Aku tak percaya, masa sebuah arwah bisa mengusir ratusan orang kangouw yang rata-rata berkepandaian tinggi? Apalagi Hek-bong Siang lo-mo dan Mo-ong ada di situ, rasanya tak masuk akal dan tentu ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan di sini. Sebaiknya kita ke sana dan selidiki sendiri apa dan bagaimana rupa Jurang Malaikat itu!”

“Benar, cerita ini kelihatannya ganjil, Lian-moi. Aku juga tak percaya dan sangsi akan cerita orang-orang itu. Memang sebaiknya kita ke Jurang Malaikat dan lihat apa sesungguhnya yang telah terjadi!”

Begitulah, dua kakak beradik ini lalu melanjutkan perjalanannya. Mereka ke utara dan mencari-cari Jurang Malaikat itu, orang tak tahu nama jurang ini namun dapat memberi ancer-ancernya. Karena jurang itu dikenal sebagai tempat pertempuran Kim-mou-eng yang dikeroyok ratusan orang kangouw. Orang menyebutnya sebagai Jurang Iblis, Jurang Hantu karena Mo-ong dan Lo-mo terbirit-birit di sini menyatakan ketemu hantu, rohnya Kim mou-eng. Dan ketika seminggu kemudian dua kakak beradik ini tiba di sini dan melihat bekas bekas pertempuran maka mereka menjublak dan mau tak mau menjadi kagum.

“Hebat, ratusan kaki meninggalkan bekasnya di sini, tak kurang dari tiga ratus orang. Kalau Kim-mou-eng bukan orang berkepandaian tinggi tak mungkin dia dapat lolos dan menghadapi sekian banyak orang itu!”

“Ya dan kabarnya dia jatuh ke jurang ini, Lian-moi. Bagaimana kalau kita turun dan tengok ke bawah?”

Swat Lian melongok. Dia tak melihat dasar jurang yang dalam, di tengah tengahnya tertutup kabut dan gadis ini tergetar. Entah berapa ratus tombak dalamnya jurang ini, yang jelas dalam dan amat berbahaya, dindingnya licin dan terjal. Tapi Swat Lian yang tertarik dan memang berjiwa petualang tiba-tiba mengangguk dan berdebar menyetujui keinginan kakaknya.

“Benar, kita rupanya harus turun ke bawah. An-ko. Barangkali mayat Kim-mou-eng dapat kita temukan atau mungkin rohnya yang dikata gentayangan itu menemui kita!”

“Kau tak takut?”

“Tidak, justeru aku tertarik dan ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi!” dan Swat Lian yang tertawa melepas ikat pinggangnya tiba-tiba melontarkan ikat pinggangnya ke dinding jurang, menancap dan sebentar kemudian gadis ini menyusul ke bawah dengan terjun langsung, berjungkir balik dan sudah menyambar serta melontarkan ikat pinggangnya itu ke tempat yang lebih bawah, ikat pinggang ini sudah berobah kaku dan keras seperti baja. Swat Lian mempergunakannya seperti “paku”. Dan ketika gadis itu berpindah-pindah dengan caranya yang luar biasa maka dia pun lenyap di tengah jurang di bawah kabut itu.

Beng An tersenyum. Dia melihat kelihaian adiknya yang mengagumkan, tak lama kemudian menyusul dan sudah meniru perbuatan adiknya, mempergunakan ikat pinggang pula dan sudah melayang-layang di bawah jurang. Mereka berdua tentu saja amat berhati-hati dan mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang paling tinggi. Dan ketika seperempat jam kemudian mereka tiba di tengah dan melihat lubang di dinding jurang maka di sini Swat Lian berhenti. tertegun.

“Ada lubang, tampaknya bekas ditempati orang!”

Beng An mengangguk. Mereka tak tahu itulah tempat Bu beng Sian su, di sinilah manusia dewa itu tinggal, di samping Lembah Malaikat. Dan ketika mereka masuk dan tertegun melihat tempat yang bersih maka Swat Lian semakin terheran-heran membelalakkan mata.

“Luar biasa, tempat ini harum. Bau apa gerangan?” Swat Lian mengendus-enduskan hidung, cupingnya berkembang kempis dan Beng An pun mengangguk, pemuda ini heran dan mencari cari. Tapi ketika tak ditemukannya asal bau harum itu dan mereka melihat tempat ini kosong saja maka Swat Lian melihat sebuah batu hitam yang tengahnya berlekuk, halus dan amat rata. “Ini tempat orang bersamadhi, apakah Kim-mou-eng tinggal di sini?”

Swat Lian melompat, mendekati batu hitam itu dan memegang megang permukaannya. Dan ketika permukaan batu itu dirasa hangat dan seolah baru diduduki orang maka gadis ini kaget berseru tertahan. “Ah, lekukan batu ini hangat. Jangan‐jangan di sekitar sini ada orang!”

Dan kakaknya yang melompat mendekati dan terkejut mendengar seruan adiknya, segera mengawasi seluruh lubang tapi tak melihat apa-apa pada tempat atau guha ini. “Tak ada orang, barangkali pergi ketika kita masuk!”

“Dan Kim mou-eng tinggal di sini?”

“Siapa yang tahu? Kita baru kali ini memasuki dunia kang-ouw. Lian-moi. Barangkali benar atau barangkali juga keliru!”

“Dan bagaimana perasaanmu di tempat ini?”

“Maksudmu?”

“Kerasankah kau? Aku merasa nyaman berada di tempat ini, sepertinya milik orang baik-baik dan setiap hari dirawat!”

“Hm, aku kira begitu. Tapi Kim-mou eng bukan orang baik-baik, jadi mungkin ini bukan tempat tinggalnya!”

Swat Lian mengangguk. Memang mereka lebih menganggap Kim-mou-eng bukan orang baik-baik, padahal tempat ini berbau harum dan enak ditinggali. Hawa yang menyenangkan terasa di situ, nikmat dan hangat. Tapi mendengar kakaknya menyebut-nyebut Kim-mou-eng mendadak Swat Lian melompat keluar menuruni jurang lagi. “An-ko, pekerjaan kita belum selesai. Ayo turun dan cari Pendekar Rambut Emas itu di dasar jurang!”

Sang kakak teringat. Beng An mengangguk dan menyusul adiknya, diam-diam dia heran dan terkesan oleh guha atau lubang di dinding jurang itu. Jelas tempat itu ditinggali seseorang, hatinya berdebar dan ingin tahu. Tapi karena mereka harus turun dan maksud mencari Kim-mou-eng harus didahulukan maka Beng An menuruni jurang dan terkejut ketika semakin ke bawah pandangan menjadi semakin gelap.

“Kita berhenti, jurang ini terlalu dalam!” Beng An berseru, khawatir melihat adiknya mau terus ke bawah padahal mata mulai tak mampu menembus lagi.

Swat Lian mengusap keringat dan tertawa, memang dia sendiri sudah ragu dan was-was memandang ke bawah. Tempat itu terlalu dalam. Namun penasaran oleh bayangan Kim-mou-eng yang belum mereka temukan maka gadis ini coba membantah untuk coba coba meneruskan penurunan, “Kita hampir sampai, An-ko. Kenapa berhenti dan tidak turun lagi?”

“Kau tahu dari mana bahwa kita hampir sampai? Bukankah dasar jurang belum kelihatan ujudnya?” sang kakak tak setuju. “Tidak, berhenti saja, Lian moi. Aku mulai mengendus hawa beracun di bawah ini!”

Swat Lian mengangguk. Dia mengerutkan kening dan terkejut mencium bau tidak enak di bawah, ada semacam asap belerang dan uap ke kuningan di sana, gadis ini berhenti, tentu saja tak berani nekat karena kepala mulai pusing, tempat ini berbahaya. Maka ketika kakaknya menyambar lengannya dan mengajaknya naik ke atas Swat Lian tak membantah dan menurut.

“Kita bisa tercekik asap, ayo kembali dan hentikan pencarian!”

Swat Lian mundur. Mereka kembali ke atas, sedikit susah. Beng An berkata bahwa tak mungkin Kim-mou-eng selamat lagi kalau terbanting di dasar jurang, tempat itu beracun. Dan ketika mereka ke atas dan tiba diguha di tengah-tengah jurang Swat Lian minta agar beristirahat di sini.

“Aku capai, beristirahat sebentar, An-ko. Aku merinding melihat bawah jurang tadi!”

“Ya, dan kau jangan nekat, Lian-moi. Dasar jurang tak memiliki oksigen kecuali hawa beracun melulu!”

Swat Lian terengah. Pendakian yang mereka lakukan ternyata lebih berat daripada ketika turun, namun karena mereka bukan orang-orang sembarangan dan Beng An setuju mereka beristirahat di guha kecil itu akhirnya Swat Lian melonjorkan kaki melepas lelah, menghapus keringatnya. “Bagaimana sekarang, An-ko. Kita kembali dan melapor kepada ayah bahwa Kim-mou-eng tewas?”

“Agaknya begitu. Kita tak menemukan Pendekar Rambut Emas ini dan rupanya dia benar-benar jatuh ke dasar jurang.”

“Lalu kita tak membawa sesuatu sebagai oleh-oleh?”

“Oleh-oleh apa? Bukankah kita hanya ditugaskan mencari Pendekar Rambut Emas ini?”

“Aku ingin sesuatu, An-ko,” Swat Lian tersenyum, tiba-tiba tertawa aneh. “Aku tak mau kita pulang dengan tangan hampa begini. Bagaimana kalau jangan tergesa dulu dan main-main ke kota raja? Aku ingin tahu istana, ingin melihat-lihat keadaannya dan siapa tahu ada puteri cantik di situ!”

“Untuk apa?” sang kakak mengerutkan kening. “Kau mau berandal?”

“Hi-hik, aku ingin mencarikan jodoh buatmu, An-ko. Aku ingin punya so-so (kakak ipar) dan melihat kau menikah...!”

“Busyet!” Beng An menampar adiknya ini, luput. “Kau jangan kurang ajar, Lian-moi. Aku tak mau menikah kalau kau sendiri belum mendapat pasangan!” dan ketika mereka tertawa-tawa dan saling bercanda di tempat itu tiba-tiba dari atas terdengar suara orang.

“Sst, diam... !” sang kakak terkejut. “Ada orang. Lian-moi. Hati-hati dan mari kita lihat!” dan Beng An yang berkelebat keluar dan melihat ke atas tiba-tiba kehilangan bunyi gerakan-gerakan itu.

“Hantu?” Swat Lian berbisik, sudah menyusul di samping kakaknya ini. “Roh Kim-mou-eng, An ko. Atau pemilik guha ini?”

“Entahlah, jangan ribut, Lian-moi. Aku mendengar langkah seseorang yang kini tiba-tiba berhenti!”

“Kau yakin?”

“Tentu.”

“Bukan hantu?”

“Ah, aku tidak main-main, Lian-moi. Aku tak percaya hantu dan jangun kau menggangguku, ini seru!”

Swat Lian tersenyum. Memang dia menggoda kakaknya ini, tentu saja juga mendengar suara di atas jurang tadi namun bersikap tak acuh, dia ingin tahu reaksi kakaknya dan ternyata kakaknya menangkap gerakan itu. Kini suara itu hilang dan Swat Lian pun tak mau main-main, dia memasang telinga dan berdebar. Dia mengira pemilik guha akan datang. Tapi ketika suara itu tak muncul juga dan mereka tak sabar mendadak sesosok bayangan meloncat ke dalam jurang dan Swat Lian terkejut melihat seseorang berjungkir balik membawa sebatang pedang yang berkilauan dalam tiga warna, hijau kuning dan merah.

“Kim-mou-eng...!” Seruan ini terloncat begitu saja. Swat Lian memang terkejut melihat bayangan itu, melihat pedang dalam tiga warna dan tak dapat menahan mulutnya, otomatis berteriak dan orang di atas kaget. Pedang di tangannya itu sudah menusuk tiga kali di dinding jurang, dipakai sebagai tancapan dan rupanya dia mau turun ke bawah, kini tiba-tiba berhenti dan menempel di dinding jurang, menengok dan melihat Swat Lian di sana, tertegun.

Dan ketika Swat Lian juga tertegun melihat rambut keemasan yang merumbai di punggung orang mendadak bayangan ini tertawa aneh dan berjungkir balik meloncat kembali ke atas, tak melihat Beng An yang cepat menarik kepalanya ke dalam.

“Nona, kau siapa?”

Swat Lian hilang kagetnya. Dia sekarang sadar dan melihat orang sudah di atas, melongok ke bawah dan berseru padanya. Tentu saja Swat Lian terkejut tapi juga girang. Kim-mou-eng rupanya sudah ditemukan! Maka begitu orang berseru padanya dan Swat Lian menggerakkan kaki tahu-tahu gadis ini telah berjungkir balik ke atas dan mempergunakan ikat pinggangnya menyusul orang itu, yang disangka Kim-mou-eng, lupa pada kakaknya yang ada di belakang...!

Pedang Tiga Dimensi Jilid 10

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 10
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“HA-HA, itu bukan karena salahmu, Lian-Ji (anak Lian). Melainkan semata ketidaktahuan si orang she kok itu. Biarlah, kenapa sewot dan harus marah? Bukankah lamarannya sudah kutolak?”

“Tapi anaknya sering peringas-peringis, aku benci sikapnya itu!”

Hu-wangwe ganda ketawa. Ini tadi adalah sekelumit dialog ayah dan anak. Swat Lian, putri Hu Beng Kui marah-marah. Beberapa hari yang lalu datang si juragan cita meminangnya, bukan untuk diri sendiri melainkan untuk anaknya laki-laki. Ditolak, tapi anak juragan she Lok itu sering menggoda Swat Lian, cengar-cengir. Hu Beng Kui mengatakan biar saja dan tak perlu pemuda itu ditanggapi.

Swat Lian hampir tak kuat dan akan menghajar lawannya, sang ayah mengerutkan kening. Dan karena juragan she Lok itu adalah rekan dagang sementara puterinya seorang gadis yang keras maka Hu-wangwe akhirnya berkata, “Kau tak perlu lagi ketemu dengannya. Kalau anak orang she Lok itu datang menghampiri mu lebih baik kau pergi. Toh kau dapat melakukan itu.”

Swat Lian menurut. Dia juga tahu kehendak ayahnya, bahwa ayahnya tak mau hubungannya dengan juragan cita itu rusak. Persoalan pinangan sudah dianggap selesai. Hu Beng Kui menyatakan putrinya belum ingin menikah, inilah tolakan halus. Tapi anak juragan she Lok yang rupanya tergila-gila pada Swat Lian ternyata tak melepaskan gadis ini semudah perkiraan Hu-wangwe. Swat Lian yaog menghindar selalu diburu, gadis itu menjadi jengkel. Dan ketika suatu hari gadis itu memasuki pasar dan sedang berbelanja tahu-tahu Lok Pauw, anak juragan cita itu sudah berada di sampingnya.

“Heh heh, belanja apa, Hu-siocia?”

Swat Lian mengerutkan kening. Dia terkejut melihat kehadiran pemuda itu, sekarang tak dapat menghindar. Orang tahu-tahu telah berada di sampingnya dan siap membawakan belanjaannya, sayur dan buah-buahan. Swat Lian menjadi sebal dan ingin menampar. Tapi karena ayah pemuda itu rekan dagang ayahnya dan dia tak mau merusak hubungan itu maka Swat Lian berkata bahwa sebaiknya pemuda itu tak mengganggu.

“Ah, aku tak mengganggumu, siocia. Bahkan ingin menolongmu. Bukankah belanjaanmu berat? Mari kubawakan semuanya!”

Lok Pauw sudah menyambar belanjaan Swat Lian, tertawa-tawa dan orang pasar tersenyum. Mereka sama-sama mengenal dua anak muda itu, yang satu putera jurangan cita sedang yang lain puteri Hu-wangwe. Perhatian lebih tertarik pada Hu siocia yang cantik ini. Swat Lian memang cantik. Tapi ketika Lok Pauw membawakan belanjaannya dan gadis ini geram tiba-tiba Swat Lian ingin memberi pelajaran.

“Kau tak perlu repot-repot, biarlah itu kubawa sendiri!” Swat Lian maju dengan cepat, kedua tangannya bergerak dan tanpa di ketahui seorangpun dia memencet jalan darah di tengkuk pemuda ini, jalan darah git-ceng-hiat yang membuat orang akan menjerit karena tubuh seakan disengat ribuan tawon. Tak berhenti di situ saja kaki Swat Lian menyentuh jalan darah di belakang lutut pemuda itu, ini pun jalan darah yang akan membuat Lok Pauw terguling'guling mengaduh kesakitan.

Dan ketika benar saja pemuda itu menjerit dan berteriak mengejutkan orang pasar tahu-tahu dia sudah bergulingan dan mengaduh-aduh tak keruan, tengkuk dan belakang lututnya dipegangi seperti orang kena strom! “Aduh... augh... aku disengat tawon... tolong...!”

Orang-orang terkejut. Swat Lian sendiri sudah menyelinap menyambar belanjaannya, dia tersenyum puas menghajar pemuda itu. Tapi ketika orang ribut-ribut dan Swat Lian menjauhi tempat iru mendadak seorang laki-laki berkelebat menghadang dan membentak,

“Nona. sembuhkan dulu Lok-siauwya (tuan muda Lok)!”

Swat Lian berhenti. Dia akan menabrak seorang laki-laki brewok yang tinggi besar, laki-laki ini sudah menghadang larinya dan Swat Lian marah. Di belakang Lok Pauw masih mengaduh-aduh tak keruan, pasar menjadi ribut dan ramai. Tak ada orang yang mampu menyembuhkan Lok Pauw, pemuda itu memang akan menderita setengah jam lebih. Swat Lian telah mengatur ini. Dan ketika si brewok itu membentaknya dan Swat Lian meletakkan barang belanjaan maka si brewok berkata lagi dengan nada tinggi,

“Kau mengerjai Lok-siauwya. Kau menotok tengkuk dan belakang lututnya. Sembuhkan dia dulu baru kau boleh pulang!”

“Hmm!” Swat Lian menjadi gusar. “Kau siapakah dan ada hubungan apa dengan pemuda itu? Kalau kau tahu aku menotoknya mengapa tidak kau sembuhkan sendiri? Bukankah kau tahu?”

“Aku telah mencoba, tapi gagal. Aku adalah centeng Lok-loya (tuan Lok) dan karena itu harus menjaga keselamatan keluarganya!”

“Bagus, kalau begitu kau minggir. Suruh Lok-siauwya datang ke rumahku dan biar dia ku sembuhkan di sana....”

Swat Lian meloncat, barang bawaan disambar kembali dan dia tahu-tahu telah menyelinap di samping laki-laki ini. Laki-laki itu terkejut, menggerakkan lengan tapi Swat Lian telah lolos. Dan ketika Swat Lian berlari cepat dan tak ingin membuat ribut maka laki-laki itu mengejar dan membentak,

“Hu-siocia, kau harus kembali dulu!”

Swat Lian mendongkol. Kalau saja tak ingat pesan ayahnya tentu dia sudah menghajar laki-laki ini, lawan berteriak-teriak dan Swat Lian tak senang karena segera ia menjadi perhatian orang banyak. Mereka berlari-lari di jalan raya, Swat Lian tak berani mengerahkan ginkangnya dan berlari biasa saja. Mereka seolah adu cepat. Dan ketika Swat Lian hampir tiba di rumahnya dan laki-laki di belakang tetap mengejar maka secara kebetulan seorang pemuda muncul, seorang murid dari Giam-lo-kiam Hu Beng Kui.

“Sumoi, apa apa?”

Swat Lian menuding ke belakang. “Centeng Lok-loya itu mengejar-ngejarku seperti orang gila. Hajar dia!”

Pemuda itu mengangguk. Dan sudah menghadang dan melompat ke depan, Swat Lian sendiri sudah memasuki rumahnya dan lenyap. Kini centeng itu berhenti dan terbelalak marah, dia gagal mengejar puteri Hu-wangwe. Dan ketika pemuda itu yang dikenalnya sebagai pembantu Hu-wangwe melompat ke depan dan menghadang jalannya, tiba-tiba centeng (tukang pukul) ini membentak.

“Kau minggirlah...!” dan tangannya yang mencengkeram ke depan menuju pundak tahu-tahu bersiap mendorong pemuda ini untuk dibanting, disambut dengus mengejek dan pemuda itu tidak mengelak.

Dia adalah Kao Sin, murid termuda Hu Beng Kui. Dan ketika tangan menyambar pundaknya dan Kao Sin membiarkan jari-jari itu mencengkeramnya mendadak pemuda ini membentak dan balas memaki lawannya, “Kaulah yang minggir!” dan begitu kaki bergerak cepat menuju perut lawan tahu-tahu terdengar suara “ngek” dan centeng itu berteriak, terpelanting dan roboh terjerembab. Lutut Kao Sin telah bersarang di perutnya, centeng ini mengaduh-aduh. Tapi ketika dia melompat bangun lagi dan melotot marah tahu tahu dia mencabut golok dan menyerang Kao Sin.

“Kau pelayan jahanam. Derajatmu masih rendah dibanding aku!” dan sang centeng yang menyerang dengan tubrukan cepat lalu membacok dan mengayunkan goloknya bertubi-tubi, memaki Kao Sin yang memang dikenal sebagai pembantu Hu-wangwe, pemuda ini sering muncul melayani Lok-loya, karena itu dianggap pelayan biasa saja dan centeng itu merendahkan pemuda ini. Tapi ketika lawan berloncatan ringan dan tak ada sebuah serangan pun yang mengenai tubuh pemuda ini maka tukang pukul itu terkejut.

“Kau kiranya bisa sedikit ilmu silat, pantas sombong!” centeng itu membentak lagi, menyerang tapi kembali dikelit dan Kao Sin mengejek padanya, berkata bahwa dialah yang sombong.

Dan ketika centeng ini marah dann semakin membabi-buta mengayunkan golok tiba-tiba Kao Sin menangkis bacokan goloknya sambil berseru, “Sekarang kau lihat, aku yang tak tahu diri atau kau... plak!”

Dan golok yang ditangkis patah oleh tangan telanjang itu tiba'tiba membuat sang centeng berteriak kaget, terbelalak dan tertegun. Dan ketika dia terkesima dan memandang dengan mata pucat tahu-tahu lawan telah menendang pinggangnya dan dia pun terbanting tak dapat bangun lagi!

“Aduh... aduh...!” centeng itu mengerang di atas tanah, menggeliat dan menekan-nekan pinggangnya yang kesakitan. Sekarang dia sadar bahwa “pelayan” Hu-wangwe ini kiranya bukan pelayan biasa. Seorang pemuda yang lihai. Goloknya patah ditangkis tangan pemuda itu. Dan karena sadar bahwa lawan kiranya bukan pemuda sembarangan dan centeng itu minta ampun maka Kao Sin membebaskan dirinya dan menyuruh tukang pukul itu pergi.

“Kau jangan berlagak macam-macam. Kalau tidak ingat pesan guruku tentu tulang tulangmu sudah kupatahkan!” Kao Sin memberi ancaman, membuat sang centeng ketakutan dan berkali-kali laki-laki itu mengangguk.

Dia tak tahu bahwa yang dimaksud “guru” adalah Hu-wangwe sendiri. Si Pedang Maut. Dan ketika hari itu dia mendapat pelajaran dan jerih menghadapi keluarga Hu maka tukang pukul ini berhenti dan ngacir dari kota Ce-bu. Dia membertahukan majikan mudanya bahwa di rumah keluarga Hu itu terdapat seorang pemuda lihai. Dia kalah dan gentar. Tugasnya tak dapat dilakukan dengan baik dan karena itu dia minta berhenti.

Lok Pauw terkejut dan bimbang, tiba-tiba saja dia tak berani lagi mengganggu Swat Lian, takut pada Kao Sin. Tapi centeng yang mundur dan dikalahkan Kao Sin ini kiranya tak kapok begitu saja, seminggu kemudian datang bersama lima orang kawannya dan Kao Sin dicegat, pemuda ini memang sering mondar mandir mengantar barang, Hu Beng Kui memang pedagang. Dan ketika hari itu Kao Sin mengawal hantaran menuju rekan dagang gurunya yang tinggal di pinggiran kota mendadak keretanya dicegat dan enam laki-laki membentaknya menyuruh turun.

“Kau berhutang sesuatu kepada kami. Turunlah!”

Kao Sin tertegun. Dia melihat laki-laki brewok itu, tahulah dia bahwa urusan seminggu lalu rupanya berbuntut. Orang ini datang lagi dan mengikutsertakan teman-temannya, dia mau dikeroyok. Tapi Kao Sin yang melompat turun dan tersenyum mengejek segara menghadapi orang-orang itu dan bertanya, “Aku berhutang apa pada kalian? Dan ini centeng Lok-loya, bukan?”

“Benar, dia A-lun, kami teman-temannya. Kami menuntut hutang karena seminggu yang lalu katanya kau menghina temanku ini. Sekarang bayar dosamu itu, tinggalkan kereta ini atau kau berlutut meminta ampun dan mencium kaki kami!”

“Hm...!” Kao Sin tertawa mengejek “Urusanku dengan A-lun itu sudah selesai sobat-sobat. Kenapa diperpanjang dan mencari ribut. Kalau kalian ingin merampok bilang saja, aku tak usah banyak bicara dan kalian maju.”

“Sombong, kau rupanya pongah!” Dan orang di depan yang mencabut senjatanya dan sejak tadi bersikap mengancam, tiba-tiba membacok dan menyerang pemuda ini, sudah menduga bahwa Kao Sin akan melayani mereka. Pemuda ini dikatakan lihai dan berani menangkis golok dengan tangan telanjang, kini dia ingin membuktikan itu dan melihat apakah lawan benar-benar lihai.

Tapi Kao Sin yang berkelit dan tertawa mengejek ternyata menghindari serangannya itu, berloncatan dan waspada terhadap lima yang lain. Teman teman orang ini sudah mencabut senjata pula dan siap menyerang. Kao Sin yang muda ingin bermain-main, diam-diam matanya menyipit tajam pada si A-lun, laki-laki brewok itulah yang menjadi gara-gara. Dan ketika lawan berteriak dan menyerang lagi dengan penuh kemarahan maka Kao Sin diminta menangkis goloknya itu.

“Ayo, tunjukkan kehebatanmu. Katanya kau berani menangkis senjata tajam!”

Kao Sin tertawa. “Kau ingin tahu? Baik!” Dan Kao Sin yang berkelebat cepat menangkis sambaran golok tiba-tiba membentak dan mencengkeram golok itu.

Kejadian berlangsung cepat dan lawan ternganga, golok tahu-tahu dikeremus dan suara pletak-pletak membuat laki-laki ini kaget. Dia melihat goloknya dicengkeram dan patah. Dan ketika dia terbelalak dan Kao Sin menggerakkan kaki maka laki-laki ini terjungkal dan mengaduh-aduh seperti ayam disembelih.

“Nah, sekarang tahu rasa. Yang ingin coba-coba boleh maju!” Kao Sin menantang, melihat yang lain-lain terkejut dan A-lun pucat. Untuk kedua kalinya dia melihat kehebatan Kao Sin, pemuda ini memang lihai. Tapi karena mereka datang bukan untuk bertempur satu lawan satu melainkan maju mengeroyok maka A-lun sudah memberi aba-aba dan empat temannya menyerang, yang roboh juga sudah bangun kembali dan mencabut senjata baru. Rupanya dia sudah bersiap dengan senjata cadangan.

Kao Sin melihat yang lain-lain juga membawa golok kedua, jadi mereka sudah bersiap-siap begitu senjata pertama dipatahkan. A-lun memang telah menceritakan kehebatan pemuda ini menghadapi senjata tajam. Dan begitu mereka berenam menerjang maju dan mengeluarkan bentakan bentakan seram tiba-tiba Kao Sin sudah dikeroyok dan menghadapi enam golok yang membacok bertubi-tubi.

“Kalian pengecut, rupanya kalian memang bukan orang baik-baik!” Kao Sin marah, meloncat dan tiba-tiba berjumpalitan keluar dari kepungan. Dengan indah dan luar biasa dia melewati kepala enam lawannya, Alun dan kawan-kawan kehilangan pemuda ini. Tapi ketika mereka membalik dan melihat pemuda itu ada di belakang tiba-tiba mereka sudah menyerbu kembali dan berserabutan mengayunkan golok.

“Wut-wut wut...!”

Enam golok itu menyambar Kao Sin. Pemuda ini tertawa, menggeliat dan miringkan tubuh ke sana ke mari. Gerakannya sederhana, tapi semua serangan luput, tak ada satu pun yang mengenai tubuhnya. Dan ketika lawan terkejut dan berseru keras maka pemuda ini membentak mengayunkan lengan kirinya,

“Sekarang kalian rasakan balasanku. Nih, boleh coba satu persatu!” Dan Kao Sin yang bergerak cepat mengayun lengannya tahu-tahu telah menggaplok pipi mereka hingga menerbitkan suara nyaring.

“Plak-plak-plak!” enam lawan terpelanting, semua berteriak kaget dan masing-masing bergulingan. Tamparan itu keras, pipi mereka seketika bengap. Dan ketika mereka melompat bangun dan terkejut oleh balasan Kao Sin maka mereka membalik lagi dan menyerbu dengan seruan marah.

“Bocah ini kurang ajar, bunuh dia...!” mereka menerjang kembali, golok bertubi-tubi membacok tapi Kao Sin menghilang.

Pemuda ini berkelebat lenyap dengan gerak luar biasa, lawan tak tahu di mana dia berada. Kini Kao Sin mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat, dia menggrahkan ginkang yang membuat tubuhnya lenyap seperti setan. Dan ketika lawan terbelalak memutar matanya mencari carinya mendadak Kao Sin muncul dan atas dan terbahak membagi tendangan satu per satu, kiranya pemuda itu tadi mencelat ke atas pohon dan kini melayang turun mengejutkan enam lawannya.

“Sekarang kalian rasakan kakiku, boleh tambah kalau kurang...des-des-des!”

Dan enam lawan yang kontan terbanting tiba-tiba mengaduh dan menjerit kesakitan, si brewok bahkan mengeluh menerima tendangan paling keras, dagunya terangkat ke atas dan bawah rahangnya sobek, sepatu Kao Sin mencuat begitu cepat tak dapat dihindar. Mereka semua bergulingan. Dan ketika mereka berteriak dan melompat bangun tahu-tahu Kao Sin berkelebatan di antara mereka dan enam batang golok sudah dirampas, membuat lawan tertegun.

“Nah siapa yang berani coba-coba lagi?”

Enam orang itu mendadak gentar. Mereka hanya melihat bayangan pemuda itu mengelilingi mereka, pergelangan diketuk dan golok pun disambar. Kini enam batang golok ada di tangan pemuda itu. Kao Sin memain-mainkannya seperti orang bermain gelang, tak ada yang menjawab. Dan ketika Kao Sin tertawa dan ingin menghajar si brewok tiba tiba dia menyambitkan sebatang golok di tangannya ke telinga laki-laki itu.

“Kau yang menjadi gara-gara, kau pula yang harus menerima hukuman...”

“Cras!” telinga si brewok ini terpapas, darah memuncrat dan si brewok pun menjerit. Dia jatuh bergulingan mendekap telinganya yang berdarah, daun telinga itu telah jatuh di tanah. Dan takut pemuda itu membuntungi mereka seperti membuntungi telinga si brewok mendadak lima yang lain menjatuhkan diri berlutut dan mohon ampun.

“Siauw-hiap (pendekar muda), ampuni kami. Kami memang terbujuk A-lun...!”

Kao Sin tertawa. “Kalian benar-benar bertobat? Atau hanya pura-pura saja?”

“Tidak... tidak...! Kami betul-betul bertobat, siauw-hiap. Ampuni kami dan jangan hukum kami!”

“Baiklah. Kalau begitu kalian enyah dan jangan tunjukkan muka lagi kepadaku!” Kao Sin membuang golok, semuanya sudah patah-patah dan lima orang itu mengangguk.

Tanpa diperintah lagi mereka bangkit berdiri, kaki menggigil dan muka pun pucat. Dan ketika mereka memutar kaki dan membalikkan tubuh tiba-tiba semuanya sudah kabur dan tak menghiraukan lagi si brewok yang merintih memandangi buntungan telinganya.

“Hei, bawa aku...!” laki-laki itu terkejut. Seketika sadar dan tidak menghiraukan lagi daun telinganya. Dia terlanjur ngeri menghadapi Kao Sin. Dan karena lima kawannya sudah lari mendahului dan Kao Sio tertawa melihat ketakutan si brewok itu akhirnya Kao Sin meloncat di atas keretanya lagi dan membedal tali kekangnya.

Begitulah, Kao Sin menghajar enam lawannya. Dengan mudah dan enak dia melumpuhkan si brewok dan teman temannya itu, semuanya dengan tangan kosong. Dan karena pemuda ini memang lihai dan kekalahan si brewok membuat lawan gentar maka entah bagaimana tiba-tiba pemuda ini dikenal dan berturut-turut Kao Sin menghadapi lawan baru. Rupanya orang-orang ini ingin menjejal kepandaian pemuda itu, ada-ada saja alasan yang dicari.

Barangkali penasaran dan juga ingin tahu seberapa hebatkah kepandaian pemuda itu, kebanyakan orang-orang kasar macam si brewok, mungkin mereka ini temannya dan tampang mereka seperti tukang-tukang pukul pula. Kao Sin jengkel dan menghajar mereka itu semua. Tapi ketika suatu hari dia didatangi seorang wanita muda disertai nenek tua yang menghadang jalannya mendadak Kao Sin tertegun karena kali ini dia menghadapi lawan yang lain daripada yang lain.

“Kao bocah she Kao?” demikian nenek itu membentak dengan seruan galak. “Kau pembantu Hu-wangwe?”

Kao Sin terkejut. “Ya. ada apakah? Siapa kalian?”

“Aku penghuni Bukit Hitam, ini muridku Hoa Kiem...!”

“Hah,” Kao Sio terbelalak. “Locianpwe adalah Hek-san Mo-li (Iblis Wanita Dari Bukit Hitam)? Ada keperluan apa datang menggangguku di jalan?”

“Heh-heh,” nenek itu mendadak tertawa. “Kau mengenal diriku, bocah. Kalau begitu kau pemuda yang cukup pandai. Aku memang Hek-san Mo-li, ingin mengadu muridku dan mencari jodoh. Kalau kau dapat mengalahkan muridku maka kau pantas menjadi suaminya!”

Kao Sio melengak, merah mukanya, melihat wanita muda di samping Hek-san Mo-li senyum-senyum. Sudah tadi gadis ini memandanginya dengan mata bersinar-sinar, Kao Sin barangkali di anggap calon yang tepat. Tapi karena cara itu dianggap tak wajar dan Hek-san Mo-li juga dikenal sebagali nenek jahat tentu saja Kao Sin menolak dan tidak ingin menerima tawaran itu, meski pun Hoa Kiem cantik dan murah senyum. Maka begitu menggeleng dan mundur setindak pemuda ini sudah berkata, agak jengah, “Aku tak dapat menerima itu. Aku tak biasa bertanding untuk urusan begini!”

“Heh. kau menolak? Kau berani menentang kehendak Hek-san Mo-li?”

Tapi sebelum Kao Sin menjawab tiba-tiba gadis di samping nenek itu tertawa, genit suaranya. “Subo, sebaiknya tak perlu mendesak-desak orang. Meskipun pemuda ini tampan tapi belum tentu ilmu silatnya luar biasa. Sebaiknya biarkan aku maju dan kujajal ilmu kepandaiannya itu. Kalau dia kosong tiada guna biar kulempar dan ku benamkan kepalanya di lumpur...!”

“Heh-heh, bagus, Hoa Kiem. Aku lupa dan terlalu banyak bicara. Kau majulah, tantang dia dan robohkan dalam sepuluh jurus!”

Hoa Kim sudah melompat maju, menghadapi Kao Sio. “Sobat she Kao, mari main-main beberapa jurus. Cabut senjatamu dan biar kulihat ilmu silatmu!”

Kao Sio menjengek. Setelah berhadapan cukup dekat dia melihat sinar mata buruk dalam pandang mata gadis ini. Sebagai pemuda tentu saja dia tahu sinar yang ganjil itu, liar dan menunjukkan watak cabul. Diam-diam pemuda ini mencemooh dalam hati, jauh bedanya dengan sumoinya yang jelita itu, bagai bumi dan langit. Tapi karena orang telah menantangnya dan sikap sombong gadis itu membuat Kao Sin marah maka pemuda ini menjawab dengan menyilangkan kedua tangannya. “Aku tak membawa senjata. Senjataku adalah tangan dan kaki ini. Kalau kau mau mengajak aku main-main silahkan, boleh kau maju lebih dulu”

Hoa Kiem tertawa. “Kau sungguh-sungguh?”

“Tentu, aku siap melayanimu dan...”

“Wuut” gadis itu tiba-tiba menyerang, geraknya tiba-tiba dan sebuah tamparan melesat tanpa memberi tanda. Kao Sin terkejut karena gadis ini dinilai curang, angin pukulan panas menyambar mukanya. Tapi karena Kao Sin cepat mengelak dan waspada akan semua pukulan begini maka dia sudah menjengek dan lawan berkelebatan mengejar dirinya. Hoa Kiem tertawa dan diam-diam terkejut juga melihat Kao Sin mampu menghindari tamparannya, padahal dia bergerak cukup cepat dan nyaris mengenai muka pemuda itu.

Dan ketika Kao Sin berlompatan lincah dan Hoa Kiem bertubi-tubi melancarkan serangan namun selalu luput maka nenek di luar tiba-tiba terkekeh dan berseru, “Hoa Kiem, mainkan Silat Dewi Hitam, cabut senjatamu!”

Hoa Kiem tertawa. Dia mengangguk dan diam-diam penasaran oleh kelihaian lawan, sudah sepuluh jurus ia melancarkan serangan tapi semuanya gagal. Kao Sin hanya mengelak sana-sini dan belum membalas. Diam-diam ia terkejut dan kagum serta girang. Agaknya inilah calonnya yang tepat. Ia akan mendapat suami yang lihai. Tapi mendengar subonya menyuruh dia mengeluarkan Silat Dewi Hitam dan Hoa Kiem memang ingin menjajal sampai seberapa hebat lawannya itu maka gadis ini melengking dan tiba-tiba mencabut sebuah selendang.

“Orang she Kao, aku akan menyerangmu habis-habisan!” Hoa Kiem membentak, sudah merobah permainannya dan selendang tiba-tiba meledak nyaring di sisi kepala.

Kao Sin Pemuda ini mengerutkan kening dan mencium bau amis. Selendang itu tampaknya dilumuri racun, cepat mengelak dan berhati-hati. Tapi karena sekarang lawan mempergunakan senjata panjang dan kemana pun Kao Sin mengelak selalu saja diburu maka selendang tiba-tiba sudah berputaran dan mengurung dirinya.

“Hi-hik, kau tak dapat mengelak saja, harus menangkis!” Hoa Kiem berseru, memang benar dan Kao Sin terpaksa menggerakkan lengannya. Apa boleh buat dia mendorong dan mengarahkan sinkang, selendang kini ditangkis dan selalu mental bertemu angin pukulannya. Hoa Kiem terbelalak karena tak pernah selendangnya itu menyentuh lengan lawan, dorongan pukulan lawan selalu membuat selendangnya mental sebelum bertemu. Hebat. Dan ketika Hoa Kiem terkejut dan nenek di luar berseru penasaran maka Hoa Kiem mempercepat permainannya tapi tetap selalu gagal.

“Keparat, kau memang lihai. Ayo balas dan jangan tangkis melulu!” Hoa Kiem kini minta diserang, selama ini dialah yang menyerang dan Kao Sin belum membalas. Hal itu membuat wanita ini gusar namun gembira, aneh. Dan karena berkali-kali Hoa Kiem minta dibalas dan Kao Sin tertawa maka tiba-tiba pemuda ini menjawab pendek.

“Baik!”

Dan begitu Kao Sio menangkis lecutan terakhir mendadak pemuda ini berkelebat ke depan, dua jari menotok tengah kening dan Hoa Kiem terkejut menarik selendangnya, senjata itu dipakai menangkis. Tapi ketika Kao Sin merobah gerakannya dan lengan kiri menampar tahu-tahu pundak lawan terkena dan Hoa Kiem terpelanting roboh, menjerit bergulingan dan Kao Sin mengejar, sekarang dia betul-betul membalas dan lawan terpekik.

Hoa Kiem gugup mengelak sana sini, tiba-tiba mengeluarkan am-gi (senjata gelap) dan menyerang Kao Sin, hampir mengenai pemuda itu namun Kao Sin menyampuk runtuh. Dan ketika Hoa Kiem bergulingan dengan muka pucat dan selendang tak dapat dipergunakan lagi maka tiba-tiba Kao Sin telah menotok pinggangnya dan murid Hek-san Mo-li itu pun tak dapat bergerak lagi, roboh mengeluh di tanah.

“Tuk!”

Hek-san Mo-li terbelalak. Dia melihat muridnya tak berdaya, Hoa Kiem menangis tapi tertawa, ganjil sikap gadis ini. Tapi begitu nenek ini sadar dan melonjak girang mendadak Hek-san Mo-li pun terkekeh dan menari-nari. “Bagus, kau hebat, bocah she Kao. Bagus sekali. Kau menang, kau layak menjadi suami muridku!” dan Hek-san Mo-li yang berputar-putar mengelilingi Kao Sin tiba-tiba melompat dan membebaskan muridnya, tertawa-tawa dan Hoa Kiem dipeluk gurunya. Hek san Mo-li berkata bahwa suami yang cakap sudah ada. Pemuda itulah calon jodoh yang sesuai. Dan ketika Hoa Kiem bersinar-sinar memandang Kao Sin dan kagum bukan main pada pemuda itu maka suhunya sudah meloncat dan menghadapi pemuda ini.

“Bocah, antar aku kepada gurumu. Suruh dia meminang muridku!”

Kao Sin semburat merah. “Hek-San Mo-li. Aku tak akan menjadi suami muridmu. Aku hanya bertempur karena ditantang.”

“Heh?” nenek ini terkejut. “Kau menipu? Kau menghina kami?”

“Hm!” Kao Sin tertawa mengejek. “Sudah kubilang bahwa aku menolak tawaranmu. Hek-san Mo-li. Aku melayani muridmu karena ditantang. Urusan di antara kita habis sampai di sini, tak ada pinang-meminang!”

Kao Sin telah mengetahui kepandaian Hoa Kiem, tentu saja segera dapat mengukur sampai di mana kira-kira kepandaian nenek ini. Dia tak perlu takut. Maka begitu mengeluarkan kata-katanya dan menjengek nenek ini Kao Sin sudah bersiap-siap menghadapi kemungkinannya. Dan benar saja, nenek itu terbelalak, matanya melotot dan Hoa Kiem pun terkejut dengan muka berobah. Mereka ini menganggap diri sendiri seperti ratu, tak boleh ada orang membantah perintah mereka dan Hek-San Mo-li mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya. Sikap Kao Sin dianggap menghina dirinya. Dan ketika Hoa Kiem tertegun dan malah mendengar onongan pemuda itu mendadak Hek-san Mo-li sudah mencelat dan kelima jari tangannya menusuk mata Kao Sin.

“Kau pemuda berani mati!” nenek itu membentak, geraknya jauh lebih cepat dibanding sang murid namun Kao Sin sudah bersiap-siap. Memang dia sudah menduga kemarahan nenek ini. Dan begitu lawan menyerang dan menusuk matanya dengan kelima jari setegang baja tiba-tiba Kao Sin menunduk dan menangkis.

“Dukk!”

Hek-san Mo-li terkejut. Sekarang Kao Sin menunjukkan kelihaiannya, pemuda itu mengerahkan sinkang dan lengannya pun sekeras baja, menangkis dan menolak kelima jari si nenek yang mental. Hek-san Mo-li memekik dan merasa ditantang, pemuda ini dianggapnya kurang ajar. Maka begitu dia memekik dan kembali menerjang mendadak kaki dan tangannya sudah bertubi-tubi menghujani tubuh Kao Sin, dikelit dan ditangkis dan nenek ini berseru gusar. Pemuda itu mampu menghalau semua serangannya, Hek-san Mo-li kian terkejut dan melengking marah.

Dan ketika Kao Sin berlompatan ke sana-sini dan semua pukulannya yang bertubi-tubi dipentalkan pemuda itu dan nenek Ini terbelalak karena lawan memiliki sinkang demikian kuat yang mampu menghalau semua serangannya mendadak nenek ini mengeluarkan senjatanya dan berteriak keras.

“Kubunuh kau...tar-tar!” dan selendang berwarna hitam yang jauh lebih amis dibanding yang dimiliki Hoa Kiem tiba-tiba meledak dan gencar menyerang pemuda ini, disusul cengkeraman cengkeraman tangan kiri yang berkerotok mematuk dan mercengkeram bagai kuku rajawali.

Kao Sin dibuat sibuk dan mengerutkan alisrya. Pemuda ini dikurung dan sudah menghadapi bayangan selendang yang kian hebat, bau amis juga kian menyengat dan Kao Sin terkejut. Lama-lama dia bisa celaka. Maka berseru keras menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri tiba-tiba pemuda ini membentak, “Hek-san Mo-li, kau nenek buruk...!”

Dan begitu Kao Sin mengembangkan lengannya ke kanan kiri mendadak pemuda ini menangkis dan menghalau selendang, menambah tenaganya dan Hek-san Mo-li memekik. Angin pukulan pemuda itu membuat selendangnya mental, apa yang dialami ini persis seperti apa yang dialami muridnya tadi. Hek-san Mo-li marah dan menjadi gusar. Dan ketika selendang dipukul balik dan Kao Sin juga mampu menangkis cengkeraman cengkeraman tangan kirinya di mana setiap adu tenaga nenek ini merasa lengannya sakit tiba-tiba Hek-san Mo-li mencabut senjata-senjata rahasianya dan menyambitkannya berhamburan ke arah lawan.

“Curang...!” Kao Sin terkejut, marah dan menangkis pula senjata-senjata rahasia itu. Beberapa di antaranya runtuh namun satu dua mengenai juga tubuhnya, Hek-san Mo-li tertawa girang tapi segera menghentikan tawanya itu ketika melihat senjata-senjata rahasia yang mengenai tubuh Kao Sin tak mampu melukai pemuda itu, pemuda ini telah menjaga diri hingga tubuhnya kebal, sinkang yang kuat telah melindungi pemuda itu. Dan ketika Kao Sin menangkap dan meretour balik beberapa senjata rahasia yang berhasil disambarnya maka ganti nenek itu yang kelabakan disambar senjata rahasianya sendiri.

“Keparat, kurang ajar...!” nenek ini memaki maki, dua diantara senjata rahasia yang dilemparkan Kao Sin merobek bajunya, kulitnya tergores dan nenek ini terkejut karena sambitan Kao Sin lebih hebat darinya. Dia kalah kuat! Dan ketika Kao Sin mulai mambalas dan menyerang nenek ini dengan pukulan-pukulan sinkang mendadak selendangnya membalik dan menyerang dirinya sendiri.

“Aduh. Jahanam!” nenek itu kembali terkejut, sekarang Kao Sin “berkelebatan mengeliling” dirinya hingga dia sibuk menangkis, tangan kiri dipergunakan tapi tangan kiri itu pun tertolak, dua kali nenek ini mengaduh ketika lengan mereka beradu sama keras. Dan ketika nenek ini mulai terhuyung-huyung dan selendang di tangannya meledak-ledak didorong Kao Sin akhirnya satu lecutan keras mengenai pundak nenek ini, disusul lecutan kedua dan tiga di mana Hek-san Mo-li menjerit kelabakan. Nenek ini mulai gugup, juga gusar. Dan ketika selendang mulai berputar-putar dan menyerang dirinya sendiri akhirnya nenek ini berteriak pada muridnya,

“Hoa Kiem, bantu aku. Jangan bengong...“

Hoa Kiem sadar. Tadi dia terkesima oleh pertandingan itu, kekagumannya memuncak melihat Kao Sin mampu mendesak gurunya. Gurunya kewalahan dan sebentar lagi tentu roboh. Hoa Kiem terbelalak melihat kehebatan lawan. Tapi mendengar gurunya berteriak dan menyuruh dia agar maju membantu mendadak wanita ini sadar dan melengking tinggi, tubuh bergerak dan dia pun sudah menyerang Kao Sin. Hoa Kiem telah meledakkan selendangnya juga dan Kao Sin dikeroyok. Sekarang pemuda ini menghadapi guru dan murid. Dan ketika Hek-san Mo-li mampu memperbaiki diri karena muridnya menyerang mengganggu Kao Sin akhirnya pemuda ini geram berkata marah,

“Hek-san Mo-li, kau benar-benar wanita tak tahu malu. Baik, aku akan menghajar kalian!”

Dan Kao Sin yang berseru keras merobah permainannya mendadak mengacungkan lengan lurus ke atas, menggetarkannya tiga kali dan mendadak lengan itu mengeluarkan cahaya berkilat macam pedang, ujung tangan sudah membentuk ujung pedang dan Kao Sin tiba-tiba membacok, selendang Hoa Kiem menyambarnya dari kiri. Dan ketika pemuda itu membacok dan selendang disambar ujung tangannya mendadak selendang terbabat dan putus bagai dibacok senjata tajam.

“Bret!” Hoa Kiem terkejut berseru kaget. Dia melempar tubuh bergulingan ketika bacokan tangan itu memburunya, berteriak agar gurunya membantu dan Hek-san Mo-li tersentak. Nenek ini ganti menyerang dan selendangrya pun menyambar Kao Sin, belakang tubuh pemuda itu menjadi sasarannya. Tapi ketika Kao Sin membalik dan membacok selendang nenek ini maka seperti Hoa Kiem selendang di tangan nenek itu pun putus terbabat.

“Bret!” Hek-san Mo-li juga terpekik. Nenek ini ganti membanting tubuh bergulingan ketika bacokan itn masih mengejarnya, dia merasa siutan angin tajam bergerak dari tangan pemuda itu. Dan ketika Kao Sin memburu dan selendang lagi-lagi menangkis tapi putus pula dibabat pemuda itu maka suara “bret-bret” akhirnya membuat selendang di tangan Hek-San Mo-li mau pun muridnya menjadi pendek dan kian pendek saja, akhirnya tinggal setengah meter dan nenek ini ngeri.

Dia teringat silat pedang yang dapat dimainkan dengan lengan, semacam kiam-ciang (Tangan Pedang) dan Tangan Pedang begitu mampu membacok putus senjata tajam. Tentu saja nenek ini gentar, ketakutan. Maka ketika selendangnya sudah begitu pendek dan tak dapat dipergunakan lagi menyerang lawan mendadak nenek ini memutar tubuhnya dan melarikan diri, menyambar sang murid.

“Hoa Kiem, bocah ini siluman. Ayo lari...” nenek itu terbirit-birit, tak berani lagi menghadapi Kao Sin dan pemuda ini tidak mengejar.

Kao Sin berhenti dan tertawa mengejek, Hek-san Mo-li sudah dihajarnya. Dia mengira nenek itu tak akan berani lagi mencarinya dan Kao Sin mengusap peluh. Tapi ketika beberapa hari kemudian dia dihadang dua orang kakek di mana nenek itu muncul kembali bersama muridnya maka Kao Sin tertegun membelalakkan matanya, mendengar seorang di antara dua kakek tinggi kurus itu bertanya,

“Inikah orangnya?”

Kao Sin sebal. Dia tiba-tiba menjadi marah, mulai geram karena berkali-kali diganggu orang. Kini Hek-san Mo-li yang disangka takut itu pun datang, barangkali karena dia tidak menghajar nenek itu dengan keras, sikapnya barangkali terlalu lunak. Barangkali kalau orang-orang ini sudah dibunuh dia akan terbebas dari segala macam gangguan. Kao Sin tiba-tiba berkilat matanya dan sinar keras memancar dari pandang mata pemuda itu. Dan ketika dia sudah dikurung dan Hek-san Mo-li mengangguk maka nenek itu menjawab marah.

“Ya, dia, twa-heng (kakak seperguruan pertama). Inilah orangnya yang telah menghina aku itu!” nenek ini tampak garang, sorot matanya beringas dan segera Kao Sin tahu siapakah kakek tinggi kurus itu. Agaknya suheng (kakak seperguruan) Hek-san Mo-li yang sengaja dibawa datang untuk menghadapinya. Kiranya nenek ini masih penasaran dan ingin membalas kekalahan. Menebus dengan cara mengeroyok!

Dan ketika dua kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek menghadapi Kao Sin tiba-tiba mereka berdua mencabut tongkat baja. “Bagus, memang bertampang bohong. Agaknya bocah ini cukup berisi!”

Kao Sin mendongkol. “Kalian siapakah?” tanyanya. “Ada apa mencari perkara dan mengganggu orang di tengah jalan?”

“Aku Si Tongkat Iblis, anak muda. Dan ini suteku (adik seperguruan) Si Tongkat Hantu!“

Kao Sin tertawa mengejek. Dia tak takut mendengar julukan yang seram-seram itu, memandang mereka dan akhirnya berhenti pada si nenek curang, Hek-san M- li melotot dan nenek itu coba menutupi rasa gentarnya dengan ledakan selendang, rupanya nenek ini telah memiliki senjata baru. Dan ketika lawan mendengus dan marah kepadanya Kao Sin berkata, “Mo-li, rupanya dua orang suhengmu ini orang-orang tak keruan semua. Kalian sama-sama berjuluk iblis, agaknya di neraka sudah tak ada kerjaan lagi hingga kalian kelayapan di muka bumi!”

“Jangan sombong!” si nenek membentak. “Kau menghadapi dewa maut, anak muda. Kami datang untuk mencabut nyawamu!”

“Atau kau yang harus kembali ke neraka?” Kao Sin mengejek. “Kalau begitu boleh kuantar, nenek bangkotan. Maju dan mari main-main lagi untuk terakhir kalinya. Aku tak akan mengampunimu lagi!” Dan ketika si nenek gusar dan meletakkan selendang Kao Sin sudah bersiap-siap dengan kedua lengan lurus ke atas, digetarkan tiga kali.

“Awas Tangan Pedangnya!” Hek-san Mo-li berseru, rupanya jerih dan ngeri memandang tangan yang tiba-tiba berkilat itu. Kao Sin memang menyiapkan Tangan Pedangnya, tertawa mengejek dan dua kakek di depan terbelalak. Mereka juga melihat tangan Kao Sin yan berkilat-kilat itu, tangan yang tampak kokoh dan tajam! Dan ketika lawan mengetukkan tongkat dan Hoa Kiem diminta mundur segera tiga orang tua itu berputar.

“Mo-li, biar kami berdua di depan. Kau di belakang!”

Hek-san Mo-li mengangguk. Dia sudah melompat dibelakang Kao Sin, diam-diam bersinar dan ingin merobohkan pemuda ini membalas kekalahannya. Kao Sin menghadapi dua kakek di depan dengan senyum mengejek, dia tidak mengikuti kedua lawan yang berputar dengan gaya masing-masing. Si Tongkat Iblis dengan gagang diputar ke kiri sementara sutenya menggerakkan tongkat dengan putaran ke kanan, rupanya dua kakek ini bersiap-siap dengan cara masing-masing. Dan ketika Kao Sin menunggu namun kedua lengan digetarkan semakin keras mendadak kakek, di sebelah kanan mengeluarkan bentakan dan mulai menyerang.

“Awas..!” tongkat itu bergerak, arahnya menuju ke kepala namun tiba-tiba menukik, menghantam lambung Kao Sin dan pemuda ini waspada, mengelak dan menghindarkan serangan. Dia tahu bahwa sebentar kemudian Hek-san Mo-li dan kakek satunya akan menyerang, gerakan mereka bisa berbareng. Dan ketika benar saja dua orang itu berseru keras dan selendang di belakang pemuda ini meledak disusul terjangan kakek kedua mendadak Kao Sin sudah menghadapi dua serangan yang meluncur dari arah berlawanan.

“Plak-Dess!“ Kao Sin menangkis, selendang terpental dan kakek di depan terkejut., tongkatnya membalik dan menyerang kepalanya sendiri, tentu saja dia berseru keras dan kakek ini meliuk. Dengan gaya yang indah dia mengikuti gerakan tongkatnya dan tiba-tiba menyerang kembali. Kao Sin melihat kaki yang ringan dan gerakan yang cepat dari kakek ini, lincah namun bertenaga. Dan ketika dua yang lain menyambar kembali dan selendang serta tongkat di belakang menderu dengan hebat tiba-tiba Kao Sio mengeluarkan seruan nyaring dan berkelebatan cepat menangkis semua serangan itu.

“Plak-plak-plak!” tiga senjata tertolak semua, tiga orang tua itu mengeluarkan teriakan marah dan kakek pertama melengking tinggi, dia sudah berputaran dan lenyap bersama gulungan tongkatnya. Dan ketika kakek kedua juga membentak parau dan lenyap dengan gerakan tongkatnya mendadak Kao Sin menghadapi dua gulungan hitam yang menari-nari dan mengelilinginya dari segala penjuru, bertubi-tubi menghadapi serangan dan Kao Sin sibuk. Hek-san Mo-li juga meledakkan selendangnya dan lenyap pula mengelilingi pemuda itu. Kao Sin di keroyok tiga. Dan ketika pemuda itu berseru marah dan mengerahkan pula ginkangnya mengimbangi lawan mendadak pemuda ini pun lenyap di balik gulungan selendang dan tongkat.

“Plak-des des!“ Kao Sin menangkis, lawan mengeluarkan pujian dan pemuda itu segera menghadapi keroyokan sengit, selendang dan tongkat bertubi-tubi menghujani pemuda ini. Kao Sin didesak dari tiga jurusan dan pemuda itu kewalahan juga, dia bertangan kosong. Dan karena dua kakek di depan rupanya benar-benar lihai dan serangan tongkat mereka membingunngkan pemuda ini maka tidak begitu sering tetapi pasti Kao Sin menerima gebukan tongkat, satu dua kali dihajar namun pemuda ini telah melindungi dirinya, tongkat mental dan lawan berteriak mendongkol karena Kao Sin kebal. Betapapun dihantam tetap saja tongkat membalik mengenai pemuda itu, persis karet.

Namun karena gebukan-gebukan itu cukup bertenaga dan Kao Sin sering terhuyung maka Hek-san Mo-li girang berseru keras, “Dia mulai kepayahan, hajar dan hantam terus!”

Kao Sin mendongkol. Kalau saja dia dulu membereskan nenek ini barangkali tak ada pertempuran ini. Hek-san Mo-li sudah dikejar dan barangkali dibunuhnya, pemuda ini mulai marah dan melihat si nenek tak tahu diri. Dia teringat pada A-lun dan nenek ini pun agaknya seperti itu, tak mau sudah kalau belum mendapat hajaran keras, hukuman yang akan membuat nenek itu jera.

Dan ketika Kao Sin didesak dan dua kakek di depan berulang-ulang mendaratkan tongkat mereka di tubuh pemuda ini maka Kao Sin mulai merah mukanya dan membentak, “Orang-orang tak tahu malu, kalian kiranya tua bangka tua bangka yang suka menyusahkan orang lain. Aku akan menghajar kalian agar tahu diri. Awas...!”

Dan Kao Sin yang menangkis tongkat dengan tangan telanjang tiba-tiba menambah tenaganya hingga tongkat bergeratak, mestinya tongkat itu patah atau putus bertemu Tangan Pedang ini. Nyatanya tidak, sinkang yang dimiliki dua kakek itu rupanya cukup kuat hingga mereka mampu bertahan. Inilah yang membuat Kao Sin diam-diam terkejut karena lawan benar-benar cukup lihai.

Dan ketika kakek di depan hanya terhuyung dan temannya maju menyerang dengan tongkat yang lain sementara Hek-San Mo-li juga menubruk dengan lecutan selendangnya mendadak, tanpa diketahui kapan dicabutnya tahu-tahu sebatang pedang berkelebat menyilaukan mata dan mengeluarkan desing mengerikan menyambut sambaran senjata orang-orang itu.

“Crak breet...!”

Hek-san Mo-li dan Tongkat Hantu kaget bukan mim. Mereka tak menyangka bahwa kali ini Kao Sin membawa pedang, menyembunyikannya dibalik punggung dan kini menggerakkan pedangnya itu dengan cara luar biasa. Selendang dan tongkat tahu-tahu dibabat buntung, dua orang tua ini berteriak kaget dan ternganga. Dan ketika mereka terbelalak dan tertegun melihat kilauan sinar putih itu tahu-tahu pedang berkelebat panjang menusuk tenggerokan dan dada mereka.

“Awas...!” Tongkat Hantu menjerit, melempar tubuh bergulingan namun pangkal lengannya tergores juga, kakek ini kalah cepat dan mengeluh menjauhkan diri, pangkal lengannya terluka. Dan Hek-san Mo-li yang juga melecut selendang namun terbabat sampai setengahnya lebih tiba-tiba terpekik ketika ujung pedang mengejarnya, seinci saja diri tenggorokan dan nenek ini pucat. Gerakan pedang betul-betul maut dan dia membanting tubuh bergulingan.

Tapi ketika terdengar suara memberebet dan dada kanan nenek itu tergores panjang maka nenek ini menjerit dan Tongkat Iblis membantunya, menghantam kepala Kao Sin dan terpaksa pemuda ini menunda serangannya terhadap Hek-san Mo-li, membalik dan menangkis hantaman tongkat. Dan ketika tongkat bertemu pedang dan buntung separoh lebih maka Tongkat iblis berseru tertahan melempar tubuhnya bergulingan pula.

“Pedang Maut....!” kakek itu berteriak, melompat bangun dan menggigil memandang Kao Sin.

Pemuda ini sudah tegak berdiri setelah melakukan satu gebrakan yang luar biasa itu, tiga lawannya terluka dan Hek-san Mo-li yang paling menderita. Nenek ini merintih sambil mengusap cucuran lukanya. Bukan main, dalam satu jurus pemuda ini telah membuat lawan-lawannya jumpalitan. Dan ketika Kao Sin tersenyum mengejek dan memandang satu per satu lawan-lawannya itu maka Tongkat Iblis bertanya, suaranya gemetar,

“Bocah, kau ada hubungan apa dengan Si Pedang Maut yang sakti? Bukankah itu jurus Bangau Mengelepakkan Sayap?”

“Hm,” Kao Sin terkejut. “Kau tahu dari mana, tua bangka? Memang benar, itu jurus yang kau sebutkan. Agaknya kau pernah bertemu guruku?”

“Si Pedang Maut gurumu?” kakek ini terbelalak. “Jadi kau muridnya? Ah...!” dan si kakek yang mundur berseru tertahan tiba-tiba meloncat gentar meninggalkan pemuda itu. “Kalau begitu aku tak akan berurusan lagi denganmu, sampaikan salam hormatku pada gurumu!” dan si Tongkat ibiis yang berkelebat pergi rneninggalkan temannya tiba-tiba berseru pula pada Hek-san Mo-li, “Mo-li, aku tak dapat membantumu. Maaf!”

Dan bayangan si kakek yang lenyap begitu cepat tiba-tiba membuat Hek-san Mo-li tertegun, suhengnya nomor dua juga menyusul suhengnya nomor satu itu, Tongkat Hantu pun gentar menghadapi Kao Sin. Dan karena dia ditinggal sendirian dan Hek-san Mo-li tentu saja pucat mendengar nama Si Pedang Maut tiba-tiba nenek ini pun meloncat dan meninggalkan Kao Sin, disusul Hoa Kiem yang juga ketakutan melihat gurunya pergi, wanita muda itu melompat dan mengejar subonya.

Dan ketika orang orang itu pergi dan Kao Sin lagi-lagi membiarkan mereka setelah memberi pelajaran cukup keras akhirnya pemuda ini menyimpan pedangnya dan tertawa mengejek, bangga dan baru tahu bahwa nama gurunya kiranya telah dikenal di luaran. Rupanya gurunya itu pernah menghajar si Tongkat Iblis dengan jurus Bangau Mengelepakkan Sayap, kakek itn mengenal dan gentar. Dan ketika semua lawan pergi meninggalkannya dan Kao Sin merasa puas akhirnya pemuda ini kembali dan tenang dalam hari-hari berikut.

Dia tak diganggu lagi. Tongkat Iblis dan teman-temannya merupakan orang terakhir yang mengganggunya. Kao Sin bekerja seperti biasa dan hidup dengan gembira. Tapi karena pemuda ini mulai dikenal orang-orang kang-ouw dan sepak terjangnya membuat lawan terbirit-birit maka suatu malam dia dipanggil gurunya.

“Apa yang kau lakukan selama ini, Kao Sin? Kau mendemonstrasikan kepandaianmu pada orang luar?”

Kao Sin terkejut. “Maaf, teecu sebenarnya tak melakukan apa-apa, suhu. Dari mana kau tahu?”

“Aku mendengar orang membicarakan namamu. Kau telah menunjukkan ilmu pedangmu dan namaku terbawa-bawa. Bagaimana ini? Bukankah sudah kupesan padamu agar tidak membocorkan rahasia diriku?”

Kao Sin pucat. Tiba-tiba dia melihat muka gurunya marah, mata yang biasa lembut itu mendadak mencorong. Hu-wangwe atau Si Pedang Maut ini marah, Kao Sin ditegur. Tapi karena Kao Sin mempunyai alasan sendiri dan cepat menjatuhkan diri berlutut maka pemuda ini berkata,

“Suhu, ampunkan teecu. Sebenarnya tiada maksud teecu untuk memamerkan kepandaian. Semuanya ini berawal dari sumoi,” dan Kao Sin yang cepat menceritakan kejadiannya yang berasal dan Swat Lian lalu didengar dan diperhatikan si jago pedang itu.

Alis Hu Beng Kui berkerut kerut. Dan ketika cerita itu selesai dan Swat Lian dipanggil maka ganti gadis ini mendapat teguran. “Kenapa kau menyuruh Kao Sin menghajar si brewok? Bukankah sudah kukatakan bahwa rahasia keluarga kita tak perlu diketahui orang lain?”

Swat Lian tersenyum mengejek. “Ayah, kalau orang menggangguku haruskah aku diam saja? Kalau Lok-siauwya itu mencari perkara haruskah aku mengalah dan membiarkannya tanpa pelajaran? Aku pribadi tak menunjukkan kepandaianku, ayah. Kebetulan Kao suheng ini muncul dan kusuruh menghajar si brewok karena dia mengejar ngejarku sumpai ke rumah ini.”

“Hmm...!” sang ayah tetap mengerutkan alisnya. “Kau dapat menghindar, Lian-ji. Kau seharusnya mampu melakukan ini dan tak perlu si brewok mengejarmu!”

“O..., ayah menyuruhku mengeluarkan ginkang di jalan raya? ayah hendak membenarkan tindakan si brewok itu? Baik, aku akan mengeluarkan kepandaian di depan orang banyak, ayah. Dan biar kau tahu siapa sebenarnya yang salah!”

Swat Lian membanting kaki, sang ayah terkejut dan tiba-tiba sadar. Anak gadisnya telah marah kepadanya, dia terlalu mendesak. Dan ketika Swat Lian melompat pergi dan mengancam mau menghajar siapa saja agar dia tidak dikejar-kejar sampai ke rumah maka jago pedang ini menyambar puterinya, terkejut berkata,

“Lian-ji, jangan begitu. Maaf kalau aku salah bicara!” Lalu menenangkan putrinya dengan tawa sejuk buru-buru pendekar ini menyambung. “Aku tak tahu kalau kau dikejar-kejar sampai ke rumah ini. Sudahlah aku minta maaf dan jangan kau memarahi ayahmu. Mana kakakmu?”

Bibir yang cemberut tadi mendadak tersenyum. “An Koko (kakak An) di kebun, ayah. Perlukah kupanggil?”

“Ada apa di sana? Dia sedang berbuat apa?”

“Melatih ilmu silat, katanya sedang jengkel dengan jurus Bangau Mematuk Naga!”

“Hmm, panggil dia, aku juga ingin bicara!”

Dan ketika putrinya mengangguk dan jago pedang ini tersenyum maka dia menyuruh pergi muridnya, dan Kao Sin pun mengangguk diam-diam melirik sang sumoi dan tak lama kemudian Beng An muncul, inilah putera si Pedang Maut itu, kakak Swat Lian. Dan ketika pemuda itu duduk mengusap peluh dan bertanya apa maksud panggilan ayahnya maka sang ayah kagum memandang putranya yang gagah itu.

“Aku hendak minta kau mengawal adikmu. Swat Lian sekarang banyak diincar pemuda pemuda nakal. Apakah kau tak pernah memperhatikan adikmu?”

Beng An, pemuda gagah ini tersenyum: “Apakah Lian-moi tak dapat menjaga dirinya, ayah? Bukankah dia mampu melindungi diri sendiri?"

“Bukan begitu. Adikmu telah membuat keributan. Beng An. Gara-gara Lok-siauwya dan sekarang nama Kao Sin terbawa-bawa dan aku pun terlibat. Orang mulai mengenal namaku dan tahu keberadaanku di kota ini...”

“Hm,” Beng An mengerutkan kening. “Apa yang terjadi? Kenapa bisa begitu?”

“Aku mendengar Kao Sin menghajar orang-orang kauw-ouw, beberapa di antaranya adalah si Tongkat Iblis dan Hek-san Mo-li. Mereka menceritakan hal ini pada orang-orang lain dan namaku mulai terbawa-bawa!”

“Kao-suheng membawa-bawa nama ayah? Dia menghajar Tongkat Iblis dan Hek-san Mo-li?”

“Ya, kau dengarlah,” dan si jago pedang yang menceritakan peristiwa itu lalu mengulang cerita Swat Lian yang diganggu Lok-siauwya, muncul si brewok A-lun dan Kao Sin menghadapi si brewok ini, tak habis begitu saja lalu muncul orang-orang lain. Terakhir Hek-san Mo-li dan dua suhengnya itu.

Dan ketika Beng An mengangguk-angguk dan mengerti duduk perkaranya tiba-tiba pemuda ini tersenyum. “Ayah, dari dulu kau selalu suka menyembunyikan diri. Apa salahnya kalau sekali tempo kau dikenal orang bukan sebagai Hu wangwe melainkan sebagai Si Pedang Maut yang lihai? Bukanlah tiada orang yang dapat menandingi ilmu pedangmu dan tak perlu gentar menghadapi siapa pun? Kalau ada orang coba-coba mengganggu kita biarlah itu kita hadapi, toh aku dan Lian-moi sudah bukan anak-anak kecil lagi yang harus selalu kau lindungi.”

“Hm, aku tak suka menonjolkan diri, An-ji (anak An). Aku tak senang kalau ada orang lain mengetahui aku sebagai Si Pedang Maut!”

“Tapi Sun-taijin (walikota Sun) dan beberapa pembesar di Ce-bu tahu tentang siapa ayah, mana mungkin tak ingin dikenal orang? Bukankah mereka tahu dan mengenal ayah?”

“Mereka lain, An-ji. Mereka telah kupesan untuk tidak menyebut-nyebut namaku sebagai Si Pedang Maut!”

“Benar, tapi mereka toh tahu. Kita tak dapat menyembunyikan diri dari beberapa orang dan ini namanya bukan rahasia lagi.”

“Sudahlah,” ayahnya tak mau dibantah. “Persoalan adikmu cukup di sini, An-ji. Kuminta kau mengawal adikmu agar tidak terjadi lagi peristiwa seperti Lok-siauwya itu!”

“Baik,” dan Beng An yang hari itu juga mengawal adiknya setiap keluar rumah lalu menyanggupi dan menjaga adiknya ini, bukan untuk melindungi keselamatan adiknya melainkan semata agar membuat segan para pemuda yang ingin menggoda adiknya ini. Swat Lian memang cantik. Dan ketika keadaan itu berjalan sebulan dua bulan dan tak ada apa-apa yang mengganggu maka tiba-tiba saja suasana menjadi berubah ketika suatu hari Sun-taijin datang dengan takut-takut, menghadap si jago pedang ini.

“Maaf, aku ingin mengganggu sebentar, taihiap (pendekar besar). “Bolehkah aku bicara tentang sesuatu yang penting?”

“Tentang apa?” Hu-wangwe tersenyum lebar, walikota ini memanggilnya dengan taihiap, bukannya wangwe (hartawan)! Dan ketika tamunya duduk dan Sun-taijin tertawa gugup maka pembesar ini berkata tentang keributan di kota raja, di istana.

“Kim-mou-eng mencuri Sam-kong-kiam, sri baginda marah-marah dan menyuruh cari Pendekar Rambut Emas ini. Bu-ciangkun datang dan kini meminta aku membantu istana.”

“Hm,” alis pendekar ini tiba-tiba terangkat. “Kenapa kau menceritakan ini kepadaku, taijin? Apa maksudmu?”

“Aku ingin minta tolong padamu, Bu-ciangkun ingin menemuimu dan bicara tentang ini.”

“Kau sudah bicara mengenai diriku?” mendadak pendekar ini terbelalak. “Taijin melanggar pesanku dan bercerita pada Bu-ciangkun?”

“Tidak... tidak...!” pembesar itu terkejut, menggoyang lengan. "Aku tidak menceritakan apa-apa tentang dirimu, taihiap. Hanya aku berkata bahwa aku mengenal seseorang yang mungkin dapat membantu persoalan ini. Aku tak menyebut namamu!”

Jago pedang ini mengangguk-angguk. “Terima kasih, kalau begitu aku tetap menghargaimu, taijin. Tapi apakah. Sam-kong-kiam ini betul-betul benda berharga bagi istana?”

“Ah!” Sun taijin membelalakkan matanya, kaget dan penasaran. “Pedang ini pedang keramat, taihiap. Kalau pedang ini hilang dari istana maka pamor sri baginda akan turun!”

“Hm, begitu hebat?”

“Ya, dan pedang ini membawa pengaruh gaib pula. Konon katanya siapa yang dapat memiliki pedang itu dia akan hidup enak tujuh Turunan!”

Hu Beng Kui tertawa. “Taijin, pedang keramat mana bisa membuat orang enak selama tujuh turunan? Jikalau tidak bekerja dan membanting tulang tak mungkin sebatang pedang bisa membuat orang hidup seperti itu, betapapun pedang itu adalah benda mati...!”

“Tapi Sam-kong-kiam bukan pedang biasa. Pedang ini simbol kekuasaan kaisar dan jatuh bangunnya kerajaan!”

“Baiklah,” Hu Beng Kui tak mau berdebat panjang lebar. “Sekarang apa maumu, taijin? Bantuan bagaimana yang kauinginkan?”

“Aku ingin taihiap menemui Bu-ciangkun. Panglima itu ada di rumahku dan bingung mencari orang lihai. Aku teringat taihiap dan kini datang untuk meminta pertolongan ini, mencari dan menangkap Kim-mou-eng yang mencuri Pedang Tiga Sinar itu!”

“Baik, tapi aku tak berjanji banyak, taijin. Untuk sementara ini anak-anakku yang akan turun tangan. Masalah Bu-ciangkun katakan saja bahwa aku coba membantu.”

“Taihiap tak mau menemuinya?” pembesar ini kecewa.

“Maaf, aku tak suka memperkenalkan diriku, taijin. Yang penting adalah maksud kedatanganmu kuterima, bukan? Nah. katakan saja pada Bu-ciangkun bahwa aku akan menolongnya dan coba merampas Sam-kong-kiam itu. Kebetulan aku juga sudah mendengar tentang Pendekar Rambut Emas dan ingin mengenalnya.” jago pedang itu bersinar-sinar, memang dia sudah mendengar akan kelihaian Kim-mou-eng dan diam-diam ingin mengenal pendekar itu.

Hanya, mendengar pendekar itu tiba-tiba mencuri sebatang pedang kenapa hal ini terjadi? Bukankah Pendekar Rambut Emas dikenal sebagai orang baik-baik dan bukan golongan hitam? Dan ketika dia bertanya pada pembesar itu dan Sun-taijin mengerutkan kening maka pembesar ini menjawab,

“Kim-mou-eng bukan bangsa kita, taihiap. Dia keturunan Tar-tar dan mungkin saja ingin membalas dendam atas kematian suhengnya. Dulu mereka ribut-ribut di kota raja dan bangsa Tar-tar pernah menyerang pula bangsa kita!”

“Hmm, aku jadi tertarik” jago pedang ini mengangguk-angguk, telah mendengar itu pula dan jadi gatal untuk menemui Pendekar Rambut Emas ini. Kini Kim-mou-eng memang hampir dikenal di seluruh negeri. Dan ketika dia berjanji untuk membantu istana lewat pembesar itu maka Sun-taijin berpamitan dan meninggalkan cerita tentang Sam-kong-kiam. Bahwa pedang ini merupakan sebatang pedang ampuh yang amat gila ketajamannya, juga berpengaruh gaib karena dapat membuat orang memiliki Kekuasaan, Kekayaan dan Kenikmatan. Dan ketika jago pedang itu tepekur memikir permintaan tamunya maka dua hari pendekar ini mondar-mandir di kamarnya, kegiatan dagang tiba-tiba berhenti.

“Ayah ada apa? Kenapa sering melamun?”

Itulah pertanyaan puterinya. Swat Lian memang menegur ayahnya ini, heran melihat ayahnya hilir-mudik dan sering mengerutkan kening, kadang-kadang tersenyum dan menyeringai aneh, seperti orang gembira. Dan ketika hari itu kembali dia menegur ayahnya dan Beng An kebetulan menemani maka pendekar pedang ini tiba-tiba memanggil mereka berdua.

“Kalian duduklah, ada berita penting!”

Swat Lian berdebar. “Berita apa, ayah? Tentang apa?”

“Kalian sudah mendengar Kim-mou-eng?”

Mendadak Swat Lian berseri gembira “Pendekar Rambut Emas itu?” serunya. “Ah, dia orang gagah, ayah. Juga katanya amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi!”

“Benar, dan aku juga mendengar banyak tentang pendekar ini, ayah. Katanya menjadi musuh nomor satu dari golongan hitam dan sepak terjangnya mengagumkan!” Beng An juga berseru.

“Dan kalian ingin berkenalan?”

Swat Lian dan kakaknya tertegun. Mereka tak mengerti maksud ayah mereka ini, tapi Swat Lian yang sudah lama mendengar tentang pendekar itu dan berdebar membayangkan Kim-mou-eng yang gagah dan tampan tiba-tiba tersipu dan menundukkan muka ketika bertemu dengan pandang mata ayahnya, melihat ayahnya tertawa dan gadis ini tiba-tiba jengah.

Pembicaraan itu seolah ditujukan kepada dirinya, Swat Lian gugup dan entah mengapa jantungnya meloncat-loncat. Dia mengira ayahnya akan membicarakan perjodohannya dengan Kim-mou-eng, gadis ini menunduk dan membenamkan pandangan ke tanah. Dan ketika ayahnya bertanya kembali apakah mereka mau berkenalan denpan pendekar itu maka kakaknya yang menjawab,

“Kami tak mengerti maksud ayah, sebaiknya ayah katakan dulu apa maksud semua pembicaraan ini agar kami paham.”

“Hmm,” sang ayah mengangguk-angguk. “Aku ingin menyuruh kalian berkenalan dengan pendekar itu, anak-anak. Dan aku bermaksud menyuruh kalian menangkap Kim-mou-eng!”

“Apa?” Swat Lian kaget. “Menangkap Kim-mou-eng, ayah? Apa alasannya dan kenapa kata-katamu mengandung permusuhan?”

Pendekar itu tertawa. “Lian-ji, dua hari yang lain aku didatangi Sun-taijin. Pembesar itu datang karena ada hubungannya dengan Pendekar Rambut Emas ini. Aku dimintai tolong pendekar itu harus dicari dan ditangkap karena dia mencuri Sam-kong-kiam!”

Lalu Hu Beng Kui yang menceritakan pada putera-puterinya tentang pencurian Sam-kong-kiam itu kemudian didengar dengan muka berubah-ubah dan hampir tidak percaya oleh Swat Lian, kakaknya sendiri hanya mengangguk angguk dan menggumam. Mungkin pemuda ini pun heran kenapa Kim-mou-eng yang dikenal sebagai orang baik-baik ini melakukan perbuatan hina, mencuri. Dan ketika cerita itu habis dikisahkan dan Hu Beng Kui bersinar-sinar memandang putera putrinya maka pendekar itu mengakhiri,

“Karena itulah aku ingin menyuruh kalian mencari dan menangkap Kim-mou-eng ini. Dan karena aku berjanji pada Sun-taijin harus menghadapi Kim-mou-eng maka sebaiknya kalian pergi dan cari penjahat ini. Kim-mou-eng ternyata bukan orang baik-baik, kalian harumkan nama keluarga Hu dan tangkap pencuri ini!”

Swat Lian terhenyak. Kalau bukan ayaknya sendiri yang menceritakan itu kemungkinan ia tak akan percaya. Kekagumannya pada Kim-mou-eng mendadak lenyap, terganti senyum sinis dan Swat Lian mendengus. Diam-diam ada rasa mendongkol kenapa orang macam begitu membuat dia berdebar, gugup dan bingung seolah gadis ditawari jejaka. Swat Lian malu pada diri sendiri dan segera mengiyakan permintaan ayahnya. Mereka disuruh mencari Pendekar Rambut Emas itu.

Swat Lian gatal tangan dan diam-diam ingin melampiaskan kemendongkolan. Dan ketika malam itu ayahnya berpesan agar mereka hati-hati dan keesokan harinya mereka disuruh berangkat maka dua kakak beradik ini memulai perjalanan mereka dan mencari Kim-mou-eng. Namun tak mudah hal itu dilakukan. Swat Lian dan kakaknya harus bekerja keras, mereka bertanya sana-sini dan berkali-kali gagal.

Swat Lian semakin mendongkol saja ketika orang menyatakan bahwa Kim-mou-eng memang tampan, gagah dan berkepandaian tinggi dan karena itu ia semakin penasaran saja. Dan ketika dua minggu kemudian mereka mendengar serbuan orang-orang kang-ouw di dekat Jurang Malaikat maka dua kakak beradik ini terhenyak ketika Kim-mou-eng dikabarkan tewas.

“Pendekar Rambut Emas itu terjungkal, dia tewas di dalam jurang.”

“Bagaimana dengan Sam-kong-kiam?”

“Tak tahulah, Mo-ong den Hek-bong Siang Lo-mo katanya terbirit-birit meninggalkan jurang itu. Katanya mereka bertemu arwah Kim-mou-eng yang mati penasaran.”

“Atau Kim mou-eng hidup lagi? Bagaimana sebuah arwah bisa mengejar-ngejar orang?”

“Kami tak tahu, Kim-mou-eng dikabarkan tewas tapi katanya tiga kakek iblis itu lari tunggang tanggang setelah melompat ke dasar jurang. Barangkali mereka bertemu arwah sungguhan atau mungkin Kim-mou-eng masih hidup dan di dasar jurang menghajar tiga kakek itu hingga lari terbirit-birit!”

Swat Lian dan kakaknya tertegun. Itulah pernyataan orang-orang yang mereka jumpai, hampir semuanya menyatakan Kim-mou-eng tewas tapi mereka juga tak bisa menjawab bagaimana Lo-mo dan Mo-ong yang hendak merampas Sam kong-kiam di mayat Kim mou-eng bisa ketakutan dan lari keluar jurang, katanya bertemu hantu dan orang-orang kangouw di situ juga tunggang-langgang. Segumpal asap menyerang mereka dan semuanya roboh, tak ada yang mampu menghadapi asap atau sesuatu yang aneh itu, yang sebenarnya adalah Bu-beng Sian-su adanya. Dan karena berita ini dinilai simpang-siur dan Swat Lian serta kakaknya penasaran maka Swat Lian mengajak agar mereka ke Jurang Malaikat itu.

“Aku tak percaya, masa sebuah arwah bisa mengusir ratusan orang kangouw yang rata-rata berkepandaian tinggi? Apalagi Hek-bong Siang lo-mo dan Mo-ong ada di situ, rasanya tak masuk akal dan tentu ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan di sini. Sebaiknya kita ke sana dan selidiki sendiri apa dan bagaimana rupa Jurang Malaikat itu!”

“Benar, cerita ini kelihatannya ganjil, Lian-moi. Aku juga tak percaya dan sangsi akan cerita orang-orang itu. Memang sebaiknya kita ke Jurang Malaikat dan lihat apa sesungguhnya yang telah terjadi!”

Begitulah, dua kakak beradik ini lalu melanjutkan perjalanannya. Mereka ke utara dan mencari-cari Jurang Malaikat itu, orang tak tahu nama jurang ini namun dapat memberi ancer-ancernya. Karena jurang itu dikenal sebagai tempat pertempuran Kim-mou-eng yang dikeroyok ratusan orang kangouw. Orang menyebutnya sebagai Jurang Iblis, Jurang Hantu karena Mo-ong dan Lo-mo terbirit-birit di sini menyatakan ketemu hantu, rohnya Kim mou-eng. Dan ketika seminggu kemudian dua kakak beradik ini tiba di sini dan melihat bekas bekas pertempuran maka mereka menjublak dan mau tak mau menjadi kagum.

“Hebat, ratusan kaki meninggalkan bekasnya di sini, tak kurang dari tiga ratus orang. Kalau Kim-mou-eng bukan orang berkepandaian tinggi tak mungkin dia dapat lolos dan menghadapi sekian banyak orang itu!”

“Ya dan kabarnya dia jatuh ke jurang ini, Lian-moi. Bagaimana kalau kita turun dan tengok ke bawah?”

Swat Lian melongok. Dia tak melihat dasar jurang yang dalam, di tengah tengahnya tertutup kabut dan gadis ini tergetar. Entah berapa ratus tombak dalamnya jurang ini, yang jelas dalam dan amat berbahaya, dindingnya licin dan terjal. Tapi Swat Lian yang tertarik dan memang berjiwa petualang tiba-tiba mengangguk dan berdebar menyetujui keinginan kakaknya.

“Benar, kita rupanya harus turun ke bawah. An-ko. Barangkali mayat Kim-mou-eng dapat kita temukan atau mungkin rohnya yang dikata gentayangan itu menemui kita!”

“Kau tak takut?”

“Tidak, justeru aku tertarik dan ingin tahu apa sebenarnya yang telah terjadi!” dan Swat Lian yang tertawa melepas ikat pinggangnya tiba-tiba melontarkan ikat pinggangnya ke dinding jurang, menancap dan sebentar kemudian gadis ini menyusul ke bawah dengan terjun langsung, berjungkir balik dan sudah menyambar serta melontarkan ikat pinggangnya itu ke tempat yang lebih bawah, ikat pinggang ini sudah berobah kaku dan keras seperti baja. Swat Lian mempergunakannya seperti “paku”. Dan ketika gadis itu berpindah-pindah dengan caranya yang luar biasa maka dia pun lenyap di tengah jurang di bawah kabut itu.

Beng An tersenyum. Dia melihat kelihaian adiknya yang mengagumkan, tak lama kemudian menyusul dan sudah meniru perbuatan adiknya, mempergunakan ikat pinggang pula dan sudah melayang-layang di bawah jurang. Mereka berdua tentu saja amat berhati-hati dan mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang paling tinggi. Dan ketika seperempat jam kemudian mereka tiba di tengah dan melihat lubang di dinding jurang maka di sini Swat Lian berhenti. tertegun.

“Ada lubang, tampaknya bekas ditempati orang!”

Beng An mengangguk. Mereka tak tahu itulah tempat Bu beng Sian su, di sinilah manusia dewa itu tinggal, di samping Lembah Malaikat. Dan ketika mereka masuk dan tertegun melihat tempat yang bersih maka Swat Lian semakin terheran-heran membelalakkan mata.

“Luar biasa, tempat ini harum. Bau apa gerangan?” Swat Lian mengendus-enduskan hidung, cupingnya berkembang kempis dan Beng An pun mengangguk, pemuda ini heran dan mencari cari. Tapi ketika tak ditemukannya asal bau harum itu dan mereka melihat tempat ini kosong saja maka Swat Lian melihat sebuah batu hitam yang tengahnya berlekuk, halus dan amat rata. “Ini tempat orang bersamadhi, apakah Kim-mou-eng tinggal di sini?”

Swat Lian melompat, mendekati batu hitam itu dan memegang megang permukaannya. Dan ketika permukaan batu itu dirasa hangat dan seolah baru diduduki orang maka gadis ini kaget berseru tertahan. “Ah, lekukan batu ini hangat. Jangan‐jangan di sekitar sini ada orang!”

Dan kakaknya yang melompat mendekati dan terkejut mendengar seruan adiknya, segera mengawasi seluruh lubang tapi tak melihat apa-apa pada tempat atau guha ini. “Tak ada orang, barangkali pergi ketika kita masuk!”

“Dan Kim mou-eng tinggal di sini?”

“Siapa yang tahu? Kita baru kali ini memasuki dunia kang-ouw. Lian-moi. Barangkali benar atau barangkali juga keliru!”

“Dan bagaimana perasaanmu di tempat ini?”

“Maksudmu?”

“Kerasankah kau? Aku merasa nyaman berada di tempat ini, sepertinya milik orang baik-baik dan setiap hari dirawat!”

“Hm, aku kira begitu. Tapi Kim-mou eng bukan orang baik-baik, jadi mungkin ini bukan tempat tinggalnya!”

Swat Lian mengangguk. Memang mereka lebih menganggap Kim-mou-eng bukan orang baik-baik, padahal tempat ini berbau harum dan enak ditinggali. Hawa yang menyenangkan terasa di situ, nikmat dan hangat. Tapi mendengar kakaknya menyebut-nyebut Kim-mou-eng mendadak Swat Lian melompat keluar menuruni jurang lagi. “An-ko, pekerjaan kita belum selesai. Ayo turun dan cari Pendekar Rambut Emas itu di dasar jurang!”

Sang kakak teringat. Beng An mengangguk dan menyusul adiknya, diam-diam dia heran dan terkesan oleh guha atau lubang di dinding jurang itu. Jelas tempat itu ditinggali seseorang, hatinya berdebar dan ingin tahu. Tapi karena mereka harus turun dan maksud mencari Kim-mou-eng harus didahulukan maka Beng An menuruni jurang dan terkejut ketika semakin ke bawah pandangan menjadi semakin gelap.

“Kita berhenti, jurang ini terlalu dalam!” Beng An berseru, khawatir melihat adiknya mau terus ke bawah padahal mata mulai tak mampu menembus lagi.

Swat Lian mengusap keringat dan tertawa, memang dia sendiri sudah ragu dan was-was memandang ke bawah. Tempat itu terlalu dalam. Namun penasaran oleh bayangan Kim-mou-eng yang belum mereka temukan maka gadis ini coba membantah untuk coba coba meneruskan penurunan, “Kita hampir sampai, An-ko. Kenapa berhenti dan tidak turun lagi?”

“Kau tahu dari mana bahwa kita hampir sampai? Bukankah dasar jurang belum kelihatan ujudnya?” sang kakak tak setuju. “Tidak, berhenti saja, Lian moi. Aku mulai mengendus hawa beracun di bawah ini!”

Swat Lian mengangguk. Dia mengerutkan kening dan terkejut mencium bau tidak enak di bawah, ada semacam asap belerang dan uap ke kuningan di sana, gadis ini berhenti, tentu saja tak berani nekat karena kepala mulai pusing, tempat ini berbahaya. Maka ketika kakaknya menyambar lengannya dan mengajaknya naik ke atas Swat Lian tak membantah dan menurut.

“Kita bisa tercekik asap, ayo kembali dan hentikan pencarian!”

Swat Lian mundur. Mereka kembali ke atas, sedikit susah. Beng An berkata bahwa tak mungkin Kim-mou-eng selamat lagi kalau terbanting di dasar jurang, tempat itu beracun. Dan ketika mereka ke atas dan tiba diguha di tengah-tengah jurang Swat Lian minta agar beristirahat di sini.

“Aku capai, beristirahat sebentar, An-ko. Aku merinding melihat bawah jurang tadi!”

“Ya, dan kau jangan nekat, Lian-moi. Dasar jurang tak memiliki oksigen kecuali hawa beracun melulu!”

Swat Lian terengah. Pendakian yang mereka lakukan ternyata lebih berat daripada ketika turun, namun karena mereka bukan orang-orang sembarangan dan Beng An setuju mereka beristirahat di guha kecil itu akhirnya Swat Lian melonjorkan kaki melepas lelah, menghapus keringatnya. “Bagaimana sekarang, An-ko. Kita kembali dan melapor kepada ayah bahwa Kim-mou-eng tewas?”

“Agaknya begitu. Kita tak menemukan Pendekar Rambut Emas ini dan rupanya dia benar-benar jatuh ke dasar jurang.”

“Lalu kita tak membawa sesuatu sebagai oleh-oleh?”

“Oleh-oleh apa? Bukankah kita hanya ditugaskan mencari Pendekar Rambut Emas ini?”

“Aku ingin sesuatu, An-ko,” Swat Lian tersenyum, tiba-tiba tertawa aneh. “Aku tak mau kita pulang dengan tangan hampa begini. Bagaimana kalau jangan tergesa dulu dan main-main ke kota raja? Aku ingin tahu istana, ingin melihat-lihat keadaannya dan siapa tahu ada puteri cantik di situ!”

“Untuk apa?” sang kakak mengerutkan kening. “Kau mau berandal?”

“Hi-hik, aku ingin mencarikan jodoh buatmu, An-ko. Aku ingin punya so-so (kakak ipar) dan melihat kau menikah...!”

“Busyet!” Beng An menampar adiknya ini, luput. “Kau jangan kurang ajar, Lian-moi. Aku tak mau menikah kalau kau sendiri belum mendapat pasangan!” dan ketika mereka tertawa-tawa dan saling bercanda di tempat itu tiba-tiba dari atas terdengar suara orang.

“Sst, diam... !” sang kakak terkejut. “Ada orang. Lian-moi. Hati-hati dan mari kita lihat!” dan Beng An yang berkelebat keluar dan melihat ke atas tiba-tiba kehilangan bunyi gerakan-gerakan itu.

“Hantu?” Swat Lian berbisik, sudah menyusul di samping kakaknya ini. “Roh Kim-mou-eng, An ko. Atau pemilik guha ini?”

“Entahlah, jangan ribut, Lian-moi. Aku mendengar langkah seseorang yang kini tiba-tiba berhenti!”

“Kau yakin?”

“Tentu.”

“Bukan hantu?”

“Ah, aku tidak main-main, Lian-moi. Aku tak percaya hantu dan jangun kau menggangguku, ini seru!”

Swat Lian tersenyum. Memang dia menggoda kakaknya ini, tentu saja juga mendengar suara di atas jurang tadi namun bersikap tak acuh, dia ingin tahu reaksi kakaknya dan ternyata kakaknya menangkap gerakan itu. Kini suara itu hilang dan Swat Lian pun tak mau main-main, dia memasang telinga dan berdebar. Dia mengira pemilik guha akan datang. Tapi ketika suara itu tak muncul juga dan mereka tak sabar mendadak sesosok bayangan meloncat ke dalam jurang dan Swat Lian terkejut melihat seseorang berjungkir balik membawa sebatang pedang yang berkilauan dalam tiga warna, hijau kuning dan merah.

“Kim-mou-eng...!” Seruan ini terloncat begitu saja. Swat Lian memang terkejut melihat bayangan itu, melihat pedang dalam tiga warna dan tak dapat menahan mulutnya, otomatis berteriak dan orang di atas kaget. Pedang di tangannya itu sudah menusuk tiga kali di dinding jurang, dipakai sebagai tancapan dan rupanya dia mau turun ke bawah, kini tiba-tiba berhenti dan menempel di dinding jurang, menengok dan melihat Swat Lian di sana, tertegun.

Dan ketika Swat Lian juga tertegun melihat rambut keemasan yang merumbai di punggung orang mendadak bayangan ini tertawa aneh dan berjungkir balik meloncat kembali ke atas, tak melihat Beng An yang cepat menarik kepalanya ke dalam.

“Nona, kau siapa?”

Swat Lian hilang kagetnya. Dia sekarang sadar dan melihat orang sudah di atas, melongok ke bawah dan berseru padanya. Tentu saja Swat Lian terkejut tapi juga girang. Kim-mou-eng rupanya sudah ditemukan! Maka begitu orang berseru padanya dan Swat Lian menggerakkan kaki tahu-tahu gadis ini telah berjungkir balik ke atas dan mempergunakan ikat pinggangnya menyusul orang itu, yang disangka Kim-mou-eng, lupa pada kakaknya yang ada di belakang...!