Pedang Tiga Dimensi Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 08
KARYA BATARA


Cerita Silat Online Mandarin Karya Batara
“BAIKLAH, maafkan aku, sumoi. Tapi aku tak ingin pembicaraan ini didengar orang lain. Ada seseorang di belakangmu!” dan persis Kim-mou-eng menghentikan kata-katanya mendadak bayangan yang dilihat Kim-mou-eng itu muncul.

“Ha-ha, tak perlu banyak bicara, nona. Bunuh dan serang suhengmu ini. Kubantu kau....”

“Srat!” dan sinar berkilau yang berwarna-warni menyilaukan mata mendadak membuat Kim-mou-eng tertegun dan terkejut mundur, melihat sebatang pedang ampuh dengan tiga warna yang begitu mentakjubkan, merah kuning dan hijau. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terbelalak memandang pedang ini maka dia semakin heran dan terkejut melihat si pemegang pedang Itu, seorang laki-laki berkedok yang rambutnya keemasan mirip dia.

“Bu-hiong...!” Inilah seruan Salima. Salima memang terkejut melihat kehadiran laki-laki ini. Sang Sam-kong-kiam ternyata datang tanpa diundang.

Kim-mou-eng terkejut dan terheran-heran, kini terbelalak melihat sumomya mengenal pendatang itu. Tapi begitu dia sadar akan kemilaunya sebatang pedang ampuh dan ingatannya tertuju pada Sam-kong kiam yang berarti Pedang Tiga Sinar mendadak Kim-mou-eng melompat mundur dan langsung pikirannya yang cerdiik dapat menangkap siapa pendatang ini. Sang pencuri!

“Kau si pembuat onar!” Kim-mou-eng langsung berseru, kagum tapi juga kaget melihat hawa yang luar biasa tajam terasa dari pedang yang digerak-gerakkan itu, hawa dingin yang terasa mengiris kulit. Barangkali seratus kali lebih tajam dibanding pisau cukur. Kim-mou-eng bergidik! Dan ketika orang itu tertawa dan sudah berdiri di samping Salima maka pencuri ini berseru dengan suaranya yang berderai,

“Benar, aku yang membuat onar, Kim-mou-eng. Akulah pencuri Sam-kong-kiam dan kini kau mengenal aku!”

Kim-mou-eng terbelalak. “Dan kau mengenal sumoiku?”

“Ha ha, sumoi mu gadis baik, Kim-mou-eng. Tentu saja aku mengenalnya dan bersimpati atas luka yang dideritanya dari semua perbuatanmu. Kau laki-laki tak dapat dipercaya, kau mengobral cinta di sana-sini dan penipu. Kau sekarang akan mati di tangan kami berdua untuk menebus dosamu. Hayo, serang laki-laki busuk ini, Tiat-ciang Sian-li. Kubantu kau dan kita bereskan dia berdua....”

“Sing!” pedang itu tiba-tiba berkelebat, Bu-hiong sudah menyambar dan Kim-mou-eng terkesiap melihat kilatan tajam dari gerakan pedang itu. Dia melompat mundur dan masih ragu, gerakannya ayal-ayalan dan laki-laki itu tertawa bergelak. Dan ketika dia menyerang lagi dan hawa dingin yang luar biasa tajam dari pedang itu menyambar-nyambar mendadak baju Kim-mou-eng tergores panjang disambar hawa pedang.

“Bret!” Kim-mou-eng kaget membanting tubuh bergulingan. Lawan berteriak kecewa dan menyerang lagi, kali ini sinar berkeredep membuat mata berkerut. Setengah menutup. Kim-mou-eng terkesiap karena lawan melenting tinggi, dan atas meluncur turun dan sudah menggerakkan pedang saling-menyilang empat kali, cepat dan ganas menuju bagian depan tubuhnya. Angin sambaran pedang itu saja sudah membuat baju Kim-mou-eng memberebet, lagi-lagi robek.

Kim-mou-eng tentu saja terkejut dan marah. Tapi karena dia sedang bergulingan dan lawan rupanya tak memberi kesempatan baginya untuk melompat bangun maka Kim-mou-eng mengulingkan diri lebih jauh dan pedang membacok tanah memercikkan bunga api, berpijar dan berkerontang membuat Kim-mou-eng ngeri.

Pedang Tiga Sinar itu betul-betul hebat. Dan ketika lawan berteriak tinggi dan hendak menyerang lagi maka Kim-mou-eng sudah melompat bangun, berseru keras, “Stop. tahan dulu. Tahan!”

Pedang di tangan pencuri itu berhenti. Dia tertawa bergelak membuat Kim-mou-eng geram, pendekar ini melihat sumoinya diam saja, berarti sumoinya membantu musuh. Kim-mou-eng menggigit bibir dan mengerahkan tenaga saktinya, matanya tiba-tiba mencorong dan uap kemerahan muncul di permukaan tubuh pendekar ini. Itulah hawa Tiat-lui-kang. Dan ketika lawan menyeringai dan Kim-mou-eng gusar maka pendekar ini membentak,

“Bu-hiong, kau pencuri hina yang menimpakan hasil perbuatanmu kepadaku? Dan sekarang kau menghasut sumoiku untuk memusuhiku? Apa maksudmu sebenarnya? Apa yang kau inginkan?”

“Ha ha, aku tak menginginkan apa-apa kecuali nyawamu, Kim-mou-eng. Aku sekedar membantu sumoimu ini yang telah kau tipu!”

“Tipu apa? Kau berani mencampuri urusan pribadi orang lain?”

“Ha ha, bagiku sumoi mu bukan orang lain, Kim-mou-eng. Aku telah manyelamatkan jiwanya dan sudah seperti sahabat. Tidak, bukan seperti sahabat melainkan sudah lebih dari itu. Dia adik ku, dia milikku!”

Kim-mou-eng terkejut. “Kau gila?” lalu memandang sumoinya yang memerah pipinya pendekar ini bertanya, “Sumoi, apakah dalam urusan pribadi ini kau memasukkan orang ketiga untuk menyudutkan aku? Benarkah terhadap pencuri pedang ini justeru kau membelanya dan siap memusuhi aku?”

Salima mendengus. “Aku tak minta si Bu-hiong ini mencampuri urusan kita, suheng. Tapi kalau dia membela ku karena merasa aku dipermainkan tentu saja aku tak menolaknya. Dia memang telah menyelamatkan jiwaku, aku tak dapat mengusirnya karena dia pun memusuhimu.”

“Tapi seharusnya aku yang memusuhi orang ini. Dia mencuri Sam-kong-kiam, dia merusak namaku dan seharusnya kau tahu. Kenapa membiarkan Bu-hiong ini memusuhiku dan kau tidak membela suhengmu? Apa artinya ini, sumoi? Kenapa kau menjadi gila seperti pencuri ini? Kau seharusnya menangkap pencuri ini, merampas pedangnya dan nenyerahkannya kepadaku. Kau tahu aku terfitnah dan si pemfitnah ini ada di depan mata. Tapi sekarang kau malah diam saja dan membiarkan aku diancam. Terlalu!”

Kim-mou-eng marah, tak habis pikir dan melotot memandang sumoinya itu. Tapi Salima yang balik merasa gusar dan mendelik pada suhengnya tiba-tiba maju ke depan, bendera kembali bergetar di tangan.

“Suheng, kau tak perlu banyak bicara. Kau seharusnya tahu apa yang menjadikan aku begini. Kau melukai hatiku. Kau laki-laki mata keranjang!“

“Ha-ha, betul, Tiat-ciang Sian-li.” Bu-hiong tertawa bergelak. “Dia memang mata keranjang dan karena itu kita bunuh saja. Ayo gerakkan benderamu, serang dan bunuh dia....”

“Singg!” dan pedang yang kembali menyambar mendahului Salima tiba-tiba berkelebat dan menusuk tujuh bagian titik berbahaya di tubuh Kim-mou-eng, begitu cepat dan bertubi-tubi hingga membuat Kim-mou-eng melompat tinggi, hawa pedang benar benar membuat dia seram. Begitu ganas. Dan ketika sumoinya hendak bergerak dan menyerang dia membantu pencuri ini maka Kim-mou-eng berteriak menggerakkan kakinya ke bawah, ketika melayang turun, menyambar dagu lawan yang saat itu sedang terhuyung.

“Sumoi, tunda dulu urusan kita. Biar aku menghadapi si hina ini kalau kau masih menghormatku sebagai saudara seperguruan!”

Salima ragu, merandek menahan benderanya, mata terbelalak dan Bu-hiong terkejut. kuatir gadis itu terpengaruh dan berseru agar Salima tak usah menghiraukan teriakan suhengnya itu. Mereka harus menyerang bersama agar pendekar ini cepat dibunuh. Bu-hiong menyebut-nyebut urusun Cao Cun yang membuat Salima panas. Nama puteri Wang-taijin ini memang mudah menyulutkan api kemarahan, Salima gemerutuk. Dan ketika Bu-hiong mengelak tendangan Kim-mou-eng dan pendekar itu ganti melepas satu tamparan panas ke arah. lawan maka Bu-hiong buru buru menyambung seruannya dengan kali kata membakar.

“Nona, suhengmu ini laki-laki hidung belang. Pernah kulihat dia mencium Cao Cun, ih mesranya. Ayo bunuh dan gerakkan benderamu itu.”

“Wuut..!”

Salima tiba-tiba meradang, melengking tinggi tak kuat mendengar omongan Bu-hiong ini. Hati yang sudah panas tiba-tiba seakan mendidih mendengar kata kata itu. Suheng nya berciuman dengan Cao Cun! Dan karena bayangan ini memang mudah mengobarkan kemarahannya dan Bu-hiong berteriak lagi mengatakan lain lain yang lebih memanaskan hati sekonyong-konyong Salima memekik dan menerjang suheng-nya itu, tanpa ampun mengibaskan bendera dan tangan kiri pun bergerak dengan tenaga Tiat-lui-kang.

Kim-mou-eng terkejut sementara Bu-hiong terbahak gembira. Dan ketika sumoinya melengking dan mainkan bendera dengan ganas sementara Bu-hiong juga mainkan Pedang Tiga Sinar itu dengan teriakan mengerikan yang membuat Kim-mou-eng jangkir balik tak keruan maka Pendekar Rambat Emas ini memaki lawannya dengan mata membulat lebar, bukan kepalang kegusarannya,

“Bu-hiong, kau laki-laki pengecut. Kiranya di samping hina sebagai pencuri rendahan kaupun tukang fitnah yang suka memburuk-burukkan orang lain. Baiklah, aku akan menghadapimu dan jangan sombong dengan pedangmu yang ampuh itu.... tar-tar!”

Kim-mou-eng mulai meledakkan Tat lui-kang, kemarahannya tak terkendalikan karena mulut berbisa Bu-hiong benar-benar membuat sumoinya terpengaruh, sumoinya tak mau tahu lagi kebenaran cerita pencuri Sam kong kiam ini. Kim-mou-eng sudah menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat berat, hampir dari segala penjuru dia menerima tusukan dan bacokan, belum pukulan sumoinya yang disertai kebutan bendera juga. Sumoinya ini pun tak dapat dipandang ringan.

Dan ketika Sam-kong-kiam memburu tiada henti sementara angin sambarannya membuat nyali menjadi ciut kalau tidak benar-benar tabah akhirnya Kim-mou-eng berkelebatan dan lebih menitikkan perhatiannya pada Bu-hiong, sedangkan sumoinya dilayani setengah hati sementara tusukan dan babatan Bu-hiong menjadi pusat konsentrasinya. Kim-mou-eng tergetar olah kehebatan ilmu pedang laki-laki ini, terutama keampuhan Pedang Tiga Dimensi itu sendiri. Dan ketika pertempuran berjalan seru dan berkali-kali Kim-mou-eng menolak pedang dengan tamparan Tiat lui-kangnya maka Salima yang mendapat pelayanan setengah hati saja ternyata mendesak suhengnya ini dan berhasil membuat suhengnya repot.

“Sumoi, jangan gila. Aku tidak memusuhimu!”

Namun teriakan berkali-kali Kim-mou-eng ini tak membawa hasil. Salima telah menutup pikiran sadarnya untuk tidak menanggapi seruan suhengnya itu. suhengnya betul-betul dianggap musuh. Kim-mou-eng tentu saja kewalahan dan panik. Dan ketika satu saat pedang di tangan Bu-hiong menyambar tenggorokannya sementara bendera dan tangan kiri sumoinya berkelebat menghantam dadanya maka Kim-mou-eng terpaksa memilih dengan membiarkan dua pukulan sumoinya mengenai dirinya, mengelak sambaran pedang dan secepat itu menangkis Bu-hiong, tangan kiri bergerak menghantam muka lawan dan ketika Bu-hiong berteriak kaget dan menangkis tapi terpelanting roboh maka kim-mou-eng sendiri juga menerima kebutan bendera dan tamparan sumoinya yang begitu keras.

“Des-dess!” Kim-mou-eng mengeluh. Dia sempoyongan menahan napas, untungnya sinkang sumoinya tidak sekuat sinkangnya sendiri, dia dapat menahan. Tapi karena jelek-jelek sumoinya adalah seorang gadis sakti dan tamparan serta kebutannya cukup menghancurkan kepala seekor gajah maka Kim-mou-eng sesak dadanya dan hampir muntah darah, terhuyung dan mengeluh memandang sumoinya itu. Tak dilihatnya sedikitpun rasa kasihan di pandang mata sumoinya itu, Kim-mou-eng menggigit bibir. Dan ketika Bu-hiong kembali menerjang dan sudah membalik dengan tikaman miring menusuk ulu hatinya maka Kim-mou-eng marah dan mulai mencabut pit-nya, senjata yang jarang digunakan.

“Bu-hiong, kau benar-benar manusia busuk. Ingin kutahu siapa sebenarnya kau ini!” dan Kim-mou-eng yang mulai membalas dan menangkis serta mengerahkan ginkangnya berkelebatan ke sana sini akhirnya tak tahan dan terpaksa pula bersikap keras terhadap sumoinya. Pukulan-pukulan sumoinya dibalas keras dengan keras.

Salima terkejut dan melengking marah. Perubahan yang dilakukan suhengnya itu dianggapnya sebagai tanda tak cinta lagi, aneh wanita ini. Dan ketika Kim-mou-eng berseru tinggi dan pit di tangan serta tamparan-tamparan petir berkelebatan menyambar-nyambar menghadapi dua orang musuhnya maka Bu-hiong maupun Salima tak mampu mendesak lagi hingga kedudukan mereka berimbang. Tentu saja membuat Bu-hiong dan Salima marah, mereka ini naik darah dan penasaran.

Bu-hiong tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya dan Kim-mou-eng terkejut melihat tangan kiri itu tiba-tiba berobah menjadi hijau, sinar mengerikan mencuat dari telapak laki laki aneh ini. Kim-mou-eng terbelalak. Dan ketika Sam-kong-kiam lewat di sisi telinganya sementara bendera di tangan Salima menderu di atas kepalanya maka Kim-mou-eng yang mengelakkan tangan kiri melakukan pukulan Tiat-lui-kang sudah memasuki kesempatan itu menghantam leher Bu-hiong.

“Plakk!”

Kim-mou-eng terkejut. Untuk pertama kali adu pukulan ini bertemu, secara langsung. Tiat-lui-kang diterima telapak kiri laki-laki aneh itu dan dua tangan mereka lekat, masing-masing tergetar dan Kim-mou-eng terkesiap karena lawan memiliki sinkang yang kuat. Telapak lawan menutup dan hawa gatal tiba-tiba menyelinap, menembus Tiat-lui-kangnya dan Kim-mou-eng tercekat karena bau amis dan gatal merayap ke lengannya disusul rasa perih dan panas. Inilah sinkang beracun! Dan ketika lawan terbahak dan tak mau membuka telapaknya yang sudah menjepit tangan Kim-mou-eng tiba-tiba Salima membalik dan saat itu menyerang dari samping dengan kebutan bendera dan pukulan tangan kirinya.

“Ha-ha, sekarang dia mampus, nona. Hantam pelipisnya dan bunuh dia!”

Kim-mou-eng terperanjat. Sekarang tak ada waktu baginya untuk melompat mundur, tangannya dicengkeram Bu-hiong. Satu-satunya jalan hanyalah menambah sinkang dan mendorong balik pukulan Bu-hiong yang hendak menjalar terus. Secepat itu Kim-mou-eng membentak keras dan mengguncang tubuh. Hawa beracun yang hendak memasuki tubuhnya tiba-tiba dibakar dari dalam, Bu-hiong terkejut merasakan perubahan ini. Kim-mou-eng berontak. Dan ketika bendera menyambar dan pukulan Salima juga sudah mendekati lehernya tiba-tiba apa boleh buat Kim-mou-eng mengempos semangatnya dan mengeluarkan Pek-sian-ciang (Pukulan Dewa Putih).


Dan ketika Tiat-lui-kang juga meledak nyaring dan hancur di tengah jalan mendadak Bu-hiong yang menyalurkan racunnya lewat cengkeraman ke tangan Pendekar Rambut Emas sekonyong-konyong menjerit dan melepas jepitannya, merasa adanya suatu dorongan dahsyat yang menyambarnya dari depan. Sinar kehijauan di tangannya tiba-tiba lenyap, hancur oleh sinar putih yang meluncur dari tangan pendekar itu. Dan ketika laki-laki ini berteriak kaget dan terdorong mundur maka Kim-mou-eng sudah menggerakkan tangan kirinya menghantam dada laki-laki itu sementara pit di tangan kanan juga bergerak menotok lambung lawan.

“Mati aku...” Bu-hiong terbelalak, berteriak dan mengeluh kaget. Sam-kong-kiam di tangannya tiba-tiba menangkis, gerakan ini sebenarnya kebetulan belaka karena terdorong, refleks dia menggerakkan pedang untuk melindungi diri, bukan menyerang. Tapi persis pit menyambar lambungnya dan pukulan Pek-sian-ciang menghantam dadanya maka secara aneh dan luar biasa, tiba-tiba pedang di tangan laki-laki ini mengeluarkan ledakan keras dan menangkis dua pukulan itu.

“Blam!” Asap hitam dan putih mengepul bersama. Kim-mou-eng terkejut karena pit-nya tiba-tiba patah. Pek-sian-ciangnya tiba-tiba tertahan oleh kekuatan gaib Pedang Tiga Sinar. Dan ketika dia berseru kaget karena kesaktian pedang pusaka itu ikut bicara mendadak serangkum tenaga dahsyat menghempasnya tinggi dan Kim-mou-eng mencelat seperti dilontar tenaga raksasa.

“Bumm....!” apa yang terjadi ini sukar dijelaskan. Kim-mou-eng terbanting ke bawah, keras sekali, terguling-guling dan akhirnya mengeluh di sana, sepuluh tombak dari titik perkelahian. Tapi Bu-hiong sendiri yang juga terpental oleh ledakan gaib dan menjerit kaget ternyata juga terbanting dan mengeluh menabrak pohon, patah pohon itu dan suara tumbangnya demikian hiruk pikuk. Laki-laki ini terkubur daun daunan dan ranting hingga hampir tak terlihat, batuk dan muntah darah. Sam-kong-kiam masih dicekalnya erat tapi laki-laki itu menganggap Pek-sian-cianglah yang membuatnya begitu.

Dia tak tahu bahwa kekuatan gaib Pedang Tiga Sinar telah menyelamatkannya, pedang itu mengeluarkan semacam tenaga sakti yang tadi meledak menangkis Pek-sian-ciang. Hanya Kim-mou-eng lah yang tahu benar masalah itu, pendekar ini beradu langsung. Dan karena mengira Pek-sian-ciang yang merobohkannya seperti itu dan kini dia muntah darah tiba-tiba laki-laki ini melompat terhuyung dan terbirit-birit melarikan diri keluar dari timbunan daun-daunan itu.

“Tiat-ciang Sian-li, suhengmu terlalu lihai. Biarlah lain kali kubantu kau!”

Salima tertegun. Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengira Pek-sian-ciang yang membuat Bu-hiong ketakutan. Maka melihat Bu-hiong melarikan diri dan kini laki-laki itu lenyap di balik hutan mendadak Salima terisak dan benci memandang suhengnya itu, yang masih terduduk dengan napas sesak, melenggong.

“Suheng, kau memang sombong. Kalau hari ini tak dapat kubunuh kau biarlah lain hari aku membalas sakit hatiku!” Salima berkelebat, memutar tubuhnya dan ikut melarikan diri meninggalkan Kim-mou-eng.

Sang suheng mendelong dan semakin terbelalak saja, Bu-hiong ke kanan sedangkan sumoinya ke kiri. Tapi begitu dia sadar dan melompat bangun tiba-tiba pendekar ini berteriak memanggil sumoinya, “Sumoi, tunggu....!”

Salima tak menghiraukan. Dia terlanjur sakit hati oleh perbuatan suhengnya itu, lenyap dan tak dapat dikejar. Kim-mou-eng terengah-engah dan jatuh terduduk, dadanya tiba-tiba nyeri. Baru sekarang Kim-mou-eng batuk batuk dan gentar menyaksikan kesaktian pedang pusaka itu, yang bukan hanya memiliki ketajaman luar biasa saja namun juga memiliki semacam tenaga gaib yang mampu menolak pukulan sinkang. Bukan main.

Dan ketika pendekar ini mengeluh dan harus bersila untuk memulihkan sesaknya napas akibat benturan tadi maka Kim-mou-eng tak dapat mengejar sumoinya dan membiarkan saja sumoinya lolos, begitu juga Bu-hiong, hal terakhir ini amat menyesalkan hatinya karena sekarang dia tahu siapa pencuri pedang keramat itu. Sayang orangnya lari dan sumoinya pun memihak, dia tak dapat berbuat banyak.

Dan ketika sejam kemudian pendekar ini bangkit berdiri dan lega dadanya tak sakit lagi akhirnya pendekar ini terhuyung dan melakukan perjalanan lunglai ke arah selatan, diam-diam mengumpat dan memaki si Bu-hiong itu. Tapi begitu teringat persoalan Cao Cun tiba-tiba pendekar ini bangkit semangatnya dan memutar langkah ke utara, ke kota raja. Inilah awal mulanya dia dimusuhi sumoinya.

Tiba-tiba Kim-mou-eng ingin tahu apa yang terjadi dan bagaimana sumoinya itu bisa tahu, kembali menyesal dan menarik napas kenapa hal itu tercium sumoinya. Dan karena dia pun banyak berjanji pada putri Wang taijin itu dan sekarang ingat untuk melaksanakan janjinya tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan lenyap meninggalkan tempat itu. Dan begitu dia berlari cepat dan terbang menuju ke utara maka pendekar ini pun telah menuju ke kota raja untuk menengok Cao Cun, tepatnya, ke Istana Dingin! Namun apa yang didapat? Mari kita lihat.

Malam itu juga Pendekar Rambut Emas telah tiba di istana ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi dengan ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa sebentar saja Kim-mou-eng telah berada di belakang istana. Di sinilah seingatnya kamar Cao Cun, mendadak hati berdebar dan ingin bertemu. Kim-mou-eng teringat kisahnya dengan gadis itu, romantikanya, suka dukanya. Ingin bicara dan berterus terang tentang cinta mereka. Tapi ketika dilihatnya kamar itu kosong dan tak ada Cao Cun di sana mendadak pendekar ini tertegun.

“Ke mana Cao Cun? Dipindah?” Kim-mou-eng tak mau banyak pikir. Dia teringat Wan Hoa, sahabat Cao Cun, cepat menyelinap dan menuju kamar Wan Hoa pula bersebelahan dengan kamar Cao Cun. Tapi ketika lagi-lagi kamar itu di lihatnya kosong dan Wan Hoa pun tak ada di sana tiba-tiba Pendekar Rambut Emas ini bingung, menangkap seorang pengawal.

“Di mana putri Wang-taijin itu? Di mana pula sahabatnya?”

Pengawal ini menggigil, kaget. “Aku... hamba... aku tak tahu, taihiap. Wang-siocia (nona Wang) sudah lama tidak ada di sini disusul sahabatnya....!”

“Ke mana mereka?”

“Ke dunia asing, ke neraka... eh, maksudku ke tempat suku liar dan setengah di asingkan oleh sri baginda!” pengawal itu gugup, tempat bangsa Siung-nu memang tempat yang dianggap bangsa Han sebagai tempat yang tandus, tak ubahnya neraka. Tempat yang asing dan setengah biadab.

Tentu saja Kim-mou-eng terkejut dan marah mendengar kata-kata itu, mengira si pengawal berolok-olok. Maka ketika dia mencengkeram tengkuk pengawal itu dan membentak menyuruh pengawal ini bicara yang benar, maka pengawal itu merintih dan jadi semakin kebingungan, juga ketakutan.

“Aduh, lepaskan aku, taihiap. Sebaiknya kau tanyakan saja pada Wang-taijin di Chi-cou. Dia lebih tahu daripada aku!”

“Kau tak bohong? Gadis itu benar-benar tak ada di lini?”

“Sumpah, taihiap. Mereka memang tak ada di sini dan kau boleh bunuh aku kalau bohong. Aku... ngek!” pengawal itu terbanting, tak dapat meneruskan kata-katanya dan segera pingsan di sudut.

Kim-mou-eng telah menendang perut pengawal itu dengan lututnya, sang pengawal mengeluh dan pingsan. Dan karena Cao Cun memang tak ada di situ dan mau tak mau Kim-mou-eng harus percaya pada keterangan ini maka malam itu juga Pendekar Rambut Emas menuju Chi-cou. Di sini dia mengagetkan Wang-taijin, kontan bupati itu menangis dan menubruknya, belum apa-apa sudah melapor sepak terjang Salima yang membuat bupati itu jatuh bangun. Kim-mou-eng terkejut dan lagi-lagi terbelalak. Dan ketika dia belum melancarkan pertanyaannya karena Wang-taiijin keburu menceritakan keadaan diri sendiri yang sial dihajar Salima maka bupati ini mengguguk menjatuhkan diri berlutut.

“Taihiap, celaka. Sumoimu datang dan mengamuk di sini. Aku dan pengawalku dihajar jatuh bangun. Dia kurang ajar, terlalu sumoimu itu!”

“Sudahlah,” Kim-mou-eng jadi tak enak. “Kau bangunlah, taijin. Ceritakan apa yang terjadi dan kenapa sumoiku marah-marah di sini?”

“Dia mencari Cao Cun, entah kenapa marah-marah dan memakiku sebagai orang tua goblok. Aku pedih. sumoimu ganas dan telengas sekali.”

Kim-mou-eng menarik bangun bupati ini. Wang-taijin lalu menceritakan apa yang terjadi, malam itu juga melaporkan perbuatan Salima. Dan ketika persoalan tiba pada Cao Cun dan bupati ini tak dapat menahan cucuran air matanya maka bupati ini menyesali Kim-mou-eng.

“Kau terlambat, taihiap. Sekarang segala-galanya yang kupunyai hancur. Anak kesayanganku satu satunya sudah tak kumiliki lagi. Kau benar-benar tega membiarkan keluarga Wang menerima musibah!”

“Apa yang terjadi?” Kim-mou-eng terkejut. “Kenapa kau bicara begitu?”

“Ah,” bupati ini membelalakkan mata, marah. “Apakah kau tidak tahu, taihiap? Atau kau pura-pura tak tahu?”

“Hm!” Kim-mou-eng jadi tak enak. “Aku selamanya tak pernah berpura-pura, taijin. Apa yang tidak kuketahui tentu kutanyakan kepada orang lain. Aku datang ke sini karena memang ingin mendengar apa yang terjadi pada Cao Cun, aku tak melihatnya di istana Dingin dan kabarnya Cao Cun tak ada di sana lagi.”

“Tentu saja!” bupati ini uring-uringan. “Anakku telah diambil orang, taihiap. Dan yang melakukan Ini adalah kaisar. Kau tak pernah kelihatan membantu kami!”

Kim-mou-eng tersentak. “Diambil orang? Apa maksudmu, taijin?”

“Cao Cun telah dinikahkan dengan pemimpin liar bangsa Siung-nu, taihiap. Puteriku itu telah menjadi istri Raja Hu dan kini hidup di tengah tengah suku bangsa itu. Dia merana di sana, dia menunggu-nunggumu tapi selalu gagal!”

“Jagad Dewa Batara....!” Kim-mou-eng mencelat tak menyangka. “Putrimu telah menikah, taijin? Cao Cun telah menjadi istri orang dan hidup di tengah suku biadab?”

“Ya, itu yang terjadi, taihiap. Dan puteriku menangis sepanjang hari menanti kedatanganmu yang tak kunjung tiba!”

“Aduh...!” Kim-mou-eng tiba-tiba mendekap dada, duduk terhuyung. “Kenapa kau tidak menceritakan ini kepadaku, taijin? Kenapa kau tidak melapor?”

“Ah!” bupati ini malah penasaran. “Melapor bagaimana, taihiap? Menceritakannya bagaimana? Kau seorang kang-ouw, kau kelayapan dan keluyuran ke mana-mana. Mana mungkin aku mencarimu dan memberitahukan ini? Apakah mungkin aku dapat menemukanmu kalau tidak kau sendiri yang datang?”

Kim-mou-eng sadar, napas menjadi sesak dan tiba-tiba rasa berdosa yang besar menghimpit batinnya. Perasaan luka tiba tiba menyengat. Dan ketika bupati itu tersedu dan menyesali nasib puterinya yang malang tiba-tiba Kim-mou-eng menitikkan air mata dan ikut menangis. “Maafkan aku, aku rupanya khilaf, taijin. Aku sampat melupakan puterimu gara-gara urusan pribadi. Aku menyesal, biar sekarang juga aku berangkat menemui puterimu!”

“Untuk apa?” bupati ini terbelalak. “Kau mau melarikan isteri orang?”

Kim-mou-eng tertegun.

“Tidak, jangan, taihiap. Apa yang terjadi telah terjadi. Bagaimana pun puteriku harus menjadi wanita terhormat. Kau sebaiknya tak perlu ke sana kalau hanya untuk mengambil dan membawa puteriku itu. Hancur namaku nanti, juga baginda akan murka!”

“Aku tahu,” “Kim-mou-eng menghela napas, menggigit bibirnya. “Aku tak bermaksud untuk melarikan seperti apa yang kau duga, taijin. Melainkan semata melihat keadaannya dan minta maaf untuk semua kesalahanku. Aku berdosa, aku telah melupakan putrimu karena aku sendiri bertubi-tubi dilanda persoalan pribadi.”

“Baiklah, kalau begitu aku setuju, taihiap. Dan tolong titip surat ini untuk puteriku,” Wang-taijin buru-buru membuat surat, menitipkannya pada Kim-mou-eng.

Dan Kim-mou-eng termangu-mangu. Ada perasaan kaget bercampur marah di hatinya, ada perasaan duka. Tapi ada juga perasaan girang. Girang karena urusannya dengan Cao Cun tiba-tiba menjadi putus, urusan cinta. Hal yang selama ini mengganjal hatinya dan membuat perasaannya terganggu. Dan ketika menjelang pagi semuanya selesai dan Kim-mou-eng menerima surat titipan bupati Wang, akhirnya tanpa mengenal lelah dan tidak memikirkan istirahat Perdekar Rambut Emas ini melakukan perjalanannya ke suku bangsa Siung-nu.

Perjalanan ini memakan waktu dua hari. Memang cukup jauh. Tanpa makan dan minum Kim-mou-eng menuju ke perkemahan suku bangsa itu. Dia tahu macam apa suku bangsa ini, hampir seperti suku bangsanya sendiri dan merupakan suku yang dianggap setengah liar oleh orang-orang Han, bangsa Siung-nu memang bangsa yang belum memiliki peradaban tinggi dan Kim-mou-eng ngeri melihat Coa Cun harus tinggal di tengah tengah suku bangsa macam begitu.

Dua hari dua malam ini dia terguncang. Kabar itu memang belum dia ketahui, maklum, pendekar ini berbulan bulan menjadi incaran orang kang-ouw dan dikejar-kejar sebagai pencuri Sam kong kiam. Tubuh menjadi lelah dan kuyu.

Dan ketika pagi itu Kim-mou-eng tiba di perkemahan bangsa ini dan dia tak tahu bahwa Raja Hu baru saja meninggal dunia maka dengan tenang tapi hati-hati dia menyelinap masuk dan sudah menuju ke kemah hitam di mana kemah ini merupakan kemah paling besar dan mudah di duga sebagai kemah pemimpin bangsa Siung-nu. Tapi begitu dia masuk dan menyelinap ke dalam mendadak yang pertama-tama dijumpai adalah Wan Hoa!

“Wan Hoa...!”

Wan Hoa terkejut. Saat itu dia menyiapkan bubur hangat untuk Ituci Yashi, anak laki-laki Cao Cun. Tentu saja terperanjat melihat kehadiran Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas itu tahu-tahu telah berdiri di depannya, rambut kusut, mata sayu, pakaian pun lusuh dan jelas pendekar ini tak merawat tubuhnya berhari-hari. Wan Hoa tertegun dan membelalakkan mata, piring di tangannya tiba-tiba jatuh, bubur itu tumpah di atas lantai, berceceran. Tapi begitu Wan Hoa sadar dan terpekik kecil mendadak Wan Hoa menghambur ke depan dan tangan sudah menampar bertubi-tubi ke muka Kim-mou-eng.

“Kim-mou-eng, kau laki-laki tak dapat dipercaya. Kau laki-laki busuk. Kau penipu dan jahanam, plak-plak-plak...!”

Dan Wan Hoa yang sudah menampar bertubi-tubi muka Kim-mou-eng pulang balik akhirnya menangis dan mencakar serta memukuli pendekar ini penuh kemarahan, tak dielak dan Kim-mou-eng terhuyung ke sana kemari, muka tiba-tiba bengap dan Kim-mou-eng pucat melihat sambutan Wan Hoa ini. Untuk kesekian kalinya dia melihat pembelaan Wan Hoa terhadap Cao Cun, pembelaan seorang sahabat sejati. Dan ketika Wan Hoa kelelahan dan akhirnya jatuh terduduk maka wanita ini menangis tersedu sedu menutupi mukanya.

“Kim-mou-eng, kau keji. Kau laki-laki tak bertanggungjawab. Kau pendekar yang tak pantas disebut pendekar....!”

Kim-mou-eng terengah, muka semakin pucat. “Wan Hoa, mana Cao Cun....?”

“Untuk apa mencari Cao Cun? Untuk apa datang ke sini? Kau hanya akan menambah sakitnya hati, Kim-mou-eng. Kau hanya akan menambah beban penderitaan saja terhadap sahabat ku. Pergilah.... pergilah kau dari sini dan jangan perlihatkan mukamu kepada kami!”

“Tidak,” Kim-mou-eng gemetar, “Aku datang untuk melihat Cao Cun, Wan Hoa. Aku datang untuk meminta maaf. Aku tahu kesalahanku, aku bersalah dan ingin mengaku dosa....”

“Cuh!” Wan Hoa tiba-tiba bangkit berdiri, muka menjadi merah seperti dibakar. “Cao Cun sekarang sudah menjadi isteri orang, Kim-mou-eng. Tak guna kau menyesali kesalahanmu dan minta maaf kepadanya. Cao Cun telah benci kepadamu dan tak ingin melihat mukamu lagi...!”

“Aku tak perduli.” Kim-mou-eng semakin gemetar. “Aku ingin melihatnya sekali ini. Wan Hoa. Tolong panggil dia dan temukan aku padanya. Aku datang ingin menyampaikan surat ayahnya pula.”

“Kau membawa-bawa nama Wang-taijin? Kau mau menipu dan membohongi kami lagi? Keparat, kubunuh kau, Kim-mou-eng. Kubunuh kau kalau tidak segera pergi dari sini. Pergilah, pergi....!” Wan Hoa beringas, mengira Kim-cou eng mengada-ada dan sudah apriori terhadap pendekar ini, mata yang sudah terbelalak itu semakin terbelalak lagi, berapi-api. Wan Hoa tiba-tiba menyambar pisau dan sudah mengacungkan pisau itu di depan Kim-mou-eng, jari menggigil. Orang akan merasa lucu melihat sikap gadis ini.

Kim-mou-eng, tokoh yang demikian hebat hendak dibunuh seorang gadis lemah biasa dengan pisau dapur. Barangkali orang kang-ouw akan terbahak melihat adegan ini. Tapi Kim-mou-eng yang tiba-tiba mengeluh dan menitikkan air mata melihat keberingasan Wan Hoa tiba-tiba berlutut dan merintih di depan gadis itu,

“Wan Hoa, tolonglah aku. Aku benar-benar ingin bertemu dengan Cao Cun. Aku telah mencari kalian di Istana Dingin, aku telah datang ke Chi-cou pula bertemu dengan ayahnya. Aku ke sini untuk menjelaskan semuanya. Aku bersalah, tapi kesalahanku pun ada sebabnya. Tolong kau panggil dia dan suruh ke mari...”

“Kau nekat? Kau tak mau pergi?”

“Aku tak akan pergi sebelum bertemu Cao Cun, Wan Hoa Panggil dia dan setelah itu aku akan menuruti semua kehendakmu.”

“Keparat, kalau begitu kau menantang. Kau rupanya mengira aku main-main untuk membunuhmu.... hihh!” dan Wan Hoa yang menerjang gemas menusukkan pisaunya tiba-tiba menghunjamkan pisau itu ke leher Kim-mou-eng. Maunya menikam dan melampiaskan kemarahan dengan membunuh pendekar itu. Tapi jari yang menggigil dan tak bisa memegang pisau untuk membunuh tiba-tiba meleset dan leher yang ditikam tergelincir mengenai pundak, pisau itu menancap dan bergoyang di atas pundak, darah seketika menyemprot dan Wan Hoa menjerit.

Lucu sekali, Kim-mou-eng yang terluka tapi Wan Hoa yang terpekik, seolah gadis itulah yang kesakitan. Kim-mou-eng ternyata tidak mengerahkan sinkangnya hingga pisau menembus kulit dagingnya, hal ini pun tak disangka Wan Hoa. Dan ketika Wan Hoa tertegun dan pisau itu masih menancap di pundak tiba-tiba tirai sebuah kamar terbuka dai Cao Cun muncul.

“Kim-twako..!”

Seruan ini bagai angin segar di awang-awang para bidadari. Kim-mou-eng tiba-tiba menoleh, muka yang nyeri menahan sakit mendadak berseri. Kim-mou-eng bangkit berdiri dan memanggil nama gadis itu. Cao Cun terkejut dan bengong. Tapi begitu dua mata beradu dan Kim-mou-eng melompat ke depan mendadak mereka sudah saling tubruk dan Cao Cun mengguguk di pelukan pendekar ini, yang juga gemetar namun girang bukan kepalang.

“Cao Cun, aku datang. Maafkan aku....!”

“Oooh....!” Cao Cun hanya mengeluarkan suara itu, keluhan panjang tak berawal dan mereka bertangis-tangisan saling dekap. Cao Cun memeluk erat-erat pendekar yang dicintai ini, sejenak lupa dan tak sadar akan kedudukannya. Kedatangan Kim-mou-eng yang amat tiba-tiba memang mengguncang wanita muda ini, Cao Cun lupa daratan. Tapi ketika dua hati yang sama bergetar itu meledak penuh bunga-bunga bahagia dan Kim-mou-eng hendak mencium wanita itu mendadak Cao Cun sadar dan cepat merenggut lepas dirinya, berseru tertahan.

“Tidak, tidak... jangan, Kim-twako... jangan...!” Cao Cun terhuyung, jatuh terduduk di atas sebuah kursi dan tiba-tiba menutupi mukanya, tangis yang menghentak-hentak membuat wanita ini mengguguk. Perasaannya tercabik-tercabik. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan juga sadar akan apa yang hampir dia lakukan maka Cao Cun sudah tersedu-sedu berkata di antara derasnya air mata yang membanjir. “Kim-twako, aku telah menjadi isteri Raja Hu. Aku telah menjadi milik orang lain. Jangan kau lakukan itu dan pergilah, hubungan kita telah putus...!”

Kim-mou-eng menggigil. “Maaf, aku lupa, Cun-moi, aku tahu. Tapi aku datang bukan untuk melakukan yang tidak-tidak.”

“Lalu apa maksud kedatanganmu? Mau apa kau ke sini?”

“Aku hendak minta maaf, aku hendak mengaku dosaku...”

Cao Cun membuka matanya. Muka yang tadi dirutup itu sekarang dilepaskan, jari-jari yang lentik itu gemetar, mata kembali beradu pandang dan Cao Cun diserang rindu yang hebat. Hampir dia mengeluh dan menubruk orang yang dicintanya lahir batin ini, tak kuat mendengar suara yang begitu memelas, begitu lirih. Pandang mata Kim-mou-eng penuh kesedihan dan penyesalan, Cao Cun mengguguk. Tapi ketika dilihatnya pisau yang menancap di pundak Kim-mou-eng itu tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan terbelalak. “Siapa yang menusukmu?”

Wan Hoa tiba-tiba melompat ke depan. “Aku, Cao Cun. Hati hati terhadap rayuannya dan jangan terkecoh!”

Wan Hoa memperingatkan temannya, khawatir dan sudah dag-dig-dug melihat adegan tadi, betapa Cao Cun berpelukan dan nyaris mereka berciuman. Wan Hoa sudah tak keruan dan merah melihat adegan itu, hati tertusuk dan ada rasa luka, juga was-was. Maka melihat temannya melepaskan diri dan kini Cao Cun mendekati Kim-mou-eng bertanya tentang pisau itu tiba-tiba Wan Hoa berseru agar Cao Cun bersikap keras, tak usah lemah dan dia mengaku terus terang tentang pisau di pundak Kim-mou-eng itu. Bahwa dia ingin membunuh Pendekar Rambut Emas ini karena orang tak mau pergi. Pendekar Rambut Emas dianggap mau membuat onar.

Tapi Cao Cun yang mengerutkan kening dan justeru malah tiba-tiba menegur temannya, “Wan Hoa, kau terlalu. Kim-twako tak melakukan apa-apa, dia tak bersalah, kenapa kau menikamnya dan melukainya? Cabut pisau itu. Wan Hoa, obati lukanya dan balut dengan segera!”

Wan Hoa terbelalak, tertegun.

“Dan kau menamparnya pula. Wan Hoa? Aih, keji. Kau jahat dan kejam terhadap tamu, terlalu!” dan Cao Cun yang bergegas menghampiri Kim-mou-eng tiba-tiba terisak dan mengusap pipi Kim-mou-eng, mengelusnya begitu lembut dan hampir saja Cao Cun mencium pipi itu.

Pipi Kim-mou-eng memang bengap, merah kebiruan. Dua mata kembali beradu pandang dan Cao Cun menangis, tak tahan. Dan ketika Wan Hoa masih diam saja dan tak mau mencabut pisau serta mengobati luka Kim-mou-eng tiba-tiba Cao Cun merobek bajunya dan mencabut pisau itu, darah mengucur dan segera dimampatkan dengan robekan baju ini. Cao Cun bekerja cepat dan sebentar kemudian sudah membalut luka itu. Betapapun kemesraan tak dapat disembunyikan di sini, Wan Hoa merah padam.

Dan ketika semuanya selesai dan Kim-mou-eng bengong berseri-seri maka Cao Cun mundur dan Pendekar Rambut Emas berbisik, “Terima kasih, Cao Cun...”

Cao Cun semburat. Sekarang mereka duduk berhadapan, Cao Cun sudah menguasai diri dan berhasil menenangkan guncangannya. Dua mata kembali beradu pandang tapi Cao Cun mulai tahan, Kim-mou-eng melihat sesuatu yang menggetarkan di bola mata wanita itu. Sesuatu yang agung, anggun. Sinar kemesraan mulai lenyap dan sikap seorang ratu tampak di sini. Cao Cun rupanya mengingatkan diri sedemikian rupa bahwa dia adalah isteri Raja Hu, bukan lagi wanita tak terikat seperti di Istana Dingin. Dia adalah isteri orang, “ibu negara” bangsa Siung-nu. Dan ketika tarikan bibir itu juga mulai mengeras dan Cao Cun bersikap tegak maka pertanyaan yang meluncur dari mulut wanita ini sudah berbeda lagunya daripada tadi, lagu seorang wanita agung yang ingin menegakkan harkat dirinya.

“Kim twako, apa yang kau inginkan dariku? Apa yang kaukehendaki hingga jauh jauh datang ke sini? Aku sudah menyatu dengan bangsa Siung-nu, twako. Jadi kalau kau hendak membawaku pergi dari sini adalah tidak mungkin, aku isteri Raja Hu!”

Tekanan suara ini memiliki intonasi kuat. Kim-mou-eng mengangguk, menelan ludah, mengetahui kedudukannya dan kedudukan Cao Cun. Memang gadis itu sudah menjadi isteri orang, tak layak mereka membicarakan masalah cinta. Itu telah lewat. Masing-masing sudah dipisah jarak oleh pagar etika, dan dia pun memang tak ingin memikirkan urusan cinta. Kim-mou-eng datang untuk minta maaf, itu intinya.

Maka ketika Cao Cun bertanya apa maksud kedatangannya dan kenapa jauh'jauh dia mengejar wanita ini maka Pendekar Rambut Emas menarik napas dan berkata jujur, “Aku datang untuk menyatakan penyesalan ku, Cun moi. Aku datang untuk meminta maaf. Aku telah mendengar semua ceritamu dari ayah mu.”

Cao Cun tersenyum. “Aku telah memaafkanmu. Apa yang terjadi memang sudah menjadi kodratku, aku tak menyalahkan siapa-siapa.”

“Tapi aku merasa berdosa, Cun-moi. Kalau saja aku cepat membebaskanmu dari Istana Dingin tentu tak akan terjadi semuanya ini. Aku menyesal, aku terlibat urusan bertubi-tubi yang membuat aku tak sempat menengokmu di sana!”

“Sudahlah, aku percaya, twako. Dan sebaiknya urusan ini tak perlu dibicarakan lagi. Nasi telah menjadi bubur, kita sama-sama tak dapat menariknya lagi dan sebaiknya kita lupakan kenangan kita dulu.”

“Tentu, tapi kau tentu sakit hati, Cun moi. Barangkali ada hal-hal yang telah membuatmu berprasangka buruk kepadaku. Aku ingin menjelaskan semuanya ini agar salah paham di antara kita hapus “

“Hm!” Wan Hoa tiba-tiba mengejek. “Kau enak saja menyatakan maaf dan pura pura bersikap bersih, Kim-mou-eng. Padahal apa yang kaulakukan terhadap keponakan Ma-yang sungguh tak dapat diampuni!”

“Keponakan siapa?” Kim-mou-eng terkejut. “Ma-yang? Siapa Ma-yang ini?”

Mendadak, Wan Hoa melompat bangun. “Kim-mou-eng, untuk apa berpura-pura lagi di depan kami? Untuk apa bertanya siapa Ma-yang ini? Bukankah kau tahu dia dayang istana? Bukankah kau telah bertemu keponakannya dan berkata yang membuat sahabatku hampir gila oleh hinaanmu yang tidak bertanggung jawab itu? Bukankah kau mengatakan bahwa cintamu terhadap Cao Cun hanyalah palsu belaka untuk kedok permainanmu yang tidak berperikemanusiaan? Kau laki-laki yang tak tanggung-tanggung menyakiti wanita, Kim-mou-eng. Kau pria jempolan yang pandai merata binasakan cinta suci seorang wanita!”

“Wut...!” Kim-mou-eng tiba-tiba mencelat dari tempat duduknya, mencengkeram pundak Wan Hoa. “Apa kau bilang, Wan Hoa? Apa kau bilang dengan semua kata-katamu ini? Aku bertemu keponakan Ma-yang? Aku mengatakan bahwa aku mempermainkan Cao Cun?”

“Ya!” Wan Hoa meringis, membentak galak, tak menghiraukan rasa sakit. “Kau terang-terangan mempermainkan Cao Cun, Kim-mou-eng. Kau menghancur binasakan cintanya dengan ucapanmu yang amat berbisa!”

“Ucapan apa? Yang bagaimana?”

“Hm!” Wan Hoa masih beringas, galak. “Kau menyatakan bahwa cintamu terhadap Cao Cun hanya sekedar penghibur saja, Kim-mou-eng. Bahwa cintamu hanya untuk sumoimu itu dan kau menyakiti sahabatku. Kalau kau memang tidak mencinta Cao Cun tak perlu kau membujuk rayunya sedemikian rupa. Kau laki-laki tak bermoral dengan menyepelekan begitu saja cinta suci sahabatku yang agung. Kau manusia hina, terkutuk kau di api neraka!”

“Wan Hoa....!” Cao Cun tiba-tiba menjerit. “Jangan omongkan kutukan itu, jangan ungkit-ungkit lagi apa yang telah lewat. Aku memaafkan semua perbuatannya, biarlah yang sudah berlalu sudah. Aku tak ingin mendengar lagi semua benci dan kemarahanmu!”

“Biarlah, aku memang benci dan sengit pada orang yang bernama Pendekar Rambut Emas ini, Cao Cun. Aku memang muak dan benci kepada semua perbuatannya. Kau telah dihinanya setinggi gunung, aku tak terima dan ingin mengutuknya habis-habisan!”

“Tidak, jangan, Wan Hoa. Diam, jangan katakan apa-apa lagi dan biarkan hati yang sudah sembuh ini tak terluka!” Cao Cun bangkit berdiri, menubruk sahabatnya itu tapi Wan Hoa masih memaki-maki Pendekar Rambut Emas.

Kim-mou-eng sendiri pucat dan menggigil mendengar kutuk dan serapah gadis itu. Bukan main. Wan Hoa memakinya habis-habisan sebagai laki-laki yang tak menepati janji, laki-laki tak bertanggung jawab dan amat hina mempermainkan cinta Cao Cun yang agung. Semuanya itu diucapkan gadis ini dengan berapi api dan ganas. Kata demi kata menusuk perasaan Kim-mou-eng bagai pedang beracun yang sudah berkarat.

Dan ketika Wan Hoa kembali mengungkit-ungkit masalah dayang istana dan Kim-mou-eng dituduh tak berperikemanusiaan dengan melontarkan kata-kata menyakitkan tentang cintanya yang palsu terhadap Cao Cun mendadak Pendekar Rambut Emas ini menampar Wan Hoa menggeram marah. “Bohong, keparat kau... Aku tak mengenal sama sekali dayang bernama Ma ini, Wan Hoa. Sumpah demi Langit dan Bumi aku tak mengatakan apa-apa pada dayang yang tak kukenal itu. Kau melepas omongan busuk, atau dayang itu yang telah mempermainkan kalian dan merusak namaku...plak-plak!”

Wan Hoa terbanting roboh, menjerit dan sudah ditubruk Cao Cun yang menangis tersedu-sedu. Wanita ini bingung dan marah akan apa yang terjadi. Yang satu sahabat sedang yang lain adalah orang yang dicinta lahir batin, meskipun kini dengan sekuat tenaga Cao Cun berusaha mengusir api cinta itu. Dan ketika Wan Hoa ditampar dan untuk pertama kalinya Kim-mou-eng menggereng bagai seekor singa kelaparan mendadak Cao Cun berbalik sikap dan menghadapi Pendekar Rambut Emas itu, membentak penuh kemarahan,

“Kim-mou-eng, ini rumahku. Ini adalah tempat tinggalku dan Wan Hoa adalah sahabatku. Berani kau menamparnya dan berkata dia mengeluarkan omongan busuk? Ma-yang memang mengatakan semuanya itu, Kim-mou-eng. Dan aku sebagai yang bersangkutan mendengar kata-katanya sendiri. Aku pun berani bersumpah demi langit dan bumi, aku tak dapat menerima tindakanmu terhadap sahabatku dan kau enyahlah.... Plak... plakk!”

Cao Cun ganti menampar wajah pendekar itu, Kim-mou-eng terbelalak dan terhuyung. Hampir dia tak percaya pada apa yang dilihat Cao Cun, gadis yang begitu lembut dan biasanya amat tunduk kepadanya mendadak menamparnya, membalas tamparannya terhadap Wan Hoa. Wan Hoa sendiri tertegun melihat kejadian itu. Empat mata terbelalak. Tapi ketika Kim-mou-eng sadar dan terhuyung menerima tamparan Cao Cun mendadak pendekar ini tersedak mengusap dua titik air matanya yang jatuh di pipi, gemetar.

“Cao Cun, kau menamparku sebagai balas dendam? Kau memaki aku untuk pelampias sakit hatimu? Baiklah, kuterima semuanya ini, Cun-moi. Tapi sumpah demi nenek moyangku aku akan mencari dan membawa dayang jahanam itu. Aku akan menunjukkan kepada kalian bahwa aku tak tahu menahu urusan ini. Kalian tunggu beberapa hari, aku akan kembali dan membawa dayang itu”

“Wuut!” dan Kim-mou-eng yang lenyap berkelebat dengan rintihan memilukan tiba-tiba menyadarkan Cao Cun dan membuat wanita ini menangis mengguguk, pandangan terasa gelap dan Cao Cun tiba-tiba roboh. Wanita ini hampir pingsan melihat apa yang dia lakukan, dia telah melontarkan kata-kata menyakitkan terhadap Pendekar Rambut Emas, pria yang sesungguhnya dia cinta dan merupakan pria pertama yang menjatuhkan hatinya, pria yang dia kagumi dan hormati.

Maka begitu pria itu mengeluh dan untuk pertama kalinya pula Cao Cun melihat Kim-mou-eng menangis mendadak wanita ini tak kuat dan mengeluh memanggil Wan Hoa, mengguguk dan sudah ditubruk sahabatnya itu. Mereka berangkulan, air mata sama sama membanjir dan dua sahahat ini merintih. Mereka memang berdarah, hati mereka sedang berdarah. Dan ketika mereka bertangis-tangisan dan Cao Cun serta Wan Hoa saling peluk tiba-tiba dari dalam terdengar tangis bayi, anak Cao Cun rupanya menangis dan buru buru wanita ini berlari.

Wan Hoa mengejar dan menyusul. Bayi yang masih kecil itu rupanya tahu kedukaan ibunya, ikut terguncang dan kini menangis pula, tak kalah ramai dengan Cao Cun. Dan ketika Cao Cun terengah menyusui bayinya dan Wan Hoa mendekap serta mengguguk memeluk bayi laki-laki itu maka di lain pihak Kim-mou-eng sendiri sudah berkelebat lenyap dan terbang menuju ke kota raja.

Omongan Wan Hoa tentang Ma-yang, sungguh membuat pendekar ini terkejut. Hampir dia menganggap gadis itu memfitnah kalau Cao Cun tidak berdiri di belakang, mengakui dan mendukung sahabatnya. Dan karena semua ini memerahkan telinganya dan Kim-mou-eng gusar bukan kepalang maka perjalanan panjang yang seharusnya diseling istirahat tak dilakukan pendekar ini.

Kim mou-eng terus bergerak dan terbang menuju selatan, seluruh ilmu lari cepatnya dikerahkan hingga bayangannya melesat seperti iblis. Hampir-hampir tak kelihatan. Dan ketika dua hari kemudian dia tiba di kota raja dan langsung memasuki kembali istana dan mengorak-abrik para dayang akhirnya dengan muka beringas dan kotor penuh debu diketemukannya dayang itu, dayang yang memang ada hubungannya dengan Mao-taijin, si menteri dorna.

“Kau melakukan fitnah apa terhadap diriku? Kau mengeluarkan omongan busuk apa saja terhadap Cao Cun mengenai diriku?” begitu Kim-mou-eng menerkam dayang ini, membentak dan membuat si dayarg ketakutan.

Dayang ini nyaris pingsan. Kedatangan dan sikap Kim-mou-eng yang begitu buas membuat dayang ini lumpuh, tiba-tiba tak dapat menjawab, seluruh tubuh menggigil. Dan ketika Kim-mou-eng membentaknya lagi dan menyuruh dia bicara mendadak dayang yang sudah seakan terbang nyawanya ini mengeluh. “Ampun.... ampun... aku tak mengerti apa yang kau maksud, taihiap... aku tak mengerti dosa apa yang telah kulakukan kepadamu...!”

“Bohong! Kau menipu. Kau telah menghasut omongan busuk kepada Cao Cun. Kau menjelek-jelekkan aku di hadapan gadis itu!”

“Cao Cun siapa, taihiap? Gadis mana?” dayang ini gugup, bingung dan lupa pada Cao Cun karena Cao Cun di Istana Dingin lebih dikenal sebagai Wang siocia (nona Wang), ayahnya yang bupati itu lebih mengakrabkan panggilan Cao Cun sebagai Wang-siocia, jadi dayang ini lupa sejenak dan benar benar tidak tahu.

Kim-mou-eng marah dan mencengkeram tengkuk dayang itu, menjepitnya seperti besi panas. Dan ketika dayang itu mengaduh-aduh dan kesakitan minta di lepas maka Kim-mou-eng membentak, “Yang kumaksud adalah puteri Wang-taijin, Wang Cao Cun. Kau tentu tak mengingkari, bukan? Atau hidungmu ingin kupencet?”

Kim-mou-eng mengerahkan sinkangnya, jari-jari berkerotok dan tiba-tiba berwarna merah seperti api, tentu saja dayang itu kaget dan menjerit tertahan. Tiba-tiba celananya basah! Dan ketika Kim-mou-eng menghardik dan menyuruh dayang itu mengaku akhirnya dengan tangis beriba-iba dayang ini berkata, “Be... benar... aku salah, taihiap. Aku mengakui itu dan jangan bunuh aku. Aku pun hanya alat... aku...!.”

“Kau sudah mengaku?” Kim-mou-eng tak sabar, memotong. “Kau sekarang berani mengakui ini di depan Wang siocia? Kalau begitu baik, sekarang juga kau ikut aku ke bangsa Siung-nu!”

Dan Kim-mou-eng yang berkelebat tak menunggu penjelasan dayang itu tentang Mao-taijin sudah berlari cepat dan kembali meninggalkan istana, terbang dan kembali ke perkemahan bangsa Siung-nu. Perjalanan pulang balik berkali-kali begini dilakukan Kim-mou-eng hampir tujuh hari, tak heran kalau pakaiannya penuh keringat dan nyaris dekil. Bau apek dan kecut tak dihiraukan sama sekali. Dan ketika dia tiba di perkemahan itu dan Cao Cun serta Wan Hoa terbelalak melibat keadaan Kim-mou-eng maka pendekar ini sudah membanting Ma-yang di depan dua wanita itu.

“Nah, sekarang kita buktikan baik-baik. Wan Hoa. Aku yang jahanam atau siluman ini!”

Ma-yang mengeluh, tersungkur dan sudah menangis didepan dua wanita itu. Tentu saja dia mengenal Cao Cun, juga Wan Hoa, pucat dan lemas karena belum apa-apa dia sudah “down”, jatuh keberaniannya dan dua hari ini tak mampu makan minum dengan baik. Sikap Kim-mou-eng yang begitu beringas membuat dayang ini ketakutan, lagi-lagi untuk kesekian kali dia merasa nyawanya di ujung tanduk. Dan ketika Kim-mou-eng menyuruh dia bangun dan dayang ini tersedu-sedu maka dayang itu mendapat bentakan bengis,

“Sekarang katakan pada mereka apa yang sesungguhnya terjadi. Benarkah kau menyuruh keponakanmu dan bicara seperti yang kau katakan kepada Cao Cun?”

“Ampun...!” dayang ini menggigil. “Aku... aku hanya alat, Kim-taihiap... aku hanya melakukan perintah dari atas...”

“Tak perlu macam-macam. Sekarang katakan betulkah kau menyuruh keponakanmu mencariku dan aku bertemu keponakanmu itu?”

“Tidak... tidak betul...”

“Dan betulkah kau mengatakan yang macam-macam kepada keponakanmu itu sesuai pemberitahuanmu terhadap Cao Cun?”

“Tidak... tidak... ampun, taihiap... aku...”

“Dess!” dayang ini mencelat, Kim-mou-eng telah menendangnya sebegitu rupa hingga Ma-yang menjerit, terpental dan menumbuk dinding kemah hingga membalik, persis bola saja dan ketika dia menangis tak keruan dan Kim-mou-eng berkelebat mencengkeram tengkuknya maka pendekar itu sudah berkata,

“Nah, sekarang ceritakan semuanya kepada Cao Cun, dayang hina. Bersihkan namaku dan katakan kenapa kau demikian keji merusak namaku padahal selamanya aku tak pernah mengenalmu... bruk!” dan Kim-mou-eng yang melempar dayang itu di kaki Cao Cun akhirnya membuat dayang ini meledak tangisnya dan mengguguk memeluk kaki Cao Cun.

“Wang-siocia, ampunkan aku... aku bersalah. Memang apa yang pernah kukatakan padamu itu adalah bohong. Aku tak pernah mengirim keponakanku mencari Kim-taihiap. Kim-taihiap tak bersalah, aku mohon ampun dan sukalah kau membebaskan aku dari kemarahannya...!”

Cao Cun mengerutkan kening. “Jadi kau memfitnah?”

Dayang ini menangis, tersedu-sedu, mengangguk berulang-ulang dan tak dapat meneruskan kata-katanya. Sinar penuh kemarahan dari Kim-mou-eng membuat dayang ini ketakutan hebat. Cao Cun tertegun dan menjublak mendengar itu, begitu pula Wan Hoa. Tiba-tiba mereka saling pandang dan rasa penyesalan besar membayang dimuka Wan Hoa. Gadis inilah yaag paling sengit mencaci Kim-mou-eng, dialah yang paling agresip dan kasar menuduh Kim-mou-eng. Menganggap pendekar itu tak dapat dipercaya dan merendahkan cinta yang agung. Wan Hoa tiba-tiba pucat dan mulai khawatir terhadap diri sendiri, diguncang rasa berdosa yang mengganggu.

Dan ketika Wan Hoa mulai cemas sementara Ma-yang tersedu dalam tangisnya yang tak pernah reda mendadak gadis ini meloncat mencengkeram dayang itu. “Ma-yang, selama ini kau menghibur dan baik-baik kepada kami. Kaulah yang membesar-besarkan hati kami dengan penantian Kim-mou-eng. Kini kau bicara begitu rupa, apakah semuanya ini benar atau kau dipaksa Pendekar Rambut Emas itu?”

Kim-mou-eng terkejut. Cao Cun juga terkejut, kiranya Wan Hoa ini masih curiga dan sebersit syak wasangka rupanya masih membuat gadis itu tak gampang percaya. Kini dia menanya dayang itu dan pertanyaannya jelas menaruh kecurigaan tak terselubung. Cao Cun sendiri tak ada pikiran atau dugaan ke situ. Wan Hoa terang-terangan ingin mengorek pengakuan dayang itu secara tuntas. Tentu saja Kim-mou eng merah mukanya dan marah memandang gadis itu.

Tapi karena Wan Hoa memiliki hak itu dan boleh bertanya apa saja kepada si dayang maka Kim-mou-eng menunggu dan berdebar memperhatikan dayang itu, betapapun dia was-was kalau Ma-yang main gila. Persoalan yang hampir selesai tiba-tiba bisa menjadi mentah kembali kalau dayang ini mengatakan yang tidak-tidak, bahwa dia “dikompres” Kim-mou-eng misalnya.

Tapi Ma-yang yang rupanya tak ingin mengulang kesalahan dan mengguguk di depan Wan Hoa ternyata menggeleng kepala. “Tidak... tidak, Lie-siocia. Aku tak dipaksa Kim-taihiap dan mengaku sejujurnya...”

“Kalau begitu kenapa kau menjelek-jelekkan Kim-mou-eng? Bukankah Kim-mou-eng selamanya tak pernah mengganggu dirimu?”

Ini pun pertanyaan yang membersitkan curiga. Wan Hoa rupanya tak mau menyerah begitu saja mengenai masalah ini, mendorong dan memaksa diri untuk melawan rasa bersalah kalau Kim-mou-eng ternyata benar. Dia terlanjur bermain basah. Dan ketika Cao Cun kembali mengerutkan kening dan menganggap pertanyaan temannya masuk batas wajar dalam usahanya mengorek sesuatu maka Ma-yang mulai menjelaskan duduk perkaranya, kini mendapat kesempatan untuk membela diri.

“Aku memang tak ada permusuhan dengan Kim-taihiap, siocia. Tapi Sam-thaikam dan Mao-taijin memiliki permusuhan itu. Aku disuruh Sam-thaikam untuk berbuat semua kebohongan itu sementara Sam-thaikam sendiri diminta Mao-taijin untuk memfitnah Kim-taihiap. Jelasnya, aku hanya alat dan terpaksa membujuk Wang siocia atas perintah mereka.”

Wan Hoa pucat. “Sam-thaikam? Mao-taijin?”

“Ya, mereka itulah yang menyuruhku, siocia. Karena itu aku hanya alat dan ampunkan semua dosa dosaku.”

“Oooh..!” Wan Hoa terhuyung, melepaskan dayang itu dan kini pucat memandang Kim-mou-eng. Dayang itu sudah menceritakan pada mereka apa yang sesungguhnya terjadi, kali ini Ma-yang bicara jujur. Apa saja yang diragukan Wan Hoa boleh ditanyakan, kian lama gadis itu kian membelalakkan matanya.

Dan ketika semuanya selesai dan Wan Hoa mendekap dadanya maka ganti Kim-mou-eng yang menceritakan semua kisahnya, kesukaran kesukarannya dan halangan apa saja yang membuat dia tak dapat menengok Cao Cun di Istana Dingin. Betapa urusan bangsanya tentang Bi Nio membuat pusing, kaisar dituduh menghina bangsa Tar-tar dan karena itu Kim-mou-eng harus bertindak. Kematian Gurba membuat pendekar ini menjadi pemimpin bangsanya, menggantikan suhengnya itu dan Kim-mou-eng menjelaskan tanpa sedikit pun mengurangi atau menambahi semuanya diceritakan gamblang.

Dan ketika dia bicara tentang Sam-kong-kiam dan kini dikejar-kejar orang kang-ouw bahkan sumoinya pun memusuhinya hingga membuat Kim-mou-eng tak dapat memikirkan Cao Cun maka semua cerita ini seketika membersihkan nama Pendekar Rambut Emas itu dan Wan Hoa terisak, Cao Cun sendiri tertegun dan kian lama kian terharu.

Benar kiranya kepercayaan hatinya sendiri. Bahwa Kim-mou-eng bukanlah pendekar “imitasi” dan gangguan-gangguan pendekar itu memang berat. Kim-mou-eng harus menghadapinya seorang diri. Kekaguman dan cinta Cao Cun tiba-tiba muncul, wanita ini mendadak mengalirkan air mata dengan deras. Kini jelaslah sudah apa yang sesungguhnya terjadi. Bahwa lagi-lagi Mao-taijin berdiri di balik semuanya ini, menjadi dalang dari semuanya ini dan Cao Cun disambar keharuan besar melihat kesulitan-kesulitan sang dihadapi pria pujaannya. Begitu besar keharuan ini hingga Cao Cun terisak, menangis dan sudah menubruk Kim-mou-eng.

Dan ketika Wan Hoa mendelong dan merah pucat melihat sedikit pun Pendekar Rambut Emas tak dapat disalahkan maka Cao Cun sudah mengguguk menciumi wajah pendekar itu, ambrol dan lupa diri sendiri yang sudah menjadi isteri orang. “Kim-twako, maafkan kami. Kiranya kau benar-benar tak bersalah. Mao taijin lagi-lagi men jadi dalang dari semua kisah kita. Aduh, aku menyesal atas kesan jelek yang selama ini melekat di hati kami, twako. Kau maafkanlah kami berdua dan biar kelak kami berdua menjadi pelayanmu!”

Cao Cun mengguguk, menciumi perdekar itu dan mengusap air matanya dengan baju Kim-mou-eng yang dekil, tak perduli baunya dan berulang-ulang mengusap tanpa henti. Air mata wanita itu mengulirkan semacam kehangatan di hati Kim-mou-eng, merembes dan masuk sampai ke relung hati yang paling dalam.

Kim-mou-eng tersenyum penuh bahagia, senyum nikmat, senyum puas. Dia merasa berada di awang-awang yang paling indah dipeluk wanita ini. Sekarang namanya sudah bersih, rasa geram kini tertumpah pada Mao-taijin. Keparat si menteri dorna itu. Tapi ketika Cao Cun mengguguk dan menciumi dirinya mendadak tangis seorang bayi mengganggu mereka dan seorang wanita Siung-nu muncul dengan muka pucat, membopong Ituci Yashi.

“Hujin, anakmu minta mimik...!”

Cao Cun dan Kim--mou-eng kaget. Mereka berdua tiba-tiba sama sadar, Wan Hoa sudah berlari menyambar bayi laki-laki itu. Dialah yang seharusnya merawat, menyerahkannya pada Cao Cun dan Cao Cun melepaskan Kim-mou-eng. Semua orang tiba-tiba dihentak ke alam kenyataan yang lain. Kim-mou-eng tiba-tiba menggigit bibir dan menahan semacam luka di hatinya. Entahlah, melihat Cao Cun menyusui bayinya tiba-tiba membuat peadekar ini memejamkan mata. Ada semacam gangguan tidak enak di hati.

Dan ketika Cao Cun menerima bayinya dan sudah menenangkan bayinya yang menangis itu dengan sesapan buah dadanya maka tanpa diketahui seorang pun tiba-tiba Kim-mou-eng lenyap berkelebat. Pendekar ini tak mau diganggu perasaan bermacam-macam lagi, merasa urusannya selesai dan Ma-yang ditinggal di situ. Namanya telah bersih kembali, itu yang pokok. Cao Cun dan lain-lain tak tahu kalau Pendekar Rambut Emas ini telah meninggalkan kemah. Mereka semua sibuk oleh tangis si bayi yang minta mimik ibunya.

Dan ketika bayi itu sudah tenang kembali dan Cao Cun serta Wan Hoa sadar maka pertama-tama yang mencari Pendekar Rambut Emas itu adalah gadis ini, ingin meminta maaf dan menyatakan penyesalannya Wan Hoa malu tapi ingin mengakui kekalahan, betapapun Wan Hoa adalah gadis jujur. Tapi ketika tak dilihatnya lagi pendekar itu di situ tiba-tiba Wan Hoa terpekik dan kaget.

“Dia tak ada...!”

Cao Cun terkejut. Dia menoleh dan tak melihat lagi pendekar itu di situ, semuanya mencari namun gagal. Wan Hoa merasa kecewa dan tiba-tiba menangis, keluar dan mencari-cari Kim-mou-eng ke sana ke mari. Namun ketika disadarinya bahwa Kim-mou-eng tak ada lagi di situ dan Pendekar Rambut Emas lenyap sebelum dia menyatakan maafnya tiba-tiba Wan Hoa mengguguk dan meledak tangisnya.

“Kim-mou-eng, maafkan aku... maafkan aku...!” Wan Hoa berputar-putar, tak menemukan dan akhirnya jatuh terduduk di luar kemah, Coa Cun dan lain-lain sibuk menghibur gadis ini. Dan ketika Wan Hoa menubruk dan dipeluk Cao Cun maka wanita ini berkata.

“Sudahlah, aku telah mintakan maaf bagi kita berdua. Wan Hoa. Tak perlu menyesal dan bangunlah, Kim-twako telah memaafkan kita berdua, kau dan aku.”

“Tapi aku ingin menyatakan penyesalanku dengan mulutku sendiri, Cao Cun. Aku tak puas dan akan selalu dikejar-kejar rasa berdosa bila belum melakukan itu!”

“Tapi Kim-twako tak ada disini. Tanpa keinginannya tak mungkin kita bakal bertemu dengannya!”

“Itulah! Itu yang membuat aku kecewa, Cao Cun. Kalau saja tadi... ah, sudahlah, aku memang tak beruntung...” dan Wan Hoa yang menangis lagi di pelukan Cao Cun akhirnya menahan kata-katanya yang hendak mengatakan saling peluk antara Cao Cun dan Pendekar Rambut Emas tadi, bahwa itu yang membuat dia kehilangan kesempatan. Wan Hoa jadi menyalahkan diri sendiri dan berkali-kali menampari mulutnya. Dia merasa berdosa dengan mulutnya yang tajam itu, yang suka ”menyengat” Kim-mou-eng dengan kata-kata pedas.

Cao Cun tentu saja tak membiarkan sahabatnya berduka terus. Dan ketika dia menghibur dan berkala bahwa sebaiknya Wan Hoa menemaninya di kamar untuk menenangkan Ituci Yashi yang lagi-lagi menangis karena ngeri mendengar ribut-ribut itu akhirnya Wan Hoa menurut dan sadar menghentikan tangisnya, digandeng dan sudah menemani Cao Cun ke kamar pribadi. Di sini tanpa terdengar siapa pun mereka menumpahkan air mata, keduanya sama-sama menyesal.

Dan karena Kim-mou-eng telah pergi dan tak mungkin mereka bertemu pendekar itu kalau tidak atas kehendak Kim-mou-eng sendiri maka Wan Hoa melepas sesalnya dengan puasa tujuh hari melakukan puasa dan doa untuk keselamatan Kim-mou-eng. Semoga pendekar itu mau memaafkannya dan diberi selamat oleh dewa yang agung.

Cao Cun terharu dan mendekap sahabatnya ini. Kedukaan Wan Hoa berarti kedukaan dirinya pula. Dan ketika Wan Hoa mulai tenang dan dapat dibujuk untuk menerima semua kisah mereka sebagaimana adanya akhirnya Wan Hoa dapat menerima semuanya itu dan kembali mendampingi Cao Cun sebagaimana biasa, merawat dan memelihara keponakannya yang mungil, ltuci Yashi, Cao Cun sudah dianggap seperti saudara sendiri dan hubungan mereka memang melebihi saudara, itulah sebabnya anak laki-laki Cao Cun ini dianggap sebagai keponakannya pula.

Wan Hoa tak memperdulikan hubungan darah, anak Cao Cun dianggap seperti anak atau keponakannya sendiri. Dan karena Wan Hoa mulai tenang dan sedikit-sedikit mulai dapat tersenyum dan bermain-main bersama bayi laki-laki itu maka Cao Cun merasa lega dan tenang pula. Mereka berdua seolah dapat melupakan kejadian itu, di lahir tak tampak. Tapi Cao Cun yang sesekali memergoki Wan Hoa menangis sendiri di kamarnya dapat menduga bahwa penyesalan Wan Hoa belum tuntas dan karena itu ingin menemui Kim-mou-eng dan siap mengutus seseorang untuk mencari pendekar itu! Tapi, berhasilkah kiranya? Cao Cun sendiri sering menghela napas panjang.

* * * * * * * *

Hari itu dua pembesar itu sama-sama duduk berhadapan. Mereka sama-sama muram, yang satu menyilangkan kaki dengan gelisah sedangkan yang lain mengepal tinju dan melotot gemas.

“Jadi Ma-yang diculik Kim-mou-eng, taijin?”

“Ya, itu yang kudengar dari pengawalku, taijin. Dan sampai sekarang dayang itu tak kembali juga. Aku khawatir bahwa dia akan membuka rahasia.”

“Tentu. Kim-mou-eng pasti memaksanya. Keparat Pendekar Rambut Emis itu!” dan pembesar pertama yang bangkit berdiri tiba-tiba memanggil seseorang dan kakek bercakar baja muncul di situ, berkelebat dan sudah membungkuk memberi hormat.

“Ada perintah, taijin?”

“Tidak, hanya aku ingin mengajakmu bercakap-cakap. Duduklah!” pembesar itu mempersilahkan kakek ini, mata berputaran tak tenang dan kembali dia memandang temannya, pembesar kedua yaug selalu menyilang-nyilangkan kaki itu. Dan ketika mereka saling pandang dan kakek bercakar baja ini bingung maka pembesar pertama, yang bukan lain Mao-taijin adanya berkata,

“Lojin, apa yang harus kulakukan kalau Pendekar Rambat Emas itu ke sini? Apakah pengawal di luar cukup ketat berjaga?”

“Hamba mengerahkan tiga ratus pengawal pendam, taijin. Keadaan di luar tak perlu menggelisahkan paduka dan cukup aman. Hamba berani jamin.”

“Tapi pengawal saja tak cukup. Kita harus mempunyai pembantu andalan. Bagaimana pendapatmu, taijin?”

Mao-taijin menoleh pada temannya, pembesar gendut yang bukan lain Sam-thaikam adanya, pembesar kebiri yang menjadi kepala di Istana Dingin. Hari itu pembesar kebiri itu menceritakan hilangnya Ma-yang, memberitahu bahwa Kim-mou-eng datang menculik dayang ini, tentu ada hubungan dengan Wang-siocia.

Mao taijin terkejut dan pucat mendengar itu. Dan karena kepandaian Kim-mou-eng selalu menggetarkan orang dan menteri ini kecut atas pembalasan pendekar itu maka dia mau berjaga-jaga dan mengajak Sam-thaikam ini bicara. Tentu saja mau menyelamatkan diri sendiri dan bersiap-siap kalau Kim-mou-eng datang. Sam-thaikam memaklumi, bahkan thaikam ini pun juga kecut kalau Kim-mou-eng sampai mencarinya pula, dia akan dituntut tanggung jawabnya. Maka ketika Mao-taijin bertanya bagaimana pendapatnya kalau mereka memiliki pembantu andalan tiba tiba pembesar ini menggangguk.

“Benar, kita harus memiliki pembantu yang dapat dipercaya, taijin. Aku sependapat denganmu tapi tak tahu siapa orangnya yang dapat di jadikan pembantu itu. Apakah Lo-jin dapat memberi tahu kami?”

Sin-kee Lojin, kakek bercakar baja itu semburat. Sebenarnya omongan ini sama dengan ketidakpercayaan dua pembesar itu kepadanya. Sin-kee Lo-jin memang tak dapat mengalahkan Kim-mou-eng. Maka ketika orang bertanya kepadanya dan sedikit atau banyak kakek ini merasa bersalah tak dapat melindungi majikannya maka Sin-kee Lo-jin berpikir keras memberikan jawaban.

“Hamba sendiri belum mengetahui orangnya, taijin. Tapi beberapa hari ini hamba mendengar kabar munculnya dua orang sakti dari Bhutan, juga munculnya Siauw-bin-kwi yang hamba kira tewas beberapa waktu yang lalu!”

“Siauw-bin-kwi? Dia masih hidup?”

“Ya, dan bersama dua tokoh Bhutan, taijin. Tapi di mana mereka sekarang hamba tidak tahu.”

“Celaka, sialan!” dan Mao-taijin yang membanting kaki dengan gemas tiba tiba membelalakkan mata. “Eh, Lo-jin, kau bicara menyebut2 dua tokoh Bhutan. Siapa mereka ini dan bagaimana pula kepandainnya?”

“Mereka sakti, taijin Hamba mendengar mereka tak kalah sakti dengan Siauw-bin-kwi!”

“Aku tak tanya itu, yang kumaksud adalah bagaimana jika mereka melawan Kim-mou-eng. Siauw bin-kwi sendiri tak dapat mengalahkan Kim-mou-eng!”

Sin-kee Lo-jin pucat. “Maaf, aku pribadi belum tahu benar, taijin. Tapi kalau mereka bersama Siauw-bin-kwi tentu kepandaian mereka hebat. Siauw-bin-kwi kabarnya cacad, dua kakinya buntung. Dua tokoh Bhutan ini selalu menyertai dan kabarnya hampir saja menangkap Kim-mou-eng sumoinya tertangkap dan ditawan dua orang Bhutan itu.”

“Tiat-ciang Sian-li tertangkap?” Mao-taijin melebarkan mata. “Dan mereka hampir membunuh Kim-mou-eng? Ah, bagus, Lojin. Agaknya ini yang kucari-cari dan temukan mereka. Suruh dua orang Bhutan itu ke mari dan bilang ribuan tail emas siap memandikan mereka!”

Menteri itu dilanda perasaan girang, tertawa bergelak dan merasa inilah berita bagus. Dua orang sakti itu boleh disuruh datang Sam-thaikam juga bersinar-sinar. Tapi teringat Siauw bin-kwi mendadak pembesar kebiri ini mengerutkan kening.

“Ah, agaknya tak gampang. Bagaimana kalau Bin-kwi ikut mereka?”

Mao taijin teriegun.

“Ingat,” Sam-thaikam melanjutkan lagi. “Bin-kwi dan kawan-kawannya itu tak dapat kita pergunakan, taijin. Mereka dahulu telah membantu mendiang Pangeran Muda dan menyerang kaisar. Kalau kita mempergunakan tenaga mereka dan kaisar tahu tentu kita repot. Sebaiknya kita, berpikir hati-hati agar tidak menyesal di kemudian hari.”

“Hmm,” Mao-tajin mengangguk-angguk, tertawa lebar. “Yang akan kita pergunakan adalah dua tokoh Bhutan itu, taijin. Bukan Bin-kwi atau teman-temannya. Aku sudah tahu bahwa mereka tak mungkin boleh menampakkan diri lagi di sini, tapi kalau dua tokoh Bhutan itu bukankah mereka masih baru? Agaknya ini persoalan kecil, bisa diatur!”

Sin-kee Lo-jin tersenyum. Orang-orang besar memang selalu begitu, selalu bilang bisa diatur dan entah istilah apalagi lainnya, yang pada pokoknya menggampangkan persoalan dan menganggap sesuatunya remeh. Memang tampaknya optimis tapi bisa juga mencelakakan diri sendiri kalau tidak hati-hati, semuanya ini saling kait-mengait.

Dan ketika majikannya tertawa lebar dan Sam-thaikam ikut tersenyum maka pembesar ini bertanya, “Baiklah, bagaimana kalau begitu, taijin? Maukah dua tokoh iiu datang ke mari? Aku masih menyangsikan jangan-jangan si Setan Ketawa itu pun akan ikut ke mari karena mereka adalah sahabat!”

“Kau jangan kecil hati,” Mao-taijin melepas tawanya. “Bukankah kita dapat menyuruh dua orang itu menghalangi Bin-kwi? Kalau mereka mau bekerja sama dengan kita tentu mereka harus melepas si Setan Ketawa itu, taijin. Kalau tidak tentu mana akan tahu kehadiran si Bin-kwi ini dan kita sama-sama repot. Yang penting sekarang adalah bagaimana mengundang mereka, menyuruh dua orang Bhutan itu ke mari. Dan agaknya Lo-jin dapat melakukan ini!”

Sin-kee Le-jin menelan ludah. “Hamba sanggup, taijin. Tapi orang-orang kang-ouw biasanya orang-orang yang tak gampang diatur. Mereka aneh, juga kadang-kadang bersikap di luar dugaan hingga kita harus waspada.”

“Sudahlah, kau sanggup mencari mereka, bukan?”

“Tentu saja.”

“Kalau begitu sekarang kau berangkat, katakan pada mereka bahwa selaksa tail emas menanti mereka ditambah sebuah kedudukan tinggi!”

Sin-kee Lo-jin mengangguk, bangkit berdiri dan mau melompat keluar. Tapi baru dia menggerakkan kaki melompat bangun tiba-tiba tiga bayangan berkelebat dan suara yang menggetarkan dinding ruangan terdengar di situ.

“Ha-ha, tak perlu mencari kami, taijin. Kami datang!” tiga bayangan susul-menyusul berdiri di situ, begitu cepat gerakan mereka dan Sin-kee Lojin maupun yang lain-lain bengong.

Sin-kee Lojin terkejut melihat kedatangan tamu-tamu tak diundang, matanya melotot. Tapi ketika dia melotot dan dikira marah mendadak seorang di antara tiga tamu ini mengibas. “Cakar Ayam, pergilah. Tak usah mendelik di sini!”

Sin-kee Lo-jin berteriak. Tiba-tiba dia disambar tenaga begitu hebat, terangkat dan terlempar keluar, coba menahan tapi tetap kalah juga. Dan ketika Ayam Sakti itu menjijit dan bergulingan di luar maka Mao-taijin berseru keras mengangkat lengannya.

“Tahan, jangan sakiti dia....!” dan pembesar kini yang sudah berdiri bersama Sam-thaikam lalu memandang tiga tamu itu dan tertegun, melihat dua kakek tinggi besar berjajar di sebelah seorang kakek buntung, keduanya menyeringai sementara kakek yang buntung itu tertawa. Dan ketika Mao-taijin terbelalak dan kaget mengenal si buntung itu maka Sam-thaikam mendahului berseru,

“Siauw bin-kwi!”

Siauw-bin-kwi tertawa gembira. Dia memang Siauw-bin-kwi adanya, bersama dua temannya yang bukan lain Bong Kak dan Ma Tung, dua tokoh Bhutan yang baru disebut-sebut itu. Dan ketika orang mengenalnya dan Siauw-bin-kwi mengetuk-ngetukkan tongkat bambunya maka iblis ini tertawa berseru menjawab, “Benar, aku, taijin. Kalian masih mengenal aku? Dan ini teman-temanku yang kalian bicarakan itu, siap menerima selaksa tail emas dan sebuah kedudukan tinggi!”

Mao-taijin pucat. Kiranya orang-orang ini telah mendengar pembicaraannya, padahal di luar katanya ada tiga ratus pengawal pendam. Bukti bahwa betapa lihainya orang-orang ini. Dapat masuk tanpa diketahui. Dan ketika pembesar itu tertegun dan Sin-kee Lojin mengeluh melompat masuk maka Bong Kak, tokoh yang tadi mengibaskan lengannya itu siap melempar si Ayam Sakti ini kembali, buru-buru dicegah Mao-taijin yang khawatir melihat pembantunya dibuat jungkir balik.

“Jangan... tahan. Biarkan dia di sini...!” lalu menghadapi Siauw-bin-kwi yang sudah dikenalnya duluan, pembesar ini berseru, “Bin-kwi, bagaimana kalian dapat tiba di sini? Siapa dua temanmu itu?”

“Ha-ha, mereka Bong Kak dan Ma Tung, taijin. Yang ini Bong Kak, yang itu Ma Tung. Kami datang karena mendengar tawaranmu yang manis. Sekarang kami tiba dan tiap menagih janji!”

“Tapi.... tapi....”

“Hmm...!” Bong Kak maju menyeringai lebar. “Kami bertiga sahabat sejak lama, taijin. Kalau kau menyuruh kami mengusir Bin-kwi hal itu tak dapat kami lakukan. Aku tahu maksudmu, kau hendak menyuruh kami menyingkirkan si Setan Ketawa ini, bukan? Tak dapat, kami tak dapat melakukan itu...!”

Pedang Tiga Dimensi Jilid 08

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 08
KARYA BATARA


Cerita Silat Online Mandarin Karya Batara
“BAIKLAH, maafkan aku, sumoi. Tapi aku tak ingin pembicaraan ini didengar orang lain. Ada seseorang di belakangmu!” dan persis Kim-mou-eng menghentikan kata-katanya mendadak bayangan yang dilihat Kim-mou-eng itu muncul.

“Ha-ha, tak perlu banyak bicara, nona. Bunuh dan serang suhengmu ini. Kubantu kau....”

“Srat!” dan sinar berkilau yang berwarna-warni menyilaukan mata mendadak membuat Kim-mou-eng tertegun dan terkejut mundur, melihat sebatang pedang ampuh dengan tiga warna yang begitu mentakjubkan, merah kuning dan hijau. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terbelalak memandang pedang ini maka dia semakin heran dan terkejut melihat si pemegang pedang Itu, seorang laki-laki berkedok yang rambutnya keemasan mirip dia.

“Bu-hiong...!” Inilah seruan Salima. Salima memang terkejut melihat kehadiran laki-laki ini. Sang Sam-kong-kiam ternyata datang tanpa diundang.

Kim-mou-eng terkejut dan terheran-heran, kini terbelalak melihat sumomya mengenal pendatang itu. Tapi begitu dia sadar akan kemilaunya sebatang pedang ampuh dan ingatannya tertuju pada Sam-kong kiam yang berarti Pedang Tiga Sinar mendadak Kim-mou-eng melompat mundur dan langsung pikirannya yang cerdiik dapat menangkap siapa pendatang ini. Sang pencuri!

“Kau si pembuat onar!” Kim-mou-eng langsung berseru, kagum tapi juga kaget melihat hawa yang luar biasa tajam terasa dari pedang yang digerak-gerakkan itu, hawa dingin yang terasa mengiris kulit. Barangkali seratus kali lebih tajam dibanding pisau cukur. Kim-mou-eng bergidik! Dan ketika orang itu tertawa dan sudah berdiri di samping Salima maka pencuri ini berseru dengan suaranya yang berderai,

“Benar, aku yang membuat onar, Kim-mou-eng. Akulah pencuri Sam-kong-kiam dan kini kau mengenal aku!”

Kim-mou-eng terbelalak. “Dan kau mengenal sumoiku?”

“Ha ha, sumoi mu gadis baik, Kim-mou-eng. Tentu saja aku mengenalnya dan bersimpati atas luka yang dideritanya dari semua perbuatanmu. Kau laki-laki tak dapat dipercaya, kau mengobral cinta di sana-sini dan penipu. Kau sekarang akan mati di tangan kami berdua untuk menebus dosamu. Hayo, serang laki-laki busuk ini, Tiat-ciang Sian-li. Kubantu kau dan kita bereskan dia berdua....”

“Sing!” pedang itu tiba-tiba berkelebat, Bu-hiong sudah menyambar dan Kim-mou-eng terkesiap melihat kilatan tajam dari gerakan pedang itu. Dia melompat mundur dan masih ragu, gerakannya ayal-ayalan dan laki-laki itu tertawa bergelak. Dan ketika dia menyerang lagi dan hawa dingin yang luar biasa tajam dari pedang itu menyambar-nyambar mendadak baju Kim-mou-eng tergores panjang disambar hawa pedang.

“Bret!” Kim-mou-eng kaget membanting tubuh bergulingan. Lawan berteriak kecewa dan menyerang lagi, kali ini sinar berkeredep membuat mata berkerut. Setengah menutup. Kim-mou-eng terkesiap karena lawan melenting tinggi, dan atas meluncur turun dan sudah menggerakkan pedang saling-menyilang empat kali, cepat dan ganas menuju bagian depan tubuhnya. Angin sambaran pedang itu saja sudah membuat baju Kim-mou-eng memberebet, lagi-lagi robek.

Kim-mou-eng tentu saja terkejut dan marah. Tapi karena dia sedang bergulingan dan lawan rupanya tak memberi kesempatan baginya untuk melompat bangun maka Kim-mou-eng mengulingkan diri lebih jauh dan pedang membacok tanah memercikkan bunga api, berpijar dan berkerontang membuat Kim-mou-eng ngeri.

Pedang Tiga Sinar itu betul-betul hebat. Dan ketika lawan berteriak tinggi dan hendak menyerang lagi maka Kim-mou-eng sudah melompat bangun, berseru keras, “Stop. tahan dulu. Tahan!”

Pedang di tangan pencuri itu berhenti. Dia tertawa bergelak membuat Kim-mou-eng geram, pendekar ini melihat sumoinya diam saja, berarti sumoinya membantu musuh. Kim-mou-eng menggigit bibir dan mengerahkan tenaga saktinya, matanya tiba-tiba mencorong dan uap kemerahan muncul di permukaan tubuh pendekar ini. Itulah hawa Tiat-lui-kang. Dan ketika lawan menyeringai dan Kim-mou-eng gusar maka pendekar ini membentak,

“Bu-hiong, kau pencuri hina yang menimpakan hasil perbuatanmu kepadaku? Dan sekarang kau menghasut sumoiku untuk memusuhiku? Apa maksudmu sebenarnya? Apa yang kau inginkan?”

“Ha ha, aku tak menginginkan apa-apa kecuali nyawamu, Kim-mou-eng. Aku sekedar membantu sumoimu ini yang telah kau tipu!”

“Tipu apa? Kau berani mencampuri urusan pribadi orang lain?”

“Ha ha, bagiku sumoi mu bukan orang lain, Kim-mou-eng. Aku telah manyelamatkan jiwanya dan sudah seperti sahabat. Tidak, bukan seperti sahabat melainkan sudah lebih dari itu. Dia adik ku, dia milikku!”

Kim-mou-eng terkejut. “Kau gila?” lalu memandang sumoinya yang memerah pipinya pendekar ini bertanya, “Sumoi, apakah dalam urusan pribadi ini kau memasukkan orang ketiga untuk menyudutkan aku? Benarkah terhadap pencuri pedang ini justeru kau membelanya dan siap memusuhi aku?”

Salima mendengus. “Aku tak minta si Bu-hiong ini mencampuri urusan kita, suheng. Tapi kalau dia membela ku karena merasa aku dipermainkan tentu saja aku tak menolaknya. Dia memang telah menyelamatkan jiwaku, aku tak dapat mengusirnya karena dia pun memusuhimu.”

“Tapi seharusnya aku yang memusuhi orang ini. Dia mencuri Sam-kong-kiam, dia merusak namaku dan seharusnya kau tahu. Kenapa membiarkan Bu-hiong ini memusuhiku dan kau tidak membela suhengmu? Apa artinya ini, sumoi? Kenapa kau menjadi gila seperti pencuri ini? Kau seharusnya menangkap pencuri ini, merampas pedangnya dan nenyerahkannya kepadaku. Kau tahu aku terfitnah dan si pemfitnah ini ada di depan mata. Tapi sekarang kau malah diam saja dan membiarkan aku diancam. Terlalu!”

Kim-mou-eng marah, tak habis pikir dan melotot memandang sumoinya itu. Tapi Salima yang balik merasa gusar dan mendelik pada suhengnya tiba-tiba maju ke depan, bendera kembali bergetar di tangan.

“Suheng, kau tak perlu banyak bicara. Kau seharusnya tahu apa yang menjadikan aku begini. Kau melukai hatiku. Kau laki-laki mata keranjang!“

“Ha-ha, betul, Tiat-ciang Sian-li.” Bu-hiong tertawa bergelak. “Dia memang mata keranjang dan karena itu kita bunuh saja. Ayo gerakkan benderamu, serang dan bunuh dia....”

“Singg!” dan pedang yang kembali menyambar mendahului Salima tiba-tiba berkelebat dan menusuk tujuh bagian titik berbahaya di tubuh Kim-mou-eng, begitu cepat dan bertubi-tubi hingga membuat Kim-mou-eng melompat tinggi, hawa pedang benar benar membuat dia seram. Begitu ganas. Dan ketika sumoinya hendak bergerak dan menyerang dia membantu pencuri ini maka Kim-mou-eng berteriak menggerakkan kakinya ke bawah, ketika melayang turun, menyambar dagu lawan yang saat itu sedang terhuyung.

“Sumoi, tunda dulu urusan kita. Biar aku menghadapi si hina ini kalau kau masih menghormatku sebagai saudara seperguruan!”

Salima ragu, merandek menahan benderanya, mata terbelalak dan Bu-hiong terkejut. kuatir gadis itu terpengaruh dan berseru agar Salima tak usah menghiraukan teriakan suhengnya itu. Mereka harus menyerang bersama agar pendekar ini cepat dibunuh. Bu-hiong menyebut-nyebut urusun Cao Cun yang membuat Salima panas. Nama puteri Wang-taijin ini memang mudah menyulutkan api kemarahan, Salima gemerutuk. Dan ketika Bu-hiong mengelak tendangan Kim-mou-eng dan pendekar itu ganti melepas satu tamparan panas ke arah. lawan maka Bu-hiong buru buru menyambung seruannya dengan kali kata membakar.

“Nona, suhengmu ini laki-laki hidung belang. Pernah kulihat dia mencium Cao Cun, ih mesranya. Ayo bunuh dan gerakkan benderamu itu.”

“Wuut..!”

Salima tiba-tiba meradang, melengking tinggi tak kuat mendengar omongan Bu-hiong ini. Hati yang sudah panas tiba-tiba seakan mendidih mendengar kata kata itu. Suheng nya berciuman dengan Cao Cun! Dan karena bayangan ini memang mudah mengobarkan kemarahannya dan Bu-hiong berteriak lagi mengatakan lain lain yang lebih memanaskan hati sekonyong-konyong Salima memekik dan menerjang suheng-nya itu, tanpa ampun mengibaskan bendera dan tangan kiri pun bergerak dengan tenaga Tiat-lui-kang.

Kim-mou-eng terkejut sementara Bu-hiong terbahak gembira. Dan ketika sumoinya melengking dan mainkan bendera dengan ganas sementara Bu-hiong juga mainkan Pedang Tiga Sinar itu dengan teriakan mengerikan yang membuat Kim-mou-eng jangkir balik tak keruan maka Pendekar Rambat Emas ini memaki lawannya dengan mata membulat lebar, bukan kepalang kegusarannya,

“Bu-hiong, kau laki-laki pengecut. Kiranya di samping hina sebagai pencuri rendahan kaupun tukang fitnah yang suka memburuk-burukkan orang lain. Baiklah, aku akan menghadapimu dan jangan sombong dengan pedangmu yang ampuh itu.... tar-tar!”

Kim-mou-eng mulai meledakkan Tat lui-kang, kemarahannya tak terkendalikan karena mulut berbisa Bu-hiong benar-benar membuat sumoinya terpengaruh, sumoinya tak mau tahu lagi kebenaran cerita pencuri Sam kong kiam ini. Kim-mou-eng sudah menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat berat, hampir dari segala penjuru dia menerima tusukan dan bacokan, belum pukulan sumoinya yang disertai kebutan bendera juga. Sumoinya ini pun tak dapat dipandang ringan.

Dan ketika Sam-kong-kiam memburu tiada henti sementara angin sambarannya membuat nyali menjadi ciut kalau tidak benar-benar tabah akhirnya Kim-mou-eng berkelebatan dan lebih menitikkan perhatiannya pada Bu-hiong, sedangkan sumoinya dilayani setengah hati sementara tusukan dan babatan Bu-hiong menjadi pusat konsentrasinya. Kim-mou-eng tergetar olah kehebatan ilmu pedang laki-laki ini, terutama keampuhan Pedang Tiga Dimensi itu sendiri. Dan ketika pertempuran berjalan seru dan berkali-kali Kim-mou-eng menolak pedang dengan tamparan Tiat lui-kangnya maka Salima yang mendapat pelayanan setengah hati saja ternyata mendesak suhengnya ini dan berhasil membuat suhengnya repot.

“Sumoi, jangan gila. Aku tidak memusuhimu!”

Namun teriakan berkali-kali Kim-mou-eng ini tak membawa hasil. Salima telah menutup pikiran sadarnya untuk tidak menanggapi seruan suhengnya itu. suhengnya betul-betul dianggap musuh. Kim-mou-eng tentu saja kewalahan dan panik. Dan ketika satu saat pedang di tangan Bu-hiong menyambar tenggorokannya sementara bendera dan tangan kiri sumoinya berkelebat menghantam dadanya maka Kim-mou-eng terpaksa memilih dengan membiarkan dua pukulan sumoinya mengenai dirinya, mengelak sambaran pedang dan secepat itu menangkis Bu-hiong, tangan kiri bergerak menghantam muka lawan dan ketika Bu-hiong berteriak kaget dan menangkis tapi terpelanting roboh maka kim-mou-eng sendiri juga menerima kebutan bendera dan tamparan sumoinya yang begitu keras.

“Des-dess!” Kim-mou-eng mengeluh. Dia sempoyongan menahan napas, untungnya sinkang sumoinya tidak sekuat sinkangnya sendiri, dia dapat menahan. Tapi karena jelek-jelek sumoinya adalah seorang gadis sakti dan tamparan serta kebutannya cukup menghancurkan kepala seekor gajah maka Kim-mou-eng sesak dadanya dan hampir muntah darah, terhuyung dan mengeluh memandang sumoinya itu. Tak dilihatnya sedikitpun rasa kasihan di pandang mata sumoinya itu, Kim-mou-eng menggigit bibir. Dan ketika Bu-hiong kembali menerjang dan sudah membalik dengan tikaman miring menusuk ulu hatinya maka Kim-mou-eng marah dan mulai mencabut pit-nya, senjata yang jarang digunakan.

“Bu-hiong, kau benar-benar manusia busuk. Ingin kutahu siapa sebenarnya kau ini!” dan Kim-mou-eng yang mulai membalas dan menangkis serta mengerahkan ginkangnya berkelebatan ke sana sini akhirnya tak tahan dan terpaksa pula bersikap keras terhadap sumoinya. Pukulan-pukulan sumoinya dibalas keras dengan keras.

Salima terkejut dan melengking marah. Perubahan yang dilakukan suhengnya itu dianggapnya sebagai tanda tak cinta lagi, aneh wanita ini. Dan ketika Kim-mou-eng berseru tinggi dan pit di tangan serta tamparan-tamparan petir berkelebatan menyambar-nyambar menghadapi dua orang musuhnya maka Bu-hiong maupun Salima tak mampu mendesak lagi hingga kedudukan mereka berimbang. Tentu saja membuat Bu-hiong dan Salima marah, mereka ini naik darah dan penasaran.

Bu-hiong tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya dan Kim-mou-eng terkejut melihat tangan kiri itu tiba-tiba berobah menjadi hijau, sinar mengerikan mencuat dari telapak laki laki aneh ini. Kim-mou-eng terbelalak. Dan ketika Sam-kong-kiam lewat di sisi telinganya sementara bendera di tangan Salima menderu di atas kepalanya maka Kim-mou-eng yang mengelakkan tangan kiri melakukan pukulan Tiat-lui-kang sudah memasuki kesempatan itu menghantam leher Bu-hiong.

“Plakk!”

Kim-mou-eng terkejut. Untuk pertama kali adu pukulan ini bertemu, secara langsung. Tiat-lui-kang diterima telapak kiri laki-laki aneh itu dan dua tangan mereka lekat, masing-masing tergetar dan Kim-mou-eng terkesiap karena lawan memiliki sinkang yang kuat. Telapak lawan menutup dan hawa gatal tiba-tiba menyelinap, menembus Tiat-lui-kangnya dan Kim-mou-eng tercekat karena bau amis dan gatal merayap ke lengannya disusul rasa perih dan panas. Inilah sinkang beracun! Dan ketika lawan terbahak dan tak mau membuka telapaknya yang sudah menjepit tangan Kim-mou-eng tiba-tiba Salima membalik dan saat itu menyerang dari samping dengan kebutan bendera dan pukulan tangan kirinya.

“Ha-ha, sekarang dia mampus, nona. Hantam pelipisnya dan bunuh dia!”

Kim-mou-eng terperanjat. Sekarang tak ada waktu baginya untuk melompat mundur, tangannya dicengkeram Bu-hiong. Satu-satunya jalan hanyalah menambah sinkang dan mendorong balik pukulan Bu-hiong yang hendak menjalar terus. Secepat itu Kim-mou-eng membentak keras dan mengguncang tubuh. Hawa beracun yang hendak memasuki tubuhnya tiba-tiba dibakar dari dalam, Bu-hiong terkejut merasakan perubahan ini. Kim-mou-eng berontak. Dan ketika bendera menyambar dan pukulan Salima juga sudah mendekati lehernya tiba-tiba apa boleh buat Kim-mou-eng mengempos semangatnya dan mengeluarkan Pek-sian-ciang (Pukulan Dewa Putih).


Dan ketika Tiat-lui-kang juga meledak nyaring dan hancur di tengah jalan mendadak Bu-hiong yang menyalurkan racunnya lewat cengkeraman ke tangan Pendekar Rambut Emas sekonyong-konyong menjerit dan melepas jepitannya, merasa adanya suatu dorongan dahsyat yang menyambarnya dari depan. Sinar kehijauan di tangannya tiba-tiba lenyap, hancur oleh sinar putih yang meluncur dari tangan pendekar itu. Dan ketika laki-laki ini berteriak kaget dan terdorong mundur maka Kim-mou-eng sudah menggerakkan tangan kirinya menghantam dada laki-laki itu sementara pit di tangan kanan juga bergerak menotok lambung lawan.

“Mati aku...” Bu-hiong terbelalak, berteriak dan mengeluh kaget. Sam-kong-kiam di tangannya tiba-tiba menangkis, gerakan ini sebenarnya kebetulan belaka karena terdorong, refleks dia menggerakkan pedang untuk melindungi diri, bukan menyerang. Tapi persis pit menyambar lambungnya dan pukulan Pek-sian-ciang menghantam dadanya maka secara aneh dan luar biasa, tiba-tiba pedang di tangan laki-laki ini mengeluarkan ledakan keras dan menangkis dua pukulan itu.

“Blam!” Asap hitam dan putih mengepul bersama. Kim-mou-eng terkejut karena pit-nya tiba-tiba patah. Pek-sian-ciangnya tiba-tiba tertahan oleh kekuatan gaib Pedang Tiga Sinar. Dan ketika dia berseru kaget karena kesaktian pedang pusaka itu ikut bicara mendadak serangkum tenaga dahsyat menghempasnya tinggi dan Kim-mou-eng mencelat seperti dilontar tenaga raksasa.

“Bumm....!” apa yang terjadi ini sukar dijelaskan. Kim-mou-eng terbanting ke bawah, keras sekali, terguling-guling dan akhirnya mengeluh di sana, sepuluh tombak dari titik perkelahian. Tapi Bu-hiong sendiri yang juga terpental oleh ledakan gaib dan menjerit kaget ternyata juga terbanting dan mengeluh menabrak pohon, patah pohon itu dan suara tumbangnya demikian hiruk pikuk. Laki-laki ini terkubur daun daunan dan ranting hingga hampir tak terlihat, batuk dan muntah darah. Sam-kong-kiam masih dicekalnya erat tapi laki-laki itu menganggap Pek-sian-cianglah yang membuatnya begitu.

Dia tak tahu bahwa kekuatan gaib Pedang Tiga Sinar telah menyelamatkannya, pedang itu mengeluarkan semacam tenaga sakti yang tadi meledak menangkis Pek-sian-ciang. Hanya Kim-mou-eng lah yang tahu benar masalah itu, pendekar ini beradu langsung. Dan karena mengira Pek-sian-ciang yang merobohkannya seperti itu dan kini dia muntah darah tiba-tiba laki-laki ini melompat terhuyung dan terbirit-birit melarikan diri keluar dari timbunan daun-daunan itu.

“Tiat-ciang Sian-li, suhengmu terlalu lihai. Biarlah lain kali kubantu kau!”

Salima tertegun. Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengira Pek-sian-ciang yang membuat Bu-hiong ketakutan. Maka melihat Bu-hiong melarikan diri dan kini laki-laki itu lenyap di balik hutan mendadak Salima terisak dan benci memandang suhengnya itu, yang masih terduduk dengan napas sesak, melenggong.

“Suheng, kau memang sombong. Kalau hari ini tak dapat kubunuh kau biarlah lain hari aku membalas sakit hatiku!” Salima berkelebat, memutar tubuhnya dan ikut melarikan diri meninggalkan Kim-mou-eng.

Sang suheng mendelong dan semakin terbelalak saja, Bu-hiong ke kanan sedangkan sumoinya ke kiri. Tapi begitu dia sadar dan melompat bangun tiba-tiba pendekar ini berteriak memanggil sumoinya, “Sumoi, tunggu....!”

Salima tak menghiraukan. Dia terlanjur sakit hati oleh perbuatan suhengnya itu, lenyap dan tak dapat dikejar. Kim-mou-eng terengah-engah dan jatuh terduduk, dadanya tiba-tiba nyeri. Baru sekarang Kim-mou-eng batuk batuk dan gentar menyaksikan kesaktian pedang pusaka itu, yang bukan hanya memiliki ketajaman luar biasa saja namun juga memiliki semacam tenaga gaib yang mampu menolak pukulan sinkang. Bukan main.

Dan ketika pendekar ini mengeluh dan harus bersila untuk memulihkan sesaknya napas akibat benturan tadi maka Kim-mou-eng tak dapat mengejar sumoinya dan membiarkan saja sumoinya lolos, begitu juga Bu-hiong, hal terakhir ini amat menyesalkan hatinya karena sekarang dia tahu siapa pencuri pedang keramat itu. Sayang orangnya lari dan sumoinya pun memihak, dia tak dapat berbuat banyak.

Dan ketika sejam kemudian pendekar ini bangkit berdiri dan lega dadanya tak sakit lagi akhirnya pendekar ini terhuyung dan melakukan perjalanan lunglai ke arah selatan, diam-diam mengumpat dan memaki si Bu-hiong itu. Tapi begitu teringat persoalan Cao Cun tiba-tiba pendekar ini bangkit semangatnya dan memutar langkah ke utara, ke kota raja. Inilah awal mulanya dia dimusuhi sumoinya.

Tiba-tiba Kim-mou-eng ingin tahu apa yang terjadi dan bagaimana sumoinya itu bisa tahu, kembali menyesal dan menarik napas kenapa hal itu tercium sumoinya. Dan karena dia pun banyak berjanji pada putri Wang taijin itu dan sekarang ingat untuk melaksanakan janjinya tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat dan lenyap meninggalkan tempat itu. Dan begitu dia berlari cepat dan terbang menuju ke utara maka pendekar ini pun telah menuju ke kota raja untuk menengok Cao Cun, tepatnya, ke Istana Dingin! Namun apa yang didapat? Mari kita lihat.

Malam itu juga Pendekar Rambut Emas telah tiba di istana ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi dengan ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa sebentar saja Kim-mou-eng telah berada di belakang istana. Di sinilah seingatnya kamar Cao Cun, mendadak hati berdebar dan ingin bertemu. Kim-mou-eng teringat kisahnya dengan gadis itu, romantikanya, suka dukanya. Ingin bicara dan berterus terang tentang cinta mereka. Tapi ketika dilihatnya kamar itu kosong dan tak ada Cao Cun di sana mendadak pendekar ini tertegun.

“Ke mana Cao Cun? Dipindah?” Kim-mou-eng tak mau banyak pikir. Dia teringat Wan Hoa, sahabat Cao Cun, cepat menyelinap dan menuju kamar Wan Hoa pula bersebelahan dengan kamar Cao Cun. Tapi ketika lagi-lagi kamar itu di lihatnya kosong dan Wan Hoa pun tak ada di sana tiba-tiba Pendekar Rambut Emas ini bingung, menangkap seorang pengawal.

“Di mana putri Wang-taijin itu? Di mana pula sahabatnya?”

Pengawal ini menggigil, kaget. “Aku... hamba... aku tak tahu, taihiap. Wang-siocia (nona Wang) sudah lama tidak ada di sini disusul sahabatnya....!”

“Ke mana mereka?”

“Ke dunia asing, ke neraka... eh, maksudku ke tempat suku liar dan setengah di asingkan oleh sri baginda!” pengawal itu gugup, tempat bangsa Siung-nu memang tempat yang dianggap bangsa Han sebagai tempat yang tandus, tak ubahnya neraka. Tempat yang asing dan setengah biadab.

Tentu saja Kim-mou-eng terkejut dan marah mendengar kata-kata itu, mengira si pengawal berolok-olok. Maka ketika dia mencengkeram tengkuk pengawal itu dan membentak menyuruh pengawal ini bicara yang benar, maka pengawal itu merintih dan jadi semakin kebingungan, juga ketakutan.

“Aduh, lepaskan aku, taihiap. Sebaiknya kau tanyakan saja pada Wang-taijin di Chi-cou. Dia lebih tahu daripada aku!”

“Kau tak bohong? Gadis itu benar-benar tak ada di lini?”

“Sumpah, taihiap. Mereka memang tak ada di sini dan kau boleh bunuh aku kalau bohong. Aku... ngek!” pengawal itu terbanting, tak dapat meneruskan kata-katanya dan segera pingsan di sudut.

Kim-mou-eng telah menendang perut pengawal itu dengan lututnya, sang pengawal mengeluh dan pingsan. Dan karena Cao Cun memang tak ada di situ dan mau tak mau Kim-mou-eng harus percaya pada keterangan ini maka malam itu juga Pendekar Rambut Emas menuju Chi-cou. Di sini dia mengagetkan Wang-taijin, kontan bupati itu menangis dan menubruknya, belum apa-apa sudah melapor sepak terjang Salima yang membuat bupati itu jatuh bangun. Kim-mou-eng terkejut dan lagi-lagi terbelalak. Dan ketika dia belum melancarkan pertanyaannya karena Wang-taiijin keburu menceritakan keadaan diri sendiri yang sial dihajar Salima maka bupati ini mengguguk menjatuhkan diri berlutut.

“Taihiap, celaka. Sumoimu datang dan mengamuk di sini. Aku dan pengawalku dihajar jatuh bangun. Dia kurang ajar, terlalu sumoimu itu!”

“Sudahlah,” Kim-mou-eng jadi tak enak. “Kau bangunlah, taijin. Ceritakan apa yang terjadi dan kenapa sumoiku marah-marah di sini?”

“Dia mencari Cao Cun, entah kenapa marah-marah dan memakiku sebagai orang tua goblok. Aku pedih. sumoimu ganas dan telengas sekali.”

Kim-mou-eng menarik bangun bupati ini. Wang-taijin lalu menceritakan apa yang terjadi, malam itu juga melaporkan perbuatan Salima. Dan ketika persoalan tiba pada Cao Cun dan bupati ini tak dapat menahan cucuran air matanya maka bupati ini menyesali Kim-mou-eng.

“Kau terlambat, taihiap. Sekarang segala-galanya yang kupunyai hancur. Anak kesayanganku satu satunya sudah tak kumiliki lagi. Kau benar-benar tega membiarkan keluarga Wang menerima musibah!”

“Apa yang terjadi?” Kim-mou-eng terkejut. “Kenapa kau bicara begitu?”

“Ah,” bupati ini membelalakkan mata, marah. “Apakah kau tidak tahu, taihiap? Atau kau pura-pura tak tahu?”

“Hm!” Kim-mou-eng jadi tak enak. “Aku selamanya tak pernah berpura-pura, taijin. Apa yang tidak kuketahui tentu kutanyakan kepada orang lain. Aku datang ke sini karena memang ingin mendengar apa yang terjadi pada Cao Cun, aku tak melihatnya di istana Dingin dan kabarnya Cao Cun tak ada di sana lagi.”

“Tentu saja!” bupati ini uring-uringan. “Anakku telah diambil orang, taihiap. Dan yang melakukan Ini adalah kaisar. Kau tak pernah kelihatan membantu kami!”

Kim-mou-eng tersentak. “Diambil orang? Apa maksudmu, taijin?”

“Cao Cun telah dinikahkan dengan pemimpin liar bangsa Siung-nu, taihiap. Puteriku itu telah menjadi istri Raja Hu dan kini hidup di tengah tengah suku bangsa itu. Dia merana di sana, dia menunggu-nunggumu tapi selalu gagal!”

“Jagad Dewa Batara....!” Kim-mou-eng mencelat tak menyangka. “Putrimu telah menikah, taijin? Cao Cun telah menjadi istri orang dan hidup di tengah suku biadab?”

“Ya, itu yang terjadi, taihiap. Dan puteriku menangis sepanjang hari menanti kedatanganmu yang tak kunjung tiba!”

“Aduh...!” Kim-mou-eng tiba-tiba mendekap dada, duduk terhuyung. “Kenapa kau tidak menceritakan ini kepadaku, taijin? Kenapa kau tidak melapor?”

“Ah!” bupati ini malah penasaran. “Melapor bagaimana, taihiap? Menceritakannya bagaimana? Kau seorang kang-ouw, kau kelayapan dan keluyuran ke mana-mana. Mana mungkin aku mencarimu dan memberitahukan ini? Apakah mungkin aku dapat menemukanmu kalau tidak kau sendiri yang datang?”

Kim-mou-eng sadar, napas menjadi sesak dan tiba-tiba rasa berdosa yang besar menghimpit batinnya. Perasaan luka tiba tiba menyengat. Dan ketika bupati itu tersedu dan menyesali nasib puterinya yang malang tiba-tiba Kim-mou-eng menitikkan air mata dan ikut menangis. “Maafkan aku, aku rupanya khilaf, taijin. Aku sampat melupakan puterimu gara-gara urusan pribadi. Aku menyesal, biar sekarang juga aku berangkat menemui puterimu!”

“Untuk apa?” bupati ini terbelalak. “Kau mau melarikan isteri orang?”

Kim-mou-eng tertegun.

“Tidak, jangan, taihiap. Apa yang terjadi telah terjadi. Bagaimana pun puteriku harus menjadi wanita terhormat. Kau sebaiknya tak perlu ke sana kalau hanya untuk mengambil dan membawa puteriku itu. Hancur namaku nanti, juga baginda akan murka!”

“Aku tahu,” “Kim-mou-eng menghela napas, menggigit bibirnya. “Aku tak bermaksud untuk melarikan seperti apa yang kau duga, taijin. Melainkan semata melihat keadaannya dan minta maaf untuk semua kesalahanku. Aku berdosa, aku telah melupakan putrimu karena aku sendiri bertubi-tubi dilanda persoalan pribadi.”

“Baiklah, kalau begitu aku setuju, taihiap. Dan tolong titip surat ini untuk puteriku,” Wang-taijin buru-buru membuat surat, menitipkannya pada Kim-mou-eng.

Dan Kim-mou-eng termangu-mangu. Ada perasaan kaget bercampur marah di hatinya, ada perasaan duka. Tapi ada juga perasaan girang. Girang karena urusannya dengan Cao Cun tiba-tiba menjadi putus, urusan cinta. Hal yang selama ini mengganjal hatinya dan membuat perasaannya terganggu. Dan ketika menjelang pagi semuanya selesai dan Kim-mou-eng menerima surat titipan bupati Wang, akhirnya tanpa mengenal lelah dan tidak memikirkan istirahat Perdekar Rambut Emas ini melakukan perjalanannya ke suku bangsa Siung-nu.

Perjalanan ini memakan waktu dua hari. Memang cukup jauh. Tanpa makan dan minum Kim-mou-eng menuju ke perkemahan suku bangsa itu. Dia tahu macam apa suku bangsa ini, hampir seperti suku bangsanya sendiri dan merupakan suku yang dianggap setengah liar oleh orang-orang Han, bangsa Siung-nu memang bangsa yang belum memiliki peradaban tinggi dan Kim-mou-eng ngeri melihat Coa Cun harus tinggal di tengah tengah suku bangsa macam begitu.

Dua hari dua malam ini dia terguncang. Kabar itu memang belum dia ketahui, maklum, pendekar ini berbulan bulan menjadi incaran orang kang-ouw dan dikejar-kejar sebagai pencuri Sam kong kiam. Tubuh menjadi lelah dan kuyu.

Dan ketika pagi itu Kim-mou-eng tiba di perkemahan bangsa ini dan dia tak tahu bahwa Raja Hu baru saja meninggal dunia maka dengan tenang tapi hati-hati dia menyelinap masuk dan sudah menuju ke kemah hitam di mana kemah ini merupakan kemah paling besar dan mudah di duga sebagai kemah pemimpin bangsa Siung-nu. Tapi begitu dia masuk dan menyelinap ke dalam mendadak yang pertama-tama dijumpai adalah Wan Hoa!

“Wan Hoa...!”

Wan Hoa terkejut. Saat itu dia menyiapkan bubur hangat untuk Ituci Yashi, anak laki-laki Cao Cun. Tentu saja terperanjat melihat kehadiran Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas itu tahu-tahu telah berdiri di depannya, rambut kusut, mata sayu, pakaian pun lusuh dan jelas pendekar ini tak merawat tubuhnya berhari-hari. Wan Hoa tertegun dan membelalakkan mata, piring di tangannya tiba-tiba jatuh, bubur itu tumpah di atas lantai, berceceran. Tapi begitu Wan Hoa sadar dan terpekik kecil mendadak Wan Hoa menghambur ke depan dan tangan sudah menampar bertubi-tubi ke muka Kim-mou-eng.

“Kim-mou-eng, kau laki-laki tak dapat dipercaya. Kau laki-laki busuk. Kau penipu dan jahanam, plak-plak-plak...!”

Dan Wan Hoa yang sudah menampar bertubi-tubi muka Kim-mou-eng pulang balik akhirnya menangis dan mencakar serta memukuli pendekar ini penuh kemarahan, tak dielak dan Kim-mou-eng terhuyung ke sana kemari, muka tiba-tiba bengap dan Kim-mou-eng pucat melihat sambutan Wan Hoa ini. Untuk kesekian kalinya dia melihat pembelaan Wan Hoa terhadap Cao Cun, pembelaan seorang sahabat sejati. Dan ketika Wan Hoa kelelahan dan akhirnya jatuh terduduk maka wanita ini menangis tersedu sedu menutupi mukanya.

“Kim-mou-eng, kau keji. Kau laki-laki tak bertanggungjawab. Kau pendekar yang tak pantas disebut pendekar....!”

Kim-mou-eng terengah, muka semakin pucat. “Wan Hoa, mana Cao Cun....?”

“Untuk apa mencari Cao Cun? Untuk apa datang ke sini? Kau hanya akan menambah sakitnya hati, Kim-mou-eng. Kau hanya akan menambah beban penderitaan saja terhadap sahabat ku. Pergilah.... pergilah kau dari sini dan jangan perlihatkan mukamu kepada kami!”

“Tidak,” Kim-mou-eng gemetar, “Aku datang untuk melihat Cao Cun, Wan Hoa. Aku datang untuk meminta maaf. Aku tahu kesalahanku, aku bersalah dan ingin mengaku dosa....”

“Cuh!” Wan Hoa tiba-tiba bangkit berdiri, muka menjadi merah seperti dibakar. “Cao Cun sekarang sudah menjadi isteri orang, Kim-mou-eng. Tak guna kau menyesali kesalahanmu dan minta maaf kepadanya. Cao Cun telah benci kepadamu dan tak ingin melihat mukamu lagi...!”

“Aku tak perduli.” Kim-mou-eng semakin gemetar. “Aku ingin melihatnya sekali ini. Wan Hoa. Tolong panggil dia dan temukan aku padanya. Aku datang ingin menyampaikan surat ayahnya pula.”

“Kau membawa-bawa nama Wang-taijin? Kau mau menipu dan membohongi kami lagi? Keparat, kubunuh kau, Kim-mou-eng. Kubunuh kau kalau tidak segera pergi dari sini. Pergilah, pergi....!” Wan Hoa beringas, mengira Kim-cou eng mengada-ada dan sudah apriori terhadap pendekar ini, mata yang sudah terbelalak itu semakin terbelalak lagi, berapi-api. Wan Hoa tiba-tiba menyambar pisau dan sudah mengacungkan pisau itu di depan Kim-mou-eng, jari menggigil. Orang akan merasa lucu melihat sikap gadis ini.

Kim-mou-eng, tokoh yang demikian hebat hendak dibunuh seorang gadis lemah biasa dengan pisau dapur. Barangkali orang kang-ouw akan terbahak melihat adegan ini. Tapi Kim-mou-eng yang tiba-tiba mengeluh dan menitikkan air mata melihat keberingasan Wan Hoa tiba-tiba berlutut dan merintih di depan gadis itu,

“Wan Hoa, tolonglah aku. Aku benar-benar ingin bertemu dengan Cao Cun. Aku telah mencari kalian di Istana Dingin, aku telah datang ke Chi-cou pula bertemu dengan ayahnya. Aku ke sini untuk menjelaskan semuanya. Aku bersalah, tapi kesalahanku pun ada sebabnya. Tolong kau panggil dia dan suruh ke mari...”

“Kau nekat? Kau tak mau pergi?”

“Aku tak akan pergi sebelum bertemu Cao Cun, Wan Hoa Panggil dia dan setelah itu aku akan menuruti semua kehendakmu.”

“Keparat, kalau begitu kau menantang. Kau rupanya mengira aku main-main untuk membunuhmu.... hihh!” dan Wan Hoa yang menerjang gemas menusukkan pisaunya tiba-tiba menghunjamkan pisau itu ke leher Kim-mou-eng. Maunya menikam dan melampiaskan kemarahan dengan membunuh pendekar itu. Tapi jari yang menggigil dan tak bisa memegang pisau untuk membunuh tiba-tiba meleset dan leher yang ditikam tergelincir mengenai pundak, pisau itu menancap dan bergoyang di atas pundak, darah seketika menyemprot dan Wan Hoa menjerit.

Lucu sekali, Kim-mou-eng yang terluka tapi Wan Hoa yang terpekik, seolah gadis itulah yang kesakitan. Kim-mou-eng ternyata tidak mengerahkan sinkangnya hingga pisau menembus kulit dagingnya, hal ini pun tak disangka Wan Hoa. Dan ketika Wan Hoa tertegun dan pisau itu masih menancap di pundak tiba-tiba tirai sebuah kamar terbuka dai Cao Cun muncul.

“Kim-twako..!”

Seruan ini bagai angin segar di awang-awang para bidadari. Kim-mou-eng tiba-tiba menoleh, muka yang nyeri menahan sakit mendadak berseri. Kim-mou-eng bangkit berdiri dan memanggil nama gadis itu. Cao Cun terkejut dan bengong. Tapi begitu dua mata beradu dan Kim-mou-eng melompat ke depan mendadak mereka sudah saling tubruk dan Cao Cun mengguguk di pelukan pendekar ini, yang juga gemetar namun girang bukan kepalang.

“Cao Cun, aku datang. Maafkan aku....!”

“Oooh....!” Cao Cun hanya mengeluarkan suara itu, keluhan panjang tak berawal dan mereka bertangis-tangisan saling dekap. Cao Cun memeluk erat-erat pendekar yang dicintai ini, sejenak lupa dan tak sadar akan kedudukannya. Kedatangan Kim-mou-eng yang amat tiba-tiba memang mengguncang wanita muda ini, Cao Cun lupa daratan. Tapi ketika dua hati yang sama bergetar itu meledak penuh bunga-bunga bahagia dan Kim-mou-eng hendak mencium wanita itu mendadak Cao Cun sadar dan cepat merenggut lepas dirinya, berseru tertahan.

“Tidak, tidak... jangan, Kim-twako... jangan...!” Cao Cun terhuyung, jatuh terduduk di atas sebuah kursi dan tiba-tiba menutupi mukanya, tangis yang menghentak-hentak membuat wanita ini mengguguk. Perasaannya tercabik-tercabik. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan juga sadar akan apa yang hampir dia lakukan maka Cao Cun sudah tersedu-sedu berkata di antara derasnya air mata yang membanjir. “Kim-twako, aku telah menjadi isteri Raja Hu. Aku telah menjadi milik orang lain. Jangan kau lakukan itu dan pergilah, hubungan kita telah putus...!”

Kim-mou-eng menggigil. “Maaf, aku lupa, Cun-moi, aku tahu. Tapi aku datang bukan untuk melakukan yang tidak-tidak.”

“Lalu apa maksud kedatanganmu? Mau apa kau ke sini?”

“Aku hendak minta maaf, aku hendak mengaku dosaku...”

Cao Cun membuka matanya. Muka yang tadi dirutup itu sekarang dilepaskan, jari-jari yang lentik itu gemetar, mata kembali beradu pandang dan Cao Cun diserang rindu yang hebat. Hampir dia mengeluh dan menubruk orang yang dicintanya lahir batin ini, tak kuat mendengar suara yang begitu memelas, begitu lirih. Pandang mata Kim-mou-eng penuh kesedihan dan penyesalan, Cao Cun mengguguk. Tapi ketika dilihatnya pisau yang menancap di pundak Kim-mou-eng itu tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan terbelalak. “Siapa yang menusukmu?”

Wan Hoa tiba-tiba melompat ke depan. “Aku, Cao Cun. Hati hati terhadap rayuannya dan jangan terkecoh!”

Wan Hoa memperingatkan temannya, khawatir dan sudah dag-dig-dug melihat adegan tadi, betapa Cao Cun berpelukan dan nyaris mereka berciuman. Wan Hoa sudah tak keruan dan merah melihat adegan itu, hati tertusuk dan ada rasa luka, juga was-was. Maka melihat temannya melepaskan diri dan kini Cao Cun mendekati Kim-mou-eng bertanya tentang pisau itu tiba-tiba Wan Hoa berseru agar Cao Cun bersikap keras, tak usah lemah dan dia mengaku terus terang tentang pisau di pundak Kim-mou-eng itu. Bahwa dia ingin membunuh Pendekar Rambut Emas ini karena orang tak mau pergi. Pendekar Rambut Emas dianggap mau membuat onar.

Tapi Cao Cun yang mengerutkan kening dan justeru malah tiba-tiba menegur temannya, “Wan Hoa, kau terlalu. Kim-twako tak melakukan apa-apa, dia tak bersalah, kenapa kau menikamnya dan melukainya? Cabut pisau itu. Wan Hoa, obati lukanya dan balut dengan segera!”

Wan Hoa terbelalak, tertegun.

“Dan kau menamparnya pula. Wan Hoa? Aih, keji. Kau jahat dan kejam terhadap tamu, terlalu!” dan Cao Cun yang bergegas menghampiri Kim-mou-eng tiba-tiba terisak dan mengusap pipi Kim-mou-eng, mengelusnya begitu lembut dan hampir saja Cao Cun mencium pipi itu.

Pipi Kim-mou-eng memang bengap, merah kebiruan. Dua mata kembali beradu pandang dan Cao Cun menangis, tak tahan. Dan ketika Wan Hoa masih diam saja dan tak mau mencabut pisau serta mengobati luka Kim-mou-eng tiba-tiba Cao Cun merobek bajunya dan mencabut pisau itu, darah mengucur dan segera dimampatkan dengan robekan baju ini. Cao Cun bekerja cepat dan sebentar kemudian sudah membalut luka itu. Betapapun kemesraan tak dapat disembunyikan di sini, Wan Hoa merah padam.

Dan ketika semuanya selesai dan Kim-mou-eng bengong berseri-seri maka Cao Cun mundur dan Pendekar Rambut Emas berbisik, “Terima kasih, Cao Cun...”

Cao Cun semburat. Sekarang mereka duduk berhadapan, Cao Cun sudah menguasai diri dan berhasil menenangkan guncangannya. Dua mata kembali beradu pandang tapi Cao Cun mulai tahan, Kim-mou-eng melihat sesuatu yang menggetarkan di bola mata wanita itu. Sesuatu yang agung, anggun. Sinar kemesraan mulai lenyap dan sikap seorang ratu tampak di sini. Cao Cun rupanya mengingatkan diri sedemikian rupa bahwa dia adalah isteri Raja Hu, bukan lagi wanita tak terikat seperti di Istana Dingin. Dia adalah isteri orang, “ibu negara” bangsa Siung-nu. Dan ketika tarikan bibir itu juga mulai mengeras dan Cao Cun bersikap tegak maka pertanyaan yang meluncur dari mulut wanita ini sudah berbeda lagunya daripada tadi, lagu seorang wanita agung yang ingin menegakkan harkat dirinya.

“Kim twako, apa yang kau inginkan dariku? Apa yang kaukehendaki hingga jauh jauh datang ke sini? Aku sudah menyatu dengan bangsa Siung-nu, twako. Jadi kalau kau hendak membawaku pergi dari sini adalah tidak mungkin, aku isteri Raja Hu!”

Tekanan suara ini memiliki intonasi kuat. Kim-mou-eng mengangguk, menelan ludah, mengetahui kedudukannya dan kedudukan Cao Cun. Memang gadis itu sudah menjadi isteri orang, tak layak mereka membicarakan masalah cinta. Itu telah lewat. Masing-masing sudah dipisah jarak oleh pagar etika, dan dia pun memang tak ingin memikirkan urusan cinta. Kim-mou-eng datang untuk minta maaf, itu intinya.

Maka ketika Cao Cun bertanya apa maksud kedatangannya dan kenapa jauh'jauh dia mengejar wanita ini maka Pendekar Rambut Emas menarik napas dan berkata jujur, “Aku datang untuk menyatakan penyesalan ku, Cun moi. Aku datang untuk meminta maaf. Aku telah mendengar semua ceritamu dari ayah mu.”

Cao Cun tersenyum. “Aku telah memaafkanmu. Apa yang terjadi memang sudah menjadi kodratku, aku tak menyalahkan siapa-siapa.”

“Tapi aku merasa berdosa, Cun-moi. Kalau saja aku cepat membebaskanmu dari Istana Dingin tentu tak akan terjadi semuanya ini. Aku menyesal, aku terlibat urusan bertubi-tubi yang membuat aku tak sempat menengokmu di sana!”

“Sudahlah, aku percaya, twako. Dan sebaiknya urusan ini tak perlu dibicarakan lagi. Nasi telah menjadi bubur, kita sama-sama tak dapat menariknya lagi dan sebaiknya kita lupakan kenangan kita dulu.”

“Tentu, tapi kau tentu sakit hati, Cun moi. Barangkali ada hal-hal yang telah membuatmu berprasangka buruk kepadaku. Aku ingin menjelaskan semuanya ini agar salah paham di antara kita hapus “

“Hm!” Wan Hoa tiba-tiba mengejek. “Kau enak saja menyatakan maaf dan pura pura bersikap bersih, Kim-mou-eng. Padahal apa yang kaulakukan terhadap keponakan Ma-yang sungguh tak dapat diampuni!”

“Keponakan siapa?” Kim-mou-eng terkejut. “Ma-yang? Siapa Ma-yang ini?”

Mendadak, Wan Hoa melompat bangun. “Kim-mou-eng, untuk apa berpura-pura lagi di depan kami? Untuk apa bertanya siapa Ma-yang ini? Bukankah kau tahu dia dayang istana? Bukankah kau telah bertemu keponakannya dan berkata yang membuat sahabatku hampir gila oleh hinaanmu yang tidak bertanggung jawab itu? Bukankah kau mengatakan bahwa cintamu terhadap Cao Cun hanyalah palsu belaka untuk kedok permainanmu yang tidak berperikemanusiaan? Kau laki-laki yang tak tanggung-tanggung menyakiti wanita, Kim-mou-eng. Kau pria jempolan yang pandai merata binasakan cinta suci seorang wanita!”

“Wut...!” Kim-mou-eng tiba-tiba mencelat dari tempat duduknya, mencengkeram pundak Wan Hoa. “Apa kau bilang, Wan Hoa? Apa kau bilang dengan semua kata-katamu ini? Aku bertemu keponakan Ma-yang? Aku mengatakan bahwa aku mempermainkan Cao Cun?”

“Ya!” Wan Hoa meringis, membentak galak, tak menghiraukan rasa sakit. “Kau terang-terangan mempermainkan Cao Cun, Kim-mou-eng. Kau menghancur binasakan cintanya dengan ucapanmu yang amat berbisa!”

“Ucapan apa? Yang bagaimana?”

“Hm!” Wan Hoa masih beringas, galak. “Kau menyatakan bahwa cintamu terhadap Cao Cun hanya sekedar penghibur saja, Kim-mou-eng. Bahwa cintamu hanya untuk sumoimu itu dan kau menyakiti sahabatku. Kalau kau memang tidak mencinta Cao Cun tak perlu kau membujuk rayunya sedemikian rupa. Kau laki-laki tak bermoral dengan menyepelekan begitu saja cinta suci sahabatku yang agung. Kau manusia hina, terkutuk kau di api neraka!”

“Wan Hoa....!” Cao Cun tiba-tiba menjerit. “Jangan omongkan kutukan itu, jangan ungkit-ungkit lagi apa yang telah lewat. Aku memaafkan semua perbuatannya, biarlah yang sudah berlalu sudah. Aku tak ingin mendengar lagi semua benci dan kemarahanmu!”

“Biarlah, aku memang benci dan sengit pada orang yang bernama Pendekar Rambut Emas ini, Cao Cun. Aku memang muak dan benci kepada semua perbuatannya. Kau telah dihinanya setinggi gunung, aku tak terima dan ingin mengutuknya habis-habisan!”

“Tidak, jangan, Wan Hoa. Diam, jangan katakan apa-apa lagi dan biarkan hati yang sudah sembuh ini tak terluka!” Cao Cun bangkit berdiri, menubruk sahabatnya itu tapi Wan Hoa masih memaki-maki Pendekar Rambut Emas.

Kim-mou-eng sendiri pucat dan menggigil mendengar kutuk dan serapah gadis itu. Bukan main. Wan Hoa memakinya habis-habisan sebagai laki-laki yang tak menepati janji, laki-laki tak bertanggung jawab dan amat hina mempermainkan cinta Cao Cun yang agung. Semuanya itu diucapkan gadis ini dengan berapi api dan ganas. Kata demi kata menusuk perasaan Kim-mou-eng bagai pedang beracun yang sudah berkarat.

Dan ketika Wan Hoa kembali mengungkit-ungkit masalah dayang istana dan Kim-mou-eng dituduh tak berperikemanusiaan dengan melontarkan kata-kata menyakitkan tentang cintanya yang palsu terhadap Cao Cun mendadak Pendekar Rambut Emas ini menampar Wan Hoa menggeram marah. “Bohong, keparat kau... Aku tak mengenal sama sekali dayang bernama Ma ini, Wan Hoa. Sumpah demi Langit dan Bumi aku tak mengatakan apa-apa pada dayang yang tak kukenal itu. Kau melepas omongan busuk, atau dayang itu yang telah mempermainkan kalian dan merusak namaku...plak-plak!”

Wan Hoa terbanting roboh, menjerit dan sudah ditubruk Cao Cun yang menangis tersedu-sedu. Wanita ini bingung dan marah akan apa yang terjadi. Yang satu sahabat sedang yang lain adalah orang yang dicinta lahir batin, meskipun kini dengan sekuat tenaga Cao Cun berusaha mengusir api cinta itu. Dan ketika Wan Hoa ditampar dan untuk pertama kalinya Kim-mou-eng menggereng bagai seekor singa kelaparan mendadak Cao Cun berbalik sikap dan menghadapi Pendekar Rambut Emas itu, membentak penuh kemarahan,

“Kim-mou-eng, ini rumahku. Ini adalah tempat tinggalku dan Wan Hoa adalah sahabatku. Berani kau menamparnya dan berkata dia mengeluarkan omongan busuk? Ma-yang memang mengatakan semuanya itu, Kim-mou-eng. Dan aku sebagai yang bersangkutan mendengar kata-katanya sendiri. Aku pun berani bersumpah demi langit dan bumi, aku tak dapat menerima tindakanmu terhadap sahabatku dan kau enyahlah.... Plak... plakk!”

Cao Cun ganti menampar wajah pendekar itu, Kim-mou-eng terbelalak dan terhuyung. Hampir dia tak percaya pada apa yang dilihat Cao Cun, gadis yang begitu lembut dan biasanya amat tunduk kepadanya mendadak menamparnya, membalas tamparannya terhadap Wan Hoa. Wan Hoa sendiri tertegun melihat kejadian itu. Empat mata terbelalak. Tapi ketika Kim-mou-eng sadar dan terhuyung menerima tamparan Cao Cun mendadak pendekar ini tersedak mengusap dua titik air matanya yang jatuh di pipi, gemetar.

“Cao Cun, kau menamparku sebagai balas dendam? Kau memaki aku untuk pelampias sakit hatimu? Baiklah, kuterima semuanya ini, Cun-moi. Tapi sumpah demi nenek moyangku aku akan mencari dan membawa dayang jahanam itu. Aku akan menunjukkan kepada kalian bahwa aku tak tahu menahu urusan ini. Kalian tunggu beberapa hari, aku akan kembali dan membawa dayang itu”

“Wuut!” dan Kim-mou-eng yang lenyap berkelebat dengan rintihan memilukan tiba-tiba menyadarkan Cao Cun dan membuat wanita ini menangis mengguguk, pandangan terasa gelap dan Cao Cun tiba-tiba roboh. Wanita ini hampir pingsan melihat apa yang dia lakukan, dia telah melontarkan kata-kata menyakitkan terhadap Pendekar Rambut Emas, pria yang sesungguhnya dia cinta dan merupakan pria pertama yang menjatuhkan hatinya, pria yang dia kagumi dan hormati.

Maka begitu pria itu mengeluh dan untuk pertama kalinya pula Cao Cun melihat Kim-mou-eng menangis mendadak wanita ini tak kuat dan mengeluh memanggil Wan Hoa, mengguguk dan sudah ditubruk sahabatnya itu. Mereka berangkulan, air mata sama sama membanjir dan dua sahahat ini merintih. Mereka memang berdarah, hati mereka sedang berdarah. Dan ketika mereka bertangis-tangisan dan Cao Cun serta Wan Hoa saling peluk tiba-tiba dari dalam terdengar tangis bayi, anak Cao Cun rupanya menangis dan buru buru wanita ini berlari.

Wan Hoa mengejar dan menyusul. Bayi yang masih kecil itu rupanya tahu kedukaan ibunya, ikut terguncang dan kini menangis pula, tak kalah ramai dengan Cao Cun. Dan ketika Cao Cun terengah menyusui bayinya dan Wan Hoa mendekap serta mengguguk memeluk bayi laki-laki itu maka di lain pihak Kim-mou-eng sendiri sudah berkelebat lenyap dan terbang menuju ke kota raja.

Omongan Wan Hoa tentang Ma-yang, sungguh membuat pendekar ini terkejut. Hampir dia menganggap gadis itu memfitnah kalau Cao Cun tidak berdiri di belakang, mengakui dan mendukung sahabatnya. Dan karena semua ini memerahkan telinganya dan Kim-mou-eng gusar bukan kepalang maka perjalanan panjang yang seharusnya diseling istirahat tak dilakukan pendekar ini.

Kim mou-eng terus bergerak dan terbang menuju selatan, seluruh ilmu lari cepatnya dikerahkan hingga bayangannya melesat seperti iblis. Hampir-hampir tak kelihatan. Dan ketika dua hari kemudian dia tiba di kota raja dan langsung memasuki kembali istana dan mengorak-abrik para dayang akhirnya dengan muka beringas dan kotor penuh debu diketemukannya dayang itu, dayang yang memang ada hubungannya dengan Mao-taijin, si menteri dorna.

“Kau melakukan fitnah apa terhadap diriku? Kau mengeluarkan omongan busuk apa saja terhadap Cao Cun mengenai diriku?” begitu Kim-mou-eng menerkam dayang ini, membentak dan membuat si dayarg ketakutan.

Dayang ini nyaris pingsan. Kedatangan dan sikap Kim-mou-eng yang begitu buas membuat dayang ini lumpuh, tiba-tiba tak dapat menjawab, seluruh tubuh menggigil. Dan ketika Kim-mou-eng membentaknya lagi dan menyuruh dia bicara mendadak dayang yang sudah seakan terbang nyawanya ini mengeluh. “Ampun.... ampun... aku tak mengerti apa yang kau maksud, taihiap... aku tak mengerti dosa apa yang telah kulakukan kepadamu...!”

“Bohong! Kau menipu. Kau telah menghasut omongan busuk kepada Cao Cun. Kau menjelek-jelekkan aku di hadapan gadis itu!”

“Cao Cun siapa, taihiap? Gadis mana?” dayang ini gugup, bingung dan lupa pada Cao Cun karena Cao Cun di Istana Dingin lebih dikenal sebagai Wang siocia (nona Wang), ayahnya yang bupati itu lebih mengakrabkan panggilan Cao Cun sebagai Wang-siocia, jadi dayang ini lupa sejenak dan benar benar tidak tahu.

Kim-mou-eng marah dan mencengkeram tengkuk dayang itu, menjepitnya seperti besi panas. Dan ketika dayang itu mengaduh-aduh dan kesakitan minta di lepas maka Kim-mou-eng membentak, “Yang kumaksud adalah puteri Wang-taijin, Wang Cao Cun. Kau tentu tak mengingkari, bukan? Atau hidungmu ingin kupencet?”

Kim-mou-eng mengerahkan sinkangnya, jari-jari berkerotok dan tiba-tiba berwarna merah seperti api, tentu saja dayang itu kaget dan menjerit tertahan. Tiba-tiba celananya basah! Dan ketika Kim-mou-eng menghardik dan menyuruh dayang itu mengaku akhirnya dengan tangis beriba-iba dayang ini berkata, “Be... benar... aku salah, taihiap. Aku mengakui itu dan jangan bunuh aku. Aku pun hanya alat... aku...!.”

“Kau sudah mengaku?” Kim-mou-eng tak sabar, memotong. “Kau sekarang berani mengakui ini di depan Wang siocia? Kalau begitu baik, sekarang juga kau ikut aku ke bangsa Siung-nu!”

Dan Kim-mou-eng yang berkelebat tak menunggu penjelasan dayang itu tentang Mao-taijin sudah berlari cepat dan kembali meninggalkan istana, terbang dan kembali ke perkemahan bangsa Siung-nu. Perjalanan pulang balik berkali-kali begini dilakukan Kim-mou-eng hampir tujuh hari, tak heran kalau pakaiannya penuh keringat dan nyaris dekil. Bau apek dan kecut tak dihiraukan sama sekali. Dan ketika dia tiba di perkemahan itu dan Cao Cun serta Wan Hoa terbelalak melibat keadaan Kim-mou-eng maka pendekar ini sudah membanting Ma-yang di depan dua wanita itu.

“Nah, sekarang kita buktikan baik-baik. Wan Hoa. Aku yang jahanam atau siluman ini!”

Ma-yang mengeluh, tersungkur dan sudah menangis didepan dua wanita itu. Tentu saja dia mengenal Cao Cun, juga Wan Hoa, pucat dan lemas karena belum apa-apa dia sudah “down”, jatuh keberaniannya dan dua hari ini tak mampu makan minum dengan baik. Sikap Kim-mou-eng yang begitu beringas membuat dayang ini ketakutan, lagi-lagi untuk kesekian kali dia merasa nyawanya di ujung tanduk. Dan ketika Kim-mou-eng menyuruh dia bangun dan dayang ini tersedu-sedu maka dayang itu mendapat bentakan bengis,

“Sekarang katakan pada mereka apa yang sesungguhnya terjadi. Benarkah kau menyuruh keponakanmu dan bicara seperti yang kau katakan kepada Cao Cun?”

“Ampun...!” dayang ini menggigil. “Aku... aku hanya alat, Kim-taihiap... aku hanya melakukan perintah dari atas...”

“Tak perlu macam-macam. Sekarang katakan betulkah kau menyuruh keponakanmu mencariku dan aku bertemu keponakanmu itu?”

“Tidak... tidak betul...”

“Dan betulkah kau mengatakan yang macam-macam kepada keponakanmu itu sesuai pemberitahuanmu terhadap Cao Cun?”

“Tidak... tidak... ampun, taihiap... aku...”

“Dess!” dayang ini mencelat, Kim-mou-eng telah menendangnya sebegitu rupa hingga Ma-yang menjerit, terpental dan menumbuk dinding kemah hingga membalik, persis bola saja dan ketika dia menangis tak keruan dan Kim-mou-eng berkelebat mencengkeram tengkuknya maka pendekar itu sudah berkata,

“Nah, sekarang ceritakan semuanya kepada Cao Cun, dayang hina. Bersihkan namaku dan katakan kenapa kau demikian keji merusak namaku padahal selamanya aku tak pernah mengenalmu... bruk!” dan Kim-mou-eng yang melempar dayang itu di kaki Cao Cun akhirnya membuat dayang ini meledak tangisnya dan mengguguk memeluk kaki Cao Cun.

“Wang-siocia, ampunkan aku... aku bersalah. Memang apa yang pernah kukatakan padamu itu adalah bohong. Aku tak pernah mengirim keponakanku mencari Kim-taihiap. Kim-taihiap tak bersalah, aku mohon ampun dan sukalah kau membebaskan aku dari kemarahannya...!”

Cao Cun mengerutkan kening. “Jadi kau memfitnah?”

Dayang ini menangis, tersedu-sedu, mengangguk berulang-ulang dan tak dapat meneruskan kata-katanya. Sinar penuh kemarahan dari Kim-mou-eng membuat dayang ini ketakutan hebat. Cao Cun tertegun dan menjublak mendengar itu, begitu pula Wan Hoa. Tiba-tiba mereka saling pandang dan rasa penyesalan besar membayang dimuka Wan Hoa. Gadis inilah yaag paling sengit mencaci Kim-mou-eng, dialah yang paling agresip dan kasar menuduh Kim-mou-eng. Menganggap pendekar itu tak dapat dipercaya dan merendahkan cinta yang agung. Wan Hoa tiba-tiba pucat dan mulai khawatir terhadap diri sendiri, diguncang rasa berdosa yang mengganggu.

Dan ketika Wan Hoa mulai cemas sementara Ma-yang tersedu dalam tangisnya yang tak pernah reda mendadak gadis ini meloncat mencengkeram dayang itu. “Ma-yang, selama ini kau menghibur dan baik-baik kepada kami. Kaulah yang membesar-besarkan hati kami dengan penantian Kim-mou-eng. Kini kau bicara begitu rupa, apakah semuanya ini benar atau kau dipaksa Pendekar Rambut Emas itu?”

Kim-mou-eng terkejut. Cao Cun juga terkejut, kiranya Wan Hoa ini masih curiga dan sebersit syak wasangka rupanya masih membuat gadis itu tak gampang percaya. Kini dia menanya dayang itu dan pertanyaannya jelas menaruh kecurigaan tak terselubung. Cao Cun sendiri tak ada pikiran atau dugaan ke situ. Wan Hoa terang-terangan ingin mengorek pengakuan dayang itu secara tuntas. Tentu saja Kim-mou eng merah mukanya dan marah memandang gadis itu.

Tapi karena Wan Hoa memiliki hak itu dan boleh bertanya apa saja kepada si dayang maka Kim-mou-eng menunggu dan berdebar memperhatikan dayang itu, betapapun dia was-was kalau Ma-yang main gila. Persoalan yang hampir selesai tiba-tiba bisa menjadi mentah kembali kalau dayang ini mengatakan yang tidak-tidak, bahwa dia “dikompres” Kim-mou-eng misalnya.

Tapi Ma-yang yang rupanya tak ingin mengulang kesalahan dan mengguguk di depan Wan Hoa ternyata menggeleng kepala. “Tidak... tidak, Lie-siocia. Aku tak dipaksa Kim-taihiap dan mengaku sejujurnya...”

“Kalau begitu kenapa kau menjelek-jelekkan Kim-mou-eng? Bukankah Kim-mou-eng selamanya tak pernah mengganggu dirimu?”

Ini pun pertanyaan yang membersitkan curiga. Wan Hoa rupanya tak mau menyerah begitu saja mengenai masalah ini, mendorong dan memaksa diri untuk melawan rasa bersalah kalau Kim-mou-eng ternyata benar. Dia terlanjur bermain basah. Dan ketika Cao Cun kembali mengerutkan kening dan menganggap pertanyaan temannya masuk batas wajar dalam usahanya mengorek sesuatu maka Ma-yang mulai menjelaskan duduk perkaranya, kini mendapat kesempatan untuk membela diri.

“Aku memang tak ada permusuhan dengan Kim-taihiap, siocia. Tapi Sam-thaikam dan Mao-taijin memiliki permusuhan itu. Aku disuruh Sam-thaikam untuk berbuat semua kebohongan itu sementara Sam-thaikam sendiri diminta Mao-taijin untuk memfitnah Kim-taihiap. Jelasnya, aku hanya alat dan terpaksa membujuk Wang siocia atas perintah mereka.”

Wan Hoa pucat. “Sam-thaikam? Mao-taijin?”

“Ya, mereka itulah yang menyuruhku, siocia. Karena itu aku hanya alat dan ampunkan semua dosa dosaku.”

“Oooh..!” Wan Hoa terhuyung, melepaskan dayang itu dan kini pucat memandang Kim-mou-eng. Dayang itu sudah menceritakan pada mereka apa yang sesungguhnya terjadi, kali ini Ma-yang bicara jujur. Apa saja yang diragukan Wan Hoa boleh ditanyakan, kian lama gadis itu kian membelalakkan matanya.

Dan ketika semuanya selesai dan Wan Hoa mendekap dadanya maka ganti Kim-mou-eng yang menceritakan semua kisahnya, kesukaran kesukarannya dan halangan apa saja yang membuat dia tak dapat menengok Cao Cun di Istana Dingin. Betapa urusan bangsanya tentang Bi Nio membuat pusing, kaisar dituduh menghina bangsa Tar-tar dan karena itu Kim-mou-eng harus bertindak. Kematian Gurba membuat pendekar ini menjadi pemimpin bangsanya, menggantikan suhengnya itu dan Kim-mou-eng menjelaskan tanpa sedikit pun mengurangi atau menambahi semuanya diceritakan gamblang.

Dan ketika dia bicara tentang Sam-kong-kiam dan kini dikejar-kejar orang kang-ouw bahkan sumoinya pun memusuhinya hingga membuat Kim-mou-eng tak dapat memikirkan Cao Cun maka semua cerita ini seketika membersihkan nama Pendekar Rambut Emas itu dan Wan Hoa terisak, Cao Cun sendiri tertegun dan kian lama kian terharu.

Benar kiranya kepercayaan hatinya sendiri. Bahwa Kim-mou-eng bukanlah pendekar “imitasi” dan gangguan-gangguan pendekar itu memang berat. Kim-mou-eng harus menghadapinya seorang diri. Kekaguman dan cinta Cao Cun tiba-tiba muncul, wanita ini mendadak mengalirkan air mata dengan deras. Kini jelaslah sudah apa yang sesungguhnya terjadi. Bahwa lagi-lagi Mao-taijin berdiri di balik semuanya ini, menjadi dalang dari semuanya ini dan Cao Cun disambar keharuan besar melihat kesulitan-kesulitan sang dihadapi pria pujaannya. Begitu besar keharuan ini hingga Cao Cun terisak, menangis dan sudah menubruk Kim-mou-eng.

Dan ketika Wan Hoa mendelong dan merah pucat melihat sedikit pun Pendekar Rambut Emas tak dapat disalahkan maka Cao Cun sudah mengguguk menciumi wajah pendekar itu, ambrol dan lupa diri sendiri yang sudah menjadi isteri orang. “Kim-twako, maafkan kami. Kiranya kau benar-benar tak bersalah. Mao taijin lagi-lagi men jadi dalang dari semua kisah kita. Aduh, aku menyesal atas kesan jelek yang selama ini melekat di hati kami, twako. Kau maafkanlah kami berdua dan biar kelak kami berdua menjadi pelayanmu!”

Cao Cun mengguguk, menciumi perdekar itu dan mengusap air matanya dengan baju Kim-mou-eng yang dekil, tak perduli baunya dan berulang-ulang mengusap tanpa henti. Air mata wanita itu mengulirkan semacam kehangatan di hati Kim-mou-eng, merembes dan masuk sampai ke relung hati yang paling dalam.

Kim-mou-eng tersenyum penuh bahagia, senyum nikmat, senyum puas. Dia merasa berada di awang-awang yang paling indah dipeluk wanita ini. Sekarang namanya sudah bersih, rasa geram kini tertumpah pada Mao-taijin. Keparat si menteri dorna itu. Tapi ketika Cao Cun mengguguk dan menciumi dirinya mendadak tangis seorang bayi mengganggu mereka dan seorang wanita Siung-nu muncul dengan muka pucat, membopong Ituci Yashi.

“Hujin, anakmu minta mimik...!”

Cao Cun dan Kim--mou-eng kaget. Mereka berdua tiba-tiba sama sadar, Wan Hoa sudah berlari menyambar bayi laki-laki itu. Dialah yang seharusnya merawat, menyerahkannya pada Cao Cun dan Cao Cun melepaskan Kim-mou-eng. Semua orang tiba-tiba dihentak ke alam kenyataan yang lain. Kim-mou-eng tiba-tiba menggigit bibir dan menahan semacam luka di hatinya. Entahlah, melihat Cao Cun menyusui bayinya tiba-tiba membuat peadekar ini memejamkan mata. Ada semacam gangguan tidak enak di hati.

Dan ketika Cao Cun menerima bayinya dan sudah menenangkan bayinya yang menangis itu dengan sesapan buah dadanya maka tanpa diketahui seorang pun tiba-tiba Kim-mou-eng lenyap berkelebat. Pendekar ini tak mau diganggu perasaan bermacam-macam lagi, merasa urusannya selesai dan Ma-yang ditinggal di situ. Namanya telah bersih kembali, itu yang pokok. Cao Cun dan lain-lain tak tahu kalau Pendekar Rambut Emas ini telah meninggalkan kemah. Mereka semua sibuk oleh tangis si bayi yang minta mimik ibunya.

Dan ketika bayi itu sudah tenang kembali dan Cao Cun serta Wan Hoa sadar maka pertama-tama yang mencari Pendekar Rambut Emas itu adalah gadis ini, ingin meminta maaf dan menyatakan penyesalannya Wan Hoa malu tapi ingin mengakui kekalahan, betapapun Wan Hoa adalah gadis jujur. Tapi ketika tak dilihatnya lagi pendekar itu di situ tiba-tiba Wan Hoa terpekik dan kaget.

“Dia tak ada...!”

Cao Cun terkejut. Dia menoleh dan tak melihat lagi pendekar itu di situ, semuanya mencari namun gagal. Wan Hoa merasa kecewa dan tiba-tiba menangis, keluar dan mencari-cari Kim-mou-eng ke sana ke mari. Namun ketika disadarinya bahwa Kim-mou-eng tak ada lagi di situ dan Pendekar Rambut Emas lenyap sebelum dia menyatakan maafnya tiba-tiba Wan Hoa mengguguk dan meledak tangisnya.

“Kim-mou-eng, maafkan aku... maafkan aku...!” Wan Hoa berputar-putar, tak menemukan dan akhirnya jatuh terduduk di luar kemah, Coa Cun dan lain-lain sibuk menghibur gadis ini. Dan ketika Wan Hoa menubruk dan dipeluk Cao Cun maka wanita ini berkata.

“Sudahlah, aku telah mintakan maaf bagi kita berdua. Wan Hoa. Tak perlu menyesal dan bangunlah, Kim-twako telah memaafkan kita berdua, kau dan aku.”

“Tapi aku ingin menyatakan penyesalanku dengan mulutku sendiri, Cao Cun. Aku tak puas dan akan selalu dikejar-kejar rasa berdosa bila belum melakukan itu!”

“Tapi Kim-twako tak ada disini. Tanpa keinginannya tak mungkin kita bakal bertemu dengannya!”

“Itulah! Itu yang membuat aku kecewa, Cao Cun. Kalau saja tadi... ah, sudahlah, aku memang tak beruntung...” dan Wan Hoa yang menangis lagi di pelukan Cao Cun akhirnya menahan kata-katanya yang hendak mengatakan saling peluk antara Cao Cun dan Pendekar Rambut Emas tadi, bahwa itu yang membuat dia kehilangan kesempatan. Wan Hoa jadi menyalahkan diri sendiri dan berkali-kali menampari mulutnya. Dia merasa berdosa dengan mulutnya yang tajam itu, yang suka ”menyengat” Kim-mou-eng dengan kata-kata pedas.

Cao Cun tentu saja tak membiarkan sahabatnya berduka terus. Dan ketika dia menghibur dan berkala bahwa sebaiknya Wan Hoa menemaninya di kamar untuk menenangkan Ituci Yashi yang lagi-lagi menangis karena ngeri mendengar ribut-ribut itu akhirnya Wan Hoa menurut dan sadar menghentikan tangisnya, digandeng dan sudah menemani Cao Cun ke kamar pribadi. Di sini tanpa terdengar siapa pun mereka menumpahkan air mata, keduanya sama-sama menyesal.

Dan karena Kim-mou-eng telah pergi dan tak mungkin mereka bertemu pendekar itu kalau tidak atas kehendak Kim-mou-eng sendiri maka Wan Hoa melepas sesalnya dengan puasa tujuh hari melakukan puasa dan doa untuk keselamatan Kim-mou-eng. Semoga pendekar itu mau memaafkannya dan diberi selamat oleh dewa yang agung.

Cao Cun terharu dan mendekap sahabatnya ini. Kedukaan Wan Hoa berarti kedukaan dirinya pula. Dan ketika Wan Hoa mulai tenang dan dapat dibujuk untuk menerima semua kisah mereka sebagaimana adanya akhirnya Wan Hoa dapat menerima semuanya itu dan kembali mendampingi Cao Cun sebagaimana biasa, merawat dan memelihara keponakannya yang mungil, ltuci Yashi, Cao Cun sudah dianggap seperti saudara sendiri dan hubungan mereka memang melebihi saudara, itulah sebabnya anak laki-laki Cao Cun ini dianggap sebagai keponakannya pula.

Wan Hoa tak memperdulikan hubungan darah, anak Cao Cun dianggap seperti anak atau keponakannya sendiri. Dan karena Wan Hoa mulai tenang dan sedikit-sedikit mulai dapat tersenyum dan bermain-main bersama bayi laki-laki itu maka Cao Cun merasa lega dan tenang pula. Mereka berdua seolah dapat melupakan kejadian itu, di lahir tak tampak. Tapi Cao Cun yang sesekali memergoki Wan Hoa menangis sendiri di kamarnya dapat menduga bahwa penyesalan Wan Hoa belum tuntas dan karena itu ingin menemui Kim-mou-eng dan siap mengutus seseorang untuk mencari pendekar itu! Tapi, berhasilkah kiranya? Cao Cun sendiri sering menghela napas panjang.

* * * * * * * *

Hari itu dua pembesar itu sama-sama duduk berhadapan. Mereka sama-sama muram, yang satu menyilangkan kaki dengan gelisah sedangkan yang lain mengepal tinju dan melotot gemas.

“Jadi Ma-yang diculik Kim-mou-eng, taijin?”

“Ya, itu yang kudengar dari pengawalku, taijin. Dan sampai sekarang dayang itu tak kembali juga. Aku khawatir bahwa dia akan membuka rahasia.”

“Tentu. Kim-mou-eng pasti memaksanya. Keparat Pendekar Rambut Emis itu!” dan pembesar pertama yang bangkit berdiri tiba-tiba memanggil seseorang dan kakek bercakar baja muncul di situ, berkelebat dan sudah membungkuk memberi hormat.

“Ada perintah, taijin?”

“Tidak, hanya aku ingin mengajakmu bercakap-cakap. Duduklah!” pembesar itu mempersilahkan kakek ini, mata berputaran tak tenang dan kembali dia memandang temannya, pembesar kedua yaug selalu menyilang-nyilangkan kaki itu. Dan ketika mereka saling pandang dan kakek bercakar baja ini bingung maka pembesar pertama, yang bukan lain Mao-taijin adanya berkata,

“Lojin, apa yang harus kulakukan kalau Pendekar Rambat Emas itu ke sini? Apakah pengawal di luar cukup ketat berjaga?”

“Hamba mengerahkan tiga ratus pengawal pendam, taijin. Keadaan di luar tak perlu menggelisahkan paduka dan cukup aman. Hamba berani jamin.”

“Tapi pengawal saja tak cukup. Kita harus mempunyai pembantu andalan. Bagaimana pendapatmu, taijin?”

Mao-taijin menoleh pada temannya, pembesar gendut yang bukan lain Sam-thaikam adanya, pembesar kebiri yang menjadi kepala di Istana Dingin. Hari itu pembesar kebiri itu menceritakan hilangnya Ma-yang, memberitahu bahwa Kim-mou-eng datang menculik dayang ini, tentu ada hubungan dengan Wang-siocia.

Mao taijin terkejut dan pucat mendengar itu. Dan karena kepandaian Kim-mou-eng selalu menggetarkan orang dan menteri ini kecut atas pembalasan pendekar itu maka dia mau berjaga-jaga dan mengajak Sam-thaikam ini bicara. Tentu saja mau menyelamatkan diri sendiri dan bersiap-siap kalau Kim-mou-eng datang. Sam-thaikam memaklumi, bahkan thaikam ini pun juga kecut kalau Kim-mou-eng sampai mencarinya pula, dia akan dituntut tanggung jawabnya. Maka ketika Mao-taijin bertanya bagaimana pendapatnya kalau mereka memiliki pembantu andalan tiba tiba pembesar ini menggangguk.

“Benar, kita harus memiliki pembantu yang dapat dipercaya, taijin. Aku sependapat denganmu tapi tak tahu siapa orangnya yang dapat di jadikan pembantu itu. Apakah Lo-jin dapat memberi tahu kami?”

Sin-kee Lojin, kakek bercakar baja itu semburat. Sebenarnya omongan ini sama dengan ketidakpercayaan dua pembesar itu kepadanya. Sin-kee Lo-jin memang tak dapat mengalahkan Kim-mou-eng. Maka ketika orang bertanya kepadanya dan sedikit atau banyak kakek ini merasa bersalah tak dapat melindungi majikannya maka Sin-kee Lo-jin berpikir keras memberikan jawaban.

“Hamba sendiri belum mengetahui orangnya, taijin. Tapi beberapa hari ini hamba mendengar kabar munculnya dua orang sakti dari Bhutan, juga munculnya Siauw-bin-kwi yang hamba kira tewas beberapa waktu yang lalu!”

“Siauw-bin-kwi? Dia masih hidup?”

“Ya, dan bersama dua tokoh Bhutan, taijin. Tapi di mana mereka sekarang hamba tidak tahu.”

“Celaka, sialan!” dan Mao-taijin yang membanting kaki dengan gemas tiba tiba membelalakkan mata. “Eh, Lo-jin, kau bicara menyebut2 dua tokoh Bhutan. Siapa mereka ini dan bagaimana pula kepandainnya?”

“Mereka sakti, taijin Hamba mendengar mereka tak kalah sakti dengan Siauw-bin-kwi!”

“Aku tak tanya itu, yang kumaksud adalah bagaimana jika mereka melawan Kim-mou-eng. Siauw bin-kwi sendiri tak dapat mengalahkan Kim-mou-eng!”

Sin-kee Lo-jin pucat. “Maaf, aku pribadi belum tahu benar, taijin. Tapi kalau mereka bersama Siauw-bin-kwi tentu kepandaian mereka hebat. Siauw-bin-kwi kabarnya cacad, dua kakinya buntung. Dua tokoh Bhutan ini selalu menyertai dan kabarnya hampir saja menangkap Kim-mou-eng sumoinya tertangkap dan ditawan dua orang Bhutan itu.”

“Tiat-ciang Sian-li tertangkap?” Mao-taijin melebarkan mata. “Dan mereka hampir membunuh Kim-mou-eng? Ah, bagus, Lojin. Agaknya ini yang kucari-cari dan temukan mereka. Suruh dua orang Bhutan itu ke mari dan bilang ribuan tail emas siap memandikan mereka!”

Menteri itu dilanda perasaan girang, tertawa bergelak dan merasa inilah berita bagus. Dua orang sakti itu boleh disuruh datang Sam-thaikam juga bersinar-sinar. Tapi teringat Siauw bin-kwi mendadak pembesar kebiri ini mengerutkan kening.

“Ah, agaknya tak gampang. Bagaimana kalau Bin-kwi ikut mereka?”

Mao taijin teriegun.

“Ingat,” Sam-thaikam melanjutkan lagi. “Bin-kwi dan kawan-kawannya itu tak dapat kita pergunakan, taijin. Mereka dahulu telah membantu mendiang Pangeran Muda dan menyerang kaisar. Kalau kita mempergunakan tenaga mereka dan kaisar tahu tentu kita repot. Sebaiknya kita, berpikir hati-hati agar tidak menyesal di kemudian hari.”

“Hmm,” Mao-tajin mengangguk-angguk, tertawa lebar. “Yang akan kita pergunakan adalah dua tokoh Bhutan itu, taijin. Bukan Bin-kwi atau teman-temannya. Aku sudah tahu bahwa mereka tak mungkin boleh menampakkan diri lagi di sini, tapi kalau dua tokoh Bhutan itu bukankah mereka masih baru? Agaknya ini persoalan kecil, bisa diatur!”

Sin-kee Lo-jin tersenyum. Orang-orang besar memang selalu begitu, selalu bilang bisa diatur dan entah istilah apalagi lainnya, yang pada pokoknya menggampangkan persoalan dan menganggap sesuatunya remeh. Memang tampaknya optimis tapi bisa juga mencelakakan diri sendiri kalau tidak hati-hati, semuanya ini saling kait-mengait.

Dan ketika majikannya tertawa lebar dan Sam-thaikam ikut tersenyum maka pembesar ini bertanya, “Baiklah, bagaimana kalau begitu, taijin? Maukah dua tokoh iiu datang ke mari? Aku masih menyangsikan jangan-jangan si Setan Ketawa itu pun akan ikut ke mari karena mereka adalah sahabat!”

“Kau jangan kecil hati,” Mao-taijin melepas tawanya. “Bukankah kita dapat menyuruh dua orang itu menghalangi Bin-kwi? Kalau mereka mau bekerja sama dengan kita tentu mereka harus melepas si Setan Ketawa itu, taijin. Kalau tidak tentu mana akan tahu kehadiran si Bin-kwi ini dan kita sama-sama repot. Yang penting sekarang adalah bagaimana mengundang mereka, menyuruh dua orang Bhutan itu ke mari. Dan agaknya Lo-jin dapat melakukan ini!”

Sin-kee Le-jin menelan ludah. “Hamba sanggup, taijin. Tapi orang-orang kang-ouw biasanya orang-orang yang tak gampang diatur. Mereka aneh, juga kadang-kadang bersikap di luar dugaan hingga kita harus waspada.”

“Sudahlah, kau sanggup mencari mereka, bukan?”

“Tentu saja.”

“Kalau begitu sekarang kau berangkat, katakan pada mereka bahwa selaksa tail emas menanti mereka ditambah sebuah kedudukan tinggi!”

Sin-kee Lo-jin mengangguk, bangkit berdiri dan mau melompat keluar. Tapi baru dia menggerakkan kaki melompat bangun tiba-tiba tiga bayangan berkelebat dan suara yang menggetarkan dinding ruangan terdengar di situ.

“Ha-ha, tak perlu mencari kami, taijin. Kami datang!” tiga bayangan susul-menyusul berdiri di situ, begitu cepat gerakan mereka dan Sin-kee Lojin maupun yang lain-lain bengong.

Sin-kee Lojin terkejut melihat kedatangan tamu-tamu tak diundang, matanya melotot. Tapi ketika dia melotot dan dikira marah mendadak seorang di antara tiga tamu ini mengibas. “Cakar Ayam, pergilah. Tak usah mendelik di sini!”

Sin-kee Lo-jin berteriak. Tiba-tiba dia disambar tenaga begitu hebat, terangkat dan terlempar keluar, coba menahan tapi tetap kalah juga. Dan ketika Ayam Sakti itu menjijit dan bergulingan di luar maka Mao-taijin berseru keras mengangkat lengannya.

“Tahan, jangan sakiti dia....!” dan pembesar kini yang sudah berdiri bersama Sam-thaikam lalu memandang tiga tamu itu dan tertegun, melihat dua kakek tinggi besar berjajar di sebelah seorang kakek buntung, keduanya menyeringai sementara kakek yang buntung itu tertawa. Dan ketika Mao-taijin terbelalak dan kaget mengenal si buntung itu maka Sam-thaikam mendahului berseru,

“Siauw bin-kwi!”

Siauw-bin-kwi tertawa gembira. Dia memang Siauw-bin-kwi adanya, bersama dua temannya yang bukan lain Bong Kak dan Ma Tung, dua tokoh Bhutan yang baru disebut-sebut itu. Dan ketika orang mengenalnya dan Siauw-bin-kwi mengetuk-ngetukkan tongkat bambunya maka iblis ini tertawa berseru menjawab, “Benar, aku, taijin. Kalian masih mengenal aku? Dan ini teman-temanku yang kalian bicarakan itu, siap menerima selaksa tail emas dan sebuah kedudukan tinggi!”

Mao-taijin pucat. Kiranya orang-orang ini telah mendengar pembicaraannya, padahal di luar katanya ada tiga ratus pengawal pendam. Bukti bahwa betapa lihainya orang-orang ini. Dapat masuk tanpa diketahui. Dan ketika pembesar itu tertegun dan Sin-kee Lojin mengeluh melompat masuk maka Bong Kak, tokoh yang tadi mengibaskan lengannya itu siap melempar si Ayam Sakti ini kembali, buru-buru dicegah Mao-taijin yang khawatir melihat pembantunya dibuat jungkir balik.

“Jangan... tahan. Biarkan dia di sini...!” lalu menghadapi Siauw-bin-kwi yang sudah dikenalnya duluan, pembesar ini berseru, “Bin-kwi, bagaimana kalian dapat tiba di sini? Siapa dua temanmu itu?”

“Ha-ha, mereka Bong Kak dan Ma Tung, taijin. Yang ini Bong Kak, yang itu Ma Tung. Kami datang karena mendengar tawaranmu yang manis. Sekarang kami tiba dan tiap menagih janji!”

“Tapi.... tapi....”

“Hmm...!” Bong Kak maju menyeringai lebar. “Kami bertiga sahabat sejak lama, taijin. Kalau kau menyuruh kami mengusir Bin-kwi hal itu tak dapat kami lakukan. Aku tahu maksudmu, kau hendak menyuruh kami menyingkirkan si Setan Ketawa ini, bukan? Tak dapat, kami tak dapat melakukan itu...!”