Pedang Tiga Dimensi Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 07
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
Salima tak sabar, berkelebat dan tiba-tiba meninggalkan suami isteri itu, Wang-taijin terkejut dan berteriak-teriak. Tapi Salima yang tak menghiraukan panggilan pembesar itu dan sudah melesat keluar rumah lalu memulai perjalanannya yang panjang untuk menemui Cao Cun disana, sekalian jejak suhengnya kalau ketemu. Ini perjalanan baru yang membuat Salima diliputi berbagai macam perasaan. Ada girang tapi juga kasihan mendengar berita Cao Cun itu, bahwa Cao Cun telah berumah tangga dan suhengnya tak mungkin mengganggu gadis nu lagi. Ini berarti hilangnya seorang pesaing.

Betapapun Salima panas kalau Cao Cun mencinta suhengnya itu. Tapi mendengar bahwa Cao Cun jatuh ke tangan seorang pemimpin suku macam raja yang setengah liar itu ada perasaan kasihan juga di hatinya. Gadis itu seolah terbuang, benar kata Wang-taiiio. Hubungan mereka menjadi lebih lebar karena Wang-taijin merasa anaknya di dunia lain, dunia yang asing dan belum terbiasa dimasuki pembesar ini. Bupati Wang tentu saja sedih. Dan ketika dua minggu kamudian Salima berhasil memasuki perkemahan bangsa Siung-nu dan dengan kepandaiannya yang tinggi langsung menuju ke kemah besar maka secara kebetulan saat itu dia melihat Cao Cun lagi dicumbu Raja Hu.

“Ih!” Salima mundur. “Memangnya aku harus menonton orang bercinta?” muka semburat memutar tubuhnya. Salima lalu keluar dan berputar-putar di wilayah bangsa liar itu. Tidak tahu akan kematian Siga karena seluruh perhatian tercurah pada persoalan pribadi. Urusan bangsa Tar-tar memang tidak dihiraukan. Salima seolah telah melepas persoalan bangsanya sendiri untuk diurus orang-orang itu sendiri, inilah keuntungan Raja Hu.

Dan Ketika beberapa jam kemudian dia kembali dan masuk ke kemah besar maka Cao Cun yang sudah selesai menjalankan tugasnya sebagai seorang isteri baru saja mandi dan menyisir rambutnya di kamar sendirian, di mana saat itu Salima berkelebat masuk dan mengejutkan wanita ini, Ia langsung menegur Cao Cun, “Kau jangan banyak bersuara, Cao Cun. Duduk dan tetap tenanglah di tempatmu!”

Cao Cun tertegun. “Lihiap....!” serunya lirih. “Kau datang mencari siapa? Seorang diri?”

“Ya, aku seorang diri, Cao Cun. Aku mencari dirimu dan ingin bercakap-cakap. Kunci pintumu dan dengarlah pertanyaan-pertanyaanku!”

Cao Cun terkejut. Dia melihat sikap Salima yang kaku, dingin dan tidak bersahabat. Omongan gadis itu seolah perintah saja yang harus dilaksanakan. Cao Cun terisak dan mengunci pintu kamarnya. Dan ketika Salima menyuruhnya duduk berhadapan dan Cao Cun menggigil menghapus air matanya maka gadis ini menahan sedu-sedan dan tiba-tiba memegang lengan Salima, betapapun dia tak menunjukkan sikap permusuhan pada gadis Tar-tar ini.

“Lihiap, dari mana kau tahu aku ada di sini? Kau baru datang?”

“Hm!” Salima melepaskan lengannya. “Aku baru datang, Cao Cun. Dan yang memberi tahu aku tentang dirimu adalah ayah ibumu di Chi-cou!”

“Ooh...” Cao Cun sejenak berseri. “Mereka tak apa-apa, lihiap? Ayah ibuku sehat dan selamat?”

“Ya, mereka tak apa-apa, kecuali sedih. Aku telah mendengar ceritamu dan kini datang untuk menanyakan sesuatu!”

Cao Cun memejamkan mata, air matanya tiba-tiba membanjir. “Lihiap, tak adakah pesan sesuatu dari ayah ibuku di sana? Tak adakah sepucuk surat atau pemberian untukku?”

Salima tertegun. “Aku tak mengurus itu, Cao Cun. Aku datang untuk urusan pribadiku!”

“Ya, aku maklum. Dan kau pun tentu juga bersikap sekaku ini kepada orang tuaku di sana!”

Salima tiba-tiba semburat. Cao Cun menghunjamnya langsung dengan kata-kata yang lirih, tidak marah tapi begitu tepat menikam gadis Tar-tar ini. Betapapun Salima merasa bersalah karena sikapnya memang kasar, tidak lembut seperti puteri Wang taijin ini. Tapi Salima yang menjengek dan membuang rasa malu dengan senyum mencibir sudah coba menekan semua perasaannya dengan omongan blak-blakan.

“Aku memang tidak bermaksud untuk bermanis-manis muka dengan siapa pun, Cao Cun. Kalau kau menyesal atas sikapku aku pun tidak perduli!”

“Aku tahu....” Cao Cun tetap berkata halus, menghapus air matanya. “Dan aku pun juga tidak mengharap perobahan sikapmu, lihiap. Kalau kau mau berkata kasar silahkan saja, aku tahu bahwa kau adalah gadis kang-ouw. Bicaralah.”

Salima lagi-lagi terpukul. “Aku mau menanya urusan pribadimu.”

“Urusan pribadi? Urusan apa?”

“Hm, urusan pribadimu sebelum kau resmi menjadi isteri orang, Cao Cun. Pernahkah kau mempunyai kekasih bernama Bu-hiong!”

“Lihiap...!” Cao Cun tiba-tiba marah. “Pantaskah hal begitu kau tanyakan kepadaku? Pantaskah masalah begini kau ajukan kepada seseorang yang menjadi rahasia hatinya? Kalau aku tak menjawab maka kau tak dapat menyalahkan aku, lihiap. Urusan cinta adalah urusan seseorang yang tak dapat dicampuri orang lain...”

“Betul,” Salima tertawa mengejek. “Tapi urusan ini juga bisa menjadi urusanku, Cao Cun. Karena itu jawablah apakah kau pernah berhubungan dengan seseorang bernama Bu-hiong atau tidak?”

“Kalau aku tak menjawab?”

“Berarti kau perempuan tak jujur. Mungkin ada sebuah kebusukan yang sengaja kau sembunyikan.”

“Lihiap!” Cao Cun tiba-tiba membentak. “Sedemikian kejikah kau menganggap diriku? Sedemikian hinakah perempuan bernama Cao Cun ini hingga dia menyembunyikan sebuah kebusukan bersama lelaki? Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu, lihiap. Tapi katakan dulu hubungan apa yang terjadi di sini hingga kau menganggap urusan ini bisa menjadi urusanmu pula yang membuat aku tidak mengerti!”

Salima terkejut. Tiba-tiba dia ditantang untuk bersikap adil. Cao Cun memandangnya berapi2 sementara dua pasang mata mereka bentrok di udara. Salima melihat keberanian dan kegagahan gadis ini. Dan karena dia menuntut Cao Cun untuk menjawab sebuah urusan pribadi dan Ca Cun kini ganti menuntut dia untuk memberitahukan hubungannya pula terpaksa Salima tersipu merah menjawab tenang, suaranya sedikit bergetar,

“Aku menanyakan hal ini karena ada hubungannya dengan suheng. Dengan lain kata, aku ingin menguji cinta suhengku yang berhubungan dengan orang bernama Bu-hiong ini.”

Cao Cun mengerutkan kening. “Suhengmu Kim-taihiap....?”

“Ya,” Salima juga mengerutkan kening, suara Cao Cun mengandung isak dan tiba tiba dia curiga. “Apakah kau tak mengerti, Cao Cun?”

“Aku tak mengerti,” Cao Cun menggigit bibir, jelas menahan luka hati yang membuat Salima panas. “Aku tak mengerti maksud kata-kata mu, lihiap. Kenapa suhengmu bersangkut-paut dan ada hubungannya dengan persoalan ini.”

“Hmm,” Salima mulai memancing. “Orang bernama Bu-hiong ini katanya mencintaimu, Cao Cun. Tapi kau menolak cintanya karena kau mencintai suhengku. Inilah masalahnya. Sekarang aku datang untuk menanya padamu benarkah kau mencintai suhengku dan mengenal orang bernama Bu-hiong ini!”

Cao Cun tiba-tiba mendekap dada. Disebut sebutnya lagi nama Kim-mou-eng mendadak membuat hati wanita ini hancur. Teringatlah Cao Cun akan semua janji Pendekar Rambut Emas itu, akan cintanya dan penantiannya yang tak kunjung padam. Betapa dia amat mencintai pendekar itu namun Kim-mou-eng sendiri ingkar janji, dia menunggu namun pendekar itu tak pernah datang. Luka dan kekecewaan lama kambuh, Cao Cun tiba-tiba menjerit dan melempar dirinya di atas pembaringan. Dan ketika Salima terbelalak dan marah melihat semuanya itu tiba-tiba Cao Cun mengguguk dan mencengkeram guling dan bantal sekuatnya.

“Lihiap, kenapa kau mengorek-ngorek hati yang sudah hampir sembuh ini? Kenapa kau menyebut-nyebut nama suhengmu? Aduh, aku tak tahan, lihiap... aku tak tahan. Lebih baik kau bunuh aku dan biar semuanya itu lenyap!” Cao Cun mengguguk di atas pembaringannya, menutupi muka dengan bantal dan Salima tertegun.

Tapi ketika Cao Cun menangis tak keruan dan menjerit minta dibunuh tiba-tiba gadis Tar-tar ini berkelebat mencengkeram puteri Wang-taijin itu. Cemburu dan rasa bencinya timbul. “Cao Cun. kau benar ada hubungan dengan suhengku itu? Kau mencintainya? Kau menolak si Bu-hiong ini karena cintamu kepada suhengku? Keparat, kau wanita tak tahu malu, Cao Cun. Kau harus tahu bahwa suhengku adalah kekasihku. Dia punyaku, kau perampas dan wanita hina, Kubunuh kau!”

Dan Salima yang mengangkat serta membanting Cao Cun di atas lantai tiba-tiba membuat Cao Cun berteriak kesakitan dan mengaduh, mendapat dua kali lamparan dan tendangan Salima bergolak marah dan bertubi-tubi menyiksa wanita ini Cao Cun mencelat dan terguling-guling. Sungguh sial nasib Wang Cao Cun ini. Tapi ketika Salima hendak membunuh dan buas bagai harimau haus darah tiba-tiba pintu terbuka dan Wan Hoa muncul, kaget mengenal Salima.

“Tiat-ciang Sian-li, apa yang kau lakukan ini?”

Salima terkejut. Wan Hoa menubruknya dan membelotnya dengan marah, wanita ini mencengkeram Salima dan menarik sekuat tenaga, menolong Cao Cun yang menangis tersedu-sedu dengan tubuh babak belur. Kasihan putri Wang-taijin ini. Tapi Salima yang tertarik dan memutar tubuh melepas tendangan tiba-tiba membuat Wan Hoa mencelat dan ganti menjerit.

“Bress!” Wan Hoa terguling-guling, tidak takut dan sudah melompat bangun lagi dengan beringas, kini menyambar pisau yang terletak di atas meja dan menubruk gadis Tar-tar itu lagi, tentu saja disambut dengusan dan Salima menangkis pisau itu. Wan Ho terpental dan pisau pun terlepas. Tapi ketika ribut-ribut itu kian memuncak dan Wan Hoa ngotot mau menyerang lagi dengan sikap tak kenal gentar tiba-tiba Cao Cun sudah menubruk temannya berkata tersedu-sedu,

“Sudah... sudah... jangan menyerang, Wan Hoa. Jangan menyerang. Biarkan Tiat-ciang Sian-li yang gagah perkasa ini membunuh kita wanita wanita lemah. Tentu namanya akan tersohor dan kian terkenal....!”

Salima tertegun. Dia melibat Cao Cun sudah menubruk temannya itu, memeluk erat-erat. Wan Hoa berontak namun Cao Cun mendekapnya ketat, dua wanita ini tiba-tiba sama menangis dan Wan Hoa pun memeluk Cao Cun. Salima melihat pembelaan seorang sahabat sejati dari Wan Hoa itu, bukan main. Dia termangu. Tapi Wan Hoa yang tak dapat menyerang dengan tangan dan kakinya ternyata kini menyerangnya dengan kata-kata,

“Tiat-ciang Sian-li, apa dosa “Sahabatku hingga kau menghajarnya sedemikian rupa? Sudah gilakah kau hingga tak malu-malu memukul wanita lemah? Cao Cun bukan lawanmu kalau adu fisik, Tiat-ciang Sian-li. Kalan ingin bertanding dan melampiaskan kebuasanmu carilah lawan setimpal dan orang-orang dunia kang ouw. Bukan Cao Cun yang sama sekali tak bisa silat ini!”

Salima terkejut, mulai sadar.

“Dan kau tentunya tak diajar gurumu untuk bertindak sewenang wenang. Apakah Sian-su mengajarmu menyerang orang lemah agar menikmati kesenangan sadis dari hal semacam ini? Begitukah nama Dewi Bertangan Besi mendapatkan kesohorannya? Cih, aku sebagai waniia yang tak bisa silat saja malu menyaksikan sepak terjangmu, Tiat Ciang Sian-li Apalagi orang orang kang ouw yang tentu akan menemooh dan mengejekmu habis-habisan!”

Salima merah mukanya. “Kau tak perlu ikut campur. Ini urusanku dengan Cao Cun!” akhirnya Salima membuang ketidakenakannya, membentak dan teringat lagi persoalannya semula. Sahabat Cao Cun itu tajam benar mulutnya. Dan ketika dia melompat dan Cao Cun mau disambar tiba-tiba Wan Hoa sudah maju ke depan mendorong Cao Cun di belakang tubuhnya, berapi-api dengan muka yang tak kalah merah dengan Salima.

“Tiat-ciang Sian-li, kau tak dapat sembarangan di sini. Ini rumah Cao Cun, ini tempat tinggal Cao Cun. Kalau kau mau bicara padanya boleh, tapi kalau mau menyiksa dan menunjukkan kekejamanmu sebaiknya kau hadapi aku dulu. Meskipun aku tak bisa silat tapi aku akan membela sahabatku sampai titik darah terakhir. Persoalan bisa dibicarakan, tapi adu pukul dan segala bentuk kekerasan tak perlu kau pamerkan di sini. Kami berdua sudah tahu kelihaianmu. Nah, bicaralah dan bersikaplah jantan sebagai wanita kang-ouw yang sudah mendapat julukan pendekar, bukan manusia liar!”

Salima tertampar. “Kau mau mencampuri urusan kami?”

“Cao Cun sahabatku, Tiat-ciang Sian-li. Urusannya urusanku pula, tak ada yang mencampuri. Kami dua orang tapi satu hati!”

Salima marah. “Cao Cun, benarkah kata-katanya ini? Atau kau mau berlindung di balik punggung orang lain?”

Cao Cun menguguk, maju ke depan tapi cepat dilindungi Wan Hoa lagi. “Apa yang dikata memang benar, lihiap. Aku dan Wan Hoa dua jiwa tapi satu hati. Urusanku urusannya pula, tak ada rahasia di antara kami.”

“Jadi dia pun tahu pula rahasiamu?”

“Persoalan dengan Kim-taihiap tak pernah kusembunyikan pada Wan Hoa, lihiap. Apa yang kulakukan dia pun tahu.”

“Bagus, kalian rupanya sudah sekomplot!”

Tapi Wan Hoa yang menjengek dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba menyergah, “Aih, urusan suhengmu. Tiat-ciang Sian-li? Pendekar yang tak dapat dipercaya itu? Bagus, kau bicaralah dan aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu dan kau lihatlah apakah jawabanku sama dengan Cao Cun. Kau tentu akan bertanya masalah cinta mereka, akan janji-janji palsu suhengmu dan apa saja yang bersangkut-paut dengan itu. Kau tanyalah, aku tahu persis urusan ini dan ajukan apa saja yang ingin kau ketahui!”

Salima tertegun.

“Ayo, bertanyalah, Dewi Tangan Besi. Justru aku akan menceritakan semua perbuatan suhengmu yang tidak bertanggung jawab!”

Salima jadi berdebar. “Aku ingin menanyakan tentang seseorang bernama Bu-hiong.”

“Bu-hiong? Siapa itu? Cao Cun tak kenal orang ini!”

“Bohong! Dia baru saja menangis. Kau tak perlu menyembunyikan kebusukan sahabatmu dengan melindungi Cao Cun!”

Wan Hoa gusar. “Tiat-ciang Sian-li. kami berdua bukanlah wanita-wanita murahan yang suka mengobral kebohongan. Cao Cun tak kenal orang bernama Bu-hiong itu, dia tak pernah menceritakan siapa orang ini dan apa hubungannya pula dengan dia!”

“Tapi dia menangis, sahabatmu terpukul waktu aku bicara tentang orang ini dan suhengku!”

“Hm!” Wan Hoa jadi mengerutkan kening, ragu memandang Cao Cun. Tapi yakin sahabatnya tak menyembunyikan rahasia dan segala kisah Cao Cun diketahuinya baik tiba-tiba Wan Hoa mengambil sebongkok dupa dan menyalakannya semua di atas kepala Cao Cun. “Cao Cun, bersumpahlah dengan dupa ini atas nama orang tua dan nenek moyangmu bahwa kau tak mengenal orang bernama Bu-hiong ilu. Lakukan sumpahmu dan ambil kutukan yang berat untuk menjadi saksi.”

Cao Cun terkejut. Salima juga terkejut, melihat Wan Hoa sudah mengangkat sebongkok dupa yang menyala semua itu di atas kepala Cao Cun. Bukan main, sebongkok dupa, bukan satu atau dua batang melainkan sebongkok. Seratus lebih asapnya menyesakkan kamar dan Cao Cun tiba-tiba tersedu. Tapi mengangguk dan menyambar dupa itu diletakkan di atas kepala sendiri tiba-tiba Cao Cun berseru,

“Wan Hoa, disaksikan langit dan bumi dan bersumpah demi arwah nenek moyangku biarlah kunyatakan di sini bahwa aku sama sekali tak kenal mengenal dengan orang bernama Bu-hiong itu. Kalau aku dusta biarlah aku menjadi anjing selama tujuh jaman berturut-turut!”

Itulah sumpah yang berat. Cao Cun telah siap menjadi anjing dalam inkarnasi berikut, dalam jaman dunia roh kalau dia sudah meninggal, kepercayaan kuat yang saat itu memang menjadi keyakinan bangsa Tiongkok sejak ribuan tahun yang lalu. Sumpah ini dianggap berat karena rela membanting derajat sendiri dalam bentuk yang amat hina, seekor anjing, kalau dia berdusta. Dan Salima yang tentu saja tertegun dan terkejut mendengar sumpah ini segera dihadapi Wan Hoa yang bersinar-sinar memandang gadis Tar-tar itu.

“Nah, kau dengar, Tiat-ciang Sian-li. Disaksikan langit dan bumi dan bersumpah atas nama leluhur Cao Cun telah menyatakan diri sebagai tidak mengenal orang bernama Bu-hiong itu. Kau harus percaya ini. Cao Cun telah bersumpah berat. Tapi kalau kau tidak percaya juga dan masih mau menangnya sendiri kau akan kukutuk sebagai hewan yang lebih rendah dari anjingl”

Salima tergetar. “Tapi dia menangis...”

“Itu dapat kutanyakan,” Wan Hoa memutar tubuh menghadapi sahabatnya. “Cao Cun, kenapa kau menangis hingga disangka Tiat-ciang Sian-li sebagai orang yang mengenal Bu-hiong itu? Bukankah ini mencurigakan lawan kita?”

“Aku menangis karena dia menyebut-nyebut suhengnya, Wan Hoa. Aku teringat akan Kim-taihiap dan segala penderitaanku itu!”

“Hah!” Wan Hoa tiba-tiba mengerti, memang dialah yang cepat mengerti akan gerak-gerik dan sepak terjang Cao Cun, segera maklum apa yang dimaksud. “Kau dengar sendiri, Tiat-ciang Sian-li. Cao Cun menangis bukan karena orang bernama Bu-hiong itu melainkan karena kenangannya pada suhengmu, Pendekar Rambut Emas. Tapi kenapa dengan orang bernama Bu hiong ini? Apa sesungguhnya yang terjadi hingga kau menyebut-nyebut nama Bu-hiong?”

“Orang ini mencinta Cao Cun, tapi Cao Cun menolaknya karena dia mencintai suhengku!”

“Oh, begitukah? Dan kau percaya?” Salima melengak. “Tiat-ciang Sian-li,” Wan Hoa berkata lagi, nadanya mulai mengejek. “Memang tak dapat ku sangkal bahwa Cao Cun mencintai suhengmu. Suhengmu itu gagah, hebat dan pandai dia. Di antara suhengmu dan Cao Cun terdapat janji untuk saling menikah. Mereka saling mencinta, begitu yang kulihat selama ini. Tapi apa kenyataannya yang dilakukan suhengmu itu? Apa yang diperbuatnya selama Ini? Kim-mou-eng tak pernah menepati janjinya, Tiat-Ciang Sian-li, dan untuk itu Cao Cun harus membayarnya mahal. Pendekar Rambut Emas yang menjadi suhengmu itu ternyata laki-laki pembual yang tidak menepati janji. Dia memperdayai sahabatku hingga Cao Cun menunggu dan merana berbulan-bulan. Dan sebagai hasil dari semuanya itu kau lihat Cao Cun sudah menjadi isteri orang. Akulah yang tahu baik semua kisah ini, akulah yang menjadi saksi atas kebohongan suhengmu. Karena itu aku mengutuk suhengmu agar dijemput iblis kalau mati!”

“Wan Hoa....!” Cao Cun tiba-tiba berteriak, menubruk temannya itu. “Jangan keluarkan sumpah untuk dia. Biarlah Kim-taihiap melakukan apa saja yang dia suka. Tarik dan cabut kembali kata-katamu!”

“Tidak!” Wan Hoa beringas. “Aku benci orang yang tak tahu diri itu, Cao Cun. Aku benci Pendekar Rambut Emas yang tak pernah menepati janji. Kalau dia mampus biarlah dijemput iblis sampai anak cucunya. Aku benci dia... benci...!” dan Wan Hoa yang hampir kalap mengutuk sana-sini tiba-tiba ditampar dan jatuh terpelanting terkejut berseru tertahan, melihat Cao Cun berapi-api memandangnya dan berdiri tegak membungkam mulutnya.

Wan Hoa seketika ternganga dengan perasaan hampir tak percaya. Cao Cun, sahabatnya, menamparnya membela Kim-mou-eng dan kini tersedu-sedu menubruknya di lantai, minta maaf dan menciumi Wan Hoa berkali-kali tepat pada pipi yang bengap itu. Wan Hoa mengeluh. Tapi ketika Cao Cun mengguguk dan tak tahan melihat wajah sahabatnya tiba-tiba Cao Cuo bangkit berlari dan keluar menutup pintu kamar.

“Wan Hoa, maafkan aku... maafkan aku....!”

Wan Hoa bengong. Salima pucat dan merah berganti-ganti melihat adegan itu, betapa Cao Cun menampar Wan Hoa dan kini tersedu-sedu meninggalkan kamar, Wan Hoa menangis. Tapi katika dia bangkit terhuyung dan beringas memandang Salima maka gadis ini berseru,

“Nah, kau lihat, Tiat-ciang Sian-li. Inilah bukti kecintaan sahabatku terhadap suhengmu itu. Meskipun Kim-taihiap tak menepati janjinya tetap saja Cao Cun mencinta dirinya lahir batin. Sahabatku bahkan berani menamparku begitu aku menghinanya. Kalau kau tidak percaya kata-kataku boleh kau cari dan tanya pada suhengmu. Benarkah semuanya ini atau bohong!”

Salima menggigil.

“Kau tentu ragu, bukan? Nah, dengarkan ceritaku, dewi yang gagah. Dengarkan ini yang kumulai dari perbuatan menteri durjana Mao taijin itu. Betapa menteri ini membawa Cao Cun ke kota raja untuk diperas lalu dimasukkan ke Istana Dingin. Betapa suhengmu datang dan menyatakan cinta pada Cao Cun, membawa Cao Cun ke ayah ibunya lagi tapi meninggalkannya sendirian, derita demi derita kami alami tapi suhengmu dusta. Dan Karena Cao Cun menunggu-nunggu namun suhengmu tak pernah muncul juga akhirnya kaisar menyerahkan Cao Cun pada suaminya yang sekarang, dibuang dan diasingkan dari kalangan bangsanya sendiri. Adakah yang lebih besar dari duka nestapa ini? Adakah kesengsaraan yang lebih berat dari ditinggalkan kekasih dan hidup di pengasingan? Jawablah... jawablah, Tiat-ciang Sian-li. Kalau kau juga seorang wanita dan mengenal lembutnya cinta tapi sekaligus dihancurkan cintamu itu oleh orang yang kau cinta tentu kau dapat merasakan penderitaan Cao Cun. Dan inilah hasil kerja suhengmu. orang yang disebut Pendekar Rambut Emas itu!”

Salima terbelalak. Wan Hoa telah menceritakan semua kisah Cao Cun itu, dia mendengarnya dengan muka pucat. Mulai dari perbuatan Mao-tajin yang berusaha memeras Cao Cun sekeluarga sampai dimasukkannya gadis itu ke dalam Istana Dingin, tempat yang sebenarnya merupakan penjara tapi suhengnya membebaskan gadis itu lagi, membawanya ke tempat orang tuanya dan berjanji pada Cao Cun untuk melindungi gadis itu. Cao Cun sebenarnya tak mau kalau ditinggal, suhengnya berjanji tidak akan meninggalkannya tapi tetap meninggalkannya juga.

Cao Cun sedih, marah dan kembali ke Istana Dingin lagi untuk mengurung kebebasan hidup sampai mati, biarlah dia hidup di sana daripada menderita dibohongi suhengnya. Dengan jelas dan satu persatu Wan Hoa menceritakan itu semua. Dan ketika tiba pada bagian di mana Cao Cun diserahkan pada raja Hu dan dalam detik-detik terakhir Cao Cun masih mengharap pertolongan suhengnya maka Wan Hoa menjerit,

“Suhengmu itu manusia penipu, Tiat-ciang Sian-li. Susah payah aku menghibur Cao Cun agar tidak bunuh diri. Kalau saja suhengmu datang dan mendengar penderitaan batin Cao Cun tentu sahabatku tak perlu diasingkan di sini. Tapi dia munafik, pembual dan pembohong yang sepatutnya di panggang di api neraka. Terkutuk suhengmu itu!”

Salima pucat dan menggeram. Semuanya ini baru ia ketahui sekarang, hubungan Cao Cun dengan suhengnya itu memang tidak dia ketahui jelas, paling-paling disangka sebagai sahabat biasa di mana hal itu pun cukup membuatnya cemburu. Tak tahunya mereka terlibat dalam cinta yang serius, meskipun akhirnya suhengnya membohongi gadis ini. Dan membayangkan bahwa suhengnya tentu memeluk dan pernah bermesraan dengan Cao Cun tiba-tiba darah Salima bergolak dan, aneh sekali, gadis ini tertawa nyaring!

“Wan Hoa, suhengku rupanya memang orang keparat. Baiklah, kuterima semua pengaduanmu ini. Aku akan mencarinya dan membuktikan apakah benar semua yang kau katakan ini. Kalau benar, aku akan menghajar suhengku itu meskipun aku gembira sahabatmu menderita. Kalau tidak benar aku akan datang ke sini dan membunuhmu!”

Wan Hoa terbelalak. “Kau gembira melihat penderitaan sahabatku?”

“Ya, aku gembira. Wan Hoa. Suhengku itu hanya aku yang punya, dia lancang dan salahnya sendiri kenapa mencinta suhengku. Mereka berdua sama-sama tak tahu malu, aku akan menghajar suhengku itu sebelum menghajar kalian berdua!”

“Ah. kau keji, Salima. Kau yang tak tahu malu dan....”

“Plak-plak!” Salima melepas geramnya, menampar Wan Hoa hingga gadis itu terpelanting, otomatis menghentikan kata-katanya dan Wan Hoa menjerit. Salima beringas dan tertawa aneh. Wan Hoa tak dapat bangun karena kepalanya pening, memaki gadis itu dan Salima menendangnya kembal. Dan ketika Wan Hoa terjerembab dan mengeluh pingsan maka Salima keluar berkelebat meninggalkan perkemanan bangsa Siong-nu itu, marah bukan main kepada suhengnya dan entah kepada siapa lagi, kedatangannya ke situ malah membuat perasaannya terbakar.

Sungguh tak dapat di terima kalau suhengnya pernah bercintaan dengan puteri Wang-taijin itu, meskipun sekarang Cao Cun telah menjadi isteri orang lain. Dan karena perasaan marah ini sedemikian membakar Salima hingga, kepala terasa cekot-cekot maka Salima menuju Chi-cou untuk menghajar bupati Wang itu!

“Anakmu tak tahu malu, berani dia mencintai suhengku tanpa sepengetahuanku. Nah, kau sebagai orang tuanya ikut bertanggung jawab, bupati Wang ini hadiah dariku uutuk kelancangan anakmu...”

“Des-dess...!”

Salima menendang, membuat sang bupati mencelat dan berteriak-teriak tak tahu apa yang terjadi, tiada hujan tiada angin gadis Tar-tar ini menghajarnya. Bupati iiu tunggang langgang dan kelabakan serta kaget melihat kemarahan Salima, dibuat jungkir balik dan segera memanggil pengawal, kemudian disambut kemarahan yang lebih lagi dari gadis ini. Pengawal pun menjadi korban. Dan ketika bupati itu pingsan dan pengawal malang melintang di ruangan itu Salima sudah berkelebat keluar dengan perasaan sedikit longgar, kemarahannya telah mendapatkan sasaran dan tubuh yang babak-belur di Chi-cou itu meringankan dadanya.

Tapi karena sumber utama belum didapatkan dan sumber itu adalah suhengnya sendiri maka Salima tak puas dan pergi mencari suhengnya ini, berminggu-minggu dan berbulan-bulan dia merantau. Urusan bangsa Tar-tar sungguh tak dihiraukan. Dan karena cemburu serta panasnya hati membuat gadis ini menjadi galak maka gangguan setiap penjahat yang coba menghadangnya di jalan mendapat pukulan keras di mana mereka itu paling ringan cacad seumur hidup.

Salima menjadi beringas. Cinta yang dikhianati membuat gadis ini gampang tersinggung. Orang menjadi takut menghadapi gadis Tar-tar ini. Jangankan mendekat, beradu pandang saja dari jauh cukup membuat orang keder. Mata gadis itu ganas dan beringas. Dan ketika perjalanan demi perjalanan dilakukan gadis itu dan tiada henti-hentinya Salima mencari namun tetap selalu seja gagal akhirnya Salima putus asa dan menangis di sebuah hutan ketika pada bulan ketujuh dia tak berhasil menemukan suhengnya itu.

Kemana Kim-mou-eng? Bagaimana sekian bulan tak muncul di dunia kang-ouw? Untuk menjawab pertanyaan ini kita memang harus menengok ke belakang.

* * * * * * * *

Seperti diketahui, setelah keluar dari Jurang Malaikat di mana Pendekar Rambut Emas bertemu dengan gurunya Kim-mou-eng langsung menuju ke utara. Dia mendapat nasihat untuk kembali ke suku bangsanya itu, berlari cepat dan tiba di padang rumput hanya untuk melihat tempat yang sudahi kosong. Kim-mou-eng ternyata terlambat. Batas waktu perjanjiannya dengan bangsa Tar-tar memang terlewati. Suku bangsanya itu sudah melakukan serangan ke kota raja. Dan karena hal ini mencemaskan Kim-mou-eng dan cepat dia ke luar lagi maka Pendekar Rambut Emas ini menuju ke selatan untuk mengejar suku bangsanya.

Namun sekali lagi dia terlambat. Bangsa Tar-tar terlanjur jauh masuk ke dalam, kegegeran akibat perang menghambat perjalanannya. Banyak pintu-pintu gerbang di kota-kota besar ditutup, hal ini membuat Kim-mou-eng mengeluh. Dan ketika dia maju dengan lambat dan bekas serbuan suku bangsanya meninggalkan jejak-jejak berdarah maka Kim-mou-eng merintih dan menutup muka melihat korban korban yang berjatuhan. Pendekar ini terpukul, tersayat dan acap kali harus berhenti menolong orang-orang tua atau anak-anak yang terinjak kuda, keedaan memang semrawut.

Dan karena perjalanannya banyak terhalang ini itu di mana semuanya ini semakin memperlambat pertemuannya dengan suku bangsa Tar-tar akhirnya Kim-mou-eng mendengar serbuan bangsa Siung-nu yang mengalahkan suku bangsanya itu. Di sini Kim-mou-eng mendengar tewasnya Siga. Dengan haru namun marah dia mendengar kematian pembantunya yang gagah perkasa itu.

Betapa dengan tombak di tangan Siga tetap melawan musuh-musuhnya, tewas dan roboh dengan senjata tetap melekat. Ini kematian yang heroik. Dan ketika dia tertegun dan bangsa Tar-tar cerai berai melarikan diri maka secara kebetulan suatu hari dia bertemu dengan Bora dan beberapa anak buahnya, ketika mereka mencoba lari keluar tembok besar.

”Kim-taihiap, aduh....!” Bora tersandung, berteriak, gembira tapi terjungkai ketika melihat Kim-mou-eng ada di situ, Kim-mou-eng hendak memasuki sebuah hutan.

Dan ketika anak buahnya yang lain juga berteriak gembira dan menjatuhkan diri berlutut maka beramal-ramai pasukan kecil yang kalah perang ini berseru, “Taihiap, kami dikalahkan bangsa Siung-nu. Siga tewas di tangan Raja Hu!”

“Dan kami terpukul mundur, taihiap. Bangsa Tar-tar hancur dan harus melarikan diri seperti anjing anjing buduk!”

Kim-mou-eng panas, merah mukanya, “Kalian bangunlah, mana yang lain dan mana pula sumoiku.”

Bora meringis. “Lihiap tak bersama kami, taihiap. Kami menyerbu sendiri tanpa pimpinannya!”

“Ke mana dia?” Kim-mou-eng mengerutkan alis.

“Kami tak tahu, inilah sebabnya kami kalah. Kalau saja kau atau lihiap ada di antara kami tentu Raja Hu dan dua panglimanya itu tak dapat mengalahkan kami!”

“Hm, mari kita duduk di sana,” Kim-mou-eng menuding sebuah tempat yang enak, mendahului melompat ke sini. “Coba kalian ceritakan selengkapnya dan kenapa sumoi tak ikut kalian?”

Bora menunjukkan penyesalannya. “Lihiap tak mau karena mengkhawatirkan dirimu, tathiap, ingin mencarimu dan karena itu meninggalkan kami.”

“Dan kalian diam saja?”

“Siapa dapat membantah keinginannya? Kami sudah membujuk dan mencegahnya, taihiap, tapi gagal dan lihiap meninggalkan kami tanpa pamit!”

Kim-mou-eng menarik napas. Memang dia tahu kekerasan hati sumoinya itu, keinginannya yang kuat dan sekeras baja, tak banyak orang yang dapat menundukkan sumoinya ini. Dan ketika Bora mulai menceritakan pengalaman suku bangsanya menyerbu dan menyerang istana maka Bora berapi2 mengakhiri ceritanya,

“Kami hampir berhasil, tapi gagal setelah bangsa Siung-nu muncul. Kalau saja mereka tak memiliki kekuatan fisik seperti bangsa Tar-tar tentu bangsa Han sudah kami gilas dan kaisar kami bunuh. Sayang, lihiap atau taihiap tak ada bersama kami. Kami harus menelan kekalahan ini dan mohon sukalah taihiap balaskan sakit hati bangsa Tar-tar dan menyiapkan kami untuk menebus kekalahan!”

Kim-mou-eng muram. “Bora, pertumpahan darah adalah hal yang paling tak kusukai. Aku dapat mendidik dan membangun kalian menjadi pasukan-pasukan yang tangguh, tapi apa guna itu semua kalau hanya berlandaskan dendam? Dulu sudah kuperingatkan kalian untuk tidak menyerbu kota raja, Bora. Namun kalian dibakar emosi sendiri untuk perang dan mempergunakan kekerasan!”

“Ah, itu karena hinaan kaisar, taihiap. Kalau saja kaisar tak menghina bangsa Tar-tar dalam persoalan Bi Nio tentu kami juga tak akan membalas sakit hati. Taihiap jangan menyalahkan kami...!”

“Benar, dan aku menyesal atas semua kejadian ini, Bora. Hubungan kita sekarang menjadi buruk dengan istana. Kaisar ternyata menyangkal tuduhan itu, aku telah datang ke sana dan bicara tentang ini.”

Kim-mou-eng lalu menceritakan pertemuannya dengan kaisar, betapa kaisar menolak memberikan selir yang hamil karena saat itu Bi Nio masih bersih. Anak yang dikandung Bi Nio adalah benar dari Gurba sendiri, kaisar sudah tak mengganggu Bi Nio karena selir itu sudah diserahkan ke Gurba, demikianlah pernyataan kaisar. Dan ketika Bora dan teman-temannya tertegun karena Kim-mou-eng memberikan penjelasan begitu maka seorang di antara mereka tiba-tiba nyeletuk,

“Kalau begitu anak Bi Nio tentu hitam, taihiap. Telah kau lihatkah anak itu di tempat kaisar?”

Di sini Kim-mou-eng terpaksa berbohong. “Aku telah melihat anak itu, memang benar, hitam. Tapi karena Bi Nio masih menyusui anaknya dan tak dapat kubawa pada kalian maka biar lain kali saja dia kubawa.”

Bora termangu, teman-temannya juga begitu. “Jadi tuduhan, kami salah?”

Mereka tak menduga kebohongan Kim-mou-eng, mempercayai pendekar ini karena Kim-mou-eng memang tak pernah bohong. Baru kali ilu terpaksa melakukannya demi mencegah timbulnya salah paham yang makin besar, betapa pun Kim-mou-eng melihat kesungguhan kaisar dan masih ragu atas peristiwa hilangnya anak Bi Nio, anak yang katanya ditukar seseorang dan karena itu pendekar ini harus berhati-hati menyajikan berita, menganggap sebaiknya menutupi dulu persoalan itu agar Bora dan teman-temannya ini, bangsa Tar-tar ini, tidak menjadi dendam dan sakit hati. Kebohongan untuk mencegah timbulnya keruwetan yang lebih besar memang mulai menjadi “kebijaksanaan” Kim-mou-eng, aneh. Dan ketika Bora dan teman-temannya mulai menyesal atas kesembronoan mereka maka pendekar ini mengangguk.

“Benar, tuduhan kalian salah, Bora. Karena itu kekalahan kalian sekarang hitung hitung sebagai pembayaran atas kelalaian kalian sendiri.”

“Tapi kami menyerbu kota raja karena taihiap tak menepati janji. Bangsa Tar-tar menunggu-nunggu taihiap yang tak kunjung datang!”

“Benar,” Kim-mou-eng mau disalahkan. “Aku salah dalam hal ini, Bora. Tapi tahukah kalian apa yang terjadi hingga aku tak dapat kembali pulang? Tahukah kalian bahwa aku dikejar-kejar dan nyaris dibunuh gara-gara Sam-kong-kiam? Aku tak dapat pulang karena dihadang ratusan orang kang-ouw, Bora, dan tak mungkin bertemu kalian lagi kalau guruku tidak datang!”

“Ah, Sian-su muncul?”

“Ya, tapi itu pun untuk menyelamatkan aku, Bora. Bukan untuk membalas atau membunuh orang-orang yang hendak membunuhku itu!”

Bora semburat. Kim-mou-eng lalu menceritakan peristiwa yang dialaminya itu. Betapa dia dikeroyok dan dikejer-kejar orang kang-ouw, dihadang dan diserang karena semua telah menganggap bahwa dialah pencuri Sam-kong-kiam. Bora mendengarkan dengan mata terbelalak. Dan ketika Kim-mou-eng menyelesaikan ceritanya dan Bora serta teman temannya mengangguk tanda mengerti tiba-tiba pemuda ini mengeram sambil mengepal tinju.

“Kalau begitu taihiap harus mencari pencuri asli ini, harus membersihkan nama dan membekuknya. Apakah kami dapat membantu?”

“Tidak, kalian pulang saja. Bora. Urusan ini tak dapat kumintakan tolong kalian. Hanya sumoiku yang dapat membantuku dalam persoalan ini. Karena itu kalian pulang dan kembali saja ke tempat kalian.”

Bora menarik napas kecewa. “Kami memang bodoh, taihiap. Kalau saja kami memiliki kepandaian tinggi tentu tenaga kami amat kau butuhkan. Baiklah, kami tahu diri dan biar kami pulang sambil menantimu di sana.”

Kim-mou-eng mengangguk. Sekarang Bora tak mengungkit-ungkit lagi masalah Bi Nio itu, untuk sementara keadaan aman. Bora diminta untuk mencari teman-temannya yang lain dan mengajak mereka itu kembali ke padang rumput, sekalian memberitahukan apa yang telah didengarnya dari Kim-mou-eng, pemuda Tar-tar itu berjanji. Dan ketika mereka berangkat dan Kim-mou-eng ditinggal sendirian maka pendekar ini tepekur di pinggir hutan itu. Apa yang harus dia lakukan?

Pertama tentu mencari si pencuri, ini penting. Lalu mencari sumoinya dan memberitahukan keselamatannya itu. Sumoinya tentu mendengar dan cemas akan nasibnya, jangan-jangan sumoinya malah terlibat pertempuran dengan orang-orang tak bersalah. Sumoinya itu ganas dan gampang marah, dia harus mencegah dan mencari sumoinya. Dan ketika Kim-mou-eng menetapkan hati dan bangkit berdiri akhirnya pendekar ini meneruskan perjalanan dan bergerak ke timur.

Minggu demi minggu dilewati pendekar ini. Kim-mou-eng berhati-hati menginjakkan kakinya di setiap daerah. Maklum, dia sudah amat dikenal dan gampang dicari orang. Dan ketika perjalanannya belum membawa hasil dan beberapa bulan kemudian dia tiba diwilayah pegunungan Heng san mendadak tanpa sengaja dia bertemu dengan dua orang nenek yang terkekeh-kekeh membawa seorang bayi, di mana seorang wanita muda diseret dan menangis tersedu-sedu.

“Aduh, ampun, ji-wi locianpwe (dua orang tua sakti)... ampun... kakiku lelah, aku capai...”

“Heh-heh, kau capai? Kalau begitu naiklah, kau boleh duduk di sini, heh.... heh!” dan seorang di antara dua nenek itu yang menangkap dan mencengkeram pundak wanita muda ini tahu-tahu sudah mengangkat si wanita muda itu duduk di atas pundaknya, terkekeh dan tertawa-tawa melihat temannya, nenek yang satu, melempar-lempar si bayi ke udara yang tentu saja membuat bayi itu menjerit-jerit.

“Heh-heh, kau anak baik, buyung. Tulang dan tengkorak kepalamu menunjukkan tanda-tanda luar biasa. Kau memiliki tulang istimewa, kau cocok menjadi murid kami. Heh-heh, tak rugi ibumu melahirkanmu...!”

Dan dua nenek ini yang terus terkekeh dan berjalan terseok-seok akhirnya membuat Kim-mou-eng tertegun dan menghentikan langkah, sekaligus dia menangkap sesuatu yang luar biasa pada nenek ini, mereka terus berjalan sementara si wanita muda tetap merintih, agaknya wanita itu ketakutan menghadapi nenek-nenek ini. Dan ketika Kim-mou-eng mengerutkan kening dan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi maka nenek di sebelah kanan yang melempar-lempar bayi tiba-tiba mencongkel sebuah batu dan berseru.

“Heh, ada sepasang mata melotot ke sini. Biar kucoblos sampai bulat”

Kim-mou-eng terkejut. Si nenek yang bicara seolah main-main itu mendadak mencongkel batu yang melesat ke matanya, gerak batu itu seakan meteor terbang, begitu cepat dan amat luar biasa. Tahu-tahu sudah di depan mata dan siap menghajarnya. Sekail kena tentu pecah matanya! Dan Kim-mou-eng yang tentu saja mengelak dan mengebutkan lengan tahu-tahu menangkis dan menyampok batu itu.

“Plak!”

Kim-mou-eng terkesiap. Untuk kedua kali dia dibuat terkejut oleh kenyataan ini, lengannya terpental dan pedas serta ngilu, batu terpukul runtuh sementara dua nenek itu hilang begitu saja seolah iblis. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan celingukan ke sana-sini mendadak tepat di atas kepalanya terdengar kekeh nyaring yang membuat pendekar ini kaget bukan main karena dua nenek itu ternyata sudah bergelantuugan di atas sebuah dahan dengan posisi terbalik, kaki di atas sementara kepala di bawah, persis di atas kepalanya!

“Heh heh, kau Kim-mou-eng, bocah? Kau murid Bu-beng Sian-su?”

Kim-mou-eng mencelat mundur. Gerak orang yang bagai siluman saja tanpa diketahui kapan beradanya sudah cukup membuat Kim-mou-eng mencelos, berjungkir balik dan sudah melihat dua nenek itu berjungkir dengan kepala di bawah mirip kalong, mereka terkekeh dan geli memandangnya, bayi dan wanita muda itu ada di gendongan mereka secara terbalik pula. tak ada yang berteriak karena mereka rupanya sudab ditotok, itulah sebabnya Kim-mou-eng tak mendengar suara sedikit pun dan keberadaan nenek itu di atas kepalanya membuat dia terkejut. Dan ketika dia terbelalak dan dua nenek ilu terkekeh geli maka Kim-mou-eng berhasil menekan guncangan hatinya dan bertanya,

“Looianpwe, siapakah kalian dan kenapa menyerang orang tak bersalah? Bukankah kita tak kenal-mengenal?”

“Heh-heh, kau bersalah karena mengintai kami, Kim-mou-eng. Dan lebih bersalah lagi karena kau murid Sian-su!”

“Locianpwe kenal guruku?”

“Wut!” mendadak dua nenek itu berjungkir balik, turun dan sudah berdiri di depan Kim-mou-eng dengan kaki di tanah, Kim-mou-eng melihat sorot yang begitu ganas dari dua nenek ini, mereka hampir kembar. Pandang mata mereka begitu tajam dan menusuk, tanpa terasa Kim-mou-eng surut selangkah dan tergetar. Dua bola mata nenek itu bagai ujung pedang mustika. Iweekeh (tenaga dalam) yang memancar dari sorot mata mereka begitu mengguncang jantung. Roboh kiranya orang-orang yang tak memiliki daya batin tinggi.

Dan Kim-mou-eng yang cepat menarik napas tiga kali dan membayangkan wajah gurunya tiba-tiba berhasil menolak daya serang dari sorot mata yang ampuh itu, menjura dan cepat-cepat mengumpulkan semangatnya untuk menghadapi dua nenek yang kiranya dahsyat ini.

Mereka orang-orang sakti, belum pernah seumur hidup Kim-mou-eng hampir menyerah dalam beradu pandang. kecuali dengan gurunya. Dan ketika degup jantung tenang kembali dan dua nenek itu berseru kagum maka Kim-mou-eng sudah berkata dengan sopan dan hati hati, “Locianpwe, siapakah ji-wi (anda berdua) yang agaknya telah mengenal diriku dengan baik? Apakah ji-wi dari barat?”

“Heh-heh” seorang di antara dua nenek itu tertawa memuji. “Kau hebat, Kim-mou-eng. Agaknya gurumu si manusia dewa itu telah membekalimu dengan kekuatan batin yang tinggi. Kami Sepasang Dewi Naga, apakah gurumu tidak pernah menceritakannya kepadamu?”

“Sepasang Dewi Naga?” Kim-mou-eng mengerutkan kening. “Guruku tak pernah menceritakannya, locianpwe. Maaf kalau aku tidak tahu!”

“Hmm. kau tentu tidak tahu. Kami tokoh-tokoh yang hidup pada jaman empat generasi dari leluhur kaisar sekarang, Kim-mou-eng. Kami adalah Sepasang Dewi Naga yang kini sudah berusia dua ratus tahun!”

“Dua ratus tahun?” Kim-mou-eng ternganga. “Maksud locianpwe bahwa locianpwe sudah hidup pada jamannya dinasti Han?”

“Ya, itulah kami. Karena itu tak ada generasi sekarang yang mengenal kami kecuali gurumu!”

“Ooh....” dan Kim-mou-eng yang bengong serta takjub memandang dua nenek ini tiba tiba membungkuk dan memberi hormat saking kagumnya. “Locianpwe, maafkan aku. Ji-wi kiranya orang-orang yang sudah hidup pada jamannya ayah dari kakek buyutku!” tapi si nenek di sebelah kanan yang tiba-tiba mendengus dan tertawa aneh mendadak mengibaskan lengannya.

“Kau tak perlu berbasa-basi. Kami paling benci sikap yang begini ini!” dan angin pukulan dahsyat yang menyambar Kim-mou-eng dari gerak kebutan itu tiba-tiba mengangkat naik pendekar ini untuk akhirnya melontarkannya ke sebatang poboo di belakang, membuat Kim-mou-eng terkejut bukan main dan berseru keras, cepat berjungkir balik membebaskan diri dari arus dorongan yang amal luar biasa ini, berhasil dan mendengar dentuman keras di belakang. Dan ketika dia melayang turun dan hinggap di tanah dalam jarak yang sama dengan kedua nenek di depan maka Kim-mou-eng mengeluarkan keringat dingin melihat pohon di belakangnya itu tumbang dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Dahsyat sekali!

“Locianpwe, kau kejam. Kenapa selalu menyerang dan hendak membunuh orang?”

“Heh heh, kau pandai, Kim-mou-eng. Bagus dan cepat sekali elakanmu tadi!” nenek di sebelah kanan tak perduli, memuji dan bersinar-sinar memandang Kim-mou-eng yang marah kepadanya. Sedikit terlambat tentu dia tewas!

Kim-mou-eng bergidik. Tapi nenek ini yang sudah melangkah maju dan melempar wanita di cengkeramannya tiba-tiba menggosok kedua tangannya dan tersenyum berkata, tetap tak menghiraukan kemarahan lawan, “Kau mendapat kepandaian apa saja dari Sian-su? Berani kau main-main denganku?”

Kim-mou-eng surut setindak, berdebar. “Locianpwe, guruku tak mengajariku untuk bermusuhan dan mencari permusuhan dengan orang lain. Aku tak ingin bertempur, harap kau tidak memaksa agar aku yang muda tak sampai kurang ajar.”

“Heh-heh, kau takut?”

“Tidak, aku hanya menghormatimu, locianpwe. Aku tidak takut dan tak akan takut selama aku berada di jalan kebenaran!”

“Bagus, kalau begitu untuk apa kau datang? Bukankah kau mengintai kami?”

“Aku curiga melihat wanita yang menangis sepanjang jalan ini, locianpwe. Dan juga bayi yang kalian bawa itu. Aku datang karena ingin mencari keterangan!”

“Heh-heh, bocah ini pintar bicara, Toa-ci (kakak). Bagaimana pendapatmu?” nenek itu tiba-tiba menoleh pada temannya, tertawa dan Kim-mua-eng heran melihat nenek ini masih memiliki gigi gigi depan ompong sebagian tapi belum sepenuhnya. Heran!

Dan ketika nenek yang satu tersenyum dan Kim-mou-eng juga melihat hal yang sama pada nenek ini maka nenek itu berkata, “Ji-moi (adik), bekuk dan tangkap saja dia. Lihat seberapa lama dia dapat bertahan!”

“Heh-heh, kalau begitu aku harus merobohkan si tampan ini? Atau membunuhnya sekalian, toa-ci?”

“Jangan, dia cukup sopan. Robohkan saja dan gantung dirinya dengan posisi terbalik.”

“Seperti jengkerik?”

“Ya, seperti jengkerik!”

“Bagus, dia akan kubekuk!” dan si nenek yang siulan menghadapi lagi Kim-mou-eng dengan kekeh yang aneh tiba-tiba berseru. “Bocah, sekarang bersiaplah. Aku akan menjemurmu!”

Tapi Kim-mou-eng yang melompat ke belakang dan berseru memotong tiba-tiba membentak, “Nanti dulu, aku ingin bertanya!” dan Kim-mou-eng yang marah direndahkan seperti itu sudah cepat menyambung, “Ji-wi locianpwe, kalian kiranya begitu percaya akan gampang merobohkan aku. Bakiah, sebelum aku melawan katakan dulu siapa wanita dan bayi ini. Kenapa kalian menyeret-nyeretnya dan bersikap kejam!”

“Heh-heh, wanita ini aku tak tahu, Kim-mou-eng. Tapi bayi itu kami ambil dari istana.”

“Dari istana?” Kim-mou-eng terkejut, memang sudah curiga karena melihat kulit bayi yang hitam, jangan-jangan anak Bi Nio. Dan Kim-mou-eng yang tertegun tapi cepat menekan guncangan hatinya lalu membentak, “Kalau begitu kalian menculik anak Bi Nio, locianpwe. Bocah ini adalah putera mendiang suhengku, jadi ini murid keponakanku juga!”

“Betul,” nenek itu terkekeh. “Kami juga mendengarnya begitu dari ibunya, Kim-mou-eng. Tapi kami tak perduli. Anak ini memiliki bakat dan tulang istimewa, kami ingin mengambilnya sebagai murid!”

Kim-mou-eng kaget sekarang. Dia tak jadi menduga-duga siapa penculik anak Bi Nio, keraguannya terhadap kaisar lenyap seketika dan kemarahannya terhadap dua nenek ini memuncak. Ternyata benar, anak Bi Nio diculik dan kini dua nenek itu mengaku. Tak perlu lagi mencari-cari. Tapi Kim-mou-eng yang dua kali merasakan kelihaian nenek itu dan sadar berhadapan dengan tokoh yang amat sakti tiba-tiba menekan kemarahannya dan melompat maju, berkata dengan suara rendah,

“Locianpwe, perbuatan kalian benar-benar tidak terpuji. Ibu dari anak ini masih hidup, begitu pula aku sebagai paman gurunya. Kenapa kalian main culik dan bertindak sewenang-wenang? Bukankah sebagai kalangan tua ji-wi harus tahu bahwa perbuatan ini salah? Kembalikan anak itu, locianpwe, dan bebaskan pula wanita ini yang tidak tahu-menahu persoalan!”

“Heh, kau enak saja bicara? Wanita ini kami perlukan air susunya, bocah ini sudah menjadi milik kami dan akan mewarisi semua kepandaian kami. Kami tak membunuhnya sudah untung, Kim-mou-eng. Jangan kurang ajar dan membuat kami marah!”

“Kalau begitu ji-wi akan berhadapan dengan aku. Maaf aku bersikap kasar!” dan Kim-mou-eng yang membentak dan sadar tak mungkin dapat membujuk tiba-tiba berkelebat ke depan melancarkan pukulan, untuk pertama kali menyerang dan langsung mengerahkan Tiat-lui-kangnya, sinar merah berkelebat dan angin pukulan panas menyambar nenek itu. Nenek ini terbelalak. Tapi ketika pukulan panas itu menampar mukanya dan nenek ini terkekeh tiba-tiba dia melejit dan menggerakkan lengan kirinya pula.

“Cess...!” Kim-mou-eng terkejut. Pukulan seperti es menyambar pukulan panasnya, Tiat-lui-kang lenyap dan pukulan dingin ganti menerobos dirinya. Tubuh tiba-tiba serasa dingin seperti direndam es, terkejutlah Kim-mou-eng karena itu tanda sin-kangnya kalah kuat. Hebat nenek ini. Tapi Kim-mou-eng yang mengelak dan cepat melompat tinggi tiba-tiba menendang nenek itu dengan ujung kakinya, diegos dan bertubi-tubi kemudian Kim-mou-eng sudah melancarkan serangan yang lain, dia terkesiap bahwa untuk kesekian kalinya dia merasakan getaran lebih kuat dari angin pukulan lawan. Nenek ini memang sakti. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebatan dan berseru keras mengelilingi lawan maka nenek ini terkekeh mengikuti gerakannya.

“Bagus, kau boleh serang aku, bocah. Tapi setelah itu bersiap-siaplah untuk roboh!”

Kim-mou-eng merah mukanya. Dia penasaran dan terus melancarkan pukulan pukulan Petir, tamparan dan tendangan bertubi-tubi menghujani nenek ini. Sang nenek menangkis dan mengeluarkan pukulan dinginnya, berkali-kali suara “cas-ces” terdengar dan Kim-mou-eng selalu terpental. Pendekar kita kalah kuat! Dan ketika nenek itu tertawa tawa dan nenek yang satu juga terkekeh maka Kim-mou-eng mendengar ejekan nenek yang di luar pertempuran itu,

“Ji-moi, murid si kakek dewa Bu-beng Sian-su ternyata hanya sebegini saja kepandaiannya, Kauhentikanlah main main ini dan robohkan dia!”

“Heh heh, aku ingin menguras semua keringatnya, toaci. Biar dia roboh sendiri setelah lelah. Bocah ini masih menyimpan beberapa kepandalan lain. Pit di balik bajunya itu belum dikeluarkan dan Pek-sian-ciang juga belum diperlihatkan!”

Kim-mou-eng terkejut bukan main. Dia sudah mati-matian mengeluarkan pukulan Petir, berkali-kali pukulannya itu meledak tapi selalu tertolak buyar, kalau bukan lawan yang demikian sakti tak mungkin pukulannya itu gagal. Kini si nenek mengetahui pit yang disimpannya di balik baju dan mengejek tentang Pek-siang-ciangnya, betapa lihainya nenek ini. Betapa awas! Dan ketika Tiat-lui-kangnya mulai membalik dan nenek itu terkekeh-kekeh menyuruh dia mencabut senjatanya maka untuk pertama kali selama hidupnya Kim-mou-eng mencabut pit-nya itu menghadapi lawan yang bertangan kosong.

“Baiklah, kau yang menghendaki, locianpwe. Kau memang lihai dan aku akan mengeluarkan semua kepandaianku!”

“Jangan sungkan, kau pun boleh mengeluarkan Tangan Dewamu (Pek-sian-ciang), Kim-mou-eng. Dan aku tak akan membalas sampai sepuluh pukulan lagi!”

Kim-mou-eng menggeram. Dia benar-benar marah dan penasaran mendengar kesombongan lawan, nenek itu tak akan membalasnya dalam sepuluh pukulan berikut. Baik, dia akan mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, tak akan lengah dan akan mempergunakan semua kepandaiannya. Dan begitu lawan melompat dan terkekeh membiarkan pit-nya menyerang sebelah kiri tiba-tiba Kim-mou-eng membalik dan bertubi-tubi menggerakkan pit di tangan kanan sementara tangan kiri terus melancarkan Tiat-lui-kang, gagal dan dia kaget karena pukulan yang luput selalu membuat tubuh sendiri terhuyung, pendekar ini menggigit bibir dan maklum bahwa dia benar-benar menghadapi lawan yang jauh di atas dirinya sendiri, mungkin hanya gurunya yang mampu menghadapi nenek ini.

Dan ketika tujuh pukulan berturut-turut lolos dan mental atau mengenai angin kosong dielak si nenek sakti maka nenek itu berseru, “Kim-mou-eng, lepaskan Pek-sian-ciang. Tiga pukulan Tangan Dewamu akan kuterima tanpa kubalas!”

Kim-mou-eng naik darah. Dia benar-benar direndahkan sekarang. Ilmu Tangan Dewanya itu adalah ilmu terdahsyat yang dia miliki, jarang di gunakan kalau tidak perlu. Ilmu ini terlampau mahal untuk dikeluarkan. Tapi karena lawan berhasil mementalkan semua pukulannya dan Tiat-lui-kang yang panas itu selalu dirontokkan lawan di tengah jalan akhirnya apa boleh buat pendekar ini menggereng mempergunakan sisa tiga pukulan terakhir, sadar bahwa di sana masih ada seorang nenek lagi yang belum dilayaninya. Mungkin nenek itu malah lebih hebat karena dia adalah sang toaci (kakak), bergidik Pendekar Rambut Emas ini membayangkan kepandaian lawan.

Maka begitu sang Ji-moi (adik) berani berkata bahwa dia akan menerima sisa tiga pukulan terakhir dan dia disuruh mengeluarkan Pek-sian-ciangnya maka Pendekar Rambut Emas mengeluarkan bentakan yang membuat bumi tergetar, disusul ledakan keras dan munculnya cahaya berkilau dari dua lengannya. “Locianpwe, awas pukulan mautku... clap!”

Dan sinar berkeredep yang meluncur bagal bintang berekor mendadak menyambar dan melesat menghantam nenek ini. Sinarnya yang berkilau kilauan membuat mata nenek ini berkejap, kiranya nenek itu tak tahan akan cahaya yang terlalu terang dari pukulan Tangan Dewa ini, berseru perlahan dan tidak sempat mengelak lagi, dia pun memang sengaja tak mengelak, ingin menerima dan merasakan pukulan dahsyat ini. Dan ketika pukulan itu mengenai tubuhnya dan ledakan yang amat kuat menjadikan pohon-pohon di sekitar berderak patah dan bumi bergetar seakan kedatangan ribuan gajah maka nenek itu bergoyang tubuhnya sementara Kim-mou-eng sendiri mencelat terpental.

“Dess!” Hebat hasil pukulan pertama itu. Nenek itu ambles kakinya, seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya berkilat namun dia tidak apa-apa. Kim-mou-eng sudah berjungkir balik dan terbelalak memandang lawan, kaget dan kagum tapi juga marah bukan main. Lawan tersenyum mengejek kepadanya, seolah pukulan Pek-sian-ciang adalah pukulan “gudir” (agar-agar).

Kim-mou-eng cepat berseru keras dan menyerang lagi, kini empat perlima bagian tenaganya dikerahkan, keringat pun bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Dan ketika pukulan kembali meledak dan nenek itu menahan sambil mengeluarkan seruan pendek maka untuk pukulan kedua ini sang nenek mengeluh dan baju bagian atasnya hancur berhamburan.

“Dess!”

Kim-mou-eng semburat merah. Tubuh bagian atas nenek itu seketika tak tertutup apa-apa, telanjang memperlihatkan teteknya yang kempot, Kim-mou-eng seketika melengos dan jengah. Untuk pukulan ketiga dia menjadi ragu dan gelisah. Kaki orang sudah semakin ambles mendekati lutut, nenek itu tampak terengah tapi gembira menyuruh dia melepas pukulan terakhir, berteriak sambil menyebut-nyebut nama gurunya. Bu-beng Sian-su dikatakan menurunkan ilmu yang tiada guna, Pek-sian-ciang itu tak berpergaruh apa-apa pada nenek ini. Dan ketika sang nenek terkekeh dan menyuruh dia menyerang lagi tiba-tiba dengan mata gelap dan kemarahan yang tak terkendalikan lagi Kim-mou-eng mencelat ke depan dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir.

“Awas....!” Bentakan itu sudah merupakan peringatan berbahaya. Kim-mou-eng menyambar dengan kedua lengan terbuka, dua sinar putih berkeredep lebih menyilaukan lagi. Nenek itu tertanam kakinya, tak mungkin mengelak. Kali ini terbelalak, dua teteknya bergoyang ke kiri kanan lucu sekali, Kim-mou-eng harus mengalihkan pandangan dari benda yang agak mengganggu ini.

Dan ketika pukulan dahsyat itu menyambar dan nenek ini berkejap sejenak dari cahaya yang amat menyilaukan itu maka sang toa-ci yang ada di belakang mendadak berkelebat dan berteriak pada adiknya agar membuka mata dan hati-hati terhadap pukulan yang dikerahkan dengan segenap tenaga ini, dalam waktu yang begitu cepat sudah menahan pundak adiknya yang meledak dihantam Pek-sian-ciang.

“Blang...!” Pukulan itu benar-benar luar biasa. Tubuh sang nenek seakan disengat listrik tegangan tinggi, bunga api memuncrat berpercikan sementara sisa-sisa pakaiannya hancur, nenek ini seketika telanjang bulat dan mengeluh lirih. Kaki yang terbenam semakin melesak hingga mencapai pusarnya. Bukan main.

Tapi sang toaci yang sudah menempelkan lengan di pundak adiknya dan cepat mengerahkan sinkang tiba-tiba membantu dan menolak hawa pukulan Pek-sian-ciang itu. Kalau tidak tentu adiknya roboh pingsan. Sang adik terlalu sembrono dengan menerima pukulan hanya bertahan saja, kesombongan membuat adiknya itu hampir celaka. Betapapun Pek-sian-ciang telah dua kali menyerangnya tanpa dibalas, itu sudah lebih dari cukup. Maka begitu adiknya menerima pukulan ketiga dan kemarahan Kim-mou-eng mencapai puncaknya dengan mengerahkan segenap tenaga cepat saja sang toaci berkelebat membantu adiknya itu, mengerahkan sinkang untuk bertahan tapi pakaian adiknya hancur juga.

Sang adik melesak sampai sebatas pusar, dari sini dapat dilihat betapa dahsyatnya ilmu pukulan Bu-beng Sian-su itu. Kim-mou-eng memang geram dan kaget serta marah. Sang nenek tentu cidera atau paling sedikit pingsan menerima pukulan ketiga itu, pendekar iai sudah memperhitungkan. Tapi ketika sang toa-ci berkelebat dan tanpa disangka membantu adiknya dan tepat pukulan tiba Kim-mou-eng merasakan daya tolak yang amat luar biasa dari depan mendadak saja pendekar ini mengeluh dan cepat membelalakkan mata, merasa arus gabungan yang maha kuat menahan pukulannya itu dan sekejap kemudian menghantamnya balik, demikian cepat dan amat mengejutkan.

Kim-mou-eng tentu saja kalah karena dia menghadapi dua tenaga berbareng, maut ganti menyerangnya! Dan karena semuanya sudah tak keburu dikelit dan satu-satunya jalan bagi Kim-mou-eng hanya “membuang” semua tenaga yang ada agar tak beradu keras dengan keras maka, Kim-mou-eng sudah melakukan itu dan tubuhnya tiba-tiba terhempas ke belakang, Kim-mou-eng seolah kapas yang memasrahkan diri pada angin serangan, tertiup dan tertolak ke belakang, dua puluh tombak, terbanting dan bergulingan di sana. Tapi karena angin pukulan nenek itu mengandung sinkang luar biasa kuatnya dan pukulan sakti memang selalu membahayakan bagi orang lain maka Kim-muo-eng lontakkan darah segar dan akhirnya tak bergerak lagi setelah bergulingan dua kali. Pingsan.

“Bluk!”

Nenek yang dipanggil Ji-moi tertegun. Dia batuk-batuk masih dalam keadaan tertanam, terengah dan terbelalak memandang robohnya Kim-mou-eng itu. Anak muda itu pasti pingsan, atau mungkin tewas, tiba-tiba timbul keinginannya untuk melihat keadaan lawan tapi sadar bahwa hampir separuh badannya “terkubur” di tanah, sang toaci menarik dan segera nenek ini melihat tubuhnya yang telanjang bulat, berseru lirih dan cepat menutupi bagian bawah dan atasnya dengan gugup, nenek itu marah tapi juga bingung, tak ada pakaian cadangan di situ.

Tapi sang toa-ci yang mendengus dan menyambar wanita muda yang mereka totok dan sudah membelejeti wanita ini hingga tinggal mengenakan pakaian dalamnya saja tiba-tiba menyerahkan pakaian luar wanita muda itu pada adiknya dan sang Ji-moi mengumpat, kini berpakaian seadanya dan sudah meloncat mendekati Kim-mou-eng. Dan ketika dilihatnya Kim-mou-eng masih hidup dan wajahnya sepucat kertas maka nenek ini terkesima dan kagum meskipun mendongkol.

“Hebat, dia tidak mampus. Benar-benar luar biasa murid Bu-beng Sian-su ini...!”

“Dan kau sembrono menerima tiga pukulan berturut-turut dari Pek-sian-ciang, Ji moi,” sang toa-ci sudah berkelebat di sampingnya. “Seharusnya sebuah saja cukup dan selebihnya kau harus membalas!”

“Benar!” sang adik mengangguk, menyadari kekeliruannya yang hampir berakibat fatal. “Aku mengakui kesombonganku, Toa-ci, tapi betapapun aku mampu menahan Pek-sian-ciangl Bocah ini hebat, namun dia terluka parah. Apa yang harus kita lakukan padanya? Membunuhnya saja agar kelak tak merupakan bahaya bagi kita?”

“Hm, bocah ini murid Sian-su, Ji-moi. Bagaimana kalau Sian-su meuntut pertanggungjawaban kita? Aku masih gentar menghadapinya, si tua bangka itu rupanya masih hebat dan mampu menurunkan kepandaian begini tinggi kepada Kim-mou-eng yang masih muda. Aku ragu, ingat saja kejadian seratus lima puluh tahun yang lalu ketika kita menghadapi kakek dewa itu!”

Ji-moi bergidik. Tiba-tiba dia menjadi ngeri kalau harus membayangkan menghadapi si manusia dewa ini, tokoh yang begitu tinggi kepandaiannyaa hingga sulit diukur. Seratus lima puluh tahun yang lalu mereka pernah berhadapan tapi semua pukulan mental. Bu-beng Sian-su tidak membalas tapi semua serangan mereka membalik, entah kenapa tubuh si manusia dewa itu seolah memiliki tameng sakti yang tak kelihatan, yang selalu menjaga dirinya dan membuat mereka jatuh bangun.

Dan ngeri berada pandang dengan sorot di balik halimun yang selalu menutupi wajah kakek dewa itu akhirnya mereka harus tunggang-langgang karena dari sorot mata di balik halimun itu sealah memancar satu kekuatan gaib yang membuat mereka gentar dan tidak kuat menentang. Seolah dari sorot mata itu keluar satu getaran lembut yang membuat tenaga mereka tiba-tiba lumpuh dan tidak berdaya, serasa dilolosi seluruh urat-urat mereka. Aneh!

Dan karena kenangan itu demikian membekas dan kini setelah seratus lima puluh tahun kemudian kakek dewa itu masih dapat mewujudkan sebagian dirinya pada diri Kim-mou-eng yang luar biasa ini akhirnya Ji-moi bergidik dan memandang encinya, dapat memaklumi keraguan encinya tapi betapapun dia penasaran. Masa seratus lima puluh tahun kemudian setelah mereka memperdalam ilmu-ilmu mereka, Bu-beng Siau-su tak dapat dihadapi juga, bukankah mereka terlampau kecil hati? Maka ketika dia minta pendapat dan encinya berkata bahwa sebaiknya Kim-mou-eng dibiarkan begitu saja dan jangan dibunuh tiba-tiba nenek ini berkata,

“Aku tak akan membunuhnya, enci. Tapi aku ingin menyiksanya. Anak muda ini akan ku gantung dengan kepala di bawah kaki di atas. Kau tentu tak keberatan, bukan?”

“Baiklah, hitung-hitung sebagai pembalasanmu kepadanya, Ji-moi. Aku tak keberatan asal dia jangan dibunuh.”

“Tidak, aku tak akan membunuhnya!”

Dan Kim-mou-eng yang lalu diikat dan disambar nenek ini tiba-tiba digantung dan diketawai Ji-moi, pekerjaannya selesai dan pemuda yang pingsan itu sudah menjadi kalong manusia, ditepuk-tepuk sejenak dan Ji-moi kagum memandang wajah yang tampan itu, meskipun pucat. Dan ketika sang toa-ci ikut tersenyum dan Ji moi berkata bahwa dia tentu akan gembira kalau mendapat kekasih macam pemuda ini ketika mereka masih muda maka sang kakak mendengus berkata,

“Sudahlah, itu sudah lampau bagi kita, Ji-moi. Ayo pergi dan bawa beban kita masing-masingl” sang kakak menyambar bayi di dekatnya, berkelebat dan lenyap meninggalkan tempat itu sementara adiknya juga menyambar wanita muda yang terisak-isak tanpa suara, ngeri melihat sepak teriang dua wanita itu.

Nenek-nenek ini memang tidak lumrah manusia lagi. Kepandaian mereka seperti iblis dan Kim-mou-eng yang terbukti lihai saja harus mengakui kalah menghadapi mereka, padahal yang maju baru seorang. Dan begitu mereka lenyap dan Kim-mou-eng ditinggal sendirian seperti kalong sekarat maka Kim-mou-eng sendiri yang tidak sadar dan masih pingsan digantung di atas pohon akhirnya menjadi seperti barang mainan yang terayun ayun ditiup angin lalu.

Akan tewaskah pendekar ini? Akan begitu mengenaskankah kematiannya? Memang tampaknya begitu, kalau saja tak ada sesuatu yang kebetulan. Dan karena yang “kebetulan” itu justeru dilakukan Ji-moi kepadanya secara tak sengaja maka Kim-mou-eng yang seharusnya mati perlahan-lahan ini mendadak selamat tanpa sengaja pula dan hidup. Apa yang menjadi kebetulan itu? Apa yang menyelamatkannya? Bukan lain posisi tubuh yang dijungkir itu, kepala di bawah kaki di atas, satu keadaan yang justeru merupakan “siulian” (samadhi) bagi pendekar ini.

Kim-mou-eng yang biasa bersamadhi dengan cara terbalik justeru merasa ditolong dengan perbuatan nenek itu. Benar! Tanpa sengaja Kim-mou-eng malah “diobati” dengan perbuatan nenek Ji-moi yang bermaksud menghinanya, tak tahu bahwa dengan cara ini Kim-mou-eng justeru melakukan siulian tanpa sengaja. Sedikit tetapi pasti napasnya mulai teratur. Muka yang tadi pucat itu perlahan-lahan merah. Dan karena sesuatu yang berulang-ulang di lakukan selamanya akan menghasilkan sesuatu yang otomatis muka tarikan napas dan denyut jantung Pendekar Rambut Emas itu pun tiba-tiba berjalan otomatis dan jadilah sesuatu yang berjalan tanpa sengaja ini justeru merupakan suatu ke beruntungan besar bagi Kim-mou-eng. Aneh!

Tubuh memang mempunyai cara yang luar biasa untuk menyelamatkan Kim-mou-eng. Sebenarnya, kalau saja nenek Ji-moi membiarkan Kim-mou-eng menggeletak di tanah justeru pemuda ini akan tewas. Tak ada sesuatu, yang bekerja dari dalam. Tapi begitu dia dijungkir dan tenaga sakti justeru bangkit dan bekerja dengan otomatis maka Kim-mou-eng yang pingsan dan “dijantar” seperti jengkerik ini justeru selamat. Nenek Ji-moi tentu tak menduga keadaan ini, mengira Kim-mou-eng semakin tersiksa oleh perbuatannya.

Tak tahu bahwa kebiasaan Kim-mou-eng dengan bersamadhi secara jungkir balik justeru tertolong oleh perbuatannya tadi. Perlahan tetapi pasti hawa sinkang di tubuh pemuda ini bekerja, naik dan akhirnya merambat ke sekujur tubuh. Luka dalam yang dialami Kim-mou-eng mendapat pengobatan secara otomatis. Dan ketika tiga hari kemudian hawa sakti ini bekerja secara terus-menerus dan kebiasaan jungkir balik membuat Kim-mou-eng sehat lahir. Dan akhirnya Kim-mou-eng sembuh dan siuman untuk pertama kalinya. Luar biasa!

Kim-mou-eng membuka mata. Mula-mula dia terkejut melihat langit ada “di bawah”, tangan dan kaki tak dapat digerakkan karena dia dalam keadaan terikat. Memang kesadaran yang baru berjalan ini membuat Kim-mou-eng belum sadar betul, ingatannya masih melayang naik turun tak keruan. Tapi begitu kesadaran sepenuhnya melingkupi kepalanya dan dia ingat akan apa yang terjadi mendadak pendekar ini menggerakkan tubuh dan tali-temali yang mengikat semua kaki tangan terputus, dia terbanting ke bawah tapi cepat berjungkir balik. Dan ketika Kim-mou-eng tegak di tanah dan merasa agak pening maka sadarlah pendekar ini akan keadaan tubuhnya yang lemas.

Memang dia sudah sembuh, tapi tenaga yang banyak hilang akibat pertempuran melawan Ji-moi sungguh menguras sekali. Kim-mou-eng tiba-tiba terduduk dia cepat bersila. Dan ketika dia dapat menduga apa yang terjadi dan kaget serta girang bahwa dia masih hidup, tiba-tiba pendekar ini mengucap syukur dan memeriksa semua aliran darahnya, memejamkan mata dan melihat apakah masih ada sisa-sisa luka pukulan yang mengganggunya, tarikan napas dan aliran sinkang segera dipantau (diperiksa), melihat bahwa semuanya baik dan dia benar-benar sembuh, kecuali lemah karena tiga hari tiga malam tidak makan dan minum, juga pengeluaran tenaga yang berlebih-lebihan melawan si nenek sakti.

Maka begitu Kim-mou-eng girang bahwa dia selamat tak kurang suatu apa kecuali harus istirahat sejam dua jam untuk memulihkan tenaga maka Pendekar Rambut Emas ini segera bersila mengumpulkan semangatnya, mendorong dan mengatur tenaganya agar pulih dengan cepat. Dan ketika semuanya itu berakhir dan Kim-mou-eng membuka mata untuk bangkit berdiri mendadak seseorang telah berada di depannya dan Kim mou-eng mendengar isak ditahan. Seorang gadis cantik telah berdiri di depannya dengan mata berapi-api. Salima!

“Sumoi...!” Kim-mou-eng tak menyangka sama sekali. Sejenak dia tertegun, bengong tapi melompat bangun menubruk sumoinya itu. Entah kapan sumoinya telah ada di situ, menunggu dia memulihkan tenaga. Kim-mou-eng “lupa” pada bola mata yang berapi-api itu, kalah oleh kegembiraannya bertemu sang sumoi. Tapi begitu dia melompat bangun dan menubruk sumoinya ini mendadak Salima melengking menghantam perutnya dengan lutut.

“Jangan sentuh aku....”

“Ngek!” Kim-mou-eng terjengkang, merasa seneb dan seketika berteriak kaget dan terguling-guling. Perut yang dihantam lutut itu hampir saja melontakkan isinya, Kim-mou-eng mual. Dan ketika ia melompat bangun dan terbelalak memandang sumoinya maka Salima telah berkelebat di depannya dengan bendera maut di tangan.

“Ah, apa artinya ini, sumoi? Apa yang ingin kau lakukan?” Kim-mou-eng terkejut, menggigil dan tidak mengerti memandang sumoinya. Sumoinya tampak beringas dan baru sekarang ia sadar bahwa sumoinya ini marah besar. Bola api dari pandang mata gadis itu baru dilihatnya. Kim-mou-eng tertegun dan heran pula melibat wajah sumoinya yang pucat, tubuh yang biasa ramping itu agak kurus. Kim-mou-eng heran dan kaget. Dan ketika sumoinya terisak dan membentaknya dengan pandangan menusuk tiba-tiba pendekar ini mendelong,

“Suheng, apa yang telah kaulakukan terhadap Cao Cun? Apa yang telah kauperbuat pada puteri bupati she Wang itu?” Kim-mou-eng terkesiap. “Apa? Cao Cun, sumoi? Puteri Wang-taijin itu? Ah, aku tidak melakukan apa-apa, aku tidak berbuat apa apa terhadap puteri bupati she Wang itu.”

“Bohong!” bentakan ini seperti guntur di siang bolong. “Kau berjanji mau mengawininya, kau telah mengobral cinta yang muluk-muluk terhadap gadis itu. Kau laki-laki tak bertanggung jawab yang menyakiti wanita, jahanam...!” dan bendera yang bergerak mengebut ke depan tiba-tiba menyerang dan sudah menghantam wajah pendekar ini dengan satu kibasan maut, disusul pukulan Tiat lui kang yang menampar dari bawah ke atas, bersembunyi di balik kebutan bendera dan Salima melengking penuh kemarahan.

Kim-mou-eng kaget bukan main dan sadarlah dia bahwa urusannya dengan Cao Cun, telah diketahui sumoi nya ini. Celaka, sumoinya cemburu dan kini ngamuk, baru dia sadar bahwa dia pun memiliki janji-janji terhadap Cao Cun. Gadis itu masih di Istana Dingin dan selama ini dia melupakannya begitu saja. Ah, tidak... Bukan melupakan begitu saja melainkan semata dia disibukkan oleh urusan suku bangsanya tentang kaisar, lain disusul pencurian Sam kong-kiam yang dituduhkan kepadanya itu. Bertubi-tubi peristiwa demi peristiwa mengganggunya, sungguh dia bukan melupakan dengan sengaja nasib puteri Wang taijin itu. Dia terlalu sibuk, itulah alasannya.

Maka mendengar sumoinya membentak-bentak dan urusan ternyata berpangkal pada puteri Wang taijin ini, tiba-tiba Kim-mou-eng gugup dan bingung, berteriak dan menangkis serangan bendera tapi sumoinya tak mau berhenti, malah menyerang semakin gencar dan sumoinya tampak kalap. Sungguh celaka. Dan ketika Kim-mou-eng lengah sekejap dan berteriak-teriak menyuruh sumoinya menghentikan serangan tapi sumoinya malah melakukan pukulan bertubi-tubi akhirnya kelebatan bendera yang menghalang pandang matanya itu menyembunyikan sebuah tamparan sumoinya yang telak mengenai pundaknya.

“Plak... augh!” Kim-mou-eng terguling-guling, mengeluh dan sudah dikejar dengan satu totokan gagang bendera. Sumoinya berkelebat dan gagang bendera itu sudah mendekati ulu hatinya, sekali terlambat tentu dia tewas. Kim-mou-eng terkejut karena sumoinya bersungguh-sungguh untuk membunuhnya. Bukan main, urusan kiranya benar-benar gawat. Dan marah tapi juga bingung oleh sikap sumoinya yang dinilai berlebihan akhirnya pendekar ini menangkis dan menendang serangan sumoinya itu, mencelat bangun dan menjaga diri dari segala kemungkinan. Kali itu sumoinya terhuyung, dia melakukan tangkisan keras ketika sumoinya menotoknya tadi.

Dan sementara sumoinya mendelik mau menyerang lagi buru2 Kim-mou-eng mengangkat kedua lengan ke atas dan berseru, “Stop... stop! Nanti dulu, sumoi. Kenapa kau memaki-maki dan menyerangku begitu sungguh sungguh? Apakah dosa dan salahku sebenarnya kepadamu, sumoi? Kenapa harus mengincar nyawa untuk urusan puteri Wang taijin itu? Memang benar aku mengobral janji padanya, tapi selama janji itu kulakukan dalam keadaan terpaksa. Stop, jangan menyerang!”

Kim-mou-eng melihat sumoinya mendengus, mau bergerak lagi. “Dengarkan aku dan ceritakan pula semuanya ini dengan jelas!” lalu buru-buru menurunkan lengan ke bawah dan coba menyabarkan sumoinya Kim-mou-eng menyambung, “Sumoi, di antara kita tak ada hal-hal yang harus disembunyikan. Selama ini kau tahu bahwa aku selalu jujur padamu. Sekarang ceritakan dengan lebih tenang apa yang telah membuatmu marah-marah begini, ada apa dengan puteri Wang-taijin yang membuatmu naik darah ini!”

Salima berombak, memaki suhengnya; “Kau laki-laki penipu, suheng.. Kau menipu Cao Cun dan mengkhianati aku pula. Aku benci padamu. Aku muak!”

“Baiklah, kenapa begitu dan ceritakan yang jelas. Sabar dan tekanlah sedikit kemarahanmu ini.”

“Siapa dapat menekan kemarahan? Kau yang mengobarkan, suheng. Kau yang membuat aku begini dan kau layak dibunuh. Aku benci melihat hubunganmu dengan Wang Cao Cun itu!” gigi Salima berkeratak, lalu membentak, “Suheng, beranikah kau menyangkal bahwa kau pernah berjanji untuk rnengawini puteri Wang-taijin ini? Beranikah kau menyangkal bahwa kau menjalin cinta pula dengan Cao Cun?”

Kim-mou-eng tertodong. Tanpa berpura-pura lagi sumoinya telah mengajukan pertanyaan yang pokok. Dia semburat dan tiba-tiba gugup. Huwaduh, urusan ini harusnya “off-the-record”, terlalu peka dan tak boleh orang lain tahu, apa lagi sumoinya. Tanpa disangka tanpa dinyana mendadak sumoinya mengajukan pertanyaan ini. Gawat! Dan ketika Kim-mou-eng bingung dan merah serta gugup tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan berkelebat di belakang sumoinya itu. cukup jauh.

“Sumoi, kau membawa teman?” tiba-tiba Kim-mou-eng bertanya, disangka hendak mengalihkan percakapan dan sumoinya tentu saja marah. Bola api itu bahkan berpijar dan seolah hendak membakar pendekar ini. Pendekar kita terkejut, sadar bahwa dia dikira hendak mengalihkan pokok persoalan, sumoinya tidak menjawab. Dan ketika sumoinya mendelik dan bayangan itu semakin mendekat di belakang Salima tiba-tiba Kim-mou-eng menarik napas dan pura-pura tak tahu...

Pedang Tiga Dimensi Jilid 07

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 07
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
Salima tak sabar, berkelebat dan tiba-tiba meninggalkan suami isteri itu, Wang-taijin terkejut dan berteriak-teriak. Tapi Salima yang tak menghiraukan panggilan pembesar itu dan sudah melesat keluar rumah lalu memulai perjalanannya yang panjang untuk menemui Cao Cun disana, sekalian jejak suhengnya kalau ketemu. Ini perjalanan baru yang membuat Salima diliputi berbagai macam perasaan. Ada girang tapi juga kasihan mendengar berita Cao Cun itu, bahwa Cao Cun telah berumah tangga dan suhengnya tak mungkin mengganggu gadis nu lagi. Ini berarti hilangnya seorang pesaing.

Betapapun Salima panas kalau Cao Cun mencinta suhengnya itu. Tapi mendengar bahwa Cao Cun jatuh ke tangan seorang pemimpin suku macam raja yang setengah liar itu ada perasaan kasihan juga di hatinya. Gadis itu seolah terbuang, benar kata Wang-taiiio. Hubungan mereka menjadi lebih lebar karena Wang-taijin merasa anaknya di dunia lain, dunia yang asing dan belum terbiasa dimasuki pembesar ini. Bupati Wang tentu saja sedih. Dan ketika dua minggu kamudian Salima berhasil memasuki perkemahan bangsa Siung-nu dan dengan kepandaiannya yang tinggi langsung menuju ke kemah besar maka secara kebetulan saat itu dia melihat Cao Cun lagi dicumbu Raja Hu.

“Ih!” Salima mundur. “Memangnya aku harus menonton orang bercinta?” muka semburat memutar tubuhnya. Salima lalu keluar dan berputar-putar di wilayah bangsa liar itu. Tidak tahu akan kematian Siga karena seluruh perhatian tercurah pada persoalan pribadi. Urusan bangsa Tar-tar memang tidak dihiraukan. Salima seolah telah melepas persoalan bangsanya sendiri untuk diurus orang-orang itu sendiri, inilah keuntungan Raja Hu.

Dan Ketika beberapa jam kemudian dia kembali dan masuk ke kemah besar maka Cao Cun yang sudah selesai menjalankan tugasnya sebagai seorang isteri baru saja mandi dan menyisir rambutnya di kamar sendirian, di mana saat itu Salima berkelebat masuk dan mengejutkan wanita ini, Ia langsung menegur Cao Cun, “Kau jangan banyak bersuara, Cao Cun. Duduk dan tetap tenanglah di tempatmu!”

Cao Cun tertegun. “Lihiap....!” serunya lirih. “Kau datang mencari siapa? Seorang diri?”

“Ya, aku seorang diri, Cao Cun. Aku mencari dirimu dan ingin bercakap-cakap. Kunci pintumu dan dengarlah pertanyaan-pertanyaanku!”

Cao Cun terkejut. Dia melihat sikap Salima yang kaku, dingin dan tidak bersahabat. Omongan gadis itu seolah perintah saja yang harus dilaksanakan. Cao Cun terisak dan mengunci pintu kamarnya. Dan ketika Salima menyuruhnya duduk berhadapan dan Cao Cun menggigil menghapus air matanya maka gadis ini menahan sedu-sedan dan tiba-tiba memegang lengan Salima, betapapun dia tak menunjukkan sikap permusuhan pada gadis Tar-tar ini.

“Lihiap, dari mana kau tahu aku ada di sini? Kau baru datang?”

“Hm!” Salima melepaskan lengannya. “Aku baru datang, Cao Cun. Dan yang memberi tahu aku tentang dirimu adalah ayah ibumu di Chi-cou!”

“Ooh...” Cao Cun sejenak berseri. “Mereka tak apa-apa, lihiap? Ayah ibuku sehat dan selamat?”

“Ya, mereka tak apa-apa, kecuali sedih. Aku telah mendengar ceritamu dan kini datang untuk menanyakan sesuatu!”

Cao Cun memejamkan mata, air matanya tiba-tiba membanjir. “Lihiap, tak adakah pesan sesuatu dari ayah ibuku di sana? Tak adakah sepucuk surat atau pemberian untukku?”

Salima tertegun. “Aku tak mengurus itu, Cao Cun. Aku datang untuk urusan pribadiku!”

“Ya, aku maklum. Dan kau pun tentu juga bersikap sekaku ini kepada orang tuaku di sana!”

Salima tiba-tiba semburat. Cao Cun menghunjamnya langsung dengan kata-kata yang lirih, tidak marah tapi begitu tepat menikam gadis Tar-tar ini. Betapapun Salima merasa bersalah karena sikapnya memang kasar, tidak lembut seperti puteri Wang taijin ini. Tapi Salima yang menjengek dan membuang rasa malu dengan senyum mencibir sudah coba menekan semua perasaannya dengan omongan blak-blakan.

“Aku memang tidak bermaksud untuk bermanis-manis muka dengan siapa pun, Cao Cun. Kalau kau menyesal atas sikapku aku pun tidak perduli!”

“Aku tahu....” Cao Cun tetap berkata halus, menghapus air matanya. “Dan aku pun juga tidak mengharap perobahan sikapmu, lihiap. Kalau kau mau berkata kasar silahkan saja, aku tahu bahwa kau adalah gadis kang-ouw. Bicaralah.”

Salima lagi-lagi terpukul. “Aku mau menanya urusan pribadimu.”

“Urusan pribadi? Urusan apa?”

“Hm, urusan pribadimu sebelum kau resmi menjadi isteri orang, Cao Cun. Pernahkah kau mempunyai kekasih bernama Bu-hiong!”

“Lihiap...!” Cao Cun tiba-tiba marah. “Pantaskah hal begitu kau tanyakan kepadaku? Pantaskah masalah begini kau ajukan kepada seseorang yang menjadi rahasia hatinya? Kalau aku tak menjawab maka kau tak dapat menyalahkan aku, lihiap. Urusan cinta adalah urusan seseorang yang tak dapat dicampuri orang lain...”

“Betul,” Salima tertawa mengejek. “Tapi urusan ini juga bisa menjadi urusanku, Cao Cun. Karena itu jawablah apakah kau pernah berhubungan dengan seseorang bernama Bu-hiong atau tidak?”

“Kalau aku tak menjawab?”

“Berarti kau perempuan tak jujur. Mungkin ada sebuah kebusukan yang sengaja kau sembunyikan.”

“Lihiap!” Cao Cun tiba-tiba membentak. “Sedemikian kejikah kau menganggap diriku? Sedemikian hinakah perempuan bernama Cao Cun ini hingga dia menyembunyikan sebuah kebusukan bersama lelaki? Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu, lihiap. Tapi katakan dulu hubungan apa yang terjadi di sini hingga kau menganggap urusan ini bisa menjadi urusanmu pula yang membuat aku tidak mengerti!”

Salima terkejut. Tiba-tiba dia ditantang untuk bersikap adil. Cao Cun memandangnya berapi2 sementara dua pasang mata mereka bentrok di udara. Salima melihat keberanian dan kegagahan gadis ini. Dan karena dia menuntut Cao Cun untuk menjawab sebuah urusan pribadi dan Ca Cun kini ganti menuntut dia untuk memberitahukan hubungannya pula terpaksa Salima tersipu merah menjawab tenang, suaranya sedikit bergetar,

“Aku menanyakan hal ini karena ada hubungannya dengan suheng. Dengan lain kata, aku ingin menguji cinta suhengku yang berhubungan dengan orang bernama Bu-hiong ini.”

Cao Cun mengerutkan kening. “Suhengmu Kim-taihiap....?”

“Ya,” Salima juga mengerutkan kening, suara Cao Cun mengandung isak dan tiba tiba dia curiga. “Apakah kau tak mengerti, Cao Cun?”

“Aku tak mengerti,” Cao Cun menggigit bibir, jelas menahan luka hati yang membuat Salima panas. “Aku tak mengerti maksud kata-kata mu, lihiap. Kenapa suhengmu bersangkut-paut dan ada hubungannya dengan persoalan ini.”

“Hmm,” Salima mulai memancing. “Orang bernama Bu-hiong ini katanya mencintaimu, Cao Cun. Tapi kau menolak cintanya karena kau mencintai suhengku. Inilah masalahnya. Sekarang aku datang untuk menanya padamu benarkah kau mencintai suhengku dan mengenal orang bernama Bu-hiong ini!”

Cao Cun tiba-tiba mendekap dada. Disebut sebutnya lagi nama Kim-mou-eng mendadak membuat hati wanita ini hancur. Teringatlah Cao Cun akan semua janji Pendekar Rambut Emas itu, akan cintanya dan penantiannya yang tak kunjung padam. Betapa dia amat mencintai pendekar itu namun Kim-mou-eng sendiri ingkar janji, dia menunggu namun pendekar itu tak pernah datang. Luka dan kekecewaan lama kambuh, Cao Cun tiba-tiba menjerit dan melempar dirinya di atas pembaringan. Dan ketika Salima terbelalak dan marah melihat semuanya itu tiba-tiba Cao Cun mengguguk dan mencengkeram guling dan bantal sekuatnya.

“Lihiap, kenapa kau mengorek-ngorek hati yang sudah hampir sembuh ini? Kenapa kau menyebut-nyebut nama suhengmu? Aduh, aku tak tahan, lihiap... aku tak tahan. Lebih baik kau bunuh aku dan biar semuanya itu lenyap!” Cao Cun mengguguk di atas pembaringannya, menutupi muka dengan bantal dan Salima tertegun.

Tapi ketika Cao Cun menangis tak keruan dan menjerit minta dibunuh tiba-tiba gadis Tar-tar ini berkelebat mencengkeram puteri Wang-taijin itu. Cemburu dan rasa bencinya timbul. “Cao Cun. kau benar ada hubungan dengan suhengku itu? Kau mencintainya? Kau menolak si Bu-hiong ini karena cintamu kepada suhengku? Keparat, kau wanita tak tahu malu, Cao Cun. Kau harus tahu bahwa suhengku adalah kekasihku. Dia punyaku, kau perampas dan wanita hina, Kubunuh kau!”

Dan Salima yang mengangkat serta membanting Cao Cun di atas lantai tiba-tiba membuat Cao Cun berteriak kesakitan dan mengaduh, mendapat dua kali lamparan dan tendangan Salima bergolak marah dan bertubi-tubi menyiksa wanita ini Cao Cun mencelat dan terguling-guling. Sungguh sial nasib Wang Cao Cun ini. Tapi ketika Salima hendak membunuh dan buas bagai harimau haus darah tiba-tiba pintu terbuka dan Wan Hoa muncul, kaget mengenal Salima.

“Tiat-ciang Sian-li, apa yang kau lakukan ini?”

Salima terkejut. Wan Hoa menubruknya dan membelotnya dengan marah, wanita ini mencengkeram Salima dan menarik sekuat tenaga, menolong Cao Cun yang menangis tersedu-sedu dengan tubuh babak belur. Kasihan putri Wang-taijin ini. Tapi Salima yang tertarik dan memutar tubuh melepas tendangan tiba-tiba membuat Wan Hoa mencelat dan ganti menjerit.

“Bress!” Wan Hoa terguling-guling, tidak takut dan sudah melompat bangun lagi dengan beringas, kini menyambar pisau yang terletak di atas meja dan menubruk gadis Tar-tar itu lagi, tentu saja disambut dengusan dan Salima menangkis pisau itu. Wan Ho terpental dan pisau pun terlepas. Tapi ketika ribut-ribut itu kian memuncak dan Wan Hoa ngotot mau menyerang lagi dengan sikap tak kenal gentar tiba-tiba Cao Cun sudah menubruk temannya berkata tersedu-sedu,

“Sudah... sudah... jangan menyerang, Wan Hoa. Jangan menyerang. Biarkan Tiat-ciang Sian-li yang gagah perkasa ini membunuh kita wanita wanita lemah. Tentu namanya akan tersohor dan kian terkenal....!”

Salima tertegun. Dia melibat Cao Cun sudah menubruk temannya itu, memeluk erat-erat. Wan Hoa berontak namun Cao Cun mendekapnya ketat, dua wanita ini tiba-tiba sama menangis dan Wan Hoa pun memeluk Cao Cun. Salima melihat pembelaan seorang sahabat sejati dari Wan Hoa itu, bukan main. Dia termangu. Tapi Wan Hoa yang tak dapat menyerang dengan tangan dan kakinya ternyata kini menyerangnya dengan kata-kata,

“Tiat-ciang Sian-li, apa dosa “Sahabatku hingga kau menghajarnya sedemikian rupa? Sudah gilakah kau hingga tak malu-malu memukul wanita lemah? Cao Cun bukan lawanmu kalau adu fisik, Tiat-ciang Sian-li. Kalan ingin bertanding dan melampiaskan kebuasanmu carilah lawan setimpal dan orang-orang dunia kang ouw. Bukan Cao Cun yang sama sekali tak bisa silat ini!”

Salima terkejut, mulai sadar.

“Dan kau tentunya tak diajar gurumu untuk bertindak sewenang wenang. Apakah Sian-su mengajarmu menyerang orang lemah agar menikmati kesenangan sadis dari hal semacam ini? Begitukah nama Dewi Bertangan Besi mendapatkan kesohorannya? Cih, aku sebagai waniia yang tak bisa silat saja malu menyaksikan sepak terjangmu, Tiat Ciang Sian-li Apalagi orang orang kang ouw yang tentu akan menemooh dan mengejekmu habis-habisan!”

Salima merah mukanya. “Kau tak perlu ikut campur. Ini urusanku dengan Cao Cun!” akhirnya Salima membuang ketidakenakannya, membentak dan teringat lagi persoalannya semula. Sahabat Cao Cun itu tajam benar mulutnya. Dan ketika dia melompat dan Cao Cun mau disambar tiba-tiba Wan Hoa sudah maju ke depan mendorong Cao Cun di belakang tubuhnya, berapi-api dengan muka yang tak kalah merah dengan Salima.

“Tiat-ciang Sian-li, kau tak dapat sembarangan di sini. Ini rumah Cao Cun, ini tempat tinggal Cao Cun. Kalau kau mau bicara padanya boleh, tapi kalau mau menyiksa dan menunjukkan kekejamanmu sebaiknya kau hadapi aku dulu. Meskipun aku tak bisa silat tapi aku akan membela sahabatku sampai titik darah terakhir. Persoalan bisa dibicarakan, tapi adu pukul dan segala bentuk kekerasan tak perlu kau pamerkan di sini. Kami berdua sudah tahu kelihaianmu. Nah, bicaralah dan bersikaplah jantan sebagai wanita kang-ouw yang sudah mendapat julukan pendekar, bukan manusia liar!”

Salima tertampar. “Kau mau mencampuri urusan kami?”

“Cao Cun sahabatku, Tiat-ciang Sian-li. Urusannya urusanku pula, tak ada yang mencampuri. Kami dua orang tapi satu hati!”

Salima marah. “Cao Cun, benarkah kata-katanya ini? Atau kau mau berlindung di balik punggung orang lain?”

Cao Cun menguguk, maju ke depan tapi cepat dilindungi Wan Hoa lagi. “Apa yang dikata memang benar, lihiap. Aku dan Wan Hoa dua jiwa tapi satu hati. Urusanku urusannya pula, tak ada rahasia di antara kami.”

“Jadi dia pun tahu pula rahasiamu?”

“Persoalan dengan Kim-taihiap tak pernah kusembunyikan pada Wan Hoa, lihiap. Apa yang kulakukan dia pun tahu.”

“Bagus, kalian rupanya sudah sekomplot!”

Tapi Wan Hoa yang menjengek dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba menyergah, “Aih, urusan suhengmu. Tiat-ciang Sian-li? Pendekar yang tak dapat dipercaya itu? Bagus, kau bicaralah dan aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu dan kau lihatlah apakah jawabanku sama dengan Cao Cun. Kau tentu akan bertanya masalah cinta mereka, akan janji-janji palsu suhengmu dan apa saja yang bersangkut-paut dengan itu. Kau tanyalah, aku tahu persis urusan ini dan ajukan apa saja yang ingin kau ketahui!”

Salima tertegun.

“Ayo, bertanyalah, Dewi Tangan Besi. Justru aku akan menceritakan semua perbuatan suhengmu yang tidak bertanggung jawab!”

Salima jadi berdebar. “Aku ingin menanyakan tentang seseorang bernama Bu-hiong.”

“Bu-hiong? Siapa itu? Cao Cun tak kenal orang ini!”

“Bohong! Dia baru saja menangis. Kau tak perlu menyembunyikan kebusukan sahabatmu dengan melindungi Cao Cun!”

Wan Hoa gusar. “Tiat-ciang Sian-li. kami berdua bukanlah wanita-wanita murahan yang suka mengobral kebohongan. Cao Cun tak kenal orang bernama Bu-hiong itu, dia tak pernah menceritakan siapa orang ini dan apa hubungannya pula dengan dia!”

“Tapi dia menangis, sahabatmu terpukul waktu aku bicara tentang orang ini dan suhengku!”

“Hm!” Wan Hoa jadi mengerutkan kening, ragu memandang Cao Cun. Tapi yakin sahabatnya tak menyembunyikan rahasia dan segala kisah Cao Cun diketahuinya baik tiba-tiba Wan Hoa mengambil sebongkok dupa dan menyalakannya semua di atas kepala Cao Cun. “Cao Cun, bersumpahlah dengan dupa ini atas nama orang tua dan nenek moyangmu bahwa kau tak mengenal orang bernama Bu-hiong ilu. Lakukan sumpahmu dan ambil kutukan yang berat untuk menjadi saksi.”

Cao Cun terkejut. Salima juga terkejut, melihat Wan Hoa sudah mengangkat sebongkok dupa yang menyala semua itu di atas kepala Cao Cun. Bukan main, sebongkok dupa, bukan satu atau dua batang melainkan sebongkok. Seratus lebih asapnya menyesakkan kamar dan Cao Cun tiba-tiba tersedu. Tapi mengangguk dan menyambar dupa itu diletakkan di atas kepala sendiri tiba-tiba Cao Cun berseru,

“Wan Hoa, disaksikan langit dan bumi dan bersumpah demi arwah nenek moyangku biarlah kunyatakan di sini bahwa aku sama sekali tak kenal mengenal dengan orang bernama Bu-hiong itu. Kalau aku dusta biarlah aku menjadi anjing selama tujuh jaman berturut-turut!”

Itulah sumpah yang berat. Cao Cun telah siap menjadi anjing dalam inkarnasi berikut, dalam jaman dunia roh kalau dia sudah meninggal, kepercayaan kuat yang saat itu memang menjadi keyakinan bangsa Tiongkok sejak ribuan tahun yang lalu. Sumpah ini dianggap berat karena rela membanting derajat sendiri dalam bentuk yang amat hina, seekor anjing, kalau dia berdusta. Dan Salima yang tentu saja tertegun dan terkejut mendengar sumpah ini segera dihadapi Wan Hoa yang bersinar-sinar memandang gadis Tar-tar itu.

“Nah, kau dengar, Tiat-ciang Sian-li. Disaksikan langit dan bumi dan bersumpah atas nama leluhur Cao Cun telah menyatakan diri sebagai tidak mengenal orang bernama Bu-hiong itu. Kau harus percaya ini. Cao Cun telah bersumpah berat. Tapi kalau kau tidak percaya juga dan masih mau menangnya sendiri kau akan kukutuk sebagai hewan yang lebih rendah dari anjingl”

Salima tergetar. “Tapi dia menangis...”

“Itu dapat kutanyakan,” Wan Hoa memutar tubuh menghadapi sahabatnya. “Cao Cun, kenapa kau menangis hingga disangka Tiat-ciang Sian-li sebagai orang yang mengenal Bu-hiong itu? Bukankah ini mencurigakan lawan kita?”

“Aku menangis karena dia menyebut-nyebut suhengnya, Wan Hoa. Aku teringat akan Kim-taihiap dan segala penderitaanku itu!”

“Hah!” Wan Hoa tiba-tiba mengerti, memang dialah yang cepat mengerti akan gerak-gerik dan sepak terjang Cao Cun, segera maklum apa yang dimaksud. “Kau dengar sendiri, Tiat-ciang Sian-li. Cao Cun menangis bukan karena orang bernama Bu-hiong itu melainkan karena kenangannya pada suhengmu, Pendekar Rambut Emas. Tapi kenapa dengan orang bernama Bu hiong ini? Apa sesungguhnya yang terjadi hingga kau menyebut-nyebut nama Bu-hiong?”

“Orang ini mencinta Cao Cun, tapi Cao Cun menolaknya karena dia mencintai suhengku!”

“Oh, begitukah? Dan kau percaya?” Salima melengak. “Tiat-ciang Sian-li,” Wan Hoa berkata lagi, nadanya mulai mengejek. “Memang tak dapat ku sangkal bahwa Cao Cun mencintai suhengmu. Suhengmu itu gagah, hebat dan pandai dia. Di antara suhengmu dan Cao Cun terdapat janji untuk saling menikah. Mereka saling mencinta, begitu yang kulihat selama ini. Tapi apa kenyataannya yang dilakukan suhengmu itu? Apa yang diperbuatnya selama Ini? Kim-mou-eng tak pernah menepati janjinya, Tiat-Ciang Sian-li, dan untuk itu Cao Cun harus membayarnya mahal. Pendekar Rambut Emas yang menjadi suhengmu itu ternyata laki-laki pembual yang tidak menepati janji. Dia memperdayai sahabatku hingga Cao Cun menunggu dan merana berbulan-bulan. Dan sebagai hasil dari semuanya itu kau lihat Cao Cun sudah menjadi isteri orang. Akulah yang tahu baik semua kisah ini, akulah yang menjadi saksi atas kebohongan suhengmu. Karena itu aku mengutuk suhengmu agar dijemput iblis kalau mati!”

“Wan Hoa....!” Cao Cun tiba-tiba berteriak, menubruk temannya itu. “Jangan keluarkan sumpah untuk dia. Biarlah Kim-taihiap melakukan apa saja yang dia suka. Tarik dan cabut kembali kata-katamu!”

“Tidak!” Wan Hoa beringas. “Aku benci orang yang tak tahu diri itu, Cao Cun. Aku benci Pendekar Rambut Emas yang tak pernah menepati janji. Kalau dia mampus biarlah dijemput iblis sampai anak cucunya. Aku benci dia... benci...!” dan Wan Hoa yang hampir kalap mengutuk sana-sini tiba-tiba ditampar dan jatuh terpelanting terkejut berseru tertahan, melihat Cao Cun berapi-api memandangnya dan berdiri tegak membungkam mulutnya.

Wan Hoa seketika ternganga dengan perasaan hampir tak percaya. Cao Cun, sahabatnya, menamparnya membela Kim-mou-eng dan kini tersedu-sedu menubruknya di lantai, minta maaf dan menciumi Wan Hoa berkali-kali tepat pada pipi yang bengap itu. Wan Hoa mengeluh. Tapi ketika Cao Cun mengguguk dan tak tahan melihat wajah sahabatnya tiba-tiba Cao Cuo bangkit berlari dan keluar menutup pintu kamar.

“Wan Hoa, maafkan aku... maafkan aku....!”

Wan Hoa bengong. Salima pucat dan merah berganti-ganti melihat adegan itu, betapa Cao Cun menampar Wan Hoa dan kini tersedu-sedu meninggalkan kamar, Wan Hoa menangis. Tapi katika dia bangkit terhuyung dan beringas memandang Salima maka gadis ini berseru,

“Nah, kau lihat, Tiat-ciang Sian-li. Inilah bukti kecintaan sahabatku terhadap suhengmu itu. Meskipun Kim-taihiap tak menepati janjinya tetap saja Cao Cun mencinta dirinya lahir batin. Sahabatku bahkan berani menamparku begitu aku menghinanya. Kalau kau tidak percaya kata-kataku boleh kau cari dan tanya pada suhengmu. Benarkah semuanya ini atau bohong!”

Salima menggigil.

“Kau tentu ragu, bukan? Nah, dengarkan ceritaku, dewi yang gagah. Dengarkan ini yang kumulai dari perbuatan menteri durjana Mao taijin itu. Betapa menteri ini membawa Cao Cun ke kota raja untuk diperas lalu dimasukkan ke Istana Dingin. Betapa suhengmu datang dan menyatakan cinta pada Cao Cun, membawa Cao Cun ke ayah ibunya lagi tapi meninggalkannya sendirian, derita demi derita kami alami tapi suhengmu dusta. Dan Karena Cao Cun menunggu-nunggu namun suhengmu tak pernah muncul juga akhirnya kaisar menyerahkan Cao Cun pada suaminya yang sekarang, dibuang dan diasingkan dari kalangan bangsanya sendiri. Adakah yang lebih besar dari duka nestapa ini? Adakah kesengsaraan yang lebih berat dari ditinggalkan kekasih dan hidup di pengasingan? Jawablah... jawablah, Tiat-ciang Sian-li. Kalau kau juga seorang wanita dan mengenal lembutnya cinta tapi sekaligus dihancurkan cintamu itu oleh orang yang kau cinta tentu kau dapat merasakan penderitaan Cao Cun. Dan inilah hasil kerja suhengmu. orang yang disebut Pendekar Rambut Emas itu!”

Salima terbelalak. Wan Hoa telah menceritakan semua kisah Cao Cun itu, dia mendengarnya dengan muka pucat. Mulai dari perbuatan Mao-tajin yang berusaha memeras Cao Cun sekeluarga sampai dimasukkannya gadis itu ke dalam Istana Dingin, tempat yang sebenarnya merupakan penjara tapi suhengnya membebaskan gadis itu lagi, membawanya ke tempat orang tuanya dan berjanji pada Cao Cun untuk melindungi gadis itu. Cao Cun sebenarnya tak mau kalau ditinggal, suhengnya berjanji tidak akan meninggalkannya tapi tetap meninggalkannya juga.

Cao Cun sedih, marah dan kembali ke Istana Dingin lagi untuk mengurung kebebasan hidup sampai mati, biarlah dia hidup di sana daripada menderita dibohongi suhengnya. Dengan jelas dan satu persatu Wan Hoa menceritakan itu semua. Dan ketika tiba pada bagian di mana Cao Cun diserahkan pada raja Hu dan dalam detik-detik terakhir Cao Cun masih mengharap pertolongan suhengnya maka Wan Hoa menjerit,

“Suhengmu itu manusia penipu, Tiat-ciang Sian-li. Susah payah aku menghibur Cao Cun agar tidak bunuh diri. Kalau saja suhengmu datang dan mendengar penderitaan batin Cao Cun tentu sahabatku tak perlu diasingkan di sini. Tapi dia munafik, pembual dan pembohong yang sepatutnya di panggang di api neraka. Terkutuk suhengmu itu!”

Salima pucat dan menggeram. Semuanya ini baru ia ketahui sekarang, hubungan Cao Cun dengan suhengnya itu memang tidak dia ketahui jelas, paling-paling disangka sebagai sahabat biasa di mana hal itu pun cukup membuatnya cemburu. Tak tahunya mereka terlibat dalam cinta yang serius, meskipun akhirnya suhengnya membohongi gadis ini. Dan membayangkan bahwa suhengnya tentu memeluk dan pernah bermesraan dengan Cao Cun tiba-tiba darah Salima bergolak dan, aneh sekali, gadis ini tertawa nyaring!

“Wan Hoa, suhengku rupanya memang orang keparat. Baiklah, kuterima semua pengaduanmu ini. Aku akan mencarinya dan membuktikan apakah benar semua yang kau katakan ini. Kalau benar, aku akan menghajar suhengku itu meskipun aku gembira sahabatmu menderita. Kalau tidak benar aku akan datang ke sini dan membunuhmu!”

Wan Hoa terbelalak. “Kau gembira melihat penderitaan sahabatku?”

“Ya, aku gembira. Wan Hoa. Suhengku itu hanya aku yang punya, dia lancang dan salahnya sendiri kenapa mencinta suhengku. Mereka berdua sama-sama tak tahu malu, aku akan menghajar suhengku itu sebelum menghajar kalian berdua!”

“Ah. kau keji, Salima. Kau yang tak tahu malu dan....”

“Plak-plak!” Salima melepas geramnya, menampar Wan Hoa hingga gadis itu terpelanting, otomatis menghentikan kata-katanya dan Wan Hoa menjerit. Salima beringas dan tertawa aneh. Wan Hoa tak dapat bangun karena kepalanya pening, memaki gadis itu dan Salima menendangnya kembal. Dan ketika Wan Hoa terjerembab dan mengeluh pingsan maka Salima keluar berkelebat meninggalkan perkemanan bangsa Siong-nu itu, marah bukan main kepada suhengnya dan entah kepada siapa lagi, kedatangannya ke situ malah membuat perasaannya terbakar.

Sungguh tak dapat di terima kalau suhengnya pernah bercintaan dengan puteri Wang-taijin itu, meskipun sekarang Cao Cun telah menjadi isteri orang lain. Dan karena perasaan marah ini sedemikian membakar Salima hingga, kepala terasa cekot-cekot maka Salima menuju Chi-cou untuk menghajar bupati Wang itu!

“Anakmu tak tahu malu, berani dia mencintai suhengku tanpa sepengetahuanku. Nah, kau sebagai orang tuanya ikut bertanggung jawab, bupati Wang ini hadiah dariku uutuk kelancangan anakmu...”

“Des-dess...!”

Salima menendang, membuat sang bupati mencelat dan berteriak-teriak tak tahu apa yang terjadi, tiada hujan tiada angin gadis Tar-tar ini menghajarnya. Bupati iiu tunggang langgang dan kelabakan serta kaget melihat kemarahan Salima, dibuat jungkir balik dan segera memanggil pengawal, kemudian disambut kemarahan yang lebih lagi dari gadis ini. Pengawal pun menjadi korban. Dan ketika bupati itu pingsan dan pengawal malang melintang di ruangan itu Salima sudah berkelebat keluar dengan perasaan sedikit longgar, kemarahannya telah mendapatkan sasaran dan tubuh yang babak-belur di Chi-cou itu meringankan dadanya.

Tapi karena sumber utama belum didapatkan dan sumber itu adalah suhengnya sendiri maka Salima tak puas dan pergi mencari suhengnya ini, berminggu-minggu dan berbulan-bulan dia merantau. Urusan bangsa Tar-tar sungguh tak dihiraukan. Dan karena cemburu serta panasnya hati membuat gadis ini menjadi galak maka gangguan setiap penjahat yang coba menghadangnya di jalan mendapat pukulan keras di mana mereka itu paling ringan cacad seumur hidup.

Salima menjadi beringas. Cinta yang dikhianati membuat gadis ini gampang tersinggung. Orang menjadi takut menghadapi gadis Tar-tar ini. Jangankan mendekat, beradu pandang saja dari jauh cukup membuat orang keder. Mata gadis itu ganas dan beringas. Dan ketika perjalanan demi perjalanan dilakukan gadis itu dan tiada henti-hentinya Salima mencari namun tetap selalu seja gagal akhirnya Salima putus asa dan menangis di sebuah hutan ketika pada bulan ketujuh dia tak berhasil menemukan suhengnya itu.

Kemana Kim-mou-eng? Bagaimana sekian bulan tak muncul di dunia kang-ouw? Untuk menjawab pertanyaan ini kita memang harus menengok ke belakang.

* * * * * * * *

Seperti diketahui, setelah keluar dari Jurang Malaikat di mana Pendekar Rambut Emas bertemu dengan gurunya Kim-mou-eng langsung menuju ke utara. Dia mendapat nasihat untuk kembali ke suku bangsanya itu, berlari cepat dan tiba di padang rumput hanya untuk melihat tempat yang sudahi kosong. Kim-mou-eng ternyata terlambat. Batas waktu perjanjiannya dengan bangsa Tar-tar memang terlewati. Suku bangsanya itu sudah melakukan serangan ke kota raja. Dan karena hal ini mencemaskan Kim-mou-eng dan cepat dia ke luar lagi maka Pendekar Rambut Emas ini menuju ke selatan untuk mengejar suku bangsanya.

Namun sekali lagi dia terlambat. Bangsa Tar-tar terlanjur jauh masuk ke dalam, kegegeran akibat perang menghambat perjalanannya. Banyak pintu-pintu gerbang di kota-kota besar ditutup, hal ini membuat Kim-mou-eng mengeluh. Dan ketika dia maju dengan lambat dan bekas serbuan suku bangsanya meninggalkan jejak-jejak berdarah maka Kim-mou-eng merintih dan menutup muka melihat korban korban yang berjatuhan. Pendekar ini terpukul, tersayat dan acap kali harus berhenti menolong orang-orang tua atau anak-anak yang terinjak kuda, keedaan memang semrawut.

Dan karena perjalanannya banyak terhalang ini itu di mana semuanya ini semakin memperlambat pertemuannya dengan suku bangsa Tar-tar akhirnya Kim-mou-eng mendengar serbuan bangsa Siung-nu yang mengalahkan suku bangsanya itu. Di sini Kim-mou-eng mendengar tewasnya Siga. Dengan haru namun marah dia mendengar kematian pembantunya yang gagah perkasa itu.

Betapa dengan tombak di tangan Siga tetap melawan musuh-musuhnya, tewas dan roboh dengan senjata tetap melekat. Ini kematian yang heroik. Dan ketika dia tertegun dan bangsa Tar-tar cerai berai melarikan diri maka secara kebetulan suatu hari dia bertemu dengan Bora dan beberapa anak buahnya, ketika mereka mencoba lari keluar tembok besar.

”Kim-taihiap, aduh....!” Bora tersandung, berteriak, gembira tapi terjungkai ketika melihat Kim-mou-eng ada di situ, Kim-mou-eng hendak memasuki sebuah hutan.

Dan ketika anak buahnya yang lain juga berteriak gembira dan menjatuhkan diri berlutut maka beramal-ramai pasukan kecil yang kalah perang ini berseru, “Taihiap, kami dikalahkan bangsa Siung-nu. Siga tewas di tangan Raja Hu!”

“Dan kami terpukul mundur, taihiap. Bangsa Tar-tar hancur dan harus melarikan diri seperti anjing anjing buduk!”

Kim-mou-eng panas, merah mukanya, “Kalian bangunlah, mana yang lain dan mana pula sumoiku.”

Bora meringis. “Lihiap tak bersama kami, taihiap. Kami menyerbu sendiri tanpa pimpinannya!”

“Ke mana dia?” Kim-mou-eng mengerutkan alis.

“Kami tak tahu, inilah sebabnya kami kalah. Kalau saja kau atau lihiap ada di antara kami tentu Raja Hu dan dua panglimanya itu tak dapat mengalahkan kami!”

“Hm, mari kita duduk di sana,” Kim-mou-eng menuding sebuah tempat yang enak, mendahului melompat ke sini. “Coba kalian ceritakan selengkapnya dan kenapa sumoi tak ikut kalian?”

Bora menunjukkan penyesalannya. “Lihiap tak mau karena mengkhawatirkan dirimu, tathiap, ingin mencarimu dan karena itu meninggalkan kami.”

“Dan kalian diam saja?”

“Siapa dapat membantah keinginannya? Kami sudah membujuk dan mencegahnya, taihiap, tapi gagal dan lihiap meninggalkan kami tanpa pamit!”

Kim-mou-eng menarik napas. Memang dia tahu kekerasan hati sumoinya itu, keinginannya yang kuat dan sekeras baja, tak banyak orang yang dapat menundukkan sumoinya ini. Dan ketika Bora mulai menceritakan pengalaman suku bangsanya menyerbu dan menyerang istana maka Bora berapi2 mengakhiri ceritanya,

“Kami hampir berhasil, tapi gagal setelah bangsa Siung-nu muncul. Kalau saja mereka tak memiliki kekuatan fisik seperti bangsa Tar-tar tentu bangsa Han sudah kami gilas dan kaisar kami bunuh. Sayang, lihiap atau taihiap tak ada bersama kami. Kami harus menelan kekalahan ini dan mohon sukalah taihiap balaskan sakit hati bangsa Tar-tar dan menyiapkan kami untuk menebus kekalahan!”

Kim-mou-eng muram. “Bora, pertumpahan darah adalah hal yang paling tak kusukai. Aku dapat mendidik dan membangun kalian menjadi pasukan-pasukan yang tangguh, tapi apa guna itu semua kalau hanya berlandaskan dendam? Dulu sudah kuperingatkan kalian untuk tidak menyerbu kota raja, Bora. Namun kalian dibakar emosi sendiri untuk perang dan mempergunakan kekerasan!”

“Ah, itu karena hinaan kaisar, taihiap. Kalau saja kaisar tak menghina bangsa Tar-tar dalam persoalan Bi Nio tentu kami juga tak akan membalas sakit hati. Taihiap jangan menyalahkan kami...!”

“Benar, dan aku menyesal atas semua kejadian ini, Bora. Hubungan kita sekarang menjadi buruk dengan istana. Kaisar ternyata menyangkal tuduhan itu, aku telah datang ke sana dan bicara tentang ini.”

Kim-mou-eng lalu menceritakan pertemuannya dengan kaisar, betapa kaisar menolak memberikan selir yang hamil karena saat itu Bi Nio masih bersih. Anak yang dikandung Bi Nio adalah benar dari Gurba sendiri, kaisar sudah tak mengganggu Bi Nio karena selir itu sudah diserahkan ke Gurba, demikianlah pernyataan kaisar. Dan ketika Bora dan teman-temannya tertegun karena Kim-mou-eng memberikan penjelasan begitu maka seorang di antara mereka tiba-tiba nyeletuk,

“Kalau begitu anak Bi Nio tentu hitam, taihiap. Telah kau lihatkah anak itu di tempat kaisar?”

Di sini Kim-mou-eng terpaksa berbohong. “Aku telah melihat anak itu, memang benar, hitam. Tapi karena Bi Nio masih menyusui anaknya dan tak dapat kubawa pada kalian maka biar lain kali saja dia kubawa.”

Bora termangu, teman-temannya juga begitu. “Jadi tuduhan, kami salah?”

Mereka tak menduga kebohongan Kim-mou-eng, mempercayai pendekar ini karena Kim-mou-eng memang tak pernah bohong. Baru kali ilu terpaksa melakukannya demi mencegah timbulnya salah paham yang makin besar, betapa pun Kim-mou-eng melihat kesungguhan kaisar dan masih ragu atas peristiwa hilangnya anak Bi Nio, anak yang katanya ditukar seseorang dan karena itu pendekar ini harus berhati-hati menyajikan berita, menganggap sebaiknya menutupi dulu persoalan itu agar Bora dan teman-temannya ini, bangsa Tar-tar ini, tidak menjadi dendam dan sakit hati. Kebohongan untuk mencegah timbulnya keruwetan yang lebih besar memang mulai menjadi “kebijaksanaan” Kim-mou-eng, aneh. Dan ketika Bora dan teman-temannya mulai menyesal atas kesembronoan mereka maka pendekar ini mengangguk.

“Benar, tuduhan kalian salah, Bora. Karena itu kekalahan kalian sekarang hitung hitung sebagai pembayaran atas kelalaian kalian sendiri.”

“Tapi kami menyerbu kota raja karena taihiap tak menepati janji. Bangsa Tar-tar menunggu-nunggu taihiap yang tak kunjung datang!”

“Benar,” Kim-mou-eng mau disalahkan. “Aku salah dalam hal ini, Bora. Tapi tahukah kalian apa yang terjadi hingga aku tak dapat kembali pulang? Tahukah kalian bahwa aku dikejar-kejar dan nyaris dibunuh gara-gara Sam-kong-kiam? Aku tak dapat pulang karena dihadang ratusan orang kang-ouw, Bora, dan tak mungkin bertemu kalian lagi kalau guruku tidak datang!”

“Ah, Sian-su muncul?”

“Ya, tapi itu pun untuk menyelamatkan aku, Bora. Bukan untuk membalas atau membunuh orang-orang yang hendak membunuhku itu!”

Bora semburat. Kim-mou-eng lalu menceritakan peristiwa yang dialaminya itu. Betapa dia dikeroyok dan dikejer-kejar orang kang-ouw, dihadang dan diserang karena semua telah menganggap bahwa dialah pencuri Sam-kong-kiam. Bora mendengarkan dengan mata terbelalak. Dan ketika Kim-mou-eng menyelesaikan ceritanya dan Bora serta teman temannya mengangguk tanda mengerti tiba-tiba pemuda ini mengeram sambil mengepal tinju.

“Kalau begitu taihiap harus mencari pencuri asli ini, harus membersihkan nama dan membekuknya. Apakah kami dapat membantu?”

“Tidak, kalian pulang saja. Bora. Urusan ini tak dapat kumintakan tolong kalian. Hanya sumoiku yang dapat membantuku dalam persoalan ini. Karena itu kalian pulang dan kembali saja ke tempat kalian.”

Bora menarik napas kecewa. “Kami memang bodoh, taihiap. Kalau saja kami memiliki kepandaian tinggi tentu tenaga kami amat kau butuhkan. Baiklah, kami tahu diri dan biar kami pulang sambil menantimu di sana.”

Kim-mou-eng mengangguk. Sekarang Bora tak mengungkit-ungkit lagi masalah Bi Nio itu, untuk sementara keadaan aman. Bora diminta untuk mencari teman-temannya yang lain dan mengajak mereka itu kembali ke padang rumput, sekalian memberitahukan apa yang telah didengarnya dari Kim-mou-eng, pemuda Tar-tar itu berjanji. Dan ketika mereka berangkat dan Kim-mou-eng ditinggal sendirian maka pendekar ini tepekur di pinggir hutan itu. Apa yang harus dia lakukan?

Pertama tentu mencari si pencuri, ini penting. Lalu mencari sumoinya dan memberitahukan keselamatannya itu. Sumoinya tentu mendengar dan cemas akan nasibnya, jangan-jangan sumoinya malah terlibat pertempuran dengan orang-orang tak bersalah. Sumoinya itu ganas dan gampang marah, dia harus mencegah dan mencari sumoinya. Dan ketika Kim-mou-eng menetapkan hati dan bangkit berdiri akhirnya pendekar ini meneruskan perjalanan dan bergerak ke timur.

Minggu demi minggu dilewati pendekar ini. Kim-mou-eng berhati-hati menginjakkan kakinya di setiap daerah. Maklum, dia sudah amat dikenal dan gampang dicari orang. Dan ketika perjalanannya belum membawa hasil dan beberapa bulan kemudian dia tiba diwilayah pegunungan Heng san mendadak tanpa sengaja dia bertemu dengan dua orang nenek yang terkekeh-kekeh membawa seorang bayi, di mana seorang wanita muda diseret dan menangis tersedu-sedu.

“Aduh, ampun, ji-wi locianpwe (dua orang tua sakti)... ampun... kakiku lelah, aku capai...”

“Heh-heh, kau capai? Kalau begitu naiklah, kau boleh duduk di sini, heh.... heh!” dan seorang di antara dua nenek itu yang menangkap dan mencengkeram pundak wanita muda ini tahu-tahu sudah mengangkat si wanita muda itu duduk di atas pundaknya, terkekeh dan tertawa-tawa melihat temannya, nenek yang satu, melempar-lempar si bayi ke udara yang tentu saja membuat bayi itu menjerit-jerit.

“Heh-heh, kau anak baik, buyung. Tulang dan tengkorak kepalamu menunjukkan tanda-tanda luar biasa. Kau memiliki tulang istimewa, kau cocok menjadi murid kami. Heh-heh, tak rugi ibumu melahirkanmu...!”

Dan dua nenek ini yang terus terkekeh dan berjalan terseok-seok akhirnya membuat Kim-mou-eng tertegun dan menghentikan langkah, sekaligus dia menangkap sesuatu yang luar biasa pada nenek ini, mereka terus berjalan sementara si wanita muda tetap merintih, agaknya wanita itu ketakutan menghadapi nenek-nenek ini. Dan ketika Kim-mou-eng mengerutkan kening dan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi maka nenek di sebelah kanan yang melempar-lempar bayi tiba-tiba mencongkel sebuah batu dan berseru.

“Heh, ada sepasang mata melotot ke sini. Biar kucoblos sampai bulat”

Kim-mou-eng terkejut. Si nenek yang bicara seolah main-main itu mendadak mencongkel batu yang melesat ke matanya, gerak batu itu seakan meteor terbang, begitu cepat dan amat luar biasa. Tahu-tahu sudah di depan mata dan siap menghajarnya. Sekail kena tentu pecah matanya! Dan Kim-mou-eng yang tentu saja mengelak dan mengebutkan lengan tahu-tahu menangkis dan menyampok batu itu.

“Plak!”

Kim-mou-eng terkesiap. Untuk kedua kali dia dibuat terkejut oleh kenyataan ini, lengannya terpental dan pedas serta ngilu, batu terpukul runtuh sementara dua nenek itu hilang begitu saja seolah iblis. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan celingukan ke sana-sini mendadak tepat di atas kepalanya terdengar kekeh nyaring yang membuat pendekar ini kaget bukan main karena dua nenek itu ternyata sudah bergelantuugan di atas sebuah dahan dengan posisi terbalik, kaki di atas sementara kepala di bawah, persis di atas kepalanya!

“Heh heh, kau Kim-mou-eng, bocah? Kau murid Bu-beng Sian-su?”

Kim-mou-eng mencelat mundur. Gerak orang yang bagai siluman saja tanpa diketahui kapan beradanya sudah cukup membuat Kim-mou-eng mencelos, berjungkir balik dan sudah melihat dua nenek itu berjungkir dengan kepala di bawah mirip kalong, mereka terkekeh dan geli memandangnya, bayi dan wanita muda itu ada di gendongan mereka secara terbalik pula. tak ada yang berteriak karena mereka rupanya sudab ditotok, itulah sebabnya Kim-mou-eng tak mendengar suara sedikit pun dan keberadaan nenek itu di atas kepalanya membuat dia terkejut. Dan ketika dia terbelalak dan dua nenek ilu terkekeh geli maka Kim-mou-eng berhasil menekan guncangan hatinya dan bertanya,

“Looianpwe, siapakah kalian dan kenapa menyerang orang tak bersalah? Bukankah kita tak kenal-mengenal?”

“Heh-heh, kau bersalah karena mengintai kami, Kim-mou-eng. Dan lebih bersalah lagi karena kau murid Sian-su!”

“Locianpwe kenal guruku?”

“Wut!” mendadak dua nenek itu berjungkir balik, turun dan sudah berdiri di depan Kim-mou-eng dengan kaki di tanah, Kim-mou-eng melihat sorot yang begitu ganas dari dua nenek ini, mereka hampir kembar. Pandang mata mereka begitu tajam dan menusuk, tanpa terasa Kim-mou-eng surut selangkah dan tergetar. Dua bola mata nenek itu bagai ujung pedang mustika. Iweekeh (tenaga dalam) yang memancar dari sorot mata mereka begitu mengguncang jantung. Roboh kiranya orang-orang yang tak memiliki daya batin tinggi.

Dan Kim-mou-eng yang cepat menarik napas tiga kali dan membayangkan wajah gurunya tiba-tiba berhasil menolak daya serang dari sorot mata yang ampuh itu, menjura dan cepat-cepat mengumpulkan semangatnya untuk menghadapi dua nenek yang kiranya dahsyat ini.

Mereka orang-orang sakti, belum pernah seumur hidup Kim-mou-eng hampir menyerah dalam beradu pandang. kecuali dengan gurunya. Dan ketika degup jantung tenang kembali dan dua nenek itu berseru kagum maka Kim-mou-eng sudah berkata dengan sopan dan hati hati, “Locianpwe, siapakah ji-wi (anda berdua) yang agaknya telah mengenal diriku dengan baik? Apakah ji-wi dari barat?”

“Heh-heh” seorang di antara dua nenek itu tertawa memuji. “Kau hebat, Kim-mou-eng. Agaknya gurumu si manusia dewa itu telah membekalimu dengan kekuatan batin yang tinggi. Kami Sepasang Dewi Naga, apakah gurumu tidak pernah menceritakannya kepadamu?”

“Sepasang Dewi Naga?” Kim-mou-eng mengerutkan kening. “Guruku tak pernah menceritakannya, locianpwe. Maaf kalau aku tidak tahu!”

“Hmm. kau tentu tidak tahu. Kami tokoh-tokoh yang hidup pada jaman empat generasi dari leluhur kaisar sekarang, Kim-mou-eng. Kami adalah Sepasang Dewi Naga yang kini sudah berusia dua ratus tahun!”

“Dua ratus tahun?” Kim-mou-eng ternganga. “Maksud locianpwe bahwa locianpwe sudah hidup pada jamannya dinasti Han?”

“Ya, itulah kami. Karena itu tak ada generasi sekarang yang mengenal kami kecuali gurumu!”

“Ooh....” dan Kim-mou-eng yang bengong serta takjub memandang dua nenek ini tiba tiba membungkuk dan memberi hormat saking kagumnya. “Locianpwe, maafkan aku. Ji-wi kiranya orang-orang yang sudah hidup pada jamannya ayah dari kakek buyutku!” tapi si nenek di sebelah kanan yang tiba-tiba mendengus dan tertawa aneh mendadak mengibaskan lengannya.

“Kau tak perlu berbasa-basi. Kami paling benci sikap yang begini ini!” dan angin pukulan dahsyat yang menyambar Kim-mou-eng dari gerak kebutan itu tiba-tiba mengangkat naik pendekar ini untuk akhirnya melontarkannya ke sebatang poboo di belakang, membuat Kim-mou-eng terkejut bukan main dan berseru keras, cepat berjungkir balik membebaskan diri dari arus dorongan yang amal luar biasa ini, berhasil dan mendengar dentuman keras di belakang. Dan ketika dia melayang turun dan hinggap di tanah dalam jarak yang sama dengan kedua nenek di depan maka Kim-mou-eng mengeluarkan keringat dingin melihat pohon di belakangnya itu tumbang dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Dahsyat sekali!

“Locianpwe, kau kejam. Kenapa selalu menyerang dan hendak membunuh orang?”

“Heh heh, kau pandai, Kim-mou-eng. Bagus dan cepat sekali elakanmu tadi!” nenek di sebelah kanan tak perduli, memuji dan bersinar-sinar memandang Kim-mou-eng yang marah kepadanya. Sedikit terlambat tentu dia tewas!

Kim-mou-eng bergidik. Tapi nenek ini yang sudah melangkah maju dan melempar wanita di cengkeramannya tiba-tiba menggosok kedua tangannya dan tersenyum berkata, tetap tak menghiraukan kemarahan lawan, “Kau mendapat kepandaian apa saja dari Sian-su? Berani kau main-main denganku?”

Kim-mou-eng surut setindak, berdebar. “Locianpwe, guruku tak mengajariku untuk bermusuhan dan mencari permusuhan dengan orang lain. Aku tak ingin bertempur, harap kau tidak memaksa agar aku yang muda tak sampai kurang ajar.”

“Heh-heh, kau takut?”

“Tidak, aku hanya menghormatimu, locianpwe. Aku tidak takut dan tak akan takut selama aku berada di jalan kebenaran!”

“Bagus, kalau begitu untuk apa kau datang? Bukankah kau mengintai kami?”

“Aku curiga melihat wanita yang menangis sepanjang jalan ini, locianpwe. Dan juga bayi yang kalian bawa itu. Aku datang karena ingin mencari keterangan!”

“Heh-heh, bocah ini pintar bicara, Toa-ci (kakak). Bagaimana pendapatmu?” nenek itu tiba-tiba menoleh pada temannya, tertawa dan Kim-mua-eng heran melihat nenek ini masih memiliki gigi gigi depan ompong sebagian tapi belum sepenuhnya. Heran!

Dan ketika nenek yang satu tersenyum dan Kim-mou-eng juga melihat hal yang sama pada nenek ini maka nenek itu berkata, “Ji-moi (adik), bekuk dan tangkap saja dia. Lihat seberapa lama dia dapat bertahan!”

“Heh-heh, kalau begitu aku harus merobohkan si tampan ini? Atau membunuhnya sekalian, toa-ci?”

“Jangan, dia cukup sopan. Robohkan saja dan gantung dirinya dengan posisi terbalik.”

“Seperti jengkerik?”

“Ya, seperti jengkerik!”

“Bagus, dia akan kubekuk!” dan si nenek yang siulan menghadapi lagi Kim-mou-eng dengan kekeh yang aneh tiba-tiba berseru. “Bocah, sekarang bersiaplah. Aku akan menjemurmu!”

Tapi Kim-mou-eng yang melompat ke belakang dan berseru memotong tiba-tiba membentak, “Nanti dulu, aku ingin bertanya!” dan Kim-mou-eng yang marah direndahkan seperti itu sudah cepat menyambung, “Ji-wi locianpwe, kalian kiranya begitu percaya akan gampang merobohkan aku. Bakiah, sebelum aku melawan katakan dulu siapa wanita dan bayi ini. Kenapa kalian menyeret-nyeretnya dan bersikap kejam!”

“Heh-heh, wanita ini aku tak tahu, Kim-mou-eng. Tapi bayi itu kami ambil dari istana.”

“Dari istana?” Kim-mou-eng terkejut, memang sudah curiga karena melihat kulit bayi yang hitam, jangan-jangan anak Bi Nio. Dan Kim-mou-eng yang tertegun tapi cepat menekan guncangan hatinya lalu membentak, “Kalau begitu kalian menculik anak Bi Nio, locianpwe. Bocah ini adalah putera mendiang suhengku, jadi ini murid keponakanku juga!”

“Betul,” nenek itu terkekeh. “Kami juga mendengarnya begitu dari ibunya, Kim-mou-eng. Tapi kami tak perduli. Anak ini memiliki bakat dan tulang istimewa, kami ingin mengambilnya sebagai murid!”

Kim-mou-eng kaget sekarang. Dia tak jadi menduga-duga siapa penculik anak Bi Nio, keraguannya terhadap kaisar lenyap seketika dan kemarahannya terhadap dua nenek ini memuncak. Ternyata benar, anak Bi Nio diculik dan kini dua nenek itu mengaku. Tak perlu lagi mencari-cari. Tapi Kim-mou-eng yang dua kali merasakan kelihaian nenek itu dan sadar berhadapan dengan tokoh yang amat sakti tiba-tiba menekan kemarahannya dan melompat maju, berkata dengan suara rendah,

“Locianpwe, perbuatan kalian benar-benar tidak terpuji. Ibu dari anak ini masih hidup, begitu pula aku sebagai paman gurunya. Kenapa kalian main culik dan bertindak sewenang-wenang? Bukankah sebagai kalangan tua ji-wi harus tahu bahwa perbuatan ini salah? Kembalikan anak itu, locianpwe, dan bebaskan pula wanita ini yang tidak tahu-menahu persoalan!”

“Heh, kau enak saja bicara? Wanita ini kami perlukan air susunya, bocah ini sudah menjadi milik kami dan akan mewarisi semua kepandaian kami. Kami tak membunuhnya sudah untung, Kim-mou-eng. Jangan kurang ajar dan membuat kami marah!”

“Kalau begitu ji-wi akan berhadapan dengan aku. Maaf aku bersikap kasar!” dan Kim-mou-eng yang membentak dan sadar tak mungkin dapat membujuk tiba-tiba berkelebat ke depan melancarkan pukulan, untuk pertama kali menyerang dan langsung mengerahkan Tiat-lui-kangnya, sinar merah berkelebat dan angin pukulan panas menyambar nenek itu. Nenek ini terbelalak. Tapi ketika pukulan panas itu menampar mukanya dan nenek ini terkekeh tiba-tiba dia melejit dan menggerakkan lengan kirinya pula.

“Cess...!” Kim-mou-eng terkejut. Pukulan seperti es menyambar pukulan panasnya, Tiat-lui-kang lenyap dan pukulan dingin ganti menerobos dirinya. Tubuh tiba-tiba serasa dingin seperti direndam es, terkejutlah Kim-mou-eng karena itu tanda sin-kangnya kalah kuat. Hebat nenek ini. Tapi Kim-mou-eng yang mengelak dan cepat melompat tinggi tiba-tiba menendang nenek itu dengan ujung kakinya, diegos dan bertubi-tubi kemudian Kim-mou-eng sudah melancarkan serangan yang lain, dia terkesiap bahwa untuk kesekian kalinya dia merasakan getaran lebih kuat dari angin pukulan lawan. Nenek ini memang sakti. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebatan dan berseru keras mengelilingi lawan maka nenek ini terkekeh mengikuti gerakannya.

“Bagus, kau boleh serang aku, bocah. Tapi setelah itu bersiap-siaplah untuk roboh!”

Kim-mou-eng merah mukanya. Dia penasaran dan terus melancarkan pukulan pukulan Petir, tamparan dan tendangan bertubi-tubi menghujani nenek ini. Sang nenek menangkis dan mengeluarkan pukulan dinginnya, berkali-kali suara “cas-ces” terdengar dan Kim-mou-eng selalu terpental. Pendekar kita kalah kuat! Dan ketika nenek itu tertawa tawa dan nenek yang satu juga terkekeh maka Kim-mou-eng mendengar ejekan nenek yang di luar pertempuran itu,

“Ji-moi, murid si kakek dewa Bu-beng Sian-su ternyata hanya sebegini saja kepandaiannya, Kauhentikanlah main main ini dan robohkan dia!”

“Heh heh, aku ingin menguras semua keringatnya, toaci. Biar dia roboh sendiri setelah lelah. Bocah ini masih menyimpan beberapa kepandalan lain. Pit di balik bajunya itu belum dikeluarkan dan Pek-sian-ciang juga belum diperlihatkan!”

Kim-mou-eng terkejut bukan main. Dia sudah mati-matian mengeluarkan pukulan Petir, berkali-kali pukulannya itu meledak tapi selalu tertolak buyar, kalau bukan lawan yang demikian sakti tak mungkin pukulannya itu gagal. Kini si nenek mengetahui pit yang disimpannya di balik baju dan mengejek tentang Pek-siang-ciangnya, betapa lihainya nenek ini. Betapa awas! Dan ketika Tiat-lui-kangnya mulai membalik dan nenek itu terkekeh-kekeh menyuruh dia mencabut senjatanya maka untuk pertama kali selama hidupnya Kim-mou-eng mencabut pit-nya itu menghadapi lawan yang bertangan kosong.

“Baiklah, kau yang menghendaki, locianpwe. Kau memang lihai dan aku akan mengeluarkan semua kepandaianku!”

“Jangan sungkan, kau pun boleh mengeluarkan Tangan Dewamu (Pek-sian-ciang), Kim-mou-eng. Dan aku tak akan membalas sampai sepuluh pukulan lagi!”

Kim-mou-eng menggeram. Dia benar-benar marah dan penasaran mendengar kesombongan lawan, nenek itu tak akan membalasnya dalam sepuluh pukulan berikut. Baik, dia akan mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, tak akan lengah dan akan mempergunakan semua kepandaiannya. Dan begitu lawan melompat dan terkekeh membiarkan pit-nya menyerang sebelah kiri tiba-tiba Kim-mou-eng membalik dan bertubi-tubi menggerakkan pit di tangan kanan sementara tangan kiri terus melancarkan Tiat-lui-kang, gagal dan dia kaget karena pukulan yang luput selalu membuat tubuh sendiri terhuyung, pendekar ini menggigit bibir dan maklum bahwa dia benar-benar menghadapi lawan yang jauh di atas dirinya sendiri, mungkin hanya gurunya yang mampu menghadapi nenek ini.

Dan ketika tujuh pukulan berturut-turut lolos dan mental atau mengenai angin kosong dielak si nenek sakti maka nenek itu berseru, “Kim-mou-eng, lepaskan Pek-sian-ciang. Tiga pukulan Tangan Dewamu akan kuterima tanpa kubalas!”

Kim-mou-eng naik darah. Dia benar-benar direndahkan sekarang. Ilmu Tangan Dewanya itu adalah ilmu terdahsyat yang dia miliki, jarang di gunakan kalau tidak perlu. Ilmu ini terlampau mahal untuk dikeluarkan. Tapi karena lawan berhasil mementalkan semua pukulannya dan Tiat-lui-kang yang panas itu selalu dirontokkan lawan di tengah jalan akhirnya apa boleh buat pendekar ini menggereng mempergunakan sisa tiga pukulan terakhir, sadar bahwa di sana masih ada seorang nenek lagi yang belum dilayaninya. Mungkin nenek itu malah lebih hebat karena dia adalah sang toaci (kakak), bergidik Pendekar Rambut Emas ini membayangkan kepandaian lawan.

Maka begitu sang Ji-moi (adik) berani berkata bahwa dia akan menerima sisa tiga pukulan terakhir dan dia disuruh mengeluarkan Pek-sian-ciangnya maka Pendekar Rambut Emas mengeluarkan bentakan yang membuat bumi tergetar, disusul ledakan keras dan munculnya cahaya berkilau dari dua lengannya. “Locianpwe, awas pukulan mautku... clap!”

Dan sinar berkeredep yang meluncur bagal bintang berekor mendadak menyambar dan melesat menghantam nenek ini. Sinarnya yang berkilau kilauan membuat mata nenek ini berkejap, kiranya nenek itu tak tahan akan cahaya yang terlalu terang dari pukulan Tangan Dewa ini, berseru perlahan dan tidak sempat mengelak lagi, dia pun memang sengaja tak mengelak, ingin menerima dan merasakan pukulan dahsyat ini. Dan ketika pukulan itu mengenai tubuhnya dan ledakan yang amat kuat menjadikan pohon-pohon di sekitar berderak patah dan bumi bergetar seakan kedatangan ribuan gajah maka nenek itu bergoyang tubuhnya sementara Kim-mou-eng sendiri mencelat terpental.

“Dess!” Hebat hasil pukulan pertama itu. Nenek itu ambles kakinya, seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya berkilat namun dia tidak apa-apa. Kim-mou-eng sudah berjungkir balik dan terbelalak memandang lawan, kaget dan kagum tapi juga marah bukan main. Lawan tersenyum mengejek kepadanya, seolah pukulan Pek-sian-ciang adalah pukulan “gudir” (agar-agar).

Kim-mou-eng cepat berseru keras dan menyerang lagi, kini empat perlima bagian tenaganya dikerahkan, keringat pun bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Dan ketika pukulan kembali meledak dan nenek itu menahan sambil mengeluarkan seruan pendek maka untuk pukulan kedua ini sang nenek mengeluh dan baju bagian atasnya hancur berhamburan.

“Dess!”

Kim-mou-eng semburat merah. Tubuh bagian atas nenek itu seketika tak tertutup apa-apa, telanjang memperlihatkan teteknya yang kempot, Kim-mou-eng seketika melengos dan jengah. Untuk pukulan ketiga dia menjadi ragu dan gelisah. Kaki orang sudah semakin ambles mendekati lutut, nenek itu tampak terengah tapi gembira menyuruh dia melepas pukulan terakhir, berteriak sambil menyebut-nyebut nama gurunya. Bu-beng Sian-su dikatakan menurunkan ilmu yang tiada guna, Pek-sian-ciang itu tak berpergaruh apa-apa pada nenek ini. Dan ketika sang nenek terkekeh dan menyuruh dia menyerang lagi tiba-tiba dengan mata gelap dan kemarahan yang tak terkendalikan lagi Kim-mou-eng mencelat ke depan dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir.

“Awas....!” Bentakan itu sudah merupakan peringatan berbahaya. Kim-mou-eng menyambar dengan kedua lengan terbuka, dua sinar putih berkeredep lebih menyilaukan lagi. Nenek itu tertanam kakinya, tak mungkin mengelak. Kali ini terbelalak, dua teteknya bergoyang ke kiri kanan lucu sekali, Kim-mou-eng harus mengalihkan pandangan dari benda yang agak mengganggu ini.

Dan ketika pukulan dahsyat itu menyambar dan nenek ini berkejap sejenak dari cahaya yang amat menyilaukan itu maka sang toa-ci yang ada di belakang mendadak berkelebat dan berteriak pada adiknya agar membuka mata dan hati-hati terhadap pukulan yang dikerahkan dengan segenap tenaga ini, dalam waktu yang begitu cepat sudah menahan pundak adiknya yang meledak dihantam Pek-sian-ciang.

“Blang...!” Pukulan itu benar-benar luar biasa. Tubuh sang nenek seakan disengat listrik tegangan tinggi, bunga api memuncrat berpercikan sementara sisa-sisa pakaiannya hancur, nenek ini seketika telanjang bulat dan mengeluh lirih. Kaki yang terbenam semakin melesak hingga mencapai pusarnya. Bukan main.

Tapi sang toaci yang sudah menempelkan lengan di pundak adiknya dan cepat mengerahkan sinkang tiba-tiba membantu dan menolak hawa pukulan Pek-sian-ciang itu. Kalau tidak tentu adiknya roboh pingsan. Sang adik terlalu sembrono dengan menerima pukulan hanya bertahan saja, kesombongan membuat adiknya itu hampir celaka. Betapapun Pek-sian-ciang telah dua kali menyerangnya tanpa dibalas, itu sudah lebih dari cukup. Maka begitu adiknya menerima pukulan ketiga dan kemarahan Kim-mou-eng mencapai puncaknya dengan mengerahkan segenap tenaga cepat saja sang toaci berkelebat membantu adiknya itu, mengerahkan sinkang untuk bertahan tapi pakaian adiknya hancur juga.

Sang adik melesak sampai sebatas pusar, dari sini dapat dilihat betapa dahsyatnya ilmu pukulan Bu-beng Sian-su itu. Kim-mou-eng memang geram dan kaget serta marah. Sang nenek tentu cidera atau paling sedikit pingsan menerima pukulan ketiga itu, pendekar iai sudah memperhitungkan. Tapi ketika sang toa-ci berkelebat dan tanpa disangka membantu adiknya dan tepat pukulan tiba Kim-mou-eng merasakan daya tolak yang amat luar biasa dari depan mendadak saja pendekar ini mengeluh dan cepat membelalakkan mata, merasa arus gabungan yang maha kuat menahan pukulannya itu dan sekejap kemudian menghantamnya balik, demikian cepat dan amat mengejutkan.

Kim-mou-eng tentu saja kalah karena dia menghadapi dua tenaga berbareng, maut ganti menyerangnya! Dan karena semuanya sudah tak keburu dikelit dan satu-satunya jalan bagi Kim-mou-eng hanya “membuang” semua tenaga yang ada agar tak beradu keras dengan keras maka, Kim-mou-eng sudah melakukan itu dan tubuhnya tiba-tiba terhempas ke belakang, Kim-mou-eng seolah kapas yang memasrahkan diri pada angin serangan, tertiup dan tertolak ke belakang, dua puluh tombak, terbanting dan bergulingan di sana. Tapi karena angin pukulan nenek itu mengandung sinkang luar biasa kuatnya dan pukulan sakti memang selalu membahayakan bagi orang lain maka Kim-muo-eng lontakkan darah segar dan akhirnya tak bergerak lagi setelah bergulingan dua kali. Pingsan.

“Bluk!”

Nenek yang dipanggil Ji-moi tertegun. Dia batuk-batuk masih dalam keadaan tertanam, terengah dan terbelalak memandang robohnya Kim-mou-eng itu. Anak muda itu pasti pingsan, atau mungkin tewas, tiba-tiba timbul keinginannya untuk melihat keadaan lawan tapi sadar bahwa hampir separuh badannya “terkubur” di tanah, sang toaci menarik dan segera nenek ini melihat tubuhnya yang telanjang bulat, berseru lirih dan cepat menutupi bagian bawah dan atasnya dengan gugup, nenek itu marah tapi juga bingung, tak ada pakaian cadangan di situ.

Tapi sang toa-ci yang mendengus dan menyambar wanita muda yang mereka totok dan sudah membelejeti wanita ini hingga tinggal mengenakan pakaian dalamnya saja tiba-tiba menyerahkan pakaian luar wanita muda itu pada adiknya dan sang Ji-moi mengumpat, kini berpakaian seadanya dan sudah meloncat mendekati Kim-mou-eng. Dan ketika dilihatnya Kim-mou-eng masih hidup dan wajahnya sepucat kertas maka nenek ini terkesima dan kagum meskipun mendongkol.

“Hebat, dia tidak mampus. Benar-benar luar biasa murid Bu-beng Sian-su ini...!”

“Dan kau sembrono menerima tiga pukulan berturut-turut dari Pek-sian-ciang, Ji moi,” sang toa-ci sudah berkelebat di sampingnya. “Seharusnya sebuah saja cukup dan selebihnya kau harus membalas!”

“Benar!” sang adik mengangguk, menyadari kekeliruannya yang hampir berakibat fatal. “Aku mengakui kesombonganku, Toa-ci, tapi betapapun aku mampu menahan Pek-sian-ciangl Bocah ini hebat, namun dia terluka parah. Apa yang harus kita lakukan padanya? Membunuhnya saja agar kelak tak merupakan bahaya bagi kita?”

“Hm, bocah ini murid Sian-su, Ji-moi. Bagaimana kalau Sian-su meuntut pertanggungjawaban kita? Aku masih gentar menghadapinya, si tua bangka itu rupanya masih hebat dan mampu menurunkan kepandaian begini tinggi kepada Kim-mou-eng yang masih muda. Aku ragu, ingat saja kejadian seratus lima puluh tahun yang lalu ketika kita menghadapi kakek dewa itu!”

Ji-moi bergidik. Tiba-tiba dia menjadi ngeri kalau harus membayangkan menghadapi si manusia dewa ini, tokoh yang begitu tinggi kepandaiannyaa hingga sulit diukur. Seratus lima puluh tahun yang lalu mereka pernah berhadapan tapi semua pukulan mental. Bu-beng Sian-su tidak membalas tapi semua serangan mereka membalik, entah kenapa tubuh si manusia dewa itu seolah memiliki tameng sakti yang tak kelihatan, yang selalu menjaga dirinya dan membuat mereka jatuh bangun.

Dan ngeri berada pandang dengan sorot di balik halimun yang selalu menutupi wajah kakek dewa itu akhirnya mereka harus tunggang-langgang karena dari sorot mata di balik halimun itu sealah memancar satu kekuatan gaib yang membuat mereka gentar dan tidak kuat menentang. Seolah dari sorot mata itu keluar satu getaran lembut yang membuat tenaga mereka tiba-tiba lumpuh dan tidak berdaya, serasa dilolosi seluruh urat-urat mereka. Aneh!

Dan karena kenangan itu demikian membekas dan kini setelah seratus lima puluh tahun kemudian kakek dewa itu masih dapat mewujudkan sebagian dirinya pada diri Kim-mou-eng yang luar biasa ini akhirnya Ji-moi bergidik dan memandang encinya, dapat memaklumi keraguan encinya tapi betapapun dia penasaran. Masa seratus lima puluh tahun kemudian setelah mereka memperdalam ilmu-ilmu mereka, Bu-beng Siau-su tak dapat dihadapi juga, bukankah mereka terlampau kecil hati? Maka ketika dia minta pendapat dan encinya berkata bahwa sebaiknya Kim-mou-eng dibiarkan begitu saja dan jangan dibunuh tiba-tiba nenek ini berkata,

“Aku tak akan membunuhnya, enci. Tapi aku ingin menyiksanya. Anak muda ini akan ku gantung dengan kepala di bawah kaki di atas. Kau tentu tak keberatan, bukan?”

“Baiklah, hitung-hitung sebagai pembalasanmu kepadanya, Ji-moi. Aku tak keberatan asal dia jangan dibunuh.”

“Tidak, aku tak akan membunuhnya!”

Dan Kim-mou-eng yang lalu diikat dan disambar nenek ini tiba-tiba digantung dan diketawai Ji-moi, pekerjaannya selesai dan pemuda yang pingsan itu sudah menjadi kalong manusia, ditepuk-tepuk sejenak dan Ji-moi kagum memandang wajah yang tampan itu, meskipun pucat. Dan ketika sang toa-ci ikut tersenyum dan Ji moi berkata bahwa dia tentu akan gembira kalau mendapat kekasih macam pemuda ini ketika mereka masih muda maka sang kakak mendengus berkata,

“Sudahlah, itu sudah lampau bagi kita, Ji-moi. Ayo pergi dan bawa beban kita masing-masingl” sang kakak menyambar bayi di dekatnya, berkelebat dan lenyap meninggalkan tempat itu sementara adiknya juga menyambar wanita muda yang terisak-isak tanpa suara, ngeri melihat sepak teriang dua wanita itu.

Nenek-nenek ini memang tidak lumrah manusia lagi. Kepandaian mereka seperti iblis dan Kim-mou-eng yang terbukti lihai saja harus mengakui kalah menghadapi mereka, padahal yang maju baru seorang. Dan begitu mereka lenyap dan Kim-mou-eng ditinggal sendirian seperti kalong sekarat maka Kim-mou-eng sendiri yang tidak sadar dan masih pingsan digantung di atas pohon akhirnya menjadi seperti barang mainan yang terayun ayun ditiup angin lalu.

Akan tewaskah pendekar ini? Akan begitu mengenaskankah kematiannya? Memang tampaknya begitu, kalau saja tak ada sesuatu yang kebetulan. Dan karena yang “kebetulan” itu justeru dilakukan Ji-moi kepadanya secara tak sengaja maka Kim-mou-eng yang seharusnya mati perlahan-lahan ini mendadak selamat tanpa sengaja pula dan hidup. Apa yang menjadi kebetulan itu? Apa yang menyelamatkannya? Bukan lain posisi tubuh yang dijungkir itu, kepala di bawah kaki di atas, satu keadaan yang justeru merupakan “siulian” (samadhi) bagi pendekar ini.

Kim-mou-eng yang biasa bersamadhi dengan cara terbalik justeru merasa ditolong dengan perbuatan nenek itu. Benar! Tanpa sengaja Kim-mou-eng malah “diobati” dengan perbuatan nenek Ji-moi yang bermaksud menghinanya, tak tahu bahwa dengan cara ini Kim-mou-eng justeru melakukan siulian tanpa sengaja. Sedikit tetapi pasti napasnya mulai teratur. Muka yang tadi pucat itu perlahan-lahan merah. Dan karena sesuatu yang berulang-ulang di lakukan selamanya akan menghasilkan sesuatu yang otomatis muka tarikan napas dan denyut jantung Pendekar Rambut Emas itu pun tiba-tiba berjalan otomatis dan jadilah sesuatu yang berjalan tanpa sengaja ini justeru merupakan suatu ke beruntungan besar bagi Kim-mou-eng. Aneh!

Tubuh memang mempunyai cara yang luar biasa untuk menyelamatkan Kim-mou-eng. Sebenarnya, kalau saja nenek Ji-moi membiarkan Kim-mou-eng menggeletak di tanah justeru pemuda ini akan tewas. Tak ada sesuatu, yang bekerja dari dalam. Tapi begitu dia dijungkir dan tenaga sakti justeru bangkit dan bekerja dengan otomatis maka Kim-mou-eng yang pingsan dan “dijantar” seperti jengkerik ini justeru selamat. Nenek Ji-moi tentu tak menduga keadaan ini, mengira Kim-mou-eng semakin tersiksa oleh perbuatannya.

Tak tahu bahwa kebiasaan Kim-mou-eng dengan bersamadhi secara jungkir balik justeru tertolong oleh perbuatannya tadi. Perlahan tetapi pasti hawa sinkang di tubuh pemuda ini bekerja, naik dan akhirnya merambat ke sekujur tubuh. Luka dalam yang dialami Kim-mou-eng mendapat pengobatan secara otomatis. Dan ketika tiga hari kemudian hawa sakti ini bekerja secara terus-menerus dan kebiasaan jungkir balik membuat Kim-mou-eng sehat lahir. Dan akhirnya Kim-mou-eng sembuh dan siuman untuk pertama kalinya. Luar biasa!

Kim-mou-eng membuka mata. Mula-mula dia terkejut melihat langit ada “di bawah”, tangan dan kaki tak dapat digerakkan karena dia dalam keadaan terikat. Memang kesadaran yang baru berjalan ini membuat Kim-mou-eng belum sadar betul, ingatannya masih melayang naik turun tak keruan. Tapi begitu kesadaran sepenuhnya melingkupi kepalanya dan dia ingat akan apa yang terjadi mendadak pendekar ini menggerakkan tubuh dan tali-temali yang mengikat semua kaki tangan terputus, dia terbanting ke bawah tapi cepat berjungkir balik. Dan ketika Kim-mou-eng tegak di tanah dan merasa agak pening maka sadarlah pendekar ini akan keadaan tubuhnya yang lemas.

Memang dia sudah sembuh, tapi tenaga yang banyak hilang akibat pertempuran melawan Ji-moi sungguh menguras sekali. Kim-mou-eng tiba-tiba terduduk dia cepat bersila. Dan ketika dia dapat menduga apa yang terjadi dan kaget serta girang bahwa dia masih hidup, tiba-tiba pendekar ini mengucap syukur dan memeriksa semua aliran darahnya, memejamkan mata dan melihat apakah masih ada sisa-sisa luka pukulan yang mengganggunya, tarikan napas dan aliran sinkang segera dipantau (diperiksa), melihat bahwa semuanya baik dan dia benar-benar sembuh, kecuali lemah karena tiga hari tiga malam tidak makan dan minum, juga pengeluaran tenaga yang berlebih-lebihan melawan si nenek sakti.

Maka begitu Kim-mou-eng girang bahwa dia selamat tak kurang suatu apa kecuali harus istirahat sejam dua jam untuk memulihkan tenaga maka Pendekar Rambut Emas ini segera bersila mengumpulkan semangatnya, mendorong dan mengatur tenaganya agar pulih dengan cepat. Dan ketika semuanya itu berakhir dan Kim-mou-eng membuka mata untuk bangkit berdiri mendadak seseorang telah berada di depannya dan Kim mou-eng mendengar isak ditahan. Seorang gadis cantik telah berdiri di depannya dengan mata berapi-api. Salima!

“Sumoi...!” Kim-mou-eng tak menyangka sama sekali. Sejenak dia tertegun, bengong tapi melompat bangun menubruk sumoinya itu. Entah kapan sumoinya telah ada di situ, menunggu dia memulihkan tenaga. Kim-mou-eng “lupa” pada bola mata yang berapi-api itu, kalah oleh kegembiraannya bertemu sang sumoi. Tapi begitu dia melompat bangun dan menubruk sumoinya ini mendadak Salima melengking menghantam perutnya dengan lutut.

“Jangan sentuh aku....”

“Ngek!” Kim-mou-eng terjengkang, merasa seneb dan seketika berteriak kaget dan terguling-guling. Perut yang dihantam lutut itu hampir saja melontakkan isinya, Kim-mou-eng mual. Dan ketika ia melompat bangun dan terbelalak memandang sumoinya maka Salima telah berkelebat di depannya dengan bendera maut di tangan.

“Ah, apa artinya ini, sumoi? Apa yang ingin kau lakukan?” Kim-mou-eng terkejut, menggigil dan tidak mengerti memandang sumoinya. Sumoinya tampak beringas dan baru sekarang ia sadar bahwa sumoinya ini marah besar. Bola api dari pandang mata gadis itu baru dilihatnya. Kim-mou-eng tertegun dan heran pula melibat wajah sumoinya yang pucat, tubuh yang biasa ramping itu agak kurus. Kim-mou-eng heran dan kaget. Dan ketika sumoinya terisak dan membentaknya dengan pandangan menusuk tiba-tiba pendekar ini mendelong,

“Suheng, apa yang telah kaulakukan terhadap Cao Cun? Apa yang telah kauperbuat pada puteri bupati she Wang itu?” Kim-mou-eng terkesiap. “Apa? Cao Cun, sumoi? Puteri Wang-taijin itu? Ah, aku tidak melakukan apa-apa, aku tidak berbuat apa apa terhadap puteri bupati she Wang itu.”

“Bohong!” bentakan ini seperti guntur di siang bolong. “Kau berjanji mau mengawininya, kau telah mengobral cinta yang muluk-muluk terhadap gadis itu. Kau laki-laki tak bertanggung jawab yang menyakiti wanita, jahanam...!” dan bendera yang bergerak mengebut ke depan tiba-tiba menyerang dan sudah menghantam wajah pendekar ini dengan satu kibasan maut, disusul pukulan Tiat lui kang yang menampar dari bawah ke atas, bersembunyi di balik kebutan bendera dan Salima melengking penuh kemarahan.

Kim-mou-eng kaget bukan main dan sadarlah dia bahwa urusannya dengan Cao Cun, telah diketahui sumoi nya ini. Celaka, sumoinya cemburu dan kini ngamuk, baru dia sadar bahwa dia pun memiliki janji-janji terhadap Cao Cun. Gadis itu masih di Istana Dingin dan selama ini dia melupakannya begitu saja. Ah, tidak... Bukan melupakan begitu saja melainkan semata dia disibukkan oleh urusan suku bangsanya tentang kaisar, lain disusul pencurian Sam kong-kiam yang dituduhkan kepadanya itu. Bertubi-tubi peristiwa demi peristiwa mengganggunya, sungguh dia bukan melupakan dengan sengaja nasib puteri Wang taijin itu. Dia terlalu sibuk, itulah alasannya.

Maka mendengar sumoinya membentak-bentak dan urusan ternyata berpangkal pada puteri Wang taijin ini, tiba-tiba Kim-mou-eng gugup dan bingung, berteriak dan menangkis serangan bendera tapi sumoinya tak mau berhenti, malah menyerang semakin gencar dan sumoinya tampak kalap. Sungguh celaka. Dan ketika Kim-mou-eng lengah sekejap dan berteriak-teriak menyuruh sumoinya menghentikan serangan tapi sumoinya malah melakukan pukulan bertubi-tubi akhirnya kelebatan bendera yang menghalang pandang matanya itu menyembunyikan sebuah tamparan sumoinya yang telak mengenai pundaknya.

“Plak... augh!” Kim-mou-eng terguling-guling, mengeluh dan sudah dikejar dengan satu totokan gagang bendera. Sumoinya berkelebat dan gagang bendera itu sudah mendekati ulu hatinya, sekali terlambat tentu dia tewas. Kim-mou-eng terkejut karena sumoinya bersungguh-sungguh untuk membunuhnya. Bukan main, urusan kiranya benar-benar gawat. Dan marah tapi juga bingung oleh sikap sumoinya yang dinilai berlebihan akhirnya pendekar ini menangkis dan menendang serangan sumoinya itu, mencelat bangun dan menjaga diri dari segala kemungkinan. Kali itu sumoinya terhuyung, dia melakukan tangkisan keras ketika sumoinya menotoknya tadi.

Dan sementara sumoinya mendelik mau menyerang lagi buru2 Kim-mou-eng mengangkat kedua lengan ke atas dan berseru, “Stop... stop! Nanti dulu, sumoi. Kenapa kau memaki-maki dan menyerangku begitu sungguh sungguh? Apakah dosa dan salahku sebenarnya kepadamu, sumoi? Kenapa harus mengincar nyawa untuk urusan puteri Wang taijin itu? Memang benar aku mengobral janji padanya, tapi selama janji itu kulakukan dalam keadaan terpaksa. Stop, jangan menyerang!”

Kim-mou-eng melihat sumoinya mendengus, mau bergerak lagi. “Dengarkan aku dan ceritakan pula semuanya ini dengan jelas!” lalu buru-buru menurunkan lengan ke bawah dan coba menyabarkan sumoinya Kim-mou-eng menyambung, “Sumoi, di antara kita tak ada hal-hal yang harus disembunyikan. Selama ini kau tahu bahwa aku selalu jujur padamu. Sekarang ceritakan dengan lebih tenang apa yang telah membuatmu marah-marah begini, ada apa dengan puteri Wang-taijin yang membuatmu naik darah ini!”

Salima berombak, memaki suhengnya; “Kau laki-laki penipu, suheng.. Kau menipu Cao Cun dan mengkhianati aku pula. Aku benci padamu. Aku muak!”

“Baiklah, kenapa begitu dan ceritakan yang jelas. Sabar dan tekanlah sedikit kemarahanmu ini.”

“Siapa dapat menekan kemarahan? Kau yang mengobarkan, suheng. Kau yang membuat aku begini dan kau layak dibunuh. Aku benci melihat hubunganmu dengan Wang Cao Cun itu!” gigi Salima berkeratak, lalu membentak, “Suheng, beranikah kau menyangkal bahwa kau pernah berjanji untuk rnengawini puteri Wang-taijin ini? Beranikah kau menyangkal bahwa kau menjalin cinta pula dengan Cao Cun?”

Kim-mou-eng tertodong. Tanpa berpura-pura lagi sumoinya telah mengajukan pertanyaan yang pokok. Dia semburat dan tiba-tiba gugup. Huwaduh, urusan ini harusnya “off-the-record”, terlalu peka dan tak boleh orang lain tahu, apa lagi sumoinya. Tanpa disangka tanpa dinyana mendadak sumoinya mengajukan pertanyaan ini. Gawat! Dan ketika Kim-mou-eng bingung dan merah serta gugup tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan berkelebat di belakang sumoinya itu. cukup jauh.

“Sumoi, kau membawa teman?” tiba-tiba Kim-mou-eng bertanya, disangka hendak mengalihkan percakapan dan sumoinya tentu saja marah. Bola api itu bahkan berpijar dan seolah hendak membakar pendekar ini. Pendekar kita terkejut, sadar bahwa dia dikira hendak mengalihkan pokok persoalan, sumoinya tidak menjawab. Dan ketika sumoinya mendelik dan bayangan itu semakin mendekat di belakang Salima tiba-tiba Kim-mou-eng menarik napas dan pura-pura tak tahu...