Pedàng Tiga Dimensi Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 06
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
BENG KWAN bengong. Adiknya sudah menolong Beng San yang terbanting di sana, mereka pucat dan gentar sekali. Dua kali mereka nyaris terbunuh. Beng Kwi sudah menotok saudaranya dan Beng San sadar, membuka mata namun ternyata tak dapat menoleh ke kiri atau ke kanan. Laki-laki itu berteriak mengaduh kalau dipaksa menggerakkan kepalanya, lehernya ternyata sakit. Benar kata Salima, orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong itu hanya mampu melotot lurus saja ke depan, tak dapat menoleh ke samping apalagi ke belakang.

Dan ketika Beng Kwan menghampiri adiknya dan Beng San bangkit terhuyung maka Beng Kwi berkata pada saudaranya, “Twa-ko, kita tak ada muka untuk bertemu gadis itu lagi. Sebaiknya kita menyingkir dan memperdalam ilmu silat kita di tempat sunyi.”

“Benar,” Beng Kwan termangu. “Menghadapi dia saja kita tak mampu, sam-te (saudara ketiga). Apalagi berani melawan Kim-mou-eng. Aih, kita harus tahu diri, kepandaian kita benar-benar tak berarti dan sebaiknya kita mengasingkan diri.”

Beng Kwi mengangguk. Mereka bertiga tampak kecewa, Beng San mengumpat namun tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika kakak beradik itu meninggalkan tempat itu dan Sin Kok ditinggal seorang diri maka pemuda ini ganti termangu-mangu menghadapi adiknya yang baru saja siuman.

“Kami tak ada muka, kau bekerjalah sendiri dengan adikmu,” hanya itu pesan Sin-to Sam-enghiong kepada Sin Kok, sudah meninggalkan pemuda itu dengan langkah terhuyung-huyung.

Sin Kok tertegun namun mengangguk lemah. Dan ketika Hwi Ling bangkit berdiri dan memandang kepergian tiga laki-laki pendek itu maka gadis ini pun terisak dengan perasaan masygul. “Kita sungguh bukan tandingan Kim-mou-eng. Menghadapi sumoinya saja kita kalah, apalagi menghadapi Pendekar Rambut Emas itu!”

“Ya, dan kita pulang saja, Ling-moi. Atau mengembara seadanya saja mencari pengalaman yang ringan-ringan!“

“Kau tak mencari gadis itu lagi?”

“Untuk apa? Aku bukan apa-apa di hadapannya, aku merasa kecil....”

“Tapi kau jatuh hati, koko. Kau amat mencinta Tiat-ciang Sian-li Salima itu!”

“Ya, dan kau pun jatuh hati terhadap Kim-mou-eng. Namun kita gagal!”

“Ah....!” dan Hwi Ling yang menangis penuh kecewa tiba-tiba berkelebat ke utara. “Koko, kita tak usah membicarakan itu lagi. Aku benci!”

Sin Kok mengangkat pundak. Dia tahu kekecewaan adiknya itu, juga tentu saja tahu akan kekecewaannya sendiri. Dan ketika adiknya berkelebat dan terisak menangis maka Sin Kok menyusul dan menggandeng adiknya itu. Mereka sama-sama bertepuk sebelah tangan, kekaguman yang menjadi rasa kecintaan itu gagal. Memang mereka sudah tahu namun coba memaksa diri. Cinta memang terlanjur bersemayam di hati, susah membuangnya. Dan ketika dua muda mudi itu bergandengan ke utara sementara Sin-to Sam-eng-hiong juga pergi mengasingkan diri maka di lain pihak Salima sendiri meneruskan perjalanannya mencari sang suheng.

Kota demi kota dilalui gadis ini. Salima naik turun gunung pula untuk mencari Kim-mou-eng, bahkan keluar masuk hutan berkali-kali untuk mencari jejak suhengnya. Mulai mendengar keroyokan orang-orang kang-ouw terhadap suhengnya, rasa gelisah dan was-was mengusik hatinya. Kemarahan semakin berkobar-kobar di dadanya. Dan ketika berita terakhir suhengnya didengar tak jauh dari lapangan berumput di mana suhengnya jatuh ke jurang maka secara kebetulan gadis ini bertemu dengan Hek-bong Siang-lo-mo yang lagi merawat luka-lukanya ketika melarikan diri bertemu Bu-beng Sian-su yang disangka setan itu.

“Lo-mo, berhenti. Kalian telah mengeroyok suhengku secara curang!”

Lo-mo kakak beradik terkejut. Mereka berjalan terhuyung-huyung ketika Salima berkelebat di depan hidung, dua iblis ini kaget tapi akhirnya tertawa menyeringai, melirik kiri kanan apakah Salima ditemani seseorang ataukah tidak. Dan ketika melihat gadis itu seorang diri dan kini berkacak pinggang membentak mereka tiba-tiba Ji-lo-mo terbahak mencabut sabitnya. “Tiat-ciang Sian-li, mau apa kau menghadang kami? Minta menyusul arwah suhengmu?”

“Mana suheng?” Salima pucat. “Kalian mencelakainya di mana?”

“Ha-ha, suhengmu mampus, Sian-li. Sekarang kan pun boleh menyusulnya kalau ingin menyusul, ataukah bersenang-senang saja dengan kami berdua....”

“Wuttt...!” sabit di tangan Ji-lo-mo bergerak, iblis ini terkekeh dan maju menubruk dengan kecepatan kilat. Salima menjadi marah dan mengelak. Dan ketika sabit membalik dan Ji lo-mo berseru keras maka sang kakak, Twa-lo-mo, membentak pula dan menerjang Salima.

“Ji-te (adik nomor dua), jangan bunuh dia kecuali robohkan saja. Belejeti pakaiannya dan kita bersenang senang!”

“Benar, aku juga begitu, twa-ko (kakak). Aku berkeinginan sama seperti dirimu. Sudah sebulan kita tak menyentuh wanita. Ha-ha, ayo tangkap, kita permainkan dia dan bersenang-senang!”

Salima gusar. Dua iblis cebol yang mengeluarkan kata-kata kotor ini membuat dia naik pitam. Salima memekik dan menangkis mereka, Tiat-lui-kang dikerahkan dan kepretan serta tamparan meledak berkali-kali, serangan sabit itu bagai hujan gencar yang bertubi tubi menyerang Salima, gadis ini berkelebatan dan mulai bertahan. Tapi ketika lawan terlalu kuat dan dengan Tiat-lui-kang saja dia merasa kalah tiba-tiba Salima melengking dan mencabut bendera Tar-tarnya itu.

“Hek-bong Siang-lo-mo, kalian iblis-iblis busuk yang selamanya berbuat curang. Sekarang rasakan pembalasanku.... tar!”

Bendera meledak, menangkis sabit di tangan Ji-lo-mo sementara pukulan Twa lo-mo ditolak Salima dengan tangan kiri. Kini mereka bertanding dengan sama-sama bersenjata, Ji lo-mo terkejut karena dia terdorong, nyata Salima bagai harimau tumbuh sayap setelah mencabut benderanya. Dan ketika gadis itu berkelebatan pula dengan bendera meledak-ledak sementara Tiat lui-kang juga menangkis dengan tak kalah ampuh maka desakan dua iblis cebol ini tertahan dan Twa lo mo memaki.

“Keparat, arwah Kim-mou-eng itu benar-benar membuat kita tertimpa sial. Tenagaku masih belum pulih!”

“Benar, aku juga begitu, twako. Agaknya kita masih terlalu lelah dan tak dapat mengerahkan segenap tenaga!”

Salima tak mengerti apa yang dimaksudkan dua iblis ini. Ia tak tahu bahwa Twa lo-mo dan Ji-lo-mo masih lelah, mereka baru saja memeras keringat dan guncangan batin sejak peristiwa di jurang itu. Pertempuran yang panjang mengeroyok Kim-mou-eng betapapun menyurutkan tenaga mereka, sebenarnya mereka harus beristirahat untuk memulihkan tenaga. Belum beristirahat total Salima sudah datang, mereka agak terkejut karena mungkin cukup berat menghadapi gadis yang masih segar ini.

Betul juga, begitu Salima mencabut senjatanya segera mereka merasakan getaran dalam setiap tangkisan, tahulah mereka bahwa mereka belum pulih seluruh tenaganya, apalagi ketakutan menghadapi “arwah” Kim-mou-eng yang membuat mereka terbirit-birit itu menimbulkan kelelahan batin. Maka, ketika sabit sering terpental sementara Salima sendiri tampak beringas dan ganas menghadapi mereka tiba-tiba kain bendera mengebut menutupi pandangan Ji lo-mo yang saat itu terhuyung mundur, baru saja tertolak ketika Salima menangkis serangannya.

“Awas....!”

Iblis ini gelagapan. Kakaknya memperingatkan dan iblis ini membanting tubuh bergulingan, itulah satunya jalan kalau dia tidak ingin roboh. Dan ketika Salima mengejar tapi Twa lo-mo membentak di belakang terpaksa gadis itu membalik dan gagang bendera menangkis sabit.

“Trakk...!”

Twa-lo-mo ganti terhuyung. Salima mengelebatkan benderanya dan melengking menggerakkan tangan kiri, bendera menutupi pandangan mata sementara Tiat-lui-kang menyambar dari bawah. Twa lo-mo terkejut dan ganti gelagapan, menangkis dengan tangan kirinya dan membentak keras. Tapi karena iblis ini sudah berkurang tenaganya dan Salima masih segar maka Twa-lo-mo mencelat dan terbanting setombak.

“Des!” iblis ini pun cepat menggulingkan tubuh menjauh, Salima mengejar dan karena itu dia harus menyelamatkan diri, mengumpat dan mencaci-maki karena biasanya merekalah yang di atas angin kalau menghadapi gadis ini, kalau mereka sama-sama segar. Karena Salima merangsek dan Twa-lo mo bergulingan menjauh maka Ji-lo-mo yang sudah melompat bangun dan membentak Salima tiba-tiba menyerang gadis itu menyelamatkan kakaknya, terpaksa dilayani dan Salima membalik, mendongkol dan marah karena setiap mau merobohkan yang satu tentu yang lain mengganggu.

Salima melengking dan menangkis pukulan Ji lo mo. Dan ketika dua iblis itu ganti berganti merasakan kelihaian Salima dan mau tidak mau mengakui kelemahan sendiri karena merosotnya tenaga yang membuat lelah tiba-tiba Ji lo-mo mengajak kakaknya melarikan diri, melempar beberapa pelor dan paku beracun, dua iblis cebol ini melepas senjata rahasia. Salima menangkis dan memaki mereka, mengebutkan bendera. Dan ketika pelor dan paku runtuh di tanah dan dua iblis itu tertawa maka Hek-bong Siang-lo-mo lenyap berkelebat melarikan diri.

“Tiat-ciang Sian-li, biar lain kali kita bertemu lagi. Kami sedang lelah!”

Salima gusar. Tentu saja dia mengejar, membentak dan menyuruh mereka berhenti. Tapi Hek bong Sian-lo mo yang selalu melepaskan senjata rahasia dan masuk ke dalam hutan, akhirnya hilang dan tidak diketemukan jejaknya. Salima membanting kaki, menyimpan benderanya dan coba mencari lagi, gagal, merasa kecewa dan menyesal karena dua iblis itulah yang tahu banyak tentang suhengnya. Tapi karena Salima tidak putus asa dan mencari serta mencari lagi maka beberapa hari kemudian dia menemukan iblis yang lain yang tidak diduga-duga.

“Siauw-bin-kwi (Si Setan Ketawa)....?” Salima tertegun, menghentikan langkahnya dan terbelalak memandang iblis yang satu itu, tidak mengira bahwa Siauw-bin-kwi masih hidup. Iblis yang berkulit putih itu hancur kedua kakinya, menopang tubuh dengan sepasang tongkat bambu sementara di sampingnya Salima melihat dua orang lain tidak dikenal, dua kakek berhidung merah dengan mata yang besar. Mereka jelas orang asing, mungkin orang Nepal atau Bhutan. Salima mendelong. Tapi begitu dia melompat maju dan Siauw-bin-kwi tertawa tiba-tiba iblis yang dikira Salima sudah mati ini menoleh pada dua temannya.

“Ma Tung, dia inilah sumoi Kim-mou-eng. Kepandaiannya hebat dan lihai sekali. Apakah kalian main coba-coba dan berkenalan?”

“Heh-heeh,” laki-laki tinggi besar di sebelah kiri Siauw bin-kwi mengeluarkan tawa yang aneh, mirip sengau atau tawa kuda. “Jadi inikah orangnya yang mencelakakan dirimu. Bin kwi? Dan mana itu Pendekar Rambut Emas?”

“Agaknya tak bersama dia, Ma Tung tapi bukan dia yang mencelakai aku, melainkan suengnya. Tapi sama saja. Gadis ini pun musuhku dan kebetulan kita bertemu di sini!” dan menghadapi Salima deagan tubuh menggantung di sepasang tongkat Siauw bin-kwi menyeringai. “Tiat-ciang Sian-li, mana suhengmu Gurba yang sombong itu? Benarkah dia telah mampus?”

“Hmm!” Salima menekan kekagetannya, bentrok dan terkesiap beradu pandang dengan dua laki -aki di samping Siauw-bin-kwi. “Twa-heng memang telah meninggal, Bin-kwi. Tapi ini pun gara-gara dirimu dan teman-temanmu. Kalian jahat, selalu mengacau dan membuat onar. Bagaimana kau masih hidup dan belum mampus?”

“Ha-ha, raja maut masih enggan mencabut nyawaku, Tiat-ciang Sian-li. Giam lo-ong (raja akhirat) menyuruhku hidup untuk membalas kepadamu!”

“Dengan kaki buntung begini?” Salima mengejek. “Apa yang dapat kau akukan, Bin-kwi? Salah-salah terbanting roboh sebelum menyerang!”

“Jangan pongah,” Siauw-bin-kwi tertawa. “Aku mempunyai sahabat yang akan membantuku, bocah sombong. Dan perkenalkan mereka inilah Ma Tung dan Bong Kak dari Bhutan. Mereka ingin mengenalmu lebih baik!”

Dua kakek tinggi besar itu melotot. Mata mereka memang sudah besar, kini diangkat terbelalak memandang Salima jadi mirip jengkol dalam dua lubang yang lebar. Salima bergidik merasakan getaran iblis dari mata sepasang kakek ini, tajam dan mencorong bagai mata harimau ganas. Kilauan cahaya menyeramkan muncul dari sepasang mata itu. Dan ketika Salima tertegun dan bersaiap-siap maka kakek di sebelah kiri yang bernama Ma Tung itu melangkah lebar merangkapkan kedua tangannya membentuk tinju, tertawa aneh.

“Nona, perkenalan aku. Aku Ma Tung!”

Salima merasa kesiur angin dahsyat. Dia maklum bahwa lawan menyerangnya, pukulan jarak jauh menyambarnya dari depan, inilah cara “perkenalan” orang-orang dunia kang-ouw. Tapi Salima yang sudah bersiap dan tidak gentar menghadapi lawan tiba-tiba merangkapkan kedua tangannya pula dan balas mendorong, mengejek berseru, “Ma Tung, orang Bhutan tak biasa kelayapan sampai di sini. Kalau kau dan temanmu datang tentu kalian ada maksud.... dess...!”

Salima bergoyang, menghentikan kata-katanya dan terkejut karena hampir dia terpental, cepat menambah tenaganya dan seketika dorongan itu ditahan, Ma Tung berseru aneh dan menambah kekuatannya pula, muka si tinggi besar ini merah. Dia ngotot dan penasaran. Tapi karena di sana Salima mengimbangi kekuatannya pula dan masing-masing tertolak akhirnya si tinggi besar ini dan Salima terdorong tak dapat mempertahankan diri.

“Hebat, gadis ini benar benar hebat...!” Ma Tung kagum, mengusap keringatnya yang tiba-tiba sudah membasahi muka. Adu tenaga sejenak tadi cukup menyimpulkan padanya bahwa Salima memang hebat. Gadis ini tak mau kalah dan memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Dan ketika Ma Tung terdorong setindak sementara di sana Salima juga terdorong mundur maka Bong Kak, temannya yang satu tersenyum menyeringai mengebutkan lengannya.

“Tiat-ciang Sian-li, aku pun ingin berkenalan denganmu!”

Salima terkesiap. Sebenarnya dia kaget dengan kekuatan orang pertama Bhutan tadi, Ma Tung memiliki sinkang dahsyat yang berhawa dingin. Bukti bahwa dia dan lawannya sama-sama terdorong setindak menunjukkan bahwa mereka seimbang. Lawan yang berat. Kini melihat Bong Kak maju ke depan sementara dia baru terhuyung tiba-tiba Salima menjadi marah dan menyambut pula kebutan lengan yang lagi-lagi berhawa dingin ini.

“Tua bangka, kalian rupanya mau mengeroyokku. Boleh, majulah....!” Salima gusar, cepat menegakkan tubuh dan untuk kedua kali dia diuji sinkang. Tokoh-tokoh Bhutan ini rupanya mau mengeroyoknya dan licik, geram dia. Dan ketika hawa pukulan menyambar tiba dan Salima mengerahkan Tiat-lui-kangnya maka sinar merah menyambar ke depan menyambut kebutan si Bhutan itu.

“Cess!” kali ini asap mengebul, desisan hawa dingin bertemu hawa panas membuat orang Bhutan itu bergoyang, matanya terbelalak lebar tapi tangan kirinya tiba-tiba menampar miring, Salima terkejut karena lawan mengarah pinggang. Pukulan samping ini memecah perhatiannya. Dan karena dia baru beradu tenaga dengan Ma Tung dan Bong Kak ini mengambil kesempatan dalam posisinya yang belum tegak maka Salima melompat tinggi membiarkan pukulan itu lewat dengan bentakan nyaring.

“Licik!” pukulan itu menghantam belakangnya, mengenai pohon dan suara berdebum mengguncang tempat itu ketika pohon ini roboh. Salima sudah berjungkir balik dan tegak kembali dengan mata berapi-api, memaki lawan yang tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat. Benar-benar teman Siauw-bin kwi ini orang-orang jahat yang tidak tahu malu. Tapi sementara Salima marah-marah memaki tokoh tokoh Bhutan itu maka Bong Kak sendiri sudah tertawa serak memandang temannya.

“Ma Tung, gadis ini memang hebat. Sebaiknya kuuji ilmu silatnya setelah tenaganya kita ketahui!”

“Ah, aku yang ingin lebih dulu, Bong Kak. Kau mundurlah dan biar aku yang menguji.”

“Tidak, aku terlanjur gatal. Kau menonton saja dan biar aku yang merobohkan!” dan menghentikan tawanya yang tidak enak didengar tiba-tiba orang ini sudah melejit ke depan mencengkeram tengkuk Salima, jari-jarinya berkerotok dan Salima melihat warna hitam di situ, cepat mengelak dan melompat ke kiri. Dan ketika lawan mengejar dan jari atau lengan itu mulur seperti karet tiba-tiba Salima terpekik menangkis kuat.

“Plak!” Bong Kak tertawa aneh. Dia sudah mengejar bertubi-tubi Salima yang melompat ke sana kemari lengannya terus mulur dan mulur. Kini hampir satu setengah meter dan mirip lengan gorilla yang panjang. Salima terbelalak, ngeri dan meremang dia. Tapi karena Salima bukan gadis penakut dan kejaran lengan yang membuat dia marah ini selalu bergerak ke sana-sini mencegat jalan larinya akhirnya Salima melengking dan mainkan Tiat-lui-kangnya dengan kepretan atau tamparan, menangkis dan membalas membuat Bong Kak melotot, lengannya terpental dan jari-jarinya terasa panas.

Siauw bin-kwi segera beritahu bahwa itulah Tiat-lui-kang, tamparan Petir. Dan ketika Salima berkelebatan pula dan gadis ini berhasil lolos dari lengan lawan yang mirip gorilla itu akhirnya Bong Kak kagum memuji penasaran.

“Bagus, memang lihai...!” orang Bhutan ini ganti menangkis tamparan tamparan Salima, berseru keras dan jari-jarinya yang hitam kian berkerotok. Hawa amis mulai tercium di situ.

Salima terbelalak karena lawan memiliki jari-jari beracun, bertindak hati-hati dan sudah menelan obat penawar, memang begitu biasanya orang-orang sesat. Dan ketika Bong Kak merunduk dan mengelak ke sana ke mari tendangan maupun kepretan Salima akhirnya dua orang ini bertanding dengan gaya masing-masing. Desak-mendesak dan pukul-memukul.

Kedudukan mereka masih berimbang karena tokoh Bhutan ini ternyata tahan menerima Tiat-lui-kang, berkali-kali Salima terkejut karena lawan hanya terhuyung saja, paling paling bajunya yang hangus terbakar, itupun tak melukai kulit si Bhutan ini. Tokoh itu malah tertawa gembira. Dan ketika Salima mempercepat gerakannya dan mulai memilih bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawannya seperti mata dan bawah pusar maka Bong Kak membentak keras mengimbangi! kecepatan Salima pula hingga dua orang, ini saling keliling-mengelilingi bagai dua jago bertarung.

“Bagus, hebat... Menarik sekali, Bong Kak. Keluarkan Hek-in ciangmu (Pukulan Awan Hitam) itu dan desak Tiat-lui-kang!” Siauw-bin-kwi tertawa-tawa, merasa gembira dan bertepuk tangan dengan muka berseri-seri. Pertandingan itu memang menarik ditonton karena masing-masing masih berimbang.

Tokoh Bhutan ini penasaran karena lengan karetnya belum mampu menangkap Salima, selalu terpental dan jari-jarinya tak ada kesempatan untuk menggaet atau mencengkeram. Tapi ketika Siauw-bin l-kwi berteriak dan dia merasa marah tiba-tiba segulung angin dingin menyambar dan mulai menerpa Salima, menolak dan menghalau Tiat-lui-kang yang berkali-kali membuat tangannya pedas, meskipun tak terluka. Dan ketika tokoh ini mulai menggeram dan menubruk serta menangkis, maka pukulan dingin yang berbau amis itu mulai kuat menghadapi Tiat-lui-kang.

“Plak-plak-dess!” untuk kesekian kalinya pukulan dan tangkisan bertemu. Salima terdorong karena tak tahan mencium bau amis itu, mual perutnya. Dikira lemah dan lawan tertawa mendesak lagi. Salima mulai mendapat pukulan dan terhuyung-huyung. Bong Kak mengira gadis ini akan dapat segera dirobohkan tak lama kemudian, tertawa sombong dan gembira merangsek lagi. Tapi ketika pukulan demi pukulan ternyata membuat Salima terhuyung saja dan tetap tidak roboh maka tokoh ini terbelalak melototkan matanya.

“Kau masih dapat bertahan? Kau tidak roboh?”

“Hmm!” Salima mendengus. “Aku hanya mual melihat pukulanmu yang amis, Bong Kak. Tapi sekarang aku sudah mulai biasa!”

Benar saja. Salima sudah tidak terhuyung-huyung lagi, setiap pukulan yang mendarat di tubuhnya selalu dibalas dengan pukulan juga, bau amis mulai biasa di hidungnya dan obat penawar racun ternyata tak membuat gadis ini terpengaruh oleh Hek-in-ciang, hanya tadi sedikit terganggu karena bau amis itu membuat perutnya mual, selebihnya dia tidak apa-apa. Dan ketika sekarang bau amis tidak mengganggunya lagi karena sudah biasa maka Hek-in-ciang maupun pukulan-pukulan lain dari tokoh Bhutan ini tidak mempan lagi menghadapi Salima, membuat Bong Kak gusar namun Tiat-lui-kang yang dilancarkan Salima juga tidak berpengaruh banyak bagi tokoh Bhutan ini.

Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki kekuatan berimbang, sinkang mereka mampu menahan pukulan-pukulan lawan dan tubuh paling-paling hanya terdorong atau terhuyung saja. Itulah hasil pertandingan ini. Seri alias berimbang. Dan ketika pertempuran menjadi menjengkelkan karena tak ada yang kalah atau menang tiba-tiba Ma Tung, yang dongkol oleh kejadian itu mencelat maju.

“Bong Kak, gadis ini harus dirobohkan. Biar kubantu kau!”

Salima terkejut. Hek-in-ciang baru saja ditangkis, dia dan lawan sama sama terdorong. Kini melihat Ma Tung maju membantu dan tokoh tinggi besar itu melepas pukulan dingin tiba-tiba Salima memaki dan melompat berjungkir balik.

“Curang.... dess!” pukulan itu membuat lubang besar di tanah, Bong Kak tertawa dan Ma Tung menggeram. Salima yang turun berjungkir balik sudah disambutnya lagi dengan pukulan kedua, Salima sibuk menangkis dan terpental lagi. Dua tokoh Bhutan itu susul-menyusul menghujani serangan. Dan karena Salima seorang diri padahal satu di antara mereka saja berimbang dengannya maka Salima kewalahan dan segera terdesak hebat, tak mampu menghadapi keroyokan itu dan mencaci lawan habis-habisan. Bong Kak dan Ma Tung tertawa tak perduli, ternyata mereka pun tak malu-malu berbuat curang. Cepat tetapi pasti Salima kian terdesak. Dan ketika keadaan sudah memuncak dan Salima marah bukan main tiba-tiba gadis ini mencabut benderanya membentak keras,

“Ma Tung, kalian bandot-bandot tua yang tak kenal malu. Sungguh busuk!” dan Salima yang menggerakkan bendera menangkis sana-sini dengan penuh kemarahan coba menghalau dan mempertahankan diri sekuat tenaga, sedetik berhasil tapi Bin-kwi tiba-tiba melompat maju.

Kakek iblis ini tertawa dan rupanya tak sabar melihat perlawanan Salima. Gadis itu keras hati dan keras kepala. Dati ketika tongkat penyangga tubuh di tangen kanan kakek ini menyambar pinggang Salima sementara saat itu gadis ini menghadapi serangan Bong Kak dan Ma Tung maka Salima mengeluh ketika terlambat mengelak, baju di pinggangnya itu robek dan gadis ini memaki Sauw-bin-kwi. Lawan yang dimaki terkekeh saja dan kembali menggerakkan tongkat satunya, kali ini Salima menangkis tapi kain benderanya robek. Salima dibuat gugup.

Dan ketika Bong Kak dan Ma Tung juga menyerang dari samping kiri dan kanan akhirnya Salima tak dapat menahan ketika pukulan dingin dua tokoh Bhutan itu menghantam dirinya, terpental dan roboh bergulingan. Gadis ini pucat namun tetap tidak kenal menyerah, memutar senjata di tangan sementara tangan kiri juga mengerahkan Tiat lui-kang. Namun karena tiga musuh mengejarnya dari segala penjuru dan Salima sia-sia bertahan tiba-tiba gadis ini menjerit ketika pukulan dingin Bong Kak mengenai lehernya.

“Jangan bunuh dia, ingat Sam-kong-kiam!” Seruan Bin-kwi menyadarkan tokoh Bhutan ini.

Bong Kak mengurangi tenaganya dan Salima tak tahu lagi apa yang terjadi sesudah itu. Dia pingsan dari roboh tak bergerak, bertubi-tubi menerima serangan lawan memang berat. Lehernya disentuh pukulan dingin dan setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Bong Kak nyaris membunuhnya kalau Bin-kwi tidak berteriak tentang Sam-kong-kiam. Dan ketika tokoh Bhutan ini menghapus peluh dan kagum akan perlawanan Salima maka dengan sedikit tidak puas dia menegur si Setan Ketawa itu,

“Bin-kwi, Kenapa kau mencegahku membunuh gadis ini? Bukankah dia adalah musuh?”

“Ah, kau kurang perhitungan, Bong Kak. Gadis ini adalah sumoi Kim-mou-eng, sedang Kim-mou-eng membawa Pedang Tiga Sinar itu, bukankah baik kalau dia kita tangkap dan dapat dipergunakan memaksa si Rambut Emas itu? Karena itu jangan dibunuh gadis ini. Bong Kak. Dirinya berharga sekali untuk ditukar dengan Sam-kong-kiam!”

Bong Kak tertegun. “Jadi kau hendak memaksa Kim-mou-eng menyerahkan pedang itu dengan diri sumoinya?”

“Betul sekali, karena itu jangan dibunuh!” dan Bong Kak yang mengangguk-angguk mengerti dan tertawa mengumpat kebodohan sendiri akhirnya meringkus Salima dan melumpuhkan gadis itu.

Peristiwa Sam-kong-kiam memang telah mereka dengar dan karena itulah dua tokoh Bhutan ini muncul. Siauw-bin-kwi adalah sahabat mereka dan si Setan Ketawa itulah yang memperkenalkan Sam-kong-kiam, sebagai tokoh tokoh persilatan tentu saja dua orang ini tertarik. Bin kwi memang cerdik. Dan ketika Salima ditangkap dan tiga orang ini “mengawal” Salima maka Bin-kwi mengajak mereka melanjulkan perjalanan mencari Kim-mou-eng.

“Sekarang kemenangan sudah ada di tangan kita. Kim-mou-eng tentu rela menyerahkan pedang itu karena dia amat mencinta sumoinya ini. Ayo berangkat!”

Tiga tokoh itu berkelebat, Salima dipanggul dan kini dijadikan sandera. Lagi-lagi Kim-mou-eng dituduh mencuri Sam-kong-kiam. Dan begitu ketiganya berkelebat meninggalkan tempat itu maka Salima memaki-maki sepanjang jalan setelah sadar, mencium bau apek di pundak Bong Kak, tokoh Bhutan inilah yang memanggulnya. Tapi karena lawan tidak memperdulikannya dan Bong Kak ganda ketawa saja akhirnya Salima kehabisan suara dan menangis.

* * * * * * * *

Malam itu Salima tak tahu berada di mana. Sudah seminggu ia menjadi tawanan, diam-diam gelisah dan mengumpat caci tiga iblis tua ini. Sekarang dimasukkan kerangkeng dan ia tiada ubahnya binatang buas yang baru terjebak. Bin-kwi dan dua kawannya tertawa melihat keadaan Salima. Dewi Bertangan Besi ini menjadi bahan olokan sepanjang jalan, bukan main panasnya Salima. Dan ketika malam itu mereka berada di sebuah guha dan Salima dilempar ke sudut maka Bio-kwi terkekeh menjaga.

“Sian-li, seminggu lagi kami harus mendapatkan suhengmu itu. Kalau tidak terpaksa dua temanku akan membunuhmu karena tak sabar. Kau mempunyai pesan apa untuk disampaikan pada suhengmu itu?”

“Tak perlu banyak bacot. Kalian boleh membunuhku sekarang, Bin-kwi. Tak usah menunggu sehari atau seminggu lagi. Aku menjadi tawanan kalian, mau bunuh boleh bunuh mau siksa boleh siksa!” Salima mendamprat.

“Heh-heh, kau semakin cantik kalau marah marah begini. Aduh, sayang. Aku tak berdaya lagi sebagai laki-laki normal. Kalau dulu kakiku tidak buntung dan aku dapat melepaskan hasrat hatiku tentu kau sudah kujadikan kekasih. Eh, Tiat-ciang Sian-li, maukah kau kucarikan pemuda tampan untuk menemanimu sebelum ajal? Kau ingin apa sebelum dibunuh?”

Salima gusar. “Bin-kwi, tak perlu mengancamku dengan macam-macam omongan kosong. Aku muak pada kalian, enyahlah dan pergi dari sini!”

“Kau tak ingin ditemani seseorang?”

“Hanya suheng yang boleh menemuiku, lainnya persetan!”

Bin-kwi tertawa geli. Tiba-tiba saja dia ingin menggoda gadis ini, menakut-nakutinya. Maka ketika Salima melotot padanya dan iblis ini menyambar tongkat mendadak dia melesat keluar berkata pada temannya, “Bong Kak, jaga sejenak gadis itu. Aku ingin mencari seorang pemuda untuk menemaninya!”

Salima pucat. Tiba-tiba dia merasa takut oleh omongan kakek iblis itu, ngeri. Tahu bahwa Bin-kwi tak sekedar menakut nakutinya tapi betul-betul dapat membuatnya mengkirik dengan perbuatan-perbuatan keji. Kini kakek itu melesat dan berkata akan mencari seorang pemuda untuk menemani Salima, tahulah gadis ini apa yang diinginkan kakek itu. Dia akan dipaksa untuk bercinta dengan seseorang, bulu kuduknya meremang dan Salima gelisah bukan main. Ini berarti perkosaan! Dan ketika dia terbelalak memandang kepergian kakek iblis itu dan Bong Kak yang menjaganya di pintu guha tertawa menyeringai tiba-tiba saja Salima ingin berontak.

“Bin-kwi, jahanam kau. Keparat kau!”

Bin-kwi tertawa di kejauhan sana. Rupanya dia mendengar kemarahan gadis ini, Ma Tung mendengus di sudut. Dua tokoh Bhutan ini bersila melepas lelah, setengah memejamkan mata dan mereka bicara bahasa Bhutan satu sama lain. Mata yang ganas dari dua tokoh itu tampak sekilas di celah-celah dua garis yang menyipit, entah apa yang dibicarakan. Tapi ketika Salima berteriak-teriak dan Bin-kwi menghilang di luar sana mendadak terdengar jeritan iblis itu yang nyaring memecah kesunyian malam.

“Hei, Kim-mou-eng....!”

Salima dan dua tokoh Bhutan terkejut. Bong Kak dan temannya tiba-tiba melompat bangun, mata yang tadi setengah mengantuk itu mendadak terbuka lebar. Di luar terdengar suara pertempuran dan Bin-kwi berkali-kali berseru kaget, pertempuran itu agak jauh tapi jelas terdengar dari tempat mereka, kesunyian malam membantu semuanya ini. Dan ketika terdengar suara “crak” dua kali dan Bin-kwi rupanya membanting tubuh bergulingan hingga mengeluarkan suara berdebuk tiba-tiba iblis buntung itu berseru ketakutan,

“Bong Kak, tolong. Bantu dan keluarlah kalian....!”

Dua tokoh Bhutan ini berkelebat. Mereka sudah mendengar suara suara yang tidak menguntungkan teman mereka itu, rupanya Bin-kwi terdesak hebat. Kim-mou-eng memang dikabarkan lihai, amat lihai dan iblis buntung itu berterus terang bahwa seorang diri dia masih bukan tandingan Kim-mon eng, kini Pendekar Rambut Emas itu datang dan kedua tangan mereka sudah gatal bukan main.

Sebentar kemudian mereka tiba di asal suara, melihat sinar berkelebatan dari tiga warna pelangi yang menarik dipandang mata, hijau, kuning dan merah, menyambar-nyambar bagai petir yang membuat mereka tertegun. Bin-kwi kalang-kabut menghadapi tiga sinar yang menyilaukan ini, berteriak-teriak dan menjerit tak keruan. Bong Kak dan Ma Tung terkesima kerena tiba-tiba mereka merasakan getaran hebat yang memancar dari pelangi tiga warna itu, melihat si sosok bayangan berambut keemasan menyerang teman mereka ini. Bin-kwi bergulingan dan memekik setiap cahaya pelangi itu menyambar, kiranya iblis ini sudah luka luka. Tujuh guratan panjang menghias tubuh si kakek buntung. Tapi begitu mereka sadar dan Bin-kwi menjerit meminta tolong mendadak dua tokoh Bhutan ini membentak melepas pukulan jarak jauh.

“Kim-mou-eng, tahan....!”

Bayangan keemasan itu membalik. Dia telah merasakan kesiur dingin dari pukulan dahsyat di kiri kanan tubuhnya, sinar pelangi bergerak dua kali membacok dari atas, cepat bukan main. Dan ketika pukulan dua tokoh Bhutan iiu ditangkis bayangan ini mendadak Bong Kak dan temannya berseru kaget.

“Bret-brett!” dua ujung baju kakek tinggi besar ini terbabat, nyaris buntung mengenai tangan mereka sendiri. Bong Kak dan temannya membanting tubuh bergulingan, hawa yang tajamnya luar biasa telah menyambut pukulan mereka tadi, padahal di antara mereka tak ada yang saling sentuh, jarak di antara mereka masih dua tombak! Dan Bong Kak serta Ma Tung yang kaget bergulingan dengan seruan keras tiba-tiba melompat bangun dan pucat berseru tertahan.

“Pedang luar biasa, pedang yang ampuh...!”

Namun bayangan berambut keemasan itu mengeluarkan suara mengejek. Dengusan pendek terdengar dari hidungnya, sinar warna-warni tadi lenyap. Pedang ternyata telah memasuki sarungnya dengan cara luar biasa pula. Keadaan kembali gelap-gulita. Dan ketika Bong Kak dan temannya terkejut dan Bin-kwi merintih di sana tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari depan mereka.

“Wuuttt!”

Dua tokoh Bhutan ini siaga. Mereka melihat samar-samar, sesosok bayangan yang melejit, perobahan terang menjadi gelap ini membuat mata kabur, mereka waspada. Tapi ketika bayangan itu menghilang dan Bin-kwi meminta tolong segera dua kakek tinggi besar Itu melompat sambil menghapus keringat dingin mereka.

“Itukah Kim-mou-eng, Bin-kwi?”

“Ya, dan aku nyaris binasa. Tidak kalian lihatkah bahwa ia amat lihai? Dan Kim-mou-eng sekarang ganas bukan main, aduh..... kaki bambuku buntung. Sam-kong-kiam membabat putus kakiku ini dan tolong kalian carikan yang baru. Atau, eh.....jangan, kita harus kembali ke guha. Kim-mou-eng tentu menolong sumoinya!”

Bong-Kak serta Ma Tung yang lagi-lagi terkejut dan sadar oleh seruan ini tiba-tiba melompat dan menyangga Bin-kwi di kedua bahu mereka, secepat kilat mereka kembali ke guha dan teringat pada Salima. Gadis itu masih ada di sana, tentu Kim-mou-eng akan menolongnya dan menyelamatkan gadis itu. Dan ketika benar saja mereka melihat kerangkeng sudah kosong dan bayangan keemasan itu melompat keluar guha sambil memanggul Salima tiba-tiba dua tokoh Bhutan ini melepas Bin-kwi berseru marah.

“Kim-mou eng, lepaskan sumoimu....!”

Dua pukulan dahsyat kembali menerjang. Kim-mou-eng atau orang yang disangka Kim-mou-eng ini terbelalak, Sam-kong-kiam di belakang punggung tak sempat diambil, terpaksa mengelak namun pukulan di sebelah kanan menghadang, bayangan ini menangkis dan langit-langit guha di atas mereka roboh. Getaran dahsyat dari dua pukulan kuat itu bertemu, baik bayangan ini maupun lawannya terpental. Dan ketika Bong Kak menerjang masuk dan Bin-kwi berjungkir balik berseru nyaring tiba-tiba Ma Tung yang terpental dan sudah mematahkan daya dorong tadi dengan lompatan tinggi tahu-tahu melesat membantu dua temannya menyerang bayangan ini yang sudah terpental ke dalam guha.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam....!”

Bayangan berambut emas itu menggereng. Dia terpental masuk ke dalam guha, tiga lawan kini menyerangnya bertubi-tubi tanpa ampun. Salima yang dipondong sebelah lengannya membuat dia repot. Tapi berseru keras menggerakkan lengan ke belakang tahu-tahu pedang di punggungnya itu dicabut dan tiga sinar pelangi berkelebat menyambar serangan Bong Kak dan kawan-kawannya ini.

“Awas....!”

Untuk kedua kali Bong Kak terkejut. Hawa yang amat dingin dan tajam iiu menyambar dirinya, lagi-lagi tokoh Bhutan ini merasa pukulannya diiris, tentu saja dia cepat menarik pukulannya dan melempar tubuh ke kiri. Kakek ini merasa ngeri dan pucat. Dan ketika dua temannya yang lain juga melakukan hal yang sama dan mereka sama-sama membanting tubuh bergulingan maka sinar pedang berkelebat di samping mereka bagai petir menyambar.

“Singg!”

Sebagian rambut Bong Kak putus. Hawa pedang yang luar biasa tajam kiranya telah mampu memotong rambut kakek tinggi besar ini, Bin-kwi dan Ma Tung juga mencelos karena baju mereka terbabat robek, baru oleh hawa pedang itu saja, bukan main. Dan ketika mereka sibuk menyelamatkan diri dan bergulingan di dalam guha maka bayangan itu tertawa mengejek melompat keluar.

“Wutt!” Bayangan itu telah berada di luar guha. Sekarang dia selamat, tidak mengeluarkan kata-kata dan terbang meluncur ke utara. Gin-kangnya yang tinggi membuat bayangan ini bergerak seperti iblis, Sam-kong-kiam sudah disarungkan kembali dan Salima tertegun melihat semuanya itu. Dan ketika Ma Tung dan kawan-kawannya bengong maka bayangan ini terbang jauh meninggalkan guha.

“Kejar....!” Bong Kak sadar, melesat dan membentak bayangan itu. Ma Tung dan Bin-kwi juga melompat dan berseru marah. Bong Kak sendiri sudah mengeluarkan gelang-gelang berodanya dan melepasnya dari belakang, gelang-gelang beroda ini menyambar punggung lawan, cepat dan mengerikan karena mampu menyusul bayangan itu. Bayangan ini terkejut dan menyampok.

Ketika gelang runtuh namun telapaknya pedas tergetar maka Ma Tung juga mengeluarkan senjata rahasianya berupa seng-piauw (senjata bintang) yang bermata setajam pisau, disusul Bin-kwi sendiri yang melepas granat tangannya, meledak namun semuanya gagal menghentikan bayangan itu. Dan ketika mereka marah-marah dan bayangan ini terus lari maka Bong Kak menggeram penuh rasa gusar.

“Kim-mou-eng, kau akan kami kejar sampai ke ujung dunia sekali pun. Berhentilah atau kami akan membunuhmu!”

Salima ngeri. Dia sendiri berada di belakang, dialah yang akan pertama kena kalau senjata-senjata rahasia yang dilepas tiga kakek itu mengenai mereka. Selalu mencelos setiap mendengar desing senjata-senjata gelap itu. Tapi melihat bayangan ini mampu meruntuhkan semua senjata-senjata itu dan kini membelok ke timur tiba-tiba Salima yang merasa bahwa bayangan ini bukan suhengnya karena dia tak melihat Tiat-lui-kang atau ilmu silat lain yang dimiliki bayangan ini berkala,

“Sobat, sebaiknya bebaskan totokanku dan lepaskan aku. Tubuhku menjadi beban, kita hadapi mereka itu dan tak perlu melarikan diri!”

“Hm!” bayangan ini menggumam. “Aku tak ingin kita berhenti, nona. Biar mereka mengejar dan aku akan berputar-putar!”

“Tapi kau akan kelelahan, berat tubuhku mengurangi kelincahanmu!”

“Tak apalah, aku mempunyai tempat persembunyian yang baik dan mereka tak akan menemukan diriku lagi. Sekarang kita hampir sampai, kau tundukkanlah kepalamu karena kita memasuki hutan bambu!”

Selesai mengucapkan kata-katanya ini mendadak Salima mendengar suara berkerosak dan hutan bambu yang lebat mereka masuki. Bong Kak dan dua temannya di belakang berteriak-teriak, mereka gigih mengejar sambil tetap melepaskan senjata rahasia. Satu dua kali bayangan itu mengeluh, tapi tetap tidak apa-apa. Dan ketika bayangan ini memutar dan melompat dengan hitungan-hitungan ganjil tiba-tiba dia tertawa dan tiba di sebuah gundukan besar macam kuburan kuno.

“Kita sudah sampai, sekarang kita aman!” dan Salima yang merasa terjeblos memasuki sebuah lubang tiba-tiba tak dapat melihat apa-apa lagi karena sekelilingnya yang gelap-gulita.

“Kita di mana? Tempat apa ini?” Salima merasa dingin, Bong Kak dan teman-temannya memang tak terdengar lagi di belakang.

Bayangan atau sang penolong tak dikenal ini tertawa aneh, dia tidak menjawab dan terus maju ke depan, meskipun gelap dia dapat berjalan di situ dengan baik, jelas bayangan ini mengenal tempat itu sebagai tempatnya sendiri, beberapa kali membelok dan menurun. Dan ketika seperempat jam kemudian mereka tiba di tempat yang agak terang dan sinar remang-remang menyambut mereka segera bayangan ini membebaskan totokan Salima dan Salima melompat turun dengan muka merah.

“Kita di mana? Tempat apa ini?”

“Heh-heh, ini tempatku, nona. Bekas tempat guruku. Kita berada di tempat yang aman dan tak ada seorang pun yang tahu!”

Salima memandang tajam bayangan itu. “Kau siapa?”

“Duduklah, jangan ganggu aku dulu. Aku harus mencabut seng-piauw yang menancap di tubuhku ini....”

Salima terkejut. Sekarang dia tahu bahwa sang penolong ini ditancapi beberapa senjata rahasia, dua seng-piauw menancap di lengannya sementara sebuah gelang beroda menancap di kaki kirinya. Benda-benda itu tampak menghitam karena beracun. Salima tertegun dan melompat menghampiri, mau mencabut senjata-senjata rahasia itu tapi orang yang aneh ini tertawa, sudah mencabutnya sendiri dan membuang tiga senjata gelap itu, berkata bahwa Salima bisa keracunan kalau memegangnya, biarlah dia yang mengurus dan silahkan gadis itu duduk beristirahat, bayangan ini segera bersila dan duduk bersamadhi. Salima bengong dan lagi-lagi tertegun.

Dan ketika orang menyendiri di sudut dan memejamkan mata untuk mengusir sisa racun tiba-tiba Salima menahan napas karena segera teringat masalah Sam-kong-kiam. Inilah pencurinya, dia membatin. Inilah orang yang telah membuat suhengnya dikejar-kejar dan dituduh kaisar. Entah kemana sekarang suhengnya itu dan orang inilah yang membuat gara-gara. Salima mendadak menjadi marah namun juga bingung, teringat pertolongan orang ini yang telah menyelamatkannya dari tangan Bin-kwi dan kawan-kawannya iiu. Dan ketika dia menjublak bersinar-sinar memandang orang itu segera Salima menelusuri seluruh wajahnya dari atas ke bawah.

Hampir mirip, Salima tergetar. Sepintas orang akan menyangka orang ini adalah suhengnya. Memang tak jauh berbeda. Tinggi dan besar badannya memang mirip suhengnya itu, bahkan rambut emasnya juga. Tapi ketika Salima meneliti dan melihat bahwa dua hal yang mencurigakan hatinya mendadak gadis ini panas dan bangkit kemarahannya. Ada dua hal yang tak dapat menipu matanya.

Pertama adalah orang ini mengenakan kedok. Setelah dia mengamat-amati dan duduk memandang ternyata orang itu menyembunyikan mukanya dengan sebuah kedok karet yang tipis. Kalau tak diperhatikan benar-benar dalam jarak yang cukup dekat memang susah orang menemukannya. Bayangan ini ternyata berkedok. Dan ketika Salima mengamati hal kedua ternyata rambut yang dikenakan bayangan itu palsu!

“Keparat!” Salima mendesis. “Apa-apaan orang ini dengan segala perbuatannya itu? Memang mau mencelakakan suhengnya?” dan Salima yang nyalang memandang rambut itu segera mengetahui bahwa rambut orang ini dicat. Warnanya memang kuning keemasan dan mirip benar dengan rambut suhengnya. Kalau tidak jeli mata memandang tentu orang pun terkecoh. Salima mengepalkan tinju dan hampir bergerak. Hampir dia membentak dan menyerang orang itu. Tapi karena orang sedang bersamadhi dan dia sabar menunggu sampai selesai akhirnya setengah jam kemudian orang aneh ini membuka mata dan menarik napas panjang.

“Selamat, sekarang tak ada apa-apa lagi!”

Salima sudah maju melompat. Melihat orang membuka matanya tadi sudah cepat dia bergerak. Orang ini harus diinterogasi! Maka begitu laki-laki ini menarik napas dan membuka matanya tiba-tiba Salima menyentuhkan dua jarinya di jalan darah mo-ceng-hiat, jalan darah kematian di bawah telinga.

“Manusia busuk, sekarang ceritakan padaku siapa sebenarnya dirimu ini! Bagaimana kau memalsu suhengku dan mencuri Sam-kong-kiam!”

Orang itu terkejut. “Kau mengancamku?”

“Tak perlu pura-pura. Kau telah mencemarkan nama suhengku, orang tak tahu malu. Sekarang kau harus menceritakan kepadaku siapa dirimu ini dan kenapa kau mencuri Sam-kong-kiam!”

“Kalau aku tak mau menceritakannya?”

“Kau akan kubunuh!”

Orang ini tertawa aneh. “Nona, percuma kau menggertak atau mengancamku. Sebaiknya kau duduk yang tenang dan lepaskan jarimu.“

“Kau tak perlu cari akal. Aku tak akan melepasmu agar kau bicara!”

“Kalau begitu aku tak mau bicara. Kau boleh paksa atau bunuh aku kalau bisa!”

Salima terbelalak. “Kau minta mampus?”

“Heh heh, jalan darahku telah jungkir balik tak keruan, nona. Kemanapun jarimu menotok tentu sia-sia hasilnya.”

“Aku tak percaya!” dan Salima yang gusar serta menggerakkan jarinya tiba-tiba sudah menotok dan merasa ditantang, menjadi marah dan naik pitam. Dengan cepat dua jarinya itu bekerja. Tapi ketika jalan darah yang ditotok tak terasa barangnya dan dua jarinya itu mental bertemu kulit yang licin tiba tiba Salima terkejut karena membuktikan bahwa orang ini seolah tak mempunyai jalan darah.

“Iblis!” Salima memaki, terkesiap dan kembali bayangan aneh itu tertawa. Salima semakin marah dan menotok yang lain. Bertubi-tubi dia melancarkan tototannya tapi semua tolokan itu gagal, orang ini seolah bukan manusia. Dan ketika Salima pucat dan mundur selangkah maka orang ini berdiri dan tajam memandang Salima matanya bersinar-sinar dan mencorong membuat Salima ngeri.

“Bagaimana, kau bisa membunuhku, nona? Kau ingin membuktikannya lagi?”

“Kau bukan manusia....” Salima akhirnya menggigil. “Kau laki laki yang jalan darahnya kacau. Kau melatih ilmu sesat yang kini membuat semua jalan darahmu terbalik tak keruan!”

“Benar, itulah aku, nona. Karena itu jangan kau buat lagi diriku semakin jungkir balik dengan semuanya ini. Aku cukup menderita, aku merana sepanjang tahun....” dan Salima yang tertegun memandang laki-laki itu tiba-tiba melihat laki-laki itu menangis!

“Eh, siapa sebenarnya kau ini? Orang gilakah dirimu ini?” Salima terpengaruh juga, menjadi luluh dan melihat tangis orang demikian menyedihkan, gerak mulut dan tarikan pipi yang menunjukkan kedukaan berat itu tiba-tiba membuat gadis ini merasa iba.

Dan ketika orang itu menarik napas dan menghapus air matanya mendadak dalam waktu begitu cepat orang ini sudah tertawa dan menyeringai seperti orang tidak waras. “Nona. semuanya ini kulakukan karena diri seseorang. Aku mencintai seseorang, aku merasa gagal dan karena itu tersiksa gara-gara seorang ini. Maukah kau duduk baik-baik dan mendengarkan ceritaku?”

Salima terenyuh, merasa heran dan mengangguk. Lalu duduk namun tetap bersikap hati-hati dia memandang laki-laki itu. “Kau aneh, dirimu diliputi rahasia. Kalau memang ingin bicara baik-baik tentu saja aku tak menolak. Tapi setelah itu ceritakan kenapa kau memfitnah suhengku!”

“Ah, aku tak memfitnah suhengmu, nona. Aku tak melakukan apa-apa pada orang lain!“

“Tapi suhengku dituduh mencuri Siam-kong kiam, padahal pedang itu ada di tanganmu. Kau mau menyangkal apalagi?”

“Benar, memang aku yang mencuri pedang ini, nona. Tapi orang lainlah yang bilang suhengmu yang mencuri, aku tidak mengaku sebagai suhengmu!”

“Sama saja. Kau mengecat rambutmu dan berkedok. Kalau tidak bermirip-mirip seperti suhengku tak mungkin orang akan menuduh suheng ku!”

Orang ini tiba-tiba tertawa, sorot matanya beringas. “Nona, sedemikian besarkah rasa cintamu kepada suhengmu itu hingga kini kau marah marah kepadaku? Apakah kehebatan Kim-mou-eng itu? Apakah dia benar-benar sudah pilih tanding?”

“Kau menantang?” Salima melompat bangun. “Kau berani mengejek suhengku dan ingin mengadu kepandaian? Nah, mari dengan aku dulu, orang bertopeng. Coba lihat dapatkah kau mengalahkan aku atau tidak!”

Orang ini terkejut. “Aku tak berani memusuhimu, aku tak akan bertempur melawanmu....”

“Kalau begitu jangan menghina suhengku. Kalau kau tak memusuhi aku seharusnya kau juga tak memusuhi suhengku!”

Orang ini tertegun. Pandang matanya berkilat, mencorong tapi sudah kembali redup. Dan ketika Salima duduk lagi dan masih belum hilang marahnya tiba-tiba orang ini menitikkan dua butir air mata yang membuat Salima mengerutkan kening.

“Kau ini orang apa? Dapatkah sekarang kau menceritakan kepadaku tentang dirimu?”

“Baiklah,” suara orang ini bergetar. “Aku memang akan menceritakannya kepadamu, nona. Sekarang dengarkan ceritaku kenapa aku melakukan semuanya ini,” dan menarik napas membetulkan letak kakinya orang ini mulai bercerita, “Aku ingin mengobati kekecewaan hatiku, aku merana sepanjang tahun sejak aku merasa jatuh cinta. Dan karena cinta itu bertepuk sebelah tangan karena gadis yang kucinta mencintai orang lain maka aku ingin melampiaskan kekecewaanku ini dengan cara lain. Aku ingin menguasai dunia, aku ingin menunjukkan pada gadis yang kucinta itu bahwa aku dapat melakukan apa saja, termasuk kelak membunuh kekasih gadis itu agar dia tahu rasanya orang merana!”

“Kau kejam!” Salima bergidik. “Kenapa mesti melakukan hal sepicik itu? Dunia tidak selebar daun kelor, kau dapat mencari gadis lain sebagai penawar dukamu!”

“Heh-heh,” laki-laki ini tertawa serak “Gadis yang kupilih adalah gadis terhebat, nona. Sukar mencari gantinya karena langka mencari gadis seperti itu!”

“Kau yakin?”

“Tentu saja. Aku mengenal baik sepak terjang dan kepandaiannya!”

“Siapa dia? Gadis mana?” Salima penasaran, terseret dan ingin tahu karena mendadak dia menjadi panas. Seingatnya di dunia kang-ouw ini tak ada wanita yang hebat selain dia. Dia adalah murid Bu-beng Sian-su, nama itu saja cukup menjadi jaminan sebagai tokoh yang paling disegani di dunia, belum pernah dia berjumpa wanita kang-ouw yang menonjol kecuali mendiang Tok-gan Sin-ni dulu, si iblis betina yang telah tewas. Apakah orang ini mencintai seorang wanita sesat macam Tok-gan Sin-ni yang sudah mendiang itu? Atau..... ah, tidak. Tok-gan Sin-ni bukan gadis, tokoh ini seorang berusia lanjut dan seingatnya tak ada tokoh wanita yang masih gadis dan menonjol di dunia kang ouw. Atau mungkin dia yang belum tahu tokoh yang dimaksud laki-laki ini, barangkali ada tokoh yang tidak menonjol namun memiliki kepandaian tinggi.

Tiba-tiba Salima tertarik dan ingin tahu, kalau dia tahu mungkin dia akan mencoba kepandaian tokoh yang menghancurkan cinta laki-laki aneh ini, bertanding dan ingin melihat benarkah gadis yang dicinta laki-laki itu terhebat didunia. Kesombongan Salima tiba-tiba muncul, maklum, merasa sebagai murid Bu-beng Sian-su Dan ketika dia bersinar-sinar memandang laki-laki itu dan laki-laki ini meredup memandangnya maka Salima melihat sorot yang aneh yang keluar dari pandang mata laki-laki itu.

“Kenapa kau? Siapa gadis yang kau maksud kan itu?”

Orang ini menggumam. “Aku enggan menyebut namanya, nona. Tapi dia adalah seorang gadis asing. Gagah dan hebat!”

'Kau memuji-muji tak ada habisnya. Memang gadis itu lihai dan beikepardaian tinggi? Salah-salah dia menjadi sombong kalau tahu kau selalu menyanjung-nyanjungnya begini” Salima kesal, membanting kakirya dan melotot.

Orang ini menyeringai dan tertawa, sikapnya berahasia. Tapi ketika dia menunduk dan mengangkat mukanya lagi maka orang ini lembut memandang Salima “Nona, gadis itu seperti dirimu. Galak tapi menarik. Karena itulah aku terpikat padanya dan tergila-gila.”

Salima tergetar. Pandang mata yang begitu lembut dan mesra memandangnya membuat dia terkesiap, jantung berdebar dan orang ini tiba-tiba sudah memegang lengannya, begitu saja, tanpa sungkan-sungkan dan rikuh lagi. Kurang ajar! Dan Salima yang kaget dan meronta melepaskan diri tiba-tiba melompat bangun dan membentak marah, panas dingin tubuhnya karena tangan orang yang terasa hangat, “Jangan kurang ajar, aku bukan wanita murahan yang gampang dipegang-pegang!”

“Maaf,” laki-laki ini sadar, matanya gugup. “Aku terhanyut perasaanku, nona. Aku lupa diri, aku tak sengaja, maaf....”

Salima masih tak puas. “Kau jangan pegang-pegang diriku tanpa seijinku,” dia masih mengomel. 'Kalau kau kurang ajar dan coba-coba tentu aku akan menyerangmu!”

“Aku mengerti, aku tak sengaja, nona. Mari duduk kembali dan dengarkan ceritaku....”

“Aku sekarang sebal. Lebih baik bicara tentang Sam-kong-kiam itu saja dan tak usah bicara tentang rahasia pribadimu. Aku ingin tahu kenapa kau mengenakan kedok dan bermirip-mirip seperti suhengku hingga suhengku kena getah!”

Laki-laki ini mengerutkan kening, diam.

“Kau tak menjawab?”

“Hmm,” kening itu sekarang terangkat. “Aku bermirip-mirip seperti suhengmu karena memang ada alasannya, nona. Dan alasan itu hanya satu, benci!”

“Benci?” Salima terkejut. “Memangnya ada permusuhan apa di antara suhengku dan dirimu?”

“Aku benci karena dialah yang merebut kekasihku itu!”

“Gila! Ngawur....!” Salima kaget sekali, melompat bangun dan merah memandang laki-laki ini. “Kau bicara apa dengan semuanya ini, orang bertopeng? Kau hendak memfitnah suhengku untuk kedua kali?”

Orang ini tertawa getir, bangkit berdiri pula. “Aku bicara bukan berdasar fitnah, nona melainkan itulah kenyataannya hingga aku membenci suhengmu itu. Kalau dia ada di sini dan berani menyangkal tentu sudah kubunuh dia. Dialah laki-laki yang merebut orang yang kucinta itu, dan itulah sebabnya aku membenci suhengmu!”

Salima terbelalak, menggigil. “Orang bertopeng, kau membingungkan hatiku. Selama ini tak pernah suhengku kudengar berdekatan dengan wanita lain selain diriku. Aku tak pernah melihatnya menjalin hubungan dengan wanita lain. Kau hendak mengada-ada dan rupanya melempar berita bohong, tak bertanggung jawab!”

“Pastikah dirimu dengan omonganmu ini? Benarkah suhengmu tak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain?”

“Aku pasti!” Salima mengangguk tegas. “Dan aku yakin suhengku tak mungkin merebut kekasih orang lain untuk kesenangan dirinya sendiri...!”

“Heh heh,” orang bertopang ini mendadak tertawa. “Kau jangan terlalu gegabah, nona. Coba ingat baik-baik benarkah suhengmu itu tak pernah berhubungan dengan wanita lain. Coba renungkan sejenak, ingat baik-baik apakah benar suhengmu itu hanya berdekatan denganmu seorang!”

Salima pucat. Dia mengingat-ingat dan melotot memandang laki laki misterius itu, siap membentak dan memaki ketika mendadak teringat Cao Cun. Itulah wanita kedua yang diketahuinya mempunyai hubungan baik dengan suhengnya. Benar. Cao Cun inilah wanita lain yang didekati suheng nya. Salima terbelalak dan tiba-tiba mengeluh. Dan ketika dia terhuyung dan menggigil memandang bayangan itu maka orang ini tertawa aneh bertanya padanya,

“Bagaimana, benarkah suhengmu tidak berdekatan dengan wanita lain selain dirimu, nona? Benarkah hanya kau seorang gadis yang dekat di hatinya itu?”

“Kau hendak maksudkan Cao Cun?” suara Salima serak, marah dan pucat serta gelisah. “Kau hendak maksudkan bahwa Cao Cun inilah gadis yang kau cinta dan direbut suhengku? Kau hendak mengartikan....”

“Sabar, hal itu tak perlu kuberitahukan, nona. Pokoknya kau sekarang telah mendapat jawaban bahwa suhengmu pernah mendekati seorang wanita. Ini yang penting. Dan karena suhengmu menyakiti hatiku maka wajar kalau aku membenci dan ingin membunuhnya! Sekarang kau tak perlu penasaran, sekarang kau mengerti kenapa aku melakukan semuanya ini dan mencuri Sam-kong-kiam, bukan lain karena aku ingin membalas dan menghukum suhengmu itu!”

“Keparat!” desis Salima sekarang tak jelas ditujukan kepada siapa. “Kau rupanya benar, orang bertopeng. Tapi sebutkan siapa dirimu dan beranikah kau mempertanggungjawabkan semua omonganmu di depan suhengku!”

“Ha-ha, tentu berani, nona. Kenapa tidak? Bahkan tanpa kau minta sekalipun aku memang ingin mencari suhengmu itu dan membunuhnya. Sakit karena asmara ini tak ada obatnya, aku telah merana dan tersiksa sepanjang tahun!”

“Dan siapa dirimu?”

“Perlukah kau ketahui?”

“Tentu, kalau kau bukan pengecut!”

“Hmm,” orang ini menyeringai, terpukul perasaannya. “Aku Bu-hiong, nona. Kau boleh kenal diriku sebagai Bu-hiong. Terserah mau kau artikan apa namaku itu pokoknya aku telah menyebut namaku.”

Salima tertegun. Nama ini aneh, bisa berarti Tanpa Keberanian. Tapi karena orang telah menyebut namanya dan betapapun ganjil nama itu didengar telinga orang bertopeng ini telah mengenalkan diri maka Salima mundur selangkah memandang Sam-kong-kiam, bersinar-sinar dan bergidik teringat keampuhan pedang ini. Begitu tajamnya, juga memiliki sinar warna-warni yang seumur hidup belum pernah dia lihat.

Maka tertarik memandang pedang ini dan marah pada suhengnya yang merebut kekasih orang tiba-tiba Salima menjadi dingin untuk merampas pedang membantu suhengnya, kini ingin membiarkan saja pedang itu di tangan Bu-hiong, biar suhengnya kapok. Biar tetap dianggap suhengnya itulah sang pencuri pedang! Dan Salima yang bersinar memandang pedang segera bertanya, “Bu-hiong, sekarang apa yang mau kau lakukan dengan pedang itu? Kau ingin menguasai dunia dengan pedang seampuh itu?”

“Nona mau membantu?”

“Membantu bagaimana? Membantumu malang-melintang di dunia kangouw?”

“Benar, aku amat gembira kalau kau membantuku, nona. Dan untuk itu aku siap memberimu apa saja yang kau minta!”

“Kalau begitu coba kulihat Sam-kong-kiam Itu, aku ingin mengetahuinya!” Salima tiba-tiba mengejek, bermaksud menguji kata-kata orang dan justeru minta pedang keramat itu.

Orang bertopeng ini terkejut. Tapi tertawa dan mencabut Sam kong-kiam tiba-tiba dia memberikan pedang itu kepada Salima, tanpa ragu. “Srat!” pedang berkeredep membuat ruangan terang-benderang. “Kau lihatlah, nona. Kau ambil kalau kau pun merasa suka!”

Salima jadi tertegun. Dia sebenarnya setengah mengejek untuk mentertawakan lawan. Tak tahunya pedang tahu-tahu dengan begini gampang telah disodorkan kepadanya, hawa dingin serta tiga warna pelangi itu membuat perasaan menjadi seram. Dinding guha bergetar dan ada suara seperti iblis mengaum di sela-sela guha. Tempat yang begitu terang membuat Salima jelas sekali melihat laki-laki ini, gagah dan tampan dengan bahu yang tegap, hanya sorot matanya itu yang terasa ganjil, kadang melebar dan kadarg menyipit.

Kini dengan penuh kegembiraan laki-laki ini menyerahkan Sam-kong-kiam kepadanya, seolah seorang bawahan memberikan benda berharga pada junjungannya, mau tak mau Salima melengak juga. Tapi ketika pedang sudah sampai di tangannya dan Bu-hiong mundur dengan mata berkejap-kejap maka Salima mendengar suaranya yang gembira serta pandangan yang lembut mesra,

“Nona, kau bagai harimau tumbuh sayap bila memakai pedang ini. Lihatlah, betapa gagah dan anggunnya dirimu memegang Sam-kong-kiam. Sungguh cantik dan luar biasa!”

Salima semburat merah. “Kau memuji?”

“Ah, kenyataannya, nona. Kau cantik dan gagah sekali. Kita berdua tentu dapat menguasai dunia dengan pedang ini. Ha-ha, Kim-mou-eng tentu dapat kita bunuh dan kita hidup bagai raja dan ratu!”

Salima tiba-tiba terkejut. Membayangkan dia harus membunuh suhengnya yang dicinta dengan pedang mengerikan ini mendadak membuat dia pucat, apalagi ketawa si Bu-hiong itu kedengaran tidak wajar. Bola mata bergerak-gerak seperti orang gila! Dan ketika laki-laki itu terkekeh dan memegang lengannya mendadak untuk kedua kali Salima melihat sorot ganjil yang membuatnya tersentak, cepat melepaskan diri.

“Kau mau apa?”

Bentakan itu menyadarkan Bu-hiong. Laki-laki itu surut setindak, menghela napas dan tiba-tiba menyeringai, minta maaf. Dan ketika Salima memandangnya tajam, maka dia berkata, “Nona, kau suka Sam-kong-kiam, bukan? Kau ingin memiliki pedang ini?”

Salima ragu.

“Kau boleh memilikinya, nona. Asal kau mau tinggal di sini dan menemaniku sebagai sahabat!”

Salima melotot. “Kau mau mengadakan jual beli dengan kebebasanku sebagai taruhannya? Memangnya aku di sini sebagai tawanan?”

“Ah, tidak. Jangan salah paham, nona. Aku tidak mengartikannya begitu. Aku rela memberikan pedang itu tapi kuminta belas kasihanmu pula agar menemaniku disini. Aku hidup tiada sanak saudara lagi, aku sebatangkara, tiada teman atau pun sababat yang kupunyai di dunia ini. Kalau kau suka dan kasihan padaku kuminta jadilah sahabat dan kau tinggallah di kini bersamaku!“

Salima tertegun. Laki-laki ini menangis, suaranya serak.dan kian lirih, tiba-tiba menutupi mukanya dan Salima menjadi terharu. Agaknya kedukaan besar melanda laki-laki ini, kesepian besar. Dia dapat membayangkan betapa parahnya seseorang yang lagi patah hati, sendiri dan tiada kawan menemani. Hal itu memang berat. Tapi Salima yang tentu saja tak mau tinggal di situ meskipun diberi segudang harta tiba-tiba mengembalikan Sam-kong-kiam pada pemiliknya.

“Bu-hiong, aku tak tertarik untuk tinggal di sini. Kalau mau menjadi sahabatku tentu saja aku tak keberatan, tapi tunjukkan sikap baikmu padaku. Aku ingin keluar, sekarang kita berpisah dan tunjukkan jalannya.”

Bu-hiong terbelalak, mengangkat mukanya. “Kau akan pergi?”

Salima berdetak. Dia menangkap suara pilu di situ, tiba-tiba berdesir dan cepat melengos. Pandangan si Bu-hiong ini menusuk perasaannya, dia tak tahan. Tapi Salima yang sudah memberikan pedang dan cepat menekan perasaannya sendiri lalu mengangguk dan tegas berkata, “Benar, aku mau pergi. Aku akan mencari suhengku itu dan bicara padanya. Kalau tinggal di sini mana bisa aku mencari suhengku? Aku ingin keluar. Bu-hiong Tunjukkan jalannya dan kau akan kuanggap sebagai sahabat kalau kau baik-baik kepadaku!”

Bu-hiong termangu. Kilatan aneh memancar di matanya yang bersinar, Salima mendengar keluhan pendek. Tapi ketika Sam-kong-kiam dimasukkan dan pandang mata Salima tampak menuntut tiba-tiba lelaki ini mengangguk. “Baiklah, aku akan mengantarmu. Tapi aku juga berkepentingan dengan suhengmu itu, bolehkah aku ikut?”

Salima terkejut. “Ikut? Tidak, aku ingin sendiri, Bu-hiong. Tak perlu kau ikut dan biarkan soalku ini kuselesaikan sendiri. Aku akan membawa suhengku padamu di sini kalau kau tidak ke mana-mana!”

“Baiklah, kalau begitu aku pun menurut. Kau berjanji menganggapku sebagai sahabat, bukan? Kau tidak akan memusuhiku?”

“Diantara kita tak ada persoalan pribadi, Bu-hiong, paling-paling masalah pencurian Sam-kong-kiam di mana suhengku menerima getahnya. Tapi karena suhengku tidak beres dan rupanya urusan kekasihmu itu harus kuketahui maka selama bicaramu benar aku akan menganggapmu sebagai sahabat. Aku berjanji!”

“Dan tak akan menunjukkan tempat ini pula pada orang lain?”

“Tentu!”

“Baiklah, aku percaya padamu, nona. Tapi perkenankan aku mencium telapak kakimu!” dan belum Salima sadar tiba-tiba Bu-hiong ini sudah menjatuhkan diri berlutut dan mencium telapak kakinya sungguh-sungguh, membuat Salima terkejut dan seketika menarik kakinya itu, dia merasa usapan mesra yang membuat tengkuk merinding. Hih! Dan ketika dia terbelalak dan Bu-hiong bangun berdiri maka Salima terheran-heran melihat laki-laki itu tersenyum. Senyum bahagia!

“Nona, terima kasih. Kau telah memberikan sesuatu yang hangat di hatiku!”

Salima mundur. “Kau aneh. Kenapa harus begitu, Bu-hiong? Kenapa kau merendahkan dirimu sendiri?”

“Biarlah, kau seperti orang yang kucinta itu, nona. Kalau aku dapat menyentuhmu sedikit berarti rasa cintaku terobati.”

“Sudahlah, antarkan aku keluar.” Salima merah mukanya. “Dan terima kasih atas bantuanmu menyelamatkan aku dari tangan Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya itu.”

'Baiklah, mari, nona. Kuantar kau.” dan Bu-hiong yang tersenyum memutar tubuh lalu mengajak Salima keluar dari tempat itu. Kembali Salima menemukan jalan berliku-liku serta gelap, beberapa kali terpaksa dia memegang ujung baju laki-laki ini, satu ketika bahkan Bu-hiong menangkap lengannya menuntun ke atas undak-undakan, Salima belum terbiasa di situ. Dan ketika mereka naik turun tak menentu dan membelok di beberapa tikungan akhirnya mulut guha atau mulut terowongan bawah tanah itu tampak dan Bu-hiong melompat mendahului, disuaul Salima kemudian.

“Nah. kita sampai, nona. Silahkan pergi dan selamat jalan.”

Salima termangu. “Aku dapat menerobos hutan bambu ini?” dia melihat banyaknya hutan bambu itu.

“Tentu, lakukan hitungan tujuh langkah ke kiri dan ke kanan, nona. Kemudian lurus ke depan dan kau akan tiba di luar.”

“Baiklah, terima kasih, Bu-hiong. Selamat tinggal” Salima berkelebat.

Bu-hiong mengangguk dan gadis ini sudah melakukan seperti apa yang dikatakan laki-laki itu. Menghitung langkah-langkah ganjil untuk keluar dari hutan bambu yang lebat. Dan ketika Salima tiba di luar dan benar saja hutan bambu itu menutup pandangannya ke dalam akhirnya gadis ini selamat dan menarik napas lega di luar. Kemudian begitu dia melompat dan mengerahkan ginkangnya akhirnya gadis ini berlari cepat menuju ke utara. Salima masih dipenuhi pikirannya dengan bayangan si laki-laki aneh.

Bu-hiong terasa ganjil dan kadang-kadang menimbulkan kengerian aneh. Agak luar biasa bahwa dia dapat keluar dari tempat tinggal si laki-laki misterius ini, bahkan telah mendapatkan Sam-kong-kiam yang dicari-cari banyak orang. Begitu mudah kalau dia mau. Dan membayangkan bahwa dia telah melepaskan pedang itu lagi kepada si Bu-hiong tiba-tiba Salima tersenyum kecut membayangkan orang lain akan mencak-mencak melihat perbuatannya.

Suhengnya misalnya, tentu akan terbelalak dan memakinya bodoh karena pedang begitu keramat yang telah ada di tangan diberikan lagi pada si pencuri. Bodoh. Tapi karena Salima tak berniat memiliki pedang dan juga hatinya sedang panas mengetahui suhengnya merebut kekasih orang tiba-tiba gadis ini tersenyum mengejek dan mendengus.

“Biarlah, pedang itu memang bukan aku punya. Kenapa harus kemaruk (serakah) dan menghendaki barang orang lain? Kalau Bu-hiong ingin memilikinya biarlah pedang itu dimilikinya. Ini ternyata gara-gara suheng!”

Demikianlah, dengan jalan pikiran begini Salima melepaskan penyesalannya. Dia telah terpengaruh omongan si aneh itu, bahwa “penyelewengan” suhengnya memang harus dibereskan. Tiba-tiba berkerut mengepal tinju karena tanpa sepengetahuannya suhengnya bertindak di luar garis. Lagi-lagi puteri Wang-taijin itu! Dan panas terhadap Cao Cun dan suhengnya sendiri segera Salima berlari cepat menuju ke utara untuk akhirnya membelok ke barat. Dan karena suhengnya belum dapat ditemukan dan Salima gemas terhadap Cao Cun maka gadis ini menuju Chi-cou dimana Cao Cun atau orang tuanya tinggal.

Begitulah, Salima ingin menghajar Cao Cun. Dia mempercepat larinya, bagai terbang saja dia tak sabar menuju tempat tinggal bupati Wang itu. Tapi ketika dalam perjalanan seseorang dirasa membayangi larinya segera Salima terkejut dan tertegun karena setiap dia menoleh bayangan itu selalu berhasil menyembunyikan diri. Salima semakin gemas dan mendongkol. Mencoba menghadang namun gagal. Sekilas dia melihat bahwa itulah Bu-hiong Salima melengak.

Tapi karena Bu-hiong tak mengganggunya dan laki-laki aneh itu justeru menjadi “pengawalnya” di belakang akhirnya Salima tertawa mengejek dan meneruskan larinya ke Chi cou. Beberapa hari kemudian tiba di sana dan langsung menuju rumah bupati Wang itu. Jangan-jangan di sanalah suhengnya bersembunyi, ngumpet di tempat kekasih baru. Dan karena hati dibakar cemburu dan Salima panas membayangkan suhengnya bermesraan dengan gadis itu maka Salima sudah melompat dan memasuki kamar Wang-taijin.

“Heh, mana puterimu, taijin?” begitu Salima menegur bupati ini. Bentakannya mengejutkan pembesar itu, Wang taijin berdiri dan langsung menoleh. Salima melihat pembesar itu duduk merenungi meja, ternyata bupati ini menangis. Salima terheran. Maka ketika dia melompat masuk dan pembesar itu tampak terkejut mendadak pembesar ini mengeluh dan menubruknya dengan roman muka girang.

“Ah, kau, lihiap? Kau baru datang? Mana suhengmu?” pembesar itu langsung nerocos bicara, tampak kegirangan dan menghapus air matanya sementara Salima dibuat cemberut karena yang pertama ditanya adalah suhengnya, kontan gadis ini mendorong dan mengibas pembesar itu, bupati Wang mencelat dan mengaduh menumbuk tembok. Baru bupati ini sadar bahwa Salima sedang marah! Maka ketika dia bangkit terhuyung dan kaget memandang gadis ini segera Wang-taijin bertanya dengan tubuh menggigil, “Lihiap, apa artinya ini? Kenapa kau memukulku dan marah-marah?”

Salima berdiri tegak: “Aku mencari puterimu, taijin. Ingin bicara dan menghajarnya!”

“Apa salahnya? Apa yang telah dilakukan putriku?”

“Kau tak perlu tanya. Seret dan hadapkan dia dulu kepadaku. Pertanyaanmu bisa di jawab nanti!”

Pembesar ini terbelalak. “Lihiap, tiada hujan tiada angin kau marah-marah di sini. Apa sesungguhnya yang terjadi dan kenapa aku tak boleh tahu? Bukankah Cao Cun puteriku?”

“Cerewet! Aku tak ingin banyak bicara, taijin. Aku datang bukan untuk membuang-buang waktu denganmu. Aku ingin menemui puterimu itu dan menghajarnya!”

“Hm!” pembesar ini tiba-tiba mengedikkan kepala. “Aku orang tuanya, lihiap. Kalau anakku bersalah tentu orang tua ikut bertanggung jawab. Aku tak tahu kenapa kau marah-marah begini tapi kemarahanmu tentu bersebab. Baiklah, Cao Cun tak ada di sini. Dia tidak kusembunyikan dan kau boleh mencarinya kalau aku bohong. Kalau urusannya bisa dilimpahkan kepadaku tentu dengan senang hati aku akan mewakili anakku dan kita bicarakan masalahnya.”

Salima mengerutkan kening. “Dia tak ada di sini? Kau tidak bohong?”

“Tak ada guna bagiku melepas kebohongan, lihiap. Kau orang pandai, tentu aku tak dapat menyelamatkan diri kalau kebohonganku ketahuan.”

“Baiklah, di mana dia? Di kota raja?”

“Tidak, Cao Cun telah berada di negeri asing. Aku... aku...” mendadak pembesar itu menangis. “Aku telah kehilangan puteriku, lihiap. Dan sebenarnya hanya kau atau suhengmu itulah yang dapat membantuku!”

Salima bergerak, tahu-tahu telah menangkap pundak pembesar ini. “Taijin, apa maksud kata-katamu itu? Apa maksudmu bahwa puterimu telah berada di negeri asing?”

“Ah, tak tahukah kau, lihiap? Tak tahukah nasib buruk yang menimpa kami sekeluarga?”

“Tidak, coba kau ceritakan!” dan Salima yang tertarik serta melihat kedukaan di wajah pembesar itu lalu melepaskan cengkeramannya hingga bupati ini terduduk, tersedu-sedu dan Salima terkejut, memang dia tidak tahu kejadian baru yang telah merbah nasib Cao Cun itu, bahwa gadis ini telah dibawa Raja Hu dan dikeluarkan dari Istana Dingin.

Dan Wang-taijin yang tak sanggup dan masih terpukul kedukaannya oleh peristiwa itu lalu dibiarkan melepaskan kesedihannya dengan tangis yang begitu mengharukan. Istrinya tiba-tiba muncul dan terkejut melihat Salima. Wang-hujin (nyonya Wang) berseru tertahan dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gadis itu, Salima kembali terkejut.

Dan ketika nyonya bupati itu juga tersedu-sedu dan mengharap pertolongannya akan Cao Cun maka Salima tertegun mendengar apa yang terjadi, dua suami isteri itu kini sambung-menyambung menceritakan perihal Cao Cun. Wang-taijin telah menghentikan tangisnya dan menghadapi Salima. Salima terbelalak. Dan ketika dua suami isieri itu menceritakan bahwa Cao Cun telah berada di negeri asing mendadak Salima menggerakkan jarinya mengangkat bangun tuan rumah.

“Ceritakan sekali lagi, kapan terjadinya itu dan kenapa aku tak mendengar berita ini!”

Wang-taijin mengulang ceritanya. Sang isteri juga ikut nimbrung, kini mereka mengharap Salima menyelesaikan duka nestapa ini. Cao Cun seolah putus hubungan sejak ke bangsa liar itu, mereka tak dapat menengok. Dan ketika cerita itu selesai diulang dan Salima tertegun maka bupati ini meratap,

“Jauh lebih baik puteriku di Istana Dingin daripada ditengah tengah bangsa liar itu, lihiap. Bukankah jelek-jelek dia masih di tengah-tengah bangsa sendiri kalau di kota raja? Meskipun kami juga tak dapat menengok tapi Cao Cun lebih baik di kota raja daripada di tengah bangsa liar itu. Anak kami jadi terasing, itu sama dengan pembuangan seumur hidup!”

Salima membelalakkan mata. “Dan kalian tak menolak?”

“Ah, menolak bagaimana, lihiap? Itu atas kehendak kaisar, kami tak mungkin melawan dan Cao Cun sendiri rupanya pasrah!”

....Halaman 63 dan 64 hilang....

“Benar, tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan, taijin. Apakah dia berkenalan dengan seseorang bernama Bu-hiong atau tidak?”

“Bu-hiong? Siapa itu?”

“Kau tak tahu?”

“Tidak, mungkin....”

“Baiklah, kalau begitu aku akan ke suku bangsa Siung-nu itu. Biarlah di sana kutanyakan persoalan ini dan selamat tinggal...!”

Pedàng Tiga Dimensi Jilid 06

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 06
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
BENG KWAN bengong. Adiknya sudah menolong Beng San yang terbanting di sana, mereka pucat dan gentar sekali. Dua kali mereka nyaris terbunuh. Beng Kwi sudah menotok saudaranya dan Beng San sadar, membuka mata namun ternyata tak dapat menoleh ke kiri atau ke kanan. Laki-laki itu berteriak mengaduh kalau dipaksa menggerakkan kepalanya, lehernya ternyata sakit. Benar kata Salima, orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong itu hanya mampu melotot lurus saja ke depan, tak dapat menoleh ke samping apalagi ke belakang.

Dan ketika Beng Kwan menghampiri adiknya dan Beng San bangkit terhuyung maka Beng Kwi berkata pada saudaranya, “Twa-ko, kita tak ada muka untuk bertemu gadis itu lagi. Sebaiknya kita menyingkir dan memperdalam ilmu silat kita di tempat sunyi.”

“Benar,” Beng Kwan termangu. “Menghadapi dia saja kita tak mampu, sam-te (saudara ketiga). Apalagi berani melawan Kim-mou-eng. Aih, kita harus tahu diri, kepandaian kita benar-benar tak berarti dan sebaiknya kita mengasingkan diri.”

Beng Kwi mengangguk. Mereka bertiga tampak kecewa, Beng San mengumpat namun tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika kakak beradik itu meninggalkan tempat itu dan Sin Kok ditinggal seorang diri maka pemuda ini ganti termangu-mangu menghadapi adiknya yang baru saja siuman.

“Kami tak ada muka, kau bekerjalah sendiri dengan adikmu,” hanya itu pesan Sin-to Sam-enghiong kepada Sin Kok, sudah meninggalkan pemuda itu dengan langkah terhuyung-huyung.

Sin Kok tertegun namun mengangguk lemah. Dan ketika Hwi Ling bangkit berdiri dan memandang kepergian tiga laki-laki pendek itu maka gadis ini pun terisak dengan perasaan masygul. “Kita sungguh bukan tandingan Kim-mou-eng. Menghadapi sumoinya saja kita kalah, apalagi menghadapi Pendekar Rambut Emas itu!”

“Ya, dan kita pulang saja, Ling-moi. Atau mengembara seadanya saja mencari pengalaman yang ringan-ringan!“

“Kau tak mencari gadis itu lagi?”

“Untuk apa? Aku bukan apa-apa di hadapannya, aku merasa kecil....”

“Tapi kau jatuh hati, koko. Kau amat mencinta Tiat-ciang Sian-li Salima itu!”

“Ya, dan kau pun jatuh hati terhadap Kim-mou-eng. Namun kita gagal!”

“Ah....!” dan Hwi Ling yang menangis penuh kecewa tiba-tiba berkelebat ke utara. “Koko, kita tak usah membicarakan itu lagi. Aku benci!”

Sin Kok mengangkat pundak. Dia tahu kekecewaan adiknya itu, juga tentu saja tahu akan kekecewaannya sendiri. Dan ketika adiknya berkelebat dan terisak menangis maka Sin Kok menyusul dan menggandeng adiknya itu. Mereka sama-sama bertepuk sebelah tangan, kekaguman yang menjadi rasa kecintaan itu gagal. Memang mereka sudah tahu namun coba memaksa diri. Cinta memang terlanjur bersemayam di hati, susah membuangnya. Dan ketika dua muda mudi itu bergandengan ke utara sementara Sin-to Sam-eng-hiong juga pergi mengasingkan diri maka di lain pihak Salima sendiri meneruskan perjalanannya mencari sang suheng.

Kota demi kota dilalui gadis ini. Salima naik turun gunung pula untuk mencari Kim-mou-eng, bahkan keluar masuk hutan berkali-kali untuk mencari jejak suhengnya. Mulai mendengar keroyokan orang-orang kang-ouw terhadap suhengnya, rasa gelisah dan was-was mengusik hatinya. Kemarahan semakin berkobar-kobar di dadanya. Dan ketika berita terakhir suhengnya didengar tak jauh dari lapangan berumput di mana suhengnya jatuh ke jurang maka secara kebetulan gadis ini bertemu dengan Hek-bong Siang-lo-mo yang lagi merawat luka-lukanya ketika melarikan diri bertemu Bu-beng Sian-su yang disangka setan itu.

“Lo-mo, berhenti. Kalian telah mengeroyok suhengku secara curang!”

Lo-mo kakak beradik terkejut. Mereka berjalan terhuyung-huyung ketika Salima berkelebat di depan hidung, dua iblis ini kaget tapi akhirnya tertawa menyeringai, melirik kiri kanan apakah Salima ditemani seseorang ataukah tidak. Dan ketika melihat gadis itu seorang diri dan kini berkacak pinggang membentak mereka tiba-tiba Ji-lo-mo terbahak mencabut sabitnya. “Tiat-ciang Sian-li, mau apa kau menghadang kami? Minta menyusul arwah suhengmu?”

“Mana suheng?” Salima pucat. “Kalian mencelakainya di mana?”

“Ha-ha, suhengmu mampus, Sian-li. Sekarang kan pun boleh menyusulnya kalau ingin menyusul, ataukah bersenang-senang saja dengan kami berdua....”

“Wuttt...!” sabit di tangan Ji-lo-mo bergerak, iblis ini terkekeh dan maju menubruk dengan kecepatan kilat. Salima menjadi marah dan mengelak. Dan ketika sabit membalik dan Ji lo-mo berseru keras maka sang kakak, Twa-lo-mo, membentak pula dan menerjang Salima.

“Ji-te (adik nomor dua), jangan bunuh dia kecuali robohkan saja. Belejeti pakaiannya dan kita bersenang senang!”

“Benar, aku juga begitu, twa-ko (kakak). Aku berkeinginan sama seperti dirimu. Sudah sebulan kita tak menyentuh wanita. Ha-ha, ayo tangkap, kita permainkan dia dan bersenang-senang!”

Salima gusar. Dua iblis cebol yang mengeluarkan kata-kata kotor ini membuat dia naik pitam. Salima memekik dan menangkis mereka, Tiat-lui-kang dikerahkan dan kepretan serta tamparan meledak berkali-kali, serangan sabit itu bagai hujan gencar yang bertubi tubi menyerang Salima, gadis ini berkelebatan dan mulai bertahan. Tapi ketika lawan terlalu kuat dan dengan Tiat-lui-kang saja dia merasa kalah tiba-tiba Salima melengking dan mencabut bendera Tar-tarnya itu.

“Hek-bong Siang-lo-mo, kalian iblis-iblis busuk yang selamanya berbuat curang. Sekarang rasakan pembalasanku.... tar!”

Bendera meledak, menangkis sabit di tangan Ji-lo-mo sementara pukulan Twa lo-mo ditolak Salima dengan tangan kiri. Kini mereka bertanding dengan sama-sama bersenjata, Ji lo-mo terkejut karena dia terdorong, nyata Salima bagai harimau tumbuh sayap setelah mencabut benderanya. Dan ketika gadis itu berkelebatan pula dengan bendera meledak-ledak sementara Tiat lui-kang juga menangkis dengan tak kalah ampuh maka desakan dua iblis cebol ini tertahan dan Twa lo mo memaki.

“Keparat, arwah Kim-mou-eng itu benar-benar membuat kita tertimpa sial. Tenagaku masih belum pulih!”

“Benar, aku juga begitu, twako. Agaknya kita masih terlalu lelah dan tak dapat mengerahkan segenap tenaga!”

Salima tak mengerti apa yang dimaksudkan dua iblis ini. Ia tak tahu bahwa Twa lo-mo dan Ji-lo-mo masih lelah, mereka baru saja memeras keringat dan guncangan batin sejak peristiwa di jurang itu. Pertempuran yang panjang mengeroyok Kim-mou-eng betapapun menyurutkan tenaga mereka, sebenarnya mereka harus beristirahat untuk memulihkan tenaga. Belum beristirahat total Salima sudah datang, mereka agak terkejut karena mungkin cukup berat menghadapi gadis yang masih segar ini.

Betul juga, begitu Salima mencabut senjatanya segera mereka merasakan getaran dalam setiap tangkisan, tahulah mereka bahwa mereka belum pulih seluruh tenaganya, apalagi ketakutan menghadapi “arwah” Kim-mou-eng yang membuat mereka terbirit-birit itu menimbulkan kelelahan batin. Maka, ketika sabit sering terpental sementara Salima sendiri tampak beringas dan ganas menghadapi mereka tiba-tiba kain bendera mengebut menutupi pandangan Ji lo-mo yang saat itu terhuyung mundur, baru saja tertolak ketika Salima menangkis serangannya.

“Awas....!”

Iblis ini gelagapan. Kakaknya memperingatkan dan iblis ini membanting tubuh bergulingan, itulah satunya jalan kalau dia tidak ingin roboh. Dan ketika Salima mengejar tapi Twa lo-mo membentak di belakang terpaksa gadis itu membalik dan gagang bendera menangkis sabit.

“Trakk...!”

Twa-lo-mo ganti terhuyung. Salima mengelebatkan benderanya dan melengking menggerakkan tangan kiri, bendera menutupi pandangan mata sementara Tiat-lui-kang menyambar dari bawah. Twa lo-mo terkejut dan ganti gelagapan, menangkis dengan tangan kirinya dan membentak keras. Tapi karena iblis ini sudah berkurang tenaganya dan Salima masih segar maka Twa-lo-mo mencelat dan terbanting setombak.

“Des!” iblis ini pun cepat menggulingkan tubuh menjauh, Salima mengejar dan karena itu dia harus menyelamatkan diri, mengumpat dan mencaci-maki karena biasanya merekalah yang di atas angin kalau menghadapi gadis ini, kalau mereka sama-sama segar. Karena Salima merangsek dan Twa-lo mo bergulingan menjauh maka Ji-lo-mo yang sudah melompat bangun dan membentak Salima tiba-tiba menyerang gadis itu menyelamatkan kakaknya, terpaksa dilayani dan Salima membalik, mendongkol dan marah karena setiap mau merobohkan yang satu tentu yang lain mengganggu.

Salima melengking dan menangkis pukulan Ji lo mo. Dan ketika dua iblis itu ganti berganti merasakan kelihaian Salima dan mau tidak mau mengakui kelemahan sendiri karena merosotnya tenaga yang membuat lelah tiba-tiba Ji lo-mo mengajak kakaknya melarikan diri, melempar beberapa pelor dan paku beracun, dua iblis cebol ini melepas senjata rahasia. Salima menangkis dan memaki mereka, mengebutkan bendera. Dan ketika pelor dan paku runtuh di tanah dan dua iblis itu tertawa maka Hek-bong Siang-lo-mo lenyap berkelebat melarikan diri.

“Tiat-ciang Sian-li, biar lain kali kita bertemu lagi. Kami sedang lelah!”

Salima gusar. Tentu saja dia mengejar, membentak dan menyuruh mereka berhenti. Tapi Hek bong Sian-lo mo yang selalu melepaskan senjata rahasia dan masuk ke dalam hutan, akhirnya hilang dan tidak diketemukan jejaknya. Salima membanting kaki, menyimpan benderanya dan coba mencari lagi, gagal, merasa kecewa dan menyesal karena dua iblis itulah yang tahu banyak tentang suhengnya. Tapi karena Salima tidak putus asa dan mencari serta mencari lagi maka beberapa hari kemudian dia menemukan iblis yang lain yang tidak diduga-duga.

“Siauw-bin-kwi (Si Setan Ketawa)....?” Salima tertegun, menghentikan langkahnya dan terbelalak memandang iblis yang satu itu, tidak mengira bahwa Siauw-bin-kwi masih hidup. Iblis yang berkulit putih itu hancur kedua kakinya, menopang tubuh dengan sepasang tongkat bambu sementara di sampingnya Salima melihat dua orang lain tidak dikenal, dua kakek berhidung merah dengan mata yang besar. Mereka jelas orang asing, mungkin orang Nepal atau Bhutan. Salima mendelong. Tapi begitu dia melompat maju dan Siauw-bin-kwi tertawa tiba-tiba iblis yang dikira Salima sudah mati ini menoleh pada dua temannya.

“Ma Tung, dia inilah sumoi Kim-mou-eng. Kepandaiannya hebat dan lihai sekali. Apakah kalian main coba-coba dan berkenalan?”

“Heh-heeh,” laki-laki tinggi besar di sebelah kiri Siauw bin-kwi mengeluarkan tawa yang aneh, mirip sengau atau tawa kuda. “Jadi inikah orangnya yang mencelakakan dirimu. Bin kwi? Dan mana itu Pendekar Rambut Emas?”

“Agaknya tak bersama dia, Ma Tung tapi bukan dia yang mencelakai aku, melainkan suengnya. Tapi sama saja. Gadis ini pun musuhku dan kebetulan kita bertemu di sini!” dan menghadapi Salima deagan tubuh menggantung di sepasang tongkat Siauw bin-kwi menyeringai. “Tiat-ciang Sian-li, mana suhengmu Gurba yang sombong itu? Benarkah dia telah mampus?”

“Hmm!” Salima menekan kekagetannya, bentrok dan terkesiap beradu pandang dengan dua laki -aki di samping Siauw-bin-kwi. “Twa-heng memang telah meninggal, Bin-kwi. Tapi ini pun gara-gara dirimu dan teman-temanmu. Kalian jahat, selalu mengacau dan membuat onar. Bagaimana kau masih hidup dan belum mampus?”

“Ha-ha, raja maut masih enggan mencabut nyawaku, Tiat-ciang Sian-li. Giam lo-ong (raja akhirat) menyuruhku hidup untuk membalas kepadamu!”

“Dengan kaki buntung begini?” Salima mengejek. “Apa yang dapat kau akukan, Bin-kwi? Salah-salah terbanting roboh sebelum menyerang!”

“Jangan pongah,” Siauw-bin-kwi tertawa. “Aku mempunyai sahabat yang akan membantuku, bocah sombong. Dan perkenalkan mereka inilah Ma Tung dan Bong Kak dari Bhutan. Mereka ingin mengenalmu lebih baik!”

Dua kakek tinggi besar itu melotot. Mata mereka memang sudah besar, kini diangkat terbelalak memandang Salima jadi mirip jengkol dalam dua lubang yang lebar. Salima bergidik merasakan getaran iblis dari mata sepasang kakek ini, tajam dan mencorong bagai mata harimau ganas. Kilauan cahaya menyeramkan muncul dari sepasang mata itu. Dan ketika Salima tertegun dan bersaiap-siap maka kakek di sebelah kiri yang bernama Ma Tung itu melangkah lebar merangkapkan kedua tangannya membentuk tinju, tertawa aneh.

“Nona, perkenalan aku. Aku Ma Tung!”

Salima merasa kesiur angin dahsyat. Dia maklum bahwa lawan menyerangnya, pukulan jarak jauh menyambarnya dari depan, inilah cara “perkenalan” orang-orang dunia kang-ouw. Tapi Salima yang sudah bersiap dan tidak gentar menghadapi lawan tiba-tiba merangkapkan kedua tangannya pula dan balas mendorong, mengejek berseru, “Ma Tung, orang Bhutan tak biasa kelayapan sampai di sini. Kalau kau dan temanmu datang tentu kalian ada maksud.... dess...!”

Salima bergoyang, menghentikan kata-katanya dan terkejut karena hampir dia terpental, cepat menambah tenaganya dan seketika dorongan itu ditahan, Ma Tung berseru aneh dan menambah kekuatannya pula, muka si tinggi besar ini merah. Dia ngotot dan penasaran. Tapi karena di sana Salima mengimbangi kekuatannya pula dan masing-masing tertolak akhirnya si tinggi besar ini dan Salima terdorong tak dapat mempertahankan diri.

“Hebat, gadis ini benar benar hebat...!” Ma Tung kagum, mengusap keringatnya yang tiba-tiba sudah membasahi muka. Adu tenaga sejenak tadi cukup menyimpulkan padanya bahwa Salima memang hebat. Gadis ini tak mau kalah dan memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Dan ketika Ma Tung terdorong setindak sementara di sana Salima juga terdorong mundur maka Bong Kak, temannya yang satu tersenyum menyeringai mengebutkan lengannya.

“Tiat-ciang Sian-li, aku pun ingin berkenalan denganmu!”

Salima terkesiap. Sebenarnya dia kaget dengan kekuatan orang pertama Bhutan tadi, Ma Tung memiliki sinkang dahsyat yang berhawa dingin. Bukti bahwa dia dan lawannya sama-sama terdorong setindak menunjukkan bahwa mereka seimbang. Lawan yang berat. Kini melihat Bong Kak maju ke depan sementara dia baru terhuyung tiba-tiba Salima menjadi marah dan menyambut pula kebutan lengan yang lagi-lagi berhawa dingin ini.

“Tua bangka, kalian rupanya mau mengeroyokku. Boleh, majulah....!” Salima gusar, cepat menegakkan tubuh dan untuk kedua kali dia diuji sinkang. Tokoh-tokoh Bhutan ini rupanya mau mengeroyoknya dan licik, geram dia. Dan ketika hawa pukulan menyambar tiba dan Salima mengerahkan Tiat-lui-kangnya maka sinar merah menyambar ke depan menyambut kebutan si Bhutan itu.

“Cess!” kali ini asap mengebul, desisan hawa dingin bertemu hawa panas membuat orang Bhutan itu bergoyang, matanya terbelalak lebar tapi tangan kirinya tiba-tiba menampar miring, Salima terkejut karena lawan mengarah pinggang. Pukulan samping ini memecah perhatiannya. Dan karena dia baru beradu tenaga dengan Ma Tung dan Bong Kak ini mengambil kesempatan dalam posisinya yang belum tegak maka Salima melompat tinggi membiarkan pukulan itu lewat dengan bentakan nyaring.

“Licik!” pukulan itu menghantam belakangnya, mengenai pohon dan suara berdebum mengguncang tempat itu ketika pohon ini roboh. Salima sudah berjungkir balik dan tegak kembali dengan mata berapi-api, memaki lawan yang tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat. Benar-benar teman Siauw-bin kwi ini orang-orang jahat yang tidak tahu malu. Tapi sementara Salima marah-marah memaki tokoh tokoh Bhutan itu maka Bong Kak sendiri sudah tertawa serak memandang temannya.

“Ma Tung, gadis ini memang hebat. Sebaiknya kuuji ilmu silatnya setelah tenaganya kita ketahui!”

“Ah, aku yang ingin lebih dulu, Bong Kak. Kau mundurlah dan biar aku yang menguji.”

“Tidak, aku terlanjur gatal. Kau menonton saja dan biar aku yang merobohkan!” dan menghentikan tawanya yang tidak enak didengar tiba-tiba orang ini sudah melejit ke depan mencengkeram tengkuk Salima, jari-jarinya berkerotok dan Salima melihat warna hitam di situ, cepat mengelak dan melompat ke kiri. Dan ketika lawan mengejar dan jari atau lengan itu mulur seperti karet tiba-tiba Salima terpekik menangkis kuat.

“Plak!” Bong Kak tertawa aneh. Dia sudah mengejar bertubi-tubi Salima yang melompat ke sana kemari lengannya terus mulur dan mulur. Kini hampir satu setengah meter dan mirip lengan gorilla yang panjang. Salima terbelalak, ngeri dan meremang dia. Tapi karena Salima bukan gadis penakut dan kejaran lengan yang membuat dia marah ini selalu bergerak ke sana-sini mencegat jalan larinya akhirnya Salima melengking dan mainkan Tiat-lui-kangnya dengan kepretan atau tamparan, menangkis dan membalas membuat Bong Kak melotot, lengannya terpental dan jari-jarinya terasa panas.

Siauw bin-kwi segera beritahu bahwa itulah Tiat-lui-kang, tamparan Petir. Dan ketika Salima berkelebatan pula dan gadis ini berhasil lolos dari lengan lawan yang mirip gorilla itu akhirnya Bong Kak kagum memuji penasaran.

“Bagus, memang lihai...!” orang Bhutan ini ganti menangkis tamparan tamparan Salima, berseru keras dan jari-jarinya yang hitam kian berkerotok. Hawa amis mulai tercium di situ.

Salima terbelalak karena lawan memiliki jari-jari beracun, bertindak hati-hati dan sudah menelan obat penawar, memang begitu biasanya orang-orang sesat. Dan ketika Bong Kak merunduk dan mengelak ke sana ke mari tendangan maupun kepretan Salima akhirnya dua orang ini bertanding dengan gaya masing-masing. Desak-mendesak dan pukul-memukul.

Kedudukan mereka masih berimbang karena tokoh Bhutan ini ternyata tahan menerima Tiat-lui-kang, berkali-kali Salima terkejut karena lawan hanya terhuyung saja, paling paling bajunya yang hangus terbakar, itupun tak melukai kulit si Bhutan ini. Tokoh itu malah tertawa gembira. Dan ketika Salima mempercepat gerakannya dan mulai memilih bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawannya seperti mata dan bawah pusar maka Bong Kak membentak keras mengimbangi! kecepatan Salima pula hingga dua orang, ini saling keliling-mengelilingi bagai dua jago bertarung.

“Bagus, hebat... Menarik sekali, Bong Kak. Keluarkan Hek-in ciangmu (Pukulan Awan Hitam) itu dan desak Tiat-lui-kang!” Siauw-bin-kwi tertawa-tawa, merasa gembira dan bertepuk tangan dengan muka berseri-seri. Pertandingan itu memang menarik ditonton karena masing-masing masih berimbang.

Tokoh Bhutan ini penasaran karena lengan karetnya belum mampu menangkap Salima, selalu terpental dan jari-jarinya tak ada kesempatan untuk menggaet atau mencengkeram. Tapi ketika Siauw-bin l-kwi berteriak dan dia merasa marah tiba-tiba segulung angin dingin menyambar dan mulai menerpa Salima, menolak dan menghalau Tiat-lui-kang yang berkali-kali membuat tangannya pedas, meskipun tak terluka. Dan ketika tokoh ini mulai menggeram dan menubruk serta menangkis, maka pukulan dingin yang berbau amis itu mulai kuat menghadapi Tiat-lui-kang.

“Plak-plak-dess!” untuk kesekian kalinya pukulan dan tangkisan bertemu. Salima terdorong karena tak tahan mencium bau amis itu, mual perutnya. Dikira lemah dan lawan tertawa mendesak lagi. Salima mulai mendapat pukulan dan terhuyung-huyung. Bong Kak mengira gadis ini akan dapat segera dirobohkan tak lama kemudian, tertawa sombong dan gembira merangsek lagi. Tapi ketika pukulan demi pukulan ternyata membuat Salima terhuyung saja dan tetap tidak roboh maka tokoh ini terbelalak melototkan matanya.

“Kau masih dapat bertahan? Kau tidak roboh?”

“Hmm!” Salima mendengus. “Aku hanya mual melihat pukulanmu yang amis, Bong Kak. Tapi sekarang aku sudah mulai biasa!”

Benar saja. Salima sudah tidak terhuyung-huyung lagi, setiap pukulan yang mendarat di tubuhnya selalu dibalas dengan pukulan juga, bau amis mulai biasa di hidungnya dan obat penawar racun ternyata tak membuat gadis ini terpengaruh oleh Hek-in-ciang, hanya tadi sedikit terganggu karena bau amis itu membuat perutnya mual, selebihnya dia tidak apa-apa. Dan ketika sekarang bau amis tidak mengganggunya lagi karena sudah biasa maka Hek-in-ciang maupun pukulan-pukulan lain dari tokoh Bhutan ini tidak mempan lagi menghadapi Salima, membuat Bong Kak gusar namun Tiat-lui-kang yang dilancarkan Salima juga tidak berpengaruh banyak bagi tokoh Bhutan ini.

Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki kekuatan berimbang, sinkang mereka mampu menahan pukulan-pukulan lawan dan tubuh paling-paling hanya terdorong atau terhuyung saja. Itulah hasil pertandingan ini. Seri alias berimbang. Dan ketika pertempuran menjadi menjengkelkan karena tak ada yang kalah atau menang tiba-tiba Ma Tung, yang dongkol oleh kejadian itu mencelat maju.

“Bong Kak, gadis ini harus dirobohkan. Biar kubantu kau!”

Salima terkejut. Hek-in-ciang baru saja ditangkis, dia dan lawan sama sama terdorong. Kini melihat Ma Tung maju membantu dan tokoh tinggi besar itu melepas pukulan dingin tiba-tiba Salima memaki dan melompat berjungkir balik.

“Curang.... dess!” pukulan itu membuat lubang besar di tanah, Bong Kak tertawa dan Ma Tung menggeram. Salima yang turun berjungkir balik sudah disambutnya lagi dengan pukulan kedua, Salima sibuk menangkis dan terpental lagi. Dua tokoh Bhutan itu susul-menyusul menghujani serangan. Dan karena Salima seorang diri padahal satu di antara mereka saja berimbang dengannya maka Salima kewalahan dan segera terdesak hebat, tak mampu menghadapi keroyokan itu dan mencaci lawan habis-habisan. Bong Kak dan Ma Tung tertawa tak perduli, ternyata mereka pun tak malu-malu berbuat curang. Cepat tetapi pasti Salima kian terdesak. Dan ketika keadaan sudah memuncak dan Salima marah bukan main tiba-tiba gadis ini mencabut benderanya membentak keras,

“Ma Tung, kalian bandot-bandot tua yang tak kenal malu. Sungguh busuk!” dan Salima yang menggerakkan bendera menangkis sana-sini dengan penuh kemarahan coba menghalau dan mempertahankan diri sekuat tenaga, sedetik berhasil tapi Bin-kwi tiba-tiba melompat maju.

Kakek iblis ini tertawa dan rupanya tak sabar melihat perlawanan Salima. Gadis itu keras hati dan keras kepala. Dati ketika tongkat penyangga tubuh di tangen kanan kakek ini menyambar pinggang Salima sementara saat itu gadis ini menghadapi serangan Bong Kak dan Ma Tung maka Salima mengeluh ketika terlambat mengelak, baju di pinggangnya itu robek dan gadis ini memaki Sauw-bin-kwi. Lawan yang dimaki terkekeh saja dan kembali menggerakkan tongkat satunya, kali ini Salima menangkis tapi kain benderanya robek. Salima dibuat gugup.

Dan ketika Bong Kak dan Ma Tung juga menyerang dari samping kiri dan kanan akhirnya Salima tak dapat menahan ketika pukulan dingin dua tokoh Bhutan itu menghantam dirinya, terpental dan roboh bergulingan. Gadis ini pucat namun tetap tidak kenal menyerah, memutar senjata di tangan sementara tangan kiri juga mengerahkan Tiat lui-kang. Namun karena tiga musuh mengejarnya dari segala penjuru dan Salima sia-sia bertahan tiba-tiba gadis ini menjerit ketika pukulan dingin Bong Kak mengenai lehernya.

“Jangan bunuh dia, ingat Sam-kong-kiam!” Seruan Bin-kwi menyadarkan tokoh Bhutan ini.

Bong Kak mengurangi tenaganya dan Salima tak tahu lagi apa yang terjadi sesudah itu. Dia pingsan dari roboh tak bergerak, bertubi-tubi menerima serangan lawan memang berat. Lehernya disentuh pukulan dingin dan setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Bong Kak nyaris membunuhnya kalau Bin-kwi tidak berteriak tentang Sam-kong-kiam. Dan ketika tokoh Bhutan ini menghapus peluh dan kagum akan perlawanan Salima maka dengan sedikit tidak puas dia menegur si Setan Ketawa itu,

“Bin-kwi, Kenapa kau mencegahku membunuh gadis ini? Bukankah dia adalah musuh?”

“Ah, kau kurang perhitungan, Bong Kak. Gadis ini adalah sumoi Kim-mou-eng, sedang Kim-mou-eng membawa Pedang Tiga Sinar itu, bukankah baik kalau dia kita tangkap dan dapat dipergunakan memaksa si Rambut Emas itu? Karena itu jangan dibunuh gadis ini. Bong Kak. Dirinya berharga sekali untuk ditukar dengan Sam-kong-kiam!”

Bong Kak tertegun. “Jadi kau hendak memaksa Kim-mou-eng menyerahkan pedang itu dengan diri sumoinya?”

“Betul sekali, karena itu jangan dibunuh!” dan Bong Kak yang mengangguk-angguk mengerti dan tertawa mengumpat kebodohan sendiri akhirnya meringkus Salima dan melumpuhkan gadis itu.

Peristiwa Sam-kong-kiam memang telah mereka dengar dan karena itulah dua tokoh Bhutan ini muncul. Siauw-bin-kwi adalah sahabat mereka dan si Setan Ketawa itulah yang memperkenalkan Sam-kong-kiam, sebagai tokoh tokoh persilatan tentu saja dua orang ini tertarik. Bin kwi memang cerdik. Dan ketika Salima ditangkap dan tiga orang ini “mengawal” Salima maka Bin-kwi mengajak mereka melanjulkan perjalanan mencari Kim-mou-eng.

“Sekarang kemenangan sudah ada di tangan kita. Kim-mou-eng tentu rela menyerahkan pedang itu karena dia amat mencinta sumoinya ini. Ayo berangkat!”

Tiga tokoh itu berkelebat, Salima dipanggul dan kini dijadikan sandera. Lagi-lagi Kim-mou-eng dituduh mencuri Sam-kong-kiam. Dan begitu ketiganya berkelebat meninggalkan tempat itu maka Salima memaki-maki sepanjang jalan setelah sadar, mencium bau apek di pundak Bong Kak, tokoh Bhutan inilah yang memanggulnya. Tapi karena lawan tidak memperdulikannya dan Bong Kak ganda ketawa saja akhirnya Salima kehabisan suara dan menangis.

* * * * * * * *

Malam itu Salima tak tahu berada di mana. Sudah seminggu ia menjadi tawanan, diam-diam gelisah dan mengumpat caci tiga iblis tua ini. Sekarang dimasukkan kerangkeng dan ia tiada ubahnya binatang buas yang baru terjebak. Bin-kwi dan dua kawannya tertawa melihat keadaan Salima. Dewi Bertangan Besi ini menjadi bahan olokan sepanjang jalan, bukan main panasnya Salima. Dan ketika malam itu mereka berada di sebuah guha dan Salima dilempar ke sudut maka Bio-kwi terkekeh menjaga.

“Sian-li, seminggu lagi kami harus mendapatkan suhengmu itu. Kalau tidak terpaksa dua temanku akan membunuhmu karena tak sabar. Kau mempunyai pesan apa untuk disampaikan pada suhengmu itu?”

“Tak perlu banyak bacot. Kalian boleh membunuhku sekarang, Bin-kwi. Tak usah menunggu sehari atau seminggu lagi. Aku menjadi tawanan kalian, mau bunuh boleh bunuh mau siksa boleh siksa!” Salima mendamprat.

“Heh-heh, kau semakin cantik kalau marah marah begini. Aduh, sayang. Aku tak berdaya lagi sebagai laki-laki normal. Kalau dulu kakiku tidak buntung dan aku dapat melepaskan hasrat hatiku tentu kau sudah kujadikan kekasih. Eh, Tiat-ciang Sian-li, maukah kau kucarikan pemuda tampan untuk menemanimu sebelum ajal? Kau ingin apa sebelum dibunuh?”

Salima gusar. “Bin-kwi, tak perlu mengancamku dengan macam-macam omongan kosong. Aku muak pada kalian, enyahlah dan pergi dari sini!”

“Kau tak ingin ditemani seseorang?”

“Hanya suheng yang boleh menemuiku, lainnya persetan!”

Bin-kwi tertawa geli. Tiba-tiba saja dia ingin menggoda gadis ini, menakut-nakutinya. Maka ketika Salima melotot padanya dan iblis ini menyambar tongkat mendadak dia melesat keluar berkata pada temannya, “Bong Kak, jaga sejenak gadis itu. Aku ingin mencari seorang pemuda untuk menemaninya!”

Salima pucat. Tiba-tiba dia merasa takut oleh omongan kakek iblis itu, ngeri. Tahu bahwa Bin-kwi tak sekedar menakut nakutinya tapi betul-betul dapat membuatnya mengkirik dengan perbuatan-perbuatan keji. Kini kakek itu melesat dan berkata akan mencari seorang pemuda untuk menemani Salima, tahulah gadis ini apa yang diinginkan kakek itu. Dia akan dipaksa untuk bercinta dengan seseorang, bulu kuduknya meremang dan Salima gelisah bukan main. Ini berarti perkosaan! Dan ketika dia terbelalak memandang kepergian kakek iblis itu dan Bong Kak yang menjaganya di pintu guha tertawa menyeringai tiba-tiba saja Salima ingin berontak.

“Bin-kwi, jahanam kau. Keparat kau!”

Bin-kwi tertawa di kejauhan sana. Rupanya dia mendengar kemarahan gadis ini, Ma Tung mendengus di sudut. Dua tokoh Bhutan ini bersila melepas lelah, setengah memejamkan mata dan mereka bicara bahasa Bhutan satu sama lain. Mata yang ganas dari dua tokoh itu tampak sekilas di celah-celah dua garis yang menyipit, entah apa yang dibicarakan. Tapi ketika Salima berteriak-teriak dan Bin-kwi menghilang di luar sana mendadak terdengar jeritan iblis itu yang nyaring memecah kesunyian malam.

“Hei, Kim-mou-eng....!”

Salima dan dua tokoh Bhutan terkejut. Bong Kak dan temannya tiba-tiba melompat bangun, mata yang tadi setengah mengantuk itu mendadak terbuka lebar. Di luar terdengar suara pertempuran dan Bin-kwi berkali-kali berseru kaget, pertempuran itu agak jauh tapi jelas terdengar dari tempat mereka, kesunyian malam membantu semuanya ini. Dan ketika terdengar suara “crak” dua kali dan Bin-kwi rupanya membanting tubuh bergulingan hingga mengeluarkan suara berdebuk tiba-tiba iblis buntung itu berseru ketakutan,

“Bong Kak, tolong. Bantu dan keluarlah kalian....!”

Dua tokoh Bhutan ini berkelebat. Mereka sudah mendengar suara suara yang tidak menguntungkan teman mereka itu, rupanya Bin-kwi terdesak hebat. Kim-mou-eng memang dikabarkan lihai, amat lihai dan iblis buntung itu berterus terang bahwa seorang diri dia masih bukan tandingan Kim-mon eng, kini Pendekar Rambut Emas itu datang dan kedua tangan mereka sudah gatal bukan main.

Sebentar kemudian mereka tiba di asal suara, melihat sinar berkelebatan dari tiga warna pelangi yang menarik dipandang mata, hijau, kuning dan merah, menyambar-nyambar bagai petir yang membuat mereka tertegun. Bin-kwi kalang-kabut menghadapi tiga sinar yang menyilaukan ini, berteriak-teriak dan menjerit tak keruan. Bong Kak dan Ma Tung terkesima kerena tiba-tiba mereka merasakan getaran hebat yang memancar dari pelangi tiga warna itu, melihat si sosok bayangan berambut keemasan menyerang teman mereka ini. Bin-kwi bergulingan dan memekik setiap cahaya pelangi itu menyambar, kiranya iblis ini sudah luka luka. Tujuh guratan panjang menghias tubuh si kakek buntung. Tapi begitu mereka sadar dan Bin-kwi menjerit meminta tolong mendadak dua tokoh Bhutan ini membentak melepas pukulan jarak jauh.

“Kim-mou-eng, tahan....!”

Bayangan keemasan itu membalik. Dia telah merasakan kesiur dingin dari pukulan dahsyat di kiri kanan tubuhnya, sinar pelangi bergerak dua kali membacok dari atas, cepat bukan main. Dan ketika pukulan dua tokoh Bhutan iiu ditangkis bayangan ini mendadak Bong Kak dan temannya berseru kaget.

“Bret-brett!” dua ujung baju kakek tinggi besar ini terbabat, nyaris buntung mengenai tangan mereka sendiri. Bong Kak dan temannya membanting tubuh bergulingan, hawa yang tajamnya luar biasa telah menyambut pukulan mereka tadi, padahal di antara mereka tak ada yang saling sentuh, jarak di antara mereka masih dua tombak! Dan Bong Kak serta Ma Tung yang kaget bergulingan dengan seruan keras tiba-tiba melompat bangun dan pucat berseru tertahan.

“Pedang luar biasa, pedang yang ampuh...!”

Namun bayangan berambut keemasan itu mengeluarkan suara mengejek. Dengusan pendek terdengar dari hidungnya, sinar warna-warni tadi lenyap. Pedang ternyata telah memasuki sarungnya dengan cara luar biasa pula. Keadaan kembali gelap-gulita. Dan ketika Bong Kak dan temannya terkejut dan Bin-kwi merintih di sana tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari depan mereka.

“Wuuttt!”

Dua tokoh Bhutan ini siaga. Mereka melihat samar-samar, sesosok bayangan yang melejit, perobahan terang menjadi gelap ini membuat mata kabur, mereka waspada. Tapi ketika bayangan itu menghilang dan Bin-kwi meminta tolong segera dua kakek tinggi besar Itu melompat sambil menghapus keringat dingin mereka.

“Itukah Kim-mou-eng, Bin-kwi?”

“Ya, dan aku nyaris binasa. Tidak kalian lihatkah bahwa ia amat lihai? Dan Kim-mou-eng sekarang ganas bukan main, aduh..... kaki bambuku buntung. Sam-kong-kiam membabat putus kakiku ini dan tolong kalian carikan yang baru. Atau, eh.....jangan, kita harus kembali ke guha. Kim-mou-eng tentu menolong sumoinya!”

Bong-Kak serta Ma Tung yang lagi-lagi terkejut dan sadar oleh seruan ini tiba-tiba melompat dan menyangga Bin-kwi di kedua bahu mereka, secepat kilat mereka kembali ke guha dan teringat pada Salima. Gadis itu masih ada di sana, tentu Kim-mou-eng akan menolongnya dan menyelamatkan gadis itu. Dan ketika benar saja mereka melihat kerangkeng sudah kosong dan bayangan keemasan itu melompat keluar guha sambil memanggul Salima tiba-tiba dua tokoh Bhutan ini melepas Bin-kwi berseru marah.

“Kim-mou eng, lepaskan sumoimu....!”

Dua pukulan dahsyat kembali menerjang. Kim-mou-eng atau orang yang disangka Kim-mou-eng ini terbelalak, Sam-kong-kiam di belakang punggung tak sempat diambil, terpaksa mengelak namun pukulan di sebelah kanan menghadang, bayangan ini menangkis dan langit-langit guha di atas mereka roboh. Getaran dahsyat dari dua pukulan kuat itu bertemu, baik bayangan ini maupun lawannya terpental. Dan ketika Bong Kak menerjang masuk dan Bin-kwi berjungkir balik berseru nyaring tiba-tiba Ma Tung yang terpental dan sudah mematahkan daya dorong tadi dengan lompatan tinggi tahu-tahu melesat membantu dua temannya menyerang bayangan ini yang sudah terpental ke dalam guha.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam....!”

Bayangan berambut emas itu menggereng. Dia terpental masuk ke dalam guha, tiga lawan kini menyerangnya bertubi-tubi tanpa ampun. Salima yang dipondong sebelah lengannya membuat dia repot. Tapi berseru keras menggerakkan lengan ke belakang tahu-tahu pedang di punggungnya itu dicabut dan tiga sinar pelangi berkelebat menyambar serangan Bong Kak dan kawan-kawannya ini.

“Awas....!”

Untuk kedua kali Bong Kak terkejut. Hawa yang amat dingin dan tajam iiu menyambar dirinya, lagi-lagi tokoh Bhutan ini merasa pukulannya diiris, tentu saja dia cepat menarik pukulannya dan melempar tubuh ke kiri. Kakek ini merasa ngeri dan pucat. Dan ketika dua temannya yang lain juga melakukan hal yang sama dan mereka sama-sama membanting tubuh bergulingan maka sinar pedang berkelebat di samping mereka bagai petir menyambar.

“Singg!”

Sebagian rambut Bong Kak putus. Hawa pedang yang luar biasa tajam kiranya telah mampu memotong rambut kakek tinggi besar ini, Bin-kwi dan Ma Tung juga mencelos karena baju mereka terbabat robek, baru oleh hawa pedang itu saja, bukan main. Dan ketika mereka sibuk menyelamatkan diri dan bergulingan di dalam guha maka bayangan itu tertawa mengejek melompat keluar.

“Wutt!” Bayangan itu telah berada di luar guha. Sekarang dia selamat, tidak mengeluarkan kata-kata dan terbang meluncur ke utara. Gin-kangnya yang tinggi membuat bayangan ini bergerak seperti iblis, Sam-kong-kiam sudah disarungkan kembali dan Salima tertegun melihat semuanya itu. Dan ketika Ma Tung dan kawan-kawannya bengong maka bayangan ini terbang jauh meninggalkan guha.

“Kejar....!” Bong Kak sadar, melesat dan membentak bayangan itu. Ma Tung dan Bin-kwi juga melompat dan berseru marah. Bong Kak sendiri sudah mengeluarkan gelang-gelang berodanya dan melepasnya dari belakang, gelang-gelang beroda ini menyambar punggung lawan, cepat dan mengerikan karena mampu menyusul bayangan itu. Bayangan ini terkejut dan menyampok.

Ketika gelang runtuh namun telapaknya pedas tergetar maka Ma Tung juga mengeluarkan senjata rahasianya berupa seng-piauw (senjata bintang) yang bermata setajam pisau, disusul Bin-kwi sendiri yang melepas granat tangannya, meledak namun semuanya gagal menghentikan bayangan itu. Dan ketika mereka marah-marah dan bayangan ini terus lari maka Bong Kak menggeram penuh rasa gusar.

“Kim-mou-eng, kau akan kami kejar sampai ke ujung dunia sekali pun. Berhentilah atau kami akan membunuhmu!”

Salima ngeri. Dia sendiri berada di belakang, dialah yang akan pertama kena kalau senjata-senjata rahasia yang dilepas tiga kakek itu mengenai mereka. Selalu mencelos setiap mendengar desing senjata-senjata gelap itu. Tapi melihat bayangan ini mampu meruntuhkan semua senjata-senjata itu dan kini membelok ke timur tiba-tiba Salima yang merasa bahwa bayangan ini bukan suhengnya karena dia tak melihat Tiat-lui-kang atau ilmu silat lain yang dimiliki bayangan ini berkala,

“Sobat, sebaiknya bebaskan totokanku dan lepaskan aku. Tubuhku menjadi beban, kita hadapi mereka itu dan tak perlu melarikan diri!”

“Hm!” bayangan ini menggumam. “Aku tak ingin kita berhenti, nona. Biar mereka mengejar dan aku akan berputar-putar!”

“Tapi kau akan kelelahan, berat tubuhku mengurangi kelincahanmu!”

“Tak apalah, aku mempunyai tempat persembunyian yang baik dan mereka tak akan menemukan diriku lagi. Sekarang kita hampir sampai, kau tundukkanlah kepalamu karena kita memasuki hutan bambu!”

Selesai mengucapkan kata-katanya ini mendadak Salima mendengar suara berkerosak dan hutan bambu yang lebat mereka masuki. Bong Kak dan dua temannya di belakang berteriak-teriak, mereka gigih mengejar sambil tetap melepaskan senjata rahasia. Satu dua kali bayangan itu mengeluh, tapi tetap tidak apa-apa. Dan ketika bayangan ini memutar dan melompat dengan hitungan-hitungan ganjil tiba-tiba dia tertawa dan tiba di sebuah gundukan besar macam kuburan kuno.

“Kita sudah sampai, sekarang kita aman!” dan Salima yang merasa terjeblos memasuki sebuah lubang tiba-tiba tak dapat melihat apa-apa lagi karena sekelilingnya yang gelap-gulita.

“Kita di mana? Tempat apa ini?” Salima merasa dingin, Bong Kak dan teman-temannya memang tak terdengar lagi di belakang.

Bayangan atau sang penolong tak dikenal ini tertawa aneh, dia tidak menjawab dan terus maju ke depan, meskipun gelap dia dapat berjalan di situ dengan baik, jelas bayangan ini mengenal tempat itu sebagai tempatnya sendiri, beberapa kali membelok dan menurun. Dan ketika seperempat jam kemudian mereka tiba di tempat yang agak terang dan sinar remang-remang menyambut mereka segera bayangan ini membebaskan totokan Salima dan Salima melompat turun dengan muka merah.

“Kita di mana? Tempat apa ini?”

“Heh-heh, ini tempatku, nona. Bekas tempat guruku. Kita berada di tempat yang aman dan tak ada seorang pun yang tahu!”

Salima memandang tajam bayangan itu. “Kau siapa?”

“Duduklah, jangan ganggu aku dulu. Aku harus mencabut seng-piauw yang menancap di tubuhku ini....”

Salima terkejut. Sekarang dia tahu bahwa sang penolong ini ditancapi beberapa senjata rahasia, dua seng-piauw menancap di lengannya sementara sebuah gelang beroda menancap di kaki kirinya. Benda-benda itu tampak menghitam karena beracun. Salima tertegun dan melompat menghampiri, mau mencabut senjata-senjata rahasia itu tapi orang yang aneh ini tertawa, sudah mencabutnya sendiri dan membuang tiga senjata gelap itu, berkata bahwa Salima bisa keracunan kalau memegangnya, biarlah dia yang mengurus dan silahkan gadis itu duduk beristirahat, bayangan ini segera bersila dan duduk bersamadhi. Salima bengong dan lagi-lagi tertegun.

Dan ketika orang menyendiri di sudut dan memejamkan mata untuk mengusir sisa racun tiba-tiba Salima menahan napas karena segera teringat masalah Sam-kong-kiam. Inilah pencurinya, dia membatin. Inilah orang yang telah membuat suhengnya dikejar-kejar dan dituduh kaisar. Entah kemana sekarang suhengnya itu dan orang inilah yang membuat gara-gara. Salima mendadak menjadi marah namun juga bingung, teringat pertolongan orang ini yang telah menyelamatkannya dari tangan Bin-kwi dan kawan-kawannya iiu. Dan ketika dia menjublak bersinar-sinar memandang orang itu segera Salima menelusuri seluruh wajahnya dari atas ke bawah.

Hampir mirip, Salima tergetar. Sepintas orang akan menyangka orang ini adalah suhengnya. Memang tak jauh berbeda. Tinggi dan besar badannya memang mirip suhengnya itu, bahkan rambut emasnya juga. Tapi ketika Salima meneliti dan melihat bahwa dua hal yang mencurigakan hatinya mendadak gadis ini panas dan bangkit kemarahannya. Ada dua hal yang tak dapat menipu matanya.

Pertama adalah orang ini mengenakan kedok. Setelah dia mengamat-amati dan duduk memandang ternyata orang itu menyembunyikan mukanya dengan sebuah kedok karet yang tipis. Kalau tak diperhatikan benar-benar dalam jarak yang cukup dekat memang susah orang menemukannya. Bayangan ini ternyata berkedok. Dan ketika Salima mengamati hal kedua ternyata rambut yang dikenakan bayangan itu palsu!

“Keparat!” Salima mendesis. “Apa-apaan orang ini dengan segala perbuatannya itu? Memang mau mencelakakan suhengnya?” dan Salima yang nyalang memandang rambut itu segera mengetahui bahwa rambut orang ini dicat. Warnanya memang kuning keemasan dan mirip benar dengan rambut suhengnya. Kalau tidak jeli mata memandang tentu orang pun terkecoh. Salima mengepalkan tinju dan hampir bergerak. Hampir dia membentak dan menyerang orang itu. Tapi karena orang sedang bersamadhi dan dia sabar menunggu sampai selesai akhirnya setengah jam kemudian orang aneh ini membuka mata dan menarik napas panjang.

“Selamat, sekarang tak ada apa-apa lagi!”

Salima sudah maju melompat. Melihat orang membuka matanya tadi sudah cepat dia bergerak. Orang ini harus diinterogasi! Maka begitu laki-laki ini menarik napas dan membuka matanya tiba-tiba Salima menyentuhkan dua jarinya di jalan darah mo-ceng-hiat, jalan darah kematian di bawah telinga.

“Manusia busuk, sekarang ceritakan padaku siapa sebenarnya dirimu ini! Bagaimana kau memalsu suhengku dan mencuri Sam-kong-kiam!”

Orang itu terkejut. “Kau mengancamku?”

“Tak perlu pura-pura. Kau telah mencemarkan nama suhengku, orang tak tahu malu. Sekarang kau harus menceritakan kepadaku siapa dirimu ini dan kenapa kau mencuri Sam-kong-kiam!”

“Kalau aku tak mau menceritakannya?”

“Kau akan kubunuh!”

Orang ini tertawa aneh. “Nona, percuma kau menggertak atau mengancamku. Sebaiknya kau duduk yang tenang dan lepaskan jarimu.“

“Kau tak perlu cari akal. Aku tak akan melepasmu agar kau bicara!”

“Kalau begitu aku tak mau bicara. Kau boleh paksa atau bunuh aku kalau bisa!”

Salima terbelalak. “Kau minta mampus?”

“Heh heh, jalan darahku telah jungkir balik tak keruan, nona. Kemanapun jarimu menotok tentu sia-sia hasilnya.”

“Aku tak percaya!” dan Salima yang gusar serta menggerakkan jarinya tiba-tiba sudah menotok dan merasa ditantang, menjadi marah dan naik pitam. Dengan cepat dua jarinya itu bekerja. Tapi ketika jalan darah yang ditotok tak terasa barangnya dan dua jarinya itu mental bertemu kulit yang licin tiba tiba Salima terkejut karena membuktikan bahwa orang ini seolah tak mempunyai jalan darah.

“Iblis!” Salima memaki, terkesiap dan kembali bayangan aneh itu tertawa. Salima semakin marah dan menotok yang lain. Bertubi-tubi dia melancarkan tototannya tapi semua tolokan itu gagal, orang ini seolah bukan manusia. Dan ketika Salima pucat dan mundur selangkah maka orang ini berdiri dan tajam memandang Salima matanya bersinar-sinar dan mencorong membuat Salima ngeri.

“Bagaimana, kau bisa membunuhku, nona? Kau ingin membuktikannya lagi?”

“Kau bukan manusia....” Salima akhirnya menggigil. “Kau laki laki yang jalan darahnya kacau. Kau melatih ilmu sesat yang kini membuat semua jalan darahmu terbalik tak keruan!”

“Benar, itulah aku, nona. Karena itu jangan kau buat lagi diriku semakin jungkir balik dengan semuanya ini. Aku cukup menderita, aku merana sepanjang tahun....” dan Salima yang tertegun memandang laki-laki itu tiba-tiba melihat laki-laki itu menangis!

“Eh, siapa sebenarnya kau ini? Orang gilakah dirimu ini?” Salima terpengaruh juga, menjadi luluh dan melihat tangis orang demikian menyedihkan, gerak mulut dan tarikan pipi yang menunjukkan kedukaan berat itu tiba-tiba membuat gadis ini merasa iba.

Dan ketika orang itu menarik napas dan menghapus air matanya mendadak dalam waktu begitu cepat orang ini sudah tertawa dan menyeringai seperti orang tidak waras. “Nona. semuanya ini kulakukan karena diri seseorang. Aku mencintai seseorang, aku merasa gagal dan karena itu tersiksa gara-gara seorang ini. Maukah kau duduk baik-baik dan mendengarkan ceritaku?”

Salima terenyuh, merasa heran dan mengangguk. Lalu duduk namun tetap bersikap hati-hati dia memandang laki-laki itu. “Kau aneh, dirimu diliputi rahasia. Kalau memang ingin bicara baik-baik tentu saja aku tak menolak. Tapi setelah itu ceritakan kenapa kau memfitnah suhengku!”

“Ah, aku tak memfitnah suhengmu, nona. Aku tak melakukan apa-apa pada orang lain!“

“Tapi suhengku dituduh mencuri Siam-kong kiam, padahal pedang itu ada di tanganmu. Kau mau menyangkal apalagi?”

“Benar, memang aku yang mencuri pedang ini, nona. Tapi orang lainlah yang bilang suhengmu yang mencuri, aku tidak mengaku sebagai suhengmu!”

“Sama saja. Kau mengecat rambutmu dan berkedok. Kalau tidak bermirip-mirip seperti suhengku tak mungkin orang akan menuduh suheng ku!”

Orang ini tiba-tiba tertawa, sorot matanya beringas. “Nona, sedemikian besarkah rasa cintamu kepada suhengmu itu hingga kini kau marah marah kepadaku? Apakah kehebatan Kim-mou-eng itu? Apakah dia benar-benar sudah pilih tanding?”

“Kau menantang?” Salima melompat bangun. “Kau berani mengejek suhengku dan ingin mengadu kepandaian? Nah, mari dengan aku dulu, orang bertopeng. Coba lihat dapatkah kau mengalahkan aku atau tidak!”

Orang ini terkejut. “Aku tak berani memusuhimu, aku tak akan bertempur melawanmu....”

“Kalau begitu jangan menghina suhengku. Kalau kau tak memusuhi aku seharusnya kau juga tak memusuhi suhengku!”

Orang ini tertegun. Pandang matanya berkilat, mencorong tapi sudah kembali redup. Dan ketika Salima duduk lagi dan masih belum hilang marahnya tiba-tiba orang ini menitikkan dua butir air mata yang membuat Salima mengerutkan kening.

“Kau ini orang apa? Dapatkah sekarang kau menceritakan kepadaku tentang dirimu?”

“Baiklah,” suara orang ini bergetar. “Aku memang akan menceritakannya kepadamu, nona. Sekarang dengarkan ceritaku kenapa aku melakukan semuanya ini,” dan menarik napas membetulkan letak kakinya orang ini mulai bercerita, “Aku ingin mengobati kekecewaan hatiku, aku merana sepanjang tahun sejak aku merasa jatuh cinta. Dan karena cinta itu bertepuk sebelah tangan karena gadis yang kucinta mencintai orang lain maka aku ingin melampiaskan kekecewaanku ini dengan cara lain. Aku ingin menguasai dunia, aku ingin menunjukkan pada gadis yang kucinta itu bahwa aku dapat melakukan apa saja, termasuk kelak membunuh kekasih gadis itu agar dia tahu rasanya orang merana!”

“Kau kejam!” Salima bergidik. “Kenapa mesti melakukan hal sepicik itu? Dunia tidak selebar daun kelor, kau dapat mencari gadis lain sebagai penawar dukamu!”

“Heh-heh,” laki-laki ini tertawa serak “Gadis yang kupilih adalah gadis terhebat, nona. Sukar mencari gantinya karena langka mencari gadis seperti itu!”

“Kau yakin?”

“Tentu saja. Aku mengenal baik sepak terjang dan kepandaiannya!”

“Siapa dia? Gadis mana?” Salima penasaran, terseret dan ingin tahu karena mendadak dia menjadi panas. Seingatnya di dunia kang-ouw ini tak ada wanita yang hebat selain dia. Dia adalah murid Bu-beng Sian-su, nama itu saja cukup menjadi jaminan sebagai tokoh yang paling disegani di dunia, belum pernah dia berjumpa wanita kang-ouw yang menonjol kecuali mendiang Tok-gan Sin-ni dulu, si iblis betina yang telah tewas. Apakah orang ini mencintai seorang wanita sesat macam Tok-gan Sin-ni yang sudah mendiang itu? Atau..... ah, tidak. Tok-gan Sin-ni bukan gadis, tokoh ini seorang berusia lanjut dan seingatnya tak ada tokoh wanita yang masih gadis dan menonjol di dunia kang ouw. Atau mungkin dia yang belum tahu tokoh yang dimaksud laki-laki ini, barangkali ada tokoh yang tidak menonjol namun memiliki kepandaian tinggi.

Tiba-tiba Salima tertarik dan ingin tahu, kalau dia tahu mungkin dia akan mencoba kepandaian tokoh yang menghancurkan cinta laki-laki aneh ini, bertanding dan ingin melihat benarkah gadis yang dicinta laki-laki itu terhebat didunia. Kesombongan Salima tiba-tiba muncul, maklum, merasa sebagai murid Bu-beng Sian-su Dan ketika dia bersinar-sinar memandang laki-laki itu dan laki-laki ini meredup memandangnya maka Salima melihat sorot yang aneh yang keluar dari pandang mata laki-laki itu.

“Kenapa kau? Siapa gadis yang kau maksud kan itu?”

Orang ini menggumam. “Aku enggan menyebut namanya, nona. Tapi dia adalah seorang gadis asing. Gagah dan hebat!”

'Kau memuji-muji tak ada habisnya. Memang gadis itu lihai dan beikepardaian tinggi? Salah-salah dia menjadi sombong kalau tahu kau selalu menyanjung-nyanjungnya begini” Salima kesal, membanting kakirya dan melotot.

Orang ini menyeringai dan tertawa, sikapnya berahasia. Tapi ketika dia menunduk dan mengangkat mukanya lagi maka orang ini lembut memandang Salima “Nona, gadis itu seperti dirimu. Galak tapi menarik. Karena itulah aku terpikat padanya dan tergila-gila.”

Salima tergetar. Pandang mata yang begitu lembut dan mesra memandangnya membuat dia terkesiap, jantung berdebar dan orang ini tiba-tiba sudah memegang lengannya, begitu saja, tanpa sungkan-sungkan dan rikuh lagi. Kurang ajar! Dan Salima yang kaget dan meronta melepaskan diri tiba-tiba melompat bangun dan membentak marah, panas dingin tubuhnya karena tangan orang yang terasa hangat, “Jangan kurang ajar, aku bukan wanita murahan yang gampang dipegang-pegang!”

“Maaf,” laki-laki ini sadar, matanya gugup. “Aku terhanyut perasaanku, nona. Aku lupa diri, aku tak sengaja, maaf....”

Salima masih tak puas. “Kau jangan pegang-pegang diriku tanpa seijinku,” dia masih mengomel. 'Kalau kau kurang ajar dan coba-coba tentu aku akan menyerangmu!”

“Aku mengerti, aku tak sengaja, nona. Mari duduk kembali dan dengarkan ceritaku....”

“Aku sekarang sebal. Lebih baik bicara tentang Sam-kong-kiam itu saja dan tak usah bicara tentang rahasia pribadimu. Aku ingin tahu kenapa kau mengenakan kedok dan bermirip-mirip seperti suhengku hingga suhengku kena getah!”

Laki-laki ini mengerutkan kening, diam.

“Kau tak menjawab?”

“Hmm,” kening itu sekarang terangkat. “Aku bermirip-mirip seperti suhengmu karena memang ada alasannya, nona. Dan alasan itu hanya satu, benci!”

“Benci?” Salima terkejut. “Memangnya ada permusuhan apa di antara suhengku dan dirimu?”

“Aku benci karena dialah yang merebut kekasihku itu!”

“Gila! Ngawur....!” Salima kaget sekali, melompat bangun dan merah memandang laki-laki ini. “Kau bicara apa dengan semuanya ini, orang bertopeng? Kau hendak memfitnah suhengku untuk kedua kali?”

Orang ini tertawa getir, bangkit berdiri pula. “Aku bicara bukan berdasar fitnah, nona melainkan itulah kenyataannya hingga aku membenci suhengmu itu. Kalau dia ada di sini dan berani menyangkal tentu sudah kubunuh dia. Dialah laki-laki yang merebut orang yang kucinta itu, dan itulah sebabnya aku membenci suhengmu!”

Salima terbelalak, menggigil. “Orang bertopeng, kau membingungkan hatiku. Selama ini tak pernah suhengku kudengar berdekatan dengan wanita lain selain diriku. Aku tak pernah melihatnya menjalin hubungan dengan wanita lain. Kau hendak mengada-ada dan rupanya melempar berita bohong, tak bertanggung jawab!”

“Pastikah dirimu dengan omonganmu ini? Benarkah suhengmu tak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain?”

“Aku pasti!” Salima mengangguk tegas. “Dan aku yakin suhengku tak mungkin merebut kekasih orang lain untuk kesenangan dirinya sendiri...!”

“Heh heh,” orang bertopang ini mendadak tertawa. “Kau jangan terlalu gegabah, nona. Coba ingat baik-baik benarkah suhengmu itu tak pernah berhubungan dengan wanita lain. Coba renungkan sejenak, ingat baik-baik apakah benar suhengmu itu hanya berdekatan denganmu seorang!”

Salima pucat. Dia mengingat-ingat dan melotot memandang laki laki misterius itu, siap membentak dan memaki ketika mendadak teringat Cao Cun. Itulah wanita kedua yang diketahuinya mempunyai hubungan baik dengan suhengnya. Benar. Cao Cun inilah wanita lain yang didekati suheng nya. Salima terbelalak dan tiba-tiba mengeluh. Dan ketika dia terhuyung dan menggigil memandang bayangan itu maka orang ini tertawa aneh bertanya padanya,

“Bagaimana, benarkah suhengmu tidak berdekatan dengan wanita lain selain dirimu, nona? Benarkah hanya kau seorang gadis yang dekat di hatinya itu?”

“Kau hendak maksudkan Cao Cun?” suara Salima serak, marah dan pucat serta gelisah. “Kau hendak maksudkan bahwa Cao Cun inilah gadis yang kau cinta dan direbut suhengku? Kau hendak mengartikan....”

“Sabar, hal itu tak perlu kuberitahukan, nona. Pokoknya kau sekarang telah mendapat jawaban bahwa suhengmu pernah mendekati seorang wanita. Ini yang penting. Dan karena suhengmu menyakiti hatiku maka wajar kalau aku membenci dan ingin membunuhnya! Sekarang kau tak perlu penasaran, sekarang kau mengerti kenapa aku melakukan semuanya ini dan mencuri Sam-kong-kiam, bukan lain karena aku ingin membalas dan menghukum suhengmu itu!”

“Keparat!” desis Salima sekarang tak jelas ditujukan kepada siapa. “Kau rupanya benar, orang bertopeng. Tapi sebutkan siapa dirimu dan beranikah kau mempertanggungjawabkan semua omonganmu di depan suhengku!”

“Ha-ha, tentu berani, nona. Kenapa tidak? Bahkan tanpa kau minta sekalipun aku memang ingin mencari suhengmu itu dan membunuhnya. Sakit karena asmara ini tak ada obatnya, aku telah merana dan tersiksa sepanjang tahun!”

“Dan siapa dirimu?”

“Perlukah kau ketahui?”

“Tentu, kalau kau bukan pengecut!”

“Hmm,” orang ini menyeringai, terpukul perasaannya. “Aku Bu-hiong, nona. Kau boleh kenal diriku sebagai Bu-hiong. Terserah mau kau artikan apa namaku itu pokoknya aku telah menyebut namaku.”

Salima tertegun. Nama ini aneh, bisa berarti Tanpa Keberanian. Tapi karena orang telah menyebut namanya dan betapapun ganjil nama itu didengar telinga orang bertopeng ini telah mengenalkan diri maka Salima mundur selangkah memandang Sam-kong-kiam, bersinar-sinar dan bergidik teringat keampuhan pedang ini. Begitu tajamnya, juga memiliki sinar warna-warni yang seumur hidup belum pernah dia lihat.

Maka tertarik memandang pedang ini dan marah pada suhengnya yang merebut kekasih orang tiba-tiba Salima menjadi dingin untuk merampas pedang membantu suhengnya, kini ingin membiarkan saja pedang itu di tangan Bu-hiong, biar suhengnya kapok. Biar tetap dianggap suhengnya itulah sang pencuri pedang! Dan Salima yang bersinar memandang pedang segera bertanya, “Bu-hiong, sekarang apa yang mau kau lakukan dengan pedang itu? Kau ingin menguasai dunia dengan pedang seampuh itu?”

“Nona mau membantu?”

“Membantu bagaimana? Membantumu malang-melintang di dunia kangouw?”

“Benar, aku amat gembira kalau kau membantuku, nona. Dan untuk itu aku siap memberimu apa saja yang kau minta!”

“Kalau begitu coba kulihat Sam-kong-kiam Itu, aku ingin mengetahuinya!” Salima tiba-tiba mengejek, bermaksud menguji kata-kata orang dan justeru minta pedang keramat itu.

Orang bertopeng ini terkejut. Tapi tertawa dan mencabut Sam kong-kiam tiba-tiba dia memberikan pedang itu kepada Salima, tanpa ragu. “Srat!” pedang berkeredep membuat ruangan terang-benderang. “Kau lihatlah, nona. Kau ambil kalau kau pun merasa suka!”

Salima jadi tertegun. Dia sebenarnya setengah mengejek untuk mentertawakan lawan. Tak tahunya pedang tahu-tahu dengan begini gampang telah disodorkan kepadanya, hawa dingin serta tiga warna pelangi itu membuat perasaan menjadi seram. Dinding guha bergetar dan ada suara seperti iblis mengaum di sela-sela guha. Tempat yang begitu terang membuat Salima jelas sekali melihat laki-laki ini, gagah dan tampan dengan bahu yang tegap, hanya sorot matanya itu yang terasa ganjil, kadang melebar dan kadarg menyipit.

Kini dengan penuh kegembiraan laki-laki ini menyerahkan Sam-kong-kiam kepadanya, seolah seorang bawahan memberikan benda berharga pada junjungannya, mau tak mau Salima melengak juga. Tapi ketika pedang sudah sampai di tangannya dan Bu-hiong mundur dengan mata berkejap-kejap maka Salima mendengar suaranya yang gembira serta pandangan yang lembut mesra,

“Nona, kau bagai harimau tumbuh sayap bila memakai pedang ini. Lihatlah, betapa gagah dan anggunnya dirimu memegang Sam-kong-kiam. Sungguh cantik dan luar biasa!”

Salima semburat merah. “Kau memuji?”

“Ah, kenyataannya, nona. Kau cantik dan gagah sekali. Kita berdua tentu dapat menguasai dunia dengan pedang ini. Ha-ha, Kim-mou-eng tentu dapat kita bunuh dan kita hidup bagai raja dan ratu!”

Salima tiba-tiba terkejut. Membayangkan dia harus membunuh suhengnya yang dicinta dengan pedang mengerikan ini mendadak membuat dia pucat, apalagi ketawa si Bu-hiong itu kedengaran tidak wajar. Bola mata bergerak-gerak seperti orang gila! Dan ketika laki-laki itu terkekeh dan memegang lengannya mendadak untuk kedua kali Salima melihat sorot ganjil yang membuatnya tersentak, cepat melepaskan diri.

“Kau mau apa?”

Bentakan itu menyadarkan Bu-hiong. Laki-laki itu surut setindak, menghela napas dan tiba-tiba menyeringai, minta maaf. Dan ketika Salima memandangnya tajam, maka dia berkata, “Nona, kau suka Sam-kong-kiam, bukan? Kau ingin memiliki pedang ini?”

Salima ragu.

“Kau boleh memilikinya, nona. Asal kau mau tinggal di sini dan menemaniku sebagai sahabat!”

Salima melotot. “Kau mau mengadakan jual beli dengan kebebasanku sebagai taruhannya? Memangnya aku di sini sebagai tawanan?”

“Ah, tidak. Jangan salah paham, nona. Aku tidak mengartikannya begitu. Aku rela memberikan pedang itu tapi kuminta belas kasihanmu pula agar menemaniku disini. Aku hidup tiada sanak saudara lagi, aku sebatangkara, tiada teman atau pun sababat yang kupunyai di dunia ini. Kalau kau suka dan kasihan padaku kuminta jadilah sahabat dan kau tinggallah di kini bersamaku!“

Salima tertegun. Laki-laki ini menangis, suaranya serak.dan kian lirih, tiba-tiba menutupi mukanya dan Salima menjadi terharu. Agaknya kedukaan besar melanda laki-laki ini, kesepian besar. Dia dapat membayangkan betapa parahnya seseorang yang lagi patah hati, sendiri dan tiada kawan menemani. Hal itu memang berat. Tapi Salima yang tentu saja tak mau tinggal di situ meskipun diberi segudang harta tiba-tiba mengembalikan Sam-kong-kiam pada pemiliknya.

“Bu-hiong, aku tak tertarik untuk tinggal di sini. Kalau mau menjadi sahabatku tentu saja aku tak keberatan, tapi tunjukkan sikap baikmu padaku. Aku ingin keluar, sekarang kita berpisah dan tunjukkan jalannya.”

Bu-hiong terbelalak, mengangkat mukanya. “Kau akan pergi?”

Salima berdetak. Dia menangkap suara pilu di situ, tiba-tiba berdesir dan cepat melengos. Pandangan si Bu-hiong ini menusuk perasaannya, dia tak tahan. Tapi Salima yang sudah memberikan pedang dan cepat menekan perasaannya sendiri lalu mengangguk dan tegas berkata, “Benar, aku mau pergi. Aku akan mencari suhengku itu dan bicara padanya. Kalau tinggal di sini mana bisa aku mencari suhengku? Aku ingin keluar. Bu-hiong Tunjukkan jalannya dan kau akan kuanggap sebagai sahabat kalau kau baik-baik kepadaku!”

Bu-hiong termangu. Kilatan aneh memancar di matanya yang bersinar, Salima mendengar keluhan pendek. Tapi ketika Sam-kong-kiam dimasukkan dan pandang mata Salima tampak menuntut tiba-tiba lelaki ini mengangguk. “Baiklah, aku akan mengantarmu. Tapi aku juga berkepentingan dengan suhengmu itu, bolehkah aku ikut?”

Salima terkejut. “Ikut? Tidak, aku ingin sendiri, Bu-hiong. Tak perlu kau ikut dan biarkan soalku ini kuselesaikan sendiri. Aku akan membawa suhengku padamu di sini kalau kau tidak ke mana-mana!”

“Baiklah, kalau begitu aku pun menurut. Kau berjanji menganggapku sebagai sahabat, bukan? Kau tidak akan memusuhiku?”

“Diantara kita tak ada persoalan pribadi, Bu-hiong, paling-paling masalah pencurian Sam-kong-kiam di mana suhengku menerima getahnya. Tapi karena suhengku tidak beres dan rupanya urusan kekasihmu itu harus kuketahui maka selama bicaramu benar aku akan menganggapmu sebagai sahabat. Aku berjanji!”

“Dan tak akan menunjukkan tempat ini pula pada orang lain?”

“Tentu!”

“Baiklah, aku percaya padamu, nona. Tapi perkenankan aku mencium telapak kakimu!” dan belum Salima sadar tiba-tiba Bu-hiong ini sudah menjatuhkan diri berlutut dan mencium telapak kakinya sungguh-sungguh, membuat Salima terkejut dan seketika menarik kakinya itu, dia merasa usapan mesra yang membuat tengkuk merinding. Hih! Dan ketika dia terbelalak dan Bu-hiong bangun berdiri maka Salima terheran-heran melihat laki-laki itu tersenyum. Senyum bahagia!

“Nona, terima kasih. Kau telah memberikan sesuatu yang hangat di hatiku!”

Salima mundur. “Kau aneh. Kenapa harus begitu, Bu-hiong? Kenapa kau merendahkan dirimu sendiri?”

“Biarlah, kau seperti orang yang kucinta itu, nona. Kalau aku dapat menyentuhmu sedikit berarti rasa cintaku terobati.”

“Sudahlah, antarkan aku keluar.” Salima merah mukanya. “Dan terima kasih atas bantuanmu menyelamatkan aku dari tangan Siauw-bin-kwi dan kawan-kawannya itu.”

'Baiklah, mari, nona. Kuantar kau.” dan Bu-hiong yang tersenyum memutar tubuh lalu mengajak Salima keluar dari tempat itu. Kembali Salima menemukan jalan berliku-liku serta gelap, beberapa kali terpaksa dia memegang ujung baju laki-laki ini, satu ketika bahkan Bu-hiong menangkap lengannya menuntun ke atas undak-undakan, Salima belum terbiasa di situ. Dan ketika mereka naik turun tak menentu dan membelok di beberapa tikungan akhirnya mulut guha atau mulut terowongan bawah tanah itu tampak dan Bu-hiong melompat mendahului, disuaul Salima kemudian.

“Nah. kita sampai, nona. Silahkan pergi dan selamat jalan.”

Salima termangu. “Aku dapat menerobos hutan bambu ini?” dia melihat banyaknya hutan bambu itu.

“Tentu, lakukan hitungan tujuh langkah ke kiri dan ke kanan, nona. Kemudian lurus ke depan dan kau akan tiba di luar.”

“Baiklah, terima kasih, Bu-hiong. Selamat tinggal” Salima berkelebat.

Bu-hiong mengangguk dan gadis ini sudah melakukan seperti apa yang dikatakan laki-laki itu. Menghitung langkah-langkah ganjil untuk keluar dari hutan bambu yang lebat. Dan ketika Salima tiba di luar dan benar saja hutan bambu itu menutup pandangannya ke dalam akhirnya gadis ini selamat dan menarik napas lega di luar. Kemudian begitu dia melompat dan mengerahkan ginkangnya akhirnya gadis ini berlari cepat menuju ke utara. Salima masih dipenuhi pikirannya dengan bayangan si laki-laki aneh.

Bu-hiong terasa ganjil dan kadang-kadang menimbulkan kengerian aneh. Agak luar biasa bahwa dia dapat keluar dari tempat tinggal si laki-laki misterius ini, bahkan telah mendapatkan Sam-kong-kiam yang dicari-cari banyak orang. Begitu mudah kalau dia mau. Dan membayangkan bahwa dia telah melepaskan pedang itu lagi kepada si Bu-hiong tiba-tiba Salima tersenyum kecut membayangkan orang lain akan mencak-mencak melihat perbuatannya.

Suhengnya misalnya, tentu akan terbelalak dan memakinya bodoh karena pedang begitu keramat yang telah ada di tangan diberikan lagi pada si pencuri. Bodoh. Tapi karena Salima tak berniat memiliki pedang dan juga hatinya sedang panas mengetahui suhengnya merebut kekasih orang tiba-tiba gadis ini tersenyum mengejek dan mendengus.

“Biarlah, pedang itu memang bukan aku punya. Kenapa harus kemaruk (serakah) dan menghendaki barang orang lain? Kalau Bu-hiong ingin memilikinya biarlah pedang itu dimilikinya. Ini ternyata gara-gara suheng!”

Demikianlah, dengan jalan pikiran begini Salima melepaskan penyesalannya. Dia telah terpengaruh omongan si aneh itu, bahwa “penyelewengan” suhengnya memang harus dibereskan. Tiba-tiba berkerut mengepal tinju karena tanpa sepengetahuannya suhengnya bertindak di luar garis. Lagi-lagi puteri Wang-taijin itu! Dan panas terhadap Cao Cun dan suhengnya sendiri segera Salima berlari cepat menuju ke utara untuk akhirnya membelok ke barat. Dan karena suhengnya belum dapat ditemukan dan Salima gemas terhadap Cao Cun maka gadis ini menuju Chi-cou dimana Cao Cun atau orang tuanya tinggal.

Begitulah, Salima ingin menghajar Cao Cun. Dia mempercepat larinya, bagai terbang saja dia tak sabar menuju tempat tinggal bupati Wang itu. Tapi ketika dalam perjalanan seseorang dirasa membayangi larinya segera Salima terkejut dan tertegun karena setiap dia menoleh bayangan itu selalu berhasil menyembunyikan diri. Salima semakin gemas dan mendongkol. Mencoba menghadang namun gagal. Sekilas dia melihat bahwa itulah Bu-hiong Salima melengak.

Tapi karena Bu-hiong tak mengganggunya dan laki-laki aneh itu justeru menjadi “pengawalnya” di belakang akhirnya Salima tertawa mengejek dan meneruskan larinya ke Chi cou. Beberapa hari kemudian tiba di sana dan langsung menuju rumah bupati Wang itu. Jangan-jangan di sanalah suhengnya bersembunyi, ngumpet di tempat kekasih baru. Dan karena hati dibakar cemburu dan Salima panas membayangkan suhengnya bermesraan dengan gadis itu maka Salima sudah melompat dan memasuki kamar Wang-taijin.

“Heh, mana puterimu, taijin?” begitu Salima menegur bupati ini. Bentakannya mengejutkan pembesar itu, Wang taijin berdiri dan langsung menoleh. Salima melihat pembesar itu duduk merenungi meja, ternyata bupati ini menangis. Salima terheran. Maka ketika dia melompat masuk dan pembesar itu tampak terkejut mendadak pembesar ini mengeluh dan menubruknya dengan roman muka girang.

“Ah, kau, lihiap? Kau baru datang? Mana suhengmu?” pembesar itu langsung nerocos bicara, tampak kegirangan dan menghapus air matanya sementara Salima dibuat cemberut karena yang pertama ditanya adalah suhengnya, kontan gadis ini mendorong dan mengibas pembesar itu, bupati Wang mencelat dan mengaduh menumbuk tembok. Baru bupati ini sadar bahwa Salima sedang marah! Maka ketika dia bangkit terhuyung dan kaget memandang gadis ini segera Wang-taijin bertanya dengan tubuh menggigil, “Lihiap, apa artinya ini? Kenapa kau memukulku dan marah-marah?”

Salima berdiri tegak: “Aku mencari puterimu, taijin. Ingin bicara dan menghajarnya!”

“Apa salahnya? Apa yang telah dilakukan putriku?”

“Kau tak perlu tanya. Seret dan hadapkan dia dulu kepadaku. Pertanyaanmu bisa di jawab nanti!”

Pembesar ini terbelalak. “Lihiap, tiada hujan tiada angin kau marah-marah di sini. Apa sesungguhnya yang terjadi dan kenapa aku tak boleh tahu? Bukankah Cao Cun puteriku?”

“Cerewet! Aku tak ingin banyak bicara, taijin. Aku datang bukan untuk membuang-buang waktu denganmu. Aku ingin menemui puterimu itu dan menghajarnya!”

“Hm!” pembesar ini tiba-tiba mengedikkan kepala. “Aku orang tuanya, lihiap. Kalau anakku bersalah tentu orang tua ikut bertanggung jawab. Aku tak tahu kenapa kau marah-marah begini tapi kemarahanmu tentu bersebab. Baiklah, Cao Cun tak ada di sini. Dia tidak kusembunyikan dan kau boleh mencarinya kalau aku bohong. Kalau urusannya bisa dilimpahkan kepadaku tentu dengan senang hati aku akan mewakili anakku dan kita bicarakan masalahnya.”

Salima mengerutkan kening. “Dia tak ada di sini? Kau tidak bohong?”

“Tak ada guna bagiku melepas kebohongan, lihiap. Kau orang pandai, tentu aku tak dapat menyelamatkan diri kalau kebohonganku ketahuan.”

“Baiklah, di mana dia? Di kota raja?”

“Tidak, Cao Cun telah berada di negeri asing. Aku... aku...” mendadak pembesar itu menangis. “Aku telah kehilangan puteriku, lihiap. Dan sebenarnya hanya kau atau suhengmu itulah yang dapat membantuku!”

Salima bergerak, tahu-tahu telah menangkap pundak pembesar ini. “Taijin, apa maksud kata-katamu itu? Apa maksudmu bahwa puterimu telah berada di negeri asing?”

“Ah, tak tahukah kau, lihiap? Tak tahukah nasib buruk yang menimpa kami sekeluarga?”

“Tidak, coba kau ceritakan!” dan Salima yang tertarik serta melihat kedukaan di wajah pembesar itu lalu melepaskan cengkeramannya hingga bupati ini terduduk, tersedu-sedu dan Salima terkejut, memang dia tidak tahu kejadian baru yang telah merbah nasib Cao Cun itu, bahwa gadis ini telah dibawa Raja Hu dan dikeluarkan dari Istana Dingin.

Dan Wang-taijin yang tak sanggup dan masih terpukul kedukaannya oleh peristiwa itu lalu dibiarkan melepaskan kesedihannya dengan tangis yang begitu mengharukan. Istrinya tiba-tiba muncul dan terkejut melihat Salima. Wang-hujin (nyonya Wang) berseru tertahan dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gadis itu, Salima kembali terkejut.

Dan ketika nyonya bupati itu juga tersedu-sedu dan mengharap pertolongannya akan Cao Cun maka Salima tertegun mendengar apa yang terjadi, dua suami isteri itu kini sambung-menyambung menceritakan perihal Cao Cun. Wang-taijin telah menghentikan tangisnya dan menghadapi Salima. Salima terbelalak. Dan ketika dua suami isieri itu menceritakan bahwa Cao Cun telah berada di negeri asing mendadak Salima menggerakkan jarinya mengangkat bangun tuan rumah.

“Ceritakan sekali lagi, kapan terjadinya itu dan kenapa aku tak mendengar berita ini!”

Wang-taijin mengulang ceritanya. Sang isteri juga ikut nimbrung, kini mereka mengharap Salima menyelesaikan duka nestapa ini. Cao Cun seolah putus hubungan sejak ke bangsa liar itu, mereka tak dapat menengok. Dan ketika cerita itu selesai diulang dan Salima tertegun maka bupati ini meratap,

“Jauh lebih baik puteriku di Istana Dingin daripada ditengah tengah bangsa liar itu, lihiap. Bukankah jelek-jelek dia masih di tengah-tengah bangsa sendiri kalau di kota raja? Meskipun kami juga tak dapat menengok tapi Cao Cun lebih baik di kota raja daripada di tengah bangsa liar itu. Anak kami jadi terasing, itu sama dengan pembuangan seumur hidup!”

Salima membelalakkan mata. “Dan kalian tak menolak?”

“Ah, menolak bagaimana, lihiap? Itu atas kehendak kaisar, kami tak mungkin melawan dan Cao Cun sendiri rupanya pasrah!”

....Halaman 63 dan 64 hilang....

“Benar, tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan, taijin. Apakah dia berkenalan dengan seseorang bernama Bu-hiong atau tidak?”

“Bu-hiong? Siapa itu?”

“Kau tak tahu?”

“Tidak, mungkin....”

“Baiklah, kalau begitu aku akan ke suku bangsa Siung-nu itu. Biarlah di sana kutanyakan persoalan ini dan selamat tinggal...!”