Pedang Tiga Dimensi Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“KENAPA aku yang dipilih? Kenapa tidak lainnya saja?” Cao Cun gemetar, semakin pucat.

“Entahlah, kesialan sedang menimpa dirimu, Cao Cun. Sekarang hanya dua jalan bagimu, menerima atau menolak!”

“Bagaimana menolaknya? Kaisar amat berkuasa. Wan Hoa. Aku pribadi tentu tak berdaya....”

“Kau dapat lari, kita berdua melarikan diri” Wan Hoa tiba-tiba menyambar temannya, lupa bahwa mereka berada di istana yang dijaga ketat, menyeret Cao Cun dan mengajak sahabatnya itu lari. Tapi ketika mereka kepergok pengawal dan di mana-mana mereka selalu menemui jalan buntu mendadak Wan Hoa sadar dan membanting kaki, menangis. “Ah, aku lupa. Kalau begitu kau bunuh diri saja!”

Cao Cun tiba-tiba masuk ke kamar, mengambil pisau dan siap menikam perut sendiri dengan pisau itu. Wan Hoa kaget dan menjerit tinggi menyusul. Tapi ketika pisau disambar cepat dan Cao Cun siap memburuh diri mendadak sesosok bayangan berkelebat menampar gadis ini.

“Jangan gila!” bayangan itu membentak, pisau dipukul dan Cao Cun pun terbanting roboh, mengeluh dan menangis serta melihat Sin-kee Lojin muncul di situ. Pembantu Mao-taijin itu marah dan melotot padanya. Dan ketika Cao Cun tersedu-sedu dan masih akan nekat tiba-tiba gadis ini terguling dan pingsan karena pukulan batin yang diterima terasa berat.

“Kau bertanggung jawab atas keselamatan temanmu. Kalau dia mati seluruh keluargamu akan menerima hukuman!”

Wan Hoa ganti menerima ancaman si Ayam Sakti (Sin-kee Lo-jin) itu, mendapat teguran dan bengong tapi akhirnya menangis menubruk temannya. Dan ketika Sin-kee Lojin meninggalkan tempat itu dan dayang Ma datang ke tempat itu maka Cao Cun yang segera disadarkan menerima banyak nasihat-nasihat, bujukan.

“Siocia, menuruti hati sendiri tak bakal membuahkan kebahagiaan. Kau sadarlah sebentar, kau pikir baik-baik maksud hatimu yang berbahaya ini. Bukankah kaisar akan murka dan marah kepadamu kalau kau bunuh diri? Sadarlah, Siocia, sadarlah....!” emban atau dayang itu membujuk. Dia adalah dayang yang selama ini melayani Wan Hoa dan Cao Cun, dayang ini pun sebenarnya mata-mata Mao-taijin.

Tapi Cao Cun yang tersedu-sedu membuka mata ternyata nekat. “Biarlah, aku ingin mati saja, Ma-yang (dayang Ma) Aku tak ingin hidup kalau di samping raja liar itu!”

“Ah, siocia tak ingat Kim-mou-eng? Siocia tak mengharap kekasihmu itu datang menolong?”

Cao Cun tertegun.

“Kim-taihiap tentu mendengar kesusahanmu, siocia. Bersabar dan tekunlah berharap bahwa kekasihmu akan datang. Masih ada waktu untuk menghindar dari terkaman raja itu. Hamba pun ngeri kalau membayangkan siocia harus berkumpul dengan raja liar itu!”

Cao Cun bangkit harapannya. “Ma-yang mau menolongku?”

“Tentu, menolong bagaimana, siocia? Mencari kekasihmu itu? Hamba sanggup, hamba akan menyuruh seorang keponakan hamba mencari Kim-mou-eng itu. Hamba akan membantu paduka sampai berhasil!”

Cao Cun berseri seri. “Ma-yang, beriikan saputangan ini pada keponakanmu. Cari kekasihku itu dan berikan saputangan ini pada Kim-mou-eng. Ini isyarat bagiku agar kekasihku segera datang.”

“Baik, siocia. Sekarang paduka bersabar dan tenangkan hati dulu di sini. Hamba akan melaksanakan perintah paduka.” dayang itu menerima saputangan Cao Cun, pura-pura bersedih dan bujukan pertamanya berhasil.

Untuk sementara Cao Cun tak akan bunuh diri, dia keluar dan Cao Cun berseri-seri memandangnya. Tak tahu bahwa dayang itu pun hanya bermuslihat saja. Ma-yang ini adalah orangnya Mao-taijin!

Dan ketika hari demi hari Cao Cun bertanya bagaimana hasilnya maka dengan gampang dan manis dayang ini menjawab, “Keponakan hamba belum pulang, siocia. Sabar dan sabarlah dulu. Hamba juga mati-matian membantu paduka!”

Cao Cun memang memiliki kecerdasan sedang, dia terlampau lugu dan percaya pada dayang ini, masih tak sadar bahwa saputangannya dulu sudah dibuang dayang ini ke tong sampah. Sama sekali tak ada keponakannya yang mencari Kim-mou-eng! Dan ketika hari-hari penyerahan kian dekat saja dan Cao Cun khawatir maka bujukan berikut adalah yang kedua yang dijalankan dayang ini.

“Ma-yang, kapan lagi aku harus menunggu? Sri baginda segera akan menyerahkan aku pada raja liar itu. Aku takut, aku cemas!”

“Ah, bagaimana lagi, siocia? Hamba sudah berusaha, keponakan hamba belum pulang dan hamba juga cemas memikirkan keponakan hamba itu.”

“Tapi sekarang tinggal lima hari lagi. Aku tak dapat bersabar dan menunggu serta terus menunggu. Kalau keponakanmu tak datang juga maka aku akan meneruskan niatku dulu. Bunuh diri.”

“Aduh, sabar, siocia... sabar.!” dayang itu pura-pura kaget. “Ingat keluarga paduka di Chi-cou!”

Cao Cun terkejut. “Kenapa keluargaku di Chi-cou?”

“Ah, masa paduka tak tahu, siocia?” dayang ini mulai menyerang dengan anak panahnya kedua. “Bukankah keluarga paduka dapat terancam oleh kemarahan kaisar? Paduka boleh bebas dengan bunuh diri, siocia. Tapi ayah dan saudara-saudara paduka di Chi-cou tentu mendapat celaka oleh kemurkaan kaisar. Sri baginda tentu malu menghadapi raja Hu, dan keluarga paduka akan menghadapi bencana kalau paduka bunuh diri!”

Cao Cun tertegun. Kali Ini pun dia termakan kata-kata dayang ini, Ma-yang memang pandai. Dan ketika Cao Cun terisak dan pucat membayangkan itu maka Ma-yang sudah menggandeng lengannya dengan lemah lembut.

“Siocia, bersabarlah. Betapapun waktu lima hari adalah waktu yang cukup panjang bagi kita. Kim taihiap tentu dalang, kalau tidak datang pun tak perlu paduka bunuh diri. Ini masalah panjang, paduka harus ingat budi keluarga di Chi cou....”

Cao Cun menangis, menutupi mukanya. “Kalau begitu aku harus menyerah pada nasib, Ma-yang?”

“Jangan terburu buru. Bukankah manusia wajib berusaha, siocia? Paduka tak perlu menyerah pada nasib selama kesempatan masih ada.”

“Tapi kesempatan ini kian mengecil....”

“Sekecil kecilnya kesempatan masih kesempatan juga, siocia. Tak perlu putus asa dan patah semangat.”

“Dan kalau kekasihku tak datang juga?”

“Hilangkan pikiran untuk bunuh diri itu. Datang atau tidak datang paduka jangan bunuh diri. Paduka harus hidup untuk keluarga di Chi-cou!”

Cao Cun mulai bingung. Pengaruh kata-kata dayang ini mulai termakan di hatinya, kian dipikir kian dianggap betul. Memang tak salah. Kalau dia bunuh diri dan kaisar marah tentu keluarganya di Chi-cou akan mendapat pembalasan. Kaisar adalah orang yang amat berkuasa. Ayahnya tak akan mampu berbuat apa-apa kalau kaisar marah. Dan karena dia mencintai keluarganya dan tentu saja tak mau keluarganya dibunuh kalau dia bunuh diri akhirnya Cao Cun terguncang dan berada di persimpangan jalan, antara ingin bunuh diri untuk membebaskan dirinya dari terkaman raja Hu dan harus hidup demi keselamatan keluarganya.

Pilihan yang sama-sama berat. Tapi karena Cao Cun sudah mulai terbiasa hidup menderita dan berkorban tiba-tiba saja gadis ini kian cenderung untuk menyelamatkan keluarganya dan hidup menerima kemalangan lagi, menjadi isteri raja liar itu kalau Kim-mou-eng tak menyelamatkannya. Dan karena hari penyerahan kian dekat dan Cao Cun kian putus asa tiba-tiba gadis ini menggigil ketika Ma-yang untuk ketiga kalinya melakukan bujukan yang paling menikam, ketika tinggal dua hari lagi dari hari terakhir.

“Siocia, rupanya kekasihmu itu orang yang buta. Dia buta telinga dan perasaannya. Paduka agaknya harus melihat kenyataan ini dan melupakan Kim-mou-eng!”

Cao Cun memejamkan mata. “Ma-yang, kenapa kau bilang begitu? Tahukah kau kata-kata mu ini menusuk perasaanku?”

“Maaf, hamba terpaksa mengatakan ini demi kesadaran paduka, siocia. Kim-mou-eng ternyata laki-laki yang tak dapat dipegang janjinya. Dia pengingkar, penipu cinta dan tak patut mendapat kasih paduka!”

“Ma-yang....!”

Dayang itu menjatuhkan diri berlutut, pura pura menangis mendengar bentakan Cao Cun. “Siocia, ampunkan hamba. Hamba terbawa kepiluan hamba melihat nasib paduka. Hamba tak tahan melihat paduka terus-terusan mengharap kedatangan kekasih paduka itu. Hamba memang lancang, siocia. Tapi kelancangan hamba dikarenakan sayang hamba pada paduka dan kebencian hamba kepada kekasih paduka itu. Kim-mou-eng telah berhasil ditemukan keponakan hamba, tapi... tapi....” dayang itu mengguguk, tak meneruskan kata-katanya dan Cao Cun meloncat bangun dan tempat duduknya, ada girang bercampur kaget mendengar berita itu. Berita yang penting. Tapi kenapa Ma-yang menangis dan berhenti setengah jalan.

Cao Cun sudah mengguncang dayang ini dengan penuh rasa tak sabar. “Ma-yang, ceritakan itu. Ceritakan pertemuan dengan Kim-mou-eng itu!”

“Paduka mau mendengarkan?”

“Tentu saja, bukankah ini yang kutunggu?”

“Tapi berita ini menyakitkan, siocia. Hamba tak sampai hati...” dayang itu menggigil pura-pura iba tapi Cao Cun mengeraskan sikapnya. Justeru kata-kata dan sikap dayang ini semakin menarik, dia penasaran.

Dan Cao Cun yang menggeleng mengangkat bangun dayang itu sudah berkata, “Tidak, apapun yang kau katakan aku sanggup menerimanya, Ma-yang. Sekarang ceritakan padaku apa isi pertemuan itu!”

“Intinya Kim-mou-eng tak acuh.” dayang itu berkata lirih, menunduk. “Kim taihiap pura-pura tak tahu keadaan. Siocia di sini dan keponakan hamba tak dihiraukan....”

“Hm, apa katanya? Kim-mou-eng tak berkata apa-apa?” Cao Cun pucat.

“Tidak, dia berkata sesuatu, siocia. Tapi kata-kata ini menyakitkan....”

“Kau katakanlah. aku sanggup menerima!”

Dayang itu menangis, mengusap air matanya. “Ampun, siocia, hamba tak sampai hati....”

“Tapi aku akan semakin sakit kalau tidak kaukatakan!” Cao Cun mulai gemetar, selengah membentak. “Kau katakan saja dan biar aku mendengarkan!”

Dayang itu akhirnya mengguguk. “Siocia, kekasihmu itu memang terlalu. Dia bilang.... dia bilang bahwa biarkan saja dirimu di Istana Dingin. Dia tak mencintaimu. dia mencintai sumoi nya dan janji dulu itu sekedar hanya untuk menghibur dirimu belaka. Bahwa dia....dia.... siocia!”

Dayang itu tiba-tiba menjerit, Cao Cun sudah roboh pingsan dan gadis itu tak dapat mendengar kata-katanya lagi. Cao Cun terpukul terlampau hebat dan gadis ini tak tahan mendengar kata-kata iiu. Kim-mou-eng ternyata hanya menghiburnya saja. Janji dulu itu ternyata palsu. Dan ketika gadis ini roboh dan Ma-yang terpekik menolong junjungannya maka Wan Hoa yang berada di situ dan ikut mendengarkan kata-kata ini sudah menangis dan menolong Cao Cun, menyadarkan sahabatnya itu tapi Cao Cun tak segera dapat disadarkan. Gadis ini tiga jam baru siuman. Dan ketika Ma-yang dan Wan Hoa sama menangis memeluk Cao Cun maka Cao Cun terserang demam dan tidak dapat turun dari pembaringannya.

“Aduh, bagaimana ini, siocia? Bagaimana ini....?”

Cao Cun seperti orang hilang ingatan. Dia mendelong saja memandang langit-langit ruangan, mukanya pucat, bibir kering dan mulut pun menyebut-nyebut nama Kim-mou-eng. Air mata bercucuran sementara isak tangisnya tak terdengar. Sungguh mengenaskan sekali gadis ini. Dan karena saat itu tinggal dua hari saja kaisar menyerahkan Cao Cun pada raja Hu maka Ma-yang segera memanggil tabib istana dan melapor kejadian ini pada Sam thaikam, diteruskan pada Mao-taijin tapi kebetulan saat itu pun Mao-taijin sakit.

Menteri ini terkena radang paru-paru hingga tak boleh banyak bicara, terpaksa Sam thaikam mengurus sendiri keadaan gadis itu. Kaisar diberi laporan dan kaisar terkejut, menyuruh tabib memberi obat paling mujarab untuk menyembuhkan Cao Cun. Dan karena semua orang bekerja keras dan tabib istana meramu obat yang paling istimewa maka tepat menjelang hari terakhir Cao Cun hilang demamnya.

Tapi gadis ini masih lemah. Pukulan batin yang diderita terlampau berat, mulai menangis dan sedu sedannya membuat Wan Hoa tak dapat menahan diri. Selama tiga puluh jam gadis itu pun menemani Cao Cun, kurang tidur dan kurang makan, muka pun pucat serta lemah tak bertenaga. Dua gadis ini berangkul-rangkulan. Dan ketika Cao Cun memandang kehidupannya dengan perasaan hampa dan kosong maka Ma-yang yang selama ini membujuk dan pura-pura bersedih atas kedukaannya melancarkan bujukannya lagi, yang terakhir.

“Siocia, nasib paduka rupanya memang sudah ditentukan Yang Maha Kuasa. Paduka tak dapat menolaknya lagi. Sore nanti sri baginda akan ke siai, sebaiknya paduka lupakan kenangan lama untuk memulai yang baru Tugas mulia sedang menanti paduka, harap renungkan ini dan bantu kami semua dari keganasan bangsa Siung-nu.”

“Apa maksudmu, Ma-yang?” kali ini Wan Hoa bertanya. Cao Cun tak acuh.

“Hamba maksudkan tugas negara, siocia,” jawab Ma-yang. “Bahwa teman paduka itu mendapat tugas negara yang amat penting dan mulia.”

“Tugas negara? Tugas apa?” Wan Hoa masih tak mengerti.

“Ah, persoalan dengan bangsa Siung-nu itu, siocia. Bukankah hubungan dengan bangsa ini harus dijaga? Paduka tahu bahwa bangsa Siung-nu memiliki bala tentara yang kuat, Cu-ciangkun telah dibantu dan bangsa Tar-tar dapat dihancurkan. Bangsa Siung-nu ini kuat, kalau raja Hu marah karena janji kaisar tak dapat dipenuhi maka mungkin saja bangsa Siung-nu akan berbalik haluan dan menyerang kita.”

“Benar,” Sam-thaikam tiba-tiba muncul. “Apa yang dikata Ma-yang memang tak salah, Wan Hoa. Kebijaksanaan kaisar memberikan Cao Cun pun karena dorongan itu. Kerajaan kita harus aman tenteram. Rakyat tak boleh gelisah akibat serangan bangsa-bangsa liar.” dan ketika thaikam itu tersenyum dan masuk menimpali pembicaraan maka thaikam itu langsung mendekati Cao Cun. “Bagaimana keadaanmu, Cao Cun? Sudah benar-benar sehat?”

Cao Cun dan Wan Hoa terkejut. Mereka merasa mendapat perhatian besar dengan kunjungan kepala Istana Dingin ini, jarang Sam-thaikam masuk ke kamar mereka kalau tidak penting betul. Ma-yang cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut. Dan Cao Cun yang mengangguk mendengar pertanyaan pembesar itu hanya menjawab lirih, “Ya, aku sehat-sehat saja.”

Kini pembesar itu duduk. “Cao Cun, dan kau, Wan Hoa. Dengarkan apa yang hendak kukatakan ini. Sore nanti sri baginda akan ke sini. Kalian harus mampu membawa diri. Aku hendak meneruskan apa yang telah dikata Ma-yang, bahwa kalian, terutama Cao Cun, mengemban tugas negara dengan adanya permintaan raja Hu itu. Cao Cun harus baik-baik menerima raja ini sebagai suaminya. Kau harus menjadi isteri raja itu demi keselamatan rakyat. Betapapun tak sukanya kau kepada raja itu tapi perasaan ini harus ditekan dan ditindas karena menyangkut masalah orang banyak. Rakyat tak boleh dikorbankan gara-gara penolakanmu. Sebab sekali raja itu marah dan menyerang kita tentu kita semua celaka. Peperangan menghancurkan begitu banyak kehidupan rakyat, karena itu kuharap Cao Cun sadar akan kewajibannya dan menjadi warga negara yang baik dengan jalan menerima raja itu sebagai suaminya dan sering membujuk kalau bangsa Siung-nu mau berbalik haluan!“

Cao Cun mengangguk, masih tak acuh.

“Kau mengerti, Cao Cun? Kau dapat menyadari arti pentingnya tugasmu mendampingi raja itu?”

“Ya, taijin, aku mengerti.”

“Kalau begitu bersiap-siaplah, sore nanti Sri baginda akan menjenguk keadaanmu!”

Sam-thaikam pergi. Dia telah memberi isyarat pada Ma-yang, dayang itu mengangguk dan dua pasang mata telah saling bicara dari jauh. Ma-yang mendapat tugas untuk menekankan lagi kata-kata pembesar itu. Dan ketika Sam-thaikam pergi dan Cao Cun serta Wan Hoa kembali saling peluk maka dayang ini membujuk panjang lebar dan menekankan selalu akan tugas Cao Cuo itu. Bahwa kini kewajiban baru menanti Cao Cun. Bahwa tugas mulia sedang diletakkan di atas pundak gadis itu.

Cao Cun harus baik-baik menerima raja Hu, tak boleh menolak karena sekail menolak tentu akibatnya bakal lebih jauh, raja bisa marah dan bangsa Siung-nu bisa menyerang kelar, berarti rakyat akan menjadi korban dan nasib ribuan orang di tangan gadis itu, tidak sekedar keluarga Cao Cun di Chi-cou saja, ayah ibu serta saudara-saudaranya itu. Dan ketika Cao Cun mulai terpengaruh karena alis yang menjelirit itu berkerui-kerut maka dayang ini menutup ceritanya dengan manis.

“Sekarang kenangan lama tak selayaknya lagi dikunyah-kunyah, siocia. Kekasih paduka telah meninggalkan paduka dan calon suami baru siap di ambang mata. Paduka harus ingat keselamatan rakyat, nasib ribuan bahkan laksaan rakyat ada di tangan paduka. Kalau paduka tak mementingkan diri sendiri tentu paduka akan selalu ingat itu dan bahkan mengucap syukur karena paduka mendapat tugas mulia ini. Jarang wanita Han mendapat kehormatan tugas yang seperti ini!”

Cao Cun mengangguk. “Baik, aku mengerti, Ma-yang. Sekarang tinggalkan kami dan biarkan aku berdua dengan Wan Hoa.”

Ma-yang gembira. Telah ia lihat perobahan pada sikap Cao Cun itu, gadis ini menarik napas dan rupanya sedikit atau banyak Cao Cun berusaha melupakan Kim-mou-eng. Usahanya berhasil. Dan karena tanda-tanda itu telah ia lihat dan Cao Cun lebih tenang daripada tadi akhirnya dayang ini pergi dan Cao Cun berdua dengan Wan Hoa.

“Kau mau meninggalkan aku, Cao Cun?”' Wan Hoa terisak.

“Hai, tugas negara menantiku, Wan Hoa. Agaknya kita memang harus berpisah tapi batin dan hati kita tetap satu. Aku mulai dapat menerima kata-kata Ma-yang dan Sam-taijin tadi!”

“Berani kau melupakan Kim-mou-eng.”

Cao Cun memejamkan mata. “Wan Hoa, sebaiknya jangan sebut-sebut lagi nama itu. Hatikti hancur. Dia... dia ternyata tak menepati janji...!”

“Maaf,” Wan Hoa buru-buru memeluk temannya. “Aku ikut kecewa atas semua yang menimpa dirimu, Cao Cun. Tapi aku berjanji untuk kelak memaki-maki dan mendamprat Pendekar Rambut Emas itu. Kuharap kehidupanmu lebih beruntung dengan raja Hu.”

“Sudahlah, aku... aku ingin kau temani sampai kaisar datang. Kau tahu apa yang kuinginkan di saat saat begini, bukan?”

Wan Hoa mengangguk. Dia tahu apa yang dikehendaki sahabatnya, Cao Cun ingin melepas duka dan kecewa dengan caranya sendiri. Maka ketika ia mengambil suling dan yang-khim maka kembali seperti hari-hari yang lalu dia bersama Cao Cun mengalunkan lagu-lagu yang disuka putri Wang-taijin ini. Lagu kerinduan dan penantian. Sama seperti dulu ketika Cao Cun mengharapkan kedatangan Kim-mou-eng, kini sedikit dirubah pada nada terakhir. Di situ Cao Cun memberikan irama menurun seperti halnya orang yang pasrah pada nasib. Wan Hoa mencucurkan air mata memainkan lagu ini. Dan ketika mereka terus-menerus meniup suling dan mainkan yang-khim sampai melupakan makan minum tiba-tiba tepat sore hari seperti yang dijanjikan mendadak kaisar muncul disitu!

“Aih... kau yang mainkan lagu ini, Cao Cun?”

Cao Cun dan Wan Hoa kaget. Di kamar mereka tiba-tiba muncul Sam-thaikam dan lain-lain, Kaisar didepan tertegun memandang Cao Cun. Seketika Cao Cun menghentikan permainannya dan Wan Hoa pun terkesiap, mereka sudah meletakkan suling dan yang-khim menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar. Baru pertama ini Cao Cun saling berhadapan langsung dengan kaisar. Baru pertama kali itu, sejak berbulan-bulan. Dan Cao Cun yang terkejut serta gembira tapi juga kecewa tiba-tiba menangis, mengguguk di hadapan kaisar!

“Eh, kalian semua keluar!” kaisar tertegun, tiba-tiba terpana dan terguncang oleh wajah Cao Cun yang mengharukan, cantik tapi mengharukan. Dan ketika semua orang menutup pintu kamar dan kaisar melangkah masuk, maka kaisar langsung menyentuh pundak gadis ini, membangunkannya. “Cao Cun, bangunlah. Lihat aku....!”

Kaisar gemetar, entah kenapa tiba-tiba jantungnya berdenyut tak keruan melihat gadis itu. Itulah gadis yang dia impikan. Gadis yang sayangnya dinyatakan sial bagi kerajaan. Dan ketika Cao Cun bangun berdiri dan disuruh menatap kaisar tiba-tiba kaisar mengeluh dan mendekap tubuh yang hangat itu. “Thian Yang Maha Agung, berapa lama kau di sini, Cao Cun? Gadis secantik ini dinyatakan kena kusta?”

Cao Cun terkejut, membelalakkan mata. “Sri baginda, apa... apa kata paduka? Kusta?”

“Ya, aku ditipu pembantu-pembantuku, Cao Cun. Katanya kau kena kusta dan tak boleh didekati. Tapi, hm... tubuh yang semulus ini, wajah yang secantik ini, mana mungkin dihinggapi penyakit menjijikkan itu? Aih, kau katakan padaku berapa lama kau dikurung di sini, Cao Cun. Berapa lama kau tinggal?”

Cao Cun tersedu-sedu, teringat segala penderitaannya. “Hampir setahun, sri baginda, sepuluh bulan lebih sedikit....”

“Dan selama ini kau tak ada niatan untuk menemuiku?”

Cao Cun menghentikan tangisnya, tiba-tiba mundur. “Sri baginda, siapa tak ada niatan itu? Hamba tak dapat karena dihalangi orang-orang paduka!”

Kaisar tersentak, ganti mundur. “Apa?” kening kaisar berkerut “Kau dihalangi orang-orangku? Apa maksudmu?”

“Ampun...” Wan Hoa kini menyela. Cao Cun kembali menangis dan tak dapat menjawab. “Mao-taijin yang dimaksud Cao Cun, sri baginda. Bahwa dia banyak menderita gara-gara perbuatan menteri itu. Pembantu paduka bersikap sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya!”

Kaisar menoleh pada gadis ini, terkejut. “Kau siapa?”

“Hamba Wan Hoa, sri baginda. Lie Wan Hoa. Cao Cun adalah sahabat hamba dan kami senasib sependeritaan!”

“Hm, coba ceritakan apa yang terjadi Kenapa Cao Cun ada di sini dan baru sekarang ku tahu tentang kalian.”

Wan Hoa lalu bercerita panjang lebar. Cao Cun sendiri tak sanggup karena setiap teringat penderitaannya tentu menangis tersedu-sedu, tak habis-habisnya air mata gadis itu mengalir. Dan ketika Wan Hoa mewakili gadis ini dan menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi lagi maka kaisar terbelalak dan terhenyak dengan muka merah padam. Betapa Mao-taijin coba memeras Cao Cun melalui ayahnya agar dapat menjumpai kaisar. Betapa ayah Cao Cun menolak dan hampir dibunuh menteri she Mao itu lewat pembantu-pembantunya.

Dan ketika Wan Hoa menyelesaikan ceritanya pada bagian di mana Mao-taijin melempar Cao Cun ke Istana Dingin dan kini ayah atau ibu gadis itu tak dapat menengok lagi karena kebengisan Mao-taijin maka gadis ini berapi-api mengepalkan tinju mengakhiri kata-katanya,

“Cao Cun tak dapat hidup tenang lagi, sri baginda. Dan ini semua gara-gara Mao-taijin itu. Kalau paduka tahu penderitaan Cao Cun sudah sepatutnya paduka hukum menteri paduka itu. Penggal saja kepalanya!”

Kaisar terbelalak marah. “Begitukah, Cao Cun?”

“Benar,” Cao Cun mengangguk, air matanya masih deras bercucuran. “Tapi hamba telah menerima nasib, sri baginda. Tak apa hamba dijadikan isteri raja liar itu demi rakyat banyak!”

“Dewa Yang Maha Agung...!” kaisar kembali berseru. “Kau telah jatuh tertimpa tangga, Cao Cun. Kalau saja aku tahu semuanya ini dari awal tentu tak akan begini jadinya. Aih, aku menyesal. Mao-taijin memang patut menerima hukuman. Aku akan menghukum dia, kuturunkan jabatannya dan tak boleh menjadi menteri lagi!”

“Dan tolong hukum pula Kim-mou-eng, sri baginda. Tangkap dan cabut saja lidahnya yang tak bertulang!” Wan Hoa berteriak.

“Apa, Kim-mou-eng?” kaisar malah tertegun. “Ada apa dengan Pendekar Rambut Emas itu? Kenapa namanya dibawa-bawa?”

Wan Hoa bangkit berdiri, mengedikkan kepala. “Dia telah menipu Cao Cun, sri baginda. Telah mempermainkan sahabat hamba ini dan tidak dapat dipercaya. Hamba minta pada paduka agar lidahnya yang tak bertanggung jawab itu di potong!”

“Wan Hoa....!”

Wan Hoa tak memperdulikan teriakan Cao Cun. “Biar, biar Cao Cun. Biar kukatakan sekalian sepak terjang Pendekar Rambut Emas itu. Kim-mou-eng memang tak dapat dipercaya, dia tak patut dijuluki pendekar dan biar sri baginda menangkap dan memotong lidahnya!” dan menghadapi kaisar dengan mata berapi-api serta muka seperti kepiting dibakar Wan Hoa menyambung lagi, penuh semangat, “Sri baginda, tolong balaskan sakit hati Cao Cun ini. Paduka nyatakan perang pada Pendekar Rambut Emas itu dan biar seumur hidupnya dia dikutuk dewa. Hamba tak terima nasib sahabat hamba karena atas perbuatannyalah Cao Cun menderita di sini dan dibiarkan merana!”

Kaisar terkejut sekali, kian melebarkan matanya. “Cao Cun, ada apa di antara dirimu dengan Kim-mou-eng?”

“Hamba.... hamba....“

“Dia kekasih Kim-mou-eng, sri baginda. Sebelum dibawa kemari oleh Mao-taijin yang jahat itu Cao Cun adalah kekasih Pendekar Rambut Emas!”

“Kwan Im Pouwsat” kaisar kini menyebut nama Dewi Kwan Im, setengah berteriak. “Kau dan Kim-mou eng telah menjalin cinta, Cao Cun? Kau dan Pendekar Rambut Emas itu....”

“Benar!” Wan Hoa lagi-lagi berseru. “Cao Cun dan Kim-mou-eng memang saling mencinta, sri baginda. Hamba menjadi saksi atas janji Pendekar Rambut Emas itu bahwa dia akan membawa Cao Cun dari sini. Tapi Kim-mou-eng penipu. Pendekar Rambut Emas itu membohongi sahabat hamba dan dia mengingkari janjinya hingga Cao Cun merana. Terkutuk pendekar sialan itu, semoga dewa memberinya hukuman yang paling berat!”

“Ah...” kaisar tertegun. Sekarang dia bengong oleh seruan berapi-api yang ditunjukkan Wan Hoa ini, mukanya merah dan pucat mendengar semua kata-kata itu. Baru sekarang dia tahu. Tapi ketika kaisar dapat menenangkan guncangan perasaannya dan Cao Can menutupi muka menangis tersedu-sedu maka kaisar menarik bangun gadis ini berkata menggigil,

“Cao Cun, maafkan aku. Kiranya pembantu-pembantuku telah membuat nasibmu demikian buruk. Sekarang aku sadar, gadis yang kuimpikan dulu ternyata berbudi luhur. Kau memiliki hati emas, sungguh aku kagum tapi juga menyesal. Aku telah menetapkan dirimu untuk menjadi isteri raja Hu itu. Tak mungkin aku menariknya kembali. Aku menyesal, Cao Cun. Sungguh aku menyesal dan kecewa sekali. Orang yang patah hati memang berat, dan aku ternyata telah menyia-nyiakan cintaku seperti ini. Maaf. Cao Cun. Sebagai seorang kaisar aku harus menepati kata-kataku sendiri. Aku terpaksa mengorbankan dirimu dan hatiku yang berdarah setelah mengetahui semuanya ini. Aku bodoh, aku tolol. Semoga dewa mengampuni keteledoranku dan kau mendapat kebahagiaan, Maaf!”

Kaisar memeluk erat-erat tubuh gadis itu, menggigil dan memejamkan mata karena sekarang hatinya pun berdarah. Cintanya terhadap bayangan gadis yang dulu diimpikannya itu kambuh, melihat Cao Cun mendadak api asmaranya bergemuruh, apalagi setelah dia mendengar semua kisah gadis itu. Cintanya membakar dan ingin saat itu juga kaisar membawa gadis ini ke pembaringan, bermesraan dan memberinya cinta yang berkobar-kobar.

Tapi teringat bahwa dia telah menyerahkan gadis itu pada raja suku bangsa Siung-nu tiba-tiba kaisar menyesal sekali dan menitikkan dua air mata yang segera dihapusnya. Sedu-sedan Cao Cun begitu mengharukan. Naik keharuan besar di hati kaisar ini. Maka ketika dia memeluk semakin rapat dan Cao Cun mengeluh di dekapan kaisar ini mendadak kaisar menundukkan mukanya dan mencium gadis itu.

“Cao Cun, maafkan aku!”

Cao Cun tersentak. Kaisar menciumnya, gadis ini terbelalak dan menggelinjang. Tapi ketika kaisar melepaskan dirinya dan kaisar membalik memutar tubuh tiba-tiba Cao Cun roboh menjerit memanggil kaisar itu. “Sri baginda....!”

Kaisar menoleh sejenak. Di pintu kamar yang kini dipenuhi orang itu kaisar memberikan senyumnya yang aneh. Senyum mesra tapi sekaligus sakit. Kaisar harus menggigit bibirnya untuk menahan luka yang ada. Hatinya serasa dirobek-robek. Pilihannya dulu betul, tapi dia teledor. Sekuntum bunga itu malah dia berikan pada orang lain! Dan ketika Cao Cun mengguguk dan kaisar melambaikan tangan akhirnya kaisar membalik lagi dan meneruskan langkah meninggalkan tempat yang menusuk perasaan itu.

“Kita kembali, biarkan Cao Cun bersama sahabatnya!”

Semua orang mengangguk. Sam-taijin pucat melihat pandang mata kaisar yang marah kepadanya. Pembesar ini menggigil dan tahu apa yang terjadi. Dia ketemu celaka. Maka ketika kaisar terhuyung meninggalkan tempat itu dan semua orang mengikuti kaisar maka di dalam kamar Cao Cun terguling pingsan ditolong Wan Hoa. Susah payah gadis ini menyadarkan temannya. Tapi ketika Cao Cun siuman dan Wan Hoa memeluknya muka dua sahabat ini bertangis tangisan.

“Cao Cun, ingatlah. Semuanya sudah terjadi, aku minta maaf kalau semua keteranganku terhadap sri baginda tadi menyakiti hatimu. Kau boleh bunuh aku, Cao Cun. Kau boleh ambil pisau itu dan tikamlah aku!”

“Tidak.. tidak..!” Cao Cun menangis. “Kau tak bersalah, Wan Hoa. Kau tak bersalah. Semuanya ini memang rupanya sudah nasib. Biarlah aku tabah menerimanya dan kau temani aku berdoa.”

Cao Cun mengambil perangkat sembahyang, menggigil menyalakan hio (dupa) dan segera berkemak-kemik di meja altar. Air mata masih bercucuran sementara Wan Hoa pun tak dapat menahan runtuhnya hujan air mata itu. Di samping sahabatnya dia meminta agar dewa atau dewi keberuntungan menyertai Cao Cun. Biarlah puteri Wang-taijin itu menemui kebahagiaannya dan tidak terus menerus menderita.

Dan ketika mereka berdua saling berkemak-kemik memohon pertolongan Yang Maha Kuasa akhirnya sejam kemudian Cao Cun memperoleh ketenangannya kembali, menghapus air matanya meskipun wajah yang pucat itu tak dapat menyembunyikan adanya duka. Betapapun Cao Cun harus menutup rapat-rapat luka yang ada di hatinya itu.

Dan ketika menjelang malam mereka menerima panggilan bahwa mereka harus menemui kaisar maka menindas semua kedukaannya Cao Cun dibawa ke istana, sadar bahwa inilah saat perjumpaannya dengan raja Hu. Cao Cun disuruh senyum sementara hati terobek robek berdarah. Hampir gagal tapi berhasil juga menuruti permintaan itu. Memang penampilannya di hadapan raja yang akan menjadi suaminya itu tak boleh dia bermurung. Kaisar akan semakin kecewa padanya. Dan karena itu adalah tugasnya dan Cao Cun menyadari ini maka seperti boneka bernyawa Cao Cun menghadap kaisar dan menemui calon suaminya itu.

Dan raja Hu kagum. Kecantikan Cao Cun memang kecantikan sejati. Meskipun dilanda duka tetap saja kecantikan itu menonjol. Bekas air mata di pipi malah membuat pipi gadis ini kemerah-merahan seperti tomat masak. Cao Cun mula-mula tergetar dan ngeri melirik calon suaminya itu. Seorang raja tinggi besar yang gagah namun menyeramkan. Brewoknya menutupi hampir seluruh wajah tapi raja Hu ternyata seorang laki-laki lembut.

Raja ini menyambut Cao Cun dengan halus dan gembira. Memuji terang terangan kecantikan gadis itu di depan kaisar, kagum akan rambutnya yang panjang dan lembut dibelakang punggung. Perias istana memang telah mendandani gadis ini secantik mungkin, termasuk kalung permata yang melilit di leher Cao Cun. Kedukaan Cao Cun memang tertutup habis oleh hiasan dan kecantikannya yang menonjol. Dan ketika raja Hu menyatakan cocok dan dua panglimanya juga kagum oleh pemberian kaisar yang sempurna ini maka Nu Kiat, panglima nomor dua dari raja Hu itu berseru,

“Ah, luar biasa, sri baginda. Calon permaisuri paduka ini tentu akan melahirkan putera yang gagah atau puteri yang cantik bagi bangsa Siung-nu!”

“Ha-ha, tepat, Nu Kiat. Dan kita harus berterimakasih pada sri baginda kaisar!” raja Hu gembira, girang dan tiba-tiba jatuh cinta pada Cao Cun. Kepribadian gadis ini benar-benar memenuhi seleranya.

Kaisar tersenyum dan tanpa di ketahui siapa pun dia meringis. Gadis begitu sempurna harus diberikan pada orang lain. Padahal dia memiliki kesempatan besar untuk menikmatinya sendiri! Dan ketika malam itu kaisar mengadakan perjamuan dan perkenalan pertama ini membuat raja Hu tergila-gila maka keesokan harinya, dengan tak sabar dan amat buru-buru raja Hu mohon pamit.

Istana mengiringkan kepergian raja ini dengan pengantaran istimewa. Kaisar sendiri melepas tamunya sampai di gerbang kota raja, bukan di pintu istana. Bukan main. Dan ketika kereta kerajaan melepas raja itu bersama bala tentaranya maka di dalam kereta Cao Cun menangis tersedu-sedu dan sempat membuat kegemparan ketika Wan Hoa, sahabatnya menjerit dan menyeruak di antara rombongan kaisar untuk menghambur ke arah Cao Cun.

“Cao Cun, ingatlah selalu akan aku!”

Adegan ini mengiris perasaan semua orang. Cao Cun tersedu-sedu keluar dari keretanya, turun ditubruk sahabatnya ini. Bagi yang sudah mengetahui hubungan dua sahabat ini memang adegan itu menusuk perasaan. Ma-yang sendiri yang sering menipu Cao Cun sampat terisak melihat perpisahan dua sahabat itu. Nasib rupanya kejam. Tapi ketika mereka diperingatkan pengawal dan Cao Cun melepas sahabatnya maka Wan Hoa roboh pingsan ketika Cao Cun naik di atas keretanya dan menutup tirai kereta yang segera berangkat.

Begitulah, dua sahabat sejati ini rupanya harus tunduk pada hukum alam. Ada pertemuan harus ada pula perpisahan. Salah satu di antaranya tak mungkin kekal. Dan ketika kereta berang kat dan Wan Hoa di luar sana pingsan ditolong pengawal maka Cao Cun sendiri di dalam kereta juga roboh dan pingsan tak kuat menahan kesedihannya.

Nasib mempermainkan manusia seenak sendiri. Kadang diberinya kegembiraan tapi kadang di sodorkannya pula kedukaan Dan melihat naga naganya, manusia mendapat kedukaan lebih besar ketimbang kesukaan. Tidak adil? Ah, entahlah. Mungkin pandangan manusia saja yang keliru tentang ini.

Cao Cun sendiri sudah berada di tengah-tengah bangsa Siung-nu. Malam pertama raja Hu hendak menggaulinya, ditolak. Reja kecewa namun dapat mengerti kesedihan yang masih mengganggu gadis itu. Mencoba lagi tapi gagal lagi pada malam-malam berikut. Raja mengerutkan kening tapi tidak marah. Rupanya kecintaan raja ini pada Cao Cun memang besar. Dia tak ingin memiliki Cao Cun kalau gadis itu sendiri belum siap, belum hilang dukanya.

Dan ketika dengan lembut namun penuh kasih, raja ini mengharap Cao Cun melepaskan dukunya maka raja bertanya apa kira-kira yang bisa diperbuat agar gadis itu dapat melayaninya baik-baik, apakah Wan Hoa perlu dibawa ke situ untuk menemaninya. Cao Cun terkejut, membelalakkan mata. Memang antara lain hal inilah yang menghimpit perasaannya. Perpisahan dengan Wan Hoa ternyata tak kalah berat dibanding kehancuran cintanya dengan Kim-mou-eng. Maka ketika raja meminta apakah Wan Hoa perlu dibawa ke situ tiba-tiba saja Cao Cun mengangguk dan mengharap suaminya dapat membawa gadis itu ke suku bangsa Siung-nu.

“Gampang, kalau begini saja bukankah dari dulu-dulu kau dapat memintanya, Cao Cun? Aku akan minta pada sri baginda kaisar agar temanmu itu dibawa sekalian. Tentu kaisar tak akan menolak!”

Dan memang benar. Kaisar mengabulkan permintaan raja Hu ini, terlampau besar jasa raja itu dalam pandangan kaisar. Apalagi kaisar tak mencinta Wan Hoa, melainkan Cao Cun. Dan karena kesedihan Cao Cun merupakan kesedihan kaisar pula maka permintaan Cao Cun segera di kabulkan dan Wan Hoa berangkat.

Hampir Wan Hoa tak percaya. Tadinya, dia menganggap bahwa nasibnya sudah putus di Istana Dingin. Dia pribadi memang tak begitu menghiraukan diri sendiri asal Cao Cun selamat. Begitu besarnya cinta kasih dan perhatian gadis ini. Maka ketika Cao Cun membalasnya dan minta dia dikeluarkan dari Istana Dingin untuk menemani gadis itu maka Wao Hoa bersorak begitu bahagianya. Perjumpaan dua sahabat sejati ini kembali terjadi. Cao Cun dan Wan Hoa saling tubruk, masing-masing terisak namun isak mereka adalah isak bahagia. Tangis bahagia. Dan ketika seminggu Cao Cun bercakap-cakap melulu dengan sahabatnya ini dan raja Hu sebagai suaminya hampir tak dilayani maka suatu malam Wan Hoa menegur temannya itu.

“Cao Cun, kau telah menjadi isteri orang. Tak sepatutnya selama tujuh hari tujuh malam begini kau selalu berkumpul denganku dan tidak mendekati suamimu itu.”

“Ah, aku tak bisa. Wan Hoa Aku ngeri dan masih takut kepada suamiku itu.”

“Tapi dia raja yang baik, dia laki-laki yang baik hingga selama ini tak pernah menegurmu. Masa untuk itu kau membalasnya begini?”

“Jadi bagaimana?”

“Kau harus menemaninya, kau harus tidur bersamanya!”

“Hm...!” muka Cao Cun tiba-tiba merah. “Aku malu. Wan Hoa. Aku ngeri!”

“Eh, bukankah malam pertama itu...?”

“Tidak!” Cao Cun memotong. “Aku sama sekali belum dijamahnya. Wan Hoa. Aku tak mau disentuh karena terbawa kesedihanku itu.”

“Aah, kau....?”

“Ya, aku masih suci. Wan Hoa. Aku masih perawan karena selama ini aku memang menghindari.”

“Aduh, tak boleh begitu, Cao Cun. Kau melanggar kewajibanmu. Kau seorang isteri, suamimu resmi menikahimu masa begini caramu? Tidak, tak boleh begitu, Cao Cun. Malam nanti kau harus mendekati suamimu itu dan minta maaf!”

“Aku ngeri wajahnya. Brewoknya itu menyeramkan!”

“Kau bisa minta dia mencukur, itu mudah!”

“Ah. tapi....”

“Tidak! Kau tak boleh membantah, Cao Cun. Ini tugas kewajibanmu. Ingat tugasmu menyelamatkan kaisar, menyelamatkan rakyat banyak. Bagaimana kalau raja Hu kecewa dan mulai membuat onar mengacau bangsa Han? Bangsa Tar-tar sudah cukup membuat pusing, Cao Cun. Justeru ini kesempatan baik bagimu untuk menundukkan raja itu luar dalam!” Wan Hoa memotong, pucat memperingatkan temannya itu karena sungguh tak dikira kalau Cao Cun ini belum dijamah raja Hu. Cao Cun masih perawan dan belum melaksanakan kewajibannya sebagai isteri.

Dan ketika Cao Cun tertegun dan merasa bersalah maka Wan Hoa menasihati lagi, “Cao Cun, tak sembarang wanita dapat menjadi pahlawan. Kau telah mengorbankan segala-galanya untuk bangsa dan dirimu pribadi. Semuanya kepalang basah, sebaiknya malam nanti kau dekati suamimu itu dan ikat dia dengan sumpah agar tetap setia kepada kerajaan dan kaisar!”

Cao Cun mengangguk, menghela napas. “Baiklah, aku ikut nasihatmu, Wan Hoa. Kalau bukan kau yang bicara belum tentu aku mau. Memang benar, semuanya kepalang basah. Nanti aku dekati suamiku itu dan mengikatnya dengan sumpah!”

“Bagus, dan sekarang kau dapat mulai, Cao Cun. Sebentar lagi raja Hu kemari dan kau tak boleh menolak ajakannya!”

Benar saja. Menjelang tengah malam raja itu datang, seperti biasa mendekati perkemahan Wan Hoa dan masuk dengan senyum dikulum. Sudah seminggu ini Wan Hoa melihat raja itu tak pernah menunjukkan muka masam. Satu hal yang mengherankan dia tapi sekaligus menggirangkan hati karena cinta raja itu terhadap Cao Cun ternyata besar. Demikian sabar dan amat kalem. Dan ketika basa-basi percakapan di dalam kamar selesai dan seperti kemarin raja ini mengajak Cao Cun ke kemahnya pribadi maka tidak seperti kemarin Cao Cun kali ini menurut, berkat dorongan Wan Hoa.

“Kau pergilah, sri baginda tentu ingin bercakap-cakap berdua denganmu, Cao Cun. Laksanakan tugasmu dan besok kita ketemu lagi.”

Cao Cun tersipu merah. Raja Hu menggandeng tangannya, lembut dan mesra sementara mata mengerling penuh terima kasih kepada Wan Hoa. Itulah jasa gadis ini. Dan ketika Wao Hoa tersenyum dan Cao Cun diajak ke kemah lain maka malam itu, hari kesekian dari hari-hari yang seharusnya menjadi kewajiban gadis ini Cao Cun bersikap manis pada raja tinggi besar itu. Hal yang menggirangkan raja ini dan diam-diam kembali rasa terima kasih yang besar tercurah pada Wan Hoa. Cao Cun membalas kemesraannya pula. Namun ketika raja Hu mencium dan hendak menikmati isterinya, Cao Cun sempat menunda dengan sebuah tuntutan.

“Sri baginda, cintakah paduka kepada hamba?”

“Ah, tentu, Cao Cun. Masa aku main-main? Apakah selama ini sikapku kepadamu tidak menunjukkan tanda-tanda itu?”

“Hamba belum yakin, hamba ingin menuntut sebuah janji dari paduka!”

“Janji apa?” raja ini melengak. “Kurangkah semua harta kesenangan di tempat ini?”

“Tidak, bukan harta, sri baginda. Melainkan janji paduka untuk tetap setia pada junjungan paduka di kota raja, sri baginda kaisar!”

“Ha-ha, kau aneh, Cao Cun!” raja Hu tertawa bergelak. “Bukankah selama ini aku tetap setia kepada junjunganmu itu? Apakah bangsa Siung-nu mau memberontak? Lihat aku menyatakan janjiku dengan sumpah!”

Raja itu mengambil sebatang anak panah di dinding, memperlihatkannya pada Cao Cun dan tiba-tiba mematahkannya menjadi dua. Dan ketika anak panah itu mengeluarkan suara “krek” dan patah menjadi dua di tangan raja ini maka Cao Cun tersenyum dan malu-malu mencium brewok di pipi raja tinggi besar itu.

“Sri baginda, hamba mengucapkan terima kasih!”

“Ah, aku yang berterima kasih, Cao Cun. Kau segala-galanya bagiku tapi ciumanmu keliru, harusnya di sini. Ha-ha....!”

Dan sang raja yang segera “membetulkan” ciuman Cao Cun dengan mulut ke mulut akhirnya membuat Cao Cun menggeliat dan memejamkan matanya Ada perasaan gemetar di hatinya, perasaan takut-takut. Betapa pun baru kali itu dia melayani pria dalam arti sesungguhnya. Raja Hu tekah menggulingkannya di pembaringan yang bersepreikan kulit harimau, malam itu Cao Cun pasrah dan merintih.

Dan ketika raja Hu membelai dan menyatakan rayuannya dengan lembut maka “operasi” raja tinggi besar ini berhasil dan Cao Cun menyerahkan segala-galanya pada suami yang dikenal sebagai raja suku bangsa liar itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya mengenal apa yang dinamakan “tugas” isteri. Semula membiarkan saja sang suami yang aktip. Tapi ketika beberapa hari kemudian Cao Cun mulai belajar dan tahu apa yang harus diperbuat, maka hari-hari berikut raja Hu gembira bukan main melihat isterinya membalas tak kalah mesra perbuatan-perbuatan mereka di atas ranjang.

“Ha-ha, kau pandai, Cao Cun. Kau cerdas dan pintar!”

Cao Cun tersenyum saja menghadapi pujian suami. Dia memang mulai dapat melayani suaminya ini. Kelembutan dan cinta sang suami yang amat sabar dan sayang kepadanya membuat dia hilang takut, sedikit tetapi pasti dia mulai melihat bahwa suaminya ini meskipun tampak menyeramkan penampilan fisiknya tapi raja Hu adalah seorang laki-laki yang penuh perhatian kepadanya. Mesra dan cintanya besar.

Maka ketika hari demi hari dilewatkan Cao Cun sementara Wan Hoa juga menemaninya di situ maka lama-kelamaan bayangan Kim-mou-eng lenyap. Cao Cun mulai merasakan kebahagiaannya tinggal ditengah-tengah suku bangsa Siung-nu. Dan karena bangsa ini juga menghormatinya dan memberikan sayang yang besar sebagaimana raja Hu maka setahun kemudian Cao Cun merasa betah dan seolah tinggal di rumah sendiri. Luar biasa!

Itulah berkat Wan Hoa pula. Gadis yang satu ini tak pernah habis-habisnya menasihati Caa Cun, membujuk dan menghibur serta segala apa yang kira-kira dapat menghilangkan kedukaan sahabatnya itu. Cao Cun benar-benar merasa berhutang budi besar. Cinta raja Hu dan cinta Wan Hoa memberinya kebahagiaan lahir batin. Dan ketika setahun Cao Cun menikah dengan suaminya yang menyeramkan itu maka lahirlah kemudian seorang putera yang diberi nama Ituci Yashi.

Cao Cun semakin bahagia. Lahirnya seorang putera ini membuat kesibukan baru baginya, kesibukan seorang ibu muda. Mulailah dia mengenal hubungan batin seorang ibu dengan anaknya. Mengasuh dan menyusui anaknya itu sebagaimana ibu-ibu lain di dunia. Cao Cun benar-benar melupakan kenangan lamanya.

Tapi ketika beberapa tahun kemudian Cao Cun menginjak usianya yang ke 22 mendadak sang suami yang mulai di cinta dan disayanginya itu meninggal dunia. Raja Hu terserang suatu penyakit berat. Dan karena waktu menikahi Cao Cun raja itu juga sudah setengah umur dan daya tahan orang yang mulai dimakan usia memang tidak sekuat anak muda maka raja wafat diserang penyakitnya ini.

Seluruh bangsa Siung-nu berkabung. Cao Cun menangis. Tapi karena raja Hu meninggalkan seorang anak yang sudah dewasa dari isteri yang lain maka Cimochu, anak raja yang wafat itu mengambil alih kekuasaan ayahnya. Hal ini memang sudah menjadi adat-istiadat bangsa Siung-nu. Segala apa yang dimiliki almarhum ayahnya menjadi milik raja yang baru ini, termasuk harem (selir-selir) mendiang raja Hu, isteri raja Hu yang sah maupun yang setengah sah.

Dan karena ini sudah merupakan peraturan bangsa itu maka Cao Cun, yang menjadi isteri raja yang lama otomatis jatuh pula ke tangan raja yang baru itu, Cimocbu. Dan karena sebelumnya Cimochu juga tergila-gila pada Cao Cun yang cantik serta menggairahkan maka hal ini membuat kecemasan besar pada Cao Cun.

Setelah beberapa tahun hidup bahagia tiba-tiba gangguan baru muncul. Cao Cun timbul kesedihannya. Tentu saja dia tak suka. Mana mungkin bagi seorang wanita Han yang terhormat habis dinikahi bapaknya lalu dinikah anaknya? Hal begitu tak biasa bagi Cao Cun. Jangankan menikah dengan anaknya, meskipun anak tiri. Menikah untuk kedua kali dengan orang lain saja pantang bagi Cao Cun. Hal itu amat memalukan bagi wanita Han. Tapi karena lain lubuk lain ikannya dan lain adat lain pula hukumnya maka Cao Cun saban hari mulai menangis. Haruskah dia memasrahkan diri pada Cimochu? Haruskah dia menjadi isteri dari bekas anak mendiang suaminya?

Cao Cun gelisah. Persoalan ini cukup menekan. Luka lama tiba-tiba kambuh. Dia teringat Kim-mou-eng, entah kenapa tiba-tiba mengharap pertolongannya, mengharap pendekar itu datang dan menyelamatkannya dari hal yang dianggap aib ini. Menikah dengan anak mendiang suami adalah amat memalukan. Terlalu memalukan baginya. Dan karena Wan Hoa yang selama ini dekat dengannya ternyata juga tak dapat membantu banyak akhirnya seminggu kemudian Cao Cun jatuh sakit.

Kemalangan rupanya mau menimpa wanita ini lagi. Baru sedikit enak tahu-tahu sudah datang yang tidak enak. Dunia rasanya kiamat. Dan karena Cao Cun cemas dan gelisah memikirkan itu maka sebulan kemudian wanita ini menjadi kurus dan lemah.

Haruskah terjadi yang tidak menyenangkan itu? Haruskah dia menerima nasib untuk kedua kali? Ah, kisah wanita ini masih terlalu panjang. Daripada kita ikut prihatin melihat nasib wanita ini biarlah kita tutup dulu untuk melihat yang lain. Mari...!

* * * * * * * *

Salima baru dua hari memasuki tembok besar ketika dia mendengar serbuan bangsa Tar-tar itu. Dia berhenti di sebuah kedai, memesan arak. Dan ketika pembicaraan ramai dipergunjingkan para tamu perihal serbuan itu gadis ini diam diam tersenyum.

“Biarlah” pikirnya. “Biar suku bangsanya itu menyerang kota raja dan menghajar istana.”

Dia juga mulai tak suka pada kaisar, setelah suhengnya dituduh mencuri dan kini belum kembali. Ada perasaan cemas di hatinya, ada perasaan marah. Tapi ketika dia enak-enak menikmati araknya dan duduk menyendiri mendadak tiga laki-laki tinggi besar mendatanginya dan menghardik,

“Hei, ini juga gadis Tar-tar. Tangkap dan bekuk dia!”

Salima menoleh. Dia memang asing di situ, sebenarnya tahu bahwa diam-diam dia diperhatikan orang banyak. Topi bulunya dan kulitnya yang kehitaman memang membuat dia lain dari bangsa Han, Salima tak perduli. Tapi ketika seseorang mulai mengganggu dan tamu di kedai itu juga serentak menujukan pandangan kepadanya tiba-tiba Salima mengerutkan kening dan bibir yang tipis basah itu mulai ditarik.

“Hei, kau wanita Tar-tar. Tentu kau mata-mata dan datang menyusup untuk melihat keadaan!”

Salima tenang. Tiga laki-laki itu sudah mendekatinya dengan pandangan mengancam, diam-diam tersenyum mengejek karena mata tiga laki-laki itu menunjukkan kekurangajaran, mereka memang mau membuat onar. Tentu bermaksud jelek melihat wanita cantik. Biasa begitu kaum lelaki. Dan ketika mereka sudah dekat dan seorang di antaranya bahkan menekan pinggir meja membuat arak miring di tempatnya tiba-tiba laki-laki yang ini sudah tertawa menyeringai menyambar bahunya.

“Nona, kau akan kuserahkan pada Thai-taijin (pembesar Thai). Kau wanita asing di sini dan jelas mencurigakan. Kau ikutilah kami untuk diperiksa!”

Salima melebarkan senyum. Dia tak mengelak, bahkan senyum mengejek semakin mengembang di bibirnya, bahu yang ditangkap dibiarkan begitu saja tapi cepat dia mengerahkan Tiat-lui-kang di bahunya itu. Hawa panas dengan cepat menjalar di pundak. Dan ketika laki-laki ini memencet dan mencengkeram pundaknya tiba-tiba lelaki ini menjerit dan berkaok mundur dengan jari-jari melepuh.

“Aduh....!”

Dua temannya terkejut. Semua orang tiba-tiba melihat lelaki ini berteriak seolah orang disiram air panas. Mereka heran melihat jari si tinggi besar itn melepuh dan bengkak besar. Mereka memang tidak mengenal Salima. Dan ketika lelaki itu mencak-mencak dan memaki kalang kabut tiba-tiba dia menubruk dan membentak dengan satu tangannya yang lain.

“Kau siluman, kau memasang besi panas di pundakmu!”

Salima lagi-lagi diam. Dia malah tertawa geli melihat tingkah lawannya itu, kembali membiarkan lawan mencengkeram bahunya dengan tangan yang satu. Tapi begitu tangan menyentuh pundaknya tiba-tiba lelaki ini pun berteriak dan mengaduh menjerit-jerit.

“Hu aduh, tanganku... tanganku...!”

Semua orang bangkit berdiri. Mereka melihat tangan yang ini pun bengkak, bahkan sekarang berwarna merah seolah dibakar. Orang-orang mulai tidak mengerti namun gentar memandang Salima. Tapi ketika Salima meneruskan minumnya dan pura-pura tidak tahu sekonyong konyong dua lelaki lain yang menjadi teman lelaki pertama bergerak mencabut golok menyerang Salima.

“Iblis, kau rupanya wanita siluman...”

“wut-wutt!” dua golok itu membacok, Salima mulai mengangkat kening karena orang dinilai mulai kelewatan. Dia ingin memberi hajaran. Maka begitu golok menyambar dan dia menyentil cawan arak tiba-tiba cawan itu terbang menangkis golok yang segera berbenturan sendiri, membuat dua orang ini terkejut karena mereka tak melihat gerakan Salima. Gerakan itu memang begitu cepat. Dan ketika mereka terdorong dan sama melotot tahu-tahu Salima menampar dan membalas.

“Pergilah!”

Dua orang itu terangkat naik. Mereka tiba-tiba seperti didorong tenaga raksasa dari bawah, begitu saja tak dapat ditahan. Tentu saja mereka menjerit dan kaget bukan main. Dan ketika mereka terbanting dan bergulingan di lantai ruangan ternyata keduanya sudah babak-belur dan golok mereka pun mencelat entah ke mana.

“Iblis.... Setan....!”

Keduanya bangun dengan muka pucat. Mereka memandang gentar ke arah gadis yang masih duduk di meja itu. Salima melayani mereka tanpa melepas pantat dari kursi. Dan ketika sadar bahwa gadis yang mereka hadapi ternyata memiliki kepandaian begitu tinggi, mendadak keduanya melarikan diri dan lenyap tunggang-langgang, disusul oleh laki-laki pertama yang tadi mencengkeram Salima. Kiranya orang-orang ini pun tidak bodoh. Mereka maklum menghadapi lawan pandai.

Dan begitu lawan meninggalkan dirinya dan Salima memesan kembali cawan araknya maka para tamu yang tadi memenuhi kedai itu menyingkir dan satu persatu menghilang ketakutan, tak ada yang berani lagi beradu pandang dengan gadis lihai ini. Salima sebal. Namun ketika beberapa saat kemudian terdengar derap puluhan kuda dan seorang pengawal berhenti di muka pintu maka bentakan nyaring terdengar lantang di luar,

“Wanita pengacau, kau keluarlah berhadapan dengan pasukan keamanan. Kami akas memeriksamu atas tuduhan membuat onar!”

Salima terganggu. Sebenarnya, melihat wataknya sehari-hari ketiga orang tadi termasuk beruntung. Dia tidak mencederai mereka, tidak mematahkan tulang-tulang mereka. Salima tak melakukan itu karena tiga laki-laki tadi dilihatnya sebagai gentong gentong kosong belaka, yang hanya berlagak tapi tak memiliki kepandaian apa-apa. Kini, melihat mereka mengundang pasukan keamanan dan tiga orang itu tampak bersembunyi di balik punggung pengawal yang membentak ini Salima menjadi marah dan menghentikan minumnya.

Dan pemilik kedai buru-buru mendekati, menjura dan membungkuk berulang-ulang agar dia tidak membuat keributan di dalam kedai. Habis kedainya nanti. Pemilik kedai itu tampak ketakutan. Dan ketika bentakan di luar kembali terdengar dan Salima enggan keluar, tiba-tiba pemilik kedai ini mencium kaki Salima teriba-iba berkata,

“Lihiap, tolong aku. Itu San-ciangkun. Dia kejam dan sewenang-wenang. Kalau kau tidak menyambutnya salah-salah aku disangka komplotanmu. Tolong kau keluar dan selesaikan ini tanpa merugikan aku!”

“Hm!” Sdlima tertawa mengejek. “Yang mencari ribut bukanlah aku, lopek, tapi mereka. Suruh saja mereka itu masuk dan kujamin barang-barangmu utuh.”

“Ah, mereka galak, lihiap. Mana aku berani?”

“Kalau begitu biarkan saja, biar mereka ke mari!”

Pemilik kedai itu mengeluh. Dia menggigil menoleh ke sana ke mari, sebentar ke si pengawal dan sebentar ke Salima, bingung dia. Dan ketika Salima membiarkan saja bentakan di luar dan pengawal itu rupanya tak mau masuk juga tiba-tiba pengawal ini berteriak untuk menyuruh bakar kedai arak itu.

“Aduh, celaka, lihiap. Celaka! Habis warungku nanti....!”

Salima terkejut. Orang rupanya benar-benar menghendaki ia keluar, puluhan orang yang mengepung sudah bersiap siap dengan membawa minyak. Sekali bakar tentu kedai ini akan habis! Dan ketika pemilik kedai menangis dan Salima jengkel oleh keributan di luar tiba-tiba gadis ini bergerak dan melesat dengan kursi masih menempel di bokongnya, langsung berhadapan dengan pengawal pemimpin ini, duduk dan kini bersikap seperti ratu yang bersinar-sinar memandang orang-orang itu.

Tentu saja orang-orang tertegun dan melongo melihat demonstrasinya ini. Salima sengaja menunjukkannya untuk mencari kemenangan mental. Dan ketika orang-orang bengong dan minyak tidak jadi dituangkan maka Salima menegur pengawal pemimpin ini, seorang laki-laki garang dengan golok bergagang tombak, hidungnya seperti jambu monyet,

“Monyet busuk, kalian mau apa mengganggu seorang wanita yang enak minum-minum? Kurang kerjaankah kalian ini hingga minta kuhajar?”

Pengawal itu terkejut. “Kau mata-mata, kami datang untuk memeriksa dirimu!”

“Hm, atas petunjuk tiga anjing buduk itu?”

Pengawal ini marah. “Mereka bukan anjing, mereka informan (penyelidik)”

Salima tertawa. “Hidung monyet, sebaiknya kau pergi dan suruh tiga penyelidikmu itu bekerja lebih baik. Aku tak mau berurusan dengan kalian dan enyahlah!”

Pengawal ini gusar. Dia terang-terangan dimaki si hidung monyet, hinaan di depan begitu banyak anak buahnya. Tentu saja dia melotot. Tapi melihat Salima seorang gadis cantik dan tubuhnya pun cukup menggairahkan tiba-tiba dia menggeram menekan kemarahannya. “Nona, kau jangan sembarangan bicara. Daerah ini dikuasai Thai-taijin, kau harus tunduk memasuki wilayah orang dan tidak mencari perkara. Kau kami tangkap dan menyerahlah baik-baik. Aku masih sayang kulitmu yang halus.”

“Hm, mau coba-coba? Kalau begitu tangkaplah, aku tak akan beranjak dari kursiku dan kalian boleh menyerang.”

“Sombong!” perwira atau pengawal itu membentak, tak dapat menahan diri dan menyuruh lima pembantunya bergerak.

Lima pengawal di sebelah kanan menubruk dan menusukkan tombak mereka. Salima tenang saja dan tertawa mengejek. Dan ketika lawan menyerang dan dia memutar lengannya daa kali tiba tiba pukulan jarak jauh dilontarkan gadis ini ke arah lima pengawal itu.

“Bress!” lima pengawal itu menjerit roboh. Tombak di tangan mereka mencelat jauh, mereka disambut pukulan kuat yang meluncur dari lengan gadis itu. Tentu saja mereka terpekik dan pemimpin mereka terbelalak. Bukti akan kelihaian gadis itu tampak di depan hidung. Tapi karena dia marah dan perbuatan Salima menaikkan temperamennya tiba-tiba perwira ini tak sabar menyuruh semuanya maju, tak kurang dari dua puluh pengawal.

“Tangkap dan ringkus dia....!”

Semua pengawal bergerak. Mereka sebenarnya jerih, tapi karena kini maju berbareng dan Salima juga tetap di kursinya tiba-tiba mereka menjadi berani dan menyerang dengan tembak dan golok bagai sekumpulan srigala menyerang seekor domba. Salima tak berbuat apa-apa sebelum mereka mendekat, tapi begitu jarak sudah dirasa cukup dan orang-orang ini menubruknya dari segala penjuru tiba-tiba Salima melengking dan mumbul ke atas. Kursi yang diduduki ikut terangkat naik, para pengawal bengong. Separuh diantara mereka menghentikan gerakan. Tapi begitu Salima turun kembali dan kaki bergerak ke sana-sini tiba-tiba seperti kecapung beterbangan saja Salima membagi-bagi pukulan dan tendangan ke arah dua puluh pengawal itu.

“Des-des-dess!”

Semuanya terkejut. Semuanya terpelanting dan roboh berpelantingan bagai disambar petir. Golok dan tombak berhamburan patah-patah. Dan ketika Salima hinggap kembali di tempatnya semula dan perwira berhidung monyet melongo maka dua puluh pengawal sudah mengaduh-aduh di tanah dengan tubuh babak-belur.

“Keparat!” perwira ini gentar. “Kalian orang-orang tiada guna. Ayo bangun, ambil senjata lagi dan serang....!” Dan menoleh pada tiga laki-laki tinggi besar yang bersembunyi di belakang punggungnya, perwira ini menghardik, “A-lu, bantu aku. Kalian jangan ndomblong saja. Ayo...!” dan berteriak menyuruh anak buahnya bangun dan menyerang lagi perwira ini sekarang maju, meskipun gentar tapi dia penasaran juga.

Kerasnya tangan Salima belum dia rasakan sendiri. Maka begitu anak buahnya mengambil senjata baru dan tertatih-tatih menyerang Salima segera perwira ini membentak menggerakkan golok tombaknya, dibantu pula tiga laki-laki tinggi besar yang bersembunyi di belakang punggungnya tadi, terpaksa maju lagi meskipun mereka semakin pucat. Kelihaian Salima ini membuat nyali mereka menciut.

Dan ketika Salima dikeroyok lagi dan hujan senjata kembali menghambur ke arahnya maka Salima mengincar perwira berhidung monyet ini sambil tertawa mengejek. “Monyet busuk, rupanya kau harus menerima hajaran!”

Salima mumbul ke atas lagi, sekarang menangkis dan dengan tangan telanjang mematahkan senjata lawan. Para pengawal berteriak keras karena senjata lagi-lagi patah, perwira yang memimpin juga terkejut dan pucat, tangan yang halus itu ternyata tak kalah ampuh dengan sebatang pedang. Dan ketika dia gugup membacok dan Salima berkelebat ke arah dirinya tiba-tiba goloknya patah pula dan tangan Salima mengenai pelipisnya.

“Plak!” perwira itu menjerit, roboh terbanting dan pingsan seketika.

Anak buahnya geger dan mundur berteriak-teriak. Salima turun kembali dan tak ada satu pun yang menolong perwira itu. Semua pengawal gentar. Tiga laki-laki tinggi besar sudah mendahului lintang-pukang melarikan diri, kini Salima menghadapi pengawil-pengawal yang ketakutan itu. Dan ketika Salima menggebah dan perwira yang pingsan itu ditendangnya hingga mencelat di tengah-tengah anak buahnya maka para pengawal ini berseru keras menyambut pemimpin mereka dan lari di atas kuda masing-masing.

“Siluman....!”

“Kuntilanak....!”

“Kita ketemu iblis....!”

Salima tersenyum mengejek. Sekarang dia telah memberi pelajaran pada orang-orang itu, bangkit berdiri dan mengeluarkan sekeping perak. Pemilik kedai dilihatnya melongo di muka pintunya. Dia mungkin dikira setan. Dan geli serta ingin menunjukkan dirinya lebih hebat lagi tiba-tiba Salima menendang kursi yang didudukinya dan berkelebat lenyap.

“Lopek, itu pembayaran minumku!”

Pemilik kedai semakin mendelong. Salima lenyap begitu saja, gerakannya seperti iblis. Dan ketika dia sadar namun orang sudah tak kelihatan lagi tiba-tiba pemilik kedai ini menjatuhkan diri berlutut dan malah menangis. “Sian-li (dewi), tak perlu bayar uang minummu. Biarlah kau ambil saja agar keberuntungan nasibku tidak tertimpa sial!”

Kiranya, pemilik ini takut kalau Salima adalah dewi atau kuntilanak pembawa sial. Para pengawal menyebutnya iblis tapi dia malah menyebutnya dewi. Salima sendiri tertawa di kejauhan sana dan tentu saja tak mau mengambil uangnya, malah dia melempar berturut-turut dua keping emas yang menancap di dekat pemilik kedai ini. Pemilik itu tertegun tapi gembira luar biasa. Kini keberuntungan benar-benar diperolehnya.

Dan ketika dia mengambil dua keping emas itu sementara Salima lenyap ke arah timur maka Salima sendiri sudah meneruskan perjalanannya dan coba menghilangkan kekesalan dengan lebih dalam lagi masuk ke tembok besar, mulai dipandang keheranan serta curiga oleh orang-orang yang tak mengenalnya.

Hari demi hari serbuan bangsa Tar-tar memang semakin menggemparkan. Kali ini Salima menjauh karena dia tak enak juga, dia ingin menghindari keributan dengan orang orang rendahan itu. Dan ketika seminggu kemudian dia tiba di sebuah hutan di mana dia merasa kecewa karena jejak suhengnya tak didapatkan juga mendadak lima orang berlompatan menghampirinya.

“Sian-li lihiap...!”

Salima tertegun. Sin Kok muncul bersama adiknya, memanggil dan sudah berada di depannya dengan wajah berseri-seri, di belakangnya berdiri dengan muka cemberut tiga laki-laki pendek yang bukan lain Sin-to Sam enghiong adanya. Salima girang, sedetik kekesalannya lenyap dan dia memandang orang-orang itu. Mereka ini tentu dapat ditanya mengenai suhengnya. Inilah orang-orang yang dikenal sejak dia memasuki tembok besar, setelah sekian lama berpisah.

Tapi melihat muka cemberut yang ditunjukkan Sin-to Sam-enghiong dan juga Hwi Ling yang tampaknya tidak bersahabat tiba-tiba saja teguran Sin Kok tadi disambut dingin oleh Salima yang merasa tidak senang oleh sikap empat orang ini.

“Saudara Sin Kok, ada apa kau memanggilku? Bagaimana kalian ada di sini?”

Sin Kok berseri-seri. “Kami mencari suhengmu, lihiap. Kami sampai di sini karena mencari suhengmu itu. Paman Beng Kwan baru saja bertemu tapi sudah kehilangan jejaknya lagi!”

“Hm, kalian tahu?” Salima bersinar penuh harap. “Di mana suhengku itu dan kapan saudara Beng ini menemuinya?” pertanyaan terakhir jelas ditujukan pada orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong itu.

Beng Kwan bersikap dingin dan mendengus. Baru ketika Salima mengerutkan kening dan tajam memandang laki-laki itu maka orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong ini bicara, “Tiat-ciang Sian-li, suhengmu Kim-mou-eng memang pernah bertemu kami. Tapi kami tak tahu di mana dia sekarang berada. Kami mengira justeru kaulah yang menyembunyikan suhengmu itu, karena itu serahkan kepada kami dan biar kami tangkap untuk dihadapkan kaisar secara baik-baik!”

Salima gusar. “Memangnya siapa kalian ini yang dapat menangkap suhengku? Apakah kalian menuduh suhengku pula mencuri Sam-kong-kiam?”

“Aha, bagus. Kau pun telah berterus terang, Tiat-ciang Sian-li. Sekarang kami akan bicara blak-blakan saja bahwa kami pun menduga kau tahu tentang pedang ini. Serahkan dan menyerahlah baik-baik kepada kami!”

“Paman!” Sin Kok kaget. “Kenapa malah hendak memusuhi Sian-li lihiap ini? Bukankah dia tak mencuri pedang?”

“Ah, mencuri atau tidak dia adalah sumoi Kim-mou-eng, Sin Kok. Dia tentu tahu sepak terjang suhengnya itu. Kalau Kim mou-eng menyembunyikan diri tentu gadis ini tahu di mana suhengnya itu. Tak perlu dia bersikap pura-pura!”

Beng Kwan memberi tanda kepada adik-adiknya, mencabut golok dan Hwi Ling pun mengangguk, melolos pedangnya dan mereka berempat sudah mengepung gadis ini. Salima mengangkat keningnya dan naik darah. ini hinaan langsung. Dan ketika lawan sudah mengelilinginya dengan sikap mengancam dan rupanya mereka itu tak mau diajak bicara lagi tiba tiba Salima mendengus dan tertawa mengejek, darah dinginnya muncul, mata berkilat kilat memandang empat orang lawannya itu.

“Sin-to Sam-enghiong, kalian rupanya mencari penyakit. Aku sedang jengkel tak menemukan suhengku, sebaiknya tak perlu kalian mengeluarkan senjata tajam agar tidak melukai diri sendiri!'“

“Kau tak perlu banyak cakap, Tiat-ciang Sian-li. Bagi kami beritahukan di mana suhengmu itu atau kau kami tangkap untuk dipaksa mengaku!”

“Kalau begitu majulah, aku juga sebal melihat tampang kalian!” Salima tak mau banyak bicara, mengejek pada orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong itu.

Sementara Sin Kok di luar sana pucat, menyerah adiknya mundur tapi Hwi Ling malah mendamprat kakaknya. Pemuda ini gelisah, bingung. Dan ketika Beng Kwan memben tak dan menyuruh Sin Kok mencabut pedangnya tiba tiba orang tertua dari Sin-to Sam eng-hiong ini melengking dan berkelebat ke depan dengan serangan pertamanya.

“Wuut...!” golok mengaung, dielak dan Beng San serta Beng Kwi menyusul kakaknya, tiga golok berkelebatan cepat bagai sinar pelangi, berubah menjadi garis-garis lurus ketika silang-menyilang memburu Salima. Gadis ini berlompatan sementara mata mulai berapi, sinar maut membayang di muka Salima. Dan ketika Hwi Ling melengking dan juga menubruk ke depan maka Salima sudah dikeroyok empat lawan yang sama-sama bersenjata tajam.

“Sing-sing-plak!”

Salima mulai menangkis, dengan tangan telanjang mengejutkan empat lawannya karena golok atau pedang yang mereka pegang tergetar. Gadis itu berputaran cepat mengikuti keliauan senjata, bagai walet beterbangan saja Salima menyambar2 di antara hujan bacokan atau tusukan. Memang hebat gadis ini. Dan ketika Beng Kwan terbelalak dan dua adiknya mengeluh merasakan tangkisan yang kian kuat maka Salima sudah berseru mengerahkan Tiat-lui-kangnya. Tenaga Petir.

“Sio-to Sam-enghiong, kalian yang mulai lebih dulu. Jangan salahkan aku kalau jalan kekerasan terpaksa kutempuh!”

Dan Salima yang mulai menampar dan mengebutkan tangannya ke segala penjuru tiba-tiba menolak dan menghalau tiga batang golok dan sebatang pedang, membuat lawan terpekik karena telapak tangan seketika melepuh, tangkisan Salima seolah membeset mereka itu. Sin-to Sam-enghiong terhuyung sementara Hwi Ling pun terpelanting, gadis ini memang paling lemah di antara empat orang itu. Dan ketika Salima membentak dan meloncat tinggi melakukan tamparan maut tiba-tiba tubuh gadis ini berkelebat lenyap membagi-bagi pukulannya ke arah pelipis lawan.

“Jangan....!” Sin Kok kaget, berseru keras dan maju menubruk Salima.

Pemuda itu pucat karena tamparan Salima merupakan tamparan maut, angin tamparannya saja sudah meniup kencang dan panas. Dan karena dia mengkhawatirkan empat temannya dibunuh dan Sin Kok gelisah mencegah ke depan maka dia sudah menubruk Salima dan coba menghentikan tamparan Salima terhadap teman-temannya, membuat Salima terkejut dan otomatis terganggu, tenaganya berkurang sejenak tapi pukulan atau tamparan itu tetap meluncur ke depan. Serangan ini tak dapat dihalangi. Dan karena Sin Kok malah maju menubruk dan coba mencegah maka pemuda itupun terserempet pukulan dan roboh terbanting.

“Des-des-dess!”

Lima orang itu bergulingan mengeluh. Salima telah mengurangi tenaganya sedikit, gara-gara gangguan Sin Kok tadi. Tapi karena Tiat-lui-kang merupakan tamparan ampuh dan Beng Kwan mau pun kawan kawannya tak dapat menahan maka mereka terpelanting dan roboh bergulingan. Orang tertua Sin-to Sam-enghiong ini hangus bajunya. Dua saudaranya sedikit terbakar sementara Hwi Ling sendiri sudah roboh pingsan. Hanya Sin Kok yang selamat dengan sedikit baju pundak terobek, pemuda ini terpental dan terlempar lima tombak. Dan ketika Sin Kok melompat bangun dan Beng Kwan serta adik-adiknya pucat mengeluh terhuyung maka Sin Kok menghampiri adiknya dengan kaki menggigil.

“Lihiap, kau bunuhkah adikku?” Sin Kok berlutut, memeriksa adiknya tapi lega adiknya tak tewas, hanya pingsan saja. Dan ketika pemuda itu bangkit lagi dan menghadapi Salima maka Salima menegur lawannya yang sudah kehilangan senjata karena golok dan pedang mencelat entah ke mana.

“Sin-to Sam-enghiong, kalian sedikit tertolong oleh cegahan pemuda ini. Kalau Sin Kok tidak menghalangi tentu kalian semua binasa. Sekarang harap tahu diri, kalau masih ngotot dan ingin menyerang tentu aku tak akan segan-segan lagi dan membunuh kalian!”

Sin-to Sam-engbiong menggigil. Mereka harus mengakui kelihaian lawan, Salima nyaris membunuh mereka kalau Sin Kok tadi tidak berteriak. Hebat gadis ini. Tapi Beng San yang termasuk berangasan dan mendelik marah tiba-tiba membentak, “Tiat-ciang Sian-li, lebih baik kau bunuh kami daripada menelan hinaan. Aku tidak takut, kalau mau mati biarlah mati...!”

Laki-laki ini menubruk, kakak dan adiknya kaget karena Beng San dianggap nekat. Salima mendengus melihat serangan itu. Dan karena dia sudah memperingatkan dan orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong ini dinilai tak tahu diri tiba-tiba Salima menggerakkan tangannya dan menampar dari jauh.

“Kau mampuslah!”

Sinar kemerahan melnncur cepat. Tiat-lui-kang lagi-lagi menyambar. Beng Kwan dan Beng Kwi pucat. Tapi karena mereka menyayangi saudara mereka itu dan maklum akan pukulan Petir, tiba-tiba dua kakak beradik ini hampir berbareng membentak menubruk saudara mereka nomor dua itu.

“Awas....!”

Beng San terbelalak. Dia memang nekat, menerjang Salima dan kini disambut pukulan panas Tiat-lui-kang, coba mengelak tapi kalah cepat. Tapi ketika dia mengeluh dan hampir tewas oleh tamparan Salima tiba-tiba dua saudaranya menubruk dan membantingnya bergulingan ke kanan, Beng San berteriak karena kaget oleh tubrukan saudaranya. Bertiga mereka menyelamatkan diri dari tamparan maut itu. Namun karena angin pukulan masih menyerempet dan Beng San terkena lehernya tiba-tiba orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong ini menjerit dan roboh pingsan.

“Plak!” Beng Kwan dan kakaknya melompat bangun. Mereka sendiri merasakan angin pukulan panas itu, dada terasa nyeri dan batuk-batuk, segera memandang adik mereka yang terkapar. Melihat leher Beng San gosong tapi saudara mereka itu selamat, pingsan dan tidak tewas. Mereka lega, meskipun marah. Dan ketika mereka tertegun namun girang saudara mereka berhasil diselamatkan maka Salima yang mendengus dan tertawa dingin tiba-tiba berkelebat lenyap tak mau berdiri lagi di situ.

“Beng Kwan, adikmu tak dapat menoleh selama tiga bulan. Kalau dia macam-macam dan kalian mau bertingkah boleh cari aku kembali di lain waktu...!”

Pedang Tiga Dimensi Jilid 05

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“KENAPA aku yang dipilih? Kenapa tidak lainnya saja?” Cao Cun gemetar, semakin pucat.

“Entahlah, kesialan sedang menimpa dirimu, Cao Cun. Sekarang hanya dua jalan bagimu, menerima atau menolak!”

“Bagaimana menolaknya? Kaisar amat berkuasa. Wan Hoa. Aku pribadi tentu tak berdaya....”

“Kau dapat lari, kita berdua melarikan diri” Wan Hoa tiba-tiba menyambar temannya, lupa bahwa mereka berada di istana yang dijaga ketat, menyeret Cao Cun dan mengajak sahabatnya itu lari. Tapi ketika mereka kepergok pengawal dan di mana-mana mereka selalu menemui jalan buntu mendadak Wan Hoa sadar dan membanting kaki, menangis. “Ah, aku lupa. Kalau begitu kau bunuh diri saja!”

Cao Cun tiba-tiba masuk ke kamar, mengambil pisau dan siap menikam perut sendiri dengan pisau itu. Wan Hoa kaget dan menjerit tinggi menyusul. Tapi ketika pisau disambar cepat dan Cao Cun siap memburuh diri mendadak sesosok bayangan berkelebat menampar gadis ini.

“Jangan gila!” bayangan itu membentak, pisau dipukul dan Cao Cun pun terbanting roboh, mengeluh dan menangis serta melihat Sin-kee Lojin muncul di situ. Pembantu Mao-taijin itu marah dan melotot padanya. Dan ketika Cao Cun tersedu-sedu dan masih akan nekat tiba-tiba gadis ini terguling dan pingsan karena pukulan batin yang diterima terasa berat.

“Kau bertanggung jawab atas keselamatan temanmu. Kalau dia mati seluruh keluargamu akan menerima hukuman!”

Wan Hoa ganti menerima ancaman si Ayam Sakti (Sin-kee Lo-jin) itu, mendapat teguran dan bengong tapi akhirnya menangis menubruk temannya. Dan ketika Sin-kee Lojin meninggalkan tempat itu dan dayang Ma datang ke tempat itu maka Cao Cun yang segera disadarkan menerima banyak nasihat-nasihat, bujukan.

“Siocia, menuruti hati sendiri tak bakal membuahkan kebahagiaan. Kau sadarlah sebentar, kau pikir baik-baik maksud hatimu yang berbahaya ini. Bukankah kaisar akan murka dan marah kepadamu kalau kau bunuh diri? Sadarlah, Siocia, sadarlah....!” emban atau dayang itu membujuk. Dia adalah dayang yang selama ini melayani Wan Hoa dan Cao Cun, dayang ini pun sebenarnya mata-mata Mao-taijin.

Tapi Cao Cun yang tersedu-sedu membuka mata ternyata nekat. “Biarlah, aku ingin mati saja, Ma-yang (dayang Ma) Aku tak ingin hidup kalau di samping raja liar itu!”

“Ah, siocia tak ingat Kim-mou-eng? Siocia tak mengharap kekasihmu itu datang menolong?”

Cao Cun tertegun.

“Kim-taihiap tentu mendengar kesusahanmu, siocia. Bersabar dan tekunlah berharap bahwa kekasihmu akan datang. Masih ada waktu untuk menghindar dari terkaman raja itu. Hamba pun ngeri kalau membayangkan siocia harus berkumpul dengan raja liar itu!”

Cao Cun bangkit harapannya. “Ma-yang mau menolongku?”

“Tentu, menolong bagaimana, siocia? Mencari kekasihmu itu? Hamba sanggup, hamba akan menyuruh seorang keponakan hamba mencari Kim-mou-eng itu. Hamba akan membantu paduka sampai berhasil!”

Cao Cun berseri seri. “Ma-yang, beriikan saputangan ini pada keponakanmu. Cari kekasihku itu dan berikan saputangan ini pada Kim-mou-eng. Ini isyarat bagiku agar kekasihku segera datang.”

“Baik, siocia. Sekarang paduka bersabar dan tenangkan hati dulu di sini. Hamba akan melaksanakan perintah paduka.” dayang itu menerima saputangan Cao Cun, pura-pura bersedih dan bujukan pertamanya berhasil.

Untuk sementara Cao Cun tak akan bunuh diri, dia keluar dan Cao Cun berseri-seri memandangnya. Tak tahu bahwa dayang itu pun hanya bermuslihat saja. Ma-yang ini adalah orangnya Mao-taijin!

Dan ketika hari demi hari Cao Cun bertanya bagaimana hasilnya maka dengan gampang dan manis dayang ini menjawab, “Keponakan hamba belum pulang, siocia. Sabar dan sabarlah dulu. Hamba juga mati-matian membantu paduka!”

Cao Cun memang memiliki kecerdasan sedang, dia terlampau lugu dan percaya pada dayang ini, masih tak sadar bahwa saputangannya dulu sudah dibuang dayang ini ke tong sampah. Sama sekali tak ada keponakannya yang mencari Kim-mou-eng! Dan ketika hari-hari penyerahan kian dekat saja dan Cao Cun khawatir maka bujukan berikut adalah yang kedua yang dijalankan dayang ini.

“Ma-yang, kapan lagi aku harus menunggu? Sri baginda segera akan menyerahkan aku pada raja liar itu. Aku takut, aku cemas!”

“Ah, bagaimana lagi, siocia? Hamba sudah berusaha, keponakan hamba belum pulang dan hamba juga cemas memikirkan keponakan hamba itu.”

“Tapi sekarang tinggal lima hari lagi. Aku tak dapat bersabar dan menunggu serta terus menunggu. Kalau keponakanmu tak datang juga maka aku akan meneruskan niatku dulu. Bunuh diri.”

“Aduh, sabar, siocia... sabar.!” dayang itu pura-pura kaget. “Ingat keluarga paduka di Chi-cou!”

Cao Cun terkejut. “Kenapa keluargaku di Chi-cou?”

“Ah, masa paduka tak tahu, siocia?” dayang ini mulai menyerang dengan anak panahnya kedua. “Bukankah keluarga paduka dapat terancam oleh kemarahan kaisar? Paduka boleh bebas dengan bunuh diri, siocia. Tapi ayah dan saudara-saudara paduka di Chi-cou tentu mendapat celaka oleh kemurkaan kaisar. Sri baginda tentu malu menghadapi raja Hu, dan keluarga paduka akan menghadapi bencana kalau paduka bunuh diri!”

Cao Cun tertegun. Kali Ini pun dia termakan kata-kata dayang ini, Ma-yang memang pandai. Dan ketika Cao Cun terisak dan pucat membayangkan itu maka Ma-yang sudah menggandeng lengannya dengan lemah lembut.

“Siocia, bersabarlah. Betapapun waktu lima hari adalah waktu yang cukup panjang bagi kita. Kim taihiap tentu dalang, kalau tidak datang pun tak perlu paduka bunuh diri. Ini masalah panjang, paduka harus ingat budi keluarga di Chi cou....”

Cao Cun menangis, menutupi mukanya. “Kalau begitu aku harus menyerah pada nasib, Ma-yang?”

“Jangan terburu buru. Bukankah manusia wajib berusaha, siocia? Paduka tak perlu menyerah pada nasib selama kesempatan masih ada.”

“Tapi kesempatan ini kian mengecil....”

“Sekecil kecilnya kesempatan masih kesempatan juga, siocia. Tak perlu putus asa dan patah semangat.”

“Dan kalau kekasihku tak datang juga?”

“Hilangkan pikiran untuk bunuh diri itu. Datang atau tidak datang paduka jangan bunuh diri. Paduka harus hidup untuk keluarga di Chi-cou!”

Cao Cun mulai bingung. Pengaruh kata-kata dayang ini mulai termakan di hatinya, kian dipikir kian dianggap betul. Memang tak salah. Kalau dia bunuh diri dan kaisar marah tentu keluarganya di Chi-cou akan mendapat pembalasan. Kaisar adalah orang yang amat berkuasa. Ayahnya tak akan mampu berbuat apa-apa kalau kaisar marah. Dan karena dia mencintai keluarganya dan tentu saja tak mau keluarganya dibunuh kalau dia bunuh diri akhirnya Cao Cun terguncang dan berada di persimpangan jalan, antara ingin bunuh diri untuk membebaskan dirinya dari terkaman raja Hu dan harus hidup demi keselamatan keluarganya.

Pilihan yang sama-sama berat. Tapi karena Cao Cun sudah mulai terbiasa hidup menderita dan berkorban tiba-tiba saja gadis ini kian cenderung untuk menyelamatkan keluarganya dan hidup menerima kemalangan lagi, menjadi isteri raja liar itu kalau Kim-mou-eng tak menyelamatkannya. Dan karena hari penyerahan kian dekat dan Cao Cun kian putus asa tiba-tiba gadis ini menggigil ketika Ma-yang untuk ketiga kalinya melakukan bujukan yang paling menikam, ketika tinggal dua hari lagi dari hari terakhir.

“Siocia, rupanya kekasihmu itu orang yang buta. Dia buta telinga dan perasaannya. Paduka agaknya harus melihat kenyataan ini dan melupakan Kim-mou-eng!”

Cao Cun memejamkan mata. “Ma-yang, kenapa kau bilang begitu? Tahukah kau kata-kata mu ini menusuk perasaanku?”

“Maaf, hamba terpaksa mengatakan ini demi kesadaran paduka, siocia. Kim-mou-eng ternyata laki-laki yang tak dapat dipegang janjinya. Dia pengingkar, penipu cinta dan tak patut mendapat kasih paduka!”

“Ma-yang....!”

Dayang itu menjatuhkan diri berlutut, pura pura menangis mendengar bentakan Cao Cun. “Siocia, ampunkan hamba. Hamba terbawa kepiluan hamba melihat nasib paduka. Hamba tak tahan melihat paduka terus-terusan mengharap kedatangan kekasih paduka itu. Hamba memang lancang, siocia. Tapi kelancangan hamba dikarenakan sayang hamba pada paduka dan kebencian hamba kepada kekasih paduka itu. Kim-mou-eng telah berhasil ditemukan keponakan hamba, tapi... tapi....” dayang itu mengguguk, tak meneruskan kata-katanya dan Cao Cun meloncat bangun dan tempat duduknya, ada girang bercampur kaget mendengar berita itu. Berita yang penting. Tapi kenapa Ma-yang menangis dan berhenti setengah jalan.

Cao Cun sudah mengguncang dayang ini dengan penuh rasa tak sabar. “Ma-yang, ceritakan itu. Ceritakan pertemuan dengan Kim-mou-eng itu!”

“Paduka mau mendengarkan?”

“Tentu saja, bukankah ini yang kutunggu?”

“Tapi berita ini menyakitkan, siocia. Hamba tak sampai hati...” dayang itu menggigil pura-pura iba tapi Cao Cun mengeraskan sikapnya. Justeru kata-kata dan sikap dayang ini semakin menarik, dia penasaran.

Dan Cao Cun yang menggeleng mengangkat bangun dayang itu sudah berkata, “Tidak, apapun yang kau katakan aku sanggup menerimanya, Ma-yang. Sekarang ceritakan padaku apa isi pertemuan itu!”

“Intinya Kim-mou-eng tak acuh.” dayang itu berkata lirih, menunduk. “Kim taihiap pura-pura tak tahu keadaan. Siocia di sini dan keponakan hamba tak dihiraukan....”

“Hm, apa katanya? Kim-mou-eng tak berkata apa-apa?” Cao Cun pucat.

“Tidak, dia berkata sesuatu, siocia. Tapi kata-kata ini menyakitkan....”

“Kau katakanlah. aku sanggup menerima!”

Dayang itu menangis, mengusap air matanya. “Ampun, siocia, hamba tak sampai hati....”

“Tapi aku akan semakin sakit kalau tidak kaukatakan!” Cao Cun mulai gemetar, selengah membentak. “Kau katakan saja dan biar aku mendengarkan!”

Dayang itu akhirnya mengguguk. “Siocia, kekasihmu itu memang terlalu. Dia bilang.... dia bilang bahwa biarkan saja dirimu di Istana Dingin. Dia tak mencintaimu. dia mencintai sumoi nya dan janji dulu itu sekedar hanya untuk menghibur dirimu belaka. Bahwa dia....dia.... siocia!”

Dayang itu tiba-tiba menjerit, Cao Cun sudah roboh pingsan dan gadis itu tak dapat mendengar kata-katanya lagi. Cao Cun terpukul terlampau hebat dan gadis ini tak tahan mendengar kata-kata iiu. Kim-mou-eng ternyata hanya menghiburnya saja. Janji dulu itu ternyata palsu. Dan ketika gadis ini roboh dan Ma-yang terpekik menolong junjungannya maka Wan Hoa yang berada di situ dan ikut mendengarkan kata-kata ini sudah menangis dan menolong Cao Cun, menyadarkan sahabatnya itu tapi Cao Cun tak segera dapat disadarkan. Gadis ini tiga jam baru siuman. Dan ketika Ma-yang dan Wan Hoa sama menangis memeluk Cao Cun maka Cao Cun terserang demam dan tidak dapat turun dari pembaringannya.

“Aduh, bagaimana ini, siocia? Bagaimana ini....?”

Cao Cun seperti orang hilang ingatan. Dia mendelong saja memandang langit-langit ruangan, mukanya pucat, bibir kering dan mulut pun menyebut-nyebut nama Kim-mou-eng. Air mata bercucuran sementara isak tangisnya tak terdengar. Sungguh mengenaskan sekali gadis ini. Dan karena saat itu tinggal dua hari saja kaisar menyerahkan Cao Cun pada raja Hu maka Ma-yang segera memanggil tabib istana dan melapor kejadian ini pada Sam thaikam, diteruskan pada Mao-taijin tapi kebetulan saat itu pun Mao-taijin sakit.

Menteri ini terkena radang paru-paru hingga tak boleh banyak bicara, terpaksa Sam thaikam mengurus sendiri keadaan gadis itu. Kaisar diberi laporan dan kaisar terkejut, menyuruh tabib memberi obat paling mujarab untuk menyembuhkan Cao Cun. Dan karena semua orang bekerja keras dan tabib istana meramu obat yang paling istimewa maka tepat menjelang hari terakhir Cao Cun hilang demamnya.

Tapi gadis ini masih lemah. Pukulan batin yang diderita terlampau berat, mulai menangis dan sedu sedannya membuat Wan Hoa tak dapat menahan diri. Selama tiga puluh jam gadis itu pun menemani Cao Cun, kurang tidur dan kurang makan, muka pun pucat serta lemah tak bertenaga. Dua gadis ini berangkul-rangkulan. Dan ketika Cao Cun memandang kehidupannya dengan perasaan hampa dan kosong maka Ma-yang yang selama ini membujuk dan pura-pura bersedih atas kedukaannya melancarkan bujukannya lagi, yang terakhir.

“Siocia, nasib paduka rupanya memang sudah ditentukan Yang Maha Kuasa. Paduka tak dapat menolaknya lagi. Sore nanti sri baginda akan ke siai, sebaiknya paduka lupakan kenangan lama untuk memulai yang baru Tugas mulia sedang menanti paduka, harap renungkan ini dan bantu kami semua dari keganasan bangsa Siung-nu.”

“Apa maksudmu, Ma-yang?” kali ini Wan Hoa bertanya. Cao Cun tak acuh.

“Hamba maksudkan tugas negara, siocia,” jawab Ma-yang. “Bahwa teman paduka itu mendapat tugas negara yang amat penting dan mulia.”

“Tugas negara? Tugas apa?” Wan Hoa masih tak mengerti.

“Ah, persoalan dengan bangsa Siung-nu itu, siocia. Bukankah hubungan dengan bangsa ini harus dijaga? Paduka tahu bahwa bangsa Siung-nu memiliki bala tentara yang kuat, Cu-ciangkun telah dibantu dan bangsa Tar-tar dapat dihancurkan. Bangsa Siung-nu ini kuat, kalau raja Hu marah karena janji kaisar tak dapat dipenuhi maka mungkin saja bangsa Siung-nu akan berbalik haluan dan menyerang kita.”

“Benar,” Sam-thaikam tiba-tiba muncul. “Apa yang dikata Ma-yang memang tak salah, Wan Hoa. Kebijaksanaan kaisar memberikan Cao Cun pun karena dorongan itu. Kerajaan kita harus aman tenteram. Rakyat tak boleh gelisah akibat serangan bangsa-bangsa liar.” dan ketika thaikam itu tersenyum dan masuk menimpali pembicaraan maka thaikam itu langsung mendekati Cao Cun. “Bagaimana keadaanmu, Cao Cun? Sudah benar-benar sehat?”

Cao Cun dan Wan Hoa terkejut. Mereka merasa mendapat perhatian besar dengan kunjungan kepala Istana Dingin ini, jarang Sam-thaikam masuk ke kamar mereka kalau tidak penting betul. Ma-yang cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut. Dan Cao Cun yang mengangguk mendengar pertanyaan pembesar itu hanya menjawab lirih, “Ya, aku sehat-sehat saja.”

Kini pembesar itu duduk. “Cao Cun, dan kau, Wan Hoa. Dengarkan apa yang hendak kukatakan ini. Sore nanti sri baginda akan ke sini. Kalian harus mampu membawa diri. Aku hendak meneruskan apa yang telah dikata Ma-yang, bahwa kalian, terutama Cao Cun, mengemban tugas negara dengan adanya permintaan raja Hu itu. Cao Cun harus baik-baik menerima raja ini sebagai suaminya. Kau harus menjadi isteri raja itu demi keselamatan rakyat. Betapapun tak sukanya kau kepada raja itu tapi perasaan ini harus ditekan dan ditindas karena menyangkut masalah orang banyak. Rakyat tak boleh dikorbankan gara-gara penolakanmu. Sebab sekali raja itu marah dan menyerang kita tentu kita semua celaka. Peperangan menghancurkan begitu banyak kehidupan rakyat, karena itu kuharap Cao Cun sadar akan kewajibannya dan menjadi warga negara yang baik dengan jalan menerima raja itu sebagai suaminya dan sering membujuk kalau bangsa Siung-nu mau berbalik haluan!“

Cao Cun mengangguk, masih tak acuh.

“Kau mengerti, Cao Cun? Kau dapat menyadari arti pentingnya tugasmu mendampingi raja itu?”

“Ya, taijin, aku mengerti.”

“Kalau begitu bersiap-siaplah, sore nanti Sri baginda akan menjenguk keadaanmu!”

Sam-thaikam pergi. Dia telah memberi isyarat pada Ma-yang, dayang itu mengangguk dan dua pasang mata telah saling bicara dari jauh. Ma-yang mendapat tugas untuk menekankan lagi kata-kata pembesar itu. Dan ketika Sam-thaikam pergi dan Cao Cun serta Wan Hoa kembali saling peluk maka dayang ini membujuk panjang lebar dan menekankan selalu akan tugas Cao Cuo itu. Bahwa kini kewajiban baru menanti Cao Cun. Bahwa tugas mulia sedang diletakkan di atas pundak gadis itu.

Cao Cun harus baik-baik menerima raja Hu, tak boleh menolak karena sekail menolak tentu akibatnya bakal lebih jauh, raja bisa marah dan bangsa Siung-nu bisa menyerang kelar, berarti rakyat akan menjadi korban dan nasib ribuan orang di tangan gadis itu, tidak sekedar keluarga Cao Cun di Chi-cou saja, ayah ibu serta saudara-saudaranya itu. Dan ketika Cao Cun mulai terpengaruh karena alis yang menjelirit itu berkerui-kerut maka dayang ini menutup ceritanya dengan manis.

“Sekarang kenangan lama tak selayaknya lagi dikunyah-kunyah, siocia. Kekasih paduka telah meninggalkan paduka dan calon suami baru siap di ambang mata. Paduka harus ingat keselamatan rakyat, nasib ribuan bahkan laksaan rakyat ada di tangan paduka. Kalau paduka tak mementingkan diri sendiri tentu paduka akan selalu ingat itu dan bahkan mengucap syukur karena paduka mendapat tugas mulia ini. Jarang wanita Han mendapat kehormatan tugas yang seperti ini!”

Cao Cun mengangguk. “Baik, aku mengerti, Ma-yang. Sekarang tinggalkan kami dan biarkan aku berdua dengan Wan Hoa.”

Ma-yang gembira. Telah ia lihat perobahan pada sikap Cao Cun itu, gadis ini menarik napas dan rupanya sedikit atau banyak Cao Cun berusaha melupakan Kim-mou-eng. Usahanya berhasil. Dan karena tanda-tanda itu telah ia lihat dan Cao Cun lebih tenang daripada tadi akhirnya dayang ini pergi dan Cao Cun berdua dengan Wan Hoa.

“Kau mau meninggalkan aku, Cao Cun?”' Wan Hoa terisak.

“Hai, tugas negara menantiku, Wan Hoa. Agaknya kita memang harus berpisah tapi batin dan hati kita tetap satu. Aku mulai dapat menerima kata-kata Ma-yang dan Sam-taijin tadi!”

“Berani kau melupakan Kim-mou-eng.”

Cao Cun memejamkan mata. “Wan Hoa, sebaiknya jangan sebut-sebut lagi nama itu. Hatikti hancur. Dia... dia ternyata tak menepati janji...!”

“Maaf,” Wan Hoa buru-buru memeluk temannya. “Aku ikut kecewa atas semua yang menimpa dirimu, Cao Cun. Tapi aku berjanji untuk kelak memaki-maki dan mendamprat Pendekar Rambut Emas itu. Kuharap kehidupanmu lebih beruntung dengan raja Hu.”

“Sudahlah, aku... aku ingin kau temani sampai kaisar datang. Kau tahu apa yang kuinginkan di saat saat begini, bukan?”

Wan Hoa mengangguk. Dia tahu apa yang dikehendaki sahabatnya, Cao Cun ingin melepas duka dan kecewa dengan caranya sendiri. Maka ketika ia mengambil suling dan yang-khim maka kembali seperti hari-hari yang lalu dia bersama Cao Cun mengalunkan lagu-lagu yang disuka putri Wang-taijin ini. Lagu kerinduan dan penantian. Sama seperti dulu ketika Cao Cun mengharapkan kedatangan Kim-mou-eng, kini sedikit dirubah pada nada terakhir. Di situ Cao Cun memberikan irama menurun seperti halnya orang yang pasrah pada nasib. Wan Hoa mencucurkan air mata memainkan lagu ini. Dan ketika mereka terus-menerus meniup suling dan mainkan yang-khim sampai melupakan makan minum tiba-tiba tepat sore hari seperti yang dijanjikan mendadak kaisar muncul disitu!

“Aih... kau yang mainkan lagu ini, Cao Cun?”

Cao Cun dan Wan Hoa kaget. Di kamar mereka tiba-tiba muncul Sam-thaikam dan lain-lain, Kaisar didepan tertegun memandang Cao Cun. Seketika Cao Cun menghentikan permainannya dan Wan Hoa pun terkesiap, mereka sudah meletakkan suling dan yang-khim menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar. Baru pertama ini Cao Cun saling berhadapan langsung dengan kaisar. Baru pertama kali itu, sejak berbulan-bulan. Dan Cao Cun yang terkejut serta gembira tapi juga kecewa tiba-tiba menangis, mengguguk di hadapan kaisar!

“Eh, kalian semua keluar!” kaisar tertegun, tiba-tiba terpana dan terguncang oleh wajah Cao Cun yang mengharukan, cantik tapi mengharukan. Dan ketika semua orang menutup pintu kamar dan kaisar melangkah masuk, maka kaisar langsung menyentuh pundak gadis ini, membangunkannya. “Cao Cun, bangunlah. Lihat aku....!”

Kaisar gemetar, entah kenapa tiba-tiba jantungnya berdenyut tak keruan melihat gadis itu. Itulah gadis yang dia impikan. Gadis yang sayangnya dinyatakan sial bagi kerajaan. Dan ketika Cao Cun bangun berdiri dan disuruh menatap kaisar tiba-tiba kaisar mengeluh dan mendekap tubuh yang hangat itu. “Thian Yang Maha Agung, berapa lama kau di sini, Cao Cun? Gadis secantik ini dinyatakan kena kusta?”

Cao Cun terkejut, membelalakkan mata. “Sri baginda, apa... apa kata paduka? Kusta?”

“Ya, aku ditipu pembantu-pembantuku, Cao Cun. Katanya kau kena kusta dan tak boleh didekati. Tapi, hm... tubuh yang semulus ini, wajah yang secantik ini, mana mungkin dihinggapi penyakit menjijikkan itu? Aih, kau katakan padaku berapa lama kau dikurung di sini, Cao Cun. Berapa lama kau tinggal?”

Cao Cun tersedu-sedu, teringat segala penderitaannya. “Hampir setahun, sri baginda, sepuluh bulan lebih sedikit....”

“Dan selama ini kau tak ada niatan untuk menemuiku?”

Cao Cun menghentikan tangisnya, tiba-tiba mundur. “Sri baginda, siapa tak ada niatan itu? Hamba tak dapat karena dihalangi orang-orang paduka!”

Kaisar tersentak, ganti mundur. “Apa?” kening kaisar berkerut “Kau dihalangi orang-orangku? Apa maksudmu?”

“Ampun...” Wan Hoa kini menyela. Cao Cun kembali menangis dan tak dapat menjawab. “Mao-taijin yang dimaksud Cao Cun, sri baginda. Bahwa dia banyak menderita gara-gara perbuatan menteri itu. Pembantu paduka bersikap sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya!”

Kaisar menoleh pada gadis ini, terkejut. “Kau siapa?”

“Hamba Wan Hoa, sri baginda. Lie Wan Hoa. Cao Cun adalah sahabat hamba dan kami senasib sependeritaan!”

“Hm, coba ceritakan apa yang terjadi Kenapa Cao Cun ada di sini dan baru sekarang ku tahu tentang kalian.”

Wan Hoa lalu bercerita panjang lebar. Cao Cun sendiri tak sanggup karena setiap teringat penderitaannya tentu menangis tersedu-sedu, tak habis-habisnya air mata gadis itu mengalir. Dan ketika Wan Hoa mewakili gadis ini dan menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi lagi maka kaisar terbelalak dan terhenyak dengan muka merah padam. Betapa Mao-taijin coba memeras Cao Cun melalui ayahnya agar dapat menjumpai kaisar. Betapa ayah Cao Cun menolak dan hampir dibunuh menteri she Mao itu lewat pembantu-pembantunya.

Dan ketika Wan Hoa menyelesaikan ceritanya pada bagian di mana Mao-taijin melempar Cao Cun ke Istana Dingin dan kini ayah atau ibu gadis itu tak dapat menengok lagi karena kebengisan Mao-taijin maka gadis ini berapi-api mengepalkan tinju mengakhiri kata-katanya,

“Cao Cun tak dapat hidup tenang lagi, sri baginda. Dan ini semua gara-gara Mao-taijin itu. Kalau paduka tahu penderitaan Cao Cun sudah sepatutnya paduka hukum menteri paduka itu. Penggal saja kepalanya!”

Kaisar terbelalak marah. “Begitukah, Cao Cun?”

“Benar,” Cao Cun mengangguk, air matanya masih deras bercucuran. “Tapi hamba telah menerima nasib, sri baginda. Tak apa hamba dijadikan isteri raja liar itu demi rakyat banyak!”

“Dewa Yang Maha Agung...!” kaisar kembali berseru. “Kau telah jatuh tertimpa tangga, Cao Cun. Kalau saja aku tahu semuanya ini dari awal tentu tak akan begini jadinya. Aih, aku menyesal. Mao-taijin memang patut menerima hukuman. Aku akan menghukum dia, kuturunkan jabatannya dan tak boleh menjadi menteri lagi!”

“Dan tolong hukum pula Kim-mou-eng, sri baginda. Tangkap dan cabut saja lidahnya yang tak bertulang!” Wan Hoa berteriak.

“Apa, Kim-mou-eng?” kaisar malah tertegun. “Ada apa dengan Pendekar Rambut Emas itu? Kenapa namanya dibawa-bawa?”

Wan Hoa bangkit berdiri, mengedikkan kepala. “Dia telah menipu Cao Cun, sri baginda. Telah mempermainkan sahabat hamba ini dan tidak dapat dipercaya. Hamba minta pada paduka agar lidahnya yang tak bertanggung jawab itu di potong!”

“Wan Hoa....!”

Wan Hoa tak memperdulikan teriakan Cao Cun. “Biar, biar Cao Cun. Biar kukatakan sekalian sepak terjang Pendekar Rambut Emas itu. Kim-mou-eng memang tak dapat dipercaya, dia tak patut dijuluki pendekar dan biar sri baginda menangkap dan memotong lidahnya!” dan menghadapi kaisar dengan mata berapi-api serta muka seperti kepiting dibakar Wan Hoa menyambung lagi, penuh semangat, “Sri baginda, tolong balaskan sakit hati Cao Cun ini. Paduka nyatakan perang pada Pendekar Rambut Emas itu dan biar seumur hidupnya dia dikutuk dewa. Hamba tak terima nasib sahabat hamba karena atas perbuatannyalah Cao Cun menderita di sini dan dibiarkan merana!”

Kaisar terkejut sekali, kian melebarkan matanya. “Cao Cun, ada apa di antara dirimu dengan Kim-mou-eng?”

“Hamba.... hamba....“

“Dia kekasih Kim-mou-eng, sri baginda. Sebelum dibawa kemari oleh Mao-taijin yang jahat itu Cao Cun adalah kekasih Pendekar Rambut Emas!”

“Kwan Im Pouwsat” kaisar kini menyebut nama Dewi Kwan Im, setengah berteriak. “Kau dan Kim-mou eng telah menjalin cinta, Cao Cun? Kau dan Pendekar Rambut Emas itu....”

“Benar!” Wan Hoa lagi-lagi berseru. “Cao Cun dan Kim-mou-eng memang saling mencinta, sri baginda. Hamba menjadi saksi atas janji Pendekar Rambut Emas itu bahwa dia akan membawa Cao Cun dari sini. Tapi Kim-mou-eng penipu. Pendekar Rambut Emas itu membohongi sahabat hamba dan dia mengingkari janjinya hingga Cao Cun merana. Terkutuk pendekar sialan itu, semoga dewa memberinya hukuman yang paling berat!”

“Ah...” kaisar tertegun. Sekarang dia bengong oleh seruan berapi-api yang ditunjukkan Wan Hoa ini, mukanya merah dan pucat mendengar semua kata-kata itu. Baru sekarang dia tahu. Tapi ketika kaisar dapat menenangkan guncangan perasaannya dan Cao Can menutupi muka menangis tersedu-sedu maka kaisar menarik bangun gadis ini berkata menggigil,

“Cao Cun, maafkan aku. Kiranya pembantu-pembantuku telah membuat nasibmu demikian buruk. Sekarang aku sadar, gadis yang kuimpikan dulu ternyata berbudi luhur. Kau memiliki hati emas, sungguh aku kagum tapi juga menyesal. Aku telah menetapkan dirimu untuk menjadi isteri raja Hu itu. Tak mungkin aku menariknya kembali. Aku menyesal, Cao Cun. Sungguh aku menyesal dan kecewa sekali. Orang yang patah hati memang berat, dan aku ternyata telah menyia-nyiakan cintaku seperti ini. Maaf. Cao Cun. Sebagai seorang kaisar aku harus menepati kata-kataku sendiri. Aku terpaksa mengorbankan dirimu dan hatiku yang berdarah setelah mengetahui semuanya ini. Aku bodoh, aku tolol. Semoga dewa mengampuni keteledoranku dan kau mendapat kebahagiaan, Maaf!”

Kaisar memeluk erat-erat tubuh gadis itu, menggigil dan memejamkan mata karena sekarang hatinya pun berdarah. Cintanya terhadap bayangan gadis yang dulu diimpikannya itu kambuh, melihat Cao Cun mendadak api asmaranya bergemuruh, apalagi setelah dia mendengar semua kisah gadis itu. Cintanya membakar dan ingin saat itu juga kaisar membawa gadis ini ke pembaringan, bermesraan dan memberinya cinta yang berkobar-kobar.

Tapi teringat bahwa dia telah menyerahkan gadis itu pada raja suku bangsa Siung-nu tiba-tiba kaisar menyesal sekali dan menitikkan dua air mata yang segera dihapusnya. Sedu-sedan Cao Cun begitu mengharukan. Naik keharuan besar di hati kaisar ini. Maka ketika dia memeluk semakin rapat dan Cao Cun mengeluh di dekapan kaisar ini mendadak kaisar menundukkan mukanya dan mencium gadis itu.

“Cao Cun, maafkan aku!”

Cao Cun tersentak. Kaisar menciumnya, gadis ini terbelalak dan menggelinjang. Tapi ketika kaisar melepaskan dirinya dan kaisar membalik memutar tubuh tiba-tiba Cao Cun roboh menjerit memanggil kaisar itu. “Sri baginda....!”

Kaisar menoleh sejenak. Di pintu kamar yang kini dipenuhi orang itu kaisar memberikan senyumnya yang aneh. Senyum mesra tapi sekaligus sakit. Kaisar harus menggigit bibirnya untuk menahan luka yang ada. Hatinya serasa dirobek-robek. Pilihannya dulu betul, tapi dia teledor. Sekuntum bunga itu malah dia berikan pada orang lain! Dan ketika Cao Cun mengguguk dan kaisar melambaikan tangan akhirnya kaisar membalik lagi dan meneruskan langkah meninggalkan tempat yang menusuk perasaan itu.

“Kita kembali, biarkan Cao Cun bersama sahabatnya!”

Semua orang mengangguk. Sam-taijin pucat melihat pandang mata kaisar yang marah kepadanya. Pembesar ini menggigil dan tahu apa yang terjadi. Dia ketemu celaka. Maka ketika kaisar terhuyung meninggalkan tempat itu dan semua orang mengikuti kaisar maka di dalam kamar Cao Cun terguling pingsan ditolong Wan Hoa. Susah payah gadis ini menyadarkan temannya. Tapi ketika Cao Cun siuman dan Wan Hoa memeluknya muka dua sahabat ini bertangis tangisan.

“Cao Cun, ingatlah. Semuanya sudah terjadi, aku minta maaf kalau semua keteranganku terhadap sri baginda tadi menyakiti hatimu. Kau boleh bunuh aku, Cao Cun. Kau boleh ambil pisau itu dan tikamlah aku!”

“Tidak.. tidak..!” Cao Cun menangis. “Kau tak bersalah, Wan Hoa. Kau tak bersalah. Semuanya ini memang rupanya sudah nasib. Biarlah aku tabah menerimanya dan kau temani aku berdoa.”

Cao Cun mengambil perangkat sembahyang, menggigil menyalakan hio (dupa) dan segera berkemak-kemik di meja altar. Air mata masih bercucuran sementara Wan Hoa pun tak dapat menahan runtuhnya hujan air mata itu. Di samping sahabatnya dia meminta agar dewa atau dewi keberuntungan menyertai Cao Cun. Biarlah puteri Wang-taijin itu menemui kebahagiaannya dan tidak terus menerus menderita.

Dan ketika mereka berdua saling berkemak-kemik memohon pertolongan Yang Maha Kuasa akhirnya sejam kemudian Cao Cun memperoleh ketenangannya kembali, menghapus air matanya meskipun wajah yang pucat itu tak dapat menyembunyikan adanya duka. Betapapun Cao Cun harus menutup rapat-rapat luka yang ada di hatinya itu.

Dan ketika menjelang malam mereka menerima panggilan bahwa mereka harus menemui kaisar maka menindas semua kedukaannya Cao Cun dibawa ke istana, sadar bahwa inilah saat perjumpaannya dengan raja Hu. Cao Cun disuruh senyum sementara hati terobek robek berdarah. Hampir gagal tapi berhasil juga menuruti permintaan itu. Memang penampilannya di hadapan raja yang akan menjadi suaminya itu tak boleh dia bermurung. Kaisar akan semakin kecewa padanya. Dan karena itu adalah tugasnya dan Cao Cun menyadari ini maka seperti boneka bernyawa Cao Cun menghadap kaisar dan menemui calon suaminya itu.

Dan raja Hu kagum. Kecantikan Cao Cun memang kecantikan sejati. Meskipun dilanda duka tetap saja kecantikan itu menonjol. Bekas air mata di pipi malah membuat pipi gadis ini kemerah-merahan seperti tomat masak. Cao Cun mula-mula tergetar dan ngeri melirik calon suaminya itu. Seorang raja tinggi besar yang gagah namun menyeramkan. Brewoknya menutupi hampir seluruh wajah tapi raja Hu ternyata seorang laki-laki lembut.

Raja ini menyambut Cao Cun dengan halus dan gembira. Memuji terang terangan kecantikan gadis itu di depan kaisar, kagum akan rambutnya yang panjang dan lembut dibelakang punggung. Perias istana memang telah mendandani gadis ini secantik mungkin, termasuk kalung permata yang melilit di leher Cao Cun. Kedukaan Cao Cun memang tertutup habis oleh hiasan dan kecantikannya yang menonjol. Dan ketika raja Hu menyatakan cocok dan dua panglimanya juga kagum oleh pemberian kaisar yang sempurna ini maka Nu Kiat, panglima nomor dua dari raja Hu itu berseru,

“Ah, luar biasa, sri baginda. Calon permaisuri paduka ini tentu akan melahirkan putera yang gagah atau puteri yang cantik bagi bangsa Siung-nu!”

“Ha-ha, tepat, Nu Kiat. Dan kita harus berterimakasih pada sri baginda kaisar!” raja Hu gembira, girang dan tiba-tiba jatuh cinta pada Cao Cun. Kepribadian gadis ini benar-benar memenuhi seleranya.

Kaisar tersenyum dan tanpa di ketahui siapa pun dia meringis. Gadis begitu sempurna harus diberikan pada orang lain. Padahal dia memiliki kesempatan besar untuk menikmatinya sendiri! Dan ketika malam itu kaisar mengadakan perjamuan dan perkenalan pertama ini membuat raja Hu tergila-gila maka keesokan harinya, dengan tak sabar dan amat buru-buru raja Hu mohon pamit.

Istana mengiringkan kepergian raja ini dengan pengantaran istimewa. Kaisar sendiri melepas tamunya sampai di gerbang kota raja, bukan di pintu istana. Bukan main. Dan ketika kereta kerajaan melepas raja itu bersama bala tentaranya maka di dalam kereta Cao Cun menangis tersedu-sedu dan sempat membuat kegemparan ketika Wan Hoa, sahabatnya menjerit dan menyeruak di antara rombongan kaisar untuk menghambur ke arah Cao Cun.

“Cao Cun, ingatlah selalu akan aku!”

Adegan ini mengiris perasaan semua orang. Cao Cun tersedu-sedu keluar dari keretanya, turun ditubruk sahabatnya ini. Bagi yang sudah mengetahui hubungan dua sahabat ini memang adegan itu menusuk perasaan. Ma-yang sendiri yang sering menipu Cao Cun sampat terisak melihat perpisahan dua sahabat itu. Nasib rupanya kejam. Tapi ketika mereka diperingatkan pengawal dan Cao Cun melepas sahabatnya maka Wan Hoa roboh pingsan ketika Cao Cun naik di atas keretanya dan menutup tirai kereta yang segera berangkat.

Begitulah, dua sahabat sejati ini rupanya harus tunduk pada hukum alam. Ada pertemuan harus ada pula perpisahan. Salah satu di antaranya tak mungkin kekal. Dan ketika kereta berang kat dan Wan Hoa di luar sana pingsan ditolong pengawal maka Cao Cun sendiri di dalam kereta juga roboh dan pingsan tak kuat menahan kesedihannya.

Nasib mempermainkan manusia seenak sendiri. Kadang diberinya kegembiraan tapi kadang di sodorkannya pula kedukaan Dan melihat naga naganya, manusia mendapat kedukaan lebih besar ketimbang kesukaan. Tidak adil? Ah, entahlah. Mungkin pandangan manusia saja yang keliru tentang ini.

Cao Cun sendiri sudah berada di tengah-tengah bangsa Siung-nu. Malam pertama raja Hu hendak menggaulinya, ditolak. Reja kecewa namun dapat mengerti kesedihan yang masih mengganggu gadis itu. Mencoba lagi tapi gagal lagi pada malam-malam berikut. Raja mengerutkan kening tapi tidak marah. Rupanya kecintaan raja ini pada Cao Cun memang besar. Dia tak ingin memiliki Cao Cun kalau gadis itu sendiri belum siap, belum hilang dukanya.

Dan ketika dengan lembut namun penuh kasih, raja ini mengharap Cao Cun melepaskan dukunya maka raja bertanya apa kira-kira yang bisa diperbuat agar gadis itu dapat melayaninya baik-baik, apakah Wan Hoa perlu dibawa ke situ untuk menemaninya. Cao Cun terkejut, membelalakkan mata. Memang antara lain hal inilah yang menghimpit perasaannya. Perpisahan dengan Wan Hoa ternyata tak kalah berat dibanding kehancuran cintanya dengan Kim-mou-eng. Maka ketika raja meminta apakah Wan Hoa perlu dibawa ke situ tiba-tiba saja Cao Cun mengangguk dan mengharap suaminya dapat membawa gadis itu ke suku bangsa Siung-nu.

“Gampang, kalau begini saja bukankah dari dulu-dulu kau dapat memintanya, Cao Cun? Aku akan minta pada sri baginda kaisar agar temanmu itu dibawa sekalian. Tentu kaisar tak akan menolak!”

Dan memang benar. Kaisar mengabulkan permintaan raja Hu ini, terlampau besar jasa raja itu dalam pandangan kaisar. Apalagi kaisar tak mencinta Wan Hoa, melainkan Cao Cun. Dan karena kesedihan Cao Cun merupakan kesedihan kaisar pula maka permintaan Cao Cun segera di kabulkan dan Wan Hoa berangkat.

Hampir Wan Hoa tak percaya. Tadinya, dia menganggap bahwa nasibnya sudah putus di Istana Dingin. Dia pribadi memang tak begitu menghiraukan diri sendiri asal Cao Cun selamat. Begitu besarnya cinta kasih dan perhatian gadis ini. Maka ketika Cao Cun membalasnya dan minta dia dikeluarkan dari Istana Dingin untuk menemani gadis itu maka Wao Hoa bersorak begitu bahagianya. Perjumpaan dua sahabat sejati ini kembali terjadi. Cao Cun dan Wan Hoa saling tubruk, masing-masing terisak namun isak mereka adalah isak bahagia. Tangis bahagia. Dan ketika seminggu Cao Cun bercakap-cakap melulu dengan sahabatnya ini dan raja Hu sebagai suaminya hampir tak dilayani maka suatu malam Wan Hoa menegur temannya itu.

“Cao Cun, kau telah menjadi isteri orang. Tak sepatutnya selama tujuh hari tujuh malam begini kau selalu berkumpul denganku dan tidak mendekati suamimu itu.”

“Ah, aku tak bisa. Wan Hoa Aku ngeri dan masih takut kepada suamiku itu.”

“Tapi dia raja yang baik, dia laki-laki yang baik hingga selama ini tak pernah menegurmu. Masa untuk itu kau membalasnya begini?”

“Jadi bagaimana?”

“Kau harus menemaninya, kau harus tidur bersamanya!”

“Hm...!” muka Cao Cun tiba-tiba merah. “Aku malu. Wan Hoa. Aku ngeri!”

“Eh, bukankah malam pertama itu...?”

“Tidak!” Cao Cun memotong. “Aku sama sekali belum dijamahnya. Wan Hoa. Aku tak mau disentuh karena terbawa kesedihanku itu.”

“Aah, kau....?”

“Ya, aku masih suci. Wan Hoa. Aku masih perawan karena selama ini aku memang menghindari.”

“Aduh, tak boleh begitu, Cao Cun. Kau melanggar kewajibanmu. Kau seorang isteri, suamimu resmi menikahimu masa begini caramu? Tidak, tak boleh begitu, Cao Cun. Malam nanti kau harus mendekati suamimu itu dan minta maaf!”

“Aku ngeri wajahnya. Brewoknya itu menyeramkan!”

“Kau bisa minta dia mencukur, itu mudah!”

“Ah. tapi....”

“Tidak! Kau tak boleh membantah, Cao Cun. Ini tugas kewajibanmu. Ingat tugasmu menyelamatkan kaisar, menyelamatkan rakyat banyak. Bagaimana kalau raja Hu kecewa dan mulai membuat onar mengacau bangsa Han? Bangsa Tar-tar sudah cukup membuat pusing, Cao Cun. Justeru ini kesempatan baik bagimu untuk menundukkan raja itu luar dalam!” Wan Hoa memotong, pucat memperingatkan temannya itu karena sungguh tak dikira kalau Cao Cun ini belum dijamah raja Hu. Cao Cun masih perawan dan belum melaksanakan kewajibannya sebagai isteri.

Dan ketika Cao Cun tertegun dan merasa bersalah maka Wan Hoa menasihati lagi, “Cao Cun, tak sembarang wanita dapat menjadi pahlawan. Kau telah mengorbankan segala-galanya untuk bangsa dan dirimu pribadi. Semuanya kepalang basah, sebaiknya malam nanti kau dekati suamimu itu dan ikat dia dengan sumpah agar tetap setia kepada kerajaan dan kaisar!”

Cao Cun mengangguk, menghela napas. “Baiklah, aku ikut nasihatmu, Wan Hoa. Kalau bukan kau yang bicara belum tentu aku mau. Memang benar, semuanya kepalang basah. Nanti aku dekati suamiku itu dan mengikatnya dengan sumpah!”

“Bagus, dan sekarang kau dapat mulai, Cao Cun. Sebentar lagi raja Hu kemari dan kau tak boleh menolak ajakannya!”

Benar saja. Menjelang tengah malam raja itu datang, seperti biasa mendekati perkemahan Wan Hoa dan masuk dengan senyum dikulum. Sudah seminggu ini Wan Hoa melihat raja itu tak pernah menunjukkan muka masam. Satu hal yang mengherankan dia tapi sekaligus menggirangkan hati karena cinta raja itu terhadap Cao Cun ternyata besar. Demikian sabar dan amat kalem. Dan ketika basa-basi percakapan di dalam kamar selesai dan seperti kemarin raja ini mengajak Cao Cun ke kemahnya pribadi maka tidak seperti kemarin Cao Cun kali ini menurut, berkat dorongan Wan Hoa.

“Kau pergilah, sri baginda tentu ingin bercakap-cakap berdua denganmu, Cao Cun. Laksanakan tugasmu dan besok kita ketemu lagi.”

Cao Cun tersipu merah. Raja Hu menggandeng tangannya, lembut dan mesra sementara mata mengerling penuh terima kasih kepada Wan Hoa. Itulah jasa gadis ini. Dan ketika Wao Hoa tersenyum dan Cao Cun diajak ke kemah lain maka malam itu, hari kesekian dari hari-hari yang seharusnya menjadi kewajiban gadis ini Cao Cun bersikap manis pada raja tinggi besar itu. Hal yang menggirangkan raja ini dan diam-diam kembali rasa terima kasih yang besar tercurah pada Wan Hoa. Cao Cun membalas kemesraannya pula. Namun ketika raja Hu mencium dan hendak menikmati isterinya, Cao Cun sempat menunda dengan sebuah tuntutan.

“Sri baginda, cintakah paduka kepada hamba?”

“Ah, tentu, Cao Cun. Masa aku main-main? Apakah selama ini sikapku kepadamu tidak menunjukkan tanda-tanda itu?”

“Hamba belum yakin, hamba ingin menuntut sebuah janji dari paduka!”

“Janji apa?” raja ini melengak. “Kurangkah semua harta kesenangan di tempat ini?”

“Tidak, bukan harta, sri baginda. Melainkan janji paduka untuk tetap setia pada junjungan paduka di kota raja, sri baginda kaisar!”

“Ha-ha, kau aneh, Cao Cun!” raja Hu tertawa bergelak. “Bukankah selama ini aku tetap setia kepada junjunganmu itu? Apakah bangsa Siung-nu mau memberontak? Lihat aku menyatakan janjiku dengan sumpah!”

Raja itu mengambil sebatang anak panah di dinding, memperlihatkannya pada Cao Cun dan tiba-tiba mematahkannya menjadi dua. Dan ketika anak panah itu mengeluarkan suara “krek” dan patah menjadi dua di tangan raja ini maka Cao Cun tersenyum dan malu-malu mencium brewok di pipi raja tinggi besar itu.

“Sri baginda, hamba mengucapkan terima kasih!”

“Ah, aku yang berterima kasih, Cao Cun. Kau segala-galanya bagiku tapi ciumanmu keliru, harusnya di sini. Ha-ha....!”

Dan sang raja yang segera “membetulkan” ciuman Cao Cun dengan mulut ke mulut akhirnya membuat Cao Cun menggeliat dan memejamkan matanya Ada perasaan gemetar di hatinya, perasaan takut-takut. Betapa pun baru kali itu dia melayani pria dalam arti sesungguhnya. Raja Hu tekah menggulingkannya di pembaringan yang bersepreikan kulit harimau, malam itu Cao Cun pasrah dan merintih.

Dan ketika raja Hu membelai dan menyatakan rayuannya dengan lembut maka “operasi” raja tinggi besar ini berhasil dan Cao Cun menyerahkan segala-galanya pada suami yang dikenal sebagai raja suku bangsa liar itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya mengenal apa yang dinamakan “tugas” isteri. Semula membiarkan saja sang suami yang aktip. Tapi ketika beberapa hari kemudian Cao Cun mulai belajar dan tahu apa yang harus diperbuat, maka hari-hari berikut raja Hu gembira bukan main melihat isterinya membalas tak kalah mesra perbuatan-perbuatan mereka di atas ranjang.

“Ha-ha, kau pandai, Cao Cun. Kau cerdas dan pintar!”

Cao Cun tersenyum saja menghadapi pujian suami. Dia memang mulai dapat melayani suaminya ini. Kelembutan dan cinta sang suami yang amat sabar dan sayang kepadanya membuat dia hilang takut, sedikit tetapi pasti dia mulai melihat bahwa suaminya ini meskipun tampak menyeramkan penampilan fisiknya tapi raja Hu adalah seorang laki-laki yang penuh perhatian kepadanya. Mesra dan cintanya besar.

Maka ketika hari demi hari dilewatkan Cao Cun sementara Wan Hoa juga menemaninya di situ maka lama-kelamaan bayangan Kim-mou-eng lenyap. Cao Cun mulai merasakan kebahagiaannya tinggal ditengah-tengah suku bangsa Siung-nu. Dan karena bangsa ini juga menghormatinya dan memberikan sayang yang besar sebagaimana raja Hu maka setahun kemudian Cao Cun merasa betah dan seolah tinggal di rumah sendiri. Luar biasa!

Itulah berkat Wan Hoa pula. Gadis yang satu ini tak pernah habis-habisnya menasihati Caa Cun, membujuk dan menghibur serta segala apa yang kira-kira dapat menghilangkan kedukaan sahabatnya itu. Cao Cun benar-benar merasa berhutang budi besar. Cinta raja Hu dan cinta Wan Hoa memberinya kebahagiaan lahir batin. Dan ketika setahun Cao Cun menikah dengan suaminya yang menyeramkan itu maka lahirlah kemudian seorang putera yang diberi nama Ituci Yashi.

Cao Cun semakin bahagia. Lahirnya seorang putera ini membuat kesibukan baru baginya, kesibukan seorang ibu muda. Mulailah dia mengenal hubungan batin seorang ibu dengan anaknya. Mengasuh dan menyusui anaknya itu sebagaimana ibu-ibu lain di dunia. Cao Cun benar-benar melupakan kenangan lamanya.

Tapi ketika beberapa tahun kemudian Cao Cun menginjak usianya yang ke 22 mendadak sang suami yang mulai di cinta dan disayanginya itu meninggal dunia. Raja Hu terserang suatu penyakit berat. Dan karena waktu menikahi Cao Cun raja itu juga sudah setengah umur dan daya tahan orang yang mulai dimakan usia memang tidak sekuat anak muda maka raja wafat diserang penyakitnya ini.

Seluruh bangsa Siung-nu berkabung. Cao Cun menangis. Tapi karena raja Hu meninggalkan seorang anak yang sudah dewasa dari isteri yang lain maka Cimochu, anak raja yang wafat itu mengambil alih kekuasaan ayahnya. Hal ini memang sudah menjadi adat-istiadat bangsa Siung-nu. Segala apa yang dimiliki almarhum ayahnya menjadi milik raja yang baru ini, termasuk harem (selir-selir) mendiang raja Hu, isteri raja Hu yang sah maupun yang setengah sah.

Dan karena ini sudah merupakan peraturan bangsa itu maka Cao Cun, yang menjadi isteri raja yang lama otomatis jatuh pula ke tangan raja yang baru itu, Cimocbu. Dan karena sebelumnya Cimochu juga tergila-gila pada Cao Cun yang cantik serta menggairahkan maka hal ini membuat kecemasan besar pada Cao Cun.

Setelah beberapa tahun hidup bahagia tiba-tiba gangguan baru muncul. Cao Cun timbul kesedihannya. Tentu saja dia tak suka. Mana mungkin bagi seorang wanita Han yang terhormat habis dinikahi bapaknya lalu dinikah anaknya? Hal begitu tak biasa bagi Cao Cun. Jangankan menikah dengan anaknya, meskipun anak tiri. Menikah untuk kedua kali dengan orang lain saja pantang bagi Cao Cun. Hal itu amat memalukan bagi wanita Han. Tapi karena lain lubuk lain ikannya dan lain adat lain pula hukumnya maka Cao Cun saban hari mulai menangis. Haruskah dia memasrahkan diri pada Cimochu? Haruskah dia menjadi isteri dari bekas anak mendiang suaminya?

Cao Cun gelisah. Persoalan ini cukup menekan. Luka lama tiba-tiba kambuh. Dia teringat Kim-mou-eng, entah kenapa tiba-tiba mengharap pertolongannya, mengharap pendekar itu datang dan menyelamatkannya dari hal yang dianggap aib ini. Menikah dengan anak mendiang suami adalah amat memalukan. Terlalu memalukan baginya. Dan karena Wan Hoa yang selama ini dekat dengannya ternyata juga tak dapat membantu banyak akhirnya seminggu kemudian Cao Cun jatuh sakit.

Kemalangan rupanya mau menimpa wanita ini lagi. Baru sedikit enak tahu-tahu sudah datang yang tidak enak. Dunia rasanya kiamat. Dan karena Cao Cun cemas dan gelisah memikirkan itu maka sebulan kemudian wanita ini menjadi kurus dan lemah.

Haruskah terjadi yang tidak menyenangkan itu? Haruskah dia menerima nasib untuk kedua kali? Ah, kisah wanita ini masih terlalu panjang. Daripada kita ikut prihatin melihat nasib wanita ini biarlah kita tutup dulu untuk melihat yang lain. Mari...!

* * * * * * * *

Salima baru dua hari memasuki tembok besar ketika dia mendengar serbuan bangsa Tar-tar itu. Dia berhenti di sebuah kedai, memesan arak. Dan ketika pembicaraan ramai dipergunjingkan para tamu perihal serbuan itu gadis ini diam diam tersenyum.

“Biarlah” pikirnya. “Biar suku bangsanya itu menyerang kota raja dan menghajar istana.”

Dia juga mulai tak suka pada kaisar, setelah suhengnya dituduh mencuri dan kini belum kembali. Ada perasaan cemas di hatinya, ada perasaan marah. Tapi ketika dia enak-enak menikmati araknya dan duduk menyendiri mendadak tiga laki-laki tinggi besar mendatanginya dan menghardik,

“Hei, ini juga gadis Tar-tar. Tangkap dan bekuk dia!”

Salima menoleh. Dia memang asing di situ, sebenarnya tahu bahwa diam-diam dia diperhatikan orang banyak. Topi bulunya dan kulitnya yang kehitaman memang membuat dia lain dari bangsa Han, Salima tak perduli. Tapi ketika seseorang mulai mengganggu dan tamu di kedai itu juga serentak menujukan pandangan kepadanya tiba-tiba Salima mengerutkan kening dan bibir yang tipis basah itu mulai ditarik.

“Hei, kau wanita Tar-tar. Tentu kau mata-mata dan datang menyusup untuk melihat keadaan!”

Salima tenang. Tiga laki-laki itu sudah mendekatinya dengan pandangan mengancam, diam-diam tersenyum mengejek karena mata tiga laki-laki itu menunjukkan kekurangajaran, mereka memang mau membuat onar. Tentu bermaksud jelek melihat wanita cantik. Biasa begitu kaum lelaki. Dan ketika mereka sudah dekat dan seorang di antaranya bahkan menekan pinggir meja membuat arak miring di tempatnya tiba-tiba laki-laki yang ini sudah tertawa menyeringai menyambar bahunya.

“Nona, kau akan kuserahkan pada Thai-taijin (pembesar Thai). Kau wanita asing di sini dan jelas mencurigakan. Kau ikutilah kami untuk diperiksa!”

Salima melebarkan senyum. Dia tak mengelak, bahkan senyum mengejek semakin mengembang di bibirnya, bahu yang ditangkap dibiarkan begitu saja tapi cepat dia mengerahkan Tiat-lui-kang di bahunya itu. Hawa panas dengan cepat menjalar di pundak. Dan ketika laki-laki ini memencet dan mencengkeram pundaknya tiba-tiba lelaki ini menjerit dan berkaok mundur dengan jari-jari melepuh.

“Aduh....!”

Dua temannya terkejut. Semua orang tiba-tiba melihat lelaki ini berteriak seolah orang disiram air panas. Mereka heran melihat jari si tinggi besar itn melepuh dan bengkak besar. Mereka memang tidak mengenal Salima. Dan ketika lelaki itu mencak-mencak dan memaki kalang kabut tiba-tiba dia menubruk dan membentak dengan satu tangannya yang lain.

“Kau siluman, kau memasang besi panas di pundakmu!”

Salima lagi-lagi diam. Dia malah tertawa geli melihat tingkah lawannya itu, kembali membiarkan lawan mencengkeram bahunya dengan tangan yang satu. Tapi begitu tangan menyentuh pundaknya tiba-tiba lelaki ini pun berteriak dan mengaduh menjerit-jerit.

“Hu aduh, tanganku... tanganku...!”

Semua orang bangkit berdiri. Mereka melihat tangan yang ini pun bengkak, bahkan sekarang berwarna merah seolah dibakar. Orang-orang mulai tidak mengerti namun gentar memandang Salima. Tapi ketika Salima meneruskan minumnya dan pura-pura tidak tahu sekonyong konyong dua lelaki lain yang menjadi teman lelaki pertama bergerak mencabut golok menyerang Salima.

“Iblis, kau rupanya wanita siluman...”

“wut-wutt!” dua golok itu membacok, Salima mulai mengangkat kening karena orang dinilai mulai kelewatan. Dia ingin memberi hajaran. Maka begitu golok menyambar dan dia menyentil cawan arak tiba-tiba cawan itu terbang menangkis golok yang segera berbenturan sendiri, membuat dua orang ini terkejut karena mereka tak melihat gerakan Salima. Gerakan itu memang begitu cepat. Dan ketika mereka terdorong dan sama melotot tahu-tahu Salima menampar dan membalas.

“Pergilah!”

Dua orang itu terangkat naik. Mereka tiba-tiba seperti didorong tenaga raksasa dari bawah, begitu saja tak dapat ditahan. Tentu saja mereka menjerit dan kaget bukan main. Dan ketika mereka terbanting dan bergulingan di lantai ruangan ternyata keduanya sudah babak-belur dan golok mereka pun mencelat entah ke mana.

“Iblis.... Setan....!”

Keduanya bangun dengan muka pucat. Mereka memandang gentar ke arah gadis yang masih duduk di meja itu. Salima melayani mereka tanpa melepas pantat dari kursi. Dan ketika sadar bahwa gadis yang mereka hadapi ternyata memiliki kepandaian begitu tinggi, mendadak keduanya melarikan diri dan lenyap tunggang-langgang, disusul oleh laki-laki pertama yang tadi mencengkeram Salima. Kiranya orang-orang ini pun tidak bodoh. Mereka maklum menghadapi lawan pandai.

Dan begitu lawan meninggalkan dirinya dan Salima memesan kembali cawan araknya maka para tamu yang tadi memenuhi kedai itu menyingkir dan satu persatu menghilang ketakutan, tak ada yang berani lagi beradu pandang dengan gadis lihai ini. Salima sebal. Namun ketika beberapa saat kemudian terdengar derap puluhan kuda dan seorang pengawal berhenti di muka pintu maka bentakan nyaring terdengar lantang di luar,

“Wanita pengacau, kau keluarlah berhadapan dengan pasukan keamanan. Kami akas memeriksamu atas tuduhan membuat onar!”

Salima terganggu. Sebenarnya, melihat wataknya sehari-hari ketiga orang tadi termasuk beruntung. Dia tidak mencederai mereka, tidak mematahkan tulang-tulang mereka. Salima tak melakukan itu karena tiga laki-laki tadi dilihatnya sebagai gentong gentong kosong belaka, yang hanya berlagak tapi tak memiliki kepandaian apa-apa. Kini, melihat mereka mengundang pasukan keamanan dan tiga orang itu tampak bersembunyi di balik punggung pengawal yang membentak ini Salima menjadi marah dan menghentikan minumnya.

Dan pemilik kedai buru-buru mendekati, menjura dan membungkuk berulang-ulang agar dia tidak membuat keributan di dalam kedai. Habis kedainya nanti. Pemilik kedai itu tampak ketakutan. Dan ketika bentakan di luar kembali terdengar dan Salima enggan keluar, tiba-tiba pemilik kedai ini mencium kaki Salima teriba-iba berkata,

“Lihiap, tolong aku. Itu San-ciangkun. Dia kejam dan sewenang-wenang. Kalau kau tidak menyambutnya salah-salah aku disangka komplotanmu. Tolong kau keluar dan selesaikan ini tanpa merugikan aku!”

“Hm!” Sdlima tertawa mengejek. “Yang mencari ribut bukanlah aku, lopek, tapi mereka. Suruh saja mereka itu masuk dan kujamin barang-barangmu utuh.”

“Ah, mereka galak, lihiap. Mana aku berani?”

“Kalau begitu biarkan saja, biar mereka ke mari!”

Pemilik kedai itu mengeluh. Dia menggigil menoleh ke sana ke mari, sebentar ke si pengawal dan sebentar ke Salima, bingung dia. Dan ketika Salima membiarkan saja bentakan di luar dan pengawal itu rupanya tak mau masuk juga tiba-tiba pengawal ini berteriak untuk menyuruh bakar kedai arak itu.

“Aduh, celaka, lihiap. Celaka! Habis warungku nanti....!”

Salima terkejut. Orang rupanya benar-benar menghendaki ia keluar, puluhan orang yang mengepung sudah bersiap siap dengan membawa minyak. Sekali bakar tentu kedai ini akan habis! Dan ketika pemilik kedai menangis dan Salima jengkel oleh keributan di luar tiba-tiba gadis ini bergerak dan melesat dengan kursi masih menempel di bokongnya, langsung berhadapan dengan pengawal pemimpin ini, duduk dan kini bersikap seperti ratu yang bersinar-sinar memandang orang-orang itu.

Tentu saja orang-orang tertegun dan melongo melihat demonstrasinya ini. Salima sengaja menunjukkannya untuk mencari kemenangan mental. Dan ketika orang-orang bengong dan minyak tidak jadi dituangkan maka Salima menegur pengawal pemimpin ini, seorang laki-laki garang dengan golok bergagang tombak, hidungnya seperti jambu monyet,

“Monyet busuk, kalian mau apa mengganggu seorang wanita yang enak minum-minum? Kurang kerjaankah kalian ini hingga minta kuhajar?”

Pengawal itu terkejut. “Kau mata-mata, kami datang untuk memeriksa dirimu!”

“Hm, atas petunjuk tiga anjing buduk itu?”

Pengawal ini marah. “Mereka bukan anjing, mereka informan (penyelidik)”

Salima tertawa. “Hidung monyet, sebaiknya kau pergi dan suruh tiga penyelidikmu itu bekerja lebih baik. Aku tak mau berurusan dengan kalian dan enyahlah!”

Pengawal ini gusar. Dia terang-terangan dimaki si hidung monyet, hinaan di depan begitu banyak anak buahnya. Tentu saja dia melotot. Tapi melihat Salima seorang gadis cantik dan tubuhnya pun cukup menggairahkan tiba-tiba dia menggeram menekan kemarahannya. “Nona, kau jangan sembarangan bicara. Daerah ini dikuasai Thai-taijin, kau harus tunduk memasuki wilayah orang dan tidak mencari perkara. Kau kami tangkap dan menyerahlah baik-baik. Aku masih sayang kulitmu yang halus.”

“Hm, mau coba-coba? Kalau begitu tangkaplah, aku tak akan beranjak dari kursiku dan kalian boleh menyerang.”

“Sombong!” perwira atau pengawal itu membentak, tak dapat menahan diri dan menyuruh lima pembantunya bergerak.

Lima pengawal di sebelah kanan menubruk dan menusukkan tombak mereka. Salima tenang saja dan tertawa mengejek. Dan ketika lawan menyerang dan dia memutar lengannya daa kali tiba tiba pukulan jarak jauh dilontarkan gadis ini ke arah lima pengawal itu.

“Bress!” lima pengawal itu menjerit roboh. Tombak di tangan mereka mencelat jauh, mereka disambut pukulan kuat yang meluncur dari lengan gadis itu. Tentu saja mereka terpekik dan pemimpin mereka terbelalak. Bukti akan kelihaian gadis itu tampak di depan hidung. Tapi karena dia marah dan perbuatan Salima menaikkan temperamennya tiba-tiba perwira ini tak sabar menyuruh semuanya maju, tak kurang dari dua puluh pengawal.

“Tangkap dan ringkus dia....!”

Semua pengawal bergerak. Mereka sebenarnya jerih, tapi karena kini maju berbareng dan Salima juga tetap di kursinya tiba-tiba mereka menjadi berani dan menyerang dengan tembak dan golok bagai sekumpulan srigala menyerang seekor domba. Salima tak berbuat apa-apa sebelum mereka mendekat, tapi begitu jarak sudah dirasa cukup dan orang-orang ini menubruknya dari segala penjuru tiba-tiba Salima melengking dan mumbul ke atas. Kursi yang diduduki ikut terangkat naik, para pengawal bengong. Separuh diantara mereka menghentikan gerakan. Tapi begitu Salima turun kembali dan kaki bergerak ke sana-sini tiba-tiba seperti kecapung beterbangan saja Salima membagi-bagi pukulan dan tendangan ke arah dua puluh pengawal itu.

“Des-des-dess!”

Semuanya terkejut. Semuanya terpelanting dan roboh berpelantingan bagai disambar petir. Golok dan tombak berhamburan patah-patah. Dan ketika Salima hinggap kembali di tempatnya semula dan perwira berhidung monyet melongo maka dua puluh pengawal sudah mengaduh-aduh di tanah dengan tubuh babak-belur.

“Keparat!” perwira ini gentar. “Kalian orang-orang tiada guna. Ayo bangun, ambil senjata lagi dan serang....!” Dan menoleh pada tiga laki-laki tinggi besar yang bersembunyi di belakang punggungnya, perwira ini menghardik, “A-lu, bantu aku. Kalian jangan ndomblong saja. Ayo...!” dan berteriak menyuruh anak buahnya bangun dan menyerang lagi perwira ini sekarang maju, meskipun gentar tapi dia penasaran juga.

Kerasnya tangan Salima belum dia rasakan sendiri. Maka begitu anak buahnya mengambil senjata baru dan tertatih-tatih menyerang Salima segera perwira ini membentak menggerakkan golok tombaknya, dibantu pula tiga laki-laki tinggi besar yang bersembunyi di belakang punggungnya tadi, terpaksa maju lagi meskipun mereka semakin pucat. Kelihaian Salima ini membuat nyali mereka menciut.

Dan ketika Salima dikeroyok lagi dan hujan senjata kembali menghambur ke arahnya maka Salima mengincar perwira berhidung monyet ini sambil tertawa mengejek. “Monyet busuk, rupanya kau harus menerima hajaran!”

Salima mumbul ke atas lagi, sekarang menangkis dan dengan tangan telanjang mematahkan senjata lawan. Para pengawal berteriak keras karena senjata lagi-lagi patah, perwira yang memimpin juga terkejut dan pucat, tangan yang halus itu ternyata tak kalah ampuh dengan sebatang pedang. Dan ketika dia gugup membacok dan Salima berkelebat ke arah dirinya tiba-tiba goloknya patah pula dan tangan Salima mengenai pelipisnya.

“Plak!” perwira itu menjerit, roboh terbanting dan pingsan seketika.

Anak buahnya geger dan mundur berteriak-teriak. Salima turun kembali dan tak ada satu pun yang menolong perwira itu. Semua pengawal gentar. Tiga laki-laki tinggi besar sudah mendahului lintang-pukang melarikan diri, kini Salima menghadapi pengawil-pengawal yang ketakutan itu. Dan ketika Salima menggebah dan perwira yang pingsan itu ditendangnya hingga mencelat di tengah-tengah anak buahnya maka para pengawal ini berseru keras menyambut pemimpin mereka dan lari di atas kuda masing-masing.

“Siluman....!”

“Kuntilanak....!”

“Kita ketemu iblis....!”

Salima tersenyum mengejek. Sekarang dia telah memberi pelajaran pada orang-orang itu, bangkit berdiri dan mengeluarkan sekeping perak. Pemilik kedai dilihatnya melongo di muka pintunya. Dia mungkin dikira setan. Dan geli serta ingin menunjukkan dirinya lebih hebat lagi tiba-tiba Salima menendang kursi yang didudukinya dan berkelebat lenyap.

“Lopek, itu pembayaran minumku!”

Pemilik kedai semakin mendelong. Salima lenyap begitu saja, gerakannya seperti iblis. Dan ketika dia sadar namun orang sudah tak kelihatan lagi tiba-tiba pemilik kedai ini menjatuhkan diri berlutut dan malah menangis. “Sian-li (dewi), tak perlu bayar uang minummu. Biarlah kau ambil saja agar keberuntungan nasibku tidak tertimpa sial!”

Kiranya, pemilik ini takut kalau Salima adalah dewi atau kuntilanak pembawa sial. Para pengawal menyebutnya iblis tapi dia malah menyebutnya dewi. Salima sendiri tertawa di kejauhan sana dan tentu saja tak mau mengambil uangnya, malah dia melempar berturut-turut dua keping emas yang menancap di dekat pemilik kedai ini. Pemilik itu tertegun tapi gembira luar biasa. Kini keberuntungan benar-benar diperolehnya.

Dan ketika dia mengambil dua keping emas itu sementara Salima lenyap ke arah timur maka Salima sendiri sudah meneruskan perjalanannya dan coba menghilangkan kekesalan dengan lebih dalam lagi masuk ke tembok besar, mulai dipandang keheranan serta curiga oleh orang-orang yang tak mengenalnya.

Hari demi hari serbuan bangsa Tar-tar memang semakin menggemparkan. Kali ini Salima menjauh karena dia tak enak juga, dia ingin menghindari keributan dengan orang orang rendahan itu. Dan ketika seminggu kemudian dia tiba di sebuah hutan di mana dia merasa kecewa karena jejak suhengnya tak didapatkan juga mendadak lima orang berlompatan menghampirinya.

“Sian-li lihiap...!”

Salima tertegun. Sin Kok muncul bersama adiknya, memanggil dan sudah berada di depannya dengan wajah berseri-seri, di belakangnya berdiri dengan muka cemberut tiga laki-laki pendek yang bukan lain Sin-to Sam enghiong adanya. Salima girang, sedetik kekesalannya lenyap dan dia memandang orang-orang itu. Mereka ini tentu dapat ditanya mengenai suhengnya. Inilah orang-orang yang dikenal sejak dia memasuki tembok besar, setelah sekian lama berpisah.

Tapi melihat muka cemberut yang ditunjukkan Sin-to Sam-enghiong dan juga Hwi Ling yang tampaknya tidak bersahabat tiba-tiba saja teguran Sin Kok tadi disambut dingin oleh Salima yang merasa tidak senang oleh sikap empat orang ini.

“Saudara Sin Kok, ada apa kau memanggilku? Bagaimana kalian ada di sini?”

Sin Kok berseri-seri. “Kami mencari suhengmu, lihiap. Kami sampai di sini karena mencari suhengmu itu. Paman Beng Kwan baru saja bertemu tapi sudah kehilangan jejaknya lagi!”

“Hm, kalian tahu?” Salima bersinar penuh harap. “Di mana suhengku itu dan kapan saudara Beng ini menemuinya?” pertanyaan terakhir jelas ditujukan pada orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong itu.

Beng Kwan bersikap dingin dan mendengus. Baru ketika Salima mengerutkan kening dan tajam memandang laki-laki itu maka orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong ini bicara, “Tiat-ciang Sian-li, suhengmu Kim-mou-eng memang pernah bertemu kami. Tapi kami tak tahu di mana dia sekarang berada. Kami mengira justeru kaulah yang menyembunyikan suhengmu itu, karena itu serahkan kepada kami dan biar kami tangkap untuk dihadapkan kaisar secara baik-baik!”

Salima gusar. “Memangnya siapa kalian ini yang dapat menangkap suhengku? Apakah kalian menuduh suhengku pula mencuri Sam-kong-kiam?”

“Aha, bagus. Kau pun telah berterus terang, Tiat-ciang Sian-li. Sekarang kami akan bicara blak-blakan saja bahwa kami pun menduga kau tahu tentang pedang ini. Serahkan dan menyerahlah baik-baik kepada kami!”

“Paman!” Sin Kok kaget. “Kenapa malah hendak memusuhi Sian-li lihiap ini? Bukankah dia tak mencuri pedang?”

“Ah, mencuri atau tidak dia adalah sumoi Kim-mou-eng, Sin Kok. Dia tentu tahu sepak terjang suhengnya itu. Kalau Kim mou-eng menyembunyikan diri tentu gadis ini tahu di mana suhengnya itu. Tak perlu dia bersikap pura-pura!”

Beng Kwan memberi tanda kepada adik-adiknya, mencabut golok dan Hwi Ling pun mengangguk, melolos pedangnya dan mereka berempat sudah mengepung gadis ini. Salima mengangkat keningnya dan naik darah. ini hinaan langsung. Dan ketika lawan sudah mengelilinginya dengan sikap mengancam dan rupanya mereka itu tak mau diajak bicara lagi tiba tiba Salima mendengus dan tertawa mengejek, darah dinginnya muncul, mata berkilat kilat memandang empat orang lawannya itu.

“Sin-to Sam-enghiong, kalian rupanya mencari penyakit. Aku sedang jengkel tak menemukan suhengku, sebaiknya tak perlu kalian mengeluarkan senjata tajam agar tidak melukai diri sendiri!'“

“Kau tak perlu banyak cakap, Tiat-ciang Sian-li. Bagi kami beritahukan di mana suhengmu itu atau kau kami tangkap untuk dipaksa mengaku!”

“Kalau begitu majulah, aku juga sebal melihat tampang kalian!” Salima tak mau banyak bicara, mengejek pada orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong itu.

Sementara Sin Kok di luar sana pucat, menyerah adiknya mundur tapi Hwi Ling malah mendamprat kakaknya. Pemuda ini gelisah, bingung. Dan ketika Beng Kwan memben tak dan menyuruh Sin Kok mencabut pedangnya tiba tiba orang tertua dari Sin-to Sam eng-hiong ini melengking dan berkelebat ke depan dengan serangan pertamanya.

“Wuut...!” golok mengaung, dielak dan Beng San serta Beng Kwi menyusul kakaknya, tiga golok berkelebatan cepat bagai sinar pelangi, berubah menjadi garis-garis lurus ketika silang-menyilang memburu Salima. Gadis ini berlompatan sementara mata mulai berapi, sinar maut membayang di muka Salima. Dan ketika Hwi Ling melengking dan juga menubruk ke depan maka Salima sudah dikeroyok empat lawan yang sama-sama bersenjata tajam.

“Sing-sing-plak!”

Salima mulai menangkis, dengan tangan telanjang mengejutkan empat lawannya karena golok atau pedang yang mereka pegang tergetar. Gadis itu berputaran cepat mengikuti keliauan senjata, bagai walet beterbangan saja Salima menyambar2 di antara hujan bacokan atau tusukan. Memang hebat gadis ini. Dan ketika Beng Kwan terbelalak dan dua adiknya mengeluh merasakan tangkisan yang kian kuat maka Salima sudah berseru mengerahkan Tiat-lui-kangnya. Tenaga Petir.

“Sio-to Sam-enghiong, kalian yang mulai lebih dulu. Jangan salahkan aku kalau jalan kekerasan terpaksa kutempuh!”

Dan Salima yang mulai menampar dan mengebutkan tangannya ke segala penjuru tiba-tiba menolak dan menghalau tiga batang golok dan sebatang pedang, membuat lawan terpekik karena telapak tangan seketika melepuh, tangkisan Salima seolah membeset mereka itu. Sin-to Sam-enghiong terhuyung sementara Hwi Ling pun terpelanting, gadis ini memang paling lemah di antara empat orang itu. Dan ketika Salima membentak dan meloncat tinggi melakukan tamparan maut tiba-tiba tubuh gadis ini berkelebat lenyap membagi-bagi pukulannya ke arah pelipis lawan.

“Jangan....!” Sin Kok kaget, berseru keras dan maju menubruk Salima.

Pemuda itu pucat karena tamparan Salima merupakan tamparan maut, angin tamparannya saja sudah meniup kencang dan panas. Dan karena dia mengkhawatirkan empat temannya dibunuh dan Sin Kok gelisah mencegah ke depan maka dia sudah menubruk Salima dan coba menghentikan tamparan Salima terhadap teman-temannya, membuat Salima terkejut dan otomatis terganggu, tenaganya berkurang sejenak tapi pukulan atau tamparan itu tetap meluncur ke depan. Serangan ini tak dapat dihalangi. Dan karena Sin Kok malah maju menubruk dan coba mencegah maka pemuda itupun terserempet pukulan dan roboh terbanting.

“Des-des-dess!”

Lima orang itu bergulingan mengeluh. Salima telah mengurangi tenaganya sedikit, gara-gara gangguan Sin Kok tadi. Tapi karena Tiat-lui-kang merupakan tamparan ampuh dan Beng Kwan mau pun kawan kawannya tak dapat menahan maka mereka terpelanting dan roboh bergulingan. Orang tertua Sin-to Sam-enghiong ini hangus bajunya. Dua saudaranya sedikit terbakar sementara Hwi Ling sendiri sudah roboh pingsan. Hanya Sin Kok yang selamat dengan sedikit baju pundak terobek, pemuda ini terpental dan terlempar lima tombak. Dan ketika Sin Kok melompat bangun dan Beng Kwan serta adik-adiknya pucat mengeluh terhuyung maka Sin Kok menghampiri adiknya dengan kaki menggigil.

“Lihiap, kau bunuhkah adikku?” Sin Kok berlutut, memeriksa adiknya tapi lega adiknya tak tewas, hanya pingsan saja. Dan ketika pemuda itu bangkit lagi dan menghadapi Salima maka Salima menegur lawannya yang sudah kehilangan senjata karena golok dan pedang mencelat entah ke mana.

“Sin-to Sam-enghiong, kalian sedikit tertolong oleh cegahan pemuda ini. Kalau Sin Kok tidak menghalangi tentu kalian semua binasa. Sekarang harap tahu diri, kalau masih ngotot dan ingin menyerang tentu aku tak akan segan-segan lagi dan membunuh kalian!”

Sin-to Sam-engbiong menggigil. Mereka harus mengakui kelihaian lawan, Salima nyaris membunuh mereka kalau Sin Kok tadi tidak berteriak. Hebat gadis ini. Tapi Beng San yang termasuk berangasan dan mendelik marah tiba-tiba membentak, “Tiat-ciang Sian-li, lebih baik kau bunuh kami daripada menelan hinaan. Aku tidak takut, kalau mau mati biarlah mati...!”

Laki-laki ini menubruk, kakak dan adiknya kaget karena Beng San dianggap nekat. Salima mendengus melihat serangan itu. Dan karena dia sudah memperingatkan dan orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong ini dinilai tak tahu diri tiba-tiba Salima menggerakkan tangannya dan menampar dari jauh.

“Kau mampuslah!”

Sinar kemerahan melnncur cepat. Tiat-lui-kang lagi-lagi menyambar. Beng Kwan dan Beng Kwi pucat. Tapi karena mereka menyayangi saudara mereka itu dan maklum akan pukulan Petir, tiba-tiba dua kakak beradik ini hampir berbareng membentak menubruk saudara mereka nomor dua itu.

“Awas....!”

Beng San terbelalak. Dia memang nekat, menerjang Salima dan kini disambut pukulan panas Tiat-lui-kang, coba mengelak tapi kalah cepat. Tapi ketika dia mengeluh dan hampir tewas oleh tamparan Salima tiba-tiba dua saudaranya menubruk dan membantingnya bergulingan ke kanan, Beng San berteriak karena kaget oleh tubrukan saudaranya. Bertiga mereka menyelamatkan diri dari tamparan maut itu. Namun karena angin pukulan masih menyerempet dan Beng San terkena lehernya tiba-tiba orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong ini menjerit dan roboh pingsan.

“Plak!” Beng Kwan dan kakaknya melompat bangun. Mereka sendiri merasakan angin pukulan panas itu, dada terasa nyeri dan batuk-batuk, segera memandang adik mereka yang terkapar. Melihat leher Beng San gosong tapi saudara mereka itu selamat, pingsan dan tidak tewas. Mereka lega, meskipun marah. Dan ketika mereka tertegun namun girang saudara mereka berhasil diselamatkan maka Salima yang mendengus dan tertawa dingin tiba-tiba berkelebat lenyap tak mau berdiri lagi di situ.

“Beng Kwan, adikmu tak dapat menoleh selama tiga bulan. Kalau dia macam-macam dan kalian mau bertingkah boleh cari aku kembali di lain waktu...!”