Pedang Tiga Dimensi Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 04
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“SIAPA orang ini, suhu?” Kim-mou-eng memotong.

“Sabar, tak ada yang tahu siapa orang ini pada mulanya. Dia seorang laki-laki muda yang dapat menandingi kesaktian Hek Bin. Pertarungan mereka diceritakan luar biasa dahsyat karena mereka dapat bertempur di atas air dan di udara. Hek Bin dan lawannya dapat mengeluarkan apa yang tidak bisa dikeluarkan orang lain. Hujan, api, guntur serta angin taufan yang membuat mereka bertempur tujuh hari tujuh malam. Matahari gelap dan terang ketika pertempuran itu terjadi, banyak yang ternganga ketika menyaksikan pertarungan yang amat luar biasa itu. Tapi ketika pada hari ke delapan laki-laki muda yang gagah perkasa ini mulai kelelahan menghadapi lawannya yang hebat tiba-tiba orang muda itu melarikan diri di puncak mega yang paling atas. Hek Bin mengejar, si angkara itu juga kelelahan tapi tak mau kehilangan lawan, mereka sebenarnya sama-sama terluka. Dan ketika Hek Bin mencari-cari lawannya di mega yang tebal tiba-tiba lawannya itu muncul dalam bentuk sebatang pedang yang memiliki tiga macam sinar!”

“Sam-kong-kiam?”

“Benar, itulah pemuda yang menjelma dalam bentuk pedang itu. Hek Bin terkejut karena sinar di tubuh pedang ini menyilaukan matanya. Pedang bergerak dan menyerang di atas mega, sinarnya berkali-kali mencuat dan orang di bumi mendengar ledakannya yang dahsyat. Dan karena roh pemuda itu bersembunyi di balik pedang ini dan terus bergerak serta menyerang lawannya akhirnya Hek Bin kewalahan dan terdesak hebat..”

“Dan akhirnya si angkara terbunuh, suhu?” Kim-mou-eng kembali tak sabar memotong.

“Tidak, Hek Bin memang terdesak dan kewalahan. Tapi karena si angkara ini memiliki kesaktian yang disebut Seribu Nyawa Rangkap maka dia tak dapat dibunuh karena setiap kali di bunuh maka setiap kali itu pula dia bangkit lagi dengan nyawa yang baru!”

“Ah, demikian hebat?” Kim-mou-eng terbelalak.

“Ya, begitu menurut dongeng dalam kitab-kitab di perpustakaan itu. Kim-mou-eng. Dan karena Hek Bin tidak dapat dibunuh berkat kesaktiaannya memiliki Seribu Nyawa Rangkap itu akhirnya pemuda gagah perkasa dalam bentuk badan pedang itu mendapat sebuah akal dengan cara membelit belit tubuh Hek Bin dengan sinar pedangnya. Hek Bin akhirnya dililit, terus dililit dan akhirnya tak dapat bergerak. Dan ketika si angkara itu roboh dan pemuda ini mencapai kemenangan maka si angkara lalu diikat pada sebongkah mega yang luar biasa berat dan besar di angkasa!”

“Fantastis!” Kim-mon-eng berseru. “Apakah sampai sekarang si angkara itu masih hidup, suhu?"

“Entahlah, ini memang cerita dalam dongeng Sam-kong-kiam itu, muridku. Tapi satu hal yang dipercaya jelas adalah Sam-kong-kiam memiliki keampuhan luar biasa hingga matahari pun akan meredup sinarnya bila bertemu Sam-kong-kiam!”

“Begitu hebat?”

“Ya, begitu hebat. Karena itu lampu-lampu dan semua penerangan lain akan padam bila bertemu Pedang Tiga Sinar ini!”

Kim-mou-eng mengeluarkan suara decak berkali-kali. Dia kaget dan kagum bukan main mendengar ampuhnya pedang sakti ini, hampir tak percaya. Tapi karena yang bicara itu adalah suhunya sendiri dan tak mungkin suhunya bohong tiba-tiba pendekar ini teringat kisah tadi yang belum berakhir secara tuntas. “Suhu, lalu bagaimana kaisar Cung-ho dan lain-lain itu mendapat tahu siapa pemuda penolongnya ini? Dan bagaimana pula Sam-kong-kiam jatuh di tangan kaisar itu?”

“Hm, pemuda itu sebenarnya bukan lain putera Mahadewa Sin Seng sendiri, muridku. Dia di utus ayahnya untuk menghadapi Hek Bin yang sebenarnya jelmaan roh Dewa Naga Hitam. Dewa Naga ini membuat onar di mana-mana, di langit dan di bumi dia selalu membuat kerusuhan. Karena itu untuk menghadapi si angkara Hek Bin yang sebenarnya jelmaan dari Dewa Naga Hitam ini lalu Mahadewa Sin Seng mengutus puteranya untuk membekuk pengacau itu, menangkap dan mengikatnya hingga Hek Bin atau roh dari Dewa Naga itu tak dapat berkutik lagi”

“Dengan demikian kerusuhan tak akan ada lagi di muka bumi?”

“Secara teoritis memang begitu,” gurunya tersenyum aneh. “Tapi kitab kuno diperpustakaan kaisar itu menerangkan lain.”

“Menerangkan bagaimana, suhu?”

“Bahwa kerusuhan tak dapat dihapus secara total di muka bumi ini. Hek Bin yang marah dan dendam pada lawannya setiap saat menggeram-geram, air liurnya menetes-netes dan tetesan air liurnya inilah yang membawa bibit penyakit di muka bumi. Siapa yang kejatuhan air liur ini bakal mewarisi kejahatan Hek Bin dan dialah yang akan melanjutkan sepak terjang si angkara itu sampai bumi terguncang lagi!”

Kim-mou-eng terkejut. “Suhu percaya iti?”

Suhunya tertawa. “Siapa harus percaya dongeng yang bisa dibuat-buat, muridku? Tapi kalau dimaksudkan di sini bahwa kejahatan tak mungkin lenyap secara total memang aku mempercayai itu! Bumi sudah dipenuhi dua unsur, baik dan buruk, indah dan jelek. Bukankah ini saja sudah menunjukkan apa yang terjadi? Bumi yang menjadi tempat tinggal manusia memang bukan tempat yang selalu tenang, muridku. Karena itu dengan melihat ini saja kita sudah tahu apa yang sebenarnya akan dan harus terjadi!'“

Kim-mou-eng mengangguk-angguk. “Lalu kembali pada masalah Sam-kong-kiam tadi,” dia bicara. “Apakah pedang ini diwariskan pada kaisar Cung-ho, suhu?”

“Begitu menurut kitab kuno itu,” jawab gurunya. “Pemuda yang telah menjadi badan pedang ini ingin menjaga ketentraman di muka bumi. Dia melanjutkan tugas yang diberikan ayahnya untuk melindungi manusia-manusia di bumi lewat perantaraan kaisar Cung-ho. Kaisar ini memang dikenal sebagai kaisar yang bijak dan adil. Banyak disuka dan dicintai rakyatnya. Maka ketika Hek Bin tak dapat melepaskan diri lagi dari ikatannya dan putera Mahadewa Sin Seng ini menyelesaikan tugasnya maka dia menjatuhkan diri ke pangkuan kaisar Cung-ho dalam bentuk pedang Sam-kong-kiam itu, berseru agar kaisar menyimpan dia baik-baik dan dengan begitu kaisar ini memiliki kewibawaan besar. Pamor dari kesaktian Sam-kong-kiam membuat wibawa kaisar Cung-ho naik, banyak lawan menjadi kawan. Tapi karena Hek Bin yang terikat di angkasa sana selalu meneteskan liurnya dan mencari jalan untuk membalas dendam maka seperti yang dikatakan tadi kerusuhan bakal selalu ada dan mengguncang permukaan bumi ini.”

“Dan kaisar Cung-ho merupakan kaisar pertama yang memiliki Sam-kong-kiam ini, suhu?”

“Benar, begitu menurut kitab-kitab di perpustakaan sana. Nenek moyang kaisar sekarang mengakuinya, tapi karena cerita dongeng bisa saja ditambahi sana-sini maka aku hendak memberitahukan apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan pedang ini.”

Kim-mou-eng tertarik. “Suhu mengetahui itu?”

“Ya, cobalah dengarkan sebentar.” kakek itu menarik napas. “Pedang Tiga Dimensi atau Pedang Tiga Sinar ini sebenarnya melupakan simbol kejayaan bagi pemiliknya, Kim mou-eng. Karena warna atau masing-masing sinar dari tubuh pedang itu memiliki arti. Pertama adalah warna hijau. Warna ini memberi jaminan akan harta, artinya selama hidup orang itu tak mengenal artinya miskin karena harta dunia akan selalu bergelimang memandikan tubuhnya. Lalu warna kuning. Warna ini menunjukkan kejantanan. Laki-laki yang dilindungi warna ini akan memiliki kekuatan seks luar biasa. Dia sanggup melayani puluhan bahkan ratusan wanita. Tapi karena warna kuning juga merupakan warna yang mengisyaratkan hati-hati maka seyogianya laki-laki yang melindungi warna ini tak menghambur-hamburkan kejantanannya dalam urusan wanita!”

Kim-mou-eng menahan napas. “Wah, begitu hebat, suhu? Agaknya hanya kaisar saja yang dapat menjadi orang seperti itu!”

“Ya, karena itu Sam-kong kiam memang milik kaisar. Tapi jangan potong dulu keteranganku. Perhatikan baik-baik untuk warna terakhir ini, warna merah. Kau tahu apa yang menjadi tanda bagi warna merah ini?”

“Tidak,” Kim-mou-eng tentu saja menggeleng.

“Warna merah ini menunjukkan warna kekuasaan, muridku. Siapa yang dilindungi warna ini berarti dia memiliki kekuasaan yang amat besar di muka bumi. Karena itu lagi-lagi hanya kaisar atau maharaja yang mampu memiliki hal seperti itu!”

“Kekuasaan?”

“Ya, kekuasaan. Jadi lengkaplah sudah apa yang menjadi arti dari masing-masing warna yang ada di tubuh Pedang Tiga Dimensi itu. Hjau, kuning dan merah. Dengan lain kata: Harta, Kejantanan dan Kekuasaan. Tapi karena kekuasaan ini juga merupakan sesuatu yang amat besar risikonya maka warna merah juga dimaksudkan sebagai warna bahaya. Artinya, orang yang dilindungi warna ini harus melipatgandakan kehati-hatiannya agar tidak celaka oleh warna itu juga. Karena sekali dia lengah dan salah melangkah maka warna merah akan menghantarkannya ke penderitaan kekal di dunia dan akhirat!”

Kim-mou-eng tertegun, tanpa terasa dahi pun tiba-tiba berkeringat. 'Suhu, berat sekali arti dari tiga warna pada Pedang Tiga Dimensi itu. Kekayaan, Kejantanan dan Kekuasaan. Orang yang mendapatkan ini berarti menerima kemuliaan yang tiada taranya. Sungguh tak menyesal hidup sekali di atas bumi. Semuanya diperoleh. Tapi, begitu enakkah jaminan yang diberikan oleh pedang yang ampuh itu?”

“Pedang itu memang jelmaan dewa, muridku, begitu menurut catatan di perpustakaan kaisar. Jadi agaknya dapat diterima juga oleh kebanyakan orang karena kehidupan para dewa pada umumnya dianggap jauh lebih baik daripada kehidupan manusia. Tapi masalah enak atau tidak enak tergantung yang bersangkutan juga. Manusia mahluk yang tak kenal puas, apa yang sesungguhnya enak bisa saja dianggap masih kurang enak. Yang sesungguhnya harus disyukuri ternyata tak disyukuri. Semuanya tergantung pribadi masing-masing.”

“Dan kekurangannya, apa yang menjadi kekurangan dari Pedang Tiga Dimensi ini, suhu?"

“Tunggu, sudah cukup jelaskah kau akan semua keteranganku tadi?”

“Teecu kira cukup cukup jelas.”

“Baik, kalau begitu berikan komentar atau sedikit tanggapan bila kau benar-beiuar sudah sudah cukup jelas!”

Kim-mou-eng terkejut. “Apa, suhu? Memberi tanggapan?”

“Ya, tanggapan atau komentar. Bagaimana komentarmu bila sekarang kau mengetahui akan kelebihan dari Pedang Tiga Dimensi ini!”

Kim-mou-eng bingung.

“Ayo, kenapa diam. Bukankah kau bilang sudah cukup jelas? Kalau kau sudah mengerti atau cukup jelas tentunya kau akan segera memberi tanggapan apa yang terjadi kalau seseorang sudah mengetahui perihal jaminan-jaminan yang di berikan Pedang Tiga Dimensi ini!”

Kim-mou-eng gugup. “Maaf, teecu bingung. Teecu tak mengerti apa yang suhu kehendak.”

“Hmm, ini artinya keteranganku belum meresap benar di hatimu Kim-mou-eng. Engkau tergesa-gesa melangkah sebelum langkah pertama kau maklumi benar.”

“Suhu barangkali benar. Teecu mohon petunjuk.”

“Baiklah, sekarang kutuntun sedikit. Sebenarnya rahasia kelebihan Pedang Tiga Dimensi ini tidak banyak orang tahu. Di dunia ini barangkali hanya beberapa gelintir orang saja, tapi sekarang rupanya terjadi kebocoran. Kalau sekarang orang tahu apa yang menjadi kelebihan pedang ini apa kira-kira yang akan terjadi pada saat itu? Tidakkah timbul keinginan untuk memiliki pedang yang menjanjikan kenikmatan hidup ini?”

“Ah,” Kim-mou-eng sadar. “Memang benar, suhu. Orang mulai tertarik dan timbul keinginan untuk memiliki pedang itu!”

“Benar, kemudian apa?”

“Kemudian terjadi tindak kekerasan. Orang yang sudah mengetahui kehebatan pedang ini akan merampas dan kemudian berbuat onar!”

“Bagus itu yang kumaksud. Kalau sudah begini jawabanmu maka berarti sungguh-sungguh kau sudah mengerti cukup jelas. Ini berarti pengetahuanmu semakin dalam. Kau masih ingat wejanganku beberapa bulan yang lalu? Bukankah orang cenderung mendekati kesenangan menjauhi ketidaksenangan? Nah, pencurian pedang ini juga berkecenderungan kesitu, muridku. Bahwa langkah pertama dari pemberontakan jiwa sedang terjadi. Bocornya rahasia pedang ini bakal membawa banyak petaka bagi manusia karena manusia tertutup oleh kebodohannya sendiri.”

Kim-mou-eng tertegun.

“Sekarang kau mengerti?”

“Ya, teecu mengerti. Kiranya kelebihan pedang ini telah bocor keluar. Dan karena dia sudah bocor keluar maka manusia-manusia lain akan memperebutkannya seperti apa yang telah teecu alami. Tapi, suhu, kenapa kau menyebut-nyebut tentang kebodohan? Bukankah salah kaisar kalau kebocoran ini terjadi?”

“Hai, sebaiknya jangan buru buru menuduh kaisar, muridku. Di dunia ini hampir tak ada hal yang tak diketahui orang lain, biarpun barangkali cuma dua orang saja yang mengetahui sesuatu rahasia di muka bumi, itu hukum alam. Sebaiknya kembali saja pada masalah kebodohan itu, ini yang menjadi inti sari pembicaraan kita. Belumkah kau melihat sesuatu yang penting di sini? Ataukah kau belum menangkapnya?”

Kim-mou-eng mulai berhati-hati, “Suhu, teecu belum melihat kebodohan manakah yang sebenarnya kau maksud. Tapi sebelum kita ke situ barangkali tidak ada jeleknya kalau suhu menerangkan pada teecu sisi lain dari Pedang Tiga Dimensi itu, sebelum teecu kelupaan bertanya.”

“Kau maksudkan kekurangan pedang ini?”

“Benar, suhu. Bukankah kau sudah menunjukkan kelebihannya?”

“Baiklah, kuterangkan sedikit. Sebagai mana tadi kuberitahukan padamu bahwa di samping kelebihannya Pedang Tiga Dimensi ini juga memiliki kekurangan atau kelemahan. Padang ini jelmaaan seorang dewa, begitu menurut kitab kuno di perpustakaan kaisar. Dan karena putera Mahadewa Sin Seng ini seorang pemuda yang selama hidup belum pernah kawin maka dia amat takut sekali bersentuhan dengan wanita. Itulah sebabnya pedang ini diperuntukkan bagi kaum lelaki, bukannya wanita. Karena sesungguhnya tak ada faedahnya bagi wanita untuk memiliki pedang ini bila yang diinginkan adalah daya kegaibannya itu. Tapi kelak kalau pedang ini sampai jatuh pula ke tangan wanita maka selama empat puluh hari empat puluh malam cahaya gaib yang memancar di badan pedang itu akan lenyap dan Pedang Tiga Dimensi akan menjadi pedang biasa sampai seorang laki-laki akan mampu menghidupkannya lagi dengan jalan bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam pula!”

“Ah. begitu berat?”'

“Ya, begitu menurut kitab dongeng itu. Tapi selama ini kebetulan pula pedang itu belum pernah jatuh ke tangan seorang wanita. Tapi ada hal yang tak kalah pentingnya lagi. Yakni bila pedang itu jatuh ke tangan orang jahat!”

Kim-mou-eng terbelalak, tertarik hatinya. “Bagaimana itu, suhu? Dan tentunya orang jahat yang dimaksudkan di sini adalah laki-laki, bukan?”

“Benar, apa yang dilakukan bila pedang ini jatuh ke tangan penjahat, muridku?”

“Mana teecu tahu?”

“Kau harus tahu. Sekarang kuberi tahu. Begini, meskipun aku sendiri belum membuktikan tapi menurut catatan kitab kuno itu Pedang Tiga Dimensi atau Pedang Tiga Sinar ini akan hilang keampuhannya bila terkena air kencing bayi perempuan. Memang hilangnya keampuhan itu tidak selamanya, karena begitu dibersihkan dan di rendam air suci yang berasal dari pegunungan Himalaya keampuhannya bangkit lagi. Air ini tidak sembarang air, di dunia ini yang memiliki air suci yang dimaksud hanya dua orang saja. Satu adalah kaisar dan yang lain adalah Hu Lai Lama yang ada di Tibet. Aku tidak tahu di mana persisnya Hu Lai Lama ini tinggal, sedang air suci yang disimpan kaisar tentu hanya kaisar sendiri yang tahu.”

“Maaf,” Kim-mou-eng memotong. “Kenapa air itu disebut air suci, suhu?”

“Karena air itu berasal dari sumber di puncak Himalaya yang selamanya belum pernah disentuh wanita.”

“Jadi karena air itu belum pernah disentuh wanita lalu dinyatakan sebagai air suci?”

“Ya, khusus dalam hubungannya untuk memulihkan lagi kesaktian Pedang Tiga Dimensi ini. Bila karena satu dan lain sebab pedang itu terkena kencing bayi perempuan.”

“Hm....!” Kim-mou-eng mengangguk-angguk. “Lalu apa maksud suhu memberitahukan teecu semuanya ini? Apakah teecu akan mengalami celaka gara-gara pedang itu?”

Bu-beng Sian-su tersenyum aneh. “Kim-mou eng, adakah kau tidak merasa celaka gara-gara pedang itu? Adakah kau merasa biasa-biasa saja sejak pedang itu dinyatakan diambil olehmu?”

Kim-mou-eng terkejut. “Maksud suhu?”

“Jelas, aku memberitahukan ini karena ada sangkut-pautnya. Aku melihat kau bakal dibuat repot oleh Pedang Tiga Dimensi itu. Belum mendapatkannya saja sudah dibuat jatuh bangun seperti ini, apalagi kalau kau sudah memenuhi janjimu pada kaisar dan pedang itu dapat kau rampas kembali!”

“Ah,” Kim-mou-eng sadar. “Teecu memang akan mencari pencuri itu, suhu. Tapi berhasilkah teecu menurut pandangan suhu?”

“Kenapa ingin tahu lebih cepat? Bukankah sebaiknya kau jalani saja? Orang yang ingin buru-buru selesai menandakan kecerobohannya. Karena keterburu buruan tanpa kehati-hatian hanya akan merugikan diri sendiri belaka. Sebaiknya kau perhatikan tiga bait syait yang kubuat ini, lihat dan renungkan apa yang menjadi isi dari semuanya itu!”

Kim-mou eng tertegun. “Apa yang hendak suhu tunjukkan pada teecu?”

“Lihat dan amati, jangan tergesa bertanya!”

“Teecu belum menangkap, kecuali melihatnya sebagai syair yang bagus namun mengerikan!”

“Begitulah barangkali kau terperangkap oleh bait pertama. Tapi inti jawaban berada pada bait kedua!”

“Hm, tentang apa, suhu?”

“Sebuah pelajaran baru, tentang kehidupan dan fakta hidup yang nyata!”

“Teecu masih bingung,” Kim-mou-eng mengerutkan kening. “Teecu masih....”

“Masih tidak mengerti?” gurunya memotong. “Apa yang tidak dimengerti memang harus dipelajari, muridku. Tapi perlu kuberitahukan di sini bahwa pangkal semua kejadian ini bertolak dari kisah pedang ini. Manusia terjebak, kau dan anak cucu generasi-generasi mendatang bisa saja ikut terjebak. Karena itu waspada dan hati-hatilah. Sekarang amati lagi tiga bait syair itu. Baca dan lihat. Renungkan dalam-dalam. Jangan bertanya dulu!”

Kim-mou-eng dag-dig-dug. Biasanya, kalau gurunya sudah mulai memasang syair begini pasti sesuatu yang serius terjadi. Tak pernah gurunya main-main untuk hal yang percuma. Kim-mou-eng mulai mengerti kebiasaan gurunya ini. Tapi ketika dia mulai mengamati dan membaca syair itu ternyata Kim-mou-eng masih belum menangkap inti sarinya. Jawaban ada di tengah, begitu kata gurunya. Tapi jawaban yang bagaimana? Dan tentang apa? Tapi karena dia tak boleh tergesa bertanya dan kembali coba menelusuri syair itu bait demi bait tiba-tiba Kim-mou-eng mulai berseri mendapatkan sesuatu yang dirasa cocok.

“Suhu, agaknya kau hendak berbicara masalah pengejaran cita-cita atau apa saja yang dirasa manusia amat berharga!”

“Barangkali,”

“Atau suhu hendak membicarakan ke-aku-an manusia.”

“Barangkali.”

“Eh, kenapa barangkali, suhu? Apakah teecu salah!” Kim-mou-eng tertegun, memandang gurunya dan melihat gurunya tersenyum. Dan ketika dia penasaran kenapa berturut-turut dua kali gurunya menjawab “barangkali” tiba-tiba gurunya itu tertawa lembut padanya.

“Kim-mou-eng, haruskah kujawab semuanya itu sekarang? Haruskah kuberi penjelasan sebelum kau mengalami semuanya itu? Memberi jawaban sebelum ada penghayatan tak bakal menarik, muridku. Karena itu renungkan dan ingat dulu baik-baik apa yang kutulis ini. Aku telah melihat sesuatu akan terjadi, tapi karena itu belum terjadi dan masih akan terjadi maka biarlah kau cari jawabannya sambil berjalan!”

“Kalau begitu suhu memberikan kepala menyembunyikan ekor?”

“Bagaimana menurut pikiranmu?”

“Teecu penasaran, teecu ingin segera mendapatkan jawaban!”

“Ha-ha. jawaban tanpa kejadian ibarat air tanpa gelas, Kim-mou-eng. Tak dapat terminum dan tak akan kenyang. Kau tak akan puas dan mengerti!”

“Jadi teecu harus masuk dalam kejadian itu?”

“Ya.”

“Harus terlibat?”

“Benar, bahkan langsung. Jadi setelah itu kau akan mengerti dan paham apa yang kutulis di sini. Sekarang ku ulangi lagi, baca dan amati itu. Renungkan dan coba cari jawabannya.”

Kim-mou-eng agak gemas. Dia semakin penasaran karena gurunya memberi teka-teki tanpa jawaban. Dia membaca dan membaca lagi. Tapi ketika itu-itu saja yang dia dapatkan dan hasilnya masih nihil juga tiba-tiba Kim-mou-eng menyatakan tak mampu dan menyerah, membalik dan mohon petunjuk agar gurunya membantu. Tapi ketika dia melihat gurunya tak ada di situ lagi dan dia tak tahu kapan gurunya itu pergi mendadak perdekar ini terkesiap dan kaget membelalakkan mata.

“Suhu....!”

Tak ada jawaban. “Suhu...!”

Lagi-lagi tak ada jawaban. Dan ketika tiga kali Kim-mou-eng memanggil namun tiga kali itu pula gurunya tak menyahut mendadak sayup-sayup tanpa entah darimana berasalnya pendekar itu mendengar tawa gurunya dari jauh,

“Kim-mou-eng. Jawaban yang buru-buru diberikan hanya memuaskan nafsu belaka. Ini urusan akal budi, redam dulu nafsu keinginan itu dan pasang mata serta telinga baik-baik. Kalau kau tak dapat menemukan juga dalam perjalanan hidupmu nanti maka jawabannya akan kuberikan dalam saat yang tepat. Bersabarlah, cepat pulang den tengok kembali suku bangsamu di padang rumput itu!”

Kim-mou-eng kaget. Dia jadi bengong dan menjublak mendengar asal suara gurunya itu. Gurunya sudah di atas jurang padahal satu satunya tempat untuk keluar dari tempat itu hanyalah melalui lubang di sisi tubuhnya. Padahal dia tak mendengar sama sekali desir gerakan tubuh gurunya. Gurunya seolah bayangan tanpa asap. Atau sukma tanpa raga. Lolos tanpa sepengetahuan dirinya!

Tapi sadar bahwa gurunya si orang sakti luar biasa dan gurunya itu adalah manusia dewa yang kepandaiannya seperti malaikat saja tiba-tiba Kim-mou-eng menyesal tapi cepat menjatuhkan diri berlutut ke arah dari mana asal suara gurunya tadi berada, kecewa kenapa demikian cepat mereka harus berpisah. Pertemuan dengan gurunya itu sukar sekali!

“Suhu, kenapa buru-buru meninggalkan teecu? Tapi kalau suhu menghendaki begitu baiklah, teecu akan pulang dan melaksanakan petunjuk suhu. Teecu harap suhu menyertai teecu lahir batin. Mohon peringatan setiap kali teecu keliru!”

Dan Kim-mou-eng yang cepat bangkit kembali melompat keluar lubang segera mengetahui bahwa dia berada di tengah-tengah jurang yang amat dalam. Sejenak tertegun tapi cepat bergerak. Dan karena Kim-mou-eng adalah murid Bu-beng Sian-su dan Pendekar Rambut Emas ini adalah tokoh yang tak diragukan kepandaiannya lagi tiba-tiba dia sudah berjungkir balik mengayun tubuh dan dinding demi dinding tahu-tahu sudah dilewati pemuda ini dengan amat cepat, tanpa tali dan bantuan apapun, hanya telapak tangan dan kakinya itu. Kim-mou-eng memang telah pulih kekuatannya dan sembuh berkat usapan gurunya. Dan ketika Sekejap kemudian pendekar itu tiba di atas jurang dan muncul seperti iblis dari dalam kubur saja tiba-tiba pendekar ini tancap gas dan “terbang” menuju ke utara!

“Aku harus mencegah suku bangsaku berperang. Aku harus mencegah sumoiku mengamuk!”

Kim-mou-eng teringat perjanjian batas waktunya dengan bangsa Tar-tar, juga dengan sumoinya karena itu sudah lewat hari ke tujuh. Peringatan suhunya memang benar. Dia harus segera kembali ke suku bangsanya di luar tembok besar sana, diam-diam menyesali dan mengumpat gangguan-gangguan di tengah jalan yang membuat hari-hari nya lewat terhalang. Tanpa kenal lelah dan mati-matian dia memburu waktu. Tapi ketika Kim-mou-eng tiba di tempat suku bangsanya dan melihat padang rumput itu kosong tanpa penghuni tiba-tiba Kim-mou-eng jatuh terduduk dan mengeluh pucat.

“Tuhan Yang Maha Agung, iblis menghasut suku bangsaku!”

Ternyata bangsa Tar-tar sudah tak ada sama sekali di tempat asalnya. Kim-mou-eng hanya melihat sisa-sisa kayu bakar di sana-sini, berceceran bersama kotoran-kotoran kambing dan kuda. Tahulah Kim-mou-eng bahwa suku bangsanya melakukan serangan besar-besaran ke kota raja. Tentu karena dia tak pulang dan dianggap melebihi janji. Bangsa Tar-tar memang bangsa yang keras dan kaku. Dan ketika Kim-mou-eng terduduk dan pucat mengusap dadanya yang terengah tiba-tiba bayangan darah dan tubuh-tubuh yang bergelimpangan seolah terlihat di depan matanya melalui padang rumput itu.

“Tidak, jangan! Kalian harus kucegah. Ini salah paham!” dan Kim-mou-eng yang seperti gila melompat bangun tiba-tiba membalik dan meluncur lagi memasuki tembok besar, memekik dan melepas seruan keras mirip dengus seekor bison. Kim-mou-eng ngeri dan pucat sendiri. Dan karena dia tak dapat menemukan lagi suku bangsanya di situ dan maklum apa yang terjadi tiba-tiba pendekar ini berkelebat memanggil-manggil sumoinya.

Tentu saja tak ada karena suku bangsa Tar-tar dan Salima memang telah pergi dari tempat itu. Dan ketika Kim-mou-eng lenyap meninggalkan padang rumput dan cemas serta gemetar membayangkan apa yang dilakukan bangsanya maka jauh di timur dan barat orang orang Tar-tar ini memang melakukan serbuan besar dengan cara memecah diri menjadi beberapa kelompok bagai harimau-harimau haus darah yang ingin membalas dendam. Dan karena urusan ini berbuntut panjang dan satu sama lain tampaknya saling tabrak. Marilah kita ikuti apa yang terjadi pada bangsa Tar-tar ini.

* * * * * * * *

Hari itu, hari terakhir batas perjanjian Kim-mou-eng dengan bangsa Tar-tar diliputi mendung tebal. Semalam hujan turun, lapangan rumput yang amat luas itu basah, di sana-sini becek. Dan Salima yang mewakili suhengnya sebagai pemimpin tertinggi di situ sudah sejak malam tadi tak pernah senyum.

Gadis ini pun seperti mendung di atas. Gelap. Tak Ada senyum bersahabat di wajah yang sudah dingin itu. Dan ketika hari terakhir itu tiba dan Bora serta Siga mondar mandir di depan kamarnya tiba-tiba Salima yang marah dan tersinggung oleh sikap dua pemuda itu membentak mereka agar masuk ke dalam. “Tak usah mondar-mandir. Kalau ingin masuk segera masuk saja!”

Bentakan itu disambut muka kecut oleh dua pembantu ini. Memang mereka mau ke dalam, sungkan dan berpura mondar-mandir agar diperhatikan. Itulah satu-satunya yang mereka kerjakan sebagai isyarat pendahuluan, betapapun mereka gugup dan tak enak menghadapi gadis yang lihai ini. Mereka tahu kepandaian Salima. Dan ketika Salima membentak mereka dan itu satu kesempatan bagi mereka untuk menyatakan “uneg-uneg” akhirnya dengan tersipu namun mengeraskan hati mereka mendorong pintu ke dalam.

“Maaf, kami memang ingin bicara, lihiap. Kami ragu dan takut....”

“Masuklah, aku sudah tahu. Kalian ingin bicara tentang Kim-suheng, bukan?”

“Benar, kami...”

“Duduklah, jangan berdiri. Tarik kursi itu dan kita boleh mulai!” Salima kembali memotong, sikapnya yang ketus serta dingin benar-benar membuat dua pemuda itu semakin gugup.

Siga menarik kursinya dan memberikan kursi yang lain pada temannya, kini berhadapan dan duduk di depan Salima yang kursinya lebih tinggi. Gadis Tar-tar itu benar-benar seperti ratu. Dan ketika Salima memandang mereka dan mata yang tajam itu menembus tanpa sungkan-sungkan lagi, akhirnya Siga menunduk sementara temannya juga melengos tak berani beradu langsung.


Salima memandang Siga. “Kalian boleh lakukan apa saja, itu hak kalian. Tapi harap diingat bahwa janji suhengku masih ada beberapa saat.”

“Maksud lihiap?”

“Hari ini memang batas terakhir janji suhengku pada kalian, Siga. Tapi batas terakhirnya adalah tengah malam nanti. Karena itu tunggu sampai tengah malam di mana setelah itu balas tujuh hari yang dikenakan pada suhengku gugur. Sebelum itu, meskipun satu atau dua jam suhengku masih memiliki sisa waktu!”

Siga terkejut. Bora juga memandangnya.

“Apakah itu tidak benar?”

Bora buru buru menggeleng. “Tidak, itu benar, lihiap. Kami hampir kelupaan. Tapi begaimana kalau sampai tengah malam nanti Kim-taihiap tidak datang?”

“Kalian boleh serang kota raja, itu keinginan kalian.”

Siga dan Bora tampak girang. “Kalau begitu kami bersiap-siap, lihiap. Kami mohon lihiap membantu kami pada pasukan terdepan!”

“Tidak, aku tak ikut. Kalian lakukan saja itu sendiri!”

“Apa, lihiap tak ikut?” dua pemuda itu kaget.

“Ya, aku ingin mencari suhengku sendiri, Siga. Karena itu urusan serangan kalian lakukan tanpa ikut campurnya diriku!”

“Ah.” dua pemuda itu tertegun, kecewa. “Bukankah sambil menyerang kita dapat mencari Kim-taihiap, lihiap? Kenapa kami ditinggalkan sendirian?”

“Mencari sambil memimpin kalian terlalu lama bagiku. Aku juga tak sabar. Jadi kalau sampai tengah malam nanti suhengku tak datang maka kalian kupesilahkan bergerak dan aku akan pergi!”'

“Tapi, lihiap....”

“Stop! Aku sudah bicara, sekarang kalian keluar dan biar aku bersamadhi” Selima mengangkat kedua lengannya.

Bora tak jadi bicara dan saat itu juga mereka dipersilahkan keluar. Pemuda ini tertegun. Tapi Siga yang menjawil dan mengangguk menyambar temannya lalu memberi hormat dan buru-buru keluar.

“Tak perlu membantah. Kita sudah menyelesaikan pokok pembicaraan kita” di luar Siga berbisik, menutup pintu itu dan Bora terbelalak tak puas. Mereka sudah disambut beberapa orang lain yang menjadi pembantu mereka. Dan ketika Siga mengajak menjauh dan hari itu bangsa Tar-tar kasak-kusuk mendengar hasil percakapan dengan Salima tiba-tiba mereka girang tapi sekaligus juga kecewa.

“Ah, kita menyerang tanpa Sian-li-lihiap, Siga? Dia hendak meninggalkan kita kalau suhengnya tak datang juga?”

“Begitu katanya, dan kita tak dapat menawar-nawar lagi.”

“Tapi kita dapat membujuk, kita dapat mencari perhatiannya dan minta agar dia tetap bersama kita!”

“Siapa dapat membujuk Tiat-ciang Sian-li Salima? Siapa di antara kalian berani melakukan itu?”

Semua diam. Siga tertawa mengejek memandang pembantu-pembantunya itu. Sekarang tak ada satu pun yang berani menjawab, mereka rata-rata tahu kekerasan hati Salima, seperti mereka pun tahu kekerasan watak bangsa mereka sendiri. Orang-orang Tar-tar memang orang yang rata-rata berhati keras, kuat kemauan dan tak gampang dibujuk dan karena mereka maklum bahwa Salima pun tak dapat dibujuk biar mereka pun menyembah seribu kali akhirnya mereka mengadakan rapat sendiri dan menjelang tengah malam kesibukan besar terjadi di perkemahan suku bangsa ini.

Bulan di atas sana ditunggu sebagai penunjuk waktu, kebetulan mendung menyingkir dan bulan kian lama kian di atas kepala, akhirnya tegak dan lurus di atas perkemahan orang orang Tar-tar ini. Dan ketika tepat tengah malam batas perjanjian berakhir dan Kim-mou-eng tak datang juga maka Siga dan teman-temannya mendatangi kemah besar di mana Salima tinggal, bermaksud meresmikan perjuangan mereka.

“Lihiap, kami ingin bicara....”

Siga mengetuk pintu, tak mendapat jawaban dan akhirnya mengetuk lagi. Empat lima kali namun tak ada suara di dalam. Tentu saja Siga dan orang-orangnya mengerutkan kening, mereka khawatir. Tapi ketika ketukan berikut juga tak mendapat sambutan dan Siga memberanikan diri membuka pintu mendadak mereka melongo melihat ruangan itu kosong tak ada seorang pun.

“Ah, dia telah pergi!” Siga sadar, melompat masuk dan teman-temannya juga mengikuti. Diam-diam mereka terkejut karena kepergian Salima tak diketahui seorang pun, padahal gadis itu berada di tengah-tengah ribuan orang yang mengelilingi kemahnya. Dan ketika Siga mendapat sepotong surat yang ditujukan padanya maka pemuda ini tertegun membaca apa yang ditulis Salima.

“Kalian boleh serbu kota raja. Tak perlu ditunda. Gempur dan bunuh saja lawan-lawan kalian di sana. Rupanya kaisar orang yang licik. Aku mendahului kalian dan berhati-hatilah...!”

Itu saja. Salima tak memberi tanda tangan pada suratnya, tapi semua orang mengerti. Dan karena surat itu juga bersifat “meresmikan”' perjuangan mereka tiba-tiba saja semua orang mengacungkan tinju berseru lantang,

“Hidup bangsa Tar-tar. Kami akan memulai perjuangan membasmi kaisar yang sombong!” dan ketika yang lain berseru menyambut dan pekik itu keluar di mana mana tiba tiba saja perkemahan bangsa Tar-tar ribut dan guncang oleh teriakan di sana sini. Mereka sudah dibakar nafsu berperang. Hampir dua bulan dipendam-pendam tak tahan, kini Salima mengijinkan mereka dan mereka seolah harimau buas keluar dari kerangkeng. Tentu saja kegembiraan orang-orang Tar-tar ini tak dapat digambarkan lagi.

Tapi karena Salima meninggalkan mereka dan Kim-mou-eng juga tak ada di situ maka kegembiraan serta nafsu berperang itu agak terganggu juga dengan kepergian dua orang ini. Ada kekecewaan di hati, ada semacam kekosongan ganjil. Tapi karena mereka sudah bertekad dan rasa persatuan di antara mereka besar, akhirnya meskipun dengan kecewa orang-orang Tar-tar ini melanjutkan juga apa yang menjadi maksud di hati.

Malam itu juga mereka sibuk. Siga dan Bora mengadakan rapat kilat siapa yang menjadi pemimpin tunggal, menggantikan Kim-mou-eng dan Salima itu. Debat pendapat terjadi di sana sini, cukup tegang. Sebagian besar memilih Siga, enam puluh persen. Tapi karena sisa empatpuluh persen memilih Bora dan Siga tak mau adanya perpecahan di situ tiba-tiba pemuda ini mengajukan usul bahwa siapa pun dapat memimpin.

“Pemimpin kita tetap Kim-taihiap, wakil kita adalah Tiat-Ciang Sian-li Salima. Daripada ribut-ribut sendiri mencari pengganti mereka biarlah pasukan besar kita dipecah saja mengepung kota raja. Mungkin bisa dipecah lima atau sepuluh dan masing-masing dipimpin oleh lima atau sepuluh orang yang bertanggung jawab akan pasukannya. Bagaimana menurut pendapat saudara-saudara?”

“Setuju!” tiba-tiba yang lain bersorak, usul dapat diterima dan malam itu juga bangsa Tar-tar menyusun siasatnya.

Ribuan pasukan dipecah menjadi kelompok yang lebih kecil, sepuluh jumlahnya. Kini ada sepuluh pemimpin pula di antara mereka, sebagai komandan pasukan. Dan ketika malam itu semuanya diatur dan bangsa Tar-tar menyiapkan diri maka keesokan paginya, selepas subuh pasukan besar yang sudah menjadi beberapa kelompok ini berderap meninggalkan tempat mereka melakukan perjalanan panjang menuju kota raja.

Barisan perang ini benar-benar siap tempur. Mereka mendekati tembok besar bagai naga melingkar-lingkar. Dan ketika sasaran sudah dekat dan mereka melakukan serangan tiba-tiba maka tak ayal lagi pengawal tapal batas di dalam tembok besar menjadi kalut dan kaget karena serbuan lawan di luar dugaan karena selama ini bangsa Tar-tar dianggap sahabat oleh mereka. Pertempuran di sini berjalan tak seimbang, pasukan kerajaan kalah banyak dan mereka terpukul. Bangsa Tar-tar menyerbu dari mana-mana. Dan karena kalah jumlah dan kalah mental maka hari pertama serbuan mereka bangsa Tar-tar dapat menguasai perbatasan dan terus maju.

Tapi di sini pasukan kerajaan mulai siap. Laporan serbuan bangsa Tar-tar membuat orang-orang istana kaget, mereka cepat datang dan bala bantuan ditambah. Semangat perajurit mereka dibangkitkan lagi dan Cu-ciangkun sendiri memimpin anak buahnya ini. Kakak beradik panglima bertombak itu marah menyambut bangsa Tar-tar. Dan ketika serbuan demi serbuan mulai dihadapi perlawanan keras dan Cu-ciangkun serta pembantunya membalas serangan musuh yang beringas maka untuk beberapa saat bala tentara Tar-tar tertahan dan hanya merebut sebuah kota saja.

Di sini pertarungan sengit terjadi. Bentakan dan makian saling luncur. Siga dan Bora menghadapi sepasang panglima panglima lihay itu. Cu-ciangkun menuduh mereka orang-orang liar yang tidak beradab sementara dua pemimpin muda dari bangsa Tar-tar ini memaki Cu-ciangkun dan kaisar sebagai orang-orang yang sombong, merendahkan bangsa lain dan kini menangkap Kim-mon-eng pula, tentu dengan cara yang licik, begitu anggapan dua pemimpin muda Tar-tar ini. Dan karera adu mulut berlanjut dengan adu kepandaian maka empat orang ini menggerakkan senjata sebagai klimaks akhir percekcokan itu.

Tapi Cu-ciangkun kakak beradik terkejut. Dua pemuda Tar-tar itu mampu menghadapi tombak mereka, bahkan permainan silat mereka juga dihadapi permainan yang sama oleh dua pemuda itu. Memang jelek-jelek Siga maupun Bora mendapat didikan mendiang Gurba, sedikit atau banyak mereka juga mengenal apa artinya sinkang maupun lweekang, begitu pula ginkang. Kepandaian dua pemuda ini cukup untuk menghadapi dua panglima she Cu itu.

Dan karena Gurba sendiri merupakan tokoh yang hebat luar biasa dan datuk-datuk sesat macam Hek-bong Siang-lo-mo maupun Mo-ong masih bukan tandingan raksasa itu maka tak heran kalau ilmu yang diberikan pada dua pemuda ini, meskipun sedikit, tetap saja dapat menahan jago tombak macam Cu-ciangkun itu. Bahkan Cu-ciangkun merasa kewalahan karena dua lawan mereka memiliki napas yang lebih panjang. Baik Siga maupun Bora termasuk lawan-lawan yang “alot” bagi dua panglima ini.

Tapi karena Siga maupun Bora juga tak dapat mendesak dua lawan mereka maka jadinya pertandingan berjalan seimbang dan tiada ketentuan siapa menang siapa kalah di antara empat orang yang sedang bertarung ini. Akibatnya anak buahlah yang mengambil kemungkinan. Bala tentara Tar-tar ini menyerang bala tentara kerajaan. Mereka ternyata memiliki ilmu perang perorangan yang lebih unggul, mungkin karena kehidupan keras yang biasa dihadapi sehari-hari oleh bangsa Tar-tar ini, yang membuat mereka lebih tahan dan kuat, mendesak dan terus mendesak anak buah Cu-ciangkun.

Dan karena secara individu bangsa Tar-tar memiliki kelebihan serta kekuatan dibanding pasukan kerajaan maka sedikit tetapi pasti bala tentara Tar-tar ini mendesak dan memukul mundur pasukan kerajaan. membuat Cu-ciangkun pucat karena itu menampar mukanya pula. Sungguh dia terpukul. Dan ketika dia dan pasukannya terus terdesak dan terdesak saja akhirnya di kota Sin panglima ini menggali parit menghalang serbuan bangsa Tar-tar.

Sampai di sini Siga dan anak buahnya berhenti. Seluruh kota dilindungi parit dalam itu dan sementara bangsa Tar-tar mencari akal bagaimana dapat meneruskan serangan mereka, maka Cu-ciangkun sendiri melalui jalan yang sukar dan berbahaya di belakang kota telah melarikan kudanya menuju kota raja untuk melapor desakan bangsa Tar-tar. Malu dan gusar namun terpaksa kembali. Dan ketika kaisar mendapat laporan dan yang lain-lain juga mendengarkan cerita itu maka kaisar tertegun dan terhenyak, mematung meremas lengan kursi singgasananya.

“Hamba tak berdaya, sri baginda. Benar-benar tak berdayal” Cu-ciangkun menunduk, hampir menangis. “Kekuatan mereka secara individu benar-benar melebihi kekuatan pasukan kita sendiri. Hamba siap menerima hukuman paduka!”

“Hm....!” kaisar termangu-mangu. “Bagaimana bisa begini. Dan mana itu Kim-mou-eng yang tidak menepati janji?”

“Kami tak melihat Kim-mou-eng di sana, Sri baginda. Begitu pula sumoinya. Bangsa Tar-tar hanya dipimpin oleh sepuluh orang muda seperti Siga dan Bora itu!”

“Bekas pembantu Gurba?”

“Benar, dan mereka bertempur seperti orang kesetanan. Mereka menjerit-jerit gila tentang urusan Bi Nio itu!”

Kaisar terkejut. “Apa maksudmu?”

Cu-ciangkun lalu menceritakan perihal itu. Bahwa bangsa Tar-tar menganggap kaisar menghina mereka, memberikan Bi Nio yang sudah hamil pada mendiang Gurba, jadi sama seperti tuduhan Kim-mou-eng dulu waktu Pendekar Rambut Emas itu tiba di istana. Dan ketika Cu-ciangkun menjelaskan bahwa serbuan bangsa Tar-tar itu dikarenakan urusan ini maka panglima itu dengan tersendat-sendat mengulang kata-kata Bora yang marah kepadanya,

“Memangnya bangsa Tar-tar harus memelihara anak asing? Memangnya bangsa Tar-tar budak bangsa asing hingga harus menerima perlakuan kaisar? Tidak, kami masih dapat memelihara anak keturunan kami sendiri, Cu-ciangkun. Katakan pada kaisarmu yang sombong itu bahwa anak Bi Nio akan kami bunuh”

Kaisar membelalakkan mata. “Bangsa Tar-tar bilang begitu? Aih, lancang mereka. Keparat, temukan anak Bi Nio yang hitam itu dan lihat siapa yang menghina!”

Tapi Kim-taijin melipat tubuhnya. “Maaf, sri baginda. Bukankah anak Bi Nio diculik orang dan diganti anak lain? Bagaimana kita memberikan anak itu kalau anak yang sekarang ini jelas berdarah Han bukannya Tar-tar? Sebaiknya paduka bersabar, Sri baginda. Urusan Itu ditunda saja dan kita bicarakan kegagalan Cu-ciangkun ini. Hamba mempunyai usul, kalau paduka setuju mohon hamba diijinkan bicara.”

Kaisar menoleh pada penasihatnya ini, sadar. “Taijin, kau mempunyai usul apa? Kau bicaralah, biar yang lain dengar dan kita lihat usul mu.”

“Begini, sri baginda. Berhubung bangsa Tar-tar sudah mendekati kota Sin dan mereka terhalang sejenak di sana tentunya kita harus memusatkan konsentrasi pada masalah ini. Hamba usul bagaimana kalau beberapa sahabat paduka bekas raja-raja taklukan diminta partisipasinya, mereka juga mempunyai bala tentara yang mungkin sama kuat dengan bangsa Tar-tar itu.”

“Maksudmu menarik mundur pasukan sendiri dengan menyuruh maju orang ini?”

“Tidak setepatnya begitu, sri baginda. Melainkan meminta mereka bekerja sama dengan kita. Paduka memilih siapa dulu dan setelah itu Cu-ciangkun maju bersama mereka. Dengan begitu, beberapa keuntungan dapat ditarik. Pertama, Cu-ciangkun telah mengenal kekuatan lawan, dan dengan pengenalan ini Cu-ciangkun dapat memberitahukan itu pada sekutunya. Kedua, kalau tetap jatuh korban juga bukankah orang lain yang merasakan? Sebelum kita mengerahkan segenap bala tentara sebaiknya usul ini dicoba dulu, sri baginda. Kalau tetap gagal juga barulah kita kerahkan segenap kekuatan untuk menumpas bangsa liar itu. Ini semua berpangkal dari salah paham. Sayang Kim-mou-eng tak datang kepada kita!”

“Hm” kaisar mengangguk-angguk “Usulmu boleh juga, taijin. Tapi siapa kira-kira yang kita mintai bantuan? Bekas raja-raja taklukan itu banyak, aku tak dapat menentukan siapa yang harus dipilih!”

“Begaimana kalau bekas raja Hu?”

"Hu Han Shien?”

“Ya. raja Hu dari suku bangsa Siung-nu itu, sri baginda. Selama ini loyalitasnya kepada kita dapat dipercaya!”

Dan ketika Kim-taijin memberitahu bahwa raja Hu ini dapat diandalkan dan suku bangsa Siung-nu juga termasuk suku bangsa “liar” yang sederajat dengar bangsa Tar-tar itu tiba-tiba kaisar tertegun dan mulai mendengar kata-kata lincah dari penasihatnya ini akan buah pikirannya itu bahwa bangsa Siung-nu juga termasuk bangsa yang alot, kuat dan sudah biasa ditempa kehidupan keras. Mereka itu setanding bangsa Tar-tar Dan karena apa yang dikata pembesar ini dapat diterima dan semua orang pun mengangguk-angguk tiba-tiba kaisar tertawa berseru nyaring,

“Bagus, aku setuju, Kim-taijin. Besok kita panggil raja Hu itu dan suruh dia menghadap!''

“Paduka merasa cocok?”

“Ya, aku sependapat. Aku cocok. Biar kita coba ini sekaligus menguji lagi kesetiaan raja Hu!” dan ketika kaisar setuju dan bangsa Tar-tar akan dihadapi bangsa Siung-nu maka keesokan harinya raja yang dimaksud itu dipanggil kaisar.

Raja Hu adalah raja berkulit hitam kemerahan. Sudah dua puluh tahun dia menakluk, rakyatnya merupakan gerombolan besar yang tadinya liar, menyerah dan menakluk pada ayah kaisar sekarang. Kaisar lama telah meninggal dunia tapi kesetiaan raja ini masih dapat dipercaya Bangsa Siung-nu pun merupakan bangsa yang hidupnya dari ternak, sebagian besar domba. Hampir tiap hari makan daging kambing dan minunnya pun susu kambing. Tubuh mereka mengeluarkan bau khas, agak prengus, seperti prengusnya kambing benggala yang jarang mandi. Rata-rata tubuh mereka tinggi besar dan kuat. Itulah sekilas gambaran bangsa ini. Dan ketika Hu Han Shien datang menghadap dan kaisar menyatakan keinginannya maka dengan gembira dan mata berkilat-kilat raja taklukan ini menyatakan kesediaannya.

“Hamba sanggup, sri baginda. Akan hamba pukul mundur dan hancurkan bangsa Tar-tar itu. Kapankah hamba mulai?”

“Hari ini kau dapat mulai, raja Hu. Tapi kau tidak bekerja sendiri. Cu-ciangkun akan mendampingimu.”

“Baik, mohon restu paduka dan ijinkan ham ba berangkail” raja tinggi besar itu memberi hormat, membalik dan sudah keluar ditemui Cu-ciangkun. Di sini dua orang itu bicara panjang lebar. Raja Hu tampak bersemangat dan beberapa pembantunya dipanggil mendekat. Mereka juga orang-orang tinggi besar yang rata-rata penuh semangat, seperti rajanya. Dan ketika hari itu raja Hu selesai bicara dan dia kembali mengumpulkan bala tentaranya maka keesokan harinya, dalam gerak begitu cepat raja ini sudah berangkat diiring Cu-ciangkun.

Mereka membawa empat ribu pasukan, menuju kota Sin dan langsung menyerang bangsa Tar-tar. Bangsa Siung-nu menyerang dari bagian luar, jadi tidak dari dalam kota Sin yang masih dikepung. Mereka itu justeru menyerang dari luar dan “mengepung” bangsa Tar-tar. Dan karena serangan ini tiba-tiba sekali dan Siga serta pasukannya kaget diserang bala tentara besar tiba-tiba saja bangsa Tar-tar kalut dan pecah. Pertarungan sengit terjadi di luar kota Sin, bangsa Siung-nu ternyata bangsa yang tak kalah beringas dibanding bangsa Tar-tar. Kekuatan individu mereka pun rata-rata sama, mereka juga bangsa yang biasa ditempa kehidupan keras.

Dan karena bala bantuan itu tak diduga kehadirannya dan Siga serta teman-temannya kecolongan maka bangsa Tar-tar terpukul mundur dan mereka membubarkan kepungan di mana pasukan Cu-ciangkun di dalam kota tiba-tiba membuka pintu gerbang, bersorak dan mengejar bangsa Tar-tar yang sudah didesak pasukan raja Hu. Tentu saja bangsa Tar-tar memaki-maki dan mereka semakin terpukul. Dan karena bantuan raja Hu ternyata merupakan bantuan istimewa dan bangsa Tar-tar mendapat tanding yang setimpal maka tiga hari kemudian Siga dan teman-temannya dipaksa mundur dan terus mundur. Kota-kota yang pernah mereka rebut kembali dirampas musuh. Siga kecewa bukan main.

Dan ketika bangsa Tar-tar mendekati tembok besar dan hampir diusir keluar tiba tiba Siga yang kecewa dan nekat menghadapi lawan tewas terbunuh. Hari itu hari mendebarkan bagi bangsa Tar-tar. Semalam mereka terus dikejar-kejar lawan, Siga dan teman temannya kepayahan. Dua kali Siga bertemu langsung dengan raja Hu, dikeroyok tapi tetap gagah melawan. Tapi karena hari demi hari pemuda ini mendapat tekanan dan sedikit atau banyak dia mengalami stress maka hari terakhir itu merupakan hari naas bagi pemuda ini.

Saat itu bangsa Tar-tar terus terpukul, mereka bahkan mendapat musuh yang semakin banyak dan kuat. Dan ketika matahari terbit, bangsa Siung-nu menyerang mereka dan dari empat penjuru muncul pula pasukan Cu-ciangkun maka Siga yang semalam belum beristirahat sudah mengambil senjatanya dan menghadapi musuh yang mengejar-ngejarnya ini, berhadapan dengan raja Hu serta dua pembantunya karena di tempat lain Cu-ciangkun menghadapi Bora dan teman-temannya.

“Siga, kau tak dapat melepaskan diri. Hari ini kau mampus!” gada di tangan raja Hu menyambar, dahsyat menderu karena senjata mengerikan di tangan raja tinggi besar itu terasa lebih mengerikan lagi, kepala Siga menjadi sasaran utama.

Tapi Siga yang mengelak dan menggerakkan senjatanya menangkis sudah membentak raja itu membalas dengan tak kalah seramnya. “Raja Hu, kau raja taklukan yang tidak kenal malu. Siapa mau mampus di tangan laki-laki yang suka menjilat pantat kaisar? Kaulah yang akan kubunuh, raja tengik. Aku akan menghancurkan kepalamu dan memancangnya di ujung tombak....”

“Cring“ dua senjata beradu, Siga dan lawannya sama-sama terpental mundur tapi kedua duanya maju lagi. Sudah ketiga kalinya ini mereka bertemu, sebenarnya masing-masing sama kuat dan masing-masing sama penasaran. Raja Hu kagum akan daya tahan lawannya itu. Siga pemuda Tar-tar yang kuat. Dan ketika mereka bertempur lagi sementara pasukan mereka bersorak menyerang satu sama lain, tiba-tiba dua pembantu raja ini muncul dengan golok berat dan lebar.

“Sri baginda, biar hamba bantu!”

Siga terkejut. Dua laki-laki tinggi besar menyerangnya dari samping, itulah Ceng Kok dan Nu Kiat, dua pembantu raja Hu Han Shien yang pandai mainkan golok. Mereka terus mengeroyok tanpa sungkan-sungkan lagi, Siga mengelak dan terkejut karena baju pundaknya masih terbabat juga, ternyata kelelahan dalam beberapa hari ini telah mengurangi tenaganya. Dan ketika lawan tertawa dan Nu Kiat serta Ceng Kok membantu rajanya maka gada di tangan raja Hu juga menyambar nyambar dengan amat dahsyat, membuat Siga terdesak.

“Kalian kiranya orang-orang curang, benar-benar tak tahu malu!” Siga memaki, tidak takut tapi mulai gelisah juga. Tiga lawan menjadi terlalu berat baginya. Raja Hu sendiri sebenarnya berimbang dengannya. Dan ketika pundak yang lain kena hantaman gada dan Siga terpelanting maka saat itu dua anak buahnya yang berada dekat di situ dan tak tahan melihat pemimpinnya dikeroyok tiba-tiba membentak dan maju membantu.

“Siga, jangan takut. Kami berdua datang...!” dua pembantu Siga ini menolong tuannya, menangkis dan menolak golok yang mengejar Siga yang sedang bergulingan.

Dua pembantu raja Hu itu tertawa bergelak melihat majunya dua pembantu Siga ini, golok mereka berkelebat dan tombak di tangan dua pemuda Tar-tar itu berdentang nyaring, putus terbabat ketika menangkis golok di tangan dua laki-laki tinggi besar ini Dan ketika mereka terpekik kaget dan terhuyung membelalakkan mata tahu-tahu golok mencuat dua kali dan sinarnya menembus di perut dua pemuda Tar-tar ini, yang gagal membantu Siga.

“Awas....!” Teriakan itu percuma. Siga memperingatkan dua pembantunya agar membanting tubuh ke belakang, terlambat karena sinar golok lebih cepat. Dan ketika dua pemuda itu menjerit dan roboh terkapar maka sinar golok sudah keluar lagi ditarik dari perut yang isinya sudah berhamburan.

“Bles-bles!” dua pemuda itu terguling, tewas dan musuh di sekeliling bersorak gembira, kemenangan dua pembantu raja Hu itu disambut tawa kasar di sana-sini. Siga marah dan melompat bangun. Tapi ketika dia menegang lagi dan musuh menyambut ternyata kemarahan saja tak cukup untuk menghadapi musuh yang terlalu berat. Dua kali punggung pemuda ini mendapat bacokan samping, tersayat dan mengeluarkan darah. Dan ketika dengan terhuyung-huyung Siga menghadapi lawannya dan raja Hu terbahak mengayun gadanya, tiba-tiba tanpa dapat dikelit lagi kepala Sigabmenerima ayunan ini yang membuat pemuda itu terjengkang.

“Prakk!” Siga mengeluh terbanting roboh. Pemuda ini terguling-guling, masih bangkit memaki raja itu. Tapi ketika golok di tangan Ceng Kok dan Nu Kiat menyobek lambungnya pula akhirnya pemuda Tar-tar yang gagah perkasa ini tewas, kepala terkulai dan pecah namun senjata tetap tergenggam erat di tangan. Kematian pemuda itu benar-benar perwira dan raja Hu mau tak mau menjadi kagum. Siga memang gagah.

Dan ketika kematian pemuda itu didengar kawan-kawannya yang lain dan Bora terkejut maka bangsa Tar-tar menjadi kalut dan kacau, patah semangat karena sebenarnya Siga lah yang paling pandai di antara mereka, Bora nomor dua kini tinggal pemuda itu bersama rekan-rekan yang lain, yang rata-rata lebih lemah dibanding Siga. Dan karena Siga telah tewas dan kematian pemuda itu mengguncang semangat orang-orang Tar-tar akhirnya suku bangsa ini didesak dan cerai-berai keluar dari tembok besar.

Lagi-lagi tak adanya Kim-mou-eng maupun Salima membuktikan lemahnya suku bangsa ini, apalagi di waktu jamannya Gurba, mendiang raksasa yang ditakuti itu. Dan ketika raja Hu memporakporandakan bangsa Tar-tar dan bangsa ini hancur diusir keluar akhirnya untuk kemenangannya itu raja Hu mendapat banyak hadiah kaisar ketika pulang ke kota raja, mendapat sambutan istimewa dan dua bulan disuruh tinggal di istana. Raja ini bergelimang kesenangan, juga kehormatan. Dan ketika suatu hari, sebelum pulang, raja ini meminta kepada kaisar untuk di carikan isteri yang cocok maka istana ribut ketika kaisar menyuruh pembantu-pembantunya untuk mencari atau menghadiahkan salah seorang di antara selir kaisar pada raja bangsa Siung nu itu.

Satu kehormatan lagi yang ditunjukkan kaisar pada raja tinggi besar ini, satu penghargaan yang membuat orang lain iri. Tapi karena selir-selir istana memiliki kecantikan setanding dan kaisar maupun pembantu pembantunya bingung mencarikan mana yang paling cocok mendadak kaisar teringat pada gambar Cao Cun yang dulu pernah dilukis Kim-mou-eng, entah kenapa tiba-tiba dia ingin memberikan puteri Wang-taijin itu pada raja Hu. Mungkin karena Cao Cun dinyatakan “sial” bagi istana. kalau sri baginda berani mengambil gadis itu sebagai selir.

Dan ketika kaisar menyatakan pendapatnya ini dan berita Itu meluncur dari mulut ke mulut tiba-tiba Cao Cun yang dikeram di Istana Dingin menangis. Nasib buruk rupanya bakal tiba, dia akan menjadi isteri seorang raja “liar”. Dan ketika Cao Cun menerima berita itu semakin santer dan orang yang dicinta, Kim-mou-eng, ternyata tak datang juga tiba-tiba puteri Wang-taijin ini jatuh sakit dan pingsan di dalam kamarnya. Akan terjadikah itu? Sedemikian sialkah nasib gadis jelita ini? Untuk itu mari kita tengok keadaan di Istana Dingin.

Seperti diketahui, sebelum ribut-ribut masalah pemberontakan Pangeran Muda dan ibunya telah terjadi semacam perang dingin antara Cao Cun dan ayahnya melawan Mao-taijin. Pembesar ini adalah menteri yang dipercaya kaisar uniuk mencari wanita cantik sesuai mimpi sri baginda (Baca Pendekar Rambut Emas). Tapi karena menteri ini adalah menteri pemeras dan tamak akan harta maka Mao-taijin yang berhasil menemukan Cao Cun persis seperti apa yang diimpikan sri baginda membawa gadis itu ke kota raja.

Wang-taijin, bupati Wang yang memerintah di Chi-cou adalah ayah Cao Cun. Bupati ini seorang jujur namun keras hati. Dia terbujuk memberikan puterinya ke istana, tak tahu kalau dipermainkan Mao-taijin. Karena, ketika anak gadisnya sudah dibawa ke kota raja dan mestinya dihadapkan kaisar oleh Mao-taijin masih diputar-putar dan “ditahan” karena menteri itu minta imbalan 500 ons emas kalau Cao Cun ingin segera dipertemukan kaisar. Terang-terangan menteri ini meminta imbalannya, Wang taijin marah dan akhirnya memaki-maki menteri itu.

Dan karena bupati ini bersikeras tak mau menyogok dan di antara mereka timbul suasana panas akhirnya Mao taijin yang jengkel dan geram lalu membawa Cao Cun ke Istana Dingin. Istana ini adalah istana penampungan, begitu resminya. Artinya, kalau ada calon selir yang belum dihadapkan kaisar untuk menerima rejekinya maka di sinilah calon selir itu menunggu. Lama penantian tergantung kaisar.

Tapi karena istana ini dikepalai Sam-thaikam dan sebagaimana biasanya orang-orang istana yang mendapat kekuasaan untuk selalu mempergunakan kekuasaan itu menguntungkan diri pribadi maka tempat penampungan itu berobah siattnya menjadi tempat penahanan. Orang yang ditampung di sini sama artinya dengan ditahan, tak boleh keluar dan tak bakal melihat dunia luar kalau tidak ada ijin Sam-thaikam. Dan karena Sam-thaikam juga sahabat baik menteri she Mao dan menteri itu juga sering pat pat-gulipat dengan Sam-thaikam maka menteri ini sedikit atau banyak juga memiliki kekuasaan atas penghuni Istana Dingin.

Begitulah, menteri ini menunjukkan pengaruhnya. Ayah Cao Cun yang tak mau menyuap lalu diberi pelajaran. Cao Cun dipindahkan di Istana Dingin disekap. Secara resmi menteri itu memberitahukan bahwa Cao Cun menunggu panggilan kaisar. Padahal, kalau Cao Cun sendiri sudah dinyatakan sial bagi istana mana mungkin kaisar memanggil gadis itu. Lewat Kun-lojin menteri she Mao ini telah main gila, menyuruh peramal istana itu membuat pernyataan di hadapan kaisar bahwa tahi lalat yang ada di wajah Co Cun berarti sial bagi kerajaan. Sri baginda tak perlu mengambil gadis itu sebagai orang yang dicinta.

Dan karena pernyataan peramal itu dipercaya kaisar dan kedudukan peramal di masa itu memang cukup berpengaruh maka kaisar membatalkan niatnya ini dan Cao Cun pun ditolak, oleh Mao-taijin akhirnya dimasukkan ke Istana Dingin itu, kita telah mengetahui semuanya ini dalam cerita Pendekar Rambut Emas.

Tapi Wang-taijin yang tentu saja tak tahu akan campur tangannya Kun lojin, peramal istana itu, tentu saja tak menduga permainan lawan-lawannya dan mengira Cao Cun benar-benar masih diharapkan kaisar, masih menunggu panggilan kaisar dan karena itu dengan sabar tapi juga pasrah orang tua ini menunggu pulangnya keluar dari Istana Dingin. Padahal, kalau dia tahu, mana mungkin Cao Cun akan keluar dari istana itu. Kalau 500 ons emas tetap tidak diberikan pada Mao-taijin jangan harap gadis itu akan bebas dari Istana Dingin!

Inilah celakanya. Kekuasaan, dari jaman dulu sampai sekarang agaknya juga merupakan sesuatu yang berbahaya bagi manusia. Dapat merupakan “penyakit” bagi yang tidak selalu waspada. Memiliki kecenderungan menyeleweng bila dipegang oleh orang-orang macam Mao-taijin itu. Dan karena Mao-taijin memang sudah dikenal sebagai menteri yang suka mempergunakan kekuasaannya untuk menyeleweng, maka nasib Cao Cun di Istana Dingin tiada ubahnya dengan nasib dipenjara.

Tapi sedikit beruntung ada seorang gadis lain yang menemani puteri Wang-taijin ini. Wan Hoa namanya, gadis yang senasib pula dengan Cao Cun karena ayah Wan Hoa juga tak mau menuruti pemerasan Mao-taijin. Di dalam Istana Dingin ini Cao Cun ditemani Wan Hoa, dan karena mereka senasib sependeritaan maka Wan Hoa dan Cao Cun tiada ubahnya saudara-saudara kandung yang saling menghibur dan menemani.

Tapi kali ini Wan Hoa lebih banyak menghibur temannya daripada dihibur. Cao Cun dirasa lebih berat penderitaannya dibanding dia. Wan Hoa setia menemani temannya ini dan tak ada rahasia Cao Cun yang tidak diketahui Wan Hoa. Dan karena mereka bagai saudara sekandung saja maka cinta Cao Cun terhadap Kim-mou-eng pun tak perlu disembunyikan. Wan Hoa mengikuti gerak-gerik temannya ini, mendengar pula janji Kim mou-eng untuk menjemput Cao Cun. Maka ketika Kim-mou-eng tak datang juga dan janji itu tinggaI janji belaka maka Cao Cun mulai sedih dan sering menangis di kamarnya.

“Sudahlah, kau bersabar dulu, Cao Cun. Mungkin kekasihmu itu masih sibuk. Bukankah dia banyak urusan dan memimpin bangsanya pula?” demikian sering kali Wan Hoa menghibur temannya, ikut menangis dan meruntuhkan air mata karena diam-diam ia pun cemas.

Cemas kalau Kim-mou-eng melupakan Cio Cun dan sahabatnya itu bakal menjadi nenek-nenek di Istana Dingin, tak ingat diri sendiri bahwa dia pun juga bisa begitu, menjadi perawan tua dan akhirnya menjadi nenek-nenek kering yang tidak Iaku lagi. Tak ada pria yarg akan mengawini mereka. Dan ketika Cao Cun mengguguk dan menangis menubruk temannya maka Wan Hoa ikut berguncang pula memeluk temannya ini.

“Cao Cun, orang sabar mendapat berkah. Bukankah begitu kata orang-orang tua kepada kita? Kau tunggu kedatangan kekasihmu itu, Cao Cun. Kalau dia tidak datang juga tak perlu cemas, aku setia menunggumu sampai kita mati bersama di tempat ini!”

“Ah....!” Cao Cun mengguguk. “Kau selalu menghiburku. Wan Hoa. Kau selalu demikian baik kepadaku. Kenapa aku harus menyeretmu dalam urusan ini? Aku tak ingin kau mati di sini. Wan Hoa. Aku ingin kau dipanggil kaisar dan hidup senang di sampingnya!”

“Tapi aku tak ingin begitu. Lagi pula, siapa dapat keluar dari Istana Dingin kalau musuh kita tak menghendaki, Cao Cun? Tidak, aku tak mengharap begitu. Yang kuharap saat ini adalah kebebasanmu dengan datangnya Kim-mou-eng!”

Cao Cun mengguguk lagi. Ia meremas-remas pundak temannya, cinta Wan Hoa sebagai sahabat benar-benar luar biasa Dan ketika mereka melewatkan hari demi hari sambil mengharap penuh penantian kedatangan Kim-mou-eng tiba-tiba mereka mendengar berita pencurian Sam-kong-kiam itu, Cao Cun terduduk saking kagetnya.

“Tak masuk akal, aku tak percaya!” gadis itu membelalakkan mata, tak berkedip memandang temannya dan Wan Hoa pun mengangguk. Mereka memang tak percaya. Dan ketika berita santer itu lewat mulut ke mulut maka Cao Cun kembali menangis karena dia merasa pilu kekasihnya dituduh mencuri. “Wan Hoa, mungkinkah Kim-mou-eng mencuri Sam-kong-kiam? Dan mungkinkah pula dia membunuh-bunuhi pengawal begitu kejam?”

“Tidak, aku tak percaya, Cao Cun. Ini tentu fitnah. Kim-taihiap bukan seorang hina dan kita tahu betul wataknya!”

“Ya, tapi orang menyebutnya begitu. Seluruh kota raja telah menuduh kekasihku mencuri pedang. Dan dia tak datang juga kepada kita. Aih, apa artinya ini, Wan Hoa? Apa artinya ini?”

Cao Cun menangis lagi, perasaannya gampang terluka dan Wan Hoa menunduk, merangkul sahabatnya itu. Dan ketika Cao Cun menangis dan dia mengeluarkan saputangan maka gadis ini mengusap air mata Cao Cun dengan lemah lembut.

“Cao Cun, sebaiknya lupakan dulu berita pencurian itu. Kita tak dapat bersedih dan hanya bersedih saja. Kita harus melakukan sesuatu, duka ini harus kita singkirkan.”

“Singkirkan bagaimana? Aku tak dapat melupakan dia, Wan Hoa. Seluruh hidup dan pikiranku hanya tercurah untuk Kim-mou-eng. Aku tak dapat menghilangkan duka ini sampai dia datang!”

“Benar, dan waktu kosong kita hanya kita hamburkan begitu saja? Tidak, aku tak setuju, Cao Cun. Semalam aku telah menyiapkan dua buah alat untuk kita. Ayo masuk ke dalam, lihat apa yang kupunyai itu!” dan Wan Hoa yang mengajak sahabatnya ke kamar sendiri sambil menuntun Cao Cun akhirnya membuat Cao Cun tertegun melihat sebuah yang-khim (sejenis alat musik) dan suling di sudut kamar.

“Kau tahu itu?” Wan Hoa tersenyum.

“Ya, tentu saja.”

“Nah, sekarang kita menghibur diri. Kita berdua mainkan lagu-lagu cinta dengan suling dan yang-khim itu. Ayo!” dan Wan Hoa yang menyambar suling menempelkan di mulut lalu mulai menyuling dan meniupkan sebuah lagu indah untuk temannya.

Cao Cun termangu, mendengarkan dendang lagu bernadakan cinta, naik turun meliuk liuk menunjukkan rindunya seorang kekasih yang mengharap kedatangan seseorang, pas sekali lagu itu untuknya. Dan ketika nada mulai menaik dan turun menyentuh perasaan tiba-tiba Wan Hoa merobahnya dalam lagu gembira yang lincah menari-nari. Kali ini Cao Cun tersenyum karena irama suling membawanya ke alam gembira. Wan Hoa mengajaknya berceria. Dan ketika lagu habis dimainkan dan Wan Hoa tertawa maka Cao Cun tersenyum lebar memuji temannya.

“Wan Hoa, kau pintar. Kau berhasil menghanyutkan perasaanku.”

“Sudahlah, kau boleh pilih salah satu, Cao Cun. Kau meniup suling ini atau mainkan yang-khim. Ayo, kita mulai!” dan Wan Hoa yang mengajak temannya melupakan kedukaan itu memberikan suling tapi ditolak Cao Cun, puteri Wang-taijin ini memilih yang-khim dan petikan senar mulai berdenting, lembut tapi nyaring mengusir kesepian.

Dan ketika suling mengiringi Iincah dan yang-khim dipetik halus akhirnya sebuah lagu asmara didendangkan bersama di dalam kamar itu. Cao Cun mulai senyum-senyum dan sinar kedukaan lenyap di wajahnya. Wan Hoa pandai membujuk. Dan ketika lagu demi lagu habis dimainkan mereka dan hari-hari dilewatkan dengan cara begini maka Cao Cun benar-benar terhibur dan berhasil melupakan kesedihannya.

Itulah jasa Wan Hoa. Gadis yang satu Ini memang luar biasa cintanya kepada Cao Cun. Apa saja akan dilakukan Wan Hoa demi kegembiraan temannya. Dan ketika minggu demi minggu lewat dan mereka berdua mengusir kesunyian dengan mainkan yang-khim dan suling maka suatu hari di saat serbuan bangsa Tar-tar mengguncangkan kaisar maka secara kebetulan kaisar berkunjung ke Istana Dingin ini.

Kaisar ingin mengusir kekhawatirannya dengan hiburan di situ. Sam-thaikam mengiringi kaisar dengan beberapa dayang lain, kebetulan sekali lagu yang dimainkan Cao Cun berdua terdengar kaisar. Lagu indah namun sendu. Dan ketika kaisar tertegun dan bertanya siapa yang pandai mainkan lagu itu, maka Sam-thaikam menjawab bahwa itulah calon selir yang menginap di Istana Dingin, tak tahu kalau Cao Cun dan Wan Hoa.

“Panggil mereka, aku ingin tahu!” kaisar bersabda, disambut anggukan kepala Sam-thaikam yang menuju ke dalam, memberitahukan pembantunya yang lain memanggil Wan Hoa dan Cao Cun. Tapi seorang mata-mata Mao tajin yang di letakkan di situ dan buru-buru mengejar Sam-thaikam lalu memberi tahu bahwa itu tak mungkin dilaksanakan. Mao-taijin tak menghendaki kaisar bertemu Cao Cun. Segera Sam-thaikam melengak dan terkejut. Dan ketika pengawal itu menerangkan bahwa yang menyanyi itu adalah Cao Cun dan temannya tiba-tiba pembesar ini berhenti dan membelalakkan mala.

“Jadi itu puteri Wang taijin?”

“Benar, taijin. Karena itu jangan paduka bawa ke sana.“

“Lalu bagaimana sekarang? Aku sudah berjanji pada sri baginda. Celaka!”

Tapi sesosok bayangan yang berkelebat datang dan batuk-batuk di belakang pembesar ini sudah berkata menyeringai, “Sam-taijin, tak perlu bingung Katakan saja pada sri baginda bahwa penyanyi itu menderita kusta. Penyakitnya tak memungkinkan dia dibawa menghadap!”

Dan ketika pembesar tu menoleh dan tertegun melihat siapa yang datang tiba-tiba pembesar ini tersenyum dan tertawa lebar. “Aah, kau, Sin-kee Lo-jin? bagus, aksimu tepat dan biar kukatakan itu pada sri baginda. Aku tak tahu kalau yang menyanyi itu adalah Cao Cun.”

Demikianlah, pembesar ini lalu balik lagi. Dia menghadap kaisar dan memohon ampun tak dapat membawa si penyanyi, Cao Cun dinyatakan kena kusta dan sri baginda kecewa nyanyian begitu merdu tak dapat dia lihat penyanyinya. Dan karena Sam-thaikam orang cerdik dan buru -buru membujuk sri baginda untuk dihibur selir lain maka kaisar melupakan maksud hatinya Itu kaiena selir lain yang cantik dan buru-buru dibawa pembesar ini sudah disodorkan pada kaisar, memijat dan menghibur kaisar melenyapkan kegundahannya akan serbuan bangsa Tar-tar iru.

Kaisar memang mencari hiburan. Dan karena keberuntungan Cao Cun lagi-lagi dihalangi Mao-taijin lewat mata-matanya tadi dan Sam thaikam pun termasuk orang yang menjadi sahabat menteri itu maka bintang terang yang hampir menguak keberuntungan Cao Cun terpaksa kandas di tengah jalan. Cao Cun sendiri tak tahu kejadian itu. Kaisar telah pergi dan hanya sejenak saja berada di Istana Dingin, sungguh sial. Dan ketika beberapa minggu lagi Cao Cun mendengar serbuan bangsa Tartar dan cemas oleh berita ini maka dia heran mendengar tak adanya Kim-mou-eng di sana.

“Bangsa Tar-tar mengamuk. Kim-mou-eng maupun sumoinya tak ada di sana. Mereka menyerbu karena katanya mengira Kim-mou-eng ditangkap kaisar!” begitu mula-mula Cao Cun mendengar berita, kaget dan tertegun karena berita itu cukup hebat baginya. Bangsa Tar-tar sudah di anggap sahabat, kini tiba-tiba menyerang dan Kim-mou-eng tak ada. Dia bingung.

Dan Wan Hoa yang lagi-lagi menghibur mengelus hatinya berkata, “Nah, kau lihat, Cao Cun. Di tempat suku bangsanya sendiri Pendekar Rambut Emas itu tak ada, apalagi di tempat lain. Kekasihmu itu tentu mendapat sesuatu dan rupanya kerepotan besar menghalang perjalanannya. Pantas dia tak dapat ke sini!”

“Tapi kenapa? Kalau begitu dia mendapat celaka?”

“Orang persilatan memang begitu, Cao Cun. Sepanjang waktu mendapat musuh dan selalu terancam. Aku tak tahu apa kira-kira yang dihadapi kekasihmu, tapi Kim-mou-eng tentu selamat!”

Cao Cun menangis. “Kalau begitu kelak dia akan kusuruh menjadi orang biasa saja. Kelak kami menikah dan biar hidup sebagai petani. Aku tak mau suamiku mendapat musuh dan hidup tak tenang.”

“Tentu,” Wan Hoa terharu. “Suamimu memang harus menanggalkan senjata, Cao Cun. Dia harus memegang cangkul dan menanam padi di sawah.”

“Ya, dan aku akan menyuruh anak-anak mengawasi ayahnya. Suamiku tak boleh berkelahi” Cao Cun membayangkan kebahagiaan itu.

Wan Hoa lagi-lagi terharu dan gadis ini menghapus dua titik air matanya yang tak tahan melihat kemesraan Cao Cun, seolah-olah Pendekar Rambut Emas sudah ada di depan mata dan Cao Cun membayangkan pendekar itu sebagai suaminya. Betapa mengiris. Dan ketika Cao Cun masuk ke dalam dan Wan Hoa mengikuti maka tak lama kemudian mereka mendengar datangnya bangsa Siung-nu itu untnk membantu kerajaan.

“Bangsa Tar-tar mendesak pasukan kita, Cao Cuo. Cu-ciangkun kewalahan dan kini kaisar meminta bantuan raja Hu.”

“Siapa dia? Siapa raja Hu itu?”

“Pemimpin bangsa Siung-nu, Cao Cun. Raja tinggi besar tapi setengah liar. Raja itu dan suku bangsanya setali tiga uang dengan bangsa Tar-tar itu, mereka setengah beradab dan makan minumnya daging kambing serta susu kambing!”

“Ih!” Cao Cun ngeri. “Mereka juga bangsa nomad (pengembara) yang sehari-hari ditempa kehidupan keras?”

“Tentu, dan mereka sekarang ke mari, Cao Cun. Kaisar mengundang mereka dan konon katanya bala tentara Siung-nu itu haus dan rakus akan wanita. Sepuluh laki-laki akan mengerubut satu wanita kalau mereka sedang kelaparan!”

Cao Cun mengkirik. Cerita tentang bangsa Siung-nu segera dibumbui macam-macam, biasa tingkah orang. Bangsa itu digambarkan sebagai bangsa biadab yang setengah liar, rakus dan kasar akan segala sesuatu. Nafsu kelelakiannya tinggi dan ganas terhadap perempuan. Gambaran ini membuat Cao Cun ngeri dan gemetar. Mereka katanya juga suka makan makanan yang kotor, ular atau kadal bahkan tikus yang suka diburu beramai-ramai. Gambaran ini menjijikkan bagi Cao Cun.

Dan ketika beberapa hari lewat kabar tentang kemenangan bangsa Siung-nu disiarkan orang dan Cao Cun mendengar itu tiba-tiba gadis ini mengeluh. “Aih, bagaimana Kim-mou-eng? Kenapa dia tak hadir juga?”

“Tentu sesuatu sedang menyulitkan kekasihmu itu, Cao Cun. Mungkin Kim-taihiap mengalami kesulitan besar.”

“Ya, tapi apa? Dan kenapa?” Pertanyaan ini tak dapat dijawab.

Cao Cun tak tahu bahwa waktu itu Kim-mou-eng lagi dikejar-kejar musuhnya, tunggang-langgang menyelamatkan diri Nyaris binasa kalau gurunya tidak menolong. Dan ketika Cao Cun mendengar lagi jamuan kaisar yang diberikan antek raja Hu itu dan raja ini bersenang-senang di istana maka hari terakhir bagai petir di siang bolong dia mendengar maksud kaisar untuk memberikan dirinya pada raja liar itu.

“Celaka, kesulitan besar menimpa dirimu, Cao Cun. Kaisar hendak menghadiahkan dirimu pada raja mengerikan itu. Dia mencari isteri, dan sri baginda menetapkan dirimu menjadi isteri raja liar itu!”

“Apa, aku menjadi isteri raja liar itu?” Cao Cun kaget.

“Ya, dan sri baginda telah memutuskan ini Cao Cun. Kau dan kita semua tak dapat menolak!”

Cao Cun menggigil, tiba-tiba roboh. “Wan Hoa, benarkah kata-katamu in? Kau tidak main-main?”

“Sumpah! Demi dewa segala dewa aku tak main-main. Cao Cun. Kau telah ditetapkan menjadi isteri raja itu karena raja Hu minta pada kaisar untuk dicarikan isteri...!”

Pedang Tiga Dimensi Jilid 04

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 04
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“SIAPA orang ini, suhu?” Kim-mou-eng memotong.

“Sabar, tak ada yang tahu siapa orang ini pada mulanya. Dia seorang laki-laki muda yang dapat menandingi kesaktian Hek Bin. Pertarungan mereka diceritakan luar biasa dahsyat karena mereka dapat bertempur di atas air dan di udara. Hek Bin dan lawannya dapat mengeluarkan apa yang tidak bisa dikeluarkan orang lain. Hujan, api, guntur serta angin taufan yang membuat mereka bertempur tujuh hari tujuh malam. Matahari gelap dan terang ketika pertempuran itu terjadi, banyak yang ternganga ketika menyaksikan pertarungan yang amat luar biasa itu. Tapi ketika pada hari ke delapan laki-laki muda yang gagah perkasa ini mulai kelelahan menghadapi lawannya yang hebat tiba-tiba orang muda itu melarikan diri di puncak mega yang paling atas. Hek Bin mengejar, si angkara itu juga kelelahan tapi tak mau kehilangan lawan, mereka sebenarnya sama-sama terluka. Dan ketika Hek Bin mencari-cari lawannya di mega yang tebal tiba-tiba lawannya itu muncul dalam bentuk sebatang pedang yang memiliki tiga macam sinar!”

“Sam-kong-kiam?”

“Benar, itulah pemuda yang menjelma dalam bentuk pedang itu. Hek Bin terkejut karena sinar di tubuh pedang ini menyilaukan matanya. Pedang bergerak dan menyerang di atas mega, sinarnya berkali-kali mencuat dan orang di bumi mendengar ledakannya yang dahsyat. Dan karena roh pemuda itu bersembunyi di balik pedang ini dan terus bergerak serta menyerang lawannya akhirnya Hek Bin kewalahan dan terdesak hebat..”

“Dan akhirnya si angkara terbunuh, suhu?” Kim-mou-eng kembali tak sabar memotong.

“Tidak, Hek Bin memang terdesak dan kewalahan. Tapi karena si angkara ini memiliki kesaktian yang disebut Seribu Nyawa Rangkap maka dia tak dapat dibunuh karena setiap kali di bunuh maka setiap kali itu pula dia bangkit lagi dengan nyawa yang baru!”

“Ah, demikian hebat?” Kim-mou-eng terbelalak.

“Ya, begitu menurut dongeng dalam kitab-kitab di perpustakaan itu. Kim-mou-eng. Dan karena Hek Bin tidak dapat dibunuh berkat kesaktiaannya memiliki Seribu Nyawa Rangkap itu akhirnya pemuda gagah perkasa dalam bentuk badan pedang itu mendapat sebuah akal dengan cara membelit belit tubuh Hek Bin dengan sinar pedangnya. Hek Bin akhirnya dililit, terus dililit dan akhirnya tak dapat bergerak. Dan ketika si angkara itu roboh dan pemuda ini mencapai kemenangan maka si angkara lalu diikat pada sebongkah mega yang luar biasa berat dan besar di angkasa!”

“Fantastis!” Kim-mon-eng berseru. “Apakah sampai sekarang si angkara itu masih hidup, suhu?"

“Entahlah, ini memang cerita dalam dongeng Sam-kong-kiam itu, muridku. Tapi satu hal yang dipercaya jelas adalah Sam-kong-kiam memiliki keampuhan luar biasa hingga matahari pun akan meredup sinarnya bila bertemu Sam-kong-kiam!”

“Begitu hebat?”

“Ya, begitu hebat. Karena itu lampu-lampu dan semua penerangan lain akan padam bila bertemu Pedang Tiga Sinar ini!”

Kim-mou-eng mengeluarkan suara decak berkali-kali. Dia kaget dan kagum bukan main mendengar ampuhnya pedang sakti ini, hampir tak percaya. Tapi karena yang bicara itu adalah suhunya sendiri dan tak mungkin suhunya bohong tiba-tiba pendekar ini teringat kisah tadi yang belum berakhir secara tuntas. “Suhu, lalu bagaimana kaisar Cung-ho dan lain-lain itu mendapat tahu siapa pemuda penolongnya ini? Dan bagaimana pula Sam-kong-kiam jatuh di tangan kaisar itu?”

“Hm, pemuda itu sebenarnya bukan lain putera Mahadewa Sin Seng sendiri, muridku. Dia di utus ayahnya untuk menghadapi Hek Bin yang sebenarnya jelmaan roh Dewa Naga Hitam. Dewa Naga ini membuat onar di mana-mana, di langit dan di bumi dia selalu membuat kerusuhan. Karena itu untuk menghadapi si angkara Hek Bin yang sebenarnya jelmaan dari Dewa Naga Hitam ini lalu Mahadewa Sin Seng mengutus puteranya untuk membekuk pengacau itu, menangkap dan mengikatnya hingga Hek Bin atau roh dari Dewa Naga itu tak dapat berkutik lagi”

“Dengan demikian kerusuhan tak akan ada lagi di muka bumi?”

“Secara teoritis memang begitu,” gurunya tersenyum aneh. “Tapi kitab kuno diperpustakaan kaisar itu menerangkan lain.”

“Menerangkan bagaimana, suhu?”

“Bahwa kerusuhan tak dapat dihapus secara total di muka bumi ini. Hek Bin yang marah dan dendam pada lawannya setiap saat menggeram-geram, air liurnya menetes-netes dan tetesan air liurnya inilah yang membawa bibit penyakit di muka bumi. Siapa yang kejatuhan air liur ini bakal mewarisi kejahatan Hek Bin dan dialah yang akan melanjutkan sepak terjang si angkara itu sampai bumi terguncang lagi!”

Kim-mou-eng terkejut. “Suhu percaya iti?”

Suhunya tertawa. “Siapa harus percaya dongeng yang bisa dibuat-buat, muridku? Tapi kalau dimaksudkan di sini bahwa kejahatan tak mungkin lenyap secara total memang aku mempercayai itu! Bumi sudah dipenuhi dua unsur, baik dan buruk, indah dan jelek. Bukankah ini saja sudah menunjukkan apa yang terjadi? Bumi yang menjadi tempat tinggal manusia memang bukan tempat yang selalu tenang, muridku. Karena itu dengan melihat ini saja kita sudah tahu apa yang sebenarnya akan dan harus terjadi!'“

Kim-mou-eng mengangguk-angguk. “Lalu kembali pada masalah Sam-kong-kiam tadi,” dia bicara. “Apakah pedang ini diwariskan pada kaisar Cung-ho, suhu?”

“Begitu menurut kitab kuno itu,” jawab gurunya. “Pemuda yang telah menjadi badan pedang ini ingin menjaga ketentraman di muka bumi. Dia melanjutkan tugas yang diberikan ayahnya untuk melindungi manusia-manusia di bumi lewat perantaraan kaisar Cung-ho. Kaisar ini memang dikenal sebagai kaisar yang bijak dan adil. Banyak disuka dan dicintai rakyatnya. Maka ketika Hek Bin tak dapat melepaskan diri lagi dari ikatannya dan putera Mahadewa Sin Seng ini menyelesaikan tugasnya maka dia menjatuhkan diri ke pangkuan kaisar Cung-ho dalam bentuk pedang Sam-kong-kiam itu, berseru agar kaisar menyimpan dia baik-baik dan dengan begitu kaisar ini memiliki kewibawaan besar. Pamor dari kesaktian Sam-kong-kiam membuat wibawa kaisar Cung-ho naik, banyak lawan menjadi kawan. Tapi karena Hek Bin yang terikat di angkasa sana selalu meneteskan liurnya dan mencari jalan untuk membalas dendam maka seperti yang dikatakan tadi kerusuhan bakal selalu ada dan mengguncang permukaan bumi ini.”

“Dan kaisar Cung-ho merupakan kaisar pertama yang memiliki Sam-kong-kiam ini, suhu?”

“Benar, begitu menurut kitab-kitab di perpustakaan sana. Nenek moyang kaisar sekarang mengakuinya, tapi karena cerita dongeng bisa saja ditambahi sana-sini maka aku hendak memberitahukan apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan pedang ini.”

Kim-mou-eng tertarik. “Suhu mengetahui itu?”

“Ya, cobalah dengarkan sebentar.” kakek itu menarik napas. “Pedang Tiga Dimensi atau Pedang Tiga Sinar ini sebenarnya melupakan simbol kejayaan bagi pemiliknya, Kim mou-eng. Karena warna atau masing-masing sinar dari tubuh pedang itu memiliki arti. Pertama adalah warna hijau. Warna ini memberi jaminan akan harta, artinya selama hidup orang itu tak mengenal artinya miskin karena harta dunia akan selalu bergelimang memandikan tubuhnya. Lalu warna kuning. Warna ini menunjukkan kejantanan. Laki-laki yang dilindungi warna ini akan memiliki kekuatan seks luar biasa. Dia sanggup melayani puluhan bahkan ratusan wanita. Tapi karena warna kuning juga merupakan warna yang mengisyaratkan hati-hati maka seyogianya laki-laki yang melindungi warna ini tak menghambur-hamburkan kejantanannya dalam urusan wanita!”

Kim-mou-eng menahan napas. “Wah, begitu hebat, suhu? Agaknya hanya kaisar saja yang dapat menjadi orang seperti itu!”

“Ya, karena itu Sam-kong kiam memang milik kaisar. Tapi jangan potong dulu keteranganku. Perhatikan baik-baik untuk warna terakhir ini, warna merah. Kau tahu apa yang menjadi tanda bagi warna merah ini?”

“Tidak,” Kim-mou-eng tentu saja menggeleng.

“Warna merah ini menunjukkan warna kekuasaan, muridku. Siapa yang dilindungi warna ini berarti dia memiliki kekuasaan yang amat besar di muka bumi. Karena itu lagi-lagi hanya kaisar atau maharaja yang mampu memiliki hal seperti itu!”

“Kekuasaan?”

“Ya, kekuasaan. Jadi lengkaplah sudah apa yang menjadi arti dari masing-masing warna yang ada di tubuh Pedang Tiga Dimensi itu. Hjau, kuning dan merah. Dengan lain kata: Harta, Kejantanan dan Kekuasaan. Tapi karena kekuasaan ini juga merupakan sesuatu yang amat besar risikonya maka warna merah juga dimaksudkan sebagai warna bahaya. Artinya, orang yang dilindungi warna ini harus melipatgandakan kehati-hatiannya agar tidak celaka oleh warna itu juga. Karena sekali dia lengah dan salah melangkah maka warna merah akan menghantarkannya ke penderitaan kekal di dunia dan akhirat!”

Kim-mou-eng tertegun, tanpa terasa dahi pun tiba-tiba berkeringat. 'Suhu, berat sekali arti dari tiga warna pada Pedang Tiga Dimensi itu. Kekayaan, Kejantanan dan Kekuasaan. Orang yang mendapatkan ini berarti menerima kemuliaan yang tiada taranya. Sungguh tak menyesal hidup sekali di atas bumi. Semuanya diperoleh. Tapi, begitu enakkah jaminan yang diberikan oleh pedang yang ampuh itu?”

“Pedang itu memang jelmaan dewa, muridku, begitu menurut catatan di perpustakaan kaisar. Jadi agaknya dapat diterima juga oleh kebanyakan orang karena kehidupan para dewa pada umumnya dianggap jauh lebih baik daripada kehidupan manusia. Tapi masalah enak atau tidak enak tergantung yang bersangkutan juga. Manusia mahluk yang tak kenal puas, apa yang sesungguhnya enak bisa saja dianggap masih kurang enak. Yang sesungguhnya harus disyukuri ternyata tak disyukuri. Semuanya tergantung pribadi masing-masing.”

“Dan kekurangannya, apa yang menjadi kekurangan dari Pedang Tiga Dimensi ini, suhu?"

“Tunggu, sudah cukup jelaskah kau akan semua keteranganku tadi?”

“Teecu kira cukup cukup jelas.”

“Baik, kalau begitu berikan komentar atau sedikit tanggapan bila kau benar-beiuar sudah sudah cukup jelas!”

Kim-mou-eng terkejut. “Apa, suhu? Memberi tanggapan?”

“Ya, tanggapan atau komentar. Bagaimana komentarmu bila sekarang kau mengetahui akan kelebihan dari Pedang Tiga Dimensi ini!”

Kim-mou-eng bingung.

“Ayo, kenapa diam. Bukankah kau bilang sudah cukup jelas? Kalau kau sudah mengerti atau cukup jelas tentunya kau akan segera memberi tanggapan apa yang terjadi kalau seseorang sudah mengetahui perihal jaminan-jaminan yang di berikan Pedang Tiga Dimensi ini!”

Kim-mou-eng gugup. “Maaf, teecu bingung. Teecu tak mengerti apa yang suhu kehendak.”

“Hmm, ini artinya keteranganku belum meresap benar di hatimu Kim-mou-eng. Engkau tergesa-gesa melangkah sebelum langkah pertama kau maklumi benar.”

“Suhu barangkali benar. Teecu mohon petunjuk.”

“Baiklah, sekarang kutuntun sedikit. Sebenarnya rahasia kelebihan Pedang Tiga Dimensi ini tidak banyak orang tahu. Di dunia ini barangkali hanya beberapa gelintir orang saja, tapi sekarang rupanya terjadi kebocoran. Kalau sekarang orang tahu apa yang menjadi kelebihan pedang ini apa kira-kira yang akan terjadi pada saat itu? Tidakkah timbul keinginan untuk memiliki pedang yang menjanjikan kenikmatan hidup ini?”

“Ah,” Kim-mou-eng sadar. “Memang benar, suhu. Orang mulai tertarik dan timbul keinginan untuk memiliki pedang itu!”

“Benar, kemudian apa?”

“Kemudian terjadi tindak kekerasan. Orang yang sudah mengetahui kehebatan pedang ini akan merampas dan kemudian berbuat onar!”

“Bagus itu yang kumaksud. Kalau sudah begini jawabanmu maka berarti sungguh-sungguh kau sudah mengerti cukup jelas. Ini berarti pengetahuanmu semakin dalam. Kau masih ingat wejanganku beberapa bulan yang lalu? Bukankah orang cenderung mendekati kesenangan menjauhi ketidaksenangan? Nah, pencurian pedang ini juga berkecenderungan kesitu, muridku. Bahwa langkah pertama dari pemberontakan jiwa sedang terjadi. Bocornya rahasia pedang ini bakal membawa banyak petaka bagi manusia karena manusia tertutup oleh kebodohannya sendiri.”

Kim-mou-eng tertegun.

“Sekarang kau mengerti?”

“Ya, teecu mengerti. Kiranya kelebihan pedang ini telah bocor keluar. Dan karena dia sudah bocor keluar maka manusia-manusia lain akan memperebutkannya seperti apa yang telah teecu alami. Tapi, suhu, kenapa kau menyebut-nyebut tentang kebodohan? Bukankah salah kaisar kalau kebocoran ini terjadi?”

“Hai, sebaiknya jangan buru buru menuduh kaisar, muridku. Di dunia ini hampir tak ada hal yang tak diketahui orang lain, biarpun barangkali cuma dua orang saja yang mengetahui sesuatu rahasia di muka bumi, itu hukum alam. Sebaiknya kembali saja pada masalah kebodohan itu, ini yang menjadi inti sari pembicaraan kita. Belumkah kau melihat sesuatu yang penting di sini? Ataukah kau belum menangkapnya?”

Kim-mou-eng mulai berhati-hati, “Suhu, teecu belum melihat kebodohan manakah yang sebenarnya kau maksud. Tapi sebelum kita ke situ barangkali tidak ada jeleknya kalau suhu menerangkan pada teecu sisi lain dari Pedang Tiga Dimensi itu, sebelum teecu kelupaan bertanya.”

“Kau maksudkan kekurangan pedang ini?”

“Benar, suhu. Bukankah kau sudah menunjukkan kelebihannya?”

“Baiklah, kuterangkan sedikit. Sebagai mana tadi kuberitahukan padamu bahwa di samping kelebihannya Pedang Tiga Dimensi ini juga memiliki kekurangan atau kelemahan. Padang ini jelmaaan seorang dewa, begitu menurut kitab kuno di perpustakaan kaisar. Dan karena putera Mahadewa Sin Seng ini seorang pemuda yang selama hidup belum pernah kawin maka dia amat takut sekali bersentuhan dengan wanita. Itulah sebabnya pedang ini diperuntukkan bagi kaum lelaki, bukannya wanita. Karena sesungguhnya tak ada faedahnya bagi wanita untuk memiliki pedang ini bila yang diinginkan adalah daya kegaibannya itu. Tapi kelak kalau pedang ini sampai jatuh pula ke tangan wanita maka selama empat puluh hari empat puluh malam cahaya gaib yang memancar di badan pedang itu akan lenyap dan Pedang Tiga Dimensi akan menjadi pedang biasa sampai seorang laki-laki akan mampu menghidupkannya lagi dengan jalan bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam pula!”

“Ah. begitu berat?”'

“Ya, begitu menurut kitab dongeng itu. Tapi selama ini kebetulan pula pedang itu belum pernah jatuh ke tangan seorang wanita. Tapi ada hal yang tak kalah pentingnya lagi. Yakni bila pedang itu jatuh ke tangan orang jahat!”

Kim-mou-eng terbelalak, tertarik hatinya. “Bagaimana itu, suhu? Dan tentunya orang jahat yang dimaksudkan di sini adalah laki-laki, bukan?”

“Benar, apa yang dilakukan bila pedang ini jatuh ke tangan penjahat, muridku?”

“Mana teecu tahu?”

“Kau harus tahu. Sekarang kuberi tahu. Begini, meskipun aku sendiri belum membuktikan tapi menurut catatan kitab kuno itu Pedang Tiga Dimensi atau Pedang Tiga Sinar ini akan hilang keampuhannya bila terkena air kencing bayi perempuan. Memang hilangnya keampuhan itu tidak selamanya, karena begitu dibersihkan dan di rendam air suci yang berasal dari pegunungan Himalaya keampuhannya bangkit lagi. Air ini tidak sembarang air, di dunia ini yang memiliki air suci yang dimaksud hanya dua orang saja. Satu adalah kaisar dan yang lain adalah Hu Lai Lama yang ada di Tibet. Aku tidak tahu di mana persisnya Hu Lai Lama ini tinggal, sedang air suci yang disimpan kaisar tentu hanya kaisar sendiri yang tahu.”

“Maaf,” Kim-mou-eng memotong. “Kenapa air itu disebut air suci, suhu?”

“Karena air itu berasal dari sumber di puncak Himalaya yang selamanya belum pernah disentuh wanita.”

“Jadi karena air itu belum pernah disentuh wanita lalu dinyatakan sebagai air suci?”

“Ya, khusus dalam hubungannya untuk memulihkan lagi kesaktian Pedang Tiga Dimensi ini. Bila karena satu dan lain sebab pedang itu terkena kencing bayi perempuan.”

“Hm....!” Kim-mou-eng mengangguk-angguk. “Lalu apa maksud suhu memberitahukan teecu semuanya ini? Apakah teecu akan mengalami celaka gara-gara pedang itu?”

Bu-beng Sian-su tersenyum aneh. “Kim-mou eng, adakah kau tidak merasa celaka gara-gara pedang itu? Adakah kau merasa biasa-biasa saja sejak pedang itu dinyatakan diambil olehmu?”

Kim-mou-eng terkejut. “Maksud suhu?”

“Jelas, aku memberitahukan ini karena ada sangkut-pautnya. Aku melihat kau bakal dibuat repot oleh Pedang Tiga Dimensi itu. Belum mendapatkannya saja sudah dibuat jatuh bangun seperti ini, apalagi kalau kau sudah memenuhi janjimu pada kaisar dan pedang itu dapat kau rampas kembali!”

“Ah,” Kim-mou-eng sadar. “Teecu memang akan mencari pencuri itu, suhu. Tapi berhasilkah teecu menurut pandangan suhu?”

“Kenapa ingin tahu lebih cepat? Bukankah sebaiknya kau jalani saja? Orang yang ingin buru-buru selesai menandakan kecerobohannya. Karena keterburu buruan tanpa kehati-hatian hanya akan merugikan diri sendiri belaka. Sebaiknya kau perhatikan tiga bait syait yang kubuat ini, lihat dan renungkan apa yang menjadi isi dari semuanya itu!”

Kim-mou eng tertegun. “Apa yang hendak suhu tunjukkan pada teecu?”

“Lihat dan amati, jangan tergesa bertanya!”

“Teecu belum menangkap, kecuali melihatnya sebagai syair yang bagus namun mengerikan!”

“Begitulah barangkali kau terperangkap oleh bait pertama. Tapi inti jawaban berada pada bait kedua!”

“Hm, tentang apa, suhu?”

“Sebuah pelajaran baru, tentang kehidupan dan fakta hidup yang nyata!”

“Teecu masih bingung,” Kim-mou-eng mengerutkan kening. “Teecu masih....”

“Masih tidak mengerti?” gurunya memotong. “Apa yang tidak dimengerti memang harus dipelajari, muridku. Tapi perlu kuberitahukan di sini bahwa pangkal semua kejadian ini bertolak dari kisah pedang ini. Manusia terjebak, kau dan anak cucu generasi-generasi mendatang bisa saja ikut terjebak. Karena itu waspada dan hati-hatilah. Sekarang amati lagi tiga bait syair itu. Baca dan lihat. Renungkan dalam-dalam. Jangan bertanya dulu!”

Kim-mou-eng dag-dig-dug. Biasanya, kalau gurunya sudah mulai memasang syair begini pasti sesuatu yang serius terjadi. Tak pernah gurunya main-main untuk hal yang percuma. Kim-mou-eng mulai mengerti kebiasaan gurunya ini. Tapi ketika dia mulai mengamati dan membaca syair itu ternyata Kim-mou-eng masih belum menangkap inti sarinya. Jawaban ada di tengah, begitu kata gurunya. Tapi jawaban yang bagaimana? Dan tentang apa? Tapi karena dia tak boleh tergesa bertanya dan kembali coba menelusuri syair itu bait demi bait tiba-tiba Kim-mou-eng mulai berseri mendapatkan sesuatu yang dirasa cocok.

“Suhu, agaknya kau hendak berbicara masalah pengejaran cita-cita atau apa saja yang dirasa manusia amat berharga!”

“Barangkali,”

“Atau suhu hendak membicarakan ke-aku-an manusia.”

“Barangkali.”

“Eh, kenapa barangkali, suhu? Apakah teecu salah!” Kim-mou-eng tertegun, memandang gurunya dan melihat gurunya tersenyum. Dan ketika dia penasaran kenapa berturut-turut dua kali gurunya menjawab “barangkali” tiba-tiba gurunya itu tertawa lembut padanya.

“Kim-mou-eng, haruskah kujawab semuanya itu sekarang? Haruskah kuberi penjelasan sebelum kau mengalami semuanya itu? Memberi jawaban sebelum ada penghayatan tak bakal menarik, muridku. Karena itu renungkan dan ingat dulu baik-baik apa yang kutulis ini. Aku telah melihat sesuatu akan terjadi, tapi karena itu belum terjadi dan masih akan terjadi maka biarlah kau cari jawabannya sambil berjalan!”

“Kalau begitu suhu memberikan kepala menyembunyikan ekor?”

“Bagaimana menurut pikiranmu?”

“Teecu penasaran, teecu ingin segera mendapatkan jawaban!”

“Ha-ha. jawaban tanpa kejadian ibarat air tanpa gelas, Kim-mou-eng. Tak dapat terminum dan tak akan kenyang. Kau tak akan puas dan mengerti!”

“Jadi teecu harus masuk dalam kejadian itu?”

“Ya.”

“Harus terlibat?”

“Benar, bahkan langsung. Jadi setelah itu kau akan mengerti dan paham apa yang kutulis di sini. Sekarang ku ulangi lagi, baca dan amati itu. Renungkan dan coba cari jawabannya.”

Kim-mou-eng agak gemas. Dia semakin penasaran karena gurunya memberi teka-teki tanpa jawaban. Dia membaca dan membaca lagi. Tapi ketika itu-itu saja yang dia dapatkan dan hasilnya masih nihil juga tiba-tiba Kim-mou-eng menyatakan tak mampu dan menyerah, membalik dan mohon petunjuk agar gurunya membantu. Tapi ketika dia melihat gurunya tak ada di situ lagi dan dia tak tahu kapan gurunya itu pergi mendadak perdekar ini terkesiap dan kaget membelalakkan mata.

“Suhu....!”

Tak ada jawaban. “Suhu...!”

Lagi-lagi tak ada jawaban. Dan ketika tiga kali Kim-mou-eng memanggil namun tiga kali itu pula gurunya tak menyahut mendadak sayup-sayup tanpa entah darimana berasalnya pendekar itu mendengar tawa gurunya dari jauh,

“Kim-mou-eng. Jawaban yang buru-buru diberikan hanya memuaskan nafsu belaka. Ini urusan akal budi, redam dulu nafsu keinginan itu dan pasang mata serta telinga baik-baik. Kalau kau tak dapat menemukan juga dalam perjalanan hidupmu nanti maka jawabannya akan kuberikan dalam saat yang tepat. Bersabarlah, cepat pulang den tengok kembali suku bangsamu di padang rumput itu!”

Kim-mou-eng kaget. Dia jadi bengong dan menjublak mendengar asal suara gurunya itu. Gurunya sudah di atas jurang padahal satu satunya tempat untuk keluar dari tempat itu hanyalah melalui lubang di sisi tubuhnya. Padahal dia tak mendengar sama sekali desir gerakan tubuh gurunya. Gurunya seolah bayangan tanpa asap. Atau sukma tanpa raga. Lolos tanpa sepengetahuan dirinya!

Tapi sadar bahwa gurunya si orang sakti luar biasa dan gurunya itu adalah manusia dewa yang kepandaiannya seperti malaikat saja tiba-tiba Kim-mou-eng menyesal tapi cepat menjatuhkan diri berlutut ke arah dari mana asal suara gurunya tadi berada, kecewa kenapa demikian cepat mereka harus berpisah. Pertemuan dengan gurunya itu sukar sekali!

“Suhu, kenapa buru-buru meninggalkan teecu? Tapi kalau suhu menghendaki begitu baiklah, teecu akan pulang dan melaksanakan petunjuk suhu. Teecu harap suhu menyertai teecu lahir batin. Mohon peringatan setiap kali teecu keliru!”

Dan Kim-mou-eng yang cepat bangkit kembali melompat keluar lubang segera mengetahui bahwa dia berada di tengah-tengah jurang yang amat dalam. Sejenak tertegun tapi cepat bergerak. Dan karena Kim-mou-eng adalah murid Bu-beng Sian-su dan Pendekar Rambut Emas ini adalah tokoh yang tak diragukan kepandaiannya lagi tiba-tiba dia sudah berjungkir balik mengayun tubuh dan dinding demi dinding tahu-tahu sudah dilewati pemuda ini dengan amat cepat, tanpa tali dan bantuan apapun, hanya telapak tangan dan kakinya itu. Kim-mou-eng memang telah pulih kekuatannya dan sembuh berkat usapan gurunya. Dan ketika Sekejap kemudian pendekar itu tiba di atas jurang dan muncul seperti iblis dari dalam kubur saja tiba-tiba pendekar ini tancap gas dan “terbang” menuju ke utara!

“Aku harus mencegah suku bangsaku berperang. Aku harus mencegah sumoiku mengamuk!”

Kim-mou-eng teringat perjanjian batas waktunya dengan bangsa Tar-tar, juga dengan sumoinya karena itu sudah lewat hari ke tujuh. Peringatan suhunya memang benar. Dia harus segera kembali ke suku bangsanya di luar tembok besar sana, diam-diam menyesali dan mengumpat gangguan-gangguan di tengah jalan yang membuat hari-hari nya lewat terhalang. Tanpa kenal lelah dan mati-matian dia memburu waktu. Tapi ketika Kim-mou-eng tiba di tempat suku bangsanya dan melihat padang rumput itu kosong tanpa penghuni tiba-tiba Kim-mou-eng jatuh terduduk dan mengeluh pucat.

“Tuhan Yang Maha Agung, iblis menghasut suku bangsaku!”

Ternyata bangsa Tar-tar sudah tak ada sama sekali di tempat asalnya. Kim-mou-eng hanya melihat sisa-sisa kayu bakar di sana-sini, berceceran bersama kotoran-kotoran kambing dan kuda. Tahulah Kim-mou-eng bahwa suku bangsanya melakukan serangan besar-besaran ke kota raja. Tentu karena dia tak pulang dan dianggap melebihi janji. Bangsa Tar-tar memang bangsa yang keras dan kaku. Dan ketika Kim-mou-eng terduduk dan pucat mengusap dadanya yang terengah tiba-tiba bayangan darah dan tubuh-tubuh yang bergelimpangan seolah terlihat di depan matanya melalui padang rumput itu.

“Tidak, jangan! Kalian harus kucegah. Ini salah paham!” dan Kim-mou-eng yang seperti gila melompat bangun tiba-tiba membalik dan meluncur lagi memasuki tembok besar, memekik dan melepas seruan keras mirip dengus seekor bison. Kim-mou-eng ngeri dan pucat sendiri. Dan karena dia tak dapat menemukan lagi suku bangsanya di situ dan maklum apa yang terjadi tiba-tiba pendekar ini berkelebat memanggil-manggil sumoinya.

Tentu saja tak ada karena suku bangsa Tar-tar dan Salima memang telah pergi dari tempat itu. Dan ketika Kim-mou-eng lenyap meninggalkan padang rumput dan cemas serta gemetar membayangkan apa yang dilakukan bangsanya maka jauh di timur dan barat orang orang Tar-tar ini memang melakukan serbuan besar dengan cara memecah diri menjadi beberapa kelompok bagai harimau-harimau haus darah yang ingin membalas dendam. Dan karena urusan ini berbuntut panjang dan satu sama lain tampaknya saling tabrak. Marilah kita ikuti apa yang terjadi pada bangsa Tar-tar ini.

* * * * * * * *

Hari itu, hari terakhir batas perjanjian Kim-mou-eng dengan bangsa Tar-tar diliputi mendung tebal. Semalam hujan turun, lapangan rumput yang amat luas itu basah, di sana-sini becek. Dan Salima yang mewakili suhengnya sebagai pemimpin tertinggi di situ sudah sejak malam tadi tak pernah senyum.

Gadis ini pun seperti mendung di atas. Gelap. Tak Ada senyum bersahabat di wajah yang sudah dingin itu. Dan ketika hari terakhir itu tiba dan Bora serta Siga mondar mandir di depan kamarnya tiba-tiba Salima yang marah dan tersinggung oleh sikap dua pemuda itu membentak mereka agar masuk ke dalam. “Tak usah mondar-mandir. Kalau ingin masuk segera masuk saja!”

Bentakan itu disambut muka kecut oleh dua pembantu ini. Memang mereka mau ke dalam, sungkan dan berpura mondar-mandir agar diperhatikan. Itulah satu-satunya yang mereka kerjakan sebagai isyarat pendahuluan, betapapun mereka gugup dan tak enak menghadapi gadis yang lihai ini. Mereka tahu kepandaian Salima. Dan ketika Salima membentak mereka dan itu satu kesempatan bagi mereka untuk menyatakan “uneg-uneg” akhirnya dengan tersipu namun mengeraskan hati mereka mendorong pintu ke dalam.

“Maaf, kami memang ingin bicara, lihiap. Kami ragu dan takut....”

“Masuklah, aku sudah tahu. Kalian ingin bicara tentang Kim-suheng, bukan?”

“Benar, kami...”

“Duduklah, jangan berdiri. Tarik kursi itu dan kita boleh mulai!” Salima kembali memotong, sikapnya yang ketus serta dingin benar-benar membuat dua pemuda itu semakin gugup.

Siga menarik kursinya dan memberikan kursi yang lain pada temannya, kini berhadapan dan duduk di depan Salima yang kursinya lebih tinggi. Gadis Tar-tar itu benar-benar seperti ratu. Dan ketika Salima memandang mereka dan mata yang tajam itu menembus tanpa sungkan-sungkan lagi, akhirnya Siga menunduk sementara temannya juga melengos tak berani beradu langsung.


Salima memandang Siga. “Kalian boleh lakukan apa saja, itu hak kalian. Tapi harap diingat bahwa janji suhengku masih ada beberapa saat.”

“Maksud lihiap?”

“Hari ini memang batas terakhir janji suhengku pada kalian, Siga. Tapi batas terakhirnya adalah tengah malam nanti. Karena itu tunggu sampai tengah malam di mana setelah itu balas tujuh hari yang dikenakan pada suhengku gugur. Sebelum itu, meskipun satu atau dua jam suhengku masih memiliki sisa waktu!”

Siga terkejut. Bora juga memandangnya.

“Apakah itu tidak benar?”

Bora buru buru menggeleng. “Tidak, itu benar, lihiap. Kami hampir kelupaan. Tapi begaimana kalau sampai tengah malam nanti Kim-taihiap tidak datang?”

“Kalian boleh serang kota raja, itu keinginan kalian.”

Siga dan Bora tampak girang. “Kalau begitu kami bersiap-siap, lihiap. Kami mohon lihiap membantu kami pada pasukan terdepan!”

“Tidak, aku tak ikut. Kalian lakukan saja itu sendiri!”

“Apa, lihiap tak ikut?” dua pemuda itu kaget.

“Ya, aku ingin mencari suhengku sendiri, Siga. Karena itu urusan serangan kalian lakukan tanpa ikut campurnya diriku!”

“Ah.” dua pemuda itu tertegun, kecewa. “Bukankah sambil menyerang kita dapat mencari Kim-taihiap, lihiap? Kenapa kami ditinggalkan sendirian?”

“Mencari sambil memimpin kalian terlalu lama bagiku. Aku juga tak sabar. Jadi kalau sampai tengah malam nanti suhengku tak datang maka kalian kupesilahkan bergerak dan aku akan pergi!”'

“Tapi, lihiap....”

“Stop! Aku sudah bicara, sekarang kalian keluar dan biar aku bersamadhi” Selima mengangkat kedua lengannya.

Bora tak jadi bicara dan saat itu juga mereka dipersilahkan keluar. Pemuda ini tertegun. Tapi Siga yang menjawil dan mengangguk menyambar temannya lalu memberi hormat dan buru-buru keluar.

“Tak perlu membantah. Kita sudah menyelesaikan pokok pembicaraan kita” di luar Siga berbisik, menutup pintu itu dan Bora terbelalak tak puas. Mereka sudah disambut beberapa orang lain yang menjadi pembantu mereka. Dan ketika Siga mengajak menjauh dan hari itu bangsa Tar-tar kasak-kusuk mendengar hasil percakapan dengan Salima tiba-tiba mereka girang tapi sekaligus juga kecewa.

“Ah, kita menyerang tanpa Sian-li-lihiap, Siga? Dia hendak meninggalkan kita kalau suhengnya tak datang juga?”

“Begitu katanya, dan kita tak dapat menawar-nawar lagi.”

“Tapi kita dapat membujuk, kita dapat mencari perhatiannya dan minta agar dia tetap bersama kita!”

“Siapa dapat membujuk Tiat-ciang Sian-li Salima? Siapa di antara kalian berani melakukan itu?”

Semua diam. Siga tertawa mengejek memandang pembantu-pembantunya itu. Sekarang tak ada satu pun yang berani menjawab, mereka rata-rata tahu kekerasan hati Salima, seperti mereka pun tahu kekerasan watak bangsa mereka sendiri. Orang-orang Tar-tar memang orang yang rata-rata berhati keras, kuat kemauan dan tak gampang dibujuk dan karena mereka maklum bahwa Salima pun tak dapat dibujuk biar mereka pun menyembah seribu kali akhirnya mereka mengadakan rapat sendiri dan menjelang tengah malam kesibukan besar terjadi di perkemahan suku bangsa ini.

Bulan di atas sana ditunggu sebagai penunjuk waktu, kebetulan mendung menyingkir dan bulan kian lama kian di atas kepala, akhirnya tegak dan lurus di atas perkemahan orang orang Tar-tar ini. Dan ketika tepat tengah malam batas perjanjian berakhir dan Kim-mou-eng tak datang juga maka Siga dan teman-temannya mendatangi kemah besar di mana Salima tinggal, bermaksud meresmikan perjuangan mereka.

“Lihiap, kami ingin bicara....”

Siga mengetuk pintu, tak mendapat jawaban dan akhirnya mengetuk lagi. Empat lima kali namun tak ada suara di dalam. Tentu saja Siga dan orang-orangnya mengerutkan kening, mereka khawatir. Tapi ketika ketukan berikut juga tak mendapat sambutan dan Siga memberanikan diri membuka pintu mendadak mereka melongo melihat ruangan itu kosong tak ada seorang pun.

“Ah, dia telah pergi!” Siga sadar, melompat masuk dan teman-temannya juga mengikuti. Diam-diam mereka terkejut karena kepergian Salima tak diketahui seorang pun, padahal gadis itu berada di tengah-tengah ribuan orang yang mengelilingi kemahnya. Dan ketika Siga mendapat sepotong surat yang ditujukan padanya maka pemuda ini tertegun membaca apa yang ditulis Salima.

“Kalian boleh serbu kota raja. Tak perlu ditunda. Gempur dan bunuh saja lawan-lawan kalian di sana. Rupanya kaisar orang yang licik. Aku mendahului kalian dan berhati-hatilah...!”

Itu saja. Salima tak memberi tanda tangan pada suratnya, tapi semua orang mengerti. Dan karena surat itu juga bersifat “meresmikan”' perjuangan mereka tiba-tiba saja semua orang mengacungkan tinju berseru lantang,

“Hidup bangsa Tar-tar. Kami akan memulai perjuangan membasmi kaisar yang sombong!” dan ketika yang lain berseru menyambut dan pekik itu keluar di mana mana tiba tiba saja perkemahan bangsa Tar-tar ribut dan guncang oleh teriakan di sana sini. Mereka sudah dibakar nafsu berperang. Hampir dua bulan dipendam-pendam tak tahan, kini Salima mengijinkan mereka dan mereka seolah harimau buas keluar dari kerangkeng. Tentu saja kegembiraan orang-orang Tar-tar ini tak dapat digambarkan lagi.

Tapi karena Salima meninggalkan mereka dan Kim-mou-eng juga tak ada di situ maka kegembiraan serta nafsu berperang itu agak terganggu juga dengan kepergian dua orang ini. Ada kekecewaan di hati, ada semacam kekosongan ganjil. Tapi karena mereka sudah bertekad dan rasa persatuan di antara mereka besar, akhirnya meskipun dengan kecewa orang-orang Tar-tar ini melanjutkan juga apa yang menjadi maksud di hati.

Malam itu juga mereka sibuk. Siga dan Bora mengadakan rapat kilat siapa yang menjadi pemimpin tunggal, menggantikan Kim-mou-eng dan Salima itu. Debat pendapat terjadi di sana sini, cukup tegang. Sebagian besar memilih Siga, enam puluh persen. Tapi karena sisa empatpuluh persen memilih Bora dan Siga tak mau adanya perpecahan di situ tiba-tiba pemuda ini mengajukan usul bahwa siapa pun dapat memimpin.

“Pemimpin kita tetap Kim-taihiap, wakil kita adalah Tiat-Ciang Sian-li Salima. Daripada ribut-ribut sendiri mencari pengganti mereka biarlah pasukan besar kita dipecah saja mengepung kota raja. Mungkin bisa dipecah lima atau sepuluh dan masing-masing dipimpin oleh lima atau sepuluh orang yang bertanggung jawab akan pasukannya. Bagaimana menurut pendapat saudara-saudara?”

“Setuju!” tiba-tiba yang lain bersorak, usul dapat diterima dan malam itu juga bangsa Tar-tar menyusun siasatnya.

Ribuan pasukan dipecah menjadi kelompok yang lebih kecil, sepuluh jumlahnya. Kini ada sepuluh pemimpin pula di antara mereka, sebagai komandan pasukan. Dan ketika malam itu semuanya diatur dan bangsa Tar-tar menyiapkan diri maka keesokan paginya, selepas subuh pasukan besar yang sudah menjadi beberapa kelompok ini berderap meninggalkan tempat mereka melakukan perjalanan panjang menuju kota raja.

Barisan perang ini benar-benar siap tempur. Mereka mendekati tembok besar bagai naga melingkar-lingkar. Dan ketika sasaran sudah dekat dan mereka melakukan serangan tiba-tiba maka tak ayal lagi pengawal tapal batas di dalam tembok besar menjadi kalut dan kaget karena serbuan lawan di luar dugaan karena selama ini bangsa Tar-tar dianggap sahabat oleh mereka. Pertempuran di sini berjalan tak seimbang, pasukan kerajaan kalah banyak dan mereka terpukul. Bangsa Tar-tar menyerbu dari mana-mana. Dan karena kalah jumlah dan kalah mental maka hari pertama serbuan mereka bangsa Tar-tar dapat menguasai perbatasan dan terus maju.

Tapi di sini pasukan kerajaan mulai siap. Laporan serbuan bangsa Tar-tar membuat orang-orang istana kaget, mereka cepat datang dan bala bantuan ditambah. Semangat perajurit mereka dibangkitkan lagi dan Cu-ciangkun sendiri memimpin anak buahnya ini. Kakak beradik panglima bertombak itu marah menyambut bangsa Tar-tar. Dan ketika serbuan demi serbuan mulai dihadapi perlawanan keras dan Cu-ciangkun serta pembantunya membalas serangan musuh yang beringas maka untuk beberapa saat bala tentara Tar-tar tertahan dan hanya merebut sebuah kota saja.

Di sini pertarungan sengit terjadi. Bentakan dan makian saling luncur. Siga dan Bora menghadapi sepasang panglima panglima lihay itu. Cu-ciangkun menuduh mereka orang-orang liar yang tidak beradab sementara dua pemimpin muda dari bangsa Tar-tar ini memaki Cu-ciangkun dan kaisar sebagai orang-orang yang sombong, merendahkan bangsa lain dan kini menangkap Kim-mon-eng pula, tentu dengan cara yang licik, begitu anggapan dua pemimpin muda Tar-tar ini. Dan karera adu mulut berlanjut dengan adu kepandaian maka empat orang ini menggerakkan senjata sebagai klimaks akhir percekcokan itu.

Tapi Cu-ciangkun kakak beradik terkejut. Dua pemuda Tar-tar itu mampu menghadapi tombak mereka, bahkan permainan silat mereka juga dihadapi permainan yang sama oleh dua pemuda itu. Memang jelek-jelek Siga maupun Bora mendapat didikan mendiang Gurba, sedikit atau banyak mereka juga mengenal apa artinya sinkang maupun lweekang, begitu pula ginkang. Kepandaian dua pemuda ini cukup untuk menghadapi dua panglima she Cu itu.

Dan karena Gurba sendiri merupakan tokoh yang hebat luar biasa dan datuk-datuk sesat macam Hek-bong Siang-lo-mo maupun Mo-ong masih bukan tandingan raksasa itu maka tak heran kalau ilmu yang diberikan pada dua pemuda ini, meskipun sedikit, tetap saja dapat menahan jago tombak macam Cu-ciangkun itu. Bahkan Cu-ciangkun merasa kewalahan karena dua lawan mereka memiliki napas yang lebih panjang. Baik Siga maupun Bora termasuk lawan-lawan yang “alot” bagi dua panglima ini.

Tapi karena Siga maupun Bora juga tak dapat mendesak dua lawan mereka maka jadinya pertandingan berjalan seimbang dan tiada ketentuan siapa menang siapa kalah di antara empat orang yang sedang bertarung ini. Akibatnya anak buahlah yang mengambil kemungkinan. Bala tentara Tar-tar ini menyerang bala tentara kerajaan. Mereka ternyata memiliki ilmu perang perorangan yang lebih unggul, mungkin karena kehidupan keras yang biasa dihadapi sehari-hari oleh bangsa Tar-tar ini, yang membuat mereka lebih tahan dan kuat, mendesak dan terus mendesak anak buah Cu-ciangkun.

Dan karena secara individu bangsa Tar-tar memiliki kelebihan serta kekuatan dibanding pasukan kerajaan maka sedikit tetapi pasti bala tentara Tar-tar ini mendesak dan memukul mundur pasukan kerajaan. membuat Cu-ciangkun pucat karena itu menampar mukanya pula. Sungguh dia terpukul. Dan ketika dia dan pasukannya terus terdesak dan terdesak saja akhirnya di kota Sin panglima ini menggali parit menghalang serbuan bangsa Tar-tar.

Sampai di sini Siga dan anak buahnya berhenti. Seluruh kota dilindungi parit dalam itu dan sementara bangsa Tar-tar mencari akal bagaimana dapat meneruskan serangan mereka, maka Cu-ciangkun sendiri melalui jalan yang sukar dan berbahaya di belakang kota telah melarikan kudanya menuju kota raja untuk melapor desakan bangsa Tar-tar. Malu dan gusar namun terpaksa kembali. Dan ketika kaisar mendapat laporan dan yang lain-lain juga mendengarkan cerita itu maka kaisar tertegun dan terhenyak, mematung meremas lengan kursi singgasananya.

“Hamba tak berdaya, sri baginda. Benar-benar tak berdayal” Cu-ciangkun menunduk, hampir menangis. “Kekuatan mereka secara individu benar-benar melebihi kekuatan pasukan kita sendiri. Hamba siap menerima hukuman paduka!”

“Hm....!” kaisar termangu-mangu. “Bagaimana bisa begini. Dan mana itu Kim-mou-eng yang tidak menepati janji?”

“Kami tak melihat Kim-mou-eng di sana, Sri baginda. Begitu pula sumoinya. Bangsa Tar-tar hanya dipimpin oleh sepuluh orang muda seperti Siga dan Bora itu!”

“Bekas pembantu Gurba?”

“Benar, dan mereka bertempur seperti orang kesetanan. Mereka menjerit-jerit gila tentang urusan Bi Nio itu!”

Kaisar terkejut. “Apa maksudmu?”

Cu-ciangkun lalu menceritakan perihal itu. Bahwa bangsa Tar-tar menganggap kaisar menghina mereka, memberikan Bi Nio yang sudah hamil pada mendiang Gurba, jadi sama seperti tuduhan Kim-mou-eng dulu waktu Pendekar Rambut Emas itu tiba di istana. Dan ketika Cu-ciangkun menjelaskan bahwa serbuan bangsa Tar-tar itu dikarenakan urusan ini maka panglima itu dengan tersendat-sendat mengulang kata-kata Bora yang marah kepadanya,

“Memangnya bangsa Tar-tar harus memelihara anak asing? Memangnya bangsa Tar-tar budak bangsa asing hingga harus menerima perlakuan kaisar? Tidak, kami masih dapat memelihara anak keturunan kami sendiri, Cu-ciangkun. Katakan pada kaisarmu yang sombong itu bahwa anak Bi Nio akan kami bunuh”

Kaisar membelalakkan mata. “Bangsa Tar-tar bilang begitu? Aih, lancang mereka. Keparat, temukan anak Bi Nio yang hitam itu dan lihat siapa yang menghina!”

Tapi Kim-taijin melipat tubuhnya. “Maaf, sri baginda. Bukankah anak Bi Nio diculik orang dan diganti anak lain? Bagaimana kita memberikan anak itu kalau anak yang sekarang ini jelas berdarah Han bukannya Tar-tar? Sebaiknya paduka bersabar, Sri baginda. Urusan Itu ditunda saja dan kita bicarakan kegagalan Cu-ciangkun ini. Hamba mempunyai usul, kalau paduka setuju mohon hamba diijinkan bicara.”

Kaisar menoleh pada penasihatnya ini, sadar. “Taijin, kau mempunyai usul apa? Kau bicaralah, biar yang lain dengar dan kita lihat usul mu.”

“Begini, sri baginda. Berhubung bangsa Tar-tar sudah mendekati kota Sin dan mereka terhalang sejenak di sana tentunya kita harus memusatkan konsentrasi pada masalah ini. Hamba usul bagaimana kalau beberapa sahabat paduka bekas raja-raja taklukan diminta partisipasinya, mereka juga mempunyai bala tentara yang mungkin sama kuat dengan bangsa Tar-tar itu.”

“Maksudmu menarik mundur pasukan sendiri dengan menyuruh maju orang ini?”

“Tidak setepatnya begitu, sri baginda. Melainkan meminta mereka bekerja sama dengan kita. Paduka memilih siapa dulu dan setelah itu Cu-ciangkun maju bersama mereka. Dengan begitu, beberapa keuntungan dapat ditarik. Pertama, Cu-ciangkun telah mengenal kekuatan lawan, dan dengan pengenalan ini Cu-ciangkun dapat memberitahukan itu pada sekutunya. Kedua, kalau tetap jatuh korban juga bukankah orang lain yang merasakan? Sebelum kita mengerahkan segenap bala tentara sebaiknya usul ini dicoba dulu, sri baginda. Kalau tetap gagal juga barulah kita kerahkan segenap kekuatan untuk menumpas bangsa liar itu. Ini semua berpangkal dari salah paham. Sayang Kim-mou-eng tak datang kepada kita!”

“Hm” kaisar mengangguk-angguk “Usulmu boleh juga, taijin. Tapi siapa kira-kira yang kita mintai bantuan? Bekas raja-raja taklukan itu banyak, aku tak dapat menentukan siapa yang harus dipilih!”

“Begaimana kalau bekas raja Hu?”

"Hu Han Shien?”

“Ya. raja Hu dari suku bangsa Siung-nu itu, sri baginda. Selama ini loyalitasnya kepada kita dapat dipercaya!”

Dan ketika Kim-taijin memberitahu bahwa raja Hu ini dapat diandalkan dan suku bangsa Siung-nu juga termasuk suku bangsa “liar” yang sederajat dengar bangsa Tar-tar itu tiba-tiba kaisar tertegun dan mulai mendengar kata-kata lincah dari penasihatnya ini akan buah pikirannya itu bahwa bangsa Siung-nu juga termasuk bangsa yang alot, kuat dan sudah biasa ditempa kehidupan keras. Mereka itu setanding bangsa Tar-tar Dan karena apa yang dikata pembesar ini dapat diterima dan semua orang pun mengangguk-angguk tiba-tiba kaisar tertawa berseru nyaring,

“Bagus, aku setuju, Kim-taijin. Besok kita panggil raja Hu itu dan suruh dia menghadap!''

“Paduka merasa cocok?”

“Ya, aku sependapat. Aku cocok. Biar kita coba ini sekaligus menguji lagi kesetiaan raja Hu!” dan ketika kaisar setuju dan bangsa Tar-tar akan dihadapi bangsa Siung-nu maka keesokan harinya raja yang dimaksud itu dipanggil kaisar.

Raja Hu adalah raja berkulit hitam kemerahan. Sudah dua puluh tahun dia menakluk, rakyatnya merupakan gerombolan besar yang tadinya liar, menyerah dan menakluk pada ayah kaisar sekarang. Kaisar lama telah meninggal dunia tapi kesetiaan raja ini masih dapat dipercaya Bangsa Siung-nu pun merupakan bangsa yang hidupnya dari ternak, sebagian besar domba. Hampir tiap hari makan daging kambing dan minunnya pun susu kambing. Tubuh mereka mengeluarkan bau khas, agak prengus, seperti prengusnya kambing benggala yang jarang mandi. Rata-rata tubuh mereka tinggi besar dan kuat. Itulah sekilas gambaran bangsa ini. Dan ketika Hu Han Shien datang menghadap dan kaisar menyatakan keinginannya maka dengan gembira dan mata berkilat-kilat raja taklukan ini menyatakan kesediaannya.

“Hamba sanggup, sri baginda. Akan hamba pukul mundur dan hancurkan bangsa Tar-tar itu. Kapankah hamba mulai?”

“Hari ini kau dapat mulai, raja Hu. Tapi kau tidak bekerja sendiri. Cu-ciangkun akan mendampingimu.”

“Baik, mohon restu paduka dan ijinkan ham ba berangkail” raja tinggi besar itu memberi hormat, membalik dan sudah keluar ditemui Cu-ciangkun. Di sini dua orang itu bicara panjang lebar. Raja Hu tampak bersemangat dan beberapa pembantunya dipanggil mendekat. Mereka juga orang-orang tinggi besar yang rata-rata penuh semangat, seperti rajanya. Dan ketika hari itu raja Hu selesai bicara dan dia kembali mengumpulkan bala tentaranya maka keesokan harinya, dalam gerak begitu cepat raja ini sudah berangkat diiring Cu-ciangkun.

Mereka membawa empat ribu pasukan, menuju kota Sin dan langsung menyerang bangsa Tar-tar. Bangsa Siung-nu menyerang dari bagian luar, jadi tidak dari dalam kota Sin yang masih dikepung. Mereka itu justeru menyerang dari luar dan “mengepung” bangsa Tar-tar. Dan karena serangan ini tiba-tiba sekali dan Siga serta pasukannya kaget diserang bala tentara besar tiba-tiba saja bangsa Tar-tar kalut dan pecah. Pertarungan sengit terjadi di luar kota Sin, bangsa Siung-nu ternyata bangsa yang tak kalah beringas dibanding bangsa Tar-tar. Kekuatan individu mereka pun rata-rata sama, mereka juga bangsa yang biasa ditempa kehidupan keras.

Dan karena bala bantuan itu tak diduga kehadirannya dan Siga serta teman-temannya kecolongan maka bangsa Tar-tar terpukul mundur dan mereka membubarkan kepungan di mana pasukan Cu-ciangkun di dalam kota tiba-tiba membuka pintu gerbang, bersorak dan mengejar bangsa Tar-tar yang sudah didesak pasukan raja Hu. Tentu saja bangsa Tar-tar memaki-maki dan mereka semakin terpukul. Dan karena bantuan raja Hu ternyata merupakan bantuan istimewa dan bangsa Tar-tar mendapat tanding yang setimpal maka tiga hari kemudian Siga dan teman-temannya dipaksa mundur dan terus mundur. Kota-kota yang pernah mereka rebut kembali dirampas musuh. Siga kecewa bukan main.

Dan ketika bangsa Tar-tar mendekati tembok besar dan hampir diusir keluar tiba tiba Siga yang kecewa dan nekat menghadapi lawan tewas terbunuh. Hari itu hari mendebarkan bagi bangsa Tar-tar. Semalam mereka terus dikejar-kejar lawan, Siga dan teman temannya kepayahan. Dua kali Siga bertemu langsung dengan raja Hu, dikeroyok tapi tetap gagah melawan. Tapi karena hari demi hari pemuda ini mendapat tekanan dan sedikit atau banyak dia mengalami stress maka hari terakhir itu merupakan hari naas bagi pemuda ini.

Saat itu bangsa Tar-tar terus terpukul, mereka bahkan mendapat musuh yang semakin banyak dan kuat. Dan ketika matahari terbit, bangsa Siung-nu menyerang mereka dan dari empat penjuru muncul pula pasukan Cu-ciangkun maka Siga yang semalam belum beristirahat sudah mengambil senjatanya dan menghadapi musuh yang mengejar-ngejarnya ini, berhadapan dengan raja Hu serta dua pembantunya karena di tempat lain Cu-ciangkun menghadapi Bora dan teman-temannya.

“Siga, kau tak dapat melepaskan diri. Hari ini kau mampus!” gada di tangan raja Hu menyambar, dahsyat menderu karena senjata mengerikan di tangan raja tinggi besar itu terasa lebih mengerikan lagi, kepala Siga menjadi sasaran utama.

Tapi Siga yang mengelak dan menggerakkan senjatanya menangkis sudah membentak raja itu membalas dengan tak kalah seramnya. “Raja Hu, kau raja taklukan yang tidak kenal malu. Siapa mau mampus di tangan laki-laki yang suka menjilat pantat kaisar? Kaulah yang akan kubunuh, raja tengik. Aku akan menghancurkan kepalamu dan memancangnya di ujung tombak....”

“Cring“ dua senjata beradu, Siga dan lawannya sama-sama terpental mundur tapi kedua duanya maju lagi. Sudah ketiga kalinya ini mereka bertemu, sebenarnya masing-masing sama kuat dan masing-masing sama penasaran. Raja Hu kagum akan daya tahan lawannya itu. Siga pemuda Tar-tar yang kuat. Dan ketika mereka bertempur lagi sementara pasukan mereka bersorak menyerang satu sama lain, tiba-tiba dua pembantu raja ini muncul dengan golok berat dan lebar.

“Sri baginda, biar hamba bantu!”

Siga terkejut. Dua laki-laki tinggi besar menyerangnya dari samping, itulah Ceng Kok dan Nu Kiat, dua pembantu raja Hu Han Shien yang pandai mainkan golok. Mereka terus mengeroyok tanpa sungkan-sungkan lagi, Siga mengelak dan terkejut karena baju pundaknya masih terbabat juga, ternyata kelelahan dalam beberapa hari ini telah mengurangi tenaganya. Dan ketika lawan tertawa dan Nu Kiat serta Ceng Kok membantu rajanya maka gada di tangan raja Hu juga menyambar nyambar dengan amat dahsyat, membuat Siga terdesak.

“Kalian kiranya orang-orang curang, benar-benar tak tahu malu!” Siga memaki, tidak takut tapi mulai gelisah juga. Tiga lawan menjadi terlalu berat baginya. Raja Hu sendiri sebenarnya berimbang dengannya. Dan ketika pundak yang lain kena hantaman gada dan Siga terpelanting maka saat itu dua anak buahnya yang berada dekat di situ dan tak tahan melihat pemimpinnya dikeroyok tiba-tiba membentak dan maju membantu.

“Siga, jangan takut. Kami berdua datang...!” dua pembantu Siga ini menolong tuannya, menangkis dan menolak golok yang mengejar Siga yang sedang bergulingan.

Dua pembantu raja Hu itu tertawa bergelak melihat majunya dua pembantu Siga ini, golok mereka berkelebat dan tombak di tangan dua pemuda Tar-tar itu berdentang nyaring, putus terbabat ketika menangkis golok di tangan dua laki-laki tinggi besar ini Dan ketika mereka terpekik kaget dan terhuyung membelalakkan mata tahu-tahu golok mencuat dua kali dan sinarnya menembus di perut dua pemuda Tar-tar ini, yang gagal membantu Siga.

“Awas....!” Teriakan itu percuma. Siga memperingatkan dua pembantunya agar membanting tubuh ke belakang, terlambat karena sinar golok lebih cepat. Dan ketika dua pemuda itu menjerit dan roboh terkapar maka sinar golok sudah keluar lagi ditarik dari perut yang isinya sudah berhamburan.

“Bles-bles!” dua pemuda itu terguling, tewas dan musuh di sekeliling bersorak gembira, kemenangan dua pembantu raja Hu itu disambut tawa kasar di sana-sini. Siga marah dan melompat bangun. Tapi ketika dia menegang lagi dan musuh menyambut ternyata kemarahan saja tak cukup untuk menghadapi musuh yang terlalu berat. Dua kali punggung pemuda ini mendapat bacokan samping, tersayat dan mengeluarkan darah. Dan ketika dengan terhuyung-huyung Siga menghadapi lawannya dan raja Hu terbahak mengayun gadanya, tiba-tiba tanpa dapat dikelit lagi kepala Sigabmenerima ayunan ini yang membuat pemuda itu terjengkang.

“Prakk!” Siga mengeluh terbanting roboh. Pemuda ini terguling-guling, masih bangkit memaki raja itu. Tapi ketika golok di tangan Ceng Kok dan Nu Kiat menyobek lambungnya pula akhirnya pemuda Tar-tar yang gagah perkasa ini tewas, kepala terkulai dan pecah namun senjata tetap tergenggam erat di tangan. Kematian pemuda itu benar-benar perwira dan raja Hu mau tak mau menjadi kagum. Siga memang gagah.

Dan ketika kematian pemuda itu didengar kawan-kawannya yang lain dan Bora terkejut maka bangsa Tar-tar menjadi kalut dan kacau, patah semangat karena sebenarnya Siga lah yang paling pandai di antara mereka, Bora nomor dua kini tinggal pemuda itu bersama rekan-rekan yang lain, yang rata-rata lebih lemah dibanding Siga. Dan karena Siga telah tewas dan kematian pemuda itu mengguncang semangat orang-orang Tar-tar akhirnya suku bangsa ini didesak dan cerai-berai keluar dari tembok besar.

Lagi-lagi tak adanya Kim-mou-eng maupun Salima membuktikan lemahnya suku bangsa ini, apalagi di waktu jamannya Gurba, mendiang raksasa yang ditakuti itu. Dan ketika raja Hu memporakporandakan bangsa Tar-tar dan bangsa ini hancur diusir keluar akhirnya untuk kemenangannya itu raja Hu mendapat banyak hadiah kaisar ketika pulang ke kota raja, mendapat sambutan istimewa dan dua bulan disuruh tinggal di istana. Raja ini bergelimang kesenangan, juga kehormatan. Dan ketika suatu hari, sebelum pulang, raja ini meminta kepada kaisar untuk di carikan isteri yang cocok maka istana ribut ketika kaisar menyuruh pembantu-pembantunya untuk mencari atau menghadiahkan salah seorang di antara selir kaisar pada raja bangsa Siung nu itu.

Satu kehormatan lagi yang ditunjukkan kaisar pada raja tinggi besar ini, satu penghargaan yang membuat orang lain iri. Tapi karena selir-selir istana memiliki kecantikan setanding dan kaisar maupun pembantu pembantunya bingung mencarikan mana yang paling cocok mendadak kaisar teringat pada gambar Cao Cun yang dulu pernah dilukis Kim-mou-eng, entah kenapa tiba-tiba dia ingin memberikan puteri Wang-taijin itu pada raja Hu. Mungkin karena Cao Cun dinyatakan “sial” bagi istana. kalau sri baginda berani mengambil gadis itu sebagai selir.

Dan ketika kaisar menyatakan pendapatnya ini dan berita Itu meluncur dari mulut ke mulut tiba-tiba Cao Cun yang dikeram di Istana Dingin menangis. Nasib buruk rupanya bakal tiba, dia akan menjadi isteri seorang raja “liar”. Dan ketika Cao Cun menerima berita itu semakin santer dan orang yang dicinta, Kim-mou-eng, ternyata tak datang juga tiba-tiba puteri Wang-taijin ini jatuh sakit dan pingsan di dalam kamarnya. Akan terjadikah itu? Sedemikian sialkah nasib gadis jelita ini? Untuk itu mari kita tengok keadaan di Istana Dingin.

Seperti diketahui, sebelum ribut-ribut masalah pemberontakan Pangeran Muda dan ibunya telah terjadi semacam perang dingin antara Cao Cun dan ayahnya melawan Mao-taijin. Pembesar ini adalah menteri yang dipercaya kaisar uniuk mencari wanita cantik sesuai mimpi sri baginda (Baca Pendekar Rambut Emas). Tapi karena menteri ini adalah menteri pemeras dan tamak akan harta maka Mao-taijin yang berhasil menemukan Cao Cun persis seperti apa yang diimpikan sri baginda membawa gadis itu ke kota raja.

Wang-taijin, bupati Wang yang memerintah di Chi-cou adalah ayah Cao Cun. Bupati ini seorang jujur namun keras hati. Dia terbujuk memberikan puterinya ke istana, tak tahu kalau dipermainkan Mao-taijin. Karena, ketika anak gadisnya sudah dibawa ke kota raja dan mestinya dihadapkan kaisar oleh Mao-taijin masih diputar-putar dan “ditahan” karena menteri itu minta imbalan 500 ons emas kalau Cao Cun ingin segera dipertemukan kaisar. Terang-terangan menteri ini meminta imbalannya, Wang taijin marah dan akhirnya memaki-maki menteri itu.

Dan karena bupati ini bersikeras tak mau menyogok dan di antara mereka timbul suasana panas akhirnya Mao taijin yang jengkel dan geram lalu membawa Cao Cun ke Istana Dingin. Istana ini adalah istana penampungan, begitu resminya. Artinya, kalau ada calon selir yang belum dihadapkan kaisar untuk menerima rejekinya maka di sinilah calon selir itu menunggu. Lama penantian tergantung kaisar.

Tapi karena istana ini dikepalai Sam-thaikam dan sebagaimana biasanya orang-orang istana yang mendapat kekuasaan untuk selalu mempergunakan kekuasaan itu menguntungkan diri pribadi maka tempat penampungan itu berobah siattnya menjadi tempat penahanan. Orang yang ditampung di sini sama artinya dengan ditahan, tak boleh keluar dan tak bakal melihat dunia luar kalau tidak ada ijin Sam-thaikam. Dan karena Sam-thaikam juga sahabat baik menteri she Mao dan menteri itu juga sering pat pat-gulipat dengan Sam-thaikam maka menteri ini sedikit atau banyak juga memiliki kekuasaan atas penghuni Istana Dingin.

Begitulah, menteri ini menunjukkan pengaruhnya. Ayah Cao Cun yang tak mau menyuap lalu diberi pelajaran. Cao Cun dipindahkan di Istana Dingin disekap. Secara resmi menteri itu memberitahukan bahwa Cao Cun menunggu panggilan kaisar. Padahal, kalau Cao Cun sendiri sudah dinyatakan sial bagi istana mana mungkin kaisar memanggil gadis itu. Lewat Kun-lojin menteri she Mao ini telah main gila, menyuruh peramal istana itu membuat pernyataan di hadapan kaisar bahwa tahi lalat yang ada di wajah Co Cun berarti sial bagi kerajaan. Sri baginda tak perlu mengambil gadis itu sebagai orang yang dicinta.

Dan karena pernyataan peramal itu dipercaya kaisar dan kedudukan peramal di masa itu memang cukup berpengaruh maka kaisar membatalkan niatnya ini dan Cao Cun pun ditolak, oleh Mao-taijin akhirnya dimasukkan ke Istana Dingin itu, kita telah mengetahui semuanya ini dalam cerita Pendekar Rambut Emas.

Tapi Wang-taijin yang tentu saja tak tahu akan campur tangannya Kun lojin, peramal istana itu, tentu saja tak menduga permainan lawan-lawannya dan mengira Cao Cun benar-benar masih diharapkan kaisar, masih menunggu panggilan kaisar dan karena itu dengan sabar tapi juga pasrah orang tua ini menunggu pulangnya keluar dari Istana Dingin. Padahal, kalau dia tahu, mana mungkin Cao Cun akan keluar dari istana itu. Kalau 500 ons emas tetap tidak diberikan pada Mao-taijin jangan harap gadis itu akan bebas dari Istana Dingin!

Inilah celakanya. Kekuasaan, dari jaman dulu sampai sekarang agaknya juga merupakan sesuatu yang berbahaya bagi manusia. Dapat merupakan “penyakit” bagi yang tidak selalu waspada. Memiliki kecenderungan menyeleweng bila dipegang oleh orang-orang macam Mao-taijin itu. Dan karena Mao-taijin memang sudah dikenal sebagai menteri yang suka mempergunakan kekuasaannya untuk menyeleweng, maka nasib Cao Cun di Istana Dingin tiada ubahnya dengan nasib dipenjara.

Tapi sedikit beruntung ada seorang gadis lain yang menemani puteri Wang-taijin ini. Wan Hoa namanya, gadis yang senasib pula dengan Cao Cun karena ayah Wan Hoa juga tak mau menuruti pemerasan Mao-taijin. Di dalam Istana Dingin ini Cao Cun ditemani Wan Hoa, dan karena mereka senasib sependeritaan maka Wan Hoa dan Cao Cun tiada ubahnya saudara-saudara kandung yang saling menghibur dan menemani.

Tapi kali ini Wan Hoa lebih banyak menghibur temannya daripada dihibur. Cao Cun dirasa lebih berat penderitaannya dibanding dia. Wan Hoa setia menemani temannya ini dan tak ada rahasia Cao Cun yang tidak diketahui Wan Hoa. Dan karena mereka bagai saudara sekandung saja maka cinta Cao Cun terhadap Kim-mou-eng pun tak perlu disembunyikan. Wan Hoa mengikuti gerak-gerik temannya ini, mendengar pula janji Kim mou-eng untuk menjemput Cao Cun. Maka ketika Kim-mou-eng tak datang juga dan janji itu tinggaI janji belaka maka Cao Cun mulai sedih dan sering menangis di kamarnya.

“Sudahlah, kau bersabar dulu, Cao Cun. Mungkin kekasihmu itu masih sibuk. Bukankah dia banyak urusan dan memimpin bangsanya pula?” demikian sering kali Wan Hoa menghibur temannya, ikut menangis dan meruntuhkan air mata karena diam-diam ia pun cemas.

Cemas kalau Kim-mou-eng melupakan Cio Cun dan sahabatnya itu bakal menjadi nenek-nenek di Istana Dingin, tak ingat diri sendiri bahwa dia pun juga bisa begitu, menjadi perawan tua dan akhirnya menjadi nenek-nenek kering yang tidak Iaku lagi. Tak ada pria yarg akan mengawini mereka. Dan ketika Cao Cun mengguguk dan menangis menubruk temannya maka Wan Hoa ikut berguncang pula memeluk temannya ini.

“Cao Cun, orang sabar mendapat berkah. Bukankah begitu kata orang-orang tua kepada kita? Kau tunggu kedatangan kekasihmu itu, Cao Cun. Kalau dia tidak datang juga tak perlu cemas, aku setia menunggumu sampai kita mati bersama di tempat ini!”

“Ah....!” Cao Cun mengguguk. “Kau selalu menghiburku. Wan Hoa. Kau selalu demikian baik kepadaku. Kenapa aku harus menyeretmu dalam urusan ini? Aku tak ingin kau mati di sini. Wan Hoa. Aku ingin kau dipanggil kaisar dan hidup senang di sampingnya!”

“Tapi aku tak ingin begitu. Lagi pula, siapa dapat keluar dari Istana Dingin kalau musuh kita tak menghendaki, Cao Cun? Tidak, aku tak mengharap begitu. Yang kuharap saat ini adalah kebebasanmu dengan datangnya Kim-mou-eng!”

Cao Cun mengguguk lagi. Ia meremas-remas pundak temannya, cinta Wan Hoa sebagai sahabat benar-benar luar biasa Dan ketika mereka melewatkan hari demi hari sambil mengharap penuh penantian kedatangan Kim-mou-eng tiba-tiba mereka mendengar berita pencurian Sam-kong-kiam itu, Cao Cun terduduk saking kagetnya.

“Tak masuk akal, aku tak percaya!” gadis itu membelalakkan mata, tak berkedip memandang temannya dan Wan Hoa pun mengangguk. Mereka memang tak percaya. Dan ketika berita santer itu lewat mulut ke mulut maka Cao Cun kembali menangis karena dia merasa pilu kekasihnya dituduh mencuri. “Wan Hoa, mungkinkah Kim-mou-eng mencuri Sam-kong-kiam? Dan mungkinkah pula dia membunuh-bunuhi pengawal begitu kejam?”

“Tidak, aku tak percaya, Cao Cun. Ini tentu fitnah. Kim-taihiap bukan seorang hina dan kita tahu betul wataknya!”

“Ya, tapi orang menyebutnya begitu. Seluruh kota raja telah menuduh kekasihku mencuri pedang. Dan dia tak datang juga kepada kita. Aih, apa artinya ini, Wan Hoa? Apa artinya ini?”

Cao Cun menangis lagi, perasaannya gampang terluka dan Wan Hoa menunduk, merangkul sahabatnya itu. Dan ketika Cao Cun menangis dan dia mengeluarkan saputangan maka gadis ini mengusap air mata Cao Cun dengan lemah lembut.

“Cao Cun, sebaiknya lupakan dulu berita pencurian itu. Kita tak dapat bersedih dan hanya bersedih saja. Kita harus melakukan sesuatu, duka ini harus kita singkirkan.”

“Singkirkan bagaimana? Aku tak dapat melupakan dia, Wan Hoa. Seluruh hidup dan pikiranku hanya tercurah untuk Kim-mou-eng. Aku tak dapat menghilangkan duka ini sampai dia datang!”

“Benar, dan waktu kosong kita hanya kita hamburkan begitu saja? Tidak, aku tak setuju, Cao Cun. Semalam aku telah menyiapkan dua buah alat untuk kita. Ayo masuk ke dalam, lihat apa yang kupunyai itu!” dan Wan Hoa yang mengajak sahabatnya ke kamar sendiri sambil menuntun Cao Cun akhirnya membuat Cao Cun tertegun melihat sebuah yang-khim (sejenis alat musik) dan suling di sudut kamar.

“Kau tahu itu?” Wan Hoa tersenyum.

“Ya, tentu saja.”

“Nah, sekarang kita menghibur diri. Kita berdua mainkan lagu-lagu cinta dengan suling dan yang-khim itu. Ayo!” dan Wan Hoa yang menyambar suling menempelkan di mulut lalu mulai menyuling dan meniupkan sebuah lagu indah untuk temannya.

Cao Cun termangu, mendengarkan dendang lagu bernadakan cinta, naik turun meliuk liuk menunjukkan rindunya seorang kekasih yang mengharap kedatangan seseorang, pas sekali lagu itu untuknya. Dan ketika nada mulai menaik dan turun menyentuh perasaan tiba-tiba Wan Hoa merobahnya dalam lagu gembira yang lincah menari-nari. Kali ini Cao Cun tersenyum karena irama suling membawanya ke alam gembira. Wan Hoa mengajaknya berceria. Dan ketika lagu habis dimainkan dan Wan Hoa tertawa maka Cao Cun tersenyum lebar memuji temannya.

“Wan Hoa, kau pintar. Kau berhasil menghanyutkan perasaanku.”

“Sudahlah, kau boleh pilih salah satu, Cao Cun. Kau meniup suling ini atau mainkan yang-khim. Ayo, kita mulai!” dan Wan Hoa yang mengajak temannya melupakan kedukaan itu memberikan suling tapi ditolak Cao Cun, puteri Wang-taijin ini memilih yang-khim dan petikan senar mulai berdenting, lembut tapi nyaring mengusir kesepian.

Dan ketika suling mengiringi Iincah dan yang-khim dipetik halus akhirnya sebuah lagu asmara didendangkan bersama di dalam kamar itu. Cao Cun mulai senyum-senyum dan sinar kedukaan lenyap di wajahnya. Wan Hoa pandai membujuk. Dan ketika lagu demi lagu habis dimainkan mereka dan hari-hari dilewatkan dengan cara begini maka Cao Cun benar-benar terhibur dan berhasil melupakan kesedihannya.

Itulah jasa Wan Hoa. Gadis yang satu Ini memang luar biasa cintanya kepada Cao Cun. Apa saja akan dilakukan Wan Hoa demi kegembiraan temannya. Dan ketika minggu demi minggu lewat dan mereka berdua mengusir kesunyian dengan mainkan yang-khim dan suling maka suatu hari di saat serbuan bangsa Tar-tar mengguncangkan kaisar maka secara kebetulan kaisar berkunjung ke Istana Dingin ini.

Kaisar ingin mengusir kekhawatirannya dengan hiburan di situ. Sam-thaikam mengiringi kaisar dengan beberapa dayang lain, kebetulan sekali lagu yang dimainkan Cao Cun berdua terdengar kaisar. Lagu indah namun sendu. Dan ketika kaisar tertegun dan bertanya siapa yang pandai mainkan lagu itu, maka Sam-thaikam menjawab bahwa itulah calon selir yang menginap di Istana Dingin, tak tahu kalau Cao Cun dan Wan Hoa.

“Panggil mereka, aku ingin tahu!” kaisar bersabda, disambut anggukan kepala Sam-thaikam yang menuju ke dalam, memberitahukan pembantunya yang lain memanggil Wan Hoa dan Cao Cun. Tapi seorang mata-mata Mao tajin yang di letakkan di situ dan buru-buru mengejar Sam-thaikam lalu memberi tahu bahwa itu tak mungkin dilaksanakan. Mao-taijin tak menghendaki kaisar bertemu Cao Cun. Segera Sam-thaikam melengak dan terkejut. Dan ketika pengawal itu menerangkan bahwa yang menyanyi itu adalah Cao Cun dan temannya tiba-tiba pembesar ini berhenti dan membelalakkan mala.

“Jadi itu puteri Wang taijin?”

“Benar, taijin. Karena itu jangan paduka bawa ke sana.“

“Lalu bagaimana sekarang? Aku sudah berjanji pada sri baginda. Celaka!”

Tapi sesosok bayangan yang berkelebat datang dan batuk-batuk di belakang pembesar ini sudah berkata menyeringai, “Sam-taijin, tak perlu bingung Katakan saja pada sri baginda bahwa penyanyi itu menderita kusta. Penyakitnya tak memungkinkan dia dibawa menghadap!”

Dan ketika pembesar tu menoleh dan tertegun melihat siapa yang datang tiba-tiba pembesar ini tersenyum dan tertawa lebar. “Aah, kau, Sin-kee Lo-jin? bagus, aksimu tepat dan biar kukatakan itu pada sri baginda. Aku tak tahu kalau yang menyanyi itu adalah Cao Cun.”

Demikianlah, pembesar ini lalu balik lagi. Dia menghadap kaisar dan memohon ampun tak dapat membawa si penyanyi, Cao Cun dinyatakan kena kusta dan sri baginda kecewa nyanyian begitu merdu tak dapat dia lihat penyanyinya. Dan karena Sam-thaikam orang cerdik dan buru -buru membujuk sri baginda untuk dihibur selir lain maka kaisar melupakan maksud hatinya Itu kaiena selir lain yang cantik dan buru-buru dibawa pembesar ini sudah disodorkan pada kaisar, memijat dan menghibur kaisar melenyapkan kegundahannya akan serbuan bangsa Tar-tar iru.

Kaisar memang mencari hiburan. Dan karena keberuntungan Cao Cun lagi-lagi dihalangi Mao-taijin lewat mata-matanya tadi dan Sam thaikam pun termasuk orang yang menjadi sahabat menteri itu maka bintang terang yang hampir menguak keberuntungan Cao Cun terpaksa kandas di tengah jalan. Cao Cun sendiri tak tahu kejadian itu. Kaisar telah pergi dan hanya sejenak saja berada di Istana Dingin, sungguh sial. Dan ketika beberapa minggu lagi Cao Cun mendengar serbuan bangsa Tartar dan cemas oleh berita ini maka dia heran mendengar tak adanya Kim-mou-eng di sana.

“Bangsa Tar-tar mengamuk. Kim-mou-eng maupun sumoinya tak ada di sana. Mereka menyerbu karena katanya mengira Kim-mou-eng ditangkap kaisar!” begitu mula-mula Cao Cun mendengar berita, kaget dan tertegun karena berita itu cukup hebat baginya. Bangsa Tar-tar sudah di anggap sahabat, kini tiba-tiba menyerang dan Kim-mou-eng tak ada. Dia bingung.

Dan Wan Hoa yang lagi-lagi menghibur mengelus hatinya berkata, “Nah, kau lihat, Cao Cun. Di tempat suku bangsanya sendiri Pendekar Rambut Emas itu tak ada, apalagi di tempat lain. Kekasihmu itu tentu mendapat sesuatu dan rupanya kerepotan besar menghalang perjalanannya. Pantas dia tak dapat ke sini!”

“Tapi kenapa? Kalau begitu dia mendapat celaka?”

“Orang persilatan memang begitu, Cao Cun. Sepanjang waktu mendapat musuh dan selalu terancam. Aku tak tahu apa kira-kira yang dihadapi kekasihmu, tapi Kim-mou-eng tentu selamat!”

Cao Cun menangis. “Kalau begitu kelak dia akan kusuruh menjadi orang biasa saja. Kelak kami menikah dan biar hidup sebagai petani. Aku tak mau suamiku mendapat musuh dan hidup tak tenang.”

“Tentu,” Wan Hoa terharu. “Suamimu memang harus menanggalkan senjata, Cao Cun. Dia harus memegang cangkul dan menanam padi di sawah.”

“Ya, dan aku akan menyuruh anak-anak mengawasi ayahnya. Suamiku tak boleh berkelahi” Cao Cun membayangkan kebahagiaan itu.

Wan Hoa lagi-lagi terharu dan gadis ini menghapus dua titik air matanya yang tak tahan melihat kemesraan Cao Cun, seolah-olah Pendekar Rambut Emas sudah ada di depan mata dan Cao Cun membayangkan pendekar itu sebagai suaminya. Betapa mengiris. Dan ketika Cao Cun masuk ke dalam dan Wan Hoa mengikuti maka tak lama kemudian mereka mendengar datangnya bangsa Siung-nu itu untnk membantu kerajaan.

“Bangsa Tar-tar mendesak pasukan kita, Cao Cuo. Cu-ciangkun kewalahan dan kini kaisar meminta bantuan raja Hu.”

“Siapa dia? Siapa raja Hu itu?”

“Pemimpin bangsa Siung-nu, Cao Cun. Raja tinggi besar tapi setengah liar. Raja itu dan suku bangsanya setali tiga uang dengan bangsa Tar-tar itu, mereka setengah beradab dan makan minumnya daging kambing serta susu kambing!”

“Ih!” Cao Cun ngeri. “Mereka juga bangsa nomad (pengembara) yang sehari-hari ditempa kehidupan keras?”

“Tentu, dan mereka sekarang ke mari, Cao Cun. Kaisar mengundang mereka dan konon katanya bala tentara Siung-nu itu haus dan rakus akan wanita. Sepuluh laki-laki akan mengerubut satu wanita kalau mereka sedang kelaparan!”

Cao Cun mengkirik. Cerita tentang bangsa Siung-nu segera dibumbui macam-macam, biasa tingkah orang. Bangsa itu digambarkan sebagai bangsa biadab yang setengah liar, rakus dan kasar akan segala sesuatu. Nafsu kelelakiannya tinggi dan ganas terhadap perempuan. Gambaran ini membuat Cao Cun ngeri dan gemetar. Mereka katanya juga suka makan makanan yang kotor, ular atau kadal bahkan tikus yang suka diburu beramai-ramai. Gambaran ini menjijikkan bagi Cao Cun.

Dan ketika beberapa hari lewat kabar tentang kemenangan bangsa Siung-nu disiarkan orang dan Cao Cun mendengar itu tiba-tiba gadis ini mengeluh. “Aih, bagaimana Kim-mou-eng? Kenapa dia tak hadir juga?”

“Tentu sesuatu sedang menyulitkan kekasihmu itu, Cao Cun. Mungkin Kim-taihiap mengalami kesulitan besar.”

“Ya, tapi apa? Dan kenapa?” Pertanyaan ini tak dapat dijawab.

Cao Cun tak tahu bahwa waktu itu Kim-mou-eng lagi dikejar-kejar musuhnya, tunggang-langgang menyelamatkan diri Nyaris binasa kalau gurunya tidak menolong. Dan ketika Cao Cun mendengar lagi jamuan kaisar yang diberikan antek raja Hu itu dan raja ini bersenang-senang di istana maka hari terakhir bagai petir di siang bolong dia mendengar maksud kaisar untuk memberikan dirinya pada raja liar itu.

“Celaka, kesulitan besar menimpa dirimu, Cao Cun. Kaisar hendak menghadiahkan dirimu pada raja mengerikan itu. Dia mencari isteri, dan sri baginda menetapkan dirimu menjadi isteri raja liar itu!”

“Apa, aku menjadi isteri raja liar itu?” Cao Cun kaget.

“Ya, dan sri baginda telah memutuskan ini Cao Cun. Kau dan kita semua tak dapat menolak!”

Cao Cun menggigil, tiba-tiba roboh. “Wan Hoa, benarkah kata-katamu in? Kau tidak main-main?”

“Sumpah! Demi dewa segala dewa aku tak main-main. Cao Cun. Kau telah ditetapkan menjadi isteri raja itu karena raja Hu minta pada kaisar untuk dicarikan isteri...!”