Pedang Tiga Dimensi Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 03
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“HAIITT...!” pekik tinggi itu sudah disusuli loncatan tubuh ke depan, pedang berkelebat dan ujungnya pun sudah menusuk tenggorokan, cepat dan kuat menandakan wanita ini memiliki kepandaian cukup hebat. Ujung pedang bergetar menjadi belasan, jadi sekali terang seolah-olah tenggorokan diancam belasan mata pedang yang amat cepat.

Kim-mou-eng memuji serangan lawan. Tapi karena pendekar ini tak mengelak mau pun menggeser kepalanya dari serangan maut itu maka yang dilakukan adalah sampokan lengan kiri yang bergerak dari bawah ke atas.

“Plak...!” Suara ini perlahan tapi mengejutkan. Wanita cantik itu terpekik, pedangnya mental dan lengan yang memegang pun terasa pedas, hampir saja terpelanting tapi temannya yang satu sudah maju membantu, pedang kedua berkelebat dari samping menyambar pinggang.

Kim-mou-eng memutar tubuhnya dan kali ini mengelak. Dan ketika tiga pengemis Pek-tung-pang juga membantu dan maju menyerang maka lima tubuh tiba-tiba berkelebatan susul-menyusul di sekeliling tubuh Pendekar Rambut Emas ini, membuat sang pendekar sibuk tapi mulai melindungi diri dengan sin-kangnya. Tangan dan kaki mulai bergerak-gerak menyampok atau menangkis senjata lawan.

Dua tosu dari Koang-san belum maju menyerang. Rupanya mereka ini cerdik, ingin melihat dulu kehebatan Pendekar Rambut Emas itu sebelum membantu. Terkejut dan membelalakkan mata karena dengan tangan telanjang pendekar itu mampu menolak senjata tajam maupun tongkat, pedang dan senjata di tangan pengemis-pengemis Pek-tung-pang itu selalu terpental bertemu tangkisan lawan, dua tosu ini saling pandang.

Dan ketika gebrakan-gebrakan berikut semakin mengejutkan mereka karena pengemis-pengemis Pek-tung-pang itu maupun wakil-wakil dari Hwa-i-pai mulai berseru kaget karena mereka mulai terpelanting dan roboh menerima tamparan Tiat-lui-kang, akhirnya dua tosu ini berseru keras menggerakkan toya mereka.

“Hong-te, maju....!”

Dua tosu ini mendadak melengking tinggi. Mereka sudah bergerak cepat memutar toya. senjata panjang itu berkelebat mengemplang dengan kecepatan tinggi. Ayunannya dahsyat dan hampir berbareng mengeluarkan deru angin bagai tiupan topan. Kim-mou-eng terkejut tapi gembira karena semua lawan sudah tak ada lagi yang diam, dia tertawa dan tiba-tiba mendorong, kedua lengan mengembang menolak dua serangan toya itu. Dan ketika toya tergetar tapi tidak terpental seperti yang lain lain maka Kim-mou-eng terbahak memuji lawan.

“Bagus, kalian orang-orang lihai, ji-wi totiang (dua tosu berdua). Sekarang mari kita adu cepat siapa yang menang!”

Kim-mou-eng tiba-tiba berseru perlahan, tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah bergerak naik turun seperti sambaran rajawali, menyelinap dan beterbangan di antara tujuh senjata lawan. Kian lama kian tinggi hingga akhirnya tubuh pendekar ini berada di luar lingkaran. Lawan-lawannya terkejut karena mereka justru “terkepung” bayangan Kim-mou-eng. Begitu cepat gerak Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika mereka terbelalak dan heran serta kaget oleh kejadian ini mendadak mereka tersedot pusaran arus tenaga dari gerakan Kim-mou-eng yang beterbangan mengelilingi mereka.

“Hei, awas...!” tosu dari Koang-san berseru lebih dulu, menyadari keadaan yang tidak beres ini karena mereka satu sama lain tiba-tiba serang menyerang, mereka terjebak di tengah dan lawan mengendalikan mereka dari luar. Tamparan serta dorongan Tiat-lui-kang yang berhawa panas membuat mereka pucat, keringat bercucuran membasahi tubuh dan karena itu pun tenaga mereka menurun cepat.

Dan ketika pedang dan tongkat serta toya berbenturan sendiri menyerang dan menangkis mendadak tujuh orang ini mengeluh dengan bingung dan kaget karena mereka terseret arus putaran Kim-mou-eng yang mengelilingi tubuh mereka seakan laba laba yang mengeluarkan tali jaringnya untuk membungkus korban.

“Kim-mou-eng, kau curang....!”

“Ini ilmu siluman....!”

Kim-mou-eng tertawa saja di luar. Dia terus bergerak tiada henti mengandalkan ginkangnya yang luar biasa itu, ilmu meringankan tubuh yang membuat pendekar ini seakan capung beterbangan. Tangan mendorong dan terus melakukan tamparan agar lawan di tengah menggerakkan senjatanya tanpa sadar, siku atau pundak mereka seakan dilejit kekuatan aneh, tentu saja senjata menyambar tanpa arah yang dikehendaki, menyerang teman sendiri. Dan karena mereka bercucuran peluh dan banyak tenaga hilang oleh panasnya sinkang Pendekar Rambut Emas dan mereka tak dapat membebaskan diri dari pengaruh pusaran itu maka satu demi satu tujuh orang ini roboh mendepkok bagai kain basah.

Yang mula-mula roboh adalah dua wanita cantik dari Hwa-i-pai. Mereka ini kelelahan dikuras tenaganya, pedang diantara keduanya berbenturan sendiri dan terlepas dari tangan. Masing-masing terpelanting, Kim-mou-eng telah menotok mereka hingga mereka tak dapat bangun berdiri, dua wanita ini pucat. Dan ketika tiga pengemis dari Pek-tung-pang juga berteriak keras karena tongkat di tangan mereka terpental dan mencelat entah ke mana maka Kim-mou-eng juga menggerakkan jarinya menotok mereka ini, disusul kemudian dengan terampasnya toya di tangan kedua tosu Koang-san, mereka ini berusaha mempertahankan senjata tapi malah didorong terjengkang.

Dua tosu itu kaget dan coba bergulingan tapi toya ditangan Kim-mou-eng telah menyentuh jalan darah di pundak mereka, tentu saja keduanya roboh tak berkutik dengan seruan tertahan, melotot melihat senjata mereka terampas lawan. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan pertempuran berhenti karena tujuh orang itu telah roboh malang melintang di atas tanah maka Kim-mou-eng melompat mundur menancapkan toya rampasan itu.

“Nah, bagaimana, cuwi enghiong, kalian masih mau meneruskan pertempuran?”

Tujuh orang itu terbelalak.

“Aku tak akan membunuh kalian, karena itu kalau kalian tahu diri sebaiknya kalian kembali dan laporkan bahwa aku betul-betul tidak tahu menahu tentang Sam-kong-kiam!”

Pendekar Rambut Emas menggerakkan jarinya, dari jauh dia menotok bebas tujuh orang lawannya itu. Mereka semua melompat bangun dengan muka merah padam. Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum dan melempar toya rampasan pada dua tosu Kiong-san tiba-tiba pendekar ini membalik dan berkelebat lenyap. “Cuwi enghiong, sekarang kita berpisah. Sampai ketemu lagi...”

Tujuh orang itu tiba-tiba sadar. Mereka tadi diselimuti bengong dan kaget yang amat mencekam, kini Pendekar Rambut Emas pergi dan mereka pun menyambar senjata masing-masing. Dan ketika pendekar itu jauh di sana meninggalkan telaga itu dan pengemis dari Pek-tong pang merasa penasaran tiba-tiba pengemis ini berteriak,

“Kim-mou-eng, kau memang dapat merobohkan kami. Tapi para ketua kami tentu akan mencarimu dan tak akan membiarkanmu pergi!”

“Baiklah, kalian boleh laporkan kegagalan kalian pada ketua kalian, sobat-sobat. Tapi betapapun aku bukan pencurinya!” Kim-mou-eng ternyata menjawab dari jauh, sebentar kemudian lenyap dan tujuh orang itu termangu.

Mereka harus mengakui kehebatan lawan dan begitu lawan meninggalkan mereka dan rasa malu yang besar menyelimuti orang-orang ini, akhirnya tujuh orang wakil dari masing-masing partai itu memutar tubuh dan kembali ke tempatnya masing-masing. Mereka merasa tak ada gunanya melakukan pengejaran, betapapun mereka harus mengakui kelihayan lawan, apalagi Kim-mou-eng tak membunuh mereka. Ini tanda pendekar itu bukan seorang telengas yang berwatak kejam. Tapi karena tugas dibebankan di atas pundak mereka dan kini tugas itu merasa gagal dilaksanakan akhirnya tujuh orang ini meninggalkan telaga itu untuk melapor pada ketua masing masing.

Kim-mou-eng sendiri telah jauh meninggalkan telaga kecil itu. Dia tersenyum pahit, tak enak benar kejadian itu. Kecemasannya pada sang pencuri pedang semakin bertambah. Dia semakin berhati-hati melakukan perjalanannya, kini banyak bersembunyi untuk menghindarkan diri dari bentrokan langsung dengan orang-orang kang-ouw. Tapi ketika malam itu, memasuki hari ke empat ia termenung di sebuah hutan membuat api unggun mendadak belasan orang mendatanginya dengan gerakan cepat.

Mula-mula Kim-mou-eng mendengar desir seperti hembusan angin malam, telinganya seketika bergerak dan tegak seperti telinga kelinci. Desir angin itu agak mencurigakan, api unggun tertiup dan hampir padam. Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan melihat dua sinar berkeredep menyambar tenggorokannya dan belasan bayangan lain melompat mengepungnya di tengah tiba-tiba dua sinar putih itu sudah mendekati lehernya di susul bentakan seseorang yang parau menyeramkan.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam!”

Kim-mou-eng cepat menyampok. Dia memukul runtuh dua sinar putih itu, ternyata dua bola yang meluncur ditepis tangannya. Pendekar itu tercekat karena telapak tangannya pedas. Pelontar itu seorang ahli lweekeh yang kuat. Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan matanya memandang ke segala penjuru maka tujuh belas orang telah mengepungnya dalam barisan yang rapi diiring tujuh orang tosu dan pengemis serta wanita-wanita cantik dari Hwa-i-pai itu.

“Ah, kalian kiranya?” Kim-mou-eng mengerutkan kening, tiba-tiba berdebar karena lawan-lawan yang mengepung kali ini tampaknya bukan orang-orang sembarangan.

Tiga di antara mereka menyolok sebagal orang-orang macam tosu dan pengemis serta wanita dari Hwa-i-pai. Masing-masing tosu bergelung tinggi berbaju longgar dan seorang kakek bermuka pucat yang pakaiannya tambal-tambalan, di punggungnya terselip buli-buli tempat air, atau mungkin arak, sementara orang ketiga adalah wanita baju kembang-kembang yang usianya sekitar tigapuluh enam tahun, cantik dan berseri-seri namun pandang matanya ganas. Di punggungnya terselip sebatang pedang beronce bunga melati. Mereka ini tentu orang-orang dari Koang-san dan Pek-tung-pang serta Hwa-i-pai, mungkin ketuanya. Melihat tujuh orang pertama di belakang tiga orang ini bersikap hormat. Bisa jadi!

Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum pahit dan bertanya apa maksud orang-orang itu mengepungnya maka dua wanita cantik dari Hwa-i-pai yang dirobohkan pendekar itu berseru menjawab, “Mereka ini adalah ketua ketua kami, Kim-mou-eng. Sekarang mereka datang untuk menuntut pertanggungjawabanmu!”

“Aha, begitukah? Pertanggungjawaban tentang apa?” Kim-mou-eng berdetak, dugaannya tepat.

Dan ketika tiga orang itu maju selangkah dan wanita tigapuluhan enam tahun itu tampil dengan suaranya yang nyaring merdu maka Pendekar Rambut Emas tertegun, menenangkan detak jantungnya.

“Kim-mou-eng, dua anggauta kami telah mendapat hinaan darimu. Aku Hwa-i-paicu (ketua Hwa-i-pai) datang untuk menuntut pertanggung-jawabanmu ini. Kau sombong, katanya menantang aku dan karena itu aku datang!”

“Benar, dan aku Pek-tung Lo-kai, Kim-mou-eng. Tiga anggotaku melapor bahwa kau pun menghina mereka, karena itu aku datang untuk meminta pertanggungjawabanmu!”

“Dan pinni adalah Koang-san Tojin. Datang untuk memenuhi tantanganmu lewat dua anggauta Koang-san!”

Dan ketika semuanya sudah menyatakan suaranya sendiri sendiri sementara Sam-kong-kiam tidak disebut-sebut, maka seorang laki-laki tinggi besar yang berdagu segi empat maju melompat, menyusul dengan suaranya yang parau, kiranya dia inilah yang tadi melempar dua bola baja.

“Dan aku Sin-houw Yak Gu Bang. Kim-mou-eng. Datang bersama teman-teman karena ingin mencari Sam-kong-kiam.”

“Bagus, sekarang kalian semua sudah bicara,” Kim-mou-eng tertawa getir. “Tapi semua dari kalian kuanggap mencari-cari alasan. Sam-wi pangcu (tiga ketua), yang pertama tidak benar kalau menuntut pertanggungjawaban tentang murid-muridnya. Aku tidak menghina mereka. Aku tidak mengapa-apakan mereka. Kenapa harus dicari dan diajak ribut? Kalau aku telah merobohkan mereka dan kini kalian penasaran untuk membalas kekalahan tentu ini bisa kuterima, tapi itu pun harus berdasar kenyataan yang benar. Mereka yang mulai dulu mengganggu, mereka menyerang dan kurobohkan, salahkah aku? Dan masalah Sam-kong-kiam sudah kuberitahukan pada murid-murid ketiga partai bahwa aku tidak tahu-menahu dan sungguh tidak memilikinya!”

“Hmm, tak bisa dipercaya!” Sin-houw Yak Gu Bang membentak. “Semua orang tahu kau pencurinya, Kim-mou-eng. Sekarang berani kau mengelak dan tidak mengaku? Kau pencuri hina yang tidak segan-segan pula mungkir. Keparat!”

Kim-mou-eng merah mukanya. “Aku memang tak tahu tentang pedang itu, sobat. Kalau kau tidak percaya itu terserah dirimu. Tapi aku juga tak takut pada segala macam Sin-houw (Harimau Sakti) maupun Sin-ci (Tikus)!”

Yak Gu Bang mendelik. “Kau memaki aku?”

“Siapa memaki? Aku hanya mengatakan isi hatiku saja. Aku memang tak takut pada Sin-houw maupun Sin-ci atau Sin-yo (kambing)!”

Dan Kim-mou-eng yang tertawa membalas makian orang tiba-tiba melihat si tinggi besar itu menggereng, melompat marah dan mengayun kedua lengannya yang sebesar bambu beliung, angin pukulannya sudah mendahului tiba tapi Kim-mou-eng tidak takut, menggerakkan lengan kanan dan cepat mengerahkan Tiat-lui-kangnya. Dan ketika dua lengan beradu dan benturan keras mengguncangkan tempat itu maka si Harimau Sakti ini terpental sementara Kim-mou-eng sendiri tergetar.

“Dess!”

Kim-mou-eng memuji lawan. Si Harimau Sakti sudah berjungkir balik, turun dan kembali menggeram dengan mata melotot lebar, dia mau menerjang lagi. Tapi empat bayangan lain yang berkelebat ke depan menahan laki-laki ini tiba-tiba berseru,

“Sin-houw, tahan. Kita datang bukan untuk main-main. Kalau Kim-mou-eng tak mau menyerahkan pedang maka kita semua akan menangkapnya!”

“Hmm, kalian mau mengeroyok?” Kim-mou-eng tertawa mengejek. “Kalau begitu majulah, tuan-tuan yang gagah. Aku selamanya tak takut menghadapi siapapun!”

“Tidak!” Koang-san Tojin tiba-tiba mengebutkan bajunya yang longgar. “Kami datang bukan untuk melakukan keroyokan. Pendekar Rambut Emas, kalau kau jujur dan tidak melarikan diri tentu kami akan menghadapimu baik-baik. Sekarang penuhi saja tuntutan kami!”

“Tuntutan apa?”

“Kau ikut kami ke Bangsal Agung. Di sana kami akan memeriksa salah tidaknya dirimu!”

“Ha-ha” Pendekar Rambut Emas tak dapat menahan tawa “Kau licin, Koang-san Tojin. “Buat apa aku harus ikut kalian ke Bangsal Agung atau tidak agung? Salah benarnya diriku aku sendiri yang buat, tak ada yang berhak menghakimi aku karena aku tak melakukan sesuatu terhadap kalian!”

“Tapi kau telah menghina murid-murid tiga partai!”

“Dan juga mencuri Sam-kong kiam!” Sin-houw menyambung, suaranya marah.

Dan Kim-mou-eng yang tak dapat menahan senyumnya kembali unjuk tertawa tiba-tiba batuk-batuk merasa geli oleh tingkah laku orang orang ini. Betapapun yang diincar mereka adalah Sam-kong-kiam. Dia tahu itu. Usaha mengelak dari Koang-san Tojin yang menonjolkan masalah murid-muridnya maupun yang lain hanyalah sekedar kedok saja, tentu saja dia tahu itu. Dan ketika orang mengepungnya rapat dan gerakan-gerakan di antara mereka menunjukkan sikap mencurigakan akhirnya pendekar ini berkata mengejek dengan suara hambar,

“Sin-houw, dan kau juga, Koang-san Tojin. Untuk terakhir kalinya aku tak merasa bermusuhan dengan kalian. Urusan Sam-kong-kiam sebenarnya aku pun tak tahu-menahu, bahkan aku mencari-cari pencuri ini. Aku terfitnah. Karena itu kalau kalian percaya sebaiknya kalian pergi dan biarkan aku mengaso!”

“Sraaaaat” pedang beronce melati itu dilolos dari sarungnya. “Kita tak perlu berpantang lebar lagi, Koang-san-lojin. Kalau Kim-mou-eng tak mau jujur kepada kita dan tak mau ikut ke Bangsal Agung sebaiknya kita ringkus dan geledah dia. Kim-bi, mundur!” ketua Hwa-i-pai itu membentak dua muridnya, dua wanita cantik yang ada di belakang.

Gerakannya ini disusul oleh berkelebatnya tongkat di tangan Pek-lung Lo-kai, rupanya kakek itu setuju dan sependapat dengan rekannya, Koang-san Tojin tertegun. Tapi ketika Sin-houw Yak Gu Bang juga mengangguk dan orang-orang lain di sekelilingnya mencabut senjata mengitari Kim-mou-eng tiba-tiba tosu berbaju longgar ini menarik napas.

“Siancai, rupanya teman-teman menghendaki lain. Pendekar Rambut Emas, Pinto tak dapat membantumu kalau kau keras kepala!”

“Tak ada yang perlu disesalkan, hinaan terhadap murid-murid Pek-tung-pang juga harus segera dibayar lunas sebelum urusan Sam-kong-kiam dimulai!”

“Benar, dan kami akan membantumu, Pek-tung Lo-kai. Kudengar Pendekar Rambut Emas memiliki Tiat-lui-kang yang ampuh. Kita harus berhati hati”

Dan ketika semua setuju dan dua murid Hwa-i-pai mundur disusul murid-murid Koang-san dan Pek-tung-pang maka sepuluh orang yang mengelilingi pendekar ini mulai bersiap-siap.

“Kau tetap dengan pendirianmu Kim-mou-eng?”

Kim-mou-eng menghela napas, sorot matanya mulai tajam. “Aku tak akan menyerang kalau kalan tak menyerang. Pergilah, aku tak ingin merobohkan kalian sebelum semuanya terlanjur hebat.”

“Sombong, kalau begitu ingin kulihat seberapa kepandaianmu!” dan Hwa-i-paicu yang tak sabar menutup kata-katanya ini tiba-tiba sudah membentak dan maju menggerakkan pedangnya, tubuh berkelebat dan sinar putih pun menyambar, tanpa desing dan suara tapi tahu-tahu mata pedang sudah menusuk tenggorokan lawan.

Kim-mou-eng terkejut karena dalam waktu yang hampir serempak pula yang lain-lain maju menubruk, tongkat di tangan Pek-tung-Lokai menderu menyambar punggungnya, Sin-houw Yak Gu Bang juga melompat dengan cengkeraman kesepuluh jarinya. Hebat orang-orang ini. Dan ketika Koang-san Tojin juga menampar dan angin bersiut dari kedua lengannya yang terkembang tiba-tiba sepuluh orang itu susul-menyusul menyerang pendekar ini.

“Plak-plak-dess!”

Kim-mou-eng terpaksa bergerak, lengan menangkis dan kaki pun bekerja dengan cepat. Sepuluh setangan yang bertubi-tubi itu dihadapinya dengan pengerahan Tiat-lui-kang, pedang di tangan Hwa-i-paicu terpental tapi wanita cantik itu sudah melengking, membalik dan tiba-tiba berkelebatan lenyap menghujani serangan deras. Sambaran pedangnya berobah menjadi gulungan sinar putih yang naik turun bagaikan pelangi perak, mencoba membungkus dan sebentar kemudian membelit Perdekar Rambut Emas. Dan ketika Pek-tung Lo-kai juga tertolak tongkatnya tapi membalik dan mainkan silat aneh dengan tongkat mendengung-dengung mengelilingi tubuhnya tiba tiba, pendekar ini menjadi repot dan satu dua pukulan lawan menghantam tubuhnya.

“Des dess!” Kim-mou-eng tergetar. Pendekar ini cepat melindungi dirinya dengan sinkang, tubuh menjadi kebal menerima gebukan tongkat bahkan bacokan pedang. Lawan terkejut karena senjata di tangan tetap mental mengenal kulitnya yang atos. Tapi karena serangan bertubi-tubi dari lawan yang begitu banyak membuat Kim-mou-eng kewalahan dan mereka mulai mengarahkan tusukan maupun sodokan pada tempat-tempat yang berbahaya seperti mata dan ulu hati akhirnya pendekar ini berseru keras membentak lawan lawannya itu.

“Cuwi enghiong, sekarang terpaksa aku membalas....!”

Sepuluh lawan terbelalak. Tubuh Kim-mou-eng tiba-tiba mencelat, kedua lengan mendorong sana sini sementara kaki menendang hujan senjata. Suara “das-des” berulang mengguncangkan tempat itu. Dan ketika Kim-mou-eng melengking dan mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) pula menghadapi bacokan pedang maupun tongkat yang bertubi-tubi menghujani tubuhnya mendadak tubuh pendekar ini lenyap beterbangan menyelinap di antara hujan pukulan maupan tusukan pedang.

“Awas...!”

Seruan ini diucapkan dua tosu di luar kepungan. Itulah tosu Koang-san ying telah dirobohkan Kim-mou-eng, melihat bahwa Kim-mou-eng mengulang perbuatannya untuk keluar dari kepungan, mencoba menerobos untuk akhirnya ganti berkelebatan di luar. Sekali pendekar ini berhasil tentu lawan di dalam bakal dikendalikan, seperti mereka. Disetir dan diserang dari luar untuk saling menyerang sesama teman, tentu saja dia khawatir dan seruannya itu lebih ditujukan pada ketuanya, Koang-san Tojin. Tapi karena Koang-san Tojin dan teman-temannya adalah orang-orang lihai dan mereka itu setingkat dua tingkat diatas kepandaian tosu di luar kepungan maka Koang-san Tojin tertawa menyambut seruan dua anggotanya itu.

“Hong-sute, tak perlu khawatir. Kami dapat menjaga diri agar dia tetap di dalam!”

Benar juga. Kali ini Kim-mou-eng mendapat kesulitan. Tubuhnya yarg berkelebatan coba menerobos ternyata gagal. Pukulan maupun gebukan tongkat di tangan Pek-tung Lo-kai dan teman-temannya cukup hebat. Mereka itu dapat bekerja sama untuk tidak kebobolan, sekali yang depan didorong maka yang belakang menyerbu melakukan serangan, cukup sibuk juga pendekar ini. Perhatian dan sinkangnya terpaksa dipecah, ini menyulitkan.

Dan ketika Tiat-lui-kang harus dibagi untuk bertahan melindungi tubuh dan menyerang atau menangkis lawan maka akibatnya tamparan maupun tolakan pendekar itu dapat dihadapi sepuluh lawannya yang benar-benar merupakan orang2 kosen. Mereka itu seolah menghadapi sepersepuluh bagian saja dari tenaga Kim-mou-eng. Tentu saja menguntungkan mereka merugikan pendekar ini. Kim-mou-eng kian banyak menerima pukulan sementara dinding serangan lawan tak dapat diterobos. Dan ketika dia kebingungan dan lawan tertawa mengejek maka sebuah babatan pedang mengenai pundaknya.

“Bret!” baju pendekar ini menjadi korban. Tubuhnya memang tidak apa apa, sinkangnya melindungi tubuh pendekar itu hingga pedang mental kembali. Diam-diam Hwa-i-paicu kagum dan pucat melihat kekebalan lawan. Sudah sekian kalinya pula Kim-mou-eng dibacok tapi kesekian kalinya itu pula senjatanya mental.

Matanya bersinar sinar di samping kagum juga penasaran. Kini kulit tubuh pendekar itu nampak, halus dan bersih namun kuat. Betapa indahnya kulit tubuh itu. Wanita ini tiba-tiba jengah dan hati pun berdebar. Entah kenapa kekaguman di hatinya berubah menjadi perasaan yang aneh, wanita ini belum menikah meskipun usianya sudah tiga puluh tahun lebih. Dan ketika tongkat di tangan Pek-tung Lo-kal juga menyambar dan kurang cepat dielak hingga menggebuk pendekar ini maka baju di bagian itu robek pula.

“Dess!” Kim-mou-eng tergetar. Baju di bagian ini terkoyak lebar, punggung yang putih dan halus kembali membuat pipi ketua Hwa-i-pai ini memerah. Serangan pedangnya mulai kacau tapi serangan kawan-kawannya yang lain semakin ganas. Cengkeraman Sin-houw Yak Gu Bang pun membuat Pendekar Rambut Emas mengeluh, kalau bukan dia yang menerima cengkeraman itu tentu kulit dagingnya hancur. Harimau Sakti ini pun kagum di samping penasaran Dan ketika Kim-mou-eng mulai terhuyung-huyung dan beberapa pukulan serta gebukan menimpa tubuhnya maka empat laki laki di belakang tertawa padanya.

“Kim-mou-eng, menyerahlah saja. Kami akan mengampunimu baik-baik kalau Sam-kong-kiam kau berikan kepada kami!”

“Atau kau cabut Sam-kong-kiam itu, Kim-mou-eng. Ingin kami lihat seberapa hebat keampuhannya yang disohorkan orang!”

“Atau kau mampus, dan kami akan merampas pedang itu dari mayatmu!” yang berkata begini adalah Sin-houw Yak Gu Bang, dia paling beringas dibanding yang lain-lain. Terkamannya berkali kali meleset seolah Kim-mou-eng adalah seekor belut, di samping kebal ternyata juga licin, entah oleh keringat atau oleh kepandaiannya yang tinggi.

Dan ketika Harimau Sakti itu terbahak-bahak dan Kim-mou-eng terbelalak marah maka pendekar ini berseru menimpali lawan lawannya, “Cuwi enghioiig, sebaiknya kalian tak perlu mendesak. Aku tak mau pertumpahan darah disini!”

“Wah, kau bicara sombong? Sudah terdesak masih juga bermulut besar? Ha.. ha, kau benar-benar tak tahu malu, Kim mou-eng. Kalau kami dapat kaurobohkan biarlah sedikit tumpahan darah tak apa. Aku boleh menjadi korban pertama!” si Harimau Sakti kembali tertawa bergelak, merasa omongan pendekar ini dianggap sombong dan mengelikan.

Kim-mou-eng sesungguhnya tak bicara besar karena dia dapat membuktikan. Pit-nya yang ampuh itu belum dicabut dan dia pun belum mengeluarkan Pek Sin-ciangnya (Pukulan Hawa Putih) yang teramat dahsyat itu. Semua ini belum dilakukan Kim-mou-eng karena pendekar itu ragu-ragu. Dia memang terdesak tapi belum payah benar, coba memperingatkan lawan agar mundur mengalah. Tapi ketika lawan tertawa dan ejekan serta cemoohan terlontar di sana-sini tiba-tiba pendekar ini bangkit kemarahannya dan melihat lawan semakin ganas saja.

“Baiklah, aku telah memperingatkan, cuwi-enghiong. Kalau kalian tak tahu diri dan terus mendesak maka maafkan jika satu dua di antara kalian harus roboh.”

Kim-mou-eng tiba-tiba mengeluarkan pit-nya, senjata itu berkelebat merupakan sinar hitam, langsung mencuat dan menangkis tongkat di tangan Pek-tung Lo-kai, kali ini tiga perempat bagian dari tenaga Tiat-lut kang dikerahkan, yang lain-lain sedetik dibiarkan karena Kim-mou-eng harus membuka jalan darah. Hal itu terpaksa dilakukan kalau dia ingin keluar kepungan. Dan ketika tongkat bertemu alat tulis (pit) dan getaran Tiat-lui-kang tersalur dan langsung menyengat pergelangan Pek-tung Lo-kai yang memegang senjata mendadak kakek ini berteriak tinggi karena tongkatnya patah.

“Hei... pletak...!” Pek-tung Lo-kai melempar tubuh bergulingan. Pit di tangan Kim-mou-eng terus menyambar dadanya, tentu saja dia kaget bukan main, serangan itu terlampau berbahaya. Dan Sin-houw Yak Gu Bang yang ada di sebelah kanan kakek ini dan otomatis menggantikan kedudukan ketika Pek-tung Lo-kai bergulingan tiba-tiba memapak sambaran pit dengan cengkeraman tangannya, tertawa bergelak karena sambaran pit itu perlahan saja. Begitu tampaknya dan heran kenapa Pek-tung Lo-kai harus ketakutan.

Tapi begitu pit di tangan Kim-mou-eng tercengkeram dan arus yang luar biasa panas menyengat telapaknya dan terus menembus ke tulang sumsumnya tiba-tiba si tinggi besar ini menjerit dan melepas senjata lawan. Namun terlambat. Kim-mou-eng telah membuat lawan terkejut, telapak Harimau Sakti melepuh dan bengkak. Dan ketika orang terhuyung mundur dan terbelalak kepadanya tahu-tahu sinar hitam berkelebat dan leher si tinggi besar menjadi sasaran.

“Awas!”

Sin-houw Yak Gu Bang kaget bukan main. Saat itu dia sedang menahan sakit, tertegun. Pit menyambar lehernya tak dapat dielak. Seruan Koang-san Tojin di belakang membuat dia terkesiap. Delapan temannya yang lain berteriak memperingatkan dan semua menghantam Kim-mou-eng. Tapi karena Kim-mou-eng bertekad untuk merobohkan seorang dua orang di antara lawan-lawannya dan mengerahkan tenaga menahan bacokan maupun pukulan maupun senjata ditangannya tetap meluncur dan mengenai leher Sin-houw

“Tukk!” Harimau Sakti itu mengeluh. Dia terbanting dengan luka di urat leher, jalan darahnya pecah karena Kim-mou-eng tak dapat berbuat lain, menyesal tapi saat itu juga dia menerima pukulan dan bacokan di belakang. Dan ketika Harimau Sakti itu terguling dan Kim-mou-eng terguncang menerima pukulan yang bertubi-tubi di belakang tubuhnya maka pendekar ini pun terpelanting namun sudah bergulingan melompat bangun, tidak terluka kecuali tergetar saja oleh kerasnya pukulan pukulan di belakang. Semua lawan terbelalak karena pendekar itu benar-benar hebat. Dan ketika Sin-houw tak bangun lagl entah pingsan entah tewas mendadak Kim mou-eng berkelebat pergi karena telah lolos dari kepungan.

“Cuwi-enghiong, maaf. Sekarang harus kita akhiri...!”

Koang-san Tojin dan teman-temannya terkejut. Mereka sadar, tiba-tiba marah dan mengejar Kim-mou-eng telah berada jauh di depan dan mereka kaget karena lolosnya pendekar itu berarti lolosnya pedang Sam-kong-kiam. Tentu saja mereka tak membiarkan. Dan ketika Kim-mou-eng berlari keluar hutan dari malam yang gelap bisa membantu pendekar itu untuk melarikan diri maka Pek-tung Lokai membentak dan menyambar senjata baru di tangan seorang muridnya, mengejar disusul yang lain-lain.

“Kim-mou-eng, berhenti. Atau kau serahkan pedang keramat itu dulu!”

Kim mou-eng gemas. Gerakan pit-nya telah menumbangkan seorang musuh, sungguh dia menyesal karena korban pertama harus jatuh. Kini orang tak tahu diri dan belasan musuh di belakang mengejar, dia mengerahkan ginkang tapi orang orang itii tak mau melepaskannya. Dan ketika menjelang fajar dia tiba di sebuah lapangan berumput mengingatkannya pada tempat suku bangsanya sendiri mendadak dari mana-mana muncul orang beraneka ragam membentaknya untuk menyerahkan Sam-kong-kiam, sama seperti pengejar-pengejar di belakang pada rombongan Koang-san Tojin dan teman temannya itu.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam...!”

Pendekar ini pucat. Di depannya menghadang tigaratus lebih orang-orang bersenjata, mereka itu dipimpin dua kakek cebol yang tertawa bergelak, di sampingnya berdiri pula seorang kakek yang bertelanjang kaki. Tubuhnya sedang tapi seluruh mukanya hampir tertutup oleh rambut yang kasar bagai rambut singa, sorot matanya buas, kipas bulu di tangan kirinya dikebut-kebutkan sambil menyeringai.

Tiga orang di depan ini mengejutkan Kim-mou-eng. Dan karena di belakang sudah tertutup oleh rombongan Koang-san Tojin sementara di depan muncul ratusan orang dipimpin dua kakek cebol itu bersama si kakek bermuka singa maka Kim-mou-eng berhenti bagai disentak jantungnya.

“Hek-bong Siang-lo-mo....!” dia berseru tertahan.

“Ha-ha, kau masih mengenal kami, Kim-mou-eng? Bagus, kami memang Hek-bong Siang-lo-mo (Sepasang Iblis Kuburan). Kami telah menunggumu dan tentunya kau tak lupa pada sahabat kami ini!”

Dan iblis cebol itu menunjuk teman di sebelahnya. Kim-mou-eng tertegun karena tentu saja dia pun mengenal kakek bermuka singa itu, bukan lain Sai-mo-ong adanya, iblis yang tak kalah mengerikan dengan sepasang iblis cebol pertama. Dan ketika Kim mou-eng terkejut dan berhenti menghadapi orang orang ini maka rombongan di belakang telah tiba dan langsung mengepung.

“Kim-mou-eng, sekarang kau tak dapat lari lagi!”

Pendekar ini terbelalak. Sekarang dia memang tak dapat lari lagi, lawan mengepung dari mana-mana. Seluruh penjuru sudah dipagar rapat tak mungkin dia lolos lagi. Tapi Kim-mou-eng yang marah mengepal tinju tiba-tiba membalik menghadapi rombongan Koang-san Tojin ini. “Koang-san Tojin, apakah kalian akan mengeroyokku bersama iblis-iblis ini? Kalian mengepung bersama orang orang sesat itu?”

“Ha-ha!” Hek-bong Siang lo-mo terbahak memotong. “Kali ini tak ada yang sesat atau yang tidak sesat, Kim-mou-eng. Kami kebetulan saja bertemu untuk maksud yang sama. Kau mencuri Sam-kong-kiam, karena itu, keluarkan pedang itu dan biar kami urus bagaimana baiknya!”

“Benar, dan kami tak akan membunuhmu, Kim-mou-eng. Kau dapat lolos kalau pedang itu kau berikan kepada kami. Keluarkanlah!”

Yang berkata begini adalah kakek bermuka singa itu, matanya berkilat sementara bibir ditarik kian menyeringai. Inilah hinaan bagi Kim-mou-eng. Tapi Koang-san Tojin dan teman temannya yang ternyata tak rela pedang itu diserahkan pada Hek-bong Siang lo-mo dan kawan kawan tiba-tiba membentak, “Tidak, pedang harus kau serahkan padaku ini, Kim-mou-eng. Sam-kong kiam-tak boleh jatuh pada orang sesat karena mereka tak berhak!”

“Hm, kau siapa?” Toa-lo-mo, orang tertua dari Hek-bong Siang lo-mo mengejek bertanya pada tosu ini, melihat Koang-san Tojin mewakili teman temannya bicara tentang pedang.

Tapi Sai-mo-ong yang rupanya mengenal tosu itu tiba-tiba tertawa. “Dia Koang-san Tojin, lo-mo. Ketua Koang-san-pai bersama teman-temannya. Mereka itu Pek-tung Lokai dan Hwa-i-paicu!”

“Hm, bagus! Lalu kalian mau mengangkangi pedang?”

“Ah,” Sai-mo-ong lagi-lagi bicara. “Sebaiknya masalah itu jangan diributkan dulu, lo-mo. Kita hadapi saja Kim-mou-eng ini dan lain-lain belakangan. Urusan itu bisa diatur, jangan kehilangan ikan kalau harus berebut tulang!”

Toa-lo-mo tiba-tiba sadar. Memang yang menjaring ikan adalah Kim-mou-eng ini, mereka tak perlu ribut-ribut kalau Kim-mou-eng belum mengeluarkan pedang. Dia tidak takut pada rombongan Koang-san Tojin itu tapi harus menghemat tenaga kalau tak mau kehilangan Sam-kong-kiam. Pendekar Rambut Emas itulah yang harus dihadapi lebih dulu dan bukannya rombongan Koang-san Tojin ini. Maka terbahak membenarkan omongan teman sendiri akhirnya iblis cebol ini menghadapi Kim-mou-eng.

“Kim-mou-eng, keluarkan Sam-kong-kiam itu untuk kami lihat!”

“Tidak, kau harus mengeluarkannya untuk kami, Kim-mou-eng. Jangan serahkan pedang itu, pada orang-orang sesatl” Pek-tung Lokai kali ini bicara. Hwa-i-paicu dan lain-lain juga melompat. Mereka khawatir Kim-mou-eng memberikan pedang pada lawan.

Hek-bong Siang-lo-mo melotot, pihak Koang-san Tojin mencari ribut! Tapi Kim-mou-eng yang mengangkat lengannya tinggi-tinggi ke atas tiba-tiba berseru, “Hek-bong Siang-lo-mo, dan kalian, Pek-tung Lokai. Sekali lagi kuberitahukan pada kalian bahwa aku tidak memiliki pedang itu. Sam-kong-kiam tak ada padaku, pedang itu dicuri orang lain!”

“Heh... heh...” Ji-lo-mo (iblis kedua) kali ini terkekeh. “Kau masih menipu kami, Kim-mou-eng? Memangnya kami anak-anak kecil? Kalau kau tak mau mengeluarkan pedang terpaksa kami akan mencarinya di mayatmu!”

“Benar, dan kau mencelakai seorang rekan kami, Kim-mou-eng. Karena itu serahkan pedang dan biar kami melindungi dirimu dari orang-orang sesat ini!”

Hwa-paicu sekarang membuka suara, diam-diam khawatir dan semakin kagum saja pada Pendekar Rambut Emas ini. Kalau tak ada rombongan Hek-bong Siang lo-mo dan teman-temannya itu mau rasanya dia memberi bantuan secara diam-diam. Mencarikan jalan keluar umpamanya, atau apa saja yang dapat ia lakukan.

Tapi Hek-bong Siang lo-mo yang tertawa mengejek tiba-tiba mengibaskan lengannya ke belakang. “Kalian jaga baik-baik, orang-orang dari Hwa-i-pang dan Pek-tung-pang itu rupanya mau berbalik haluan!”

Hwa-i-paicu semburat merah. Dia dilirik teman-temannya yang lain, omongannya tadi memang tidak salah tapi getaran perasaannya tertangkap. Koang-san Tojin sudah memandangnya dengan alis berkerut. Tapi belum lagi wanita baju kembang itu bicara lagi, tiba-tiba Sai-mo-ong sudah mengosok kakinya dan menggoyangkan kipas dua kali.

“Kim-mou-eng, kau tak mau menyerahkan Sam-kong-kiam?”

“Hm, kalian rupanya tak percaya, Mo-ong. Kalau pedang itu ada di tanganku tentu sudah kucabut sekarang!”

“Bagus, kalau begitu mari maju. Ayo serang, Siapa dapat membunuhnya dialah yang memiliki pedang!” dan Sai-mo-ong yang terkekeh mencelat ke depan tiba-tiba mengajak dua temannya melakukan pukulan dahsyat. Tangan dan kaki sudah bergerak disusul lain-lainnya pula.

Ratusan orang itu berteriak membuat suasana gaduh, mereka sebelumnya sudah tak sabar oleh banyak bicara yang dianggap kosong. itulah orang orang yang berhasil dikumpulkan Sai-mo-ong dan Hek-bong Siang-lo-mo. Lima puluh diantaranya adalah orang-orang pertama yang dulu disewa Kapak Hitam. Kapak Hitam sendiri tampak di situ bersama Seng Cui, si pongah yang dibuat jatuh bangun dalam segebrakan itu.

Dan ketika semua orang meluruk dan pukulan serta hantaman menghujani tubuh pendekar ini dan Kim-mou-eng marah oleh kecurangan mereka tiba-tiba Pek-tung Lokai dan teman-temannya yang khawatir mendengar seruan Mo-ong tadi tiba-tiba juga menerjang dan tak mau kehilangan Sam-kong-kiam di tangan orang orang sesat.

Cemas dan gelisah karena Mo-ong tadi bicara siapa dapat membunuh Kim-mou-eng dialah yang berhak atas Sam-kong-kiam. Maka begitu mendengar aba-aba dan melihat bahwa ini pun kesempatan baik bagi pihaknya untuk menyerang Kim-mou-eng tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu sudah diterjang dari segala penjuru diiringi bentakan dan teriakan di sana sini.

“Plak plak dess!” Kim-mou-eng berseru keras, berkelebat melompat tinggi menghadapi hujan serangan yang begitu banyak, menangkis dan tentu saja membalas mengeluarkan Tiat-lui-kangnya. Lima lawan memekik ngeri karena mereka roboh terjungkal, muntah darah disambar Pukulan Petir. Dahsyat pukulan pendekar itu, tak dapat lagi menahan tenaganya karena musuh seperti setan kelaparan. Mereka itu menyerbu sambil berkaok-kaok, Pendekar Rambut Emas dijadikan kelinci sararan manusia-manusia haus darah, korban pertama roboh dan tewas.

Tapi karena musuh begitu banyak dan pukulan Sai-mo-ong serta Hek-bong Siang-lo-mo paling berbahaya diantara semua hujan serangan maka Pendekar Rambut Emas lebih mencurahkan perhatiannya ke sini, mengelak dan menangkis. Sementara rombongan Pek-tung Lokai juga sudah mulai bergerak. Mereka itu tak tahu diri, marah benar Kim-mou-eng. Dan ketika musuh di depan tunggang-langgang tersapu angin pukulannya tapi kipas dan pukulan di tangan Sai-mo-ong dan Sepasang Iblis Kuburan menyambar dahsyat maka Kim-mou-eng menghadapi serangan tiga orang itu dengan bentakan melengking.

“Des-dess!”

Empat orang itu tergetar. Hek-bong Siang-lo-mo dan Mo-ong terpental, mereka masih kalah tenaga. Geram dan kagum bukan main tiga kakek iblis itu. Tapi karena mereka sudah berkali-kali bertemu muka dan kehebatan Pendekar Rambut Emas sudah mereka ketahui baik maka tiga iblis ini tertawa bergelak dan maju kembali, menyuruh orang-orangnya menerjang tak gentar.

“Ayo, bunuh dia. Maju....!”

Kim-mou-eng dikeroyok. Pendekar sakti itu menghadapi terjangan lawan dari segala penjuru, kini dengan amat licik dan curang Mo-ong mau pun Lo-mo menyerang dari belakang, mereka itu tertawa-tawa. Dan karena ratusan orang mengeroyok sementara Kim-mou-eng seorang diri maka pendekar ini kewalahan menghadapi sekian banyak orang yang dipimpin tiga iblis licik itu.

Menampar dan melindungi dirinya dengan pukulan-pukulan Tiat-lui-kang, terpaksa mencabut pit-nya dan belasan orang roboh terpelanting oleh totokan maupun pukulannya. Sebentar kemudian tubuh-tubuh bergelimpangan dan pendekar itu membentak menyuruh lawan-lawannya mundur, orang-orang tolol itu seperti laron saja yang mendekati api, tak ada lain jalan bagi pendekar ini kecuali merobohkan mereka. Sebentar kemudian tiga puluh tubuh terbanting kesakitan di atas tanah. Cukup mengerikan keadaan mereka itu, ada yang gosong kulitnya dan ada pula yang patah-patah tulangnya. Pendekar ini dikepung dan membuka jalan darah.

Tapi karena yang roboh itu adalah orang kelas rendahan dan mereka itu masih juga didorong-dorong Hek-bong Siang-lo-mo maupun Mo-ong yang terus bergerak di belakang dan melancarkan serangan curang maka kipas maupun pukulan tiga kakek iblis itu mendarat di tubuh Pendekar Rambut Emas, kian lama kian banyak dan Hek-bong Siang-lo-mo bahkan mengeluarkan sabitnya, senjata melengkung yang amat mengerikan itu. Dan ketika rombongan Pek-tung Lokai juga melakukan keroyokan dan satu dua pukulan berat menghantam pendekar ini akhirnya Kim-mo-eng terhuyung-huyung dan mulai jatuh bangun.

“Lo-mo, kalian pengecut-pengecut busuk. Kalian tak tahu malu!”

“Ha ha, malu atau tidak itu bukan urusanmu, Kim-mou-eng. Sekarang keluarkan saja Pedang Tiga Sinar mu dan kau serahkan baik-baik kepada kami!” Hek-bong Siang-lo-mo tak perduli.

Mereka bahkan dapat membalas dendam atas kekalahan beberapa waktu yang lalu (baca Pendekar Rambut Emas). Ini merupakan kesempatan baik bagi mereka kalau ingin membunuh Kim-mou-eng. Dan karena Kim-mou-eng kewalahan dan sedikit atau banyak pertahanan tubuh mulai guncang oleh serangan-serangan tiga kakek iblis ini akhirnya Pendekar Rambut Emas pucat mukanya menerima pukulan bertubi-tubi.

Hal itu bahkan menyenangkan Mo-ong dan dua iblis cebol ini. Rombongan Pek-tung Lokai mengerutkan alis, mereka melihat kegagahan Pendekar Rambut Emas itu, betapapun mereka tak dapat menyembunyikan kagum dan Hwa-i-paicu bahkan terisak. Ketua Hwa-i-paicu ini rupanya malu mengerubut, kegagahannya tersinggung. Tapi karena teman-temannya terus bergerak dan ia juga khawatir Pedang Tiga Sinar itu jatuh di tangan orang-orang sesat maka ketua Hw-i-pai yang cantik Ini tiba-tiba berseru,

“Kim-mou-eng, serahkan saja pedang keramat itu kepada rombongan kami. Biar kami yang mengambil alih tanggung jawabmu!”

Kim-mou-eng menahan sakit. “Aku tak membawa pedang itu, nona Kenapa menuduh saja tak percaya? Kalau benar kubawa tentu sudah kukeluarkan. Kalian orang-orang tolol!”

“Ha-ha, ada yang jatuh hati rupanya. Bagaimana, Kim-mou-eng? Kau mau menerima bujukan ketua Hwa-i-pai yang cantik ini?”

Hwa i-paicu marah. Yang mengeluarkan kata-kata itu adalah Sai-mo-ong, dia telah mendengar kehebatan iblis tua ini namun tidak takut. Mereka memang baru pertama kali itu ketemu. Maka mendengar ejekan ini dan sikap Mo-ong dianggap menghinanya tiba-tiba wanita ini memekik menggerakkan pedangnya menusuk kakek iblis itu. “Mo-ong, jaga mulutmu. Jangan kira aku takut!”

“Wah? Kau membela Kim-mou-eng? Bagus, semakin tampak belangnya....plak!” dan Sai-mo-ong yang mengelak dan menangkis tusukan pedang itu tiba-tiba diserang lagi dengan pekik tinggi menandakan kemarahan ketua Hwa-i-pai ini.

Dua orang itu sejenak baku hantam sendiri, Kim-mou-eng secara tak langsung berkurang dua lawannya yang tangguh, terutama si kakek iblis. Dan ketika Sai-mo-ong harus berlompatan dan terbelalak memandang lawannya maka Kim-mou-eng mendapat jalan keluar. Saat itu tujuh puluh lima orang sudah menggelimpang mengaduh-aduh, Kim-mou-eng terkoyak pakaiannya dan lelah. Berlari semalam suntuk dikejar rombongan Koang-san Tojin membuat dia letih, kini ditambah lagi keroyokan Hek-bong Siang-lo-mo dan antek-anteknya itu. Betapapun hebat dirinya tetap saja tak mungkin menghadapi lawan sekian banyak. Kini Mo-ong diserang Hwa-i-paicu dan kesempatan itu tak boleh disia-siakan.

Dan ketika dua orang itu menarik diri untuk berkelahi di luar maka Pendekar Rambut Emas mengeluarkan bentakan tinggi mengibas sabit di tangan Hek-bong Siang-lo-mo. Dua senjata iblis cebol itu terlalu berbahaya, yang lain dia biarkan menimpa tubuhnya yang dilindungi sinkang. Dan begitu sabit tertolak dan tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan yang lain maka pendekar ini terpelanting sekaligus menggulingkan tubuh menyerampangkan kaki, dari bawah dia membabat lawan-lawannya yang berteriak kaget. Dan begitu lawan menjerit dan tujuh di antaranya terlempar ke belakang maka Kim-mou-eng melompat bangun melarikan diri.

“Heii....!”

Orang-orang terkejut. Mereka yang terlempar tak dapat bangun kembali, tapi rombongan Koang-san Tojin dan Hek-bong Siang lo-mo yang terkejut oleh lolosnya Kim-mou-eng tiba-tiba berteriak. Mereka marah mengejar Kim-mou-eng. Hek-bong Siang-lo mo bahkan menimpukkan sabitnya dari jauh, senjata ini menyambar punggung Kim-mou-eng, ditangkis dan Kim-mou-eng sudah melarikan diri lagi. Dan ketika pendekar itu lolos dan Hek-bong Siang lo-mo mencak-mencak maka dua iblis cebol itu memungut sabit mereka kembali sambil memaki Mo-ong dan Hwa-i-paicu.

“Mo-ong, dia lolos. Kau bodoh sekail meninggalkan pertempuran!”

“Ya, dan Hwa-i-paicu ini menjadi gara-gara, toa-heng (kakak). Kalau beres urusan ini sebaiknya dibunuh saja dia itu!” Ji-lo-mo, orang ke dua juga mencak-mencak. Mereka memaki dan mendorong Hwa-i-paicu, tentu saja ketua Hwa-i-pai ini terpental dan perkelahiannya bersama Mo-ong terputus. Teman-temannya juga menegur agar dia tidak melayani kakek iblis itu. Dan ketika Mo-ong terkekeh dan sadar mengejar Kim-mou-eng maka Koang-san Tojin berseru pada rekannya ini,

“Paicu, tunda dulu urusan dengan iblis-iblis ini. Kejar Kim-mou-eng, jangan biarkan dia lolos membawa Sam-kong-kiam!”

Hwa-i-paicu tertegun merah. Dia sudah melihat teman-temannya mengejar, Mo-ong meninggalkannya dan bersama Hek-bang Siang-lo mo memburu Kim-mou-eng, lain-lain juga mengikuti dan berteriak-teriak marah. Pengeroyok masih berjumlah separuh lebih, masih dua ratusan orang. Dan ketika teman-temannya mengejar dan Kim-mou-eng di sana tertatih tatih melarikan diri maka terpaksa ketua Hwa-i-pai ini mengikuti dan mengejar Pendekar Rambut Emas.

Dan Pendekar Rambut Emas kepayahan. Dia sudah mulai luka-luka, kekebalan tubuhnya kian berkurang menghadapi demikian banyak lawan, terutama menerima hantaman bertubi-tubi dari Hek-bong Siang lo-mo dan Mo-ong. Dan karena lawan masih segar dibanding dirinya sendiri yang sudah terlalu lelah maka di dekat sebuah jurang pendekar ini tersusul.

“Ha ha, kau tak dapat melarikan diri, Kim-mou-eng. Keluarkan Sam-kong-kiam dan serahkan kepada kami!”

Hek-bong Siang lo-mo yang ada di depan menubruk, Sai-mo-ong yang juga sudah memburu tiba melepas pukulan tangan kanannya, angin berbau amis meluncur dari tangan kakek iblis itu. Kim-mou-eng tak dapat mengelak kecuali menangkis. Dan ketika dia menangkis dan terpaksa berhenti maka tiga pukulan kekek iblis ini bertemu lengannya yang seketika terpental dan dia roboh terbanting, tanda tenaga benar-benar sudah terkuras.

“Dess!” Kim-mou-eng mengeluh pendek, di ejek dan diburu lagi oleh tiga kakek iblis itu, pendekar ini terdesak. Dan ketika yang lain juga tiba dan melancarkan pukulannya maka Kim-mou-eng menggigit bibir menggeram marah.

“Mo-ong, kalian manusa-manusia keji Kalau begitu terpaksa kubunuh kalian!” Pendekar Rambut Emas menggerakkan pit-nya, kembali menangkis tapi tangan kiri tiba-tiba berkerotok, sinar putih berkeredep dan Mo-ong serta Hek bong-Siang lo-mo terbelalak. Dan ketika tangan kiri itu menyambar dan mereka jatuh terjengkang maka tiga kakek iblis itu berteriak gentar membanting tubuh bergulingan.

“Awas Pek-sian-ciang...!”

Yang lain-lain juga terkejut. Mereka merasakan sambaran angin dahsyat itu, sepuluh orang disambar roboh menjerit ngeri. Mereka tewas sebelum terbanting! Dan ketika yang lain tunggang langgang dan Mo-ong serta Lo,mo melompat bangun tahu-tahu tiga kakek iblis ini melontar senjata mereka menyerang dari jauh, ditangkis dan mereka sudah menubruk, gerakannya cepat dan Kim-mou-eng tak dapat menghindar lagi.

Tiga iblis tua itu tahu-tahu menangkap kakinya, mencengkeram dan menarik hingga Kim-mou-eng kesakitan. Pendekar ini kaget karena lawan hendak merobek tubuhnya menjadi dua. Dan ketika dia berseru keras dan tiga kakek itu tertawa bergelak tiba tiba Lo-mo dan Mo-ong menggerakkan jari menusuk bola matanya.

“Aaah....!” Kim-mou-eng bergerak cepat. Dia melengking tinggi membebaskan tubuhnya, meronta dan melempar kepala seraya menggerakkan kedua lengannya, pit di tangan kanan bahkan menusuk telapak Ji lo-mo. Tapi karena tenaganya sudah berkurang banyak dan seluruh kekuatan dipusatkan untuk membebaskan diri tiba-tiba Kim-mou-eng mengeluh pendek ketika jari-jari Lo-mo dan Mo-ong masih juga menyambar telinganya dan menghantam begitu dahsyat. Bola mata memang dapat diselamatkan tapi tamparan disisi kepala itu serasa dipukul godam.

Kim-mou-eng mencelat dan seketika pingsan, terlempar dan secara kebetulan masuk ke mulut jurang yang ada di belakangnya itu. Dia tak tahu apa-apa tapi Lo-mo dan Mo-ong berseru kaget, mereka tertegun dan tersentak memandang peristiwa itu. Kim-mou-eng terjeblos dan kemudian lenyap dalam waktu begitu cepat. Dan ketika mereka sadar dan yang lain-lain juga berteriak kecewa tiba-tiba semua orang bengong dan Hekbong Siang-lo-mo membanting kaki.

“Keparat, dia lolos. Kita kehilangan Sam-kong kiam....!”

“Tidak, kita masih dapat mencarinya di bawah jurang, Lo-mo. Ayo kita turun!” Mo-ong berseru, tiba-tiba berkelebat dan Lo-mo kakak beradik terkejut.

Kawan mereka itu sudah berjungkir balik di sana, seutas tali diayun berkali-kali menggaet batu batu runcing, berbahaya perbuatan itu. Semua orang ngeri. Tapi karena Mo-ong merupakan datuk sesat yang kepandaiannya tinggi sekali dan ginkang yang dimiliki kakek muka singa itu juga hebat maka sebentar kemudian Mo-ong sudah lenyap ke bawah dan Lo-mo kakak beradik tertegun. Mereka saling pandang sejenak, tapi karena Mo-ong sudah berani turun ke jurang dan mereka pun merasa mampu tiba-tiba sepasang iblis cebol ini berkelebat ke jurang dan tertawa aneh.

“Toa-heng, kita berpegangan dan saling lontar!”

Semua orang terbelalak. Sepasang iblis cebol ini tidak menuruni jurang seperti Mo-ong, yang mempergunakan tali. Melainkan saling ayun dan ganti-berganti memempel di dinding jurang seperti cecak. Mereka begitu lincah dan bergerak amat mengagumkan. Orang-orang pun terpana. Dan karena mereka tak mau didahului Mo-ong dan dua iblis cebol ini berpindah-pindah dan merayap turun dengan cepat tiba-tiba keduanya pun sudah menghilang dan lenyap di bawah jurang berkabut.

Rombongan Koang-san Tojin saling pandang. Mau tak mau mereka mendecak melihat kepandaian dua iblis cebol itu, juga Mo-ong yang meluncur turun seperti monyet besar, ketiganya lenyap dan tak kelihatan lagi dari atas. Koang-san Tojin dan rombongannya ragu untuk mengikuti jejak tiga iblis itu. Tapi ketika mereka menunggu setengah jam dan kasak-kusuk mulai terdengar di sana sini mendadak mereka melihat tiga kakek iblis itu muncul sambil berteriak-teriak.

“Setan! Di bawah ada setan....!”

“Hiih, itu hantu. Mo-ong. Kim-mou-eng menjadi hantu dan mengejar-ngejar kita....!”

Koang-san Tojin dan rombongannya terkejut. Mereka melihat tiga kakek iblis itu berteriak-teriak dengan muka penuh keringat, pakaian basah penuh peluh dan muka mereka pun kedinginan. Gigi berketrukan dan tiga kakek iblis itu tampak ketakutan. Aneh sekali. Dan ketika mereka melompat ke atas dan rombongan Koang-san Tojin tertegun mendadak ketiganya kabur dan Ji-lo-mo maupun Toa-lo-mo baret-baret kulitnya tak perduli kanan kiri lagi.

“Setan, Kim-mou-eng menjadl Setan....!”

Rombongan Koang-san Tojin melongo. Mereka melihat tiga kakek iblis itu dibelit ular besar yang sudah tidak berkepala, darah menetes-netes dan tampaknya tiga orang itu tak sadar. Entah apa yang terjadi. Tapi ketika mereka merasa geli dan heran serta bingung oleh sikap Mo-ong dan Lo-mo mendadak segumpal asap muncul dari dalam jurang menyambar mereka, asap yang berbentuk kepala dewa dengan enam pasang lengan.

“Kalian pergilah, tak ada apa-apa lagi di sini!”

Koang-san Tojin dan teman-temannya kaget. Asap itu dapat bicara, serangkum angin dahsyat menghantam mereka dengan lembut namun kuat. Koang-san Tojin terpelanting dan teman-temannya juga terjungkal, tentu saja mereka pucat bukan main dan berseru keras. Dan ketika mereka melompat bangun namun asap itu bergerak ke sana-sini dan enam pasang lengan itu mendorong-dorong mendadak mereka semua terlempar dan tak ada satu pun yang dapat menahan gerakan “asap” aneh ini.

“Setan....!”

“Iblis....!”

Rombongan Koang-san Tojin kalut. Mereka gentar dan coba melawan, Koang-san Tojin sudah memberanikan hatinya mengelak dan membalas. Tapi ketika pukulannya membalik dan sekuat itu pula dia tertolak oleh angin pukulannya sendiri akhirnya ketua Koang-san-pai ini terbanting berguling dan pucat serta gentar bukan main. Pengikut Lo-mo maupun Mo-ong jangan ditanya lagi, mereka itu sudah roboh menjerit-jerit dengan muka ketakutan. Bagai ditiup angin taufan saja mereka terguling-guling menjauhi jurang, sekejap saja sudah terlempar puluhan tombak. Dan karena tak ada satu pun yang mampu menahan gerakan asap dewa ini dan semua orang melarikan diri akhirnya Koang-san Tojin dan teman-temannya juga membalik dan memutar tubuh mengambil langkah seribu.

Mereka seolah menghadapi mahluk aneh. Suara di balik asap itu menakutkan sekali. Dan karena Kim-mou-eng dianggap tewas dan urusan Sim-kong kiam dianggap selesai maka Koang-san Tojin dan rombongannya tunggang tenggang menjauhi jurang. Sekarang mereka mengerti ketakutan yang dialami Mo-ong dan Lo-mo itu, betapa mahluk yang dianggap setan ini memang luar biasa. Tak ada pukulan atau serangan yang mampu mengalahkannya, justeru mereka sendiri yang roboh disambar asap tanpa ujud yang jelas itu. Dan ketika semua orang lari terbirit-birit dan tempat itu pun sunyi seperti sedia kala akhirnya “asap” ini kembali dan “masuk” ke dalam jurang darimana tadi dia berasal.

Tak ada yang tahu betapa seorang kakek keluar dari balik tabir asap ini. menggeleng kepala dan berkali-kali menghela napas. Dan begitu dia mengembangkan lengan menggerakkan sedikit kakinya tahu-tahu kakek ini “amblas” dan hilang di bawah jurang!

* * * * * * * *

Siapa kakek ini? Bagaimana dia muncul dalam bentuk asap yang aneh itu? Untuk mengetahuinya marilah kita ikuti sejenak apa yang dialami Mo-ong dan Lo-mo itu ketika mereka mencari Kim-mou-eng di bawah jurang.

Seperti diketahui, Kim-mou-eng pingsan menerima pukulan keras yang menghantam kedua sisi kepalanya. Pendekar Rambut Emas terlalu lelah dikeroyok begitu banyak orang, biarpun seorang berkepandaian tinggi dengan kesaktian hebat. Dan karena pukulan tiga kakek iblis itu mengguncang isi kepalanya dan Kim-mou-eng pingsan maka dengan tepat dan tanpa sengaja dia terlempar ke dalam jurang dimana lawan lawannya yang lain merasa kaget dan terkejut karena itu berarti lenyapnya Sam-kong-kiam.

Pedang Tiga Sinar ini memiliki daya tarik yang begitu besar. Pedang itu seolah jauh lebih beeharga daripada nyawa sendiri. Mo-ong dan Lo-mo nekat mengejar, mereka menuruni jurang dan mencari mayat Kim-mou-eng. Tapi ketika mereka tiba ditengah dan kabut yang tebal mengambang di tengah-tengah jurang ini mendadak sebuah suara tanpa ujud menegur mereka.

“Lo-mo, kalian dua orang tua mau apa begini nekat? Kalian mencari penyakit?”

Lo-mo dan Mo-ong terkejut. Mereka bertiga sudah tiba di bagian dinding yang bercelah, jurang itu dalam dan dasarnya masih belum kelihatan. Dari gaung suara yang menegur itu dapat diukur betapa dalamnya jurang itu. Mungkin ratusan tombak. Tapi karena Lo-mo dan Mo-ong bukan orang-orang penakut dan mereka merupakan tokoh tokoh sesat yang terkejut sedetik oleh teguran ini mendadak mereka membalik memandang sebuah lubang di celah-celah jurang itu.

“Kau siapa? Siluman dari mana ini berani bicara kepada kami?”

Tak ada jawaban. Gema suara Ji-lo-mo memantul balik, kakek iblis itu dan dua temannya penasaran, terbeliak di samping was was karena mereka baru tahu bahwa di tengah jurang kiranya terdapat manusia lain. Mereka tak percaya pada setan dan hantu. Maka membentak dan melompat ke mulut lubang ini tiba-tiba Ji-lo-mo melepas pukulan.

“Hei, kau tak dapat bicara? Kalau begitu terimalah, mampuslah di dalam....”

“Wut!” pukulan Ji-lo-mo menderu dahsyat, langsung menghantam dan memenuhi lubang di dalam. Iblis ini jelas merasa bahwa seseorang ada di dalam sana. Tapi ketika terdengar desis keras dan tiga ekor ular keluar menyambut pukulan Ji-lo-mo mendadak ketiga binatang melata itu menyerang dan memagut iblis cebol ini.

“Wah, keparat..!” Ji-lo-mo terkejut, mundur setindak dan tangannya bergerak menangkis. Ular yang ada di depan sendiri ditangkap kepalanya, mengegos tapi kalah cepat oleh gerakan kakek ini. Dan ketika ular di depan tertangkap dan menggeliat kuat tiba-tiba Ji-lo-mo tertawa meremas kepala ular.

“Kres!” ular itu hancur, besarnya sepaha orang dewasa, tapi dua temannya yang lain menyerang lagi, meluncur ke bawah dan memagut kaki kakek ini. Tapi ketika Ji-lo-mo menendang dan ular besar itu bertemu kakinya tiba-tiba mereka terlempar dan jatuh tersungsang di bawah jurang dimana sebatang pohon besar melintang sepuluh tombak di bawah kaki Ji-lo-mo.

“Ha-ha, kita mendapat daging segar, toa-heng. Bisa buat sarapan di atas nanti...!” Ji-lo-mo terkekeh, melempar bangkai ular di tangannya dan memandang bersinar sinar pada dua ular di bawah pohon, mereka menggeliat-geliat dan tersungsang di sana, setengah tubuh mereka menggantung, tak dapat naik maupun turun. Tapi Mo-ong yang terbelalak ke depan menuding kaget tiba-tiba berseru,

“Hei, awas....!

Ji-lo-mo juga merasa sesuatu yang tidak beres itu. Dia merasakan kesiur angin dingin, dalam lubang ternyata tak ada apa apanya kecuali tiga ekor ular besar tadi. Dia sudah menghilangkan kewaspadaan pada lubang ini. Maka ketika temannya menuding dan dari celah-celah itu muncul sesosok bayangan dan Ji lo-mo melongo mendadak iblis ini hampir terjungkal karena sesosok bayangan putih yang ujudnya tidak jelas telah berdiri di hadapannya dengan kaki tidak menginjak tanah.

“Setan....!” tanpa terasa Ji-lo-mo memekik tentu saja tangannya bergerak menampar sesosok tubuh yang mirip hantu itu. menghantam dan ngeri karena bayangan itu mengambang di atas bumi, telapak kakinya menggantung. Tapi muka bayangan itu terpukul dan pukulan Ji-lo-mo meluncur begitu saja seolah “menembus” bayangan itu mendadak pukulan itu membalik dan Ji-lo-mo terbanting menerima daya tolak angin pukulannya sendiri!

“Waoo....!” Ji lo-mo kaget, berseru keras dan berjungkir balik menghindari angin pukulannya sendiri. Tapi karena dia berada di tengah jurang dan lupa bahwa saat itu dia bukan di atas tanah tiba-tiba iblis ini terjeblos dan jatuh ke dasar jurang, tentu saja terkejut dan segera sadar bahwa dia dalam bahaya. Tapi kakaknya yang sudah merenggut tali di tangan Mo-ong dan melecut ke bawah tiba-tiba berseru, “Tangkap!”

Toa-lo-mo mengeletarkan talinya, ujung meledak disamping tubuh adiknya dan Ji lo-mo menangkap, dalam saat-saat kritis, begitu iblis cebol ini bergerak cepat. Pertolongan kakaknya disambut, Ji-lo-mo menyambar tali itu dan tubuhnya tertahan, sedetik berputar bagai kera bermain roda. Dan ketika Ji-lo-mo berseru keras dan kakaknya menyentak maka iblis cebol ini berjungkir balik dan telah hinggap di pohon di mana dua ekor ular besar masih tersungsang dengan tubuh setengah menggantung.

“Keparat! Jahanam bedebah....!” Ji lo-mo memaki-maki tak jelas. Entah siapa yang dimaki, bayangan yang mirip hantu itu ataukah Mo-ong yang menyeringai saja melihat kejadian tadi, sama sekali tak berniat menolong dan malah agaknya senang kalau Ji-lo-mo terbanting di dasar jurang sana. Mungkin mengharap iblis kedua dari Hek-bong Siang-lo-mo ini tewas. Dan ketika Lo-mo menggeram dan bayangan itu masih berdiri di mulut lubang, maka suara pertama tadi menegur mereka kembali,

“Lo-mo, kalian tak juga naik ke atas? Mau apa berkeliaran di sini?”

Hek-bong Siang-lo mo dan Mo-ong kini memperhatikan bayangan itu. Mereka berdesir, diam-diam terkejut dan ngeri karena bayangan itu tak kelihatan ujudnya. Hanya sepasang kaki menggantung di bumi sementara badan dan bagian atas yang lain tak jelas. Mereka jadi teringat pada cerita cerita hantu, tentu saja gentar dan ada rasa takut di hati mereka. Tapi karena mereka bertiga dan Ji lo-mo paling marah gara-gara robohnya tadi maka iblis ini meloncat naik berendeng dengan kakaknya, membentak,

“Kau siapa? Siluman jadi-jadian dari mana?”

Mendadak, sedikit menguak tabir sekonyong konyong sepasang mata kelihatan. Hek-bong Siang lo-mo terkejut bukan main karena sepasang sinar tiba-tiba menyorot bagai api yang terang, dua iblis ini berseru tertahan dan mereka mundur selangkah. Mo-ong juga tersentak karena cahaya terang yang amat luar biasa tajam itu menusuk matanya. Sekilas dan kemudian lenyap lagi, terdengar tawa yang aneh. Bayangan itu tak menjawab. Dan ketika Ji-lo-mo gusar dan merasa dipermainkan tiba-tiba iblis ini mencelat menghantam bayangan itu.

“Kau rupanya iblis. Mampuslah!”

Bayangan ini tak mengelak. Pukulan Ji-lo-mo mendarat di tubuhnya, Ji-lo-mo menghantam sekuat tenaga tapi lagi-lagi pukulannya itu menembus keluar, seolah dia menghadapi kapas dan kini kapas itu terdorong, membalik lagi dan pukulan Ji-lo-mo menyerang tuannya, entah bagaimana Ji-lo-mo seolah menghadapi bayangan hampa. Kakek iblis ini kaget. Dan karena pengalaman pertama tadi menunjukkan kepadanya akan tolakan tenaga sendiri tiba-tiba iblis ini berseru keras menghindari angin pukulannya sendiri.

“Bress!” dinding di belakang Ji-lo-mo ambrol, pukulan Ji-lo-mo jelas bukan main-main dan kakek itu terjungkir balik turun ke bawah, menghantam lagi dan kini mengarah bagian tengah, berteriak agar kakaknya membantu. Dan ketika Toa-lo-mo juga bergerak dan menyerang bayangan itu tiba-tiba, seperti tersedot benda aneh. Toa-lo-mo dan Ji-lo-mo saling tumbuk di udara.

“Hei, awas... plak-bluk!” dua iblis cebol itu tak dapat menghindari tumbukan, tetap saja saling bentur dan mereka mencelat keluar, jatuh tunggang-langgang dan tersungsang ke bawah pohon sana. Mereka memaki-maki, ular yang ada didekat mereka menyerang dan Toa-lo-mo serta adiknya geram, ular disambar dan seketika ditarik. Dan ketika mereka meloncat lagi dan ular sudah diputar maka ekor ular dibalik dan mereka menyerang bayangan aneh itu membabi-buta.

“Mo-ong, bantu kami. Atau kau akan kami tarik ke sini dengan paksa!”

Mo-ong terbelalak. Sebenarnya dia sendiri kaget melihat dua kali pukulan Ji-lo-mo lenyap tanpa bekas. Bayangan itu tak dapat diserang dan semua pukulan seolah tembus begitu saja, seolah mereka menyerang roh. Mengerikan! Dan ketika Toa-lo-mo membentak dan marah-marah kepadanya agar menyerang bayangan itu akhirnya Mo-ong berkelebat mercabut kipasnya.

“Baik, ini barangkali arwah Kim-mou-eng, Lo-mo. Bebaskan dia dan basmi agar lenyap ke dasar neraka!”

Tiga kakek iblis itu melepas pukulan pukulan berbahaya. Mereka sudah menyerang gencar tanpa perhitungan lagi. Dua ekor ular yang dipakai Siang lo-mo sebagai senjata dipergunakan baik-baik, ular itu mendesis desis dan tampak ketakutan menghadapi bayangan ini. Bayangan itu tak mengelak. Semua pukulan Siang-lo-mo mau pun Mo-ong mengenai tubuhnya Tapi ketika setiap pukulan maupun kebutan selalu amblas dan “menembus” bayangan ini tiba-tiba saja Lo-mo maupun Mo-ong berteriak gentar.

Ular yang dipakai pun tak mau memagut. Ular itu bahkan melingkar-lingkar dan membalik menyerang Siang-lo-mo sendiri, mungkin mereka kesakitan ekor mereka dipergunakan Siang-lo-mo, dihentak dan ditarik. Dan ketika kipas di tangan Mo-ong juga satu per satu patah ruji-rujinya dan semakin keras Siang-lo-mo menyerang semakin keras pula angin pukulan mereka membalik mendadak dua iblis ini mulai pucat berseru pada Mo-ong.

“Kita menghadapi sukma gentayangan. Ini bukan manusia!”

Mo-ong menggigil. Dia juga mulai ketakutan melihat lawan yang luar biasa ini, padahal bayangan seperti roh itu belum membalas. Seruan Ji-lo-mo membuat kakek ini pucat. Mo-ong pun gentar. Dan ketika dua iblis itu melompat dan ular di tangan mereka memagut, sekonyong-konyong Ji-lo-mo maupun kakaknya gemas menggigit dua ular ini, tepat di tengah-tengah leher hingga kepala ular itu putus, kepalanya dimakan Siang-lo-mo. Dua kakak beradik itu tampaknya kalap. Dan ketika kepala ular dikeremus dan Mo-ong terbelalak ngeri mendadak bayangan itu menampar perlahan ke arah mereka.

“Pergilah, kalian tak perlu lagi ada di sini!”

Mo-ong dan Siang-lo-mo terpekik. Mereka itu seakan dihempas tenaga yang kuat bukan main, Ji-lo-mo mencelat sementara kakaknya juga terangkai naik. Mo-ong sudah berteriak karena dia dikebut seperti gumpalan kapas ringan dan ketika mereka jatuh bangun menabrak dinding tiba-tiba Toa-lo-mo melarikan diri merayap ke atas, disusul adiknya yang berkaok-kaok karena mengira menyerang hantu. Tak ayal Mo-ong pun mengikuti dan bersicepat mendaki jurang.

Dan ketika rombongan Koang-san Tojin terheran-heran oleh teriakan mereka maka seperti diketahui di depan tiga iblis ini melarikan diri dengan terbirit-birit meninggalkan jurang, tak perduli lagi pada Sim-kong-kiam maupun Kim-mou-eng. Kejadian itu terlampau mengerikan bagi mereka. Belum pernah seumur hidup ada lawan yang tak dapat dipukul. Pukulan-pukulan mereka amblas dan lenyap begitu saja.

Dan karena Koang-san Tojin juga bertemu bayangan ini yang ujudnya seperti kepala dewa bertangan enam akhirnya Koang-san Tojin dan teman temannya pun menyingkir cepat menjauhi mahluk yang luar biasa ini, melarikan diri dan meninggalkan pertempuran tanpa ingat kanan kiri lagi. Mereka pun gentar. Dan ketika bayangan itu masuk kembali ke dalam jurang dan lenyap tanpa meninggalkan jejak jejaknya di luar maka Kim-mou-eng sendiri yang terlempar ke dalam jurang dianggap tewas oleh orang-orang yang mengeroyoknya.

Tapi betulkah begitu? Ternyata tidak. Pendekar Rambut Emas saat itu menggeletak di dalam lubang di celah-celah dinding jurang ini. Saat dia terlempar ke dasar jurang tiba-tiba seseorang menolongnya, menangkap dan membawanya ke celah-celah dinding jurang itu. Itulah si bayangan sakti yang disangka hantu oleh Siang-lo-mo. Bayangan itulah yang menyelamatkan pendekar ini. Dan ketika Mo-ong dan teman temannya pergi dan bayangan itu kembali ke bawah jurang, maka seperempat jam kemudian Kim-mou-eng sadar.

Yang terasa mula-mula adalah rasa dingin di atas kepala. Kim-mou-eng serasa mimpi. Dia belum membuka mata sepenuhnya dan pikirannya melayang-layang. Ada perasaan pening sedikit. Tapi ketika pening itu hilang dan rasa yang segar memasuki tubuhnya tiba-tiba Kim-mou-eng terkejut karena baru merasa bahwa sebuah telapak yang lunak menempel di dahinya yang menyalurkan hawa yang membuat dia segar tadi.

“Bangunlah, kau sekarang sehat!”

Kim-mou-eng tersentak. Dia melompat bangun dengan kaget, telapak yang menempel sekonyong-konyong lepas dan dia mendengar suara yang dekat sekali di pinggir telinganya. Tapi ketika dia bangun berdiri dan tidak melihat siapa-siapa mendadak pendekar ini tertegun dan lagi-lagi pikirannya mengira dia di alam lain.

“Ah, masih hidupkah aku ini?” Kim-mou-eng teringat pertempurannya dengan Mo-ong dan teman-temannya, menggigit jari dan merasa jari itu sakit. Jelas dia masih hidup. Dan ketika dia tertegun dan heran memandang sekeliling tiba-tiba suara yang didengar pertama kali tadi berbicara lagi.

“Kau masih hidup. Kau berada di Jurang Malaikat!”

“Aaah” tiba-tiba Kim-mou-eng sadar. Sekarang dia mengenal suara itu, suara yang tidak asing. Cepat menoleh dan melihat sesosok bayangan berdiri di sudut. Bayangan seorang kakek yang wajahnya tertutup halimun. Itulah gurunya, Bu-beng Sian-su! Dan ketika Kim-mou-eng berseru tertahan dan menjatuhkan dirinya berlutut maka tawa yang lembut menggugah perhatiannya pada alam yang nyata.

“Suhu...!” Kim-mou-eng girang bukan main, membenturkan dahinya pada lantai yang dingin sementara wajah berseri-seri penuh kegembiraan. Tidak dia sangka bahwa dia tiba di Jurang Malaikat, satu dari beberapa tempat yang menjadi “sarang” gurunya. Bu-beng Sian-su memang memiliki berbagai tempat bersunyi diri. Satu di antaranya adalah Jurang Malaikat itu.

Dan ketika Kim-mou-eng menjatuhkan diri berseru girang dan Bu-beng Sian-su tersenyum maka kakek dewa itu mengangkat lengannya. “Bangunlah, kita berada di tempat yang aman, Kim-mou-eng. Sekarang ceritakan bagaimana kau dikejar-kejar begitu banyak lawan!”

Kim-mou-eng bangkit duduk. Sekarang dia gembira sekali bertemu gurunya itu, teringat lawan lawan di luar jurang. Orang-orang yang memusuhinya karena Sam-kong-kiam. Maka begitu sang guru menyuruh dia bercerita dan Kim-mou-eng merasa gemas maka pendekar ini segera menceritakan pada gurunya apa yang sesungguhnya terjadi. Bahwa di kota raja dia dianggap mencuri Sam-kong-kiam, berita ini menyebar dari mulut ke mulut dan dia dianggap maling hina, padahal sama sekali wujud pedang itu pun dia tak tahu. Dan ketika urusan tiba pada penghadangan orang-orang kangouw yang ingin merebut pedang itu dari tangannya Kim-mou-eng berseru mengepal tinju.

“Teecu tak tahu sama sekali di mana pedang ini berada, suhu. Maka melihat orang-orang menganggap teecu membawa Sam-kong-kiam, sungguh menyebalkan sekali. Teecu berjanji pada kaisar mencari pencuri ini, tapi karena batas waktu sudah habis dan teecu tak berhasil maka teecu bingung apa yang harus teecu lakukan”

“Jadi Sam-kong-kiam yang hilang dari istana?”

“Benar, suhu. Apakah suhu dapat memberi petunjuk?”

“Hm, cukup berbahaya. Coba kulihat sebentar.....” kakek dewa itu memejamkan mata sejenak dan kemudian menghela napas. Dan ketika sang murid berdebar dan menunggu jawabannya tiba-tiba kakek ini mengucap puja-puji.

“Thian Yang Maha Agung, sesuatu akan terjadi. Darah dan darah mengalir di mana-mana. Hm, pedang ini berada di timur, Kim-mou-eng. Yang membawanya adalah sahabatmu sendiri. Untuk sementara cukup kuberi tahu padamu bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi. Kau harus berhati-hati dan sebaiknya pulang ke suku bangsamu. Pedang ini masih akan berkeliaran dan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Waspadalah. Aku melihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan karena ulah seseorang!”

Kim-mou-eng membelalakkan mata. “Siapa orang itu, suhu?”

“Bekas sahabatmu sendiri, jangan bertanya lebih jauh dan lihat apa yang kugambarkan ini,”

Bu-beng Sian-su tiba-tiba menggurat dinding, jarinya bergerak-gerak dan dengan cepat, tiga bait syair diguratnya indah. Begitu halus namun jelas dan dapat terbaca terang. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan mengamati tiga bait syair itu maka matanya terbelalak mengikuti tulisan gurunya:

Mengguncang langit menggetarkan bumi
Terhunjam pongah sepotong besi
tiada perduli kanan dan kiri
itulah Pedang Tiga Dimensi
kaku, dingin dan mati!
Sekarang apa artinya ini
kenapa dikejar dan dicari
bukankah yang amat berarti masih bukan milik sendiri?
Karena itu, sungguh bodoh si manusia buta
yang terkidung nafsu dan loba
kian tersesat menumpuk dosa
sampai ajal merenggut tiba!


Kim-mou-eng menahan napas. “Suhu, apa artinya ini...?”

“Artinya ini berhubungan dengan pedang Sam-kong-kiam itu, muridku. Bahwa syair ini mengungkapkan apa yang sedang dan akan terjadi. Pedang Sam-kong-kiam adalah Pedang Tiga Dimensi itu juga, pedang yang menjadi simbol jatuh bangunnya kerajaan!”

“Suhu tahu tentang pedang ini?”

“Ya, pedang yang ampuh, berasal dari Mahadewa Sin Seng (Dewa Bintang) menurut catatan kitab-kitab kuno di perpustakaan kaisar. Kau belum tahu?”

“Belum.”

“Kalau begitu dengarlah sebentar.” dan Bu Beng Sian-su yang lalu menghela napas memandang keluar tiba-tiba bercerita, memulai semacam dongeng yang menarik. “Dulu, beberapa ratus tahun yang lalu kaisar Cung-ho yang menjadi nenek moyang kaisar sekarang menghadapi seorang musuh yang amat luar biasa kuat. Musuh ini bernama Hek Bin, memiliki kesaktian tinggi dan amat angkara murka. Seluruh raja-raja di daratan Tiongkok disapu habis, tinggal kaisar Cung-ho yang dikepung dari segala penjuru, tak mau menyerah dan menyatakan siap melawan sampai titik darah terakhir. Dan ketika kota raja dikepung oleh Hek Bin yang sakti ini meluruk bersama pasukannya tiba-tiba seorang gagah perkasa muncul membantu kaisar Cung-ho...”

Pedang Tiga Dimensi Jilid 03

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 03
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“HAIITT...!” pekik tinggi itu sudah disusuli loncatan tubuh ke depan, pedang berkelebat dan ujungnya pun sudah menusuk tenggorokan, cepat dan kuat menandakan wanita ini memiliki kepandaian cukup hebat. Ujung pedang bergetar menjadi belasan, jadi sekali terang seolah-olah tenggorokan diancam belasan mata pedang yang amat cepat.

Kim-mou-eng memuji serangan lawan. Tapi karena pendekar ini tak mengelak mau pun menggeser kepalanya dari serangan maut itu maka yang dilakukan adalah sampokan lengan kiri yang bergerak dari bawah ke atas.

“Plak...!” Suara ini perlahan tapi mengejutkan. Wanita cantik itu terpekik, pedangnya mental dan lengan yang memegang pun terasa pedas, hampir saja terpelanting tapi temannya yang satu sudah maju membantu, pedang kedua berkelebat dari samping menyambar pinggang.

Kim-mou-eng memutar tubuhnya dan kali ini mengelak. Dan ketika tiga pengemis Pek-tung-pang juga membantu dan maju menyerang maka lima tubuh tiba-tiba berkelebatan susul-menyusul di sekeliling tubuh Pendekar Rambut Emas ini, membuat sang pendekar sibuk tapi mulai melindungi diri dengan sin-kangnya. Tangan dan kaki mulai bergerak-gerak menyampok atau menangkis senjata lawan.

Dua tosu dari Koang-san belum maju menyerang. Rupanya mereka ini cerdik, ingin melihat dulu kehebatan Pendekar Rambut Emas itu sebelum membantu. Terkejut dan membelalakkan mata karena dengan tangan telanjang pendekar itu mampu menolak senjata tajam maupun tongkat, pedang dan senjata di tangan pengemis-pengemis Pek-tung-pang itu selalu terpental bertemu tangkisan lawan, dua tosu ini saling pandang.

Dan ketika gebrakan-gebrakan berikut semakin mengejutkan mereka karena pengemis-pengemis Pek-tung-pang itu maupun wakil-wakil dari Hwa-i-pai mulai berseru kaget karena mereka mulai terpelanting dan roboh menerima tamparan Tiat-lui-kang, akhirnya dua tosu ini berseru keras menggerakkan toya mereka.

“Hong-te, maju....!”

Dua tosu ini mendadak melengking tinggi. Mereka sudah bergerak cepat memutar toya. senjata panjang itu berkelebat mengemplang dengan kecepatan tinggi. Ayunannya dahsyat dan hampir berbareng mengeluarkan deru angin bagai tiupan topan. Kim-mou-eng terkejut tapi gembira karena semua lawan sudah tak ada lagi yang diam, dia tertawa dan tiba-tiba mendorong, kedua lengan mengembang menolak dua serangan toya itu. Dan ketika toya tergetar tapi tidak terpental seperti yang lain lain maka Kim-mou-eng terbahak memuji lawan.

“Bagus, kalian orang-orang lihai, ji-wi totiang (dua tosu berdua). Sekarang mari kita adu cepat siapa yang menang!”

Kim-mou-eng tiba-tiba berseru perlahan, tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah bergerak naik turun seperti sambaran rajawali, menyelinap dan beterbangan di antara tujuh senjata lawan. Kian lama kian tinggi hingga akhirnya tubuh pendekar ini berada di luar lingkaran. Lawan-lawannya terkejut karena mereka justru “terkepung” bayangan Kim-mou-eng. Begitu cepat gerak Pendekar Rambut Emas itu. Dan ketika mereka terbelalak dan heran serta kaget oleh kejadian ini mendadak mereka tersedot pusaran arus tenaga dari gerakan Kim-mou-eng yang beterbangan mengelilingi mereka.

“Hei, awas...!” tosu dari Koang-san berseru lebih dulu, menyadari keadaan yang tidak beres ini karena mereka satu sama lain tiba-tiba serang menyerang, mereka terjebak di tengah dan lawan mengendalikan mereka dari luar. Tamparan serta dorongan Tiat-lui-kang yang berhawa panas membuat mereka pucat, keringat bercucuran membasahi tubuh dan karena itu pun tenaga mereka menurun cepat.

Dan ketika pedang dan tongkat serta toya berbenturan sendiri menyerang dan menangkis mendadak tujuh orang ini mengeluh dengan bingung dan kaget karena mereka terseret arus putaran Kim-mou-eng yang mengelilingi tubuh mereka seakan laba laba yang mengeluarkan tali jaringnya untuk membungkus korban.

“Kim-mou-eng, kau curang....!”

“Ini ilmu siluman....!”

Kim-mou-eng tertawa saja di luar. Dia terus bergerak tiada henti mengandalkan ginkangnya yang luar biasa itu, ilmu meringankan tubuh yang membuat pendekar ini seakan capung beterbangan. Tangan mendorong dan terus melakukan tamparan agar lawan di tengah menggerakkan senjatanya tanpa sadar, siku atau pundak mereka seakan dilejit kekuatan aneh, tentu saja senjata menyambar tanpa arah yang dikehendaki, menyerang teman sendiri. Dan karena mereka bercucuran peluh dan banyak tenaga hilang oleh panasnya sinkang Pendekar Rambut Emas dan mereka tak dapat membebaskan diri dari pengaruh pusaran itu maka satu demi satu tujuh orang ini roboh mendepkok bagai kain basah.

Yang mula-mula roboh adalah dua wanita cantik dari Hwa-i-pai. Mereka ini kelelahan dikuras tenaganya, pedang diantara keduanya berbenturan sendiri dan terlepas dari tangan. Masing-masing terpelanting, Kim-mou-eng telah menotok mereka hingga mereka tak dapat bangun berdiri, dua wanita ini pucat. Dan ketika tiga pengemis dari Pek-tung-pang juga berteriak keras karena tongkat di tangan mereka terpental dan mencelat entah ke mana maka Kim-mou-eng juga menggerakkan jarinya menotok mereka ini, disusul kemudian dengan terampasnya toya di tangan kedua tosu Koang-san, mereka ini berusaha mempertahankan senjata tapi malah didorong terjengkang.

Dua tosu itu kaget dan coba bergulingan tapi toya ditangan Kim-mou-eng telah menyentuh jalan darah di pundak mereka, tentu saja keduanya roboh tak berkutik dengan seruan tertahan, melotot melihat senjata mereka terampas lawan. Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan pertempuran berhenti karena tujuh orang itu telah roboh malang melintang di atas tanah maka Kim-mou-eng melompat mundur menancapkan toya rampasan itu.

“Nah, bagaimana, cuwi enghiong, kalian masih mau meneruskan pertempuran?”

Tujuh orang itu terbelalak.

“Aku tak akan membunuh kalian, karena itu kalau kalian tahu diri sebaiknya kalian kembali dan laporkan bahwa aku betul-betul tidak tahu menahu tentang Sam-kong-kiam!”

Pendekar Rambut Emas menggerakkan jarinya, dari jauh dia menotok bebas tujuh orang lawannya itu. Mereka semua melompat bangun dengan muka merah padam. Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum dan melempar toya rampasan pada dua tosu Kiong-san tiba-tiba pendekar ini membalik dan berkelebat lenyap. “Cuwi enghiong, sekarang kita berpisah. Sampai ketemu lagi...”

Tujuh orang itu tiba-tiba sadar. Mereka tadi diselimuti bengong dan kaget yang amat mencekam, kini Pendekar Rambut Emas pergi dan mereka pun menyambar senjata masing-masing. Dan ketika pendekar itu jauh di sana meninggalkan telaga itu dan pengemis dari Pek-tong pang merasa penasaran tiba-tiba pengemis ini berteriak,

“Kim-mou-eng, kau memang dapat merobohkan kami. Tapi para ketua kami tentu akan mencarimu dan tak akan membiarkanmu pergi!”

“Baiklah, kalian boleh laporkan kegagalan kalian pada ketua kalian, sobat-sobat. Tapi betapapun aku bukan pencurinya!” Kim-mou-eng ternyata menjawab dari jauh, sebentar kemudian lenyap dan tujuh orang itu termangu.

Mereka harus mengakui kehebatan lawan dan begitu lawan meninggalkan mereka dan rasa malu yang besar menyelimuti orang-orang ini, akhirnya tujuh orang wakil dari masing-masing partai itu memutar tubuh dan kembali ke tempatnya masing-masing. Mereka merasa tak ada gunanya melakukan pengejaran, betapapun mereka harus mengakui kelihayan lawan, apalagi Kim-mou-eng tak membunuh mereka. Ini tanda pendekar itu bukan seorang telengas yang berwatak kejam. Tapi karena tugas dibebankan di atas pundak mereka dan kini tugas itu merasa gagal dilaksanakan akhirnya tujuh orang ini meninggalkan telaga itu untuk melapor pada ketua masing masing.

Kim-mou-eng sendiri telah jauh meninggalkan telaga kecil itu. Dia tersenyum pahit, tak enak benar kejadian itu. Kecemasannya pada sang pencuri pedang semakin bertambah. Dia semakin berhati-hati melakukan perjalanannya, kini banyak bersembunyi untuk menghindarkan diri dari bentrokan langsung dengan orang-orang kang-ouw. Tapi ketika malam itu, memasuki hari ke empat ia termenung di sebuah hutan membuat api unggun mendadak belasan orang mendatanginya dengan gerakan cepat.

Mula-mula Kim-mou-eng mendengar desir seperti hembusan angin malam, telinganya seketika bergerak dan tegak seperti telinga kelinci. Desir angin itu agak mencurigakan, api unggun tertiup dan hampir padam. Dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan melihat dua sinar berkeredep menyambar tenggorokannya dan belasan bayangan lain melompat mengepungnya di tengah tiba-tiba dua sinar putih itu sudah mendekati lehernya di susul bentakan seseorang yang parau menyeramkan.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam!”

Kim-mou-eng cepat menyampok. Dia memukul runtuh dua sinar putih itu, ternyata dua bola yang meluncur ditepis tangannya. Pendekar itu tercekat karena telapak tangannya pedas. Pelontar itu seorang ahli lweekeh yang kuat. Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan matanya memandang ke segala penjuru maka tujuh belas orang telah mengepungnya dalam barisan yang rapi diiring tujuh orang tosu dan pengemis serta wanita-wanita cantik dari Hwa-i-pai itu.

“Ah, kalian kiranya?” Kim-mou-eng mengerutkan kening, tiba-tiba berdebar karena lawan-lawan yang mengepung kali ini tampaknya bukan orang-orang sembarangan.

Tiga di antara mereka menyolok sebagal orang-orang macam tosu dan pengemis serta wanita dari Hwa-i-pai. Masing-masing tosu bergelung tinggi berbaju longgar dan seorang kakek bermuka pucat yang pakaiannya tambal-tambalan, di punggungnya terselip buli-buli tempat air, atau mungkin arak, sementara orang ketiga adalah wanita baju kembang-kembang yang usianya sekitar tigapuluh enam tahun, cantik dan berseri-seri namun pandang matanya ganas. Di punggungnya terselip sebatang pedang beronce bunga melati. Mereka ini tentu orang-orang dari Koang-san dan Pek-tung-pang serta Hwa-i-pai, mungkin ketuanya. Melihat tujuh orang pertama di belakang tiga orang ini bersikap hormat. Bisa jadi!

Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum pahit dan bertanya apa maksud orang-orang itu mengepungnya maka dua wanita cantik dari Hwa-i-pai yang dirobohkan pendekar itu berseru menjawab, “Mereka ini adalah ketua ketua kami, Kim-mou-eng. Sekarang mereka datang untuk menuntut pertanggungjawabanmu!”

“Aha, begitukah? Pertanggungjawaban tentang apa?” Kim-mou-eng berdetak, dugaannya tepat.

Dan ketika tiga orang itu maju selangkah dan wanita tigapuluhan enam tahun itu tampil dengan suaranya yang nyaring merdu maka Pendekar Rambut Emas tertegun, menenangkan detak jantungnya.

“Kim-mou-eng, dua anggauta kami telah mendapat hinaan darimu. Aku Hwa-i-paicu (ketua Hwa-i-pai) datang untuk menuntut pertanggung-jawabanmu ini. Kau sombong, katanya menantang aku dan karena itu aku datang!”

“Benar, dan aku Pek-tung Lo-kai, Kim-mou-eng. Tiga anggotaku melapor bahwa kau pun menghina mereka, karena itu aku datang untuk meminta pertanggungjawabanmu!”

“Dan pinni adalah Koang-san Tojin. Datang untuk memenuhi tantanganmu lewat dua anggauta Koang-san!”

Dan ketika semuanya sudah menyatakan suaranya sendiri sendiri sementara Sam-kong-kiam tidak disebut-sebut, maka seorang laki-laki tinggi besar yang berdagu segi empat maju melompat, menyusul dengan suaranya yang parau, kiranya dia inilah yang tadi melempar dua bola baja.

“Dan aku Sin-houw Yak Gu Bang. Kim-mou-eng. Datang bersama teman-teman karena ingin mencari Sam-kong-kiam.”

“Bagus, sekarang kalian semua sudah bicara,” Kim-mou-eng tertawa getir. “Tapi semua dari kalian kuanggap mencari-cari alasan. Sam-wi pangcu (tiga ketua), yang pertama tidak benar kalau menuntut pertanggungjawaban tentang murid-muridnya. Aku tidak menghina mereka. Aku tidak mengapa-apakan mereka. Kenapa harus dicari dan diajak ribut? Kalau aku telah merobohkan mereka dan kini kalian penasaran untuk membalas kekalahan tentu ini bisa kuterima, tapi itu pun harus berdasar kenyataan yang benar. Mereka yang mulai dulu mengganggu, mereka menyerang dan kurobohkan, salahkah aku? Dan masalah Sam-kong-kiam sudah kuberitahukan pada murid-murid ketiga partai bahwa aku tidak tahu-menahu dan sungguh tidak memilikinya!”

“Hmm, tak bisa dipercaya!” Sin-houw Yak Gu Bang membentak. “Semua orang tahu kau pencurinya, Kim-mou-eng. Sekarang berani kau mengelak dan tidak mengaku? Kau pencuri hina yang tidak segan-segan pula mungkir. Keparat!”

Kim-mou-eng merah mukanya. “Aku memang tak tahu tentang pedang itu, sobat. Kalau kau tidak percaya itu terserah dirimu. Tapi aku juga tak takut pada segala macam Sin-houw (Harimau Sakti) maupun Sin-ci (Tikus)!”

Yak Gu Bang mendelik. “Kau memaki aku?”

“Siapa memaki? Aku hanya mengatakan isi hatiku saja. Aku memang tak takut pada Sin-houw maupun Sin-ci atau Sin-yo (kambing)!”

Dan Kim-mou-eng yang tertawa membalas makian orang tiba-tiba melihat si tinggi besar itu menggereng, melompat marah dan mengayun kedua lengannya yang sebesar bambu beliung, angin pukulannya sudah mendahului tiba tapi Kim-mou-eng tidak takut, menggerakkan lengan kanan dan cepat mengerahkan Tiat-lui-kangnya. Dan ketika dua lengan beradu dan benturan keras mengguncangkan tempat itu maka si Harimau Sakti ini terpental sementara Kim-mou-eng sendiri tergetar.

“Dess!”

Kim-mou-eng memuji lawan. Si Harimau Sakti sudah berjungkir balik, turun dan kembali menggeram dengan mata melotot lebar, dia mau menerjang lagi. Tapi empat bayangan lain yang berkelebat ke depan menahan laki-laki ini tiba-tiba berseru,

“Sin-houw, tahan. Kita datang bukan untuk main-main. Kalau Kim-mou-eng tak mau menyerahkan pedang maka kita semua akan menangkapnya!”

“Hmm, kalian mau mengeroyok?” Kim-mou-eng tertawa mengejek. “Kalau begitu majulah, tuan-tuan yang gagah. Aku selamanya tak takut menghadapi siapapun!”

“Tidak!” Koang-san Tojin tiba-tiba mengebutkan bajunya yang longgar. “Kami datang bukan untuk melakukan keroyokan. Pendekar Rambut Emas, kalau kau jujur dan tidak melarikan diri tentu kami akan menghadapimu baik-baik. Sekarang penuhi saja tuntutan kami!”

“Tuntutan apa?”

“Kau ikut kami ke Bangsal Agung. Di sana kami akan memeriksa salah tidaknya dirimu!”

“Ha-ha” Pendekar Rambut Emas tak dapat menahan tawa “Kau licin, Koang-san Tojin. “Buat apa aku harus ikut kalian ke Bangsal Agung atau tidak agung? Salah benarnya diriku aku sendiri yang buat, tak ada yang berhak menghakimi aku karena aku tak melakukan sesuatu terhadap kalian!”

“Tapi kau telah menghina murid-murid tiga partai!”

“Dan juga mencuri Sam-kong kiam!” Sin-houw menyambung, suaranya marah.

Dan Kim-mou-eng yang tak dapat menahan senyumnya kembali unjuk tertawa tiba-tiba batuk-batuk merasa geli oleh tingkah laku orang orang ini. Betapapun yang diincar mereka adalah Sam-kong-kiam. Dia tahu itu. Usaha mengelak dari Koang-san Tojin yang menonjolkan masalah murid-muridnya maupun yang lain hanyalah sekedar kedok saja, tentu saja dia tahu itu. Dan ketika orang mengepungnya rapat dan gerakan-gerakan di antara mereka menunjukkan sikap mencurigakan akhirnya pendekar ini berkata mengejek dengan suara hambar,

“Sin-houw, dan kau juga, Koang-san Tojin. Untuk terakhir kalinya aku tak merasa bermusuhan dengan kalian. Urusan Sam-kong-kiam sebenarnya aku pun tak tahu-menahu, bahkan aku mencari-cari pencuri ini. Aku terfitnah. Karena itu kalau kalian percaya sebaiknya kalian pergi dan biarkan aku mengaso!”

“Sraaaaat” pedang beronce melati itu dilolos dari sarungnya. “Kita tak perlu berpantang lebar lagi, Koang-san-lojin. Kalau Kim-mou-eng tak mau jujur kepada kita dan tak mau ikut ke Bangsal Agung sebaiknya kita ringkus dan geledah dia. Kim-bi, mundur!” ketua Hwa-i-pai itu membentak dua muridnya, dua wanita cantik yang ada di belakang.

Gerakannya ini disusul oleh berkelebatnya tongkat di tangan Pek-lung Lo-kai, rupanya kakek itu setuju dan sependapat dengan rekannya, Koang-san Tojin tertegun. Tapi ketika Sin-houw Yak Gu Bang juga mengangguk dan orang-orang lain di sekelilingnya mencabut senjata mengitari Kim-mou-eng tiba-tiba tosu berbaju longgar ini menarik napas.

“Siancai, rupanya teman-teman menghendaki lain. Pendekar Rambut Emas, Pinto tak dapat membantumu kalau kau keras kepala!”

“Tak ada yang perlu disesalkan, hinaan terhadap murid-murid Pek-tung-pang juga harus segera dibayar lunas sebelum urusan Sam-kong-kiam dimulai!”

“Benar, dan kami akan membantumu, Pek-tung Lo-kai. Kudengar Pendekar Rambut Emas memiliki Tiat-lui-kang yang ampuh. Kita harus berhati hati”

Dan ketika semua setuju dan dua murid Hwa-i-pai mundur disusul murid-murid Koang-san dan Pek-tung-pang maka sepuluh orang yang mengelilingi pendekar ini mulai bersiap-siap.

“Kau tetap dengan pendirianmu Kim-mou-eng?”

Kim-mou-eng menghela napas, sorot matanya mulai tajam. “Aku tak akan menyerang kalau kalan tak menyerang. Pergilah, aku tak ingin merobohkan kalian sebelum semuanya terlanjur hebat.”

“Sombong, kalau begitu ingin kulihat seberapa kepandaianmu!” dan Hwa-i-paicu yang tak sabar menutup kata-katanya ini tiba-tiba sudah membentak dan maju menggerakkan pedangnya, tubuh berkelebat dan sinar putih pun menyambar, tanpa desing dan suara tapi tahu-tahu mata pedang sudah menusuk tenggorokan lawan.

Kim-mou-eng terkejut karena dalam waktu yang hampir serempak pula yang lain-lain maju menubruk, tongkat di tangan Pek-tung-Lokai menderu menyambar punggungnya, Sin-houw Yak Gu Bang juga melompat dengan cengkeraman kesepuluh jarinya. Hebat orang-orang ini. Dan ketika Koang-san Tojin juga menampar dan angin bersiut dari kedua lengannya yang terkembang tiba-tiba sepuluh orang itu susul-menyusul menyerang pendekar ini.

“Plak-plak-dess!”

Kim-mou-eng terpaksa bergerak, lengan menangkis dan kaki pun bekerja dengan cepat. Sepuluh setangan yang bertubi-tubi itu dihadapinya dengan pengerahan Tiat-lui-kang, pedang di tangan Hwa-i-paicu terpental tapi wanita cantik itu sudah melengking, membalik dan tiba-tiba berkelebatan lenyap menghujani serangan deras. Sambaran pedangnya berobah menjadi gulungan sinar putih yang naik turun bagaikan pelangi perak, mencoba membungkus dan sebentar kemudian membelit Perdekar Rambut Emas. Dan ketika Pek-tung Lo-kai juga tertolak tongkatnya tapi membalik dan mainkan silat aneh dengan tongkat mendengung-dengung mengelilingi tubuhnya tiba tiba, pendekar ini menjadi repot dan satu dua pukulan lawan menghantam tubuhnya.

“Des dess!” Kim-mou-eng tergetar. Pendekar ini cepat melindungi dirinya dengan sinkang, tubuh menjadi kebal menerima gebukan tongkat bahkan bacokan pedang. Lawan terkejut karena senjata di tangan tetap mental mengenal kulitnya yang atos. Tapi karena serangan bertubi-tubi dari lawan yang begitu banyak membuat Kim-mou-eng kewalahan dan mereka mulai mengarahkan tusukan maupun sodokan pada tempat-tempat yang berbahaya seperti mata dan ulu hati akhirnya pendekar ini berseru keras membentak lawan lawannya itu.

“Cuwi enghiong, sekarang terpaksa aku membalas....!”

Sepuluh lawan terbelalak. Tubuh Kim-mou-eng tiba-tiba mencelat, kedua lengan mendorong sana sini sementara kaki menendang hujan senjata. Suara “das-des” berulang mengguncangkan tempat itu. Dan ketika Kim-mou-eng melengking dan mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) pula menghadapi bacokan pedang maupun tongkat yang bertubi-tubi menghujani tubuhnya mendadak tubuh pendekar ini lenyap beterbangan menyelinap di antara hujan pukulan maupan tusukan pedang.

“Awas...!”

Seruan ini diucapkan dua tosu di luar kepungan. Itulah tosu Koang-san ying telah dirobohkan Kim-mou-eng, melihat bahwa Kim-mou-eng mengulang perbuatannya untuk keluar dari kepungan, mencoba menerobos untuk akhirnya ganti berkelebatan di luar. Sekali pendekar ini berhasil tentu lawan di dalam bakal dikendalikan, seperti mereka. Disetir dan diserang dari luar untuk saling menyerang sesama teman, tentu saja dia khawatir dan seruannya itu lebih ditujukan pada ketuanya, Koang-san Tojin. Tapi karena Koang-san Tojin dan teman-temannya adalah orang-orang lihai dan mereka itu setingkat dua tingkat diatas kepandaian tosu di luar kepungan maka Koang-san Tojin tertawa menyambut seruan dua anggotanya itu.

“Hong-sute, tak perlu khawatir. Kami dapat menjaga diri agar dia tetap di dalam!”

Benar juga. Kali ini Kim-mou-eng mendapat kesulitan. Tubuhnya yarg berkelebatan coba menerobos ternyata gagal. Pukulan maupun gebukan tongkat di tangan Pek-tung Lo-kai dan teman-temannya cukup hebat. Mereka itu dapat bekerja sama untuk tidak kebobolan, sekali yang depan didorong maka yang belakang menyerbu melakukan serangan, cukup sibuk juga pendekar ini. Perhatian dan sinkangnya terpaksa dipecah, ini menyulitkan.

Dan ketika Tiat-lui-kang harus dibagi untuk bertahan melindungi tubuh dan menyerang atau menangkis lawan maka akibatnya tamparan maupun tolakan pendekar itu dapat dihadapi sepuluh lawannya yang benar-benar merupakan orang2 kosen. Mereka itu seolah menghadapi sepersepuluh bagian saja dari tenaga Kim-mou-eng. Tentu saja menguntungkan mereka merugikan pendekar ini. Kim-mou-eng kian banyak menerima pukulan sementara dinding serangan lawan tak dapat diterobos. Dan ketika dia kebingungan dan lawan tertawa mengejek maka sebuah babatan pedang mengenai pundaknya.

“Bret!” baju pendekar ini menjadi korban. Tubuhnya memang tidak apa apa, sinkangnya melindungi tubuh pendekar itu hingga pedang mental kembali. Diam-diam Hwa-i-paicu kagum dan pucat melihat kekebalan lawan. Sudah sekian kalinya pula Kim-mou-eng dibacok tapi kesekian kalinya itu pula senjatanya mental.

Matanya bersinar sinar di samping kagum juga penasaran. Kini kulit tubuh pendekar itu nampak, halus dan bersih namun kuat. Betapa indahnya kulit tubuh itu. Wanita ini tiba-tiba jengah dan hati pun berdebar. Entah kenapa kekaguman di hatinya berubah menjadi perasaan yang aneh, wanita ini belum menikah meskipun usianya sudah tiga puluh tahun lebih. Dan ketika tongkat di tangan Pek-tung Lo-kal juga menyambar dan kurang cepat dielak hingga menggebuk pendekar ini maka baju di bagian itu robek pula.

“Dess!” Kim-mou-eng tergetar. Baju di bagian ini terkoyak lebar, punggung yang putih dan halus kembali membuat pipi ketua Hwa-i-pai ini memerah. Serangan pedangnya mulai kacau tapi serangan kawan-kawannya yang lain semakin ganas. Cengkeraman Sin-houw Yak Gu Bang pun membuat Pendekar Rambut Emas mengeluh, kalau bukan dia yang menerima cengkeraman itu tentu kulit dagingnya hancur. Harimau Sakti ini pun kagum di samping penasaran Dan ketika Kim-mou-eng mulai terhuyung-huyung dan beberapa pukulan serta gebukan menimpa tubuhnya maka empat laki laki di belakang tertawa padanya.

“Kim-mou-eng, menyerahlah saja. Kami akan mengampunimu baik-baik kalau Sam-kong-kiam kau berikan kepada kami!”

“Atau kau cabut Sam-kong-kiam itu, Kim-mou-eng. Ingin kami lihat seberapa hebat keampuhannya yang disohorkan orang!”

“Atau kau mampus, dan kami akan merampas pedang itu dari mayatmu!” yang berkata begini adalah Sin-houw Yak Gu Bang, dia paling beringas dibanding yang lain-lain. Terkamannya berkali kali meleset seolah Kim-mou-eng adalah seekor belut, di samping kebal ternyata juga licin, entah oleh keringat atau oleh kepandaiannya yang tinggi.

Dan ketika Harimau Sakti itu terbahak-bahak dan Kim-mou-eng terbelalak marah maka pendekar ini berseru menimpali lawan lawannya, “Cuwi enghioiig, sebaiknya kalian tak perlu mendesak. Aku tak mau pertumpahan darah disini!”

“Wah, kau bicara sombong? Sudah terdesak masih juga bermulut besar? Ha.. ha, kau benar-benar tak tahu malu, Kim mou-eng. Kalau kami dapat kaurobohkan biarlah sedikit tumpahan darah tak apa. Aku boleh menjadi korban pertama!” si Harimau Sakti kembali tertawa bergelak, merasa omongan pendekar ini dianggap sombong dan mengelikan.

Kim-mou-eng sesungguhnya tak bicara besar karena dia dapat membuktikan. Pit-nya yang ampuh itu belum dicabut dan dia pun belum mengeluarkan Pek Sin-ciangnya (Pukulan Hawa Putih) yang teramat dahsyat itu. Semua ini belum dilakukan Kim-mou-eng karena pendekar itu ragu-ragu. Dia memang terdesak tapi belum payah benar, coba memperingatkan lawan agar mundur mengalah. Tapi ketika lawan tertawa dan ejekan serta cemoohan terlontar di sana-sini tiba-tiba pendekar ini bangkit kemarahannya dan melihat lawan semakin ganas saja.

“Baiklah, aku telah memperingatkan, cuwi-enghiong. Kalau kalian tak tahu diri dan terus mendesak maka maafkan jika satu dua di antara kalian harus roboh.”

Kim-mou-eng tiba-tiba mengeluarkan pit-nya, senjata itu berkelebat merupakan sinar hitam, langsung mencuat dan menangkis tongkat di tangan Pek-tung Lo-kai, kali ini tiga perempat bagian dari tenaga Tiat-lut kang dikerahkan, yang lain-lain sedetik dibiarkan karena Kim-mou-eng harus membuka jalan darah. Hal itu terpaksa dilakukan kalau dia ingin keluar kepungan. Dan ketika tongkat bertemu alat tulis (pit) dan getaran Tiat-lui-kang tersalur dan langsung menyengat pergelangan Pek-tung Lo-kai yang memegang senjata mendadak kakek ini berteriak tinggi karena tongkatnya patah.

“Hei... pletak...!” Pek-tung Lo-kai melempar tubuh bergulingan. Pit di tangan Kim-mou-eng terus menyambar dadanya, tentu saja dia kaget bukan main, serangan itu terlampau berbahaya. Dan Sin-houw Yak Gu Bang yang ada di sebelah kanan kakek ini dan otomatis menggantikan kedudukan ketika Pek-tung Lo-kai bergulingan tiba-tiba memapak sambaran pit dengan cengkeraman tangannya, tertawa bergelak karena sambaran pit itu perlahan saja. Begitu tampaknya dan heran kenapa Pek-tung Lo-kai harus ketakutan.

Tapi begitu pit di tangan Kim-mou-eng tercengkeram dan arus yang luar biasa panas menyengat telapaknya dan terus menembus ke tulang sumsumnya tiba-tiba si tinggi besar ini menjerit dan melepas senjata lawan. Namun terlambat. Kim-mou-eng telah membuat lawan terkejut, telapak Harimau Sakti melepuh dan bengkak. Dan ketika orang terhuyung mundur dan terbelalak kepadanya tahu-tahu sinar hitam berkelebat dan leher si tinggi besar menjadi sasaran.

“Awas!”

Sin-houw Yak Gu Bang kaget bukan main. Saat itu dia sedang menahan sakit, tertegun. Pit menyambar lehernya tak dapat dielak. Seruan Koang-san Tojin di belakang membuat dia terkesiap. Delapan temannya yang lain berteriak memperingatkan dan semua menghantam Kim-mou-eng. Tapi karena Kim-mou-eng bertekad untuk merobohkan seorang dua orang di antara lawan-lawannya dan mengerahkan tenaga menahan bacokan maupun pukulan maupun senjata ditangannya tetap meluncur dan mengenai leher Sin-houw

“Tukk!” Harimau Sakti itu mengeluh. Dia terbanting dengan luka di urat leher, jalan darahnya pecah karena Kim-mou-eng tak dapat berbuat lain, menyesal tapi saat itu juga dia menerima pukulan dan bacokan di belakang. Dan ketika Harimau Sakti itu terguling dan Kim-mou-eng terguncang menerima pukulan yang bertubi-tubi di belakang tubuhnya maka pendekar ini pun terpelanting namun sudah bergulingan melompat bangun, tidak terluka kecuali tergetar saja oleh kerasnya pukulan pukulan di belakang. Semua lawan terbelalak karena pendekar itu benar-benar hebat. Dan ketika Sin-houw tak bangun lagl entah pingsan entah tewas mendadak Kim mou-eng berkelebat pergi karena telah lolos dari kepungan.

“Cuwi-enghiong, maaf. Sekarang harus kita akhiri...!”

Koang-san Tojin dan teman-temannya terkejut. Mereka sadar, tiba-tiba marah dan mengejar Kim-mou-eng telah berada jauh di depan dan mereka kaget karena lolosnya pendekar itu berarti lolosnya pedang Sam-kong-kiam. Tentu saja mereka tak membiarkan. Dan ketika Kim-mou-eng berlari keluar hutan dari malam yang gelap bisa membantu pendekar itu untuk melarikan diri maka Pek-tung Lokai membentak dan menyambar senjata baru di tangan seorang muridnya, mengejar disusul yang lain-lain.

“Kim-mou-eng, berhenti. Atau kau serahkan pedang keramat itu dulu!”

Kim mou-eng gemas. Gerakan pit-nya telah menumbangkan seorang musuh, sungguh dia menyesal karena korban pertama harus jatuh. Kini orang tak tahu diri dan belasan musuh di belakang mengejar, dia mengerahkan ginkang tapi orang orang itii tak mau melepaskannya. Dan ketika menjelang fajar dia tiba di sebuah lapangan berumput mengingatkannya pada tempat suku bangsanya sendiri mendadak dari mana-mana muncul orang beraneka ragam membentaknya untuk menyerahkan Sam-kong-kiam, sama seperti pengejar-pengejar di belakang pada rombongan Koang-san Tojin dan teman temannya itu.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam...!”

Pendekar ini pucat. Di depannya menghadang tigaratus lebih orang-orang bersenjata, mereka itu dipimpin dua kakek cebol yang tertawa bergelak, di sampingnya berdiri pula seorang kakek yang bertelanjang kaki. Tubuhnya sedang tapi seluruh mukanya hampir tertutup oleh rambut yang kasar bagai rambut singa, sorot matanya buas, kipas bulu di tangan kirinya dikebut-kebutkan sambil menyeringai.

Tiga orang di depan ini mengejutkan Kim-mou-eng. Dan karena di belakang sudah tertutup oleh rombongan Koang-san Tojin sementara di depan muncul ratusan orang dipimpin dua kakek cebol itu bersama si kakek bermuka singa maka Kim-mou-eng berhenti bagai disentak jantungnya.

“Hek-bong Siang-lo-mo....!” dia berseru tertahan.

“Ha-ha, kau masih mengenal kami, Kim-mou-eng? Bagus, kami memang Hek-bong Siang-lo-mo (Sepasang Iblis Kuburan). Kami telah menunggumu dan tentunya kau tak lupa pada sahabat kami ini!”

Dan iblis cebol itu menunjuk teman di sebelahnya. Kim-mou-eng tertegun karena tentu saja dia pun mengenal kakek bermuka singa itu, bukan lain Sai-mo-ong adanya, iblis yang tak kalah mengerikan dengan sepasang iblis cebol pertama. Dan ketika Kim mou-eng terkejut dan berhenti menghadapi orang orang ini maka rombongan di belakang telah tiba dan langsung mengepung.

“Kim-mou-eng, sekarang kau tak dapat lari lagi!”

Pendekar ini terbelalak. Sekarang dia memang tak dapat lari lagi, lawan mengepung dari mana-mana. Seluruh penjuru sudah dipagar rapat tak mungkin dia lolos lagi. Tapi Kim-mou-eng yang marah mengepal tinju tiba-tiba membalik menghadapi rombongan Koang-san Tojin ini. “Koang-san Tojin, apakah kalian akan mengeroyokku bersama iblis-iblis ini? Kalian mengepung bersama orang orang sesat itu?”

“Ha-ha!” Hek-bong Siang lo-mo terbahak memotong. “Kali ini tak ada yang sesat atau yang tidak sesat, Kim-mou-eng. Kami kebetulan saja bertemu untuk maksud yang sama. Kau mencuri Sam-kong-kiam, karena itu, keluarkan pedang itu dan biar kami urus bagaimana baiknya!”

“Benar, dan kami tak akan membunuhmu, Kim-mou-eng. Kau dapat lolos kalau pedang itu kau berikan kepada kami. Keluarkanlah!”

Yang berkata begini adalah kakek bermuka singa itu, matanya berkilat sementara bibir ditarik kian menyeringai. Inilah hinaan bagi Kim-mou-eng. Tapi Koang-san Tojin dan teman temannya yang ternyata tak rela pedang itu diserahkan pada Hek-bong Siang lo-mo dan kawan kawan tiba-tiba membentak, “Tidak, pedang harus kau serahkan padaku ini, Kim-mou-eng. Sam-kong kiam-tak boleh jatuh pada orang sesat karena mereka tak berhak!”

“Hm, kau siapa?” Toa-lo-mo, orang tertua dari Hek-bong Siang lo-mo mengejek bertanya pada tosu ini, melihat Koang-san Tojin mewakili teman temannya bicara tentang pedang.

Tapi Sai-mo-ong yang rupanya mengenal tosu itu tiba-tiba tertawa. “Dia Koang-san Tojin, lo-mo. Ketua Koang-san-pai bersama teman-temannya. Mereka itu Pek-tung Lokai dan Hwa-i-paicu!”

“Hm, bagus! Lalu kalian mau mengangkangi pedang?”

“Ah,” Sai-mo-ong lagi-lagi bicara. “Sebaiknya masalah itu jangan diributkan dulu, lo-mo. Kita hadapi saja Kim-mou-eng ini dan lain-lain belakangan. Urusan itu bisa diatur, jangan kehilangan ikan kalau harus berebut tulang!”

Toa-lo-mo tiba-tiba sadar. Memang yang menjaring ikan adalah Kim-mou-eng ini, mereka tak perlu ribut-ribut kalau Kim-mou-eng belum mengeluarkan pedang. Dia tidak takut pada rombongan Koang-san Tojin itu tapi harus menghemat tenaga kalau tak mau kehilangan Sam-kong-kiam. Pendekar Rambut Emas itulah yang harus dihadapi lebih dulu dan bukannya rombongan Koang-san Tojin ini. Maka terbahak membenarkan omongan teman sendiri akhirnya iblis cebol ini menghadapi Kim-mou-eng.

“Kim-mou-eng, keluarkan Sam-kong-kiam itu untuk kami lihat!”

“Tidak, kau harus mengeluarkannya untuk kami, Kim-mou-eng. Jangan serahkan pedang itu, pada orang-orang sesatl” Pek-tung Lokai kali ini bicara. Hwa-i-paicu dan lain-lain juga melompat. Mereka khawatir Kim-mou-eng memberikan pedang pada lawan.

Hek-bong Siang-lo-mo melotot, pihak Koang-san Tojin mencari ribut! Tapi Kim-mou-eng yang mengangkat lengannya tinggi-tinggi ke atas tiba-tiba berseru, “Hek-bong Siang-lo-mo, dan kalian, Pek-tung Lokai. Sekali lagi kuberitahukan pada kalian bahwa aku tidak memiliki pedang itu. Sam-kong-kiam tak ada padaku, pedang itu dicuri orang lain!”

“Heh... heh...” Ji-lo-mo (iblis kedua) kali ini terkekeh. “Kau masih menipu kami, Kim-mou-eng? Memangnya kami anak-anak kecil? Kalau kau tak mau mengeluarkan pedang terpaksa kami akan mencarinya di mayatmu!”

“Benar, dan kau mencelakai seorang rekan kami, Kim-mou-eng. Karena itu serahkan pedang dan biar kami melindungi dirimu dari orang-orang sesat ini!”

Hwa-paicu sekarang membuka suara, diam-diam khawatir dan semakin kagum saja pada Pendekar Rambut Emas ini. Kalau tak ada rombongan Hek-bong Siang lo-mo dan teman-temannya itu mau rasanya dia memberi bantuan secara diam-diam. Mencarikan jalan keluar umpamanya, atau apa saja yang dapat ia lakukan.

Tapi Hek-bong Siang lo-mo yang tertawa mengejek tiba-tiba mengibaskan lengannya ke belakang. “Kalian jaga baik-baik, orang-orang dari Hwa-i-pang dan Pek-tung-pang itu rupanya mau berbalik haluan!”

Hwa-i-paicu semburat merah. Dia dilirik teman-temannya yang lain, omongannya tadi memang tidak salah tapi getaran perasaannya tertangkap. Koang-san Tojin sudah memandangnya dengan alis berkerut. Tapi belum lagi wanita baju kembang itu bicara lagi, tiba-tiba Sai-mo-ong sudah mengosok kakinya dan menggoyangkan kipas dua kali.

“Kim-mou-eng, kau tak mau menyerahkan Sam-kong-kiam?”

“Hm, kalian rupanya tak percaya, Mo-ong. Kalau pedang itu ada di tanganku tentu sudah kucabut sekarang!”

“Bagus, kalau begitu mari maju. Ayo serang, Siapa dapat membunuhnya dialah yang memiliki pedang!” dan Sai-mo-ong yang terkekeh mencelat ke depan tiba-tiba mengajak dua temannya melakukan pukulan dahsyat. Tangan dan kaki sudah bergerak disusul lain-lainnya pula.

Ratusan orang itu berteriak membuat suasana gaduh, mereka sebelumnya sudah tak sabar oleh banyak bicara yang dianggap kosong. itulah orang orang yang berhasil dikumpulkan Sai-mo-ong dan Hek-bong Siang-lo-mo. Lima puluh diantaranya adalah orang-orang pertama yang dulu disewa Kapak Hitam. Kapak Hitam sendiri tampak di situ bersama Seng Cui, si pongah yang dibuat jatuh bangun dalam segebrakan itu.

Dan ketika semua orang meluruk dan pukulan serta hantaman menghujani tubuh pendekar ini dan Kim-mou-eng marah oleh kecurangan mereka tiba-tiba Pek-tung Lokai dan teman-temannya yang khawatir mendengar seruan Mo-ong tadi tiba-tiba juga menerjang dan tak mau kehilangan Sam-kong-kiam di tangan orang orang sesat.

Cemas dan gelisah karena Mo-ong tadi bicara siapa dapat membunuh Kim-mou-eng dialah yang berhak atas Sam-kong-kiam. Maka begitu mendengar aba-aba dan melihat bahwa ini pun kesempatan baik bagi pihaknya untuk menyerang Kim-mou-eng tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu sudah diterjang dari segala penjuru diiringi bentakan dan teriakan di sana sini.

“Plak plak dess!” Kim-mou-eng berseru keras, berkelebat melompat tinggi menghadapi hujan serangan yang begitu banyak, menangkis dan tentu saja membalas mengeluarkan Tiat-lui-kangnya. Lima lawan memekik ngeri karena mereka roboh terjungkal, muntah darah disambar Pukulan Petir. Dahsyat pukulan pendekar itu, tak dapat lagi menahan tenaganya karena musuh seperti setan kelaparan. Mereka itu menyerbu sambil berkaok-kaok, Pendekar Rambut Emas dijadikan kelinci sararan manusia-manusia haus darah, korban pertama roboh dan tewas.

Tapi karena musuh begitu banyak dan pukulan Sai-mo-ong serta Hek-bong Siang-lo-mo paling berbahaya diantara semua hujan serangan maka Pendekar Rambut Emas lebih mencurahkan perhatiannya ke sini, mengelak dan menangkis. Sementara rombongan Pek-tung Lokai juga sudah mulai bergerak. Mereka itu tak tahu diri, marah benar Kim-mou-eng. Dan ketika musuh di depan tunggang-langgang tersapu angin pukulannya tapi kipas dan pukulan di tangan Sai-mo-ong dan Sepasang Iblis Kuburan menyambar dahsyat maka Kim-mou-eng menghadapi serangan tiga orang itu dengan bentakan melengking.

“Des-dess!”

Empat orang itu tergetar. Hek-bong Siang-lo-mo dan Mo-ong terpental, mereka masih kalah tenaga. Geram dan kagum bukan main tiga kakek iblis itu. Tapi karena mereka sudah berkali-kali bertemu muka dan kehebatan Pendekar Rambut Emas sudah mereka ketahui baik maka tiga iblis ini tertawa bergelak dan maju kembali, menyuruh orang-orangnya menerjang tak gentar.

“Ayo, bunuh dia. Maju....!”

Kim-mou-eng dikeroyok. Pendekar sakti itu menghadapi terjangan lawan dari segala penjuru, kini dengan amat licik dan curang Mo-ong mau pun Lo-mo menyerang dari belakang, mereka itu tertawa-tawa. Dan karena ratusan orang mengeroyok sementara Kim-mou-eng seorang diri maka pendekar ini kewalahan menghadapi sekian banyak orang yang dipimpin tiga iblis licik itu.

Menampar dan melindungi dirinya dengan pukulan-pukulan Tiat-lui-kang, terpaksa mencabut pit-nya dan belasan orang roboh terpelanting oleh totokan maupun pukulannya. Sebentar kemudian tubuh-tubuh bergelimpangan dan pendekar itu membentak menyuruh lawan-lawannya mundur, orang-orang tolol itu seperti laron saja yang mendekati api, tak ada lain jalan bagi pendekar ini kecuali merobohkan mereka. Sebentar kemudian tiga puluh tubuh terbanting kesakitan di atas tanah. Cukup mengerikan keadaan mereka itu, ada yang gosong kulitnya dan ada pula yang patah-patah tulangnya. Pendekar ini dikepung dan membuka jalan darah.

Tapi karena yang roboh itu adalah orang kelas rendahan dan mereka itu masih juga didorong-dorong Hek-bong Siang-lo-mo maupun Mo-ong yang terus bergerak di belakang dan melancarkan serangan curang maka kipas maupun pukulan tiga kakek iblis itu mendarat di tubuh Pendekar Rambut Emas, kian lama kian banyak dan Hek-bong Siang-lo-mo bahkan mengeluarkan sabitnya, senjata melengkung yang amat mengerikan itu. Dan ketika rombongan Pek-tung Lokai juga melakukan keroyokan dan satu dua pukulan berat menghantam pendekar ini akhirnya Kim-mo-eng terhuyung-huyung dan mulai jatuh bangun.

“Lo-mo, kalian pengecut-pengecut busuk. Kalian tak tahu malu!”

“Ha ha, malu atau tidak itu bukan urusanmu, Kim-mou-eng. Sekarang keluarkan saja Pedang Tiga Sinar mu dan kau serahkan baik-baik kepada kami!” Hek-bong Siang-lo-mo tak perduli.

Mereka bahkan dapat membalas dendam atas kekalahan beberapa waktu yang lalu (baca Pendekar Rambut Emas). Ini merupakan kesempatan baik bagi mereka kalau ingin membunuh Kim-mou-eng. Dan karena Kim-mou-eng kewalahan dan sedikit atau banyak pertahanan tubuh mulai guncang oleh serangan-serangan tiga kakek iblis ini akhirnya Pendekar Rambut Emas pucat mukanya menerima pukulan bertubi-tubi.

Hal itu bahkan menyenangkan Mo-ong dan dua iblis cebol ini. Rombongan Pek-tung Lokai mengerutkan alis, mereka melihat kegagahan Pendekar Rambut Emas itu, betapapun mereka tak dapat menyembunyikan kagum dan Hwa-i-paicu bahkan terisak. Ketua Hwa-i-paicu ini rupanya malu mengerubut, kegagahannya tersinggung. Tapi karena teman-temannya terus bergerak dan ia juga khawatir Pedang Tiga Sinar itu jatuh di tangan orang-orang sesat maka ketua Hw-i-pai yang cantik Ini tiba-tiba berseru,

“Kim-mou-eng, serahkan saja pedang keramat itu kepada rombongan kami. Biar kami yang mengambil alih tanggung jawabmu!”

Kim-mou-eng menahan sakit. “Aku tak membawa pedang itu, nona Kenapa menuduh saja tak percaya? Kalau benar kubawa tentu sudah kukeluarkan. Kalian orang-orang tolol!”

“Ha-ha, ada yang jatuh hati rupanya. Bagaimana, Kim-mou-eng? Kau mau menerima bujukan ketua Hwa-i-pai yang cantik ini?”

Hwa i-paicu marah. Yang mengeluarkan kata-kata itu adalah Sai-mo-ong, dia telah mendengar kehebatan iblis tua ini namun tidak takut. Mereka memang baru pertama kali itu ketemu. Maka mendengar ejekan ini dan sikap Mo-ong dianggap menghinanya tiba-tiba wanita ini memekik menggerakkan pedangnya menusuk kakek iblis itu. “Mo-ong, jaga mulutmu. Jangan kira aku takut!”

“Wah? Kau membela Kim-mou-eng? Bagus, semakin tampak belangnya....plak!” dan Sai-mo-ong yang mengelak dan menangkis tusukan pedang itu tiba-tiba diserang lagi dengan pekik tinggi menandakan kemarahan ketua Hwa-i-pai ini.

Dua orang itu sejenak baku hantam sendiri, Kim-mou-eng secara tak langsung berkurang dua lawannya yang tangguh, terutama si kakek iblis. Dan ketika Sai-mo-ong harus berlompatan dan terbelalak memandang lawannya maka Kim-mou-eng mendapat jalan keluar. Saat itu tujuh puluh lima orang sudah menggelimpang mengaduh-aduh, Kim-mou-eng terkoyak pakaiannya dan lelah. Berlari semalam suntuk dikejar rombongan Koang-san Tojin membuat dia letih, kini ditambah lagi keroyokan Hek-bong Siang-lo-mo dan antek-anteknya itu. Betapapun hebat dirinya tetap saja tak mungkin menghadapi lawan sekian banyak. Kini Mo-ong diserang Hwa-i-paicu dan kesempatan itu tak boleh disia-siakan.

Dan ketika dua orang itu menarik diri untuk berkelahi di luar maka Pendekar Rambut Emas mengeluarkan bentakan tinggi mengibas sabit di tangan Hek-bong Siang-lo-mo. Dua senjata iblis cebol itu terlalu berbahaya, yang lain dia biarkan menimpa tubuhnya yang dilindungi sinkang. Dan begitu sabit tertolak dan tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan yang lain maka pendekar ini terpelanting sekaligus menggulingkan tubuh menyerampangkan kaki, dari bawah dia membabat lawan-lawannya yang berteriak kaget. Dan begitu lawan menjerit dan tujuh di antaranya terlempar ke belakang maka Kim-mou-eng melompat bangun melarikan diri.

“Heii....!”

Orang-orang terkejut. Mereka yang terlempar tak dapat bangun kembali, tapi rombongan Koang-san Tojin dan Hek-bong Siang lo-mo yang terkejut oleh lolosnya Kim-mou-eng tiba-tiba berteriak. Mereka marah mengejar Kim-mou-eng. Hek-bong Siang-lo mo bahkan menimpukkan sabitnya dari jauh, senjata ini menyambar punggung Kim-mou-eng, ditangkis dan Kim-mou-eng sudah melarikan diri lagi. Dan ketika pendekar itu lolos dan Hek-bong Siang lo-mo mencak-mencak maka dua iblis cebol itu memungut sabit mereka kembali sambil memaki Mo-ong dan Hwa-i-paicu.

“Mo-ong, dia lolos. Kau bodoh sekail meninggalkan pertempuran!”

“Ya, dan Hwa-i-paicu ini menjadi gara-gara, toa-heng (kakak). Kalau beres urusan ini sebaiknya dibunuh saja dia itu!” Ji-lo-mo, orang ke dua juga mencak-mencak. Mereka memaki dan mendorong Hwa-i-paicu, tentu saja ketua Hwa-i-pai ini terpental dan perkelahiannya bersama Mo-ong terputus. Teman-temannya juga menegur agar dia tidak melayani kakek iblis itu. Dan ketika Mo-ong terkekeh dan sadar mengejar Kim-mou-eng maka Koang-san Tojin berseru pada rekannya ini,

“Paicu, tunda dulu urusan dengan iblis-iblis ini. Kejar Kim-mou-eng, jangan biarkan dia lolos membawa Sam-kong-kiam!”

Hwa-i-paicu tertegun merah. Dia sudah melihat teman-temannya mengejar, Mo-ong meninggalkannya dan bersama Hek-bang Siang-lo mo memburu Kim-mou-eng, lain-lain juga mengikuti dan berteriak-teriak marah. Pengeroyok masih berjumlah separuh lebih, masih dua ratusan orang. Dan ketika teman-temannya mengejar dan Kim-mou-eng di sana tertatih tatih melarikan diri maka terpaksa ketua Hwa-i-pai ini mengikuti dan mengejar Pendekar Rambut Emas.

Dan Pendekar Rambut Emas kepayahan. Dia sudah mulai luka-luka, kekebalan tubuhnya kian berkurang menghadapi demikian banyak lawan, terutama menerima hantaman bertubi-tubi dari Hek-bong Siang lo-mo dan Mo-ong. Dan karena lawan masih segar dibanding dirinya sendiri yang sudah terlalu lelah maka di dekat sebuah jurang pendekar ini tersusul.

“Ha ha, kau tak dapat melarikan diri, Kim-mou-eng. Keluarkan Sam-kong-kiam dan serahkan kepada kami!”

Hek-bong Siang lo-mo yang ada di depan menubruk, Sai-mo-ong yang juga sudah memburu tiba melepas pukulan tangan kanannya, angin berbau amis meluncur dari tangan kakek iblis itu. Kim-mou-eng tak dapat mengelak kecuali menangkis. Dan ketika dia menangkis dan terpaksa berhenti maka tiga pukulan kekek iblis ini bertemu lengannya yang seketika terpental dan dia roboh terbanting, tanda tenaga benar-benar sudah terkuras.

“Dess!” Kim-mou-eng mengeluh pendek, di ejek dan diburu lagi oleh tiga kakek iblis itu, pendekar ini terdesak. Dan ketika yang lain juga tiba dan melancarkan pukulannya maka Kim-mou-eng menggigit bibir menggeram marah.

“Mo-ong, kalian manusa-manusia keji Kalau begitu terpaksa kubunuh kalian!” Pendekar Rambut Emas menggerakkan pit-nya, kembali menangkis tapi tangan kiri tiba-tiba berkerotok, sinar putih berkeredep dan Mo-ong serta Hek bong-Siang lo-mo terbelalak. Dan ketika tangan kiri itu menyambar dan mereka jatuh terjengkang maka tiga kakek iblis itu berteriak gentar membanting tubuh bergulingan.

“Awas Pek-sian-ciang...!”

Yang lain-lain juga terkejut. Mereka merasakan sambaran angin dahsyat itu, sepuluh orang disambar roboh menjerit ngeri. Mereka tewas sebelum terbanting! Dan ketika yang lain tunggang langgang dan Mo-ong serta Lo,mo melompat bangun tahu-tahu tiga kakek iblis ini melontar senjata mereka menyerang dari jauh, ditangkis dan mereka sudah menubruk, gerakannya cepat dan Kim-mou-eng tak dapat menghindar lagi.

Tiga iblis tua itu tahu-tahu menangkap kakinya, mencengkeram dan menarik hingga Kim-mou-eng kesakitan. Pendekar ini kaget karena lawan hendak merobek tubuhnya menjadi dua. Dan ketika dia berseru keras dan tiga kakek itu tertawa bergelak tiba tiba Lo-mo dan Mo-ong menggerakkan jari menusuk bola matanya.

“Aaah....!” Kim-mou-eng bergerak cepat. Dia melengking tinggi membebaskan tubuhnya, meronta dan melempar kepala seraya menggerakkan kedua lengannya, pit di tangan kanan bahkan menusuk telapak Ji lo-mo. Tapi karena tenaganya sudah berkurang banyak dan seluruh kekuatan dipusatkan untuk membebaskan diri tiba-tiba Kim-mou-eng mengeluh pendek ketika jari-jari Lo-mo dan Mo-ong masih juga menyambar telinganya dan menghantam begitu dahsyat. Bola mata memang dapat diselamatkan tapi tamparan disisi kepala itu serasa dipukul godam.

Kim-mou-eng mencelat dan seketika pingsan, terlempar dan secara kebetulan masuk ke mulut jurang yang ada di belakangnya itu. Dia tak tahu apa-apa tapi Lo-mo dan Mo-ong berseru kaget, mereka tertegun dan tersentak memandang peristiwa itu. Kim-mou-eng terjeblos dan kemudian lenyap dalam waktu begitu cepat. Dan ketika mereka sadar dan yang lain-lain juga berteriak kecewa tiba-tiba semua orang bengong dan Hekbong Siang-lo-mo membanting kaki.

“Keparat, dia lolos. Kita kehilangan Sam-kong kiam....!”

“Tidak, kita masih dapat mencarinya di bawah jurang, Lo-mo. Ayo kita turun!” Mo-ong berseru, tiba-tiba berkelebat dan Lo-mo kakak beradik terkejut.

Kawan mereka itu sudah berjungkir balik di sana, seutas tali diayun berkali-kali menggaet batu batu runcing, berbahaya perbuatan itu. Semua orang ngeri. Tapi karena Mo-ong merupakan datuk sesat yang kepandaiannya tinggi sekali dan ginkang yang dimiliki kakek muka singa itu juga hebat maka sebentar kemudian Mo-ong sudah lenyap ke bawah dan Lo-mo kakak beradik tertegun. Mereka saling pandang sejenak, tapi karena Mo-ong sudah berani turun ke jurang dan mereka pun merasa mampu tiba-tiba sepasang iblis cebol ini berkelebat ke jurang dan tertawa aneh.

“Toa-heng, kita berpegangan dan saling lontar!”

Semua orang terbelalak. Sepasang iblis cebol ini tidak menuruni jurang seperti Mo-ong, yang mempergunakan tali. Melainkan saling ayun dan ganti-berganti memempel di dinding jurang seperti cecak. Mereka begitu lincah dan bergerak amat mengagumkan. Orang-orang pun terpana. Dan karena mereka tak mau didahului Mo-ong dan dua iblis cebol ini berpindah-pindah dan merayap turun dengan cepat tiba-tiba keduanya pun sudah menghilang dan lenyap di bawah jurang berkabut.

Rombongan Koang-san Tojin saling pandang. Mau tak mau mereka mendecak melihat kepandaian dua iblis cebol itu, juga Mo-ong yang meluncur turun seperti monyet besar, ketiganya lenyap dan tak kelihatan lagi dari atas. Koang-san Tojin dan rombongannya ragu untuk mengikuti jejak tiga iblis itu. Tapi ketika mereka menunggu setengah jam dan kasak-kusuk mulai terdengar di sana sini mendadak mereka melihat tiga kakek iblis itu muncul sambil berteriak-teriak.

“Setan! Di bawah ada setan....!”

“Hiih, itu hantu. Mo-ong. Kim-mou-eng menjadi hantu dan mengejar-ngejar kita....!”

Koang-san Tojin dan rombongannya terkejut. Mereka melihat tiga kakek iblis itu berteriak-teriak dengan muka penuh keringat, pakaian basah penuh peluh dan muka mereka pun kedinginan. Gigi berketrukan dan tiga kakek iblis itu tampak ketakutan. Aneh sekali. Dan ketika mereka melompat ke atas dan rombongan Koang-san Tojin tertegun mendadak ketiganya kabur dan Ji-lo-mo maupun Toa-lo-mo baret-baret kulitnya tak perduli kanan kiri lagi.

“Setan, Kim-mou-eng menjadl Setan....!”

Rombongan Koang-san Tojin melongo. Mereka melihat tiga kakek iblis itu dibelit ular besar yang sudah tidak berkepala, darah menetes-netes dan tampaknya tiga orang itu tak sadar. Entah apa yang terjadi. Tapi ketika mereka merasa geli dan heran serta bingung oleh sikap Mo-ong dan Lo-mo mendadak segumpal asap muncul dari dalam jurang menyambar mereka, asap yang berbentuk kepala dewa dengan enam pasang lengan.

“Kalian pergilah, tak ada apa-apa lagi di sini!”

Koang-san Tojin dan teman-temannya kaget. Asap itu dapat bicara, serangkum angin dahsyat menghantam mereka dengan lembut namun kuat. Koang-san Tojin terpelanting dan teman-temannya juga terjungkal, tentu saja mereka pucat bukan main dan berseru keras. Dan ketika mereka melompat bangun namun asap itu bergerak ke sana-sini dan enam pasang lengan itu mendorong-dorong mendadak mereka semua terlempar dan tak ada satu pun yang dapat menahan gerakan “asap” aneh ini.

“Setan....!”

“Iblis....!”

Rombongan Koang-san Tojin kalut. Mereka gentar dan coba melawan, Koang-san Tojin sudah memberanikan hatinya mengelak dan membalas. Tapi ketika pukulannya membalik dan sekuat itu pula dia tertolak oleh angin pukulannya sendiri akhirnya ketua Koang-san-pai ini terbanting berguling dan pucat serta gentar bukan main. Pengikut Lo-mo maupun Mo-ong jangan ditanya lagi, mereka itu sudah roboh menjerit-jerit dengan muka ketakutan. Bagai ditiup angin taufan saja mereka terguling-guling menjauhi jurang, sekejap saja sudah terlempar puluhan tombak. Dan karena tak ada satu pun yang mampu menahan gerakan asap dewa ini dan semua orang melarikan diri akhirnya Koang-san Tojin dan teman-temannya juga membalik dan memutar tubuh mengambil langkah seribu.

Mereka seolah menghadapi mahluk aneh. Suara di balik asap itu menakutkan sekali. Dan karena Kim-mou-eng dianggap tewas dan urusan Sim-kong kiam dianggap selesai maka Koang-san Tojin dan rombongannya tunggang tenggang menjauhi jurang. Sekarang mereka mengerti ketakutan yang dialami Mo-ong dan Lo-mo itu, betapa mahluk yang dianggap setan ini memang luar biasa. Tak ada pukulan atau serangan yang mampu mengalahkannya, justeru mereka sendiri yang roboh disambar asap tanpa ujud yang jelas itu. Dan ketika semua orang lari terbirit-birit dan tempat itu pun sunyi seperti sedia kala akhirnya “asap” ini kembali dan “masuk” ke dalam jurang darimana tadi dia berasal.

Tak ada yang tahu betapa seorang kakek keluar dari balik tabir asap ini. menggeleng kepala dan berkali-kali menghela napas. Dan begitu dia mengembangkan lengan menggerakkan sedikit kakinya tahu-tahu kakek ini “amblas” dan hilang di bawah jurang!

* * * * * * * *

Siapa kakek ini? Bagaimana dia muncul dalam bentuk asap yang aneh itu? Untuk mengetahuinya marilah kita ikuti sejenak apa yang dialami Mo-ong dan Lo-mo itu ketika mereka mencari Kim-mou-eng di bawah jurang.

Seperti diketahui, Kim-mou-eng pingsan menerima pukulan keras yang menghantam kedua sisi kepalanya. Pendekar Rambut Emas terlalu lelah dikeroyok begitu banyak orang, biarpun seorang berkepandaian tinggi dengan kesaktian hebat. Dan karena pukulan tiga kakek iblis itu mengguncang isi kepalanya dan Kim-mou-eng pingsan maka dengan tepat dan tanpa sengaja dia terlempar ke dalam jurang dimana lawan lawannya yang lain merasa kaget dan terkejut karena itu berarti lenyapnya Sam-kong-kiam.

Pedang Tiga Sinar ini memiliki daya tarik yang begitu besar. Pedang itu seolah jauh lebih beeharga daripada nyawa sendiri. Mo-ong dan Lo-mo nekat mengejar, mereka menuruni jurang dan mencari mayat Kim-mou-eng. Tapi ketika mereka tiba ditengah dan kabut yang tebal mengambang di tengah-tengah jurang ini mendadak sebuah suara tanpa ujud menegur mereka.

“Lo-mo, kalian dua orang tua mau apa begini nekat? Kalian mencari penyakit?”

Lo-mo dan Mo-ong terkejut. Mereka bertiga sudah tiba di bagian dinding yang bercelah, jurang itu dalam dan dasarnya masih belum kelihatan. Dari gaung suara yang menegur itu dapat diukur betapa dalamnya jurang itu. Mungkin ratusan tombak. Tapi karena Lo-mo dan Mo-ong bukan orang-orang penakut dan mereka merupakan tokoh tokoh sesat yang terkejut sedetik oleh teguran ini mendadak mereka membalik memandang sebuah lubang di celah-celah jurang itu.

“Kau siapa? Siluman dari mana ini berani bicara kepada kami?”

Tak ada jawaban. Gema suara Ji-lo-mo memantul balik, kakek iblis itu dan dua temannya penasaran, terbeliak di samping was was karena mereka baru tahu bahwa di tengah jurang kiranya terdapat manusia lain. Mereka tak percaya pada setan dan hantu. Maka membentak dan melompat ke mulut lubang ini tiba-tiba Ji-lo-mo melepas pukulan.

“Hei, kau tak dapat bicara? Kalau begitu terimalah, mampuslah di dalam....”

“Wut!” pukulan Ji-lo-mo menderu dahsyat, langsung menghantam dan memenuhi lubang di dalam. Iblis ini jelas merasa bahwa seseorang ada di dalam sana. Tapi ketika terdengar desis keras dan tiga ekor ular keluar menyambut pukulan Ji-lo-mo mendadak ketiga binatang melata itu menyerang dan memagut iblis cebol ini.

“Wah, keparat..!” Ji-lo-mo terkejut, mundur setindak dan tangannya bergerak menangkis. Ular yang ada di depan sendiri ditangkap kepalanya, mengegos tapi kalah cepat oleh gerakan kakek ini. Dan ketika ular di depan tertangkap dan menggeliat kuat tiba-tiba Ji-lo-mo tertawa meremas kepala ular.

“Kres!” ular itu hancur, besarnya sepaha orang dewasa, tapi dua temannya yang lain menyerang lagi, meluncur ke bawah dan memagut kaki kakek ini. Tapi ketika Ji-lo-mo menendang dan ular besar itu bertemu kakinya tiba-tiba mereka terlempar dan jatuh tersungsang di bawah jurang dimana sebatang pohon besar melintang sepuluh tombak di bawah kaki Ji-lo-mo.

“Ha-ha, kita mendapat daging segar, toa-heng. Bisa buat sarapan di atas nanti...!” Ji-lo-mo terkekeh, melempar bangkai ular di tangannya dan memandang bersinar sinar pada dua ular di bawah pohon, mereka menggeliat-geliat dan tersungsang di sana, setengah tubuh mereka menggantung, tak dapat naik maupun turun. Tapi Mo-ong yang terbelalak ke depan menuding kaget tiba-tiba berseru,

“Hei, awas....!

Ji-lo-mo juga merasa sesuatu yang tidak beres itu. Dia merasakan kesiur angin dingin, dalam lubang ternyata tak ada apa apanya kecuali tiga ekor ular besar tadi. Dia sudah menghilangkan kewaspadaan pada lubang ini. Maka ketika temannya menuding dan dari celah-celah itu muncul sesosok bayangan dan Ji lo-mo melongo mendadak iblis ini hampir terjungkal karena sesosok bayangan putih yang ujudnya tidak jelas telah berdiri di hadapannya dengan kaki tidak menginjak tanah.

“Setan....!” tanpa terasa Ji-lo-mo memekik tentu saja tangannya bergerak menampar sesosok tubuh yang mirip hantu itu. menghantam dan ngeri karena bayangan itu mengambang di atas bumi, telapak kakinya menggantung. Tapi muka bayangan itu terpukul dan pukulan Ji-lo-mo meluncur begitu saja seolah “menembus” bayangan itu mendadak pukulan itu membalik dan Ji-lo-mo terbanting menerima daya tolak angin pukulannya sendiri!

“Waoo....!” Ji lo-mo kaget, berseru keras dan berjungkir balik menghindari angin pukulannya sendiri. Tapi karena dia berada di tengah jurang dan lupa bahwa saat itu dia bukan di atas tanah tiba-tiba iblis ini terjeblos dan jatuh ke dasar jurang, tentu saja terkejut dan segera sadar bahwa dia dalam bahaya. Tapi kakaknya yang sudah merenggut tali di tangan Mo-ong dan melecut ke bawah tiba-tiba berseru, “Tangkap!”

Toa-lo-mo mengeletarkan talinya, ujung meledak disamping tubuh adiknya dan Ji lo-mo menangkap, dalam saat-saat kritis, begitu iblis cebol ini bergerak cepat. Pertolongan kakaknya disambut, Ji-lo-mo menyambar tali itu dan tubuhnya tertahan, sedetik berputar bagai kera bermain roda. Dan ketika Ji-lo-mo berseru keras dan kakaknya menyentak maka iblis cebol ini berjungkir balik dan telah hinggap di pohon di mana dua ekor ular besar masih tersungsang dengan tubuh setengah menggantung.

“Keparat! Jahanam bedebah....!” Ji lo-mo memaki-maki tak jelas. Entah siapa yang dimaki, bayangan yang mirip hantu itu ataukah Mo-ong yang menyeringai saja melihat kejadian tadi, sama sekali tak berniat menolong dan malah agaknya senang kalau Ji-lo-mo terbanting di dasar jurang sana. Mungkin mengharap iblis kedua dari Hek-bong Siang-lo-mo ini tewas. Dan ketika Lo-mo menggeram dan bayangan itu masih berdiri di mulut lubang, maka suara pertama tadi menegur mereka kembali,

“Lo-mo, kalian tak juga naik ke atas? Mau apa berkeliaran di sini?”

Hek-bong Siang-lo mo dan Mo-ong kini memperhatikan bayangan itu. Mereka berdesir, diam-diam terkejut dan ngeri karena bayangan itu tak kelihatan ujudnya. Hanya sepasang kaki menggantung di bumi sementara badan dan bagian atas yang lain tak jelas. Mereka jadi teringat pada cerita cerita hantu, tentu saja gentar dan ada rasa takut di hati mereka. Tapi karena mereka bertiga dan Ji lo-mo paling marah gara-gara robohnya tadi maka iblis ini meloncat naik berendeng dengan kakaknya, membentak,

“Kau siapa? Siluman jadi-jadian dari mana?”

Mendadak, sedikit menguak tabir sekonyong konyong sepasang mata kelihatan. Hek-bong Siang lo-mo terkejut bukan main karena sepasang sinar tiba-tiba menyorot bagai api yang terang, dua iblis ini berseru tertahan dan mereka mundur selangkah. Mo-ong juga tersentak karena cahaya terang yang amat luar biasa tajam itu menusuk matanya. Sekilas dan kemudian lenyap lagi, terdengar tawa yang aneh. Bayangan itu tak menjawab. Dan ketika Ji-lo-mo gusar dan merasa dipermainkan tiba-tiba iblis ini mencelat menghantam bayangan itu.

“Kau rupanya iblis. Mampuslah!”

Bayangan ini tak mengelak. Pukulan Ji-lo-mo mendarat di tubuhnya, Ji-lo-mo menghantam sekuat tenaga tapi lagi-lagi pukulannya itu menembus keluar, seolah dia menghadapi kapas dan kini kapas itu terdorong, membalik lagi dan pukulan Ji-lo-mo menyerang tuannya, entah bagaimana Ji-lo-mo seolah menghadapi bayangan hampa. Kakek iblis ini kaget. Dan karena pengalaman pertama tadi menunjukkan kepadanya akan tolakan tenaga sendiri tiba-tiba iblis ini berseru keras menghindari angin pukulannya sendiri.

“Bress!” dinding di belakang Ji-lo-mo ambrol, pukulan Ji-lo-mo jelas bukan main-main dan kakek itu terjungkir balik turun ke bawah, menghantam lagi dan kini mengarah bagian tengah, berteriak agar kakaknya membantu. Dan ketika Toa-lo-mo juga bergerak dan menyerang bayangan itu tiba-tiba, seperti tersedot benda aneh. Toa-lo-mo dan Ji-lo-mo saling tumbuk di udara.

“Hei, awas... plak-bluk!” dua iblis cebol itu tak dapat menghindari tumbukan, tetap saja saling bentur dan mereka mencelat keluar, jatuh tunggang-langgang dan tersungsang ke bawah pohon sana. Mereka memaki-maki, ular yang ada didekat mereka menyerang dan Toa-lo-mo serta adiknya geram, ular disambar dan seketika ditarik. Dan ketika mereka meloncat lagi dan ular sudah diputar maka ekor ular dibalik dan mereka menyerang bayangan aneh itu membabi-buta.

“Mo-ong, bantu kami. Atau kau akan kami tarik ke sini dengan paksa!”

Mo-ong terbelalak. Sebenarnya dia sendiri kaget melihat dua kali pukulan Ji-lo-mo lenyap tanpa bekas. Bayangan itu tak dapat diserang dan semua pukulan seolah tembus begitu saja, seolah mereka menyerang roh. Mengerikan! Dan ketika Toa-lo-mo membentak dan marah-marah kepadanya agar menyerang bayangan itu akhirnya Mo-ong berkelebat mercabut kipasnya.

“Baik, ini barangkali arwah Kim-mou-eng, Lo-mo. Bebaskan dia dan basmi agar lenyap ke dasar neraka!”

Tiga kakek iblis itu melepas pukulan pukulan berbahaya. Mereka sudah menyerang gencar tanpa perhitungan lagi. Dua ekor ular yang dipakai Siang lo-mo sebagai senjata dipergunakan baik-baik, ular itu mendesis desis dan tampak ketakutan menghadapi bayangan ini. Bayangan itu tak mengelak. Semua pukulan Siang-lo-mo mau pun Mo-ong mengenai tubuhnya Tapi ketika setiap pukulan maupun kebutan selalu amblas dan “menembus” bayangan ini tiba-tiba saja Lo-mo maupun Mo-ong berteriak gentar.

Ular yang dipakai pun tak mau memagut. Ular itu bahkan melingkar-lingkar dan membalik menyerang Siang-lo-mo sendiri, mungkin mereka kesakitan ekor mereka dipergunakan Siang-lo-mo, dihentak dan ditarik. Dan ketika kipas di tangan Mo-ong juga satu per satu patah ruji-rujinya dan semakin keras Siang-lo-mo menyerang semakin keras pula angin pukulan mereka membalik mendadak dua iblis ini mulai pucat berseru pada Mo-ong.

“Kita menghadapi sukma gentayangan. Ini bukan manusia!”

Mo-ong menggigil. Dia juga mulai ketakutan melihat lawan yang luar biasa ini, padahal bayangan seperti roh itu belum membalas. Seruan Ji-lo-mo membuat kakek ini pucat. Mo-ong pun gentar. Dan ketika dua iblis itu melompat dan ular di tangan mereka memagut, sekonyong-konyong Ji-lo-mo maupun kakaknya gemas menggigit dua ular ini, tepat di tengah-tengah leher hingga kepala ular itu putus, kepalanya dimakan Siang-lo-mo. Dua kakak beradik itu tampaknya kalap. Dan ketika kepala ular dikeremus dan Mo-ong terbelalak ngeri mendadak bayangan itu menampar perlahan ke arah mereka.

“Pergilah, kalian tak perlu lagi ada di sini!”

Mo-ong dan Siang-lo-mo terpekik. Mereka itu seakan dihempas tenaga yang kuat bukan main, Ji-lo-mo mencelat sementara kakaknya juga terangkai naik. Mo-ong sudah berteriak karena dia dikebut seperti gumpalan kapas ringan dan ketika mereka jatuh bangun menabrak dinding tiba-tiba Toa-lo-mo melarikan diri merayap ke atas, disusul adiknya yang berkaok-kaok karena mengira menyerang hantu. Tak ayal Mo-ong pun mengikuti dan bersicepat mendaki jurang.

Dan ketika rombongan Koang-san Tojin terheran-heran oleh teriakan mereka maka seperti diketahui di depan tiga iblis ini melarikan diri dengan terbirit-birit meninggalkan jurang, tak perduli lagi pada Sim-kong-kiam maupun Kim-mou-eng. Kejadian itu terlampau mengerikan bagi mereka. Belum pernah seumur hidup ada lawan yang tak dapat dipukul. Pukulan-pukulan mereka amblas dan lenyap begitu saja.

Dan karena Koang-san Tojin juga bertemu bayangan ini yang ujudnya seperti kepala dewa bertangan enam akhirnya Koang-san Tojin dan teman temannya pun menyingkir cepat menjauhi mahluk yang luar biasa ini, melarikan diri dan meninggalkan pertempuran tanpa ingat kanan kiri lagi. Mereka pun gentar. Dan ketika bayangan itu masuk kembali ke dalam jurang dan lenyap tanpa meninggalkan jejak jejaknya di luar maka Kim-mou-eng sendiri yang terlempar ke dalam jurang dianggap tewas oleh orang-orang yang mengeroyoknya.

Tapi betulkah begitu? Ternyata tidak. Pendekar Rambut Emas saat itu menggeletak di dalam lubang di celah-celah dinding jurang ini. Saat dia terlempar ke dasar jurang tiba-tiba seseorang menolongnya, menangkap dan membawanya ke celah-celah dinding jurang itu. Itulah si bayangan sakti yang disangka hantu oleh Siang-lo-mo. Bayangan itulah yang menyelamatkan pendekar ini. Dan ketika Mo-ong dan teman temannya pergi dan bayangan itu kembali ke bawah jurang, maka seperempat jam kemudian Kim-mou-eng sadar.

Yang terasa mula-mula adalah rasa dingin di atas kepala. Kim-mou-eng serasa mimpi. Dia belum membuka mata sepenuhnya dan pikirannya melayang-layang. Ada perasaan pening sedikit. Tapi ketika pening itu hilang dan rasa yang segar memasuki tubuhnya tiba-tiba Kim-mou-eng terkejut karena baru merasa bahwa sebuah telapak yang lunak menempel di dahinya yang menyalurkan hawa yang membuat dia segar tadi.

“Bangunlah, kau sekarang sehat!”

Kim-mou-eng tersentak. Dia melompat bangun dengan kaget, telapak yang menempel sekonyong-konyong lepas dan dia mendengar suara yang dekat sekali di pinggir telinganya. Tapi ketika dia bangun berdiri dan tidak melihat siapa-siapa mendadak pendekar ini tertegun dan lagi-lagi pikirannya mengira dia di alam lain.

“Ah, masih hidupkah aku ini?” Kim-mou-eng teringat pertempurannya dengan Mo-ong dan teman-temannya, menggigit jari dan merasa jari itu sakit. Jelas dia masih hidup. Dan ketika dia tertegun dan heran memandang sekeliling tiba-tiba suara yang didengar pertama kali tadi berbicara lagi.

“Kau masih hidup. Kau berada di Jurang Malaikat!”

“Aaah” tiba-tiba Kim-mou-eng sadar. Sekarang dia mengenal suara itu, suara yang tidak asing. Cepat menoleh dan melihat sesosok bayangan berdiri di sudut. Bayangan seorang kakek yang wajahnya tertutup halimun. Itulah gurunya, Bu-beng Sian-su! Dan ketika Kim-mou-eng berseru tertahan dan menjatuhkan dirinya berlutut maka tawa yang lembut menggugah perhatiannya pada alam yang nyata.

“Suhu...!” Kim-mou-eng girang bukan main, membenturkan dahinya pada lantai yang dingin sementara wajah berseri-seri penuh kegembiraan. Tidak dia sangka bahwa dia tiba di Jurang Malaikat, satu dari beberapa tempat yang menjadi “sarang” gurunya. Bu-beng Sian-su memang memiliki berbagai tempat bersunyi diri. Satu di antaranya adalah Jurang Malaikat itu.

Dan ketika Kim-mou-eng menjatuhkan diri berseru girang dan Bu-beng Sian-su tersenyum maka kakek dewa itu mengangkat lengannya. “Bangunlah, kita berada di tempat yang aman, Kim-mou-eng. Sekarang ceritakan bagaimana kau dikejar-kejar begitu banyak lawan!”

Kim-mou-eng bangkit duduk. Sekarang dia gembira sekali bertemu gurunya itu, teringat lawan lawan di luar jurang. Orang-orang yang memusuhinya karena Sam-kong-kiam. Maka begitu sang guru menyuruh dia bercerita dan Kim-mou-eng merasa gemas maka pendekar ini segera menceritakan pada gurunya apa yang sesungguhnya terjadi. Bahwa di kota raja dia dianggap mencuri Sam-kong-kiam, berita ini menyebar dari mulut ke mulut dan dia dianggap maling hina, padahal sama sekali wujud pedang itu pun dia tak tahu. Dan ketika urusan tiba pada penghadangan orang-orang kangouw yang ingin merebut pedang itu dari tangannya Kim-mou-eng berseru mengepal tinju.

“Teecu tak tahu sama sekali di mana pedang ini berada, suhu. Maka melihat orang-orang menganggap teecu membawa Sam-kong-kiam, sungguh menyebalkan sekali. Teecu berjanji pada kaisar mencari pencuri ini, tapi karena batas waktu sudah habis dan teecu tak berhasil maka teecu bingung apa yang harus teecu lakukan”

“Jadi Sam-kong-kiam yang hilang dari istana?”

“Benar, suhu. Apakah suhu dapat memberi petunjuk?”

“Hm, cukup berbahaya. Coba kulihat sebentar.....” kakek dewa itu memejamkan mata sejenak dan kemudian menghela napas. Dan ketika sang murid berdebar dan menunggu jawabannya tiba-tiba kakek ini mengucap puja-puji.

“Thian Yang Maha Agung, sesuatu akan terjadi. Darah dan darah mengalir di mana-mana. Hm, pedang ini berada di timur, Kim-mou-eng. Yang membawanya adalah sahabatmu sendiri. Untuk sementara cukup kuberi tahu padamu bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi. Kau harus berhati-hati dan sebaiknya pulang ke suku bangsamu. Pedang ini masih akan berkeliaran dan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Waspadalah. Aku melihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan karena ulah seseorang!”

Kim-mou-eng membelalakkan mata. “Siapa orang itu, suhu?”

“Bekas sahabatmu sendiri, jangan bertanya lebih jauh dan lihat apa yang kugambarkan ini,”

Bu-beng Sian-su tiba-tiba menggurat dinding, jarinya bergerak-gerak dan dengan cepat, tiga bait syair diguratnya indah. Begitu halus namun jelas dan dapat terbaca terang. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan mengamati tiga bait syair itu maka matanya terbelalak mengikuti tulisan gurunya:

Mengguncang langit menggetarkan bumi
Terhunjam pongah sepotong besi
tiada perduli kanan dan kiri
itulah Pedang Tiga Dimensi
kaku, dingin dan mati!
Sekarang apa artinya ini
kenapa dikejar dan dicari
bukankah yang amat berarti masih bukan milik sendiri?
Karena itu, sungguh bodoh si manusia buta
yang terkidung nafsu dan loba
kian tersesat menumpuk dosa
sampai ajal merenggut tiba!


Kim-mou-eng menahan napas. “Suhu, apa artinya ini...?”

“Artinya ini berhubungan dengan pedang Sam-kong-kiam itu, muridku. Bahwa syair ini mengungkapkan apa yang sedang dan akan terjadi. Pedang Sam-kong-kiam adalah Pedang Tiga Dimensi itu juga, pedang yang menjadi simbol jatuh bangunnya kerajaan!”

“Suhu tahu tentang pedang ini?”

“Ya, pedang yang ampuh, berasal dari Mahadewa Sin Seng (Dewa Bintang) menurut catatan kitab-kitab kuno di perpustakaan kaisar. Kau belum tahu?”

“Belum.”

“Kalau begitu dengarlah sebentar.” dan Bu Beng Sian-su yang lalu menghela napas memandang keluar tiba-tiba bercerita, memulai semacam dongeng yang menarik. “Dulu, beberapa ratus tahun yang lalu kaisar Cung-ho yang menjadi nenek moyang kaisar sekarang menghadapi seorang musuh yang amat luar biasa kuat. Musuh ini bernama Hek Bin, memiliki kesaktian tinggi dan amat angkara murka. Seluruh raja-raja di daratan Tiongkok disapu habis, tinggal kaisar Cung-ho yang dikepung dari segala penjuru, tak mau menyerah dan menyatakan siap melawan sampai titik darah terakhir. Dan ketika kota raja dikepung oleh Hek Bin yang sakti ini meluruk bersama pasukannya tiba-tiba seorang gagah perkasa muncul membantu kaisar Cung-ho...”