Pedang Tiga Dimensi Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“HMM....!” Kim-mou-eng kecut, mengangguk tapi tersenyum memandang sumoinya. Sumoinya itu bersungguh-sungguh. Tentu saja dia tak mau berbohong. Tapi ketika dia hendak berangkat dan melepas lengan sumoinya mendadak sumoinya itu terisak dan menutupi muka dengan sedih.

“Kau hanya akan meninggalkan aku begini saja, suheng?”

Kim-mou-eng terkejut. Cepat dia menjadi tangkap akan suara sumoinya yang penuh kecewa. Seminggu ini dia mengurung diri tak melayani sumoinya. Tentu saja sumoinya kecewa. Dan ketika sumoinya memutar tubuh dan terisak meninggalkannya mendadak Kim-mou-eng berkelebat menyambar sumoinya ini. “Sumoi, tunggu...!”

Salima tertangkap, ditarik dan kembali diputar menghadapi dirinya. Mata yang basah itu terpejam, bibir digigit kuat-kuat karena gadis Tar-tar itu menahan kecewa. Isaknya hampir meledak menjadi sedu-sedan. Tapi ketika Kim-mou-eng menarik tubuh sumoinya ini dan mencium bibir yang bergetar lembut itu sekonyong-konyong Salima mengeluh dan roboh di pelukan suhengnya ini. “Ooh, kau kejam, suheng. Kejam....!”

Kim-mou-eng terharu. Dia sekarang sadar betapa selama ini sumoinya menanti-nanti belaian cintanya. Dia seolah tak perduli karena tenggelam dalam urusannya dengan suku bangsanya itu. Kini dengan penuh sayang dan lembut dia mengecup bibir sumoinya itu. Dan ketika sumoinya roboh namum keluhan bahagia meluncur dari mulut yang menggigil itu. Kim-mou-eng sudah melepaskan sumoinya dengan helaan napas berat, menekan degup jantung yang tiba-tiba berkobar dengan hangat.

“Sumoi, maaf. Aku memang hampir lupa. Sekarang kau puas, bukan?”

Salima membuka mata. Bibir yang tadi digigit itu tiba-tiba mengembang dalam senyum malu-malu. Sifat kewanitaannya muncul. Salima jengah, pipi bersemu dadu dan Kim-mou-eng kembali menekan detak jantungnya yang bertalu-talu. Ah, betapa manis sumoinya itu. Betapa menggairahkankan. Kalau saja tak ada urusan ini tentu dia lupa daratan. Kembali dengan lembut dia mencium pipi sumoinya. Dan ketika sumoinya mengerang namun Kim-mou-eng menahan pundak yang hampir roboh itu tiba-tiba pendekar ini tertawa.

“Sumoi, ayo kembali. Selamat tinggal!”

Sang sumoi tertegun. Salima melihat suhengnya telah meloncat jauh, berkelebat dan tinggal titik kecil di kejauhan sana. Gadis Tar-tar ini terpaku. Tapi ketika suhengnya melambaikan tangan dan bekas kecupan itu terasa di pipi dan mulut tiba-tiba Salima tersenyum dan balas melambaikan tangannya. “Jangan lama-lama, suheng. Aku tunggu....!”

Bayangan Kimmou-eng telah lenyap. Pendekat Rambut Emas ini tertawa di balik padang rumput, orangnya telah tiada namun gema tawanya mengiang di telinga Salima. Gadis ini termangu-mangu. Tetapi ketika sadar dan berbisik menyebut nama suhengnya akhirnya Salima memutar tubuh berkelebat kembali ke perkemahan suku bangsanya.

Dua hari tak ada apa-apa di perkemahan suku bangsa ini. Semuanya berjalan seperti biasa, bangsa Tar-tar kembali menunggu meskipun dengan perasaan mendongkol. Kini Salima memimpin mereka mewakili Kim-mou-eng. Tak ada yang berani main-main dengan gadis yang satu ini. Salima dikenal keras, wataknya kaku dan gampang tersinggung. Meskipun Salima merupakan gadis satu-satunya yang paling jelita di situ namun tak seorang pun pemuda berani mengganggunya.

Kepandaian gadis ini seperti iblis. Siapa coba-coba main dengannya tentu dibunuh, karena itulah gadis ini mendapat julukan Tiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Besi). Tapi ketika hari ketiga serombongan orang berkuda mendatangi perkemahan suku bangsa itu mendadak bangsa Tar-tar bangkit berdiri dengan pandangan tidak bersahabat.

Siapa rombongan itu? Bukan lain Bu-ciangkun dan kawan-kawannya. Berputar-putar mereka ini harus mencari tempat itu. Itulah sebabnya tidak berpapasan dengan Kim-mou-eng di tengah jalan. Pendekar Rambut Emas mengenali daerah itu dengan baik, rombongan ini tidak. Dan ketika mereka datang dan orang-orang Tar-tar menyambut mereka dengan sikap dingin tiba-tiba seorang di antara penyambut yang mengenal panglima Bu segera menodongkan senjatanya.

“Bu-ciangkun, siapa memberi ijin berkeliaran di tempat ini?”

Bu-ciangkun terbelalak, menarik tali kekang kudanya yang meringkik. “Kau siapa? Kami adalah tamu. Harap jangan kurang ajar dan bersikap hormat!”

“Hm, bangsa Han tak menghormati bangsa Tar-tar, Ciangkun. Untuk apa menghormati orang yang tidak bisa menghormati orang lain? Kau turunlah, kaulah yang harus hormat kepada kami!” orang itu tiba-tiba menyendal tali kuda Bu-ciangkun dipaksa dengan kasar.

Tentu saja panglima ini marah. Dan karena dia pada dasarnya seorang berangasan dan sikap orang Tar-tar yang tak di kenalnya iiu dianggap menghinanya mendadak panglima ini menggerakkan kaki menendang orang itu. “Minggir....!”

Dagu orang ini tersepak, kontan roboh dan terpelanting mengaduh kesakitan. Senjatanya bergerak namun Bu-ciangkun menangkap. Dan ketika orang itu terpekik dan Bu-ciangkun membetot tiba-tiba pemuda Tar-tar ini terangkat naik dan terbanting di tanah yang keras. “Brukk!”

Orang-orang Tar-tar yang lain terkejut. Rombongan Bu-ciangkun yang lain juga terkejut, mereka tersentak. Tentu saja berseru agar panglima Bu mengendalikan kemarahannya. Tapi ketika pemuda Tar-tar itu berteriak dan bangun berdiri mendadak dia memberi aba-aba pada temannya,

“Serang, bunuh anjing-anjing kaisar ini!”

Hek-eng Taihiap dan teman temannya kaget. Mereka tiba-tiba saja dimaki sebagai anjing, orang-orang Tar-tar itu menghina mereka dan menyerang bagai setan haus darah. Padahal beberapa waktu yang lalu mereka adalah sahabat. Hek-eng Taihiap menjadi tidak senang dan marah pada orang-orang ini. Dan karena mereka menyerang dan lembing serta panah mulai menyambar dari segala penjuru tiba-tiba Pendekar Garuda Hitam ini melayang turun mengibaskan kedua lengannya ke kiri kanan.

“Tahan, kami datang bukan untuk saling bermusuhan!”

Tapi orang-orang Tar-tar menjadi buas. Mereka tak perduli seruan pendekar itu, si pemuda pertama yang dibanting Bu-ciangkun sudah membakar teman temannya lagi untuk menyerang. Dan ketika tombak dan panah kembali berhamburan menyerang mereka akhirnya Bu-ciangkun yang juga marah mencabut tombaknya berseru lantang,

“Minggir, atau kalian kami robohkan!” dan tombak si panglima yang bergerak menyambar ke segala penjuru tiba-tiba menangkis dan mementalkan senjata orang-orang Tar-tar itu, tiga di antaranya patah. Bu-ciangkun berseru pada teman-temannya agar mereka jangan membunuh. Dan ketika yang lain juga berkelebat dan membentak orang-orang itu akhirnya tigapuluh penyerang roboh tunggang-langgang dengan muka kaget.

Sekarang orang-orang ini terkejut. Mereka sadar bahwa lawan yang dihadapi adalah lawan-lawan yang berkepandaian tinggi. Sejenak mereka mendelong. Pemuda pertama yang tadi membakar teman-temannya juga kelihatan kaget, termangu dan meringis karena untuk kedua kalinya dia dibanting Bu-ciangkun tadi, punggungnya serasa patah. Tapi sementara orang-orang itu terkesima dan gentar namun tetap penuh benci memandang rombongan Bu-ciangkun itu, mendadak seratus orang Tar-tar mendatangi tempat mereka dengan derap kuda mencongklang.

“Kaliyin, siapa yang kalian hadapi itu?”

Kaliyin, pemuda pertama yang membakar teman-temannya girang. Itulah rombongan Bora dan Siga yang datang bersama kawan kawannya. Dari jauh mereka tak mengenal Bu-ciangkun karena terhalang Kaliyin dan teman temannya. Kini rombongan baru itu tiba dan Bu-ciangkun merasa girang, merasa kenal baik dengan orang di depan yang berteriak itu, Siga.

Dan ketika rombongan ini mendekat dan Kaliyin melompat maju maka pemuda Tar-tar yang memandang penuh benci ke arah musuhnya itu berseru, “Dia Bu-ciangkun dan teman temannya. Siga. Datang mengacau dan menyerang kami?”

Rombongan itu telah berhenti. Siga sudah berhadapan dangan rombongan Bu-ciangkun ini, mereka sama-sama mengenal. Bu-ciangkun berseri-seri tapi Siga bermuka gelap. Lagi-lagi Bu-ciangkun dan rombongannya ini menjadi tidak sedap oleh penyambutan kawan. Orang orang Tar-tar itu aneh. Dan ketika Siga mendengus dan meloncat turun dari kudanya maka teman temannya yang lain mengikuti dan suara tidak ramah menyambut panglima ini,

“Bu-ciangkun, ada apa kau datang kemari merobohkan anak-anak buah kami? Kau mau unjuk kepandaianmu dan bersikap pongah?”

Bu-ciangkun tertegun.

“Dan kau menyerang orang Tar-tar. Berarti kau musuh dan bukan sahabat!”

“Tidak?” Bu-ciangkun kini tersentak. “Kami tidak menyerang orang orangmu kalau tidak lebih dulu kami diserang, Siga. Anak buahmu kurang ajar dan bersikap tidak sopan kepada kami. Kaliyin ini yang memulai keributan!” Bu-ciangkun menunjuk Kaliyin, kini mengenal nama pemuda itu dan melotot.

Namun Siga yang mendengus tidak bersahabat ternyata berseru pada teman-temannya, “Kepung, tangkap mereka!”

“Ah!” Bu-ciangkun kaget. “Kami datang bukan untuk bermusuhan, Siga. Kami datang untuk menemui Pendekar Rambut Emas. Tahan dulu!”

“Ada urusan apa?”

“Urusan pribadi, kami mau menanyakan kenapa dia mencuri Sam-kong-kiam?”

Inilah tuduhan yang tidak tedeng aling-aling lagi. Bu-ciangkun terlalu blak-blakan dalam membicarakan keperluannya itu, teman-temannya terkejut sementara Siga dan anak buahnya juga terbelalak. Pemimpin mereka, Kim-mou-eng, dituduh mencuri! Kontan Siga dan seratus anak buahnya marah, kaget dan gusar.

Dan ketika Bu-ciangkun menerangkan lagi tentang pencurian Pedang Tiga Sinar yang terjadi di kota raja beberapa hari yang lalu ini mendadak Siga dan anak buahnya merah padam mendengar tuduhan itu. Bu-ciangkun terlalu gegabah, dasar berangasan. Dan ketika panglima itu selesai bicara dan Siga mengetahui benar bahwa selama beberapa hari itu Kim-mou-eng tak ke mana-mana mendadak pemuda Tar-tar yang gagah dan marah ini mengangkat lengannya tinggi-tinggi.

“Bohong, kalian melempar fitnah!” dan, memberi aba-aba pada anak buahnya yang sudah mencabut senjata tiba-tiba Siga menerjang maju, menyerang panglima Bu ini. “Serang mereka, bunuh....!”

Kagetlah rombongan Bu-ciangkun. Siga dan seratus anak buahnya menyerang tanpa banyak kata-kata lagi. Semua beringas dan menyerbu dengan senjata di tangan. Untuk kedua kalinya Bu-ciingkun dan lima temannya dibuat terkesiap. Tapi karena lawan sudah menyerang dan Kaliyin serta teman-temannya yang lain juga meloncat dengan senjata padanya maka Bu-ciangkun dan teman-temannya dikeroyok puluhan orang seperti harimau dikeroyok sekumpulan anjing srigala.

“Trang trang trangg...!”

Rombongan kecil ini tak dapat menjelaskan lagi. Mereka sudah menangkis dan memutar senjata sendiri, dua muda-mudi di belakang bergerak mencabut pedang mereka. Itulah Sin Kok dan Hwi Ling, purera puteri mendiang Ang Bin-ciangkun yang tewas di tangan Gurba. Pertempuran pecah dengan jumlah yang tidak berimbang. Dan ketika bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan mulai terdengar di tempat itu disusul robohnya tubuh yang menjerit oleh kemplangan atau tusukan senjata akhirnya Bu-ciangkun dan teman-temannya membela diri dan terpaksa membuka jalan darah.

“Siga, kalian bangsa liar yang tak tahu aturan....” Bu-ciangkun sendiri sudah menarik tombak di tangan Siga, mengerahkan Kang-jiu-kangnya dan mainkan Kang-jiu Sim-hoat yang membuat lengan lengannya sekeras baja. Tombak di tangan lawan dipentalkan namun Siga menyerang lagi. Pemuda Tar-tar ini cukup hebat, jelek-jelek dia murid Gurba tidak resmi. Permainan senjata di tangan amat gagah dan kuat. Dan ketika teman-temannya yang lain coba membantu pemuda ini namun Siga tersinggung karena tak mau mengereyok maka Bu-ciangkun sudah mendapat patukan mata tombaknya yang menyambar nyambar panglima tinggi besar ini.

Pecahlah pertempuran sengit di situ. Hek-eng Taihiap sendiri terpaksa berkelebatan, Cu-ciangkun juga menggerakkan tombak tombak mereka menghalau musuh. Lima enam orang mulai terguling tak dapat bangun. Darah mulai mengalir namun rombongan ini tetap menjaga agar tidak ada lawan terbunuh. Sin Kok dan adiknya juga begitu, mereka mendapat peringatan Cu-ciangkun agar menahan panasnya hati, lawan dibuat roboh dengan goresan atau tusukan pedang yang tidak terlampau berbahaya, tusukan di kaki atau lengan misalnya.

Dan ketika teriakan dan pekik kesakitan mulai terdengar di tempat itu sementara Sin Kok dan Hwi Ling juga mulai koyak koyak pakaian mereka oleh serangan kaum Tar-tar ini maka di pihak lain Hek-eng Taihiap telah merobohkan dua puluh lawan yang mendapat tamparan atau tendangan kakinya. Berturut-turut lawan yang mengeroyok pendekar ini jatuh bangun, satu dua di antaranya patah tulang-tulangnya tak dapat berdiri. Tidak lama lagi tentu pendekar ini dapat terbebas dari kepungan, lawan mulai gentar dan mengalihkan perhatian pada yang lebih lemah, Sin Kok dan Hwi Ling.

Celaka dua muda-mudi ini. mereka mulai mengeluh karena tubuh mulai luka-luka. Hwi Ling bahkan menjerit ketika sebatang tombak nyaris membelah dadanya, tombak dilontar seseorang, dia merendahkan tubuh dan rambutnya sebagian terbabat. Hwi Ling marah. Tapi ketika pertempuran berjalan kian keras dan masing-masing sama sengit karena Bu-ciangkun dan teman-temannya mulai tak dapat mengendalikan emosi mendadak sesosok bayangan ramping berkelebat mengibas ke sana kemari.

“Mundur....!”

Bentakan itu disusul berpelantingannya tubuh-tubuh yang tak dapat menahan. Kaum Tartar bagai disapu angin puyuh, barisan di luar menjerit tunggang-langgang. Di enam tempat bayangan ini bergerak sambil mengibas. Angin pukulannya luar biasa sekali, bagai taufan. Dan ketika sekejap kemudian pertempuran berhenti dan Bu-ciangkun serta teman-temannya sendiri terpental oleh kibasan bayangan ini maka seorang gadis cantik telah berdiri di situ dengan mata berapi-api, tangan berkacak pinggang.

“Bu-ciangkun, apa maksud kalian membuat onar?”

Inilah Salima. Bu-ciangkun bangun berdiri mengusap peluhnya, muka kelihatan kaget tapi anehnya panglima tinggi besar ini tersenyum. Girang karena sumoi dari Kim-mou-eng telah muncul. Tapi sebelum panglima itu memberi jawaban dan dikhawatirkan jawabannya bakal tak menguntungkan mereka maka Hek-eng Taihiap tiba-tiba melompat ke depan membungkukkan tubuhnya dalam dalam, diam diam hatinya tergetar karena kibasan gadis ini telah membuatnya terlempar tiga tombak!

“Lihiap, maafkan kami. Kami tak bermaksud membuat onar kalau pihak anak buahmu tak terlebih dulu menyerang kami. Kami datang untuk mencari Kim-taihiap, mohon diperkenankan bertemu untuk sebuah urusan penting.”

Salima memandang pendekar ini. “Suheng tak ada di tempat, dia pergi. Ada urusan apa hingga jauh-jauh kalian mencari?”

“Kami diutus kaisar, lihiap. Datang untuk....”

“Hai, untuk menghina lagi?” Salima menukas, dengusnya mengejek. “Permintaan apa lagi yang diinginkan kaisarmu itu?”

Hek-eng Taihiap terkejut, melihat sikap yang tidak bersahabat. Tapi sebelum dia menjawab tiba-tiba Siga, yang mengetahui maksud kedatangan orang-orang ini sudah berseru, “Mereka dalang untuk menghina Kim-taihiap, lihiap. Orang-orang ini menuduh Kim-taihiap mencuri pedang!”

Salima terbelalak. “Apa, mencuri pedang?”

“Ya, begitu katanya, lihiap. Dan katanya, yang dicuri adalah Sam kong-kiam!”

Mendadak Salima tertawa nyaring. Gadis yang tadi mengejek itu tiba-tiba geli, merasa ini mengada-ada saja untuk mencari permusuhan. Salima tiba-tiba tak dapat menahan tawanya untuk menertawai orang. Tapi ketika dia menghentikan tawanya dan matanya berkilat memandang lawan maka Hek-eng Taihiap sudah mendapat bentakannya yang dingin,

“Orang she Siok, kalau kalian ingin mencari permusuhan sebaiknya tak perlu melempar fitnah. Suhengku ada di sini beberapa minggu, semua orang tahu itu. Kalau sekarang dituduh mencuri pedang ingin mencari ribut sebaiknya kalian enyahlah sebelum kubunuh. Pergilah, katakan pada Kaisar mu bahwa Kim-mou-eng bukan manusia hina yang suka mendapatkan milik orang lain!”

Hek-eng Taihiap pucat. Sekarang gadis Tar-tar ini bersikap kasar, kata-katanya ketus dan dingin. Sungguh dia terkejut. Dan ketika Salima membalikkan tubuh tak mau menghadapinya lagi tahulah Pendekar Garuda Hitam ini bahwa dia diusir dan gadis itu tak mau memandang muka rombongannya lagi.

“Sombong!” Bu-ciangkun tiba-tiba berteriak. “Kau gadis yang tinggi hati, Salima. Kalau kau mau menghina kami lebih baik kami kau bunuh dan tak perlu mengusir” dan mengejutkan teman-temannya yang lain sekonyong-konyong panglima yang beringasan ini melompat ke depan, kedua lengannya berkerotok menghantam punggung Salima. Rupanya si tinggi besar ini marah.

Tapi Salima yang mendengus tidak mengelak tiba-tiba menggerakkan lengan ke belakang dan berseru, “Robohlah....!”

Panglima Bu terkejut. Dia merasa serangkum angin dahsyat menyambutnya, pukulannya membalik tapi dia nekat. Dan ketika benturan itu terjadi dan angin pukulan bertemu tiba-tiba panglima ini berteriak dan roboh terjengkang. “Bress!”

Bu-ciangkun terguling-guling. Dia terkejut tapi tidak kapok, bangun kembali mengereng bagai singa kelaparan, membentak dan sudah menerjang lagi sementara lawan masih membelakangi punggung. Panglima itu terhina karena lawan tak mau berdepan, sungguh ini dianggapnya terlalu. Tapi ketika pukulan kembali menyambar dan Salima mengibas dengan tangkisan yang lebih kuat lagi mendadak Bu-ciangkun tertolak dan menjerit melontarkan darah segar.

“Dess!” kali ini panglima itu mengeluh. Dia terbanting tak dapat bangun kembali, mukanya pucat dan tidak bergerak-gerak. Kiranya pingsan. Dan ketika Cu-ciangkun menggigil dan menolong rekannya itu maka gadis Tar-tar yang lihai ini berseru,

“Hek-eng Taihiap, kalau teman temanmu tidak mundur dalam hitungan ke sepuluh sebaiknya jangan salahkan aku kalau aku benar-benar akan membunuh kalian. Tuduhan mencuri kutolak, suhengku bukan manusia hina dan jangan membuat darah kami bangsa Tar-tar mendidih!”

Terpaksa, Hek-eng Taihiap memberi isyarat. Salima telah bicara begitu dingin, sikapnya tinggi hati namun dia percaya kegagahan gadis itu. Pada kata-katanya bahwa suhengnya tidak mencuri Sam-kong-kiam, hal yang membuat dia lega. Tapi karena Hek-eng Taihiap juga seorang gagah dan jelek-jelek dia tak mau dihina maka pendekar ini mendesis mengepal tinju,

“Sian-li-lihiap, karena kami memang bukan tamu yang diundang baiklah, kami mau pergi. Tapi satu yang kami kehendaki, kami tatap ingin bertemu dengan suhengmu. Kalau hari ini suhengmu tak ada biarlah di lain waktu kami datang lagi. Betapa pun kami baru puas kalau mendapat jawaban dan suhengmu sendiri!”

Dengan kata-kata ini berarti Hek-eng Taihiap telah menunjukkan keberaniannya, tidak takut untuk datang lagi meskipun kelak Salima mengancamnya. Kini terpaksa pergi karena orang yang dicari tidak ada. Jadi rombongan pergi bukan karena takut kepada Salima melainkan semata karena orang yang dicari sedang pergi. Itulah sifat kegagahan yang telah ditunjukkan pendekar ini.

Salima mendengus tak menjawab. Dan ketika Hek-eng Taihiap memutar tubuh dan memberi isyarat pada Cu-ciangkun dan Sin Kok serta Hwi Ling akhirnya Bu-ciangkun yang pingsan diletakkan di atas punggung kudanya dijaga Cu Kim, panglima kedua dari Cu-hengte (dua bersaudara Cu) itu. Dan begitu mereka menarik tali kekang kuda dan kuda meringkik tinggi tiba-tiba enam orang ini telah meninggalkan perkemahan Tar-tar tanpa banyak bicara lagi.

Orang-orang Tar-tar memandang dengan bermacam perasaan. Sebenarnya mereka gemas, ingin menyerang dan menghabisi orang orang nya kaisar itu. Tapi karena Salima telah melepaskan mereka dan hitungan belum juga diucapkan maka orang-orang ini tak berani menentang dan membiarkan saja rombongan itu dengan mata melotot. Dan Salima sendiri sudah tidak perduli kiri kanan, berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Anak buahnya segera menyusul dan tempat itu pun akhirnya sepi.

Cu-ciangkun dan rombongannya sudah lenyap di balik padang ilalang. Dan ketika semuanya kembali ke tempatnya masing-masing dan yang terluka dibawa untuk dirawat maka bekas pertempuran itu pun senyap seperti sedia kala.

* * * * * * * *

Kim-mou-eng melakukan perjalanan cepat. Sehari itu juga dia telah tiba di kota raja. Memang kepandaian pendekar ini amat tinggi. Kalau Bu-ciangkun dan rombongannya melakukan perjalanan dari kota raja menuju perkemahan bangsa Tar-tar tiga empat hari maka pendekar ini melakukannya cukup sehari. Tapi sayang, Kim-mou-eng tiba di waktu matahari telah terbenam. Dia ragu untuk menemui kaisar di malam hari, tahu kesibukan-kesibukan kaisar dan waktu istirahatnya jadi terpaksa dia menahan keinginan hati untuk segera bertemu.

Dan karena dia sudah memasuki kota raja dan berlenggang seenaknya karena penjaga pintu gerbang dan orang orang lain telah mengenalnya maka pendekar ini tak curiga dan justeru mengangguk setiap bertemu dengan beberapa pengawal di dalam kota, melempar senyum.

Namun aneh. Para pengawal yang dijumpai tiba-tiba tertegun. Mereka itu terbelalak dan tiba-tiba membalikkan tubuh, telinga Kim-mou-eng mendengar beberapa diantaranya mengatakan dia sebagai iblis. Tentu saja pendekar ini mengerutkan kening ganti tertegun. Dia tak mengerti apa maksud sebutan itu, tak tahu hilangnya Sam-kong-kiam di tangan pencuri lihai. Tapi karena dia menganggap sebutan itu sebagai gurauan saja karena dia dianggap memiliki kepandaian seperti iblis yang dapat berkelebat lenyap di depan orang yang sedang berhadapan dengannya maka pendekar ini tersenyum pahit meneruskan langkahnya.

Kim-mou-eng tidak menunjukkan kepandaiannya saat itu, berjalan tenang dan berlenggang seperti biasa. Tiba-tiba menjadi semakin heran dan mengernyitkan kening karena toko-toko yang dilalui mendadak menutup pintu mereka. Ada gerakan-gerakan di belakang, dia mendengar langkah kaki mencurigakan yang mengikuti secara diam-diam. Dihitung jumlahnya tak kurang dari lima puluh orang, kian lama kian bertambah banyak dan samar-samar bayangan berkelebatan dan mana-mana. Pendekar ini merasa heran. Dan ketika dia bermaksud mencari losmen untuk beristirahat karena keesokan paginya dia ingin menghadap kaisar tiba-tiba seratus busu (pengawal istana) muncul di depannya dengan bentakan seorang perwiranya yang dikenal sebagai Lauw-ciangkun, panglima muda Lauw.

“Kim-mou-eng, berhenti....!”

Pendekar ini terkejut.

“Serahkan Sam-kong-kiam dan menyerahlah...!”

Pendekar ini semakin terkejut. Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan mata lak dapat menjawab tiba-tiba lima ratus pasukan pendam muncul dengan gendewa di tangan masing-masing, siap menjepret anak panah ke arahnya. Baru pendekar ini sekarang sadar. “Apa artinya ini, Lauw-ciangkun? Kenapa kalian mengepungku?”

“Hmm...” panglima she Lauw itu bersinar-sinar, tak berani terlalu dekat. “Kau tak perlu berpura-pura, Kim-mou-eng. Kau telah mencuri Sam-kong-kiam dan sekarang kami tangkap. Kau membuat onar dan menghina Sri Baginda!”

Kim-mou-eng tersentak. “Sam-kong-kiam? Aku mencuri Sam-kong-kiam?”

“Tak perlu pilon, Kim-mou-eng. Semua orang tahu perbuatanmu itu dan karena itu sekarang kami akan menangkapmu. Menyerahlah baik-baik, kalau tidak lima ratus batang anak panah akan menghujani tubuhmu tanpa ampun!''

Kim mou-eng mendadak tertawa bergelak. “Lauw-ciangkun, kau bergurau!”

Panglima ini marah. Dia mengangkat lengannya ke atas, lima ratus panah tiba-tiba menjepret sekaligus. Kim-mou-eng terkejut bukan main. Desing anak panah yang menuju satu titik ke arahnya itu benar-benar mau membunuhnya. Dia akan disate! Dan ketika Lauw-ciangkun menunjukkan kesungguhannya dan panglima itu ternyata tidak bergurau tiba-tiba lima ratus panah menghujani pendekar ini dalam waktu hampir berbareng.

“Aaah....!” Kim-mou-eng berseru keras, kaki menjejak bumi dan tiba-tiba tubuhnya meluncur tinggi, tinggi sekali. Tak kurang dari delapan meter. Lima ratus panah tentu saja meleset dan menghujani tempat di mana dia bekas berdiri tadi. Menancap dan sudah membentuk semacam barisan jarum yang menungging dengan ekor di atas, anak panahnya sendiri amblas di tanah menunjukkan betapa hebatnya barisan pemanah itu. Mereka rupanya jago jago panah pilihan. Sebuah lingkaran bersusun berderet rapi di bekas tempat Kim-mou-eng berdiri tadi. Dan ketika pendekar ini berjungkir balik dan turun ke bawah maka dengan aneh tapi luar biasa Pendekar Rambut Emas itu telah berdiri di pucuk ekor-ekor panah yang menungging dengan pantat ke atas.

Lauw-ciangkun tertegun. Ratusan orang yang ada di situ juga tertegun, masing-masing terbelalak dan tanpa terasa memuji kepandaian Pendekar Rambut Emas ini. Ekor arak-anak panah yang diinjak sama sekeli tak bergoyang, padahal berat tubuh pendekar itu sendiri tak kurang dan seratus empat puluh kati. Mestinya begitu terinjak tentu akan patah atau melengkung. Tapi melihat bahwa tubuh Pendekar Rambut Emas demikian ringan dan seolah capung saja yang hinggap dengan begitu manis tiba-tiba Lauw-ciangkun terkesima dan mundur dengan muka pucat, terpana kagum tapi juga gentar.

Dan Pendekar Rambut Emas itu mulai bicara, “Lauw-ciangkun, beginikah sikapmu menghadapi orang yang tidak suka bermusuhan! Aku datang bukan untuk mencari perkara. Kalau benar aku dituduh mencuri Sam-kong-kiam mestinya aku tak ke sini untuk menghadapi kalian. Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu menghadang dan mana itu Bu-ciangkun atau Cu-ciangkun yang sudah kukenal?”

Panglima muda ini sadar. “Bu-ciangkun dan rombongannya pergi mencari dirimu. Mereka tak ada disini karena diutus Sri Baginda kaisar!”

“Karena aku dituduh mencuri Sam-kong-kiam?”

“Bukan sekedar tuduhan, Kim-mou-eng. Melainkan bukti nyata karena semua orang melihatmu sebagai pencuri!”

“Baik, kalau aku mencuri pedang itu tentu aku tak akan datang sekarang, dan pedang itu pun mestinya kubawa. Kalian lihat, adakah aku membawa senjata?” Kim-mou-eng menupuk-nepuk pakaiannya.

Lauw-ciangkun kembali tertegun karena pendekar itu memang tak membawa apa-apa. Kim-mou-eng jarang bersenjata kecuali sepasang pitnya (potlot lukis) itu. Senjata kecil tapi yang keampuhannya tak kalah dengan sebatang pedang. Dan ketika orang mulai dapat dipengaruhi tapi panglima ini bingung maka Pendekar Rambut Emas itu berkata lagi,

“Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruhmu menghadang aku, Lauw-ciangkun. Biar kutemui dia dan kita bicara baik-baik!”

Panglima ini menggeleng. “Kau bohong, pencuri tak dapat dipercaya dan pedang itu telah kau sembunyikan di lain tempat!”

“Ah,” pendekar ini mengerutkan kening. “Kau menganggap aku dusta? Kalau begitu tak usah kita bicara lagi, aku akan mencari Kim-taijin atau pangeran mahkota...”

“wuut!” dan Pendekar Rambut Emas yang melejit dan terbang di atas kepala lawan tiba-tiba membuat panglima itu berteriak sembari mengibaskan goloknya, luput dan tahu-tahu Pendekar Rambut Emas telah melewati barisan kepala yang lain, para pengawal yang mengepungnya itu. Sekejap kemudian lenyap karena telah berada di luar kepungan. Gerakannya bagai iblis dan tentu saja para pengawal berseru kaget. Mereka tadi bengong dan terkesima oleh gerakan “super-sonik” ini.

Lauw-ciangkun mencak-mencak memaki anak buahnya yang bodoh. Tapi begitu mereka sadar dan Kim-mou-eng sendiri berkata mau mencari Kim-taijin atau Pangeran Mahkota yang ada di kompleks istana mendadak mereka sudah membalik dibentak panglima she Lauw ini, “Kejar, tangkap dia...!”

Berhamburanlah pengawal-pengawal itu. Lauw ciangkun sendiri sudah berlari cepat, semua menuju istana. Genta kembali dipukul bertalu talu hingga kota raja geger. Pendekar Rambut Emas dinyatakan membuat onar untuk kedua kali. Berita pencurian itu telah tersebar dari mulut ke mulut. Dan ketika semua orang berhamburan mengejar pendekar ini maka Kim-mou-eng sendiri sudah tiba di istana.

Saat itu lampu besar kecil dipasang terang benderang. Genta tanda bahaya itu membuat orang panik. Peogawal berjaga-jaga dan mereka terkejut melihat sesosok bayangan kuning keemasan meluncur dari depan. Pikiran seketika menuju pada Kim-mou-eng, hanya ialah satu-satunya pendekar berambut emas di seluruh dunia kang ouw. Memang pendekar berdarah campuran ini amat dikenal di mana mana. Tapi ketika mereka tersentak dan siap menyerang tiba-tiba mereka sudah roboh berpelantingan disambar angin pukulan pendekar itu yang tidak mau dihalang jalan larinya.

“Minggir, aku mencari Kim-taijin atau pangeran mahkota....!”

Pengawal-pengawal itu berteriak kaget. Mereka bagai disapu angin puyuh saja, kesaktian pendekar itu memang tak ada yang melawan. Dan ketika pengawal yang lain maju membentak tapi semuanya terjungkal oleh dorongan jarak jauh pendekar ini akhirnya Kim-mou-eng tiba di kompleks istana sebelah barat. Inilah gedung di mana Pangeran Mahkota biasanya tinggal, ribut-ribut itu segera diketahui orang banyak dan pengawal pun memburu.

Mereka yang terpental kembali bangun karena tak ada yang terluka. Pendekar Rambut Emas memang tidak membunuh mereka. Dan ketika Kim-mou-eng harus berkelebatan di dalam gedung ini mencari-cari orang yang dicari maka dia akhirnya bertemu dengan seorang laki laki setengah baya yang amat berwibawa, sementara pengawal-pengawal di belakang mengejarnya.

“Kim-mou-eng, berhenti!”

Kim-mou-eng berhenti. Sekarang dia berhadapan dengan laki-laki itu. Pembesar yang berwajah tenang namun amat berpengaruh, sikapnya kalem namun pandang matarya tajam. Inilah Kim-taijin. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun berseru memanggil pembesar itu maka seorang laki-laki lain yang tampan namun penuh wibawa juga muncul menegurnya. Dan Kim-mou-eng mengusap keringatnya. “Taijin, pangeran, apa arti dari semuanya ini? Kenapa istana menuduhku mencuri pedang?”

Pembesar itu tetap tegak penuh wibawa. Dia tersenyum sejenak, sinar matanya berseri. Kepercayaan kian menguatkan kesimpulan pembesar ini. Pemuda di sampingnya yang bukan lain pangeran mahkota itu mengerutkan kening. Tapi ketika pengawal di belakang datang meluruk dan Lauw-ciangkun terbata-bata mengacungkan goloknya maka Kim-taijin, pembesar itu, sudah mengangkat lengannya.

“Lauw-ciangkun, tahan. Kim-mou-eng telah datang tepat waktunya. Kalian mundurlah, biar kami bicara empat mata!”

“Tapi,” panglima muda itu gugup. “Penjahat ini berbahaya, taijin. Sebaiknya paduka masuk dan biar kami menangkapnya!”

“Dapatkah kau melakukan itu?”

Panglima she Lauw tertegun. “Nah, kalau tahu itu segera menyingkirlah, ciangkun. Pendekar Rambut Emas dapat membunuh sejak tadi kalau dia mau. Yang ini bukan yang dulu, mundurlah!”

Panglima she Lauw akhirnya mundur. Sebenarnya dia ragu, was-was dan penasaran tapi juga gentar menghadapi musuh yang amat lihai ini. Dia memang bukan tandingan Kim-mou-eng. Dan ketika panglima itu menarik anak buahnya dan Kim-taijin menyatakan bertanggung jawab atas keselamatan pangeran mahkota maka Kim-mou-eng sudah berdiri berhadapan dengan dua tokoh istana ini.

“Kim-taihiap, mari duduk. Sekarang kita bicara baik-baik”

Pendekar Rambut Emas mengangguk. Dia kembali mengerutkan keningnya, keringat membasahi dahi dan kembali dia mengusapnya. Terasa ketegangan mencekam hatinya. Orang-orang istana benar-benar menuduhnya sebagai pencuri, mereka tidak, main-main. Dan ketika Kim-taijin juga duduk berhadapan dan mata pangeran mahkota masih menatapnya curiga maka Kim-mou-eng bertanya apa yang sesungguhnya terjadi.

“Sam-kong-kiam lenyap dari istana, taihiap. Dan tuduhan istana memang ditujukan kepadamu. Inilah awal mulanya.”

“Kapan terjadinya?”

“Enam hari yang lalu. Seseorang berambut keemasan muncul merampas pedang itu. Banyak pengawal mati terbunuh!”

“Hah” pendekar ini membelalakkan matanya. “Jadi aku menjadi terdakwa tunggal, taijin? Kalian tak tahu siapa sebenarnya penjahat itu?”

“Semua orang menganggapnya dirimu, taihiap. Karena itu Sri Baginda pun lalu mengutus Bu-ciangkun dan teman-temannya menemuimu di perkemahan bangsa Tar-tar. Kalian rupanya tak jumpa, maka kau tidak tahu.”

“Benar, aku tak tahu, taijin. Tapi bagaimana sikapmu sendiri lain dengan orang-orang yang lain? Bagaimana kau tak mencurigaiku pula sebagai pencuri Sam-kong-kiam?”

“Taihiap,” pembesar ini tersenyum. “Aku cukup mengenal watakmu sebagai pendekar yang gagah sejati. Aku telah bertaruh kepada kaisar bahwa jika memang benar dirimu yang merampas Sam-kong-kiam maka aku rela menyerahkan kepalaku untuk dipenggal. Itulah sebabnya tenang-tenang saja aku menyambutmu. Sekarang kau datang, bagus sekali kehadiranmu ini. Dapatkah kau memberi keterangan bahwa kau memang bukan pencuri Sam-kong-kiam?”

“Hm, kalau aku mencuri pedang itu tak mungkin aku sekarang berada di sini, taijin. Aku memang tidak tahu-menahu tentang pedang itu karena selama ini aku di tengah-tengah suku bangsaku!”

“Kalau begitu apa maksudmu datang ke sini?” pangeran mahkota tiba-tiba bertanya, kening masih berkerut dan tatapan mata pun masih ragu. Ada kebimbangan di hati putera mahkota ini.

Dan Kim-mou-eng yang mendengar pertanyaan itu tiba-tiba gelap mukanya. “Aku ada urusan dengan ayahandamu, pangeran. Urusan pribadi yang ingin kutanyakan secara empat mata.”

“Tentang apa?”

“Maaf, aku tak dapat memberi tahu. Sementara ini biarlah kusimpan saja untuk ayahandamu seorang. Kelak paduka akan tahu juga kalau kami sudah bertemu.”

“Hmm” pangeran mahkota mendadak curiga. “Sikapmu aneh sekali, taihiap. Kalau kau membawa maksud jujur tentunya tak perlu kau sembunyikan pula dari kami. Aku dan paman Kim bukan orang lain, kami orang-orang yang paling dekat dengan Sri Baginda”

“Benar, tapi urusan ini terlampau penting, pangeran, juga amat pribadi sekali. Sebaiknya paduka tak perlu mendesak kalau aku belum menemui ayahandamu!”

Pangeran ini tak senang. Sorot matanya tertangkap Kim-taijin, sebagai orang tua segera mengetahui bahwa pangeran mahkota tersinggung, cepat menyela dan berkata “mungkin Pendekar Rambut Emas benar. Urusan itu agaknya perlu segera di sampaikan”

Dan ketika Kim-mou-eng mengangguk tapi ragu mengingat hari sudah malam maka secara cerdik pembesar ini berkata, “Tak apa, kami dapat membantumu, taihiap. Lagi pula Sri Baginda tentu telah mendengar ribut-ribut ini. Sebaiknya kuantar dirimu dan paduka pangeran dapat mengantarmu bersama untuk menghadap kaisar.”

Inilah omongan bagus. Dengan begitu pangeran otomatis akan mendengar pula apa yang hendak dibicarakan Kim-mou-eng kepada ayahnya, jadi Kim-taijin melenyapkan kekecewaan pangeran itu sekaligus menolong Kim-mou-eng mempercepat urusannya. Dua-duanya merasa girang karena kata kata ini memang tepat. Dan ketika saat itu juga Kim-taijin mengantar Kim-mou-eng dan banyak mata memandang was-was ke arah tiga orang ini maka mereka langsung menuju pusat istana.

Pengawai diberi tahu bahwa Kim-mou-eng bersama Kim-taijin dan pangeran mahkota ingin menghadap, ternyata kaisar sudah menunggu mereka di ruang dalam, kiranya menanti berita akan keributan di luar, mendengar datangnya Kim-mou-eng. Dan ketika dengan pengawalan ketat tapi penjaga berdiri secara tidak kentara di sudut-sudut ruangan dan segala penjuru maka Kim-mou-eng dan dua temannya itu memberi hormat.

“Sri Baginda, maafkan gangguan hamba malam-malam begini. Kim-taijin mengajak hamba untuk menemui paduka.”

Sri Baginda duduk dengan muka marah. Dia tidak membalas penghormatan orang, sedikit pun juga tidak mengangguk. Kemarahan memancar di wajahnya. Tapi ketika Kim taijin duduk di dekat Sri Baginda dan pangeran mahkota juga menempatkan diri di samping ayahnya maka Kim-taijin berseru meredakan ketegangan ini,

“Sri Baginda, Kim-taihiap datang untuk menolak tuduhan mencuri Sam-kong-kiam. Dan lagi dia pun membawa urusan pribadi dengan paduka!”

“Hmm” kini kaisar bersuara, para penjaga bersiap-siap. “Apa yang hendak kau katakan, Kim-mou-eng? Bagaimana kau menolak membawa Sam kong-kiam kalau semua orang melihatnya begitu?”

“Maaf,” pendekar ini penasaran. “Kalau hamba mencuri pedang itu tentu hamba tak akan ke sini, Sri Baginda. Dan untuk menunjukkan itikad baik hamba maka malam ini hamba siap menerima tuduhan untuk membela diri!”

“Sekarang apa bicaramu?”

“Hamba tak tahu-menahu tentang pencurian itu. Hamba berada di tengah tengah suku hamba ketika peristiwa terjadi. Ini tentu perbuatan seseorang untuk merusak nama hamba!”

“Kau dapat membuktikan bahwa itu memang bukan perbuatanmu?”

“Tentu saja. Bangsa hamba menjadi saksi, Sri Baginda. Paduka dapat bertanya mereka kalau itu dikehendaki!”

“Tapi itu suku bangsamu, tentu saja mereka akan membelamu!” kaisar menyergah.

“Jadi maksud paduka bagaimana?” Kim-mou-eng terkejut.

“Hm, tentu saja perbuatan nyata, Kim-mou-eng. Kim-taijin memberiku jaminan bahwa bukan kau orangnya yang mencuri Sam-kong-kiam. Tapi karena namamu telah dituduh dan kau satu-satunya orang yang berambut keemasan di seluruh dunia kang-ouw maka kau harus membersihkan namamu ini dengan menangkap orang yang katamu sendiri telah merusak namamu itu!”

“Baik, hamba memang akan melakukannya!” Kim-mou-eng tegas bicara, mata pun mulai berkilat. “Tapi hamba juga mempunyai suatu tuduhan terhadap paduka, Sri Baginda. Karena itu mohon keadilan pula agar paduka menjawab pertanyaan hamba!”

Kaisar terkejut. “Apa?”

“Ya, hamba datang untuk keperluan penting ini, Sri Baginda. Bahwa sebelum hamba dituduh mencuri Sam-kong-kiam sebenarnya hamba juga membawa sebuah tuduhan untuk paduka. Masalah pribadi!”

Kaisar semakin terkejut. Tiba-tiba ketegangan mencekam tempat itu, secara aneh kaisar siap menjadi “terdakwa”. Kalau bukan Kim-mou-eng tentu orang yang berani bicara seperti ini sudah ditangkap! Kaisar terbelalak, tanpa terasa merubah duduknya. Dan ketika kaisar bertanya apa tuduhan itu dan kesalahan apa yang dilakukan kaisar ini maka Kim-mou-eng melirik bayangan-bayangan di dekat mereka.

“Harap pengawal pengawal disuruh menjauh, Sri Baginda. Ini urusan pribadi paduka.”

“Hmmm” Kaisar tak sabar. Dia menepuk tangan, bayangan-bayangan itu menjauh dan Kim-mou-eng lega. Sejenak melirik Kim-taijin dan pangeran mahkota tapi kaisar sudah memberi isyarat. Mereka bukan orang-orang lain. Dan ketika Kim-mou-eng menjelaskan bahwa tuduhan itu berupa penghinaan kaisar atas perkara Bi Nio karena urusan itu dianggap merendahkan bangsa Tar-tar mendadak kaisar tertegun dan kaget bukan main.

“Apa, Bi Nio hamil sebelum kuberikan kepada mendiang suhengmu?”

“Begitu menurut yang hamba dengar, Sri Baginda. Karena itu mohon kejujuran paduka untuk berterus terang masalah ini. Hamba menyatakan sanggup untuk menangkap pencuri Sam-kong-kiam sebagai bukti kebersihan hamba. Dan harap paduka juga menyatakan sanggup untuk membuktikan kebersihan paduka!”

“Ha ha!” kaisar tiba-tiba tertawa hergelak, begitu hilang kagetnya “Tentu saja aku dapat menyatakan diri bahwa tuduhanmu tidak benar, Kim-mou-eng. Dan saat ini juga kujawab dengan jujur bahwa selir yang telah kuberikan pada mendiang suhengmu itu memang benar-benar hamil dengan suhengmu sendiri. Bahkan, sampai saat ini pun Bi Nio tidak pernah kusentuh dan tetap mendapat pelayanan istimewa sebagai tanda hormatku kepada bangsa Tar-tar!”

Kim-mou-eng tak begitu saja percaya. “Darimana hamba dapat membuktikannya?”

“Dari sini!” kaisar tiba-tiba bertepuk tangan, memanggil seorang pengawal. Lalu memerintahkan pengawal itu memanggil Bi Nio segera Kim-mou-eng disuruh menunggu.

Kim-mou-eng berdebar, kaisar menyuruh Bi Nio membawa bayinya. Kiranya Bi Nio telah melahirkan. Kaisar mengatakan bahwa bayi Bi Nio adalah seorang anak laki-laki yang sehat berkulit hitam, persis bapaknya. Mendiang Gurba memang hitam. Tapi ketika pengawal datang dengan muka pucat dan Bi Nio yang ada di belakang menangis tersedu-sedu seorang diri maka kaisar dan semua orang tertegun tak mengerti, tak melihat bayi yang disuruh bawa.

“Bi Nio, mana bayimu? Tidakkah pengawal memberi tahu bahwa kau harus datang bersama bayimu?”

“Ampun....!” Bi Nio menjatuhkan diri berlutut, tangisnya tak dapat ditahan “Hamba mengalami hal yang aneh, Sri Baginda. Bayi hamba berubah ujud dan tak mampu hamba bawa ke mari”

“Apa? Berubah ujud bagaimana?” kaisar terkejut.

“Anak itu... bayi itu... kulitnya berubah, Sri Baginda. Hamba merasa seseorang telah menukar bayi hamba. Togura lenyap terganti anak lain....!” dan Bi Nio yang mengguguk tak dapat berkata-kata tiba-tiba roboh dan pingsan di hadapan kaisar.

Tentu saja mengejutkan kaisar dan yang lain-lain. Kaisar marah. Cepat menyuruh orang menolong bekas selirnya itu dan seorang dayang, dipanggil menghadap. Dayang ini mendapat tugas mengambil anak di kamar Bi Nio, tak lama kemudian muncul dan membawa seorang bayi laki2 yang putih dan montok, tidak hitam seperti kata kaisar tadi. Dan ketika kaisar tertegun dan Kim mou-eng mengerutkan kening curiga peda kaisar maka Sri Baginda menggigil memandang anak laki laki di gendongan dayang itu.

“Ini bukan anak Bi Nio. Kau salah ambil!”

“Ampun,” dayang itu gemetar. “Hamba mengambil bayi ini di kamar Bi Nio, Sri Beginda. TaK ada bocah lain di kamar itu selain bocah ini....”

“Tapi ini bukan anaknya. Kau bodoh, cari lagi yang benar!” tapi ketika sang dayang menangis dan mencari lagi tapi kembali menyatakan tak ada anak lain selain anak di gendongannya itu akhirnya Kaisar tertegun sementara Kim-taijin dan lain-lain membelalakkan mata.

“Nah, paduka tak dapat membuktikan omongan paduka, Sri Baginda. Anak yang dilahirkan Bi Nio ternyata putih bukannya hitam!” Kim-mou-eng tampil bicara, kata-katanya mulai dingin karena Kim-mou-eng mulai curiga pada kaisar. Jangan-jangan kaisar mempermainkannya. Entah apa maksud kaisar itu. Keadaan tiba-tiba menjadi tidak enak.

Kim-taijin merasakan ketidak nyamanan itu, mulai khawatir melihat kilatan di mata Pendekar Rambut Emas. Ada sesuatu yang tidak beres! Dan ketika kaisar membelalakkan mata dan tertegun tak dapat menjawab maka Kim-mou-eng kembali bertanya, “Sri Baginda, apa yang akan paduka katakan tentang hal ini?”

Sri Baginda mengepal tinju. “Itu tidak benar: Ada yang main gila di dalam istana. Biar ku tanya Bi Nio!” dan kaisar yang melihat Bi Nio sudah sadar tiba-tiba berseru, “Bi Nio, apa yang sesungguhnya terjadi? Bagaimana anakmu bisa berubah begini?”

“Hamba tak tahu,” Bi Nio menggigil. “Hamba semalam terlelap pulas, Sri Baginda. Dan ketika pagi harinya hamba bangun tahu-tahu anak hamba telah berubah....”

“Tak ada yang masuk ke kamarmu?”

“Hamba telah mengunci pintunya, Sri Baginda. Hamba kira tak ada.”

“Lalu bagaimana bisa begini? Kenapa kau demikian bodoh?”

Bi Nio menangis, kaisar malah menyalahkan dirinya. Dan ketika kaisar melotot dan Bi Nio mengguguk maka selir yang masih cantik ini tersedu sedu. “Sri Baginda, hamba memang bodoh. Kalau hamba dianggap bersalah biarlah paduka membunuh hamba!”

“Hm, kau bukan selirku lagi. Sekarang jawab saja apakah benar sebelum kau kuserahkan pada mendiang suamimu kau telah mengandung?“

Bi Nio terbelalak. “Apa maksud paduka?”

“Bangsa Tar-tar menuduhku menghina mereka, Bi Nio. Bahwa ada kabar burung yang menganggap dirimu hamil sebelum kuberikan pada pemimpin mereka, mendiang suamimu itu. Sekarang Kim-mou-eng datang, jawablah anak siapa sebenarnya yang telah kau lahirkan dan tertukar itu. Anak dengan mendiang suamimu ataukah anak dari keturunanku!”

Bi Nio tiba-tiba menghentikan tangisnya. “Anak yang hamba kandung memang benar dari benih suami hamba sendiri. Kalau tuduhan mengatakan begitu maka itu tidak benar!”

“Nah, kau dengar, Kim-mou-eng? Kau boleh bertanya pula pada wanita ini apakan selama di sini dia pernah kusentuh!”

Kim-mou-eng mengerutkan kening. “Sri Baginda, apapun yang paduka katakan terus terang hamba tak puas. Sebenarnya bukti satu satunya untuk memperkuat omongan paduka adalah anak itu. Sekarang anak itu tertukar, begitu menurut paduka dan Bi Nio. Tapi karena hamba sangsi karena ini bisa saja diatur maka maaf jika sementara ini hamba masih tak mempercayai paduka!”

Hebat kata-kata itu. Kaisar sampai terbelalak lebar, melotot. Kalau bukan Kim-mou-eng mungkin kaisar sudah berteriak menyuruh pengawalnya menangkap orang yang berani bicara seperti ini. Kaisar tak dipercaya, bukau main! Dan ketika kaisar terhenyak dan saking marahnya tak dapat bicara maka Kim-mou-eng sudah berkata lagi,

“Nah, sekarang hamba minta buktinya, Sri Baginda. Kalau benar anak Bi Nio adalah keturunan suheng hamba dan bukan anak ini maka hamba minta paduka menunjukkan buktinya. Waktu satu minggu kiranya cukup, paduka tentu dapat menyuruh orang-orang paduka mencari anak yang hilang itu. Tapi, kalau paduka bohong dan tak dapat menunjukkan buktinya maka hamba mewakili bangsa Tar-tar mohon agar paduka berkunjung ke perkemahan kami untuk meminta maaf. Bangsa Tar-tar menuntut ini, hamba sebagai perantara keinginan mereka hanya diminta menyampaikannya pada paduka. Sekian!”

Kim-mou-eng membungkukkan tubuhnya, memberi hormat dan tiba-tiba berkelebat pergi. Urusan dianggapnya selesai dan dia tak mau berpanjang lebar lagi. Sekarang kaisar dituntut untuk memberi jawaban, dapai memberi bukti atau tidak. Baru kali ini kaisar dituduh orang! Tapi ketika kaisar sadar dan Kim-mou-eng lenyap dari ruangan itu tiba-tiba kaisar berteriak,

“Hei, kau sendiri bagaimana dengan persoalan Sam-kong-kiam. Kim-mou-eng?”

Dari jauh jelas dan nyaring ternyata terdengar jawaban Pendekar Rambut Emas, “Hamba akan mencarinya didalam waktu satu minggu ini pula, Sri Baginda. Jadi setelah itu masing-masing dapat memberikan buktinya!”

Lenyaplah Pendekar Rambut Emas itu. Sekarang istana geger oleh ancaman ini. Kim-taijin sampai pucat melihat semuanya itu. Ternyata persoalan memang benar-benar penting Kaisar dituduh menghina bangsa Tar-tar sementara Kim-mou-eng sendiri dituduh mencuri Pedang Tiga Sinar. Pembesar itu yakin benar kedua duanya tak bersalah. Masing-masing sama terfitnah dan kini keduanya terjebak dalam perangkap yang membingungkan, juga mendebarkan. Kaisar dan Kim-mou-eng tiba-tiba harus berhadapan sebagai lawan.

Dan ketika malam itu kaisar mencak-mencak menyuruh orang mencari anak Bi Nio karena anak itu dianggap ditukar seseorang maka di lain pihak Kim-mou-eng sendiri sudah terbang dan meninggalkan kota raja untuk kembali ke tengah tengah suku bangsanya. Menjelang pagi tiba di sana, langsung mencari sumoinya tak mau diketahui orang lain. Sumoinya terkejut tapi girang, suhengnya ini hanya beberapa saat saja, persis ketika kemarin Bu-ciangkun dan teman-temannya datang.

Dan ketika suhengnya duduk menarik napas dan belum memulai ceritanya maka Salima sudah mendahului dengan cerita tentang Bu-ciangkun itu. Betapa Bu-ciangkun menuduh suhengnya mencuri pedang. Betapa orang-orang itu dianggapnya kurang ajar karena melepas tuduhan membabi-buta. Suhengnya mendengar dengan muka gelap, alis berkerut-kerut, sudah tahu. Dan ketika Kim-mou-eng ganti bercerita tentang hasil perjalanannya ke kota raja maka Salima tertegun ketika suhengnya menutup cerita begini:

“Sekarang aku harus pergi lagi, sumoi. Waktu satu minggu yang kujanjikan pada kaisar harus kupergunakan baik-baik. Aku akan mencari pencuri itu, menangkap dan membekuknya serta menyerahkannya pada kaisar!”

“Sedang kaisar sendiri?” Salima bertanya, seluruh kekecewaan dan kemarahannya tak dapat disembunyikan lagi. “Apakah kaisar akan datang ke sini, suheng?”

“Aku tak tahu, sumoi. Tapi kaisar telah ku ikat janji dengan waktu yang sama pula. Katanya bayinya Bi Nio tertukar, aku tak tahu apakah itu benar ataukah sekedar bohong saja?”

“Hm. kalau begitu kita tunggu. Sekali kabar berita itu tak datang pada kita maka bangsa Tar-tar akan kulepas kendalinya!”

“Jangan dulu. Janji semingguku pada mereka masih tersisa. Kuharap sisa waktu ini dapat kuselesaikan dengan tepat!” Kim-mou-eng teringat, dalam waktu yang sesingkat itu dia harus mengerjakan dua hal. Dia kelupaan dengan janji pada suku bangsanya, sedikit menyesal kenapa dia buru-buru berjanji satu minggu pula pada kaissr. Kini sadar dan berkerut-kerut, kiranya urusan itu membuat dia lelah dan berat berpikir. Tapi ketika sumoinya mencibir dan dagu yang runcing itu terangkat maka Salima tak perduli omongannya. “Kau harus kembali dalam batas waktu itu, suheng. Kalau tidak aku akan mencarimu dan menyusul!”

“Baiklah, baiklah....” Kim-mou-eng penat. “Kau jaga dulu disini, sumoi. Tunggu sampai aku kembali, dan jangan ceritakan kedatanganku pada Siga maupun Bora!”

Dan Kim-mou-eng yang pagi itu juga meninggalkan sumoinya untuk mencari pencuri Sam-kong-kiam akhirnya dengan geram dan marah berkelebat lenyap kembali ke dalam tembok besar. Tak tahu ancaman lain akan susul-menyusul. Satu kesulitan besar akan menghadang pendekar ini. Dan begitu pagi itu juga Kim-mo-eng meninggalkan perkemahan suku bangsanya maka di lain tempat, di dunia persilatan geger tentang Sam-kong-kiam yang dicuri pendekar itu telah menyebar bagai wabah penyakit.

Pertama-tama, pagi itu juga ketika Kim-mou-eng memasuki wilayah Tiong-goan (pedalaman) dia sudah dihadang tiga laki-laki pendek bertubuh kekar. Kim-mou-eng terkejut melihat tiga laki-laki ini, mengenalnya sebagai Sin-to Sam-enghiong (Tiga Laki-laki Gagah Bergolok Sakti). Cepat menghampiri dan menyapa mereka dengan girang. Barangkali tiga orang ini tahu tentang jejak pencuri. Tapi ketika tiga laki-laki itu tertawa mengejek dan mendengus ke arahnya maka Beng Kwan, orang tertua dan Sin-to Sam-enghiong itu mendamprat,

“Kim-mou-eng, sungguh tak kukira kalau sekarang kau pun pandai bersandiwara. Siapa tak tahu pencuri itu sekarang ada di depan kami. Kaulah pencurinya, dan sekarang serahkan Pedang Tiga Sinar itu kepada kami!”

Kim-mou-eng kaget. “Kalian gila?”

“Ha ha, yang gila adalah dirimu, Kim-mou-eng. Dari seorang pendekar tiba-tiba kau berobah menjadi seorang penjahat. Serahkan Sam-kong-kiam atau kami akan membunuhmu...!”

“Sing!” golok dicabut, tiga orang itu berdiri gagah dalam tiga sudut. Kim-mou-eng sudah dikepung dan pendekar ini terbelalak, melihat lawan maju setindak dengan golok bergetar. Tahulah dia lagi-lagi orang tak main-main dengannya, persis seperti sikap Lauw-ciangkun dulu. Dan ketika Kim-mou-eng menyeringai pahit ke arah orang-orang ini maka Beng Kwan sudah kembali membentaknya.

“Kau tak mau menyerahkan Sam-kong-kiam?”

“Hm....!” perdekar ini akhirnya menghela napas. “Aku tak tahu di mana pedang itu, saudara Beng Kwan. Kalau kalian menuduh diriku maka kalian keliru. Aku betul-betul bukan pencurinya, justeru aku sedang mencari pencuri itu untuk kubekuk...!”

“Bohong, kalau begitu mampuslah!” dan Beng Kwan yang membentak menerjang ke depan tiba-tiba memutar tangannya menggerakkan golok. Senjata itu sudah mendesing di kepala lawan.

Kim-mou-eng mengelak tapi Beng San di sebalah kiri menubruk, golok di tangan orang kedua dari Sin-to Sam Enghiong itu juga berkelebat. Dan ketika Kim-mou-eng melompat tapi Beng Kwi di sebelah kanan juga membentak membantu dua kakaknya tiba-tiba tiga sinar golok sudah saling menyilang membacok Pendekar Rambut Emas ini.

“Plak plak plak!” Pendekar Rambut Emas terpaksa menangkis, marah tapi juga mendongkol karena dia dituduh mencuri, korban dari kekeliruan yang tidak dapat ditolerir. Dan ketika tiga kakak beradik Beng itu berseru keras mengeroyoknya dari segala perjuru tiba-tiba pendekar ini berseru, “Sin-to Sam-enghiong, kalian salah menuduh orarg. Minggirlah!”

Namun tiga kakak beradik itu menggeram. Mereka justeru memperhebat serangan, sekarang tubuh mereka beterbangan dengan melepas golok-golok kecil pula, itulah hui-to (golok terbang) yang membantu mereka merobohkan lawan.

Pendekar Rambut Emas marah. Dan ketika seruannya kembali tak digubris dan tiga laki-laki pendek itu tetap menyerangnya dengan semakin buas saja, tiba-tiba dia menggerakkan lengan kirinya mengerahkan Tiat-lui-kang. “Baiklah, sekarang aku terpaksa meminggirkan kalian...!”

Berkata begitu pendekar ini membentak, golok dipapak dengan tangkisan tangan telanjangnya, sinar merah berkelebat. Itulah Pukulan Petir. Dan ketika tiga golok bertemu keras dengan lengan pendekar ini mendadak tiga kakak beradik itu berteriak kaget karena senjata mereka patah patah sementara hui to-hui to yang mereka hamburkan juga runtuh mengenai tubuh Kim-mou-eng.

“Tak-tak-tak!”

Sin-to Sam-enghiong terkejut. Mereka memang bukan tandingan pendekar ini. Kim-mou-eng terlalu lihai bagi mereka. Dan ketika golok patah,patah dan mereka pun roboh terpelanting maka Pendekar Rambut Emas sudah berseru melompat tinggi keluar dari kepungan, berjungkir balik dan tiba-tiba sudah berada jauh di depan. Dan ketika pendekar itu mengembangkan lengannya dan lari dengan lompatan-lompatan panjang tiba-tiba pendekar itu sudah meluncur meninggalkan mereka.

“Sin-to Sam-enghiong, kalian orang-orang bodoh. Kalau aku penjahatnya tentu kalian sudah kubunuh...!”

Tiga laki-laki gagah ini bengong. Mereka meujublak melompat bangun, lawan sudah jauh dan lenyap di sana. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluarkan kata-katanya itu dan mereka memang tak diapa apakan mendadak ketiganya terkesima dan tertegun di tempat. Beng Kwan sadar lebih dulu, patahan golok di tangannya dibuang. Tapi begitu lawan menghilang di depan tiba-tiba dia mengejar.

“Kejar, tangkap dia....!”

Dua adiknya tersentak mengikuti. Mereka tahu memang bukan tandingan Kim-mou-eng, meskipun begitu toh tetap tiga kakak beradik ini mengejar. Ada kesan tak tahu diri. Tapi karena Kim-mou-eng telah lenyap dan kepandaian tiga kakak beradik itu jauh bila dibanding Pendekar Rambut Emas, maka ke manapun mereka mengejar tetap saja bayangan lawan tak kelihatan.

Kim-mou-eng sudah jauh dari tempat itu, berlari cepat menggaruk-garuk telinga sendiri. Ada perasaan gatal di situ, bukan di telinganya melainkan di hatinya. Dia menjadi gemas olah perbuatan pencuri Sam-kong-kiam itu. Dan ketika hari itu dia melanjutkan perjalanannya dan mendongkol oleh tuduhan mencuri maka hari kedua tiba-tiba dia dikepung lima puluh orang lebih di atas sebuah bukit.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam kepada kami....!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia terkejut melihat begitu banyaknya orang, bermacam macam mereka itu. Ada yang tinggi besar dan ada yang kurus ceking. Semuanya membawa senjata, sebagian besar tak dikenal. Tapi mudah diduga mereka adalah orang-orang kangouw. Dan ketika Kim-mou-eng menjublak dengan kening berkerut kerut maka pembentak yang berewokan itu melompat maju berseru kembali,

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam kepada kami!”

Kim-mou-eng tiba-tiba teringat. Dia sekarang tahu siapa gerangan si brewok ini, bukan lain Si Kapak Hitam seorang bajak sungai yang dulu pernah dirobohkannya ketika bajak itu mengganggu seorang hartawan, kini dapat mengetahui pula rombongan apa yang ada di belakang Si Kapak Hitam ini, orang-orang hek-to (golongan sesat). Kim-mou-eng tiba-tiba tersenyum dan tawar memandang lawannya itu. Dan ketika Si Kapak Hitam mengacungkan senjatanya dan tertegun melihat senyum Pendekar Rambut Emas maka Pendekar Rambut Emas berkata kepadanya,

“Kapak Hitam, sudah lama kita tidak bertemu. Sekarang bertemu datang-datang kau meminta Sam-kong-kiam. Apa kalian mau merampok? Aku tak membawa pedang. Barang yang kau sebut-sebut itu justeru aku sendiri belum pernah melihatnya.”

“Bohong!” bentakan nyaring di belakang Si Kapak Hitam melengking mengejutkan. “Kau tak perlu banyak bicara lagi. Kapak Hitam. Ayunkan senjatamu dan kita bunuh si Rambut Emas ini.”

“Benar!” yang lain tiba-tiba berteriak. “Serang dia, Kapak Hitam. Ayunkan senjatamu dan bunuh si Tar-tar ini.”

Kapak Hitam terkejut. Kawan-kawan di belakangnya menyuruh dia menyerang, padahal mereka sendiri berkaok-kaok tak ada yang maju. Orang-orang sesat itu menunggu yang lain untuk menyerang di belakang, betapapun mereka mengetahui benar kelihaian Kim-mou-eng ini. Kim-mou-eng tersenyum lebar. Kapak Hitam ragu, terang tak berani menyerang pendekar itu. Dan ketika kawan-kawan di belakang mendorong-dorong Si Kapak Hitam ini dan mereka mulai memaki laki-llaki itu pengecut mendadak Kapak Hitam membalik menghadapi pemakinya itu.

“Seng Cui, coba kau dulu yang maju ke sana. Ingin kulihat apakah kau berani atau tidak. Jangan cuap-cuap saja!”

“Kenapa tidak berani? Aku bukan pengecut macam dirimu, lihat..!” dan Seng Cui yang marah ditantang begitu dan belum mengenal sendiri kepandaian Kim-mou-eng tiba-tiba dengan galak dan sombong melompat ke depan, senjatanya sebatang golok pipih yang luar biasa tajam, tajamnya melebihi silet! Dan ketika dia membentak dan teman-temannya menyoraki tiba-tiba Seng Cui sudah menubruk dan menyabet kepala lawan.

“Ciitt...!” suara golok seperti tikus mencicit, tipis namun tajam didahului angin dinginnya yang meluncur ke depan. Agaknya angin suaranya saja cukup menabas buntung leher seseorang. Kim mou-eng tenang tidak mengelak, tubuh pun tidak bergerak kecuali lengan kiri diangkat, menangkis pukulan itu. Tentu saja pendekar ini mengerahkan sinkangnya di lengan kiri, siap menghadapi sabetan senjata tajam. Dan ketika golok mendesing keras dan lengan itu ganti dibacok tiba-tiba senjata di tangan laki-laki itu patah dan mental menyambar tuannya sendiri.

“Pletak...”

“Aduuh...!” Seng Cui menjerit bergulingan, ujung goloknya sendiri menancap di bahu kanan. Terang saja dia menjerit dan kaget bukan main. Orang-orang lain terbelalak melihat kelihaian Pendekar Rambut Emas. Tapi begitu Seng Cui meringis kesakitan dan melompat bangun sambil mendesis-desis mendadak semuanya tertawa melepas ejekan.

“Seng Cui, golokmu terlalu rapuh. Agaknya terbuat dari plastik hingga tidak mempan membacok orang!”

“Ha ha, barangkali dia kelelahan, Lam-twako. Semalam dari rumah bunga menikmati pacarnya!”

“Benar, barangkali dia kelelahan. Atau memang tidak becus, ha ha....!” dan ejekan sana sini yang membuat laki-laki itu merah padam akhirnya dihentikan seseorang yang berkumis melintang dengan bentakannya yang parau,

“Kawan-kawan, tak ada guna mengejek teman sendiri. Pendekar Rambut Emas ini tak boleh dihadapi satu lawan satu, kita semua harus maju bersama!”

Orang-orang terkejut. Mereka seketika sadar, berkurangnya seorang dari mereka memang berarti berkurangnya tenaga, seberapa lemah pun tenaga itu. Maka begitu si kumis melintang ini berseru dan ejekan terhadap Seng Cui hilang dengan sendirinya maka laki-laki itu sudah menggerakkan kedua lengannya, lengan yang hitam dan kokoh, maka berkerotok terdengar dari situ.

“Bagaimana, kawan-kawan? Kalian siap?”

“Kami siap!”

“Kalau begitu mari maju, serang dan bunuh Kim-mou-eng ini” dan si lengan hitam yang sudah berputar dan menubruk dari belakang tiba-tiba diikuti semua temannya yang bersorak menggegap gempita. Kim-mou-eng seolah seekor harimau diantara kerumunan srigala-srigala buas. Senjata dan pukulan pun terayun. Si Kapak Hitam sendiri sudah menggerakkan kapaknya itu dengan ayunan keras, juga dan belakang, tak berani berdepan karena gentar menghadapi pendekar itu. Dan ketika yang lain berteriak dan Kim-mou-eng diserang dari segala penjuru maka Pendekar Rambut Emas sudah dihujani bermacam pukulan dan senjata yang meluncur bagaikaan hujan deras.

Pendekar ini terbelalak. Orang-orang itu seperti iblis-iblis haus darah saja, tentu saja dia tak mau menjadi korban. Maka begitu lawan menerjang dan si lengan hitam serta si Kapak Hitam juga menyerangnya dari belakang mendadak pendekar ini berseru keras menjejakkan kakinya, mumbul dan mencelat ke atas tinggi sekali. Lawan-lawannya terkejut karena sasaran di tengah hilang, Kim-mou-eng mendadak lenyap. Dan ketika mereka berseru kaget karena senjata dan pukulan beradu sesama teman sendiri mendadak Kim-mou-eng meluncur turun menyapukan kakinya.

“Kalian tikus-tikus busuk!”

“Des des dess!”

Orang-orang itu berteriak. Mereka kaget mendapat sapuan keras dan atas ke bawah, semuanya menjerit dan separuh dari pengeroyok terlempar bergulingan. Tentu saja mereka terkesiap. Dan ketika yang separuh lagi terbelalak dan melotot dengan mata tak percaya sekonyong-konyong pendekar ini telah berkelebatan dan menyapu mereka pula dangan dorongan lengannya yang mengeluarkan angin dahsyat, mereka terjungkal dan berteriak menyusul teman-temannya yang terdahulu, tubuh-tubuh berpelantingan dan kepungan itu pun hancur total. Tak ada yang sanggup menahan. Dan ketika mereka menjerit tunggang-langgang oleh balasan Pendekar Rambut Emas sekonyong-konyong pendekar itu telah lolos dan turun bukit meluncur jauh di sana.

“Heii...!”

“Aaah...!”

Orang-orang terkesima. Gebrakan cepat yang berlangsung tak lebih sepuluh detik itu membuat mereka bengong, kaget dan gentar tapi juga kagum kepada pendekar sakti itu. Kim-mou-eng betul-betul hebat. Tapi begitu mereka sadar dan bayangan badan Kim-mou-eng di pelupuk mata mendadak si lengan hitam yang menemani Kapak Hitam dan tadi terjungkal oleh tendangan Kim-mou-eng berteriak. Dia pun sudah mendahului orang-orang ini rupanya penasaran dan marah oleh gebrakan yang cepat itu. Sekarang mengejar dan mengajak teman-temannya menuruni bukit, yang lain mengangguk dan timbul keberanian karena mereka ternyata tak apa-apa.

Sama sekali tak ada luka atau cidera, mereka menganggap Kim-mou-eng kurang kuat merobohkan mereka padahal sebenarnya Pendekar Rambut Emas itu memang tak suka menurunkan tangan besi, lain dengan sumoinya yang tentu sekali pukul akan membunuh atau melukai lawan, pendekar ini memang amat lemah hati. Dan ketika si lengan hitam itu sudah mengejar dan lain-lainnya berteriak-teriak menuruni bukit pula maka bagai seekor tawon dikejar puluhan kumbang pendekar ini sudah disusul dan diteriaki dari belakang.

Kim-mou-eng gemas. Sebenarnya kalau dia mau orang-orang itu dapat dibunuhnya dengan pukulan sinkangnya yang ampuh. Dia tak mau melakukan itu karena dia memang bukan type pembunuh. Pendekar ini terlampau welas asih untuk menurunkan tangan maut. Maka melihat lawannya mengejar tak tahu diri dan teriakan mereka itu membuat dia mendongkol tiba-tiba pendekar ini mengerahkan ginkang dan terbang dengan luar biasa cepat. Sebentar saja dia sudah merupakan titik kecil di kejauhan sana. Lawan-lawannya sudah tertinggal. Dan ketika lawan melongo berseru “ah-eh” maka pendekar ini telah lenyap tak nampak bayangannya lagi.

Orang-orang itu bingung. Mereka tak tahu kemana harus mengejar. Pendekar Rambut Emas tak diketahui ke barat atau ke timur. Tapi karena mereka orang-orang sesat dan kelemahan hati pendekar ini diterima salah oleh orang-orang yang tak tahu diri itu maka mereka akhirnya mencar dan mencari ke mana saja pendekar itu dapat dicari. Berita di atas bukit itu sudah menyebar dari mulut ke mulut, kian santer saja berita pencurian ini merugikan Kim-mou-eng. Orang orang menambahinya dan membubuhinya sedemikian rupa, Kim-mou-eng tak tahu akan itu. Dia sudah lolos dari kepungan ini, merasa sedikit aman. Tapi ketika pada hari ketiga Kim-mou-eng memasuki wilayah Hok kian dan mencari cari jejak pencuri mendadak gangguan baru datang.

Dia sedang enak-enak menyusuri sebuah telaga kecil, pandangan termenung sementara hati pun gelisah. Batas waktu perjanjiannya dengan bangsanya kian mendekat, begitu pula janji pada sumoinya. Dia harus pulang, padahal jejak pencuri belum terungkap. Dan ketika dia mencari-cari dengan pandangan geram dan harus kucing kucingan dengan orang-orang pemerintah tiba-tiba tujuh bayangan beekelebat mengepungnya.

“Kim-mou-eng serahkan sam-kong-kiam!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat mereka terdiri dari lima laki-laki dan dua wanita. Yang wanita berbaju kembang dan cantik. Mata mereka tajam dan pedang berselinap di belakang punggung, gagah mereka itu. Dan ketika Kim-mou-eng terheran memandang yang lain karena lima laki-laki itu juga berpakaian aneh karena tiga di antaranya mengenakan pakaian tambalan meskipun bersih dan rapi maka dua yang terakhir merupakan dua orang tosu yang rambutnya digelung ke atas. Sekilas, mereka orang baik-baik.

Maka Kim-mou-eng yang tertegun dan terheran tak mengenal mereka tiba-tiba menjura dan coba tersenyum dengan sapaan manis, “Cuwi enghiong (orang-orang gagah), siapakah kalian dan bagaimana datang-datang mengepung diriku? Apakah kesalahanku?”

“Hm, kau tak perlu berpura-pura, Kim-mou-eng. Aku datang diutus pemimpinku untuk meminta Sam-kong-kiam” seorang di antara tiga yang bertambalan membentak.

“Sam-wi (kalian bertiga) siapakah?”

“Kami dari Pek-tung-pang (Perkumpulan Tongkat Putih). Pangcu (pemimpin) kami meminta agar kau menyerahkan pedang keramat itu!”

“Hmm, dan si-wi (kalian berempat) yang lain ini?”

“Kami tosu dari Koang-san, kami berdua wakil-wakil yang diutus untuk mencarimu!”

“Dan kami dari Hwa-i-pai (Partai Baju Kembang). Kim-mou-eng, meskipun kita belum pernah jumpa tapi perbuatanmu di kota raja telah terdengar di mana-mana. Pangcu (ketua) kami menyuruh agar kau menyerahkan kembali Sam-kong-kiam. Atau kalau tidak, terpaksa kami menyeretmu ke Hwa-i-pai dengan paksaan!”

Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa lebar. “Nona, adakah kalian lihat aku membawa-bawa pedang? Justeru kalian yang membawa pedang, aku tak tahu apa-apa tentang Sam-kong-kiam dan sesungguhnya aku telah difitnah. Kalian keliru. Sebaiknya kalian bantu aku karena akupun sedang mencari pencuri sialan itu!”

“Jangan bohong!” wanita cantik di sebelah kiri menghardik. “Kau tak perlu mempermainkan kami, Kim-mou-eng. Sekarang hanya dua pilihan bagimu, serahkan Sam-kong-kiam baik-baik atau kami akan memaksamu mengeluarkan pedang itu!”

“Baiklah,” Kim-mou-eng tertawa getir. “Kalau benar itu ada padaku dan kini kuserahkan pada kalian lalu hendak kalian kemanakan pedang itu? Apa maksud kalian menyuruhku menyerahkan Sam-kong-kiam?”

Dua wanita cantik itu tertegun. “Kami akau menyerahkannya kepada ketua kami di Hwa-i-pai.”

“Tidak,” pengemis dari Pek-tung-pang membantah. “Pedang itu harus diserahkan dulu pada pangcu kami, Kim-mou-eng. Baru setelah itu yang lain berhak melihatnya!”

“Oh, kalian ingin memilikinya sendiri?”

Tiga pengemis itu tertegun. Tapi belum mereka ribut-ribut sendiri dengan sesama teman maka tosu dari Koang-san sudah memalangkan toyanya. “Ngo-wi-enghiong (lima orang gagah), jangan terjebak oleh pertanyaan-pertanyaan Kim-mou-eng ini. Sekarang kita semua ditugaskan merampas pedang itu, sebaiknya tak perlu kita bertengkar dan hati-hati dengan omongannya. Tak ada satu pun di antara kita yang ingin memiliki pedang secara pribadi, kita masing-masing diperintah ketua kita untuk mengambil Sam-kong-kiam. Nah, hindari pertikaian sendiri sebelum pedang itu tampak di depan mata...!”

“Ha-ha!” Kim-mou-eng tertawa geli. “Kau cerdik, totiang. Tapi rupanya sekarang dapat kutangkap maksud ketua-ketua kalian itu. Rupanya mereka ada ambisi pribadi, kalian tak ingin tapi ketua kalian yang bakal berebut. Ah, kalian pun rupanya sama saja dengan orang-orang sesat itu. Ingin merampas Sam-kong-kiam tapi demi kemilikan pribadi. Baiklah, itu urusan kalian tapi kukatakan terus terang bahwa aku tak membawa-bawa atau mencuri Sam-kong-kiam...!”

Kim-mou-eng tiba-tiba kecewa, teringat orang-orang sesat yang ditinggalkannya itu dan kini melihat bahwa urusan ini mulai berkembang sebagai urusan “hak milik”. Orang-orang itu menghadangnya dan ingin merampas Sam-korng-kiom bukan untuk dikembalikan ke istana melainkan ingin dimiliki sendiri. Jadi mereka mulai keluar dari rel kebenaran, padahal dia sendiri mencari Sam-kong-kiam untuk dikembalikan peda kaisar, bukannya dikangkangi untuk diri sendiri.

Maka begitu kekecewaan mengusik hatinya dan sikapnya mulai tidak ramah maka dua wanita cantik dari Hwa-i-pai dan tiga pengemis dari Pek-tung-pang mulai beringas, sementara tosu dari Koang-san rupanya masih tenang-tenang saja meskipun pandang mata mereka mulai berkilat, agaknya dua orang tosu ini memiliki kepandaian paling tinggi diantara kawan kawannya.

“Kau tak mau menyerahkan Sam-kong-kiam?” seorang di antara dua wanita cantik itu membentak.

“Apa yang harus kuserahkan?” Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Aku tak membawa Sam-kong-kiam atau memiliki pedang itu...!”

“Kalau begitu kami harus memaksamu, rupanya nama besarmu membuat dirimu sombong...”

“Srat!” Dan dua wanita cantik dan Hwa-i-pai yang mencabut pedangnya itu tiba-tiba bersiap-siap dengan satu kaki di depan, mata mereka bersinar-sinar, sementara tiga pengemis dari Pek-tung-pang juga mencabut tongkat mereka, tongkat putih yang bergetar di jari-jari yang kokoh.

Dan Kim-mou-eng tahu pertandingan tak mungkin dielakkan lagi. Dia jadi tak senang tapi tiba-tiba timbul keinginannya untuk mengetahui kepandaian dari orang-orang itu. Mereka merupakan tokoh-tokoh baru baginya, memang baru kali ini dia menginjakkan kakinya di kota Hok-kian. Dan ketika dua tosu dari Koang-san mengusap usap toya mereka dan toya itu mengebulkan asap maka Kim-mou-eng gembira dan tahu dugaannya kiranya betul. Dua tosu itu rupanya harus mendapat perhatian istimewa.

“Ha-ha, kalian akan mengeroyokku, cuwi-enghiong? Bagus, aku tak ingin bertanding tapi kalian yang rupanya memaksa. Baiklah, majulah...!”

Kim-mou-eng menggosok-gosok tangannya, sinar kemerahan menyala karena dia mengerahkan Tiat-lui-kangnya (Tenaga Petir), semua lawan terkejut dan terbelalak. Mereka sudah mendengar kelihaian Tiat-lui-kang. Tapi karena belum bertempur memang belum mengenal maka wakil dari Hwa-i-pai tiba-tiba melengking dan mulai melancarkan serangannya....

Pedang Tiga Dimensi Jilid 02

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“HMM....!” Kim-mou-eng kecut, mengangguk tapi tersenyum memandang sumoinya. Sumoinya itu bersungguh-sungguh. Tentu saja dia tak mau berbohong. Tapi ketika dia hendak berangkat dan melepas lengan sumoinya mendadak sumoinya itu terisak dan menutupi muka dengan sedih.

“Kau hanya akan meninggalkan aku begini saja, suheng?”

Kim-mou-eng terkejut. Cepat dia menjadi tangkap akan suara sumoinya yang penuh kecewa. Seminggu ini dia mengurung diri tak melayani sumoinya. Tentu saja sumoinya kecewa. Dan ketika sumoinya memutar tubuh dan terisak meninggalkannya mendadak Kim-mou-eng berkelebat menyambar sumoinya ini. “Sumoi, tunggu...!”

Salima tertangkap, ditarik dan kembali diputar menghadapi dirinya. Mata yang basah itu terpejam, bibir digigit kuat-kuat karena gadis Tar-tar itu menahan kecewa. Isaknya hampir meledak menjadi sedu-sedan. Tapi ketika Kim-mou-eng menarik tubuh sumoinya ini dan mencium bibir yang bergetar lembut itu sekonyong-konyong Salima mengeluh dan roboh di pelukan suhengnya ini. “Ooh, kau kejam, suheng. Kejam....!”

Kim-mou-eng terharu. Dia sekarang sadar betapa selama ini sumoinya menanti-nanti belaian cintanya. Dia seolah tak perduli karena tenggelam dalam urusannya dengan suku bangsanya itu. Kini dengan penuh sayang dan lembut dia mengecup bibir sumoinya itu. Dan ketika sumoinya roboh namum keluhan bahagia meluncur dari mulut yang menggigil itu. Kim-mou-eng sudah melepaskan sumoinya dengan helaan napas berat, menekan degup jantung yang tiba-tiba berkobar dengan hangat.

“Sumoi, maaf. Aku memang hampir lupa. Sekarang kau puas, bukan?”

Salima membuka mata. Bibir yang tadi digigit itu tiba-tiba mengembang dalam senyum malu-malu. Sifat kewanitaannya muncul. Salima jengah, pipi bersemu dadu dan Kim-mou-eng kembali menekan detak jantungnya yang bertalu-talu. Ah, betapa manis sumoinya itu. Betapa menggairahkankan. Kalau saja tak ada urusan ini tentu dia lupa daratan. Kembali dengan lembut dia mencium pipi sumoinya. Dan ketika sumoinya mengerang namun Kim-mou-eng menahan pundak yang hampir roboh itu tiba-tiba pendekar ini tertawa.

“Sumoi, ayo kembali. Selamat tinggal!”

Sang sumoi tertegun. Salima melihat suhengnya telah meloncat jauh, berkelebat dan tinggal titik kecil di kejauhan sana. Gadis Tar-tar ini terpaku. Tapi ketika suhengnya melambaikan tangan dan bekas kecupan itu terasa di pipi dan mulut tiba-tiba Salima tersenyum dan balas melambaikan tangannya. “Jangan lama-lama, suheng. Aku tunggu....!”

Bayangan Kimmou-eng telah lenyap. Pendekat Rambut Emas ini tertawa di balik padang rumput, orangnya telah tiada namun gema tawanya mengiang di telinga Salima. Gadis ini termangu-mangu. Tetapi ketika sadar dan berbisik menyebut nama suhengnya akhirnya Salima memutar tubuh berkelebat kembali ke perkemahan suku bangsanya.

Dua hari tak ada apa-apa di perkemahan suku bangsa ini. Semuanya berjalan seperti biasa, bangsa Tar-tar kembali menunggu meskipun dengan perasaan mendongkol. Kini Salima memimpin mereka mewakili Kim-mou-eng. Tak ada yang berani main-main dengan gadis yang satu ini. Salima dikenal keras, wataknya kaku dan gampang tersinggung. Meskipun Salima merupakan gadis satu-satunya yang paling jelita di situ namun tak seorang pun pemuda berani mengganggunya.

Kepandaian gadis ini seperti iblis. Siapa coba-coba main dengannya tentu dibunuh, karena itulah gadis ini mendapat julukan Tiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Besi). Tapi ketika hari ketiga serombongan orang berkuda mendatangi perkemahan suku bangsa itu mendadak bangsa Tar-tar bangkit berdiri dengan pandangan tidak bersahabat.

Siapa rombongan itu? Bukan lain Bu-ciangkun dan kawan-kawannya. Berputar-putar mereka ini harus mencari tempat itu. Itulah sebabnya tidak berpapasan dengan Kim-mou-eng di tengah jalan. Pendekar Rambut Emas mengenali daerah itu dengan baik, rombongan ini tidak. Dan ketika mereka datang dan orang-orang Tar-tar menyambut mereka dengan sikap dingin tiba-tiba seorang di antara penyambut yang mengenal panglima Bu segera menodongkan senjatanya.

“Bu-ciangkun, siapa memberi ijin berkeliaran di tempat ini?”

Bu-ciangkun terbelalak, menarik tali kekang kudanya yang meringkik. “Kau siapa? Kami adalah tamu. Harap jangan kurang ajar dan bersikap hormat!”

“Hm, bangsa Han tak menghormati bangsa Tar-tar, Ciangkun. Untuk apa menghormati orang yang tidak bisa menghormati orang lain? Kau turunlah, kaulah yang harus hormat kepada kami!” orang itu tiba-tiba menyendal tali kuda Bu-ciangkun dipaksa dengan kasar.

Tentu saja panglima ini marah. Dan karena dia pada dasarnya seorang berangasan dan sikap orang Tar-tar yang tak di kenalnya iiu dianggap menghinanya mendadak panglima ini menggerakkan kaki menendang orang itu. “Minggir....!”

Dagu orang ini tersepak, kontan roboh dan terpelanting mengaduh kesakitan. Senjatanya bergerak namun Bu-ciangkun menangkap. Dan ketika orang itu terpekik dan Bu-ciangkun membetot tiba-tiba pemuda Tar-tar ini terangkat naik dan terbanting di tanah yang keras. “Brukk!”

Orang-orang Tar-tar yang lain terkejut. Rombongan Bu-ciangkun yang lain juga terkejut, mereka tersentak. Tentu saja berseru agar panglima Bu mengendalikan kemarahannya. Tapi ketika pemuda Tar-tar itu berteriak dan bangun berdiri mendadak dia memberi aba-aba pada temannya,

“Serang, bunuh anjing-anjing kaisar ini!”

Hek-eng Taihiap dan teman temannya kaget. Mereka tiba-tiba saja dimaki sebagai anjing, orang-orang Tar-tar itu menghina mereka dan menyerang bagai setan haus darah. Padahal beberapa waktu yang lalu mereka adalah sahabat. Hek-eng Taihiap menjadi tidak senang dan marah pada orang-orang ini. Dan karena mereka menyerang dan lembing serta panah mulai menyambar dari segala penjuru tiba-tiba Pendekar Garuda Hitam ini melayang turun mengibaskan kedua lengannya ke kiri kanan.

“Tahan, kami datang bukan untuk saling bermusuhan!”

Tapi orang-orang Tar-tar menjadi buas. Mereka tak perduli seruan pendekar itu, si pemuda pertama yang dibanting Bu-ciangkun sudah membakar teman temannya lagi untuk menyerang. Dan ketika tombak dan panah kembali berhamburan menyerang mereka akhirnya Bu-ciangkun yang juga marah mencabut tombaknya berseru lantang,

“Minggir, atau kalian kami robohkan!” dan tombak si panglima yang bergerak menyambar ke segala penjuru tiba-tiba menangkis dan mementalkan senjata orang-orang Tar-tar itu, tiga di antaranya patah. Bu-ciangkun berseru pada teman-temannya agar mereka jangan membunuh. Dan ketika yang lain juga berkelebat dan membentak orang-orang itu akhirnya tigapuluh penyerang roboh tunggang-langgang dengan muka kaget.

Sekarang orang-orang ini terkejut. Mereka sadar bahwa lawan yang dihadapi adalah lawan-lawan yang berkepandaian tinggi. Sejenak mereka mendelong. Pemuda pertama yang tadi membakar teman-temannya juga kelihatan kaget, termangu dan meringis karena untuk kedua kalinya dia dibanting Bu-ciangkun tadi, punggungnya serasa patah. Tapi sementara orang-orang itu terkesima dan gentar namun tetap penuh benci memandang rombongan Bu-ciangkun itu, mendadak seratus orang Tar-tar mendatangi tempat mereka dengan derap kuda mencongklang.

“Kaliyin, siapa yang kalian hadapi itu?”

Kaliyin, pemuda pertama yang membakar teman-temannya girang. Itulah rombongan Bora dan Siga yang datang bersama kawan kawannya. Dari jauh mereka tak mengenal Bu-ciangkun karena terhalang Kaliyin dan teman temannya. Kini rombongan baru itu tiba dan Bu-ciangkun merasa girang, merasa kenal baik dengan orang di depan yang berteriak itu, Siga.

Dan ketika rombongan ini mendekat dan Kaliyin melompat maju maka pemuda Tar-tar yang memandang penuh benci ke arah musuhnya itu berseru, “Dia Bu-ciangkun dan teman temannya. Siga. Datang mengacau dan menyerang kami?”

Rombongan itu telah berhenti. Siga sudah berhadapan dangan rombongan Bu-ciangkun ini, mereka sama-sama mengenal. Bu-ciangkun berseri-seri tapi Siga bermuka gelap. Lagi-lagi Bu-ciangkun dan rombongannya ini menjadi tidak sedap oleh penyambutan kawan. Orang orang Tar-tar itu aneh. Dan ketika Siga mendengus dan meloncat turun dari kudanya maka teman temannya yang lain mengikuti dan suara tidak ramah menyambut panglima ini,

“Bu-ciangkun, ada apa kau datang kemari merobohkan anak-anak buah kami? Kau mau unjuk kepandaianmu dan bersikap pongah?”

Bu-ciangkun tertegun.

“Dan kau menyerang orang Tar-tar. Berarti kau musuh dan bukan sahabat!”

“Tidak?” Bu-ciangkun kini tersentak. “Kami tidak menyerang orang orangmu kalau tidak lebih dulu kami diserang, Siga. Anak buahmu kurang ajar dan bersikap tidak sopan kepada kami. Kaliyin ini yang memulai keributan!” Bu-ciangkun menunjuk Kaliyin, kini mengenal nama pemuda itu dan melotot.

Namun Siga yang mendengus tidak bersahabat ternyata berseru pada teman-temannya, “Kepung, tangkap mereka!”

“Ah!” Bu-ciangkun kaget. “Kami datang bukan untuk bermusuhan, Siga. Kami datang untuk menemui Pendekar Rambut Emas. Tahan dulu!”

“Ada urusan apa?”

“Urusan pribadi, kami mau menanyakan kenapa dia mencuri Sam-kong-kiam?”

Inilah tuduhan yang tidak tedeng aling-aling lagi. Bu-ciangkun terlalu blak-blakan dalam membicarakan keperluannya itu, teman-temannya terkejut sementara Siga dan anak buahnya juga terbelalak. Pemimpin mereka, Kim-mou-eng, dituduh mencuri! Kontan Siga dan seratus anak buahnya marah, kaget dan gusar.

Dan ketika Bu-ciangkun menerangkan lagi tentang pencurian Pedang Tiga Sinar yang terjadi di kota raja beberapa hari yang lalu ini mendadak Siga dan anak buahnya merah padam mendengar tuduhan itu. Bu-ciangkun terlalu gegabah, dasar berangasan. Dan ketika panglima itu selesai bicara dan Siga mengetahui benar bahwa selama beberapa hari itu Kim-mou-eng tak ke mana-mana mendadak pemuda Tar-tar yang gagah dan marah ini mengangkat lengannya tinggi-tinggi.

“Bohong, kalian melempar fitnah!” dan, memberi aba-aba pada anak buahnya yang sudah mencabut senjata tiba-tiba Siga menerjang maju, menyerang panglima Bu ini. “Serang mereka, bunuh....!”

Kagetlah rombongan Bu-ciangkun. Siga dan seratus anak buahnya menyerang tanpa banyak kata-kata lagi. Semua beringas dan menyerbu dengan senjata di tangan. Untuk kedua kalinya Bu-ciingkun dan lima temannya dibuat terkesiap. Tapi karena lawan sudah menyerang dan Kaliyin serta teman-temannya yang lain juga meloncat dengan senjata padanya maka Bu-ciangkun dan teman-temannya dikeroyok puluhan orang seperti harimau dikeroyok sekumpulan anjing srigala.

“Trang trang trangg...!”

Rombongan kecil ini tak dapat menjelaskan lagi. Mereka sudah menangkis dan memutar senjata sendiri, dua muda-mudi di belakang bergerak mencabut pedang mereka. Itulah Sin Kok dan Hwi Ling, purera puteri mendiang Ang Bin-ciangkun yang tewas di tangan Gurba. Pertempuran pecah dengan jumlah yang tidak berimbang. Dan ketika bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan mulai terdengar di tempat itu disusul robohnya tubuh yang menjerit oleh kemplangan atau tusukan senjata akhirnya Bu-ciangkun dan teman-temannya membela diri dan terpaksa membuka jalan darah.

“Siga, kalian bangsa liar yang tak tahu aturan....” Bu-ciangkun sendiri sudah menarik tombak di tangan Siga, mengerahkan Kang-jiu-kangnya dan mainkan Kang-jiu Sim-hoat yang membuat lengan lengannya sekeras baja. Tombak di tangan lawan dipentalkan namun Siga menyerang lagi. Pemuda Tar-tar ini cukup hebat, jelek-jelek dia murid Gurba tidak resmi. Permainan senjata di tangan amat gagah dan kuat. Dan ketika teman-temannya yang lain coba membantu pemuda ini namun Siga tersinggung karena tak mau mengereyok maka Bu-ciangkun sudah mendapat patukan mata tombaknya yang menyambar nyambar panglima tinggi besar ini.

Pecahlah pertempuran sengit di situ. Hek-eng Taihiap sendiri terpaksa berkelebatan, Cu-ciangkun juga menggerakkan tombak tombak mereka menghalau musuh. Lima enam orang mulai terguling tak dapat bangun. Darah mulai mengalir namun rombongan ini tetap menjaga agar tidak ada lawan terbunuh. Sin Kok dan adiknya juga begitu, mereka mendapat peringatan Cu-ciangkun agar menahan panasnya hati, lawan dibuat roboh dengan goresan atau tusukan pedang yang tidak terlampau berbahaya, tusukan di kaki atau lengan misalnya.

Dan ketika teriakan dan pekik kesakitan mulai terdengar di tempat itu sementara Sin Kok dan Hwi Ling juga mulai koyak koyak pakaian mereka oleh serangan kaum Tar-tar ini maka di pihak lain Hek-eng Taihiap telah merobohkan dua puluh lawan yang mendapat tamparan atau tendangan kakinya. Berturut-turut lawan yang mengeroyok pendekar ini jatuh bangun, satu dua di antaranya patah tulang-tulangnya tak dapat berdiri. Tidak lama lagi tentu pendekar ini dapat terbebas dari kepungan, lawan mulai gentar dan mengalihkan perhatian pada yang lebih lemah, Sin Kok dan Hwi Ling.

Celaka dua muda-mudi ini. mereka mulai mengeluh karena tubuh mulai luka-luka. Hwi Ling bahkan menjerit ketika sebatang tombak nyaris membelah dadanya, tombak dilontar seseorang, dia merendahkan tubuh dan rambutnya sebagian terbabat. Hwi Ling marah. Tapi ketika pertempuran berjalan kian keras dan masing-masing sama sengit karena Bu-ciangkun dan teman-temannya mulai tak dapat mengendalikan emosi mendadak sesosok bayangan ramping berkelebat mengibas ke sana kemari.

“Mundur....!”

Bentakan itu disusul berpelantingannya tubuh-tubuh yang tak dapat menahan. Kaum Tartar bagai disapu angin puyuh, barisan di luar menjerit tunggang-langgang. Di enam tempat bayangan ini bergerak sambil mengibas. Angin pukulannya luar biasa sekali, bagai taufan. Dan ketika sekejap kemudian pertempuran berhenti dan Bu-ciangkun serta teman-temannya sendiri terpental oleh kibasan bayangan ini maka seorang gadis cantik telah berdiri di situ dengan mata berapi-api, tangan berkacak pinggang.

“Bu-ciangkun, apa maksud kalian membuat onar?”

Inilah Salima. Bu-ciangkun bangun berdiri mengusap peluhnya, muka kelihatan kaget tapi anehnya panglima tinggi besar ini tersenyum. Girang karena sumoi dari Kim-mou-eng telah muncul. Tapi sebelum panglima itu memberi jawaban dan dikhawatirkan jawabannya bakal tak menguntungkan mereka maka Hek-eng Taihiap tiba-tiba melompat ke depan membungkukkan tubuhnya dalam dalam, diam diam hatinya tergetar karena kibasan gadis ini telah membuatnya terlempar tiga tombak!

“Lihiap, maafkan kami. Kami tak bermaksud membuat onar kalau pihak anak buahmu tak terlebih dulu menyerang kami. Kami datang untuk mencari Kim-taihiap, mohon diperkenankan bertemu untuk sebuah urusan penting.”

Salima memandang pendekar ini. “Suheng tak ada di tempat, dia pergi. Ada urusan apa hingga jauh-jauh kalian mencari?”

“Kami diutus kaisar, lihiap. Datang untuk....”

“Hai, untuk menghina lagi?” Salima menukas, dengusnya mengejek. “Permintaan apa lagi yang diinginkan kaisarmu itu?”

Hek-eng Taihiap terkejut, melihat sikap yang tidak bersahabat. Tapi sebelum dia menjawab tiba-tiba Siga, yang mengetahui maksud kedatangan orang-orang ini sudah berseru, “Mereka dalang untuk menghina Kim-taihiap, lihiap. Orang-orang ini menuduh Kim-taihiap mencuri pedang!”

Salima terbelalak. “Apa, mencuri pedang?”

“Ya, begitu katanya, lihiap. Dan katanya, yang dicuri adalah Sam kong-kiam!”

Mendadak Salima tertawa nyaring. Gadis yang tadi mengejek itu tiba-tiba geli, merasa ini mengada-ada saja untuk mencari permusuhan. Salima tiba-tiba tak dapat menahan tawanya untuk menertawai orang. Tapi ketika dia menghentikan tawanya dan matanya berkilat memandang lawan maka Hek-eng Taihiap sudah mendapat bentakannya yang dingin,

“Orang she Siok, kalau kalian ingin mencari permusuhan sebaiknya tak perlu melempar fitnah. Suhengku ada di sini beberapa minggu, semua orang tahu itu. Kalau sekarang dituduh mencuri pedang ingin mencari ribut sebaiknya kalian enyahlah sebelum kubunuh. Pergilah, katakan pada Kaisar mu bahwa Kim-mou-eng bukan manusia hina yang suka mendapatkan milik orang lain!”

Hek-eng Taihiap pucat. Sekarang gadis Tar-tar ini bersikap kasar, kata-katanya ketus dan dingin. Sungguh dia terkejut. Dan ketika Salima membalikkan tubuh tak mau menghadapinya lagi tahulah Pendekar Garuda Hitam ini bahwa dia diusir dan gadis itu tak mau memandang muka rombongannya lagi.

“Sombong!” Bu-ciangkun tiba-tiba berteriak. “Kau gadis yang tinggi hati, Salima. Kalau kau mau menghina kami lebih baik kami kau bunuh dan tak perlu mengusir” dan mengejutkan teman-temannya yang lain sekonyong-konyong panglima yang beringasan ini melompat ke depan, kedua lengannya berkerotok menghantam punggung Salima. Rupanya si tinggi besar ini marah.

Tapi Salima yang mendengus tidak mengelak tiba-tiba menggerakkan lengan ke belakang dan berseru, “Robohlah....!”

Panglima Bu terkejut. Dia merasa serangkum angin dahsyat menyambutnya, pukulannya membalik tapi dia nekat. Dan ketika benturan itu terjadi dan angin pukulan bertemu tiba-tiba panglima ini berteriak dan roboh terjengkang. “Bress!”

Bu-ciangkun terguling-guling. Dia terkejut tapi tidak kapok, bangun kembali mengereng bagai singa kelaparan, membentak dan sudah menerjang lagi sementara lawan masih membelakangi punggung. Panglima itu terhina karena lawan tak mau berdepan, sungguh ini dianggapnya terlalu. Tapi ketika pukulan kembali menyambar dan Salima mengibas dengan tangkisan yang lebih kuat lagi mendadak Bu-ciangkun tertolak dan menjerit melontarkan darah segar.

“Dess!” kali ini panglima itu mengeluh. Dia terbanting tak dapat bangun kembali, mukanya pucat dan tidak bergerak-gerak. Kiranya pingsan. Dan ketika Cu-ciangkun menggigil dan menolong rekannya itu maka gadis Tar-tar yang lihai ini berseru,

“Hek-eng Taihiap, kalau teman temanmu tidak mundur dalam hitungan ke sepuluh sebaiknya jangan salahkan aku kalau aku benar-benar akan membunuh kalian. Tuduhan mencuri kutolak, suhengku bukan manusia hina dan jangan membuat darah kami bangsa Tar-tar mendidih!”

Terpaksa, Hek-eng Taihiap memberi isyarat. Salima telah bicara begitu dingin, sikapnya tinggi hati namun dia percaya kegagahan gadis itu. Pada kata-katanya bahwa suhengnya tidak mencuri Sam-kong-kiam, hal yang membuat dia lega. Tapi karena Hek-eng Taihiap juga seorang gagah dan jelek-jelek dia tak mau dihina maka pendekar ini mendesis mengepal tinju,

“Sian-li-lihiap, karena kami memang bukan tamu yang diundang baiklah, kami mau pergi. Tapi satu yang kami kehendaki, kami tatap ingin bertemu dengan suhengmu. Kalau hari ini suhengmu tak ada biarlah di lain waktu kami datang lagi. Betapa pun kami baru puas kalau mendapat jawaban dan suhengmu sendiri!”

Dengan kata-kata ini berarti Hek-eng Taihiap telah menunjukkan keberaniannya, tidak takut untuk datang lagi meskipun kelak Salima mengancamnya. Kini terpaksa pergi karena orang yang dicari tidak ada. Jadi rombongan pergi bukan karena takut kepada Salima melainkan semata karena orang yang dicari sedang pergi. Itulah sifat kegagahan yang telah ditunjukkan pendekar ini.

Salima mendengus tak menjawab. Dan ketika Hek-eng Taihiap memutar tubuh dan memberi isyarat pada Cu-ciangkun dan Sin Kok serta Hwi Ling akhirnya Bu-ciangkun yang pingsan diletakkan di atas punggung kudanya dijaga Cu Kim, panglima kedua dari Cu-hengte (dua bersaudara Cu) itu. Dan begitu mereka menarik tali kekang kuda dan kuda meringkik tinggi tiba-tiba enam orang ini telah meninggalkan perkemahan Tar-tar tanpa banyak bicara lagi.

Orang-orang Tar-tar memandang dengan bermacam perasaan. Sebenarnya mereka gemas, ingin menyerang dan menghabisi orang orang nya kaisar itu. Tapi karena Salima telah melepaskan mereka dan hitungan belum juga diucapkan maka orang-orang ini tak berani menentang dan membiarkan saja rombongan itu dengan mata melotot. Dan Salima sendiri sudah tidak perduli kiri kanan, berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Anak buahnya segera menyusul dan tempat itu pun akhirnya sepi.

Cu-ciangkun dan rombongannya sudah lenyap di balik padang ilalang. Dan ketika semuanya kembali ke tempatnya masing-masing dan yang terluka dibawa untuk dirawat maka bekas pertempuran itu pun senyap seperti sedia kala.

* * * * * * * *

Kim-mou-eng melakukan perjalanan cepat. Sehari itu juga dia telah tiba di kota raja. Memang kepandaian pendekar ini amat tinggi. Kalau Bu-ciangkun dan rombongannya melakukan perjalanan dari kota raja menuju perkemahan bangsa Tar-tar tiga empat hari maka pendekar ini melakukannya cukup sehari. Tapi sayang, Kim-mou-eng tiba di waktu matahari telah terbenam. Dia ragu untuk menemui kaisar di malam hari, tahu kesibukan-kesibukan kaisar dan waktu istirahatnya jadi terpaksa dia menahan keinginan hati untuk segera bertemu.

Dan karena dia sudah memasuki kota raja dan berlenggang seenaknya karena penjaga pintu gerbang dan orang orang lain telah mengenalnya maka pendekar ini tak curiga dan justeru mengangguk setiap bertemu dengan beberapa pengawal di dalam kota, melempar senyum.

Namun aneh. Para pengawal yang dijumpai tiba-tiba tertegun. Mereka itu terbelalak dan tiba-tiba membalikkan tubuh, telinga Kim-mou-eng mendengar beberapa diantaranya mengatakan dia sebagai iblis. Tentu saja pendekar ini mengerutkan kening ganti tertegun. Dia tak mengerti apa maksud sebutan itu, tak tahu hilangnya Sam-kong-kiam di tangan pencuri lihai. Tapi karena dia menganggap sebutan itu sebagai gurauan saja karena dia dianggap memiliki kepandaian seperti iblis yang dapat berkelebat lenyap di depan orang yang sedang berhadapan dengannya maka pendekar ini tersenyum pahit meneruskan langkahnya.

Kim-mou-eng tidak menunjukkan kepandaiannya saat itu, berjalan tenang dan berlenggang seperti biasa. Tiba-tiba menjadi semakin heran dan mengernyitkan kening karena toko-toko yang dilalui mendadak menutup pintu mereka. Ada gerakan-gerakan di belakang, dia mendengar langkah kaki mencurigakan yang mengikuti secara diam-diam. Dihitung jumlahnya tak kurang dari lima puluh orang, kian lama kian bertambah banyak dan samar-samar bayangan berkelebatan dan mana-mana. Pendekar ini merasa heran. Dan ketika dia bermaksud mencari losmen untuk beristirahat karena keesokan paginya dia ingin menghadap kaisar tiba-tiba seratus busu (pengawal istana) muncul di depannya dengan bentakan seorang perwiranya yang dikenal sebagai Lauw-ciangkun, panglima muda Lauw.

“Kim-mou-eng, berhenti....!”

Pendekar ini terkejut.

“Serahkan Sam-kong-kiam dan menyerahlah...!”

Pendekar ini semakin terkejut. Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan mata lak dapat menjawab tiba-tiba lima ratus pasukan pendam muncul dengan gendewa di tangan masing-masing, siap menjepret anak panah ke arahnya. Baru pendekar ini sekarang sadar. “Apa artinya ini, Lauw-ciangkun? Kenapa kalian mengepungku?”

“Hmm...” panglima she Lauw itu bersinar-sinar, tak berani terlalu dekat. “Kau tak perlu berpura-pura, Kim-mou-eng. Kau telah mencuri Sam-kong-kiam dan sekarang kami tangkap. Kau membuat onar dan menghina Sri Baginda!”

Kim-mou-eng tersentak. “Sam-kong-kiam? Aku mencuri Sam-kong-kiam?”

“Tak perlu pilon, Kim-mou-eng. Semua orang tahu perbuatanmu itu dan karena itu sekarang kami akan menangkapmu. Menyerahlah baik-baik, kalau tidak lima ratus batang anak panah akan menghujani tubuhmu tanpa ampun!''

Kim mou-eng mendadak tertawa bergelak. “Lauw-ciangkun, kau bergurau!”

Panglima ini marah. Dia mengangkat lengannya ke atas, lima ratus panah tiba-tiba menjepret sekaligus. Kim-mou-eng terkejut bukan main. Desing anak panah yang menuju satu titik ke arahnya itu benar-benar mau membunuhnya. Dia akan disate! Dan ketika Lauw-ciangkun menunjukkan kesungguhannya dan panglima itu ternyata tidak bergurau tiba-tiba lima ratus panah menghujani pendekar ini dalam waktu hampir berbareng.

“Aaah....!” Kim-mou-eng berseru keras, kaki menjejak bumi dan tiba-tiba tubuhnya meluncur tinggi, tinggi sekali. Tak kurang dari delapan meter. Lima ratus panah tentu saja meleset dan menghujani tempat di mana dia bekas berdiri tadi. Menancap dan sudah membentuk semacam barisan jarum yang menungging dengan ekor di atas, anak panahnya sendiri amblas di tanah menunjukkan betapa hebatnya barisan pemanah itu. Mereka rupanya jago jago panah pilihan. Sebuah lingkaran bersusun berderet rapi di bekas tempat Kim-mou-eng berdiri tadi. Dan ketika pendekar ini berjungkir balik dan turun ke bawah maka dengan aneh tapi luar biasa Pendekar Rambut Emas itu telah berdiri di pucuk ekor-ekor panah yang menungging dengan pantat ke atas.

Lauw-ciangkun tertegun. Ratusan orang yang ada di situ juga tertegun, masing-masing terbelalak dan tanpa terasa memuji kepandaian Pendekar Rambut Emas ini. Ekor arak-anak panah yang diinjak sama sekeli tak bergoyang, padahal berat tubuh pendekar itu sendiri tak kurang dan seratus empat puluh kati. Mestinya begitu terinjak tentu akan patah atau melengkung. Tapi melihat bahwa tubuh Pendekar Rambut Emas demikian ringan dan seolah capung saja yang hinggap dengan begitu manis tiba-tiba Lauw-ciangkun terkesima dan mundur dengan muka pucat, terpana kagum tapi juga gentar.

Dan Pendekar Rambut Emas itu mulai bicara, “Lauw-ciangkun, beginikah sikapmu menghadapi orang yang tidak suka bermusuhan! Aku datang bukan untuk mencari perkara. Kalau benar aku dituduh mencuri Sam-kong-kiam mestinya aku tak ke sini untuk menghadapi kalian. Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu menghadang dan mana itu Bu-ciangkun atau Cu-ciangkun yang sudah kukenal?”

Panglima muda ini sadar. “Bu-ciangkun dan rombongannya pergi mencari dirimu. Mereka tak ada disini karena diutus Sri Baginda kaisar!”

“Karena aku dituduh mencuri Sam-kong-kiam?”

“Bukan sekedar tuduhan, Kim-mou-eng. Melainkan bukti nyata karena semua orang melihatmu sebagai pencuri!”

“Baik, kalau aku mencuri pedang itu tentu aku tak akan datang sekarang, dan pedang itu pun mestinya kubawa. Kalian lihat, adakah aku membawa senjata?” Kim-mou-eng menupuk-nepuk pakaiannya.

Lauw-ciangkun kembali tertegun karena pendekar itu memang tak membawa apa-apa. Kim-mou-eng jarang bersenjata kecuali sepasang pitnya (potlot lukis) itu. Senjata kecil tapi yang keampuhannya tak kalah dengan sebatang pedang. Dan ketika orang mulai dapat dipengaruhi tapi panglima ini bingung maka Pendekar Rambut Emas itu berkata lagi,

“Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruhmu menghadang aku, Lauw-ciangkun. Biar kutemui dia dan kita bicara baik-baik!”

Panglima ini menggeleng. “Kau bohong, pencuri tak dapat dipercaya dan pedang itu telah kau sembunyikan di lain tempat!”

“Ah,” pendekar ini mengerutkan kening. “Kau menganggap aku dusta? Kalau begitu tak usah kita bicara lagi, aku akan mencari Kim-taijin atau pangeran mahkota...”

“wuut!” dan Pendekar Rambut Emas yang melejit dan terbang di atas kepala lawan tiba-tiba membuat panglima itu berteriak sembari mengibaskan goloknya, luput dan tahu-tahu Pendekar Rambut Emas telah melewati barisan kepala yang lain, para pengawal yang mengepungnya itu. Sekejap kemudian lenyap karena telah berada di luar kepungan. Gerakannya bagai iblis dan tentu saja para pengawal berseru kaget. Mereka tadi bengong dan terkesima oleh gerakan “super-sonik” ini.

Lauw-ciangkun mencak-mencak memaki anak buahnya yang bodoh. Tapi begitu mereka sadar dan Kim-mou-eng sendiri berkata mau mencari Kim-taijin atau Pangeran Mahkota yang ada di kompleks istana mendadak mereka sudah membalik dibentak panglima she Lauw ini, “Kejar, tangkap dia...!”

Berhamburanlah pengawal-pengawal itu. Lauw ciangkun sendiri sudah berlari cepat, semua menuju istana. Genta kembali dipukul bertalu talu hingga kota raja geger. Pendekar Rambut Emas dinyatakan membuat onar untuk kedua kali. Berita pencurian itu telah tersebar dari mulut ke mulut. Dan ketika semua orang berhamburan mengejar pendekar ini maka Kim-mou-eng sendiri sudah tiba di istana.

Saat itu lampu besar kecil dipasang terang benderang. Genta tanda bahaya itu membuat orang panik. Peogawal berjaga-jaga dan mereka terkejut melihat sesosok bayangan kuning keemasan meluncur dari depan. Pikiran seketika menuju pada Kim-mou-eng, hanya ialah satu-satunya pendekar berambut emas di seluruh dunia kang ouw. Memang pendekar berdarah campuran ini amat dikenal di mana mana. Tapi ketika mereka tersentak dan siap menyerang tiba-tiba mereka sudah roboh berpelantingan disambar angin pukulan pendekar itu yang tidak mau dihalang jalan larinya.

“Minggir, aku mencari Kim-taijin atau pangeran mahkota....!”

Pengawal-pengawal itu berteriak kaget. Mereka bagai disapu angin puyuh saja, kesaktian pendekar itu memang tak ada yang melawan. Dan ketika pengawal yang lain maju membentak tapi semuanya terjungkal oleh dorongan jarak jauh pendekar ini akhirnya Kim-mou-eng tiba di kompleks istana sebelah barat. Inilah gedung di mana Pangeran Mahkota biasanya tinggal, ribut-ribut itu segera diketahui orang banyak dan pengawal pun memburu.

Mereka yang terpental kembali bangun karena tak ada yang terluka. Pendekar Rambut Emas memang tidak membunuh mereka. Dan ketika Kim-mou-eng harus berkelebatan di dalam gedung ini mencari-cari orang yang dicari maka dia akhirnya bertemu dengan seorang laki laki setengah baya yang amat berwibawa, sementara pengawal-pengawal di belakang mengejarnya.

“Kim-mou-eng, berhenti!”

Kim-mou-eng berhenti. Sekarang dia berhadapan dengan laki-laki itu. Pembesar yang berwajah tenang namun amat berpengaruh, sikapnya kalem namun pandang matarya tajam. Inilah Kim-taijin. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun berseru memanggil pembesar itu maka seorang laki-laki lain yang tampan namun penuh wibawa juga muncul menegurnya. Dan Kim-mou-eng mengusap keringatnya. “Taijin, pangeran, apa arti dari semuanya ini? Kenapa istana menuduhku mencuri pedang?”

Pembesar itu tetap tegak penuh wibawa. Dia tersenyum sejenak, sinar matanya berseri. Kepercayaan kian menguatkan kesimpulan pembesar ini. Pemuda di sampingnya yang bukan lain pangeran mahkota itu mengerutkan kening. Tapi ketika pengawal di belakang datang meluruk dan Lauw-ciangkun terbata-bata mengacungkan goloknya maka Kim-taijin, pembesar itu, sudah mengangkat lengannya.

“Lauw-ciangkun, tahan. Kim-mou-eng telah datang tepat waktunya. Kalian mundurlah, biar kami bicara empat mata!”

“Tapi,” panglima muda itu gugup. “Penjahat ini berbahaya, taijin. Sebaiknya paduka masuk dan biar kami menangkapnya!”

“Dapatkah kau melakukan itu?”

Panglima she Lauw tertegun. “Nah, kalau tahu itu segera menyingkirlah, ciangkun. Pendekar Rambut Emas dapat membunuh sejak tadi kalau dia mau. Yang ini bukan yang dulu, mundurlah!”

Panglima she Lauw akhirnya mundur. Sebenarnya dia ragu, was-was dan penasaran tapi juga gentar menghadapi musuh yang amat lihai ini. Dia memang bukan tandingan Kim-mou-eng. Dan ketika panglima itu menarik anak buahnya dan Kim-taijin menyatakan bertanggung jawab atas keselamatan pangeran mahkota maka Kim-mou-eng sudah berdiri berhadapan dengan dua tokoh istana ini.

“Kim-taihiap, mari duduk. Sekarang kita bicara baik-baik”

Pendekar Rambut Emas mengangguk. Dia kembali mengerutkan keningnya, keringat membasahi dahi dan kembali dia mengusapnya. Terasa ketegangan mencekam hatinya. Orang-orang istana benar-benar menuduhnya sebagai pencuri, mereka tidak, main-main. Dan ketika Kim-taijin juga duduk berhadapan dan mata pangeran mahkota masih menatapnya curiga maka Kim-mou-eng bertanya apa yang sesungguhnya terjadi.

“Sam-kong-kiam lenyap dari istana, taihiap. Dan tuduhan istana memang ditujukan kepadamu. Inilah awal mulanya.”

“Kapan terjadinya?”

“Enam hari yang lalu. Seseorang berambut keemasan muncul merampas pedang itu. Banyak pengawal mati terbunuh!”

“Hah” pendekar ini membelalakkan matanya. “Jadi aku menjadi terdakwa tunggal, taijin? Kalian tak tahu siapa sebenarnya penjahat itu?”

“Semua orang menganggapnya dirimu, taihiap. Karena itu Sri Baginda pun lalu mengutus Bu-ciangkun dan teman-temannya menemuimu di perkemahan bangsa Tar-tar. Kalian rupanya tak jumpa, maka kau tidak tahu.”

“Benar, aku tak tahu, taijin. Tapi bagaimana sikapmu sendiri lain dengan orang-orang yang lain? Bagaimana kau tak mencurigaiku pula sebagai pencuri Sam-kong-kiam?”

“Taihiap,” pembesar ini tersenyum. “Aku cukup mengenal watakmu sebagai pendekar yang gagah sejati. Aku telah bertaruh kepada kaisar bahwa jika memang benar dirimu yang merampas Sam-kong-kiam maka aku rela menyerahkan kepalaku untuk dipenggal. Itulah sebabnya tenang-tenang saja aku menyambutmu. Sekarang kau datang, bagus sekali kehadiranmu ini. Dapatkah kau memberi keterangan bahwa kau memang bukan pencuri Sam-kong-kiam?”

“Hm, kalau aku mencuri pedang itu tak mungkin aku sekarang berada di sini, taijin. Aku memang tidak tahu-menahu tentang pedang itu karena selama ini aku di tengah-tengah suku bangsaku!”

“Kalau begitu apa maksudmu datang ke sini?” pangeran mahkota tiba-tiba bertanya, kening masih berkerut dan tatapan mata pun masih ragu. Ada kebimbangan di hati putera mahkota ini.

Dan Kim-mou-eng yang mendengar pertanyaan itu tiba-tiba gelap mukanya. “Aku ada urusan dengan ayahandamu, pangeran. Urusan pribadi yang ingin kutanyakan secara empat mata.”

“Tentang apa?”

“Maaf, aku tak dapat memberi tahu. Sementara ini biarlah kusimpan saja untuk ayahandamu seorang. Kelak paduka akan tahu juga kalau kami sudah bertemu.”

“Hmm” pangeran mahkota mendadak curiga. “Sikapmu aneh sekali, taihiap. Kalau kau membawa maksud jujur tentunya tak perlu kau sembunyikan pula dari kami. Aku dan paman Kim bukan orang lain, kami orang-orang yang paling dekat dengan Sri Baginda”

“Benar, tapi urusan ini terlampau penting, pangeran, juga amat pribadi sekali. Sebaiknya paduka tak perlu mendesak kalau aku belum menemui ayahandamu!”

Pangeran ini tak senang. Sorot matanya tertangkap Kim-taijin, sebagai orang tua segera mengetahui bahwa pangeran mahkota tersinggung, cepat menyela dan berkata “mungkin Pendekar Rambut Emas benar. Urusan itu agaknya perlu segera di sampaikan”

Dan ketika Kim-mou-eng mengangguk tapi ragu mengingat hari sudah malam maka secara cerdik pembesar ini berkata, “Tak apa, kami dapat membantumu, taihiap. Lagi pula Sri Baginda tentu telah mendengar ribut-ribut ini. Sebaiknya kuantar dirimu dan paduka pangeran dapat mengantarmu bersama untuk menghadap kaisar.”

Inilah omongan bagus. Dengan begitu pangeran otomatis akan mendengar pula apa yang hendak dibicarakan Kim-mou-eng kepada ayahnya, jadi Kim-taijin melenyapkan kekecewaan pangeran itu sekaligus menolong Kim-mou-eng mempercepat urusannya. Dua-duanya merasa girang karena kata kata ini memang tepat. Dan ketika saat itu juga Kim-taijin mengantar Kim-mou-eng dan banyak mata memandang was-was ke arah tiga orang ini maka mereka langsung menuju pusat istana.

Pengawai diberi tahu bahwa Kim-mou-eng bersama Kim-taijin dan pangeran mahkota ingin menghadap, ternyata kaisar sudah menunggu mereka di ruang dalam, kiranya menanti berita akan keributan di luar, mendengar datangnya Kim-mou-eng. Dan ketika dengan pengawalan ketat tapi penjaga berdiri secara tidak kentara di sudut-sudut ruangan dan segala penjuru maka Kim-mou-eng dan dua temannya itu memberi hormat.

“Sri Baginda, maafkan gangguan hamba malam-malam begini. Kim-taijin mengajak hamba untuk menemui paduka.”

Sri Baginda duduk dengan muka marah. Dia tidak membalas penghormatan orang, sedikit pun juga tidak mengangguk. Kemarahan memancar di wajahnya. Tapi ketika Kim taijin duduk di dekat Sri Baginda dan pangeran mahkota juga menempatkan diri di samping ayahnya maka Kim-taijin berseru meredakan ketegangan ini,

“Sri Baginda, Kim-taihiap datang untuk menolak tuduhan mencuri Sam-kong-kiam. Dan lagi dia pun membawa urusan pribadi dengan paduka!”

“Hmm” kini kaisar bersuara, para penjaga bersiap-siap. “Apa yang hendak kau katakan, Kim-mou-eng? Bagaimana kau menolak membawa Sam kong-kiam kalau semua orang melihatnya begitu?”

“Maaf,” pendekar ini penasaran. “Kalau hamba mencuri pedang itu tentu hamba tak akan ke sini, Sri Baginda. Dan untuk menunjukkan itikad baik hamba maka malam ini hamba siap menerima tuduhan untuk membela diri!”

“Sekarang apa bicaramu?”

“Hamba tak tahu-menahu tentang pencurian itu. Hamba berada di tengah tengah suku hamba ketika peristiwa terjadi. Ini tentu perbuatan seseorang untuk merusak nama hamba!”

“Kau dapat membuktikan bahwa itu memang bukan perbuatanmu?”

“Tentu saja. Bangsa hamba menjadi saksi, Sri Baginda. Paduka dapat bertanya mereka kalau itu dikehendaki!”

“Tapi itu suku bangsamu, tentu saja mereka akan membelamu!” kaisar menyergah.

“Jadi maksud paduka bagaimana?” Kim-mou-eng terkejut.

“Hm, tentu saja perbuatan nyata, Kim-mou-eng. Kim-taijin memberiku jaminan bahwa bukan kau orangnya yang mencuri Sam-kong-kiam. Tapi karena namamu telah dituduh dan kau satu-satunya orang yang berambut keemasan di seluruh dunia kang-ouw maka kau harus membersihkan namamu ini dengan menangkap orang yang katamu sendiri telah merusak namamu itu!”

“Baik, hamba memang akan melakukannya!” Kim-mou-eng tegas bicara, mata pun mulai berkilat. “Tapi hamba juga mempunyai suatu tuduhan terhadap paduka, Sri Baginda. Karena itu mohon keadilan pula agar paduka menjawab pertanyaan hamba!”

Kaisar terkejut. “Apa?”

“Ya, hamba datang untuk keperluan penting ini, Sri Baginda. Bahwa sebelum hamba dituduh mencuri Sam-kong-kiam sebenarnya hamba juga membawa sebuah tuduhan untuk paduka. Masalah pribadi!”

Kaisar semakin terkejut. Tiba-tiba ketegangan mencekam tempat itu, secara aneh kaisar siap menjadi “terdakwa”. Kalau bukan Kim-mou-eng tentu orang yang berani bicara seperti ini sudah ditangkap! Kaisar terbelalak, tanpa terasa merubah duduknya. Dan ketika kaisar bertanya apa tuduhan itu dan kesalahan apa yang dilakukan kaisar ini maka Kim-mou-eng melirik bayangan-bayangan di dekat mereka.

“Harap pengawal pengawal disuruh menjauh, Sri Baginda. Ini urusan pribadi paduka.”

“Hmmm” Kaisar tak sabar. Dia menepuk tangan, bayangan-bayangan itu menjauh dan Kim-mou-eng lega. Sejenak melirik Kim-taijin dan pangeran mahkota tapi kaisar sudah memberi isyarat. Mereka bukan orang-orang lain. Dan ketika Kim-mou-eng menjelaskan bahwa tuduhan itu berupa penghinaan kaisar atas perkara Bi Nio karena urusan itu dianggap merendahkan bangsa Tar-tar mendadak kaisar tertegun dan kaget bukan main.

“Apa, Bi Nio hamil sebelum kuberikan kepada mendiang suhengmu?”

“Begitu menurut yang hamba dengar, Sri Baginda. Karena itu mohon kejujuran paduka untuk berterus terang masalah ini. Hamba menyatakan sanggup untuk menangkap pencuri Sam-kong-kiam sebagai bukti kebersihan hamba. Dan harap paduka juga menyatakan sanggup untuk membuktikan kebersihan paduka!”

“Ha ha!” kaisar tiba-tiba tertawa hergelak, begitu hilang kagetnya “Tentu saja aku dapat menyatakan diri bahwa tuduhanmu tidak benar, Kim-mou-eng. Dan saat ini juga kujawab dengan jujur bahwa selir yang telah kuberikan pada mendiang suhengmu itu memang benar-benar hamil dengan suhengmu sendiri. Bahkan, sampai saat ini pun Bi Nio tidak pernah kusentuh dan tetap mendapat pelayanan istimewa sebagai tanda hormatku kepada bangsa Tar-tar!”

Kim-mou-eng tak begitu saja percaya. “Darimana hamba dapat membuktikannya?”

“Dari sini!” kaisar tiba-tiba bertepuk tangan, memanggil seorang pengawal. Lalu memerintahkan pengawal itu memanggil Bi Nio segera Kim-mou-eng disuruh menunggu.

Kim-mou-eng berdebar, kaisar menyuruh Bi Nio membawa bayinya. Kiranya Bi Nio telah melahirkan. Kaisar mengatakan bahwa bayi Bi Nio adalah seorang anak laki-laki yang sehat berkulit hitam, persis bapaknya. Mendiang Gurba memang hitam. Tapi ketika pengawal datang dengan muka pucat dan Bi Nio yang ada di belakang menangis tersedu-sedu seorang diri maka kaisar dan semua orang tertegun tak mengerti, tak melihat bayi yang disuruh bawa.

“Bi Nio, mana bayimu? Tidakkah pengawal memberi tahu bahwa kau harus datang bersama bayimu?”

“Ampun....!” Bi Nio menjatuhkan diri berlutut, tangisnya tak dapat ditahan “Hamba mengalami hal yang aneh, Sri Baginda. Bayi hamba berubah ujud dan tak mampu hamba bawa ke mari”

“Apa? Berubah ujud bagaimana?” kaisar terkejut.

“Anak itu... bayi itu... kulitnya berubah, Sri Baginda. Hamba merasa seseorang telah menukar bayi hamba. Togura lenyap terganti anak lain....!” dan Bi Nio yang mengguguk tak dapat berkata-kata tiba-tiba roboh dan pingsan di hadapan kaisar.

Tentu saja mengejutkan kaisar dan yang lain-lain. Kaisar marah. Cepat menyuruh orang menolong bekas selirnya itu dan seorang dayang, dipanggil menghadap. Dayang ini mendapat tugas mengambil anak di kamar Bi Nio, tak lama kemudian muncul dan membawa seorang bayi laki2 yang putih dan montok, tidak hitam seperti kata kaisar tadi. Dan ketika kaisar tertegun dan Kim mou-eng mengerutkan kening curiga peda kaisar maka Sri Baginda menggigil memandang anak laki laki di gendongan dayang itu.

“Ini bukan anak Bi Nio. Kau salah ambil!”

“Ampun,” dayang itu gemetar. “Hamba mengambil bayi ini di kamar Bi Nio, Sri Beginda. TaK ada bocah lain di kamar itu selain bocah ini....”

“Tapi ini bukan anaknya. Kau bodoh, cari lagi yang benar!” tapi ketika sang dayang menangis dan mencari lagi tapi kembali menyatakan tak ada anak lain selain anak di gendongannya itu akhirnya Kaisar tertegun sementara Kim-taijin dan lain-lain membelalakkan mata.

“Nah, paduka tak dapat membuktikan omongan paduka, Sri Baginda. Anak yang dilahirkan Bi Nio ternyata putih bukannya hitam!” Kim-mou-eng tampil bicara, kata-katanya mulai dingin karena Kim-mou-eng mulai curiga pada kaisar. Jangan-jangan kaisar mempermainkannya. Entah apa maksud kaisar itu. Keadaan tiba-tiba menjadi tidak enak.

Kim-taijin merasakan ketidak nyamanan itu, mulai khawatir melihat kilatan di mata Pendekar Rambut Emas. Ada sesuatu yang tidak beres! Dan ketika kaisar membelalakkan mata dan tertegun tak dapat menjawab maka Kim-mou-eng kembali bertanya, “Sri Baginda, apa yang akan paduka katakan tentang hal ini?”

Sri Baginda mengepal tinju. “Itu tidak benar: Ada yang main gila di dalam istana. Biar ku tanya Bi Nio!” dan kaisar yang melihat Bi Nio sudah sadar tiba-tiba berseru, “Bi Nio, apa yang sesungguhnya terjadi? Bagaimana anakmu bisa berubah begini?”

“Hamba tak tahu,” Bi Nio menggigil. “Hamba semalam terlelap pulas, Sri Baginda. Dan ketika pagi harinya hamba bangun tahu-tahu anak hamba telah berubah....”

“Tak ada yang masuk ke kamarmu?”

“Hamba telah mengunci pintunya, Sri Baginda. Hamba kira tak ada.”

“Lalu bagaimana bisa begini? Kenapa kau demikian bodoh?”

Bi Nio menangis, kaisar malah menyalahkan dirinya. Dan ketika kaisar melotot dan Bi Nio mengguguk maka selir yang masih cantik ini tersedu sedu. “Sri Baginda, hamba memang bodoh. Kalau hamba dianggap bersalah biarlah paduka membunuh hamba!”

“Hm, kau bukan selirku lagi. Sekarang jawab saja apakah benar sebelum kau kuserahkan pada mendiang suamimu kau telah mengandung?“

Bi Nio terbelalak. “Apa maksud paduka?”

“Bangsa Tar-tar menuduhku menghina mereka, Bi Nio. Bahwa ada kabar burung yang menganggap dirimu hamil sebelum kuberikan pada pemimpin mereka, mendiang suamimu itu. Sekarang Kim-mou-eng datang, jawablah anak siapa sebenarnya yang telah kau lahirkan dan tertukar itu. Anak dengan mendiang suamimu ataukah anak dari keturunanku!”

Bi Nio tiba-tiba menghentikan tangisnya. “Anak yang hamba kandung memang benar dari benih suami hamba sendiri. Kalau tuduhan mengatakan begitu maka itu tidak benar!”

“Nah, kau dengar, Kim-mou-eng? Kau boleh bertanya pula pada wanita ini apakan selama di sini dia pernah kusentuh!”

Kim-mou-eng mengerutkan kening. “Sri Baginda, apapun yang paduka katakan terus terang hamba tak puas. Sebenarnya bukti satu satunya untuk memperkuat omongan paduka adalah anak itu. Sekarang anak itu tertukar, begitu menurut paduka dan Bi Nio. Tapi karena hamba sangsi karena ini bisa saja diatur maka maaf jika sementara ini hamba masih tak mempercayai paduka!”

Hebat kata-kata itu. Kaisar sampai terbelalak lebar, melotot. Kalau bukan Kim-mou-eng mungkin kaisar sudah berteriak menyuruh pengawalnya menangkap orang yang berani bicara seperti ini. Kaisar tak dipercaya, bukau main! Dan ketika kaisar terhenyak dan saking marahnya tak dapat bicara maka Kim-mou-eng sudah berkata lagi,

“Nah, sekarang hamba minta buktinya, Sri Baginda. Kalau benar anak Bi Nio adalah keturunan suheng hamba dan bukan anak ini maka hamba minta paduka menunjukkan buktinya. Waktu satu minggu kiranya cukup, paduka tentu dapat menyuruh orang-orang paduka mencari anak yang hilang itu. Tapi, kalau paduka bohong dan tak dapat menunjukkan buktinya maka hamba mewakili bangsa Tar-tar mohon agar paduka berkunjung ke perkemahan kami untuk meminta maaf. Bangsa Tar-tar menuntut ini, hamba sebagai perantara keinginan mereka hanya diminta menyampaikannya pada paduka. Sekian!”

Kim-mou-eng membungkukkan tubuhnya, memberi hormat dan tiba-tiba berkelebat pergi. Urusan dianggapnya selesai dan dia tak mau berpanjang lebar lagi. Sekarang kaisar dituntut untuk memberi jawaban, dapai memberi bukti atau tidak. Baru kali ini kaisar dituduh orang! Tapi ketika kaisar sadar dan Kim-mou-eng lenyap dari ruangan itu tiba-tiba kaisar berteriak,

“Hei, kau sendiri bagaimana dengan persoalan Sam-kong-kiam. Kim-mou-eng?”

Dari jauh jelas dan nyaring ternyata terdengar jawaban Pendekar Rambut Emas, “Hamba akan mencarinya didalam waktu satu minggu ini pula, Sri Baginda. Jadi setelah itu masing-masing dapat memberikan buktinya!”

Lenyaplah Pendekar Rambut Emas itu. Sekarang istana geger oleh ancaman ini. Kim-taijin sampai pucat melihat semuanya itu. Ternyata persoalan memang benar-benar penting Kaisar dituduh menghina bangsa Tar-tar sementara Kim-mou-eng sendiri dituduh mencuri Pedang Tiga Sinar. Pembesar itu yakin benar kedua duanya tak bersalah. Masing-masing sama terfitnah dan kini keduanya terjebak dalam perangkap yang membingungkan, juga mendebarkan. Kaisar dan Kim-mou-eng tiba-tiba harus berhadapan sebagai lawan.

Dan ketika malam itu kaisar mencak-mencak menyuruh orang mencari anak Bi Nio karena anak itu dianggap ditukar seseorang maka di lain pihak Kim-mou-eng sendiri sudah terbang dan meninggalkan kota raja untuk kembali ke tengah tengah suku bangsanya. Menjelang pagi tiba di sana, langsung mencari sumoinya tak mau diketahui orang lain. Sumoinya terkejut tapi girang, suhengnya ini hanya beberapa saat saja, persis ketika kemarin Bu-ciangkun dan teman-temannya datang.

Dan ketika suhengnya duduk menarik napas dan belum memulai ceritanya maka Salima sudah mendahului dengan cerita tentang Bu-ciangkun itu. Betapa Bu-ciangkun menuduh suhengnya mencuri pedang. Betapa orang-orang itu dianggapnya kurang ajar karena melepas tuduhan membabi-buta. Suhengnya mendengar dengan muka gelap, alis berkerut-kerut, sudah tahu. Dan ketika Kim-mou-eng ganti bercerita tentang hasil perjalanannya ke kota raja maka Salima tertegun ketika suhengnya menutup cerita begini:

“Sekarang aku harus pergi lagi, sumoi. Waktu satu minggu yang kujanjikan pada kaisar harus kupergunakan baik-baik. Aku akan mencari pencuri itu, menangkap dan membekuknya serta menyerahkannya pada kaisar!”

“Sedang kaisar sendiri?” Salima bertanya, seluruh kekecewaan dan kemarahannya tak dapat disembunyikan lagi. “Apakah kaisar akan datang ke sini, suheng?”

“Aku tak tahu, sumoi. Tapi kaisar telah ku ikat janji dengan waktu yang sama pula. Katanya bayinya Bi Nio tertukar, aku tak tahu apakah itu benar ataukah sekedar bohong saja?”

“Hm. kalau begitu kita tunggu. Sekali kabar berita itu tak datang pada kita maka bangsa Tar-tar akan kulepas kendalinya!”

“Jangan dulu. Janji semingguku pada mereka masih tersisa. Kuharap sisa waktu ini dapat kuselesaikan dengan tepat!” Kim-mou-eng teringat, dalam waktu yang sesingkat itu dia harus mengerjakan dua hal. Dia kelupaan dengan janji pada suku bangsanya, sedikit menyesal kenapa dia buru-buru berjanji satu minggu pula pada kaissr. Kini sadar dan berkerut-kerut, kiranya urusan itu membuat dia lelah dan berat berpikir. Tapi ketika sumoinya mencibir dan dagu yang runcing itu terangkat maka Salima tak perduli omongannya. “Kau harus kembali dalam batas waktu itu, suheng. Kalau tidak aku akan mencarimu dan menyusul!”

“Baiklah, baiklah....” Kim-mou-eng penat. “Kau jaga dulu disini, sumoi. Tunggu sampai aku kembali, dan jangan ceritakan kedatanganku pada Siga maupun Bora!”

Dan Kim-mou-eng yang pagi itu juga meninggalkan sumoinya untuk mencari pencuri Sam-kong-kiam akhirnya dengan geram dan marah berkelebat lenyap kembali ke dalam tembok besar. Tak tahu ancaman lain akan susul-menyusul. Satu kesulitan besar akan menghadang pendekar ini. Dan begitu pagi itu juga Kim-mo-eng meninggalkan perkemahan suku bangsanya maka di lain tempat, di dunia persilatan geger tentang Sam-kong-kiam yang dicuri pendekar itu telah menyebar bagai wabah penyakit.

Pertama-tama, pagi itu juga ketika Kim-mou-eng memasuki wilayah Tiong-goan (pedalaman) dia sudah dihadang tiga laki-laki pendek bertubuh kekar. Kim-mou-eng terkejut melihat tiga laki-laki ini, mengenalnya sebagai Sin-to Sam-enghiong (Tiga Laki-laki Gagah Bergolok Sakti). Cepat menghampiri dan menyapa mereka dengan girang. Barangkali tiga orang ini tahu tentang jejak pencuri. Tapi ketika tiga laki-laki itu tertawa mengejek dan mendengus ke arahnya maka Beng Kwan, orang tertua dan Sin-to Sam-enghiong itu mendamprat,

“Kim-mou-eng, sungguh tak kukira kalau sekarang kau pun pandai bersandiwara. Siapa tak tahu pencuri itu sekarang ada di depan kami. Kaulah pencurinya, dan sekarang serahkan Pedang Tiga Sinar itu kepada kami!”

Kim-mou-eng kaget. “Kalian gila?”

“Ha ha, yang gila adalah dirimu, Kim-mou-eng. Dari seorang pendekar tiba-tiba kau berobah menjadi seorang penjahat. Serahkan Sam-kong-kiam atau kami akan membunuhmu...!”

“Sing!” golok dicabut, tiga orang itu berdiri gagah dalam tiga sudut. Kim-mou-eng sudah dikepung dan pendekar ini terbelalak, melihat lawan maju setindak dengan golok bergetar. Tahulah dia lagi-lagi orang tak main-main dengannya, persis seperti sikap Lauw-ciangkun dulu. Dan ketika Kim-mou-eng menyeringai pahit ke arah orang-orang ini maka Beng Kwan sudah kembali membentaknya.

“Kau tak mau menyerahkan Sam-kong-kiam?”

“Hm....!” perdekar ini akhirnya menghela napas. “Aku tak tahu di mana pedang itu, saudara Beng Kwan. Kalau kalian menuduh diriku maka kalian keliru. Aku betul-betul bukan pencurinya, justeru aku sedang mencari pencuri itu untuk kubekuk...!”

“Bohong, kalau begitu mampuslah!” dan Beng Kwan yang membentak menerjang ke depan tiba-tiba memutar tangannya menggerakkan golok. Senjata itu sudah mendesing di kepala lawan.

Kim-mou-eng mengelak tapi Beng San di sebalah kiri menubruk, golok di tangan orang kedua dari Sin-to Sam Enghiong itu juga berkelebat. Dan ketika Kim-mou-eng melompat tapi Beng Kwi di sebelah kanan juga membentak membantu dua kakaknya tiba-tiba tiga sinar golok sudah saling menyilang membacok Pendekar Rambut Emas ini.

“Plak plak plak!” Pendekar Rambut Emas terpaksa menangkis, marah tapi juga mendongkol karena dia dituduh mencuri, korban dari kekeliruan yang tidak dapat ditolerir. Dan ketika tiga kakak beradik Beng itu berseru keras mengeroyoknya dari segala perjuru tiba-tiba pendekar ini berseru, “Sin-to Sam-enghiong, kalian salah menuduh orarg. Minggirlah!”

Namun tiga kakak beradik itu menggeram. Mereka justeru memperhebat serangan, sekarang tubuh mereka beterbangan dengan melepas golok-golok kecil pula, itulah hui-to (golok terbang) yang membantu mereka merobohkan lawan.

Pendekar Rambut Emas marah. Dan ketika seruannya kembali tak digubris dan tiga laki-laki pendek itu tetap menyerangnya dengan semakin buas saja, tiba-tiba dia menggerakkan lengan kirinya mengerahkan Tiat-lui-kang. “Baiklah, sekarang aku terpaksa meminggirkan kalian...!”

Berkata begitu pendekar ini membentak, golok dipapak dengan tangkisan tangan telanjangnya, sinar merah berkelebat. Itulah Pukulan Petir. Dan ketika tiga golok bertemu keras dengan lengan pendekar ini mendadak tiga kakak beradik itu berteriak kaget karena senjata mereka patah patah sementara hui to-hui to yang mereka hamburkan juga runtuh mengenai tubuh Kim-mou-eng.

“Tak-tak-tak!”

Sin-to Sam-enghiong terkejut. Mereka memang bukan tandingan pendekar ini. Kim-mou-eng terlalu lihai bagi mereka. Dan ketika golok patah,patah dan mereka pun roboh terpelanting maka Pendekar Rambut Emas sudah berseru melompat tinggi keluar dari kepungan, berjungkir balik dan tiba-tiba sudah berada jauh di depan. Dan ketika pendekar itu mengembangkan lengannya dan lari dengan lompatan-lompatan panjang tiba-tiba pendekar itu sudah meluncur meninggalkan mereka.

“Sin-to Sam-enghiong, kalian orang-orang bodoh. Kalau aku penjahatnya tentu kalian sudah kubunuh...!”

Tiga laki-laki gagah ini bengong. Mereka meujublak melompat bangun, lawan sudah jauh dan lenyap di sana. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluarkan kata-katanya itu dan mereka memang tak diapa apakan mendadak ketiganya terkesima dan tertegun di tempat. Beng Kwan sadar lebih dulu, patahan golok di tangannya dibuang. Tapi begitu lawan menghilang di depan tiba-tiba dia mengejar.

“Kejar, tangkap dia....!”

Dua adiknya tersentak mengikuti. Mereka tahu memang bukan tandingan Kim-mou-eng, meskipun begitu toh tetap tiga kakak beradik ini mengejar. Ada kesan tak tahu diri. Tapi karena Kim-mou-eng telah lenyap dan kepandaian tiga kakak beradik itu jauh bila dibanding Pendekar Rambut Emas, maka ke manapun mereka mengejar tetap saja bayangan lawan tak kelihatan.

Kim-mou-eng sudah jauh dari tempat itu, berlari cepat menggaruk-garuk telinga sendiri. Ada perasaan gatal di situ, bukan di telinganya melainkan di hatinya. Dia menjadi gemas olah perbuatan pencuri Sam-kong-kiam itu. Dan ketika hari itu dia melanjutkan perjalanannya dan mendongkol oleh tuduhan mencuri maka hari kedua tiba-tiba dia dikepung lima puluh orang lebih di atas sebuah bukit.

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam kepada kami....!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia terkejut melihat begitu banyaknya orang, bermacam macam mereka itu. Ada yang tinggi besar dan ada yang kurus ceking. Semuanya membawa senjata, sebagian besar tak dikenal. Tapi mudah diduga mereka adalah orang-orang kangouw. Dan ketika Kim-mou-eng menjublak dengan kening berkerut kerut maka pembentak yang berewokan itu melompat maju berseru kembali,

“Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam kepada kami!”

Kim-mou-eng tiba-tiba teringat. Dia sekarang tahu siapa gerangan si brewok ini, bukan lain Si Kapak Hitam seorang bajak sungai yang dulu pernah dirobohkannya ketika bajak itu mengganggu seorang hartawan, kini dapat mengetahui pula rombongan apa yang ada di belakang Si Kapak Hitam ini, orang-orang hek-to (golongan sesat). Kim-mou-eng tiba-tiba tersenyum dan tawar memandang lawannya itu. Dan ketika Si Kapak Hitam mengacungkan senjatanya dan tertegun melihat senyum Pendekar Rambut Emas maka Pendekar Rambut Emas berkata kepadanya,

“Kapak Hitam, sudah lama kita tidak bertemu. Sekarang bertemu datang-datang kau meminta Sam-kong-kiam. Apa kalian mau merampok? Aku tak membawa pedang. Barang yang kau sebut-sebut itu justeru aku sendiri belum pernah melihatnya.”

“Bohong!” bentakan nyaring di belakang Si Kapak Hitam melengking mengejutkan. “Kau tak perlu banyak bicara lagi. Kapak Hitam. Ayunkan senjatamu dan kita bunuh si Rambut Emas ini.”

“Benar!” yang lain tiba-tiba berteriak. “Serang dia, Kapak Hitam. Ayunkan senjatamu dan bunuh si Tar-tar ini.”

Kapak Hitam terkejut. Kawan-kawan di belakangnya menyuruh dia menyerang, padahal mereka sendiri berkaok-kaok tak ada yang maju. Orang-orang sesat itu menunggu yang lain untuk menyerang di belakang, betapapun mereka mengetahui benar kelihaian Kim-mou-eng ini. Kim-mou-eng tersenyum lebar. Kapak Hitam ragu, terang tak berani menyerang pendekar itu. Dan ketika kawan-kawan di belakang mendorong-dorong Si Kapak Hitam ini dan mereka mulai memaki laki-llaki itu pengecut mendadak Kapak Hitam membalik menghadapi pemakinya itu.

“Seng Cui, coba kau dulu yang maju ke sana. Ingin kulihat apakah kau berani atau tidak. Jangan cuap-cuap saja!”

“Kenapa tidak berani? Aku bukan pengecut macam dirimu, lihat..!” dan Seng Cui yang marah ditantang begitu dan belum mengenal sendiri kepandaian Kim-mou-eng tiba-tiba dengan galak dan sombong melompat ke depan, senjatanya sebatang golok pipih yang luar biasa tajam, tajamnya melebihi silet! Dan ketika dia membentak dan teman-temannya menyoraki tiba-tiba Seng Cui sudah menubruk dan menyabet kepala lawan.

“Ciitt...!” suara golok seperti tikus mencicit, tipis namun tajam didahului angin dinginnya yang meluncur ke depan. Agaknya angin suaranya saja cukup menabas buntung leher seseorang. Kim mou-eng tenang tidak mengelak, tubuh pun tidak bergerak kecuali lengan kiri diangkat, menangkis pukulan itu. Tentu saja pendekar ini mengerahkan sinkangnya di lengan kiri, siap menghadapi sabetan senjata tajam. Dan ketika golok mendesing keras dan lengan itu ganti dibacok tiba-tiba senjata di tangan laki-laki itu patah dan mental menyambar tuannya sendiri.

“Pletak...”

“Aduuh...!” Seng Cui menjerit bergulingan, ujung goloknya sendiri menancap di bahu kanan. Terang saja dia menjerit dan kaget bukan main. Orang-orang lain terbelalak melihat kelihaian Pendekar Rambut Emas. Tapi begitu Seng Cui meringis kesakitan dan melompat bangun sambil mendesis-desis mendadak semuanya tertawa melepas ejekan.

“Seng Cui, golokmu terlalu rapuh. Agaknya terbuat dari plastik hingga tidak mempan membacok orang!”

“Ha ha, barangkali dia kelelahan, Lam-twako. Semalam dari rumah bunga menikmati pacarnya!”

“Benar, barangkali dia kelelahan. Atau memang tidak becus, ha ha....!” dan ejekan sana sini yang membuat laki-laki itu merah padam akhirnya dihentikan seseorang yang berkumis melintang dengan bentakannya yang parau,

“Kawan-kawan, tak ada guna mengejek teman sendiri. Pendekar Rambut Emas ini tak boleh dihadapi satu lawan satu, kita semua harus maju bersama!”

Orang-orang terkejut. Mereka seketika sadar, berkurangnya seorang dari mereka memang berarti berkurangnya tenaga, seberapa lemah pun tenaga itu. Maka begitu si kumis melintang ini berseru dan ejekan terhadap Seng Cui hilang dengan sendirinya maka laki-laki itu sudah menggerakkan kedua lengannya, lengan yang hitam dan kokoh, maka berkerotok terdengar dari situ.

“Bagaimana, kawan-kawan? Kalian siap?”

“Kami siap!”

“Kalau begitu mari maju, serang dan bunuh Kim-mou-eng ini” dan si lengan hitam yang sudah berputar dan menubruk dari belakang tiba-tiba diikuti semua temannya yang bersorak menggegap gempita. Kim-mou-eng seolah seekor harimau diantara kerumunan srigala-srigala buas. Senjata dan pukulan pun terayun. Si Kapak Hitam sendiri sudah menggerakkan kapaknya itu dengan ayunan keras, juga dan belakang, tak berani berdepan karena gentar menghadapi pendekar itu. Dan ketika yang lain berteriak dan Kim-mou-eng diserang dari segala penjuru maka Pendekar Rambut Emas sudah dihujani bermacam pukulan dan senjata yang meluncur bagaikaan hujan deras.

Pendekar ini terbelalak. Orang-orang itu seperti iblis-iblis haus darah saja, tentu saja dia tak mau menjadi korban. Maka begitu lawan menerjang dan si lengan hitam serta si Kapak Hitam juga menyerangnya dari belakang mendadak pendekar ini berseru keras menjejakkan kakinya, mumbul dan mencelat ke atas tinggi sekali. Lawan-lawannya terkejut karena sasaran di tengah hilang, Kim-mou-eng mendadak lenyap. Dan ketika mereka berseru kaget karena senjata dan pukulan beradu sesama teman sendiri mendadak Kim-mou-eng meluncur turun menyapukan kakinya.

“Kalian tikus-tikus busuk!”

“Des des dess!”

Orang-orang itu berteriak. Mereka kaget mendapat sapuan keras dan atas ke bawah, semuanya menjerit dan separuh dari pengeroyok terlempar bergulingan. Tentu saja mereka terkesiap. Dan ketika yang separuh lagi terbelalak dan melotot dengan mata tak percaya sekonyong-konyong pendekar ini telah berkelebatan dan menyapu mereka pula dangan dorongan lengannya yang mengeluarkan angin dahsyat, mereka terjungkal dan berteriak menyusul teman-temannya yang terdahulu, tubuh-tubuh berpelantingan dan kepungan itu pun hancur total. Tak ada yang sanggup menahan. Dan ketika mereka menjerit tunggang-langgang oleh balasan Pendekar Rambut Emas sekonyong-konyong pendekar itu telah lolos dan turun bukit meluncur jauh di sana.

“Heii...!”

“Aaah...!”

Orang-orang terkesima. Gebrakan cepat yang berlangsung tak lebih sepuluh detik itu membuat mereka bengong, kaget dan gentar tapi juga kagum kepada pendekar sakti itu. Kim-mou-eng betul-betul hebat. Tapi begitu mereka sadar dan bayangan badan Kim-mou-eng di pelupuk mata mendadak si lengan hitam yang menemani Kapak Hitam dan tadi terjungkal oleh tendangan Kim-mou-eng berteriak. Dia pun sudah mendahului orang-orang ini rupanya penasaran dan marah oleh gebrakan yang cepat itu. Sekarang mengejar dan mengajak teman-temannya menuruni bukit, yang lain mengangguk dan timbul keberanian karena mereka ternyata tak apa-apa.

Sama sekali tak ada luka atau cidera, mereka menganggap Kim-mou-eng kurang kuat merobohkan mereka padahal sebenarnya Pendekar Rambut Emas itu memang tak suka menurunkan tangan besi, lain dengan sumoinya yang tentu sekali pukul akan membunuh atau melukai lawan, pendekar ini memang amat lemah hati. Dan ketika si lengan hitam itu sudah mengejar dan lain-lainnya berteriak-teriak menuruni bukit pula maka bagai seekor tawon dikejar puluhan kumbang pendekar ini sudah disusul dan diteriaki dari belakang.

Kim-mou-eng gemas. Sebenarnya kalau dia mau orang-orang itu dapat dibunuhnya dengan pukulan sinkangnya yang ampuh. Dia tak mau melakukan itu karena dia memang bukan type pembunuh. Pendekar ini terlampau welas asih untuk menurunkan tangan maut. Maka melihat lawannya mengejar tak tahu diri dan teriakan mereka itu membuat dia mendongkol tiba-tiba pendekar ini mengerahkan ginkang dan terbang dengan luar biasa cepat. Sebentar saja dia sudah merupakan titik kecil di kejauhan sana. Lawan-lawannya sudah tertinggal. Dan ketika lawan melongo berseru “ah-eh” maka pendekar ini telah lenyap tak nampak bayangannya lagi.

Orang-orang itu bingung. Mereka tak tahu kemana harus mengejar. Pendekar Rambut Emas tak diketahui ke barat atau ke timur. Tapi karena mereka orang-orang sesat dan kelemahan hati pendekar ini diterima salah oleh orang-orang yang tak tahu diri itu maka mereka akhirnya mencar dan mencari ke mana saja pendekar itu dapat dicari. Berita di atas bukit itu sudah menyebar dari mulut ke mulut, kian santer saja berita pencurian ini merugikan Kim-mou-eng. Orang orang menambahinya dan membubuhinya sedemikian rupa, Kim-mou-eng tak tahu akan itu. Dia sudah lolos dari kepungan ini, merasa sedikit aman. Tapi ketika pada hari ketiga Kim-mou-eng memasuki wilayah Hok kian dan mencari cari jejak pencuri mendadak gangguan baru datang.

Dia sedang enak-enak menyusuri sebuah telaga kecil, pandangan termenung sementara hati pun gelisah. Batas waktu perjanjiannya dengan bangsanya kian mendekat, begitu pula janji pada sumoinya. Dia harus pulang, padahal jejak pencuri belum terungkap. Dan ketika dia mencari-cari dengan pandangan geram dan harus kucing kucingan dengan orang-orang pemerintah tiba-tiba tujuh bayangan beekelebat mengepungnya.

“Kim-mou-eng serahkan sam-kong-kiam!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat mereka terdiri dari lima laki-laki dan dua wanita. Yang wanita berbaju kembang dan cantik. Mata mereka tajam dan pedang berselinap di belakang punggung, gagah mereka itu. Dan ketika Kim-mou-eng terheran memandang yang lain karena lima laki-laki itu juga berpakaian aneh karena tiga di antaranya mengenakan pakaian tambalan meskipun bersih dan rapi maka dua yang terakhir merupakan dua orang tosu yang rambutnya digelung ke atas. Sekilas, mereka orang baik-baik.

Maka Kim-mou-eng yang tertegun dan terheran tak mengenal mereka tiba-tiba menjura dan coba tersenyum dengan sapaan manis, “Cuwi enghiong (orang-orang gagah), siapakah kalian dan bagaimana datang-datang mengepung diriku? Apakah kesalahanku?”

“Hm, kau tak perlu berpura-pura, Kim-mou-eng. Aku datang diutus pemimpinku untuk meminta Sam-kong-kiam” seorang di antara tiga yang bertambalan membentak.

“Sam-wi (kalian bertiga) siapakah?”

“Kami dari Pek-tung-pang (Perkumpulan Tongkat Putih). Pangcu (pemimpin) kami meminta agar kau menyerahkan pedang keramat itu!”

“Hmm, dan si-wi (kalian berempat) yang lain ini?”

“Kami tosu dari Koang-san, kami berdua wakil-wakil yang diutus untuk mencarimu!”

“Dan kami dari Hwa-i-pai (Partai Baju Kembang). Kim-mou-eng, meskipun kita belum pernah jumpa tapi perbuatanmu di kota raja telah terdengar di mana-mana. Pangcu (ketua) kami menyuruh agar kau menyerahkan kembali Sam-kong-kiam. Atau kalau tidak, terpaksa kami menyeretmu ke Hwa-i-pai dengan paksaan!”

Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa lebar. “Nona, adakah kalian lihat aku membawa-bawa pedang? Justeru kalian yang membawa pedang, aku tak tahu apa-apa tentang Sam-kong-kiam dan sesungguhnya aku telah difitnah. Kalian keliru. Sebaiknya kalian bantu aku karena akupun sedang mencari pencuri sialan itu!”

“Jangan bohong!” wanita cantik di sebelah kiri menghardik. “Kau tak perlu mempermainkan kami, Kim-mou-eng. Sekarang hanya dua pilihan bagimu, serahkan Sam-kong-kiam baik-baik atau kami akan memaksamu mengeluarkan pedang itu!”

“Baiklah,” Kim-mou-eng tertawa getir. “Kalau benar itu ada padaku dan kini kuserahkan pada kalian lalu hendak kalian kemanakan pedang itu? Apa maksud kalian menyuruhku menyerahkan Sam-kong-kiam?”

Dua wanita cantik itu tertegun. “Kami akau menyerahkannya kepada ketua kami di Hwa-i-pai.”

“Tidak,” pengemis dari Pek-tung-pang membantah. “Pedang itu harus diserahkan dulu pada pangcu kami, Kim-mou-eng. Baru setelah itu yang lain berhak melihatnya!”

“Oh, kalian ingin memilikinya sendiri?”

Tiga pengemis itu tertegun. Tapi belum mereka ribut-ribut sendiri dengan sesama teman maka tosu dari Koang-san sudah memalangkan toyanya. “Ngo-wi-enghiong (lima orang gagah), jangan terjebak oleh pertanyaan-pertanyaan Kim-mou-eng ini. Sekarang kita semua ditugaskan merampas pedang itu, sebaiknya tak perlu kita bertengkar dan hati-hati dengan omongannya. Tak ada satu pun di antara kita yang ingin memiliki pedang secara pribadi, kita masing-masing diperintah ketua kita untuk mengambil Sam-kong-kiam. Nah, hindari pertikaian sendiri sebelum pedang itu tampak di depan mata...!”

“Ha-ha!” Kim-mou-eng tertawa geli. “Kau cerdik, totiang. Tapi rupanya sekarang dapat kutangkap maksud ketua-ketua kalian itu. Rupanya mereka ada ambisi pribadi, kalian tak ingin tapi ketua kalian yang bakal berebut. Ah, kalian pun rupanya sama saja dengan orang-orang sesat itu. Ingin merampas Sam-kong-kiam tapi demi kemilikan pribadi. Baiklah, itu urusan kalian tapi kukatakan terus terang bahwa aku tak membawa-bawa atau mencuri Sam-kong-kiam...!”

Kim-mou-eng tiba-tiba kecewa, teringat orang-orang sesat yang ditinggalkannya itu dan kini melihat bahwa urusan ini mulai berkembang sebagai urusan “hak milik”. Orang-orang itu menghadangnya dan ingin merampas Sam-korng-kiom bukan untuk dikembalikan ke istana melainkan ingin dimiliki sendiri. Jadi mereka mulai keluar dari rel kebenaran, padahal dia sendiri mencari Sam-kong-kiam untuk dikembalikan peda kaisar, bukannya dikangkangi untuk diri sendiri.

Maka begitu kekecewaan mengusik hatinya dan sikapnya mulai tidak ramah maka dua wanita cantik dari Hwa-i-pai dan tiga pengemis dari Pek-tung-pang mulai beringas, sementara tosu dari Koang-san rupanya masih tenang-tenang saja meskipun pandang mata mereka mulai berkilat, agaknya dua orang tosu ini memiliki kepandaian paling tinggi diantara kawan kawannya.

“Kau tak mau menyerahkan Sam-kong-kiam?” seorang di antara dua wanita cantik itu membentak.

“Apa yang harus kuserahkan?” Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Aku tak membawa Sam-kong-kiam atau memiliki pedang itu...!”

“Kalau begitu kami harus memaksamu, rupanya nama besarmu membuat dirimu sombong...”

“Srat!” Dan dua wanita cantik dan Hwa-i-pai yang mencabut pedangnya itu tiba-tiba bersiap-siap dengan satu kaki di depan, mata mereka bersinar-sinar, sementara tiga pengemis dari Pek-tung-pang juga mencabut tongkat mereka, tongkat putih yang bergetar di jari-jari yang kokoh.

Dan Kim-mou-eng tahu pertandingan tak mungkin dielakkan lagi. Dia jadi tak senang tapi tiba-tiba timbul keinginannya untuk mengetahui kepandaian dari orang-orang itu. Mereka merupakan tokoh-tokoh baru baginya, memang baru kali ini dia menginjakkan kakinya di kota Hok-kian. Dan ketika dua tosu dari Koang-san mengusap usap toya mereka dan toya itu mengebulkan asap maka Kim-mou-eng gembira dan tahu dugaannya kiranya betul. Dua tosu itu rupanya harus mendapat perhatian istimewa.

“Ha-ha, kalian akan mengeroyokku, cuwi-enghiong? Bagus, aku tak ingin bertanding tapi kalian yang rupanya memaksa. Baiklah, majulah...!”

Kim-mou-eng menggosok-gosok tangannya, sinar kemerahan menyala karena dia mengerahkan Tiat-lui-kangnya (Tenaga Petir), semua lawan terkejut dan terbelalak. Mereka sudah mendengar kelihaian Tiat-lui-kang. Tapi karena belum bertempur memang belum mengenal maka wakil dari Hwa-i-pai tiba-tiba melengking dan mulai melancarkan serangannya....