Pedang Tiga Dimensi Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 01
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
MALAM gelap. Mendung menggantung tebal di kota raja. Tak ada angin bertiup. Udara terasa dingin dan bintang maupun bulan tak keliatan di awan yang hitam. Semuanya sunyi namun mencekam. Suara jengkerik dan binatang-binatang malam juga tak kedengaran. Manusia tak tampak lalu lalang di jalan besar maupun sudut-sudut kota. Suasana tiba-tiba mati seolah kota raja tak berpenghuni. Aneh. Dan ketika kilat dan halilintar mulai berbunyi maka kucing dan anjing yang ada di dalam rumah ikut mengkerut dan memasukkan kepalanya di balik meja atau kolong-kolong rumah.

Tak ada kehidupan di saat itu. Petir kembali menggelegar dan angin tiba-tiba mulai mendesau. Suaranya mirip desis siluman yang berbisik-bisik. Dan ketika kilat dan guntur mulai sambung-menyambung maka hujan tiba,tiba turun. Memang sudah seminggu ini kota raja dilingkupi mendung, orang-orang malas keluar dan hawa dingin pun mulai menusuk tulang. Dalam keadaan seperti itu memang enak di rumah dan duduk di dekat perapian, menghangatkan tubuh dan menikmati arak, atau apa saja sebagai penghangat badan.

Dan ketika angin mulai kencang dan hujan juga mulai deras maka gerbang istana, yang terdapat di empat penjuru dan dijaga pengawal-pengawal bersenjata mulai ditutup. Tak mungkin ada tamu di saat seperti itu. Para pengawai kedinginan dan mereka mulai main kartu, satu kebiasaan di kala senggang. Tentu saja arak ikut bicara dan mereka mulai tertawa tawa. Bicara dalam keadaan hujan dan angin seperti itu tak cukup jika dilakukan dengan cara biasa saja, mereka harus berteriak agar suara tak ditelan gemuruh di luar. Dan ketika istana ditutup dan pengawal melepas waktu senggangnya maka hujan di luar memukul genting dengan irama yang tetap.

Memang tak ada bahaya di saat itu. Kota raja aman. Baru sebulan ini menikmati ketenangannya setelah rencana pemberontakan Pangeran Muda digagalkan (baca: Pendekar Rambut Emas). Para pengawal dapat bersantai dan pembicaraan tentang Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas) masih menjadi buah bibir, berlanjut dan hari itu masih tetap hangat untuk dibicarakan. Tapi ketika istana mulai sunyi dan beberapa lampu-lampu kamar dimatikan mendadak sesosok bayangan berkelebatan di atas genting penting istana.

Para pengawal tak ada yang tahu, mereka asyik di bawah Bayangan ini berlompatan di bawah hujan deras, tak perduli akan kilat dan guntur dan terus maju ke tengah. Perbuatannya amat berani dan mengherankan. Kalau ada yang mengetahui mungkin menyangka iblis. Habis, gerak tubuhnya begitu cepat dan bagat siluman saja. Langkah kakinya di atas genting tak kedengaran, bukan karena tertutup hujan melainkan karena injakan kakinya demikian ringan dan cepat menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya (ginkang) yang hebat. Jelas bayangan ini bukan orang sembarangan, tentu seorang tokoh berkepandaian tinggi yang memiliki ilmu silat jempolan.

Dan ketika dia berlompatan dan berputar-putar di kompleks istana yang luas tiba tiba bayangan ini berhenti sebab kebingungan. Matanya mencari-cari. Orang akan terkejut bertemu pandang mata bayangan ini, tajam berkilat seperti mata harimau. Sinarnya mencorong dan menakutkan, tubuh dan mukanya hampir tak kelihatan karena dia mengenakan mantel hitam, di bawah langit yang hitam menjadi menyeramkan karena mirip iblis! Dan ketika dia celingukan ke sana-sini dengan sikap kesal tiba-tiba tawa pengawal yang sedang bermain kartu menggugah perhatiannya. Pos penjagaan di sebelah timur masih terang dengan lampu yang besar, tujuh pengawal berada di sini. Dan ketika tawa itu kembali terdengar dan bayangan ini menyeringai tiba-tiba dia berkelebat dan langsung menuju ke tempat para pengawal ini.

"Hei, mana gedung pusaka?"

Tujuh pengawal terkejut. Pemimpinnya, seorang laki-laki brewok yang melompat bangun lebih dulu terkesiap. Suara orang yang dapat mengatasi gemuruhnya hujan membuat komandan ini tersentak, kaget bagaimana ada orang masuk sementara gerbang sudah ditutup. Dan ketika enam temannya tertegun dan ikut melompat bangun maka si brewok yang tinggi besar ini membentak,

"Kau siapa? Bagaimana kurang ajar dengan pengawal!"

Bayangan itu mendengus. Dia rupanya gusar mendapat sambutan yang tidak diinginkan, mulut tiba-tiba mencibir dan menjengek, tidak menjawab dan tertawa saja ketika si brewok mencabut golok, satu kewaspadaan untuk menghadapi musuh. Dan ketika si brewok kembali bertanya dan golok ditodongkan di depan dada sekonyon konyong bayangan ini menangkap dan langsung mencengkeram golok.

"Brewok, kau kurang ajar. Enyahlah!" golok tiba-tiba patah dan se brewok berseru kaget, orang mengayun tangannya dan potongan golok menyambar lehernya, begitu cepat. Dan ketika si brewok berteriak dan coba menghindar tapi kalah cepat tahu tahu mata golok menancap di lehernya menggorok hampir putus.

“Augh....!” si brewok terjengkang, tentu saja tewas seketika dan enam temannya yang lain terkejut. Gebrakan itu berlangsung cepat dan tidak diduga-duga sekali. Komandan mereka roboh dan darah menyembur membasahi lantai. Para pengawal tertegun tapi segera mereka berseru gusar, senjata dicabut dan mereka pun sudah maju menerjang dengan, senjata masing - masing. Tiga buah golok dan tiga buah pedang menyambar bayangan ini. Tapi ketika bayangku itu tertawa mengejek dan mengibaskan lengannya ke kiri kanan tiba-tiba enam pengawal itu jatuh berpelantingan dengan senjata patah patah.

"Aduh....!"

"Tobat....!"

Para pengawal menjerit ketakutan. Mereka tunggang-langgang oleh tangkisan lawan, kaki dan tangan patah-patah menyusuli senjata, tiga di antaranya tak dapat bangun kembali karena leher mereka yang patah. Bayangan ini ternyata telengas. Dan ketika tiga yang lain merintih dan terbelalak kepadanya maka bayangan ini menyambar yang berkumis tipis dengan ancaman mendirikan bulu roma.

"Di mana gedung pusaka?"

"Ak... aku tak tahu..."

"Kau bohong?"

"Sungguh, aku tak tahu, tuan... aku tak tahu... brukk!" si kumis itu tiba-tiba dibanting, bayangan ini tersenyum dan menggerakkan kakinya. Punggung si pengawal diinjak dan dipencet. Kontan pengawal itu menjerit dan tewas, isi dadanya hancur. Dan ketika dua yang lain terbelalak dan pucat memandang kejadian ini mendadak seorang di antaranya memekik dan kabur.

"Setan...! Maling...! Ada penjahat...!"

Bayangan itu terkejut. Dia melihat pengawal yang ini lolos, temannya yang satu juga coba berdiri dan mau melarikan diri tak dapat dan mengeluh terbanting kembali karena tulang kakinya patah. Temannya itu lengannya yang patah dan karena itu dapat melarikan diri. Tapi ketika dia berteriak-teriak dan bayangan ini tertawa mendadak tangannya melepas sebatang jarum yang amblas di batok kepala si pengawal.

"Cep!" Pengawal itu tersungkur. Dia roboh dan tewas seketika menyusul enam temannya yang lain. Pengawal terakhir gugup dan ngeri, hampir dia pingsan melihat kejadian berdarah itu. Enam temannya dibantai. Dan ketika dia menggigil dan tidak dapat bersuara saking takut dan gentarnya maka bayangan ini sudah membalik dan menghadapi dirinya.

"Kau juga tak tahu di mana gedung pusaka?"

"Ti... tidakl Aku lahu... aku tahu...!" dan si pengawal yang menuding-nuding dengan muka ngeri dan penuh keringat tiba-tiba berlutut. “Ampun... ampun, tuan. Jangan bunuh aku!"

"Hm, kau tahu diri. Aku tak akan membunuh kalau kau jujur. Di mana gudang pusaka?"

"Itu, di samping gedung perpustakaan...”

"Yang mana?"

"Yang bercat kuning, yang temboknya baru dikapur...!"

"Bagus, terima kasih!" dan bayangan ini yang tertawa membalikkan tubuh tiba-tiba melepas sebuah tendangan ke dada si pengawal, langsung terdengar suara "ngek" dan si pengawal pun mengaduh. Darah menyemprot dari mulutnya dan dia pun roboh, tulang dadanya hancur. Tentu saja tewas!

Dan ketika bayangan ini tersenyum dan hujan di luar semakin deras dia pun berkelebat menuju gedung bercat kuning itu, menghilang dan sudah meninggalkan tujuh sosok mayat yang bergelimpangan tak keruan, malang-melintang dengan keadaan mengerikan. Teriakan pengawal terakhir tadi tak ada yang mendengar, gemuruh hujan terlampau keras. Kilat masih menyambar-nyambar di atas sana. Dan ketika kita dibuat tertegun oleh sepak terjang bayangan ini maka si pembunuh berdarah dingin itu telah berlompatan di atas gedung kuning.

Dia mencari-cari, membuka genting dan akhirnya melayang turun. Gerakannya ringan dan lagi-lagi hampir tak bersuara. Gedung di sebelah luar ditutup dan karena itu dia mencari jalan pintas ini, menerobos dari atas. Dan ketika dia tiba di bawah dan menginjak lantai yang halus mendadak seorang penjaga memergokinya.

"Hei, kau siapi?"

Kiranya di dalam gedung ada juga penjaga. Bayangan ini terkejut, mengerutkan kening tapi tiba-tiba tertawa. Kaki bergerak dan tahu-tahu si penjaga pun tertangkap, jarinya mencekik leher penjaga ini. 'Dan ketika si penjaga terkejut dan meronta namun tak dapat melepaskan diri maka bayangan ini bertanya, "Ini gedung pusaka?"

"Kau... kau siapa?"

"Tak perlu tanya, kau jawab saja pertanyaanku. Benarkah ini gedung pusaka?"

“Beb... benar... kau rupanya penjahat, lepaskan aku... aduh!" tapi si pengawal yang terpaksa menjerit dan mengaduh tiba-tiba diangkat tubuhnya dengan leher masih dicengkeram, mendengar satu pertanyaan lagi,

"Kau tahu di mana tersimpannya Sam-kong-kiam (Pedang Tiga Sinar)?"

"Tidak, oh... lepaskan aku... lepaskan aku!”

"Hm... aku akan melepaskanmu kalau kau dapat memberi keterangan kepadaku. Tunjukkan padaku di mana tersimpannya pedang itu."

"Aku tak tahu, kau tanya saja perwira Lui...”

"Siapa itu perwira Lui?"

"Dia kepala gedung pusaka... aku, aduh...!" pengawal ini diseret, bayangan itu menyuruhnya menunjukkan di mana perwira Lui berada. Tentu saja perjaga ini berkaok-kaok dan kesakitan. Dia hampir tak dapat bernapas dan saat itu tenggorokannya panas bukan main, terlalu lama dia dicekik. Dan ketika bayangan ini gemetruk dan geram mendengar penjaga itu berteriak-teriak mendadak tiga penjaga lain muncul.

"A-swi, apa yang terjadi? Siapa orang ini?"

"Dia... dia mencari Sam-kong-kiam... dia penjahat...!"

"Ah...!" dan tiga pengawal yang menubruk maju tiba-tiba membentak menyuruh bayangan iiu melepaskan A-swi, disambut jengekan dari hidung dan A-swi tiba-tiba didorong, tubuhnya di pakai menyambut datangnya tiga ujung tombak yang di pegang tiga pengawal itu. Gerakan berlangsung cepat. Dan ketika A-swi berteriak ngeri dan tiga kawannya juga kaget tahu-tahu tiga ujung tombak menghunjam tubuh penjaga pertama ini.

"Bles-bles-bles!"

A-swi mendelik berkelojotan. Tiga tombak menyate tubuhnya, tiga temannya tertegun. Dan ketika si bayangan tertawa mengejek dan melempar penjaga sial ini maka tubuh A-swi menimpa tiga temannya secara berbareng.

"Bress!" empat tubuh itu roboh tumpang tindih. Tiga pengawal berteriak kaget, sadar dan coba melompat bangun. Tapi ketika bayangan itu berkelebat dan menggerakkan jarinya tiga kali mendadak tiga pengawal ini roboh terpelanting dan dua di antaranya berteriak ngeri, mukanya hancur ditampar kepretan jari itu. Tentu saja tewas. Dua nyawa kembali melayang. Dan ketika yang terakhir terbelalak dan pucat dengan tubuh menggigil tahu-tahu pundaknya telah dicengkeram dan dibentak.

"Kau tahu di mana perwira Lui?"

Pengawal ini gemetar, "Tahu, dia... dia...”

"Dia di mana?"

"Di dalam...!"

"Dalam mana? Hayo tunjukkan padaku!" dan si pengawal yang ganti diseret dan diangkat seperti orang mengangkat domba tahu-tahu mengeluti dan minta dilepaskan cengkeramannya, tidak digubris dan terus disuruh menunjukkan di mana adanya perwira Lui. Pengawal ini menangis dan terpaksa mengikuti. Keluar masuk tikungan sementara hujan di luar masih deras. Ribut-ribut di dalam tadi tak kedengaran. Dan ketika mereka tiba di depan sebuah pintu kamar yang tertutup dan pengawal ini menggigil maka dia menuding.

"Inilah, Lui-ciangkun ada di sini...."

"Ketuk pintunya."

"Aku tak berani..."

"Apa?"

"Ba.... baik!" dan si pengawal yang buru-buru mengetuk pintu melihat kilatan sinar mata lawan tiba-tiba berseru. "Lui-ciangkun, tolong buka pintu. Ada tamu...!"

Di dalam terdengar suara batuk-batuk. "Siapa itu?"

"Aku, ciangkun. A-swi..."

"Kenapa ke sini? Mana komandanmu?"

Sang pengawal tak dapat menjawab Komandannya terbunuh, itu yang tadi menyerang laki-laki ini tapi yang ditampar hancur mukanya. Suara batuk di dalam berhenti, A-swi menggigil. Dan ketika langkah kaki terdengar diseret dan pintu dibuka maka seorang lelaki gagah muncul dengan kening berkerut.

"Ada apa? Siapa ini..." pertanyaan itu berhenti, terganti seruan kaget karena A-swi sudah didorong menubruk laki-laki ini, bayangan Itu mendengus dan langsung berkelebat ke dalam, pintu ditutup dan tendangan keras mengenai laki-laki ini. A-swi sendiri sudah terjungkal dan berteriak keras, roboh terbanting dan pingsan di sana. Dan ketika laki-laki itu bergulingan dan kaget melompat bangun maka dia sudah berhadapan dengan laki-laki bermantel yang hampir tertutup seluruh mukanya itu.

"Ah, siapa kau?"

Laki-laki ini menjengek. "Tak perlu tanya. Kau perwira Lui?"

"Benar."

"Kau kepala gudang pusaka ini?"

"Benar."

"Kalau begitu tunjukkan padaku di mana Sam-kong-kiam, aku ingin memilikinya!"

"Ah," perwira itu tersentak. "Kau mau merampok?"

"Hm" bayangan itu mendengus. "Tak perlu banyak mulut, orang She Lui. Sekarang tunjukkan padaku di mana Sam-kong-kiam kalau kau tak ingin kubunuh!"

"Keparatl" perwira itu marah, mencabut pedang yang ada di dinding. "Kau kiranya penjahat, manusia busuk. Mampus dan, enyahlah dari sini... wuttl" pedangnya menyambar, Lui-ciangkun melompat dan sudah membacok leher laki-laki tak dikenal itu. Lawan tidak mengelak maupun menangkis. Berdiri tenang dengan mata bersinar sinar, tidak berkedip membuat Lui-ciangkun merasa seram sendiri. Dan ketika pedang menetak tapi patah bertemu leher tiba-tiba Lui-ciangkun terpelanting dan berseru keras.

"Aih...!” perwira ini melompat bangun kembali, memandang sisa pedangnya yang buntung dan terbelalak memandang lawan. Sungguh dia terkejut bukan main. Tapi ketika laki-laki itu maju mendekat dan mengancamnya dengan sinar matanya yang bagai iblis itu tiba-tiba perwira ini menyambar lagi sebatang golok yang ada didinding, memang beberapa senjata dia sisipkan di situ, kini menyerang lagi dan menusuk serta membacok Sinar goloknya berkelebat menghujani lawan, tapi ketika golok kembali patah dan bayangan ini menampar mendadak Lui-ciangkun terbanting mengeluh pendek.

"Bruk!" perwira she Lui itu tak dapat bangun kembali. Lawan menotoknya, tubuhnya menggigil dan perwira ini gentar. Lawan kiranya terlalu lihai. Dan ketika dia terbelalak dan marah tapi takut maka lawan sudah berjongkok di dekatnya dengan senyum iblis.

"Kau minta kubunuh?"

Lui-ciangkun tertegun.

"Aku dapat membunuhmu, tapi kalau kau minta mati. Sebaiknya kusiksa dulu agar kau merasakan nikmatnya maut."

"Tidak, tidak...!” perwira ini gemetar, menggoyang-goyang lengannya. "Apa sesungguhnya yang kau inginkan? Apa yang kau minta?"

"Hm, kau sudah mendengarnya, orang she Lui. Aku minta Sam-kong-kiam dan tunjukkan tempatnya padaku!"

"Untuk apa?"

"Perlukah kau tahu?"

Perwira ini terkejut. Sinar mata orang yang tak mau banyak menawar membuat dia mengerti. Tapi karena Sam-kong-kiam adalah pedang keramat yang disayang kaisar dia menjadi ragu juga. Dan lawan tiba-tiba menekan jalan darah pi-peh-hiatnya, langsurg dia berjengit dan mengaduh. Sentuhan itu membuat tubuh seakan disengat listrik! Dan ketika perwira ini menggigil dan keringat membasahi mukanya maka lawan sudah bertanya kembali,

"Kau keberatan?"

"Tidak!" perwira ini buru-buru menjawab. "Aku bersedia tapi bebaskan totokanmu!"

"Bagus..." dan lawan yang sudah membebaskan perwira itu dan mundur selangkah lalu melihat perwira ini bangun dan terhuyung-huyung mengusap tengkuknya, sejenak melotot tapi disambut tawa dingin. Lui-ciangkun sadar bahwa dirinya tak dapat mengatasi lawan. Orang terlalu lihai dan juga kebal. Dan ketika lawan menyuruhnya berjalan dan Lui-ciangkun membuka pintu maka dengan tersaruk-saruk dan muka pucat perwira ini melaksanakan keinginan lawan menuju tempat penyimpanan pusaka.

Gedung itu cukup besar dan luas, terbagi beberapa ruang di mana tiap-tiap ruang mempunyai kamar sendiri. Masing-masing kamar dijaga empat lima pengawal yang merupakan pembantu pembantu perwira ini, tentu saja psra pengawal itu terheran melihat Lui-ciangkun mengantar seseorang tak dikenal, bertanya tapi tiba-tiba mereka semua roboh oleh timpukan jarum yang digerakkan laki-laki ini. Begitu cepat kejadiannya. Perwira ini semakin terkejut dan tidak berkutik, gigi berkerot namun tidak berdaya. Diam-diam sudah memikirkan suatu rencana untuk membalas kejahatan lawan. Dan ketika mereka tiba di sebuah kamar berlampu hijau maka perwira ini berhenti dengan kaki gemetar, menghapus peluhnya.

"Kita Sudah sampai, pedang yang kau inginkan ada di dalam sini."

"Bagus, kalau begitu cepat buka."

"Aku tak dapat, kuncinya tertinggal."

"Hm. kau main-main?" mata bayangan itu berkilat. "Buka kataku, orang she Lui. Atau aku akan melemparmu ke dalam'!"

Perwira ini bingung. Dia memang lupa meninggalkan kunci kamar ini, terkesiap melihat pandangan yang begitu mengancam. Tapi tak kurang akal mencari sana-sini tiba-tiba perwira ini melepas peniti, menekuknya dan membantunya dengan sebuah obeng membuka pintu kamar itu, memang sedikit susah tapi akhirnya berhasil. Pintu terbuka dan anak kunci jatuh, semua dilakukan dengan tergesa-gesa. Dan ketika pintu terkuak dan hawa dingin menerpa keluar maka perwira ini didorong memasuki kamar itu, menuju sebuah peti yang berkilauan di atas meja.

"Masuk, sekarang buka peti itu!"

Perwira ini menggigil. "Sebaiknya kau saja yang membuka peti itu, sobat. Aku sudah mengantarmu ke sini dan Sam-kong-kiam ada di dalam situ!"

"Kau membantah?"

"Aku takut"

"Kalau begitu minggirlah...!"

Lui-kiangkun di dorong, terjungkal dan mengeluh mendekap dada nya. Laki-laki itu sudah melompat dan tiba di depan peti, matanya bersinar-sinar, gembira dan tidak perduli pada perwira she Lui itu lagi karena mata menatap bercahaya ke arah peti yang berkilauan ini. Di atas peti tertulis: SAM-KONG-KIAM. Dan begitu dia menyambar peti dan membuka tutupnya maka sebatang pedang tampak di dalam terselubung oleh sarungnya yang indah berhiaskan permata di sana-sini.

"Ha-ha, bagus sekali. Ini yang kucari!" laki-laki itu tertawa bergelak, tidak sabar dan sudah mencabut pedang dari sarungnya. Tiga sinar warna warni tiba-tiba berkeredep, hijau kuning dan merah. Warnanya menyilaukan. Tapi begitu pedang dilolos dan hawa dingin keluar dari badan pedang mendadak lampu yang ada di ruangan itu semuanya padam!

"Pet!" Lui-ciangkun terkejut. Laki-laki itu juga terkejut, ruangan tiba-tiba menjadi gelap tapi kini diterangi tiga sinar mencorong yang memancar dari pedang Sam-kong-kiam. Meja kursi dan dinding tiba-tiba berdetak, tempat itu seolah diguncang gempa. Tapi ketika laki-laki itu berseru keras dan cepat memasukkan Sam-kong-kiam ke dalam sarungnya kembali mendadak lampu hidup lagi dan getaran seakan gempa itu pun lenyap.

"Ha-ha, benar-benar pedang pusaka. Luar biasa sekali...!"

Lui-ciangkun tertegun. Kini dia mengerti apa yang tadi menyebabkan itu semuanya. Kiranya pengaruh kesaktian pedang ini. Sam-kong-kiam memiliki tenaga gaib dan menggetarkan meja kursi, bahkan menggetarkan dinding sekaligus memadamkan lampu. Pedang itu memiliki pesona mengerikan. Amat mengerikan. Dan ketika bayangan itu tertawa bergelak dan Lui-ciangkun sadar mendadak perwira Ini menginjak sebuah tali dan menendangnya kuat-kuat.

"Teng-teng-teng...!"

Bayangan itu terkejut. Dia mendengar lonceng genta berbunyi di luar, nyaring sambung-menyambung menunjukkan tanda bahaya. Kiranya perwira she Lui itu telah membunyikan "alarm' sebagai usaha meminta bantuan, kini perwira itu berteriak keluar menyebut-nyebut penjahat. Tentu saja bayangan itu terkejut dan marah. Dia lengah sejenak oleh kegirangannya mendapatkan Sam-kong-kiam. Pedang ini ampuh dan luar biasa. Dan ketika perwira she Lui berteriak-teriak dan derap kaki mendatangi tempat itu disusul teriakan teriakan ramai tiba-tiba bayangan ini berkelebat mengejar perwira she Lui itu.

'Manusia busuk, kau robohlah...!" tiga jarum hitam menyambar cepat, bayangan ini marah dan sudah menyerang Lui-ciangkun. Lui-ciangkun berkelit tapi kalah cepat, roboh dan menjerit disambar tiga jarum beracun, langsung terjungkal dan ditendang bayangan ini, mencelat keluar pintu dimana saat itu bentakan-bentakan para pengawal tiba, menerima tubuh Lui-ciangkun dan empat di antaranya roboh tunggang lenggang. Lui-ciangkun mengeluh dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas. Dan ketika para pengawai terkejut dan marah mengenal Lui-ciangkun tiba-tiba dua kakek tinggi kurus menyambar datang menyerang bayangan ini, yang mencoba lari ke pintu samping.

"Pengacau hina, berhentilah....!"

Bayangan itu terkejut. Dua tombak panjang meluncur ke arahnya, terbang menuju punggung. Geraknya begitu cepat dan amat bertenaga. Telinganya mendengar kesiur angin yang kuat itu. Dan ketika dia membalik dan menangkis tapi tombak tidak patah seperti biasa dia mematahkan senjata para penjaga maka bayangan ini terbelalak melihat dua kakek gagah tinggi kurus menyerangnya lagi, membentak dan sudah menghentikan larinya yang terpaksa ditunda. Dua tombak beterbangan bagai bernyawa, yang satu beronce biru sedang yang lain beronce merah.

Dua kakek ini hebat sekali hingga terpaksa dia berlemparan, menangkis tapi lagi-lagi senjata di tangan Iawan tidak patah. Tahulah dia bahwa lawan yang kali ini di hadapi adalah bukan sembarangan orang. Dan ketika tombak itu kembali menyambar-nyambar dan para pengawal yang lain sudah mau mendekat dan berteriak-teriak maka sesosok bayangan tinggi besar tiba-tiba berkelebat dan membantu dua kakek bertombak ini.

"Cu-ciangkun, siapa jahanam ini?"

Bayangan ini terkejut. Serangan itu disusul pukulan tangan kanan yang dahsyat sekali, sinar putih berkelebat dan angin pukulan pun menderu hebat. Dia terpaksa mengelak sementara dua tombak mengaung di sisi tubuhnya, berkelit dan menangkis pukulan pendatang baru ini. Seorang laki-laki tinggi besar berjenggot lebat terbelalak kepadanya, pukulan itu sudah diterima. Dan ketika lawan terpental dan benturan keras menggetarkan ruangan itu maka laki-laki tinggi besar ini berseru kaget tertolak mundur.

"Aih. hebat sekali. Keparat!"

Bayangan itu kagum. Tenaga si tinggi besar ini sebenarnya dahsyat, itulah Bu-ciangkun si Tangan Baja, panglima kerajaan yang memiliki Kang jiu-kang (Tenaga Tangan Baja). Sinar putih yang berkelebat dari tangan kanannya tadi adalah sinar pukulan Kang-jiu-kang itu, memang hebat dan sanggup memecahkan kepala seekor gajah. Kalau bayangan ini tidak memiliki kepandaian lebih tinggi tentu dia sudah hancur disambar pukulan Bu-ciangkun, kini dia tergetar dan memuji panglima itu.

Bu-ciangkun menggereng dan maju lagi, dua kakek tinggi kurus juga membentak menggetarkan tombak mereka, inilah Cu-ciangkun kakak beradik, yang memegang tombak beronce biru adalah Cu Hak sedangkan adiknya yang memegang tombak beronoe merah adalah Cu Kim. Mereka mendengar lonceng genta yang dipukul bertalu-talu itu, kaget dan cepat melesat menuju tempat terjadinya peristiwa, terkejut karena peristiwa terjadi di gedung pusaka. Maklumlah mereka bahwa ada sesuatu yang tidak beres, pencurian senjata dan pembunuhan.

Melihat di sana-sini mayat-mayat bergelimpangan, sementara hujan di luar masih deras juga. Teriakan pengawal dan bentakan kemarahan di sana-sini cukup menyadarkan dua panglima kakak beradik ini. Mereka sepasang panglima kosen yang mahir mainkan Sin-liong Chio-hoat (Silat Tombak Naga Sakti), masih memiliki lagi ilmu simpanan yang disebut Hui-liong Chio-hoat (Silat Tombak Naga Terbang). Kini bersama Bu-ciangkun menyerang bayangan bermantel yang menyembunyikan sebagian besar mukanya itu, bayangan ini berlompatan dan menangkis sana-sini dengan kaki tangannya, bertangan kosong.

Tapi ketika pengawal yang lain datang mengganggu dan ruangan terasa sempit oleh banyaknya orang tiba-tiba bayangan ini terdesak dan kerepotan. Dan saat itu Bu-ciangkun menggeram lagi, bertanya siapa adanya pengacau ini dan apa yang dia lakukan. Cu-ciangkun tak tahu dan menjawab terus terang tak mengenal lawan. Bayangan itu tertawa mengejek sambil terus berlompatan, meskipun terdesak belum juga lawan dapat merobohkannya. Dan ketika Bu-ciangkun penasaran dan Cu-ciangkun kakak beradik juga marah menyerang bayangan ini maka Cu Hak berseru pada adiknya.

"Gabung Silat Tombak Terbang kita....!"

Cu Kim memgangguk. Sang adik mengerti apa yang dikehendaki sang kakak, mereka tadi bertempur sendiri-sendiri dengan ilmu silat mereka, meskipun tombak menyambar-nyambar tapi masing-masing coba merobohkan lawan, gagal dan kini sang kakak minta agar mereka menggabung permainan mereka. Cu Kim membentak dan tiba-tiba berendeng dengan kakaknya, kini mereka menyerang dari depan sementara Bu-ciangkun diminta melepas pukulan-pukulannya di belakang. Bayangan itu dikeroyok depan dan belakang. Dan ketika pengawal yang mengepung diminta mundur dan dua kakak beradik di depan menusukkan tombak mereka sekonyong-konyong tombak terlepas dari tangan dan meluncur menyambar leher bayangan itu.

"Sing....”

Bayangan ini terkejut. Sepasang tombak tiba-tiba menuju dada dan perutnya, terbang berputar seperti peluru. Cepat dan kuat karena dua panglima Cu mendorongkan telapak tangan mereka. Tombak yang hidup itu semakin bernyawa, saat itu Bu-ciangkun membentak melepas Kang-jiu-kangnya, kini menghantam punggung hingga baju lawan berkibar. Bayangan ini terkejut dan terbelalak. Dan karena dia terdesak dan saat itu ke pungan pengawal juga kian banyak sementara di depan gedung menungpu ratusan pengawal lainnya yang tidak perduli hujan mendadak, diserang muka dan belakang seperii itu tiba-tiba bayangan ini mencabut Sam-kong-kiam.

Tiga sinar kemilauan mencuat disertai hawa dingin, pancaran sinarnya demikian terang seperti matahari, Bu-ciangkan dan teman temannya kaget. Lampu mendadak padam dan suara mengaung mengerikan terdengar mendirikan bulu kuduk, orang-orang terkejut. Dan ketika pedang bergerak dua lingkaran penuh dan bentakan keras mengiringi gerakan pedang itu tiba-tiba Cu-ciangkun berteriak tertahan dan cepat membanting tubuh bergulingan.

"Crak-crakk!"

Tombak di tangan panglima Cu terpotong dua. Dua panglima ini menggelinding, mereka berseru kaget karena baru sekarang tahu apa yang berkeredep menyilaukan mata itu. Bu-ciangkun sendiri sudah menarik pukulannya bergulingan menjauh. Gerakan Sam-kong-kiam terlalu ganas bagi mereka, tak ada senjata yang dapat bertahan menghadapi pedang pusaka ini. Baru sekarang juga Bu-ciangkun tahu apa yang dicuri lawannya ini, kiranya Pedang Tiga Sinar. Dan ketika tiga panglima itu bergulingan menjauh dan melompat bangun dengan keringat membasahi dahi maka hampir serempak tiga panglima ini berseru,

"Sam-kong-kiam...!"

Bayangan itu tertawa bergelak. Sekarang dia terbebas dari tekanan, dua tombak panglima Cu menggeletak di lantai, potongannya terpotong seperti tahu. Lawan berhasil didorong mundur. Dan ketika tiga panglima itu bergulingan melompat bangun dan menyebut nama pedangnya maka bayangan ini tertawa berkelebat meninngalkan tiga panglima itu. berjungkir balik keluar kepungan dan sudah melayang ke atas genteng. Gerakannya dibantu gelapnya malam, tahu-tahu sudah hinggap dan berlarian di gedung Istana.

Tentu saja para pengawal dan Cu-ciangkun maupun Bu ciangkun celengap, sejenak terkesima oleh lolosnya Sam kong kiam. Kesaktian pedang itu membuat mereka tertegun. Lampu mendadak padam ketika Sam-kong-kiam dicabut dari sarungnya, baru kali ini mereka melihat kegaiban itu. Tapi begitu sadar dan musuh berlompatan diatas gedung istana mendadak Cu-ciangkun dan Bu-ciangkun berteriak gusar melompat mengejar.

"Tahan, tangkap laki-laki itu...!"

"Dia mencuri Sam-kong-kiam. Bunuh...!"

Para pengawal ribut. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun sudah berkelebat mendahului, masing-masing berjungkir balik dan melayang keatas genteng. Gerak mereka ringan dan cepat. Dan ketika mereka mengejar dan pengawal di bawah juga ikut membayangi maka Cu-cangkun yang menyambar panah mengganti tombaknya yang patah tiba-tiba sudah menjepret empat kali ke punggung bayangan itu.

"Cet-cet-cett..."

Bayangan itu tertawa mengejek. Tanpa menoleh dia menggerakkan Sam-kong-kiamnya, empat panah Cu-ciangkun yang dilepas rontok semua. Panah panah itu pun kandas dibacok Sam-kong-kiam, Cu-ciangkun bingung tapi gusar bukan main. Dan ketika bayangan itu berlari ke utara dan turun mendekati tembok istana tiba-tiba Bu-ciangkun yang membawa golok di tangan menimpukkan goloknya itu menyambar lawan.

"Swing..." Golok itu berkeredep menyilaukan mata. Bayangan itu membalik, kali ini dengan tawa menyeringai dia merendahkan tubuh, kaki berjongkok dan pedang di tangan pun bergerak, tujuh kali malang-melintang membuat golok hancur berkeping keping. Dan ketika Bu-ciangkun terbelalak dan geram disana maka bayangan ini sudah menggerakkan kakinya dan tujuh patahan golok itu ganti menyambar si panglima tinggi besar.

"Ha ha, terima ini, brewok. Awas...!"

Bu-ciangkun gusar. Dia menggerakkan dua tangannya, dengan Kang-jiu-kang dia menyambut patahan golok timpukannya itu, menangkap dan balas kembail menyambitkannya ke arah lawan. Bayangan itu tertawa bergelak dan kembali menggerakkan Sam-kong-kiam. Beberapa kali sinarnya mencuat dan golok-golok itu pun berdenting. Dan ketika tujuh patahan golok runtuh di tanah dan hancur menjadi potongan potongan yang lebih kecil lagi maka Bu-ciangkun terbelalak melihat tak kurang dari puluhan mata golok telah menjadi serpihan kecil-kecil di atas tanah.

"Brewok, kau tak dapat menangkap aku. Selamat tinggal!'

Bu-ciangkun terkejut. Lawan telah melambaikan lengan kepadanya, pengawal di bawah memburu sambil berteriak teriak. Bayangan itu melompat tinggi. Dan ketika dia berungkir balik dan hinggap di tembok istana maka Bu-ciangkun terkesiap melihat lawan siap melarikan diri pedang Sam-kong-kiam dimasukkan kembali dan sekali turun di luar sana tentu bayangan ini akan lenyap. Tapi ketika lawan terbahak gembira dan siap melayang turun mendadak tiga bayangan baru berkelebat dari bawah menyerang bayangan ini, tiga bayangan yang muncul dari luar tembok istana

"Manusia hina, serahkan Sam-kong-kiam..."

Bayangan itu kaget. Dia jadinya seperti di papak dari bawah ke atas, menghentikan tawanya dan mendengar bentakan nyaring itu. Seorang gadis dan seorang pemuda disertai seorang laki-laki gagah menyerangnya hampir berbareng, dua batang pedang membacok diiringi sebuah pukulan dahsyat berhawa panas. Laki-laki gagah itu tak bersenjata tapi angin sinkangnya hebat sekali, tentu saja bayangan ini terkejut. Dan karena dia sudah memasukkan Sam-kong-kiamnya dan mencabut kembali tak ada waktu maka bayangan itu merendahkan tubuh dan menerima dua bacokan pedang sementara pukulan sinkang yang menghantam dadanya disambut uluran lengan yang cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Plak-plak-dess!"

Bayangan itu terkejut. Dua bacokan pedang ditolaknya mentah mentah. Sang gadis dan sang pemuda yang menyerangnya dengan senjata tajam ini berteriak tertahan. Pedang mereka mental dan mereka mendapatkan gumpalan daging yang atos dan liat, kulit lawan terlindung kekebalan yang membuat mereka kaget. Pedang membalik dan hampir menyerang muka sendiri, tentu saja mereka berseru keras betjungkir balik, mematahkan daya tolakan dan turun di dalam tembok istana, muka mereka pucat dan kaki pun menggigil.

Tapi si bayangan yang mendapatkan serangan dari si laki-laki gagah dan kini menangkisnya dengan lengan kiri terjulur ternyata tergetar dan terdorong. Dan karena tembok itu tidak terlampau tebal dan dia menginjak tempat kosong maka bayangan ini berseru kaget karena dia terjerumus dan jatuh kembali ke dalam kompleks istana, tentu saja berjungkir balik dan melayang turun ke bawah, hampir bersamaan dengan tibanya si pemuda dan si gadis. Dan ketika dia menginjakan kakinya di dalam dan Bu ciangkun serta Cu-ciangkun memburu dengan beberapa lompatan maka bayangan ini sudah dikepung dan dikeroyok serta mendengar bentakan panglima tinggi besar, ditujukan pada si laki'laki gagah yang memaksa bayangan ini turun ke kompleks istana,

"Bagus, kau datang tepat waktunya, Hek-eng Taihiap. Terima kasih dan mari bekuk pengacau ini...!"

Bayangan itu sudah diserang. Laki-laki gagah yang memaksanya tadi ternyata Hek-eng Taihiap (Pendekar Garuda Hitam) yang mengenakan baju hitam, memiliki pukulan ampuh yang membuat lengannya tergetar, terjerumus dan akhirnya dikeroyok di tempat ini. Cu-ciangkun sudah menyambar tombak baru dan kini menyerangnya bertubi-tubi. Begitu juga Bu-ciangkun, panglima tinggi besar ini berteriak keras melepas Kang-jiu-kangnya. Angin dahsyat bersiurl menyambar, si bayangan terkejut. Dan kelika dua muda mudi pendatang baru itu juga menggerakkan pedang mereka dan Hek-eng Taihiap kembali melepas pukulan sinkangnya menampar bayangan ini maka pencuri Sam-kong kiam itu menggeleng berseru marah.

"Keparat, kalian akan kubunuh!" pedang Sam-kong-kiam tiba-tiba dicabut, tiga sinar warna-warni tiba-tiba berkilau, mata menyipit tak tahan terkena silauannya yang terang dan bayangan itu membalik, satu bentakan keras menyertai putaran pedangnya yang berkeredep ke segala penjuru. Dan ketika Bu-ciangkun dan lain-lain terkejut karena lawan membalas dengan pedang yang ampuh, maka Cu-ciangkun menarik tombaknya seraya berseru memperingatkan pada dua muda-mudi yang bersenjata pedang itu,

''Awas, hindarkan senjata kalian...!"

Namun terlambat. Muda mudi yang bersenjata pedang itu rupanya terlalu percaya diri, mereka meneruskan serangan dan tidak perduli teriakan Cu-ciangkun. Pedang mereka tetap menusuk tapi bertemu kilatan Sam-kong-kiam. Dan ketika pedang terasa ringan dan suara "trang" membentur pedang mereka mendadak senjata di tangan sudah putus dan kutung menjadi dua.

"Aihh...." dua muda-mudi itu terkejut. Mereka sekarang percaya, sinar Sam-kong'kiam membalik dan menyambar lagi. Dan karena mereka tertegun dan bengong memandang kehebatan Sam-kong-kiam tiba-tiba pedang sudah menukik dan meluncur menusuk leher mereka.

"Awas..." Pekik Bu-ciangkun itu menyadarkan mereka.

Dua muda-mudi ini tersentak, pedang sudah menyambar dan mereka mencelos, tentu saja kaget melempar tubuh bergulingan. Tapi karena pedang masih mengejar dan mereka kalah cepat tahu-tahu suara memberebet masih juga terdengar diiringi pekik kesakitan dua muda mudi itu yang tergurat pundaknya, kulit terkoyak dan darah pun mengucur. Dua muda-mudi ini bergulingan. Tapi ketika pedang melukai dua muda-mudi itu dan Hek-eng taihiap berada di belakang lawan mendadak Pendekar Garuda Hitam ini bergerak menubruk, jarinya mencengkeram kepala lawan untuk merenggut mantel yang menutupi muka.

Gerakannya sebat dan cepat, juga tepat karena saat itu lawan sedang menyerang dua muda-mudi ini, jadi tak menduga kalau diserang dari belakang. Dan karena pencuri Sam-kong-kiam itu gemas pada lawannya dan lengah untuk serangan di belakang tiba-tiba dia terkejut dan berseru kaget ketika cengkeraman Hek-eng Taihiap berkesiur di belakang kepalanya, mengelak dan miringkan leher tapi kurang cepat. Dan ketika tutup kepala tertarik dan tangan yang lain dari Hek'eng Taihiap menghantam pundak tiba-tiba mantel di alas kepala itu terbuka dan bayangan ini pun terpukul pundaknya.

"Bret-plak!”

Rambut yang kuning keemasan tiba-tiba terurai. Kepala Iawan terbuka mentelnya, bayangan iiu berseru keras dan marah. Perbuatan Hek-eng Taihiap membuka kedoknya. waktu ketika orang tertegun memandang rambutnya yang kuning keemasan tiba-tiba Sam-kong-kiang meliuk membabat perut Hek-eng Taihiap, tentu saja membuat Pendekar Garuda Hitam ini terkejut melompat mundur, mata masih terbelalak memandang rambut yang kuning keemasan itu, mulut celangap.

Bu-ciangkun dan lain lain juga mendelong, mereka mendadak menghentikan serangan, juga melompat mundur, menghindari kilauan Sam-kong-kiam yang melindungi bayangan ini. Dan ketika semua orang mundur dan tertegun memandang rambut yang keemasan itu mendadak bayangan ini melompat tinggi berjungkir balik keluar dari kepungan, tertawa aneh dan sudah hinggap di atas tembok istana kembali, lawan tak mengejar. Dan sementara orang bengong dan Bu-ciangkun serta kawan-kawannya menjublak bagai melihat hantu tiba-tiba bayangan itu melayang turun dan lenyap di luar istana.

"Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)...."

Seruan itu tiba-tiba mengguncang suasana. Hek-eng Taihiap dan teman-temannya tadi memang sedang tertegun melihat bayangan ini, rnelihat rambutnya yang keemasan dan kelihatannya menghadapi mereka berenam. Tentu saja terkejut karena mereka mengenal itulah Kim-mou-eng, sahabat sekaligus orang yang amat mereka kagumi. Kini tiba-tiba menjadi pencuri dan merampas Sam-kong-kiam. Betapa tidak masuk akalnya. Tapi karena jelas bayangan itu adalah Kim-mou-eng dan mereka sadar setelah pengawal berteriak-teriak menyebut nama Kim-mou-eng pula sekonyong-konyong Bu Ciangkun menggereng melayang melompati tembok istana, mengejar.

"Kim-mou-eng, tunggu...."

Hek-eng Taihiap dan teman temannya tersentak. Mereka pun membelalakkan mata, mengejap ngejapkannya berulang ulang seolah tak percaya, kini berkelebat mengikuti bayangan Bu-ciangKun, menahan napas dan memanggil pula bayangan di depan. Si rambut emas itu telah meluncur jauh, mereka penasaran. Dan ketika gerbang istana di buka dan pengawal pun memburu keluar maka Hek-eng Taihiap dan lima temannya ini telah mengerahkan ginkang mereka mengejar si rambut emas ini.

"Kim-mou-eng, tunggu. Kami mau bicara....”

Namun bayangan di depan tertawa mengejek. Dia sudah keluar dari lingkungan istana, berlari cepat dan Sam-kong-kiam diacungkannya ke alas, sinar pedang pusaka itu menuntun Bu-ciangkun dan teman-temannya mengikuti. Berkali-kali mereka memanggil namun si rambut emas itu tak menghiraukan. Dan ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja dan tembok yang tinggi menghalang di depan maka si rambut emas ini sudah ditunggu seribu pengawal yang mencegat jalan larinya.

"Minggir..." sinar berkilauan berkelebat, si rambut emas ini membentak melayang ke atas tembok. Di atas sana pun kiranya pengawal sudah merasa dan siap mencegatnya. Sam-kong-kiam bergerak dan tujuh perwira diatas menjulurkan senjata masing-masing. Kota raja menjadi geger dan hujan pun kebetulan mulai reda. Para Pengawal dan orang orang lain basah kuyup diguyur hujan. Dan ketika tujuh perwira membentak dan menangkis Sam-kong-kiam tiba-tiba tujuh perwira ini berseru kaget karena tombak dan golok mau pun pedang di tangan mereka buntung terpapas oleh pedang di tangan si rambut emas.

"Trang-trang-trang..!"

Tujuh perwira ini terbelalak ngeri. Sam-kong-kiam masih terus bergerak ke arah mereka, tujuh tusukan dilakukan dengan amat cepat luar biasa. Dan ketika mereka mengelak namun masih juga kurang cepat maka berturut-turut mereka menjerit dan roboh terjungkal dari atas tembok yang tinggi, disambut pekik kaget pengawal di baawah yang ngeri melihat tujuh perwira itu terbanting di atas tanah, punggung mereka patah dan tentu saja tewas. Dan ketika mereka gempar dan berteriak teriak marah maka Bu-ciangkun yang berkelebat mendatangi tempat itu berseru,

"Lepaskan panah. Serang..."

Ratusan panah tiba-tiba berhamburan. Bayangan di atas itu memutar pedangnya, semua panah runtuh dibabat pedangnya, melihat Cu-ciangkun dan lain lain tiba pula di situ. Semuanya melayang naik namun dia tertawa bergelak. Dan ketika ratusan panah rontok disapu putaran pedangnya maka di saat Cu-ciangkun dan teman-temannya itu melayang naik ke atas tembok pintu gerbang justeru si rambut emas ini melayang turun dan lenyap di luar gerbang kota raja, melarikan diri.

"Ha-ha, kalian tak dapat menangkap aku, Bu-ciangkun. Sampai ketemu lagi!"

Bu-Ciangkun menggereng. Dia sudah tliba di atas tembok, berbareng pula dengan teman-temannya yang lain, melihat bayangan itu melayang turun dan dia pun melayang ke bawah, sungguh penasaran dan sakit hatinya melihat si rambut emas itu melarikan diri. Dan ketika teman-temannya juga meluncur dan Cu-ciangkun membentak mengejar bayangan ini maka Hek-eng Taihiap dan lain-lainnya juga memburu, marah dan tak habis pikir kenapa Kim-mou-eng, pendekar yang gagah perkasa itu mengacau kota raja, mencuri dan membunuh serta menghina mereka.

Tapi karena malam tak berbintang dan lawan juga berkepandaian tinggi maka pengejaran yang dilakukan Bu-ciangkun dan teman temannya ini tak berhasil, gagal dan Bu-ciangkun memaki-maki Pendekar Rambut Emas itu. Kegeramannya sampai di ubun-ubun dan bangsa Tar-tar pun dicacinya habis-habisan. Pendekar Rambut Emas memang berdarah Tar-tar. Dan ketika malam itu hujan benar benar berhenti dan si rambut emas tak berhasil mereka tangkap maka Bu-ciangkun kembali sambil mencak-mencak.

"Bedebah, Kim-mou-eng kiranya pendekar berwatak iblis. Tak patut dia menjadi sahabat sri baginda!"

"Ya, dan dia juga membunuh belasan pengawal di tempat kita, paman Bu. Sungguh tak habis pikir bagaimana dia begitu telengas."

"Dan kiia harus melapor pada sri baginda. Kalau perlu kuminta ijin agar melakukan pengejaran dan memasuki padang rumput melabrak suku bangsanya. Keparat!" dan Bu ciangkun yang marah marah diikuti pemuda berpedang yang memanggilnya "paman Bu" tadi lalu kembali ke istana dan melapor pada sri baginda. Kaisar sudah menunggu mereka dan ingin tahu apa yang terjadi. Mata terbelalak tak sabar. Dan ketika Bu-ciangkun melapor bahwa Kim-mou-eng mencuri Pedang Tiga Sinar tiba-tiba kaisar tertegun menggebrak meja.

"Tak masuk akal! Tidak kelirukah kalian, ciangkun?"

'Paduka dapat menanyakannya pada yang lain-lain ini, sri baginda. Hamba tak salah lihat dan justeru Hek-eng Taihiap ini yang membuka mantel kepalanya.'"

'Benarkah, Hek-eng Taihiap?"

"Maaf, tampaknya memang begitu, sri baginda. Tapi...'"

"Tapi apa? Kenapa harus berembel-embel tampaknya?"

Hek-eng Taihiap bingung. "Hamba memang melihatnya begitu, sri baginda. Tapi hamba ragu apakah Kim-taihiap (Pendekar besar Kim) benar melakukan perbuatan itu!"

"Apa maksudmu?"

"Maksud hamba begini, sri baginda. Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas itu adalah seorang gagah yang kita sama tahu tindak-tanduknya. Dia seorang pendekar sejati yang pantang berbuat jahat, lagi pula dia murid Bu-beng Sian-su. Apakah mungkin pendekar begitu dikagumi melakukan perbuatan hina?"

"Ah," Bu-ciangkun tiba-tiba menimbrung. "Murid Bu-beng Sian-su atau bukan sebaiknya jangan dijadikan patokan, Hek-eng Taihiap. Mendiang Gurba peminpin suku bangsa Tar-tar itu juga murid Bu-beng Sini-su tapi kelakuannya memuakkan. Sebaiknya nama manusia dewa itu sebagai pribadi jangan disangkutpautkun dengan orang lain meskipun orang lain itu muridnya sendiri!"

"Benar," kaisar tiba-tiba teringat. "Apa yang di kata Bu-ciangkun tidak salah, Hek-eng Taihiap. Melihat tindak-tanduk seseorang sebaiknya jangan disangkut pautkan dengan orang lain meskipun orang lain itu guru atau orang tuanya. Sekarang jawab saja, benarkah yang mencuri Sam-kong-kiam adalah Pendekar Rambut Emas?"

Hek-eng Taihiap tak dapat mengelak, terpaksa mengangguk dan kaisar merah padam mukanya. Ribuan mata memang melihat bahwa yang melakukan keributan itu adalah Kim-mou-eng, semua orang tahu. Dan ketika kaisar berkerot gigi terpaku di singgasananya maka kembali Bu-ciangkun, panglima tinggi besar yang berangasan itu berkata, nadanya tinggi,

"Nah. sekarang paduka tak perlu sangsi, sri baginda. Kim-mou-eng yang kita bangga-bangga kan itu ternyata seorang iblis. Selain mencuri Sam-kong-kiam masih juga menurunkan tangan maut membunuhi perwira dan para pengawal-pengawal kita. Apakah hal ini tidak tidak cukup bagi kita untuk menangkap dan menggantungnya? Dan hamba sanggup mencari si hina itu, sri baginda. Hamba siap berangkat kalau paduka menitahkannya!"

Kaisar menggigil. "Baik, kau cari si laknat itu, ciangkun. Kalau perlu bawa pasukan dan serbu bangsa Tar-tar di luar tembok besar sana!"

"Hamba siap menjalankan tugas...” tapi baru Bu-ciangkun berseru menegakkan kepala tiba-tiba Hek-eng Taihiap melompat ke depan.

"Nanti dulu," pendekar itu pucat. "Sebaiknya dengarkan usul hamba, sri baginda. Biar Bu-ciangkun berangkat tanpa pasukan. Hamba usul agar hamba berenam saja yang ke suku bangsa Tar-tar. Hindarkan dulu pertumpahan darah kalau Pendekar Rambut Emas mau menyerahkan Sam-kong-kiam kembali!"

Kaisar terkejut "Maksudmu?"

Hek-eng Taihiap buru buru menghadap ke seorang pembesar berwajah sabar, berkata menggigil, "Kim-taijin, mohon dukungan paduka untuk membujuk sri baginda. Hamba masih tak yakin kalau Pendekar Rambut Emas yang melakukan semuanya ini. Hamba ingin menyelidiki, kalau paduka setuju tolong beri tahu sri baginda agar mencegah perang antar bangsa."

"Hm," pembesar itu mengangguk-angguk. "Aku dapat mengerti, Hek-eng Taihiap. Dan kulihat usulmu boleh diterima. Baiklah, aku coba menerangkan pada sri baginda," dan pembesar ini yang sudah menghadapi junjungannya lalu berkata, tenang, "Sri baginda, mohon ampun bila hamba melancangi titah paduka. Hek-eng Taihiap ingin mencegah pertumpahan darah, urusan ini memang layak diterima dengan pikiran dingin. Bagaimana kalau Bu-ciangkun disertai teman-temannya ke suku bangsa Tar-tar? Hek-eng Taihiap hendak bicara secara pribadi, sri baginda. Dan hamba juga sependapat dengan jalan pikiran Hek-eng Tahiap bahwa nama Kim-mou-eng perlu diragukan sebagai pencuri Sam-kong-kiam."

"Tapi semua orang melihatnya," kaisar terbelalak. "Dan semua mengakui bahwa Pendekar Rambut Emas itulah yang membuat onar!"

"Benar, tapi Pendekar Rambut Emas adalah seorang gagah sejati, sri baginda. Hamba tahu wataknya dan sepak terjangnya. Mohon paduka berkepala dingin menghadapi urusan ini."

"Tapi Sam-kong-kiam bukan pedang sembarang pedang. Pusaka itu warisan leluhur dan simbol jatuh bangunnya kerajaan!"

"Hamba tahu," pembesar itu masih bersabar. "Dan hamba juga tidak akan tinggal diam melihat pedang ini dicuri orang, sri baginda. Tapi hamba yakin bahwa bukan Pendekar Rambut Emas yang mencuri pedang itu, hamba berani bertaruh potong kepala!"

Kaisar terkejut. Bu ciangkun dan yang lain-lain juga terkejut, Kim-taijin dianggap terlalu berani dan gegabah. Tapi karena pembesar itu adalah penasihat kaisar yang paling dipercaya dan kesetiaannya tak perlu diragukan lagi maka kaisar dan yang lain lain menjadi tertegun dan mulai bertanya kenapa pembesar itu berani berkata seperti itu, bahwa tanpa melihat sendiri berani bertaruh bukan Kim-mou-eng yang mencuri Sam-kong-kiam, meskipun ribuan mata melihat pencuri itu sebagai Pendekar Rambut Emas.

Pembesar ini rupanya terlalu percaya pada Kim-mou-eng, pada kegagahannya dan wataknya yang luhur. Dan ketika Kim-taijin, pembesar itu, menerangkan bahwa ada dua hal yang perlu menjadi perhatian untuk tidak gegabah menuduh Kim-mou-eng maka semua orang mendengar pembelaan pembesar ini.

"Ingat, pencurian pedang itu menunjukkan keserakahan nafsu seseorang, sri baginda. Dan kita sama tahu bahwa pendekar Rambut Emas sama sekali bukan orang yang serakah. Minta bukti? Baik, hamba tunjukkan. Paduka tentu ingat bahwa beberapa bulan yang lalu paduka memberi harta karun sepuluh peti emas permata pada pendekar itu, tapi Kim-mou-eng menolak. Hanya atas desakan paduka pendekar itu akhirnya menerima, itupun tak buru buru dibawa dan harta karun itu sampai detik ini masih dititipkan pada paduka. Ini menunjukkan bahwa Kim-mou-eng bukan seorang mabok harta maupun barang-barang duniawi. Ke dua, siapa tak meragukan rambut emas yang dipakai pencuri itu? Sekarang pemalsuan bisa terjadi di mana-mana, sri baginda. Dan hamba khawatir bahwa pencuri itu telah mengecat rambutnya agar mirip Kim-taihiap. Nah, inilah yang menjadi alasan hamba. Dan kalau mau ditambah lagi barangkali Bu-ciangkun maupun yang lain-lainnya itu harus mengakui bahwa Tiat-lui-kang (Pukulan Petir) yang menjadi andalan khas Pendekar Rambut Emas sama sekali tak digunakan pencuri itu karena agaknya pencuri itu memang bukan Kim-taihiap. Sekian alasan hamba!”

Bu-ciangkun dan teman-teman mendadak tertegun Kaisar juga terhenyak. Bu-ciangkun dan teman temannya itu mendadak teringat orang yang mereka anggap sebagai Kim-mou-eng itu memang sama sekali tak mengeluarkan Tiat-lui-kang, andalan Kim-mou-eng yang mengerikan itu. Tapi Bu-ciangkun yang tak mau kalah tiba-tiba berseru, "Benar, Kim-mou-eng yang kami sangka itu memang tak mengeluarkan Tiat-lui-kangnya, Kim-taijin. Tapi siapa tahu ini adalah siasat untuk menyembunyikan diri? Kalau Hek-eng Taihiap tak membuka tutup kepalanya itu tentu dia dapat sewenang-wenang dan berhasil menyembunyikan kedok!"

"Bagus, tapi kalau dia mau maka tanpa Sam-kong-kiam di tangan Pendekar Rambut Emas dapat membunuh kalian berenam, Bu-ciangkun. Dan bayangan itu tampaknya harus dibantu Sam-kong-kiam untuk melarikan diri."

"Ini mungkin untuk bersiasat saja, Kemungkinan itu bisa saja terjadi karena seorang pencuri harus pandai menyembunyikan diri!"

"Benar, dan karena banyak kemungkinan itu maka aku pribadi tak gampang percaya, ciangkun. Dan satu dari kemungkinan-kemungkinan yang kau ajukan itu adalah pencuri itu mungkin bukan Kim-taihiap..." kini Kim-taijin memberi tekanan pada kata-kata "mungkin".

Bu-ciangkun tertegun dan terbelalak. Tapi karena itu adalah satu kemungkinan juga dan kalah didebat seperti ini tiba tiba panglima berangasan itu mengeram. "Taijin, kau rupanya membela benar pencuri pedang itu. Baik, aku akan mencarinya dan menangkapnya untuk melihat siapa benar siapa salah!"

"Ah, kau sudah salah menduga, Bu-ciangkun. Aku tidak membela pencuri itu melainkan Kim-mou-eng. Harap perhatikan ini. Bagiku pencuri itu masih diragukan sebagai Kim-mou-eng. Dan karena Kim-mou-eng masih bersih bagiku maka yang kubela adalah pendekar itu, bukan pencuri itu!"

"Sudahlah," kaisar melerai. "Aku sekarang bingung setelah mendengar kata katamu, taijin. sebaiknya untuk membuktikan itu Bu-ciangkun ku titahkan ke suku bangsa Tar-tar menemui Pendekar Rambut Emas. Usul Hek-eng Taihiap kuterima, kalian berenam berangkat dan tidak membawa palukan!"

Hek-eng Taihiap girang. "Terima kasih, sri baginda."

"Tapi bagaimana kalau gagal?"

Hek-eng Taihiap mendadak mengkerut. "Hamba pertaruhkan nyawa untuk menghadapi Kim-mou-eng, sri baginda. Meskipun hamba menyadari kepandaian sendiri yang tidak berarti dibanding dengannya!"

"Bagus, kalian berangkatlah!"

Dan ketika pembicaraan selesai dan Bu-ciangkun minta diri mengajak teman temannya maka Hek-eng Taihfap berdebar karena satu kehormatan sedang dipertaruhkan. Mereka malam itu juga berangkat, diam-diam telah ada kesepakatan di antara Kim-taijin dan Hek eng Taihiap ini, mereka sama sama tidak percaya bahwa Pendekar Rambut Emaslah yang mencuri Sam-kong-kiam. Sungguh tidak masuk akal. Tapi karena semua mata melihat pencuri itu sebagai Pendekar Rambut Emas dan hal i tu harus mereka buktikan di suku bangsa Tar-tar nanti maka rombongan Bu-ciangkun ini sudah meninggalkan istana di kala hujan sudah tidak mengguyur lagi.

Rombongan ini menunggang kuda. Enam ekor kuda pilihan dikebut. Dan begitu Hek-eng Taihiap mengikuti rombongan ini menuju ke utara maka enam orang itu telah meluncur meninggalkan kota raja. Satu teka teki harus terjawab. Satu keraguan besar harus dibuka. Dan karena Bu-ciangkun amat bernafsu melaksanakan tugasnya dan mencongklarng pesat maka dua hari kemudian mereka sudah keluar dari tembok besar menuju padang rumput ilalang mercari perkemahan suku bangga Tar-tar.

Benarkah Kim-mou-eng yang mencuri? Benarkah Pendekar Rambut Emas melakukan perbuatan hina iiu? Kalau tidak, lalu apa yang sesungguhnya terjadi? Ah, sebaiknya kita tengok dulu perkemahan suku bangsa Tar-tar ini. Mari kita dahului rombongan Bu-ciangkun!

* * * * * * * *

Pagi itu, di penghujung tahun, ribuan kemah besar kecil berdiri di lapangan rumput yang luas. Inilah suku bangsa Tar-tar yang hidup dari hasil ternak mereka. Ribuan ternak terhampar pula di padang rumput itu. Pagi masih dingin, semalam juga turun hujan. Di sana-sini becek. Kerbau dan sapi melengau gembira, makanan dan rumput-rumput gemuk menghampar luas di depan mata. Tapi di sela-sela kegembiraan itu terdapat semacam kematian hening yang terpusatkan ditengah perkemahan.

Ada sesuatu yang mengganggu. Bangsa Tar-tar kurang gembira. Pagi itu, hari ke tujuh, mereka menunggu keputusan Pendekar Rambut Emas. Sudah selama ini mereka kurang sabar. Bisik-bisik dan kasak-kusuk terdengar di sana sini, berkembang dan menjadi topik pembicaraan yang kurang menyenangkan, terutama bagi pemimpin mereka yang dianggap lemah hati. Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas itu menjengkelkan bangsa Tar-tar. Pendekar ini dianggap lemah mengambil keputusan, tidak seperti suhengnya yang telah tewas itu, Gurba si Singa Daratan Tandus.

Gurba dianggap lebih cocok bagi bangsa ini karena wataknya yang keras dan tegas, sesuai bangsa Tar-tar sendiri yang suka berperang dan berpetualang. Dan ketika hari itu hari terakhir di mana suku bangsa ini menunggu keputusan pemimpinnya untuk masalah rawan tentang hinaan kaisar kepada mereka maka Kim-mou-eng sendiri, orang yang ditunggu jawabannya itu sedang bersamadhi dengan alis beikerut muram. Ada ganjalan di dalam hatinya. Pendekar ini tak nyaman. Dan bagi pembaca yang sudah mengikuti cerita Pendekar Rambut Emas tentu mengetahui apa gerangan yang mengganjal perasaan pendekar itu di saat itu.

Benar, masalah lama. Sebagaimana diketahui, bangsa Tar-tar merasa terhina karena pemimpin mereka yang lama, mendiang Gurba suheng Kim-mou-eng mendapat hadiah kaisar yang tidak pantas, begitu menurut mereka. Dan hadiah itu bukan lain adalah selir cantik Bi Nio yang hamil sebelum diberikan kepada Gurba. Inilah soalnya. Bangsa Tar-tar merasa terhina karena Bi Nio yang merupakan selir kaisar itu ternyata di hadiahkan pada saat berbadan dua. Jadi pemberian itu dianggap tidak mulus lagi.

Kaisar terlampau merendahkan bangsa Tar-tar dengan perbuatannya ini. Dianggap tak menghargai karena sudah memberi barang bekas masih juga "diisi" sebelum diberikan pada pemimpin Tar-tar, padahal katanya pemberian itu adalah sebagai ikatan persahabatan di antara dua bangsa besar, bangsa Han dan bangsa Tar-tar. Dan karena pemberian ini dianggap sewenang-wenang dan rasa persahabatan itu jelas tak ada karena kaisar telah "menodai" pemberiannya sendiri maka bangsa Tar-tar marah dan kini meminta pemimpin mereka yang baru, Pendekar Rambut Emas, memutuskan persoalan ini dengan tuntas.

Ada dua syarat yang diminta bangsa Tar-tar itu. Satu, kaisar diminta menyatakan maafnya dan untuk itu datang ke perkemahan bangsa Tar-tar tanpa mewakilkannya kepada orang lain atau dua, kalau kaisar yang tinggi hati dan dianggap sombong itu menolak maka bangsa Tar-tar akan melakukan penyerbuan ke kota raja membalas hinaan kaisar. Inilah. Dan itu membuat Kim-mou-eng bingung.

Sesungguhnya di antara pendekar ini dan kaisar memang terdapat persahabatan. Bahkan pemberontakan yang gagal yang kandas di tengah jalan atas pokal Sien Nio, mendiang selir kaisar yang amat ambisius sesungguhnya berkat jasa besar Pendekar Rambut Emas ini (baca Pendekar Rambut Emas). Hal itu telah diceritakan di bab yang lalu. Maka, mendengar tuntutan suku bangsanya ini dan perbuatan kaisar bagai geledek di siang bolong bagi Kim-mou-eng maka selama tujuh hari ini Kim-mou-eng terhenyak dengan muka merah padam.

Sukar dipercaya perbuatan kaisar itu. Kim-mou-eng telah melihat pribadi kaisar. Seorang laki-laki yang cukup baik meskipun dalam soal perempuan memang amat serakah. Selirnya ratusan orang padahal sekali atau dua kali pakai saja sudah banyak yang dilupakan. Tapi karena kaisar adalah seorang berkuasa dan kekuasaan memang dapat menjadikan orang berbuat sesuka hati maka soal ini dianggap soal pribadi kaisar itu sendiri. Lain halnya kalau kaisar sudah nemperlakukan bangsa lain dengan cara seperti itu, memberikan hadiah tapi sekaligus hinaan.

Bangsa Tar-tar rupanya dianggap bangsa kecil yang tidak berharga, tentu saja ini membuat orang tersinggung dan marah. Memangnya bangsa Han boleh sewenang-wenang menghadapi bangsa yang lebih kecil? Kalau begini namanya mengejek, menyinggung harga diri dan kehormatan sebuah bangsa. Ini memang tak boleh dibiarkan begitu saja. Tapi karena Kim mou-erg baru menerima kebaikan-kebaikan kaisar dan di antara mereka terdapat persahabatan mendalam maka tuntutan bangsa Tar-tar agar kaisar menyatakan maafnya dan datang sendiri ke suku bangsa itu agak terlampau berlebihan dirasa.

Bangsa Han adalah bangsa yang besar. Bangsa Tar-tar sesungguhnya lebih kecil dibanding bangsa itu. Apalagi bangsa Tar-tar masih dianggap bangsa "tar" karena belum memiliki daerah sendiri, daerah tetap. Suku bangsa ini memang harus sering berpindah pindah sebagai bangsa petualang, itu tak dapat disangkal. Jadi kalau kaisar diminta datang ke perkemahan mereka dan disuruh minta maaf di hadapan bangsa Tar'tar agaknya kaisar tak mungkin mau dan merasa diri sendiri terlalu besar. Repot.

Sedang tuntutan kedua. Ah, bagaimana dia tak bingung? Kim mou-eng adalah seorang pendekar yang welas asih. Pertumpahan darah dihindarinya benar-benar kalau tidak perlu, apalagi pertumpahan darah dalam sebuah peperangan. Ngeri dia. Ribuan orang akan mati, bahkan mungkin laksaan. Bumi akan dibanjiri darah dari manusia-manusia buas yang gila dalam peperangan, dibunuh atau membunuh. Dan karena dua duanya di rasa berat bagi pendekar itu maka waktu seminggu yang diberikan suku bangsanya untuk berpikir tetap saja belum didapatkan jalan keluarnya oleh pendekar ini. Apa yang mau dia katakan?

Kim-mou-eng murung. Sayang pendekar ini tak tahu duduk persoalan sebenarnya. Dia dan suku bangsanya tak tahu bahwa Gurba telah melempar berita bohong, fitnah. Kini fitnah itu berakibat luas dengan marahnya bangsa Tar-tar. Tak tahu bahwa yang terjadi itu sesungguhnya bohong belaka karena hamilnya Bi Nio adalah dengan mendiang raksasa itu. Bi Nio memang berbadan dua tapi bukan dengan kaisar melainkan dengan suheng dari Kim-mou-eng ini.

Dan karena Gurba menyimpan sakit hati atas kegagalan-kegagalannya di masa lalu maka raksasa ini lalu mengada-ada dan merusak nama kaisar dengan membakar suku bangsanya itu, perbuatan yang patut disesalkan, karena di saat ajal tiba Gurba tidak menarik kebohongannya ini. Kebohongan itu tetap berlanjut dan kini bangsa Tar-tar menuduh kaisar menghina mereka. Hinaan itu harus dibalas.

Kim-mou-eng sendiri terpengaruh dan betapa pun merasa tidak senang, hatinya terganjal dan marah atas perbuatan kaisar. Dan ketika seminggu itu dia pulang balik menimbang-nimbang keputusan maka Salima, sumoinya yang gagah dan cantik manis itu muncul, dada terangkat dan mata pun bersinar-sinar, sudah mendengar persoalan itu pula, gadis yang keras hati dan mudah menurunkan tangan besi, menggugah samadhinya.

"Bagaimana, kau sudah mengambil keputusannya, suheng? Kau sudah dapat memberi jawaban?"

Kim-mou-eng mengeluh. "Aku bingung, sumoi. Aku ingin minta waktu seminggu lagi."

"Astaga! Kau mengulur-ulur waktu? Kau tak tahu suku bangsa kita sudah tak sabar dan ingin melakukan penyerbuan selekasnya?"

"Kau pun mau bersikap keras, sumoi? Kau tak mencari jalan damai saja?"

"Hm, jalan damai apa? Kau sendiri meragukan kaisar mau datang meminta maaf, suheng. Dan kalau sudah tahu begitu maka serbuan besar-besaran yang merupakan jalan keluarnya. Jangan biarkan suku bangsa kita menjadi buas seperti harimau kelaparan!" Salima menarik kursi, jengkel pada suhengnya ini dan mata yang bersinar-sinar itu pun semakin tajam. Ada kilatan api di dalamnya. Dan ketika Salima duduk dan suhengnya masih termenung maka pintu tiba-tiba diketuk.

"Masuk" Kim-mou-eng mempersilahkan.

Dua orang pemuda memberi hormat. Mereka adalah Siga dan Bora, wakil atau calon wakil dari mendiang Gurba yang dipercaya suku bangsa Tar-tar. Mereka inilah penyambuug lidah rakyat untuk disampaikan kepada Pendekar Rambut Emas. Kedatangan mereka ternyata menuntut janji jawaban sang pemimpin. Dan ketika Kim-mou-eng mendengar maksud dua orang pembantunya ini maka Kim-mou-eng menarik napas dalam-dalam.

"Kalian keluar dulu, nanti kuberi jawaban. Aku bendak bicara dengan sumoiku dulu."

"Maaf, tapi kami dapat menerima ketentuannya hari ini, taihiap? Kami tidak akan menunggu esok, bukan?"

"Ya, kuberi jawaban hari ini juga. Tapi kalian keluarlah biarkan aku bercakap-cakap dengan sumoiku."

"Baik, kami menunggu, taihiap," dan dua pemuda gagah yang kembali keluar setelah memberi hormat itu lalu menutup pintu dan membiarkan Kim-mou-eng kembali berhadapan dengan sumoinya.

Dan Salima mengeluarkan suara dari hidung. "Nah, mereka tak sabar lagi, suheng. Ini hari ke tujuh di mana kau telah terikat perjanjian!"

"Bagaimana menurutmu?" sang suheng tak perduli, bertanya. "Apa yang harus kulakukan?"

"Siapkan saja bala tentara kita, suheng. Dan serbu kota raja sambil membunuh kaisar itu!"

"Aku tak ingin tumpahan darah. Aku..."

"Kau selalu menyebalkan!" Salima tiba-tiba memotong, marah pada suhengnya ini. "Kau pemimpin yang tidak tegas, suheng. Kau selalu ragu dan tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat. Kalau begitu apalagi yang kau ingini? Kalau kau rasa kaisar sombong itu dapat didatangkan ke mari maka lekas lakukan maksudmu itu, jangan membiarkan suku bangsa kita jengkel. Mereka mulai kasak kusuk akan kelemahan sikapmu!"

Kim-mou-eng terkejut. "Kau marah-marah?"

"Aku jengkel pada sikapmu, suheng. Kau lamban mengambil keputusan dan membuat orang gemas!"

"Tapi ini urusan penting, urusan besar."

"Kalau tahu begitu masa waktu seminggu masih juga kurang? Kau lemah hati, suheng. Kau selalu tidak tegas termasuk persoalan kita berdua jugal" Salima tiba-tiba terisak, marah tapi menunduk mengusap air matanya.

Sang suheng sekonyong-konyong tertegun dan merasa bersalah. Jantung berdetak disebut-sebutnya persoalan itu, persoalan mereka berdua. Betapa dia tidak segera menyambut sumoinya dan meresmikan bubungan mereka sebagai suami isteri. Padahal semua orang tahu mereka sebagai orang-orang yang saling mencintai. Urusan ini memang cukup lama terkatung-katung, dia tidak mengambil ketegasan sikap. Dan ketika sumoinya bangkit berdiri dan mau meninggalkannya tiba-tiba Kim-mou-eng menyambar sumoinya ini.

"Sumoi, maaf. Nanti dulu, tunggu....!"

Salima mengangkat kepalanya. "Apa lagi? Kau mau mengecewakan aku untuk kesekian kalinya?"

"Tidak, nanti dulu. Jangan marah, sumoi. Mari duduk" dan Kim-mou-eng yang gugup menghadapi sumoinya ini lalu menahan napas. "Sumoi, urusan kila berdua sebaiknya tunda sebentar untuk mendahulukan urusan besar ini. Aku telah mengambil keputusan, bagaimana kalau aku ke kota raja menanyakan langsung perihal itu pada kaisar? Aku akan bertanya secara jujur, sumoi, dan aku harap kaisar juga menjawab pertanyaanku dengan jujur. Juga aku ingin menemui Bi Nio, ada jalan keluar yang kuperoleh!"

Salima tertegun. "Apa itu?"

"Kelahiran bayi yang dikandung wanita ini; sumoi. Aku ingin melibat mirip siapa dia!"

"Ah,..." sumoinya terbelalak. "Bukankah tentu saja mirip kaisar. Kau aneh-aneh saja, suheng. Kau melakukan hal yang tidak ada gunanya!"

"Tidak, dengarkan dulu, sumoi. Pertama aku akan menemui kaisar, kedua aku menemui selir itu. Kutanya dia, kapan dia berbadan dua dan kapan Gurba-suheng meninggalkannya untuk terakhir kali!"

Salima bingung. "Untuk apa? Kau mau mencari kambing hitam?"

'Bukan begitu, aku ingin mengecek persoalan ini, sumoi. Aku ingin melihat benar tidaknya persoalan itu sebelum mengambil keputusan tetap!"

"Kalau begitu kau meragukan hal ini. Kau menaruh kecurigaan!"

"Hm, curiga sih bukan curiga, sumoi. Tapi kalau ada yang kuragukan memang benar. Kaisar adalah seorang bijak, bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan yang merendahkan bangsa kita itu? Aku jadi ragu mendengar persoalan ini. Karena itu aku ingin menemui kaisar dan bertanya secara terang-terangan saja!"

"Tak mungkin dia mau mengaku. Orang yang melakukan perbuatan buruk selamanya akan menyembunyikan perbuatannya itu"

"Aku dapat menyelidikinya pada Bi Nio, sumoi. Karena itu aku ingin pula menemui wanita ini...!"

"Gurba-suheng memang pembuat susah. Sialan wanita Han itu. Kalau saja mendiang suheng mau menikah dengan wanita sendiri tentu tak bakal ribut-ribut ini terjadi!"

"Ah, suheng mencintaimu, sumoi. Mana mau dia memilih wanita lain? Kalau bukan karena cintanya padamu tentu sepak terjangnya yang sesat itu tak akan terjadi. Sudahlah, orang yang telah tiada tak perlu kita caci lagi. Aku minta peodapatmu bagai mana kalau kuminta waktu seminggu lagi pada bangsa kita untuk ke kota raja."

"Aku setuju, tapi mereka tak tahu."

"Bagus, kalau begitu kupanggil dua pembantu kita itu lagi...!" Kim-mou-eng girang, memanggil Siga dan Bora yang segera menghadap.

Dua pemuda Tar-tar itu berseri karena wajah Kim-mou eng juga berseri. Jawaban tetap kiranya sudah diambil. Sebuah keputusan akan membuat bangsa Tar-tar menyerbu atau memanggil kaisar. Tapi ketika Kim-mou-eng menyatakan bahwa keputusan ditunda seminggu lagi karena pemimpin mereka itu hendak ke kota raja mendadak dua pemuda ini kecewa.

"Jadi taihiap hendak mengundur waktu?"

"Aku mundur untuk menentukan sikap terakhir, Siga. Tapi setelah itu aku berjanji untuk tidak mundur lagi."

"Kalau begitu kami harus melaporkannya kepada bangsa kami. Mudah-mudahan mereka mau menerima," dan Siga serta Bora yang mundur melaporkan keputusan Kim-mou-eng itu ternyata benar saja menimbulkan rasa tidak puas yang semakin besar pada suku bangsa Tar-tar. Menganggap Kim-mou-eng benar-benar lamban dan membuat mereka semakin tak sabar. Jiwa perang dan petualang yang besar membuat suku bangsa ini gatal tangan.

Tapi karena Kim-mou-eng memiliki wibawa kuat dan Pendekar Rambut Emas itu merupakan orang paling lihai di antara mereka maka dengan mendongkol dan menahan marah suku bangsa ini tunduk. Diam-diam geram namun tak dapat berbuat apa-apa, Kim-mou-eng memiliki kepandaian setingkat dengan mendiang pemimpin mereka yang lama, Gurba si Singa Daratan Tandus. Dan ketika hari itu juga Kim-mou-eng berkemas dan siap berangkat maka Salima, sumoinya yang mondar mandir itu mendadak minta ikut.

"Apa? Kau gila, sumoi? Tanpa kau di sini bangsa kita menjadi tak terkendali. Mereka takut kepadaku dan kepadamu. Kalau kita berdua pergi tentu mereka akan beringas dan bebas menyerbu kota raja! Tidak, kau tak boleh ikut, sumoi. Sekali ini kau harus tunduk padaku demi mencegah pertumpahan darah besar-besaran...!"

"Tapi aku tak sabar tanpa kau di sisiku, suheng. Aku merasa kesepian dan bakal sunyi seorang diri."

"Ah, bersikap dewasalah, sumoi. Tekan hasrat nafsu pribadi itu dan tunggu aku seminggu. Kukira tak sampai seminggu aku pasti datang."

"Baik, kalau kau melanggar janji jangan harap aku tinggal diam. Bangsa ini akan kutinggalkan dan kucari dirimu...!"

Pedang Tiga Dimensi Jilid 01

PEDANG TIGA DIMENSI
JILID 01
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
MALAM gelap. Mendung menggantung tebal di kota raja. Tak ada angin bertiup. Udara terasa dingin dan bintang maupun bulan tak keliatan di awan yang hitam. Semuanya sunyi namun mencekam. Suara jengkerik dan binatang-binatang malam juga tak kedengaran. Manusia tak tampak lalu lalang di jalan besar maupun sudut-sudut kota. Suasana tiba-tiba mati seolah kota raja tak berpenghuni. Aneh. Dan ketika kilat dan halilintar mulai berbunyi maka kucing dan anjing yang ada di dalam rumah ikut mengkerut dan memasukkan kepalanya di balik meja atau kolong-kolong rumah.

Tak ada kehidupan di saat itu. Petir kembali menggelegar dan angin tiba-tiba mulai mendesau. Suaranya mirip desis siluman yang berbisik-bisik. Dan ketika kilat dan guntur mulai sambung-menyambung maka hujan tiba,tiba turun. Memang sudah seminggu ini kota raja dilingkupi mendung, orang-orang malas keluar dan hawa dingin pun mulai menusuk tulang. Dalam keadaan seperti itu memang enak di rumah dan duduk di dekat perapian, menghangatkan tubuh dan menikmati arak, atau apa saja sebagai penghangat badan.

Dan ketika angin mulai kencang dan hujan juga mulai deras maka gerbang istana, yang terdapat di empat penjuru dan dijaga pengawal-pengawal bersenjata mulai ditutup. Tak mungkin ada tamu di saat seperti itu. Para pengawai kedinginan dan mereka mulai main kartu, satu kebiasaan di kala senggang. Tentu saja arak ikut bicara dan mereka mulai tertawa tawa. Bicara dalam keadaan hujan dan angin seperti itu tak cukup jika dilakukan dengan cara biasa saja, mereka harus berteriak agar suara tak ditelan gemuruh di luar. Dan ketika istana ditutup dan pengawal melepas waktu senggangnya maka hujan di luar memukul genting dengan irama yang tetap.

Memang tak ada bahaya di saat itu. Kota raja aman. Baru sebulan ini menikmati ketenangannya setelah rencana pemberontakan Pangeran Muda digagalkan (baca: Pendekar Rambut Emas). Para pengawal dapat bersantai dan pembicaraan tentang Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas) masih menjadi buah bibir, berlanjut dan hari itu masih tetap hangat untuk dibicarakan. Tapi ketika istana mulai sunyi dan beberapa lampu-lampu kamar dimatikan mendadak sesosok bayangan berkelebatan di atas genting penting istana.

Para pengawal tak ada yang tahu, mereka asyik di bawah Bayangan ini berlompatan di bawah hujan deras, tak perduli akan kilat dan guntur dan terus maju ke tengah. Perbuatannya amat berani dan mengherankan. Kalau ada yang mengetahui mungkin menyangka iblis. Habis, gerak tubuhnya begitu cepat dan bagat siluman saja. Langkah kakinya di atas genting tak kedengaran, bukan karena tertutup hujan melainkan karena injakan kakinya demikian ringan dan cepat menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya (ginkang) yang hebat. Jelas bayangan ini bukan orang sembarangan, tentu seorang tokoh berkepandaian tinggi yang memiliki ilmu silat jempolan.

Dan ketika dia berlompatan dan berputar-putar di kompleks istana yang luas tiba tiba bayangan ini berhenti sebab kebingungan. Matanya mencari-cari. Orang akan terkejut bertemu pandang mata bayangan ini, tajam berkilat seperti mata harimau. Sinarnya mencorong dan menakutkan, tubuh dan mukanya hampir tak kelihatan karena dia mengenakan mantel hitam, di bawah langit yang hitam menjadi menyeramkan karena mirip iblis! Dan ketika dia celingukan ke sana-sini dengan sikap kesal tiba-tiba tawa pengawal yang sedang bermain kartu menggugah perhatiannya. Pos penjagaan di sebelah timur masih terang dengan lampu yang besar, tujuh pengawal berada di sini. Dan ketika tawa itu kembali terdengar dan bayangan ini menyeringai tiba-tiba dia berkelebat dan langsung menuju ke tempat para pengawal ini.

"Hei, mana gedung pusaka?"

Tujuh pengawal terkejut. Pemimpinnya, seorang laki-laki brewok yang melompat bangun lebih dulu terkesiap. Suara orang yang dapat mengatasi gemuruhnya hujan membuat komandan ini tersentak, kaget bagaimana ada orang masuk sementara gerbang sudah ditutup. Dan ketika enam temannya tertegun dan ikut melompat bangun maka si brewok yang tinggi besar ini membentak,

"Kau siapa? Bagaimana kurang ajar dengan pengawal!"

Bayangan itu mendengus. Dia rupanya gusar mendapat sambutan yang tidak diinginkan, mulut tiba-tiba mencibir dan menjengek, tidak menjawab dan tertawa saja ketika si brewok mencabut golok, satu kewaspadaan untuk menghadapi musuh. Dan ketika si brewok kembali bertanya dan golok ditodongkan di depan dada sekonyon konyong bayangan ini menangkap dan langsung mencengkeram golok.

"Brewok, kau kurang ajar. Enyahlah!" golok tiba-tiba patah dan se brewok berseru kaget, orang mengayun tangannya dan potongan golok menyambar lehernya, begitu cepat. Dan ketika si brewok berteriak dan coba menghindar tapi kalah cepat tahu tahu mata golok menancap di lehernya menggorok hampir putus.

“Augh....!” si brewok terjengkang, tentu saja tewas seketika dan enam temannya yang lain terkejut. Gebrakan itu berlangsung cepat dan tidak diduga-duga sekali. Komandan mereka roboh dan darah menyembur membasahi lantai. Para pengawal tertegun tapi segera mereka berseru gusar, senjata dicabut dan mereka pun sudah maju menerjang dengan, senjata masing - masing. Tiga buah golok dan tiga buah pedang menyambar bayangan ini. Tapi ketika bayangku itu tertawa mengejek dan mengibaskan lengannya ke kiri kanan tiba-tiba enam pengawal itu jatuh berpelantingan dengan senjata patah patah.

"Aduh....!"

"Tobat....!"

Para pengawal menjerit ketakutan. Mereka tunggang-langgang oleh tangkisan lawan, kaki dan tangan patah-patah menyusuli senjata, tiga di antaranya tak dapat bangun kembali karena leher mereka yang patah. Bayangan ini ternyata telengas. Dan ketika tiga yang lain merintih dan terbelalak kepadanya maka bayangan ini menyambar yang berkumis tipis dengan ancaman mendirikan bulu roma.

"Di mana gedung pusaka?"

"Ak... aku tak tahu..."

"Kau bohong?"

"Sungguh, aku tak tahu, tuan... aku tak tahu... brukk!" si kumis itu tiba-tiba dibanting, bayangan ini tersenyum dan menggerakkan kakinya. Punggung si pengawal diinjak dan dipencet. Kontan pengawal itu menjerit dan tewas, isi dadanya hancur. Dan ketika dua yang lain terbelalak dan pucat memandang kejadian ini mendadak seorang di antaranya memekik dan kabur.

"Setan...! Maling...! Ada penjahat...!"

Bayangan itu terkejut. Dia melihat pengawal yang ini lolos, temannya yang satu juga coba berdiri dan mau melarikan diri tak dapat dan mengeluh terbanting kembali karena tulang kakinya patah. Temannya itu lengannya yang patah dan karena itu dapat melarikan diri. Tapi ketika dia berteriak-teriak dan bayangan ini tertawa mendadak tangannya melepas sebatang jarum yang amblas di batok kepala si pengawal.

"Cep!" Pengawal itu tersungkur. Dia roboh dan tewas seketika menyusul enam temannya yang lain. Pengawal terakhir gugup dan ngeri, hampir dia pingsan melihat kejadian berdarah itu. Enam temannya dibantai. Dan ketika dia menggigil dan tidak dapat bersuara saking takut dan gentarnya maka bayangan ini sudah membalik dan menghadapi dirinya.

"Kau juga tak tahu di mana gedung pusaka?"

"Ti... tidakl Aku lahu... aku tahu...!" dan si pengawal yang menuding-nuding dengan muka ngeri dan penuh keringat tiba-tiba berlutut. “Ampun... ampun, tuan. Jangan bunuh aku!"

"Hm, kau tahu diri. Aku tak akan membunuh kalau kau jujur. Di mana gudang pusaka?"

"Itu, di samping gedung perpustakaan...”

"Yang mana?"

"Yang bercat kuning, yang temboknya baru dikapur...!"

"Bagus, terima kasih!" dan bayangan ini yang tertawa membalikkan tubuh tiba-tiba melepas sebuah tendangan ke dada si pengawal, langsung terdengar suara "ngek" dan si pengawal pun mengaduh. Darah menyemprot dari mulutnya dan dia pun roboh, tulang dadanya hancur. Tentu saja tewas!

Dan ketika bayangan ini tersenyum dan hujan di luar semakin deras dia pun berkelebat menuju gedung bercat kuning itu, menghilang dan sudah meninggalkan tujuh sosok mayat yang bergelimpangan tak keruan, malang-melintang dengan keadaan mengerikan. Teriakan pengawal terakhir tadi tak ada yang mendengar, gemuruh hujan terlampau keras. Kilat masih menyambar-nyambar di atas sana. Dan ketika kita dibuat tertegun oleh sepak terjang bayangan ini maka si pembunuh berdarah dingin itu telah berlompatan di atas gedung kuning.

Dia mencari-cari, membuka genting dan akhirnya melayang turun. Gerakannya ringan dan lagi-lagi hampir tak bersuara. Gedung di sebelah luar ditutup dan karena itu dia mencari jalan pintas ini, menerobos dari atas. Dan ketika dia tiba di bawah dan menginjak lantai yang halus mendadak seorang penjaga memergokinya.

"Hei, kau siapi?"

Kiranya di dalam gedung ada juga penjaga. Bayangan ini terkejut, mengerutkan kening tapi tiba-tiba tertawa. Kaki bergerak dan tahu-tahu si penjaga pun tertangkap, jarinya mencekik leher penjaga ini. 'Dan ketika si penjaga terkejut dan meronta namun tak dapat melepaskan diri maka bayangan ini bertanya, "Ini gedung pusaka?"

"Kau... kau siapa?"

"Tak perlu tanya, kau jawab saja pertanyaanku. Benarkah ini gedung pusaka?"

“Beb... benar... kau rupanya penjahat, lepaskan aku... aduh!" tapi si pengawal yang terpaksa menjerit dan mengaduh tiba-tiba diangkat tubuhnya dengan leher masih dicengkeram, mendengar satu pertanyaan lagi,

"Kau tahu di mana tersimpannya Sam-kong-kiam (Pedang Tiga Sinar)?"

"Tidak, oh... lepaskan aku... lepaskan aku!”

"Hm... aku akan melepaskanmu kalau kau dapat memberi keterangan kepadaku. Tunjukkan padaku di mana tersimpannya pedang itu."

"Aku tak tahu, kau tanya saja perwira Lui...”

"Siapa itu perwira Lui?"

"Dia kepala gedung pusaka... aku, aduh...!" pengawal ini diseret, bayangan itu menyuruhnya menunjukkan di mana perwira Lui berada. Tentu saja perjaga ini berkaok-kaok dan kesakitan. Dia hampir tak dapat bernapas dan saat itu tenggorokannya panas bukan main, terlalu lama dia dicekik. Dan ketika bayangan ini gemetruk dan geram mendengar penjaga itu berteriak-teriak mendadak tiga penjaga lain muncul.

"A-swi, apa yang terjadi? Siapa orang ini?"

"Dia... dia mencari Sam-kong-kiam... dia penjahat...!"

"Ah...!" dan tiga pengawal yang menubruk maju tiba-tiba membentak menyuruh bayangan iiu melepaskan A-swi, disambut jengekan dari hidung dan A-swi tiba-tiba didorong, tubuhnya di pakai menyambut datangnya tiga ujung tombak yang di pegang tiga pengawal itu. Gerakan berlangsung cepat. Dan ketika A-swi berteriak ngeri dan tiga kawannya juga kaget tahu-tahu tiga ujung tombak menghunjam tubuh penjaga pertama ini.

"Bles-bles-bles!"

A-swi mendelik berkelojotan. Tiga tombak menyate tubuhnya, tiga temannya tertegun. Dan ketika si bayangan tertawa mengejek dan melempar penjaga sial ini maka tubuh A-swi menimpa tiga temannya secara berbareng.

"Bress!" empat tubuh itu roboh tumpang tindih. Tiga pengawal berteriak kaget, sadar dan coba melompat bangun. Tapi ketika bayangan itu berkelebat dan menggerakkan jarinya tiga kali mendadak tiga pengawal ini roboh terpelanting dan dua di antaranya berteriak ngeri, mukanya hancur ditampar kepretan jari itu. Tentu saja tewas. Dua nyawa kembali melayang. Dan ketika yang terakhir terbelalak dan pucat dengan tubuh menggigil tahu-tahu pundaknya telah dicengkeram dan dibentak.

"Kau tahu di mana perwira Lui?"

Pengawal ini gemetar, "Tahu, dia... dia...”

"Dia di mana?"

"Di dalam...!"

"Dalam mana? Hayo tunjukkan padaku!" dan si pengawal yang ganti diseret dan diangkat seperti orang mengangkat domba tahu-tahu mengeluti dan minta dilepaskan cengkeramannya, tidak digubris dan terus disuruh menunjukkan di mana adanya perwira Lui. Pengawal ini menangis dan terpaksa mengikuti. Keluar masuk tikungan sementara hujan di luar masih deras. Ribut-ribut di dalam tadi tak kedengaran. Dan ketika mereka tiba di depan sebuah pintu kamar yang tertutup dan pengawal ini menggigil maka dia menuding.

"Inilah, Lui-ciangkun ada di sini...."

"Ketuk pintunya."

"Aku tak berani..."

"Apa?"

"Ba.... baik!" dan si pengawal yang buru-buru mengetuk pintu melihat kilatan sinar mata lawan tiba-tiba berseru. "Lui-ciangkun, tolong buka pintu. Ada tamu...!"

Di dalam terdengar suara batuk-batuk. "Siapa itu?"

"Aku, ciangkun. A-swi..."

"Kenapa ke sini? Mana komandanmu?"

Sang pengawal tak dapat menjawab Komandannya terbunuh, itu yang tadi menyerang laki-laki ini tapi yang ditampar hancur mukanya. Suara batuk di dalam berhenti, A-swi menggigil. Dan ketika langkah kaki terdengar diseret dan pintu dibuka maka seorang lelaki gagah muncul dengan kening berkerut.

"Ada apa? Siapa ini..." pertanyaan itu berhenti, terganti seruan kaget karena A-swi sudah didorong menubruk laki-laki ini, bayangan Itu mendengus dan langsung berkelebat ke dalam, pintu ditutup dan tendangan keras mengenai laki-laki ini. A-swi sendiri sudah terjungkal dan berteriak keras, roboh terbanting dan pingsan di sana. Dan ketika laki-laki itu bergulingan dan kaget melompat bangun maka dia sudah berhadapan dengan laki-laki bermantel yang hampir tertutup seluruh mukanya itu.

"Ah, siapa kau?"

Laki-laki ini menjengek. "Tak perlu tanya. Kau perwira Lui?"

"Benar."

"Kau kepala gudang pusaka ini?"

"Benar."

"Kalau begitu tunjukkan padaku di mana Sam-kong-kiam, aku ingin memilikinya!"

"Ah," perwira itu tersentak. "Kau mau merampok?"

"Hm" bayangan itu mendengus. "Tak perlu banyak mulut, orang She Lui. Sekarang tunjukkan padaku di mana Sam-kong-kiam kalau kau tak ingin kubunuh!"

"Keparatl" perwira itu marah, mencabut pedang yang ada di dinding. "Kau kiranya penjahat, manusia busuk. Mampus dan, enyahlah dari sini... wuttl" pedangnya menyambar, Lui-ciangkun melompat dan sudah membacok leher laki-laki tak dikenal itu. Lawan tidak mengelak maupun menangkis. Berdiri tenang dengan mata bersinar sinar, tidak berkedip membuat Lui-ciangkun merasa seram sendiri. Dan ketika pedang menetak tapi patah bertemu leher tiba-tiba Lui-ciangkun terpelanting dan berseru keras.

"Aih...!” perwira ini melompat bangun kembali, memandang sisa pedangnya yang buntung dan terbelalak memandang lawan. Sungguh dia terkejut bukan main. Tapi ketika laki-laki itu maju mendekat dan mengancamnya dengan sinar matanya yang bagai iblis itu tiba-tiba perwira ini menyambar lagi sebatang golok yang ada didinding, memang beberapa senjata dia sisipkan di situ, kini menyerang lagi dan menusuk serta membacok Sinar goloknya berkelebat menghujani lawan, tapi ketika golok kembali patah dan bayangan ini menampar mendadak Lui-ciangkun terbanting mengeluh pendek.

"Bruk!" perwira she Lui itu tak dapat bangun kembali. Lawan menotoknya, tubuhnya menggigil dan perwira ini gentar. Lawan kiranya terlalu lihai. Dan ketika dia terbelalak dan marah tapi takut maka lawan sudah berjongkok di dekatnya dengan senyum iblis.

"Kau minta kubunuh?"

Lui-ciangkun tertegun.

"Aku dapat membunuhmu, tapi kalau kau minta mati. Sebaiknya kusiksa dulu agar kau merasakan nikmatnya maut."

"Tidak, tidak...!” perwira ini gemetar, menggoyang-goyang lengannya. "Apa sesungguhnya yang kau inginkan? Apa yang kau minta?"

"Hm, kau sudah mendengarnya, orang she Lui. Aku minta Sam-kong-kiam dan tunjukkan tempatnya padaku!"

"Untuk apa?"

"Perlukah kau tahu?"

Perwira ini terkejut. Sinar mata orang yang tak mau banyak menawar membuat dia mengerti. Tapi karena Sam-kong-kiam adalah pedang keramat yang disayang kaisar dia menjadi ragu juga. Dan lawan tiba-tiba menekan jalan darah pi-peh-hiatnya, langsurg dia berjengit dan mengaduh. Sentuhan itu membuat tubuh seakan disengat listrik! Dan ketika perwira ini menggigil dan keringat membasahi mukanya maka lawan sudah bertanya kembali,

"Kau keberatan?"

"Tidak!" perwira ini buru-buru menjawab. "Aku bersedia tapi bebaskan totokanmu!"

"Bagus..." dan lawan yang sudah membebaskan perwira itu dan mundur selangkah lalu melihat perwira ini bangun dan terhuyung-huyung mengusap tengkuknya, sejenak melotot tapi disambut tawa dingin. Lui-ciangkun sadar bahwa dirinya tak dapat mengatasi lawan. Orang terlalu lihai dan juga kebal. Dan ketika lawan menyuruhnya berjalan dan Lui-ciangkun membuka pintu maka dengan tersaruk-saruk dan muka pucat perwira ini melaksanakan keinginan lawan menuju tempat penyimpanan pusaka.

Gedung itu cukup besar dan luas, terbagi beberapa ruang di mana tiap-tiap ruang mempunyai kamar sendiri. Masing-masing kamar dijaga empat lima pengawal yang merupakan pembantu pembantu perwira ini, tentu saja psra pengawal itu terheran melihat Lui-ciangkun mengantar seseorang tak dikenal, bertanya tapi tiba-tiba mereka semua roboh oleh timpukan jarum yang digerakkan laki-laki ini. Begitu cepat kejadiannya. Perwira ini semakin terkejut dan tidak berkutik, gigi berkerot namun tidak berdaya. Diam-diam sudah memikirkan suatu rencana untuk membalas kejahatan lawan. Dan ketika mereka tiba di sebuah kamar berlampu hijau maka perwira ini berhenti dengan kaki gemetar, menghapus peluhnya.

"Kita Sudah sampai, pedang yang kau inginkan ada di dalam sini."

"Bagus, kalau begitu cepat buka."

"Aku tak dapat, kuncinya tertinggal."

"Hm. kau main-main?" mata bayangan itu berkilat. "Buka kataku, orang she Lui. Atau aku akan melemparmu ke dalam'!"

Perwira ini bingung. Dia memang lupa meninggalkan kunci kamar ini, terkesiap melihat pandangan yang begitu mengancam. Tapi tak kurang akal mencari sana-sini tiba-tiba perwira ini melepas peniti, menekuknya dan membantunya dengan sebuah obeng membuka pintu kamar itu, memang sedikit susah tapi akhirnya berhasil. Pintu terbuka dan anak kunci jatuh, semua dilakukan dengan tergesa-gesa. Dan ketika pintu terkuak dan hawa dingin menerpa keluar maka perwira ini didorong memasuki kamar itu, menuju sebuah peti yang berkilauan di atas meja.

"Masuk, sekarang buka peti itu!"

Perwira ini menggigil. "Sebaiknya kau saja yang membuka peti itu, sobat. Aku sudah mengantarmu ke sini dan Sam-kong-kiam ada di dalam situ!"

"Kau membantah?"

"Aku takut"

"Kalau begitu minggirlah...!"

Lui-kiangkun di dorong, terjungkal dan mengeluh mendekap dada nya. Laki-laki itu sudah melompat dan tiba di depan peti, matanya bersinar-sinar, gembira dan tidak perduli pada perwira she Lui itu lagi karena mata menatap bercahaya ke arah peti yang berkilauan ini. Di atas peti tertulis: SAM-KONG-KIAM. Dan begitu dia menyambar peti dan membuka tutupnya maka sebatang pedang tampak di dalam terselubung oleh sarungnya yang indah berhiaskan permata di sana-sini.

"Ha-ha, bagus sekali. Ini yang kucari!" laki-laki itu tertawa bergelak, tidak sabar dan sudah mencabut pedang dari sarungnya. Tiga sinar warna warni tiba-tiba berkeredep, hijau kuning dan merah. Warnanya menyilaukan. Tapi begitu pedang dilolos dan hawa dingin keluar dari badan pedang mendadak lampu yang ada di ruangan itu semuanya padam!

"Pet!" Lui-ciangkun terkejut. Laki-laki itu juga terkejut, ruangan tiba-tiba menjadi gelap tapi kini diterangi tiga sinar mencorong yang memancar dari pedang Sam-kong-kiam. Meja kursi dan dinding tiba-tiba berdetak, tempat itu seolah diguncang gempa. Tapi ketika laki-laki itu berseru keras dan cepat memasukkan Sam-kong-kiam ke dalam sarungnya kembali mendadak lampu hidup lagi dan getaran seakan gempa itu pun lenyap.

"Ha-ha, benar-benar pedang pusaka. Luar biasa sekali...!"

Lui-ciangkun tertegun. Kini dia mengerti apa yang tadi menyebabkan itu semuanya. Kiranya pengaruh kesaktian pedang ini. Sam-kong-kiam memiliki tenaga gaib dan menggetarkan meja kursi, bahkan menggetarkan dinding sekaligus memadamkan lampu. Pedang itu memiliki pesona mengerikan. Amat mengerikan. Dan ketika bayangan itu tertawa bergelak dan Lui-ciangkun sadar mendadak perwira Ini menginjak sebuah tali dan menendangnya kuat-kuat.

"Teng-teng-teng...!"

Bayangan itu terkejut. Dia mendengar lonceng genta berbunyi di luar, nyaring sambung-menyambung menunjukkan tanda bahaya. Kiranya perwira she Lui itu telah membunyikan "alarm' sebagai usaha meminta bantuan, kini perwira itu berteriak keluar menyebut-nyebut penjahat. Tentu saja bayangan itu terkejut dan marah. Dia lengah sejenak oleh kegirangannya mendapatkan Sam-kong-kiam. Pedang ini ampuh dan luar biasa. Dan ketika perwira she Lui berteriak-teriak dan derap kaki mendatangi tempat itu disusul teriakan teriakan ramai tiba-tiba bayangan ini berkelebat mengejar perwira she Lui itu.

'Manusia busuk, kau robohlah...!" tiga jarum hitam menyambar cepat, bayangan ini marah dan sudah menyerang Lui-ciangkun. Lui-ciangkun berkelit tapi kalah cepat, roboh dan menjerit disambar tiga jarum beracun, langsung terjungkal dan ditendang bayangan ini, mencelat keluar pintu dimana saat itu bentakan-bentakan para pengawal tiba, menerima tubuh Lui-ciangkun dan empat di antaranya roboh tunggang lenggang. Lui-ciangkun mengeluh dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas. Dan ketika para pengawai terkejut dan marah mengenal Lui-ciangkun tiba-tiba dua kakek tinggi kurus menyambar datang menyerang bayangan ini, yang mencoba lari ke pintu samping.

"Pengacau hina, berhentilah....!"

Bayangan itu terkejut. Dua tombak panjang meluncur ke arahnya, terbang menuju punggung. Geraknya begitu cepat dan amat bertenaga. Telinganya mendengar kesiur angin yang kuat itu. Dan ketika dia membalik dan menangkis tapi tombak tidak patah seperti biasa dia mematahkan senjata para penjaga maka bayangan ini terbelalak melihat dua kakek gagah tinggi kurus menyerangnya lagi, membentak dan sudah menghentikan larinya yang terpaksa ditunda. Dua tombak beterbangan bagai bernyawa, yang satu beronce biru sedang yang lain beronce merah.

Dua kakek ini hebat sekali hingga terpaksa dia berlemparan, menangkis tapi lagi-lagi senjata di tangan Iawan tidak patah. Tahulah dia bahwa lawan yang kali ini di hadapi adalah bukan sembarangan orang. Dan ketika tombak itu kembali menyambar-nyambar dan para pengawal yang lain sudah mau mendekat dan berteriak-teriak maka sesosok bayangan tinggi besar tiba-tiba berkelebat dan membantu dua kakek bertombak ini.

"Cu-ciangkun, siapa jahanam ini?"

Bayangan ini terkejut. Serangan itu disusul pukulan tangan kanan yang dahsyat sekali, sinar putih berkelebat dan angin pukulan pun menderu hebat. Dia terpaksa mengelak sementara dua tombak mengaung di sisi tubuhnya, berkelit dan menangkis pukulan pendatang baru ini. Seorang laki-laki tinggi besar berjenggot lebat terbelalak kepadanya, pukulan itu sudah diterima. Dan ketika lawan terpental dan benturan keras menggetarkan ruangan itu maka laki-laki tinggi besar ini berseru kaget tertolak mundur.

"Aih. hebat sekali. Keparat!"

Bayangan itu kagum. Tenaga si tinggi besar ini sebenarnya dahsyat, itulah Bu-ciangkun si Tangan Baja, panglima kerajaan yang memiliki Kang jiu-kang (Tenaga Tangan Baja). Sinar putih yang berkelebat dari tangan kanannya tadi adalah sinar pukulan Kang-jiu-kang itu, memang hebat dan sanggup memecahkan kepala seekor gajah. Kalau bayangan ini tidak memiliki kepandaian lebih tinggi tentu dia sudah hancur disambar pukulan Bu-ciangkun, kini dia tergetar dan memuji panglima itu.

Bu-ciangkun menggereng dan maju lagi, dua kakek tinggi kurus juga membentak menggetarkan tombak mereka, inilah Cu-ciangkun kakak beradik, yang memegang tombak beronce biru adalah Cu Hak sedangkan adiknya yang memegang tombak beronoe merah adalah Cu Kim. Mereka mendengar lonceng genta yang dipukul bertalu-talu itu, kaget dan cepat melesat menuju tempat terjadinya peristiwa, terkejut karena peristiwa terjadi di gedung pusaka. Maklumlah mereka bahwa ada sesuatu yang tidak beres, pencurian senjata dan pembunuhan.

Melihat di sana-sini mayat-mayat bergelimpangan, sementara hujan di luar masih deras juga. Teriakan pengawal dan bentakan kemarahan di sana-sini cukup menyadarkan dua panglima kakak beradik ini. Mereka sepasang panglima kosen yang mahir mainkan Sin-liong Chio-hoat (Silat Tombak Naga Sakti), masih memiliki lagi ilmu simpanan yang disebut Hui-liong Chio-hoat (Silat Tombak Naga Terbang). Kini bersama Bu-ciangkun menyerang bayangan bermantel yang menyembunyikan sebagian besar mukanya itu, bayangan ini berlompatan dan menangkis sana-sini dengan kaki tangannya, bertangan kosong.

Tapi ketika pengawal yang lain datang mengganggu dan ruangan terasa sempit oleh banyaknya orang tiba-tiba bayangan ini terdesak dan kerepotan. Dan saat itu Bu-ciangkun menggeram lagi, bertanya siapa adanya pengacau ini dan apa yang dia lakukan. Cu-ciangkun tak tahu dan menjawab terus terang tak mengenal lawan. Bayangan itu tertawa mengejek sambil terus berlompatan, meskipun terdesak belum juga lawan dapat merobohkannya. Dan ketika Bu-ciangkun penasaran dan Cu-ciangkun kakak beradik juga marah menyerang bayangan ini maka Cu Hak berseru pada adiknya.

"Gabung Silat Tombak Terbang kita....!"

Cu Kim memgangguk. Sang adik mengerti apa yang dikehendaki sang kakak, mereka tadi bertempur sendiri-sendiri dengan ilmu silat mereka, meskipun tombak menyambar-nyambar tapi masing-masing coba merobohkan lawan, gagal dan kini sang kakak minta agar mereka menggabung permainan mereka. Cu Kim membentak dan tiba-tiba berendeng dengan kakaknya, kini mereka menyerang dari depan sementara Bu-ciangkun diminta melepas pukulan-pukulannya di belakang. Bayangan itu dikeroyok depan dan belakang. Dan ketika pengawal yang mengepung diminta mundur dan dua kakak beradik di depan menusukkan tombak mereka sekonyong-konyong tombak terlepas dari tangan dan meluncur menyambar leher bayangan itu.

"Sing....”

Bayangan ini terkejut. Sepasang tombak tiba-tiba menuju dada dan perutnya, terbang berputar seperti peluru. Cepat dan kuat karena dua panglima Cu mendorongkan telapak tangan mereka. Tombak yang hidup itu semakin bernyawa, saat itu Bu-ciangkun membentak melepas Kang-jiu-kangnya, kini menghantam punggung hingga baju lawan berkibar. Bayangan ini terkejut dan terbelalak. Dan karena dia terdesak dan saat itu ke pungan pengawal juga kian banyak sementara di depan gedung menungpu ratusan pengawal lainnya yang tidak perduli hujan mendadak, diserang muka dan belakang seperii itu tiba-tiba bayangan ini mencabut Sam-kong-kiam.

Tiga sinar kemilauan mencuat disertai hawa dingin, pancaran sinarnya demikian terang seperti matahari, Bu-ciangkan dan teman temannya kaget. Lampu mendadak padam dan suara mengaung mengerikan terdengar mendirikan bulu kuduk, orang-orang terkejut. Dan ketika pedang bergerak dua lingkaran penuh dan bentakan keras mengiringi gerakan pedang itu tiba-tiba Cu-ciangkun berteriak tertahan dan cepat membanting tubuh bergulingan.

"Crak-crakk!"

Tombak di tangan panglima Cu terpotong dua. Dua panglima ini menggelinding, mereka berseru kaget karena baru sekarang tahu apa yang berkeredep menyilaukan mata itu. Bu-ciangkun sendiri sudah menarik pukulannya bergulingan menjauh. Gerakan Sam-kong-kiam terlalu ganas bagi mereka, tak ada senjata yang dapat bertahan menghadapi pedang pusaka ini. Baru sekarang juga Bu-ciangkun tahu apa yang dicuri lawannya ini, kiranya Pedang Tiga Sinar. Dan ketika tiga panglima itu bergulingan menjauh dan melompat bangun dengan keringat membasahi dahi maka hampir serempak tiga panglima ini berseru,

"Sam-kong-kiam...!"

Bayangan itu tertawa bergelak. Sekarang dia terbebas dari tekanan, dua tombak panglima Cu menggeletak di lantai, potongannya terpotong seperti tahu. Lawan berhasil didorong mundur. Dan ketika tiga panglima itu bergulingan melompat bangun dan menyebut nama pedangnya maka bayangan ini tertawa berkelebat meninngalkan tiga panglima itu. berjungkir balik keluar kepungan dan sudah melayang ke atas genteng. Gerakannya dibantu gelapnya malam, tahu-tahu sudah hinggap dan berlarian di gedung Istana.

Tentu saja para pengawal dan Cu-ciangkun maupun Bu ciangkun celengap, sejenak terkesima oleh lolosnya Sam kong kiam. Kesaktian pedang itu membuat mereka tertegun. Lampu mendadak padam ketika Sam-kong-kiam dicabut dari sarungnya, baru kali ini mereka melihat kegaiban itu. Tapi begitu sadar dan musuh berlompatan diatas gedung istana mendadak Cu-ciangkun dan Bu-ciangkun berteriak gusar melompat mengejar.

"Tahan, tangkap laki-laki itu...!"

"Dia mencuri Sam-kong-kiam. Bunuh...!"

Para pengawal ribut. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun sudah berkelebat mendahului, masing-masing berjungkir balik dan melayang keatas genteng. Gerak mereka ringan dan cepat. Dan ketika mereka mengejar dan pengawal di bawah juga ikut membayangi maka Cu-cangkun yang menyambar panah mengganti tombaknya yang patah tiba-tiba sudah menjepret empat kali ke punggung bayangan itu.

"Cet-cet-cett..."

Bayangan itu tertawa mengejek. Tanpa menoleh dia menggerakkan Sam-kong-kiamnya, empat panah Cu-ciangkun yang dilepas rontok semua. Panah panah itu pun kandas dibacok Sam-kong-kiam, Cu-ciangkun bingung tapi gusar bukan main. Dan ketika bayangan itu berlari ke utara dan turun mendekati tembok istana tiba-tiba Bu-ciangkun yang membawa golok di tangan menimpukkan goloknya itu menyambar lawan.

"Swing..." Golok itu berkeredep menyilaukan mata. Bayangan itu membalik, kali ini dengan tawa menyeringai dia merendahkan tubuh, kaki berjongkok dan pedang di tangan pun bergerak, tujuh kali malang-melintang membuat golok hancur berkeping keping. Dan ketika Bu-ciangkun terbelalak dan geram disana maka bayangan ini sudah menggerakkan kakinya dan tujuh patahan golok itu ganti menyambar si panglima tinggi besar.

"Ha ha, terima ini, brewok. Awas...!"

Bu-ciangkun gusar. Dia menggerakkan dua tangannya, dengan Kang-jiu-kang dia menyambut patahan golok timpukannya itu, menangkap dan balas kembail menyambitkannya ke arah lawan. Bayangan itu tertawa bergelak dan kembali menggerakkan Sam-kong-kiam. Beberapa kali sinarnya mencuat dan golok-golok itu pun berdenting. Dan ketika tujuh patahan golok runtuh di tanah dan hancur menjadi potongan potongan yang lebih kecil lagi maka Bu-ciangkun terbelalak melihat tak kurang dari puluhan mata golok telah menjadi serpihan kecil-kecil di atas tanah.

"Brewok, kau tak dapat menangkap aku. Selamat tinggal!'

Bu-ciangkun terkejut. Lawan telah melambaikan lengan kepadanya, pengawal di bawah memburu sambil berteriak teriak. Bayangan itu melompat tinggi. Dan ketika dia berungkir balik dan hinggap di tembok istana maka Bu-ciangkun terkesiap melihat lawan siap melarikan diri pedang Sam-kong-kiam dimasukkan kembali dan sekali turun di luar sana tentu bayangan ini akan lenyap. Tapi ketika lawan terbahak gembira dan siap melayang turun mendadak tiga bayangan baru berkelebat dari bawah menyerang bayangan ini, tiga bayangan yang muncul dari luar tembok istana

"Manusia hina, serahkan Sam-kong-kiam..."

Bayangan itu kaget. Dia jadinya seperti di papak dari bawah ke atas, menghentikan tawanya dan mendengar bentakan nyaring itu. Seorang gadis dan seorang pemuda disertai seorang laki-laki gagah menyerangnya hampir berbareng, dua batang pedang membacok diiringi sebuah pukulan dahsyat berhawa panas. Laki-laki gagah itu tak bersenjata tapi angin sinkangnya hebat sekali, tentu saja bayangan ini terkejut. Dan karena dia sudah memasukkan Sam-kong-kiamnya dan mencabut kembali tak ada waktu maka bayangan itu merendahkan tubuh dan menerima dua bacokan pedang sementara pukulan sinkang yang menghantam dadanya disambut uluran lengan yang cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

"Plak-plak-dess!"

Bayangan itu terkejut. Dua bacokan pedang ditolaknya mentah mentah. Sang gadis dan sang pemuda yang menyerangnya dengan senjata tajam ini berteriak tertahan. Pedang mereka mental dan mereka mendapatkan gumpalan daging yang atos dan liat, kulit lawan terlindung kekebalan yang membuat mereka kaget. Pedang membalik dan hampir menyerang muka sendiri, tentu saja mereka berseru keras betjungkir balik, mematahkan daya tolakan dan turun di dalam tembok istana, muka mereka pucat dan kaki pun menggigil.

Tapi si bayangan yang mendapatkan serangan dari si laki-laki gagah dan kini menangkisnya dengan lengan kiri terjulur ternyata tergetar dan terdorong. Dan karena tembok itu tidak terlampau tebal dan dia menginjak tempat kosong maka bayangan ini berseru kaget karena dia terjerumus dan jatuh kembali ke dalam kompleks istana, tentu saja berjungkir balik dan melayang turun ke bawah, hampir bersamaan dengan tibanya si pemuda dan si gadis. Dan ketika dia menginjakan kakinya di dalam dan Bu ciangkun serta Cu-ciangkun memburu dengan beberapa lompatan maka bayangan ini sudah dikepung dan dikeroyok serta mendengar bentakan panglima tinggi besar, ditujukan pada si laki'laki gagah yang memaksa bayangan ini turun ke kompleks istana,

"Bagus, kau datang tepat waktunya, Hek-eng Taihiap. Terima kasih dan mari bekuk pengacau ini...!"

Bayangan itu sudah diserang. Laki-laki gagah yang memaksanya tadi ternyata Hek-eng Taihiap (Pendekar Garuda Hitam) yang mengenakan baju hitam, memiliki pukulan ampuh yang membuat lengannya tergetar, terjerumus dan akhirnya dikeroyok di tempat ini. Cu-ciangkun sudah menyambar tombak baru dan kini menyerangnya bertubi-tubi. Begitu juga Bu-ciangkun, panglima tinggi besar ini berteriak keras melepas Kang-jiu-kangnya. Angin dahsyat bersiurl menyambar, si bayangan terkejut. Dan kelika dua muda mudi pendatang baru itu juga menggerakkan pedang mereka dan Hek-eng Taihiap kembali melepas pukulan sinkangnya menampar bayangan ini maka pencuri Sam-kong kiam itu menggeleng berseru marah.

"Keparat, kalian akan kubunuh!" pedang Sam-kong-kiam tiba-tiba dicabut, tiga sinar warna-warni tiba-tiba berkilau, mata menyipit tak tahan terkena silauannya yang terang dan bayangan itu membalik, satu bentakan keras menyertai putaran pedangnya yang berkeredep ke segala penjuru. Dan ketika Bu-ciangkun dan lain-lain terkejut karena lawan membalas dengan pedang yang ampuh, maka Cu-ciangkun menarik tombaknya seraya berseru memperingatkan pada dua muda-mudi yang bersenjata pedang itu,

''Awas, hindarkan senjata kalian...!"

Namun terlambat. Muda mudi yang bersenjata pedang itu rupanya terlalu percaya diri, mereka meneruskan serangan dan tidak perduli teriakan Cu-ciangkun. Pedang mereka tetap menusuk tapi bertemu kilatan Sam-kong-kiam. Dan ketika pedang terasa ringan dan suara "trang" membentur pedang mereka mendadak senjata di tangan sudah putus dan kutung menjadi dua.

"Aihh...." dua muda-mudi itu terkejut. Mereka sekarang percaya, sinar Sam-kong'kiam membalik dan menyambar lagi. Dan karena mereka tertegun dan bengong memandang kehebatan Sam-kong-kiam tiba-tiba pedang sudah menukik dan meluncur menusuk leher mereka.

"Awas..." Pekik Bu-ciangkun itu menyadarkan mereka.

Dua muda-mudi ini tersentak, pedang sudah menyambar dan mereka mencelos, tentu saja kaget melempar tubuh bergulingan. Tapi karena pedang masih mengejar dan mereka kalah cepat tahu-tahu suara memberebet masih juga terdengar diiringi pekik kesakitan dua muda mudi itu yang tergurat pundaknya, kulit terkoyak dan darah pun mengucur. Dua muda-mudi ini bergulingan. Tapi ketika pedang melukai dua muda-mudi itu dan Hek-eng taihiap berada di belakang lawan mendadak Pendekar Garuda Hitam ini bergerak menubruk, jarinya mencengkeram kepala lawan untuk merenggut mantel yang menutupi muka.

Gerakannya sebat dan cepat, juga tepat karena saat itu lawan sedang menyerang dua muda-mudi ini, jadi tak menduga kalau diserang dari belakang. Dan karena pencuri Sam-kong-kiam itu gemas pada lawannya dan lengah untuk serangan di belakang tiba-tiba dia terkejut dan berseru kaget ketika cengkeraman Hek-eng Taihiap berkesiur di belakang kepalanya, mengelak dan miringkan leher tapi kurang cepat. Dan ketika tutup kepala tertarik dan tangan yang lain dari Hek'eng Taihiap menghantam pundak tiba-tiba mantel di alas kepala itu terbuka dan bayangan ini pun terpukul pundaknya.

"Bret-plak!”

Rambut yang kuning keemasan tiba-tiba terurai. Kepala Iawan terbuka mentelnya, bayangan iiu berseru keras dan marah. Perbuatan Hek-eng Taihiap membuka kedoknya. waktu ketika orang tertegun memandang rambutnya yang kuning keemasan tiba-tiba Sam-kong-kiang meliuk membabat perut Hek-eng Taihiap, tentu saja membuat Pendekar Garuda Hitam ini terkejut melompat mundur, mata masih terbelalak memandang rambut yang kuning keemasan itu, mulut celangap.

Bu-ciangkun dan lain lain juga mendelong, mereka mendadak menghentikan serangan, juga melompat mundur, menghindari kilauan Sam-kong-kiam yang melindungi bayangan ini. Dan ketika semua orang mundur dan tertegun memandang rambut yang keemasan itu mendadak bayangan ini melompat tinggi berjungkir balik keluar dari kepungan, tertawa aneh dan sudah hinggap di atas tembok istana kembali, lawan tak mengejar. Dan sementara orang bengong dan Bu-ciangkun serta kawan-kawannya menjublak bagai melihat hantu tiba-tiba bayangan itu melayang turun dan lenyap di luar istana.

"Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas)...."

Seruan itu tiba-tiba mengguncang suasana. Hek-eng Taihiap dan teman-temannya tadi memang sedang tertegun melihat bayangan ini, rnelihat rambutnya yang keemasan dan kelihatannya menghadapi mereka berenam. Tentu saja terkejut karena mereka mengenal itulah Kim-mou-eng, sahabat sekaligus orang yang amat mereka kagumi. Kini tiba-tiba menjadi pencuri dan merampas Sam-kong-kiam. Betapa tidak masuk akalnya. Tapi karena jelas bayangan itu adalah Kim-mou-eng dan mereka sadar setelah pengawal berteriak-teriak menyebut nama Kim-mou-eng pula sekonyong-konyong Bu Ciangkun menggereng melayang melompati tembok istana, mengejar.

"Kim-mou-eng, tunggu...."

Hek-eng Taihiap dan teman temannya tersentak. Mereka pun membelalakkan mata, mengejap ngejapkannya berulang ulang seolah tak percaya, kini berkelebat mengikuti bayangan Bu-ciangKun, menahan napas dan memanggil pula bayangan di depan. Si rambut emas itu telah meluncur jauh, mereka penasaran. Dan ketika gerbang istana di buka dan pengawal pun memburu keluar maka Hek-eng Taihiap dan lima temannya ini telah mengerahkan ginkang mereka mengejar si rambut emas ini.

"Kim-mou-eng, tunggu. Kami mau bicara....”

Namun bayangan di depan tertawa mengejek. Dia sudah keluar dari lingkungan istana, berlari cepat dan Sam-kong-kiam diacungkannya ke alas, sinar pedang pusaka itu menuntun Bu-ciangkun dan teman-temannya mengikuti. Berkali-kali mereka memanggil namun si rambut emas itu tak menghiraukan. Dan ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja dan tembok yang tinggi menghalang di depan maka si rambut emas ini sudah ditunggu seribu pengawal yang mencegat jalan larinya.

"Minggir..." sinar berkilauan berkelebat, si rambut emas ini membentak melayang ke atas tembok. Di atas sana pun kiranya pengawal sudah merasa dan siap mencegatnya. Sam-kong-kiam bergerak dan tujuh perwira diatas menjulurkan senjata masing-masing. Kota raja menjadi geger dan hujan pun kebetulan mulai reda. Para Pengawal dan orang orang lain basah kuyup diguyur hujan. Dan ketika tujuh perwira membentak dan menangkis Sam-kong-kiam tiba-tiba tujuh perwira ini berseru kaget karena tombak dan golok mau pun pedang di tangan mereka buntung terpapas oleh pedang di tangan si rambut emas.

"Trang-trang-trang..!"

Tujuh perwira ini terbelalak ngeri. Sam-kong-kiam masih terus bergerak ke arah mereka, tujuh tusukan dilakukan dengan amat cepat luar biasa. Dan ketika mereka mengelak namun masih juga kurang cepat maka berturut-turut mereka menjerit dan roboh terjungkal dari atas tembok yang tinggi, disambut pekik kaget pengawal di baawah yang ngeri melihat tujuh perwira itu terbanting di atas tanah, punggung mereka patah dan tentu saja tewas. Dan ketika mereka gempar dan berteriak teriak marah maka Bu-ciangkun yang berkelebat mendatangi tempat itu berseru,

"Lepaskan panah. Serang..."

Ratusan panah tiba-tiba berhamburan. Bayangan di atas itu memutar pedangnya, semua panah runtuh dibabat pedangnya, melihat Cu-ciangkun dan lain lain tiba pula di situ. Semuanya melayang naik namun dia tertawa bergelak. Dan ketika ratusan panah rontok disapu putaran pedangnya maka di saat Cu-ciangkun dan teman-temannya itu melayang naik ke atas tembok pintu gerbang justeru si rambut emas ini melayang turun dan lenyap di luar gerbang kota raja, melarikan diri.

"Ha-ha, kalian tak dapat menangkap aku, Bu-ciangkun. Sampai ketemu lagi!"

Bu-Ciangkun menggereng. Dia sudah tliba di atas tembok, berbareng pula dengan teman-temannya yang lain, melihat bayangan itu melayang turun dan dia pun melayang ke bawah, sungguh penasaran dan sakit hatinya melihat si rambut emas itu melarikan diri. Dan ketika teman-temannya juga meluncur dan Cu-ciangkun membentak mengejar bayangan ini maka Hek-eng Taihiap dan lain-lainnya juga memburu, marah dan tak habis pikir kenapa Kim-mou-eng, pendekar yang gagah perkasa itu mengacau kota raja, mencuri dan membunuh serta menghina mereka.

Tapi karena malam tak berbintang dan lawan juga berkepandaian tinggi maka pengejaran yang dilakukan Bu-ciangkun dan teman temannya ini tak berhasil, gagal dan Bu-ciangkun memaki-maki Pendekar Rambut Emas itu. Kegeramannya sampai di ubun-ubun dan bangsa Tar-tar pun dicacinya habis-habisan. Pendekar Rambut Emas memang berdarah Tar-tar. Dan ketika malam itu hujan benar benar berhenti dan si rambut emas tak berhasil mereka tangkap maka Bu-ciangkun kembali sambil mencak-mencak.

"Bedebah, Kim-mou-eng kiranya pendekar berwatak iblis. Tak patut dia menjadi sahabat sri baginda!"

"Ya, dan dia juga membunuh belasan pengawal di tempat kita, paman Bu. Sungguh tak habis pikir bagaimana dia begitu telengas."

"Dan kiia harus melapor pada sri baginda. Kalau perlu kuminta ijin agar melakukan pengejaran dan memasuki padang rumput melabrak suku bangsanya. Keparat!" dan Bu ciangkun yang marah marah diikuti pemuda berpedang yang memanggilnya "paman Bu" tadi lalu kembali ke istana dan melapor pada sri baginda. Kaisar sudah menunggu mereka dan ingin tahu apa yang terjadi. Mata terbelalak tak sabar. Dan ketika Bu-ciangkun melapor bahwa Kim-mou-eng mencuri Pedang Tiga Sinar tiba-tiba kaisar tertegun menggebrak meja.

"Tak masuk akal! Tidak kelirukah kalian, ciangkun?"

'Paduka dapat menanyakannya pada yang lain-lain ini, sri baginda. Hamba tak salah lihat dan justeru Hek-eng Taihiap ini yang membuka mantel kepalanya.'"

'Benarkah, Hek-eng Taihiap?"

"Maaf, tampaknya memang begitu, sri baginda. Tapi...'"

"Tapi apa? Kenapa harus berembel-embel tampaknya?"

Hek-eng Taihiap bingung. "Hamba memang melihatnya begitu, sri baginda. Tapi hamba ragu apakah Kim-taihiap (Pendekar besar Kim) benar melakukan perbuatan itu!"

"Apa maksudmu?"

"Maksud hamba begini, sri baginda. Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas itu adalah seorang gagah yang kita sama tahu tindak-tanduknya. Dia seorang pendekar sejati yang pantang berbuat jahat, lagi pula dia murid Bu-beng Sian-su. Apakah mungkin pendekar begitu dikagumi melakukan perbuatan hina?"

"Ah," Bu-ciangkun tiba-tiba menimbrung. "Murid Bu-beng Sian-su atau bukan sebaiknya jangan dijadikan patokan, Hek-eng Taihiap. Mendiang Gurba peminpin suku bangsa Tar-tar itu juga murid Bu-beng Sini-su tapi kelakuannya memuakkan. Sebaiknya nama manusia dewa itu sebagai pribadi jangan disangkutpautkun dengan orang lain meskipun orang lain itu muridnya sendiri!"

"Benar," kaisar tiba-tiba teringat. "Apa yang di kata Bu-ciangkun tidak salah, Hek-eng Taihiap. Melihat tindak-tanduk seseorang sebaiknya jangan disangkut pautkan dengan orang lain meskipun orang lain itu guru atau orang tuanya. Sekarang jawab saja, benarkah yang mencuri Sam-kong-kiam adalah Pendekar Rambut Emas?"

Hek-eng Taihiap tak dapat mengelak, terpaksa mengangguk dan kaisar merah padam mukanya. Ribuan mata memang melihat bahwa yang melakukan keributan itu adalah Kim-mou-eng, semua orang tahu. Dan ketika kaisar berkerot gigi terpaku di singgasananya maka kembali Bu-ciangkun, panglima tinggi besar yang berangasan itu berkata, nadanya tinggi,

"Nah. sekarang paduka tak perlu sangsi, sri baginda. Kim-mou-eng yang kita bangga-bangga kan itu ternyata seorang iblis. Selain mencuri Sam-kong-kiam masih juga menurunkan tangan maut membunuhi perwira dan para pengawal-pengawal kita. Apakah hal ini tidak tidak cukup bagi kita untuk menangkap dan menggantungnya? Dan hamba sanggup mencari si hina itu, sri baginda. Hamba siap berangkat kalau paduka menitahkannya!"

Kaisar menggigil. "Baik, kau cari si laknat itu, ciangkun. Kalau perlu bawa pasukan dan serbu bangsa Tar-tar di luar tembok besar sana!"

"Hamba siap menjalankan tugas...” tapi baru Bu-ciangkun berseru menegakkan kepala tiba-tiba Hek-eng Taihiap melompat ke depan.

"Nanti dulu," pendekar itu pucat. "Sebaiknya dengarkan usul hamba, sri baginda. Biar Bu-ciangkun berangkat tanpa pasukan. Hamba usul agar hamba berenam saja yang ke suku bangsa Tar-tar. Hindarkan dulu pertumpahan darah kalau Pendekar Rambut Emas mau menyerahkan Sam-kong-kiam kembali!"

Kaisar terkejut "Maksudmu?"

Hek-eng Taihiap buru buru menghadap ke seorang pembesar berwajah sabar, berkata menggigil, "Kim-taijin, mohon dukungan paduka untuk membujuk sri baginda. Hamba masih tak yakin kalau Pendekar Rambut Emas yang melakukan semuanya ini. Hamba ingin menyelidiki, kalau paduka setuju tolong beri tahu sri baginda agar mencegah perang antar bangsa."

"Hm," pembesar itu mengangguk-angguk. "Aku dapat mengerti, Hek-eng Taihiap. Dan kulihat usulmu boleh diterima. Baiklah, aku coba menerangkan pada sri baginda," dan pembesar ini yang sudah menghadapi junjungannya lalu berkata, tenang, "Sri baginda, mohon ampun bila hamba melancangi titah paduka. Hek-eng Taihiap ingin mencegah pertumpahan darah, urusan ini memang layak diterima dengan pikiran dingin. Bagaimana kalau Bu-ciangkun disertai teman-temannya ke suku bangsa Tar-tar? Hek-eng Taihiap hendak bicara secara pribadi, sri baginda. Dan hamba juga sependapat dengan jalan pikiran Hek-eng Tahiap bahwa nama Kim-mou-eng perlu diragukan sebagai pencuri Sam-kong-kiam."

"Tapi semua orang melihatnya," kaisar terbelalak. "Dan semua mengakui bahwa Pendekar Rambut Emas itulah yang membuat onar!"

"Benar, tapi Pendekar Rambut Emas adalah seorang gagah sejati, sri baginda. Hamba tahu wataknya dan sepak terjangnya. Mohon paduka berkepala dingin menghadapi urusan ini."

"Tapi Sam-kong-kiam bukan pedang sembarang pedang. Pusaka itu warisan leluhur dan simbol jatuh bangunnya kerajaan!"

"Hamba tahu," pembesar itu masih bersabar. "Dan hamba juga tidak akan tinggal diam melihat pedang ini dicuri orang, sri baginda. Tapi hamba yakin bahwa bukan Pendekar Rambut Emas yang mencuri pedang itu, hamba berani bertaruh potong kepala!"

Kaisar terkejut. Bu ciangkun dan yang lain-lain juga terkejut, Kim-taijin dianggap terlalu berani dan gegabah. Tapi karena pembesar itu adalah penasihat kaisar yang paling dipercaya dan kesetiaannya tak perlu diragukan lagi maka kaisar dan yang lain lain menjadi tertegun dan mulai bertanya kenapa pembesar itu berani berkata seperti itu, bahwa tanpa melihat sendiri berani bertaruh bukan Kim-mou-eng yang mencuri Sam-kong-kiam, meskipun ribuan mata melihat pencuri itu sebagai Pendekar Rambut Emas.

Pembesar ini rupanya terlalu percaya pada Kim-mou-eng, pada kegagahannya dan wataknya yang luhur. Dan ketika Kim-taijin, pembesar itu, menerangkan bahwa ada dua hal yang perlu menjadi perhatian untuk tidak gegabah menuduh Kim-mou-eng maka semua orang mendengar pembelaan pembesar ini.

"Ingat, pencurian pedang itu menunjukkan keserakahan nafsu seseorang, sri baginda. Dan kita sama tahu bahwa pendekar Rambut Emas sama sekali bukan orang yang serakah. Minta bukti? Baik, hamba tunjukkan. Paduka tentu ingat bahwa beberapa bulan yang lalu paduka memberi harta karun sepuluh peti emas permata pada pendekar itu, tapi Kim-mou-eng menolak. Hanya atas desakan paduka pendekar itu akhirnya menerima, itupun tak buru buru dibawa dan harta karun itu sampai detik ini masih dititipkan pada paduka. Ini menunjukkan bahwa Kim-mou-eng bukan seorang mabok harta maupun barang-barang duniawi. Ke dua, siapa tak meragukan rambut emas yang dipakai pencuri itu? Sekarang pemalsuan bisa terjadi di mana-mana, sri baginda. Dan hamba khawatir bahwa pencuri itu telah mengecat rambutnya agar mirip Kim-taihiap. Nah, inilah yang menjadi alasan hamba. Dan kalau mau ditambah lagi barangkali Bu-ciangkun maupun yang lain-lainnya itu harus mengakui bahwa Tiat-lui-kang (Pukulan Petir) yang menjadi andalan khas Pendekar Rambut Emas sama sekali tak digunakan pencuri itu karena agaknya pencuri itu memang bukan Kim-taihiap. Sekian alasan hamba!”

Bu-ciangkun dan teman-teman mendadak tertegun Kaisar juga terhenyak. Bu-ciangkun dan teman temannya itu mendadak teringat orang yang mereka anggap sebagai Kim-mou-eng itu memang sama sekali tak mengeluarkan Tiat-lui-kang, andalan Kim-mou-eng yang mengerikan itu. Tapi Bu-ciangkun yang tak mau kalah tiba-tiba berseru, "Benar, Kim-mou-eng yang kami sangka itu memang tak mengeluarkan Tiat-lui-kangnya, Kim-taijin. Tapi siapa tahu ini adalah siasat untuk menyembunyikan diri? Kalau Hek-eng Taihiap tak membuka tutup kepalanya itu tentu dia dapat sewenang-wenang dan berhasil menyembunyikan kedok!"

"Bagus, tapi kalau dia mau maka tanpa Sam-kong-kiam di tangan Pendekar Rambut Emas dapat membunuh kalian berenam, Bu-ciangkun. Dan bayangan itu tampaknya harus dibantu Sam-kong-kiam untuk melarikan diri."

"Ini mungkin untuk bersiasat saja, Kemungkinan itu bisa saja terjadi karena seorang pencuri harus pandai menyembunyikan diri!"

"Benar, dan karena banyak kemungkinan itu maka aku pribadi tak gampang percaya, ciangkun. Dan satu dari kemungkinan-kemungkinan yang kau ajukan itu adalah pencuri itu mungkin bukan Kim-taihiap..." kini Kim-taijin memberi tekanan pada kata-kata "mungkin".

Bu-ciangkun tertegun dan terbelalak. Tapi karena itu adalah satu kemungkinan juga dan kalah didebat seperti ini tiba tiba panglima berangasan itu mengeram. "Taijin, kau rupanya membela benar pencuri pedang itu. Baik, aku akan mencarinya dan menangkapnya untuk melihat siapa benar siapa salah!"

"Ah, kau sudah salah menduga, Bu-ciangkun. Aku tidak membela pencuri itu melainkan Kim-mou-eng. Harap perhatikan ini. Bagiku pencuri itu masih diragukan sebagai Kim-mou-eng. Dan karena Kim-mou-eng masih bersih bagiku maka yang kubela adalah pendekar itu, bukan pencuri itu!"

"Sudahlah," kaisar melerai. "Aku sekarang bingung setelah mendengar kata katamu, taijin. sebaiknya untuk membuktikan itu Bu-ciangkun ku titahkan ke suku bangsa Tar-tar menemui Pendekar Rambut Emas. Usul Hek-eng Taihiap kuterima, kalian berenam berangkat dan tidak membawa palukan!"

Hek-eng Taihiap girang. "Terima kasih, sri baginda."

"Tapi bagaimana kalau gagal?"

Hek-eng Taihiap mendadak mengkerut. "Hamba pertaruhkan nyawa untuk menghadapi Kim-mou-eng, sri baginda. Meskipun hamba menyadari kepandaian sendiri yang tidak berarti dibanding dengannya!"

"Bagus, kalian berangkatlah!"

Dan ketika pembicaraan selesai dan Bu-ciangkun minta diri mengajak teman temannya maka Hek-eng Taihfap berdebar karena satu kehormatan sedang dipertaruhkan. Mereka malam itu juga berangkat, diam-diam telah ada kesepakatan di antara Kim-taijin dan Hek eng Taihiap ini, mereka sama sama tidak percaya bahwa Pendekar Rambut Emaslah yang mencuri Sam-kong-kiam. Sungguh tidak masuk akal. Tapi karena semua mata melihat pencuri itu sebagai Pendekar Rambut Emas dan hal i tu harus mereka buktikan di suku bangsa Tar-tar nanti maka rombongan Bu-ciangkun ini sudah meninggalkan istana di kala hujan sudah tidak mengguyur lagi.

Rombongan ini menunggang kuda. Enam ekor kuda pilihan dikebut. Dan begitu Hek-eng Taihiap mengikuti rombongan ini menuju ke utara maka enam orang itu telah meluncur meninggalkan kota raja. Satu teka teki harus terjawab. Satu keraguan besar harus dibuka. Dan karena Bu-ciangkun amat bernafsu melaksanakan tugasnya dan mencongklarng pesat maka dua hari kemudian mereka sudah keluar dari tembok besar menuju padang rumput ilalang mercari perkemahan suku bangga Tar-tar.

Benarkah Kim-mou-eng yang mencuri? Benarkah Pendekar Rambut Emas melakukan perbuatan hina iiu? Kalau tidak, lalu apa yang sesungguhnya terjadi? Ah, sebaiknya kita tengok dulu perkemahan suku bangsa Tar-tar ini. Mari kita dahului rombongan Bu-ciangkun!

* * * * * * * *

Pagi itu, di penghujung tahun, ribuan kemah besar kecil berdiri di lapangan rumput yang luas. Inilah suku bangsa Tar-tar yang hidup dari hasil ternak mereka. Ribuan ternak terhampar pula di padang rumput itu. Pagi masih dingin, semalam juga turun hujan. Di sana-sini becek. Kerbau dan sapi melengau gembira, makanan dan rumput-rumput gemuk menghampar luas di depan mata. Tapi di sela-sela kegembiraan itu terdapat semacam kematian hening yang terpusatkan ditengah perkemahan.

Ada sesuatu yang mengganggu. Bangsa Tar-tar kurang gembira. Pagi itu, hari ke tujuh, mereka menunggu keputusan Pendekar Rambut Emas. Sudah selama ini mereka kurang sabar. Bisik-bisik dan kasak-kusuk terdengar di sana sini, berkembang dan menjadi topik pembicaraan yang kurang menyenangkan, terutama bagi pemimpin mereka yang dianggap lemah hati. Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas itu menjengkelkan bangsa Tar-tar. Pendekar ini dianggap lemah mengambil keputusan, tidak seperti suhengnya yang telah tewas itu, Gurba si Singa Daratan Tandus.

Gurba dianggap lebih cocok bagi bangsa ini karena wataknya yang keras dan tegas, sesuai bangsa Tar-tar sendiri yang suka berperang dan berpetualang. Dan ketika hari itu hari terakhir di mana suku bangsa ini menunggu keputusan pemimpinnya untuk masalah rawan tentang hinaan kaisar kepada mereka maka Kim-mou-eng sendiri, orang yang ditunggu jawabannya itu sedang bersamadhi dengan alis beikerut muram. Ada ganjalan di dalam hatinya. Pendekar ini tak nyaman. Dan bagi pembaca yang sudah mengikuti cerita Pendekar Rambut Emas tentu mengetahui apa gerangan yang mengganjal perasaan pendekar itu di saat itu.

Benar, masalah lama. Sebagaimana diketahui, bangsa Tar-tar merasa terhina karena pemimpin mereka yang lama, mendiang Gurba suheng Kim-mou-eng mendapat hadiah kaisar yang tidak pantas, begitu menurut mereka. Dan hadiah itu bukan lain adalah selir cantik Bi Nio yang hamil sebelum diberikan kepada Gurba. Inilah soalnya. Bangsa Tar-tar merasa terhina karena Bi Nio yang merupakan selir kaisar itu ternyata di hadiahkan pada saat berbadan dua. Jadi pemberian itu dianggap tidak mulus lagi.

Kaisar terlampau merendahkan bangsa Tar-tar dengan perbuatannya ini. Dianggap tak menghargai karena sudah memberi barang bekas masih juga "diisi" sebelum diberikan pada pemimpin Tar-tar, padahal katanya pemberian itu adalah sebagai ikatan persahabatan di antara dua bangsa besar, bangsa Han dan bangsa Tar-tar. Dan karena pemberian ini dianggap sewenang-wenang dan rasa persahabatan itu jelas tak ada karena kaisar telah "menodai" pemberiannya sendiri maka bangsa Tar-tar marah dan kini meminta pemimpin mereka yang baru, Pendekar Rambut Emas, memutuskan persoalan ini dengan tuntas.

Ada dua syarat yang diminta bangsa Tar-tar itu. Satu, kaisar diminta menyatakan maafnya dan untuk itu datang ke perkemahan bangsa Tar-tar tanpa mewakilkannya kepada orang lain atau dua, kalau kaisar yang tinggi hati dan dianggap sombong itu menolak maka bangsa Tar-tar akan melakukan penyerbuan ke kota raja membalas hinaan kaisar. Inilah. Dan itu membuat Kim-mou-eng bingung.

Sesungguhnya di antara pendekar ini dan kaisar memang terdapat persahabatan. Bahkan pemberontakan yang gagal yang kandas di tengah jalan atas pokal Sien Nio, mendiang selir kaisar yang amat ambisius sesungguhnya berkat jasa besar Pendekar Rambut Emas ini (baca Pendekar Rambut Emas). Hal itu telah diceritakan di bab yang lalu. Maka, mendengar tuntutan suku bangsanya ini dan perbuatan kaisar bagai geledek di siang bolong bagi Kim-mou-eng maka selama tujuh hari ini Kim-mou-eng terhenyak dengan muka merah padam.

Sukar dipercaya perbuatan kaisar itu. Kim-mou-eng telah melihat pribadi kaisar. Seorang laki-laki yang cukup baik meskipun dalam soal perempuan memang amat serakah. Selirnya ratusan orang padahal sekali atau dua kali pakai saja sudah banyak yang dilupakan. Tapi karena kaisar adalah seorang berkuasa dan kekuasaan memang dapat menjadikan orang berbuat sesuka hati maka soal ini dianggap soal pribadi kaisar itu sendiri. Lain halnya kalau kaisar sudah nemperlakukan bangsa lain dengan cara seperti itu, memberikan hadiah tapi sekaligus hinaan.

Bangsa Tar-tar rupanya dianggap bangsa kecil yang tidak berharga, tentu saja ini membuat orang tersinggung dan marah. Memangnya bangsa Han boleh sewenang-wenang menghadapi bangsa yang lebih kecil? Kalau begini namanya mengejek, menyinggung harga diri dan kehormatan sebuah bangsa. Ini memang tak boleh dibiarkan begitu saja. Tapi karena Kim mou-erg baru menerima kebaikan-kebaikan kaisar dan di antara mereka terdapat persahabatan mendalam maka tuntutan bangsa Tar-tar agar kaisar menyatakan maafnya dan datang sendiri ke suku bangsa itu agak terlampau berlebihan dirasa.

Bangsa Han adalah bangsa yang besar. Bangsa Tar-tar sesungguhnya lebih kecil dibanding bangsa itu. Apalagi bangsa Tar-tar masih dianggap bangsa "tar" karena belum memiliki daerah sendiri, daerah tetap. Suku bangsa ini memang harus sering berpindah pindah sebagai bangsa petualang, itu tak dapat disangkal. Jadi kalau kaisar diminta datang ke perkemahan mereka dan disuruh minta maaf di hadapan bangsa Tar'tar agaknya kaisar tak mungkin mau dan merasa diri sendiri terlalu besar. Repot.

Sedang tuntutan kedua. Ah, bagaimana dia tak bingung? Kim mou-eng adalah seorang pendekar yang welas asih. Pertumpahan darah dihindarinya benar-benar kalau tidak perlu, apalagi pertumpahan darah dalam sebuah peperangan. Ngeri dia. Ribuan orang akan mati, bahkan mungkin laksaan. Bumi akan dibanjiri darah dari manusia-manusia buas yang gila dalam peperangan, dibunuh atau membunuh. Dan karena dua duanya di rasa berat bagi pendekar itu maka waktu seminggu yang diberikan suku bangsanya untuk berpikir tetap saja belum didapatkan jalan keluarnya oleh pendekar ini. Apa yang mau dia katakan?

Kim-mou-eng murung. Sayang pendekar ini tak tahu duduk persoalan sebenarnya. Dia dan suku bangsanya tak tahu bahwa Gurba telah melempar berita bohong, fitnah. Kini fitnah itu berakibat luas dengan marahnya bangsa Tar-tar. Tak tahu bahwa yang terjadi itu sesungguhnya bohong belaka karena hamilnya Bi Nio adalah dengan mendiang raksasa itu. Bi Nio memang berbadan dua tapi bukan dengan kaisar melainkan dengan suheng dari Kim-mou-eng ini.

Dan karena Gurba menyimpan sakit hati atas kegagalan-kegagalannya di masa lalu maka raksasa ini lalu mengada-ada dan merusak nama kaisar dengan membakar suku bangsanya itu, perbuatan yang patut disesalkan, karena di saat ajal tiba Gurba tidak menarik kebohongannya ini. Kebohongan itu tetap berlanjut dan kini bangsa Tar-tar menuduh kaisar menghina mereka. Hinaan itu harus dibalas.

Kim-mou-eng sendiri terpengaruh dan betapa pun merasa tidak senang, hatinya terganjal dan marah atas perbuatan kaisar. Dan ketika seminggu itu dia pulang balik menimbang-nimbang keputusan maka Salima, sumoinya yang gagah dan cantik manis itu muncul, dada terangkat dan mata pun bersinar-sinar, sudah mendengar persoalan itu pula, gadis yang keras hati dan mudah menurunkan tangan besi, menggugah samadhinya.

"Bagaimana, kau sudah mengambil keputusannya, suheng? Kau sudah dapat memberi jawaban?"

Kim-mou-eng mengeluh. "Aku bingung, sumoi. Aku ingin minta waktu seminggu lagi."

"Astaga! Kau mengulur-ulur waktu? Kau tak tahu suku bangsa kita sudah tak sabar dan ingin melakukan penyerbuan selekasnya?"

"Kau pun mau bersikap keras, sumoi? Kau tak mencari jalan damai saja?"

"Hm, jalan damai apa? Kau sendiri meragukan kaisar mau datang meminta maaf, suheng. Dan kalau sudah tahu begitu maka serbuan besar-besaran yang merupakan jalan keluarnya. Jangan biarkan suku bangsa kita menjadi buas seperti harimau kelaparan!" Salima menarik kursi, jengkel pada suhengnya ini dan mata yang bersinar-sinar itu pun semakin tajam. Ada kilatan api di dalamnya. Dan ketika Salima duduk dan suhengnya masih termenung maka pintu tiba-tiba diketuk.

"Masuk" Kim-mou-eng mempersilahkan.

Dua orang pemuda memberi hormat. Mereka adalah Siga dan Bora, wakil atau calon wakil dari mendiang Gurba yang dipercaya suku bangsa Tar-tar. Mereka inilah penyambuug lidah rakyat untuk disampaikan kepada Pendekar Rambut Emas. Kedatangan mereka ternyata menuntut janji jawaban sang pemimpin. Dan ketika Kim-mou-eng mendengar maksud dua orang pembantunya ini maka Kim-mou-eng menarik napas dalam-dalam.

"Kalian keluar dulu, nanti kuberi jawaban. Aku bendak bicara dengan sumoiku dulu."

"Maaf, tapi kami dapat menerima ketentuannya hari ini, taihiap? Kami tidak akan menunggu esok, bukan?"

"Ya, kuberi jawaban hari ini juga. Tapi kalian keluarlah biarkan aku bercakap-cakap dengan sumoiku."

"Baik, kami menunggu, taihiap," dan dua pemuda gagah yang kembali keluar setelah memberi hormat itu lalu menutup pintu dan membiarkan Kim-mou-eng kembali berhadapan dengan sumoinya.

Dan Salima mengeluarkan suara dari hidung. "Nah, mereka tak sabar lagi, suheng. Ini hari ke tujuh di mana kau telah terikat perjanjian!"

"Bagaimana menurutmu?" sang suheng tak perduli, bertanya. "Apa yang harus kulakukan?"

"Siapkan saja bala tentara kita, suheng. Dan serbu kota raja sambil membunuh kaisar itu!"

"Aku tak ingin tumpahan darah. Aku..."

"Kau selalu menyebalkan!" Salima tiba-tiba memotong, marah pada suhengnya ini. "Kau pemimpin yang tidak tegas, suheng. Kau selalu ragu dan tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat. Kalau begitu apalagi yang kau ingini? Kalau kau rasa kaisar sombong itu dapat didatangkan ke mari maka lekas lakukan maksudmu itu, jangan membiarkan suku bangsa kita jengkel. Mereka mulai kasak kusuk akan kelemahan sikapmu!"

Kim-mou-eng terkejut. "Kau marah-marah?"

"Aku jengkel pada sikapmu, suheng. Kau lamban mengambil keputusan dan membuat orang gemas!"

"Tapi ini urusan penting, urusan besar."

"Kalau tahu begitu masa waktu seminggu masih juga kurang? Kau lemah hati, suheng. Kau selalu tidak tegas termasuk persoalan kita berdua jugal" Salima tiba-tiba terisak, marah tapi menunduk mengusap air matanya.

Sang suheng sekonyong-konyong tertegun dan merasa bersalah. Jantung berdetak disebut-sebutnya persoalan itu, persoalan mereka berdua. Betapa dia tidak segera menyambut sumoinya dan meresmikan bubungan mereka sebagai suami isteri. Padahal semua orang tahu mereka sebagai orang-orang yang saling mencintai. Urusan ini memang cukup lama terkatung-katung, dia tidak mengambil ketegasan sikap. Dan ketika sumoinya bangkit berdiri dan mau meninggalkannya tiba-tiba Kim-mou-eng menyambar sumoinya ini.

"Sumoi, maaf. Nanti dulu, tunggu....!"

Salima mengangkat kepalanya. "Apa lagi? Kau mau mengecewakan aku untuk kesekian kalinya?"

"Tidak, nanti dulu. Jangan marah, sumoi. Mari duduk" dan Kim-mou-eng yang gugup menghadapi sumoinya ini lalu menahan napas. "Sumoi, urusan kila berdua sebaiknya tunda sebentar untuk mendahulukan urusan besar ini. Aku telah mengambil keputusan, bagaimana kalau aku ke kota raja menanyakan langsung perihal itu pada kaisar? Aku akan bertanya secara jujur, sumoi, dan aku harap kaisar juga menjawab pertanyaanku dengan jujur. Juga aku ingin menemui Bi Nio, ada jalan keluar yang kuperoleh!"

Salima tertegun. "Apa itu?"

"Kelahiran bayi yang dikandung wanita ini; sumoi. Aku ingin melibat mirip siapa dia!"

"Ah,..." sumoinya terbelalak. "Bukankah tentu saja mirip kaisar. Kau aneh-aneh saja, suheng. Kau melakukan hal yang tidak ada gunanya!"

"Tidak, dengarkan dulu, sumoi. Pertama aku akan menemui kaisar, kedua aku menemui selir itu. Kutanya dia, kapan dia berbadan dua dan kapan Gurba-suheng meninggalkannya untuk terakhir kali!"

Salima bingung. "Untuk apa? Kau mau mencari kambing hitam?"

'Bukan begitu, aku ingin mengecek persoalan ini, sumoi. Aku ingin melihat benar tidaknya persoalan itu sebelum mengambil keputusan tetap!"

"Kalau begitu kau meragukan hal ini. Kau menaruh kecurigaan!"

"Hm, curiga sih bukan curiga, sumoi. Tapi kalau ada yang kuragukan memang benar. Kaisar adalah seorang bijak, bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan yang merendahkan bangsa kita itu? Aku jadi ragu mendengar persoalan ini. Karena itu aku ingin menemui kaisar dan bertanya secara terang-terangan saja!"

"Tak mungkin dia mau mengaku. Orang yang melakukan perbuatan buruk selamanya akan menyembunyikan perbuatannya itu"

"Aku dapat menyelidikinya pada Bi Nio, sumoi. Karena itu aku ingin pula menemui wanita ini...!"

"Gurba-suheng memang pembuat susah. Sialan wanita Han itu. Kalau saja mendiang suheng mau menikah dengan wanita sendiri tentu tak bakal ribut-ribut ini terjadi!"

"Ah, suheng mencintaimu, sumoi. Mana mau dia memilih wanita lain? Kalau bukan karena cintanya padamu tentu sepak terjangnya yang sesat itu tak akan terjadi. Sudahlah, orang yang telah tiada tak perlu kita caci lagi. Aku minta peodapatmu bagai mana kalau kuminta waktu seminggu lagi pada bangsa kita untuk ke kota raja."

"Aku setuju, tapi mereka tak tahu."

"Bagus, kalau begitu kupanggil dua pembantu kita itu lagi...!" Kim-mou-eng girang, memanggil Siga dan Bora yang segera menghadap.

Dua pemuda Tar-tar itu berseri karena wajah Kim-mou eng juga berseri. Jawaban tetap kiranya sudah diambil. Sebuah keputusan akan membuat bangsa Tar-tar menyerbu atau memanggil kaisar. Tapi ketika Kim-mou-eng menyatakan bahwa keputusan ditunda seminggu lagi karena pemimpin mereka itu hendak ke kota raja mendadak dua pemuda ini kecewa.

"Jadi taihiap hendak mengundur waktu?"

"Aku mundur untuk menentukan sikap terakhir, Siga. Tapi setelah itu aku berjanji untuk tidak mundur lagi."

"Kalau begitu kami harus melaporkannya kepada bangsa kami. Mudah-mudahan mereka mau menerima," dan Siga serta Bora yang mundur melaporkan keputusan Kim-mou-eng itu ternyata benar saja menimbulkan rasa tidak puas yang semakin besar pada suku bangsa Tar-tar. Menganggap Kim-mou-eng benar-benar lamban dan membuat mereka semakin tak sabar. Jiwa perang dan petualang yang besar membuat suku bangsa ini gatal tangan.

Tapi karena Kim-mou-eng memiliki wibawa kuat dan Pendekar Rambut Emas itu merupakan orang paling lihai di antara mereka maka dengan mendongkol dan menahan marah suku bangsa ini tunduk. Diam-diam geram namun tak dapat berbuat apa-apa, Kim-mou-eng memiliki kepandaian setingkat dengan mendiang pemimpin mereka yang lama, Gurba si Singa Daratan Tandus. Dan ketika hari itu juga Kim-mou-eng berkemas dan siap berangkat maka Salima, sumoinya yang mondar mandir itu mendadak minta ikut.

"Apa? Kau gila, sumoi? Tanpa kau di sini bangsa kita menjadi tak terkendali. Mereka takut kepadaku dan kepadamu. Kalau kita berdua pergi tentu mereka akan beringas dan bebas menyerbu kota raja! Tidak, kau tak boleh ikut, sumoi. Sekali ini kau harus tunduk padaku demi mencegah pertumpahan darah besar-besaran...!"

"Tapi aku tak sabar tanpa kau di sisiku, suheng. Aku merasa kesepian dan bakal sunyi seorang diri."

"Ah, bersikap dewasalah, sumoi. Tekan hasrat nafsu pribadi itu dan tunggu aku seminggu. Kukira tak sampai seminggu aku pasti datang."

"Baik, kalau kau melanggar janji jangan harap aku tinggal diam. Bangsa ini akan kutinggalkan dan kucari dirimu...!"