Pendekar Rambut Emas Jilid 27

Cerita Silat Mandarin serial pendekar rambut emas jilid 27 karya Batara
Sonny Ogawa

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 27
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"DESS!" Gurba terbanting mengeluh pendek. Raksasa ini mencoba bangkit berdiri, tak dapat. Roboh kembali dan Tok-gan Sin-ni terkekeh mengejarnya dengan satu lecutan rambut. Kali ini menotok leher Gurba dengan serangan maut, rambut itu berubah kaku seperti kawat baja. Tentu tewas Gurba kali ini.

Tapi bayangan keemasan yang tiba-tiba menyambar berkelebat menangkis serangan ini tiba-tiba sudah disusul satu bentakan nyaring yang membuat Tok-gan Si-ni terkejut. "Sin-ni, tahan seranganmu. Jangan mengobral maut!" dan rambut yang terpental bertemu lengan bayangan ini akhirnya menyadarkan Tok-gan Sin-ni akan kehadiran Kim-mou-eng.

"Ah!" Tok-gan Sin-ni melompat mundur, terkekeh gentar. "Kau mau apa?"

Kim-mou-eng bersinar-sinar, membentak geram, "Kau tak boleh membunuh siapapun, disini. Aku akan membunuhmu kalau kau tak tahu diri."

"Heh!" Coa-ong tiba-tiba tertawa, ingin mengadu kawannya. "Jangan kau takut, Sin-ni. Maju dan bunuh saja raksasa itu!"

Tapi pangeran mahkota yang tampil dengan muka merah ternyata membentak si Raja Ular ini, "Coa-ong, jangan membuat onar. Aku akan menangkap kalian kalau kalian tak tahu diri!" dan menghadapi ibu tirinya pangeran ini bertanya. "Ibunda selir, apa yang mau kau lakukan sekarang kalau tidak cepat memberikan ayahanda kaisar? Apakah perlu pertumpahan darah di sini?"

Sang selir terkejut. Memang dia harus mencegah orang-orangnya berbuat onar. Coa-ong dan teman-temannya tak boleh membuat marah pangeran mahkota yang sudah memberi kebebasan. Tapi melihat Wan Cu ada di situ bersama puteranya tiba-tiba Sien Nio tak puas, bingung tapi harus cepat mengambil keputusan. Dan karena urusan Wan Cu sekarang termasuk urusan intern dan dia harus menepati janji maka wanita ini menyerahkan kaisar dan menyuruh orang-orangnya mundur. Sekarang segala kebobrokannya terbuka. Gurba terang tak mau membantu lagi dan keadaan bisa berbahaya, kalau dia tidak cepat-cepat pergi. Maka begitu mengangguk dan tak ada urusan lagi di situ tiba-tiba Sien Nio meloncat ke dalam kereta memanggii puteranya.

"Pangeran, masuk. Kita pergi..."

Pangeran Muda tak banyak cakap. Dia sudah menarik Wan Cu menyusul ibunya, Coa-ong dan lain-lain menjaga di belakang. Kusir kereta dihardik. Dan begitu Sien Nio membentak membawa orangnya maka rombongan ini berderap meninggalkan pintu gerbang.

"Hyahh....berr....!"

Derap kuda mencongklang cepat. Sien Nio dan rombongannya susul-menyusul bergerak ketimur, tak ada orang mengejar. Dan ketika Kim-mau-eng dan lain-lain memandang kepergian rombongan ini dengan bermacam perasaan maka tak lama kemudian rombongan panjang itu hilang di balik tikungan. Banyak orang menghela napas, Bu-ciangkun dan teman-temannya menggeram mengepal tinju. Sungguh tak puas mereka. Tapi karena kaisar telah kembali dan perjanjian harus dipegang maka pangeran mahkota dan rombongannya akhirnya memasuki pintu gerbang, siap kembali ke istana dan menyadarkan kaisar. Tapi ketika kaisar sadar dan batuk muntah darah tiba-tiba semua orang terkejut.

"Mana dia? Mana si pengkhianat itu?"

Pangeran mahkota terbelalak. "Ibunda selir, telah pergi ayahanda. Kami membebaskannya demi keselamatan paduka!"

"Ah, tolol. Aku diracun. Tangkap dan bawa ke mari wanita iblis itu! Dia... dia..." dan kaisar yang terguling muntah-muntah tiba-tiba mengerang dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi. Kaisar mengaduh dan merintih tak keruan, perutnya melilit-lilit dan sebentar kemudian bergulingan bagai kerbau disembelih. Mukanya pucat kehijauan.

Pangeran mahkota dan Kim-taijin kaget. Sri baginda marah-marah dan menyuruh semua orang mengajar Sien Nio. Muntahnya kini bercampur batuk yang amat hebat. Dan ketika semua orang bingung dan marah dan kaisar roboh pingsan tiba-tiba Bu-ciangkun mengeprak seekor kuda mengejar rombongan itu!

"Cu-ciangkun, kejar si laknat jahanam itu. Biar tabib istana menolong keselamatan sri baginda sementara!"

Orang-orang ribut. Ini memang kemungkinan yang harus mereka lakukan, serentak Cu-ciangkun mengejar dan menyambar dua ekor kuda pula. Para pengawal dibentak mendapat perintah: Semua orang tiba-tiba meluruk keluar kota raja. Kaisar telah mendapat pertolongan seorang tabib dan dibawa ke istana. Dan ketika Kim-mou-eng dan sumoinya tertegun melihat semuanya ini tiba-tiba Kim-taijin telah menghampiri mereka.

"Taihiap. musuh rupanya benar-benar tak tahu malu. Tolong kau tangkap mereka dan bantu kami!"

"Baik, aku akan membekuk selir jahat itu, taijin. Tapi, eh.... mana suhengku?"

Ternyata Gurba menghilang. Kim-mou-eng dan Salima tak tahu kapan suhengnya itu pergi, dan Siga yang muncul dengan dada terangkat tiba-tiba berseru, "Kim-taihiap, kau kejar mereka duluan. Aku akan menyusul bersama anak buahku!"

Dan Bora yang juga datang menyiapkan pasukan tiba-tiba melompat di atas kudanya. "Benar, aku juga masih berurusan dengan para pemberontak itu taihiap. Kami akan membalas tipuannya dan mengejar mereka. Ayo!" dan Bora yang mencongklang bersama anak buahnya tiba-tiba bergerak mengejar Sien Nio.

Kim-mou-eng mengertak gigi. "Kau ikut, sumoi?"

"Tentu saja, kau belum sembuh, suheng mana bisa aku membiarkanmu sendirian?" Salima khawatir, cemas memandang suhengnya. "Atau aku saja yang mengejar mereka?"

"Tidak, kita boleh bersama, sumoi. Terkutuk benar selir itu. Mari kita berangkat!" dan Kim-mou-eng yang menyuruh Kim-taijin kembali menjaga kaisar dan menyambar sumoinya tiba-tiba berkelebat dan tidak menunggu waktu lagi untuk menunda pengejarannya,menyusul dan mendahului belasan ekor kuda yang ada di depan.

Para pengawal dan pasukan Tar-tar terbelalak. Tapi begitu melihat itulah Kim-mou-eng dan sumoinya tiba-tiba mereka menggebrak dan berteriak penuh semangat untuk membedal lebih cepat. Berusaha menyusul tapi tetap saja tak dapat. Orang-orang kagum. Dan ketika bayangan suheng dan sumoi itu lenyap di tikungan depan maka Kim-taijin bergegas kembali ke istana sambil menyuruh orang melaporkan sepak terjang pendekar itu.

Apa yang terjadi? Benarkah Sien Nio mencelakai kaisar? Hal ini memang benar. Sien Nio memang jahat, telah mencampuri racun dalam minumannya yang disuguhkan kepada kaisar. Melakukan hal itu ketika mereka berada di ruang bawah tanah. Tadinya bermaksud menghabisi kaisar kalau pihaknya tak dapat meloloskan diri. Pangeran mahkota tak memberi ampun umpamanya. Ingin mati bersama kalau pangeran mahkota bersikap keras. Biarlah jiwa kaisar ditukar jiwa mereka, kalau dia tak dapat melarikan diri. Tapi ketika pihak lawan bersikap lunak karena pangeran mahkota mencintai ayahandanya dan lebih berat ayahnya itu daripada yang lain-lain maka Sien Nio mendapat kebebasan dan lolos dari lubang jarum.

Sebenarnya, kalau lawan telah memberi ampun begini sudah semestinya Sien Nio menyembuhkan kasar. Tapi selir ini lupa. Ketegangan dan kegembiraan yang mereka alami membuat selir itu tak ingat perbuatannya. Apalagi kedatangan Wan Cu merusak suasana pihaknya. Geger di tempat itu bersama Gurba membuat wanita ini ingin cepat-cepat melarikan diri. Raksasa itu telah mengancam puteranya. Maka begitu melihat si raksasa terbanting oleh pukulan Sin-ni dan putera mahkota menyuruhnya pergi cepat-cepat, selir ini memasuki keretanya. Rombongannya mengikut di belakang.

Sien Nio cemberut dan tergesa gesa. Jelas ketidak senangan besar mengganggunya di sepanjang jalan, apalagi di dalam kereta dia harus duduk berhadapan dengan kekasih anaknya itu. Pangeran Muda memeluk Wan Cu. sementara Wan Cu masih terisak-isak. Dan ketika pandangan serta sorot matanya berapi-api memandang wan Cu tiba-tiba Sin ni muncul di jendela keretanya.

"Paduka selir, apakah kita terus melanjutkan perjalanan?"

Sien Nio terkejut. "Kenapa tanya? Bukankah kau tahu bahwa kita tak boleh berhenti?"

"Baiklah, kota raja telah cukup jauh, paduka selir. Tapi kalau paduka menghendaki terus biarlah perjalanan dilanjutkan," Tok-gan Sin-ni tersenyum, menutup tirai jendela dan lenyap lagi di luar.

Sien Nio tak merasa apa-apa karena seluruh pikirannya sedang tertuju pada Wan Cu. Dan sedang mencari akal bagaimana puteranya dapat berpisah dengan kekasihnya itu. Sungguh geram dia. Dan ketika perjalanan dilanjutkan dan kereta terus berderak-derak tiba-tiba Coa-ong ganti muncul di tirai jendela satunya.

"Paduka selir, kita hampir memasuki hutan. Apakah perjalanan diteruskan juga?"

"Tentu," Sien Nio marah. "Kenapa tanya lagi, Coa-ong? Bukankah kita belum tiba di tempat tujuan?"

"Tapi rombongan di belakang lelah, paduka sélir. Barang kali paduka..."

"Tidak, tak perlu barangkali lagi. Perjalanan diteruskan dan kau menjaga di belakang!" Sien Nio membentak, kali ini merasa jengkel dan Coa-ong lenyap di luar. Terdengar kekehnya yang aneh dan rombongan tiba di mulut hutan. Kereta terus bergerak tapi tiba-tiba terdengar suara mengaduh di depan. Kusir kereta terlempar dan Coa ong sudah menduduki bekas tempat duduk kusir itu. Sien Nio terkejut dan melongok ke luar. Dan ketika dia heran dan mau menegur mendadak kereta berhenti dan Coa-ong tertawa padanya.

"Paduka selir, kuda ini letih. Lihat dia roboh!" Coa-ong tiba-tiba menghantam kepala kuda, kuda meringkik dan tersungkur roboh. Tentu saja roboh karena kepalanya pecah ditampar Coa-ong! Dan ketika Sien Nio menjublak dan rombongan di belakang ikut berhenti maka Tok-gan Sin-ni dan murid-muridnya muncul mengelilingi kereta, tertawa-lawa.

"Apa ini? Kenapa Coa-ong membunuh kuda?" Sien Nio terkesiap, tiba-tiba sadar bahwa sesuatu yang tidak beres terjadi.

Pangeran Muda dan Wan Cu juga terkejut karena sikap pembantu-pembantu mereka itu ganjil sekali. Ada sikap mengancam pada gerak gerik dan pandang mata mereka. Dan ketika Sin-ni tertawa dan merenggut tirai kereta tiba-tiba wanita iblis itu menendang hancur roda kereta hingga kereta terguling roboh!

"Aih...!" Sien Nio dan semua yang ada di dalam terpekik. Mereka terpelantirg. Wan Cu dan Pangeran Muda berteriak, sepuluh peti harta yang ada di dalam berloncatan keluar, tumpang-tindih dan jatuh diatas tanah. Dan Sien nio yang menggigil berseru gusar tiba-tiba membentak, "Sin-ni, apa maumu ini? Kenapa kalian kurang ajar?"

"Hi hik!" Sin-ni terkekeh. "Mauku sama dengan maunya Coa-ong paduka selir. Bahwa perjalanan memang harus dihentikan dan kita berpisah!"

"Apa? Kalian....?"

Rambut To-gan Sin-ni menjeletar. Sien Nio telah dililit dan diangkat tubuhnya, wanita ini menjerit dan berteriak tertahan. Tapi ketika Sin-ni terkekeh-kekeh tak mau melepasnya maka iblis wanita ini menggerakkan sebuah kakinya mengangkat naik sebuah peti harta.

"Paduka selir, kau tentunya tak akan pelit memberikan sepuluh peti ini kepada kami. Bagaimana kalau kami memintanya baik-baik?"

"Ah, kalian mau merampok?"

"Aduh, jangan terlampau tajam, selir yang mulia. Kami tak merampok melainkan memintanya baik-baik kepadamu. Tentunya kau tak menolak, bukan?"

Sien Nio sadar. Sekarang dia tahu bahwa orang-orangnya ini kiranya membelot. Tok-gan Sin-ni dan murid-muridnya itu telah mengincar harta dan hendak merampas miliknya itu sebagai penukar nyawanya. Dan Sien Nio yang terbelalak sambil merintih tiba-tiba ditubruk puteranya yang marah kepada iblis wanita itu.

"Tok-gan Sin-ni, lepaskan ibuku...!" namun Tok-gan Sin-ni yang berkelit dan mundur selangkah tiba-tiba memutar kakinya menendang pangeran itu.

"Siauw-ongya, jangan kurang ajar kepadaku. Sebaiknya kau berdiri tenang-tenang di sana.... dess!" dan Pangeran Muda yang terjungkal berteriak kesakitan tiba-tiba diancam todongan pedang yang dilolos Leng Hwat.

"Pangeran, jangan kurang ajar kepada suboku. Kalian semua bisa kami bunuh!"

Pangeran Muda gemetar. Sekarang dia pucat, tahu bahwa orang-orang sesat ini mengincar hartanya. Mereka memang dapat dibunuh dan ibunya menangis. Sien Nio tak berdaya. Dan ketika Sin-ni terkekeh dan Leng Hwat siap menusuk pangeran itu maka Coa-ong ganti tertawa melangkah maju.

"Sin-ni, tusuk saja terggorokan lawanmu itu. Paduka selir tak butuh hidup asal puteranya selamat!"

"Tidak, jangan...!" Sien Nio menggigil. "Aku butuh hidup, Coa-ong. Jangan bunuh aku maupun puteraku. Aku...ooh!"

Sin-ni tiba tiba menggerakkan dua jarinya, Sien Nio berteriak karena mengira dua matanya akan dicoblos. Tentu saja dia terkesiap. Tapi ketika Sin-ni terkekeh dan menyambar kalung di lehernya, tiba-tiba wanita ini telah membanting sang selir yang mengaduh di atas tanah.

"Tak jelek, bagus.....!" Tok-gan Sin-ni tertawa-tawa memperhatikan kalung bermata intan itu, matanya bersinar-sinar. "Tapi yang lain harus kau serahkan padaku juga, selir. Berikan cincin dan seluruh perhiasan yang masih melekat di tubuhmu!"

Sien Nio pucat pasi. Dia tak berani membantah, tapi ketika matanya beradu dengan mata seorang perwira bawahannya tiba-tiba selir ini mengedip memberi tanda, menyuruh perwira itu menyerang sementara anak buah mereka yang lain terbelalak. Perbuatan Sin-ni dan Cao-ong ini memang mengejutkan semua orang. Tapi ketika selir ini mengedip dan sang perwira mengangguk tiba-tiba perwira itu membentak menyuruh pasukan pengawal menerjang.

"Serbu...!"

Tok-gan Sin-ni tiba-tiba diserang. Pasukan pengawal yang jumlahnya seratus orang menghambur ke depan, sang perwira sendiri sudah menubruk dan membacokkan goloknya. Anak buahnya yang lain menerjang Coa-ong dan Leng Hwat, juga Bu-kongcu serta adik-adik Leng Hwat yang nengelilingi kereta. Dua datuk sesat ini terkejut tapi terkekeh. Dan ketika golok dan pedang menghujani mereka dan Tok-gan Sin-ni menjeletarkan Rambut sekonyong-konyong si perwira berteriak ngeri karena goloknya patah sementara rambut wanita itu menusuk dahinya hingga tembus.

"Crat...augh!" Si perwira terjungkal. Dia langsung roboh dan tewas seketika, memang bukan tandingan Sin-ni.

Dan ketika Sin-ni melayang-layang dan terkekeh-kekeh melayani yang lain tiba-tiba tubuh tubuh berselimpangan dan banjir darah membasahi bumi. Tok-gan Sin-ni dan Coa-ong seolah berlomba membantai musuh, dua datuk sesat ini tampaknya gembira sekali membabat lawan.

Leng liwat dan Bu kongcu juga sama, masing-masing menghadapi lawan dan pengawalpun bergelimpangan. Semenit saja puluhan orang roboh binasa, pengawal yang lain gentar dan melarikan diri. Masing-masing kini berteriak melempar senjata mereka. Dan ketika pertempuran berhenti dan Coa-ong maupun Sin-ni membersihkan baju mereka yang penuh darah tiba-tiba Sien Nio dan dua temannya lenyap, termasuk sepuluh peti harta itu.

"Eh, kemana mereka?"

"Ha ha, ke mana lagi kalau tidak melarikan diri, Sin-ni? Ayo kejar dan cari mereka di mana mengumpat!"

Coa-ong sudah bergerak, tertawa dan tampak gembira menghadapi buruan ini. Buruan baru yang amat menarik. Dan Sin-ni serta yang lain yang lalu mengejar segera memasuki hutan karena di sanalah tentunya selir dan dua temannya bersembunyi.

Dan memang benar. Sien Nio dan anaknya memang melarikan diri. Ibu dan anak ini sudah membawa peti peti harta itu di saat ramainya pertempuran. Tentu saja mereka marah tapi gentar menghadapi Tok-gan Sin-ni, langsung memasuk hutan dan bersembunyi. Dan karena khawatir jejak mereka tertangkap dan Sien Nio gugup, maka Wanita ini mengajak mereka berpencar.

"Pangeran, kau bersembunyi di sana. Aku disini!"

"Ah, ibu mau berpisah?"

"Tak ada waktu, pangeran. Tak perlu tanya dan terus bersembunyi. Ayo, cepatlah. Kita lari, nanti ketemu di seberang dan kau bawa enam peti ini!" Sien Nio melemparkan enam peti harta ke arah puteranya, diri sendiri membawa empat dan terseok-seok memasuki semak gerumbul.

Anaknya tertegun tapi tidak membantah lagi. Pangeran Muda membagi petinya bersama Wan Cu. Masing-masing membawa tiga. Dan ketika mereka juga bersembunyi dan menyelinap di antara tanaman tanaman lebat akhirnya ibu dan anak sudah berpencar untuk menuju ke seberang hutan di mana mereka berjanji bertemu.

Tapi Sien Nio dan Pangeran Muda tak dapat bergerak cepat. Semak dan duri sering mengganggu selir ini, berkali-kali Sien No jatuh bangun dan robek-robek pakaiannya. Tak terasa kulitpun tergurat dan beberapa duri bahkan menancap di tubuhnya. Selir ini menggigit bibir. Tapi karena dia ingin selamat dan terus maju dengan keringat membasahi muka sekonyong-konyong seekor ular mengejutkannya di depan.

"Aih...." Sien Nio sudah terguling, ular menyambar dan tubuhpun dililit. Peti harta jatuh dan selir inipun pucat. Ular sudah memagut pundaknya dan selir ini mengeluh. Tapi ketika ia mencabut badiknya dan ingat senjatanya ini serta menikamnya berulang-ulang ke tubuh ular itu akhirnya diapun lolos dan jatuh terduduk dengan napas tersengal-sengal.

"Ular keparat. Ular jahanam....!" Sien Nio marah, melihat pundaknya terluka tapi untung ular itu tidak berbisa, kini menggeletak dan mati di sampingnya. Kalau tidak dalam keadaan darurat mungkin dia teringat pengawal. Kini semua harus diatasi sendiri dan terseok seok Sien Nio berlari lagi. Dia harus cepat-cepat keluar hutan di ujung sana. Dan ketika wanita ini jatuh bangun dan peti harta sudah diikat di belakang punggungnya mendadak kesiuran angin terasa disebelah kuduknya. Sien Nio tahu-tahu keserimpet dan roboh terguling, hampir menjerit tapi bangun lagi. Menoleh tapi tak melihat apa-apa, tengkuknya meremang. Dan ketika dia berlari lagi dan angin dingin itu menyambar tubuhnya tapi tak terlihat bayangannya tiba-tiba wanita ini jatuh terduduk mendesis ketakutan.

"Setan...” Sien Nio terbelalak. Dia tak melihat apa-apa di sekelilingnya, bangkit berdiri dan menggigil memandang kiri kanan. Entah kenapa punggungnya terasa enteng. Sien Nio terkesiap dan meraba ke belakang. Dan ketika ia melihat punggungnya kosong dan empat peti harta itu lenyap tiba-tiba wanita ini menjerit mendekap mulut sendiri.

"Siluman....!" Sien Nio hampir pingsan. Kekagetannya sungguh besar melihat empat peti hartanya hilang. Wanita ini roboh kembali. Tapi ketika ia mengeluh dan gagap tak dapat bicara tiba-tiba Pangeran Muda dan Wan Cu muncul.

"Ibu, peti hartaku hilang. Yang dibawa Wan Cu juga lenyap!"

Sien Nio terbelalak. Saat itu ia hampir tak dapat berkata-kata karena tenggorokannya seolah tercekik benda padat. Wan Cu dan puteranya telah menarik tangannya agar dia bangun berdiri. Sien Nio gemetar. Keringatnya menetes netes di selutuh tubuh. Anaknya terkejut melihat ibunya luka-luka, pundak berdarah digigit ular tadi, pakaianpun robek-robek tak keruan. Tapi Sien Nio yang melotot mendengar ini tiba tiba berteriak,

"Tidak, kau bohong, pangeran. Kau dusta...!" dan Sien Nio yang menerkam anaknya dan mencakar sana-sini tiba-tiba mengamuk dan membabi-buta menyerang anaknya, tentu saja anaknya terkejut dan Pangeran Muda menangkap lengan ibunya ini. Membentak dan terpaksa menampar ibunya. Dan ketika ibunya terguling dan roboh menangis maka Sien Nio mengguguk memaki-maki puteranya itu.

"Pangeran, kau tolol. Kau bodoh. Kau pasti menipu ibumu dan bersekongkol dengan wanita iblis ini!" Sien Nio menuding-nuding Wan Cu. Seketika membuat Wan Cu melotot dan marah pada ibu kekasihnya itu. Selir sial ini selalu mengkambing hitamkan dirinya. Tapi Pangeran Muda yang menggeleng mengerutkan alisnya justeru menegur ibunya itu.

"Kau terlalu, ibu. Masa dalam keadaan begini aku mau menipumu? Enam peti yang kubawa memang hilang, kami merasa dipermainkan siluman dan kini tak tahu harus berbuat apa!"

"Siluman....?" Sien Nio tiba-tiba terbayang, matanya meliar ke kiri kanan. "Kau bilang siluman, pangeran? Kalau begitu kita sama?"

"Sama apanya?"

"Peti yang kubawa juga lenyap pangeran. Aku juga merasa dipermainkan siluman dan terduduk di sini...!"

Pangeran Muda terkesiap. Sekarang dia melihat ibunya memang tak bersama empat peti harta itu. Habislah mereka, harta benda tak punya Jagi. Tapi ragu memandang ke sana kemari mendadak tawa yang aneh terdengar di sebelah kiri. Cepat mereka menengok, melihat siapa yang muncul dan masing-masing sama tertegun. Tapi begitu menghambur maju tiba-tiba ibu dan anak berteriak girang,

"Yu-busu...!"

Orang yang tertawa itu terbahak geli. Dia memang Yu-busu, laki-laki tegap, yang gagah namun berwatak kejam. Sien Nio dan Pangeran Muda merasa mendapat bintang penolong dengan kehadiran laki-laki ini. Yu-busu bisa dimintai tolong. Tapi ketika laki-laki itu mengelak dan Sien Nio serta puteranya terbelalak melihat sepuluh peti harta ada di belakang laki-laki ini mendadak Yu-busu berseru pada mereka, "Pangeran, di sini tak ada siluman. Yang mengambil peti peti itu adalah aku. Barang-barang berharga itu perlu diselamatkan agar tidak diserobot Tok-gan Sin-ni!”

"Ah...!" sang selir dan anaknya terkejut, tentu saja tak percaya. "Kau tak bohong, Yu-busu?"

"Apa..! Kau bilang aku bohong pangeran, keparat!" dan seketika sebuah tendangan mendarat di tubuh pangeran Muda itu, sang pangeran memang bukan lawannya dan kaki itu mendarat tepat tiba-tiba pangeran ini terbanting roboh dan berteriak kesakitan. Pemuda itu terguling-guling. Wan Cu menjerit menubruk tubuh kekasihnya. Tapi bayangan Yu-busu yang menyambar mendahului tahu-tahu telah mencengkeram pundaknya menahan wanita cantik ini.

"Wan Cu, kau ikut aku!"

Wan Cu terkejut, tentu saja meronta dan membentak bekas pengawal itu, menendang dan menampar tapi sia-sia. Yu-busu tertawa memperkeras cengkeramannya. Dan ketika Wan Cu mengeluh dan lemas di bawah jari-jari lelaki ini maka Yu-busu sudah memutar tubuhnya menyambar pula sepuluh peti harta yang ada di situ, melompat pergi.

"Pangeran, kaupun mengalahlah sekali ini kepadaku. Aku ingin bersenang-senang dengan kekasihmu juga.”

"Tidak, jangan...!" sang pangeran tentu saja marah, bangun melompat berteriak-teriak mengejar lawannya. Wan Cu diseret dan Yu-busu pun gembira. Pangeran Muda mengejar di belakang dan marah-marah memaki bekas pengawalnya itu. Dan karena Wan Cu juga meronta-ronta merepotkan Yu-busu hingga tak dapat lari cepat tiba-tiba Bu-kongcu dan muncul membentak laki-laki ini.

"Yu-busu, lepaskan wanita itu!"

Yu-busu terkejut. Murid Coa-ong itu menyerangnya, beberapa bayangan tiba-tiba juga muncul dan Leng Hwat serta adik-adiknya membantu Bu kongcu. Dia diserang oleh tujuh lawan sekaligus. Tentu saja Yu-busu kelabakan. Dan ketika dia melepas Wan Cu dan mereka menghadapi anak-anak muda ini segera Yu busu mengeluarkan suling dan tongkatnya.

"Bu-Kongcu, kita kawan, bukan lawan!"

"Tapi kau melarikan peti peti harta itu, Yu-busu. Kau jelas lawan bukannya kawan!"

"Tapi kita, ah...!" Yu-busu menghentikan seruannya, membentak dan menangkis hujan senjata yang dilancarkan Bu Ham dan kawan-kawannya. Enam batang pedang berkelebatan di sekeliling busu ini, ditambah kipas dan pukulan tangan kiri Bu Ham yang membuat Yu busu melengking, Laki-laki ini terdorong, beberapa serangan pedang menggores kulitnya. Dan ketika Bu Ham membentak dan menyuruh teman-temannya memperhebat serangan dan busu ini terdesak maka ketukan kipas mengenai pundak laki-laki ini sementara pedang di tangan Leng Hwat juga melukai pangkal lengannya.

"Crat-dess!" Yu-busu melempar tubuh bergulingan. Laki.-laki ini berteriak membebaskan totokan, marah bukan main dan melihat bayangan Leng Hwat dan adik-adiknya mengejar, Bu-kongcu pun melesat dengan pukulan tangan kirinya. Bacokan dan tikaman kembali memburunya tanpa ampun. Dan karena marah dikeroyok sekian banyak dan keadaannya amat berbahaya tiba-tiba busu ini melepas jarum-jarum beracunnya dan melempar sebuah granat tangan.

"Awas....!" Bu Ham berteriak, terkejut dan memperingatkan teman-temannya agar menjauh. Ledakan granat itu bisa membahayakan mereka di samping hamburan jarum-jarum beracun. Bu Ham sendiri sudah berjungkir balik menangkis serangan jarum dengan pelor-pelor rahasianya, terpaksa membatalkan pukulan dan menarik serangannya itu. Tapi Leng Hwat dan adik adiknya yang lambat mengelak dan terlanjur membacok dan menikam tiba-tiba berteriak Ngeri dan roboh terpelanting ketika pecahan granat dan beberapa jarum mengenai mereka,

"Aduh....!"

Leng Hwat terbanting bergulingan. Murid terlihai Tok-gan Sin-ni ini menjerit karena pecahan granat merobek pahanya, lima adiknya yang lain terjengkang dan putus sebagian badannya. Dua di antaranya tewas. Bu ham terbelalak. Dan ketika Yu-busu sendiri di sana mengeluh dan tampaknya juga terluka oleh serangan pedang Leng Hwat dan adik-adiknya tadi mendadak Tok-gan Sin-ni muncul berkelebat pesat.

"Orang she Yu, kau berani membunuh murid-muridku?"

Yu-busu terkejut. Lawan sudah menyerangnya dan menjeletarkan rambut. Tok-gan Sin-ni mengerahkan Sin mauw-kangnya, rambut melecut dan menyambut laki-laki ini. Ratusan rambut kaku meledak bagai kawat-kawat baja, tentu saja membuat laki laki ini terkesiap dan menggulingkan tubuhnya. Yu-busu mengelak tapi rambut masih mengejar. Dan karena Tok gan Sin ni terarah dan Yu-busu tak sempat melompat bangun maka Yu-busu mengerahkan tongkatnya menangkis sambil bergulingan.

"Kraak!" Yu-busu kembali mengeluh. Tongkatnya hancur menangkis rambut lawan yang kaku, rambut itu telah diisi getaren sinkang oleh Tok-gan Sin-ni yang marah. Wanita ini kembali menyerang dan Yu-busu kembali menangkis, kali ini menggerakkan sulingnya. Tapi ketika suling juga hancur dan Yu-busu berteriak gentar maka bertubi-tubi Tok-gan Sin-ni melepas pukulannya yang membuat laki-laki itu bergulingan ke sana ke mari. Yu-busu pucat berkaok-kaok, lawan memang amat lihai sementara dia sudah terluka. Dan ketika rambut mulai menghajarnya berkali-kali dan tubuh laki-laki ini mengeluarkan darah mendadak Coa-ong muncul berteriak marah.

"Sin-ni, jangan kau kurang ajar....!" si Raja Ular itu menubruk, tentu saja tak membiarkan lawan menghajar sutenya. Ganti Tok-gan Sin-ni mendapat serangan kakek ini. Coa-ong mengeluarkan tongkat dan sulingnya, mainkan Sin-coa-kun sementara tubuh meliuk-liuk bagai ular menari. Lawan terkejut dan memaki-maki kakek ini.

Dan ketika dua orang itu bertempur dan rambut serta tongkat maupun suling saling sambar dan keduanya terlibat pertempuran sengit maka Yu-busu yang terhuyung berdiri tiba-tiba menyambar sepuluh peti harta yang têrgeletak di tanah. "Suheng, bunuh wanita itu. Nanti kita bagi hasil"

Yu-busu memutar tubuh. Dia melarikan diri terpincang-pincang, Coa-ong tertawa dan menghadang larinya lawan, Tok-gan Sin-ni hendak mengejar dan menyerang sutenya itu. Tapi Bu kongcu dan Leng Hwat yang masih dapat berdiri dan tidak membiarkan lawan membawa harta yang luar biasa banyak itu tiba-tiba melompat dan menyerang laki-laki ini.

"Yu-busu, kau tinggalkan peti-peti harta itu!" Bu kongcu sudah menggerakkan kipas, berkelebat dan menotok tengkuk lawan dengan kecepatan kilat.

Yu-busu membalik dan menangkis serangan itu. Tapi karena dia terluka dan tenaga pun lemah tiba-tiba dia terpental dan terhuyung ke belakang. Dan saat tu Leng hwat pun menyambar, pedang di tangannya bergerak gemetar membabat leher lawannya ini. Yu-busu merendahkan kepala menghindar, tongkat dan suling tak ada lagi di tangannya, tentu saja dia kesulitan. Dan ketika lawan kembali menyerang dan dia melempar granat keduanya tiba-tiba lawan terpaksa mundur dan dia melarikan diri.

"Kejar..!" Bu Ham terkejut berseru pada Leng Hwat, tak mau melepas lawan karena Yu-busu membawa harta. Asap tebal membuat pemuda ini memaki dan harus berputar. Yu-busu senang karena merasa terlindung. Tapi ketika laki-laki itu tersaruk melarikan diri dan lupa sudah pada Wan Cu yang tadi diajaknya tiba-tiba suara kekeh di depan membuat laki-laki ini mencelos karena Sai-mo-ong muncul.

"Heh-heh, serahkan padaku, Yu-busu. Kau robohlah dan mundur!" sebuah kipas tiba-tiba mengebut, Mo-ong menampar dan menghadang laki-laki ini.

Yu-busu berteriak dan menangkis. Tapi karena kedudukan sudah tak menguntungkan dan Mo-ong jauh lebih lihai dibanding muridnya maka Yu-busu terbanting dan peti itupun jatuh berceceran. "Hêi...!" Yu busu marah, mencabut granat ketiganya dan melemparkannya kepada Mo-ong. Granat itu bakal membunuh lawan, itulah satu-satunya senjata yang dimiliki Yu-busu sekarang.

Tapi Mo-ong yang bergerak sebat menangkap granat dan balik menimpukkannya kepada lawan tiba-tiba membuat Yu-busu memekik ngeri hingga menggema di seluruh hutan

"Darr!" Orang melihat serpihan tubuh terlempar di udara. Darah muncrat berhamburan, tubuh Yu-busu terpotong-potong dan tentu saja tewas seketika.

Mo-ong terkekeh dan saat itu muridnya dan Leng Hwat tiba, sepuluh peti sudah berada di tangan kakek iblis ini. Bu-kongcu diajak lari. Tapi ketika si iblis memutar tubuh dan siap membawa sepuluh peti harta sekonyong-konyong Sin-ni dan Coa-ong muncul, mendengar jerit mengerikan Yu-busu tadi.

"Mo-ong, kau jahanam keparat...." Coa-ong sudah menerjang, menyerang temannya sendiri dan Tok-gan Sin-ni juga mengelebatkan rambutnya, menotok dan melecut si kakek iblis yang membunuh Yu Hak.

Mo-ong tentu saja menangkis dan Tok-gan Sin-ni memaki-maki dirinya. Raja Singa ini sibuk dan memaki-maki lawannya pula. Tapi karena dia harus menghadapi dua lawan sekaligus sementara peti-peti harta itu juga merepotkannya karena lengan harus menangkis sini maka Mo ong tiba-tiba melemparkannya pada muridnya.

"Bu Ham, terima ini. Lari....!"

Bu-kongcu tersentak. Gurunya sudah mengikat sepuluh peti harta itu menjadi satu, gampang dibawa tapi Tok-gan Sin-ni tiba-tiba mengejarnya. Coa-ong masih menyerang lawan karena tewasnya Yu-busu menimbulkan dendam. Tentu saja Bu Ham terkejut karena rambut Tok-gan Sin-ni pun menyambar dirinya, dia harus minggir. Dan ketika Bu Ham mengelak dan gerakannya kalah cepat tahu tahu peti harta itu telah direnggut Tok-gan Sin-ni yang terkekeh kekeh menyambar muridnya.

"Leng Hwat, ayo pergi...!"

Leng Hwat disendal gurunya. Tok-gan Sin-ni telah melarikan diri membawa sepuluh peti harta itu, Mo-ong berkaok-kaok dan memaki muridnya habis-habisan. Coa-ong juga terkejut melihat kejadian itu, rupanya harta kaisar ini sempat memecah konsentrasinya untuk menunda serangannya terhadap Mo-ong.

Tok-san Sin-ni menganggap si Raja Ular itu akan memberesi dulu urusannya bersama Mo-ong, tak tahu bahwa Raja Ular inipun akan mencegahnya bila dia membawa harta pusaka itu. Maka begitu Mo-ong berteriak-teriak dan membujuk lawannya agar mengejar dulu si wanita iblis tiba-tiba Coa-ong membalik dan meluncur menghentikan Tok-gan Sin-ni. Ternyata harta lebih berharga daripada dendam!

"Sin-ni, jangan kau bawa lari harta itu....!" Coa-ong mengejar, tongkat ditimpukkan dan serangan ini mendahului bayangan si Raja Ular. Mo-ong juga merebut dan berkelebat ke depan, membentak agar lawan berhenti.

Dan karena serangan tongkat terlalu berbahaya dan Sin-ni berkelit tiba-tiba tanpa sengaja Leng Hwat yang digandeng lengannya ganti menduduki posisi wanita iblis ini, tertarik, menerima serangan tongkat. Tentu saja Leng Hwat berteriak dan ngeri merasa desir angin di belakang punggungnya itu, tak dapat mengelak karena gurunya mencekalnya. Dan ketika tongkat ganti sasaran dan Sin-ni sadar setelah terkejut maka Leng Hwat ditembus lontaran tongkat yang luar biasa kuat.

"Cep-aughh...." Leng Hwat langsung terjungkal. Murid wanita ini tewas, Coa-ong terbelalak tapi terkekeh. Tongkatnya menancap di belakang punggung tembus sampai ke depan.

Sin-ni marah dan melepas muridnya itu. Dan ketika bayangan Mo-ong juga menyusul dan menyambar dengan kipasnya tiba-tiba wanita ini kalap membentak lawan. "Coa-ong. kau jahanam keparat!" Tok-gan Sin-ni menangkis serangan Mo-ong, rambut menjeletar dan menuju ke alis mata si Raja Ular.

Coa-ong mengelak dan Sin-ni sudah menyerangnya bertubi-tubi. Kini keadaan berbalik dengan Sin-ni bagai pihak yang dikeroyok, Mo-ong tertawa-tawa dan gembira melihat kemarahan rekannya itu, karena kematian Leng Hwat. Dan ketika Coa-ong membalas dan Mo-ong juga menggerakkan kipas dan mainkan Hek-sai-mo-hoatnya mencecar lawan tiba-tiba Tok-gan Sin-ni terdesak karena terlalu berat menghadapi dua lawan sekaligus yang kedudukannya berimbang.

"Jahanam, kalian manusia-manusia tengik!" Tok-gan Sin-ni marah marah, menangkis dan mulai mengelak karena dipaksa bertahan, kini menggerakkan rambutnya yang nyaring meledak-ledak. Keadaannya berbahaya dan Mo-ong gembira bukan main. Sepuluh peti di tangan wanita itu masih belum dilepaskan karena Sin-ni rupanya nekat, hal ini sebenarnya menghalangi gerakan wanita itu untuk menghadapi lawan. Dan ketika Sin-ni keteter sementara Mo-ong dan Coa-ong terus mendesak tak kenal ampun tiba-tiba kipas memberebet mengenai bahu lawan.

"Plak!" Tok-gan Sin-ni terhuyung. Mo-ong mengejar dan Coa-ong menggerakkan sulingnya, menotok leher lawan membuat Tok-gan Sin-ni gugup. Dan karena saat itu kedudukannya demikian buruk dan Tok-gan Sin-ni tak dapat mengelak kecuali menangkis tiba-tiba wanita ini menggerakkan rambutnya dan saat itu melepas jarum jarum rahasianya.

"Awas....!" Mo-ong dan Coa-ong merendahkan kepala. Jarum-jarum yang kebawah dipukul runtuh oleh suling atau kipas mereka.

Tok-gan Sin-ni melengking dan kembali menghamburkan jarum jarumnya. Kali ini belasan jarum meluncur menyambar lawan. Tapi ketika Mo ong dan Coa ong kembali memukul runtuh dan Tok-gan Sin-ni kehabisan jarum tiba-tiba suling menyelinap menghajar pangkal lengannya.

"Dess!" Tok-gan Sin-ni terpelanting. Kemarahan wanita ini tak dapat dikatakan lagi, kematian Leng Hwat membuat dia mendelik pada Mo-ong. Maka ketika Coa-ong memburu dan Raja Ular itu terkekeh menyusuli serangannya tiba-tiba wanita ini memekik menggerakkan rambutnya. Suling yang menyambar disambut ratusan kawat baja, rambut Tok-gan Sin-ni yang sudah berobah kaku penuh tenaga sinkang. Dan ketika Coa-ong terkejut dan berteriak kaget tahu-tahu lengan Tok-gan Sin-ni menghantam dadanya dengan pukulan penuh.

"Des-plak!" Coa-ong terkejut setengah mati. Dia terpaksa menangkis dan menggerakkan lengannya pula, dua tangan saling melekat dorong mendorong. Masing-masing mengerahkan tenaga untuk merobohkan yang lain. Tapi Mo-ing yang sudah berkelebat di belakang Sin-ni dan girang melihat adu sinkang itu tiba-tiba membokong dan menghantam wanita ini dari belakang.

"Sin ni, mampuslah kalian berdua.....!"

Tok-gan Sin-ni terbelalak. Saat itu mereka lagi tak bergeming, suling dilibat rambut sementara kedua lengan mereka dorong mendorong. Masing-masing mengerahkan sinkang untuk mencapai kemenangan. Maka begitu Mo-ong menghantam dirinya dan pukulan mendarat dahsyat tiba-tiba Tok-gan Sin-ni mengeluh dan Coa-ong mencelat terlempar, muntah darah dan seketika melotot pada si Raja Singa itu.

Pukulan Mo-ong di belakang Sin-ni memberikan tambahan tenaga dahsyat bagi si wanita iblis, Coa-ong dihantam dua tenaga sekaligus. Tentu saja tak kuat dan kontan terjengkang, menuding nuding tapi akhirnya roboh terkapar. Darah keluar dari semua lubang tubuhnya, tewas. Dan ketika Sin-ni terhuyung didorong dari belakang tiba-tiba kipas di tangan Mo-ong mengebut dan menotok ubun-ubun wanita ini.

"Tak!" Tok-gan Sin-ni pun roboh. Wanita ini terguling dengan otak hancur di dalam, tak ada darah keluar tapi nyawa pun melayang seperti Coa-ong. Mo-ong membunuh mereka berdua dengan keji. Dan ketika dengan tawa bergelak Mo-ong menyambar harta yang jatuh di tanah dan Bu Ham terbelalak melihat semuanya itu tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menggeram dibelakang pemuda ini.

"Mo-ong, letakkan kembali peti-peti harta itu!" Gurba muncul, menotok sekaligus melumpuhkan Bu Ham yang tentu saja terkejut bukan main, bengong memandang gurunya yang baru membunuh dua lawan. Tak dapat bergerak dan tiba-tiba roboh di bawah ancaman Gurba. Dan ketika Mo ong terkesiap dan melepas peti peti harta itu dengan mata melotot maka Sien Nio muncul berseru girang.

"Bagus, bunuh mereka, Gurba. Biarkan milikku itu kembali padaku!"

Gurba mendengus. Sien Nio menghampirinya dengan berlari lari kecil. Gurba menendang dan Sien Nio tiba-tiba mencelat, mengaduh dan saat itu Pangeran Muda dan Wan Cu muncul, terkesiap dan hendak mundur tapi Gurba telah melihat mereka. Raksasa itu menggeram, Wan Cu tertegun dan Gurba memandangnya dengan amat marah. Pandangan raksasa itu seakan membakar wanita ini. Tapi Mo-ong yang bergerak melihat Gurba mengalihkan perhatian tiba-tiba melompat dan menyerang raksasa itu dengan totokan kipasnya.

"Plak!" Gurba menangkis, mendengar kesiur angin dan membentak memakı Mo-ong. Sang iblis tertawa dan secepat kilat sudah menyusuli serangannya dengan putaran kaki. Gurba terhuyung dan terpaksa berkelit, kalah kuat dan terpental.

Bu Ham terlepas dan otomatis Mo-ong telah membebaskan pemuda itu dari totokan Gurba. Dan ketika Gurba mendelik dan marah-marah memaki iblis itu maka Mo-ong berseru pada muridnya, "Sekarang pergilah bawa harta itu, Bu Ham Biar aku menghadapi raksasa yang ompong...!"

Mo-ong terbahak, girang dan berkelebat menyerang karena dilihatnya Gurba amat lemah. Bahwa tangkisan raksasa tadi menunjukkan sinkang raksasa ini merosot jauh tanda dari luka parah itu belum sembuh. Gurba memang masih tergetar oleh bekas pukulan Kim-mou-eng. Ketika Mo-ong menyerang dan bertubi tubi menggerakkan kipasnya mengebut dan menotok serta melancarkan pukulan-pukulan tangan kirinya tiba-tiba Gurba terdesak dan jatuh bangun menggeram-geram.

Raksasa ini memang belum sembuh. Pertempurannya dengan Kim-mou-eng amat merugikan diri sendiri, apalagi kemudian ditambah dengan hajaran Tok-gan Sin-ni yang membuat dia semakin lemah. Hanya kekerasan hati dan kekuatan tubuhnya sajalah yang membuat raksasa ini dapat melakukan pengejaran, sebenarnya mengincar Wan Cu tapi mendapatkan Mo-ong.

Sepuluh peti harta itu dibawa lari dan Mo-ong membunuh dua rekannya dengan keji. Dan karena Mo-ong juga berkali-kali membuatnya sakit hati dan iblis ini tak mungkin dia biarkan maka dia membentak dan menangkap murid kakek iblis itu, tak disangka kehadiran Wan Cu dan Pangeran Muda memecah perhatiannya, Mo-ong mempergunakan kesempatan itu dan kini Bu Ham lepas. Gurba marah sekali.

Tapi karena dia lemah dan serangan serangan Mo-ong demikian gencar mendesaknya tanpa ampun maka satu dua pukulan mulai diterima Raksasa ini hingga Gurba mengeluh. Dia mundur. mundur dan selalu terpental setiap kali menangkis,dada semakin nyeri dan napaspun kian sesak. Gurba sadar tak mungkin dia menang. Dan ketika pukulan demi pukulan menghujani dirinya dan Gurba jatuh bangun akhirnya satu kebutan kipas membuat dia roboh terbanting terguling-guling.

"Bress!" Gurba melontakkan darah. Dia bangkit lagi menerima pukulan lagi, terjungkal dan kian lemah menghadapi lawannya. Bu Ham sudah melarikan sepuluh peti harta atas suruhan gurunya. Gurba mendelik dan saat itu Sien Nio berteriak-teriak, mengejar dan kemudian disusul Pangeran Muda dan Wan Cu. Tentu saja raksasa ini melotot tapi tak dapat berbuat apa-apa. Tapi ketika Gurba tak dapat bangun lagi dan Mo-ong tertawa bergelak hendak menurunkan satu pukulan maut tiba-tiba Kim-mou-eng muncul membentak menangkis pukulan kakek ini.

"Mo-ong, jangan bersikap keji....!" dan Kim-mou-eng yang menyambut menyelamatkan suhengnya dengan pukulan Tiat-lui-kang tiba-tiba membuat Mo-ong terpental tapi Kim-mou-eng sendiri juga terhuyung. Nyata pendekar ini belum begitu kuat karena dia juga belum sembuh benar, memang keadaannya lebih baik dibanding Gurba karena Salima telah menyalurkan sinkangnya pada suhengnya ini. Tidak seperti Gurba yang menderita menahan sakit tanpa bantuan siapapun.

Mo-ong terbelalak tapi dapat melihat kelemahan Kim-mou-eng pula terbahak dan tidak takut karena kekuatan lawan tidak seperti dulu. Dia tidak gentar. Tapi ketika dia hendak menerjang dan membunuh Kim-mou-eng mendadak di tempat lain terdengar jeritan muridnya dan Bu Ham terjengkang, sesosok bayangan melengking tinggi, Bu Ham ditampar dan muridnya terguling-guling. Sepuluh peti harta terlepas berhamburan dipungut Sien Nio dan dua temannya, bagai anjing kelaparan menemukan tulang-tulang berserakan, ibu dan anak berebut sambil bersorak, Salima muncul. Dan ketika gadis itu berkelebatan dan Bu Ham jatuh bangun dihajar gadis ini akhirnya Bu Ham berteriak-teriak pada gurunya.

"Suhu, tolong...."

Mo-ong pucat. Tiba-tiba dia melihat keadaan tidak menguntungkan. Kehadiran Salima membuat dia geram. Kim-mou-eng tegak melindung suhengnya sementara Bu Ham terus kepontal-pontal menghadapi pukulan Salima. Tamparan dan tendangan gadis itu membuat pemuda ini babak belur, Bu Ham memanggil-manggil gurunya. Da ketika satu pukulan telak mengenai tengkuk Bu Ham dan muridnya itu roboh tiba-tiba Mo-ong membentak meloncat tinggi, meninggalkan Kim mou-eng dan menyerang Salima. Kipas dan tangan kiri bergerak menyambar gadis Tartar ini. Tapi Salima yang membalik dan menangkis serangan tangan ini tiba-tiba menggerakkan kedua lengan mengerahkan Tiat-lui-kang.

"Krak dess?" kipas di tangan si kakek hancur. Mo-ong mengeluh terlempar setombak, Salima juga terhuyung beberapa tindak. Tapi ketika Mo-ong bangun berdiri dan memaki gadis itu mendadak tubuhnya melesat menyambar sang murid yang pingsan di atas tanah.

"Tiat-ciang Sian-li, kau berhutang satu kipas kepadaku. Awas lain kali..." dan si kakek yang terbang memutar tubuh tiba-tiba berkelebat meninggalkan hutan. Sepuluh peti harta tak diingatnya lagi karena sudah dibawa lari Sien Nio, bersembunyi bersama puteranya. Kim-mou-eng tegak memandang sumoinya yang baru menyelesaikan pertempuran, menarik napas dalam.

Tapi ketika sumoinya bertanya ke mana Twa suheng mereka mendadak Kim-mou-eng tertegun. Gurba lenyap. secara diam-diam. Dan Kim-mou-eng yang tercekat mengenal kekerasan subengnya tiba-tiba mengajak sumoinya mencari.. "Tentu mercari Wan Cu. Ayo kita cari!"

Kim-mou-eng memang benar. Raksasa ini memang mengejar Wan Cu dan Pangeran Muda, terseok seok mendekap dada mencari dua orang yang dibencinya ini. Mereka tadi menghilang disebelah kanan, ketika sumoinya menghajar Bu Ham dan sutenya terbelalak membelakangi dirinya. Gurba beringsut menjauhi Kim-mou-eng. Dan ketika dia mengejar dan di luar hutan terdengar derap ramai dari ratusan kuda dan saat itu teriakan di sana sini mengisi isi hutan karena rombongan Bu-ciangkun dan lain-lainnya datang maka di pihak lain Sien Nio gelisah melarikan diri.

"Cepat, cepat pangeran, musuh rupanya telah sampai mengepung kita!"

Sien No kebingungan. Mereka bertiga menerobos sana-sini, arah tak dapat ditentukan lagi karena mereka sudah di tengah hutan. Diam-diam marah dan gemas atas gangguan Tok-gan Sin-ni dan kawan kawannya tadi, Sien Nio menerabas dan pokoknya mencari jalan keluar. Tapi ketika mereka tersesat dan sebuah jurang menghadang di depan mendadak Sien Nio merandek dan berdiri menggigil.

"Keparat, kita tak dapat melampaui jurang ini. Satu-satunya jalan hanya menuruni tebingnya dan merayap di seberang sana!"

Pangeran Muda pucat. Mereka tak mendapat pilihan lain, diam-diam menyesal kenapa dia tak melatih ginkang ilmu meringankan tubuh Kalau dia memiliki ginkang tentu mudah dia melompati jurang itu, yang ditaksir lebarnya tak kurang dari sepuluh meter. Dalamnya tak diketahui karena mereka tak dapat mengira-ngira. Dan ketika ibunya bingung dan Pangeran Muda pucat maka Wan Cu, sudah menyingsingkan lengan bajunya mendukung pendapat Sien Nio.

"Benar, satu satunya jalan hanya merayap turun. Kecuali kalau kita mempunyai tambang sebagai jembatan darurat!" Wan Cu sudah bersiap-siap, mau menuruni tebing tapi tiba-tiba terpekik. Beberapa ular hijau menempel di dinding jurang. Mereka mendesis-desis memandang tiga orang ini. Kiranya berisik di atas membangunkan ular ular itu. Dan ketika Wan Cu tertegun dan sang selir juga terkejut maka geraman di belakang lebih membuat mereka pucat lagi.

"Paduka selir, kalian tak dapat lari!"

Gurba muncul dengan muka beringas. Raksasa in datang dengan kaki terhuyung, tubuh setengah membungkuk karena Gurba selalu mendekap dadanya. Rambutnya, awu-tawutan, jelaga dan tanah kotor membuat mukanya lebih menakutkan lagi. Wan Cu dan Pangeran Muda tersentak. Dan ketika Gurba tiba di tempat itu dan raksasa ini tertawa aneh maka pandangannya menuju pada Pangeran Muda dan Wan Cu.

“Wan Cu, kau harus mati. Begitu pula penipu ini"

"Tidak, jangan...!" Sien Nio tiba-tiba menjerit, "Kau boleh bunuh Wan Cu, Gurba. Tapi jangan anakku!"

Gurba mengibas. Dia membuat Sien Nio terpelanting dan roboh mengaduh. Wan Cu terbelalak dan benci memandang ibu kekasihnya itu. Dalam keadaan seperti itupun ibu kekasihnya demikian keji. benar-benar tak menghargai jiwanya dan mengharap dia dibunuh. Tapi Pangeran Muda yang rupanya benar-benar mencintai Wan Cu dan marah kepada Gurba tiba,tiba membentak melompat maju.

"Tidak, siapapun tak boleh membunuh Wan Cu ibu. Dia kekasihku dan aku mencintainya, Gurba inilah yang tak tahu malu, mengejar-ngejar wanita yang menjadi milik orang lain. Keparat!" dan sang pangeran yang menerjang memungut sebatang kayu menghantamkannya kepada Gurba tiba-tiba memekik dan menyerang membabi buta, mengayun kaki dan tangannya pula memukul dan menendang.

Gurba mengelak tapi beberapa pukulan mendarat di tubuhnya. Raksasa ini menggereng. Dia memang lemah tapi tak perlu khawatir menghadapi pukulan-pukulan lawan, hanya kekuatan luar yang membuat pakaiannya robek robek, tak bakal mematikan karena Pangeran Muda tidak memiliki ilmu silat yang baik. Apalagi seperti Mo-ong misalnya. Dan ketika pukulan dan tendangan menghujani berulang-ulang dan Gurba menangkis senjata di tangan lawan tiba-tiba kayu yang dipegang Pangeran Muda patah.

"Krakk!" Gurba membuat lawan terkejut. Raksasa itu terhuyung melangkah maju, dua lengannya tahu-tahu menangkap pinggang sang pangeran. Begitu cepat dan luar biasa, maklum, Gurba tak kehilangan ilmu silatnya kecuali tenaganya saja atau sinkangnya itu. Dan ketika dia mengangkat dan membanting tubuh lawan tahu-tahu pangeran itu mengaduh dan roboh terkapar di tanah yang keras.

"Bluk...” pangeran itu seakan dibanting belalai seekor gajah. Kekuatan Gurba masih terlalu kuat baginya, pangeran ini mengeluh dan tidak dapat bangun berdiri. Gurba tahu-tahu menginjak punggungnya dan menarik tangan kirinya, ditekuk dan disentak ke belakang. Dan ketika terdengar suara "krek" yang mendirikan bulu roma dan sang pangeran menjerit tahu-tahu lengan pangeran ini sebelah kiri patah menjadi dua.

"Aduhh..!"

Sien Nio dan Wan Cu terpekik. Tiba-tiba dua orang wanita ini menyerang Gurba. Sien Nio mencabut badiknya sementara Wan Cu mempergunakan kaki tangannya belaka. Dua-duanya ingin menyelamatkan Pangeran Muda. Tapi Gurba yang menangkis dan mementalkan mereka tertawa mengejek keduanya membuat sang selir roboh dan Wan Cupun terguling-guling.

"Paduka selir, anakmu harus kubunuh!”

“Jangan....!" Sien Nio melompat maju, menyerang lagi tapi kembali terpental. Gurba tak mempan menerima pisaunya. Dan ketika Wan Cu terbelalak dan Sien Nio pucat mendadak tanpa disangka-sangka selir ini menikam dada Wan Cu sebagai penukar jiwa puteranya.

"Gurba, lihat apa yang kulakukan. Wanita yang kau benci ini kubunuh.... cepp!" dan pisau yang menancap di dada Wan Cu hampir amblas ke gagangnya tiba-tiba membuat Wan Cu mengeluh dan roboh terguling. Darah muncrat mengejutkan Gurba dan Pangeran Muda sendiri. Sien Nio menganggap persoalan bisa dibereskan kalau Wan Cu dibunuh, puteranya tentu juga kehilangan kekasih dan dua pemuda itu tak akan berebutan lagi. Gurba melepas puteranya, itulah yang di harap. Dan ketika pisau masih bergetar dan Gurba benar melepaskan Pangeran Muda karena kaget dan terbelalak melihat perbuatan selir ini, maka Pangeran Muda sendiri berteriak tertahan melihat kejadian itu

"Wan Cu...!"

Wan Cu terbelalak. Wanita cantik ini hampir tak dapat bersuara, kekagetannya tak kalah dibanding semua orang, bahkan ditambah rasa sakit yang membuat dia mengerang. Kekasihnya bangun berdiri dengan kaki terhuyung-huyung, sebelah lengan sengkleh. Wajah pangeran inipun tak kalah pucat dibanding Wan Cu, langsung menubruk dan menangis mendekap kekasihnya itu, dengan sebelah tangan karena tangan yang lain terkulai di samping tubuhnya. Pangeran inipun sebenarnya kesakitan tapi lupa sejenak pada sakitnya karena melihat kekasihnya ditikam.

Dan ketika keduanya sama menangis tapi Wan Cu menggeliat dalam sekarat tiba-tiba wanita ini menghembuskan napasnya menuding-nuding Sien Nio. "Pangeran, ibumu keji...!"

Pangeran Muda meraung. Wan Cu telah terguling di dalam pelukannya, tewas. Kesedihan besar membuat pangeran ini menjerit memanggil-manggil nama Wan Cu, mengguguk! Ibunya tiba-tiba menghampiri dan menyentuh pundaknya, menyuruh puteranya diam melepaskan Wan Cu. Kematian wanita itu sudah sepantasnya demi keselamatan mereka, bahkan Sien Nio mengerutkan alis tak senang melihat tingkah laku puteranya. Tapi Pangeran Muda yang membalik dan marah pada ibunya tiba-tiba mencabut pisau di dada Wan Cu menghunjamkannya di dada ibunya sendiri, memekik,

"Ibu, kau wanita iblis!" dan pisau yang menyambar begitu cepat dalam jarak yang begitu dekat tiba-tiba mengejutkan Sien Nio yang tak dapat mengelak maupun menangkis.

"Cepp!" pisau itupun menancap di dada selir ini. Sien Nio terpekik terguling roboh, puteranya menggereng dan mencabut pisau itu, bukan untuk dilempar melainkan untuk ditikamkan lagi di tubuh ibunya ini, bertubi-tubi, berulang-ulang hingga Sien Nio menjerit dan mengaduh. Semprotan darah pertama tadi agaknya membuat pangeran ini semakin buas, pisau di tangan terus bergerak-gerak membuat lubang-lubang baru yang mengerikan. Sien Nio merintih dan berkelojoran di atas tanah, menggelepar-gelepar. Tubuhnya terkoyak-koyak oleh pisau pembunuh itu. Tapi ketika Pangeran Muda terus menikami ibunya dan Sien Nio akhirnya tak sadarkan diri oleh siksaan ini sekonyong.koyong sesosok bayangan berkelebat menyerang pangeran ini.

"Keji...!" bayangan itu membentak, menampar dan sekaligus menendang Pangeran Muda, merenggut pisau dan membuat Pangeran Muda terguling-guling.

Kini pangeran itu mengeluh dan bangun terduduk. Seorang laki-laki tua telah berdiri di situ, umurnya sekitar tujuh puluhan tahun, menggigil dan terbelalak menyaksikan kejadian mengerikan itu. Tubuh yang berlumuran darah dan pisau yang sudah licin dipegang. Seorang kakek yang buntung sebelah lengannya, rambut dan jenggot sudah putih semua seperti perak. Kakek yang kurus tapi gagah! Dan ketika Pangeran Muda tertegun dan kakek itu gemetar memegang pisau yang berlepotan darah tiba-tiba kakek ini menangis dan menubruk ibunya.

"Nio-nio…!"

Pangeran Muda jadi semakin melenggong lagi. Dia tak mengenal siapa kakek ini, kenapa memanggil Nio-nio pada ibunya, sebutan yang hanya dilakukan orang-orang tertentu saja. Orang yang pernah akrab kepada ibunya, entah siapa. Dan ketika dia menjublak dan ngeri sendiri melihat hasil perbuatannya tiba-tiba Gürba yang sejak tadi menonton dan tidak bergerak dari tempatnya sekonyong-konyong tertawa bergelak menghampirinya dengan langkah menggetarkan.

"Pangeran, sekarang kau mati!"

Pangeran Muda terkejut. Kakek yang menangis memeluk ibunya itu tak menghiraukan sekeliling lagi. Gurba menghampirinya dengan sorot begitu bengis. Tak ada ampun di mata raksasa tinggi besar itu. Dan ketika pemuda ini kebingungan. Dan Gurba memandangnya bagai harimau kelaparan mendadak pangeran ini mundur-mundur menggoyang lengan.

"Tidak... jangan, Gurba. Aku masih ingin hidup dan biar sepuluh peti harta itu kau ambil!"

Gurba tertawa menyeringai. Raksasa ini tak menjawab, terhuyung-huyung maju dengan sebelah lengan mendekap dada sendiri. Langkahnya bagai biruang yang terbungkuk-bungkuk mengincar korban. Pangeran Muda ketakutan. Dia tak membawa senjata, lenganpun yang sebelah patah. Kini terasa kiut miut dan pangeran ini terbelalak. Sudah tak ada darah lagi di mukanya.

Gurba kian dekat dan dekat saja. Dan ketika raksasa itu menggeram-geram dan pangeran mundur-mundur mendadak tanpa disadari dan "kelupaan" kaki pangeran itu menginjak tempat kosong. Itulah jurang yang menganga di belakang pangeran ini. Siauw-ongya lupa. Maka begitu dirinya mundur-mundur dan Gurba siap menerkam tiba-tiba kaki pangeran ini terjeblos dan pekik mengerikan pun terdengar.

"Aaaa....!" Suara itu terdengar menyayat, Gurba tertegun melihat lawan melayang-layang di bawah jurang, sekejap kemudian lenyap membawa gemanya yang mendirikan bulu kuduk itu. Nyaring dan pilu bagai suara iblis, atau mungkin begitu pekikan setan di dasar neraka. Gurba menghentikan langkah. Dan ketika suara itu lenyap dan Gurba termangu memandangi dasar jurang tiba-tiba sebuah tangan kuat mencengkeram pundaknya.

"Kenapa kau biarkan begitu?"

Gurba terkejut. Cengkeraman yang marah ini diiringi pula suara yang menggigil, dia membalik dan sudah melihat kakek berlengan buntung itu. Berdiri di depannya dengan mata berapi-api, gigi gemertuk. Untuk kedua kali Gurba tertegun. Kakek ini memiliki keberanian besar dan sama sekali tidak takut kepadanya. Gurba mengerutkan kening, tidak senang.

Tapi sebelum dia menjawab atau melepaskan dirinya mendadak Gurba limbung dan terbatuk dua kali, melontarkan darah hingga si buntung melepaskan dirinya. Raksasa ini terhuyung dan tiba-tiba jatuh terduduk, si kakek terkejut. Dan ketika Gurba mengeluh dan berkerut-kerut menahan sakit sekonyong konyong wajahnya berobah hitam gelap kebiru biruan.

"Ugh!" Gurba kembali terbatuk, kali ini darah bercampur liur yang kehitaman. Gurba bersila dan kakek buntung terbelalak, melihat raksasa itu merah pucat berganti-ganti. Gurba sadar akan lukanya yang berat itu. Luka yang tak terawat, luka yang dibiarkannya saja karena seluruh perhatian sedang tertuju pada Wan Cu dan Pangeran Muda, kini dua orang yang dibencinya itu tewas dan pikiran jernih timbul kembali. Api dendam dan nafsu membunuh lenyap, terganti rasa sakit yang seolah-olah dilupakannya.

Dan ketika Gurba mengerahkan sinkangnya dan coba menyembuhkan diri dengan duduk bersila tiba-tiba raksasa ini terkejut karena tenaga sinkangnya tak dapat dikerahkan lagi karena dirinya demikan lemah. Tenaga sakti di tubuhnya itu tak dapat ditarik, Gurba menggigil dan kembali terbatuk-batuk. Ada suara gemuruh di perutnya, buku-buku tulang tiba-tiba berkeretok dan Gurba menyeringai.

Kakek di depannya tak dilihat lagi. Sebuah tangan mendadak menempel di punggungnya, coba membantu tetapi gagal. Gurba merasa tenggorokan panas dan tubuh pun terbakar. Dan ketika raksasa itu kaget dan mengeluh dengan muka pucat sekonyong-konyong hawa yang ditarik tiba-tiba tersedot tapi tak terkendali menerjang semua aliran darahnya di seluruh tubuh.

"Aduh...!" Gurba terlalu memaksa diri. Dia telah mati-matian menarik hawa saktinya tadi, kini bergerak tapi sebaliknya tak dapat dikendalikan karena hawa itu seolah jebol melebihi titik batasnya. Tenaga sendiri terlalu lemah untuk menghadapi arus hawa yang terlalu hebat. Gurba terlampau memaksa diri. Dan karena raksasa itu mengalami luka berulang-ulang yang tidak segera disembuhkan dan pikiran terlalu ditujukan pada dendam, maka sekarang hawa yang menerjang itu tak dapat dilawan dan membalik menyerang diri sendiri. Semakin parah.

Gurba menggigil dan gigi pun gemerutuk, tulang-tulang semakin berkerotok dan si buntung terbelalak. Dan ketika hawa dingin berbalik mengganti hawa panas tiba-tiba Gurba mengeluh dan terguling pingsan. Muka dan tubuhnya bengkak, urat-urat kebiruan menonjol keluar. Darah mengalir di semua lubang raksasa ini, membeku dan tiba-tiba dingin seperti es. Si buntung semakin terkejut. Tapi ketika dia membungkuk dan bingung mau menolong raksasa ini mendadak Kim mou-eng dan sumoinya muncul.

"Suheng....!" Kim-mou-eng terperarjat. Dia melihat dua tubuh menggelimpang mandi darah, Wan Cu dan Sien Nio. Suhengnya mengeletak ditolong kakek tak dikenal, hidung telinga dan mulut mengeluarkan darah yang segera membeku seperti es. Tentu saja Kim-mou-eng terkejut dan berkelebat menghampiri, Salima menyusul di belakang. Dan ketika dua orang itu tertegun dan kakek buntung ini bangkit berdiri maka Kim-mou-eng memeriksa dan kaget bukan main.

"Jalan darahnya pecah. Suheng terancam maut!" Kim-mou-eng menggigil. Dia cepat menolong tapi tak berhasil. Urat-urat darah suhengnya satu demi satu putus, pecah di dalam akibat terjangan hawa sakti yang membalik. Dan ketika Kim-mou-eng gemetaran dan pucat melihat keadaan suhengnya ini maka erangan di sebelah kiri menarik perhatian mereka dan kakek buntung itu tiba-tiba menghampiri Sien Nio.

"Nio nio, kau siuman?"

Sien Nio mengeluh. Wanita ini memang sadar, merintih dan sejenak dilupakan kakek itu karena Gurba membunuh Pangeran Muda. Sien Nio membuka mata dan berkata-kata tak jelas. Suara orang di sana sini mulai terdengar, itulah rombongan Bu-ciangkun dan lain-lain. Dan Sien Nio yang mengeluh memandang kakek buntung ini tiba-tiba menggigil!

"Kau siapa?"

Kakek itu menangis. "Aku orang pertama yang menyebabkanmu begini, Nio nio. Aku menyesal dan berdosa padamu."

"Kau siapa?"

"Lihatlah baik baik, amati wajahku. Tidakkah kau kenal?" kakek itu tiba-tiba memeluk selir ini, air matanya bercucuran dan Sien Nio terbelalak.

Dia memperhatikan tapi tetap juga tak kenal, kakek ini asing tapi suaranya tiba-tiba menyengat Sien Nio akan suara seseorang yang pernah hinggap diingatannya. Kian lama kian mendekat tapi menjauh lagi. Sungguh Sien Nio bingung. Dan ketika rasa sakit menghentak wanita ini dalam kepedihan dan luka tiba-tiba Sien Nio mengerang berjengit-jengit.

"Aduh, aku... aku tak mengenalmu. Tapi suaramu serasa kuingat...!"

"Sudahlah, aku Hok-kauwsu, Nio nio. Aku orang yang pertama kali menggaulimu dulu!" dan si kakek yang memeluk Sien Nio sambil mengguguk tiba-tiba membuat Sien Nio tersentak menahan sakitnya.

"Apa? Kau....? Ah!" dan Sien Nio yang tiba-tiba teringat suara ini bagai petir di siang bolong mendadak terkekeh dan mengerang hampir berbareng, kini mengenal bahwa kakek itu memang Hok-kauwsu, centeng Pin-loya. Laki-laki yang memberinya dua ratus tail perak tapi dia harus menyerahkan kehormatannya. Mata laki-laki itu kini dikenalnya. Benar, memang Hok-kauwsu, meskipun telah menjadi kakek namun suara dan mata laki-laki ini masih seperti dulu. Bahkan sekarang mata itu bersorot lembut dan penuh kebijaksanaan, hanya lengannya itu yang buntung. Entah kenapa. Dan ketika Sien Nio terkekeh-kekeh dan geli namun sekejap kemudian harus merintih selir ini berkata dan menahan sakitnya tiba-tiba terengah-engah.

"Benar... kau laki-laki itu, Hok-kauwsu.... kau tukang pukul Pin-loya! Tapi kenapa lenganmu hilang sebelah? Bagaimana tiba-tiba kau ada di sini? Dan aduh... kau sekarang kakek-kakek tetapi gagah...hik hik, aku teringat ketika kau mempermainkan aku di gubuk... dan...dan..."

Sien Nio berkelojotan, menghentikan kata-katanya dan mengeluh dengan muka pucat. Dia tak akan tertolong karena luka-lukanya terlalu parah. Hok-kauwsu menangis memeluk selir ini, berbisik-bisik dan menyatakan maafnya bahwa perbuatannya dulu membuat Sien Nio rusak. Sien Nio tersenyum dan kembali menyeringai, pandang matanya meredup. Tapi ketika selir itu megap-megap dan napas tampak sukar mengisi paru-parunya tiba-tiba wanita ini bertanya,

"Hok-kauwsu, bagaimana kau bisa ada disini? Bagaimana kau datang...?"

"Aku telah lama ikut Kim-taijin, Nio-nio, menjadi pelayannya dan selama itu pula ingin menemui dirimu. Tak berhasil dan selalu gagal karena kau telah menjadi wanita yang berkedudukan. Kekuasaanmu menghalangi keinginanku dan baru sekarang dapat jumpa."

"Dan bagaimana kau bisa tiba di sini?"

"Aku mengikuti perjalananmu, Nio-nio. Susah payah dan lagi-lagi nyaris gagal."

"Hi-hik, kau lucu. Mau apa menemuiku? Perawanku telah kau peroleh, mau apalagi?"

"Ah...!" Hok-kauwsu mendekap kepala wanita ini, tertusuk pedih. "Jangan ucapkan kata-kata itu lagi, Nio-nio. Aku ingin menemuimu karena ingin menyadarkanmu. Aku menyesal dan ingin mengajakmu hidup baik-baik!"

"Tetapi gagal dan kini kau kecewa?"

"Begitulah...." dan ketika Sien Nio tertawa! dan menangis di antara nafasnya yang terengah tiba-tiba wanita ini menggeliat. "Hok-kauwsu, mana anakku yang keparat itu?"

"Dia..."

"Dia mampus?"

"Ah, kau menerima karma yang tidak baik, Nio-nio. Sungguh penyesalanku semakin bertambah-tambah saja. Ini barangkali gara-gara aku!"

"Tidak!" Sien Nio tiba-tiba melotot. "Aku bertanya kau menjawab, kauwsu. Mana puteraku itu? Kenapa dia tidak menggorokku sekalian?"

Kauwsu ini sedih. Dia terpaksa memberitahukan bahwa Pangeran Muda memang telah tewas, bahwa Sien Nio tak akan dapat melihat puteranya itu karena puteranya jatuh ke jurang. Kakek ini menyatakan penyesalannya yang tiada habis. Dan ketika Sien Nio tertegun dan terbelalak memandang kakek ini maka Hok-kauwsu mendekap kepalanya dengan air mata bercucuran. "Benar, puteramu tewas di jurang sana, Nio nio. Aku tak dapat menyelamatkannya ketika diancam raksasa Tar-tar itu."

"Gurba?"

"Yaa..."

"Ah..." dan Sien Nio yang mengutuk mengepal tinjunya tiba-tiba menangis. "Kauwsu, nasibku memang sial. Anak kandungku satu-satunya pun membunuh aku!"

"Sudahlah, ini suratan takdir, Nio nio. Lupakah kau pada kutukan mendiang ibu angkatmu dulu? Kau pun dulu menyakitinya, dan kini semuanya terjadi dan hidup sebagai sebuah kenyataan. Aku menyesal menyeretmu dalam nasib demikian buruk!" dan Hok-kauwsu yang mencium wanita itu penuh penyesalan tiba-tiba membuat Sien Nio batuk dan tersedak sedak.

"Kauwsu, kau memang aneh. Dahulu kau demikian jahat sekarang demikian baik. Apa yang menyebabkanmu begini?"

"Panjang ceritanya. Nio nio. Tapi seseorang telah menyelamatkanku lahir batin. Dialah yang merubah jalan hidupku sampai kini."

"Siapa?"

"Bu-beng Sian-su!"

"Ooh...." Sien Nio terbelalak. "Bu-beng Sian-su!"

"Ya, Bu-beng Sian-su, Nio nio. Dialah yang merobah keburukan-keburukanku meskipun untuk itu aku kehilangan sebuah lengan!"

"Apa yang terjadi? Mana manusia dewa itu?"

"Yang terjadi panjang sekali, Nio-nio. Dan di mana manusia dewa itu aku sendiri pun tak tahu. Aku....!" Hok-kauwsu menghentikan kata-katanya, melihat Sien Nio muntah darah dan tiba-tiba mengejang matanya mendelik-delik dan tubuh wanita ini berkelojotan. Rupanya banyak bicara tadi membuat Sien Nio memperberat luka-lukanya. Tangan wanita ini menggapai-gapai sementara mulutnya mengerang tak keruan. Hok-kauwsu menggigil dan cepat menekan tengkuk bekas kekasihnya ini. Sien Nio berbisik-bisik. Dan ketika kauwsu itu mendekatkan telinganya dengan muka pucat maka Sien Nio berkata,

"Kauwsu, kau beruntung benar bertemu manusia dewa itu. Aku akan mati... kau bakarlah mayatku agar api memusnahkan semua dosa-dosaku. Kau mau, kauwsu...?"

Hok-kauwsu menangis. "Kau tak usah bicara tentang kematian. Nio-nio. Aku akan menyelamatkanmu dan menolongmu dari luka-lukamu ini...."

"Tidak, aku tak tahan, kauwsu.... aku telah melihat puteraku di depan sana. Dia mengejekku, keparat... aku akan menghajar anak itu dan... dan...!"

"Sudahlah, jangan banyak bicara lagi, Nio-nio. Kau hapus dendammu itu dan jangan bermusuhan dengan darah dagingmu sendiri....!"

"Tidak, dia bersama Wan Cu, kauwsu. Aku benci mereka berdua itu! Aku... ooh, aku tak kuat... aku... aku...." Sien Nio merintih, berkelojotan dan tiba-tiba mengerang. Tangannya menuding-nuding, sesuatu dilihatnya di atas sana dan Hok kauwsu mengguguk. Wanita ini hampir kehilangan kesadarannya. Dan ketika suara tak jelas kembali terdengar bersama keluhan tiba-tiba selir ini mengucapkan selamat tinggal dan roboh di pangkuan Hok-kauwsu.

"Nio nio...!"

Namun Sien Nio telah tewas. Wanita ini meninggal dalam keadaan demikian mengerikan, tubuhnya dirajam sembilan bekas luka yang menganga. Hok'kauwsu mengeluh memanggil-manggil nama bekas kekasihnya itu. Tapi ketika mata itu tak bercahaya lagi dan sukma di dalam tubuh wanita ini melayang ke alam lain tiba-tiba Hok-kauwsu roboh terguling dan pingsan di samping mayat bekas kekasihnya itu. Persis ketika di saat itu Bu-ciangkun dan teman-temannya tiba, melihat Kim-mou-eng menolong suhengnya sementara dua tubuh bergelimpangan mandi darah.

Wan Cu dan Sien Nio menemui ajal dengan cara yang membuat orang mengerutkan kening. Bu-ciangkun melompat menghampiri dan yang lain-lain pun maju mendekat. Kini mereka melihat keadaan Gurba yang mengerikan pula, tubuh kebiruan dan bengkak-bengkak. Semua orang tertegun. Dan ketika mereka terkesima dan tempat itu hening oleh kediaman yang beku tiba-tiba Kim-mou-eng melepaskan suhengnya tersendu bicara,

"Dia telah tiada..."

Bu-ciangkun merangkapkan tangan. Raksasa tinggi besar itu ternyata telah tewas oleh luka-lukanya yang terlalu berbahaya. Semua orang membungkuk memberi hormat pada arwah raksasa ini. Betapapun, dia adalah suheng Kim-mou-eng meskipun Gurba sendiri memusuhi istana. Jadi memandang muka pendekar itulah mereka memberi hormat.

Kim-mou-eng gemetar dan dipegang lengannya oleh Salima. Gadis ini tak seberapa terpukul oleh kematian kakaknya tertua itu. Rasa tak suka memang telah mengganggu gadis ini sejak Gurba memfitnah Kim-mou-eng. Dan ketika Bu-ciangkun bertanya apa yang harus mereka lakukan maka Kim-mou-eng menyuruh mereka kembali.

"Aku hendak membawa mayat suhengku ke luar tembok besar ciangkun. Kami hendak menguburkannya di sana di kampung halamannya."

"Tapi pangeran tentu kecewa. Sebaiknya taihiap ikut kami dulu ke istana."

Kim-mou-eng mengerutkan kening. Sebenarnya urusan sudah bisa dibilang selesai, tapi ingat bahwa kaisar terminum racun dan pangeran mahkota serta Kim-taijin tentu menunggu-nunggunya untuk mendapat kabar akhirnya pendekar ini merasa tak enak dan mengangguk. Segera melihat Siga dan Bora serta pasukan Tar-tar yang lain, memanggil dua pemuda itu dan menyerahkan mayat suhengnya agar dibawa keluar tembok besar.

Betapapun pasukan yang besar itu harus dipulangkan kembali. Tak mungkin pasukan Tar-tar itu berdiam di tengah-tengah wilayah orang lain. Dan ketika semuanya mengangguk dan Kim-mou-eng menyuruh dua pemuda Tar-tar itu menunggunya di luar tembok besar dan mereka harus kembali kesana maka Bu-ciangkun teringat Pangeran Muda dan bertanya di mana pangeran yang jahat itu. Tentu saja tak dapat dijawab karena Kim-mou-eng tak tahu.

Kebetulan Hok kauwsu tiba-tiba sadar, Bu-ciangkun, mengenal kakek ini dan segera bertanya apa yang terjadi. Bagaimana Sien Nio dan Wan Cu bisa mandi darah. Kakek itu bercerita sambil menahan cucuran air matanya. Semua orang kini mengerti dan menghela napas panjang. Dan ketika kakek itu tersedu dan semuanya jelas bagi mereka akhirnya mereka semua turun dan meninggalkan tempat itu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.