Pendekar Rambut Emas Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 26
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
KIM MOU ENG layap-layap. Pendekar ini mengeluh merasa dadanya sesak, Salima menggerakkan tangan satunya menekan bagian ini, hawa hangat segera mengalir dan Kim-mou-eng membuka mata. Perasaan sakit hilang, meskipun sejenak. Dan begitu mata bertemu pandang dengan sumoi nya mendadak pendekar ini bangkit duduk dengan tubuh gemetar.

"Sumoi, mana suheng?"

Salima mengerutkan kening. Pertanyaan suhengnya tentang Gurba membuat ia tak senang, Salima tak menjawab. Dan ketika suhengnya mencengkeram lengannya dan bertanya dengan suara menggigil tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Api tiba-tiba berkobar di luar gedung, cahaya kemerahan menjulang tinggi disusul teriakan teriakan kacau. Para pengawal dan orang-orang istana gaduh. Salima mendengar adanya kebakaran dan serbuan dari orang-orang tak dikenal. Dan ketika Salima tertegun dan Kim-mou-eng terbelalak maka pangeran mahkota muncul diiringi Kim-taijin, tergesa-gesa.

"Lihiap, pemberontak mulai beraksi. Pasukan Tar-tar di luar kota raja mulai menyerbu!"

Salima malompat bangun. "Apa yang hendak paduka lakukan?”

"Menyelamatkan sri baginda, lihiap." Kim-taijin mendahului. "Kami hendak menyingkir dan minta lihiap menguasai pasukan Tar-tar itu!"

"Siapa yang memimpin mereka?"

"Katanya Siga dan Bora. Mereka telah mendengar robohnya twa-suhengmu itu di sini!"

"Keparat!" Salima mengepal tinju, bingung memandang suhengnya. Tapi bagaimana dengan suhengku ini? Dia belum sembuh, perlu banyak beristirahat!"

Dan belum Kim-taijin menjawab atau pangeran mahkota mengeluarkan suara mendadak Bu-ciangkun muncul, bergegas, pucat mukanya. "Pengeran, ibunda selir lenyap. Beberapa pengawal melihat bayangan Siauw-ongya dan Tok-gan Si-ni!"

"Ah, kemana mereka?"

"Memasuki istana, pangeran. Cu-ciangkun mengejar dan coba menghadang. Kita kekurangan tenaga pandai!"

Pangeran ini pucat. Saat itu ditempat mereka yang bisa diandalkan hanyalah Salima, Kim-mou-eng terluka dan hanya gadis itulah satu-satunya yang dapat dipercaya. Dan ketika mereka tertegun dan bingung mencari akal mendadak seorang pengawal datang berlari-lari menjatuhkan diri berlutut.

"Pangeran, sri baginda lenyap. Ibunda selir memasuki lorong bawah tanah bersama puteranya!"

Pangeran kaget. "Tak ada yang menahan?"

"Seorang kakek melindungi mereka pangeran. Kakek bercawat yang sikapnya setengah gila."

"Ah, Coa-ong Tok-kwi..." dan pangeran mahkota serta lain-lain yang terkesiap mendengar berita ini tiba-tiba mendengar dentang senjata dan teriakan kesakitan di luar gedung. Kiranya pertempuran sudah memasuki istana, Kim-taijin dan lain-lain berubah mukanya melihat ini semua. Pekik dan jerit di luar membuat bulu roma meremang. Dan ketika mereka terkesima dan menjeblak kehilangan akal dalam waktu yang sekejap itu tiba-tiba Yu Bing muncul dengan pedang berlumuran darah.

"Pangeran, cepat bersembunyi. Pasukan Tar-tar dan orang-orangnya Pangeran Muda mengepung istana. Bu-ciangkun diminta keluar membantu mengatasi keadaan. Suasana kalut, kita semua harus melawan musuh yang mengepung tempat ini!"

"Baik!" Bu-ciangkun sudah melompat menggereng marah, mencabut golok besarnya dengan tangan kiri. "Paduka bersembunyi, pangeran. Hamba akan merobohkan musuh sambil mencari sri baginda!"

"Dan aku akan menghadapi yang lain,“ Yu Bing berkata lagi, siap melompat keluar. "Harap Kim-taijin menjaga pangeran di tempat persembunyian!"

Tapi Salima yang melompat tiba-tiba berseru, "Nanti dulu, sebentar, Yu-twako. Bagaimana dengan suhengku ini? Adakah tempat yang aman agar aku dapat membantu kalian?"

Yu Bing tertegun. "Kim-taihiap sudah sadar? Sebaiknya ikut saja bersama pangeran."

"Tidak," Kim-mou-eng tiba-tiba bangkit dengan gagah. "Aku dapat membantu sebisaku, saudara Yu, Kalian tak perlu khawatir karena aku cukup sehat!" Kim-mou-eng agak terhuyung. Semua mata terbelalak kepadanya karena jelas kata-kata itu agak dipaksa. Tak mungkin pendekar ini bertempur karena kondisinya belum mengijinkan. Kim-taijin dan pangeran mahkota kagum. Tapi ketika pendekar itu batuk-batuk dan sukar menahan tubuh tiba-tiba Salima terisak mencengkeram lengan suhengnya ini.

"Tidak, kau tak perlu berbohong, Suheng. Kau ikut saja bersama pangeran seperti kata Yu-twako tadi. Kau tak boleh bertempur!"

"Tapi aku bisa bertahan, sumoi. Aku.. ugh...ugh!" Kim-mou-eng batuk-batuk lagi, terpaksa menghentikan kata-katanya dan terguling roboh, cepat ditangkap Salima dan Salima menotok tengkuk suhengnya itu. Seketika suhengnya pingsan. Salima cukup tahu kekerasan hati suhengnya ini. Dan ketika semua orang kagum dan terbelalak memandangnya Salima sudah memberikan suhengnya itu pada pangeran mahkota.

"Pangeran, benar seperti kata Yu-twako. Suhengku tak mungkin kuat bertempur. Sedikit tenaga saja tentu lukanya kambuh. Tolong paduka bawa dan sembunyikan di tempat aman."

"Baik, dan ini peta mengikuti lorong-lorong rahasia di bawah tanah, lihiap. Kau dapat mencariku kalau terdesak."

"Tidak, aku akan mengatasi pasukan Gurba suheng. Aku tak akan terdesak dan akan menghantam pasukan liar yang dipimpin Siauw-ongya!" dan Salima yang cepat mendorong pangeran mahkota membawa suhengnya akhirnya berkelebat dan mempercayakan suhengnya Itu pada dua orang ini, Kim-tajin dan pangeran mahkota.

Dan ketika Yu Bing mengikuti dan pekik serta sorak di luar semakin jelas maka Salima sudah mencari anak buah suhengnya dan merobohkan musuh yang berani menyerangnya, diam-diam terkejut dan heran bagaimana Pangeran Muda itu dapat membawa pasukannya. Membuat musuh dan sebentar kemudian tubuh-tubuh bergelimpangan. Salima tak tahu ini adalah taktik Pangeran Muda yang ingin menyelamatkan ibunya. Berita Kim-mou-eng dan robohnya Gurba sudah ditangkap, ibunda selir cemas dan menyuruh orang kepercayaannya menyuruh puteranya menyerang, bersama pasukan Tar-tar yang waktu itu menunggu kembalinya Gurba.

Siga dan Bora marah mendengar robohnya Gurba, utusan Pangeran Muda tak menyebut-nyebut nama Kim-mou-eng. Gurba dikabarkan dikepung dan ditangkap orang-orangnya kaisar, terjebak dan roboh oleh kecurangan musuh, Nama Kim-mou eng disembunyikan untuk membakar pasukan Tar-tar itu. Tentu saja Siga dan Bora akan bingung kalau tahu robohnya gurba adalah bersama sutenya sendiri, jadi Kim-mou-eng termasuk orang sendiri yang beritanya sengaja tidak diberitakan pada orang-orang Tar-tar itu.

Inilah akal Pangeran Muda yang membiarkan pasukan Tar-tar itu panas hati, dapat dibujuk dan akhirnya menyerbu bersama pasukan pemberontak yang kehilangan komando, karena orang-orangnya pengeran ini ditangkap dan dikumpulkan disuatu tempat. Para perwira dan menteri-menteri dorna. Dan ketika dua pasukan itu bergabung dan Pangeran Muda menyelinap menghubungi ibunya maka di lain pihak orang-orangnya pangeran itu bertempur mempertaruhkan nyawa!

"Mana Siga! Mana Bora?" Salima maju membuka jalan darah, musuh yang ada di depan dikibas dan dipentalkan. Mereka terpelanting dan menjerit tak dapat bangun lagi. Salima memekik-mekik memanggil nama dua pembantu suhengnya itu. Para pemberontak minggir dan menyibak gentar. Dan ketika Salima bertemu pasukan Tar-tar dan mereka itu mengenal gadis ini maka mereka berseru girang mengira Salima membantu mereka.

"Sian-li, twa-hengmu ditangkap musuh. Bunuh orang-orangnya kaisar dan tangkap kaisar itu!"

Salima berkelebat, menangkap seorang di antaranya, "Mana Siga? Mana Bora?"

Orang ini terkejut. "Aku tak tahu, Sian-li. Tapi mungkin di timur!"

"Brukk!" orang itu sudah dibanting, Salima melompat pergi dan tentu saja laki-laki yang dibanting ini kaget, memekik dan mengaduh kesakitan. Tapi Salima yang sudah menghilang dari tempat itu mencari Siga dan Bora ternyata tak segera menemukan dua pemuda ini, terbendung pasukan Tar-tar yang menyerbu ke depan.

Mereka berteriak-teriak dan malah gembira melihat Salima, gadis ini dikenal sebagai sumoi dari pemimpin mereka. Mengira Salima membantu dan mencari Gurba. Tapi ketika Salima berteriak mencari Siga ataupun Bora dan akhirnya membentak menyuruh pasukan Tar-tar itu menghentikan pertempuran tiba-tiba saja orang-orang ini bingung.

"Hei, kalian semua berhenti menyerang! Berhenti...!" Salima sudah menjungkirbalikkan orang-orangnya ini, gemas dan marah karena dua orang yang dicari belum ketemu juga. Padahal saat itu orang-orangnya Pangeran Muda merasa mendapat semangat dengan bantuan orang-orang Tar-tar ini. Mereka berteriak-teriak menyerang pengawal istana, keadaan bertambah kacau. Api dan pekik pembunuhan semakin mendirikan bulu kuduk. Dan ketika Salima melengking tinggi menyuruh pasukan Tar-tar itu berhenti menyerang dan mereka mulai tunduk maka Salima berteriak kembali,

"Mana Siga! Mana Bora! Kalian hentikan serangan dan tangkap orang-orangnya Pangeran Muda itu....!"

Pasukan Tar-tar bingung. "Apa? Kami menangkap teman sendiri, Sian-li?"

"Bukan teman, tapi musuh! Orang-orangnya pangeran itu adalah musuh yang harus kalian bunuh. Tangkap mereka itu dan jangan menyerang pengawal istana lagi!"

Dan Salima yang berkelebat menghentikan pertempuran dan menyuruh orang-orangnya Pangeran Muda ditangkap tiba-tiba membuat suasana gaduh karena pasukan Tar-Tar tiba-tiba membalik, mereka tak menyerang lagi pengawal istana melainkan menyerang orang-orangnya Pangeran Muda, pemberontak-pemberontak itu, mengagetkan orang-orang ini dan pasukan Tar-tar dianggap gila. Bekas teman sendiri diserang. Dan ketika keadaan jungkir balik tak keruan dan para pemberontak banyak yang roboh, maka di lain tempat Salima telah menemukan Bora.

Saat itu di sebelah timur Bora mengamuk. Pemuda Tar-tar itu bersenjatakan tombak dan tameng, menyerang pasukan istana dengan beringas. Sepak terjangnya ganas dan seorang perwira melayani pemuda ini, roboh dan tewas karena Bora bertempur dengan semangat tinggi. Mulutnya membentak menyuruh pemimpinnya dibebaskan. Begitu hebat sepak terjangrya.

Dan karena pasukan Istana kuncup nyali karena ribuan pasukan Tar-tar mengurung sementara pasukan pemberontak juga menyerbu dan tahu jalan-jalan istana hingga mereka tak dapat melarikan diri maka sepak terjang pembantu Gurba nomor dua ini memang menggiriskan. Jelek-jelek dia "murid” Gurba, mendapat ilmu berkelahi dan ilmu silatnya cukup baik, ditambah bekal keberaniannya yang luar biasa. Dan ketika kembali belasan pengawal roboh dibabat pemuda ini dan musuh gentar menghadapinya maka Salima berkelebat membentak pemuda yang dikenal itu.

"Bora, berhenti....!”

Bora terkejut. Dia sedang mengejar seorang lawan, tahu-tahu sesosok bayangan berkelebat di mukanya, tentu saja dia menusuk dan membalik. Tapi ketika tombaknya mental dan dia jatuh terpelanting tiba-tiba Bora tersentak melihat siapa yang datang, melompat bangun berseru kaget. "Sian-Ii...!"

Salima mendengus. Dia tak menjawab, sudah mencengkeram pundak pemuda ini. Dan ketika Bora tertegun menahan sakit Salima berkata untuk menghentikan pasukanya. "Hentikan pasukanmu. Tarik mundur dan tangkap orang-orangnya Pangeran Muda itu!"

"Ah...." Bora membesarkan biji matanya. "Apa katamu, Sian-li? Menarik pasukan dan menangkap orang-orangnya Pangeran Muda?"

"Ya, kau tak tuli, bukan? Suruh mereka berhenti dan tangkap para pemberontak!"

"Tapi hanggoda ditangkap kaisar, mana mungkin menghentikan serangan? Kami...."

“Brukk!" Bora dibanting, Salima marah. "Kau tak perlu banyak cakap, Bora. Saat ini aku menggantikan suhengku. Apa yang kukatakan harus kalian lakukan, Cepat tarik pasukan dan tangkap orang-orangnya Pangeran Muda itu. Kalian tertipu. Kalian dijadikan kerbau kerbau tolol yang tidak berotak!" dan Salima yang terbelalak mencari-cari sudah berkata lagi, "Mana Siga?”

Bora tertegun.

"Hei, mana Siga?!"

Bora terkejut. Pemuda ini cepat-cepat menunjuk, sebenarnya masih kaget dan terheran-heran serta tak mengerti akan tindak-tanduk gadis ini, mengapa Salima menyuruh menghentikan pertempuran dan orang-orangnya Pangeran Muda ditangkap. Tapi karena gadis itu adalah sumoi sang hanggoda dan Salima boleh dibilang atasannya saat itu menggantikan Gurba maka Bora menghentikan pertempuran dan menarik orang-orangnya mundur. Salima sudah berkelebat ke arah yang ditunjuk, tak jauh menuju tempat di mana sekelompok orang jungkir balik dihajar seorang pemuda lain, pemuda gagah yang memegang golok besar, mengamuk dan membantai musuh.

Kebetulan sekali Bu-ciangkun menghadapi pemuda ini, dentang senjata dan pekik kaget sering terdengar. Bu-ciangkun rupanya terkejut oleh keberingasan lawan. Itulah Siga yang memiliki keberanian besar dan tenaga sekuat banteng, dia pun tak kalah dibanding Bora. Dan ketika Salima tiba di tempat itu di mana saat itu golok di tangan panglima Bu juga terpental maka Salima sudah berkelebat membentak pembantu suhengnya ini.

"Siga, tahan. Jangan berkelahi.... plak!" golok ditangan Siga langsung mencelat, Siga sendiri menjerit dan jatuh bergulingan. Tamparan Salima terasa petir yang membuat lengannya matang biru. Salima memang gemas pada pembantu suhengnya ini, yang lama dicari-cari baru sekarang ketemu.

Dan ketika Siga melompat bangun dan melihat siapa yang datang tiba-tiba pemuda ini berobah gembira berteriak tertahan. "Sian-li, syukur kau datang...!"

Namun Salima mendengus. Bu-ciangkun sendiri sudah mundur melihat kedatangan gadis ini, mengusap keringat dan terbelalak memandang pemuda Tar-tar yang gagah itu, kagum. Dan Salima yang berkacak pinggang menghadapi bawahannya sudah membentak, "Siga, tarik pasukanmu menghadapi pengawal istana. Kalian tertipu. Tangkap dan bekuk orang-orangnya Pangeran Muda itu."

"Apa!!!!" Siga membelalakkan matanya, sama seperti Bora, kaget. "Apa, Sian-li? Menarik pasukan dan menangkap orang-orangnya Pangeran Muda itu?"

"Ya, kau tidak tuli, bukan? Hentikan pertempuran dan tangkap bekas teman yang tidak dapat dipercaya itu. Mereka pemberontak, kau tertipu dan serangan harus ditujukan pada para pemberontak ini!"

"Tapi hanggoda ditangkap kaisar, kami datang untuk membebaskannya!"

"Urusan suhengku ada di tanganku, Siga. Jalankan perintahku dan jangan banyak cakap lagi!”

"Tapi...!"

"Tak ada tapi, ini perintah. Aku pemimpin kalian mengganti Gurba-suheng!“ Salima membentak.

Siga bingung tapi akhirnya mengangguk, setengah ragu setengah gugup bagaimana tiba-tiba dia harus menarik pasukannya. Bahkan yang lebih hebat lagi pasukannya harus menangkapi orang-orangnya Pangeran Muda itu, bekas kawan menjadi lawan. Siga tak mengerti. Tapi karena Salima adalah sumoi dari pimpinan mereka dan gadis itu termasuk juga atasan setelah Gurba maka Siga tak dapat membantah dan segera berteriak menyuruh pertempuran berhenti. Anak buahnya ditarik mundur, para pemberontak di tangkap, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat dibanding tadi.

Di tempat Bora pun suasananya juga sama, pasukan Tar-tar menghentikan pertempuran. Dan karena di tempat-tempat lain Salima juga telah menghentikan gerakan anak buahnya ini dan bentakan serta seruan di sana-sini menyuruh orang berhenti menyerang akhirnya pertempuran berhenti sementara orang-orangnya Pangeran Muda ditangkap dan dibekuk. Yang melawan langsung dibunuh. Pasukan Tar-tar sendiri tak mengerti tapi perintah Salima dijalankan, gadis itu merupakan pucuk pimpinan sepeninggal Gurba.

Tak lama kemudian peperangan berakhir, sepi dan pekik pertempuran tak terdengar lagi. Rumah-rumah yang dibakar sudah dipadamkan, tinggal beberapa puing dan bekas-bekas kehancuran di sana sini. Ribuan orang berkumpul keheranan, semua mata menuju satu titik. Salima! Dan Salima yang segera menerangkan dengan suaranya yang nyaring atas kelicikan Pangeran Muda yang menghasut mereka dan mengadu domba mereka dengan pasukan istana akhirnya menimbulkan resah dan kemarahan di sana-sini. Bahwa yang harus dihancurkan sesungguhnya adalah Pangeran Muda itu, bukan orang lain. Salima berapi-api memberi keterangan ini. Dan ketika semuanya selesai dan orang-orang tertegun tiba-tiba Cu-ciangkun muncul dengan napas terengah-engah.

"Lihiap, hanggoda tertawan. Ibunda selir menangkapnya dibantu Sin Coa-ong!"

Salima terkejut. "Di mana mereka sekarang?"

"Memasuki lorong bawah tanah, lihiap. Aku tak tahu persis karena aku tak tahu jalan jalan di situ. Hanya beberapa orang saja yang tahu, aku...."

"Baik, aku akan mencarinya, ciangkun!" Salima memotong, cepat dan khawatir. "Kau ikut aku dan cari Hek-eng Taihiap serta yang lainnya!"

"Aku di sini, nona," Hek-eng Taihiap tiba-tiba muncul, bersama Yu Bing. "Kami tak dapat menahan dua iblis itu karena mereka terlalu tangguh!"

Salima girang. "Tak apa, mereka memang lihai, Hek-eng Taihiap. Tapi sekarang kita akan membekuknya. Mari....!" dan Salima yang berkelebat pergi menyuruh Siga dan lain-lain mengepung tempat itu agar musuh tak dapat melarikan diri akhirnya disusul Hek-eng Taihiap dan Yu Bing yang tidak banyak cakap lagi.

Semua yang lain tinggal di situ menjaga ketat, Cu Ciangkun dan Bu-ciangkun diajak Salima mencari kaisar. Salima teringat akan peta yang diterimanya dari pangeran mahkota, diam-diam mencemaskan pula nasib suhengnya, Kim-mou-eng. Untung peta itu dibawanya. Dan ketika yang lain mengikuti dan Salima mulai bergerak maka pengejaran terhadap ibunda selir yang menangkap sri baginda ini segera dilakukan cepat tanpa menunda waktu lagi. Keselamatan kaisar memang amat berharga, jauh lebih berharga dibanding apapun di saat itu. Dan begitu Salima dan teman-temannya berkelebat pergi maka pencarian terhadap kaisar inipun dilakukan sungguh-sungguh tanpa meninggalkan kewaspadaan.

Apa yang terjadi? Benarkah kaisar tertangkap? Sien Nio memang cerdik. Hal ini sebenarnya sudah dia atur ketika Gurba roboh bersama Kim-mou-eng. Saat itu semua perhatian tertuju kesana. Sien Nio mendengar perkelahian menegangkan yang amat dahsyat itu. Keduanya roboh dan sama-sama terluka. Gurba yang diandalkan tak dapat dipakai lagi tenaganya. Dan karena keadaan semakin mengkhawatirkan dan berapa sekutu mereka hilang begitu saja tanpa kabar beritanya lagi.

Maka Sien Nio mengutus orang memanggil puteranya, menyuruh puteranya melakukan serangan membabi-buta, pasukan Tar-tar itu harus dihasut dan diajak menyerang. Semuanya telah terjadi dan rencana mereka berhasil. Dan ketika semua ribut-ribut itu menarik perhatian orang ke tempat ini maka dengan tenang tapi tergesa-gesa Sien Nio menemui kaisar.

Saat itu kaisar lagi terbelalak. Seorang pengawal melapor serbuan pasukan Tar-tar itu, juga pasukan tak dikenal yang mirip orang-orang istana sendiri, para pemberontak. Dan ketika kaisar tertegun membelalakkan mata maka Sien Nio sudah menjatuhkan diri berlutut dengan kata-kata mengiba,

"Sri baginda, mohon agar paduka menyembunyikan diri. Keadaan di luar kalut, paduka harus bersembunyi untuk keselamatan diri paduka."

"Aku tahu, Sien Nio. Tapi kenapa kau kemari? Mana permaisuri? Kenapa bukan dia yang mengajakku?"

"Permaisuri terperangkap dikaputren, sri baginda. Api mengurung tempat itu hingga paduka permaisuri pingsan."

"Kau tahu siapa penyerang-penyerang itu?"

"Bangsa Tar-tar, sri baginda. Orang-orang liar yang biadab itu!”

"Tapi mereka dibantu orang-orang istana katanya para pemberontak yang berkhianat!"

"Untuk ini hamba tak tahu, sri baginda. Tapi sebaiknya paduka menyelamatkan diri dahulu. Hamba siap mengantar Paduka!"

"Hm....!" Kaisar tertegun, melihat sesuatu yang ganjil tapi tidak segera menjawab. Rupanya kaisar ragu. Dan Sien Nio yang tergesa melirik kiri kanan tiba-tiba bangkit berdiri.

"Mari, sri baginda. Hamba mengantar paduka."

"Tidak, aku ingin melihat keluar dulu, Sien Nio. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi!" kaisar tiba-tiba menolak, enggan menerima ajakan selirnya. "Aku penasaran kenapa orang-orang Tar-tar itu menyerang istana!"

"Ahh, keadaan cukup gawat, sri baginda. Waktu tak ada bagi paduka untuk melihat-lihat keluar!" Sien Nio menghampiri, kaisat terkejut dan pengawal yang melapor tiba-tiba maju, menghalang dan mencabut pedangnya.

Tapi belum pengawal ini berbuat sesuatu tiba-tiba ia roboh dan terpekik tewas disambar sebatang jarum yang amblas di batok kepalanya. Dan sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat, kekeh yang parau mengiringi datangnya bayangan ini, seorang kakek bercawat. Kaisar terkejut kenapa pengawalnya itu tiba-tiba tewas, tentu saja ia tak tahu akan serangan gelap itu. Inilah Coa-ong Tok-kwi, si raja ular yang memegang suling dan tongkat. Tongkatnya itulah yang tadi melepas jarum berbisa. Dan ketika kaisar terbelalak dan kaget melihat kakek setengah gila ini maka Sien Nio sudah mendesaknya tanpa sungkan-sungkan lagi,

"Sri baginda, pengawal paduka ini mata-mata pengkhianat. Dia hendak membunuh paduka, terpaksa dibunuh dan mari paduka cepat menyingkir!”

"Kakek ini....?"

"Coa-ong Tok-kwi, sri baginda. Dia yang akan menggiring dan melindungi kita. Mari!" dan ketika kaisar masih tertegun dan menjublak tak mengerti tiba tiba di luar pintu menerobos masuk tujuh laki laki yang menerjang kaisar.

"Bunuh kaisar, serang dia....!"

Kaisar terbelalak. Dia terkejut bagaimana di kamarnya tiba-tiba menyerbu para pembunuh ini, mereka begitu beringas dan penuh ancaman. Tapi ketika mereka menubruk dan senjata bergerak menghambur ke arahnya mendadak kakek setengah gila ini berseru, suling dan tongkat bergerak ke depan, tubuh berkelebatan sejenak dan akhirnya kembali ke tempat semula. Dan ketika pekik dan teriakan mengaduh terdengar tujuh kali berturut-turut tiba-tiba saja tujuh orang itu bergelimpangan dan roboh di bawah kakinya bermandi darah.

"Heh-heh, mari, baginda. Tikus-tikus busuk ini masih banyak lagi di luar!"

Kaisar tertegun. Dia melihat kehebatan kakek ini, tujuh orang disapu sekejap mata. Dan Sien Nio yang menyambar lengannya tidak sabar lagi tiba-tiba sudah menyeretnya dengan tergesa-gesa. "Sri baginda, tempat ini sekarang tak aman. Paduka tak perlu sangsi terhadap hamba!"

Kaisar menurut. Dia mengikuti selirnya masuk keluar lorong-lorong istana, si kakek aneh sudah melindungi di depan dengan suling dan tongkatnya. Memang benar di luarpun mereka disambut pembunuh-pembunuh baru yang bengis. Semua mencoba menyerang dan mencelakai kaisar, satu persatu dirobohkan kakek ini dan mereka terus maju ke depan. Dan ketika mereka tiba di samping istana siap memasuki sebuah tempat rahasia mendadak sesosok bayangan berkelebat menyerang Coa-ong Tok-kwi, berteriak padanya,

"Sri baginda, lepaskan diri paduka dari orang-orang ini. Mereka pengkhianat, mereka akan membunuh paduka!" bayangan itu sudah menyerang si Raja Ular, kedua tangannya mendorong dan menghantam kakek ini. Dialah Hek-eng Taihiap yang tidak dikenal kaisar.

Tapi si Raja Ular yang terkekeh dan menangkis serangan itu ternyata membuat Hek-eng Taihiap terpental dan terlempar ke belakang. Tapi Pendekar Garuda Hitam ini maju lagi, menyerang dan sesosok bayangan lain muncul, seorang pemuda bersenjata pedang sepasang, Siang-kiam-houw Yu Bing, membantu dan membabat kakek bercawat itu. Tapi ketika pedang mental dan Yu Bing pun mencelat akhirnya kakek ini terkekeh-kekeh membalas mereka.

"Heh-heh, kau tak takut mampus, Yu Bing. Dulupun lolos sekarang masih berani cari penyakit!" kakek ini menggerakkan tongkat, Yu Bing bergulingan menjauh dan tiga sinar hitam tiba-tiba mencuat, itulah jarum-jarum beracun yang dilepas kakek ini melalui ujung tongkatnya.

Tapi Yu Bing yang mampu menyelamatkan diri dan melompat bangun ternyata menerjang lagi tak kenal takut, juga berseru pada kaisar.v"Sri baginda, lepaskan diri paduka dari orang-orang ini. Mereka pengkhianat. Mereka pembunuh!"

Yu Bing sudah menerjang bersama Hek-eng! Taihiap. Coa-ong Tok-kwi marah menangkis mereka, suling dan tongkatnya kembali bergerak. Dua orang ini mundur. Dan ketika kakek itu membalas dan lawan kembali terdesak maka Sien Nio mengajak kaisar lari.

"Sri baginda, mari selamatkan diri. Jangan percaya omongan mereka!"

Kaisar tertegun. Dia sudah dibawa selirnya ini, Yu Bing dan Hek-eng Taihiap kembali berteriak padanya agar tidak menuruti kemauan selirnya itu. Tapi karena Yu Bing dan Hek-eng Taihiap tidak dikenal kaisar ini dan Sien Nio kembali menariknya mengatakan mereka itu pengacau maka kaisar menyelinap dan mengikuti selirnya ini. Dan saat itu Cu-ciangkun muncul. Panglima bersenjata tombak ini melompat kepadanya berseru agar dia melepaskan diri dari Sien Nio. Kaisar bingung.

Tapi ketika Sien Nio hendak dihalau dan tombak menyerang tiba-tiba Coa-ong Tok-kwi berkelebat. Suling di tangan kakek gila itu menangkis, tombak terpental dan Cu-ciangkun pun bergulingan. Kakek ini akhirnya dikeroyok tiga namun tertawa ha ha he he menangkis semua serangan lawan. Hek-eng Taihiap dan kawan-kawannya ternyata kurang mampu menandingi kakek ini. Coa-ong terlalu lihai. Dan sementara mereka bertempur sambil berteriak-teriak sekonyong-konyong Tok-gan Sin-ni muncul.

"Hi-hi mereka ini mengacau, paduka selir? Kalau begitu kubunuh saja mereka, Coa-ong rupanya tak becus.... plak-plak!" dan rambut Tok-gan Sin-ni yang menjeletar menangkis serangan lawan dan membuat Hek-eng Taihiap dan kawan-kawannya terkejut akhirnya disambut kekeh dan sambaran tongkat di tangan Coa-ong Tok-kwi.

"Heh heh, kau sombong, Sin-ni? Kalau begitu cobalah, ingin kulihat seberapa lama kau dapat merobohkan mereka!" kakek ini mementalkan tombak di tangan Cu-ciangkun, melompat mundur dan mengejek temannya membiarkan Sin-ni menghadapi Hek-eng Taihiap dan kawan-kawannya, dibantu malah keluar arena karena mendongkol pada wanita iblis itu.

Tok-gan Sin-ni terkejut tapi akhirnya terkekeh, diam-diam memaki dan gemas karena Coa-ong yang diringankan pekerjaannya malah sekarang menonton. Dia harus menghadapi empat lawannya dengan ledakan rambut dan pukulan-pukulan sinkangnya. Dan ketika dia mementalkan lawan tapi beberapa jurus kemudian dia dikelilingi sambaran senjata dan tombak serta pedang di tangan Yu Bing yang berkelebatan di antara dorongan-dorongan Hek-eng Taihiap tiba-tiba wanita ini terbelalak karena dia tak dapat mendesak lagi. Jadi kerepotan Coa-ong memang beralasan, Wanita ini terkejut.

Coa-ong tertawa-tawa di luar pertempuran. Tok-gan Sin-ni gemas. Dan ketika pedang dan tombak kembali menyambar-nyambar dan dia marah tiba-tiba wanita ini melengking mengeluarkan Sin-mauw-kang nya (Lecutan Rambut Sakti). Rambutnya keras seperti baja Pedang dan lurus seperti tombak.

"Coa-ong, jangan terkekeh-kekeh seperti orang gila. Kau lihat ini berapa jurus mereka akan kurobohkan... tar-tarr!" rambut tiba-tiba meledak, kaku dan lurus seperti kawat kawat baja saja.

Pedang dan tombak terpental bertemu rambut yang sudah diisi tenaga sakti ini, Yu Bing dan Cu-ciangkup berseru kaget. Dan ketika mereka kembali menyerang namun rambut menangkis sekonyong konyong rambut lemas kembali dan melibat senjata mereka.

"Lepaskan!" Tok-gan Sin-ni membentak, rambut membetot dan dua orang itu tertarik. Yu Bing cepat menggerakkan pedang satunya untuk membabat rambut. Tapi ketika rambut tak dapat dibabat putus dan malah terjerat pula tiba-tiba saat itu Tok-gan Sin-ni terkekeh melepas pukulan sinkangnya dengan kedua lengan didorong ke depan.

"Awas!" Yu Bing sudah membanting diri bergulingan sambil melepas pedangnya. Dia tak sanggup menerima pukulan lawan, terlalu berbahaya. Sinkang Tok-gan Sin-ni setingkat dengan sinkang mendiang suhunya, tentu saja ia bakal celaka. Dan Yu Bing yang sudah melepas pedangnya membanting tubuh bergulingan tiba-tiba meraup pasir menghamburkannya ke mata lawan, di saat Cu-ciangkun juga melepaskan tombaknya melakukan hal yang sama, bergulingan meniru. Dan tok-gan Sin-ni yang tentu saja tidak menduga perbuatan ini tiba-tiba berteriak ketika matanya yang tinggal satu kemasukan pasir!

"Aup, keparat..." Tok-gan Sin-ni menjerit, pedang dan tombak segera dilepaskan dari belitan rambutnya. Yu Bing dan Cu-ciangkun sudah menyambar senjata mereka yang jatuh di tanah, menerjang lagi disusul Hek-eng Taihiap yang girang melihat Tok-gan Sin-ni mengucek-ucek mata sendiri, iblis wanita ini gusar. Tapi ketika pedang dan tombak mental bertemu kekebalan wanita itu yang telah melindungi dirinya dengan sinkang maka Sien Nio yang terbelalak di pinggir berteriak pada Coa-ong.

"Coa-ong, bantu temanmu. Bunuh mereka!"

Coa-ong terperanjat. Tadinya kakek ini terkekeh-kekeh melihat rekannya kemasukan pasir, geli dan gembira karena Tok-gan Sin-ni kelabakan. Tapi begitu sang selir membentaknya menyuruh dia menolong temannya tiba-tiba kakek ini menghentikan tawanya berkelebat ke depan. Saat itu hujan serangan menuju wanita sakti ini, Tok-gan Sin-ni terhuyung dan mengandalkan kekebalan tubuhnya saja, pakaiannya robekrobek tapi tubuh tidak terluka, memaki-maki lawan dan si Raja Ular yang justeru mengejeknya. Tapi ketika Si Raja Ular ini membantu dan Coa-ong berkelebat ke depan tiba-tiba semua sambaran senjata dan pukulan Hek-eng Taihiap terpental.

"Plak plak-plak!"

Tok-gan Sin-ni dapat terbebas sejenak. Wanita ini mundur, Coa-ong menggantikan kedudukannya menghadapi lawan. Kini iblis itu tertawa-tawa kembali dan serangan Yu Bing serta kawan-kawannya dihalau. Dan ketika Tok-gan Sin-ni berhasil menyembuhkan matanya dan memekik nyaring membantu Coa-ong akhirnya Yu Bing dan kawan-kawannya terpaksa mundur. Mereka memang bukan tandingan dua iblis ini, menghadapi seorang di antaranya saja sudah cukup berat. Maka ketika mereka terdesak dan Yu Bing serta kawan-kawannya khawatir maka Hek-eng Taihiap menyarankan mundur.

"Bing-te, mundur. Kita tak dapat mengatasi keadaan!"

"Huh, mundur?" Tok-gan Sin-ni menjengek, marah. "Kalian tak dapat mundur, manusia-manusia busuk. Aku akan membunuh kalian satu persatu!"

Tapi saat itu pertempuran berhenti. Sien Nio melihat beberapa bayangan berkelebat, puteranya tiba-tiba muncul. Pangeran Muda tampak gelisah dan memberi isyarat-isyarat bahaya pada ibunya, tentu saja Sien Nio menangkap dan Pangeran Muda tak berani bicara terus terang di hadapan kaisar. Kerling dan isyarat-isyarat tertentu saja sudah cukup dimengerti Sien Nio. Dan ketika wanita ini tertegun dan puteranya tampak tergesa-gesa maka Pangeran Muda berseru,

"Ibu, ayahanda harus cepat disembunyikan. Suruh mereka yang bertempur melindungi kita!"

Sien Nio tanggap. Dia segera memerintahkan Coa-ong dan Sin-ni menyelesaikan pertempuran. Hek-eng Taihiap dan teman-temannya sudah mundur-mundur terdesak hebat, mereka masih bertahan dan mulai berlari-lari seperti orang kucing-kucingan. Saat itu pasukan Tar-tar tidak lagi menyerang atas perintah Salima. Maka begitu puteranya memberi isyarat dan mereka harus segera bersembunyi maka selir ini berteriak pada dua iblis kepercayaannya itu. Agar mereka membunuh Hek-eng Taihiap dan temannya.

Tapi karena Hek-eng Taihiap dan teman temannya bermain kucing-kucingan dan mereka sendiri ada maksud mundur menjauhkan diri akhirnya Sien Nio kesal menyuruh mereka kembali. Coa-ong dan Sin-ni disuruh membalik melindungi mereka, Hek-eng Taihiap dan teman-temannya terguling-guling menangkis pukulan. Sin-ni hendak mengejar tapi sang selir membentaknya, tentu saja iblis wanita ini kecewa tapi tak berani membantah.

Dan karena suara selir itu penuh kecemasan dan Sin-ni serta Coa-ong menghentikan serangan akhirnya mereka ini membalik melindungi Sien Nio, cepat berlari-lari menuju ke sebuah tempat rahasia di mana Sien No telah menekan sesuatu hingga kamar bawah tanah terbuka. Sien Nio membawa kaisar memasuki tempat itu, Coa-ong dan Sin-ni menghalau lawan di belakang. Dan ketika semua orang masuk di ruangan bawah tanah itu sementara Hek-eng Taihiap dan teman-temannya tertegun di luar maka akhirnya kaisar dan selirnya lenyap di tempat rahasia itu.

Cu-ciangku bingung, mengusap keringat dan cemas memikir junjungannya. Sekarang mereka melihat bahwa suara pertempuran tak ada lagi. Itulah tentu berkat jasa Salima. Dan ketika ingat bahwa satu-satunya orang yang dapat membantu mereka hanyalah gadis itu maka seperti telah di ceritakan di muka Cu-ciangkun dan Hek-eng Taihiap menemui gadis gagah yang perkasa ini, menceritakan terbawanya kaisar bersama Sien Nio, tentu saja bukan sekedar dibawa tapi ditawan secara halus. Sien Nio menyandera kaisar itu tanpa kaisar menyadari. Dan Salima yang melakukan pengejaran dibantu yang lain-lain akhirnya tiba di tempat rahasia ini dan turun di bawah tanah.

Keadaan gelap sekali, Salima terpaksa menyalakan lilin, rombongannya di belakang mengikuti dengan hati berdebar. Tidak banyak orang, hanya sembilan dengan Salima Dan ketika Salima maju sambil memperhatikan peta maka suasana yang dingin dan menyeramkan mengusik hati orang-orang ini. Tapi Salima tak takut. Keberanian dan kegagahan gadis ini membesarkan hati teman-temannya, bahkan mereka malu karena delapan laki-laki harus dipimpin seorang wanita.

Tapi karena maklum bahwa mereka semua kepandaiannya di bawah gadis ini maka tak seorangpun kecil hati atau kecewa oleh keadaan itu. Dan mereka akhirnya tiba di sebuah tempat yang lebih Iuas. Di sini keadaan remang-remang, ada empat pintu yang semuanya tertutup rapat di ruangan itu. Dan Salima yang bingung memilih pintu yang mana yang akan mereka masuki tiba-tiba memadamkan lilinnya.

"Ke mana kita sekarang?"

"Lihat petanya, lihiap. Cari yang jelas agar kita tidak tersesat."

"Semuanya memberi petunjuk berbeda. Pintu di sebelah kanan itu akan menuju ke ruang sembahyang, yang lain menuju tempat abu leluhur dan kamar harta serta ruang samadhi. Mana yang akan kita masuki?"

Semua bingung. "Kita coba yang ke ruang sembahyang lihiap. Barangkali di sana bisa kita temukan." Bu-ciangkun bicara.

"Tidak, kukira ke kamar harta saja. Orang-orang tamak itu tentu ke sana!" Cu-ciangkun menyanggah.

"Baiklah, bagaimana kalau kita ke pintu sebelah kiri itu? Atau rombongan harus dipisah?"

Orang-orang terkejut. Mereka pucat kalau harus berpisah, pusat keberanian ada pada diri Salima. Meskipun mereka tidak takut tapi bisa jadi keberanian mereka terpengaruh. Lawan di dalam terlalu lihai. Ada Coa-ong dan Sin-ni di sana. Dan Salima yang dapat mengerti itu tiba-tiba berkata lagi,

"Baiklah, kita coba ke kamar harta. Hati-hati, semua siap dengan senjata masing-masing!" dan Salima yang sudah membuka pintu sebelah kiri dan masuk dengan cepat tiba-tiba disusul teman temannya yang lain. Tak ada bahaya di sini. Pintu telah menutup kembali dan mereka meneruskan langkah, semua berjinjit dengan ke waspadaan penuh. Dan ketika mereka tiba di sebuah ruangan lain dan tertegun melihat ruangan itu terang-benderang mendadak tawa yang genit menyambut mereka disusul berkelebatnya beberapa bayangan yang menutup jalan keluar, jalan di beiakang tadi.

"Hi-hik, kau mengantar nyawa, Tiat-ciang Sian-li. Dan teman-temanmu ini berkorban cuma-cuma untuk kebodohan ini!" Tok-gan Sin-ni muncul, langsung mengibaskan rambut yang menjelar berbunyi nyaring.

Salima dan rombonganya terkejut karena di samping wanita sakti itu juga muncul bayangan wanita muda yang bukan lain murid-murid wanita iblis itu, Leng Hwat dan adik-adik seperguruannya. Dan ketika mereka tertegun dan bersiap memutar tubuh maka Coa-ong terkekeh-kekeh muncul bersama Bu Ham, pemuda yang bersinar-sinar memandang gadis Tar-tar itu.

"Bocah, kau tak dapat melepaskan diri dari kepungan kami. Bersiaplah menerima kematian!"

Salima mendengus. Saat itu matanya berkeliling ke segala penjuru, tak melihat kaisar maupun selirnya, begitu pula Pangeran Muda. Hanya orang-orang sesat ini yang ada. Melihat keadaannya dia bakal kalah menghadapi lawan-lawan yang lihai. Tapi Salima yang tidak takut dan sedikit heran tak melihat kaisar dan Sien Nio akhirnya melangkah maju menegakan kepala,

"Tok-gan Si-ni dan kau, Coa-ong. Tak perlu sombong menentukan mati hidupnya orang lain. Kami datang karena kami tidak takut. Tapi mana kaisar dan selirnya yang berkhianat itu? Mana mereka?"

"Ha ha, mereka di dalam, Tiat-ciang Sian-li. Paduka selir lagi asyik menjamu sri baginda. Kalian tak dapat masuk kecuali merobohkan kami semua!"

Salima tertegun. Di depan mereka memang ada sebuah pintu yang tertutup, jelas ada sebuah ruangan di balik sana. Salima mengerutkan keping, Tapi Bu ciangkun yang menggereng meloncat maju tiba-tiba membentak menubruk pintu itu. "Sri baginda, paduka dikelilingi pengkhianat. Harap paduka keluar...!"

Panglima tinggi besar itu menghantamkan kedua tangannya. Dia sudah mengerahkan Kang-jiu-kangnya (Tenaga Tangan Baja), sekali sentuh tentu pintu itu akan roboh. Tapi Tok-gan Sin-ni yang terkekeh mengelebatkan rambutnya tiba-tiba membentak panglima itu.

"Mundur...dess!"

Bu-ciangkun roboh, terbanting bergulingan dan memaki-maki wanita iblis ini. Tapi ketika dia hendak nekat lagi dan menyerang lawan mendadak Hek-eng Taihiap berseru,

"Bu-ciangkun, serahkan urusan ini pada Tiat-ciang lihiap. Tahan..." den Hek-eng Taihiap yang cerdik melihat keadaan tidak menguntungkan sudah buru-buru menghadapi Salima, bertanya menekan pundak panglima berangasan itu, “Nona, apa yang harus kita lakukan? Melawan atau menunggu kita diserang?"

Salima menggeretak gigi. "Musuh sudah ada di depan, Hek-eng Taihiap. Mau apalagi kalau tidak menyerang mereka? kalian hadapi Coa-ong dan lain-lain itu, biar Tok-gan Sin-ni menjadi bagianku.... tar!" dan Salima yang mencabut benderanya mengebut ke depan tiba-tiba tidak banyak bicara lagi menyerang Tok-gan Sin-ni. Wanita ini berada paling dekat dengannya, dan dialah yang menghalangi pintu. Keadaan memaksa Salima untuk bergerak, tak ada alternatif lain. Musuh sudah menghadang.

Dan begitu bendera dikebut dan Tok-gan Sin-ni mengelak maka Salima melepas pukulan Petirnya dengan tangan kiri. Sebentar kemudian menggerakkan teman-temannya yang lain untuk menyerang. Hek-eng Taihiap dan tujuh temannya melolos senjata dan terpaksa mengikuti. Tak ada jalan lain pula bagi mereka. Dan begitu semua menyerbu dan Hek-eng Taihiap agak khawatir maka pendekar ini menyerang Coa-ong Tok-kwi dibantu Yu Bing.

"Twako, cabut pedangmu. Kita mainkan pasangan Tiga Sudut!"

Hek-eng Taihiap mencabut pedangnya. Dia bersama temannya ini sudah menghujani lawan dengan bacokan dan tikaman Pedang hitam di tangan Hek-eng Taihiap tampak garang, pendekar itu mainkan Hek-eng Kiam-sutnya bersama Yu Bing yang mainkan Pek-houw Kiam-sutnya Sang-kiam (sepasang pedang) di tangan Yu Bing juga menyambar-nyambar tak kalah ganas dibanding Hek-eng Taihiap.

Coa-ong tentu saja menangkis dan tertawa-tawa menghadapi dua lawannya ini, orang-orang muda yang cukup tangguh dan kini bekerja sama mengeroyoknya. Dan begitu yang lain bergerak dan mencabut senjata masing-masing untuk menyerang yang lain maka Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun serta Sin-to Sam-enghiong yang juga sudah menerjang lawan segera menghadapi rombongan Leng Hwat dan adik-adiknya, dibantu Bu-kongcu, yang berteriak pada Tok-gan Sin-ni agar menangkap hidup-hidup gadis Tar-tar itu.

Rupanya murid Mo-ong ini masih tergila-gila pada Salima, tak jera dan tetap menghendaki gadis itu menjadi kekasihnya. Salima tentu saja muak dan marah. Dan ketika pertempuran pecah di tempat ini dan keributan terjadi di depan pintu yang masih tertutup itu maka dentang senjata dan suara pukulan mulai menggetarkan dinding ruangan.

Salima dan Tok-gan Sin-ni berjalan seimbang. Masing-masing sudah beberapa kali bertemu dan mengenal kehebatan masing-masing pihak. Tok-gan Sin-ni dengan Sin-mauw-kangnya (Tenaga Rambut Sakti) sedang Salima dengan Tiat-lui-kangnya, pukulan Petir. Dua-duanya coba mendesak dan menekan yang lain. Berkali-kali pukulan beradu dan masing-masing sama terdorong. Tapi karena baru kali ini Salima mengeluarkan benderanya dalam pertandingan menghadapi lawan dan ilmu bendera itu masih asing bagi Tok-gan Sin-ni maka tak lama kemudian Tok-gan Sin-ni terdesak.

“Keparat, kau hebat, Tiat-ciang Sian-li. Benderamu menghalangi pandangan!"

Salima tersenyum mengejek. Tok-gan Sin-ni memaki benderanya, memang betul beberapa kali kebutan bendera membuat pandangan lawan terhalang. Tok-gan Sin-ni tentu saja marah tapi ia belum berhasil merobohkan Iblis wanita itu betapa pun bukan lawan enteng. Dan ketika rambut menjeletar dan bendera menangkis maka untuk pertama kalinya pukulan Petir di tangan kiri Salima menyelinap mengenai lawan.

"Dess!" Tok-gan Sin-ni terpental. Wanita ini memekik. Salima mengejar dan kembali Tiat-lui-kang serta bendera menyambar. Dia mengelak tapi pundak kirinya masih keserempet, Tok-gan Sin-ni marah dan melengking-lengking. Dan ketika pukulan demi pukulan mencecar wanita ini dan Tok-gan Sin-ni berteriak-teriak maka Salima mendesak lawan meskipun untuk merobohkan dibutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Iblis wanita itu menggerakkan rambut berulang-ulang untuk menahan serangan Salima, tetap saja bingung oleh gerakan bendera yang belum begitu dikenal. Berkali-kali harus membiarkan tubuhnya disengat pukulan Petir yang tertutup di balik kebutan bendera, itulah kelihaian Salima yang membuat wanita ini menggeram. Untung sinkangnya cukup kuat hingga ia mampu bertahan, betapa pun tidak sampai terluka kecuali kesakitan dan pedas disengat pukulan Petir itu, yang bagi orang lain tentu sudah bakal mencelakakannya dan roboh.

Dan ketika Salima mendesak dan lawan berlompatan mengelak ke sana-sini maka di lain pihak pertempuran di antara Hek-eng Taihiap dan teman-temannya yang lain tak begitu menggembirakan. Hek-eng Taihiap tak dapat merobohkan Coa-ong, meskipun dibantu Yu Bing. Dua orang ini bahkan kewalahan menghadapi si Raja Ular yang terkekeh-kekeh mainkan suling dan tongkatnya itu. Kejadian serupa dialami dua orang ini ketika mereka bertempur di luar kamar rahasia.

Tapi karena Hek-eng Taihiap kali ini melepas pedang hitamnya dan bersama Yu Bing menyerang dan menangkis serangan lawan yang membalas mereka maka meskipun tak dapat mendesak dua orang ini dapat bertahan menghadapi suling dan tongkat di tangan si Raja Ular itu. Untuk beberapa jurus keadaan masih berimbang. Betapapun Yu Bing adalah murid seorang tokoh macam mendiang Cheng-bin Yu-lo. Hek-eng Taihiap juga seorang laki-laki gagah yang ilmu kepandaiannya cukup tinggi, setingkat di atas Yu Bing.

Tapi karena lawan yang mereka hadapi adalah seorang kakek iblis yang kepandaiannya luar biasa dan Coa-ong mulai menyemburkan jarum-jarum beracunnya ke arah mereka maka tak lama kemudian kedudukan berimbang ini mulai berubah. Hek-eng Taibiap dan temannya terdesak, mereka sering terhuyung setiap kali menangkis. Sinkang lawan memang lebih hebat. Dan ketika sebatang jarum nyaris mengenai leher Hek-eng Taihiap dan pendekar ini bergulingan membanting tubuh maka sama seperti di luar tadi Coa-ong mulai merajalela dengan permainan suling dan tongkatnya.

"Heh heh, kalian akan mampus, anak anak muda. Aku akan mengantar kalian menghadap Giam lo-ong (Raja Maut)!"

Yu Bing dan Hek.eng Taihiap pucat. Pendekar Garuda Hitam itu telah melompat bangun kembali menyerang lawan, semakin hati-hati dan gelisah menghadapi jarum-jarum yang menyambar. Dan Yu Bing yang marah serta bingung menghadapi lawan tiba-tiba berseru,

"Siok-twako, jaga diriku. Aku akan membabat tongkatnya!" Yu Bing menubruk, tubuh berkelebat ke depan menerjang kakek ini. Pedang di tangan kanan menyambar tenggorokan tapi pedang di tangan kiri membacok pergelangan tangan lawan yang memegang tongkat. Rupanya Yu Bing hendak menghancurkan tongkat di tangan Coa-ong yang dapat melepas jarum-jarum rahasia itu. Hek-eng Taihiap kaget. Tapi ketika Yu Bing menusuk dan Hek-eng Taihiap terbelalak maka Coa-ong terkekeh menggerakkan suling dan tongkatnya.

“Trak-trakk!" Pedang di tangan Yu Bing terpental. Pemuda itupun tergetar, tapi Yu Bing yang mengeraskan hati menendang selangkangan lawan tiba-tiba membentak menyapu si kakek yang baru menangkis pedangnya. Coa-ong berkelit dan Yu Bing membacokkan pedangnya lagi, dua kali berturut-turut membentuk sinar pelangi yang melengkung dari atas ke bawah. Itulah jurus Sepasang Harimau Menukik Dari Langit.

Coa-ong tampak terkejut, tapi terkekeh, gerakkan pedang dengan suling di tangan kanan. Dan ketika gerakan ke dua menurun cepat menuju tongkatnya tiba-tiba kakek ini memapak sekaligus melepas dua jarum hitam ke muka Yu Bing.

"Awas..." Hek-eng Taihiap kaget, berseru keras menerjang maju. Pedang di tangannya ikut bergerak membacok punggung. Saat itu Yu Bing miringkan kepala mengelak sambaran jarum, pedang di tangannya sudah terus meluncur menabas tongkat di tangan lawan. Gerakannya dekat dan amat berani. Coa-ong terkejut karena anak muda itu tidak menarik serangannya dan membiarkan diri menghadapi jarum, yang kini meluncur dan amblas di bahu pemuda itu. Yu Bing mendesis menahan sakit. Dan ketika tongkat tepat dan Yu Bing membentak mengerahkan tenaganya yang terakhir tiba-tiba ujung tongkat di tangan kakek itu putus tapi bersamaan itu pula puluhan jarum peçah menyambar Yu Bing.

"Heii....!" Namun Yu Bing tak dapat mengelak lagi. Dia sudah menerima puluhan jarum itu, semuanya menancap di tubuhnya seperti duri-duri di atas buah semangka. Yu Bing mengeluh dan kontan terjungkal. Hek-eng Taihiap terkejut. Dan ketika Coa-ong juga terkejut dan terbelalak melihat tongkatnya dipapas ujungnya maka saat itu pedang di tangan Hek-eng Taihiap mengenai punggungnya.

"Cret!" Coa-ong meraung tinggi. Kakek ini terluka sedetik dia lengah hingga tidak melindungi bagian itu dengan sinkang. Raja Ular ini terhuyung. Tapi begitu dia membalik dan menggeram marah tiba-tiba suling di tangannya ditimpuk menghantam dada pendekar ini.

Hek-eng Taihiap mencelos dan tentu saja kaget bukan main. Dia baru menyerang, tubuh sedang maju ke depan, tak mungkin ditarik mundur. Suling menyambar dan sudah mengancam dadanya dengan kecepatan luar biasa, tak ada harapan lagi bagi pendekar ini untuk menangkis. Jangankan menangkis, mengelak saja tidak keburu. Tapi ketika Hek-eng Taihiap terbelalak dan siap menerima kematian dengan mengeluh di dalam hati sekonyong-konyong sebuah bayangan berkelebat menimpuk sesuatu menangkis suling yang menyambar pendekar ini, di tempat Leng Hwat dan adik-adiknya terdengar jerit dan pekik kaget.

Leng Hwat dan saudara saudaranya terpelanting bergulingan. Bayangan itu rupanya merobohkan dan mengibas pertempuran di sini sebelum menyelamatkan Hek eng Taihiap. Dan begitu suling bergerak dan hancur bertemu sebutir batu hitam dan Leng Hwat serta kawan-kawannya melompat bangun maka Hekeng Taihiap melihat siapa yang datang.

"kim-mou-eng....!"

Coa ong dan Hek-eng Talhiap sama-sama terkejut. Mereka melihat Pendekar Rambut Emas itu telah berdiri di situ, rambutnya yang panjang keemasan berkibar dibelakang pundak. Gagah dan perkasa! Hek-eng Taihiap terkejut tapi girang bukan main sementara Coa ong terkejut gentar bukan kepalang. Tentu saja kaget karena kedatangan pendekat itu tak disangkanya sama sekali, dua bayangan tiba tiba muncul di belakang pendekar ini, putera mahkota dan Kim taijin. Dan ketika Coa-ong terbelalak dan pertempuran otomatis terhenti mendadak Raja Ular yang melihat kedudukan terancam tiba tiba memutar tubuhnya dan melarikan diri.

"Paduka selir, tolong...!"

Tok-gan Sin-ni terperanjat. Saat itu dia juga melihat kehadiran Pendekar Rambut Emas ini. Pemuda sakti itu berdiri tegak merobohkan murid-muridnya, Bu-kongcu juga bergulingan di sudut. Kini pertempuran di antara murid-muridnya dengan Bu-ciangkun dan lain-lain itu terhenti. Semua gentar memandang Kim-mou-eng. Dan melihat Coa-ong juga melarikan diri memasuki ruangan dalam membiarkannya sendirian di situ tiba-tiba iblis wanita ini memekik berjumpalitan kebelakang, seketika membuka pintu melarikan diri meninggalkan Salima.

Tentu saja Leng Hwat dan teman-temannya ikut memutar tubuh. Serentak tanpa dikomando lagi mereka mengikuti jejak sang guru, menjerit dan lari berserabutan dahulu-mendahului. Pintu terbuka dan tampak kaisar serta selirnya duduk di depan meja bundar. Pangeran Muda juga ada di situ. Pangeran ini pucat. Dan ketika pintu hendak ditutup tapi Salima menerjang hingga pintu itu jebol maka Kim-mou-eng dan sumoinya telah berada di sini. Salima terkejut dan terheran-heran kepada suhengnya, tapi menunda keheranannya itu dengan membentak ke dalam.

"Tok-gan Sin-ni, kalian telah terkepung oleh kami. Harap menyerah dan menerima hukuman dengan baik baik!"

Tok-gan Sin-ni dan lain-lain pucat. Mereka ini sebenarnya tak menduga kehadiran Kim-mou-eng. Bukankah Pendekar Rambut Emas terluka dan masih beristirahat? Tapi melihat kehadiran pendekar itu dan sepak terjangnya merobohkan Leng Hwat dan menghancurkan suling Coa-ong maka Tok-gan Sin-ni gentar tak menjawab. Kaisar tampak kebingungan melihat semua yang terjadi. Dan Salima yang membentak lagi menyuruh orang-orang yang di dalam menyerah akhirnya disambut Sien Nio yang bangkit berdiri, Coa-ong siap melakukan serangan maut di belakang kaisar.

"Tiat-ciang Sian-li, kami tak berurusan denganmu. Sebaiknya minggir dan biar yang lebih berkepentingan bicara ke depan,“ selir ini memandang Kim-taijin dan pangeran mahkota, sikapnya tenang namun pangeran mahkota dan Kim-taijin melihat gerakan mencurigakan di balik jari-jari selir ini. Kaisar tiba-tiba roboh pingsan. Coa-ong memperhatikan terus gerak-gerik sélir itu. Dan ketika Salima melotot namun pangeran mahkota maju ke depan akhirnya pangeran ini bicara tak tedeng aling-aling lagi.

"Ibunda selir, kau mau bicara apalagi setelah rencana pemberontakanmu ini gagal? Kau minta bebas dengan menukar ayahanda kaisar?"

"Kau cerdik," selir ini tertawa mengejek. "Itu yang kumau sekarang, pangeran. Aku memang merasa gagal dengan segala kebodohan anak anak-buahku. Tak kusangkal, kau telah mengetahui semua ini. Dan Kim-taijin rupanya merupakan pembantu paling cerdik di belakangmu. Bagaimana kalau kita tukar-menukar?"

Pangeran mahkota tak segera menjawab. Dan marah memandang selir ayahandanya yang berkhianat itu, matanyapun berapi memandang sang kakak, Pangeran Muda yang berdiri di belakang ibunya. Dan teringat Yu busu hendak membunuhnya di hutan di luar kota raja tiba-tiba pangeran ini menggeram.

"Kanda pangeran, kaupun ternyata keji. Sungguh tak kusangka di balik semua keramahanmu ini terdapat keculasan tak tahu malu yang menjijikkan!"

"Ha ha, tak perlu lagi kusangkal semuanya itu, adik pangeran. Ibu menghendaki aku merampas kedudukan."

"Dan kau yang memerintahkan Yu-busu untuk membunuhku di luar kota raja?"

"Benar.“

"Dan kau pula yang menyuruh Hek-bong Siang lo-mo membunuh Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun?”

"Ha ha, tak kusangkal pula, adik pangeran. Tapi mereka tolol tak dapat melaksanakan tugas dengan baik."

"Kau keji!" Bu-ciangkun tiba-tiba membentak. "Kau tak tahu budi, Siauw-ongya. Ibumu yang sudah mendapat kedudukan terhormat itu ternyata masih juga tak kenal puas. Kalian serakah. Kiranya patut dibunuh saja kalian ini dari pada dibiarkan hidup!"

"Ha-ha, kalian berani membunuh kami? Kalau begitu aku terpaksa membunuh ayahku sendiri!" Pangeran Muda menyambar kaisar yang pingsan, dengan kasar tangannya mencekik leher ayahnya itu. Semua orang terkejut karena pemuda ini ternyata tak sungkan-sungkan mencengkeram leher ayahnya, begitu saja seolah ayahnya itu seekor ayam atau kerbau.

Pangeran mahkota membentak menyuruh kakaknya melepas kaisar. Dan ketika Pangeran Muda tertawa dan mundur di sebelah ibunya maka Kim-taijin maju dengan mata bersinar-sinar.

"Paduka selir, hari ini urusan di antara kita harus diselesaikan. Kedudukan pihak mu tak menggembirakan, sebaiknya katakan saja apa yang kalian maui dan biar pangeran memberi putusan."

"Aku mau bebas!" Sien Nio berkata tinggi. "Kami semua ingin pergi dari tempat ini dengan baik-baik, Kim-taijin. Dan sebagai gantinya kaisar akan kami serahkan pada kalian!"

"Baik, bagaimana, pangeran?"

"Aku setuju, tapi...."

"Tidak, nanti dulu, ibu!" Pangeran Muda tiba-tiba memotong, "Kebebasan kita masih harus ditambahi lagi syarat-syarat lain seperti yang telah kita rencanakan tadi!" dan ketika adiknya terbelalak dan ibunya mengangguk maka pangeran ini berkata pada pangeran mahkota, "Adik pangeran, keselamatan ayahanda kaisar terlalu murah bila ditukar dengan kebebasan kami belaka. Ada tambahan tambahan lain yang ingin kami ajukan!"

"Apa itu?"

"Pertama, seluruh harta yang ada di sini harus ikut kami!" pangeran itu memandang sepuluh peti emas di balik dinding kaca, ibunya mengangguk-angguk dan matanya rakus melahap semua peti peti harta itu.

"Kedua, kami dibebaskan dari segala hukuman dan tak boleh dikejar baik sekarang maupun kelak. Dan ke tiga...."

"Wan Cu diberikan kepada kami dan dibebaskan pula!"

"Pangeran...." sang ibu terkejut. "Kenapa Wan Cu kau bawa-bawa? Tidak, dia tak perlu diikutsertakan, pangeran. Ibu tak setuju dan biar kebebasan ini hanya berlaku pada kita yang ada di sini, bukan orang luar yang ada sangkut-pautnya?"

"Ah, Wan Cu bukan orang luar, ibu, Ia sahabat yang harus ditolong. Aku mencintainya, ia...”

"Pangeran?" ibunya tiba-tiba membentak, marah sekali. "Apa yang kukatakan tak perlu kau bantah lagi. Wanita itu milik Gurba, kau dapat mencari wanita lain dan jangan membuat malu ibumu di sini!" dan berang membanting kaki, harus ribut dengan anaknya sendiri di depan begitu banyak orang tiba-tiba selir ini sudah menghadapi pangeran mahkota.

"Pangeran, dua syarat yang diajukan putreraku tadi jelaskan dulu apakah dapat kau terima atau tidak. Kalau dapat diterima maka syarat ke tiga adalah..."

"Kebebasan Wan Cu!"

"Tidak, kebebasan orang-orang kami yang kau tangkap!"

"Tidak, Wan Cu, ibu. Wan Cu lebih penting daripada yang lain-lainnya itu. Aku..."

"Diam!" ibunya menghardik. “Wan Cu sudah bukan milikmu lagi, pangeran. Kebebasan yang lain lebih penting karena kau dapat menjadi raja kecil di suatu tempat nanti. Mereka itu lebih penting daripada Wan Cu. Kau tak perlu membantah!" dan sang selir yang sudah menghadapi pangeran mahkota lagi setelah dipotong puteranya tadi lalu bertanya dengan mata berapi-api, "Bagaimana, pangeran? Kau dapat mengabulkan permintaan-permintaan kami?"

Pangeran mahkota tertegun. Dia melihat kakaknya menggigil di belakang sana, sang ibu sudah menghentikan puteranya dengan sikap yang keras. Ketegangan ibu dan anak tiba-tiba menonjol di situ, Kim-taijin berbisik-bisik. Dan ketika melihat ibunda selir merah padam dan pangeran mahkota harus mengambil keputusan tiba-tiba pangeran ini mengangguk dengan tinju terkepal.

"Baik, syarat pertama dan ke dua kuterima, ibunda selir. Sedang syarat yang ke tiga aku ragu karena di antara kalian terdapat perbedaan pendapat. Siapakah yang harus dibebaskan, anak-anak buah kalian ataukah Wan Cu!"

"Aku tak memikir Wan Cu, pangeran. Anakku harus menjadi raja dan anak-anak buahku itu akan menjadi pengikutnya, rakyatnya!"

"Bagaimana pendapat kanda pangeran sendiri?"

"Aku...."

"Dia tak berhak bicara, pangeran. Aku yang memimpin disini!" ibunda selir tiba-tiba memotong puteranya. Pangeran Muda menghentikan kata-katanya yang baru sepotong itu dan sang ibu menghardiknya. Kembali ketegangan terjadi di antara ibu dan anak ini. Sien Nio rupanya menginginkan pembantu-pembantunya yang lain dibebaskan dan puteranya menjadi raja di suatu tempat sedang anaknya sendiri menghendaki Wan Cu karena mencintai kekasihnya itu, tak perduli pada pembantu-pembantu lain asal Wan Cu ikut bersamanya.

Betapa besarnya perasaan pangeran ini terhadap Wan Cu. Tok-gan Sin-ni dan lain-lain terbelalak karena baru sekarang mereka mengerti bahwa terdapat "perang dingin" di antara ibu dan anak ini, masalah Wan Cu. Dan melihat keadaan bakal tidak menguntungkan dirinya apabila ibu dan anak itu cekcok padahal kebebasan sudah di ujung mata tiba-tiba Tok-gan Sin-ni mendekati pangeran itu berbisik lirih,

"Pangeran, urusan Wan Cu serahkan saja kepadaku. Aku nanti dapat menculiknya kalau kita sudah keluar. Jangan kalian bertengkar, keadaan ini tak menguntungkan kita karena lawan akan mentertawakan kalian saja."

"Tapi pekerjaanmu sering gagal, Sin-ni," pangeran agak tak percaya. "Dapatkah nanti kau membawa Wan Cu?"

Tok-gan Sin-ni agak merah mukanya. "Aku dapat minta bantuan Coa-ong, pangeran. Lagi pula teman-teman kita seperti Mo-ong dan lain-lain itu ada di luar!"

"Baiklah, kalau begitu kuharap kau berhasil, Sin-ni. Tapi kalau sekali ini gagal akupun tak mau percaya kau lagi!"

Percakapan itu berhenti. Tok-gan Sin-ni mundur dengan aneh, pangeran mahkota sudah memandang ibunda selir. Dan ketika Pangeran Muda tak maju lagi mengalah pada ibunya maka sabagai ibu menghadapi lawan bertanya kembali,

"Bagaimana, pangeran? Kau dapat terima ketiga tambahan syarat ini?"

Sang pangeran mengangguk.

"Dan kalian tak akan menyerang kami?"

"Aku sudah berjanji, ibunda selir. Kalian boleh bebas dan lepaskan ayahanda kaisar!"

Sien Nio tiba-tiba tertawa. "Kami tak mau mengambil resiko, anak pangeran. Sebaiknya sri baginda kami bebaskan setelah kami di tempat aman. Tapi sebelumnya ingin kutanya sesuatu, dapat kah kau memberi penjelasan?"

"Apa yang ingin kau ketahui?"

"Cu-thaikam dan lain-lain itu. Kau tangkapkah mereka?"

Pangeran terbelalak, mengangguk. "Dari mana kau tahu?"

"Apa maksudmu?"

"Aku mengetahui ada seorang pengkhianat di antara kami, pangeran. Sebaiknya jelaskan saja pada kami siapa pengkhianat itu hingga kau dapat menangkap Cu-thaikam dan lain-lain!" ibunda selir tiba-tiba bengis, matanya menyorot kemarahan ditahan. Sang pangeran menjublak dan bingung.

Tapi karena dia sukar menjawab mendadak Kim-taijin maju ke depan tampil bicara, "Yang memberi tahu kami adalah sekutumu sendiri, paduka selir. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Cu!"

"Paman...!" sang pangeran terkejut, merasa nama Wan Cu harus dilindungi tapi Kim-taijin menggelengkan kepalanya, pembesar setia ini rupanya siap memukul Sien Nio. Mukanya merah tapi berseri-seri. Dan ketika Sien Nio dan lain-lain terkejut oleh pengakuan ini maka Kim-tajjin sudah tersenyum memberi keterangan lebih lanjut,

"Benar, yang memberi tahu kami tentang semua komplotan kalian adalah Wan Cu, paduka selir. Dialah yang memberi tahu kami untuk bersetia kepada negara. Wan Cu teringat budi kaisar kepadanya, jabatan yang diberikan dan melihat sepak terjang kalian yang salah. Dan karena wanita itu sadar dan ingin menebus kesalahannya maka Wan Cu datang kepada pangeran mahkota dan memberikan daftar para pemberontak yang tersesat."

"Bohong...!" Pangeran Muda tiba-tiba berteriak. "Kau bohong, Kim-taijin. Kau dusta!"

"Pernahkah aku orang tua dusta, pangeran?! Sebaiknya paduka tanyakan adik paduka, tentu pangeran mahkota membawa catatan kitab kecil yang berisi nam-nama pembantu kalian itu," dan Kim-taijin yang menoleh pada junjungannya sudah berseru, menggerakkan lengan ke depan. "Pangeran, tunjukkan pada kakak paduka akan kitab catatan itu. Buktikan padanya bahwa aku orangtua tak bohong!"

Pangeran mahkota bingung. Sebenarnya dia ingin melindungi Wan Cu, betapa pun dia sudah berjanji. Tapi mendengar penasihat ayahnya ini tak menyinggung-nyinggung bahwa Wan Cu mengkhianati ibunda selir karena tahu hubungannya tak direstui selir yang jahat itu maka dengan tenang dan sungguh-sungguh pangeran ini mengeluarkan kitab catatan itu, melemparkannya ke kaki kakaknya. "Baiklah, kau lihat, kanda pangeran. Apakah kitab ini bukan berasal dari kalian!"

Pangeran Muda memungutnya. Dengan menggigil dan muka pucat dia membuka kitab itu, menbolak-balik isinya. Dan melihat bahwa kitab ini benar-benar kitab yang diberikannya pada Wan Cu dan tanda tangan ibunya serta dirinya ada di situ mendadak pangeran ini menggeram membanting kitab itu, menginjak-injak dengan kakinya. "Wan Cu pengkhianat!"

Semua orang terbelalak. Mereka rata-rata terkejut melihat kemarahan pangeran ini, tapi ibunda selir yang tiba-tiba terkekeh melangkah maju tahu-tahu menekan pundak puteranya ini. "Pangeran, benar Wan Cu yang memberikan kitab catatan itu? Kitab itu betul milik kita?"

Sang pangeran menggigil, tak menjawab. Tapi ibunya yang kembali tertawa dan tahu apa yang terjadi tiba-tiba berkata lagi dengan suara mengejek, "Nah, sekarang kau tahu kwalitet wanita itu, pangeran. Apa yang ibu bilang ternyata cocok. Wan Cu memang tak pantas untukmu, dan kini pengkhianatannya itu membuktikan kepada kita bagaimana tindak-tanduknya!"

Sang pangeran masih menggigil. Pemuda ini memang kaget dan marah bukan main melihat kenyataan itu. Dialah yang memberikan kepada kekasihnya kitab catatan itu untuk disimpan. Sama sekali tak menduga kalau kekasihnya berkhianat. Tak ingat diri sendiri bahwa diapun pengkhianat. Dan ketika suara dan tawa ibunya seolah talu yang memukul-mukul dirinya dan pangeran ini terhuyung tiba-tiba pangeran itu roboh mendekap ibunya.

"Ibu, Wan Cu ternyata sekutu yang busuk. Biarlah sekarang kuturut dirimu dan tak perlu wanita itu diberikan lagi padaku!" pangeran ini menangis, ibunya tersenyum dan mengangguk-angguk.

Tentu saja itu satu kemenangan bagi sang selir ini. Secara tiba-tiba anaknya melepaskan diri sendiri dari ikatan cintanya kepada Wan Cu, wanita yang memang tidak disetujui ibunda selir ini untuk mendampingi puteranya. Tak tahu pengkhianatan Wan Cu disebabkan ulahnya sendiri, ketika selir itu marah-marah kepada putaranya, di dengar Wan Cu yang saat itu diculik Salima. Dan ketika Pangeran Muda menggeram-geram dan berkeretat gigi menghapus air matanya maka keputusan sudah bulat bahwa yang dibebaskan adalah pengikut pengikut mereka yang lain, bukan Wan Cu.

Pangeran mahkota mengangguk dan menyetujui usul ini. Ibunda selir lalu menyuruh yang lain-lain membawa peti-peti harta itu, bekal untuk kelak puteranya menjadi raja di suatu tempat. Sebuah angan-angan yang tetap ambisius. Dan begitu pangeran mahkota memberi jalan dan rombongan Sien Nio ini melangkah lebar keluar sambil membawa sri baginda maka kebebasan mutlak telah di berikan pada rombongan ini untuk melaksanakan tukar menukar.

Saat itu juga para pemberontak yang tertangkap dilepaskan, Cu-thaikam dan lain-lain ikut bebas. Sien Nio menyatakan sri baginda akan diberikan di luar gerbang kota raja. Kereta dan pasukan berkuda menyertai rombongan ini, tentu saja rombongan menjadi besar dan Bu-ciangkun berulang-ulang mengerotokkan buku-buku jarinya saking geram dan marahnya. Marah karena tak dapat berbuat apa-apa karena pangeran mahkota telah berjanji, mereka dilarang menyerang dan melukai musuh. Dan ketika rombongan ini keluar kota raja dan Sien Nio tertawa gembira memperoleh kebebasannya. Ketika tepat mereka tiba diluar pintu gerbang ada bayangan yang berkelebat.

"Pangeran muda, aduh, tolong...?"

Orang-orang terkejut. Saat itu penyerahan kaisar siap dilakukan. Pekikkan wanita terhadap pangeran yang tak jelas ini terdengar mendirikan bulu roma, suaranya menyayat dan bercampur rintihan. Orang melihat wanita yang berteriak ini muncul dari balik bayang-bayang gelap, belum jelas siapa tapi suaranya seolah sudah dikenal. Tapi ketika bayangannya sudah mendekat dan orang mengenal siapa wanita ini tiba-tiba semua orang tertegun karena wanita yang jatuh bangun memanggil-manggil itu ternyata Wan Cu!

"Pengeran, tolong. Selamatkan aku...!"

Wan Cu berlari-lari, kini orang mengetahui Bahwa yang dimaksud adalah Pangeran Muda. Wan Cu riap-riapan dengan muka seputih kertas. kembali terjatuh tapi sudah bangkit lagi menuju Pangeran Muda. Di belakangnya terdengar geraman yang tak kalah mendirikan bulu kuduk, sesosok bayangan tinggi besar tersaruk-saruk mengejar wanita cantik itu. Suaranya serak memanggil-manggil wanita itu, Wan Cu ketakutan. Dan ketika bayangan ke dua juga muncul dari kegelapan terlihat siapa dia tiba-tiba semua orangpun tertegun berseru kaget.

"Gurba...!"

Ternyata benar. Bayangan tinggi besar ini ternyata memang Gurha adanya, pemimpin Tar-tar yang dahsyat itu. Memanggil-manggil nama Wan Cu sambil berkali-kali mendekap dada sendiri yang sakit. Gurba masih terluka. Dan ketika Wan Cu menubruk Pangeran Muda dan. Gurba tiba di sini maka raksasa tinggi besar ini menggereng.

"Wan Cu, kau ikut aku. Lepaskan pangeran...!"

"Tidak... tidak..! Aku tak mencintaimu, Gurba. Aku mencintai kekasihku ini dan kau pergilah...!"

"Tapi sang pangeran telah memberikan dirimu kepadaku. Kemarilah!" Gurba menggereng, maju melompat dan menubruk Wan Cu.

Wan Cu berteriak berlindung di balik punggung Pangeran Muda. Keadaan tiba-tiba menjadi gempar karena urusan ini merupakan persoalan baru bagi semua orang, terutama Pangeran Muda yang terbelalak melihat kekasihnya itu. Wan Cu tampak menyedihkan dan menangis memeluk punggungnya. Tapi ketika Wan Cu mengguguk dan Gurba menggapai-gapai wanita cantik itu tiba-tiba Pangeran Muda menendang Wan Cu hingga wanita ini menjerit terkapar roboh.

"Wan Cu, kau pengkhianat!"

Wan Cu terpelanting. Dia terkejut dan menangis tersedu-sedu, Gurba menyeringai melangkah maju. Tapi ketika raksasa itu hendak menangkap dirinya dan Wan Cu melompat bangun tiba-tiba wanita ini berseru marah menahan Gurba, "Tahan, biarkan aku bicara, Gurba. Ada sesuatu yang hendak kubuka di sini!" dan memutar tubuh menghadapi kekasihnya dengan air mata bercucuran Wan Cu bertanya, "Pangeran, apa maksudmu dengan kata-kata mu itu? Siapa yang kau anggap pengkhianat?"

Pangeran Muda menghentakkan kaki. "Kaulah yang kumaksud, Wan Cu. Kau pengkhianat yang menjebloskan kami semua. Tak perlu kau tanya tentunya kau sendiri sudah mengerti!"

"Dan kau tak mau membawa aku seperti janjimu semula?"

"Bah, aku muak padamu, Wan Cu. Lebih baik membawa seekor anjing daripada membawa dirimu!"

"Pangeran....!"

"Tidak, kau dengarkan aku, Wan Cu. Aku sudah tak mau melihat dirimu lagi sebagaimana ku janjikan dulu. Kau merusak perjuangan yang hampir berhasil, kau menyia-nyiakan cintaku dan aku benci padamu! Kau dengar? Aku benci padamu Wan Cu. Aku benci pada mu...!" dan pangeran meludah di muka Wan Cu tiba-tiba membuat Wan Cu mengeluh mendekap dadanya.

"Pangeran, kau tak mencintaiku lagi? Kau benar-benar menurut ibumu? Baik, kukatakan sekarang padamu, pangeran. Bahwa apa yang kulakukan adalah gara-gara siluman betina ini, yang membuat aku merana. Dialah perusak dan pembujuk tak tahu malu. Aku telah mendengar pembicaraan kalian. Dengarlah...."

Dan Wan Cu yang lalu menceritakan semuanya dengan tangis dan sedu-sedan ditahan tentang pertikaian di kamar Sien Nio di mana Pangeran Muda mengalah pada ibunya dan akan meninggalkan Wan Cu tiba-tiba membuat pangeran ini dan yang lain-lain terbelalak. Bahwa di antara ibu dan anak terdapat perbedaan pendapat. Pangeran Muda merencanakan membunuh Gurba kalau kelak perjuangan berhasil, Wan Cu harus dirampasnya kembali dan Gurba dipergunakan sebagai alat belaka.

Sang ibu menolak karena pilihan puteranya tak disetujui, Wan Cu biarlah ikut Gurba karena wanita cantik itu telah diberikan kepada raksasa tinggi besar ini. Wan Cu mengakui pula bahwa dia tetap mencintai Pangeran Muda, bukan Gurba. Rahasia hatinyapun dibeberkannya tanpa tadeng aling-aling lagi. Kebusukan ibu dan anak dibuka.

Gurba pucat mendengar pernyataan Wan Cu kepadanya karena terpaksa saja. Bahwa cinta yang di berikan wanita itu adalah bukan cinta sebenarnya. Wan Cu masih terikat kepada Pangera Muda. Jadi semuanya semu belaka dan Wan Cu pun menipu, demi kekasihnya, Pangeran Muda, yang berjanji akan membawa Wan Cu kalau perjuangan telah berhasil. Dan ketika satu demi satu semua peristiwa itu dibuka Wan Cu dan percakapan ibu dan anak ditelanjangi begitu saja karena Wan Cu juga ingin membalas sakit hatinya maka semua yang bersangkutan kaget dan pucat serta merah berganti-ganti.

Gurba menggeram bagai singa haus darah, berkali-kali mengeluh dan memandang pucat kearah Wan Cu. Wanita yang dicinta itupun mempermainkannya. Wan Cu ganti dipermainkan Pangeran Muda. Semua blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi. Dan ketika Wan Cu selesai dan semua orang pucat mendengar ini tiba-tiba Gurba menubruk Wan Cu penuh kemarahan, merasa tertipu.

"Wan Cu, kau wanita jahanam...."

Wan Cu menjerit. Dia sudah diterkam raksasa ini, berusaha mengelak tapi tertangkap juga. Roboh bergulingan. Tapi Pangeran Muda yang kini sudah tahu duduk persoalan sebenarnya mengapa Wan Cu berkhianat tiba-tiba membentak dan kambuh cintanya lagi terhadap bekas kekasih itu, menubruk Gurba dari belakang menyelamatkan Wan Cu, Gurbapun terguling dan ketiganya cengkeram mencengkeram. Semua orang terkejut, Tapi karena Gurba bukan pemuda sembarangan dan raksasa ini marah besar maka tiba-tiba dia sudah membalik dan menendang Pangeran Muda itu.

"Dess!" Pangeran Muda terlempar. Ibunda selir terpekik melihat anaknya mencelat, Pangeran Muda mengeluh. Tapi melompat bangun menghunus pisau tiba-tiba pangeran ini membentak lagi menerjang Gurba. "Gurba, lepaskan kekasihku!"

Gurba meradang. Saat itu cinta kasih pangeran ini menonjol hebat, Gurba tentu saja terpukul dan mendelik. Pasangan itu ternyata tak dapat dipisahkan. Dia benar-benar merasa dipermainkan. Pangeran Muda dan Wan Cu sama-sama penipu. Maka begitu lawan menyerang dan pisau berkelebat di depan dadanya, tiba-tiba Gurba menggereng menangkap pisau itu, tangan sang pangeran sekaligus ditelikung. Lawan mengaduh dan Gurba menekuk ke atas tangan yang sudah ditangkap itu. Rupanya raksasa ini akan mematahkan lengan sang pangeran. Dan ketika pangeran menjerit dan pisau dirampas tiba-tiba Gurba mau menghunjamkan pisau itu ke dada lawannya,

"Jangan...!" Ibunda selir berteriak. Wanita ini melompat dan hampir menyelamatkan puteranya, tapi Tok-gan Sin-ni yang maju berkelebat menolong Pangeran Muda ternyata sudah bergerak cepat menendang pisau itu, membentak sekaligus menarik Pangeran Muda hingga sang pangeran terguling. Gurba sudah mendapat tamparan keras di Tengkuknya, raksasa ini terjungkal dan menggetak.

Dan ketika dia melompat bangun dan marah atas serangan Tok-gan Si-ni kepadanya mendadak wanita iblis itu telah menyerangnya bertubi-tubi atas perintah Sien Nio. Terkejutlah raksasa ini. Dia sebenarnya tak kuat bertempur, apalagi menghadapi lawan sehebat Tok-gan Sin-ni. Luka-lukanya masih terlalu berat hingga napasnya sering sesak. Hanya karena mengejar Wan Cu lah dia muncul di situ. Tak menyangka akan mendengar semuanya dan penipuan terhadap dirinya yang terasa menyakitkan. Gurba seakan meledak.

Tapi melihat diri diserang gencar dan Gurba memaki-maki maka raksasa ini terhuyung ke sana ke mari mengelak serangan lawan. Tok-gan Sin-ni rupanya tahu keadaannya, satu dua pukulan mulai mendarat. Gurba menggeleng.

Dan ketika rambut juga mulai menjeletar menyakiti tubuhnya akhirnya Gurba terpelanting jatuh bangun dijadikan bulan-bulanan serangan lawan. Raksasa ini memang tak dapat membalas. Dadanya sakit setiap kali dia coba mengerahkan sinkang. Dan ketika Tok-gan Sin-ni menghajarnya habis-habisan dan iblis wanita itu tertawa mengejek maka satu pukulan telak mengenai tengkuk raksasa ini...

Pendekar Rambut Emas Jilid 26

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 26
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
KIM MOU ENG layap-layap. Pendekar ini mengeluh merasa dadanya sesak, Salima menggerakkan tangan satunya menekan bagian ini, hawa hangat segera mengalir dan Kim-mou-eng membuka mata. Perasaan sakit hilang, meskipun sejenak. Dan begitu mata bertemu pandang dengan sumoi nya mendadak pendekar ini bangkit duduk dengan tubuh gemetar.

"Sumoi, mana suheng?"

Salima mengerutkan kening. Pertanyaan suhengnya tentang Gurba membuat ia tak senang, Salima tak menjawab. Dan ketika suhengnya mencengkeram lengannya dan bertanya dengan suara menggigil tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Api tiba-tiba berkobar di luar gedung, cahaya kemerahan menjulang tinggi disusul teriakan teriakan kacau. Para pengawal dan orang-orang istana gaduh. Salima mendengar adanya kebakaran dan serbuan dari orang-orang tak dikenal. Dan ketika Salima tertegun dan Kim-mou-eng terbelalak maka pangeran mahkota muncul diiringi Kim-taijin, tergesa-gesa.

"Lihiap, pemberontak mulai beraksi. Pasukan Tar-tar di luar kota raja mulai menyerbu!"

Salima malompat bangun. "Apa yang hendak paduka lakukan?”

"Menyelamatkan sri baginda, lihiap." Kim-taijin mendahului. "Kami hendak menyingkir dan minta lihiap menguasai pasukan Tar-tar itu!"

"Siapa yang memimpin mereka?"

"Katanya Siga dan Bora. Mereka telah mendengar robohnya twa-suhengmu itu di sini!"

"Keparat!" Salima mengepal tinju, bingung memandang suhengnya. Tapi bagaimana dengan suhengku ini? Dia belum sembuh, perlu banyak beristirahat!"

Dan belum Kim-taijin menjawab atau pangeran mahkota mengeluarkan suara mendadak Bu-ciangkun muncul, bergegas, pucat mukanya. "Pengeran, ibunda selir lenyap. Beberapa pengawal melihat bayangan Siauw-ongya dan Tok-gan Si-ni!"

"Ah, kemana mereka?"

"Memasuki istana, pangeran. Cu-ciangkun mengejar dan coba menghadang. Kita kekurangan tenaga pandai!"

Pangeran ini pucat. Saat itu ditempat mereka yang bisa diandalkan hanyalah Salima, Kim-mou-eng terluka dan hanya gadis itulah satu-satunya yang dapat dipercaya. Dan ketika mereka tertegun dan bingung mencari akal mendadak seorang pengawal datang berlari-lari menjatuhkan diri berlutut.

"Pangeran, sri baginda lenyap. Ibunda selir memasuki lorong bawah tanah bersama puteranya!"

Pangeran kaget. "Tak ada yang menahan?"

"Seorang kakek melindungi mereka pangeran. Kakek bercawat yang sikapnya setengah gila."

"Ah, Coa-ong Tok-kwi..." dan pangeran mahkota serta lain-lain yang terkesiap mendengar berita ini tiba-tiba mendengar dentang senjata dan teriakan kesakitan di luar gedung. Kiranya pertempuran sudah memasuki istana, Kim-taijin dan lain-lain berubah mukanya melihat ini semua. Pekik dan jerit di luar membuat bulu roma meremang. Dan ketika mereka terkesima dan menjeblak kehilangan akal dalam waktu yang sekejap itu tiba-tiba Yu Bing muncul dengan pedang berlumuran darah.

"Pangeran, cepat bersembunyi. Pasukan Tar-tar dan orang-orangnya Pangeran Muda mengepung istana. Bu-ciangkun diminta keluar membantu mengatasi keadaan. Suasana kalut, kita semua harus melawan musuh yang mengepung tempat ini!"

"Baik!" Bu-ciangkun sudah melompat menggereng marah, mencabut golok besarnya dengan tangan kiri. "Paduka bersembunyi, pangeran. Hamba akan merobohkan musuh sambil mencari sri baginda!"

"Dan aku akan menghadapi yang lain,“ Yu Bing berkata lagi, siap melompat keluar. "Harap Kim-taijin menjaga pangeran di tempat persembunyian!"

Tapi Salima yang melompat tiba-tiba berseru, "Nanti dulu, sebentar, Yu-twako. Bagaimana dengan suhengku ini? Adakah tempat yang aman agar aku dapat membantu kalian?"

Yu Bing tertegun. "Kim-taihiap sudah sadar? Sebaiknya ikut saja bersama pangeran."

"Tidak," Kim-mou-eng tiba-tiba bangkit dengan gagah. "Aku dapat membantu sebisaku, saudara Yu, Kalian tak perlu khawatir karena aku cukup sehat!" Kim-mou-eng agak terhuyung. Semua mata terbelalak kepadanya karena jelas kata-kata itu agak dipaksa. Tak mungkin pendekar ini bertempur karena kondisinya belum mengijinkan. Kim-taijin dan pangeran mahkota kagum. Tapi ketika pendekar itu batuk-batuk dan sukar menahan tubuh tiba-tiba Salima terisak mencengkeram lengan suhengnya ini.

"Tidak, kau tak perlu berbohong, Suheng. Kau ikut saja bersama pangeran seperti kata Yu-twako tadi. Kau tak boleh bertempur!"

"Tapi aku bisa bertahan, sumoi. Aku.. ugh...ugh!" Kim-mou-eng batuk-batuk lagi, terpaksa menghentikan kata-katanya dan terguling roboh, cepat ditangkap Salima dan Salima menotok tengkuk suhengnya itu. Seketika suhengnya pingsan. Salima cukup tahu kekerasan hati suhengnya ini. Dan ketika semua orang kagum dan terbelalak memandangnya Salima sudah memberikan suhengnya itu pada pangeran mahkota.

"Pangeran, benar seperti kata Yu-twako. Suhengku tak mungkin kuat bertempur. Sedikit tenaga saja tentu lukanya kambuh. Tolong paduka bawa dan sembunyikan di tempat aman."

"Baik, dan ini peta mengikuti lorong-lorong rahasia di bawah tanah, lihiap. Kau dapat mencariku kalau terdesak."

"Tidak, aku akan mengatasi pasukan Gurba suheng. Aku tak akan terdesak dan akan menghantam pasukan liar yang dipimpin Siauw-ongya!" dan Salima yang cepat mendorong pangeran mahkota membawa suhengnya akhirnya berkelebat dan mempercayakan suhengnya Itu pada dua orang ini, Kim-tajin dan pangeran mahkota.

Dan ketika Yu Bing mengikuti dan pekik serta sorak di luar semakin jelas maka Salima sudah mencari anak buah suhengnya dan merobohkan musuh yang berani menyerangnya, diam-diam terkejut dan heran bagaimana Pangeran Muda itu dapat membawa pasukannya. Membuat musuh dan sebentar kemudian tubuh-tubuh bergelimpangan. Salima tak tahu ini adalah taktik Pangeran Muda yang ingin menyelamatkan ibunya. Berita Kim-mou-eng dan robohnya Gurba sudah ditangkap, ibunda selir cemas dan menyuruh orang kepercayaannya menyuruh puteranya menyerang, bersama pasukan Tar-tar yang waktu itu menunggu kembalinya Gurba.

Siga dan Bora marah mendengar robohnya Gurba, utusan Pangeran Muda tak menyebut-nyebut nama Kim-mou-eng. Gurba dikabarkan dikepung dan ditangkap orang-orangnya kaisar, terjebak dan roboh oleh kecurangan musuh, Nama Kim-mou eng disembunyikan untuk membakar pasukan Tar-tar itu. Tentu saja Siga dan Bora akan bingung kalau tahu robohnya gurba adalah bersama sutenya sendiri, jadi Kim-mou-eng termasuk orang sendiri yang beritanya sengaja tidak diberitakan pada orang-orang Tar-tar itu.

Inilah akal Pangeran Muda yang membiarkan pasukan Tar-tar itu panas hati, dapat dibujuk dan akhirnya menyerbu bersama pasukan pemberontak yang kehilangan komando, karena orang-orangnya pengeran ini ditangkap dan dikumpulkan disuatu tempat. Para perwira dan menteri-menteri dorna. Dan ketika dua pasukan itu bergabung dan Pangeran Muda menyelinap menghubungi ibunya maka di lain pihak orang-orangnya pangeran itu bertempur mempertaruhkan nyawa!

"Mana Siga! Mana Bora?" Salima maju membuka jalan darah, musuh yang ada di depan dikibas dan dipentalkan. Mereka terpelanting dan menjerit tak dapat bangun lagi. Salima memekik-mekik memanggil nama dua pembantu suhengnya itu. Para pemberontak minggir dan menyibak gentar. Dan ketika Salima bertemu pasukan Tar-tar dan mereka itu mengenal gadis ini maka mereka berseru girang mengira Salima membantu mereka.

"Sian-li, twa-hengmu ditangkap musuh. Bunuh orang-orangnya kaisar dan tangkap kaisar itu!"

Salima berkelebat, menangkap seorang di antaranya, "Mana Siga? Mana Bora?"

Orang ini terkejut. "Aku tak tahu, Sian-li. Tapi mungkin di timur!"

"Brukk!" orang itu sudah dibanting, Salima melompat pergi dan tentu saja laki-laki yang dibanting ini kaget, memekik dan mengaduh kesakitan. Tapi Salima yang sudah menghilang dari tempat itu mencari Siga dan Bora ternyata tak segera menemukan dua pemuda ini, terbendung pasukan Tar-tar yang menyerbu ke depan.

Mereka berteriak-teriak dan malah gembira melihat Salima, gadis ini dikenal sebagai sumoi dari pemimpin mereka. Mengira Salima membantu dan mencari Gurba. Tapi ketika Salima berteriak mencari Siga ataupun Bora dan akhirnya membentak menyuruh pasukan Tar-tar itu menghentikan pertempuran tiba-tiba saja orang-orang ini bingung.

"Hei, kalian semua berhenti menyerang! Berhenti...!" Salima sudah menjungkirbalikkan orang-orangnya ini, gemas dan marah karena dua orang yang dicari belum ketemu juga. Padahal saat itu orang-orangnya Pangeran Muda merasa mendapat semangat dengan bantuan orang-orang Tar-tar ini. Mereka berteriak-teriak menyerang pengawal istana, keadaan bertambah kacau. Api dan pekik pembunuhan semakin mendirikan bulu kuduk. Dan ketika Salima melengking tinggi menyuruh pasukan Tar-tar itu berhenti menyerang dan mereka mulai tunduk maka Salima berteriak kembali,

"Mana Siga! Mana Bora! Kalian hentikan serangan dan tangkap orang-orangnya Pangeran Muda itu....!"

Pasukan Tar-tar bingung. "Apa? Kami menangkap teman sendiri, Sian-li?"

"Bukan teman, tapi musuh! Orang-orangnya pangeran itu adalah musuh yang harus kalian bunuh. Tangkap mereka itu dan jangan menyerang pengawal istana lagi!"

Dan Salima yang berkelebat menghentikan pertempuran dan menyuruh orang-orangnya Pangeran Muda ditangkap tiba-tiba membuat suasana gaduh karena pasukan Tar-Tar tiba-tiba membalik, mereka tak menyerang lagi pengawal istana melainkan menyerang orang-orangnya Pangeran Muda, pemberontak-pemberontak itu, mengagetkan orang-orang ini dan pasukan Tar-tar dianggap gila. Bekas teman sendiri diserang. Dan ketika keadaan jungkir balik tak keruan dan para pemberontak banyak yang roboh, maka di lain tempat Salima telah menemukan Bora.

Saat itu di sebelah timur Bora mengamuk. Pemuda Tar-tar itu bersenjatakan tombak dan tameng, menyerang pasukan istana dengan beringas. Sepak terjangnya ganas dan seorang perwira melayani pemuda ini, roboh dan tewas karena Bora bertempur dengan semangat tinggi. Mulutnya membentak menyuruh pemimpinnya dibebaskan. Begitu hebat sepak terjangrya.

Dan karena pasukan Istana kuncup nyali karena ribuan pasukan Tar-tar mengurung sementara pasukan pemberontak juga menyerbu dan tahu jalan-jalan istana hingga mereka tak dapat melarikan diri maka sepak terjang pembantu Gurba nomor dua ini memang menggiriskan. Jelek-jelek dia "murid” Gurba, mendapat ilmu berkelahi dan ilmu silatnya cukup baik, ditambah bekal keberaniannya yang luar biasa. Dan ketika kembali belasan pengawal roboh dibabat pemuda ini dan musuh gentar menghadapinya maka Salima berkelebat membentak pemuda yang dikenal itu.

"Bora, berhenti....!”

Bora terkejut. Dia sedang mengejar seorang lawan, tahu-tahu sesosok bayangan berkelebat di mukanya, tentu saja dia menusuk dan membalik. Tapi ketika tombaknya mental dan dia jatuh terpelanting tiba-tiba Bora tersentak melihat siapa yang datang, melompat bangun berseru kaget. "Sian-Ii...!"

Salima mendengus. Dia tak menjawab, sudah mencengkeram pundak pemuda ini. Dan ketika Bora tertegun menahan sakit Salima berkata untuk menghentikan pasukanya. "Hentikan pasukanmu. Tarik mundur dan tangkap orang-orangnya Pangeran Muda itu!"

"Ah...." Bora membesarkan biji matanya. "Apa katamu, Sian-li? Menarik pasukan dan menangkap orang-orangnya Pangeran Muda?"

"Ya, kau tak tuli, bukan? Suruh mereka berhenti dan tangkap para pemberontak!"

"Tapi hanggoda ditangkap kaisar, mana mungkin menghentikan serangan? Kami...."

“Brukk!" Bora dibanting, Salima marah. "Kau tak perlu banyak cakap, Bora. Saat ini aku menggantikan suhengku. Apa yang kukatakan harus kalian lakukan, Cepat tarik pasukan dan tangkap orang-orangnya Pangeran Muda itu. Kalian tertipu. Kalian dijadikan kerbau kerbau tolol yang tidak berotak!" dan Salima yang terbelalak mencari-cari sudah berkata lagi, "Mana Siga?”

Bora tertegun.

"Hei, mana Siga?!"

Bora terkejut. Pemuda ini cepat-cepat menunjuk, sebenarnya masih kaget dan terheran-heran serta tak mengerti akan tindak-tanduk gadis ini, mengapa Salima menyuruh menghentikan pertempuran dan orang-orangnya Pangeran Muda ditangkap. Tapi karena gadis itu adalah sumoi sang hanggoda dan Salima boleh dibilang atasannya saat itu menggantikan Gurba maka Bora menghentikan pertempuran dan menarik orang-orangnya mundur. Salima sudah berkelebat ke arah yang ditunjuk, tak jauh menuju tempat di mana sekelompok orang jungkir balik dihajar seorang pemuda lain, pemuda gagah yang memegang golok besar, mengamuk dan membantai musuh.

Kebetulan sekali Bu-ciangkun menghadapi pemuda ini, dentang senjata dan pekik kaget sering terdengar. Bu-ciangkun rupanya terkejut oleh keberingasan lawan. Itulah Siga yang memiliki keberanian besar dan tenaga sekuat banteng, dia pun tak kalah dibanding Bora. Dan ketika Salima tiba di tempat itu di mana saat itu golok di tangan panglima Bu juga terpental maka Salima sudah berkelebat membentak pembantu suhengnya ini.

"Siga, tahan. Jangan berkelahi.... plak!" golok ditangan Siga langsung mencelat, Siga sendiri menjerit dan jatuh bergulingan. Tamparan Salima terasa petir yang membuat lengannya matang biru. Salima memang gemas pada pembantu suhengnya ini, yang lama dicari-cari baru sekarang ketemu.

Dan ketika Siga melompat bangun dan melihat siapa yang datang tiba-tiba pemuda ini berobah gembira berteriak tertahan. "Sian-li, syukur kau datang...!"

Namun Salima mendengus. Bu-ciangkun sendiri sudah mundur melihat kedatangan gadis ini, mengusap keringat dan terbelalak memandang pemuda Tar-tar yang gagah itu, kagum. Dan Salima yang berkacak pinggang menghadapi bawahannya sudah membentak, "Siga, tarik pasukanmu menghadapi pengawal istana. Kalian tertipu. Tangkap dan bekuk orang-orangnya Pangeran Muda itu."

"Apa!!!!" Siga membelalakkan matanya, sama seperti Bora, kaget. "Apa, Sian-li? Menarik pasukan dan menangkap orang-orangnya Pangeran Muda itu?"

"Ya, kau tidak tuli, bukan? Hentikan pertempuran dan tangkap bekas teman yang tidak dapat dipercaya itu. Mereka pemberontak, kau tertipu dan serangan harus ditujukan pada para pemberontak ini!"

"Tapi hanggoda ditangkap kaisar, kami datang untuk membebaskannya!"

"Urusan suhengku ada di tanganku, Siga. Jalankan perintahku dan jangan banyak cakap lagi!”

"Tapi...!"

"Tak ada tapi, ini perintah. Aku pemimpin kalian mengganti Gurba-suheng!“ Salima membentak.

Siga bingung tapi akhirnya mengangguk, setengah ragu setengah gugup bagaimana tiba-tiba dia harus menarik pasukannya. Bahkan yang lebih hebat lagi pasukannya harus menangkapi orang-orangnya Pangeran Muda itu, bekas kawan menjadi lawan. Siga tak mengerti. Tapi karena Salima adalah sumoi dari pimpinan mereka dan gadis itu termasuk juga atasan setelah Gurba maka Siga tak dapat membantah dan segera berteriak menyuruh pertempuran berhenti. Anak buahnya ditarik mundur, para pemberontak di tangkap, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat dibanding tadi.

Di tempat Bora pun suasananya juga sama, pasukan Tar-tar menghentikan pertempuran. Dan karena di tempat-tempat lain Salima juga telah menghentikan gerakan anak buahnya ini dan bentakan serta seruan di sana-sini menyuruh orang berhenti menyerang akhirnya pertempuran berhenti sementara orang-orangnya Pangeran Muda ditangkap dan dibekuk. Yang melawan langsung dibunuh. Pasukan Tar-tar sendiri tak mengerti tapi perintah Salima dijalankan, gadis itu merupakan pucuk pimpinan sepeninggal Gurba.

Tak lama kemudian peperangan berakhir, sepi dan pekik pertempuran tak terdengar lagi. Rumah-rumah yang dibakar sudah dipadamkan, tinggal beberapa puing dan bekas-bekas kehancuran di sana sini. Ribuan orang berkumpul keheranan, semua mata menuju satu titik. Salima! Dan Salima yang segera menerangkan dengan suaranya yang nyaring atas kelicikan Pangeran Muda yang menghasut mereka dan mengadu domba mereka dengan pasukan istana akhirnya menimbulkan resah dan kemarahan di sana-sini. Bahwa yang harus dihancurkan sesungguhnya adalah Pangeran Muda itu, bukan orang lain. Salima berapi-api memberi keterangan ini. Dan ketika semuanya selesai dan orang-orang tertegun tiba-tiba Cu-ciangkun muncul dengan napas terengah-engah.

"Lihiap, hanggoda tertawan. Ibunda selir menangkapnya dibantu Sin Coa-ong!"

Salima terkejut. "Di mana mereka sekarang?"

"Memasuki lorong bawah tanah, lihiap. Aku tak tahu persis karena aku tak tahu jalan jalan di situ. Hanya beberapa orang saja yang tahu, aku...."

"Baik, aku akan mencarinya, ciangkun!" Salima memotong, cepat dan khawatir. "Kau ikut aku dan cari Hek-eng Taihiap serta yang lainnya!"

"Aku di sini, nona," Hek-eng Taihiap tiba-tiba muncul, bersama Yu Bing. "Kami tak dapat menahan dua iblis itu karena mereka terlalu tangguh!"

Salima girang. "Tak apa, mereka memang lihai, Hek-eng Taihiap. Tapi sekarang kita akan membekuknya. Mari....!" dan Salima yang berkelebat pergi menyuruh Siga dan lain-lain mengepung tempat itu agar musuh tak dapat melarikan diri akhirnya disusul Hek-eng Taihiap dan Yu Bing yang tidak banyak cakap lagi.

Semua yang lain tinggal di situ menjaga ketat, Cu Ciangkun dan Bu-ciangkun diajak Salima mencari kaisar. Salima teringat akan peta yang diterimanya dari pangeran mahkota, diam-diam mencemaskan pula nasib suhengnya, Kim-mou-eng. Untung peta itu dibawanya. Dan ketika yang lain mengikuti dan Salima mulai bergerak maka pengejaran terhadap ibunda selir yang menangkap sri baginda ini segera dilakukan cepat tanpa menunda waktu lagi. Keselamatan kaisar memang amat berharga, jauh lebih berharga dibanding apapun di saat itu. Dan begitu Salima dan teman-temannya berkelebat pergi maka pencarian terhadap kaisar inipun dilakukan sungguh-sungguh tanpa meninggalkan kewaspadaan.

Apa yang terjadi? Benarkah kaisar tertangkap? Sien Nio memang cerdik. Hal ini sebenarnya sudah dia atur ketika Gurba roboh bersama Kim-mou-eng. Saat itu semua perhatian tertuju kesana. Sien Nio mendengar perkelahian menegangkan yang amat dahsyat itu. Keduanya roboh dan sama-sama terluka. Gurba yang diandalkan tak dapat dipakai lagi tenaganya. Dan karena keadaan semakin mengkhawatirkan dan berapa sekutu mereka hilang begitu saja tanpa kabar beritanya lagi.

Maka Sien Nio mengutus orang memanggil puteranya, menyuruh puteranya melakukan serangan membabi-buta, pasukan Tar-tar itu harus dihasut dan diajak menyerang. Semuanya telah terjadi dan rencana mereka berhasil. Dan ketika semua ribut-ribut itu menarik perhatian orang ke tempat ini maka dengan tenang tapi tergesa-gesa Sien Nio menemui kaisar.

Saat itu kaisar lagi terbelalak. Seorang pengawal melapor serbuan pasukan Tar-tar itu, juga pasukan tak dikenal yang mirip orang-orang istana sendiri, para pemberontak. Dan ketika kaisar tertegun membelalakkan mata maka Sien Nio sudah menjatuhkan diri berlutut dengan kata-kata mengiba,

"Sri baginda, mohon agar paduka menyembunyikan diri. Keadaan di luar kalut, paduka harus bersembunyi untuk keselamatan diri paduka."

"Aku tahu, Sien Nio. Tapi kenapa kau kemari? Mana permaisuri? Kenapa bukan dia yang mengajakku?"

"Permaisuri terperangkap dikaputren, sri baginda. Api mengurung tempat itu hingga paduka permaisuri pingsan."

"Kau tahu siapa penyerang-penyerang itu?"

"Bangsa Tar-tar, sri baginda. Orang-orang liar yang biadab itu!”

"Tapi mereka dibantu orang-orang istana katanya para pemberontak yang berkhianat!"

"Untuk ini hamba tak tahu, sri baginda. Tapi sebaiknya paduka menyelamatkan diri dahulu. Hamba siap mengantar Paduka!"

"Hm....!" Kaisar tertegun, melihat sesuatu yang ganjil tapi tidak segera menjawab. Rupanya kaisar ragu. Dan Sien Nio yang tergesa melirik kiri kanan tiba-tiba bangkit berdiri.

"Mari, sri baginda. Hamba mengantar paduka."

"Tidak, aku ingin melihat keluar dulu, Sien Nio. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi!" kaisar tiba-tiba menolak, enggan menerima ajakan selirnya. "Aku penasaran kenapa orang-orang Tar-tar itu menyerang istana!"

"Ahh, keadaan cukup gawat, sri baginda. Waktu tak ada bagi paduka untuk melihat-lihat keluar!" Sien Nio menghampiri, kaisat terkejut dan pengawal yang melapor tiba-tiba maju, menghalang dan mencabut pedangnya.

Tapi belum pengawal ini berbuat sesuatu tiba-tiba ia roboh dan terpekik tewas disambar sebatang jarum yang amblas di batok kepalanya. Dan sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat, kekeh yang parau mengiringi datangnya bayangan ini, seorang kakek bercawat. Kaisar terkejut kenapa pengawalnya itu tiba-tiba tewas, tentu saja ia tak tahu akan serangan gelap itu. Inilah Coa-ong Tok-kwi, si raja ular yang memegang suling dan tongkat. Tongkatnya itulah yang tadi melepas jarum berbisa. Dan ketika kaisar terbelalak dan kaget melihat kakek setengah gila ini maka Sien Nio sudah mendesaknya tanpa sungkan-sungkan lagi,

"Sri baginda, pengawal paduka ini mata-mata pengkhianat. Dia hendak membunuh paduka, terpaksa dibunuh dan mari paduka cepat menyingkir!”

"Kakek ini....?"

"Coa-ong Tok-kwi, sri baginda. Dia yang akan menggiring dan melindungi kita. Mari!" dan ketika kaisar masih tertegun dan menjublak tak mengerti tiba tiba di luar pintu menerobos masuk tujuh laki laki yang menerjang kaisar.

"Bunuh kaisar, serang dia....!"

Kaisar terbelalak. Dia terkejut bagaimana di kamarnya tiba-tiba menyerbu para pembunuh ini, mereka begitu beringas dan penuh ancaman. Tapi ketika mereka menubruk dan senjata bergerak menghambur ke arahnya mendadak kakek setengah gila ini berseru, suling dan tongkat bergerak ke depan, tubuh berkelebatan sejenak dan akhirnya kembali ke tempat semula. Dan ketika pekik dan teriakan mengaduh terdengar tujuh kali berturut-turut tiba-tiba saja tujuh orang itu bergelimpangan dan roboh di bawah kakinya bermandi darah.

"Heh-heh, mari, baginda. Tikus-tikus busuk ini masih banyak lagi di luar!"

Kaisar tertegun. Dia melihat kehebatan kakek ini, tujuh orang disapu sekejap mata. Dan Sien Nio yang menyambar lengannya tidak sabar lagi tiba-tiba sudah menyeretnya dengan tergesa-gesa. "Sri baginda, tempat ini sekarang tak aman. Paduka tak perlu sangsi terhadap hamba!"

Kaisar menurut. Dia mengikuti selirnya masuk keluar lorong-lorong istana, si kakek aneh sudah melindungi di depan dengan suling dan tongkatnya. Memang benar di luarpun mereka disambut pembunuh-pembunuh baru yang bengis. Semua mencoba menyerang dan mencelakai kaisar, satu persatu dirobohkan kakek ini dan mereka terus maju ke depan. Dan ketika mereka tiba di samping istana siap memasuki sebuah tempat rahasia mendadak sesosok bayangan berkelebat menyerang Coa-ong Tok-kwi, berteriak padanya,

"Sri baginda, lepaskan diri paduka dari orang-orang ini. Mereka pengkhianat, mereka akan membunuh paduka!" bayangan itu sudah menyerang si Raja Ular, kedua tangannya mendorong dan menghantam kakek ini. Dialah Hek-eng Taihiap yang tidak dikenal kaisar.

Tapi si Raja Ular yang terkekeh dan menangkis serangan itu ternyata membuat Hek-eng Taihiap terpental dan terlempar ke belakang. Tapi Pendekar Garuda Hitam ini maju lagi, menyerang dan sesosok bayangan lain muncul, seorang pemuda bersenjata pedang sepasang, Siang-kiam-houw Yu Bing, membantu dan membabat kakek bercawat itu. Tapi ketika pedang mental dan Yu Bing pun mencelat akhirnya kakek ini terkekeh-kekeh membalas mereka.

"Heh-heh, kau tak takut mampus, Yu Bing. Dulupun lolos sekarang masih berani cari penyakit!" kakek ini menggerakkan tongkat, Yu Bing bergulingan menjauh dan tiga sinar hitam tiba-tiba mencuat, itulah jarum-jarum beracun yang dilepas kakek ini melalui ujung tongkatnya.

Tapi Yu Bing yang mampu menyelamatkan diri dan melompat bangun ternyata menerjang lagi tak kenal takut, juga berseru pada kaisar.v"Sri baginda, lepaskan diri paduka dari orang-orang ini. Mereka pengkhianat. Mereka pembunuh!"

Yu Bing sudah menerjang bersama Hek-eng! Taihiap. Coa-ong Tok-kwi marah menangkis mereka, suling dan tongkatnya kembali bergerak. Dua orang ini mundur. Dan ketika kakek itu membalas dan lawan kembali terdesak maka Sien Nio mengajak kaisar lari.

"Sri baginda, mari selamatkan diri. Jangan percaya omongan mereka!"

Kaisar tertegun. Dia sudah dibawa selirnya ini, Yu Bing dan Hek-eng Taihiap kembali berteriak padanya agar tidak menuruti kemauan selirnya itu. Tapi karena Yu Bing dan Hek-eng Taihiap tidak dikenal kaisar ini dan Sien Nio kembali menariknya mengatakan mereka itu pengacau maka kaisar menyelinap dan mengikuti selirnya ini. Dan saat itu Cu-ciangkun muncul. Panglima bersenjata tombak ini melompat kepadanya berseru agar dia melepaskan diri dari Sien Nio. Kaisar bingung.

Tapi ketika Sien Nio hendak dihalau dan tombak menyerang tiba-tiba Coa-ong Tok-kwi berkelebat. Suling di tangan kakek gila itu menangkis, tombak terpental dan Cu-ciangkun pun bergulingan. Kakek ini akhirnya dikeroyok tiga namun tertawa ha ha he he menangkis semua serangan lawan. Hek-eng Taihiap dan kawan-kawannya ternyata kurang mampu menandingi kakek ini. Coa-ong terlalu lihai. Dan sementara mereka bertempur sambil berteriak-teriak sekonyong-konyong Tok-gan Sin-ni muncul.

"Hi-hi mereka ini mengacau, paduka selir? Kalau begitu kubunuh saja mereka, Coa-ong rupanya tak becus.... plak-plak!" dan rambut Tok-gan Sin-ni yang menjeletar menangkis serangan lawan dan membuat Hek-eng Taihiap dan kawan-kawannya terkejut akhirnya disambut kekeh dan sambaran tongkat di tangan Coa-ong Tok-kwi.

"Heh heh, kau sombong, Sin-ni? Kalau begitu cobalah, ingin kulihat seberapa lama kau dapat merobohkan mereka!" kakek ini mementalkan tombak di tangan Cu-ciangkun, melompat mundur dan mengejek temannya membiarkan Sin-ni menghadapi Hek-eng Taihiap dan kawan-kawannya, dibantu malah keluar arena karena mendongkol pada wanita iblis itu.

Tok-gan Sin-ni terkejut tapi akhirnya terkekeh, diam-diam memaki dan gemas karena Coa-ong yang diringankan pekerjaannya malah sekarang menonton. Dia harus menghadapi empat lawannya dengan ledakan rambut dan pukulan-pukulan sinkangnya. Dan ketika dia mementalkan lawan tapi beberapa jurus kemudian dia dikelilingi sambaran senjata dan tombak serta pedang di tangan Yu Bing yang berkelebatan di antara dorongan-dorongan Hek-eng Taihiap tiba-tiba wanita ini terbelalak karena dia tak dapat mendesak lagi. Jadi kerepotan Coa-ong memang beralasan, Wanita ini terkejut.

Coa-ong tertawa-tawa di luar pertempuran. Tok-gan Sin-ni gemas. Dan ketika pedang dan tombak kembali menyambar-nyambar dan dia marah tiba-tiba wanita ini melengking mengeluarkan Sin-mauw-kang nya (Lecutan Rambut Sakti). Rambutnya keras seperti baja Pedang dan lurus seperti tombak.

"Coa-ong, jangan terkekeh-kekeh seperti orang gila. Kau lihat ini berapa jurus mereka akan kurobohkan... tar-tarr!" rambut tiba-tiba meledak, kaku dan lurus seperti kawat kawat baja saja.

Pedang dan tombak terpental bertemu rambut yang sudah diisi tenaga sakti ini, Yu Bing dan Cu-ciangkup berseru kaget. Dan ketika mereka kembali menyerang namun rambut menangkis sekonyong konyong rambut lemas kembali dan melibat senjata mereka.

"Lepaskan!" Tok-gan Sin-ni membentak, rambut membetot dan dua orang itu tertarik. Yu Bing cepat menggerakkan pedang satunya untuk membabat rambut. Tapi ketika rambut tak dapat dibabat putus dan malah terjerat pula tiba-tiba saat itu Tok-gan Sin-ni terkekeh melepas pukulan sinkangnya dengan kedua lengan didorong ke depan.

"Awas!" Yu Bing sudah membanting diri bergulingan sambil melepas pedangnya. Dia tak sanggup menerima pukulan lawan, terlalu berbahaya. Sinkang Tok-gan Sin-ni setingkat dengan sinkang mendiang suhunya, tentu saja ia bakal celaka. Dan Yu Bing yang sudah melepas pedangnya membanting tubuh bergulingan tiba-tiba meraup pasir menghamburkannya ke mata lawan, di saat Cu-ciangkun juga melepaskan tombaknya melakukan hal yang sama, bergulingan meniru. Dan tok-gan Sin-ni yang tentu saja tidak menduga perbuatan ini tiba-tiba berteriak ketika matanya yang tinggal satu kemasukan pasir!

"Aup, keparat..." Tok-gan Sin-ni menjerit, pedang dan tombak segera dilepaskan dari belitan rambutnya. Yu Bing dan Cu-ciangkun sudah menyambar senjata mereka yang jatuh di tanah, menerjang lagi disusul Hek-eng Taihiap yang girang melihat Tok-gan Sin-ni mengucek-ucek mata sendiri, iblis wanita ini gusar. Tapi ketika pedang dan tombak mental bertemu kekebalan wanita itu yang telah melindungi dirinya dengan sinkang maka Sien Nio yang terbelalak di pinggir berteriak pada Coa-ong.

"Coa-ong, bantu temanmu. Bunuh mereka!"

Coa-ong terperanjat. Tadinya kakek ini terkekeh-kekeh melihat rekannya kemasukan pasir, geli dan gembira karena Tok-gan Sin-ni kelabakan. Tapi begitu sang selir membentaknya menyuruh dia menolong temannya tiba-tiba kakek ini menghentikan tawanya berkelebat ke depan. Saat itu hujan serangan menuju wanita sakti ini, Tok-gan Sin-ni terhuyung dan mengandalkan kekebalan tubuhnya saja, pakaiannya robekrobek tapi tubuh tidak terluka, memaki-maki lawan dan si Raja Ular yang justeru mengejeknya. Tapi ketika Si Raja Ular ini membantu dan Coa-ong berkelebat ke depan tiba-tiba semua sambaran senjata dan pukulan Hek-eng Taihiap terpental.

"Plak plak-plak!"

Tok-gan Sin-ni dapat terbebas sejenak. Wanita ini mundur, Coa-ong menggantikan kedudukannya menghadapi lawan. Kini iblis itu tertawa-tawa kembali dan serangan Yu Bing serta kawan-kawannya dihalau. Dan ketika Tok-gan Sin-ni berhasil menyembuhkan matanya dan memekik nyaring membantu Coa-ong akhirnya Yu Bing dan kawan-kawannya terpaksa mundur. Mereka memang bukan tandingan dua iblis ini, menghadapi seorang di antaranya saja sudah cukup berat. Maka ketika mereka terdesak dan Yu Bing serta kawan-kawannya khawatir maka Hek-eng Taihiap menyarankan mundur.

"Bing-te, mundur. Kita tak dapat mengatasi keadaan!"

"Huh, mundur?" Tok-gan Sin-ni menjengek, marah. "Kalian tak dapat mundur, manusia-manusia busuk. Aku akan membunuh kalian satu persatu!"

Tapi saat itu pertempuran berhenti. Sien Nio melihat beberapa bayangan berkelebat, puteranya tiba-tiba muncul. Pangeran Muda tampak gelisah dan memberi isyarat-isyarat bahaya pada ibunya, tentu saja Sien Nio menangkap dan Pangeran Muda tak berani bicara terus terang di hadapan kaisar. Kerling dan isyarat-isyarat tertentu saja sudah cukup dimengerti Sien Nio. Dan ketika wanita ini tertegun dan puteranya tampak tergesa-gesa maka Pangeran Muda berseru,

"Ibu, ayahanda harus cepat disembunyikan. Suruh mereka yang bertempur melindungi kita!"

Sien Nio tanggap. Dia segera memerintahkan Coa-ong dan Sin-ni menyelesaikan pertempuran. Hek-eng Taihiap dan teman-temannya sudah mundur-mundur terdesak hebat, mereka masih bertahan dan mulai berlari-lari seperti orang kucing-kucingan. Saat itu pasukan Tar-tar tidak lagi menyerang atas perintah Salima. Maka begitu puteranya memberi isyarat dan mereka harus segera bersembunyi maka selir ini berteriak pada dua iblis kepercayaannya itu. Agar mereka membunuh Hek-eng Taihiap dan temannya.

Tapi karena Hek-eng Taihiap dan teman temannya bermain kucing-kucingan dan mereka sendiri ada maksud mundur menjauhkan diri akhirnya Sien Nio kesal menyuruh mereka kembali. Coa-ong dan Sin-ni disuruh membalik melindungi mereka, Hek-eng Taihiap dan teman-temannya terguling-guling menangkis pukulan. Sin-ni hendak mengejar tapi sang selir membentaknya, tentu saja iblis wanita ini kecewa tapi tak berani membantah.

Dan karena suara selir itu penuh kecemasan dan Sin-ni serta Coa-ong menghentikan serangan akhirnya mereka ini membalik melindungi Sien Nio, cepat berlari-lari menuju ke sebuah tempat rahasia di mana Sien No telah menekan sesuatu hingga kamar bawah tanah terbuka. Sien Nio membawa kaisar memasuki tempat itu, Coa-ong dan Sin-ni menghalau lawan di belakang. Dan ketika semua orang masuk di ruangan bawah tanah itu sementara Hek-eng Taihiap dan teman-temannya tertegun di luar maka akhirnya kaisar dan selirnya lenyap di tempat rahasia itu.

Cu-ciangku bingung, mengusap keringat dan cemas memikir junjungannya. Sekarang mereka melihat bahwa suara pertempuran tak ada lagi. Itulah tentu berkat jasa Salima. Dan ketika ingat bahwa satu-satunya orang yang dapat membantu mereka hanyalah gadis itu maka seperti telah di ceritakan di muka Cu-ciangkun dan Hek-eng Taihiap menemui gadis gagah yang perkasa ini, menceritakan terbawanya kaisar bersama Sien Nio, tentu saja bukan sekedar dibawa tapi ditawan secara halus. Sien Nio menyandera kaisar itu tanpa kaisar menyadari. Dan Salima yang melakukan pengejaran dibantu yang lain-lain akhirnya tiba di tempat rahasia ini dan turun di bawah tanah.

Keadaan gelap sekali, Salima terpaksa menyalakan lilin, rombongannya di belakang mengikuti dengan hati berdebar. Tidak banyak orang, hanya sembilan dengan Salima Dan ketika Salima maju sambil memperhatikan peta maka suasana yang dingin dan menyeramkan mengusik hati orang-orang ini. Tapi Salima tak takut. Keberanian dan kegagahan gadis ini membesarkan hati teman-temannya, bahkan mereka malu karena delapan laki-laki harus dipimpin seorang wanita.

Tapi karena maklum bahwa mereka semua kepandaiannya di bawah gadis ini maka tak seorangpun kecil hati atau kecewa oleh keadaan itu. Dan mereka akhirnya tiba di sebuah tempat yang lebih Iuas. Di sini keadaan remang-remang, ada empat pintu yang semuanya tertutup rapat di ruangan itu. Dan Salima yang bingung memilih pintu yang mana yang akan mereka masuki tiba-tiba memadamkan lilinnya.

"Ke mana kita sekarang?"

"Lihat petanya, lihiap. Cari yang jelas agar kita tidak tersesat."

"Semuanya memberi petunjuk berbeda. Pintu di sebelah kanan itu akan menuju ke ruang sembahyang, yang lain menuju tempat abu leluhur dan kamar harta serta ruang samadhi. Mana yang akan kita masuki?"

Semua bingung. "Kita coba yang ke ruang sembahyang lihiap. Barangkali di sana bisa kita temukan." Bu-ciangkun bicara.

"Tidak, kukira ke kamar harta saja. Orang-orang tamak itu tentu ke sana!" Cu-ciangkun menyanggah.

"Baiklah, bagaimana kalau kita ke pintu sebelah kiri itu? Atau rombongan harus dipisah?"

Orang-orang terkejut. Mereka pucat kalau harus berpisah, pusat keberanian ada pada diri Salima. Meskipun mereka tidak takut tapi bisa jadi keberanian mereka terpengaruh. Lawan di dalam terlalu lihai. Ada Coa-ong dan Sin-ni di sana. Dan Salima yang dapat mengerti itu tiba-tiba berkata lagi,

"Baiklah, kita coba ke kamar harta. Hati-hati, semua siap dengan senjata masing-masing!" dan Salima yang sudah membuka pintu sebelah kiri dan masuk dengan cepat tiba-tiba disusul teman temannya yang lain. Tak ada bahaya di sini. Pintu telah menutup kembali dan mereka meneruskan langkah, semua berjinjit dengan ke waspadaan penuh. Dan ketika mereka tiba di sebuah ruangan lain dan tertegun melihat ruangan itu terang-benderang mendadak tawa yang genit menyambut mereka disusul berkelebatnya beberapa bayangan yang menutup jalan keluar, jalan di beiakang tadi.

"Hi-hik, kau mengantar nyawa, Tiat-ciang Sian-li. Dan teman-temanmu ini berkorban cuma-cuma untuk kebodohan ini!" Tok-gan Sin-ni muncul, langsung mengibaskan rambut yang menjelar berbunyi nyaring.

Salima dan rombonganya terkejut karena di samping wanita sakti itu juga muncul bayangan wanita muda yang bukan lain murid-murid wanita iblis itu, Leng Hwat dan adik-adik seperguruannya. Dan ketika mereka tertegun dan bersiap memutar tubuh maka Coa-ong terkekeh-kekeh muncul bersama Bu Ham, pemuda yang bersinar-sinar memandang gadis Tar-tar itu.

"Bocah, kau tak dapat melepaskan diri dari kepungan kami. Bersiaplah menerima kematian!"

Salima mendengus. Saat itu matanya berkeliling ke segala penjuru, tak melihat kaisar maupun selirnya, begitu pula Pangeran Muda. Hanya orang-orang sesat ini yang ada. Melihat keadaannya dia bakal kalah menghadapi lawan-lawan yang lihai. Tapi Salima yang tidak takut dan sedikit heran tak melihat kaisar dan Sien Nio akhirnya melangkah maju menegakan kepala,

"Tok-gan Si-ni dan kau, Coa-ong. Tak perlu sombong menentukan mati hidupnya orang lain. Kami datang karena kami tidak takut. Tapi mana kaisar dan selirnya yang berkhianat itu? Mana mereka?"

"Ha ha, mereka di dalam, Tiat-ciang Sian-li. Paduka selir lagi asyik menjamu sri baginda. Kalian tak dapat masuk kecuali merobohkan kami semua!"

Salima tertegun. Di depan mereka memang ada sebuah pintu yang tertutup, jelas ada sebuah ruangan di balik sana. Salima mengerutkan keping, Tapi Bu ciangkun yang menggereng meloncat maju tiba-tiba membentak menubruk pintu itu. "Sri baginda, paduka dikelilingi pengkhianat. Harap paduka keluar...!"

Panglima tinggi besar itu menghantamkan kedua tangannya. Dia sudah mengerahkan Kang-jiu-kangnya (Tenaga Tangan Baja), sekali sentuh tentu pintu itu akan roboh. Tapi Tok-gan Sin-ni yang terkekeh mengelebatkan rambutnya tiba-tiba membentak panglima itu.

"Mundur...dess!"

Bu-ciangkun roboh, terbanting bergulingan dan memaki-maki wanita iblis ini. Tapi ketika dia hendak nekat lagi dan menyerang lawan mendadak Hek-eng Taihiap berseru,

"Bu-ciangkun, serahkan urusan ini pada Tiat-ciang lihiap. Tahan..." den Hek-eng Taihiap yang cerdik melihat keadaan tidak menguntungkan sudah buru-buru menghadapi Salima, bertanya menekan pundak panglima berangasan itu, “Nona, apa yang harus kita lakukan? Melawan atau menunggu kita diserang?"

Salima menggeretak gigi. "Musuh sudah ada di depan, Hek-eng Taihiap. Mau apalagi kalau tidak menyerang mereka? kalian hadapi Coa-ong dan lain-lain itu, biar Tok-gan Sin-ni menjadi bagianku.... tar!" dan Salima yang mencabut benderanya mengebut ke depan tiba-tiba tidak banyak bicara lagi menyerang Tok-gan Sin-ni. Wanita ini berada paling dekat dengannya, dan dialah yang menghalangi pintu. Keadaan memaksa Salima untuk bergerak, tak ada alternatif lain. Musuh sudah menghadang.

Dan begitu bendera dikebut dan Tok-gan Sin-ni mengelak maka Salima melepas pukulan Petirnya dengan tangan kiri. Sebentar kemudian menggerakkan teman-temannya yang lain untuk menyerang. Hek-eng Taihiap dan tujuh temannya melolos senjata dan terpaksa mengikuti. Tak ada jalan lain pula bagi mereka. Dan begitu semua menyerbu dan Hek-eng Taihiap agak khawatir maka pendekar ini menyerang Coa-ong Tok-kwi dibantu Yu Bing.

"Twako, cabut pedangmu. Kita mainkan pasangan Tiga Sudut!"

Hek-eng Taihiap mencabut pedangnya. Dia bersama temannya ini sudah menghujani lawan dengan bacokan dan tikaman Pedang hitam di tangan Hek-eng Taihiap tampak garang, pendekar itu mainkan Hek-eng Kiam-sutnya bersama Yu Bing yang mainkan Pek-houw Kiam-sutnya Sang-kiam (sepasang pedang) di tangan Yu Bing juga menyambar-nyambar tak kalah ganas dibanding Hek-eng Taihiap.

Coa-ong tentu saja menangkis dan tertawa-tawa menghadapi dua lawannya ini, orang-orang muda yang cukup tangguh dan kini bekerja sama mengeroyoknya. Dan begitu yang lain bergerak dan mencabut senjata masing-masing untuk menyerang yang lain maka Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun serta Sin-to Sam-enghiong yang juga sudah menerjang lawan segera menghadapi rombongan Leng Hwat dan adik-adiknya, dibantu Bu-kongcu, yang berteriak pada Tok-gan Sin-ni agar menangkap hidup-hidup gadis Tar-tar itu.

Rupanya murid Mo-ong ini masih tergila-gila pada Salima, tak jera dan tetap menghendaki gadis itu menjadi kekasihnya. Salima tentu saja muak dan marah. Dan ketika pertempuran pecah di tempat ini dan keributan terjadi di depan pintu yang masih tertutup itu maka dentang senjata dan suara pukulan mulai menggetarkan dinding ruangan.

Salima dan Tok-gan Sin-ni berjalan seimbang. Masing-masing sudah beberapa kali bertemu dan mengenal kehebatan masing-masing pihak. Tok-gan Sin-ni dengan Sin-mauw-kangnya (Tenaga Rambut Sakti) sedang Salima dengan Tiat-lui-kangnya, pukulan Petir. Dua-duanya coba mendesak dan menekan yang lain. Berkali-kali pukulan beradu dan masing-masing sama terdorong. Tapi karena baru kali ini Salima mengeluarkan benderanya dalam pertandingan menghadapi lawan dan ilmu bendera itu masih asing bagi Tok-gan Sin-ni maka tak lama kemudian Tok-gan Sin-ni terdesak.

“Keparat, kau hebat, Tiat-ciang Sian-li. Benderamu menghalangi pandangan!"

Salima tersenyum mengejek. Tok-gan Sin-ni memaki benderanya, memang betul beberapa kali kebutan bendera membuat pandangan lawan terhalang. Tok-gan Sin-ni tentu saja marah tapi ia belum berhasil merobohkan Iblis wanita itu betapa pun bukan lawan enteng. Dan ketika rambut menjeletar dan bendera menangkis maka untuk pertama kalinya pukulan Petir di tangan kiri Salima menyelinap mengenai lawan.

"Dess!" Tok-gan Sin-ni terpental. Wanita ini memekik. Salima mengejar dan kembali Tiat-lui-kang serta bendera menyambar. Dia mengelak tapi pundak kirinya masih keserempet, Tok-gan Sin-ni marah dan melengking-lengking. Dan ketika pukulan demi pukulan mencecar wanita ini dan Tok-gan Sin-ni berteriak-teriak maka Salima mendesak lawan meskipun untuk merobohkan dibutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Iblis wanita itu menggerakkan rambut berulang-ulang untuk menahan serangan Salima, tetap saja bingung oleh gerakan bendera yang belum begitu dikenal. Berkali-kali harus membiarkan tubuhnya disengat pukulan Petir yang tertutup di balik kebutan bendera, itulah kelihaian Salima yang membuat wanita ini menggeram. Untung sinkangnya cukup kuat hingga ia mampu bertahan, betapa pun tidak sampai terluka kecuali kesakitan dan pedas disengat pukulan Petir itu, yang bagi orang lain tentu sudah bakal mencelakakannya dan roboh.

Dan ketika Salima mendesak dan lawan berlompatan mengelak ke sana-sini maka di lain pihak pertempuran di antara Hek-eng Taihiap dan teman-temannya yang lain tak begitu menggembirakan. Hek-eng Taihiap tak dapat merobohkan Coa-ong, meskipun dibantu Yu Bing. Dua orang ini bahkan kewalahan menghadapi si Raja Ular yang terkekeh-kekeh mainkan suling dan tongkatnya itu. Kejadian serupa dialami dua orang ini ketika mereka bertempur di luar kamar rahasia.

Tapi karena Hek-eng Taihiap kali ini melepas pedang hitamnya dan bersama Yu Bing menyerang dan menangkis serangan lawan yang membalas mereka maka meskipun tak dapat mendesak dua orang ini dapat bertahan menghadapi suling dan tongkat di tangan si Raja Ular itu. Untuk beberapa jurus keadaan masih berimbang. Betapapun Yu Bing adalah murid seorang tokoh macam mendiang Cheng-bin Yu-lo. Hek-eng Taihiap juga seorang laki-laki gagah yang ilmu kepandaiannya cukup tinggi, setingkat di atas Yu Bing.

Tapi karena lawan yang mereka hadapi adalah seorang kakek iblis yang kepandaiannya luar biasa dan Coa-ong mulai menyemburkan jarum-jarum beracunnya ke arah mereka maka tak lama kemudian kedudukan berimbang ini mulai berubah. Hek-eng Taibiap dan temannya terdesak, mereka sering terhuyung setiap kali menangkis. Sinkang lawan memang lebih hebat. Dan ketika sebatang jarum nyaris mengenai leher Hek-eng Taihiap dan pendekar ini bergulingan membanting tubuh maka sama seperti di luar tadi Coa-ong mulai merajalela dengan permainan suling dan tongkatnya.

"Heh heh, kalian akan mampus, anak anak muda. Aku akan mengantar kalian menghadap Giam lo-ong (Raja Maut)!"

Yu Bing dan Hek.eng Taihiap pucat. Pendekar Garuda Hitam itu telah melompat bangun kembali menyerang lawan, semakin hati-hati dan gelisah menghadapi jarum-jarum yang menyambar. Dan Yu Bing yang marah serta bingung menghadapi lawan tiba-tiba berseru,

"Siok-twako, jaga diriku. Aku akan membabat tongkatnya!" Yu Bing menubruk, tubuh berkelebat ke depan menerjang kakek ini. Pedang di tangan kanan menyambar tenggorokan tapi pedang di tangan kiri membacok pergelangan tangan lawan yang memegang tongkat. Rupanya Yu Bing hendak menghancurkan tongkat di tangan Coa-ong yang dapat melepas jarum-jarum rahasia itu. Hek-eng Taihiap kaget. Tapi ketika Yu Bing menusuk dan Hek-eng Taihiap terbelalak maka Coa-ong terkekeh menggerakkan suling dan tongkatnya.

“Trak-trakk!" Pedang di tangan Yu Bing terpental. Pemuda itupun tergetar, tapi Yu Bing yang mengeraskan hati menendang selangkangan lawan tiba-tiba membentak menyapu si kakek yang baru menangkis pedangnya. Coa-ong berkelit dan Yu Bing membacokkan pedangnya lagi, dua kali berturut-turut membentuk sinar pelangi yang melengkung dari atas ke bawah. Itulah jurus Sepasang Harimau Menukik Dari Langit.

Coa-ong tampak terkejut, tapi terkekeh, gerakkan pedang dengan suling di tangan kanan. Dan ketika gerakan ke dua menurun cepat menuju tongkatnya tiba-tiba kakek ini memapak sekaligus melepas dua jarum hitam ke muka Yu Bing.

"Awas..." Hek-eng Taihiap kaget, berseru keras menerjang maju. Pedang di tangannya ikut bergerak membacok punggung. Saat itu Yu Bing miringkan kepala mengelak sambaran jarum, pedang di tangannya sudah terus meluncur menabas tongkat di tangan lawan. Gerakannya dekat dan amat berani. Coa-ong terkejut karena anak muda itu tidak menarik serangannya dan membiarkan diri menghadapi jarum, yang kini meluncur dan amblas di bahu pemuda itu. Yu Bing mendesis menahan sakit. Dan ketika tongkat tepat dan Yu Bing membentak mengerahkan tenaganya yang terakhir tiba-tiba ujung tongkat di tangan kakek itu putus tapi bersamaan itu pula puluhan jarum peçah menyambar Yu Bing.

"Heii....!" Namun Yu Bing tak dapat mengelak lagi. Dia sudah menerima puluhan jarum itu, semuanya menancap di tubuhnya seperti duri-duri di atas buah semangka. Yu Bing mengeluh dan kontan terjungkal. Hek-eng Taihiap terkejut. Dan ketika Coa-ong juga terkejut dan terbelalak melihat tongkatnya dipapas ujungnya maka saat itu pedang di tangan Hek-eng Taihiap mengenai punggungnya.

"Cret!" Coa-ong meraung tinggi. Kakek ini terluka sedetik dia lengah hingga tidak melindungi bagian itu dengan sinkang. Raja Ular ini terhuyung. Tapi begitu dia membalik dan menggeram marah tiba-tiba suling di tangannya ditimpuk menghantam dada pendekar ini.

Hek-eng Taihiap mencelos dan tentu saja kaget bukan main. Dia baru menyerang, tubuh sedang maju ke depan, tak mungkin ditarik mundur. Suling menyambar dan sudah mengancam dadanya dengan kecepatan luar biasa, tak ada harapan lagi bagi pendekar ini untuk menangkis. Jangankan menangkis, mengelak saja tidak keburu. Tapi ketika Hek-eng Taihiap terbelalak dan siap menerima kematian dengan mengeluh di dalam hati sekonyong-konyong sebuah bayangan berkelebat menimpuk sesuatu menangkis suling yang menyambar pendekar ini, di tempat Leng Hwat dan adik-adiknya terdengar jerit dan pekik kaget.

Leng Hwat dan saudara saudaranya terpelanting bergulingan. Bayangan itu rupanya merobohkan dan mengibas pertempuran di sini sebelum menyelamatkan Hek eng Taihiap. Dan begitu suling bergerak dan hancur bertemu sebutir batu hitam dan Leng Hwat serta kawan-kawannya melompat bangun maka Hekeng Taihiap melihat siapa yang datang.

"kim-mou-eng....!"

Coa ong dan Hek-eng Talhiap sama-sama terkejut. Mereka melihat Pendekar Rambut Emas itu telah berdiri di situ, rambutnya yang panjang keemasan berkibar dibelakang pundak. Gagah dan perkasa! Hek-eng Taihiap terkejut tapi girang bukan main sementara Coa ong terkejut gentar bukan kepalang. Tentu saja kaget karena kedatangan pendekat itu tak disangkanya sama sekali, dua bayangan tiba tiba muncul di belakang pendekar ini, putera mahkota dan Kim taijin. Dan ketika Coa-ong terbelalak dan pertempuran otomatis terhenti mendadak Raja Ular yang melihat kedudukan terancam tiba tiba memutar tubuhnya dan melarikan diri.

"Paduka selir, tolong...!"

Tok-gan Sin-ni terperanjat. Saat itu dia juga melihat kehadiran Pendekar Rambut Emas ini. Pemuda sakti itu berdiri tegak merobohkan murid-muridnya, Bu-kongcu juga bergulingan di sudut. Kini pertempuran di antara murid-muridnya dengan Bu-ciangkun dan lain-lain itu terhenti. Semua gentar memandang Kim-mou-eng. Dan melihat Coa-ong juga melarikan diri memasuki ruangan dalam membiarkannya sendirian di situ tiba-tiba iblis wanita ini memekik berjumpalitan kebelakang, seketika membuka pintu melarikan diri meninggalkan Salima.

Tentu saja Leng Hwat dan teman-temannya ikut memutar tubuh. Serentak tanpa dikomando lagi mereka mengikuti jejak sang guru, menjerit dan lari berserabutan dahulu-mendahului. Pintu terbuka dan tampak kaisar serta selirnya duduk di depan meja bundar. Pangeran Muda juga ada di situ. Pangeran ini pucat. Dan ketika pintu hendak ditutup tapi Salima menerjang hingga pintu itu jebol maka Kim-mou-eng dan sumoinya telah berada di sini. Salima terkejut dan terheran-heran kepada suhengnya, tapi menunda keheranannya itu dengan membentak ke dalam.

"Tok-gan Sin-ni, kalian telah terkepung oleh kami. Harap menyerah dan menerima hukuman dengan baik baik!"

Tok-gan Sin-ni dan lain-lain pucat. Mereka ini sebenarnya tak menduga kehadiran Kim-mou-eng. Bukankah Pendekar Rambut Emas terluka dan masih beristirahat? Tapi melihat kehadiran pendekar itu dan sepak terjangnya merobohkan Leng Hwat dan menghancurkan suling Coa-ong maka Tok-gan Sin-ni gentar tak menjawab. Kaisar tampak kebingungan melihat semua yang terjadi. Dan Salima yang membentak lagi menyuruh orang-orang yang di dalam menyerah akhirnya disambut Sien Nio yang bangkit berdiri, Coa-ong siap melakukan serangan maut di belakang kaisar.

"Tiat-ciang Sian-li, kami tak berurusan denganmu. Sebaiknya minggir dan biar yang lebih berkepentingan bicara ke depan,“ selir ini memandang Kim-taijin dan pangeran mahkota, sikapnya tenang namun pangeran mahkota dan Kim-taijin melihat gerakan mencurigakan di balik jari-jari selir ini. Kaisar tiba-tiba roboh pingsan. Coa-ong memperhatikan terus gerak-gerik sélir itu. Dan ketika Salima melotot namun pangeran mahkota maju ke depan akhirnya pangeran ini bicara tak tedeng aling-aling lagi.

"Ibunda selir, kau mau bicara apalagi setelah rencana pemberontakanmu ini gagal? Kau minta bebas dengan menukar ayahanda kaisar?"

"Kau cerdik," selir ini tertawa mengejek. "Itu yang kumau sekarang, pangeran. Aku memang merasa gagal dengan segala kebodohan anak anak-buahku. Tak kusangkal, kau telah mengetahui semua ini. Dan Kim-taijin rupanya merupakan pembantu paling cerdik di belakangmu. Bagaimana kalau kita tukar-menukar?"

Pangeran mahkota tak segera menjawab. Dan marah memandang selir ayahandanya yang berkhianat itu, matanyapun berapi memandang sang kakak, Pangeran Muda yang berdiri di belakang ibunya. Dan teringat Yu busu hendak membunuhnya di hutan di luar kota raja tiba-tiba pangeran ini menggeram.

"Kanda pangeran, kaupun ternyata keji. Sungguh tak kusangka di balik semua keramahanmu ini terdapat keculasan tak tahu malu yang menjijikkan!"

"Ha ha, tak perlu lagi kusangkal semuanya itu, adik pangeran. Ibu menghendaki aku merampas kedudukan."

"Dan kau yang memerintahkan Yu-busu untuk membunuhku di luar kota raja?"

"Benar.“

"Dan kau pula yang menyuruh Hek-bong Siang lo-mo membunuh Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun?”

"Ha ha, tak kusangkal pula, adik pangeran. Tapi mereka tolol tak dapat melaksanakan tugas dengan baik."

"Kau keji!" Bu-ciangkun tiba-tiba membentak. "Kau tak tahu budi, Siauw-ongya. Ibumu yang sudah mendapat kedudukan terhormat itu ternyata masih juga tak kenal puas. Kalian serakah. Kiranya patut dibunuh saja kalian ini dari pada dibiarkan hidup!"

"Ha-ha, kalian berani membunuh kami? Kalau begitu aku terpaksa membunuh ayahku sendiri!" Pangeran Muda menyambar kaisar yang pingsan, dengan kasar tangannya mencekik leher ayahnya itu. Semua orang terkejut karena pemuda ini ternyata tak sungkan-sungkan mencengkeram leher ayahnya, begitu saja seolah ayahnya itu seekor ayam atau kerbau.

Pangeran mahkota membentak menyuruh kakaknya melepas kaisar. Dan ketika Pangeran Muda tertawa dan mundur di sebelah ibunya maka Kim-taijin maju dengan mata bersinar-sinar.

"Paduka selir, hari ini urusan di antara kita harus diselesaikan. Kedudukan pihak mu tak menggembirakan, sebaiknya katakan saja apa yang kalian maui dan biar pangeran memberi putusan."

"Aku mau bebas!" Sien Nio berkata tinggi. "Kami semua ingin pergi dari tempat ini dengan baik-baik, Kim-taijin. Dan sebagai gantinya kaisar akan kami serahkan pada kalian!"

"Baik, bagaimana, pangeran?"

"Aku setuju, tapi...."

"Tidak, nanti dulu, ibu!" Pangeran Muda tiba-tiba memotong, "Kebebasan kita masih harus ditambahi lagi syarat-syarat lain seperti yang telah kita rencanakan tadi!" dan ketika adiknya terbelalak dan ibunya mengangguk maka pangeran ini berkata pada pangeran mahkota, "Adik pangeran, keselamatan ayahanda kaisar terlalu murah bila ditukar dengan kebebasan kami belaka. Ada tambahan tambahan lain yang ingin kami ajukan!"

"Apa itu?"

"Pertama, seluruh harta yang ada di sini harus ikut kami!" pangeran itu memandang sepuluh peti emas di balik dinding kaca, ibunya mengangguk-angguk dan matanya rakus melahap semua peti peti harta itu.

"Kedua, kami dibebaskan dari segala hukuman dan tak boleh dikejar baik sekarang maupun kelak. Dan ke tiga...."

"Wan Cu diberikan kepada kami dan dibebaskan pula!"

"Pangeran...." sang ibu terkejut. "Kenapa Wan Cu kau bawa-bawa? Tidak, dia tak perlu diikutsertakan, pangeran. Ibu tak setuju dan biar kebebasan ini hanya berlaku pada kita yang ada di sini, bukan orang luar yang ada sangkut-pautnya?"

"Ah, Wan Cu bukan orang luar, ibu, Ia sahabat yang harus ditolong. Aku mencintainya, ia...”

"Pangeran?" ibunya tiba-tiba membentak, marah sekali. "Apa yang kukatakan tak perlu kau bantah lagi. Wanita itu milik Gurba, kau dapat mencari wanita lain dan jangan membuat malu ibumu di sini!" dan berang membanting kaki, harus ribut dengan anaknya sendiri di depan begitu banyak orang tiba-tiba selir ini sudah menghadapi pangeran mahkota.

"Pangeran, dua syarat yang diajukan putreraku tadi jelaskan dulu apakah dapat kau terima atau tidak. Kalau dapat diterima maka syarat ke tiga adalah..."

"Kebebasan Wan Cu!"

"Tidak, kebebasan orang-orang kami yang kau tangkap!"

"Tidak, Wan Cu, ibu. Wan Cu lebih penting daripada yang lain-lainnya itu. Aku..."

"Diam!" ibunya menghardik. “Wan Cu sudah bukan milikmu lagi, pangeran. Kebebasan yang lain lebih penting karena kau dapat menjadi raja kecil di suatu tempat nanti. Mereka itu lebih penting daripada Wan Cu. Kau tak perlu membantah!" dan sang selir yang sudah menghadapi pangeran mahkota lagi setelah dipotong puteranya tadi lalu bertanya dengan mata berapi-api, "Bagaimana, pangeran? Kau dapat mengabulkan permintaan-permintaan kami?"

Pangeran mahkota tertegun. Dia melihat kakaknya menggigil di belakang sana, sang ibu sudah menghentikan puteranya dengan sikap yang keras. Ketegangan ibu dan anak tiba-tiba menonjol di situ, Kim-taijin berbisik-bisik. Dan ketika melihat ibunda selir merah padam dan pangeran mahkota harus mengambil keputusan tiba-tiba pangeran ini mengangguk dengan tinju terkepal.

"Baik, syarat pertama dan ke dua kuterima, ibunda selir. Sedang syarat yang ke tiga aku ragu karena di antara kalian terdapat perbedaan pendapat. Siapakah yang harus dibebaskan, anak-anak buah kalian ataukah Wan Cu!"

"Aku tak memikir Wan Cu, pangeran. Anakku harus menjadi raja dan anak-anak buahku itu akan menjadi pengikutnya, rakyatnya!"

"Bagaimana pendapat kanda pangeran sendiri?"

"Aku...."

"Dia tak berhak bicara, pangeran. Aku yang memimpin disini!" ibunda selir tiba-tiba memotong puteranya. Pangeran Muda menghentikan kata-katanya yang baru sepotong itu dan sang ibu menghardiknya. Kembali ketegangan terjadi di antara ibu dan anak ini. Sien Nio rupanya menginginkan pembantu-pembantunya yang lain dibebaskan dan puteranya menjadi raja di suatu tempat sedang anaknya sendiri menghendaki Wan Cu karena mencintai kekasihnya itu, tak perduli pada pembantu-pembantu lain asal Wan Cu ikut bersamanya.

Betapa besarnya perasaan pangeran ini terhadap Wan Cu. Tok-gan Sin-ni dan lain-lain terbelalak karena baru sekarang mereka mengerti bahwa terdapat "perang dingin" di antara ibu dan anak ini, masalah Wan Cu. Dan melihat keadaan bakal tidak menguntungkan dirinya apabila ibu dan anak itu cekcok padahal kebebasan sudah di ujung mata tiba-tiba Tok-gan Sin-ni mendekati pangeran itu berbisik lirih,

"Pangeran, urusan Wan Cu serahkan saja kepadaku. Aku nanti dapat menculiknya kalau kita sudah keluar. Jangan kalian bertengkar, keadaan ini tak menguntungkan kita karena lawan akan mentertawakan kalian saja."

"Tapi pekerjaanmu sering gagal, Sin-ni," pangeran agak tak percaya. "Dapatkah nanti kau membawa Wan Cu?"

Tok-gan Sin-ni agak merah mukanya. "Aku dapat minta bantuan Coa-ong, pangeran. Lagi pula teman-teman kita seperti Mo-ong dan lain-lain itu ada di luar!"

"Baiklah, kalau begitu kuharap kau berhasil, Sin-ni. Tapi kalau sekali ini gagal akupun tak mau percaya kau lagi!"

Percakapan itu berhenti. Tok-gan Sin-ni mundur dengan aneh, pangeran mahkota sudah memandang ibunda selir. Dan ketika Pangeran Muda tak maju lagi mengalah pada ibunya maka sabagai ibu menghadapi lawan bertanya kembali,

"Bagaimana, pangeran? Kau dapat terima ketiga tambahan syarat ini?"

Sang pangeran mengangguk.

"Dan kalian tak akan menyerang kami?"

"Aku sudah berjanji, ibunda selir. Kalian boleh bebas dan lepaskan ayahanda kaisar!"

Sien Nio tiba-tiba tertawa. "Kami tak mau mengambil resiko, anak pangeran. Sebaiknya sri baginda kami bebaskan setelah kami di tempat aman. Tapi sebelumnya ingin kutanya sesuatu, dapat kah kau memberi penjelasan?"

"Apa yang ingin kau ketahui?"

"Cu-thaikam dan lain-lain itu. Kau tangkapkah mereka?"

Pangeran terbelalak, mengangguk. "Dari mana kau tahu?"

"Apa maksudmu?"

"Aku mengetahui ada seorang pengkhianat di antara kami, pangeran. Sebaiknya jelaskan saja pada kami siapa pengkhianat itu hingga kau dapat menangkap Cu-thaikam dan lain-lain!" ibunda selir tiba-tiba bengis, matanya menyorot kemarahan ditahan. Sang pangeran menjublak dan bingung.

Tapi karena dia sukar menjawab mendadak Kim-taijin maju ke depan tampil bicara, "Yang memberi tahu kami adalah sekutumu sendiri, paduka selir. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Cu!"

"Paman...!" sang pangeran terkejut, merasa nama Wan Cu harus dilindungi tapi Kim-taijin menggelengkan kepalanya, pembesar setia ini rupanya siap memukul Sien Nio. Mukanya merah tapi berseri-seri. Dan ketika Sien Nio dan lain-lain terkejut oleh pengakuan ini maka Kim-tajjin sudah tersenyum memberi keterangan lebih lanjut,

"Benar, yang memberi tahu kami tentang semua komplotan kalian adalah Wan Cu, paduka selir. Dialah yang memberi tahu kami untuk bersetia kepada negara. Wan Cu teringat budi kaisar kepadanya, jabatan yang diberikan dan melihat sepak terjang kalian yang salah. Dan karena wanita itu sadar dan ingin menebus kesalahannya maka Wan Cu datang kepada pangeran mahkota dan memberikan daftar para pemberontak yang tersesat."

"Bohong...!" Pangeran Muda tiba-tiba berteriak. "Kau bohong, Kim-taijin. Kau dusta!"

"Pernahkah aku orang tua dusta, pangeran?! Sebaiknya paduka tanyakan adik paduka, tentu pangeran mahkota membawa catatan kitab kecil yang berisi nam-nama pembantu kalian itu," dan Kim-taijin yang menoleh pada junjungannya sudah berseru, menggerakkan lengan ke depan. "Pangeran, tunjukkan pada kakak paduka akan kitab catatan itu. Buktikan padanya bahwa aku orangtua tak bohong!"

Pangeran mahkota bingung. Sebenarnya dia ingin melindungi Wan Cu, betapa pun dia sudah berjanji. Tapi mendengar penasihat ayahnya ini tak menyinggung-nyinggung bahwa Wan Cu mengkhianati ibunda selir karena tahu hubungannya tak direstui selir yang jahat itu maka dengan tenang dan sungguh-sungguh pangeran ini mengeluarkan kitab catatan itu, melemparkannya ke kaki kakaknya. "Baiklah, kau lihat, kanda pangeran. Apakah kitab ini bukan berasal dari kalian!"

Pangeran Muda memungutnya. Dengan menggigil dan muka pucat dia membuka kitab itu, menbolak-balik isinya. Dan melihat bahwa kitab ini benar-benar kitab yang diberikannya pada Wan Cu dan tanda tangan ibunya serta dirinya ada di situ mendadak pangeran ini menggeram membanting kitab itu, menginjak-injak dengan kakinya. "Wan Cu pengkhianat!"

Semua orang terbelalak. Mereka rata-rata terkejut melihat kemarahan pangeran ini, tapi ibunda selir yang tiba-tiba terkekeh melangkah maju tahu-tahu menekan pundak puteranya ini. "Pangeran, benar Wan Cu yang memberikan kitab catatan itu? Kitab itu betul milik kita?"

Sang pangeran menggigil, tak menjawab. Tapi ibunya yang kembali tertawa dan tahu apa yang terjadi tiba-tiba berkata lagi dengan suara mengejek, "Nah, sekarang kau tahu kwalitet wanita itu, pangeran. Apa yang ibu bilang ternyata cocok. Wan Cu memang tak pantas untukmu, dan kini pengkhianatannya itu membuktikan kepada kita bagaimana tindak-tanduknya!"

Sang pangeran masih menggigil. Pemuda ini memang kaget dan marah bukan main melihat kenyataan itu. Dialah yang memberikan kepada kekasihnya kitab catatan itu untuk disimpan. Sama sekali tak menduga kalau kekasihnya berkhianat. Tak ingat diri sendiri bahwa diapun pengkhianat. Dan ketika suara dan tawa ibunya seolah talu yang memukul-mukul dirinya dan pangeran ini terhuyung tiba-tiba pangeran itu roboh mendekap ibunya.

"Ibu, Wan Cu ternyata sekutu yang busuk. Biarlah sekarang kuturut dirimu dan tak perlu wanita itu diberikan lagi padaku!" pangeran ini menangis, ibunya tersenyum dan mengangguk-angguk.

Tentu saja itu satu kemenangan bagi sang selir ini. Secara tiba-tiba anaknya melepaskan diri sendiri dari ikatan cintanya kepada Wan Cu, wanita yang memang tidak disetujui ibunda selir ini untuk mendampingi puteranya. Tak tahu pengkhianatan Wan Cu disebabkan ulahnya sendiri, ketika selir itu marah-marah kepada putaranya, di dengar Wan Cu yang saat itu diculik Salima. Dan ketika Pangeran Muda menggeram-geram dan berkeretat gigi menghapus air matanya maka keputusan sudah bulat bahwa yang dibebaskan adalah pengikut pengikut mereka yang lain, bukan Wan Cu.

Pangeran mahkota mengangguk dan menyetujui usul ini. Ibunda selir lalu menyuruh yang lain-lain membawa peti-peti harta itu, bekal untuk kelak puteranya menjadi raja di suatu tempat. Sebuah angan-angan yang tetap ambisius. Dan begitu pangeran mahkota memberi jalan dan rombongan Sien Nio ini melangkah lebar keluar sambil membawa sri baginda maka kebebasan mutlak telah di berikan pada rombongan ini untuk melaksanakan tukar menukar.

Saat itu juga para pemberontak yang tertangkap dilepaskan, Cu-thaikam dan lain-lain ikut bebas. Sien Nio menyatakan sri baginda akan diberikan di luar gerbang kota raja. Kereta dan pasukan berkuda menyertai rombongan ini, tentu saja rombongan menjadi besar dan Bu-ciangkun berulang-ulang mengerotokkan buku-buku jarinya saking geram dan marahnya. Marah karena tak dapat berbuat apa-apa karena pangeran mahkota telah berjanji, mereka dilarang menyerang dan melukai musuh. Dan ketika rombongan ini keluar kota raja dan Sien Nio tertawa gembira memperoleh kebebasannya. Ketika tepat mereka tiba diluar pintu gerbang ada bayangan yang berkelebat.

"Pangeran muda, aduh, tolong...?"

Orang-orang terkejut. Saat itu penyerahan kaisar siap dilakukan. Pekikkan wanita terhadap pangeran yang tak jelas ini terdengar mendirikan bulu roma, suaranya menyayat dan bercampur rintihan. Orang melihat wanita yang berteriak ini muncul dari balik bayang-bayang gelap, belum jelas siapa tapi suaranya seolah sudah dikenal. Tapi ketika bayangannya sudah mendekat dan orang mengenal siapa wanita ini tiba-tiba semua orang tertegun karena wanita yang jatuh bangun memanggil-manggil itu ternyata Wan Cu!

"Pengeran, tolong. Selamatkan aku...!"

Wan Cu berlari-lari, kini orang mengetahui Bahwa yang dimaksud adalah Pangeran Muda. Wan Cu riap-riapan dengan muka seputih kertas. kembali terjatuh tapi sudah bangkit lagi menuju Pangeran Muda. Di belakangnya terdengar geraman yang tak kalah mendirikan bulu kuduk, sesosok bayangan tinggi besar tersaruk-saruk mengejar wanita cantik itu. Suaranya serak memanggil-manggil wanita itu, Wan Cu ketakutan. Dan ketika bayangan ke dua juga muncul dari kegelapan terlihat siapa dia tiba-tiba semua orangpun tertegun berseru kaget.

"Gurba...!"

Ternyata benar. Bayangan tinggi besar ini ternyata memang Gurha adanya, pemimpin Tar-tar yang dahsyat itu. Memanggil-manggil nama Wan Cu sambil berkali-kali mendekap dada sendiri yang sakit. Gurba masih terluka. Dan ketika Wan Cu menubruk Pangeran Muda dan. Gurba tiba di sini maka raksasa tinggi besar ini menggereng.

"Wan Cu, kau ikut aku. Lepaskan pangeran...!"

"Tidak... tidak..! Aku tak mencintaimu, Gurba. Aku mencintai kekasihku ini dan kau pergilah...!"

"Tapi sang pangeran telah memberikan dirimu kepadaku. Kemarilah!" Gurba menggereng, maju melompat dan menubruk Wan Cu.

Wan Cu berteriak berlindung di balik punggung Pangeran Muda. Keadaan tiba-tiba menjadi gempar karena urusan ini merupakan persoalan baru bagi semua orang, terutama Pangeran Muda yang terbelalak melihat kekasihnya itu. Wan Cu tampak menyedihkan dan menangis memeluk punggungnya. Tapi ketika Wan Cu mengguguk dan Gurba menggapai-gapai wanita cantik itu tiba-tiba Pangeran Muda menendang Wan Cu hingga wanita ini menjerit terkapar roboh.

"Wan Cu, kau pengkhianat!"

Wan Cu terpelanting. Dia terkejut dan menangis tersedu-sedu, Gurba menyeringai melangkah maju. Tapi ketika raksasa itu hendak menangkap dirinya dan Wan Cu melompat bangun tiba-tiba wanita ini berseru marah menahan Gurba, "Tahan, biarkan aku bicara, Gurba. Ada sesuatu yang hendak kubuka di sini!" dan memutar tubuh menghadapi kekasihnya dengan air mata bercucuran Wan Cu bertanya, "Pangeran, apa maksudmu dengan kata-kata mu itu? Siapa yang kau anggap pengkhianat?"

Pangeran Muda menghentakkan kaki. "Kaulah yang kumaksud, Wan Cu. Kau pengkhianat yang menjebloskan kami semua. Tak perlu kau tanya tentunya kau sendiri sudah mengerti!"

"Dan kau tak mau membawa aku seperti janjimu semula?"

"Bah, aku muak padamu, Wan Cu. Lebih baik membawa seekor anjing daripada membawa dirimu!"

"Pangeran....!"

"Tidak, kau dengarkan aku, Wan Cu. Aku sudah tak mau melihat dirimu lagi sebagaimana ku janjikan dulu. Kau merusak perjuangan yang hampir berhasil, kau menyia-nyiakan cintaku dan aku benci padamu! Kau dengar? Aku benci padamu Wan Cu. Aku benci pada mu...!" dan pangeran meludah di muka Wan Cu tiba-tiba membuat Wan Cu mengeluh mendekap dadanya.

"Pangeran, kau tak mencintaiku lagi? Kau benar-benar menurut ibumu? Baik, kukatakan sekarang padamu, pangeran. Bahwa apa yang kulakukan adalah gara-gara siluman betina ini, yang membuat aku merana. Dialah perusak dan pembujuk tak tahu malu. Aku telah mendengar pembicaraan kalian. Dengarlah...."

Dan Wan Cu yang lalu menceritakan semuanya dengan tangis dan sedu-sedan ditahan tentang pertikaian di kamar Sien Nio di mana Pangeran Muda mengalah pada ibunya dan akan meninggalkan Wan Cu tiba-tiba membuat pangeran ini dan yang lain-lain terbelalak. Bahwa di antara ibu dan anak terdapat perbedaan pendapat. Pangeran Muda merencanakan membunuh Gurba kalau kelak perjuangan berhasil, Wan Cu harus dirampasnya kembali dan Gurba dipergunakan sebagai alat belaka.

Sang ibu menolak karena pilihan puteranya tak disetujui, Wan Cu biarlah ikut Gurba karena wanita cantik itu telah diberikan kepada raksasa tinggi besar ini. Wan Cu mengakui pula bahwa dia tetap mencintai Pangeran Muda, bukan Gurba. Rahasia hatinyapun dibeberkannya tanpa tadeng aling-aling lagi. Kebusukan ibu dan anak dibuka.

Gurba pucat mendengar pernyataan Wan Cu kepadanya karena terpaksa saja. Bahwa cinta yang di berikan wanita itu adalah bukan cinta sebenarnya. Wan Cu masih terikat kepada Pangera Muda. Jadi semuanya semu belaka dan Wan Cu pun menipu, demi kekasihnya, Pangeran Muda, yang berjanji akan membawa Wan Cu kalau perjuangan telah berhasil. Dan ketika satu demi satu semua peristiwa itu dibuka Wan Cu dan percakapan ibu dan anak ditelanjangi begitu saja karena Wan Cu juga ingin membalas sakit hatinya maka semua yang bersangkutan kaget dan pucat serta merah berganti-ganti.

Gurba menggeram bagai singa haus darah, berkali-kali mengeluh dan memandang pucat kearah Wan Cu. Wanita yang dicinta itupun mempermainkannya. Wan Cu ganti dipermainkan Pangeran Muda. Semua blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi. Dan ketika Wan Cu selesai dan semua orang pucat mendengar ini tiba-tiba Gurba menubruk Wan Cu penuh kemarahan, merasa tertipu.

"Wan Cu, kau wanita jahanam...."

Wan Cu menjerit. Dia sudah diterkam raksasa ini, berusaha mengelak tapi tertangkap juga. Roboh bergulingan. Tapi Pangeran Muda yang kini sudah tahu duduk persoalan sebenarnya mengapa Wan Cu berkhianat tiba-tiba membentak dan kambuh cintanya lagi terhadap bekas kekasih itu, menubruk Gurba dari belakang menyelamatkan Wan Cu, Gurbapun terguling dan ketiganya cengkeram mencengkeram. Semua orang terkejut, Tapi karena Gurba bukan pemuda sembarangan dan raksasa ini marah besar maka tiba-tiba dia sudah membalik dan menendang Pangeran Muda itu.

"Dess!" Pangeran Muda terlempar. Ibunda selir terpekik melihat anaknya mencelat, Pangeran Muda mengeluh. Tapi melompat bangun menghunus pisau tiba-tiba pangeran ini membentak lagi menerjang Gurba. "Gurba, lepaskan kekasihku!"

Gurba meradang. Saat itu cinta kasih pangeran ini menonjol hebat, Gurba tentu saja terpukul dan mendelik. Pasangan itu ternyata tak dapat dipisahkan. Dia benar-benar merasa dipermainkan. Pangeran Muda dan Wan Cu sama-sama penipu. Maka begitu lawan menyerang dan pisau berkelebat di depan dadanya, tiba-tiba Gurba menggereng menangkap pisau itu, tangan sang pangeran sekaligus ditelikung. Lawan mengaduh dan Gurba menekuk ke atas tangan yang sudah ditangkap itu. Rupanya raksasa ini akan mematahkan lengan sang pangeran. Dan ketika pangeran menjerit dan pisau dirampas tiba-tiba Gurba mau menghunjamkan pisau itu ke dada lawannya,

"Jangan...!" Ibunda selir berteriak. Wanita ini melompat dan hampir menyelamatkan puteranya, tapi Tok-gan Sin-ni yang maju berkelebat menolong Pangeran Muda ternyata sudah bergerak cepat menendang pisau itu, membentak sekaligus menarik Pangeran Muda hingga sang pangeran terguling. Gurba sudah mendapat tamparan keras di Tengkuknya, raksasa ini terjungkal dan menggetak.

Dan ketika dia melompat bangun dan marah atas serangan Tok-gan Si-ni kepadanya mendadak wanita iblis itu telah menyerangnya bertubi-tubi atas perintah Sien Nio. Terkejutlah raksasa ini. Dia sebenarnya tak kuat bertempur, apalagi menghadapi lawan sehebat Tok-gan Sin-ni. Luka-lukanya masih terlalu berat hingga napasnya sering sesak. Hanya karena mengejar Wan Cu lah dia muncul di situ. Tak menyangka akan mendengar semuanya dan penipuan terhadap dirinya yang terasa menyakitkan. Gurba seakan meledak.

Tapi melihat diri diserang gencar dan Gurba memaki-maki maka raksasa ini terhuyung ke sana ke mari mengelak serangan lawan. Tok-gan Sin-ni rupanya tahu keadaannya, satu dua pukulan mulai mendarat. Gurba menggeleng.

Dan ketika rambut juga mulai menjeletar menyakiti tubuhnya akhirnya Gurba terpelanting jatuh bangun dijadikan bulan-bulanan serangan lawan. Raksasa ini memang tak dapat membalas. Dadanya sakit setiap kali dia coba mengerahkan sinkang. Dan ketika Tok-gan Sin-ni menghajarnya habis-habisan dan iblis wanita itu tertawa mengejek maka satu pukulan telak mengenai tengkuk raksasa ini...