PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 25
KARYA BATARA
"APA yang harus dilakukan? Bukankah lapor saja pada ayahanda kaisar dan kanda pangeran ditangkap?"
"Itu belum menjamin keberhasilannya, pangeran. Ibunda selir adalah orang yang cerdik. Tak mungkin dia tinggal diam kalau anaknya di tangkap."
"Tapi bukti-bukti sudah ditangan kita. Mau apa lagi?"
"Ah, bukti baru lima puluh persen, pangeran. Ibunda selir maupun kakak paduka dapat mengelak dengan seribu macam dalih. Difitnah umpamanya, atau bilang yang lain lagi seperti ketika Kim-mou-eng berhadapan dengannya."
"Jadi bagaimana?"
"Kita tenang-tenang saja, pangeran. Paduka bersikap seolah tidak tahu apa-apa tentang rencana pemberontakan ini. Biarkan mereka bekerja dan pemberontakan itu meletus. Baru setelah itu kita bergerak dan menangkap kakak paduka yang berkhianat itu!"
Pangeran ini tertegun. Sekarang penyesalannya terhadap Kim-mou-eng dan sumoinya semakin besar. Pendekar itu dan sumoinya benar-benar tak ada maksud lain. Mereka hanya hendak mencegah sebelum semuanya menjadi parah, begitu kira-kira. Dan karena Kim-taijin serta Bu-ciangkun dan lain-lainnya itu telah membuktikan rencana pembunuhan yang nyaris mencelakakan mereka dan dia sendiri hampir tewas di tangan Yu-busu maka pangeran gusar sekali melihat kebusukan kakak tirinya ini.
Sin Kok dan Hwi Ling pun lalu bercerita tentang penangkapan mereka, betapa mereka hampir dicelakai Thai Hok, orang suruhan Tan-taijin. Tentu Tan-taijin inipun disuruh Pangeran Muda untuk melenyapkan orang-orang yang dianggap setia pada kaisar, atau menculik mereka untuk kelak dibunuh. Perbuatan itu benar-benar teratur dan terencana, semuanya sudah diperhitungkan masak-masak. Seperti halnya serangan Hek-bong Siang lo-mo terhadap Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun.
Dan ketika semuanya itu jelas dan Cu-thaikam "dikompres" untuk mengatakan segala sesuatunya maka pangeran mahkota semakin jelas dan lebih tahu lagi akan rencana-rencana kakak tirinya itu di hari-hari mendatang. Semua yang dikata Cu-thaikam mulai dibuktikan. Satu persatu menteri menteri yang siap membelot diselidiki. Tan-taijin, Lu-taijin dan banyak lagi yang jumlahnya membuat pangeran ini terbelalak. Satu di antaranya bahkan Han-taijin, rekan atau saudara kim-taijin sendiri yang menjadi penasihat kedua. Sungguh hal ini mengejutkan.
Dan ketika semuanya itu semakin membuka mata pangeran ini akan tindak tanduk kakaknya maka saat yang dinanti-nanti inipun mulailah tiba. Gerakan pasukan liar di luar perbatasan mulai menyerang. Itulah Gurba, suheng Kim-mou-eng yang juga kena pelet kakaknya ini. Menurut keterangan karena berhasil dilolohi Wan Cu, orang yang menjadi kekasih kakaknya sendiri. Berarti kakaknya tak segan-segan mengorbankan yang amat berharga demi lancarnya pemberontakan.
Pangeran ini terkejut dan semakin marah saja. Terlalu kakaknya itu. Benar benar kelewatan! Tapi karena Kim-taijin selalu menasihati pangeran ini dan mendampingi pangeran itu untuk bersabar maka semua kemarahan dan kegusaran pangeran ini masih berhasil ditekan. Dengan segala kebijaksanaan dan kemampuannya Kim-taijin mengendalikan pangeran mahkota itu.
Buru buru Kim-mou-eng dicari, Hek-eng Taihiap mendapat tugas ini. Pendekar Rambut Emas itu satu satunya andalan yang dapat dipercaya. Yu Bing entah masih kemana. Hek-eng taihiap terpaksa menunda pencarian terhadap sahabatnya itu karena suasana kota raja mulai gawat. Ketegangan mencekam di sini. Kim-mou-eng datang dan Kim-taijin buru-buru minta bantuannya. Segala yang didengar dari mulut Cu-thaikam dibeberkan, termasuk kerja sama Gurba yang diperalat Pangeran Muda.
Yu Hak atau Yu-busu sejak gagalnya rencana pembunuhan terhadap pangeran mahkota tak muncul lagi di istana. Ibunda selir kelihatan gelisah, tak mendapat laporan orang kepercayaannya itu atas apa yang terjadi. Gerak-gerik semua orang diawasi, tentu saja secara diam-diam. Dan ketika pangeran ini berhasil menuruti nasihat Kim-taijin untuk pura-pura tidak tahu rencana pemberontakan itu dan sikapnya terhadap kakak tirinya masih biasa biasa saja maka Pangeran Muda maupun Sien Nio sukar menebak apa yang sesungguhnya terjadi.
Tak tahu dan sedikit was was, namun akhirnya tenang kembali meneruskan rencana pemberontakan. Mereka tak tahu bahwa beberapa bayangan berkelebat di atas gedung mereka, mengintai pembicaraan. Dua bayangan yang bukan lain Kim-mou-eng dan Salima, yang meneruskan apa yang mereka dengar pada pangeran mahkota dan Kim-taijin. Tentu saja gerak-gerik dua suheng dan sumoi ini tak dapat ditangkap orang di bawah. Kesaktian mereka terlalu tinggi untuk diikuti, lagi pula Kim-mou-eng dan sumoinya berhati-hati, selalu menjaga suara berisik hingga langkah kaki mereka tak terdengar.
Pangeran mahkota sendiri sudah mohon maaf berulang-ulang pada Kim-mou-eng dan sumoinya, terutama Salima. Begitu sungguh-sungguh hingga memeluk dan menangis di pundak Salima, gadis ini terharu dan kontan semua kemarahannya lenyap. Wanita memang lemah perasaannya. Dan ketika satu demi satu semua pembicaraan Pangeran Muda maupun orang-orangnya di tangkap Pendekar Rambut Emas dan sumoinya dan semua gerak-gerik pangeran itu diawasi maka saat yang menegangkan itu kian mencekam.
Hanya terhadap ibunda selir Pendekar Rambut Emas mengutuk. Wanita itu luar biasa hati-hatinya, cerdik dan berbahaya. Entah kenapa pada suatu hari tak pernah bicara pada puteranya. Kalau kasak-kusuk di dalam kamar, berdua. Yang dikerjakan kini adalah isyarat bahasa. Memberikan secarik kertas dan tukar menukar surat. Mereka tak lagi berkomunikasi secara lisan tetapi tertulis.
Tentu saja Kim-mou-eng tak dapat membaca karena tulisan surat itu kecil-kecil, lagi pula tempat pengintaiannya cukup tinggi. Sungguh cerdik. Agaknya firasat tak nyaman berhasil ditangkap wanita yang penuh pengalaman itu. Sien Nio memang merasakan sesuatu yang tidak enak. Sejak hilangnya Yu-busu dan Cu-thaikam. Katanya Cu-thaikam menghilang entah ke mana. Selir ini curiga. Tapi karena pangeran mahkota tak menunjukkan gejala gejala aneh dan sikap pangeran itu terhadap puteranya juga biasa biasa saja maka wanita ini bingung untuk bersikap bagaimana.
Sekarang ia ketanggor berhadapan dengan kehati-hatian Kim-tajin, penasihat kaisar yang berhasil menyetel situasi dari jauh. Kim-Caijin ternyata tak kalah cerdik dibanding selir ini. Maklum, jelek-jelek peabesar itu adalah seorang tua yang penuh pengalaman. Riwayat Hidup Sien Nio diketahuinya baik. Licin dibalas licin dan dua orang ini sama-sama bergerak di belakang layar. Sungguh mendebarkan!
Dan ketika Kim-mou-eng mengumpat memberitahukan kecerdikan selir itu yang tidak lagi menggunakan bahasa lisan setiap berhubungan dengan puteranya melainkan bahasa tulis untuk tidak dimengerti orang lain maka pembesar Kim inipun tertegun membelalakkan mata.
"Begitukah, Kim-taihiap? Kalau begitu puteranya saja yang kita incar. Pusatkan konsentrasi untuk melihat gerak-gerik pangeran ini. Toh dia yang akan melaksanakan perintah ibunya."
Kim-mou-eng menangguk. Bersama sumoinya dia sekarang lebih memusatkan perhatian pada pangeran ini. Hampir setiap gerak-geriknya di ikuti, termasuk pembicaraannya bersama Wan Cu dimana dua orang ini bercakap-cakap di dalam kamar. Kim-mou-eng dan Salma tertegun mendengar pembicaraan mereka, yang menyangkut dengan hubungan suheng mereka, Gurba. Bahwa Gurba diperalat saja dengan tubuh Wan Cu. Berulang-ulang Wan Cu menyatakan pendapatnya bahwa dia tetap mencintai pangeran itu. Kelak Gurba harus disingkirkan kalau pemberontakan selesai, singgasana dapat direbut dan Pangeran Muda menjadi kaisar.
Pangeran Muda berjanji tapi di lain tempat ibunya menentang, tak mau Wan Cu menjadi isteri anaknya. Tiga orang ini diam-diam berbeda pendapat, ibu dan anak mulai cek cok Wan Cu tak tahu. Dan ketika hal itu di sampaikan pada Kim-taijin untuk diminta pendapatnya mendadak pembesar ini berteriak-teriak.
"Bagus, ini satu titik terang, taihiap. Ini satu bumerang untuk mereka!"
"Apa yang harus kulakukan?"
"Tangkap wanita itu, taihiap. Dan bawa dia ke sana!"
"Wanita siapa? Bawa ke mana?" Kim-mou-eng terkejut.
"Itu, kekasih Pangeran Muda itu. Bukankah ini urusan pribadi mereka? Culik wanita she Wan itu, taihiap. Bawa dia ke tempat bunda selir agar mendengar sendiri apa yang dikata bakal mertuanya, ha ha!" Kim-taijin tak dapat menahan gembira hatinya, tertawa dan bersinar sinar dengan mata bercahaya. Pandangan matanya tampak hidup dan antusias.
Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan sadar akan pukulan ini tiba-tiba dia pun kagum dan memuji penasihat kaisar itu, pangeran mahkota pun bersorak.
"Bagus, hebat sekali, taijin. Rencanamu ini tepat dan akurat!"
"Ya, dan aku akan mengusahakannya, taijin. Aku akan menangkap dan membawa wanita itu untuk mendengar pembicaraan bakal mertuanya!"
"Tidak!" Salima tiba-tiba berseru. "Itu aku yang mengerjakan suheng. Kau melihat saja situasi di rumah Pangeran Muda. Kalau dia menemui ibunya dan bicara tentang ini biarlah kau memberi tanda dan aku membawa perempuan busuk itu!"
Kim-mou-eng tertegun. Sekarang dia sadar bahwa sumoinya ini rupanya tak suka dia menyentuh tubuh perempuan lain. Cemburu. Pangeran tersenyum dan Kim-taijin pun tertawa penuh arti. Mereka maklum akan cinta kasih gadis itu kepada suhengnya. Salima agak merah mukanya. Tapi sang suheng yang tidak menolak dan tentu saja tak mau bersikeras akhirnya mengangguk dan setuju.
Dan saat itu tiba. Percekcokan masalah Wan Cu, terang tak mungkin dibicarakan dengan bahasa isyarat. Ini urusan pribadi, bukan urusan pemberontakan. Tak apa bicara seperti biasa sebagaimana adanya. Dan ketika ibu dan anak kembali cekcok tentang hal ini dan masing-masing agak meninggi nadanya maka Kim-mou-eng sudah memberi isyarat sumoinya untuk menculik Wan Cu, malam itu, ketika secara kebetulan saat yang tepat ini tiba, memang sudah lama ditunggu tunggu.
"Lihat, tiap hari kau semakin edan membicarakan Wan Cu, pangeran. Kenapa harus diributkan kalau perjuangan kita belum berhasil? Tutup pembicaraanmu tentang ini, urusan wanita bisa menggagalkan urusan yang lebih besar!"
"Tapi Wan Cu benar-benar kucinta, ibu. Dan dia cocok menjadi pendampingku. Kami bisa bekerja sama sehati seucapan...!"
"Huh, kau tahu apa? Cinta di antara pria wanita bisa berobah. Kau lagi mabok kepayang, tak ada cinta sejati di dunia ini kecuali cinta ibu terhadap anaknya!"
"Jadi ibu bersikeras memisahkan Wan Cu dariku?"
"Goblok. Sudah kubilang jangan bicarakan hal ini lagi. Urusan itu tekan saja kalau perjuangan sudah selesai. Aku tak mau ribut-ribut denganmu hanya masalah perempuan!" selir ini marah, membanting pantat di kursi dan melotot pada puteranya itu.
Pangeran Muda tertegun. Tapi karena kamar itu terkunci dan tak ada pelayan bersama mereka maka pangeran ini duduk pula berhadapan dengan ibunya. "Ibu, aku berjanji tak akan membicarakan urusan ini lagi kalau kau cabut rencanamu. Kau biarkanlah Wan Cu menjadi milikku dan Gurba kita bunuh!"
"Kau kira gampang? Kau tak tahu kesaktian rakasasa itu? bodoh, memberikan Wan Cu sama dengan menyelamatkan nyawamu pangeran. Kau bisa mencari Wan Cu -Wan Cu yang lain sebagai penggantinya. Raksasa itu biar mendapatkan haknya dan menikahi pelacur itu. Banyak lainnya yang lebih cantik yang dapat kau peroleh!"
"Ibu memakinya sebagai pelacur?" Pangeran Muda terbélalak.
"Ya, memangnya apa? Aku benci wanita itu. Kalau bukan pelacur tentunya tak sudi bermain cinta dengan orang yang tidak dicintainya!"
"Tapi ibu yang menyuruh itu. Ibu menyuruh agar Wan Cu melayani Gurba!"
"Huh, itulah batu ujian dariku, pangeran. Aku sekaligus ingin mengetahui kadar cintanya kepada mu. Kalau dia menolak berarti dia wanita baik-baik, pantas menjadi isterimü dan kelak menjadi permaisuri. Tapi kalau dia menerima dan galang-gulung dengan laki-laki lain sungguh tak pantas dia menjadi kekasihmu dan lebih tak pantas lagi menjadi permaisuri," selir ini menggebrak meja, tak ingat dirinya sendiri yang juga pernah menjadi pelacur. Keburukan orang lain dilihat sementara keburukan sendiri yang sebesar gajah di tengkuknya tak dirasa. Dan ketika Pangeran Muda kiàn terbelalak dan bangkit berdiri maka ibu dan anak ini sudah berbadap-hadapan dengan muka sama-sama merah.
"Ibu, aku tak dapat menerima pendapatmu. Kau tak boleh menghina Wan Cu." pangeran ini menggigil. "Kalau ibu tak suka menerima kekasih ku sebagai permaisuri aku dapat menjadikannya sebagai isteri biasa. Apa yang dilakukan Wan Cu adalah demi cintanya kepadaku. Aku yakin, tak mungkin salah. Kalau ibu mengumpatnya dan memakinya sebagai pelacur harap ibu tengok sendiri bagaimana keadaan ibu dulu. Bukankah ibu juga pernah melakukan hal yang sama? Bukankah ibu sering berpindah dari satu lelaki ke lelaki lain sebelum tinggal di istana ini? Kaupun bekas pelacur ibu. Sepak terjangmu lebih hebat dibanding Wan Cu!"
"Pangeran...!" selir ini tersentak, meloncat dari duduknya, kaget bukan main. "Kau... kau menghina ibumu? Kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu?" selir ini menggigil, mukanya pucat dan merah berganti ganti memandang puteranya itu. Kekagetannya seperti disengat lebah. Ah, mungkin lebih lagi daripada itu. Anaknya terkejut tapi tersenyum mengejek. Dua pihak sama-sama dibakar emosi. Dan ketika sang ibu mendelik dan gemetar meremas lengan kursi maka pangeran ini berkata melampiaskan kemendongkolannya.
"Ibu, maafkan aku. Aku telah mendengar riwayat hidupmu di masa lalu. Betapapun, bau busuk tak dapat disembunyikan, bukan? Aku tak dapat menerima makianmu terhadap Wan Cu ibu. Kalau kau tak suka padanya tak usah kau memaki. Besök aku akan keluar kota!"
Sang ibu berdiri, menggigil penuh kemarahan. "Kau melawan keputusan ibumu?"
"Bukan keputusan, ibu, Melainkan keinginan. Kau hanya ingin memisahkan aku dari Wan Cu, tapi keputusan terletak di tanganku. Wan Cu tetap tak dapat kau pisahkan dariku. Aku mencintainya!"
"Kalau begitu pilih salah satu. kau mencintai wanita itu atau ibumu!"
Sien Nio mendadak mengambil badik, pisau tajam yang ujungnya sedikit melengkung. Dan sementara Pangeran Muda tertegun maka ibu yang marah ini berseru, "Pangeran, kau tentukan jalan hidupmu dengan pisau ini. Kau bunuhlah ibumu kalau kau tak dapat meninggalkan kekasihmu itu.... cep!" pisau bergoyang diatas meja, selir kaisar ini menancapkannya dengan penuh kemarahan yang membuat puteranya terkejut.
Pangeran Muda tersentak dan Wan Cu yang melihat semuanya itu dari atas tak dapat menahan air matanya, menangis deras tapi mulut tak dapat berkata-kata. Salima menotoknya, gadis ini mengenakan kedok sementara suhengnya juga begitu, agar tak dikenal. Dua orang Inipun tegang di atas genting. Keadaan memang amat menentukan bagi pangeran itu, termasuk Wan Cu, orang yang menjadi pokok pembicaraan. Dan ketika sang pangeran terhenyak dan ibunya merenggangkan kaki dengan air mata bercucuran pula tiba-tiba Pangeran Muda mengeluh dan menubruk ibunya itu.
"Ibu, kenapa harus begini? Kenapa kau menyusahkan aku?"
"Tidak, bukan aku yang menyusahkan kau, pangeran. Melainkan kaulah yang menyusahkan ibumu. Rencana kerja kita bisa hancur berantakan gara-gara kebodohanmu. Sekarang pilihlah satu di antara dua, kau tetap dengan ibumu dan meninggalkan wanita itu atau kau bunuh ibumu dan galang-gulunglah dengan Wan Cu!"
Sang pangeran menangis. Sekarang dia pun terjepit oleh keadaan ini. Betapapun ibunya adalah wanita yang membesarkan dirinya dengan segala suka duka. Kedudukan yang dia peroleh adalah atas jasa wanita tua ini. Pangeran Muda hancur. Dan ketika ibunya mengulang agar dia meninggalkan Wan Cu atau membunuh ibunya itu mendadak pemuda ini mengguguk memeluk ibunya itu
"Ibu, kau ampunkanlah aku. Aku akan memenuhi permintaanmu,aku tak dapat membunuhmu dan akan meninggalkan Wan Cu!"
“Kau berjanji?"
"Aku berjanji, ibu. Tapi mohon dengan sangat biarlah untuk sisa-sisa terakhir ini kau perkenankan aku menghubungi Wan Cu seperti biasa."
"Baik, dan kelak kekasihmu itu harus kau serahkan pada raksasa Tar-tar itu, pangeran. Kalau kau menarik janjimu maka sumpah demi iblis aku akan membunuh wanita itu dengan segala cara!"
"Tidak... tidak, jangan ibu, aku bersumpah!" dan ibu serta anak yang berpelukan dan menangis penuh haru akhirnya membuat Wan Cu pingsan di atas sana.
Wanita Cantik ini tak dapat menahan dirinya lagi. Kebenciannya terhadap bunda selir bukan main besarnya. Wan Cu terpukul hebat. Dan ketika Salima mengembalikannya dan membiarkan Wan Cu bersikap menurut keinginannya sendiri maka sejak malam itu terjadi perobahan besar-besaran di dalam diri wanita cantik ini. Wan Cu masih menyambut kekasihnya dengan biasa. Hanya mukanya sedikit murung. Pergolakan hebat terjadi di hati wanita ini. Sekarang dia tahu bahwa betapa pun besar kekasihnya itu mencintai dirinya tapi kekasihnya telah tertekan oleh kemauan ibunda sendiri.
Wan Cu terseret dua arah. Di satu pihak dia melihat kekasihnya sebenarnya masih amat mencintanya tapi di lain pihak kekasihnya dibuat tak berdaya oleh ibunya. Terpikir olehnya untuk membunuh ibunda selir itu. Benci hatinya melihat dia benar-benar akan diserahkan pada Gurba, kekasihnya tak dapat menolong. Dan ketika hari demi hari membuat Wan Cu digerogoti tekanan batinnya sendiri dan bingung untuk menentukan jalan bagaimana yang harus ditempuh maka tak lama kemudian wanita ini sakit.
Pangeran Muda khawatir. Wan Cu tak dapat lagi membantu mereka, keadaan membuat pangeran ini bergerak sendirian, tentu saja sang ibu masih berdiri di belakang layar, Wan Cu patah semangat. Hampir wanita ini bunuh diri di suatu malam. Tapi teringat betapa enaknya ibunda selir kalau ia mati mendadak Wan Cu mengurungkan niatnya itu. Tidak, ia harus membalas. Sakit hatinya tak dapat ditebus dengan bunuh diri. Justeru kalau ia hendak melenyapkan sakit hatinya itu ibunda selirlah yang harus dibunuh, bukannya bunuh diri.
Dan ketika Wan Cu sadar dan dendam mulai membara di hati wanita ini maka Wan Cu mulai mencari akal bagaimana caranya ia membunuh ibu kekasihnya itu. Dan ini mulai retaknya kerja sama. Kalau tokoh-tokoh yang bersangkutan bertikai sendiri mana mungkin sebuah keutuhan terjaga? Begitulah. Wan Cu mulai mencari-cari. Dia sudah mempertimbangkan bahwa Gurbalah yang cocok dimintai tolong. Raksasa tinggi besar itu akan melakukan segala-galanya untuknya. Wan Cu beringas.
Pangeran Muda masih menggaulinya di waktu-waktu senggang, kekasihnya itu memang mencintainya dan Wan Cu merasakan benar kasih sayang pangeran ini, yang sayangnya agak terganjal oleh ancaman ibunya sendiri, sering kekasihnya itu termenung di tempat-tempat tertentu. Dan Ketika Wan Cu sakit dan Pangeran Muda terpaksa aktip sendiri menyusun siasat dan segalanya maka pertemuan pertemuan penting mulai sering diadakan pangeran ini bersama pembantu-pembantunya, termasuk yang di telaga Po-yang itu, juga ditempat-tempat lain sementara Gurba mulai melakukan serangan.
Mereka juga akan menusuk dari dalam, menunggu waktu yang tepat. Tapi ketika keadaan mulai menuju pada puncaknya dan bangsa Tar tar kian mendekati kota raja dalam usahanya melaksanakan perintah Pangeran Muda mendadak Wan Cu ditangkap di saat pangeran itu tak ada di istana. Dan hal itulah yang didengar Gurba.
Apa yang terjadi? Kiranya semalam Wan Cu mengambil putusan nekat. Seminggu ini kekasihnya tak muncul. Wan Cu tak tahu bahwa Pangeran Muda saat itu di telaga Po-yang, mengira kekasihnya mulai menjauh atas perintah ibunda selir. Dugaan yang sudah didasari api kebencian begini memang mudah meletup. Hampir dua bulan ini Wan Cu menahan-nahan sakit hatinya. Maka ketika dia terbaring sakit dan sang kekasih tak kunjung menengok tiba tiba saja hari itu dengan tertatih-tatih Wan Cu mencari pangeran mahkota.
Sang pangeran terkejut. "Ada apa, Wan Cu?"
Wan Cu terisak. "Hamba... hamba hendak menyerahkan sesuatu. pangeran. Hamba hendak melepas sakit hati..." Wan Cu terbatuk, hampir terguling dan cepat ditangkap pangeran ini, terbelalak tak mengerti. Wan Cu terengah dan matanya terpejam. Pangeran mahkota menyuruhnya duduk dan benar-benar heran oleh kedatangan wanita yang merupakan tokoh ketiga di dalam rencana pemberontakan ini, setelah Pangeran Muda dan ibunda selir. Sang pangeran berdebar. Dan ketika pangeran kembali bertanya dan curiga memandang wanita itu maka Wan Cu tiba-tiba tersedu dan menangis menutupi mukanya.
"Pangeran, hamba sakit. Hamba penasaran!"
"Ya, aku mendengar kau tak enak badan, Wan Cu. Kudengar kau memang sakit. Tapi kenapa ke sini? Dan kau tak diantar seorangpun. Mana kanda pangeran?"
"Hamba tak tahu, pangeran. Tapi justeru itulah yang membuat hamba ke mari. Hamba di khianati. Hamba ditipu!"
Pangeran tersenyum, tentu saja tak gampang percaya. "Wan Cu, kau ceritakanlah yang baik apa maksud kedatanganmu ini. Apa yang hendak kau serahkan padaku."
"Paduka mau menyelamatkan hamba?"
"Ah, ada persoalan apa? Tampaknya serius!" pangeran pura-pura terkejut, padahal di dalam hati dia mengejek wanita ini. Wan Cu dianggapnya sebagai wanita cerdik yang berbahaya, barangkali tak kalah dibanding ibunda selir. Dia sudah mendengar dan mengetahui segala sesuatu tentang kekasih kakaknya ini. Kedatangan Wan Cu terang tak dipercaya begitu saja dan putera mahkota tersenyum sinis.
Tapi ketika Wan Cu menghentikan tangisnya dan tinggal sedu-sedan satu dua maka Wan Cu melepas tangannya mengeluarkan sesuatu. "Pangeran, mohon ampun bila selama ini hamba bersikap tak jujur. Harap paduka terima catatan yang mungkin dapat paduka pergunakan menangkap dan menghukum ibunda selir!"
"Catatan apa?"
"Paduka baca saja, nanti paduka tentu tahu!"
Sang pangeran menerima, membuka dan memulai membaca kitab kecil yang dibawa wanita ini. Terbelalak dan kaget karena itulah kitab catatan yang dulu dicari Kim-mou-eng. Isinya menunjukkan daftar nama-nama pengikut kakak tirinya, sejumlah menteri dan pejabat istana yang akan membantu pemberontakan. Sang pangeran terhenyak, sebagian sudah diketahui lewat mulut Cu-thaikam. Tapi kitab ini lebih komplit karena gerakan ibunda selirpun diketahui di situ, antara lain akan membunuh kaisar melalui racun. Tanggal sudah ditetapkan!
Dan ketika pangeran tertegun dan hal terakhir ini diketahui karena Cu-thai kam tidak bercerita, mungkin tidak tahu maka pangeran melotot menggigil memandang Wan Cu, tanda tangan ibunda selir dan kakak tirinya tertera. Wan Cu tercantum di situ, termasuk tanda tangan pula yang merupakan orang ketiga dari otak rencana pemberontakan ini.
"Wan Cu, apa maksud pemberitahuanmu ini. Muslihat apa yang kau simpan di sini?" pangeran tentu saja curiga, bertanya dan memandang penuh selidik kekasih kakak tirinya itu. Ingin mengetahui dorongan atau alasan apa yang membuat wanita ini mengkhianati teman-temannya.
Wan Cu mendadak menangis. Dan ketika wanita itu mengguguk dan mendekap mukanya penuh kesedihan dan menceritakan bahwa perbuatannya itu untuk membalas sikap ibunda selir yang menghinanya maka pangeran mahkota tertegun mempercayai keterangan ini. Memang dia telah mendengar hal itu dari Kim-mou-eng. Menguji lagi dengan beberapa pertanyaan tapi Wan Cu ternyata jujur, tidak berbohong sedikitpun juga.
Termasuk pengakuannya akan rencana membunuh pangeran itu lewat Yu-busu. juga rencana pembunuhan terhadap Bu-ciangkun maupun Cu-ciangkun lewat Hek-bong Siang lo-mo. Semuanya tepat. Dan ketika Wan Cu ditanya bukankah membunuh ibunda selir dapat meminta tolong pada Gurba dan tak perlu menyerahkannya pada kaisar maka Wan Cu menjawab tersedu,
"Tadinya hamba bermaksud begitu, pangeran. Tapi rencana ini hamba robah. Gurba sibuk mengatur pasukannya, dan sekarang jarang datang. Hamba tak sabar. Dan karena hamba tak tahan ditinggal Pangeran Muda yang agaknya sudah mulai menjauhi hamba atas perintah ibunya maka hamba hendak mempermalukan ibunda selir dengan jalan ditangkap. Ibunda selir harus mendapat pukulan, dan satu-satunya pukulan yang paling ampuh adalah pengakuan hamba ini. Tentu dia tak menyangka, juga tak tahu bahwa hamba telah mendengar pembicaraannya dengan Pangeran Muda. Hamba hendak membalas sakit hati ini dengan jalan memukulnya secara total. Kalau dibunuh oleh Gurba rasanya terlalu enak. Maka hamba hendak menteror mentalnya dengan pengakuan hamba ini. Tentu dia tak enak makan tak nyenyak tidur!"
"Tapi ini berarti kaupun ditangkap. Ayahanda kaisar tak mungkin pula mengampunimu."
"Hamba tahu pangeran. Tapi harap paduka ketahui bahwa keterlibatan hamba hanyalah dikarenakan mengikut kakak tiri paduka. Otak dan dalangnya adalah ibunda sélir itu. Hamba hanya pembantu. Kalau paduka kasihan kepada hamba tentunya paduka dapat mohonkan ampun pada ayahanda kaisar."
"Baik, kalau begitu kau kutangkap, Wan Cu. Tapi tunggu dulu kedatangan Kim-taijin, juga Pendekar Rambut Emas!"
"Pendekar Rambut Emas?" Wan Cu terkejut. "Ya, kenapa? Kau pernah diculiknya, bukan?"
"Ooh..." Wan Cu terbelalak, tiba-tiba sadar. "Jadi...."
"Ya!” pangeran memotong. "Dialah yang membawamu ke kamar ibunda selir, Wan Cu. Tapi yang menangkapmu adalah sumoinya, Salima!"
Dan ketika Wan Cu mendelong dan pangeran menyuruh orang memanggil Kim-taijin maka Kim-mou-eng serta sumoinya itupun muncul. Dan Wan Cu semakin tertegun. Dia melihat tiga orang itu tersenyum mengejek padanya, terutama Salima. Wan Cu terpukul dan tersentak. Sekarang mendusin bahwa sebenarnya gerak-geriknya diketahui. Rencana pemberontakan itu sudah tertangkap dan pemberitahuannya ini malah semakin melengkapi saja. Sang pangeran dan Kim-tajin terlibat dalam pembicaraan serius. Dan ketika diambil keputusan bahwa Wan Cu ditangkap tapi sekaligus wanita itu harus dilindungi dari segala ancaman bahaya maka Kim taijin berkata begini,
"Wanita ini ditempatkan di gedung hamba saja, pangeran, Kim-taihiap dan sumoinya biar melindunginya di sana. Orang tentu tak menduga di tempat hamba. Nama hamba jarang disebut-sebut. Dan ibu tiri paduka tak perlu tergesa-gesa ditangkap sampai dia meracuni ayahanda kaisar."
"Taijin menghendaki ibunda selir tertangkap basah?"
"Cocok!"
"Kalau begitu aku setuju. Bagaimana pendapatmu, Kim-taihiap?"
"Hamba juga setuju, pangeran. Tapi gerakan di dalam istana sebaiknya ditumpas dulu. Lu-taijin dan lain-lainnya itu dibekuk agar tak dapat bergerak sebelum memberontak."
"Tapi kami ingin menangkapnya basah." sang pangeran mengerutkan kening. "Bukankah begitu, Kim-taijin?"
"Ah," Kim-mou-eng mendahului. "Tak perlu semuanya tertangkap basah, pangeran. Otaknya saja yang dibiarkan begitu. Yang lain-lain sudah terbukti di dalam kitab catatan ini!"
"Benar," Kim-taijin ternyata sependapat. "Apa yang dikata Kim-taihiap memang tak salah, pangeran. Gerakan di dalam istana digerebek dulu sebelum mereka merepotkan kita sebagai beban tambahan. Gurba dan pasukannya sudah bergerak, ini saja cukup memusingkan kita. Sebaiknya mereka itu ditangkap dan kita tunggu pengkhianatan ibunda selir meracun sri baginda."
Sang pangeran tertegun. "Ayahanda tak diberi tahu?"
"Justeru sebaliknya. Ayahanda perlu diberi tahu, pangeran. Tapi pekerjaan ini biar hamba yang menyelesaikan. Sri baginda tak boleh menggebrak meja sebelum saatnya tiba!" dengan kata lain ini Kim-taijin hendak memaksudkan bahwa kaisar tak boleh marah-marah sebelum bukti-bukti ditangkap basah.
Menurut rencana tiga hari lagi selir itu akan meracun kaisar, entah lewat tangannya sendiri atau orang lain. Hari itu gerakan Gurba sudah mendekati istana, orang tak tahu hahwa Wan Cu merusak suasana, mengadakan pengakuan. Dan ketika hari itu Wan Cu ditangkap dan Sien Nio tersentak mendengar ini maka Gurba di lain tempat juga terhenyak mendengar berita itu.
Serbuan otomatis dihentikan. Sien Nio dan Gurba tak tahu apa yang menjadi dasar penangkapan itu, Istana bungkam. Desas-desus selentingannya mengatakan bahwa Wan Cu ditangkap karena mengganggu pangeran mahkota, katanya membujuk dan coba memikat pangeran itu tapi tak berhasil. Pangeran mahkota marah-marah karena Wan Cu adalah kekasih kakaknya. Tentu saja Sien Nio terkejut. Dan ketika semuanya masih simpang-siur dan satu-persatu orang-orang penting menghilang tak ada di tempatnya masing-masing maka Sien Nio menyuruh pengawalnya memberitahukan penangkapan Wan Cu kepada Gurba. Dan kita tahu Gurba lalu meninggalkan pasukannya, marah dan terkejut menuju istana.
Dan karena saat itu Pangetan Muda tak ada ditempat karena menyusun siasat di tempat lain maka berita penangkapan ini membuat orang orang yang berkepentingan berdetak jantungnya di cekam kecemasan. Sien Nio menduga rencananya tercium. Wanita ini cerdik, buru-buru menyuruh puteranya pergi setengah menyelamatkan diri. Orang suruhan anaknya diperintahkan ke tempat Gurba. di Cia-sin. Betapa pun dia merasa tak enak dan beberapa pembantu dekatnya memberitahukan apa yang kira-kira terjadi. Wan Cu ditangkap bukan karena menggoda pangeran mahkota melainkan ada hubungannya dengan rencana pemberontakan itu.
Wanita ini terkejut ketika pasukan yang disiapkan di dalam kehilangan komandannya. Beberapa menteri dan panglima muda lenyap. Tentu saja pasukan yang disiapkan dari dalam untuk menyerang istana itu tak menentu. Mereka tak tahu apa yang harus dikerjakan, juga apa yang terjadi. Keadaan serba tak menentu. Pangeran mahkota biasa-biasa saja sikapnya kepada orang lain, bahkan terhadap ibu tirinya ini. Sien Nio. Selir ini terguncang ketenangannya karena dia juga tak mengerti bagaimana Wan Cu sampai bisa tertangkap.
Seujung rambutpun ia tak menduga bahwa hal itu terjadi karena Wan Cu sengaja menyerahkan diri, gara-gara tak ditengok seminggu lamanya oleh kekasihnya. Juga oleh kekejaman Sien Nio sendiri yang hendak memisahkan wanita itu dari Pangeran Muda. Dan ketika keadaan mulai kalut dan Sien Nio sendiri kian gelisah oleh ketidaktahuannya yang pasti tentang hal ini maka Siauw bin-kwi dan Sai-mo-ong dipanggil. Dan saat itu pembicaraan serius terjadi di kamar selir tua ini.
"Mo-ong, apa yang terjadi dengan Wan Cu? Kalian sudah menyelidiki di mana wanita itu ditahan?"
Mo-ong menggeleng. "Hamba tak tahu, paduka selir. Tapi di tempat pangeran mahkota tak ada!"
"Lalu di mana? Kalian tak mencarinya di lain tempat?"
"Hamba dan Bin-kwi sudah mencarinya, paduka selir. Tapi tak ada yang tahu di mana Wan Cu berada."
"Goblok! Kalau begitu kalian tolol, Kerja kalian tak becus dan tidak berotak! Kenapa tidak menangkap pangeran makota saja? Dan mana Yu-busu? Kenapa sampai sekarang tak ada kabar beritanya lagi dan menghilang tak tahu ke mana rimbanya?"
"Maaf," Mo-ong agak merah mukanya. "Kami selama ini banyak membantu Siauw-ongya paduka selir. Hamba dan teman-teman jarang berhadapan dengan paduka sendiri. Paduka selalu mewakilkan pada Pangeran Muda, mana hamba tahu apa yang terjadi dan kegagalan-kegagalan lain? Kami berdua baru mendengar dari Pangeran Muda bahwa Wan Cu ditangkap, dan kami katanya diminta menyelidiki. Paduka tak memberi perintah menangkap pangeran mahkota segala, mana kami tahu?"
"Hm..." Sien Nio bersinar-sinar matanya, marah. Baru kali ini mulai panik. "Kau cari lagi di mana Wan cu ditahan, Mo-ong. Kalau perlu tangkap dan paksa pangeran mahkota itu. Kompres dia untuk mengaku!"
"Baik,"
"Dan lain-lainnya itu juga diselidiki, Mo-ong. Cari dan ketahui di mana itu Lu-taijin dan teman-temannya. Mereka menghilang seperti siluman saja. Tak mungkin lenyap kalau tidak tertangkap musuh!"
"Baik, paduka selir." dan Mo-ong serta Bin-kwi yang sudah berkelebat lenyap sedikit mendongkol karena kena damprat akhirnya kembali mencari dan menyelidiki dimana ditahannya Wan Cu dan lain-lain itu.
Mereka sebenarnya sudah mencari, entah ke mana tak ketemu. Tak berani mengganggu putera mahkota karena tak mendapat perintah. Kini perintah diturunkan dan mereka boleh menangkap pangeran itu, mengompresnya. Dan ketika Sien Nio melotot dan mengancam memaki dua pembantunya ini yang dianggap goblok dan tolol maka tak lama kemudian sebuah bayangan lain muncul, bayangan Gurba yang tinggi besar,
"Paduka selir, benarkah Wan Cu ditangkap?"
Sien Nio girang, langsung bangkit berdiri. "Kau baru datang? Kenapa lama sekali?"
"Hm...” Gurba menggereng. "Utusan paduka baru datang, paduka selir. Mana bisa cepat kalau orang paduka seperti siput? Di mana Wan Cu, benarkah tertangkap? Apa yang terjadi?"
"Duduklah" Sien Nio tegang, mata Gurba membuatnya ngeri. "Kekasihmu memang ditangkap, hanggoda. Tapi sebab apa dia ditangkap aku masih kurang jelas. Kemungkinan berhubungan dengan rencana kita."
"Siapa yang memberi tahu?"
"Itulah yang mengherankan. Aku juga tak tahu bagaimana asal mulanya dia ditangkap. Aku telah menyuruh Bin-kwi dan Mo-ong menyelidiki. Dan lagi serangan dari dalam tak dapat diteruskan. Komandan dan para perwira menengah yang harusnya memimpin gerakan ini lenyap?"
"Ke mana?"
"Aku juga tak tahu. Tapi kemungkinan ditangkap kaisar!"
"Hm," Gurba jelalatan. "Aku ingin tahu di mana Wan Cu, paduka selir. Yang lain-lain menyusul saja. Aku datang untuk menyelamatkan kekasihku itu!"
"Tentu, tapi yang lain-lain juga tak kalah penting, hanggoda. Dalam keadaan seperti ini sebaiknya kita membagi tugas!"
"Aku tak mau tahu. Aku datang untuk menyelamatkan Wan Cu!"
Sien Nio kaget. Suara keras yang diucapkan raksasa ini membuat ia sadar bahwa Gurba bukan seperti Bin-kwi atau Mo-ong. Raksasa ini lain. Dia mau membantu karena Wan Cu, jadi kalau Wan Cu celaka tentu saja raksasa itu bisa menarik bantuannya, bahkan mungkin berbalik haluan. Sien Nio terkejut. Dan ketika ia terbelalak tak menjawab Gurba sudah berkata lagi,
"Paduka selir, apa yang telah kau lakukan untuk menyelamatkan kekasihku itu? Berapa orang yang kau suruh mencari?"
"Banyak, hanggoda. Tapi terakhir adalah Mo-ong dan Bin-kwi."
"Mereka tak berhasil?"
"Mungkin hari ini berhasil. Aku menyuruhnya menekan pangeran mahkota."
Gurba mendengus. "Kalau begitu ia di sana?"
"Tak ada yang tahu, hanggoda. Tapi kemungkinan besar memang begitu . Aku...!"
"Aku akan ke sana!" dan Gurba yang berkelebat lenyap memutus omongan selir ini sudah membuat Sien Nio tertegun mengertakkan gigi. Kalau orang-orangnya mulai mendahului perintah. Seperti ini, ia bisa celaka. Raksasa itu liar sekali. Tapi karena Sien Nio tak tahu harus berbuat apa maka selir ini menunggu saja apa yang akan terjadi.
Dan Gurba saat itu sudah melompat di gedung pangeran mahkota. Dia tahu dimana gedung pangeran ini, berkelebat dan sebentar kemudiaan melihat bayangan Bin-kwi dan Mo-ong. Dua orang itu mencari-cari, raksasa ini mendengus dan tak sabar, berkelebat turun memasuki istana sang pangeran. Perbuatannya berani. Para pengawal tentu saja berteriak melihat kedatangan raksasa ini dan segera mengepung, sebagian menyerang tapi sebagian lain mundur-mundur sambil berteriak memanggil temannya.
Kelihaian raksasa ini cukup dikenal. Gurba tentu saja menjengek melempar pengawal-pengawal yang beràni mendekat. Sepak terjangnya tak dapat dilawan. Dan ketika raksasa itu terus maju sambil membentak menyuruh pengawal memanggil pangeran mahkota maka pangeran mahkota tiba-tiba muncul didampingi seseorang, Kim-taijin.
"Gurba, hentikan keliaranmu. Aku datang memenuhi panggilanmu!"
Gurba tertegun. "Bagus," katanya melompat maju. "Aku mau bertanya tentang Wan Cu pangeran. Di mana wanita itu dan cepat serahkan dia padaku!"
"Kau berani memintanya? Apa hubungannya denganmu?"
Gurba terkejut. "Dia... dia sahabatku!" Gurba teringat kedudukannya, bahwa dia telah mendapatkan Bi Nio dan malu rupanya mengakui Wan Cu sebagai kekasih, apalagi orang telah mengetahui bahwa Wan Cu adalah kekasih Pangeran Muda. Harga dirinya tersentuh. Dan ketika dia terbelalak dan berbohong menjawab pertanyaan itu tiba-tiba Bin-kwi dan Mo-ong muncul.
"Ho ho, kenapa banyak tanya lagi, Gurba? Tangkap dan bekuk pangeran itu. Jangan-jangan Wan Cu telah digaulinya semalam!"
"Diam!" Gurba membentak, marah pada dua rekannya ini "Kau tak becus mencari pangeran Mo-ong. Lebih baik pergi dan enyahlah kalian!"
"Weh, kau mengusir sahabat? Mana itu janjimu kepada kami? Kita bukan musuh Gurba. Kita adalah teman dan tak perlu bertengkar. Atau kutangkap saja pangeran ini!" Mo-ong terkekeh, berkelebat maju dan tiba-tiba tangannya telah menyambar ke depan. Gerakannya cepat.
Tapi Gurba yang tersinggung oleh kelancangan temannya ini tiba-tiba maju membentak menangkis serangan itu. "Mundur...duk!"
Mo-ong terpental, berseru kaget dan melotot memandang Gurba. Pandangannya gusar, kemarahan mulai mengusik iblis ini. Gurba tak peduli. Dan ketika Bin-kiw menyeringai dan menggosok-gosok tangannya iblis ini menahan temannya.
"Mo-ong, kendalikan dirimu. Berbahaya mengadu kepandaian di tempat tak semestinya!"
Mo-ong sadar. Dia melihat Gurba menghadapi pangeran mahkota itu kembali, memang tak mau diganggu karena dialah yang mendapatkan pangeran ini bukan Mo-ong atau Bin-kwi. Dan Gurba yang sudah berkilat menghadapi lawan berkata dengan suara mengancam.
"Pangeran, aku tak mau main-main. Serahkan Wan Cu atau kau kuhajar!"
Aneh, pangeran malah tertawa. Gurba melihat keberanian yang sama besar antara pangeran ini dengan kaisar. Ayah dan anak sama sumbernya Gurba tertegun. Dan ketika dia terbelalak memandang marah maka Kim-taijin, laki-laki di sebelah pangeran itu mendapat isyarat, maju! sambil menarik napas panjang.
"Hanggoda," penasihat kaisar ini mengerutkan keningnya ."Sungguh mengherankan kalau kini kau memusuhi kami lagi. Sri baginda telah mengulurkan lengan persahabatannya kepadamu dan kaupun menerimanya. Kenapa membuat huru-hara dan datang menimbulkan keributan? Kalau kau mencari Wan Cu wanita itu ada di tempat sri baginda, kuantar. Bila ingin ke sana. Mari!"
Gurba terkesiap. “Di tempat kaisar?"
"Ya, sri baginda menunggu siapa saja yang ingin membebaskan wanita ini, hanggoda. Kalau kau ingin ke sana mari kami iringkan."
"Bohong!" Bin-kwi tiba-tiba terkekeh. "kau ditipunya, Gurba. Kekasihmu itu ada di sini dan disembunyikan mereka!"
"Oh, kekasih ?" pangeran mahkota pura-pura terkejut, menarik senyum sinis. "Dia kekasihmu, Gurba? Kau mendapatkannya dari kanda pangeran? Aih, bagus sekali. Seorang gagah memperoleh barang sisa!"
Gurba semburat merah. Dia marah Bin-kwi membuka rahasia itu, melotot pada si iblis yang suka pemuda-pemuda tampan ini. Si homo yang menyebalkan! Dan ketika pangeran tertawa dan Bin-kwi menyeringai, maka Mo-ong juga menambahi dengan kata-kata menyakitkan,
"Gurba, aku tak percaya kekasihmu itu dibawa ke kaisar. Tentu ada di sini dan mungkin semalam digauli pangeran ini. Dia sengaja berbohong untuk menjebakmu di sana!"
Gurba semakin marah. Dia membentak temannya itu dengan mata berapi-api, Mo-ong diam dan terkekeh. Gurba sakit hatinya mendengar kata-kata itu. Jangan-jangan Wan Cu memang digauli pangeran ini, bayangan yang membuat dia menggeram. Dan ketika sang pangeran tertawa mengejek dan mempersilahkan dia mencari di seluruh gedung itu akhirnya Gurba berkelebat menyuruh temannya membantu.
"Itu belum menjamin keberhasilannya, pangeran. Ibunda selir adalah orang yang cerdik. Tak mungkin dia tinggal diam kalau anaknya di tangkap."
"Tapi bukti-bukti sudah ditangan kita. Mau apa lagi?"
"Ah, bukti baru lima puluh persen, pangeran. Ibunda selir maupun kakak paduka dapat mengelak dengan seribu macam dalih. Difitnah umpamanya, atau bilang yang lain lagi seperti ketika Kim-mou-eng berhadapan dengannya."
"Jadi bagaimana?"
"Kita tenang-tenang saja, pangeran. Paduka bersikap seolah tidak tahu apa-apa tentang rencana pemberontakan ini. Biarkan mereka bekerja dan pemberontakan itu meletus. Baru setelah itu kita bergerak dan menangkap kakak paduka yang berkhianat itu!"
Pangeran ini tertegun. Sekarang penyesalannya terhadap Kim-mou-eng dan sumoinya semakin besar. Pendekar itu dan sumoinya benar-benar tak ada maksud lain. Mereka hanya hendak mencegah sebelum semuanya menjadi parah, begitu kira-kira. Dan karena Kim-taijin serta Bu-ciangkun dan lain-lainnya itu telah membuktikan rencana pembunuhan yang nyaris mencelakakan mereka dan dia sendiri hampir tewas di tangan Yu-busu maka pangeran gusar sekali melihat kebusukan kakak tirinya ini.
Sin Kok dan Hwi Ling pun lalu bercerita tentang penangkapan mereka, betapa mereka hampir dicelakai Thai Hok, orang suruhan Tan-taijin. Tentu Tan-taijin inipun disuruh Pangeran Muda untuk melenyapkan orang-orang yang dianggap setia pada kaisar, atau menculik mereka untuk kelak dibunuh. Perbuatan itu benar-benar teratur dan terencana, semuanya sudah diperhitungkan masak-masak. Seperti halnya serangan Hek-bong Siang lo-mo terhadap Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun.
Dan ketika semuanya itu jelas dan Cu-thaikam "dikompres" untuk mengatakan segala sesuatunya maka pangeran mahkota semakin jelas dan lebih tahu lagi akan rencana-rencana kakak tirinya itu di hari-hari mendatang. Semua yang dikata Cu-thaikam mulai dibuktikan. Satu persatu menteri menteri yang siap membelot diselidiki. Tan-taijin, Lu-taijin dan banyak lagi yang jumlahnya membuat pangeran ini terbelalak. Satu di antaranya bahkan Han-taijin, rekan atau saudara kim-taijin sendiri yang menjadi penasihat kedua. Sungguh hal ini mengejutkan.
Dan ketika semuanya itu semakin membuka mata pangeran ini akan tindak tanduk kakaknya maka saat yang dinanti-nanti inipun mulailah tiba. Gerakan pasukan liar di luar perbatasan mulai menyerang. Itulah Gurba, suheng Kim-mou-eng yang juga kena pelet kakaknya ini. Menurut keterangan karena berhasil dilolohi Wan Cu, orang yang menjadi kekasih kakaknya sendiri. Berarti kakaknya tak segan-segan mengorbankan yang amat berharga demi lancarnya pemberontakan.
Pangeran ini terkejut dan semakin marah saja. Terlalu kakaknya itu. Benar benar kelewatan! Tapi karena Kim-taijin selalu menasihati pangeran ini dan mendampingi pangeran itu untuk bersabar maka semua kemarahan dan kegusaran pangeran ini masih berhasil ditekan. Dengan segala kebijaksanaan dan kemampuannya Kim-taijin mengendalikan pangeran mahkota itu.
Buru buru Kim-mou-eng dicari, Hek-eng Taihiap mendapat tugas ini. Pendekar Rambut Emas itu satu satunya andalan yang dapat dipercaya. Yu Bing entah masih kemana. Hek-eng taihiap terpaksa menunda pencarian terhadap sahabatnya itu karena suasana kota raja mulai gawat. Ketegangan mencekam di sini. Kim-mou-eng datang dan Kim-taijin buru-buru minta bantuannya. Segala yang didengar dari mulut Cu-thaikam dibeberkan, termasuk kerja sama Gurba yang diperalat Pangeran Muda.
Yu Hak atau Yu-busu sejak gagalnya rencana pembunuhan terhadap pangeran mahkota tak muncul lagi di istana. Ibunda selir kelihatan gelisah, tak mendapat laporan orang kepercayaannya itu atas apa yang terjadi. Gerak-gerik semua orang diawasi, tentu saja secara diam-diam. Dan ketika pangeran ini berhasil menuruti nasihat Kim-taijin untuk pura-pura tidak tahu rencana pemberontakan itu dan sikapnya terhadap kakak tirinya masih biasa biasa saja maka Pangeran Muda maupun Sien Nio sukar menebak apa yang sesungguhnya terjadi.
Tak tahu dan sedikit was was, namun akhirnya tenang kembali meneruskan rencana pemberontakan. Mereka tak tahu bahwa beberapa bayangan berkelebat di atas gedung mereka, mengintai pembicaraan. Dua bayangan yang bukan lain Kim-mou-eng dan Salima, yang meneruskan apa yang mereka dengar pada pangeran mahkota dan Kim-taijin. Tentu saja gerak-gerik dua suheng dan sumoi ini tak dapat ditangkap orang di bawah. Kesaktian mereka terlalu tinggi untuk diikuti, lagi pula Kim-mou-eng dan sumoinya berhati-hati, selalu menjaga suara berisik hingga langkah kaki mereka tak terdengar.
Pangeran mahkota sendiri sudah mohon maaf berulang-ulang pada Kim-mou-eng dan sumoinya, terutama Salima. Begitu sungguh-sungguh hingga memeluk dan menangis di pundak Salima, gadis ini terharu dan kontan semua kemarahannya lenyap. Wanita memang lemah perasaannya. Dan ketika satu demi satu semua pembicaraan Pangeran Muda maupun orang-orangnya di tangkap Pendekar Rambut Emas dan sumoinya dan semua gerak-gerik pangeran itu diawasi maka saat yang menegangkan itu kian mencekam.
Hanya terhadap ibunda selir Pendekar Rambut Emas mengutuk. Wanita itu luar biasa hati-hatinya, cerdik dan berbahaya. Entah kenapa pada suatu hari tak pernah bicara pada puteranya. Kalau kasak-kusuk di dalam kamar, berdua. Yang dikerjakan kini adalah isyarat bahasa. Memberikan secarik kertas dan tukar menukar surat. Mereka tak lagi berkomunikasi secara lisan tetapi tertulis.
Tentu saja Kim-mou-eng tak dapat membaca karena tulisan surat itu kecil-kecil, lagi pula tempat pengintaiannya cukup tinggi. Sungguh cerdik. Agaknya firasat tak nyaman berhasil ditangkap wanita yang penuh pengalaman itu. Sien Nio memang merasakan sesuatu yang tidak enak. Sejak hilangnya Yu-busu dan Cu-thaikam. Katanya Cu-thaikam menghilang entah ke mana. Selir ini curiga. Tapi karena pangeran mahkota tak menunjukkan gejala gejala aneh dan sikap pangeran itu terhadap puteranya juga biasa biasa saja maka wanita ini bingung untuk bersikap bagaimana.
Sekarang ia ketanggor berhadapan dengan kehati-hatian Kim-tajin, penasihat kaisar yang berhasil menyetel situasi dari jauh. Kim-Caijin ternyata tak kalah cerdik dibanding selir ini. Maklum, jelek-jelek peabesar itu adalah seorang tua yang penuh pengalaman. Riwayat Hidup Sien Nio diketahuinya baik. Licin dibalas licin dan dua orang ini sama-sama bergerak di belakang layar. Sungguh mendebarkan!
Dan ketika Kim-mou-eng mengumpat memberitahukan kecerdikan selir itu yang tidak lagi menggunakan bahasa lisan setiap berhubungan dengan puteranya melainkan bahasa tulis untuk tidak dimengerti orang lain maka pembesar Kim inipun tertegun membelalakkan mata.
"Begitukah, Kim-taihiap? Kalau begitu puteranya saja yang kita incar. Pusatkan konsentrasi untuk melihat gerak-gerik pangeran ini. Toh dia yang akan melaksanakan perintah ibunya."
Kim-mou-eng menangguk. Bersama sumoinya dia sekarang lebih memusatkan perhatian pada pangeran ini. Hampir setiap gerak-geriknya di ikuti, termasuk pembicaraannya bersama Wan Cu dimana dua orang ini bercakap-cakap di dalam kamar. Kim-mou-eng dan Salma tertegun mendengar pembicaraan mereka, yang menyangkut dengan hubungan suheng mereka, Gurba. Bahwa Gurba diperalat saja dengan tubuh Wan Cu. Berulang-ulang Wan Cu menyatakan pendapatnya bahwa dia tetap mencintai pangeran itu. Kelak Gurba harus disingkirkan kalau pemberontakan selesai, singgasana dapat direbut dan Pangeran Muda menjadi kaisar.
Pangeran Muda berjanji tapi di lain tempat ibunya menentang, tak mau Wan Cu menjadi isteri anaknya. Tiga orang ini diam-diam berbeda pendapat, ibu dan anak mulai cek cok Wan Cu tak tahu. Dan ketika hal itu di sampaikan pada Kim-taijin untuk diminta pendapatnya mendadak pembesar ini berteriak-teriak.
"Bagus, ini satu titik terang, taihiap. Ini satu bumerang untuk mereka!"
"Apa yang harus kulakukan?"
"Tangkap wanita itu, taihiap. Dan bawa dia ke sana!"
"Wanita siapa? Bawa ke mana?" Kim-mou-eng terkejut.
"Itu, kekasih Pangeran Muda itu. Bukankah ini urusan pribadi mereka? Culik wanita she Wan itu, taihiap. Bawa dia ke tempat bunda selir agar mendengar sendiri apa yang dikata bakal mertuanya, ha ha!" Kim-taijin tak dapat menahan gembira hatinya, tertawa dan bersinar sinar dengan mata bercahaya. Pandangan matanya tampak hidup dan antusias.
Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan sadar akan pukulan ini tiba-tiba dia pun kagum dan memuji penasihat kaisar itu, pangeran mahkota pun bersorak.
"Bagus, hebat sekali, taijin. Rencanamu ini tepat dan akurat!"
"Ya, dan aku akan mengusahakannya, taijin. Aku akan menangkap dan membawa wanita itu untuk mendengar pembicaraan bakal mertuanya!"
"Tidak!" Salima tiba-tiba berseru. "Itu aku yang mengerjakan suheng. Kau melihat saja situasi di rumah Pangeran Muda. Kalau dia menemui ibunya dan bicara tentang ini biarlah kau memberi tanda dan aku membawa perempuan busuk itu!"
Kim-mou-eng tertegun. Sekarang dia sadar bahwa sumoinya ini rupanya tak suka dia menyentuh tubuh perempuan lain. Cemburu. Pangeran tersenyum dan Kim-taijin pun tertawa penuh arti. Mereka maklum akan cinta kasih gadis itu kepada suhengnya. Salima agak merah mukanya. Tapi sang suheng yang tidak menolak dan tentu saja tak mau bersikeras akhirnya mengangguk dan setuju.
Dan saat itu tiba. Percekcokan masalah Wan Cu, terang tak mungkin dibicarakan dengan bahasa isyarat. Ini urusan pribadi, bukan urusan pemberontakan. Tak apa bicara seperti biasa sebagaimana adanya. Dan ketika ibu dan anak kembali cekcok tentang hal ini dan masing-masing agak meninggi nadanya maka Kim-mou-eng sudah memberi isyarat sumoinya untuk menculik Wan Cu, malam itu, ketika secara kebetulan saat yang tepat ini tiba, memang sudah lama ditunggu tunggu.
"Lihat, tiap hari kau semakin edan membicarakan Wan Cu, pangeran. Kenapa harus diributkan kalau perjuangan kita belum berhasil? Tutup pembicaraanmu tentang ini, urusan wanita bisa menggagalkan urusan yang lebih besar!"
"Tapi Wan Cu benar-benar kucinta, ibu. Dan dia cocok menjadi pendampingku. Kami bisa bekerja sama sehati seucapan...!"
"Huh, kau tahu apa? Cinta di antara pria wanita bisa berobah. Kau lagi mabok kepayang, tak ada cinta sejati di dunia ini kecuali cinta ibu terhadap anaknya!"
"Jadi ibu bersikeras memisahkan Wan Cu dariku?"
"Goblok. Sudah kubilang jangan bicarakan hal ini lagi. Urusan itu tekan saja kalau perjuangan sudah selesai. Aku tak mau ribut-ribut denganmu hanya masalah perempuan!" selir ini marah, membanting pantat di kursi dan melotot pada puteranya itu.
Pangeran Muda tertegun. Tapi karena kamar itu terkunci dan tak ada pelayan bersama mereka maka pangeran ini duduk pula berhadapan dengan ibunya. "Ibu, aku berjanji tak akan membicarakan urusan ini lagi kalau kau cabut rencanamu. Kau biarkanlah Wan Cu menjadi milikku dan Gurba kita bunuh!"
"Kau kira gampang? Kau tak tahu kesaktian rakasasa itu? bodoh, memberikan Wan Cu sama dengan menyelamatkan nyawamu pangeran. Kau bisa mencari Wan Cu -Wan Cu yang lain sebagai penggantinya. Raksasa itu biar mendapatkan haknya dan menikahi pelacur itu. Banyak lainnya yang lebih cantik yang dapat kau peroleh!"
"Ibu memakinya sebagai pelacur?" Pangeran Muda terbélalak.
"Ya, memangnya apa? Aku benci wanita itu. Kalau bukan pelacur tentunya tak sudi bermain cinta dengan orang yang tidak dicintainya!"
"Tapi ibu yang menyuruh itu. Ibu menyuruh agar Wan Cu melayani Gurba!"
"Huh, itulah batu ujian dariku, pangeran. Aku sekaligus ingin mengetahui kadar cintanya kepada mu. Kalau dia menolak berarti dia wanita baik-baik, pantas menjadi isterimü dan kelak menjadi permaisuri. Tapi kalau dia menerima dan galang-gulung dengan laki-laki lain sungguh tak pantas dia menjadi kekasihmu dan lebih tak pantas lagi menjadi permaisuri," selir ini menggebrak meja, tak ingat dirinya sendiri yang juga pernah menjadi pelacur. Keburukan orang lain dilihat sementara keburukan sendiri yang sebesar gajah di tengkuknya tak dirasa. Dan ketika Pangeran Muda kiàn terbelalak dan bangkit berdiri maka ibu dan anak ini sudah berbadap-hadapan dengan muka sama-sama merah.
"Ibu, aku tak dapat menerima pendapatmu. Kau tak boleh menghina Wan Cu." pangeran ini menggigil. "Kalau ibu tak suka menerima kekasih ku sebagai permaisuri aku dapat menjadikannya sebagai isteri biasa. Apa yang dilakukan Wan Cu adalah demi cintanya kepadaku. Aku yakin, tak mungkin salah. Kalau ibu mengumpatnya dan memakinya sebagai pelacur harap ibu tengok sendiri bagaimana keadaan ibu dulu. Bukankah ibu juga pernah melakukan hal yang sama? Bukankah ibu sering berpindah dari satu lelaki ke lelaki lain sebelum tinggal di istana ini? Kaupun bekas pelacur ibu. Sepak terjangmu lebih hebat dibanding Wan Cu!"
"Pangeran...!" selir ini tersentak, meloncat dari duduknya, kaget bukan main. "Kau... kau menghina ibumu? Kau berani mengeluarkan kata-kata seperti itu?" selir ini menggigil, mukanya pucat dan merah berganti ganti memandang puteranya itu. Kekagetannya seperti disengat lebah. Ah, mungkin lebih lagi daripada itu. Anaknya terkejut tapi tersenyum mengejek. Dua pihak sama-sama dibakar emosi. Dan ketika sang ibu mendelik dan gemetar meremas lengan kursi maka pangeran ini berkata melampiaskan kemendongkolannya.
"Ibu, maafkan aku. Aku telah mendengar riwayat hidupmu di masa lalu. Betapapun, bau busuk tak dapat disembunyikan, bukan? Aku tak dapat menerima makianmu terhadap Wan Cu ibu. Kalau kau tak suka padanya tak usah kau memaki. Besök aku akan keluar kota!"
Sang ibu berdiri, menggigil penuh kemarahan. "Kau melawan keputusan ibumu?"
"Bukan keputusan, ibu, Melainkan keinginan. Kau hanya ingin memisahkan aku dari Wan Cu, tapi keputusan terletak di tanganku. Wan Cu tetap tak dapat kau pisahkan dariku. Aku mencintainya!"
"Kalau begitu pilih salah satu. kau mencintai wanita itu atau ibumu!"
Sien Nio mendadak mengambil badik, pisau tajam yang ujungnya sedikit melengkung. Dan sementara Pangeran Muda tertegun maka ibu yang marah ini berseru, "Pangeran, kau tentukan jalan hidupmu dengan pisau ini. Kau bunuhlah ibumu kalau kau tak dapat meninggalkan kekasihmu itu.... cep!" pisau bergoyang diatas meja, selir kaisar ini menancapkannya dengan penuh kemarahan yang membuat puteranya terkejut.
Pangeran Muda tersentak dan Wan Cu yang melihat semuanya itu dari atas tak dapat menahan air matanya, menangis deras tapi mulut tak dapat berkata-kata. Salima menotoknya, gadis ini mengenakan kedok sementara suhengnya juga begitu, agar tak dikenal. Dua orang Inipun tegang di atas genting. Keadaan memang amat menentukan bagi pangeran itu, termasuk Wan Cu, orang yang menjadi pokok pembicaraan. Dan ketika sang pangeran terhenyak dan ibunya merenggangkan kaki dengan air mata bercucuran pula tiba-tiba Pangeran Muda mengeluh dan menubruk ibunya itu.
"Ibu, kenapa harus begini? Kenapa kau menyusahkan aku?"
"Tidak, bukan aku yang menyusahkan kau, pangeran. Melainkan kaulah yang menyusahkan ibumu. Rencana kerja kita bisa hancur berantakan gara-gara kebodohanmu. Sekarang pilihlah satu di antara dua, kau tetap dengan ibumu dan meninggalkan wanita itu atau kau bunuh ibumu dan galang-gulunglah dengan Wan Cu!"
Sang pangeran menangis. Sekarang dia pun terjepit oleh keadaan ini. Betapapun ibunya adalah wanita yang membesarkan dirinya dengan segala suka duka. Kedudukan yang dia peroleh adalah atas jasa wanita tua ini. Pangeran Muda hancur. Dan ketika ibunya mengulang agar dia meninggalkan Wan Cu atau membunuh ibunya itu mendadak pemuda ini mengguguk memeluk ibunya itu
"Ibu, kau ampunkanlah aku. Aku akan memenuhi permintaanmu,aku tak dapat membunuhmu dan akan meninggalkan Wan Cu!"
“Kau berjanji?"
"Aku berjanji, ibu. Tapi mohon dengan sangat biarlah untuk sisa-sisa terakhir ini kau perkenankan aku menghubungi Wan Cu seperti biasa."
"Baik, dan kelak kekasihmu itu harus kau serahkan pada raksasa Tar-tar itu, pangeran. Kalau kau menarik janjimu maka sumpah demi iblis aku akan membunuh wanita itu dengan segala cara!"
"Tidak... tidak, jangan ibu, aku bersumpah!" dan ibu serta anak yang berpelukan dan menangis penuh haru akhirnya membuat Wan Cu pingsan di atas sana.
Wanita Cantik ini tak dapat menahan dirinya lagi. Kebenciannya terhadap bunda selir bukan main besarnya. Wan Cu terpukul hebat. Dan ketika Salima mengembalikannya dan membiarkan Wan Cu bersikap menurut keinginannya sendiri maka sejak malam itu terjadi perobahan besar-besaran di dalam diri wanita cantik ini. Wan Cu masih menyambut kekasihnya dengan biasa. Hanya mukanya sedikit murung. Pergolakan hebat terjadi di hati wanita ini. Sekarang dia tahu bahwa betapa pun besar kekasihnya itu mencintai dirinya tapi kekasihnya telah tertekan oleh kemauan ibunda sendiri.
Wan Cu terseret dua arah. Di satu pihak dia melihat kekasihnya sebenarnya masih amat mencintanya tapi di lain pihak kekasihnya dibuat tak berdaya oleh ibunya. Terpikir olehnya untuk membunuh ibunda selir itu. Benci hatinya melihat dia benar-benar akan diserahkan pada Gurba, kekasihnya tak dapat menolong. Dan ketika hari demi hari membuat Wan Cu digerogoti tekanan batinnya sendiri dan bingung untuk menentukan jalan bagaimana yang harus ditempuh maka tak lama kemudian wanita ini sakit.
Pangeran Muda khawatir. Wan Cu tak dapat lagi membantu mereka, keadaan membuat pangeran ini bergerak sendirian, tentu saja sang ibu masih berdiri di belakang layar, Wan Cu patah semangat. Hampir wanita ini bunuh diri di suatu malam. Tapi teringat betapa enaknya ibunda selir kalau ia mati mendadak Wan Cu mengurungkan niatnya itu. Tidak, ia harus membalas. Sakit hatinya tak dapat ditebus dengan bunuh diri. Justeru kalau ia hendak melenyapkan sakit hatinya itu ibunda selirlah yang harus dibunuh, bukannya bunuh diri.
Dan ketika Wan Cu sadar dan dendam mulai membara di hati wanita ini maka Wan Cu mulai mencari akal bagaimana caranya ia membunuh ibu kekasihnya itu. Dan ini mulai retaknya kerja sama. Kalau tokoh-tokoh yang bersangkutan bertikai sendiri mana mungkin sebuah keutuhan terjaga? Begitulah. Wan Cu mulai mencari-cari. Dia sudah mempertimbangkan bahwa Gurbalah yang cocok dimintai tolong. Raksasa tinggi besar itu akan melakukan segala-galanya untuknya. Wan Cu beringas.
Pangeran Muda masih menggaulinya di waktu-waktu senggang, kekasihnya itu memang mencintainya dan Wan Cu merasakan benar kasih sayang pangeran ini, yang sayangnya agak terganjal oleh ancaman ibunya sendiri, sering kekasihnya itu termenung di tempat-tempat tertentu. Dan Ketika Wan Cu sakit dan Pangeran Muda terpaksa aktip sendiri menyusun siasat dan segalanya maka pertemuan pertemuan penting mulai sering diadakan pangeran ini bersama pembantu-pembantunya, termasuk yang di telaga Po-yang itu, juga ditempat-tempat lain sementara Gurba mulai melakukan serangan.
Mereka juga akan menusuk dari dalam, menunggu waktu yang tepat. Tapi ketika keadaan mulai menuju pada puncaknya dan bangsa Tar tar kian mendekati kota raja dalam usahanya melaksanakan perintah Pangeran Muda mendadak Wan Cu ditangkap di saat pangeran itu tak ada di istana. Dan hal itulah yang didengar Gurba.
Apa yang terjadi? Kiranya semalam Wan Cu mengambil putusan nekat. Seminggu ini kekasihnya tak muncul. Wan Cu tak tahu bahwa Pangeran Muda saat itu di telaga Po-yang, mengira kekasihnya mulai menjauh atas perintah ibunda selir. Dugaan yang sudah didasari api kebencian begini memang mudah meletup. Hampir dua bulan ini Wan Cu menahan-nahan sakit hatinya. Maka ketika dia terbaring sakit dan sang kekasih tak kunjung menengok tiba tiba saja hari itu dengan tertatih-tatih Wan Cu mencari pangeran mahkota.
Sang pangeran terkejut. "Ada apa, Wan Cu?"
Wan Cu terisak. "Hamba... hamba hendak menyerahkan sesuatu. pangeran. Hamba hendak melepas sakit hati..." Wan Cu terbatuk, hampir terguling dan cepat ditangkap pangeran ini, terbelalak tak mengerti. Wan Cu terengah dan matanya terpejam. Pangeran mahkota menyuruhnya duduk dan benar-benar heran oleh kedatangan wanita yang merupakan tokoh ketiga di dalam rencana pemberontakan ini, setelah Pangeran Muda dan ibunda selir. Sang pangeran berdebar. Dan ketika pangeran kembali bertanya dan curiga memandang wanita itu maka Wan Cu tiba-tiba tersedu dan menangis menutupi mukanya.
"Pangeran, hamba sakit. Hamba penasaran!"
"Ya, aku mendengar kau tak enak badan, Wan Cu. Kudengar kau memang sakit. Tapi kenapa ke sini? Dan kau tak diantar seorangpun. Mana kanda pangeran?"
"Hamba tak tahu, pangeran. Tapi justeru itulah yang membuat hamba ke mari. Hamba di khianati. Hamba ditipu!"
Pangeran tersenyum, tentu saja tak gampang percaya. "Wan Cu, kau ceritakanlah yang baik apa maksud kedatanganmu ini. Apa yang hendak kau serahkan padaku."
"Paduka mau menyelamatkan hamba?"
"Ah, ada persoalan apa? Tampaknya serius!" pangeran pura-pura terkejut, padahal di dalam hati dia mengejek wanita ini. Wan Cu dianggapnya sebagai wanita cerdik yang berbahaya, barangkali tak kalah dibanding ibunda selir. Dia sudah mendengar dan mengetahui segala sesuatu tentang kekasih kakaknya ini. Kedatangan Wan Cu terang tak dipercaya begitu saja dan putera mahkota tersenyum sinis.
Tapi ketika Wan Cu menghentikan tangisnya dan tinggal sedu-sedan satu dua maka Wan Cu melepas tangannya mengeluarkan sesuatu. "Pangeran, mohon ampun bila selama ini hamba bersikap tak jujur. Harap paduka terima catatan yang mungkin dapat paduka pergunakan menangkap dan menghukum ibunda selir!"
"Catatan apa?"
"Paduka baca saja, nanti paduka tentu tahu!"
Sang pangeran menerima, membuka dan memulai membaca kitab kecil yang dibawa wanita ini. Terbelalak dan kaget karena itulah kitab catatan yang dulu dicari Kim-mou-eng. Isinya menunjukkan daftar nama-nama pengikut kakak tirinya, sejumlah menteri dan pejabat istana yang akan membantu pemberontakan. Sang pangeran terhenyak, sebagian sudah diketahui lewat mulut Cu-thaikam. Tapi kitab ini lebih komplit karena gerakan ibunda selirpun diketahui di situ, antara lain akan membunuh kaisar melalui racun. Tanggal sudah ditetapkan!
Dan ketika pangeran tertegun dan hal terakhir ini diketahui karena Cu-thai kam tidak bercerita, mungkin tidak tahu maka pangeran melotot menggigil memandang Wan Cu, tanda tangan ibunda selir dan kakak tirinya tertera. Wan Cu tercantum di situ, termasuk tanda tangan pula yang merupakan orang ketiga dari otak rencana pemberontakan ini.
"Wan Cu, apa maksud pemberitahuanmu ini. Muslihat apa yang kau simpan di sini?" pangeran tentu saja curiga, bertanya dan memandang penuh selidik kekasih kakak tirinya itu. Ingin mengetahui dorongan atau alasan apa yang membuat wanita ini mengkhianati teman-temannya.
Wan Cu mendadak menangis. Dan ketika wanita itu mengguguk dan mendekap mukanya penuh kesedihan dan menceritakan bahwa perbuatannya itu untuk membalas sikap ibunda selir yang menghinanya maka pangeran mahkota tertegun mempercayai keterangan ini. Memang dia telah mendengar hal itu dari Kim-mou-eng. Menguji lagi dengan beberapa pertanyaan tapi Wan Cu ternyata jujur, tidak berbohong sedikitpun juga.
Termasuk pengakuannya akan rencana membunuh pangeran itu lewat Yu-busu. juga rencana pembunuhan terhadap Bu-ciangkun maupun Cu-ciangkun lewat Hek-bong Siang lo-mo. Semuanya tepat. Dan ketika Wan Cu ditanya bukankah membunuh ibunda selir dapat meminta tolong pada Gurba dan tak perlu menyerahkannya pada kaisar maka Wan Cu menjawab tersedu,
"Tadinya hamba bermaksud begitu, pangeran. Tapi rencana ini hamba robah. Gurba sibuk mengatur pasukannya, dan sekarang jarang datang. Hamba tak sabar. Dan karena hamba tak tahan ditinggal Pangeran Muda yang agaknya sudah mulai menjauhi hamba atas perintah ibunya maka hamba hendak mempermalukan ibunda selir dengan jalan ditangkap. Ibunda selir harus mendapat pukulan, dan satu-satunya pukulan yang paling ampuh adalah pengakuan hamba ini. Tentu dia tak menyangka, juga tak tahu bahwa hamba telah mendengar pembicaraannya dengan Pangeran Muda. Hamba hendak membalas sakit hati ini dengan jalan memukulnya secara total. Kalau dibunuh oleh Gurba rasanya terlalu enak. Maka hamba hendak menteror mentalnya dengan pengakuan hamba ini. Tentu dia tak enak makan tak nyenyak tidur!"
"Tapi ini berarti kaupun ditangkap. Ayahanda kaisar tak mungkin pula mengampunimu."
"Hamba tahu pangeran. Tapi harap paduka ketahui bahwa keterlibatan hamba hanyalah dikarenakan mengikut kakak tiri paduka. Otak dan dalangnya adalah ibunda sélir itu. Hamba hanya pembantu. Kalau paduka kasihan kepada hamba tentunya paduka dapat mohonkan ampun pada ayahanda kaisar."
"Baik, kalau begitu kau kutangkap, Wan Cu. Tapi tunggu dulu kedatangan Kim-taijin, juga Pendekar Rambut Emas!"
"Pendekar Rambut Emas?" Wan Cu terkejut. "Ya, kenapa? Kau pernah diculiknya, bukan?"
"Ooh..." Wan Cu terbelalak, tiba-tiba sadar. "Jadi...."
"Ya!” pangeran memotong. "Dialah yang membawamu ke kamar ibunda selir, Wan Cu. Tapi yang menangkapmu adalah sumoinya, Salima!"
Dan ketika Wan Cu mendelong dan pangeran menyuruh orang memanggil Kim-taijin maka Kim-mou-eng serta sumoinya itupun muncul. Dan Wan Cu semakin tertegun. Dia melihat tiga orang itu tersenyum mengejek padanya, terutama Salima. Wan Cu terpukul dan tersentak. Sekarang mendusin bahwa sebenarnya gerak-geriknya diketahui. Rencana pemberontakan itu sudah tertangkap dan pemberitahuannya ini malah semakin melengkapi saja. Sang pangeran dan Kim-tajin terlibat dalam pembicaraan serius. Dan ketika diambil keputusan bahwa Wan Cu ditangkap tapi sekaligus wanita itu harus dilindungi dari segala ancaman bahaya maka Kim taijin berkata begini,
"Wanita ini ditempatkan di gedung hamba saja, pangeran, Kim-taihiap dan sumoinya biar melindunginya di sana. Orang tentu tak menduga di tempat hamba. Nama hamba jarang disebut-sebut. Dan ibu tiri paduka tak perlu tergesa-gesa ditangkap sampai dia meracuni ayahanda kaisar."
"Taijin menghendaki ibunda selir tertangkap basah?"
"Cocok!"
"Kalau begitu aku setuju. Bagaimana pendapatmu, Kim-taihiap?"
"Hamba juga setuju, pangeran. Tapi gerakan di dalam istana sebaiknya ditumpas dulu. Lu-taijin dan lain-lainnya itu dibekuk agar tak dapat bergerak sebelum memberontak."
"Tapi kami ingin menangkapnya basah." sang pangeran mengerutkan kening. "Bukankah begitu, Kim-taijin?"
"Ah," Kim-mou-eng mendahului. "Tak perlu semuanya tertangkap basah, pangeran. Otaknya saja yang dibiarkan begitu. Yang lain-lain sudah terbukti di dalam kitab catatan ini!"
"Benar," Kim-taijin ternyata sependapat. "Apa yang dikata Kim-taihiap memang tak salah, pangeran. Gerakan di dalam istana digerebek dulu sebelum mereka merepotkan kita sebagai beban tambahan. Gurba dan pasukannya sudah bergerak, ini saja cukup memusingkan kita. Sebaiknya mereka itu ditangkap dan kita tunggu pengkhianatan ibunda selir meracun sri baginda."
Sang pangeran tertegun. "Ayahanda tak diberi tahu?"
"Justeru sebaliknya. Ayahanda perlu diberi tahu, pangeran. Tapi pekerjaan ini biar hamba yang menyelesaikan. Sri baginda tak boleh menggebrak meja sebelum saatnya tiba!" dengan kata lain ini Kim-taijin hendak memaksudkan bahwa kaisar tak boleh marah-marah sebelum bukti-bukti ditangkap basah.
Menurut rencana tiga hari lagi selir itu akan meracun kaisar, entah lewat tangannya sendiri atau orang lain. Hari itu gerakan Gurba sudah mendekati istana, orang tak tahu hahwa Wan Cu merusak suasana, mengadakan pengakuan. Dan ketika hari itu Wan Cu ditangkap dan Sien Nio tersentak mendengar ini maka Gurba di lain tempat juga terhenyak mendengar berita itu.
Serbuan otomatis dihentikan. Sien Nio dan Gurba tak tahu apa yang menjadi dasar penangkapan itu, Istana bungkam. Desas-desus selentingannya mengatakan bahwa Wan Cu ditangkap karena mengganggu pangeran mahkota, katanya membujuk dan coba memikat pangeran itu tapi tak berhasil. Pangeran mahkota marah-marah karena Wan Cu adalah kekasih kakaknya. Tentu saja Sien Nio terkejut. Dan ketika semuanya masih simpang-siur dan satu-persatu orang-orang penting menghilang tak ada di tempatnya masing-masing maka Sien Nio menyuruh pengawalnya memberitahukan penangkapan Wan Cu kepada Gurba. Dan kita tahu Gurba lalu meninggalkan pasukannya, marah dan terkejut menuju istana.
Dan karena saat itu Pangetan Muda tak ada ditempat karena menyusun siasat di tempat lain maka berita penangkapan ini membuat orang orang yang berkepentingan berdetak jantungnya di cekam kecemasan. Sien Nio menduga rencananya tercium. Wanita ini cerdik, buru-buru menyuruh puteranya pergi setengah menyelamatkan diri. Orang suruhan anaknya diperintahkan ke tempat Gurba. di Cia-sin. Betapa pun dia merasa tak enak dan beberapa pembantu dekatnya memberitahukan apa yang kira-kira terjadi. Wan Cu ditangkap bukan karena menggoda pangeran mahkota melainkan ada hubungannya dengan rencana pemberontakan itu.
Wanita ini terkejut ketika pasukan yang disiapkan di dalam kehilangan komandannya. Beberapa menteri dan panglima muda lenyap. Tentu saja pasukan yang disiapkan dari dalam untuk menyerang istana itu tak menentu. Mereka tak tahu apa yang harus dikerjakan, juga apa yang terjadi. Keadaan serba tak menentu. Pangeran mahkota biasa-biasa saja sikapnya kepada orang lain, bahkan terhadap ibu tirinya ini. Sien Nio. Selir ini terguncang ketenangannya karena dia juga tak mengerti bagaimana Wan Cu sampai bisa tertangkap.
Seujung rambutpun ia tak menduga bahwa hal itu terjadi karena Wan Cu sengaja menyerahkan diri, gara-gara tak ditengok seminggu lamanya oleh kekasihnya. Juga oleh kekejaman Sien Nio sendiri yang hendak memisahkan wanita itu dari Pangeran Muda. Dan ketika keadaan mulai kalut dan Sien Nio sendiri kian gelisah oleh ketidaktahuannya yang pasti tentang hal ini maka Siauw bin-kwi dan Sai-mo-ong dipanggil. Dan saat itu pembicaraan serius terjadi di kamar selir tua ini.
"Mo-ong, apa yang terjadi dengan Wan Cu? Kalian sudah menyelidiki di mana wanita itu ditahan?"
Mo-ong menggeleng. "Hamba tak tahu, paduka selir. Tapi di tempat pangeran mahkota tak ada!"
"Lalu di mana? Kalian tak mencarinya di lain tempat?"
"Hamba dan Bin-kwi sudah mencarinya, paduka selir. Tapi tak ada yang tahu di mana Wan Cu berada."
"Goblok! Kalau begitu kalian tolol, Kerja kalian tak becus dan tidak berotak! Kenapa tidak menangkap pangeran makota saja? Dan mana Yu-busu? Kenapa sampai sekarang tak ada kabar beritanya lagi dan menghilang tak tahu ke mana rimbanya?"
"Maaf," Mo-ong agak merah mukanya. "Kami selama ini banyak membantu Siauw-ongya paduka selir. Hamba dan teman-teman jarang berhadapan dengan paduka sendiri. Paduka selalu mewakilkan pada Pangeran Muda, mana hamba tahu apa yang terjadi dan kegagalan-kegagalan lain? Kami berdua baru mendengar dari Pangeran Muda bahwa Wan Cu ditangkap, dan kami katanya diminta menyelidiki. Paduka tak memberi perintah menangkap pangeran mahkota segala, mana kami tahu?"
"Hm..." Sien Nio bersinar-sinar matanya, marah. Baru kali ini mulai panik. "Kau cari lagi di mana Wan cu ditahan, Mo-ong. Kalau perlu tangkap dan paksa pangeran mahkota itu. Kompres dia untuk mengaku!"
"Baik,"
"Dan lain-lainnya itu juga diselidiki, Mo-ong. Cari dan ketahui di mana itu Lu-taijin dan teman-temannya. Mereka menghilang seperti siluman saja. Tak mungkin lenyap kalau tidak tertangkap musuh!"
"Baik, paduka selir." dan Mo-ong serta Bin-kwi yang sudah berkelebat lenyap sedikit mendongkol karena kena damprat akhirnya kembali mencari dan menyelidiki dimana ditahannya Wan Cu dan lain-lain itu.
Mereka sebenarnya sudah mencari, entah ke mana tak ketemu. Tak berani mengganggu putera mahkota karena tak mendapat perintah. Kini perintah diturunkan dan mereka boleh menangkap pangeran itu, mengompresnya. Dan ketika Sien Nio melotot dan mengancam memaki dua pembantunya ini yang dianggap goblok dan tolol maka tak lama kemudian sebuah bayangan lain muncul, bayangan Gurba yang tinggi besar,
"Paduka selir, benarkah Wan Cu ditangkap?"
Sien Nio girang, langsung bangkit berdiri. "Kau baru datang? Kenapa lama sekali?"
"Hm...” Gurba menggereng. "Utusan paduka baru datang, paduka selir. Mana bisa cepat kalau orang paduka seperti siput? Di mana Wan Cu, benarkah tertangkap? Apa yang terjadi?"
"Duduklah" Sien Nio tegang, mata Gurba membuatnya ngeri. "Kekasihmu memang ditangkap, hanggoda. Tapi sebab apa dia ditangkap aku masih kurang jelas. Kemungkinan berhubungan dengan rencana kita."
"Siapa yang memberi tahu?"
"Itulah yang mengherankan. Aku juga tak tahu bagaimana asal mulanya dia ditangkap. Aku telah menyuruh Bin-kwi dan Mo-ong menyelidiki. Dan lagi serangan dari dalam tak dapat diteruskan. Komandan dan para perwira menengah yang harusnya memimpin gerakan ini lenyap?"
"Ke mana?"
"Aku juga tak tahu. Tapi kemungkinan ditangkap kaisar!"
"Hm," Gurba jelalatan. "Aku ingin tahu di mana Wan Cu, paduka selir. Yang lain-lain menyusul saja. Aku datang untuk menyelamatkan kekasihku itu!"
"Tentu, tapi yang lain-lain juga tak kalah penting, hanggoda. Dalam keadaan seperti ini sebaiknya kita membagi tugas!"
"Aku tak mau tahu. Aku datang untuk menyelamatkan Wan Cu!"
Sien Nio kaget. Suara keras yang diucapkan raksasa ini membuat ia sadar bahwa Gurba bukan seperti Bin-kwi atau Mo-ong. Raksasa ini lain. Dia mau membantu karena Wan Cu, jadi kalau Wan Cu celaka tentu saja raksasa itu bisa menarik bantuannya, bahkan mungkin berbalik haluan. Sien Nio terkejut. Dan ketika ia terbelalak tak menjawab Gurba sudah berkata lagi,
"Paduka selir, apa yang telah kau lakukan untuk menyelamatkan kekasihku itu? Berapa orang yang kau suruh mencari?"
"Banyak, hanggoda. Tapi terakhir adalah Mo-ong dan Bin-kwi."
"Mereka tak berhasil?"
"Mungkin hari ini berhasil. Aku menyuruhnya menekan pangeran mahkota."
Gurba mendengus. "Kalau begitu ia di sana?"
"Tak ada yang tahu, hanggoda. Tapi kemungkinan besar memang begitu . Aku...!"
"Aku akan ke sana!" dan Gurba yang berkelebat lenyap memutus omongan selir ini sudah membuat Sien Nio tertegun mengertakkan gigi. Kalau orang-orangnya mulai mendahului perintah. Seperti ini, ia bisa celaka. Raksasa itu liar sekali. Tapi karena Sien Nio tak tahu harus berbuat apa maka selir ini menunggu saja apa yang akan terjadi.
Dan Gurba saat itu sudah melompat di gedung pangeran mahkota. Dia tahu dimana gedung pangeran ini, berkelebat dan sebentar kemudiaan melihat bayangan Bin-kwi dan Mo-ong. Dua orang itu mencari-cari, raksasa ini mendengus dan tak sabar, berkelebat turun memasuki istana sang pangeran. Perbuatannya berani. Para pengawal tentu saja berteriak melihat kedatangan raksasa ini dan segera mengepung, sebagian menyerang tapi sebagian lain mundur-mundur sambil berteriak memanggil temannya.
Kelihaian raksasa ini cukup dikenal. Gurba tentu saja menjengek melempar pengawal-pengawal yang beràni mendekat. Sepak terjangnya tak dapat dilawan. Dan ketika raksasa itu terus maju sambil membentak menyuruh pengawal memanggil pangeran mahkota maka pangeran mahkota tiba-tiba muncul didampingi seseorang, Kim-taijin.
"Gurba, hentikan keliaranmu. Aku datang memenuhi panggilanmu!"
Gurba tertegun. "Bagus," katanya melompat maju. "Aku mau bertanya tentang Wan Cu pangeran. Di mana wanita itu dan cepat serahkan dia padaku!"
"Kau berani memintanya? Apa hubungannya denganmu?"
Gurba terkejut. "Dia... dia sahabatku!" Gurba teringat kedudukannya, bahwa dia telah mendapatkan Bi Nio dan malu rupanya mengakui Wan Cu sebagai kekasih, apalagi orang telah mengetahui bahwa Wan Cu adalah kekasih Pangeran Muda. Harga dirinya tersentuh. Dan ketika dia terbelalak dan berbohong menjawab pertanyaan itu tiba-tiba Bin-kwi dan Mo-ong muncul.
"Ho ho, kenapa banyak tanya lagi, Gurba? Tangkap dan bekuk pangeran itu. Jangan-jangan Wan Cu telah digaulinya semalam!"
"Diam!" Gurba membentak, marah pada dua rekannya ini "Kau tak becus mencari pangeran Mo-ong. Lebih baik pergi dan enyahlah kalian!"
"Weh, kau mengusir sahabat? Mana itu janjimu kepada kami? Kita bukan musuh Gurba. Kita adalah teman dan tak perlu bertengkar. Atau kutangkap saja pangeran ini!" Mo-ong terkekeh, berkelebat maju dan tiba-tiba tangannya telah menyambar ke depan. Gerakannya cepat.
Tapi Gurba yang tersinggung oleh kelancangan temannya ini tiba-tiba maju membentak menangkis serangan itu. "Mundur...duk!"
Mo-ong terpental, berseru kaget dan melotot memandang Gurba. Pandangannya gusar, kemarahan mulai mengusik iblis ini. Gurba tak peduli. Dan ketika Bin-kiw menyeringai dan menggosok-gosok tangannya iblis ini menahan temannya.
"Mo-ong, kendalikan dirimu. Berbahaya mengadu kepandaian di tempat tak semestinya!"
Mo-ong sadar. Dia melihat Gurba menghadapi pangeran mahkota itu kembali, memang tak mau diganggu karena dialah yang mendapatkan pangeran ini bukan Mo-ong atau Bin-kwi. Dan Gurba yang sudah berkilat menghadapi lawan berkata dengan suara mengancam.
"Pangeran, aku tak mau main-main. Serahkan Wan Cu atau kau kuhajar!"
Aneh, pangeran malah tertawa. Gurba melihat keberanian yang sama besar antara pangeran ini dengan kaisar. Ayah dan anak sama sumbernya Gurba tertegun. Dan ketika dia terbelalak memandang marah maka Kim-taijin, laki-laki di sebelah pangeran itu mendapat isyarat, maju! sambil menarik napas panjang.
"Hanggoda," penasihat kaisar ini mengerutkan keningnya ."Sungguh mengherankan kalau kini kau memusuhi kami lagi. Sri baginda telah mengulurkan lengan persahabatannya kepadamu dan kaupun menerimanya. Kenapa membuat huru-hara dan datang menimbulkan keributan? Kalau kau mencari Wan Cu wanita itu ada di tempat sri baginda, kuantar. Bila ingin ke sana. Mari!"
Gurba terkesiap. “Di tempat kaisar?"
"Ya, sri baginda menunggu siapa saja yang ingin membebaskan wanita ini, hanggoda. Kalau kau ingin ke sana mari kami iringkan."
"Bohong!" Bin-kwi tiba-tiba terkekeh. "kau ditipunya, Gurba. Kekasihmu itu ada di sini dan disembunyikan mereka!"
"Oh, kekasih ?" pangeran mahkota pura-pura terkejut, menarik senyum sinis. "Dia kekasihmu, Gurba? Kau mendapatkannya dari kanda pangeran? Aih, bagus sekali. Seorang gagah memperoleh barang sisa!"
Gurba semburat merah. Dia marah Bin-kwi membuka rahasia itu, melotot pada si iblis yang suka pemuda-pemuda tampan ini. Si homo yang menyebalkan! Dan ketika pangeran tertawa dan Bin-kwi menyeringai, maka Mo-ong juga menambahi dengan kata-kata menyakitkan,
"Gurba, aku tak percaya kekasihmu itu dibawa ke kaisar. Tentu ada di sini dan mungkin semalam digauli pangeran ini. Dia sengaja berbohong untuk menjebakmu di sana!"
Gurba semakin marah. Dia membentak temannya itu dengan mata berapi-api, Mo-ong diam dan terkekeh. Gurba sakit hatinya mendengar kata-kata itu. Jangan-jangan Wan Cu memang digauli pangeran ini, bayangan yang membuat dia menggeram. Dan ketika sang pangeran tertawa mengejek dan mempersilahkan dia mencari di seluruh gedung itu akhirnya Gurba berkelebat menyuruh temannya membantu.
Tempat sang pangeran dilongok semua isinya. Pintu-pintu kamar dibuka dan Mo-ong serta Bin-kwi mempergunakan kesempatan ini untuk mengobrak-abrik, dua iblis itu memang kurang ajar. Pelayan-pelayan cantik yang ada di situ dicolek dan diremas, Bin-kwi mengusap dan mempermainkan pelayan-pelayan pria yang tampan dengan cara memuakkan.
Tapi karena Wan Cu memang tak ada di situ dan Bin-kwi serta temannya kembali dan Gurba melotot gusar mendadak di tempat itu Kim-mou eng muncul bersama Salima menggantikan kedudukan pangeran mahkota dan Kim-taijin yang entah menghilang ke mana, disusul munculnya Hek-eng Taihiap dan lain-lain serta ratusan pengawal yang bersiap dengan senjata di tangan!
"Suheng. Kau laki-laki tak tahu malu. Ke mana harga dirimu menjadi permainan orang lain?"
Gurba terkejut. Salima yang membentaknya itu dipandangnya kaget, sejenak terkesima oleh sikap dan keagungan sumoinya ini. Salima tampak cantik dan gagah, kedua kaki direntang menunjukkan daya pesonanya yang besar. Raksasa ini tertegun. Dan ketika Bin-kwi serta Mo-ong juga terkejut melihat kehadiran Kim-mou-eng dan sumoinya maka Kim-mou-eng sudah melangkah maju manatap suhengnya ini penuh sesal.
"Suheng, tak pantas kiranya kau mengobrak abrik rumah orang lain. Kaisar mengulurkan tangan persahabatannya kepadamu, kenapa kau membalasnya dengan cara begini? Kau tersesat suheng. Tingkah laku dan sepak terjangmu benar-benar tidak terpuji"
"Keparat, kau siapa memberi tahu orang lebih tua? Kau lancang sute. Aku tak akan mendengar kata-katamu dan persetan dengan semuanya itu. Kau bahkan menjadi biang keladi tertangkapnya Wan Cu. Tahulah aku, kau rupanya orang yang mengacau di sini!" dan Gurba yang menggereng melompat maju tiba-tiba mengibas dan marah besar kepada sutenya ini.
Sekarang melihat sutenya itu ada di situ. Tentu sutenya inilah yang membantu lawan, Wan Cu ditangkap dan kini disembunyikan. Sama sekali tak takut atau menghiraukan orang-orang lain dan ratusan pengawal. Maklum raksasa ini pernah dikeroyok ratusan pengawal dan tak ada seorangpun yang mampu menghadapinya. Hanya orang-orang berkepandaian macam sutenya ini yang patut diperhitungkan, lain-lain tak digubris. Dan ketika dua orang itu berhadapan dan Kim-mou-eng bersikap tenang memandang suhengnya maka di lain pihak Bin-kwi dan Mo ong saling lirik tersenyum aneh.
"Bagaimana, Mo-ong Kita biarkan suheng dan sute itu saling gempur?"
"Tentu, dan kita menghadapi Salima, Bin kwi. Tangkap dan bekuk gadis ini untuk muridku!"
"Huh, kau selalu memperhatikan muridmu. Bukankah yang lain ada dan lebih baik bunuh saja gadis berbahaya ini?"
"Tidak, jangan Bin-kwi. Aku perlu menangkapnya hidup-hidup untuk muridku. Sudahlah, kau bantu aku menghadapi gadis ini!"
Mo-ong bersiap siap, Salima sudah memandang mereka dengan mata berapi-api. Dua iblis ini menyeringai, masing-masing setuju dan melihat Gurba menggereng menghadapi sutenya. Kim-mou-eng tenang. Pertempuran tak dapat dihindari. Dan ketika satu bentakan keras meluncur dari mulut raksasa itu dan Gurba berkelebat menghantam ke depan tiba-tiba satu pukulan dahsyat bersiut kearah Kim-mou-eng.
"Dess!" Orang yang ada di dekat pertempuran merasakan guncangan yang menggetarkan ini. Kim-mou-eng merendahkan tubuh, menangkis suhengnya dan dua sinkang beradu. Gurba berteriak dan keduanya sama-sama terdorong mundur. Bin-kwi dan Mo-ong serta Salima tak jadi menyerang. Mereka tertarik perhatiannya ke sini dan masing-masing otomatis surut ke belakang, betapa pun getaran adu pukulan tadi menggetarkan dada mereka. Serasa rontok jantung diguncang. Pengawal yang ada di dekat seketika terpelanting, masing-masing berteriak kaget. Salima sendiri khawatir dan terbelalak memandang ji-suhengnya, Kim-mou-eng.
Dan ketika ia lega ji-suhengnya itu tak apa apa kecuali terdorong mundur saja maka Twa-suhengnya sudah membentak menerjang lagi. Gurba sudah melancarkan pukulan bertubi tubi yang dahsyat, kedua lengan raksasa ini berobah kemerahan akibat pengerahan Tiat-lui-kang. Angin pukulannya menderu dan membuat Mo-ong serta yang lain-lain terpaksa mundur lagi. Tempat di tengah menjadi semakin lebar hingga dua orang itu bisa bergerak leluasa.
Dan ketika Kim-mou-eng juga mengerahkan ilmunya yang sama dan kedua lengan pendekar inipun kemerahan seperti sang suheng maka pukulan serta tangkisan mulai terdengar menggetarkan tempat itu. Dan pertandingan menegangkan terjadi di tempat ini. Dua orang itu sudah sama-sama bergerak, mula-mula perlahan namun kian lama kian cepat. Sinar merah dan putih meluncur saling sambar. Ledakan-ledakan petir mulai mengerikan terdengar di telinga. Dan ketika hawa panas mulai menyerang tempat itu dan Mo-ong serta yang lain lainnya lagi terpaksa mundur kembali maka Salima sudah berseru mengusir para peagawal dan teman-temannya yang ada di dekat situ.
"Mundur...!"
Semua orang otomatis mundur. Pertempuran Gurba dan Kim-mou-eng ini memang mendebarkan sekali. Mereka melotot. Gurba kelihatan ganas sementara Kim-mou-eng tenang namun hati-hati. Pendekar ini mengerutkan alis, sebenarnya malu bahwa mereka kakak beradik seperguruan harus bertempur ditonton banyak orang. Hal yang mengecewakan dan amat disesali pendekar ini. Namun karena suhengnya tersesat dan pukulan pukulan suhengnya kian ampuh saja maka Kim-mou-eng mulai mengerahkan ginkang berkelebatan menghindari dan menangkis pukulan. Dan kakaknya mengejar.
Gurba pun menpercepat gerakannya, kian lama kian cepat hingga dua orang inipun akhirnya lenyap dalam gulungan sinar putih dan merah yang menyambar-nyambar. Para pengawal dan orang-orang lain yang kepandaiannya rendah tak dapat mengikuti lagi pertempuran ini. Mata mereka tak dapat menangkap. Dua orang suheng dan sute itu berkelebatan cepat diiringi ledakan dan benturan yang membuat mereka terguncang saja.
Lima puluh pengawal yang ada di depan tiba-tiba mengeluh, tubuh mereka kepanasan dan tiba-tiba terguling. Dan ketika yang lain-lain juga mengeluh dan berkeringat kepanasan serta terguling mengikuti pengawal-pengawal di depan ini mendadak saja di antara mereka ada yang pingsan tak kuat mendengar ledakan atau benturan yang kian dahsyat itu!
"Sumpal telinga kalian. Mundur!"
Salima terkejut, Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun yang muncul di situ juga terhuyung, muka mereka pucat. Tak kuat menahan serta mendengar benturan-benturan ini. Pertempuran Kim-mou-eng dan suhengnya memang hebat. Beberapa genting dan tembok ruanganpun rontok, terkelupas kulitnya. Dan ketika Pukulan Petir semakin menggelegar dan sinarnya mencuat sana sini karena meleset dalam benturan maka Mo-ong dan Bin-kwi yang menonton dari dekat terbakar bajunya disambar cahaya panas ini.
"Keparat, jahanam!"
Mo-ong dan Bin-kwi memadamkan baju yang terbakar, mengumpat. Terkejut dan kapok juga karena sinar pukulan Petir itu menjangkau mereka dalam jarak beberapa tombak. Sungguh Hebat! Dan ketika Gurba menggereng dan Kim-mou-eng melayani suhengnya dengan kedudukan berimbang maka lagi satu pukul dasyat bertemu di udara.
"Blang...!"
Gurba terpental bersama sutenya. Sudah ke sekian kalinya ini raksasa itu selalu tertolak atau terhuyung bersama. Sutenya memang kuat. Kim mou-eng memang berimbang dengan suhengnya itu. Mereka berdua tak ada yang kalah atau menang sejak dulu. Dan Gurba yang tentu saja marah dan penasaran melihat hasil pertandingan ini tiba-tiba memekik mencabut anak panah kuning, sebuah anak panah yang berukuran besar yang dipegang tangan kiri raksasa ini, tangan kanan masih melancarkan pukulan-pukulan Petir.
Kim-mou-eng terkejut karena jarang suhengnya itu mencabut senjata. Hal itu menandakan suhengnya benar benar marah. Dan begitu anak panah berkelebat dan pukulan-pukulan Petir menyambar dan meledak bertubi-tubi maka cahaya kuning dari anak panah berukuran besar ini mulai mematuk dan menyelinap di balik cahaya Tiat-lui-kang dengan amat cepatnya. Dan kali ini Kim-mou-eng terdesak!
"Suheng, kau semakin kelewatan. Watakmu semakin kejam!"
"Persetan. Aku tak perduli omonganmu, sute. Kau roboh dan mampuslah.... bret!" anak panah mendapatkan sasarannya, baju Kim-mou-eng robek disambar ujungnya yang tajam.
Kim-mou-eng membanting tubuh bergulingan. Karena cahaya kuning itu masih mengejarnya, di balik cahaya merah atau putih dari pukulan Petir. Gurba berseri karena sutenya tak berani menangkis anak panahnya itu. Terlalu dahsyat di tangan raksasa ini. Dan ketika Kim-mou-eng terpaksa mengelak dan hanya menangkis pukulan tangan kanan suhengnya sementara anak panah di tangan kiri raksasa itu terus bergerak menyambar-nyambar maka Kim-mou-eng terbelalak sementara Salima yang menonton di pinggir cemas.
"Suheng, kubantu kau...“
Salima sudah bersiap, akan melompat tapi ji-suhengnya mencegah. Meskipun terdesak tapi masih sanggup menahan serangan serangan lawan. Memang Gurba hebat tapi Kim-mou-eng tak gelisah, hal yang mengagumkan Mo-ong dan Bin-kwi yang menonton penuh kegembiraan dua lawan yang bertarung. Kim-mou-eng tertekan tapi masih juga dapat bertahan. Dan ketika Gurba mempercepat gerakannya dan panah serta pukulan Petir ganti-berganti menyambar tak pernah kendor maka kembali baju pundak Kim-mou-eng tergurat.
“Bret!"
Salima semakin cemas. Dia melihat ji-suhengnya terbuyung, Gurba tertawa tergelak lalu menerjang lagi. Sepak terjangnya tak kenal ampun dan rupanya akan memburuh lawannya itu. Kim,mou-eng kecewa. Dan ketika lawan kembali berkelebat dan anak panah menusuk cepat diiringi pukulan Petir mendadak Kim-mou-eng membentak kepada suhengnya itu, marah.
"Suheng, kau terlalu. Kalau begitu terpaksa kutandingi senjatamu itu!" sinar hitam berkelebat. Kim-mou-eng mencabut sesuatu dan langsung menangkis anak panah di tangan kiri suhengnya itu dengan sebatang pit (potlod gambar), sebuah benda sepele yang tampaknya ringan tapi mengejutkan Gurba. Anak panahnya terpental dan bunyi nyaring membuat pit dan anak panah tertolak, sinar kuning bertemu sinar hitam.
Gurba meraung! Dan ketika lawan berkelebat dan anak panah ditangkis potlod hitam di tangan sutenya maka Gurba melotot memaki-maki. "Sute, kau keparat. Kubunuh kau!"
Kim-mou-eng tersenyum pahit. "Kau tak dapat membunuhku suheng. Berapapun kau mengerahkan tenaga tak akan ada yang menang di antara kita!"
Gurba memekik. Memang dia tahu itu, kemarahan dan penasarannya kian meledak. Sejenak ia lupa bahwa sutenyapun mempunyai senjata yang juga jarang dikeluarkan. Senjata aneh yang luar biasa itu. Sebatang pit yang dapat dipergunakan untuk bertanding di samping melukis. Sutenya ini memang pelukis. Dan ketika pit mulai bergerak-gerak dan menangkis semua serangan anak panahnya sementara dia juga menangkis totokan atau tutulan pit itu bila menyerang dirinya maka kedudukan kembali berimbang menggusarkan raksasa ini.
"Keparat, kubunuh kau, sute. Kubunuh kau...!" Gurba beringas, kembali anak panahnya tertolak dan masing-masing sama tergetar. Sinkang mereka sama kuat.
Tadı Kim-mou-eng tak berani menangkis mengandalkan kekebalannya. Senjata di tangan suhengnya itu terlampau hebat untuk diterima dengan tubuh terbuka. Musuh yang berimbang akan kalah bila satu pihak telah mengeluarkan senjata, jalan paling bagus adalah mengeluarkan senjata pula. Dengan begini kedudukan dapat dijaga dan mereka selalu berimbang. Dan ketika kembali pit dan anak panah tertolak tak ada yang kalah atau menang mendadak dalam satu terjangan dahsyat Gurba mengeluarkan bentakan mengguntur.
Kim-mou-eng terkejut karena suhengnya mémbuka mulut, itulah tanda pengerahan tenaga sepenuh bagian. Anak panah di tangan suhengya berkelebat menyambar lehernya, beberapa kali. Dan ketika tangan kanan suhengnya juga bergerak melepas pukulan Tiat-lui-kang maka cahaya kemerahan menyambar disertai bentakan mengguntur itu.
"Klap!" Orang menjerit kaget. Cahaya menyilaukan yang keluar dari tangan kanan Gurba ini hebat sekali, jauh lebih hebat dibanding yang pertama atau yang berikut. Hawa panas berkobar dan mencapai puncaknya. Dinding hangus dan Mo-ong serta Bin-kwi pun terkejut karena api keluar dari telapak raksasa itu. Begitu hebatnya. Dan ketika sinar kuning juga bergerak mengaung dahsyat tiba-tiba dua serangan ini sudah tiba di depan Kim-mou-eng.
Kim-mou-eng terkesiap. Suhengnya ini benar-benar gila, tidak waras. Kalap. Puncak Tiu-lui-kang dikerahkan untuk membunuh. Salima sendiri berteriak ngeri melihat pukulan raksasa itu. Memang amat berbahaya. Dan karena jalan mengelak sudah tertutup karena hawa pukulan telah mengelilinginya dari segala penjuru maka tak ada lain bagi pendekar ini kecuali melakukan hal yang sama.
Tapi karena Wan Cu memang tak ada di situ dan Bin-kwi serta temannya kembali dan Gurba melotot gusar mendadak di tempat itu Kim-mou eng muncul bersama Salima menggantikan kedudukan pangeran mahkota dan Kim-taijin yang entah menghilang ke mana, disusul munculnya Hek-eng Taihiap dan lain-lain serta ratusan pengawal yang bersiap dengan senjata di tangan!
"Suheng. Kau laki-laki tak tahu malu. Ke mana harga dirimu menjadi permainan orang lain?"
Gurba terkejut. Salima yang membentaknya itu dipandangnya kaget, sejenak terkesima oleh sikap dan keagungan sumoinya ini. Salima tampak cantik dan gagah, kedua kaki direntang menunjukkan daya pesonanya yang besar. Raksasa ini tertegun. Dan ketika Bin-kwi serta Mo-ong juga terkejut melihat kehadiran Kim-mou-eng dan sumoinya maka Kim-mou-eng sudah melangkah maju manatap suhengnya ini penuh sesal.
"Suheng, tak pantas kiranya kau mengobrak abrik rumah orang lain. Kaisar mengulurkan tangan persahabatannya kepadamu, kenapa kau membalasnya dengan cara begini? Kau tersesat suheng. Tingkah laku dan sepak terjangmu benar-benar tidak terpuji"
"Keparat, kau siapa memberi tahu orang lebih tua? Kau lancang sute. Aku tak akan mendengar kata-katamu dan persetan dengan semuanya itu. Kau bahkan menjadi biang keladi tertangkapnya Wan Cu. Tahulah aku, kau rupanya orang yang mengacau di sini!" dan Gurba yang menggereng melompat maju tiba-tiba mengibas dan marah besar kepada sutenya ini.
Sekarang melihat sutenya itu ada di situ. Tentu sutenya inilah yang membantu lawan, Wan Cu ditangkap dan kini disembunyikan. Sama sekali tak takut atau menghiraukan orang-orang lain dan ratusan pengawal. Maklum raksasa ini pernah dikeroyok ratusan pengawal dan tak ada seorangpun yang mampu menghadapinya. Hanya orang-orang berkepandaian macam sutenya ini yang patut diperhitungkan, lain-lain tak digubris. Dan ketika dua orang itu berhadapan dan Kim-mou-eng bersikap tenang memandang suhengnya maka di lain pihak Bin-kwi dan Mo ong saling lirik tersenyum aneh.
"Bagaimana, Mo-ong Kita biarkan suheng dan sute itu saling gempur?"
"Tentu, dan kita menghadapi Salima, Bin kwi. Tangkap dan bekuk gadis ini untuk muridku!"
"Huh, kau selalu memperhatikan muridmu. Bukankah yang lain ada dan lebih baik bunuh saja gadis berbahaya ini?"
"Tidak, jangan Bin-kwi. Aku perlu menangkapnya hidup-hidup untuk muridku. Sudahlah, kau bantu aku menghadapi gadis ini!"
Mo-ong bersiap siap, Salima sudah memandang mereka dengan mata berapi-api. Dua iblis ini menyeringai, masing-masing setuju dan melihat Gurba menggereng menghadapi sutenya. Kim-mou-eng tenang. Pertempuran tak dapat dihindari. Dan ketika satu bentakan keras meluncur dari mulut raksasa itu dan Gurba berkelebat menghantam ke depan tiba-tiba satu pukulan dahsyat bersiut kearah Kim-mou-eng.
"Dess!" Orang yang ada di dekat pertempuran merasakan guncangan yang menggetarkan ini. Kim-mou-eng merendahkan tubuh, menangkis suhengnya dan dua sinkang beradu. Gurba berteriak dan keduanya sama-sama terdorong mundur. Bin-kwi dan Mo-ong serta Salima tak jadi menyerang. Mereka tertarik perhatiannya ke sini dan masing-masing otomatis surut ke belakang, betapa pun getaran adu pukulan tadi menggetarkan dada mereka. Serasa rontok jantung diguncang. Pengawal yang ada di dekat seketika terpelanting, masing-masing berteriak kaget. Salima sendiri khawatir dan terbelalak memandang ji-suhengnya, Kim-mou-eng.
Dan ketika ia lega ji-suhengnya itu tak apa apa kecuali terdorong mundur saja maka Twa-suhengnya sudah membentak menerjang lagi. Gurba sudah melancarkan pukulan bertubi tubi yang dahsyat, kedua lengan raksasa ini berobah kemerahan akibat pengerahan Tiat-lui-kang. Angin pukulannya menderu dan membuat Mo-ong serta yang lain-lain terpaksa mundur lagi. Tempat di tengah menjadi semakin lebar hingga dua orang itu bisa bergerak leluasa.
Dan ketika Kim-mou-eng juga mengerahkan ilmunya yang sama dan kedua lengan pendekar inipun kemerahan seperti sang suheng maka pukulan serta tangkisan mulai terdengar menggetarkan tempat itu. Dan pertandingan menegangkan terjadi di tempat ini. Dua orang itu sudah sama-sama bergerak, mula-mula perlahan namun kian lama kian cepat. Sinar merah dan putih meluncur saling sambar. Ledakan-ledakan petir mulai mengerikan terdengar di telinga. Dan ketika hawa panas mulai menyerang tempat itu dan Mo-ong serta yang lain lainnya lagi terpaksa mundur kembali maka Salima sudah berseru mengusir para peagawal dan teman-temannya yang ada di dekat situ.
"Mundur...!"
Semua orang otomatis mundur. Pertempuran Gurba dan Kim-mou-eng ini memang mendebarkan sekali. Mereka melotot. Gurba kelihatan ganas sementara Kim-mou-eng tenang namun hati-hati. Pendekar ini mengerutkan alis, sebenarnya malu bahwa mereka kakak beradik seperguruan harus bertempur ditonton banyak orang. Hal yang mengecewakan dan amat disesali pendekar ini. Namun karena suhengnya tersesat dan pukulan pukulan suhengnya kian ampuh saja maka Kim-mou-eng mulai mengerahkan ginkang berkelebatan menghindari dan menangkis pukulan. Dan kakaknya mengejar.
Gurba pun menpercepat gerakannya, kian lama kian cepat hingga dua orang inipun akhirnya lenyap dalam gulungan sinar putih dan merah yang menyambar-nyambar. Para pengawal dan orang-orang lain yang kepandaiannya rendah tak dapat mengikuti lagi pertempuran ini. Mata mereka tak dapat menangkap. Dua orang suheng dan sute itu berkelebatan cepat diiringi ledakan dan benturan yang membuat mereka terguncang saja.
Lima puluh pengawal yang ada di depan tiba-tiba mengeluh, tubuh mereka kepanasan dan tiba-tiba terguling. Dan ketika yang lain-lain juga mengeluh dan berkeringat kepanasan serta terguling mengikuti pengawal-pengawal di depan ini mendadak saja di antara mereka ada yang pingsan tak kuat mendengar ledakan atau benturan yang kian dahsyat itu!
"Sumpal telinga kalian. Mundur!"
Salima terkejut, Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun yang muncul di situ juga terhuyung, muka mereka pucat. Tak kuat menahan serta mendengar benturan-benturan ini. Pertempuran Kim-mou-eng dan suhengnya memang hebat. Beberapa genting dan tembok ruanganpun rontok, terkelupas kulitnya. Dan ketika Pukulan Petir semakin menggelegar dan sinarnya mencuat sana sini karena meleset dalam benturan maka Mo-ong dan Bin-kwi yang menonton dari dekat terbakar bajunya disambar cahaya panas ini.
"Keparat, jahanam!"
Mo-ong dan Bin-kwi memadamkan baju yang terbakar, mengumpat. Terkejut dan kapok juga karena sinar pukulan Petir itu menjangkau mereka dalam jarak beberapa tombak. Sungguh Hebat! Dan ketika Gurba menggereng dan Kim-mou-eng melayani suhengnya dengan kedudukan berimbang maka lagi satu pukul dasyat bertemu di udara.
"Blang...!"
Gurba terpental bersama sutenya. Sudah ke sekian kalinya ini raksasa itu selalu tertolak atau terhuyung bersama. Sutenya memang kuat. Kim mou-eng memang berimbang dengan suhengnya itu. Mereka berdua tak ada yang kalah atau menang sejak dulu. Dan Gurba yang tentu saja marah dan penasaran melihat hasil pertandingan ini tiba-tiba memekik mencabut anak panah kuning, sebuah anak panah yang berukuran besar yang dipegang tangan kiri raksasa ini, tangan kanan masih melancarkan pukulan-pukulan Petir.
Kim-mou-eng terkejut karena jarang suhengnya itu mencabut senjata. Hal itu menandakan suhengnya benar benar marah. Dan begitu anak panah berkelebat dan pukulan-pukulan Petir menyambar dan meledak bertubi-tubi maka cahaya kuning dari anak panah berukuran besar ini mulai mematuk dan menyelinap di balik cahaya Tiat-lui-kang dengan amat cepatnya. Dan kali ini Kim-mou-eng terdesak!
"Suheng, kau semakin kelewatan. Watakmu semakin kejam!"
"Persetan. Aku tak perduli omonganmu, sute. Kau roboh dan mampuslah.... bret!" anak panah mendapatkan sasarannya, baju Kim-mou-eng robek disambar ujungnya yang tajam.
Kim-mou-eng membanting tubuh bergulingan. Karena cahaya kuning itu masih mengejarnya, di balik cahaya merah atau putih dari pukulan Petir. Gurba berseri karena sutenya tak berani menangkis anak panahnya itu. Terlalu dahsyat di tangan raksasa ini. Dan ketika Kim-mou-eng terpaksa mengelak dan hanya menangkis pukulan tangan kanan suhengnya sementara anak panah di tangan kiri raksasa itu terus bergerak menyambar-nyambar maka Kim-mou-eng terbelalak sementara Salima yang menonton di pinggir cemas.
"Suheng, kubantu kau...“
Salima sudah bersiap, akan melompat tapi ji-suhengnya mencegah. Meskipun terdesak tapi masih sanggup menahan serangan serangan lawan. Memang Gurba hebat tapi Kim-mou-eng tak gelisah, hal yang mengagumkan Mo-ong dan Bin-kwi yang menonton penuh kegembiraan dua lawan yang bertarung. Kim-mou-eng tertekan tapi masih juga dapat bertahan. Dan ketika Gurba mempercepat gerakannya dan panah serta pukulan Petir ganti-berganti menyambar tak pernah kendor maka kembali baju pundak Kim-mou-eng tergurat.
“Bret!"
Salima semakin cemas. Dia melihat ji-suhengnya terbuyung, Gurba tertawa tergelak lalu menerjang lagi. Sepak terjangnya tak kenal ampun dan rupanya akan memburuh lawannya itu. Kim,mou-eng kecewa. Dan ketika lawan kembali berkelebat dan anak panah menusuk cepat diiringi pukulan Petir mendadak Kim-mou-eng membentak kepada suhengnya itu, marah.
"Suheng, kau terlalu. Kalau begitu terpaksa kutandingi senjatamu itu!" sinar hitam berkelebat. Kim-mou-eng mencabut sesuatu dan langsung menangkis anak panah di tangan kiri suhengnya itu dengan sebatang pit (potlod gambar), sebuah benda sepele yang tampaknya ringan tapi mengejutkan Gurba. Anak panahnya terpental dan bunyi nyaring membuat pit dan anak panah tertolak, sinar kuning bertemu sinar hitam.
Gurba meraung! Dan ketika lawan berkelebat dan anak panah ditangkis potlod hitam di tangan sutenya maka Gurba melotot memaki-maki. "Sute, kau keparat. Kubunuh kau!"
Kim-mou-eng tersenyum pahit. "Kau tak dapat membunuhku suheng. Berapapun kau mengerahkan tenaga tak akan ada yang menang di antara kita!"
Gurba memekik. Memang dia tahu itu, kemarahan dan penasarannya kian meledak. Sejenak ia lupa bahwa sutenyapun mempunyai senjata yang juga jarang dikeluarkan. Senjata aneh yang luar biasa itu. Sebatang pit yang dapat dipergunakan untuk bertanding di samping melukis. Sutenya ini memang pelukis. Dan ketika pit mulai bergerak-gerak dan menangkis semua serangan anak panahnya sementara dia juga menangkis totokan atau tutulan pit itu bila menyerang dirinya maka kedudukan kembali berimbang menggusarkan raksasa ini.
"Keparat, kubunuh kau, sute. Kubunuh kau...!" Gurba beringas, kembali anak panahnya tertolak dan masing-masing sama tergetar. Sinkang mereka sama kuat.
Tadı Kim-mou-eng tak berani menangkis mengandalkan kekebalannya. Senjata di tangan suhengnya itu terlampau hebat untuk diterima dengan tubuh terbuka. Musuh yang berimbang akan kalah bila satu pihak telah mengeluarkan senjata, jalan paling bagus adalah mengeluarkan senjata pula. Dengan begini kedudukan dapat dijaga dan mereka selalu berimbang. Dan ketika kembali pit dan anak panah tertolak tak ada yang kalah atau menang mendadak dalam satu terjangan dahsyat Gurba mengeluarkan bentakan mengguntur.
Kim-mou-eng terkejut karena suhengnya mémbuka mulut, itulah tanda pengerahan tenaga sepenuh bagian. Anak panah di tangan suhengya berkelebat menyambar lehernya, beberapa kali. Dan ketika tangan kanan suhengnya juga bergerak melepas pukulan Tiat-lui-kang maka cahaya kemerahan menyambar disertai bentakan mengguntur itu.
"Klap!" Orang menjerit kaget. Cahaya menyilaukan yang keluar dari tangan kanan Gurba ini hebat sekali, jauh lebih hebat dibanding yang pertama atau yang berikut. Hawa panas berkobar dan mencapai puncaknya. Dinding hangus dan Mo-ong serta Bin-kwi pun terkejut karena api keluar dari telapak raksasa itu. Begitu hebatnya. Dan ketika sinar kuning juga bergerak mengaung dahsyat tiba-tiba dua serangan ini sudah tiba di depan Kim-mou-eng.
Kim-mou-eng terkesiap. Suhengnya ini benar-benar gila, tidak waras. Kalap. Puncak Tiu-lui-kang dikerahkan untuk membunuh. Salima sendiri berteriak ngeri melihat pukulan raksasa itu. Memang amat berbahaya. Dan karena jalan mengelak sudah tertutup karena hawa pukulan telah mengelilinginya dari segala penjuru maka tak ada lain bagi pendekar ini kecuali melakukan hal yang sama.
Kim-mou-eng mengeluarkan bentakan yang mengguncangkan tempat itu. Tiga lapis pengawal roboh tergelimpang oleh pekiknya yang dahsyat. Dan terbuka mulutnya mengeluarkan tenaga sepenuh bagian akhirnya Kim-mou-eng menerima pukulan suhengnya sementara pit di tangannya juga bergerak menangkis datangnya sambaran anak panah.
"Des...krakk...!"
Dua tubuh itu bergetar, bumi serasa diguncangkah kaki gajah yang berlari-lari. Mo-ong dan Bin-kwi serta Salima terpelanting, yang lain-lain roboh menjerit tunggang-langgang tak karuan. Tentu saja mereka kaget bukan main karena benturan adu tenaga itu hebat sekali. Dinding retak dan atap pun roboh. Suaranya hiruk-pikuk, bersatu dengan jeritan atau teriakan para pengawal yang terjengkang.
"Des...krakk...!"
Dua tubuh itu bergetar, bumi serasa diguncangkah kaki gajah yang berlari-lari. Mo-ong dan Bin-kwi serta Salima terpelanting, yang lain-lain roboh menjerit tunggang-langgang tak karuan. Tentu saja mereka kaget bukan main karena benturan adu tenaga itu hebat sekali. Dinding retak dan atap pun roboh. Suaranya hiruk-pikuk, bersatu dengan jeritan atau teriakan para pengawal yang terjengkang.
Kim-mou-eng dan suhengnya menggelung pit dan anak panah di tangan masing-masing hancur. Mereka lekat dan saling cengkeram, sudut bibir mereka mengalirkan darah. Keduanya terluka, menerima runtuhan atap dan genting hingga tubuh keduanya terselimut debu. Salima menjerit. Dan ketika keduanya bergoyang dan masih saling cengkeram mendadak keduanya roboh dan ambruk di tanah.
"Suheng...!"
"Kimsan...”
Dua suara ini hampir berbareng keluar dari mulut yang lain. Mo-ong dan Bin-kwi pucat melihat dua bayangan menubruk jatuhnya dua pemuda sakti itu. Mereka tergetar, jatuh terduduk dan ngeri melihat kesudahan hasil pertandingan ini. Kim-mou-eng dan suhengnya sama-sama terluka. Tapi ketika mereka melompat bangun melihat siapa bayangan kedua yang menubruk Kim-mou-eng itu tiba-tiba keduanya terbelalak berseru berbareng,
"Cheng-bin Yu-lo...!"
Memang benar. Orang ke dua ini adalah Cheng-bin Yu-lo, kakek bermuka hijau yang merupakan paman Kim-mou-eng! Mo-ong dan Bin-kwi terbelalak karena iblis itu menolong Kim-mou-eng. Tapi ketika melihat Salima tersedu dan menolong suhengnya membelakangi mereka mendadak Mo-ong mengedip memberi tanda pada temannya,
"Bin kwi, serang gadis itu!" Mo-ong sudah berkelebat, meluncur maju tangannya terjulur menotok Salima. Bin-kwi juga menyusul menyambar pula. Dua-duanya bergerak untuk mendapatkan hasil meyakinkan. Kalau Salima menangkis tentu yang lain dapat membokong. Gadis itu pasti roboh. Tapi ketika dua serangan menuju Salima dan Salima terkejut oleh bokongan ini mendadak Cheng-bin Yu-lo menggereng menangkis mereka.
"Plak-dukk!" Cheng-bin Yu-lo mencelat. Mo-ong dan Bin-kwi tergetar terdorong mundur, tentu aja mereka mengumpat, marah.
Dan Salima yang membalik mengutuk dua iblis itu tiba-tiba mencabut benderanya berseru gusar, "Mo-ong, kau iblis licik. Di mana-mana kau selalu berbuat curang... tar!" bendera dikebut, Salima melompat maju dengan muka merah padam. Saat itu Hek-eng Taihiap dan lain-lain maju membantu. Selesainya pertandingan Kim-mou-eng dengan Gurba membuat mereka sadar, takjub disamping ngeri. Tapi ketika mereka mengepung iblis itu dan Cheng-bin Yu-lo melompat bangun maka sesosok bayangan lagi lagi muncul.
"Suhu, kau tak apa-apa?"
Salima dan Hek-eng Taihiap tertegun. Mereka melihat Yu Bing muncul, berlutut di samping suhunya penuh kekhawatiran. Tapi Cheng-bin Yu-lo yang menyeringai tertawa serak justeru mendupak muridnya ini.
"Kau bangunlah, suhumu tak apa-apa!"
Yu Bing girang. Dia lega melihat gurunya benar tak apa-apa, rupanya hanya terpental saja oleh pukulan yang seharusnya menyerang Salima. Dan Cheng bin Yu-lo yang sudah terhuyung menghampiri orang-orang itu berkata parau pada Mo ong dan Bin-kwi, "Mo-ong, kalian tak dapat keluar lagi!" sahutnya menyeringai.
Mo-ong tertawa, "kau gila? Biarkan yang kita hadapi hanya gadis ini bersama teman-temannya yang tak berdaya? Kau dan Bin-kwi dapat mengusir yang lain, Yu-lo. Sementara aku akan merobohkan sumoi Kim-mou-eng ini!" lalu teringat peristiwa tadi Mo-ong menegur, "Kenapa kau menangkis pukulan kami?"
"Heh heh, Yu-lo bergoyang ke kiri kanan. "Aku menangkis pukulan kalian karena kali ini muridku merengek-rengek, Mo-ong. Ia akan kutangkap tapi tak ingin kubunuh!"
"Apa? Kau membantu musuh?"
"Muridku merengek-rengek, terpaksa sekali. Dan kalian membuat keponakanku hingga dia terluka."
"Keparat, tapi kau termasuk seorang diantara Jit-mo Kang-ouw, Yu-lo. Kau rekan bukannya lawan!" Mo-ong kaget, melotot dan marah pada Cheng-bin Yu-lo karena kedatangan kakek itu sungguh tak disangka kalau bakal memusuhi mereka. Cheng-bin Yu-lo memang kurang ajar tapi kakek muka hijau yang berwatak aneh ini ganda tertawa saja, maju dengan lengan terbentang di kanan kiri tubuhnya sementara Mo-ong dan Bin-kwi jadi semakin terbelalak. Rekan mereka ini bersungguh-sungguh. Dan ketika mereka sudah berhadapan dan Bin-kwi marah tiba-tiba Yu Bing berseru dari belakang,
"Suhu, tubruk saja. Bunuh mereka itu?"
Cheng-bin Yu-lo terkekeh. Dia sudah menubruk Mo-ong, lawan yang lebih dekat. Tapi Mo-ong yang mengelak dan membalas dari samping tiba-tiba mencengkeram kepala lawan, disusul oleh Bin-kwi yang jadi gusar melihat rekan sendiri tiba-tiba membelot, melepas pukulan sinkang menghantam panggung si kakek bermuka hijau. Dan ketika Yu-lo membalik dan menangkis dua tangan itu maka kakek ini terpental.
"Des-dess!"
Tiga orang itu segera mengadu kepandaian. Mo-ong dan Bin-kwi berteriak mengeroyok bekas teman ini, yang lain terpaksa mundur karena tiga kakek itu sudah berkeletatan serang-menyerang. Tapi melihat Yu-lo terdesak dan kakek itu tak dapat menahan keroyokan tiba-tiba Salima melengking menerjang Mo-ong, inilah yang memang diharap Yu Bing.
"Yu-lo, serahkan Mo-ong padaku!" dan Salima yang sudah menyerang kakek muka singa itu dengan kebutan benderanya disusul pukulan Tiat lui-kang tiba-tiba menyerbu dan menguak pertempuran itu menjadi dua. Segera berkelebatan dan menghujani kakek iblis ini dengan tamparan dan tendangan, bertubi-tubi hingga Mo-ong menggereng, menangis tapi serangan bendera menyambar, membuat Mo-ong sibuk dan mengelak ke sana ke mari. Itulah keistimewan Salima di samping pukulan Petirnya. Dan ketika lawan terdesak dan kewalahan menghadapi serangannya maka pelipis Mo-org terkena ujung bendera dan kecapretan jari Salima.
"Prat-dess!"
Mo-ong meraung. Dia bergulingan menjauhkan diri, maklum lawan yang inipun tak kalah berbahayanya dibanding Cheng-bin Yu-lo. Dan ketika Mo-ong melompat bangun dan dikejar serangan lagi maka Mo-ong mengeluarkan kipasnya menangkis bendera dan pukulan Petir.
"Plak-plak!"
Keadaan sekarang berimbang. Mo-ong dapat mempertahankan diri dan balas menyerang, Salima memekik dan coba menekan. Tapi karena Mo-ong bukan lawan sembarangan dan kakek iblis ini termasuk seorang dari Jit-mo Kang-ouw maka tekanan dan pukulan Salima tertahan di udara sementara kakek iblis itu mencari kesempatan untuk merobohkan lawannya juga.
Dan pertempuran berjalan seru, masing-masing sama sengit dan ingin mengalahkan yang lain. Mo-ong sudah mengeluarkan Hek-sai-mo-hoatnya untuk menandingi Tiat-lui-kang. Ledakan-ledakan petir itu ditahannya dengan ilmu silatnya ini. Dan ketika bendera juga menyambar-nyambar dan dihadapi kebutan kipas yang tak kalah hebat maka pertandingan benar-benar menjadi seru dan ramai bukan main.
"Yang lain harap mundur, jauhi arena pertempuran...!" Hek-eng Taihiap sudah berseru, melihat pertempuran kian hebat dan menegangkan. Ada keinginan di hatinya untuk membantu Salima atau Cheng-bin Yu-lo, tangan sudah terasa gatal. Tapi melihat jalan ke situ tertutup oleh angin pukulan sinkang dan sulit rasanya orang menerobos ke tengah akhirnya Pendekar Garuda Hitam ini menonton dengan menahan napasnya, sama seperti yang lain karena pertempuran itupun tak kalah menariknya dengan Kim-mou-eng dan suhengnya tadi.
Hek-eng Taihiap mendadak teringat, menoleh dan sudah melihat Yu Bing Serta Bu-ciangkun menolong Pendekar Rambut Emas, dia pun melompat dan menolong pendekar itu Gurba dibiarkan. Raksasa tinggi besar itu telentang dengan muka pucat, tiba-tiba dihampiri Cu-ciangkun dan panglima ini berbisik kepada seorang pengawal, diam-diam tanpa diketahui orang lain menangkap dan membawa raksasa itu entah kemana. Tapi melihat Kim-mou-eng tak dapat disadarkan juga dan pertolongan mereka sia-sia maka, Yu Bing mengeluh melepaskan tangan.
"Tak ada yang sanggup mengobati di antara kita. Lukanya cukup berat, hanya Salima yang mungkin dapat menolong suhengnya ini."
"Tapi gadis itu sedang bertempur. Apa yang harus kita lakukan?"
"Bawa dulu Kim-taihiap ke dalam, Bu-ciangkun. Nanti Salima menolong suhengnya. Ini membutuhkan bantuan sinkang untuk disalurkan ke tubuh Kim taihiap. Di antara kita tak ada yang kuat memberinya, salah-salah terhisap dan mati sendiri!"
Kim-mou-eng lalu dibawa ke dalam. Sin-to Sam-enghiong yang menjaga pendekar ini, di tempat aman di kamar rahasia pangeran mahkota. Yang lain-lain kembali menonton pertempuran empat orang itu. Dan ketika pengawal dan orang-orang yang berkepandaian rendah pusing mengikuti jalannya pertandingan karena yang bertempur sudah bergerak cepat membentuk gulungan naik turun maka di pihak Cheng-bin Yu-lo dan Siauw-bin-kwi ada penyelesaian.
Pertandingan di pihak ini tak kalah dahsyat. Yu-lo dan Bin-kwi memasuki tahap serius. Berkali-kali iblis Muka Ketawa itu memaki, membentak dan menangkis serta membalas pukulan lawan dengan pukulan sinkang. Dua duanya tak mau kalah sementara Bin-kwi cemas melihat kepungan begitu ketat, susah rasanya melarikan diri kalau dia terluka. Yu-lo ini benar-benar konyol. Dan ketika pukulan beradu pukulan dan sinkang bertemu sinkang maka Yu-lo mengeluarkan Cheng-tok jiunya (Tangan Racun Hijau) yang menggelisahkan Bin-kwi, di saat pertandingan mulai memuncak.
"Piak...plak!" Siauw-bin-kwi terkejut. Saat itu dia menangkis pukulan lawan, dua lengan bertemu dan lengan Yu-lo mengeluarkan uap kehijauan, menempel dan menimbulkan rasa gatal di lengannya sendiri. Sungguh dia terkesiap. Dan ketika dia menangkis lagi dan kini rasa pegal ikut mengganggu maka Bin-kwi berteriak memaki lawannya itu. "Yu-lo, kau rupanya benar-benar mengajak bertanding sampai mampus?"
"Heh heh, tak ada yang mampus kalau kau menyerah, Bin-kwi. Atau pergi saja kalau kau mampu!"
"Keparat, kau tua bangka tak kenal solider!" Siauw bin-kwi menangkis lagi, kali ini mengusap lengan dengan minyak yang anyir, pukulan lawan meleset dan hawa beracun tidak menempel seperti tadi. Cheng-bin Yu-lo bertegun. Dan ketika lawan berkelebat membuka mulut tiba-tiba puluhan paku menyambar muka kakek bermuka hijau ini.
"Aih, paku Toat beng-kui (Tulang Penyambar Nyawa)...!" Cheng-bin Yu-lo berteriak, mengibas dan mengusir paku-paku berbahaya itu, yang entah bagaimana dapat disemburkan lawan mirip ular menyemburkan bisa. Dan persis dia merontokkan paku-paku ini ke tanah maka Siauw bin-kwi sudah menyelinap melepas satu tendangan tinggi ke rahang lawan.
"Plak!" Cheng-bin Yu-lo mencengkram, kaki ditangkap tapi Bin-kwi melejit, tangan lawan dipakai sebagai batu loncatan untuk melenting tinggi, kaki yang lain bergerak memutar menendang telinga lawan. Serangan itu memutar dengan gerak luar biasa di tengah udara begitu cepat. Dan ketika Yu-lo terperangah dan menggerakkan tangan satunya mendadak lawannya ini meluncur turun dan menumbukkan kepalanya ke ubun-ubun Yu-lo.
"Aih Tiat-thouw-kang (Serudukan Kepala Basi)!" kakek muka hijau itu menghentikan tawanya, lawan sudah di atas dan tak mungkin dia mengelak. Dan karena jalan satu-satunya adalah mengadu kepala dengan kepala sementara Cheng-bin Yu-lo juga mengerahkan Cheng-tok-jiunya untuk mencengkeram leher Siauw-bin-kwi yang menukik dengan kepala di bawah itu juga menggerakkan kedua tangan menyambut pukulan Cheng tok-jiu ini.
"Duk-plak!"
Benturan itu membuat dua kakek ini terbanting. Kepala mereka saling tumbuk, Cheng-bin Yu-lo mengeluh tangan mereka saling tangkap masing-masing tak dapat melepaskan diri karena Tiat-houw-kang membuat kakek muka hijau kesakitan. Kulit kepalanya terkelupas sementara Cheng-tok-jiunya mencengkeram tangan Siauw-bin-kwi. Licin tapi tepat diperut hingga Siauw bin-kwi tak dapat melepaskan diri. Dua-duanya terbanting. Dan ketika dua kepala masih saling menempel dan keduanya berkutat di atas tanah maka dengan bentakan nyaring Cheng-bin Yu-lo memasukkan hawa beracun dari Cheng tok-jiunya lewat kepala!
"Augh!" Siauw bin-kwi merasa seperti dibakar. Sebenarnya Tiat thouw-kang yang dia miliki itu merupakan ilmu terakhir. Dengan kepalanya itu dia dapat menumbuk pecah sebuah batu kali yang besar. Tapi karena lawan yang dihadapi adalah setingkat dan sinkang Cheng-bin Yu-lo dapat menahan tumbukan itu kecuali kulit kepalanya saja yang tak tahan digesek iblis Muka Ketawa ini maka Yu-lo membalas dengan memasukkan hawa beracun Cheng-tok lewat ubun-ubun Bin-kwi maka terjadi teriakan kaget di pihak setan Muka Ketawa ini.
"Keparat!" Bin-kwi jadi marah. Kepulan uap hijau yang keluar dari kepala lawan memasuki kepala sendiri segera ditahan. Masing-masing mengadu kepala mengerahkan sinkang. Lucu kali ini. Dua-duanya seperti jangkerik beradu. Pantat menungging dan kepala pun dorong-dorongan kedua tangan saling cengkeram dengan tubuh sejajar di atas tanah.
Pertandingan yang tak lagi cepat melainkan dapat ditonton dengan jelas. Uap putih dan hijau diatas kepala masing-masing. Tapi ketika terdengar suara berkeratak dari kepala keduanya dan Bin-kwi maupun Yu-lo maka orang melihat lobang telinga keduanya mencucurkan darah.
"Jahanam kau Yu-lo keparat kau...."
Yu-lo menyeringai Bin-kwi masih saja mengucapkan beberapa kata makian, setelah itu diam. Seorang pengawal bersorak melihat pertandingan aneh ini gatal tangannya, meloncat menusuk pantat Bin-kwi. Dikiranya sekali tusuk iblis itu bakal tewas. Tapi ketika tombak menyambar dan Hek-eng Taihiap berseru mencegah, mendadak tombak itu patah dan pengawal inipun menjerit roboh terpelanting menimpa tengah-tengah pertempuran adu sinkang itu.
"Krak!" Pengawal ini pecah tengkoraknya. Orang menjadi ngeri melihat pengawal itu roboh bermandi darah. Kiranya Bin-kwi tak dapat dibokong karena getaran sinkang kakek itu melindungi dirinya, dari manapun orang menyerang. Dan ketika dua orang itu kembali berkutat dan Bin-kwi maupun lawannya sama-sama mengerahkan tenaga terakhir tiba-tiba Yu-lo menggereng dan Bin-kwi membentak.
“Kretek...!" Suara ini lebih mengerikan lagi. Orang melihat Yu-lo mencelat, dua orang itu sekarang terlepas. Bin-kwi terhuyung dan roboh mendelik. Yu-lo kebetulan menimpa Mo-ong yang sedang bertanding dengan Salima, mengeluarkan kekeh aneh dan langsung menangkap lawannya itu. Saat itu Mo-ong sedang menangkis bendera dengan kipas, tentu saja terkejut. Dan ketika Yu-lo mencengkeram kepalanya dan Mo-ong kaget tahu-tahu jari kelingking kakek ini mencoblos mata kanan Mo-ong.
"Augh!" Mo-ong mengeluarkan teriakan tinggi. Kipas di tangan yang sedianya menangkis bendera sekonyong-koyong menyambar Yu-lo, tertutup dan membentuk benda kaku yang menusuk leher kakek muka hijau itu. Kesakitan yang sangat membuat iblis ini lupa diri.
Yu-lo terkekeh-kekeh di atas kepalanya, sebelah tengkoraknya sudah retak beradu sinkang dengan Bin-kwi tadi. Dan begitu kipas menutup dan menyambar kakek ini tahu-tahu Yu-lo menggorok dan terbanting roboh. Tewas seketika itu juga. Tapi bendera Salima yang lolos dan menderu ke depan tiba-tiba mengenai dada Mo-ong, disusul pukulan Petir yang menghantam kening iblis ini. Mo-ong terjungkal dan mengeluh melontarkan darah. Gangguan Yu-lo benar-benar membuat dia celaka. Dan ketika Mo-ong bergulingan dan berteriak tertahan tahu-tahu iblis yang buta sebelah matanya ini melompat bangun melarikan diri.
Dan saat itu Bin-kwi yang tertatih-tatih juga meledakkan granatnya, keadaan menjadi kacau dan Mo-ong sudah menyambar temannya itu. Bin-kwi juga retak tulang kepalanya, adu sinkang tadi membuat keadaannya tak lebih baik dibanding Yu-lo. Dan begitu dua orang itu melompat kabur maka Salima berteriak marah menghindari ledakan granat dan asap tebal.
"Kejar, tutup kepungan dengan rapat..!"
Namun pengawal tak ada yang sanggup melaksanakan perintah ini. Mo-ong sudah menggerakkan lengannya berkali-kali, para pengawal terlempar dan berpelantingan tak keruan. Iblis itu mencari jalan berlindung di balik asap. Dan ketika semuanya kalut dan asap nenipis kembali ternyata dua orang itu telah lenyap meninggalkan pertempuran.
Salima membanting kaki. "Keparat, Mo-ong sudah terluka. Tak mungkin dapat pergi jauh!"
Tapi Hek-eng Taihiap tiba-tiba menghampiri. "Lihiap, suhengmu terluka. Sebaiknya dilihat dulu daripada mengejar iblis-iblis itu tadi."
Salima teringat. Dengan penuh kecewa dia mengikuti Pendekar Garuda Hitam ini, tapi melihat Yu-lo tewas dan Yu Bing mengguguk tiba-tiba gadis ini tertegun, berhenti sejenak dan menghibur pemuda itu. Kematian Yu-lo cukup mengerikan. Lehernya tembus sementara tengkoraknya retak. Dan ketika dia melanjutkan langkah dan Hek-eng Taihiap termangu mendadak dia teringat pula pada twa-suhengnya, Gurba.
"Mana twa-suheng?"
"Dibawa Cu-ciangkun. Nanti dapat kita tanyakan kalau ji-suhengmu sudah kau tolong."
Salima mengerutkan kening. Memang Kim-mou-eng baginya lebih penting daripada suhengnya tertua itu. Betapapun rasa tidak puas dan benci membuat Salima tak suka pada Gurba, langkahnya dilanjutkan kembali dan akhirnya dia tiba di dalam. Keributan para pengawal tak dihiraukannya lagi. Salima melihat Sin-to Sam-enghiong menjaga suhengnya itu, pangeran mahkota juga ada di sana, bahkan didampingi Kim-taijin. Dan Salima yang masuk dengan sikap tergesa segera disambut pangeran mahkota yang cemas mengerenyutkan kening.
"Lihiap, suhengmu tak dapat kami tolong. Tabib istana telah memberinya obat namun belum sadar juga. Mungkin kau dapat menyelamatkannya."
Salima memeriksa suhengnya. Tubuh yang pingsan itu hampir tak bernapas, denyut nadinya lemah. Salima terisak. Dan karena maklum keadaan cukup mendesak dan dia harus menolong suhengnya itu maka Salima minta semua orang keluar, duduk dan sudah menempelkan lengan di dada suhengnya, mengalirkan sinkang karena keadaan suhengnya memang gawat. Uap mengepul memasuki tubuh Kim-mou-eng, uap sinkang yang penuh tenaga mujijat. Dua jam Salima memeras keringat menolong suhengnya itu. Dan ketika tubuh suhengnya mulai bergerak dan Salima membuka mata maka pelupuk suhengnya bergerak-gerak. Kim-mou-eng sadar.
"Suheng, kau dapat menangkap suaraku...?"
"Suheng...!"
"Kimsan...”
Dua suara ini hampir berbareng keluar dari mulut yang lain. Mo-ong dan Bin-kwi pucat melihat dua bayangan menubruk jatuhnya dua pemuda sakti itu. Mereka tergetar, jatuh terduduk dan ngeri melihat kesudahan hasil pertandingan ini. Kim-mou-eng dan suhengnya sama-sama terluka. Tapi ketika mereka melompat bangun melihat siapa bayangan kedua yang menubruk Kim-mou-eng itu tiba-tiba keduanya terbelalak berseru berbareng,
"Cheng-bin Yu-lo...!"
Memang benar. Orang ke dua ini adalah Cheng-bin Yu-lo, kakek bermuka hijau yang merupakan paman Kim-mou-eng! Mo-ong dan Bin-kwi terbelalak karena iblis itu menolong Kim-mou-eng. Tapi ketika melihat Salima tersedu dan menolong suhengnya membelakangi mereka mendadak Mo-ong mengedip memberi tanda pada temannya,
"Bin kwi, serang gadis itu!" Mo-ong sudah berkelebat, meluncur maju tangannya terjulur menotok Salima. Bin-kwi juga menyusul menyambar pula. Dua-duanya bergerak untuk mendapatkan hasil meyakinkan. Kalau Salima menangkis tentu yang lain dapat membokong. Gadis itu pasti roboh. Tapi ketika dua serangan menuju Salima dan Salima terkejut oleh bokongan ini mendadak Cheng-bin Yu-lo menggereng menangkis mereka.
"Plak-dukk!" Cheng-bin Yu-lo mencelat. Mo-ong dan Bin-kwi tergetar terdorong mundur, tentu aja mereka mengumpat, marah.
Dan Salima yang membalik mengutuk dua iblis itu tiba-tiba mencabut benderanya berseru gusar, "Mo-ong, kau iblis licik. Di mana-mana kau selalu berbuat curang... tar!" bendera dikebut, Salima melompat maju dengan muka merah padam. Saat itu Hek-eng Taihiap dan lain-lain maju membantu. Selesainya pertandingan Kim-mou-eng dengan Gurba membuat mereka sadar, takjub disamping ngeri. Tapi ketika mereka mengepung iblis itu dan Cheng-bin Yu-lo melompat bangun maka sesosok bayangan lagi lagi muncul.
"Suhu, kau tak apa-apa?"
Salima dan Hek-eng Taihiap tertegun. Mereka melihat Yu Bing muncul, berlutut di samping suhunya penuh kekhawatiran. Tapi Cheng-bin Yu-lo yang menyeringai tertawa serak justeru mendupak muridnya ini.
"Kau bangunlah, suhumu tak apa-apa!"
Yu Bing girang. Dia lega melihat gurunya benar tak apa-apa, rupanya hanya terpental saja oleh pukulan yang seharusnya menyerang Salima. Dan Cheng bin Yu-lo yang sudah terhuyung menghampiri orang-orang itu berkata parau pada Mo ong dan Bin-kwi, "Mo-ong, kalian tak dapat keluar lagi!" sahutnya menyeringai.
Mo-ong tertawa, "kau gila? Biarkan yang kita hadapi hanya gadis ini bersama teman-temannya yang tak berdaya? Kau dan Bin-kwi dapat mengusir yang lain, Yu-lo. Sementara aku akan merobohkan sumoi Kim-mou-eng ini!" lalu teringat peristiwa tadi Mo-ong menegur, "Kenapa kau menangkis pukulan kami?"
"Heh heh, Yu-lo bergoyang ke kiri kanan. "Aku menangkis pukulan kalian karena kali ini muridku merengek-rengek, Mo-ong. Ia akan kutangkap tapi tak ingin kubunuh!"
"Apa? Kau membantu musuh?"
"Muridku merengek-rengek, terpaksa sekali. Dan kalian membuat keponakanku hingga dia terluka."
"Keparat, tapi kau termasuk seorang diantara Jit-mo Kang-ouw, Yu-lo. Kau rekan bukannya lawan!" Mo-ong kaget, melotot dan marah pada Cheng-bin Yu-lo karena kedatangan kakek itu sungguh tak disangka kalau bakal memusuhi mereka. Cheng-bin Yu-lo memang kurang ajar tapi kakek muka hijau yang berwatak aneh ini ganda tertawa saja, maju dengan lengan terbentang di kanan kiri tubuhnya sementara Mo-ong dan Bin-kwi jadi semakin terbelalak. Rekan mereka ini bersungguh-sungguh. Dan ketika mereka sudah berhadapan dan Bin-kwi marah tiba-tiba Yu Bing berseru dari belakang,
"Suhu, tubruk saja. Bunuh mereka itu?"
Cheng-bin Yu-lo terkekeh. Dia sudah menubruk Mo-ong, lawan yang lebih dekat. Tapi Mo-ong yang mengelak dan membalas dari samping tiba-tiba mencengkeram kepala lawan, disusul oleh Bin-kwi yang jadi gusar melihat rekan sendiri tiba-tiba membelot, melepas pukulan sinkang menghantam panggung si kakek bermuka hijau. Dan ketika Yu-lo membalik dan menangkis dua tangan itu maka kakek ini terpental.
"Des-dess!"
Tiga orang itu segera mengadu kepandaian. Mo-ong dan Bin-kwi berteriak mengeroyok bekas teman ini, yang lain terpaksa mundur karena tiga kakek itu sudah berkeletatan serang-menyerang. Tapi melihat Yu-lo terdesak dan kakek itu tak dapat menahan keroyokan tiba-tiba Salima melengking menerjang Mo-ong, inilah yang memang diharap Yu Bing.
"Yu-lo, serahkan Mo-ong padaku!" dan Salima yang sudah menyerang kakek muka singa itu dengan kebutan benderanya disusul pukulan Tiat lui-kang tiba-tiba menyerbu dan menguak pertempuran itu menjadi dua. Segera berkelebatan dan menghujani kakek iblis ini dengan tamparan dan tendangan, bertubi-tubi hingga Mo-ong menggereng, menangis tapi serangan bendera menyambar, membuat Mo-ong sibuk dan mengelak ke sana ke mari. Itulah keistimewan Salima di samping pukulan Petirnya. Dan ketika lawan terdesak dan kewalahan menghadapi serangannya maka pelipis Mo-org terkena ujung bendera dan kecapretan jari Salima.
"Prat-dess!"
Mo-ong meraung. Dia bergulingan menjauhkan diri, maklum lawan yang inipun tak kalah berbahayanya dibanding Cheng-bin Yu-lo. Dan ketika Mo-ong melompat bangun dan dikejar serangan lagi maka Mo-ong mengeluarkan kipasnya menangkis bendera dan pukulan Petir.
"Plak-plak!"
Keadaan sekarang berimbang. Mo-ong dapat mempertahankan diri dan balas menyerang, Salima memekik dan coba menekan. Tapi karena Mo-ong bukan lawan sembarangan dan kakek iblis ini termasuk seorang dari Jit-mo Kang-ouw maka tekanan dan pukulan Salima tertahan di udara sementara kakek iblis itu mencari kesempatan untuk merobohkan lawannya juga.
Dan pertempuran berjalan seru, masing-masing sama sengit dan ingin mengalahkan yang lain. Mo-ong sudah mengeluarkan Hek-sai-mo-hoatnya untuk menandingi Tiat-lui-kang. Ledakan-ledakan petir itu ditahannya dengan ilmu silatnya ini. Dan ketika bendera juga menyambar-nyambar dan dihadapi kebutan kipas yang tak kalah hebat maka pertandingan benar-benar menjadi seru dan ramai bukan main.
"Yang lain harap mundur, jauhi arena pertempuran...!" Hek-eng Taihiap sudah berseru, melihat pertempuran kian hebat dan menegangkan. Ada keinginan di hatinya untuk membantu Salima atau Cheng-bin Yu-lo, tangan sudah terasa gatal. Tapi melihat jalan ke situ tertutup oleh angin pukulan sinkang dan sulit rasanya orang menerobos ke tengah akhirnya Pendekar Garuda Hitam ini menonton dengan menahan napasnya, sama seperti yang lain karena pertempuran itupun tak kalah menariknya dengan Kim-mou-eng dan suhengnya tadi.
Hek-eng Taihiap mendadak teringat, menoleh dan sudah melihat Yu Bing Serta Bu-ciangkun menolong Pendekar Rambut Emas, dia pun melompat dan menolong pendekar itu Gurba dibiarkan. Raksasa tinggi besar itu telentang dengan muka pucat, tiba-tiba dihampiri Cu-ciangkun dan panglima ini berbisik kepada seorang pengawal, diam-diam tanpa diketahui orang lain menangkap dan membawa raksasa itu entah kemana. Tapi melihat Kim-mou-eng tak dapat disadarkan juga dan pertolongan mereka sia-sia maka, Yu Bing mengeluh melepaskan tangan.
"Tak ada yang sanggup mengobati di antara kita. Lukanya cukup berat, hanya Salima yang mungkin dapat menolong suhengnya ini."
"Tapi gadis itu sedang bertempur. Apa yang harus kita lakukan?"
"Bawa dulu Kim-taihiap ke dalam, Bu-ciangkun. Nanti Salima menolong suhengnya. Ini membutuhkan bantuan sinkang untuk disalurkan ke tubuh Kim taihiap. Di antara kita tak ada yang kuat memberinya, salah-salah terhisap dan mati sendiri!"
Kim-mou-eng lalu dibawa ke dalam. Sin-to Sam-enghiong yang menjaga pendekar ini, di tempat aman di kamar rahasia pangeran mahkota. Yang lain-lain kembali menonton pertempuran empat orang itu. Dan ketika pengawal dan orang-orang yang berkepandaian rendah pusing mengikuti jalannya pertandingan karena yang bertempur sudah bergerak cepat membentuk gulungan naik turun maka di pihak Cheng-bin Yu-lo dan Siauw-bin-kwi ada penyelesaian.
Pertandingan di pihak ini tak kalah dahsyat. Yu-lo dan Bin-kwi memasuki tahap serius. Berkali-kali iblis Muka Ketawa itu memaki, membentak dan menangkis serta membalas pukulan lawan dengan pukulan sinkang. Dua duanya tak mau kalah sementara Bin-kwi cemas melihat kepungan begitu ketat, susah rasanya melarikan diri kalau dia terluka. Yu-lo ini benar-benar konyol. Dan ketika pukulan beradu pukulan dan sinkang bertemu sinkang maka Yu-lo mengeluarkan Cheng-tok jiunya (Tangan Racun Hijau) yang menggelisahkan Bin-kwi, di saat pertandingan mulai memuncak.
"Piak...plak!" Siauw-bin-kwi terkejut. Saat itu dia menangkis pukulan lawan, dua lengan bertemu dan lengan Yu-lo mengeluarkan uap kehijauan, menempel dan menimbulkan rasa gatal di lengannya sendiri. Sungguh dia terkesiap. Dan ketika dia menangkis lagi dan kini rasa pegal ikut mengganggu maka Bin-kwi berteriak memaki lawannya itu. "Yu-lo, kau rupanya benar-benar mengajak bertanding sampai mampus?"
"Heh heh, tak ada yang mampus kalau kau menyerah, Bin-kwi. Atau pergi saja kalau kau mampu!"
"Keparat, kau tua bangka tak kenal solider!" Siauw bin-kwi menangkis lagi, kali ini mengusap lengan dengan minyak yang anyir, pukulan lawan meleset dan hawa beracun tidak menempel seperti tadi. Cheng-bin Yu-lo bertegun. Dan ketika lawan berkelebat membuka mulut tiba-tiba puluhan paku menyambar muka kakek bermuka hijau ini.
"Aih, paku Toat beng-kui (Tulang Penyambar Nyawa)...!" Cheng-bin Yu-lo berteriak, mengibas dan mengusir paku-paku berbahaya itu, yang entah bagaimana dapat disemburkan lawan mirip ular menyemburkan bisa. Dan persis dia merontokkan paku-paku ini ke tanah maka Siauw bin-kwi sudah menyelinap melepas satu tendangan tinggi ke rahang lawan.
"Plak!" Cheng-bin Yu-lo mencengkram, kaki ditangkap tapi Bin-kwi melejit, tangan lawan dipakai sebagai batu loncatan untuk melenting tinggi, kaki yang lain bergerak memutar menendang telinga lawan. Serangan itu memutar dengan gerak luar biasa di tengah udara begitu cepat. Dan ketika Yu-lo terperangah dan menggerakkan tangan satunya mendadak lawannya ini meluncur turun dan menumbukkan kepalanya ke ubun-ubun Yu-lo.
"Aih Tiat-thouw-kang (Serudukan Kepala Basi)!" kakek muka hijau itu menghentikan tawanya, lawan sudah di atas dan tak mungkin dia mengelak. Dan karena jalan satu-satunya adalah mengadu kepala dengan kepala sementara Cheng-bin Yu-lo juga mengerahkan Cheng-tok-jiunya untuk mencengkeram leher Siauw-bin-kwi yang menukik dengan kepala di bawah itu juga menggerakkan kedua tangan menyambut pukulan Cheng tok-jiu ini.
"Duk-plak!"
Benturan itu membuat dua kakek ini terbanting. Kepala mereka saling tumbuk, Cheng-bin Yu-lo mengeluh tangan mereka saling tangkap masing-masing tak dapat melepaskan diri karena Tiat-houw-kang membuat kakek muka hijau kesakitan. Kulit kepalanya terkelupas sementara Cheng-tok-jiunya mencengkeram tangan Siauw-bin-kwi. Licin tapi tepat diperut hingga Siauw bin-kwi tak dapat melepaskan diri. Dua-duanya terbanting. Dan ketika dua kepala masih saling menempel dan keduanya berkutat di atas tanah maka dengan bentakan nyaring Cheng-bin Yu-lo memasukkan hawa beracun dari Cheng tok-jiunya lewat kepala!
"Augh!" Siauw bin-kwi merasa seperti dibakar. Sebenarnya Tiat thouw-kang yang dia miliki itu merupakan ilmu terakhir. Dengan kepalanya itu dia dapat menumbuk pecah sebuah batu kali yang besar. Tapi karena lawan yang dihadapi adalah setingkat dan sinkang Cheng-bin Yu-lo dapat menahan tumbukan itu kecuali kulit kepalanya saja yang tak tahan digesek iblis Muka Ketawa ini maka Yu-lo membalas dengan memasukkan hawa beracun Cheng-tok lewat ubun-ubun Bin-kwi maka terjadi teriakan kaget di pihak setan Muka Ketawa ini.
"Keparat!" Bin-kwi jadi marah. Kepulan uap hijau yang keluar dari kepala lawan memasuki kepala sendiri segera ditahan. Masing-masing mengadu kepala mengerahkan sinkang. Lucu kali ini. Dua-duanya seperti jangkerik beradu. Pantat menungging dan kepala pun dorong-dorongan kedua tangan saling cengkeram dengan tubuh sejajar di atas tanah.
Pertandingan yang tak lagi cepat melainkan dapat ditonton dengan jelas. Uap putih dan hijau diatas kepala masing-masing. Tapi ketika terdengar suara berkeratak dari kepala keduanya dan Bin-kwi maupun Yu-lo maka orang melihat lobang telinga keduanya mencucurkan darah.
"Jahanam kau Yu-lo keparat kau...."
Yu-lo menyeringai Bin-kwi masih saja mengucapkan beberapa kata makian, setelah itu diam. Seorang pengawal bersorak melihat pertandingan aneh ini gatal tangannya, meloncat menusuk pantat Bin-kwi. Dikiranya sekali tusuk iblis itu bakal tewas. Tapi ketika tombak menyambar dan Hek-eng Taihiap berseru mencegah, mendadak tombak itu patah dan pengawal inipun menjerit roboh terpelanting menimpa tengah-tengah pertempuran adu sinkang itu.
"Krak!" Pengawal ini pecah tengkoraknya. Orang menjadi ngeri melihat pengawal itu roboh bermandi darah. Kiranya Bin-kwi tak dapat dibokong karena getaran sinkang kakek itu melindungi dirinya, dari manapun orang menyerang. Dan ketika dua orang itu kembali berkutat dan Bin-kwi maupun lawannya sama-sama mengerahkan tenaga terakhir tiba-tiba Yu-lo menggereng dan Bin-kwi membentak.
“Kretek...!" Suara ini lebih mengerikan lagi. Orang melihat Yu-lo mencelat, dua orang itu sekarang terlepas. Bin-kwi terhuyung dan roboh mendelik. Yu-lo kebetulan menimpa Mo-ong yang sedang bertanding dengan Salima, mengeluarkan kekeh aneh dan langsung menangkap lawannya itu. Saat itu Mo-ong sedang menangkis bendera dengan kipas, tentu saja terkejut. Dan ketika Yu-lo mencengkeram kepalanya dan Mo-ong kaget tahu-tahu jari kelingking kakek ini mencoblos mata kanan Mo-ong.
"Augh!" Mo-ong mengeluarkan teriakan tinggi. Kipas di tangan yang sedianya menangkis bendera sekonyong-koyong menyambar Yu-lo, tertutup dan membentuk benda kaku yang menusuk leher kakek muka hijau itu. Kesakitan yang sangat membuat iblis ini lupa diri.
Yu-lo terkekeh-kekeh di atas kepalanya, sebelah tengkoraknya sudah retak beradu sinkang dengan Bin-kwi tadi. Dan begitu kipas menutup dan menyambar kakek ini tahu-tahu Yu-lo menggorok dan terbanting roboh. Tewas seketika itu juga. Tapi bendera Salima yang lolos dan menderu ke depan tiba-tiba mengenai dada Mo-ong, disusul pukulan Petir yang menghantam kening iblis ini. Mo-ong terjungkal dan mengeluh melontarkan darah. Gangguan Yu-lo benar-benar membuat dia celaka. Dan ketika Mo-ong bergulingan dan berteriak tertahan tahu-tahu iblis yang buta sebelah matanya ini melompat bangun melarikan diri.
Dan saat itu Bin-kwi yang tertatih-tatih juga meledakkan granatnya, keadaan menjadi kacau dan Mo-ong sudah menyambar temannya itu. Bin-kwi juga retak tulang kepalanya, adu sinkang tadi membuat keadaannya tak lebih baik dibanding Yu-lo. Dan begitu dua orang itu melompat kabur maka Salima berteriak marah menghindari ledakan granat dan asap tebal.
"Kejar, tutup kepungan dengan rapat..!"
Namun pengawal tak ada yang sanggup melaksanakan perintah ini. Mo-ong sudah menggerakkan lengannya berkali-kali, para pengawal terlempar dan berpelantingan tak keruan. Iblis itu mencari jalan berlindung di balik asap. Dan ketika semuanya kalut dan asap nenipis kembali ternyata dua orang itu telah lenyap meninggalkan pertempuran.
Salima membanting kaki. "Keparat, Mo-ong sudah terluka. Tak mungkin dapat pergi jauh!"
Tapi Hek-eng Taihiap tiba-tiba menghampiri. "Lihiap, suhengmu terluka. Sebaiknya dilihat dulu daripada mengejar iblis-iblis itu tadi."
Salima teringat. Dengan penuh kecewa dia mengikuti Pendekar Garuda Hitam ini, tapi melihat Yu-lo tewas dan Yu Bing mengguguk tiba-tiba gadis ini tertegun, berhenti sejenak dan menghibur pemuda itu. Kematian Yu-lo cukup mengerikan. Lehernya tembus sementara tengkoraknya retak. Dan ketika dia melanjutkan langkah dan Hek-eng Taihiap termangu mendadak dia teringat pula pada twa-suhengnya, Gurba.
"Mana twa-suheng?"
"Dibawa Cu-ciangkun. Nanti dapat kita tanyakan kalau ji-suhengmu sudah kau tolong."
Salima mengerutkan kening. Memang Kim-mou-eng baginya lebih penting daripada suhengnya tertua itu. Betapapun rasa tidak puas dan benci membuat Salima tak suka pada Gurba, langkahnya dilanjutkan kembali dan akhirnya dia tiba di dalam. Keributan para pengawal tak dihiraukannya lagi. Salima melihat Sin-to Sam-enghiong menjaga suhengnya itu, pangeran mahkota juga ada di sana, bahkan didampingi Kim-taijin. Dan Salima yang masuk dengan sikap tergesa segera disambut pangeran mahkota yang cemas mengerenyutkan kening.
"Lihiap, suhengmu tak dapat kami tolong. Tabib istana telah memberinya obat namun belum sadar juga. Mungkin kau dapat menyelamatkannya."
Salima memeriksa suhengnya. Tubuh yang pingsan itu hampir tak bernapas, denyut nadinya lemah. Salima terisak. Dan karena maklum keadaan cukup mendesak dan dia harus menolong suhengnya itu maka Salima minta semua orang keluar, duduk dan sudah menempelkan lengan di dada suhengnya, mengalirkan sinkang karena keadaan suhengnya memang gawat. Uap mengepul memasuki tubuh Kim-mou-eng, uap sinkang yang penuh tenaga mujijat. Dua jam Salima memeras keringat menolong suhengnya itu. Dan ketika tubuh suhengnya mulai bergerak dan Salima membuka mata maka pelupuk suhengnya bergerak-gerak. Kim-mou-eng sadar.
"Suheng, kau dapat menangkap suaraku...?"