Pendekar Rambut Emas Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 24
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
KIM-MOU-ENG tiba-tiba mengerutkan kening. "Hek-eng Taihiap...!"

"Maaf, kau sebut saja namaku, taihiap. Aku orang she Siok namaku Gwan Beng." Hek-eng Taihiap memotong, malu rupanya disebut "taihiap" (pendekar besar) oleh Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas itulah yang pantas disebut taihiap.

Dan Kim-mou-eng yang tersenyum dapat mengerti perasaan orang tiba-tiba tersenyum. "Baiklah, kupanggil kau Siok-twako (kakak Siok), Hek-eng taihiap. Aku sebenarnya sedih kalau dianggap bangsa Tar-tar tulen. Aku memiliki juga darah Han, ibuku orang Han. Kenapa orang harus menganggapku bangsa asing? Darah ayahku rupanya memang lebih banyak mengalir ditubuhku, tapi betapa pun aku juga merasa sebagai orang Han karena ibuku bangsa Han. Karena itu jangan merasa terlalu aneh kalau aku ingin menumpas pemberontakan yang ingin mengacau ketenteraman bangsa Han!"

Hek-eng Taihiap tertegun, "Benar, kami rupanya melukai perasaanmu, taihiap. Karena rambutmu yang keemasan ini memang tak ada dijumpai dalam bangsa Han."

"Karena itu kuminta janganlah kalian menganggapku bangsa asing. Aku ingin membantu kalian karena darah ibuku juga mengalir di tubuh ku!"

"Baik, kalau begitu apa maksudmu sekarang, taihiap?"

"Aku ingin membantu kalian. Aku telah mendengarkan pembicaraan kalian. Karena itu, kalau kalian tak menolak aku ingin menyelamatkan pangeran mahkota sementara yang lain membantu Bu-ciangkun. Bagaimana?"

Hek-eng Taihiap bersinar-sinar matanya. Tapi sebelum dia bicara mendadak Yu Bing mendahului, "Kim-taihiap, bagaimana kalau kau menyelamatkan Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun saja? Katanya Hek-bong Siang lo-mo ada di situ, kami yang lain-lain biar melindungi pangeran mahkota!"

"Terserah," Kim-mou-eng tersenyum tenang. "Aku hanya membantu, saudara Yu Bing. Barangkali boleh juga begitu karena siapa tahu pangeran mahkota lagi-lagi tak suka melihat kehadiranku!"

"Ah, tidak!" Hek-eng Taihiap berpikir lain. "Justeru kehadiranmu menolong pangeran mahkota dapat membersihkan kesan yang selama ini di tangkap salah, Kim taihiap. Sebaiknya kau ditemani seorang di antara kami menyelamatkan pangeran itu. Itu sudah cocok!"

Kim-mou-eng tertawa. "Boleh juga," katanya. "Siapa yang akan menemaniku?"

"Sebaiknya saudara Sin Kok ini!"

Sin Kok terkejut.

"Bagaimana, saudara Sin? Kau tak keberatan menemani Kim taihiap bukan?" Hek-eng Taihiap langsung saja bertanya, diam-diam punya maksud agar permusuhan di hati pemuda itu terhapus setelah nanti mengetahui sepak terjang Pendekar Rambut Emas.

Tentu saja Sin Kok bingung, tak segera menjawab. Dan ketika pertanyaan diulang kembali dan pemuda itu tampak bimbang tiba-tiba adiknya bicara,

"Hek-eng Taihiap, kenapa kakakku yang dipilih? Aku tak biasa berpisah, dan lagi mungkin seorang dari tiga paman Sin-to Sam-enghiong ini lebih cocok, kepandaiannya lebih tinggi?"

Inipun taktik Hwi Ling. Gadis itu tahu kakaknya tentu tak enak harus berdampingan dengan Kim-mou-eng, betapa pun ganjalan sakit hati masih terpendam. Sekarang secara cerdik dia mengajukan orang lain agar kakaknya tak terpilih. Sin-to Sam-enghiong ditunjuk. Tapi karena Hek-eng Taihiap juga bukan orang bodoh dan usul Hwi Ling itu jelas mengandung maksud, akhirnya pendekar ini tersenyum menggelengkan kepala.

"Nona, kakakmu lebih dikenal daripada Sin-to Sam-enghiong ini. Pangeran tentu lebih mengenalnya daripada orang lain. Kim-mou-eng lebih baik bersamanya karena beradanya kakakmu merupakan jaminan kepercayaan untuk menghapus syak-wasangka di hati pangeran. Kalau kau tak biasa berpisah dengan kakakmu sebaiknya kaupun ikut. Ini lebih bagus!"

Hwi Ling terkejut. "Kami berdua?"

"Begitu lebih baik, nona. Kami yang lain, lima orang, akan menghadapi Hek-bong Siang lo-mo itu. Tentu sanggup ditambah Bu-ciangkun serta Cu-ciangkun sendiri!"

Hwi Ling tak dapat berkutik. Dia malah dimasukkan sekaligus bersama kakaknya, mereka berdua harus mendampingi Pendekar Rambut Emas itu, orang yang telah membunuh ayah mereka! Tapi karena urusan pribadi jauh lebih kecil dibanding urusan negara akhirnya Hwi Ling tak menjawab dan diam melirik kakaknya, mengerling pula ke arah Kim-mou-eng dengan mata bersinar aneh. Mata yang tidak senang!

Dan ketika yang lain juga setuju dan Yu Bing serta Hek-eng Taihiap akan menolong Bu-ciangkun diperkuat Sin-to Sam-enghiong akhirnya rombongan ini pecah dua. Senang tidak senang Hwi Ling dan kakaknya harus ikut Kim-mou-eng. Sungguh terlalu kalau mereka tak mau. Itu adalah urusan bangsa mereka sendiri. Kim-mou-eng yang berdarah fifty-fifty saja memperhatikan keselamatan bangsa mereka, masa mereka kalah? Maka begitu rombongan dipecah dua dan masing-masing berangkat menuju tempat tujuan sendiri-sendiri akhirnya Kim-mou-eng berpisah dengan Hek-eng Taihiap dan kawan-kawan.

Dan lucu perjalanan di kelompok Kim-mou-eng ini. Hwi Ling dan kakaknya berjalan di belakang, tak mau mendekat. Mereka satu kepala dua "tubuh". Kim-mou-eng tersenyum saja dan tertawa pahit. Diam-diam memaki suhengnya karena perbuatan Gurba-lah dia mendapat getah ini. tak mau segera memberi tahu kesalahpahaman dua kakak beradik itu. Biarlah kelak Hwi Ling dan kakaknya tahu sendiri. Dan ketika mereka memasuki kota raja dan hampir memasuki pintu gerbang mendadak secara mengejutkan Salima muncul.

"Suheng....!"

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat bayangan sumöinya berkelebat, begitu gembira sumoinya itu hingga langsung menubruk, memeluk dirinya. Kim-mou-eng tentu saja jengah karena Sin Kok dan Hwi Ling melihat pemandangan itu. Dan ketika dia berbisik dan menyuruh sumoinya melepas kan diri karena ada dua muda-mudi di situ akhirnya Salima terbelalak dengan muka merah, tiga Iaki-laki muda juga muncul memberi hormat di depan Kim-mou-eng.

"Suheng, ini tiga murid terlihai dari Seng piauw-pang. Susah aku mencarinya, mereka hampir tak kujumpai di markas yang telah kosong!" Salima bicara, masih menunjukkan perhatiannya pada Kim-mou-eng, wajahnya berseri-seri.

Hwi Ling cemberut di kejauhan sana, sementara kakaknya bengong memandang Salima, tampak kagum. Dan ketika tiga murid Sin-piauw Ang-lojin itu menjatuhkan diri berlutut di depannya segera kim-mou-eng menyuruh mereka bangkit.

"Kalian tahu tugas masing-masing?"

"Kami tahu," seorang di antaranya mewakili menjawab. "Dan kami akan membalas kematian guru kami, Kim Taihiap. Sungguh bantuan Sian lihiap ini membesarkan hati kami!"

"Tapi kalian hanya bertiga?"

"Tidak, yang lain-lain sudah memasuki kotaraja, suheng. Semua berjumlah empat puluh orang. Yang ini menunggu di sini menanti kedatanganmu. Mereka membawa berita, seseorang akan membunuh pangeran mahkota. Minta pendapat apa yang harus dilakukan!"

"Hm, kau sendiri bagaimana pendapatmu, sumoi?"

"Aku sendiri masa bodoh. Biar pangeran itu mampus. Toh kita selalu tak dipercaya!"

"Tidak," Kim-mou-eng tersenyum. "Pangeran harus diselamatkan, sumoi. Dan berita itu memang sudah kuketahui, kini aku membawa teman."

Kim-mou-eng menoleh ke belakang, Sin kok dan Hwi Ling tiba-tiba melengos. Mereka enggan maju, bahkan mundur seolah hendak menjauhkan diri. Dan ketika Salima sadar dan memperhatikan dua muda-mudi itu tiba-tiba gadis itu mendengus dan membelalakkan mata.

"Siapa mereka? Kenapa angkuh amat?"

"Ah, mereka baik-baik, sumoi, putera puteri mendiang Ang Bin Ciangkun. Bersikap begitu karena mengira ayahnya terbunuh olehku, kau ingat perbuatan Gurba suheng, bukan? Aku terkena getahnya. Disangka membunuh ayah mereka. Tapi jangan kau marah. Siang-kiam-lo Yu Bing bertemu aku di tengah jalan tadi bersama Hek-eng Taihiap. Mereka diserahkan padaku untuk menghadapi rencana pembunuhan pangeran mahkota. Tak perlu kau cemberut."

Kim-mou-eng yang lalu menceritakan pertemuannya dengan Yu Bing dan lain lainnya tadi, segera menjelaskan beradanya Hwi Ling dan kakaknya itu, bahwa mereka diperbantukan untuk menghadapi rencana pembunuhan pangeran mahkota. Yu Bing dan Hek-eng Taihiap sendiri menuju tempat Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun untuk menghadapi Hek-bong Siang lo-mo, tiga orang panglima itu juga menghadapi ancaman bahaya.

Dan ketika Salima mendengarkan dengan alis dikerutkan tapi bibir tetap tersenyum mengejek maka gadis ini mengangguk-angguk. "Suheng, perbuatanmu benar-benar tak kepalang-tanggung. Kalau mereka diperbantukan padamu sebaiknya mereka disuruh kembali saja membantu Bu-ciangkun. Bagaimana kalau kita berdua menghadapi orang yang akan membunuh pangeran mahkota itu?"

"Tidak," pendekar ini tak setuju. "Hek-eng Taihiap menghendaki dua kakak beradik itu tetap di sini, sumoi, diperbantukan agar dikenal pangeran mahkota. Kalau kita berdua jangan-jangan pangeran mahkota tak percaya lagi."

"Hm, maksudmu agar pertolonganmu ini di percaya pangeran mahkota? Mereka itu sebagai orang yang dapat memberi keterangan?"

"Begitu yang dimaui Hek-eng Taihiap, sumoi. Dan kupikir pendapatnya inipun benar. Tanpa mereka tentu pangeran mahkota akan menyambut kita dengan sikap lain, meskipun kita menyelamatkan pangeran itu!"

"Kalau begitu biar aku saja yang bersama mereka!" Salima mendadak berkata. "Kau pergi menghadapi Hek-bong Siang lo-mo itu!"

Kim-mou-eng terkejut. "Kenapa begitu?"

"Aku ingin membalas kelakuan pangeran itu, suheng. Biar dia malu kalau nanti dia tahu bahwa orang yang menolongnya adalah orang yang selama ini dimusuhi. Aku ingin memukul perasaan pangeran itu!"

Kim-mou-eng tertegun.

"kau tak setuju?" sumoinya mendadak bertanya. "kau ingin.... hm, berdekatan dengan gadis bernama Hwi Ling itu?"

Kim-mou-eng tersentak. Sekarang dia menangkap apa sebenarnya yang dimaui sumoinya ini, beradanya Hwi Ling itu membuat sumoinya tak senang, cemburu! Dan ketika mata yang tajam itu memandangnya penuh selidik dan Kim-mou-eng dibuat kelabakan oleh pandangan ini akhirnya pendekar itu tertawa tersenyum kecut.

"Sumoi, kau ini terlalu. Masa setiap gadis yang dekat padaku harus kau sorot seperti itu? Hwi Ling memusuhiku, tak mungkin dia berpikiran tidak-tidak!"

"Tak usah memberi tahu. Aku wanita, jauh lebih tahu darimu tentang perasaan wanita pula! Sudahlah, kau menolak?"

Terpaksa Kim-mou-eng menggeleng. Dan karena menolak bakal membuat ribut-ribut lagi dengan sumoinya akhirnya Pendekar Rambut Emas ini menahan tawa dengan perasaan gemas. Boleh saja tugasnya diganti, dia tak keberatan. Tapi karena yang bersangkutan harus ditanya dulu maukah Hwi Ling dan kakaknya bersama sumoinya, maka Kim-mou-eng memanggil dua kakak beradik itu, memberitahukan maksud Salima. Bahwa Salima hendak menolong pangeran mahkota sementara dia sendiri menolong Bu-ciangkun. Tugas diambil alih.

Hwi Ling dan Sin Kok tampak tertegun. Tapi Sin Kok yang rupanya girang mendapat perubahan ini mendadak sudah berkata menganggukkan kepalanya, melirik gadis Tar-tar yang diam-diam dikaguminya itu, matanya bersinar-sinar. "Kami setuju, sama saja bagi kami."

"Bagus, kalau begitu kalian ikut sumoiku, Sin Kok. Aku menyusul Hek-eng Taihiap membantu Bu ciangkun." dan memandang sumoinya pendekar ini berkata, "Sumoi, hati-hati. Aku pergi dulu. Nanti kita bertemu lagi!" dan begitu sumoinya mengangguk dan tersenyum aneh Kim-mou-eng sudah berpindah pekerjaan menuju tempat Bu-cangkun.

Hwi Ling dan kakaknya mengikuti Salima. Putera Ang Bin Ciangkun itu tampak gembira bersama gadis Tar-tar ini, adiknya mencibir menowel lengan kakaknya itu, Sin Kok tersipu. Dan ketika Salima berkelebat menyuruh kakak beradik itu mengikutinya maka tiga murid Seng piauw-pang juga sudah diperintahkan untuk memanggil yang lain-lain menuju hutan, membantu pangeran mahkota yang katanya akan dibunuh.

* * * * * * * *

Sebaiknya kita ikuti dulu sepak terjang Kim-mou-eng. Pendekar ini telah mencari rombongan Hek-eng Taihiap, bertemu dan tentu saja Hek-eng Taihiap dan kawan-kawannya terkejut, bertanya kenapa pendekar itu meninggalkan tugasnya, juga di mana Hwi Ling dan kakaknya. Tapi setelah pendekar itu mengatakan apa yang terjadi mendadak Hek-eng Taihiap girang berseri-seri.

"Aih, sumoimu datang, taihiap? Dia mengambil alih tugasmu? Bagus sekali, tapi tenaga di sini menjadi berlebih lebihan. Bagaimana kalau Yu Bing atau Sin-to Sam-enghiong membantu sumoimu itu? Keselamatan Bu ciangkun memang penting, tapi keselamatan pangeran lebih penting lagi!"

"Terserah kau, aku tinggal mengikut, Siok rwako. Siapapun bagiku sama saja."

"Kalau begitu bagaimana dengan Bing-te (adik Bing) ini?"

"Aku sedia," Yu Bing mengangguk.

"Aku siap membantu siapa saja, twako. Boleh di sini atau di sana."

"Kalau begitu kau saja membantu Sian-li lihiap. Biar aku bersama Sin-to Sam-enghiong di sini. Bagaimana pendapatmu, Kim taihiap?"

"Boleh juga, tapi aku belum mengerti bagaimana rencanamu."

"Aku ke gedung Cu-ciangkun, taihiap. Sedang kau sebaiknya ke gedung Bu-ciangkun. Aku telah menghadap dua panglima itu dan memberi tahu."

"Baik, kalau begitu kita berpisah. Dan aku minta kalau penjahat itu lebih dulu datang di tempat kalian sebaiknya beri tanda kepadaku. Aku akan datang."

"Terima kasih. Kami mulai, taihiap. Dan biar sekalian kuberi tahu kedatanganmu ini pada Bu-ciangkun!"

Hek-eng Taihiap girang, merasa tenaga semakin kuat dengan adanya Pendekar Rambut Emas itu. Betapapun yang akan dihadapi adalah sepasang iblis cebol yang Lihai, Hek-bong Siang lo-mo yang sakti. Dan ketika malam itu mereka menunggu dan masing masing berada di tempat maka Kim-mou-eng berjaga di tempat Bu-ciangkun.

Panglima Bu ini duduk bersandar kursi, jenggotnya yang lebat tetap dipelihara. Ada kesan angker dan berwibawa. Tubuhnya yang tinggi besar itu menunjukkan kegagahannya, minum arak sendiri di taman belakang. Tempat ini tidak begitu luas, tak seorangpun pelayan menemaninya. Kim-mou-eng kagum. Panglima itu tidak tampak takut sedikitpun juga, tidak bersenjata. Sekali-kali bicara sendiri dan tertawa sendiri, seperti orang mabok.

Dan ketika malam semakin gelap dan lima guci arak dihabiskan panglima ini maka pada kentongan ke sepuluh sesosok bayangan meluncur dan berlompatan di atas wuwungan gedung yang tinggi. Kim-mou-eng yang bersembunyi di puncak sebatang pohon melihat bayangan itu, hanya seorang pendek dan lincah seperti gerakan iblis. Segera dikenal karena itulah Ji-lo-mo, orang ke dua dari Hek-bong Siang lo-mo.

kim-mou-eng terdetik karena pikirannya yang cerdas segera menduga tentu twa lomo lagi di lain tempat. Rupanya dua iblis itu memecah tugas masing-masing, karena jarang Siang lo-mo (sepasang iblis) ini berpisah. Dan ketika bayangan itu dekat dan tiba serta melompat turun di taman maka Ji-lo-mo, benar orang itu, tertawa menghadapi Bu-cangkun yang tenang-tenangan saja.

“Orang she Bu, Giam-lo-ong (Malaikat Maut) datang menjemput nyawamu!"

Bu-ciangkun bangun berdiri. Panglima tinggi besar ini tidak terkejut, sudah tahu dan Ji lo-mo tampak heran. Tak tahu kalau panglima itu sudah mengetahui rencananya. Dan ketika iblis cebol itu tertegun mengerutkan kening mendadak panglima tinggi besar ini tetawa bergelak, menimpali suara lawan.

"Setan cebol, kau Ji-lo-mo atau Twa-lo-mo? Mana saudaramu? Kau mengantar nyawa?"

Iblis ini terbelalak. Kau bicara apa? Kau mabok? Aku Ji lo-mo, saudaraku ada dilain tempat.“

“Di gedung Cu-ciangkun?"

"Eh, dari mana kau tahu?"

"Ha ha, aku punya telinga dan mata, Ji-lo-mo. Tak perlu kau heran karena kedatanganmu inipun telah kuketahui. Kau mau membunuhku, bukan? Majulah, kau boleh bunuh aku kalau bisa. Kalau tidak justeru aku akan menangkapmu dan menuntut pertanggungjawaban pada orang yang menyuruhmu?"

Panglima tinggi besar itu bersiap-siap, kedua tangannya terjulur ke depan dengan suara berkerotok. Itulah Kang jiu-kang (Tenaga Tangan Baja) yang khusus dipunyai panglima ini, Ji lo-mo terbelalak dan mundur selangkah. Tapi begitu sadar tertawa aneh iblis cebol ini mendadak terkekeh.

"Bu-ciangkun, omongan apa yang kau katakan ini? Kau bilang kalau aku bisa membunuhmu? Ha ha, tentu bisa, panglima brewok. Aku tak mungkin gagal kalau hanya hendak membunuhmu. Lihat!" dan iblis cebol itu yang berkelebat ke depan mencengkram lawan tiba-tiba menyerang tenggorokan panglima itu, tubuhnya mencelat ke atas karena tinggi badannya hanya setinggi perut panglima Bu, tentu saja di harus meloncat dan dari tangannya sudah menusuk ke depan. Tapi Bu-ciangkun yang waspada dan mengelak ke kiri tiba-tiba menggerakkan lengannya yang berkerotok.

"Dukk!" kang jiu-kang bertemu lengan kecil iblis cebol itu. Menurut patut iblis cebol itu yang harús terbanting, lengannya kalah besar oleh lengan Bu-ciangkun yang berotot. Tapi ketika teriakan terdengar dan seorang dari mereka terpental mundur ternyata Bu-ciangkun yang roboh dan terpelanting ke tanah.

"Bruk!" panglima itu terguling-guling. Bu-ciangkun kaget dan melompat bangun, matanya membelalak.

Dan Ji-lo-mo yang terkekeh kekeh melihat panglima itu tiba-tiba berkelebat maju kembali. "Bagaimana, kau dapat menahanku, Bu-ciangkun? Aku tak dapat merobohkanmu? Biar kau gorok leher sendiri kalau begitu, ha ha!" dan iblis cebol yang sudah menyerang dan menusuk panglima itu dengan kesepuluh jarinya yang tajam akhirnya membuat panglima ini kalang kabut melempar tubuh ke sana-sini.

Kang-jiu-kangnya sungguh tak berdaya menghadapi sinkang lawan yang lebih kuat. Tangkisannya selalu mental, iblis itu tertawa-tawa. Dan ketika Bu-ciangkun membentak mainkan Kang-jiu Sin-hoatnya (Silat Tangan Baja) tapi selalu tertolak oleh angin pukulan lawan, akhirnya panglima ini terdesak dan pucat mukanya.

Dan Ji lo mo terkekeh-kekeh. Dia tidak segera membunuh panglima itu, mempermainkannya dan berkali-kali mengejeknya dengan kata-kata menyakitkan. Sungguh Bu-ciangkun bisa mati dengan mata tak meram, panglima itu harus mengakui kesaktian lawan yang jauh di atas dirinya. Dan ketika panglima itu mundur-mundur dan lawan mulai menekannya dengan ketat akhirnya panglima ini menyambar guci kosong mainkan ilmu silat guci yang membuat guci itu mengaung-ngaung.

"Ha ha, kau pandai ilmu silat lain? Bagus, aku lebih senang mempermainkanmu, ciangkun. Biar lebih lama sedikit kau dicekam ketakutan!" Ji-lo mo malah terbahak, geli tapi menangkis dan melanjutkan serangannya, Guci pun ditolaknya mental, satu ketika malah pecah.

Bu-ciangkun menyambar yang lain tapi guci itupun pecah kembali. Lima guci kosong sudah habis dipakainya sebagai senjata. Betapapun ilmu silainya memang kalah jauh, Ji lo-mo adalah seorang dari Tujuh Iblis Dunia Kangouw. Dan ketika panglima itu memaki-maki tapi tidak gentar sedikitpun juga menghadapi ancaman kematian maka Ji lo mo menyuruhnya memanggil pengawal.

"Bu-ciangkun, panggil pengawalmu. Suruh sekalian membantumu!"

"Tidak!" panglima itu menjawab gagah. "Kalau aku mati biar mati sendiri, iblis busuk. Aku tak suka mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan jiwaku!"

"Kalau begitu kau mati tak enak. Tak ada teman di perjalanan ke alam baka!"

"Persetan ejekanmu!" dan panglima itu yang tetap mempertahankan diri dengan mata mendelik merah dan terus bertahan tapi terhuyung-huyung akhirnya mulai menerima tamparan dan pukulan si cebol, jatuh tapi melompat bangun lagi, terbanting dan berdiri lagi untuk akhirnya menjadi bulan-bulanan iblis cebol ini.

Ji-lo mo terkekeh gembira. Kim-mou-eng yang mengintai di atas menjadi kagum bukan main pada panglima ini. Ternyata Bu-ciangkun seorang laki-laki gagah, memang tak salah kalau kaisar memilih panglima ini sebagai pembantunya. Dan ketika Ji lo-mo terbahak-bahak sementara Bu-ciangkun montang manting tak keruan tiba-tiba iblis ini mencabut senjata sabit yang tajam mengerikan itu.

"Bu-ciangkun, aku sekarang akan membunuhmu. Kau mintalah ampun dan cium lututku kalau tak ingin kubunuh!"

Bu-ciangkun mendelik. "Keparat kau. Aku tak akan minta ampun, cebol buruk. Kau bunuhlah aku tak perlu pentang bacot lagi!"

"Kau memaki?"

"Jahanam keparat. Siapa tak berani memakimu? Kau cebol memuakkan perut, mampuslah atau menyingkirlah ke neraka!"

Dan Ji-lo-mo yang melotot oleh makian itu tiba-tiba berteriak menyeramkan. Lawannya ini sebenarnya tinggal membunuh saja, ibarat membalikkan telapak tangan. Mudah dan tak perlu banyak cakap lagi kalau dia mau. Maka begitu lawan memakinya dan malah menyuruhnya ke neraka tiba-tiba Ji lo-mo membentak mengayunkan sabitnya itu. Senjata bulat pipih menyambar leher lawan, sekali diKalungi tentu kepala panglima itu akan pisah. Keadaan tak memungkinkan lagi bagi panglima itu untuk berkelit. Kedudukannya sudah sedemikian buruk.

Tapi persis panglima ini terbelalak dan sabit menuju lehernya maka di saat itulah Kim-mou-eng melayang turun. Pendekar Rambut Emas ini tak menunda waktu lagi, panglima itu cukup dihajar babak belur. Dan ketika sabit menyambar dan Bu-ciangkun terbelalak mendadak Kim-mou-eng mendorongkan kedua tangannya. menangkis dengan pukulan jarak jauh.

"Ji lo-mo, cukup. Enyahlah kau...bress!"

Iblis cebol itu berteriak, pukulan Kim-mou-eng menghantam sabitnya, dahsyat sekali. Dan karena dia tak menduga dan kedatangan Kim-mou-eng itu mengejutkan iblis ini maka Ji lo-mo terbanting dengan sabit mencelat terlempar cepat bergulingan dan menyambar sabitnya itu lagi. iblis ini melompat bangun. Dan ketika dia mengenal dan melihat siapa lawannya maka Ji lo-mo memekik penuh gusar. "Kim-mou-eng...!”

Kim-mou-eng mengangguk. "Ya, aku, Lo-mo. Kau masih mau membunuh Bu-ciangkun lagi?"

"Keparat Jahanam kau!" dan Ji lo-mo yang membentak memaki marah tiba-tiba menubruk dan menerjang Pendekar Rambut Emas. Senjatanya hanya merupakan kilatan putih yang bergerak dengan amat luar bisa cepat. Angin senjatanya saja sudah cukup menabas apa saja, tubuh manusia pun pasti terluka, baru angin sambarannya saja. Tapi Kim-mou-eng yang tertawa mengerahkan Tiat-lui-kangnya mendadak menerima dan menangkap ujung sabit yang tajam itu.

"Bret...plak!"

Bu-ciangkun tak tahu apa yang terjadi. Dia hanya mendengar seruan kaget Ji lo-mo, iblis itu terlempar dan berjungkir balik. Sabitnya lagi-lagi mental tapi sudah disambar iblis cebol itu. Ji lo-mo melengking dan marah bukan kepalang, baju pundaknya robek. Entah bagaimana kejadian tadi.

Dan ketika iblis itu membalik dan mengayun sabitnya lagi mendadak Kim-mou-eng sudah diserang dan dikelilingi sinar putih yang berkelebatan di sekeliling tubuh pendekar ini. Ji-lo-mo sendiri lenyap digulung permainan sabitnya, begitu ganas hingga sabit mengeluarkan desir mengerikan, daun-daun pohon disekitar situ rontok berhamburan. Kiranya terkena bayangan sinar sabit, ada yang terpotong menjadi delapan bagian. Betapa hebatnya iblis ini.

Tapi Kim-mou-eng yang mendorong dan menampar kiri kanan ternyata mampu menolak semua serangan itu. Ji-lo-mo memekik mekik karena sabitnya tak mampu melukai tangan pendekar itu, bahkan ditangkap tapi cepat ditarik lagi untuk kemudian menyerang kembali dengan dahsyat, ada kesan membabi buta karena iblis ini penasaran. Kim-mou-eng tak dapat di desak. Dan ketika iblis itu meraung dan Bu-ciangkun yang menjublak memandang pertempuran tampak bengong dengan mata tak berkedip, sekonyong-konyong iblis itu memutar sabitnya tiga kali untuk kemudian menyambar dari atas ke bawah, menuju ubun-ubun kepala lawan.

"Kim-mou-eng, sekarang kau mampus!"

Kim-mou-eng tersenyum mengejek. Dia telah melindungi kedua tangannya dengan sinkang, berani menangkap dan tidak ragu menghadapi senjata lawan yang tajam. Kekebalannya telah melindungi bagian itu, bahkan seluruh tubuhnya. Tapi karena ubun-ubun adalah tempat yang lunak dan iblis itupun nampaknya mengerahkan segala kekuatan untuk menghancurkannya maka Pendekar Rambut Emas merendahkan tubuh memasang punggungnya, sengaja membiarkan bagian itu dibacok tapi secepat kilat kedua lengannya mendorong, menghantam dada lawan.

Kedua tangan berobah kemerahan penuh mengandung tenaga Tiat-luikang (Tenaga Inti Petir), Kim-mou-eng ingin menyelesaikan pertandingan karena khawatir terhadap iblis yang lain. Twa lo-mo. Dan begitu Sabit meluncur dan tepat menghantam punggungnya tapi membalik oleh kekebalan sinkang yang dipunyai maka pada saat itulah Tiat-lui-kang ganti menghantam dada iblis cebol ini.

”Hei?!" Teriakan itu terlambat. Ji lo-mo juga ingin menyelesaikan pertempuran, tak menyangka lawan juga bermaksud sama dan kini dadanya diserang, telapak lawan dekat sekali dan tak mungkin dikelit. Satu-satunya jalan hanyalah mengerahkan sinkangnya menerima pukulan Pendekar Rambut Emas, Ji-lo-mo terbelalak dan ngeri karena telapak lawan sudah berobah merah seperti api unggun. Hawa panas sudah mendahului menyambar. Dan ketika sabitnya mental dan iblis ini mengeluh melihat kegagalannya maka di saat itulah pukulan lawan tiba mengenai dadanya.

"Dess!" Iblis ini terlempar empat tombak. Ji lo-mo meringkik seperti kuda kena panah, bergulingan dan mulut melontakkan darah. Ternyata sinkangnya tak dapat melindungi diri sepenuhnya dan dia tetap terluka, menggelinding menjauhkan diri dan akhirnya melompat bangun dengan kaki gemetar, mukanya pucat pasi.

Bu-ciangkun bersorak karena iblis cebol itu kena luka dalam. Ji-lo-mo melotot. Dan ketika iblis itu bergoyang memandang Kim-mou-eng sementara Bu-ciangkun berteriak mengejek lawan tiba-tiba iblis itu melemparkan sabitnya menyambar panglima she Bu.

"Awas..." Kim-mou-eng memperingatkan, tentu saja kaget karena sabit meluncur dengan cara berputar-putar.

Bu-ciangkun terkesiap tapi tak dapat mengelak, kalah cepat. Dan Kim-mou-eng yang lagi-lagi menyelamatkan panglima ini dengan jentikan sebutir kerikil akhirnya membuat sabit terpental tapi baju Bu-ciangkun robek keserempet.

“Trang... bret!" Bu-ciangkun baru membanting tubuh bergulingan. Panglima ini sadar setelah sabit berkerontang di pinggir telinganya, dibentur kirikil hitam tadi. Suaranya memekakkan dan panglima ini berseru keras. Kaget bukan main. Darah seakan hilang dari mukanya. Begitu dekat nyawanya terbang, tinggal seujung rambut lagi!

Dan ketika panglima itu tertegun dan terbelalak tak dapat bicara maka Ji-lo-mo memutar tubuh melarikan diri. "Kim-mou-eng, keparat kau. Jahanam!"

Kim-mou-eng tak mengejar. Dia datang memang untuk melindungi panglima ini, bukan membunuh. Apalagi lawan terluka cukup parah oleh pukulannya tadi. Dan ketika Bu-ciangkun terhenyak dan sadar dua kali diselamatkan pendekar ini tiba-tiba panglima itu terhuyung menjatuhkan diri berlutut, mukanya masih gemetar.

"Kim-taihiap, terima kasih. Dua kali nyawaku kau loloskan dari maut!"

"Ah, sudahlah." pendekar ini buru-buru menolak. Kau bangunlah, ciangkun. Tak usah berterima kasih karena itu memang sudah kewajibanku!"

"Tapi aku berhutang budi, dan dulupun aku memusuhimu!"

"Itu dulu, ciangkun. Hal itu terjadi karena salah paham. Sekarang kau bangunlah, aku tak dapat menerima penghormatanmu!" dan Kim-mou-eng yang menyuruh bangun panglima itu sambil mengerahkan tenaganya tiba-tiba sudah menarik dan membuat panglima ini berdiri. Bu-ciangkun hendak menahan tapi tak sanggup, tubuhnya terbetot juga dan dia menjadi kagum bukan main. Tapi ketika panglima ini bengong dan Kim-mou-eng tersenyum mendadak sebuah teriakan terdengar di gedung Cu-ciangkun.

"Ah, itu Hek-eng Taihiap!" Kim-mou-eng tlha-tiba menyambar lengan Bu-ciangkun, diangkat dan disendal ke depan, dibawa terbang secepat angin. Bu-ciangkun kaget tapi melongo semakin takjub. Pendekar Rambut Emas ini memang benar-benar hebat!

Dan ketika mereka tiba di sana dan melihat apa yang terjadi ternyata iblis ter ua dari Hek-bong Siang lo-mo itu melukai Hek-eng Tiahiap dan nyaris membunuh Cu-ciangkun! Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat Twa lo-mo, suheng Ji lo-mo itu dikepung tertawa-tawa. Iblis ini mempermainkan lawan, dikeroyok enam tapi mudah berkelit ke sana ke mari.

Cu-ciangkun dan Hek-eng Taihiap bermandi keringat menghadapi iblis cebol ini, bahkan Hek-eng Taihiap robek pundaknya digurat kuku Twa lo-mo, terhuyung dan pucat mukanya menahan sakit. Bukan oleh guratan itu melainkan oleh racun di kuku Twa-lo-mo. Pendekar ini menggigil menahan rasa dingin, senjatanya sebuah cakar garuda menyambar mengelilingi lawan tapi selalu mental tertolak. Sinkang Twa-lo-mo memang hebat. Dan ketika tombak di tangan Cu-ciangkun juga terpental bertemu tangkisan iblis ini maka Twa lo-mo terkekeh-kekeh mengejek lawannya itu.

"Kalian bukan tandinganku. Sebaiknya masing-masing dari kalian bunuh diri saja, ciangkun. Setelah itu kukubur mayat kalian baik baik!"

"keparat, kami tak akan menyerah, Lo-mo. Kami tak akan bunuh diri dan justeru akan membunuhmu!"

"Kalian mampu? Mana bisa? Ha ha, ini bukan permainan. Cu-cangkun. Kalau begitu kalian akan menyesal, aku akan membunuh kalian secara perlahan-lahan. Lihat dan Twa lo-mo yang membentak menolak tombak tiba-tiba mengebut dan menangkis sambaran golok di tangan Sin-to Sam-enghiong membuat tiga orang itu terpekik karena golok terlepas. Kiranya kali ini Twa-lomo menambah tenaganya, tak mau main-main lagi. Dan ketika lawan terhuyung dan dia tertawa tahu-tahu Twa lo-mo melejit mengguratkan sepuluh kuku jarinya.

"Awas....!" Hek-eng Taihiap berseru, memperingatkan tiga temannya karena Sin-to Sam-enghiong terbelalak.

Mereka tertegun karena iblis itu berkelebat mengelilingi mereka, gerakannya cepat dan tiga kakak beradik ini tak dapat mengikutinya dengan pandangan mata. Cu-ciangkun juga berteriak menyambarkan tombaknya, menusuk punggung Twa-lo-mo yang terkekeh. Tapi karena kuku sudah terjulur dan Twa-lo-mo rupanya membiarkan punggung ditikam tombak maka saat itu secara cepat dan tepat tiga laki-laki gagah ini terkena serangan Twa lo-mo.

"Cret-cret-cret!"

Sin-to Sam-enghiong berteriak tertahan. Mereka roboh terjungkal, leher yang terkena guretan mendadak bengkak. Tiga orang ini bergulingan sambil mendesis kesakitan. Rasa gatal dan dingin menusuk tulang, begitu menyiksa. Dan ketika mereka melompat bangun tapi kaki gemetar tak kuat menopang tubuh mendadak tiga kakak beradik ini roboh kembali dan berteriak dengan muka kehijauan.

"Kalian keracunan, cepat telan pil ini...!" Hek-eng Taihiap melemparkan sebotol kecil obat, diri sendiri telah menelannya tiga butir sekaligus, mukanya tidak kehijauan tetapi pucat. Itulah sebabnya dapat bertahan meskipun tubuh juga menggigil, lebih baik dari pada tiga temannya karena sinkangnya juga lebih kuat. Dan ketika Sin-to Sam-enghiong menyambar botol itu dan cepat menelan isinya maka Twa lo-mo tertawa di sana dengan senyum mengejek.

"Tiga tikus busuk. Kalian tak dapat bertahan lama menerima guratan racunku. Dua jam kalian harus menelan obat kembali, setelah itu kalian kehabisan obat dan mati dengan tubuh berkelejotan, heh heh!"

Sin-to Sam-enghiong tak perduli. Mereka telah bangkit lagi, tapi ketika merasa tenaga seakan dilolosi dan tak kuat mengangkat golok maka di sana Cu-ciangkun ganti berteriak ketika lawan menggurat panglima ini. Dan Hek-eng Taihiap semakin pucat. Sin-to Sam-enghiong juga pucat. Keadaan berbahaya untuk mereka. Dikeroyok enam tetap saja iblis itu lebih unggul. ketika Twa lo-mo mempermainkan lawan dan tertawa-tawa menangkis dan balas menyerang maka di saat itulah Kim-mou-eng datang.

"Twa-lo-mo, kau benar-benar keji. Lepaskan mereka dan hadapilah aku!" Kim-mou-eng tak tahan, melepas Bu-ciangkun dan meluncur ke bawahl angsung mendorong lengan kirinya menangkis pukulan iblis ini yang ditujukan pada Hek-eng Taihiap. Pendekar Garuda Hitam itu terhuyung roboh terduduk. Keadaan memang gawat. Dan begitu tangkisan bertemu pukulan tiba-tiba Twa-lo-mo menjerit terlempar setombak.

"Dukk!" Iblis itu terhenyak melotot. Kim-mou-eng telah berdiri di depannya, Twa-lo-mo terkejut. Tapl memekik melompat bangun mendadak iblis ini menerjang menghantam Kim-mou-eng.

"Plak...dukk!"

Kim-mou-eng kembali menangkis, iblis cebol itu terpental dan lagi-lagi berteriak marah. Dua kali pukulannya tertolak pukulan lawan. Dia memang kalah kuat. Maka menjerit mencabut senjatanya tiba-tiba iblis ini mengamuk menyerang Kim-mou-eng, kaki dan tangan bergerak kalang-kabut, kuku jarinya juga ikut terulur menggurat dan mencengkeram.

Kim-mou-eng menyuruh yang lain mundur. Dan karena iblis itu memang berbahaya tapi Kim-mou-eng tak takut menghadapi lawannya ini maka Pendekar Rambut Emas itu sudah mengerahkan Tiat-lui-kangnya dan menangkis serta balas menyerang. Twa lo-mo memaki tak keruan, sungguh kaget dan gusar karena kehadiran pendekar itu di luar dugaannya. Dia tak tahu bahwa adiknya telah terluka bertempur dengan lawannya ini. Entah di mana sekarang Ji-lo-mo karena adiknya itu tak nampak. Ji lo-mo sedang menyembuhkan lukanya di lain tempat. Dan ketika Twa lo-mo menyerang tapi Pendekar Rambut Emas dapat menahan dan balas menyerangnya tiba-tiba saja iblis ini mengumpat caci dengan mata melotot sebesar jengkol.

"Kim-mou-eng. kau manusia busuk. Keparat kau. Jahanam kau!"

Kim-mou-eng tak meladeni. Dia terus memperhatikan sabit di tangan lawan, menangkis dan menyerang mengandalkan Tiat-lui-kangnya itu. Sama seperti Ji lo-mo diapun berani menerima bacokan senjata tajam, sinkangnya memungkinkan memberi kekebalan. Sabit selalu mental menghantam tubuhnya, seolah mengenai bola karet. Twa lo-mo berteriak-teriak dan marah bukan main.

Tapi ketika pendekar itu merangsek maju dan lawan terbelalak tiba-tiba saja Twa lo-mo terdesak karena senjatanya tak mampu melukai lawan. Dan saat itu Tiat-lui-kang mulai menyambar tubuhnya dua kali dia mengeluh. Iblis ini berkaok-kaok, merasakan sengatan dan menjerit tinggi. Panasnya Tiat-lui-kang seperti panasnya api neraka. Begitu pedih dan menyakitkan. Dan karena Kim-mou-eng telah mengenal gaya permainan lawan dan tidak takut pada sabit yang mengerikan itu akhirnya Twa-lo-mo balik terdesak dan kembali menerima tamparan Tiat-lui-kang.

"Plak!" Iblis ini terpelanting bergulingan. Twa-lo-mo mendelik, menerjang lagi tapi menerima pukulan lagi. Tergetar dan terhempas di tanah, memekik-mekik. Diapun telah mengerahkan sinkangnya menerima Tiat-lui-kang tetap kalah kuat dan dada terasa sesak. Dan ketika iblis itu kebingungan memaki-maki maka Ji lo-mo tiba-tiba muncul berkelebat di samping saudaranya.

"Suheng, pergi saja. Kim-mou-eng telah menggagalkan rencana kita!"

Twa-lo-mo girang. Tapi terkejut melihat adiknya batuk-batuk, "Kau kenapa? Kau bilang apa?"

"Aku terluka, suheng. Kita pergi saja dan tinggalkan rencana kita!"

"Kau dilukai jahanam ini?"

"Benar, dia melindungi Bu-ciangkun, suheng. Kita pergi saja bisa lain kali di lanjutkan."

"Tidak. Kau bantu aku dan bunuh si Rambut Emas ini. Dia pun harus kita bunuh!" dan Twa-lo-mo yang menjerit penuh penasaran malah menerjang menyuruh adiknya membantu.

Ji lo-mo terkejut, karena sesungguhnya dia tak dapat bertempur lagi, luka dalamnya menyesakkan dada. Baru saja dia bersamadhi, menguatkan daya tahan. Tapi karena kakaknya memaki-maki dan membentak dia menyuruh mengeroyok akhirnya Ji-lo-mo maju lagi dengan perasaan gelisah. Dan apa yang dikatakan iblis ini memang benar. Kim-mou-eng tetap tangguh dikeroyok berdua. Jangankan berdua, dikerubut dikeroyok bertiga bersama Mo-ong atau Bin-kwi pendekar ini masih dapat menghadapi mereka.

Kedudukan agak berimbang karena Kim-mou-eng memang hebat. Kesaktiannya luar biasa. Dia adalah murid Bu-beng Siansu. Maka kini dikeroyok. berdua saja padahal dia sudah terluka maka kakaknya marah-marah karena tetap tak dapat mendesak. Bahkan Ji-lo mo terpelanting oleh sebuah pukulan. Tiat-lui-kang. melontakkan darah segar dan jatuh terduduk. Kakaknya terkejut. Dan ketika Twa lo-mo menjerit dan sadar akan bahaya tapi terlambat menyingkir tiba-tiba sebuah pukulan Petir mengenai lehernya

"Des...!" Iblis inipun bergulingan. Twa-lo-mo sekarang terluka melontakkan darah segar. Dan Kim-mou-eng yang mengejar menyusul lagi tiba-tiba mendaratkan pukulan berikut ke pundak kakek itu. Twa lo-mo berteriak dan kembali terguling-guling. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas hendak merobohkannya dalam satu pukulan terakhir mendadak iblis ini mencelat melompat bangun melarikan dari menyambar adiknya yang juga terluka pukulan berat.

"Kim-mou-eng, kami menyerah kalah. Tapi lain kali kami akan menebus hutang ini!"

Dua kakek iblis itu melarikan diri. Mereka lenyap di balik kegelapan malam, Kim-mou-eng tak mengejar karena teman-temannya yang lain terluka. Dan ketika suasana sepi kembali dan pertempuran usai maka Cu-ciangkun yang terbelalak sudah terhuyung menghampiri pendekar ini.

"Kim-taihiap, terima kasih. Kami benar-benar berhutang jiwa padamu!"

"Ah, sudahlah. Terima kasih itu tak perlu diucapkan, ciangkun. Ini memang kewajiban seorang pendekar. Kau sebaiknya menelan obat ini pula." Kim-mou-eng mengeluarkan pil hijau muda, memberikannya pada panglima itu dan berturut-turut yang lain diberi pula. Bahkan Kim-mou-eng menyalurkan sinkangnya pula membantu yang terluka, mendorong dan mengusir keluar sisa racun dari tubuh semua orang. Tak ada yang tak terluka. Dan ketika semuanya selesai dan Kim-mou-eng menghapus keringat maka Sin-to Sam-enghiong yang menggigil ditolong pendekar ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

"Kim-mou-eng, kami telah mendengar semuanya dari Hek-eng Taihiap. Terima kasih atas bantuanmu, dan maafkan kesalahan kami yang selama ini salah menuduh dirimu!"

"Ah, sudahlah," Kim-mou-eng lagi-lagi tersenyum. "Aku tahu jalan pikiran kalian, sam-wi enghiong. Syukur kalau kalian mengerti. Aku tak mendendam atau sakit hati atas sikap kalian. Sekarang baiknya kita tanya pada Cu-ciangkun apa yang harus kita lakukan."

Dua panglima Cu itu kagum. "Kami menyerahkannya saja padamu, taihiap. Apa yang sebaiknya kita lakukan."

"Bagaimana kalau kita tengok keselamatan pangeran?"

"Setuju, kami juga berpikiran begitu." dan ketika yang lain juga berpikiran sama dan sependapat dengan usul Kim-mou-eng maka malam itu juga mereka lalu meninggalkan tempat itu menuju ke hutan di mana pangeran mahkota sedang berburu. Dan untuk ini mari kita ikuti sejenak perjalanan Salima, yang ditugaskan untuk mengawasi pangeran mahkota itu.

* * * * * * * *

Sama seperti Kim-mou-eng, Salima tak sabar menunggu calon pembunuh yang akan membunuh pangeran mahkota. Hari itu dia langsung ke hutan, Sin Kok dan Hwi Ling mengikuti di belakangnya. Tapi karena dua kakak beradik ini memiliki kepandaian jauh di bawah Salima, maka Salima sudah mendahului memasuki hutan di mana pangeran mahkota siap melakukan perburuannya. Pangeran ini ditemani Fung Miao, gadis cantik yang pandai menyanyi dan pemain musik itu. Salima melihat pangeran ini dikelilingi banyak pengawal yang tegap dan gesit. Sebuah kerangkeng terletak di tengah hutan itu. Kemahpun diberdirikan untuk sang pangeran.

Empat pengawal berbaju bintang kelihatan menjaga, wajah mereka gagah. Itulah empat busu (jagoan istana) yang memimpin pengawal-pengawal lain. Mereka terkenal dengan sebutan Seng-busu (Pengawal Bintang) pandai herkuda dan memiliki ilmu silat tinggi, termasuk jagoan kelas satu di kelompok perwira karena mereka setara dengan panglima muda yang menjaga keselamatan kaisar dan puteranya. Tentu saja merupakan orang pilihan, dan cukup diandalkan.

Pangeran mahkota sendiri di dalam kemah masih beristirahat, saat perburuan belum tiba. Suara musik dan nyanyian terdengar lirih di dalam kemah itu. Sang pangeran sedang dihibur Fung Miao. Dan ketika pengawal yang lain sibuk mencari buruan untuk digiring ke tempat itu maka empat Pengawal Bintang berjaga dengan mata tidak berkedip.

Salima mendongkol. Orang besar memang begitu. Sementara yang lain menjaga keselamatannya maka yang bersangkutan sendiri bersenang-senang mencari hiburan. Salima sebal. Kalau saja bukan karena suhengnya tentu tak sudi ia di sini. Lebih baik membiarkan pangeran itu mampus dan dia menemani suhengnya. Tapi ketika ia melepas kedongkolan dengan berbaring di atas pohon mendadak seorang pengawal berteriak nyaring,

"Seng-busu, buruan telah digiring datang!"

Empat pengawal melompat sigap. Yang lain serentak ribut masing-masing mendapat perintah agar bersiap di tempat. Kerangkeng dibuka pintunya dan Salima mendengar raung menggetarkan mengguncang tanah. Rupanya seekor singa. Dan persis Seng-busu memberi tahu junjungarnya maka di tempat itu muncul seekor singa menyeramkan yang berlari-lari perlahan, berputar-putar dan mencari tempat keluar tapi para pengawal yang mengepung bersorak-sorak. Binatang buas itu dia gebah untuk lebih ke tengah lagi, inilah perburuan yang menyeramkan. Salima terbelalak. Dan ketika suara manusia itu mengganggu singa ini dan singa jantan itu berhenti di tengah mendadak pangeran muncul dengan panah di tangan.

"Biarkan disitu. Jangan ganggu dengan sorakan lagi!"

Singa itu mengaum. Sekarang dia terkurung, matanya yang kuning kemerahan itu tampak buas, mulut dibuka dan taringpun tampak besar-besar dengan gigi mengerikan. Sekali caplok mungkin sebuah kepala bisa masuk. Hewan ini panjang sekali, tak kurang dari dua meter. Dan sang pangeran yang tersenyum menentang gendewanya tiba-tiba berkata pada empat pengawalnya,

"Seng-busu, jaga arah utara dan selatan. Dua di antara kalian melindungiku."

Dua pengawal bergerak seperti yang dimaksud. Mereka memecah diri, dua menghadang arah utara dan selatan sementara dua yang lain lagi menjaga sang pangeran. Singa didekati dan pangeran mahkota itu tampak gembira. Salima mau tak mau menjadi kagum juga akan keberanian pangeran ini, meskipun dilindungi tapi langkahnya yang pasti dan tetap itu menunjukkan kepercayaan dirinya juga. Sikap yang gagah. Dan ketika pangeran menarik busurnya membidik ke depan tiba-tiba singa yang tertegun dan buas itu dipanah kakinya.

"Wut!" Gendewa bergetar. Anak panah dijepret terlepas dari busurnya, demikian cepat dan kuat hingga merupakan setitik cahaya putih meluncur ke depan. Dan ketika anak panah itu berhenti dan menancap di kaki belakang singa itu sekonyong-konyong hewan buas ini mengaum terkejut, marah dan kaget dan tiba-tiba melonjak, melompat tinggi menerjang pangeran mahkota. Nalurinya yang tajam memberitahukan bahwa itulah musuhnya. Dan begitu singa ini bergerak melompat tinggi tahu-tahu mulutnya yang terbuka mengaum itu menubruk pangeran mahkota.

"Awas, pangeran....!" dua tusu di sebelahnya memperingatkan, melindungi pangeran itu melompat ke depan, menyambut terkaman tapi sang pangeran menbentak mereka menyuruh mereka minggir. Dalam keadaan yang cepat itu menarik panah ke dua dan menjepretkan busurnya. Dan ketika singa melompat dan raung menyeramkan itu menggetarkan suasana maka sang pangeran membanting tubuh bergulingan setelah panah ke dua meluncur.

"Crep...!" singa itupun memekik. Kaki depannya kena, singa itu terperosok dengan suara berdebuk. Tubuhnya yang berat terang membuat binatang ini kesakitan, seketika pincang dan mengaum-aum. Tapi ketika dia berdiri lagi dan para pengawal bersorak mendadak singa ini menerjang dan kembali menubruk pangeran mahkota.

"Awas, pangeran...!" teriakan kedua itu menyusul, dua busu kembali melompat di dekat junjungannya. Sang pangeran gembira tapi tak mau dilindungi. Kali ini panah ke tiga sudah di siapkan dan menjepret kembali. Pangeran mahkota itu rupanya ahli panah. Tapi ketika binatang itu menangkis dengan kaki depannya dan panah bengkok mengenai kakinya tiba-tiba dia sudah menerkam dan tiba di depan hidung sang pangeran mahkota.

"Hei...?!" empat Pengawal Bintang berteriak kaget, dua yang di dekat pangeran tiba-tiba berkelebat. Mereka ini bergerak cepat menumbuk badan binatang itu, yang satu berhasil menangkap ekornya pula. Dan persis pangeran terpekik menyabetkan gendewanya, maka tubuh binatang ini ditabrak dan jatuh bergulingan bersama pangeran dan dua pengawal gagah itu.

"Bress!"

Tiga manusia dan binatang buruannya ini tumpang tindih. Pangeran dan pengawalnya terkejut, singa itu juga terkejut. Tapi sang pangeran yang cepat menjauh dan dua pengawalnya membentak menendang singa itu sudah bergulingan melompat bangun ditolong dua temannya yang lain, masing-masing bersiap kembali dan singa itu mengaum, suaranya menggetarkan hutan, bangkit mengibas ekor menubruk lagi.

Kali ini menyambar dua pengawal yang tadi menubruk badannya, dielak dan dipermainkan seolah menghadapi seekor kucing jinak. Para pengawal bersorak lagi melihat sang pangeran selamat. Ketegangan tadi hampir menghentikan denyut jantung mereka. Tapi ketika singa itu menubruk sana-sini dan luput dipermainkan empat Pengawal Bintang yang sengaja mengepung binatang itu tiba-tiba sang pangeran berteriak,

"Kosongkan sebelah kiri, Seng-busu. Aku hendak membidik dua kakinya terakhir!"

Dua pengawal di sebelah kiri mengangguk. Mereka sudah menyingkir, dua temannya di sebelah kanan tetap bekerja. Dan ketika tempat ini kosong dan pangeran membidikkan dua panahnya serentak tiba-tiba singa itu roboh karena dua kakinya yang lain tepat terhunjam mata panah yang tajam.

"Cep-cep!" Singa itu meraung tinggi. Dia roboh terguling, dua busu di sebelah kanan menggerakkan jala, tangkas dan cepat. Dan ketika singa itu menggereng dan meronta-ronta ternyata kepalanya sudah tertakup jala menjirat leher.

"Ha-ha. jangan terlampau keras, Seng-busu. Tarik dan masukkan dia ke dalam kerangkeng!"

Pengawal di depan mengangguk. Satu dari empat Pengawal Bintang tertawa, singa itu mencakar-cakar tapi kepala tak dapat dikeluarkan ditarik dan terjadi adu otot antara pengawal ini dengan binatang buas itu. Betapa pun keempat kaki singa masih bebas, meskipun tertancap panah. Tapi ketika pengawal ini membentak dan ke dua lengannya menggelembung penuh tenaga tiba-tiba binatang itu tertarik dan terus diseret mendekati kerangkeng, pengawal yang lain bersorak-sorak melihat pertunjukan ini.

Salima kagum melihat gwakang (tenaga luar) pengawal itu, memang hebat dan kuat. Dan ketika singa itu menahan tapi terus terseret dan menggereng ketakutan tiba-tiba pengawal ini menendang tubuhnya memasuki mulut kerangkeng, sekaligus membuka kembali jeratan jalanya di kepala binatang itu.

"Brukk!" Singa itu kesakitan. Pengawal menutup kembali pintu kerangkengnya tertawa dan disambut tepuk sorak pengawal-pengawal yang lain. Pangeran sendiri tampak girang dan membersihkan busurnya. Memuji empat Pengawal Bintang tapi mereka juga memuji pangeran itu atas bidikannya yang tepat, tak pernah meleset.

Tapi ketika mereka beramai-ramai menonton singa itu dan puas memandang hasil buruan mendadak raung dan geraman binatang buas lain terdengar di mana-mana, disusul munculnya tiga puluh lebih harimau belang dan singa besar kecil mengepung dan membuat para pengawal dan pangeran terkejut. Jumlah itu terlampau banyak. Sungguh tak diduga. Mungkin anak buah singa yang tertangkap itu. Dan ketika mereka maju melompat dan gigi yang besar itu tampak dimulut yang terbuka sekonyong konyong puluhan binatang buas ini menyerbu pada pengawal dan pangeran yang ada di dekat krangkeng!

"Heii..."

"Awas....!"

Pengawal dan pangeran menjadi panik. Mereka tak tahu dari mana saja munculnya binatang-binatang buas ini. Jumlahnya hampir sama dengan jumlah mereka sendiri. Para pengawal menggerakkan tombak dan golok mereka. Dan ketika raung dan pekik kesakitan terdengar di sana sini tiba-tiba lima ekor harimau dan tiga singa betina menabrak empat Pengawal Bintang dan sang pangeran mahkota.

"Des-des-dess!"

Empat pengawal melindungi pangeran mahkota itu, menangkis dan membentak menghantam delapan hewan buas yang menyerang mereka, pangeran ada di tengah. Dan ketika binatang itu terpelanting tapi roboh menyerang lagi maka sang pangeran yang sudah melepas panahnya membidik satu di antara mereka, kena dan seekor harimau terjungkal. Tewas karena pangeran membidik tenggorokannya, tidak lagi main-main seperti menghadapi singa yang tertangkap itu melainkan sungguh-sungguh. Bidikannya untuk membunuh.

Dan ketika mereka diserang lagi dan pangeran melepas panahnya maka kembali dua hewan buas ini terjungkal, berturut turut hingga delapan binatang itu roboh. Tapi ketika Pengawal Bintang mengusap keringat dan pangeran mengusap gendewanya mendadak sepuluh singa baru datang menerjang!

"Ah, ini tidak beres....!" sang pangeran terkejut.

Empat Pengawal Bintang juga terbelalak dan pucat memandang binatang-binatang buas itu. Anak buah mereka yang lain masih berteriak-teriak dan menghadapi serangan binatang yang datang pertama, jumlahnya masih dua puluh ekor. Tapi karena binatang-binatang baru sudah berdatangan dan mengaum ke arah mereka maka empat Pengawal Bintang ini mencabut senjata dan membabat hewan-hewan buas itu.

"Pangeran, paduka masuk ke dalam. Biar hamba berempat menghadapi binatang-binatang! ini!"

"Tidak," pangeran mahkota ternyata menolak. "Aku tak mau berpangku tangan, Seng-busu. Rupanya binatang-binatang ini dikendalikan seseorang!"

"Tapi paduka menghadapi bahaya. Hamba tak mau paduka celaka!"

"Ah, berburu memang mengandung bahaya, Seng-busu. Siapa tak tahu ini? Kalian jangan ribut mulut saja. Ayo hajar dan bunuh binatang binatang ini!" sang pangeran sudah membidikkan panahnya, satu dua diserang dan beberapa ekor singa roboh. Yang lain mengaum dan marah pada pangeran itu, menubruk tapi Seng busu melindungi. Dan ketika pengawal yang lain ribut-ribut dan bintang buas itu bertambah satu dua dan muncul entah dari mana tiba-tiba belasan pemuda tegap menyeruak dari balik tanaman perdu membantu para pengawal.

"Pangeran kami dari Seng-piauw-pang datang membantu. Tak perlu khawatir!"

Pisau pisau terbang mulai berhamburan, tujuh singa roboh terpekik menerima sambaran senjata-senjata rahasia ini. Para pengawal bersorak dan gembira karena bantuan datang. Tapi Seng-busu dan pangeran mahkota yang menghalau dan membunuh singa-singa lain tiba-tiba terkejut ketika panah dan golok mereka tertangkis sinar-sinar hitam. Anak panah yang ditarik di busur pangeran mahkota malah runtuh sebelum terlepas, singa singa itu dilindungi seseorang. Dan ketika dua dari empat Pengawal Bintang terbelalak diterkam harimau sekonyong-konyong golok mereka mencelat dan sesosok bayangan tertawa bergelak menyambar empat orang ini.

"Seng-busu, kalian mampuslah..... des, plak-plak!"

Empat orang itu tunggang langgang, dua terluka lengannya dicakar harimau belang. Tentu saja kaget dan bergulingan menjauh, menyelamatkan diri. Bayangan yang baru datang itu menggerak-gerakkan lengannya pula meruntuhkan pisau-pisau terbang dari pemuda-pemuda Seng. piauw-pang, di tangannya bersimpan puluhan kerikil hitam yang dipakai menangkis pisau-pisau terbang itu. Dan ketika empat pengawal ini melompat bangun dan anak buah Seng-piauw-pang juga berteriak kaget maka harimau serta puluhan singa yang lain yang dilindungi bayangan ini sudah bergerak lagi menerjang orang-orang itu.

"Hei....!"

"Ahh.....!"

Pangeran mahkota tertegun. Dia melihat lima pemuda roboh diterkam singa, mereka itu bergulat menentang maut. Tangan dan kaki mereka berhadapan dengan taring dan kuku singa yang tajam, berusaha melepaskan diri ketika binatang binatang itu menggeluti mereka. Tapi ketika lima kerikil hitam merolok dari jauh dan lima pemuda ini terkejut tak dapat menggerakkan tubuh sekonyong-konyong jerit mengerikan terdengar di situ.

Lima pemuda ini terobek-robek, tubuh mereka koyak menjadi beberapa potong. Taring dan kuku yang tajam telah menerkam lima pemuda itu. Dan ketika darah menyemprot dan tangan serta kaki putus dirobek binatang-binatang buas itu maka bayangan ini, seorang laki-laki berkedok terbahak menyambar pangeran mahkota persis di saat itu di dalam kemah jerit Fung Miao juga terdengar.

"Aih..." pangeran mahkota itu menggerakkan busurnya. Lawan disambut dengan hantaman gendewa, empat Pengawal Bintang juga membentak menerjang bayangan itu, tak menghiraukan lima hewan buas yang juga menerkam punggung mereka. Dan ketika bayangan itu membalik dan lengan kirinya mengibas sementara lengan kanannya mencengkeram pangeran mahkota maka empat pengawal ini memekik sementara gendewa ditangan pangeran mahkota hancur bertemu lengan bayangan itu.

"Des-des-krak!"

Keadaan sungguh mengejutkan. Empat pengawal terbanting bergulingan, punggung mereka pun robek dicakar harimau. Pangeran mahkota tertangkap dan berteriak, bayangan itu menarik dan menghentak sang pangeran, melemparnya ke arah sekumpulan singa. Tentu saja pangeran mahkota kaget bukan main dan terpekik ngeri. Bayangan itu tertawa bergelak, sang pangeran akan tewas diterkam singa-singa buas itu.

Tapi persis pangeran ini roboh terbanting di tengah kerumunan binatang-binatang itu sekonyong-konyong sebuah bayangan lain berkelebat, membentak dan menyambar tubuh pangeran itu. Lima ekor singa yang mengaum ditendang mencelat, gerakannya cepat dan luar biasa tangkas. Dan ketika sang pangeran tertegun tak tahu apa yang terjadi tahu tahu tubuhnya serasa dibawa melayang ke atas dan hinggap di atas sebatang dahan, duduk di situ.

"Pangeran, kau tenanglah di sini. Biar kuhajar manusia busuk itu!"

Putera mahkota bengong. Sekarang dia sadar duduk di atas sebuah pohon yang tinggi, begitu tinggi sehingga dia ngeri memandang ke bawah. Tempat itu paling aman. Melihat seorang gadis cantik meluncur ke bawah, menyerang bayangan itu. Gadis yang menolongnya dari perbuatan manusia jahat itu. Bukan lain Salima, sumoi dari Kim-mou-eng!

Dan ketika pangeran ini menjublak dan laki-laki berkedok itu terkejut melihat kedatangan gadis ini maka Salima sudah mengepretkan jari-jarinya mainkan Tiat-lui-kang "Manusia busuk, kau sekarang harus membuka kedokmu untuk dilihat siapa dirimu!" Salima menerjang, tak menunda waktu lagi dan sudah bergerak dari tempat persembunyiannya melihat bahaya yang mengancam pangeran mahkota.

Tentu saja marah karena melihat pangeran ini dan para pengawalnya terdesak. Sang pembunuh sudah datang. Dan ketika Salima melengking dan pukulan serta tamparannya meledak bertubi-tubi maka bayangan berkedok ini mengeluh berteriak mundur, tak menduga kedatangan gadis Tar-tar itu yang tentu saja membuat dia kaget. Tiat-lui-kang meledak dan membuat dia kewalahan. Dan ketika dia menangkis dan mencelat setombak maka dia memaki-maki dengan sikap gusar.

"Tiat-ciang Sian-li, kenapa kau mencampuri urusan orang? Tidak adakah pekerjaan lain untukmu hingga mengganggu di sini?"

"Cerewet, aku memang telah menunggumu, manusia busuk. Kalau bukan karena suhengku tentu aku tak ada di sini. Kau mau membunuh pangeran mahkota, aku harus menghajarmu dan menangkapmu!"

"Keparat, kalau begitu kau wanita usil. Kubunuh kau!" dan bayangan itu yang membalas dan tiba-tiba mencabut senjatanya sebuah suling dan tongkat bercagak sekonyong-konyong membalik dan menerjang Salima. Tiat-lui-kang sejenak ditahan.

Salima terkejut karena orang memiliki kepandaian cukup tinggi. Sinkangnya hebat hingga mampu menahan serangannya. Beberapa jurus mereka bertempur pertandingan berjalan ramai. Suling mengaung dan tongkat menderu. Tapi ketika Salima menggerakan lengan kirinya pula melepas pukulan-pukulan berbahaya maka orang ini terkejut ketika suling dan tongkat ditangkis tangan telanjang. Salima mengerahkan Tat-lui-kangnya (Tenaga Petir) hingga suling hancur, tongkat pun remuk ujungnya bertemu Tenaga Petir, tentu saja dia marah dan kaget. Kiranya gadis itu masih lebih kuat.

Dan ketika Salima mendesak dan kembali menekannya dengan pukulan-pukulan Petir sementara tangan kiri gadis itu masih saja menerima dan menangkis serangan tongkatnya maka mendadak laki-laki ini memencet sesuatu di batang tongkatnya hingga lima jarum hitam melesat menyambar Salima, dalam jarak yang cukup dekat.

"Wut-wu-wut!"

Salima membelalakkan mata. Tentu saja ia melihat serangan-serangan gelap itu, orang rupanya curang. Tapi meniup mengerahkan khikangnya (tenaga hawa mulut) tiba-tiba Salima membentak dan meruntuhkan jarum jarum itu. "kau kiranya iblis. Pantas kalau curang!"

Laki-laki itu terbelalak. Dia kaget melihat jarum-jarumnya runtuh, melepas lagi tapi runtuh lagi ditiup Salima. Gadis ini memang hebat. Dan ketika empat lima kali dia melepas jarumnya tapi selalu gagal akhirnya laki-laki ini mulai berusaha melarikan diri. Matanya meliar ke kiri kanan, melihat pertarungan para pengawal dengan binatang-binatang buas juga hampir berakhir, dua muda mudi tiba-tiba muncul, membantu para pengawal dan pemuda-pemuda Seng-piauw-pang. Itulah Sin Kok dan Hwi Ling. Dan ketika Salima mendesak dan dia mundur-mundur maka untuk pertama kalinya pukulan Tiat-lui-kang mengenai tengkuknya.

"Plak!" Laki-laki ini terbanting. Dia mengeluh tapi tidak roboh, bergulingan menjauh dan melompat bangun lagi. Salima terbelalak karena lawan ternyata kuat, orang lain tentu sudah kelengar menerima pukulannya itu. Dan ketika dua tiga kali pukulannya kembali menyambar tapi laki-laki ini tidak roboh maka Salima menjadi gemas sementara lawan tertawa sumbang, gentar.

"Tiat-ciang Sian-li, tanganmu terlalu empuk. Pukulanmu kurang keras!“ orang itu masih coba mengejek.

Salima marah dan melengking tinggi. Kali ini berkelebat mendorong dua tangannya sekaligus. Laki-laki itu terpental dan berteriak tertahan, terbanting dan berdebuk di sana. Kali ini dia terluka, bibirnya mengalirkan darah. Salima girang dan membentak lagi, dua tangannya kembali bergerak. Tapi ketika dia melesat melepas pukulannya itu mendadak laki-laki ini menyambitkan tongkatnya dan melompat bangun melarikan diri.

"Krak!" Salima marah. Tongkat hancur bertemu pukulannya, tentu saja tertahan sejenak dan ia melihat laki-laki itu menyelinap di balik pohon-pohon besar, berlari sambil mendekap dadanya. Tapi Salima yang sudah memekik mengejar laki-laki ini tahu-tahu berjungkir balik di atas kepala orang.

"Kau mau lari ke mana?" Salima mencabut benderanya, langsung mengebut dan pandangan laki-laki itu terhalang. Salima penasaran karena laki-laki itu masih belum diketahui siapa, kedok masih melekat dan Salima sudah mengincar wajah laki-laki ini. Dan ketika laki-laki itu terkejut dan mengelak menjatuhkan diri bergulingan maka saat itu secepat kilat Salima bergerak merenggut kedok laki-laki ini, suaranya serasa sudah dikenal.

"Bret!" Salima dan beberapa pengawal melihat siapa laki-laki itu. Pangeran mahkota yang ada di atas pohon lebih jelas lagi. Seorang laki-laki berkumis yang hidungnya mancung, cukup tampan tapi bola matanya liar. Itulah laki-laki yang dikenal Salima ketika pertama kali bertemu di perkumpulan Seng piauw-pang. Salima tertegun dan laki-laki itu berteriak kaget. Dan ketika laki-laki itu bergulingan menjauh dan pengawal melihat siapa laki-laki ini tiba-tiba yang mengenal sudah berseru tertahan,

"Yu-busu (pengawal Yu )...."

Pangeran mahkota dan empat Pengawal Bintang terbelalak. Mereka melihat bahwa laki-laki itu memang bukan lain Yu-busu, pengawal pribadi ibunda selir yang diketahui cerdik dan berkepandaian tinggi. Kita mengenalnya sebagai sute Coa-ong Tok-kwi pula, tentu saja Salima tertegun dan yang lain-lain terkejut.

Tapi ketika semua orang menjublak mengenal dirinya maka laki-laki ini, Yu Hak melepas senjata terakhirnya berupa granat tangan. Dia menyesal kenapa tidak sedari tadi mempergunakan senjata peledaknya itu. Orang terlanjur mengetahui siapa dia. Laki-laki ini menggereng, marah bukan main pada Salima yang menjadi gara-gara. Dan begitu tangannya bergerak maka tiga granat sekaligus dilempar ke arah gadis ini dan orang-orang lain.

"Awas..!" Salima sadar, berteriak tinggi dan berjungkir balik menangkap sebuah granat yang dilontar ke arahnya. Geraknya begitu cepat hingga granat ini tak sempat menyentuh tanah, dua yang lain sudah meledak menghamburkan debu dan asap. Salima melihat laki-laki itu bergerak ke arah timur. Dan begitu dia membentak menimpuk granat ini maka Salima sudah meretour benda berbahaya itu ke arah tuan pemiliknya.

"Dar!" Asap mengebul di tempat ini. Laki-laki itu terpental, mengaduh dan lenyap tertelan gumpalan awan tebal. Salima buru-buru mengejar ke tempat ini, mencegah lawan lolos. Tapi ketika asap menipis dan dia dapat melihat ke dalam, ternyata laki-laki itu sudah tak ada entah ke mana!

"Keparat! Dia licin bagaikan belut. Siluman!"

Orang-orang sudah mendatangi tempat ini pula. Seng-busu melihat bahwa tempat itu kosong, orang memang telah pergi. Dan ketika mereka mencari namun gagal maka pangeran mahkota yang ada di atas pohon sudah melorot dan turun berteriak-teriak.

"Hei, kalian jangan tertipu. Ini tentu akal siluman betina ini"

Salima terkejut. Pangeran mahkota menuding dirinya, marah-marah. Dan ketika dia bertanya apa maksud pangeran itu maka pangeran ini berkerot gigi mengepal tinju.

"Gadis liar, kau tentu berkomplot dengan orang she Yu itu. Jangan kau menipu kami dengan pertolonganmu yang pura-pura ini!"

Salima kaget. "Apa maksud paduka?"

"Tak perlu pura-pura. Aku tahu kau meloloskan temanmu, Tiat-ciang Sian-li. Kau tak perlu mungkir bahwa entah dengan maksud apa kau mendalangi semua peristiwa ini. Kau gadis liar, aku tak percaya pada maksud baikmu. Lebih baik menyerah dan sekarang kau kutangkap! Hei pengawal, tangkap dan ringkus gadis ini!" pangeran itu mencak-mencak, marah melihat belasan pengawalnya roboh terluka, tujuh di antaranya terbunuh. Menganggap itu muslihat Salima belaka yang pura-pura menolong.

Sungguh Salima marah dituduh seperti ini. Kiranya pangeran itu terhasut demikian dalam oleh Siauw-ongya hingga bersikap apriori pada gadis ini. Baik atau tidak baik Salima tetap dianggap tidak baik. Gadis Tar-tar yang selalu mengacau! Dan Salima yang tentu saja marah diperlakukan seperti ini tiba-tiba berkelebat mencekik pangeran itu!

"Pangeran busuk, kau kiranya manusia tak berjantung. Kubunuh kau!" dan Salima yang sudah membentak menerkam pangeran ini tiba-tiba berhadapan dengan empat batang tombak yang di julurkan empat Pengawal Bintang.

"Mundur!" Seng-busu menghardik, tentu saja melindungi pangeran itu dan Salima ditusuk empat tombak panjang. Tapi Salima yang mengibas dan menggerakkan tangannya ke sana kemari tiba-tiba membuat tombak-tombak itu patah dan lepas dari tangan pemiliknya.

"Plak-plak plak!" Salima sudah meneruskan gerakannya, empat busu itu terpekik dan roboh terlempar. Tapi ketika gadis ini hampir menangkap pangeran itu untuk mencekik lehernya tiba-tiba Sin Kok berkelebat maju berteriak gugup,

"Benar, pangeran...!" pemuda-pemuda itu menjatuhkan diri berlutut. "Yang mengajak kami ke mari adalah Tiat-ciang-lihiap ini. Kami datang untuk menolong paduka di samping hendak membalaskan kematian guru kami!"

"Dan paduka boleh bertanya pada Cu-ciangkun atau Bu-ciangkun, pangeran," Sin Kok menyambung. "Karena mereka juga diancam pembunuhan yang sama seperti paduka ini. Tiat-ciang lihiap memang tidak bersalah. Paduka selama ini terhasut orang lain!"

"Hm!" pangeran masih ragu-ragu. "Dapatkah kupercaya omonganmu ini, saudara Sin Kok? Bagaimana kalau kalian yang justeru tertipu?"

"Tidak, kami tidak tertipu, pangeran. Justeru paduka yang tertipu!"

"Tapi dia melepas Yu-busu. Aku..."

"Tak tahu diri!" Salima tiba-tiba membentak. "Aku tak perduli kau percaya atau tidak, pangeran. Aku tak melepas orang she Yu itu karena dia lolos di balik ledakan granatnya. Kalau kau tak percaya aku juga tak perduli. Aku tak mau tinggal lagi bersama kalian!" Salima berkelebat, memutar tubuhnya dan lenyap dengan kemarahan besar. Kalau bukan karena suhengnya tentu sudah dibunuhnya pangeran ini. Dia kelewat terhina.

Dan Sin Kok yang terkejut melihat kepergian gadis itu tiba-tiba berteriak, "Lihiap, tunggu...!"

Salima tak mau menoleh, Dia tak menghiraukan teriakan itu, sikap pangeran terlampau menyakitkan. Dan ketika Sin Kok kembali berteriak namun ia tidak memperdulikan, maka Salima sudah meluncur menuju kota raja. Pangeran mahkota tertegun. Semua orang juga terkejut, kepergian gadis itu menciutkan nyali mereka. Khawatir musuh datang lagi dan tak ada yang dapat diandalkan. Maklum, Salima merupakan penyelamat yang lihai. Mereka merasa pangeran agak keterlaluan juga.

Dan karena pembunuhan itu hampir terjadi sementara pengawal juga banyak yang luka akhirnya Sin Kok mengharap pangeran pulang kembali. Dan pangeran setuju. Perasaannya terguncang oleh peristiwa itu. Seng-busu dan yang lain-lain gembira. Mereka kembali dengan membawa yang luka-luka sementara yang tewas dimakamkan. Fung Miso ternyata pingsan dalam kekalutan ini, sang pangeran sedih.

Dan ketika rombongan itu pulang kembali dan Sin Kok mengajak agar dari sana pangeran langsung saja ke rumah Kim-taijin untuk meyakinkan ceritanya mendadak di pintu gerbang kota raja mereka bertemu dengan Bu-ciangkun dan lain-lain, Salima ada di situ, di sisi suhengnya, Kim-mou-eng.

"Ah, paduka selamat, pangeran? Syukur, hamba girang melihat paduka kembali!" Bu-ciangkun melompat berseru girang, teman-temannya juga sudah mendekati dan Cu-ciangkun tampak berseri.

Sang pangeran juga gembira, merasa di tengah-tengah kalangan sendiri. Dan ketika yang lain merubung dan mengelilingi pangeran ini maka mereka sudah bicara ini itu menceritakan kejadian masing-masing. Bu-ciangkun sudah mendengar perihal pangeran itu dari Salima. Panglima ini melihat junjungannya selamat. Ganti menceritakan diri sendiri dan teman-temannya. Pangeran mahkota terkejut, mau tak mau harus percaya juga pada panglima ini karena Bu-ciangkun maupun Cu-ciangkun adalah orang-orang yang setia kepada istana.

Dan ketika pangeran itu terbelalak dan Bu-ciangkun menjelaskan bahwa rencara pembunuhan itu diatur oleh Siauw-ongya dan ibunda selir kemungkinan besar juga terlibat maka panglima tinggi besar ini menerangkan bahwa rencana pemberontakan itu memang benar ada dan mereka harus menumpasnya.

"Hamba hampir mampus kalau tak ada Kim-mou-eng dan Hek-eng taihiap, Siang-lo-mo yang menyerang hamba dan Cu-ciangkun. Apa yang dikata Kim-mou-eng tentang Sin-piauw Ang·lojin memang tidak salah!"

"Dan paduka tak perlu terus bercuriga pada Tiat-ciang lihiap. Sumoi Kim-mou-eng ini bekerja sunggung-sungguh untuk keselamatan paduka!"

"Benar, dan Hek-eng Taihiap telah menangkap seseorang, pangeran. Paduka dapat melihatnya di tempat Kim-taijin. Kita kesana dan dengarkan keterangan Kim-taijin!"

Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun yang saling menyambung membuat pangeran mahkota semakin membelalakkan mata. Dia melihat dua orang itu bersungguh-sungguh. Kelakuannya terhadap Salima membuat pangeran ini menyesal. Rencana pemberontakan ternyata memang benar ada. Dua panglimanya itu mengajaknya ke tempat Kim-taijin. Tapi ketika dia menoleh dan tak melihat Salima maupun Kim-mou eng tiba-tiba pangeran itu tertegun.

"Mana mereka?"

Yang lain ikut mencari. Ternyata yang dipandang pangeran adalah tempat di mana Kim-mou-eng dan sumoinya tadi berada. Tentu saja mereka celingukan dan kaget mencari ke sana kemari. Tapi ketika bayangan suheng dan sumoi itu benar-benar tak ada lagi dan orang tak melihat di mana perdekar ini akhirnya Bu-ciangkun menyesal menepuk dahi.

"Celaka, kita mengecewakan mereka. Kita harus minta maaf!"

"Tidak," pangeran mahkota berkata perlahan. “Bukan kalian yang harus minta maaf, ciangkun, tetapi akulah. Aku yang mengecewakan mereka. Kim-mou-eng dan sumoinya berkali-kali mendapat perlakuan buruk dariku. Aku menyesal. Siapa di antara kalian yang tahu di mana kiranya mencari suheng dan sumoi ini? Aku mengundang mereka untuk menyampaikan permintaan maafku. Tolong kalian beri tahu!"

Hek-eng Taihiap maju, tersenyum lebar. "Paduka tak perlu khawatir, pangeran. Hamba dapat menemui mereka memberitahukan maksud paduka. Kim-taihiap tak mungkin meninggalkan kita karena urusan belum semuanya selesai."

"Betul, Kim-mou-eng berjanji untuk membantu kita setuntasnya, pangeran, Hamba lupa dan tak ingat ini!" Bu-ciangkun berseru.

"Kalau begitu di mana mereka?"

"Hamba dapat mencarinya, pangeran. Tapi sebaiknya paduka pergi dulu ke tempat Kim-taijin. Di sana seseorang tertangkap, paduka dapat mendengar apa yang akan terjadi secara lebih jelas."

"Betul!" Bu-ciangkun lagi-lagi berseru, "Kim-mou-eng pasti ketemu lagi, pangeran. Sebaiknya kita ke Kim-taijin dan mendengar rencana pemberontakan itu!"

"Baik, kalau begitu mari ke sana," dan sang pangeran yang termangu sejenak tapi bersinar memandang semua orang akhirnya pergi dan diantar menuju ke gedung Kim-taijin. Sin-to Sam-enghiong dan lain-lain ikut, tapi Hek-eng Taihiap yang tak melihat Yu Bing justeru melepaskan diri dari rombongan ini.

"Pangeran, hamba tak dapat mengantar. Paduka sudah berada di tempat yang aman, ijinkan hamba pergi sebentar untuk nanti kembali lagi."

"Kau mau mencari Kim-mou-eng?"

"Ya."

Dan sang pangeran yang mengucap terima kasih pada pendekar ini dan melanjutkan langkahnya, akhirnya diantar yang lain-lain sementara Hek-eng Taihiap sendiri berkelebat ke lain arah. Bukan sekedar mencari Kim-mou-eng tapi juga Yu Bing, sahabatnya itu yang tidak nampak di antara rombongan. Heran dan tidak enak kenapa pemuda itu tak ada bersama.

Dan begitu pendekar ini menggerakkan kakinya berkelebat lenyap maka di lain tempat pangeran mahkota tiba di tempat Kim-taijin dan kaget melihat tertangkapnya Cu-thaikam di sana! Pangeran ini segera mendengar apa yang terjadi. Keterangan Kim-taijin semakin mempertebal kepercayaannya. Dan ketika pangeran itu berkerot gigi dan marah bukan main maka Kim-taijin, penasihat ayahanda yang amat dipercaya dan setia pada kaisar berkata tenang,

"Paduka tak perlu tergesa-gesa, pangeran. Apa yang telah kita dengar dari Cu-thaikam sebaiknya kita hadapi dengan kepala dingin. Hati boleh panas, tapi pikiran tetap bekerja tenang sampai kakak paduka tertangkap basah..."

Pendekar Rambut Emas Jilid 24

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 24
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
KIM-MOU-ENG tiba-tiba mengerutkan kening. "Hek-eng Taihiap...!"

"Maaf, kau sebut saja namaku, taihiap. Aku orang she Siok namaku Gwan Beng." Hek-eng Taihiap memotong, malu rupanya disebut "taihiap" (pendekar besar) oleh Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas itulah yang pantas disebut taihiap.

Dan Kim-mou-eng yang tersenyum dapat mengerti perasaan orang tiba-tiba tersenyum. "Baiklah, kupanggil kau Siok-twako (kakak Siok), Hek-eng taihiap. Aku sebenarnya sedih kalau dianggap bangsa Tar-tar tulen. Aku memiliki juga darah Han, ibuku orang Han. Kenapa orang harus menganggapku bangsa asing? Darah ayahku rupanya memang lebih banyak mengalir ditubuhku, tapi betapa pun aku juga merasa sebagai orang Han karena ibuku bangsa Han. Karena itu jangan merasa terlalu aneh kalau aku ingin menumpas pemberontakan yang ingin mengacau ketenteraman bangsa Han!"

Hek-eng Taihiap tertegun, "Benar, kami rupanya melukai perasaanmu, taihiap. Karena rambutmu yang keemasan ini memang tak ada dijumpai dalam bangsa Han."

"Karena itu kuminta janganlah kalian menganggapku bangsa asing. Aku ingin membantu kalian karena darah ibuku juga mengalir di tubuh ku!"

"Baik, kalau begitu apa maksudmu sekarang, taihiap?"

"Aku ingin membantu kalian. Aku telah mendengarkan pembicaraan kalian. Karena itu, kalau kalian tak menolak aku ingin menyelamatkan pangeran mahkota sementara yang lain membantu Bu-ciangkun. Bagaimana?"

Hek-eng Taihiap bersinar-sinar matanya. Tapi sebelum dia bicara mendadak Yu Bing mendahului, "Kim-taihiap, bagaimana kalau kau menyelamatkan Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun saja? Katanya Hek-bong Siang lo-mo ada di situ, kami yang lain-lain biar melindungi pangeran mahkota!"

"Terserah," Kim-mou-eng tersenyum tenang. "Aku hanya membantu, saudara Yu Bing. Barangkali boleh juga begitu karena siapa tahu pangeran mahkota lagi-lagi tak suka melihat kehadiranku!"

"Ah, tidak!" Hek-eng Taihiap berpikir lain. "Justeru kehadiranmu menolong pangeran mahkota dapat membersihkan kesan yang selama ini di tangkap salah, Kim taihiap. Sebaiknya kau ditemani seorang di antara kami menyelamatkan pangeran itu. Itu sudah cocok!"

Kim-mou-eng tertawa. "Boleh juga," katanya. "Siapa yang akan menemaniku?"

"Sebaiknya saudara Sin Kok ini!"

Sin Kok terkejut.

"Bagaimana, saudara Sin? Kau tak keberatan menemani Kim taihiap bukan?" Hek-eng Taihiap langsung saja bertanya, diam-diam punya maksud agar permusuhan di hati pemuda itu terhapus setelah nanti mengetahui sepak terjang Pendekar Rambut Emas.

Tentu saja Sin Kok bingung, tak segera menjawab. Dan ketika pertanyaan diulang kembali dan pemuda itu tampak bimbang tiba-tiba adiknya bicara,

"Hek-eng Taihiap, kenapa kakakku yang dipilih? Aku tak biasa berpisah, dan lagi mungkin seorang dari tiga paman Sin-to Sam-enghiong ini lebih cocok, kepandaiannya lebih tinggi?"

Inipun taktik Hwi Ling. Gadis itu tahu kakaknya tentu tak enak harus berdampingan dengan Kim-mou-eng, betapa pun ganjalan sakit hati masih terpendam. Sekarang secara cerdik dia mengajukan orang lain agar kakaknya tak terpilih. Sin-to Sam-enghiong ditunjuk. Tapi karena Hek-eng Taihiap juga bukan orang bodoh dan usul Hwi Ling itu jelas mengandung maksud, akhirnya pendekar ini tersenyum menggelengkan kepala.

"Nona, kakakmu lebih dikenal daripada Sin-to Sam-enghiong ini. Pangeran tentu lebih mengenalnya daripada orang lain. Kim-mou-eng lebih baik bersamanya karena beradanya kakakmu merupakan jaminan kepercayaan untuk menghapus syak-wasangka di hati pangeran. Kalau kau tak biasa berpisah dengan kakakmu sebaiknya kaupun ikut. Ini lebih bagus!"

Hwi Ling terkejut. "Kami berdua?"

"Begitu lebih baik, nona. Kami yang lain, lima orang, akan menghadapi Hek-bong Siang lo-mo itu. Tentu sanggup ditambah Bu-ciangkun serta Cu-ciangkun sendiri!"

Hwi Ling tak dapat berkutik. Dia malah dimasukkan sekaligus bersama kakaknya, mereka berdua harus mendampingi Pendekar Rambut Emas itu, orang yang telah membunuh ayah mereka! Tapi karena urusan pribadi jauh lebih kecil dibanding urusan negara akhirnya Hwi Ling tak menjawab dan diam melirik kakaknya, mengerling pula ke arah Kim-mou-eng dengan mata bersinar aneh. Mata yang tidak senang!

Dan ketika yang lain juga setuju dan Yu Bing serta Hek-eng Taihiap akan menolong Bu-ciangkun diperkuat Sin-to Sam-enghiong akhirnya rombongan ini pecah dua. Senang tidak senang Hwi Ling dan kakaknya harus ikut Kim-mou-eng. Sungguh terlalu kalau mereka tak mau. Itu adalah urusan bangsa mereka sendiri. Kim-mou-eng yang berdarah fifty-fifty saja memperhatikan keselamatan bangsa mereka, masa mereka kalah? Maka begitu rombongan dipecah dua dan masing-masing berangkat menuju tempat tujuan sendiri-sendiri akhirnya Kim-mou-eng berpisah dengan Hek-eng Taihiap dan kawan-kawan.

Dan lucu perjalanan di kelompok Kim-mou-eng ini. Hwi Ling dan kakaknya berjalan di belakang, tak mau mendekat. Mereka satu kepala dua "tubuh". Kim-mou-eng tersenyum saja dan tertawa pahit. Diam-diam memaki suhengnya karena perbuatan Gurba-lah dia mendapat getah ini. tak mau segera memberi tahu kesalahpahaman dua kakak beradik itu. Biarlah kelak Hwi Ling dan kakaknya tahu sendiri. Dan ketika mereka memasuki kota raja dan hampir memasuki pintu gerbang mendadak secara mengejutkan Salima muncul.

"Suheng....!"

Kim-mou-eng tertegun. Dia melihat bayangan sumöinya berkelebat, begitu gembira sumoinya itu hingga langsung menubruk, memeluk dirinya. Kim-mou-eng tentu saja jengah karena Sin Kok dan Hwi Ling melihat pemandangan itu. Dan ketika dia berbisik dan menyuruh sumoinya melepas kan diri karena ada dua muda-mudi di situ akhirnya Salima terbelalak dengan muka merah, tiga Iaki-laki muda juga muncul memberi hormat di depan Kim-mou-eng.

"Suheng, ini tiga murid terlihai dari Seng piauw-pang. Susah aku mencarinya, mereka hampir tak kujumpai di markas yang telah kosong!" Salima bicara, masih menunjukkan perhatiannya pada Kim-mou-eng, wajahnya berseri-seri.

Hwi Ling cemberut di kejauhan sana, sementara kakaknya bengong memandang Salima, tampak kagum. Dan ketika tiga murid Sin-piauw Ang-lojin itu menjatuhkan diri berlutut di depannya segera kim-mou-eng menyuruh mereka bangkit.

"Kalian tahu tugas masing-masing?"

"Kami tahu," seorang di antaranya mewakili menjawab. "Dan kami akan membalas kematian guru kami, Kim Taihiap. Sungguh bantuan Sian lihiap ini membesarkan hati kami!"

"Tapi kalian hanya bertiga?"

"Tidak, yang lain-lain sudah memasuki kotaraja, suheng. Semua berjumlah empat puluh orang. Yang ini menunggu di sini menanti kedatanganmu. Mereka membawa berita, seseorang akan membunuh pangeran mahkota. Minta pendapat apa yang harus dilakukan!"

"Hm, kau sendiri bagaimana pendapatmu, sumoi?"

"Aku sendiri masa bodoh. Biar pangeran itu mampus. Toh kita selalu tak dipercaya!"

"Tidak," Kim-mou-eng tersenyum. "Pangeran harus diselamatkan, sumoi. Dan berita itu memang sudah kuketahui, kini aku membawa teman."

Kim-mou-eng menoleh ke belakang, Sin kok dan Hwi Ling tiba-tiba melengos. Mereka enggan maju, bahkan mundur seolah hendak menjauhkan diri. Dan ketika Salima sadar dan memperhatikan dua muda-mudi itu tiba-tiba gadis itu mendengus dan membelalakkan mata.

"Siapa mereka? Kenapa angkuh amat?"

"Ah, mereka baik-baik, sumoi, putera puteri mendiang Ang Bin Ciangkun. Bersikap begitu karena mengira ayahnya terbunuh olehku, kau ingat perbuatan Gurba suheng, bukan? Aku terkena getahnya. Disangka membunuh ayah mereka. Tapi jangan kau marah. Siang-kiam-lo Yu Bing bertemu aku di tengah jalan tadi bersama Hek-eng Taihiap. Mereka diserahkan padaku untuk menghadapi rencana pembunuhan pangeran mahkota. Tak perlu kau cemberut."

Kim-mou-eng yang lalu menceritakan pertemuannya dengan Yu Bing dan lain lainnya tadi, segera menjelaskan beradanya Hwi Ling dan kakaknya itu, bahwa mereka diperbantukan untuk menghadapi rencana pembunuhan pangeran mahkota. Yu Bing dan Hek-eng Taihiap sendiri menuju tempat Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun untuk menghadapi Hek-bong Siang lo-mo, tiga orang panglima itu juga menghadapi ancaman bahaya.

Dan ketika Salima mendengarkan dengan alis dikerutkan tapi bibir tetap tersenyum mengejek maka gadis ini mengangguk-angguk. "Suheng, perbuatanmu benar-benar tak kepalang-tanggung. Kalau mereka diperbantukan padamu sebaiknya mereka disuruh kembali saja membantu Bu-ciangkun. Bagaimana kalau kita berdua menghadapi orang yang akan membunuh pangeran mahkota itu?"

"Tidak," pendekar ini tak setuju. "Hek-eng Taihiap menghendaki dua kakak beradik itu tetap di sini, sumoi, diperbantukan agar dikenal pangeran mahkota. Kalau kita berdua jangan-jangan pangeran mahkota tak percaya lagi."

"Hm, maksudmu agar pertolonganmu ini di percaya pangeran mahkota? Mereka itu sebagai orang yang dapat memberi keterangan?"

"Begitu yang dimaui Hek-eng Taihiap, sumoi. Dan kupikir pendapatnya inipun benar. Tanpa mereka tentu pangeran mahkota akan menyambut kita dengan sikap lain, meskipun kita menyelamatkan pangeran itu!"

"Kalau begitu biar aku saja yang bersama mereka!" Salima mendadak berkata. "Kau pergi menghadapi Hek-bong Siang lo-mo itu!"

Kim-mou-eng terkejut. "Kenapa begitu?"

"Aku ingin membalas kelakuan pangeran itu, suheng. Biar dia malu kalau nanti dia tahu bahwa orang yang menolongnya adalah orang yang selama ini dimusuhi. Aku ingin memukul perasaan pangeran itu!"

Kim-mou-eng tertegun.

"kau tak setuju?" sumoinya mendadak bertanya. "kau ingin.... hm, berdekatan dengan gadis bernama Hwi Ling itu?"

Kim-mou-eng tersentak. Sekarang dia menangkap apa sebenarnya yang dimaui sumoinya ini, beradanya Hwi Ling itu membuat sumoinya tak senang, cemburu! Dan ketika mata yang tajam itu memandangnya penuh selidik dan Kim-mou-eng dibuat kelabakan oleh pandangan ini akhirnya pendekar itu tertawa tersenyum kecut.

"Sumoi, kau ini terlalu. Masa setiap gadis yang dekat padaku harus kau sorot seperti itu? Hwi Ling memusuhiku, tak mungkin dia berpikiran tidak-tidak!"

"Tak usah memberi tahu. Aku wanita, jauh lebih tahu darimu tentang perasaan wanita pula! Sudahlah, kau menolak?"

Terpaksa Kim-mou-eng menggeleng. Dan karena menolak bakal membuat ribut-ribut lagi dengan sumoinya akhirnya Pendekar Rambut Emas ini menahan tawa dengan perasaan gemas. Boleh saja tugasnya diganti, dia tak keberatan. Tapi karena yang bersangkutan harus ditanya dulu maukah Hwi Ling dan kakaknya bersama sumoinya, maka Kim-mou-eng memanggil dua kakak beradik itu, memberitahukan maksud Salima. Bahwa Salima hendak menolong pangeran mahkota sementara dia sendiri menolong Bu-ciangkun. Tugas diambil alih.

Hwi Ling dan Sin Kok tampak tertegun. Tapi Sin Kok yang rupanya girang mendapat perubahan ini mendadak sudah berkata menganggukkan kepalanya, melirik gadis Tar-tar yang diam-diam dikaguminya itu, matanya bersinar-sinar. "Kami setuju, sama saja bagi kami."

"Bagus, kalau begitu kalian ikut sumoiku, Sin Kok. Aku menyusul Hek-eng Taihiap membantu Bu ciangkun." dan memandang sumoinya pendekar ini berkata, "Sumoi, hati-hati. Aku pergi dulu. Nanti kita bertemu lagi!" dan begitu sumoinya mengangguk dan tersenyum aneh Kim-mou-eng sudah berpindah pekerjaan menuju tempat Bu-cangkun.

Hwi Ling dan kakaknya mengikuti Salima. Putera Ang Bin Ciangkun itu tampak gembira bersama gadis Tar-tar ini, adiknya mencibir menowel lengan kakaknya itu, Sin Kok tersipu. Dan ketika Salima berkelebat menyuruh kakak beradik itu mengikutinya maka tiga murid Seng piauw-pang juga sudah diperintahkan untuk memanggil yang lain-lain menuju hutan, membantu pangeran mahkota yang katanya akan dibunuh.

* * * * * * * *

Sebaiknya kita ikuti dulu sepak terjang Kim-mou-eng. Pendekar ini telah mencari rombongan Hek-eng Taihiap, bertemu dan tentu saja Hek-eng Taihiap dan kawan-kawannya terkejut, bertanya kenapa pendekar itu meninggalkan tugasnya, juga di mana Hwi Ling dan kakaknya. Tapi setelah pendekar itu mengatakan apa yang terjadi mendadak Hek-eng Taihiap girang berseri-seri.

"Aih, sumoimu datang, taihiap? Dia mengambil alih tugasmu? Bagus sekali, tapi tenaga di sini menjadi berlebih lebihan. Bagaimana kalau Yu Bing atau Sin-to Sam-enghiong membantu sumoimu itu? Keselamatan Bu ciangkun memang penting, tapi keselamatan pangeran lebih penting lagi!"

"Terserah kau, aku tinggal mengikut, Siok rwako. Siapapun bagiku sama saja."

"Kalau begitu bagaimana dengan Bing-te (adik Bing) ini?"

"Aku sedia," Yu Bing mengangguk.

"Aku siap membantu siapa saja, twako. Boleh di sini atau di sana."

"Kalau begitu kau saja membantu Sian-li lihiap. Biar aku bersama Sin-to Sam-enghiong di sini. Bagaimana pendapatmu, Kim taihiap?"

"Boleh juga, tapi aku belum mengerti bagaimana rencanamu."

"Aku ke gedung Cu-ciangkun, taihiap. Sedang kau sebaiknya ke gedung Bu-ciangkun. Aku telah menghadap dua panglima itu dan memberi tahu."

"Baik, kalau begitu kita berpisah. Dan aku minta kalau penjahat itu lebih dulu datang di tempat kalian sebaiknya beri tanda kepadaku. Aku akan datang."

"Terima kasih. Kami mulai, taihiap. Dan biar sekalian kuberi tahu kedatanganmu ini pada Bu-ciangkun!"

Hek-eng Taihiap girang, merasa tenaga semakin kuat dengan adanya Pendekar Rambut Emas itu. Betapapun yang akan dihadapi adalah sepasang iblis cebol yang Lihai, Hek-bong Siang lo-mo yang sakti. Dan ketika malam itu mereka menunggu dan masing masing berada di tempat maka Kim-mou-eng berjaga di tempat Bu-ciangkun.

Panglima Bu ini duduk bersandar kursi, jenggotnya yang lebat tetap dipelihara. Ada kesan angker dan berwibawa. Tubuhnya yang tinggi besar itu menunjukkan kegagahannya, minum arak sendiri di taman belakang. Tempat ini tidak begitu luas, tak seorangpun pelayan menemaninya. Kim-mou-eng kagum. Panglima itu tidak tampak takut sedikitpun juga, tidak bersenjata. Sekali-kali bicara sendiri dan tertawa sendiri, seperti orang mabok.

Dan ketika malam semakin gelap dan lima guci arak dihabiskan panglima ini maka pada kentongan ke sepuluh sesosok bayangan meluncur dan berlompatan di atas wuwungan gedung yang tinggi. Kim-mou-eng yang bersembunyi di puncak sebatang pohon melihat bayangan itu, hanya seorang pendek dan lincah seperti gerakan iblis. Segera dikenal karena itulah Ji-lo-mo, orang ke dua dari Hek-bong Siang lo-mo.

kim-mou-eng terdetik karena pikirannya yang cerdas segera menduga tentu twa lomo lagi di lain tempat. Rupanya dua iblis itu memecah tugas masing-masing, karena jarang Siang lo-mo (sepasang iblis) ini berpisah. Dan ketika bayangan itu dekat dan tiba serta melompat turun di taman maka Ji-lo-mo, benar orang itu, tertawa menghadapi Bu-cangkun yang tenang-tenangan saja.

“Orang she Bu, Giam-lo-ong (Malaikat Maut) datang menjemput nyawamu!"

Bu-ciangkun bangun berdiri. Panglima tinggi besar ini tidak terkejut, sudah tahu dan Ji lo-mo tampak heran. Tak tahu kalau panglima itu sudah mengetahui rencananya. Dan ketika iblis cebol itu tertegun mengerutkan kening mendadak panglima tinggi besar ini tetawa bergelak, menimpali suara lawan.

"Setan cebol, kau Ji-lo-mo atau Twa-lo-mo? Mana saudaramu? Kau mengantar nyawa?"

Iblis ini terbelalak. Kau bicara apa? Kau mabok? Aku Ji lo-mo, saudaraku ada dilain tempat.“

“Di gedung Cu-ciangkun?"

"Eh, dari mana kau tahu?"

"Ha ha, aku punya telinga dan mata, Ji-lo-mo. Tak perlu kau heran karena kedatanganmu inipun telah kuketahui. Kau mau membunuhku, bukan? Majulah, kau boleh bunuh aku kalau bisa. Kalau tidak justeru aku akan menangkapmu dan menuntut pertanggungjawaban pada orang yang menyuruhmu?"

Panglima tinggi besar itu bersiap-siap, kedua tangannya terjulur ke depan dengan suara berkerotok. Itulah Kang jiu-kang (Tenaga Tangan Baja) yang khusus dipunyai panglima ini, Ji lo-mo terbelalak dan mundur selangkah. Tapi begitu sadar tertawa aneh iblis cebol ini mendadak terkekeh.

"Bu-ciangkun, omongan apa yang kau katakan ini? Kau bilang kalau aku bisa membunuhmu? Ha ha, tentu bisa, panglima brewok. Aku tak mungkin gagal kalau hanya hendak membunuhmu. Lihat!" dan iblis cebol itu yang berkelebat ke depan mencengkram lawan tiba-tiba menyerang tenggorokan panglima itu, tubuhnya mencelat ke atas karena tinggi badannya hanya setinggi perut panglima Bu, tentu saja di harus meloncat dan dari tangannya sudah menusuk ke depan. Tapi Bu-ciangkun yang waspada dan mengelak ke kiri tiba-tiba menggerakkan lengannya yang berkerotok.

"Dukk!" kang jiu-kang bertemu lengan kecil iblis cebol itu. Menurut patut iblis cebol itu yang harús terbanting, lengannya kalah besar oleh lengan Bu-ciangkun yang berotot. Tapi ketika teriakan terdengar dan seorang dari mereka terpental mundur ternyata Bu-ciangkun yang roboh dan terpelanting ke tanah.

"Bruk!" panglima itu terguling-guling. Bu-ciangkun kaget dan melompat bangun, matanya membelalak.

Dan Ji-lo-mo yang terkekeh kekeh melihat panglima itu tiba-tiba berkelebat maju kembali. "Bagaimana, kau dapat menahanku, Bu-ciangkun? Aku tak dapat merobohkanmu? Biar kau gorok leher sendiri kalau begitu, ha ha!" dan iblis cebol yang sudah menyerang dan menusuk panglima itu dengan kesepuluh jarinya yang tajam akhirnya membuat panglima ini kalang kabut melempar tubuh ke sana-sini.

Kang-jiu-kangnya sungguh tak berdaya menghadapi sinkang lawan yang lebih kuat. Tangkisannya selalu mental, iblis itu tertawa-tawa. Dan ketika Bu-ciangkun membentak mainkan Kang-jiu Sin-hoatnya (Silat Tangan Baja) tapi selalu tertolak oleh angin pukulan lawan, akhirnya panglima ini terdesak dan pucat mukanya.

Dan Ji lo mo terkekeh-kekeh. Dia tidak segera membunuh panglima itu, mempermainkannya dan berkali-kali mengejeknya dengan kata-kata menyakitkan. Sungguh Bu-ciangkun bisa mati dengan mata tak meram, panglima itu harus mengakui kesaktian lawan yang jauh di atas dirinya. Dan ketika panglima itu mundur-mundur dan lawan mulai menekannya dengan ketat akhirnya panglima ini menyambar guci kosong mainkan ilmu silat guci yang membuat guci itu mengaung-ngaung.

"Ha ha, kau pandai ilmu silat lain? Bagus, aku lebih senang mempermainkanmu, ciangkun. Biar lebih lama sedikit kau dicekam ketakutan!" Ji-lo mo malah terbahak, geli tapi menangkis dan melanjutkan serangannya, Guci pun ditolaknya mental, satu ketika malah pecah.

Bu-ciangkun menyambar yang lain tapi guci itupun pecah kembali. Lima guci kosong sudah habis dipakainya sebagai senjata. Betapapun ilmu silainya memang kalah jauh, Ji lo-mo adalah seorang dari Tujuh Iblis Dunia Kangouw. Dan ketika panglima itu memaki-maki tapi tidak gentar sedikitpun juga menghadapi ancaman kematian maka Ji lo mo menyuruhnya memanggil pengawal.

"Bu-ciangkun, panggil pengawalmu. Suruh sekalian membantumu!"

"Tidak!" panglima itu menjawab gagah. "Kalau aku mati biar mati sendiri, iblis busuk. Aku tak suka mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan jiwaku!"

"Kalau begitu kau mati tak enak. Tak ada teman di perjalanan ke alam baka!"

"Persetan ejekanmu!" dan panglima itu yang tetap mempertahankan diri dengan mata mendelik merah dan terus bertahan tapi terhuyung-huyung akhirnya mulai menerima tamparan dan pukulan si cebol, jatuh tapi melompat bangun lagi, terbanting dan berdiri lagi untuk akhirnya menjadi bulan-bulanan iblis cebol ini.

Ji-lo mo terkekeh gembira. Kim-mou-eng yang mengintai di atas menjadi kagum bukan main pada panglima ini. Ternyata Bu-ciangkun seorang laki-laki gagah, memang tak salah kalau kaisar memilih panglima ini sebagai pembantunya. Dan ketika Ji lo-mo terbahak-bahak sementara Bu-ciangkun montang manting tak keruan tiba-tiba iblis ini mencabut senjata sabit yang tajam mengerikan itu.

"Bu-ciangkun, aku sekarang akan membunuhmu. Kau mintalah ampun dan cium lututku kalau tak ingin kubunuh!"

Bu-ciangkun mendelik. "Keparat kau. Aku tak akan minta ampun, cebol buruk. Kau bunuhlah aku tak perlu pentang bacot lagi!"

"Kau memaki?"

"Jahanam keparat. Siapa tak berani memakimu? Kau cebol memuakkan perut, mampuslah atau menyingkirlah ke neraka!"

Dan Ji-lo-mo yang melotot oleh makian itu tiba-tiba berteriak menyeramkan. Lawannya ini sebenarnya tinggal membunuh saja, ibarat membalikkan telapak tangan. Mudah dan tak perlu banyak cakap lagi kalau dia mau. Maka begitu lawan memakinya dan malah menyuruhnya ke neraka tiba-tiba Ji lo-mo membentak mengayunkan sabitnya itu. Senjata bulat pipih menyambar leher lawan, sekali diKalungi tentu kepala panglima itu akan pisah. Keadaan tak memungkinkan lagi bagi panglima itu untuk berkelit. Kedudukannya sudah sedemikian buruk.

Tapi persis panglima ini terbelalak dan sabit menuju lehernya maka di saat itulah Kim-mou-eng melayang turun. Pendekar Rambut Emas ini tak menunda waktu lagi, panglima itu cukup dihajar babak belur. Dan ketika sabit menyambar dan Bu-ciangkun terbelalak mendadak Kim-mou-eng mendorongkan kedua tangannya. menangkis dengan pukulan jarak jauh.

"Ji lo-mo, cukup. Enyahlah kau...bress!"

Iblis cebol itu berteriak, pukulan Kim-mou-eng menghantam sabitnya, dahsyat sekali. Dan karena dia tak menduga dan kedatangan Kim-mou-eng itu mengejutkan iblis ini maka Ji lo-mo terbanting dengan sabit mencelat terlempar cepat bergulingan dan menyambar sabitnya itu lagi. iblis ini melompat bangun. Dan ketika dia mengenal dan melihat siapa lawannya maka Ji lo-mo memekik penuh gusar. "Kim-mou-eng...!”

Kim-mou-eng mengangguk. "Ya, aku, Lo-mo. Kau masih mau membunuh Bu-ciangkun lagi?"

"Keparat Jahanam kau!" dan Ji lo-mo yang membentak memaki marah tiba-tiba menubruk dan menerjang Pendekar Rambut Emas. Senjatanya hanya merupakan kilatan putih yang bergerak dengan amat luar bisa cepat. Angin senjatanya saja sudah cukup menabas apa saja, tubuh manusia pun pasti terluka, baru angin sambarannya saja. Tapi Kim-mou-eng yang tertawa mengerahkan Tiat-lui-kangnya mendadak menerima dan menangkap ujung sabit yang tajam itu.

"Bret...plak!"

Bu-ciangkun tak tahu apa yang terjadi. Dia hanya mendengar seruan kaget Ji lo-mo, iblis itu terlempar dan berjungkir balik. Sabitnya lagi-lagi mental tapi sudah disambar iblis cebol itu. Ji lo-mo melengking dan marah bukan kepalang, baju pundaknya robek. Entah bagaimana kejadian tadi.

Dan ketika iblis itu membalik dan mengayun sabitnya lagi mendadak Kim-mou-eng sudah diserang dan dikelilingi sinar putih yang berkelebatan di sekeliling tubuh pendekar ini. Ji-lo-mo sendiri lenyap digulung permainan sabitnya, begitu ganas hingga sabit mengeluarkan desir mengerikan, daun-daun pohon disekitar situ rontok berhamburan. Kiranya terkena bayangan sinar sabit, ada yang terpotong menjadi delapan bagian. Betapa hebatnya iblis ini.

Tapi Kim-mou-eng yang mendorong dan menampar kiri kanan ternyata mampu menolak semua serangan itu. Ji-lo-mo memekik mekik karena sabitnya tak mampu melukai tangan pendekar itu, bahkan ditangkap tapi cepat ditarik lagi untuk kemudian menyerang kembali dengan dahsyat, ada kesan membabi buta karena iblis ini penasaran. Kim-mou-eng tak dapat di desak. Dan ketika iblis itu meraung dan Bu-ciangkun yang menjublak memandang pertempuran tampak bengong dengan mata tak berkedip, sekonyong-konyong iblis itu memutar sabitnya tiga kali untuk kemudian menyambar dari atas ke bawah, menuju ubun-ubun kepala lawan.

"Kim-mou-eng, sekarang kau mampus!"

Kim-mou-eng tersenyum mengejek. Dia telah melindungi kedua tangannya dengan sinkang, berani menangkap dan tidak ragu menghadapi senjata lawan yang tajam. Kekebalannya telah melindungi bagian itu, bahkan seluruh tubuhnya. Tapi karena ubun-ubun adalah tempat yang lunak dan iblis itupun nampaknya mengerahkan segala kekuatan untuk menghancurkannya maka Pendekar Rambut Emas merendahkan tubuh memasang punggungnya, sengaja membiarkan bagian itu dibacok tapi secepat kilat kedua lengannya mendorong, menghantam dada lawan.

Kedua tangan berobah kemerahan penuh mengandung tenaga Tiat-luikang (Tenaga Inti Petir), Kim-mou-eng ingin menyelesaikan pertandingan karena khawatir terhadap iblis yang lain. Twa lo-mo. Dan begitu Sabit meluncur dan tepat menghantam punggungnya tapi membalik oleh kekebalan sinkang yang dipunyai maka pada saat itulah Tiat-lui-kang ganti menghantam dada iblis cebol ini.

”Hei?!" Teriakan itu terlambat. Ji lo-mo juga ingin menyelesaikan pertempuran, tak menyangka lawan juga bermaksud sama dan kini dadanya diserang, telapak lawan dekat sekali dan tak mungkin dikelit. Satu-satunya jalan hanyalah mengerahkan sinkangnya menerima pukulan Pendekar Rambut Emas, Ji-lo-mo terbelalak dan ngeri karena telapak lawan sudah berobah merah seperti api unggun. Hawa panas sudah mendahului menyambar. Dan ketika sabitnya mental dan iblis ini mengeluh melihat kegagalannya maka di saat itulah pukulan lawan tiba mengenai dadanya.

"Dess!" Iblis ini terlempar empat tombak. Ji lo-mo meringkik seperti kuda kena panah, bergulingan dan mulut melontakkan darah. Ternyata sinkangnya tak dapat melindungi diri sepenuhnya dan dia tetap terluka, menggelinding menjauhkan diri dan akhirnya melompat bangun dengan kaki gemetar, mukanya pucat pasi.

Bu-ciangkun bersorak karena iblis cebol itu kena luka dalam. Ji-lo-mo melotot. Dan ketika iblis itu bergoyang memandang Kim-mou-eng sementara Bu-ciangkun berteriak mengejek lawan tiba-tiba iblis itu melemparkan sabitnya menyambar panglima she Bu.

"Awas..." Kim-mou-eng memperingatkan, tentu saja kaget karena sabit meluncur dengan cara berputar-putar.

Bu-ciangkun terkesiap tapi tak dapat mengelak, kalah cepat. Dan Kim-mou-eng yang lagi-lagi menyelamatkan panglima ini dengan jentikan sebutir kerikil akhirnya membuat sabit terpental tapi baju Bu-ciangkun robek keserempet.

“Trang... bret!" Bu-ciangkun baru membanting tubuh bergulingan. Panglima ini sadar setelah sabit berkerontang di pinggir telinganya, dibentur kirikil hitam tadi. Suaranya memekakkan dan panglima ini berseru keras. Kaget bukan main. Darah seakan hilang dari mukanya. Begitu dekat nyawanya terbang, tinggal seujung rambut lagi!

Dan ketika panglima itu tertegun dan terbelalak tak dapat bicara maka Ji-lo-mo memutar tubuh melarikan diri. "Kim-mou-eng, keparat kau. Jahanam!"

Kim-mou-eng tak mengejar. Dia datang memang untuk melindungi panglima ini, bukan membunuh. Apalagi lawan terluka cukup parah oleh pukulannya tadi. Dan ketika Bu-ciangkun terhenyak dan sadar dua kali diselamatkan pendekar ini tiba-tiba panglima itu terhuyung menjatuhkan diri berlutut, mukanya masih gemetar.

"Kim-taihiap, terima kasih. Dua kali nyawaku kau loloskan dari maut!"

"Ah, sudahlah." pendekar ini buru-buru menolak. Kau bangunlah, ciangkun. Tak usah berterima kasih karena itu memang sudah kewajibanku!"

"Tapi aku berhutang budi, dan dulupun aku memusuhimu!"

"Itu dulu, ciangkun. Hal itu terjadi karena salah paham. Sekarang kau bangunlah, aku tak dapat menerima penghormatanmu!" dan Kim-mou-eng yang menyuruh bangun panglima itu sambil mengerahkan tenaganya tiba-tiba sudah menarik dan membuat panglima ini berdiri. Bu-ciangkun hendak menahan tapi tak sanggup, tubuhnya terbetot juga dan dia menjadi kagum bukan main. Tapi ketika panglima ini bengong dan Kim-mou-eng tersenyum mendadak sebuah teriakan terdengar di gedung Cu-ciangkun.

"Ah, itu Hek-eng Taihiap!" Kim-mou-eng tlha-tiba menyambar lengan Bu-ciangkun, diangkat dan disendal ke depan, dibawa terbang secepat angin. Bu-ciangkun kaget tapi melongo semakin takjub. Pendekar Rambut Emas ini memang benar-benar hebat!

Dan ketika mereka tiba di sana dan melihat apa yang terjadi ternyata iblis ter ua dari Hek-bong Siang lo-mo itu melukai Hek-eng Tiahiap dan nyaris membunuh Cu-ciangkun! Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat Twa lo-mo, suheng Ji lo-mo itu dikepung tertawa-tawa. Iblis ini mempermainkan lawan, dikeroyok enam tapi mudah berkelit ke sana ke mari.

Cu-ciangkun dan Hek-eng Taihiap bermandi keringat menghadapi iblis cebol ini, bahkan Hek-eng Taihiap robek pundaknya digurat kuku Twa lo-mo, terhuyung dan pucat mukanya menahan sakit. Bukan oleh guratan itu melainkan oleh racun di kuku Twa-lo-mo. Pendekar ini menggigil menahan rasa dingin, senjatanya sebuah cakar garuda menyambar mengelilingi lawan tapi selalu mental tertolak. Sinkang Twa-lo-mo memang hebat. Dan ketika tombak di tangan Cu-ciangkun juga terpental bertemu tangkisan iblis ini maka Twa lo-mo terkekeh-kekeh mengejek lawannya itu.

"Kalian bukan tandinganku. Sebaiknya masing-masing dari kalian bunuh diri saja, ciangkun. Setelah itu kukubur mayat kalian baik baik!"

"keparat, kami tak akan menyerah, Lo-mo. Kami tak akan bunuh diri dan justeru akan membunuhmu!"

"Kalian mampu? Mana bisa? Ha ha, ini bukan permainan. Cu-cangkun. Kalau begitu kalian akan menyesal, aku akan membunuh kalian secara perlahan-lahan. Lihat dan Twa lo-mo yang membentak menolak tombak tiba-tiba mengebut dan menangkis sambaran golok di tangan Sin-to Sam-enghiong membuat tiga orang itu terpekik karena golok terlepas. Kiranya kali ini Twa-lomo menambah tenaganya, tak mau main-main lagi. Dan ketika lawan terhuyung dan dia tertawa tahu-tahu Twa lo-mo melejit mengguratkan sepuluh kuku jarinya.

"Awas....!" Hek-eng Taihiap berseru, memperingatkan tiga temannya karena Sin-to Sam-enghiong terbelalak.

Mereka tertegun karena iblis itu berkelebat mengelilingi mereka, gerakannya cepat dan tiga kakak beradik ini tak dapat mengikutinya dengan pandangan mata. Cu-ciangkun juga berteriak menyambarkan tombaknya, menusuk punggung Twa-lo-mo yang terkekeh. Tapi karena kuku sudah terjulur dan Twa-lo-mo rupanya membiarkan punggung ditikam tombak maka saat itu secara cepat dan tepat tiga laki-laki gagah ini terkena serangan Twa lo-mo.

"Cret-cret-cret!"

Sin-to Sam-enghiong berteriak tertahan. Mereka roboh terjungkal, leher yang terkena guretan mendadak bengkak. Tiga orang ini bergulingan sambil mendesis kesakitan. Rasa gatal dan dingin menusuk tulang, begitu menyiksa. Dan ketika mereka melompat bangun tapi kaki gemetar tak kuat menopang tubuh mendadak tiga kakak beradik ini roboh kembali dan berteriak dengan muka kehijauan.

"Kalian keracunan, cepat telan pil ini...!" Hek-eng Taihiap melemparkan sebotol kecil obat, diri sendiri telah menelannya tiga butir sekaligus, mukanya tidak kehijauan tetapi pucat. Itulah sebabnya dapat bertahan meskipun tubuh juga menggigil, lebih baik dari pada tiga temannya karena sinkangnya juga lebih kuat. Dan ketika Sin-to Sam-enghiong menyambar botol itu dan cepat menelan isinya maka Twa lo-mo tertawa di sana dengan senyum mengejek.

"Tiga tikus busuk. Kalian tak dapat bertahan lama menerima guratan racunku. Dua jam kalian harus menelan obat kembali, setelah itu kalian kehabisan obat dan mati dengan tubuh berkelejotan, heh heh!"

Sin-to Sam-enghiong tak perduli. Mereka telah bangkit lagi, tapi ketika merasa tenaga seakan dilolosi dan tak kuat mengangkat golok maka di sana Cu-ciangkun ganti berteriak ketika lawan menggurat panglima ini. Dan Hek-eng Taihiap semakin pucat. Sin-to Sam-enghiong juga pucat. Keadaan berbahaya untuk mereka. Dikeroyok enam tetap saja iblis itu lebih unggul. ketika Twa lo-mo mempermainkan lawan dan tertawa-tawa menangkis dan balas menyerang maka di saat itulah Kim-mou-eng datang.

"Twa-lo-mo, kau benar-benar keji. Lepaskan mereka dan hadapilah aku!" Kim-mou-eng tak tahan, melepas Bu-ciangkun dan meluncur ke bawahl angsung mendorong lengan kirinya menangkis pukulan iblis ini yang ditujukan pada Hek-eng Taihiap. Pendekar Garuda Hitam itu terhuyung roboh terduduk. Keadaan memang gawat. Dan begitu tangkisan bertemu pukulan tiba-tiba Twa-lo-mo menjerit terlempar setombak.

"Dukk!" Iblis itu terhenyak melotot. Kim-mou-eng telah berdiri di depannya, Twa-lo-mo terkejut. Tapl memekik melompat bangun mendadak iblis ini menerjang menghantam Kim-mou-eng.

"Plak...dukk!"

Kim-mou-eng kembali menangkis, iblis cebol itu terpental dan lagi-lagi berteriak marah. Dua kali pukulannya tertolak pukulan lawan. Dia memang kalah kuat. Maka menjerit mencabut senjatanya tiba-tiba iblis ini mengamuk menyerang Kim-mou-eng, kaki dan tangan bergerak kalang-kabut, kuku jarinya juga ikut terulur menggurat dan mencengkeram.

Kim-mou-eng menyuruh yang lain mundur. Dan karena iblis itu memang berbahaya tapi Kim-mou-eng tak takut menghadapi lawannya ini maka Pendekar Rambut Emas itu sudah mengerahkan Tiat-lui-kangnya dan menangkis serta balas menyerang. Twa lo-mo memaki tak keruan, sungguh kaget dan gusar karena kehadiran pendekar itu di luar dugaannya. Dia tak tahu bahwa adiknya telah terluka bertempur dengan lawannya ini. Entah di mana sekarang Ji-lo-mo karena adiknya itu tak nampak. Ji lo-mo sedang menyembuhkan lukanya di lain tempat. Dan ketika Twa lo-mo menyerang tapi Pendekar Rambut Emas dapat menahan dan balas menyerangnya tiba-tiba saja iblis ini mengumpat caci dengan mata melotot sebesar jengkol.

"Kim-mou-eng. kau manusia busuk. Keparat kau. Jahanam kau!"

Kim-mou-eng tak meladeni. Dia terus memperhatikan sabit di tangan lawan, menangkis dan menyerang mengandalkan Tiat-lui-kangnya itu. Sama seperti Ji lo-mo diapun berani menerima bacokan senjata tajam, sinkangnya memungkinkan memberi kekebalan. Sabit selalu mental menghantam tubuhnya, seolah mengenai bola karet. Twa lo-mo berteriak-teriak dan marah bukan main.

Tapi ketika pendekar itu merangsek maju dan lawan terbelalak tiba-tiba saja Twa lo-mo terdesak karena senjatanya tak mampu melukai lawan. Dan saat itu Tiat-lui-kang mulai menyambar tubuhnya dua kali dia mengeluh. Iblis ini berkaok-kaok, merasakan sengatan dan menjerit tinggi. Panasnya Tiat-lui-kang seperti panasnya api neraka. Begitu pedih dan menyakitkan. Dan karena Kim-mou-eng telah mengenal gaya permainan lawan dan tidak takut pada sabit yang mengerikan itu akhirnya Twa-lo-mo balik terdesak dan kembali menerima tamparan Tiat-lui-kang.

"Plak!" Iblis ini terpelanting bergulingan. Twa-lo-mo mendelik, menerjang lagi tapi menerima pukulan lagi. Tergetar dan terhempas di tanah, memekik-mekik. Diapun telah mengerahkan sinkangnya menerima Tiat-lui-kang tetap kalah kuat dan dada terasa sesak. Dan ketika iblis itu kebingungan memaki-maki maka Ji lo-mo tiba-tiba muncul berkelebat di samping saudaranya.

"Suheng, pergi saja. Kim-mou-eng telah menggagalkan rencana kita!"

Twa-lo-mo girang. Tapi terkejut melihat adiknya batuk-batuk, "Kau kenapa? Kau bilang apa?"

"Aku terluka, suheng. Kita pergi saja dan tinggalkan rencana kita!"

"Kau dilukai jahanam ini?"

"Benar, dia melindungi Bu-ciangkun, suheng. Kita pergi saja bisa lain kali di lanjutkan."

"Tidak. Kau bantu aku dan bunuh si Rambut Emas ini. Dia pun harus kita bunuh!" dan Twa-lo-mo yang menjerit penuh penasaran malah menerjang menyuruh adiknya membantu.

Ji lo-mo terkejut, karena sesungguhnya dia tak dapat bertempur lagi, luka dalamnya menyesakkan dada. Baru saja dia bersamadhi, menguatkan daya tahan. Tapi karena kakaknya memaki-maki dan membentak dia menyuruh mengeroyok akhirnya Ji-lo-mo maju lagi dengan perasaan gelisah. Dan apa yang dikatakan iblis ini memang benar. Kim-mou-eng tetap tangguh dikeroyok berdua. Jangankan berdua, dikerubut dikeroyok bertiga bersama Mo-ong atau Bin-kwi pendekar ini masih dapat menghadapi mereka.

Kedudukan agak berimbang karena Kim-mou-eng memang hebat. Kesaktiannya luar biasa. Dia adalah murid Bu-beng Siansu. Maka kini dikeroyok. berdua saja padahal dia sudah terluka maka kakaknya marah-marah karena tetap tak dapat mendesak. Bahkan Ji-lo mo terpelanting oleh sebuah pukulan. Tiat-lui-kang. melontakkan darah segar dan jatuh terduduk. Kakaknya terkejut. Dan ketika Twa lo-mo menjerit dan sadar akan bahaya tapi terlambat menyingkir tiba-tiba sebuah pukulan Petir mengenai lehernya

"Des...!" Iblis inipun bergulingan. Twa-lo-mo sekarang terluka melontakkan darah segar. Dan Kim-mou-eng yang mengejar menyusul lagi tiba-tiba mendaratkan pukulan berikut ke pundak kakek itu. Twa lo-mo berteriak dan kembali terguling-guling. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas hendak merobohkannya dalam satu pukulan terakhir mendadak iblis ini mencelat melompat bangun melarikan dari menyambar adiknya yang juga terluka pukulan berat.

"Kim-mou-eng, kami menyerah kalah. Tapi lain kali kami akan menebus hutang ini!"

Dua kakek iblis itu melarikan diri. Mereka lenyap di balik kegelapan malam, Kim-mou-eng tak mengejar karena teman-temannya yang lain terluka. Dan ketika suasana sepi kembali dan pertempuran usai maka Cu-ciangkun yang terbelalak sudah terhuyung menghampiri pendekar ini.

"Kim-taihiap, terima kasih. Kami benar-benar berhutang jiwa padamu!"

"Ah, sudahlah. Terima kasih itu tak perlu diucapkan, ciangkun. Ini memang kewajiban seorang pendekar. Kau sebaiknya menelan obat ini pula." Kim-mou-eng mengeluarkan pil hijau muda, memberikannya pada panglima itu dan berturut-turut yang lain diberi pula. Bahkan Kim-mou-eng menyalurkan sinkangnya pula membantu yang terluka, mendorong dan mengusir keluar sisa racun dari tubuh semua orang. Tak ada yang tak terluka. Dan ketika semuanya selesai dan Kim-mou-eng menghapus keringat maka Sin-to Sam-enghiong yang menggigil ditolong pendekar ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

"Kim-mou-eng, kami telah mendengar semuanya dari Hek-eng Taihiap. Terima kasih atas bantuanmu, dan maafkan kesalahan kami yang selama ini salah menuduh dirimu!"

"Ah, sudahlah," Kim-mou-eng lagi-lagi tersenyum. "Aku tahu jalan pikiran kalian, sam-wi enghiong. Syukur kalau kalian mengerti. Aku tak mendendam atau sakit hati atas sikap kalian. Sekarang baiknya kita tanya pada Cu-ciangkun apa yang harus kita lakukan."

Dua panglima Cu itu kagum. "Kami menyerahkannya saja padamu, taihiap. Apa yang sebaiknya kita lakukan."

"Bagaimana kalau kita tengok keselamatan pangeran?"

"Setuju, kami juga berpikiran begitu." dan ketika yang lain juga berpikiran sama dan sependapat dengan usul Kim-mou-eng maka malam itu juga mereka lalu meninggalkan tempat itu menuju ke hutan di mana pangeran mahkota sedang berburu. Dan untuk ini mari kita ikuti sejenak perjalanan Salima, yang ditugaskan untuk mengawasi pangeran mahkota itu.

* * * * * * * *

Sama seperti Kim-mou-eng, Salima tak sabar menunggu calon pembunuh yang akan membunuh pangeran mahkota. Hari itu dia langsung ke hutan, Sin Kok dan Hwi Ling mengikuti di belakangnya. Tapi karena dua kakak beradik ini memiliki kepandaian jauh di bawah Salima, maka Salima sudah mendahului memasuki hutan di mana pangeran mahkota siap melakukan perburuannya. Pangeran ini ditemani Fung Miao, gadis cantik yang pandai menyanyi dan pemain musik itu. Salima melihat pangeran ini dikelilingi banyak pengawal yang tegap dan gesit. Sebuah kerangkeng terletak di tengah hutan itu. Kemahpun diberdirikan untuk sang pangeran.

Empat pengawal berbaju bintang kelihatan menjaga, wajah mereka gagah. Itulah empat busu (jagoan istana) yang memimpin pengawal-pengawal lain. Mereka terkenal dengan sebutan Seng-busu (Pengawal Bintang) pandai herkuda dan memiliki ilmu silat tinggi, termasuk jagoan kelas satu di kelompok perwira karena mereka setara dengan panglima muda yang menjaga keselamatan kaisar dan puteranya. Tentu saja merupakan orang pilihan, dan cukup diandalkan.

Pangeran mahkota sendiri di dalam kemah masih beristirahat, saat perburuan belum tiba. Suara musik dan nyanyian terdengar lirih di dalam kemah itu. Sang pangeran sedang dihibur Fung Miao. Dan ketika pengawal yang lain sibuk mencari buruan untuk digiring ke tempat itu maka empat Pengawal Bintang berjaga dengan mata tidak berkedip.

Salima mendongkol. Orang besar memang begitu. Sementara yang lain menjaga keselamatannya maka yang bersangkutan sendiri bersenang-senang mencari hiburan. Salima sebal. Kalau saja bukan karena suhengnya tentu tak sudi ia di sini. Lebih baik membiarkan pangeran itu mampus dan dia menemani suhengnya. Tapi ketika ia melepas kedongkolan dengan berbaring di atas pohon mendadak seorang pengawal berteriak nyaring,

"Seng-busu, buruan telah digiring datang!"

Empat pengawal melompat sigap. Yang lain serentak ribut masing-masing mendapat perintah agar bersiap di tempat. Kerangkeng dibuka pintunya dan Salima mendengar raung menggetarkan mengguncang tanah. Rupanya seekor singa. Dan persis Seng-busu memberi tahu junjungarnya maka di tempat itu muncul seekor singa menyeramkan yang berlari-lari perlahan, berputar-putar dan mencari tempat keluar tapi para pengawal yang mengepung bersorak-sorak. Binatang buas itu dia gebah untuk lebih ke tengah lagi, inilah perburuan yang menyeramkan. Salima terbelalak. Dan ketika suara manusia itu mengganggu singa ini dan singa jantan itu berhenti di tengah mendadak pangeran muncul dengan panah di tangan.

"Biarkan disitu. Jangan ganggu dengan sorakan lagi!"

Singa itu mengaum. Sekarang dia terkurung, matanya yang kuning kemerahan itu tampak buas, mulut dibuka dan taringpun tampak besar-besar dengan gigi mengerikan. Sekali caplok mungkin sebuah kepala bisa masuk. Hewan ini panjang sekali, tak kurang dari dua meter. Dan sang pangeran yang tersenyum menentang gendewanya tiba-tiba berkata pada empat pengawalnya,

"Seng-busu, jaga arah utara dan selatan. Dua di antara kalian melindungiku."

Dua pengawal bergerak seperti yang dimaksud. Mereka memecah diri, dua menghadang arah utara dan selatan sementara dua yang lain lagi menjaga sang pangeran. Singa didekati dan pangeran mahkota itu tampak gembira. Salima mau tak mau menjadi kagum juga akan keberanian pangeran ini, meskipun dilindungi tapi langkahnya yang pasti dan tetap itu menunjukkan kepercayaan dirinya juga. Sikap yang gagah. Dan ketika pangeran menarik busurnya membidik ke depan tiba-tiba singa yang tertegun dan buas itu dipanah kakinya.

"Wut!" Gendewa bergetar. Anak panah dijepret terlepas dari busurnya, demikian cepat dan kuat hingga merupakan setitik cahaya putih meluncur ke depan. Dan ketika anak panah itu berhenti dan menancap di kaki belakang singa itu sekonyong-konyong hewan buas ini mengaum terkejut, marah dan kaget dan tiba-tiba melonjak, melompat tinggi menerjang pangeran mahkota. Nalurinya yang tajam memberitahukan bahwa itulah musuhnya. Dan begitu singa ini bergerak melompat tinggi tahu-tahu mulutnya yang terbuka mengaum itu menubruk pangeran mahkota.

"Awas, pangeran....!" dua tusu di sebelahnya memperingatkan, melindungi pangeran itu melompat ke depan, menyambut terkaman tapi sang pangeran menbentak mereka menyuruh mereka minggir. Dalam keadaan yang cepat itu menarik panah ke dua dan menjepretkan busurnya. Dan ketika singa melompat dan raung menyeramkan itu menggetarkan suasana maka sang pangeran membanting tubuh bergulingan setelah panah ke dua meluncur.

"Crep...!" singa itupun memekik. Kaki depannya kena, singa itu terperosok dengan suara berdebuk. Tubuhnya yang berat terang membuat binatang ini kesakitan, seketika pincang dan mengaum-aum. Tapi ketika dia berdiri lagi dan para pengawal bersorak mendadak singa ini menerjang dan kembali menubruk pangeran mahkota.

"Awas, pangeran...!" teriakan kedua itu menyusul, dua busu kembali melompat di dekat junjungannya. Sang pangeran gembira tapi tak mau dilindungi. Kali ini panah ke tiga sudah di siapkan dan menjepret kembali. Pangeran mahkota itu rupanya ahli panah. Tapi ketika binatang itu menangkis dengan kaki depannya dan panah bengkok mengenai kakinya tiba-tiba dia sudah menerkam dan tiba di depan hidung sang pangeran mahkota.

"Hei...?!" empat Pengawal Bintang berteriak kaget, dua yang di dekat pangeran tiba-tiba berkelebat. Mereka ini bergerak cepat menumbuk badan binatang itu, yang satu berhasil menangkap ekornya pula. Dan persis pangeran terpekik menyabetkan gendewanya, maka tubuh binatang ini ditabrak dan jatuh bergulingan bersama pangeran dan dua pengawal gagah itu.

"Bress!"

Tiga manusia dan binatang buruannya ini tumpang tindih. Pangeran dan pengawalnya terkejut, singa itu juga terkejut. Tapi sang pangeran yang cepat menjauh dan dua pengawalnya membentak menendang singa itu sudah bergulingan melompat bangun ditolong dua temannya yang lain, masing-masing bersiap kembali dan singa itu mengaum, suaranya menggetarkan hutan, bangkit mengibas ekor menubruk lagi.

Kali ini menyambar dua pengawal yang tadi menubruk badannya, dielak dan dipermainkan seolah menghadapi seekor kucing jinak. Para pengawal bersorak lagi melihat sang pangeran selamat. Ketegangan tadi hampir menghentikan denyut jantung mereka. Tapi ketika singa itu menubruk sana-sini dan luput dipermainkan empat Pengawal Bintang yang sengaja mengepung binatang itu tiba-tiba sang pangeran berteriak,

"Kosongkan sebelah kiri, Seng-busu. Aku hendak membidik dua kakinya terakhir!"

Dua pengawal di sebelah kiri mengangguk. Mereka sudah menyingkir, dua temannya di sebelah kanan tetap bekerja. Dan ketika tempat ini kosong dan pangeran membidikkan dua panahnya serentak tiba-tiba singa itu roboh karena dua kakinya yang lain tepat terhunjam mata panah yang tajam.

"Cep-cep!" Singa itu meraung tinggi. Dia roboh terguling, dua busu di sebelah kanan menggerakkan jala, tangkas dan cepat. Dan ketika singa itu menggereng dan meronta-ronta ternyata kepalanya sudah tertakup jala menjirat leher.

"Ha-ha. jangan terlampau keras, Seng-busu. Tarik dan masukkan dia ke dalam kerangkeng!"

Pengawal di depan mengangguk. Satu dari empat Pengawal Bintang tertawa, singa itu mencakar-cakar tapi kepala tak dapat dikeluarkan ditarik dan terjadi adu otot antara pengawal ini dengan binatang buas itu. Betapa pun keempat kaki singa masih bebas, meskipun tertancap panah. Tapi ketika pengawal ini membentak dan ke dua lengannya menggelembung penuh tenaga tiba-tiba binatang itu tertarik dan terus diseret mendekati kerangkeng, pengawal yang lain bersorak-sorak melihat pertunjukan ini.

Salima kagum melihat gwakang (tenaga luar) pengawal itu, memang hebat dan kuat. Dan ketika singa itu menahan tapi terus terseret dan menggereng ketakutan tiba-tiba pengawal ini menendang tubuhnya memasuki mulut kerangkeng, sekaligus membuka kembali jeratan jalanya di kepala binatang itu.

"Brukk!" Singa itu kesakitan. Pengawal menutup kembali pintu kerangkengnya tertawa dan disambut tepuk sorak pengawal-pengawal yang lain. Pangeran sendiri tampak girang dan membersihkan busurnya. Memuji empat Pengawal Bintang tapi mereka juga memuji pangeran itu atas bidikannya yang tepat, tak pernah meleset.

Tapi ketika mereka beramai-ramai menonton singa itu dan puas memandang hasil buruan mendadak raung dan geraman binatang buas lain terdengar di mana-mana, disusul munculnya tiga puluh lebih harimau belang dan singa besar kecil mengepung dan membuat para pengawal dan pangeran terkejut. Jumlah itu terlampau banyak. Sungguh tak diduga. Mungkin anak buah singa yang tertangkap itu. Dan ketika mereka maju melompat dan gigi yang besar itu tampak dimulut yang terbuka sekonyong konyong puluhan binatang buas ini menyerbu pada pengawal dan pangeran yang ada di dekat krangkeng!

"Heii..."

"Awas....!"

Pengawal dan pangeran menjadi panik. Mereka tak tahu dari mana saja munculnya binatang-binatang buas ini. Jumlahnya hampir sama dengan jumlah mereka sendiri. Para pengawal menggerakkan tombak dan golok mereka. Dan ketika raung dan pekik kesakitan terdengar di sana sini tiba-tiba lima ekor harimau dan tiga singa betina menabrak empat Pengawal Bintang dan sang pangeran mahkota.

"Des-des-dess!"

Empat pengawal melindungi pangeran mahkota itu, menangkis dan membentak menghantam delapan hewan buas yang menyerang mereka, pangeran ada di tengah. Dan ketika binatang itu terpelanting tapi roboh menyerang lagi maka sang pangeran yang sudah melepas panahnya membidik satu di antara mereka, kena dan seekor harimau terjungkal. Tewas karena pangeran membidik tenggorokannya, tidak lagi main-main seperti menghadapi singa yang tertangkap itu melainkan sungguh-sungguh. Bidikannya untuk membunuh.

Dan ketika mereka diserang lagi dan pangeran melepas panahnya maka kembali dua hewan buas ini terjungkal, berturut turut hingga delapan binatang itu roboh. Tapi ketika Pengawal Bintang mengusap keringat dan pangeran mengusap gendewanya mendadak sepuluh singa baru datang menerjang!

"Ah, ini tidak beres....!" sang pangeran terkejut.

Empat Pengawal Bintang juga terbelalak dan pucat memandang binatang-binatang buas itu. Anak buah mereka yang lain masih berteriak-teriak dan menghadapi serangan binatang yang datang pertama, jumlahnya masih dua puluh ekor. Tapi karena binatang-binatang baru sudah berdatangan dan mengaum ke arah mereka maka empat Pengawal Bintang ini mencabut senjata dan membabat hewan-hewan buas itu.

"Pangeran, paduka masuk ke dalam. Biar hamba berempat menghadapi binatang-binatang! ini!"

"Tidak," pangeran mahkota ternyata menolak. "Aku tak mau berpangku tangan, Seng-busu. Rupanya binatang-binatang ini dikendalikan seseorang!"

"Tapi paduka menghadapi bahaya. Hamba tak mau paduka celaka!"

"Ah, berburu memang mengandung bahaya, Seng-busu. Siapa tak tahu ini? Kalian jangan ribut mulut saja. Ayo hajar dan bunuh binatang binatang ini!" sang pangeran sudah membidikkan panahnya, satu dua diserang dan beberapa ekor singa roboh. Yang lain mengaum dan marah pada pangeran itu, menubruk tapi Seng busu melindungi. Dan ketika pengawal yang lain ribut-ribut dan bintang buas itu bertambah satu dua dan muncul entah dari mana tiba-tiba belasan pemuda tegap menyeruak dari balik tanaman perdu membantu para pengawal.

"Pangeran kami dari Seng-piauw-pang datang membantu. Tak perlu khawatir!"

Pisau pisau terbang mulai berhamburan, tujuh singa roboh terpekik menerima sambaran senjata-senjata rahasia ini. Para pengawal bersorak dan gembira karena bantuan datang. Tapi Seng-busu dan pangeran mahkota yang menghalau dan membunuh singa-singa lain tiba-tiba terkejut ketika panah dan golok mereka tertangkis sinar-sinar hitam. Anak panah yang ditarik di busur pangeran mahkota malah runtuh sebelum terlepas, singa singa itu dilindungi seseorang. Dan ketika dua dari empat Pengawal Bintang terbelalak diterkam harimau sekonyong-konyong golok mereka mencelat dan sesosok bayangan tertawa bergelak menyambar empat orang ini.

"Seng-busu, kalian mampuslah..... des, plak-plak!"

Empat orang itu tunggang langgang, dua terluka lengannya dicakar harimau belang. Tentu saja kaget dan bergulingan menjauh, menyelamatkan diri. Bayangan yang baru datang itu menggerak-gerakkan lengannya pula meruntuhkan pisau-pisau terbang dari pemuda-pemuda Seng. piauw-pang, di tangannya bersimpan puluhan kerikil hitam yang dipakai menangkis pisau-pisau terbang itu. Dan ketika empat pengawal ini melompat bangun dan anak buah Seng-piauw-pang juga berteriak kaget maka harimau serta puluhan singa yang lain yang dilindungi bayangan ini sudah bergerak lagi menerjang orang-orang itu.

"Hei....!"

"Ahh.....!"

Pangeran mahkota tertegun. Dia melihat lima pemuda roboh diterkam singa, mereka itu bergulat menentang maut. Tangan dan kaki mereka berhadapan dengan taring dan kuku singa yang tajam, berusaha melepaskan diri ketika binatang binatang itu menggeluti mereka. Tapi ketika lima kerikil hitam merolok dari jauh dan lima pemuda ini terkejut tak dapat menggerakkan tubuh sekonyong-konyong jerit mengerikan terdengar di situ.

Lima pemuda ini terobek-robek, tubuh mereka koyak menjadi beberapa potong. Taring dan kuku yang tajam telah menerkam lima pemuda itu. Dan ketika darah menyemprot dan tangan serta kaki putus dirobek binatang-binatang buas itu maka bayangan ini, seorang laki-laki berkedok terbahak menyambar pangeran mahkota persis di saat itu di dalam kemah jerit Fung Miao juga terdengar.

"Aih..." pangeran mahkota itu menggerakkan busurnya. Lawan disambut dengan hantaman gendewa, empat Pengawal Bintang juga membentak menerjang bayangan itu, tak menghiraukan lima hewan buas yang juga menerkam punggung mereka. Dan ketika bayangan itu membalik dan lengan kirinya mengibas sementara lengan kanannya mencengkeram pangeran mahkota maka empat pengawal ini memekik sementara gendewa ditangan pangeran mahkota hancur bertemu lengan bayangan itu.

"Des-des-krak!"

Keadaan sungguh mengejutkan. Empat pengawal terbanting bergulingan, punggung mereka pun robek dicakar harimau. Pangeran mahkota tertangkap dan berteriak, bayangan itu menarik dan menghentak sang pangeran, melemparnya ke arah sekumpulan singa. Tentu saja pangeran mahkota kaget bukan main dan terpekik ngeri. Bayangan itu tertawa bergelak, sang pangeran akan tewas diterkam singa-singa buas itu.

Tapi persis pangeran ini roboh terbanting di tengah kerumunan binatang-binatang itu sekonyong-konyong sebuah bayangan lain berkelebat, membentak dan menyambar tubuh pangeran itu. Lima ekor singa yang mengaum ditendang mencelat, gerakannya cepat dan luar biasa tangkas. Dan ketika sang pangeran tertegun tak tahu apa yang terjadi tahu tahu tubuhnya serasa dibawa melayang ke atas dan hinggap di atas sebatang dahan, duduk di situ.

"Pangeran, kau tenanglah di sini. Biar kuhajar manusia busuk itu!"

Putera mahkota bengong. Sekarang dia sadar duduk di atas sebuah pohon yang tinggi, begitu tinggi sehingga dia ngeri memandang ke bawah. Tempat itu paling aman. Melihat seorang gadis cantik meluncur ke bawah, menyerang bayangan itu. Gadis yang menolongnya dari perbuatan manusia jahat itu. Bukan lain Salima, sumoi dari Kim-mou-eng!

Dan ketika pangeran ini menjublak dan laki-laki berkedok itu terkejut melihat kedatangan gadis ini maka Salima sudah mengepretkan jari-jarinya mainkan Tiat-lui-kang "Manusia busuk, kau sekarang harus membuka kedokmu untuk dilihat siapa dirimu!" Salima menerjang, tak menunda waktu lagi dan sudah bergerak dari tempat persembunyiannya melihat bahaya yang mengancam pangeran mahkota.

Tentu saja marah karena melihat pangeran ini dan para pengawalnya terdesak. Sang pembunuh sudah datang. Dan ketika Salima melengking dan pukulan serta tamparannya meledak bertubi-tubi maka bayangan berkedok ini mengeluh berteriak mundur, tak menduga kedatangan gadis Tar-tar itu yang tentu saja membuat dia kaget. Tiat-lui-kang meledak dan membuat dia kewalahan. Dan ketika dia menangkis dan mencelat setombak maka dia memaki-maki dengan sikap gusar.

"Tiat-ciang Sian-li, kenapa kau mencampuri urusan orang? Tidak adakah pekerjaan lain untukmu hingga mengganggu di sini?"

"Cerewet, aku memang telah menunggumu, manusia busuk. Kalau bukan karena suhengku tentu aku tak ada di sini. Kau mau membunuh pangeran mahkota, aku harus menghajarmu dan menangkapmu!"

"Keparat, kalau begitu kau wanita usil. Kubunuh kau!" dan bayangan itu yang membalas dan tiba-tiba mencabut senjatanya sebuah suling dan tongkat bercagak sekonyong-konyong membalik dan menerjang Salima. Tiat-lui-kang sejenak ditahan.

Salima terkejut karena orang memiliki kepandaian cukup tinggi. Sinkangnya hebat hingga mampu menahan serangannya. Beberapa jurus mereka bertempur pertandingan berjalan ramai. Suling mengaung dan tongkat menderu. Tapi ketika Salima menggerakan lengan kirinya pula melepas pukulan-pukulan berbahaya maka orang ini terkejut ketika suling dan tongkat ditangkis tangan telanjang. Salima mengerahkan Tat-lui-kangnya (Tenaga Petir) hingga suling hancur, tongkat pun remuk ujungnya bertemu Tenaga Petir, tentu saja dia marah dan kaget. Kiranya gadis itu masih lebih kuat.

Dan ketika Salima mendesak dan kembali menekannya dengan pukulan-pukulan Petir sementara tangan kiri gadis itu masih saja menerima dan menangkis serangan tongkatnya maka mendadak laki-laki ini memencet sesuatu di batang tongkatnya hingga lima jarum hitam melesat menyambar Salima, dalam jarak yang cukup dekat.

"Wut-wu-wut!"

Salima membelalakkan mata. Tentu saja ia melihat serangan-serangan gelap itu, orang rupanya curang. Tapi meniup mengerahkan khikangnya (tenaga hawa mulut) tiba-tiba Salima membentak dan meruntuhkan jarum jarum itu. "kau kiranya iblis. Pantas kalau curang!"

Laki-laki itu terbelalak. Dia kaget melihat jarum-jarumnya runtuh, melepas lagi tapi runtuh lagi ditiup Salima. Gadis ini memang hebat. Dan ketika empat lima kali dia melepas jarumnya tapi selalu gagal akhirnya laki-laki ini mulai berusaha melarikan diri. Matanya meliar ke kiri kanan, melihat pertarungan para pengawal dengan binatang-binatang buas juga hampir berakhir, dua muda mudi tiba-tiba muncul, membantu para pengawal dan pemuda-pemuda Seng-piauw-pang. Itulah Sin Kok dan Hwi Ling. Dan ketika Salima mendesak dan dia mundur-mundur maka untuk pertama kalinya pukulan Tiat-lui-kang mengenai tengkuknya.

"Plak!" Laki-laki ini terbanting. Dia mengeluh tapi tidak roboh, bergulingan menjauh dan melompat bangun lagi. Salima terbelalak karena lawan ternyata kuat, orang lain tentu sudah kelengar menerima pukulannya itu. Dan ketika dua tiga kali pukulannya kembali menyambar tapi laki-laki ini tidak roboh maka Salima menjadi gemas sementara lawan tertawa sumbang, gentar.

"Tiat-ciang Sian-li, tanganmu terlalu empuk. Pukulanmu kurang keras!“ orang itu masih coba mengejek.

Salima marah dan melengking tinggi. Kali ini berkelebat mendorong dua tangannya sekaligus. Laki-laki itu terpental dan berteriak tertahan, terbanting dan berdebuk di sana. Kali ini dia terluka, bibirnya mengalirkan darah. Salima girang dan membentak lagi, dua tangannya kembali bergerak. Tapi ketika dia melesat melepas pukulannya itu mendadak laki-laki ini menyambitkan tongkatnya dan melompat bangun melarikan diri.

"Krak!" Salima marah. Tongkat hancur bertemu pukulannya, tentu saja tertahan sejenak dan ia melihat laki-laki itu menyelinap di balik pohon-pohon besar, berlari sambil mendekap dadanya. Tapi Salima yang sudah memekik mengejar laki-laki ini tahu-tahu berjungkir balik di atas kepala orang.

"Kau mau lari ke mana?" Salima mencabut benderanya, langsung mengebut dan pandangan laki-laki itu terhalang. Salima penasaran karena laki-laki itu masih belum diketahui siapa, kedok masih melekat dan Salima sudah mengincar wajah laki-laki ini. Dan ketika laki-laki itu terkejut dan mengelak menjatuhkan diri bergulingan maka saat itu secepat kilat Salima bergerak merenggut kedok laki-laki ini, suaranya serasa sudah dikenal.

"Bret!" Salima dan beberapa pengawal melihat siapa laki-laki itu. Pangeran mahkota yang ada di atas pohon lebih jelas lagi. Seorang laki-laki berkumis yang hidungnya mancung, cukup tampan tapi bola matanya liar. Itulah laki-laki yang dikenal Salima ketika pertama kali bertemu di perkumpulan Seng piauw-pang. Salima tertegun dan laki-laki itu berteriak kaget. Dan ketika laki-laki itu bergulingan menjauh dan pengawal melihat siapa laki-laki ini tiba-tiba yang mengenal sudah berseru tertahan,

"Yu-busu (pengawal Yu )...."

Pangeran mahkota dan empat Pengawal Bintang terbelalak. Mereka melihat bahwa laki-laki itu memang bukan lain Yu-busu, pengawal pribadi ibunda selir yang diketahui cerdik dan berkepandaian tinggi. Kita mengenalnya sebagai sute Coa-ong Tok-kwi pula, tentu saja Salima tertegun dan yang lain-lain terkejut.

Tapi ketika semua orang menjublak mengenal dirinya maka laki-laki ini, Yu Hak melepas senjata terakhirnya berupa granat tangan. Dia menyesal kenapa tidak sedari tadi mempergunakan senjata peledaknya itu. Orang terlanjur mengetahui siapa dia. Laki-laki ini menggereng, marah bukan main pada Salima yang menjadi gara-gara. Dan begitu tangannya bergerak maka tiga granat sekaligus dilempar ke arah gadis ini dan orang-orang lain.

"Awas..!" Salima sadar, berteriak tinggi dan berjungkir balik menangkap sebuah granat yang dilontar ke arahnya. Geraknya begitu cepat hingga granat ini tak sempat menyentuh tanah, dua yang lain sudah meledak menghamburkan debu dan asap. Salima melihat laki-laki itu bergerak ke arah timur. Dan begitu dia membentak menimpuk granat ini maka Salima sudah meretour benda berbahaya itu ke arah tuan pemiliknya.

"Dar!" Asap mengebul di tempat ini. Laki-laki itu terpental, mengaduh dan lenyap tertelan gumpalan awan tebal. Salima buru-buru mengejar ke tempat ini, mencegah lawan lolos. Tapi ketika asap menipis dan dia dapat melihat ke dalam, ternyata laki-laki itu sudah tak ada entah ke mana!

"Keparat! Dia licin bagaikan belut. Siluman!"

Orang-orang sudah mendatangi tempat ini pula. Seng-busu melihat bahwa tempat itu kosong, orang memang telah pergi. Dan ketika mereka mencari namun gagal maka pangeran mahkota yang ada di atas pohon sudah melorot dan turun berteriak-teriak.

"Hei, kalian jangan tertipu. Ini tentu akal siluman betina ini"

Salima terkejut. Pangeran mahkota menuding dirinya, marah-marah. Dan ketika dia bertanya apa maksud pangeran itu maka pangeran ini berkerot gigi mengepal tinju.

"Gadis liar, kau tentu berkomplot dengan orang she Yu itu. Jangan kau menipu kami dengan pertolonganmu yang pura-pura ini!"

Salima kaget. "Apa maksud paduka?"

"Tak perlu pura-pura. Aku tahu kau meloloskan temanmu, Tiat-ciang Sian-li. Kau tak perlu mungkir bahwa entah dengan maksud apa kau mendalangi semua peristiwa ini. Kau gadis liar, aku tak percaya pada maksud baikmu. Lebih baik menyerah dan sekarang kau kutangkap! Hei pengawal, tangkap dan ringkus gadis ini!" pangeran itu mencak-mencak, marah melihat belasan pengawalnya roboh terluka, tujuh di antaranya terbunuh. Menganggap itu muslihat Salima belaka yang pura-pura menolong.

Sungguh Salima marah dituduh seperti ini. Kiranya pangeran itu terhasut demikian dalam oleh Siauw-ongya hingga bersikap apriori pada gadis ini. Baik atau tidak baik Salima tetap dianggap tidak baik. Gadis Tar-tar yang selalu mengacau! Dan Salima yang tentu saja marah diperlakukan seperti ini tiba-tiba berkelebat mencekik pangeran itu!

"Pangeran busuk, kau kiranya manusia tak berjantung. Kubunuh kau!" dan Salima yang sudah membentak menerkam pangeran ini tiba-tiba berhadapan dengan empat batang tombak yang di julurkan empat Pengawal Bintang.

"Mundur!" Seng-busu menghardik, tentu saja melindungi pangeran itu dan Salima ditusuk empat tombak panjang. Tapi Salima yang mengibas dan menggerakkan tangannya ke sana kemari tiba-tiba membuat tombak-tombak itu patah dan lepas dari tangan pemiliknya.

"Plak-plak plak!" Salima sudah meneruskan gerakannya, empat busu itu terpekik dan roboh terlempar. Tapi ketika gadis ini hampir menangkap pangeran itu untuk mencekik lehernya tiba-tiba Sin Kok berkelebat maju berteriak gugup,

"Benar, pangeran...!" pemuda-pemuda itu menjatuhkan diri berlutut. "Yang mengajak kami ke mari adalah Tiat-ciang-lihiap ini. Kami datang untuk menolong paduka di samping hendak membalaskan kematian guru kami!"

"Dan paduka boleh bertanya pada Cu-ciangkun atau Bu-ciangkun, pangeran," Sin Kok menyambung. "Karena mereka juga diancam pembunuhan yang sama seperti paduka ini. Tiat-ciang lihiap memang tidak bersalah. Paduka selama ini terhasut orang lain!"

"Hm!" pangeran masih ragu-ragu. "Dapatkah kupercaya omonganmu ini, saudara Sin Kok? Bagaimana kalau kalian yang justeru tertipu?"

"Tidak, kami tidak tertipu, pangeran. Justeru paduka yang tertipu!"

"Tapi dia melepas Yu-busu. Aku..."

"Tak tahu diri!" Salima tiba-tiba membentak. "Aku tak perduli kau percaya atau tidak, pangeran. Aku tak melepas orang she Yu itu karena dia lolos di balik ledakan granatnya. Kalau kau tak percaya aku juga tak perduli. Aku tak mau tinggal lagi bersama kalian!" Salima berkelebat, memutar tubuhnya dan lenyap dengan kemarahan besar. Kalau bukan karena suhengnya tentu sudah dibunuhnya pangeran ini. Dia kelewat terhina.

Dan Sin Kok yang terkejut melihat kepergian gadis itu tiba-tiba berteriak, "Lihiap, tunggu...!"

Salima tak mau menoleh, Dia tak menghiraukan teriakan itu, sikap pangeran terlampau menyakitkan. Dan ketika Sin Kok kembali berteriak namun ia tidak memperdulikan, maka Salima sudah meluncur menuju kota raja. Pangeran mahkota tertegun. Semua orang juga terkejut, kepergian gadis itu menciutkan nyali mereka. Khawatir musuh datang lagi dan tak ada yang dapat diandalkan. Maklum, Salima merupakan penyelamat yang lihai. Mereka merasa pangeran agak keterlaluan juga.

Dan karena pembunuhan itu hampir terjadi sementara pengawal juga banyak yang luka akhirnya Sin Kok mengharap pangeran pulang kembali. Dan pangeran setuju. Perasaannya terguncang oleh peristiwa itu. Seng-busu dan yang lain-lain gembira. Mereka kembali dengan membawa yang luka-luka sementara yang tewas dimakamkan. Fung Miso ternyata pingsan dalam kekalutan ini, sang pangeran sedih.

Dan ketika rombongan itu pulang kembali dan Sin Kok mengajak agar dari sana pangeran langsung saja ke rumah Kim-taijin untuk meyakinkan ceritanya mendadak di pintu gerbang kota raja mereka bertemu dengan Bu-ciangkun dan lain-lain, Salima ada di situ, di sisi suhengnya, Kim-mou-eng.

"Ah, paduka selamat, pangeran? Syukur, hamba girang melihat paduka kembali!" Bu-ciangkun melompat berseru girang, teman-temannya juga sudah mendekati dan Cu-ciangkun tampak berseri.

Sang pangeran juga gembira, merasa di tengah-tengah kalangan sendiri. Dan ketika yang lain merubung dan mengelilingi pangeran ini maka mereka sudah bicara ini itu menceritakan kejadian masing-masing. Bu-ciangkun sudah mendengar perihal pangeran itu dari Salima. Panglima ini melihat junjungannya selamat. Ganti menceritakan diri sendiri dan teman-temannya. Pangeran mahkota terkejut, mau tak mau harus percaya juga pada panglima ini karena Bu-ciangkun maupun Cu-ciangkun adalah orang-orang yang setia kepada istana.

Dan ketika pangeran itu terbelalak dan Bu-ciangkun menjelaskan bahwa rencara pembunuhan itu diatur oleh Siauw-ongya dan ibunda selir kemungkinan besar juga terlibat maka panglima tinggi besar ini menerangkan bahwa rencana pemberontakan itu memang benar ada dan mereka harus menumpasnya.

"Hamba hampir mampus kalau tak ada Kim-mou-eng dan Hek-eng taihiap, Siang-lo-mo yang menyerang hamba dan Cu-ciangkun. Apa yang dikata Kim-mou-eng tentang Sin-piauw Ang·lojin memang tidak salah!"

"Dan paduka tak perlu terus bercuriga pada Tiat-ciang lihiap. Sumoi Kim-mou-eng ini bekerja sunggung-sungguh untuk keselamatan paduka!"

"Benar, dan Hek-eng Taihiap telah menangkap seseorang, pangeran. Paduka dapat melihatnya di tempat Kim-taijin. Kita kesana dan dengarkan keterangan Kim-taijin!"

Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun yang saling menyambung membuat pangeran mahkota semakin membelalakkan mata. Dia melihat dua orang itu bersungguh-sungguh. Kelakuannya terhadap Salima membuat pangeran ini menyesal. Rencana pemberontakan ternyata memang benar ada. Dua panglimanya itu mengajaknya ke tempat Kim-taijin. Tapi ketika dia menoleh dan tak melihat Salima maupun Kim-mou eng tiba-tiba pangeran itu tertegun.

"Mana mereka?"

Yang lain ikut mencari. Ternyata yang dipandang pangeran adalah tempat di mana Kim-mou-eng dan sumoinya tadi berada. Tentu saja mereka celingukan dan kaget mencari ke sana kemari. Tapi ketika bayangan suheng dan sumoi itu benar-benar tak ada lagi dan orang tak melihat di mana perdekar ini akhirnya Bu-ciangkun menyesal menepuk dahi.

"Celaka, kita mengecewakan mereka. Kita harus minta maaf!"

"Tidak," pangeran mahkota berkata perlahan. “Bukan kalian yang harus minta maaf, ciangkun, tetapi akulah. Aku yang mengecewakan mereka. Kim-mou-eng dan sumoinya berkali-kali mendapat perlakuan buruk dariku. Aku menyesal. Siapa di antara kalian yang tahu di mana kiranya mencari suheng dan sumoi ini? Aku mengundang mereka untuk menyampaikan permintaan maafku. Tolong kalian beri tahu!"

Hek-eng Taihiap maju, tersenyum lebar. "Paduka tak perlu khawatir, pangeran. Hamba dapat menemui mereka memberitahukan maksud paduka. Kim-taihiap tak mungkin meninggalkan kita karena urusan belum semuanya selesai."

"Betul, Kim-mou-eng berjanji untuk membantu kita setuntasnya, pangeran, Hamba lupa dan tak ingat ini!" Bu-ciangkun berseru.

"Kalau begitu di mana mereka?"

"Hamba dapat mencarinya, pangeran. Tapi sebaiknya paduka pergi dulu ke tempat Kim-taijin. Di sana seseorang tertangkap, paduka dapat mendengar apa yang akan terjadi secara lebih jelas."

"Betul!" Bu-ciangkun lagi-lagi berseru, "Kim-mou-eng pasti ketemu lagi, pangeran. Sebaiknya kita ke Kim-taijin dan mendengar rencana pemberontakan itu!"

"Baik, kalau begitu mari ke sana," dan sang pangeran yang termangu sejenak tapi bersinar memandang semua orang akhirnya pergi dan diantar menuju ke gedung Kim-taijin. Sin-to Sam-enghiong dan lain-lain ikut, tapi Hek-eng Taihiap yang tak melihat Yu Bing justeru melepaskan diri dari rombongan ini.

"Pangeran, hamba tak dapat mengantar. Paduka sudah berada di tempat yang aman, ijinkan hamba pergi sebentar untuk nanti kembali lagi."

"Kau mau mencari Kim-mou-eng?"

"Ya."

Dan sang pangeran yang mengucap terima kasih pada pendekar ini dan melanjutkan langkahnya, akhirnya diantar yang lain-lain sementara Hek-eng Taihiap sendiri berkelebat ke lain arah. Bukan sekedar mencari Kim-mou-eng tapi juga Yu Bing, sahabatnya itu yang tidak nampak di antara rombongan. Heran dan tidak enak kenapa pemuda itu tak ada bersama.

Dan begitu pendekar ini menggerakkan kakinya berkelebat lenyap maka di lain tempat pangeran mahkota tiba di tempat Kim-taijin dan kaget melihat tertangkapnya Cu-thaikam di sana! Pangeran ini segera mendengar apa yang terjadi. Keterangan Kim-taijin semakin mempertebal kepercayaannya. Dan ketika pangeran itu berkerot gigi dan marah bukan main maka Kim-taijin, penasihat ayahanda yang amat dipercaya dan setia pada kaisar berkata tenang,

"Paduka tak perlu tergesa-gesa, pangeran. Apa yang telah kita dengar dari Cu-thaikam sebaiknya kita hadapi dengan kepala dingin. Hati boleh panas, tapi pikiran tetap bekerja tenang sampai kakak paduka tertangkap basah..."