PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 23
KARYA BATARA
KIM MOU ENG menggeram. "Saksinya adalah sumoiku ini, paduka selir. Dialah yang tahu apa yang terjadi di sana!"
"Oh, sumoimu sendiri? Mana dapat dipercaya? Seorang saksi harus orang lain, Kim-mou-eng. Sri baginda tentu tak akan mempercayaimu karena kalian bisa saja dianggap berkomplot. Itu bukan saksi!" dan ketika kaisar juga mengangguk dan Kim-mou-eng marah mendadak Salima berkelebat maju menangkap selir ini, tak tahan lagi.
"Suheng, ibu seorang busuk tentu busuk pula perangainya. Sebaiknya wanita ini ditarik lidahnya agar tidak mengeluarkan kata kata busuk!"
Salima sudah mencengkeram membanting dan melempar wanita itu hingga Sien Nio menjerit, terpekik terguling-guling. Salima tak dapat menahan dirinya lagi karena suhengnya berkali-kali dipukul, disemprot dan dihina. Dan ketika ia berkelebat lagi dan Bu-ciangkun serta Cu-ciangkun berteriak kaget tiba-tiba Kim-mou-eng maju menyambar mencegah sumoinya ini, melihat bayangan pangeran mahkota memasuki ruangan.
"Sumoi, jangan membunuh. Tahan!"
Salima maunya menolak. Dia sudah memberontak dan siap menghajar lawannya itu, Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun sudah melindungi selir kaisar ini. Betapapun mereka marah kepada Salima, di depan kaisar berani membuat onar. Tapi ketika suhengnya mencengkeram dan Salima tak dapat melepaskan diri maka berkatalah pendekar ini menghadapi kaisar.
"Sri baginda, rupanya apa yang hamba laporkan mendapat tanggapan salah. Kalau paduka masih mempercayai selir paduka itu biarlah hamba pergi. Hamba tak bermaksud membuat onar!"
"Oh, pergi setelah menggaplok orang? Tidak, Kim-mou-eng dan sumoinya ini harus ditangkap, baginda. Jatuh nama paduka nanti kalau membiarkan mereka begitu saja!"
Sien Nio berteriak marah. kaisar dapat melihat itu dan membenarkan omongan ini. Kewibawaannya bisa jatuh di mata orang lain. Betapapun Kim-mou-eng rupanya tersudut dan tak dapat menangkis omongan selirnya. Kim-mou-eng tak punya saksi. Sumoinya sendiri tak bisa dianggap saksi karena mereka berdua adalah suheng dan sumoi, sekomplot. Dan ketika selirnya berseru marah dan kembali mengingatkan kebesaran seorang kaisar maka pangeran mahkota yang telah tiba di dalam juga berseru,
"Benar, mereka menginjak injak kita, ayahanda. Sebaiknya Kim-mou-eng dan sumoinya ini dibekuk. Hamba juga tak percaya mereka!"
Lengkaplah sudah. Kaisar menjadi marah, matanya berapi dan Kim-mou-eng dianggap pengacau. Malam-malam membangunkan tidurnya tapi tuduhan tak terbukti. Dan ketika Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun mendapat isyarat tiba-tiba kaisar menggebrak lengan kursi menyuruh pengawalnya menangkap dua orang itu.
"Baik, bekuk mereka!
Bu-ciangkun dan temannya bergerak. Mereka sudah menerjang dibantu pengawal pengawal lain, para busu dan si-wi maju menghambur. Bu-ciangkun tak gentar meskipun agak ragu. Maklum, dulu mereka tak berhasil mengalahkan Pendekar Rambut Emas ini, ketika mereka masih utuh sebagai Jit-liong Ciangkun. Dan ketika semua orang menubruk dan Salima mendapat serangan tombak tiba-tiba gadis ini menerimanya sekaligus mematahkannya.
"Terima kembali!" gadis itu membentak, patahan tombak dilontarkan dan meluncur ketenggorokan pemilik tombak, tentu tewas kalau Kim-mou-eng tidak mengibaskan lengannya dari jauh, berseru agar sumoinya tidak membunuh.
Dan ketika yang lain-lain kembali datang menyerbu dan Kim-mou-eng mengerutkan kening tiba-tiba pendekar ini menyapu semua orang hingga semua senjata rontok terpukul. Dan ketika semua orang terhuyung dan berseru keras tahu-tahu Kim-mou-eng menyambar sumöinya mengajak pergi. "Sumoi, tinggalkan tempat ini. Tak perlu bertempur!"
Salima melotot. Sebenarnya dia ingin menumpahkan kemarahan di situ, terutama pada si selir kaisar dan Liang-taijin. Marahnya bukan main. Tapi karena suhengnya membetot dan Kim-mou-eng tidak memberi kesempatan padanya untuk menolak tiba-tiba saja mereka itu melewati kepala banyak orang dan lolos keluar, lenyap.
"Kejar mereka, tangkap..."
Namun seruan Sien Nio ini sia sia belaka. Orang boleh memburu Kim-mou-eng, mencegah dan menyerangnya. Tapi kalau Kim-mou-eng mau menghilang siapa dapat mengikuti? Maka biarpun pengawal di luar sudah mengejar dan mengepung pendekar itu tetap saja Kim-mou-eng tak dapat dicegah dan melompati kepala mereka. Gerakannya seperti iblis atau asap saja, menghilang dan sebentar kemudian tak diketahui di mana adanya.
Dan ketika Bu-ciangkun juga gagal mengejar pendekar ini dan Sien Nio marah marah maka malam itu kaisar ikut berang dan gusar pada Kim-mou-eng, menyuruh penjagaan diperketat dan para pengawal dikerahkan beberapa kali lipat. Kaisar tak mau terganggu tidurnya. Dan ketika semua orang ribut membicarakan ini maka di lain tempat Kim-mou-eng dan sumoinya telah meluncur jauh meninggalkan kota raja.
”Suheng, apa artinya ini? Kenapa kau mencegah aku membunuh?"
Salima memprotes, kini mereka berhenti dan Kim-mou-eng berkerut-kerut keningnya. Sungguh gelap mukanya. Dan ketika sumoinya kembali marah dan bertanya padanya akhirnya pendekar ini duduk dengan mata bersinar-sinar.
"Sumoi, aku tak mau kau membunuh karena aku terpukul oleh kata-kata pangeran mahkota. Aku tak mau dicap bahwa kedatanganku selalu membawa korban!"
"Tapi mereka yang lebih dulu menyerang, dan ibu Pangeran Muda itu jahat benar mulutnya!"
"Itulah, aku merasa kalah bertanding lidah sumoi. Tapi aku tetap akan mengusut ini sampai tuntas. Aku penasaran oleh kebohongan selir itu!"
"Apa lagi yang mau kaulakukan?"
"Kembali ke kota raja, mencari bukti yang kongkrit hingga Pangeran Muda dan ibunya tak bisa berkutik!"
"Kau gila? Kau masih saja mau mengurusi Ini? Kau tak dipercaya, suheng. Bahkan pangeran mahkota menganggapmu sebagai pengacau karena kau bangsa Tar-tar!"
"Tidak, aku tak sepenuhnya berdarah Tar-tar, sumoi. Ibuku adalah seorang wanita Han. Aku berdarah campuran dan tidak benar dikata sebagai Tar-tår sepenuhnya!" dan marah mengenang kejadian itu tiba-tiba Kim-mou-eng bangkit berdiri. "Sumoi, sebaiknya kau kembali saja ke suku bangsa kita. Aku ingin bekerja sendirian. Aku khawatir kau menurunkan tangan besi terhadap lawan-lawanku!"
Salima melonjak, tiba-tiba bangkit berdiri pula. "Kau mengusirku?"matanya bersinar-sinar, berkilat bagai api. "Kau tak mau kuikuti lagi, suheng?"
"Eh, bukan begitu," Kim-mou-eng terkejut, sadar. "Yang kumaksud adalah biarkan aku tenang melakukan apa yang akan kulakukan ini sumoi. Aku tidak mengusirmu melainkan minta agar kau menjauhi persoalan ini."
"Sama saja. Itu artinya mengusir! Apa yang telah kulakukan hingga kau tak senang padaku. suheng? Bukankah semua nasihatmu kuturut? Kau bilang jangan membunuh dan akupun tidak membunuh. Kau bilang kita pergi dan akupun pergi. Apalagi yang tidak kuturuti? Kau mau beralasan apa lagi?"
Kim-mou-eng tertegun, dan sumoinya menyemprot lagi. "Dan kau tak perlu menyembunyikan sesuatu, suheng. Aku tahu apa yang menjadi beban pikiranmu. Kau rupanya mau menemui puteri Wang-taijin itu!"
"Ah!" Kim-mou-eng terkejut. "Omongan apa ini? Siapa bilang? Tidak, kau salah paham, Sumoi. Aku tidak memikirkan itu selain persoalan Pangeran Muda. Kau salah paham. Kau ngawur. Tidak betul!" dan Kim-mou-eng yang buru-buru menenangkan pada sumoinya bahwa dia semata memikirkan rencana pemberontakan itu dan menjelaskan bahwa dia khawatir sumoinya menurunkan tangan besi kalau ikut campur akhirnya disambut jengekan sumoinya yang mencibirkan bibir ini.
"Tapi aku selalu patuh padamu, suheng. Meskipun hampir aku tak dapat menahan diri tapi selalu kuturut nasihatmu. Mau apalagi? Kurang apalagi? Bukankah aku tak melanggar laranganmu?"
"Benar, tapi..."
"Tapi kau mau menjenguk Wang-siocia itu, bukan? Baik, lakukanlah. Dan aku akan mengamuk di kota raja sampai mampus!" Salima terisak, memutar tubuh dan berkelebat menuju kota raja,balik lagi dan terbang tidak menghiraukan suhengnya.
Kim-mou-eng tersentak dan membelalakkan mata. Tapi begitu sadar berseru keras tiba-tiba pendekar ini melayang di atas kepala sumoinya. "Sumoi, tahan. Jangan mengacau!"
Kim-mou-eng menangkap pundak sumoinya itu, Salima melengking dan mengelak, tiba-tiba menendang dan menampar suhengnya itu. Dan ketika pukulan mengenai suhengnya dan Kim-mou-eng tidak mengelak tiba-tiba suara "plak" yang keras membuat pendekar ini terhuyung. Salima tertegun.
"Kau...?!"
"Kau pukullah aku, sumoi. Kau lampiaskanlah kemarahanmu daripada kau membuat onar di sana. Tamparlah, pukullah, aku menyiapkan diri untuk menerima cemburumu yang tidak bertanggung jawab ini!"
Kim-mou-eng memutus, pandang matanya penuh sesal dan sedih memandang sumoinya itu Salima tentu saja terbálalak dan mundur. Dan ketika suhengnya maju kembali dan menyiapkan pipinya digaplok tiba-tiba Salima menangis menubruk suhengnya itu.
"Suheng, maafkan aku..!" gadis itu mengguguk, mengelus dan sebentar kemudian menciumi pipi suhengnya itu. Kim mou eng terharu. Salima memang tak bermaksud menamparnya kalau bukan karena cemburu. Betapapun dia menghela nafas. Dan ketika dengan air mata bercucuran sumoinya itu menciumi pipinya penuh sesal dan dua mata mereka beradu pandang tiba tiba seolah mignit bertemu magnit Kim-mou-eng menundukkan kepalanya dan....! mencium bibir sumoinya itu.
"Sumoi...!"
"Suheng...!"
Dua mulut bertaut erat. Salima menggelinjang penuh bahagia didekapan suhengnya itu. Bumi serasa berputar, kaki serasa melayang di tempat yang lain. Tinggi, tinggi sekali.Serasa di àwang awang tempat para bidadari dan peri peri cantik. Salima mengeluh dan membalas ciuman suhengnya itu. Dan ketika mereka terengah dan melepaskan diri tiba-tiba Salima mengeluarkan érangan lirih dan... menyembunyikan mukanya di dada suhengnya itu, tak sanggup beradu pandang,
"Suheng, maafkan aku. Aku... aku memang tak bertanggung jawab..."
"Sudahlah," Kim-mou-eng sadar, merah mukanya menahan nafsu. "Aku tahu apa yang menjadi jalan pikiranmu, sumoi. Tapi tuduhanmu tadi sungguh mengejutkan aku!"
"Maaf, aku... aku cemburu, suheng. Tapi cinta tanpa cemburu bukanlah cinta, bukan?"
"Hm...." Kim-mou-eng berdebar, betapapun hampir dia mabok oleh ciuman tadi. Begitu nikmat menyesap sumsum tulang belakangnya. Hampir dia melakukan tindakan lebih jauh! Tapi menahan diri mencium rambut sumoinya akhirnya pendekar ini mendorong sumoinya beradu pandang.
"Sumoi, dapatkah kau tidak membicarakan puteri Wang-taijin itu lagi?”
"Kenapa?"
"Aku tak suka, sumoi. Aku ingin memusatkan perhatianku pada masalah pemberontakan itu!" Kim-mou-eng memejamkan mata, sesungguhnya bukan karena itu tapi karena teringat janjinya pada Cao Cun. Bahwa dia akan mengambil gadis itu sebagai isterinya padahal dia telah melakukan hal yang sama pada sumoinya ini (terikat). Dan ketika sumoinya mengangguk dan tersenyum memandangnya tiba-tiba sumoinya itu tertawa, manis sekali.
"Suheng, kau bersikeras berarti mencampuri urusan pemberontak. Ada apa sih? Kau pingin mendapat pangkat dari kaisar?"
"Tidak," Kim-mou-eng bersungguh-sungguh. "Aku tidak mengharapkan sesuatu dari permasalahan ini. sumoi. Melainkan semata kulihat orang-orang tidak benar macam Siauw bin kwi dan kawan kawannya itu ada di pihak Pangeran Muda."
"Tapi kau mencampuri urusan orang lain. Pangeran mahkota dan kaisar sendiri tidak menganggapmu sebagai bangsa Han."
"Aku tak perduli. Permasalahannya sekarang menyangkut kebenaran dan kezaliman, sumoi. Perbedaan kulit dan suku bagiku tak menghalang. Aku ingin menenangkan arwah Seng piauw-pangcu dan aku akan mencari catatan yang dulu hilang dibawa A-cong!"
"A-сiong? Siapa itu?" Salima mengerutkan kening. "Oh, kacung Sin Meng itu?” dia tiba-tiba teringat menjawab sendiri. Tapi bocah ini telah tewas, suheng. Bagaimana mencarinya?"
"Aku akan mencari pembunuhnya, sumoi. Dan aku akan melacaknya ke Pi-yang!" Kim-mou-eng bersinar-sinar, telah merencanakan sesuatu dan sumoinya tertegun. Dan ketika dia bertanya lagi bagaimana suhengnya itu akan mencari si pembunuh maka Kim-mou-eng menjawab, "Aku akan menangkap anak walikota itu, sumoi. Dan dari sini aku akan terus ke atas menangkap Hong Jin dan yang lain lain."
"Si muka kuning itu?"
"Ya, sute mendiang Seng piauw-pangcu. "Dan aku, hm... apakah aku tak boleh iküt, suheng? Kau tetap..."
"Tidak, kau tetap membantuku, sumoi. Tak perlu kembali..." Kim-mou-eng buru-buru memotong. "Tapi..."
"Tapi apalagi?“ Salima agak cemas.
"Kita harus membagi pekerjaan, sumoi. Kau terpaksa ke lain tempat dan kita berpisah sejenak."
"Tak mau!" Salima tiba-tiba menggeleng. "Aku tak mau berpisah, suheng. Aku ingin selalu di dekatmu. Hidup mati aku ingin bersamamu!"
Kim-mou-eng tergetar. Pandang mata sumoainya yang tajam menusuk tapi lembut mengharukan membuat dia tersentuh, begitu mesra tapi keras. Keras tak mau berpisah! Dan ketika sumoinya menubruk dan menangkap léngannya Salima meneruskan, "Aku tak mau berpisah lagi, suheng. Aku khawatir seperti kejadian di telaga. Kalau kau tak datang tentu aku sudah menjadi bahan hinaan musuhku. Tidak, kita melakukan pekerjaan bersama-sama!"
Dan tak mau melepas lengan suhengnya tiba-tiba Salima si Dewi Bertangan Besi ini terisak menyembunyikan mukanya. Kim mou eng lagi lagi terharu dan mengelus kepala sumoinya itu Keadaan membawa mereka pada suasana lembut, getaran cinta kasih membuat kembang-kembang seakan mekar bersemi, membuka sayap kuncupnya lebar lebar. Betapapun sikap dan kata-kata si Dewi Bertangan Besi itu jelas memperlihatkan perasaannya yang dalam. Dan ketika Kim-mou-eng kembali mengelus kepala sumoinya dan Salima terguncang maka pendekar ini menarik napas memberi pengertian.
"Sumoi, dengar baik-baik kata-kataku ini. Pekerjaan kita terlalu banyak. Aku minta tolong padamu untuk pekerjaan yang ringan. Kau dengarlah dulu jangan memotong. Kau tentu mau membantuku, bukan?"
"Tentu, tapi jangan berpisah, suheng. Aku ingin melakukan itu bersama sama dirimu!"
"Tentu saja, tapi tak selamanya kita harus berdua, sumoi. Ada saat-saat dimana kita harus mengerjakan tugas masing-masing. Dan kini saat itu tiba, harap kau bersikap dewasa!"
"Apa yang kau maksud?"
"Ke perkumpulan Seng piauw-pang, sumoi. Cari dan kumpulkan bekas anak buah perkumpulan itu."
Salima terbelalak. "Mengumpulkan bekas anak buah perkumpulan yang sudah mörat-marit itu?"
"Demi keberhasilan, sumoi. Karena tak mungkin kita hanya berdua saja, meskipun kepandaianmu dapat diandalkan!"
Salima tertegun. Sekarang dia berkejap-kejap, rupanya heran tapi juga bingung akan jalan pikiran suhengnya, mau bertanya. Tapi Kim-mou-eng yang sudah mendahului mengulapkan lengan berkata, "lni persoalan serius, Sumoi Kita tak cukup berdua saja menandingi kekuatan lawan. Kita harus mencari bantuan dan orang orang Seng. piauw-pang itu dapat dipakai. Kematian ketuanya tentu membangkitkan kemarahan mereka! Kau mengerti?"
"Ya, tapi ke mana aku membawa mereka itu, suheng? Aku dapat mencari dan mengumpulkan mereka, tapi tak tahu harus kubawa ke mana mereka itu!"
"Langsung saja ke kota raja, kenapa pusing? Biarkan mereka berada di sana, sumoi. Dan suruh mereka menunggu sampai mendapat aba-aba kita. Cari tiga yang terpandai di antara mereka dan perintahkan yang tiga ini mengatur teman-temannya."
"Baik, kapan aku harus berangkat? Malam ini juga?"
Kim mou eng tertegun. Dia menangkap isyarat tertentu dari pertanyaan sumoinya ini, seakan uji coba. Sumoinya memandangnya tajam dan bola mata yang merelap itu bersinar-sinar kepadanya. Suara yang gelisah dan agak tak puas terkandung di situ. Kim-mou-eng menenangkan getaran perasaannya, menghela napas. Dan karena malam malam tak enak melepas sumoinya pergi sendiri akhirnya Kim-mou-eng sadar bahwa sumoinya ini betapa pun tak menghendaki perpisahan mereka di saat itu. Sumoinya agaknya menginginkan malam itu mereka tetap berdua, sampai besok. Dan karena menyadari bentuk pertanyaan itu bersifat uji coba dan takut sumoinya marah tiba-tiba pendekar ini menarik sumoinya bertanya tersenyum,
"Kau sendiri, kapan berangkat, sumoi? Kau mau malam-malam begini pergi?"
Salima terkejut. "Kenapa balik bertanya? Bukankah yang mengatur adalah kau, suheng?"
"Benar, tapi aku juga ingin tahu pendapatmu, sumoi. Apakah malam-malam begini kau mau berangkat atau tidak!"
"Itu terserah dirimu, aku sih hanya mengikut."
"Kalau begitu malam ini kita berdua. Besok kita berpisah menunaikan tugas masing-masing. Kita tidur di sini, di dalam hutan. Kau setuju?"
Senyum Salima mendadak merekah. Dia mengangguk dan sorot mata girang terpancar dari sepasang matanya yang melebar itu. Dugaan Kim-mou-eng tepat. Sumoinya ingin berdua dulu sebelum mereka berpisah, sampai keesokan harinya. Dan ketika malam itu Kim-mou-eng membuat api unggun dan sang sumoi merebahkan diri maka Pendekar Rambüt Emas ini melepas mantelnya.
"Sumoi, lantai tanah amat dingin. Sebaiknya kau pakai ini sebagai alas.“
"Kau sendiri?"
"Aku akan bersamadhi, sumoi. Tak kuperlukan benda itu. Pakailah."
"Terima kasih." dan Salima yang gembira mempergunakan mantol suhengnya akhirnya merebahkan diri sambil tersenyum. Kim-mou-eng masih memberinya sebuah selimut, mereka bercakap-cakap sejenak. Dan ketika kantuk mulai menyerang sumoinya itu dan Kim-mou-eng tertawa pendekar ini akhirnya menyuruh sumoinya tidur.
"Sumoi, kau tidurlah. Aku akan menjagamu."
"Mmm..." dan Salima yang sudah tertidur memejamkan mata tiba-tiba pulas dan menyungging sebuah senyum manis di bibirnya, tenang dan amat bahagia berada di dekat api unggun. Atau, lebih tepat, tenang dan bahagia berada di dekat suhengnya ini.
Kim-mau-eng sudah bersamadhi dan tersenyum melihat keadaan sumoinya itu. Dan ketika malam itu mereka melewatkan kesunyian dengan cara masing-masing dan menjelang pagi Kim-mou-eng membuka matanya maka pendekar ini terpesona melihat kecantikan sumoinya itu. Salima berkali-kali mengigau. Dua kali menyebut namanya. Kim-mou-eng terharu. Dan ketika gadis itu menggeliat dan sebelah lengan diletakkan di atas dahi tiba-tiba Kim-mou-eng ternganga, melihat betapa manis dan cantiknya sumoinya itu. Sejam mengagumi keindahan ini dengan mata bersinar sinar.
Kokok ayam hutanpun mulai terdengar. Dan ketika warna semburat mulai membayang di ufuk timur tiba-tiba Kim mou eng sadar bahwa perpisahan harus segera diadakan. Waktu untuk berdua telah habis. Kim-mou-eng terpesona dan menundukkan kepalanya. Dan ketika sumoinya mengigau dan kembali menyebut namanya tiba-tiba pendekar ini mencium sumoinya penuh kasih sayang, dua kali di pipi kiri kanan.
"Sumoi, aku pergi. Kita berpisah dulu....!"
Salima mengeluh. Kim-mou-eng telah berkelebat lenyap meninggalkan sumoinya itu. Salima sadar dan terkejut, membuka mata. Dan begitu melompat bangun melihat suhengnya terbang di kejauhan sana tiba-tiba Salima berteriak, "Suheng, di mana kita bertemu nanti?“
"Di kota raja, sumoi. Maaf aku meninggalkanmu duluan!"
Kim-mou-eng sempat menangkap pertanyaan sumoinya, balas merjawab dan akhirnya lenyap di luar hutan. Salima tertegun dan tampak kecewa. Tapi mengusap pipinya dua kali bekas ciuman suhengnya tadi. Salima pun melipat selimut merapikan buntalannya, sejenak termangu dan menarik napas panjang. Pagi telah tiba dan merekapun harus berpisah. Tugas menanti di depan mata. Dan begitu kantuk lenyap dan sisa kelelahan telah sirna dari tubuhnya tiba-tiba Salima meggerakkan kaki dan lenyap menuju perkumpulan Seng-piauw-pang.
Tak sukar bagi Kim-mou-eng mencari anak walikota Pi-yang ini. Sion kongcu lagi enak-enak tidur di kamarnya ketika Kim mou eng datang. Kaget bukan main melihat Pendekar itu datang, Siong kongcu menggigil dan langsung pucat oleh kehadirannya yang tidak disangka-sangka. Mata dikejap seolah tak percaya. Tapi ketika Kim-mou-eng menotoknya roboh dan menyuruh pemuda itu menjawab pertanyaannya mendadak pemuda ini gemetar menggeleng berulang-ulang.
"Aku tak tahu....aku tak tahu, Kim-taihiap. Ampunkan aku....!"
"Kau bohong. Kau tahu di mana gurumu itu berada. Kau minta kusıksa agar mengaku dengan benar?"
"Tidak, jangan... tidak, taihiap. Ampun!"
"Kalau begitu katakan di mana gurumu itu. Siapa yang membunuh A-ciong!"
Siong-kongcu menggigil. "Taihiap, aku sungguh mati tak tahu siapa yang membunuh anak laki-laki itu. Tapi suhu menyebut-nyebut seorang bernama Yu Hak. Barangkali dia."
"Siapa Yu Hak? Di mana dapat kutemui?"
"Aku tak tahu, taihiap. Yang dapat menunjukkan adalah suhu!"
"Baik, di mana gurumu sekarang?"
Mata pemuda ini jelalatan. "Di... di barat kota."
"Di mana itu?"
"Di sebuah rumah di pinggiran, taihiap! Gedung peristirahatan ayah yang biasa dipakai menjamu tamu-tamu dari pusat."
"Kalau begitu kau ikut aku."
"Tidak, eh...!" tapi Siong kongcu yang sudah disambar dan dibawa melayang keluar tiba-tiba terhenti teriakannya karena Kim-mou-eng sudah membawanya menerobos jendela, seruannya tercekik karena Pendekar Rambut Emas tak membiarkannya banyak bicara lagi. Pemuda itu dibawa terbang ke barat kota, sebentar kemudian telah tiba di sebuah bangunan baru yang sunyi, seperti yang dikata pemuda itu. Dan ketika Siong kongcu dilepaskan dan disuruh berjalan di depan tiba-tiba pemuda ini menangis.
"Taihiap, ampun. Aku... aku tak berani memasuki rumah itu!"
"Kenapa? Bukankah ini rumah ayahmu sendiri?"
"Benar, tapi.... tapi...."
Kim-mou-eng tak sabar jadinya. Dia menendang pemuda itu hingga Siong-kongcu menjerit, langsung memasuki pintu depan. Pendekar ini tak takut karena Hong Jin dan yang lain-lain bukanlah lawan berat. Tapi begitu Siong-kongcu memasuki rumah dan terbanting di lantai mendadak delapan tombak menyambar pemuda ini dari langit-langit ruangan.
"Aduh....!" Kim-mou-eng terkejut. Dia melompat melihat pemuda itu tersate tubuhnya. Siong-kongcu menggelepar dan mendelik padanya, langit-langit ruangan menunjukkan delapan lubang bekas sembunyian delapan tombak itu. Kiranya rumah ini mengandung "ranjau", pantas Siong-kongcu tak mau masuk dan ketakutan. Kini menuding-nuding tapi terkulai lemah, tewas!
"Oh, sumoimu sendiri? Mana dapat dipercaya? Seorang saksi harus orang lain, Kim-mou-eng. Sri baginda tentu tak akan mempercayaimu karena kalian bisa saja dianggap berkomplot. Itu bukan saksi!" dan ketika kaisar juga mengangguk dan Kim-mou-eng marah mendadak Salima berkelebat maju menangkap selir ini, tak tahan lagi.
"Suheng, ibu seorang busuk tentu busuk pula perangainya. Sebaiknya wanita ini ditarik lidahnya agar tidak mengeluarkan kata kata busuk!"
Salima sudah mencengkeram membanting dan melempar wanita itu hingga Sien Nio menjerit, terpekik terguling-guling. Salima tak dapat menahan dirinya lagi karena suhengnya berkali-kali dipukul, disemprot dan dihina. Dan ketika ia berkelebat lagi dan Bu-ciangkun serta Cu-ciangkun berteriak kaget tiba-tiba Kim-mou-eng maju menyambar mencegah sumoinya ini, melihat bayangan pangeran mahkota memasuki ruangan.
"Sumoi, jangan membunuh. Tahan!"
Salima maunya menolak. Dia sudah memberontak dan siap menghajar lawannya itu, Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun sudah melindungi selir kaisar ini. Betapapun mereka marah kepada Salima, di depan kaisar berani membuat onar. Tapi ketika suhengnya mencengkeram dan Salima tak dapat melepaskan diri maka berkatalah pendekar ini menghadapi kaisar.
"Sri baginda, rupanya apa yang hamba laporkan mendapat tanggapan salah. Kalau paduka masih mempercayai selir paduka itu biarlah hamba pergi. Hamba tak bermaksud membuat onar!"
"Oh, pergi setelah menggaplok orang? Tidak, Kim-mou-eng dan sumoinya ini harus ditangkap, baginda. Jatuh nama paduka nanti kalau membiarkan mereka begitu saja!"
Sien Nio berteriak marah. kaisar dapat melihat itu dan membenarkan omongan ini. Kewibawaannya bisa jatuh di mata orang lain. Betapapun Kim-mou-eng rupanya tersudut dan tak dapat menangkis omongan selirnya. Kim-mou-eng tak punya saksi. Sumoinya sendiri tak bisa dianggap saksi karena mereka berdua adalah suheng dan sumoi, sekomplot. Dan ketika selirnya berseru marah dan kembali mengingatkan kebesaran seorang kaisar maka pangeran mahkota yang telah tiba di dalam juga berseru,
"Benar, mereka menginjak injak kita, ayahanda. Sebaiknya Kim-mou-eng dan sumoinya ini dibekuk. Hamba juga tak percaya mereka!"
Lengkaplah sudah. Kaisar menjadi marah, matanya berapi dan Kim-mou-eng dianggap pengacau. Malam-malam membangunkan tidurnya tapi tuduhan tak terbukti. Dan ketika Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun mendapat isyarat tiba-tiba kaisar menggebrak lengan kursi menyuruh pengawalnya menangkap dua orang itu.
"Baik, bekuk mereka!
Bu-ciangkun dan temannya bergerak. Mereka sudah menerjang dibantu pengawal pengawal lain, para busu dan si-wi maju menghambur. Bu-ciangkun tak gentar meskipun agak ragu. Maklum, dulu mereka tak berhasil mengalahkan Pendekar Rambut Emas ini, ketika mereka masih utuh sebagai Jit-liong Ciangkun. Dan ketika semua orang menubruk dan Salima mendapat serangan tombak tiba-tiba gadis ini menerimanya sekaligus mematahkannya.
"Terima kembali!" gadis itu membentak, patahan tombak dilontarkan dan meluncur ketenggorokan pemilik tombak, tentu tewas kalau Kim-mou-eng tidak mengibaskan lengannya dari jauh, berseru agar sumoinya tidak membunuh.
Dan ketika yang lain-lain kembali datang menyerbu dan Kim-mou-eng mengerutkan kening tiba-tiba pendekar ini menyapu semua orang hingga semua senjata rontok terpukul. Dan ketika semua orang terhuyung dan berseru keras tahu-tahu Kim-mou-eng menyambar sumöinya mengajak pergi. "Sumoi, tinggalkan tempat ini. Tak perlu bertempur!"
Salima melotot. Sebenarnya dia ingin menumpahkan kemarahan di situ, terutama pada si selir kaisar dan Liang-taijin. Marahnya bukan main. Tapi karena suhengnya membetot dan Kim-mou-eng tidak memberi kesempatan padanya untuk menolak tiba-tiba saja mereka itu melewati kepala banyak orang dan lolos keluar, lenyap.
"Kejar mereka, tangkap..."
Namun seruan Sien Nio ini sia sia belaka. Orang boleh memburu Kim-mou-eng, mencegah dan menyerangnya. Tapi kalau Kim-mou-eng mau menghilang siapa dapat mengikuti? Maka biarpun pengawal di luar sudah mengejar dan mengepung pendekar itu tetap saja Kim-mou-eng tak dapat dicegah dan melompati kepala mereka. Gerakannya seperti iblis atau asap saja, menghilang dan sebentar kemudian tak diketahui di mana adanya.
Dan ketika Bu-ciangkun juga gagal mengejar pendekar ini dan Sien Nio marah marah maka malam itu kaisar ikut berang dan gusar pada Kim-mou-eng, menyuruh penjagaan diperketat dan para pengawal dikerahkan beberapa kali lipat. Kaisar tak mau terganggu tidurnya. Dan ketika semua orang ribut membicarakan ini maka di lain tempat Kim-mou-eng dan sumoinya telah meluncur jauh meninggalkan kota raja.
* * * * * * * *
”Suheng, apa artinya ini? Kenapa kau mencegah aku membunuh?"
Salima memprotes, kini mereka berhenti dan Kim-mou-eng berkerut-kerut keningnya. Sungguh gelap mukanya. Dan ketika sumoinya kembali marah dan bertanya padanya akhirnya pendekar ini duduk dengan mata bersinar-sinar.
"Sumoi, aku tak mau kau membunuh karena aku terpukul oleh kata-kata pangeran mahkota. Aku tak mau dicap bahwa kedatanganku selalu membawa korban!"
"Tapi mereka yang lebih dulu menyerang, dan ibu Pangeran Muda itu jahat benar mulutnya!"
"Itulah, aku merasa kalah bertanding lidah sumoi. Tapi aku tetap akan mengusut ini sampai tuntas. Aku penasaran oleh kebohongan selir itu!"
"Apa lagi yang mau kaulakukan?"
"Kembali ke kota raja, mencari bukti yang kongkrit hingga Pangeran Muda dan ibunya tak bisa berkutik!"
"Kau gila? Kau masih saja mau mengurusi Ini? Kau tak dipercaya, suheng. Bahkan pangeran mahkota menganggapmu sebagai pengacau karena kau bangsa Tar-tar!"
"Tidak, aku tak sepenuhnya berdarah Tar-tar, sumoi. Ibuku adalah seorang wanita Han. Aku berdarah campuran dan tidak benar dikata sebagai Tar-tår sepenuhnya!" dan marah mengenang kejadian itu tiba-tiba Kim-mou-eng bangkit berdiri. "Sumoi, sebaiknya kau kembali saja ke suku bangsa kita. Aku ingin bekerja sendirian. Aku khawatir kau menurunkan tangan besi terhadap lawan-lawanku!"
Salima melonjak, tiba-tiba bangkit berdiri pula. "Kau mengusirku?"matanya bersinar-sinar, berkilat bagai api. "Kau tak mau kuikuti lagi, suheng?"
"Eh, bukan begitu," Kim-mou-eng terkejut, sadar. "Yang kumaksud adalah biarkan aku tenang melakukan apa yang akan kulakukan ini sumoi. Aku tidak mengusirmu melainkan minta agar kau menjauhi persoalan ini."
"Sama saja. Itu artinya mengusir! Apa yang telah kulakukan hingga kau tak senang padaku. suheng? Bukankah semua nasihatmu kuturut? Kau bilang jangan membunuh dan akupun tidak membunuh. Kau bilang kita pergi dan akupun pergi. Apalagi yang tidak kuturuti? Kau mau beralasan apa lagi?"
Kim-mou-eng tertegun, dan sumoinya menyemprot lagi. "Dan kau tak perlu menyembunyikan sesuatu, suheng. Aku tahu apa yang menjadi beban pikiranmu. Kau rupanya mau menemui puteri Wang-taijin itu!"
"Ah!" Kim-mou-eng terkejut. "Omongan apa ini? Siapa bilang? Tidak, kau salah paham, Sumoi. Aku tidak memikirkan itu selain persoalan Pangeran Muda. Kau salah paham. Kau ngawur. Tidak betul!" dan Kim-mou-eng yang buru-buru menenangkan pada sumoinya bahwa dia semata memikirkan rencana pemberontakan itu dan menjelaskan bahwa dia khawatir sumoinya menurunkan tangan besi kalau ikut campur akhirnya disambut jengekan sumoinya yang mencibirkan bibir ini.
"Tapi aku selalu patuh padamu, suheng. Meskipun hampir aku tak dapat menahan diri tapi selalu kuturut nasihatmu. Mau apalagi? Kurang apalagi? Bukankah aku tak melanggar laranganmu?"
"Benar, tapi..."
"Tapi kau mau menjenguk Wang-siocia itu, bukan? Baik, lakukanlah. Dan aku akan mengamuk di kota raja sampai mampus!" Salima terisak, memutar tubuh dan berkelebat menuju kota raja,balik lagi dan terbang tidak menghiraukan suhengnya.
Kim-mou-eng tersentak dan membelalakkan mata. Tapi begitu sadar berseru keras tiba-tiba pendekar ini melayang di atas kepala sumoinya. "Sumoi, tahan. Jangan mengacau!"
Kim-mou-eng menangkap pundak sumoinya itu, Salima melengking dan mengelak, tiba-tiba menendang dan menampar suhengnya itu. Dan ketika pukulan mengenai suhengnya dan Kim-mou-eng tidak mengelak tiba-tiba suara "plak" yang keras membuat pendekar ini terhuyung. Salima tertegun.
"Kau...?!"
"Kau pukullah aku, sumoi. Kau lampiaskanlah kemarahanmu daripada kau membuat onar di sana. Tamparlah, pukullah, aku menyiapkan diri untuk menerima cemburumu yang tidak bertanggung jawab ini!"
Kim-mou-eng memutus, pandang matanya penuh sesal dan sedih memandang sumoinya itu Salima tentu saja terbálalak dan mundur. Dan ketika suhengnya maju kembali dan menyiapkan pipinya digaplok tiba-tiba Salima menangis menubruk suhengnya itu.
"Suheng, maafkan aku..!" gadis itu mengguguk, mengelus dan sebentar kemudian menciumi pipi suhengnya itu. Kim mou eng terharu. Salima memang tak bermaksud menamparnya kalau bukan karena cemburu. Betapapun dia menghela nafas. Dan ketika dengan air mata bercucuran sumoinya itu menciumi pipinya penuh sesal dan dua mata mereka beradu pandang tiba tiba seolah mignit bertemu magnit Kim-mou-eng menundukkan kepalanya dan....! mencium bibir sumoinya itu.
"Sumoi...!"
"Suheng...!"
Dua mulut bertaut erat. Salima menggelinjang penuh bahagia didekapan suhengnya itu. Bumi serasa berputar, kaki serasa melayang di tempat yang lain. Tinggi, tinggi sekali.Serasa di àwang awang tempat para bidadari dan peri peri cantik. Salima mengeluh dan membalas ciuman suhengnya itu. Dan ketika mereka terengah dan melepaskan diri tiba-tiba Salima mengeluarkan érangan lirih dan... menyembunyikan mukanya di dada suhengnya itu, tak sanggup beradu pandang,
"Suheng, maafkan aku. Aku... aku memang tak bertanggung jawab..."
"Sudahlah," Kim-mou-eng sadar, merah mukanya menahan nafsu. "Aku tahu apa yang menjadi jalan pikiranmu, sumoi. Tapi tuduhanmu tadi sungguh mengejutkan aku!"
"Maaf, aku... aku cemburu, suheng. Tapi cinta tanpa cemburu bukanlah cinta, bukan?"
"Hm...." Kim-mou-eng berdebar, betapapun hampir dia mabok oleh ciuman tadi. Begitu nikmat menyesap sumsum tulang belakangnya. Hampir dia melakukan tindakan lebih jauh! Tapi menahan diri mencium rambut sumoinya akhirnya pendekar ini mendorong sumoinya beradu pandang.
"Sumoi, dapatkah kau tidak membicarakan puteri Wang-taijin itu lagi?”
"Kenapa?"
"Aku tak suka, sumoi. Aku ingin memusatkan perhatianku pada masalah pemberontakan itu!" Kim-mou-eng memejamkan mata, sesungguhnya bukan karena itu tapi karena teringat janjinya pada Cao Cun. Bahwa dia akan mengambil gadis itu sebagai isterinya padahal dia telah melakukan hal yang sama pada sumoinya ini (terikat). Dan ketika sumoinya mengangguk dan tersenyum memandangnya tiba-tiba sumoinya itu tertawa, manis sekali.
"Suheng, kau bersikeras berarti mencampuri urusan pemberontak. Ada apa sih? Kau pingin mendapat pangkat dari kaisar?"
"Tidak," Kim-mou-eng bersungguh-sungguh. "Aku tidak mengharapkan sesuatu dari permasalahan ini. sumoi. Melainkan semata kulihat orang-orang tidak benar macam Siauw bin kwi dan kawan kawannya itu ada di pihak Pangeran Muda."
"Tapi kau mencampuri urusan orang lain. Pangeran mahkota dan kaisar sendiri tidak menganggapmu sebagai bangsa Han."
"Aku tak perduli. Permasalahannya sekarang menyangkut kebenaran dan kezaliman, sumoi. Perbedaan kulit dan suku bagiku tak menghalang. Aku ingin menenangkan arwah Seng piauw-pangcu dan aku akan mencari catatan yang dulu hilang dibawa A-cong!"
"A-сiong? Siapa itu?" Salima mengerutkan kening. "Oh, kacung Sin Meng itu?” dia tiba-tiba teringat menjawab sendiri. Tapi bocah ini telah tewas, suheng. Bagaimana mencarinya?"
"Aku akan mencari pembunuhnya, sumoi. Dan aku akan melacaknya ke Pi-yang!" Kim-mou-eng bersinar-sinar, telah merencanakan sesuatu dan sumoinya tertegun. Dan ketika dia bertanya lagi bagaimana suhengnya itu akan mencari si pembunuh maka Kim-mou-eng menjawab, "Aku akan menangkap anak walikota itu, sumoi. Dan dari sini aku akan terus ke atas menangkap Hong Jin dan yang lain lain."
"Si muka kuning itu?"
"Ya, sute mendiang Seng piauw-pangcu. "Dan aku, hm... apakah aku tak boleh iküt, suheng? Kau tetap..."
"Tidak, kau tetap membantuku, sumoi. Tak perlu kembali..." Kim-mou-eng buru-buru memotong. "Tapi..."
"Tapi apalagi?“ Salima agak cemas.
"Kita harus membagi pekerjaan, sumoi. Kau terpaksa ke lain tempat dan kita berpisah sejenak."
"Tak mau!" Salima tiba-tiba menggeleng. "Aku tak mau berpisah, suheng. Aku ingin selalu di dekatmu. Hidup mati aku ingin bersamamu!"
Kim-mou-eng tergetar. Pandang mata sumoainya yang tajam menusuk tapi lembut mengharukan membuat dia tersentuh, begitu mesra tapi keras. Keras tak mau berpisah! Dan ketika sumoinya menubruk dan menangkap léngannya Salima meneruskan, "Aku tak mau berpisah lagi, suheng. Aku khawatir seperti kejadian di telaga. Kalau kau tak datang tentu aku sudah menjadi bahan hinaan musuhku. Tidak, kita melakukan pekerjaan bersama-sama!"
Dan tak mau melepas lengan suhengnya tiba-tiba Salima si Dewi Bertangan Besi ini terisak menyembunyikan mukanya. Kim mou eng lagi lagi terharu dan mengelus kepala sumoinya itu Keadaan membawa mereka pada suasana lembut, getaran cinta kasih membuat kembang-kembang seakan mekar bersemi, membuka sayap kuncupnya lebar lebar. Betapapun sikap dan kata-kata si Dewi Bertangan Besi itu jelas memperlihatkan perasaannya yang dalam. Dan ketika Kim-mou-eng kembali mengelus kepala sumoinya dan Salima terguncang maka pendekar ini menarik napas memberi pengertian.
"Sumoi, dengar baik-baik kata-kataku ini. Pekerjaan kita terlalu banyak. Aku minta tolong padamu untuk pekerjaan yang ringan. Kau dengarlah dulu jangan memotong. Kau tentu mau membantuku, bukan?"
"Tentu, tapi jangan berpisah, suheng. Aku ingin melakukan itu bersama sama dirimu!"
"Tentu saja, tapi tak selamanya kita harus berdua, sumoi. Ada saat-saat dimana kita harus mengerjakan tugas masing-masing. Dan kini saat itu tiba, harap kau bersikap dewasa!"
"Apa yang kau maksud?"
"Ke perkumpulan Seng piauw-pang, sumoi. Cari dan kumpulkan bekas anak buah perkumpulan itu."
Salima terbelalak. "Mengumpulkan bekas anak buah perkumpulan yang sudah mörat-marit itu?"
"Demi keberhasilan, sumoi. Karena tak mungkin kita hanya berdua saja, meskipun kepandaianmu dapat diandalkan!"
Salima tertegun. Sekarang dia berkejap-kejap, rupanya heran tapi juga bingung akan jalan pikiran suhengnya, mau bertanya. Tapi Kim-mou-eng yang sudah mendahului mengulapkan lengan berkata, "lni persoalan serius, Sumoi Kita tak cukup berdua saja menandingi kekuatan lawan. Kita harus mencari bantuan dan orang orang Seng. piauw-pang itu dapat dipakai. Kematian ketuanya tentu membangkitkan kemarahan mereka! Kau mengerti?"
"Ya, tapi ke mana aku membawa mereka itu, suheng? Aku dapat mencari dan mengumpulkan mereka, tapi tak tahu harus kubawa ke mana mereka itu!"
"Langsung saja ke kota raja, kenapa pusing? Biarkan mereka berada di sana, sumoi. Dan suruh mereka menunggu sampai mendapat aba-aba kita. Cari tiga yang terpandai di antara mereka dan perintahkan yang tiga ini mengatur teman-temannya."
"Baik, kapan aku harus berangkat? Malam ini juga?"
Kim mou eng tertegun. Dia menangkap isyarat tertentu dari pertanyaan sumoinya ini, seakan uji coba. Sumoinya memandangnya tajam dan bola mata yang merelap itu bersinar-sinar kepadanya. Suara yang gelisah dan agak tak puas terkandung di situ. Kim-mou-eng menenangkan getaran perasaannya, menghela napas. Dan karena malam malam tak enak melepas sumoinya pergi sendiri akhirnya Kim-mou-eng sadar bahwa sumoinya ini betapa pun tak menghendaki perpisahan mereka di saat itu. Sumoinya agaknya menginginkan malam itu mereka tetap berdua, sampai besok. Dan karena menyadari bentuk pertanyaan itu bersifat uji coba dan takut sumoinya marah tiba-tiba pendekar ini menarik sumoinya bertanya tersenyum,
"Kau sendiri, kapan berangkat, sumoi? Kau mau malam-malam begini pergi?"
Salima terkejut. "Kenapa balik bertanya? Bukankah yang mengatur adalah kau, suheng?"
"Benar, tapi aku juga ingin tahu pendapatmu, sumoi. Apakah malam-malam begini kau mau berangkat atau tidak!"
"Itu terserah dirimu, aku sih hanya mengikut."
"Kalau begitu malam ini kita berdua. Besok kita berpisah menunaikan tugas masing-masing. Kita tidur di sini, di dalam hutan. Kau setuju?"
Senyum Salima mendadak merekah. Dia mengangguk dan sorot mata girang terpancar dari sepasang matanya yang melebar itu. Dugaan Kim-mou-eng tepat. Sumoinya ingin berdua dulu sebelum mereka berpisah, sampai keesokan harinya. Dan ketika malam itu Kim-mou-eng membuat api unggun dan sang sumoi merebahkan diri maka Pendekar Rambüt Emas ini melepas mantelnya.
"Sumoi, lantai tanah amat dingin. Sebaiknya kau pakai ini sebagai alas.“
"Kau sendiri?"
"Aku akan bersamadhi, sumoi. Tak kuperlukan benda itu. Pakailah."
"Terima kasih." dan Salima yang gembira mempergunakan mantol suhengnya akhirnya merebahkan diri sambil tersenyum. Kim-mou-eng masih memberinya sebuah selimut, mereka bercakap-cakap sejenak. Dan ketika kantuk mulai menyerang sumoinya itu dan Kim-mou-eng tertawa pendekar ini akhirnya menyuruh sumoinya tidur.
"Sumoi, kau tidurlah. Aku akan menjagamu."
"Mmm..." dan Salima yang sudah tertidur memejamkan mata tiba-tiba pulas dan menyungging sebuah senyum manis di bibirnya, tenang dan amat bahagia berada di dekat api unggun. Atau, lebih tepat, tenang dan bahagia berada di dekat suhengnya ini.
Kim-mau-eng sudah bersamadhi dan tersenyum melihat keadaan sumoinya itu. Dan ketika malam itu mereka melewatkan kesunyian dengan cara masing-masing dan menjelang pagi Kim-mou-eng membuka matanya maka pendekar ini terpesona melihat kecantikan sumoinya itu. Salima berkali-kali mengigau. Dua kali menyebut namanya. Kim-mou-eng terharu. Dan ketika gadis itu menggeliat dan sebelah lengan diletakkan di atas dahi tiba-tiba Kim-mou-eng ternganga, melihat betapa manis dan cantiknya sumoinya itu. Sejam mengagumi keindahan ini dengan mata bersinar sinar.
Kokok ayam hutanpun mulai terdengar. Dan ketika warna semburat mulai membayang di ufuk timur tiba-tiba Kim mou eng sadar bahwa perpisahan harus segera diadakan. Waktu untuk berdua telah habis. Kim-mou-eng terpesona dan menundukkan kepalanya. Dan ketika sumoinya mengigau dan kembali menyebut namanya tiba-tiba pendekar ini mencium sumoinya penuh kasih sayang, dua kali di pipi kiri kanan.
"Sumoi, aku pergi. Kita berpisah dulu....!"
Salima mengeluh. Kim-mou-eng telah berkelebat lenyap meninggalkan sumoinya itu. Salima sadar dan terkejut, membuka mata. Dan begitu melompat bangun melihat suhengnya terbang di kejauhan sana tiba-tiba Salima berteriak, "Suheng, di mana kita bertemu nanti?“
"Di kota raja, sumoi. Maaf aku meninggalkanmu duluan!"
Kim-mou-eng sempat menangkap pertanyaan sumoinya, balas merjawab dan akhirnya lenyap di luar hutan. Salima tertegun dan tampak kecewa. Tapi mengusap pipinya dua kali bekas ciuman suhengnya tadi. Salima pun melipat selimut merapikan buntalannya, sejenak termangu dan menarik napas panjang. Pagi telah tiba dan merekapun harus berpisah. Tugas menanti di depan mata. Dan begitu kantuk lenyap dan sisa kelelahan telah sirna dari tubuhnya tiba-tiba Salima meggerakkan kaki dan lenyap menuju perkumpulan Seng-piauw-pang.
Tak sukar bagi Kim-mou-eng mencari anak walikota Pi-yang ini. Sion kongcu lagi enak-enak tidur di kamarnya ketika Kim mou eng datang. Kaget bukan main melihat Pendekar itu datang, Siong kongcu menggigil dan langsung pucat oleh kehadirannya yang tidak disangka-sangka. Mata dikejap seolah tak percaya. Tapi ketika Kim-mou-eng menotoknya roboh dan menyuruh pemuda itu menjawab pertanyaannya mendadak pemuda ini gemetar menggeleng berulang-ulang.
"Aku tak tahu....aku tak tahu, Kim-taihiap. Ampunkan aku....!"
"Kau bohong. Kau tahu di mana gurumu itu berada. Kau minta kusıksa agar mengaku dengan benar?"
"Tidak, jangan... tidak, taihiap. Ampun!"
"Kalau begitu katakan di mana gurumu itu. Siapa yang membunuh A-ciong!"
Siong-kongcu menggigil. "Taihiap, aku sungguh mati tak tahu siapa yang membunuh anak laki-laki itu. Tapi suhu menyebut-nyebut seorang bernama Yu Hak. Barangkali dia."
"Siapa Yu Hak? Di mana dapat kutemui?"
"Aku tak tahu, taihiap. Yang dapat menunjukkan adalah suhu!"
"Baik, di mana gurumu sekarang?"
Mata pemuda ini jelalatan. "Di... di barat kota."
"Di mana itu?"
"Di sebuah rumah di pinggiran, taihiap! Gedung peristirahatan ayah yang biasa dipakai menjamu tamu-tamu dari pusat."
"Kalau begitu kau ikut aku."
"Tidak, eh...!" tapi Siong kongcu yang sudah disambar dan dibawa melayang keluar tiba-tiba terhenti teriakannya karena Kim-mou-eng sudah membawanya menerobos jendela, seruannya tercekik karena Pendekar Rambut Emas tak membiarkannya banyak bicara lagi. Pemuda itu dibawa terbang ke barat kota, sebentar kemudian telah tiba di sebuah bangunan baru yang sunyi, seperti yang dikata pemuda itu. Dan ketika Siong kongcu dilepaskan dan disuruh berjalan di depan tiba-tiba pemuda ini menangis.
"Taihiap, ampun. Aku... aku tak berani memasuki rumah itu!"
"Kenapa? Bukankah ini rumah ayahmu sendiri?"
"Benar, tapi.... tapi...."
Kim-mou-eng tak sabar jadinya. Dia menendang pemuda itu hingga Siong-kongcu menjerit, langsung memasuki pintu depan. Pendekar ini tak takut karena Hong Jin dan yang lain-lain bukanlah lawan berat. Tapi begitu Siong-kongcu memasuki rumah dan terbanting di lantai mendadak delapan tombak menyambar pemuda ini dari langit-langit ruangan.
"Aduh....!" Kim-mou-eng terkejut. Dia melompat melihat pemuda itu tersate tubuhnya. Siong-kongcu menggelepar dan mendelik padanya, langit-langit ruangan menunjukkan delapan lubang bekas sembunyian delapan tombak itu. Kiranya rumah ini mengandung "ranjau", pantas Siong-kongcu tak mau masuk dan ketakutan. Kini menuding-nuding tapi terkulai lemah, tewas!
Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan menjublak di tempat tiba-tiba sesosok bayangan muncul di ruangan dalam, mengintai dan menarik mukanya lagi dari balik pintu besar. Kim-mou-eng melihat itulah Hong Jin, orang yang dicari, terdengar mengeluarkan seruan marah di sana tapi sudah menghilang lagi dengan cepat. Gerak-geriknya mencurigakan. Tentu kaget melihat kedatangannya dan juga tewasnya sang murid, putera Siong-taijin itu, walikota Siong. Dan ketika Kim mou eng mengerutkan kening melihat sana-sini tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak.
"Pendekar Rambut Emas, sungguh berani kau datang kemari. Ayo masuklah, kulihat seberapa besar nyalimu!"
Kim mou-eng terkejut. Dia serasa mengenal suara orang lupa lupa ingat tapi kembali melihat bayangan Hong Jin. Sute mendiang Seng-piauw-pangcu itu menyelinap di ruang tengah, mendengus dan sekilas melirik padanya dengan pandangan marah. Kim-mou-eng tak mau menyia-nyiakan waktu dan sudah berkelebat ke depan, membentak mengéjar laki-laki muka kuning itu. Tapi begitu tubuhnya masuk ke dalam dan berjungkir balik di ruangan ini tak mau menginjak lantainya tiba tiba seutas benang ditabrak dan sepuluh batang anak panah meluncur menyambar dirinya,
"Ser-serr...!"
Kim-mou-eng bergerak cepat. Dia tak mau ditakuti anak-anak panah macam beginian, menyampok dan memukul runtuh semua anak-anak panah itu. Tapi ketika sepuluh anak panah rontok ke lantai dan pintu tengah hampir dicapai mendadak pintu itu menutup dan sebuah suara keras menggegap-gempita menggetarkan isi ruangan.
"Blang!" Kim-mou-eng terkesiap. Dia otomatis menghantam pintu, terkejut karena pintu itu ternyata dari baja yang amat tangguh, tak bergeming dan dia jatuh ke lantai. Hal yang tak dimaui karena dia khawatir seperti Siong-kongcu tadi. Lantai mengandung jebakan jebakan rahasia. Dan ketika dia harus berjungkir balik dan hinggap diatas belandar tiba-tiba pintu depan juga menutup dan Kim-mou-eng terkurung!
"Ha ha, kau seperti katak terkurung, Pendekar Rambut Emas. Kau tak dapat keluar!"
Kim-mou-eng marah. Dia melihat semua tempat menutup jalan larinya. Di sekelilingnya tembok dan pintu baja itu. Tawa bergelak itu kembali terdengar dan bayangan Hong Jin tiba-tiba muncul, Kim-mou-eng melihatnya di sebuah cermin. Dan ketika dia menubruk dan mencelat ke tempat ini mendadak Hong Jin lenyap dan cermin yang dipukul hancur berkeping-keping. Kim mou-eng tertipu!
"Keparat, kau siapa?"
"Ha ha, aku orang yang kau cari, Kim-mou-eng. Aku Yu Hak!"
Kim-mou-eng terkejut. "Kau tahu aku mencari dirimu?"
"Tentu, bukankah kau memaksa Siong kongcu itu ke mari? Dan dia mati karena ulahmu, kau harus bertanggung jawab!" dan sebuah geraman yang menyatakan marah dan sakit hati tiba-tiba menunjukkan siapa orang ini. Seorang laki-laki tinggi tegap yang dikenal Kim-mou-eng sebagai lawan yang berkali-kali menolong Hong Jin dan adik-adiknya, terakhir dilihatnya laki-laki itu menyelamatkan sute mendiang Seng-piauw-pangcu yang berkhianat di gedung Siong taijin.
Laki-laki yang memiliki granat tangan dan kini tampak di bayangan cerain,belasan cermin besar muncul dari dalam lantai. Kim-mou-eng mendengar suara berderak-derak. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terbelalak memandang laki-laki ini, yang dikenal pertama kali di perkumpulan Seng piauw-pang itu maka Hong Jin muncul kembali bersama sutenya nomor dua, Wan Tiong Lojin, di balik bayangan cermin yang berputar putar membingungkan.
"Kim-mou eng, kau berhutang dua nyawa kepadaku. Dulu suteku Ki Siong Cinjin dan kini muridku yang baru Siong Gwan. Kau harus bertanggung jawab!"
Kim-mou-eng mendengus "Kau tak perlu mencari-cari, Hong Jin. Suhengmu sendiri terbunuh gara-gara tingkahmu."
"Tapi itu kesalahannya sendiri. Suheng memusuhi pemerintah dan tak mau ikut nasihatku!"
"Hm, pemerintah yang mana? Pemerintah Siauw-ongya itukah? Dia calon pemberontak, bukan pemerintah dan sebaliknya adalah pengkhianat!"
"Tak perlu banyak mulut, kau Tar-tar pengacau!" dan Hong Jin yang mendelik menekan sesuatu tiba-tiba menyerang Kim-mou-eng dengan sebuah tombak terbang, ditangkis dan patah bertemu lengan pendekar itu. Wan Tiong Lojin juga menimpukkan pisau terbangnya, sembilan kali berturut turut, semuanya runtuh karena Kim mou eng sudah mengebutkan lengan bajunya. Tapi ketika pendekar ini menujukan perhatiannya ke kakak beradik itu tiba-tiba Yu Hak yang ada di belakang melepas seekor ular terbang.
"Ssh!" Kim-mou-ong terkejut. Dia membalik, ular ditangkap tapi sang ular melejit, dapat terbang di udara. Kini dengan sayapnya yang kecil merupakan ular yang aneh tiba-tiba menukik membuka mulutnya. Kim-mou-eng melihat lidahnya yang bercabang tiga, jelas ular yang amat beracun. Dan ketika dengan kaget dia menahan napasnya tapi cepat mengelak dan menangkap ular itu dari bagian ekor akhirnya dengan tepat dan cepat dia berhasil memegang leher ular, langsung memencetnya dan ular itu hancur di tangannya. Yu Hak terkejut dan memaki-maki di sana. Dan ketika dia membuang bangkai ular itu dan marah memandang lawan maka Hong Jin dan sutenya sudah menyerang dari balik tembok rahasia.
"Gunakan asap. Pakai belerang beracun...!"
Kim-mou-eng terbelalak. Dia melihat asap belerang menyembur dari balik lubang-lubang dinding. Tentu saja terkesiap dan marah karena dia teringat pengalamannya di kota raja dulu, ketika Jie-liong Ciangkun menyemburkan belerang pembius dalam lubang jebakan. Kini rasanya Hong Jin dan teman temannya itu melalukan hal yang sama. Dan karena dia terkurung dan asap sudah banyak yang masuk tiba-tiba pendekar ini membentak menghantam langit-langit ruangan, satu-satunya jalan keluar saat itu. Tak mau berlama-lama lagi dan genteng serta papan papan di atas pecah semua, suaranya hiruk-pikuk dan langit-langit itupun ambrol, atapnya runtuh.
Dan ketika orang-orang di balik tembok berseru kaget dan Kim-mou-eng sudah melesat melalui tempat terbuka ini maka pendekar itu lolos berjungkir balik diluar sana, melihat Hong Jin dan sutenya di balik tembok, Yu Hak di sebelah kiri tertegun memandangnya. Semua orang terbelalak. Dan begitu melayang turun menuju ke musuh-musuhnya ini segera Kim-mou-eng membentak mencengkeram Hong Jin.
"Pengkhianat busuk, kau harus sembahyang di makam suhengmu!"
Hong Jin kaget sekali. Dia menangkis dan membanting tubuh bergulingan, melepas tiga pisau terbangnya ke arah Kim-mou-eng, disampok dan runtuh ke tanah. Hong Jin bergulingan menjauhkan diri. Dan karena Wan Tiong Lojin ada di sebelahnya dan pendekar ini geram pada sute mendiang Sin-piauw Ang-lojin ini maka kontan dia membalik meneruskan serangannya pada Wan Tiong Lojin. Kakek ini baru sadar setelah serangan dekat, menangkis tapi menjerit ketika jari jari lawan menyambar tenggorokannya, tak keburu lagi. Dan ketika Kim-mou-eng mengangkat tubuhnya dan lawan mengeluh tahu tahu kakek ini di banting sampai kelengar.
"Tunggu dulu di situ... brukk!"
Wan Tiong Lojin mengaduh tertahan, pantataya serasa menumbuk kepala gajah, terduduk dan akhirnya pingsan oleh bantingan yang amat keras ini Kakek itu memang bukan lawan Kim-mou-eng. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebat mengejar Hong Jin maka kakek muka kuning ini berseru pada temannya.
"Tolong...!"
Yu Hak menggeram. Dia menimpuk empat golok terbang, bersiut menyambar depan Kim-mou-eng. Dua menyambar mata, tentu saja berbahaya dan Kim-mou-eng mengelak. Pisau meluncur lewat sisi kepalanya, tak disangka terus menyambar Wan Tiong Lojin yang ada di tanah, menancap di dada kiri dan kanan kakek yang pingsan itu. Wan Tiong Lojin kontan menghembuskan napasnya yang terakhir. Tewas disaat itu Juga! Dan ketika Hong Jin terkejut dan Kim mou eng juga tertelalak maka laki-laki tinggi tegap itu sudah menyerang Kim mou eng dengan suling di tangan kiri dan tongkat bercagak di tangan kanan.
"Hong Jin, bunuh si Rambut Emas ini. Jangan melotot...!"
Hong Jin sadar. Sebenarnya dia bingung di saat itu, tak tahu siapa yang harus dituduh membunuh sutenya. Kim-mou-eng yang mengelak serangan ataukah Yu Hak yang melempar golok. Dua-duanya bisa dituduh dan dianggap penyebab kematian saudaranya. Tapi karena Kim-mou-eng dianggap lebih berbahaya dan kematian sutenya dapat ditunda sejenak akhirnya kakek ini mencabut golok-tombaknya menerjang Kim-mou-eng.
"Benar, Tar-tar ini pengacau, Yu-busu. Serang dan bunuh dia!"
Kim-mou-eng menjengek. Dia tak takuti golok-tombak di tangan Hong Jin, mengebut dan golok-tombak itu mental, nyaris mengenai Hong Jin sendiri. Tapi ketika suling dan tongkat di tangan Yu Hak menyambar dan jarum-jarum kecil meluncur dari balik tongkat tiba-tiba Kim-mou-eng berseru keras menangkis lawan yang satu ini, terkejut karena serangan laki-laki itu jauh lebih cepat dibanding Hong Jin, juga lebih bertenaga menunjukkan sinkangnya yang lebih hebat. Dan ketika laki-laki itu menggerakkan sulingnya dan suling mengaung memperdengarkan irama aneh sekonyong-konyong ratusan ular berdatangan dari dalam hutan,
"Ah, kau murid Coa ong (Raja Ular)...!" Kim-mou-eng terbelalak, melihat gerakan-gerakan yang mirip dengan si Raja Ular itu, lawan tak menjawab tapi suling dan tongkat bercagaknya terus menyambar-nyambar. Sebentar kemudian Kim-mou-eng dikurung dan ratusan ular juga sudah datang mendekat, Hong Jin sendiri juga membantu dan ikut mengacau perhatian Kim-mou-eng. Tapi karena Kim-mou-eng bukan lawan sembarangan dan pendekar ini memiliki kesaktian tinggi maka setelah melihat gebrakan lawan segera Kim-mou-eng mengeluarkan Tiat-lui-kangnya itu.
"Plak-plak plak!"
Suling dan tongkat diusir pergi. Hong Jin sendiri terpelanting ketika keserempet angin pukulan Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas membentak dan lebih tertarik perhatiannya pada laki-laki tinggi tegap ini, yang diduga sebagai murid Coa-ong, atau mungkin sutenya (adik seperguruan) karena kepandaian laki-laki ini memang tinggi. Suling dan tongkatnya berbahaya sekali, menotok dan menggebuk menuju tempat tempat mematikan. Cepat dan penuh tenaga. Dan ketika Tiat-lui-kang mampu menahan dan malah menolak suling tiba-tiba irama suling menjadi kacau dan ratusan ular berdiri bingung berhenti di dekat pertempuran.
"Keparat! Jahanam....!" Yu Hak memaki-maki, marah dan mengerutkan kening karena segera dia terdesak. Jarum jarum halus kembali meluncur dari ujung tongkatnya tapi semua ditiup runtuh Kim-mou-eng, mukanya mulai berobah dan Hong Jin dua kali mendapat tamparan di pundak. Kedudukan mulai membahayakan mereka sementara Kim-mou-eng sendiri terus menampar dan mendorong, Tiat-lui-kangnya tak dapat ditahan dan sekarang dia tahu bahwa Ya Hak ini memiliki kepandaian sedikit di bawah Coa-ong. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa laki-laki Ini Kiranya sute si Raja Ular itu. Dan ketika dia membentak dan lawan terpental mundur tiba-tiba laki laki itu meniup sulingnya tinggi rendah.
"Maju, anak-anak. Serang dia....!"
Kim-mou-eng terkejut. Ratusan ular yang tadi berhenti tiba-tiba bergerak, maju menyerang dengan mulut mendesis-desis. Rupanya suara suling itu telah memberi aba-aba tegas pada mereka. Kim-mou-eng diserang dan tiba-tiba diserbu, Hong Jin melompat mundur melepaskan pisau-pisau terbangnya, Yu Hak juga begitu, kembali menyambit dengan lima golok terbang. Dan ketika pisau dan golok ditangkis runtuh dan sebagian di terima begitu saja oleh Pendekar Rambut Emas yang melindungi diri dengan kekebalan tiba-tiba barisan ular telah mengepungnya, dua orang itu melarikan diri!
"Hei, berhenti kalian...!" Kim-mou-eng membentak, menyulut obor dan tiba-tiba melempar obor ke tengah-tengah ular. Barisan ular serentak minggir dan mendesis-desis ketakutan. Betapapun api adalah musuh yang tak dapat mereka lawan. Dan ketika mereka menyibak minggir dan Kim-mou-eng meloncat maka dua orang itu segera dikejar.
"Keparat....!" Yu Hak mengumpat. "Kau kekiri, Hong Jin. Aku ke kanan!"
Hong Jin mengangguk. Mereka berpencar. Hong Jin ke kiri sementara Yu Hak ke kanan. mereka memasuki hutan didepan. Dan karena bentakan Kim-mou-eng sudah dekat dibelakang mereka dan Hong Jin serta Yu Hak buru-buru tiba-tiba! Hong Jin keserimpet akar terpelanting roboh berteriak tapi sudah melompat bangun dengan muka gelisah. Yu Hak menendangnya hingga kakek muka kuning ini mendapat dorongan keras, kesakitan tapi sudah memasuki semak belukar. Lenyap di sebelah kiri.
Dan ketika Yu Hak juga melompat dan lenyap di sebelah kanan akhirnya Kim-mou-eng tertegun melihat dua lawan berpencar tiba di situ tapi terlambat menangkap lawan. Dua musuhnya menghilang di dalam. Tapi setelah berpikir siapa yang harus dikejar dulu tiba tiba pendekar ini meloncat ke kiri.
"Hong Jin, kau tak dapat melepaskan dirimu!"
Pendekar ini mencari-cari. Dia harus melompat ke sana sini mencari bayangan kakek itu, hutan cukup gelap tapi matanya yang tajam mampu menembus ke dalam. Pendengaran juga dipasang baik-baik untuk menangkap gerakan. Dan ketika dia melihat jejak kaki dan injakan tak beraturan di semak belukar akhirnya pendekar ini mendengar napas ditahan kakek muka kuning itu, di sebelah kanannya. Telinga Kim-mou-eng bergerak dan secepat kilat dia berkelebat ke tempat ini. Dan ketika tangannya menguak dan kaKek itu bersembunyi di dalam tiba-tiba golok tombak yang ada di tangan kakek itu menyambar dirinya.
"Kim-mou-eng, mampuslah...!"
Kim-mou-eng mengelak. Dia menghindari tusukan lawan, jari bergerak dan tiba-tiba senjata sudah ditangkap. Gerakannya cepat mengejutkan kakek itu. Dan ketika lawan berseru tertahan melihat senjata ditangkap tiba-tiba Kim-mou-eng menekuk jarinya mematahkan golok tombak itu.
"Krek!" Hong Jin terbelalak gentar. Dia mundur melompat menjauh, keringatnya bertetes-tetes, pucat bukan main melihat pendekar itu memandangnya tajam. kim mou-éng siap menangkap,merobohkan kakek ini. Tapi belum dia menghampiri dan mengejek kakek ini tiba-tiba Hong Jin melempar granat tangan ke muka lawannya.
"Daarr!" Kim-mou-eng terkejut. Dia tak menyangka kakek ini memiliki granat tangan, rupanya di beri Yu Hak. Dua kali granat kembali meledak membuat Kim-mou-eng berjungkir balik menyelamatkan diri. Betapapun ledakan itu tak mungkin dilawannya dengan begitu saja. Bisa hancur tubuhnya. Dan ketika dia membentak memaki kakek itu terhalang asap tebal maka Hong Jin sudah melarikan diri ke arah timur.
"kim-mou-eng, kau tak dapat menangkap aku!"
Kim-mou-Eng menggeram. Seruan si kakek justeru membuat dia girang tahu lawan berada di mana. Maka berjungkir balik melayang di atas pohon segera dia melihat lawannya itu melarikan diri ke timur. Jarak cukup jauh sekitar seratus tombak. Kakek itu memang licik. Tapi Kim-mou-eng yang berlompatan dari pohon ke pohon mengerahkan ginkangnya akhirnya mengejar lawan tua ini dengan cepat. Gerakannya bagai burung elang. Sebentar kemudian mendekati lawan dari belakang. Hong Jin tak tahu. Dan persis kakek itu menuju sebatang pohon besar mencari perlindungan tiba-tiba Kim-mou-eng memetik sebuah daun dan menimpuk punggung lawan di jalan darah liong-hu-hiatnya.
"Crep...aduh!" Hong Jin terguling roboh. Si kakek terkejut dan baru sadar bahwa Kim-mou-eng tak dapat dihindarinya. Betapapun dia kalah lihai. Dan ketika Kim-mou-eng melayang turun dan berhadapan dengan kakek ini maka Hong Jin gemetaran memaki gusar.
"Kim-mou-eng, keparat kau. Terkutuk!"
"Hm, yang terkutuk adalah kau, Hong Jin. Kau berwatak culas dan curang!"
Kim-mou-eng sudah di dekat kakek ini, jari tangannya siap menotok lagi jalan darah di bawah telinga. Lawan terbelalak memandangnya. Dan ketika kakek itu memaki dan bertanya apa yang diminta pendekar ini maka Kim-mou eng mendengus menjawab pendek.
"Aku mencari pembunuh A-ciong, aku mencari kitab catatan itu!"
"Aku tak tahu. Aku tak mengenal siapa itu A-ciong, Kim mou-eng. Kau carilah sendiri dan jangan tanya aku!"
"Hm, jangan berpura-pura, Hong Jin. Muridmu telah memberi tahu padaku bahwa kau tahu!” Kim-mou-eng membentak. "Sebaiknya berterus terang saja dan jangan biarkan aku memaksamu!"
"Kau mau apa?" Hong Jin terbelalak. "Kau mau membunuh aku?"
"Tidak, aku tak suka membunuh orang! Tapi kalau kau bandel jalan darah su-liong-hiatmu akan kutotok!"
Hong Jin pucat. Jalan darah ini adalah jalan darah yang bakal membuat orang serasa digerumuti ribuan semut api. Sekali sentuh saja orang akan berteriak-teriak kengerian, tubuh serasa ditusuk tusuk jarum. Memang tidak akan mematikan tapi cukup merupakan siksa yang hebat. Rasa panas dan pedih akan membuat orang menggigit bibir, disertai pula oleh rasa gatal yang kian ditahan akan kian menghebat. Hong Jin tentu saja marah tapi juga takut. Dan ketika dia terbelalak memandang pendekar itu dan Kim-mou-eng merasa tak sabar akhirnya jalan darah di bawah telinga itu mulai disentuh.
"Bagaimana, kau mau bicara jujur atau tidak?"
Kakek ini melotot. "Aku tak takut mati, sebaiknya kau bunuh aku!"
"Aku tak suka membunuh orang, Hong Jin. Kalau kau tak takut mati tentunya juga tak takut siksa. Baiklah, biar kumulai!"
Dan Kim-mou-eng yang menotok jalan darah itu disambut jengit lawannya tiba-tiba membuat kakek ini mendesis menahan sakit. Ribuan semut api tiba-tiba seakan merayapi sekujur tubuhnya, panas dan perih mulai menggigit. Hong Jin coba bertahan. Tapi ketika rasa nyeri mulai menyengat dan kakek ini menggeliat akhirnya dia berteriak memaki pendekar itu.
"Kim-mou-eng, kau bunuhlah aku Keparat kau, jahanam kau!"
Kim-mou-eng mundur, menonton. Tidak menjawab dan melihat lawan mulai menggigit bibir, menggeliat-geliat dan akhirnya berteriak-teriak seperti anak kecil dihajar rotan. Rupanya kakek itu tak tahan akan sengatan gatal dan panas. Siksaan itu mulai berjalan Kim-mou-eng sendiri sebenarnya tak tega tapi terpaksa melakukan itu, kakek ini bandel sekali, juga jahat. Dan ketika lawan mulai merintih dan semakin rasa gatal itu ditahan semakin hebat ia menyerang akhirnya kakek ini bergulingan menjerit-jerit
"Kim-mou-eng, bunuhlah aku. Remukkanlah kepalaku!"
"Tidak, aku akan menontonmu, Hong Jin. Sampai kau menggelepar dan bersedia mengaku!"
"Aku tak tahu. Aku tak kenal siapa itu yang kau cari!"
"Bohong, kau dusta. Kalau begitu akan ku tinggalkan dirimu sendirian di sini sampai kau bertobat!" dan Kim-mou-eng yang benar-benar mau pergi meninggalkan kakek itu dalam siksaannya yang tak tertahankan tiba-tiba membuat kakek itu terkejut dan berteriak agar Kim-mou-eng tidak meninggalkan dirinya. Hong Jin ketakutan dan seluruh mukanya basah oleh keringat, menggeliat dan bergulingan tak kuat. Dan ketika Kim-mou-eng berhenti dan lawan terengah-engah akhirnya kakek ini bicara.
"Tobat, bebaskan aku.... aku mau mengaku....!"
"Sungguh?"
"Aku tak menipu, Kim-mou-eng. Bebaskan aku dan biarkan aku bicara!"
"Baik, dan Kim-mou-eng yang menepuk leher kakek itu membebaskan siksaan akhirnya membuat kakek ini mengeluarkan keringat dingin gentar memandang Kim-mou-eng. Betapapun lawan dapat melakukan hal lebih jauh lagi kalau pendekar itu mau. Hong Jin pucat dan menghapus peluh di mukanya. Dan ketika Kim-mou-eng menunggu dan kakek itu marah tapi gentar akhirnya sebuah pengakuan mulai meluncur dari mulut kakek ini.
"Bocah itu dibunuh Yu-busu (pengawal Yu). Dialah yang menghabisi anak itu dan mengambil kitab catatannya."
"Orang she Yu itu? Siapa sebenarnya dia?"
Hong Jin takut-takut.
"Tak perlu takut, tak ada yang mengancammu di sini."
Kakek itu akhirnya bicara, "Dia pengawal pribadi paduka selir. Orang kepercayaan di sana yang bekerja secara diam-diam."
"Selir yang mana? Siapa?"
"Ibu Siauw-ongya itu, Kim-mou-eng! Yu Hak orang kepercayaan selir itu yang memiliki kekuasaan di istana!"
Kim-mou-eng tertegun segera dia teringat selir setengah umur itu, selir yang cerdik dan amat pandai bicara. Dia pun kalah berhadapan dengan selir ini. Keadaan berbalik dan dia yang dituduh, kaisar pun percaya dan akhirnya menganggap dia pengacau, hendak mengadu domba dan dianggap pemfitnah yang tidak bertanggung jawab. Padahal justeru selir itulah yang memutar balik kenyataan. Dan ketika dia menjublak mengerutkan kening maka dia teringat pada orang she Yu itu.
"Dan Yu Hak itu, apakah dia sute si Raja Ular?"
"Benar, orang ini sute Coa-ong Tok-kwi. Kim-mou-eng. Tapi mereka bekerja sendiri-sendiri dan Yu Hak lebih pintar."
"Maksudmu lebih cerdik? Coa-ong memang setengah gila, sutenya ini tidak tapi kekejaman mereka sama! Hong Jin, kau harus membawaku menemui temanmu itu!" Kim-mou-eng tiba-tiba berkata, "Kau harus mengantar aku ke sana dan merampas kembali kitab catatan!"
"Tidak!" Hong Jia tersentak. "Aku tak dapat membawamu ke sana, Kim-mou-eng. Aku sudah berkhianat dengan memberitahukan ini padamu!"
"Kenapa? Kau takut? Aku melindungimu, kita cari orang ini dan kau harus ikut!"
"Aku tak mau. Aku tak berani....!" dan Hong Jin yang bangun berdiri berlari kencang tiba-tiba berteriak menolak dengan muka ketakutan.
Kim-mou-eng terkejut, tapi ketika dia hendak mengejar dan menangkap kakek ini tiba-tiba Hong Jin kejeblos ke sebuah jurang dan pekik yang tinggi mengiringi kakek itu. Kim-mou-eng melihat kakek ini lenyap di sebuah jurang yang dalam. Pekiknya masih menggema. Dia tertegun, sadar bahwa kakek ini rupanya memilih bunuh diri ketimbang dibawa mencari Yu Hak. Mungkin kekejaman sute si Raja Ular itu membuat kakek ini ketakutan, betapapun orang itu memang keji. Dan ketika dia mendelong dipinggir jurang ini mengawasi hilangnya Hong Jin tiba-tiba tawa bergelak yang dikenalnya sebagai tawa laki-laki itu terdengar mengejutkan dia, melingkar-lingkar.
"Ha ha, kau boleh mencari aku di istana, Kim-mou-eng. Kutunggu di sana kalau kau berani!"
Kim-mou-eng tertegun. Dia memperhatikan asal suara, tapi karena tempat itu merupakan sebuah celah dan suara itu mengaung ke segenap penjuru akhirnya sukar pendekar ini menentukan asal suara. Dan dia menggeram. Orang menantangnya ke istana, tentu ke tempat selir itu. Ibu dari Pangeran Muda. Dan begitu berkelebat menjejakkan kakinya tiba-tiba Kim-mou-eng membalik menuju kota raja. Tapi di tengah jalan sesuatu menahannya. Dia melihat iring-iringan panjang mengawal sebuah kerangkeng besar. Dan ketika dia menghampiri dan melihat siapa yang dikerangkeng itu mendadak tertegun melihat sepasang muda-mudi terikat tangannya di balik kerangkeng.
"Sin Kok dan Hwi Ling....!"
Kim-mou-eng mengejapkan mata. Dia hampir tak percaya oleh penglihatannya ini. Hwi Ling! dan kakaknya di tangkap orang-orang istana, padahal mereka adalah putera puteri mendiang Ang Bin Ciangkan, seorang tokoh istana yang cukup dikenal karena Ang Bin Ciangkun adalah seorang dari kelompok Tujuh Panglima Naga. Jadi mengherankan sekali! Dan ketika Kim mou-eng berhenti dan mengamati barisan panjang ini maka dilihatnya Hwi Ling dengan dada membusung dan kepala tengadah bersandar kerangkeng memakin maki seorang tinggi besar yang rupanya menangkap mereka itu.
“Thai Hok, kau perwira busuk yang tak tahu malu. Kenapa menangkap kami tanpa alasan yang jelas? Apa kesalahan kami?"
Laki-laki itu tak menjawab, tetap berjalan tak menggubris omongan si gadis. Tapi ketika Hwi Ling memaki-makinya lagi dan mencap dia sebagai anjing Tan-tajin (pembesar Tan) mendadak laki-laki ini membalik menampar gadis itu. "Bocah she Ang, diam kau. Kubunuh kau nanti!"
Hwi Ling terjengkang. Dia marah berteriak-teriak, masih memaki-maki lawannya itu. Dan itu ketika Thai Hok kehilangan sabar dan menempeleng. Tapi muka Hwi Ling dibungkam dengan sebuah kain kotor, mulutnya tak dapat dibuka gadis itu tak dapat bicara. Tentu saja Hwi Ling mendelik. Dan Sin Kok yang tak tahan melihat adiknya diperlakukan kasar tiba tiba membentak si tinggi besar itu.
"Thai Hok kau perwira tak tahu aturan. Bukankah pertanyaan adikku benar? Kami tak tahu sebab apa kami ditangkap, sekarang bertanya. Tapi kau membalas dengan sikapmu ini. Apakah berani kau lakukan hal begini bila ayahku masih hidup?"
"Tak perlu banyak mulut. Kaupun jangan cerewet. Sin Kok. Lain sekarang lain dulu. Ayahmu yang mampus itu tak perlu disebut-sebut!"
"Keparat, kau kurang ajar. Kau...."
"Plak!" Sin Kok mendapat tamparan keras. "Kau masih juga berkaok-kaok, bocah? Kupukul mulutmu nanti, diam tak perlu memaki orang lain. Aku hanya mendapat perintah!"
Sin Kok berang. Dia jadi tak terima diperlakukan begitu juga, sama seperti adiknya mulai melepas caci maki pada perwira bernama Thai Hok ini. Si perwira menjadi gusar dan marah. Sin Kok digaplok kembali hingga bengap. Dan ketika pemuda itu masih cuap-cuap membakar hati perwira ini tiba-tiba Thai Hok menyumpal pula mulut pemuda itu seperti Hwi Ling. Sin Kok mendelik dan pandang matanya saja yang memaki-maki perwira itu. Thai Hok tak perduli. Dan ketika iring-iringan ini terus berjalan dan tiba di sebuah tikungan mendadak tiga laki-laki kekar berkelebat menghadang.
"Thai Hok, bebaskan dua muda-mudi itu!"
Thai Hok terkejut. Kim-mou-eng sendiri yang mengintai di atas juga terkejut melihat. Itulah Sin-to Sam-enghiong, tiga orang sute mendiang Beng-ciangkun. Dan ketika rombongan berhenti dan Thai Hok maju dengan muka geram maka di dalam kerangkeng Hwi Ling dan kakaknya tampak girang bukan main melihat kedatangan tiga laki-laki pendek ini, sahabat ayah mereka.
"Kau mau apa?" Thai Hok menghardik. "Kenapa mencegat perjalanan orang?"
Sin-to Sam-enghiong berdiri berendeng. "Kami minta kau membebaskan dua muda mudi itu. Thai Hok. Kami mendengar kau menangkap atas perintah Tan-taijin!"
"Benar, Tan-taijin yang menyuruh ini. Kalian mau apa?" Thai Hok menantang. "Berani melawan alat negara?"
Orang yang di tengah dari Sin-to Sam-enghiong itu tertawa mengejek. "Thai Hok, mengingatkan tak perlu kita sesama teman sebaiknya ancam-mengancam. Aku bukan menghadapi alat ilegal melainkan justeru mengingatkan dirimu bahwa Tan taijin adalah calon pemberontak. Kau bebaskan dua muda-mudi itu dan kita tangkap bersama Tan-taijin itu!"
"Kau memberontak? Thai Hok marah. "Kalian memutar balik kenyataan?"
"Tidak, aku bicara benar, Thai Hok. Sebaiknya sesama bekas teman sendiri tak perlu kita ribut mulut. Kau diperalat, Tan-taijin dan menteri-menteri lain sudah merencanakan pemberontakan. Hari ini mereka akan menyergap pula tiga dari Jit-liong Ciangkun!"
Thai Hok terbelalak. Rupanya dia kaget mendengar kata-kata itu, tapi membentak menyuruh pengawal tiba-tiba dia menerjang memberi aba-aba, mencabut senjatanya yang mengerikan, sebuah kapak. "Serang, bunuh mereka ini....!" dan para pengawal yang maju menyerang dengan senjata masing masing tiba-tiba mengerubut dan sudah mengeroyok tiga laki-laki pendek ini.
Sin-to Sam-enghiong dihujani senjata dari segala penjuru, tombak dan pedang berhamburan ke tubuh ketiganya. Tapi ketika mereka menangkis dan pedang serta tombak terpental semua kecuali kapak di tangan Thai Hok maka pertempuran menjadi sengit. Tiga dikeroyok puluhan, tak kurang dari tigapuluh orang!
"Trang trang trang!"
Thai Hok dan para pengawalnya marah. Dua di antara mereka sudah terjungkal, tangkisan Sin-to Sam-enghiong membuat pengawal mundur, dua terluka. Gebrakan berlangsung cepat dan Thai Hok berteriak kembali menyuruh pasukannya maju, perwira ini sendiri sudah mengayunkan kapaknya dengan dahsyat tenaganya luar biasa dan benar-benar hebat. Hanya dialah yang dapat menandingi Sin-to Sam-enghiong. Dan ketika pertempuran kembali berjalan dan para pengawal meluruk maju maka Sin-to Sam-enghiong menghadapi serangan baru setiap yang lain roboh.
Para pengawal cukup banyak dan mereka harus menghadapi setiap orang sepuluh lawan, masing-masing bekerja keras memutar golok. Kalau tak ada perwira tinggi besar itu mungkin masing-masing dari Sin-to Sam-enghiong ini dapat merobohkan lawan, biarpun satu dikeroyok sepuluh. Tapi karena perwira Thai Hok itu amat berbahaya sekali kapaknya dan setiap ayunan tentu mengguncangkan lengan lawannya maka Sin-to Sam-enghiong segera terdesak ketika pertempuran berjalan menguras tenaga.
"Bunuh mereka, jangan diberi ampun!"
Sin-to Sam-enghiong mulai kewalahan. Mereka telah merobohkan sembilan pengawal, kini musuh tinggal dua puluh satu orang ditambah Thai Hok sendiri. Dua di antara mereka sudah terbabat pundaknya oleh ayunan kapak. Thai Hok memang berbahaya. Dan ketika kembali pertempuran berjalan beberapa saat dan lima pengawal kembali roboh tapi Beng Kwi, orang termuda di antara Sin-to Sam-enghiong terjungkal oleh kapak di tangan Thai Hok maka dua dari sisa Sin-to Sam-enghiong ini menjadi pucat, marah bukan main.
Melihat Beng Kwi menggulingkan tubuh mendesis kesakitan, lengannya terkuak lebar oleh mata kapak yang tajam, tentu saja tak dapat bertempur dengan baik dan Thai Hok mengejarnya dengan kapak menyambar leher, Beng Kwi hendak dibunuh dan di ambang maut. Dua saudaranya terbelalak dan kaget serta khawatir. Dan ketika Thai Hok sudah dekat dan mengayunkan kapaknya itu pada adik mereka yang sedang bergulingan maka Beng Kwan, orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong menyambit golok terbangnya dengan luar biasa cepat.
"Crep!" Golok kecil itu menancap di pangkal lengan Thai Hok. Perwira tinggi besar ini tersentak, gerakannya tentu saja tertahan dan kapak terhenti di udara. Beng Kwi melompat bangun terhuyung-huyung. Dan ketika dia sadar dan menjerit malah tiba-tiba perwira ini mencabut golok terbang itu dan menyambit ke Beng Kwi. Orang termuda dari Sin-to Sam-enghiong mengelak, golok lewat tapi dia roboh kehabisan tenaga. Dan ketika Thai Hok menggeram melompat maju tiba-tiba kaki perwira tinggi besar itu mendupak lawan.
"Dess!" Beng Kwi mengeluh pendek. Dia terlempar terbanting roboh, pingsan. Thai Hok memburunya dengan muka beringas, kapak dipindah di tangan kiri karena tangan kanan sudah terluka. Tapi Beng Kwan yang kembali menyambitkan golok terbang dan menghalangi perwira itu akhirnya membuat Thai Hok marah dan membalik pada lawan ini, meninggalkan Beng Kwi yang pingsan dan mengeroyok lawan. Dan ketika dua dari Sin-to Sam-enghiong itu harus bekerja keras menghadapi musuh-musuhnya maka kembali lima pengawal roboh tapi mereka sendiri juga mendapat tambahan luka-luka,
"Bunuh mereka ini, jangan diberi ampun!" Dua laki-laki gagah itu kewalahan. Mereka tinggal menghadapi sepuluh lawan saja, sebenarnya sudah ringan. Tapi karena mereka kehilangan banyak tenaga dan darah menghadapi Thai Hok dan anak buahnya maka tak lama kemudian dua laki-laki ini terdesak, mundur-mundur dan kembali mendapat bacokan. Kapak Thai Kok masih menyambar ganas biarpun dipegang dengan tangan kiri. Perwira itu beringas sekali dan marah melihat dua puluh anak buahnya malang melintang.
Dan ketika Beng Kwan dan adiknya, Beng San, terus didesak dan golok-golok terbang yang mereka miliki sudah habis dipergunakan merobohkan sekian banyak pengawal tadi maka dua orang ini akhirnya roboh ketika pengeroyoknya tinggal lima orang ditambah Thai Hok!
"Crang-crang!"
Golok ditangan dua orang itu terlepas. Mereka sudah kehabisan tenaga menghadapi lawan demikian banyak. Tapi ketika Thai Hok hendak membunuh dua orang ini dengan ayunan kapaknya yang terakhir sekonyong konyong dua pendatang baru berkelebat muncul.
"Thai Hok, lepaskan dua orang ini...!"
Thai Hok terkejut. Saat itu bersama lima pembantunya dia hendak membunuh Beng San dan kakaknya. senjata sudah terayun dan siap membantai. Tapi begitu dua bayangan itu membentaknya dari samping tiba-tiba lima pengawal roboh sementara Thai Hok sendiri menghadapi sebuah tepukan di pundak. Perwira ini terpelanting Thai Hok kaget dan berguling-guling, berteriak melompat bangun, marah. Tapi ketika dia melihat siapa yang datang mendadak perwira ini tertegun berseru tertahan.
"Hek-eng Taihap (Garuda Hitam)...!"
Dua orang itu mengangguk. 'Ya, aku, Thai Hok. Kau masih tak mau melepas Sin-to Sam-enghiong ini?"
Thai Hok terbelalak. Dia rupanya gentar, tapi memekik berseru keras tiba-tiba dia menerjang dengan nekat, menyuruh pembantunya yang tinggal lima orang itu menyerang Hek-eng Taihap, laki-laki gagah berusia tigapuluh lima tahun itu, juga temannya, yang hampir sebaya tak kalah gagah. Tapi begitu Hek-eng Taihiap mengibaskan lengan ke kiri kanan tiba-tiba perwira she Thai berteriak dan terjungkal kembali lima pembantunya juga begitu, mereka melompat bangun dan kembali menyerang, sang komandan marah bukan main dan bersikap nekat. Tapi ketika Hek-eng Taihiap berkelebat ke sana kemari dan menotok lawan-lawannya tiba-tiba Thai Hok terbanting dan roboh pingsan, lima pengawalnya tertotok lumpuh.
"Kalian tak usah keras kepala. Kalau membandel akan kuhajar lebih keras lagi!" Hek-eng Taihiap berkata, sikapnya tenang tapi wibawnya kuat. Lima pengawal itu dibebaskan kembali dan disuruh membawa Thai Hok, diusir pergi. Dan ketika mereka tertatih-tatih dan membawa komandan itu serta mengurus yang lain-lain maka Beng Kwi, orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong menghampiri Pendekar Garuda Hitam ini.
"Hek-eng Taihiap, terima kasih. Kami berhutang budi padamu!"
"Ah, tak perlu begitu. Kita sesama teman sendiri, saudara Beng. Buang sikap sungkanmu itu dan mari kita bebaskan putera-puteri Beng-ciangkun ini"
"Nanti dulu, aku ingin membereskan orang she Thai itu!" Beng Kwan tiba-tiba meloncat. "Orang ini harus dibunuh, Hek-eng Taihiap. Dia itu rupanya pembantu Tan taijin yang setia!" dan masih teringat keganasan perwira ini tiba-tiba Beng Kwan merebut dan mau menggorok leher lawannya itu.
Tapi Hek-eng Taihiap berkelebat, menghadang dan sudah menekan pundak orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong itu. Dan ketika Beng Kwan terbelalak dan adiknya juga melompat maju maka Pendekar Garuda Hitam ini berkata,
"Saudara Beng. maafkan pendapatku. Perwira ini tak perlu dibunuh. Korban telah cukup banyak dan tak perlu menumpahkan darah lagi. Dia hanya suruhan, betapapun biang keladinya bukan dia. Biarkan dia kembali bersama lima pengawalnya ini."
"Tapi dia pengkhianat, dia hampir membunuh kami!"
"Perhitungan sudah dibayar dengan terbunuhnya pengawal pengawal di tangan kalian, saudara Beng. Harap ingat ini dan jangan diamuk emosi. Betapapun kalian selamat dan tidak terbunuh!"
Beng Kwan tertegun. Sebenarnya dia marah, tapi karena ingat bahwa Hek-eng Taihiap telah mengembalikan nyawa mereka dan tanpa kehadiran pendekar ini tentu mereka sudah binasa akhirnya dengan kesal dan tidak puas Beng Kwan mundür tak mau membantah. Sikapnya dapat dilihat pendekar itu. Hek-eng Taihiap menarik napas dan menyuruh pengawal segera pergi. Anak buah perwira she Thai itu sudah menggigil pucat.
Mayat-mayat yang bergelimpangan dimasukkan ke kerangkeng dan Sin Kok serta adiknya sudah dibebaskan, mereka menghambur ke arah Pendekar Garuda Hitam ini. Dan ketika musuh-musuh pergi dan tempat itu bersih dari bekas bekas pertempuran maka Sin Kok dan adiknya menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-to Sam-enghiong, penolöng pertama mereka.
"Paman. terima kasih. Kami berdua tak tahu harus berkata apalagi!"
"Sudahlah, bukan kepada kami kau harus berterima kasih, Sin Kok. Tapi Hek-eng Taihiap inilah yang sebenarnya menyelamatkan kita semua!"
"Benar, kamipun berterima kasih padanya!" Sin Kok dan adiknya memberi hormat pada Pendekar Garuda Hitam itu. "Tapi maaf, siapa enghiong (tuan gagah) yang satu ini?"
"Dia Yu Bing." Hek-eng Taihiap tersenyum. "Teman sekaligus sahabat baru kalian. Eh, cuwi enghiong, perkenalkan ini temanku, saudara Yu Bing yang datang ingin membantu kalian!"
Semua orang buru-buru memberi hörmat. Dia memang Yu Bing, murid Cheng-bin Yu-lo yang lihai itu. Kita telah mengenalnya ketika pemuda ini bertemu Salima. Kim-mou-eng yang mengintai juga mengenal pemuda itu. Dan ketika Yu Bing tersipu membalas hormat maka Sin-to Sam-enghiong yang bicara sambil mengobati lukanya mulai bertanya pada Pendekar Garuda Hitam itu.
"Hek-eng Taihiap, bagaimana kau bisa tiba di sini? Apakah kota raja memberikan berita baru?"
"Ya, Kim-taijin menyuruhku mencari kalian, sam-wi enghiong. Tak disangka kalau saudara Sin Kok dan nona Hwi Ling ini ditangkap!"
"Apa yang terjadi? Kim-taijin memberi perintah apa?"
"Ada berita baru. Kim-mou-eng membuat geger di istana. Kim-taijin melihat persekutuan persekutuan rahasia yang membahayakan kaisar."
"Ah, si Tar-tar itu memang keparat! Dia ikut campur? Ingin kubunuh dia kalau aku mampu!"
Beng Kwan mengerotkan gigi, mukanya tiba-tiba beringas mendengar disebutnya nama Kim-mou-eng, kebenciannya meledak. Dan Hwi Ling serta kakaknya yang juga geram mendengar nama ini tiba tiba mengêpal tinju.
"Ya, kamipun ingin membalas kematian ayah, paman. Kalau kepandaian kami tidak rendah begini tentu sudah kubunuh si Rambut Emas itu!"
"Hm," Hek eng Taihiap mengerutkan kening. "Kalian salah, sam-wi-enghiong (sahabat bertiga). Apa yang diperbuat Kim-mou-eng justeru harus membuat kita malu, Pendekar sakti itu kejatuhan getah, kalian salah paham."
"Salah paham apa? Dia membunuh suhengku. Beng-ciangkun tewas gara gara si Rambut Emas ini!"
"Dan Kim-mou-eng juga membunuh ayahku, taihiap. Betapapun aku harus membalas dendam untuk sakit hati ini!" Hwi Ling dan kakaknya ikut berseru.
"Baiklah, kalian terbakar emosi", Hek-eng Taihiap berkerut semakin dalam. "Tapi sesungguhnya pendekar itu berjasa besar. Dari dialah mula-mula Kim-taijin menaruh perhatian. Gejala pemberontakan sudah mulai membayang, Kim-mou-eng telah datang ke istana dan untuk kedua kali memperingatkan kaisar. Kita harus malu padanya karena salah dulu!" dan ketika teman-temannya terbelalak dan heran memandang pendekar ini maka Hek-eng Taihiap berkata,
"Saudara-saudara sekalian, tahukah sebenarnya dari mana Kim-taijin mendapat masukan?"
"Tentu saja darimu, bukankah kau yang membantu kim-tajin secara diam-diam, Hek-eng Taihiap?" Beng San kali ini bicara.
"Ya, tapi tahukah kalian dari mana aku mendapatkan berita?"
"Tentunya kau cari sendiri!"
"Salah, aku tak akan bergerak kalau Kim-mou-eng tidak membuat keributan, sam-wi enghiong. Bahwa dari tindakan pendekar itulah aku baru mulai bekerja. Dan saudara Yu Bing banyak memberi tahu padaku!"
Semua orang tertegun.
"Kalian tak mengerti? Baiklah kalian dengar. Kim-mou-eng ternyata bersungguh-sungguh bersama Sin-piaw Ang-lojin, dia memberitahu pangeran mahkota akan rencana pemberontakan itu. Mereka berdua melapor, tapi tak dipercaya. Ang-lojin akhirnya terbunuh. Pangeran Muda memang banyak memiliki andil. Aku telah menangkap dan membekuk seorang Pengkhinat untuk dihadapkan Kim-tajin sendiri. Tahukah kalian siapa pengkhianat itu?"
“Siapa?"
"Cu-thaikam?"
"Ah...." Beng Kwan terkejut. "Pembantu Pangeran mahkota itu?"
"Ya, dialah yang kutangkap saudara Beng. Dan di hadapan Kim-taijin pembesar kebiri ini berhasil kupaksa mengaku tentang rencana pemberontakan itu" dan ketika semua temannya terhenyak seakan tak percaya maka Hek-eng Taihiap bicara lagi, "Sekarang keterangan Kim-mou-eng dapat dipercaya, sam-wi enghong. Dan sebagai bukti pertama besok kita akan menghadapi pembunuhan terhadap pangeran mahkota. Besok pangeran mahkota akan berburu dan dia akan dibunuh dan dikabarkan tewas diterkam harimau. Kita harus bersiap-siap untuk menolong pangeran ini?"
Beng Kwan melotot. "Kalau begitu kita gagalkan rencana itu. Pengeran dapat diberi tahu dan tak perlu berburu!"
"Tidak." Hek-eng Taihiap justru menggelengkan kepala. "Kim-taijin tak menghendaki pemberitahuan ini, saudara Beng. Malah menghendaki agar rencana pembunuhan itu tetap berjalan, tak perlu melapor!"
"Kenapa begitu?" Beng Kwan dan adik-adiknya kaget. "Bukankah ini membahayakan pangeran?”
"Karena itulah kita harus melindunginya, saudara Beng. Kim-taijin tak ingin mengulang kegagalan Kim-mou-eng yang telah dua kali dilakukan!"
"Apa maksudnya ini?"
Hek-eng Taihiap lalu menerangkan, "Saudara Beng dan teman-teman yang lain. Kalian tentunya telah mendengar betapa dua kali laporan Kim-mou-eng tak mendapat tanggapan sebagaimana mestinya. Pangeran mahkota tak percaya, kaisar juga tak percaya. Dan itu disebabkan karena kaisar maupun pangeran mahkota telah termakan omongan Pangeran Muda dan ibunya, apalagi kebetulan Pendekar Rambut Emas itu keturunan Tar-tar. Hal ini menyulitkan dirinya. Dan karena Kim-taijin tak mau mengambil resiko dan menghadapkan Cu-thaikam yang telah berkhianat maka Kim-taijin menghendaki biarlah rencana pembunuhan itu tetap berjalan dan menimpa pangeran. Dengan demikian pangeran mahkota terbuka matanya, tak perlu kita banyak menerangkan lagi dan pangeran akan tahu sendiri saja yang sebenarnya terjadi. Karena itu, begitu besok sang pangeran berburu maka kita bersiap-siap melindunginya dari ancaman pembunuhan ini. Baru setelah itu bukti-bukti berikut akan muncul dengan sendirinya!"
Beng Kwan dan teman-temannya tertegun. Sekarang mereka mengerti, memang telah mendengar kegagalan Kim-mou-eng yang dianggap pengacau. Tapi Beng Kwan yang teringat sesuatu tiba-tiba mengerutkan kening. "Tapi kami juga mendapat berita baru. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun besok akan menghadapi serangan gelap!"
"Dari mana kalian tahu?"
"Kami mendengarnya dari seorang pembantu di dalam istana, taihiap. Jadi besok dua kejadian sekaligus akan menggegerkan istana! Bagaimana baiknya ini?"
Hek-eng Taihiap mengerutkan kening. "Kalau begitu berbahaya. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun memang dikenal sebagai panglima-panglima yang tak mau dibujuk. Mereka tetap setia pada kaisar. Kalau begitu tenaga harus kita pecah untuk menghadapi dua kejadian ini."
"Benar, tapi siapa yang akan menyerang tiga panglima itu, saudara Beng?" Yu Bing tiba-tiba bertanya. "Sebab kalau dihadapi dengan jalan terburu-buru dan penyerang orang biasa-biasa saja sebaiknya berita itu tidak perlu diperhatikan dan biar Bu-ciangkun maupun Cu-ciangkun menghadapi lawannya itu sendiri."
"Tidak, mereka adalah orang-orang dari kelompok Jit-mo Kang-ouw. Kalau tidak salah adalah sepasang iblis cebol Hek-bong lo-mo!"
Beng Kwan menjawab, membuat orang terkejut dan Yu Bing serta Hek-eng Taihiap berobah mukanya. Betapa pun nama sepasang iblis cebol itu bukan nama sembarangan. Mereka tertegun dan Beng Kwan serta adiknya tampak khawatir maka Beng Kwi, orang termuda dari Sin-to Sam-enghiong itu tiba-tiba bertanya,
"Dan di pihak pangeran mahkota sendiri, siapa bakal pembunuh itu, taihiap?"
"Aku belum jelas, tapi katanya seseorang yang juga lihai. Mungkin seorang atau dua orang dari kelompo Jit-mo Kang-ouw juga!"
"Ah, kalau begitu kita harus mencari bantuan. Kita bukan tandingannya!"
“Ya, sudah kupikir itu, saudara Beng Kwi. Tapi dalam keadaan demikian dekat siapa yang harus dicari? Waktu kita sempit, aku tak tahu siapa yang dapat dimintai bantuannya. Kalau saja..."
"Kalau saja Kim-mou-eng atau sumoinya ada di sini!"
Yu Bing tiba-tiba nyeletuk, mengejutkan teman-temannya. "Tentu kita tak usah pusing-pusing, sam-wi enghiong. Atau...."
"Sst...!" Hek-eng Taihiap tiba-tiba berkelebat, menghentikan omongan Yu Bing karena telinganya menangkap gerakan sesuatu di atas sana. Yang lain tentu saja terkesiap karena gerakan Pendekar Garuda Hitam itu tiba-tiba sekali. Dan ketika mereka mendongak dan Hek-eng Taihiap mengeluarkan bentakan menjulurkan lengan ke atas tebing mendadak sesosok bayangan berseru perlahan menangkis serangan Pendekar Garuda Hitam itu.
"Dukk!" Hek-eng Taihiap terpental turun, berteriak tertahan dan berjungkir balik melayang ke tanah. Tentu saja mencelos karena kalah kuat. Tapi begitu menginjakkan kaki melihat siapa yang diserang tiba-tiba pendekar ini berseru girang disusul teman-temannya yang lain, terutama Yu Bing.
"Pendekar Rambut Emas...!"
Kim-mou-eng tersenyum kecil. Memang dia yang diserang Hek-eng Taihiap ini, memperdengarkan gerakan sedikit di atas sana tapi sudah tertangkap oleh Pendekar Garuda Hitam ini. Tahulah dia bahwa Hek-eng Taihiap ini memiliki kepandaian paling tinggi, masih di atas Yu Bing. Tadi sengaja mencoba dan kini dapat mengira ngira kepandaian pendekar itu, laki-laki gagah yang simpatik dipandang mata. Dan ketika dia sudah berada di tengah tengah kerumunan orang dan Hek-eng Taihiap terbelalak memandangnya maka Kim-mou-eng yang telah mendengarkan semua percakapan di bawah buru-buru menjura.
"Hek-eng Taihiap, maafkan aku. Rupanya kehadiranku ini mengganggu pembicaraan kalian!" dan tersenyum memandang Sin-to Sam-enghuong pendekar ini bertanya, "Sam-enghiong, apa kabar? Kalian baik-baik saja? Dan ini saudara Sin Kok dan nona Hwi Ling. Mudah-mudahan tak marah dan menyerang padaku lagi."
Semua orang tertegun. Kalau saja tak ada Hek-eng Taihiap di situ mungkin kebencian dan kemarahan Sin-to Sam-enghiong ini tak akan berkurang, begitu pula Sin Kok dan adiknya. Tapi karena Pendekar Garuda Hitam telah memberitahu mereka bahwa Kim-mou-eng membantu pemerintah dan urusan pribadi rupanya harus ditunda untuk kepentingan yang lebih besar akhirnya Beng Kwan dan dua adiknya menyambut masam, Sin Kok juga begitu sementara Hwi Ling bersinar-sinar.
"Kim-mou-eng, apa maksudmu datang kesini? Kau mengintai pembicaraan kami?"
"Maaf,“ Kim-mou-eng menanggapi omongan yang kurang ramah dari Sin-to Sam-enghiong ini. "Aku memang telah mendengar pembicaraan kalian, sam-wi enghiong. Tapi percayalah aku tak bermaksud buruk."
"Dan kerjamu rupanya nguping!" Hwi Ling melepas geram "Apakah begini sepak terjangmu sehari-hari, Kim-mou-eng?"
Tapi Hek-eng Taihiap buru-buru menyela. "Kim-taihiap, apakah secara kebetulan saja kau berada di sini? Mana sumoimu?"
Kim-mou-eng menarik napas. "Sumoiku tak ada di sini, dia kusuruh mengumpulkan anak buah Seng piauw-pang yang kocar kacir. Maaf, aku tak sengaja melihat semuanya ini, Hek-eng Taihiap. Aku berhenti karena melihat tertangkapnya saudara Sin Kok dan adiknya itu. bermaksud menolong tapi keduluan oleh Sin-to Sam-enghiong ini dan dirimu sendiri."
"Kalau begitu kau sudah lama?"
"Sebelum kedatangan Sin-to Sam-enghiong ini"
"Ah, kalau begitu kau membuat malu aku. Aku Telah menunjukkan kepandaianku yang tiada guna!"
“Tidak, justeru kepandaianmu membuat aku kagum, Hek-eng Taihiap. Tapi yang lebih mengagumkan lagi adalah kepatriotikanmu itu. Aku benar-benar tak menyangka kalau kau tertarik urusan pemberontakan ini!"
"Ah, yang kagum adalah aku, Kim-taihiap. Sebagai bukan orang Han kau memperhatikan bangsa ini. Inilah yang lebih mengagumkan dibanding aku. Kau pembela kebenaran sejati, seorang pendekar tulen...!"
"Pendekar Rambut Emas, sungguh berani kau datang kemari. Ayo masuklah, kulihat seberapa besar nyalimu!"
Kim mou-eng terkejut. Dia serasa mengenal suara orang lupa lupa ingat tapi kembali melihat bayangan Hong Jin. Sute mendiang Seng-piauw-pangcu itu menyelinap di ruang tengah, mendengus dan sekilas melirik padanya dengan pandangan marah. Kim-mou-eng tak mau menyia-nyiakan waktu dan sudah berkelebat ke depan, membentak mengéjar laki-laki muka kuning itu. Tapi begitu tubuhnya masuk ke dalam dan berjungkir balik di ruangan ini tak mau menginjak lantainya tiba tiba seutas benang ditabrak dan sepuluh batang anak panah meluncur menyambar dirinya,
"Ser-serr...!"
Kim-mou-eng bergerak cepat. Dia tak mau ditakuti anak-anak panah macam beginian, menyampok dan memukul runtuh semua anak-anak panah itu. Tapi ketika sepuluh anak panah rontok ke lantai dan pintu tengah hampir dicapai mendadak pintu itu menutup dan sebuah suara keras menggegap-gempita menggetarkan isi ruangan.
"Blang!" Kim-mou-eng terkesiap. Dia otomatis menghantam pintu, terkejut karena pintu itu ternyata dari baja yang amat tangguh, tak bergeming dan dia jatuh ke lantai. Hal yang tak dimaui karena dia khawatir seperti Siong-kongcu tadi. Lantai mengandung jebakan jebakan rahasia. Dan ketika dia harus berjungkir balik dan hinggap diatas belandar tiba-tiba pintu depan juga menutup dan Kim-mou-eng terkurung!
"Ha ha, kau seperti katak terkurung, Pendekar Rambut Emas. Kau tak dapat keluar!"
Kim-mou-eng marah. Dia melihat semua tempat menutup jalan larinya. Di sekelilingnya tembok dan pintu baja itu. Tawa bergelak itu kembali terdengar dan bayangan Hong Jin tiba-tiba muncul, Kim-mou-eng melihatnya di sebuah cermin. Dan ketika dia menubruk dan mencelat ke tempat ini mendadak Hong Jin lenyap dan cermin yang dipukul hancur berkeping-keping. Kim mou-eng tertipu!
"Keparat, kau siapa?"
"Ha ha, aku orang yang kau cari, Kim-mou-eng. Aku Yu Hak!"
Kim-mou-eng terkejut. "Kau tahu aku mencari dirimu?"
"Tentu, bukankah kau memaksa Siong kongcu itu ke mari? Dan dia mati karena ulahmu, kau harus bertanggung jawab!" dan sebuah geraman yang menyatakan marah dan sakit hati tiba-tiba menunjukkan siapa orang ini. Seorang laki-laki tinggi tegap yang dikenal Kim-mou-eng sebagai lawan yang berkali-kali menolong Hong Jin dan adik-adiknya, terakhir dilihatnya laki-laki itu menyelamatkan sute mendiang Seng-piauw-pangcu yang berkhianat di gedung Siong taijin.
Laki-laki yang memiliki granat tangan dan kini tampak di bayangan cerain,belasan cermin besar muncul dari dalam lantai. Kim-mou-eng mendengar suara berderak-derak. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan terbelalak memandang laki-laki ini, yang dikenal pertama kali di perkumpulan Seng piauw-pang itu maka Hong Jin muncul kembali bersama sutenya nomor dua, Wan Tiong Lojin, di balik bayangan cermin yang berputar putar membingungkan.
"Kim-mou eng, kau berhutang dua nyawa kepadaku. Dulu suteku Ki Siong Cinjin dan kini muridku yang baru Siong Gwan. Kau harus bertanggung jawab!"
Kim-mou-eng mendengus "Kau tak perlu mencari-cari, Hong Jin. Suhengmu sendiri terbunuh gara-gara tingkahmu."
"Tapi itu kesalahannya sendiri. Suheng memusuhi pemerintah dan tak mau ikut nasihatku!"
"Hm, pemerintah yang mana? Pemerintah Siauw-ongya itukah? Dia calon pemberontak, bukan pemerintah dan sebaliknya adalah pengkhianat!"
"Tak perlu banyak mulut, kau Tar-tar pengacau!" dan Hong Jin yang mendelik menekan sesuatu tiba-tiba menyerang Kim-mou-eng dengan sebuah tombak terbang, ditangkis dan patah bertemu lengan pendekar itu. Wan Tiong Lojin juga menimpukkan pisau terbangnya, sembilan kali berturut turut, semuanya runtuh karena Kim mou eng sudah mengebutkan lengan bajunya. Tapi ketika pendekar ini menujukan perhatiannya ke kakak beradik itu tiba-tiba Yu Hak yang ada di belakang melepas seekor ular terbang.
"Ssh!" Kim-mou-ong terkejut. Dia membalik, ular ditangkap tapi sang ular melejit, dapat terbang di udara. Kini dengan sayapnya yang kecil merupakan ular yang aneh tiba-tiba menukik membuka mulutnya. Kim-mou-eng melihat lidahnya yang bercabang tiga, jelas ular yang amat beracun. Dan ketika dengan kaget dia menahan napasnya tapi cepat mengelak dan menangkap ular itu dari bagian ekor akhirnya dengan tepat dan cepat dia berhasil memegang leher ular, langsung memencetnya dan ular itu hancur di tangannya. Yu Hak terkejut dan memaki-maki di sana. Dan ketika dia membuang bangkai ular itu dan marah memandang lawan maka Hong Jin dan sutenya sudah menyerang dari balik tembok rahasia.
"Gunakan asap. Pakai belerang beracun...!"
Kim-mou-eng terbelalak. Dia melihat asap belerang menyembur dari balik lubang-lubang dinding. Tentu saja terkesiap dan marah karena dia teringat pengalamannya di kota raja dulu, ketika Jie-liong Ciangkun menyemburkan belerang pembius dalam lubang jebakan. Kini rasanya Hong Jin dan teman temannya itu melalukan hal yang sama. Dan karena dia terkurung dan asap sudah banyak yang masuk tiba-tiba pendekar ini membentak menghantam langit-langit ruangan, satu-satunya jalan keluar saat itu. Tak mau berlama-lama lagi dan genteng serta papan papan di atas pecah semua, suaranya hiruk-pikuk dan langit-langit itupun ambrol, atapnya runtuh.
Dan ketika orang-orang di balik tembok berseru kaget dan Kim-mou-eng sudah melesat melalui tempat terbuka ini maka pendekar itu lolos berjungkir balik diluar sana, melihat Hong Jin dan sutenya di balik tembok, Yu Hak di sebelah kiri tertegun memandangnya. Semua orang terbelalak. Dan begitu melayang turun menuju ke musuh-musuhnya ini segera Kim-mou-eng membentak mencengkeram Hong Jin.
"Pengkhianat busuk, kau harus sembahyang di makam suhengmu!"
Hong Jin kaget sekali. Dia menangkis dan membanting tubuh bergulingan, melepas tiga pisau terbangnya ke arah Kim-mou-eng, disampok dan runtuh ke tanah. Hong Jin bergulingan menjauhkan diri. Dan karena Wan Tiong Lojin ada di sebelahnya dan pendekar ini geram pada sute mendiang Sin-piauw Ang-lojin ini maka kontan dia membalik meneruskan serangannya pada Wan Tiong Lojin. Kakek ini baru sadar setelah serangan dekat, menangkis tapi menjerit ketika jari jari lawan menyambar tenggorokannya, tak keburu lagi. Dan ketika Kim-mou-eng mengangkat tubuhnya dan lawan mengeluh tahu tahu kakek ini di banting sampai kelengar.
"Tunggu dulu di situ... brukk!"
Wan Tiong Lojin mengaduh tertahan, pantataya serasa menumbuk kepala gajah, terduduk dan akhirnya pingsan oleh bantingan yang amat keras ini Kakek itu memang bukan lawan Kim-mou-eng. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebat mengejar Hong Jin maka kakek muka kuning ini berseru pada temannya.
"Tolong...!"
Yu Hak menggeram. Dia menimpuk empat golok terbang, bersiut menyambar depan Kim-mou-eng. Dua menyambar mata, tentu saja berbahaya dan Kim-mou-eng mengelak. Pisau meluncur lewat sisi kepalanya, tak disangka terus menyambar Wan Tiong Lojin yang ada di tanah, menancap di dada kiri dan kanan kakek yang pingsan itu. Wan Tiong Lojin kontan menghembuskan napasnya yang terakhir. Tewas disaat itu Juga! Dan ketika Hong Jin terkejut dan Kim mou eng juga tertelalak maka laki-laki tinggi tegap itu sudah menyerang Kim mou eng dengan suling di tangan kiri dan tongkat bercagak di tangan kanan.
"Hong Jin, bunuh si Rambut Emas ini. Jangan melotot...!"
Hong Jin sadar. Sebenarnya dia bingung di saat itu, tak tahu siapa yang harus dituduh membunuh sutenya. Kim-mou-eng yang mengelak serangan ataukah Yu Hak yang melempar golok. Dua-duanya bisa dituduh dan dianggap penyebab kematian saudaranya. Tapi karena Kim-mou-eng dianggap lebih berbahaya dan kematian sutenya dapat ditunda sejenak akhirnya kakek ini mencabut golok-tombaknya menerjang Kim-mou-eng.
"Benar, Tar-tar ini pengacau, Yu-busu. Serang dan bunuh dia!"
Kim-mou-eng menjengek. Dia tak takuti golok-tombak di tangan Hong Jin, mengebut dan golok-tombak itu mental, nyaris mengenai Hong Jin sendiri. Tapi ketika suling dan tongkat di tangan Yu Hak menyambar dan jarum-jarum kecil meluncur dari balik tongkat tiba-tiba Kim-mou-eng berseru keras menangkis lawan yang satu ini, terkejut karena serangan laki-laki itu jauh lebih cepat dibanding Hong Jin, juga lebih bertenaga menunjukkan sinkangnya yang lebih hebat. Dan ketika laki-laki itu menggerakkan sulingnya dan suling mengaung memperdengarkan irama aneh sekonyong-konyong ratusan ular berdatangan dari dalam hutan,
"Ah, kau murid Coa ong (Raja Ular)...!" Kim-mou-eng terbelalak, melihat gerakan-gerakan yang mirip dengan si Raja Ular itu, lawan tak menjawab tapi suling dan tongkat bercagaknya terus menyambar-nyambar. Sebentar kemudian Kim-mou-eng dikurung dan ratusan ular juga sudah datang mendekat, Hong Jin sendiri juga membantu dan ikut mengacau perhatian Kim-mou-eng. Tapi karena Kim-mou-eng bukan lawan sembarangan dan pendekar ini memiliki kesaktian tinggi maka setelah melihat gebrakan lawan segera Kim-mou-eng mengeluarkan Tiat-lui-kangnya itu.
"Plak-plak plak!"
Suling dan tongkat diusir pergi. Hong Jin sendiri terpelanting ketika keserempet angin pukulan Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas membentak dan lebih tertarik perhatiannya pada laki-laki tinggi tegap ini, yang diduga sebagai murid Coa-ong, atau mungkin sutenya (adik seperguruan) karena kepandaian laki-laki ini memang tinggi. Suling dan tongkatnya berbahaya sekali, menotok dan menggebuk menuju tempat tempat mematikan. Cepat dan penuh tenaga. Dan ketika Tiat-lui-kang mampu menahan dan malah menolak suling tiba-tiba irama suling menjadi kacau dan ratusan ular berdiri bingung berhenti di dekat pertempuran.
"Keparat! Jahanam....!" Yu Hak memaki-maki, marah dan mengerutkan kening karena segera dia terdesak. Jarum jarum halus kembali meluncur dari ujung tongkatnya tapi semua ditiup runtuh Kim-mou-eng, mukanya mulai berobah dan Hong Jin dua kali mendapat tamparan di pundak. Kedudukan mulai membahayakan mereka sementara Kim-mou-eng sendiri terus menampar dan mendorong, Tiat-lui-kangnya tak dapat ditahan dan sekarang dia tahu bahwa Ya Hak ini memiliki kepandaian sedikit di bawah Coa-ong. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa laki-laki Ini Kiranya sute si Raja Ular itu. Dan ketika dia membentak dan lawan terpental mundur tiba-tiba laki laki itu meniup sulingnya tinggi rendah.
"Maju, anak-anak. Serang dia....!"
Kim-mou-eng terkejut. Ratusan ular yang tadi berhenti tiba-tiba bergerak, maju menyerang dengan mulut mendesis-desis. Rupanya suara suling itu telah memberi aba-aba tegas pada mereka. Kim-mou-eng diserang dan tiba-tiba diserbu, Hong Jin melompat mundur melepaskan pisau-pisau terbangnya, Yu Hak juga begitu, kembali menyambit dengan lima golok terbang. Dan ketika pisau dan golok ditangkis runtuh dan sebagian di terima begitu saja oleh Pendekar Rambut Emas yang melindungi diri dengan kekebalan tiba-tiba barisan ular telah mengepungnya, dua orang itu melarikan diri!
"Hei, berhenti kalian...!" Kim-mou-eng membentak, menyulut obor dan tiba-tiba melempar obor ke tengah-tengah ular. Barisan ular serentak minggir dan mendesis-desis ketakutan. Betapapun api adalah musuh yang tak dapat mereka lawan. Dan ketika mereka menyibak minggir dan Kim-mou-eng meloncat maka dua orang itu segera dikejar.
"Keparat....!" Yu Hak mengumpat. "Kau kekiri, Hong Jin. Aku ke kanan!"
Hong Jin mengangguk. Mereka berpencar. Hong Jin ke kiri sementara Yu Hak ke kanan. mereka memasuki hutan didepan. Dan karena bentakan Kim-mou-eng sudah dekat dibelakang mereka dan Hong Jin serta Yu Hak buru-buru tiba-tiba! Hong Jin keserimpet akar terpelanting roboh berteriak tapi sudah melompat bangun dengan muka gelisah. Yu Hak menendangnya hingga kakek muka kuning ini mendapat dorongan keras, kesakitan tapi sudah memasuki semak belukar. Lenyap di sebelah kiri.
Dan ketika Yu Hak juga melompat dan lenyap di sebelah kanan akhirnya Kim-mou-eng tertegun melihat dua lawan berpencar tiba di situ tapi terlambat menangkap lawan. Dua musuhnya menghilang di dalam. Tapi setelah berpikir siapa yang harus dikejar dulu tiba tiba pendekar ini meloncat ke kiri.
"Hong Jin, kau tak dapat melepaskan dirimu!"
Pendekar ini mencari-cari. Dia harus melompat ke sana sini mencari bayangan kakek itu, hutan cukup gelap tapi matanya yang tajam mampu menembus ke dalam. Pendengaran juga dipasang baik-baik untuk menangkap gerakan. Dan ketika dia melihat jejak kaki dan injakan tak beraturan di semak belukar akhirnya pendekar ini mendengar napas ditahan kakek muka kuning itu, di sebelah kanannya. Telinga Kim-mou-eng bergerak dan secepat kilat dia berkelebat ke tempat ini. Dan ketika tangannya menguak dan kaKek itu bersembunyi di dalam tiba-tiba golok tombak yang ada di tangan kakek itu menyambar dirinya.
"Kim-mou-eng, mampuslah...!"
Kim-mou-eng mengelak. Dia menghindari tusukan lawan, jari bergerak dan tiba-tiba senjata sudah ditangkap. Gerakannya cepat mengejutkan kakek itu. Dan ketika lawan berseru tertahan melihat senjata ditangkap tiba-tiba Kim-mou-eng menekuk jarinya mematahkan golok tombak itu.
"Krek!" Hong Jin terbelalak gentar. Dia mundur melompat menjauh, keringatnya bertetes-tetes, pucat bukan main melihat pendekar itu memandangnya tajam. kim mou-éng siap menangkap,merobohkan kakek ini. Tapi belum dia menghampiri dan mengejek kakek ini tiba-tiba Hong Jin melempar granat tangan ke muka lawannya.
"Daarr!" Kim-mou-eng terkejut. Dia tak menyangka kakek ini memiliki granat tangan, rupanya di beri Yu Hak. Dua kali granat kembali meledak membuat Kim-mou-eng berjungkir balik menyelamatkan diri. Betapapun ledakan itu tak mungkin dilawannya dengan begitu saja. Bisa hancur tubuhnya. Dan ketika dia membentak memaki kakek itu terhalang asap tebal maka Hong Jin sudah melarikan diri ke arah timur.
"kim-mou-eng, kau tak dapat menangkap aku!"
Kim-mou-Eng menggeram. Seruan si kakek justeru membuat dia girang tahu lawan berada di mana. Maka berjungkir balik melayang di atas pohon segera dia melihat lawannya itu melarikan diri ke timur. Jarak cukup jauh sekitar seratus tombak. Kakek itu memang licik. Tapi Kim-mou-eng yang berlompatan dari pohon ke pohon mengerahkan ginkangnya akhirnya mengejar lawan tua ini dengan cepat. Gerakannya bagai burung elang. Sebentar kemudian mendekati lawan dari belakang. Hong Jin tak tahu. Dan persis kakek itu menuju sebatang pohon besar mencari perlindungan tiba-tiba Kim-mou-eng memetik sebuah daun dan menimpuk punggung lawan di jalan darah liong-hu-hiatnya.
"Crep...aduh!" Hong Jin terguling roboh. Si kakek terkejut dan baru sadar bahwa Kim-mou-eng tak dapat dihindarinya. Betapapun dia kalah lihai. Dan ketika Kim-mou-eng melayang turun dan berhadapan dengan kakek ini maka Hong Jin gemetaran memaki gusar.
"Kim-mou-eng, keparat kau. Terkutuk!"
"Hm, yang terkutuk adalah kau, Hong Jin. Kau berwatak culas dan curang!"
Kim-mou-eng sudah di dekat kakek ini, jari tangannya siap menotok lagi jalan darah di bawah telinga. Lawan terbelalak memandangnya. Dan ketika kakek itu memaki dan bertanya apa yang diminta pendekar ini maka Kim-mou eng mendengus menjawab pendek.
"Aku mencari pembunuh A-ciong, aku mencari kitab catatan itu!"
"Aku tak tahu. Aku tak mengenal siapa itu A-ciong, Kim mou-eng. Kau carilah sendiri dan jangan tanya aku!"
"Hm, jangan berpura-pura, Hong Jin. Muridmu telah memberi tahu padaku bahwa kau tahu!” Kim-mou-eng membentak. "Sebaiknya berterus terang saja dan jangan biarkan aku memaksamu!"
"Kau mau apa?" Hong Jin terbelalak. "Kau mau membunuh aku?"
"Tidak, aku tak suka membunuh orang! Tapi kalau kau bandel jalan darah su-liong-hiatmu akan kutotok!"
Hong Jin pucat. Jalan darah ini adalah jalan darah yang bakal membuat orang serasa digerumuti ribuan semut api. Sekali sentuh saja orang akan berteriak-teriak kengerian, tubuh serasa ditusuk tusuk jarum. Memang tidak akan mematikan tapi cukup merupakan siksa yang hebat. Rasa panas dan pedih akan membuat orang menggigit bibir, disertai pula oleh rasa gatal yang kian ditahan akan kian menghebat. Hong Jin tentu saja marah tapi juga takut. Dan ketika dia terbelalak memandang pendekar itu dan Kim-mou-eng merasa tak sabar akhirnya jalan darah di bawah telinga itu mulai disentuh.
"Bagaimana, kau mau bicara jujur atau tidak?"
Kakek ini melotot. "Aku tak takut mati, sebaiknya kau bunuh aku!"
"Aku tak suka membunuh orang, Hong Jin. Kalau kau tak takut mati tentunya juga tak takut siksa. Baiklah, biar kumulai!"
Dan Kim-mou-eng yang menotok jalan darah itu disambut jengit lawannya tiba-tiba membuat kakek ini mendesis menahan sakit. Ribuan semut api tiba-tiba seakan merayapi sekujur tubuhnya, panas dan perih mulai menggigit. Hong Jin coba bertahan. Tapi ketika rasa nyeri mulai menyengat dan kakek ini menggeliat akhirnya dia berteriak memaki pendekar itu.
"Kim-mou-eng, kau bunuhlah aku Keparat kau, jahanam kau!"
Kim-mou-eng mundur, menonton. Tidak menjawab dan melihat lawan mulai menggigit bibir, menggeliat-geliat dan akhirnya berteriak-teriak seperti anak kecil dihajar rotan. Rupanya kakek itu tak tahan akan sengatan gatal dan panas. Siksaan itu mulai berjalan Kim-mou-eng sendiri sebenarnya tak tega tapi terpaksa melakukan itu, kakek ini bandel sekali, juga jahat. Dan ketika lawan mulai merintih dan semakin rasa gatal itu ditahan semakin hebat ia menyerang akhirnya kakek ini bergulingan menjerit-jerit
"Kim-mou-eng, bunuhlah aku. Remukkanlah kepalaku!"
"Tidak, aku akan menontonmu, Hong Jin. Sampai kau menggelepar dan bersedia mengaku!"
"Aku tak tahu. Aku tak kenal siapa itu yang kau cari!"
"Bohong, kau dusta. Kalau begitu akan ku tinggalkan dirimu sendirian di sini sampai kau bertobat!" dan Kim-mou-eng yang benar-benar mau pergi meninggalkan kakek itu dalam siksaannya yang tak tertahankan tiba-tiba membuat kakek itu terkejut dan berteriak agar Kim-mou-eng tidak meninggalkan dirinya. Hong Jin ketakutan dan seluruh mukanya basah oleh keringat, menggeliat dan bergulingan tak kuat. Dan ketika Kim-mou-eng berhenti dan lawan terengah-engah akhirnya kakek ini bicara.
"Tobat, bebaskan aku.... aku mau mengaku....!"
"Sungguh?"
"Aku tak menipu, Kim-mou-eng. Bebaskan aku dan biarkan aku bicara!"
"Baik, dan Kim-mou-eng yang menepuk leher kakek itu membebaskan siksaan akhirnya membuat kakek ini mengeluarkan keringat dingin gentar memandang Kim-mou-eng. Betapapun lawan dapat melakukan hal lebih jauh lagi kalau pendekar itu mau. Hong Jin pucat dan menghapus peluh di mukanya. Dan ketika Kim-mou-eng menunggu dan kakek itu marah tapi gentar akhirnya sebuah pengakuan mulai meluncur dari mulut kakek ini.
"Bocah itu dibunuh Yu-busu (pengawal Yu). Dialah yang menghabisi anak itu dan mengambil kitab catatannya."
"Orang she Yu itu? Siapa sebenarnya dia?"
Hong Jin takut-takut.
"Tak perlu takut, tak ada yang mengancammu di sini."
Kakek itu akhirnya bicara, "Dia pengawal pribadi paduka selir. Orang kepercayaan di sana yang bekerja secara diam-diam."
"Selir yang mana? Siapa?"
"Ibu Siauw-ongya itu, Kim-mou-eng! Yu Hak orang kepercayaan selir itu yang memiliki kekuasaan di istana!"
Kim-mou-eng tertegun segera dia teringat selir setengah umur itu, selir yang cerdik dan amat pandai bicara. Dia pun kalah berhadapan dengan selir ini. Keadaan berbalik dan dia yang dituduh, kaisar pun percaya dan akhirnya menganggap dia pengacau, hendak mengadu domba dan dianggap pemfitnah yang tidak bertanggung jawab. Padahal justeru selir itulah yang memutar balik kenyataan. Dan ketika dia menjublak mengerutkan kening maka dia teringat pada orang she Yu itu.
"Dan Yu Hak itu, apakah dia sute si Raja Ular?"
"Benar, orang ini sute Coa-ong Tok-kwi. Kim-mou-eng. Tapi mereka bekerja sendiri-sendiri dan Yu Hak lebih pintar."
"Maksudmu lebih cerdik? Coa-ong memang setengah gila, sutenya ini tidak tapi kekejaman mereka sama! Hong Jin, kau harus membawaku menemui temanmu itu!" Kim-mou-eng tiba-tiba berkata, "Kau harus mengantar aku ke sana dan merampas kembali kitab catatan!"
"Tidak!" Hong Jia tersentak. "Aku tak dapat membawamu ke sana, Kim-mou-eng. Aku sudah berkhianat dengan memberitahukan ini padamu!"
"Kenapa? Kau takut? Aku melindungimu, kita cari orang ini dan kau harus ikut!"
"Aku tak mau. Aku tak berani....!" dan Hong Jin yang bangun berdiri berlari kencang tiba-tiba berteriak menolak dengan muka ketakutan.
Kim-mou-eng terkejut, tapi ketika dia hendak mengejar dan menangkap kakek ini tiba-tiba Hong Jin kejeblos ke sebuah jurang dan pekik yang tinggi mengiringi kakek itu. Kim-mou-eng melihat kakek ini lenyap di sebuah jurang yang dalam. Pekiknya masih menggema. Dia tertegun, sadar bahwa kakek ini rupanya memilih bunuh diri ketimbang dibawa mencari Yu Hak. Mungkin kekejaman sute si Raja Ular itu membuat kakek ini ketakutan, betapapun orang itu memang keji. Dan ketika dia mendelong dipinggir jurang ini mengawasi hilangnya Hong Jin tiba-tiba tawa bergelak yang dikenalnya sebagai tawa laki-laki itu terdengar mengejutkan dia, melingkar-lingkar.
"Ha ha, kau boleh mencari aku di istana, Kim-mou-eng. Kutunggu di sana kalau kau berani!"
Kim-mou-eng tertegun. Dia memperhatikan asal suara, tapi karena tempat itu merupakan sebuah celah dan suara itu mengaung ke segenap penjuru akhirnya sukar pendekar ini menentukan asal suara. Dan dia menggeram. Orang menantangnya ke istana, tentu ke tempat selir itu. Ibu dari Pangeran Muda. Dan begitu berkelebat menjejakkan kakinya tiba-tiba Kim-mou-eng membalik menuju kota raja. Tapi di tengah jalan sesuatu menahannya. Dia melihat iring-iringan panjang mengawal sebuah kerangkeng besar. Dan ketika dia menghampiri dan melihat siapa yang dikerangkeng itu mendadak tertegun melihat sepasang muda-mudi terikat tangannya di balik kerangkeng.
"Sin Kok dan Hwi Ling....!"
Kim-mou-eng mengejapkan mata. Dia hampir tak percaya oleh penglihatannya ini. Hwi Ling! dan kakaknya di tangkap orang-orang istana, padahal mereka adalah putera puteri mendiang Ang Bin Ciangkan, seorang tokoh istana yang cukup dikenal karena Ang Bin Ciangkun adalah seorang dari kelompok Tujuh Panglima Naga. Jadi mengherankan sekali! Dan ketika Kim mou-eng berhenti dan mengamati barisan panjang ini maka dilihatnya Hwi Ling dengan dada membusung dan kepala tengadah bersandar kerangkeng memakin maki seorang tinggi besar yang rupanya menangkap mereka itu.
“Thai Hok, kau perwira busuk yang tak tahu malu. Kenapa menangkap kami tanpa alasan yang jelas? Apa kesalahan kami?"
Laki-laki itu tak menjawab, tetap berjalan tak menggubris omongan si gadis. Tapi ketika Hwi Ling memaki-makinya lagi dan mencap dia sebagai anjing Tan-tajin (pembesar Tan) mendadak laki-laki ini membalik menampar gadis itu. "Bocah she Ang, diam kau. Kubunuh kau nanti!"
Hwi Ling terjengkang. Dia marah berteriak-teriak, masih memaki-maki lawannya itu. Dan itu ketika Thai Hok kehilangan sabar dan menempeleng. Tapi muka Hwi Ling dibungkam dengan sebuah kain kotor, mulutnya tak dapat dibuka gadis itu tak dapat bicara. Tentu saja Hwi Ling mendelik. Dan Sin Kok yang tak tahan melihat adiknya diperlakukan kasar tiba tiba membentak si tinggi besar itu.
"Thai Hok kau perwira tak tahu aturan. Bukankah pertanyaan adikku benar? Kami tak tahu sebab apa kami ditangkap, sekarang bertanya. Tapi kau membalas dengan sikapmu ini. Apakah berani kau lakukan hal begini bila ayahku masih hidup?"
"Tak perlu banyak mulut. Kaupun jangan cerewet. Sin Kok. Lain sekarang lain dulu. Ayahmu yang mampus itu tak perlu disebut-sebut!"
"Keparat, kau kurang ajar. Kau...."
"Plak!" Sin Kok mendapat tamparan keras. "Kau masih juga berkaok-kaok, bocah? Kupukul mulutmu nanti, diam tak perlu memaki orang lain. Aku hanya mendapat perintah!"
Sin Kok berang. Dia jadi tak terima diperlakukan begitu juga, sama seperti adiknya mulai melepas caci maki pada perwira bernama Thai Hok ini. Si perwira menjadi gusar dan marah. Sin Kok digaplok kembali hingga bengap. Dan ketika pemuda itu masih cuap-cuap membakar hati perwira ini tiba-tiba Thai Hok menyumpal pula mulut pemuda itu seperti Hwi Ling. Sin Kok mendelik dan pandang matanya saja yang memaki-maki perwira itu. Thai Hok tak perduli. Dan ketika iring-iringan ini terus berjalan dan tiba di sebuah tikungan mendadak tiga laki-laki kekar berkelebat menghadang.
"Thai Hok, bebaskan dua muda-mudi itu!"
Thai Hok terkejut. Kim-mou-eng sendiri yang mengintai di atas juga terkejut melihat. Itulah Sin-to Sam-enghiong, tiga orang sute mendiang Beng-ciangkun. Dan ketika rombongan berhenti dan Thai Hok maju dengan muka geram maka di dalam kerangkeng Hwi Ling dan kakaknya tampak girang bukan main melihat kedatangan tiga laki-laki pendek ini, sahabat ayah mereka.
"Kau mau apa?" Thai Hok menghardik. "Kenapa mencegat perjalanan orang?"
Sin-to Sam-enghiong berdiri berendeng. "Kami minta kau membebaskan dua muda mudi itu. Thai Hok. Kami mendengar kau menangkap atas perintah Tan-taijin!"
"Benar, Tan-taijin yang menyuruh ini. Kalian mau apa?" Thai Hok menantang. "Berani melawan alat negara?"
Orang yang di tengah dari Sin-to Sam-enghiong itu tertawa mengejek. "Thai Hok, mengingatkan tak perlu kita sesama teman sebaiknya ancam-mengancam. Aku bukan menghadapi alat ilegal melainkan justeru mengingatkan dirimu bahwa Tan taijin adalah calon pemberontak. Kau bebaskan dua muda-mudi itu dan kita tangkap bersama Tan-taijin itu!"
"Kau memberontak? Thai Hok marah. "Kalian memutar balik kenyataan?"
"Tidak, aku bicara benar, Thai Hok. Sebaiknya sesama bekas teman sendiri tak perlu kita ribut mulut. Kau diperalat, Tan-taijin dan menteri-menteri lain sudah merencanakan pemberontakan. Hari ini mereka akan menyergap pula tiga dari Jit-liong Ciangkun!"
Thai Hok terbelalak. Rupanya dia kaget mendengar kata-kata itu, tapi membentak menyuruh pengawal tiba-tiba dia menerjang memberi aba-aba, mencabut senjatanya yang mengerikan, sebuah kapak. "Serang, bunuh mereka ini....!" dan para pengawal yang maju menyerang dengan senjata masing masing tiba-tiba mengerubut dan sudah mengeroyok tiga laki-laki pendek ini.
Sin-to Sam-enghiong dihujani senjata dari segala penjuru, tombak dan pedang berhamburan ke tubuh ketiganya. Tapi ketika mereka menangkis dan pedang serta tombak terpental semua kecuali kapak di tangan Thai Hok maka pertempuran menjadi sengit. Tiga dikeroyok puluhan, tak kurang dari tigapuluh orang!
"Trang trang trang!"
Thai Hok dan para pengawalnya marah. Dua di antara mereka sudah terjungkal, tangkisan Sin-to Sam-enghiong membuat pengawal mundur, dua terluka. Gebrakan berlangsung cepat dan Thai Hok berteriak kembali menyuruh pasukannya maju, perwira ini sendiri sudah mengayunkan kapaknya dengan dahsyat tenaganya luar biasa dan benar-benar hebat. Hanya dialah yang dapat menandingi Sin-to Sam-enghiong. Dan ketika pertempuran kembali berjalan dan para pengawal meluruk maju maka Sin-to Sam-enghiong menghadapi serangan baru setiap yang lain roboh.
Para pengawal cukup banyak dan mereka harus menghadapi setiap orang sepuluh lawan, masing-masing bekerja keras memutar golok. Kalau tak ada perwira tinggi besar itu mungkin masing-masing dari Sin-to Sam-enghiong ini dapat merobohkan lawan, biarpun satu dikeroyok sepuluh. Tapi karena perwira Thai Hok itu amat berbahaya sekali kapaknya dan setiap ayunan tentu mengguncangkan lengan lawannya maka Sin-to Sam-enghiong segera terdesak ketika pertempuran berjalan menguras tenaga.
"Bunuh mereka, jangan diberi ampun!"
Sin-to Sam-enghiong mulai kewalahan. Mereka telah merobohkan sembilan pengawal, kini musuh tinggal dua puluh satu orang ditambah Thai Hok sendiri. Dua di antara mereka sudah terbabat pundaknya oleh ayunan kapak. Thai Hok memang berbahaya. Dan ketika kembali pertempuran berjalan beberapa saat dan lima pengawal kembali roboh tapi Beng Kwi, orang termuda di antara Sin-to Sam-enghiong terjungkal oleh kapak di tangan Thai Hok maka dua dari sisa Sin-to Sam-enghiong ini menjadi pucat, marah bukan main.
Melihat Beng Kwi menggulingkan tubuh mendesis kesakitan, lengannya terkuak lebar oleh mata kapak yang tajam, tentu saja tak dapat bertempur dengan baik dan Thai Hok mengejarnya dengan kapak menyambar leher, Beng Kwi hendak dibunuh dan di ambang maut. Dua saudaranya terbelalak dan kaget serta khawatir. Dan ketika Thai Hok sudah dekat dan mengayunkan kapaknya itu pada adik mereka yang sedang bergulingan maka Beng Kwan, orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong menyambit golok terbangnya dengan luar biasa cepat.
"Crep!" Golok kecil itu menancap di pangkal lengan Thai Hok. Perwira tinggi besar ini tersentak, gerakannya tentu saja tertahan dan kapak terhenti di udara. Beng Kwi melompat bangun terhuyung-huyung. Dan ketika dia sadar dan menjerit malah tiba-tiba perwira ini mencabut golok terbang itu dan menyambit ke Beng Kwi. Orang termuda dari Sin-to Sam-enghiong mengelak, golok lewat tapi dia roboh kehabisan tenaga. Dan ketika Thai Hok menggeram melompat maju tiba-tiba kaki perwira tinggi besar itu mendupak lawan.
"Dess!" Beng Kwi mengeluh pendek. Dia terlempar terbanting roboh, pingsan. Thai Hok memburunya dengan muka beringas, kapak dipindah di tangan kiri karena tangan kanan sudah terluka. Tapi Beng Kwan yang kembali menyambitkan golok terbang dan menghalangi perwira itu akhirnya membuat Thai Hok marah dan membalik pada lawan ini, meninggalkan Beng Kwi yang pingsan dan mengeroyok lawan. Dan ketika dua dari Sin-to Sam-enghiong itu harus bekerja keras menghadapi musuh-musuhnya maka kembali lima pengawal roboh tapi mereka sendiri juga mendapat tambahan luka-luka,
"Bunuh mereka ini, jangan diberi ampun!" Dua laki-laki gagah itu kewalahan. Mereka tinggal menghadapi sepuluh lawan saja, sebenarnya sudah ringan. Tapi karena mereka kehilangan banyak tenaga dan darah menghadapi Thai Hok dan anak buahnya maka tak lama kemudian dua laki-laki ini terdesak, mundur-mundur dan kembali mendapat bacokan. Kapak Thai Kok masih menyambar ganas biarpun dipegang dengan tangan kiri. Perwira itu beringas sekali dan marah melihat dua puluh anak buahnya malang melintang.
Dan ketika Beng Kwan dan adiknya, Beng San, terus didesak dan golok-golok terbang yang mereka miliki sudah habis dipergunakan merobohkan sekian banyak pengawal tadi maka dua orang ini akhirnya roboh ketika pengeroyoknya tinggal lima orang ditambah Thai Hok!
"Crang-crang!"
Golok ditangan dua orang itu terlepas. Mereka sudah kehabisan tenaga menghadapi lawan demikian banyak. Tapi ketika Thai Hok hendak membunuh dua orang ini dengan ayunan kapaknya yang terakhir sekonyong konyong dua pendatang baru berkelebat muncul.
"Thai Hok, lepaskan dua orang ini...!"
Thai Hok terkejut. Saat itu bersama lima pembantunya dia hendak membunuh Beng San dan kakaknya. senjata sudah terayun dan siap membantai. Tapi begitu dua bayangan itu membentaknya dari samping tiba-tiba lima pengawal roboh sementara Thai Hok sendiri menghadapi sebuah tepukan di pundak. Perwira ini terpelanting Thai Hok kaget dan berguling-guling, berteriak melompat bangun, marah. Tapi ketika dia melihat siapa yang datang mendadak perwira ini tertegun berseru tertahan.
"Hek-eng Taihap (Garuda Hitam)...!"
Dua orang itu mengangguk. 'Ya, aku, Thai Hok. Kau masih tak mau melepas Sin-to Sam-enghiong ini?"
Thai Hok terbelalak. Dia rupanya gentar, tapi memekik berseru keras tiba-tiba dia menerjang dengan nekat, menyuruh pembantunya yang tinggal lima orang itu menyerang Hek-eng Taihap, laki-laki gagah berusia tigapuluh lima tahun itu, juga temannya, yang hampir sebaya tak kalah gagah. Tapi begitu Hek-eng Taihiap mengibaskan lengan ke kiri kanan tiba-tiba perwira she Thai berteriak dan terjungkal kembali lima pembantunya juga begitu, mereka melompat bangun dan kembali menyerang, sang komandan marah bukan main dan bersikap nekat. Tapi ketika Hek-eng Taihiap berkelebat ke sana kemari dan menotok lawan-lawannya tiba-tiba Thai Hok terbanting dan roboh pingsan, lima pengawalnya tertotok lumpuh.
"Kalian tak usah keras kepala. Kalau membandel akan kuhajar lebih keras lagi!" Hek-eng Taihiap berkata, sikapnya tenang tapi wibawnya kuat. Lima pengawal itu dibebaskan kembali dan disuruh membawa Thai Hok, diusir pergi. Dan ketika mereka tertatih-tatih dan membawa komandan itu serta mengurus yang lain-lain maka Beng Kwi, orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong menghampiri Pendekar Garuda Hitam ini.
"Hek-eng Taihiap, terima kasih. Kami berhutang budi padamu!"
"Ah, tak perlu begitu. Kita sesama teman sendiri, saudara Beng. Buang sikap sungkanmu itu dan mari kita bebaskan putera-puteri Beng-ciangkun ini"
"Nanti dulu, aku ingin membereskan orang she Thai itu!" Beng Kwan tiba-tiba meloncat. "Orang ini harus dibunuh, Hek-eng Taihiap. Dia itu rupanya pembantu Tan taijin yang setia!" dan masih teringat keganasan perwira ini tiba-tiba Beng Kwan merebut dan mau menggorok leher lawannya itu.
Tapi Hek-eng Taihiap berkelebat, menghadang dan sudah menekan pundak orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong itu. Dan ketika Beng Kwan terbelalak dan adiknya juga melompat maju maka Pendekar Garuda Hitam ini berkata,
"Saudara Beng. maafkan pendapatku. Perwira ini tak perlu dibunuh. Korban telah cukup banyak dan tak perlu menumpahkan darah lagi. Dia hanya suruhan, betapapun biang keladinya bukan dia. Biarkan dia kembali bersama lima pengawalnya ini."
"Tapi dia pengkhianat, dia hampir membunuh kami!"
"Perhitungan sudah dibayar dengan terbunuhnya pengawal pengawal di tangan kalian, saudara Beng. Harap ingat ini dan jangan diamuk emosi. Betapapun kalian selamat dan tidak terbunuh!"
Beng Kwan tertegun. Sebenarnya dia marah, tapi karena ingat bahwa Hek-eng Taihiap telah mengembalikan nyawa mereka dan tanpa kehadiran pendekar ini tentu mereka sudah binasa akhirnya dengan kesal dan tidak puas Beng Kwan mundür tak mau membantah. Sikapnya dapat dilihat pendekar itu. Hek-eng Taihiap menarik napas dan menyuruh pengawal segera pergi. Anak buah perwira she Thai itu sudah menggigil pucat.
Mayat-mayat yang bergelimpangan dimasukkan ke kerangkeng dan Sin Kok serta adiknya sudah dibebaskan, mereka menghambur ke arah Pendekar Garuda Hitam ini. Dan ketika musuh-musuh pergi dan tempat itu bersih dari bekas bekas pertempuran maka Sin Kok dan adiknya menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-to Sam-enghiong, penolöng pertama mereka.
"Paman. terima kasih. Kami berdua tak tahu harus berkata apalagi!"
"Sudahlah, bukan kepada kami kau harus berterima kasih, Sin Kok. Tapi Hek-eng Taihiap inilah yang sebenarnya menyelamatkan kita semua!"
"Benar, kamipun berterima kasih padanya!" Sin Kok dan adiknya memberi hormat pada Pendekar Garuda Hitam itu. "Tapi maaf, siapa enghiong (tuan gagah) yang satu ini?"
"Dia Yu Bing." Hek-eng Taihiap tersenyum. "Teman sekaligus sahabat baru kalian. Eh, cuwi enghiong, perkenalkan ini temanku, saudara Yu Bing yang datang ingin membantu kalian!"
Semua orang buru-buru memberi hörmat. Dia memang Yu Bing, murid Cheng-bin Yu-lo yang lihai itu. Kita telah mengenalnya ketika pemuda ini bertemu Salima. Kim-mou-eng yang mengintai juga mengenal pemuda itu. Dan ketika Yu Bing tersipu membalas hormat maka Sin-to Sam-enghiong yang bicara sambil mengobati lukanya mulai bertanya pada Pendekar Garuda Hitam itu.
"Hek-eng Taihiap, bagaimana kau bisa tiba di sini? Apakah kota raja memberikan berita baru?"
"Ya, Kim-taijin menyuruhku mencari kalian, sam-wi enghiong. Tak disangka kalau saudara Sin Kok dan nona Hwi Ling ini ditangkap!"
"Apa yang terjadi? Kim-taijin memberi perintah apa?"
"Ada berita baru. Kim-mou-eng membuat geger di istana. Kim-taijin melihat persekutuan persekutuan rahasia yang membahayakan kaisar."
"Ah, si Tar-tar itu memang keparat! Dia ikut campur? Ingin kubunuh dia kalau aku mampu!"
Beng Kwan mengerotkan gigi, mukanya tiba-tiba beringas mendengar disebutnya nama Kim-mou-eng, kebenciannya meledak. Dan Hwi Ling serta kakaknya yang juga geram mendengar nama ini tiba tiba mengêpal tinju.
"Ya, kamipun ingin membalas kematian ayah, paman. Kalau kepandaian kami tidak rendah begini tentu sudah kubunuh si Rambut Emas itu!"
"Hm," Hek eng Taihiap mengerutkan kening. "Kalian salah, sam-wi-enghiong (sahabat bertiga). Apa yang diperbuat Kim-mou-eng justeru harus membuat kita malu, Pendekar sakti itu kejatuhan getah, kalian salah paham."
"Salah paham apa? Dia membunuh suhengku. Beng-ciangkun tewas gara gara si Rambut Emas ini!"
"Dan Kim-mou-eng juga membunuh ayahku, taihiap. Betapapun aku harus membalas dendam untuk sakit hati ini!" Hwi Ling dan kakaknya ikut berseru.
"Baiklah, kalian terbakar emosi", Hek-eng Taihiap berkerut semakin dalam. "Tapi sesungguhnya pendekar itu berjasa besar. Dari dialah mula-mula Kim-taijin menaruh perhatian. Gejala pemberontakan sudah mulai membayang, Kim-mou-eng telah datang ke istana dan untuk kedua kali memperingatkan kaisar. Kita harus malu padanya karena salah dulu!" dan ketika teman-temannya terbelalak dan heran memandang pendekar ini maka Hek-eng Taihiap berkata,
"Saudara-saudara sekalian, tahukah sebenarnya dari mana Kim-taijin mendapat masukan?"
"Tentu saja darimu, bukankah kau yang membantu kim-tajin secara diam-diam, Hek-eng Taihiap?" Beng San kali ini bicara.
"Ya, tapi tahukah kalian dari mana aku mendapatkan berita?"
"Tentunya kau cari sendiri!"
"Salah, aku tak akan bergerak kalau Kim-mou-eng tidak membuat keributan, sam-wi enghiong. Bahwa dari tindakan pendekar itulah aku baru mulai bekerja. Dan saudara Yu Bing banyak memberi tahu padaku!"
Semua orang tertegun.
"Kalian tak mengerti? Baiklah kalian dengar. Kim-mou-eng ternyata bersungguh-sungguh bersama Sin-piaw Ang-lojin, dia memberitahu pangeran mahkota akan rencana pemberontakan itu. Mereka berdua melapor, tapi tak dipercaya. Ang-lojin akhirnya terbunuh. Pangeran Muda memang banyak memiliki andil. Aku telah menangkap dan membekuk seorang Pengkhinat untuk dihadapkan Kim-tajin sendiri. Tahukah kalian siapa pengkhianat itu?"
“Siapa?"
"Cu-thaikam?"
"Ah...." Beng Kwan terkejut. "Pembantu Pangeran mahkota itu?"
"Ya, dialah yang kutangkap saudara Beng. Dan di hadapan Kim-taijin pembesar kebiri ini berhasil kupaksa mengaku tentang rencana pemberontakan itu" dan ketika semua temannya terhenyak seakan tak percaya maka Hek-eng Taihiap bicara lagi, "Sekarang keterangan Kim-mou-eng dapat dipercaya, sam-wi enghong. Dan sebagai bukti pertama besok kita akan menghadapi pembunuhan terhadap pangeran mahkota. Besok pangeran mahkota akan berburu dan dia akan dibunuh dan dikabarkan tewas diterkam harimau. Kita harus bersiap-siap untuk menolong pangeran ini?"
Beng Kwan melotot. "Kalau begitu kita gagalkan rencana itu. Pengeran dapat diberi tahu dan tak perlu berburu!"
"Tidak." Hek-eng Taihiap justru menggelengkan kepala. "Kim-taijin tak menghendaki pemberitahuan ini, saudara Beng. Malah menghendaki agar rencana pembunuhan itu tetap berjalan, tak perlu melapor!"
"Kenapa begitu?" Beng Kwan dan adik-adiknya kaget. "Bukankah ini membahayakan pangeran?”
"Karena itulah kita harus melindunginya, saudara Beng. Kim-taijin tak ingin mengulang kegagalan Kim-mou-eng yang telah dua kali dilakukan!"
"Apa maksudnya ini?"
Hek-eng Taihiap lalu menerangkan, "Saudara Beng dan teman-teman yang lain. Kalian tentunya telah mendengar betapa dua kali laporan Kim-mou-eng tak mendapat tanggapan sebagaimana mestinya. Pangeran mahkota tak percaya, kaisar juga tak percaya. Dan itu disebabkan karena kaisar maupun pangeran mahkota telah termakan omongan Pangeran Muda dan ibunya, apalagi kebetulan Pendekar Rambut Emas itu keturunan Tar-tar. Hal ini menyulitkan dirinya. Dan karena Kim-taijin tak mau mengambil resiko dan menghadapkan Cu-thaikam yang telah berkhianat maka Kim-taijin menghendaki biarlah rencana pembunuhan itu tetap berjalan dan menimpa pangeran. Dengan demikian pangeran mahkota terbuka matanya, tak perlu kita banyak menerangkan lagi dan pangeran akan tahu sendiri saja yang sebenarnya terjadi. Karena itu, begitu besok sang pangeran berburu maka kita bersiap-siap melindunginya dari ancaman pembunuhan ini. Baru setelah itu bukti-bukti berikut akan muncul dengan sendirinya!"
Beng Kwan dan teman-temannya tertegun. Sekarang mereka mengerti, memang telah mendengar kegagalan Kim-mou-eng yang dianggap pengacau. Tapi Beng Kwan yang teringat sesuatu tiba-tiba mengerutkan kening. "Tapi kami juga mendapat berita baru. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun besok akan menghadapi serangan gelap!"
"Dari mana kalian tahu?"
"Kami mendengarnya dari seorang pembantu di dalam istana, taihiap. Jadi besok dua kejadian sekaligus akan menggegerkan istana! Bagaimana baiknya ini?"
Hek-eng Taihiap mengerutkan kening. "Kalau begitu berbahaya. Bu-ciangkun dan Cu-ciangkun memang dikenal sebagai panglima-panglima yang tak mau dibujuk. Mereka tetap setia pada kaisar. Kalau begitu tenaga harus kita pecah untuk menghadapi dua kejadian ini."
"Benar, tapi siapa yang akan menyerang tiga panglima itu, saudara Beng?" Yu Bing tiba-tiba bertanya. "Sebab kalau dihadapi dengan jalan terburu-buru dan penyerang orang biasa-biasa saja sebaiknya berita itu tidak perlu diperhatikan dan biar Bu-ciangkun maupun Cu-ciangkun menghadapi lawannya itu sendiri."
"Tidak, mereka adalah orang-orang dari kelompok Jit-mo Kang-ouw. Kalau tidak salah adalah sepasang iblis cebol Hek-bong lo-mo!"
Beng Kwan menjawab, membuat orang terkejut dan Yu Bing serta Hek-eng Taihiap berobah mukanya. Betapa pun nama sepasang iblis cebol itu bukan nama sembarangan. Mereka tertegun dan Beng Kwan serta adiknya tampak khawatir maka Beng Kwi, orang termuda dari Sin-to Sam-enghiong itu tiba-tiba bertanya,
"Dan di pihak pangeran mahkota sendiri, siapa bakal pembunuh itu, taihiap?"
"Aku belum jelas, tapi katanya seseorang yang juga lihai. Mungkin seorang atau dua orang dari kelompo Jit-mo Kang-ouw juga!"
"Ah, kalau begitu kita harus mencari bantuan. Kita bukan tandingannya!"
“Ya, sudah kupikir itu, saudara Beng Kwi. Tapi dalam keadaan demikian dekat siapa yang harus dicari? Waktu kita sempit, aku tak tahu siapa yang dapat dimintai bantuannya. Kalau saja..."
"Kalau saja Kim-mou-eng atau sumoinya ada di sini!"
Yu Bing tiba-tiba nyeletuk, mengejutkan teman-temannya. "Tentu kita tak usah pusing-pusing, sam-wi enghiong. Atau...."
"Sst...!" Hek-eng Taihiap tiba-tiba berkelebat, menghentikan omongan Yu Bing karena telinganya menangkap gerakan sesuatu di atas sana. Yang lain tentu saja terkesiap karena gerakan Pendekar Garuda Hitam itu tiba-tiba sekali. Dan ketika mereka mendongak dan Hek-eng Taihiap mengeluarkan bentakan menjulurkan lengan ke atas tebing mendadak sesosok bayangan berseru perlahan menangkis serangan Pendekar Garuda Hitam itu.
"Dukk!" Hek-eng Taihiap terpental turun, berteriak tertahan dan berjungkir balik melayang ke tanah. Tentu saja mencelos karena kalah kuat. Tapi begitu menginjakkan kaki melihat siapa yang diserang tiba-tiba pendekar ini berseru girang disusul teman-temannya yang lain, terutama Yu Bing.
"Pendekar Rambut Emas...!"
Kim-mou-eng tersenyum kecil. Memang dia yang diserang Hek-eng Taihiap ini, memperdengarkan gerakan sedikit di atas sana tapi sudah tertangkap oleh Pendekar Garuda Hitam ini. Tahulah dia bahwa Hek-eng Taihiap ini memiliki kepandaian paling tinggi, masih di atas Yu Bing. Tadi sengaja mencoba dan kini dapat mengira ngira kepandaian pendekar itu, laki-laki gagah yang simpatik dipandang mata. Dan ketika dia sudah berada di tengah tengah kerumunan orang dan Hek-eng Taihiap terbelalak memandangnya maka Kim-mou-eng yang telah mendengarkan semua percakapan di bawah buru-buru menjura.
"Hek-eng Taihiap, maafkan aku. Rupanya kehadiranku ini mengganggu pembicaraan kalian!" dan tersenyum memandang Sin-to Sam-enghuong pendekar ini bertanya, "Sam-enghiong, apa kabar? Kalian baik-baik saja? Dan ini saudara Sin Kok dan nona Hwi Ling. Mudah-mudahan tak marah dan menyerang padaku lagi."
Semua orang tertegun. Kalau saja tak ada Hek-eng Taihiap di situ mungkin kebencian dan kemarahan Sin-to Sam-enghiong ini tak akan berkurang, begitu pula Sin Kok dan adiknya. Tapi karena Pendekar Garuda Hitam telah memberitahu mereka bahwa Kim-mou-eng membantu pemerintah dan urusan pribadi rupanya harus ditunda untuk kepentingan yang lebih besar akhirnya Beng Kwan dan dua adiknya menyambut masam, Sin Kok juga begitu sementara Hwi Ling bersinar-sinar.
"Kim-mou-eng, apa maksudmu datang kesini? Kau mengintai pembicaraan kami?"
"Maaf,“ Kim-mou-eng menanggapi omongan yang kurang ramah dari Sin-to Sam-enghiong ini. "Aku memang telah mendengar pembicaraan kalian, sam-wi enghiong. Tapi percayalah aku tak bermaksud buruk."
"Dan kerjamu rupanya nguping!" Hwi Ling melepas geram "Apakah begini sepak terjangmu sehari-hari, Kim-mou-eng?"
Tapi Hek-eng Taihiap buru-buru menyela. "Kim-taihiap, apakah secara kebetulan saja kau berada di sini? Mana sumoimu?"
Kim-mou-eng menarik napas. "Sumoiku tak ada di sini, dia kusuruh mengumpulkan anak buah Seng piauw-pang yang kocar kacir. Maaf, aku tak sengaja melihat semuanya ini, Hek-eng Taihiap. Aku berhenti karena melihat tertangkapnya saudara Sin Kok dan adiknya itu. bermaksud menolong tapi keduluan oleh Sin-to Sam-enghiong ini dan dirimu sendiri."
"Kalau begitu kau sudah lama?"
"Sebelum kedatangan Sin-to Sam-enghiong ini"
"Ah, kalau begitu kau membuat malu aku. Aku Telah menunjukkan kepandaianku yang tiada guna!"
“Tidak, justeru kepandaianmu membuat aku kagum, Hek-eng Taihiap. Tapi yang lebih mengagumkan lagi adalah kepatriotikanmu itu. Aku benar-benar tak menyangka kalau kau tertarik urusan pemberontakan ini!"
"Ah, yang kagum adalah aku, Kim-taihiap. Sebagai bukan orang Han kau memperhatikan bangsa ini. Inilah yang lebih mengagumkan dibanding aku. Kau pembela kebenaran sejati, seorang pendekar tulen...!"