PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 22
KARYA BATARA
SALIMA berkelebat. Dia membuka tirai jendela kereta, seorang wanita cantik lain situ. Rupanya dialah yang tadi bercakap-cakap dengan Lui Tai, menunduk dan tak berani beradu pandang dengan Salima, yang tertegun dan segera menutup kembali tirai kereta itu. Dan ketika dia mundur dan orang she So itu mengeluh memohon ampun tiba-tiba Salima menyambar tengkuk laki-laki ini.
"Kau mau ke mana?"
"Ampun, aku... aku akan ke telaga Po-yang, lihiap. Kami mau berbulan madu...!"
"Kau baru menikah?"
"Ya, ini isteriku ke tiga, eh... kedua..." Lui Tai gugup.
Salima mendengus dan semburat mendengar omongan itu. Orang yang kebanjiran harta rupanya juga senang main perempuan. Tambah isteri dan bini gelap! Dan ketika Lui Tai tampak pucat dan menggigil mohon dibebaskan maka Salima melirik suhengnya, "Bagaimana, orang ini tak mencurigakan, suheng? Kau mau membebaskannya pergi?"
Kim-mou-eng tersenyum. Sebenarnya dia pribadi tak punya urusan apa apa dengan si tukang lukis ini. Laki-laki itu laki-laki biasa yang tidak pandai silat. Dan karena Lui Tai tak dilihatnya membawa sesuatu yang mencurigakan selain wanita di dalam kereta itu akhirnya Pendekar Rambut Emas mengangguk tertawa kecil. "Orang she So ini pemeras, sumoi. Rupanya sekarang dia kaya dan punya kereta sendiri. Kalau dia mau bersenang-senang biarlah kau lepaskan dia, mungkin benar mau berbulan madu."
"Kalau dia bohong?" Salima cemberut.
"Bukankah mudah menangkap dan membekuknya kembali?" Kim-mou-eng tertawa. "Lepaskan dia, sumoi. Kasihan nanti dia terkencing-kencing."
Salima mengangguk. Ia sudah menendang pantat laki-laki itu, Lui Tai terpekik tapi girang dibebaskan. Kim-mou-eng memang tidak segalak sumoinya. Dan ketika laki-laki itu mengucap terima kasih dan buru-buru melompat di atas keretanya maka Lui Tai kabur membedal kudanya itu, dipandang Kim-mou-eng yang tersenyum geli sedangkan Salima mengerutkan kening tak puas. Kalau bukan suhengnya tentu dia akan memperlama urusannya. Mungkin si tukang gambar itu dihajar dulu sebelum dilepaskan. Dan ketika kuda itu lenyap di kejauhan sana dan Kim-mou-eng duduk kembali maka pendekar ini membuka bungkusan rotinya, roti kering.
"Sumoi, ayo istirahat. Kita tangsel perut dulu!"
Salima menurut. Ia duduk di samping suhengnya, diketawai suhengnya yang geli melihat Salima masih cemberut. Dan ketika Salima bertanya kenapa suhengnya itu ketawa maka Kim-mou-eng menjawab, "Kau cemberut seperti kuda marah, sumoi. Mana bisa aku menahan geliku? Aku tergelitik, kau sungguh terasa lucu!"
"Aku kau anggap kuda?"
Saat itu kereta lain juga muncul.
"Ah, polusi jagi. Kita sungguh sial kalau duduk di pinggir jalan!"
Salima mengomel, merasa terganggu tapi Kim-mou-eng senyum-senyum saja, memandang kereta itu yang sebentar kemudian tiba di dekat mereka. Dan ketika debu mengepul tinggi dan Salima menutupi hidung sambil memaki mendadak kereta berhenti di depan mereka diiring ringkik kudanya yang tinggi, jelas si kusir menyentak tali kekangnya dengan kuat.
"Kalian melihat kereta di sini?"
Kim-mou-eng mengerutkan kening. Si sais itu bertanya dengan nyaring kepada mereka, sikapnya tak menghormat dan Salima sudah bangun berdiri. Kemarahannya bangkit dan siap membentak sais itu. Kim-mou-eng tahu ini. Maka ketika Salima melotot dan sais itu kembali bertanya tiba-tiba pendekar ini bangkit berdiri menahan lengan sumoinya, berbisik agar sumoinya diam.
"Sst, tenang. Tak perlu marah-marah, sumoi. Biar kujawab sais kereta iiu." dan menghadapi lawan bicaranya segera Kim-mou-eng menggeleng. "Kami tak tahu, kami tak melihat kereta apapun di sini kecuali keretamu. Kalian siapa dan mencari apa?"
"Huh, untuk apa bertanya? Kau rupanya bodoh. Sudahlah, kucari sendiri... tar!" dan cambuk yang dilecutkan ke punggung kuda tiba-tiba membuat kereta bergerak kembali dan rodapun berderap di jalanan berbatu. Salima memaki dan hampir tidak tahan. Tapi suhengnya yang mencekal lengannya tak membiarkan gadis itu membuat ribut sudah mencegah.
"Tak perlu, biarkan dia pergi, sumoi. Kita mengaso lagi dan ayo nikmati arak."
"Tapi kusir itu kurang ajar, aku gemas ingin menggaploknya!"
"Sudahlah, tak perlu ribut, sumoi. Ayo urus pekerjaan kita sendiri dan duduk kembali.”
Kim-mou-eng menarik sumoinya, menenangkan sumoinya itu sementara Salima cemberut dipaksa menurut. Kim-mou-eng telah membohongi kusir kereta itu dengan jawabannya yang tidak betul. Memang sengaja untuk membalas sikap orang yang tidak menghormat. Tapi ketika mereka duduk kembali melanjutkan istirahat tiba-tiba dua kereta sekaligus datang berderap mendekati tempat mereka.
"Sialan, kenapa kita diganggu saja, suheng?! Sebaiknya kita tak usah duduk di sini, orang-orang di kereta itu mengentuti kita dengan debu yang keparat!”
Salima marah kembali, bangkit dan melotot memandang dua kereta itu. Deraknya di jalanan berbatu terdengar kasar mengganggu telinga. Dan ketika mereka tiba di depan mata dan berhenti dengan mendadak maka si sais kereta bertanya pada mereka,
"Hei, kalian berdua. Adakah melihat kereta lain sebelum kami?"
Salima gusar, "Kami tak tahu, Cari sendiri dan tak perlu bertanya!"
"Eh, kau berani kurang ajar? Ini rombongaan Liang-taijin, menyesal kau nanti!" dan si sais yang menjeletarkan cambuk pura-pura mengancam tiba-tiba membuat Salima tak dapat menahan diri dan sudah berkelebat ke depan.
Gadis ini sebenarnya sudah dibakar dua kali oleh dua kereta duluan, tentu saja naik pitam dan sengit melihat lagak si kusir. Maka begitu orang membunyikan cambuk dan pura-pura mengancam padanya tahu-tabu Salima telah melompat dan berkebebat menarik kusir itu. Tangannya bergerak menyambar, luar biasa cepat dan si kusir tahu-tahu menjerit. Dan ketika Salima membanting dan melempar kusir itu maka si sais berteriak dengan pantat menimpa batu lebih dulu.
"Bruk... aduh!"
Si kusir dan seisi kereta terkejut. Kusir itu tak dapat bangun berdiri, punggungnya serasa patah. Salima telah membuat guncangan di dalam kereta. Kim-mou-eng sendiri terkejut. Ulah sumoinya tak dapat dia cegah. Dan ketika kusir di kereta kedua ribut-ribut dan para penumpang membuka tirai kereta maka tampaklah sembilan laki-laki melayang keluar dengan marah. Salima sudah kembali turun dan berhadapan dengan sembilan laki-laki itu, dipimpin seorang kakek yang wajahnya bengis, tangannya membawa sebatang cakar baja yang berbentuk cakar ayam. Tapi ketika Kim-mou-eng berkelebat mendekati sumoinya dan kakek bercakar baja itu melihat pendekar ini mendadak dia tertegun berseru tertahan.
"Kim-mou eng...”
Kim-mo-eng juga terkejut. Dia mengenal kakek itu yang bukan lain Sin-kee Lojin adanya, pembantu Mao tanjin di kota raja. Kakek yang pernah dia hajar dan tentu saja kini terkejut melihat dia di situ, kakek ini gentar dan mundur setindak. Delapan temannya yang lain juga mengkerut mendengar disebutnya nama Kim-mou-eng, betapapun nama itu cukup membuat mereka gentar dan nyalipun menciut. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan Sin-kee Lojin serta teman temannya mundur menjauh maka dari atas kereta keluar seorang laki-laki bertubuh gemuk yang buru-buru memberi hormat.
"Aih, Kim-mou-eng taihiap kiranya? Maaf, maaf... jangan berkelahi, taihiap, jangan berkelahi. Kami tak suka ribut-ribut. Kusir kami mungkin salah, ini tentu Tiat-cang Sian-li lihiap itu. Maaf, aku Liang taijin Mohon taihiap tak mengganggu dan membiarkan orang-orang kami meneruskan perjalanan. Aku akan menyampaikan banyak terima kasih atas kemurahan taihiap!"
Laki-laki gemuk itu sudah menjura, mukanya khawatir dan kelihatan cemas. Kim-mou-eng tak mengenal laki-laki ini tapi sudah mendengar namanya, Liang taijin, gubernur Liang yang menjadi atasan bupati Wang, ayah dari Cao Cun itu. Dan ketika orang kembali berulang-ulang menyampaikan maaf dan Sin-kee Lo-jin serta teman-temannya juga tampak gelisah terutama memandang sumoinya itu maka Kim.mou-eng yang lembut hati dan pemurah ini sudah mengangguk.
"Taijin, kau kiranya gubernur Liang itu? Kami tak mengganggu, hanya kusir itulah yang tak sopan menegur kami. Kami tak apa-apa. Kalau kalian mau meneruskan perjalanan tentu saja kami tak menghalang, kami bukan penyamun. Tapi kenapa kalian buru-buru?"
"Dan kusirmu itu harus berlutut mengangguk-angguk seratus kali kepadaku, taijin. Dia tak boleh pergi kalau belum memenuhi permintaanku!"
Salima berseru nyaring, masih marah dan berkilat memandang semua yang ada di situ. Betapapun Sin-kee Lojin tak berani bercuit dan tahu keganasan sumoi Kim-mou-eng ini. Nama Tiat-ciang Sian-li cukup membuat nyali orang kuncup. Salima bersungguh-sungguh dan memandang penuh ancaman pada kusir kereta itu, juga Liang taijin, gubernur yang dipelototi tapi tak berani balas memandang.
"Kau mau ke mana?"
"Ampun, aku... aku akan ke telaga Po-yang, lihiap. Kami mau berbulan madu...!"
"Kau baru menikah?"
"Ya, ini isteriku ke tiga, eh... kedua..." Lui Tai gugup.
Salima mendengus dan semburat mendengar omongan itu. Orang yang kebanjiran harta rupanya juga senang main perempuan. Tambah isteri dan bini gelap! Dan ketika Lui Tai tampak pucat dan menggigil mohon dibebaskan maka Salima melirik suhengnya, "Bagaimana, orang ini tak mencurigakan, suheng? Kau mau membebaskannya pergi?"
Kim-mou-eng tersenyum. Sebenarnya dia pribadi tak punya urusan apa apa dengan si tukang lukis ini. Laki-laki itu laki-laki biasa yang tidak pandai silat. Dan karena Lui Tai tak dilihatnya membawa sesuatu yang mencurigakan selain wanita di dalam kereta itu akhirnya Pendekar Rambut Emas mengangguk tertawa kecil. "Orang she So ini pemeras, sumoi. Rupanya sekarang dia kaya dan punya kereta sendiri. Kalau dia mau bersenang-senang biarlah kau lepaskan dia, mungkin benar mau berbulan madu."
"Kalau dia bohong?" Salima cemberut.
"Bukankah mudah menangkap dan membekuknya kembali?" Kim-mou-eng tertawa. "Lepaskan dia, sumoi. Kasihan nanti dia terkencing-kencing."
Salima mengangguk. Ia sudah menendang pantat laki-laki itu, Lui Tai terpekik tapi girang dibebaskan. Kim-mou-eng memang tidak segalak sumoinya. Dan ketika laki-laki itu mengucap terima kasih dan buru-buru melompat di atas keretanya maka Lui Tai kabur membedal kudanya itu, dipandang Kim-mou-eng yang tersenyum geli sedangkan Salima mengerutkan kening tak puas. Kalau bukan suhengnya tentu dia akan memperlama urusannya. Mungkin si tukang gambar itu dihajar dulu sebelum dilepaskan. Dan ketika kuda itu lenyap di kejauhan sana dan Kim-mou-eng duduk kembali maka pendekar ini membuka bungkusan rotinya, roti kering.
"Sumoi, ayo istirahat. Kita tangsel perut dulu!"
Salima menurut. Ia duduk di samping suhengnya, diketawai suhengnya yang geli melihat Salima masih cemberut. Dan ketika Salima bertanya kenapa suhengnya itu ketawa maka Kim-mou-eng menjawab, "Kau cemberut seperti kuda marah, sumoi. Mana bisa aku menahan geliku? Aku tergelitik, kau sungguh terasa lucu!"
"Aku kau anggap kuda?"
Saat itu kereta lain juga muncul.
"Ah, polusi jagi. Kita sungguh sial kalau duduk di pinggir jalan!"
Salima mengomel, merasa terganggu tapi Kim-mou-eng senyum-senyum saja, memandang kereta itu yang sebentar kemudian tiba di dekat mereka. Dan ketika debu mengepul tinggi dan Salima menutupi hidung sambil memaki mendadak kereta berhenti di depan mereka diiring ringkik kudanya yang tinggi, jelas si kusir menyentak tali kekangnya dengan kuat.
"Kalian melihat kereta di sini?"
Kim-mou-eng mengerutkan kening. Si sais itu bertanya dengan nyaring kepada mereka, sikapnya tak menghormat dan Salima sudah bangun berdiri. Kemarahannya bangkit dan siap membentak sais itu. Kim-mou-eng tahu ini. Maka ketika Salima melotot dan sais itu kembali bertanya tiba-tiba pendekar ini bangkit berdiri menahan lengan sumoinya, berbisik agar sumoinya diam.
"Sst, tenang. Tak perlu marah-marah, sumoi. Biar kujawab sais kereta iiu." dan menghadapi lawan bicaranya segera Kim-mou-eng menggeleng. "Kami tak tahu, kami tak melihat kereta apapun di sini kecuali keretamu. Kalian siapa dan mencari apa?"
"Huh, untuk apa bertanya? Kau rupanya bodoh. Sudahlah, kucari sendiri... tar!" dan cambuk yang dilecutkan ke punggung kuda tiba-tiba membuat kereta bergerak kembali dan rodapun berderap di jalanan berbatu. Salima memaki dan hampir tidak tahan. Tapi suhengnya yang mencekal lengannya tak membiarkan gadis itu membuat ribut sudah mencegah.
"Tak perlu, biarkan dia pergi, sumoi. Kita mengaso lagi dan ayo nikmati arak."
"Tapi kusir itu kurang ajar, aku gemas ingin menggaploknya!"
"Sudahlah, tak perlu ribut, sumoi. Ayo urus pekerjaan kita sendiri dan duduk kembali.”
Kim-mou-eng menarik sumoinya, menenangkan sumoinya itu sementara Salima cemberut dipaksa menurut. Kim-mou-eng telah membohongi kusir kereta itu dengan jawabannya yang tidak betul. Memang sengaja untuk membalas sikap orang yang tidak menghormat. Tapi ketika mereka duduk kembali melanjutkan istirahat tiba-tiba dua kereta sekaligus datang berderap mendekati tempat mereka.
"Sialan, kenapa kita diganggu saja, suheng?! Sebaiknya kita tak usah duduk di sini, orang-orang di kereta itu mengentuti kita dengan debu yang keparat!”
Salima marah kembali, bangkit dan melotot memandang dua kereta itu. Deraknya di jalanan berbatu terdengar kasar mengganggu telinga. Dan ketika mereka tiba di depan mata dan berhenti dengan mendadak maka si sais kereta bertanya pada mereka,
"Hei, kalian berdua. Adakah melihat kereta lain sebelum kami?"
Salima gusar, "Kami tak tahu, Cari sendiri dan tak perlu bertanya!"
"Eh, kau berani kurang ajar? Ini rombongaan Liang-taijin, menyesal kau nanti!" dan si sais yang menjeletarkan cambuk pura-pura mengancam tiba-tiba membuat Salima tak dapat menahan diri dan sudah berkelebat ke depan.
Gadis ini sebenarnya sudah dibakar dua kali oleh dua kereta duluan, tentu saja naik pitam dan sengit melihat lagak si kusir. Maka begitu orang membunyikan cambuk dan pura-pura mengancam padanya tahu-tabu Salima telah melompat dan berkebebat menarik kusir itu. Tangannya bergerak menyambar, luar biasa cepat dan si kusir tahu-tahu menjerit. Dan ketika Salima membanting dan melempar kusir itu maka si sais berteriak dengan pantat menimpa batu lebih dulu.
"Bruk... aduh!"
Si kusir dan seisi kereta terkejut. Kusir itu tak dapat bangun berdiri, punggungnya serasa patah. Salima telah membuat guncangan di dalam kereta. Kim-mou-eng sendiri terkejut. Ulah sumoinya tak dapat dia cegah. Dan ketika kusir di kereta kedua ribut-ribut dan para penumpang membuka tirai kereta maka tampaklah sembilan laki-laki melayang keluar dengan marah. Salima sudah kembali turun dan berhadapan dengan sembilan laki-laki itu, dipimpin seorang kakek yang wajahnya bengis, tangannya membawa sebatang cakar baja yang berbentuk cakar ayam. Tapi ketika Kim-mou-eng berkelebat mendekati sumoinya dan kakek bercakar baja itu melihat pendekar ini mendadak dia tertegun berseru tertahan.
"Kim-mou eng...”
Kim-mo-eng juga terkejut. Dia mengenal kakek itu yang bukan lain Sin-kee Lojin adanya, pembantu Mao tanjin di kota raja. Kakek yang pernah dia hajar dan tentu saja kini terkejut melihat dia di situ, kakek ini gentar dan mundur setindak. Delapan temannya yang lain juga mengkerut mendengar disebutnya nama Kim-mou-eng, betapapun nama itu cukup membuat mereka gentar dan nyalipun menciut. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan Sin-kee Lojin serta teman temannya mundur menjauh maka dari atas kereta keluar seorang laki-laki bertubuh gemuk yang buru-buru memberi hormat.
"Aih, Kim-mou-eng taihiap kiranya? Maaf, maaf... jangan berkelahi, taihiap, jangan berkelahi. Kami tak suka ribut-ribut. Kusir kami mungkin salah, ini tentu Tiat-cang Sian-li lihiap itu. Maaf, aku Liang taijin Mohon taihiap tak mengganggu dan membiarkan orang-orang kami meneruskan perjalanan. Aku akan menyampaikan banyak terima kasih atas kemurahan taihiap!"
Laki-laki gemuk itu sudah menjura, mukanya khawatir dan kelihatan cemas. Kim-mou-eng tak mengenal laki-laki ini tapi sudah mendengar namanya, Liang taijin, gubernur Liang yang menjadi atasan bupati Wang, ayah dari Cao Cun itu. Dan ketika orang kembali berulang-ulang menyampaikan maaf dan Sin-kee Lo-jin serta teman-temannya juga tampak gelisah terutama memandang sumoinya itu maka Kim.mou-eng yang lembut hati dan pemurah ini sudah mengangguk.
"Taijin, kau kiranya gubernur Liang itu? Kami tak mengganggu, hanya kusir itulah yang tak sopan menegur kami. Kami tak apa-apa. Kalau kalian mau meneruskan perjalanan tentu saja kami tak menghalang, kami bukan penyamun. Tapi kenapa kalian buru-buru?"
"Dan kusirmu itu harus berlutut mengangguk-angguk seratus kali kepadaku, taijin. Dia tak boleh pergi kalau belum memenuhi permintaanku!"
Salima berseru nyaring, masih marah dan berkilat memandang semua yang ada di situ. Betapapun Sin-kee Lojin tak berani bercuit dan tahu keganasan sumoi Kim-mou-eng ini. Nama Tiat-ciang Sian-li cukup membuat nyali orang kuncup. Salima bersungguh-sungguh dan memandang penuh ancaman pada kusir kereta itu, juga Liang taijin, gubernur yang dipelototi tapi tak berani balas memandang.
Pertanyaan Kim-mou-eng agak tak diperhatikan karena kedahuluan Salima. Liang-taijin mengangguk-angguk dan memandang marah pada sais kereta itu. Dan ketika gubernur ini membentak kusirnya agar berlutut dan minta ampun seratus kali di depan Salima akhirnya dengan pucat dan muka ketakutan kusir kereta itu menjalankan hukumannya.
"Bab... baik, ampunkan aku, lihiap. Ampunkan aku...!"
Sais itu berlutut, mengangguk-angguk dan sudah menyampaikan permintaan maafnya berulang-ulang. Sekali, dua kali... sepuluh kali dan akhirnya seratus kali tanpa kurang. Tentu saja dia ketakutan dan kecapaian. Salima tak memberinya kelonggaran. Dan ketika seratus kali sais itu menyampaikan rintihannya dan Salima tersenyum mengejek maka sais inipun terguling roboh ketika habis mengucapkan kata-katanya itu, tak kuat karena buku-buku tulangnya serasa patah. Pingsan. Dan Liang taijin segera menyuruh kusir satunya mengangkat temannya itu, menghadapi Salima.
"Bagaimana kami bisa pergi, lihiap? Atau Kim-taihiap mungkin akan memberi petunjuk kepada kami?"
Kim-mou-eng menarik napas. "Sudahlah. kau pergilah, taijin. Kami tak akan mengganggu asal kalian baik-baik saja."
"Terima kasih, kami memang tak mengganggu siapa-siapa, taihiap. Kalau rombonganku inipun melakukan kesalahan tak sengaja sukalah kau memaafkannya pula."
Liang-taijin girang, membungkuk dan menjura di depan Kim-mou-eng. Maklum pendekar ini lebih lunak dibanding Salima. Dan ketika gubernur itu mengajak orang-orangnya pergi akhirnya Kim-mou-eng mendapat teguran sumoinya.
"Suheng, kenapa si Cakar Ayam itu tak di hajar duluan? Bukankah dia orangnya Mao-tai jin?"
"Ah, kita tak perlu ribut-ribut, sumoi. Bukankah mereka tak mengganggu kita? Kusir yang bersalah itu telah menerima hukumannya, sebaiknya kita biarkan mereka dan kita urus persoalan kita sendiri."
"Apa yang mau kau kerjakan?" tanya Salima.
"Kau sendiri, apa yang mau kau kerjakan?" Kim-mou-eng balik bertanya.
"Eh, kenapa balik bertanya? Bukankah kau yang memimpin, suheng? Aku tinggal menurut, kau yang mengatur dan menentukan perjalanan ini!"
"Hm, aku sebenarnya tak tahu harus berbuat apa. Tapi aku ingin ke Po-yang. Bagaimana, sumoi?"
"Untuk apa? Mencari apa di sana? Kau mau, hm.... kau mau bersenang-senang seperti orang she So itu?" Salima memandang tajam suhengnya, ada kesan tak senang.
Tapi Kim-mou-eng yang tertawa menyambar sumoinya ini berkata, "Sumoi, pikiran apa yang mengganggu dirimu ini? Bukankah kau ada di sampingku? Kalau pun bersenang-senang tentu aku akan mengikutsertakan dirimu. Tidak, aku tidak bermaksud seperti So Lui Tai itu melainkan ingin mengikuti perjalanan Liang-taijin. Tidakkah kau curiga kenapa pembesar ini bersama orang-orangnya Mao taijin?"
"Kukira kau acuh saja, suheng. Kiranya diam-diam kaupun menaruh curiga!”
Salima akhirnya girang, kedua matanya bersinar karena sesungguhnya memang itulah yang dia inginkan, menyelidiki dan mengetahui apa yang sebenarnya ingin dilakukan empat rombongan kereta itu. Lui Tai dan terakhir Liang-taijin, mereka rupanya menyimpan sesuatu rahasia. Salima sudah gatal untuk mengetahui ini. Maka ketika suhengnya berkata ingin ke Po-yang mengikuti rombongan orang-orang berkereta itu dia pun menjadi girang dan setuju, tentu saja tak menolak. "Baik, kapan kita berangkat, suheng?"
"Ah, mau kapan lagi kalau bukan sekarang? Tapi jangan timbulkan curiga. Po-yang cukup jauh, sumoi. Sebaiknya kita berhati-hati dan ikuti secara diam-diam. Aku curiga pada orang-orang pemerintah itu, rupanya ada sesuatu yang penting! Kereta pertama itu dan maksudku!"
"Ya, dan aku sudah curiga sejak Lui Tai di kereta pertama itu, suheng. Sayang kau membebaskan pelukis itu dan membiarkan dia pergi!"
"Kau tak tahu maksudku? Ah, kau bodoh, sumoi. Justeru dengan begitu Lui Tai dan teman-temannya itu merasa aman karena mengira kita tak mengejar mereka!" Kim-mou-eng tertawa. "Kita tak boleh menunjukkan kecurigaan kita, sumoi. Sebab sekali mereka tahu mungkin mereka bungkam atau melarikan diri!"
"Jadi kau sudah curiga pertama kali?"
"Ya, kau kira tidak? Aku pura-pura saja, sumoi. Aku mengelabuhi mereka agar mereka tidak curiga kepada kita!"
"Ah, hebat. Aku terkecoh, sungguh tolol...!" dan Salima yang tertawa memandang subengnya tiba-tiba ganti menyambar lengan suhengnya itu. "Kalau begitu ayo suheng. Kita berangkat!" Salima menyendal lengan suhengnya, mengajak suhengnya pergi dan berkelebat mengerahkan ginkang.
Tentu saja suhengnya mengangguk dan mengikuti, tertawa melihat sumoinya itu begitu gembira. Dan begitu keduanya berendeng dan berlari cepat bersama akhirnya rombongan empat kereta itupun di susul, tanpa banyak cakap lagi. Kemana rombongan Liang-taijin dan kereta-kereta lain itu? Sungguh menarik untuk diikuti.
Kim-mou-eng dan Salima mendapatkan empat kereta ini berhenti sebentar di kota Yin. Mereka memasuki sebuah rumah gedung di pinggiran kota, keluar lagi dan tak lama kemudian meneruskan perjalanan, arahnya satu yaitu ke barat. Dan ketika mereka berhenti lagi di kota Cih dan Sun untuk kemudian meneruskan perjalanan dengan tergesa-gesa maka tiba di sebuah persimpangan mendadak empat kereta itu berpisah.
"Bab... baik, ampunkan aku, lihiap. Ampunkan aku...!"
Sais itu berlutut, mengangguk-angguk dan sudah menyampaikan permintaan maafnya berulang-ulang. Sekali, dua kali... sepuluh kali dan akhirnya seratus kali tanpa kurang. Tentu saja dia ketakutan dan kecapaian. Salima tak memberinya kelonggaran. Dan ketika seratus kali sais itu menyampaikan rintihannya dan Salima tersenyum mengejek maka sais inipun terguling roboh ketika habis mengucapkan kata-katanya itu, tak kuat karena buku-buku tulangnya serasa patah. Pingsan. Dan Liang taijin segera menyuruh kusir satunya mengangkat temannya itu, menghadapi Salima.
"Bagaimana kami bisa pergi, lihiap? Atau Kim-taihiap mungkin akan memberi petunjuk kepada kami?"
Kim-mou-eng menarik napas. "Sudahlah. kau pergilah, taijin. Kami tak akan mengganggu asal kalian baik-baik saja."
"Terima kasih, kami memang tak mengganggu siapa-siapa, taihiap. Kalau rombonganku inipun melakukan kesalahan tak sengaja sukalah kau memaafkannya pula."
Liang-taijin girang, membungkuk dan menjura di depan Kim-mou-eng. Maklum pendekar ini lebih lunak dibanding Salima. Dan ketika gubernur itu mengajak orang-orangnya pergi akhirnya Kim-mou-eng mendapat teguran sumoinya.
"Suheng, kenapa si Cakar Ayam itu tak di hajar duluan? Bukankah dia orangnya Mao-tai jin?"
"Ah, kita tak perlu ribut-ribut, sumoi. Bukankah mereka tak mengganggu kita? Kusir yang bersalah itu telah menerima hukumannya, sebaiknya kita biarkan mereka dan kita urus persoalan kita sendiri."
"Apa yang mau kau kerjakan?" tanya Salima.
"Kau sendiri, apa yang mau kau kerjakan?" Kim-mou-eng balik bertanya.
"Eh, kenapa balik bertanya? Bukankah kau yang memimpin, suheng? Aku tinggal menurut, kau yang mengatur dan menentukan perjalanan ini!"
"Hm, aku sebenarnya tak tahu harus berbuat apa. Tapi aku ingin ke Po-yang. Bagaimana, sumoi?"
"Untuk apa? Mencari apa di sana? Kau mau, hm.... kau mau bersenang-senang seperti orang she So itu?" Salima memandang tajam suhengnya, ada kesan tak senang.
Tapi Kim-mou-eng yang tertawa menyambar sumoinya ini berkata, "Sumoi, pikiran apa yang mengganggu dirimu ini? Bukankah kau ada di sampingku? Kalau pun bersenang-senang tentu aku akan mengikutsertakan dirimu. Tidak, aku tidak bermaksud seperti So Lui Tai itu melainkan ingin mengikuti perjalanan Liang-taijin. Tidakkah kau curiga kenapa pembesar ini bersama orang-orangnya Mao taijin?"
"Kukira kau acuh saja, suheng. Kiranya diam-diam kaupun menaruh curiga!”
Salima akhirnya girang, kedua matanya bersinar karena sesungguhnya memang itulah yang dia inginkan, menyelidiki dan mengetahui apa yang sebenarnya ingin dilakukan empat rombongan kereta itu. Lui Tai dan terakhir Liang-taijin, mereka rupanya menyimpan sesuatu rahasia. Salima sudah gatal untuk mengetahui ini. Maka ketika suhengnya berkata ingin ke Po-yang mengikuti rombongan orang-orang berkereta itu dia pun menjadi girang dan setuju, tentu saja tak menolak. "Baik, kapan kita berangkat, suheng?"
"Ah, mau kapan lagi kalau bukan sekarang? Tapi jangan timbulkan curiga. Po-yang cukup jauh, sumoi. Sebaiknya kita berhati-hati dan ikuti secara diam-diam. Aku curiga pada orang-orang pemerintah itu, rupanya ada sesuatu yang penting! Kereta pertama itu dan maksudku!"
"Ya, dan aku sudah curiga sejak Lui Tai di kereta pertama itu, suheng. Sayang kau membebaskan pelukis itu dan membiarkan dia pergi!"
"Kau tak tahu maksudku? Ah, kau bodoh, sumoi. Justeru dengan begitu Lui Tai dan teman-temannya itu merasa aman karena mengira kita tak mengejar mereka!" Kim-mou-eng tertawa. "Kita tak boleh menunjukkan kecurigaan kita, sumoi. Sebab sekali mereka tahu mungkin mereka bungkam atau melarikan diri!"
"Jadi kau sudah curiga pertama kali?"
"Ya, kau kira tidak? Aku pura-pura saja, sumoi. Aku mengelabuhi mereka agar mereka tidak curiga kepada kita!"
"Ah, hebat. Aku terkecoh, sungguh tolol...!" dan Salima yang tertawa memandang subengnya tiba-tiba ganti menyambar lengan suhengnya itu. "Kalau begitu ayo suheng. Kita berangkat!" Salima menyendal lengan suhengnya, mengajak suhengnya pergi dan berkelebat mengerahkan ginkang.
Tentu saja suhengnya mengangguk dan mengikuti, tertawa melihat sumoinya itu begitu gembira. Dan begitu keduanya berendeng dan berlari cepat bersama akhirnya rombongan empat kereta itupun di susul, tanpa banyak cakap lagi. Kemana rombongan Liang-taijin dan kereta-kereta lain itu? Sungguh menarik untuk diikuti.
* * * * * * * *
Kim-mou-eng dan Salima mendapatkan empat kereta ini berhenti sebentar di kota Yin. Mereka memasuki sebuah rumah gedung di pinggiran kota, keluar lagi dan tak lama kemudian meneruskan perjalanan, arahnya satu yaitu ke barat. Dan ketika mereka berhenti lagi di kota Cih dan Sun untuk kemudian meneruskan perjalanan dengan tergesa-gesa maka tiba di sebuah persimpangan mendadak empat kereta itu berpisah.
Liang-taijin dan rombongannya ke selatan, sementara Lui Tai dan kereta nomor dua terus ke barat, di mana kali ini Sin-kee Lojin tampak mengawal kereta Lui Tai, berpindah tempat. Dan ketika dua rombongan itu berpisah dan Salima tertegun untuk mengikuti yang mana maka suhengnya bertanya.
"Bagaimana kita berpisah juga, sumoi?"
"Tidak," Salima terkejut. "Aku tak mau jauh denganmu, suheng. Sebaiknya kita ke barat dan ikuti perjalanan Sö Lui Tai itu!"
"Tapi Liang-taijin penting juga diawasi. Pembesar inipun mencurigakan gerak-geriknya!"
"Ha, bagaimana kalau begitu?" Salima bingung.
"Sebaiknya kita berpisah, sumoi. Kau ikuti perjalanan So Lui Tai itu dan aku mengejar Liang taijin. Belokan ke selatan itu akhirnya menuju pula ke telaga Po-yang. Gubernur itu rupanya memutar!"
"Untuk apa?"
"Mana kutahu? Sebaiknya kita pecah tugas masing-masing, sumoi. Aku mengejar Liang-taijin itu sementara kau mengikuti si pelukis she So!"
Salima mengerutkan kening. Dia otomatis cemberut, sungguh perpisahan ini tak dikehendakinya. Tapi ketika suhengnya memberi tahu bahwa belokan ke selatan itu akhirnya dapat menuju Po-yang juga akhirnya dia mengangguk meskipun dengan berat hati. "Baiklah, aku setuju, suheng. Tapi janji, kau harus ke Po-yang dan kita bertemu di sana lagi!"
"Tentu, bukankah kasak-kusuk mereka mengatakan ke Po-yang? Aku tentu ke sana, sumoi. Aku tak tahu kenapa gubernur ini harus memisah!"
"Jangan-jangan kita tercium," Salima mengerutkan kening semakin dalam. "Apakah ada orang yang mengetahui pengintaian kita, suheng?"
"Kurasa tidak, mungkin sekedar sikap hati-hati dari Liang-taijin itu. Sudahlah, aku tak mau terlambat. Cepat kau pergi dan kita melaksanakan tugas masing-masing!"
Aneh, Salima terisak. Dan ketika Kim-mou-eng menyuruhnya pergi dan tiga kali gadis itu belum beranjak juga akhirnya Kim-mou-eng memandang sumoinya ini.
"Apa lagi? Apa yang kau tunggu?"
Salima semburat. "Kau hanya menyuruhku begini saja, suheng? Tidak... tidak memberi sesuatu?”
"Sesuatu apa? Kau ingin apa?" tapi ketika pandang mata mereka bentrok dan Kim-mou-eng menangkap getaran mesra dari mata sumoinya itu mendadak pendekar ini tergetar dan tersipu merah. Maklumlah dia akan apa yang dikehendaki sumoinya ini, ucapan sayang, kecupan berpisah, meskipun sejenak. Dan ketika sumoinya mengeluh dan menubruk dirinya tiba-tiba sumoinya itu terisak berguncang tubuh.
"Suheng, mestikah kuberi tahu? Bukankah kau mengerti?"
Terpaksa, karena sumoinya "menuntut" dan merekapun jelek jelek telah mempunyai ikatan batin maka Kim-mou-eng memeluk dan mencium kening sumoinya itu. Itu saja, tak lebih tak kurang. Sumoinya tersenyum dan tertawa kecil, mata yang tadi dipejamkan itu terbuka. Salima memandangnya dengan senyum dan tawa yang menggoda. Kim-mou-eng ikut tersenyum, agak malu. Dan ketika sumoinya mengucap terima kasih dan melompat pergi tiba-tiba gadis itu berseru dari kejauhan,
"Lain kali tak hanya di situ, suheng. Aku minta seperti dulu..!"
Kim-mou-eng semburat merah. Sumoinya itu memang bersikap bebas, terbuka dan blak-blakan, meskipun masih dalam batas batas normal. Tapi ketika sumoinya lenyap dan dia menekan degup jantungnya maka Kim-mou-eng memutar tubuh dan berkelebat mengejar Liang taijin. Ada sejam dia menyusul kereta pembesar itu, melihat jalanan berbelok-belok dan hampir dia kehilangan jejak. Tapi begitu buruan dapat dikejar dan Kim-mou-eng tak ingin kehilangan lawannya lagi pendekar ini sudah melayang dan menempel di atap kereta. Inilah jalan untuk mendengarkan pembicaraan di dalam.
Kim-mou-eng mendengar pembesar itu menyebut-nyebut Mao taijin, juga Lui Tai. Dan ketika kereta terus bergerak dan dua malam Kim-mou eng mengikuti perjalanan gubernur itu mendadak dengan muka berobah pendekar ini mendengar rencana pemberontakan yang dipimpin Siauw-ongya. Berdetaklah hatinya. Kim-mou-eng teringat pada mendiang Seng piauw-pangcu, kakek tinggi besar yang gagah itu, yang tewas ketika coba memberi tahu pangeran mahkota, tak di percaya dan akhirnya bertemu dengan Siauw bin kwi dan teman-temannya.
Sungguh pembicaraan di dalam terasa penting. Mendiang Seng-piauw pangcu pun juga berbicara tentang rencana pemberontakan itu. Dan ketika pembicaraan menyebut-nyebut nama Mao-taijin dan beberapa nama lain yang dikenal Kim-mou-eng sebagai menteri menteri istana maka Liang-taijin mengakhiri ceritanya begini:
"Kita harus memberi tahu pangeran mahkota, Pat-busu. Setelah itu kita melapor pada kaisar dan pulang kembali!"
"Baik!" dan delapan laki-laki di dalam kéreta yang tidak berbicara lagi akhirnya diam sampai di telaga Po-yang. Perjalanan kiranya berakhir, dua kereta itu berhenti dan Kim-mou-eng melesat mendahului menghilangkan jejaknya. Tentu saja tak boleh diketahui orang-orang di dalam. Telaga Po-yang membentang luas di depan dan Liang-taijin turun dari keretanya, seseorang menyambut.
Nama pangeran mahkota kembali disebut-sebut dan Kim-mou-eng mengira penyambut itu adalah utusan pangeran mahkota. Untuk sementara menganggap Liang taijin adalah orang jujur, setia pada kaisar. Dan ketika Liang taijin dibawa ke sebuah rumah di ujung telaga dan delapan pengikutnya mengiring di belakang pembesar ini maka Kim-mou-eng melihat rombongan itu keluar lagi menghampiri sebuah perahu.
"Pangeran mahkota menantimu di tengah telaga, taijin. Harap naik dan ikuti kami!"
Gubernur itu mengangguk, delapan pengiringnya melompat dan naik juga ke atas perahu. Sebelas orang sekarang ada di situ. Kim-mou-eng bingung, penguntitan tak dapat diteruskan lagi karena Liang-taijin dan rombongannya berada di telaga terbuka. Tentu saja dia tak dapat meneruskan pengawasannya dan tertegun di pinggiran. Tapi ketika dia celingukan dan bingung mencari sana-sini mendadak dia teringat sumoinya, juga dua kereta Lui Tai dan temannya itu.
Sekarang mereka sama-sama ada di Po-yang dan dia harus bertemu dengan sumoinya, di mana mereka itu. Kim-mou-eng sudah memuteri telaga sementara perahu yang ditumpangi Liang taijin dan rombongannya kian jauh ke tengah, mereka itu menuju sebuah pulau di tengah telaga. Samar-samar sebuah rumah bagus berdiri di sana, dikelilingi pohon pohon cemara, ujungnya menjulang cukup tinggi. Dan ketika Kim-mou-eng berputaran mencari sumoinya tapi tak didapat juga mendadak sebuah perahu menghampirinya tenang.
"Mau berpelesir, kongcu? Mari, kau dapat menyewa perahuku dengan sepuluh tail sekali putar. Atau dua puluh tail berikut sebotol arak wangi!“
Kim-mou-eng tak tertarik. Dia menggeleng. kembali menyusuri pinggiran telaga sambil mencari sana-sini, tukang perahu itu rupanya tahu, mengikuti dan tertawa. Dan ketika Kim-mou-eng jengkel dan gemas pada si tukang perahu maka tukang perahu itu, seorang laki-laki tegap berkulit hitam berseru padanya,
"Seorang diri berkeliaran memang tak enak, kongcu. Kalau kongcu inginkan seorang wanita akupun sanggup menyediakannya. Beberapa jam yang lalu seorang gadis cantik pun ditemani seorang pemuda. Rupanya gadis itu gadis Tar-tar!"
Kim-mou-eng berjengit. Disebutnya nama gadis Tar tar ini membuat dia terbelalak, melayang dan tiba-tiba sudah berkelebat memasuki perahu. Gerak kakinya ringan tak mengguncangkan tubuh perahu. Si tukang perahu kaget, rupanya baru sekarang sadar bahwa Kim-mou-eng bukan seorang kongcu (tuan muda) melainkan seorang kang-ouw, seorang ahli silat. Dan ketika ia tertegun dan menjublak ditangkap lehernya tahu-tahu Kim-mou-eng bertanya, "Kapan kau melihatnya? Dia memakai apa?"
"Uh," tukang perahu ini coba melepaskan lehernya. "Aku... aku melihatnya dua jam yang lalu, siauwhiap (pendekar muda). Ampukan aku kalau salah bicara...!"
"Dia memakai apa? Bersama siapa?"
"Seorang temannya, siauwhiap. Dia memakai topi bulu burung dan tampak gagah sekali...!"
“Ia ke mana?"
Tukang perahu itu ketakutan. "Ampun, lepaskan aku dulu, siauhiap. Aku tercekik...!"
Kim-mou-eng mengendurkan cengkeramannya. "Ke mana dia? Cepat, aku buru-buru!" Kim-mou-eng tak sabar, membentak dan sudah berdebar karena tukang perahu itu memberi tahu sumoinya bersama seorang pemuda, mungkin teman atau mungkin juga musuh. Dia harus bertindak. Dan ketika tukang perahu malah ah uh ah uh, Kim-mou-eng gemes tiba-tiba tukang perahu itu sudah berkata, suaranya gemetar.
"kesana, ketengah telaga, siauwhiap. Ke pulau di tengah-tengah itu..!"
"Baik, kalau begitu kusewa perahumu. Ayo jalan, cepat!" dan Kim-mou-eng yang mendorong melepaskan tukang perahu ini akhirnya menyambar dayung menyuruh tukang perahu itu mengayuh.
Si tukang perahu ketakutan, bingung tapi matanya berkilat-kilat. Menerima dayung dan mengayuh perahunya, ada kesan lamban dan Kim-mou-eng tentu saja tak sabar. Dan ketika orang disuruh cepat tapi terasa lambat juga akhirnya pendekar ini membentak,
"Dorong sekuat tenaga, cepat! Aku buru-buru!"
Si tukang perahu menyatakan baik. Dia mengayuh sekuat tenaga, melirik sana sini dan Kim-mou-eng menjadi tak puas, tiba-tiba melemparkan sekeping uang emas dan menyambar dayung, tak ada dayung lain di situ kecuali yang dipegang si tukang perahu itu. Dan ketika orang terbelalak dan kepingan uang emas itu telah diterima mendadak pendekar ini berseru perlahan,
"Kau pegang erat-erat pinggiran perahu, awas, aku melaju...!" dan begitu dayung diputar mengayuh kendaraan air ini tiba-tiba si tukang perabu terkejut dan berteriak tertahan. Perahu meluncur seperti motor boat, mencelat dan terbang seperti perahu bersayap. Ombak terbelah menyibak di kiri kanan.
Tukang perahu itu memekik mekik, Kim mou-eng tak menghiraukan karena dia telah mengerahkan tenaganya, sinkangnya membuat perahu seakan didorong tangan raksasa. Melesat dan terbang ke depan. Perahu miring kiri kanan tapi tetap meluncur dengan deras. Dan ketika si tukang perahu berteriak teriak dan tak tahan berpegangan di pinggiran perahu tiba-tiba tubuhnya terlempar dan keluar dari perahu, tercebur ke telaga.
"Hei... byur!"
Kim-mou-eng tak menghiraukan. Dia melihat tukang perahu itu pandai berenang, juga dua perahu lain tiba-tiba muncul. Tapi ketika dia meneruskan gerakannya dan perahu mendekati téngah pulau mendadak perahunya bocor!
"Keparat, apa ini?" Kim-mou-eng terkejut, terbelalak dan kaget karena jarak masih cukup jauh. Air seakan mengebor dari bawah, tiba-tiba saja kakinya terendam dan perahu bolong. Begitu cepat kejadiannya. Dan ketika dia meneruskan dayung tapi perahu terasa berat kemasukan air mendadak perahu terguling dan tenggelam! Dan saat itu sepasang tangan meraih kakinya, sebuah kepala muncul, Kim-mou-eng ditarik dan diseret ke dalam, terpelanting dan jatuh ke air.
Pendekar itu tak menyangka kejadian ini, bahwa ada seseorang di bawah sana. Rupanya dialah yang membocorkan perahu itu. Dan ketika perahu tenggelam dan orang yang menarik kakinya ini terbahak menyeramkan tahu-tahu Kim-mou-eng terbetot dan masuk ke dalam telaga.
"Byur!" Kim-mou-eng gelagapan. Dia tak mahir di dalam air, orang itu terus menariknya dan menyelam ke dalam telaga. Kim-mou-eng terkejut, kaki dan tangannya tiba-tiba ditangkap orang lain pula, ada empat orang jumlahnya. Satu di antaranya adalah si tukang perahu tadi. Mereka adalah orang-orang yang pandai berenang dan kini hendak membunuhnya di dalam air. Dan ketika Kim-mou-eng terkesikap dan empat orang di dalam air itu menyeretnya semakin ke dalam tiba-tiba lehernya dipiting pula hingga dia tak dapat bernapas, tercekik!
"Keparat!" Kim-mou-eng marah. Dia memberontak, permainan di dalam air memang dia tak bisa tapi kekuatannya menahan napas cukup dijadikan andalan. Orang yang menangkap tangannya tiba-tiba dicengkeram, tenaga dikerahkan dan menarik orang ini, yang menarik kaki otomatis tertahan. Gerakan mereka terhenti di tengah jalan dan Kim-mou-eng menendang, tepat mengenai dagu orang yang mencengkeram kakinya. Air menggelembung dari orang itu rupanya terkejut. Kesakitan. Dagu serasa pecah karena Kim-mou-eng mengerahkan sinkangnya dalam perlawanan ini. Yang dicengkeram tangannyapun kaget, tulang serasa hancur dan dua orang itu melepaskan Kim-mou-eng.
Dan ketika dua yang lainnya terbelalak dan melihat teman mereka terdorong menjauh tahu-tahu Kim-mou eng menusukkan dua jarinya ke kepala lawan yang mencekik leher, tepat menancap sementara orang yang satunya lagi disodok siku, mengenai perut dan orang itupun terkejut. Kim-mou-eng terlepas dan empat lawan terdorong minggat yang matanya pecah seketika menjerit jerit, air menggelembung dan seketika memerah. Darah mulai bercampur mengotori telaga itu. Dan ketika empat lawan melepaskan dirinya dan Kim mou eng menjejakan kaki kuat kuat tiba-tiba pendekar ini muncul dan keluar lagi di atas permukaan air. Selamatlah Kim-mou-eng.
Perdekar ini melihat empat lawannya itu pun muncul, yang tiga terbelalak memandangnya sementara orang ke empat meraung tak keruan. Dia buta di tengah telaga itu, tiga temannya ngeri. Tapi ketika Kim-mou-eng gusar dan marah memandang tiga lawannya mendadak dua perahu baru muncul di tempat itu dan tiga orang ini mencabut belati menyerang Kim-mou-eng.
"Pendekar Rambut Emas, kami akan membunuhmu....!"
Kim-mou-eng naik darah. Dia diserang di dalam air, tentu saja tak takut kecuali harus menjaga diri agar dia tidak tenggelam, hidung tidak kemasukan air. Dan ketika tiga pisau itu menyerang tubuhnya dan dia mengerahkan sinkang tiba-tiba, tiga orang lawan berseru kaget karena pisau mereka patah bertemu kekebalan pendekar ini. Kim-mou-eng menampar dan merekapun mencelat, dua di antaranya patah tulangnya, tak dapat menyerang lagi. Dan ketika lawan yang seorang gentar memandang pendekar ini dan Kim-mou-eng meremas sesuatu di dalam air mendadak sebongkah es yang telah diubah pendekar ini menyambar dahi orang itu.
"Trak!" orang ini terguling. Empat lawan seketika gelagapan di air telaga, masing'masing berteriak dan jerih menghadapi Kim-mou-eng, yang meskipun di dalam air tapi kehebatannya masih menggiriskan. Tapi ketika Kim-mou-eng menghadapi empat lawannya ini dan dua perahu baru itu telah datang mendekat tiba-tiba sebatang dayung menghantam kepalanya, membuat Kim-mou-eng terkejut tapi sadar bahwa lawan-lawan lain masih ada di situ, dayung langsung pecah sementara kepalanya sendiri tak apa-apa. Kim-mou-eng telah melindungi diri.
Dan ketika yang lain lain juga menyerang dan kembali sebatang dayung menyambar kepalanya tiba-tiba Kim-mou-eng diserang tujuh laki-laki berpakaian hitam yang di dadanya tergambar sebuah lukisan tengkorak. Kim-mou-eng terkejut karena dia mengenal itulah rombongan bajak Tengkorak Hitam, seorang pemimpinnya yang bertubuh gempal memberi aba-aba di ujung perahu. Rupanya dialah si Tengkorak Hitam sendiri, berteriak teriak dan menyuruh anak buahnya menyerang.
Tapi ketika sebatang dayung kembali pecah menghantam kepala pendekar ini dan enam yang lain menyambar tiba mendadak Kim-mou-eng membentak dan menangkap salah satu di antaranya, membiarkan yang lain menggebuki tubuhnya tapi dayung yang ditangkap ini ditarik. Pemiliknya terkejut dan tiba-tiba terbetot, betapa pun tenaga Kim-mou-eng tak dapat ditandingi dengan tenaganya sendiri. Dan ketika dia tertarik dan akhirnya terjatuh ke air maka Kim-mou-eng tiba-tiba meloncat dan telah "terbang" di atas perahu lawan.
"Hei, tahan dia..."
"Awas..."
Tujuh orang di dalam perahu tak dapat mencegah datangnya pendekar ini. Kim-mou-eng telah hinggap di situ, tangannya bergerak mengibas ke kiri kanan. Dayung yang menyambar semua tertolak dan hancur berkeping-keping, lawan terkejut dan terbelalak pucat. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebat dan menghadiahi mereka dengan tendangan dan dorongan tahu-tahu semua yang ada di situ kecuali si Tengkorak Hitam sendiri mencelat ke air telaga dan mencebur satu persatu.
"Byur-byur byurr!"
Si Tengkorak Hitam terkejut. Tujuh anak buahnya tak berani mendekati perahu lagi, mereka gentar. Tapi si bajak yang marah dan sudah menyambar dayungnya ini tiba-tiba menerjang dan mengemplang kepala lawan dari belakang. Kim mou eng mendengus dan tidak mengelak, miringkan sedikit kepala menerima hantaman itu dengan bahu kirinya. Dayung mental dan si Tengkorak hitam terpekik, telapak yang memegang seketika pecah dan berdarah. Demikian kuat tolakan tenaga itu. Dan ketika Kim-mou eng bergerak dan menampar pelipisnya tiba-tiba si kepala bajak ini berteriak dan mendahului melempar tubuh ke air telaga, takut menerima serangan!
"Byur...!" Kim-mou-eng sekarang tinggal sendirian. Dia melihat kepala bajak itu berenang ke tengah. Tujuh anak buahnya juga masih menjauhi perahu tapi tetap mengepung. Dan ketika si Tengkorak Hitam memberi aba aba dan isyarat tangan tiba tiba delapan orang di dalam air itu menyelam dan lenyap tak nampak batang hidungnya lagi.
Kim-mou-eng sadar akan bahaya. Dia tahu bahwa orang-orang itu pasti akan mengganggunya dari bawah. Mereka rupanya penyelam penyelam Hebat yang tahan lama di dalam air. Benar saja, perahunya terguncang dan tiba-tiba bocor. Suara duk-duk di bawah sana rupanya menunjukkan orang-orang itu hendak menenggelamkannya bersama perahu. Kim-mou-eng membentak dan mengayuh cepat. Betapapun pulau di tengah telaga itu tak jauh lagi dan dia harus ke sana, secepat mungkin. Dan ketika dayung digerakkan dan perahu meluncur sepesat anak panah tiba-tiba pendekar ini telah menjauhkan diri dari penyerang di dalam air.
Tapi celaka. Seseorang rupanya melekat di bawah sana, perahu mengalami kebocoran besar dan lawan di bawah perahu seperti lintah. Kim mou-eng terkejut karena tiba tiba perahu terbelah, orang itu nampak tàpi menyelam lagi. Kim-mou éng marah. Dan ketika jarak tinggal seratus tombak lagi dan perahu karam akhirnya Kim-mou-eng memecahkan sekeping papan dan berjungkir balik melekat di situ, hinggap seperti capung. Dan ketika Tengkorak Hitam dan teman-temannya muncul di permukaan air untuk menyerang pendekar ini tahu tahu Kim-mou eng telah menggerakkan kakinya dan.... mêlaju seperti orang main ski!
Terbelalaklah semua lawan. Mereka kecele, melihat pendekar itu berjalan dengan sekeping papan di bawah kakinya. Demikian ringan dan luar biasa. Dan ketika mereka berseru kagum dan Kim-meu-eng terus meluncur dengan cepat akhirnya pendekar ini tiba di tepi pulau dan menginjakkan kakinya di situ membuang kepingan papan yang telah mengantar dirinya itu. Selamat dan menghapus peluh memandang marah si Tengkorak Hitam dan kawan kawannya. Tapi begitu angin terdesir dan berkesiur halus tahu-tahu musuh yang lain datang menyambut pendekar ini.
"Ha-ha, hebat, Kim-mou-eng, Kau memang hebat dan mengagumkan kami!"
Kim-mou-eng memutar tubuh. Empat bayangan telah mengepungnya di muka belakang, Kim-mou-eng terkejut karena itulah Sai-mo-ong dan teman-temannya, Tok-gan-Sin-ni dan Siauw bin-kwi serta Coa ong Tok kwi si kakek ular bercawat yang membawa süling. Terkekeh dan tertawa menyeramkan menyambut kedatangannya. Dan Ketika dia terbelalak dan terkejut karena tak menyangka empat iblis ini ada di pulau tengah telaga tiba-tiba Liang-taijin muncul bersama Siauw-ongya, menangkap sumoinya, Salima!
"Suheng...!"
Sumoi ...!"
Kim-mou-eng mendelong. Dia sangguh tak menyangka semuanya itu, Bu-kongcu tiba-tiba muncul dan menyambar lengan Salima. Pemuda muka putih yang pucat itu tertawa-tawa, mencium pipi Salima tapi Salima mengelak, mendelik dan meludahi pemuda itu hingga Bu-kongcu mundur kembali. Kim mou eng terhenyak karena mereka terkepung. Sumoinya tertangkap! Dan ketika dia menjablak dan bengong seakan tak percaya maka sumoinya yang marah dan memaki-maki itu sudah berteriak padanya,
"Suheng, bunuh iblis iblis ini. Mereka menangkapku di dalam air. Curang. Sikat dan basmi manusia-manusia tak taha malu ini!"
"Ha-ha!" Sai-mo ong tertawa bergelak. Apa yang kau katakan tak mudah dilakukan, Tiat-ciang Sian-li. Sebaiknya kau diam dan biarkan kami bicara dengan suhengmu ini!" dan menghadapi Siauw-ongya iblis muka singa itu bertanya, Pangeran, apa yang harus kami lakukan? Membekuk dan menangkap Pendekar Rambut Emas ini?"
"Tidak," Pangeran Muda tertawa manis, senyumnya mengejek. "Kim-mou-eng bukan musuh kalau dia mau membantuku, Mo-ong. Tapi kalau dia menolak tentu saja sikap kita akan lain!" pangeran itu menghadapi Kim-mou-eng. "Bagaimana kalau kita tukar menukar, Kim taihiap? Aku ingin bantuanmu, sumoimu kuserahkan kembali kalau kau mau bekerja sama denganku. Kita sebaiknya tak usah bermusuhan. Bagaimana?"
"Tidak!" Salima lagi-lagi berteriak. "Mereka ini iblis, suheng. Tak usah menerima dan serang saja mereka itu!"
"Hm!" Tok-gan Sin-ni tiba-tiba tertawa, berkelebat di belakang gadis ini, jarinya menyentuh ubun-ubun. "Kalau begitu kau akan mampus, Sian-li. Suhengmu tak dapat menolongmu kalau dia bergerak maju!"
"Aku tak takut, mati bagiku bukan apa-apa Ayo, Serang, suheng. Basmi dan bunuh mereka itu, jangan hiraukan aku.“
Salima berteriak-teriak, gagah dan tak kenal takut sesuai omongannya. Kim-mou-eng tertegun karena Sai-mo-ong dan teman-temannya tersenyum mengejek, Tok-gan Sin-ni sendiri siap menotok jalan darah kematian di kepala sumoinya itu. Jarak têrlalu jauh, tak mungkin baginya menolong. Dan ketika sumoinya masih juga berteriak teriak dan Tok gan sin ni marah tiba tiba nenek iblis ini menotok urat gagu sumoinya.
"Diam, jangan cerewet kau... plak!" dan salima yang tak dapat berkata-kata lagi mendelik pada nenek itu akhirnya roboh diterima Pangeran Muda yang tertawa memandang Kim-moi-eng.
"Bagaimana, kau dapat bersikap bijaksana, Kim-taihiap?"
Kim-mou-eng bingung. Sebenarnya, kalau saja sümoinya tak ada di tangan lawan tentu dia sudah menerjang dan menyerang lawan lawannya itu. Tak takut dia akan keroyokan lawan, meski dua kali ini Sai mo-ong akan mengeroyoknya berempat, tambah dengan kehadiran si Raja Ular itu. Tapi karena sumoinya ada di sana dan kini lawan siap membunuh sumoinya sewaktu-waktu terpaksa pendekar ini menahan diri dengan pikiran kacaü.
"Bagaimana kau menerima tawaranku, Kim taihiap?' Pangeran Muda kembali bertanya.
"Apa yang harus kulakukan?" Pendekar Rambut Emas akhirnya balik bertanyà, "Bantuan apa yang kalian minta?"
"Aku meaghendaki kau bergabung dengan pembantu-pembantuku, Kim-mou-eng. Kalau sumoimu mau membantu sekalian tentu aku lebih gembira."
"Bergaul dengan setan-setan macam Sai-mo-eng ini?"
"Ha ha, mereka setan kalau diajak bermusuhan, Kim-taihiap. Tapi sahabat yang baik kalau diajak berdamai. Tak perlu khawatir, suhengmupun, Gurba, telah membantuku dan kini telah bekerja sama dengan baik dengan para pembantuku!"
Kim-mou-eng mengerutkan kening. "Gurba suheng membantumu?"
"Ya, dan dia jinak sekali, Kim-taihiap. Kau boleh selidiki kalau tidak percaya!"
Kim-mou-eng tertegun. Untuk kedua kali dla merasa terkesiap, bahaya benar-benar datang mengancam kalau suhengnya berbalik haluan. Pangeran ini merencanakan pemberontakan dan suhengnya bisa terlibat, padahal bangsa Tar-tar dengan kaisar sebenarnya tak bermusuhan lagi. Pangeran ini terlalu ambisius, terang ingin menariknya karena dialah yang tahu rencana pemberontakan itu. Tentu tak mau melepasnya pergi kerena takut dia berbuat macam-macam, meskipun pangeran itu juga cerdik mencari bukti ini itu. Dan ketika dia bingung dan sang pangeran bertanya kembali tiba-tiba Tok-gan Sin-ni terkekeh mencabut jarumnya, siap menusuk sumoinya, kematian yang lebih mengerikan lagi.
"Pangeran, sebaiknya paduka tak perlu banyak bertanya lagi pada si sombong ini. Kim-mou-eng merasa dirinya bersih, kaum pendekar. Barangkali jijik bergaul dengan kami orang-orang yang dianggap kaum sesat. Bagaimana kalau kita bunuh sumoinya ini dan tangkap saja dia itu? Aku tak sabar, pangeran. Sebaiknya dia ditangkap dan sumoinya ini dibunuh!"
"Ha ha, betul!" Siauw-bin-kwi berceloteh. Aku juga tak sabar berlama-lama, pangeran. Sebaiknya Kim-mou-eng ini dibunuh dan sumoinya itu kita permainkan, atau sumoinya kita bunuh dan Kim-mou-eng kita permainkan. Bagaimana, pangeran?"
Pangeran Muda tersenyum. Tapi belum dia menjawab, Sai-mo-ong sudah mendahului, mendamprat temannya, "Bin-kwi, sebaiknya dua-duanya dibunuh. Kau manusia homo yang selalu mengilar melihat pemuda tampan. Siapa tidak tahu maksudmu dengan menyuruh tangkap Kim-mou-eng ini? Huh, sebaiknya mereka dibasmi saja, pangeran. Kim-mou-eng dan sumoinya ini berbahaya!"
"Terserah yang bersangkutan," Pangeran Muda akhirnya tertawa mengejek. "Itu tergantung Kim-mou-eng, Mo-ong. Kalau dia tak sayang sumoinya dan ingin begitu tentu saja aku mengijinkan kalian membunuh. Tapi tunggu dulu jawabannya. Bagaimana, Kim-mou-eng?"
Kim-mou-eng melihat bahaya. Dia melihat jarum di tangan Tok-gan Sin-ni sudah bergetar menempel di kepala sumoinya. Keadaan benar gawat. Dan menyadari di saat kritis begitu sumoinya terancam dan iblis-iblis macam Tok-gan Sin-ni itu bisa saja membunuh lawan tanpa berkedip akhirnya dengan muka gelap dan kening dikerutkan pendekar ini berkata, "Baik, aku menyerah, pangeran. Tapi biarkan dulu aku berpikir sehari. Bebaskan sumoiku!"
"Kau menerima tawaranku?"
"Kalau kau membebaskan sumoiku pangeran. Tapi biarkan dulu aku berpikir sehari!"
"Ha ha, bagus. Kalau begitu silahkan masuk, Kim-taihiap. Sumoimu tentu kami bebaskan setelah sehari juga. Kini kau menjadi tamuku istimewa, mari masuk. Kita rayakan bakal kerja sama ini dengan arak dan minuman!"
Dan sang pangeran yang cerdik memberi isyarat Tok-gan Sin-ni tiba-tiba membuat Kim-mou-eng tertegun dia kecewa karena janjinya itu masih juga tak dipercaya. Pangeran ini benar-benar siluman dan akan membebaskan sucinya setelah sehari juga, setelah dia memberi keputusan yang positip. Memang diam-diam dia merencanakan untuk mengulur waktu, pangeran itu dapat menangkap tapi yang lain-lain tidak.
Tok-gan Sin-ni terkekeh dan menarik jarumnya. Sai-mo-ong dan teman-temannya juga mundur menjauh karena Kim-mou-eng dianggap menyerah, tak tahu diam-diam Kim-mou-eng melepas kancing bajunya dan siap menyerang, begitu jarum Tok-gan Sin-ni menjauh!
"Bagaimana kita berpisah juga, sumoi?"
"Tidak," Salima terkejut. "Aku tak mau jauh denganmu, suheng. Sebaiknya kita ke barat dan ikuti perjalanan Sö Lui Tai itu!"
"Tapi Liang-taijin penting juga diawasi. Pembesar inipun mencurigakan gerak-geriknya!"
"Ha, bagaimana kalau begitu?" Salima bingung.
"Sebaiknya kita berpisah, sumoi. Kau ikuti perjalanan So Lui Tai itu dan aku mengejar Liang taijin. Belokan ke selatan itu akhirnya menuju pula ke telaga Po-yang. Gubernur itu rupanya memutar!"
"Untuk apa?"
"Mana kutahu? Sebaiknya kita pecah tugas masing-masing, sumoi. Aku mengejar Liang-taijin itu sementara kau mengikuti si pelukis she So!"
Salima mengerutkan kening. Dia otomatis cemberut, sungguh perpisahan ini tak dikehendakinya. Tapi ketika suhengnya memberi tahu bahwa belokan ke selatan itu akhirnya dapat menuju Po-yang juga akhirnya dia mengangguk meskipun dengan berat hati. "Baiklah, aku setuju, suheng. Tapi janji, kau harus ke Po-yang dan kita bertemu di sana lagi!"
"Tentu, bukankah kasak-kusuk mereka mengatakan ke Po-yang? Aku tentu ke sana, sumoi. Aku tak tahu kenapa gubernur ini harus memisah!"
"Jangan-jangan kita tercium," Salima mengerutkan kening semakin dalam. "Apakah ada orang yang mengetahui pengintaian kita, suheng?"
"Kurasa tidak, mungkin sekedar sikap hati-hati dari Liang-taijin itu. Sudahlah, aku tak mau terlambat. Cepat kau pergi dan kita melaksanakan tugas masing-masing!"
Aneh, Salima terisak. Dan ketika Kim-mou-eng menyuruhnya pergi dan tiga kali gadis itu belum beranjak juga akhirnya Kim-mou-eng memandang sumoinya ini.
"Apa lagi? Apa yang kau tunggu?"
Salima semburat. "Kau hanya menyuruhku begini saja, suheng? Tidak... tidak memberi sesuatu?”
"Sesuatu apa? Kau ingin apa?" tapi ketika pandang mata mereka bentrok dan Kim-mou-eng menangkap getaran mesra dari mata sumoinya itu mendadak pendekar ini tergetar dan tersipu merah. Maklumlah dia akan apa yang dikehendaki sumoinya ini, ucapan sayang, kecupan berpisah, meskipun sejenak. Dan ketika sumoinya mengeluh dan menubruk dirinya tiba-tiba sumoinya itu terisak berguncang tubuh.
"Suheng, mestikah kuberi tahu? Bukankah kau mengerti?"
Terpaksa, karena sumoinya "menuntut" dan merekapun jelek jelek telah mempunyai ikatan batin maka Kim-mou-eng memeluk dan mencium kening sumoinya itu. Itu saja, tak lebih tak kurang. Sumoinya tersenyum dan tertawa kecil, mata yang tadi dipejamkan itu terbuka. Salima memandangnya dengan senyum dan tawa yang menggoda. Kim-mou-eng ikut tersenyum, agak malu. Dan ketika sumoinya mengucap terima kasih dan melompat pergi tiba-tiba gadis itu berseru dari kejauhan,
"Lain kali tak hanya di situ, suheng. Aku minta seperti dulu..!"
Kim-mou-eng semburat merah. Sumoinya itu memang bersikap bebas, terbuka dan blak-blakan, meskipun masih dalam batas batas normal. Tapi ketika sumoinya lenyap dan dia menekan degup jantungnya maka Kim-mou-eng memutar tubuh dan berkelebat mengejar Liang taijin. Ada sejam dia menyusul kereta pembesar itu, melihat jalanan berbelok-belok dan hampir dia kehilangan jejak. Tapi begitu buruan dapat dikejar dan Kim-mou-eng tak ingin kehilangan lawannya lagi pendekar ini sudah melayang dan menempel di atap kereta. Inilah jalan untuk mendengarkan pembicaraan di dalam.
Kim-mou-eng mendengar pembesar itu menyebut-nyebut Mao taijin, juga Lui Tai. Dan ketika kereta terus bergerak dan dua malam Kim-mou eng mengikuti perjalanan gubernur itu mendadak dengan muka berobah pendekar ini mendengar rencana pemberontakan yang dipimpin Siauw-ongya. Berdetaklah hatinya. Kim-mou-eng teringat pada mendiang Seng piauw-pangcu, kakek tinggi besar yang gagah itu, yang tewas ketika coba memberi tahu pangeran mahkota, tak di percaya dan akhirnya bertemu dengan Siauw bin kwi dan teman-temannya.
Sungguh pembicaraan di dalam terasa penting. Mendiang Seng-piauw pangcu pun juga berbicara tentang rencana pemberontakan itu. Dan ketika pembicaraan menyebut-nyebut nama Mao-taijin dan beberapa nama lain yang dikenal Kim-mou-eng sebagai menteri menteri istana maka Liang-taijin mengakhiri ceritanya begini:
"Kita harus memberi tahu pangeran mahkota, Pat-busu. Setelah itu kita melapor pada kaisar dan pulang kembali!"
"Baik!" dan delapan laki-laki di dalam kéreta yang tidak berbicara lagi akhirnya diam sampai di telaga Po-yang. Perjalanan kiranya berakhir, dua kereta itu berhenti dan Kim-mou-eng melesat mendahului menghilangkan jejaknya. Tentu saja tak boleh diketahui orang-orang di dalam. Telaga Po-yang membentang luas di depan dan Liang-taijin turun dari keretanya, seseorang menyambut.
Nama pangeran mahkota kembali disebut-sebut dan Kim-mou-eng mengira penyambut itu adalah utusan pangeran mahkota. Untuk sementara menganggap Liang taijin adalah orang jujur, setia pada kaisar. Dan ketika Liang taijin dibawa ke sebuah rumah di ujung telaga dan delapan pengikutnya mengiring di belakang pembesar ini maka Kim-mou-eng melihat rombongan itu keluar lagi menghampiri sebuah perahu.
"Pangeran mahkota menantimu di tengah telaga, taijin. Harap naik dan ikuti kami!"
Gubernur itu mengangguk, delapan pengiringnya melompat dan naik juga ke atas perahu. Sebelas orang sekarang ada di situ. Kim-mou-eng bingung, penguntitan tak dapat diteruskan lagi karena Liang-taijin dan rombongannya berada di telaga terbuka. Tentu saja dia tak dapat meneruskan pengawasannya dan tertegun di pinggiran. Tapi ketika dia celingukan dan bingung mencari sana-sini mendadak dia teringat sumoinya, juga dua kereta Lui Tai dan temannya itu.
Sekarang mereka sama-sama ada di Po-yang dan dia harus bertemu dengan sumoinya, di mana mereka itu. Kim-mou-eng sudah memuteri telaga sementara perahu yang ditumpangi Liang taijin dan rombongannya kian jauh ke tengah, mereka itu menuju sebuah pulau di tengah telaga. Samar-samar sebuah rumah bagus berdiri di sana, dikelilingi pohon pohon cemara, ujungnya menjulang cukup tinggi. Dan ketika Kim-mou-eng berputaran mencari sumoinya tapi tak didapat juga mendadak sebuah perahu menghampirinya tenang.
"Mau berpelesir, kongcu? Mari, kau dapat menyewa perahuku dengan sepuluh tail sekali putar. Atau dua puluh tail berikut sebotol arak wangi!“
Kim-mou-eng tak tertarik. Dia menggeleng. kembali menyusuri pinggiran telaga sambil mencari sana-sini, tukang perahu itu rupanya tahu, mengikuti dan tertawa. Dan ketika Kim-mou-eng jengkel dan gemas pada si tukang perahu maka tukang perahu itu, seorang laki-laki tegap berkulit hitam berseru padanya,
"Seorang diri berkeliaran memang tak enak, kongcu. Kalau kongcu inginkan seorang wanita akupun sanggup menyediakannya. Beberapa jam yang lalu seorang gadis cantik pun ditemani seorang pemuda. Rupanya gadis itu gadis Tar-tar!"
Kim-mou-eng berjengit. Disebutnya nama gadis Tar tar ini membuat dia terbelalak, melayang dan tiba-tiba sudah berkelebat memasuki perahu. Gerak kakinya ringan tak mengguncangkan tubuh perahu. Si tukang perahu kaget, rupanya baru sekarang sadar bahwa Kim-mou-eng bukan seorang kongcu (tuan muda) melainkan seorang kang-ouw, seorang ahli silat. Dan ketika ia tertegun dan menjublak ditangkap lehernya tahu-tahu Kim-mou-eng bertanya, "Kapan kau melihatnya? Dia memakai apa?"
"Uh," tukang perahu ini coba melepaskan lehernya. "Aku... aku melihatnya dua jam yang lalu, siauwhiap (pendekar muda). Ampukan aku kalau salah bicara...!"
"Dia memakai apa? Bersama siapa?"
"Seorang temannya, siauwhiap. Dia memakai topi bulu burung dan tampak gagah sekali...!"
“Ia ke mana?"
Tukang perahu itu ketakutan. "Ampun, lepaskan aku dulu, siauhiap. Aku tercekik...!"
Kim-mou-eng mengendurkan cengkeramannya. "Ke mana dia? Cepat, aku buru-buru!" Kim-mou-eng tak sabar, membentak dan sudah berdebar karena tukang perahu itu memberi tahu sumoinya bersama seorang pemuda, mungkin teman atau mungkin juga musuh. Dia harus bertindak. Dan ketika tukang perahu malah ah uh ah uh, Kim-mou-eng gemes tiba-tiba tukang perahu itu sudah berkata, suaranya gemetar.
"kesana, ketengah telaga, siauwhiap. Ke pulau di tengah-tengah itu..!"
"Baik, kalau begitu kusewa perahumu. Ayo jalan, cepat!" dan Kim-mou-eng yang mendorong melepaskan tukang perahu ini akhirnya menyambar dayung menyuruh tukang perahu itu mengayuh.
Si tukang perahu ketakutan, bingung tapi matanya berkilat-kilat. Menerima dayung dan mengayuh perahunya, ada kesan lamban dan Kim-mou-eng tentu saja tak sabar. Dan ketika orang disuruh cepat tapi terasa lambat juga akhirnya pendekar ini membentak,
"Dorong sekuat tenaga, cepat! Aku buru-buru!"
Si tukang perahu menyatakan baik. Dia mengayuh sekuat tenaga, melirik sana sini dan Kim-mou-eng menjadi tak puas, tiba-tiba melemparkan sekeping uang emas dan menyambar dayung, tak ada dayung lain di situ kecuali yang dipegang si tukang perahu itu. Dan ketika orang terbelalak dan kepingan uang emas itu telah diterima mendadak pendekar ini berseru perlahan,
"Kau pegang erat-erat pinggiran perahu, awas, aku melaju...!" dan begitu dayung diputar mengayuh kendaraan air ini tiba-tiba si tukang perabu terkejut dan berteriak tertahan. Perahu meluncur seperti motor boat, mencelat dan terbang seperti perahu bersayap. Ombak terbelah menyibak di kiri kanan.
Tukang perahu itu memekik mekik, Kim mou-eng tak menghiraukan karena dia telah mengerahkan tenaganya, sinkangnya membuat perahu seakan didorong tangan raksasa. Melesat dan terbang ke depan. Perahu miring kiri kanan tapi tetap meluncur dengan deras. Dan ketika si tukang perahu berteriak teriak dan tak tahan berpegangan di pinggiran perahu tiba-tiba tubuhnya terlempar dan keluar dari perahu, tercebur ke telaga.
"Hei... byur!"
Kim-mou-eng tak menghiraukan. Dia melihat tukang perahu itu pandai berenang, juga dua perahu lain tiba-tiba muncul. Tapi ketika dia meneruskan gerakannya dan perahu mendekati téngah pulau mendadak perahunya bocor!
"Keparat, apa ini?" Kim-mou-eng terkejut, terbelalak dan kaget karena jarak masih cukup jauh. Air seakan mengebor dari bawah, tiba-tiba saja kakinya terendam dan perahu bolong. Begitu cepat kejadiannya. Dan ketika dia meneruskan dayung tapi perahu terasa berat kemasukan air mendadak perahu terguling dan tenggelam! Dan saat itu sepasang tangan meraih kakinya, sebuah kepala muncul, Kim-mou-eng ditarik dan diseret ke dalam, terpelanting dan jatuh ke air.
Pendekar itu tak menyangka kejadian ini, bahwa ada seseorang di bawah sana. Rupanya dialah yang membocorkan perahu itu. Dan ketika perahu tenggelam dan orang yang menarik kakinya ini terbahak menyeramkan tahu-tahu Kim-mou-eng terbetot dan masuk ke dalam telaga.
"Byur!" Kim-mou-eng gelagapan. Dia tak mahir di dalam air, orang itu terus menariknya dan menyelam ke dalam telaga. Kim-mou-eng terkejut, kaki dan tangannya tiba-tiba ditangkap orang lain pula, ada empat orang jumlahnya. Satu di antaranya adalah si tukang perahu tadi. Mereka adalah orang-orang yang pandai berenang dan kini hendak membunuhnya di dalam air. Dan ketika Kim-mou-eng terkesikap dan empat orang di dalam air itu menyeretnya semakin ke dalam tiba-tiba lehernya dipiting pula hingga dia tak dapat bernapas, tercekik!
"Keparat!" Kim-mou-eng marah. Dia memberontak, permainan di dalam air memang dia tak bisa tapi kekuatannya menahan napas cukup dijadikan andalan. Orang yang menangkap tangannya tiba-tiba dicengkeram, tenaga dikerahkan dan menarik orang ini, yang menarik kaki otomatis tertahan. Gerakan mereka terhenti di tengah jalan dan Kim-mou-eng menendang, tepat mengenai dagu orang yang mencengkeram kakinya. Air menggelembung dari orang itu rupanya terkejut. Kesakitan. Dagu serasa pecah karena Kim-mou-eng mengerahkan sinkangnya dalam perlawanan ini. Yang dicengkeram tangannyapun kaget, tulang serasa hancur dan dua orang itu melepaskan Kim-mou-eng.
Dan ketika dua yang lainnya terbelalak dan melihat teman mereka terdorong menjauh tahu-tahu Kim-mou eng menusukkan dua jarinya ke kepala lawan yang mencekik leher, tepat menancap sementara orang yang satunya lagi disodok siku, mengenai perut dan orang itupun terkejut. Kim-mou-eng terlepas dan empat lawan terdorong minggat yang matanya pecah seketika menjerit jerit, air menggelembung dan seketika memerah. Darah mulai bercampur mengotori telaga itu. Dan ketika empat lawan melepaskan dirinya dan Kim mou eng menjejakan kaki kuat kuat tiba-tiba pendekar ini muncul dan keluar lagi di atas permukaan air. Selamatlah Kim-mou-eng.
Perdekar ini melihat empat lawannya itu pun muncul, yang tiga terbelalak memandangnya sementara orang ke empat meraung tak keruan. Dia buta di tengah telaga itu, tiga temannya ngeri. Tapi ketika Kim-mou-eng gusar dan marah memandang tiga lawannya mendadak dua perahu baru muncul di tempat itu dan tiga orang ini mencabut belati menyerang Kim-mou-eng.
"Pendekar Rambut Emas, kami akan membunuhmu....!"
Kim-mou-eng naik darah. Dia diserang di dalam air, tentu saja tak takut kecuali harus menjaga diri agar dia tidak tenggelam, hidung tidak kemasukan air. Dan ketika tiga pisau itu menyerang tubuhnya dan dia mengerahkan sinkang tiba-tiba, tiga orang lawan berseru kaget karena pisau mereka patah bertemu kekebalan pendekar ini. Kim-mou-eng menampar dan merekapun mencelat, dua di antaranya patah tulangnya, tak dapat menyerang lagi. Dan ketika lawan yang seorang gentar memandang pendekar ini dan Kim-mou-eng meremas sesuatu di dalam air mendadak sebongkah es yang telah diubah pendekar ini menyambar dahi orang itu.
"Trak!" orang ini terguling. Empat lawan seketika gelagapan di air telaga, masing'masing berteriak dan jerih menghadapi Kim-mou-eng, yang meskipun di dalam air tapi kehebatannya masih menggiriskan. Tapi ketika Kim-mou-eng menghadapi empat lawannya ini dan dua perahu baru itu telah datang mendekat tiba-tiba sebatang dayung menghantam kepalanya, membuat Kim-mou-eng terkejut tapi sadar bahwa lawan-lawan lain masih ada di situ, dayung langsung pecah sementara kepalanya sendiri tak apa-apa. Kim-mou-eng telah melindungi diri.
Dan ketika yang lain lain juga menyerang dan kembali sebatang dayung menyambar kepalanya tiba-tiba Kim-mou-eng diserang tujuh laki-laki berpakaian hitam yang di dadanya tergambar sebuah lukisan tengkorak. Kim-mou-eng terkejut karena dia mengenal itulah rombongan bajak Tengkorak Hitam, seorang pemimpinnya yang bertubuh gempal memberi aba-aba di ujung perahu. Rupanya dialah si Tengkorak Hitam sendiri, berteriak teriak dan menyuruh anak buahnya menyerang.
Tapi ketika sebatang dayung kembali pecah menghantam kepala pendekar ini dan enam yang lain menyambar tiba mendadak Kim-mou-eng membentak dan menangkap salah satu di antaranya, membiarkan yang lain menggebuki tubuhnya tapi dayung yang ditangkap ini ditarik. Pemiliknya terkejut dan tiba-tiba terbetot, betapa pun tenaga Kim-mou-eng tak dapat ditandingi dengan tenaganya sendiri. Dan ketika dia tertarik dan akhirnya terjatuh ke air maka Kim-mou-eng tiba-tiba meloncat dan telah "terbang" di atas perahu lawan.
"Hei, tahan dia..."
"Awas..."
Tujuh orang di dalam perahu tak dapat mencegah datangnya pendekar ini. Kim-mou-eng telah hinggap di situ, tangannya bergerak mengibas ke kiri kanan. Dayung yang menyambar semua tertolak dan hancur berkeping-keping, lawan terkejut dan terbelalak pucat. Dan ketika Kim-mou-eng berkelebat dan menghadiahi mereka dengan tendangan dan dorongan tahu-tahu semua yang ada di situ kecuali si Tengkorak Hitam sendiri mencelat ke air telaga dan mencebur satu persatu.
"Byur-byur byurr!"
Si Tengkorak Hitam terkejut. Tujuh anak buahnya tak berani mendekati perahu lagi, mereka gentar. Tapi si bajak yang marah dan sudah menyambar dayungnya ini tiba-tiba menerjang dan mengemplang kepala lawan dari belakang. Kim mou eng mendengus dan tidak mengelak, miringkan sedikit kepala menerima hantaman itu dengan bahu kirinya. Dayung mental dan si Tengkorak hitam terpekik, telapak yang memegang seketika pecah dan berdarah. Demikian kuat tolakan tenaga itu. Dan ketika Kim-mou eng bergerak dan menampar pelipisnya tiba-tiba si kepala bajak ini berteriak dan mendahului melempar tubuh ke air telaga, takut menerima serangan!
"Byur...!" Kim-mou-eng sekarang tinggal sendirian. Dia melihat kepala bajak itu berenang ke tengah. Tujuh anak buahnya juga masih menjauhi perahu tapi tetap mengepung. Dan ketika si Tengkorak Hitam memberi aba aba dan isyarat tangan tiba tiba delapan orang di dalam air itu menyelam dan lenyap tak nampak batang hidungnya lagi.
Kim-mou-eng sadar akan bahaya. Dia tahu bahwa orang-orang itu pasti akan mengganggunya dari bawah. Mereka rupanya penyelam penyelam Hebat yang tahan lama di dalam air. Benar saja, perahunya terguncang dan tiba-tiba bocor. Suara duk-duk di bawah sana rupanya menunjukkan orang-orang itu hendak menenggelamkannya bersama perahu. Kim-mou-eng membentak dan mengayuh cepat. Betapapun pulau di tengah telaga itu tak jauh lagi dan dia harus ke sana, secepat mungkin. Dan ketika dayung digerakkan dan perahu meluncur sepesat anak panah tiba-tiba pendekar ini telah menjauhkan diri dari penyerang di dalam air.
Tapi celaka. Seseorang rupanya melekat di bawah sana, perahu mengalami kebocoran besar dan lawan di bawah perahu seperti lintah. Kim mou-eng terkejut karena tiba tiba perahu terbelah, orang itu nampak tàpi menyelam lagi. Kim-mou éng marah. Dan ketika jarak tinggal seratus tombak lagi dan perahu karam akhirnya Kim-mou-eng memecahkan sekeping papan dan berjungkir balik melekat di situ, hinggap seperti capung. Dan ketika Tengkorak Hitam dan teman-temannya muncul di permukaan air untuk menyerang pendekar ini tahu tahu Kim-mou eng telah menggerakkan kakinya dan.... mêlaju seperti orang main ski!
Terbelalaklah semua lawan. Mereka kecele, melihat pendekar itu berjalan dengan sekeping papan di bawah kakinya. Demikian ringan dan luar biasa. Dan ketika mereka berseru kagum dan Kim-meu-eng terus meluncur dengan cepat akhirnya pendekar ini tiba di tepi pulau dan menginjakkan kakinya di situ membuang kepingan papan yang telah mengantar dirinya itu. Selamat dan menghapus peluh memandang marah si Tengkorak Hitam dan kawan kawannya. Tapi begitu angin terdesir dan berkesiur halus tahu-tahu musuh yang lain datang menyambut pendekar ini.
"Ha-ha, hebat, Kim-mou-eng, Kau memang hebat dan mengagumkan kami!"
Kim-mou-eng memutar tubuh. Empat bayangan telah mengepungnya di muka belakang, Kim-mou-eng terkejut karena itulah Sai-mo-ong dan teman-temannya, Tok-gan-Sin-ni dan Siauw bin-kwi serta Coa ong Tok kwi si kakek ular bercawat yang membawa süling. Terkekeh dan tertawa menyeramkan menyambut kedatangannya. Dan Ketika dia terbelalak dan terkejut karena tak menyangka empat iblis ini ada di pulau tengah telaga tiba-tiba Liang-taijin muncul bersama Siauw-ongya, menangkap sumoinya, Salima!
"Suheng...!"
Sumoi ...!"
Kim-mou-eng mendelong. Dia sangguh tak menyangka semuanya itu, Bu-kongcu tiba-tiba muncul dan menyambar lengan Salima. Pemuda muka putih yang pucat itu tertawa-tawa, mencium pipi Salima tapi Salima mengelak, mendelik dan meludahi pemuda itu hingga Bu-kongcu mundur kembali. Kim mou eng terhenyak karena mereka terkepung. Sumoinya tertangkap! Dan ketika dia menjablak dan bengong seakan tak percaya maka sumoinya yang marah dan memaki-maki itu sudah berteriak padanya,
"Suheng, bunuh iblis iblis ini. Mereka menangkapku di dalam air. Curang. Sikat dan basmi manusia-manusia tak taha malu ini!"
"Ha-ha!" Sai-mo ong tertawa bergelak. Apa yang kau katakan tak mudah dilakukan, Tiat-ciang Sian-li. Sebaiknya kau diam dan biarkan kami bicara dengan suhengmu ini!" dan menghadapi Siauw-ongya iblis muka singa itu bertanya, Pangeran, apa yang harus kami lakukan? Membekuk dan menangkap Pendekar Rambut Emas ini?"
"Tidak," Pangeran Muda tertawa manis, senyumnya mengejek. "Kim-mou-eng bukan musuh kalau dia mau membantuku, Mo-ong. Tapi kalau dia menolak tentu saja sikap kita akan lain!" pangeran itu menghadapi Kim-mou-eng. "Bagaimana kalau kita tukar menukar, Kim taihiap? Aku ingin bantuanmu, sumoimu kuserahkan kembali kalau kau mau bekerja sama denganku. Kita sebaiknya tak usah bermusuhan. Bagaimana?"
"Tidak!" Salima lagi-lagi berteriak. "Mereka ini iblis, suheng. Tak usah menerima dan serang saja mereka itu!"
"Hm!" Tok-gan Sin-ni tiba-tiba tertawa, berkelebat di belakang gadis ini, jarinya menyentuh ubun-ubun. "Kalau begitu kau akan mampus, Sian-li. Suhengmu tak dapat menolongmu kalau dia bergerak maju!"
"Aku tak takut, mati bagiku bukan apa-apa Ayo, Serang, suheng. Basmi dan bunuh mereka itu, jangan hiraukan aku.“
Salima berteriak-teriak, gagah dan tak kenal takut sesuai omongannya. Kim-mou-eng tertegun karena Sai-mo-ong dan teman-temannya tersenyum mengejek, Tok-gan Sin-ni sendiri siap menotok jalan darah kematian di kepala sumoinya itu. Jarak têrlalu jauh, tak mungkin baginya menolong. Dan ketika sumoinya masih juga berteriak teriak dan Tok gan sin ni marah tiba tiba nenek iblis ini menotok urat gagu sumoinya.
"Diam, jangan cerewet kau... plak!" dan salima yang tak dapat berkata-kata lagi mendelik pada nenek itu akhirnya roboh diterima Pangeran Muda yang tertawa memandang Kim-moi-eng.
"Bagaimana, kau dapat bersikap bijaksana, Kim-taihiap?"
Kim-mou-eng bingung. Sebenarnya, kalau saja sümoinya tak ada di tangan lawan tentu dia sudah menerjang dan menyerang lawan lawannya itu. Tak takut dia akan keroyokan lawan, meski dua kali ini Sai mo-ong akan mengeroyoknya berempat, tambah dengan kehadiran si Raja Ular itu. Tapi karena sumoinya ada di sana dan kini lawan siap membunuh sumoinya sewaktu-waktu terpaksa pendekar ini menahan diri dengan pikiran kacaü.
"Bagaimana kau menerima tawaranku, Kim taihiap?' Pangeran Muda kembali bertanya.
"Apa yang harus kulakukan?" Pendekar Rambut Emas akhirnya balik bertanyà, "Bantuan apa yang kalian minta?"
"Aku meaghendaki kau bergabung dengan pembantu-pembantuku, Kim-mou-eng. Kalau sumoimu mau membantu sekalian tentu aku lebih gembira."
"Bergaul dengan setan-setan macam Sai-mo-eng ini?"
"Ha ha, mereka setan kalau diajak bermusuhan, Kim-taihiap. Tapi sahabat yang baik kalau diajak berdamai. Tak perlu khawatir, suhengmupun, Gurba, telah membantuku dan kini telah bekerja sama dengan baik dengan para pembantuku!"
Kim-mou-eng mengerutkan kening. "Gurba suheng membantumu?"
"Ya, dan dia jinak sekali, Kim-taihiap. Kau boleh selidiki kalau tidak percaya!"
Kim-mou-eng tertegun. Untuk kedua kali dla merasa terkesiap, bahaya benar-benar datang mengancam kalau suhengnya berbalik haluan. Pangeran ini merencanakan pemberontakan dan suhengnya bisa terlibat, padahal bangsa Tar-tar dengan kaisar sebenarnya tak bermusuhan lagi. Pangeran ini terlalu ambisius, terang ingin menariknya karena dialah yang tahu rencana pemberontakan itu. Tentu tak mau melepasnya pergi kerena takut dia berbuat macam-macam, meskipun pangeran itu juga cerdik mencari bukti ini itu. Dan ketika dia bingung dan sang pangeran bertanya kembali tiba-tiba Tok-gan Sin-ni terkekeh mencabut jarumnya, siap menusuk sumoinya, kematian yang lebih mengerikan lagi.
"Pangeran, sebaiknya paduka tak perlu banyak bertanya lagi pada si sombong ini. Kim-mou-eng merasa dirinya bersih, kaum pendekar. Barangkali jijik bergaul dengan kami orang-orang yang dianggap kaum sesat. Bagaimana kalau kita bunuh sumoinya ini dan tangkap saja dia itu? Aku tak sabar, pangeran. Sebaiknya dia ditangkap dan sumoinya ini dibunuh!"
"Ha ha, betul!" Siauw-bin-kwi berceloteh. Aku juga tak sabar berlama-lama, pangeran. Sebaiknya Kim-mou-eng ini dibunuh dan sumoinya itu kita permainkan, atau sumoinya kita bunuh dan Kim-mou-eng kita permainkan. Bagaimana, pangeran?"
Pangeran Muda tersenyum. Tapi belum dia menjawab, Sai-mo-ong sudah mendahului, mendamprat temannya, "Bin-kwi, sebaiknya dua-duanya dibunuh. Kau manusia homo yang selalu mengilar melihat pemuda tampan. Siapa tidak tahu maksudmu dengan menyuruh tangkap Kim-mou-eng ini? Huh, sebaiknya mereka dibasmi saja, pangeran. Kim-mou-eng dan sumoinya ini berbahaya!"
"Terserah yang bersangkutan," Pangeran Muda akhirnya tertawa mengejek. "Itu tergantung Kim-mou-eng, Mo-ong. Kalau dia tak sayang sumoinya dan ingin begitu tentu saja aku mengijinkan kalian membunuh. Tapi tunggu dulu jawabannya. Bagaimana, Kim-mou-eng?"
Kim-mou-eng melihat bahaya. Dia melihat jarum di tangan Tok-gan Sin-ni sudah bergetar menempel di kepala sumoinya. Keadaan benar gawat. Dan menyadari di saat kritis begitu sumoinya terancam dan iblis-iblis macam Tok-gan Sin-ni itu bisa saja membunuh lawan tanpa berkedip akhirnya dengan muka gelap dan kening dikerutkan pendekar ini berkata, "Baik, aku menyerah, pangeran. Tapi biarkan dulu aku berpikir sehari. Bebaskan sumoiku!"
"Kau menerima tawaranku?"
"Kalau kau membebaskan sumoiku pangeran. Tapi biarkan dulu aku berpikir sehari!"
"Ha ha, bagus. Kalau begitu silahkan masuk, Kim-taihiap. Sumoimu tentu kami bebaskan setelah sehari juga. Kini kau menjadi tamuku istimewa, mari masuk. Kita rayakan bakal kerja sama ini dengan arak dan minuman!"
Dan sang pangeran yang cerdik memberi isyarat Tok-gan Sin-ni tiba-tiba membuat Kim-mou-eng tertegun dia kecewa karena janjinya itu masih juga tak dipercaya. Pangeran ini benar-benar siluman dan akan membebaskan sucinya setelah sehari juga, setelah dia memberi keputusan yang positip. Memang diam-diam dia merencanakan untuk mengulur waktu, pangeran itu dapat menangkap tapi yang lain-lain tidak.
Tok-gan Sin-ni terkekeh dan menarik jarumnya. Sai-mo-ong dan teman-temannya juga mundur menjauh karena Kim-mou-eng dianggap menyerah, tak tahu diam-diam Kim-mou-eng melepas kancing bajunya dan siap menyerang, begitu jarum Tok-gan Sin-ni menjauh!
Dan begitu semua orang mundur dan Kim-mou-eng menjentik sekonyong-konyong tiga sinar putih berkelebat menyambar Tok-gan Sin-ni ke arah mata dan jarum sinar ke tiga menyambar pundak Salima membebaskan totakan. Gerakan begitu cepat dan Tok-gan Sin-ni terkejut, berteriak karena mata tunggalnya sudah diserang dan jarum di tanganpun berdenting, jatuh di tanah. Dan ketika dia harus berkelit dan Kim-mou-eng membentak tahu-tahu pendekar itu telah menampar wanita ini dengan pukulan Tiat-lui-kangnya, Salima seketika bebas!
"Hei...!"
"Keparat..."
Teriakan ramai dan caci-maki terdengar di situ. Sai-mo-ong dan teman-temannya terkejut, mereka terkecoh dan lengah oleh kata-kata Kim-mou-eng. Tok-gan Sin-ni sendiri sudah menangkis tapi roboh terpelanting, tentu saja marah bukan main dan menggulingkan tubuh menjauh karena pukulan Tiat-lui-kang, meledak di sisi kepalanya. Debu mengepul dan nenek itupun terguling-guling. Dan ketika. Tok-gan Sin-ni melompat bangun dan Salima yang bebas melengking tinggi mendadak gadis itu menghantam Pangeran Muda yang menjadi gara-gara.
"Pangeran, awas!" Sai-mo-ong mencelat, Bu-kongcu sudah melindungi tapi terlempar oleh angin pukulan Salima, terbanting dan roboh menjerit. Pukulan terus meluncur tapi Sai mo ong ke buru tiba, mencabut kipas hitamnya itu dan langsung menangkis Tiat-lui-kang. Dan ketika pukulan bertemu kipas dan ledakan keras mengguncang tempat itu maka Salima yang terpental sudah berjungkir balik dan menyerang lagi, melengking penuh kemarahan dan tetap mengincar Pangeran Muda.
Sai-mo-ong tentu saja marah dan menangkis, menendang pangeran itu menyuruh sang pangeran menjauhkan diri, Pangeran Mudà pucat dan gemetar mengusap keringatnya, nyaris dia binasa. Sepak terjang Salima benar-benar ganas! Dan ketika Salima melengking lengking dia kini mau tak mau harus berhadapan dengan kakek iblis itu maka Tok-gan Sin-ni dan yang lain lain sadar menerjang maju.
"Mo-ong, bunuh siluman betina itu. Hancurkan kepalanya!"
Namun Kim-mou-eng tentu saja tak tinggal diam. Dia melihat sumoinya bertempur seru dengan Sai-mo-ong, pertandingan kembali berulang seperti dulu. Dan ketika Siauw-bin-kwi dan lain lain hendak mengeroyok sumoinya dan Tok-gan Sio-ni menjèletarkan rambut maka pendekar ini membentak menangkis serangan.
"Sin-ni, jangan mengeroyok. Hadapi aku... plak!" dan rambut yang terpental serta membalik melecut Tok-gan Sin-ni tiba-tiba membuat nenek itu marah dan berseru keras, minta agar Siauw bin-kwi dan Coa-ong Tok-kwi maju menyerang pendekar ini. Coa-ong sudah terkekeh dan maju mengeroyok, Siauw bin-kwi rupanya lebih senang mengeroyok Salima dan membuat pertempuran pecah menjadi dua.
Kim-mou-eng dikeroyok Sin-ni dan Coa-ong sedang Salima dikerubut Mo ong dan Bin-kwi. Pertandingan berjalan seru dan ramai. Salima masih melengking lengking dan berkelêbatan menamparkan Tiat-lui kangnya itu, sang suheng melayani Sin-ni dan Coa-ong dengan kening dikernyitkan, tenang tapi dapat menghalau serangan dua lawannya. Dan ketika pertandingan berjalan meningkat dan Coa-ong serta Sin-ni berteriak-teriak karena selalu terpental oleh tolakan lawan maka di lain pihak Mo-ong dan Bin-kwi terkekeh kekeh mendesak Salima.
Memang benar. Di pihak Salima pertandingan berjalan timpang. Kim-mou-eng khawatir melihat keadaan sumöloinya itu. Betapapun tahu bahwa dikeroyok dua oleh lawan yang setingkat memang sumoinya tak mungkin menang. Mo-ong dan sumoinya berimbang, kalau ditambah Bin-kwi tentu sumoinya terdesak. Maka ketika sumoinya mulai mengeluh dan dua kakek iblis itu tertawa-tawa mempermainkan Salima tiba-tiba Kim-mou-eng membentak mendesak lawan.
Dia harus cepat merobohkan Coa-ong ataupun Sin-ni, tak dapat membiarkan lawan menekan sumoinya. Dua kali sumoinya menerima pukulan dan terhuyung. Beberapa jurus lagi mungkin celaka dan roboh. Maka ketika Tok-gan Sin-ni kembali melecutkan rambut dan Coa-ong memasukkan sulingaya tiba-tiba Pendekar Rambut Emas membentak menerima dua serangan itu. Rambut ditangkap dan dibetot, Tok-gan Sin-ni menjerit karena kesakitan, tertarik maju. Dan ketika suling menyambar dan Coa-ong terkekeh maka Tok-gan Sin-ni ditendang menerima serangan suling,
"Hei....!"
Gebrakan berlalu cepat. Coa-ong terkejut karena kawan sendiri menerima tusukan sulingnya. Tok-gan Sin-ni memaki dan menjerit. Tapi karena semuanya berlangsung cepat dan Coa-ong maupun Sin ni tak dapat berbuat banyak maka ujung suling sudah menotok dada Sin-ni, satu serangan maut yang dapat membuat nenek itu binasa. Coa-ong melencengkannya sedikit dan Tok-gan Sin-ni mengeluh mengerahkan sinkang, menahan totokan maut yang nyaris mengenai jalan darah kematian itu. Dan ketika Coa-ong berseru tertahan dan Sin-ni terlempar roboh maka Kim-mou-eng berkelebat menendang dagu si raja ular itu.
"Dess!" Coa-ong menjerit terputar roboh. Kakek ini terlempar bergulingan mendekati temannya, rahang serasa retak dan mulut terkatup sakit bukan kepalang nyerinya. Dan ketika dia melompat bangun dan menggigil memandang Kim-mou-eng, yang telah berkelebat menolong Salima tiba-tiba Tok-gan Sin-ni yang marah karena tertotok sulingnya tadi menggaploknya pulang balik sambil memaki,
"Setan ular, lain kali hati-hati menyerang kawan... plak-plak!" dan Coa-ong yang terpelanting dan roboh oleh tamparan temannya tiba-tiba bangun dan marah memaki Sin-ni, menerjang dan tiba-tiba membalas, tentu saja sakit hati dan tak mau digaplok. Dan ketika Sin-ni tertekan dan menghindar mengelak sana sini maka Coa-ong sudah menyerangnya membabi buta. Dan sewot!
"Hei, jangan gila. Kalian jangan bertempur...!"
Sai-mo-ong berteriak, tentu saja kaget melihat dua temannya saling baku hantam. Sin-ni juga marah karena Coa-ong menyerangnya tak mau sudah, membalas dan dua orang itu segera terlibat dalam satu pertarungan sengit. Sai-mo-ong mencak mencak dan Pangeran Muda muncul, membentak dua orang itu agar menghentikan perkelahian. Coa-ong tetap menyerang dan Tok-gan Sin-ni juga menangkis, balas pula menyerang. Dan ketika dua orang itu sibuk sendiri menyerang dan menangkis maka di pihak lain Sai-mo-ong dan Siauw-bin-kwi berkaok kaok ketika Kim-mou-eng mendesak mereka, berhasil menolong sumoinya.
Inilah kaum sesat. Watak mereka memang aneh. Coa-ong tak mau mendengar seruan pangeran maupun temannya. Tok-gan Sin-ni juga marah dan membalas pukulan pukulan lawan. Dan ketika Siauw-bin-kwi dan Mo-ong terus terdesak dan mundur mundur maka Salima mendaratkan satu tamparan keras yang mengenai leher Mo-ong. Kakek iblis itu terpelanting dan roboh memaki, Siauw bin-kwi juga mendapat ganjaran yang sama karena Kim-mou-eng menekan mereka hingga sumoinya dapat membalas. Tentu saja dua kakek iblis itu marah marah dan gentar. Tapi karena Kim-mao-eng tak bermaksud membunuh selain ingin menyelamatkan sumoinya saja maka Pendekar Rambut Emas yang berwatak halus ini mengajak sumoinya pergi.
"Sumoi, tak perlu membunuh. Desak saja mereka dan kita pergi!"
"Untuk apa?" Salima menolak. "Aku hendak membalas sakit hatiku, suheng. Sebaiknya kubasmi dan kubunuh dua tua bangka ini!"
"Tapi kita terkurung telaga. Kita masih harus mencari perahu dan keluar melalui jalan air. Sebaiknya cepat pergi mumpung Coa-ong dan Sin-ni masih bertempur sendiri!"
"Tidak," Salima menggeleng. "Aku penasaran, suheng. Aku hendak membunuh dulu mereka ini. Aku tak takut kalau Tok-gan Sin-ni maupun Coa-ong maju mengeroyok!"
Terpaksa, Kim-mou-eng menarik napas panjang. Dia menyesal sumoinya tak mau diajak pergi, betapapun mengenal kekerasan watak sumoinya itu. Padahal maksudnya adalah mengisi kesempatan mumpung Coa-ong dan Sin-ni berkelahi sendiri. Jadi mereka tak berat menghadapi empat lawan sekaligus, terutama bagi sumoinyà itu. Dan ketika Mo-ong kembali jatuh berteriak mendapat pukulan dan Bin-kwi juga berjengit dihantam Tiat-lui-kang tiba-tiba Bu-kongcu maju dibantu barisan Tengkorak Hitam, yang kini sudah mendarat dan menyerbu atas bentakan Sai-mo-ong.
“Kalian jangan melotot saja, serang dari jauh dengan panah atau apa saja!"
Bu Ham mengangguk. Dia sudah membantu gurunya, seisi pulau tiba tiba dikerahkan dan Kim-mou-eng mengerutkan kening. Memang dia dapat meruntuhkan atau mementalkan semua panah dan tombak, begitu pula sumoinya. Tapi karena gangguan itu dimanfaatkan Mo-ong untuk menarik napas dan iblis ini mengeluarkan pelor pelor rahasianya menyerang dengan curang dan Siauw bin-kwi juga bersiap siap dengan granat tangannya yang berbahaya itu akhirnya Kim-mou-eng menyambar sumoinya diajak lari. Mereka menghantam dan kembali membuat Mo-ong dan Bin-kwi terguling guling, dua iblis itu berteriak. Dada mereka ampeg. Dan ketika panah dan tombak dipukul runtuh dan Kim-mou-eng melihat bahaya bagi mereka maka dengan cemas dia menarik sumoinya meloncat jauh, melihat sebuah perahu tertambat tak jauh dari situ, perahu si Tengkorak Hitam.
"Sumoi, ayo pergi. Tak guna membuang tenaga lagi di sini. Kau harus menurut!"
Salima terkejut. Sebenarnya dia amat marah terhadap musuh musuhnya itu. Sai-mo-ong dan Bin-kwi tentu akan dibunuhnya karena suhengnya membantu. Mereka berdua membuat dua iblis itu jatuh bangun tak keruan. Keadaan menguntungkan bagi mereka. Tapi karena suhengnya membetot dan memperingatkan bahwa keadaan bisa berbalik kalau Coa-ong dan Sin-ni menyerang mereka akhirnya dengan gemas dan marah marah Salima menurut, menangkap sebatang tombak dan melontarkannya kembali ke anak buah bajak, jeritan ngeri terdengar di sana ketika senjata makan tuan.
Salima masih meraup lagi beberapa batang anak panah yang menyambar dirinya, diretour dan kembali jeritan ngeri bergéma di sana. Dan ketika tujuh anak buah bajak roboh tewas dan Salima agak puas maka ajakan suhengnya diikuti dan mereka sudah menghilang dari tempat itu. Mo-ong berteriak teriak dan menyemprot Tok-gan Sin-ni dan Coa-ong habis habisan, sang pangeran juga marah marah. Dan ketika dua iblis itu mendapat dampratan dan sadar bahwa musuh melarikan diri maka mereka mengejar menghentikan pertempuran.
"Bodoh, goblok! Kalian seperti anak anak kecil saja. Ayo kejar dan tangkap Pendekar Rambut Emas itu!"
Tok-gan Sin-ni dan Coa-ong menyesal. Mereka menghentikan pertikaian, betapapun gugup dan merasa bersalah karena Kim-mou-eng melarikan diri. Musuh tak boleh keluar dan harus di tangkap. Pangeran Muda memaki maki dan melototi mereka itu. Tapi karena Kim-mou-eng telah tiba di perahu dan bersama sumoinya mendorong perahu itu maka mereka kehilangan lawan ketika lawan meluncur ke tengah telaga.
"Kejar, tangkap dengan perahu lain. Jangan ndomblong!" Pangeran Muda marah marah.
Sai-mo-ong dan teman temannya mencari perahu lain, Tengkorak Hitam seperti tak diperdulikan saja dan perahu kaum bajak dipakai. Empat perahu mengejar Kim-mou-eng, Sai-mo-ong dan teman temannya masing masing di satu perahu, berusaha menangkap tapi sia sia. Salima dan suhengnya telah tiba di seberang. Dan ketika dua orang itu menghilang di luar telaga akhirnya mereka kembali menerima dampratan Pangeran Muda.
"Kalian terlalu. Ini semua gara gara Coa-ong!”
"Maaf...“ Sai-mo-ong buru buru meredakan suasana. "Coa-ong memang salah, pangeran. Tapi sebaiknya tak perlu memaki maki lagi. Kita akan keluar, kami berempat akan menyusul dan bersatu menangkap Kim-mou-eng."
"Juga sumoinya, gadis liar itu harus dibunuh!"
“Baik." dan Coa-ong yang diberi isyarat agar menurut, akhirnya diajak Mo-ong dan teman-temannya meninggalkan pulau. Mereka meneruskan pengejaran dan mewanti-wanti agar Tok-gan Sin-ni maupun si raja ular jangan bertingkah macam macam. Betapa pun lawan yang mereka hadapi amat lihai. Kim-mou-eng perlu diperhatikan lebih utama. Tapi ketika dua hari mencari dan ubek-ubekan tanpa hasil akhirnya Sai-mo-ong mengajak taman-temannya kembali dan melapor pada junjungannya.
Tapi alangkah kagetnya Sai-mo-ong. Pangeran tampak terikat di tengah ruangan, mukanya matang biru. Mulutnya disumpal. Bu Ham juga sungsang tak keruan di atas belandar, ah-ah ub-uh tak dapat bicara. Tubuhnya babak belur habis dihajar, pemuda itu bengap dengan muka bengkak. Baik pangeran maupun Bu Ham setengah pingsan. Dan ketika mereka menolong dan dua orang itu mengaduh panjang pendek maka pangeran menceritakan bahwa Kim-mou-eng datang mengambil Liang-taijin...!
"Apa? Kim-mou-eng datang kembali?"
"Ya, kalian terkecoh, Mo-ong. Mereka tidak takut dan kembali ke sini, malam itu, ketika kalian pergi. Dan gadis setan itu menggaplokku pulang-balik tak keruan. Keparat, dia harus dibunuh. Liang-taijin harus dicari dan kita harus pergi dari sini..."
Mo-ong tertegun. Apa yang terjadi? Kiranya Pendekar Rambut Emas hanya bersiasat saja. Pendekar itu membawa lari sumoinya, tentu saja bukan karena takut melainkan mencari keselamatan saja demi sumoinya. Salima sepanjang jalan mengomel dan menggerutui suhengnya, disambut senyum suhengnya sampai sumoinya capai sendiri, kesal. Dan ketika mereka tiba di hutan dan berhenti di sini maka Kim-mou-eng bertanya,
"Sudah? Kau puas menggerutu?"
Salima jengkel. "Apa maksudmu, suheng? Bukankah kita dapat melawan mereka berempat itu? Kalau tidak kenal dirimu tentu kuanggap kau penakut, pengecut. Sungguh aku penasaran oleh sikapmu yang tidak kumengerti ini!"
"Baiklah, sekarang dengarkan. Apa anggapan mereka kalau kita melarikan diri begini, sumoi?"
"Tentu takut, apalagi?"
"Dan mereka besar hati, bukan? Mereka akan mengejar, dan itulah kesempatan kita kembali ke sana!"
"Sana mana?"
"Tentu saja ke pulau, mana lagi?"
Salima tertegun. "Kau mau kembali menangkap pangeran itu, suheng?"
"Bukan sang pangeran, sumoi. Tetapi Liang-taijin!"
"Liang-taijin? Untuk apa? Dedengkotnya adalah pangeran itu, bukan Liang taijin!"
"Benar, tapi dari Liang-taijin inilah kita dengar pengakuannya, sumoi. Karena itu gubernur itulah yang harus ditangkap!"
"Aku tak mengerti, caramu membingungkan."
"Kau tak mengerti karena kau kurang mau berpikir, sumoi. Kau masih dilanda emosimu itu. Dengarkan, pangeran tak mungkin kita tangkap karena dia adalah putera dari kaisar sendiri. Dia..!"
"Dia pemberontak, tak perduli putera kaisar harus juga ditangkap!" Salima memotong.
"Ah, nanti dulu. Kalau kita menangkap lalu mana mungkin pangeran itu melanjutkan rencananya, sumoi? Kau jangan memutus dulu, kita harus membiarkan dia agar melaksanakan maksudnya itu. Dan kalau Liang-taijin yang kita tangkap dan sang pangeran tetap melanjutkan rencananya maka terdapatlah bukti bagi kita untuk membuka mata kaisar itu. Kau mengerti?"
Salima tertegun. "Begitukah?"
"Ya, kau jelas? Karena itu Liang-taijin kita culik, sumoi. Dan kita ke kota raja membawa gubernur itu. Kita masuk selagi Mo-ong dan teman-temannya mengejar kita."
Salima terbelalak. Sekarang dia berseri dengan muka begitu gembira, mengerti dan kagum memandang suhengnya ini. Suhengnya memang tidak grusa-grusu (sembrano), semua diperhitungkan dengan cermat dan cerdik. Dan ketika suhengnya tersenyum dan memandangnya kalem tibu-tiba Salima menubruk dan memeluk suhengnya itu "Suheng, kau cerdik. Kau pintar...!"
Kim-mou-eng mengelus rambut sumoinya ini. Kalau sudah begini sumoinya tampak begitu manja, tanpa terasa tiba-tiba mendaratkan ciuman halus di pipi sumoinya itu. Salima tersentak melepaskan diri, pipinya memerah. Tapi tidak marah bahkan girang oleh ciuman itu. Salima berbisik, "Suheng, kau tidak permisi dulu?"
Kim mou-eng sadar. Dia hampir hanyut oleh pelukan sumoinya ini, sedikit tersipu dan meminta maaf. Betapapun pelukan seorang gadis membuat darahnya berdesir. Tubuh sumoinya itu lembut dan hangat, juga harum. Dan ketika dia menarik diri dan sumoinya memandangnya mesra tiba-tiba dia bertanya bagaimana sumoinya itu tertangkap. Dan Salima tiba-tiba berapi.
"Aku diserang anak buah Tengkorak Hitam itu, suheng. Perahuku ditenggelamkan dan aku ditangkap!"
"Bagaimana dengan Lui Tai?“
"Pelukis itu menuju pulau, kuikuti tapi di tengah telaga aku diserang secara curang!"
"Ah, seperti aku juga?"
"Kau juga dicurangi anak buah bajak itu?"
"Ya, di tengah jalan perahuku bocor, oleng dan karam. Tapi katanya kau ke pulau bersama seorang pemuda. Siapa dia?"
"Siapa yang bilang?"
"Seorang anggauta bajak."
"Dia menipu, kau dibohongi! Aku datang seorang diri, suheng. Aku menyewa perahu tapi perahu itupun rupanya milik si anak buah bajak. Perahuku juga bocor dan ketika tenggelam aku di serang tujuh laki-laki di dalam air!"
"Hm, kalau begitu aku dikibuli. Sungguh kurang ajar!" dan Kim-mou-eng yang minta sumoinya bercerita apa yang dihasilkannya dari penguntitan dua hari ini ternyata hampir sama dengan apa yang dia peroleh. Bahwa beberapa pembesar diundang Pangeran Muda untuk membicarakan pemberontakan di telaga Po-yang. Sin-kee Lo-jin mendahului Mao-taijin untuk melihat keadaan, bersama Lui Tai, jadi seolah utusan didepan. Dan ketika Salima bercerita bahwa di pulau itu terdapat beberapa pejabat istana yang datang memenuhi undangan Siauw ongya maka Kim-mou-eng mendesah mengerutkan keningnya.
"Kalau begitu mereka kita tangkap juga jadi saksi yang amat berharga bagi kaisar"
"Dan malam nanti kita menyerbu, suheng?"
"Ya, tapi sebenarnya lebih cepat lebih baik. Tapi kita harus bersabar, kita tunggu dulu Mo-ong keluar dan kita masuk."
Demikianlah, Kim-mou-eng bersama sumoinya bersabar di dalam hutan itu. Mereka menunggu datangnya malam. Dan ketika matahari beringsut ke barat dan saat yang ditunggu tiba segera mereka meluncur ke pulau di tengah telaga, telah melihat bayangan Mo-ong dan teman-temannya mengejar mereka, tiba di sana dengan selamat dan tentu saja mengejutkan Pangeran Muda dan yang lain-lain.
Bu-kongcu ada di situ menemani sang pangeran. Salima mencari Liang-taijin dan menangkap gubernur itu yang lain-lain ternyata telah pergi. Kiranya mereka takut dan menyelamatkan diri setelah Kim-mou-eng dan sumoinya lolos. Satu bahaya bagi mereka! Dan ketika Salima melampiaskan kemarahannya dengan menggaploki pangeran ini pulang balik dan Bu Ham juga mendapatkan ganjarannya maka Kim-mou-eng segera mengajak sumoinya pergi.
Sebenarnya Salima tak puas. Gadis ini ingin membunuh Pangeran Muda, begitu pula Bu kongcu. Tapi suhengnya yang memperingatkan dan mencegah sumoinya melakukan pembunuhan sudah mengajak sumoinya itu pergi. Betapapun Liang-taijin telah berhasil mereka tangkap dan gubernur ini merupakan bukti yang cukup penting, yang lain lain tak tertangkap biarlah merat. Kim-mou-eng cukup puas. Dan ketika malam itu juga mereka terbang ke kota raja maka Liang-taijin yang ada di genggaman Kim-mou-eng menggigil.
"Apa, kanda pangeran mau memborontak? Kau mengada-ada, Kim-mou-eng. Kau mencari keributan dan rupanya tak puas dengan kejadian dulu! Lepaskan gubernur ini, aku mau memeriksa!" begitu Kim-mou-eng mendapat dampratan ketika menemui pangeran mahkota.
Seperti diketahui, pangeran ini tak suka pada Pendekar Rambut Emas sejak peristiwa dulu, ketika Seng-piauw Ang-lojin datang dan terbunuh. Ribut ribut terjadi di situ dan keterangan Seng piauw-pangcu ditolak. Pangeran mahkota menganggap fitnah dan kini untuk kedua kalinya Kim-mou-eng kembali datang, membawa gubernur Liang dan menyatakan bahwa kakaknya, Pangeran Muda benar benar merencanakan pemberontakan dan Liang-taijin inilah saksinya.
"Hei...!"
"Keparat..."
Teriakan ramai dan caci-maki terdengar di situ. Sai-mo-ong dan teman-temannya terkejut, mereka terkecoh dan lengah oleh kata-kata Kim-mou-eng. Tok-gan Sin-ni sendiri sudah menangkis tapi roboh terpelanting, tentu saja marah bukan main dan menggulingkan tubuh menjauh karena pukulan Tiat-lui-kang, meledak di sisi kepalanya. Debu mengepul dan nenek itupun terguling-guling. Dan ketika. Tok-gan Sin-ni melompat bangun dan Salima yang bebas melengking tinggi mendadak gadis itu menghantam Pangeran Muda yang menjadi gara-gara.
"Pangeran, awas!" Sai-mo-ong mencelat, Bu-kongcu sudah melindungi tapi terlempar oleh angin pukulan Salima, terbanting dan roboh menjerit. Pukulan terus meluncur tapi Sai mo ong ke buru tiba, mencabut kipas hitamnya itu dan langsung menangkis Tiat-lui-kang. Dan ketika pukulan bertemu kipas dan ledakan keras mengguncang tempat itu maka Salima yang terpental sudah berjungkir balik dan menyerang lagi, melengking penuh kemarahan dan tetap mengincar Pangeran Muda.
Sai-mo-ong tentu saja marah dan menangkis, menendang pangeran itu menyuruh sang pangeran menjauhkan diri, Pangeran Mudà pucat dan gemetar mengusap keringatnya, nyaris dia binasa. Sepak terjang Salima benar-benar ganas! Dan ketika Salima melengking lengking dia kini mau tak mau harus berhadapan dengan kakek iblis itu maka Tok-gan Sin-ni dan yang lain lain sadar menerjang maju.
"Mo-ong, bunuh siluman betina itu. Hancurkan kepalanya!"
Namun Kim-mou-eng tentu saja tak tinggal diam. Dia melihat sumoinya bertempur seru dengan Sai-mo-ong, pertandingan kembali berulang seperti dulu. Dan ketika Siauw-bin-kwi dan lain lain hendak mengeroyok sumoinya dan Tok-gan Sio-ni menjèletarkan rambut maka pendekar ini membentak menangkis serangan.
"Sin-ni, jangan mengeroyok. Hadapi aku... plak!" dan rambut yang terpental serta membalik melecut Tok-gan Sin-ni tiba-tiba membuat nenek itu marah dan berseru keras, minta agar Siauw bin-kwi dan Coa-ong Tok-kwi maju menyerang pendekar ini. Coa-ong sudah terkekeh dan maju mengeroyok, Siauw bin-kwi rupanya lebih senang mengeroyok Salima dan membuat pertempuran pecah menjadi dua.
Kim-mou-eng dikeroyok Sin-ni dan Coa-ong sedang Salima dikerubut Mo ong dan Bin-kwi. Pertandingan berjalan seru dan ramai. Salima masih melengking lengking dan berkelêbatan menamparkan Tiat-lui kangnya itu, sang suheng melayani Sin-ni dan Coa-ong dengan kening dikernyitkan, tenang tapi dapat menghalau serangan dua lawannya. Dan ketika pertandingan berjalan meningkat dan Coa-ong serta Sin-ni berteriak-teriak karena selalu terpental oleh tolakan lawan maka di lain pihak Mo-ong dan Bin-kwi terkekeh kekeh mendesak Salima.
Memang benar. Di pihak Salima pertandingan berjalan timpang. Kim-mou-eng khawatir melihat keadaan sumöloinya itu. Betapapun tahu bahwa dikeroyok dua oleh lawan yang setingkat memang sumoinya tak mungkin menang. Mo-ong dan sumoinya berimbang, kalau ditambah Bin-kwi tentu sumoinya terdesak. Maka ketika sumoinya mulai mengeluh dan dua kakek iblis itu tertawa-tawa mempermainkan Salima tiba-tiba Kim-mou-eng membentak mendesak lawan.
Dia harus cepat merobohkan Coa-ong ataupun Sin-ni, tak dapat membiarkan lawan menekan sumoinya. Dua kali sumoinya menerima pukulan dan terhuyung. Beberapa jurus lagi mungkin celaka dan roboh. Maka ketika Tok-gan Sin-ni kembali melecutkan rambut dan Coa-ong memasukkan sulingaya tiba-tiba Pendekar Rambut Emas membentak menerima dua serangan itu. Rambut ditangkap dan dibetot, Tok-gan Sin-ni menjerit karena kesakitan, tertarik maju. Dan ketika suling menyambar dan Coa-ong terkekeh maka Tok-gan Sin-ni ditendang menerima serangan suling,
"Hei....!"
Gebrakan berlalu cepat. Coa-ong terkejut karena kawan sendiri menerima tusukan sulingnya. Tok-gan Sin-ni memaki dan menjerit. Tapi karena semuanya berlangsung cepat dan Coa-ong maupun Sin ni tak dapat berbuat banyak maka ujung suling sudah menotok dada Sin-ni, satu serangan maut yang dapat membuat nenek itu binasa. Coa-ong melencengkannya sedikit dan Tok-gan Sin-ni mengeluh mengerahkan sinkang, menahan totokan maut yang nyaris mengenai jalan darah kematian itu. Dan ketika Coa-ong berseru tertahan dan Sin-ni terlempar roboh maka Kim-mou-eng berkelebat menendang dagu si raja ular itu.
"Dess!" Coa-ong menjerit terputar roboh. Kakek ini terlempar bergulingan mendekati temannya, rahang serasa retak dan mulut terkatup sakit bukan kepalang nyerinya. Dan ketika dia melompat bangun dan menggigil memandang Kim-mou-eng, yang telah berkelebat menolong Salima tiba-tiba Tok-gan Sin-ni yang marah karena tertotok sulingnya tadi menggaploknya pulang balik sambil memaki,
"Setan ular, lain kali hati-hati menyerang kawan... plak-plak!" dan Coa-ong yang terpelanting dan roboh oleh tamparan temannya tiba-tiba bangun dan marah memaki Sin-ni, menerjang dan tiba-tiba membalas, tentu saja sakit hati dan tak mau digaplok. Dan ketika Sin-ni tertekan dan menghindar mengelak sana sini maka Coa-ong sudah menyerangnya membabi buta. Dan sewot!
"Hei, jangan gila. Kalian jangan bertempur...!"
Sai-mo-ong berteriak, tentu saja kaget melihat dua temannya saling baku hantam. Sin-ni juga marah karena Coa-ong menyerangnya tak mau sudah, membalas dan dua orang itu segera terlibat dalam satu pertarungan sengit. Sai-mo-ong mencak mencak dan Pangeran Muda muncul, membentak dua orang itu agar menghentikan perkelahian. Coa-ong tetap menyerang dan Tok-gan Sin-ni juga menangkis, balas pula menyerang. Dan ketika dua orang itu sibuk sendiri menyerang dan menangkis maka di pihak lain Sai-mo-ong dan Siauw-bin-kwi berkaok kaok ketika Kim-mou-eng mendesak mereka, berhasil menolong sumoinya.
Inilah kaum sesat. Watak mereka memang aneh. Coa-ong tak mau mendengar seruan pangeran maupun temannya. Tok-gan Sin-ni juga marah dan membalas pukulan pukulan lawan. Dan ketika Siauw-bin-kwi dan Mo-ong terus terdesak dan mundur mundur maka Salima mendaratkan satu tamparan keras yang mengenai leher Mo-ong. Kakek iblis itu terpelanting dan roboh memaki, Siauw bin-kwi juga mendapat ganjaran yang sama karena Kim-mou-eng menekan mereka hingga sumoinya dapat membalas. Tentu saja dua kakek iblis itu marah marah dan gentar. Tapi karena Kim-mao-eng tak bermaksud membunuh selain ingin menyelamatkan sumoinya saja maka Pendekar Rambut Emas yang berwatak halus ini mengajak sumoinya pergi.
"Sumoi, tak perlu membunuh. Desak saja mereka dan kita pergi!"
"Untuk apa?" Salima menolak. "Aku hendak membalas sakit hatiku, suheng. Sebaiknya kubasmi dan kubunuh dua tua bangka ini!"
"Tapi kita terkurung telaga. Kita masih harus mencari perahu dan keluar melalui jalan air. Sebaiknya cepat pergi mumpung Coa-ong dan Sin-ni masih bertempur sendiri!"
"Tidak," Salima menggeleng. "Aku penasaran, suheng. Aku hendak membunuh dulu mereka ini. Aku tak takut kalau Tok-gan Sin-ni maupun Coa-ong maju mengeroyok!"
Terpaksa, Kim-mou-eng menarik napas panjang. Dia menyesal sumoinya tak mau diajak pergi, betapapun mengenal kekerasan watak sumoinya itu. Padahal maksudnya adalah mengisi kesempatan mumpung Coa-ong dan Sin-ni berkelahi sendiri. Jadi mereka tak berat menghadapi empat lawan sekaligus, terutama bagi sumoinyà itu. Dan ketika Mo-ong kembali jatuh berteriak mendapat pukulan dan Bin-kwi juga berjengit dihantam Tiat-lui-kang tiba-tiba Bu-kongcu maju dibantu barisan Tengkorak Hitam, yang kini sudah mendarat dan menyerbu atas bentakan Sai-mo-ong.
“Kalian jangan melotot saja, serang dari jauh dengan panah atau apa saja!"
Bu Ham mengangguk. Dia sudah membantu gurunya, seisi pulau tiba tiba dikerahkan dan Kim-mou-eng mengerutkan kening. Memang dia dapat meruntuhkan atau mementalkan semua panah dan tombak, begitu pula sumoinya. Tapi karena gangguan itu dimanfaatkan Mo-ong untuk menarik napas dan iblis ini mengeluarkan pelor pelor rahasianya menyerang dengan curang dan Siauw bin-kwi juga bersiap siap dengan granat tangannya yang berbahaya itu akhirnya Kim-mou-eng menyambar sumoinya diajak lari. Mereka menghantam dan kembali membuat Mo-ong dan Bin-kwi terguling guling, dua iblis itu berteriak. Dada mereka ampeg. Dan ketika panah dan tombak dipukul runtuh dan Kim-mou-eng melihat bahaya bagi mereka maka dengan cemas dia menarik sumoinya meloncat jauh, melihat sebuah perahu tertambat tak jauh dari situ, perahu si Tengkorak Hitam.
"Sumoi, ayo pergi. Tak guna membuang tenaga lagi di sini. Kau harus menurut!"
Salima terkejut. Sebenarnya dia amat marah terhadap musuh musuhnya itu. Sai-mo-ong dan Bin-kwi tentu akan dibunuhnya karena suhengnya membantu. Mereka berdua membuat dua iblis itu jatuh bangun tak keruan. Keadaan menguntungkan bagi mereka. Tapi karena suhengnya membetot dan memperingatkan bahwa keadaan bisa berbalik kalau Coa-ong dan Sin-ni menyerang mereka akhirnya dengan gemas dan marah marah Salima menurut, menangkap sebatang tombak dan melontarkannya kembali ke anak buah bajak, jeritan ngeri terdengar di sana ketika senjata makan tuan.
Salima masih meraup lagi beberapa batang anak panah yang menyambar dirinya, diretour dan kembali jeritan ngeri bergéma di sana. Dan ketika tujuh anak buah bajak roboh tewas dan Salima agak puas maka ajakan suhengnya diikuti dan mereka sudah menghilang dari tempat itu. Mo-ong berteriak teriak dan menyemprot Tok-gan Sin-ni dan Coa-ong habis habisan, sang pangeran juga marah marah. Dan ketika dua iblis itu mendapat dampratan dan sadar bahwa musuh melarikan diri maka mereka mengejar menghentikan pertempuran.
"Bodoh, goblok! Kalian seperti anak anak kecil saja. Ayo kejar dan tangkap Pendekar Rambut Emas itu!"
Tok-gan Sin-ni dan Coa-ong menyesal. Mereka menghentikan pertikaian, betapapun gugup dan merasa bersalah karena Kim-mou-eng melarikan diri. Musuh tak boleh keluar dan harus di tangkap. Pangeran Muda memaki maki dan melototi mereka itu. Tapi karena Kim-mou-eng telah tiba di perahu dan bersama sumoinya mendorong perahu itu maka mereka kehilangan lawan ketika lawan meluncur ke tengah telaga.
"Kejar, tangkap dengan perahu lain. Jangan ndomblong!" Pangeran Muda marah marah.
Sai-mo-ong dan teman temannya mencari perahu lain, Tengkorak Hitam seperti tak diperdulikan saja dan perahu kaum bajak dipakai. Empat perahu mengejar Kim-mou-eng, Sai-mo-ong dan teman temannya masing masing di satu perahu, berusaha menangkap tapi sia sia. Salima dan suhengnya telah tiba di seberang. Dan ketika dua orang itu menghilang di luar telaga akhirnya mereka kembali menerima dampratan Pangeran Muda.
"Kalian terlalu. Ini semua gara gara Coa-ong!”
"Maaf...“ Sai-mo-ong buru buru meredakan suasana. "Coa-ong memang salah, pangeran. Tapi sebaiknya tak perlu memaki maki lagi. Kita akan keluar, kami berempat akan menyusul dan bersatu menangkap Kim-mou-eng."
"Juga sumoinya, gadis liar itu harus dibunuh!"
“Baik." dan Coa-ong yang diberi isyarat agar menurut, akhirnya diajak Mo-ong dan teman-temannya meninggalkan pulau. Mereka meneruskan pengejaran dan mewanti-wanti agar Tok-gan Sin-ni maupun si raja ular jangan bertingkah macam macam. Betapa pun lawan yang mereka hadapi amat lihai. Kim-mou-eng perlu diperhatikan lebih utama. Tapi ketika dua hari mencari dan ubek-ubekan tanpa hasil akhirnya Sai-mo-ong mengajak taman-temannya kembali dan melapor pada junjungannya.
Tapi alangkah kagetnya Sai-mo-ong. Pangeran tampak terikat di tengah ruangan, mukanya matang biru. Mulutnya disumpal. Bu Ham juga sungsang tak keruan di atas belandar, ah-ah ub-uh tak dapat bicara. Tubuhnya babak belur habis dihajar, pemuda itu bengap dengan muka bengkak. Baik pangeran maupun Bu Ham setengah pingsan. Dan ketika mereka menolong dan dua orang itu mengaduh panjang pendek maka pangeran menceritakan bahwa Kim-mou-eng datang mengambil Liang-taijin...!
"Apa? Kim-mou-eng datang kembali?"
"Ya, kalian terkecoh, Mo-ong. Mereka tidak takut dan kembali ke sini, malam itu, ketika kalian pergi. Dan gadis setan itu menggaplokku pulang-balik tak keruan. Keparat, dia harus dibunuh. Liang-taijin harus dicari dan kita harus pergi dari sini..."
Mo-ong tertegun. Apa yang terjadi? Kiranya Pendekar Rambut Emas hanya bersiasat saja. Pendekar itu membawa lari sumoinya, tentu saja bukan karena takut melainkan mencari keselamatan saja demi sumoinya. Salima sepanjang jalan mengomel dan menggerutui suhengnya, disambut senyum suhengnya sampai sumoinya capai sendiri, kesal. Dan ketika mereka tiba di hutan dan berhenti di sini maka Kim-mou-eng bertanya,
"Sudah? Kau puas menggerutu?"
Salima jengkel. "Apa maksudmu, suheng? Bukankah kita dapat melawan mereka berempat itu? Kalau tidak kenal dirimu tentu kuanggap kau penakut, pengecut. Sungguh aku penasaran oleh sikapmu yang tidak kumengerti ini!"
"Baiklah, sekarang dengarkan. Apa anggapan mereka kalau kita melarikan diri begini, sumoi?"
"Tentu takut, apalagi?"
"Dan mereka besar hati, bukan? Mereka akan mengejar, dan itulah kesempatan kita kembali ke sana!"
"Sana mana?"
"Tentu saja ke pulau, mana lagi?"
Salima tertegun. "Kau mau kembali menangkap pangeran itu, suheng?"
"Bukan sang pangeran, sumoi. Tetapi Liang-taijin!"
"Liang-taijin? Untuk apa? Dedengkotnya adalah pangeran itu, bukan Liang taijin!"
"Benar, tapi dari Liang-taijin inilah kita dengar pengakuannya, sumoi. Karena itu gubernur itulah yang harus ditangkap!"
"Aku tak mengerti, caramu membingungkan."
"Kau tak mengerti karena kau kurang mau berpikir, sumoi. Kau masih dilanda emosimu itu. Dengarkan, pangeran tak mungkin kita tangkap karena dia adalah putera dari kaisar sendiri. Dia..!"
"Dia pemberontak, tak perduli putera kaisar harus juga ditangkap!" Salima memotong.
"Ah, nanti dulu. Kalau kita menangkap lalu mana mungkin pangeran itu melanjutkan rencananya, sumoi? Kau jangan memutus dulu, kita harus membiarkan dia agar melaksanakan maksudnya itu. Dan kalau Liang-taijin yang kita tangkap dan sang pangeran tetap melanjutkan rencananya maka terdapatlah bukti bagi kita untuk membuka mata kaisar itu. Kau mengerti?"
Salima tertegun. "Begitukah?"
"Ya, kau jelas? Karena itu Liang-taijin kita culik, sumoi. Dan kita ke kota raja membawa gubernur itu. Kita masuk selagi Mo-ong dan teman-temannya mengejar kita."
Salima terbelalak. Sekarang dia berseri dengan muka begitu gembira, mengerti dan kagum memandang suhengnya ini. Suhengnya memang tidak grusa-grusu (sembrano), semua diperhitungkan dengan cermat dan cerdik. Dan ketika suhengnya tersenyum dan memandangnya kalem tibu-tiba Salima menubruk dan memeluk suhengnya itu "Suheng, kau cerdik. Kau pintar...!"
Kim-mou-eng mengelus rambut sumoinya ini. Kalau sudah begini sumoinya tampak begitu manja, tanpa terasa tiba-tiba mendaratkan ciuman halus di pipi sumoinya itu. Salima tersentak melepaskan diri, pipinya memerah. Tapi tidak marah bahkan girang oleh ciuman itu. Salima berbisik, "Suheng, kau tidak permisi dulu?"
Kim mou-eng sadar. Dia hampir hanyut oleh pelukan sumoinya ini, sedikit tersipu dan meminta maaf. Betapapun pelukan seorang gadis membuat darahnya berdesir. Tubuh sumoinya itu lembut dan hangat, juga harum. Dan ketika dia menarik diri dan sumoinya memandangnya mesra tiba-tiba dia bertanya bagaimana sumoinya itu tertangkap. Dan Salima tiba-tiba berapi.
"Aku diserang anak buah Tengkorak Hitam itu, suheng. Perahuku ditenggelamkan dan aku ditangkap!"
"Bagaimana dengan Lui Tai?“
"Pelukis itu menuju pulau, kuikuti tapi di tengah telaga aku diserang secara curang!"
"Ah, seperti aku juga?"
"Kau juga dicurangi anak buah bajak itu?"
"Ya, di tengah jalan perahuku bocor, oleng dan karam. Tapi katanya kau ke pulau bersama seorang pemuda. Siapa dia?"
"Siapa yang bilang?"
"Seorang anggauta bajak."
"Dia menipu, kau dibohongi! Aku datang seorang diri, suheng. Aku menyewa perahu tapi perahu itupun rupanya milik si anak buah bajak. Perahuku juga bocor dan ketika tenggelam aku di serang tujuh laki-laki di dalam air!"
"Hm, kalau begitu aku dikibuli. Sungguh kurang ajar!" dan Kim-mou-eng yang minta sumoinya bercerita apa yang dihasilkannya dari penguntitan dua hari ini ternyata hampir sama dengan apa yang dia peroleh. Bahwa beberapa pembesar diundang Pangeran Muda untuk membicarakan pemberontakan di telaga Po-yang. Sin-kee Lo-jin mendahului Mao-taijin untuk melihat keadaan, bersama Lui Tai, jadi seolah utusan didepan. Dan ketika Salima bercerita bahwa di pulau itu terdapat beberapa pejabat istana yang datang memenuhi undangan Siauw ongya maka Kim-mou-eng mendesah mengerutkan keningnya.
"Kalau begitu mereka kita tangkap juga jadi saksi yang amat berharga bagi kaisar"
"Dan malam nanti kita menyerbu, suheng?"
"Ya, tapi sebenarnya lebih cepat lebih baik. Tapi kita harus bersabar, kita tunggu dulu Mo-ong keluar dan kita masuk."
Demikianlah, Kim-mou-eng bersama sumoinya bersabar di dalam hutan itu. Mereka menunggu datangnya malam. Dan ketika matahari beringsut ke barat dan saat yang ditunggu tiba segera mereka meluncur ke pulau di tengah telaga, telah melihat bayangan Mo-ong dan teman-temannya mengejar mereka, tiba di sana dengan selamat dan tentu saja mengejutkan Pangeran Muda dan yang lain-lain.
Bu-kongcu ada di situ menemani sang pangeran. Salima mencari Liang-taijin dan menangkap gubernur itu yang lain-lain ternyata telah pergi. Kiranya mereka takut dan menyelamatkan diri setelah Kim-mou-eng dan sumoinya lolos. Satu bahaya bagi mereka! Dan ketika Salima melampiaskan kemarahannya dengan menggaploki pangeran ini pulang balik dan Bu Ham juga mendapatkan ganjarannya maka Kim-mou-eng segera mengajak sumoinya pergi.
Sebenarnya Salima tak puas. Gadis ini ingin membunuh Pangeran Muda, begitu pula Bu kongcu. Tapi suhengnya yang memperingatkan dan mencegah sumoinya melakukan pembunuhan sudah mengajak sumoinya itu pergi. Betapapun Liang-taijin telah berhasil mereka tangkap dan gubernur ini merupakan bukti yang cukup penting, yang lain lain tak tertangkap biarlah merat. Kim-mou-eng cukup puas. Dan ketika malam itu juga mereka terbang ke kota raja maka Liang-taijin yang ada di genggaman Kim-mou-eng menggigil.
"Apa, kanda pangeran mau memborontak? Kau mengada-ada, Kim-mou-eng. Kau mencari keributan dan rupanya tak puas dengan kejadian dulu! Lepaskan gubernur ini, aku mau memeriksa!" begitu Kim-mou-eng mendapat dampratan ketika menemui pangeran mahkota.
Seperti diketahui, pangeran ini tak suka pada Pendekar Rambut Emas sejak peristiwa dulu, ketika Seng-piauw Ang-lojin datang dan terbunuh. Ribut ribut terjadi di situ dan keterangan Seng piauw-pangcu ditolak. Pangeran mahkota menganggap fitnah dan kini untuk kedua kalinya Kim-mou-eng kembali datang, membawa gubernur Liang dan menyatakan bahwa kakaknya, Pangeran Muda benar benar merencanakan pemberontakan dan Liang-taijin inilah saksinya.
Gubernur itu menggelepar dan berteriak menolak tuduhan, mukanya pucat pasi berhadapan dengan pangeran mahkota, gelisah kalau sampai dihadapkan kaisar pula. Dan ketika ribut-ribut itu terjadi dan Kim-mou-eng melihat pangeran mahkota merah mukanya tak percaya padanya akhirnya pendekar ini berkata,
"Kalau begitu silahkan paduka bertanya pada gubernur ini, pangeran. Hamba membawanya karena memang sebagai bukti."
"Baik, tapi apa maksudmu melakukan semuanya ini, Kim-mou-eng? Pamrih apa yang kau sembunyikan di balik perbuatanmu ini?"
Kim-mou-eng terkejut. "Apa maksud paduka?"
"Kim-mou-eng," pangeran mahkota marah. “Kau adalah orang asing. kau adalah orang luar. Kalau betul terjadi pemberontakan mestinya itu urusan dalam negeri kami sendiri. Untuk apa kau sebagai orang Tar-tar ikut campur dalam urusan ini? Aku tak percaya karena kau bukan bangsaku, aku bahkan cenderung menuduhmu melakukan politik adu domba agar aku bermusuhan dengan saudaraku sendiri!" dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan terbelalak mendengar kata-kata sang pangeran maka pangeran itu menghadapi Liang-taijin.
"Taijin, benarkah tuduhan Kim-mou-eng bahwa kau dan kanda pangeran mau memberontak?"
"Tidak!" sang gubernur langsung berseru, "Hamba dan kakak paduka tak melakukan seperti yang dituduhkan itu, pangeran. Hamba bahkan tidak mengerti kenapa Kim-tahiap dan sumoinya ini menyuruh hamba mengaku melakukan pemberontakan!"
"Nah, kau dengar?" pangeran mahkota membalik, menghadapi pendekar ini. "Agaknya kau tak puas puasnya mengadu domba, Kim-mou-eng. Dulu membawa ketua Seng piauw-pang itu dan sekarang membawa Liang-taijin. Dan aku khawatir di mana kau datang selalu terjadi pembunuhan!"
Kim-mou-eng tertegun. "Pangeran...."
"Apa lagi yang ingin kau sampaikan? Liang taijin tak mengaku, dan kanda pangeran kebetulan tak ada disini. Kau mau menghadapkan kakakku itu?" pangeran mahkota memotong, marah benar tampaknya dia hingga Kim-mou-eng terbelalak. Berkali-kali didamprat tapi mencoba untuk bersabar juga. Dan ketika sang pangeran melotot dan geram mengepal tinju maka Salima yang tak dapat menahan dirinya tiba-tiba berseru gusar.
"Pangeran, kami datang untuk membuka rarasia kebusukan. Kalau kau tak dapat menerimanya biarlah kami pergi tak perlu mengumpat caci. Suhengku memang orang Tar-tar, tapi dasar dan jalan pikirannya adalah bangsa Han sejati. Kalau kau tak percaya itu biarlah kau mampus dicekik antek-antekmu sendiri."
Pangeran mahkota terbelalak. "Kau menghina diriku?"
"Kau yang menghina kami, pangeran. Kau yang mendahului mengeluarkan caci maki. Kalau bukan karena suhengku tentu tak sudi aku menginjakkan kaki di sini!"
"Ah...!" dan sang pangeran yang gusar melototi Salima tiba-tiba dilerai Kim-mou-eng yang gelap mengerutkan kening.
"Sumoi, tak perlu membuat ribut. Kalau pangeran tidak percaya biarlah kita pergi!" dan menyambar Liang-taijin tiba-tiba Kim-mou-eng meloncat menyambar lengan sumoinya pula.
Sungguh kecewa dan penasaran hatinya melihat sikap pangeran mahkota, tak tahu bahwa Pangeran Muda telah menggosok adiknya ini, diam-diam menghasut agar tak gampang percaya padanya, memberikan alasan bahwa Kim-mou-eng mengadu domba, dia bangsa Tar-tar. Mungkin ada hubungannya dengan kehancuran suku bangsa itu, ketika ményerang kota raja. Pangeran mahkota dapat menerimanya dan karena itu memaki maki Kim-mou-eng. Pendekar ini tak tahu latar belakangnya. Dan ketika malam itu dia membawa Liang-taijin dan pergi meninggalkan gedung putera mahkota maka pendekar ini menuju ke istana kaisar.
"Mau ke mana, suheng? Kenapa masuk semakin dalam?"
"Aku mau mencari kaisar, sumoi. Kalau pangeran mahkcta tak dapat menerima laporanku biarlah ayahandanya yang mendengarkan!"
"Tidak, jangan.....!" Liang-taijin pucat, kaget mendengar ini. "Aku jangan dibawa ke sana, Kim taihiap. Jangan!"
"Tapi kau berdusta. Kau membuat pangeran tak percaya padaku dan membuat kami sakit hati. Kau harus kubawa ke sana dan kaisar akan mendengar segalanya!" Kim-mou-eng tak perduli, gemas dan marah pada gubernur yang licik ini. Terang berkhianat tapi tak mau mengaku, malah balik menyatakan diri dipaksa. Dia seolah memaksa gubernur itu mengaku tentang rencana pemberontakan. Dan ketika malam itu juga dia meninggalkan pangeran mahkota untuk menemui kaisar maka istana terkejut oleh kehadirannya yang tiba-tiba ini, kaisar terhenyak.
"Apa ini? Kau Kim-mou-eng, bukan?"
"Benar, hamba Kim-mou-eng, sri baginda. Maafkan malam-malam begini datang menyerahkan gubernur busuk ini. Ada segerombolan pengkhianat di sekeliling paduka, dan satu dari gerombolan itu adalah Liang-taijin!"
"Apa yang kau lakukan?"
"Ampun, hamba... hamba tidak bersalah. sri baginda. Hamba ditangkap dan entah kenapa disuruh mengakui pemberontakan yang tidak hamba perbuat!"
"Hm!" Salima tiba-tiba menjepit tengkuk pembesar ini, menekan jalan darah gu-ceng-hiatnya. "Kau tidak mau mengaku sebenarnya gubernur busuk? Kau minta kusiksa baru bicara jujur?"
"Aduh, tidak... aduh!" Liang-taijin menjerit, kesakitan oleh rasa nyeri yang sangat, hampir terputar dia.
Dan ketika kaisar terbelalak dan menyuruh Salima melepaskan gubernur itu bertanyalah kaisar dengan keping dikerutkan, "Liang-taijin, apa yang kau lakukan? Benarkah ada sekumpulan pemberontak seperti kata Kim-mou-eng ini?"
"Tidak, eh.... aduh, ya....!" pembesar itu bingung, ditekan jalan darahnya kembali. "Hamba... hamba tidak tahu, sri baginda. Hamba tidak mengerti!"
"Tapi kau berkomplot dengan Pangeran Muda. Kau hendak berkhianat!" Salima membentak. "Jangan macam macam, Liang-taijin. Kalau tidak kau akan kubunuh!"
"Tidak, aku... aku tidak tahu...!" dan ketika Liang taijin berteriak-teriak dan Bu-ciangkun serta Cu-ciangkun muncul tiba-tiba seseorang menghardik menyuruh Salima melepaskan korbannya.
"Gadis liar, bersikaplah hormat terhadap kaisar!"
Dan semua orang tertegun. Seorang wanita setengah tua muncul, masih cantik dengan sanggul tinggi, berjalan dan sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar, tampaknya tergesa-gesa dan Kim-mou-eng tidak mengenal siapa wanita ini. Dan ketika dia bangun berdiri dan memandang Kim-mou-eng serta sumoinya maka terdengarlah suaranya yang nyaring tinggi.
"Sri baginda, dua orang ini pengacau. Putera anda pangeran mahkota telah datang ke tempat hamba memberi tahu kejadian ini. Dia Pendekar Rambut Emas, bukan? Dia bersama sumoinya entah dengan maksud apa telah memaksa Liang-taijin untuk mengakui sebuah pemberontakan. Hamba mempunyai bukti bahwa apa yang dikata tidak benar!"
Kim-mou-eng terkejut. "Kau siapa?”
"Dia selirku, Kim-mou-eng. Ibu dari anakku Pangeran Muda!" kaisar tiba-tiba berseru, membuat Kim-mou-eng tertegun dan sumoinya juga terkejut.
Baru sekarang mereka tahu bahwa Pangeran Muda masih mempunyai ibu. Inilah orangnya dan Kim-mou-eng menangkap kecerdasan amat tinggi dimiliki wanita setengah tua ini, pandang matanya dingin menusuk, bola matanya hidup dan tarikan mulutnya membayangkan seorang yang telah banyak pengalaman.
"Kalau begitu silahkan paduka bertanya pada gubernur ini, pangeran. Hamba membawanya karena memang sebagai bukti."
"Baik, tapi apa maksudmu melakukan semuanya ini, Kim-mou-eng? Pamrih apa yang kau sembunyikan di balik perbuatanmu ini?"
Kim-mou-eng terkejut. "Apa maksud paduka?"
"Kim-mou-eng," pangeran mahkota marah. “Kau adalah orang asing. kau adalah orang luar. Kalau betul terjadi pemberontakan mestinya itu urusan dalam negeri kami sendiri. Untuk apa kau sebagai orang Tar-tar ikut campur dalam urusan ini? Aku tak percaya karena kau bukan bangsaku, aku bahkan cenderung menuduhmu melakukan politik adu domba agar aku bermusuhan dengan saudaraku sendiri!" dan ketika Kim-mou-eng terkejut dan terbelalak mendengar kata-kata sang pangeran maka pangeran itu menghadapi Liang-taijin.
"Taijin, benarkah tuduhan Kim-mou-eng bahwa kau dan kanda pangeran mau memberontak?"
"Tidak!" sang gubernur langsung berseru, "Hamba dan kakak paduka tak melakukan seperti yang dituduhkan itu, pangeran. Hamba bahkan tidak mengerti kenapa Kim-tahiap dan sumoinya ini menyuruh hamba mengaku melakukan pemberontakan!"
"Nah, kau dengar?" pangeran mahkota membalik, menghadapi pendekar ini. "Agaknya kau tak puas puasnya mengadu domba, Kim-mou-eng. Dulu membawa ketua Seng piauw-pang itu dan sekarang membawa Liang-taijin. Dan aku khawatir di mana kau datang selalu terjadi pembunuhan!"
Kim-mou-eng tertegun. "Pangeran...."
"Apa lagi yang ingin kau sampaikan? Liang taijin tak mengaku, dan kanda pangeran kebetulan tak ada disini. Kau mau menghadapkan kakakku itu?" pangeran mahkota memotong, marah benar tampaknya dia hingga Kim-mou-eng terbelalak. Berkali-kali didamprat tapi mencoba untuk bersabar juga. Dan ketika sang pangeran melotot dan geram mengepal tinju maka Salima yang tak dapat menahan dirinya tiba-tiba berseru gusar.
"Pangeran, kami datang untuk membuka rarasia kebusukan. Kalau kau tak dapat menerimanya biarlah kami pergi tak perlu mengumpat caci. Suhengku memang orang Tar-tar, tapi dasar dan jalan pikirannya adalah bangsa Han sejati. Kalau kau tak percaya itu biarlah kau mampus dicekik antek-antekmu sendiri."
Pangeran mahkota terbelalak. "Kau menghina diriku?"
"Kau yang menghina kami, pangeran. Kau yang mendahului mengeluarkan caci maki. Kalau bukan karena suhengku tentu tak sudi aku menginjakkan kaki di sini!"
"Ah...!" dan sang pangeran yang gusar melototi Salima tiba-tiba dilerai Kim-mou-eng yang gelap mengerutkan kening.
"Sumoi, tak perlu membuat ribut. Kalau pangeran tidak percaya biarlah kita pergi!" dan menyambar Liang-taijin tiba-tiba Kim-mou-eng meloncat menyambar lengan sumoinya pula.
Sungguh kecewa dan penasaran hatinya melihat sikap pangeran mahkota, tak tahu bahwa Pangeran Muda telah menggosok adiknya ini, diam-diam menghasut agar tak gampang percaya padanya, memberikan alasan bahwa Kim-mou-eng mengadu domba, dia bangsa Tar-tar. Mungkin ada hubungannya dengan kehancuran suku bangsa itu, ketika ményerang kota raja. Pangeran mahkota dapat menerimanya dan karena itu memaki maki Kim-mou-eng. Pendekar ini tak tahu latar belakangnya. Dan ketika malam itu dia membawa Liang-taijin dan pergi meninggalkan gedung putera mahkota maka pendekar ini menuju ke istana kaisar.
"Mau ke mana, suheng? Kenapa masuk semakin dalam?"
"Aku mau mencari kaisar, sumoi. Kalau pangeran mahkcta tak dapat menerima laporanku biarlah ayahandanya yang mendengarkan!"
"Tidak, jangan.....!" Liang-taijin pucat, kaget mendengar ini. "Aku jangan dibawa ke sana, Kim taihiap. Jangan!"
"Tapi kau berdusta. Kau membuat pangeran tak percaya padaku dan membuat kami sakit hati. Kau harus kubawa ke sana dan kaisar akan mendengar segalanya!" Kim-mou-eng tak perduli, gemas dan marah pada gubernur yang licik ini. Terang berkhianat tapi tak mau mengaku, malah balik menyatakan diri dipaksa. Dia seolah memaksa gubernur itu mengaku tentang rencana pemberontakan. Dan ketika malam itu juga dia meninggalkan pangeran mahkota untuk menemui kaisar maka istana terkejut oleh kehadirannya yang tiba-tiba ini, kaisar terhenyak.
"Apa ini? Kau Kim-mou-eng, bukan?"
"Benar, hamba Kim-mou-eng, sri baginda. Maafkan malam-malam begini datang menyerahkan gubernur busuk ini. Ada segerombolan pengkhianat di sekeliling paduka, dan satu dari gerombolan itu adalah Liang-taijin!"
"Apa yang kau lakukan?"
"Ampun, hamba... hamba tidak bersalah. sri baginda. Hamba ditangkap dan entah kenapa disuruh mengakui pemberontakan yang tidak hamba perbuat!"
"Hm!" Salima tiba-tiba menjepit tengkuk pembesar ini, menekan jalan darah gu-ceng-hiatnya. "Kau tidak mau mengaku sebenarnya gubernur busuk? Kau minta kusiksa baru bicara jujur?"
"Aduh, tidak... aduh!" Liang-taijin menjerit, kesakitan oleh rasa nyeri yang sangat, hampir terputar dia.
Dan ketika kaisar terbelalak dan menyuruh Salima melepaskan gubernur itu bertanyalah kaisar dengan keping dikerutkan, "Liang-taijin, apa yang kau lakukan? Benarkah ada sekumpulan pemberontak seperti kata Kim-mou-eng ini?"
"Tidak, eh.... aduh, ya....!" pembesar itu bingung, ditekan jalan darahnya kembali. "Hamba... hamba tidak tahu, sri baginda. Hamba tidak mengerti!"
"Tapi kau berkomplot dengan Pangeran Muda. Kau hendak berkhianat!" Salima membentak. "Jangan macam macam, Liang-taijin. Kalau tidak kau akan kubunuh!"
"Tidak, aku... aku tidak tahu...!" dan ketika Liang taijin berteriak-teriak dan Bu-ciangkun serta Cu-ciangkun muncul tiba-tiba seseorang menghardik menyuruh Salima melepaskan korbannya.
"Gadis liar, bersikaplah hormat terhadap kaisar!"
Dan semua orang tertegun. Seorang wanita setengah tua muncul, masih cantik dengan sanggul tinggi, berjalan dan sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar, tampaknya tergesa-gesa dan Kim-mou-eng tidak mengenal siapa wanita ini. Dan ketika dia bangun berdiri dan memandang Kim-mou-eng serta sumoinya maka terdengarlah suaranya yang nyaring tinggi.
"Sri baginda, dua orang ini pengacau. Putera anda pangeran mahkota telah datang ke tempat hamba memberi tahu kejadian ini. Dia Pendekar Rambut Emas, bukan? Dia bersama sumoinya entah dengan maksud apa telah memaksa Liang-taijin untuk mengakui sebuah pemberontakan. Hamba mempunyai bukti bahwa apa yang dikata tidak benar!"
Kim-mou-eng terkejut. "Kau siapa?”
"Dia selirku, Kim-mou-eng. Ibu dari anakku Pangeran Muda!" kaisar tiba-tiba berseru, membuat Kim-mou-eng tertegun dan sumoinya juga terkejut.
Baru sekarang mereka tahu bahwa Pangeran Muda masih mempunyai ibu. Inilah orangnya dan Kim-mou-eng menangkap kecerdasan amat tinggi dimiliki wanita setengah tua ini, pandang matanya dingin menusuk, bola matanya hidup dan tarikan mulutnya membayangkan seorang yang telah banyak pengalaman.
Kim-mou-eng tertegun tapi masih tidak sadar bahwa wanita inilah sebenarnya sumber dari segala sumber penyakit, bahwa dialah dalangnya yang mengatur anaknya sendiri. Tokoh di belakang layar. Salima juga tak tahu itu. Dan ketika mereka terbelalak tapi segera mengerutkan kening karena wanita ini dianggap usil saja maka Siên Nio, wanita itu berdiri mengedikkan kepala.
"Sri baginda, bolehkah hamba mewakili paduka bertanya jawab dengan Pendekar Rambut Emas ini?"
Kaisar mengangguk, percaya akan kecerdasan selirnya itu.
"Nah, mari kita mulai. Tüduhan apa yang kau tujukan pada Liang-taijin ini, Kim-mou-eng?"
Kim-mou-eng mengerutkan kening. "Pemberontakan."
"Kau tahu dia akan memberontak? Dari mana kau tahu?"
"Gubernur ini sendiri yang berbicara di dalam keretanya. Aku tahu karena mendengar pembicaraannya!"
"Bagus, tapi Liang-taijin sendiri menyangkal. Kau menangkap dia di rumahnya bukan di tengah perjalanan. Kau bohong, kau dusta. Liang-taijin tak ada di dalam kereta karena waktu itu dia menjadi tamu ku!"
Kim-mou-eng terkejut. "Siapa bilang?"
“Banyak saksi di sini, Kim-mou-eng. Dan aku saksi utama! Liang-taijin menjadi tamuku dan waktu itu kusuruh beristirahat di Puri Kuning. Waktu itu dia ada di sana dan kau datang menangkap!"
Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan kaget oleh saksi dusta selir ini segera selir kaisar itu bicara dengan tangkas dan gencar bahwa Kim-mou-eng. Bahwa waktu itu Liang taijin mencari Pangeran Muda, tidak ketemu dan segera menjadi tamu selir ini, bercakap cakap dan akhirnya disuruh beristirahat di Puri Kuning, sebuah gedung tak jauh dari gedung Pangeran Muda, beberapa pengawal melihat bayangan Kim-mou-eng masuk, tak dapat mencegah karena Kim-mou-eng memang lihai, memburu gubernur itu yang hendak masuk ke kamarnya.
Sebentar kemudian berkelebat keluar sudah menenteng gubernur itu, para pengawal berteriak teriak dan mengejar. Kim-mou-eng menuju gedung pangeran mahkota dan pengawal terpaksa berhenti di sini, tak berani masuk. Dan ketika Sien Nio berbicara macam-macam dan berbalik menuduh Kim-mou-eng mencari setori dan sengaja mencari cari kesalahan orang lain untuk mengadu domba orang orang istaná maka Kim-mou-eng kian lama kian pucat dan marah memandang selir itu, akhirnya membentak dan menyuruh Sien Nio diam. Dan ketika selir itu terengah-tngah menghentikan serangannya dan Kim-mou-eng melotot akhirnya pendekar ini berkata,
"Itu tidak benar. Gubernur ini kutangkap di telaga Po-yang ketika menerima undangan anakmu. Dia hendak memberontak dan membicarakan perihal pemberontakan itu di tengah telaga!"
"Oh, anakku terlibat? Bagus sekal! Kau tak tanggung-tanggung, Kim-mou eng. Tapi semua yang kau katalan dusta belaka! Anakku tak ada di telaga Po-yang dia sedang berburu di Hutan Cemara. Kau boleh tanya beberapa orang di sini, Hun-ciangkun, Kok-taijin maupun Han taijin sendiri. Kalau kau tidak percaya dan penasaran padaku boleh kau tanya mereka-mereka itu. Buktikan apakah benar atau tidak!"
Selir itu sudah menuding-nuding ke kiri kanan, menunjuk Hao-taijin dan lain-lain dengan sikap penuh semangat dan meyakinkan, berapi-api. Ekspresinya begitu sungguh-sungguh hingga kaisar dan yang lain-lain terpengaruh, mengangguk-angguk. Kim-mou-eng tertegun dan menjublak kaget. Dan ketika selir itu memandangnya kembali dan muka Kim-mou-eng berubah maka selir itu bertanya,
"Dan kau,..adakah saksi saksi bahwa Liang-taijin benar kau tangkap di telaga Po-yang? Adakah bukti bahwa gubernur ini berada di sana saat itu...?"
"Sri baginda, bolehkah hamba mewakili paduka bertanya jawab dengan Pendekar Rambut Emas ini?"
Kaisar mengangguk, percaya akan kecerdasan selirnya itu.
"Nah, mari kita mulai. Tüduhan apa yang kau tujukan pada Liang-taijin ini, Kim-mou-eng?"
Kim-mou-eng mengerutkan kening. "Pemberontakan."
"Kau tahu dia akan memberontak? Dari mana kau tahu?"
"Gubernur ini sendiri yang berbicara di dalam keretanya. Aku tahu karena mendengar pembicaraannya!"
"Bagus, tapi Liang-taijin sendiri menyangkal. Kau menangkap dia di rumahnya bukan di tengah perjalanan. Kau bohong, kau dusta. Liang-taijin tak ada di dalam kereta karena waktu itu dia menjadi tamu ku!"
Kim-mou-eng terkejut. "Siapa bilang?"
“Banyak saksi di sini, Kim-mou-eng. Dan aku saksi utama! Liang-taijin menjadi tamuku dan waktu itu kusuruh beristirahat di Puri Kuning. Waktu itu dia ada di sana dan kau datang menangkap!"
Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan kaget oleh saksi dusta selir ini segera selir kaisar itu bicara dengan tangkas dan gencar bahwa Kim-mou-eng. Bahwa waktu itu Liang taijin mencari Pangeran Muda, tidak ketemu dan segera menjadi tamu selir ini, bercakap cakap dan akhirnya disuruh beristirahat di Puri Kuning, sebuah gedung tak jauh dari gedung Pangeran Muda, beberapa pengawal melihat bayangan Kim-mou-eng masuk, tak dapat mencegah karena Kim-mou-eng memang lihai, memburu gubernur itu yang hendak masuk ke kamarnya.
Sebentar kemudian berkelebat keluar sudah menenteng gubernur itu, para pengawal berteriak teriak dan mengejar. Kim-mou-eng menuju gedung pangeran mahkota dan pengawal terpaksa berhenti di sini, tak berani masuk. Dan ketika Sien Nio berbicara macam-macam dan berbalik menuduh Kim-mou-eng mencari setori dan sengaja mencari cari kesalahan orang lain untuk mengadu domba orang orang istaná maka Kim-mou-eng kian lama kian pucat dan marah memandang selir itu, akhirnya membentak dan menyuruh Sien Nio diam. Dan ketika selir itu terengah-tngah menghentikan serangannya dan Kim-mou-eng melotot akhirnya pendekar ini berkata,
"Itu tidak benar. Gubernur ini kutangkap di telaga Po-yang ketika menerima undangan anakmu. Dia hendak memberontak dan membicarakan perihal pemberontakan itu di tengah telaga!"
"Oh, anakku terlibat? Bagus sekal! Kau tak tanggung-tanggung, Kim-mou eng. Tapi semua yang kau katalan dusta belaka! Anakku tak ada di telaga Po-yang dia sedang berburu di Hutan Cemara. Kau boleh tanya beberapa orang di sini, Hun-ciangkun, Kok-taijin maupun Han taijin sendiri. Kalau kau tidak percaya dan penasaran padaku boleh kau tanya mereka-mereka itu. Buktikan apakah benar atau tidak!"
Selir itu sudah menuding-nuding ke kiri kanan, menunjuk Hao-taijin dan lain-lain dengan sikap penuh semangat dan meyakinkan, berapi-api. Ekspresinya begitu sungguh-sungguh hingga kaisar dan yang lain-lain terpengaruh, mengangguk-angguk. Kim-mou-eng tertegun dan menjublak kaget. Dan ketika selir itu memandangnya kembali dan muka Kim-mou-eng berubah maka selir itu bertanya,
"Dan kau,..adakah saksi saksi bahwa Liang-taijin benar kau tangkap di telaga Po-yang? Adakah bukti bahwa gubernur ini berada di sana saat itu...?"