Pendekar Rambut Emas Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 21
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"KALAU begitu aku akan mengurung diriku sebulan. Aku tak mau melayanimu dan biar kukunci pintu kamar!" Sien Nio menangis, kecewa dan marah pada suaminya itu. Hal yang tak mungkin berani dilakukan selir lain kecuali Sien Nio.

Dan ketika Sien Nio berlari pergi dan menutup pintu kamar tiba-tiba Fang-taijin tertegun dan gugup juga. Membayangkan dia bakal "kekeringan" kalau sebulan Sien Nio tak mau melayaninya. Celaka, dia bisa mati kurus. Dan karena ancaman itu cukup ampuh dan Fang-taijin bingung akhirnya pembesar ini mengalah dan mengejar Sien Nio, menyuruh Sien Nio membuka pintu.

"Nio-nio, buka pintu. Kita bicara lagi...”

"Tidak, aku tak mau bicara, taijin. Kau pergilah dan biar aku menunggumu dirumah!"

"Tidak, tidak... aku mengijinkan kau ikut, Nio nio. Buka pintu kamar dan mari kita sama-sama pergi!"

Sien Nio tampak tertegun. Tak ada gerakan di dalam kamar, Sien Nio rupanya terkejut. Ragu atau setengah percaya. Tapi ketika Fang-taijin mengulang perkataannya dan pembesar itu berjanji dengan sumpah segala tiba-tiba pintu kamar terkuak dan Sten Nio terdiri di situ, menggigil tetapi girang. "Taijin, kau bersungguh-sungguh?"

"Ah, masa aku bohong, Nio-nio? Bagiku lebih berat tidak kau layani ketimbang menghadap kaisar. Ayo, beri dulu imbalannya!" dan Sien Nio yang tertawa menubruk pembesar itu tiba-tiba memeluk dan memberi ciuman dua kali, di pipi.

"Hanya ini saja?" pembesar itu cemberut.

Sien Nio terkekeh dan sudah menggelandot manja. Dan ketika sang pembesar tersenyum dan Sien Nio melepas kancing bajunya tiba-tiba gadis ini sudah membawa pembesar itu memasuki kamarnya. Tahu bahwa dia harus memberi servis sebelum pergi, sebagai imbalan atau rasa terima kasih bahwa dia sebagai seorang selir mendapat kehormatan diajak Fang taijin ke kota raja. Hal yang belum pernah dilakukan kepada selir-selir lain.

Sien Nio tentu saja tahu ini dan harus membalas dengan sesuatu. Dan karena balasan itu berujud pelayanan manis dan permainan cinta yang memabokkan maka pekerjaan inilah yang dilakukan Sien Nio. Memberikan cintanya yang hangat bahkan panas, yang membuat Fang-taijin serasa muda kembali dan awet hidup. Berdekatan dengan gadis remaja itu seolah berdekatan dengan surga. Semuanya serba menyenangkan dan nikmat. Dan ketika semuanya selesai dan Fang-taijin merasa puas akhirnya tak lama kemudian Sien Nio mengikuti pembesar ini.

Fang-taijin tak tahu bahwa itulah permainan cintanya yang terakhir bersama Sien Nio. Bahwa Sien Nio sudah merencanakan sesuatu begitu mereka tiba di kota raja, di istana! Dan ketika hari itu mereka sampai di sana dan kaisar melihat Sien Nio tiba-tiba Sien Nio berhasil "mengontak" batin kaisar itu. Kaisar yang masih muda dan tentu saja penuh vitalitas.

Semangatnya tinggi dan tak boleh melihat wanita cantik. Gampang terpikat dan mudah menyuruh ini itu. Hal yang sudah diketahui Sien Nio karena gadis inipun diam-diam telah mempelajari watak kaisar itu. Dan ketika malam tiba dan kaisar mengadakan perjamuan seusai menerima laporan Fang-taijin tiba-tiba malamnya Sien Nio diminta menghadap. Tentu saja Sien Nio girang. Tapi Fang-taijin terkejut.

"Ah, apakah tidak keliru?"

"Tidak," sang pengawal yang diutus menggeleng kepala. "Sri baginda minta agar wanita bernama Sien Nio menghadap sebentar, taijin. Hamba diutus dan hanya menyampaikan perintah ini saja!"

"Apa keperluan sri baginda?"

"Hamba tak tahu, hamba hanya utusan." dan Fang-taijin yang terhenyak tapi dapat menduga sesuatu yang tak enak akhirnya terpaksa membiarkan Sien Nio mengikuti pengawal itu, sempat berbisik, "Hati hati, sri baginda orangnya demen (suka) wajah cantik, Nio nio. Hindari pandangan langsung agar wajahmu tak kelihatan. Tundukkan kepala kalau bicara.“

Sien Nio mengangguk, tersenyum dan menjawab "baik". Tentu saja bertolak seratus delapan puluh derajat dengan apa yang dia katakan pada Fang-taijin. Karena kalau Fang-taijin menyuruh dia menyembunyikan muka kalau berhadapan dengan kaisar adalah sebaliknya Sien Nio justeru bersikap menantang waktu bicara dengan kaisar itu. Sengaja menunjukkan kecantikan dan gerak tubuhnya yang memikat. Sebelumnya sudah diincar dan kini seolah daging yang menyediakan diri untuk disantap kucing. Dan karena "kucing" itu kebetulan haus cintanya dan Sien Nio pandai membawakan permainannya akhirnya benar juga malam itu dia "dimakan kaisar"

Tapi terjadi dialog menarik sebelum semuanya ini berlangsung. Sien Nio berhasil memikat kaisar, kerling dan suaranya yang merdu merupakan modal utama untuk menjatuhkan kaisar itu. Tapi sebelum semuanya menuju permainan puncak dan Sien Nio bersikap hati-hati maka gadis ini berterus terang dahulu.

"Maaf, hamba sudah bukan perawan lagi. sri baginda. Sudikah paduka dilayani hamba? Hamba nyatakan ini agar paduka tak kecewa!"

Sang kaisar tertegun, tapi tertawa lebar. "Aku tahu, kau kira bentuk potongan tubuhmu dapat menyembunyikan hal itu dariku, Sien Nio! Tidak, tak perlu kau beritahukan sekalipun aku tahu bahwa kau sudah bukan perawan lagi!"

"Kalau begitu paduka tak kecewa?"

"Karena kau tak perawan?"

“Benar..."

"Ah, itu tak jadi soal bagiku, sien Nio. Aku tidak membutuhkan keperawananmu, aku membutuhkan permainanmu yang bersifat menghibur!"

Sien Nio terkejut. Dia sadar bahwa kali ini yang dihadapi adalah laki-laki "jagoan". Kaisar bukan laki-laki muda yang masih hijau. Tidak. Kaisar itu telah menikmati hubungan cinta dengan banyak wanita. Selirnya saja seabrek (setumpuk). Dia sudah mendengar itu. Jadi kalau dia mengira kaisar ini mengincar yang perawan-perawan saja dan dia takut kaisar marah padanya karena ia sendiri sudah tidak perawan maka hal itu sungguh di luar dugaannya, Kaisar telah tahu bahwa dia bukan perawan lagi. Tanda kaisar itu memiliki mata tajam yang membuat dia terkejut.

Tentu saja begitu karena kaisar ini adalah laki-laki yang sudah matang pergaulannya dengan perempuan. Jadi tahu dan dapat membedakan mana yang perawan dan mana yang bukan, dengan melihat bentuk tubuhnya saja, dengan melihat potongannya, mungkin ditambah lagi dengan melihat sikap atau gerak-gerik wanita yang bersangkutan. Jadi sungguh bodoh kalau menganggap kaisar tak tahu apakah dia perawan atau tidak. Satu hal yang sudah dia buktikan. Sien Nio terkejut dan kagum juga. Tapi penasaran bahwa kaisar tidak perduli dia perawan atau bukan tiba-tiba Sien Nio ingin tahu lebih lanjut mengapa kaisar bersikap begitu.

"Maaf, bamba penasaran. Bolehkah hamba bertanya tentang sesuatu, sri baginda?"

"Tentang apa? Tentang keperawanan?"

Sien Nio lagi-lagi terkejut. "Dari mana paduka tahu?"

"Ha-ha, sinar matamu saja sudah memberi tahukan itu padaku. Sien Nio. Bahwa kau penasaran kenapa aku tidak marah bahwa kau tidak perawan lagi!"

"Benarl" Sien Nio hampir terpekik. "Apa yang paduka katakan sungguh benar, sri baginda. Itulah yang hamba pikir dan dengan cepat sekali paduka tebak!"

"Aku tidak menebak, aku memang tahu itu. Nah, apa yang mau kau bicarakan lagi?"

Sien Nio tertegun. Sekarang dia menyadari bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang lawan berat, laki-laki yang matang dan mahir pula membaca pikiran orang lain, hal yang membuat Sien Nio tergetar dan berdebar. Tapi kagum dan ingin tahu lebih lanjut akhirnya gadis ini bertanya, menggigil juga,

"Sri baginda, maafkan hamba. Hamba ingin bertanya sekedar menambah pengetahuan belaka. Paduka tadi mengatakan tak perduli akan keperawanan karena paduka lebih membutuhkan permainan yang bersifat menghibur. Padahal kebanyakan lelaki lebih mementingkan keperawanan daripada yang lain. Apakah sebenarnya yang membuat paduka berpandangau begitu? Bolehkah hamba tahu?"

Kaisar tersenyum "Kau serius?"

"Kalau paduka berkenan menjawabnya, sribaginda. Dan maafkan kalau hamba dianggap lancang."

"Baiklah, akan kujelaskan padamu," dan sang kaisar yang tertawa memandang gadis ini tiba-tiba memberi tahu, omongannya berbobot, "Sien Nio, ada dua hal yang membedakan gadis perawan dan yang tidak perawan. Yang pertama lebih bersifat dilayani, yang kedua melayani. Dan karena aku mengharap yang ke dua maka pilihan itulah yang kucari. Kau mengerti?"

"Tidak."

"Kalau begitu kau bodoh," kaisar tertawa. "Hal ini sebenarnya hal sederhana. Sien Nio. Bahwa antara yang melayani dan yang dilayani terdapat perbedaan besar."

"Hamba masih belum mengerti." Sien Nio merah mukanya, merasa kaisar itu memang pandai. “Hamba belum paham akan apa yang paduka maksudkan, sri baginda. Mohon pemberitahuan secara jelas agar hamba mengerti."

"Baiklah, kau tampaknya berminat belajar." dan kasar yang tersenyum membelai gadis ini sudah berkata, "Sien Nio, aku tak suka yang perawan karena aku mendapat pengalaman berkali-kali bahwa yang perawan masih bodoh. Aku hanya sekedar bersenang-senang, tak mengadakan ikatan dengan wanita yang berduaan denganku. Kalau dia bodoh dan harus banyak diberi tahu ini-itu bukankah kesenanganku terganggu? Aku ingin dihibur, bukannya menghibur. Jadi kalau mereka tak tahu apa-apa dan aku harus banyak memberi petunjuk maka kesenangan yang kuinginkan berobah mejadi kejengkelan! Kau pernah di buat jengkel lelaki?"

Sien Nio tertegun.

"Eh, kau pernah dibuat jengkel lelaki?"

"Per... pernah!" Sien Nio terkejut, gugup secara mendadak. "Hamba pernah dibuat jengkel lelaki, sri baginda. Dan hamba memang marah dibuatnya!"

"Nah, itulah," kaisar tertawa. "Begitu pula aku, Sien Nio. Gadis yang dibawa ke sini dan masih perawan ternyata harus diberi tahu ini-itu agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan ini berarti mereka harus dilayani, bukannya melayani. Dan karena aku tidak bermaksud mengadakan ikatan dengan mereka tentu saja aku tidak senang dan lebih baik memilih yang tidak perawan saja tapi pandai melayani laki-laki. Kau paham?"

Sien Nio tertegun. "Paham, lalu yang jenis ke dua itu, yang melayani itu, bagaimana, sri baginda?"

"Mereka tentu saja pandai. Aku tak repot-repot, mereka benar benar dapat menghibur dan memberi kesenangan padaku bukannya kejengkelan!"

Sien Nio mengangguk-angguk. "Begitukah?"

"Ya, kau mengerti?"

"Hamba mengerti. Tapi bagaimana perbedaan dasar di antara keduanya itu, sri baginda? Bolehkah hamba bertanya lebih lanjut? Maaf, bamba ingin tahu."

"Apa maksudmu?"

"Artinya apa kelebihan dan kekurangan masing-masing pihak itu, sri baginda Artinya kesimpulan apa yang harus diberikan pada kedua kelompok itu."

Kaisar tertawa. "Artinya untuk Kelompok yang pertama itu mereka menang penampilan. Sien Nio. Sedang yang ke dua menang dalam segi permainan."

Sien Nio terkejut. "Pêrampilan dan permainan?”

"Ya, tidakkah kau lihat itu? Gadis, yang masih perawan biasanya menang penampilan. Mereka itu masih suka 'gaya'. Padahal kalau mereka diajak bermain cinta sungguh kepandaian mereka itu nol besar. Mereka hanya terlagak, penampilannya memang boleh. Tapi sekali diajak main ranjang sungguh mereka itu menjemukan karena tak tahu apa - apa sama sekali. Nol besar!"

HALAMAN 13 sampai 14 HILANG

Sien Nio memang pandai, dia memang jagoan. Dan karena kaisar mendapatkan orang yang tepat dan Sien Nio pandai menghibur akhirnya malam itu Sien Nio tak kembali ke kamarnya sendiri, di mana Fang taijin menunggu dan harap-harap cemas akan kembalinya selirnya itu. Kekeringan sendiri di bagian yang lain. Dan ketika keesokan harinya Fang-taijin bangun dengan kaget karena seorang pengawal mengetuk pintunya mendadak dia ganti dipanggil kaisar.

"Maaf, hamba diutus kembali, taijin. Sri baginda memanggil paduka!"

"Ada apa?” Fang-taijin pucat. "Ada kesalahankah?"

“Hamba tak tahu."

"Dan di mana Sien Nio?"

"Hamba juga tak tahu, taijin. Tapi semalam berada di kamar sri baginda."

"Ah, baiklah. Tunggu sebentar...!" dan Fang taijin yang gugup dan pucat membayangkan kesalahan tiba-tiba sudah mengikuti sang pengawal menghadap kaisar. Di tengah perjalanan kebat kebit tak tahu apa kira-kira yang membuat kaisar memanggilnya, mungkin ada hubungan dengan Sien Nio. Barangkali Sien Nio kurang ajar dan tidak menyenangkan kaisar. Atau hal lain yang tidak dia ketahui.

Tapi ketika dia tiba di sana dan kaisar memberi tahu padanya bahwa Sien Nio hendak dimintanya sebagai selir mendadak gubernur ini tertegun dengan mata terbelalak, hampir tak mempercayai telinga sendiri dan nyaris menolak. Kembang kesayangannya diminta orang lain. Tapi karena yang meminta itu adalah kaisar dan dia terang tak berani menolak akhirnya pembesar ini gigit jari menganggukkan kepalanya.

Betapapun dia tak berani main-main. Hidup matinya di tangan junjungannya itu. Sekali menolak tentu dia akan mendapat banyak gangguan. Yang jelas pangkatnya dicabut dan mungkin nyawanya ikut dicabut pula. Maklum dia menghadapi orang yang påling top kekuasaannya. Kekuasaan lagi-lagi mengalahkan segalanya.

Dan ketika gubernur ini gigit jari dan pulang kembali ke Hu peh maka sejak saat itu Sien Nio tinggal di istana menjadi selir kaisar. Sungguh kemajuan yang luar biasa pesat, mengingat Sien Nio dulunya gadis desa, perawan kampung! Dan Fang taijin yang pulang ke Hu peh dengan tangan hampa dibuat lebih mendongkol lagi karena Sien Nio yang dimanja dan disayangnya itu sama sekali tak mau memberi ucapan selamat berpisah. Sungguh menyakitkan!

Tapi Fang-taijin mendapat imbalan lain. Kaisar membebaskannya selama lima tahun untuk memberi upeti. Jadi upeti itu menambah kekayaan gubernur ini sendiri. Dan karena Fang-taijin lagi kecewa dan mendongkol oleh semuanya itu maka Sebagai gantinya pembesar ini lalu mencari Sien Nio-Sien Nio lain untuk pelampias kecewanya.

Sien Nio memang tak dapat ditemui lagi sejak dipanggil kaisar itu. Gadis ini telah memasuki era kehidupan baru. Kemewahan dan kenikmatan memandikannya di tempat ini, bergelimang harta dan perhiasan perhiasan menarik yang diberikan kaisar kepadanya. Maklum, kaisarpun mabok dan jatuh sayang padanya. Bukan karena apa-apa melainkan karena kepandaiannya bermain cinta itu. Kaisar mendapat lawan setingkat.

Tapi karena kenikmatan nafsu berahi tak kenal artinya puas yang sejati maka beberapa bulan kemudian kaisar mulai jarang minta dikunjungi Sien Nio, hal yang membuat Sien Nio mengerutkan kening, karena itu berarti permintaannya akan ini-itu berkurang. Kaisar tak memberinya hadiah lagi. Lama-lama kok terasa "pelit" dan Sien Nio penasaran, ingin tahu sebabnya. Dan ketika dia tahu sebabnya bahwa kaisar mendapat selir baru yang tak kalah cantik dan pandai dengannya tiba-tiba saja Sien Nio sakit hati dan marah. Itulah kenikmatan badan.

Kenikmatan badan selalu berhubungan dengan ego. Rasa keakuan. Semakin dituruti semakin menggila. Rasanya memang "syur" tapi hanya membawa kebahagiaan semu, bukan abadi bukan sejati. Ah, jauh dari itu. Dan karena kaisar memang hanya mencintai kenikmatan badani ini dan bukannya cinta yang luhur maka itulah pula yang didapatkan kaisar ini. Dia memburu kesenangan, bukan kebahagiaan.

Dan karena kesenangan itu selalu berubah ubah dan menganggap yang di depan mata lebih menyenangkan dan lebih "syur" lagi maka apa yang dilakukan Sien Nio dan telah berulang kali dinikmati kaisar ini sudah tidak seperti dulu lagi kenikmatannya. Ada semacam "erosi" di situ. Kenikmatan itu mulai digorogoti rasa bosan jemu. Kaisar merasa jenuh dan butuh pembaharuan, penyegaran.

Dan karena hubungan badan yang kerap dengan orang yang itu itu saja menimbulkan keausan akan rasa nikmat maka tak ayal kaisar meminta lagi sesuatu yang baru, yang belum pernah berhubungan dengannya. Wanita segar, yang masih mak nyus. Dan karena kaisar orang yang berkuasa dan kekuasaan mampu memberikan segala galanya yang berbau duniawi maka tak lama kemudian kaisar telah mendapatkan apa yang diingini ini. Seorang gadis cantik, mulus dan tak kalah pandai dengan Sien Nio.

Diam-diam telah menyuruh seorang thaikam (pembesar kebiri) mendidik dan memberi pelajaran bercinta pada gadis baru itu, le Yang. Hasil didikan atau "resep" yang ditetahui kaisar dari Sien Nio sendiri, Jadi Kaisar "mencuri" kepandaian gadis itu untuk diberikan pada le Yang, melalui seorang thaikam. Dan karena le Yang mampu memberikan kesenangan dan kenikmatan yang tak kalah dibanding Sien Nio maka lantas saja kaisar segera memilih gadis ini yang dianggap baru. Belum ada kejenuhan atau kebosanan baginya.

Dan Sien No yang marah melihat semuanya itu tiba-tiba dengan berani dan nekat menyuruh seseorang, seorang dayang, membunuh le Yang, lewat minuman beracun. Persis hasil pengalamannya dulu di rumah Boen-taijin, di Cun tien!

Gegerlah istana. Kaisar marah-marah, menyuruh orang menyelidiki dan Sien Nio ketahuan. Dayangnya ditangkap. Dan ketika dayang itu mengaku dan Sien Nio terseret akhirnya dengan menangis tersedu-sedu Sien Nio mengakui perbuatannya. Kaisar terbelalak, Sien Nio menyatakan itu karena camburu. Tapi ketika Sien Nio hendak di hukum dan Sien Nio muntah-muntah mendadak kaisar tertegun dan seorang tabib berseru tertahan,

"Dia berbadan dua...?"

Sien Nio kiranya mengandung. Dia telah hamil menerima benih kaisar, tentu saja kaisar terkejut dan membatalkan hukumannya tak mungkin membunuh Sien Nio karena Sien Nio berbadan dua. Selirnya itu akan memberikan keturunan. Dan karena urusan itu memang bersifat intern dan perbuatan Sien Nio dilakukan karena kelalaian kaisar sendiri yang sudah tidak menengok seliraya ini akhirnya Sien Nio diampuni dan dibebaskan dari hukuman, karena telah mengandung itu. Satu keberuntungan yang membuat dia selamat. Dan ketika beberapa bulan kemudian dia melahirkan anaknya laki laki dan kaisar girang mendapat keturunannya ini maka perbuatan Sien Nio dianggap habis dan urusan diputus sampai di situ saja.

Tapi satu kerugian Sien Nio yang tidak tampak di depan mata. Dia dianggap tak baik oleh kaisar. Wataknya culas. Kaisar mulai mengenal selirnya ini jahat dan keji. Tapi karena Sien Nio tak melakukan apa-apa lagi setelah peristiwa itu maka kaisar pun tak mendapatkan bukti dan bisa saja pada selirnya biasa yang satu ini. Tahun demi tahun lewat tanpa sesuatu yang berarti. Semuanya tenang. Begitu kelihatannya. Dan ketika tiga puluh tahun lewat dan Sien Nio tak menunjukkan tingkah yang macam-macam lagi maka kaisarpun pulih kepercayaannya dan menganggap Sien Nio sudah baik.

Inilah kelengahan mengamati manusia. Manusia adalah mahluk hidup, dia terdiri dari dua unsur, positip dan negatip. Jadi kalau menganggap manusia positip saja dan melalaikan yang negatip ini maka itulah kelengahan si pengamat. Sien Nio memang baik, begitu lahirnya, Kaisar tak tahu bahwa kebaikan ini adalah kebaikan semu yang dipulas Sien Nio. Betapa pun, Sien Nio akhirnya tahu bahwa kaisar telah mencap dirinya sebagai wanita yng culas.

Tentu saja dia hati-hati dan tidak berani sembrono lagi setelah pembunuhan terhadap le Yang. Wataknya dirobah seratus delapan puluh derajat dengan sikap buatan. Ambisinya tak padam, sejenak terhenti setelah dia merasakan enaknya menjadi selir kaisar. Jelek jelek punya kekuasaan yang "lebih" juga, apalagi kalau dibandingkan sewaktu dia masih di tempat Pin-loya, perkampungan tuan tanah itu. Oh, hidupnya sekarang jauh lebih baik. Bahkan amat baik, teramat baik. Tapi karena seperti telah di ceritakan di depan kaisar tak kerap lagi menghubungi gadis ini karena kejemuan mulai melanda Kaisar itu maka keistimewaan Sien Nio lama-lama dianggap biasa.

Sien Nio, meskipun masih diperhatikan tapi tidak seperti dulu-dulu lagi. Tidak seperti waktu pertama kalinya. Maklum, cinta yang bersifat badani memang begitu. Dan ketika Sien Nio mengandung dan kaisar mencari kesenangannya pada selir lain kodrat yang satu ini memang tak dapat ditolak, Sien Nio telah tersingkir, kasih sayang kaisar juga agak berkurang. Dan ketika semuanya itu ditambah dengan kelahiran putera mahkota dari rahim permaisuri tiba-tiba Sien Nio merasa terancam kedudukannya.

Kaisar melimpahkan kasih sayangnya pada putera mahkota itu. Tak perlu diherankan, itulah calon pemimpin negara. Dan ketika tahun demi tahun lewat sementara putera mahkota juga menjadi besar dan anak Sien Nio sendiri juga menjadi laki laki dewasa yang tumbuh sehat maka Sien Nio yang menyimpan ambisi setinggi langit ini mulai mengatur rencana. Dia merasa dirinya kian tua. Kaisar hampir tak pernah lagi menjamahaya sejak dia berumur tiga puluh lima tahun. Sungguh sakit dia. Tapi Sien Nio yang pandai menyimpan perasaan dan menekan nekan semua keinginannya mencoba bersabar untuk melihat saat yang baik. Dan saat itu akhirnya tiba.

Puteranya dicalonkan menjadi penasihat kaisar, kelak kalau putera mahkota sudah menggantikan kedudukan ayahnya. Tentu saja itu berkat perjuangan Sien Nio yang merengek-rengek pada kaisar. suatu hari berhasil mendapat janji kaisar ketika anaknya berumur sembilan tahun, di saat dia melayani dan membangkitkan kalsar akan kenangan lama mereka. Kenikmatan dan kesenangan yang telah dia berikan pada si kaisar itu. Dan ketika putera mahkota resmi ditentukan sebagai pewaris tahta dan putranya menjadi calon penasihat maka di saat ini lah Sien Nio mulai menunjukkan watak kejinya dulu.

Siapakah putera wanita ini? Pembaca dapat menduga. Benar, dialah Pangeran Muda. Pangeran yang mewarasi kecerdikan ibunya dan kini mulai mengumpulkan datuk datuk sesat itu. Moong dan teman temannya. Tentu saja ibunya berada di belakang layar. Dan karena Sien Nio telah menyiapkan rencananya ini bertahun-tahun lamanya dan sabar menanti saat yang baik maka Pangeran Mudapun tak dapat banyak bertindak kalau ibunya itu belum memberi isyarat.

Dan titik rencana mulai disulut. Pangeran Muda melalui pengaruh ibunya sudah mulai mengadakan persekutuan dengan petugas pembesar-pembesar durna tamak harta dan kedudukan. Mereka itu menjadi incaran Sien Nio yang pandai. Betapapun Sien Nio mengenal watak orang-orang tertentu yang ada di sana seperti Mao-taijin dan lain-lainnya itu. Pembesar yang rakus dan loba akan harta. Pengetahuan Sien Nio yang luas cukup membuat segan orang-orang istana.

Dan ketika satu demi satu semua rencana sudah diatur dan sumbu dinamit sewaktu-waktu dapat diledakkan maka Sien Nio mulai tersenyum keji melihat persiapannya yang matang. Wanita ambisius ini mulai siap mendudukkan puteranya menjadi orang paling berkuasa di negara itu, Puncak kepercayaannya menjadi kuat setelah Gurba masuk. Tokoh bangsa liar yang dikenal hebat itu. Dan ketika senyum itu semakin melebar dan Sien Nio yakin akan keberhasilannya tiba-tiba gadis remaja yang telah menjadi wanita setengah umur ini memencet tombol dan hilang di balik pintu rahasia.

* * * * * * * *

Agaknya lama kita tak mengikuti Gurba. Kisah Sien Nio si gadis desa telah kita ikuti. Itulah gambarannya. Bagaimana dengan raksasa tinggi besar ini? Sebenarnya sama saja cuma beda kembangnya. Gurba dibuat kecewa oleh urusan cinta. Gagal dan kini terhasut bujukan Pangeran Muda. Terpikat dan tergila-gila oleh obat kecewa berupa Wan Cu, si cantik yang disodorkan Pangeran Muda untuk menjerat raksasa tinggi besar itu, yang dibutuhkan tenaganya karena Gurba amat lihai. Di antara kelompok Mo-ong dialah yang memiliki kepandaian paling tinggi, memang paling hebat. Dan Gurba yang tunduk pada perjanjian untuk mengadakan serangan di luar tembok besar segera menanti dan mengumpulkan bekas suku-suku nomad yang dulu tercerai berai.

Tak sukar bagi raksasa ini untuk menemui suku bangsanya, tapi ia tak mudah baginya untuk membujuk mereka itu. Karena peristiwa dulu, "perzinaan" Gurba dengan Bi Nio ternyata menimbulkun semacam trauma bagi bangsa Tar tar, terutama bagi kelompok Munga yang tewas di tangan Siga, pembantu Gurba ini. Dan ketika Gurba datang ke sana dan disambut kelompok itu maka pandang mata keraslah yang dia hadapi. Gurba membelalakkan mata.

"Mana Siga?" Tak ada yang menjawab. "Hei, mana Siga! Tulikah kalian?" Gurba menjadi marah, menyambar seorang di antaranya yang berdiri paling depan. Hampir membanting orang itu kalau seseorang lain tidak datang, seorang pemuda bertubuh tegap bermata lebar, di tangannya tergenggam sebatang tombak.

Dan ketika Gurba marah-marah dan pemuda ini menyeruak di antara kerumunan orang orang akhirnya pemuda ini berhadapan dengan Gurba. "Hanggoda, lepaskan orang itu. Sebaiknya kau bicara dengan aku!"

"Gurba tertegun. "Kau siapa?" dia lupa lupa ingat.

"Aku Bora, adik dari Munga!" dan Gurba yang segera mengenal orang ini dan melempar laki-laki yang di cengkeram tiba-tiba berkilat matanya melangkah maju.

"Bagus, aku ingat kau. Kau benar Bora, adik dari Munga. Mana Siga dan kenapa orang-orang ini melotot seperti tikus kelaparan?"

Bora, pemuda yang memiliki mata lebar itu mendengus. "Kami tidak tahu di mana Siga, hanggoda. Tapi kami tak ingin kau menginjakkan kaki di sini!"

"Kenapa?"

"Bangsa Tar-tar tak menerima tamu yang telah melakukan perbuatan hina. Dan kau telah melakukan apa yang menjadi pantangan bangsa kami, berjina dengan Bi Nio!"

"Keparat!" Gurba tiba-tiba menggeram, marah sekali. "Kau berani bicara seperti itu di depan aku, Bora? Kau minta kubanting?"

Bora tersenyum mengejek. Sekumpulan orang disekeliling dirinya tiba-tiba maju, melindungi pemudà ini. Tahu bahwa Gurba amat tinggi kepandaiannya dan Bora bisa dibunuh raksasa itu kalau Gurba marah. Betapa pun mereka cukup mengenal kehebatan Gurba yang bekas pemimpin ini. Tapi Bora yang mengembangkan lengan menyuruh orang orangnya minggir tiba-tiba dengan dada terangkat dan tombak melintang melangkah maju.

"Hanggoda, kami tahu bahwa kami mungkin bukan lawanmu. Kau kebal, ilmu silatmu tinggi dan aku tentu mampus melawan kesaktianmu yang luar biasa. Tapi kami kelompok Tar tar yang tetap menjunjung kegagahan dan keperwiraan sebagai laki-laki jantan tak takut kau mau membunuh kami atau tidak. Aku sekarang pemimpin disini, teman-temanku meminta aku yang bodoh memimpin mereka, tak dapat kutolak. Kalau kau memang tak memusuhi kami dan mencari Siga sebaiknya kau pergi dan cari pemuda itu di lain tempat. Tapi, kalau kau memang mau memusuhi kami dan mencari keributan aku akan maju menghadapimu membela suku bangsaku meskipun untuk itu aku harus mampus di tanganmu!"

Gurba tertegun. Dia marah besar, tangan siap terayun melepas pukulan maut. Tapi melihat kegagahan dan kejantanan pemuda ini tiba-tiba dia membelalakkan mata berseru menggigil. "Bora, kau berani mengucapkan kata-kata seperti itu di depan aku yang pertama memimpin kalian? Aku datang bukan untuk membunuh, melainkan mengumpulkan kalian untuk bersatu seperti dulu, menyerang musuh!"

"Dan kembali beralasan terjebak kalau musuh mempergunakan wanita. Hm... kami tak mau bersatu denganmu, Hanggoda Kau telah meninggalkan titik noda yang tidak dapat kami hapus. Hidup atau mati kami ingin sendiri"

Bora menancapkan tombaknya, tegas dan gagah bukan main sehingga Gurba terpukul. Raksasa itu menggereng dan hampir mencelat maju. Tapi melihat yang lain tiba-tiba maju melindungi Bora dan orang itu kelihatan benci memandangnya tiba-tiba seorang kakek bersera nyaring,

“Gurba. kau boleh membunuh Bora. Boleh saja mencincang dan menyiksa dia. Tapi kalau kelompok tak mau turut padamu dan membenci dirimu maka percuma saja kau memaksa kami. biarpun kau membunuh kami semua!"

Gurba tertegun. "Kau kakek Yami?"

"Ya, aku si tua Yami..."

"Dan kau membela si tolol ini?"

"Bukan aku saja, Gurba. Melainkan semua orang yang kau anggap tolol di sini?"

Gurba terhenyak. Dia memang tahu keteguhan suku bangsa Tar-tar ini. Kekerasan hatinya, Kejantanannya dan sikap tidak mau kalah terhadap orang lain. Mereka boleh dibunuh tapi pantang dihina. Dan Gurba yang tertegun memandang si tua Yami tiba-tiba mengeluh dan mundur terhuyung. "Kakek Yami, aku datang bukan untuk membunuh kalian. Aku datang untuk minta bersatu!"

"Tapi kami tak dapat menerimamu Gurba. Hanya mengingat jasa jasamu di waktu yang lalu kami masih menyambutmu baik-baik, masih mau bercakap-cakap. Kalau tidak tentu kami sudah menyerangmu untuk membunuh atau dibunuh!"

Gurba menggerang. Dia mendelik memandangi semua yang ada di situ, sakit hatinya, terpukul perasaannya. Tapi karena dia datang bukan untuk menghajar orang-orang ini melainkan meminta mereka bersatu dan menyerang istana diapun jadi bingung menghadapi orang-orang ini, bekas anak buahnya yang keras dan tegar hati. Tak tahu harus berbuat apa. Tapi ketika dia terbelalak dan Bora serta anak buahnya tajam memandang raksasa itu dengan pandangan tak bersahabat tiba-tiba angin berkesiur disusul menancapnya sebuah lembing di depan kaki Bora, diiringi bentakan seorang laki-laki.

"Bora, kau tak tahu adat menyambut pemimpin besar. Aku Siga datang menegur perbuatanmu...!" dan begitu seseorang melompat ke depan dan Bora serta orang orangnya terkejut maka muncullah seorang pemuda lain yang datang melepas kemarahan, di pundaknya tampak seekor rusa yang berlumuran darah. Rupanya baru diburu, mati dan kini dilempar pemuda itu di atas tanah, Siga, pemuda gagah yang menjadi andalan Gurba ketika menyerang kota raja.

Bora dan lain-lain mundur selangkah, terkejut oleh kedatangan Siga yang gagah ini. Dan ketika Bora tertegun dan kakek Yami juga terkejut maka suara berkerosak menyeruak padang rumput disusul bayangan ratusan laki-laki yang muncul bagai iblis di tengah padang ilalang.

"Hanggoda, kami datang...!"

Kakek Yami dan lain-lain semakin terkejut. Itulah orang-orangnya Siga, kelompok lain yang dipimpin pemuda itu semenjak mereka pecah menjadi dua. Bora dengan orang-orangnya di satu pihak sedang Siga dengan kelompoknya sendiri di pihak lain. Suku Tar tar terpecah oleh kejadian dulu, akibat perbuatan Bi Nio yang menjebak Gurba dalam hubungan terlarang.

Kelompok Bora mengutuk peristiwa itu meskipun Siga menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Gurba tidak sengaja. Bahwa musuh sengaja menjebak pemimpin mereka untuk melakukan perbuatan terkutuk. Agar mereka terpecah-belah. Dan ketika ratusan laki-laki itu muncul dan meneriakkan nama Gurba dan menjatuhkan diri berlutut maka Siga yang sudah memberi hormat pada pemimpinnya itu berseru,

"Hanggoda, kami datang sebagai anak buahmu yang setia. Kami lama menunggu-nunggu kedatanganmu. Kalau Bora dan teman-temannya tak mau ikut kau biarlah tinggalkan si pandir itu untuk memimpin kami. Bora dan teman-temannya orang-orang picik, serta bodoh dan tolol. Sebaiknya tinggalkan mereka dan pimpinlah kami."

Bora marah. Tapi Gurba yang girang oleh munculnya Siga tiba-tiba melompat maju. menepuk pundak Siga yang tegap dan kuat. "Siga, kau datang membawa pasukanmu?”

"Ya, kami datang mendengar suara Hanggoda. Dan kami siap membela namamu dari Bora dan orang-orangnya itu!"

"Tidak, kalian tak boleh bertempur. Kalian tak boleh berkelahi” dan Gurba yang gembira membelalakkan matanya buru-buru mengulapkan lenganya ke atas. “Hei…” serunya lantang. Kalian adalah orang-orang satu suku. Kita bangsa Tar tar yang besar. Tak perlu menumpahkan darah sesama teman sendiri."

Bora menjengek. "Tapi kami tidak mengakui dirimu, hanggoda. Kami kelompok terpisah yang tidak ingin hidup bersama kalian!"

Siga marah. "Bora, tahan mulutmu. Hanggoda adalah pemimpin besar suku kita. Dialah yang menyatukan kita dan membuat bangsa Tat-tar bangsa yang besar!"

"Itu dulu, Siga. Kami tak mengakui dirinya lagi sejak dia berbuat zina dengan wanita pedalaman itu. Bangsa Tar-tar pantang menerima anggautanya yang berjina dengan Isteri orang lain!"

"Keparat.." Siga membentak. "Kau tak tahu malu menghina pemimpin besar, Bora? Ku robek mulutmu nanti, kubunuh kau!"

"Hm, dengan bantuan hanggoda ini? Boleh, Siga, majulah dan biar aku mati membela kelompok ku!"

Bora tersenyum mengejek, Siga memekik dan hampir melompat maju. Suasana menjadi panas. Tapi Gurba yang menggeleng tak menghendaki keduanya bertempur tiba-tiba maju ke depan mencengkeram bahu dua pemuda itu.

"Siga, Bora, aku tak menghendaki kalian berkelahi. Mundur!" dua pemuda itu terpelanting, baik Bora maupun Siga tentu saja tak dapat menerima kekuatan Gurba, masing-masing mengeluh tapi melompat bangun lagi dengan mata melotot. Dan ketika mereka beradu pandang dan orang-orangnya Bora mengepung dengan senjata terangkat tiba tiba Siga berseru lantang mengacungkan tombaknya.

"Hanggoda, biarkan aku menghadapi orang-orang ini. Namamu patut dibela, Bora memang tak tahu diri dan biarkan kami selesaikan persoalan ini dengan cara kelompok suku!" dan belum Gurba melarang atau bertindak sesuatu tiba-tiba Siga sudah menyuruh orang-orangnya mundur, menantang Bora. "Bora, urusan di antara kita rupanya sudah mencapai puncaknya. Hanggoda di sini, biarlah kita tentukan persoalan kita dengan cara jantan. Beranikah kau menerima duel perorangan dan bertanding cara Tar-tar?"

Bora mengangguk. "Aku tak takut ancaman mu, Siga. Tapi jelaskan dulu arti tantanganmu apakah kau dibela Hanggoda atau tidak. Kalau kau berdua mau maju tentu aku kalah, kita tak usah bertanding dan kuberikan kepalaku secara cuma-cuma!"

"Tidak!" Siga membentak. "Hanggoda di sini hanya sebagai saksi, Bora. Siapa yang curang harus mendapat hukumannya kita berdua bertanding secara jantan, siapa kalah sisa kelompoknya harus mengikuti yang menang. Kau berani?"

Bora terkejut. "Kenapa membawa-bawa kelompok?"

"kau takut?"

"Siapa takut?" Bora meradang. "Hanya ini pertandingan berdua, Siga. Kenapa membawa bawa orang lain sebagai taruhan? Aku siap membunuh atau dibunuh, tapi anak buah kita sebaiknya tak perlu diikut sertakan!"

"Kalau begitu kau dan kelompokmu pengecut. Coba dengar apa yang diserukan anak buah ku.... heii..." dan Siga yang langsung menghadapi orang orangnya sudah berseru. "Apakah kalian takut kalau aku kalah dalam pertandingan ini dan menjadi pengecut yang tidak setuju dengan caraku ini dan siap membantah?"

Pengikut Siga memekik, "Tidak, kami tidak takuti siapa pun, Siga. Kalau kau mau bertanding dengan cara Tartar dan mempertaruhkan kami sebagai taruhan tentu saja kami tak akan menolak. Kau adalah pemimpin kami, setelah Hanggoda. Karena itu apa yang kau lakukan tak akan kami tolak karena kami tahu bahwa yang kau lakukan sebenarnya adalah demi kami juga, bangsa Tartar yang gagah perkasa!"

"Nah, kau dengar, Bora?" Siga mengejek. "Orang orangku siap mendukungku dalam pertarungan ini. Kalau kau dan orang-orang pengecut tak berani menerima tantangan sebaiknya tak perlu mengaku sebagai bangsa Tar-tar yang gagah dan perwira!"

Bora terpukul. Sikap dan kata-kata lawan memang tegas sekali. Dia diajak taruhan, duel cara Tar tar di mana pemimpin lawan pemimpin dengan anak buah sebagai taruhan. Yang kalah harus menyerahkan diri dan kelompoknya harus mengikuti kelompok yang menang. Padahal dia menghendaki duel itu bersifat pribadi saja, tak usah mengikut sertakan anak buah. Tapi karena anak buah Siga sudah menyatakan pendapatnya sementara dia dan anak buahnya tentu saja tak boleh kalah muka, Bora termangu sejenak dengan muka merah padam. Bora harus mengikut Siga, menolak berarti pengecut. Dan Bora yang sudah membalikkan badan menghadapi anak buahnya akhirnya bertanya dengan nada geram, "Bagaimana, kalian berani menerima tantangan?"

Serempak kelompok Bora mengangguk. "Kami berani, lakukan saja, Bora. Kami juga bukan pengecut dan mempercayakan kemenangan padamu!"

Bora menghadapi Siga kembali. "Nah, kau dengar. Kelompok Bora bukan manusia penakut Siga. Kalau kau menantang kami tentu saja kami terima. Aku siap mempertaruhkan nyawaku demi kelompok sukuku!"

"Bagus, kau memang jantan. Kalau begitu mari kita mulai, masing-masing kelompok sebagai Saksi!" dan Siga yang meraih tombak seorang pembantunya dan melemparkannya pada Bora akhirnya dibalas dengan hal yang sama ketika Bora melemparkan tombaknya.

Masing-masing bertukar tombak lawan, boleh memeriksa dan minta ganti kalau mendapatkan sesuatu yang mencurigakan. Biasanya pantang mereka memberikan tombak yang retak, Dan ketika masing-masing memeriksa dan menerima tombak lawan akhirnya dua-duanya minta disediakan seekor kuda. Itulah cara orang Tar tar duel. Mereka akan mengadu kepandaian di atas kuda, saling menusuk dan menyerang di atas kuda. Kalau salah satu roboh dan tewas maka yang lain dianggap menang.

Tapi kalau tombak sama-sama patah maka mereka boleh minta yang baru sampai tiga kali berturut turut. Dan kalau masih juga seri maka mereka akan bertarung tanpa senjata, di atas tanah. Saling banting dan cekik, pertarungan gulat sampai salah satu roboh, atau menyerah. Dan ketika kuda telah disiapkan dan masing-masing kelompok mundur menjauhi arena maka Siga dan Bora telah melompat di atas punggung kuda masing-masing.

"Bora, arah mana yang kau inginkan?"

"Aku di barat, kau di timur."

"Baik dan Siga yang bertukar tempat menuju arah timur akhirnya mencemplak kudanya menuju tempat itu. Genderang tiba-tiba dipukul dari dua kelompok besar itu memperhatikan tindak tanduk keduanya, betapa pun ketegangan menyelinap di hati mereka. Siga dan Bora sama-sama pemuda yang pandai mainkan tombak, begitu pula dalam hal menaiki kuda. Masing-masing agaknya tak berbeda jauh. Dan ketika semuanya siap dan Bora menuju arah barat maka terompet ditiup sebagai tanda dimulainya serangan.

"Bora, maju...!"

Bora mengangguk. Di pihak sana Siga juga sudah menarik tali kekang kudanya. Keduanya bergerak cepat dan masing-masing sama berdérap untuk menghampiri lawan, tombak terangkat dan Siga maupun Bora memandang beringas. Dan ketika kuda sama berpacu dan masing masing tuannya membentak tinggi maka dua ekor kuda itupun mencongklang mendekati yang lain.

"Hyahh...!"

Orang-orang memandang tegang. Derap kaki kuda seakan menghentak-hentak jantung mereka, mendebarkan dan membuat degup meloncat-loncat. Dua pemuda itu telah saling menghampiri dengan cepat. Dan ketika mereka berpapasan dan Siga maupun lawan memekik menusukkan tombaknya maka dua senjata panjang itu bertemu di udara.

"Crang..!"

Siga dan lawannya terputar. Kuda mereka tak kuat menahan benturan, meringkik dan ikut terputar setengah lingkaran, kedua kaki diangkat. Siga dan lawan cepat merangkul leher kuda dan menenangkan kuda itu. Dan ketika kuda menurunkan kakinya kembali dan mereka cepat mengendalikan kuda maka masing-masing sama berputar dan menusukkan tombaknya lagi.

"Crang-crang!"

Dua tombak sudah mulai berdentingan. Siga dan Bora mengadu kecepatan, tentu saja juga kekuatan. Dan ketika keduanya mulai berlaga dan tombak saling tusuk dan tikam akhirnya dua pemuda Tar tar ini sering menyerang dan bertempur di atas kuda. Seru dan ramai karena mereka harus mendahului yang lain mencuri kelengahan. Sekali kena tentu yang lain roboh.

Bora tampak lebih ganas karena pemuda ini teringat kematian saudaranya, Munga, di tangan Siga dulu yang membuat bangsa Tar tar pecah dan tersibak menjadi dua kelompok. Dan ketika Bora membentak-bentakkan tombak di tangannya mematuk kiri kanan bagai singa haus darah maka Siga melayaninya dengan tenang tapi hati hati.

Di sinilah mulai tampak perbedaan. Bora kelihatan beringas, sementara Siga melawannya hati-hati. Keduanya memiliki tenaga berimbang tapi Bora kelihatannya lebih kuat, tenaganya besar tapi sering meleset karena kelitan Siga yang manis. Dua tiga gebrakan membuat Siga terdorong. 0rang melihat Siga kalah posisi. Tak lama kemudian sering merangkis daripada menyerang. Sering mundur-mundur dalam usahanya mengelak Juga mata tombak Bora yang mengejarnya tak kenal ampun. Dan ketika satu saat baju pundak Siga termakan tombak lawan mendadak kelompok Bora berteriak gemuruh.

"Bagus, desak terus, Bora. Bunuh dan lemparkan lawanmu dari atas kudanya!"

Bora mendapat semangat. Dia tertawa mengejek, matanya nyalang penuh nafsu membunuh, mencecar dan terus mendesak Siga. Kuda mereka sering meringik karena perut sering dijepit, kesakitan dan terus beringas, seperti tuannya. Dan ketika Bora kembali berhasil menyontek rambut Siga dan hampir pemuda itu dicoblos kepalanya maka kelompok Bora terjingkrak-jingkrak penuh kegembiraan.

"Bora, bunuh dia. Coblos sedikit ke bawah!"

Bora tertawa bergelak. Dia merasa gembira melihat lawan mundur mundur. Siga tampak kewalahan tapi belum berhasil juga dilempar dari kudanya, hal yang membuat dia gemas, juga penasaran. Dan ketika kelompoknya mulai histeris dan Siga bermandi peluh maka Bora menyeringai girang berkata sombong. "Kau kalah, sebaiknya menyerah dan lepaskan tombakmu, Siga. Minta ampun dan nyatakan dirimu kalah!"

"Tidak, aku masih kuat. Kau jangan sombong, Bora. Keadaan bisa berbalik dan kesombonganmu akan menjatuhkan dirimu."

"Ha-ha, tak mau menyerah? Kalau begitu kau akan kubunuh...wutt!" dan tombak di tangan Bora yang menusuk panjang menikam lawan tiba-tiba ditangkis dan membuat Bora terbelalak.

Siga masih hebat tenaganya dan mereka pun sama tergetar, terdorong. Tapi begitu Bora membentak dan berteriak nyaring tiba-tiba pemuda ini menubruk dan maju lagi, menyerang tapi kini dikelit dan dihindari lawan, Siga seakan takut menghadapi tombak Bora. Tentu saja Bora marah-marah dan memaki Siga pengecut. Dan ketika Siga tersenyum dan mulai menjauhkan kudanya mendadak Siga bertempur sambil lari menghindar!

"Licik! Pengecut! Kau tak jantan, Siga. Kau curang...!"

Siga tertawa. Dia membuat semua orang membelalakkan mata, bahkan pihaknya sendiri mengerutkan kening. Perbuatan itu dianggap pengecut dan menurunkan harga diri. Dan ketika Bora memaki-maki dan terus menyerang tapi selalu luput mengenai sasaran tiba-tiba Siga berbalik menerima tusukan tombak lawan.

"Crang...!"

Bora kaget setengah mati. Dia melihat tenaga sendiri berkurang amat banyak, kiranya terbuang sia-sia ketika mengejar Siga tadi. Tahulah dia bahwa Siga menang mempergunakan taktik begitu. Yakni membiarkan dia membuang-buang tenaga percuma karena Siga selalu mengelak dan berkelit, menghindarkan diri sementara lawan memboroskan tenaga. Jadi Bora menyerang sia-sia sementara lawan menyimpan tenaga, Bora terjebak. Dan ketika Siga maju tertawa dan balik menyerang tiba-tiba Bora mengeluh ketika tombak terpental dan lawan terasa masih tegar.

"Ha ha, bagaimana, Bora. Kau masih sombong dengan kata-katamu tadi?"

Bora mendelik. Sekarang dia merasa tertipu, sadar bahwa lawannya ini kiranya Cerdik. Tidak mempergunakan otot saja melainkan juga akal. Dia terperangkap, kini diserang dan ganti dicecar Siga. Kelompoknya tiba-tiba diam sementara kelompok Siga berteriak-teriak, girang melihat pemuda itu mendesak Bora. Dan ketika baju pundak Bora tertusuk tombak dan robek memberebet panjang maka kelompok Siga berseru gemuruh meneriaki jagoannya.

"Bunuh, lempar dia dari kudanya, Siga. Tusuk dan tikam jantungnya sampai mampus...!"

Siga tertawa. Bora pucat melihat lawan menyerang terus, tenaga kian lemah karena tadi terbuang percuma oleh nafsu yang tak terkontrol. Dan ketika kembali dia menangkis tapi tombak hampir terlepas dari tangannya mendadak Siga ganti mengejek, "Bora, kau akan kalah. Sebaiknya menyerah dan cepat minta ampun!"

"Siapa mau?" Bora marah. "Aku belum roboh, Siga. Senjata masih kupegang teguh. Tak perlu banyak mulut!" dan Bora yang mulai berputar-putar di atas kudanya mengelak serangan tombak tiba-tiba berkelit dan mulai menghindar dengan cara seperti Siga tadi. Kini membiarkan lawan membuang tenaga sementara dia memulihkan diri. Kuda diajak berlarian menghindar hingga sergapan lawan selalu luput.

Dan ketika Bora menjauhkan diri dan bertempur dengan cara kucing-kucingan seperti itu dan Siga tertegun maka pemuda ini mengumpat melihat Bora mempergunakan taktiknya untuk membalas dengan cara yang sama! "Keparat, kau licik, Bora. Kau pengecut...!"

"Ha ha, siapa pengecut? Kaupun tadi juga melakukan hal begini, aku sekedar meniru untuk membalasmu!"

Bora mengejek, memang benar dengan cara begitu Siga dibuat mendongkol, dia ganti membuang-buang tenaga sementara lawan dapat beristirahat. Dengan begitu kedudukan menjadi berimbang dan kelompok Bora bersorak sorak. Sekarang mereka tahu bahwa apa yang dilakukan Bora maupun lawannya bukanlah karena takut melainkan semata sebut akal untuk mengalahkan Iawan. Kini mereka kagum dan mau tak mau mengakui kecerdikan dua pemuda itu. Tapi karena Bora hanya meniru dan akal itu sebenarnya berasal dari Siga maka kelompok Siga memaki-maki Bora.

"Pengecut, Bora tak jantan. Dia tak pantas menjadi laki-laki dan sebaiknya menjadi perempuan. Kalau semua hanya meniru-niru begitu mau diakuinya sebagai lelaki? Cih, kau minum susu ibumu dulu agar berakal, Bora. Jangan mencontoh akal orang lain seolah otakmu tumpul dan beku seperti kerbau!"

Bora mendelik merah. Umpatan dan teriakan kelompok Siga membuat telinganya panas, dia tersinggung dan akhirnya malu pada caranya ini. Seolah membenarkan dia berotak kerbau hingga bertempurpun harus ditirunya dari pihak lawan. Dan ketika dia telah pulih kembali kekuatannya dan Siga maju menyergap tiba-tiba dengan pekik nyaring dia memapak dan menangis tombak Siga, sepenuh tenaga. Siga terkejut dan tentu saja melakukan hal yang sama, pemuda itu pun membentak dan menyerang dengan kekuatan penuh. Dan ketika dua tombak saling bentur diudara dan masing-masing menusuk dan menangkis mendadak dua tenaga yang sama dahsyat itu membuat tombak patah dan mereka sama-sama terpelanting dari atas kudanya.

"Crang....!"

Siga dan Bora berseru kaget. Mereka sama-sama terlempar, roboh bergulingan dan terbelalak melihat kesudahan yang seri. Kuda mereka meringkik dan lari menjauh. Tapi Siga dan Bora yang sudah melompat bangun dan berhadapan kembali akhirnya menggeram dengan mata melotot, menerima lontaran tombak dari anak buah masing-masing. Pertarungan dilanjutkan lagi di atas tanah, tidak di atas kuda, diiringi teriakan kelompok masing-masing yang histeris menjagoi pihak masing-masing. Dua-duanya sudah melompat dan kembali serang menyerang. Tapi ketika tombak Lagi lagi patah dan keduanya sama kuat akhirnya tombak ke tiga diberikan pada mereka.

"Kau akan kubunuh, aku tak mau sudah, Siga. Kau akan kubunuh!"

Bora menerjang lagi, dendam kemarahannya terlontar lewat geramnya yang berkerotok, Siga tak menjawab tapi menyambut lawannya itu. Dan ketika serang menyerang kembali terjadi dan mereka pun tangkis-menangkis mendadak untuk yang ketiga kalinya tombak keduanya lagi-lagi patah.

"Keparat, kita bertarung dengan tangan kosong. Kucekik kau...!" dan Bora yang melempar patahan tombaknya dan menubruk ke depan akhirnya menyerang Siga dengan sikap beringas, kedua tangannya mengembang siap mencekik leher lawan. Tapi Siga yang tentu saja tak mau mati konyol dan menangkis serta membalas tiba-tiba menangkap dan membanting lawannya itu.

"Brukk...!" Bora menggelepar. Siga ganti melompat dan menubruk lawannya itu. Tapi Bora yang menggerakkan kaki dari bawah menendang perut Siga tiba-tiba membuat lawan mengeluh dan balik terbanting.

"Brukk...!" Siga pun menggelepar. Bora menerkam dan merekapun bergulingan, pertandingan setengah gulat dilanjutkan di sini, masing-masing memiting dan membelit lawan. Dan ketika mereka tolak menolak dan kelompok Siga maupun Bora bersorak-sorak menjagoi pemimpinnnya akhirnya perkelahian ini tak kalah seru dan mendebarkan dibanding pertarungan di atas kuda tadi. Tapi Siga suatu saat berhasil menindih lawan, Bora dicekik tapi memberontak, giginya ikut bicara hingga Siga menjerit kesakitan. Pertarungan mulai liar! Dan tak beretika. Bora balik menindih lawan dan Siga dicekik akhirnya puncak perkelahian mendekati titik akhir.

"Bunuh dia. Cekik dia, Bora. Cekik sampai mampus..."

Orang-orang Bora berteriak, masing-masing ikut menjadi kalap oleh pertarungan ini. Böoa merah mukanya akibat mengerahkan tenaganya sekuat bagian, Siga hampir terhenti napasnya oleh cekikat lawan yang membuat dia terkunci. Diam-diam marah dan memaki karena Bora tadi menggigit. Dan ketika dia memberontak namun kuncian lawan terlalu kuat baginya akkirnya Siga megap-megap dan perlahan-lahan pandangannya memudar. inilah bahaya bagi pemuda itu. Siga berkunang-kunang sebenarnya hampir memperoleh kemenangan kalau Bora tadi tidak menggigit, membuat dia terkejut dan sebagian dagingnya cuil dimakan Bora tadi. Dan ketika orang-orang Bora bersorak menggegap-gempita dan Siga semakin tercekik tiba-tiba seorang anggauta Siga maju ke depan.

“Gigit!"

"Siga, gigit lengannya. Kaupun tadi juga digigit!"

Siga mengeluh. Sebenarnya diapun juga dapat melakukan itu, membalas hal yang sama pada lawan yang curang. Karena ilmu menggigit sebenarnya tak ada dalam peraturan gulat, pekerjaan perempuan. Tapi karena perbuatan ini Itu dinilai memalukan dan orang-orang Bora mungkin akan mengejeknya sebagai berlaku hina akhirnya Siga menggeleng dan tetap tidak mau melakukan itu. Dan kelompoknya menjadi gelisah.

"Siga, gigit lawanmu itu. Gigit dia!"

"Ya, balas seperti tadi dia menggigitmu, Siga. Lakukan hal yang sama dan gigit dia!"

Tapi Siga tetap menggeleng. Dia tidak mau, mencoba bertahan sementara Bora menambah tenaganya. Leher Siga mulai membiru dan napas Siga terhenti, otot-otot leher pemuda itu menggembung sementara otot-otot lengan Bora juga membesar, jelas dialiri tenaga yang luar biasa kuatnya. Siga tentu tak dapat menahan diri, pemuda itu bakal tewas. Dan ketika teriakan kelompoknya semakin nyaring tapi Siga tetap tak mau menggigit lawan tiba-tiba Gurba, yang menjadi kagum akan kegagahan pembantunya ini berbisik, mengerahkan Coan-im jip-bitnya,

"Siga, tolol kau. Kenapa tidak memencet jalan darah tong-peh-hiatnya? Kau tahu di mana jalan darah itu, lepaskan tanganmu dari lengan lawanmu dan cubit jalan darah itu. Sekali saja, yang keras dan lawanmu tentu roboh!"

Siga tiba-tiba seakan hidup kembali. Suara Gurba itu membantunya luar biasa. Nyawa tiba-tiba seakan masuk lagi ke raga dan Siga teringat. Betapapun dia telah belajar tentang jalan-jalan darah di tubuh manusia. Tong-peh-hiat merupakan jalan darah di bawah pusar, di atas anggauta rahasia. Dia lupa itu, gugup dan bingung oleh cekikan lawan yang hampir membuatnya kehabisan napas.

Maka begitu teriakan orang-orangnya tak digubris tapi bisikan Gurba diturut mendadak, mengejutkan semua yang ada di situ tiba-tiba pemuda ini menggerakkan tangannya ke bawah. Orang hanya melihat Siga melepaskan tangannya dari tangan Bora, bergerak kebawah menuju pusar. Dan ketika Siga mencubit dan memencet keras sekali mendadak terdengar raungan Bora yang tinggi memecah jantung.

"Augh...!" Orang-orang terkejut. Mereka melihat Bora melepaskan cekikannya pada leher Siga, terguling dan roboh meringkuk, mengeluh seperti ayam di cabuti bulunya. Tapi ketika pemuda itu tak bergerak lagi dan pingsan di atas tanah tiba-tiba kelompok Siga bersorak penuh kegembiraan.

"Siga menang....!"

"Bora kalah....!"

Orang-orangnya Bora tertegun. Mereka tak menyangka perobahan yang di luar dugaan itu. Bora tersungkur dan tidak bergerak lagi. Padahal tadi dalam sikap yang meyakinkan pemuda ini akan keluar sebagai pemenang. Tapi karena orang tak melihat kecurangan di situ bahkan Bora dianggap kurang "sportip" dengan gigitannya tadi, maka kemenangan Siga disambut dengan heran dan takjub. Betapapun mereka harus mengakui kepandaian pemuda itu dibanding Bora.

Dan ketika kelompok Siga berteriak-teriak dan Bora kalah maka orang-orang inipun termangu dan membiarkan lawan melepas kegembiraannya dengan cara mereka sendiri, menyerbu kearah Siga dan memanggul pemuda itu. Siga dielu-elukan. Tapi teringat Bora yarg masih pingsan di atas tanah tiba-tiba seorang anggauta Siga menyerahkan tombak menyuruh Siga membunuh lawannya yang terkapar.

"Siga, kau telah memenangkan pertarungan. Hukum Tartar mengesahkan kau membunuh lawanmu. Bunuhlah dia dan ambil tombak ini...!"

Siga menggeleng. "Tidak, Bora adalah saudaraku sendiri, Kima. Aku tak bermaksud membunuh selain memenangkan pertandingan belaka."

"Tapi dia bermaksud membunuhmu. Kau sebagai pemenang!"

Siga tetap menggeleng. Dan ketika-orangnya tertegun dan kelompok Bora memandang padanya tiba-tiba Siga menghadapi mereka. "Sehabat-sahabatku, kalian adalah saudara sama seperti kata hanggoda tadi. Kita satu suku, kita satu bangsa. Karena itu meskipun Bora kalah tapi aku tak mau membunuhnya karena dia adalah saudaraku. Angkat dia dan sadarkan dia. Bora adalah teman, bukan musuh!"

Dan kelompok Bora yang tentu saja gempar oleh peristiwa yang dianggap aneh ini segera menjadi kagum dan simpatik kepada Siga, memberi pertolongan pada Bora dan pertikaian tiba-tiba lenyap. Siga menarik sayang semua orang, baik kelompok sendiri maupun kelompok Bora. Dan ketika Bora sadar dan Siga mengajak menghadap Gurba maka raksasa tinggi besar ini senyum-senyum menyambut mereka.

"Bora, kau benar-benar mengakui kemenangan Siga?”

"Aku mengakui," Bora berkata gagah, betapapun memang dia kalah. "Siga memang lebih pandai, hanggoda. Dan sesuai janjiku aku menyerahkan anggautaku dan diriku sendiri!"

"Terima kasih, kau cukup jantan!" dan Gurba yang tertawa menarik dua pemuda itu lalu menepuk-nepuk mereka penuh sayang. Diam-diam dilirik Siga yang mengucap terima kasih dengan bahasa isyarat. Gurba gembira dan mengajak bangsanya berpesta api unggun, bukan apa-apa melainkan semata mengucap syukur bahwa dua kelompok besar itu dapat bersatu. Tidak terpecah-belah lagi dan Bora maupun kelompoknya dapat menerima kejadian dulu, bahwa Gurba terjebak dan Siga menginsyafkan mereka.

Dan ketika hari itu bangsa Tar tar bersenang-senang dalam persatuan yang kokoh maka beberapa hari kemudian Gurba mulai mengatur rencana tentang penyerbuan besar-besaran yang akan dia lakukan terbadap istana. Tapi suatu gangguan kecil tiba-tiba datang mengganggu. Malam itu Gurba berada dikemahnya, Siga dan Bora datang menghadap. Dan ketika dua pemuda itu menjatuhkan diri berlutut dan Gurba tersenyum menyambut mereka segera raksasa tinggi besar itu bertanya apa maksud kedatangan mereka, diam-diam girang dan gembira karena Siga dan Bora ternyata benar-benar dapat bersatu.

"Maaf, ada pertanyaan yang sedikit mengganjal kami, hanggoda. Bolehkah kami ajukan dan mohon perjelasan?"

"Tentang apa?"

"Tentang Bi Nio." Gurba terkejut. "Apa maksud kalian?"

"Maaf," Siga maju berlutut. "Aku mendengar sesuatu yang tidak enak, hanggoda bahwa kau menerima selir kaisar itu sebagai isterimu. Benarkah?"

Gurba tertegun, tak menjawab. Dan ketika Siga mengulang pertanyaannya dan Bora ikut memandang tajam tiba-tiba Gurba bangkit berdiri, mengibaskan lengannya, "Siga, apa hubungan pertanyaanmu ini dengan kita semua? Kenapa kau tanyakan ini?"

"Maaf, hubungannya menyangkut rakyat banyak, hanggoda. Bahwa kami bangsa Tar tar ingin mengetahui jawabanmu tentang ini. Benarkah kau menerima selir itu dan berarti mengikat persahabatan dengan kaisar ataukah berita yang kami tangkap ini suatu dusta!”

"Kalau benar?"

"Kami menyesalkannya,"

"Kalau tidak?"

"Kami bersyukur."

"Hm, apa maksudmu, Siga?" Gurba mulai tak senang. "Apakah kalian hendak berontak dan menggagalkan rencana semula?"

"Maaf." Bora kali ini maju ke depan. "kami berdua mewakili suku bangsa kami, hanggoda. Bahwa kami mendengar kau menerima selir kaisar itu. Kalau benar, artinya kau tak memusuhi kaisar lagi, Kau bersahabat. Tapi kenapa sekarang hendak menyerang dan berbalik sikap? Apakah kaisar tahu perbuatanmu ini? Kami bangsa Tar-tar selalu menjunjung tinggi kegagahan, hanggoda. Kalau kau telah bersahabat dengan kaisar dan kini hendak merusak tali persahabatan itu dengan serangan ke sana tanpa sebab yang pasti maka ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap seorang sahabat Kami tak suka itu!"

Gurba terbelalak.

"Dan kami datang untuk minta penjelasanmu, hanggoda," Siga menyambung lunak, kata-kata temannya terasa keras. "Karena itu sukalah kau menjawab apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah kau menerima selir kaisar itu dan menjadikannya sebagai isterimu."

Gurba menggigil. Sebenarnya, menyebut-nyebut nama Bi Nio membuat dia marah. Teringat dia akan segala kekecewaannya dulu. Kegagalanmya terbadap sumoinya dan hal-hal lain yang membuat dia memusuhi sute dan sumoinya itu, Kim mou-eng dan Salima. Tapi karena orang-orang Tar-tar memang suku bangsa yang gagah dan mereka menjunjung tinggi nilai persahabatan maka diapun tertegun dan terbelalak memandang dua pembantunya itu. Bingung harus menjawab bagaimana.

Rencana serangan ini sebenarnya adalah atas kehendak Wan Cu. Atau lebih tepat, kehendak Pangeran Muda dengan Wan Cu sebagai penunduknya. Dia telah tergila-gila benar pada wanita cantik itu. Permainannya di atas ranjang. Pengobat kecewanya terhadap cintanya yang gagal kepada Salima. Tapi mengeraskan dagu memutar otak segera raksasa ini mendapatkan jawabannya, jalan yang dianggap baik saat itu. Dan ketika dia mengaku bahwa Bi Nio benar diberikan kaisar kepadanya dan Siga serta Bora saling pandang tiba tiba dua pemuda itu mengerutkan alis.

"Jadi benar berita yang kami terima ini, hanggoda?"

"Benar."

"Dan kau mengikat persababatan dengan kaisar?"

"Benar, tapi dulu."

"Jadi bagaimana ini, hanggoda? Kenapa sebuah persahabatan kau khianati seperti ini? Dan, maaf, kenapa pula kau menerima persahabatan itu, hanggoda? Bukankah kaisar telah menghancurkan bangsa kita?"

Gurba mendengus pendek, duduk kembali, "Siga, dan kau Bora, dengarkan baik-baik apa yang akan kuceritakan pada kalian ini. Aku memang telah menerima uluran tali persahabatan kaisar karena kita ternyata diadu domba. Kalian masih ingat Siauw-bin‐kwi dan Hek-bong Siang-lo-mo itu?"

"Ya."

"Nah, mereka itulah biang penyakitnya. Waktu dulu kita menyerbu ke sana dan aku bertemu Kaisar sementara kalian ribut sendiri maka disitulah baru kutahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa kita diadu domba. Bahwa bangsa Tar lar dipermainkan Iblis Muka Ketawa itu bersama Hek-bong Siang-lo-mo hingga kita berperang dengan Jit-liong Ciangkun dan anak buahnya itu. Kita terperangkap. Kaisar dan aku baru tahu setelan kami berhadap hadapan, setelah dua pihak saling hancur-menghancurkan. Tapi begitu kami menyadari bahwa permusuhan ini diciptakan pihak ketiga dan Siauw bin-kwi bertanggung jawab untuk urusan ini maka kaisar menghentikan pertikaian dan menawarkan kepadaku sebuah persahabatan."

"Dengan memberikan selirnya itu?"

"Ya,"

"Maaf, bagaimana kau bisa percaya bahwa ini adu domba dari Siauw-bin kwi, hanggoda?"

"Kau ingat tiga utusan Bin ciangkun?" Gurba balik bertanya. "Nah, itulah pangkal mulanya, Siga. Bahwa utusan yang kita tolak ini dibunuh Siauw bin-kwi dan Bin-ciangkun menganggap kita yang membunuh utusan itu. Salah paham mulai terjadi di sini. Siauw bin-kwi bekerja di belakang layar dan kita menjadi korbannya. Bin-ciangkun menuduh dan menyerang, dan selebihnya kau tahu sendiri karena kita balas menyerang panglima itu. Sampai berlarut-larut."

Siga tertegun. "Jadi Iblis Muka ketawa itu membunuh utusan?"

"Ya."

"Dan kau telah menangkap iblis itu, hanggoda?"

"Belum, aku belum sempat. Iblis itu melarikan diri, tapi satu saat tentu dia akan kubekuk!" dan Gurba yang menceritakan pertemuannya dengan kaisar di kota raja dulu akhirnya membuat dua pembantunya menahan napas, cerita ini memang belum mereka ketahui, bahwa Siauw-bin-kwi mengerjai mereka, mengadu domba mereka. Tapi begitu Gurba selesai menceritakan pengalamannya segera Bora maju bertanya dengan alis dikerutkan.

"Hanggoda, maaf. Kalau begitu kenapa sekarang kau hendak menyerang istana? Bukankah kaisar tak bersalah? Kita bangsa Tar tar memang harus mencari Iblis Muka Ketawa itu, tapi tolong beritahukan pada kami kenapa kaisar harus dimusuhi lagi!"

"Hm, Ini urusan pribadi. Bora. Aku sebenarnya enggan menjawab. Tapi kalau kalian ingin tahu baiklah. Aku... aku merasa tertipu oleh kaisar itu," Gurba berbohong, merasa kepalang basah. "Kaisar telah memberiku sesuatu yang amat menghina!”

"Apa itu?"

"Selirnya itu, Bi Nio!"

"Ada apa dengan Bi Nio?" Bora dan Siga kaget.

"Selir itu telah hamil, Siga. Dan aku terhina oleh sikap kaisar yang kuangap kurang ajar!"

Gurba meradang, pura-pura marah dan dua pembantunya tertegun. Sungguh tak mengira kalau ltu soalnya. Kaisar memberikan selir yang telah hamil. Padahal Gurba mengada-ada karena bingung harus menjawab dengan keterangan sebenarnya. Tentu saja tak mungkin berterus terang bahwa dia lagi tergila-gila pada Wan Cu, wanita montok yang siap diperisterinya itu bila pekerjaan Pangeran Muda berhasil. Dia diminta menyerang istana dan merobohkan kedudukan kaisar. Pangeran Muda hendak mengangkat diri sebagai yang paling berkuasa. Dan ketika Gurba mengoceh dan menjual cerita burung bahwa Bi Nio telah hamil dan kehamilannya itu bersama kaisar sebelum berhubungan dengannya tiba-tiba saja Siga dan Bora marah.

"Keparat, kalau begitu kaisar itu tak mengenal arti sebuah persahabatan, hanggoda. Untuk itu memang layak dia kita serang. Kaisar harus kita bunuh. Aku akan memenggal kepalanya kelak kalau aku berhasil masuk istana!"

"Ya, dan dia akan kutelanjangi dan kuarak sepanjang jalan, Hanggoda. Hitung hitung sebagai balas dendam atas kekurang ajarannya kepadamu!"

Bora berkeratak, menyambung dengan marah dan mengepal tinjunya, muka merah padam. Dan ketika dua pembantu Gurba itu marah-marah dan omongan Gurba termakan dua pemuda ini akhirnya persoalan dianggap jelas oleh Siga dan Bora. Mereka sungguh marah, batapapun kebencian mereka terhadap bangsa Han berkobar lagi. Merasa terhina karena pemimpin yang mereka hormati. Diberi selir yang sudah hamil. Tentu ini merupakan "barang bekas". Dan karena bangsa Tar-tar boleh dibunuh tapi jangan dihina maka hasutan Gurba berbuntut panjang.

Memang tak ada jalan lain bagi raksasa ini untuk menyembunyikan keinginan pribadinya. Satu satunya jalan ya memang begitu. Berbohong. Dusta. Tak ingat akan ekor di belakang hari. Atau mungkin Gurba memang tak perduli pada semuanya itu karena terancam. Bangsa Tar-tar harus di ajaknya berperang agar dia mendapatkan Wan Cu. Sedikit kebohongan tak apa, sedikit fitnah tak peduli. Ketika Gurba bercerita macam-macam lagi yang semuanya dimaksud untuk membakar dua anak buahnya. Akhirnya Siga dan Bora mengoper cerita ini pada suku bangsa Tar-tar.

Tentu saja bangsa Tartar bangkit kemarahannya mendengar cerita ini, tak sadar dihasut Gurba, mereka masih memaki-maki kaisar itu , mengutuk dan menyumpah serapah. Untuk kedua kali Gurba melakukan kesalahan besar dalam hidupnya. Dulu berbohong pada sumoinya, sekarang pada suku bangsanya. Semuanya berbau fitnah, demi kepentingan pribadi. Dan ketika Gurba berhasil membujuk dan menyiapkan suku bangsanya ini dalam sebuah pasukan besar yang siap melakukan serangan, maka seminggu kemudian raksasa itu telah menggiring anak buahnya memasuki tembok besar.

Gegerlah orang orang pedalaman. Mereka di serang pasukkan Gurba. Bangsa Tartar menjadi bangsa yang beringas dan ganas. Mereka menyerang menerjang kota kota dan dusun dusun. Gurba membuka jalan bagi pasukkannya, di setiap pintu gerbang penjagaan dihancurkan hingga pasukkannya dapat masuk. Bangsa Tar-tar menjadi wabah bagi penduduk pedalaman yang tidak berdosa. Mereka di bunuh tanpa pandang bulu.

Gurba bergerak di belakang layar, entah kenapa memesan pada pasukkannya agar tak menyebut namanya. Siga dan Bora-lah yang ditonjolkan ketika sebulan kemudian pasukan ini terus bergerak masuk dan menyerbu lebih ke dalam, akhirnya gerakkan mereka mendekati kota raja di mana para pembantunya berada!

Tercapailah sudah sebagian besar rencana Gurba. Dia berhasil membawa pasukannya meluruk tinggal beberapa hari lagi ke kota raja. Gurba tentu saja terus mengadakan kontak dengan orang-orangnya Pangeran Muda yang bergerak dari dalam. Tak lama kemudian akan menampakkan diri dan menangkap kaisar itu. Tapi ketika hari itu Gurba tiba di kota Cin-sin dan menduduki kota ini mendadak seorang utusan muncul mengejutkan raksasa ini. Bahwa di istana terjadi perobahan besar yang tidak disangka. Wan Cu di tangkap, kaisar marah-marah dan mencium persekutuan busuk di lingkungannya sendiri. Dan ketika utusan itu memberi tahu bahwa semuanya ini gara-gara Kim-mou-eng mendadak Gurba tertegun membelalakkan mata.

"Kau tidak salah?"

"Tidak, hamba melihat sendiri, hanggoda. Dan Siauw-ongya menyuruh paduka datang ke istana sekarang juga. Keadaan dinilai gawat!"

"Lalu mana Siauw bin-kwi dan teman-temannya itu?”

"Hamba kurang jelas, hanggoda. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo terluka dan kini menghilang!"

"Baik, aku akan ke sana. Kau kembalilah!" dan Gurba yang terpaksa menunda serangannya memanggil Siga dan Bora akhirnya memesan singkat saja. "Bora, dan kau Siga. Untuk beberapa hari ini kalian tinggal dulu di sini. Ada persoalan penting yang harus kuselesaikan, jangan maju dan tunggu sampai aku kembali!"

"Ada apa, hanggoda? Kenapa berhenti?"

"Kalian tak perlu tahu. Pokoknya tinggal di sini dan tunggu aku!" Gurba meradang, membalikkan tubuh dan sudah berkelebat meninggalkan dua pembantunya itu.

Siga dan Bora bengong. Merasa sayang kenapa gerakan yang tinggal sedikit harus dihentikan. Tak tahu Gurba lagi bingung memikirkan Wan Cu, kekasihnya. Dan ketika Gurba berangkat meninggalkan Cin-sin dan utusan Siauw-ongya juga kembali secara diam-diam maka raksasa ini berlari cepat menuju ke kota raja. Apa yang terjadi? Mari kita lihat!

* * * * * * * *

Siang itu, secara kebetulan saja Kim-mou-eng mengajak sumoinya beristirahat. Matahari terlampau panas bagi mereka. Mereka baru saja melewati sebuah dusun ketika sebuah kereta berderak di jalanan berbatu. Kim-mou-eng dan sumoinya mendengar suara orang bercakap-cakap. Dan ketika kereta itu muncul di tikungan jalan dan seorang sais tampak buru-buru melarikan kudanya maka Salima mengerutkan kening melihat debu mengotori udara.

"Sialan, ini membuat polusi. Siapa mereka itu kenapa buru-buru?"

"Ah," Kim mou-eng tertawa. "Untuk apa mengurusi orang lain, sumoi? Kita istirahat saja mengaso di sini."

"Tapi sais itu melotot kepada kita. Dia, eh... dia berputar!" Salima terbelalak, melihat sais itu berhenti dan tiba-tiba memutar kudanya, kembali ke arah semula. Dan Kim-mou-eng yang terheran melihat itu tiba-tiba serasa mengenal si sais ini.

"Dia Lui Tai!" Kim-mou-eng akhirnya ingat, tentu saja tertarik dan geli melihat sais itu memutar keretanya. Lui Tai, So Lui Tai si tukang lukis yang kini menjadi sais, kusir kereta itu. Dan Salima yang juga ingat tampang Si sais ini tiba-tiba mengangguk dan menjadi curiga.

"Benar, dialah si tukang gambar itu. Ada apa ketakutan melihat kita?"

"Tentu jerih, sumoi. Bukankah kau terkenal galak dan suka menurunkan tangan besi?" Kim-mou eng tertawa, tak curiga dan menganggap pelukis itu wajar saja bertemu mereka, ketakutan dan kini terbirit-birit melarikan diri.

Tapi Salima yang curiga dan tak percaya ini mendadak berkelebat mengejar. "Suheng, kau tunggu di sini!" Salima melompat, terbang dan sebentar kemudian telah menyusul kereta itu. Kim-mou-eng tertegun melihat sumoinya melayang di atas kereta, kuda tiba-tiba meringkik dan Lui Tai terjungkal, menjerit terlempar dari atas keretanya.

Dan karena Kim-mou-eng tak mau sumoinya membuat onar dan pelukis itu tak ada urusan dengannya akhirnya Kim-mou-eng berkelebat menyusul sumoinya itu. "Sumoi, jangan membuat ribut. Hindari pertengkaran...!"

Lui Tai sudah gemetaran tak keruan. Pelukis ini lecet sedikit, tentu saja mengenal Salima dan Kim-mou-eng. Dua-duanya membuat dia gentar dan Kim-mou-eng melihat pelukis itu menggigil di depan sumoinya, tanpa sebab meminta-minta ampun. Pakaiannya bagus dan indah, tentu hasil kekayaannya memeras hartawan-hartawan yang anak gadisnya minta dilukis si tukang gambar ini, ketika dulu kaisar belum menemukan Cao Cun. Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum dan sumoinya memasang muka bengis terdengar sumoinya itu menghardik,

"Orang she So ada apa kau kelayapan di sini? Apa yang kau bawa?"

"Ampun, ak... aku tak membawa apa-apa, lihiap. Kereta ini kosong kecuali berisi seorang wanita!"

"Siapa?"

"Is... isteriku...!"

Pendekar Rambut Emas Jilid 21

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 21
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
"KALAU begitu aku akan mengurung diriku sebulan. Aku tak mau melayanimu dan biar kukunci pintu kamar!" Sien Nio menangis, kecewa dan marah pada suaminya itu. Hal yang tak mungkin berani dilakukan selir lain kecuali Sien Nio.

Dan ketika Sien Nio berlari pergi dan menutup pintu kamar tiba-tiba Fang-taijin tertegun dan gugup juga. Membayangkan dia bakal "kekeringan" kalau sebulan Sien Nio tak mau melayaninya. Celaka, dia bisa mati kurus. Dan karena ancaman itu cukup ampuh dan Fang-taijin bingung akhirnya pembesar ini mengalah dan mengejar Sien Nio, menyuruh Sien Nio membuka pintu.

"Nio-nio, buka pintu. Kita bicara lagi...”

"Tidak, aku tak mau bicara, taijin. Kau pergilah dan biar aku menunggumu dirumah!"

"Tidak, tidak... aku mengijinkan kau ikut, Nio nio. Buka pintu kamar dan mari kita sama-sama pergi!"

Sien Nio tampak tertegun. Tak ada gerakan di dalam kamar, Sien Nio rupanya terkejut. Ragu atau setengah percaya. Tapi ketika Fang-taijin mengulang perkataannya dan pembesar itu berjanji dengan sumpah segala tiba-tiba pintu kamar terkuak dan Sten Nio terdiri di situ, menggigil tetapi girang. "Taijin, kau bersungguh-sungguh?"

"Ah, masa aku bohong, Nio-nio? Bagiku lebih berat tidak kau layani ketimbang menghadap kaisar. Ayo, beri dulu imbalannya!" dan Sien Nio yang tertawa menubruk pembesar itu tiba-tiba memeluk dan memberi ciuman dua kali, di pipi.

"Hanya ini saja?" pembesar itu cemberut.

Sien Nio terkekeh dan sudah menggelandot manja. Dan ketika sang pembesar tersenyum dan Sien Nio melepas kancing bajunya tiba-tiba gadis ini sudah membawa pembesar itu memasuki kamarnya. Tahu bahwa dia harus memberi servis sebelum pergi, sebagai imbalan atau rasa terima kasih bahwa dia sebagai seorang selir mendapat kehormatan diajak Fang taijin ke kota raja. Hal yang belum pernah dilakukan kepada selir-selir lain.

Sien Nio tentu saja tahu ini dan harus membalas dengan sesuatu. Dan karena balasan itu berujud pelayanan manis dan permainan cinta yang memabokkan maka pekerjaan inilah yang dilakukan Sien Nio. Memberikan cintanya yang hangat bahkan panas, yang membuat Fang-taijin serasa muda kembali dan awet hidup. Berdekatan dengan gadis remaja itu seolah berdekatan dengan surga. Semuanya serba menyenangkan dan nikmat. Dan ketika semuanya selesai dan Fang-taijin merasa puas akhirnya tak lama kemudian Sien Nio mengikuti pembesar ini.

Fang-taijin tak tahu bahwa itulah permainan cintanya yang terakhir bersama Sien Nio. Bahwa Sien Nio sudah merencanakan sesuatu begitu mereka tiba di kota raja, di istana! Dan ketika hari itu mereka sampai di sana dan kaisar melihat Sien Nio tiba-tiba Sien Nio berhasil "mengontak" batin kaisar itu. Kaisar yang masih muda dan tentu saja penuh vitalitas.

Semangatnya tinggi dan tak boleh melihat wanita cantik. Gampang terpikat dan mudah menyuruh ini itu. Hal yang sudah diketahui Sien Nio karena gadis inipun diam-diam telah mempelajari watak kaisar itu. Dan ketika malam tiba dan kaisar mengadakan perjamuan seusai menerima laporan Fang-taijin tiba-tiba malamnya Sien Nio diminta menghadap. Tentu saja Sien Nio girang. Tapi Fang-taijin terkejut.

"Ah, apakah tidak keliru?"

"Tidak," sang pengawal yang diutus menggeleng kepala. "Sri baginda minta agar wanita bernama Sien Nio menghadap sebentar, taijin. Hamba diutus dan hanya menyampaikan perintah ini saja!"

"Apa keperluan sri baginda?"

"Hamba tak tahu, hamba hanya utusan." dan Fang-taijin yang terhenyak tapi dapat menduga sesuatu yang tak enak akhirnya terpaksa membiarkan Sien Nio mengikuti pengawal itu, sempat berbisik, "Hati hati, sri baginda orangnya demen (suka) wajah cantik, Nio nio. Hindari pandangan langsung agar wajahmu tak kelihatan. Tundukkan kepala kalau bicara.“

Sien Nio mengangguk, tersenyum dan menjawab "baik". Tentu saja bertolak seratus delapan puluh derajat dengan apa yang dia katakan pada Fang-taijin. Karena kalau Fang-taijin menyuruh dia menyembunyikan muka kalau berhadapan dengan kaisar adalah sebaliknya Sien Nio justeru bersikap menantang waktu bicara dengan kaisar itu. Sengaja menunjukkan kecantikan dan gerak tubuhnya yang memikat. Sebelumnya sudah diincar dan kini seolah daging yang menyediakan diri untuk disantap kucing. Dan karena "kucing" itu kebetulan haus cintanya dan Sien Nio pandai membawakan permainannya akhirnya benar juga malam itu dia "dimakan kaisar"

Tapi terjadi dialog menarik sebelum semuanya ini berlangsung. Sien Nio berhasil memikat kaisar, kerling dan suaranya yang merdu merupakan modal utama untuk menjatuhkan kaisar itu. Tapi sebelum semuanya menuju permainan puncak dan Sien Nio bersikap hati-hati maka gadis ini berterus terang dahulu.

"Maaf, hamba sudah bukan perawan lagi. sri baginda. Sudikah paduka dilayani hamba? Hamba nyatakan ini agar paduka tak kecewa!"

Sang kaisar tertegun, tapi tertawa lebar. "Aku tahu, kau kira bentuk potongan tubuhmu dapat menyembunyikan hal itu dariku, Sien Nio! Tidak, tak perlu kau beritahukan sekalipun aku tahu bahwa kau sudah bukan perawan lagi!"

"Kalau begitu paduka tak kecewa?"

"Karena kau tak perawan?"

“Benar..."

"Ah, itu tak jadi soal bagiku, sien Nio. Aku tidak membutuhkan keperawananmu, aku membutuhkan permainanmu yang bersifat menghibur!"

Sien Nio terkejut. Dia sadar bahwa kali ini yang dihadapi adalah laki-laki "jagoan". Kaisar bukan laki-laki muda yang masih hijau. Tidak. Kaisar itu telah menikmati hubungan cinta dengan banyak wanita. Selirnya saja seabrek (setumpuk). Dia sudah mendengar itu. Jadi kalau dia mengira kaisar ini mengincar yang perawan-perawan saja dan dia takut kaisar marah padanya karena ia sendiri sudah tidak perawan maka hal itu sungguh di luar dugaannya, Kaisar telah tahu bahwa dia bukan perawan lagi. Tanda kaisar itu memiliki mata tajam yang membuat dia terkejut.

Tentu saja begitu karena kaisar ini adalah laki-laki yang sudah matang pergaulannya dengan perempuan. Jadi tahu dan dapat membedakan mana yang perawan dan mana yang bukan, dengan melihat bentuk tubuhnya saja, dengan melihat potongannya, mungkin ditambah lagi dengan melihat sikap atau gerak-gerik wanita yang bersangkutan. Jadi sungguh bodoh kalau menganggap kaisar tak tahu apakah dia perawan atau tidak. Satu hal yang sudah dia buktikan. Sien Nio terkejut dan kagum juga. Tapi penasaran bahwa kaisar tidak perduli dia perawan atau bukan tiba-tiba Sien Nio ingin tahu lebih lanjut mengapa kaisar bersikap begitu.

"Maaf, bamba penasaran. Bolehkah hamba bertanya tentang sesuatu, sri baginda?"

"Tentang apa? Tentang keperawanan?"

Sien Nio lagi-lagi terkejut. "Dari mana paduka tahu?"

"Ha-ha, sinar matamu saja sudah memberi tahukan itu padaku. Sien Nio. Bahwa kau penasaran kenapa aku tidak marah bahwa kau tidak perawan lagi!"

"Benarl" Sien Nio hampir terpekik. "Apa yang paduka katakan sungguh benar, sri baginda. Itulah yang hamba pikir dan dengan cepat sekali paduka tebak!"

"Aku tidak menebak, aku memang tahu itu. Nah, apa yang mau kau bicarakan lagi?"

Sien Nio tertegun. Sekarang dia menyadari bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang lawan berat, laki-laki yang matang dan mahir pula membaca pikiran orang lain, hal yang membuat Sien Nio tergetar dan berdebar. Tapi kagum dan ingin tahu lebih lanjut akhirnya gadis ini bertanya, menggigil juga,

"Sri baginda, maafkan hamba. Hamba ingin bertanya sekedar menambah pengetahuan belaka. Paduka tadi mengatakan tak perduli akan keperawanan karena paduka lebih membutuhkan permainan yang bersifat menghibur. Padahal kebanyakan lelaki lebih mementingkan keperawanan daripada yang lain. Apakah sebenarnya yang membuat paduka berpandangau begitu? Bolehkah hamba tahu?"

Kaisar tersenyum "Kau serius?"

"Kalau paduka berkenan menjawabnya, sribaginda. Dan maafkan kalau hamba dianggap lancang."

"Baiklah, akan kujelaskan padamu," dan sang kaisar yang tertawa memandang gadis ini tiba-tiba memberi tahu, omongannya berbobot, "Sien Nio, ada dua hal yang membedakan gadis perawan dan yang tidak perawan. Yang pertama lebih bersifat dilayani, yang kedua melayani. Dan karena aku mengharap yang ke dua maka pilihan itulah yang kucari. Kau mengerti?"

"Tidak."

"Kalau begitu kau bodoh," kaisar tertawa. "Hal ini sebenarnya hal sederhana. Sien Nio. Bahwa antara yang melayani dan yang dilayani terdapat perbedaan besar."

"Hamba masih belum mengerti." Sien Nio merah mukanya, merasa kaisar itu memang pandai. “Hamba belum paham akan apa yang paduka maksudkan, sri baginda. Mohon pemberitahuan secara jelas agar hamba mengerti."

"Baiklah, kau tampaknya berminat belajar." dan kasar yang tersenyum membelai gadis ini sudah berkata, "Sien Nio, aku tak suka yang perawan karena aku mendapat pengalaman berkali-kali bahwa yang perawan masih bodoh. Aku hanya sekedar bersenang-senang, tak mengadakan ikatan dengan wanita yang berduaan denganku. Kalau dia bodoh dan harus banyak diberi tahu ini-itu bukankah kesenanganku terganggu? Aku ingin dihibur, bukannya menghibur. Jadi kalau mereka tak tahu apa-apa dan aku harus banyak memberi petunjuk maka kesenangan yang kuinginkan berobah mejadi kejengkelan! Kau pernah di buat jengkel lelaki?"

Sien Nio tertegun.

"Eh, kau pernah dibuat jengkel lelaki?"

"Per... pernah!" Sien Nio terkejut, gugup secara mendadak. "Hamba pernah dibuat jengkel lelaki, sri baginda. Dan hamba memang marah dibuatnya!"

"Nah, itulah," kaisar tertawa. "Begitu pula aku, Sien Nio. Gadis yang dibawa ke sini dan masih perawan ternyata harus diberi tahu ini-itu agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan ini berarti mereka harus dilayani, bukannya melayani. Dan karena aku tidak bermaksud mengadakan ikatan dengan mereka tentu saja aku tidak senang dan lebih baik memilih yang tidak perawan saja tapi pandai melayani laki-laki. Kau paham?"

Sien Nio tertegun. "Paham, lalu yang jenis ke dua itu, yang melayani itu, bagaimana, sri baginda?"

"Mereka tentu saja pandai. Aku tak repot-repot, mereka benar benar dapat menghibur dan memberi kesenangan padaku bukannya kejengkelan!"

Sien Nio mengangguk-angguk. "Begitukah?"

"Ya, kau mengerti?"

"Hamba mengerti. Tapi bagaimana perbedaan dasar di antara keduanya itu, sri baginda? Bolehkah hamba bertanya lebih lanjut? Maaf, bamba ingin tahu."

"Apa maksudmu?"

"Artinya apa kelebihan dan kekurangan masing-masing pihak itu, sri baginda Artinya kesimpulan apa yang harus diberikan pada kedua kelompok itu."

Kaisar tertawa. "Artinya untuk Kelompok yang pertama itu mereka menang penampilan. Sien Nio. Sedang yang ke dua menang dalam segi permainan."

Sien Nio terkejut. "Pêrampilan dan permainan?”

"Ya, tidakkah kau lihat itu? Gadis, yang masih perawan biasanya menang penampilan. Mereka itu masih suka 'gaya'. Padahal kalau mereka diajak bermain cinta sungguh kepandaian mereka itu nol besar. Mereka hanya terlagak, penampilannya memang boleh. Tapi sekali diajak main ranjang sungguh mereka itu menjemukan karena tak tahu apa - apa sama sekali. Nol besar!"

HALAMAN 13 sampai 14 HILANG

Sien Nio memang pandai, dia memang jagoan. Dan karena kaisar mendapatkan orang yang tepat dan Sien Nio pandai menghibur akhirnya malam itu Sien Nio tak kembali ke kamarnya sendiri, di mana Fang taijin menunggu dan harap-harap cemas akan kembalinya selirnya itu. Kekeringan sendiri di bagian yang lain. Dan ketika keesokan harinya Fang-taijin bangun dengan kaget karena seorang pengawal mengetuk pintunya mendadak dia ganti dipanggil kaisar.

"Maaf, hamba diutus kembali, taijin. Sri baginda memanggil paduka!"

"Ada apa?” Fang-taijin pucat. "Ada kesalahankah?"

“Hamba tak tahu."

"Dan di mana Sien Nio?"

"Hamba juga tak tahu, taijin. Tapi semalam berada di kamar sri baginda."

"Ah, baiklah. Tunggu sebentar...!" dan Fang taijin yang gugup dan pucat membayangkan kesalahan tiba-tiba sudah mengikuti sang pengawal menghadap kaisar. Di tengah perjalanan kebat kebit tak tahu apa kira-kira yang membuat kaisar memanggilnya, mungkin ada hubungan dengan Sien Nio. Barangkali Sien Nio kurang ajar dan tidak menyenangkan kaisar. Atau hal lain yang tidak dia ketahui.

Tapi ketika dia tiba di sana dan kaisar memberi tahu padanya bahwa Sien Nio hendak dimintanya sebagai selir mendadak gubernur ini tertegun dengan mata terbelalak, hampir tak mempercayai telinga sendiri dan nyaris menolak. Kembang kesayangannya diminta orang lain. Tapi karena yang meminta itu adalah kaisar dan dia terang tak berani menolak akhirnya pembesar ini gigit jari menganggukkan kepalanya.

Betapapun dia tak berani main-main. Hidup matinya di tangan junjungannya itu. Sekali menolak tentu dia akan mendapat banyak gangguan. Yang jelas pangkatnya dicabut dan mungkin nyawanya ikut dicabut pula. Maklum dia menghadapi orang yang påling top kekuasaannya. Kekuasaan lagi-lagi mengalahkan segalanya.

Dan ketika gubernur ini gigit jari dan pulang kembali ke Hu peh maka sejak saat itu Sien Nio tinggal di istana menjadi selir kaisar. Sungguh kemajuan yang luar biasa pesat, mengingat Sien Nio dulunya gadis desa, perawan kampung! Dan Fang taijin yang pulang ke Hu peh dengan tangan hampa dibuat lebih mendongkol lagi karena Sien Nio yang dimanja dan disayangnya itu sama sekali tak mau memberi ucapan selamat berpisah. Sungguh menyakitkan!

Tapi Fang-taijin mendapat imbalan lain. Kaisar membebaskannya selama lima tahun untuk memberi upeti. Jadi upeti itu menambah kekayaan gubernur ini sendiri. Dan karena Fang-taijin lagi kecewa dan mendongkol oleh semuanya itu maka Sebagai gantinya pembesar ini lalu mencari Sien Nio-Sien Nio lain untuk pelampias kecewanya.

Sien Nio memang tak dapat ditemui lagi sejak dipanggil kaisar itu. Gadis ini telah memasuki era kehidupan baru. Kemewahan dan kenikmatan memandikannya di tempat ini, bergelimang harta dan perhiasan perhiasan menarik yang diberikan kaisar kepadanya. Maklum, kaisarpun mabok dan jatuh sayang padanya. Bukan karena apa-apa melainkan karena kepandaiannya bermain cinta itu. Kaisar mendapat lawan setingkat.

Tapi karena kenikmatan nafsu berahi tak kenal artinya puas yang sejati maka beberapa bulan kemudian kaisar mulai jarang minta dikunjungi Sien Nio, hal yang membuat Sien Nio mengerutkan kening, karena itu berarti permintaannya akan ini-itu berkurang. Kaisar tak memberinya hadiah lagi. Lama-lama kok terasa "pelit" dan Sien Nio penasaran, ingin tahu sebabnya. Dan ketika dia tahu sebabnya bahwa kaisar mendapat selir baru yang tak kalah cantik dan pandai dengannya tiba-tiba saja Sien Nio sakit hati dan marah. Itulah kenikmatan badan.

Kenikmatan badan selalu berhubungan dengan ego. Rasa keakuan. Semakin dituruti semakin menggila. Rasanya memang "syur" tapi hanya membawa kebahagiaan semu, bukan abadi bukan sejati. Ah, jauh dari itu. Dan karena kaisar memang hanya mencintai kenikmatan badani ini dan bukannya cinta yang luhur maka itulah pula yang didapatkan kaisar ini. Dia memburu kesenangan, bukan kebahagiaan.

Dan karena kesenangan itu selalu berubah ubah dan menganggap yang di depan mata lebih menyenangkan dan lebih "syur" lagi maka apa yang dilakukan Sien Nio dan telah berulang kali dinikmati kaisar ini sudah tidak seperti dulu lagi kenikmatannya. Ada semacam "erosi" di situ. Kenikmatan itu mulai digorogoti rasa bosan jemu. Kaisar merasa jenuh dan butuh pembaharuan, penyegaran.

Dan karena hubungan badan yang kerap dengan orang yang itu itu saja menimbulkan keausan akan rasa nikmat maka tak ayal kaisar meminta lagi sesuatu yang baru, yang belum pernah berhubungan dengannya. Wanita segar, yang masih mak nyus. Dan karena kaisar orang yang berkuasa dan kekuasaan mampu memberikan segala galanya yang berbau duniawi maka tak lama kemudian kaisar telah mendapatkan apa yang diingini ini. Seorang gadis cantik, mulus dan tak kalah pandai dengan Sien Nio.

Diam-diam telah menyuruh seorang thaikam (pembesar kebiri) mendidik dan memberi pelajaran bercinta pada gadis baru itu, le Yang. Hasil didikan atau "resep" yang ditetahui kaisar dari Sien Nio sendiri, Jadi Kaisar "mencuri" kepandaian gadis itu untuk diberikan pada le Yang, melalui seorang thaikam. Dan karena le Yang mampu memberikan kesenangan dan kenikmatan yang tak kalah dibanding Sien Nio maka lantas saja kaisar segera memilih gadis ini yang dianggap baru. Belum ada kejenuhan atau kebosanan baginya.

Dan Sien No yang marah melihat semuanya itu tiba-tiba dengan berani dan nekat menyuruh seseorang, seorang dayang, membunuh le Yang, lewat minuman beracun. Persis hasil pengalamannya dulu di rumah Boen-taijin, di Cun tien!

Gegerlah istana. Kaisar marah-marah, menyuruh orang menyelidiki dan Sien Nio ketahuan. Dayangnya ditangkap. Dan ketika dayang itu mengaku dan Sien Nio terseret akhirnya dengan menangis tersedu-sedu Sien Nio mengakui perbuatannya. Kaisar terbelalak, Sien Nio menyatakan itu karena camburu. Tapi ketika Sien Nio hendak di hukum dan Sien Nio muntah-muntah mendadak kaisar tertegun dan seorang tabib berseru tertahan,

"Dia berbadan dua...?"

Sien Nio kiranya mengandung. Dia telah hamil menerima benih kaisar, tentu saja kaisar terkejut dan membatalkan hukumannya tak mungkin membunuh Sien Nio karena Sien Nio berbadan dua. Selirnya itu akan memberikan keturunan. Dan karena urusan itu memang bersifat intern dan perbuatan Sien Nio dilakukan karena kelalaian kaisar sendiri yang sudah tidak menengok seliraya ini akhirnya Sien Nio diampuni dan dibebaskan dari hukuman, karena telah mengandung itu. Satu keberuntungan yang membuat dia selamat. Dan ketika beberapa bulan kemudian dia melahirkan anaknya laki laki dan kaisar girang mendapat keturunannya ini maka perbuatan Sien Nio dianggap habis dan urusan diputus sampai di situ saja.

Tapi satu kerugian Sien Nio yang tidak tampak di depan mata. Dia dianggap tak baik oleh kaisar. Wataknya culas. Kaisar mulai mengenal selirnya ini jahat dan keji. Tapi karena Sien Nio tak melakukan apa-apa lagi setelah peristiwa itu maka kaisar pun tak mendapatkan bukti dan bisa saja pada selirnya biasa yang satu ini. Tahun demi tahun lewat tanpa sesuatu yang berarti. Semuanya tenang. Begitu kelihatannya. Dan ketika tiga puluh tahun lewat dan Sien Nio tak menunjukkan tingkah yang macam-macam lagi maka kaisarpun pulih kepercayaannya dan menganggap Sien Nio sudah baik.

Inilah kelengahan mengamati manusia. Manusia adalah mahluk hidup, dia terdiri dari dua unsur, positip dan negatip. Jadi kalau menganggap manusia positip saja dan melalaikan yang negatip ini maka itulah kelengahan si pengamat. Sien Nio memang baik, begitu lahirnya, Kaisar tak tahu bahwa kebaikan ini adalah kebaikan semu yang dipulas Sien Nio. Betapa pun, Sien Nio akhirnya tahu bahwa kaisar telah mencap dirinya sebagai wanita yng culas.

Tentu saja dia hati-hati dan tidak berani sembrono lagi setelah pembunuhan terhadap le Yang. Wataknya dirobah seratus delapan puluh derajat dengan sikap buatan. Ambisinya tak padam, sejenak terhenti setelah dia merasakan enaknya menjadi selir kaisar. Jelek jelek punya kekuasaan yang "lebih" juga, apalagi kalau dibandingkan sewaktu dia masih di tempat Pin-loya, perkampungan tuan tanah itu. Oh, hidupnya sekarang jauh lebih baik. Bahkan amat baik, teramat baik. Tapi karena seperti telah di ceritakan di depan kaisar tak kerap lagi menghubungi gadis ini karena kejemuan mulai melanda Kaisar itu maka keistimewaan Sien Nio lama-lama dianggap biasa.

Sien Nio, meskipun masih diperhatikan tapi tidak seperti dulu-dulu lagi. Tidak seperti waktu pertama kalinya. Maklum, cinta yang bersifat badani memang begitu. Dan ketika Sien Nio mengandung dan kaisar mencari kesenangannya pada selir lain kodrat yang satu ini memang tak dapat ditolak, Sien Nio telah tersingkir, kasih sayang kaisar juga agak berkurang. Dan ketika semuanya itu ditambah dengan kelahiran putera mahkota dari rahim permaisuri tiba-tiba Sien Nio merasa terancam kedudukannya.

Kaisar melimpahkan kasih sayangnya pada putera mahkota itu. Tak perlu diherankan, itulah calon pemimpin negara. Dan ketika tahun demi tahun lewat sementara putera mahkota juga menjadi besar dan anak Sien Nio sendiri juga menjadi laki laki dewasa yang tumbuh sehat maka Sien Nio yang menyimpan ambisi setinggi langit ini mulai mengatur rencana. Dia merasa dirinya kian tua. Kaisar hampir tak pernah lagi menjamahaya sejak dia berumur tiga puluh lima tahun. Sungguh sakit dia. Tapi Sien Nio yang pandai menyimpan perasaan dan menekan nekan semua keinginannya mencoba bersabar untuk melihat saat yang baik. Dan saat itu akhirnya tiba.

Puteranya dicalonkan menjadi penasihat kaisar, kelak kalau putera mahkota sudah menggantikan kedudukan ayahnya. Tentu saja itu berkat perjuangan Sien Nio yang merengek-rengek pada kaisar. suatu hari berhasil mendapat janji kaisar ketika anaknya berumur sembilan tahun, di saat dia melayani dan membangkitkan kalsar akan kenangan lama mereka. Kenikmatan dan kesenangan yang telah dia berikan pada si kaisar itu. Dan ketika putera mahkota resmi ditentukan sebagai pewaris tahta dan putranya menjadi calon penasihat maka di saat ini lah Sien Nio mulai menunjukkan watak kejinya dulu.

Siapakah putera wanita ini? Pembaca dapat menduga. Benar, dialah Pangeran Muda. Pangeran yang mewarasi kecerdikan ibunya dan kini mulai mengumpulkan datuk datuk sesat itu. Moong dan teman temannya. Tentu saja ibunya berada di belakang layar. Dan karena Sien Nio telah menyiapkan rencananya ini bertahun-tahun lamanya dan sabar menanti saat yang baik maka Pangeran Mudapun tak dapat banyak bertindak kalau ibunya itu belum memberi isyarat.

Dan titik rencana mulai disulut. Pangeran Muda melalui pengaruh ibunya sudah mulai mengadakan persekutuan dengan petugas pembesar-pembesar durna tamak harta dan kedudukan. Mereka itu menjadi incaran Sien Nio yang pandai. Betapapun Sien Nio mengenal watak orang-orang tertentu yang ada di sana seperti Mao-taijin dan lain-lainnya itu. Pembesar yang rakus dan loba akan harta. Pengetahuan Sien Nio yang luas cukup membuat segan orang-orang istana.

Dan ketika satu demi satu semua rencana sudah diatur dan sumbu dinamit sewaktu-waktu dapat diledakkan maka Sien Nio mulai tersenyum keji melihat persiapannya yang matang. Wanita ambisius ini mulai siap mendudukkan puteranya menjadi orang paling berkuasa di negara itu, Puncak kepercayaannya menjadi kuat setelah Gurba masuk. Tokoh bangsa liar yang dikenal hebat itu. Dan ketika senyum itu semakin melebar dan Sien Nio yakin akan keberhasilannya tiba-tiba gadis remaja yang telah menjadi wanita setengah umur ini memencet tombol dan hilang di balik pintu rahasia.

* * * * * * * *

Agaknya lama kita tak mengikuti Gurba. Kisah Sien Nio si gadis desa telah kita ikuti. Itulah gambarannya. Bagaimana dengan raksasa tinggi besar ini? Sebenarnya sama saja cuma beda kembangnya. Gurba dibuat kecewa oleh urusan cinta. Gagal dan kini terhasut bujukan Pangeran Muda. Terpikat dan tergila-gila oleh obat kecewa berupa Wan Cu, si cantik yang disodorkan Pangeran Muda untuk menjerat raksasa tinggi besar itu, yang dibutuhkan tenaganya karena Gurba amat lihai. Di antara kelompok Mo-ong dialah yang memiliki kepandaian paling tinggi, memang paling hebat. Dan Gurba yang tunduk pada perjanjian untuk mengadakan serangan di luar tembok besar segera menanti dan mengumpulkan bekas suku-suku nomad yang dulu tercerai berai.

Tak sukar bagi raksasa ini untuk menemui suku bangsanya, tapi ia tak mudah baginya untuk membujuk mereka itu. Karena peristiwa dulu, "perzinaan" Gurba dengan Bi Nio ternyata menimbulkun semacam trauma bagi bangsa Tar tar, terutama bagi kelompok Munga yang tewas di tangan Siga, pembantu Gurba ini. Dan ketika Gurba datang ke sana dan disambut kelompok itu maka pandang mata keraslah yang dia hadapi. Gurba membelalakkan mata.

"Mana Siga?" Tak ada yang menjawab. "Hei, mana Siga! Tulikah kalian?" Gurba menjadi marah, menyambar seorang di antaranya yang berdiri paling depan. Hampir membanting orang itu kalau seseorang lain tidak datang, seorang pemuda bertubuh tegap bermata lebar, di tangannya tergenggam sebatang tombak.

Dan ketika Gurba marah-marah dan pemuda ini menyeruak di antara kerumunan orang orang akhirnya pemuda ini berhadapan dengan Gurba. "Hanggoda, lepaskan orang itu. Sebaiknya kau bicara dengan aku!"

"Gurba tertegun. "Kau siapa?" dia lupa lupa ingat.

"Aku Bora, adik dari Munga!" dan Gurba yang segera mengenal orang ini dan melempar laki-laki yang di cengkeram tiba-tiba berkilat matanya melangkah maju.

"Bagus, aku ingat kau. Kau benar Bora, adik dari Munga. Mana Siga dan kenapa orang-orang ini melotot seperti tikus kelaparan?"

Bora, pemuda yang memiliki mata lebar itu mendengus. "Kami tidak tahu di mana Siga, hanggoda. Tapi kami tak ingin kau menginjakkan kaki di sini!"

"Kenapa?"

"Bangsa Tar-tar tak menerima tamu yang telah melakukan perbuatan hina. Dan kau telah melakukan apa yang menjadi pantangan bangsa kami, berjina dengan Bi Nio!"

"Keparat!" Gurba tiba-tiba menggeram, marah sekali. "Kau berani bicara seperti itu di depan aku, Bora? Kau minta kubanting?"

Bora tersenyum mengejek. Sekumpulan orang disekeliling dirinya tiba-tiba maju, melindungi pemudà ini. Tahu bahwa Gurba amat tinggi kepandaiannya dan Bora bisa dibunuh raksasa itu kalau Gurba marah. Betapa pun mereka cukup mengenal kehebatan Gurba yang bekas pemimpin ini. Tapi Bora yang mengembangkan lengan menyuruh orang orangnya minggir tiba-tiba dengan dada terangkat dan tombak melintang melangkah maju.

"Hanggoda, kami tahu bahwa kami mungkin bukan lawanmu. Kau kebal, ilmu silatmu tinggi dan aku tentu mampus melawan kesaktianmu yang luar biasa. Tapi kami kelompok Tar tar yang tetap menjunjung kegagahan dan keperwiraan sebagai laki-laki jantan tak takut kau mau membunuh kami atau tidak. Aku sekarang pemimpin disini, teman-temanku meminta aku yang bodoh memimpin mereka, tak dapat kutolak. Kalau kau memang tak memusuhi kami dan mencari Siga sebaiknya kau pergi dan cari pemuda itu di lain tempat. Tapi, kalau kau memang mau memusuhi kami dan mencari keributan aku akan maju menghadapimu membela suku bangsaku meskipun untuk itu aku harus mampus di tanganmu!"

Gurba tertegun. Dia marah besar, tangan siap terayun melepas pukulan maut. Tapi melihat kegagahan dan kejantanan pemuda ini tiba-tiba dia membelalakkan mata berseru menggigil. "Bora, kau berani mengucapkan kata-kata seperti itu di depan aku yang pertama memimpin kalian? Aku datang bukan untuk membunuh, melainkan mengumpulkan kalian untuk bersatu seperti dulu, menyerang musuh!"

"Dan kembali beralasan terjebak kalau musuh mempergunakan wanita. Hm... kami tak mau bersatu denganmu, Hanggoda Kau telah meninggalkan titik noda yang tidak dapat kami hapus. Hidup atau mati kami ingin sendiri"

Bora menancapkan tombaknya, tegas dan gagah bukan main sehingga Gurba terpukul. Raksasa itu menggereng dan hampir mencelat maju. Tapi melihat yang lain tiba-tiba maju melindungi Bora dan orang itu kelihatan benci memandangnya tiba-tiba seorang kakek bersera nyaring,

“Gurba. kau boleh membunuh Bora. Boleh saja mencincang dan menyiksa dia. Tapi kalau kelompok tak mau turut padamu dan membenci dirimu maka percuma saja kau memaksa kami. biarpun kau membunuh kami semua!"

Gurba tertegun. "Kau kakek Yami?"

"Ya, aku si tua Yami..."

"Dan kau membela si tolol ini?"

"Bukan aku saja, Gurba. Melainkan semua orang yang kau anggap tolol di sini?"

Gurba terhenyak. Dia memang tahu keteguhan suku bangsa Tar-tar ini. Kekerasan hatinya, Kejantanannya dan sikap tidak mau kalah terhadap orang lain. Mereka boleh dibunuh tapi pantang dihina. Dan Gurba yang tertegun memandang si tua Yami tiba-tiba mengeluh dan mundur terhuyung. "Kakek Yami, aku datang bukan untuk membunuh kalian. Aku datang untuk minta bersatu!"

"Tapi kami tak dapat menerimamu Gurba. Hanya mengingat jasa jasamu di waktu yang lalu kami masih menyambutmu baik-baik, masih mau bercakap-cakap. Kalau tidak tentu kami sudah menyerangmu untuk membunuh atau dibunuh!"

Gurba menggerang. Dia mendelik memandangi semua yang ada di situ, sakit hatinya, terpukul perasaannya. Tapi karena dia datang bukan untuk menghajar orang-orang ini melainkan meminta mereka bersatu dan menyerang istana diapun jadi bingung menghadapi orang-orang ini, bekas anak buahnya yang keras dan tegar hati. Tak tahu harus berbuat apa. Tapi ketika dia terbelalak dan Bora serta anak buahnya tajam memandang raksasa itu dengan pandangan tak bersahabat tiba-tiba angin berkesiur disusul menancapnya sebuah lembing di depan kaki Bora, diiringi bentakan seorang laki-laki.

"Bora, kau tak tahu adat menyambut pemimpin besar. Aku Siga datang menegur perbuatanmu...!" dan begitu seseorang melompat ke depan dan Bora serta orang orangnya terkejut maka muncullah seorang pemuda lain yang datang melepas kemarahan, di pundaknya tampak seekor rusa yang berlumuran darah. Rupanya baru diburu, mati dan kini dilempar pemuda itu di atas tanah, Siga, pemuda gagah yang menjadi andalan Gurba ketika menyerang kota raja.

Bora dan lain-lain mundur selangkah, terkejut oleh kedatangan Siga yang gagah ini. Dan ketika Bora tertegun dan kakek Yami juga terkejut maka suara berkerosak menyeruak padang rumput disusul bayangan ratusan laki-laki yang muncul bagai iblis di tengah padang ilalang.

"Hanggoda, kami datang...!"

Kakek Yami dan lain-lain semakin terkejut. Itulah orang-orangnya Siga, kelompok lain yang dipimpin pemuda itu semenjak mereka pecah menjadi dua. Bora dengan orang-orangnya di satu pihak sedang Siga dengan kelompoknya sendiri di pihak lain. Suku Tar tar terpecah oleh kejadian dulu, akibat perbuatan Bi Nio yang menjebak Gurba dalam hubungan terlarang.

Kelompok Bora mengutuk peristiwa itu meskipun Siga menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Gurba tidak sengaja. Bahwa musuh sengaja menjebak pemimpin mereka untuk melakukan perbuatan terkutuk. Agar mereka terpecah-belah. Dan ketika ratusan laki-laki itu muncul dan meneriakkan nama Gurba dan menjatuhkan diri berlutut maka Siga yang sudah memberi hormat pada pemimpinnya itu berseru,

"Hanggoda, kami datang sebagai anak buahmu yang setia. Kami lama menunggu-nunggu kedatanganmu. Kalau Bora dan teman-temannya tak mau ikut kau biarlah tinggalkan si pandir itu untuk memimpin kami. Bora dan teman-temannya orang-orang picik, serta bodoh dan tolol. Sebaiknya tinggalkan mereka dan pimpinlah kami."

Bora marah. Tapi Gurba yang girang oleh munculnya Siga tiba-tiba melompat maju. menepuk pundak Siga yang tegap dan kuat. "Siga, kau datang membawa pasukanmu?”

"Ya, kami datang mendengar suara Hanggoda. Dan kami siap membela namamu dari Bora dan orang-orangnya itu!"

"Tidak, kalian tak boleh bertempur. Kalian tak boleh berkelahi” dan Gurba yang gembira membelalakkan matanya buru-buru mengulapkan lenganya ke atas. “Hei…” serunya lantang. Kalian adalah orang-orang satu suku. Kita bangsa Tar tar yang besar. Tak perlu menumpahkan darah sesama teman sendiri."

Bora menjengek. "Tapi kami tidak mengakui dirimu, hanggoda. Kami kelompok terpisah yang tidak ingin hidup bersama kalian!"

Siga marah. "Bora, tahan mulutmu. Hanggoda adalah pemimpin besar suku kita. Dialah yang menyatukan kita dan membuat bangsa Tat-tar bangsa yang besar!"

"Itu dulu, Siga. Kami tak mengakui dirinya lagi sejak dia berbuat zina dengan wanita pedalaman itu. Bangsa Tar-tar pantang menerima anggautanya yang berjina dengan Isteri orang lain!"

"Keparat.." Siga membentak. "Kau tak tahu malu menghina pemimpin besar, Bora? Ku robek mulutmu nanti, kubunuh kau!"

"Hm, dengan bantuan hanggoda ini? Boleh, Siga, majulah dan biar aku mati membela kelompok ku!"

Bora tersenyum mengejek, Siga memekik dan hampir melompat maju. Suasana menjadi panas. Tapi Gurba yang menggeleng tak menghendaki keduanya bertempur tiba-tiba maju ke depan mencengkeram bahu dua pemuda itu.

"Siga, Bora, aku tak menghendaki kalian berkelahi. Mundur!" dua pemuda itu terpelanting, baik Bora maupun Siga tentu saja tak dapat menerima kekuatan Gurba, masing-masing mengeluh tapi melompat bangun lagi dengan mata melotot. Dan ketika mereka beradu pandang dan orang-orangnya Bora mengepung dengan senjata terangkat tiba tiba Siga berseru lantang mengacungkan tombaknya.

"Hanggoda, biarkan aku menghadapi orang-orang ini. Namamu patut dibela, Bora memang tak tahu diri dan biarkan kami selesaikan persoalan ini dengan cara kelompok suku!" dan belum Gurba melarang atau bertindak sesuatu tiba-tiba Siga sudah menyuruh orang-orangnya mundur, menantang Bora. "Bora, urusan di antara kita rupanya sudah mencapai puncaknya. Hanggoda di sini, biarlah kita tentukan persoalan kita dengan cara jantan. Beranikah kau menerima duel perorangan dan bertanding cara Tar-tar?"

Bora mengangguk. "Aku tak takut ancaman mu, Siga. Tapi jelaskan dulu arti tantanganmu apakah kau dibela Hanggoda atau tidak. Kalau kau berdua mau maju tentu aku kalah, kita tak usah bertanding dan kuberikan kepalaku secara cuma-cuma!"

"Tidak!" Siga membentak. "Hanggoda di sini hanya sebagai saksi, Bora. Siapa yang curang harus mendapat hukumannya kita berdua bertanding secara jantan, siapa kalah sisa kelompoknya harus mengikuti yang menang. Kau berani?"

Bora terkejut. "Kenapa membawa-bawa kelompok?"

"kau takut?"

"Siapa takut?" Bora meradang. "Hanya ini pertandingan berdua, Siga. Kenapa membawa bawa orang lain sebagai taruhan? Aku siap membunuh atau dibunuh, tapi anak buah kita sebaiknya tak perlu diikut sertakan!"

"Kalau begitu kau dan kelompokmu pengecut. Coba dengar apa yang diserukan anak buah ku.... heii..." dan Siga yang langsung menghadapi orang orangnya sudah berseru. "Apakah kalian takut kalau aku kalah dalam pertandingan ini dan menjadi pengecut yang tidak setuju dengan caraku ini dan siap membantah?"

Pengikut Siga memekik, "Tidak, kami tidak takuti siapa pun, Siga. Kalau kau mau bertanding dengan cara Tartar dan mempertaruhkan kami sebagai taruhan tentu saja kami tak akan menolak. Kau adalah pemimpin kami, setelah Hanggoda. Karena itu apa yang kau lakukan tak akan kami tolak karena kami tahu bahwa yang kau lakukan sebenarnya adalah demi kami juga, bangsa Tartar yang gagah perkasa!"

"Nah, kau dengar, Bora?" Siga mengejek. "Orang orangku siap mendukungku dalam pertarungan ini. Kalau kau dan orang-orang pengecut tak berani menerima tantangan sebaiknya tak perlu mengaku sebagai bangsa Tar-tar yang gagah dan perwira!"

Bora terpukul. Sikap dan kata-kata lawan memang tegas sekali. Dia diajak taruhan, duel cara Tar tar di mana pemimpin lawan pemimpin dengan anak buah sebagai taruhan. Yang kalah harus menyerahkan diri dan kelompoknya harus mengikuti kelompok yang menang. Padahal dia menghendaki duel itu bersifat pribadi saja, tak usah mengikut sertakan anak buah. Tapi karena anak buah Siga sudah menyatakan pendapatnya sementara dia dan anak buahnya tentu saja tak boleh kalah muka, Bora termangu sejenak dengan muka merah padam. Bora harus mengikut Siga, menolak berarti pengecut. Dan Bora yang sudah membalikkan badan menghadapi anak buahnya akhirnya bertanya dengan nada geram, "Bagaimana, kalian berani menerima tantangan?"

Serempak kelompok Bora mengangguk. "Kami berani, lakukan saja, Bora. Kami juga bukan pengecut dan mempercayakan kemenangan padamu!"

Bora menghadapi Siga kembali. "Nah, kau dengar. Kelompok Bora bukan manusia penakut Siga. Kalau kau menantang kami tentu saja kami terima. Aku siap mempertaruhkan nyawaku demi kelompok sukuku!"

"Bagus, kau memang jantan. Kalau begitu mari kita mulai, masing-masing kelompok sebagai Saksi!" dan Siga yang meraih tombak seorang pembantunya dan melemparkannya pada Bora akhirnya dibalas dengan hal yang sama ketika Bora melemparkan tombaknya.

Masing-masing bertukar tombak lawan, boleh memeriksa dan minta ganti kalau mendapatkan sesuatu yang mencurigakan. Biasanya pantang mereka memberikan tombak yang retak, Dan ketika masing-masing memeriksa dan menerima tombak lawan akhirnya dua-duanya minta disediakan seekor kuda. Itulah cara orang Tar tar duel. Mereka akan mengadu kepandaian di atas kuda, saling menusuk dan menyerang di atas kuda. Kalau salah satu roboh dan tewas maka yang lain dianggap menang.

Tapi kalau tombak sama-sama patah maka mereka boleh minta yang baru sampai tiga kali berturut turut. Dan kalau masih juga seri maka mereka akan bertarung tanpa senjata, di atas tanah. Saling banting dan cekik, pertarungan gulat sampai salah satu roboh, atau menyerah. Dan ketika kuda telah disiapkan dan masing-masing kelompok mundur menjauhi arena maka Siga dan Bora telah melompat di atas punggung kuda masing-masing.

"Bora, arah mana yang kau inginkan?"

"Aku di barat, kau di timur."

"Baik dan Siga yang bertukar tempat menuju arah timur akhirnya mencemplak kudanya menuju tempat itu. Genderang tiba-tiba dipukul dari dua kelompok besar itu memperhatikan tindak tanduk keduanya, betapa pun ketegangan menyelinap di hati mereka. Siga dan Bora sama-sama pemuda yang pandai mainkan tombak, begitu pula dalam hal menaiki kuda. Masing-masing agaknya tak berbeda jauh. Dan ketika semuanya siap dan Bora menuju arah barat maka terompet ditiup sebagai tanda dimulainya serangan.

"Bora, maju...!"

Bora mengangguk. Di pihak sana Siga juga sudah menarik tali kekang kudanya. Keduanya bergerak cepat dan masing-masing sama berdérap untuk menghampiri lawan, tombak terangkat dan Siga maupun Bora memandang beringas. Dan ketika kuda sama berpacu dan masing masing tuannya membentak tinggi maka dua ekor kuda itupun mencongklang mendekati yang lain.

"Hyahh...!"

Orang-orang memandang tegang. Derap kaki kuda seakan menghentak-hentak jantung mereka, mendebarkan dan membuat degup meloncat-loncat. Dua pemuda itu telah saling menghampiri dengan cepat. Dan ketika mereka berpapasan dan Siga maupun lawan memekik menusukkan tombaknya maka dua senjata panjang itu bertemu di udara.

"Crang..!"

Siga dan lawannya terputar. Kuda mereka tak kuat menahan benturan, meringkik dan ikut terputar setengah lingkaran, kedua kaki diangkat. Siga dan lawan cepat merangkul leher kuda dan menenangkan kuda itu. Dan ketika kuda menurunkan kakinya kembali dan mereka cepat mengendalikan kuda maka masing-masing sama berputar dan menusukkan tombaknya lagi.

"Crang-crang!"

Dua tombak sudah mulai berdentingan. Siga dan Bora mengadu kecepatan, tentu saja juga kekuatan. Dan ketika keduanya mulai berlaga dan tombak saling tusuk dan tikam akhirnya dua pemuda Tar tar ini sering menyerang dan bertempur di atas kuda. Seru dan ramai karena mereka harus mendahului yang lain mencuri kelengahan. Sekali kena tentu yang lain roboh.

Bora tampak lebih ganas karena pemuda ini teringat kematian saudaranya, Munga, di tangan Siga dulu yang membuat bangsa Tar tar pecah dan tersibak menjadi dua kelompok. Dan ketika Bora membentak-bentakkan tombak di tangannya mematuk kiri kanan bagai singa haus darah maka Siga melayaninya dengan tenang tapi hati hati.

Di sinilah mulai tampak perbedaan. Bora kelihatan beringas, sementara Siga melawannya hati-hati. Keduanya memiliki tenaga berimbang tapi Bora kelihatannya lebih kuat, tenaganya besar tapi sering meleset karena kelitan Siga yang manis. Dua tiga gebrakan membuat Siga terdorong. 0rang melihat Siga kalah posisi. Tak lama kemudian sering merangkis daripada menyerang. Sering mundur-mundur dalam usahanya mengelak Juga mata tombak Bora yang mengejarnya tak kenal ampun. Dan ketika satu saat baju pundak Siga termakan tombak lawan mendadak kelompok Bora berteriak gemuruh.

"Bagus, desak terus, Bora. Bunuh dan lemparkan lawanmu dari atas kudanya!"

Bora mendapat semangat. Dia tertawa mengejek, matanya nyalang penuh nafsu membunuh, mencecar dan terus mendesak Siga. Kuda mereka sering meringik karena perut sering dijepit, kesakitan dan terus beringas, seperti tuannya. Dan ketika Bora kembali berhasil menyontek rambut Siga dan hampir pemuda itu dicoblos kepalanya maka kelompok Bora terjingkrak-jingkrak penuh kegembiraan.

"Bora, bunuh dia. Coblos sedikit ke bawah!"

Bora tertawa bergelak. Dia merasa gembira melihat lawan mundur mundur. Siga tampak kewalahan tapi belum berhasil juga dilempar dari kudanya, hal yang membuat dia gemas, juga penasaran. Dan ketika kelompoknya mulai histeris dan Siga bermandi peluh maka Bora menyeringai girang berkata sombong. "Kau kalah, sebaiknya menyerah dan lepaskan tombakmu, Siga. Minta ampun dan nyatakan dirimu kalah!"

"Tidak, aku masih kuat. Kau jangan sombong, Bora. Keadaan bisa berbalik dan kesombonganmu akan menjatuhkan dirimu."

"Ha-ha, tak mau menyerah? Kalau begitu kau akan kubunuh...wutt!" dan tombak di tangan Bora yang menusuk panjang menikam lawan tiba-tiba ditangkis dan membuat Bora terbelalak.

Siga masih hebat tenaganya dan mereka pun sama tergetar, terdorong. Tapi begitu Bora membentak dan berteriak nyaring tiba-tiba pemuda ini menubruk dan maju lagi, menyerang tapi kini dikelit dan dihindari lawan, Siga seakan takut menghadapi tombak Bora. Tentu saja Bora marah-marah dan memaki Siga pengecut. Dan ketika Siga tersenyum dan mulai menjauhkan kudanya mendadak Siga bertempur sambil lari menghindar!

"Licik! Pengecut! Kau tak jantan, Siga. Kau curang...!"

Siga tertawa. Dia membuat semua orang membelalakkan mata, bahkan pihaknya sendiri mengerutkan kening. Perbuatan itu dianggap pengecut dan menurunkan harga diri. Dan ketika Bora memaki-maki dan terus menyerang tapi selalu luput mengenai sasaran tiba-tiba Siga berbalik menerima tusukan tombak lawan.

"Crang...!"

Bora kaget setengah mati. Dia melihat tenaga sendiri berkurang amat banyak, kiranya terbuang sia-sia ketika mengejar Siga tadi. Tahulah dia bahwa Siga menang mempergunakan taktik begitu. Yakni membiarkan dia membuang-buang tenaga percuma karena Siga selalu mengelak dan berkelit, menghindarkan diri sementara lawan memboroskan tenaga. Jadi Bora menyerang sia-sia sementara lawan menyimpan tenaga, Bora terjebak. Dan ketika Siga maju tertawa dan balik menyerang tiba-tiba Bora mengeluh ketika tombak terpental dan lawan terasa masih tegar.

"Ha ha, bagaimana, Bora. Kau masih sombong dengan kata-katamu tadi?"

Bora mendelik. Sekarang dia merasa tertipu, sadar bahwa lawannya ini kiranya Cerdik. Tidak mempergunakan otot saja melainkan juga akal. Dia terperangkap, kini diserang dan ganti dicecar Siga. Kelompoknya tiba-tiba diam sementara kelompok Siga berteriak-teriak, girang melihat pemuda itu mendesak Bora. Dan ketika baju pundak Bora tertusuk tombak dan robek memberebet panjang maka kelompok Siga berseru gemuruh meneriaki jagoannya.

"Bunuh, lempar dia dari kudanya, Siga. Tusuk dan tikam jantungnya sampai mampus...!"

Siga tertawa. Bora pucat melihat lawan menyerang terus, tenaga kian lemah karena tadi terbuang percuma oleh nafsu yang tak terkontrol. Dan ketika kembali dia menangkis tapi tombak hampir terlepas dari tangannya mendadak Siga ganti mengejek, "Bora, kau akan kalah. Sebaiknya menyerah dan cepat minta ampun!"

"Siapa mau?" Bora marah. "Aku belum roboh, Siga. Senjata masih kupegang teguh. Tak perlu banyak mulut!" dan Bora yang mulai berputar-putar di atas kudanya mengelak serangan tombak tiba-tiba berkelit dan mulai menghindar dengan cara seperti Siga tadi. Kini membiarkan lawan membuang tenaga sementara dia memulihkan diri. Kuda diajak berlarian menghindar hingga sergapan lawan selalu luput.

Dan ketika Bora menjauhkan diri dan bertempur dengan cara kucing-kucingan seperti itu dan Siga tertegun maka pemuda ini mengumpat melihat Bora mempergunakan taktiknya untuk membalas dengan cara yang sama! "Keparat, kau licik, Bora. Kau pengecut...!"

"Ha ha, siapa pengecut? Kaupun tadi juga melakukan hal begini, aku sekedar meniru untuk membalasmu!"

Bora mengejek, memang benar dengan cara begitu Siga dibuat mendongkol, dia ganti membuang-buang tenaga sementara lawan dapat beristirahat. Dengan begitu kedudukan menjadi berimbang dan kelompok Bora bersorak sorak. Sekarang mereka tahu bahwa apa yang dilakukan Bora maupun lawannya bukanlah karena takut melainkan semata sebut akal untuk mengalahkan Iawan. Kini mereka kagum dan mau tak mau mengakui kecerdikan dua pemuda itu. Tapi karena Bora hanya meniru dan akal itu sebenarnya berasal dari Siga maka kelompok Siga memaki-maki Bora.

"Pengecut, Bora tak jantan. Dia tak pantas menjadi laki-laki dan sebaiknya menjadi perempuan. Kalau semua hanya meniru-niru begitu mau diakuinya sebagai lelaki? Cih, kau minum susu ibumu dulu agar berakal, Bora. Jangan mencontoh akal orang lain seolah otakmu tumpul dan beku seperti kerbau!"

Bora mendelik merah. Umpatan dan teriakan kelompok Siga membuat telinganya panas, dia tersinggung dan akhirnya malu pada caranya ini. Seolah membenarkan dia berotak kerbau hingga bertempurpun harus ditirunya dari pihak lawan. Dan ketika dia telah pulih kembali kekuatannya dan Siga maju menyergap tiba-tiba dengan pekik nyaring dia memapak dan menangis tombak Siga, sepenuh tenaga. Siga terkejut dan tentu saja melakukan hal yang sama, pemuda itu pun membentak dan menyerang dengan kekuatan penuh. Dan ketika dua tombak saling bentur diudara dan masing-masing menusuk dan menangkis mendadak dua tenaga yang sama dahsyat itu membuat tombak patah dan mereka sama-sama terpelanting dari atas kudanya.

"Crang....!"

Siga dan Bora berseru kaget. Mereka sama-sama terlempar, roboh bergulingan dan terbelalak melihat kesudahan yang seri. Kuda mereka meringkik dan lari menjauh. Tapi Siga dan Bora yang sudah melompat bangun dan berhadapan kembali akhirnya menggeram dengan mata melotot, menerima lontaran tombak dari anak buah masing-masing. Pertarungan dilanjutkan lagi di atas tanah, tidak di atas kuda, diiringi teriakan kelompok masing-masing yang histeris menjagoi pihak masing-masing. Dua-duanya sudah melompat dan kembali serang menyerang. Tapi ketika tombak Lagi lagi patah dan keduanya sama kuat akhirnya tombak ke tiga diberikan pada mereka.

"Kau akan kubunuh, aku tak mau sudah, Siga. Kau akan kubunuh!"

Bora menerjang lagi, dendam kemarahannya terlontar lewat geramnya yang berkerotok, Siga tak menjawab tapi menyambut lawannya itu. Dan ketika serang menyerang kembali terjadi dan mereka pun tangkis-menangkis mendadak untuk yang ketiga kalinya tombak keduanya lagi-lagi patah.

"Keparat, kita bertarung dengan tangan kosong. Kucekik kau...!" dan Bora yang melempar patahan tombaknya dan menubruk ke depan akhirnya menyerang Siga dengan sikap beringas, kedua tangannya mengembang siap mencekik leher lawan. Tapi Siga yang tentu saja tak mau mati konyol dan menangkis serta membalas tiba-tiba menangkap dan membanting lawannya itu.

"Brukk...!" Bora menggelepar. Siga ganti melompat dan menubruk lawannya itu. Tapi Bora yang menggerakkan kaki dari bawah menendang perut Siga tiba-tiba membuat lawan mengeluh dan balik terbanting.

"Brukk...!" Siga pun menggelepar. Bora menerkam dan merekapun bergulingan, pertandingan setengah gulat dilanjutkan di sini, masing-masing memiting dan membelit lawan. Dan ketika mereka tolak menolak dan kelompok Siga maupun Bora bersorak-sorak menjagoi pemimpinnnya akhirnya perkelahian ini tak kalah seru dan mendebarkan dibanding pertarungan di atas kuda tadi. Tapi Siga suatu saat berhasil menindih lawan, Bora dicekik tapi memberontak, giginya ikut bicara hingga Siga menjerit kesakitan. Pertarungan mulai liar! Dan tak beretika. Bora balik menindih lawan dan Siga dicekik akhirnya puncak perkelahian mendekati titik akhir.

"Bunuh dia. Cekik dia, Bora. Cekik sampai mampus..."

Orang-orang Bora berteriak, masing-masing ikut menjadi kalap oleh pertarungan ini. Böoa merah mukanya akibat mengerahkan tenaganya sekuat bagian, Siga hampir terhenti napasnya oleh cekikat lawan yang membuat dia terkunci. Diam-diam marah dan memaki karena Bora tadi menggigit. Dan ketika dia memberontak namun kuncian lawan terlalu kuat baginya akkirnya Siga megap-megap dan perlahan-lahan pandangannya memudar. inilah bahaya bagi pemuda itu. Siga berkunang-kunang sebenarnya hampir memperoleh kemenangan kalau Bora tadi tidak menggigit, membuat dia terkejut dan sebagian dagingnya cuil dimakan Bora tadi. Dan ketika orang-orang Bora bersorak menggegap-gempita dan Siga semakin tercekik tiba-tiba seorang anggauta Siga maju ke depan.

“Gigit!"

"Siga, gigit lengannya. Kaupun tadi juga digigit!"

Siga mengeluh. Sebenarnya diapun juga dapat melakukan itu, membalas hal yang sama pada lawan yang curang. Karena ilmu menggigit sebenarnya tak ada dalam peraturan gulat, pekerjaan perempuan. Tapi karena perbuatan ini Itu dinilai memalukan dan orang-orang Bora mungkin akan mengejeknya sebagai berlaku hina akhirnya Siga menggeleng dan tetap tidak mau melakukan itu. Dan kelompoknya menjadi gelisah.

"Siga, gigit lawanmu itu. Gigit dia!"

"Ya, balas seperti tadi dia menggigitmu, Siga. Lakukan hal yang sama dan gigit dia!"

Tapi Siga tetap menggeleng. Dia tidak mau, mencoba bertahan sementara Bora menambah tenaganya. Leher Siga mulai membiru dan napas Siga terhenti, otot-otot leher pemuda itu menggembung sementara otot-otot lengan Bora juga membesar, jelas dialiri tenaga yang luar biasa kuatnya. Siga tentu tak dapat menahan diri, pemuda itu bakal tewas. Dan ketika teriakan kelompoknya semakin nyaring tapi Siga tetap tak mau menggigit lawan tiba-tiba Gurba, yang menjadi kagum akan kegagahan pembantunya ini berbisik, mengerahkan Coan-im jip-bitnya,

"Siga, tolol kau. Kenapa tidak memencet jalan darah tong-peh-hiatnya? Kau tahu di mana jalan darah itu, lepaskan tanganmu dari lengan lawanmu dan cubit jalan darah itu. Sekali saja, yang keras dan lawanmu tentu roboh!"

Siga tiba-tiba seakan hidup kembali. Suara Gurba itu membantunya luar biasa. Nyawa tiba-tiba seakan masuk lagi ke raga dan Siga teringat. Betapapun dia telah belajar tentang jalan-jalan darah di tubuh manusia. Tong-peh-hiat merupakan jalan darah di bawah pusar, di atas anggauta rahasia. Dia lupa itu, gugup dan bingung oleh cekikan lawan yang hampir membuatnya kehabisan napas.

Maka begitu teriakan orang-orangnya tak digubris tapi bisikan Gurba diturut mendadak, mengejutkan semua yang ada di situ tiba-tiba pemuda ini menggerakkan tangannya ke bawah. Orang hanya melihat Siga melepaskan tangannya dari tangan Bora, bergerak kebawah menuju pusar. Dan ketika Siga mencubit dan memencet keras sekali mendadak terdengar raungan Bora yang tinggi memecah jantung.

"Augh...!" Orang-orang terkejut. Mereka melihat Bora melepaskan cekikannya pada leher Siga, terguling dan roboh meringkuk, mengeluh seperti ayam di cabuti bulunya. Tapi ketika pemuda itu tak bergerak lagi dan pingsan di atas tanah tiba-tiba kelompok Siga bersorak penuh kegembiraan.

"Siga menang....!"

"Bora kalah....!"

Orang-orangnya Bora tertegun. Mereka tak menyangka perobahan yang di luar dugaan itu. Bora tersungkur dan tidak bergerak lagi. Padahal tadi dalam sikap yang meyakinkan pemuda ini akan keluar sebagai pemenang. Tapi karena orang tak melihat kecurangan di situ bahkan Bora dianggap kurang "sportip" dengan gigitannya tadi, maka kemenangan Siga disambut dengan heran dan takjub. Betapapun mereka harus mengakui kepandaian pemuda itu dibanding Bora.

Dan ketika kelompok Siga berteriak-teriak dan Bora kalah maka orang-orang inipun termangu dan membiarkan lawan melepas kegembiraannya dengan cara mereka sendiri, menyerbu kearah Siga dan memanggul pemuda itu. Siga dielu-elukan. Tapi teringat Bora yarg masih pingsan di atas tanah tiba-tiba seorang anggauta Siga menyerahkan tombak menyuruh Siga membunuh lawannya yang terkapar.

"Siga, kau telah memenangkan pertarungan. Hukum Tartar mengesahkan kau membunuh lawanmu. Bunuhlah dia dan ambil tombak ini...!"

Siga menggeleng. "Tidak, Bora adalah saudaraku sendiri, Kima. Aku tak bermaksud membunuh selain memenangkan pertandingan belaka."

"Tapi dia bermaksud membunuhmu. Kau sebagai pemenang!"

Siga tetap menggeleng. Dan ketika-orangnya tertegun dan kelompok Bora memandang padanya tiba-tiba Siga menghadapi mereka. "Sehabat-sahabatku, kalian adalah saudara sama seperti kata hanggoda tadi. Kita satu suku, kita satu bangsa. Karena itu meskipun Bora kalah tapi aku tak mau membunuhnya karena dia adalah saudaraku. Angkat dia dan sadarkan dia. Bora adalah teman, bukan musuh!"

Dan kelompok Bora yang tentu saja gempar oleh peristiwa yang dianggap aneh ini segera menjadi kagum dan simpatik kepada Siga, memberi pertolongan pada Bora dan pertikaian tiba-tiba lenyap. Siga menarik sayang semua orang, baik kelompok sendiri maupun kelompok Bora. Dan ketika Bora sadar dan Siga mengajak menghadap Gurba maka raksasa tinggi besar ini senyum-senyum menyambut mereka.

"Bora, kau benar-benar mengakui kemenangan Siga?”

"Aku mengakui," Bora berkata gagah, betapapun memang dia kalah. "Siga memang lebih pandai, hanggoda. Dan sesuai janjiku aku menyerahkan anggautaku dan diriku sendiri!"

"Terima kasih, kau cukup jantan!" dan Gurba yang tertawa menarik dua pemuda itu lalu menepuk-nepuk mereka penuh sayang. Diam-diam dilirik Siga yang mengucap terima kasih dengan bahasa isyarat. Gurba gembira dan mengajak bangsanya berpesta api unggun, bukan apa-apa melainkan semata mengucap syukur bahwa dua kelompok besar itu dapat bersatu. Tidak terpecah-belah lagi dan Bora maupun kelompoknya dapat menerima kejadian dulu, bahwa Gurba terjebak dan Siga menginsyafkan mereka.

Dan ketika hari itu bangsa Tar tar bersenang-senang dalam persatuan yang kokoh maka beberapa hari kemudian Gurba mulai mengatur rencana tentang penyerbuan besar-besaran yang akan dia lakukan terbadap istana. Tapi suatu gangguan kecil tiba-tiba datang mengganggu. Malam itu Gurba berada dikemahnya, Siga dan Bora datang menghadap. Dan ketika dua pemuda itu menjatuhkan diri berlutut dan Gurba tersenyum menyambut mereka segera raksasa tinggi besar itu bertanya apa maksud kedatangan mereka, diam-diam girang dan gembira karena Siga dan Bora ternyata benar-benar dapat bersatu.

"Maaf, ada pertanyaan yang sedikit mengganjal kami, hanggoda. Bolehkah kami ajukan dan mohon perjelasan?"

"Tentang apa?"

"Tentang Bi Nio." Gurba terkejut. "Apa maksud kalian?"

"Maaf," Siga maju berlutut. "Aku mendengar sesuatu yang tidak enak, hanggoda bahwa kau menerima selir kaisar itu sebagai isterimu. Benarkah?"

Gurba tertegun, tak menjawab. Dan ketika Siga mengulang pertanyaannya dan Bora ikut memandang tajam tiba-tiba Gurba bangkit berdiri, mengibaskan lengannya, "Siga, apa hubungan pertanyaanmu ini dengan kita semua? Kenapa kau tanyakan ini?"

"Maaf, hubungannya menyangkut rakyat banyak, hanggoda. Bahwa kami bangsa Tar tar ingin mengetahui jawabanmu tentang ini. Benarkah kau menerima selir itu dan berarti mengikat persahabatan dengan kaisar ataukah berita yang kami tangkap ini suatu dusta!”

"Kalau benar?"

"Kami menyesalkannya,"

"Kalau tidak?"

"Kami bersyukur."

"Hm, apa maksudmu, Siga?" Gurba mulai tak senang. "Apakah kalian hendak berontak dan menggagalkan rencana semula?"

"Maaf." Bora kali ini maju ke depan. "kami berdua mewakili suku bangsa kami, hanggoda. Bahwa kami mendengar kau menerima selir kaisar itu. Kalau benar, artinya kau tak memusuhi kaisar lagi, Kau bersahabat. Tapi kenapa sekarang hendak menyerang dan berbalik sikap? Apakah kaisar tahu perbuatanmu ini? Kami bangsa Tar-tar selalu menjunjung tinggi kegagahan, hanggoda. Kalau kau telah bersahabat dengan kaisar dan kini hendak merusak tali persahabatan itu dengan serangan ke sana tanpa sebab yang pasti maka ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap seorang sahabat Kami tak suka itu!"

Gurba terbelalak.

"Dan kami datang untuk minta penjelasanmu, hanggoda," Siga menyambung lunak, kata-kata temannya terasa keras. "Karena itu sukalah kau menjawab apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah kau menerima selir kaisar itu dan menjadikannya sebagai isterimu."

Gurba menggigil. Sebenarnya, menyebut-nyebut nama Bi Nio membuat dia marah. Teringat dia akan segala kekecewaannya dulu. Kegagalanmya terbadap sumoinya dan hal-hal lain yang membuat dia memusuhi sute dan sumoinya itu, Kim mou-eng dan Salima. Tapi karena orang-orang Tar-tar memang suku bangsa yang gagah dan mereka menjunjung tinggi nilai persahabatan maka diapun tertegun dan terbelalak memandang dua pembantunya itu. Bingung harus menjawab bagaimana.

Rencana serangan ini sebenarnya adalah atas kehendak Wan Cu. Atau lebih tepat, kehendak Pangeran Muda dengan Wan Cu sebagai penunduknya. Dia telah tergila-gila benar pada wanita cantik itu. Permainannya di atas ranjang. Pengobat kecewanya terhadap cintanya yang gagal kepada Salima. Tapi mengeraskan dagu memutar otak segera raksasa ini mendapatkan jawabannya, jalan yang dianggap baik saat itu. Dan ketika dia mengaku bahwa Bi Nio benar diberikan kaisar kepadanya dan Siga serta Bora saling pandang tiba tiba dua pemuda itu mengerutkan alis.

"Jadi benar berita yang kami terima ini, hanggoda?"

"Benar."

"Dan kau mengikat persababatan dengan kaisar?"

"Benar, tapi dulu."

"Jadi bagaimana ini, hanggoda? Kenapa sebuah persahabatan kau khianati seperti ini? Dan, maaf, kenapa pula kau menerima persahabatan itu, hanggoda? Bukankah kaisar telah menghancurkan bangsa kita?"

Gurba mendengus pendek, duduk kembali, "Siga, dan kau Bora, dengarkan baik-baik apa yang akan kuceritakan pada kalian ini. Aku memang telah menerima uluran tali persahabatan kaisar karena kita ternyata diadu domba. Kalian masih ingat Siauw-bin‐kwi dan Hek-bong Siang-lo-mo itu?"

"Ya."

"Nah, mereka itulah biang penyakitnya. Waktu dulu kita menyerbu ke sana dan aku bertemu Kaisar sementara kalian ribut sendiri maka disitulah baru kutahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa kita diadu domba. Bahwa bangsa Tar lar dipermainkan Iblis Muka Ketawa itu bersama Hek-bong Siang-lo-mo hingga kita berperang dengan Jit-liong Ciangkun dan anak buahnya itu. Kita terperangkap. Kaisar dan aku baru tahu setelan kami berhadap hadapan, setelah dua pihak saling hancur-menghancurkan. Tapi begitu kami menyadari bahwa permusuhan ini diciptakan pihak ketiga dan Siauw bin-kwi bertanggung jawab untuk urusan ini maka kaisar menghentikan pertikaian dan menawarkan kepadaku sebuah persahabatan."

"Dengan memberikan selirnya itu?"

"Ya,"

"Maaf, bagaimana kau bisa percaya bahwa ini adu domba dari Siauw-bin kwi, hanggoda?"

"Kau ingat tiga utusan Bin ciangkun?" Gurba balik bertanya. "Nah, itulah pangkal mulanya, Siga. Bahwa utusan yang kita tolak ini dibunuh Siauw bin-kwi dan Bin-ciangkun menganggap kita yang membunuh utusan itu. Salah paham mulai terjadi di sini. Siauw bin-kwi bekerja di belakang layar dan kita menjadi korbannya. Bin-ciangkun menuduh dan menyerang, dan selebihnya kau tahu sendiri karena kita balas menyerang panglima itu. Sampai berlarut-larut."

Siga tertegun. "Jadi Iblis Muka ketawa itu membunuh utusan?"

"Ya."

"Dan kau telah menangkap iblis itu, hanggoda?"

"Belum, aku belum sempat. Iblis itu melarikan diri, tapi satu saat tentu dia akan kubekuk!" dan Gurba yang menceritakan pertemuannya dengan kaisar di kota raja dulu akhirnya membuat dua pembantunya menahan napas, cerita ini memang belum mereka ketahui, bahwa Siauw-bin-kwi mengerjai mereka, mengadu domba mereka. Tapi begitu Gurba selesai menceritakan pengalamannya segera Bora maju bertanya dengan alis dikerutkan.

"Hanggoda, maaf. Kalau begitu kenapa sekarang kau hendak menyerang istana? Bukankah kaisar tak bersalah? Kita bangsa Tar tar memang harus mencari Iblis Muka Ketawa itu, tapi tolong beritahukan pada kami kenapa kaisar harus dimusuhi lagi!"

"Hm, Ini urusan pribadi. Bora. Aku sebenarnya enggan menjawab. Tapi kalau kalian ingin tahu baiklah. Aku... aku merasa tertipu oleh kaisar itu," Gurba berbohong, merasa kepalang basah. "Kaisar telah memberiku sesuatu yang amat menghina!”

"Apa itu?"

"Selirnya itu, Bi Nio!"

"Ada apa dengan Bi Nio?" Bora dan Siga kaget.

"Selir itu telah hamil, Siga. Dan aku terhina oleh sikap kaisar yang kuangap kurang ajar!"

Gurba meradang, pura-pura marah dan dua pembantunya tertegun. Sungguh tak mengira kalau ltu soalnya. Kaisar memberikan selir yang telah hamil. Padahal Gurba mengada-ada karena bingung harus menjawab dengan keterangan sebenarnya. Tentu saja tak mungkin berterus terang bahwa dia lagi tergila-gila pada Wan Cu, wanita montok yang siap diperisterinya itu bila pekerjaan Pangeran Muda berhasil. Dia diminta menyerang istana dan merobohkan kedudukan kaisar. Pangeran Muda hendak mengangkat diri sebagai yang paling berkuasa. Dan ketika Gurba mengoceh dan menjual cerita burung bahwa Bi Nio telah hamil dan kehamilannya itu bersama kaisar sebelum berhubungan dengannya tiba-tiba saja Siga dan Bora marah.

"Keparat, kalau begitu kaisar itu tak mengenal arti sebuah persahabatan, hanggoda. Untuk itu memang layak dia kita serang. Kaisar harus kita bunuh. Aku akan memenggal kepalanya kelak kalau aku berhasil masuk istana!"

"Ya, dan dia akan kutelanjangi dan kuarak sepanjang jalan, Hanggoda. Hitung hitung sebagai balas dendam atas kekurang ajarannya kepadamu!"

Bora berkeratak, menyambung dengan marah dan mengepal tinjunya, muka merah padam. Dan ketika dua pembantu Gurba itu marah-marah dan omongan Gurba termakan dua pemuda ini akhirnya persoalan dianggap jelas oleh Siga dan Bora. Mereka sungguh marah, batapapun kebencian mereka terhadap bangsa Han berkobar lagi. Merasa terhina karena pemimpin yang mereka hormati. Diberi selir yang sudah hamil. Tentu ini merupakan "barang bekas". Dan karena bangsa Tar-tar boleh dibunuh tapi jangan dihina maka hasutan Gurba berbuntut panjang.

Memang tak ada jalan lain bagi raksasa ini untuk menyembunyikan keinginan pribadinya. Satu satunya jalan ya memang begitu. Berbohong. Dusta. Tak ingat akan ekor di belakang hari. Atau mungkin Gurba memang tak perduli pada semuanya itu karena terancam. Bangsa Tar-tar harus di ajaknya berperang agar dia mendapatkan Wan Cu. Sedikit kebohongan tak apa, sedikit fitnah tak peduli. Ketika Gurba bercerita macam-macam lagi yang semuanya dimaksud untuk membakar dua anak buahnya. Akhirnya Siga dan Bora mengoper cerita ini pada suku bangsa Tar-tar.

Tentu saja bangsa Tartar bangkit kemarahannya mendengar cerita ini, tak sadar dihasut Gurba, mereka masih memaki-maki kaisar itu , mengutuk dan menyumpah serapah. Untuk kedua kali Gurba melakukan kesalahan besar dalam hidupnya. Dulu berbohong pada sumoinya, sekarang pada suku bangsanya. Semuanya berbau fitnah, demi kepentingan pribadi. Dan ketika Gurba berhasil membujuk dan menyiapkan suku bangsanya ini dalam sebuah pasukan besar yang siap melakukan serangan, maka seminggu kemudian raksasa itu telah menggiring anak buahnya memasuki tembok besar.

Gegerlah orang orang pedalaman. Mereka di serang pasukkan Gurba. Bangsa Tartar menjadi bangsa yang beringas dan ganas. Mereka menyerang menerjang kota kota dan dusun dusun. Gurba membuka jalan bagi pasukkannya, di setiap pintu gerbang penjagaan dihancurkan hingga pasukkannya dapat masuk. Bangsa Tar-tar menjadi wabah bagi penduduk pedalaman yang tidak berdosa. Mereka di bunuh tanpa pandang bulu.

Gurba bergerak di belakang layar, entah kenapa memesan pada pasukkannya agar tak menyebut namanya. Siga dan Bora-lah yang ditonjolkan ketika sebulan kemudian pasukan ini terus bergerak masuk dan menyerbu lebih ke dalam, akhirnya gerakkan mereka mendekati kota raja di mana para pembantunya berada!

Tercapailah sudah sebagian besar rencana Gurba. Dia berhasil membawa pasukannya meluruk tinggal beberapa hari lagi ke kota raja. Gurba tentu saja terus mengadakan kontak dengan orang-orangnya Pangeran Muda yang bergerak dari dalam. Tak lama kemudian akan menampakkan diri dan menangkap kaisar itu. Tapi ketika hari itu Gurba tiba di kota Cin-sin dan menduduki kota ini mendadak seorang utusan muncul mengejutkan raksasa ini. Bahwa di istana terjadi perobahan besar yang tidak disangka. Wan Cu di tangkap, kaisar marah-marah dan mencium persekutuan busuk di lingkungannya sendiri. Dan ketika utusan itu memberi tahu bahwa semuanya ini gara-gara Kim-mou-eng mendadak Gurba tertegun membelalakkan mata.

"Kau tidak salah?"

"Tidak, hamba melihat sendiri, hanggoda. Dan Siauw-ongya menyuruh paduka datang ke istana sekarang juga. Keadaan dinilai gawat!"

"Lalu mana Siauw bin-kwi dan teman-temannya itu?”

"Hamba kurang jelas, hanggoda. Tapi Hek-bong Siang-lo-mo terluka dan kini menghilang!"

"Baik, aku akan ke sana. Kau kembalilah!" dan Gurba yang terpaksa menunda serangannya memanggil Siga dan Bora akhirnya memesan singkat saja. "Bora, dan kau Siga. Untuk beberapa hari ini kalian tinggal dulu di sini. Ada persoalan penting yang harus kuselesaikan, jangan maju dan tunggu sampai aku kembali!"

"Ada apa, hanggoda? Kenapa berhenti?"

"Kalian tak perlu tahu. Pokoknya tinggal di sini dan tunggu aku!" Gurba meradang, membalikkan tubuh dan sudah berkelebat meninggalkan dua pembantunya itu.

Siga dan Bora bengong. Merasa sayang kenapa gerakan yang tinggal sedikit harus dihentikan. Tak tahu Gurba lagi bingung memikirkan Wan Cu, kekasihnya. Dan ketika Gurba berangkat meninggalkan Cin-sin dan utusan Siauw-ongya juga kembali secara diam-diam maka raksasa ini berlari cepat menuju ke kota raja. Apa yang terjadi? Mari kita lihat!

* * * * * * * *

Siang itu, secara kebetulan saja Kim-mou-eng mengajak sumoinya beristirahat. Matahari terlampau panas bagi mereka. Mereka baru saja melewati sebuah dusun ketika sebuah kereta berderak di jalanan berbatu. Kim-mou-eng dan sumoinya mendengar suara orang bercakap-cakap. Dan ketika kereta itu muncul di tikungan jalan dan seorang sais tampak buru-buru melarikan kudanya maka Salima mengerutkan kening melihat debu mengotori udara.

"Sialan, ini membuat polusi. Siapa mereka itu kenapa buru-buru?"

"Ah," Kim mou-eng tertawa. "Untuk apa mengurusi orang lain, sumoi? Kita istirahat saja mengaso di sini."

"Tapi sais itu melotot kepada kita. Dia, eh... dia berputar!" Salima terbelalak, melihat sais itu berhenti dan tiba-tiba memutar kudanya, kembali ke arah semula. Dan Kim-mou-eng yang terheran melihat itu tiba-tiba serasa mengenal si sais ini.

"Dia Lui Tai!" Kim-mou-eng akhirnya ingat, tentu saja tertarik dan geli melihat sais itu memutar keretanya. Lui Tai, So Lui Tai si tukang lukis yang kini menjadi sais, kusir kereta itu. Dan Salima yang juga ingat tampang Si sais ini tiba-tiba mengangguk dan menjadi curiga.

"Benar, dialah si tukang gambar itu. Ada apa ketakutan melihat kita?"

"Tentu jerih, sumoi. Bukankah kau terkenal galak dan suka menurunkan tangan besi?" Kim-mou eng tertawa, tak curiga dan menganggap pelukis itu wajar saja bertemu mereka, ketakutan dan kini terbirit-birit melarikan diri.

Tapi Salima yang curiga dan tak percaya ini mendadak berkelebat mengejar. "Suheng, kau tunggu di sini!" Salima melompat, terbang dan sebentar kemudian telah menyusul kereta itu. Kim-mou-eng tertegun melihat sumoinya melayang di atas kereta, kuda tiba-tiba meringkik dan Lui Tai terjungkal, menjerit terlempar dari atas keretanya.

Dan karena Kim-mou-eng tak mau sumoinya membuat onar dan pelukis itu tak ada urusan dengannya akhirnya Kim-mou-eng berkelebat menyusul sumoinya itu. "Sumoi, jangan membuat ribut. Hindari pertengkaran...!"

Lui Tai sudah gemetaran tak keruan. Pelukis ini lecet sedikit, tentu saja mengenal Salima dan Kim-mou-eng. Dua-duanya membuat dia gentar dan Kim-mou-eng melihat pelukis itu menggigil di depan sumoinya, tanpa sebab meminta-minta ampun. Pakaiannya bagus dan indah, tentu hasil kekayaannya memeras hartawan-hartawan yang anak gadisnya minta dilukis si tukang gambar ini, ketika dulu kaisar belum menemukan Cao Cun. Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum dan sumoinya memasang muka bengis terdengar sumoinya itu menghardik,

"Orang she So ada apa kau kelayapan di sini? Apa yang kau bawa?"

"Ampun, ak... aku tak membawa apa-apa, lihiap. Kereta ini kosong kecuali berisi seorang wanita!"

"Siapa?"

"Is... isteriku...!"