Pendekar Rambut Emas Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“HM, aku telah mendengar ini,” Kim-mou-eng bersuara. “Ibu juga menceritakan kejadian itu, paman. Tapi kenapa kau tak mau sudah?”

“Aku ingin menyelamatkan ibumu, Kimsan. Kehidupan suka bangsa Tar-tar keras dan kejam sekali. Ibumu orang yang lembut, mana tahan hidup di alam yang begitu ganas? Aku tak tega tapi ibumu tetap keras kepala tak mau meninggalkan ayahmu!”

“Mungkin karena ibu telah melahirkan aku.”

“Mungkin, tapi mungkin juga hasil peletan ayahmu, Kimsan. Orang Tar-tar suka mengguna-gunai wanita dengan ilmu hitam!”

Kim-mou-eng tersenyum pahit. Untuk ini dia tak percaya, tak mungkin ayahnya memelet ibunya seperti itu. Telah mendengar kegagahan ayahnya dari mulut ibunya. Bahwa ayahnya adalah seorang laki-laki jantan yang perwira. Tak mau bermain kotor atau curang, apalagi mengguna-gunai wanita. Perbuatan yang rendah dan memalukan belaka. Perbuatan yang menunjukkan hasil nafsu hina. Tak mungkin ayahnya melakukan itu. Tapi sang paman yang melotot melihat senyum itu tiba-tiba berkata,

“Kau tak percaya?”

Kim-mou-eng mengangkat bahu. “Aku percaya segala ceritamu, paman. Tapi tentang mengguna-gunai itu aku sangsi. Ayah adalah seorang jantan, tak mungkin dia melakukan itu.”

“Ah, tentu ini kata-kata ibumu. Dia memang membela ayahmu, kata-kataku pun juga tak dipercaya!”

Kim-mou-eng tertawa getir. “Paman, sebaiknya lanjutkan saja ceritamu itu. Bagaimana setelah ayah mengusir isteri tuanya? Kenapa pula kau menyelomot kakiku?”

Kakek ini berapi-api. “Aku menyelomot kakimu karena jengkel pada ibumu, Kimsan. Dia benar-benar tak berhasil kubujuk dan membuat aku marah. Waktu ayahmu pergi kami bertengkar, untuk kesekian kalinya lagi kuminta dia meninggalkan ayahmu tapi gagal. Aku naik pitam, ibumu kupukul pingsan dan aku pergi!”

“Hm, membawa sesuatu?”

Kakek ini terkejut. “Sesuatu apa?”

“Ibu memberi tahu padaku bahwa kau mengambil sesuatu, paman. Bahwa kau melarikan sebuah kitab yang selama ini disembunyikan ibu!”

Kakek itu mencelat, tiba-tiba menggereng. “Kau tahu?”

Kim-mou-eng mengernyitkan kening. “Kau menyangkal atau mengakuinya, paman?”

Aneh, kakek itu tiba-tiba tertawa bergelak. “Ha-ha, ibumu rupanya tak merelakan miliknya itu, Kimsan. Pantas kalau kau mencari aku di Tionggoan. Rupanya ibumu menyuruh kau meminta kitab itu. Benarkah?”

Kim-mou-eng bangkit berdiri. Sekarang dia melihat pamannya bersikap buas, mata yang kehijauan itu berputar. Tapi karena ini adalah tugas yang harus dia laksanakan sebelum ibunya meninggal akhirnya pendekar ini mengangguk. “Benar, ibu menyuruh kau mengembalikan kitab itu, paman. Bahwa katanya kau mencuri ketika ibu pingsan. Bahwa kau sebenarnya mengharap-harap ibu karena menginginkan kitab itu. Benarkah?”

Kakek ini menyeringai, terkekeh dengan pandangan dingin. “Bocah, aku adalah pamanmu. Aku adalah pengganti ibumu. Apakah kau hendak memaksa untuk mengembalikan kitab? Bukankah apa yang dipunyai ibumu jatuh di tangan saudara sendiri?”

Kim-mou-eng mengerutkan kening. “Tapi kau mendapatkannya dengan cara tak pantas, paman. Kau mencurinya.”

“Itu karena ibumu tak mau menyerahkannya baik-baik kepadaku. Aku tak ingin kitab itu jatuh ke tangan ayahmu, orang Tar-tar!”

Kim-mou-eng menghela napas. “Tapi kitab itu berbahaya, paman. Ibu tak mau menyerahkannya padamu karena tak boleh dipelajari sendiri. Kau dapat tersesat.”

“Heh, kau anak kecil bicara apa? Ibumu beralasan saja, dia pelit dan sengaja ingin diberikan pada ayahmu!”

“Dan sekarang dimana kitab itu?”

Kakek ini meliar. “Kau mau memintanya kembali?”

“Sekedar memenuhi pesan ibu, paman. Atau...”

“Atau kau mampus!” kakek itu tiba-tiba menerjang, membentak melepas pukulan maut, kelima jarinya berkerotok dan tiba-tiba menyambar kepala Kim-mou-eng. Begitu dahsyat dan ganas sampai bercuit seperti tikus mencicit. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut oleh serangan itu tiba-tiba mengelak dan menangkis.

“Dukk!” Dua pukulan itu beradu. Kim-mou-eng bergoyang, terdorong selangkah karena baru saja sembuh dari bekas racun Tok-gan Sin-ni. Tapi pamannya yang mencelat menumbuk dinding tiba-tiba berteriak karena punggung beradu batu.

“Augh...!”

Kim-mou-eng tergetar. Dia melihat pamannya ini memiliki sinkang kuat, terkejut karena lengan tiba-tiba kesemutan, ada sedikit rasa panas dan gatal. Tanda sinkang pamannya juga mengandung racun! Tapi karena dia baru minum air Pek-houw-cu dan penawar racun itu membuyarkan racun pamannya akhirnya Kim-mou-eng berdiri tegak melihat pamannya marah-marah.

“Kimsan, kau mendurhakai pamanmu. Kualat kau nanti!”

Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Paman, yang salah adalah kau. Kenapa mengutuk aku? Aku hanya memenuhi pesan itu, kembalikan kitab itu dan kita sudahi pertikaian ini.”

“Tidak, kitab itu telah menjadi milikku, bocah. Kau tak berhak memintanya dan jangan banyak cakap. Kau berani melawan paman sendiri, kubunuh kau... wut!” dan Cheng-bin Yu-lo yang kembali memekik menerjang ke depan tiba-tiba melepas dua pukulan berbareng ke arah keponakannya itu.

“Duk-dukk...!” Kim-mou-eng kembali menangkis, merasa tenaganya pulih kembali meskipun belum semua, tentu saja tak mau mati konyol dan mengerutkan kening melihat sepak terjang pamannya ini. Dan ketika pamannya terpental dan kakek itu marah-marah maka kakek ini membalik dan menyerang lagi.

“Kimsan, kau anak durhaka...!”

Kim-mou-eng mengelak, berlompatan dan mulai menangkis serangan-serangan pamannya ini. Melihat pukulan-pukulan pamannya mulai membabi buta dan amat berbahaya, mencium pula bau amis yang membuat hidung ingin muntah. Dan ketika sepak terjang pamannya mulai menggila dan pukulan -pukulan pamannya itu benar-benar dimaksudkan untuk membunuh akhirnya Kim-mou-eng mengerahkan Tiat-lui-kang menahan serangan-serangan pamannya itu.

“Paman, kau aneh. Kau kejam!”

Cheng-bin Yu-lo tak menghiraukan. Dia telah naik pitam oleh tangkisan lawannya, melihat Kim-mou-eng berani menangkis dan melawan. Dan ketika pukulan demi pukulan mulai menderu dan angin pukulan membuat dinding berderak akhirnya Yu Bing yang terkejut melihat pertempuran itu berteriak-teriak.

“Paman, hentikan seranganmu. Jangan menyerang Kim-mou-eng...!”

Kakek itu memaki-maki. Dia bahkan mengibas pemuda ini, ketika Yu Bing mendekat. Dan ketika Yu Bing terlempar dan Kim-mou-eng mengerutkan keningnya akhirnya satu pukulan telak terlambat dikelit pendekar ini gara-gara memperhatikan Yu Bing.

“Plak!” Kim-mou-eng mendesis, terpelanting tapi bangun kembali dengan cepat, melihat pamannya mengejar dengan sepuluh cengkeraman jari-jari yang berkerotok, semuanya kehijauan sementara bau amis juga mengiringi pukulan itu. Dan karena pamannya tak dapat dicegah dan serangan itu berbahaya sekali menuju batok kepalanya terpaksa dengan sedikit mendemonstrasikan kepandaiannya Kim-mou-eng mengerahkan Pek-sian-ciang, mempergunakan tenaga enam bagian. Ingin melihat sampai dimana daya tahan pamannya menghadapi ilmu pukulan ampuh ini. Dan ketika dua pukulan beradu dan sinar putih berkelebat dari lengan pendekar ini tiba-tiba Cheng-bin Yu-lo terjengkang roboh dan mencelat terguling-guling.

“Bress...!” kakek itu mengeluh. Untuk pertama kalinya kakek ini kelihatan terkejut, matanya membelalak. Tertegun dan bangun berdiri dengan kaki menggigil, tubuh bergoyang seolah melihat hantu di siang bolong. Tapi begitu sinar putih lenyap dari lengan lawannya dan Kim-mou-eng berdiri tegak tiba-tiba kakek ini berseru, “Pek-sian-ciang...!”

Kim-mou-eng mengangguk. “Ya, kau kenal pukulanku, paman? Itu memang Pek-sian-ciang, terpaksa kugunakan karena kau...”

“Keparat!” kakek itu menubruk, menghentikan omongan lawan dan kembali menyambar dengan sepuluh cengkeraman jarinya itu, rupanya penasaran, juga marah.

Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut dan mengerutkan keningnya segera mengerahkan lagi Pek-sian-ciangnya itu. kali ini tujuh bagian karena dengan enam bagian pamannya itu dapat bertahan, hal yang membuat dia kagum juga. Dan ketika sepuluh cengkeraman itu bertemu Pek-sian-ciang untuk kedua kali maka tiba-tiba kakek ini menjerit dan terlempar roboh, melontakkan darah.

“Augh... dess!“ Cheng-bin Yu-lo terguling-guling.

Kim-mou-eng tercekat melihat pamannya jatuh bangun itu, ternyata dengan tujuh bagian tenaga tak dapat dia menghadapi Pek-sian-ciangnya itu, terlalu ampuh. Dan ketika dia berseru dan melompat menghampiri pamannya tiba-tiba Cheng-bin Yu-lo berteriak melarikan diri.

“Kim-mou-eng, kau bocah jahanam. Kau berani melawan orang tua...!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia mau mengejar, tapi Yu Bing yang berkelebat menahan lengannya tiba-tiba mendesis, “Kimsan, tak perlu dikejar. Paman kumat lagi gilanya...!”

Kim-mou-eng terbelalak. “Kumat? Gila...?”

“Ya, paman terserang syaraf, Kim-mou-eng. Dia tersesat melatih kitab catatan itu hingga keracunan!”

“Ah, bagaimana itu?”

“Mari kita masuk, kita duduk di situ,” Yu Bing menggigil, pucat memandang kepergian pamannya yang tampak melengking-lengking dikejauhan sana. Lengking kecewa disusul tawa setengah tangis, memang mendirikan bulu roma. Tapi Kim-mou-eng yang duduk dan masih tergetar oleh pamannya tadi tiba-tiba menghela napas dengan sikap murung.

“Saudara Yu, rupanya apa yang dikhawatirkan ibu terjadi. Sungguh tak kukira kalau aku bertemu pamanku dalam keadaan begini. Sungguh patut disesalkan.”

“Ya, tapi yang lewat sudah lewat, Kim-mou-eng. Tak perlu disesalkan lagi karena pamanmu itu orang keras kepala.”

“Dan kau juga menyebutnya paman. Apakah...”

“Tidak,” Yu Bing menggeleng. “Aku tak ada ikatan darah dengan pamanmu itu, Kim-mou-eng. Kupanggil dia paman karena itu atas permintaannya sendiri.”

“Jadi...?”

“Aku anak sebatangkara. Cheng-bin Yu-lo menemukanku dan mengambilku sebagai murid. Tapi karena dia ingat kau dan putus asa mendapatkanmu maka dia menganggapku sebagai dirimu dan menyuruhku memanggilnya paman, bukan suhu (guru)!”

“Ooh...!” Kim-mou-eng tertegun. “Jadi pamanku itu juga selalu ingat keponakannya?”

“Ya, dan bertahun-tahun dia menderita, Kim-mou-eng. Karena itu maafkan dia kalau menyerangmu dan menjadi buas seperti itu!”

Kim-mou-eng mendelong. Sekarang dia mulai mengerti, memang tadinya heran bagaimana Yu Bing ini memanggil pamannya juga “paman”, seolah diantara mereka ada hubungan keluarga. Tapi setelah Yu Bing menceritakan itu dan hal itu jelas baginya akhirnya Kim-mou-eng mengangguk-angguk dan kerut di keningnya semakin dalam.

Dan Yu Bing mulai bercerita, tentang pamannya itu dan juga tentang diri sendiri. Betapa limabelas tahun yang lalu Cheng-bin Yu-lo menemukannya sebagai anak terlantar, mengais-ngais sampah tiada ubahnya anak gembel, memungutnya dan memberinya ilmu kepandaian tinggi karena kakek itu teringat keponakannya, Kim-mou-eng yang tak diketahui tempat tinggalnya karena bocah itu telah berubah, sama sekali tak disangka kakek ini bahwa Kimsan, anak adik perempuannya itu telah berubah menjadi seorang pendekar. Begitu tinggi kepandaiannya hingga disegani kawan ditakuti lawan, karena pendekar itu adalah murid Bu-beng Sian-su.

Dan ketika Yu Bing menceritakan betapa pamannya tersesat oleh isi kitab yang dilatih sembarangan hingga Cheng-bin Yu-lo memiliki muka kehijau-hijauan sebagai tanda keracunan maka Yu Bing terisak sampai di sini. “Paman tersesat, Kim-mou-eng. Dia mempelajari isi kitab tanpa pembimbing.”

“Ya, aku tahu. Aku dapat merasakan itu.”

“Dan dia keracunan, setiap saat bisa terancam jiwanya tanpa dapat tertolong lagi!”

“Tapi bukankah dia memiliki Pek-houw-cu?” Kim-mou-eng teringat.

“Pek-houw-cu memang membersihkan racun, Kim-mou-eng. Tapi kalau racun kembali ditimbulkan oleh latihan sinkang yang salah maka keadaannya sama saja dan tidak berubah!”

Kim-mou-eng terkejut. “Maksudmu...”

“Benar,” Yu Bing memotong. “Paman terlanjur salah melatih sinkang, Kim-mou-eng. Dan hal ini tak dapat dirubah lagi. Dan mempergunakan Pek-houw-cu setiap keracunan tapi untuk saat yang berikut dia keracunan lagi kalau melatih sinkangnya!”

“Jadi hidupnya mengandalkan Pek-houw-cu.”

“Benar.”

“Dan sekali Pek-houw-cu hilang tentu...”

Yu Bing mengangguk, menutupi mukanya. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan pucat membayangkan ini tiba-tiba Yu Bing berkata gemetar, membuka matanya, “Kim-mou-eng, kau tahu perihal sumoimu?”

Kim-mou-eng berdesir. “Tentang apa?”

“Dia marah-marah kepadaku.”

“Ah,” Kim-mou-eng terkejut. “Kau bertemu dengannya?”

“Ya, secara kebetulan, Kim-mou-eng. Ketika dia menghabisi Cen Hok si perampok itu dan bertemu Coa-ong Tok-kwi.”

“Kau dapat menceritakannya?”

“Tentu.” dan Yu Bing yang menceritakan peristiwa itu dan asal mulanya bertemu Salima akhirnya bercerita panjang lebar tentang gadis Tar-tar ini, gadis yang membuat dia tergila-gila dan jatuh hati. Gadis yang pernah ditolong ketika menghisap bau racun Ular Kecil Emas (Kim-siauw-liong). Dan ketika percakapan berhenti pada waktu Salima marah-marah gara-gara dia menceritakan Gurba mendapat Bi Nio dan Salima menyerangnya Yu Bing tampak berkaca-kaca.

“Aku menceritakan apa adanya, Kim-mou-eng. Tapi dia tak percaya padaku dan menuduh aku memfitnah. Sungguh aneh!”

“Kau bilang bagaimana?”

“Aku mengatakan bahwa suhengnya mendapat hadiah kaisar.”

“Kau sebutkan namanya?”

“Maksudmu?”

“Kau katakan Gurba-suheng atau diriku?”

Yu Bing tertegun, masih tak mengerti. Dan Kim-mou-eng menjelaskan, “Ingat bahwa sumoiku mempunyai dua suheng, saudara Yu. Aku sebagai suhengnya nomor dua dan Gurba sebagai suhengnya nomor satu. Kau paham?”

“Ah, aku mengerti!” Yu Bing tiba-tiba meloncat. “Aku tak mengatakan nama kecuali hanya suhengnya begitu saja. Sedang suheng yang mana sama sekali tak kusebutkan!”

“Dan dia marah-marah?”

“Itulah yang aneh, Kim-mou-eng. Padahal aku tidak bohong dan Hek-eng Taihiap kebetulan juga datang dan memperkuat omonganku!”

“Tapi siapa yang kau maksud?”

“Tentu saja suhengmu itu, si Singa Daratan Tandus Gurba!”

“Dan sumoiku, hmm...” Kim-mou-eng tiba-tiba tersenyum pahit. “Sumoiku mungkin mengira yang lain, saudara Yu. Jadi mengertilah aku sekarang apa yang menjadi sebab semuanya ini. Pantas...!” dan Kim-mou-eng yang bersinar-sinar memandang temannya tiba-tiba berkata, “Saudara Yu, aku telah mendapat apa yang tidak kusangka. Ceritamu cukup memberi kesimpulan padaku. Baiklah, sumoiku salah paham. Maaf kalau dia menuduhmu yang bukan-bukan karena dia naik darah. Sekarang aku mengerti, agaknya ada sesuatu yang semakin diruwetkan seseorang!”

“Siapa? Dan apa maksudmu?”

Kim-mou-eng tak menjawab. “Kelak kau akan mengetahui sendiri, saudara Yu. Tapi terima kasih atas semua ceritamu ini,” dan bangkit menepuk temannya pendekar ini bertanya, “Kau tak keluar, saudara Yu?”

“Tentu saja. Kau mau pergi?”

“Ya, aku harus menyelesaikan tugasku.”

“Mencari pamanmu?”

“Tidak, aku masih mempunyai sesuatu yang lebih penting daripada itu. Paman sedang marah, percuma kukejar. Sebaiknya kau saja yang mencari dia dan kita berpisah.”

“Tapi kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Kim-mou-eng. Aku penasaran oleh sikapmu itu!”

“Itulah,” Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Ini urusan pribadi, Yu-twako. Kelak kau akan tahu sendiri kalau sudah mengetahui duduk persoalannya. Aku tak dapat menceritakannya sekarang, maaf tak perlu kau penasaran.”

Yu Bing tertegun. “Dan kau mau pergi sekarang?”

“Ya, bukankah aku harus pergi? Aku telah sembuh, Yu-twako. Dan aku harus menyelesaikan tugasku itu sebelum mencari Sai-mo-ong dan teman-temannya itu!”

“Baiklah, kalau begitu kita dapat keluar bersama. Kita berpisah di luar,” dan Yu Bing yang lesu memandang pendekar ini akhirnya mengangguk dan mengajak temannya keluar. Keluar dari istana bawah tanah itu untuk akhirnya tiba di hutan bambu, tempat persembunyian yang membuat Kim-mou-eng kagum. Dan ketika Yu Bing mengangguk dan mempersilahkan dia duluan akhirnya pendekar ini tersenyum berkelebat lenyap. Dan begitu Kim-mou-eng lenyap meninggalkannya segera Yu Bing pun menggerakkan kaki mencari pamannya.

* * * * * * * * *

Apa sekarang yang dikerjakan Kim-mou-eng? Hanya satu, mencari suheng dan sumoinya itu setelah kegagalannya di kota raja. Sesungguhnya dia terkejut mendengar cerita Yu Bing tentang Salima diam-diam tertegun dan dapat menangkap apa yang terjadi. Kenapa sumoinya itu mendekati suhengnya (Gurba) dan memusuhinya. Satu sikap yang semula dianggap aneh dan hampir tak masuk akal. Apalagi setelah suhengnya bermaksud membunuhnya, serangannya benar-benar tak kenal ampun dan sungguh-sungguh.

Begitu pula sumoinya. Demikian marah dan benci padanya, seolah dia musuh besar yang harus dibunuh. Padahal beberapa waktu yang lalu sumoinya itu telah menyerahkan bibir untuk dicium, tanda cinta dan kasih sayang gadis itu untuknya. Sungguh berubah seratus delapan puluh derajat dengan sekarang ini. Bak langit dan bumi!

Tapi Kim-mou-eng yang telah mendengar segalanya dari Yu Bing tiba-tiba dapat “menangkap” apa yang menjadi misteri disini. Dan dia berdebar, terbayang wajah suhengnya yang begitu buas memandangnya, sorot mata yang penuh benci dan cemburu. Sorot seorang laki-laki yang takut kehilangan sesuatu. Dan karena Salima ada di situ dan sesuatu itu tentu bukan lain sumoinya itu maka dapatlah pendekar ini mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Dan dia menarik napas.

Memang, beberapa waktu yang lalu suhengnya itu pernah menyatakan padanya bahwa suhengnya itu mencintai Salima. Dan dia tertawa saat itu, merasa geli dan sama sekali tidak ada cemburu karena waktu itu dia sendiri tidak tahu apakah dia mencintai sumoinya atau tidak. Salima dianggapnya sebagai adik seperguruan dan habis hanya sampai di situ saja. Tak tahu dan terkejut ketika suatu hari dia mendengar sumoinya justeru mencintai dirinya, tidak mencintai suhengnya.

Tapi karena waktu itu dia menganggap semuanya ini main-main dan gurauan diantara mereka maka dia tak menanggapi serius kabar ini. Seolah itu adalah kabar burung baginya. Boleh didengar tapi tak perlu diperhatikan. Tapi ketika semakin lama hubungan mereka bertiga tampak semakin aneh dan satu sama lain seolah kejar-kejaran akhirnya Kim-mou-eng mengerutkan kening dan mulai memperhatikan.

Betapa tidak. Sumoi dan suhengnya itu dianggapnya lucu. Kalau suhengnya mendekati Salima tiba-tiba Salima menyingkir dan mendekati dirinya. Dan kalau dirinya mendekati Salima tiba-tiba suhengnya melotot dan tampak tidak senang. Aneh! Tapi Kim-mou-eng tersenyum geli. Sesungguhnya waktu itu belum ada bibit-bibit cinta di hatinya. Dia menganggap suheng dan sumoinya itu sebagai saudara-saudara sendiri, saudara seperguruan.

Tapi karena hubungan mereka terasa tegang dan ada sesuatu yang “tidak beres” maka mempergunakan alasan itu dia meninggalkan suku bangsanya dengan dalih mencari Yu-lopek, pamannya. Tapi Salima ternyata mencarinya. Dia disusul dan dikejar, disuruh kembali dan tentu saja menolak. Dan ketika dia bersikeras dan Salima juga ngotot akhirnya mereka malah melakukan perjalanan bersama dan menikmati kemesraan bersama pula dalam perjalanan mereka, puncaknya adalah ciuman yang dia berikan pada sumoinya itu. Ciuman tanda cinta!

Dan ketika dia terkejut dan sadar bahwa dia melakukan sesuatu yang bakal tak dapat dilupakan sumoinya tiba-tiba mereka bertengkar dan berpisah. Kim-mou-eng menghela napas. Dia tersenyum pahit, diam-diam menyesali diri sendiri kenapa dia melakukan itu. Kenapa harus mencium. Tapi karena Salima memang gadis yang menarik dan bibir itu tampak demikian indah dan menantang dan menggairahkan hatinya tanpa sadar dia mencium dan melumatnya mesra.

Ah, salahkah dia? Bukankah yang salah adalah bibir itu? Kalau saja bibir itu tak demikian manis dan indah tentu dia tak bakalan mencium. Tapi, benarkah ini? Tak terlalu kekanak-kanakankah pembelaannya ini? Sebab, kalau darah mudanya tak ikut bergolak dan tertarik oleh semua keindahan itu tentu dia juga tak usil menyentuh bibir Salima. Jadi yang salah adalah nafsunya, darah mudanya, berahinya yang bangkit waktu itu. Dan kalau dia mau jujur dan bicara terbuka yang salah adalah dia sendiri!

Tapi, eh... nanti dulu. Bukankah itu sudah kodrat? Bukankah setiap lelaki bakal tertarik dan ingin melakukan seperti apa yang dia lakukan? Seorang lelaki muda tentu akan bergairah kalau ditemani seorang wanita muda pula. Apalagi kalau wanita itu juga mencintainya. Siap menyambut dan memberi kemesraan yang begitu aduhai. Nikmatnya saja teringat sampai tujuh turunan! Dan Kim-mou-eng yang menyeringai oleh debat di dalam hatinya ini akhirnya menampar dan mengetok dahi sendiri.

Manusia tak boleh menang-menangan, begitu pikirnya. Kita tak boleh membela diri sendiri kalau salah. Salima sudah dicium, itu fakta. Dan Salima menganggap dia mencintainya karena cium itu sebagai bukti. Titik. Masalah cium itu bukan cinta atau hanya “sekedar cinta” itu bukan urusan bagi sumoinya. Yang jelas, sumoinya kecewa ketika dia menyatakan dirinya tak tahu apakah dia mencintai sumoinya itu atau tidak. Padahal baru beberapa detik yang lalu dia telah mencium sumoinya. Bukankah itu cinta? Kenapa dia mengelak dan harus bicara berputar-putar tentang cinta?

Dan sumoinya marah-marah. Mereka bertengkar, berpisah dan akhirnya dia melihat sumoinya sudah berkumpul dengan suhengnya. Mendengar suhengnya mengamuk di kota raja dan menyusul dirinya. Atau lebih tepat, begitu pikirnya, menyusul Salima karena sesungguhnya suhengnya tak tahan berlama-lama ditinggal sumoinya. Jadi itulah faktor kenapa suhengnya ada di Tionggoan (pedalaman), tidak di luar tembok besar sebagaimana biasa suhengnya tinggal.

Dan melihat suhengnya memusuhi dirinya dan menyebut dirinya sebagai pengkhianat tiba-tiba Kim-mou-eng penasaran dan mengepal tinju. Suhengnya ini mengada-ada. Apa maksudnya dengan kata-kata pengkhianat itu? Dan kenapa pula sumoinya juga menuduhnya demikian? Dan dia melihat sorot kebuasan di mata suhengnya itu, seolah suhengnya ingin melenyapkannya dari muka bumi. Seakan dia seteru yang harus dibinasakan. Melihat suhengnya khawatir melirik sumoinya, yang waktu itu ikut menyerangnya dan membabi-buta dengan pukulan-pukulan mautnya.

Dan karena ada sesuatu yang tidak beres pula dilihatnya dalam masalah ini akhirnya Kim-mou-eng berkeputusan dia harus menemui suheng dan sumoinya itu, terutama suhengnya. Minta penjelasan dan pertanggungan jawab suhengnya itu atas serangan yang dia lakukan. Kenapa dia dituduh pengkhianat dan harus dibunuh, padahal dia tak merasa bersalah dan ingin mendapat keadilan.

Dan karena urusan ini agaknya menyangkut pula segi tiga diantara cinta mereka maka Kim-mou-eng dapat meraba apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang menjadi keinginan suhengnya itu. Urusan pribadi yang sudah dicampuradukkan dengan urusan lain. Dan karena itu harus diselesaikan dan Kim-mou-eng dibuat penasaran akhirnya dia melanjutkan perjalanan dan meneruskan pencariannya itu.

Dan seminggu kemudian dia menemukan suhengnya itu! Waktu itu, secara tidak sengaja sebenarnya dia ingin mandi, tiba di sebuah bukit kecil dimana suara gemericik air membuatnya gerah. Melihat tubuh kotor dan penuh debu. Sudah saatnya dia membersihkan diri. Tapi ketika dia melangkah menghampiri sumber air itu dan siap melepas bajunya tiba-tiba dia mendengar teriakan seseorang.

“Aduh, ampun, taihiap. Ampun...!”

Kim-mou-eng sudah berkelebat ke tempat ini. Teriakan itu terdengar di sebelah kiri, tak begitu jauh. Kini terganti rintihan dan seseorang menggelepar di sana, mengaduh. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan tertegun memandang ke depan maka seseorang bersuara berat mengancam orang ini, laki-laki berpakaian pengawal.

“Kau berani menyusulku ke mari? Kau berani mencari-cariku sampai ke sini? Kubunuh kau, pengawal dungu. Kupatahkan lehermu nanti kalau tidak cepat pergi. Ayo pulang ke tempatmu!”

“Ampun... ampun... aku memang akan pulang, taihiap. Tapi... tapi pesan hujin (nyonya) harus kusampaikan dulu. Dia merindukan taihiap, mohon taihiap menjenguknya dan pulang sebentar...!”

“Kau berani bicara itu-itu lagi? Kuinjak kau nanti!”

“Tidak, ah... ampun...!” laki-laki ini menggeliat, sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan menginjak punggungnya. Dan ketika laki-laki itu mengeluh dan meratap-ratap maka bayangan ini, laki-laki bersuara berat itu, yang bukan lain Gurba adanya sudah membentak,

“Pengawal, beri tahu pada Bi Nio bahwa aku tak ada waktu. Di sini ada sumoiku, berani kau mengganggu dan mengacau keadaan? Kalau kau tak cepat minggat tentu kupatahkan punggungmu ini, keparat!” dan Gurba yang menendang laki-laki itu hingga menjerit dan terlempar roboh akhirnya disambut rintih gemetar pengawal ini.

“Baik-baik... aku akan menyampaikan kata-katamu, taihiap. Tapi ada satu berita yang terpaksa kuberitahukan di sini. Hujin mengandung!”

“Apa?” Gurba terkejut. “Dia hamil?”

“Ya, dan aku disuruhnya memberi tahu, taihiap. Dan kaisar telah tahu pula. Hujin minta agar taihiap menjenguknya sebentar karena kaisar ingin merayakan pesta gembira untuk menyambut berita ini. Dia...”

“Dess!” pengawal itu menghentikan kata-katanya, menjerit dan terbanting ketika Gurba menggereng, berkelebat menendangnya begitu marah. Seluruh mukanya merah padam diiringi mata yang melotot, berapi-api. Dan ketika Gurba membentak dan pengawal itu mengaduh tiba-tiba raksasa ini mencengkeram batok kepala pengawal itu.

“Tikus busuk, itu bukan berita gembira bagiku. Itu kutuk. Jahanam kau...!” dan Gurba yang mencelat mencengkeram pengawal ini tiba-tiba disambut keluhan lirih laki-laki malang itu. Maklum jiwa dalam bahaya dan tak ada kesempatan lagi baginya menghindar. Kalaupun menghindar, mana mungkin dia selamat dari raksasa yang sedang marah ini? Tapi persis Gurba membentak dan siap membunuh pengawal itu tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat membentak suhengnya ini,

“Suheng, tahan... dukk!” dan dua lengan yang bertemu di udara dan menggetarkan masing-masing pihak akhirnya membuat si pengawal mencelat dan terlempar bergulingan oleh adu benturan yang mengguncang jantung ini, terkejut tapi girang melihat Kim-mou-eng. Dan begitu dia berteriak tapi Gurba terhuyung mundur maka pengawal ini sudah berseru,

“Kim-mou-eng, tolong aku. Suhengmu hendak membunuh aku...!”

Kim-mou-eng mengangguk. Dia menyuruh si pengawal menjauh, memberi isyarat agar pengawal itu tenang, bahkan pergi saja dari tempat itu. Dan ketika dua laki-laki ini berhadapan dan kakak serta adik seperguruan saling berkilat memancarkan pandangan akhirnya Kim-mou-eng menegur dulu, “Suheng, kau terlalu. Kenapa kau hendak membunuh pengawal yang tidak berdosa itu?”

“Keparat!” Gurba menggeram. “Kau datang, sute? Kau menyerahkan diri?”

“Tidak, aku justeru mencarimu. Diantara kita ada persoalan,” dan sementara suhengnya melotot menggeram marah pendekar ini mengibaskan lengan. “Suheng, pengawal ini adalah suruhan isterimu. Dia datang sebagai utusan, kenapa kau bersikap kejam dan hendak membunuhnya? Dimana nurani dan kegagahanmu itu?”

“Kau tahu?” suhengnya terbelalak. “Kau mendengar ocehan pengawal ini?”

“Ya, aku mendengarnya, suheng. Dan aku juga tahu perihal selir kaisar itu. Kau telah menerima dan memperisteri Bi Nio yang...”

“Dess!” Kim-mou-eng menghentikan kata-katanya, ditubruk dan mendengar bentakan suhengnya yang dahsyat, pukulan Tiat-lui-kang langsung menyambar dan menghantamnya. Begitu cepat, begitu ganas. Dan ketika Kim-mou-eng terguling-guling dan berteriak kaget maka suhengnya sudah mengejar dan berkelebat menyerangnya bertubi-tubi. “Sute, kau manusia terkutuk. Kau suka mencampuri urusan orang lain...des-dess!”

Dan Kim-mou-eng yang lagi-lagi terlempar dan mencelat bergulingan oleh pukulan suhengnya ini akhirnya melengking dan membentak marah, melompat bangun dan mengelak ketika suhengnya menyerang lagi. Tiat-lui-kang menyambar dan meledak di samping kepalanya, pohon di sebelah hancur dan tumbang menjadi tiga. Roboh berderak dan mengejutkan si pengawal, berteriak dan ngumpet melihat tampang Gurba yang mengerikan. Dan ketika Gurba membentak dan maju kembali akhirnya Kim-mou-eng berkelebatan dan terpaksa melayani suhengnya ini.

“Suheng, kau keji. Kau licik!”

“Tidak, kau yang harus dibinasakan, sute. Kau pengkhianat dan manusia sialan. Kubunuh kau, kucincang tubuhmu... brakk!” dan sebatang pohon yang kembali roboh diterjang raksasa ini akhirnya membuat Kim-mou-eng marah, membalas dan mulai menyerang suhengnya itu. Dan ketika Gurba juga menangkis dan menampar sutenya itu maka keduanya sudah bertempur dan bertanding dengan seru.

Mula-mula kelihatan, kian lama kian cepat hingga sebentar kemudian lenyap, sang pengawal tak dapat melihat lagi mana Kim-mou-eng mana Gurba. Kedua-duanya bergerak sama cepat dan pukul-memukul. Tiat-lui-kang menyambar-nyambar dan kilatan sinar merah mendesing disekitar tempat itu, tak jarang meledak dan nyaris mengenai telinga pengawal ini, terjengkang dan roboh tengkurap oleh sambaran hawa panas yang membuat dia ngeri. Semangat seakan terbang mengikuti pertandingan itu. Dan ketika dua bayangan itu berkelebatan dan Gurba berkali-kali menggeram menyerang sutenya akhirnya dalam satu benturan keras keduanya tampak terpental dari gulungan pertempuran.

“Des-dess!”

Gurba dan Kim-mou-eng sama-sama mengeluh tertahan. Mereka terlempar, keluar dari bayangan itu dan terpelanting ke kiri kanan. Tapi Gurba yang sudah menggereng melompat bangun ternyata menyerang lagi, menubruk sutenya itu dan melancarkan Tiat-lui-kang. Dan ketika Kim-mou-eng juga membentak dan mengayun tubuhnya tiba-tiba pendekar inipun mengerahkan Tiat-Iui-kang menyambut suhengnya.

“Plakk!”

Mereka kembali terjengkang. Gurba ternyata memiliki kekuatan tak jauh dengan sutenya, masing-masing memiliki sinkang (tenaga sakti) hampir berimbang. Tak ada yang kalah tak ada yang menang. Dan ketika Gurba meraung dan membentak sutenya itu maka Kim-mou-eng juga melengking menyambut suhengnya ini, sama-sama penasaran.

“Suheng, kau tak dapat merobohkan aku!”

“Tidak, aku pasti merobohkanmu, sute. Dan sebagai bukti lihatlah ini... klap!” dan Gurba yang tiba-tiba mengeluarkan Pek-sian-ciang menghantam sutenya mendadak membuat Kim-mou-eng terkejut, melihat sinar putih berkelebat ke arahnya. Tentu saja kaget bukan main karena Pek-sian-ciang sesungguhnya tak boleh dikeluarkan begitu saja, hanya untuk maksud membunuh!

Dan karena waktu sudah tidak ada lagi dan mengelak juga tidak keburu maka apa boleh buat Kim-mou-eng pun mengeluarkan Pek-sian-ciangnya. “Suheng, kau kejam!”

Benturan dua pukulan itu menggelegar. Bumi seakan diguncang gempa oleh dua kilatan Pek-sian-ciang yang sama-sama dahsyat, baik dari Kim-mou-eng maupun dari suhengnya. Masing-masing terlempar dan roboh terbanting, sama-sama terluka. Gurba melontakkan darah sementara Kim-mou-eng juga jatuh terduduk, mukanya pucat, mendengar Gurba mengeluh di sana tapi bangkit terhuyung, menghampirinya dengan tawa yang aneh, mendekap dada. Roboh tapi bangkit lagi menghampiri sutenya dengan beringas.

Dan ketika Kim-mou-eng juga bangkit terhuyung dan terbelalak memandang suhengnya ini maka Kim-mou-eng mendesis dengan muka merah padam. “Suheng, kau gila. Kau tidak waras!”

“Ha-ha, aku memang gila, sute. Tapi yang membuat gila adalah kau!” Gurba tertawa serak, mukanya mengerikan dan sikapnya menyeramkan sekali. Tak peduli luka-lukanya dan menghampiri Kim-mou-eng, terhuyung-huyung dan siap melancarkan pukulan lagi. Tapi belum mereka bergebrak dan saling melotot tiba-tiba Salima muncul, berkesiur dengan bau harum tubuhnya sehabis mandi.

“Twa-heng, apa yang terjadi? Siapa musuh... aih!” Salima tertegun, menghentikan kata-katanya dan tertegun memandang Kim-mou-eng, suhengnya nomor dua. Melihat bibir suhengnya mengalirkan darah dan tersenyum padanya. Senyum pahit. Dan Salima yang tertegun melihat ini tiba-tiba terisak dan tanpa sadar menghampiri suhengnya nomor dua itu. “Ji-suheng (suheng nomor dua)...!”

Salima hampir menubruk. Gadis ini rupanya teringat kenangan lama, begitu saja menubruk dan siap memeluk suhengnya itu. Tapi Gurba yang menggereng membentak marah tiba-tiba berseru,

“Sumoi, tahan. Jangan sentuh si pengkhianat itu...!”

Salima terkejut. Uluran tangannya tiba-tiba terhenti, mukanya pucat dan mundur selangkah. Ingat bahwa Kim-mou-eng bukanlah kekasihnya, tapi pengkhianat yang telah kawin dengan Bi Nio, selir kaisar. Dan Salima yang tertegun memandang berkilat tiba-tiba mendengus dan melempar pandangan berapi. “Ji-suheng, kau datang menyerahkan diri?”

“Tidak,” Kim-mou-eng tertawa getir. “Aku datang justeru hendak menemui twa-suheng, sumoi. Minta pertanggungjawabnya tentang...”

“Kentut busuk!” Gurba tiba-tiba menggereng. “Dia datang untuk mengacau keadaan, sumoi. Lebih baik bunuh dan tangkap dia ini... wutt!” Gurba tiba-tiba menampar, terhuyung berkelebat menyerang sutenya itu. Sungguh nekat.

Tapi Kim-mou-eng yang mengelak dan melompat menghindar tiba-tiba berseru, “Suheng, tak perlu segala omong kosong ini. Kaulah yang mengacau keadaan. Kau tak memberi kesempatan padaku untuk membela diri dan menutup keculasanmu!”

“Tak peduli. Kau yang mengganggu kami, sute. Kau memalukan kami dan menjadi pengkhianat...!” Gurba menerjang lagi, tampak bernafsu menutup mulut sutenya ini bicara macam-macam. Jelas kelihatan gelisah dan khawatir oleh kedatangan sumoinya. Apalagi sang pengawal masih bersembunyi tak jauh di sana, ingin dia membunuh dan melenyapkan salah satu, terutama sutenya ini karena sutenya inilah yang amat lihai. Tak boleh banyak bicara dan harus segera dilenyapkan. Tapi ketika sutenya mengelak dan Kim-mou-eng terhuyung ke sana ke mari menangkis serangan suhengnya tiba-tiba Gurba berteriak, “Sumoi, kau bantu aku. Tangkap pengkhianat ini!”

Salima mengangguk. Dia sudah berpikir ke situ, sakit hatinya teringat “pengkhianatan” Kim-mou-eng. Darah tiba-tiba mendidih dan benci sekali memandang pendekar ini. Dan ketika Gurba berteriak dan kakaknya itu membabi buta menyerang lawan tiba-tiba Salima melengking menyerang suhengnya ini, Kim-mou-eng.

“Ji-suheng, kau memang patut dibunuh... tarr!” dan Tiat-lui-kang yang menyambar dan meledak ke arah Kim-mou-eng tiba-tiba tak dapat dielakkan, telak mengenai pendekar ini karena Kim-mou-eng sibuk menghindari serangan Gurba. Tentu saja kalut dan mengeluh oleh serangan sumoinya. Dan ketika dia terpental dan terguling-guling maka Gurba terbahak gembira menyerbu beringas.

“Sute, kau akan terbunuh!”

Kim-mou-eng pucat. Dia tak ada waktu menangkis, melanjutkan gulingan tubuhnya ke kiri, mengelak. Pukulan suhengnya meledak di sisi tubuhnya bagaikan petir, dikejar dan diserang lagi tiga kali berturut-turut, semuanya luput. Tapi ketika dia melompat bangun dan membentak suhengnya tiba-tiba tamparan Salima mengenai telinganya, tamparan Tiat-lui-kang. Mendengar sumoinya melengking dan marah kepadanya. Tentu saja membuat dia terjungkal dan suhengnya tertawa gembira, melompat dan melancarkan satu pukulan dahsyat yang mengenai tengkuknya. Kali itu Gurba berhasil dan Kim-mou-eng mencelat. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluh dan mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah maka Gurba berseru pada sumoinya,

“Sumoi, habisi dia. Bunuh si pengkhianat ini...!”

Kim-mou-eng memejamkan mata. Dia sudah tak sanggup lagi melawan, tubuhnya luka-luka. Apalagi sumoinya ikut mengeroyok. Terang tak dapat dia menghindar dan pasrah kepada maut, melihat suhengnya begitu beringas dan matanya berapi-api, penuh nafsu membunuh. Dan ketika Salima juga melengking dan melancarkan pukulannya tiba-tiba, aneh sekali, Kim-mou-eng duduk bersila.

“Suheng, kau rupanya benar-benar menghendaki jiwaku. Baiklah, aku memasrahkan diri kepada Tuhan tapi kebenaran tak mungkin kau kalahkan dengan kejahatan...!”

Gurba tertegun. Kilatan sinar aneh tiba-tiba memancar di wajah sutenya itu, sinar sekilas yang lenyap kembali bersama selesainya seruan itu. Tak mengerti tapi melanjutkan pukulannya, menghantam dada Kim-mou-eng dengan sepenuh tenaganya. Tak ragu lagi sutenya akan tewas saat itu juga. Dan ketika Salima juga membentak dan tertegun sejenak oleh kilatan di wajah suhengnya tiba-tiba dua pukulan itu berbareng menyambar Kim-mou-eng.

Tapi sesuatu yang di luar dugaan tiba-tiba terjadi. Sesosok bayangan seperti asap tiba-tiba muncul mengangkat Kim-mou-eng dan memindahkan pendekar yang sedang bersila itu ke belakang, asap ini sendiri sudah ada di depan dia menerima dua pukulan itu. Seseorang terdengar mengeluarkan seruan lirih. Dan ketika dua pukulan Salima dan suhengnya menghantam asap ini, yang berada di depan Kim-mou-eng tiba-tiba dua orang itu lenyap seperti amblas ke dalam lautan.

“Bress!” Salima dan suhengnya terjerumus. Mereka tahu-tahu roboh di pangkuan “asap” ini, seorang kakek yang tertutup wajahnya dengan semacam halimun (kabut). Entah kapan sudah menggantikan kedudukan Kim-mou-eng dan tahu-tahu berpindah tempat. Kim-mou-eng sendiri sudah di belakang kakek itu sama-sama bersila. Dan ketika mereka terkejut dan berseru tertahan maka “asap” ini, kakek yang tak diketahui kapan datangnya itu sudah menangkap lengan mereka dengan lembut, diiringi pula seruan halus yang menyejukkan hati.

“Thian Yang Maha Agung, apa yang kalian lakukan, anak-anak?”

Gurba dan sumoinya terkejut. Mereka kaget bukan main, membelalakkan mata lebar-lebar, seketika merenggut lengan mereka dan melepaskan diri. Dan ketika mereka mengenal suara itu dan tertegun dengan muka pucat tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut dan langsung berseru,

“Suhu...!”

Kakek ini, yang tertawa renyah mengangguk. Dia mengusap Gurba dan Salima tiga kali, masing-masing merasakan sentuhan luar biasa yang begitu dingin, menembus kemarahan dan semua panasnya hati. Salima tergetar dan beradu pandang dengan sorot yang begitu mencorong, seperti mata naga, kuat dan berpengaruh namun lembut menundukkan semua kekasaran. Terkejut dan cepat menundukkan kepala karena sinar yang mencorong itu keluar dari balik halimun, tak kuat dia bertahan. Seperti api, atau seperti es! Dan ketika Salima menggigil dan Gurba juga menunduk tak tahan menatap dua sinar yang berkilauan itu maka kakek ini menghela napas dengan pertanyaan lembut.

“Anak-anak, apa yang terjadi? Kenapa kalian hendak membunuh Kim-mou-eng?”

Gurba menelan ludah, gemetar. Tiba-tiba kelu dan tak dapat menjawab. Entah kenapa dia gentar oleh perbawa kakek yang luar biasa ini. Baru kali ini ketemu lagi setelah bertahun-tahun tak nampak. Tubuh kakek itu seolah memancarkan getaran agung seorang dewa, bersih dan suci. Begitu besar pengaruhnya hingga rumput-rumput disekitar mereka menunduk hormat. Seolah kedatangan malaikat. Angin pun tak berhembus! Dan ketika Gurba menggigil dan pertanyaan itu diulang maka Salima maju mewakili suhengnya.

“Maaf, ji-suheng berkhianat, suhu. Kami hendak membunuhnya karena ia menyakiti kami!”

“Hm, apa yang terjadi? Berkhianat tentang apa?”

Salima tertegun. “Dia... dia meninggalkan suku bangsa Tar-tar bersahabat dengan bangsa Han!”

“Betulkah?” kakek itu bertanya, tiba-tiba memandang Salima dengan tajam hingga Salima merasa dijenguk isi hatinya. Ngeri karena kebohongannya tiba-tiba nampak, tak dapat menyembunyikan diri dari sorot mata naga itu karena sesungguhnya dia marah bukan oleh sebab itu, melainkan karena suhengnya kawin dengan selir kaisar. Dia cemburu, dia marah! Dan ketika Salima tertegun dan tak dapat menjawab mendadak gadis ini menangis dan terisak-isak!

“Suhu, ampunkan teecu. Teecu tahu dari twa-suheng (Gurba)...!”

“Hm...” kakek ini sekarang memandang Gurba. “Betulkah begitu, Gur-ji. Kau yang memberi tahu Kim-mou-eng berkhianat?”

“Beb... betul!” Gurba tiba-tiba tertodong. “Teecu... teecu mendengar Kim-sute bersahabat dengan orang-orang Han, suhu. Dan satu diantaranya adalah mendekati puteri Wang-taijin!”

“Dan kau menganggapnya berkhianat?”

Gurba dan Salima tak menjawab.

“Ayo jelaskan padaku, Gur-ji. Apa yang kalian maksud dengan berkhianat itu!”

Salima akhirnya menggigil, “Kim-suheng berkhianat karena ia bersahabat dengan musuh, suhu. Bahwa suku bangsa Tar-tar habis tapi dia bersenang-senang dengan selir kaisar. Memperisteri selir kaisar dan tidak bertanggung jawab lagi kepada suku bangsanya!”

“Hm, betulkah?”

Gurba tak menjawab, dan Salima kembali mengangguk, berseru nyaring, dadanya berombak, berapi-api memandang ji-suhengnya itu. “Betul, suhu. Dan suhu boleh tanyakan sendiri pada ji-suheng. Teecu mengetahuinya ini dari Twa-heng, dan... dan...” Salima terisak. “Dia mengkhianati teecu pula, suhu. Kim-mou-eng jahat dan penipu...!”

Salima menangis, tak dapat menahan sakit hatinya dan tersedu di depan kakek dewa itu, mengguguk, kedua pundaknya berguncang-guncang hingga tangisnya terdengar demikian sedih sekali, menyayat perasaan. Dan ketika suhunya menghela napas dan ganti memandang ke belakang tiba-tiba Kim-mou-eng ditanya, lembut dan penuh kasih,

“Kim-mou-eng, benarkah kata-kata sumoimu ini?”

Kim-mou-eng pucat. Dia tentu saja menggeleng, terbelalak mendengar suhengnya bercerita yang bukan-bukan pada sumoinya. Kini dugaannya semakin kuat, bahwa suhengnya memang menjadi dalang dari semua permusuhan ini. Karena cinta segi tiga! Dan Kim-mou-eng yang menggigil memandang suhunya tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, terbatuk menahan kemarahan dan hampir saja melontakkan darah, menekan dada yang sakit.

“Ampun, teecu (murid) tidak melakukan seperti yang dikata sumoi, suhu. Justeru suhenglah yang melakukan semuanya itu!”

“Tidak!” Gurba melengking. “Kau berkhianat, sute. Kau meninggalkan bangsa Tar-tar dan galang-gulung dengan puteri Wang-taijin!”

Kim-mou-eng marah. Dia melotot, tapi sebelum dia menjawab tiba-tiba gurunya menekan pundaknya menyuruh dia diam. Dan saat itu sebuah tenaga hangat memasuki dadanya lewat pundak ini. Seketika melonggarkan napasnya dan rasa sakit di dada hilang. Kim-mou-eng sembuh! Dan ketika pendekar ini tertegun dan sadar bahwa guru mereka ada diantara mereka maka kakek dewa itu, yang bukan lain Bu-beng Sian-su adanya menegur,

“Gur-ji, kenapa kau mengalihkan perhatian dengan menyebut-nyebut nama Wang-taijin? Bukankah yang ditekankan sumoimu adalah selir kaisar? Nah, sekarang jawab dengan jujur. Kalian hendak membicarakan Wang-taijin ataukah kaisar?”

Gurba tertegun. “Wang-taijin, suhu...!”

“Tidak, selir kaisar, suhu!” Salima protes. “Karena dengan selir kaisar itulah ji-suheng menyakiti kami!”

“Kalau begitu mana yang diturut? Wang-taijin ataukah selir kaisar?”

“Selir kaisar!”

“Tidak, Wang-taijin...!”

Salima melotot. Dia melihat suhengnya tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, tidak lagi kepada selir kaisar dimana selama ini dia dibakar melainkan kepada Wang-taijin yang mempunyai puteri cantik itu, Cao Cun. Gadis yang sudah dia kenal tapi betapapun tidak sampai dijadikan isteri ji-suhengnya karena ji-suhengnya telah kawin dengan selir kaisar. Jadi terhadap selir itulah dia sakit hati dan marah. Masalah Cao Cun tak lagi diingat karena Cao Cun sudah di luar persoalan. Tidak seperti Bi Nio, selir kaisar yang telah merebut ji-suhengnya itu! Tapi ketika Salima terbelalak dan marah pada suhengnya maka Bu-beng Sian-su mengangkat lengannya.

“Anak-anak, kalian tampaknya bertentangan sendiri. Baiklah, kalau kalian belum ada kesepakatan biarlah kutunggu kalian menyelesaikan ini dan siapa yang harus dibicarakan. Bertengkarlah!”

Salima tertegun. Gurba juga terkejut, masing-masing merah mukanya dan tampak terpukul, malu. Tapi karena Salima selama ini merasa dibakar hanya dengan masalah selir kaisar itu maka Salima menegur, “Suheng, kau jarang sekali membicarakan tentang Wang-taijin. Kenapa sekarang membicarakan itu dan tidak Bi Nio?”

Gurba mulai gugup. “Karena sute laki-laki mata keranjang, sumoi. Dia juga berhubungan dengan puteri Wang-taijin itu seperti apa yang selama ini kudengar.”

“Tapi dengan Wang-taijin tak ada hubungannya dengan masalah pengkhianatan. Kau selama ini menekankan padaku akan cerita selir kaisar!”

“Itu... itu... ” Gurba bingung. “Itu sama saja, sumoi. Karena Wang-taijin juga pembantu kaisar dan sama-sama musuh bangsa Tar-tar!”

“Kalau begitu sebutkan hubungannya. Apakah Wang-taijin juga ikut berperang dan membunuh bangsa kita ataukah tidak?”

“Ini...” Gurba terbelalak. “Ini memang tak ada hubungannya, sumoi. Tapi betapapun Kim-sute sering berhubungan dengan puteri bupati Wang itu!”

“Tapi Cao Cun dianggap adiknya, aku tahu itu. Dan gadis itu tak sampai menjadi isteri ji-suheng seperti Bi Nio!”

Gurba terkejut. Dan belum dia menjawab Salima pun menyudutkannya dengan satu pernyataan keras, “Dan kau tak seharusnya mengelak omonganmu sendiri, suheng. Bahwa kau sering membicarakan selir kaisar daripada puteri Wang-taijin. Sekarang aku menginginkan ini, kita bicarakan dulu selir kaisar dan setelah itu Wang-taijin. Kalau kau tak mau berarti kau mencurigakan, ada sesuatu yang kau sembunyikan. Apakah kau takut?”

Pertanyaan ini sebenarnya dilepas karena dorongan rasa jengkel saja. Salima tak tahu bahwa suhengnya memang menyembunyikan sesuatu, rahasia pribadi. Fitnahnya terhadap Kim-mou-eng itu. Tapi karena Salima telah mengajukannya dan dia akan dicurigai kalau bersikeras menolak membicarakan Bi Nio dan selalu menghindar membicarakan selir kaisar ini akhirnya Gurba terpojok dan tak dapat bicara, apalagi guru mereka ada di situ.

Membuat raksasa ini gentar karena pengaruh Bu-beng Sian-su demikian besar. Segala dosa tampaknya akan tersingkirkan oleh wibawa kakek dewa itu. Angin pun semakin lemah. Pohon-pohon pun hening mematung. Seakan siap menjadi saksi dari apa yang akan terjadi. Penelanjangan kebohongan! Dan ketika Gurba tertegun dan diam tak menjawab akhirnya Salima bertanya,

“Bagaimana, kau bersikeras menolak membicarakan selir kaisar, suheng?”

Gurba diam, tiga kali berturut- turut ditanya tapi tetap tidak menjawab, mukanya merah padam, membuat Salima merasa aneh. Dan karena keempat kalinya suhengnya juga tidak menjawab namun juga tidak menolak untuk membicarakan Bi Nio akhirnya Salima menghadap gurunya berkata tegas, “Suhu, twa-heng tidak menolak untuk membicarakan Bi Nio. Sekarang kita bicarakan saja perihal selir kaisar itu!”

“Baiklah,” kakek dewa itu memandang Gurba. “Beginikah, Gur-ji?”

“Terserah kalian, suhu,” Gurba menjawab lemah, pucat. “Teecu hanya menurut kalau memang itu yang hendak dibicarakan.”

“Ah, kenapa terserah? Pembicaraan ini memang hendak mengupas permasalahannya, Gur-ji. Jangan terserah kalau kau memang tidak suka!”

“Tapi itu yang dibicarakan sehari-hari dengan teecu, suhu,” Salima memotong, mengerutkan kening. “Kenapa harus tidak suka?”

“Baiklah,” Gurba tersudut, tak ada jalan lain lagi, mukanya gemetar. “Aku menurut kau, sumoi. Tapi ketahuilah bahwa semuanya ini kulakukan karena kau!”

Salima tak mengerti. Tapi Bu-beng Sian-su yang tersenyum lembut sudah mengangkat lengannya, memandang mereka bertiga. “Anak-anak, sekarang kita sepakat bahwa kita hendak membicarakan selir kaisar itu. Nah, mari kita mulai, sekarang saja. Pertama, benarkah Kim-mou-eng berkhianat dengan meninggalkan suku bangsanya dan mengawini Bi Nio? Benarkah perbuatan itu dilakukan Kim-mou-eng?”

“Twa-suheng yang mengatakannya, suhu. Ji-suheng boleh ditanya kalau dia berani menyangkal!” Salima langsung bersuara, nyaring berapi-api, mendahului yang lain dan tampak marah memandang Kim-mou-eng.

Tapi suhunya yang tersenyum tertawa lembut menganggukkan kepalanya, memandang Kim-mou-eng. “Benarkah begitu, Kim-mou-eng?”

“Tidak,” Kim-mou-eng tentu saja menggeleng. “Apa yang dikata sumoi tidak benar, suhu. Karena sesungguhnya...”

“Karena sesungguhnya kau pengecut!” Salima melengking, memotong suhengnya itu. “Kau penipu, suheng. Kau pembohong dan pendusta yang takut pada perbuatanmu sendiri!” dan belum Kim-mou-eng menjawab atau apa Salima sudah menangis dan menuding-nuding penuh kebencian. “Suheng, sungguh tak kusangka kalau kegagahan yang selama ini kulihat padamu ternyata hanya kegagahan lahiriah belaka. Kau berjuluk pendekar, orang memuji-mujimu sebagai pendekar pula. Kenapa sekarang bersikap pengecut dan menyangkal perbuatan sendiri? Mana itu kegagahanmu yang melekat pada julukanmu? Mana itu kekesatriaanmu yang biasanya kau tonjolkan? Dan kau menipu aku pula, suheng. Kau... kau...”

Dan Salima yang mengguguk tak meneruskan kata-katanya tiba-tiba tersedu dan memandang penuh kebencian suhengnya itu. Begitu sakit dan nyerinya hati, tak sampai meneruskan kata-katanya yang hendak mengingatkan suhengnya bahwa suhengnya itu telah menciumnya. Cium tanda cinta tapi ditolak oleh suhengnya ini, dengan dalih masih belum dimengerti, diragukan. Dan ketika Salima mengguguk dan Kim-mou-eng pucat maka Bu-beng Sian-su yang menghela napas tiba-tiba menepuk gadis ini.

“Salima, tenanglah. Pembicaraan belum berlanjut. Kalau kau berondong dengan kata-kata sendiri begini mana bisa keterangan pihak lain kau dengar? Aku juga telah mendengar apa yang terjadi, dan sesungguhnya aku juga menyesal.” kakek ini melirik Gurba, seketika membuat Gurba tertegun dan berdetak karena dosa mulai menghantui dirinya. Maklum bahwa gurunya ini adalah seorang sakti, waspada sebelum melihat. Dan Salima yang menghentikan tangisnya dan dielus rambutnya akhirnya menutupi muka penuh kecewa.

“Maaf, teecu juga menyesal, suhu. Tapi teecu tak dapat melenyapkan sakit hati ini!”

“Tenanglah, kita dengar berikutnya,” dan Bu-beng Sian-su yang memandang Kim-mou-eng kini bertanya, “Kim-mou-eng, segala tuduhan telah kau dengar. Sekarang jawab saja apa yang terjadi agar semua pihak mendengar. Tetapkah kau menyangkal tuduhan sumoimu bahwa kau berkhianat dan mengawini Bi Nio?”

“Tentu saja,” Kim-mou-eng menyangkal. “Teecu memang tidak melakukan semuanya itu, suhu. Karena semuanya ini adalah gara-gara Gurba-suheng!”

“Dapat kau memberi penjelasan?”

“Sebaiknya Gurba-suheng saja yang memberi penjelasan. Dia lebih tahu,” dan memandang suhengnya penuh sesal Kim-mou-eng menuntut, “Suheng, sekarang kita bertiga sama-sama ada di sini. Suhu menyaksikan. Sebaiknya kau akui segala perbuatanmu yang tidak terpuji itu. Beranikah kau mengakui dosamu?”

Gurba menggigil, pucat mukanya, terbelalak dan kemudian merah padam, tidak menjawab dan tentu saja membuat Salima heran. Suhengnya tiba-tiba beringas. Tampak seperti orang ketakutan tapi juga marah. Bingung atau apa yang membuat Salima tak mengerti. Dan ketika suhengnya mengeluarkan suara tak jelas dan kerongkongannya seperti orang ngorok tiba-tiba Kim-mou-eng menoleh keluar.

“Suheng, perlukah pengawal itu kupanggil?”

“Tidak!” Gurba tiba-tiba bangkit, membentak mengejutkan semua orang. “Aku tak perlu pengawal itu, sute. Karena aku memang bersalah!” dan menggigil memandang Salima tiba-tiba raksasa ini menangis. “Sumoi, maafkan aku. Aku... aku tak dapat lagi tinggal di sini. Tapi ketahuilah bahwa aku cinta padamu!” dan bercucuran memandang suhunya tiba-tiba raksasa ini menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, ampunkan teecu. Teecu memang bersalah. Mohon segala dosa diampuni...!”

Dan begitu mencium kaki suhunya berkelebat lenyap tiba-tiba Gurba melarikan diri tanpa banyak bicara lagi. Tidak menoleh ke kiri atau kanan lagi, mukanya penuh malu dan dendam. Air mata bercucuran bagai hujan deras, tentu saja mengejutkan Salima yang bengong tidak mengerti, berteriak dan hendak mengejar suhengnya yang dianggap aneh.

Tapi ketika seorang pengawal muncul dan Kim-mou-eng berkelebat menyambar pengawal ini akhirnya Salima tertegun melihat peristiwa yang dianggapnya ganjil itu. “Sumoi, suheng telah pergi. Tapi pengawal ini dapat menjadi penggantinya dan semua pertanyaanmu dapat dijawab!”

“Siapa dia?” Salima tertegun. “Utusan Bi Nio!”

“Ada apa ke mari? Mau apa?”

“Kau tanyakan sendiri, sumoi. Dan mari kita dengar apa yang telah dilakukan suheng,” dan ketika Kim-mou-eng menyuruh pengawal itu menghadapi Salima tiba-tiba pengawal ini menggigil menjatuhkan diri berlutut.

“Ampun... ampun, lihiap. Aku datang memang sebagai utusan hujin (nyonya)...”

“Hujin siapa?”

“Bi Nio, bekas selir kaisar itu... ”

“Ada apa kau datang ke mari?”

“Mencari twa-suhengmu tadi, lihiap. Memberitahukan bahwa Bi Nio isteri twa-suhengmu itu telah hamil dan Gurba-taihiap diminta datang ke istana!”

“Apa? Isteri twa-suheng?”

“Ya, Bi Nio isteri twa-suhengmu, lihiap. Sri baginda kaisar telah menghadiahkannya pada twa-suhengmu itu, Gurba-taihiap!”

Dan ketika Salima tertegun dan terbelalak lebar tiba-tiba Salima mendesis. “Pengawal, jangan kau main-main. Bi Nio adalah isteri suhengku yang ini, bukan yang tadi. Kau maksudkan Kim-mou-eng, bukan?”

“Tidak, bukan Kim-mou-eng, lihiap. Tapi suhengmu yang tadi, yang melarikan diri, Gurba-taihiap itu!”

“Ah...!” dan Salima yang terhuyung dengan muka pucat tiba-tiba membentak, “Pengawal, kau bohong. Kaupun rupanya penipu. Hayo kita buktikan bersama!” dan Salima yang menyambar pengawal ini pamit pada suhunya tiba-tiba sudah berkelebat dan terbang seperti burung, langsung ke utara ke kota raja, ke istana.

Dan Kim-mou- eng yang tertegun ditinggal sumoinya tiba-tiba mengejar. “Sumoi...!”

Namun sebuah lengan halus menahannya. Kim-mou-eng terkejut ketika gurunya sudah di sampingnya, mencegah dia mengejar Salima. Sorot yang lembut itu memancar penuh kasih. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan sang guru menarik napas tiba-tiba Bu-beng Sian-su bertanya padanya, “Kim-mou-eng, hikmah apa yang kau dapat dari semuanya ini?”

Kim-mou-eng tak menjawab, tak mengerti.

“Kau tak dapat menangkap sesuatu yang berharga?”

Dan ketika Kim-mou-eng menggeleng dan benar tak mengerti akhirnya gurunya membawanya duduk. “Kim-mou-eng, melihat tanpa mengamati adalah suatu kebodohan. Tapi mengamati tanpa berpikir adalah suatu ketidakmungkinan. Kau tak dapat menangkap sesuatu dari semua peristiwa ini?”

“Tidak,” Kim-mou-eng menggigil, tak tahu bahwa suhunya mulai mengajak ke alam yang tinggi, alam filsafat. “Teecu tidak melihat apa-apa yang kau maksud, suhu. Kalau ada sesuatu yang perlu diberitahukan mohon suhu memberi petunjuk!”

“Tentu, aku memang akan memberi petunjuk padamu, Kim-mou-eng. Tapi yang akan kuberikan adalah rangkanya saja. Kau harus dapat mengetahui isinya dan mencari sendiri.”

“Apa maksud suhu?”

“Pelajaran dari semua kejadian ini, salah satu inti sarinya,” dan ketika Kim-mou-eng menjublak dan memandang suhunya maka kakek itu mendesah. “Kim-mou-eng, apa pendapatmu tentang suhengmu itu?”

“Dia khilaf, terbawa nafsunya sendiri.”

“Hanya itu saja?”

Kim-mou-eng terbelalak. “Apakah suhu melihat sesuatu yang lain?”

“Ya, aku melihat sesuatu yang lain, Kim-mou-eng. Bukan sekedar khilaf atau terbawa nafsunya saja. Kau tak melihat itu?”

“Tidak.”

“Baiklah, aku akan menuntunmu,” dan Bu-beng Sian-su yang menghela napas memandang muridnya tiba-tiba bangkit berdiri. “Kim-mou-eng, sesuatu yang dilihat seharusnya diamati. Dan kalau sesuatu yang diamati itu sudah bekerja sama dengan pikiran maka jawaban dari itu akan didapat. Kau tampaknya tak melihat hal ini, atau lebih tepat, kau tak mengamati hal ini. Baiklah, sekali lagi kutanya padamu. Apa pendapatmu tentang suhengmu itu?”

“Dia khilaf, suhu. Hanyut dan terbawa oleh nafsunya.”

“Hanya itu saja?”

“Ya, itu saja.”

“Kalau begitu kenapa dia khilaf? Kenapa dia terbawa nafsunya?”

Kim-mou-eng tertegun, teringat masalah cinta, karena betapapun dia tak menganggap suhengnya jahat karena suhengnya terbawa oleh masalah ini. Jadi khilaf karena ingin merebut Salima dengan tipu dayanya, berbohong dan memfitnah karena semata suhengnya itu mencintai Salima, jadi tak ada alasan lain. Tapi ragu menjawab suhunya Kim-mou-eng malah mendelong dan tidak menjawab.

“Ayo, berikan jawabanmu, Kim-mou-eng. Katakan saja dan sebut alasannya!”

Kim-mou-eng akhirnya menahan napas, mukanya sedikit merah. “Maaf, teecu mengatakan suheng terbawa nafsunya oleh karena suheng tak dapat mengendalikan diri dalam satu masalah, suhu. Bahwa suheng...”

“Ya, teruskan. Kenapa diam?”

“Bahwa suheng mencintai sumoi. Tak ingin kehilangan sumoi dan karena itu memfitnah teecu!”

“Hanya itu?”

Kim-mou-eng bingung. “Apakah suhu melihat sesuatu yang lain?”

“Ah, aku tanya dirimu, Kim-mou-eng. Jangan balik bertanya sebelum menjawab! Kau hanya mengajukan pernyataan itu saja?” Bu-beng Sian-su menegur.

“Ya, teecu kira hanya itu, suhu. Setidak-tidaknya saat ini. Kalau ada yang lain harap suhu menerangkannya kepada teecu!”

“Bagus, aku memang akan menerangkannya kepadamu, tapi tidak sekarang, tidak secara lengkap. Karena ingin lengkap haruslah kau peroleh sendiri!” dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum memandang muridnya tiba-tiba menuding. “Kim-mou-eng, apa itu?”

“Batu.”

“Bagaimana kalau kupukulkan ke kepalamu?”

Kim-mou,eng melengak. “Apa maksud suhu?”

“Ayo, tak perlu bertanya, Kim-mou-eng. Jawab saja pertanyaanku bagaimana kalau batu itu kupukulkan ke kepalamu. Bagaimana rasanya?”

“Tentu saja sakit.” Kim-mou-eng terbelalak. “Bukankah suhu tahu?”

“Ya, aku tahu, Kim-mou-eng. Dan jangan bertanya lagi bila kutanya yang lain. Ayo, sekarang ini. Apa itu?”

“Duri.”

“Bagaimana kalau kau makan?”

“Ah,” Kim-mou-eng membelalakkan mata. “Apakah suhu bertanya sungguh-sungguh? Apakah suhu tidak...”

“Nanti dulu, jangan memutus!” sang guru menukas. “Aku bertanya sungguh-sungguh, Kim-mou-eng. Jangan kau kira aku gila! Aku tidak main-main, aku bertanya padamu. Bagaimana kalau kau makan duri itu?”

“Tentu saja tak enak, suhu. Salah-salah bisa mati!”

“Bagus, dua pertanyaan ini kucukupkan dulu. Sekarang kembali pada suhengmu, bagaimana pendapatmu tentang suhengmu itu?”

Kim-mou-eng terkejut. “Teecu tetap pada pendapat tadi, suhu. Bahwa suheng khilaf dan hanyut terbawa nafsunya!”

“Tidak ada lagi?”

“Tidak.”

“Kalau begitu sayang, pengamatanmu kurang jauh!” dan Bu-beng Sian-su yang menghela napas menghampiri batu karang tiba-tiba menggurat. “Muridku, kemarilah. Lihat apa yang kutulis, hapalkan ini dan renungkan.” dan ketika Kim-mou-eng mendekat dan Bu-beng Sian-su menggurat-guratkan jari tangannya maka tampaklah empat baris kalimat berderet rapi. Dan Kim-mou-eng membaca:

Lalu lalang di depan mata
sering berubah berganti rupa
siapa dapat “menangkap” harganya
dialah manusia berguna ganda.


Hanya itu. Dan Bu-beng Sian-su menoleh padanya. “Kau mengerti?”

“Tidak.”

“Kalau begitu cari jawabannya. Pergilah dan temui setiap kejadian yang kau alami. Kalau belum ketemu juga kelak kita ke sini lagi mengupas jawabannya!” dan berkelebat lenyap tertawa lembut tiba-tiba kakek dewa itu menghilang di belakang Kim-mou-eng, membuat pendekar ini terkejut.

“Suhu...!”

Namun Bu-beng Sian-su telah lenyap. Kim-mou-eng mengejar dan coba mencari, tapi ketika dia melihat satu titik kecil dikejauhan sana tiba-tiba pendekar ini tertegun dan menjublak di tempat. Dan saat itu lamat-lamat suara gurunya berbisik, “Muridku, apa yang kau jumpai seharusnya kau amati. Camkan itu, agar kau tidak dirugikan orang dan merugikan orang lain!” dan ketika Kim-mou-eng bengong dan sang guru lenyap dikejauhan sana akhirnya pendekar ini menarik napas berdebar tak mengerti.

Kim-mou-eng memang belum tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia dewa yang luar biasa. Yang, disamping ilmunya yang tinggi, yang sukar diukur tingginya juga seorang kakek yang aneh dengan petuah-petuahnya yang unik. Sering memberi syair membuka inti sari kehidupan, menolong sesama manusia lain dengan memberi kesadaran tentang hidup. Tentang kejadian-kejadian hidup atau yang ada hubungannya dengan hidup.

Tak jarang membuat orang lain terperangah dan kagum akan isi syair-syairnya, yang kadang biasa dan kadang njlimet, tidak sederhana tapi dapat membuktikan kebenarannya itu. Antara lain tentang ketergantungan, keterpaksaan dan lain-lain lagi yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia.

Dan karena Kim-mou-eng memang baru pertama kali itu mendapat syair yang aneh dari gurunya dan tidak mengerti akan keistimewaan gurunya ini maka Pendekar Rambut Emas itu tak tahu bahwa sesuatu yang berharga sedang “tersembunyi” di balik empat kalimat sederhana itu. Bahwa ada sesuatu yang penting yang perlu diketahui. Berguna bagi diri pribadi dan mungkin juga orang lain. Tapi karena pendekar ini memang belum tahu dan orang tidak tahu memang tak dapat disalahkan biarlah kita ikuti saja bagaimana jawaban syair Bu-beng Sian-su itu, kelak di akhir cerita!

Kim-mou-eng sudah tidak termenung lagi. Sebait syair dengan empat kalimatnya itu telah dia masukkan ke dalam ingatannya. Tak mungkin lupa. Tapi ingat kepada suheng dan sumoinya tiba-tiba pendekar ini menarik napas. Sekarang persoalan dirinya sudah selesai. Artinya, tuduhan dan fitnahan suhengnya itu telah berhasil dibuka. Memang benar, suhengnya melakukan itu semata karena tak ingin kehilangan Salima.

Tapi bukankah cara suhengnya tak benar? Kalau Salima tak suka seharusnya tak boleh suhengnya itu melakukan sesuatu yang kotor. Dan fitnah termasuk perbuatan curang. Aneh, bagaimana suhengnya tiba-tiba bisa melakukan itu? Sungguh tak dia sangka. Dan Kim-mou-eng yang melihat batu yang ditunjukkan suhunya tadi tiba-tiba tertegun.

“Bagaimana kalau batu itu kupukulkan ke kepalamu?”

Pertanyaan ini mengiang kembali. Kim-mou-eng tak mengerti kenapa suhunya harus bertanya itu. Satu pertanyaan yang dianggapnya tak serius. Ada kesan kekanak-kanakan, bahkan remeh, tak penting. Tapi karena dia sadar suhunya adalah seorang kakek dewa yang penuh pengalaman dan tak mungkin melancarkan pertanyaan main-main kepadanya akhirnya Kim-mou-eng malah bengong di tempat.

Tapi pendekar ini mendesah kembali. Sekarang sumoinya tidak memusuhinya lagi. Kecurangan suhengnya terbuka. Tapi benarkah permusuhan itu berakhir? Untuk sumoinya mungkin begitu. Tapi suhengnya, mungkinkah begitu? Melihat sorot matanya yang beringas dan penuh dendam, dia tahu bahwa suhengnya membenci padanya. Burung yang elok terlepas dari tangan. Suhengnya tentu sakit hati. Tapi bukankah itu suhengnya sendiri yang melakukan? Dan dia diterkam dari belakang. Suhengnya pergi dan sumoinya juga merat. Kemana dia sekarang? Lebih baik ke kota raja!

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Sebenarnya, dia enggan ke kota raja. Tempat itu berkali-kali memberinya celaka. Tapi melihat sumoinya ke sana dan khawatir Salima membunuh Bi Nio tiba-tiba perasaan tak enak menyelinap di hati pendekar ini. Ada sesuatu yang membuat dia berdebar, sorot mata suhengnya itu. Kebenciannya, sakit hatinya. Dan penasaran oleh semuanya ini mendadak Kim-mou-eng menggerakkan kaki ke kota raja dan lenyap meninggalkan tempat itu.

“Sumoi, kau tak boleh membunuh orang!” Kim-mou-eng cemas, membayangkan sumoinya mungkin marah-marah di sana dan menemui sesuatu. Dan karena dia menyayangi sumoinya itu dan semua yang telah lewat tak membuat pendekar ini sakit hati maka sebentar kemudian Kim-mou-eng terbang menuju ke kota raja. Dan sesuatu memang terjadi di sana, nyaris membunuh Salima. Apakah itu? Mari kita lihat!

* * * * * * * *

Gurba meluncur seperti iblis. Raksasa tinggi besar ini berkerot-kerot, tinju terkepal sebesar buah kelapa. Nafsu membunuhnya tampak di bola mata, berapi dan ganas. Buas sekali. Dan ketika dia ke kota raja meninggalkan suhu dan sumoinya di bukit batu karang itu Gurba telah tiba di istana. Apa yang dia pikirkan? Bukan lain menemui Bi Nio. Raksasa ini menganggap Bi Nio pembawa celaka, pembawa sial.

Sungguh geram dan marah dia kenapa Bi Nio harus menyuruh pengawal mencari dirinya. Berakhir dengan terbukanya kedoknya hingga dia mendapat malu. Tak diingat bahwa dia memang salah, sudah seharusnya menerima kesalahannya itu karena setiap yang salah memang akan menanggung dosa. Dan Gurba yang hari itu juga meluncur ke kota raja mencari Bi Nio sudah memasuki istana melompati tembok yang tinggi.

Tak ada kesukaran bagi raksasa ini. Gurba memiliki kepandaian tinggi, siapa yang dapat menghalanginya? Kalaupun ada pengawal yang memergoki dirinya tak mungkin dia dicegah. Salah-salah si pengawal akan dipukulnya mampus. Dan Gurba yang langsung ke kaputren mencari Bi Nio akhirnya mendapatkan kamar bekas selir kaisar itu, mendobrak pintunya dan langsung masuk, mengejutkan Bi Nio yang tiduran di kamarnya dan tentu saja berseru tertahan.

Tapi melihat siapa yang datang dan Gurba tegak di tengah kamar tiba-tiba Bi Nio berteriak girang dan melompat turun dari pembaringannya. “Hanggoda...!”

Tapi Gurba membentaknya. Raksasa ini langsung menendang Bi Nio, membuat Bi Nio mencelat dan menjerit kesakitan. Tentu saja kaget dan baru sekarang melihat mata Gurba yang berapi-api. Berkilat dan penuh nafsu membunuh. Dan ketika Bi Nio terbelalak dan menangis perlahan tahu-tahu Gurba menyambar tengkuknya, diangkat seperti orang mengangkat seekor kelinci liar.

“Bi Nio, kau mengutus pengawal?”

Bi Nio menggigil, ketakutan.

“Heh, kau yang mengutus pengawal menyuruh cari diriku?”

“Beb... betul...!” Bi Nio akhirnya mengangguk, ngeri hatinya. “Ada apakah, suamiku? Apakah pengawal itu salah padamu?”

“Keparat, bukan saja salah, Bi Nio. Tapi dosa yang tak dapat kuampuni. Kau wanita tak tahu diri. Kau laknat terkutuk yang harus kubunuh!” dan Gurba yang melempar Bi Nio ke dinding tiba-tiba membuat Bi Nio memekik dan hampir kelengar.

“Bress!” Bi Nio tersedu-sedu. Wanita ini tiba-tiba menangis, pucat mukanya. Dan ketika Gurba menghampiri dan menamparnya pulang balik akhirnya Bi Nio menjerit dan meratap-ratap. “Aduh, ampun suamiku... ampun...!”

“Tak ada ampun. Kau akan kubunuh, Bi Nio. Kau akan kuhajar dan kusiksa sampai mati... plak-dess!” dan Bi Nio yang mendapat tamparan dan tendangan Gurba tiba-tiba mencelat dan bergulingan menjerit-jerit, dihajar dan dipukul bertubi-tubi hingga mulut wanita ini pecah. Gurba naik darah dan tidak memberi ampun.

Dan ketika wanita itu mengeluh dan roboh dengan kulit matang biru akhirnya pengawal kaputren muncul mendengar ribut-ribut ini. Tapi mereka tertegun, melihat raksasa Tar-tar itu mendelik pada mereka. Tak menyangka kalau Gurba yang datang, berurusan dengan isterinya sendiri. Dan karena kaisar memberi kebebasan penuh pada raksasa ini untuk menemui isterinya akhirnya para pengawal mundur dan tak berani menolong.

Apalagi ketika Gurba mengibas lengannya, tiga orang terlempar menumbuk yang lain. Roboh terjengkang dan terguling-guling, mengaduh dan seketika membuat keadaan gaduh. Masing-masing melarikan diri tak ada yang berani menghadapi raksasa itu. Dan ketika Gurba membalik dan menghadapi Bi Nio maka wanita malang ini menggigil dengan pakaian robek-robek.

“Hanggoda, suamiku... apa yang menyebabkan dirimu begini? Kenapa kau menghukum dan menyiksa aku? Dosa apakah yang telah kulakukan?”

“Jahanam, dosamu banyak, Bi Nio. Kau tak perlu bertanya karena kau sudah tahu!”

“Tidak, tidak... aku tak tahu, hanggoda. Tolong beri tahu agar aku tak mati penasaran...!”

“Hm, aku memang akan membunuhmu. Kau tak perlu mati penasaran. Kau mengutus pengawal untuk mencari diriku, bukan?”

“Benar.”

“Dan ketahuilah, perbuatanmu itu merusak hubunganku dengan sumoiku. Kau merenggut orang yang kucintai dari sisiku. Kau membuat aku malu dan kehilangan muka. Kubunuh kau, keparat...!” dan Gurba yang menampar Bi Nio pulang balik dan menendangnya kembali tiba-tiba membuat Bi Nio terpelanting dan roboh di sana, menjerit dan tersungkur dengan kulit dahi pecah, mengucurkan darah. Dan ketika Bi Nio tersedu-sedu dan ngeri oleh sepak terjang raksasa ini akhirnya Gurba mengangkat tubuhnya dengan bola mata berapi-api.

“Wanita hina, kematian apa yang kau inginkan dariku? Kau minta batok kepalamu pecah atau kuhancurkan tulang-tulangmu?”

Bi Nio menggigil. “Ampun...” wanita ini hampir pingsan, serasa terbang semangatnya. “Ampunkan aku, hanggoda. Aku menyuruh pengawal karena aku telah mengandung...!”

“Bohong! Kita hanya sekali, mana mungkin itu?”

“Sumpah, aku berani sumpah, hanggoda. Aku mengandung sejak pertemuan kita pertama kali itu!”

“Siluman!” dan Bi Nio yang kembali dibanting dan sobek telinganya akhirnya mengguguk dan meratap di bawah kaki raksasa ini.

“Hanggoda, sumpah demi langit dan bumi aku menyatakan kebenaranku. Aku hamil, benihmu telah tertanam dan tidak ada orang lain yang menggauliku. Aku...”

“Des-dess!” Gurba menendang, menghentikan kata-kata Bi Nio hingga wanita itu terpekik, terlempar tiga tombak dan menjerit mendekap perutnya. Gurba membentak marah. Dan ketika Gurba menyambar dan mencengkeram wanita ini akhirnya Bi Nio merasa di ujung maut.

“Bi Nio, aku tak mau percaya segala omonganmu. Kau penipu, kau pendusta. Dulu pun ketika pertama kali kita bertemu kaupun menjebak aku. Kau wanita siluman, kau tak dapat dipercaya. Sekarang kubunuh kau!”

Dan Gurba yang menggeram menghantam wanita ini tiba-tiba melepas pukulan maut yang tak dapat dielak. Sekali menimpa kepala Bi Nio tentu wanita itu tewas, hancur batok kepalanya. Tapi persis Gurba menurunkan tangannya tiba-tiba sebatang pedang menyambar raksasa ini....

Pendekar Rambut Emas Jilid 17

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“HM, aku telah mendengar ini,” Kim-mou-eng bersuara. “Ibu juga menceritakan kejadian itu, paman. Tapi kenapa kau tak mau sudah?”

“Aku ingin menyelamatkan ibumu, Kimsan. Kehidupan suka bangsa Tar-tar keras dan kejam sekali. Ibumu orang yang lembut, mana tahan hidup di alam yang begitu ganas? Aku tak tega tapi ibumu tetap keras kepala tak mau meninggalkan ayahmu!”

“Mungkin karena ibu telah melahirkan aku.”

“Mungkin, tapi mungkin juga hasil peletan ayahmu, Kimsan. Orang Tar-tar suka mengguna-gunai wanita dengan ilmu hitam!”

Kim-mou-eng tersenyum pahit. Untuk ini dia tak percaya, tak mungkin ayahnya memelet ibunya seperti itu. Telah mendengar kegagahan ayahnya dari mulut ibunya. Bahwa ayahnya adalah seorang laki-laki jantan yang perwira. Tak mau bermain kotor atau curang, apalagi mengguna-gunai wanita. Perbuatan yang rendah dan memalukan belaka. Perbuatan yang menunjukkan hasil nafsu hina. Tak mungkin ayahnya melakukan itu. Tapi sang paman yang melotot melihat senyum itu tiba-tiba berkata,

“Kau tak percaya?”

Kim-mou-eng mengangkat bahu. “Aku percaya segala ceritamu, paman. Tapi tentang mengguna-gunai itu aku sangsi. Ayah adalah seorang jantan, tak mungkin dia melakukan itu.”

“Ah, tentu ini kata-kata ibumu. Dia memang membela ayahmu, kata-kataku pun juga tak dipercaya!”

Kim-mou-eng tertawa getir. “Paman, sebaiknya lanjutkan saja ceritamu itu. Bagaimana setelah ayah mengusir isteri tuanya? Kenapa pula kau menyelomot kakiku?”

Kakek ini berapi-api. “Aku menyelomot kakimu karena jengkel pada ibumu, Kimsan. Dia benar-benar tak berhasil kubujuk dan membuat aku marah. Waktu ayahmu pergi kami bertengkar, untuk kesekian kalinya lagi kuminta dia meninggalkan ayahmu tapi gagal. Aku naik pitam, ibumu kupukul pingsan dan aku pergi!”

“Hm, membawa sesuatu?”

Kakek ini terkejut. “Sesuatu apa?”

“Ibu memberi tahu padaku bahwa kau mengambil sesuatu, paman. Bahwa kau melarikan sebuah kitab yang selama ini disembunyikan ibu!”

Kakek itu mencelat, tiba-tiba menggereng. “Kau tahu?”

Kim-mou-eng mengernyitkan kening. “Kau menyangkal atau mengakuinya, paman?”

Aneh, kakek itu tiba-tiba tertawa bergelak. “Ha-ha, ibumu rupanya tak merelakan miliknya itu, Kimsan. Pantas kalau kau mencari aku di Tionggoan. Rupanya ibumu menyuruh kau meminta kitab itu. Benarkah?”

Kim-mou-eng bangkit berdiri. Sekarang dia melihat pamannya bersikap buas, mata yang kehijauan itu berputar. Tapi karena ini adalah tugas yang harus dia laksanakan sebelum ibunya meninggal akhirnya pendekar ini mengangguk. “Benar, ibu menyuruh kau mengembalikan kitab itu, paman. Bahwa katanya kau mencuri ketika ibu pingsan. Bahwa kau sebenarnya mengharap-harap ibu karena menginginkan kitab itu. Benarkah?”

Kakek ini menyeringai, terkekeh dengan pandangan dingin. “Bocah, aku adalah pamanmu. Aku adalah pengganti ibumu. Apakah kau hendak memaksa untuk mengembalikan kitab? Bukankah apa yang dipunyai ibumu jatuh di tangan saudara sendiri?”

Kim-mou-eng mengerutkan kening. “Tapi kau mendapatkannya dengan cara tak pantas, paman. Kau mencurinya.”

“Itu karena ibumu tak mau menyerahkannya baik-baik kepadaku. Aku tak ingin kitab itu jatuh ke tangan ayahmu, orang Tar-tar!”

Kim-mou-eng menghela napas. “Tapi kitab itu berbahaya, paman. Ibu tak mau menyerahkannya padamu karena tak boleh dipelajari sendiri. Kau dapat tersesat.”

“Heh, kau anak kecil bicara apa? Ibumu beralasan saja, dia pelit dan sengaja ingin diberikan pada ayahmu!”

“Dan sekarang dimana kitab itu?”

Kakek ini meliar. “Kau mau memintanya kembali?”

“Sekedar memenuhi pesan ibu, paman. Atau...”

“Atau kau mampus!” kakek itu tiba-tiba menerjang, membentak melepas pukulan maut, kelima jarinya berkerotok dan tiba-tiba menyambar kepala Kim-mou-eng. Begitu dahsyat dan ganas sampai bercuit seperti tikus mencicit. Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut oleh serangan itu tiba-tiba mengelak dan menangkis.

“Dukk!” Dua pukulan itu beradu. Kim-mou-eng bergoyang, terdorong selangkah karena baru saja sembuh dari bekas racun Tok-gan Sin-ni. Tapi pamannya yang mencelat menumbuk dinding tiba-tiba berteriak karena punggung beradu batu.

“Augh...!”

Kim-mou-eng tergetar. Dia melihat pamannya ini memiliki sinkang kuat, terkejut karena lengan tiba-tiba kesemutan, ada sedikit rasa panas dan gatal. Tanda sinkang pamannya juga mengandung racun! Tapi karena dia baru minum air Pek-houw-cu dan penawar racun itu membuyarkan racun pamannya akhirnya Kim-mou-eng berdiri tegak melihat pamannya marah-marah.

“Kimsan, kau mendurhakai pamanmu. Kualat kau nanti!”

Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Paman, yang salah adalah kau. Kenapa mengutuk aku? Aku hanya memenuhi pesan itu, kembalikan kitab itu dan kita sudahi pertikaian ini.”

“Tidak, kitab itu telah menjadi milikku, bocah. Kau tak berhak memintanya dan jangan banyak cakap. Kau berani melawan paman sendiri, kubunuh kau... wut!” dan Cheng-bin Yu-lo yang kembali memekik menerjang ke depan tiba-tiba melepas dua pukulan berbareng ke arah keponakannya itu.

“Duk-dukk...!” Kim-mou-eng kembali menangkis, merasa tenaganya pulih kembali meskipun belum semua, tentu saja tak mau mati konyol dan mengerutkan kening melihat sepak terjang pamannya ini. Dan ketika pamannya terpental dan kakek itu marah-marah maka kakek ini membalik dan menyerang lagi.

“Kimsan, kau anak durhaka...!”

Kim-mou-eng mengelak, berlompatan dan mulai menangkis serangan-serangan pamannya ini. Melihat pukulan-pukulan pamannya mulai membabi buta dan amat berbahaya, mencium pula bau amis yang membuat hidung ingin muntah. Dan ketika sepak terjang pamannya mulai menggila dan pukulan -pukulan pamannya itu benar-benar dimaksudkan untuk membunuh akhirnya Kim-mou-eng mengerahkan Tiat-lui-kang menahan serangan-serangan pamannya itu.

“Paman, kau aneh. Kau kejam!”

Cheng-bin Yu-lo tak menghiraukan. Dia telah naik pitam oleh tangkisan lawannya, melihat Kim-mou-eng berani menangkis dan melawan. Dan ketika pukulan demi pukulan mulai menderu dan angin pukulan membuat dinding berderak akhirnya Yu Bing yang terkejut melihat pertempuran itu berteriak-teriak.

“Paman, hentikan seranganmu. Jangan menyerang Kim-mou-eng...!”

Kakek itu memaki-maki. Dia bahkan mengibas pemuda ini, ketika Yu Bing mendekat. Dan ketika Yu Bing terlempar dan Kim-mou-eng mengerutkan keningnya akhirnya satu pukulan telak terlambat dikelit pendekar ini gara-gara memperhatikan Yu Bing.

“Plak!” Kim-mou-eng mendesis, terpelanting tapi bangun kembali dengan cepat, melihat pamannya mengejar dengan sepuluh cengkeraman jari-jari yang berkerotok, semuanya kehijauan sementara bau amis juga mengiringi pukulan itu. Dan karena pamannya tak dapat dicegah dan serangan itu berbahaya sekali menuju batok kepalanya terpaksa dengan sedikit mendemonstrasikan kepandaiannya Kim-mou-eng mengerahkan Pek-sian-ciang, mempergunakan tenaga enam bagian. Ingin melihat sampai dimana daya tahan pamannya menghadapi ilmu pukulan ampuh ini. Dan ketika dua pukulan beradu dan sinar putih berkelebat dari lengan pendekar ini tiba-tiba Cheng-bin Yu-lo terjengkang roboh dan mencelat terguling-guling.

“Bress...!” kakek itu mengeluh. Untuk pertama kalinya kakek ini kelihatan terkejut, matanya membelalak. Tertegun dan bangun berdiri dengan kaki menggigil, tubuh bergoyang seolah melihat hantu di siang bolong. Tapi begitu sinar putih lenyap dari lengan lawannya dan Kim-mou-eng berdiri tegak tiba-tiba kakek ini berseru, “Pek-sian-ciang...!”

Kim-mou-eng mengangguk. “Ya, kau kenal pukulanku, paman? Itu memang Pek-sian-ciang, terpaksa kugunakan karena kau...”

“Keparat!” kakek itu menubruk, menghentikan omongan lawan dan kembali menyambar dengan sepuluh cengkeraman jarinya itu, rupanya penasaran, juga marah.

Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut dan mengerutkan keningnya segera mengerahkan lagi Pek-sian-ciangnya itu. kali ini tujuh bagian karena dengan enam bagian pamannya itu dapat bertahan, hal yang membuat dia kagum juga. Dan ketika sepuluh cengkeraman itu bertemu Pek-sian-ciang untuk kedua kali maka tiba-tiba kakek ini menjerit dan terlempar roboh, melontakkan darah.

“Augh... dess!“ Cheng-bin Yu-lo terguling-guling.

Kim-mou-eng tercekat melihat pamannya jatuh bangun itu, ternyata dengan tujuh bagian tenaga tak dapat dia menghadapi Pek-sian-ciangnya itu, terlalu ampuh. Dan ketika dia berseru dan melompat menghampiri pamannya tiba-tiba Cheng-bin Yu-lo berteriak melarikan diri.

“Kim-mou-eng, kau bocah jahanam. Kau berani melawan orang tua...!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia mau mengejar, tapi Yu Bing yang berkelebat menahan lengannya tiba-tiba mendesis, “Kimsan, tak perlu dikejar. Paman kumat lagi gilanya...!”

Kim-mou-eng terbelalak. “Kumat? Gila...?”

“Ya, paman terserang syaraf, Kim-mou-eng. Dia tersesat melatih kitab catatan itu hingga keracunan!”

“Ah, bagaimana itu?”

“Mari kita masuk, kita duduk di situ,” Yu Bing menggigil, pucat memandang kepergian pamannya yang tampak melengking-lengking dikejauhan sana. Lengking kecewa disusul tawa setengah tangis, memang mendirikan bulu roma. Tapi Kim-mou-eng yang duduk dan masih tergetar oleh pamannya tadi tiba-tiba menghela napas dengan sikap murung.

“Saudara Yu, rupanya apa yang dikhawatirkan ibu terjadi. Sungguh tak kukira kalau aku bertemu pamanku dalam keadaan begini. Sungguh patut disesalkan.”

“Ya, tapi yang lewat sudah lewat, Kim-mou-eng. Tak perlu disesalkan lagi karena pamanmu itu orang keras kepala.”

“Dan kau juga menyebutnya paman. Apakah...”

“Tidak,” Yu Bing menggeleng. “Aku tak ada ikatan darah dengan pamanmu itu, Kim-mou-eng. Kupanggil dia paman karena itu atas permintaannya sendiri.”

“Jadi...?”

“Aku anak sebatangkara. Cheng-bin Yu-lo menemukanku dan mengambilku sebagai murid. Tapi karena dia ingat kau dan putus asa mendapatkanmu maka dia menganggapku sebagai dirimu dan menyuruhku memanggilnya paman, bukan suhu (guru)!”

“Ooh...!” Kim-mou-eng tertegun. “Jadi pamanku itu juga selalu ingat keponakannya?”

“Ya, dan bertahun-tahun dia menderita, Kim-mou-eng. Karena itu maafkan dia kalau menyerangmu dan menjadi buas seperti itu!”

Kim-mou-eng mendelong. Sekarang dia mulai mengerti, memang tadinya heran bagaimana Yu Bing ini memanggil pamannya juga “paman”, seolah diantara mereka ada hubungan keluarga. Tapi setelah Yu Bing menceritakan itu dan hal itu jelas baginya akhirnya Kim-mou-eng mengangguk-angguk dan kerut di keningnya semakin dalam.

Dan Yu Bing mulai bercerita, tentang pamannya itu dan juga tentang diri sendiri. Betapa limabelas tahun yang lalu Cheng-bin Yu-lo menemukannya sebagai anak terlantar, mengais-ngais sampah tiada ubahnya anak gembel, memungutnya dan memberinya ilmu kepandaian tinggi karena kakek itu teringat keponakannya, Kim-mou-eng yang tak diketahui tempat tinggalnya karena bocah itu telah berubah, sama sekali tak disangka kakek ini bahwa Kimsan, anak adik perempuannya itu telah berubah menjadi seorang pendekar. Begitu tinggi kepandaiannya hingga disegani kawan ditakuti lawan, karena pendekar itu adalah murid Bu-beng Sian-su.

Dan ketika Yu Bing menceritakan betapa pamannya tersesat oleh isi kitab yang dilatih sembarangan hingga Cheng-bin Yu-lo memiliki muka kehijau-hijauan sebagai tanda keracunan maka Yu Bing terisak sampai di sini. “Paman tersesat, Kim-mou-eng. Dia mempelajari isi kitab tanpa pembimbing.”

“Ya, aku tahu. Aku dapat merasakan itu.”

“Dan dia keracunan, setiap saat bisa terancam jiwanya tanpa dapat tertolong lagi!”

“Tapi bukankah dia memiliki Pek-houw-cu?” Kim-mou-eng teringat.

“Pek-houw-cu memang membersihkan racun, Kim-mou-eng. Tapi kalau racun kembali ditimbulkan oleh latihan sinkang yang salah maka keadaannya sama saja dan tidak berubah!”

Kim-mou-eng terkejut. “Maksudmu...”

“Benar,” Yu Bing memotong. “Paman terlanjur salah melatih sinkang, Kim-mou-eng. Dan hal ini tak dapat dirubah lagi. Dan mempergunakan Pek-houw-cu setiap keracunan tapi untuk saat yang berikut dia keracunan lagi kalau melatih sinkangnya!”

“Jadi hidupnya mengandalkan Pek-houw-cu.”

“Benar.”

“Dan sekali Pek-houw-cu hilang tentu...”

Yu Bing mengangguk, menutupi mukanya. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan pucat membayangkan ini tiba-tiba Yu Bing berkata gemetar, membuka matanya, “Kim-mou-eng, kau tahu perihal sumoimu?”

Kim-mou-eng berdesir. “Tentang apa?”

“Dia marah-marah kepadaku.”

“Ah,” Kim-mou-eng terkejut. “Kau bertemu dengannya?”

“Ya, secara kebetulan, Kim-mou-eng. Ketika dia menghabisi Cen Hok si perampok itu dan bertemu Coa-ong Tok-kwi.”

“Kau dapat menceritakannya?”

“Tentu.” dan Yu Bing yang menceritakan peristiwa itu dan asal mulanya bertemu Salima akhirnya bercerita panjang lebar tentang gadis Tar-tar ini, gadis yang membuat dia tergila-gila dan jatuh hati. Gadis yang pernah ditolong ketika menghisap bau racun Ular Kecil Emas (Kim-siauw-liong). Dan ketika percakapan berhenti pada waktu Salima marah-marah gara-gara dia menceritakan Gurba mendapat Bi Nio dan Salima menyerangnya Yu Bing tampak berkaca-kaca.

“Aku menceritakan apa adanya, Kim-mou-eng. Tapi dia tak percaya padaku dan menuduh aku memfitnah. Sungguh aneh!”

“Kau bilang bagaimana?”

“Aku mengatakan bahwa suhengnya mendapat hadiah kaisar.”

“Kau sebutkan namanya?”

“Maksudmu?”

“Kau katakan Gurba-suheng atau diriku?”

Yu Bing tertegun, masih tak mengerti. Dan Kim-mou-eng menjelaskan, “Ingat bahwa sumoiku mempunyai dua suheng, saudara Yu. Aku sebagai suhengnya nomor dua dan Gurba sebagai suhengnya nomor satu. Kau paham?”

“Ah, aku mengerti!” Yu Bing tiba-tiba meloncat. “Aku tak mengatakan nama kecuali hanya suhengnya begitu saja. Sedang suheng yang mana sama sekali tak kusebutkan!”

“Dan dia marah-marah?”

“Itulah yang aneh, Kim-mou-eng. Padahal aku tidak bohong dan Hek-eng Taihiap kebetulan juga datang dan memperkuat omonganku!”

“Tapi siapa yang kau maksud?”

“Tentu saja suhengmu itu, si Singa Daratan Tandus Gurba!”

“Dan sumoiku, hmm...” Kim-mou-eng tiba-tiba tersenyum pahit. “Sumoiku mungkin mengira yang lain, saudara Yu. Jadi mengertilah aku sekarang apa yang menjadi sebab semuanya ini. Pantas...!” dan Kim-mou-eng yang bersinar-sinar memandang temannya tiba-tiba berkata, “Saudara Yu, aku telah mendapat apa yang tidak kusangka. Ceritamu cukup memberi kesimpulan padaku. Baiklah, sumoiku salah paham. Maaf kalau dia menuduhmu yang bukan-bukan karena dia naik darah. Sekarang aku mengerti, agaknya ada sesuatu yang semakin diruwetkan seseorang!”

“Siapa? Dan apa maksudmu?”

Kim-mou-eng tak menjawab. “Kelak kau akan mengetahui sendiri, saudara Yu. Tapi terima kasih atas semua ceritamu ini,” dan bangkit menepuk temannya pendekar ini bertanya, “Kau tak keluar, saudara Yu?”

“Tentu saja. Kau mau pergi?”

“Ya, aku harus menyelesaikan tugasku.”

“Mencari pamanmu?”

“Tidak, aku masih mempunyai sesuatu yang lebih penting daripada itu. Paman sedang marah, percuma kukejar. Sebaiknya kau saja yang mencari dia dan kita berpisah.”

“Tapi kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Kim-mou-eng. Aku penasaran oleh sikapmu itu!”

“Itulah,” Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Ini urusan pribadi, Yu-twako. Kelak kau akan tahu sendiri kalau sudah mengetahui duduk persoalannya. Aku tak dapat menceritakannya sekarang, maaf tak perlu kau penasaran.”

Yu Bing tertegun. “Dan kau mau pergi sekarang?”

“Ya, bukankah aku harus pergi? Aku telah sembuh, Yu-twako. Dan aku harus menyelesaikan tugasku itu sebelum mencari Sai-mo-ong dan teman-temannya itu!”

“Baiklah, kalau begitu kita dapat keluar bersama. Kita berpisah di luar,” dan Yu Bing yang lesu memandang pendekar ini akhirnya mengangguk dan mengajak temannya keluar. Keluar dari istana bawah tanah itu untuk akhirnya tiba di hutan bambu, tempat persembunyian yang membuat Kim-mou-eng kagum. Dan ketika Yu Bing mengangguk dan mempersilahkan dia duluan akhirnya pendekar ini tersenyum berkelebat lenyap. Dan begitu Kim-mou-eng lenyap meninggalkannya segera Yu Bing pun menggerakkan kaki mencari pamannya.

* * * * * * * * *

Apa sekarang yang dikerjakan Kim-mou-eng? Hanya satu, mencari suheng dan sumoinya itu setelah kegagalannya di kota raja. Sesungguhnya dia terkejut mendengar cerita Yu Bing tentang Salima diam-diam tertegun dan dapat menangkap apa yang terjadi. Kenapa sumoinya itu mendekati suhengnya (Gurba) dan memusuhinya. Satu sikap yang semula dianggap aneh dan hampir tak masuk akal. Apalagi setelah suhengnya bermaksud membunuhnya, serangannya benar-benar tak kenal ampun dan sungguh-sungguh.

Begitu pula sumoinya. Demikian marah dan benci padanya, seolah dia musuh besar yang harus dibunuh. Padahal beberapa waktu yang lalu sumoinya itu telah menyerahkan bibir untuk dicium, tanda cinta dan kasih sayang gadis itu untuknya. Sungguh berubah seratus delapan puluh derajat dengan sekarang ini. Bak langit dan bumi!

Tapi Kim-mou-eng yang telah mendengar segalanya dari Yu Bing tiba-tiba dapat “menangkap” apa yang menjadi misteri disini. Dan dia berdebar, terbayang wajah suhengnya yang begitu buas memandangnya, sorot mata yang penuh benci dan cemburu. Sorot seorang laki-laki yang takut kehilangan sesuatu. Dan karena Salima ada di situ dan sesuatu itu tentu bukan lain sumoinya itu maka dapatlah pendekar ini mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Dan dia menarik napas.

Memang, beberapa waktu yang lalu suhengnya itu pernah menyatakan padanya bahwa suhengnya itu mencintai Salima. Dan dia tertawa saat itu, merasa geli dan sama sekali tidak ada cemburu karena waktu itu dia sendiri tidak tahu apakah dia mencintai sumoinya atau tidak. Salima dianggapnya sebagai adik seperguruan dan habis hanya sampai di situ saja. Tak tahu dan terkejut ketika suatu hari dia mendengar sumoinya justeru mencintai dirinya, tidak mencintai suhengnya.

Tapi karena waktu itu dia menganggap semuanya ini main-main dan gurauan diantara mereka maka dia tak menanggapi serius kabar ini. Seolah itu adalah kabar burung baginya. Boleh didengar tapi tak perlu diperhatikan. Tapi ketika semakin lama hubungan mereka bertiga tampak semakin aneh dan satu sama lain seolah kejar-kejaran akhirnya Kim-mou-eng mengerutkan kening dan mulai memperhatikan.

Betapa tidak. Sumoi dan suhengnya itu dianggapnya lucu. Kalau suhengnya mendekati Salima tiba-tiba Salima menyingkir dan mendekati dirinya. Dan kalau dirinya mendekati Salima tiba-tiba suhengnya melotot dan tampak tidak senang. Aneh! Tapi Kim-mou-eng tersenyum geli. Sesungguhnya waktu itu belum ada bibit-bibit cinta di hatinya. Dia menganggap suheng dan sumoinya itu sebagai saudara-saudara sendiri, saudara seperguruan.

Tapi karena hubungan mereka terasa tegang dan ada sesuatu yang “tidak beres” maka mempergunakan alasan itu dia meninggalkan suku bangsanya dengan dalih mencari Yu-lopek, pamannya. Tapi Salima ternyata mencarinya. Dia disusul dan dikejar, disuruh kembali dan tentu saja menolak. Dan ketika dia bersikeras dan Salima juga ngotot akhirnya mereka malah melakukan perjalanan bersama dan menikmati kemesraan bersama pula dalam perjalanan mereka, puncaknya adalah ciuman yang dia berikan pada sumoinya itu. Ciuman tanda cinta!

Dan ketika dia terkejut dan sadar bahwa dia melakukan sesuatu yang bakal tak dapat dilupakan sumoinya tiba-tiba mereka bertengkar dan berpisah. Kim-mou-eng menghela napas. Dia tersenyum pahit, diam-diam menyesali diri sendiri kenapa dia melakukan itu. Kenapa harus mencium. Tapi karena Salima memang gadis yang menarik dan bibir itu tampak demikian indah dan menantang dan menggairahkan hatinya tanpa sadar dia mencium dan melumatnya mesra.

Ah, salahkah dia? Bukankah yang salah adalah bibir itu? Kalau saja bibir itu tak demikian manis dan indah tentu dia tak bakalan mencium. Tapi, benarkah ini? Tak terlalu kekanak-kanakankah pembelaannya ini? Sebab, kalau darah mudanya tak ikut bergolak dan tertarik oleh semua keindahan itu tentu dia juga tak usil menyentuh bibir Salima. Jadi yang salah adalah nafsunya, darah mudanya, berahinya yang bangkit waktu itu. Dan kalau dia mau jujur dan bicara terbuka yang salah adalah dia sendiri!

Tapi, eh... nanti dulu. Bukankah itu sudah kodrat? Bukankah setiap lelaki bakal tertarik dan ingin melakukan seperti apa yang dia lakukan? Seorang lelaki muda tentu akan bergairah kalau ditemani seorang wanita muda pula. Apalagi kalau wanita itu juga mencintainya. Siap menyambut dan memberi kemesraan yang begitu aduhai. Nikmatnya saja teringat sampai tujuh turunan! Dan Kim-mou-eng yang menyeringai oleh debat di dalam hatinya ini akhirnya menampar dan mengetok dahi sendiri.

Manusia tak boleh menang-menangan, begitu pikirnya. Kita tak boleh membela diri sendiri kalau salah. Salima sudah dicium, itu fakta. Dan Salima menganggap dia mencintainya karena cium itu sebagai bukti. Titik. Masalah cium itu bukan cinta atau hanya “sekedar cinta” itu bukan urusan bagi sumoinya. Yang jelas, sumoinya kecewa ketika dia menyatakan dirinya tak tahu apakah dia mencintai sumoinya itu atau tidak. Padahal baru beberapa detik yang lalu dia telah mencium sumoinya. Bukankah itu cinta? Kenapa dia mengelak dan harus bicara berputar-putar tentang cinta?

Dan sumoinya marah-marah. Mereka bertengkar, berpisah dan akhirnya dia melihat sumoinya sudah berkumpul dengan suhengnya. Mendengar suhengnya mengamuk di kota raja dan menyusul dirinya. Atau lebih tepat, begitu pikirnya, menyusul Salima karena sesungguhnya suhengnya tak tahan berlama-lama ditinggal sumoinya. Jadi itulah faktor kenapa suhengnya ada di Tionggoan (pedalaman), tidak di luar tembok besar sebagaimana biasa suhengnya tinggal.

Dan melihat suhengnya memusuhi dirinya dan menyebut dirinya sebagai pengkhianat tiba-tiba Kim-mou-eng penasaran dan mengepal tinju. Suhengnya ini mengada-ada. Apa maksudnya dengan kata-kata pengkhianat itu? Dan kenapa pula sumoinya juga menuduhnya demikian? Dan dia melihat sorot kebuasan di mata suhengnya itu, seolah suhengnya ingin melenyapkannya dari muka bumi. Seakan dia seteru yang harus dibinasakan. Melihat suhengnya khawatir melirik sumoinya, yang waktu itu ikut menyerangnya dan membabi-buta dengan pukulan-pukulan mautnya.

Dan karena ada sesuatu yang tidak beres pula dilihatnya dalam masalah ini akhirnya Kim-mou-eng berkeputusan dia harus menemui suheng dan sumoinya itu, terutama suhengnya. Minta penjelasan dan pertanggungan jawab suhengnya itu atas serangan yang dia lakukan. Kenapa dia dituduh pengkhianat dan harus dibunuh, padahal dia tak merasa bersalah dan ingin mendapat keadilan.

Dan karena urusan ini agaknya menyangkut pula segi tiga diantara cinta mereka maka Kim-mou-eng dapat meraba apa yang sesungguhnya terjadi, apa yang menjadi keinginan suhengnya itu. Urusan pribadi yang sudah dicampuradukkan dengan urusan lain. Dan karena itu harus diselesaikan dan Kim-mou-eng dibuat penasaran akhirnya dia melanjutkan perjalanan dan meneruskan pencariannya itu.

Dan seminggu kemudian dia menemukan suhengnya itu! Waktu itu, secara tidak sengaja sebenarnya dia ingin mandi, tiba di sebuah bukit kecil dimana suara gemericik air membuatnya gerah. Melihat tubuh kotor dan penuh debu. Sudah saatnya dia membersihkan diri. Tapi ketika dia melangkah menghampiri sumber air itu dan siap melepas bajunya tiba-tiba dia mendengar teriakan seseorang.

“Aduh, ampun, taihiap. Ampun...!”

Kim-mou-eng sudah berkelebat ke tempat ini. Teriakan itu terdengar di sebelah kiri, tak begitu jauh. Kini terganti rintihan dan seseorang menggelepar di sana, mengaduh. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan tertegun memandang ke depan maka seseorang bersuara berat mengancam orang ini, laki-laki berpakaian pengawal.

“Kau berani menyusulku ke mari? Kau berani mencari-cariku sampai ke sini? Kubunuh kau, pengawal dungu. Kupatahkan lehermu nanti kalau tidak cepat pergi. Ayo pulang ke tempatmu!”

“Ampun... ampun... aku memang akan pulang, taihiap. Tapi... tapi pesan hujin (nyonya) harus kusampaikan dulu. Dia merindukan taihiap, mohon taihiap menjenguknya dan pulang sebentar...!”

“Kau berani bicara itu-itu lagi? Kuinjak kau nanti!”

“Tidak, ah... ampun...!” laki-laki ini menggeliat, sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan menginjak punggungnya. Dan ketika laki-laki itu mengeluh dan meratap-ratap maka bayangan ini, laki-laki bersuara berat itu, yang bukan lain Gurba adanya sudah membentak,

“Pengawal, beri tahu pada Bi Nio bahwa aku tak ada waktu. Di sini ada sumoiku, berani kau mengganggu dan mengacau keadaan? Kalau kau tak cepat minggat tentu kupatahkan punggungmu ini, keparat!” dan Gurba yang menendang laki-laki itu hingga menjerit dan terlempar roboh akhirnya disambut rintih gemetar pengawal ini.

“Baik-baik... aku akan menyampaikan kata-katamu, taihiap. Tapi ada satu berita yang terpaksa kuberitahukan di sini. Hujin mengandung!”

“Apa?” Gurba terkejut. “Dia hamil?”

“Ya, dan aku disuruhnya memberi tahu, taihiap. Dan kaisar telah tahu pula. Hujin minta agar taihiap menjenguknya sebentar karena kaisar ingin merayakan pesta gembira untuk menyambut berita ini. Dia...”

“Dess!” pengawal itu menghentikan kata-katanya, menjerit dan terbanting ketika Gurba menggereng, berkelebat menendangnya begitu marah. Seluruh mukanya merah padam diiringi mata yang melotot, berapi-api. Dan ketika Gurba membentak dan pengawal itu mengaduh tiba-tiba raksasa ini mencengkeram batok kepala pengawal itu.

“Tikus busuk, itu bukan berita gembira bagiku. Itu kutuk. Jahanam kau...!” dan Gurba yang mencelat mencengkeram pengawal ini tiba-tiba disambut keluhan lirih laki-laki malang itu. Maklum jiwa dalam bahaya dan tak ada kesempatan lagi baginya menghindar. Kalaupun menghindar, mana mungkin dia selamat dari raksasa yang sedang marah ini? Tapi persis Gurba membentak dan siap membunuh pengawal itu tiba-tiba Kim-mou-eng berkelebat membentak suhengnya ini,

“Suheng, tahan... dukk!” dan dua lengan yang bertemu di udara dan menggetarkan masing-masing pihak akhirnya membuat si pengawal mencelat dan terlempar bergulingan oleh adu benturan yang mengguncang jantung ini, terkejut tapi girang melihat Kim-mou-eng. Dan begitu dia berteriak tapi Gurba terhuyung mundur maka pengawal ini sudah berseru,

“Kim-mou-eng, tolong aku. Suhengmu hendak membunuh aku...!”

Kim-mou-eng mengangguk. Dia menyuruh si pengawal menjauh, memberi isyarat agar pengawal itu tenang, bahkan pergi saja dari tempat itu. Dan ketika dua laki-laki ini berhadapan dan kakak serta adik seperguruan saling berkilat memancarkan pandangan akhirnya Kim-mou-eng menegur dulu, “Suheng, kau terlalu. Kenapa kau hendak membunuh pengawal yang tidak berdosa itu?”

“Keparat!” Gurba menggeram. “Kau datang, sute? Kau menyerahkan diri?”

“Tidak, aku justeru mencarimu. Diantara kita ada persoalan,” dan sementara suhengnya melotot menggeram marah pendekar ini mengibaskan lengan. “Suheng, pengawal ini adalah suruhan isterimu. Dia datang sebagai utusan, kenapa kau bersikap kejam dan hendak membunuhnya? Dimana nurani dan kegagahanmu itu?”

“Kau tahu?” suhengnya terbelalak. “Kau mendengar ocehan pengawal ini?”

“Ya, aku mendengarnya, suheng. Dan aku juga tahu perihal selir kaisar itu. Kau telah menerima dan memperisteri Bi Nio yang...”

“Dess!” Kim-mou-eng menghentikan kata-katanya, ditubruk dan mendengar bentakan suhengnya yang dahsyat, pukulan Tiat-lui-kang langsung menyambar dan menghantamnya. Begitu cepat, begitu ganas. Dan ketika Kim-mou-eng terguling-guling dan berteriak kaget maka suhengnya sudah mengejar dan berkelebat menyerangnya bertubi-tubi. “Sute, kau manusia terkutuk. Kau suka mencampuri urusan orang lain...des-dess!”

Dan Kim-mou-eng yang lagi-lagi terlempar dan mencelat bergulingan oleh pukulan suhengnya ini akhirnya melengking dan membentak marah, melompat bangun dan mengelak ketika suhengnya menyerang lagi. Tiat-lui-kang menyambar dan meledak di samping kepalanya, pohon di sebelah hancur dan tumbang menjadi tiga. Roboh berderak dan mengejutkan si pengawal, berteriak dan ngumpet melihat tampang Gurba yang mengerikan. Dan ketika Gurba membentak dan maju kembali akhirnya Kim-mou-eng berkelebatan dan terpaksa melayani suhengnya ini.

“Suheng, kau keji. Kau licik!”

“Tidak, kau yang harus dibinasakan, sute. Kau pengkhianat dan manusia sialan. Kubunuh kau, kucincang tubuhmu... brakk!” dan sebatang pohon yang kembali roboh diterjang raksasa ini akhirnya membuat Kim-mou-eng marah, membalas dan mulai menyerang suhengnya itu. Dan ketika Gurba juga menangkis dan menampar sutenya itu maka keduanya sudah bertempur dan bertanding dengan seru.

Mula-mula kelihatan, kian lama kian cepat hingga sebentar kemudian lenyap, sang pengawal tak dapat melihat lagi mana Kim-mou-eng mana Gurba. Kedua-duanya bergerak sama cepat dan pukul-memukul. Tiat-lui-kang menyambar-nyambar dan kilatan sinar merah mendesing disekitar tempat itu, tak jarang meledak dan nyaris mengenai telinga pengawal ini, terjengkang dan roboh tengkurap oleh sambaran hawa panas yang membuat dia ngeri. Semangat seakan terbang mengikuti pertandingan itu. Dan ketika dua bayangan itu berkelebatan dan Gurba berkali-kali menggeram menyerang sutenya akhirnya dalam satu benturan keras keduanya tampak terpental dari gulungan pertempuran.

“Des-dess!”

Gurba dan Kim-mou-eng sama-sama mengeluh tertahan. Mereka terlempar, keluar dari bayangan itu dan terpelanting ke kiri kanan. Tapi Gurba yang sudah menggereng melompat bangun ternyata menyerang lagi, menubruk sutenya itu dan melancarkan Tiat-lui-kang. Dan ketika Kim-mou-eng juga membentak dan mengayun tubuhnya tiba-tiba pendekar inipun mengerahkan Tiat-Iui-kang menyambut suhengnya.

“Plakk!”

Mereka kembali terjengkang. Gurba ternyata memiliki kekuatan tak jauh dengan sutenya, masing-masing memiliki sinkang (tenaga sakti) hampir berimbang. Tak ada yang kalah tak ada yang menang. Dan ketika Gurba meraung dan membentak sutenya itu maka Kim-mou-eng juga melengking menyambut suhengnya ini, sama-sama penasaran.

“Suheng, kau tak dapat merobohkan aku!”

“Tidak, aku pasti merobohkanmu, sute. Dan sebagai bukti lihatlah ini... klap!” dan Gurba yang tiba-tiba mengeluarkan Pek-sian-ciang menghantam sutenya mendadak membuat Kim-mou-eng terkejut, melihat sinar putih berkelebat ke arahnya. Tentu saja kaget bukan main karena Pek-sian-ciang sesungguhnya tak boleh dikeluarkan begitu saja, hanya untuk maksud membunuh!

Dan karena waktu sudah tidak ada lagi dan mengelak juga tidak keburu maka apa boleh buat Kim-mou-eng pun mengeluarkan Pek-sian-ciangnya. “Suheng, kau kejam!”

Benturan dua pukulan itu menggelegar. Bumi seakan diguncang gempa oleh dua kilatan Pek-sian-ciang yang sama-sama dahsyat, baik dari Kim-mou-eng maupun dari suhengnya. Masing-masing terlempar dan roboh terbanting, sama-sama terluka. Gurba melontakkan darah sementara Kim-mou-eng juga jatuh terduduk, mukanya pucat, mendengar Gurba mengeluh di sana tapi bangkit terhuyung, menghampirinya dengan tawa yang aneh, mendekap dada. Roboh tapi bangkit lagi menghampiri sutenya dengan beringas.

Dan ketika Kim-mou-eng juga bangkit terhuyung dan terbelalak memandang suhengnya ini maka Kim-mou-eng mendesis dengan muka merah padam. “Suheng, kau gila. Kau tidak waras!”

“Ha-ha, aku memang gila, sute. Tapi yang membuat gila adalah kau!” Gurba tertawa serak, mukanya mengerikan dan sikapnya menyeramkan sekali. Tak peduli luka-lukanya dan menghampiri Kim-mou-eng, terhuyung-huyung dan siap melancarkan pukulan lagi. Tapi belum mereka bergebrak dan saling melotot tiba-tiba Salima muncul, berkesiur dengan bau harum tubuhnya sehabis mandi.

“Twa-heng, apa yang terjadi? Siapa musuh... aih!” Salima tertegun, menghentikan kata-katanya dan tertegun memandang Kim-mou-eng, suhengnya nomor dua. Melihat bibir suhengnya mengalirkan darah dan tersenyum padanya. Senyum pahit. Dan Salima yang tertegun melihat ini tiba-tiba terisak dan tanpa sadar menghampiri suhengnya nomor dua itu. “Ji-suheng (suheng nomor dua)...!”

Salima hampir menubruk. Gadis ini rupanya teringat kenangan lama, begitu saja menubruk dan siap memeluk suhengnya itu. Tapi Gurba yang menggereng membentak marah tiba-tiba berseru,

“Sumoi, tahan. Jangan sentuh si pengkhianat itu...!”

Salima terkejut. Uluran tangannya tiba-tiba terhenti, mukanya pucat dan mundur selangkah. Ingat bahwa Kim-mou-eng bukanlah kekasihnya, tapi pengkhianat yang telah kawin dengan Bi Nio, selir kaisar. Dan Salima yang tertegun memandang berkilat tiba-tiba mendengus dan melempar pandangan berapi. “Ji-suheng, kau datang menyerahkan diri?”

“Tidak,” Kim-mou-eng tertawa getir. “Aku datang justeru hendak menemui twa-suheng, sumoi. Minta pertanggungjawabnya tentang...”

“Kentut busuk!” Gurba tiba-tiba menggereng. “Dia datang untuk mengacau keadaan, sumoi. Lebih baik bunuh dan tangkap dia ini... wutt!” Gurba tiba-tiba menampar, terhuyung berkelebat menyerang sutenya itu. Sungguh nekat.

Tapi Kim-mou-eng yang mengelak dan melompat menghindar tiba-tiba berseru, “Suheng, tak perlu segala omong kosong ini. Kaulah yang mengacau keadaan. Kau tak memberi kesempatan padaku untuk membela diri dan menutup keculasanmu!”

“Tak peduli. Kau yang mengganggu kami, sute. Kau memalukan kami dan menjadi pengkhianat...!” Gurba menerjang lagi, tampak bernafsu menutup mulut sutenya ini bicara macam-macam. Jelas kelihatan gelisah dan khawatir oleh kedatangan sumoinya. Apalagi sang pengawal masih bersembunyi tak jauh di sana, ingin dia membunuh dan melenyapkan salah satu, terutama sutenya ini karena sutenya inilah yang amat lihai. Tak boleh banyak bicara dan harus segera dilenyapkan. Tapi ketika sutenya mengelak dan Kim-mou-eng terhuyung ke sana ke mari menangkis serangan suhengnya tiba-tiba Gurba berteriak, “Sumoi, kau bantu aku. Tangkap pengkhianat ini!”

Salima mengangguk. Dia sudah berpikir ke situ, sakit hatinya teringat “pengkhianatan” Kim-mou-eng. Darah tiba-tiba mendidih dan benci sekali memandang pendekar ini. Dan ketika Gurba berteriak dan kakaknya itu membabi buta menyerang lawan tiba-tiba Salima melengking menyerang suhengnya ini, Kim-mou-eng.

“Ji-suheng, kau memang patut dibunuh... tarr!” dan Tiat-lui-kang yang menyambar dan meledak ke arah Kim-mou-eng tiba-tiba tak dapat dielakkan, telak mengenai pendekar ini karena Kim-mou-eng sibuk menghindari serangan Gurba. Tentu saja kalut dan mengeluh oleh serangan sumoinya. Dan ketika dia terpental dan terguling-guling maka Gurba terbahak gembira menyerbu beringas.

“Sute, kau akan terbunuh!”

Kim-mou-eng pucat. Dia tak ada waktu menangkis, melanjutkan gulingan tubuhnya ke kiri, mengelak. Pukulan suhengnya meledak di sisi tubuhnya bagaikan petir, dikejar dan diserang lagi tiga kali berturut-turut, semuanya luput. Tapi ketika dia melompat bangun dan membentak suhengnya tiba-tiba tamparan Salima mengenai telinganya, tamparan Tiat-lui-kang. Mendengar sumoinya melengking dan marah kepadanya. Tentu saja membuat dia terjungkal dan suhengnya tertawa gembira, melompat dan melancarkan satu pukulan dahsyat yang mengenai tengkuknya. Kali itu Gurba berhasil dan Kim-mou-eng mencelat. Dan ketika Kim-mou-eng mengeluh dan mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah maka Gurba berseru pada sumoinya,

“Sumoi, habisi dia. Bunuh si pengkhianat ini...!”

Kim-mou-eng memejamkan mata. Dia sudah tak sanggup lagi melawan, tubuhnya luka-luka. Apalagi sumoinya ikut mengeroyok. Terang tak dapat dia menghindar dan pasrah kepada maut, melihat suhengnya begitu beringas dan matanya berapi-api, penuh nafsu membunuh. Dan ketika Salima juga melengking dan melancarkan pukulannya tiba-tiba, aneh sekali, Kim-mou-eng duduk bersila.

“Suheng, kau rupanya benar-benar menghendaki jiwaku. Baiklah, aku memasrahkan diri kepada Tuhan tapi kebenaran tak mungkin kau kalahkan dengan kejahatan...!”

Gurba tertegun. Kilatan sinar aneh tiba-tiba memancar di wajah sutenya itu, sinar sekilas yang lenyap kembali bersama selesainya seruan itu. Tak mengerti tapi melanjutkan pukulannya, menghantam dada Kim-mou-eng dengan sepenuh tenaganya. Tak ragu lagi sutenya akan tewas saat itu juga. Dan ketika Salima juga membentak dan tertegun sejenak oleh kilatan di wajah suhengnya tiba-tiba dua pukulan itu berbareng menyambar Kim-mou-eng.

Tapi sesuatu yang di luar dugaan tiba-tiba terjadi. Sesosok bayangan seperti asap tiba-tiba muncul mengangkat Kim-mou-eng dan memindahkan pendekar yang sedang bersila itu ke belakang, asap ini sendiri sudah ada di depan dia menerima dua pukulan itu. Seseorang terdengar mengeluarkan seruan lirih. Dan ketika dua pukulan Salima dan suhengnya menghantam asap ini, yang berada di depan Kim-mou-eng tiba-tiba dua orang itu lenyap seperti amblas ke dalam lautan.

“Bress!” Salima dan suhengnya terjerumus. Mereka tahu-tahu roboh di pangkuan “asap” ini, seorang kakek yang tertutup wajahnya dengan semacam halimun (kabut). Entah kapan sudah menggantikan kedudukan Kim-mou-eng dan tahu-tahu berpindah tempat. Kim-mou-eng sendiri sudah di belakang kakek itu sama-sama bersila. Dan ketika mereka terkejut dan berseru tertahan maka “asap” ini, kakek yang tak diketahui kapan datangnya itu sudah menangkap lengan mereka dengan lembut, diiringi pula seruan halus yang menyejukkan hati.

“Thian Yang Maha Agung, apa yang kalian lakukan, anak-anak?”

Gurba dan sumoinya terkejut. Mereka kaget bukan main, membelalakkan mata lebar-lebar, seketika merenggut lengan mereka dan melepaskan diri. Dan ketika mereka mengenal suara itu dan tertegun dengan muka pucat tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut dan langsung berseru,

“Suhu...!”

Kakek ini, yang tertawa renyah mengangguk. Dia mengusap Gurba dan Salima tiga kali, masing-masing merasakan sentuhan luar biasa yang begitu dingin, menembus kemarahan dan semua panasnya hati. Salima tergetar dan beradu pandang dengan sorot yang begitu mencorong, seperti mata naga, kuat dan berpengaruh namun lembut menundukkan semua kekasaran. Terkejut dan cepat menundukkan kepala karena sinar yang mencorong itu keluar dari balik halimun, tak kuat dia bertahan. Seperti api, atau seperti es! Dan ketika Salima menggigil dan Gurba juga menunduk tak tahan menatap dua sinar yang berkilauan itu maka kakek ini menghela napas dengan pertanyaan lembut.

“Anak-anak, apa yang terjadi? Kenapa kalian hendak membunuh Kim-mou-eng?”

Gurba menelan ludah, gemetar. Tiba-tiba kelu dan tak dapat menjawab. Entah kenapa dia gentar oleh perbawa kakek yang luar biasa ini. Baru kali ini ketemu lagi setelah bertahun-tahun tak nampak. Tubuh kakek itu seolah memancarkan getaran agung seorang dewa, bersih dan suci. Begitu besar pengaruhnya hingga rumput-rumput disekitar mereka menunduk hormat. Seolah kedatangan malaikat. Angin pun tak berhembus! Dan ketika Gurba menggigil dan pertanyaan itu diulang maka Salima maju mewakili suhengnya.

“Maaf, ji-suheng berkhianat, suhu. Kami hendak membunuhnya karena ia menyakiti kami!”

“Hm, apa yang terjadi? Berkhianat tentang apa?”

Salima tertegun. “Dia... dia meninggalkan suku bangsa Tar-tar bersahabat dengan bangsa Han!”

“Betulkah?” kakek itu bertanya, tiba-tiba memandang Salima dengan tajam hingga Salima merasa dijenguk isi hatinya. Ngeri karena kebohongannya tiba-tiba nampak, tak dapat menyembunyikan diri dari sorot mata naga itu karena sesungguhnya dia marah bukan oleh sebab itu, melainkan karena suhengnya kawin dengan selir kaisar. Dia cemburu, dia marah! Dan ketika Salima tertegun dan tak dapat menjawab mendadak gadis ini menangis dan terisak-isak!

“Suhu, ampunkan teecu. Teecu tahu dari twa-suheng (Gurba)...!”

“Hm...” kakek ini sekarang memandang Gurba. “Betulkah begitu, Gur-ji. Kau yang memberi tahu Kim-mou-eng berkhianat?”

“Beb... betul!” Gurba tiba-tiba tertodong. “Teecu... teecu mendengar Kim-sute bersahabat dengan orang-orang Han, suhu. Dan satu diantaranya adalah mendekati puteri Wang-taijin!”

“Dan kau menganggapnya berkhianat?”

Gurba dan Salima tak menjawab.

“Ayo jelaskan padaku, Gur-ji. Apa yang kalian maksud dengan berkhianat itu!”

Salima akhirnya menggigil, “Kim-suheng berkhianat karena ia bersahabat dengan musuh, suhu. Bahwa suku bangsa Tar-tar habis tapi dia bersenang-senang dengan selir kaisar. Memperisteri selir kaisar dan tidak bertanggung jawab lagi kepada suku bangsanya!”

“Hm, betulkah?”

Gurba tak menjawab, dan Salima kembali mengangguk, berseru nyaring, dadanya berombak, berapi-api memandang ji-suhengnya itu. “Betul, suhu. Dan suhu boleh tanyakan sendiri pada ji-suheng. Teecu mengetahuinya ini dari Twa-heng, dan... dan...” Salima terisak. “Dia mengkhianati teecu pula, suhu. Kim-mou-eng jahat dan penipu...!”

Salima menangis, tak dapat menahan sakit hatinya dan tersedu di depan kakek dewa itu, mengguguk, kedua pundaknya berguncang-guncang hingga tangisnya terdengar demikian sedih sekali, menyayat perasaan. Dan ketika suhunya menghela napas dan ganti memandang ke belakang tiba-tiba Kim-mou-eng ditanya, lembut dan penuh kasih,

“Kim-mou-eng, benarkah kata-kata sumoimu ini?”

Kim-mou-eng pucat. Dia tentu saja menggeleng, terbelalak mendengar suhengnya bercerita yang bukan-bukan pada sumoinya. Kini dugaannya semakin kuat, bahwa suhengnya memang menjadi dalang dari semua permusuhan ini. Karena cinta segi tiga! Dan Kim-mou-eng yang menggigil memandang suhunya tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, terbatuk menahan kemarahan dan hampir saja melontakkan darah, menekan dada yang sakit.

“Ampun, teecu (murid) tidak melakukan seperti yang dikata sumoi, suhu. Justeru suhenglah yang melakukan semuanya itu!”

“Tidak!” Gurba melengking. “Kau berkhianat, sute. Kau meninggalkan bangsa Tar-tar dan galang-gulung dengan puteri Wang-taijin!”

Kim-mou-eng marah. Dia melotot, tapi sebelum dia menjawab tiba-tiba gurunya menekan pundaknya menyuruh dia diam. Dan saat itu sebuah tenaga hangat memasuki dadanya lewat pundak ini. Seketika melonggarkan napasnya dan rasa sakit di dada hilang. Kim-mou-eng sembuh! Dan ketika pendekar ini tertegun dan sadar bahwa guru mereka ada diantara mereka maka kakek dewa itu, yang bukan lain Bu-beng Sian-su adanya menegur,

“Gur-ji, kenapa kau mengalihkan perhatian dengan menyebut-nyebut nama Wang-taijin? Bukankah yang ditekankan sumoimu adalah selir kaisar? Nah, sekarang jawab dengan jujur. Kalian hendak membicarakan Wang-taijin ataukah kaisar?”

Gurba tertegun. “Wang-taijin, suhu...!”

“Tidak, selir kaisar, suhu!” Salima protes. “Karena dengan selir kaisar itulah ji-suheng menyakiti kami!”

“Kalau begitu mana yang diturut? Wang-taijin ataukah selir kaisar?”

“Selir kaisar!”

“Tidak, Wang-taijin...!”

Salima melotot. Dia melihat suhengnya tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, tidak lagi kepada selir kaisar dimana selama ini dia dibakar melainkan kepada Wang-taijin yang mempunyai puteri cantik itu, Cao Cun. Gadis yang sudah dia kenal tapi betapapun tidak sampai dijadikan isteri ji-suhengnya karena ji-suhengnya telah kawin dengan selir kaisar. Jadi terhadap selir itulah dia sakit hati dan marah. Masalah Cao Cun tak lagi diingat karena Cao Cun sudah di luar persoalan. Tidak seperti Bi Nio, selir kaisar yang telah merebut ji-suhengnya itu! Tapi ketika Salima terbelalak dan marah pada suhengnya maka Bu-beng Sian-su mengangkat lengannya.

“Anak-anak, kalian tampaknya bertentangan sendiri. Baiklah, kalau kalian belum ada kesepakatan biarlah kutunggu kalian menyelesaikan ini dan siapa yang harus dibicarakan. Bertengkarlah!”

Salima tertegun. Gurba juga terkejut, masing-masing merah mukanya dan tampak terpukul, malu. Tapi karena Salima selama ini merasa dibakar hanya dengan masalah selir kaisar itu maka Salima menegur, “Suheng, kau jarang sekali membicarakan tentang Wang-taijin. Kenapa sekarang membicarakan itu dan tidak Bi Nio?”

Gurba mulai gugup. “Karena sute laki-laki mata keranjang, sumoi. Dia juga berhubungan dengan puteri Wang-taijin itu seperti apa yang selama ini kudengar.”

“Tapi dengan Wang-taijin tak ada hubungannya dengan masalah pengkhianatan. Kau selama ini menekankan padaku akan cerita selir kaisar!”

“Itu... itu... ” Gurba bingung. “Itu sama saja, sumoi. Karena Wang-taijin juga pembantu kaisar dan sama-sama musuh bangsa Tar-tar!”

“Kalau begitu sebutkan hubungannya. Apakah Wang-taijin juga ikut berperang dan membunuh bangsa kita ataukah tidak?”

“Ini...” Gurba terbelalak. “Ini memang tak ada hubungannya, sumoi. Tapi betapapun Kim-sute sering berhubungan dengan puteri bupati Wang itu!”

“Tapi Cao Cun dianggap adiknya, aku tahu itu. Dan gadis itu tak sampai menjadi isteri ji-suheng seperti Bi Nio!”

Gurba terkejut. Dan belum dia menjawab Salima pun menyudutkannya dengan satu pernyataan keras, “Dan kau tak seharusnya mengelak omonganmu sendiri, suheng. Bahwa kau sering membicarakan selir kaisar daripada puteri Wang-taijin. Sekarang aku menginginkan ini, kita bicarakan dulu selir kaisar dan setelah itu Wang-taijin. Kalau kau tak mau berarti kau mencurigakan, ada sesuatu yang kau sembunyikan. Apakah kau takut?”

Pertanyaan ini sebenarnya dilepas karena dorongan rasa jengkel saja. Salima tak tahu bahwa suhengnya memang menyembunyikan sesuatu, rahasia pribadi. Fitnahnya terhadap Kim-mou-eng itu. Tapi karena Salima telah mengajukannya dan dia akan dicurigai kalau bersikeras menolak membicarakan Bi Nio dan selalu menghindar membicarakan selir kaisar ini akhirnya Gurba terpojok dan tak dapat bicara, apalagi guru mereka ada di situ.

Membuat raksasa ini gentar karena pengaruh Bu-beng Sian-su demikian besar. Segala dosa tampaknya akan tersingkirkan oleh wibawa kakek dewa itu. Angin pun semakin lemah. Pohon-pohon pun hening mematung. Seakan siap menjadi saksi dari apa yang akan terjadi. Penelanjangan kebohongan! Dan ketika Gurba tertegun dan diam tak menjawab akhirnya Salima bertanya,

“Bagaimana, kau bersikeras menolak membicarakan selir kaisar, suheng?”

Gurba diam, tiga kali berturut- turut ditanya tapi tetap tidak menjawab, mukanya merah padam, membuat Salima merasa aneh. Dan karena keempat kalinya suhengnya juga tidak menjawab namun juga tidak menolak untuk membicarakan Bi Nio akhirnya Salima menghadap gurunya berkata tegas, “Suhu, twa-heng tidak menolak untuk membicarakan Bi Nio. Sekarang kita bicarakan saja perihal selir kaisar itu!”

“Baiklah,” kakek dewa itu memandang Gurba. “Beginikah, Gur-ji?”

“Terserah kalian, suhu,” Gurba menjawab lemah, pucat. “Teecu hanya menurut kalau memang itu yang hendak dibicarakan.”

“Ah, kenapa terserah? Pembicaraan ini memang hendak mengupas permasalahannya, Gur-ji. Jangan terserah kalau kau memang tidak suka!”

“Tapi itu yang dibicarakan sehari-hari dengan teecu, suhu,” Salima memotong, mengerutkan kening. “Kenapa harus tidak suka?”

“Baiklah,” Gurba tersudut, tak ada jalan lain lagi, mukanya gemetar. “Aku menurut kau, sumoi. Tapi ketahuilah bahwa semuanya ini kulakukan karena kau!”

Salima tak mengerti. Tapi Bu-beng Sian-su yang tersenyum lembut sudah mengangkat lengannya, memandang mereka bertiga. “Anak-anak, sekarang kita sepakat bahwa kita hendak membicarakan selir kaisar itu. Nah, mari kita mulai, sekarang saja. Pertama, benarkah Kim-mou-eng berkhianat dengan meninggalkan suku bangsanya dan mengawini Bi Nio? Benarkah perbuatan itu dilakukan Kim-mou-eng?”

“Twa-suheng yang mengatakannya, suhu. Ji-suheng boleh ditanya kalau dia berani menyangkal!” Salima langsung bersuara, nyaring berapi-api, mendahului yang lain dan tampak marah memandang Kim-mou-eng.

Tapi suhunya yang tersenyum tertawa lembut menganggukkan kepalanya, memandang Kim-mou-eng. “Benarkah begitu, Kim-mou-eng?”

“Tidak,” Kim-mou-eng tentu saja menggeleng. “Apa yang dikata sumoi tidak benar, suhu. Karena sesungguhnya...”

“Karena sesungguhnya kau pengecut!” Salima melengking, memotong suhengnya itu. “Kau penipu, suheng. Kau pembohong dan pendusta yang takut pada perbuatanmu sendiri!” dan belum Kim-mou-eng menjawab atau apa Salima sudah menangis dan menuding-nuding penuh kebencian. “Suheng, sungguh tak kusangka kalau kegagahan yang selama ini kulihat padamu ternyata hanya kegagahan lahiriah belaka. Kau berjuluk pendekar, orang memuji-mujimu sebagai pendekar pula. Kenapa sekarang bersikap pengecut dan menyangkal perbuatan sendiri? Mana itu kegagahanmu yang melekat pada julukanmu? Mana itu kekesatriaanmu yang biasanya kau tonjolkan? Dan kau menipu aku pula, suheng. Kau... kau...”

Dan Salima yang mengguguk tak meneruskan kata-katanya tiba-tiba tersedu dan memandang penuh kebencian suhengnya itu. Begitu sakit dan nyerinya hati, tak sampai meneruskan kata-katanya yang hendak mengingatkan suhengnya bahwa suhengnya itu telah menciumnya. Cium tanda cinta tapi ditolak oleh suhengnya ini, dengan dalih masih belum dimengerti, diragukan. Dan ketika Salima mengguguk dan Kim-mou-eng pucat maka Bu-beng Sian-su yang menghela napas tiba-tiba menepuk gadis ini.

“Salima, tenanglah. Pembicaraan belum berlanjut. Kalau kau berondong dengan kata-kata sendiri begini mana bisa keterangan pihak lain kau dengar? Aku juga telah mendengar apa yang terjadi, dan sesungguhnya aku juga menyesal.” kakek ini melirik Gurba, seketika membuat Gurba tertegun dan berdetak karena dosa mulai menghantui dirinya. Maklum bahwa gurunya ini adalah seorang sakti, waspada sebelum melihat. Dan Salima yang menghentikan tangisnya dan dielus rambutnya akhirnya menutupi muka penuh kecewa.

“Maaf, teecu juga menyesal, suhu. Tapi teecu tak dapat melenyapkan sakit hati ini!”

“Tenanglah, kita dengar berikutnya,” dan Bu-beng Sian-su yang memandang Kim-mou-eng kini bertanya, “Kim-mou-eng, segala tuduhan telah kau dengar. Sekarang jawab saja apa yang terjadi agar semua pihak mendengar. Tetapkah kau menyangkal tuduhan sumoimu bahwa kau berkhianat dan mengawini Bi Nio?”

“Tentu saja,” Kim-mou-eng menyangkal. “Teecu memang tidak melakukan semuanya itu, suhu. Karena semuanya ini adalah gara-gara Gurba-suheng!”

“Dapat kau memberi penjelasan?”

“Sebaiknya Gurba-suheng saja yang memberi penjelasan. Dia lebih tahu,” dan memandang suhengnya penuh sesal Kim-mou-eng menuntut, “Suheng, sekarang kita bertiga sama-sama ada di sini. Suhu menyaksikan. Sebaiknya kau akui segala perbuatanmu yang tidak terpuji itu. Beranikah kau mengakui dosamu?”

Gurba menggigil, pucat mukanya, terbelalak dan kemudian merah padam, tidak menjawab dan tentu saja membuat Salima heran. Suhengnya tiba-tiba beringas. Tampak seperti orang ketakutan tapi juga marah. Bingung atau apa yang membuat Salima tak mengerti. Dan ketika suhengnya mengeluarkan suara tak jelas dan kerongkongannya seperti orang ngorok tiba-tiba Kim-mou-eng menoleh keluar.

“Suheng, perlukah pengawal itu kupanggil?”

“Tidak!” Gurba tiba-tiba bangkit, membentak mengejutkan semua orang. “Aku tak perlu pengawal itu, sute. Karena aku memang bersalah!” dan menggigil memandang Salima tiba-tiba raksasa ini menangis. “Sumoi, maafkan aku. Aku... aku tak dapat lagi tinggal di sini. Tapi ketahuilah bahwa aku cinta padamu!” dan bercucuran memandang suhunya tiba-tiba raksasa ini menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, ampunkan teecu. Teecu memang bersalah. Mohon segala dosa diampuni...!”

Dan begitu mencium kaki suhunya berkelebat lenyap tiba-tiba Gurba melarikan diri tanpa banyak bicara lagi. Tidak menoleh ke kiri atau kanan lagi, mukanya penuh malu dan dendam. Air mata bercucuran bagai hujan deras, tentu saja mengejutkan Salima yang bengong tidak mengerti, berteriak dan hendak mengejar suhengnya yang dianggap aneh.

Tapi ketika seorang pengawal muncul dan Kim-mou-eng berkelebat menyambar pengawal ini akhirnya Salima tertegun melihat peristiwa yang dianggapnya ganjil itu. “Sumoi, suheng telah pergi. Tapi pengawal ini dapat menjadi penggantinya dan semua pertanyaanmu dapat dijawab!”

“Siapa dia?” Salima tertegun. “Utusan Bi Nio!”

“Ada apa ke mari? Mau apa?”

“Kau tanyakan sendiri, sumoi. Dan mari kita dengar apa yang telah dilakukan suheng,” dan ketika Kim-mou-eng menyuruh pengawal itu menghadapi Salima tiba-tiba pengawal ini menggigil menjatuhkan diri berlutut.

“Ampun... ampun, lihiap. Aku datang memang sebagai utusan hujin (nyonya)...”

“Hujin siapa?”

“Bi Nio, bekas selir kaisar itu... ”

“Ada apa kau datang ke mari?”

“Mencari twa-suhengmu tadi, lihiap. Memberitahukan bahwa Bi Nio isteri twa-suhengmu itu telah hamil dan Gurba-taihiap diminta datang ke istana!”

“Apa? Isteri twa-suheng?”

“Ya, Bi Nio isteri twa-suhengmu, lihiap. Sri baginda kaisar telah menghadiahkannya pada twa-suhengmu itu, Gurba-taihiap!”

Dan ketika Salima tertegun dan terbelalak lebar tiba-tiba Salima mendesis. “Pengawal, jangan kau main-main. Bi Nio adalah isteri suhengku yang ini, bukan yang tadi. Kau maksudkan Kim-mou-eng, bukan?”

“Tidak, bukan Kim-mou-eng, lihiap. Tapi suhengmu yang tadi, yang melarikan diri, Gurba-taihiap itu!”

“Ah...!” dan Salima yang terhuyung dengan muka pucat tiba-tiba membentak, “Pengawal, kau bohong. Kaupun rupanya penipu. Hayo kita buktikan bersama!” dan Salima yang menyambar pengawal ini pamit pada suhunya tiba-tiba sudah berkelebat dan terbang seperti burung, langsung ke utara ke kota raja, ke istana.

Dan Kim-mou- eng yang tertegun ditinggal sumoinya tiba-tiba mengejar. “Sumoi...!”

Namun sebuah lengan halus menahannya. Kim-mou-eng terkejut ketika gurunya sudah di sampingnya, mencegah dia mengejar Salima. Sorot yang lembut itu memancar penuh kasih. Dan ketika Kim-mou-eng tertegun dan sang guru menarik napas tiba-tiba Bu-beng Sian-su bertanya padanya, “Kim-mou-eng, hikmah apa yang kau dapat dari semuanya ini?”

Kim-mou-eng tak menjawab, tak mengerti.

“Kau tak dapat menangkap sesuatu yang berharga?”

Dan ketika Kim-mou-eng menggeleng dan benar tak mengerti akhirnya gurunya membawanya duduk. “Kim-mou-eng, melihat tanpa mengamati adalah suatu kebodohan. Tapi mengamati tanpa berpikir adalah suatu ketidakmungkinan. Kau tak dapat menangkap sesuatu dari semua peristiwa ini?”

“Tidak,” Kim-mou-eng menggigil, tak tahu bahwa suhunya mulai mengajak ke alam yang tinggi, alam filsafat. “Teecu tidak melihat apa-apa yang kau maksud, suhu. Kalau ada sesuatu yang perlu diberitahukan mohon suhu memberi petunjuk!”

“Tentu, aku memang akan memberi petunjuk padamu, Kim-mou-eng. Tapi yang akan kuberikan adalah rangkanya saja. Kau harus dapat mengetahui isinya dan mencari sendiri.”

“Apa maksud suhu?”

“Pelajaran dari semua kejadian ini, salah satu inti sarinya,” dan ketika Kim-mou-eng menjublak dan memandang suhunya maka kakek itu mendesah. “Kim-mou-eng, apa pendapatmu tentang suhengmu itu?”

“Dia khilaf, terbawa nafsunya sendiri.”

“Hanya itu saja?”

Kim-mou-eng terbelalak. “Apakah suhu melihat sesuatu yang lain?”

“Ya, aku melihat sesuatu yang lain, Kim-mou-eng. Bukan sekedar khilaf atau terbawa nafsunya saja. Kau tak melihat itu?”

“Tidak.”

“Baiklah, aku akan menuntunmu,” dan Bu-beng Sian-su yang menghela napas memandang muridnya tiba-tiba bangkit berdiri. “Kim-mou-eng, sesuatu yang dilihat seharusnya diamati. Dan kalau sesuatu yang diamati itu sudah bekerja sama dengan pikiran maka jawaban dari itu akan didapat. Kau tampaknya tak melihat hal ini, atau lebih tepat, kau tak mengamati hal ini. Baiklah, sekali lagi kutanya padamu. Apa pendapatmu tentang suhengmu itu?”

“Dia khilaf, suhu. Hanyut dan terbawa oleh nafsunya.”

“Hanya itu saja?”

“Ya, itu saja.”

“Kalau begitu kenapa dia khilaf? Kenapa dia terbawa nafsunya?”

Kim-mou-eng tertegun, teringat masalah cinta, karena betapapun dia tak menganggap suhengnya jahat karena suhengnya terbawa oleh masalah ini. Jadi khilaf karena ingin merebut Salima dengan tipu dayanya, berbohong dan memfitnah karena semata suhengnya itu mencintai Salima, jadi tak ada alasan lain. Tapi ragu menjawab suhunya Kim-mou-eng malah mendelong dan tidak menjawab.

“Ayo, berikan jawabanmu, Kim-mou-eng. Katakan saja dan sebut alasannya!”

Kim-mou-eng akhirnya menahan napas, mukanya sedikit merah. “Maaf, teecu mengatakan suheng terbawa nafsunya oleh karena suheng tak dapat mengendalikan diri dalam satu masalah, suhu. Bahwa suheng...”

“Ya, teruskan. Kenapa diam?”

“Bahwa suheng mencintai sumoi. Tak ingin kehilangan sumoi dan karena itu memfitnah teecu!”

“Hanya itu?”

Kim-mou-eng bingung. “Apakah suhu melihat sesuatu yang lain?”

“Ah, aku tanya dirimu, Kim-mou-eng. Jangan balik bertanya sebelum menjawab! Kau hanya mengajukan pernyataan itu saja?” Bu-beng Sian-su menegur.

“Ya, teecu kira hanya itu, suhu. Setidak-tidaknya saat ini. Kalau ada yang lain harap suhu menerangkannya kepada teecu!”

“Bagus, aku memang akan menerangkannya kepadamu, tapi tidak sekarang, tidak secara lengkap. Karena ingin lengkap haruslah kau peroleh sendiri!” dan Bu-beng Sian-su yang tersenyum memandang muridnya tiba-tiba menuding. “Kim-mou-eng, apa itu?”

“Batu.”

“Bagaimana kalau kupukulkan ke kepalamu?”

Kim-mou,eng melengak. “Apa maksud suhu?”

“Ayo, tak perlu bertanya, Kim-mou-eng. Jawab saja pertanyaanku bagaimana kalau batu itu kupukulkan ke kepalamu. Bagaimana rasanya?”

“Tentu saja sakit.” Kim-mou-eng terbelalak. “Bukankah suhu tahu?”

“Ya, aku tahu, Kim-mou-eng. Dan jangan bertanya lagi bila kutanya yang lain. Ayo, sekarang ini. Apa itu?”

“Duri.”

“Bagaimana kalau kau makan?”

“Ah,” Kim-mou-eng membelalakkan mata. “Apakah suhu bertanya sungguh-sungguh? Apakah suhu tidak...”

“Nanti dulu, jangan memutus!” sang guru menukas. “Aku bertanya sungguh-sungguh, Kim-mou-eng. Jangan kau kira aku gila! Aku tidak main-main, aku bertanya padamu. Bagaimana kalau kau makan duri itu?”

“Tentu saja tak enak, suhu. Salah-salah bisa mati!”

“Bagus, dua pertanyaan ini kucukupkan dulu. Sekarang kembali pada suhengmu, bagaimana pendapatmu tentang suhengmu itu?”

Kim-mou-eng terkejut. “Teecu tetap pada pendapat tadi, suhu. Bahwa suheng khilaf dan hanyut terbawa nafsunya!”

“Tidak ada lagi?”

“Tidak.”

“Kalau begitu sayang, pengamatanmu kurang jauh!” dan Bu-beng Sian-su yang menghela napas menghampiri batu karang tiba-tiba menggurat. “Muridku, kemarilah. Lihat apa yang kutulis, hapalkan ini dan renungkan.” dan ketika Kim-mou-eng mendekat dan Bu-beng Sian-su menggurat-guratkan jari tangannya maka tampaklah empat baris kalimat berderet rapi. Dan Kim-mou-eng membaca:

Lalu lalang di depan mata
sering berubah berganti rupa
siapa dapat “menangkap” harganya
dialah manusia berguna ganda.


Hanya itu. Dan Bu-beng Sian-su menoleh padanya. “Kau mengerti?”

“Tidak.”

“Kalau begitu cari jawabannya. Pergilah dan temui setiap kejadian yang kau alami. Kalau belum ketemu juga kelak kita ke sini lagi mengupas jawabannya!” dan berkelebat lenyap tertawa lembut tiba-tiba kakek dewa itu menghilang di belakang Kim-mou-eng, membuat pendekar ini terkejut.

“Suhu...!”

Namun Bu-beng Sian-su telah lenyap. Kim-mou-eng mengejar dan coba mencari, tapi ketika dia melihat satu titik kecil dikejauhan sana tiba-tiba pendekar ini tertegun dan menjublak di tempat. Dan saat itu lamat-lamat suara gurunya berbisik, “Muridku, apa yang kau jumpai seharusnya kau amati. Camkan itu, agar kau tidak dirugikan orang dan merugikan orang lain!” dan ketika Kim-mou-eng bengong dan sang guru lenyap dikejauhan sana akhirnya pendekar ini menarik napas berdebar tak mengerti.

Kim-mou-eng memang belum tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia dewa yang luar biasa. Yang, disamping ilmunya yang tinggi, yang sukar diukur tingginya juga seorang kakek yang aneh dengan petuah-petuahnya yang unik. Sering memberi syair membuka inti sari kehidupan, menolong sesama manusia lain dengan memberi kesadaran tentang hidup. Tentang kejadian-kejadian hidup atau yang ada hubungannya dengan hidup.

Tak jarang membuat orang lain terperangah dan kagum akan isi syair-syairnya, yang kadang biasa dan kadang njlimet, tidak sederhana tapi dapat membuktikan kebenarannya itu. Antara lain tentang ketergantungan, keterpaksaan dan lain-lain lagi yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia.

Dan karena Kim-mou-eng memang baru pertama kali itu mendapat syair yang aneh dari gurunya dan tidak mengerti akan keistimewaan gurunya ini maka Pendekar Rambut Emas itu tak tahu bahwa sesuatu yang berharga sedang “tersembunyi” di balik empat kalimat sederhana itu. Bahwa ada sesuatu yang penting yang perlu diketahui. Berguna bagi diri pribadi dan mungkin juga orang lain. Tapi karena pendekar ini memang belum tahu dan orang tidak tahu memang tak dapat disalahkan biarlah kita ikuti saja bagaimana jawaban syair Bu-beng Sian-su itu, kelak di akhir cerita!

Kim-mou-eng sudah tidak termenung lagi. Sebait syair dengan empat kalimatnya itu telah dia masukkan ke dalam ingatannya. Tak mungkin lupa. Tapi ingat kepada suheng dan sumoinya tiba-tiba pendekar ini menarik napas. Sekarang persoalan dirinya sudah selesai. Artinya, tuduhan dan fitnahan suhengnya itu telah berhasil dibuka. Memang benar, suhengnya melakukan itu semata karena tak ingin kehilangan Salima.

Tapi bukankah cara suhengnya tak benar? Kalau Salima tak suka seharusnya tak boleh suhengnya itu melakukan sesuatu yang kotor. Dan fitnah termasuk perbuatan curang. Aneh, bagaimana suhengnya tiba-tiba bisa melakukan itu? Sungguh tak dia sangka. Dan Kim-mou-eng yang melihat batu yang ditunjukkan suhunya tadi tiba-tiba tertegun.

“Bagaimana kalau batu itu kupukulkan ke kepalamu?”

Pertanyaan ini mengiang kembali. Kim-mou-eng tak mengerti kenapa suhunya harus bertanya itu. Satu pertanyaan yang dianggapnya tak serius. Ada kesan kekanak-kanakan, bahkan remeh, tak penting. Tapi karena dia sadar suhunya adalah seorang kakek dewa yang penuh pengalaman dan tak mungkin melancarkan pertanyaan main-main kepadanya akhirnya Kim-mou-eng malah bengong di tempat.

Tapi pendekar ini mendesah kembali. Sekarang sumoinya tidak memusuhinya lagi. Kecurangan suhengnya terbuka. Tapi benarkah permusuhan itu berakhir? Untuk sumoinya mungkin begitu. Tapi suhengnya, mungkinkah begitu? Melihat sorot matanya yang beringas dan penuh dendam, dia tahu bahwa suhengnya membenci padanya. Burung yang elok terlepas dari tangan. Suhengnya tentu sakit hati. Tapi bukankah itu suhengnya sendiri yang melakukan? Dan dia diterkam dari belakang. Suhengnya pergi dan sumoinya juga merat. Kemana dia sekarang? Lebih baik ke kota raja!

Kim-mou-eng mengerutkan alis. Sebenarnya, dia enggan ke kota raja. Tempat itu berkali-kali memberinya celaka. Tapi melihat sumoinya ke sana dan khawatir Salima membunuh Bi Nio tiba-tiba perasaan tak enak menyelinap di hati pendekar ini. Ada sesuatu yang membuat dia berdebar, sorot mata suhengnya itu. Kebenciannya, sakit hatinya. Dan penasaran oleh semuanya ini mendadak Kim-mou-eng menggerakkan kaki ke kota raja dan lenyap meninggalkan tempat itu.

“Sumoi, kau tak boleh membunuh orang!” Kim-mou-eng cemas, membayangkan sumoinya mungkin marah-marah di sana dan menemui sesuatu. Dan karena dia menyayangi sumoinya itu dan semua yang telah lewat tak membuat pendekar ini sakit hati maka sebentar kemudian Kim-mou-eng terbang menuju ke kota raja. Dan sesuatu memang terjadi di sana, nyaris membunuh Salima. Apakah itu? Mari kita lihat!

* * * * * * * *

Gurba meluncur seperti iblis. Raksasa tinggi besar ini berkerot-kerot, tinju terkepal sebesar buah kelapa. Nafsu membunuhnya tampak di bola mata, berapi dan ganas. Buas sekali. Dan ketika dia ke kota raja meninggalkan suhu dan sumoinya di bukit batu karang itu Gurba telah tiba di istana. Apa yang dia pikirkan? Bukan lain menemui Bi Nio. Raksasa ini menganggap Bi Nio pembawa celaka, pembawa sial.

Sungguh geram dan marah dia kenapa Bi Nio harus menyuruh pengawal mencari dirinya. Berakhir dengan terbukanya kedoknya hingga dia mendapat malu. Tak diingat bahwa dia memang salah, sudah seharusnya menerima kesalahannya itu karena setiap yang salah memang akan menanggung dosa. Dan Gurba yang hari itu juga meluncur ke kota raja mencari Bi Nio sudah memasuki istana melompati tembok yang tinggi.

Tak ada kesukaran bagi raksasa ini. Gurba memiliki kepandaian tinggi, siapa yang dapat menghalanginya? Kalaupun ada pengawal yang memergoki dirinya tak mungkin dia dicegah. Salah-salah si pengawal akan dipukulnya mampus. Dan Gurba yang langsung ke kaputren mencari Bi Nio akhirnya mendapatkan kamar bekas selir kaisar itu, mendobrak pintunya dan langsung masuk, mengejutkan Bi Nio yang tiduran di kamarnya dan tentu saja berseru tertahan.

Tapi melihat siapa yang datang dan Gurba tegak di tengah kamar tiba-tiba Bi Nio berteriak girang dan melompat turun dari pembaringannya. “Hanggoda...!”

Tapi Gurba membentaknya. Raksasa ini langsung menendang Bi Nio, membuat Bi Nio mencelat dan menjerit kesakitan. Tentu saja kaget dan baru sekarang melihat mata Gurba yang berapi-api. Berkilat dan penuh nafsu membunuh. Dan ketika Bi Nio terbelalak dan menangis perlahan tahu-tahu Gurba menyambar tengkuknya, diangkat seperti orang mengangkat seekor kelinci liar.

“Bi Nio, kau mengutus pengawal?”

Bi Nio menggigil, ketakutan.

“Heh, kau yang mengutus pengawal menyuruh cari diriku?”

“Beb... betul...!” Bi Nio akhirnya mengangguk, ngeri hatinya. “Ada apakah, suamiku? Apakah pengawal itu salah padamu?”

“Keparat, bukan saja salah, Bi Nio. Tapi dosa yang tak dapat kuampuni. Kau wanita tak tahu diri. Kau laknat terkutuk yang harus kubunuh!” dan Gurba yang melempar Bi Nio ke dinding tiba-tiba membuat Bi Nio memekik dan hampir kelengar.

“Bress!” Bi Nio tersedu-sedu. Wanita ini tiba-tiba menangis, pucat mukanya. Dan ketika Gurba menghampiri dan menamparnya pulang balik akhirnya Bi Nio menjerit dan meratap-ratap. “Aduh, ampun suamiku... ampun...!”

“Tak ada ampun. Kau akan kubunuh, Bi Nio. Kau akan kuhajar dan kusiksa sampai mati... plak-dess!” dan Bi Nio yang mendapat tamparan dan tendangan Gurba tiba-tiba mencelat dan bergulingan menjerit-jerit, dihajar dan dipukul bertubi-tubi hingga mulut wanita ini pecah. Gurba naik darah dan tidak memberi ampun.

Dan ketika wanita itu mengeluh dan roboh dengan kulit matang biru akhirnya pengawal kaputren muncul mendengar ribut-ribut ini. Tapi mereka tertegun, melihat raksasa Tar-tar itu mendelik pada mereka. Tak menyangka kalau Gurba yang datang, berurusan dengan isterinya sendiri. Dan karena kaisar memberi kebebasan penuh pada raksasa ini untuk menemui isterinya akhirnya para pengawal mundur dan tak berani menolong.

Apalagi ketika Gurba mengibas lengannya, tiga orang terlempar menumbuk yang lain. Roboh terjengkang dan terguling-guling, mengaduh dan seketika membuat keadaan gaduh. Masing-masing melarikan diri tak ada yang berani menghadapi raksasa itu. Dan ketika Gurba membalik dan menghadapi Bi Nio maka wanita malang ini menggigil dengan pakaian robek-robek.

“Hanggoda, suamiku... apa yang menyebabkan dirimu begini? Kenapa kau menghukum dan menyiksa aku? Dosa apakah yang telah kulakukan?”

“Jahanam, dosamu banyak, Bi Nio. Kau tak perlu bertanya karena kau sudah tahu!”

“Tidak, tidak... aku tak tahu, hanggoda. Tolong beri tahu agar aku tak mati penasaran...!”

“Hm, aku memang akan membunuhmu. Kau tak perlu mati penasaran. Kau mengutus pengawal untuk mencari diriku, bukan?”

“Benar.”

“Dan ketahuilah, perbuatanmu itu merusak hubunganku dengan sumoiku. Kau merenggut orang yang kucintai dari sisiku. Kau membuat aku malu dan kehilangan muka. Kubunuh kau, keparat...!” dan Gurba yang menampar Bi Nio pulang balik dan menendangnya kembali tiba-tiba membuat Bi Nio terpelanting dan roboh di sana, menjerit dan tersungkur dengan kulit dahi pecah, mengucurkan darah. Dan ketika Bi Nio tersedu-sedu dan ngeri oleh sepak terjang raksasa ini akhirnya Gurba mengangkat tubuhnya dengan bola mata berapi-api.

“Wanita hina, kematian apa yang kau inginkan dariku? Kau minta batok kepalamu pecah atau kuhancurkan tulang-tulangmu?”

Bi Nio menggigil. “Ampun...” wanita ini hampir pingsan, serasa terbang semangatnya. “Ampunkan aku, hanggoda. Aku menyuruh pengawal karena aku telah mengandung...!”

“Bohong! Kita hanya sekali, mana mungkin itu?”

“Sumpah, aku berani sumpah, hanggoda. Aku mengandung sejak pertemuan kita pertama kali itu!”

“Siluman!” dan Bi Nio yang kembali dibanting dan sobek telinganya akhirnya mengguguk dan meratap di bawah kaki raksasa ini.

“Hanggoda, sumpah demi langit dan bumi aku menyatakan kebenaranku. Aku hamil, benihmu telah tertanam dan tidak ada orang lain yang menggauliku. Aku...”

“Des-dess!” Gurba menendang, menghentikan kata-kata Bi Nio hingga wanita itu terpekik, terlempar tiga tombak dan menjerit mendekap perutnya. Gurba membentak marah. Dan ketika Gurba menyambar dan mencengkeram wanita ini akhirnya Bi Nio merasa di ujung maut.

“Bi Nio, aku tak mau percaya segala omonganmu. Kau penipu, kau pendusta. Dulu pun ketika pertama kali kita bertemu kaupun menjebak aku. Kau wanita siluman, kau tak dapat dipercaya. Sekarang kubunuh kau!”

Dan Gurba yang menggeram menghantam wanita ini tiba-tiba melepas pukulan maut yang tak dapat dielak. Sekali menimpa kepala Bi Nio tentu wanita itu tewas, hancur batok kepalanya. Tapi persis Gurba menurunkan tangannya tiba-tiba sebatang pedang menyambar raksasa ini....