Pendekar Rambut Emas Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 18
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“SUHENG, tahan... plak!”

Dan pedang yang runtuh menyelamatkan Bi Nio tiba-tiba disusul bayangan Salima yang berkelebat masuk, berdiri di depan suhengnya dengan mata berapi-api, mengejutkan raksasa itu. Bi Nio sendiri roboh pingsan karena tekanan yang dia alami. Dan ketika Gurba melepas isterinya dan mundur terbelalak memandang sumoinya maka Salima sudah melepas pengawal yang dia bawa memasuki ruangan itu.

“Suheng, apa yang kau lakukan? Kau mau membunuh isterimu sendiri?”

Gurba menggigil, pucat dan merah berganti-ganti. “Kau mendengar semua percakapanku?”

“Ya, aku mendengarnya, suheng. Dan sungguh tak kusangka kalau hatimu demikian keji! Kau laki-laki pengecut. Kau laki-laki busuk yang hina dan pembohong!”

Gurba terbelalak. “Sumoi, apa yang kulakukan adalah semata demi dirimu. Bi Nio bukan isteriku, ia wanita lain yang bukan apa-apa bagiku!”

“Tapi kau telah menggaulinya, suheng. Dan aku telah mendengar dari pengawal ini apa yang sesungguhnya terjadi. Kau laki-laki pengecut!”

“Bagus, apa saja yang dia katakan?” Gurba tampak beringas.

“Dia mengatakan apa yang sebenarnya harus dikatakan, suheng. Dan sungguh tak kusangka bahwa kau telah memutarbalikkan fakta. Kau memfitnah Kim-suheng!”

“Ha-ha!” Gurba tambah beringas. “Aku melakukan itu semata karena aku mencintaimu, sumoi. Dan sebagai bukti kau lihat bagaimana besarnya cintaku. Aku tak ingin kehilangan dirimu, dan apapun siap kulakukan asal kau bersamaku. Kau dapat memaafkannya, bukan?”

“Tidak, aku justeru malu pada Kim-suheng, twa-heng. Perbuatanmu memalukan dan sungguh pengecut!”

Dan ketika Gurba terbelalak dan marah memandangnya Salima sudah menolong Bi Nio. “Suheng, betapapun kau bukan laki-laki gagah. Aku malu melihat dirimu. Sebaiknya kau minta maaf dulu pada isterimu ini!” dan Salima yang menyadarkan Bi Nio dan melotot memandang suhengnya akhirnya menyadarkan wanita itu, mengangkat bangun Bi Nio.

“Bi Nio, tak perlu kau takut. Aku ada di sini.”

Bi Nio menggigil. “Kau... kau Tiat-ciang Sian-li Salima?”

“Benar.”

“Kau yang menyelamatkan aku? Aku belum mati?”

“Kau masih hidup, Bi Nio. Dan ini suhengku yang hendak kupaksa meminta maaf padamu!” dan menghadapi suhengnya tak peduli pada sorot mata suhengnya yang beringas Salima berkata, “Suheng, kau harus minta maaf pada isterimu. Setelah itu kita pergi minta maaf pada Kim-suheng!”

Gurba tiba-tiba tertawa bergelak. “Sumoi, kau gila. Tak mungkin aku minta maaf pada wanita ini karena dia biang celaka bagiku. Tidak, aku harus membunuh wanita itu atau... hm, kau menerima cintaku, sumoi. Kau ikut aku dan kita menikah!”

Salima mendelik. “Kau masih tak malu mengucapkan cintamu yang kotor itu, suheng? Kau hendak main paksa?”

“Aku tak main paksa, sumoi. Tapi kalau kau menghendaki aku minta maaf pada wanita itu maka kau harus menerima cintaku. Dengan begini aku tak menderita, bahkan apapun yang kau minta untuk wanita ini aku sudi menurutimu!”

“Maksudmu?”

“Kau maafkan aku, sumoi. Setelah itu aku akan minta maaf pada wanita ini. Jangankan minta maaf, kau suruh aku mencium kakinya aku mau, sumoi. Asal kau menerima cintaku dan kita berdua seperti semula!”

“Tidak!” Salima marah. “Kau membuat aku malu, suheng. Dan aku tak akan menerima cintamu yang penuh muslihat itu. Kau curang, kau licik. Kau...”

“Ha-ha, kalau begitu aku akan menangkapmu, sumoi. Aku akan memaksamu dan merobohkanmu!” dan Gurba yang memutus omongan sumoinya berkelebat maju tiba-tiba menyambar dan mencengkeram sumoinya ini, tentu saja dikelit dan ditangkis Salima. Dan ketika Gurba menggeram dan maju kembali tiba-tiba raksasa itu sudah menyerang.

“Sumoi, kau harus tunduk padaku... wutt!”

Salima mengelak, membentak dan melengking tinggi ketika suhengnya menubruk, bertubi-tubi melancarkan serangan hingga Salima marah, memaki suhengnya ini dan sebentar kemudian membalas dan terjadi pertempuran seru di kamar itu. Masing-masing saling pukul mengadu pukulan, meja kursi jungkir balik hingga Bi Nio mengeluh, terhuyung keluar. Dan ketika Salima melengking dan Gurba menggeram akhirnya kamar porak-poranda dan hancur berantakan tak karuan.

“Sumoi, kau tak dapat mengalahkan aku!”

“Tidak, kau yang tak dapat merobohkan aku, suheng. Atau kau tinggal memegang mayatku nanti...plak-dess!” dan Salima yang sengit melawan suhengnya akhirnya dibentak dan menggulingkan benda-benda sekitar, menangkis dan berputaran menghadapi suhengnya. Kemarahan membuat gadis ini bersemangat tinggi.

Tapi ketika suhengnya mulai melancarkan pukulan-pukulan berat dan Salima terdesak tiba-tiba gadis ini mengeluh dan mundur-mundur. Dan akhirnya kamar itu tak dapat dipergunakan lagi sebagai ajang pertempuran. Salima tak leluasa, tekanan-tekanan suhengnya membutuhkan tempat lega untuk mengelak, berlompatan ke sana-sini. Dan ketika pukulan suhengnya semakin berat dan Salima gusar akhirnya gadis ini melompat keluar melalui jendela.

“Ha-ha, kau hendak melarikan diri, sumoi?”

“Tidak, aku pantang mundur, suheng. Dan kau boleh lihat perlawananku kalau disangka melarikan diri...des-dess!” dan Salima yang kembali menangkis dan dikejar suhengnya akhirnya bertempur di luar dan mengerahkan Tiat-lui-kang, betapapun tak mau kalah dan coba menghadapi tekanan suhengnya. Sejenak mampu membalas karena mereka bertempur di luar, di tempat lapang. Tapi ketika Gurba menambah kekuatannya dan Tiat-lui-kang berkali-kali tertolak raksasa ini akhirnya Salima memaki dan mulai gelisah. “Suheng, kau tak tahu malu. Kau pengecut!”

“Ha-ha, terserah makianmu, sumoi. Pokoknya kau roboh dan menerima cintaku!”

“Tidak, aku akan bertempur sampai mati...!” dan Salima yang bertahan dan menggigit bibir akhirnya kewalahan dan marah-marah, terdesak dan terus terdesak karena Tiat-lui-kangnya itu tak ditakuti suhengnya, berani diterima dan terpental bertemu tubuh suhengnya. Menghadapi kekebalan suhengnya yang luar biasa karena sinkang raksasa ini memang hebat, senjata tajampun tak bakal melukainya. Dan karena Gurba memang setingkat lebih tinggi dibanding sumoinya akhirnya raksasa ini tertawa bergelak mengejek sumoinya itu.

“Ha-ha, bagaimana, sumoi? Kau minta roboh kelelahan?”

Salima pucat. Dia memang bukan tandingan suhengnya ini, mulai gemetar dan keringat membasahi tubuh, tenaga mulai lemah karena pukulannya membalik. Selalu tertolak dan membuat lengannya sakit-sakit. Betapapun dia kalah kelas. Dan ketika suhengnya mendesak dan dia menggigit bibir tiba-tiba pukulan suhengnya menyambar tengkuk.

“Plak!” Salima menangkis, terbanting tapi melompat bangun dengan kaki terhuyung, masih melawan dan keras kepala. Dan ketika suhengnya kembali memukul dan dia harus menangkis akhirnya Salima jatuh bangun dan berada dalam keadaan berbahaya, suhengnya tertawa-tawa sementara Tiat-lui-kangnya tak berguna. Betapapun dia kalah lihai. Kedudukannya terancam roboh dan sewaktu-waktu terguling. Dan ketika Salima mengeluh dan tenaga kian habis tiba-tiba pukulan suhengnya tak dapat dia kelit lagi dan persis mengenai pundak.

“Dess...!” Salima terbanting, disusul suhengnya yang cepat menotok sumoinya itu. Tentu saja Salima roboh dan melotot tidak berkutik. Gurba tertawa dan menyambar sumoinya ini. Tapi ketika raksasa itu hendak memanggul dan mendengus di leher sumoinya mendadak lima bayangan berkelebat mengepung.

“Gurba, bagus sekali. Selamat datang...!” Sai-mo-ong dan teman-temannya tiba-tiba berada di situ. Raksasa ini terbelalak, terkejut dan menggereng. Tapi ketika dia melotot dan hendak menyerang tiba-tiba seorang laki-laki muda muncul di depannya, menyeruak diantara lima kawanan iblis itu dan menjura di depan Gurba. Dan ketika Gurba terbelalak dan laki-laki itu tertawa maka Gurba mendengar kata-kata halus yang enak di telinga.

“Hanggoda, selamat datang. Kami sudah lama mengharap-harap kedatanganmu di kaputren ini. Perkenalkan, aku Siauw-ong-ya, Pangeran Muda...!”

Gurba terkejut. Dan belum dia menjawab tiba-tiba pangeran ini telah memegang lengannya, sikapnya begitu bersahabat. “Hanggoda, kami adalah teman-teman sendiri. Jamuan kehormatan telah kusiapkan untukmu. Kau berani menerimanya, bukan?”

Gurba tersinggung. “Siapa kau? Kenapa tidak berani?”

“Ha-ha, aku Siauw-ong-ya, hanggoda. Aku putera dari selir dari ayahanda sri baginda kaisar. Aku telah lama menanti kedatanganmu, mari ke gedungku dan kita bercakap-cakap di sana.”

Gurba mundur. Dia melepaskan tangannya dari pegangan pangeran itu, beradu pandang dengan mata yang cerdik tapi berani. Diam-diam kagum dan heran memandang pangeran ini, tak takut sedikitpun juga memegang lengannya. Padahal dia bisa memukul mampus pangeran itu! Tapi Gurba yang tertegun melihat senyum sang pangeran tiba-tiba melihat pangeran itu memandang sumoinya.

“Aih, ini sumoimu, bukan?” dan ketika dia mengangguk dan Pangeran Muda tertawa mendadak pangeran ini berkata, “Hanggoda, mari terima undanganku. Aku telah mendengar kisahmu, sebaiknya sumoimu ini dilepaskan dan kita bersahabat!”

“Tidak!” Gurba menggeleng. “Aku tak kenal kau, pangeran. Dan aku tak sudi bersahabat dengan iblis-iblis macam mereka itu!” Gurba menuding Sai-mo-ong dan kawan-kawannya, membuat lima iblis itu tertawa dan tidak marah. Aneh sekali. Dan ketika sang pangeran tersenyum dan mengangguk tiba-tiba pangeran ini memberi tanda.

“Baiklah, kalau begitu kau bersahabat dengan aku, hanggoda. Mereka kusuruh pergi biar puas hatimu!” dan Pangeran Muda yang benar-benar menyuruh pergi Sai-mo-ong dan teman-temannya itu tiba-tiba dipandang terbelalak oleh raksasa tinggi besar ini. Heran oleh pengaruh sang pangeran yang demikian besar. Lima pentolan kawakan mau diusir. Begitu penurut. Dan Gurba yang tertegun memandang pangeran ini akhirnya berhadapan satu lawan satu.

“Bagaimana, kau berani menerima undanganku, hanggoda?”

Gurba ragu.

“Aku tak menggigit,” sang pangeran tertawa. “Kau boleh bunuh aku kalau menipu, hanggoda. Dan aku percaya tak mungkin kau menolak kecuali takut!”

Gurba merah mukanya. Dia menggeram memandang pangeran ini, berkali-kali ditantang dan dipojokkan dengan kata-kata “takut”. Tentu saja tak takut dan mendelik pada pangeran itu. Dan ketika dia mengangguk dan Siauw-ongya tertawa maka dia telah digandeng menuju ke sebuah gedung.

“Bagus, terima kasih, hanggoda. Aku memang percaya bahwa kau pasti menerima persahabatanku ini!” dan sang pangeran yang keluar kaputren menuju gedungnya sendiri akhirnya mempersilahkan Gurba duduk. Dan raksasa itu menanyai maksud sang pangeran, dijawab dengan senyum saja oleh pangeran itu. Dan ketika makanan dan minuman mulai dikeluarkan tiba-tiba Gurba mendorong mundur kursinya.

“Pangeran, tak biasa aku bercakap-cakap dengan cara begini berbelit. Kalau ada kepentingan bicaralah, kalau tidak biar aku pergi!”

“Ah, ah, minuman belum disentuh, hanggoda. Masa begitu tergesa? Mari nikmati dulu, kita bicara sambil ngobrol!” dan Pangeran Muda yang buru-buru mengisi cawan si raksasa itu akhirnya bertepuk tangan mengusir pelayan. “Kalian menjauh, pergilah!”

Gurba memandang tajam. Sampai saat itu dia tak menaruh kepercayaan, betapapun matanya yang awas melihat berkelebatnya bayangan lima iblis tadi, Sai-mo-ong dan teman-temannya. Tentu melindungi pangeran ini di balik layar. Tapi ketika dia diajak mengangkat cawan meneguk araknya raksasa ini menolak.

“Pangeran, kau belum berterus terang. Sebaiknya katakan dulu isi hatimu dan kita bicara sekarang!”

“Ah, kau tak percaya, hanggoda? Baiklah, aku memenuhi permintaanmu. Tapi maaf, kita minum dulu arak kita!” dan sang pangeran yang mengangkat cawannya menenggak isinya akhirnya minum sendiri karena Gurba tak mau mengikuti tetap membiarkan arak bagiannya di atas meja. Membuat Pangeran Muda terbelalak dan merah mukanya. Tapi maklum raksasa ini seorang keras hati dan tak mudah dibujuk akhirnya pangeran ini tertawa mengusap mulutnya. “Hanggoda, maafkan. Terus terang saja maksud persahabatanku ini tiada lain hendak meminta bantuanmu untuk sesuatu hal. Aku mengalami tekanan, seseorang mengancam kedudukanku!”

Dan, ketika Gurba mengerutkan keningnya pangeran ini melanjutkan dengan muka muram, “Aku dibenci seorang saudaraku, hanggoda. Dan aku ingin membebaskan diri dari kebencian ini. Aku berduka, persoalannya merembet ke atas dan mungkin sampai di tangan ayahku sri baginda kaisar!”

“Apa yang terjadi? Siapa yang membencimu?”

“Adikku pangeran mahkota.”

Gurba terbelalak. Sebenarnya, dalam masalah begini dia tak tahu menahu, awam. Tapi maklum di dalam istana memang banyak terdapat saingan tiba-tiba raksasa ini tertawa mengejek memandang tuan rumah. “Pangeran, masalah begini sebenarnya tak perlu kau minta bantuanku. Itu urusan pribadi, bukankah orang luar tak perlu mencampuri?”

“Benar kalau bersifat pribadi, hanggoda. Tapi kalau persoalannya menyangkut negara tentu saja aku tak dapat tinggal diam!”

“Hm, apa itu? Bagaimana bisa menyangkut negara?”

"Aku tak berani mengatakannya kalau kau belum berjanji membantuku, hanggoda. Tapi begitu kau berjanji tentu aku akan menjelaskannya!”

Gurba terbelalak. “Apa imbalanmu?” raksasa ini sebenarnya iseng, setengah tertarik setengah tidak. Masih acuh dan coba-coba mengukur kata-kata pangeran itu.

Tapi Pangeran Muda yang bergegas bangkit berdiri tiba-tiba membungkuk di depannya. “Aku janjikan kedudukan yang tinggi, hanggoda. Wakil kaisar atau penasihat raja!”

Gurba terkejut. “Kau main-main?”

“Tidak, aku serius, hanggoda. Dan kau boleh bunuh aku kalau menipu!”

Gurba tersentak. Pangeran ini bersungguh-sungguh, sikapnya tidak main-main dan Gurba membelalakkan mata, tentu saja melengak dan tidak menyangka pangeran itu demikian serius. Tapi mendengus melihat berkelebatnya bayangan Sai-mo-ong dan teman-temannya tiba-tiba Gurba tertawa mengejek. “Pangeran, aku tak mau dikibuli. Kau rupanya serius, tapi bukankah ada lima pembantumu yang lihai-lihai itu?”

“Sai-mo-ong dan teman-temannya?”

“Ya.”

“Ah, mereka tak dapat diandalkan, hanggoda. Kepandaian mereka kalah tinggi dengan kepandaianmu. Aku tak ingin gagal!”

“Tapi aku juga tak ingin bergabung dengan mereka. Sai-mo-ong dan teman-temannya itu musuhku!”

“Kalau begitu kau mau membantuku bila tak bersahabat dengan mereka?”

Gurba terdiam.

“Bagaimana, begitukah, hanggoda?”

Gurba mendengus, bangkit berdiri. “Tidak, aku tak mau membantu apa-apa padamu, pangeran. Maaf kalau aku harus pergi!”

Pangeran Muda terkejut. Dia melihat raksasa itu mau pergi, sudah memutar tubuh dan tidak mempedulikannya. Tentu saja membuat pangeran ini kecewa dan marah. Bujukannya gagal. Tapi tersenyum melangkah lebar tiba-tiba pangeran ini menghadapi Gurba. “Hanggoda, kau rupanya kelupaan sesuatu. Bukankah kau memberi janji pada ayahanda kaisar?”

“Janji apa?”

“Hm, bukankah kau mau menangkap biang keladi permusuhan, hanggoda. Maksudku, bukankah kau berurusan dengan Siauw-bin-kwi yang membuat suku bangsamu hancur?”

Gurba tiba-tiba mendelik. “Benar, dan aku melihat iblis itu diantara pembantu-pembantumu!”

“Tak salah, dan aku dapat membantumu menangkap iblis itu bila kau membantuku, hanggoda. Karena tak mungkin Siauw-bin-kwi dibiarkan teman-temannya bila kau hendak menyerangnya, kecuali jika aku yang mengaturnya!”

Gurba tertegun. “Apa maksudmu, pangeran?”

“Jelas, hanggoda. Aku dapat menolongmu kalau kau mau menolongku pula. Iblis itu berada di tengah-tengah temannya. Tak mungkin berpisah kalau bukan aku yang memerintahnya. Dan kalau kau bersikeras hendak membunuh kakek itu maka kau harus berhadapan dengan Sai-mo-ong dan teman-temannya yang berjumlah lima orang, tak mungkin kau menang!”

Gurba terkejut. Omongan yang disampaikan pangeran ini memang benar, dia tak dapat menghadapi lima lawan sekaligus, meskipun dia tak takut. Hal yang sudah dibuktikan dulu dan memang terlalu berat kalau harus melayani Sai-mo-ong dan teman-temannya berlima itu. Jadi harus sendiri dan menarik perhatian si Setan Ketawa itu agar berpisah dari teman-temannya, satu hal yang agaknya sulit kalau tidak dibantu pangeran ini, karena Siauw-bin-kwi dan teman-temannya rupanya menjadi pembantu pangeran ini. Dan Gurba yang tertegun mengerutkan keningnya akhirnya terbelalak tidak menjawab. Bimbang.

“Bagaimana, kau mau aku menolongmu, hanggoda?”

Gurba bingung. Kalau saja dia tak bermusuhan dengan sute dan sumoinya ini tentu dapat dia menghadapi Sauw-bin-kwi dan teman-temannya itu. Mereka bertiga mungkin dapat mengatasi. Tapi karena dia telah memusuhi sutenya dan dia tinggal sendiri akhirnya Gurba berada di persimpangan jalan, menerima atau menolak. Dan belum dia menjawab tiba-tiba pangeran itu tersenyum memandang sumoinya, yang masih dibawa.

“Hanggoda, sebaiknya kau pikir dulu usulku tadi malam ini. Bagaimana kalau kau beristirahat sejenak? Sumoimu lelah, biar kau bawa dia ke kamarmu dan bersenang-senanglah!”

Gurba berdebar. Dia memang ingin berdua dengan sumoinya ini, memaksa sumoinya agar menerima cintanya. Tak mau melepaskan Salima. Malam itu nafsu iblisnya muncul dan siap menundukkan sumoinya dengan jalan kekerasan. Pikiran jernihnya lenyap terganti pikiran setan, bersinar dan bangkit keinginannya menggauli sang sumoi. Maka begitu sang pangeran menawarkan beristirahat dan menyuruh dia pikir-pikir akhirnya Gurba mengangguk dan setuju.

Dan Pangeran Muda tertawa, memanggil seorang pelayan agar mengantar raksasa ini ke kamarnya, kamar yang telah disediakan. Kamar yang indah dan bagus. Dan ketika Gurba pergi dan raksasa itu membawa sumoinya ke kamar belakang tiba-tiba pangeran itu menyisipkan sesuatu ke tangan raksasa ini.

“Hanggoda, ini adalah obat penunduk cinta. Kau campurkanlah ke dalam minuman kalau sumoimu membangkang.”

Gurba sudah menerima. Dia merasa kebetulan, mengucap terima kasih dan tersenyum memandang pangeran itu, senyum menyeringai. Dan Ketika dia mengikuti pelayan dan tiba di kamar yang dimaksud akhirnya raksasa ini melempar sumoinya ke pembaringan, menutup pintu kamar, membebaskan totokan sumoinya yang membuat sumoinya tak dapat bicara.

“Nah, kau telah tunduk di bawah kekuasaanku, sumoi. Masihkah kau menolak dan tidak menerima cintaku?”

Salima mendelik, berapi-api. “Suheng, sungguh tak kusangka sedemikian rendah watakmu. Sekarang kutahu, di samping hina dan curang kau juga seorang laki-laki pengecut, bagai langit dan bumi dengan Kim-suheng!”

“Hm, tak perlu menyebut-nyebut nama itu, sumoi. Sekarang aku menuntut jawabanmu saja, maukah kau menerima cintaku atau tidak?”

“Tidak!” Salima melengking. “Aku tak sudi menerimanya. Tak sudi menerimanya biar seribu kalipun kau minta!”

“Kalau begitu aku akan memaksamu, sumoi. Aku akan menundukkanmu dengan jalan kekerasan!” dan, ketika sumoinya terbelalak dan pucat memandang raksasa ini tiba-tiba Gurba sudah menubruk dan mencengkeram sumoinya itu, memeluk dan berusaha mencium sumoinya. Sikapnya buas dan penuh nafsu, disambut jerit dan kemarahan sumoinya. Dan ketika Gurba gagal karena Salima meronta-ronta tiba-tiba raksasa itu menotok sumoinya.

Salima mengeluh dan tidak berdaya lagi, ngeri memandang sang suheng yang tampak demikian mengerikan. Matanya merah, napas mendengus-dengus dan siap menerkamnya lagi. Tapi ketika raksasa itu hendak mengulang perbuatannya dan merasa aman di tempat sendiri, mendadak tanpa disangka-sangka pintu ditendang roboh dan seseorang muncul di situ.

“Gurba, jangan rebut kekasihku...!” dan seorang pemuda yang muncul menerjang Gurba tiba-tiba membentak dan menyerang raksasa itu, tentu saja mengejutkan Gurba dan membuat raksasa ini marah, membalik dan menangkis. Dan ketika pemuda itu terjengkang dan bangun melompat berdiri maka tampaklah siapa dia.

“Bu-kongcu...!”

Ternyata benar. Pemuda ini adalah Bu Ham, murid Sai-mo-ong itu, yang kita ketahui amat tergila-gila pada Salima dan kini berteriak keras, menubruk dan menyerang Gurba kembali dengan kipasnya, sudah mencabut senjatanya itu dan kontan membuat berahi Gurba padam, terganggu dan gusar oleh kedatangan pemuda ini. Tapi karena Bu Ham bukan tandingan Gurba dan Gurba marah oleh gangguan ini maka sekali kibas tiba-tiba kipas di tangan pemuda itu hancur dan Bu Ham terguling-guling, kaget tapi nekat mencabut senjatanya yang lain, ular di tangan kiri.

Dan ketika Gurba membentak dan berkelebat menyambarnya tiba-tiba pemuda ini mengelak menyambarkan ularnya itu, berteriak pada Salima agar tenang. Dia akan menyelamatkannya. Tapi karena dia bukan tandingan raksasa ini dan Gurba menggeram-geram akhirnya Bu Ham jatuh bangun dan pucat mukanya mendapat kibasan lawan. Berkali-kali tertolak dan terlempar tak karuan. Ular di tangannya tak ditakuti raksasa itu, bahkan akhirnya dicengkeram hancur dan Bu Ham berteriak. Nyaris tertangkap.

Dan ketika ganti dia diserang dan Bu Ham mundur-mundur akhirnya pemuda ini tersandung dan roboh terjengkang, satu pukulan Gurba tak dapat dielak lagi. Tapi ketika Bu Ham terancam dan dia mengeluh mendadak Leng Hwat muncul mengelebatkan pedangnya, menolong pemuda ini.

“Gurba, jangan bunuh kekasihku...!”

Gurba terkejut. Sebenarnya dia juga tak akan membunuh lawan, kecuali membuat lawan pingsan dan roboh, memberi hajaran berat. Setidak-tidaknya mematahkan tulang pemuda itu. Tapi ketika Leng Hwat muncul dan murid Tok-gan Sin-ni itu menyerang matanya dengan pedang tentu saja dia menarik pukulan menangkis serangan ini.

“Plak!” Leng Hwat roboh terguling-guling. Dia berhasil menyelamatkan Bu-kongcu, Bu Ham sendiri sudah melompat bangun dan terbelalak memandang temannya itu, bersyukur. Ngeri melihat telapak Gurba yang nyaris mengenai dirinya. Dan ketika Leng Hwat juga melompat bangun dan mengeluarkan kipas hitam untuk Bu Ham tiba-tiba murid Tok-gan Sin-ni itu berteriak,

“Bu Ham, kita keluar saja. Tak perlu melawan raksasa ini...!”

“Tidak,” Bu Ham menggeleng, menangkap senjata baru itu. “Aku hendak menolong Salima, Leng Hwat. Justeru kau bantu aku agar dapat membebaskan dirinya.”

“Tapi dia tak ada urusan denganku. Sebaiknya pergi saja dan jangan mencari penyakit!”

“Tidak, justeru kau yang harus bantu aku untuk menyelamatkan gadis ini. Dia pujaanku!” dan Bu Ham yang sudah menyerang Gurba kembali dengan kipas pemberian Leng Hwat akhirnya membuat murid Tok-gan Sin-ni itu marah-marah dan jengkel pada Bu Ham, tak senang Bu Ham demikian tergila-gila pada Salima. Tapi karena Bu Ham telah menyerang lawan dan Gurba bukan tandingan pemuda itu akhirnya Leng Hwat membentak dan membantu temannya.

“Baiklah, kau memang mata keranjang, Bu Ham. Kutendang kau nanti kalau kita berhasil... sing-sing!” dan pedang Leng Hwat yang menyambar-nyambar raksasa ini dengan penuh keganasan akhirnya berkelebatan bersama kipas yang menotok dan mengetuk. Semuanya ke arah Gurba yang jadi melotot oleh gangguan dua orang ini, tentu saja menangkis dan menggeram marah.

Dan karena raksasa itu memiliki kekebalan luar biasa dan sinkangnya mampu menahan totokan maupun bacokan senjata tajam akhirnya semua serangan kipas dan pedang mental bertemu tubuh raksasa ini. Membuat Bu Ham dan Leng Hwat pucat, ngeri dan gentar. Dan ketika Gurba mulai membalas dan raksasa itu mengeluarkan Tiat-lui-kangnya tiba-tiba Leng Hwat dan Bu Ham menjerit.

“Aduh...!”

“Augh...!”

Gurba menjengek. Dia mempermainkan dua orang itu, mendesak dan sebentar kemudian menekan mereka. Tak lama kemudian kipas Bu Ham kembali hancur. Bu Ham mempergunakan gagangnya saja untuk menangkis dan mengelak. Dan Leng Hwat yang juga terdesak memutar pedangnya akhirnya melecutkan rambut mainkan Sin-mauw-kang (Tenaga Rambut Sakti). Tapi, mana mereka dapat menahan raksasa ini? Biarpun guru mereka sendiri tak mungkin mengalahkan Gurba.

Maka, ketika pertempuran berjalan limabelas jurus dan pedang serta rambut juga tak mampu melukai raksasa itu akhirnya Leng Hwat roboh ketika pedangnya patah, rambut juga putus disambar raksasa itu, dibetot. Dan ketika Leng Hwat menjerit dan terjengkang mengeluh tertahan maka Bu Ham juga mengalami hal yang sama ketika gagang kipasnya hancur, dicengkeram sekaligus ditarik raksasa itu. Tapi ketika Gurba menendang dan dua orang itu menjerit keluar kamar mendadak dua bayangan berkelebat menangkap dua orang ini.

“Gurba, jangan menghina muridku...!”

Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni muncul. Mereka telah menangkap murid mereka itu. Bu Ham diterima gurunya sementara Leng Hwat oleh subonya. Masing-masing melotot dan marah memandang Gurba. Dan ketika mereka melompat masuk dan marah menghadapi raksasa ini maka Gurba naik pitam terganggu untuk yang terakhir kalinya. Dan saat itu kebetulan Pangeran Muda muncul, mendengar suara ribut-ribut dan cepat datang ke situ. Dan melihat Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni berhadapan dengan raksasa ini sementara Gurba mendelik di dalam kamar tiba-tiba pangeran ini menyeruak dengan muka berubah.

“Pangeran, beginikah caramu menyampaikan persahabatan?” Gurba langsung saja membentak, mendahului pangeran itu.

Dan Siauw-ong-ya yang terkejut dan cepat mengangkat lengannya tiba-tiba memandang sekeliling kamar. “Maaf, apa yang terjadi, hanggoda?”

“Kau tanya saja mereka itu. Merekalah yang mengganggu!”

“Hm, apa yang terjadi, Mo-ong?”

“Dia hendak membunuh muridku, pangeran. Dan tentu saja kami datang mencegah!”

“Begitukah?”

“Tidak,” Gurba menggereng. “Mereka datang justeru hendak membela murid mereka, pangeran. Sebaiknya kau tanya saja dua bocah itu!”

Pangeran Muda menghadapi Leng Hwat. “Kouwnio (nona), apa yang terjadi?”

“Aku sekedar membantu Bu Ham, pangeran. Dia diserang dan dipermainkan raksasa ini.”

“Hm, kalau begitu apa yang terjadi, Bu-kongcu?”

Bu Ham bersinar-sinar memandang Salima. “Aku... aku hendak menolong kekasihku, pangeran. Raksasa ini hendak mengganggu Salima!”

Pangeran Muda terkejut. “Tapi dia sumoinya. Dan aku yang memberikan tempat ini bagi mereka.”

“Tapi aku tak tahan, pangeran. Dia kekasihku, raksasa Tar-tar ini hendak memperkosa pujaanku!” dan belum Pangeran Muda menjawab tiba-tiba Bu-kongcu menyerang Gurba. “Suhu, bantu aku. Bunuh raksasa ini!”

Pangeran Muda terkejut. Semua orang juga terkejut, melihat Bu Ham menerjang dan berani karena guru dan teman gurunya ada di situ, Tok-gan Sin-ni. Tapi Gurba yang menggereng menyambut serangan tiba-tiba menangkap lengan Bu Ham.

“Plak!” Bu Ham terkejut. Gurba telah memilinnya, mencengkeram tangannya dan langsung ditelikung, diangkat dan tiba-tiba membentak melempar pemuda itu. Dan ketika Bu Ham menjerit dan mengaduh kesakitan tiba-tiba tangannya patah dan pemuda itu dilempar keluar kamar tak bangkit lagi, pingsan.

“Brukk!”

Sai-mo-ong dan lain-lain kaget. Gerakan itu berlangsung cepat, Gurba tak mau main-main lagi dan langsung membuat pemuda itu roboh, terlempar pingsan. Dan Sai-mo-ong yang tentu saja marah dan meraung tinggi tiba-tiba menerjang Gurba mencabut kipas bulu singanya. “Tar-tar liar, kau tak tahu aturan!”

Gurba mendengus. Sekarang dia tak sungkan-sungkan lagi, menyambut serangan lawan dan tidak mengelak kebutan kipas. Dan ketika dua lengan mereka beradu keras tiba-tiba Sai-mo-ong mengeluh dan terpental mundur. Dan saat itu Tok-gan Sin-ni melengking, siap menyerang Gurba membantu temannya. Tapi Pangeran Muda yang maju membentak marah tiba-tiba menghadang.

“Sin-ni, Mo-ong, tahan. Tak boleh kalian menyerang tamuku!” dan ketika dua iblis itu terbelalak pangeran ini mengulapkan lengan. “Mo-ong harap kalian keluar membawa murid kalian. Gurba adalah tamuku, kita tak boleh bermusuhan!” dan buru-buru memegang lengan raksasa ini Pangeran Muda berkata, “Maaf, ini di luar dugaanku, hanggoda. Tapi percayalah, tak ada lagi yang akan mengganggumu di sini. Bu-kongcu memang salah!”

Dan menjura menyabarkan raksasa itu Pangeran Muda mengedipi dua pembantunya, menyuruh Mo-ong dan Sin-ni keluar. Disambut mata melotot dan sikap tidak puas dua orang iblis ini. Tapi karena Pangeran Muda adalah orang berpengaruh dan mereka adalah pembantu-pembantu pangeran ini akhirnya Mo-ong menyambar muridnya mendengus tak puas. Dan Sin-ni juga lenyap menyusul, menarik muridnya pergi dari kamar itu. Keadaan sekarang sepi. Bu Ham terlanjur diberi hajaran. Dan Pangeran Muda yang kembali memandang Gurba berkata perlahan,

“Maaf, aku tak tahu, hanggoda. Tapi percayalah sekali ini keadaan tenang. Aku tak tahu kalau Bu-kongcu tergila-gila pada sumoimu!”

“Hm...!” Gurba terlanjur tak senang. “Aku merasa tak bebas di tempat ini, pangeran. Sebaiknya aku pergi!” dan Gurba yang tidak banyak cakap menyambar sumoinya tiba-tiba berkelebat melalui jendela, lenyap sekejap mata.

“Hei...!”

Namun Gurba menghilang. Raksasa itu mendongkol pada semua kejadian yang dia alami, marah pada Bu-kongcu dan semua orang, termasuk Pangeran Muda. Tapi ketika dia keluar kota raja dan meluncur di jalanan yang sepi mendadak lima bayangan berkelebat mengepungnya.

“Heh-heh, kau laki-laki sombong, Gurba. Mana bisa kau berlalu begitu saja? Ayo berhenti, kembali ke pangeran atau kau kami bunuh!”

Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya muncul. Mereka itu tadi mengejar Gurba, secara diam-diam. Menunggu raksasa itu keluar kota raja dan kini berada di jalan yang sepi. Tentu saja membuat Gurba mendelik dan marah. Tapi teringat sumoinya yang masih dipanggul dan lima lawan sekaligus tak mungkin dihadapinya berbareng akhirnya Gurba menjadi bingung dan membentak gusar. “Tikus-tikus busuk, kalian mau apa?”

“Heh-heh, kami mau kau kembali ke pangeran, Gurba. Atau kami membunuhmu kalau kau membangkang!”

“Keparat...!” dan Gurba yang bingung melihat lawan maju tiba- tiba membebaskan sumoinya, dalam keadaan terpaksa. “Sumoi, maafkan aku. Tapi musuh tak mungkin kuhadapi sendirian. Kau berdirilah!” dan Gurba yang menurunkan sumoinya mendelik pada lawan tiba-tiba mendapat tamparan keras ketika sumoinya turun.

“Jahanam, kau tak tahu malu, suheng. Kau pengecut dan kurang ajar... plak-plak!”

Gurba terhuyung. Salima tidak mempedulikan lima lawannya itu, menampar suhengnya dan kini berkelebat marah, bertubi-tubi melakukan serangan dan tentu saja membuat Gurba terbelalak. Dan ketika sumoinya melengking dan musuh tertawa-tawa tiba-tiba Salima telah menerjangnya tak menghiraukan Sai-mo-ong dan kawan-kawannya itu. Tentu saja membuat Gurba geram dan naik pitam, mengelak dan menangkis. Dan ketika Sai-mo-ong dan teman-temannya itu terkekeh memandang dua kakak adik yang bertempur ini akhirnya Gurba membentak,

“Sumoi, jangan gila. Musuhmu adalah mereka, bukan aku!”

“Tak peduli. Kaupun musuhku, suheng. Kau menghina dan mempermainkan aku... tar-tar!” dan ledakan Tiat-lui-kang yang dilancarkan Salima dan bertemu tangkisan suhengnya akhirnya membuat Gurba marah dan bingung, terpaksa menahan amukan sumoinya ini sementara musuh yang mengepung tertawa-tawa. Mereka menjadi tontonan. Persis laga dua ekor jago.

Tapi ketika sumoinya tak mau sudah dan mendesak marah tiba-tiba Gurba menghentikan serangan sumoinya dengan pukulan keras, membuat sumoinya mencelat dan mengeluh tertahan, persis ke arah Twa-lo-mo. Dan karena Twa-lo-mo laki-laki kotor dan merasa mendapat durian tiba-tiba iblis cebol ini terbahak, menangkap Salima dan siap memeluk gadis itu. Tapi begitu Salima disentuh dan sadar akan bahaya mendadak gadis ini membalik menendang perut lawan.

“Dess!” Twa-lo-mo kontan terjengkang. Iblis ini berteriak, perutnya mulas, terguling-guling dan membuat adiknya marah. Dan ketika Ji-lo-mo membentak dan menubruk Salima tiba-tiba pundak Salima tertangkap dan langsung dicengkeram.

“Bret!” Salima terhuyung, melepaskan diri dan cepat membalas dengan satu putaran kaki ke belakang, lagi-lagi mendupak dan kali ini siap “menjalu” anggota rahasia iblis cebol itu. Tapi karena Ji-lo-mo waspada dan berteriak menangkis akhirnya Salima terbanting dan bergulingan mendekati suhengnya itu.

“Nah, bagaimana, sumoi. Kau masih hendak membiarkan dua iblis cebol itu menggerayangi tubuhmu?”

Salima menggigit bibir. Sekarang dia sadar, marah tapi juga bingung mana yang harus lebih dulu dihadapi. Suhengnya ini ataukah Hek-bong Siang-lo-mo yang kurang ajar, dua iblis cebol yang menjijikkan. Tapi ketika yang lain terkekeh dan menyuruh dia menghadapi suhengnya lagi mendadak Salima melengking menerjang dua iblis cebol itu, ganti menyerang melepaskan suhengnya. Membuat Gurba girang karena itu pertanda sumoinya tak memusuhi dirinya, meskipun sesaat. Dan karena sumoinya telah menyerang Hek-bong Siang-lo-mo dan tiga musuh yang lain tertegun di situ mendadak Gurba membentak menerjang Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni ini, juga Siauw-bin-kwi.

“Ha-ha, sumoiku mencintaiku, Mo-ong. Tak mungkin dia menyerang aku kecuali kalian. Robohlah, terima pukulanku!” dan Gurba yang melepas pukulannya menghantam tiga iblis itu tiba-tiba ditangkis dan disambut tiga seruan kaget dari tiga orang lawannya.

“Des-des-dess!”

Gurba dan tiga lawannya sama-sama terpental. Tok-gan Sin-ni melengking, marah karena Salima tak menyerang suhengnya lagi. Gurba sudah menyerang mereka sementara gadis itu menyerang Hek-bong Siang-lo-mo. Dan karena mereka harus menangkap dua orang ini dan dua orang itu telah bersatu kembali mendadak Tok-gan Sin-ni melecutkan rambut mainkan Sin-mauw-kangnya.

“Gurba, kau laki-laki tak tahu dihormat pangeran. Mampuslah!”

Gurba menangkis. Rambut Tok-gan Sin-ni terpental, membalik dan membuat wanita itu memekik, berkelebat lagi dan menyerang lagi. Dan ketika dua temannya yang lain juga membantu dan menyerang Gurba akhirnya Sai-mo-ong menggereng mencabut kipas bulu singanya.

“Benar, kita bunuh saja raksasa ini, Sin-ni. Tak perlu diampuni membuat kita iri, wutt...!” dan kipas yang menyambar mengebut muka Gurba akhirnya dielak dan disusul pukulan Siauw-bin-kwi, terkekeh menghantam kepala raksasa itu. Dan ketika Gurba melompat dan menangkis akhirnya empat orang ini bertempur sementara Salima dan Hek-bong Siang-lo-mo juga terlibat dalam pertandingan seru.

Demikianlah, dua kelompok ini akhirnya pecah. Gurba menghadapi tiga lawannya seperti dulu, menangkis dan balas menyerang. Tiat-lui-kangnya mulai meledak-ledak sementara pukulan dan serangan lawan juga menyambar-nyambar dirinya, rambut dan kipas bulu singa serta pukulan Siauw-bin-kwi. Hawa sinkang menderu dan saling tampar, berkali-kali keduanya terhuyung dan terpental.

Tapi karena Gurba memiliki kekebalan mengagumkan berkat sinkangnya yang luar biasa itu maka kipas maupun rambut tak ada yang mampu melukai raksasa ini. Pukulan Siauw-bin-kwi sering tertolak oleh tangkisan Gurba, tak jarang bertemu Tiat-lui-kang yang dikeluarkan raksasa ini. Disambut keluhan dan mata terbelalak oleh Iblis Muka Ketawa ini, tak jadi ketawa karena pukulan Gurba memang kuat. Tangkisan sinkangnya membuat lengan tergetar dan sering dia terpental, tentu sudah dibalas lawan kalau Sin-ni maupun Mo-ong tak maju membantu. Dan ketika pertempuran berjalan seru dan masing-masing pihak penasaran oleh pertandingan ini akhirnya Tok-gan Sin-ni berseru pada temannya,

“Mo-ong, keluarkan Hek-sai-mo-hoatmu (Silat Iblis Singa Hitam). Gabung dengan kipasmu itu!”

Mo-ong mengangguk. Dia memang belum mengeluarkan Hek-sai-mo-hoatnya itu, Silat Singa yang buas. Maka begitu rekannya berseru dan dia membentak tiba-tiba iblis ini menggereng-gereng dan mengosok kakinya ke sana-sini, meloncat-loncat, lengan mencakar sementara kipas di tangan kanan masih terus menderu dan mengebut. Sepak terjangnya menjadi hebat dan ganas. Dan ketika Tok-gan Sin-ni terkekeh dan mainkan rambutnya dengan lebih hebat mendadak mereka menekan raksasa itu hingga Gurba terdesak.

“Heh-heh, bagus. Dan kau tambah juga pukulan sinkangmu, Bin-kwi. Dorong dan terus pukul raksasa ini!”

Siauw-bin-kwi pun mengangguk. Dia menambah kekuatannya, menggabung dengan serangan dua temannya yang lebih diperhebat. Tentu saja membuat Gurba kewalahan dan marah, terdesak. Dan ketika beberapa saat kemudian dia ditekan dan rambut serta kipas berkelebatan kian ke mari di mukanya mendadak satu cengkeraman Mo-ong mengenai pundaknya.

“Cret!” Gurba terkejut. Cakar Mo-ong menancap bagai cakar singa, kukunya amblas dan menekan daging. Hampir saja tembus kalau dia lengah melindungi diri. Dan ketika dia terbelalak dan lawan terkekeh mendadak Sin-ni dan Bin-kwi melepas dua pukulan maut, rambut wanita itu melecut matanya sementara pukulan Bin-kwi menghantam ulu hatinya.

Dan Gurba yang tentu saja berteriak mengempos semangatnya tiba-tiba melempar kepala menarik seluruh hawa saktinya ke pusat, menghindari lecutan rambut yang mengarah matanya, daerah lemah yang tak mungkin dilindungi sinkang. Dan ketika dia membentak berseru keras mendadak raksasa ini mengangkat kedua lengannya menolak ke atas, diiringi kilatan putih yang meledak di tengah udara.

“Awas Pek-sian-ciang...!”

Sai-mo-ong dan teman-temannya terbelalak. Mereka telah mengenal pukulan itu, Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa). Pukulan yang membuat mereka jeri dan dahsyat, dulu terluka dan hampir tewas. Tentu saja membanting tubuh bergulingan menarik serangan sendiri, tak berani beradu. Tapi karena hawa pukulan terlanjur menderu dan Gurba juga mengeluarkan ilmunya yang ampuh itu maka Pek-sian-ciang membentur tiga pukulan sinkang yang dilepas tiga iblis tadi.

“Des-des-dess!”

Mo-ong dan teman-temannya mengeluh. Mereka terbanting bergulingan, terlempar dan mencelat setombak. Untung saja menarik pukulan dan cepat berkelit, kalau tidak tentu berhadapan langsung dan mungkin terluka. Kini melompat bangun dan hanya bergoyang saja, pucat. Dan ketika Gurba tertawa dan menerjang mereka mendadak di sebelah kiri Salima menjerit.

“Aih... bret!”

Gurba terkejut. Dia melihat sumoinya terpelanting, baju terobek oleh sabit yang dikeluarkan Hek-bong Siang-lo-mo. Melihat dua iblis itu terkekeh-kekeh dan mengejar Salima. Sumoinya menangkis tapi pundak kembali terobek, kiranya sumoinya terdesak sementara dia mendesak Mo-ong dan teman -temannya ini. Dan ketika sumoinya mengeluh dan harus melempar tubuh ke sana ke mari menyelamatkan diri maka Twa-lo-mo terbahak gembira mendesak sumoinya itu.

“Ha-ha, sebentar lagi kau roboh, Tiat-ciang Sian-li. Dan aku ganti menggumuli dirimu seperti suhengmu...wut -wutt!” sabit menyambar-nyambar, diiringi kekeh dan tawa iblis cebol itu yang membuat telinga merah. Gurba marah dan melotot. Tapi ketika dia hendak membantu sumoinya dan mendelik mengepal tinju tiba-tiba tiga lawannya kembali menerjang.

“Gurba, kau adalah lawan kami. Hayo jangan meleng (lengah)...!”

Gurba menggeram. Sai-mo-ong dan teman-temannya itu menyerangnya lagi, tentu saja dia mengerahkan Pek-sian-ciangnya dan menangkis. Tapi begitu lawan mengelak dan sumoinya terhuyung jatuh bangun maka Gurba hendak menolong dan melompat membantu sumoinya itu. Tapi Sai-mo-ong dan dua temannya datang mengganggu, lagi-lagi menyerang tapi selalu melompat menghindar kalau melihat Pek-sian-ciang. Jelas takut tapi juga tak mau raksasa itu membantu Salima. Jadi seperti kucing-kucingan dan Salima kian terdesak saja. Bajunya robek-robek dan kian terkuak lebar.

Agaknya sengaja dua iblis cebol itu mempermainkan sumoinya agar setengah telanjang, kata-kata kotor mulai berhamburan dan Gurba melotot. Ingin membantu tapi selalu dihalangi lawannya, padahal tiga lawannya juga selalu menghindar bila dia mengeluarkan Pek-sian-ciang. Dan ketika raksasa itu bingung dan gusar dipermainkan begini mendadak Salima menjerit tertahan ketika sabit membacok lehernya, dielak tapi sabit kedua di tangan Ji-lo-mo menyambar. Kedudukannya terancam dan Ji-lo-mo terkekeh, menunggu robohnya gadis itu. Tapi persis Salima mengeluh dan Twa-Io-mo juga menubruk gadis itu mendadak Kim-mou-eng muncul menampar sepasang iblis cebol ini.

“Hek-bong Siang-lo-mo, kalian iblis-iblis curang. Pergilah...!”

Hek-bong Siang-lo-mo terkejut. Mereka sudah bersiap merobohkan gadis ini, menerima tubuhnya dan mempermainkannya sesuka hati. Tapi begitu sesosok bayangan menyambar mereka dan menampar mereka mendadak dua iblis ini berseru kaget ketika dua sabit mereka tertolak mencelat.

“Aih...!”

“Hei...!”

Dua iblis cebol itu membanting tubuh bergulingan. Mereka kaget bukan main oleh kehadiran Kim-mou-eng, tak menyangka kedatangannya. Melihat pemuda berambut emas itu telah meledakkan Tiat-lui-kang menampar mereka. Sabit mencelat dan jatuh di tanah, tentu saja mereka bergulingan menyambar dan merampas kembali senjata mereka. Dan ketika mereka melompat bangun dan Salima terhuyung ditangkap Kim-mou-eng maka Pendekar Rambut Emas itu menepuk sumoinya menyuruh mundur, menghadapi mereka berdua.

“Hek-bong Siang-lo-mo, kalian memang manusia-manusia licik. Terimalah pukulanku...!” dan Kim-mou-eng yang berkelebat menyerang dua orang itu akhirnya membuat Hek-bong Siang-lo-mo berteriak-teriak. Salima mundur karena lelah, kini menghadapi tenaga baru yang masih hebat.

Dan ketika Kim-mou-eng berani menangkis dan sabit di tangan dua iblis cebol itu tak melukai pendekar ini seperti halnya Gurba yang juga tahan bacokan senjata tajam akhirnya dua iblis cebol ini gentar dan mundur-mundur, bingung dan kewalahan menghadapi Kim-mou-eng. Pucat. Betapapun harus mengakui bahwa kepandaian Kim-mou-eng memang tinggi, mereka masih kalah, biarpun berdua mengeroyok. Dan ketika kembali mereka menangkis dan sabit terlepas dari tangan akhirnya dua iblis ini berteriak dan melarikan diri.

“Kim-mou-eng, kau bocah keparat. Jahanam kau...!”

Kim-mou-eng tak mengejar. Dia tahu watak orang-orang sesat, menghina lawan kalau menang dan melarikan diri kalau kalah. Tapi melihat suhengnya masih bertempur dan Sai-mo-ong serta dua orang temannya itu masih mengeroyok suhengnya maka ke sinilah dia berkelebat, ganti membantu dan menyerang tiga iblis itu. Tentu saja Sai-mo-ong dan teman-temannya terkejut, menghadapi Gurba saja mereka harus main kucing-kucingan. Maka begitu lawan bertambah seorang dan kedudukan mereka terancam tiba-tiba saja tanpa dikomando mereka bertiga memutar tubuh melarikan diri.

“Bin-kwi, angin terlalu kuat...!”

Sai-mo-ong mendahului meninggalkan lawan. Kata-katanya itu menunjukkan musuh terlalu berat bagi mereka, tentu saja dimengerti yang lain dan diikuti Sin-ni dan Siauw-bin-kwi. Mereka membalik memutar tubuh, habis bergulingan menangkis pukulan. Dan begitu mereka lenyap melarikan diri maka Gurba dan Kim-mou-eng otomatis kehilangan lawan.

Tapi Gurba membentak, mengejar dan memberi pukulan dari belakang, ditangkis dan kembali tiga orang itu terpental terguling-guling. Roboh tapi melompat bangun melarikan diri. Tapi ketika Gurba hendak mengejar lagi dan ada tanda-tanda ingin menghindar dari sutenya mendadak Salima yang sudah memulihkan tenaganya melayang di atas kepala suhengnya ini.

“Suheng, mereka telah pergi. Biarkan saja. Sekarang kita lanjutkan perhitungan kita... wutt!” dan Salima yang langsung menyerang suhengnya dengan satu tamparan ke kepala tiba-tiba membuat suhengnya terkejut dan menangkis, dielak tapi Salima kembali menyerang, membentak dan sebentar kemudian mengurung suhengnya itu dengan pukulan-pukulan sinkang. Tentu saja Gurba terbelalak dan kaget. Tahu sumoinya berani karena sutenya ada di situ. Dan ketika Salima melengking dan pukulan demi pukulan tak henti mencecarnya akhirnya Gurba menjadi pucat dan berseru marah.

“Sumoi, jangan gila. Aku bukan musuh!”

“Tidak, yang gila adalah kau, suheng. Kau hampir membuat malu aku. Aku tak dapat memaafkanmu, mampuslah!” dan Salima yang meneruskan serangannya dengan pukulan dan tamparan tiba-tiba membentak dan lenyap berkelebat menyerang suhengnya itu. Sebentar kemudian ledakan Tiat-lui-kang menyambar bertubi-tubi bagai petir. Gurba terpaksa bertindak dan melayani sumoinya ini. Dan ketika dia juga membentak dan marah menghadapi sumoinya akhirnya dua orang itu bertempur sendiri dan ditonton Kim-mou-eng yang membelalakkan mata.

Kim-mou-eng memang tak tahu apa yang terjadi. Mengira itu adalah pelampiasan marahnya sumoinya yang telah ditipu oleh suhengnya itu. Tak menduga sama sekali bahwa suhengnya ini hampir memaksakan kehendak sendiri memperkosa sumoinya. Hal yang akan membuat dia kaget dan heran, juga marah, kalau tahu. Maka begitu mereka bertempur dan dia menonton dengan hati bingung tapi juga geli oleh pertandingan yang dianggap pelampiasan jengkel ini Kim-mou-eng tak membantu pihak manapun dengan pikiran kalau sumoinya hilang jengkelnya tentu pertempuran itupun akan berhenti sendiri setelah sumoinya melepaskan semua rasa mendongkol.

Tapi Kim-mou-eng terkejut. Pertempuran tak segera berakhir, bahkan ada tanda-tanda kian menghebat dan sumoinya terdesak, mulai menangis dan kini terdesak oleh suhengnya itu. Memang suhengnya lebih kuat dibanding sumoinya itu. Dan ketika Gurba juga melancarkan pukulan-pukulan keras dan keduanya tidak main-main lagi akhirnya Kim-mou-eng terkejut melebarkan matanya. Apalagi suhengnya dua tiga kali membuat sumoinya terbanting bergulingan.

Salima mengeluh dan terhuyung-huyung, nekat menyerang kembali tapi terbanting kembali begitu suhengnya menangkis. Keras lawan keras. Pertandingan ini tidak lagi sekedar pelepas jengkel tapi diselubungi kemarahan, dendam dan sakit hati, terutama di pihak Sumoinya. Dan Kim-mou-eng yang tak dapat tinggal diam lagi menonton dengan hati cemas akhirnya maju membentak mencoba melerai dua orang itu.

“Suheng, sumoi, cukup. Tak perlu main-main lagi!”

Tapi Salima tak menghiraukan. Gadis ini berteriak marah menangkis suhengnya, terus menyerang dan bertahan. Tapi karena suhengnya lebih lihai dan pertempuran kian berat sebelah akhirnya gadis ini roboh terjungkal ketika satu pukulan suhengnya mengenai leher kanannya.

“Plak!” Salima tak dapat segera melompat bangun. Kali ini dia nanar, pandangan berputar dan menangis menggigit bibir. Tentu saja Kim-mou-eng terkejut dan cepat menolong sumoinya itu. Tapi ketika Salima terhuyung dan mendelik memandang suhengnya tiba-tiba dia meloncat dan menerjang lagi.

“Kim-suheng, twa-heng hendak memperkosa aku. Biar aku membunuh dia atau dia yang membunuh aku...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sumoinya itu sudah menyerang lagi dan nekat, tersentak mendengar seruan ini. Dan ketika Salima kembali menerjang dan Gurba menangkis maka Kim-mou-eng terbelalak dengan muka merah. “Apa, suheng hendak memperkosamu, sumoi?” Kim-mou-eng hampir tak percaya.

“Ya, dan dia hampir menggagahiku, suheng. Twa-heng tak tahu malu dan hina!” dan Salima yang menyerang sambil menangis akhirnya membuat Kim-mou-eng tertegun dan terkejut mendengar kata-kata ini. Suhengnya dilihatnya melotot dan menggeram, menangkis dan kembali membuat sumoinya terpental. Dan ketika Salima terguling-guling dan Gurba tampak malu dan marah tiba-tiba raksasa ini mengejar dengan satu pukulan lurus ke kepala.

“Sumoi, kau tak dapat diberi hati. Mampuslah...!”

Kim-mou-eng tak dapat tinggal diam lagi. Sekarang suhengnya itu dilihatnya menurunkan pukulan maut, rupanya gusar sumoinya memberi tahu perihal itu. Dan Kim-mou-eng yang membentak berkelebat maju tiba-tiba menangkis dan menyelamatkan sumoinya itu. “Suheng, kau keji. Tahan... dukk!”

Dan dua lengan yang beradu yang membuat mereka tergetar dan terdorong mundur akhirnya membuat raksasa ini meraung. Salima selamat dan melompat bangun. Kim-mou-eng telah menghadapi suhengnya itu dan kini diserang. Mereka segera bertempur, masing-masing sama marah Kim-mou-eng melindungi sumoinya sedang Gurba ingin membunuh sutenya itu, juga sumoinya, kalau dapat.

Dan Salima yang sempoyongan melompat bangun tiba-tiba membentak dan mengeroyok twa-hengnya itu, membuat Gurba terkejut dan kewalahan. Betapapun Kim-mou-eng saja belum tentu mampu dia robohkan. Dan ketika Salima maju membantu dan dia mendapat serangan dari kiri kanan akhirnya Gurba terdesak dan balik ditekan.

“Sute, kau suka mencampuri urusan orang lain!”

“Tidak, sumoi bukan orang lain bagiku, suheng. Justeru kau yang terlalu dan kelewatan. Kau harus minta maaf, atau aku akan merobohkanmu dan memaksamu mengakui kesalahan!” dan Kim-mou-eng yang terus menyerang dan menekan suhengnya ini akhirnya membuat Gurba kelabakan dan terdesak kian berat, mulai menerima pukulan dan tamparan.

Dari Salima tak seberapa dirasakan karena pukulan gadis itu mulai lemah. Salima letih, pertandingan berkali-kali membuat dia kehabisan tenaga. Tapi pukulan atau tamparan sutenya yang menyengat dan sakit menembus kekebalannya akhirnya membuat raksasa ini marah-marah dan melotot. Dan, ketika pertempuran berjalan sekian jurus lagi dan Gurba berlaku nekat tiba-tiba pukulan dan tamparan dua orang itu ditangkis berbareng, dari kiri kanan.

“Des-dess!”

Salima dan Gurba terlempar tiga tombak. Raksasa itu kalah kuat, tamparan Kim-mou-eng tak dapat diterima dan dia terpelanting. Dan Salima yang juga terbanting karena dia kalah kuat menghadapi suhengnya ini akhirnya terguling-guling dan mengeluh tak dapat melompat bangun, dadanya nyeri, lengannya bengkak. Tentu saja mengaduh dan tak dapat mengeroyok. Tapi Gurba yang melompat bangun dengan lengan melepuh ternyata juga bisa melanjutkan pertandingan, terluka ketika tadi menangkis sutenya, Kim-mou-eng. Dan begitu dia melotot dan menggereng tiba-tiba raksasa ini memutar tubuhnya melarikan diri.

“Sute, lain kali kita bertemu lagi...!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia tak mengejar, melihat sumoinya merintih dan tentu saja lebih memperhatikan sumoinya itu, melompat dan menolong sumoinya. Dan ketika dilihatnya sumoinya kesakitan karena lengannya bengkak maka Kim-mou-eng sudah mengeluarkan obat mengurut lengan sumoinya ini. Tak lama kemudian sembuh dan lengan yang bengkak itu kempes kembali. Salima menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. Dan ketika suhengnya menyimpan kembali obat itu dan tersenyum padanya mendadak Salima tersedu menubruk suhengnya ini.

“Suheng, maafkan aku. Aku telah berdosa padamu!”

“Ah, sudahlah. Aku tahu twa-suheng menghasutmu, sumoi. Sekarang kau tahu mana salah mana benar, bukan?”

“Ya, dan aku... aku malu padamu, suheng. Aku harus membuat perhitungan dengan Gurba-suheng yang telah mempermainkan aku!” dan Salima yang merenggangkan diri menghapus air matanya akhirnya memandang suhengnya itu dengan pipi kemerah-merahan. “Suheng, kau mau memaafkan aku?” gadis ini menggigil.

“Tentu, kenapa tidak, sumoi?”

“Dan kau... kau mau membantuku menghadapi Gurba-suheng?”

“Hm,” Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Aku menyesalkan kejadian ini, sumoi. Tapi seharusnya kita tak saling bermusuhan. Dulu kau dan suheng memusuhi aku, haruskah sekarang kau dan aku memusuhi suheng?”

“Tapi dia jahat, suheng. Dia tak tahu malu dan curang!”

“Karena dia mencintaimu,” Kim-mou-eng tersenyum. “Dan cinta dapat melakukan segalanya sumoi. Dan satu dari bukti itu adalah perbuatan Gurba-suheng!”

“Dan kau tidak marah?”

“Maksudmu?”

“Kau tidak tergerak untuk menghajar twa-suheng? Kau... kau tidak cemburu?”

Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa. “Sumoi, aku tak tahu harus cemburu atau tidak. Tapi marah jelas aku marah. Perbuatan suheng tidak terpuji, dia harus dihukum dan dicari.”

Salima mundur selangkah. “Suheng, kau... kau selama ini tak ingat akan aku?”

Kim-mou-eng tiba-tiba mengerutkan kening, menghela napas. “Sumoi, siapa bilang aku tak ingat akan kau? Justeru setiap hari aku murung melihat sikapmu itu, sejak kau dan suheng memusuhi aku. Dan aku menyesal. Tapi sekarang semuanya jelas, aku dapat membuka perbuatan suheng dan kau tahu siapa salah siapa benar!”

“Tidak, bukan itu. Aku ingin melanjutkan pertanyaan yang dulu, tentang... tentang hubungan kita!”

“Hm,” Kim-mou-eng tiba-tiba merah. “Sebaiknya persoalan itu biarkan dulu, sumoi. Aku tak dapat menjawabnya karena hatiku lagi pepat. Aku masih ada persoalan.”

Kim-mou-eng teringat Cao Cun, berdebar dan tidak enak kalau Salima “menuntut” jawabannya. Tahu yang dimaksudkan gadis itu adalah cinta mereka. Dan karena dia juga telah memberikan sesuatu pada puteri Wang-taijin itu dan hatinya tak nyaman teringat janjinya akhirnya pendekar ini kebat-kebit ditanya sumoinya. Tahu bahwa sumoinya amat mencintainya dan sekarangpun masih mencintainya. Pandangan sumoinya itu demikian mesra dan lembut, kini bahkan bergetar seolah anak kelinci yang ketakutan, membuat dia terharu. Dan ketika sumoinya terisak dan Salima menundukkan kepala tiba-tiba Kim-mou-eng menggenggam jari sumoinya ini.

“Sumoi...”

“Mmm...”

“Kau hendak melakukan apa sekarang?”

“Aku hendak mencari Gurba-suheng, ji-suheng (kakak nomor dua),” Salima mengangkat kepalanya. “Aku ingin membalas sakit hatiku ini.”

“Tak ingin keluar tembok besar?”

“Untuk apa?”

“Bangsa kita tercerai-berai, sumoi. Aku ingin kau ke sana mengumpulkan mereka itu.”

“Dan kau sendiri?”

Kim-mou-eng tersenyum gugup. “Aku masih ada persoalan di sini. Aku akan menyelesaikan beberapa urusanku.”

“Aku ikut!”

“Heh!”

“Aku ikut, suheng. Aku tak ingin keluar tembok besar seperti katamu. Itu sebenarnya urusan Gurba-suheng!”

“Ah, tapi itu penting. Itu urusan bangsa kita.”

“Tidak, kalau menyangkut kepentingan sebenarnya kita semua berkepentingan suheng, bukan aku atau Gurba-suheng sendiri. Dan aku saudara termuda, justeru seharusnya kau yang pergi ke sana menyatukan bangsa kita?”

“Hm...!” Kim-mou-eng bingung, melihat mata sumoinya bersinar-sinar, penuh selidik. Dan ketika dia kehabisan akal tak dapat membujuk sumoinya ini tiba-tiba sumoinya bertanya,

“Suheng, ada apa sih urusanmu itu? Bukankah urusanmu hanya mencari pamanmu itu? Kau tampaknya enggan kuikuti. Kau rupanya menyembunyikan sesuatu agar aku berpisah denganmu!”

Celaka! Kim-mou-eng terbelalak. Dia hampir dipukul telak, omongan itu hampir mengenai jantungnya dengan tepat. Dia memang mau menghindar dari sumoinya ini karena ingin menemui Cao Cun. Tentu saja merah padam ditodong seperti itu. Tapi karena Kim-mou-eng seorang pendekar yang pandai menguasai perasaan dan menindas guncangan hatinya tiba-tiba dia malah tertawa menghilangkan kecurigaan sumoinya, perubahan muka sudah pulih seperti biasa.

“Ah, kau ini ada-ada saja, sumoi. Siapa menyembunyikan sesuatu. Aku, hm... aku hanya khawatir saja padamu. Masalah itu memang benar, aku akan mencari pamanku, tapi sudah ketemu. Aku takut kalau kau bersikap keras menghadapi pamanku kalau ikut aku. Sudah jelas? Tak ada rahasia!”

Salima girang. “Kau sudah menemukan Yu-lopek?”

“Ya.”

“Dimana? Kenapa tidak bersamamu?”

“Coba terka dulu siapa pamanku itu, sumoi. Dan dimana kira-kira dia?”

“Mana aku tahu? Kau yang mencari, tentu kau pula yang mendapatkan. Ayo, katakan, suheng. Mana pamanmu itu dan siapa dia!”

“Dia Cheng-bin Yu-lo,” Kim-mou-eng redup pandangannya. “Dan dia adalah paman saudara Yu Bing yang gagah perkasa itu, pemuda yang kau kenal.”

“Apa?” Salima kaget. “Maksudmu Siang-kiam-houw Yu Bing itu?”

“Ya, dia orangnya, sumoi. Dan paman kudapat dari pemuda ini.”

“Ah!” dan Salima yang maju selangkah menyambar lengan suhengnya tiba-tiba bertanya, “Suheng, bagaimana asal mulanya? Bagaimana kau ketemu orang she Yu itu?”

“Panjang ceritanya, sumoi. Tapi bermula dari kota raja.” Kim-mou-eng tertegun sejenak, teringat Cao Cun dan harus hati-hati tak boleh menyebut nama gadis itu. Pertemuannya dengan Cao Cun harus dihapus, tak boleh diberitahukan. Dan ketika sumoinya tertarik dan bertanya padanya bagaimana kisah itu akhirnya Kim-mou-eng duduk dan menceritakan pada sumoinya apa yang telah terjadi.

Bahwa dia terbawa ke kota raja atas permintaan Sin-piauw Ang-Iojin, ketua Seng-piauw-pang yang dikhianati adik-adik seperguruannya itu. Datang mencari pangeran mahkota tapi ketemu Pangeran Muda, dicegat dan akhirnya dikeroyok Sai-mo-ong dan teman-temannya itu. Dan ketika dia terluka dan Sin-piauw Ang-lojin sendiri tewas dalam pertempuran itu maka sumoinya terbelalak terkejut mendengar semuanya ini.

“Ah, Seng-piauw-pangcu itu terbunuh di sana, suheng? Dan kau, apa perlumu mencari pangeran mahkota?”

“Ada sesuatu yang penting, sumoi. Sin-piauw Ang-Iojin minta bantuanku untuk menyampaikan pada pangeran mahkota bahwa ada persekongkolan rahasia yang hendak menjatuhkan kaisar, termasuk membunuh pangeran mahkota itu sendiri.”

“Siapa?”

“Pangeran Muda.”

“Putera dari selir itu?”

“Eh, kau tahu?”

“Tentu saja,” Salima berkilat matanya. “Dia pangeran yang menemani Gurba-suheng di kaputren, suheng. Dan pangeran itulah yang justeru mendorong Gurba-suheng untuk berbuat kurang ajar padaku. Dia pangeran tampan, tapi hatinya busuk!”

Dan Kim-mou-eng yang tertegun melihat sumoinya akhirnya ganti mendengar sumoinya bercerita tentang kejadian di istana itu, ketika Gurba menganiaya Bi Nio di kaputren, datang yang lain-lain termasuk Pangeran Muda itu. Dan ketika Salima mengakhiri ceritanya dengan tinju terkepal bahwa sang pangeran memberikan obat penunduk cinta pada twa-hengnya maka Kim-mou-eng menahan napas terkejut oleh semua cerita ini. Sumoinya nyaris saja menjadi korban, seperti telur di ujung tanduk!

“Dan Gurba-suheng diganggu Bu-kongcu, suheng. Itulah sebabnya dia pergi dan dicegat Sai-mo-ong dan teman-temannya di sini.”

“Tapi kau selamat, nyaris saja menjadi korban!”

“Berkat Bu-kongcu, kalau tidak...” Salima merah mukanya, mata berapi-api. “Gurba-suheng tentu telah memaksaku, suheng. Aku ngeri dan takut melihat kebuasannya!” dan Salima yang terisak mengusap hidungnya tiba-tiba dipegang tangannya oleh Kim-mou-eng.

“Sudahlah, semua telah lewat, sumoi. Aku prihatin dan menyesal sekali melihat tindak-tanduk Gurba-suheng. Sekarang telah berlalu, sebaiknya kau tenangkan hati dan tidak perlu pikirkan itu lagi.”

“Mana mungkin?” sumoinya marah. “Aku tak dapat menghilangkan sakit hati ini, suheng. Gurba-suheng harus kucari dan kubalas!”

“Tapi kau bukan lawannya, kepandaiannya masih lebih tinggi dan kau kalah dua tingkat.”

“Ada kau di sini, masa kau tak mau menolongku?” Salima memandang suhengnya, mengerutkan kening karena kata-kata Kim-mou-eng seolah tak mau tahu keadaannya, tentu saja tak puas.

Dan Kim-mou-eng yang bangkit berdiri menghela napas akhirnya tersenyum pahit. “Sumoi, sebenarnya diantara kita kakak dan adik seperguruan tak boleh bermusuhan. Aku tentu saja tak membiarkan sepak terjang Gurba-suheng. Hanya, kalau dia mau minta maaf dan tidak mengulang perbuatannya kita tak perlu memusuhinya, bukan? Aku sependapat denganmu, sumoi. Bahwa Gurba-suheng harus dicari dan dituntut perbuatannya. Tapi bukan untuk dibunuh atau dibalas atas dasar sakit hati!”

“Jadi kau mau mengampuninya?”

“Kalau dia mau minta maaf, sumoi. Kalau dia berjanji untuk bersikap baik padamu.”

“Ah, kau lemah!” Salima membanting kaki. “Kau tampaknya tak dapat mengerti betapa sakit hatiku, suheng. Kau enak saja omong begitu. Kau memang tidak mengalaminya sendiri!”

“Bukan begitu,” Kim-mou-eng tersenyum lembut. “Aku juga telah mengalami hal serupa, sumoi. Ingat saja perbuatan dan fitnah suheng kepadaku. Tapi aku tak dendam, aku dapat memaafkannya kalau dia minta maaf, mengaku kesalahannya dan tidak mengulang kejahatannya itu.”

Salima terbelalak, ia memang tahu watak yang serba lembut dari suhengnya nomor dua ini, suka mengalah dan ringan hati. Mulia. Tak ganas dan keras seperti dia. Watak seperti itulah yang mungkin membuat dia jatuh hati pada ji-suhengnya ini, yang membuat ia tertarik dan jatuh cinta. Suhengnya ini penuh kasih dan lembut, juga berkali-kali dibuktikan berwatak gagah di samping rendah hati. Sekarang tampak benar bedanya dengan suhengnya nomor satu, Gurba. Dan Salima yang jengkel tapi juga gemas akhirnya cemberut melepaskan tangannya.

“Baiklah, kau rupanya acuh padaku, suheng. Kalau begitu sesukamulah dan biarkan aku pergi!” Salima tiba-tiba memutar tubuhnya, meloncat dan pergi meninggalkan suhengnya dengan perasaan mendongkol, isaknya tak dapat disembunyikan.

Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut melihat sumoinya ngambek tiba-tiba melompat mengejar, menyambar sumoinya dari belakang. “Eh, tunggu dulu, sumoi. Jangan mencari Gurba-suheng sendirian!”

Salima tertangkap, langsung diputar dan berhadapan dengan suhengnya itu. Dan Salima yang girang tapi pura-pura marah, karena ini berarti suhengnya tak melepas perhatian padanya tiba-tiba membentak dan merenggut lengannya. “Suheng, lepaskan aku. Biar aku mampus tak perlu dibantu!”

“Ah-ah...” Kim-mou-eng gugup. “Jangan begitu, sumoi. Semua bisa diatasi dan aku tentu saja membantumu. Kenapa marah?” dan ketika sang sumoi cemberut tapi mata itu tidak melotot Kim-mou-eng sudah menangkap kembali lengan sumoinya ini. “Sumoi, aku tidak berkata bahwa aku akan membiarkanmu. Sekarang kita berdua, Gurba-suheng akan mengganggumu kalau aku tak ada di dekatmu. Kenapa hendak pergi? Kau ikut aku saja, sumoi, tak boleh berkeliaran di daerah ini kecuali kalau kau hendak mengumpulkan bangsa kita!”

“Siapa mau? Kau enak-enak saja berkelana, aku tak sudi bekerja sendirian sementara kalian mengembara di Tionggoan (pedalaman)!”

“Kalau begitu kau ikut aku, kecuali... hm, kecuali kau tak suka. Ada urusan sendiri umpamanya!”

Aneh, Salima tiba-tiba tertawa. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan heran memandang sumoinya ini mendadak Salima menggelandot manja di pundaknya. “Suheng, siapa tak suka melakukan perjalanan bersama? Justeru kalau kau mengusirku pergi aku akan mengikutimu. Sekarang kau mengajak, bukankah tak boleh kutampik? Hayo, kita berangkat, suheng. Aku taat dan akan tunduk padamu asal kau penuh perhatian padaku!”

Dan, begitu menyendal suhengnya tertawa gembira tiba-tiba gadis Tar-tar ini telah membawa Kim-mou-eng meninggalkan tempat itu. Pergi dan sebentar kemudian terbang dengan mata berseri-seri, Kim-mou-eng digandeng dan Salima tampak bersikap begitu mesra, menggandeng suhengnya bagai pasangan pengantin baru. Tak tahu hubungan suhengnya dengan Cao Cun, janji dan pernyataan cinta suhengnya itu pada puteri Wang-taijin. Dan begitu Salima bersikap manja dan tertawa-tawa membawa suhengnya akhirnya dua orang muda inipun lenyap meninggalkan tempat itu. Sementara Kim-mou-eng, tanpa diketahui sumoinya diam-diam mengeluh!

* * * * * * * *

Gurba terpukul. Untuk kedua kalinya lagi dia kehilangan sumoinya. Kedatangan Kim-mou-eng benar-benar di luar dugaan, tentu saja tak dapat dia menguasai sumoinya itu kalau sutenya ada di sana. Betapapun kepandaian mereka berimbang. Dan Gurba yang murung melarikan diri dengan perasaan marah tiba-tiba saja menjadi dendam dan marah pada sutenya.

Kim-mou-eng benar-benar penghalang. Dan selama ini sumoinya tak berhasil juga dia bujuk, Gurba menggeram. Dia teringat perjalanan bersama di kala mereka berdua. Waktu Salima terbujuk dan terhasut fitnahnya, membenci dan marah pada sutenya itu, Kim-mou-eng. Tapi Salima yang tak mau disentuh dan tidak memberi harapan padanya membuat dia kecewa dan sakit hati. Aneh sumoinya itu. Dipeluk sedikitpun tak mau, apalagi dicium. Ah! Gurba mengepal tinju.

Sebenarnya, dalam perjalanan bersama itu banyak kesempatan baginya untuk mendekati sumoinya itu. Tapi sumoinya selalu menggeser bila dia duduk mendekati, merapat. Atau menepiskan tangan bila dipegang. Padahal, begitu pernah dia lihat, sumoinya itu membiarkan saja jarinya digenggam kalau sutenya yang pegang! Ah, keparat, Gurba merah mukanya. Apakah kelebihan sutenya itu? Dia memang hitam, sutenya tampan. Tapi bukankah kepandaian mereka sama? Dan Salima pun kulitnya juga tidak putih!

Tapi sumoinya itu memang manis, gerak-geriknya memikat dan lenggangnyapun cukup aduhai. Sering dia mengilar kalau melihat sumoinya berjalan. Seperti, hm... seperti dewi Kayima. Dewi kepercayaan suku bangsa Tar-tar yang juga digambarkan berkulit hitam manis itu. Dewi yang tinggi semampai isteri dewa Urdha, dewa yang menguasai angin. Dan Gurba yang penasaran dan semakin tergila-gila pada sumoinya itu tiba-tiba menggeram dan teringat Bi Nio.

Sekarang masa depannya hancur. Artinya, sumoinya itu sudah melihat Bi Nio sebagai isterinya. Tak ada harapan lagi baginya untuk memiliki sumoinya itu. Satu-satunya jalan hanyalah kekerasan. Dia harus memaksa sumoinya itu, menundukkannya dan menggaulinya agar mereka menjadi suami isteri. Suka atau tidak suka bagi sumoinya. Dia tak dapat menahan nafsu lagi setiap mengingat sumoinya. Begitu tergila-gila dan panas hatinya kalau dia teringat gadis itu, kegagalannya, kesempatan emas yang tak berhasil dia peroleh ketika mereka masih berdua. Salima tinggal diraih dan dia dapat melakukan apa saja. Dan kini setelah burung yang elok itu terbang tinggi dan dia menggigit jari raksasa ini melotot penuh kebencian.

Kemana dia sekarang? Berkeliaran di Tionggoan tak ada faedahnya. Sute dan sumoinya memusuhinya, sedang di sana Sai-mo-ong dan teman-temannya juga menjaga. Paling baik kalau dia kembali ke suku bangsanya dan bertualang. Berperang terhadap siapa saja untuk melampiaskan nafsu amarahnya. Tapi, belum Gurba melaksanakan maksudnya tiba-tiba Pangeran Muda, muncul.

“Aha, selamat kembali, hanggoda. Kau dikecewakan sute dan sumoimu, bukan? Mudah, aku dapat membantu. Kita memang harus bersatu!” dan Pangeran Muda yang keluar dari tikungan menghampiri raksasa ini tiba-tiba sudah memegang lengannya dan tertawa lebar. “Hanggoda, kau masih juga tak mau bekerjasama?”

Raksasa ini tertegun. “Kau dengan siapa?” Gurba mendengar suara berkerisik di belakang pangeran, langkah kaki yang lembut dan halus. Dan ketika sang pangeran tertawa dan menggapai ke belakang tiba-tiba seorang wanita cantik muncul tersenyum manis, Gurba tertegun memandang wanita ini.

“Hanggoda, perkenalkan, dia isteriku, Wan Cu!”

Wan Cu, wanita cantik itu sudah memberi hormat. Dia memberi kerling yang luar biasa manisnya pada Gurba, membungkuk dan bau harum yang memabukkan muncul dari tubuh wanita ini. Dan ketika Gurba mendelong dan tergetar memandang kecantikan itu tiba-tiba suara merdu yang luar biasa empuk menegur raksasa ini, “Hanggoda, perkenalkan. Aku Wan Cu, isteri Siauw-ong-ya.”

“Ah!” Gurba sadar, mengejapkan mata dengan muka kagum, sedikit merah ketika mendengar Siauw-ong-ya tertawa. Dan ketika dia balas memberi hormat dan terbelalak memandang Wan Cu maka Pangeran Muda tersenyum lebar merapatkan isterinya.

“Hanggoda, isteriku datang untuk minta dengan sangat kau memenuhi permintaanku. Dia telah mendengar segalanya dan melihat kegagalanmu.”

“Maksudmu?”

Sang pangeran tersenyum, melirik isterinya. “Kau jelaskan, Wan Cu. Biar hanggoda yang gagah ini mendengar maksudmu.”

Wan Cu melangkah maju, bau harum kembali bertiup. “Hanggoda, maafkan aku. Siauw-ongya merasa gagal meminta pertolonganmu. Aku datang untuk mengulang permohonan suamiku agar kau membantu kami. Kita bekerjasama, kau di luar kami di dalam. Bagaimana kalau kau datang ke istana?”

Gurba terbelalak, tak segera menjawab.

“Bagaimana, hanggoda?”

Gurba menahan napas, tergetar oleh suara yang lembut dan kecantikan wanita ini, juga tubuhnya yang menggairahkan. Sama tinggi dengan sumoinya. Tinggi semampai dan montok. Seorang wanita yang masak! Dan ketika Gurba terpesona oleh gerak bibir yang berbicara ini tiba-tiba Wan Cu terkekeh menutupi mulutnya, dan Gurba kaget.

“Eh, maaf. Apa... apa yang kau bicarakan, hujin?”

Wan Cu tak dapat menahan geli, melirik suaminya. Melihat sang suami mengangguk dan tersenyum lebar. Melihat Gurba terpesona dan kagum oleh kecantikan Wan Cu. Dan Wan Cu yang mendapat isyarat dari sang suami dan menghentikan tawanya yang merdu tiba-tiba mengulang pertanyaannya dengan nada yang sama.

“Kami minta kau membantu kami, hanggoda. Aku berharap kau mau mengunjungi istana suamiku untuk membicarakan lebih lanjut rencana kami.”

Gurba mundur. “Tapi Sai-mo-ong dan teman-temannya, juga Bu-kongcu itu...”

“Mereka dapat kami atasi, hanggoda. Tak perlu khawatir tentang mereka!” Wan Cu memotong cepat, seolah mengetahui jalan pikiran raksasa ini. “Dan Bu-kongcu juga tak akan mengganggumu!”

“Tentu saja,” Gurba marah. “Sumoiku telah pergi, hujin. Dan aku jadi tak suka tinggal di istana!”

“Tapi sekarang lain, kau dapat kamar istimewa!”

“Apa maksudmu?”

Wan Cu tersenyum, manis merangsang. Dan ketika Gurba terbelalak tak mengerti kata-katanya maka wanita ini sudah menjelaskan tanpa tedeng aling-aling, mengejutkan Gurba. “Artinya kau dapat sebuah kamar yang istimewa, hanggoda. Kujamin tak seorang pun berani memasuki kamar itu karena kamar yang kuberikan adalah kamarku sendiri!”

Gurba kaget. “Apa?”

“Ya, kamarku, hanggoda. Kau boleh pakai kamar itu dan suamiku mengijinkan!”

Gurba hampir mencelat. Dia seolah tak percaya mendengar kata-kata ini, melihat Wan Cu tersenyum dan memandangnya dengan mata yang bersinar-sinar. Wajah yang cantik itu tampak bersemu dadu. Gurba tergetar, hampir mengeluh. Tapi ketika Siauw-ongya tertawa dan melangkah maju maka raksasa ini mendengar kata-kata meyakinkan yang tidak salah lagi.

“Benar, apa yang dikata isteriku memang tidak salah, hanggoda. Aku menyesal dan ingin mengganti kesalahanku dulu. Kau boleh pakai kamar isteriku, tak ada yang berani masuk kecuali isteriku sendiri!”

“Tapi... tapi...”

Pendekar Rambut Emas Jilid 18

PENDEKAR RAMBUT EMAS
JILID 18
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“SUHENG, tahan... plak!”

Dan pedang yang runtuh menyelamatkan Bi Nio tiba-tiba disusul bayangan Salima yang berkelebat masuk, berdiri di depan suhengnya dengan mata berapi-api, mengejutkan raksasa itu. Bi Nio sendiri roboh pingsan karena tekanan yang dia alami. Dan ketika Gurba melepas isterinya dan mundur terbelalak memandang sumoinya maka Salima sudah melepas pengawal yang dia bawa memasuki ruangan itu.

“Suheng, apa yang kau lakukan? Kau mau membunuh isterimu sendiri?”

Gurba menggigil, pucat dan merah berganti-ganti. “Kau mendengar semua percakapanku?”

“Ya, aku mendengarnya, suheng. Dan sungguh tak kusangka kalau hatimu demikian keji! Kau laki-laki pengecut. Kau laki-laki busuk yang hina dan pembohong!”

Gurba terbelalak. “Sumoi, apa yang kulakukan adalah semata demi dirimu. Bi Nio bukan isteriku, ia wanita lain yang bukan apa-apa bagiku!”

“Tapi kau telah menggaulinya, suheng. Dan aku telah mendengar dari pengawal ini apa yang sesungguhnya terjadi. Kau laki-laki pengecut!”

“Bagus, apa saja yang dia katakan?” Gurba tampak beringas.

“Dia mengatakan apa yang sebenarnya harus dikatakan, suheng. Dan sungguh tak kusangka bahwa kau telah memutarbalikkan fakta. Kau memfitnah Kim-suheng!”

“Ha-ha!” Gurba tambah beringas. “Aku melakukan itu semata karena aku mencintaimu, sumoi. Dan sebagai bukti kau lihat bagaimana besarnya cintaku. Aku tak ingin kehilangan dirimu, dan apapun siap kulakukan asal kau bersamaku. Kau dapat memaafkannya, bukan?”

“Tidak, aku justeru malu pada Kim-suheng, twa-heng. Perbuatanmu memalukan dan sungguh pengecut!”

Dan ketika Gurba terbelalak dan marah memandangnya Salima sudah menolong Bi Nio. “Suheng, betapapun kau bukan laki-laki gagah. Aku malu melihat dirimu. Sebaiknya kau minta maaf dulu pada isterimu ini!” dan Salima yang menyadarkan Bi Nio dan melotot memandang suhengnya akhirnya menyadarkan wanita itu, mengangkat bangun Bi Nio.

“Bi Nio, tak perlu kau takut. Aku ada di sini.”

Bi Nio menggigil. “Kau... kau Tiat-ciang Sian-li Salima?”

“Benar.”

“Kau yang menyelamatkan aku? Aku belum mati?”

“Kau masih hidup, Bi Nio. Dan ini suhengku yang hendak kupaksa meminta maaf padamu!” dan menghadapi suhengnya tak peduli pada sorot mata suhengnya yang beringas Salima berkata, “Suheng, kau harus minta maaf pada isterimu. Setelah itu kita pergi minta maaf pada Kim-suheng!”

Gurba tiba-tiba tertawa bergelak. “Sumoi, kau gila. Tak mungkin aku minta maaf pada wanita ini karena dia biang celaka bagiku. Tidak, aku harus membunuh wanita itu atau... hm, kau menerima cintaku, sumoi. Kau ikut aku dan kita menikah!”

Salima mendelik. “Kau masih tak malu mengucapkan cintamu yang kotor itu, suheng? Kau hendak main paksa?”

“Aku tak main paksa, sumoi. Tapi kalau kau menghendaki aku minta maaf pada wanita itu maka kau harus menerima cintaku. Dengan begini aku tak menderita, bahkan apapun yang kau minta untuk wanita ini aku sudi menurutimu!”

“Maksudmu?”

“Kau maafkan aku, sumoi. Setelah itu aku akan minta maaf pada wanita ini. Jangankan minta maaf, kau suruh aku mencium kakinya aku mau, sumoi. Asal kau menerima cintaku dan kita berdua seperti semula!”

“Tidak!” Salima marah. “Kau membuat aku malu, suheng. Dan aku tak akan menerima cintamu yang penuh muslihat itu. Kau curang, kau licik. Kau...”

“Ha-ha, kalau begitu aku akan menangkapmu, sumoi. Aku akan memaksamu dan merobohkanmu!” dan Gurba yang memutus omongan sumoinya berkelebat maju tiba-tiba menyambar dan mencengkeram sumoinya ini, tentu saja dikelit dan ditangkis Salima. Dan ketika Gurba menggeram dan maju kembali tiba-tiba raksasa itu sudah menyerang.

“Sumoi, kau harus tunduk padaku... wutt!”

Salima mengelak, membentak dan melengking tinggi ketika suhengnya menubruk, bertubi-tubi melancarkan serangan hingga Salima marah, memaki suhengnya ini dan sebentar kemudian membalas dan terjadi pertempuran seru di kamar itu. Masing-masing saling pukul mengadu pukulan, meja kursi jungkir balik hingga Bi Nio mengeluh, terhuyung keluar. Dan ketika Salima melengking dan Gurba menggeram akhirnya kamar porak-poranda dan hancur berantakan tak karuan.

“Sumoi, kau tak dapat mengalahkan aku!”

“Tidak, kau yang tak dapat merobohkan aku, suheng. Atau kau tinggal memegang mayatku nanti...plak-dess!” dan Salima yang sengit melawan suhengnya akhirnya dibentak dan menggulingkan benda-benda sekitar, menangkis dan berputaran menghadapi suhengnya. Kemarahan membuat gadis ini bersemangat tinggi.

Tapi ketika suhengnya mulai melancarkan pukulan-pukulan berat dan Salima terdesak tiba-tiba gadis ini mengeluh dan mundur-mundur. Dan akhirnya kamar itu tak dapat dipergunakan lagi sebagai ajang pertempuran. Salima tak leluasa, tekanan-tekanan suhengnya membutuhkan tempat lega untuk mengelak, berlompatan ke sana-sini. Dan ketika pukulan suhengnya semakin berat dan Salima gusar akhirnya gadis ini melompat keluar melalui jendela.

“Ha-ha, kau hendak melarikan diri, sumoi?”

“Tidak, aku pantang mundur, suheng. Dan kau boleh lihat perlawananku kalau disangka melarikan diri...des-dess!” dan Salima yang kembali menangkis dan dikejar suhengnya akhirnya bertempur di luar dan mengerahkan Tiat-lui-kang, betapapun tak mau kalah dan coba menghadapi tekanan suhengnya. Sejenak mampu membalas karena mereka bertempur di luar, di tempat lapang. Tapi ketika Gurba menambah kekuatannya dan Tiat-lui-kang berkali-kali tertolak raksasa ini akhirnya Salima memaki dan mulai gelisah. “Suheng, kau tak tahu malu. Kau pengecut!”

“Ha-ha, terserah makianmu, sumoi. Pokoknya kau roboh dan menerima cintaku!”

“Tidak, aku akan bertempur sampai mati...!” dan Salima yang bertahan dan menggigit bibir akhirnya kewalahan dan marah-marah, terdesak dan terus terdesak karena Tiat-lui-kangnya itu tak ditakuti suhengnya, berani diterima dan terpental bertemu tubuh suhengnya. Menghadapi kekebalan suhengnya yang luar biasa karena sinkang raksasa ini memang hebat, senjata tajampun tak bakal melukainya. Dan karena Gurba memang setingkat lebih tinggi dibanding sumoinya akhirnya raksasa ini tertawa bergelak mengejek sumoinya itu.

“Ha-ha, bagaimana, sumoi? Kau minta roboh kelelahan?”

Salima pucat. Dia memang bukan tandingan suhengnya ini, mulai gemetar dan keringat membasahi tubuh, tenaga mulai lemah karena pukulannya membalik. Selalu tertolak dan membuat lengannya sakit-sakit. Betapapun dia kalah kelas. Dan ketika suhengnya mendesak dan dia menggigit bibir tiba-tiba pukulan suhengnya menyambar tengkuk.

“Plak!” Salima menangkis, terbanting tapi melompat bangun dengan kaki terhuyung, masih melawan dan keras kepala. Dan ketika suhengnya kembali memukul dan dia harus menangkis akhirnya Salima jatuh bangun dan berada dalam keadaan berbahaya, suhengnya tertawa-tawa sementara Tiat-lui-kangnya tak berguna. Betapapun dia kalah lihai. Kedudukannya terancam roboh dan sewaktu-waktu terguling. Dan ketika Salima mengeluh dan tenaga kian habis tiba-tiba pukulan suhengnya tak dapat dia kelit lagi dan persis mengenai pundak.

“Dess...!” Salima terbanting, disusul suhengnya yang cepat menotok sumoinya itu. Tentu saja Salima roboh dan melotot tidak berkutik. Gurba tertawa dan menyambar sumoinya ini. Tapi ketika raksasa itu hendak memanggul dan mendengus di leher sumoinya mendadak lima bayangan berkelebat mengepung.

“Gurba, bagus sekali. Selamat datang...!” Sai-mo-ong dan teman-temannya tiba-tiba berada di situ. Raksasa ini terbelalak, terkejut dan menggereng. Tapi ketika dia melotot dan hendak menyerang tiba-tiba seorang laki-laki muda muncul di depannya, menyeruak diantara lima kawanan iblis itu dan menjura di depan Gurba. Dan ketika Gurba terbelalak dan laki-laki itu tertawa maka Gurba mendengar kata-kata halus yang enak di telinga.

“Hanggoda, selamat datang. Kami sudah lama mengharap-harap kedatanganmu di kaputren ini. Perkenalkan, aku Siauw-ong-ya, Pangeran Muda...!”

Gurba terkejut. Dan belum dia menjawab tiba-tiba pangeran ini telah memegang lengannya, sikapnya begitu bersahabat. “Hanggoda, kami adalah teman-teman sendiri. Jamuan kehormatan telah kusiapkan untukmu. Kau berani menerimanya, bukan?”

Gurba tersinggung. “Siapa kau? Kenapa tidak berani?”

“Ha-ha, aku Siauw-ong-ya, hanggoda. Aku putera dari selir dari ayahanda sri baginda kaisar. Aku telah lama menanti kedatanganmu, mari ke gedungku dan kita bercakap-cakap di sana.”

Gurba mundur. Dia melepaskan tangannya dari pegangan pangeran itu, beradu pandang dengan mata yang cerdik tapi berani. Diam-diam kagum dan heran memandang pangeran ini, tak takut sedikitpun juga memegang lengannya. Padahal dia bisa memukul mampus pangeran itu! Tapi Gurba yang tertegun melihat senyum sang pangeran tiba-tiba melihat pangeran itu memandang sumoinya.

“Aih, ini sumoimu, bukan?” dan ketika dia mengangguk dan Pangeran Muda tertawa mendadak pangeran ini berkata, “Hanggoda, mari terima undanganku. Aku telah mendengar kisahmu, sebaiknya sumoimu ini dilepaskan dan kita bersahabat!”

“Tidak!” Gurba menggeleng. “Aku tak kenal kau, pangeran. Dan aku tak sudi bersahabat dengan iblis-iblis macam mereka itu!” Gurba menuding Sai-mo-ong dan kawan-kawannya, membuat lima iblis itu tertawa dan tidak marah. Aneh sekali. Dan ketika sang pangeran tersenyum dan mengangguk tiba-tiba pangeran ini memberi tanda.

“Baiklah, kalau begitu kau bersahabat dengan aku, hanggoda. Mereka kusuruh pergi biar puas hatimu!” dan Pangeran Muda yang benar-benar menyuruh pergi Sai-mo-ong dan teman-temannya itu tiba-tiba dipandang terbelalak oleh raksasa tinggi besar ini. Heran oleh pengaruh sang pangeran yang demikian besar. Lima pentolan kawakan mau diusir. Begitu penurut. Dan Gurba yang tertegun memandang pangeran ini akhirnya berhadapan satu lawan satu.

“Bagaimana, kau berani menerima undanganku, hanggoda?”

Gurba ragu.

“Aku tak menggigit,” sang pangeran tertawa. “Kau boleh bunuh aku kalau menipu, hanggoda. Dan aku percaya tak mungkin kau menolak kecuali takut!”

Gurba merah mukanya. Dia menggeram memandang pangeran ini, berkali-kali ditantang dan dipojokkan dengan kata-kata “takut”. Tentu saja tak takut dan mendelik pada pangeran itu. Dan ketika dia mengangguk dan Siauw-ongya tertawa maka dia telah digandeng menuju ke sebuah gedung.

“Bagus, terima kasih, hanggoda. Aku memang percaya bahwa kau pasti menerima persahabatanku ini!” dan sang pangeran yang keluar kaputren menuju gedungnya sendiri akhirnya mempersilahkan Gurba duduk. Dan raksasa itu menanyai maksud sang pangeran, dijawab dengan senyum saja oleh pangeran itu. Dan ketika makanan dan minuman mulai dikeluarkan tiba-tiba Gurba mendorong mundur kursinya.

“Pangeran, tak biasa aku bercakap-cakap dengan cara begini berbelit. Kalau ada kepentingan bicaralah, kalau tidak biar aku pergi!”

“Ah, ah, minuman belum disentuh, hanggoda. Masa begitu tergesa? Mari nikmati dulu, kita bicara sambil ngobrol!” dan Pangeran Muda yang buru-buru mengisi cawan si raksasa itu akhirnya bertepuk tangan mengusir pelayan. “Kalian menjauh, pergilah!”

Gurba memandang tajam. Sampai saat itu dia tak menaruh kepercayaan, betapapun matanya yang awas melihat berkelebatnya bayangan lima iblis tadi, Sai-mo-ong dan teman-temannya. Tentu melindungi pangeran ini di balik layar. Tapi ketika dia diajak mengangkat cawan meneguk araknya raksasa ini menolak.

“Pangeran, kau belum berterus terang. Sebaiknya katakan dulu isi hatimu dan kita bicara sekarang!”

“Ah, kau tak percaya, hanggoda? Baiklah, aku memenuhi permintaanmu. Tapi maaf, kita minum dulu arak kita!” dan sang pangeran yang mengangkat cawannya menenggak isinya akhirnya minum sendiri karena Gurba tak mau mengikuti tetap membiarkan arak bagiannya di atas meja. Membuat Pangeran Muda terbelalak dan merah mukanya. Tapi maklum raksasa ini seorang keras hati dan tak mudah dibujuk akhirnya pangeran ini tertawa mengusap mulutnya. “Hanggoda, maafkan. Terus terang saja maksud persahabatanku ini tiada lain hendak meminta bantuanmu untuk sesuatu hal. Aku mengalami tekanan, seseorang mengancam kedudukanku!”

Dan, ketika Gurba mengerutkan keningnya pangeran ini melanjutkan dengan muka muram, “Aku dibenci seorang saudaraku, hanggoda. Dan aku ingin membebaskan diri dari kebencian ini. Aku berduka, persoalannya merembet ke atas dan mungkin sampai di tangan ayahku sri baginda kaisar!”

“Apa yang terjadi? Siapa yang membencimu?”

“Adikku pangeran mahkota.”

Gurba terbelalak. Sebenarnya, dalam masalah begini dia tak tahu menahu, awam. Tapi maklum di dalam istana memang banyak terdapat saingan tiba-tiba raksasa ini tertawa mengejek memandang tuan rumah. “Pangeran, masalah begini sebenarnya tak perlu kau minta bantuanku. Itu urusan pribadi, bukankah orang luar tak perlu mencampuri?”

“Benar kalau bersifat pribadi, hanggoda. Tapi kalau persoalannya menyangkut negara tentu saja aku tak dapat tinggal diam!”

“Hm, apa itu? Bagaimana bisa menyangkut negara?”

"Aku tak berani mengatakannya kalau kau belum berjanji membantuku, hanggoda. Tapi begitu kau berjanji tentu aku akan menjelaskannya!”

Gurba terbelalak. “Apa imbalanmu?” raksasa ini sebenarnya iseng, setengah tertarik setengah tidak. Masih acuh dan coba-coba mengukur kata-kata pangeran itu.

Tapi Pangeran Muda yang bergegas bangkit berdiri tiba-tiba membungkuk di depannya. “Aku janjikan kedudukan yang tinggi, hanggoda. Wakil kaisar atau penasihat raja!”

Gurba terkejut. “Kau main-main?”

“Tidak, aku serius, hanggoda. Dan kau boleh bunuh aku kalau menipu!”

Gurba tersentak. Pangeran ini bersungguh-sungguh, sikapnya tidak main-main dan Gurba membelalakkan mata, tentu saja melengak dan tidak menyangka pangeran itu demikian serius. Tapi mendengus melihat berkelebatnya bayangan Sai-mo-ong dan teman-temannya tiba-tiba Gurba tertawa mengejek. “Pangeran, aku tak mau dikibuli. Kau rupanya serius, tapi bukankah ada lima pembantumu yang lihai-lihai itu?”

“Sai-mo-ong dan teman-temannya?”

“Ya.”

“Ah, mereka tak dapat diandalkan, hanggoda. Kepandaian mereka kalah tinggi dengan kepandaianmu. Aku tak ingin gagal!”

“Tapi aku juga tak ingin bergabung dengan mereka. Sai-mo-ong dan teman-temannya itu musuhku!”

“Kalau begitu kau mau membantuku bila tak bersahabat dengan mereka?”

Gurba terdiam.

“Bagaimana, begitukah, hanggoda?”

Gurba mendengus, bangkit berdiri. “Tidak, aku tak mau membantu apa-apa padamu, pangeran. Maaf kalau aku harus pergi!”

Pangeran Muda terkejut. Dia melihat raksasa itu mau pergi, sudah memutar tubuh dan tidak mempedulikannya. Tentu saja membuat pangeran ini kecewa dan marah. Bujukannya gagal. Tapi tersenyum melangkah lebar tiba-tiba pangeran ini menghadapi Gurba. “Hanggoda, kau rupanya kelupaan sesuatu. Bukankah kau memberi janji pada ayahanda kaisar?”

“Janji apa?”

“Hm, bukankah kau mau menangkap biang keladi permusuhan, hanggoda. Maksudku, bukankah kau berurusan dengan Siauw-bin-kwi yang membuat suku bangsamu hancur?”

Gurba tiba-tiba mendelik. “Benar, dan aku melihat iblis itu diantara pembantu-pembantumu!”

“Tak salah, dan aku dapat membantumu menangkap iblis itu bila kau membantuku, hanggoda. Karena tak mungkin Siauw-bin-kwi dibiarkan teman-temannya bila kau hendak menyerangnya, kecuali jika aku yang mengaturnya!”

Gurba tertegun. “Apa maksudmu, pangeran?”

“Jelas, hanggoda. Aku dapat menolongmu kalau kau mau menolongku pula. Iblis itu berada di tengah-tengah temannya. Tak mungkin berpisah kalau bukan aku yang memerintahnya. Dan kalau kau bersikeras hendak membunuh kakek itu maka kau harus berhadapan dengan Sai-mo-ong dan teman-temannya yang berjumlah lima orang, tak mungkin kau menang!”

Gurba terkejut. Omongan yang disampaikan pangeran ini memang benar, dia tak dapat menghadapi lima lawan sekaligus, meskipun dia tak takut. Hal yang sudah dibuktikan dulu dan memang terlalu berat kalau harus melayani Sai-mo-ong dan teman-temannya berlima itu. Jadi harus sendiri dan menarik perhatian si Setan Ketawa itu agar berpisah dari teman-temannya, satu hal yang agaknya sulit kalau tidak dibantu pangeran ini, karena Siauw-bin-kwi dan teman-temannya rupanya menjadi pembantu pangeran ini. Dan Gurba yang tertegun mengerutkan keningnya akhirnya terbelalak tidak menjawab. Bimbang.

“Bagaimana, kau mau aku menolongmu, hanggoda?”

Gurba bingung. Kalau saja dia tak bermusuhan dengan sute dan sumoinya ini tentu dapat dia menghadapi Sauw-bin-kwi dan teman-temannya itu. Mereka bertiga mungkin dapat mengatasi. Tapi karena dia telah memusuhi sutenya dan dia tinggal sendiri akhirnya Gurba berada di persimpangan jalan, menerima atau menolak. Dan belum dia menjawab tiba-tiba pangeran itu tersenyum memandang sumoinya, yang masih dibawa.

“Hanggoda, sebaiknya kau pikir dulu usulku tadi malam ini. Bagaimana kalau kau beristirahat sejenak? Sumoimu lelah, biar kau bawa dia ke kamarmu dan bersenang-senanglah!”

Gurba berdebar. Dia memang ingin berdua dengan sumoinya ini, memaksa sumoinya agar menerima cintanya. Tak mau melepaskan Salima. Malam itu nafsu iblisnya muncul dan siap menundukkan sumoinya dengan jalan kekerasan. Pikiran jernihnya lenyap terganti pikiran setan, bersinar dan bangkit keinginannya menggauli sang sumoi. Maka begitu sang pangeran menawarkan beristirahat dan menyuruh dia pikir-pikir akhirnya Gurba mengangguk dan setuju.

Dan Pangeran Muda tertawa, memanggil seorang pelayan agar mengantar raksasa ini ke kamarnya, kamar yang telah disediakan. Kamar yang indah dan bagus. Dan ketika Gurba pergi dan raksasa itu membawa sumoinya ke kamar belakang tiba-tiba pangeran itu menyisipkan sesuatu ke tangan raksasa ini.

“Hanggoda, ini adalah obat penunduk cinta. Kau campurkanlah ke dalam minuman kalau sumoimu membangkang.”

Gurba sudah menerima. Dia merasa kebetulan, mengucap terima kasih dan tersenyum memandang pangeran itu, senyum menyeringai. Dan Ketika dia mengikuti pelayan dan tiba di kamar yang dimaksud akhirnya raksasa ini melempar sumoinya ke pembaringan, menutup pintu kamar, membebaskan totokan sumoinya yang membuat sumoinya tak dapat bicara.

“Nah, kau telah tunduk di bawah kekuasaanku, sumoi. Masihkah kau menolak dan tidak menerima cintaku?”

Salima mendelik, berapi-api. “Suheng, sungguh tak kusangka sedemikian rendah watakmu. Sekarang kutahu, di samping hina dan curang kau juga seorang laki-laki pengecut, bagai langit dan bumi dengan Kim-suheng!”

“Hm, tak perlu menyebut-nyebut nama itu, sumoi. Sekarang aku menuntut jawabanmu saja, maukah kau menerima cintaku atau tidak?”

“Tidak!” Salima melengking. “Aku tak sudi menerimanya. Tak sudi menerimanya biar seribu kalipun kau minta!”

“Kalau begitu aku akan memaksamu, sumoi. Aku akan menundukkanmu dengan jalan kekerasan!” dan, ketika sumoinya terbelalak dan pucat memandang raksasa ini tiba-tiba Gurba sudah menubruk dan mencengkeram sumoinya itu, memeluk dan berusaha mencium sumoinya. Sikapnya buas dan penuh nafsu, disambut jerit dan kemarahan sumoinya. Dan ketika Gurba gagal karena Salima meronta-ronta tiba-tiba raksasa itu menotok sumoinya.

Salima mengeluh dan tidak berdaya lagi, ngeri memandang sang suheng yang tampak demikian mengerikan. Matanya merah, napas mendengus-dengus dan siap menerkamnya lagi. Tapi ketika raksasa itu hendak mengulang perbuatannya dan merasa aman di tempat sendiri, mendadak tanpa disangka-sangka pintu ditendang roboh dan seseorang muncul di situ.

“Gurba, jangan rebut kekasihku...!” dan seorang pemuda yang muncul menerjang Gurba tiba-tiba membentak dan menyerang raksasa itu, tentu saja mengejutkan Gurba dan membuat raksasa ini marah, membalik dan menangkis. Dan ketika pemuda itu terjengkang dan bangun melompat berdiri maka tampaklah siapa dia.

“Bu-kongcu...!”

Ternyata benar. Pemuda ini adalah Bu Ham, murid Sai-mo-ong itu, yang kita ketahui amat tergila-gila pada Salima dan kini berteriak keras, menubruk dan menyerang Gurba kembali dengan kipasnya, sudah mencabut senjatanya itu dan kontan membuat berahi Gurba padam, terganggu dan gusar oleh kedatangan pemuda ini. Tapi karena Bu Ham bukan tandingan Gurba dan Gurba marah oleh gangguan ini maka sekali kibas tiba-tiba kipas di tangan pemuda itu hancur dan Bu Ham terguling-guling, kaget tapi nekat mencabut senjatanya yang lain, ular di tangan kiri.

Dan ketika Gurba membentak dan berkelebat menyambarnya tiba-tiba pemuda ini mengelak menyambarkan ularnya itu, berteriak pada Salima agar tenang. Dia akan menyelamatkannya. Tapi karena dia bukan tandingan raksasa ini dan Gurba menggeram-geram akhirnya Bu Ham jatuh bangun dan pucat mukanya mendapat kibasan lawan. Berkali-kali tertolak dan terlempar tak karuan. Ular di tangannya tak ditakuti raksasa itu, bahkan akhirnya dicengkeram hancur dan Bu Ham berteriak. Nyaris tertangkap.

Dan ketika ganti dia diserang dan Bu Ham mundur-mundur akhirnya pemuda ini tersandung dan roboh terjengkang, satu pukulan Gurba tak dapat dielak lagi. Tapi ketika Bu Ham terancam dan dia mengeluh mendadak Leng Hwat muncul mengelebatkan pedangnya, menolong pemuda ini.

“Gurba, jangan bunuh kekasihku...!”

Gurba terkejut. Sebenarnya dia juga tak akan membunuh lawan, kecuali membuat lawan pingsan dan roboh, memberi hajaran berat. Setidak-tidaknya mematahkan tulang pemuda itu. Tapi ketika Leng Hwat muncul dan murid Tok-gan Sin-ni itu menyerang matanya dengan pedang tentu saja dia menarik pukulan menangkis serangan ini.

“Plak!” Leng Hwat roboh terguling-guling. Dia berhasil menyelamatkan Bu-kongcu, Bu Ham sendiri sudah melompat bangun dan terbelalak memandang temannya itu, bersyukur. Ngeri melihat telapak Gurba yang nyaris mengenai dirinya. Dan ketika Leng Hwat juga melompat bangun dan mengeluarkan kipas hitam untuk Bu Ham tiba-tiba murid Tok-gan Sin-ni itu berteriak,

“Bu Ham, kita keluar saja. Tak perlu melawan raksasa ini...!”

“Tidak,” Bu Ham menggeleng, menangkap senjata baru itu. “Aku hendak menolong Salima, Leng Hwat. Justeru kau bantu aku agar dapat membebaskan dirinya.”

“Tapi dia tak ada urusan denganku. Sebaiknya pergi saja dan jangan mencari penyakit!”

“Tidak, justeru kau yang harus bantu aku untuk menyelamatkan gadis ini. Dia pujaanku!” dan Bu Ham yang sudah menyerang Gurba kembali dengan kipas pemberian Leng Hwat akhirnya membuat murid Tok-gan Sin-ni itu marah-marah dan jengkel pada Bu Ham, tak senang Bu Ham demikian tergila-gila pada Salima. Tapi karena Bu Ham telah menyerang lawan dan Gurba bukan tandingan pemuda itu akhirnya Leng Hwat membentak dan membantu temannya.

“Baiklah, kau memang mata keranjang, Bu Ham. Kutendang kau nanti kalau kita berhasil... sing-sing!” dan pedang Leng Hwat yang menyambar-nyambar raksasa ini dengan penuh keganasan akhirnya berkelebatan bersama kipas yang menotok dan mengetuk. Semuanya ke arah Gurba yang jadi melotot oleh gangguan dua orang ini, tentu saja menangkis dan menggeram marah.

Dan karena raksasa itu memiliki kekebalan luar biasa dan sinkangnya mampu menahan totokan maupun bacokan senjata tajam akhirnya semua serangan kipas dan pedang mental bertemu tubuh raksasa ini. Membuat Bu Ham dan Leng Hwat pucat, ngeri dan gentar. Dan ketika Gurba mulai membalas dan raksasa itu mengeluarkan Tiat-lui-kangnya tiba-tiba Leng Hwat dan Bu Ham menjerit.

“Aduh...!”

“Augh...!”

Gurba menjengek. Dia mempermainkan dua orang itu, mendesak dan sebentar kemudian menekan mereka. Tak lama kemudian kipas Bu Ham kembali hancur. Bu Ham mempergunakan gagangnya saja untuk menangkis dan mengelak. Dan Leng Hwat yang juga terdesak memutar pedangnya akhirnya melecutkan rambut mainkan Sin-mauw-kang (Tenaga Rambut Sakti). Tapi, mana mereka dapat menahan raksasa ini? Biarpun guru mereka sendiri tak mungkin mengalahkan Gurba.

Maka, ketika pertempuran berjalan limabelas jurus dan pedang serta rambut juga tak mampu melukai raksasa itu akhirnya Leng Hwat roboh ketika pedangnya patah, rambut juga putus disambar raksasa itu, dibetot. Dan ketika Leng Hwat menjerit dan terjengkang mengeluh tertahan maka Bu Ham juga mengalami hal yang sama ketika gagang kipasnya hancur, dicengkeram sekaligus ditarik raksasa itu. Tapi ketika Gurba menendang dan dua orang itu menjerit keluar kamar mendadak dua bayangan berkelebat menangkap dua orang ini.

“Gurba, jangan menghina muridku...!”

Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni muncul. Mereka telah menangkap murid mereka itu. Bu Ham diterima gurunya sementara Leng Hwat oleh subonya. Masing-masing melotot dan marah memandang Gurba. Dan ketika mereka melompat masuk dan marah menghadapi raksasa ini maka Gurba naik pitam terganggu untuk yang terakhir kalinya. Dan saat itu kebetulan Pangeran Muda muncul, mendengar suara ribut-ribut dan cepat datang ke situ. Dan melihat Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni berhadapan dengan raksasa ini sementara Gurba mendelik di dalam kamar tiba-tiba pangeran ini menyeruak dengan muka berubah.

“Pangeran, beginikah caramu menyampaikan persahabatan?” Gurba langsung saja membentak, mendahului pangeran itu.

Dan Siauw-ong-ya yang terkejut dan cepat mengangkat lengannya tiba-tiba memandang sekeliling kamar. “Maaf, apa yang terjadi, hanggoda?”

“Kau tanya saja mereka itu. Merekalah yang mengganggu!”

“Hm, apa yang terjadi, Mo-ong?”

“Dia hendak membunuh muridku, pangeran. Dan tentu saja kami datang mencegah!”

“Begitukah?”

“Tidak,” Gurba menggereng. “Mereka datang justeru hendak membela murid mereka, pangeran. Sebaiknya kau tanya saja dua bocah itu!”

Pangeran Muda menghadapi Leng Hwat. “Kouwnio (nona), apa yang terjadi?”

“Aku sekedar membantu Bu Ham, pangeran. Dia diserang dan dipermainkan raksasa ini.”

“Hm, kalau begitu apa yang terjadi, Bu-kongcu?”

Bu Ham bersinar-sinar memandang Salima. “Aku... aku hendak menolong kekasihku, pangeran. Raksasa ini hendak mengganggu Salima!”

Pangeran Muda terkejut. “Tapi dia sumoinya. Dan aku yang memberikan tempat ini bagi mereka.”

“Tapi aku tak tahan, pangeran. Dia kekasihku, raksasa Tar-tar ini hendak memperkosa pujaanku!” dan belum Pangeran Muda menjawab tiba-tiba Bu-kongcu menyerang Gurba. “Suhu, bantu aku. Bunuh raksasa ini!”

Pangeran Muda terkejut. Semua orang juga terkejut, melihat Bu Ham menerjang dan berani karena guru dan teman gurunya ada di situ, Tok-gan Sin-ni. Tapi Gurba yang menggereng menyambut serangan tiba-tiba menangkap lengan Bu Ham.

“Plak!” Bu Ham terkejut. Gurba telah memilinnya, mencengkeram tangannya dan langsung ditelikung, diangkat dan tiba-tiba membentak melempar pemuda itu. Dan ketika Bu Ham menjerit dan mengaduh kesakitan tiba-tiba tangannya patah dan pemuda itu dilempar keluar kamar tak bangkit lagi, pingsan.

“Brukk!”

Sai-mo-ong dan lain-lain kaget. Gerakan itu berlangsung cepat, Gurba tak mau main-main lagi dan langsung membuat pemuda itu roboh, terlempar pingsan. Dan Sai-mo-ong yang tentu saja marah dan meraung tinggi tiba-tiba menerjang Gurba mencabut kipas bulu singanya. “Tar-tar liar, kau tak tahu aturan!”

Gurba mendengus. Sekarang dia tak sungkan-sungkan lagi, menyambut serangan lawan dan tidak mengelak kebutan kipas. Dan ketika dua lengan mereka beradu keras tiba-tiba Sai-mo-ong mengeluh dan terpental mundur. Dan saat itu Tok-gan Sin-ni melengking, siap menyerang Gurba membantu temannya. Tapi Pangeran Muda yang maju membentak marah tiba-tiba menghadang.

“Sin-ni, Mo-ong, tahan. Tak boleh kalian menyerang tamuku!” dan ketika dua iblis itu terbelalak pangeran ini mengulapkan lengan. “Mo-ong harap kalian keluar membawa murid kalian. Gurba adalah tamuku, kita tak boleh bermusuhan!” dan buru-buru memegang lengan raksasa ini Pangeran Muda berkata, “Maaf, ini di luar dugaanku, hanggoda. Tapi percayalah, tak ada lagi yang akan mengganggumu di sini. Bu-kongcu memang salah!”

Dan menjura menyabarkan raksasa itu Pangeran Muda mengedipi dua pembantunya, menyuruh Mo-ong dan Sin-ni keluar. Disambut mata melotot dan sikap tidak puas dua orang iblis ini. Tapi karena Pangeran Muda adalah orang berpengaruh dan mereka adalah pembantu-pembantu pangeran ini akhirnya Mo-ong menyambar muridnya mendengus tak puas. Dan Sin-ni juga lenyap menyusul, menarik muridnya pergi dari kamar itu. Keadaan sekarang sepi. Bu Ham terlanjur diberi hajaran. Dan Pangeran Muda yang kembali memandang Gurba berkata perlahan,

“Maaf, aku tak tahu, hanggoda. Tapi percayalah sekali ini keadaan tenang. Aku tak tahu kalau Bu-kongcu tergila-gila pada sumoimu!”

“Hm...!” Gurba terlanjur tak senang. “Aku merasa tak bebas di tempat ini, pangeran. Sebaiknya aku pergi!” dan Gurba yang tidak banyak cakap menyambar sumoinya tiba-tiba berkelebat melalui jendela, lenyap sekejap mata.

“Hei...!”

Namun Gurba menghilang. Raksasa itu mendongkol pada semua kejadian yang dia alami, marah pada Bu-kongcu dan semua orang, termasuk Pangeran Muda. Tapi ketika dia keluar kota raja dan meluncur di jalanan yang sepi mendadak lima bayangan berkelebat mengepungnya.

“Heh-heh, kau laki-laki sombong, Gurba. Mana bisa kau berlalu begitu saja? Ayo berhenti, kembali ke pangeran atau kau kami bunuh!”

Hek-bong Siang-lo-mo dan teman-temannya muncul. Mereka itu tadi mengejar Gurba, secara diam-diam. Menunggu raksasa itu keluar kota raja dan kini berada di jalan yang sepi. Tentu saja membuat Gurba mendelik dan marah. Tapi teringat sumoinya yang masih dipanggul dan lima lawan sekaligus tak mungkin dihadapinya berbareng akhirnya Gurba menjadi bingung dan membentak gusar. “Tikus-tikus busuk, kalian mau apa?”

“Heh-heh, kami mau kau kembali ke pangeran, Gurba. Atau kami membunuhmu kalau kau membangkang!”

“Keparat...!” dan Gurba yang bingung melihat lawan maju tiba- tiba membebaskan sumoinya, dalam keadaan terpaksa. “Sumoi, maafkan aku. Tapi musuh tak mungkin kuhadapi sendirian. Kau berdirilah!” dan Gurba yang menurunkan sumoinya mendelik pada lawan tiba-tiba mendapat tamparan keras ketika sumoinya turun.

“Jahanam, kau tak tahu malu, suheng. Kau pengecut dan kurang ajar... plak-plak!”

Gurba terhuyung. Salima tidak mempedulikan lima lawannya itu, menampar suhengnya dan kini berkelebat marah, bertubi-tubi melakukan serangan dan tentu saja membuat Gurba terbelalak. Dan ketika sumoinya melengking dan musuh tertawa-tawa tiba-tiba Salima telah menerjangnya tak menghiraukan Sai-mo-ong dan kawan-kawannya itu. Tentu saja membuat Gurba geram dan naik pitam, mengelak dan menangkis. Dan ketika Sai-mo-ong dan teman-temannya itu terkekeh memandang dua kakak adik yang bertempur ini akhirnya Gurba membentak,

“Sumoi, jangan gila. Musuhmu adalah mereka, bukan aku!”

“Tak peduli. Kaupun musuhku, suheng. Kau menghina dan mempermainkan aku... tar-tar!” dan ledakan Tiat-lui-kang yang dilancarkan Salima dan bertemu tangkisan suhengnya akhirnya membuat Gurba marah dan bingung, terpaksa menahan amukan sumoinya ini sementara musuh yang mengepung tertawa-tawa. Mereka menjadi tontonan. Persis laga dua ekor jago.

Tapi ketika sumoinya tak mau sudah dan mendesak marah tiba-tiba Gurba menghentikan serangan sumoinya dengan pukulan keras, membuat sumoinya mencelat dan mengeluh tertahan, persis ke arah Twa-lo-mo. Dan karena Twa-lo-mo laki-laki kotor dan merasa mendapat durian tiba-tiba iblis cebol ini terbahak, menangkap Salima dan siap memeluk gadis itu. Tapi begitu Salima disentuh dan sadar akan bahaya mendadak gadis ini membalik menendang perut lawan.

“Dess!” Twa-lo-mo kontan terjengkang. Iblis ini berteriak, perutnya mulas, terguling-guling dan membuat adiknya marah. Dan ketika Ji-lo-mo membentak dan menubruk Salima tiba-tiba pundak Salima tertangkap dan langsung dicengkeram.

“Bret!” Salima terhuyung, melepaskan diri dan cepat membalas dengan satu putaran kaki ke belakang, lagi-lagi mendupak dan kali ini siap “menjalu” anggota rahasia iblis cebol itu. Tapi karena Ji-lo-mo waspada dan berteriak menangkis akhirnya Salima terbanting dan bergulingan mendekati suhengnya itu.

“Nah, bagaimana, sumoi. Kau masih hendak membiarkan dua iblis cebol itu menggerayangi tubuhmu?”

Salima menggigit bibir. Sekarang dia sadar, marah tapi juga bingung mana yang harus lebih dulu dihadapi. Suhengnya ini ataukah Hek-bong Siang-lo-mo yang kurang ajar, dua iblis cebol yang menjijikkan. Tapi ketika yang lain terkekeh dan menyuruh dia menghadapi suhengnya lagi mendadak Salima melengking menerjang dua iblis cebol itu, ganti menyerang melepaskan suhengnya. Membuat Gurba girang karena itu pertanda sumoinya tak memusuhi dirinya, meskipun sesaat. Dan karena sumoinya telah menyerang Hek-bong Siang-lo-mo dan tiga musuh yang lain tertegun di situ mendadak Gurba membentak menerjang Sai-mo-ong dan Tok-gan Sin-ni ini, juga Siauw-bin-kwi.

“Ha-ha, sumoiku mencintaiku, Mo-ong. Tak mungkin dia menyerang aku kecuali kalian. Robohlah, terima pukulanku!” dan Gurba yang melepas pukulannya menghantam tiga iblis itu tiba-tiba ditangkis dan disambut tiga seruan kaget dari tiga orang lawannya.

“Des-des-dess!”

Gurba dan tiga lawannya sama-sama terpental. Tok-gan Sin-ni melengking, marah karena Salima tak menyerang suhengnya lagi. Gurba sudah menyerang mereka sementara gadis itu menyerang Hek-bong Siang-lo-mo. Dan karena mereka harus menangkap dua orang ini dan dua orang itu telah bersatu kembali mendadak Tok-gan Sin-ni melecutkan rambut mainkan Sin-mauw-kangnya.

“Gurba, kau laki-laki tak tahu dihormat pangeran. Mampuslah!”

Gurba menangkis. Rambut Tok-gan Sin-ni terpental, membalik dan membuat wanita itu memekik, berkelebat lagi dan menyerang lagi. Dan ketika dua temannya yang lain juga membantu dan menyerang Gurba akhirnya Sai-mo-ong menggereng mencabut kipas bulu singanya.

“Benar, kita bunuh saja raksasa ini, Sin-ni. Tak perlu diampuni membuat kita iri, wutt...!” dan kipas yang menyambar mengebut muka Gurba akhirnya dielak dan disusul pukulan Siauw-bin-kwi, terkekeh menghantam kepala raksasa itu. Dan ketika Gurba melompat dan menangkis akhirnya empat orang ini bertempur sementara Salima dan Hek-bong Siang-lo-mo juga terlibat dalam pertandingan seru.

Demikianlah, dua kelompok ini akhirnya pecah. Gurba menghadapi tiga lawannya seperti dulu, menangkis dan balas menyerang. Tiat-lui-kangnya mulai meledak-ledak sementara pukulan dan serangan lawan juga menyambar-nyambar dirinya, rambut dan kipas bulu singa serta pukulan Siauw-bin-kwi. Hawa sinkang menderu dan saling tampar, berkali-kali keduanya terhuyung dan terpental.

Tapi karena Gurba memiliki kekebalan mengagumkan berkat sinkangnya yang luar biasa itu maka kipas maupun rambut tak ada yang mampu melukai raksasa ini. Pukulan Siauw-bin-kwi sering tertolak oleh tangkisan Gurba, tak jarang bertemu Tiat-lui-kang yang dikeluarkan raksasa ini. Disambut keluhan dan mata terbelalak oleh Iblis Muka Ketawa ini, tak jadi ketawa karena pukulan Gurba memang kuat. Tangkisan sinkangnya membuat lengan tergetar dan sering dia terpental, tentu sudah dibalas lawan kalau Sin-ni maupun Mo-ong tak maju membantu. Dan ketika pertempuran berjalan seru dan masing-masing pihak penasaran oleh pertandingan ini akhirnya Tok-gan Sin-ni berseru pada temannya,

“Mo-ong, keluarkan Hek-sai-mo-hoatmu (Silat Iblis Singa Hitam). Gabung dengan kipasmu itu!”

Mo-ong mengangguk. Dia memang belum mengeluarkan Hek-sai-mo-hoatnya itu, Silat Singa yang buas. Maka begitu rekannya berseru dan dia membentak tiba-tiba iblis ini menggereng-gereng dan mengosok kakinya ke sana-sini, meloncat-loncat, lengan mencakar sementara kipas di tangan kanan masih terus menderu dan mengebut. Sepak terjangnya menjadi hebat dan ganas. Dan ketika Tok-gan Sin-ni terkekeh dan mainkan rambutnya dengan lebih hebat mendadak mereka menekan raksasa itu hingga Gurba terdesak.

“Heh-heh, bagus. Dan kau tambah juga pukulan sinkangmu, Bin-kwi. Dorong dan terus pukul raksasa ini!”

Siauw-bin-kwi pun mengangguk. Dia menambah kekuatannya, menggabung dengan serangan dua temannya yang lebih diperhebat. Tentu saja membuat Gurba kewalahan dan marah, terdesak. Dan ketika beberapa saat kemudian dia ditekan dan rambut serta kipas berkelebatan kian ke mari di mukanya mendadak satu cengkeraman Mo-ong mengenai pundaknya.

“Cret!” Gurba terkejut. Cakar Mo-ong menancap bagai cakar singa, kukunya amblas dan menekan daging. Hampir saja tembus kalau dia lengah melindungi diri. Dan ketika dia terbelalak dan lawan terkekeh mendadak Sin-ni dan Bin-kwi melepas dua pukulan maut, rambut wanita itu melecut matanya sementara pukulan Bin-kwi menghantam ulu hatinya.

Dan Gurba yang tentu saja berteriak mengempos semangatnya tiba-tiba melempar kepala menarik seluruh hawa saktinya ke pusat, menghindari lecutan rambut yang mengarah matanya, daerah lemah yang tak mungkin dilindungi sinkang. Dan ketika dia membentak berseru keras mendadak raksasa ini mengangkat kedua lengannya menolak ke atas, diiringi kilatan putih yang meledak di tengah udara.

“Awas Pek-sian-ciang...!”

Sai-mo-ong dan teman-temannya terbelalak. Mereka telah mengenal pukulan itu, Pek-sian-ciang (Pukulan Tangan Dewa). Pukulan yang membuat mereka jeri dan dahsyat, dulu terluka dan hampir tewas. Tentu saja membanting tubuh bergulingan menarik serangan sendiri, tak berani beradu. Tapi karena hawa pukulan terlanjur menderu dan Gurba juga mengeluarkan ilmunya yang ampuh itu maka Pek-sian-ciang membentur tiga pukulan sinkang yang dilepas tiga iblis tadi.

“Des-des-dess!”

Mo-ong dan teman-temannya mengeluh. Mereka terbanting bergulingan, terlempar dan mencelat setombak. Untung saja menarik pukulan dan cepat berkelit, kalau tidak tentu berhadapan langsung dan mungkin terluka. Kini melompat bangun dan hanya bergoyang saja, pucat. Dan ketika Gurba tertawa dan menerjang mereka mendadak di sebelah kiri Salima menjerit.

“Aih... bret!”

Gurba terkejut. Dia melihat sumoinya terpelanting, baju terobek oleh sabit yang dikeluarkan Hek-bong Siang-lo-mo. Melihat dua iblis itu terkekeh-kekeh dan mengejar Salima. Sumoinya menangkis tapi pundak kembali terobek, kiranya sumoinya terdesak sementara dia mendesak Mo-ong dan teman -temannya ini. Dan ketika sumoinya mengeluh dan harus melempar tubuh ke sana ke mari menyelamatkan diri maka Twa-lo-mo terbahak gembira mendesak sumoinya itu.

“Ha-ha, sebentar lagi kau roboh, Tiat-ciang Sian-li. Dan aku ganti menggumuli dirimu seperti suhengmu...wut -wutt!” sabit menyambar-nyambar, diiringi kekeh dan tawa iblis cebol itu yang membuat telinga merah. Gurba marah dan melotot. Tapi ketika dia hendak membantu sumoinya dan mendelik mengepal tinju tiba-tiba tiga lawannya kembali menerjang.

“Gurba, kau adalah lawan kami. Hayo jangan meleng (lengah)...!”

Gurba menggeram. Sai-mo-ong dan teman-temannya itu menyerangnya lagi, tentu saja dia mengerahkan Pek-sian-ciangnya dan menangkis. Tapi begitu lawan mengelak dan sumoinya terhuyung jatuh bangun maka Gurba hendak menolong dan melompat membantu sumoinya itu. Tapi Sai-mo-ong dan dua temannya datang mengganggu, lagi-lagi menyerang tapi selalu melompat menghindar kalau melihat Pek-sian-ciang. Jelas takut tapi juga tak mau raksasa itu membantu Salima. Jadi seperti kucing-kucingan dan Salima kian terdesak saja. Bajunya robek-robek dan kian terkuak lebar.

Agaknya sengaja dua iblis cebol itu mempermainkan sumoinya agar setengah telanjang, kata-kata kotor mulai berhamburan dan Gurba melotot. Ingin membantu tapi selalu dihalangi lawannya, padahal tiga lawannya juga selalu menghindar bila dia mengeluarkan Pek-sian-ciang. Dan ketika raksasa itu bingung dan gusar dipermainkan begini mendadak Salima menjerit tertahan ketika sabit membacok lehernya, dielak tapi sabit kedua di tangan Ji-lo-mo menyambar. Kedudukannya terancam dan Ji-lo-mo terkekeh, menunggu robohnya gadis itu. Tapi persis Salima mengeluh dan Twa-Io-mo juga menubruk gadis itu mendadak Kim-mou-eng muncul menampar sepasang iblis cebol ini.

“Hek-bong Siang-lo-mo, kalian iblis-iblis curang. Pergilah...!”

Hek-bong Siang-lo-mo terkejut. Mereka sudah bersiap merobohkan gadis ini, menerima tubuhnya dan mempermainkannya sesuka hati. Tapi begitu sesosok bayangan menyambar mereka dan menampar mereka mendadak dua iblis ini berseru kaget ketika dua sabit mereka tertolak mencelat.

“Aih...!”

“Hei...!”

Dua iblis cebol itu membanting tubuh bergulingan. Mereka kaget bukan main oleh kehadiran Kim-mou-eng, tak menyangka kedatangannya. Melihat pemuda berambut emas itu telah meledakkan Tiat-lui-kang menampar mereka. Sabit mencelat dan jatuh di tanah, tentu saja mereka bergulingan menyambar dan merampas kembali senjata mereka. Dan ketika mereka melompat bangun dan Salima terhuyung ditangkap Kim-mou-eng maka Pendekar Rambut Emas itu menepuk sumoinya menyuruh mundur, menghadapi mereka berdua.

“Hek-bong Siang-lo-mo, kalian memang manusia-manusia licik. Terimalah pukulanku...!” dan Kim-mou-eng yang berkelebat menyerang dua orang itu akhirnya membuat Hek-bong Siang-lo-mo berteriak-teriak. Salima mundur karena lelah, kini menghadapi tenaga baru yang masih hebat.

Dan ketika Kim-mou-eng berani menangkis dan sabit di tangan dua iblis cebol itu tak melukai pendekar ini seperti halnya Gurba yang juga tahan bacokan senjata tajam akhirnya dua iblis cebol ini gentar dan mundur-mundur, bingung dan kewalahan menghadapi Kim-mou-eng. Pucat. Betapapun harus mengakui bahwa kepandaian Kim-mou-eng memang tinggi, mereka masih kalah, biarpun berdua mengeroyok. Dan ketika kembali mereka menangkis dan sabit terlepas dari tangan akhirnya dua iblis ini berteriak dan melarikan diri.

“Kim-mou-eng, kau bocah keparat. Jahanam kau...!”

Kim-mou-eng tak mengejar. Dia tahu watak orang-orang sesat, menghina lawan kalau menang dan melarikan diri kalau kalah. Tapi melihat suhengnya masih bertempur dan Sai-mo-ong serta dua orang temannya itu masih mengeroyok suhengnya maka ke sinilah dia berkelebat, ganti membantu dan menyerang tiga iblis itu. Tentu saja Sai-mo-ong dan teman-temannya terkejut, menghadapi Gurba saja mereka harus main kucing-kucingan. Maka begitu lawan bertambah seorang dan kedudukan mereka terancam tiba-tiba saja tanpa dikomando mereka bertiga memutar tubuh melarikan diri.

“Bin-kwi, angin terlalu kuat...!”

Sai-mo-ong mendahului meninggalkan lawan. Kata-katanya itu menunjukkan musuh terlalu berat bagi mereka, tentu saja dimengerti yang lain dan diikuti Sin-ni dan Siauw-bin-kwi. Mereka membalik memutar tubuh, habis bergulingan menangkis pukulan. Dan begitu mereka lenyap melarikan diri maka Gurba dan Kim-mou-eng otomatis kehilangan lawan.

Tapi Gurba membentak, mengejar dan memberi pukulan dari belakang, ditangkis dan kembali tiga orang itu terpental terguling-guling. Roboh tapi melompat bangun melarikan diri. Tapi ketika Gurba hendak mengejar lagi dan ada tanda-tanda ingin menghindar dari sutenya mendadak Salima yang sudah memulihkan tenaganya melayang di atas kepala suhengnya ini.

“Suheng, mereka telah pergi. Biarkan saja. Sekarang kita lanjutkan perhitungan kita... wutt!” dan Salima yang langsung menyerang suhengnya dengan satu tamparan ke kepala tiba-tiba membuat suhengnya terkejut dan menangkis, dielak tapi Salima kembali menyerang, membentak dan sebentar kemudian mengurung suhengnya itu dengan pukulan-pukulan sinkang. Tentu saja Gurba terbelalak dan kaget. Tahu sumoinya berani karena sutenya ada di situ. Dan ketika Salima melengking dan pukulan demi pukulan tak henti mencecarnya akhirnya Gurba menjadi pucat dan berseru marah.

“Sumoi, jangan gila. Aku bukan musuh!”

“Tidak, yang gila adalah kau, suheng. Kau hampir membuat malu aku. Aku tak dapat memaafkanmu, mampuslah!” dan Salima yang meneruskan serangannya dengan pukulan dan tamparan tiba-tiba membentak dan lenyap berkelebat menyerang suhengnya itu. Sebentar kemudian ledakan Tiat-lui-kang menyambar bertubi-tubi bagai petir. Gurba terpaksa bertindak dan melayani sumoinya ini. Dan ketika dia juga membentak dan marah menghadapi sumoinya akhirnya dua orang itu bertempur sendiri dan ditonton Kim-mou-eng yang membelalakkan mata.

Kim-mou-eng memang tak tahu apa yang terjadi. Mengira itu adalah pelampiasan marahnya sumoinya yang telah ditipu oleh suhengnya itu. Tak menduga sama sekali bahwa suhengnya ini hampir memaksakan kehendak sendiri memperkosa sumoinya. Hal yang akan membuat dia kaget dan heran, juga marah, kalau tahu. Maka begitu mereka bertempur dan dia menonton dengan hati bingung tapi juga geli oleh pertandingan yang dianggap pelampiasan jengkel ini Kim-mou-eng tak membantu pihak manapun dengan pikiran kalau sumoinya hilang jengkelnya tentu pertempuran itupun akan berhenti sendiri setelah sumoinya melepaskan semua rasa mendongkol.

Tapi Kim-mou-eng terkejut. Pertempuran tak segera berakhir, bahkan ada tanda-tanda kian menghebat dan sumoinya terdesak, mulai menangis dan kini terdesak oleh suhengnya itu. Memang suhengnya lebih kuat dibanding sumoinya itu. Dan ketika Gurba juga melancarkan pukulan-pukulan keras dan keduanya tidak main-main lagi akhirnya Kim-mou-eng terkejut melebarkan matanya. Apalagi suhengnya dua tiga kali membuat sumoinya terbanting bergulingan.

Salima mengeluh dan terhuyung-huyung, nekat menyerang kembali tapi terbanting kembali begitu suhengnya menangkis. Keras lawan keras. Pertandingan ini tidak lagi sekedar pelepas jengkel tapi diselubungi kemarahan, dendam dan sakit hati, terutama di pihak Sumoinya. Dan Kim-mou-eng yang tak dapat tinggal diam lagi menonton dengan hati cemas akhirnya maju membentak mencoba melerai dua orang itu.

“Suheng, sumoi, cukup. Tak perlu main-main lagi!”

Tapi Salima tak menghiraukan. Gadis ini berteriak marah menangkis suhengnya, terus menyerang dan bertahan. Tapi karena suhengnya lebih lihai dan pertempuran kian berat sebelah akhirnya gadis ini roboh terjungkal ketika satu pukulan suhengnya mengenai leher kanannya.

“Plak!” Salima tak dapat segera melompat bangun. Kali ini dia nanar, pandangan berputar dan menangis menggigit bibir. Tentu saja Kim-mou-eng terkejut dan cepat menolong sumoinya itu. Tapi ketika Salima terhuyung dan mendelik memandang suhengnya tiba-tiba dia meloncat dan menerjang lagi.

“Kim-suheng, twa-heng hendak memperkosa aku. Biar aku membunuh dia atau dia yang membunuh aku...!”

Kim-mou-eng terkejut. Dia melihat sumoinya itu sudah menyerang lagi dan nekat, tersentak mendengar seruan ini. Dan ketika Salima kembali menerjang dan Gurba menangkis maka Kim-mou-eng terbelalak dengan muka merah. “Apa, suheng hendak memperkosamu, sumoi?” Kim-mou-eng hampir tak percaya.

“Ya, dan dia hampir menggagahiku, suheng. Twa-heng tak tahu malu dan hina!” dan Salima yang menyerang sambil menangis akhirnya membuat Kim-mou-eng tertegun dan terkejut mendengar kata-kata ini. Suhengnya dilihatnya melotot dan menggeram, menangkis dan kembali membuat sumoinya terpental. Dan ketika Salima terguling-guling dan Gurba tampak malu dan marah tiba-tiba raksasa ini mengejar dengan satu pukulan lurus ke kepala.

“Sumoi, kau tak dapat diberi hati. Mampuslah...!”

Kim-mou-eng tak dapat tinggal diam lagi. Sekarang suhengnya itu dilihatnya menurunkan pukulan maut, rupanya gusar sumoinya memberi tahu perihal itu. Dan Kim-mou-eng yang membentak berkelebat maju tiba-tiba menangkis dan menyelamatkan sumoinya itu. “Suheng, kau keji. Tahan... dukk!”

Dan dua lengan yang beradu yang membuat mereka tergetar dan terdorong mundur akhirnya membuat raksasa ini meraung. Salima selamat dan melompat bangun. Kim-mou-eng telah menghadapi suhengnya itu dan kini diserang. Mereka segera bertempur, masing-masing sama marah Kim-mou-eng melindungi sumoinya sedang Gurba ingin membunuh sutenya itu, juga sumoinya, kalau dapat.

Dan Salima yang sempoyongan melompat bangun tiba-tiba membentak dan mengeroyok twa-hengnya itu, membuat Gurba terkejut dan kewalahan. Betapapun Kim-mou-eng saja belum tentu mampu dia robohkan. Dan ketika Salima maju membantu dan dia mendapat serangan dari kiri kanan akhirnya Gurba terdesak dan balik ditekan.

“Sute, kau suka mencampuri urusan orang lain!”

“Tidak, sumoi bukan orang lain bagiku, suheng. Justeru kau yang terlalu dan kelewatan. Kau harus minta maaf, atau aku akan merobohkanmu dan memaksamu mengakui kesalahan!” dan Kim-mou-eng yang terus menyerang dan menekan suhengnya ini akhirnya membuat Gurba kelabakan dan terdesak kian berat, mulai menerima pukulan dan tamparan.

Dari Salima tak seberapa dirasakan karena pukulan gadis itu mulai lemah. Salima letih, pertandingan berkali-kali membuat dia kehabisan tenaga. Tapi pukulan atau tamparan sutenya yang menyengat dan sakit menembus kekebalannya akhirnya membuat raksasa ini marah-marah dan melotot. Dan, ketika pertempuran berjalan sekian jurus lagi dan Gurba berlaku nekat tiba-tiba pukulan dan tamparan dua orang itu ditangkis berbareng, dari kiri kanan.

“Des-dess!”

Salima dan Gurba terlempar tiga tombak. Raksasa itu kalah kuat, tamparan Kim-mou-eng tak dapat diterima dan dia terpelanting. Dan Salima yang juga terbanting karena dia kalah kuat menghadapi suhengnya ini akhirnya terguling-guling dan mengeluh tak dapat melompat bangun, dadanya nyeri, lengannya bengkak. Tentu saja mengaduh dan tak dapat mengeroyok. Tapi Gurba yang melompat bangun dengan lengan melepuh ternyata juga bisa melanjutkan pertandingan, terluka ketika tadi menangkis sutenya, Kim-mou-eng. Dan begitu dia melotot dan menggereng tiba-tiba raksasa ini memutar tubuhnya melarikan diri.

“Sute, lain kali kita bertemu lagi...!”

Kim-mou-eng tertegun. Dia tak mengejar, melihat sumoinya merintih dan tentu saja lebih memperhatikan sumoinya itu, melompat dan menolong sumoinya. Dan ketika dilihatnya sumoinya kesakitan karena lengannya bengkak maka Kim-mou-eng sudah mengeluarkan obat mengurut lengan sumoinya ini. Tak lama kemudian sembuh dan lengan yang bengkak itu kempes kembali. Salima menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. Dan ketika suhengnya menyimpan kembali obat itu dan tersenyum padanya mendadak Salima tersedu menubruk suhengnya ini.

“Suheng, maafkan aku. Aku telah berdosa padamu!”

“Ah, sudahlah. Aku tahu twa-suheng menghasutmu, sumoi. Sekarang kau tahu mana salah mana benar, bukan?”

“Ya, dan aku... aku malu padamu, suheng. Aku harus membuat perhitungan dengan Gurba-suheng yang telah mempermainkan aku!” dan Salima yang merenggangkan diri menghapus air matanya akhirnya memandang suhengnya itu dengan pipi kemerah-merahan. “Suheng, kau mau memaafkan aku?” gadis ini menggigil.

“Tentu, kenapa tidak, sumoi?”

“Dan kau... kau mau membantuku menghadapi Gurba-suheng?”

“Hm,” Kim-mou-eng tersenyum pahit. “Aku menyesalkan kejadian ini, sumoi. Tapi seharusnya kita tak saling bermusuhan. Dulu kau dan suheng memusuhi aku, haruskah sekarang kau dan aku memusuhi suheng?”

“Tapi dia jahat, suheng. Dia tak tahu malu dan curang!”

“Karena dia mencintaimu,” Kim-mou-eng tersenyum. “Dan cinta dapat melakukan segalanya sumoi. Dan satu dari bukti itu adalah perbuatan Gurba-suheng!”

“Dan kau tidak marah?”

“Maksudmu?”

“Kau tidak tergerak untuk menghajar twa-suheng? Kau... kau tidak cemburu?”

Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa. “Sumoi, aku tak tahu harus cemburu atau tidak. Tapi marah jelas aku marah. Perbuatan suheng tidak terpuji, dia harus dihukum dan dicari.”

Salima mundur selangkah. “Suheng, kau... kau selama ini tak ingat akan aku?”

Kim-mou-eng tiba-tiba mengerutkan kening, menghela napas. “Sumoi, siapa bilang aku tak ingat akan kau? Justeru setiap hari aku murung melihat sikapmu itu, sejak kau dan suheng memusuhi aku. Dan aku menyesal. Tapi sekarang semuanya jelas, aku dapat membuka perbuatan suheng dan kau tahu siapa salah siapa benar!”

“Tidak, bukan itu. Aku ingin melanjutkan pertanyaan yang dulu, tentang... tentang hubungan kita!”

“Hm,” Kim-mou-eng tiba-tiba merah. “Sebaiknya persoalan itu biarkan dulu, sumoi. Aku tak dapat menjawabnya karena hatiku lagi pepat. Aku masih ada persoalan.”

Kim-mou-eng teringat Cao Cun, berdebar dan tidak enak kalau Salima “menuntut” jawabannya. Tahu yang dimaksudkan gadis itu adalah cinta mereka. Dan karena dia juga telah memberikan sesuatu pada puteri Wang-taijin itu dan hatinya tak nyaman teringat janjinya akhirnya pendekar ini kebat-kebit ditanya sumoinya. Tahu bahwa sumoinya amat mencintainya dan sekarangpun masih mencintainya. Pandangan sumoinya itu demikian mesra dan lembut, kini bahkan bergetar seolah anak kelinci yang ketakutan, membuat dia terharu. Dan ketika sumoinya terisak dan Salima menundukkan kepala tiba-tiba Kim-mou-eng menggenggam jari sumoinya ini.

“Sumoi...”

“Mmm...”

“Kau hendak melakukan apa sekarang?”

“Aku hendak mencari Gurba-suheng, ji-suheng (kakak nomor dua),” Salima mengangkat kepalanya. “Aku ingin membalas sakit hatiku ini.”

“Tak ingin keluar tembok besar?”

“Untuk apa?”

“Bangsa kita tercerai-berai, sumoi. Aku ingin kau ke sana mengumpulkan mereka itu.”

“Dan kau sendiri?”

Kim-mou-eng tersenyum gugup. “Aku masih ada persoalan di sini. Aku akan menyelesaikan beberapa urusanku.”

“Aku ikut!”

“Heh!”

“Aku ikut, suheng. Aku tak ingin keluar tembok besar seperti katamu. Itu sebenarnya urusan Gurba-suheng!”

“Ah, tapi itu penting. Itu urusan bangsa kita.”

“Tidak, kalau menyangkut kepentingan sebenarnya kita semua berkepentingan suheng, bukan aku atau Gurba-suheng sendiri. Dan aku saudara termuda, justeru seharusnya kau yang pergi ke sana menyatukan bangsa kita?”

“Hm...!” Kim-mou-eng bingung, melihat mata sumoinya bersinar-sinar, penuh selidik. Dan ketika dia kehabisan akal tak dapat membujuk sumoinya ini tiba-tiba sumoinya bertanya,

“Suheng, ada apa sih urusanmu itu? Bukankah urusanmu hanya mencari pamanmu itu? Kau tampaknya enggan kuikuti. Kau rupanya menyembunyikan sesuatu agar aku berpisah denganmu!”

Celaka! Kim-mou-eng terbelalak. Dia hampir dipukul telak, omongan itu hampir mengenai jantungnya dengan tepat. Dia memang mau menghindar dari sumoinya ini karena ingin menemui Cao Cun. Tentu saja merah padam ditodong seperti itu. Tapi karena Kim-mou-eng seorang pendekar yang pandai menguasai perasaan dan menindas guncangan hatinya tiba-tiba dia malah tertawa menghilangkan kecurigaan sumoinya, perubahan muka sudah pulih seperti biasa.

“Ah, kau ini ada-ada saja, sumoi. Siapa menyembunyikan sesuatu. Aku, hm... aku hanya khawatir saja padamu. Masalah itu memang benar, aku akan mencari pamanku, tapi sudah ketemu. Aku takut kalau kau bersikap keras menghadapi pamanku kalau ikut aku. Sudah jelas? Tak ada rahasia!”

Salima girang. “Kau sudah menemukan Yu-lopek?”

“Ya.”

“Dimana? Kenapa tidak bersamamu?”

“Coba terka dulu siapa pamanku itu, sumoi. Dan dimana kira-kira dia?”

“Mana aku tahu? Kau yang mencari, tentu kau pula yang mendapatkan. Ayo, katakan, suheng. Mana pamanmu itu dan siapa dia!”

“Dia Cheng-bin Yu-lo,” Kim-mou-eng redup pandangannya. “Dan dia adalah paman saudara Yu Bing yang gagah perkasa itu, pemuda yang kau kenal.”

“Apa?” Salima kaget. “Maksudmu Siang-kiam-houw Yu Bing itu?”

“Ya, dia orangnya, sumoi. Dan paman kudapat dari pemuda ini.”

“Ah!” dan Salima yang maju selangkah menyambar lengan suhengnya tiba-tiba bertanya, “Suheng, bagaimana asal mulanya? Bagaimana kau ketemu orang she Yu itu?”

“Panjang ceritanya, sumoi. Tapi bermula dari kota raja.” Kim-mou-eng tertegun sejenak, teringat Cao Cun dan harus hati-hati tak boleh menyebut nama gadis itu. Pertemuannya dengan Cao Cun harus dihapus, tak boleh diberitahukan. Dan ketika sumoinya tertarik dan bertanya padanya bagaimana kisah itu akhirnya Kim-mou-eng duduk dan menceritakan pada sumoinya apa yang telah terjadi.

Bahwa dia terbawa ke kota raja atas permintaan Sin-piauw Ang-Iojin, ketua Seng-piauw-pang yang dikhianati adik-adik seperguruannya itu. Datang mencari pangeran mahkota tapi ketemu Pangeran Muda, dicegat dan akhirnya dikeroyok Sai-mo-ong dan teman-temannya itu. Dan ketika dia terluka dan Sin-piauw Ang-lojin sendiri tewas dalam pertempuran itu maka sumoinya terbelalak terkejut mendengar semuanya ini.

“Ah, Seng-piauw-pangcu itu terbunuh di sana, suheng? Dan kau, apa perlumu mencari pangeran mahkota?”

“Ada sesuatu yang penting, sumoi. Sin-piauw Ang-Iojin minta bantuanku untuk menyampaikan pada pangeran mahkota bahwa ada persekongkolan rahasia yang hendak menjatuhkan kaisar, termasuk membunuh pangeran mahkota itu sendiri.”

“Siapa?”

“Pangeran Muda.”

“Putera dari selir itu?”

“Eh, kau tahu?”

“Tentu saja,” Salima berkilat matanya. “Dia pangeran yang menemani Gurba-suheng di kaputren, suheng. Dan pangeran itulah yang justeru mendorong Gurba-suheng untuk berbuat kurang ajar padaku. Dia pangeran tampan, tapi hatinya busuk!”

Dan Kim-mou-eng yang tertegun melihat sumoinya akhirnya ganti mendengar sumoinya bercerita tentang kejadian di istana itu, ketika Gurba menganiaya Bi Nio di kaputren, datang yang lain-lain termasuk Pangeran Muda itu. Dan ketika Salima mengakhiri ceritanya dengan tinju terkepal bahwa sang pangeran memberikan obat penunduk cinta pada twa-hengnya maka Kim-mou-eng menahan napas terkejut oleh semua cerita ini. Sumoinya nyaris saja menjadi korban, seperti telur di ujung tanduk!

“Dan Gurba-suheng diganggu Bu-kongcu, suheng. Itulah sebabnya dia pergi dan dicegat Sai-mo-ong dan teman-temannya di sini.”

“Tapi kau selamat, nyaris saja menjadi korban!”

“Berkat Bu-kongcu, kalau tidak...” Salima merah mukanya, mata berapi-api. “Gurba-suheng tentu telah memaksaku, suheng. Aku ngeri dan takut melihat kebuasannya!” dan Salima yang terisak mengusap hidungnya tiba-tiba dipegang tangannya oleh Kim-mou-eng.

“Sudahlah, semua telah lewat, sumoi. Aku prihatin dan menyesal sekali melihat tindak-tanduk Gurba-suheng. Sekarang telah berlalu, sebaiknya kau tenangkan hati dan tidak perlu pikirkan itu lagi.”

“Mana mungkin?” sumoinya marah. “Aku tak dapat menghilangkan sakit hati ini, suheng. Gurba-suheng harus kucari dan kubalas!”

“Tapi kau bukan lawannya, kepandaiannya masih lebih tinggi dan kau kalah dua tingkat.”

“Ada kau di sini, masa kau tak mau menolongku?” Salima memandang suhengnya, mengerutkan kening karena kata-kata Kim-mou-eng seolah tak mau tahu keadaannya, tentu saja tak puas.

Dan Kim-mou-eng yang bangkit berdiri menghela napas akhirnya tersenyum pahit. “Sumoi, sebenarnya diantara kita kakak dan adik seperguruan tak boleh bermusuhan. Aku tentu saja tak membiarkan sepak terjang Gurba-suheng. Hanya, kalau dia mau minta maaf dan tidak mengulang perbuatannya kita tak perlu memusuhinya, bukan? Aku sependapat denganmu, sumoi. Bahwa Gurba-suheng harus dicari dan dituntut perbuatannya. Tapi bukan untuk dibunuh atau dibalas atas dasar sakit hati!”

“Jadi kau mau mengampuninya?”

“Kalau dia mau minta maaf, sumoi. Kalau dia berjanji untuk bersikap baik padamu.”

“Ah, kau lemah!” Salima membanting kaki. “Kau tampaknya tak dapat mengerti betapa sakit hatiku, suheng. Kau enak saja omong begitu. Kau memang tidak mengalaminya sendiri!”

“Bukan begitu,” Kim-mou-eng tersenyum lembut. “Aku juga telah mengalami hal serupa, sumoi. Ingat saja perbuatan dan fitnah suheng kepadaku. Tapi aku tak dendam, aku dapat memaafkannya kalau dia minta maaf, mengaku kesalahannya dan tidak mengulang kejahatannya itu.”

Salima terbelalak, ia memang tahu watak yang serba lembut dari suhengnya nomor dua ini, suka mengalah dan ringan hati. Mulia. Tak ganas dan keras seperti dia. Watak seperti itulah yang mungkin membuat dia jatuh hati pada ji-suhengnya ini, yang membuat ia tertarik dan jatuh cinta. Suhengnya ini penuh kasih dan lembut, juga berkali-kali dibuktikan berwatak gagah di samping rendah hati. Sekarang tampak benar bedanya dengan suhengnya nomor satu, Gurba. Dan Salima yang jengkel tapi juga gemas akhirnya cemberut melepaskan tangannya.

“Baiklah, kau rupanya acuh padaku, suheng. Kalau begitu sesukamulah dan biarkan aku pergi!” Salima tiba-tiba memutar tubuhnya, meloncat dan pergi meninggalkan suhengnya dengan perasaan mendongkol, isaknya tak dapat disembunyikan.

Dan Kim-mou-eng yang tentu saja terkejut melihat sumoinya ngambek tiba-tiba melompat mengejar, menyambar sumoinya dari belakang. “Eh, tunggu dulu, sumoi. Jangan mencari Gurba-suheng sendirian!”

Salima tertangkap, langsung diputar dan berhadapan dengan suhengnya itu. Dan Salima yang girang tapi pura-pura marah, karena ini berarti suhengnya tak melepas perhatian padanya tiba-tiba membentak dan merenggut lengannya. “Suheng, lepaskan aku. Biar aku mampus tak perlu dibantu!”

“Ah-ah...” Kim-mou-eng gugup. “Jangan begitu, sumoi. Semua bisa diatasi dan aku tentu saja membantumu. Kenapa marah?” dan ketika sang sumoi cemberut tapi mata itu tidak melotot Kim-mou-eng sudah menangkap kembali lengan sumoinya ini. “Sumoi, aku tidak berkata bahwa aku akan membiarkanmu. Sekarang kita berdua, Gurba-suheng akan mengganggumu kalau aku tak ada di dekatmu. Kenapa hendak pergi? Kau ikut aku saja, sumoi, tak boleh berkeliaran di daerah ini kecuali kalau kau hendak mengumpulkan bangsa kita!”

“Siapa mau? Kau enak-enak saja berkelana, aku tak sudi bekerja sendirian sementara kalian mengembara di Tionggoan (pedalaman)!”

“Kalau begitu kau ikut aku, kecuali... hm, kecuali kau tak suka. Ada urusan sendiri umpamanya!”

Aneh, Salima tiba-tiba tertawa. Dan ketika Kim-mou-eng terbelalak dan heran memandang sumoinya ini mendadak Salima menggelandot manja di pundaknya. “Suheng, siapa tak suka melakukan perjalanan bersama? Justeru kalau kau mengusirku pergi aku akan mengikutimu. Sekarang kau mengajak, bukankah tak boleh kutampik? Hayo, kita berangkat, suheng. Aku taat dan akan tunduk padamu asal kau penuh perhatian padaku!”

Dan, begitu menyendal suhengnya tertawa gembira tiba-tiba gadis Tar-tar ini telah membawa Kim-mou-eng meninggalkan tempat itu. Pergi dan sebentar kemudian terbang dengan mata berseri-seri, Kim-mou-eng digandeng dan Salima tampak bersikap begitu mesra, menggandeng suhengnya bagai pasangan pengantin baru. Tak tahu hubungan suhengnya dengan Cao Cun, janji dan pernyataan cinta suhengnya itu pada puteri Wang-taijin. Dan begitu Salima bersikap manja dan tertawa-tawa membawa suhengnya akhirnya dua orang muda inipun lenyap meninggalkan tempat itu. Sementara Kim-mou-eng, tanpa diketahui sumoinya diam-diam mengeluh!

* * * * * * * *

Gurba terpukul. Untuk kedua kalinya lagi dia kehilangan sumoinya. Kedatangan Kim-mou-eng benar-benar di luar dugaan, tentu saja tak dapat dia menguasai sumoinya itu kalau sutenya ada di sana. Betapapun kepandaian mereka berimbang. Dan Gurba yang murung melarikan diri dengan perasaan marah tiba-tiba saja menjadi dendam dan marah pada sutenya.

Kim-mou-eng benar-benar penghalang. Dan selama ini sumoinya tak berhasil juga dia bujuk, Gurba menggeram. Dia teringat perjalanan bersama di kala mereka berdua. Waktu Salima terbujuk dan terhasut fitnahnya, membenci dan marah pada sutenya itu, Kim-mou-eng. Tapi Salima yang tak mau disentuh dan tidak memberi harapan padanya membuat dia kecewa dan sakit hati. Aneh sumoinya itu. Dipeluk sedikitpun tak mau, apalagi dicium. Ah! Gurba mengepal tinju.

Sebenarnya, dalam perjalanan bersama itu banyak kesempatan baginya untuk mendekati sumoinya itu. Tapi sumoinya selalu menggeser bila dia duduk mendekati, merapat. Atau menepiskan tangan bila dipegang. Padahal, begitu pernah dia lihat, sumoinya itu membiarkan saja jarinya digenggam kalau sutenya yang pegang! Ah, keparat, Gurba merah mukanya. Apakah kelebihan sutenya itu? Dia memang hitam, sutenya tampan. Tapi bukankah kepandaian mereka sama? Dan Salima pun kulitnya juga tidak putih!

Tapi sumoinya itu memang manis, gerak-geriknya memikat dan lenggangnyapun cukup aduhai. Sering dia mengilar kalau melihat sumoinya berjalan. Seperti, hm... seperti dewi Kayima. Dewi kepercayaan suku bangsa Tar-tar yang juga digambarkan berkulit hitam manis itu. Dewi yang tinggi semampai isteri dewa Urdha, dewa yang menguasai angin. Dan Gurba yang penasaran dan semakin tergila-gila pada sumoinya itu tiba-tiba menggeram dan teringat Bi Nio.

Sekarang masa depannya hancur. Artinya, sumoinya itu sudah melihat Bi Nio sebagai isterinya. Tak ada harapan lagi baginya untuk memiliki sumoinya itu. Satu-satunya jalan hanyalah kekerasan. Dia harus memaksa sumoinya itu, menundukkannya dan menggaulinya agar mereka menjadi suami isteri. Suka atau tidak suka bagi sumoinya. Dia tak dapat menahan nafsu lagi setiap mengingat sumoinya. Begitu tergila-gila dan panas hatinya kalau dia teringat gadis itu, kegagalannya, kesempatan emas yang tak berhasil dia peroleh ketika mereka masih berdua. Salima tinggal diraih dan dia dapat melakukan apa saja. Dan kini setelah burung yang elok itu terbang tinggi dan dia menggigit jari raksasa ini melotot penuh kebencian.

Kemana dia sekarang? Berkeliaran di Tionggoan tak ada faedahnya. Sute dan sumoinya memusuhinya, sedang di sana Sai-mo-ong dan teman-temannya juga menjaga. Paling baik kalau dia kembali ke suku bangsanya dan bertualang. Berperang terhadap siapa saja untuk melampiaskan nafsu amarahnya. Tapi, belum Gurba melaksanakan maksudnya tiba-tiba Pangeran Muda, muncul.

“Aha, selamat kembali, hanggoda. Kau dikecewakan sute dan sumoimu, bukan? Mudah, aku dapat membantu. Kita memang harus bersatu!” dan Pangeran Muda yang keluar dari tikungan menghampiri raksasa ini tiba-tiba sudah memegang lengannya dan tertawa lebar. “Hanggoda, kau masih juga tak mau bekerjasama?”

Raksasa ini tertegun. “Kau dengan siapa?” Gurba mendengar suara berkerisik di belakang pangeran, langkah kaki yang lembut dan halus. Dan ketika sang pangeran tertawa dan menggapai ke belakang tiba-tiba seorang wanita cantik muncul tersenyum manis, Gurba tertegun memandang wanita ini.

“Hanggoda, perkenalkan, dia isteriku, Wan Cu!”

Wan Cu, wanita cantik itu sudah memberi hormat. Dia memberi kerling yang luar biasa manisnya pada Gurba, membungkuk dan bau harum yang memabukkan muncul dari tubuh wanita ini. Dan ketika Gurba mendelong dan tergetar memandang kecantikan itu tiba-tiba suara merdu yang luar biasa empuk menegur raksasa ini, “Hanggoda, perkenalkan. Aku Wan Cu, isteri Siauw-ong-ya.”

“Ah!” Gurba sadar, mengejapkan mata dengan muka kagum, sedikit merah ketika mendengar Siauw-ong-ya tertawa. Dan ketika dia balas memberi hormat dan terbelalak memandang Wan Cu maka Pangeran Muda tersenyum lebar merapatkan isterinya.

“Hanggoda, isteriku datang untuk minta dengan sangat kau memenuhi permintaanku. Dia telah mendengar segalanya dan melihat kegagalanmu.”

“Maksudmu?”

Sang pangeran tersenyum, melirik isterinya. “Kau jelaskan, Wan Cu. Biar hanggoda yang gagah ini mendengar maksudmu.”

Wan Cu melangkah maju, bau harum kembali bertiup. “Hanggoda, maafkan aku. Siauw-ongya merasa gagal meminta pertolonganmu. Aku datang untuk mengulang permohonan suamiku agar kau membantu kami. Kita bekerjasama, kau di luar kami di dalam. Bagaimana kalau kau datang ke istana?”

Gurba terbelalak, tak segera menjawab.

“Bagaimana, hanggoda?”

Gurba menahan napas, tergetar oleh suara yang lembut dan kecantikan wanita ini, juga tubuhnya yang menggairahkan. Sama tinggi dengan sumoinya. Tinggi semampai dan montok. Seorang wanita yang masak! Dan ketika Gurba terpesona oleh gerak bibir yang berbicara ini tiba-tiba Wan Cu terkekeh menutupi mulutnya, dan Gurba kaget.

“Eh, maaf. Apa... apa yang kau bicarakan, hujin?”

Wan Cu tak dapat menahan geli, melirik suaminya. Melihat sang suami mengangguk dan tersenyum lebar. Melihat Gurba terpesona dan kagum oleh kecantikan Wan Cu. Dan Wan Cu yang mendapat isyarat dari sang suami dan menghentikan tawanya yang merdu tiba-tiba mengulang pertanyaannya dengan nada yang sama.

“Kami minta kau membantu kami, hanggoda. Aku berharap kau mau mengunjungi istana suamiku untuk membicarakan lebih lanjut rencana kami.”

Gurba mundur. “Tapi Sai-mo-ong dan teman-temannya, juga Bu-kongcu itu...”

“Mereka dapat kami atasi, hanggoda. Tak perlu khawatir tentang mereka!” Wan Cu memotong cepat, seolah mengetahui jalan pikiran raksasa ini. “Dan Bu-kongcu juga tak akan mengganggumu!”

“Tentu saja,” Gurba marah. “Sumoiku telah pergi, hujin. Dan aku jadi tak suka tinggal di istana!”

“Tapi sekarang lain, kau dapat kamar istimewa!”

“Apa maksudmu?”

Wan Cu tersenyum, manis merangsang. Dan ketika Gurba terbelalak tak mengerti kata-katanya maka wanita ini sudah menjelaskan tanpa tedeng aling-aling, mengejutkan Gurba. “Artinya kau dapat sebuah kamar yang istimewa, hanggoda. Kujamin tak seorang pun berani memasuki kamar itu karena kamar yang kuberikan adalah kamarku sendiri!”

Gurba kaget. “Apa?”

“Ya, kamarku, hanggoda. Kau boleh pakai kamar itu dan suamiku mengijinkan!”

Gurba hampir mencelat. Dia seolah tak percaya mendengar kata-kata ini, melihat Wan Cu tersenyum dan memandangnya dengan mata yang bersinar-sinar. Wajah yang cantik itu tampak bersemu dadu. Gurba tergetar, hampir mengeluh. Tapi ketika Siauw-ongya tertawa dan melangkah maju maka raksasa ini mendengar kata-kata meyakinkan yang tidak salah lagi.

“Benar, apa yang dikata isteriku memang tidak salah, hanggoda. Aku menyesal dan ingin mengganti kesalahanku dulu. Kau boleh pakai kamar isteriku, tak ada yang berani masuk kecuali isteriku sendiri!”

“Tapi... tapi...”